Di Bawah Bulan M alam Ini
Tiada setitik pun awan di langit.
Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya
matari.
Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala
dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut,
juga hewan dan m anusia.
Langit jernih, bersih dan terang.
Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya: gelisah, resah,
seakan-akan m anusia tak m embutuhkan ketenteraman lagi.
0o-dw-o0
1. A bad ke enambelas Masehi
Bahkan juga laut Jawa di bawah bu lan purnam a sidhi itu
gelisah. Ombak-om bak besar bergulung-gulung mem anjang
terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau
Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya
yang bertebaran seperti serakan mutiara – semua –
dikuningi oleh cahaya bulan.
Angin meniup tenang. Ombak-ombak m akin menggila.
Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan
kecepatan tinggi dalam cuaca angin dam ai itu. Badannya
yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan
meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak
purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan
menggelembung mem bikin lunas menerjang serong gununggunung air itu – serong ke baratlaut. Barisan dayung pada
dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular
naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang
sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.
Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar
bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten
Tuban. Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti
titik kelam, adalah jurutinjau.
Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang
sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di
sampingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang.
“Tetap tak ada yang m engejar, Tuanku!” seru juru tinjau.
“Kita akan selam at sampai di tempat,” bisik nakhoda
pada Patragading sambil menyembah dada. “Tak ada yang
mengejar kita.”
Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada
pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjapngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh
kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran.
“Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.”
“Lihat yang
perompak.”
baik,
barangkali
ada
iring-iringan
“Tak pernah ada perompak berani mendekati kapal
sahaya.”
“Lihat yang baik,” gertak Patragading. Tangannya
mem betulkan kain penutup dadanya.
“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?”
“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan
laporan jurutinjau sambil menyembah dada. “Sebaiknya
Tuanku mengaso sebelum m endarat tengah m alam ini.”
Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya
tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan
mondar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan,
mem eriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk
ke bawah, memandangi lunas yang menerjang om bak. Juga
tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal,
kemudian berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan.
Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari
pemandangan.
“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau.
Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu
menghembuskan nafas besar.
“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur
begini,” sambut nakhoda.
“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.”
“Pada putra G usti Adipati tak ada nakhoda berani
mem bantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!”
“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.”
“Lebih gampang menumpas perom pak.”
‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.”
“Boleh jadi ada perintah kembali.”
“Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan
terkapar ditelan hiu.”
“Ts-te-ts.”
“Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.”
“Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.”
“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?”
Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama,
hanya agar tidak berada di dekat Patragading, putra ke dua
ratus empat puluh satu.
Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah
botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit.
Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil
mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya
berdiri, kaki belakangnya bersim puh. Kepala itu diangkat
lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara
keras, mem baung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat,
kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke
kiri dan kanan. Ia mem anggil bulan dan yang dipanggilnya
tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang
lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu
mem andang ke atas, mem anggil-manggil sang bulan,
meraung, m elolong, m embaung.
Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya
melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai
desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. M enusuk
lebih dalam ke tengah-tengah desa, mem asuki balai-desa.
“Dengar anjing-anjing mem baung!” orang tua itu
menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat.
Badannya tetap tenang duduk di atas tikar m enghadapi para
pendengarnya.
“Tak pernah anjing hutan membaung seperti itu.”
Sunyi-senyap
di
ruangan
balai-desa.
Semua
mem anjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing
di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala
di sepanjang dan seputar rumah um um itu bergoyanggoyang terkena angin silir.
“Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama?” kepala
desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.
“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjinganjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi
mereka. Sejak dahulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua
dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama
untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam .”
“Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang
gadis di tengah-tengah hadirin.
“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum
pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekarang sedang
tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian
semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih
berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis.
Dulu desa ini dinamai Sum ber Raja…” Tiba-tiba suaranya
terangkat naik, m elengking. “Kalian biarkan desa ini di hina
oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama
Awis Kram bil.” Ia tertawa sengit.
“Bukan begitu Rama G uru,” bantah kepala desa gopohgapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin.
“Nam a itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap
sulitnya kelapa di sini. Lama-lam a jadi sebutan resmi di
Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.”
“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka
sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak
menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian
sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang
desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncakpuncak pohon kelapanya?”
Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar
perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata Rama
Cluring ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap
tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan
kelapa…. adalah karena ada apa-apa kecuali kelapa di
dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa
kecuali kelapa.”
“Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama G uru?” tanya
kepala desa tersiksa.
“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini
dahulu mencukupi buat semua? Mem ang lain. Dahulu
penduduk desa masih punya harga diri. Nam anya tetap
Sum ber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para
pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh,
cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka
kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan
nenek-moyang.”
Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai
bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus.
Para hadirin, tua dan muda, laki dan perempuan, gadis
dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendekkecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar
putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala
Anom an dalam R amayana.
Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil
mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan
keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang
terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa
Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu.
“Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan mem baung
sepanjang m alam.”
Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup
dari tengah hutan.
“Nenek-m oyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,”
tiba-tiba orang tua itu m enetak kejam.
“Aku dan kami mungkin mem ang bebal,” seseorang di
tengah-tengah hadirin mem bantah. ‘Tapi para dewa, Rama
G uru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik
untuk kelapa.”
“Puah!” seru Ram a Cluring. “Sewaktu kecilku takkan
ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan
semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-guru
dihorm ati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang
Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal
pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada
seorang pun menghinakan keadaannya, karena manusia
diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada
ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? Tetapi
manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke
telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan
yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk mem punyai ekor
pun m anusia demikian tidak berdaya.”
Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya
tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang
ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan,
mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang m anusia dan
kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan
kemungkinan-kemungkinannya.
Kemudian
menutup
dengan nada tinggi meledak: “G uru-gurumu takkan lupa
menyam paikan: yang buruk datang pada manusia yang
salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk
mem anggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian melewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk
dan ajaran Sang G uru. Padaku ada wewenang menamai
kalian bebal.”
“Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama,” seseorang
nenek mem protes.
“Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda
masih ada hati, dan ada cinta di dalam nya. Tapi macam
cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada
kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti
kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sum ber Raja
jadi Awis Kram bil, hanya karena desa ini tak mampu
mem bayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti
demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati?
Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan
merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu?
Menyaksikan dunia besar? Dihorm ati dan disegani di manamana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai
di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah
orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sakit karena kebebalan sendiri?”
Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan
anjing m engisi suasana.
“Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah
menginjakkan kaki di bumi Atas Angin. Di sana pun
dahulu kalian akan dengar gam elan kalian sendiri. Orang
sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala
seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga
seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak mem berikan
kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga mem bayar
upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara
kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana
Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.”
Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh
yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesarankebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai.
Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya:
“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan
masa-la lu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan
harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan
kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan mem biakkan
pohon kelapa pun kalian tak mampu!”
Malam itu dingin. Semua mengenakan kain
dada, laki dan perempuan. Nam un ada juga
perawan yang membiarkan buah dadanya
dipermain-mainkan sinar dam ar sewu dan angin
mengentalkan darah.
menutup
perawanterbuka,
silir yang
“Dulu, waktu Sang Adipati masih muda, jadi pembesar
berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah
dipersembahkannya pada Majapahit. Di tangannya juga
Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya,
apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini
pun tidak sesuatu! Kalian ini kawula Sang Adipati ataukah
budaknya yang ditangkap di medan perang?”
“Kawula!” seseorang m emberikan jawaban.
“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?”
“Rama!” seorang lagi berseru tegang,
“Rama telah….”
“Rama!” tegur kepala desa di belakangnya. Matanya
berbeliak
menyemburkan
api
kemarahan.
“Itu
pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut
pembangkangan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih
mengerti aturan darmaraja.”
Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.
“Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai
berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu
dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu
sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.
“Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung.
Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua
terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu
sebabnya kecuali binatang dan tum buh-tumbuhan, semua,
juga Hyang Widhi, juga para dewa: sekali diucapkan,
kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke
mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras,
karena kebenaran selalu datang dari Hyang Widhi sendiri.
Juga kata-kataku akan sampai ke T uban, ke bandar-bandar
seberang….”
Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus sampan
mem bawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri
seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor
dan pulau Panjang.
Em pat ratus sampan telah mendarat di pulau Panjang,
mem bawa pedang dan tom bak meneliti setiap sudut dan
lapangan. Seorang prajurit bertombak meraung: “Semua
penduduk nelayan pulau Panjang supaya m enghadap!”
Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung
menyam but berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan
pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana
mereka melarikan diri.
Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang
menemukan sebuah arca G anesya yang belum lagi selesai.
Em pat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada
alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar Jepara itu
terkesima oleh pemandangan itu.
Seorang prajurit berpedang m enghardik: “Mengapa raguragu m enangkap?” ia lari menghampiri.
Ia sendiri terkejut m elihat arca belum jadi itu.
Seorang prajurit lain datang, mem ekik: “Mengaku sudah
Islam. Mengapa pada batu takut? Ayoh, gulingkan.
Ceburkan ke laut.”
Tapi penduduk pesisir Jepara dan prajurit pertam a itu
ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan
meludahinya.
“Lihat, dia diam saja aku ludahi,” kemudian ia
menggoyang-goyang kepala gajah yang belum jadi itu,
“lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan.
Ayoh, gulingkan!” perintahnya kemudian.
Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan.
Dengan langkah goyah ia mendekati G anesya belum selesai
itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan
tulunjuknya. Dan belalai G anesya itu tidak hangat, juga
tidak m embuktikan diri punya sakti.
“Ludahi dia!” perintah prajurit kedua.
Prajurit pertama melengos. Ia tak berani.
“Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku
gulingkan batu ini!” pekik prajurit kedua.
Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala
arca itu sampai terguling ke tanah. Prajurit kedua bersorak,
pengikutnya juga bersorak.
“G uling-gulingkan sampai ke teluk!”
Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak
lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan
hilang dari pandangan bulan dan manusia.
Di Tegalsam bi, di pesisir selatan Jepara, penduduk kota
yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di
depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada
puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecahpecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dapat
dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya
dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah,
terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung
papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik
dengan dua jari tangan mem belai dagunya sendiri dan
dengan tangan kiri m emegangi pergelangan tangan kanan.
Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan
punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berham buran.
Dengan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu
berkeping-keping, kemudian menyepaknya berantakan.
Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di
atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang
telah berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam,
tidak bergerak lagi.
Di Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan
pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena
sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya
menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang
pembawa
payung
berlari-lari
mendekati
dan
mem ayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat
bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak
mengindahkan. Ia bergumam: “Lebih bagus dengan
bendera kita.”
“Semua ikut mem andangi bendera putih yang berkibar
malas dalam angin silir lemah itu. G ambar kupu-tarung di
tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan
garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera.
“Kupu-tarung lebih bagus daripada
seseorang m emberikan tanggapan.
merah-putih,”
“Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari
muka bumi.”
‘Tentu.”
Dengan sendirinya rombongan itu m engalihkan pandang
pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin
kuning….
Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anakanak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di
tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka
sedang menyam paikan puji-pujian kepada sang bulan
sebelum mem ulai dengan permainan malam. Mereka
bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran.
Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin
permainan.
Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit.
Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta
untuk selam a-lam anya, pindah ke G resik atau kota-kota
bandar lainnya.
Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di
ibukota kerajaan Blam bangan ribuan bocah sedang
bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan
seorang nenek mem impin mereka, tapi seorang pedanda
pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus m elingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan pujibulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersoraksorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan
dam ai, seakan tak ada lagi setetes darah mem erahi medan
perang.
Juga
seluruh
Dahanapura,
ibukota
kerajaan
Blam bangan, mengelu-elukan bulan yang mem erangi langit
tanpa noda itu, karena cuaca seindah itu menjanjikan
kemakmuran dan perdam aian. Pasuruan, kedudukan
Dahanapura, semakin lama semakin besar setelah Sri
Baginda Ranawijaya G irindrawardhana, raja Blam bangan
mem bariskan pasukannya mem asuki Majapahit yang telah
runtuh, untuk mem buktikan pada dunia, bahwa tak ada
kekuatan lain berhak menjam ah bekas kera jaan Majapahit
dan ibukotanya selam a darah Sri Baginda Kretarajasa, yang
sekarang masih berdiri di Blam bangan. Tiga tahun setelah
menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik
kembali ke Blam bangan. untuk mengalihkan perhatian
orang dari Majapahit ke Blam bangan. Ia berhasil dan
Pasuruan menjadi bandar besar. Kalau ada yang masih
dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra
wardhana dan Patih Udara, hanya karena bandar
Majapahit, G resik, tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan.
Nam un orang tak meneteskan darah di wilayah
Blam bangan karena perang. Aman, damai dan
kemakmuran melimpah.
Di balai-desa Awis Kram bil antara Rama Cluring dan
para hadirin ketegangan semakin m enjadi-jadi. Hal itu tidak
pernah terjadi dengan guru pembicara lain yang pernah
datang ke desa ini.
“Betul!” orang mem ekik di tengah-tengah hadirin, “tidak
lain dari Rama G uru sendiri yang lebih tahu tentang
darmaraja. Dari Tuban datang pengayom an. Pengayom an
itu yang mem buat Rama tidak tahu, setiap jengkal tanah
yang kita pacul adalah milik G usti Adipati, dirampas
dengan parang dan tom bak dari tangan musuh-m usuhnya
dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan
di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua
upeti kita. Pengayom an, Rama, sehingga tak ada musuh
datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main
dam ai setiap hari. Hujan jatuh mem bawa kesuburan. Dan
keringat jatuh mem bawa kesejahteraan.”
Rama Cluring tak pernah memotong kata-kata orang. Ia
mendengarkan tanpa menggerakkan badan. Kemudian:
“Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak
pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut
mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke
berapa ratus kau dari Sang Adipati? Coba sini, perlihatkan
mukamu.”
Pembicara itu tidak m enampakkan mukanya.
“Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama
halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih
beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada
mendampingi seorang suami di sawah dan ladang.
Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka
haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia.
Rama Cluring berkomat-kamit dan mengocok mata.
Kemudian ia tegakkan dada, nampak menarik nafas
panjang, m enghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam
paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya.
“Dari mana datangnya pengayom an kalau bukan dari
upeti?” seseorang bertanya ragu-ragu.
“Dari mana?” Rama Cluring menjawab. “Kalau upeti
tak muncul, bukan pengayoman yang datang, tapi
balatentara Tuban akan menumpas dan menghancurkan
kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang
pun di antara kalian mendapat pengayom an. Balatentara
Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan
mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantangan.
Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis Idayu
menyikut pacarnya, G aleng, berbisik: “Jadi, apa maunya?”
“Dengarkan saja,” kata G aleng.
Pacarnya m encubit sengit, tapi pemuda itu tak peduli.
“Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup
dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti.
Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa
kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa,
apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian
bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti.
Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam
rajam u?”
Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan.
“Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan
lebih, lebih ketakutan. Bukan karena kata-kataku. Mari aku
ceritai: jam an ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil
bermunculan pada berdiri sendiri, karena rajadiraja tiada.
Kekacauan dan perang akan mem buru kalian silih-berganti.
Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan
dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian
takkan ditumpas karena kata-kataku. Kemerosotan jaman
dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas
kalian selam a kalian tak mampu menahan kemerosotan
besar ini.”
Ia diam.
Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa
terpengaruh oleh ram alan orang tua-tua pengembara yang
telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama
meram alkan akan datangnya perang yang tiada kan habishabisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai
bangsa dengan berbagai warna kulit telah mulai
berdatangan menjam ah bumi Jawa.
“Rama G uru,” seorang wanita dengan suara mendayudayu mem ohon, “bila kekacauan dan perang akan
mem buru-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia
semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?”
“Jelas. Apalagi upeti-upeti ke Tuban itu. Sam a sekali
tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman Majapahit tak
ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak
diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak
dan ram ah. “Di masa itu semua orang boleh mem bikin
bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat
menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar
mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang.
Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali
atas perintah. Dahulu perawan-perawan pada menenun
sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain
dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang
hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya
ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk
pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-m ana
sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi
dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah
dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungaisungai dipelihara. Di jaman Majapahit para punggawa
disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk mem ata-matai
kawula. M ereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak
itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala
desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan
demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu
akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.”
“Berapa um urm u. Rama G uru, maka tahu banyak
tentang jaman kejayaan Majapahit?” seorang gadis
bertanya. “Dua ratus?”
Rama
Cluring
kerongkongan.
mendeham
dan
mem bersihkan
“Tak ada orang hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa
puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.”
“Mengapa menurut perhitungan surya?” seorang lain
bertanya.
“Di bandar-bandar ada orang yang mulai menggunakan
perhitungan rembulan – orang-orang gila itu. Mereka
mem punyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari
berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun
ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut.
Mereka tak mem erlukan gunung. Mereka tak memerlukan
surya. Mereka hanya mem erlukan harta dan kekayaan.”
“Mereka penyembah rembulan. Rama G uru?”
“Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang
mem bikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat
pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda Kaisar di
Majapahit. Mereka pengaruhi bupati dan adipati pesisir
supaya tak mem bikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap
dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani….
Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. Di pesisir
Atas Angin sana m ereka sam a saja tingkahnya. Perhitungan
rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman,
jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik
untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya,
orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri….
Yang paling tidak horm at pada para dewa juga yang paling
mula jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan
kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya….
boleh jadi…. sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali
tidak berbunyi…”
“Adakah Rama Cluring pernah lihat tulisan itu?” Orang
tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk.
“Dengar!” perintahnya.
Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing,
ratusan di tengah hutan, kembali menggelom bang.
‘Tak pernah binatang itu mem baung selam a itu, seramai
itu. Boleh jadi akan datang banjir – banjir air, banjir
bencana, malapetaka yang membikin semua lebih merosot
tersedot lumpur.”
Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “Darm araja?
Pengayom an? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang
Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati
pesisir mulai mem bangkang mempersembahkan upeti?
Bukankah Sang Adipati itu rajam u sekarang? Bukankah
sebagai Tum enggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas
keamanan
dan
kesejahteraan
ibukota
Majapahit,
Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain,
mem bangkang mempersembahkan upeti, malah tetap
mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari
darmaraja, membentang dari Tuban sampai Jepara –
sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah
bandar?”
‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah
kepala desa, “karena hanya dengan karunia Hyang Widhi
saja seseorang bisa bertahta! Bukankah Ram a G uru dengan
demikian menghujat Hyang Widhi?”
“Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama
Ken Arok. Ditum bangkannya akuwu dan raja, dan sendiri
marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab
suci, mem erintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam
bangunan-bangunan suci.”
“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan.”
“Ditum bangkan. Tapi darahnya
kekaisaran Majapahit yang tiada tara.”
telah
bangunkan
“Dan M ajapahit pun tumbang.”
“Tum bangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang
Widhi tidak pernah salah mem ilih wakilnya di atas bumi.
Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul
pilihan Hyang Widhi.”
“Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.”
“Dan apa katanya tentang Adipati pembangkang yang
bersekutu dengan pedagang-pedagang Atas Angin yang
berdewa lain?”
“Waktu itu belum ada Sang Adipati.”
“Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi,
karena tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran.
Tulikah kau? Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong
anjing-anjing hutan itu? Tak tahukah kau itu pesta untuk
haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat daripada
yang kau sangka?”
Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam.
Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara
hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati.
Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu Rama
CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama
yang berani lakukan itu. Dan ketegangan m enarik otot-otot
muka mereka sehingga seperti terbuat daripada kayu jati.
Dan keseram an mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh
mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah
tenang dan m enggeletarkan semua bayang-bayang.
Di luar, di langit, bulan purnam a bertahta tanpa
tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat
ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan
hutan.
‘Tak lain dari Hyang Widhi juga yang menggulingkan
raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak
mampu
memikul
kebesaran-Nya,
tak
mampu
menyum am brahkan dengan jari-jarinya yang kaku – karena
jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri
dan tidak bisa m emberikan sesuatu untuk kawulanya.”
“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, Rama G uru,”
seorang di antara hadirin angkat bicara.
“Apa kau akan bilang kalau aku mem bubuhkannya pada
lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar
yang terpandai di antara kalian menuliskannya.”
“Belum perlu, Rama G uru,” kepala desa itu menegah.
“Mem ang belum perlu,” pembicara itu meneruskan.
“Rama, kami nampak memang kurang harga diri, kurang
kehorm atan, m ungkin juga mem ang bebal. Tapi kami hidup
dalam kesejahteraan, keamanan dan perdam aian.
Sebaliknya, Rama G uru, kata-kata Ram a sendiri yang menempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. Rama,
tidak lain dari Rama!”
Rama CIuring mendengus meremehkan. Suaranya
enteng mengambang di udara malam yang hangat itu.
“Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling
tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan
ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang
tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang
perbatasan, mem ohon
perlindungan
Sang Bupati
Bojonegara.
Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kebinasaan
itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau
tidak mengerti, kepala desa? Penduduk desa ini terusmenerus membayar upeti dan mem ikulnya sendiri ke Tuban
Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat
antara sang Adipati dengan kawulanya di sini. Kalau ikatan
keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan
perbudakan. Kalian semua ini bukan kawula, tapi budak!
Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan musuhmusuhnya yang telah ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa
perang!”
“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan
perang. Katakan pada kami. Rama G uru, bagaimana agar
kami tidak jadi budak?”
“Rama Cluring yang bijaksana,” seorang lain lagi
menyerondol, “bukankah Rama G uru lebih dari tahu,
setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?”
“Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.”
“Tidakkah Rama G uru akan dibawanya ke Tuban dan
diadili?”
“Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah
mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat
diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang
Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili
kebenaran, dia mem anggil Sang Hyang Kala, dia akan
dilupakan orang kecuali kedunguannya.”
Ia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung
Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang
Hyang W idhi merestui barangsiapa punya kebenaran dalam
hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat
jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka
yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi
bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka
melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya
sumber keonaran di atas bumi ini…,” dan ia teruskan
wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan
kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan
para dewa.
Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat
itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa
dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang
tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seirama
mem belah permukaan mem ercikkan air dan semburannya
menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang
menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari
haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang
ditarik.
Waktu lampu menara bandar Tuban mulai hilangmuncul di atas kepala om bak terdengar pekikan aba-aba.
Tak lama kemudian menyusul ledakan di belakang layar
kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut
api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera
lenyap.
Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di
langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang
mem buat lonjakan ke atas, kemudian ke bawah, ke tiadaan.
Ledakan itu menyebabkan permukaan laut gemerlapan
beberapa detik, kemudian kembali jadi manis berm ain-main
dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang
sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas.
Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan.
Dengan cepat mem belok ke kanan, bergerak hanya dengan
kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi.
Lunas itu menerjang alun dan om bak pada sudut lebih
besar daripada semula. Dan semua alun dan om bak terus
juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk menghantam
pesisir utara pulau Jawa.
0o-dw-o0
Rama Cluring segera mengambil cawan tanah yang
diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi,
mem perlihatkan pada semua hadirin, ia hendak
mem inumnya. Ia baru habis menceritakan tentang kebesaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu
dan ketrampilan mem bikin kapal-kapal samudra, dengan
wilayah kekuasaannya.
“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini.
Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit
dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya
sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah
Tuban – itu pun hasil pengkhianatannya terhadap
Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak
didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan
kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar
daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku:
Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi,
dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota
petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang
tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.”
Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan
meneguknya sekali habis.
“Dewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada
kepala desa, kemudian menudingnya: “Lihatlah ini
tam pang kepala desamu, takut pada kebenaran, pada
keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun
aku!” Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para
hadirin: “Dia telah racun aku! Dan kalian kenal siapa aku,
hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran
milik Maha Dewa.”
Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan
kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit.
Mukanya pucat.
“Rama!” seseorang berteriak dan lari ke depan hendak
menolongnya.
Rama Cluring bangkit berdiri dengan susah-payah.
Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang:
“Tak ada seorang pun meracun Rama. Kami semua
menghormati Rama.”
“Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua
penduduk Awis Kram bil!”
Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melom pat
keluar dari balai desa.
Setiap guru-pembicara punya gaya dan cara sendiri
dalam usaha mem pengaruhi dan mengetahui sampai di
mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap
tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih
terpaku pada tempatnya bersila.
Yang menganggap benar-benar Rama Cluring terkena
racun cepat-cepat bangkit dan lari mem buru. Tak pernah
terjadi seorang guru-pembicara mengalami penganiayaan di
desa mana pun.
Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan
perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia
menolak tuntunan orang.
G aleng dan Idayu ikut lari mem buru. Tanpa
mengindahkan protes Rama Cluring mereka berdua
menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam
mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka serombongan orang berseru-seru m emohon ampunnya sambil
berlari-lari kecil. G aleng dan Idayu merasai gigilan pada
tubuh tua itu.
Idayu melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan
pada dada R ama setelah menyembah m eminta ampun. Dan
Rama tidak menolak.
Tiba-tiba guru berhenti, mem bungkuk dan muntah.
“Rama! Rama!” bisik G aleng.
“Beri aku minyak kelapa!” pinta Rama Cluring. Ia
muntah lagi. “Cepat!”
“Mem ang terkena racun!” di belakang orang mem beri
kom entar.
G aleng menyembahnya, cepatnya mengangkatnya dan
mem bawanya ke rumah Idayu, mem baringkannya di atas
am bin bambu. Idayu lari ke dapur, kembali lagi dan
menuangkan minyak kelapa ke mulut orang tua itu.
G uru-pembicara
pinggangnya.
itu
meliuk-liuk
gelisah
pada
Ruangan sempit rumah Idayu segera jadi penuh. Orang
duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin.
Dan setiap orang menyembah sambil mengucapkan
permohonan ampun.
“Diam! Diam semua. Rama sedang sakit,” G aleng
mem peringatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar
muntah.
“Air kelapa m uda, kelapa hijau,” seru seseorang.
Tak ada pohon kelapa hijau di seluruh Awis Kram bil.
Idayu pergi keluar rumah dan datang lagi mem bawa
cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak.
Dalam cawan itu bukan air kelapa hijau, tapi air kelapa
biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang guru.
Mengetahui bukan kelapa hijau, Rama bergum am:
“Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara.”
Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka
yang duduk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian
semua.”
“Mereka mencintai dan menghormati Ram a. Ampuni
mereka yang jahil,” bisik Idayu.
“Terlambat, gadis.”
“Mereka masih haus akan kata-katam u.”
“Tak ada guna cinta dan hormat,” Rama meliuk-liuk dan
meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam
hati mereka, cukup sudah.” Ia muntah.
Air kelapa campur minyak keluar dari m ulut berjalurkan
dengan benang darah hidup.
Idayu menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah
dengan selembar kain.
“Batara!” sahut Idayu. “Mengapa jadi begini, Rama?”
G aleng mengham piri orang banyak, bergumam
mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya,
mengapa tak mengusirnya saja? Atau mem berinya
kecubung? Mengapa m esti diracun?”
“Rama G uru juga salah,” seseorang mem bantah.
“Diam kau!” bentaknya.
“Bagaimana bisa diam? Dia telah mem bahayakan kita
semua: balatentara Tuban itu….”
“Siapa kiramu yang meracun?” seseorang bertanya.
“Siapa lagi?”
“Meracun seorang guru…. hanya orang
melakukannya. G andarwa pun lebih baik.”
keparat
Rama muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya.
Minyak dan air kelapa tidak mempan. Orang berlarian
mencari lagi di rumah-rum ah. Waktu telah didapatkan
Rama Cluring telah tergolek pingsan.
“Terlalu, terlalu,” orang m enyesali.
Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas
jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing
dari botakan hutan telah berkurang, kemudian padam sama
sekali.
“Rama, Rama,” panggil Idayu, “jangan kutuki kami,
jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang
Widhi, demi desa Rama sendiri, demi kesejahteraan kami
semua, ya Rama, Rama…”
0o-dw-o0
Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada derm aga
bandar Tuban kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik
tertinggi dan kini mulai agak condong.
Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal.
Patragading melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh
kemudian menyembah.
“Dirgahayu,” katanya sambil menurunkan sembahnya.
Patragading melom pat ke punggung kuda, berpacu,
menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama.
Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan prajuritprajurit pengawal yang menahannya. Ia tak jadi mem asuki
halam an rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak melihat siapa aku?”
“Tuanku Patragading Jepara. Ampuni kami.”
Patragading melompat lagi ke atas kudanya, mem asuki
halam an luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran
ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang
berlarian datang padanya dan menyembah, kemudian
mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain
datang, bersimpuh dan menyembah: “Menunggu titah,
Tuanku.”
“Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.”
Patragading
berdiri
bertolak
pinggang
tanpa
mem pedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh
darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari
pemandangan.
Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu
pada tengah-tengahnya. Mata-m ata sumbu itu menyala
berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris.
Patragading segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di
atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga
cambang dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan
minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki.
Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk
dalam .
“Anakanda Patragading!” Sang Patih mem asuki
pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan
berkerudung kain batik pula pada dadanya.
Patragading
mengangkat
mem betulkan letak kerisnya.
sembah.
Kemudian
Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat
pada damarsewu, m enegur “Dingin-dingin begini anakanda
datang. Pasti ada sesuatu keluarbiasaan. Mendekat sini,
anakanda.”
Dan Patragading berjalan mendekat dengan lututnya
sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki
Sang Patih.
“Ampuni patik, mem bangunkan Paduka pada malam
buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara Demak di
bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga,
menyalahi aturan perang.”
“Allah Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan
aturan raja-raja! Itu aturan brandal!”
“Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.”
“Bagaimana Bupati Jepara?”
“Tewas enggan menyerah Paduka,” Patragading
mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke
timur kota. Jepara penuh dengan balatentara Demak. Lebih
dari tiga ribu orang.”
“Dari mana Demak dapat mengumpulkan brandal
sebanyak itu?”
“Patik tidak tahu, Paduka.”
“Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu? Bukankah
Demak dukuh tidak berarti selama ini?” 1
“Inilah patik menyerahkan hidup dan m ati patik.”
Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit
berlarian datang, bersenjata tom bak dan perisai.
[1] Minyak kelapa direbus dengan laba-laba tanah jenis
besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam ram but.
2. Setelah itu biasa disebut adipati Unus; setelah
meninggal disebut Pangeran Sabrang Lor.
0o-dw-o0
2. Tuban
“Tahan dia ini, Patragading, putra Sang Adipati.
Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan
matinya.” Patragading digiring keluar pendopo. Begitu
turun ke tanah ia memandangi bulan, mem ukul dadanya,
bergum am: “Apakah masih patut aku mem bawa mukaku
sendiri?”
“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan
berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan.
Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia
menggalang pelahan, kemudian berbalik dan masuk ke
dalam rumah.
Paling tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal
berlabuh di bandar Tuban Kota. Dari barat, timur dan
utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari
kepulauan yang belakangan ini mulai disebut bernama
Mameluk (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang
Arab, kemudian berobah jadi Maluku.) dan cendana dari
Nusa Tenggara. Dari Tuban sendiri orang memunggah
beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan
minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan.
Dari laut bandar Tuban Kota nampak seperti sepotong
balok, pepohonan dan tam an-taman. Bila lumut hijau
hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung
nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan
Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah
bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban.
Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan
tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan
kapur bernama Kendeng.
Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa.
Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah,
disempurnakan oleh tangan manusia selam a paling tidak
seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh,
indah, juga bikinan alam, sepotong jalur karang yang
menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin m enamai
bandar ini Permata Bumi Selatan.
Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh
entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa
puluh langkah dari dermaga. Ia akan m engangkat sembah –
di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu
berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia
meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang
dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus m iliter. Ia akan selalu
berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa
gegas, sekalipun di bawah m atari terik.
Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan
terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya
mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan
atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta
sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi
grobak beruji. G robak beroda kayu utuh berasal dari
pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah
sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan
bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? Dan dengan
senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan
menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak
Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit
kereta di sini? Ia akan mendapat jawaban: mem ang, tuan
jumlahnya taklah lebih dari dua puluh – semua milik para
pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima
Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan G ajah dan
Pasukan L aut.
Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas
berhenti, menyibakkan diri untuk mem beri penghormatan.
Dari jauh telah terdengar gerincing giring-giringnya dari
kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-um bul beraneka
warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik
itu pun dihias dengan gom bak dan lim bai aneka warna.
Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga,
kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga
orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat,
penduduk berlutut menyembah. Dan bila kereta Sang
Adipati sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus
menyembah dengan caranya m asing-masing.
Lalu lalang di bandar beraneka ragam. Orang-orang
asing, Arab, Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara,
Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-m asing.
Pribumi sendiri juga beraneka. Pria berambut pendek,
bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka
yang telah menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak
berkain batik, tetapi berkain tenun genggang atau polos
tanpa belahan, tak mengenakan wiron atau dodot. Pria
berambut panjang berdestar batik pertanda masih
mengukuhi Buddha atau Shiwa atau Wisynu, dan hampir
selalu berkain batik atau wulung. Dan bila ram but panjang
mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka
pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagangpedagang beragama Islam.
Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan
bersama di siang hari. Namun wanita nampak di manamana, bekerja di bawah capil bambu anyam an, di pelataran
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri.
Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga
dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil
berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria.
Lima tahun yang lalu sidang para pedagang Islam telah
menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para
wanita m enutup buahdadanya. Sejak itu semua wanita yang
keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka
sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya
dengan kaum pria Pribumi.
Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar
di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore
dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang
lalu jarang terjadi yang demikian. Setelah sidang para
pedagang Islam, pribumi dan asing menghadap Tuanku
Penghulu Negeri agar mem batasi penghajaran kafir pada
kanak-kanak, asrama-asrama mulai ditinggalkan oleh
mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa
penggembala.
Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, dam ai,
sejahtera. Tetapi semua itu semu belaka.
Sejak jaman-jam an yang tidak dapat diingat lagi Tuban
terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan.
Nam un buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan
putrinya, juga darah musuh-m usuhnya yang datang
menyerbu.
Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertam a oleh
balatentara Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di
Khan Baliqr Seperti air bah prajurit-prajurit Tartar
mendarat dari laut, menyapu Tuban yang sama sekali tak
mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjakinjak balatentara yang bersepatu itu, dan meninggalkannya
lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang
bilang ini terjadi pada 1292 Masehi.
Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang
terakhir terjadi pada awal abad ke XIY M asehi. Bupati yang
mem erintahTuban waktu itu adalah Adipati Ranggalawe,
salah seorang pendiri Majapahit. Pertentangannya tentang
kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja
pertam a Majapahit, menyebabkan balatentara Majapahit
datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah
rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk
bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. Adipati
Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada
awal abad ketujuh M asehi itu binasa.
Setelah perang besar kedua selesai, yang tertinggal
setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal
abad ke XI Masehi.
Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati
baru. Dua puluh tahun lamanya pembangunan kembali
kota Tuban dilaksanakan. Dan Sri Baginda mem bebani
gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan G ajah, yang
menjadi inti kekuatan darat balatentara Majapahit.
Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar,
sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di
seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban.
Sekarang tidak demikian lagi.
Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu
kekaisaran Majapahit telah patah. Para gubernur pesisir
telah mem unggungi Majapahit sehingga runtuh dan berdiri
sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani
mengangkat diri jadi Kaisar. Juga bupati Tuban Sang
Adipati Arya Teja Tum enggung Wilwatikta. Orang tua-tua
hanya dengan berbisik-bisik berani mem bicarakan dengan
sesam a tua, tak lain dari Sang Adipati juga yang
mem prakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini.
Majapahit jatuh.
Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa
belayar kenta ra, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke
Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya
arus dari utara semakin deras, mem bawa barang-barang
baru, pikiran-pikiran baru, agam a baru. Juga ke Tuban.
G ubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung
Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu,
keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan sekarang
dengan mengem bangkan perdagangan antarpulau. Ia
menyokong diperbesam ya armada dagang ke Maluku.
Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan
ke laut. Ia tak menghendaki Tuban jadi kekaisaran benua
seperti Majapahit dengan terlalu banyak urusan. Dalam
usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut
tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak
dan perompak, serta melindungi pantai dari gangguan
mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya
bandar Tuban berkembang mendesak bandar G resik,
menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari Mameluk
dan Nusa Tenggara.
Ham pir setiap bulan Sang Adipati datang berkuda ke
pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal
berkuda, bertom bak, berperisai, dengan pedang tergantung
pada pinggang. Jum bai dan pitamerah menghiasi tombak
mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi.
G emerincing “giring-giring mereka serta kepulan debu
menyebabkan orang dari jauh-jauh telah bersimpuh di tanah
dan mengangkat sembah kepala.
Bandar Tuban Kota adalah buahhati Sang Adipati. Ia
merasa puas dengan pekerjaan Syahbandar Tuban: Ishak
Indrajit.
Karena semakin tua ia semakin mengutamakan
perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap telah
kehilangan keksatriaannya. Padahal, kata salah seorang di
antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya
yang berabad jadi perisai Majapahit, dengan kekayaannya
yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan
tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi kaisar.
Dirasani begitu ia hanya tertawa.
Sekali waktu Sang Adipati mempersembahkan ada
seorang bupati lain yang m engejeknya dengan nam a Rangga
Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang
perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam
kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga
boleh menyebut seperti itu.
Maka para bupati tetangga semakin yakin, Sang Adipati
mem ang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi
sudra.
Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala
julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap:
perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang.
Bandar harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas
Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri Tuban
sendiri dianggapnya m udah. Dengan Pasukan G ajah Tuban
yang masyhur ia percaya akan dapat mem ukul mundur
setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan
pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh
satuan-satuan berkuda yang terus-m enerus bergerak.
Apalah arti Pasukan G ajah, bupati-bupati yang mengiri
akan kesejahteraan dan kekayaan Tuban suka merasani,
hanya jadi beban kawula. Sekali ada yang menyerbu,
jatuhlah negeri ini jadi jarahan.
Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan
terhadap Pasukan G ajah. Dan semua orang tahu, seekor
gajah sama ampuhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang
tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi
khianat.
Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat
kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil
hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar
Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa
sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan
menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang Adipati telah
menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri.
Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti
sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan
dengan tam bahan khusus:
jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan
pemeliharaan jalanan um um. Segala yang berhubungan
dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan
penghasilan bandar. Dan Ishak Indrajit yang mengurus
semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas
tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan.
Sang Adipati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin
terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai
penghidupan yang layak. Semua lelaki dapat menghias
dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagusbagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu
sampai ia mati dan juga setelah ia mati, untuk selam alamanya.
Walau ia mem biarkan runtuhnya Majapahit, malah ikut
mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak
urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris
kekaisaran benua yang sudah runtuh itu. Ia pergunakan
bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya,
merah-putih, hanya lebih panjang daripada yang lama.
Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi
Majapahit pula hanya di waktu perang seorang adipati atau
menteri ditunjuk mem egang jabatan itu. Setelah Majapahit
jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebiasaan tak
berpanglima diteruskan. Keam anan Tuban Kota dilakukan
oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya.
Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, G ajah dan
Kaki. Keam anan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang
juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan
oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan.
Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin
banyak yang mem eluk Islam, ia telah perintahkan
berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. Dalam
waktu pendek bangunan itu telah menjadi suatu
perkampungan Islam dari orang-orang Melayu, Aceh,
Bugis, G ujarat, Parsi dan Arab.
Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan
timbulnya pertentangan karena agam a. Sejak purbakala
penduduk Tuban tak punya prasangka keagamaan. Orang
berpindah agama karena kesulitan dalam penghidupan,
merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka
dicarinya dewa sembahan lain.
Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah
klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk
Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap
terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat
pelabuhan.
Keam anan, kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan
yang didambakan dan dipertahankan dengan segala m acam
kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat:
Demak mulai bergerak dan merampas Jepara, daerah
kekuasaan Tuban….
Tenang dan dam ai keadaan Tuban Kota. G elisah hati
Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih
mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana
telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke
laut biru-kuning yang gelisah/ Sebagian menghadap pada
Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang
pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian
segera berjongkok dan m enyembah.
Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni
kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya
nam pak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya
yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari
Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Mereka bukan saja telah
Bagaimana, Kakang Patih?”
menduduki
Jepara…
“Ampun, G usti,” Sang Patih m engangkat sembah, “juga
telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu mengimpi hendak m enguasai laut.”
“Ampun, G usti, setelah Adipati Kudus Pangeran
Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat G usti, sekarang
dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati
Unus. Konon kabarnya Unus adalah nam a dewa baru
penguasa lautan.”
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.”
“Patik, G usti. G usti tidak berkenan memukulnya dengan
perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke
timur.”
“Dewa lam a dan Allah baru tidak bakal membenarkan.”
“Allah Dewa Batara, sekali G usti titahkan, tidak hanya
Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari
G usti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya
Pasukan G ajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa
itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” :
“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal
besar di Jepara.”
“Patik, G usti. Tuban pun harus segera mengimbangi.”
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya
untuk mengimbangi.”
“Patik, G usti.”
Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah
ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke
laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat
pulang.
Pada derm aga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang
sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya
menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak
menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.
Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata.
Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada
pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas
Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati,
mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana
sudah berubah, G usti,” kemudian dengan jarinya
menggaris-garis di atas pasir mem buat gambar, “kapalkapal asing yang selam a ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung
yang tak pernah dilewati nenek-moyang, G usti.”
Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis,
jenggot dan cambangnya yang putih mem bikin wajah
tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman
benang sutra kurung.
“Ampun, G usti sesembahan patik. Mereka, G usti,
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapalkapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari
kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat mem belok cepat sambil miring, dengan lambung
menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
Adipati mem beranikan.
“Layar-layarnya, G usti, digambari dengan salib raksasa.”
“Salib?”
“Ampun, G usti, hanya dua buah garis bersilang. Orang
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia,
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika Buddha?”
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, G usti.”
Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar,
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang keramat itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, G usti sesembahan patik,”
jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan
meneruskan gurisannya di atas pasir, mem buat gam bar kirakira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati
mem ancing-mancing pendapat.
Tenang dan dam ai keadaan Tuban Kota. G elisah hati
Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih
mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana
telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke
laut biru-kuning yang gelisah/ Sebagian menghadap pada
Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang
pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian
segera berjongkok dan m enyembah.
Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni
kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya
nam pak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya
yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari
Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Mereka bukan saja telah
Bagaimana, Kakang Patih?”
menduduki
Jepara…
“Ampun, G usti,” Sang Patih m engangkat sembah, “juga
telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu mengimpi hendak m enguasai laut.”
“Ampun, G usti, setelah Adipati Kudus Pangeran
Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat G usti, sekarang
dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati
Unus. Konon kabarnya Unus adalah nam a dewa baru
penguasa lautan.”
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.”
“Patik, G usti. G usti tidak berkenan memukulnya dengan
perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke
timur.”
“Dewa lam a dan Allah baru tidak bakal membenarkan.”
“Allah Dewa Batara, sekali G usti titahkan, tidak hanya
Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari
G usti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya
Pasukan G ajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa
itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” :
“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal
besar di Jepara.”
“Patik, G usti. Tuban pun harus segera mengimbangi.”
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya
untuk mengimbangi.”
“Patik, G usti.”
Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah
ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke
laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat
pulang.
Pada derm aga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang
sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya
menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak
menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.
Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata.
Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada
pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas
Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati,
mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana
sudah berubah, G usti,” kemudian dengan jarinya
menggaris-garis di atas pasir mem buat gambar, “kapalkapal asing yang selam a ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung
yang tak pernah dilewati nenek-moyang, G usti.”
Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis,
jenggot dan cambangnya yang putih mem bikin wajah
tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman
benang sutra kuning.
“Ampun, G usti sesembahan patik. Mereka, G usti,
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapalkapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari
kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat mem belok cepat sambil miring, dengan lambung
menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
Adipati mem beranikan.
“Layar-layarnya, G usti, digambari dengan salib raksasa.”
“Salib?”
“Ampun, G usti, hanya dua buah garis bersilang. Orang
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia,
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika Buddha?”
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, G usti.”
Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar,
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang keramat itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, G usti sesembahan
patik,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk
lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, mem buat
gam bar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati
mem ancing-mancing pendapat.
“Kalau hanya sekedar bajak, G usti, mereka bisa
dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari.
Bukan saja karena kelajuannya, karena layarnya yang
berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati,
sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong
kosong, dapat cepat digulung…, ya G usti….”
“Maksudm u meriamnya?”
“Benar, G usti, meriamnya,
mem untahkan api dan….”
senjatanya itu,
dapat
“Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak
itu.”
“Ampun, G usti. Dongengan kanak-kanak itu sekarang
sudah jadi kenyataan.”
“Kenyataan!” Sang Adipati terpekik. “Memuntahkan
api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada
bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit? Ada
di negeri Atas Angin sana? Kakang Patih tidak hendak
mendongeng lagi?”
“Ampun, G usti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di
Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih
dahsyat, G usti.”
“Lebih dahsyat!” Sang Adipati berseru menyepelekan,
tertawa kosong. Bergumam: “Ada yang lebih dahsyat dari
cetbang Majapahit,” ia menuding pada langit tanpa
mengangkat kepala. “Dari mana pula dongengan menarik
itu berasal, kiranya?”
Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia
bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauhjauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan
kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu
yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan
tiang-tiangnya m enuding langit.
”Teruskan, Kakang Patih.”
“Ampun, beribu ampun, G usti. Dongengan patik yang
indah ini datang menghadap G usti untuk jadi bahan
periksa, G usti. Kapal-kapal Atas Angin pada gentar. Orang
bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar
lautan. Semua pedagang mengimpikan dan mem buru
keuntungan, G usti, maka benua dan lautan ditempuh.
Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal Peranggi,
bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka
mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan
di rumah masing-m asing di bandar sendiri.”
“Maka
datang?”
makin
berkurang
kapal-kapal Atas Angin
“Demikian adanya, G usti sesembahan patik.”
Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan
berpikir. Lam bat-lam bat kedua belah tangannya tertarik ke
atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan
menebarkan pandang pada laut, kemudian pada langit.
Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat
dari cetbang?”
“Beribu am pun, G usti, cetbang mereka bukan sekedar
dapat m enyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan
bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah
kelapa”
“Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak?”
“G usti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah
kelapa itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan
dapat remukkan setiap kapal, G usti.”
Adipati Tuban Arya Teja Tum enggung Wilwatikta
terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar
menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang
menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main
dengan sinar surya. Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa
kata kakang tadi?”
“Peranggi, G usti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga
sama hebatnya, Ispanya namanya, G usti. Kapal-kapal Atas
Angin pada ketakutan, G usti, biarpun hanya melihat dari
kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selam at, berlingsatan
tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu,
G usti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam
rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal
Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah
dalam rombongan. Karena persaingan satu dengan yang
lain, baik di laut mau pun di darat.”
“Dalam rom bongan seperti armada Majapahit?”
“Benar, G usti.”
“Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?”
“Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau
Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di
Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti
kapur, seperti bawang putih….”
“Barangkali sebangsa hantu laut?”
“G usti berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak
berolok-olok, G usti. Keadaan dunia sungguh-sungguh
sudah berubah. G usti. Mereka punya negeri dan rajanya
sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan
meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin…
“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.”
“Ampun, G usti. Dari dulu orang tua-tua sudah
mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng
tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang Islam
tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang
dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia
berkulit putih sesungguhnya ada.”
Ia turunkan
bergum am.
lagi nada suaranya sehingga
hampir
“Siapa tahu, G usti….”
“Lebih keras!”
“Ampun, G usti, siapa tahu, barangkali pada suatu kali
jin dan iblis dan setan orang-orang Islam juga punya negeri
sendiri kapal dan cetbang.”
Sang Adipati memperbaiki letak keris, kemudian
dilambainya Syahbandar agar m endekat. Yang dilambainya
bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?”
“Bangsa kafir itu, G usti, bangsa berkulit putih, tapi
hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, G usti, hitam seperti
jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang
Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang
Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk
Buddha. Mereka penyembah patung, G usti.”
“Kafir atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau
tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau
putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung,
apa peduli? Allah Maha Besar telah mem berikan pada
manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang
mem bawa kesejahteraan untuk bandar Tuban… siapa saja
baik.”
“Auzubillah m in zalik!” seru Syahbandar.
“Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar?”
“Diampuni oleh Allah apalah kiranya… Baik Peranggi,
G usti, maupun lspanya, memusuhi semua bangsa,
mem usuhi semua orang Islam, dan Yahudi, dan Buddha,
dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai
segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari
muka bumi.”
“Kapan Tuhan m engenyahkan mereka?”
“Semua bangsa, G usti,” sembah Ishak Indrajit terus
dalam Melayu, “dengan bimbingan Allah. Kalau semua
bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita
semua….”
“Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat
mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?”
“Jauh, G usti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun
Turki. Negerinya ada di atas Atas Angin.”
“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat
dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagahberani. Mereka telah lewati Ujung Selatan Wulungga yang
tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang Adipati
pada bangsa yang belum dikenal itu.
“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan,
G usti Adipati Tuban,” susul Syahbandar pada Sang Adipati
tak senang.
Sang Adipati tak mem perhatikan. Pandangnya
ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu
nelayan. Angin yang m eniupi dadanya m embikin bulu dada
yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat
hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras mem anggil
kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan.
“Bangsa-bangsa Atas Angin takut pada mereka,” tibatiba ia berpaling pada Syahbandar.
“Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam
takut pada kafir?”
“Senjata dari iblis!” Sang Adipati mengulangi.
“Sihir namanya, G usti.”
“Sihir!” Sang Adipati mengulangi, melecehkan. “Kalau
begitu orang Islam pasti punya mantra-mantra penangkal.”
Syahbandar terdiam, menunduk lebih dalam, tak
menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi
jangkung nampak meriut kecil.
“Ampun, G usti sesembahan patik,” sela Sang Patih
sambil menyembah, “adapun senjata itu sama sekali bukan
sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa
lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan
kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.”
“Jadi
kapal?”
sungguh-sungguh
mereka
mem usuhi
semua
“Benar, G usti, dan terutama kapal-kapal berbendera
bulan dan bintang, semua kapal Islam, juga kapal-kapal
bukan Islam dari Benggala, semua.”
“Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula
nam anya tadi?”
“Peranggi, G usti,” sembah Sang Patih. “Semua, G usti,
semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.”
Tiba-tiba Sang Adipati tertawa senang dan bergumam
pada angin m endesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapalkapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!”
“Beribu ampun, G usti,” Sang Patih meneruskan, “para
nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi,
mem asuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan.
Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat
lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah
mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah
menduduki G oa. Ya, G usti, bila senjata mereka berdentum ,
langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut.
Burung-burung lumpuh sayap dan berjatuhan mati. Bolabola besi sebesar kelapa bersemburan, mendesis di udara.
Tumpaslah kapal yang terkena.”
Sang Adipati tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya,
pastilah mereka mem ang bangsa-bangsa unggul. Tuan
Syahbandar, m eriam bukan nam a senjata itu?”
“Ampun, G usti, dikutuk oleh Allah apalah kiranya
mereka itu. G usti, Mereka namai senjata itu dengan nama
Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, G usti. Bukan mereka
sendiri yang menam ainya, mem ang. Kata orang sebelum
mereka mendentumkan senjatanya, beramai-ramai mereka
mem ekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun
menyemburat dari moncong senjatanya dan bola besi itu
melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak
dapat ditangkap oleh mata. Kemudian senjata itu dinamai
Meriam.”
Sang Adipati mulai bosan m endengar keterangan bertele.
Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada
kudanya. Semua prajurit pengawal menyembah dan
beringsut menjauhkan diri. Prajurit pengawal pemegang
kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali
padanya, menyembah lagi. bersujud ke tanah, kemudian
menungging untuk jadi anak tangga.
Tanpa mem perhatikan yang lain-lain Sang Adipati naik
ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan
kaki lain m elompat ke atas punggung kuda.
Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak
mengiringkan Sang Adipati. Syahbandar tertinggal di
tempatnya….
0o-dw-o0
Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih,
rempah-rempah, salib… semua menjadi masalah ganda
yang berjubal dalam kepala Sang Adipati. Ia m embutuhkan
waktu untuk memikirkan semua itu.
Bangsa-bangsa menjadi kaya karena berdagang rempahrempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul karena
mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang
takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya karena
mem ang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi
unggul hanya karena punya senjata unggul? Hhhh,
pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa mem bikin dan
menggunakan senjata unggul. Ada suatu lembaga yang
mem bikin mereka jadi unggul, maka segala yang
ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka
pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan m enaklukkan.
Hanya yang dapat m enahan dan m engalahkan m ereka lebih
unggul. Salib itukah mungkin lambang lembaganya?
Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab,
dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dulu
bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari
atas Atas Angin, bangsa-bangsa yang telah menaklukkan
Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus
kapal-kapal Majapahit. Tapi mereka mem butuhkan
rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka
juga bisa dikendalikan m elalui kebutuhannya. Tuban punya
rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui
kebutuhannya mereka akan aku kendalikan!
0o-dw-o0
Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu telah berubah di
dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana.
Senjata baru, meriam itu, sesungguhnya sama nenekmoyangnya dengan cetbang Majapahit. Tahun tolaknya
dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan
balatentara Kublai Khan yang melakukan expedisi
penghukum an di Singasari, nenek-moyang cetbang
Majapahit dibawa serta di samping kuda perang dari
Mongolia dan Korea 3 . Majapahit semasa M ahapatih G ajah
Mada telah mengem bangkan senjata api ini jadi cetbang.
Lawan-lawan Majapahit pada m ulanya menam ai senjata ini
“sihir api petir”, karena dari bawah ia mem ancarkan api
dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan
cetbang, dalam hanya dua puluh tahun Majapahit G ajah
Mada berhasil dapat mem persatukan Nusantara menjadi
kekaisaran Malasya, kekaisaran Asia Tenggara. Setelah itu
cetbang tidak berkembang lagi.
Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari
Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di
Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga
setelah matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung
ke T iongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mulai
mencoba-coba
mem bikin
sendiri.
Perkembangan
selanjutnya melahirkan musket. Dengannya Portugis dan
Spanyol mengusir penjajahan Arab di negeri mereka,
semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa
menjadi meriam. Dengannya mereka mempersenjatai
kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti
halnya dengan Majapahit, dengan kapal dan senjatanya
mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya,
menaklukkan dan m enjajah negeri.
Cetbang dan kapal unggul Majapahit pada suatu kali
telah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang
Paregreg. Juga Spanyol dan Portugis akan musnah
karenanya sekiranya Tahta Sua tidak segera turun tangan
meleraikan dua negeri ini dengan Jus Patronatus atau
Padroado, yang mem belah dunia non-Kristen jadi dua
bagian, sebagian untuk Portugis dan yang lain untuk
Spanyol. Dan m ulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu
menjelajahi dunia dengan salib sebagai panji-panjinya,
menaklukkan dan m enguasai bangsa dan negeri-negeri yang
dianggapnya dalam belah dunia bagiannya….
Dalam perjalanan Sang Adipati mem erlukan menengok
ke belakang. Diberinya Sang Patih isyarat agar mendekat
Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring
dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih,
bukankah telah Kakang ketahui sendiri bagaimana telah
kami petaruhkan hari depan pada kejayaan Islam?
Bukankah banyak di antara putra-putra kami telah
menggunakan nama Islam yang diberikan oleh gurugurunya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami
agam a Atas Angin ini, dan sekarang jadi pemuka Islam
yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa,
berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di
antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada
raja Islam Demak, karena percaya Islamlah yang jaya kelak.
Apa sekarang? Kapal-kapal Islam takut pada kafir-kafir
Peranggi dan Ispanya….”
“Patik, G usti,” Sang Patih menunduk dan mengangkat
sembah.
“Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?”
“Allah Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa
menjawab.
“Kakang Patih, bagaimana warta putra m ahkota Demak
setelah merampas Jepara, wilayah kami?”
“Belum banyak yang dapat dipersembahkan. G usti.”
“Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari Tuban.
Tak punya laut. Selmrang mem butuhkan bandar sendiri.
Adakah kota Semarang sudah menolak memunggah
barang-barangnya maka ia mem berandali wilayah kami?
Apakah Dem ak sudah bercekeok dengan Semarang?”
“Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, G usti.”
Sang Adipati tidak menanggapi, meneruskan dengan
suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota
Demak merampas wilayah kami, Jepara, untuk
mem bangun sebuah Angkatan Laut?”
“Demikian konon wartanya, ya G usti. Sudah sejak lam a,
sejak kecil Adipati Unus, putra m ahkota Demak, ditimangtimang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan
dan lautan. G usti.”
Sang Adipati tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih
melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di
belakang.
Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang Adipati
menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan
kudanya: “Apakah putra mahkota Demak, Adipati Unus,
sudah mem erintahkan pembikinan kapal perang?”
“Baru pendirian galangan-galangan, G usti,” sembah
Sang Patih.
“Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang
dan Demak, sekiranya tak ada lagi tenaga Cina mem bantu
di Jepara. Kakang Patih, keterangan itu harus didapatkan.”
“Patik, G usti.”
“Dan lebih berhati-hati terhadap Lao Sam. Setiap ada
sesuatu yang m encurigakan, hancurkan saja bandar itu.”
“Patik G usti. Lao Sam nampaknya tetap tenang, tidak
mem bentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun
sangat dekat dengan Tuban. Dalam tiga hari pasukan G usti
Adipati sudah dapat mencapainya melewati pesisir.
Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru Jepara,
G usti. Konon putra mahkota Demak, Adipati Unus, mulai
mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.”
“Pandai-pandai itu tentunya Hindu.”
“Tidak bisa lain, G usti.”
“Jadi Islam bisa kerjasama dengan Hindu?”
“Nam paknya demikian. Nampaknya pula sedang ada
persiapan m embikin cetbang di sana.”
“Kalau itu benar, raja Islam itu sedang punya persiapan
mem bikin yang berbahaya. Segera kirimkan telik.”
“Patik, G usti sesembahan.”
“Apakah menurut dugaanm u Unus berani mengeluari
Peranggi dan Ispanya?”
“Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan
dan belakang.
“Konon kabarnya, G usti, putra mahkota itu telah
bersumpah akan membentengi Islam di belah bumi sini,
bumi selatan.”
Sang Adipati mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan
lagi dan berjalan melewati gapura.
“Brandal-brandal itu hendak beram in jadi satria.”
Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan m engangkat
sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan dam ai di
atas bumi. Sang Adipati tak mem perhatikan, langsung
berkendara m enuju ke pendopo.
Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain
menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun
tapi tak langsung m asuk ke dalam.
Sang Patih mengerti masih diperlukan. Setelah turun dari
kuda ia datang menghadap dan langsung mendapat
teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan
selam a ini.”
“Ampun, G usti. Patik telah persembahkan semua, ya
G usti. Nampaknya G usti kurang mengkaruniakan
perhatian. Ampun, G usti, tentulah karena banyak hal lain
sedang jadi pikiran G usti.”
“Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan
Kakang, Unus dapat mengalahkan mereka? T anpa meriam
dan hanya dengan cetbang bikinan pandai cor
Blam bangan?”
“Ya, G usti, bagaimana patik harus persembahkan?
Waktu patik masih kecil, nenek patik pernah bercerita
tentang kapal-kapal Majapahit, dan menurut katanya pula
Mahapatih G ajah Mada pernah bersembah pada Sri
Baginda Kaisar Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang
bisa melalui Ujung Selatan Wulungga tertitahkan untuk
menguasai buana, Peranggi dan Ispanya bukan hanya
melalui, mereka telah datang dari balik Ujung Selatan.”
“Nyata M ajapahit tak pernah berhasil melaluinya.”
“Tidak pernah, G usti. Ujung Selatan selam a ini selalu
dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi
di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.”
“Dan kapal-kapal mereka telah melewatinya. Datang
langsung dari neraka itu! Kapal-kapal Unus barangkali
masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan
Wulungga.”
Sang Adipati berbalik meninggalkan Sang Patih dan
masuk ke dalam kadipaten.
Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat
sembah. Ia m engambil kudanya dari tangan seorang prajurit
pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi
sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda telah
menyusulnya. Sang Adipati sedang menunggunya di dalam
kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten.
Ia dapati Sang Adipati sedang duduk berfikir dengan
wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah
mengangkat sembah.
“Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang
Patih. Tentu mereka telah kalahkan kapal-kapal Parsi,
Mesir, Turki, Arabia, Benggali dan Langka. Mereka akan
kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan Melayu, Jawa dan
Tuban sendiri.”
“G usti.”
“Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah
kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan
kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenekmoyang, kecuali orang-orang T artar yang dibinasakan itu.”
“Nam paknya Peranggi dan Ispanya lain daripada yang
lain, G usti. Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan
rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk
mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak
merampas semua untuk dirinya sendiri.”
“Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak m au berbagi?”
“Konon wartanya, G usti, mereka tadinya bangsa miskin.
Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia,
mulai m erabai dan merampasi semua barang apa yang baru
dilihatnya, apa saja yang indah, yang m ahal, seperti si lapar
melihat sajian, ya G usti.”
Sang Adipati tersenyum.
“Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya
barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini
juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka telah kenyang
dalam perjalanan.”
“Kerakusan tidak m engenal kenyang, G usti.”
“Kakang Patih benar. Kadang-kadang mem ang
mem usingkan untuk mem ahami hal-hal baru. Kapal
unggul, kelaparan unggul. Sebaliknya, Kakang Patih,
mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan
rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam
kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari
rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus
mem ahami ini, Kakang?”
”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. G usti, hanya para
pendita bijaksana dapat menerangkan.”
“Sekarang rempah-rempah juga yang mem anggil
kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau
berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata,
mem bunuh dan menenggelamkan. Mereka makin
mendekati Tuban. Rasa-rasanya telah dapat kami dengar
bunyi meriamnya, mem ekakkan dan melumpuhkan burungburung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan
mendekati bisikan: “Tapi Adipati Tuban tidak gentar,
Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana:
Semarang, Demak, Jepara, Lao Sam.”
Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbangnimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya,
padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu,
seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang
kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok
derm aga Tuban.” Sekarang ia tertawa, semakin riang,
“untuk Tuban, Kakang Patih, mereka tidak akan
mendatangkan kebinasaan atau kehancuran….”
“Allah Dewa Batara mem bimbing G usti Adipati
Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa
kekayaan, kemakmuran melim pah, mas, perak, tembaga,
sutra, intan, permata, akan berjatuhan, berhamburan di
Tuban, dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka
bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai
minta beli lebih banyak! R empah-rempah! Rempah-rempah!
Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke
Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke Tuban. Itu perintah
kami.” 1
Sang Adipati masuk ke peraduan dan mem usatkan
seluruh pikirannya untuk mendapatkan keuntungan dari
perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang
bisa didapatkan dari kapal-kapal Islam, Nusantara dan
Tiongkok.
0o-dw-o0
Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh
dari Tuban, kejadian-kejadian besar telah datang silihberganti, baik di negeri Portugis maupun Ispanya. Pada
1492 Kristoforus Colombo telah menyeberangi samudra
Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama
kemudian Ispanya dan Portugis merajai benua baru itu.
Enam tahun kemudian, pada 1498 pelaut Portugis Yasco
da G ama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panjipanji Jus Patronatus yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada
4 Mei 1493. Kapalnya mem asuki Malabar dan Goa dan
ikut serta pula kekuasaannya.
Jalan laut kapal-kapal Islam mulai terdekat. Pangkalanpangkalan diam bil-alih dengan m eriam ….
0o-dw-o0
Turunan kuda Korea di Jawa kemudian disebut kuda
Kore.
Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang
dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan
ledakan.
0o-dw-o0
3. Menjelang Pesta Lo mba Seni dan O lahraga
Dulu di Wilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua
istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang
Dharmadhyaksa, penghulu agung umm at Buddha.
Sekarang di Tuban Kota terdapat dua gedung utama.
Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri
um mat Islam Tuban.
Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi
ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. Tetapi beberapa hari
belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan
kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari
sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga
depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam.
Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang,
telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati.
Dahulu ia diangkat untuk mengurusi soal-soal agama
penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak
pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi guru putra-putra Sang
Adipati. Tetapi ia menyia-nyiakan agama-agam a lain yang
masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang
gedung utama kedua itu tertinggal kosong.
Setelah pelataran dipagari tinggi orang justru pada
datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba
dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah
ke seluruh kota: Bidadari Awis Kram bil, I dayu, juara tari
dua kali berturut, telah datang ke Tuban Kota untuk
menggondol kejuaraan ketiga kalinya.
Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk
takkan balik ke desanya lagi – sebagai bunga perbatasan
pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari
itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan
datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa
pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir
dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi.
Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Kram bil
belum lagi tiba.
Desas-desus telah datang mendahului, mem ercik ke
seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan
tak lain dari kepala desa Awis Kram bil sendiri yang
merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang
belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang
melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya:
Wejangan terakhir Rama Cluring telah membawa desa
Awis Kram bil ke tepi kebinasaan. Dengan keputusan
sendiri ia telah meracuni guru-pembicara itu. Dan pada upacara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa,
terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang
pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia
mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah
meracunnya untuk menghindari murka Sang Adipati.
Setelah itu ia datang pada Idayu dan G aleng, mem batalkan
rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai
sehabis Lom ba Seni dan Olahraga. Mereka berdua telah
merawat Ram a Cluring sampai matinya. Mereka harus
digiring ke Tuban Kota, biar Sang Adipati segera dapat
menjatuhkan hukumannya.
Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah
sampai pada Sang Patih dan Sang Adipati. Dan desas-desus
itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Kram bil,
pada Rama Cluring, G aleng dan Idayu, dan: tindakannya
yang bijaksana.
Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.
G endangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbulum bulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Dirgahayu, Awis Kram bil! Dirgahayu Idayu!”
Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitam an seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal am pun.
Dan um bul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyam but pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek,
nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk
menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu mem belaikan pandang
pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
buahdadanya.
Begitu sam pai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyibunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rom bongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Soraksorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Dirgahayu Awis Krambil!”
“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?”
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
tanya
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam -tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelum nya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, G usti
Bendoro Penghulu yang mem buat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita Awis Kram bil. Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang
melakukan
gerakan-gerakan
mem bantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mem pertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gam elan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang Surya m alu melihat kalian. Cepat,
karena seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sesungguhnya. G amelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.
G endangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbulum bulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Dirgahayu, Awis Kram bil! Dirgahayu Idayu!”
Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitam an seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal am pun.
Dan um bul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyam but pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek,
nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk
menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu mem belaikan pandang
pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
buahdadanya.
Begitu sam pai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyibunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rom bongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Soraksorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Dirgahayu Awis Krambil!”
“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?”
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
tanya
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam -tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelum nya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, G usti
Bendoro Penghulu yang mem buat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita Awis Kram bil. Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang
melakukan
gerakan-gerakan
mem bantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mem pertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gam elan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang Surya m alu melihat kalian. Cepat,
karena seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sesungguhnya. G amelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang.
Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah
tanpa menuntut simpuh dan sembah. G erobak pada
melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan m anusia.
Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambutsambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri
yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti.
Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di
tengah-tengah pintu. Ia berkain. Karena tubuhnya tinggi,
kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak
mengenakan selendang sutra yang m enyelim pangi dada. Di
tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan
kanannya berdiri pengawal bertom bak dan berperisai.
“Dari mana semua ini, m aka mem bikin onar di Kota?”
“Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan,
“dari desa perbatasan Awis Kram bil.”
“Apa keperluanm u, pelancang?” gertak penyambut
sambil mengamangkan pedangnya.
Dua orang pengawalnya maju, mem asang kuda-kuda
dengan tombaknya.
“Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah
pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab
kepala desa.
“Ahai! Datang untuk m erebut kejuaraan. Tidak semudah
itu orang desa!”
“Berilah kami kesempatan!”
“Baik, masukkan semua rom bonganmu, dan pergi nyah
kau dari sini.”
Dan dengan demikian rom bongan Awis Kram bil masuk,
kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau
mem anggil-m anggil Idayu.
Dan pintu pagar tertutup rapat.
0o-dw-o0
Dua hari rom bongan peserta Awis Kram bil telah
diasramakan. Pria menempati bangunan sebelah kanan,
wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang.
Latihan pun sudah dimulai
Di bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi
mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang
Adipati ke asrama untuk mengunjungi Idayu. Datang
berarti bidadari Awis Kram bil akan terambil jadi selir.
Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal,
malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di
atas bum i dan kepala m anusia Tuban Kota.
Punggawa-punggawa desa Awis Kram bil semakin giat
meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja
sekarang tak tahu tentang itu: Idayu sendiri, G aleng dan
Sang Adipati
Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran
menghadapi kemungkinan datangnya Portugis dan
Spanyol. Juga Idayu tak kurang sibuknya: berlatih dan
melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama:
mem asak dan mem bersihkan asram a. G aleng pun sibuk
melatih otot-ototnya.
Mereka turun ke kota dan m emasuki asrama dengan hati
berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus
disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari
punggawa desa itu mendatangi mereka, mem aksa dengan
segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka
hendak melangsungkan perkawinan. Kemudian tak lain
dari kepala desa sendiri yang datang. ‘Desa kita telah
dicemarkan oleh mendiang Rama Cluring’, katanya.
‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala desa itu
menuding G aleng, ‘kau bertanggungjawab juga dalam
pencemaran itu!’ G aleng mem bantah dan punggawa itu
tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya
pada pengawal perbatasan.
Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa
daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah
tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih
mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di
Tuban Kota nanti. Kembalikan kehorm atan Awis Kram bil!
Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa,
dan ia harus menggondol kemenangan.
0o-dw-o0
G aleng sedang menimba sumur asrama waktu
didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu
ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernam a
Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang
tajam menyayat kata-katanya.
G aleng meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam
segala ukuran Boris kalah daripadanya, nam un
semangatnya untuk menang mem ancar kemilau pada
matanya.
“Kang G aleng,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke Tuban
Kota tahun ini.”
“Kau juga, Boris.”
Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek:
“Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan
Idayu?”
Darah G aleng tersirap. Sekarang jelas padanya arti
sindiran-sindiran selam a dalam perjalanan dan memuncak
dalam asrama ini.
Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan
lepas dari hukum an Sang Adipati. Sekarang gelom bang
sindiran tentang kehilangan Idayu. Siapa bakal mampu
merampas kekasih daripadanya kalau bukan punggawa? Ia
masih dapat mengingat kebencian Rama Cluring terhadap
para punggawa – kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan
pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk
turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat
mengingat waktu Idayu menolak, dan rapat desa diadakan
dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat
penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan
diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada
penduduk desa diperkenankan hadir. Dan kemudian desasdesus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya,
Idayu.
“Idayu, Kang – rupanya kau sudah relakan dia,”
tetaknya.
G aleng mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan
telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari
para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal
merampas kekasihnya.
“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?”
Boris masih juga mencoba mem bakar dan menganiaya
hatinya.
“Ya,” jawabnya ham bar.
Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa
bangga melihat pandang pria yang mem berahikan
kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan
mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu
merampas kekasihnya selam a otot-otot dan kecekatannya
masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum
punggawa, terutama Sang Adipati sendiri bukan sekedar
gum palan otot perkasa dan kecekatan menggunakannya.
Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati.
“Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?”
Begitu dilihatnya G aleng menjatuhkan pandang ke tanah
basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna
marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani
menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau
marah, itu pun beralasan. Aku mem ang penantangmu.
Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.”
Di luar dugaan Boris, G aleng tersenyum. Giginya
kemudian muncul, nampak dan gemerlapan putih.
“G igimu m asih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan
putih seperti itu?”
“G igimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?”
“Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku
tidak mengharapkan perawan atau jandanya Idayu, Kang.
Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih
juga?”
G aleng meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam
hatinya. Sekali ini kemarahan m emang m embuncah. Dan ia
tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja
hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke
dalam asrama, hendak berdam ai dengan hati sendiri. Tapi
kembali ancam an kepala desa memasuki ingatannya. Kalau
dia libatkan diriku pada Rama CIuring, tentu juga Idayu.
Dia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke
hadapan Sang Adipati sendiri.
Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa,
terhadap Sang Adipati, terhadap seorang raja. Hukuman.
Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi Rama CIuring tidak
keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk
kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan,
sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan Idayu akan
ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis
perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang
mem bebaskan setiap peserta perlombaan yang diasram akan
dari segala tuntutan.
Maka aku dan Idayu harus menang. Harus!
Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami
berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa
bebas, tapi Idayu? Mungkinkah dia bisa balik ke Awis
Kram bil bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini
tanpa Idayu, tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan
apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi
seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati….?
0o-dw-o0
Idayu sedang masak waktu mendengar berita itu:
“G aleng bingung! G aleng bim bang! Dia akan kalah di
gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan
Idayu. Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: Idayu
saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.”
‘Teka-teki yang buruk,” Idayu menanggapi dan belum
begitu menyedari duduk-perkara.
“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.”
“Apa maksudm u sesungguhnya?” ia tinggalkan periuk
dan mendekati teman masaknya.
“Maksudku, Idayu. Di desamu sana, semua orang
melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau
sudah menari, memikat, tinggi semam pai seperti puncak
gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada
wajahm u. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu
mendekatkan bibir pada kuping Idayu: “Kau akan tinggal di
keputrian, Idayu.”
Idayu mem beliak. Centong pada tangannya luruh ke
tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai
gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan
kata-katanya yang lembut, manis dan mem bujuk:
‘Kecakapan dan kecantikanmu, Idayu, akan membantu kau
mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang
menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam
menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam
percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota.
“Ya, Idayu, pemenang tunggal akhir-akhirnya G usti
Adipati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih
mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Kram bil belum
juga mendapat tam bahan Raden Bambang, belum ada lagi
Nyi Ayu….”
Idayu menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku,
mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara
kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur,
hitam diselaputi jelaga tipis.
Temannya mem ungut centong dan mencucinya dalam
jambang air, kemudian mem betulkan letak kayu bakar.
“Tak ada pilihan lain bagimu, Idayu,” katanya lagi sambil
melewatinya.
Dalam m ata batin Idayu kini terpampang dirinya sendiri,
la mengerti betul kata-kata tem annya itu. Dan ia diam. Satu
doa kesejahteraan mem bubung dari dalam hatinya, mencari
para dewa yang masih punya persediaan kemurahan….
Asrama itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak
seberapa jauh dari gedung kadipaten.
Di luar asram a orang-orang terus juga menggerombol
dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan
dapatlah pandang dilemparkan ke dalam.
Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid
pelabuhan telah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak
yang m endesak daratan terdengar azan bilal.
Di depan asrama orang semakin banyak datang. Hampir
pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: Idayu
yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu.
Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati
masing-m asing, senyum seorang bidadari pujaan. Idayu!
Idayu!
Hati
mereka
berseru-seru,
berbisik-bisik,
menggonggong dan melolong seperti anjing di musim
kawin. Dan setiap orang di antaranya punya harapan:
seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis
perbatasan itu pada dirinya.
Dan malam itu setelah mengikuti pelajaran tatakrama
kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para
punggawa, terutam a Sang Adipati sendiri, semua calon
petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-m asing.
Kelelahan berlatih dan bekerja mem bikin mereka terlalu
rindu pada bantal.
Idayu masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek
menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan
tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia m asih
dapat menangkap sindiran dari sana-sini.
“Siapa seminggu kemudian akan mem asuki keputrian?”
dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke
bibir.
Idayu diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan
duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih
yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti
seorang bayi seminggu yang mem butuhkan perawatannya.
Dan ia tak dapat mem berikannya.
Tanpa disadarinya matanya telah melepas mutiaramutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala
keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari
angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya
sampahnya yang berham buran tak menentu.
Seorang demi seorang telah mulai tertidur. Akhirnya
tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin
nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang
merobosi sirap.
Sam pai
dengan
kemarin
ia
masih
terbiasa
mem bayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang,
berdiri sederhana di pinggir hutan. G aleng sendiri yang
mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua
akan mem buka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka
hum a seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak
perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan
itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago
sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang
cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk.
Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan
daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak
sebanyak-banyaknya!
Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal
sekarang ini.
Kemudian Sang Adipati muncul dalam mata batinnya,
bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap,
gagah, dan G aleng dihalau dari hadapannya. Kekasihnya
itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan
sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah
terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki
perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan
tangan dan keris sendiri. Ah, G aleng, Kang G aleng! Bahkan
kekasihnya itu tak berani menengok untuk mem andangi
buat terakhir kali.
Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti
air mata bagi Sang Adipati? Sedang nyawa orang pun
miliknya? Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang
boleh menyentuh dirinya, G aleng tidak, orangtuanya
sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah
lelaki, berumur empat belasan, mendadak telah berdiri di
hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang
bercincin mas, terpasang pada bibir – ia mem beri isyarat
agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik
selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian
ningrat. G elang mas menghiasi lengan. Destarnya saja
menyangkal
keningratannya,
karena
ujung-ujung
pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit,
lebar, berkilauan dengan hiasan perak.
Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik
lontar.
Dan sebelum Idayu sempat bertanya ia telah keluar dari
bangsal wanita.
G adis Awis Kram bil itu melangkah ke sebuah
dam arsewu dan mem bacanya: “Idayu, kekasih si Kakang.
Jangan kaget karena datangnya lontar ini. Di luar sana
malam, Idayu, tetapi dalam hatiku kekuatiran yang
merajalela. Kalau nanti, Idayu, kekasih si Kakang, menang
atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu G usti Adipati
menghendaki dirim u…. Idayu, pujaan si Kakang,
bagaimana akan jadinya?”
Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar
itu diciumnya, kemudian ia gulung kecil, ia tekuk. Ia
lepaskan subang kiri dari kuping dan mem buka cepuknya.
G ulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang
itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke am bin dan
turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu.
Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong
besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis.
Setelah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul
tulisannya.
Si bocah menongolkan
menyerahkan lontar balasan.
kepala
di
pintu.
Idayu
Dam arsewu tetap menyala. Menurut aturan asrama,
lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai
terbit….
G erom bolan orang di luar asrama sudah lama bubar
dengan menyemaikan harapan untuk hari esok.
Dalam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar
balasan pada G aleng. Juara gulat tahun lalu itu tanpa
sabarnya segera m embacanya.
“Kakang G aleng, kakang si adik. Mem ang semua orang
sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan
aku bisa perbuat, Kang? G usti Adipati tak dapat kita
hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan
terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Kram bil.
Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan
yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku
dengan kekalahan. Hyang Widhi m engabulkan, Kang.”
G aleng menyorong lontar itu pada api damarsewu,
terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di
sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu
pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke
sekeliling asram a.
Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana
pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar
canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan
mendengarkan. Kemudian terjadi yang diduganya: keributan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke
ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua,
bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah
masuk dalam acara.
Pada berdiri tegak. Mata terarah pada Idayu yang juga
berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, mem beri isyarat
agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang m as
diangkatnya
semakin
tinggi
untuk mem am erkan
perhiasannya.
“Para mbokayu calon juara!” katanya lantang tanpa
ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget
jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu
mem ang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di
malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon
juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini
kelihatan datangnya kapal asing akan mem asuki
pelabuhan.”
“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?”
seseorang bertanya.
‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertam a-tama
sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan
supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk
mem bangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang
terpenting, para mbokayu calon juara: warta itu tertuju pada
kadipaten, bukan pada asram a ini!”
‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan
perang.” seseorang membantah.
”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal
Demak.”
“Demak?”
“Demak m enyerbu dari laut?”
“Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua
mbokayu calon juara.”
G adis-gadis itu terlampau mudah diyakinkan dengan
gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak
ke am binnya masing-masing dan meneruskan tidurnya.
Idayu justru m endekati Pada.
“Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi
pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat.
“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,”
bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindahkan teguran.
“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat
dipercaya?” si bocah berbisik kembali.
“Percintaan mem ang dilarang di sini mbokayu.”
“Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar
ke sana….” Idayu menuding ke arah kadipaten, “apa
bakal?”
“Apa bakal jadinya?” ia mencibir,
“Mbokayu celaka, Kang G aleng celaka. Aku lebih celaka
lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri
yang tinggal pilih? Kang G aleng sendiri bisa apa? Mem ilih
seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang
sudah tahu soal Mbokayu dan Kang G aleng, dan soal
Mbokayu dengan yang sana?”
“Kalau bicara semaum u sendiri, Pada. Tak ada terniat
dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?”
Untuk pertam a kali dalam asrama gadis itu melihat mata
si bocah, yang beberapa tahun lebih muda daripadanya itu,
menyala-nyala memberahikannya.
‘Tak ada orang bisa mem bantu,” bisiknya berwibawa.
“Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan
semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di
negeri sendiri?”
“Kau benar, Pada,” ia mengalah setelah mengherani
kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya
yang pernah m enghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih
suka menyobek perutnya. Si Dam a lari ke negeri Atas
Angin dengan Parta. Tapi mem ang tidak semudah itu,
Pada. Kau harus membantu.”
“Kalau kau sudah mem utuskan, tentu mudah untuk
mem bantu.”
”Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak
melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si
lancang m ulut itu ke luar dari ruang tidur.
0o-dw-o0
Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun
berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada
duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah
panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang
mem ikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh
gum palan otot kuat sejak leher sampai betis seakan
bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir
jalan.
“Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan
dihembuskan.
“Kongso – seperti nam a orang sebelah barat sana.
Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.”
G aleng diam-diam mendengarkan untuk mengetahui
duduk perkara.
“Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun
tidak. Kata orang kulitnya putih, ram butnya sam a hitamnya
dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih
tinggi, juga tidak lebih besar daripada kita.”
“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya G aleng bertanya
juga.
“Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna
ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar
tolol perbatasan! Hanya Idayu saja tahu, itu pun bakal tak
kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.”
“Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, G aleng wajib
tahunama itu. Mem ang tidak patut tidak mengetahuinya.
Kongso Dalbi… orang Peranggi. Peranggi pun kau tidak
tahu barangkali?”
G aleng m enggeleng dan Boris mentertawakannya.
“Peranggi,” pengawas mengulangi. “Ayoh, kalian, siapa
tahu tentang negeri Peranggi? Ayoh katakan siapa yang
tahu.”
Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana
negeri Peranggi, Pengawas?”
“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah
sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.”
“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya,
Boris? Petai hampa?” G aleng bertanya.
“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas
juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah
jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. G oa
nam anya. Bandar itu sekarang dipergunakan jadi pangkalan
kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapaikapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar
sebelum mencoba? Tapi kau jangan coba-coba, Kang
G aleng. Di darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi
pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau
banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di
tangan m ereka.”
“Betul, G aleng,” pengawas mem benarkan. “Hanya agaragar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat!
Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan
bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar
sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak perbatasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka
mengejek tidak sepatutnya.”
“Biar, pengawas, daripada kalah untuk kedua kalinya di
gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar
gelanggang,” G aleng m elepaskan anak panahnya. “Biar dia
bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.”
“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, G aleng,
uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau
pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-m asing
untuk mem bawa keharuman, bukan berita kengerian.
Jangan kalian lupa.”
“Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang G aleng,” kata
Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa
keharum an, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang
lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti
datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana surya terbit pada
hari ini….”
Tiba-tiba percakapan m ereka terputus oleh bunyi canang
bertalu. Tak lama kemudian canang kadipaten menyahuti
bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut
peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti
sebelum sarapan pagi datang.
Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan
pekerja tak punya kekuatan sebelum sarapan, mengambil
kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan
justru karena canang yang ram ai bersahut-sahutan
pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapalkapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati
Singhala Dwipa.
Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru
seperti seorang pembesar “Para Mbokayu dan Kakang
calon juara – sesuai dengan aturan, tahun ini – dengarkan
baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan
atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh.
Sekarang sudah siap menghadap G usti Adipati Tuban.
Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: G usti
Adipati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak
ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk
melihat iring-iringan penghadap – kalau bisa mengintip –
tapi jangan rusakkan pagar – jangan lewatkan kesempatan!”
“Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani.
Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan
ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan
sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran
depan dan bingung m encari lobang pada pagar. M ereka tak
mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari
tum pukan batu atau kayu. Yang mendapatkan tangga
berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada
dengan kemenangannya.
Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun
yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalanjalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke
kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak
bersim puh menghormati iring-iringan, tetapi berhenti
menonton.
Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar
Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga
Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban
putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda
berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada
pergelangannya m elingkar akar bahar besar. Ia berterompah
seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang
sambil mem belai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan
kepalanya selalu menunduk seakan sedang menghitung
setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul
para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi
pergunjingan. Orang mendapat kesempatan m enaksir-naksir
berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan
orang bertaruh.
Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iringiringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip
meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali
ke dalam asram a untuk m endapatkan sarapan.
0o-dw-o0
Pada siang hari berita tentang kedatangan tam u itu
meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan
nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang
jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani
terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan G usti
Adipati Tuban dan untuk keputrian. Kemudian: batu-batu
permata dari Arabia, Birm a dan Singhala Dwipa, kain
khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu Arabia yang
tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri
Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu.
Tam u itu agak aneh, kata warta yang datang m eniup. Ia
telah mem ohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu
tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak
diperlukan penterjemah.
“Jadi dia bisa Melayu!” seseorang m emberi kom entar.
“Mungkin juga pintar Jawa,” yang lain m enambahi.
Persoalan baru itu tidak menarik orang.
Di dalam ruangan latihan G aleng berdiri di dekat sebuah
meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek
tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan
minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada
mem perhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang
punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak
makanan dan minum an: Hanya G aleng mem perhatikan
airmukanya.
“Madu dan telor mem ang cukup, Pada,” tegur juara
gulat dari Awis Kram bil itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada.
Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.”
“Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain m embenarkan.
“Tuak dilarang di sini!” Pada m emekik sengit dan keras,
berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada
di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada
seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari
Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang
dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan
untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku?
Tuak dilarang, kataku.”
“Dulu tak begitu banyak larangan,” G aleng m emprotes.
“Mem ang. Kang G aleng tidak keliru: Dulu, dulu –
sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak
boleh dihidangkan di sini. Di asrama sini, juga daging
anjing.”
“Nam paknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,”
G aleng m engancam .
“Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan
diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi mem ahat
batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau
tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu
belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus
dikumpulkan di alun-alun – besok sampai lusa, sebelum
perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!”
“Apa salahnya batu-batu itu?
“Salahnya, karena mereka berukir!” jawab Pada ketus.
“Kata orang, G usti Adipati Tuban merasa segan terhadap
putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam,
jadi guru pembicara di m ana-m ana, jadi Ulama, kata orang.
Dan batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, barangbarang jahat.”
Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam
mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyalanyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu
dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai
gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya
jatuh pecah berham buran di lantai. Dengan mata
mem belalak ia lemparan m eja remuk itu pada dinding.
Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat
penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh
ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan
tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah
tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh
bergum palan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap
hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang
datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak
nam pak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mutlak
seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng,
utuh bulat tiada retak tiada rekah.
“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba m eredakan.
Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat
jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia
menunduk dalam. Tanpa mem andang pada siapa pun
keluar kata-kata sendu: “Mem ahat batu dilarang. Lantas
harus kerja apa aku?”
“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak.
“Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu,
“bapakku mengajari aku mem ahat. Keluarga kami hidup
dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh
mem ahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir
itu?”
G aleng tak mem perhatikan kata-kata itu. Ia terheranheran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia
belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa
mem atahkan lehernya.
Boris berjalan m ondar-mandir dalam berangnya.
“Teduh! Teduh!” kata G aleng menghibur. “Pada belum
lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.”
“Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris
mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi.
Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan
pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua
belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan
dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi,
tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu.
Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi.
Apakah G usti Adipati sudah bertekad melawan para
dewa?”
Lam bat-laun G aleng mengerti, pernahat penantangnya
sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi
kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak
ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya,
juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati
Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.”
“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hatihati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di
atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan
dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang
ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.”
“Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan
batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik
semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk
dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghibahiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi!
Jangan dicari. Tak perlu dicari!” M eraung: “Biadaaaaab!”
Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran
depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi
pagar papan kayu.
Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari asrama!
Lari!”
“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?”
“Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!”
Sebentar
kemudian
seruan-seruan
terdengar
menggelom bang dan bergum ul jadi satu, tak dapat
ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai
menggerom bol lagi di depan asrama.
Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu.
G adis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan
gulat.
“G ila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia
pergi.” Seperti telah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu
lebih baik.”
G aleng m elemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin
bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya
terpaut pada Idayu….
Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan
langit dan menyelebungi bumi.
Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa
orang pengawal bertom bak tanpa perisai, Sang Adipati
mem asuki asrama. Ia berjalan langsung menuju ke bangsal
wanita.
Dam arsewu yang mem ancar di setiap pojokan tidak
mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada
bergolek-golek di atas am bin sambil mengobrol. Melihat
Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimpuh di
lantai dan mengangkat sembah.
‘Idayu! Mana Idayu!” panggil Sang Adipati. “Mana
Idayu Awis Kram bil?”
Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih
menyala tertimpa sinar damarsewu.
“Idayu, kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, G adis!”
Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri
kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis
tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia
mengangkat sembah untuk ke sekian kali, kemudian
bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana diajarkan oleh tatakrama.
“Bawalah keharum an dari Tuban, semua kalian! Kau
juga, Idayu, kekasih Tuban. Jangan mengecewakan.
Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan.
Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan
kau, Idayu, kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga
kali berturut?”
“Inilah patik, G usti Adipati Tuban,” jawabnya gemetar.
“Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi
cukupkah jadi juara dua kali berturut?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban. Patik sekedar
menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga
gemetar.
“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang
menolaknya?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban, sesembahan patik. Patik
takkan sanggup hidup di luar desa patik, G usti. Iagi pula
apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa,
G usti?”
Sang Adipati tertawa senang.
“Kata-katam u sudah seperti orang kota. G adis. Bagus.
Bukankah Tuban Kota lebih baik daripada desamu? Pasti
lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.”
Menurut tatakram a yang diajarkan, apa pun yang telah
dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh mem bantah.
Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah.
Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya
dengan menerima karunia dari para dewa.
Idayu bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang
ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki
penguasa sudah tak ada di hadapannya.
Sang Adipati telah meninggalkan asram a dan mem asuki
kegelapan malam.
0o-dw-o0
Melalui jalan belakang Sang Adipati menuju ke sebuah
tam an di belakang kadipaten yang terletak di tentang
kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam
kerumunan nyamuk.
Para pengawal bertugur di kejauhan
Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya.
Waktu seperti ini dipergunakannya untuk mengingatingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini.
Nam a saudagar Arab yang mem ohon m enghadap sendiri
itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba.
Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di
antara deretan nam a itu ia pun tak tahu, mana gelar mana
tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut.
Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya G usti,
adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi
apalah kiranya G usti Adipati Tuban daiam berpegangan
pada kitab suci ini serta memikirkan umm at Islam di Atas
Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai
kerajaan terkuat di Jawa setelah Majapahit. Raja-raja Islam
mem punyai harapan besar G usti Adipati Tuban
melim pahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, G usti,
arm ada Peranggi tak henti-hentinya berusaha menguasai
dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepanjang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersamasama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum
semua kita, karena tak berbuat sesuatu terhadap angkara si
kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya G usti Adipati
Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai
semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah
menguasai semua bandar. Bila mereka sampai ke Jawa,
matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan,
matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi
dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan
perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan
menumpas ajaran Rasulullah s.a.w.
Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan
itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari
empat orang raja Atas Angin, semuanya Islam.
Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama
Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan
kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam
kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak
tahu, satu wilayah Tuban telah dirampas oleh kerajaan
Islam, Demak. Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak
aturan aku titahkan untuk mem buat penyesuaian dengan
Demak. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya.
Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui
keislamanku.
Dan
karenanya
mereka
menuntut,
berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan
bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak menguntungkan kami selam a ini. Tapi apakah itu sudah cukup
banyak untuk
peperangan?
mem pertaruhkan
Tuban
dalam
suatu
Ia m engggeleng lemah.
Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan!
Demak masih harus diemong untuk tidak jadi binal. Jepara
jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja
Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh Demak. Tidak
dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan
mem asuki Jepara dan Semarang! Dan apa yang terjadi di
Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencam puri.
Kemudian ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya
keadaan baru yang menggelom bang di Atas Angin.
Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru.
Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti
akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai
melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai
berbahasa Peranggi dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa
dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang
yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga
Iskak.
Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa,
teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan
negeri-negeri lain, G usti, dengan semua kerajaan Islam,
bersama-sam a menghancurkan Peranggi dan Ispanya.
Menurut patik, ampunilah patik, ya G usti Adipati sesembahan patik, itulah satu-satunya jalan menyelamatkan
Tuban. Dan Sang Adipati bertanya, ‘Juga dengan Demak?’
Sang Patih m enjawab, ‘Sementara Demak harus dilupakan,
G usti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih
mem atikan’
Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran,
mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan
terimakasih. Tapi dengan diam-diam ia lebih suka mencari
jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi
semacam olahraja.
Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh
tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari
semuanya paling banyak ia am bil separoh sebagai
kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia
berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea
untuk keselam atan diri dan kepunggawaannya. Malahan
laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat
kebanyakan ham pir tak pernah ia gubris. Menurut
pendapatnya, orang menjadi berbangsa karena justru punya
kehorm atan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak
punya, juga tak tahu kebenaran.
Syahbandar harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah
keputusannya m alam ini.
0o-dw-o0
Pada waktu Sang Adipati sedang mengukuhkan
kebijaksanaannya dalam kegelapan tam an, lain lagi yang
terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias
Rangga Iskak
Ia sedang gelisah di kesyahbandaran.
Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tam u yang seorang itu.
Saudagar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama
ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab
mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai
Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam
perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan
seorang Arab.
Dan sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani
kebutuhannya selam a tinggal di Tuban. Baru saja datang,
dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap
sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan
tidak bisa berbahasa Melayu!
Tadi ia telah panggil Yakub agar datang menghadap
padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu,
mem bungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya
Tuan Syahbandar!”
Ia bergum am menjawabi dan melambaikan tangan
menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk.
Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota,
terutam a di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerintahkan Yakub mendekat. Kemudian: “Apa yang bisa kau
katakan, Yakub?” tanyanya tajam dalam M elayu.
Yakub berperawakan kecil, berumur sekira dua puluh
delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak
berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan
tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara,
dan: kurangajar.
“Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu.”
jawabnya dalam Melayu juga. “Sang Adipati sudah
mem erintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Mem ang
orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden
Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji
Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar,
maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah
Jawanya mem ang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu
yang dimaksudkannya Kholik?” ‘
Rangga Iskak bertanya tajam: “Bukankah kau tahu
bukan itu yang kutanyakan?”
“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan
itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!”
Sekarang Syahbandar yang tertawa. Dengan kedua belah
tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar
mem balikkan badan dan meneruskan tawanya.
Terkena sinar tiga batang lilin yang m enyala pada kandil
kelihatan Yakub terheran-heran.
“Tuan m engetawakan Yakub?” tanyanya menuduh.
“Apa yang lucu padamu?”
Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. “Tak pernah
kau nam pak setolol sekarang.”
“Laporan Yakub salah?”
‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu.
Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?”
Yakub mem perbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujungujung bajunya yang kom bor putih. Ujung hidungnya yang
mancung bercahaya bergemuk mem antulkan sinar lilin.
Nam paknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap
resmi.
“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil
mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi
sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan
mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping
Syahbandar masih terpaut sejengkal.
Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor
ayam sedang m elirik pada elang di langit.
“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar.
Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu
dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan
kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan
pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri,
pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Em pat kali
belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan
itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang
Adipati, apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.”
“Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segalagalanya.”
“Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud,
saudagar Arab itu, sama sekali tidak mem bawa atau
mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan
karenanya lebih penting dari segala-galanya.”
“Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini
justru yang terpenting. Satu dinar.”
Syahbandar nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke
seluruh ruangan. Selam a ini keterangan Yakub selalu benar.
Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap
mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada
sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah
pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau
dibiarkan, dia akan menjadi-jadi.
“Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,”
Yakub merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini
lama?”
Pertahanan Rangga Iskak patah. Dengan berat hati ia
keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya.
Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu
sambil menyumpah.
Yakub menangkapnya, mengujinya di bawah lampu,
tersenyum, dan mem asukkannya dalam pundi-pundinya
sendiri, mengikatnya dan mem asukkannya ke dalam ikat
pinggang di balik baju kom bornya, memperbaiki letak baju
itu dan menebah pinggang.
“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini,
mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.”
“Husy!” bentak Rangga Iskak tersinggung. “Katakan”
“Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan
bisiknya Yakub mem inta perhatian sambil mencoba
mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore
hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan
ke T rantang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu:
mulai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan
belas cetbang baru.”
“Itu beritamu yang terpenting?”
“Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah
mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas
anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.”
“Dalam berapa lama cetbang harus selesai?”
“Tidak jelas.”
Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah
tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar
daripadanya telah diperhitungkan harganya. Mengerti
Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah
Sang Adipati sudah berkunjung ke asrama wanita?”
“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.”
Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam
kegelapan. Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali
dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci
pintu dari dalam, kemudian duduk termenung di atas
bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam:
“Penipu yang tertipu itu telah jual dagangannya padaku.
Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan
dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhm u.”
Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal
setelah mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah
asram a wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati
masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu
yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari
pikirannya.
Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang
dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar
semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat
itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin….
Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau
tipu. Rangga Demang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati
Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh
berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa
percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau
hendak menggertak Demak. Tapi siapa pun tahu kau lebih
suka berdagang daripada berperang. Tua bangka tak tahu
diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari
dari asrama. Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu?
Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah
seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari
sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat m udah untuk
kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki
Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya
menghendaki dibenarkan keislamanm u. Kau tetap kafir.
Tapi kau mem ang cerdik seperti selam a ini. Runtuhnya
Majapahit juga karena kecerdikanm u!
Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan
Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama
dengan Hindu, m engapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk
mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali.
Ia m engangguk-angguk mengerti.
Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh
penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toalang, yang oleh penduduk disebut Semarang. Dan
Semarang yang m endirikan kerajaan Demak untuk menjadi
bentengnya terhadap Tuban.
Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu
pada mengabdi pada Demak. Waktu Demak merampas
Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada
Tuban, semua anakm u yang di Demak diam.
Dan karena semua itu aku kehilangan satu dinar!
Keparat si Yakub!
Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istriistrinya di kamar-kamar belakang. Nam un setelah itu ia
tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga
yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Setelah
sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia
telah berdoa m emohon rezeki yang berlimpahan
Ketenangan itu tiada lama um urnya. Beberapa bentar
kemudian saudagar Abud m uncul untuk minta diri.
“Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau musuh Islam,
Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban?” tanyanya dalam
Arab.
“Mana mungkin, ya Abud?”
“Bagaimana tidak mungkin? G oa jatuh. Dan Malabar.
Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini
Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam
rembang fajar di depan pintu gedung. ‘Tuban terlalu jauh,
ya Abud,” jawabnya tak acuh.
“Benggala pun jauh dari Peranggi.”
“Aku hanya Syahbandar, bukan raja.”
“Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja,”
katanya menyarani. “Demi Allah, Tuan Syahbandar
mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung
dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan
mereka. Allah mem berkahi Tuan”
Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud
ke jurusan pelabuhan.
“Arab, jih!” Rangga Iskak meludah ke tanah. “Setiap
gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi
tangannya yang merogo pundi-pundi orang.”
Pandangnya tertebar ke mana-m ana, menembusi
halim un tipis pagi hari. Matari pun mulai terbit. Samarsamar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang
masih tutup.
“Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu.
Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.”
Kemudian ia berjalan menuju ke m enara pelabuhan dan
naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu
sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapalkapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat Yakub sedang
turun dari kapal si Abud.
“Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas,
kau, bedebah!”
Tak dapat ia menahan am arahnya. Dipunggunginya
pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya
yang tua itu mem bikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan
keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut
penjaga m enara berganti-ganti.
“Kafir!” makinya dan turun lagi.
0o-dw-o0
4. Sayid Habibullah A l-Masaw a
Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh
dari dermaga. Matari pagi sedang mengusir halim un yang
masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal
dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung.
Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal karena
halim un. Dan matari sendiri baru beberapa derajad dari
permukaan bumi. Sinar-suram nya yang berpantulan pada
permukaan laut berpendar-pendar lesu.
Jauh di bandar Malaka sana perahu-perahu dan kapalkapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai
om bak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak
hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata
akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari
bedeng-bedeng pelabuhan.
Jalanan-jalanan
nampak
merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang
kelihatan m ondar-m andir. Semua pria.
Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis
mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai
bermunculan dari sebaliknya, Terdengar kemudian yang
banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam
– meriam bergelegaran. Api bersemburan dari moncongmoncongnya. Peluru besi beterbangan, mem bentuk kerucut
udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua
menuju ke bandar M alaka.
Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana
mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang
mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti
cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas,
mem bikin kelam udara yang kelabu.
Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentum an meriam,
api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad
yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka.
Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan
berham buran lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan
kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi,
nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap,
menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba
melarikan diri dan keselam atan.
Bola-bola besi dari kapal Portugis tak mem biarkan
mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan
kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang
dari pengelihatan, ditelan laut.
Kapal-kapal dari armada kebanggaan Malaka masih juga
belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah.
Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya
sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh
Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh
bentar, arm ada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam
ke dasar laut.
Kebakaran sedang m enjadi-jadi di darat sana.
Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning
pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian
kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang
menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari
meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit
bertom bak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan
yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah
arm ada Portugis.
Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba,
dentuman. Sebuah bola besi mem bentuk kerucut udara,
terbang menyam bari barisan prajurit bertom bak itu. M ereka
bubar berlom patan dan berlarian, hilang dari pemandangan.
Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tom baknya, tulang
dan serpihan daging.
Tak ada lagi barisan muncul. Bandar telah jadi lautan
api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal
Portugis mulai menurunkan sekoci. Serdadu-serdadunya
pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu
menuju ke bandar.
Kini balatentara Malaka mulai mengisi semua jalanan
bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa
matari yang telah berhasil mengusir halimun. Di antara
letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka.
Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan
dan menyam bari mereka, tak menggubris tak menghormati
tom bak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tem bakan m usket
menggebu-gebu, menghalau, mem bunuh, menumpas.
Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah
dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang
tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri.
Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap.
Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso
Dalbi-m enyerbu dan menduduki Malaka.
Dengan tergopoh-gopoh Sultan Mahmud Syah,
keturunan Param esywara itu, mem erintahkan pengerahan
pasukan gajah. Binatang-binatang raksasa itu didapatkan
telah bergelimpangan termakan racun. Balatentara Malaka
tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh arm ada, dalam
waktu pendek dihalau oleh peluru musket Portugis. Perang
darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan
mati-matian.
Tapi senjatanya terlalu pendek. Musket dan meriam
tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur,
harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah
terpisah dari tulang.
Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan,
Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas
tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di
tangan Portugis.
Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung
merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga
nam pak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesagesa layar-layam ya dipasang dan berkembang lesu,
kemudian berlayar menuju ke tengah-tengah armada
Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau
panjang berjela-jela.
Kapal kecil hitam itu terus juga m endekat. Semua gerakgeriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus
mendekat dan nampak sedang mengucapkan selam at
datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau
diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu
berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang
seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada
Portugis. Di bawah tiang utam anya berdiri seorang lelaki
tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali,
berjubah genggang, mem bawa tongkat hitam berhulu
gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan
cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam
oleh beberapa lembar uban.
Portugis tak sedikit pun m engganggunya. Kapal kecil itu
pun hanya mem bawa seorang penumpang saja. Orang itu
terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar
bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu
bertebaran ke m ana-mana seperti sedang mencari sesuatu di
atas permukaan laut.
Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya.
Berkata dalam Melayu:” Alham dulillah, ya Tuan Sayid
Mahm ud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya
ini selamat.”
“Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku,” jawab
penumpang itu angkuh. “Tuhan takkan membiarkan
terlantar ummat-Nya yang beriman.”
“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda.
“Ya, hanya
mem benarkan.
dengan
pita
hijau,”
penumpang
itu
“Bagaimana sahaya harus mem balas budi, ya Tuan
Syahbandar Malaka?” nakhoda bertanya menghiba.
Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan:
“Sekiranya Tuan sekarang ini mem erintahkan sahaya
menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun
upah tiada ditambah.”
‘Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.”
“Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan
jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Baginda
Sultan?”
“Tetap. Antarkan aku ke Pasai.”
“Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai.” Nakhoda itu
berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan
sesuatu. Melihat Sayid Mahmud AI-Badaiwi tak juga
bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang
menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki
kedudukan siku, kemudian: “Setelah kejadian mengagetkan
ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di
sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa kafir itu.
Biarpun kafir, cukup menyenangkan juga, Tuan
Syahbandar.”
“Dilaknatlah
kiranya
kafir-kafir
penumpang itu bersun gut-sun gut.
itu,”
sumpah
“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke Pasai.”
“Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi.
Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan?”
‘Tak pernah ada orang mencoba menggurui aku,”
penumpang itu bersungut-sungut.
“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke Pasai.”
Penum pang itu masih juga m erabai permukaan laut dengan
pandangnya.
Nakhoda
mencoba
mengikuti
arah
pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang
luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar
menyeberangi Selat m enuju Pasai.
“Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. Wama
keselam atan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya
sahaya bercerita, Tuan?”
Penum pang tak ram ah itu tak mengacuhkannya. Dan
nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan,
tersenyum manis dan mem ulai: “Bukan cerita, Tuan
Syahbandar Malaka, tapi warta. Warta sesungguhnya
sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus
untuk Tuan saja.”
Penum pang itu menoleh padanya tetapi tak bertanya
sesuatu.
“Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam
sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting
terinjak. Semoga Tuhan m elapangkan jalan mereka di alam
arwah’ Semalam, Tuan, setelah Tuan meninggalkan kapal
sahaya, sahaya sudah bicara dengan nakhodanya, seorang
anak m uda, uh, anak semuda itu telah dilepas jadi nakhoda.
Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. Sahaya tak
tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk
kafir-kafir Atas Angin sana. Tapi mem ang ada muatan
penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan.
Lagi pula sahaya tidak melanggar am anatnya, karena kita
sudah berada di atas Malaka.”
Penum pang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan
kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut.
”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai
balas-jasa. “Kapal itu dari Tuban. Dan warta itu, Tuan,
muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan
di negeri-negeri di atas Malaka. Katanya: Adipati Tuban
Tum enggung Wilwatikta mencari Syahbandar baru
yang….”
Keangkuhan, kecemberutan dan keseram an penumpang
itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada
nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk.
“Begitulah wartanya.”
“Matikah Syahbandar Tuban?”
“Sayang, itu tak term aktub dalam warta. Pendeknya
Adipati Tuban mencari Syahbandar baru. Syaratsyaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada
Tuan: bisa menulis, mem baca, dan berbahasa Arab dengan
baik, dan Tuan sendiri keturunan Sayid-sayid Arab yang
mulia….”
“Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi
Syahbandar.”
“Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai
berbahasa Melayu. Jangan tertawakan dulu, Tuan. Inilah
syarat gila menurut perasaan sahaya yang bodoh ini: Harus
juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis
serta m embacanya.”
Penum pang tunggal itu menegakkan bongkoknya,
mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari
menggaruk ram but di bawah tarbus. Matanya bersinarsinar. Satu pikiran sedang mem bersit menerangi wajahnya.
“Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,”
penumpang itu membongkok seperti semula. “Kata
nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” Sayid
Mahm ud Al-Badaiwi, yang kemarin masih Syahbandar
Malaka sesungguhnya bemama Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Nam a barunya itu dipergunakan sejak jadi Syahbandar
Malaka. Nakhoda dan semua orang Malaka tak pernah
mengetahui. “Jadi ke Tuban tujuan kita, Tuan?”
“Tidak. Pasai.”
“Jadi tetap ke Pasai,” dengan demikian kapal tetap ke
tujuan semula. Sesampainya di Pasai, Tholib Sungkar AzZubaid alias Sa yid Mahmud Al-Badaiwi menyewa kapal
Aceh yang bertujuan Banten dan ia mem bayar khusus
untuk pelayaran ini.
Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari
Banten menuju ke Tuban pikirannya tidak disesaki lagi oleh
ingatan pada api yang menjolak-jolak mem bakar bekas
bandarnya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan
barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang
belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan balatentara
Malaka yang sama sekali tiada berdaya….
Um bul-um bul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban,
tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura-
gapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan
meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan
makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini.
Penduduk Tuban mem ang keranjingan seni dan
olahraga. Larangan mem ahat batu dan perlntah m embuangi
peninggalan Hindu seakan telah mereka lupakan untuk
sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri
menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta.
Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang
Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata serta
menyelitkan keris berhulu mas berukir pada tentang perut.
Beberapa orang tidak mengenakan kain batik, tapi sarong
berkotak-kotak seperti pedagang seberang.
Para wanita mengenakan penutup dada dan selendang
sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan
dari selendang sutranya.
Santri-santri yang kadang bersarong putih, berambut
pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun
berbondong-bondongdari perguruannya masing-m asing.
Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir
yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi
dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-um bai.
Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun
bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan
dan telor bcrwarna mem bentuk lingkaran sari bunga di
dalam nya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah
pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki
udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan
penganan di tangan. Semua mengenakan pakaian dan
destar baru. Dan rombongan-rom bongan dari desa-desa tak
henti-hentinya m emasuki kota.
Pembukaan pesta telah diawali dengan pawai para
peserta lomba. Umbul-um bul mempelopori barisan desa
masing-m asing. Di belakangnya menyusul perangkatperangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan
kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi pujipujian kepada Hyang Widhi, tanpa suara manusia, tanpa
tari.
Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di
pelabuhan. Setelah tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan
juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat
mem bubarkan diri.
Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan asrama. Di
antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama
Idayu bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama
itu semakin semerbak dengan semakin mendekati
pembukaan. Kunjungan Sang Adipati ke bangsal wanita di
dalam asrama telah meyakinkan semua orang: gadis
perbatasan yang menawan hati Tuban itu pasti keluar
sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan
isyarat dari Sang Adipati.
Orang harus mengerti tanpa bertanya.
Hari-hari mengintip di depan asrama tanpa hasil
mem bikin orang seperti dicurahkan mem adati kiri-kanan
pawai di mana Idayu berada. Anak-anak kecil yang
terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat,
hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak
menentu. Pria dewasa mem belaikan pandang berahi.
Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada
Idayu.
Semua peserta wanita berkalung rangkaian melati.
Peserta pria masing-masing mem bawa setangkai dedaunan
beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikanlambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong.
Tidak seperti satu atau dua tahun sebelum nya kini Idayu
gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan
pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap
juga olehnya pandang yang mem berahikan, merajuk,
merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak
melihatnya. Peluh telah membasahi tubuhnya. Ia rasai pada
matari mendidih dalam dirinya, karena di desa sendiri ia
tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas
dalam -dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri.
Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi
seakan di atas kepala pawai tum buh semak pohon beringin.
Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti
tertelan rekah bumi.
Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon
beringin melambai-lam bai tinggi di atas kepala mereka.
Kemudian sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak
bergerak di tempatnya masing-m asing. Kenong bertalu.
Tiba-tiba mem bubung nyanyian bersama dari semua gadis
peserta, disahuti oleh nyanyian bersama semua pria peserta.
Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa,
dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap.
Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimpuh
di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu
keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang
Adipati menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan.
Semua peserta m engangkat sembah. Tandu berjalan lambatlambat dengan gerak kaki seirama dari para pengusungnya,
dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar
negeri berbaris, juga melangkah lambat-lam bat seirama.
Juga seperti menari.
Tandu Sang Adipati menghampiri ujung barisan yang
satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain
sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta.
Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang
Adipati dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali
masuk ke kadipaten.
Para peserta menurunkan sembahnya, kemudian lambatlambat m engangkat sembah lagi tiga kali berturut m engikuti
tabuhan canang.
Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari
penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lam bat
mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten
lagi mereka mengangkat sembah seirama dengan paluan
canang kadipaten. Kemudian mereka menuju ke Sela
Baginda.
Dan inilah saat yang ditakuti oleh Idayu. la jera terhadap
orang banyak, terhadap pengagum-pengagum nya. Di dalam
barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan,
dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar
segera ia lari mendapatkan G aleng, berlindung di balik
bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya
rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton.
“Idayu! Idayu!” orang berseru mencari-cari, kecewa,
jengkel, mem bujuk, merayu, “di mana kau, Idayu? Di
mana?”
G adis dan perjaka Awis Kram bil menjadi gumpalan
pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan.
Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang
um bul-um bul desa berjalan mendahului.
Sam pai di alun-alun gumpalan ketat Awis Kram bil
langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan
telah am an.
Aturan
tidak mem benarkan orang
menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton
pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di
pagi atau siang hari.
Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan
dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya
oleh para prajurit peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak
putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum
dimulai. Mula-m ula lapangan yang tersedia seakan disapu
oleh sebarisan prajurit menabuh gendang dengan berlari
dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari
Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan
bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding
berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang
mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat.
Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda telah
meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda
mengelilingi lapangan.
Kemudian
dua
petanding
ditinggalkan untuk mengawali perlombaan.
Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang
bertentangan. Dua barisan prajurit dari Pasukan Kaki
masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu
sodor pada mereka. Kemudian mereka lari meninggalkan
lapangan.
Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke
tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayukayu sodor teracukan di atas kepala kuda. Dan bila soraksorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda
seseorang telah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang
pertandingan harus diulang-ulang karena tak ada yang
segera teralahkan.
Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas
Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala
sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan surya.
Perm ainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama
sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi
desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan
diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding.
Canang bertalu. Mereka menyembah pada penonton,
berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka
yang bercawat, mem am erkan lengan dan paha dan dada
dan punggung dan kepala, dan mengangkat kaki
mem am erkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap
seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra,
mem bengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar.
Tak bisa lain, karena berminggu sebelum bertanding kulit
mereka digosok dengan lumatan daun tapak lim an untuk
mem atikan perasaan kulit.
Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di
bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang
akan berkelahi. Masing-m asing bersenjatakan sebilah rotan
yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding
mem punyai kebebasan mem ukul dan mem ilih sasaran.
Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, mem babat
dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu,
dada, kaki, kepala. Sasaran yang m enjatuhkan adalah batok
kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya
melom pat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi
syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan
syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang
kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka
melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si
pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya
sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh
mem berikan pukulan balasan.
Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis,
mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejapngejapkan m ata seperti sekelom pok m onyet kehilangan akal
pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti
dicekam , diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang
roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga
bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau
menghembuskan nafas panjang.
Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut
diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala yang dipukul
bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan
lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak
panggung. Lom ba banteng lain lagi ceritanya. Pada
pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. Peserta
hanya dari kalangan prajurit perjaka. Juga tidak setiap
tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para prajurit
sendiri, yang ingin melom pat jadi perwira Pengawal.
Lom ba khusus ini, bila ada, selalu dipergelarkan pada sore
hari tanpa disaingi oleh lom ba-lom ba lain.
Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor
banteng lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak.
Binatang lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan
mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan.
Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton.
Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang prajurit
penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia m elompat ke atas
leher binatang lawannya dan berusaha, dengan kedua belah
tangan berpegangan pada tanduk, mem bantingnya. Belum
tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan
nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan
darah dan isi perut.
Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari
mem biarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan
tenaga. Baru kemudian ia mengguguh mata lawannya
sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan
guguhan pada mata yang lain banteng buta itu kehilangan
daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai
tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma
adalah bila penantang dapat meremukkan kepala lawannya
dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai
menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, menggotong si
pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu
adalah gadis-gadis Tuban. Maka juga para penonton
kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang banteng
punya maksud Iain daripada hanya ingin melompat jadi
perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa karena
kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis
Sang Adipati akan menyam butnya pada anak tangga
kadipaten. Di sana ia diturunkan, mendapat pangkat dan
nam a dan gelar ketentaraan yang menjadi haknya. Tandatanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan
keris, dan kalung. Begitu ia mendapat pengangkatannya ia
dapat mem ilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan
pada hari itu. Dan masyarakat Tuban yang mengagungkan
kepahlawanan ikut serta merayakan kegembiraan mereka
berdua.
Lom ba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi
hari. Prajurit tidak diperkenankan serta. Penonton dari
desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-m asing.
Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya
mem ercikkan air pada para petanding sehingga lantai
panggung jadi basah, kotor dan licin – keadaan yang
mem bikin petanding lebih menarik. Para petanding hanya
mengenakan cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus
disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan.
Pada tahun yang lalu G aleng telah mem enangkan
kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad
mem enangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima
belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus
mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi
kebiasaan bagi juara gulat mendapat banyak tantangan.
Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan
seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung.
Dalam pertandingan awal Galeng berkelahi seperti orang
keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan
ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri.
Sang Adipati harus tahu: si G aleng bukan perjaka yang
mudah melepaskan Idayu apa pun yang terjadi, Idayu
hanya untuk diri dan kebahagiaannya.
Dua-tiga orang penantang telah dibantingnya dan nyaris
mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para
petugas ragu-ragu atas sikap juara dari Awis Kram bil. Ia
lebih banyak tam pil sebagai pembunuh daripada
olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila
idaman hidup direnggutkan orang daripadanya. Tak peduli
orang itu Sang Adipati atau punggawa praja.
Dengan titah Sang Adipati pertandingan gulat
diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang
terpojokkan. Kunjungan penguasa Tuban pada kekasihnya
di asrama telah mem bikinnya kalap. Ia akan tunjukkan
pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa
saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada
Idayu melawan penantang gulat ataupun penantang
tom bak-tom bak para pengawal.
Pada awal perlom baan m enari Idayu dipancari semangat
tinggi. Dua tahun berturut-turut ia telah mem enangkan
kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk
mem enangkan lagi. Bukan karena kunjungan Sang Adipati
yang jadi isyarat pada para penilai. Ia harus menang karena
kejuaraan tiga kali berturut mem berinya sesuatu rencana
kemungkinan: ia punya rencana. Dalam setiap
pertandingan G aleng mem erlukan hadir. Bukan karena
hendak m enonton, hanya hendak m ematahkan batang leher
orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap Idayu.
Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya.
Perlom baan telah berjalan beberapa hari. Setiap pulang
dari menari Idayu langsung pergi ke tempat kekasihnya
untuk mengurutnya. Ia tak peduli pada larangan yang
berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya,
mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu
dapat berkumpul untuk kemudianberpisahn buat selam alamanya….
Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seruserunya berjalan.
Syahbandar Rangga Iskak sedang sibuk di pelabuhan
mencatati nama orang dan kapal peiarian yang
berbondongan datang dari Malaka dan telah ditolak di
bandar-bandar lain di Sumatra dan Jawa. Di Tuban m ereka
bermaksud mem ohon perlindungan pada Sang Adipati
Tuban Arya Teja Tum enggung Wilwatikta. Jatuhnya
Malaka ke tangan Kongso Dalbi telah jadi pengetahuan
um um.
Di antara para pendatang terdapat bekas Syahbandar
Malaka Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Tholib Sungkar
Az-Zubaid.
Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang
Arab – Arab yang dibencinya. la berbenah dalam hati,
menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik
mungkin.
Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok,
berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan
halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut
mendarat. Ia agak heran, tetapi tidak menanyakan. Kapal
itu akan berlayar terus menuju Gresik.
“Tuan Syahbandar Tuban,” bekas Syahbandar Malaka
mem ulai dalam Arab. “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini.
Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus
berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh
untuk sehari akulah yang mem bayamya. Nam aku Sayid
Habibullah
Almasawa dari Malagas!, bermaksud
menghadap Sang Adipati Tuban.”
“Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan
terpenuhi.”
Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti
barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara
dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan.
Canang kadipaten menjawab.
Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas
Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid
Mahm ud Al-Badaiwi dan sekarang bernama Sayid
Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka
menyusul para pemikul persembahan.
Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal
menonton pertandingan. U mbul-umbul berkibaran tinggi di
mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan
jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di
negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka
tinggalkan sedang terlanda Portugis.
Pendatang yang menamakan diri Sayid Habibullah
Almasawa mem perhatikan semua dengan kuping dan
matanya.
“Tuban sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak
alias Ishak Indrajit menerangkan dalam Melayu. Ia tak
meneruskan, mem bisu, tak m emberi kesempatan pada para
pendatang untuk bertanya. Orang Arab yang seorang itu
merusuhkan hatinya.
Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat
datang dan menyam paikan tata-tertib. Mereka melepas
semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali keris.
Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan
bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo
dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan
kursi gading kedudukan Sang Adipati.
Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang
ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di
bawahnya. Itulah tem pat Sang Adipati meletakkan kakinya.
Menurut peraturan penghadapan secara Tuban, orangorang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan
menyembah. Bangku atau kursi duduk tidak pernah
disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak
duduk harus mengam bil tempat di pinggir.
Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah
kiri dan kanan tahta Sang Adipati. Pada tangannya mereka
mem bawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang
kuningan tempat ludah. Menyusul kemudian bentara kiri
dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan
belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan
perisai. Baru kemudian datang Sang Adipati dalam iringan
Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi
menyusul para pengawal.
Para penghadap yang duduk menyembah bersam a-sama.
Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan horm at
dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala,
term asuk Syahbandar Tuban, berdiri sambil mengangkat
sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk
bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang Adipati, juga
mengangkat sembah.
Upacara penghadapan selesai. Syahbandar Tuban
mem bacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan
dan permohonannya. Kemudian seorang demi seorang
maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan
persembahannya sambil mem uji-muji barangnya. Setelah
persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri.
Sang Adipati duduk mendengarkan, tanpa bicara,
mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan
tersenyum.
Semua penghadap tahu belaka, satria Jawa tidak berbaju
dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan
ini.
Bekas Syahbandar Malaka tercantum dalam daftar
terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam
Melayu: “Patik datang dari Malagasi, ya G usti Adipati
Tuban yang term asyhur pengasih di sepanjang pantai Atas
Angin. Orang mem anggil patik Sayid Habibullah
Almasawa. Kata silsilah keluarga, patik adalah keturunan
ke empat puluh dari Nabi Besar M uhamm ad s.a.w.”
Rangga Iskak mengem yitkan dahi. G iginya berkerut. Ia
tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya:
Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu!
“Patik hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar
dari bandar ke bandar. Mujur tak dapat diraih, malang tak
dapat ditolak, Tuhan belum lah mem berkahi, ya G usti
Adipati Tuban. Sesampai di Malaka, Peranggi sedang
menggagahi bandar. Semua isi kapal patik dirampas dan
kapal patik dibakar. Alham dulillah Tuhan m asih ingat pada
ham ba-Nya ini. Segala puji untuk Yang M aha Pengasih dan
Maha Penyayang.”
Bekas Syahbandar Malaka itu
mem persembahkan sesuatu barang.
Si penipu itu! pikir
mem ainkan lidahnya.
Rangga
masih
Iskak.
juga
Dia
tak
sedang
“Larilah patik ke Bengkulu. Dengan kapal patik yang
ada di )ambi patik belayar kemari untuk memohon
perlindungan G usti Adipati Tuban. Adapun harta benda
patik seluruhnya telah habis untuk mem bayar kerugian di
Malaka. Ampun, G usti, bila patik tidak mampu
mem persembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.”
Nam pak Sang Adipati mulai kehilangan kesabarannya.
Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju.
G elang-gelang mas pada tangannya, berukir dan
bertatahkan intan permata, berkilauan. Nam un ia tidak
mem beri isyarat m encegah penghadap itu m eneruskan katakatanya.
“Adapun harta-benda yang tersisa pada patik hanyalah
kecakapan berbahasa Arab, karena itulah bahasa nenekmoyang patik, berbahasa Melayu, karena itulah
penghidupan patik sebagai saudagar rempah-rempah. Yang
tersisa pada sahaya juga bahasa Ispanya, G usti Adipati
Tuban…”
Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang
Adipati mendeham dan mem anjangkan leher mengawasi
pembicara fasih itu dengan perhatian.
“… karena di negeri Ispanya patik dilahirkan, di sebuah
negeri yang indah bernam a Andalusia, ya G usti Adipati,”
bekas Syahbandar Malaka meneruskan, “dan juga karena
itu patik berdarah Ispanya pula. Kemudian bahasa
Peranggi, ya G usti Adipati Tuban, karena itulah bahasa
yang patik pelajari sejak kecil.”
Rangga Iskak merasa seakan lantai yang diinjaknya
terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung
bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang
hendak menumbangkan kedudukannya sebagai Syahbandar
Tuban. Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik
jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam
pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang Adipati
menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai
ram ai dengan tangan mem berikan tekanan pada katakatanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan mendapat
hukum an dera.
“Ya, G usti AdipTuban yang mulia, dilindungi oleh
Allah, kiranya G usti Adipati. Sedang patik hina-dina lagi
melarat begini, ya G usti yang tersohor bijaksana dan
pemurah di sepanjang pantai Atas Angin, limpahkan
kiranya pada patik suatu perlindungan, karena hanya Allah
jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan G usti Adipati
adalah berkah daripada-Nya juga.”
Tanpa diduga-duga Sang Adipati melambaikan tangan
dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga Iskak
menterjemahkan dalam M elayu.
”Perm ohonan Tuan kami terima, tuan Sayid. Tuan
Syahbandar Tuban akan mengurusmu sebagai tam u pribadi
kami….”
Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan
terjemahannya. Ia mem belalak mengetahui, tam u yang
mengaku diri Sayid Habibullah Almasawa telah berkenan
di hati Sang Adipati. Celaka, pikirnya, sekali seorang M oro
mendapat setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan
berubah, bumi tempat berpijak akan goyah.
“Apalagi yang m asih akan dipersembahkan?” tanya Sang
Adipati. Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan
sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun,
G usti, perkenankanlah kiranya patik mem persembahkan
sesuatu yang langsung berupa karunia dari Allah. Mem ang
nam paknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan
berkahnya.”
Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya
yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa
persembahan si cerewet. Perm ata! tak bisa lain, orang
menduga.
“Berat tak seberapa, G usti,” bekas Syahbandar Malaka
itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk.
“Enteng tak terkira.”
Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang
Adipati menjadi murka dan membatalkan semua
perlindungan yang telah dikaruniakan. Dan memang Sang
Adipati nampak tersinggung, tapi masih menahan diri.
Rangga lskak gelisah.
“Selaksa kali lebih berharga daripada in tan, mutiara,
zam rud atau delima, karena mem ang karunia Allah
sendiri!”
Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi
kekuatirannya melihat Sang Adipati bicara untuk ketiga
kali, hanya pada seorang penghadap: “Apakah itu, Tuan
Sayid keturunan Nabi?”
‘Tidak lain dari benih baru, ya G usti, dari seberang dan
seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya
G usti. Sepuluh kali lebih besar daripada beras biasa. Bila
disantap sewaktu muda, ya G usti, hanya ditunu di atas
bara, gemeratak bunyinya, tapi rasanya takkan kalah
dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula.
Menanam nya tak mem erlukan air, malah harus ditanam
pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat
tum buh, di gunung, di pantai, hum a, sawah kering, ladang.
Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud AlBadaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menaruh
sejum put bening kuning dari dalam pundi-pundi dan
diletakkan di atas telapak tangan kiri.
“Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenai
ini beras Turki, ya G usti. Orang-orang Turki mem ang suka
menipu, G usti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar
Zhagung nam anya, G usti. Dalam jangka waktu lima kali
musim panas, seluruh negeri Tuban akan m akan beras besar
ini, G usti, insya Allah.”
Ia melangkah maju setelah mengem balikan benih dari
telapak
tangan
ke
dalam
pundi-pundi
dan
mem persembahkan kepada penguasa Tuban.
Orang terheran-heran melihat Sang Adipati tersenyum
berseri menerimanya.
“Telah kam i terima persembahanm u, Tuan Sayid. Segala
yang berasal dari Tuhan adalah berkah/ ’ kemudian
menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah.
“Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi
sekarang sedang musim kering.”
Sang Patih menyembah rajanya, kemudian menerima
pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya.
“Dan Tuan Sayid, apa nam a negeri asal beras besar ini?”
“Negeri itu, G usti Adipati Tuban yang mulia – orang
mulai m enamainya Amerika.”
“Di m ana itu?”
“Di balik bumi manusia ini, G ustL”
“Di balik bumi?” Sang Adipati berseru berolok, “tentu
mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung
pada kaki?”
“Tidak, G usti, mereka sama dengan kita, demikian cerita
pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.”
“Merah?”
“Merah, G usti, seperti batu bata.”
Rangga Iskak mengerutkan gigi dan m engemyitkan dahL
Kegeram annya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan
bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuatkuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya
sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang
Adipati berkata: “Tuan Syahbandar, apakah yang Tuan
ketahui tentang bangsa kulit m erah?”
“Tidak pernah disebut dalam kitab apa pun, G usti
Adipati Tuban. Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua
ada, G usti. Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata.
Tak pernah tersebut ada manusia makhluk Allah hidup
dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.”
Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga
Iskak, dan tersenyum ram ah sambil mengangguk.
“Tentang itu panjang ceritanya, ya G usti. Sembilan
tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan
Isabella, telah mem berikan pangestu pada pelaut-pelaut
Amerigo dan Colom bo untuk mencari negeri asal rempah-
rempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat…” dan
bercerita bekas Syahbandar M alaka tentang pelayaran besar
dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah
seperti tampah tetapi bulat seperti buah kelapa, bahwa di
mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada
kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki.
Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di
akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk
mengetahui dari mana Tholib Sungkar Az-Zubaid alias
Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah
Almasawa mendapatkan beras besar yang bukan beras
Turki.
Dalam pada itu Sang Adipati sendiri sedang
mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala
pernah menduga dunia ini mem ang tidak seperti tampah
tapi bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal
orang putih telah mampu muncul dari balik Ujung Selatan
Wulungga yang selam a ini dianggap sebagai batas akhir
dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke
kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ.
Mereka telah belayar sampai ke balik dunia dan
mendapatkan beras besar.
Ia berpaling pada Syahbandar Tuban. Rangga Iskak
sedang merah-padam keunguan. Mem ahami akan adanya
sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan
Sayid Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di
pinggir pendopo.
“Patireja!” perintahnya pada menteri-dalam, “tempatkan
tuan Sayid sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.”
Beberapa jam setelah penghadapan selesai pecahlah
berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap
oleh seorang tamu asing, seorang Arab bemam a Sayid
Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang
kadipaten. Berita besar, karena itulah untuk pertama kali
seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras
besar orang tak mem beritakan. Dan sekarang Tuban
mem iliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit
merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada
tangan dan dengan kaki melambai-lam bai di udara.
Tholib Sungkar Az-Zuibaid alias Sayid Mahmud AlBadaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa merasa puas
dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa telah berkenan di
hati Sang Adipati. Sebentar lagi bendera Tuban akan
dikuasainya. Syahbandar yang sekarang harus menyingkir!
Harus!
Pulang dari kadipaten Rangga Iskak langsung m enuju ke
pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal Sayid. Temyata
kapal itu telah berangkat ke G resik. Dengan jengkel ia
pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua
orang Arab di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut
dalam Alkitab dan Tarikh.
Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara Sayid
dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa M elayu. Pada
pandai melayani orang-orang besar dan Sayid pandai
mengambil hati orang.
Padalah yang mengantarkan tam u itu menghadap Sang
Patih. Ia duduk di belakangnya.
Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat
orang yang barn datang dari Bonang – murid-murid Ki Aji
Bonang – dan dianggap tahu berbahasa Arab.
Bekas Syahbandar Malaka itu duduk di antara mereka
berempat. Dan ujian diadakan.
Tam u Sang Adipati tertay/ a geii dalam hati mengetahui
sedang menghadapi ujian bahasa Arab. Seratus orang
penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa Arabkuf
sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa
ibunya sendiri, sedikit Melayu dan sedikit Arab! Tulisan
latin mereka takkan bisa. Ayoh, ujilah aku, tantangnya.
Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan
padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa.
“Tuan Sayid bisa mem baca ini?” tanyanya.
Ia am bil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng
melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu.
“Tulisan kafir,” gum amnya.
“Jadi Tuan Sayid dapat m embacanya?”
Ia m enggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya.
“Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi
ukara. Ini tulisan Jawa, tetapi berbahasa Melayu. T ulis oleh
Tuan terjemahannya dalam bahasa Peranggi. Tuan sendiri
punya kertas dan kalam.”
Dan dengan demikian ujian dimulai.
Dari setumpukan lontar Iain Tholib Sungkar Az-Zubaid
alias Sayid Mahm ud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah
Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang
dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan Peranggi.
Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih.
Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada
ia menghadapi ujian yang mem akan waktu lama. Ia tak
pernah menyangka akan m enghadapi ujian pengalaman gila
itu. Para penguji m emberikan kembali terjemahan Peranggi
padanya, kemudian m enunjuk pada baris-baris tertentu dan
bekas Syahbandar Malaka diminta untuk melisankannya
dalam Melayu.
Peluh mulai mem basahi tubuhnya. Ia mengakui
terjemahan Peranggi itu ditulisnya dengan gegabah.
Kalimat-kalimat dan kalim at itu bermunculan di hadapan
matanya seperti barisan mara. Ia menyesal telah
melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele.
Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara
terjemahan Melayu orang ujian itu dengan teks Melayu
dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang
sama dialaminya sewaktu mem elayukan Ispanya tulisannya
sendiri. Banyak selisihnya dengan teks Melayu di atas
lontar.
“G usti Patih Tuban,” salah seorang penguji melaporkan.
“Mem ang Arabnya tidak meragukan, Peranggi dan
Ispanya-nya nampak agak sembarangan, G usti.”
“Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih.
‘Tidak G usti, hanya sembarangan.”
Untuk pertam a kali dalam hidupnya Tholib Sungkar AzZubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid
Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi
keringat sebanyak itu.
Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan
pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal
makan orang telah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi
gam elan tak henti-hentinya berlagu.
Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan
pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan
datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para
pengawal.Sem ua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka
akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua
gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para
pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring
serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan
setiap orang di antara mereka akan membawa um bul-umbul
kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul
barisan pengawas pertandingan, semua m enabuh genderang
kecil.
Dan begitu Sang Adipati dan rombongan datang orang
pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu
rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegapgempita.
Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab
sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rom bongan,
semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan
sekedar karena kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan
mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang Adipati bila
berhadapan dengan Idayu.
Di dalam rom bongan pembesar terdapat Tholib Sungkar
Az-Zubaid, di Tuban Kota mulai dikenal sebagai Sayid
Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai
keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak
bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung
dan mem bawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung
bengkungnya m enjadi sasaran setiap mata.
“Itulah Tuan
temannya.
Ulasawa!”
seseorang
berbisik
pada
Seorang lain tertawa keheranan, mem beri kom entar:
“Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi
berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.”
“Puh!”, yang lain lagi mendengus, “G usti kita mem ang
kranjingan orang asing – dan semua saja tidak beres.”
Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat
diketahui: itulah tam u terhormat yang telah berkenan di
hati Sang Adipati.
Dan dalam hati mereka, yang mem ang sudah tidak
senang pada orang asing yang mendapat jabatan tinggi,
timbul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan
diterimanya? Pada um umnya orang menebak: penghulu
negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan,
mengingat penghulu sebelum nya telah banyak mengurangi
kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih
juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru,
selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan
kota T uban terkenal pencinta kebebasan.
Tak jauh dari Tholib Sungkar berjalan Syahbandar
Tuban, juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah,
tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang
berjalan menunduk Tak ada nampak sinar kegembiraan
pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang
mem beludag itu.
Dam arsewu dan cempor menyala di mana-mana,
mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan
manusia. Nam un semua lampu itu tak kuasa mengusir
bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia telah
mendapat firasat Sayid Habibullah Almasawa tidak lain
dari Syahbandar Malaka yang dahulu menjatuhkan
abangnya, dan sekarang datang ke Tuban untuk
menjatuhkan pula sebagai Syahbandar. Tidak salah lagi,
kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini
bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang
Moro itu dari Tuban sebelum Sang Adipati mengambil
sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si
pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu
harus punah!
Begitu rombongan mem asuki ruangan tari, ia sudah
mem punyai rencana. G amelan membubungkan lagi
sambutan. Idayu muncul di atas panggung m enarikan tarian
penghormatan. Kepalanya bermahkotakan bunga-bungaan
sedang pakaian tarinya yang serba ketat mem peragakan
resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting
senyum kemenangan. Matanya mem ancar penuh
keyakinan dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah
gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan
pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri
dan kanan. Dan Rangga Iskak tak melihat semua itu.
Orang bersorak-sorai gegap-gempita.
mengangguk-angguk menyetujui.
Sang
Adipati
“Itulah Idayu, Tuan Sayid,” Sang Adipati berkata dalam
Melayu, “kekasih Tuban, bunga seluruh Tuban. Tiada
tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara
tiga kali berturut.”
“Patik,G usti.” Mata Tholib Sungkar
menyala-nyala, ia
angkat
tongkatnya
mengagumi tarian Idayu.
Az-Zubaid
turun-naik,
“Dahulu gadis seperti itu akan m eneruskan pertandingan
ke Wilwatikta, ibukota Majapahit.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid mencantolkan tongkat pada
lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuktepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri
terah patik lihat, ya G usti. Yang ini mem ang tiada tara!
Nam anya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai
betapa cantik, kau, Idayu!” gumamnya. “Allah telah
menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.”
Mata Sang Adipati bersinar-sinar hampir tiada berkedip.
Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu.
Semua tertarik pada Idayu. Tetap hanya Rangga Iskak
antara sebentar melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid.
“Aduh, Aduh, Aduh, G usti!” gumam bekas Syahbandar
Malaka itu seperti kesakitan.
“Apa, Tuan Sayid?” tanya Sang Adipati seperti pada
seorang sahabat lama.
“Serba indah, G usti, serba cantik, serba mengikat. Kalau
di Ispanya sana, G usti,” ia bertepuk bersemangat, “tidak
salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal.”
“Apa?”
“Hiasan istana raja Ispanya, G usti.”
“Hiasan istana raja….” Sang Adipati berbisik
mengulangi sambil tersenyum. Kemudian agak keras,
“sayang hanya anak desa.”
“Tuban menciptakan makhluknya tanpa perbedaan,
G usti, baik desa mau pun kota milik Allah juga.”
Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum
tarian Idayu selesai…. Rangga Iskak tidak kembali ke alunalun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya
melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri
dan ke kanan. Sam pai di depan waning tuak dan ciu-arak ia
berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia
mengetuk dan mengetuk. Tak lama kemudian pintu itu
terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu,
Yakub?”
“Tidak salah, T uan, Yakub ada di sini menunggu Tuan.
Tuan tidak masuk?”
Syahbandar Tuban itu masuk ke dalam, duduk pada
salah sebuah bangku setelah menggerayanginya dengan
hati-hati.
Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya.
Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum
matari dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan,
seperti guru di kejauhan, tanpa nada: “Sang Adipati ini lain
dari putra-putranya, Yakub. Raden Sayid itu sepenuh hati
mengabdikan diri pada Islam, Sang Adipati ini, hanya
perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar
Rangga Demang….”
“Tapi Sang Adipati jelas berpihak pada Islam, Tuan,”
Yakub mem bantah.
“Dari mana pikiranm u itu?”
“Uah, tuan Syahbandar Tuban, bukankah sudah aku
sampaikan, Sang Adipati sudah bersiap-siap dengan
cetbang?”
“Benar, bersiap-siap berperang terhadap Demak.”
Yakub berdiam.
“Lantas di mana Islamnya, Yakub?”
“Banyak yang bilang tidak begitu. Sang Adipati tak
pernah memperlihatkan kegusaran Jepara diambil oleh
Demak, Tuan Syahbandar. Jepara direlakan, karena Demak
Islam yang mengambil. Orang bilang Tuban bersiap-siap
terhadap Peranggi.”
“Bodoh, kau, Yakub. Mari aku bilangi. Tak kau lihat
tadi Sayid palsu Habibullah Almasawa sudah mulai
mengiringkan Sang Adipati?”
“Semua orang sudah melihat, Tuan.”
“Tandanya dia akan gantikan aku jadi Syahbandar
Tuban.”
“Tidak mungkin, Tuan.”
“Untuk melayani kapal-kapal Peranggi dan Ispanya. Dia
tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah m engujinya, dan
dia dianggap lulus. Maka tak m ungkin Sang Adipati punya
sikap terhadap Peranggi atau Ispanya. Dia sendiri kafir!
Dan akan mati sebagai kafir! Dia munafik, kafir yang
munafik. Pada saudagar-saudagar Islam ia perlihatkan diri
seorang Islam demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar,
dan persembahan. Berapa perempuannya? Tak ada orang
bisa menghitung.” Bisikannya semakin mengandung
am arah, “Coba, orang-orang lain diperintahkannya
bersembahyang untuknya, yang Buddha, yang Wisynu,
yang Syiwa. Juga mandi junub, Yakub, dia tak lakukan
sendiri, orang lain harus mewakilinya.”
“Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang Adipati
itu. Tapi bagaimana pun, Tuan, Sayid itu takkan mungkin
dapat menggantikan Tuan.”
“Mengapa tidak.”
“Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi
Syahbandar Tuban, biar pun Sang Adipati menghendaki.
Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, Yakub,
masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan
bagaimana jalan dan caranya.”
Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan,
semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru
bertemu setelah berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana
tertimpalah pada malam itu juga: Sayid Habibullah
Almasawa disingkirkan dari Tuban, hidup atau mati.
Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan setelititelitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai
sepenuhnya. Dan waktu Syahbandar akan pulang terdengar
suara Yakub yang agak keras: “Nanti dulu, Tuan. Belum
lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si Yakub miskin dan
teman-tem annya.”
“Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut
biaya. Berapa kau kehendaki?”
“Lima dinar, Tuan.”
“Husy. Dengan lim a dinar aku bisa beli kepalamu
sampai kepala nenekmu sendiri.”
“Uah, uah,” kemudian Yakub tertawa senang, “hanya
lim a dinar harga jabatan T uan? Tinggal pilih, Tuan. Yakub
sih, sekedar tenaga murah.”
Rangga Iskak berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya:
“Dalam waktu berapa hari semua selesai?”
“Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten,
jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.”
“Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi
tanpa menoleh lagi.
Yakub tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan
mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam
pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus
keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau
emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar
buaya darat!”
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud AlBadaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa masih
mendengkur di gandok belakang kadipaten….
0o-dw-o0
5. Idayu dan G aleng
Pagihari.
Semua orang datang ke alun-alun mem bawa bekal
makan.
Pelabuhan
sunyi.
Jalan-jalan
senyap.
Semua
berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri
keputusan Sang Adipati di hadapan para petanding.
Alun-alun lebih ram ai daripada kemarin atau kemarin
dulu. Bangsal-bangsal pertunjukan telah terbongkar. Dan
orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli
rakyat biasa saudagar ataupun orang asing.
Penduduk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya
penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya
Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir.
Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan
tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bungabungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan
diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian
adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada
manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah
wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya.
Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para
peserta pertandingan telah duduk di dalam pendopo
kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi
sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar
tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris
orang. Semua yang duduk di atas rumputan mem usatkan
pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari
dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar
mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di manamana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan
destarnya. Dari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit
sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan m enyerukan
percakapan yang terjadi di pendopo nanti.
Di dalam pendopo sendiri Sang Adipati telah duduk di
atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk
bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari
kebiasaan, Tholib Sungkar Az-Zubaid mendapat kursi kayu.
Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak
mendapat kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di
pinggir kiri, dan dengan demikian mendapat kebebasan
menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu.
Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin
had tangannya semakin mendekati bandarku juga. Dengan
dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan
terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segeram an dan
kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu
mendarat di Tuban. Sekarang dia mendapatkan bangku
pula! Alam at Sang Adipati telah jatuh ke dalam
genggam annya. Keparat! Laknat!
Dan para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu
akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti
mungkin akan diumumkan.
Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai,
dengan lisan telah mem persembahkan nama para juara
yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para
peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para
peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang
lebih jauh. Setiap sesuatu selesai dium umkan sorak-sorai
berderaian mengegongi.
G aleng tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini,
dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak
yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari
Awis Kram bil mem bisu. Seakan semua itu sebagai ucapan
ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang
bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun
terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya.
Nam a para juara telah selesai disebutkan. Orang masih
juga tak dengar nam a Idayu. Seluruh hadirin sunyi
mem bisu dalam kecucukan dan ketegangan. Idayu!
mengapa dia? Mengapa tak disebut? Apa sedang terjadi?
Tapi akhirnya nama itu disebutkan juga: “Juara tiga kali
berturut untuk tari, Idayu, dari desa perbatasan Awis
Kram bil!” Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun.
Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelom bang
semudra, bergulung seperti hendak m embenam bumi.
“Setelah dua puluh tahun ini, muncul, sekarang juara
tiga kali berturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan
nam anya: Idayu. Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang
Adipati Tuban berkenan bertitah….” Sunyi-senyap.
Di dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak hentihentinya m elirik pada T holib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu
sedang duduk tenang menikmati kegembiraan yang
berlangsung di depan matanya sambil mencicipi
kehorm atan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi
kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang
atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan,
dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain?
”]uara tiga kali berturut” Sang Adipati mem ulai dengan
suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut
nam a itu dengan perasaan meresap seakan sedang
mencicipi madu.
Kata-katanya, dengan
gaya dan nada sama,
berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun.
“Ketahuilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak
pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan
tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau!
Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam
hidupnya seorang dewi tiada tandingan.”
Dan kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati
rayuan danpada am anat. Juga sampai sejauh itu Sang
Adipati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan,
atau Allah, atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang
Hyang W idhi. la sengaja hendak m enenggang semua agama
rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau
tam u, bukan sebagai pem eluk sesuatu agama.
“Sang Adipati Tuban,” ia meneruskan, “dan seluruh
negeri Tuban. Idayu, memuja kau. Kami dapat mengerti
mengapa m ereka semua m enghendaki agar kau selalu dapat
dikagumi dan dipuja di ibukota ini”
Sang Adipati berhenti bicara, mem berikan kesempatan
pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang
bersorak ragu, kemudian menggelimbang sejadi-jadinya,
kemudian ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali,
sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk mem beri
peringatan. Lambat-lam bat sorak itu mereda.
Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia
mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia
pandangi Idayu di tempat duduknya dan sedang
mengangkat sembah. G adis perbatasan itu selalu tunduk
menekuri lantai.
“Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui,”
Sang Adipati meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga
setuju.”
Idayu tetap menekuri lantai.
“Orang tua-tua mengerti, Idayu, dan kami, Adipati
Tuban juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga
kali berturut. Idayu! Mengapa kau m enggigil?”
Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada,
berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru.
Sebentar sorak-sorai meledak, kemudian m endadak padam.
Sunyi-senyap.
“Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil.
Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, Idayu. Kebahagiaan
yang terlalu am at sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di
bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah
melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi
keturunanm u. Dengarkan baik-baik, kau. Idayu, juara tiga
kali berturut, kau m endapatkan….”
Juga G aleng menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya
menggeletar, karena cemburu, karena geram, karena
ketiadaan daya menghadapi penguasa m utlak negeri Tuban,
karena tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai katakata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai
pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah
arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan
oleh Rama Cluring? Dengan kekuatan batin luar biasa ia
tindas semua perasaannya. Dan setelah semua tertindas,
dengan malu-m alu muncul ketakutan: ketakutan pada
hukum an yang diancam kan oleh kepala desa. Apakah yang
harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan?
Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukum an
takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja
ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang.
Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan Idayu
sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang
Adipati.
Keringat
tengkuknya.
dingin
mulai
bermanik-manik
pada
Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan:
“Pertam a, dengarkan baik-baik, Idayu dan semua kawula
Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai
penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selam a
dua puluh tahun ini….”
Sorak-sorai. G aleng mengangkat pandang menetak
wajah Sang Adipati.
“… Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta
pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan…
permata….” Sorak-sorai!
“Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau,
pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar…
Ayoh!”
G aleng bukan hanya mengangkat pandang ia
mengangkat kepala untuk m elihat kekasihnya di depan sana
menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa
Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cem buru
menyam bar hati dan mem butakan pandang. Ia angkat
kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak
mau melihat itu. Idayu! Jangan sentuh tangan berkarunia
itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, Idayu.
Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang
pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat Idayu
merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar
mengangkat sembah.
Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada
tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya
tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang
Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke
atasnya.
“Dengan kejuaraanm u, dengan kecantikan, dengan
segala keluw esan dan daya tarik yang ada padamu, kami
ada rencana untukmu.”
Sunyi-senyap.
Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang
terhormat tamu G usti Adipati Tuban, bernam a Sayid
Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan
bersembah.”
“Ya, G usti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!”
Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul
dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun.
“Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban!”
seseorang m emekik.
Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru.
“Titah G usti Adipati selanjum ya,” peseru meneruskan,
“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, Idayu,
hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap,
“hak kehorm atan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak
mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan
kepatuhan yang berlaku.”
Sorak-sorai bergulung-gulung.
Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya
perishya. Mungkin inilah untuk pertam a kali dalam
jabatannya selam a sekian belas tahun ia tidak dapat
menyimak dengan baik. Melihat orang M oro itu m asih juga
duduk
dengan
senangnya,
bahkan
berani-berani
mem persembahkan saran yang sangat mem alukan sebagai
orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap
seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh
pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang
sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar.
Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala
yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh
berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!
Di tempat duduknya, di belakang Idayu. G aleng merasa
seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis
Kram bil beringsut mendekatinya.
“Aku ikut mem ohon untuk kebahagiaanmu, Kang
G aleng” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya
lengan juara gulat itu.
G aleng mem balas hiburan dengan meletakkan tangan
pada lengan orang itu. Berbisik mem balas: “Hidup atau
mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.”
Dan Idayu masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia
masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati.
Semua m ata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya.
Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid
mem andangi gadis itu dengan m ata m enyala-nyala menelan
seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam
diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata
yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu
mem ancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus,
bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih
daripada itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku.
Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar.
Kemudian: “Mengapa kau menangis, Idayu?” para peseru
meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang
berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar m enunggu
permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu,
puaskan tangismu, juara, karena kebahagiaan yang lebih
besar lagi sedang menunggum u. Juga semua kawula Tuban
ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik
matari di alun-alun sana, Idayu!”
G aleng mem usatkan pandang pada Sang Adipati,
penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung
Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan
dirinya, ia akan lompat, mem atahkan lehernya, dan
merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung
tom bak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan
dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan
kehorm atan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,”
Rama Cluring merestui sebelum meninggalnya. “Semoga
keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu
mengem balikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang.”
Rama Cluring lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak
yang kini dihadapinya.
Para punggawa tersenyum -senyum dalam hati, juga para
pembesar, mengetahui betapa ramah dan manis Sang
Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan
kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.
”Sudah siapkah kau, Idayu?” Sang Adipati bertanya
lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa
menjauh lagi? Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan
airmatamu?!”
Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali
menyusul. “Ayoh persembahkan permohonan.”
“Ampun! G usti Adipati Tuban sesembahan patik,”
akhirnya keluar juga kata-kata Idayu yang menggigil
tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbatabata. “Apa yang patik akan persembahkan,… sebagai
permohonan….”
G aleng mengepalkan tinjunya.
menggigil. Otot-otot yang kukuh
menahan gelom bang perasaan yang
gebu. Mengapa lama betul Idayu
katanya?
Kembali tubuhnya
ternyata tak kuasa
mem ukul menggebumenyelesaikan kata-
“Harapan patik… semoga permohonan patik… yang
tiada sepertinya takkan m enggusarkan G usti Adipati Tuban
sesembahan patik.” Kata-kata Idayu tersekat m acat.
Rangga lskak sekali lagi m elirik pada m usuhnya. Ia telah
serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia
bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit,
mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran
bisa ular, yang biasa dibawa ke m ana-mana oleh petualangpetualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantauperantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba
keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya
sebentar terkejut, kemudian seluruh jaringan syarafnya akan
lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah Syahbandar
lama atau baru, karena ia tetap dan akan tetap jadi
Syahbandar Tuban. Tetapi di m ana Yakub? Mengapa ia tak
juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan
tugasnya?
Ham pir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang
peseru meneruskan: “Ayoh, Idayu…!”
Sekarang Idayu berdatang sembah: “Ampunilah patik, ya
G usti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak
menggusarkan G usti. Permohonan patik yang tidak
sepertinya adalah…”
“Betapa susah berhadapan dengan G usti Adipati”
seseorang m enyeletuk.
“Diam!” bentak seorang peseru.
“Nah, aku teruskan persembahan Idayu. Dengarkan…
adalah… adalah… G usti Adipati Tuban sendiri.. adalah…
Kakang G aleng… Juara gulat!”
Sekarang G usti Adipati Tuban bertanya: “Kami tidak
mengerti, Idayu. Apa maksudmu!?”
Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun m engerti belaka.
Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun
lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka
berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak
mampu mem adam kan keriuhan. Juga yang sakit di atas
tandu-tandu mem erlukan tersenyum dan bersyukur pada
Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud Idayu.
Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga
mem uja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan
ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak
untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada
kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil.
Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang
Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa
maksudm u? Katakan yang jelas!”
G aleng tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa
disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh setelah
menyeberangi pipinya, mem basahi lengan tern an yang
menghiburnya.
Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang
Kamajaya, untuk m endapatkan kekuatan cinta semacam itu
juga. Kemudian ia belai-belai punggung G aleng.
“Patik memohon, ya G usti Adipati Tuban sesembahan
patik,’ mendadak suara Idayu menjadi keras, kuat dan
tabah setelah diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga G usti
Adipati Tuban berkenan, G usti Adipati Tuban sendiri,
merestui patik dan Kakang G aleng sebagai istri dan suami.”
Idayu telah mempersembahkan keinginannya sebagai
hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati
semakin m emahami persembahan itu. Kedua belah kakinya
yang tidak bergerak selam a ini dilempangkan kejang.
Matanya m embeliak. T angan kanannya berayun, kemudian
mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah.
Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam .
Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang.
Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala
untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu.
Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak
tangan kiri, meringis.
Di alun-alun suasana kembali mem buncah riuh-rendah.
Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu.
Nam pak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkam an
pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di
samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki
letak kaki.
G elom bang
sorak-sorai:
masih
membeludag
mem andangi gunung melerus. Canang peringatan yang
makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu,
I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti
kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa,
tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati.
Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedansedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya
sebagai makhluk pilihan para dewa.
Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup
mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Mem ohon:
“Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah
bagi cinta setia. Kau pilih petani desa daripada adipati
berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman
seindah ini.”
Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai
keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing
dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli
pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi
pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa
Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa
agam a mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam.
Kesyahduan m enguasai bumi, langit dan manusia Tuban.
Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. M endengar
mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi
lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di
hadapan Idayu. Dan waktu m azmur selesai ia angkat kedua
belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu
pada tangan berkuasa itu.
Orang telah bayangkan Idayu mati di ujung keris,
menjelempah bermandi darah, karena demikian mem ang
adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, G aleng akan
maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga
menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang
berdebaran kencang.
Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, Idayu,
wanita utama Awis Kram bil dan Tuban. Seluruh Tuban
bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian
puja untukku…, Dengarkan
orang bersorak-sorai
untukmu….” kata-kata Sang Adipati tersekat pada
tenggorokan.
Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua
kali – suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap.
Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati
langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati
meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “Idayu, kekasih
Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan G aleng.”
Sorak-sorai gila di alun-alun.
“G aleng! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!”
G aleng maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti
katak, menyembah beberapa kail Kemudian duduk di
samping kekasihnya.
“Benarkah ini yang bernam a G aleng, Idayu? Pria yang
engkau cintai?”
“Benar, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.”
“Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.”
“Benar, G usti, tidak keliru.”
“Tidakkah kau akan m enyesal, Idayu?”
“Demi Hyang Widhi, tidak, G usti Adipati sesembahan
patik”
“Katakan ‘demi Allah’”, Tholib Sungkar Az-Zubaid
berseru dari tempatnya.
“Demi Allah, ya G usti.”
“Kau yang bemam a G aleng dari Awis Kram bil?”
“Inilah patik, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.”
“Jadi kaukah kekasih Idayu?”
“Demikian adanya, G usti.”
Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: “Dengarkan
dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan
kekuasaan kami, di kawinkan juara tari Idayu dengan juara
gulat G aleng, dua-duanya dari desa Awis Kram bil.”
Sorak-sorai bersyukur mem bubung ke angkasa.
“Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia
akan m enjadi keturunan kalian….”
“Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga Iskak.
Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati:
”Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu
mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku Islam pula.
Munafik. Kufur.”
‘Tidak syah!” gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam
bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan
hak dan hukum. Ya, ya, mem ang cerdik dia, Idayu dengan
begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap
milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang
akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat
yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar.
Otakmu cuma sebesar biji korma kering.
“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.”
Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat
sembah. Kemudian dengan suara pelahan: “Ampun, G usti
Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah G usti
ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat
mem uja cinta yang murni, ya G usti. Dan bukan tanpa
bahaya Idayu m emilih suaminya.”
Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo,
mem benarkan Sang Patih. Kemudian hening.
“Juga bukan tanpa bahaya bagi G aleng. Ia pun telah
menunjukkan kejantanan, G usti Adipati Tuban sesembahan
patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau
bukan karena pemurah G usti, bukan kekasih ia dapatkan,
tapi ujung keris.”
“Kau benar, Kakang Patih.”
“Ampun, G usti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari
penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini
penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah
pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan.
Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan
mereka.”
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan
wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka
bermaksud menyum bangkan tenaga juga. Maka jadilah da
pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul kemudian
datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan
minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh
tungku.
Di dalam rumah-rum ah Tuban Kota orang tua-tua
mem erlukan menyanyikan kembali mamur KamaratihKamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta
menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an
mereka sendiri.
“Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah
wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani
hadapi segala, term asuk orang yang paling berkuasa di
bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi,
karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir.
Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.
Malam itu Idayu dan G aleng mendapat tempat sendirisendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut
bagi dua orang anak desa perbatasan.
Idayu dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya
dengan seribu satu nasihat, mem andikannya, dalam
jambang air bunga, mem otongi bagian-bagian runcing dari
giginya, kemudian memaraminya untuk mendapatkan kulit
yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.
Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya.
Ia berbahagia karena dapat m embahagian kekasihnya.
Selesai berparam, seorang nenek m enyanyikan untuknya
lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya,
kemudian nenek itu menerangkan artinya dan mem berikan
tafsiran. Ia m endengarkan lebih khidmat dari pada upacaraupacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam
upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari
suam inya ia akan kembali ke desa mem bawa keharum an
dan kebesaran.
Lain halnya dengan G aleng. Sekalipun ia dilingkari priapria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti
seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali,
ingatannya tak juga mau lepas dari Ram a Cluring dan
segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa
itu m embuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan.
Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati
sekarang ini hanya satu muslihat untuk mem usnahkannya
dari muka bumi.
Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan
tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang
melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain
pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan
nasihat m ereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti
burung berkicau.
G aleng berusaha keras m engingat-ingat kembali….
Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah
serba putih karena tuanya dengan cepat mengutip Negara
Kertagam a dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan,
negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di
bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut
Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun
hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga
hendak mendengarkan
centa-berangkai Panji dan
Candrakirana.
“Selama kalian tak mampu melihat dunia, selam a itu
kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai
kawula, tetapi sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam
perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari
kalian. Barang bakal dan barang jadi…!”
“Jangan ditahan kaki ini, G aleng biar aku tekuk,” salah
seorang pemijit menegur.
Dan G aleng mengendorkan otot-otot kakinya.
”Bagian ini sangat tegang, G aleng, terlalu lelah.”
Kembali ia mengenangkan mendiang Rama Cluring:
Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri,
kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di
mana-mana, dan juga di mana-m ana menimbulkan
kekagum an orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka
yang tak membutuhkan kebenaran….
“Telentang, kau, G aleng!”
Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher
sekarang m endapat giliran.
“Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar
nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.”
“Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana,” ia
menjawabi.
Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu m enusuk. Ia
merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di
alam m impi…
Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan
belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar
gam elan mulai bertalu, mendesak deburan laut,
mem bangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas
mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepateepat orang selesaikan sarapan, mem bersihkan rumah dan
mem buka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih
dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya
juga mem asuki rumah dan hati mereka. Kemudian mereka
mem bersihkan halam an dan menaburkan bunga-bungaan
dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang.
Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut.
Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai
wama um bai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh
pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur
kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu
Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.
Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di
pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan
datang ke kam ar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan
orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma.
Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Som a kami ubah
jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan
pucat, mungkin malam-m alam tidak beradu. Dengan
tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala
dua orang pengantin desa itu.
Bunyi gam elan semakin riuh – dari mana-mana. Dalam
rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling
depan adalah gam elan mereka, dengan atau tanpa penari,
untuk menyam but keluarnya pengantin dan juga untuk
mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak
dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah
riang sekali karena terlalu tua dan terlalu bersemangat
orang mem ukulnya.
Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak gam e\ an
dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera
turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung
kemudian padam. H idangan pagi yanghangat m enguap-uap
itu mem bikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain.
Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gulasantan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi
menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang
berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu
didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang
mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. G ulai ayam,
kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu
perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang
untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan:
tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar
gemilang.
Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten,
mem asuki pelataran depan. Sebentar semua tangan
melambai-lambai menyam but. Seorang pendeta Buddha
mem bunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah
mem ercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang
dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu m enitikan jalanan
itu. Akan ditempuh pengantin.
Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantramantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti
berbunyi,
seorang-orang tua, mem ekik mem ecah
keheningan: “Sambutl” G iring-giring. Berbunyi lagi.
Berhenti. “Sam but!” pekik orang tua itu. G iring-giring.
Pekikan. G iring-giring. Pekikan G umam Pendeta Buddha.
Pekikan. Susul-menyusul kemudian bergulung jadi nyanyi
bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu
di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut
menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah
terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi.
Kemudian semua tangan terangkat ke langit seakan hendak
menerima jabatan dari Kamajaya dan Kam aratih yang akan
turun ke bum i. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para
penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai
berjalan pelan menuju ke gapura.
Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para
pembesar dibelakangnya. Ia mem ang kelihatan pucat. Dan
tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu
itu sendiri terbuat daripada kayu berukir. Atap dan
dindmgnya terbuat daripada sutra kuning tipis terpilih dan
berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru
laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati
berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung
dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala
semua m anusia.
Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gam elan mulai riuh
berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang
penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih
menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari
lain mereka mem ainkan riwayat G aleng dan Idayu di
sepanjang jalan arak-arakan.
Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka
tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu.
Sebentar jalan.
Idayu mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat.
Perhiasan dari mas dan permata mem ancar gemerlapan
pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. G aleng
bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas
dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula
dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari
mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo
bertatahkan intan baiduri.
Mem ang
kerajaan.
mereka
tak
ubahnya
dengan
pengantin
Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai
menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi
dipertahankan.
G adis-gadis
dan
pemuda-pemuda
bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu
nam pak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan,
oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin
itu tetap agung duduk di tempatnya.
Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela
Baginda di pelabuhan. G adis-gadis mulai semakin
mendesak untuk menghampiri Idayu. Mereka tak dapat
menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk
mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka
berebut dahulu untuk m enyentuh G aleng.
Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu
lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak
melarang. Suaranya lenyap dalam gelom bang gamelan dan
deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.
Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban
mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun
mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan
berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit
pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus
disintuh.
Mengerti akan keinginan mereka, Idayu dan G aleng
mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan
para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak
berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bungabungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan
lenyap dari penglihatan m ata.
Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan
makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang
mulai m enyerang dinding dan atap tandu.
Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan
pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan
angin.
Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gam elan terus
juga bertalu. Dan para penari terus juga berlengganglenggok sepasang jalan.
Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para
perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha m engam bilalih tugas mem ikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat
menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat
serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di
udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.
Dari mana-mana terdengar orang mem ekik melarang.
G emuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan
antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara,
menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin
terguncang-guncang.
Idayu lupa pada sikap resminya. Tangannya
berpegangan erat-erat pada tiang tandu. G aleng berusaha
mem pertahankan keselmbangannya dengan kedua belah
tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran
heran bertanya-tanya.
Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut
seorang nenek pengawal Idayu: “Dewa Batara! Jangan
biarkan jatuh tandu itu’.”
Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian
hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli
pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika.
G amelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun
mem beku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan
teriknya.
Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu,
kemudian meraung: “Ampun, Dewa Batara, ampun!”
Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan
kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara
sedu-sedan dan mem ohon ampun pada Hyang Widhi mulai
menggelom bang.
Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi
pengantin yang terjatuh dari atas tandu.
Ketegangan dan kekejangan.
Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para
dewa, karena mem biarkan pengantin kekasih Kamajaya
dan Kamaratih terguling dari kedudukannya.
Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari manamana m embubung dengung m antra-mantra.
Dalam kerumunan orang Idayu berdiri dari tanah,
G aleng melom pat bangun. Kedua-duanya diam tidak
bicara. Bersam a-sam a mereka memandang langit dan
menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak
menyam but tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru
setelah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami
tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa
harus dikerjakan: mem betulkan tandu agar pengantin naik
lagi. G aleng dan Idayu menolak.
Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka
meneruskan perjalanan. Keram aian membuncah lagi. Tapi
para pengiring tepat di belakang pengantin diam mem bisu.
Pengantin menolak ditunjang.
Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air
bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua
mem bawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali,
kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup
bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa
ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit
ke permukaan air.
Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah mem anjang
pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut,
seperti sedang m eneropong hari depan sendiri.
Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun
bersama om bak, bergerak pelahan, makin lama makin
menjauhi pantai.
Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya
bunga-bungaan. Dan yang m ereka awasi tak ada yang bakal
kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh,
melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh
… jauh….
0o-dw-o0
6. A dipati Tuban Arya Tumenggung Wilw atikta
Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan
orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung
berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang
yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah
yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa am an
karena darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya
penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban.
Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan
Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua
berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur
yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa
Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama
Kartarajasa.
Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak
mem berikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan
yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga
Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda
menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah
karena kemewahan dan penghorm atan dan sanjungan yang
berlebihan.
Tetapi, pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini,
demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit
biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya
jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka
tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya
semula. Kesetiaan mem ang bisa diharapkan dari mereka,
tetapi kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang
bijaksana.
Juga Sang Adipati Tuban tahu dari guru praja: sejak
masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa
telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara
dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia
sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke
negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin
gerakan mem persatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana,
Pahang dan ikut mem bangunkan persekutuan militer
dengan Campa. Setelah menjadi raja Majapahit pertama,
Sri Baginda bercita-cita hendak mem bangunkan kekaisaran
dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.
Dari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda
Kartarajasa mem punyai dua jalan untuk mempersatukan
Nusantara. Pertama
jalan kecil karena
keciilah
kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok –
dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat
untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang
kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemungkinannya,
yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke
Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak
terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat
menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai.
Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa
mengawini putri M elayu bergelar Dara Petak artinya G adis
Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala
G emit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjam in
kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian
menyelamatkan Selat Sem enanjung.
Para gubernur bekas teman-tem an seperjuangan Sri
Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini.
Biarpun permaisuri G ayatri tidak m elahirkan seorang putra,
hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri
mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri
Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah
Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga
benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga? Mereka
tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus
jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat
mem pertahankan Selat Sem enanjung.
Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda,
tapi semangat m enjadi-jadi.
G ubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu,
kata guru praja pada Sang Adipati semasa masih kanakkanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang
dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala G emit jadi putra
mahkota. Mem ang pandangan mereka hanya seluas
desanya sendiri. G ubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling
keras menentang, ditindak dengan ekspedisi m iliter oleh Sri
Baginda. Ia m elawan dengan gagah-berani, tetapi sia-sia.
Pengganti Ranggalawe itulah m oyang Sang Adipati.
Sang Adipati Tuban Arya Teja, karena kebijaksanaan
dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat
jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah
sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda
Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih
Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka
untuk mem bangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah
semangat, perhatiannya kemudian ia tumpahkan pada
wilayahnya sendiri berdasarkan darm araja, yakni negeri
Tuban. Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari
selam a M ajapahit yang sakit-sakitan itu m asih ada. Ia m ulai
bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang
mem berikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk
mem berikan perkampungan dan pengajaran Islam di
pelabuhan utara M ajapahit, G resik. Ialah yang m embentuk
persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk
semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara
Islam sam bil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit.
Majapahit telah lama runtuh. Tetapi Adipati Tuban tak
mampu m elepaskan diri dari bentuk tatap raja M ajapahit. Ia
pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang
kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang
Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang
berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban
adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara
mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan.
Dan sekarang, bahwa ia mengangkat Idayu dan G aleng
pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga karena
tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat
lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.
Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernahmenggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan
tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang
kemungkinan yang lebih baik. M aka begitu orang bersoraksorai di alun-alun dan mem benarkan Idayu, seketika itu
juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan
impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan
bernam a Idayu dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai
itu.
Dan ia tahu, peristiwa Idayu-G aleng tak boleh berhenti
sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk
mem elihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka
G aleng harus juga mendapat jabatan yang patut.
Setelah upacara perkawinan agung selesai sering ia
duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di
tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat
kehebatan berahinya pada tubuh Idayu. Tetapi setelah
kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala,
menyam bar dan mem bakar dalam dada tuanya.
Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat
mem bantunya.
Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak
dengan bayangan penari jelita itu. G erak-gerak yang begitu
mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang…
betapa… betapa… tidak, ia meyakinkan diri setelah teringat
pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek
Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak
kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia
kebaskan berahinya.
Selama Idayu, seorang wanita, apakah bedanya dengan
wanita lain? Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa
didapatkan lagi?
Dan dialahkan pikirannya sekarang pada G aleng. Di
mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya
tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan
kemam puan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan
G ajah Mada sebagai seseorang? Nam un wajah dunia telah
berubah karena mereka berdua, anak-anak desa itu:
Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai,
Jalan besar terbuka, Majapahit jaya.
Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan
sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan
Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya
hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang
mampu melawan dia. Tuban pun tidak. Tetapi selam a
Tuban di dalam tanganku, kita akan mem iliki harga apa
pun juga.
0o-dw-o0
Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat
sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah:
“Ya, G aleng, pengantin baru yang berbahagia, adakah
sesuatu hendak kau persembahkan?”
Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah
mencoba m enyusun kata.
“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.
Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah
mem ohon perkenan dari G usti Adipati Tuban…”
Keringat dingin sudah mem basahi seluruh tubuh pegulat
itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam
kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu
terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah
hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang
adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu
datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui
segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya
untuk
melakukan
sesuatu
kerja
menyebabkan
kegelisahannya semakin m enjadi-jadi.
“Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah
ada…?”
“Lebih dari cukup, G usti, patik hanyalah petani biasa.
Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, G usti.”
“Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya?
Bukankah kau m engabdi pada adipatimu?”
Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya.
Badannya sudah kuyup.
“Kau, G aleng, kembali ke tempatm u. Jangan tinggalkan
pengantinm u. Kau tidak kembali ke desamu.”
Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia
mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat
badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh.
Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di
bawahnya itu – bahu pegulat yang kukuh seperti baja.
Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati.
Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa.
Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan mem bersihkan
gedung bekas asram a telah menyelesaikan tugasnya. Sang
Adipati sendiri yang telah mem erintah mereka. Dan setelah
itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi
Rangga Iskak ke bekas asram a tersebut. Sang Adipati
menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan
sepatutnya. “Ya, G aleng, pergi, kau!” perintah Sang
Adipati.
Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan
menyembah lagi, kemudian hilang dari penglihatan Sang
Adipati.
Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap
untuk mem protes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit,
berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke
kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara
binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si
gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat
pemelihara itu kemudian duduk di samping binatangnya,
menyembah pada Sang Adipati. G ajah itu sendiri
mengangkat belalai.
Sang Adipati tertawa terhibur.
0o-dw-o0
Tidak lebih dari lima hari kemudian, di taman di tentang
kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan
rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir
ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa
dan bertulisan Jawa.
Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan
Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar M alaka
berkebangsaan Arab bernam a Sayid Mahm ud Al-Badaiwi.
Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok,
setengah um ur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk
yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali.
Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat
orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan
tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang.
Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat
kepercayaan keluar-m asuk istana, dan
diangkat menjadi wazir.
hampir-hampir
Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarahsedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati
terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban,
karena orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah
perlindungan Peranggi.
Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang
dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa.
Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak.
Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang
lebih tinggi daripada duta rahasia Sultan Mahmud Syah.
Dan setelah mem bacanya surat kertas itu dilipatnya baikbaik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta
berkata dalam Melayu: “Kami telah baca baik-baik surat
ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan
Mahm ud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama
Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan
Duta?”
“Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran
Ispanya, negerinya Andalusia, G usti.”
“Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?”
“Barangtentu, G usti.”
“Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi?”
“Jelas seperti matari, G usti, karena dia dapat juga
melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu.”
“Mengapa Tuan Duta m engandaikan dia di sini?”
“Wara-wara G usti Adipati Tuban di atas Malaka telah
didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban
yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi,
G usti. Dia akan datang kemari.”
“Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan
mengubah namanya sekiranya mem asuki Tuban?”
“Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga
bertugas menjejak bekas Syahbandar M alaka?”
“Barang tentu, G usti. Patik telah singgah di Pasai,
Jam bi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju
Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana
pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar
bagi nyawanya. Dan ternyata, G usti, benar belaka, Sayid
Mahm ud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi
G usti Adipati Tuban, bahkan telah G usti angkat jadi
Syahbandar Tuban.”
“Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu
tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang? Sayid
Habibullah Almasawa?”
“Betul, G usti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas
Syahbandar Malaka.”
“Dan setelah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini,
adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami?”
“Kalau sekiranya berkenan di hati G usti Adipati
Tuban… ampun, G usti, bukan buatan terkejut patik
melihatnya di bandar G usti… dia tak mengenal patik tapi
patik mengenal dia… dalam hati patik mem bersitlah satu
doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang
Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan
betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan
kepada patik,” Duta rahasia itu terdiam.
Nam pak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya
harapan.
Sang Adipati mem buang pandang ke arah kandang
gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam
walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang
sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang
kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Adipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam.
Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada
orang di hadapannya itu.
Matari hampir tenggelam . Percakapan rahasia itu
terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu
mem persembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan
Arab
dan
berbulu
mas
bertatahkan
zamrud.
”Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka
kerajaan Malaka ini, G usti, sebagai harapan dapat
terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan,
untuk tidak menyinggahi Malaka selam a dikuasai
Peranggi.”
“Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah
pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban
Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan
sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan
Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia m elakukan
pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana
persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan?”
“Ampun, G usti, Adipati, tentang itu pastikah bukan
patik yang harus mempersembahkan.”
Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari
tenggelam sam a sekali.
Nyamuk mulai berkeliaran di tam an. Nam un Sang
Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu.
Betapa bodoh mengurusi yang telah masuk masa silam,
pikirnya.
Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan
menitahkan agar G aleng datang menghadap. Dan waktu
pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia
mem ulai: “G aleng, apa yang kau ketahui dari kebesaran
masa silam ?”
Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan
ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan:
“Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”
G aleng tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam
menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa
daya-perlawanannya menjadi layu setelah mem peristri
Idayu, dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman.
“Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan
malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang Adipati,
sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacaubalau. Mengetahui G aleng tak juga berdatang sembah, ia
mendesak: “Cepat, G aleng. Kami tahu, kau telah banyak
mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain
dari kau dan Idayu yang telah mengurus Rama Cluring
sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek
gila kebesaran m asa silam itu. Persembahkan!”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.” suara
juara gulat itu gemetar.
“Kau takut, G aleng. Juara gulat yang takut bersembah!”
Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya.
Suaranya menjadi agak lunak. “Dulu guru-guru pembicara
seperti Rama Cluring banyak berkeliaran dan mem bual di
kota-kota. Cluring itu mungkin sisa dari gerom bolan
mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh
oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara
berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil.
Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu gurupembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.”
“Ampun, G usti, kata Rama Cluring, hendaknya orang
mem anggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam
pada guagarba hari depan?”
“Dari seluruh bualan Cluring hanya itu saja yang teringat
olehmu?”
Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu
seakan bersarang dalam kepalanya.
“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah,
bagaimana pun kau m emanggil-manggil pada guagarba hari
depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi.
Kau percaya pada kata-kata Rama Cluring?”
Kepala G aleng semakin m endekati tanah.
“Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin
kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan
pembicara-pembicara mem bual?”
“Ampun, G usti, mem ang demikian halnya.”
“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu
datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara
gulat?”
“Patik ada di sini, G usti!”
“Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat,
badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki
pikiranmu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak
mengetahui, karena itu sering mendengarkan guru
berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, karena kau tak
dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami
menghendaki jiwamu, karena tak ada kebesaran datang
tanpa petaruh jiwa. G aleng, kembalikan kejayaan dan
kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini
untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga,
kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau
berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri,
gandok Islam. Dengan ototm u yang kuat lindungi jiwa
Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan
pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar
dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa
Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah
Almasawa. Berangkat!”
Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan
berjaian tenang-tenang m asuk ke kadipaten.
Seminggu kemudian di taman itu juga Sang Adipati
menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu.
Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang
sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia
belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta
berdiri di belakangnya.
“Ya, G usti, patik adalah utusan pribadi G usti Kanjeng
Adipati Unus dari Jepara. Nam a patik Aji Usup, G usti.”
‘Teruskan, Aji Usup yang terhormat.”
“Salam bahagia dari G usti Kanjeng Jepara, dan
pesan….” Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam
menahan kemarahan. Matanya mem belalak: “Pesan? Pesan
untuk Adipati Tuban? Ataukah maksud Tuan ancaman?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu
mem ang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik
datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari
tindakan Demak, G usti.”
“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Mem asuki
dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka
gelanggang perkelahian? Hanya karena ingin punya bandar
sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah
Tuban pernah menjam ah Demak dengan kuda atau
gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya,
mem anggil kaki dan kuda dan gajah Tuban?”
“Ampun, G usti, Demak tahu benar akan kekuatan
perkasa dari Tuban.”
Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup
mengikuti dari belakang.
“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh
Demak rata dengan tanah.”
“Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, G usti
Adipati Tuban, ampuni patik.”
“Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan
perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang
mem erintah Demak?” Sang Adipati memilin-milin kumis
putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tum pas tuan
Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai
raja?”
“Inilah nyawa patik, G usti, bila G usti perlukan untuk
ditumpas, patik persembahkan dengan rela.”
“Sungguh berani m ati, kau, Tuan Duta.”
“Karena mem ang ada yang lebih penting daripada hati
mati, G usti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.”
“Apakah karena mem ikirkan nasib seluruh Jawa, maka
Demak m erasa dibenarkan mem asuki Jepara?”
“Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan G usti Adipati
Tuban. Ampun, G usti.”
“Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia
sendiri tahu tentang nasib Jawa?”
“Jauh dari itu, ya G usti Adipati Tuban yang mulia,”
susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan
Demak ke seberang dan Atas Angin, G usti….”
“Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari
Sam po Toalang?” Sang Adipati mem otong. “Adakah
Sam po Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami
hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji
Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo
Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang
Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh
karenanya. Bandamya tetap jaya. Kemudian Lao Sam atau
Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban.
Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam?
Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami
ijinkan. Tuban takkan jadi pudar karenanya. Bukankah
kerajaan Demak didirikan untuk mem bentengi Semarang
dari Tuban? Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng
sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat
mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara.”
“Patik, G usti.”
“Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan
Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu
kesopanan itu.”
“Patik, G usti.”
“Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah
lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang belayar ke
sebelah timur pasti kami hancurkan.”
“Yang demikian telah terjadi, G usti.”
“Dan akan terjadi seterusnya selam a kami masih hidup.”
“Patik, G usti.”
“Sam pai Semarang-Demak mengem balikan Jepara pada
kami dengan hormat dan patut.”
“Patik, G usti.”
Sang Adipati berjalan menuju ke tam an di tentang
kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada
bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding
kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami
pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan.
Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah
kami.”
“Pasti, G usti.”
Agak lam a Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan
segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang.
Kemudian: “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?”
“Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin
telah mem bawa keterangan-keterangan penting Peranggi
akan menguasai Jawa, G usti Adipati Tuban yang mulia.
Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru
mem asuki Jepara. Peranggi tidak boleh mem asuki tengahtengah pulau Jawa ini, G usti. Sekali masuk, seluruh Jawa
akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak mem asuki
Jepara dengan sangat terburu-buru.”
“Jauh manakah Tuban daripada negeri Peranggi, maka
tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta Jepara,
datang jauh setelah adipatimu mem asuki wilayah kami?
Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang
mem ohon am pun. Dan sekarang kau datang, bukankah
untuk itu?”
“Patik datang menghadap memang untuk urusan yang
agak lain, G usti, ampunilah patik.”
“Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!”
“Ampun, G usti, utusan Demak, dari seberang dan Atas
Angin
yang datang dalam
bulan
ini,
G usti,
mem persembahkan pada G usti Kanjeng Sultan Demak,
sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan
persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa
jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran
G usti Adipati yang mendalam . Setidak-tidaknya karena
Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan
dengan Malaka.”
“Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat.”
“G usti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya
persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada
Jepara.”
Sang Adipati tersenyum puas.
“Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.”
“Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain,
Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan
seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra
mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu
pernah dilakukan oleh Adipati Tuban?”
“Tidak, G usti Adipati Tuban.”
“Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan
G lagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah
dusun Demak?”
“Tidak, G usti Adipati Tuban.”
“Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan
dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara
yang dikinm kan pada Kami?”
”Tidak, G usti. Soalnya hanya karena G usti Kanjeng
Adipati Unus yang mengurusi soal-soal manca-praja, maka
patik dikirimkan dari Jepara kemari.”
“Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah
dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit.
Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toalang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayangbayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh
berbelit.”
“Ampun, G usti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah
keterangan satu-satunya dan tiada lain, G usti.”
“Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan
sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit karena dia
mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam.
Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada SyiwaBuddha.”
“Patik, gusti.”
“Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi
pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. Majapahit
yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.”
“Ampun, G usti, patik tidak ada wewenang untuk
berselisih. Barang tentu G usti Adipati benar.”
“Ya, dan Demak seluruhnya keliru.”
“Ampun, G usti Adipati benar.”
“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?”
“Masih tetap soal Peranggi, G usti. Sekiranya G usti
Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihanperselisihan kecil dengan Demak… sekiranya G usti Adipati
ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap
Peranggi dari Malaka… Itulah G usti, yang dipikulkan di
atas pundak patik dari Sultan Demak melalui G usti
Kanjeng Adipati Jepara.”
“Persembahkan, Tuan duta.”
“Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam
satu armada besar, G usti.”
“Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau
mem ang pura-pura bukan kawula Semarang?”
“Ampun, G usti, patik memikul pada bahu patik untuk
jangan sampai menggusarkan hati G usti Adipati Tuban.”
“Tanpa kau pun Demak telah m enggusarkan kami.”
“Ampun, G usti, patik hanya memikul perintah soal
Peranggi.”
“Persembahkan!”
“Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan
Banten, dan Jamto’ dan Riauw dan Aceh akan sanggup
mengusir Peranggi, G usti, kalau or laksanakan. Sekiranya
G usti Adipati berkenan m enyertai.”
Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak m emulai lagi,
menunggu jawaban.
Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu
penguasa Tuban itu berkata: “Datang kau sebulan lagi,
barangkali kami ada jawaban.”
“Dilimpahi oleh Allah hendaknya G usti Adipati Tuban
dengan ram ah dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan
usia panjang sehat dan sejahtera….”
Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat
mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat
sana. Ia takkan mem biarkan siapa pun berjingkrak di atas
kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak
menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi
momok selam a hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung
Wilwatikta di Mahapahit selam a lim a tahun sampai
sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak
menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan
Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan,
Prajawan-prajawan pada mem pergunjingkan jatuhnya
Malaka. Mem ang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi
kemakmuran dunia, hanya karena dilewati rempah-rempah
Nusantara. Tetapi mengapa orang begitu dungu m embatasi
kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata,
seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula
Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke duaduanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula?
Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan
dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami
pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang
tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi!
Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini,
kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba,
terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus!
Sang Adipati mencoba mem bayangkan Adipati Jepara
yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya,
pikirnya, lebih besar dari akalnya. M emang semua nampak
indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri
kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak
naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia
yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan
lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi
Malaka. Tuban takkan binasa karenanya!
Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri.
Dalam
kegelapan
para pengawal pun
bergerak
mengikutinya dari kejauhan. Ia mem asuki daerah
perum ahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya
semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan
sebuah lam pu gantung bersum bu lima.
Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam,
menggam barkan
beberapa
orang
wanita
sedang
bercengkeram a di bawah sebatang pohon jeruk macam di
sebuah tam an larangan.
G ubernur Tuban itu menarik seutas tali yang m enjulur di
atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni.
Segera kemudian pintu berkerait terbuka. Sebidang
pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu
satu terpampang di hadapannya.
Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh
di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya m enekur.
Inilah keputrian atau harem Sang Adipati.
“Bagaimana kalian, Nyi G ede Kati?”
“Karunia dan kemurahan G usti Adipati kuminta tanpa
henti, G usti,” sembah wanita itu.
Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, kemudian
masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi
Ayu Sekar Pinjung.
Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di
pelataran atau seram bi masih tetap bersimpuh di tanah pada
tempat masing-masing. Setelah penguasa itu hilang dalam
bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik
masing-m asing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi G ede
Kati.
Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat
panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan
sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat
puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin
meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya
bundar dan selalu nam pak segar, Matanya agak sipit.
Pandang matanya tenang tetapi nampak tajam menembus
segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat
tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam
dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecilpanjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul,
berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga
berbeda dari para selir Nyi G ede Kati bergigi hitam arang,
sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti
seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau
mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi
G ede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji
jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu.
Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir
tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gam elan di pendopo
pun hanya sayup-sayup.
Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai
tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada
Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki
penguasa itu dengan selembar kain basah.
Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir
kesayangan untuk mem andangi wajahnya. Dan wanita itu
berkata dengan kenesnya,
“Aduh, G usti sesembahan patik, betapa lama patik
menunggu selama ini.”
Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian
bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan
tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling
waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya
ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke
keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang
lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah
peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak
bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat
dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk
mem asang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir
kesayangan. “Awaslah jangan terlena, karena lena adalah
binasa.”
“Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia
mem ancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu
dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau
kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham ?”
“Ampun, G usti, bukan mas dan bukan perang, ya G usti
sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah….”
Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan
didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan
sambil meliak-liuk genit.
“Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu
sangat penting.”
“Ampun,
G usti, adapun
yang hendak patik
persembahkan, ya G usti, G usti sesembahan, bukanlah
sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, G usti.”
Sam bil mem belai-belai ram but selirnya Sang Adipati
bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin
tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan waswaskan?”
“Ampun, G usti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada
bangsa berkulit putih bernam a Peranggi. Kata orang, tiada
tandingan di seantara jagad raya ini.”
“Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.”
“Maka kata orang itu pula, G usti, seluruh dunia
mem berinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya
G usti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang.
Kapal ditudingnya tenggelam, ya G usti.”
Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala
wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?”
“Kami semua takut dan was-was,” selir itu
menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang
Adipati. Kemudian meneruskan dengan sura yang tidak
keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya G usti, sebentar
lagi Peranggi itu akan m enaklukkan juga Tuban.”
Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia
tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di
atas am bin. Kemudian ia berdiri tegak lurus, bertolak
pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar
lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.
Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu
Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun m emerosotkan diri ke
lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki
itu dan mem perdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah
patik, ya G usti.”
“Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya Adipati itu
pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga
bertolak pinggang.
Hanya sedu-sedan yang menjawab.
“Jadi kau tak bermaksud mem persembahkan siapa
orangnya?”
Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar.
Sang Adipati mem bongkok, meraba-raba muka selir
kesayangan. Tangan itu kemudian berhenti pada kuping.
Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah
berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan
sendirinya hendak m empertahankan subangnya. Terlam bat.
Kemudian ia cegah sendiri usahanya.
Nam pak Sang Adipati sedang berusaha menindas
kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang
sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah
tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut
kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan
kegentaran pada seluruh isi kadipaten?
Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia
cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari
dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa
Jawa. Ia mendekati lampu dan mem bacanya. Isinya hanya
sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra
delapan depa, tanpa m enyebut nama seseorang.
Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. Tetapi
kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di
atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta,
sedang Pribumi dengan jelaga.
Ada tangan asing bergerayangan di dalam harem ku, ia
mem utuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak
mendapat jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat
ini?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” suara
Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patik hendak
menyembunyikan
sesuatu
dari
kekuasaan
G usti
sesembahan, mem anglah patik tidak tahu siapa
pengirimnya. Ampun, beribu ampun, G usti.”
“Dari mana kau terima surat dan sutra?”
“Nyi G ede Kati, G usti.”
Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem.
Beberapa hari setelah itu ia duduk di serambi belakang
kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan
oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya
pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi
lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih
kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh G aleng dalam
penggerayangannya di dalam kam ar Syahbandar baru Sayid
Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari
Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan
mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.
Menurut Sang Patih. G aleng telah periksa seluruh kamar
Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan bendabenda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab
dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logamlogam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan
gam bar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya,
setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama
dan gunanya.
Dasar anak desa! Tetapi itu hanya permulaan, gumam
Sang Adipati.
Kemudian diambilnya selembar daun sirih dari nampan
kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong
kecil gam bir di atasnya. Menggulung dan mem amahnya.
Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi.
Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih
mencam puri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak
menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai
Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten.
Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk
melakukan pekerjaan itu.
Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang
wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa.
Tetapi tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang
perhiasan itu diterima oleh Nyi G ede Kati? Dan apa jasa
Nyi G ede pada Syahbandar? Siapa pula pengantar dan
penghubung surat? Ha, barangkali Nyi G ede bertindak
sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan
sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami
sendiri harus dapat temukan penghubung itu.
“Panggil Nyi G ede Kati,” ia berseru, kemudian
mem perhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita
pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan
mengangkat sembah.
Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya
pada peragaan binatang-binatang itu. Baru setelah salah
seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia
menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras,
“Mendekat!” perintahnya keras-keras.
Nyi G ede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga
serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai
tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih
mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga
ia sudah hampir pada kakinya.
“Nyi G ede’ ia berbisik, siapa yang pernah m enyurati kau
dari luar?”
Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu m enggigil.
“Ampun G usti Adipati Tuban sesembahan patik,”
sebentar suaranya juga menggigil, kemudian merata
kembali, “mem ang benar patik pernah….”
“Tidakkah
bersabar?”
kau
dengar
kami
tiada
berkeras-keras
“Ampun, G usti,” Nyi G ede menurunkan suaranya
sehingga mendekati bisikan, “mem ang benar patik pernah
menerima surat dari luar, tetapi patik tak tahu dari siapa.
Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa
patik ketahui siapa pembawanya.”
“Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi G ede.
Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurusi
keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu
sendiri?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.
Hukum lah, patik, karena itulah kebenaran yang
sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik G usti
Adipati!”
“Mana surat itu?”
“Ampun, G usti Adipati, patik takut m aka patik bakar.”
“Surat apa, Nyi G ede, lontar ataukah kertas?”
“Lon… lon… lon… kertas barangkali, G usti, patik tak
tahu namanya. Bukan lontar.”
“Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima?
Adakah real Peranggi pernah kau terima juga?”
“Ada, G usti real mas, Patik mohon ampun, karena tiada
mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.”
“Real Peranggi, dua,” Sang Adipati
menghinakan, “dan gelang, bukan?”
mendengus
“Demikianlah, G usti, dan gelang.”
“Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud
dan mutiara. Bukan?”
“Ampun, G usti, semua benar. Perkenankanlah patik
mem persembahkan semua itu ke bawah duli G usti
sesembahan.”
“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu
dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus keputrian
yang jujur. Pergi!”
Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut
mundur, menyembah dan menyembah, kemudian berjalan
menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya
perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak
tahu siapa penyampainya.
Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang
berjalan di kejauhan memikul kotak sampah m enuju keluar
daerah perum ahan. Darahnya tersirap. Sesuatu m enyambar
pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu,
yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia ruparupanya kutu busuk keputrian. Dia!
Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku
bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia
pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa
dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman
dengan mereka. Ya. Si bocah itu!
Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan
bocah itu menjam ah hak-hakku yang paling tersembunyi?
Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja.
Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat
dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan
lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah
Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar
dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem.
Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari
tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan
ke belakang mem eriksai pagar kayu tinggi, yang m elingkari
keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan.
Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama
coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan
alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.
Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di
serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu
pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh
kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya.
Pada nampak lagi mem ikul kotak sampah yang sudah
kosong. Sang Adipati mem perhatikan si bocah yang gelisah
dengan mata berpendaran ke m ana-m ana itu. Ia lambaikan
tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu.
Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap
pada si macan? Pikirnya jengkel dan mem biarkan Pada
menghilang.
Cem buru tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan
berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi
keputrianku!
Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya
melambai menyam bar nampan kuningan tempat peracikan
sirih dan dibantingnya m enggelintang di lantai.
O0-dw-0O
7. Syahbandar Tuban : Rangga Iskak & Sayid
Habibullah Al-Masaw a
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu
bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan
Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke
jalan raya dan ia berjalan kembali hendak mem asuki
gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tam u sangat
menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu
kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasapenguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula
masuk Islam: mereka mem butuhkan ajaran, perlindungan,
kepercayaan lain dari segala yang serba M ajapahit….
G edung
kesyahbandaran
yang
terpampang
di
hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri
Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati.
G edung itu adalah yang kedua yang terbuat daripada batu.
Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya
berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh
negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap,
injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah
atau kelapa.
Selalu bila ia sedang mem intasi jalanan halaman depan
rumah, ia tak pernah m elewatkan nikmat keindahan bungabungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini.
Dua tahun lalu seorang anak kapal dari M alabar, terdampar
di Tuban, telah mem bangunnya meniru taman raja-raja
Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di
sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati
dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya.
Sam pai di depan pintu para pelayan sewaan telah
berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan
Syahbandar,” kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam
Melayu.
“Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan
tangan dan mem berikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa
menoleh ia m asuk ke dalam.
Dan bila ia m enikmati kebagusan gedungnya, tak pernah
ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap
rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk
menyimpan abu jenasah.
Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari
Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal
kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi
dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan
dinding pembatas antara ruang tam u dan ruang kerja, diatur
menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi.
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan
itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari
kemudian setelah M alaka jatuh dan ia mendengam ya, buruburu ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah
kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan
abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari
kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu’bah, Syahbandar
Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Param esywara.
Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampirham pir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa
Hisyam Syu’bah, telah mendapatkan pelarian dari
Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita
Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Param esywara.
Pertemuan itu terjadi di Tum asik, bandar Majapahit yang
besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan
Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian
agung itu.
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre
Param esywara
terlibat
dalam
komplotan
untuk
menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk
jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui,
bahwa kaisar Suhita telah mem erintahkan penangkapan
atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. Tetapi komplotan itu
diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada
tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan
Blam bangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre
Wirabumi. Perang laut dan perang darat mem beludag.
Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya
dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua
belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di
perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang,
ibukota Blam bangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin,
kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak
Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam
perang laut di tentang Singaraja.
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam
Syu’bah dengan Bhre Param esywara. Mereka bersepakat
mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan
demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk
menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara
menyebabkan Bhre Param esywara dan Mirsa berhasil
mem buka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi
raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antarbenua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancum ya Majapahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu’bah diangkat
sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini
yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan
pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri
masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya,
dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah nam anya jadi
Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat
Iskandarsyah.
Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka
jatuh setelah 109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti
kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan
kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya.
Tetapi kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid
Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi daripada
jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia
sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka,
yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam
kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka
sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar G ujarat itu: tingkah
dan lagaknya seperti raja m uda M alaka.
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan
bahaya yang mungkin timbul karena orang Moro itu. Sang
Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan
setelah jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil
tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak
mem beritakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan
banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan
perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan
seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan
kekuatan senjata, telah mem bikin Sang Patih kehabisan
tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak
mampu m enarik perhatiannya.
Kemudian datang hari yang menutup segala
kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari
pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit
yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya,
menaikkannya ke atas grobak-grobak dan mem bawanya
entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang
mem impin pasukan itu.
“Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga,”
jawabnya pendek. “Atas perintah Sang Adipati.”
Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi.
Didapatinya
keempat-empat
istrinya
sedang
menggerom bol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus
diperbuat.
“Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada
mereka.
“Kita tak tahu apa sedang terjadi.”
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap
tidak m engerti.
“Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi,” jawab Sang
Patih.
“Tapi gedung itu adalah gedung patik!”
“G edung Tuan?”
“Patik yang membangunkannya.”
“Semua atas biaya bandar Tuban.” jawab Sang Patih.
“Tapi perencanaan….”
“Sam pai batu
terakhir, kawula Tuban
yang
mengambilkan, Tuan Syahbandar. G enteng terakhir yang
didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang
mem biayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal teram bil
percuma.”
Syahbandar Tuban masih mencoba m emprotes.
“Kalau Tuan tidak mem atuhi titah Sang Adipati, Tuan
boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.”
Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran.
Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak
itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asram a
peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya
segera mem bersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada
peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung
dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak
mem berinya jawaban.
Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid
Habibullah
Alam asawa
akan
mem asukinya
dan
menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak
bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung
tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang
satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam
semmggu terakhir ini. Anak keparat itu.
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari
perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud
Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah m erasa
puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru
Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-m asuk.
pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya.
Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran
itu kini nampak ram ah. Pintu depannya kini selalu terbuka
dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak
merasa hina atau miskin karenanya. T aman indah di depan
rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang
tiada tertandingi di seluruh Tuban.
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan
mem bacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau
mem bacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani
Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertum buk pada kaum
Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan
bacaannya dan berpindah pada buku lainnya.
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di
waktu malam, karena semua pembantu harus pulang di
malam hari sesuai dengan ketentuan.
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru G alengIdayu datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama
dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok
kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam.
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat
tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu mem asuki
kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-sam alain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat Idayu
jauh lebih cantik di dekat mata daripada dari kejauhan.
Kulitnya yang langsat kecoklatan mem ancarkan seri ram ah
dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu
tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa
kerja.
Setelah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke
gedung utama.
Idayu mengetoki dinding, kemudian terpakukan pada
tanah, hanya m atanya m elihat ke mana-mana.
“Mengapa, Dayu?”
“Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh
orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.”
G aleng m enirunya m engetuki semua dinding.
“Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga
matanya mengem bara ke seluruh batu yang dingin itu,
putih dan bisu.
“Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk….”
Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya
dalam melayu: “Apa katam u, Idayu?”
Idayu melom pat mendekati suaminya dan berlindung di
balik gum paian otot yang kuat itu.
“Apa kata istrim u?” tanyanya pada juara gulat itu.
“Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah G aleng pada
istrinya.
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu.
Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya
yang baru dan segera kemudian mulai bekerja sebagai ibu
rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis
Kram bil.
Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat
wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia
perlihatkan keramahan dengan mem bantu G aleng
mengatur barang-barangnya – semua sumbangan dari
penduduk Tuban Kota.
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung,
muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis
itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. G aleng tak
mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar
baru itu tertawa-tawa senang m elihat G aleng tidak m engerti
dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat
muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada
lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti
malam ke tempatku.”
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar
mengulangi kata-katanya dan mem bantunya dengan gerakgerak tangan yang ram ai. Juara itu mengangguk mengerti.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang,
kemudian pergi.
Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi
hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana.
Mereka bertiga duduk m engepung m eja.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara.
Suam i-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk,
dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. G aleng
terus-menerus mengawasi Syahbandar, mem perhatikan
gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang
diucapkannya. Idayu sebaliknya terus-menerus menunduk.
“Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!”
tuan rum ah mem buka percakapan, “maafkan aku terlambat
menjam u kalian. Uah…,” alis Syahbandar baru itu
terangkat naik, kemudian cepat turun lagi, “… pengantin
masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada
tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri.
Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil,”
katanya cepat pula.
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di
perguruan dan asram a G aleng berkata: “Sahaya tidak
mengerti, Tuan Syahbandar.”
“Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayoh,
mulai sekarang pergunakan Melayu,” sekarang ia ucapkan
sepatah sepatah. “Melayu! Bukankah kau sekarang
pembantu-utamaku?”
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “Melayu!
Melayu! Mulai bicara Melayu!” Dan bila Idayu mencuri
pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak
dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung
sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu
diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa.
Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil
tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri
ajaib. Dan m atanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu
seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area
lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala
bila m enggam barkan dedemit atau gandaran.
G aleng, yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu,
lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah
seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya
itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya
sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan
raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini
kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan
dilahirkan di miisim paceklik.
Tanpa mengindahkan adakah tamu-tam unya mengerti
atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata
demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat.
Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas
mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, Idayu, dan
gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apaapa yang dipintanya.
Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kam ar dan tak lama
kemudian keluar lagi mem bawa sesuatu di tangannya.
Begitu Idayu datang mem bawa barang-barang yang
dipintanya, ia meneruskan: “Jam uan haibat,” ia
mengulangi sambil mem asukkan tepung hitam dan gula di
dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok
tangan kemudian bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan
itu dengan air panas, Idayu! Hati-hati, jangan sampai
turnpah.”
Ia m ulai mengaduknya, cawan demi cawan.
G aleng mem perhatikan mata Syahbandar yang antara
sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka
Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka
hewan yang baru keluar dari lobang arang, karena muka itu
dihitami oleh rambut.
“Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana.
Ingat-ingat, nama minum an ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh,
G aleng, Idayu! minum!”
Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid m enelan wajah
Idayu yang sedang melihat padanya.
“Kahwa, Idayu!” suaranya merendah lunak dan
mem ikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali
mem inumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga
kali. Semua mem belinya dari pedagang Arab. Dan
pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya karena tepung
hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu.
Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia
datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan
main-m ain dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan mainmain. Ayoh minum!”
Di dalam kamar tinggalnya yang baru G aleng
menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari
kerak. Nyala itu m embesar.
Idayu bertiduran di am bin kayu. Karena pengaruh kopi
kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam.
“Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai
jantungnya berdebaran kencang.
“Tak perlu kita minum lagi, Kang.”
G aleng hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar
olehnya suara yang mencurigakan. Ia melom pat keluar
kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan
seseorang melarikan diri. la lalu mem burunya. Bayangan
itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah.
Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia
tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap
tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di
serambi kam ar. Juga tiada sesuatu pun terjadi.
Waktu masuk ke dalam didapatinya Idayu telah tertidur
dalam kedam aian.
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama
Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal
penduduk Tuban Kota sebagai Wira G aleng. Tetapi lamakelam aan tum buh sisipan dengan antara nam a jabatan dan
nam a sendiri dan dipanggillah ia Wiranggaleng,
Syahbandarmuda.
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat
penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar karena ia
seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer,
seorang juara gulat dan suami Idayu: pujaan Tuban.
Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang
mem erlukan menengok untuk dapat melihat tuan
Syahbandar-m uda atau istrinya.
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi
punggawa di ibukota negeri mem ang mem bingungkan dan
mem bikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya
apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang
berlebih-lebihan mem bikin ia sering ragu-ragu, sedang
kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang
Adipati selalu mem bikin ia terlalu hati-hati. Sedang
bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak
juga pernah hilang dari kewaspadaannya.
Idayu tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin
telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang
hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar.
Sekarang keharusan mengenakan kemban mem bikin
tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin
pantai yang tak henti-hentinya dan deburan om bak yang
mem eningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-m erdeka di
desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak
aturan. Dan ia segan menyam paikan perasaan hatinya pada
suam inya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu.
Biar
belum
mendapatkan
ketenangan
dalam
penghidupannya yang baru G aleng dapat mengikuti dengan
cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di
ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana.
Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk
mem udahkan tuan Syahbandar baru menjalankan
kewajibannya.
Juga G aleng tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga
Iskak, telah pindah ke bekas asram a dan tak juga
mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia
akan diangkat jadi penghulu negeri, tetapi Sang Adipati tak
juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban
Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa
pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anakanak pembesar mem baca Alqur’an bahasa dan tulisan Arab.
Dua tiga kali Wiranggaleng pernah berpapasan dengan
Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayunayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk
dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah
menam pakkan diri di wilayah pelabuhan.
Wiranggaleng mem benarkan bisik-desus orang bekas
Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang
berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari
seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia
selalu mencari-cari Yakub. Tetapi pewarung itu selalu
menjauhkan diri tak ingin m elihatnya.
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama
Syahbandar juara gulat itu harus pula m engawasi galangangalangan kapal di bandar G londong, sebuah pelabuhan lain
lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor
kuda jantan, muda berwarna putih kelabu.
Setelah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita:
Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari
jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama.
Kemudian terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang
Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan
untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang
Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya.
Berita yang didengam ya kemudian: beberapa hari
berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda
ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah
pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang
berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan Idayu.
Kemudian terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran:
Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap
oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan
wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa,
mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di
belakang wanita itu seorang lelaki mem ikul beberapa
bungkusan mengikuti.
Suam i istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh
Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung
utam a. Setelah itu Syahbandar pergi lagi dengan muka
cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan
ham pa.
Mungkin karena kesepian di dalam gedung utama wanita
itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia
bertemu dengan Idayu yang sedang menyiapkan makan
malam.
“Kaukah itu, Idayu?” tegum ya dengan lagu dan bahasa
kadipaten.
“Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?”
“Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah
kau jadi istri Syahbandar-m uda?” ia tersenyum ramah dan
nam pak kilau giginya yang hitam kelam . Pandangnya
mem belai Idayu dengan persahabatan.
“Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka
tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin
dan deburan laut,” ia bicara sam bil terus bekerja.
“Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa
mengindahkan protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini
jugakah tuan Syahbandar?”
“Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini
rupa. Ibu ini siapa….?
“Aku, Nak? Aku istri tuan Syahbandar.”
“Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal?”
“Di dalam kadipaten, Idayu. Kau tak pernah m elihat aku
waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah m elihat kau.”
Hari pertam a yang dimulai dengan keakraban dan
persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai
dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri.
Istri Syahbandar Tuban itu tak lain daripada Nyi G ede
Kati, bekas pengurus keputrian Kadipaten.
Dari wanita itu Idayu mengetahui, ia pernah dipanggil
menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang
pertam a kali tentang surat, yang kedua… ia duduk
bersim puh, kemudian datang menghadap juga tuan
Syahbandar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi G ede.
“Tuan Sayid Habibullah Almasawa,!” Sang Adipati
berkata, “inilah Nyi G ede Kati, pengurus keputrian, wanita
Tuban pertam a-tama yang Tuan kenal.”
Terdengar dari belakang Nyi G ede, Sayid Habib
Almasawa menjawab gopoh-gapah: “Ampun, G usti, patik
belum pernah m engenalnya, melihatnya pun belum !”
“Kalau begitu,” kata Sang Adipati lagi, “lihatlah baikbaik. M ungkin sudah agak lupa!”
Terdengar
mem bantah.
olehnya
Syahbandar
baru
Tuban
itu
“Ampun, G usti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik
melihat perempuan ini.”
“Baik,” kata Sang Adipati, “dan kau, Nyi G ede, telah
kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka
dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa,
am billah perem puan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan
yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup
Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi G ede, kemasi semua
barangm u dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama
dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban
menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan
berangkatlah kalian sebagai suami istri.”
Kedatangan Nyi G ede di gedung kesyahbandaran
mengurangi kerinduan Idayu pada orang tua dan Awis
Kram bil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap G aleng adalah
juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun
segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu
bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam
berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya
mengulang kalim at: Mengapa perempuan bergigi hitam
diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja,
Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering
bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal
dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi
G ede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus
dikawininya di mesjid? Apakah benar wanita itu Nyi G ede
Kati? Ia tak pernah m elihatnya sebelum nya.
Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya
menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh
Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru
hanya Nyi G ede sendiri.
Setelah
Syahbandar
ditempuhnya.
menemukan
jalan
segera
Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam . Dua buah
lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi G ede.
Di luar kamar tidur G aleng sedang mengintip mereka.
Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi G ede Kati
pengurus keputrian?”
“Inilah sahaya, Tuan Syahbandar,” jawab Nyi G ede juga
dalam Melayu.
“Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati?”
ia m enguji.
“Siapa? Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya
sebelum …. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.”
“Mengapa tadinya?”
“Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?”
“Bukankah aku suam imu? dan engkau harus menjawab!”
“Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah
menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak
tahu.”
“Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah Syahbandar
mem berikan ujiannya.
“Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap
mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur
hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga
takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.”
“Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang
teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,”
Syahbandar berdoa. Kemudian: “Katakanlah: Amien”.
“Amien, Tuan.”
“Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, karena amien
itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar.”
“Amien.”
Tholib Sungkar
diyakinkan.
Az-Zubaid
masih
belum
dapat
“Nyi G ede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barangbarang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat
bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa,”
katanya dengan suara lebih keras dari semula.
Dengan luwesnya Nyi G ede Kati mem peragakan
tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah
menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya:
subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh
menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke
bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing
bersarung m as berukir.
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud AlBadaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan
mem perhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah.
“Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak
kalah garapannya dari pandai emas di negeri m ana pun,” ia
berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini
milikmu;”
“Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya
am bilkan.”
Tak lama kemudian terjajar barang-barang berharga
milik pribadi Nyi G ede Kati. Di antaranya seutas kalung
sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zam rud dan
mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan
dua buah real mas Portugis.
Mata
Syahbandar
bersinar-sinar.
Ia
tegakkan
bongkoknya dan bertepuk tangan, kemudian m enggeserkan
tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas
ketiduran. dan: “G elang, cincin dari kalung ini jelas
seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama,
dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri
negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.”
“Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri.”
Nyi G ede menerangkan dengan nada bangga. “Yang
menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan
yang sahaya tidak kenal.” Ia m elirik pada suaminya.
“Bagaimana
mengenalnya?”
duduk
perkaranya
maka
kau
tak
” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya
beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa.”
“Adakah kau balas surat itu?”
“Kami orang Jawa selam anya mem balas surat, senang
atau tidak pada isinya, karena demikian diajarkan pada
kami di perguruan kami.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega.
Kemudian: “Bagaimana kau mem balas surat pada pengirim
tak dikenal itu, Nyi G ede?”
“Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan
sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat
itu tiada.”
Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering
menembusi udara m alam, keluar rumah.
“Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka
masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi G ede?”
“Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya
tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.”
Sekarang sesuatu mem bersit di dalam pikiran Tholib
Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la
tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan
zam rut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu
belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, kemudian:
“Kau istriku, bukan, Nyi G ede? Istriku yang syah.”
“Sahaya, Tuan.”
“Kukawini kau di mesjid.”
“Sahaya, Tuan.”
“G usarkah kiranya kau bila barang-barang yang
kukagum i ini dan juga dua real Peranggi ini aku sim pan
sendiri agar selamat dan am an?”
“Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan.
Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini,
adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.”
Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas.
Sam bil mem asukkan barang-barang tersebut ke dalam sakudalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit
pipi istrinya: “Semua jadi milikku. Tapi milik siapa
jiwam u?”
“G usti Adipati, Tuan.”
“Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya m ilik
Allah.”
Nyi G ede tak menjawab. Ia tidak m enggeleng, tidak pula
mengangguk.
“Dengar, Nyi G ede, mulai besok buanglah kebiasaan
menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih
daripada hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan
kafir perbegu Benggala.”
“Baik, Tuan.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk
menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti
terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah
Wiranggaleng dari tempat pengintaiannya. Syahbandar
muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon
menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari
rumah. Dugaannya tidak keliru.
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu
keluar dari rum ah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia
mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata
menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan mem asuki
ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita
minyak kelapa dari satu sumbu.
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang
ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat
Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang
perhiasan pada Yakub. Kemudian terdengar mereka bicara
dalam Melayu: “Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu
dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di
sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat
untuk Tuan.”
“Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat
kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!”
Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera
Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur.
“Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alham dulillah
Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya,
Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di
bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan
selam anya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah
panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu
tidak mudah menggelegak selam a tidak menyinggung
asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin.
Lagi araknya, Tuan?”
“Cukup, Yakub.”
“Harganya m emang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga
arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya,
dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak
peduli di Tuban atau di tempat lain.”
Dari tempatnya Wiranggaleng melihat Syahbandar
mengawasi Yakub, barangkali untuk mem ahami apa yang
dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat Yakub menunduk
sambil meneruskan katanya “Betul, juga di sini, Tuan,
bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di
mana pun, di Lisboa atau Madrid.”
Syahbandar itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia
balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan
perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah
dengan senyum pada bibir.
”Rupa-rupanya kau, Yakub, seperti aku juga, petugas
Sang Adipati,” ia berkata m encoba-coba.
“Ohoi!” Yakub berseru pelan. “Terkejut benar
nam paknya Tuan. Mana bisa Yakub seperti Tuan
Syahbandar? Biar pun hanya peranakan Arab dengan
Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si Yakub ini
mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami mem ang
agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di
sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan Syahbandar?” ia
tertawa menyelidik.
“Allah melindungi aku dari perbuatan menghina.
Karena, di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi
terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk
seluruh um atnya.”
Yakub tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan
Tholib Sungkar m eneruskan pandang padanya.
“Allah mem berkahi orang yang tak mudah marah.
Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan Syahbandar? Tuan
Sayid?”
“Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah,”
ia lihat Yakub meneruskan pandang padanya.
“Tuan agaknya salah tangkap,” Yakub mem betulkan.
“Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan
selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan Sayid, kapan pun
Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk
jasa Yakub yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah,
Tuan Syahbandar.”
“Manakah di Tuban yang kecil ini ada jasa yang baik apa
lagi besar?”
“Pada Yakub, tuan Sayid, jasa selalu tersedia, besar dan
baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau
malam, pagi atau sore.”
“Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dulu, Yakub.
Tuban menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila.
Assalamualaikum ,” dan dengan kata itu ia pun pergi
meninggalkan warung.
Wiranggaleng mengikutinya pulang ke kesyahbandaran.
Ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan langsung
menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, kemudian
mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba
mengintip dari sana dan sini. Karena tak melihat sesuatu
pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam
gedung utama dari pintu tengah.
Tahu lah Wiranggaleng sekarang, tidak lain dari tuan
Syahbandar yang jadi bayangan selam a ini. Dan
keluarganyalah sasarannya.
0o-dw-o0
8. Wiranggaleng Pergi ke Barat
Idayu mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke
dalam kapal dagang berbendera Tuban.
Suam i-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka.
Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya.
Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat
Idayu mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam
menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu
keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang
padanya.
“Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana
pun, Kang.”
“Kapal akan segera berangkat, Dayu.”
“Aku kuatir, Kang.”
“Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselam atan
sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada Ram a Cluring”
Idayu menggandeng tangan suaminya dan turun kembali
ke derm aga.
“Apa pun yang terjadi, Idayu, hadapi semua dengan
tabah.”
“Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa
saja.”
“Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten?
Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari G usti
Adipati sendiri?”
“Kang, aku kuatir,” Idayu berbisik dan mem andangi
suam inya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. Di desa
aku tak pernah takut seperti ini.”
“Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira,”
seseorang di antara para perubung mengusulkan.
“Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian
sendiri tahu, tak dibenarkan mem asuki pelataran
kesyahbandaran.”
Nahkoda datang mewartakan pada Wiranggaleng layar
akan segera dipasang dan kapal akan berangkat.
Wiranggaleng m engusap-usap rambut istrinya.
“Allah bersama denganmu, Wiranggaleng!” seru Tholib
Sungkar Az-Zubaid.
“Sejahtera, sejahtera untukmu, G aleng, dan istrimu,”
kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil
dan makin….
Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal,
makin lama makin jauh meninggalkan derm aga, makin
kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu
mengantarkan Idayu sampai ke kesyahbandaran….
Wiranggaleng dan Pada mem andangi semua yang
bergerak di derm aga sampai iring-iringan itu hilang dari
pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan
keleluasaan alam.
Terdengar Pada mengeluh. Wiranggaleng sambil
berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada
dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau
keluhkan?”
“Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun
kadang-kadang m engeluh juga.”
“Apa yang dikeluhkan kuda?”.
“Kita akan ke mana, Kang?”
“Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab.
Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.”
“Kita ke Banten, Kang? Betapa jauh dan lama.”
“Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh
dari keputrian? Dari para selir?”
“Kang!” Pada terpekik terkejut.
Wiranggaleng pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan
pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa
yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan
perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri
penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan.
Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing
hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari.
Dalam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas
mem beranikan istrinya, antara sebentar mengawang dan
mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang
aku harus pergi dari Tuban. Apakah yang bakal terjadi?
Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteram kan
hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada Idayu
sendiri.
Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan
pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatm u untuk mem bela
diri!” Dan pada Nyi G ede Kati ia mengharap agar dia sudi
ikut m enjaga keselam atan Idayu.
Setelah berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan
pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus
harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan
kesetiaan? Bekas pengurus harem! Harem!
“Kang!” Pada mengulangi tegurannya.
“Mengapa kau terkejut, Pada?”
“Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku
dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa
tentang m ereka,” Pada m embela diri, m enghiba-hiba.
”Takut benar kau nampaknya, Pada.”
Dan kapal terus berlayar.
“Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi G ede Kati telah
diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke…”
“Dari mana kau tahu mereka kena hukuman? Dan siapa
mereka itu?”
“Semua orang mem bicarakan, Nyi G ede pengurus. Nyi
Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?”
“Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian
dan masuk ke dalam nya, Pada?”
“Kang!” Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya.
“Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.”
“Ah, Kang G aleng, Kang G aleng,” bisiknya menghibahiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? Dan bagaimana bisa
aku ke sana?”
Wiranggaleng m enatap Pada sam bil menggeleng.
“Paling tidak,” Syahbandar-m uda itu menepuk bahunya
beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk
ke sana ”
“Kang G aleng, kakangku sendiri… tega kau berkata
begitu.” karanya gugup dan megap-megap.
“… Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu
tm ggi itu, dan kau mem anjat masuk.”
“Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku,
Kang.”
“Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa
tentang dirimu sendiri.”
“Kang!” Pada terpekik lagi.
“Husy. G oba selir yang mana saja sudah kau hubungi?”
“Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.”
“Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku
kakangm u?”
“Kang tega, kau, Kang” suara Pada telah menghampiri
sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya.
“Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana
saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam
keputrian?”
Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu
bicara.
Sewaktu Wiranggaleng melecuti anak itu dengan
pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, Idayu. Sekiranya
Idayu dulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir
sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan
datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan
pada tubuh kekasihnya? Darahnya tersirap dan dengan
sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan
Pada.
Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa
metepaskan kembali.
Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu,
kemudian mem eriksa pergelangannya. Dibimya cemberut.
“Di asrama dulu kau mengenakan gelang, kalung dan
cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang
itu sekarang?”
“Kau siksa aku begini macarn, Kang.”
“Kau tidak m enjawab. Dan kau tak mau m enjawab. Selir
mana yang telah beri kau semua itu?”
“Kang, tega kau…”
“Di m ana barang-barang itu sekarang, Pada?”
Pada terdiam.
permukaan laut.
Pandangnya
dilemparkannya
ke
“Bocah berumur lima belas!” Wiranggaleng meludah ke
geladak.
“Kata orang, gandarwa berumur dua ratus tahun baru
mulai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas!
Keparat! Empat belas, lim a belas sudah jadi buaya.”
“Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memohon.
Dua orang itu kini terdiam. Lam a. Seakan-akan telah
terjadi permusuhan bat in antara mereka.
Wiranggaleng melepaskan pandang ke sebelah selatan,
pada pantai pulau Jawa yang nam pak samar-samar di
kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia
berada di atas kapal dagang ini.
Juara gulat itu mem banding-bandingkan dirinya dengan
Pada. Waktu berumur empat atau lim a belas ia masih tak
mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau
mengurus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing.
“Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang
lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau
menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa
Syahbandar Tuban?”
“Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran.
“Buaya! Kau mem ang pandai berpura-pura. Pada, aku
tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa
kau bodohi begitu gampang?” ia buang pandangnya ke
tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak
mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali
orang harus mengakui kebenaran.”
Pada terdiam tak mem buka mulut. Ia hindari pandang
juara gulat yang mengancam itu.
“Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” Syahbandar
muda itu mem aksa. “Berapa kali kau tuliskan surat untuk
Syahbandar?”
“Kang G aleng, bukankah tak lain dari Kakang sendiri
yang tahu, semua! Kewajibanku telah kulakukan dengan
baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu
dan Mbok Ayu Idayu? Sekalipun harus melanggar aturan
yang ada?”
Wiranggaleng mem batalkan niatnya untuk menyakiti
bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa
segan melakukan.
“Sang Adipati juga memuji kecakapanm u. Kalau kau
anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di kemudian
hari. Aku dan Idayu takkan melupakan jasa-jasamu. Yang
aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah
kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang
Adipati?”
Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak
itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini:
untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan
Wiranggaleng yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang
yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah
pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak
berani mengangkat m uka.
“Kau tak menjawab, Pada,” ia lemparkan pandang jauhjauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku
hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya
daripada perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia
menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang.
“Bukankah m asih kau akui aku kakangmu?”
“Ya, Kang.”
“Jawablah. T erserah bagaimana menjawabnya.”
Pada tak juga mau m enjawab.
Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan
Wiranggaleng mencekam ram but Pada yang jatuh terurai
dari bawah destam ya. la tahu cengkaman itu lunak tak
menyakiti.
“Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya
tanpa melihat kepadanya, “mengapa kau suka mem asuki
keputrian?” Juga tak berjawab. “Mengapa kau menulis
surat di atas kertas untuk Nyi G ede Kati dan Sayid
Habibullah Almasawa?” Tak berjawab. “Baiklah kau tak
mau m enjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku
sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang m enentukan?”
Tak terduga oleh Wiranggaleng si bocah Pada m enjawab
tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat
perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang G aleng,
ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku
tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau
aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku
pada Mbokayu Idayu, Kang. Tak ada sebuah dapat
kusampaikan pada siapa pun, karena tak ada orangtua dan
sanak padaku.”
“Mengapa pada Idayu?”
“Karena seluruh Tuban mem ujanya, juga aku, Kang.
Maukah kau?”
“Katakan sesuatu padaku, Pada.”
“Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang.
Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku.
Semua sudah kukatakan dan jawab.”
“Ayoh, katakan, katakan sesuatu.”
Anak itu justru m embisu.
Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat
itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini,
G aleng. Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya
dari muka bumi karena perintah cemburu hatimu sendiri.
Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di
hadapanm u ada G usti Adipati. Dan kau takkan mampu
melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar
Tuban, kucing di waktu m alam dan merak di siang hari itu.
Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya.
Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani
berbuat, hanya karena cemburu yang tidak terbukti. Bagaimana kau ini, G aleng? Pengikut ram a Cluring? Kau
bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu.
Syahbandar muda itu malu punya perasaan cemburu
terhadap si bocah itu. Idayu sendiri lebih tidak berdaya!
Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat
menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang Adipati dan
Syahbandar Tuban? Dia yang tertinggal di daerah larangan,
di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan Nyi G ede
Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan
mem bantu suaminya menundukkan Idayu. Mengapa bocah
ini harus jadi sasaran kekacauanku?
Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran
masing-m asing. Beberapa kali orang berjalan mondarmandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara
sesuatu.
Matari makin lama makin condong. Angin laut yang
bertiup dari belakang menyebabkan ram but m ereka tergerai
di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan
antara sebentar terdengar gelepar.
“Kalau kau tega juga mem bunuh aku, Kang” tiba-tiba
Pada berkata seperti pada diri sendiri.
“Mengapa kau punya pikiran aku akan mem bunuhmu?”
“Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila
orang dianggap merugikannya?”
“Siapakah aku ini maka harus membunuh kau?”
“Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan
mem bunuh aku atas perintah G usti Adipati.”
“Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan
diri Sayid…”
“Kalau aku harus dibunuh karena surat dan keputrian;
sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh karena yang itu
juga, hanya surat itu untuk Kang G aleng dan Mbokayu
Idayu.”
“Bukankah
telah
kukatakan
kami
berdua
berterimakasih?” Dan semakin heran ia mengapa si bocah
itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat
pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke
laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan:
“Tiadakah kau takut pada hiu, Pada?”
Ia lihat Pada tersenyum seakan m engerti maksudnya.
“Kata orang,” Pada mulai seperti hendak mendongeng,
“barangsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut.
Barangsiapa m enentang laut, dia takkan dapatkan hiu.”
Kembali mereka berdiam diri.
Waktu seseorang m emberitakan, makan sudah siap, baik
Wiranggaleng mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari
tempat. Dan matari dengan lambatnya ma km mendekati
ufuk barat. Semburat merah mulai m embakar kaki langit.
“Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.”
Terdengar seseorang m enyerukan azan di bawah geladak
dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan katakatanya ia tak kenal. Setelah seruan selesai ia merangkul
Pada dengan mesra.
“Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata
benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau
melom pat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau
melom pat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya
nafasmu, Pada?”
“Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus
bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke
Tuban Demi Batara Kala. Percayalah.”
“Pada, adikku, maafkan aku. Sembahm u pada
mbokayumu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat,
aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah.
Cepat, melompat!”
Tetapi Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di
atas geladak itu, menyembah Wiranggaleng mencium
kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding
lambung.
“Aku pergi, Kang.”
Kemudian menyusul bunyi benda jatuh ke laut.
“Mati!” teriak Wiranggaleng sekuat-kuatnya. “Mau kau,
Pada! Mati!”
Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya.
Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka
dan dengan nada resmi mengumum kan: “Telah kubunuh
atas titah G usti Adipati Tuban Arya Teja Tum enggimg
Wilwatikta, seorang pendurhaka bemam a Pada. Kubunuh
dan kulemparkan dia ke laut.”
Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan
menuruni tangga geladak untuk mendapatkan m akannya.
Dari mereka yang tak suka pada Demak, sindiran datang
tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk:
“Mendirikan kerajaan mem ang mudah. Carilah tempat
yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut
jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh m enyerbu
dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir
musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai.
Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di
tepi pantai!”
Lam a kelam aan sindiran mencapai puncaknya dalam
bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di
pedalaman, karena Peranggi bakal datang!
Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di
tengah-tengah Dem ak sendiri.
Putra mahkota Demak, Adipati Kudus Pangeran
Sabrang Lor, tak dapat m enenggang semua itu. Pada setiap
kesempatan ia mem erlukan menangkis: “Mereka bilang,
Peranggi lelananging jagad, menguasai segala yang
dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat Demak.
Suruh dia melihat Demak, dan dia akan melihat
kuburannya sendiri.”
Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap
ayahandanya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah,
mem ohon satu kesatuan balatentara pilihan. Dengan modal
itu ia m enyerbu Jepara m enduduki dan m enguasainya. Kini
Demak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi
Adipati Demak dengan gelar Adipati Unus. Dan Unus
dimasyhurkan sebagai nam a seorang nabi penguasa laut. Ia
pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca
negara. Itulah jawaban Dem ak terhadap sindiran takut pada
Peranggi.
Tetapi orang masih tetap tidak percaya pada sesum bar
putra mahkota. Sindiran terus juga datang.
Portugis menduduki Malaka.
Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, Peranggi
sudah menduduki Malaka. Demak menduduki Jepara.
Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari bandar
masing-m asing, sampai kedua-duanya bosan dan tak
berpandang-pandangan lagi.”
Adipati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadapan
para punggawa, yang ditugaskan mem bangun galangangalangan besar, berkata: “Ketahuilah, bila kelak Peranggi
tidak datang ke Jepara untuk menantang Dem ak, maka dari
Jepara akan datang Demak ke Malaka menentang
Peranggi.”
Sindiran-sindiran padam setelah jelas Adipati Unus
Jepara tidak tinggal bersumbar-sum bar. G alangan-galangan
kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga
dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari
Blam bangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu
beragam a Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng
untuk mem bikin cetbang yang direncanakannya sendiri,
khusus untuk menghadapi Peranggi.
Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan
harus
selesai
pada
waktunya..
Perm unculannya
menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras
didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal.
Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang
cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke
pinggiran bandar jepara.
Dengan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka.
G aleng m endarat di bandar Yuana – bandar m ilik Tuban
yang terletak di wilayah paling barat, setelah Jepara jatuh ke
tangan Demak
Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia
datang.
Ia
berjalan
lambat-lambat,
melihat-lihat
pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia
perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu
apa. Tak ada seorang pun dikenalnya.
Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua
orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung
dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong
atau mem ikul balok dan papan. Di sini orang sedang
menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang
mem belah, mem ohon atau berseru-seru mem beri perintah,
Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang
melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu
pada tanah dan mem anggang lengkungan dengan api. Dan
kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana
kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut.
G erobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-m andir
mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling
jauh orang sedang mem badari batu karang untuk dibikin
kapur.
Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga
dengan di bandar galangan G lendong.
Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang
baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu
seseorang mem anggilnya sambil melambaikan tangan.
Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban.
“Hai, kau! Tidak bekerja?”
Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di
tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring.
Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah
meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa
kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanm u.”
“Hanya m emikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah
Jepara.
“Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul”
Dengan demikian mulailah Wiranggaleng bekerja
sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan
ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang
mem bawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga.
Setelah makan malam orang pun merebahkan diri berjajarjajar seperti di asram a di Tuban dulu, hanya ambin di sini
tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan
kepinding m enyerang dari segala penjuru.
Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. Nam un
tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang
orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang
tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain,
mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan
pengetahuan.
Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan
tubuhnya yang besar di samping-m enyamping orang-orang
yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari
pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia
berusaha mendengarkan segala apa yang dapat
didengamya.
Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar
seorang pekerja berkata pada teman-tem annya.
“Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja
yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak
bedanya pada semua kerajaan, ada hukum an dan ada
karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan,
dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selam at tak
kurang suatu apa.”
“Apakah kau pernah hidup di dalam istana?”
“Tidak.”
“Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah
menjalankan dan mem atuhi aturan dengan sepatutnya
nam un dibunuh juga oleh raja?”
“Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya
karena
cemburu
kalau-kalau
orang
itu
akan
menggulingkannya.”
“Betul, itu m emang ada,” orang lain mem benarkan.
“Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang
cantik.”
Jantung Wiranggaleng berdebar-debar. Idayu muncul
dalam penglihatan batinnya. Tapi segera kemudian lenyap
oleh kata-kata orang tersebut.
“Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan Islam tak ada
raja lalim , semua adil.”
“Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiranya raja
Islam itu lalim, siapa yang menghukumnya? Ataukah tidak
akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau
Buddha atau Wisynu?”
Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan.
Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri.
0o-dw-o0
Beberapa minggu kemudian tahulah ia, pekerja yang
suka mem berikan ceramah itu tak lain dari seorang musafir
Demak, seorang di antara para pemasyhur Demak dan
Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menam akan diri
Hayatullah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil
mem anggilnya Anggoro, bukan Anggara, karena dilahirkan
pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatullah
menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra
Adipati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada
Demak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah
Demak.
“Betapa hebatnya kerajaan Islam pertam a-tama ini,” ia
meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum
seberapa um um ya, tapi lebih baik daripada semua kerajaan
yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa
batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu….”
Dari ujung am bin seseorang mem bentak “Tutup
mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan
mem bual.”
Dalam kegelapan itu Wiranggaleng mem bayangkan
Hayatullah
terduduk
dari
rndan
mencari-cari
penyangkalnya, karena tak lama kemudian terdengar
musafir Demak itu menanya.
“Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana
mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira
kau seorang pangeran tersasar?”
“Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah
malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu
tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir
raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak
keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa,
ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja.
Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.”
Ternyata Hayatullah tak mau diam. Dengan berapi-api ia
ganti menyangkal: “Itu katamu. Siapa yang menjamin hakhak itu dilaksanakan?”
“G oblok kau! M enteri-dalam mengurus semua itu.”
“Siapa
menjamin
kewajibannya?”
Menteri-dalam
melakukan
“Yang menjamin Hayatullah alias Anggoro tentu,”
penyangkal itu berseru jengkel, kemudian sengaja
mem perdengarkan kuapnya.
“Jangan m empermain-mainkan aturan, kau,” Hayatullah
mem peringatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku
tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam
kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan
biar kau tahu sedikit tentang Demak, karena bagaimana
pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula Demak.”
Pertentangan
mendengarkan.
itu
menyebabkan
orang-orang
diam
“Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua
mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu
aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang
bemam a Nitisastra.”
Seseorang terdengar tertawa berbahak m engejek.
“Hayatullah! Tahu apa kau tentang Nitisastra?
Mem asuki mandala pun kau tak pernah. Mem baca Jawa
pun kau tak tahu….”
“Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang
harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya,” Hayatullah
meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya.
“Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra,” seorang
lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada banyak
aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku
sebutkan satu-per-satu?”
“Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua
ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” Hayatullah
meneruskan, “tak dapat dibandingkan dengan Alqur’an
atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari
Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para
raja dan para empu, para pujangga.”
Untuk ke sekian kalinya Wiranggaleng telah tertidur
sebelum ceram ah selesai.
0o-dw-o0
Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba
mem perhatikan Hayatullah. Tubuhnya kecil rapuh, ototototnya pendak dan tipis, tetapi ia bekerja tanpa henti-henti.
Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang
ke manam ana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi
menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar,
mem basuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, menggelar
tikar di bawah sebatang pohon, kemudian bersembahyang.
Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah
pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung
bercerita atau mem buka persoalan seperti dilakukan oleh
para guru-pembicara di desa-desa. Bedanya, para gurupembicara di desa-desa bicara pada mereka yang
mem punyai perhatian, musafir Demak ini bicara terus tak
peduli ada yang dengar atau tidak.
“Siapakah putra-putra Tuban di Demak?” G aleng
mem beranikan diri bertanya.
“Lidahm u seperti lidah Tuban,” tegur Hayatullah.
‘Tidak.”
“Dari Lao Sam barangkali?”
“Dua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu.
“Mem ang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putraputra Tuban yang terkemuka di Demak ialah Raden
Kusnan, Punggawa-dalam . Yang lain Raden Said, anggota
Majlis Kerajaan. Orang mem anggilnya juga Ki Aji,
Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya
Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya
dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya.”
“Mengapa dibuang gelar dari leluhumya?”
“G elar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di
dalam nya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang yang
dinilai oleh sesam a dan oleh Allah. Perbuatan atau am al Ki
Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya,
karena barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar.”
Di T uban sendiri mem ang tak pernah terdengar.
“Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengem bara ke
mana-mana untuk mem asyhurkan Islam. Beliau keluarmasuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa
seperti para guru-pembkara yang tak tahu apaapa tentang
wahyu Allah itu. Beliau lebih suka m emilih tempt di bawahbawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main
dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan
mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut
mendengarkan. Kemudian juga para bapak.”
“Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah
para dewa?”
“Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena
nabi mem ang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah
ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia,
menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah.
Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu
ngawur.”
“Siapa bilang para dewa tidak ada?”
“Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan
padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju
dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. Wiranggaleng
diam mem perhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di
balai-desa mendengarkan seorang guru-pembicara. Waktu
ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatullah yang tak
mengacuhkan gangguan.
“Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah
desa. Mereka adalah orang-orang kafir penyembah Sang
Kali”
“Apa kafir itu?”
“Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para
nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah
berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir
nam anya.”
“Ngawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah
Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha”
G aleng mem bantah karena tersinggung. “Kalau kau bilang
Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan
saja kepalamu sendiri.”
Tetapi Hayatullah tak peduli dan meneruskan. “Anakanak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya.
Kemudian juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi,
perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara
tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya
mereka dapat ditaubatkan.”
“Apa artinya ditaubatkan?”
“Diyakinkan akan kebenaran Islam, dan mem bawa
mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali.
Mereka menyembah Allah dan m endengarkan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya.” Ia diam sebentar. “Kau
sudah tidur?” dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia
meneruskan, “sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki
Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk
seiam a-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis
kerajaan Demak. Tidak sembarang orang bisa. Raja
Majapahit pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu,
karena pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di
dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan
sidangnya, tetapi menentukan. Enam hari dalam seminggu
Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam,
mem asyhurkan Islam dan Demak di desa-desa.”
Wiranggaleng telah tertidur.
Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembikinan
kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat,
tidak seperti di G londong. Sebuah kapal terbesar, yang akan
dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut
lim a ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar
pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa
dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa.
Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat m enembusinya.
Orang tak banyak mem bicarakan kapal yang mereka
sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru
soal-soal lain yang orang percakapkan.
Pada malam-m alam selanjutnya Hayatullah tak muncul.
Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan,
karena si pengganggu tidur mem biarkan mereka
melepaskan lelah dengan dam ai. Sebaliknya beberapa orang
yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desadesa menyatakan, tak ada buruknya orang m engetahui halhal baru yang terjadi di atas dunia m anusia ini.
Lam a-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang
diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata
mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak
seorang diri bersembahyang. Ia telah mem punyai pengikut,
dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. T erheran-heran
orang waktu kemudian mengetahui, tak lain dari Sang
Adipati Unus Jepara sendiri yang mem erintahkan
pembangunan rumah sembahyang di tempat Hayatullah
biasa bersembahyang.
Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat
terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas.
Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi.
Tetapi ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi
orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau
menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai
didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh –
suka atau tidak suka.
“Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, tempat
orang menyembah Hyang baru itu, mengurangi kelajuan
pembikinan kapal?” sekali waktu seseorang bertanya dalam
kegelapan.
“Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?”
seorang lain lagi bertanya.
“Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah
itu m enyendatkan pembikinan kapal? Kapal dan Islam akan
belayar bersama-sam a, tidak tunggu-menunggu. Apakah
arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkembang di antara
kawulanya? Tidak seperti Hindu dan Buddha, orang-orang
desa harus bangunkan sendiri asrama, mandala dan
perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk
menumpas Peranggi yang jelas-jelas, mem usuhi Islam.
Peranggi tak boleh mem asuki Nusantara, apalagi Jawa,
karena cepat atau lambat semua penduduknya akan m asuk
Islam.”
“Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk
Islam?”
“Tak ada yang mem aksa kalian masuk Islam. Adakah
aku mem aksa kalian masuk Islam dan bertaubat? Adakah
pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan
mengikutinya?Tetapi karena aturan Islam adalah yang
terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang
tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah
sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu,
tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.”
Hayatullah m eneruskan kata-katanya tentang agam anya.
Wiranggaleng tak mendengarkan lagi walaupun belum
tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara
mem persiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk
melindungi Islam, bukan untuk mem anggil kejayaan dan
kebesaran m asa silam pada guagarba hari depan. Unus akan
mem bangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan
kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan
kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak
ikut jadi bagian dari padanya.
Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan
pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai
Bareng itu temyata lebih besar daripada buatan Tuban.
Em pat orang takkan kuat mem ikulnya, sedang bilikledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat
bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan
dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat
peluru cetbang.
Dua bulan kemudian ia tinggalkan juga pekerjaan
barunya.
0o-dw-o0
Seorang diri ia berjalan kaki memasuki Demak. Tetapi
tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan
penyempumaan pembangunan mesjid raya, pembangunan
jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah
perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden
Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga
sedang memasuki mesjid. Orang yang tersohor itu
berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru,
berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup
badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nam pak
begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus.
Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada
bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada ram but.
Berbeda dengan di Jepara, di Demak di mana-m ana
orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan
tentang sekutu Demak yang akan bergabung dalam armada
kesatuan, semua kerajaan Islam termasuk Tuban.
Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya,
walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya.
Kalau Demak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa,
mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan
Islam? Ia anggap itu bukan m asalahnya. Yang jelas: Demak
punya sekutu, arm ada gabungan akan dibentuk, semua
akan m enyerang M alaka.
Setelah lebih enam bulan m eninggalkan Tuban ia m erasa
telah cukup m enjalankan tugasnya untuk mengetahui segala
sesuatu tentang persiapan Adipati Unus Jepara. Ia
bermaksud pulang. Di tinggalkannya Demak dan berangkat
kembali ke Jepara.
Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan
orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian
aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut
hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit m enyelamatkan diri
dari mata pedang dan mata tombak. Orang bersorak-sorak
mengejam ya.
Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar,
mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar kemudian
layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah
timur laksana burung camar.
Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan
mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada
tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar.
Maka pengejaran tak diteruskan.
Di bandar orang-orang pada duduk menyembah
seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh
beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu
kemudian menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit
putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam
setempat: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan
berkeliaran disini? Jawab, kau, Syahbandar.”
“Ampun, G usti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada
aturan menolak orang dari m ana pun juga datangnya.”
“Apa katamu?”
“Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk
menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar
saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,”
Syahbandar Jepara menerangkan. “Atau orang tidak
melewati daerah bandar. Boleh saja.”
“Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau
ijinkan mereka?”
“Mengapa, G usti? Karena Jepara bandar bebas.”
“Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri? Ini
pelabuhan Demak, bukan pelabuhan siapa saja.”
“Ini
pelabuhan
bebas,
G usti,”
Syahbandar
mem bangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh
G usti Kanjeng Sultan ataupun oleh G usti Kanjeng
Adipati.”
Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam
sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang
terhadap pelabuhan ini. Tetapi mengapa mereka kau
biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan
bengkel?”
“Belum pernah ada larangan.”
“Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk m ereka,
pendatang-pendatang? berkulit putih itu?”
“Jepara pelabuhan bebas, G usti.”
“Kau mem ang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan
terhadap Peranggi? Mata-mata dari Malaka, atau
diturunkan dari kapal Peranggi?”
“Mem ang mereka Peranggi, G usti, dan Jepara masih
tetap pelabuhan bebas.”
“Kami akan persembahkan pada G usti Jepara. Apa
kebangsaanm u, Syahbandar?”
“Koja, G usti. Islam agama sahaya.”
Wiranggaleng duduk di bawah sebatang pohon kenari
dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi
temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum
lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani orang-orang kulit
putih itu hanya berdua mem asuki negeri orang yang
mem usuhinya.
“Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa
saja mereka perbuat di sini?” Syahbandar tak dapat
menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya
melihat-lihat sam bil tertawa-tawa, G usti.”
“Mentertawakan siapa?”
“Ampun, G usti,” orang itu meneruskan, “tak ada yang
mengerti bahasanya.”
Wiranggaleng
menangguhkan
kepulangannya.
Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu
kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya.
Kelanjutannya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan
dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan.
Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya
sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain.
Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah
Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah
ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah
Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban?
Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan
Benggala itu? Di Tuban orang tidak suka pada Rangga
Iskak ataupun Sayid Habibullah Alam asawa. Syahbandar
Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun
mengherani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga
menggunakan orang asing.
Sebelum berangkat ke Tuban ia mem erlukan minta diri
pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke
galangan dan bengkel. Hayatullah tak dijumpainya. Ia
temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang.
Beberapa orang m urid m emenuhi ruangan dalam. Orang itu
nam pak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di
hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata
yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya.
Lam a ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba
menirukan, tetapi tak bisa. Ia dengarkan Hayatullah
mem bacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, kemudian
terjemahannya
dalam
bahasa
Melayu,
kemudian
terjemahannya dalam bahasa Jawa: “Dengan nam a Allah
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan:
Berlindung
aku
pada…,”
kata-kata
selanjum ya
Wiranggaleng tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang
diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila
telah datang. Dan dari bahaya…. Dan dari bahaya orang
dengki, bila ia m arasa dengki….”
Kalimat-kalimat itu tak punya kesam aan dengan acuan
sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti.
Dan Hayatullah alias Anggoro m asih juga terus mengajar.
Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya,
berjalan pelan menuju ke laut….
0o-dw-o0
9. Esteban dan Rodriguez
Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk m elarikan
diri.
Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud
hendak m ewujudkan impian lam a: mengem barai Nusantara
sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan
penduduknya yang m asih perbegu.
Dua orang itu adalah pemuda-pemuda Portugis
keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez Dez.
Dua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal
Peranggi.
Berita kemenangan-kemenangan Portugis di seluruh
permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di
seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang
berlimpahan, telah mem anggil pemuda-pemuda Portugis,
meninggalkan
desanya
masing-masing
untuk
menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan
berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang
lautan.
Juga Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Mereka tak
mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan
harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga
ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan
diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang
lain-lain. Mereka diterima setelah menyodorkan uang
sogokan.
Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal
kemudian meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra,
menaklukkan
negeri-negeri,
meneggelamkan
kapal
saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak
ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu
melawan. Dengan meriam segala yang nam pak di laut dan
di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi.
Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi
melawan arm ada gabungan negeri-negeri Islam yang
dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan
mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap
Portugis.
Portugis penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga
menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu.
Ia senang m elihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian
bila melihat salib raksasa yang tergam bar pada layar.
Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka
sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap
peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang
menemui sasaran mem berikan ketukan pada hati mereka,
seakan memberitahukan: pelurumu kena.
Tetapi kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan
pengembaraan semacam itu, kehidupan tanpa perubahan,
lama kelam aan mem bosankan mereka juga. Kejemuan
setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu
yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar
saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat
melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri
sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang
mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di
keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan
diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan
badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang
mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan
kesenangan yang tak terbatas.
Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan,
mereka mem utuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat
kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan
kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada
selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai
putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja
pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan
taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat.
Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila
pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap
barang. Dan setiap kali menginjak bumi kafir,
bergemalakan nam a Jesus dalam hati: daratan ini akan
segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih.
Kebanggaan seperti itu akhirnya tak mem uaskan juga.
Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki
lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat
pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam
sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh
Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga
dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan
menjam ah pantai-pantainya yang digerm angi nyiur. Mereka
ingin juga m endengarkan m usiknya, yang kata orang tegap
dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan
gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar
hati.
Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-m ana sejak
orang tua-tua dulu, yang mungkin mendengam ya dari
orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua mem buat
persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu
jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu
sendiri.
Im am kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosanbosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya,
‘Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, karena kalian
akan m embawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang
Allah di setiap jengkal tanah kafir.’ Pesan itu malah
diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, setelah
ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak
kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan.
Tetapi awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi,
mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke
tanahair, berpindah ke kota lain, mem bawa harta-benda
dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian
baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor.
Mem ang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang
untuk selam a-lam anya dan dilupakan orang. Itu semua
orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka
Esteban del Mar dan Rogriguez Dez tak ambil peduli.
Semua mem ang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya
dan tersohor sekaligus.
Setelah Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque
menguasai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana
untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di
bawah sang salib, mereka berdua giat mem pelajari bahasa
Melayu dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan
mungkin dapat berdiri sendiri.
Pada seorang Pribumi mereka mem esan agar dibuatkan
sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk
mereka sendiri. Setelah jadi, perahu layar kecil itu mereka
sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilom eter di
selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya.
Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di
dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak – semua
diperolehnya dari gudang perbekalan di bandar Malaka.
Menjelang Desember 1512, waktu Portugis menyiapkan
arm ada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua
melarikan diri. M ereka berhasil menggondol musket dengan
mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis.
Tak sulit mereka mendapatkannya. Dan itu pun secara
kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang serdadu yang
sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan
arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan
undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan
mereka pergunakan kesempatan ini.
Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa
daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke
dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil.
Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya,
mengem bangkan layar dan berangkat. Belum pernah
mereka merasa begitu riang seperti kali ini. Matari pagi
mulai menyinari pesisir pulau Sum atra yang kelam oleh
hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan
kapal-kapal dagang belayar damai.
Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah
tahu: di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata
am puh kecuali Portugis, musket dan meriam dengan gaya
ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak
perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan
tom bak para pembajak pasti akan temyata melengkung
berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak
akan ada yang m enghalangi pelayaran m ereka.
Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah
berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi,
yang segera nam pak dari kejauhan karena lubang-lubang
pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak
berbahaya selam a tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka
berbahaya karena cetbangnya, tapi tak pernah menembak
tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang
menghalangi pelayaran m ereka.
Mereka bergantian tidur, mengem udi dan masak.
Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang
pantai Sum atra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan
air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana
pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya
bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh
mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan bandarbandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk
menjadi persinggahan rempah-rempah.
Di setiap bandar segera dua orang petualang itu m enjadi
kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah m ereka dan
bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan
mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap bandar yang
disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di Spanyol
atau Portugis atau Italia. Tak pernah mereka mengalami
penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang
dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu
kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan
menangkapnya untuk mendapatkan uang tebusan. Atau
bisa juga datang dari pihak orang-orang Spanyol yang
mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko
atau Tunisia.
Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda
Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan
akhimya berlabuh di bandar Jepara.
Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain daripada
yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada
keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan.
G alangan-galangan besar berdiri megah mem bikin kapalkapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri,
Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal
perang! Jelas nam pak dari lubang-lubang lambung tempat
mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah
dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar
yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa
itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat
susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan
mereka menyingkir m enghindar.
Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada
perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang
sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru
lagi.
Juga di bandar Jepara tak ada yang m engganggu mereka.
Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka
tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi mem bikin
perabot. Mereka mem asuki bengkel pembuatan cetbang.
Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka
buat. Pandai-pandai Biam bangan temyata tak mengerti
Melayu. Mereka mem bisu, bahkan melambaikan tangan
menyuruh pergi
Esteban dan Rodriguez pergi, tetapi datang lagi untuk
mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez
menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa
terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang
dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa.
“Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan
gom bal!” seru Rodriguez.
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang
menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung.
Tetapi karena bandar Jepara juga bandar bebas, di mana
setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak
ada orang dapat dipeisalahkan hanya karena tertawa.
Tetapi orang-orang Pribumi, yang temyata pejabatpqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua
orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan
Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya.
Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara.
Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wiranggaleng.
Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam
kejaran para prajurit. Hanya karena tingginya kewaspadaan
menyebabkan mereka bisa selam at mencapai perahunya
dan meneruskan pelayaran ke tunur.
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah
seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji
syukur atas keselam atannya. Mereka bersembahyang dan
berdoa dan berdoa.
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang
disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas
kemudian mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu
kemudian mereka jual di Mesir.
Dan pada suatu pagi berm endung m asuklah perahu layar
langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan
mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung,
nam un kelihatan ramah dan mem bentangi bandar dari
badai.
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk
bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, berm ata
sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan
mondar-mandir tiada bekerja.
Aturan di bandar ini lain, keras, dan mem ang bukan
bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum
orangnya
mendarat.
Pengalam an
baru
ini
tak
menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri
sepanjang Sum atra dan Jawa tak pernah orang
mem perlakukan demikian.
Begitu perahu mereka
terpancang pada patok derm aga atau cerocok takkan ada
orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang
mem biarkan
mereka mendarat, pedagang-pedagang
berebutan untuk menjual atau mem beli barang. Orang pun
takkan m enghalanginya bila m ereka langsung pergi ke pasar
pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi.
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih,
dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka
semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.
Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga
tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat.
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk
disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga
mem anggil teman-temannya. Dalam waktu pendek
derm aga itu telah penuh dengan orang. Semua
mem perlihatkan sikap yang m engancam.
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak
ditenggelamkan mereka naik ke derm aga, mengikuti tiga
orang itu.
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar
berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga
orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang
tangkapan.
Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada
sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.
Dua jam kemudian m ereka diperintahkan masuk lebih ke
dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak
kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu
mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi karena mata
mereka berubah, seperti terbuat daripada kayu. Mereka
berpakaian wama-warni, dan semua mem bawa kipas pada
tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka
mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra,
dengan lengan tangan lebar.
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang
tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu.
Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez
juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada
perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan
pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersam a-sama
mereka mem andangi orang gemuk di hadapan itu, dan
orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan
tawanya m endengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang
gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para
pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin
tidak m engerti.
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya.
Suara mereka ram ai, tetapi badan mereka seakan-akan
terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk
digerakkan.
Esteban merasa seperti sedang menonton suatu
pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan.
Rodriguez juga m erasa diundang untuk tertawa.
Percakapan terpaksa dihentikan.
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain,
wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak
mengenakan jubah tetapi bercelana dan berbaju longgar,
tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan
nam pak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan
yang gem uk dan mem beri hormat. Suatu pembicaraan telah
terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk
mengangguk-angguk
Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan
Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah
yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang Portugis
mem ang pongah!” tuduhnya dalam bahasa Portugis.
Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan
kejutnya.
“Kau bisa Portugis?” Rodriguez Dez bertanya.
“Demi keselam atan kalian sendiri, lepaskan kepongahan
itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan.
“jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada
Portugis di sini.”
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak
merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.
Esteban
mencoba
mem perlihatkan
bangsanya dengan tawa kecil merem ehkan.
keunggulan
“Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap.
Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis
mengerti artinya nasihat.”
“Kau penterjemah?” Esteban bertanya.
“Pemeriksa kalian.”
“Pemeriksa!” Rodriguez tertawa mengejek. “Apa yang
hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.”
“Aku yang mem eriksai kalian, bukannya kau yang
mem eriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa
Portugis yang benar.”
“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah Esteban
“Kami orang bebas!” gum am R odriguez. ‘Tak ada alasan
mem eriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis
diperiksa di bandar asing.”
“Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak
mengerti Melayu.”
“Siapa bilang kami tak mengerti Melayu? Orang itu,”
Rodriguez menuding pada si gemuk, “yang tak keruan
Melayunya.”
Seseorang mem ukul tangannya yang menuding dengan
kasar. Rodriguez merah-padam karena merasa terhina. Tak
pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu
terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si
gendut hendak m emprotes.
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya
ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. Tetapi sikutnya
terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin
meronta m akin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan.
Ia m eringis tanpa bisa mengerti.
“Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri
orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez.
“Ingat-ingat, namaku Liem M o Han.”
Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang
mem pelajari cara orang itu dapat mengem pit sahabatnya
sehingga tak berdaya. Ia tak m encoba mem belanya.
“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis.
Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han,
akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan
terhadap diriku selama tiga tahun.”
Esteban diam-diam mendengarkan dan mem perhatikan
tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang
cukup baik.
Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis
kesakitan,
kemudian
bertanya
mencoba
ramah:
“Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu?”
“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del
Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez?”
Kepala Rodriguez
mengangguk.
yang
berambut
pirang
itu
“Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan
nakhoda.”
Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan.
“Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian
telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal
Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan
dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai
mem buat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan
G ong E ng Cu, masih berhati luas, m asih dapat menenggang
kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan
mesiunya kami tahan untuk disimpan.”
Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya,
tidak mem berikan kesempatan pada Esteban ataupun
Rodriguez untuk menyela.
“Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu
pekerjaan,” kemudian ia mem utuskan. “Hanya punya
musket, dan dengan senjata itu mem bajak perahu-perahu
kecil di tengah laut.”
“Tidak benar!” bantah Esteban.
“Tidak ada bukti kami berdua pernah mem bajak,”
banlnh Rodriguez.
“Mem ang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh
jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut,
yang kalian butuhkan telah kalian telan.”
“Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk
mem bajak,” susul Esteban dengan nada tersinggung.
“Mem ang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah
mem bajak. Tetapi dengan satu kapal, apalagi satu armada,
setiap Portugis adalah bajak.”
“Itu soal tafsiran!” bantah
mem bajak, kami berperang.”
Esteban. “Kami tidak
“Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal
dan arm ada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan
setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga
bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukum an
terhadap bajak?”
“Berperang
Rodriguez.
dan
mem bajak
tidak
sama,”
bantah
“Ya, tidak sama,” Esteban mem benarkan, “berperang
punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, mem bajak untuk
dirinya sendiri.”
‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang
terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian
bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak.
Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban.
Hukum an atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah
kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan
ketentuan, untuk kemudian menjalani hukuman mati. Kami
bisa serahkan kalian pada G usti Adipati Tuban.”
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka
terdiam.
G ong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo
Han.
Yang
belakangan
mengangguk-angguk
dan
nam paknya hanya m engiakan.
“Kepala kami,” Liem Mo Han meneruskan,
“mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar.
Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian.
Kami bisa juga jual kalian pada M alaka. pada bangsa kalian
sendiri. Dan karena kalian kelihatan kuat dan segar, bisa
juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami
pakai sendiri untuk mem bajak sawah.”
Liem Mo Han diam. G ong Eng Cu dan pengapit juga
diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang
nam paknya kehilangan diri itu.
“Kalau kam i jual kalian pada Malaka, kalian akan segera
naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan.
Kalau kami serahkan kalian pada G usti Adipati Tuban,
kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang
gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan.
Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan
mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus
bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat
melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu.
“Nah, pilihlah salah satu di antaranya.”
Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak
berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” Liem Mo Han
mem peringatkan.
“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?”
“Kami bukan bajak laut,” Rodriguez mem bela diri.
“Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.”
Esteban berpikir keras.
“Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau!” melihat
orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan,
“barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga.
Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan G ong Eng
Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai
kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak
lebih hanya bajak laut.”
Esteban melangkah maju mendekati G ong Eng Cu,
mem bungkuk mem beri hormat dan membela diri: “Tuan
G ong E ng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami mem ang
pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan
sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan
kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negerinegeri Nusantara.”
Setelah Liem Mo Han terjemahkan, G ong Eng Cu
berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya
melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta,
kom pas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.”
“Tak pernah ada larangan mem bawa barang-barang itu,
bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua
itu.”
“Kalian jangan permain-m ainkan kami. Pelarian biasa
tidak akan mem bawa semua itu, kalau tidak karena tidak
sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian
mem punyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya
kalian ini mata-m ata Portugis.”
“Mata-mata?” Esteban berseru kaget.
Rodriguez terbeliak.
“Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-m ata Sang
Adipati Jepara? Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti
jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan
baik-baik?”
Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di
samping temannya. Berkata: “Sesungguhnya kami mem ang
melarikan diri dari M alaka.”
“Aku percaya,” jawab G ong Eng Cu. “Kalau kalian
mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak
juga menyampaikan kami apa rencana Portugis setelah
merebut Malaka? Apakah kalian yang sudah bodoh,
ataukah m emang m au m embodohi?”
“Tuan G ong Eng Cu, Portugis sedang menunggu
datangnya tam bahan kekuatan di Malaka. Mereka akan
terus berlayar ke Maluku.”
“Ke Maluku? Begitu cepat?” G ong Eng Cu terpekik
dengan mata mem beliak menatap Liem Mo Han.
Kemudian ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo
Han tidak mem portugiskan.
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka
dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!”
“Semua awak kapal tahu,” sekarang Esteban mengambilalih.
‘Tadinya dimaksudkan akan mem berangkatkan empat
buah kapal. Tam bahan kekuatan yang ditunggu belum juga
datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan Liem Mo
Han m engerti artinya Desember?”
Liem Mo Han mengangguk. “Kalau dalam bulan
Desember tam bahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis
akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang
yang ada saja.”
“Pembohong!” bentak Liem M o Han.
“Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka
mem batallcan niatnya,” sambung Esteban.
“Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang
akan ditempuh?”
“Menyusuri Sumatra dan Jawa.”
“Mengapa?”
“Karena hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke
Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu
menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku.
Tak ada yang berani mem asuki, bangsa apa pun, juga
bangsa Tionghoa tidak.”
G ong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan
terjemahan Liem Mo Han.
“Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapalkapal Jawa di Maluku?”
“Portugis berangkat untuk berperang,” kembali Esteban
mendapatkan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak
pernah kalah.”
“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanm u?”
“Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami
dikalahkan baik di laut maupun di darat.”
“Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian
temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian
pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur
kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian,
mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang
menariki kuncirku. R asa-rasanya mau copot kulit kepalaku.
Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada
orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal
Moro mem bawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku
sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun!
Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”
“Kami tak pernah tahu tentang itu.”
“Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari
mereka selebihnya. Kalian mem ang selam at di bandarbandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian
tahanan kami.”
Mereka berdua tak berani mem bantah.
“Mengapa diam saja?” G ong Eng Cu mendesak.
“Kami berm aksud hanya hendak melihat-lihat negeri.”
“Kalian mata-mata!” tuduh G ong Eng Cu. “Portugis
sudah melakukan kejahatan di mana-m ana, dan bersumbar
hendak mem bawa bangsabangsa selebihnya
pada
peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja.
Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai.
Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa
kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke
Jawa m embikin keonaran seperti di Malaka….”
G ong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan katakatanya. Ia mengangguk sambil memejamkan m ata.
“Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya
Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami
lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian
merampasnya?”
“Kami pesan dari Pribumi Malaka.” sam bar Rodriguez.
“Mem beli, mem esan ataupun merampas sama saja.
Kalau Portugis suka merampas atau mem esan?”
“Juga kam i tidak mencurinya,” tambah Roodriguez.
“Mem ang Portugis tidak pernah mencuri, hanya
merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara.
Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya.
Dengarkan, kepala kami, Tuan G ong Eng Cu, ingin m elihat
apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan
mem butuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah,
apa keahlian kalian?”
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
“Mem buat arak,” Rodriguez menjawab. “Kalau ada
buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.”
“Kalau kau pandai mem buat arak terbaik, kau takkan
gentayangan kemari,” Liem Mo Han m elecehkan.
“Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan
putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negerinegeri lain,” Esteban m emperkuat.
”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kam i,” jawab
Liem Mo Han.
“Boleh jadi,” sambung Esteban. “Kami juga bisa
menukang.”
Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit G ong Eng
Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem .
“Menukang adalah keahlian bagus,” kata Liem M o Han,
“dan aku kira takkan ada tukang lebih baik daripada
bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan
penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan
telapak tangan dua orang Portugis itu kemudian
menggeleng-geleng m elecehkan.”
“Mem ang kami tak pernah menukang dalam beberapa
tahun belakangan ini,” Esteban m embela diri.
“Pernahkah kalian menukang m embikin kapal?”
“Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju
seperti hiu,” Rodriguez menerangkan dengan bersemangat
“Betul, orang-orang bilang mem ang perahu luarbiasa.
Pernah kalian m embikin kapal?”
Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang
berunding dengan mata.
“Pernah,” Esteban mengangguk mengiakan..
“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!”
“Kapal apa? Kapal samudra? Kapal Portugis?”
“Tentu kapal samudra, kapal Portugis.” Rodriguez
meyakinkan Liem Mo Han.
“Aku tak percaya kalian bisa m embikin kapal,” Liem Mo
Han mencoba mem atahkan semangat mereka. “Kalian
terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun,
terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu
tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap
tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya
pembual”
“Betul, kami berpengalaman,” Rodriguez meyakinkan
lagi.
“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,”
Liem Mo Han terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah
hanya m enonton orang membikin kapal besar.”
“Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin
kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata
Esteban.
G ong E ng Cu m elam baikan tangan m enyuruh dua orang
itu menjauh daripadanya. Kemudian ia berundingan
dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang
gendut itu kemudian m emberi perintah pada Liem Mo Han.
“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala
kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa
Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu.
mem erintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam
sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal
Portugis datang kemari untuk mencari kalian… kalian
sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.”
“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat
Nusantara,” bantah Esteban.
Tetapi Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan:
“Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan
pengawalan boleh keluar dan situ.”
“Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian
yang m emaksa kami mendarat,” bantah Esteban.
“Dan kam i hanya hendak belanja,” sam but Rodriguez.
“Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya
dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah
mem berikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di
galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana
kapal kami dibikin dan mem berikan pendapat dan nasihat
sekedam ya.”
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya.
“Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala
mengambil sesuatu keputusan,” Liem Mo
mem beranikan mereka.
kami
Han
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin.
“Ya, kau bisa lakukan itu,” kata Rodriguez pada
temannya, “dan aku bisa mem bantumu. Terimalah.”
Tapi Esteban m asih juga m enimbang-nimbang.
“Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa
mem perrayai kalian.”
“Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?”
tanya E steban.
“Kami yang menentukan. Bukan kau,” Liem Mo Han
melecehkan dengan bibimya. “Hanya karena sikap
pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan
saja.” Ia m enunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum
juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak
kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar
ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah.
Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian
sanggup!”
“Ya, kami sanggup,” jawab Esteban.
“Betapa cepat keputusan
mem berikan komentar.
itu,”
Gong
Eng
Cu
“Makin kelihatan petualangan kalian,” kata Liem Mo
Han. ”Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami
telah kalian perbudak selam a tiga tahun. Lima di antara
kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang
kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada
kami. Begitu kalian….”
”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.”
Esteban m enanggapi.
“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari
Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira
untuk kalian.”
Esteban yang merasa tersinggung mem balas “Kelak.
kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa mem balas
dendam, mem bajak salah sebuah kapal Portugis yang
pertam a-tama kalian temui, menangkap semua awak
kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.”
“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami
keturunan awak armada Ceng H e yang besar….”
Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. Setelah
arm ada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini
kemudian berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri
dengan Malaka dan mem buka pangkalan-pangkalan di
Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat
perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan
pokok m ereka dirikan di Sam Toa-lang.
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan
perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai mem asuki
Laut M erah.
Untuk mem bikin awak armada ini tidak lenyap ditelan
oleh Pribumi, baik karena perkawinan mau pun karena
kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah
organisasi pengawal yang harus mem pertahankan lembaga
peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan
Lung atau Naga Selatan.
Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang
dihorm ati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai
utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai
Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia
diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toalang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan
kerajaan Demak
Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka.
Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhatihati.
“Mem bajak adalah penghinaan untuk awak arm ada
Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” Liem Mo
Han memperingatkan. “Kalau bukan karena kehendak
kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala
kalian. Hati-hati.”
G ong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan
tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: “Tempat
kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian
akan dipenuhi.”
“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,”
jawab Esteban, “tapi kembalikan barang-barang kami.”
“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barangbarangm u seratus kali benda-benda berharga akan kalian
dapatkan dari kami” kata G ong Eng Cu. “Jangan banyak
bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat
kemurahan terlalu banyak.”
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang
menghampiri
mereka.
Dengan
isyarat
mereka
mem erintahkannya berjalan keluar dari rum ah besar itu.
Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu
kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar
rumah batu dan terus-m enerus dikawal.
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih
berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar
dari mulut mereka. Kemudian dengan serentak mereka
berlutut dan m embikin salib dengan jarinya.
G ong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap
mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng
He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh
arm ada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat mem balas.
Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini
hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan
Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat mem berikan sedikit
tekanan pada Portugis.
Ia hendak pam erkan dua orang tangkapan itu pada
um um. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal
di Dasun. Berita tentang m ereka harus sampai ke Malaka.
G ong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak arm ada
Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang
di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao
Sam . Tetapi ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak
mem punyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja
setempat.
Setelah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan
sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia
kembali ke Tuban.
0o-dw-o0
10. Idayu, Kamaratih Tuban
Kumbang-kum bang itu berputar-putar mengigal dalam
tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun
yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka
gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah
dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampulampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna
yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang mem ukau
perasaan.
Seakan langsung dari langit melawan serom bongan
kumbang jantan, dan buyarlah sekelom pok betina yang
berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka
kemudian berkitar-kitar, berkelompok dan pecah.
Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah
lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang
berkobar-kobar. Sepasang demi
sepasang terbang
menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup
sampai ke dasar cawan.
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal
bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan
gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua
menjadi satu, dan satu untuk mem banyak dan mem biak
mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan
kumbang itu kehabisan cum bu, kekeringan rayu.
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam
lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Diceraiberaikannya pasangan itu. G amelan mengendap-endap ragu
dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih
tercam pak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina
yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan
perkasa.
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik
sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang
kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi
sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping,
tersangsang pada selembar daun bunga.
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu
adalah Idayu. Kamaratih Tuban.
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana
berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi
ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya
mem bisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua
gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang
mem ancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: Idayu!
Idayu!
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang
adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah
semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan
punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil
menebarkan pandang pada semua orang yang duduk
melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan
mendesiskan keluh kesakitan.
Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan
gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan
keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan
wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih
salah seorang di antaranya.
Idayu! Idayu! Hanya Idayu! Mengapa anak desa
perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia
menghembuskan
nafas
keluh
dan
ratap
yang
ditenggelamkan oleh bunyi gam elan. Seakan aku bukan seorang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun!
Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus
merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi,
menjam ah dan menelan tubuh yang sedang berlengganglenggok menari itu. Ia tak terbiasa m endengarkan gam elan,
tak terbiasa melihat tarian Jawa. Nam un semua itu terasa
jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang
mem bersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia
dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis.
Idayu nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan
kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya,
seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang
kehilangan akal dan berputus asa.
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang
mem anggil-m anggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan
geletar jari-jari yang mengundang bercengkeram a dan
bercinta itu….
Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal,
seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam
genggam annya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun
utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!
Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compangcamping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada
langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib
Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih
baru itu tidak lain dari dirinya.
Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di
belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampirham pir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata
rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan
dan gerak si penari. Serasi yang padu itu mem bawanya
terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak
tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan
kepayahannya mengurus pemborongan rempah-rempah
dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu
mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan
menggelepar. G amelan mendadak berhenti. Idayu menata
diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang
mengundurkan diri dari kalangan.
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan m endeham.
Pertunjukan selesai.
Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung
masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gam baran dan
bayangan tentang Idayu. Sebuah pintu rahasia telah
mem bawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya
sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah
pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke
dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang
mem asuki ruangan rahasia.
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya
ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang
mem bangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga
bawah tanah ini mem anjang hampir dua ribu depa, dan
dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap.
Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib
adipati yang digantikannya – tertumpas punah oleh
ekspedisi
hukuman
Majapahit.
Maka
dibikinnya
terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari
kepungan.
Setelah
bajak-bajak ini menyelesaikan
pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan
dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah
dibuka lagi.
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit
rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan
larangan.
Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia
mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat
kewajiban untuk setiap bulan mem eriksa dan memperbaiki
dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang
menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu
melapuk selam a lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang
basah pengap pun tak kuasa m erusakkannya: Sebentar Sang
Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan
tangan lain ia m enanting pelita gantung.
G ambar Idayu kembali mengunjungi pikirannya, dan
dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih
tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Kram bil
yang terindah itu. Tetapi Idayu telah jadi milik seseorang,
telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia
tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia
harus mati tanpa menjam ahnya. Ya, biar pun ia telah
kirimkan Wiranggaleng jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh
lakukan itu.
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalam nya ia
keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan.
Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan
dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang
telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah
ham pir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai
melumut di sana sini.
Tak lama ia m empelajarinya. Dikembalikan barang itu di
tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan
pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang
lembab dan m encekik itu m embatalkan niatnya. Mem ang ia
tak pernah berjalan sam pai ke ujung sana. Dahulu pernah ia
tutup dengan papan di dekat ujung, karena ia takut kalaukalau ular m emasuki dan menjadikan sarangnya.
Sam bil berjalan balik ke bilik peraduan gam bar peta dan
gam baran Idayu silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap
kali ia hendak m elukiskan tempat-tempat di mana Peranggi
berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi
yang akan diambilnya, gam baran Idayu juga yang muncul.
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk.
Ia keluar dan menuju ke keputrian.
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih
mem buat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis
nam a Wiranggaleng dengan huruf Jawa. Pada papan-papan
yang lain tercantum nam a petugas laut dan darat yang
bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat
itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu
pulang dari Jepara.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang.
Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya
tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.
Didapatinya Nyi G ede Kati telah nyenyak dalam
tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga,
melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia
mengangguk-angguk mem benarkan. Dalam kotak-sirihnya
sekarang tak pernah terdapat jahawe.
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke
dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur
terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air
dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari
saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam
gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan
mengangguk.
Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan.
Buru-buru lilin ia padam kan. Ia tinggalkan dapur dengan
tangan m enggerayang.
Tak lebih dari setengah jam kemudian muncul Idayu
mem bawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya
nam pan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap
hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti.
Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali
nam pan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di
bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar
dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia
meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin
dan deburan laut malam ini.
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru
karenanya terdengar lebih keras dan menggelisahkan
pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rum ah, sekalipun
tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was
ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan
nam pan di atas meja, juga pelita itu. Kemudian sambil
berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada
Hyang Widhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik
tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia
tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkutpaut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa
rusuh sekarang ini setelah menarikannya.
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah ram butnya
terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu
itu.
Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok
gigm ya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan
menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik.
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada
ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya
berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu
semalam ini?
Dengan cundriknya Idayu menepak binatang ramah itu
sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara
kakinya terpenggal.
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di
sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. Idayu
melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali
langit-langit dari jajaran papan.
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan mem akannya
kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja.
Setelah itu ia pun minum dari gendi.
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok
gigi. Setelah itu, sebelum tidur, ia akan mem bacakan
mantera untuk keselam atan suaminya. Tiba-tiba dirasainya
kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan
tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai
berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan
menuju ke am bin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada
tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya am bin agar
tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan
lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak
atau digerakkan.
Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia
masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia
ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus
mem asaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada
tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa
tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di
awang-awang. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat
sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia
terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari
badan. Yang tersisa hanya suatu kesuraman.
Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke
dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, tetapi bersarong
dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan
tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya
dari dalam. Diam bilnya pelita gantung dari atas meja dan
disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur.
Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian
dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hatihati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas
am bin….
Keesokannya matari telah tinggi di langit setelah dengan
susah-payah m enerobosi dasar laut Pintu kam ar gandok kiri
itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para
nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya
masing-m asing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar.
EM dapur kesyahbandaran Nyi G ede Kati sudah sibuk
mem asak.
Idayu belum juga muncul.
Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke
semua mataangin, Idayu baru mem bukakan mata.
Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu
impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia
menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya.
Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk.
Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di
tempatnya. Siapa gerangan telah mem indahkan dari
tempatnya yang biasa?
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali
ada orang masuk ke kamamya ataukah G aleng sudah
pulang?
Ia hendak melom pat turun. Tapi tubuhnya dirasainya
sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari am bin. Kakinya
tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong.
Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam
sarongnya yang juga tergeletak di lantai.
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam
sebelum tidur.
Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas am bin.
Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit
dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki
kecuak. Pelita gantung itu masih menyala tetapi tidak di
tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat
dalam impian: seseorang m engangkatnya ke atas am bin dan
hembusan nafasnya meniup pada m ukanya. Sayup-sayup ia
dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata
cumbu pada kupingnya.
Ia m emekik, tetapi tak ada suara keluar dari mulutnya.
Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke
am bin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi
bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia term angumangu. Apakah benar impin itu? Tuan Syahbandar Tuban
Sayid Habibullah Almasawa?
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang
bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil
dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas.
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari
impian semalam.
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada
tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian
apakah yang kau berikan padaku ini?”
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya.
“Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi G ede Kati
menolongnya berdiri. “Kau sakit?”
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di
lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi
ke tempat m andi.
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari
itu ia nampak murung. Tetapi impian itu mem burunya
terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, mem ohon,
mem baca mantera….
Tiga hari kemudian, tengah malam, ia menghadap pada
Hyang Widhi, mem ohon: “Kalau impian itu benar, duh
G usti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini?
Ambillah dia kembali, G usti.”
Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan
kepadanya.
Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga
Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan
sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk
menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang
melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya
bicara tentang itu.
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini
barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan
tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang
sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil.
Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa
datang berkunjung di dalam impiannya, dan mem bujuk,
dan merayu, dan mem eluknya, tindakan demi tindakan
sampai seluruh percintaan selesai. Ia m asih saja dapat rasai
sentuhan jenggot, kumis dan cam bang-bauknya.
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya.
Mengapa dalam alam impian tak dapat?
Ia pun ucapkan mantra-m antra penolak gandarwa
sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa
daya.
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan
Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan
pikiran itu saja sudah mem bikin ia bergidik, merasa diri tak
ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada
perlindungan H yang Widhi.
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan
kesyahbandaran dan pulang ke desa. Tetapi sang Adipati
tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani
mem persembahkan alasan.
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selam a ini:
ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung.
Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang
Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda
belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di
am bin kayu berukir.
“Kau pucat dan kurus, Idayu, Kamaratih Tuban. Ada
apa gerangan, pujaan Tuban?”
”Ampun, G usti sesembahan patik, justru itulah sebabnya
patik datang m enghadap. Limpahkan kiranya ampun G usti
Adipati pada patik, karena patik berhalangan untuk m enari
dalam beberapa bulan ini.”
”Ah-ya, Idayu, agaknya kami mengerti. Barangkali kau
mengandung.”
“Demikianlah adanya, G usti sesembahan patik.”
“Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak
berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati.
Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.”
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya
yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk
mem bela diri. Ia bersedia mem bela diri dan temyata dalam
impian tidak punya kemampuan. “Adakah lagi yang
hendak kau persembahkan?”
“Ampun, G usti, bila diperkenankan, patik memohon
diperkenankan pulang ke desa Gusti.”
Sang Adipati tertawa ramah dan tulus.
‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta
pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan
itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala Idayu dan
hendak mem belai ram butnya, segera ia menariknya
kembali.
“Jangan,” larangnya setelah duduk kembali di am bin.
“Suam imu belum juga pulang. Kalau kau perlukan
seseorang untuk mem bantu atau menemanimu di
rumah….”
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang
bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk Idayu.
“Dengar, Idayu, seluruh Tuban dan kami sendiri sangat
menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan
kawula Tuban dan kami selam a ini. Kau sekarang
mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami
tak berkenan mem biarkan kau pulang ke desa. Inilah
hiburan untukmu, majulah Idayu, dan terimalah.” Idayu
mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang
Adipati.
“Dan sejak hari ini. Idayu, kami berkenan mengangkat
kau dengan gelar Nyi G ede,” kemudian pada menteridalam , “hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada
sore hari ini juga,” dan kembali pada Idayu, “pulanglah
kau, Nyi G ede, sejahtera untukmu!”
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan
sejak itu ia m enjadi pem bantu dan teman sekam am ya.
Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan
berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih
Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk
menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi
semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang
dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh
negeri di kemudian hari.
Orang tua-tua
pun
pada
berbondong-bondong
mengerum uni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Pam an
Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan
sumbangan kepada Idayu.
Sebaliknya Idayu semakin berkecil hati. Semakin hari ia
semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan
sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari
balik kulitnya.
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di
am bin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk
setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya
dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti
tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu
kata.
Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari
kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakanteriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah
kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang
G aleng. Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia
anak Kang G aleng.
Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba
meyakinkan diri sendiri: ”Kau anak Kang G aleng, Nak,
anak Kang G aleng, tidak bisa lain.” Sam bil mem belai
perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau
drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku?
Kau anak Kang G aleng.”
Nam un tetap ada suara lain melengking dengan nada
tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu
mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan
Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak
Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, Idayu! Tetap tak ada
seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun mem bisu
tentangnya.
Nyi G ede Kati pernah menegum ya: “Banyak wanita tak
bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau,
Idayu, mengapa murung seperti tak rela mendapatkan
karunia?”
Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak
juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut
menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan
mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku
mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya
Batara, dan berikan pada kam i impian dulu dan selalu kam i
pohonkan dulu kepada-Mu.
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang
Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguhsungguh telah kehilangan keseram an dan kesungguhan.
Dan: Ya, Batara, biarlah Kang G aleng tahu lebih dahulu
anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia
puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi
haknya, karena hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada
gunanya..
0o-dw-o0
Tengah hari kala itu. Terdengar Pam an Marta berseruseru riang: ‘Tuan Syahbandar-m uda datang, Nyi G ede!”
Idayu merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki
seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari am bin, lupa
pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi,
kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin.
Disenyum -senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin
perunggu. Disisim ya ram butnya cepat-cepat, diminyakinya
dan disisirinya lagi. Diam bilnya pakaian terbaik tenunan
sendiri. Kemudian dengan terburu-buru menggosok gigi
dengan tepung arang.
Kang G aleng datang, hatinya ia paksa menyanyi keras
untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap
kesempatan itu.
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu
suam inya mem asuki pelataran depan. Tam an bunga di
depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya.
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya.
Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul.
“Benar, Nyi G ede,” jawab Pam an Marta. “Sahaya
sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di
bandar.”
Lelaki
itu
bergegas
meninggalkan
pelataran
kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseriseri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta
yang sedang merana itu. Tak lam a kemudian ia muncul lagi
dan berdiri menekur di hadapan Idayu; “Orang bilang, Nyi
G ede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.”
Nyi G ede Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan
berdarah, Idayu. Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu?
Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapm u?”
“Bolehkah sahaya pergi, Nyi G ede?” Pam an Marta
minta diri.
Idayu mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk
meneruskan pekerjaannya.
“Sejak kecil kam i bergaul tanpa perhiasan, Nyi G ede.”
“Sebaiknya kau kenakan, Nak.”
“Mengapa dia tak langsung pulang?” Idayu bertanya
dengan nada protes.
“Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus
menghadap dulu. Itu kewajibannya.”
Idayu masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk
mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian
karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia
yang telah diterimanya setelah kepergian suaminya. Suatu
kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian
tenunan sendiri.
Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu
nam pak mem asuki pelataran depan. Idayu berdiri
menyam butnya di beranda. Kedua belah tangannya telah
merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu
sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan mem bisikkan katakata cum bu.
Darahnya m endadak mendidih dan semua kerinduannya
buyar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni
tangga kesyahbandaran dan mem anggil suaminya yang
sedang berjalan menuju padanya.
G aleng berhenti, balik kanan jalan dan mem bungkuk
pada Syahbandar, majikannya.
Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia
tegakkan bongkok, melambai kemudian bertepuk-tepuk:
“Wira, Ah, Wira!”
Dan Wiranggaleng mengiringkannya masuk ke gedung
utam a.
“Semua orang mem ilikinya,
mem protes.
kecuali
aku,”
Idayu
“Mari ke gedung utam a, Idayu,” Nyi G ede Kati
mengajak.
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu:
“Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau
pulang, biarlah tak muncul lagi.”
“Cem buru kau, Idayu?”
Idayu tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya,
tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selam a ini. Sia-sia
Nyi G ede Kati menghibumya.
“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, kemudian
melangkah cepat-cepat ke gedung utam a. Idayu masuk ke
dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia m enyesal telah
mengasari Nyi G ede Kati yang selam a itu begitu baik
terhadapnya. Tak lama kemudian diketahuinya suaminya
masuk. Terdengar olehnya suaranya.
“Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.”
Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. Tetapi ia purapura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat
suam inya mengangkat tubuhnya dari am bin, mendekapkan
pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian
kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita – tangis
bahagia tanpa ukuran.
“Kau kurus, Idayu, Kau terlalu banyak menari.”
“Ah, kau, Kang G aleng, berapa bulan aku harus tunggu
kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku
seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang
sudah mengintip di bawah jantung ini.”
“Mengandung! Kau mengandung, Idayu?” ia letakkan
kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain Idayu. Ia ciumi
anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya
mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku
sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau
belaka,
Idayu, mereka semua mem ohon
untuk
kesejahteraan dan keselam atanmu. Dan anak ini juga.
Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka
bilang, kau sudah mendapat karunia gelar….”
Dan m alam datang dengan cepatnya.
Dunia m enjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak
meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi
malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu.
Idayu tergolek di am bin. Matanya terpejam menikmati
kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang
sedang tergolek juga.
Juara gulat itu sedang m engawasi sotoh dengan pandang
menembusi masa silam dan masa yang baru saja
dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang
punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugastugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap
berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil
pekerjaannya itu. Sang Patih telah mem bawanya
menghadap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada
Sang Patih untuk mengundurkan diri, kemudian sendiri
berkata
padanya: ‘Tidak
salah pilihanku,
kau,
Wiranggaleng, kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah
orang yang akan mem anggil kembali kejayaan dan
kebesaran masa silam untuk Tuban. Mungkin kau sendiri
belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu
sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang
seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau
ada kemam puan, hanya barangkali belum pernah terlalu
rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selam a ini ia sering
menari di sini.’
Ia berbesar hati karena semua pujian itu. Pujian dari
Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang
begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk
menyediakan waktu guna mem ahami di mana hasil
pekerjaannya di Jepara dan Demak selam a ini.
“Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya.
“Terlampau lama kutinggalkan kau, Idayu. Tak bisa
lain.”
“Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum
juga m enceritakan sesuatu.”
“Aku rindu, Idayu. Kau rindu juga?” dan Idayu tak
menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?”
“Aku selalu ketakutan, Kang.”
“Aku tahu apa yang kau takutkan,” Wiranggaleng
mem bayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban.
“Tetapi aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai
melakukan itu.”
Idayu merangkulnya. Suaranya gemetar: “Di tanganku
ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan
ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. Karena, Kang, dia
datang dalam impian.”
“Dan kata orang tua-tua,” Wiranggaleng meneruskan,
”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih
ingat itu, Idayu?”
“Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada
cundrik di tanganku.”
“Kau sedang bercericau, Idayu! Bicaramu begini aneh,”
dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa
maksudm u?”
Berceritalah Idayu tentang pengalaman mimpi yang
berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari.
Dan
Wiranggaleng
mendengarkan
cermat-cerm at
sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari
kekasihnya.
Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang,
sekiranya impian itu benar?”
“Im pian tinggallah impian.”
“Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan
anakm u?”
“Husy. Orang bunting m emang suka m engada-ada.”
“Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si
anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan
tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di
samping bangkai ibunya. Kemudian kau akan lari, lari, lari
entah ke m ana, mem bawa dendam dan kesakitan di dalam
hati. Tetapi tak ada tempat di mana kau akan pernah
sampai. karena ingatanmu selahi akan kembali pada
kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri….”
“Kau semakin aneh, Idayu. Diam, diam lah. Impian
tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau
haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di
ladang?”
Idayu terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan:
rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang
itu m elindunginya dari kegelisahan dan ketakutan.
Dan Wiranggaleng mem biarkannya. Angan Syahbandarmuda itu kini sibuk menggalang gam baran hari depan yang
penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua
dimulai dengan cipta, kata Rama during. Semua itu tak
bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin
pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta?
G uru-gurunya dulu belum pernah ada yang mengajarkan.
Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa
yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya:
kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaikbaiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan
inilah rupa-rupa jalan untuk mem anggil kembali kebesaran
dan kejayaan masa silam . Bukankah tidak lain dari Sang
Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan
kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa
restu seorang raja? Benar. Semua benar. Dan terpampang di
hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu:
Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang
menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau….
Semua akan terjadi karena jasa-nya, jasa Wiranggaleng.
Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban.
Mereka di barat sana tak tahu apa makna mem anggil
kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba
haridepan. Mereka tak tahu!
Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia
mengucapkan terimakasih pada mendiang Rama Cluring
dan semua guru-pembicaraan yang pernah didengamya.
Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam
hati suaminya, Idayu berbisik lembut: “Nampaknya desa
kita makin lama makin jauh dari langkahm u, Kang. Rasarasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana.”
“Sam pai,” bisik juara gulat itu.
“G ubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu,
Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan
berkeruyuk untuk selam a-lam anya. Dan anjing-anjing kita
takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.”
“Bisa.”
“Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau
tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan
mem bawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.”
Wiranggaleng tertawa dan ditariknya kuping is trinya:
“Makin tua kau m akin cerewet.”
Dan Idayu tetap mem eluk suam inya, menekankan
kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan
deburan laut.
Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan
kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa
batas.
Apa kata Rama Cluring? ‘Aku bicara tidak tentang
kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan
mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa
dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’.
Mengapa Idayu lebih suka bicara tentang kematian? Tidak
betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan
geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya
mencipta.
Pagi-pagi benar Idayu sudah mem ulai dengan katakatanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela
rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan
dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka Syahbandar
Tuban.
“Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu
mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa
kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu
malam.”
“Diam, Idayu. Kau terganggu karena kandunganmu.”
Wiranggaleng dapat menangkap kilat pada mata Thotib
Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan
cerita istrinya bukan tidak punya dasar.
Nam un ia tetap tidak m enanggapi.
0o-dw-o0
11. Menyerang Malaka
Duta Tuban yang menghadap Sultan Demak telah
kembali dengan mem bawa serta Raden Kusnan, salah
seorang putra Sang Adipati.
Beberapa minggu setelah itu pasukan laut Tuban naik ke
atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada
derm aga, sebuah jalur karang yang m enjorok ke laut. Lima
ratus prajurit laut akan berangkat meninggalkan Tuban.
Dan genderang ramai bertalu ditingkah oleh bunyi kenong.
Prajurit-prajurit itu telah menjalani latihan ulangan
selam a tiga bulan.
Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan
para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk
mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari
galangan. Dan memang tak pernah selam a kekuasaan
Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi
pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang.
Tahun 1513 Masehi.
G ugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden
Kusnan. Wiranggaleng dengan resmi telah diangkat jadi
pembantu-utamanya. Sang Adipati sendiri yang melantik
beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: Jepara.
Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, karena
nam paknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak
dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik
Tuban itu.
Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati
menjatuhkan titah kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan,
kami percayakan gugusan pasukan laut Tuban ini.
Berangkat kau sampai ke Jepara. Jangan tidak, bergabung
kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang
apa yang harus kau perbuat. Setelah bergabung kau berada
di bawah perintah G usti Adipati Unus Jepara, yang akan
bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu
dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu
dan anak-buahm u.”
Layar-layar pun menggelembung dan lima buah
kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan
cetbang bikinan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup
baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju
pelayaran tidak dipergunakan.
Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema
bersambut-sam butan. Makin jauh kapal-kapal dari darat
sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-um bul dan
selendang dan tangan.
Makin jauh lagi, um bul-um bul dan selendang digantikan
oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu
berpisahan dengan alam dan manusia Tuban.
Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah
baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai
mem buka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di
atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai
merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu.
Pada hari pertam a itu Wiranggaleng lebih ban yak
berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang
menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau
tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak
enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia
akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus
berjalan mondar-mandir begini ia harap akan mendapatkan
daya-tahan yang mencukupi
Tetapi penghormatan yang berlebihan itu mem bikin ia
menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian orang.
Dan ia tahu ia lebih diperhatikan daripada Raden Kusnan.
Mem ang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih
mem perhatikan pejabat yang berasal dari orang
kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati,
bukanlah suatu keluarbiasaan bila menduduki jabatan pen
ting. Tetapi anak desa, hanya karena keist ime waan saja
bisa m eningkat ke atas.
Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams
beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya
untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab
pandang mata bawahannya dengan senyum ram ah. Ia
dekati mereka dan dengarkan kata-kata m ereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak
bicara
mereka
yang
nampak
term enung-m enung
mengenangkan yang tertinggal di rum ah. Ia berusaha
menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat
yang m emperhatikan.
Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia
merasa malu pada dirinya sendiri. Ia m enyadari, diri belum
layak mem ikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi
Syahbandar-m uda selalu saja orang menyuguhkan pandang
kagum seperti itu. Dan sebagai Syahbandar-muda ia pun
masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan
sebagai pengawas galangan kapal di G londong ia lebih
banyak mondar-mandir daripada melakukan pengawasan.
Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang
pembikinan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda
gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa.
Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi
kebesaran untuk Tuban m erupakan riwayat pergolakan jiwa
yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Duaduanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam
hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan
waspada.
Ia m ulai m endapat ketenteram annya waktu m atari sudah
tenggelam dan malam mulai datang mem eluk alam. Ufuk
barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan
permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-
layar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondarmandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia
sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada
Idayu, pada G elar, si anak itu.
Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang prajurit
yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar
olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya G usti Adipati
tidak berputra, pastilah Syahbandarmuda Wiranggaleng
yang m emimpin gugusan kita ini.”
Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu.
Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjungsanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat
menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak.
Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri:
Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan
kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa
lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. Karena:
pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah.
Pada malam pertam a itu ia mendapat tugas melakukan
pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah,
di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda
pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa.
Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk
merenung dan ia m endekat. Mereka tak m engenalnya.
Di antara desauan angin dan gelepar layar didengam ya
salah seorang di antaranya menyebut-nyebut nam anya. Ia
menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan
dengan diam-diam.
“Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu? Orang
bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu
terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari
tandunya! Mana pernah ada?”
“Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat,
takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang
mem bantu mereka. Wiranggaleng dan Idayu merangkak
bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan
prihatin ke arah Sela Baginda.”
“Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang
menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita
Wiranggaleng. Siapa pun tahu di balik senyum dan
keramahannya: batin yang teraniaya di bawah timbunan
batu.”
“Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang
bilang tak mungkin Idayu mau dengan sukarela. Bahkan
Sang Adipati pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia
sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana
mungkin Idayu bisa menerima burung aneh dari Espanya
itu?”
“Siapa tahu G uti Adipati sendiri yang mem aksanya
untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?”
“Mem ang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan
oleh Sang Adipati,” seorang lain menggaram i. “Manusia
terkutuk!”
“Kalau Nyi G ede Idayu berani menantang maut
menolak G ush Adipati, tak mungkin dia mau menerima
Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan G usti Adipati. Dia
akan tetap mem ilih maut. Lagi pula apa sesungguhnya
kepentingan G usti Adipati? Ia sendiri mem berahikannya.”
“Lagi pula mengapa G usti Adipati tak juga mangkat?
Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis
cantik kita.”
Orang-orang itu terdiam. Masing-m asing mem antulkan
perasaannya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan
istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap
Syahbandar Tuban.
“Kabamya Syahbandar-m uda
seseorang m emulai lagi.
itu
jarang
pulang,”
“Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya –
lelah, pulang ke rum ah, dan lagi-lagi melihat bayi yang ituitu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa.”
“Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu?”
“Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu.
Celakanya dia dilindungi oleh Sang Adipati. Kalau tidak,
sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban.
Orang semacam itu tidak patut terkena keris. Pedang pun
mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.”
“Wiranggaleng sendiri yang sepatutnya melakukannya.”
“Justru dia yang melarang anak-anak Tuban
melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang,
‘jangan’. Anak-anak Tuban bertanya, ‘m engapa jangan? itu
bertentangan dengan adat Tuban’. Aku sendiri ikut waktu
itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang,
‘Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus
dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban’”.
“Jadi cerita itu bukan om ong kosong?”
“Tidak, aku sendiri menyaksikan.”
“Ah.”
“Coba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa
tidak meluap? Orang asing pula. Dengan cara yang
kurangajar pula.”
“Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari
kesyahbandaran. katanya berasal dari Nyi G ede Kati. Idayu
tidak dipaksa oleh G usti Adipati untuk melayani Say id
Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan
obat bius setiap Idayu habis menari dari kadipaten.”
Wiranggaleng berdiri dari duduknya, pergi menghindar
bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru
pelan: “Celaka! Bukankah itu Wiranggaleng sendiri?”
Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri
seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung
melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir
cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat
pada cerita Rama Cluring tentang lunas kapal-kapal
Majapahit.
Dan kapalnya terus melindas dan menerjang om bak dan
kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia m erasa seolah
setiap deburan om bak yang menghantam lambung kanan
sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelam aan
perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul.
Angannya mengem bara melintasi malam mengunjungi
masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak
lebih dari setengah tahun yang lampau….
0o-dw-o0
Ia rasakan betapa lama Idayu pergi tetirah ke Awis
Kram bil dengan Nyi G ede Kati. Sang Adipati telah
meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa.
Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serombongan
orang untuk menandu pujaan Tuban yang akan m elahirkan
itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari
ulung ini titahnya. Tak boleh kulim ya lecet barang seujung
jari pun. Hukum an berat akan menimpa kepala si
pelanggar.’
Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban.
Lam a benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia
sendiri tak mungkin berkunjung ke desa.
Kemudian datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang
diri di dalam kamar. Ia lihat Idayu berjalan mengendapendap mendekati serambi. Perutnya telah kempes. Jelas ia
sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya
gembung bcrisi. Ia melom pat untuk mengelu-elukan.
Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga
lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada
suam i untuk dibunuh.
Idayu nampak ragu-ragu mem asuki kamar. la pura-pura
tak m elihat kalung melati itu.
“Mengapa kau, Idayu? Kau begitu pucat!”
Ia lihat Idayu memandangnya begitu sayu. Waktu
ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan
pada badan istrinya.
Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung
melati itu dan ia lemparkan ke pelataran.
“Kau sakit.”
“Tidakl” jawab Idayu tegas tetapi menggigil.
“Mana anakku?”
Idayu menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab.
Wiranggaleng merasa mau mem ekikkan tanya: matikah
anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran.
“Anakmu belum lahir, Kang.”
“Kau sudah melahirkan, Idayu.”
“Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku,”
jawab Idayu dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih
juga terdengar gigilan di dalamnya.
“Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke
dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat
Mana anakmu?”
“Anakku, Kang, bukan anakm u, masih di belakang
digendong Nyi G ede Kati.”
“Beristirahatlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari
untuk menjemput anaknya.
Idayu mencegah, mem egangi tangan dan berkata terbatabata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu
itu,” tegahnya, “dengarkan dulu kata-kataku.”
Ia duduk dan dengan isyarat mem aksa istrinya duduk
pula.
Wajah Idayu yang pucat itu kelihatan mem ohon am at
sangat dan bersungguh-sungguh.
“Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu
tentang impianku… dan anganku, dan cundrikku yang tiada
berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian… Tuan
Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang.”
Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih
juga terheran-heran.
“Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan
kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga
bengkung. Tak ada kesam aan denganmu, Kang. Ampuni
aku, Kang, Kang, Kang—”
Ia terdiam dan terengah-engah. Diam bilnya cundrik dari
balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali
kebas sarongnya terlompat entah ke m ana. Cepat ia alihkan
tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya.
Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini
menjadi lemah, menggigil lebih keras ham pir-hampir tak
nyata: “Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik
pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia
telah menerima seorang lelaki lain dalam impiannya.”
“Dayu!” pekik Wiranggaleng.
“… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu.
Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah
bilang begitu juga pada Nyi G ede Kali. Sudah, Kang…
am punilah aku… istrimu yang tidak setia…”
“Mengapa kau ini, Dayu?”
Tangan Idayu yang gemetar itu masih mem egangi mata
cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada
suam inya.
“Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang G aleng….”
Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia
mem bunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik
waktu Idayu menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri.
Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya.
“Idayu, Idayu, adik si Kakang.”
“Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti
betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi,”
suara Idayu tak lagi menggigil. “Telah kukumpulkan
seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi
saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?” suaranya
merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas.
“Tidur. Tidur. Kau lelah, Idayu.”
‘Tidak!”
“Betapa menderita kau karena impian itu,” ia angkat
istrinya dan ditidurkan di atas am bin. Tariklah nafas
panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau
hati sedang tidak tenang.”
Kelibat bayang-bayang menyebabkan Wiranggaleng
menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi G ede
Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada
tangannya tergendong bayi dalam bungkusan.
“Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.”
“Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.”
“Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan
keluar.
Nyi G ede Kati nam pak waspada.
“Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang
untuk mengantarkannya untuk m elihat ibunya.”
“Mengapa hanya m elihat?”
“… melihat ibunya untuk penghabisan kali.”
“Mengapa hanya untuk penghabisan kali?”
“Barangkali susunya m asih sempat diisapnya.”
0o-dw-o0
“Wiral” seseorang berteriak.
Wiranggaleng terbangun dari kenangannya. Ia berjalan
melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden
Kusnan telah berdiri di hadapannya dengan bertolakpinggang.
“Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?”
“Malaka, G usti,” jawabnya sam bil menyembah.
“Bedebah! Dari mana mereka tahu?”
“Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, G usti.”
“Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan
bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu,
Wira?”
“Patik, G usti.”
“Pernah kau berperang, Wira?”
“Belum, G usti.”
“Apalagi perang laut.”
“Apalagi perang laut, G usti.”
“Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan
kau.”
Dari kata-katanya itu Wiranggaleng tahu, Raden Kusnan
pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang
laut. Tetapi ia tak m enanggapi.
G ugusan T uban terus berlayar tanpa sesuatu halangan.
Pada suatu senja sampailah gugusan itu di bandar
Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal
masing-m asing untuk melihat Jepara yang beberapa tahun
belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang
terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke
man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi
milik Tuban.
Tetapi pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu
nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan
beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali Wiso.
Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden
Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten
Jepara. Di sana tak ada mereka jumpai Adipati Unus
Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki
Aji Kalijaga.
Wiranggaleng melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan
tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan
terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata:
“Buyung! Mengapa Tuban lim a hari terlambat datang?”
Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun,
Kakanda Aji,
pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik
Tidak lain dari ayahanda sendiri G usti Adipati Tuban.”
Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya.
“Itu tidak patut,” katanya pelahan. “Biarpun seorang
ayah, seorang adipati, orang tak patut mem bikin malu
anaknya.”
“Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda?”
“Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah
mem alukan kita semua. Kau jangan bikin malu
kakandamu.”
Ki Aji Kalijaga mem balikkan badan dan berjalan tenang
masuk ke dalam kadipaten.
Raden Kusnan dan Wiranggaleng kembali bergegas ke
kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan mem beri isyarat
pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan
mengem bangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua
dayung.
“Wira!” teriaknya
dengan nada berang.
memanggil
pembantu-utamanya
Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat
wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini
merah-hitam dibakar oleh kemarahan.
“Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu
tentang keterlam batan Tuban yang disengaja ini. Lim a hari!
Terlambat lima hari!”
“Mereka semua sudah tahu, G usti.”
“Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?”
“Mereka tak melihat armada Jepara.”
“Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di
depan kita. Mengerti?”
“Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan
kapal, G usti.”
“Aku tak percaya m ereka tahu.”
“Ya, G usti, mengapa G usti berkata dem ikian? Bukankah
semua mereka kawula G usti sendiri? Bukankah mereka
bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa,
G usti, tapi kawula G usti sendiri?
Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan
kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya
dipukulkannya pada telapak tangan kirinya.
“Mem alukan,”
gumamnya.
kusembunyikan m ukaku ini?”
“Di
mana
harus
“Perang akan m enghapuskannya, G usti.”
“Ya-ya, perang,” ia berhenti berputar-putar.
Wiranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramahtam ah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua
bertanya mengapa Tuban terlambat. Dan mereka semua
tahu belaka akan keterlam batan itu sekalipun tak tahu tepat
berapa hari.
Ia hanya dapat menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat
ditempuh. Laju, lebih laju.”
Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membikin
perhitungan dengan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita
mendarat, dan.,..”
“Husy!”
Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah
dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu
mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan
bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan
mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. Tetapi
pelayaran mem antai itu bukan pekerjaan mudah untuk
kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi
angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh
seperti gila untuk m engejar ketinggalan.
Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung
tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri.
Angin tetap terasa kurang, sangat kurang.
Dalam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga
nam pak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi
sampai jauh-jauh di ufuk barat sana.
G ugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu
di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air
mulai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh
mendapatkan. G ugusan itu berlayar siang dan malam dan
terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa
singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan
petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan
perjalanan dengan
semakin tipis.
persediaan
bahan
makanan
yang
Dalam keadaan terpaksa gugusan Tuban mem asuki
bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan
cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi karena
soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus
dalam biliknya.
Syahbandar Banten, seorang Koja, mem bawa Raden
Kusnan dan pembantu-utam anya pergi ke kesyahbandaran
yang terbuat juga dari batu, tetapi tidak sebesar dan seindah
kesyahbandaran Tuban. Mereka dijamu dan mendapat
keterangan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah
meninggalkan pesan untuk gugusan Tuban. Dan pesan itu
akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada
yang untuk keperluan itu m emang ditinggalkan di Banten.
Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia
sendiri akan menjemput perwira arm ada Jepara. Dan
tengah m alam ia datang lagi beserta orang yang dicarinya.
“Anak sangat terlambat,” tegur Aji Usup.
“Sahaya telah kerahkan pendayung, Pam anda,” jawab
Raden Kusnan.
“Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan
pendayung.”
“Ampun, Pamanda, mem ang sahaya yang terlambat
sejak semula.”
Aji Usup mem erintahkan pada Syahbandar Banten
untuk mem unggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban.
Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan.
Wiranggaleng duduk di suatu jarak mendengarkan
dengan diamdiam.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan
dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru,
merugikan persiapan perang. G ugusan Tuban berlayar
bukan untuk mem buru bajak atau meronda pantai. Juga ia
menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang
menyebabkan gugusan harus berlabuh di Banten untuk
beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus mem ulihkan
kekuatannya.
“Sahaya memang tidak punya pengalaman
Pam anda,” Raden Kusnan m eminta maaf.
laut,
“Barangkali kau pernah dengar pendayungan terusmenerus kapal-kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal
Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya
bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang
menjalani hukuman sampai mati.”
“Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal
tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di
Banten….”
“Kami mendapat titah dari G usti Kanjeng Laksamana
untuk menjadi tetua gugusan Tuban. Jangan hendaknya
jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.”
Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu.
Wiranggaleng
mendeham,
tapi
Aji
Usup
tak
menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari dudukperkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja
mem perlambat keberangkatan untuk tidak menyertai
perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas
gugusan Tuban, kapal dan anakbuahnya dan prajuritnya,
term asuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban.
0o-dw-o0
Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal.
Raden Kusnan dan Wiranggaleng untuk kedua kalinya
harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui
mulut Aji Usup.
“Insya Allah,” kata Aji Usup kemudian, “kita masih
akan dapat menyusul Kanjeng G usti Laksamana di Riau
atau Tumasik.”
Setelah itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah
jadi dua. G ugusan-I menyusuri pantai barat Sum atra,
mem utari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan
gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan
pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara
Malaka. G ugusan-I telah berangkat dan hanya singgah
sehari di Banten. G ugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin
sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai
sebelah timur Sum atra dan bergabung dengan gugusan
pasukan laut Jam bi-Riau.
Di Riau G ugusan-II akan beristirahat sambil menunggu
gugusan Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari
Malaka yang menggunakan kapal-kapal dagang yang telah
dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan
pendaratan dan penyerangan dari selatan Malaka.
Aji Usup kemudian melakukan pemeriksaan di semua
kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah
sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan
ditunmkan di Banten.
Pembicaraan yang kemudian diteruskan mem buat
Wiranggaleng mengerti, bahwa armada Jepara menunggu
Tuban di Banten selam a delapan hari. Tetapi semua itu tak
menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa,
Demak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan
Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu
kali Demak akan mem ukul dan menaldukkan Tuban.
Tuban sebaliknya, mem biarkan dirinya mengulur-ulur
waktu untuk mem periihatkan diri untuk dapat mem ukul
Demak dengan jalan lain dan cara lain la pernah
mendengar. Sang Adipati tidak menyukai perang Maka
boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada DemakJepara hanya suatu dalih untuk m enjerumuskan musuhnya
dalam pengham buran kekuatan di Jepara, dan dengan
demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai
bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar.
Dan waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai
menyam but pengumuman, bahwa G ugusan Tuban akan
meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada
Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia m enjadi curiga
dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji
Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden
Kusnan menjadi hilang. Pemimpin G ugusan Tuban itu
tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup.
la catat semua yang dianggap kelicikan Demak-Jepara
dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan
dapat mem ecahkan teka-teki yang ruwet ini
G ugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari
kemudian. Kapal-kapal dagang para pelarian Malaka yang
dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari
ukuran kecil. Ia mendapat keterangan, G u-gusan-II akan
menam pung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para
pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi
setelah Malaka jatuh.
Di Riau ternyata G ugusan-II telah berangkat lebih ke
utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari
Laksamana karena keterlam batannya. Raden Kusnan telah
kehilangan semangat harus menelan
kemarahan tiga kali berturut. Aji Usup berusaha
menghibumya, tetapi temyata semangatnya telah patah.
Pimpinan gugusan Tuban diambilnya sama sekali, dan
dengan sendirinya Wiranggaleng naik menggantikannya,
juga atas perintah Aji Usup.
Kenaikannya mem berikan suatu kekuasaan untuk
melakukan tindakan yang mem utuskan, bila Demak-Jepara
bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji
Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan
akan dilakukan atas Tuban. Dan ia akan melakukannya
tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana Patragading telah naik
ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya
yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh
ayahnya.
Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak
dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya harus tetap
dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan.
G ugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin.
Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul
gugusan pelarian M alaka di Banten.
Bukannya empat hari, tetapi lima setengah hari Adipati
Unus telah menunggu gugusan Tuban di Riau sambil
mem beri kesempatan pada G ugusan-I untuk menerima
penggabungan gugusan Aceh. Setelah ternyata Tuban tak
juga nam pak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji
dan ia hapus dari perhitungan perang.
Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya
telah bergabung dengan G ugusan-I, dipimpin oleh seorang
perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat
sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajuritprajurit Jepara-Demak dan Aceh terdapat kelainan pakaian
yang menyolok. Jepara-Demak menggunakan celana dan
baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada
pada kelainan ikat-pinggang. Prajurit-prajurit Aceh
bercelana dan berbaju hitam , berdestar hitam. Perwiraperwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya
yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi
dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda:
tom bak, pedang, perisai. Karena mereka mengharapkan
perang lapangan, mereka tidak menggunakan panah. Pada
para perwira terdapat senjata-senjata jabatan.
G ugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran.
Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tandatanda yang diberikan oleh G ugusan-I. Portugis takkan
diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut.
Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukum an, atau
dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah
timur.
Laksamana Adipati Unus telah mem perhitungkan:
waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat M alaka
kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah
ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh
yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di
Malaka. Setelah itu musuh boleh melakukan serangan
balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus
mem utuskan kemenangan.
Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadapan
G ugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun.
Nam paknya G ugusan-I terlambat mem berikan isyarat. Tapi
tidak,
peluru-peluru
cetbang
daripadanya
mulai
beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi
dan gumpalan asap. W ama merah mem belah langit: juga di
sebelah utara sana tak ada nampak kapal Portugis.
G ugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula:
juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis.
Sayup-sayup oleh G ugusan-II kelihatan prajurit-prajurit
Aceh-DemakJepara, hitam dan putih mulai mendarat,
kemudian kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara
Malaka dan mem basminya dengan tembakan-tem bakan
cetbang. Dentum annya menggelora disambut oleh soraksorai G ugusan-II.
Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari
G ugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan
tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mulai
mem bubung ke udara.
Tetapi Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman
perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar
bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi,
sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau m ereka
semua, mem bendung, mem bubarkan dan menghancurkan.
Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan
yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya menggunakan
penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar
menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya
dengan tembakan-tem bakan musket. Dari pengalamannya
di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata musuhnya
lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut.
Dan
meriam-meriam
mereka
mulai
terdengar
beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang
setengah jam kemudian tembakan-tembakan musket mulai
terdengar. Tetapi kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar
juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota.
G ugusan-II makin menghampiri bandar.
G ugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru
cetbang dari kapal dan mulai menurunkan prajurit yang
tersisa. Nampaknya tak ada seorang prajurit pun sudi
ketinggalan menikmati kemenangan atas Portugis. Kapalkapal mereka tersauh kosong.
Laksamana Adipati Unus mem erintah mem berikan
tembakan peringatan terhadap G ugusan-I, tetapi tidak
digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong
tercancang pada jangkar masing-m asing.
G ugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbangcetbangnya mulai diarahkan ke bandar. Peluru-peluru api
itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan
pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi
di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan meniup
api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi.
Dari kapal-kapalnya G ugusan-II dapat melihat meriam meriam Portugis mulai ramai diarahkan pada kapalkapalnya. Tetapi cetbang menyapu sarang-sarang mereka.
Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balikbalik pepohonan yang masih utuh.
Sekarang peluru-peluru besi Portugis mulai beterbangan
mencari sasaran. Tetapi hujan petir cetbang menghalangi
mereka menembak dengan baik.
Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar
sorak-sorai prajurit gabungan dari G ugusan-I, yang dengan
kecepatan luar biasa m endesak ke selatan.
Karena kebingungan melayani serangan dari darat dan
laut meriam-meriam Portugis mulai berjatuhan sepucuk
demi sepucuk.
Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan
garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal
Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah
lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding
itu. Sebentar kemudian selembar papan baru telah nampak
ditambalkan dari dalam.
Dan sorak-riuh mengikuti.
Sebutir peluru besi lainnya telah mem agas mancung
haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia
sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang
bikinan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu.
“Dengarkan!” katanya sambil mengangkat tangan tinggitinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. G encarkan
tembakan kalian!”
Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapalkapal lain.
“Perhatikan laras, jangan sampai terlambat m engganti!”
Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di
sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah
pecah ambyar.
Unus meneruskan perintahnya: “Hari ini si kafir harus
angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau
Peranggi telah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian
selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi
milik kita bersama lagi.”
Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di
belakangnya: “Lihat peluru Peranggi itu. Dipaprasnya
mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh.
Tapi insya Allah, m ereka akan menerima
paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu,
Peranggi! Habiskan!” ia tertawa senang.
“Tembakannya semakin berkurang juga, G usti.”
“Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan
ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.”
“Tak ada nampak arm ada Peranggi, G usti.”
“Alham dulillah.”
“Betapa indahnya hari ini, G usti.”
“Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal
berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhanpelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka.
Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk
dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?”
“Patik, G usti.” Seorang perwira yang agak jauh memujimuji: “Perhitungan Kanjeng G usti Adipati tepat. Malaka
jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan
sembah.
“Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak.
Malaka telah jatuh di tangan G ugusan-I. Alham dulillah. Ya
Allah, ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana
telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu,
lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak
tertinggai kosong.”
Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan.
Tetapi G ugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan.
“Mendaratkah kita, G usti?”
“Tidak mungkin! Keteledoran G ugusan-I menyebabkan
kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi
Kantom mana – kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang
juga.”
Sebuah sampan diturunkan dan orang bercepat-cepat
mengayuh ke arah bandar.
“Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas,
sayap kanan G ugusan-II supaya maju sampai melewati
kapal-kapal G ugusan-I. Waspada ke sebelah utara!”
Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap
kanan G ugusan-II m ulai bergerak maju.
“Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua
kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.”
“Patik, G usti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah,
akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.”
“Insya Allah, kelam batan dan keteledoran dalam sehari
ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok:
pendaratan, perkubuan, pem buruan terhadap Peranggi….”
Malam pun jatuh.
Langit di atas M alaka merah-hitam oleh api dan asap.
Dari atas kapal-kapal G ugusan-II nampak prajuritprajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara mondar-m andir
menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari
daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga
tukang-tukang kayu sibuk mem betulkan kerusakan pada
tubuh kapal.
Sam pan utusan tiba dan mem bawa surat dari perwira
Kantom mana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang
menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk
besok hari. Sampan dikirim kan kembali, mem erintahkan
agar kapal-kapal G ugusan-II tetap diperlengkapi dengan
kekuatan.
Di atas geladak semua kapal G ugusan-II sembahyang
magrib dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani
dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. Kemudian
dilanjutkan dengan sembahyang isya!
Sam pan utusan datang kembali, mem bawa berita bahwa
prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi
dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan,
dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan.
Surya mem ancar cerah di pagi hari. Langit biru muda
dan bening. Kapal-kapal dari G ugusan-II tetap menjaga
perairan Malaka. G ugusan-I tetap kosong dari penjagaan.
Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi.
Mereka telah terbenam dalam arus prajurit gabungan.
Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di
mana-mana. G ugusan-II tetap tak dapat m endarat.
Dan bila G ugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit
gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa
gugusan Tuban dan Banten.
Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera
dan mem persembahkan pada Laksamana Unus, bahwa
Malaka sudah siap untuk didarati.
Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia
mendapat keyakinan, G ugusan-I memang tidak mematuhi
rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa
jawaban.
Tepat pada waktu perahu itu sampai ke bandar, dari
sebelah utara sayap kanan G ugusan-II melepaskan
tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayupsayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layarnya yang
tinggi bergam bar salib itu kembung sepenuhnya. Kapalkapal itu meluncur cepat ke selatan.
“Peranggi!” orang m emekik dari atas tiang utama.
Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang G ugusan-II
bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya
arm ada m usuh.
Pada sayap kanan G ugusan-II yang telah ada di sebelah
atas M alaka
Unus
mem erintahkan
agar
berlawan
sambil
mengundurkan diri bergabung dengan induk G ugusan.
Pada daratan diisyaratkan pada G ugusan-I yang lengah,
bahwa Portugis sedang mendatangi, dan mendesak agar
kapal-kapalnya diisi kembali.
Mengikuti
tradisi
Majapahit,
cetbang
hanya
dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak
diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang
merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari G ugusan-I
yang kosong cetbang-cetbangnya pun m enjadi bungkam.
Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi
kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang
menduduki tempatnya masing-m asing menghadapi perang
laut.
Armada Portugis ternyata lebih maju daripada yang
diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari G ugusan-I
turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masingmasing, guruh meriam Portugis sudah mulai kedengaran.
Kemudian disusul oleh tembakan balasan dari cetbangcetbang sayap kanan G ugusan-II yang m engawal G ugusanI. Armada Portugis itu maju terus sambil menembak – lima
buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja
putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari
G ugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis
dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa
tempat.
Pertempuran laut antara armada Portugis dengan sayap
kanan G ugusan-II nampak dari kejauhan seperti
perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan
lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyam bar. Dan
kapal-kapal G ugusan-I masih tertidur dalam kedamaian
diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada
kehancuran yang m endatangi.
Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan
G ugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat
mem balas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal
Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan
meriamnya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan
dan pada keperkasaan layarnya.
Sebuah kapal Portugis nampak terbakar layar-layam ya
terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat
sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan
dindingnya terbongkar, kemudian dengan ragu-ragu
menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan
dayung menghindari derasnya hujan peluru. Tetapi peluru
logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan
kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan,
lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena
terjang dadal tak dapat bertahan.
Laksamana m emerintahkan menghadang musuh dengan
tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan
meriam Portugis dengan mata kepala sendiri, dan m engakui
keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap
kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa mem bela diri.
Dan Portugis maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas
dirinya.
Sayap kanan G ugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah,
hilang ke dasar laut.
Portugis mulai menembaki kapal-kapal G ugusan-I yang
kosong dari prajurit, kosong dari pengawalan. Sampansampan prajurit bubar tak berani meneruskan mem asuki
kapalnya. G elegar meriam Portugis dan ledakan cetbang
G ugusan-II sam bar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah
demi sebuah dari G ugusan-I menyusul menyelam ke dasar
laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.
Dan arm ada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya
yang terbakar layamya tertinggal di belakang.
Unus mem erintahkan semua dayung dipersiapkan.
Keningnya berkerut melihat G ugusan-I tak sempat
melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah
melawan.
Dan arm ada Portugis semakin mendekat, semakin jelas
dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung.
Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru.
Dan kapal-kapal itu ternyata mem ang tidak lebih besar
daripada kapal bendera Demak-Jepara.
Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil
melihat tumpasnya sayap kanan G ugusan-II.
Cetbang G ugusan-II mulai menyemburkan tembok api
dan ledakan, tembok penghadang. Tetapi dalam pada itu
setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak
lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan
mem bunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal
Portugis tetap tak dapat dicapai oleh cetbang.
Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti
ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari
Blam bangan. Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis
tak mem berikan padanya kesempatan berpikir lebih lama.
Peluru-pelurunya tak mengindahkan tembok api dan
ledakan cetbang.
G ugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian
dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan
sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang
menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan.
“Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini,” Adipati Unus
mengangkat tangan ke atas.
Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak hentihentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga telah
menangguhkan pendaratan yang kemarin.
“Perintah G usti Kanjeng Adipati ditunggu,” seorang
perwira menyedarkannya.
Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat
beberapa buah kapalnya telah pada mulai miring, hancur
pada lambung, menungging karena pecah haluan.
Dan cetbang-cetbang
mereka….
tetap
tak
dapat
mencapai
“Ya Allah, bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan
pada semua kapal untuk m eninggalkan perairan Malaka!”
Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung.
“Cetbang tak m ampu, G usti.”
“Kami sudah lihat sendiri. Mereka mem ang lebih
unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang
mereka, sudah melawan dan m endatangi.”
Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga
pendayung.
“Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap
meriam? Apa obat dan bagaimana ram uannya kiram u?”
“Warta-warta itu ternyata tidak bohong, G usti. Senjata
mereka lebih unggul.”
“Ya, persiapan kita kurang sempurna.”
Pada waktu kapal-kapal dari G ugusan-II memutar
haluan, armada Portugis semakin m enggencarkan serangan
karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa
kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian
tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada
gudangsendawanya. Api menyemburat ke langit dan kapal
itu sendiri ambyar berkeping-keping.
Armada Portugis semakin mendekat juga.
Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiangtiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan
petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah.
Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih
seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyam bar siku haluan,
dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar
lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang m ancung
itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam
laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan
serpihan besi beterbangan.
Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak
bermandi darah. Serpihan besi telah m enghujani tubuhnya.
Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jam biRiau-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang
itu binasa dengan kekalahan….
0o-dw-o0
Tum asik telah di depan m ata.
“Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utam a.
Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di
belakangnya mengikuti Wiranggaleng. Semenanjung
nam pak semakin nyata.
Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak.
Tum asik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang
lalu, sepi. Orang sudah pada m engungsi dari situ.
‘Tidak singgah, langsung ke Malaka.”
G ugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar
kembang.
Setelah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu
dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya
mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak
lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga
pendayung.
Wiranggaleng naik ke atas tiang utam a, menghampiri
juru-tinjau.
“Barangkali kapal bendera Jepara,” kata juru-tinjau.
Wiranggaleng tak menanggapi. Mem ang kapal bendera
Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada
Aji Usup.
“G ustiku! G ustiku!” sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke
haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit,
dan kapal bendera yang som plak: “G ustiku, G ustiku! Ya
Allah, G ustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana
mem persatukan arm ada, hanya kau tahu cara mengusir
Peranggi. G ustiku! G ustiku!”
Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke
jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba:
“G ustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat
mem enuhi janji.”
Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan
adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh
nam pak seperti merpati compang-camping dalam
keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah
gom pal dan buyar dengan dinding tubuh menganga.
Bendera Jepara, putih dengan gam bar kupu-tarung, tidak
nam pak – telah terbabat oleh peluru Portugis.
Aji Usup mem erintahkan agar disiapkan sebuah biduk.
Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masingmasing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan
mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan
Wiranggaleng turun ke biduk menuju ke kapal bendera,
naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang
menghilang ke dalamnya.
Mereka memasuki kamar Laksamana.
Suasana berkabung itu mem pengaruhi setiap orang.
Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang
itu.
Di dalam kamar Laksam ana beberapa orang duduk di
atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas am bin
nam pak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di
sana-sini balut itu ditembusi darah.
Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang
nam pak.
“G usti, G usti!” ratap Aji Usup.
Bibir seonggokan tubuh di atas am bin itu bergerak
lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: “Masih juga
terlambat kau, Aji Usup?”
“Inilah patik, G usti, hukum lah patik!”
“Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna.”
“Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang m enghadap,
G usti,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patik, bunuhlah
patik, G usti. Tak patut lagi patik mengabdi pada G usti.
G usti! G usti!”
“Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati
janji.”
“Ampun, G usti Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi,
tetapi seseorang telah mendorongnya keluar.
Wiranggaleng mengantarkan Kusnan kembali ke biduk
Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang
pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak hentihentinya menangis. Dan juara gulat itu telah mem utuskan
dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya
pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban
ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan
kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil
tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.
Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka
mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden
Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi.
Wiranggaleng mem erintahkan pada seluruh gugusan untuk
mengiringkan G ugusan-II, juga memerintahkan melakukan
upacara berkabung.
“Sam paikan juga pada kapal-kapal Banten supaya
kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh
meneruskan pelayaran.”
Di Riau, kapal-kapal Riau-Jam bi yang masih selam at
mem isahkan diri dan mengucapkan selam at jalan pada
kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat:
selam at jalan pada arm ada yang pulang membawa
kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan
sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa
luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal.
Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk
mem unggah perbekalan, kemudian meneruskan pelayaran
ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus
mengiringkan.
Wiranggaleng sempat melihat bagaimana orang
berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa
arm ada yang somplak compang-camping itu. Semua
mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang
nam pak oleh mereka bukan sisa armada, tetapi kegagahan
Peranggi.
Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan
Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba
mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar
Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwiraperwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai
Blam bangan. Ada yang menyalahkan Kantom mana yang
tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh
punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat
dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelasjelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju
Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan
mem benarkan semua. Tetapi juga membenarkan: Adipati
Unus satu-satunya orang yang berani berusaha
mem persatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani
melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan
kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur
kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada
gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia menganggukangguk mengerti.
Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang
datang menyam but. Semua pekerja galangan kapal
berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal
bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal
bendera som plak dan tiang-tiangnya yang terpangkas
mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap
peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak
kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi,
bahkan semakin m emberati kapal.
Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang daripada
kekalahan sendiri.
Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri
Sultan Dem ak, juga datang mengelu-elukan.
Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh
Wiranggaleng turun ke biduk untuk menyertai Laksamana
mendarat.
Dari kapal bendera yang somplak compang-camping
diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat
di atasnya. Raden Kusnan dan Wiranggaleng mendekati
tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke
darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.
Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah.
Semua orang bersimpuh dan m enyembah.
“Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?” tanya Ratu.
“Inilah putra Ibunda, datang mem bawa luka dan
kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini – menyembah dan
mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.”
Wanita
tua
itu
menghampiri
putranya
dan
menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari
balik balutan.
“Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu
sekarang tahu.
Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah
mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.”
Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu
mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua
mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang
bereampur dengan desau angin dan deburan laut:
“Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah
mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah
pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain
berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara
telah mendatangi dan menyerang m ereka!”
“Perhatikan semua itu, seluruh kawula!” Adipati Unus
mem perkuat dengan suara lemah. Kemudian keluar katakatanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “Adipati Unus
Jepara terluka, pulang tidak mem bawa kemenangan, tapi
tidak mem bawa kekalahan. Jepara sudah bertempur
melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai
oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana,
tam batkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh
dunia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi
dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana
sampai um ur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali
kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!”
Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wiranggaleng
telah tak dapat merebut kesempatan untuk mem ikul.
Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan
bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas
tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa.
Tiga hari Wiranggaleng tinggal di Jepara sebagai
Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak
habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu
menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat
menangkap bahunya. O rang itu mencoba mengebaskan diri
sambil bersungut-sungut: “Kafir! Pengkhianat dari Tuban!
Kafir!”
Ia terpaksa melepaskannya dan m embiarkan pergi sambil
meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, um um di Jepara
telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus
terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung
semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban.
Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri.
Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk
mendapatkan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua
tentang Tuban dan dari Tuban!”
Hatinya terluka.
Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu
Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten:
“Kau, Wiranggaleng dari Tuban, kembali kau pada G usti
Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati.
Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu permulaan
yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah
mem berkahimu.”
Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan
langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera
mem erintahkan mancal.
Jam al
Konong,
pemimpin
gugusan
Banten,
menghadangnya di dermaga: “Tuanku Wiranggaleng,
kepala gugusan Tuban,” katanya sambil menyembah dada,
“raja Pajajaran tidak mem berikan ijin pada kami untuk
mendarat di Banten untuk selam a-lam anya. Kami hendak
menyatakan bergabung dengan Jepara, tetapi tak ada
punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan
Tuanku Laksam ana. Tuanku, perkenankanlah kami
menggabung pada Tuanku.”
“Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?”
“Utuh, Tuanku.”
“Baik. Mari mancal.”
0o-dw-o0
G ugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara
menuju ke Tuban.
Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di
bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat
semua dalam keadan utuh dan selam at.
Waktu Wiranggaleng mempersembahkan akan kapalkapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia
tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.
Ia sam a sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan.
0o-dw-o0
12. Timbulnya Kerincuhan
Wiranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermainmain seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat
dan kotor seperti bocah-bocah di desa.
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata
kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan
ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut
tertawa.
Ia ayunkan G elar ke atas kepalanya, dan anak itu
menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya.
“Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu Idayu
sedang di dapur.
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya
arm ada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat
itu! Sekiranya Peranggi sampai mem buru… pasti ia tidak
akan bermain-main dengan G elar, anak istrinya ini.
Peranggi tidak mem buru. Mereka mem belok ke kiri,
menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah
lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas
ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat
melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan
itu ia menjadi mengerti: selam atnya pangkalan bagi
Peranggi lebih penting daripada menghancurkan sisa
kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi
mem butuhkan pangkalan!
Ia turunkan G elar ke tanah, mengetahui Paman Marta
datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.
Dengan masih menggandeng tangan G elar ia
mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku
hanya seorang anak desa?”
“Sahaya, paduka Wira.”
“Husy.” tapi Pam an Marta tetap bersimpuh. Bertanya:
“Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.”
“Bangun kau! Jangan aku kau bikin m alu.”
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya
dibongkokkan, kedua belah tangannya m engapurancang.
“Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya,
Jepara kalah. Mau apa lagi?”
“Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira?”
“Apa itu paduka?”
“Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira?
“Apa itu bendara? Ya, Peranggi mem ang hebat.”
“Baru saja sahaya dengar, paduka Wira….”
“Husy. Apa yang kau dengar?”
“Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka
tidak mem burunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu
mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi
setelah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai
mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian,
Wira?”
Kening Wiranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia
serahkan G elar pada Pam an Marta. Ia langsung mem asuki
gedung utam a untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang
dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke
bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru
pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan
masuk ke dalam gedungnya.
Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Pam an
Marta sedang m enggendong G elar yang sedang menangis.
‘Tuan Syahbandar sudah ada di dalam , Wira,” katanya
sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung.
Wiranggaleng m elompat masuk ke dalam .
“Alham dulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,”
sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di
belakang m eja tulis.
“Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke
tangan Peranggi setelah Jepara kalah?”
Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan
berkecap-kecap
tanpa
menegakkan
bongkoknya:
“Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah
kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh
dunia. Lupa kau sudah? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat
sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau
mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita,
rangm uda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah
kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana
manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka
menggunakannya.” Kata-katanya membanjir seakan tak
bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan
dapat m enggunakannya dengan baik, dia akan m enciptakan
hukum nya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan
dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.”
Wiranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu
masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari
Syahbandar mem bakar hatinya. Pada suatu ketika kelak,
tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar
Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan
ikut serta m elakukannya!
Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya
sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.
Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya
Pam an Marta telah menunggunya mem bawa G elar yang
meronta-ronta dalam gendongan.
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya
sendiri.
G elar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan
meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan
kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan
diletakkan si bocah di atas ambin.
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya
Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar
Tuban itu m enyampaikannya! Ia duduk tepekur. Kemudian
ia pandangi G elar. Makin lama wajah itu makin
menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala
yang tipis, ram but yang mulai mengeriting, mata yang
bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung
bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia
mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.
Dan kesam aan itu mem ang tak mungkin ia dapat
lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali
mem asuki kamar ini…
0o-dw-o0
Nyi G ede Kati mengira Idayu telah mati di ujung
cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga
karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu
apa lagi, seperti tak sedarkan diri.
Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si
bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan
dari Wiranggaleng.
“Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali,
Wira,” katanya.
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi G ede Kati
mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya.
“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? Idayu sedang
tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk
mem basuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar
aku gendong bayi itu.”
“Jangan!” Nyi G ede menolak kontak dan dari matanya
nam pak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. Idayu
berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang G aleng’.
Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.”
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap
waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin.
Terdengar ratapannya, pelahan dan m enghiba-hiba: “Idayu,
pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka
hidupmu, Nak.”
“Dia tidak
mem betulkan.
celaka,
dia
berbahagia,”
juara
gulat
‘Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk
menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk
menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan
dicintai.”
“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah
G aleng.
“Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya,
seorang wanita utam a, dikagumi semua orang. Idayu, ah,
Idayu!”
“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya.
“Kau bukan wanita pertam a menderita semacam ini,
Idayu. Manakah darahm u, biar kucium sebagai
penghormatan dari semua yang mencintaimu?”
“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia
mem bantah, nam un tak dapat mencegah Nyi G ede
meneruskan ratapannya.
Dengan satu tangan Nyi G ede m eraba-raba tubuh Idayu,
dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia mem beliak
padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau,
Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehorm atan pada
Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung
cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.”
“Dia tidur. Mengapa m esti kucekik dia?”
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan
pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan
baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan
leher itu pun tidak cedera.
“Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?”
“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat
buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.”
Nyi G ede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi
dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa
banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula
cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian
sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah
mem bicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang
dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka
mem bicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau
percaya? Dan lelaki manakah yang bisa mem buktikan
seorang bayi itu anaknya atau tidak?
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya.
Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan.
Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung
cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata
itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau
senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas.
Mengapa yang menderita harus menerima hukuman?
Mengapa bukan si penyebab penderitaan?
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tom baktom bak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu
menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu
terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga
keselam atan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya.
“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku
punahkan.”
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia m emprotes Hyang
Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus
mem batalkan pelepasan dendam terhadap musuhpribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat
menam pung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan
tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah
mem atah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban.
Tetapi kemudian melengking suara Rama Cluring yang
mengharapkan dirinya dapat mem anggil kebesaran dan
kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati
yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan
itu terpanggil tanpa restu seorang raja.
Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja
Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan
aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku
keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang
banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku
mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan
langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati
penghalang jalanan ini!
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat
kebakaran mem basahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan
tangan telanjang m enuju ke gedung utam a.
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang
kuda dari kepatihan telah mem anggilnya. Tugas penting
telah memerlukan tenaganya….
Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan
Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah
menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara
kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada
dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi
diikuti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapalkapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok
bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah
melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua
minggu Portugis menduduki Sabang, kemudian pergi lagi
ke Malaka.
Orang m emberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai
kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, kemudian juga di perairan Jawa sendiri.
Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk
mem boikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam
hati
para
raja
Nusantara.
Tetapi pemboikotan
sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja Nusantara
mem ang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di
Malaka.
Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang
populer.
Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja
selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan
bersama antar-m ereka. la menganggap semua mereka
mem butuhkan Malaka, dan Malaka tak mem butuhkkan
mereka.
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya
telah mem bikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka
bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu
abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang
pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak
akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan
Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi
kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani
meram alkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya
adalah karena m asih disibuki oleh perkara-perkara lain.
Pada waktu itu Portugis mem ang sedang sibuk
mem asuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, menceraiberaikan armada-armada dagang Tuban dan Blam bangan,
mem bunuhi dan mem binasakan pedagang-pedagang
pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selam a ini
mem egang monopoli atas Maluku.
Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban
merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan
sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak
laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.
Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati
Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak
habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya
Tuban mem bantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin
Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli
pemborong dan pedagang Tuban dan G resik atau
Blam bangan. Maka bandar Tuban takkan selengang
sekarang ini.
Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan
jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh
Nusantara. Nasi telah m enjadi bubur.
Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi
berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka
bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten,
Sum atra Selatan, dan m engangkutnya ke Pasai.
Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan
ham pir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban.
Dan hanya pedagang-pedagang T ionghoa tetap tenang di
pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak
perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah
perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayukayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat….
Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tum asik
dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada
yang m emperhatikan m ereka dalam ketenangannya.
Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja.
Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan,
penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan
meram bat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.
G alangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja
galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.
G olongan pedagang besar yang semua terdiri dari
Pribumi Muslim dengan cepat mem indahkan kapalkapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka
toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan
dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman:
ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam
kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan
atas Malaka mereka mulai mengam bil sikap mem benci,
mem usuhi, dan m enentang Sang Adipati Tuban.
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama
mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam
menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan
kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka.
Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara
penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang
mem benci kejayaan golongan Islam. Pertentanganpertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang
lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan
mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antargolongan.
Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para
pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan m enjamin, Islam
juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemelukpemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada
usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa
dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa
perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah,
tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di
antara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama
mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di
barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu:
hanya kekuatan yang dijiwai oleh agam a baru itu saja
mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi,
sekalipun kalah. Tapi kelak?
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru.
Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita
tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewadewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si
manusia
sendiri
yang
bertubrukan
untuk
jadi
penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan
putra-putranya, dan siapa saja yang m enyembah dewa baru
ini.
Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya
akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi
raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah
Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengang,
kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi
sepi.
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak
lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian
dari Malaka. M ereka ditampung dalam asrama di luar kota.
Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk
melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah
dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis
di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan m akan
dan minum.
Dan pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya
hilang-lenyap tanpa bekas.
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk
melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa
mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar
Tuban.
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang
Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu
telah menggunakan kegelisahan um um untuk mencapai
maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu
ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia
mem ohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti
kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu
meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di
pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa.
Nam paknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga
mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk
mendirikan perguruan untuk mengem bangkan agama baru
itu. Masih juga ia mem ohon tambahan desa.
Dalam dua tahun mem egang lima desa itu telah
menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan
luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah
dikenal selam a itu, yang menyebabkan penduduk desa
bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan
didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga
mem ungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa
batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa
yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya
menjadi patuh padanya.
Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar
itu m ulai memperlihatkan sikap yang m emusuhi Tuban.
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa
itu mengibarkan panji-panji Islam untuk mem usuhinya. Ia
tidak bisa menerima ini. Ialah yang mem benarkan orangorang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda
Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mem pelopori
persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam
dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupatibupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan
keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula
yang mem benarkan putra-putranya masuk Islam dan
berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam
pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandam ya, telah
mengambil sikap memusuhinya.
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru,
kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi… semua
itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju
pada dirinya.
Persembahan terakhir m embenarkan dugaannya: seluruh
prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan
Rangga Iskak di desa Rajeg.
Sudah berkali-kali ia mem anggil putra-putranya di
Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru
pendam ai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun
di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam
hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan
sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putraputranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah
sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban
terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan
Wiranggaleng ke Demak karena bagaimana pun putra-putra
itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu
juga harus diperhatikan, ia selalu m embatalkannya. Ia harus
mem berikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa
tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah
permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus
kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid
Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk
mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya.
Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng
untuk tidak m eletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu,
biar apa pun kata orang tentang dirinya.
Dan satu hal yang selam anya ia menjadi ragu-ragu:
perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirim kan
balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban
akan mem anggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi
Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang.
Kalau dia tum buh menjadi kuat, mungkin Semarang akan
dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu,
bahwa orang-orang Tionghoa yang m endapat perlindungan
di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa
mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum
mem unculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara
suatu permulaan, tetapi kekalahannya di Malaka juga
menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukum an
itu sudah setimpal dengan kejahatannya.
Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya
sebagai penakut. Ia rum uskan penakutnya sebagai
kebencian terhadap perang – dan perang merugikan.
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi
Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg’adi ini: Bulan
sedang m enerangi alam. Tengah malam.
Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan
seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang.
Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang
berjalan seorang diri dalam kesepian.
Hanya desau angin dan deburan om bak yang terdengar.
Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah
meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi
ini.
Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga.
Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian
ia berhenti.
Dan Wiranggaleng yang berjalan agak jauh di
belakangnya melom pat ke tepi jalan, berlindung di balik
sebatang pohon asam.
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat.
Hilang-tim bul di balik puncak om bak, kemudian terayun
naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu
menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua
orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat.
Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok m atanya, takut
salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu
matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang
pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakannya dari
kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana,
sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal
Portugis dengan layar-layar tergulung.
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid
Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu
kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut
lagi, menuju ke kapal.
Wiranggaleng mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar
taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang
itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini
Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan m engapa pendaratpendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini?
Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? Dan
adakah Sayid nanti mem persembahkan peristiwa ini pada
Sang Patih?
Sam bil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati
tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap
gum amnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan,
mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut
itu terlalu keras.
Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia
berjalan cepat-cepat menuju ke m enara pelabuhan dan naik
ke atas.
Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur
nyenyak. Suatu gelom bang kemarahan menyebabkan ia
mem andangi mereka. Dan m ereka tak juga bangun.
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya
persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia
perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu.
Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi
dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke
dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja
Syahbandar.
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di
hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar
dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya
tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah,
masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia
menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Biar pun aku am bil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang
bisa m embacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali
ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga
itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai
mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu
nelayan nam pak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang
kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga.
Dan kala sinam ya mulai jatuh pada kepala mereka, m ereka
mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan mem bukakan mata
dengan malas.
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka
masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak
dengan mata belum sepenuhnya terbuka.
Ia m endeham. M ereka menggeragap dan baru m enyedari
adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat
pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata
Wiranggaleng yang tajam mengancam dan wajahnya
terbuka.
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan
mem ohon ampun.
“Keparat kalian!” sumpah Wiranggaleng berang dan
menyorong kepala m ereka dengan kakinya. “Apakah kalian
kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai
begini siang?”
“Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur
sampai begini siang. Wira selam anya dapati salah seorang
di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun,
am pun.”
‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.”
Mereka mencoba mencium kaki Wiranggaleng, tetapi
Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki
lemah.
“Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur
berbareng seperti ini?”
“Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah
hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….”
“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga
keselam atan tuan Syahbandar. Hanya di sini…”
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk
mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga
mem berikan.
“Ya, tugas kalian mem ang meninjau kapal. Dan kalian
lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk
penghabisan kali?”
“Kemarin sore masih ada di atas m enara ini, Wira….”
“Kemarin sore,” desak Syahbandar-muda.
“Betul. Masih ada di sini, Wira.”
”Apa diperbuatnya di sini?”
“Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.”
“Bangun kalian! Itu saja ceritanya?”
“Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira.
Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti
bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?”
“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian
tanyakan padanya sendiri?”
“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya
hitam tebal dan matanya tenggali. G iginya putih laksana
mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa
dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam,
katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh,
hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang
senang bergigi-hitam.”
“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan
Ispanya.”
“Diperintahkannya pada kami untuk mem bayangbayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan
Syahbandar, jangan sampai salah mem bayangkan. Rambut
mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila
tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya,
kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengem bang
seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila
dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya
seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?”
“Tidakkah
tuan
Syahbandar menyuruh
melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.”
kalian
“Hanya mem bayang-bayangkan, Wira. Begini katanya,
Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara
celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke
Tuban mem bawa perawan-perawan tiada tandingan itu,
lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas
sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal
nam pak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami.”
“Mengapa tertawa?”
“Mana kami tahu, Wira. Mem ang tak ada kapal. Dia
perintahkan juga kami mem bayang-bayangkan kapal-kapal
itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh
dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah
kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil
terus tertawa di belakang kami.”
“Apa kemudian?”
“Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun
dan pergi entah ke mana.”
“Kemudian kalian makan,” Wiranggaleng mendakwa.
‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.”
“Kemudian kalian minum.”
“Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.”
“Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?”
“Tidak, Wira. Hanya minum.”
“Terlalu banyak tuak,” Wiranggaleng mendakwa
lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di
sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah
bagaimana…”
“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua
orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayoh, makan dulu
sebelum aku bawa kalian m enghadap Sang Patih.”
“Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium
kakinya.
“Makan, kataku!” perintahnya Dan setelah mereka
makan m akanan yang setengah basi itu, ia mem erintah lagi,
“minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih
sedang di luar kota.”
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada
antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat
seperti hendak bengkak.
“Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka bergum am berat,
kemudian menggelesot tidur di geladak.
Ia mencoba mem bangunkan mereka. Tak berhasil. Ia
tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat
bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia
menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi.
Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh? Dia telah
teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi
penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah.
Idayu! Idayu! Mem ang Syahbandar itu patut aku binasakan.
Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. H ati-hati, kau!
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah
ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana m uncul layar salib
dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya
matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya,
yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu
mem bayang-bayangkan?
Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian
dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan
sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul
bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam
tidurnya. Ia mem ukul terus sambil melihat-lihat ke bawah.
Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun
dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian
kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan
menuju ke derm aga.
Ia berhenti mem ukul melihat Syahbandar meninjau ke
atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu,
tapi kemudian berjalan terus.
Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ram ai. Wanitawanita berlari-larian mem bawa barang dagangannya
menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk
mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian
pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau
menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah
dan sayur-mayur.
Waktu canang kadipaten telah menyam but, ia turun dan
segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang
pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram,
dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan
meronta untuk kemudian mati terkapar sekarang juga. Dia
akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan:
hukum an mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa
Idayu kemudian pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya.
Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang
noda itu tetap tiada kan terhapus.
Ia
belum
persoalannya.
punya
kesanggupan
menyelesaikan
0o-dw-o0
Untuk pertama kali Wiranggaleng ikut dalam iringiringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk
pertam a kali ini pula ia m elihat orang kulit putih dari dekat.
Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol,
langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara
seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana
kepala dan mana bawahan. Mereka tak m elakukan sembahmenyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari
pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup
dan keringat nampak mem basahi punggung mereka.
Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan
sepotong kain, kemudian mem asukkannya ke dalam saku
baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain
nam paknya tak m engindahkan orang selebihnya.
Berjalan paling depan adalah Martinique Lam aya. Di
belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di
belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang
adalah dirinya.
Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan.
Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan
padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan
rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah
yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar?
Apa pula isi surat itu?
Dengan ragu-ragu ia m ulai m enyimpulkan: mem ang ada
hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi.
Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam
mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan
siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis
hubungan ini?
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala
makara gapura telah tiada. G erbang itu sendiri seluruhnya
telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir.
Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir
tersohor itu. M emang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya.
Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain.
Mungkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia
menyediakan diri jadi perintis hubungan m ereka?
Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.
Di penghadapan
kejauhan.
hanya
Wiranggaleng
duduk
di
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak
pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar
Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo.
Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa
ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan
sekali ini nampak kehilangan wibawa.
Syahbandar-m uda merasa tersinggung oleh sikap tamutam u kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa
sesuatu persembahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada
Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk
pertam a kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka
belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adatkebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir
menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk
pendatang-pendatang baru itu.
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu
Wiranggaleng tak dapat m elihat perubahan-perubahan pada
wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis
mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung
keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan
Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: “Bukan
maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang
menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan.
Nam paknya tujuan kami masih jauh. Maka kami
mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat
perlindungan di bandar G usti Adipati. Berhubung salah
jalan ini, G usti, m enyebabkan perhitungan kami juga salah.
Tentang ini akan kami persembahkan nanti…”
“G usti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke
Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa,
bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini
telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di tangan kami.
Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan
lain….”
“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang Adipati gusar.
“Mem ang tidak sedap untuk didengar, G usti,” tam bah
Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.”
“Patik telah terjemahkan dengan betul, G usti.”
Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar
meneruskan: “Kami datang dan mem butuhkan beras,
sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang
akan kam i bayarkan. Mas Peranggi.”
“Tuan Syahbandar,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk
urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar?
Bagaimana soal begini dipersembahkan pada G usti Adipati
Tuban?”
Sekilas Wiranggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati
dari sela-sela kaki para tam u. Mukanya merah-padam
karena tersinggung. Sebentar saja:
Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga
Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam
kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan
pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka.
Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih:
“Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?”
“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, G usti. Mem ang
mereka belum atau mem ang tidak tahu adat. Rupa-rupanya
mereka belum pernah belajar menghormati sesam anya,”
sembah Sang Patih.
“Ampun,
G usti
Adipati
Tuban,”
Syahbandar
meneruskan. “Adapun pekerjaan patik mem ang mengurusi
semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.”
“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi
kebutuhannya.”
Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang
Portugis kembali ke pelabuhan.
0o-dw-o0
Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya
menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng
ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan
orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar
bandar sambil berseru-seru dan mem ekik-mekik ketakutan.
Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan m ereka.
“Mereka mengamuk,
Peranggi itu!”
Wira!
mereka,
orang-orang
Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah
terjadi antara serom bongan pedagang pelabuhan dengan
awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang
mem andangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam
pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.
“Wira! Syahbandar-muda!” dua
menghampiri. “Mereka merampas,
melukai.”
orang berlarian
mengamuk dan
Dalam Melayu Wiranggaleng berseru-seru: “Peranggi,
hentikan!”
Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam
kepungan beberapa belas orang Portugis.
“Syahbandar-m uda bicara di bandarnya’ ia berseru
dengan nada m emperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian.
Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!”
Orang-orang
Portugis
itu
mengejek
dan
mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka
mem perlihatkan sikap hendak m enyerang.
“Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda,
Wiranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali!”
Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada
mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya
perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking.
Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang
lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung
seperti macan terkena tom bak. Ia melom pat sambil
mem ukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orangorang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu
berjalan hanya beberapa detik. Kemudian ia sempat
menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan,
kemudian ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas temantemannya sendiri.
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu
nam pak mengem bang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia
rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya.
Beberapa kali kepalanya m enggeleng karena terkena tetakan
dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan
tendangan. Ia hanya hendak m eremukkan seorang lagi yang
dapat ditangkapnya.
Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan
orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada
kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi
kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling
untuk mem bubarkan kepungan.
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya,
jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar.
Kawan-kawannya merubungnya.
“Kembali! Kembali ke kapal!” raung Wiranggaleng.
Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang
berlabuh.
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu.
Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis
mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya.
Dan keadaan am an kembali. Lebu yang berkepulan lambatlambat m ulai lenyap dibawa angin lalu.
Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar
segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan
lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan
tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah
begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan temantemannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah
bumi ini bumi Tuban dan bukan bum i Peranggi? Belum lagi
mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak
tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau….
Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah
Almasawa mem uncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan
orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa
Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan
kerisnya pada tubuh orang terbenci itu?
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan:
Syahbandar-m udalah orang pertam a-tama yang telah
mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak
lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai!
Di T uban!
Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesarpembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu
atau mem ang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar.
Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.
Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang
sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan
hendak m endengarkan berita yang lebih baru.
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka.
Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala
sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan:
“Kau benar, Wira, kau benar.”
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan,
berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir
semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik
dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru.
Keterlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni.
Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka
mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, ruparupanya semua akan jadi beres.”
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menam bahi: “Bukan
adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia
merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia
baru manda, bukan Wira?”
“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu
warung,” tegur W iranggaleng.
“Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak
ada pekerjaan.”
“Mem ang G usti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar.
Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi
akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertam a itu
meneruskan. Suaranya berkobar-kobar.
“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali
bebas seperti dulu, Wira. Sayang G usti Kanjeng Adipati
Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah,
Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali G usti Adipati Tuban,
barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu
tindakan terhadap kekurangajaran tam u-tamu itu. Berani
bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak
oleh G usti Adipati.”
‘Tapi hari ini kau yang m enang, Wira.”
“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah
binasakan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat,
mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai
sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira.
Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari
kezalim an, ibu dari kesewenang-wenangan.”
“Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari
orang-orang Islam,” seseorang menambahi dengan gemas.
“Kalau tidak, celakalah kita semua.”
“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini,
kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan,
tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan.
“Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak
baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan Islam
menengahi. “Apakah bukan orang Islam yang merampas
Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang
mem bikin gaduh di pedalaman?”
Wiranggaleng tahu, kalau percakapan ini diteruskan,
orang akan bertengkar soal agam a. Dan sekarang Peranggi
datang m embawa agama lain pula dan dengan perangainya
sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua
orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak
lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukum an
mati tanpa jelas perkaranya.
“Hancurkan kapal Peranggi itu,” tiba-tiba seseorang
mem bakar-bakar gem as.
“Husy,” cegah Syahbandar-m uda. “Itu melanggar
am anagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri
dihancurkan di bandar asing? Dihancurkan tanpa sebab
perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka.
Dan di Tuban tidak ada perang.”
“Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut
digulung.”
“Lebih dari patut.”
“Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.”
“Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya purapura tidak tahu.”
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara
bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang
angkat bicara.
“Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?”
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya
sendiri ke jurusan kesyahbandaran.
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya
hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan
lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran.
Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga
para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju
ke sana.
Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang
Portugis sedang mem ukuli dua orang yang terbelenggu
tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan
lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu:
“Ayoh, tam bahi dengan lima babi!”
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang
dianiaya itu orang-orang Muslimin.
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orangorang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.
Darah Wiranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. Dan
justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran
padanya.
“Lima babi!” Portugis yang lain ikut berteriak menuntut.
Sebentar
terdengar
pikulan
Syahbandar-muda
menangkisi pukulan. Kemudian menggeletar pekikannya:
“Ini yang kau pinta!” pikulannya berputar menghantam
tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung.
Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia
melom pat dan menyeram pang kaki yang ketiga. Mereka
tergeletak berkaparan.
“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada
berdatangan.
“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya,
“mengapa kalian dipukuli?”
“Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor.
Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu
kurus. Mereka minta tam bah babi lima. Bukan sedikit.
Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi.”
“Kalian berdua pedagangnya?”
“Benar, Wira.”
“Dan m emang kurus sapi-sapi kalian?”
“Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking,
cacingan hampir mati.”
“Dasar rakus!” Syahbandar-m uda m eludah ke tanah.
Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke
derm aga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus
dirawat di warung Yakub.
Wiranggaleng kembali ke syahbandaran.
0o-dw-o0
Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan
tugasnya.
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh
upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih
sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar AzZubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru
ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri,
hilang
sikap
besar
yang
selam a
ini
selalu
dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak
mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka
mulut.
Ham pir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan:
ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka
dengan Syahbandar. Tetapi ia belum berani meneruskan.
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu
dari dapur. Dan G elar telah tertidur di punggungnya.
“Betapa rewelnya tam u-tamu yang sekarang ini,” juara
gulat itu m engadu pada istrinya. “Orang Peranggi pertam atam a, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun m ereka
menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!”
Idayu tak menanggapi. Ia pindahkan G elar dari
punggung ke atas ambin. Sam bil menguap ia berkata:
“Sudah malam, Kang.”
“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan
berkeruyuk,” ia duduk dan m encoba berpikir tanpa bantuan
pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang
mencurigakan itu.
Idayu telah tertidur di samping G elar.
Tak mungkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum
berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan
Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk
menyerang, karena hanya dengan satu kapal. Lagi pula
Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-M aluku. Benarkah
tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya
pelabuhan kerajaan Blam bangan yang bukan Islam itu?
Tetapi dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan
jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar
mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa? Dan untuk
apa pula singgah di Tuban? Ada apa di Panarukan dan
Pasuruan sana?
Ia berpikir dan berpikir.
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari
gendi dan duduk lagi pada tepian am bin.
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran
penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari
kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan
Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila m ereka
sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu
pada suatu kali orang tak mem perkirakan. Kalau Jawa
kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah
Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan M alaka
telah jadi miliknya.
Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka
yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang
pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti.
Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus
temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah.
Orang-orang Islam semakin mem perlihatkan permusuhan
terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepatcepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin
merana, mungkin sampai mati.
G elar terbangun m enangis minta minum.
0o-dw-o0
13. Meningkatnya Kericuhan
Kuda itu berjalan pelan-pelan mem asuki Pecinan.
Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya
beriram a. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti
menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti
serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang
menderam kan genderang. Dan di atasnya duduk
Wiranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko.
Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang
miring dan bersibak pada belahan tengahnya.
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang
perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu
kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati
tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti
baju antakesum a, dan pada dadanya tergantung kalung
berbandul perhiasan perak ukiran bergam bar pohon
kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang
biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit.
Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya
terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari
Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk
bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa
yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu
berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi
kalim aya kecil-kecil putih keruh m engkilat m erupakan m ata
dari ikan perak itu.
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut
kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah.
Dua orang berkuda m engikuti di belakang, bersenjatakan
tom bak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang
masing-m asing.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda
mem balas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.
“Tuan Syahbandar-muda!” seseorang memanggilnya
dalam Melayu. “Berhenti dulu, Wira.”
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya
suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi
sedang siap hendak m enghampirinya sambil menutup pintu
gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan
berbuah baju kain pula.
Wiranggaleng turun dari kudanya. Sudah beberapa kali
ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nam a dan tak
tahu rum ahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya
menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya.
Dan orang itu mem berikan hormat dengan caranya
sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut
tersenyum.
“Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan
Syahbandar-m uda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau
Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub….”
Wiranggaleng mem perhatikan orang yang fasih Melayu
itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang
yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah
berpengalaman di bandar-bandar Nusantara.
“Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan.”
Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata
punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan
matanya. Dengan tangannya ia mem beri isyarat
mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di
rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta
perhatian khusus.
Syahbandar-m uda
menyapukan
pandang
pada
kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu
dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya.
“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.”
“Dari siapa?” tanya Wiranggaleng.
“Dari Mohamm ad Firman.”
“Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu.”
“Sahaya hanya sekedar menyampaikan.”
“Islam baru atau lama?”
“Tak ada Islam lama, Wira, semua baru.”
“Di m ana tinggalnya?”
“Tidak menentu, Tuan Syahbandar-m uda. Dia seorang
musyafir Demak, m engembara ke mana-m ana.”
“Apa itu musyafir Demak?”
“Semacam pekerjaan, Wira.”
Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di
Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga
dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya – seorang
Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: “Di mana kau
bertemu dengannya?”
“Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama
sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya,
sebelum dia m asuk Islam,” dan ia tetap tak memperlihatkan
tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia
mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.
“Apakah balasan diharapkan dengan segera?”
“Tidak, Wira, tidak.” Kemudian ia berkata dengan nada
lain, “Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke
kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.”
“Ya,” dan Wiranggaleng m ulai mem bacanya.
Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda,
mem perhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu
masing-m asing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada
wajah Wiranggaleng dan mem ajukan binatang mereka
beberapa langkah serta m enyiapkan tombak.
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat
lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta
pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu –
sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang
Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu
dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir
kesayangan.
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya,
melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya,
dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan.
“Pengirim ini bernama Mohammad Firman?”
“Benar, Wira.”
“Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah
Pada?”
“Benar, Tuan Syahbandar-muda.”
Berdua m ereka berjalan ke warung Yakub. Wiranggaleng
sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara.
Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh
perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang m ata orang telah
melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun
terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit
Sam bil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan
arak juara gulat itu mulai m embaca lagi:
“Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda T uban,
W iranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri,
dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati
datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu.
Bagaimana mungkin? T uban telah membunuh aku dan
melemparkan aku ke laut. T uban itu juga yang tetap
menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup.
Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa
besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong
kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya
seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang
penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria… .”
Wiranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan
disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya,
kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi
orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga
tersenyum dengan bibir dan matanya.
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan
mem benarkan
bacaannya.
Dan
perbuatan
itu
menghilangkan kecurigaan G aleng. Ia meneruskan
bacaannya:
“Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya,
kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun
adik ini senakal setannya T uhan Allah, Kang, dan biarpun
kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap
kakangnya yang harus dibalas budinya.
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam
surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat
membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan.
Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan T uban. Bicaralah
sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama
denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.”
Sementara itu orang Tionghoa itu telah m engatur cawancawan arak di atas meja di depan m ereka. Ia menyodorkan
sebuah cawan sambil berbisik: “Sahaya bersedia m embantu
Tuan Syahbandar-m uda,” ia masih juga tersenyum. “Liem
Mo Han nama sahaya,” suaranya jelas walaupun warung
itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum.
Yakub mem perhatikan keduanya dengan selintas.
Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo
Han mengajaknya minum, untuk kemudian keluar
dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya
yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian
kalinya m emaksa ia menerima ajakannya.
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang
mata semua yang tertinggal.
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana.
Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga
berjalan.
“Mem ang sahaya sedia mem bantu,” Liem Mo Han
mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam
Jawa halus. “Mohamm ad Firman telah mem bicarakan
kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali.
Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan,
Wira.”
Wiranggaleng m asih jua belum mengerti maksudnya dan
diam mendengarkan.
“Mohamm ad Firman dan sahaya tahu, ada satu
kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa
Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid
Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang
dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu,
Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orangorang Peranggi.”
“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.”
“Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan
untuk Wira.”
“Sayang, sekiranya Babah datang lebih
Syahbandar-m uda itu berkecap-kecap menyesali.
dulu,”
“Sahaya datang setelah dapat mengalahkan keraguraguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya
bacakan?”
“Nanti pada waktunya, Babah.”
“Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada
satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang
Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari
dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari.
Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak
tahu. Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak
mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah
pelabuhan.
“Tak ada larangan selam a mereka tidak meninggalkan
pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.”
“Benar, Tuan Syahbandar-m uda. Tetapi Peranggi adalah
Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan
hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.”
“Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di
Jepara?”
‘Tidak keliru, Wira, itulah m ereka.”
“Mata-mata.”
“Sahaya belum dapat m emastikan. Nampaknya m emang
demikian.”
“Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara.
Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?”
“Lam a sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan,
mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi?
Penembak meriam!”
“Penembak meriam!”
“Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah
perlindungan T uan Sayid sendiri? Hampir-hampir satu atap
dengan Wira?”
“Ha?” seru Wiranggaleng, ia mencoba menembusi mata
Liem Mo Han untuk dapat m embaca pedalamannya.
“Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firm an?”
Wiranggaleng mengangguk mem benarkan. “Mohamm ad
Firm an adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya
mengatakan yang tidak benar pada Tuan?”
Wiranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang
kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang
meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya.
“Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi
itu. Syahbandar Tuban pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak
ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan?
Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas-awaslah selalu,
tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang
menyalahi ketentuan.”
“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, G usti.”
“Di sini tidak atau belum . Babah boleh mem bantumu,
bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu,
tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai
lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama
soalnya Semarang, persangkutannya selam anya Demak.
Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah
mem boroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.”
“Mereka
tinggal
di
Wiranggaleng m emotong.
kesyahbandaran,
G usti,”
“Lebih baik lagi, dan mem ang sudah jadi hak orang
asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.”
“Mereka pelarian dari kapal Peranggi, G usti, penembakpenembak meriam.”
“Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin
menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam
mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak
meriam pula, G usti Adipati tentu akan menaruh perhatian.
Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan
kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah
melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku
belum . Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di
Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan.
Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu
mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka
tinggal di kesyahbandaran. Pergi!”
Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama
di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban m asuk ke dalam
harem.
Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada
pengurus baru ia berbisik m emperingatkan: “Jangan sampai
terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan
kau ulangi perbuatan Nyi G ede Kati. Hukuman yang akan
dijatuhkan kemudian akan lebih berat.”
Ia diam m endengar-dengarkan.
Dan mem ang ada didengamya suara-suara beberapa
orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik
yang terkunci dari dalam.
“Siapa itu?” bisiknya bertanya.
“Ampun, G usti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari
kawula G usti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.”
“Nyi G ede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu
sebelum waktunya?”
“Tidak, G usti, patik tidak tahu mengapa sekarang
begitu.”
Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di
tanah
dan
pelan-pelan
mendekati
pintu
untuk
mendengarkan.
“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa
punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa Tuban itu
mendengar.
“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara
yang lain.
“Kerusuhan sudah meruyak ke m ana-m ana,” suara yang
ketiga.
“Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nam paknya Ki
Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke T uban. Bagaimana
desamu?”
“Belum sam pai ke perbatasan desa kam i,” jawab yang ke
empat.
“Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga
ke sana sekarang?”
“Kalau G usti Adipati belum menggerakkan balatentara,
tentu belum ada yang mem persembahkan,” suara pertama
menyimpulkan.
Sang Adipati kembali mendekati Nyi G ede Daludarmi
yang m asih juga bersimpuh di tanah.
“Berapa um urm u, Daludarmi?” bisiknya bertanya.
“Tiga puluh lima, G usti, menurut perhitungan surya.”
“Apakah kau Islam?”
“Patik, G usti.”
“Mengapa menurut perhitungan bulan?”
“Patik tak tahu menghitungnya, G usti.”
“G ila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi!
Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga
jadi selir?”
“Semua G usti Adipati
menentukan, G usti.”
sesembahan
patik
yang
“Tiga puluh lim a tahun masih muda, Daludarmi,” bisik
Sang Adipati. “Dan kau belum pernah beranak.” Sang
Adipati mulai merabai tubuh pengurus harem itu. “Kau
masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara.
Kemudian, “Coba, mana mukam u?” dan ia pandangi
wanita itu dalam kegelapan malam.
Ia tak teruskan dengan mem bikin cinta.
“Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?”
“Ampun, G usti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang
keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat.
Patik pohonkan ampun untuknya, G usti, wanita semuda
itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.”
Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya
Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, kemudian
ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan
melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih
sibuk mem bicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju
ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke
dalam .
Dua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik
ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi
tiada berjawab. Ia m endehani sekali lagi. Juga tak berjawab.
Nyi G ede Daludarmi berjalan menghampiri Sang
Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian
mem anggil-m anggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu
Sekar Pinjung! Nyi Ayu!”
“Nyi G edekah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari
dalam .
“Nyi?”
“Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah.
Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan
Sang Adipati masuk ke dalam .
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan
riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya,
tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh
Daludarmi dari luar.
Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang
bergolak di dalam hatinya.
Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik
pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani
mem persembahkan keadaan di desanya pada atasannya,
maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat
kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk
diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat
melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus.
Mem ang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat
dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun
sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selam anya cara
itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri.
Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, nam un
ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia m empersembahkan sesuatu
berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya?
Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah.
Kepala desanya telah mem persembahkan upeti dua kali
lipat. Hampir selam a dua tahun ini! Tetapi ia masih juga
belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir
tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar
Pinjung
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang
mencium kakinya. Kemudian tangan gading itu mem eluk
kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak.
Hukum an pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat.
Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan
terhadap Peranggi. Ditam bah lagi dengan pengetahuan,
Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga mem butuhkan
makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa
dan adatnya lain.
Hukum an itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh
Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak
mencabut kembali kata-katanya.
Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan
dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu
kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih
mem bekukan.
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil karena
sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu
hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa
mem bikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku
telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur
mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang
hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan.
Betul. Tempat raja-raja tumbang karena gosokan. Betul.
Tempat si kerdil mem asang perangkap untuk menangkap
bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu.
Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya
mem peringatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil
terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu
mencabut kata-kata satria yang keliru?
Sebelum Sang Adipati dapat mem utuskan pergolakan di
dalam dirinya telah keluar kata-kata dari m ulutnya, pelahan
dan berbisik: “Telah dicabut hukum an bagimu, Sekar
Pinjung. Berdiri!”
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya
luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau.
Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil karena sedusedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.
Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan
dia pada dirinya, kemudian dipangkunya.
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis
teram puni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh
pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi.
“Daludarmi!” panggil Sang Adipati dari dalam bilik.
Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, mem bawa
nam pan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju
pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di
hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati.
Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan
mem inumnya habis
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar.
“Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan
itu di meja.”
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan
dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah
meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan
negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi
selam a ini.
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan
tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang
selam a ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.
Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan
kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan
kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu
seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa
di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk
bersila di atas lantai.
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih mem ulai: “Betapa
sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam -diam tiada
mem persembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa
kalian. Ketahuilah, G usti Adipati Tuban sangat murka
mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan
kalian. G usti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa
kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab
sekarang juga. Benar-tidak?”
“Ampun, G usti Patih,” seorang kuwu mengangkat
sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, karena
terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum
juga mem persembahkan adalah karena patik masih
berusaha, belum lagi putus-asa.”
“Pernahkah kalian menang terhadap mereka?”
“Ampun, G usti, belum pernah, tapi kalah pun belum.”
“Jangan persembahkan teka-teki.”
“Begitulah adanya, G usti, kalau mereka datang,
pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, m ereka yang lari.”
“Apa kalian sedang m ain petak?”
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah
menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap
menunduk.
“Mengapa mem bisu? Hilangkah sudah lidah kalian?”
“Ampun, G usti, di tempat patik agak lain keadaannya.
Telah patik persembahkan ini ke hadapan G usti Patih,
bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan
satu kali pun tidak pernah menjebak.”
“Apa m aksudmu dengan jebak-m enjebak?”
“Maksud patik, G usti, rajakaya desa hilang kalau tidak
dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”
“Bicara yang jelas. Kami tidak m engerti maksudmu.”
“Ampun, G usti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya
itu m engejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.”
“Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.”
“Ampun, patik pun tidak mengerti, G usti. Hei, kepala
desa, bersembah kau yang benar dan patut.”
“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di
dalam desamu sendiri?”
“Kira-kira begitu, G usti, tetapi patik tidak berani
mem persembahkan dengan pasti.”
“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri
persembahan bawahanm u. Perhatikan warga dari desa-desa
kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini!
Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang
Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap.
Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan
penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian
sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari
desa-desa lain yang am an. Kalau gagal, tahu kalian
akibatnya?”
“Tahu, G usti.”
“Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau
kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambilalih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?”
“Mengerti, G usti.”
“Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau
balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desadesa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu?”
“Lebih dari cukup, G usti,” mereka menjawab berbareng.
Kemudian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan
cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa G usti
Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama
sebutannya adalah Rangga Iskak. Nam a kelahirannya
adalah Iskak Indrajit.
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama
raksasa dalam R am ayana itu, nam a yang tidak populer bagi
negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan
ketegangan lenyap.
Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari
Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari
kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala,
maka menam ai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang
berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi
bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu,
dan dari ibunya ia m endapat nam a Indrajit.
Sekali lagi penghadap gelak tertawa.
Ibunya m emang bijaksana m enamainya demikian. Ruparupanya ia telah m endapat firasat, anak yang dikandungnya
nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring.
Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang
agak m encolok.
“Tetapi keadaan sudah berubah,” Sang Patih
meneruskan. “Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat
dipertahankan. la harus diganti. Tetapi ia tidak rela diganti,
ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala
apa pun yang dikaruniakan G usti Adipati dung gapnya
kurang dan makin kurang. Mem ang dasar raksasa bergygi
tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa
jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin
bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari
berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk
melawan….
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri
Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan
ningrat telah menam akan diri Ki Aji dan mendapatkan,
banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan
seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak.
Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa,
seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang.
Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru
belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari
beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di
seluruh pulau Jawa.”
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan
gemas: “Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala
bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit,
berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun
tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai
berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu
banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia
tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan:
tum paslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu.
Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu
takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih,
karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para
dewa. Nah, pergi kalian.”
Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat
gam baran sebenamya tentang gentingnya keadaan
pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara
Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang.
Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan
itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadijadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota
banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah
ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antarpulau, beku.
Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan
pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi….
0o-dw-o0
Wiranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri
dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru:
menjaga keam anan bandar Kota dan G londong.
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin
banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.
Hubungannya dengan Liem Mo Han m embawanya pada
suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya
telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blam bangan,
G irindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya,
bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput
Martinique L amaya di pelabuhan dengan segala kebesaran.
Dan setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada
barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu
berangkat. Mereka tinggal di Blam bangan.
Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di
antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke
dalam daratan Blam bangan dan mem bangunkan sebuah
rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan
bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan
berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri
Tuban dan dengan persekutuan itu akan m engancam T uban
dari laut dan darat.
“Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi.
Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa
terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap
bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu
Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan
penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan
dari musuh seluruh dunia itu.”
Lam a ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han.
Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia
mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan
Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari
karena adanya Portugis.
“Ya, Peranggi tetap pokok,” ia mem utuskan.
Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui:
Tuban berada di antara Hindu dan Islam , tidak punya sikap
yang pasti terhadap Peranggi.
“Tuban harus menentang Peranggi, tanpa m enjadi Islam,
juga tidak karena Hindu.”
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih.
Nam un kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu
menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam
mem ahami dunia yang sedang berubah.
Tetapi sahabatnya itu tak pernah bicara tentang
Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang
perdagangannya, tidak tentang musuh-m usuhnya, bahkan
tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah
mem buka mulut. Dan Wiranggaleng merasa tak ada
kebutuhan untuk mengetahui.
Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk
menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu m enolak. Dan
dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah
sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang
setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah
sahaya m embantu dari jauh saja, Wira.”
Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda.
Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewadewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun
sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap
melawan. Ia merasa tersinggung karena Liem Mo Han
menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun
belum ! Tapi aku akan melawan
kesempatan saja belum aku peroleh.
Peranggi.
Hanya
Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya.
Ia selalu bicara tentang praja.
Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan
sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tam bahan
pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak
binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari
Rama during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi
sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.
Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua
berpisah. Dan kejadian itu datang begitu m endadak.
Pagi waktu itu.
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari
mem eriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda
telah terdengar: “Wira! Wira!” Tholib Sungkar Az-Zubaid
mem anggilnya.
Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang
dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nam paknya merasa
juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi
permainan hindar-menghindar ini.
Ia naik ke gedung utam a dan didapatinya Syahbandar
sedang m inum kopi di kamar-kerjanya.
“Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseriseri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama
sekali.
“Tuan Syahbandar, inilah sahaya,” jawab Wiranggaleng.
Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari
punggung orang Moro itu – telah sering ia perhatikan –
pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.
“Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?”
tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau
tahu di mana desa Rajeg”
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah
sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji
Benggala.
“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?”
“Apa yang mereka percakapkan?” mata Tholib kelapkelip menyelidik.
Dan waktu nam pak olehnya Wiranggaleng tersenyum
mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan katakatanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam:
“Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak
mem berontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima
semua titah G usti Adipati.” Nada suaranya meningkat lagi,
“Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg.
Aku mengetahui dari G usti Patih. Wira, baru saja ketahuan
ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa
olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan
itu bisa mem bikin bahaya terhadap bandar. Barang itu
harus di kembalikan pada Syahbandar.”
“Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar,”
Wiranggaleng m enyembunyikan keheranannya.
“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera
untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus
mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya
mem ang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang,
hanya tak ada tulisan Arab tam bahan di dalam nya.”
Wiranggaleng sibuk menerka maksud orang Moro ini,
tetapi belum dapat.
“Kau tak perhatikan aku, Wira.”
“Teruskan Tuan Syahbandar.”
“Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti
sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid
Habibullah Almasawa dalam keadaan selam at. Cukup itu
saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani,
pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu
selesaikan pekerjaan ini.”
Terbayang oleh Syahbandar-m uda itu akan adanya
hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan
Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini
pada Sang Patih: orang satu ini mem ang pengkhianat yang
tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati,
tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari
bumi Tuban.
Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya
Liem Mo Han dan berpesan agar mem buang waktu untuk
terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat
perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak
resmi dari praja itu.
Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari
pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan,
dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenarbenamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki
Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak
sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam
pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak
dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan
pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan
direncanakan oleh perusuh.
“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih.
“Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.
Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota,
pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagangpedagang Islam yang kecil-m engecil masuk ke pedalaman ”
“Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, G usti.”
“Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang
bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi
Sayid Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.”
“Belum, G usti.”
“Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari
luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, G ustimu,
kebesaran Tuban. rusak?”
“Dewa Batara! Sama sekali tidak, G usti.”
“Berangkatlah dengan sejahtera.”
Dan ia pun berangkat.
la berangkat dengan mem bawa pengertian: surat dan cap
itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji
Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam
hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih
lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun
pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh
cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan
pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih.
Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa
lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku
pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan:
menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki
Aji Benggala jelas akan membunuh aku.
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang
pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan
orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain
pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap
diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap
matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu
Idayu. Bukankah Nyi G ede Kati sendiri tak segan-segan
mem bicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya?
Liem Mo Han pernah mem peringatkan: Tuan
Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap
dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam.
Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa,
sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah
pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat
Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia
sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah
sebagai raja m uda.
“Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri
merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada
satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan
dihorm atri semua orang. Itu adalah modal yang mem bikin
orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira
mengerti perbandingan ini.”
Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar
Tuban menghalaunya dengan mem injam tangan Rangga
Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia
akan menghadap Sang Adipati dan mem ohon agar Idayu
dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan m emiliki
apa yang diberahikannya selam a ini, juga akan dapat
meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui
Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat
mem pengaruhi Sang Adipati.
Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin
terhadap G elar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah
ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah,
mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat
yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh
terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi,
mem buru dan memuaskannya. Mengapa kau heran?
Kasihan kau, G elar. Seperti seekor anak burung… ia
teringat pada kata-kata Rama Cluring tentang burungburung.
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai
petani mem asuki pedalaman.
Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya
nam pak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar
ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada
mereka dijawab seperlunya tanpa keramahan dan tiada di
antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan
menginap.
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah
dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di
tepi sebuah rimba-belantara. Teman-tem annya, juga
berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.
G ubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu
juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum
juga rusak. G ubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari
desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para
pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di
situ bersama tiga orang temannya untuk dapat
mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang
mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi,
lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa
semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara
dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengarpendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti
betul m aksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu
mem bawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya
bahasanya juga aneh.
Ia mem erlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di
kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan am an
mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya
suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa
yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong
putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan
mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata
mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh
para prajurit – tombak-tom bak berburu.
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang
tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik.
Yang termuda sekira dua belas tahun.
Wiranggaleng melirik untuk dapat melihat ram but
mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan
dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba
putih – seperti bangau.
“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak
berkopiah, biadab! Beram but panjang seperti kuda betina!
Sebutkan nam amu sebelum nyawam u melayang ke
neraka.”
“Betapa galak,” pikir Wiranggaleng. sebelum kena tegur
lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada
bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.”
“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!”
“G aleng, Bapa.”
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng
tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga
menghias.
“G aleng? Siapa tidak kenal G aleng? Biar pun kau juara
gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari
kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!”
“Apa yang dimata-m atai, Bapa? Nanti dulu, siapa yang
aku hadapi ini?”
“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya.
Siapa hendak kau m ata-matai?”
“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji
Benggala. Lain tidak.”
“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang
berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal
Adipati Tuban.”
“Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak
mem usuhinya?”
“Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah
orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap
Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka
tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal
tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!”
Mengertilah Wiranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah
menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan
dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar,
Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencaricari Ki Aji Benggala – tak tahu tempatnya, – membawa
surat untuk beliau – surat berbasa dan bertulisan Arab.”
“Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab
– munafik itu.”
“Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu
bukan dari G usti Adipati – dari Tuan Syahbandar Tuban,
dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen.”
“Ki Aji tidak m enunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi
dari Syahbandar keparat itu.”
“Mengapa keparat, Bapa?”
“Mengapa? Dengan mulutm u yang kotor, najis, kau
bertanya m engapa? Coba, bukankah dia juga yang m engaku
Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia
meludah ke tanah. “Dia hanya budak kafir Peranggi.
Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di
sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari
budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?”
Wiranggaleng berusaha terus bicara dengan harapan
pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya.
sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang
seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan
itu disebarkan oleh Ki Aji untuk mem benarkan dirinya
sendiri.
“Budak dari budak kafir Peranggi,” ia bergumam.
“Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa
salahkan orang yang tidak tahu?”
Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek:
“Mem ang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak
tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak,
apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.”
“Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani,
sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa
sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?”
“Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru
nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu
yang patut kau dengar sebelum mati.”
Dan W iranggaleng harus bicara terus.
“Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak
tahukah, Bapa, rangdesa G aleng ini pernah menyerang
Peranggi di Malaka?
“Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.”
“Maka aku yang m engatakan.”
“Karenanya m akin jelas kebohonganmu.”
Wiranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh
Rangga Iskak telah m ulai mendalam. Ia harus berhati-hati.
“Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah
itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan
begini?”
“Nanti dulu, jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil
menengok sekilas ke belakang. “Lihat dulu surat yang aku
bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.”
“Jih!” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar
muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari
pokal kafir hanyalah najis”.
“Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang
mereka.
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke
belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawalpengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata
menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang
tom bak mereka menjadi penghalang utama untuk mem bela
diri.
“Jangan sentuh aku, kafir!” pekik orang tertua tak
berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan
kebencian, kejijikan dan penyesalan.
Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandangpandangan satu sama lain dengan ketakutan.
“Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa
tom bak,” gumam Syahbandar-muda. “Perdamaian yang
sungguh tidak jujur, Bapa.”
“Mata-mata! Telik!” pekik orang itu seperti gila.
Suaranya menggaung di tepian rimba. “Allah mengutuk
kau, dunia dan akhirat!”
“Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah
Bapa sama dengan Allah?” balas Syahbandar-muda.
“Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini.
Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu
sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada para
pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat!
Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya
pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas talipengikatmu, dan
mari aku
diantarkan.
Jangan
menyasarkan, karena paman dan saudara-saudaramu bisa
binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.”
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan
bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki
Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada
orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat
baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang
mata yang nampak heran mem andanginya: seorang
berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit
dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap
tanpa ragu-ragu, dan m engiringkan seorang bocah.
Di sawah dan ladang orang mem erlukan berhenti bekerja
untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan.
Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah
mereka di R ajeg.
Wiranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah
dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah
penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau
berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya
menyapukan pandang padanya, bahkan mem balas senyum
dan salamnya pun tidak.
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan
juga mem erlukan berhenti bicara, meminggir, mem berinya
jalan, dan m engawasinya dengan m ata bertanya-tanya. Dan
Wiranggaleng m enyadari betapa sulit keadaannya.
Sam pailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu
berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo
beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok
kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya
terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di
tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja
rendah di atasnya.
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di
pendopo yang kosong melom pong itu. Ia heran mengapa
tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia
angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak
olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar
depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali
itu m antra penjaga dan pekarangan, pikirnya.
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas
tiada tertanami, nampaknya mem ang sengaja akan dibuat
men jadi tam an. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah,
nam pak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai um ur, terusmenerus bergoyang gelisah.
“Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya.
Si buyung pergi ke belakang m elalui sam ping rumah.
Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharapharapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih
tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan
langkah ragu ia mendekati Wiranggaleng. berhenti di
depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua
belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyalanyala gusar: “Wiranggaleng!” raungnya.
“Sahaya, Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan
menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu
mesti meraung.
“Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk
serahkan nyawa.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Syahbandar-m uda, juara gulat….”
“Sahaya, Ki Aji.”
Dari suara-suara di belakangnya Wiranggaleng tahu,
beberapa orang sudah berdiri dengan tom bak untuk
sewaktu-waktu akan m enjojoh punggungnya.
“Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji
tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang
sebagai kau?”
“Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat
menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang
menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah
penolongku, pintanya dalam hati. “Sahaya menghadap
hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk
menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?”
ia diam dan m enolak ke belakang.
Wiranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu
itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri,
bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia
Iihat R angga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita
itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk.
Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu
pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja.
“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wiranggaleng,
“hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang
kemari,” ia m engangguk-angguk.
“Sahaya datang bukan sebagai utusan G usti Adipati, Ki
Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.”
“Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi!
Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat
mengetahuinya.”
Bekas
orang
Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari
belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki
Aji menjadi lunak.
“Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi
bagi iblis laknat itu. Datang di G oa, dijualnya G oa pada
Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada
Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke
Malaka begitu juga. Datang di Tuban… apalagi yang
sedang diperbuatnya sekarang? Dan adipatim u, si goblok
yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan
pangkal keadaan….”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.”
Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan
kesempatan itu dipergunakannya untuk m engeluarkan surat
dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk
dilihat oleh Ki Aji. Tetapi orang di depannya itu tak
menggubrisnya.
“Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini,” ia
terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan raguragu. Wanita di belakangnya nampak mem berikan isyarat
dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.
“.Ya,” gumamnya kemudian, “Nabi pun berkirim surat
pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul
juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini
surat itu.”
Wiranggaleng
menyam paikan.
mem anjangkan
badan
dan
“Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya
alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan mem atamatai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi
keparat! ia remas-remas surat kertas itu
dan
melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian
kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa
lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam,
tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan
itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan
semakin genting.
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan,
kemudian mem berikan isyarat pada Wiranggaleng agar
menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di
tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil
dari tangannya dan mem bacanya, tersenyum, mengangguk
dan mem andangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata
assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu.
Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng.
“Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu
alaikum . L ebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi
tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,”
katanya lebih pada diri sendiri, “mem balasnya. Ya, wajib,
di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.”
la diam dan nampak berpikir. Kemudian tersenyum dan
mem perhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.
“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah
menyam paikan salam dam ai, begundal Peranggi itu.”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya
sedang m enunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.”
“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu
rupanya, G aleng. Kau memang pandai, licik.”
sendiri
“Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa
perbuat selain m enjalankan perintah?”
“Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan
balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan
tinggalkan tempatm u. Tom bak akan merajang kau. Jangan
sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika
mengenainya.”
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri mem andangi utusan
itu tapi tiada berkata sesuatu pun.
Dan lam a ia harus menunggu.
Terik matari telah mem eras keringat dari tubuhnya. Di
samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah
menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.
Ki Aji Benggala keluar lagi mem bawa kertas surat.
“Hei, kau, Wiranggaleng, sampaikan oleh mulutmu
sendiri pada tuanm u begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji
Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima
suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku
perintahkan sebagaimana term aktub dalam surat ini. Dia
akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Lepaskan m ereka, kembalikan baju mereka.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan
jangan balik kalau tak bosan hidup.”
Wiranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi
dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan
jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu
menarik mata tom bak mereka dari tubuhnya dan
mem biarkannya pergi.
“Hasalam u alaikoooom!” ia m endahului beruluk salam.
Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata
tom bak mem enuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga
beruluk salam tanpa jawaban.
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan.
0o-dw-o0
14. Syahbandar, Idayu dan Gelar
Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah
ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan
tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan
semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala
menerkam .
“Selamat bagimu, Idayu!” katanya lunak, memikat dan
mem bujuk sekaligus.
Cepat cepat Idayu menepiskan G elar pada dada, begitu
keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap.
Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa
menghibur dengan gerak tangan ramai. Kemudian: “Masa
begitu saja terkejut, Idayu!”
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan
merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu.
“Mengapa kau begitu aneh, Idayu?”
“Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-m egap.
“Biar sahaya pergi ke dapur, mem asak bersam a Nyi G ede.”
“Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi G ede masih tidur.”
“Biarlah sahaya ikut mem bersihkan tam an dengan
Pam an Marta.”
“Buat apa, Idayu? Bukan pekerjaanmu mem bersihkan
tam an. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat
anaknya.”
“Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini”
“Idayu, Perm ata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa
murung kau ditinggalkan suam i. Tiadakah kau suka
bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? Idayu!” Ia
bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.
“Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan
jangan masuki rumah sahaya.”
Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah.
“Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Perm ata?”
“Suam i sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami
sahaya.”
“Apa kau harapkan dari suamimu?”
“Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.”
“Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan
pada tubuh yang semolek ini….”
“Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun
mem adai, Tuan ” jawab Idayu m ulai berani setelah terbebas
dari kejut.
G elar dalam pelukan meronta minta kembali bebas.
Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya
bergerak binal.
“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermainmain sendiri seperti biasanya.”
“Biarlah
ayahnya.”
dia
temani
ibunya
dalam
menghadapi
“Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi
pula dia belum lagi pulang.”
“Ayah tidak pergi, bukan, G elar? Ayahmu tidak pergi,
bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam
ayahm u. Dia sedang merayu ibumu.”
“Ayahmu sedang ke pedalaman, G elar.”
“Ingat-ingat kejadian ini, G elar, selama hidupmu.”
G elar berhenti meronta,
dengan mata ter-heran-heran.
mem andangi
Syahbandar
“Mak!” serunya kemudian.
“Ya. Itulah ayahm u, Nak, kenali dia baik-baik dari
dekat.”
Idayu memasang G elar demikian rupa sehingga si bocah
itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai
besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu
bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.
“Ya, G elar,” Idayu meneruskan, “itu ayahmu sendiri.
Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….”
Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam.
Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai.
Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan
berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya
maka dia anakku?”
“Kau dengar sendiri suaranya, G elar. Memang tidak
menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang
asli.”
“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng.
“Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu,
G elar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya.
Makin hari kau akan m akin kenal….”
“Jangan
merajuk.
teruskan,
Idayu,”
Syahbandar
sekarang
“… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.”
“Idayu, kau ajari anak itu kurangajar.”
“Dengar, kau, G elar, dia tak mau dikurangajari.”
“Idayu diam!”
“Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia
mem injam dulu kata-kata ibunya’
“Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.”
“Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu
sejarah kelahirannya?”
“Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan
sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah
Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya
mem beliak mem peringatkan.
“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan
anak Tuan sendiri.”
“Aku tak beranakkan dia!” Tholib Sungkar hampir
mem bentak.
“Itu, itulah ayahm u, G elar, kasihan kau, ayahmu untuk
di dunia dan untuk di kemudian hari.”
Seakan m engerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap
Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini
dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi
galak, ia m enjerit ketakutan.
Idayu kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara
seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, punya
ayah tiada m engakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah
nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya….”
“Idayu!”
“… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada
gandarwa.”
“Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari
berbaik, Idayu,” katanya lagi mem bujuk. “Dengarkan dulu
aku, jangan ditentang juga. Kau ini, Idayu, belum lagi
mengenal dunia.”
“Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal
dunia. Nasibm u, betapa buruk. Menggendong saja dia tak
mau. Nasib.”
“Diamlah, Idayu. Apa kataku tadi? Kau belum lagi
mengenal dunia.”
“Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya
seperti yang Tuan lihat?”
“Haiyaaa.”
Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan
pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan,
masing-m asing berusaha tunduk-menundukkan tanpa
kekerasan.
“Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau
anggap semua sudah m encukupi.”
“Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan
kasih-sayang suami sahaya, si G aleng anak desa yang
bodoh itu.”
“Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamim u yang
seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi…
jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri
orang lain.”
“Apalah gunanya?”
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ram ah. Ia tegakkan
bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas
bahu, kemudian bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana,
Idayu, pastilah kau akan jadi ratu.”
“Huh!” Idayu berpaling melecehkan.
“… Tidak jadi istri seorang G aleng yang selalu pergi,
mem biarkan kau m erana dalam menunggu.”
“Sahaya perempuan Tuban, Tuan
berbahagia m enunggu suami pulang.”
Sayid,
yang
“Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain.
Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah.
“Dalam m enunggu suami pulang sahaya berbahagia.”
“Mak, turun, Mak,” pinta G elar.
“Jangan, Nak, temani dulu emakmu.”
G elar meronta lagi minta turun dan Idayu
mem biarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke
pelataran mem anggil-manggil Nyi G ede Kati. Ia langsung
menuju ke dapur.
Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat
langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia
karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik
daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa
yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat
penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya
berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa
mati. Apalagi sekarang ini. M ungkin ia takkan kembali lagi
untuk selama-lamanya….”
“Apalah yang sahaya herani bila suami m ati?”
“Jadi kau mengharapkan dia m ati?”
“Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah
pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana
wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti
suam i yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan
dengar? Di Tuban Kota mem ang sudah tidak kejadian lagi.
Pergilah ke pedalaman.”
“Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan.
Betapa bodoh orang mem biarkan kecantikan dan
kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil
mendekat lagi.
“Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba
masuki rumahku,” Idayu memperingatkan. “Sahaya sedang
jaga, tidak mimpi dalam tidur.”
“Apakah keberatanm u selam a tempat ini jadi bagian dari
kesyahbandaran? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?”
“Sahaya bilang: jangan.”
“Layani aku, Idayu, lupakan suamim u.”
Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu
sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.
Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya
G elar m emanggil-manggil dari sesuatu jarak.
Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!”
gum am Syahbandar.
“Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?” kata
Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan Sayid, keluar
dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu
mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari
kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia
mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di
mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa
melecehkan, “apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana
kekuatanm u? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan
berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selam a-lamanya.
Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.
“Pukullah, T uan.”
Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa
mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan?
Wiranggaleng? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia
sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal
tulang-tulang berantakan termakan anjing.”
“Mem ang itulah yang Tuan kehendaki.”
“… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau,
perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selam at…
kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan
tembusi dadamu. Akan diminum nya darahmu seperti dia
minum tuak. Dibuangnya m ayatmu tanpa upacara.”
“Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari
sahaya?” Idayu bertanya bodoh.
“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran
sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?”
“Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana
keinginan Tuan.”
“Masih juga kau bercericau!”
“Mari sahaya ceritai, Tuan,” Idayu bermanis-m anis.
“Barangkali Tuan m au mendengarkan.”
Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada
tongkatnya. Matanya tetap waspada m emperhatikan tangan
Idayu yang m asih juga mengamangkan senjatanya.
“Apa ceritamu, Idayu?”
“Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana
bagaimana cara berlawan atau mati.”
“Kau tetap melawan aku, Idayu?”
“Sahaya sedang m elawan, Tuan.”
“Keris Wira akan menembusi dadamu!”
memilih
“Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan
sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri
ingin melihat, Tuan sudi mengakui G elar sebagai anak
Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan.”
“Tiada aku beranakkan dia!” lelaki itu m embentak.
“Keluar!” pekik Idayu. “Takkan ada orang datang
menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan.
Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.”
Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya
bersiaga dengan tongkatnya.
Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya.
Idayu melom pat maju sambil menyerang dengan
cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak.
Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melom pat
lagi dan m engayunkan pukulan pada tangan lawannya yang
bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam
punggung. Lelaki itu melom pat ke depan dan lari
meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan
bajunya sobek dan darah mem erahi sekitar sobekan.
Panggilan G elar semakin terdengar mendekat. Idayu
keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari
anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang
muncul adalah G elar yang masih juga memanggil-manggil.
Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia
selit-kan pada sanggul. Kemudian ia berjongkok
menyam but anaknya.
Dengan sekali renggut G elar telah berada dalam
gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.
“Nasibm u, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada
mengakuimu.”
G elar m emeluk leher ibunya.
“Sayang kau pada em ak?”
G elar m engencangkan pelukannya.
0o-dw-o0
15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar
langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke
belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata
Syahbandar dalam Melayu: “… tak ada hak patik untuk
mengusirnya….”
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang
kami mengusir atau m emerintahkan m engusir? Patih Tuban
mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak
meriam. Maka itu kami mengundang m ereka.”
Wiranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur
kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu
Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk
di atas bangku kayu sedang m engipas-kipas badan. Melihat
Syahbandar-m uda datang ia tersenyum senang dan
menyilakannya duduk.
“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat
perjalananm u.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah
ia telah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis
menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk
menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang
menghadap ke mari. Apa boleh buat. G usti Adipati
berkenan mem berikan perlindungan, dengan dugaan
mereka mau mengajar mem bikin meriam. Telah kami
persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia,
Wira. Jangankan Peranggi mau mem bagi ilmunya, orang
Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas.
Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi
itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, m ereka toh
masih berada di bawah perlindungan Syahbandar.
Bagaimana kepergianmu?”
Dan W iranggaleng bersembah.
“Jadi sudah jelas Rangga Iskak mem ang hendak
bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban mem bangkang
dan melawan. Mana surat itu?”
Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk.
“Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada
keluargam u. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau
selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil
menghadap M ashud bersam a denganm u.”
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang
dan keesokannya m enghadap lagi bersama Mashud.
0o-dw-o0
“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan
padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan
terjemahkan baris demi baris pula.”
Mashud mem baca baris demi baris dan m enterjemahkan:
“Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh Allah
kiranya padam u taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi,
“Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,”
selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang
diwajibkan kepadamu untuk mengem bangkan dan
menyam paikan,
melindungi
mempertahankan
dan
mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang
kami sebutkan di bawah ini….”
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan
bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-m ana seperti
keranjingan.
“Mengapa, Bapa Mashud?”
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah
dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi
artinya.
Sang
Patih
memerintahkannya
berhenti
dan
menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan
pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada
Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Campa yang
sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga,
barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat
dan sorban coklat pula.
Dengan
tenang dan
percaya diri ia mulai
menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang
mem ucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruknubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud.
Sang Patih m engangguk dan mem erintahkannya pergi.
Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu
pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan
kehilangan kapal. Ia telah diam bil sewaktu sedang bersiapsiap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak
bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap
dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama
Kamang Sani.
Terjemahannya mulai baris yang mem ucatkan itu tiada
kesam aan baik dengan Mashud ataupun Jam hur Tenga.
Sang Patih m emerintahkannya pergi.
“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di
dalam nya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para
penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan
Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi
ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang
Tuban ”
Sang Patih mem utarkan tinju dalam genggam an tangan
yang lain.
“Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar,
juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan
dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga
Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan
Peranggi.”
“Barang tentu surat gawat, G usti.”
“Pergi kau sekarang juga ke G resik. Carikan terjemahan
yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.”
Dan dengan demikian mendaratlah Wiranggaleng di
bandar G resik.
0o-dw-o0
Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih
ram ai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang
lalu peranannya jauh lebih penting daripada Tuban, dan
sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa.
Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku,
sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari,
dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia.
Tiga ratus tahun setelah menjadi bandar tanpa tuan,
mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan
oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan
angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke
sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri
Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan
bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga
pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara,
Maluku dan Sulawesi. Dari G resik ini pula sebagian
angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan
Asia dan Afrika.
Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga
G resik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh
pendatang-pendatang dari Tiongkok. Setelah jatuhnya
Majapahit pada 1478 Masehi, G resik berada dalam keadaan
tanpa tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakanakan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai
sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan,
sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh
Darm awangsa.
Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru
karena ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini.
Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya
Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain
sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari
Blam -bangan melakukan pam eran militer mem asuki
wilayah inti Majapahit, mem bungkam kekuatan-kekuatan
kecil yang bertarung memperebutkan G resik. Raja
Blam bangan Hindu, Ranawijaya G irindra Wardhana sejak
tahun 1485 menguasai G resik sebagai bawahan G iri
Dahanapura atau Blambangan.
G resik yang berpindah-pindah tangan itu tetap
berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk
mem indahkan G resik ke bandar-bandarnya sendiri,
Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pam eran
militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali
dengan G resik dalam keadaan utuh.
0o-dw-o0
Keadaan mem ang agak lengang waktu Wiranggaleng
mendarat. Namun jauh lebih sibuk daripada T uban. Orangorang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat
dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju
juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak
lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai
oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak
mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman,
terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing
mentah.
Dan Wiranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit
orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan
pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan
desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali
tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria
mem ang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.
Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari
keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya
seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas
dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa
menggelung ram but dan menutupinya sama sekali dengan
destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya
tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang
setempat. Baru ia m erasa dapat bergerak agak leluasa.
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar
tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu,
bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik
orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan
keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para
dewa dan para leluhur, pada H yang Widhi, dan dimintanya
seorang untuk mencukur rambutnya.
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk
melaksanakan. Tak ada orang bersedia mem otong ram but
panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu
untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya,
baik yang dipangkas ataupun yang mem angkas bisa terkena
kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren.
Kemudian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri,
dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari
seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang
terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi
Kiai oleh guru-guru agam a dari seberang itu pula.
Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah
sebuah asram a pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia
sudah lakukan satu kekeliruan.
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang
yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanakkeluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan
ram but itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh
mem bawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu
masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras
tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia
datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar G resik.
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak
menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu
mengawasinya dengan
curiga,
bahkan menjawab
pertanyaan dan permintaannya pun segan.
Ia m emaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan
yang ada dan m enemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung
sarong itu menegurnya: “Hei, ram but panjang, apa
keperluanm u?”
“Sahaya bermaksud mencukurkan ram but,” jawabnya
merendah.
“Manakah saksimu yang mem beri kerelaan dan
mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana
pula syarat untuk hajad?”
Ia tidak mengerti kata-kata
diterangkan.
aneh itu dan
minta
“Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat.”
“Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan
panggilan ini. Mari aku potong ram butmu.”
Dan ram but itu pun dipotong sambil Wiranggaleng
menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si
pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena mem ang
tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar
mem endekkan sejari dari kulit kepala.
“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut
itu boleh kau buang ke kali.”
Buru-buru Wiranggaleng mengumpulkan potongan
ram but dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan
menanam nya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang
patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur,
para dewa dan Hyang Widhi.
“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi.
Aku pun m asih banyak pekerjaan. Siapa nam amu?”
“Itung.”
“Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya
Islam, pergunakan sekarang nam a Islam, Salasa. Bisa
menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari pada hari
ke tiga.”
“Salasa.”
“Pulanglah dengan selam at.”
“Bolehkah kiranya sahaya…,” ia tak tahu bagaimana
menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agam a baru di
sini?”
“Bahasam u baik, tentu kau sudah pernah mengikuti
pendidikan.
Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa
ram ah, mengangguk dan mem andanginya dengan kasihan.
“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di
sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka
dan berkelakuan baik.”
“Kalau sudah tidak suka lagi?”
“Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik
sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi
santri?”
Wiranggaleng m engangguk m engiakan.
“Kalau begitu m ari aku antarkan kau ke tempatmu.”
Seperti seekor kam bing yang tertuntun Syahbandar-muda
itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya
disusun am bin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman.
Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.
“Kau boleh am bil tempat kosong itu, Salasa.”
Wiranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia
berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan
berkata: “Surat inilah sebenarnya yang mem bawa sahaya
kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya
tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah
jawakan tulisan ini pada sahaya.” Orang itu menerima surat
itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.
“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana
kau dapat?”
“Jauh, jauh dari sini.”
“Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan
pada Bapa Kiai.”
Sekali lagi ia m engikuti orang itu seperti seekor kambing
dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah
ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa
Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya
terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain
menyertainya.
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan
bacaannya dan menutup kitabnya, m enegur dalam M elayu:
“Allah mem berkahimu dengan keselam atan, anakku. Ada
keperluan apa m aka kau datang m enghadap?”
Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu
menjawabkan Wiranggaleng sambil mengulurkan surat
tulisan Arab.
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh
mem perhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya,
kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai
nam pak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbatabata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan
pengantar menjawakan.
“Nun di pinggir jalan di desa sahaya.”
“Di m ana desamu?”
“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan,
mungkin lebih.”
“Nam a, nam a desamu.”
“Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang.”
“Kabupaten mana itu anakku?”
“Bojanegara, Bapa Kiai.”
“Sedang ada apa di desamu?”
“Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.”
“Atau di dekat-dekat desam u?”
“Juga tak ada apa-apa, Bapa.”
“Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.”
“Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai?”
Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi
Wiranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar.
Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut
mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan
surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang
seperti kau.”
“Itu sahaya punya, Bapa Kiai.”
“Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau
sim pan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.”
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak
mem asukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat.
Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat
itu. Bapa Kiai memekik. Wiranggaleng menguguh
mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil mem ekikmekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng
untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung
meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang
bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka
yang bertom bak atau berpedang. Mereka takkan dapat
menghalang-halanginya.
Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon
mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan
yang sam a. Ia akan m encari pesantren lain, satu dengan lain
tidak selam anya bersahabat. Permusuhan sering timbul di
antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan
perang kecil.
Ia merasa am an. Ia berjalan pelan-pelan setelah
mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya
begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada
tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia
merasa
menyesal.
Dirasainya
suatu
kesedaran
menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari
tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti
gerak kesedarannya.
Benarkah aku sekarang sudah Islam? Muslim? Bernama
Salasa?
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali
kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti
kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak beram but.
Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu
pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti
yang lain.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Tunggu, cobalah
kesam aannya.
rasakan
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!
perbedaannya,
jangan
Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan
melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri
siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau mem otong
ram but dan mengucapkan mantra itu. Semua atas
kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan
sepengetahuanm u sendiri, dengan lidah dan suaramu
sendiri.
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari
terjemahan? G erak lidah itu telah padam, suara itu telah
beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia
akan m ulai panjang.
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri
sendiri? Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini.
Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia
melom pat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya
makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soalsoal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren
baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian
orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han:
Wira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan
dihorm ati orang banyak. Dan di G resik sini? Tak ada orang
mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku?
Ia merasa-rasakan.
berbahagia.
Dan
ia
tetap
masih
merasa
Kebahagiaanm u tak lain dari pesangon cinta dan horm at
orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan
kata-katanya.
Kemudian Ram a Cluring muncul di depan mata
batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak
mem butuhkan cinta dan horm at kalian; selam a kata-kataku
hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.
Dia tidak mem butuhkannya, seakan Liem Mo Han
berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri
atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke
mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah
dalam dirinya.
Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama
saja dengan sebelum nya. Hanya lebih kecil. Ia lalui harihari pertam a dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore
hari dan belajar m embaca disore hari.
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu.
Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia
perhatikan galanya.
Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang
dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar.
Orang itu yang dipilihnya untuk mem bantunya
mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan m endekati Kiai.
0o-dw-o0
G enap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi
Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita
padanya, G resik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati.
Makin tak ada m ereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak
ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri
Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah mem berikan
tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja
negeri – sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama
Buddha.
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya
G irindra Wardha-na mem asuki G resik, ceritanya lagi,
dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda,
dan dititahkannya semua memindahkan harta dan
perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.
“Lihat, bagaimana hebatnya Gresik,” ia meneruskan.
“Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa G iri
Dahanapura, G resik akan tetap hidup. Mereka bersembah,
G iri Dahanapura dapat dipindahkan ke G resik, tetapi
G resik tak bisa dipindahkan ke mana pun!”
Danu adalah seorang patriot G resik.
Wiranggaleng tak sempat mem bikin perbandingan
dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan
untuk bisa berdua saja dengan Danu.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.
Sore itu m ereka telah mandi di saluran air sawah. Enam
belas orang jumlahnya, term asuk dirinya. Semua sedang
bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu
yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata
baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang
habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung.
Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari
perut bumi.
Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya.
“Biar aku cuci paculmu, Kang Danu!” dan tanpa
menunggu jawaban ia mem asukkannya ke dalam saluran
dan mencucinya dengan setekam rumput.
“Kalau aku sudah tam at nanti,” katanya menambahi
sambil menyerahkan pacul Danu, “aku akan masuk ke
daerah kafir Blam bangan, m endirikan pesantren sendiri.”
“Kau!” Danu tertawa geli, “belum lagi dua minggu
belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya keguruguruan meneruskan. “Abangku sudah setahun di
Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! T ak ada. Apa kekurangan
dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau
tinggalkan Blam bangan hendak berusaha di Nusa
Tenggara.”
“Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah.”
“Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang.”
“Aku ingin m emasuki Dahanapura, Kang.”
“Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik.”
“Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik.
Bagaimana pun Blam bangan sangat menarik. Kerajaan
sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun
punya bandar dan angkatan laut.”
“Buh!” Danu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah
perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti tentara
berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi
hati manusia! hati yang harus diram bahnya. Ada kau
mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?”
“Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada
yang m embuka perguruan, kata orang, menyebarkan agama
sendiri. Itu kata orang, Kang.”
“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku,
beberapa waktu yang lalu,” Danu mulai berjalan di atas
pematang m enuju ke desa dan Wiranggaleng mengikutinya
dari belakang.
“Di m ana abangm u sekarang, Kang Danu?”
“Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di
Blam bangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam,
dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan
tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya.
Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan
pada Kongso Dalbi di Malaka…. Tahu siapa Kongso
Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan
Wiranggaleng. “Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata
abangku, telah mem persembahkan pada Kongso Dalbi
sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di
Blam bangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana
berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan
pengukirnya.”
“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?”
“Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di
dalam hutan.”
“Pengukirnya, Kang?”
“Pengukir asal Tuban, Borisrawa.”
Wiranggaleng m engangguk di belakang Danu. Dia sudah
di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mulutnya:
“Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang?”
“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir
utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil
semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati
Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon
bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus
kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya.”
“Apa m eriam itu, Kang?”
“Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon
udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.”
Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya
dari belakang, mem anggul pacul masing-masing.
“Apakah Peranggi suka memberikan m eriam ?”
“Pada lawan Islam? Boleh jadi,” jawab Danu ragu-ragu.
“Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya
bisa besar dan ampuh.”
“Jadi kafir Dahanapura Blam bangan sudah bersekutu
dengan kafir Peranggi?”
“Kira-kira. Kan kau sendiri yang mem beritakan tadi,
Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu
nam paknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah
mulai kelihatan juga di G resik, menuju ke Pasuruan dan
Panarukan.”
Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan
berada di jalanan desa. G aru dan luku ditinggalkan mereka
bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah
barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur
angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wiranggaleng
mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan
agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil
mem perlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri
lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan katakata Danu yang menggurui. Dan begitu jarak mereka telah
nam pak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya:
“Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat,
tapi aku tak tahu tuah di dalam nya,” ia keluarkan
bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah
meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.
Danu pun berhenti dan memperhatikannya mem buka
bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu.
“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.”
Dengan baik hatinya Danu mem buka kertas itu dan
mulai m embaca.
“Ini bukan ajimat,” katanya setelah mem baca sebarisdua. “Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat
surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam,
di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi
paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak….”
“Kalau tidak, apa Kang?”
“Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya Danu
mendesak dan bersungguh-sungguh.
“Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku
ceritai kau.”
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa
yang sunyi itu. Wiranggaleng memperhatikan dengan
pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap
mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di
tikungan jalan. Lam bat-lam bat ia mulai bercerita; dan ia
mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya
ditambah lebih banyak.
“Sekarang kau teruskan mem bacanya, Kang, kau belum
selesai.”
Dan Danu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya.
Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan.
Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak
mem egang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai.
Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali
juga terjemahanku tidak benar.”
“Jangan, Kang, jangan.”
“Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan
hendak belajar. Ketahuan dari kata-katam u yang berlagak
bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar
akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada G usti
Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi.
Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!”
“Jangan, Kang, jangan,” tegah Wiranggaleng dengan
suara ketakutan.
“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.”
Tangan Wiranggaleng cepat melayang, menangkap
tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan
kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu
patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air
liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia
lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia
lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu
lebih jauh lagi.
“Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa
Batara.”
Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya….
0o-dw-o0
Ia tak menempuh jalan laut.
Setelah dapat menangkap makna isi surat ia langsung
mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang
perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang
dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah
yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini?
Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku?
Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan
pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang
bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi
bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan
kelangsungan hidup praja T uban.
Inikah cara mengam bil kembali kebesaran dan kejayaan
masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban?
Inikah?
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun
aku salah.
Dan ia tanam potongan ram but yang selam a ini ia
sim pan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di
pinggir hutan.
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak,
jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari.
Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan
kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang.
Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam
Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap
kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat
naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati
Tuban.
“Ya,” katanya setelah agak lama berdiam diri, “berikan
surat ini pada yang berhak.”
Wiranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran.
Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar,
dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke
gedung utam a dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang
duduk mem baca kitab.
“Hasalam u alaikooom!” serunya.
Tholib Sungkar Az-Zubaid melom pat terkejut. Melihat
Wiranggaleng m ula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan
menelan
ludah.
Awan
dengan
lambat
berarak
meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan mem balas: “Wa
alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira.
Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa m enegakkan
bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek
begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan
lebih bersih dan lebih berbahagia.”
“Alham dulillah, tuan Syahbandar.”
“Siapa yang m entaubatkan kau? Rangga Iskak?”
“Tidak salah, Tuan Syahbandar.”
“Tak pernah kau nampak begitu periang seperti
sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa
lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?”
“Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat
balasan.”
“Surat balasan! Nanti
perjalananm u.”
dulu,
ceritakan
bagaimana
Dan Wiranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa
perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu
aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyam butnya
dengan tertawa-tawa senang.
“Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana.
mana?”
Syahbandar-m uda itu memperhatikan dengan saksama
tingkah-laku majikannya, untuk dapat mem bedakan antara
kepura-puraan dari kesungguhan.
“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering
sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.”
Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam
padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum
mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi
bersungguh-sungguh.
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu,
pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu
nam pak berubah-ubah. Kemudian Syahbandar itu berhenti
mem baca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki
wajahnya.
“Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada
matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?”
“Tidak, tuan Syahbandar.”
“Mem ang orang keparat,”
mem pelajari keadaan surat itu.
katanya
dan
kembali
“Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga
Iskak?”
“Demi Allah, T uan.”
“Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah
mem egangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat
dan mem bacanya. Bagaimana keteranganm u, Wira?”
“Demi Allah, T uan Syahbandar.”
Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa
dirinya diragukan.
“Kalau begitu lama pergi,” Tholib Sungkar Az-Zubaid
meneruskan penyelidikannya.
“Sahaya mem erlukan belajar sebelum pulang. Apalah
salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan
pulang.”
“Siapa saja pernah mem baca ini?”
“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang
bisa m enulis dan mem baca Arab.”
“Kau bohong!” tuduhnya.
“Demi Allah, kata sahaya. Mem ang Ki Aji bilang sudah
kehabisan kertas, maka ia m enulis di atas kertas bekas.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondarmandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi,
kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung
pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan
tiba-tiba berhenti di hadapan Wiranggaleng.
“Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang
mem baca surat ini.”
“Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai
sahaya lagi.”
“Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara
keberangkatanm u dan kedatanganmu sekarang.”
“Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan
padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.”
“Nam paknya
denganku.”
kau
sudah
mulai
hendak
berselisih
“Bukankah sahaya tak bisa mem aksa Tuan Syahbandar
percaya pada sahaya? Terserah saja pada Tuan sendiri
hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak m embutuhkan
kepercayaan Tuan. Sungguh.”
Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan
tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir
itu selalu mem bikin orang tertarik pada persambungannya
dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga
tertangkup jadi satu.
Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena,
dengan nada m embujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat
ini kau simpan?”
“Segera setelah sahaya m enerim anya.”
“Aku percaya padamu, Wira,” ia diam lagi.
Dan W iranggaleng tahu, ia tak percaya.
“Aku senang kau telah m asuk Islam, Wira.”
“Salasa nam a sahaya, Tuan.”
“Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira,
tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga
artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain
kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan,
Salasa?
“Tentu saja, Tuan Syahbandar.”
“Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang
kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau
harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik.
Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu
sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau
jauh lebih mulia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi
dari istrimu, kau pun lebih m ulia dari Sang Adipati ataupun
Sang Patih. Mengerti kau?”
“Belum, Tuan Syahbandar.”
“Di hadapan Allah kau lebih mulia daripada semua
mereka.”
“Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan
mereka sendiri bagaimana, Tuan?”
“Tentu saja tetap seperti biasa.”
Wiranggaleng m enahan tawanya. Ia m enunduk dalam.
“Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, karena kau sudah
bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya.
Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang
pergi….”
Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya.
“Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu
sahaya tahu.”
“Tentu pengetahuanm u kurang sempurna, Wira?”
“Bagaimana m enyempurnakannya, Tuan Syahbandar?”
“Menari di pendopo, Wira,… Sang Adipati. Ah,
bagaimana harus aku katakan. Tentu kau m engerti.”
Wiranggaleng m enunduk dalam.
“Mengapa kau diam saja?”
“Baik, Tuan Syahbandar.”
“Syukurlah kalau kau mengerti.”
“Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi
Tuan?”
“Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah
dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa
hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri….
Pulanglah, Tuhan mem berimu petunjuk dan keselam atan
dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di
hadapan Allah.”
Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang,
melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban
bagi tubuhnya sendiri.
0o-dw-o0
Idayu tak menyam butnya di serambi. Ia menunggu
kedatangannya di dalam kamar. G elar tidak nampak. Ia
nam pak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah
sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan
matanya sayu seperti belum lagi tidur selam a tiga malam.
Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang.
“Mengapa kau diam saja, Idayu?”
Hanya dengan
suam inya.
matanya
yang
sayu
ia pandangi
“Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?”
Idayu menunduk.
“Sakitkah kau?”
Ia m enggeleng.
“Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?”
“Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau
mem ang nampak sudah berubah dengan ram butmu yang
pendek.”
Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu
istrinya.
“Berubahkah aku, Dayu?”
“Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam
nam paknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan
perubahanmu, perubahan sikapmu,” suara Idayu semakin
pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh
mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah
tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku….”
“Mengapa kau bicara begitu?” dan duduklah ia di
samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal.
“Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik mem bawa
cundrik sambil duduk begitu.”
“Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa
yang sudah terjadi?”
“Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan,
banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua:
berjalan banyak melihat, curiga banyak m endengar.”
“Untuk apa cundrik ini ikut m enyambut kedatanganku?”
“Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri
di hadapanmu?”
“Baru beberapa m inggu, Dayu, kau sudah begini kurus.”
“Untuk memohon pada para dewa buat keselam atanmu.
Kang.”
“Kau masih suka dipanggil menari?”
“Masih, Kang.”
“Dan m impi lagi seperti dulu?”
“Tidak, Kang.”
“Apakah Syahbandar m asih suka mengintip seperti itu?”
Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari
muka Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia
mengangguk.
“Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?”
“Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku.”
G aleng m empermain-mainkan cundrik kecil.
“Mana sarongnya ini, Dayu?”
“Sarong yang m ana?”
Wiranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela
gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada.
“Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan
tinggalkan kau terlalu lam a, Idayu.”
“Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan
ragaku.”
“Ceritai aku tentang G usti Adipati.”
“Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka
menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten
itu m engantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.”
“Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.”
“Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar
aku am bilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri tetapi
ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar
kau mem butuhkan sarong yang lama? Tidakkah kau
menghendaki yang baru?”
Wiranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali
di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu
mem eluknya dan air-mata m embasahi mukanya.
0o-dw-o0
16. D atangnya Meriam Po rtugis
Pesta laut itu tidak semeriah biasanya.
Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela
Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta.
Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar
turun gerimis kecil.
Lom ba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan
bunga-bungaan dan ketupat telah ditebarkan ke laut orang
pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api.
Tetapi pesta itu kini telah ditiadakan. Dahulu dalam
pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar
bersama-sam a di empat penjuru kota, bila memang banyak
yang harus dibakar. Bila abunya telah diam bil, janda-janda
pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat
jadi abu pula.
Pesta api sudah tiada. Orang-orang Islam telah berusaha
melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil
mem asyhurkan agamanya. G olongan wanita terutama yang
menyam but perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula
dengan diam-diam mereka bersim pati pada agama baru itu
dan mem benarkan, bahwa adat itu mem ang kejam dan
mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula
dalam pem bisuannya menerima Islam tanpa sepengetahuan
suam inya. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti
bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali
kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di
dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam
hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras
dan kemudian hilang seperti tertiup angin badai.
Sebagai akibatnya Tuban mulai menghadapi masalah
janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau
mengawini mereka. M ereka dianggap wanita pembawa sial
bagi mendiang suam i dan keluarga. Bahkan untuk
mem berikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari
hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan.
Maka mengem baralah mereka bergelandangan di kampungkampung para perantau untuk mendapatkan sekedar
makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila
nasib baik mereka mem ang bisa mendapatkan dirinya
sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung
bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk
kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda
kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari
kelapa.
terus
awak
yang
daun
Walau pun pada um umnya penduduk negeri Tuban
beragam a Buddha, tetapi pengaruh Hindu dan adatistiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja karena
perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi
pergantian agam a: Syiwa, Wisynu, Brahma dan Buddha,
bagaimana saja rajanya. Dengan dem ikian penduduk negeri
tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut
salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang
menyebabkan pembakaran janda tetap umum di manamana di negeri Tuban. Dan wanita yang menceburkan diri
ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai
sebagai wanita setiawan dan terpuji.
Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka –
sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api –
makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal
adalah sumber penghidupan mereka yang pokok.
Kendaraan laut itu m emuntahkan untuk mereka awak kapal
yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu mem bikin
mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang
hidup. Pejabat-pejabat bandar tak jarang mengalami
kesulitan karena mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Bandar Tuban adalah bandar bebas, juga untuk mereka,
Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang.
Dan kini kelengahan bandar telah mengancam
penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang
dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan
daerah bandar, mengem bara ke mana-mana untuk
mendapat sekedar m akan.
Dengan adanya pesta air, m ereka datang lagi menduduki
gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan
untuk ikut mem eriahkannya, karena itu mengingatkan
mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan
segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada
kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan
penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera
mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan
merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya.
Demikianlah pada pesta air ini Liem Mo Han menjadi
korban m ereka….
Malam itu mendung menutup semua bintang di
cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti
mata bencana sedang m engintip dunia.
Liem Mo Han datang ke pelabuhan untuk mencari
Wiranggaleng.
Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari
tunggal di depan umum. Tetapi ia tak dapat
menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu
selesainya pertunjukan.
Serombongan janda gelandangan telah m enyergapnya. Ia
meronta dan melawan, tapi sia-sia. Ia tahu mereka adalah
wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus
menggunakan
kekerasan.
Adalah
memalukan
kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan
dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang
menyeretnya. Lebih baik begini daripada jadi tertawaan
seluruh negeri, pikirnya.
Kuncirnya yang panjang telah dicengkeram oleh tak
kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga
bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitam nya yang
kecil itu terjatuh.
Tapi ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa
yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di
lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar
dari rahim ibunya.
Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan.
Dan larilah Liem Mo Han dalam malam gelap
bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan.
Mula-m ula ia menuju ke warung Yakub. Ternyata pintunya
tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke syahbandaran,
tanpa mengindahkan larangan untuk memasuki daerah itu
tanpa seijin Syahbandar. Dan bersembunyi ia di sesuatu
tempat sambil menunggu kedatangan Wiranggaleng.
Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana
sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di
gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih
tenang dan lengang.
Begitu ia mendekam mem anaskan badan terhadap
serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa
am pun. Dan kepalanya terasa panas seakan tengkoraknya
sudah menganga setelah sebanyak itu tangan yang
menjahili kuncirnya.
Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali
melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa
kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksirtaksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi
pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya.
Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orangorang yang selam a ini diburunya: Esteban del Mar dan
Rodriguez Dez. Ternyata mereka berada dalam sebuah
ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar.
Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat
kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan
bicara lepas-lepas: “Anjing Moro itu mau jual kita pada
Malaka.”
“Bagaimana kita bisa terantai begini?” Esteban
menggerutu gusar dengan menyesali diri. “Bukan untuk
dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas.
Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk
itu?”
“Kau masih ingat kata-katanya? Seperti sudah jadi kaisar
saja. ‘Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke manamana’, katanya, seperti Tuban ini sudah jadi miliknya
pribadi.”
Esteban mendengus jengkel. Kemudian: “Seperti sudah
setinggi langit kekuasaannya. ‘Tuan-tuan am an dalam
perlindunganku’, katanya. Dan kita aman dalam perantaian
seperti ini. ‘Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang Adipati,
karena matilah Tuan-tuan di tangannya.’ Uih, bangunbangun sudah terantai begini.”
“Barangkali Sang Adipati mem ang menghendaki jiwa
kita?”
“Psss. Dia bukan sekutu Demak,” Esteban barangkali
sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Ah, tunggu,
benar, dia toh sekutu Jepara. Tapi kita tak ada sesuatu
urusan.”
Liem Mo Han mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia
lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran:
“Siapa?” dalam Melayu.
Ia lari berputar ke belakang Syahbandaran dan menuju
ke gandok kiri.
Justru pada waktu Wiranggaleng bersama istrinya
sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam
rumah.
“Kaukah itu, Wira Salasa?”
“Sahaya, Tuan Syahbandar.”
“Dengan istrimu, Wira?”
“Sahaya, tuan Syahbandar.”
“Tak ada kau lihat orang berjalan di sini?”
“Tidak. Sahaya justru baru datang.”
Percakapan itu selesai. Wiranggaleng bersama istrinya
masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu
mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan:
“Wira, Wira, keluar sebentar, sahaya ada di sini. Liem Mo
Han di sini, Wira.”
Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan
tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman
kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan
pesalin.
“Mari aku antarkan keluar dari sini,” Wiranggaleng
menawarkan jasanya.
“Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada
sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan
masih juga belum percaya.”
Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan.
Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya
bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan
hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di hadapan dua orang
Portugis yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti
tadi. Pada tangan Syahbandar terdapat selembar nampan
dengan cerek tembikar di atasnya. Syahbandar-muda tak
mengerti Portugis. Ia serahkan celah pada temannya. Dan
ia m enjaganya.
Liem Mo Han melihat Esteban del Mar dan Rodriguez
Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri Syahbandar
sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam
tidak begitu terang.
Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas.
Tetapi suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka
sedang m emaki-maki.
“Pengecut, penipu!” suara Rodriguez. “Kau rantai kami
dalam tidur. Hanya bedebah M oro saja bisa berbuat begini.
Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.”
“Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau? Anjing?
Bukankah kami tamumu, yang makan garamm u?” suara
Esteban, agak lunak.
“Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus setelah
begitu lama tidur? Di luar sana pesta air baru saja selesai.
Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan menggunakan
kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah,”
Syahbandar mem buka pidatonya.
“Lepaskan rantai ini,” Rodriguez m eraung.
“Jangan keras-keras,” Syahbandar memperingatkan.
“Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud
Tuan-tuan tercapai juga maksudku.”
“Binatang!” suara Rodriguez. “Aku bisa m eraung sekuat
paru-paruku.”
“Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal mem anggil maut
Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi
dari sini sebagai tam uku, matilah Tuan-tuan diterkam
balatentara Tuban. Nasibku sendiri? Takkan jauh dari
Tuan-tuan – celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri
dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah.”
“Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu? Hanya si
goblok saja mau dengarkan kafir Moro. Lepaskan,”
Rodriguez mengancam. “Awas, jangan sampai aku marah.”
“Ah, Tuan-tuan boleh m arah sesuka Tuan. Tak semudah
yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku.
Syahbandar dilindungi kuat oleh Sang Adipati selam a
kalian tidak lepas,” jawab Syahbandar setelah menaruh
cerek tembikar di atas lantai, kemudian diam bilnya tongkat
dari bahu dan mengamang-amangkan. “Tidakkah kalian
bisa sopan barang sedikit? Sudah lenyapkah kesopanan
yang leluhur ajarkan pada bangsamu?”
Rodriguez menjawab dengan semburan ludah pada
muka Tholib Sungkar Az-Zubaid. Yang belakangan ini
menyeka muka dengan lengan jubahnya, kemudian
meludah sendiri ke lantai.
“Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan,” dengan
ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga Rodriguez
mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor
gemerincing.
“Sudah, sudah, hentikan itu,” Esteban menyabarkan
Syahbandar.
“Sekarang begini, Tuan Syahbandar. Kau ini hanya
bajingan tengik. Kami akui, kami pun bajingan petualang
belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa
kerjasama?”
“Baik, aku dengarkan usulmu.”
“Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau
begundal d’Albuquerque? Kalau kau hanya begundal raja
Pribumi, Sang Adipati itu, katakan saja apa dia mau, dan
kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap
bekerjasama denganm u.”
“Indah sekali. Teruskan.”
“Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d’Albuquerque,
kami lebih suka mati di sini bersam a denganmu.”
“Bagus. Andaikan aku begundal Sang Adipati,
bagaimana usulmu setepatnya,” ia terbatuk-batuk. “Nah,
kau lihat bagaimana aku mem beri contoh bersopan-sopan.”
“Ya, mem ang cukup sopan untuk seorang begundal.”
“Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, guru
dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu.
Ayoh, mulai. Aku dengarkan kata dem i kata.”
Rodriguez telah siap dengan makian baru. Esteban
mencegahnya.
Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain
sandiwara.
“Jangan kalian kira aku belajar Portugis untuk
dengarkan maki-maki-annya. Aku yakin lebih banyak buku
Portugis aku baca daripada kalian. Teruskan, Esteban.”
Tapi Esteban m asih sibuk m enyabarkan temannya.
“Kau benar, Esteban. Kau nampaknya lebih tua dan
lebih punya pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku
bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti
kalian.”
“Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan Syahbandar
masih mau dengarkan aku, tidak?”
“Ayoh, mulailah.”
“Kalau rajam u itu menghendaki bantuan kami, kita
bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang
Pribumi? Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan
kami berdua pembantumu yang paling setia.”
“Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka punya alat
pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di
Eropa.”
“Semua itu bisa diakali, Tuan Syahbandar. Dan Tuan
sendiri punya banyak akal dalam persediaan.”
“Usulmu ternyata lebih bodoh daripada orang Pribumi.
Im pian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang Adipati
Tuban mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli
meriam. Ia menghendaki kalian mengajarkan mem bikin
meriam….”
Rodriguez tertawa terbahak.
“Mengapa tidak dari kemarin bicara? Aku sanggup, apa
lagi E steban. Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.”
“Sabar, nanti dulu. Kalau aku m enyanggupinya, m atilah
aku di sini,” Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan
pidatonya. “Kalian hanya penembak meriam. Lebih tidak.
Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam ? Kalau
kalian punya keahlian lebih dari menembak, menembaki
kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan
kebohongan kalian.”
“Kafir!” maki Rodriguez.
“Jadi aku punya rencana lain, agar kalian selam at dan
aku pun tak kurang suatu apa.”
“Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat
semua orang,” gertak Rodriguez.
“Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku
rantai? Aku mengerti darah Portugis. Kalau kalian orang
Ispanya, barangkali lebih daripada rantai. Mungkin kalian
aku pakukan pada tiang ini.”
“Jadi dia m au jual kita pada d’Albuquerque, Esteban.”
“Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.”
“Tidak. Kalian bocah-bocah Portugis. Aku tahu kalian
mem butuhkan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk
menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan –
terutam a laut,” Syahbandar Tuban meneruskan. “Biarlah
kalian mendapatkan kembali kesempatan mengabdi pada
raja dan negeri kalian.”
“Tak ada urusan,” bentak Rodriguez.
“Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku
bawakan cerek ini,” dengan tongkatnya Tholib Sungkar
menuding pada cerek di atas lantai, “tak perlu kuantarkan
kemari, biar kalian m ampus kehausan.”
“Diam kau, Rodriguez. Biar aku yang bicara. Nah,
teruskan
Tuan Syahbandar Tuban. Kami
yang
mendengarkan sekarang.”
“Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan,
kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke M aluku. Kapalkapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan
seluas ini. Pangkalan baru m asih dibutuhkan. Lebih banyak
lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk
kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan
padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana
kedua ini. Kalian akan merasa puas di kemudian hari dan
akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuantuan benci ini.”
“Dia mem ang hendak jual kita pada M alaka!” Rodriguez
mem peringatkan. “Hati-hati, Esteban.”
“Tidak, demi Allah. Lagi pula d’Albuquerque sudah tak
ada di Malaka. Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara
ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selam at dan
dapat tam bahan real.”
“Tuan Syahbandar,” Esteban menyela. “Ingatkah kau
bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami?”
“Aku kelahiran Ispanya.”
“Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang
Spanyol atau Portugis, bahkan bayi dalam kandungan pun,
bisa percaya pada mulut Moro,” Esteban menam bahi.
“Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu
Tuan-tuan selam a ini. G aram orang Moro yang kalian
makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang,”
Tholib Sungkar menyorong cerek arak dengan ujung
tongkat ke dekat mereka, “orang Moro juga yang melayani
Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan
menolaknya. Minumlah.”
“Mengapa kau sorong dengan tongkat? Kurangajar!
Terlalu m ahalkah tanganm u?” Esteban mem protes.
“Dijauhkan oleh Allah kiranya aku dari tangan kalian.”
Rodriguez menghentak-hentak lantai dan rantai tegang
kembali karena ia mencoba menyam bar Tholib Sungkar
Az-Zubaid.
“Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan,”
gum am Rodriguez gemas. Ia tak berhasil menyam bar
Syahbandar.
“Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di
tanganku.”
Esteban pun kehilangan kesabarannya. Tholib Sungkar
pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa mem anggilnya kembali.
Dan Syahbandar kembali berbalik dengan tangkai tongkat
hendak m enarik cerek.
“Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro
busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang,” katanya
mengancam. Rodriguez menangkap cerek yang hendak
ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru kemudian
disorongkan pada Esteban yang juga segera meminum
isinya. Setelah kosong dilemparkannya cerek itu pada muka
Syahbandar.
Tholib Sungkar tak sempat mengelak. Benda itu
berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang
di lantai. Tak pecah.
“Begitulah orang Portugis menyatakan terimakasihnya,”
ia menggerutu sambil menyeka lukanya. “Tapi kalian
mem ang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.”
“Ayoh, dekat-dekat sini kau!” tiba-tiba Esteban meluap.
“Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyahkunyah jakunm u! Ayoh, dekat sini.”
“Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar
Pribumi bikin meriam, sebentar lagi aku lepas. Sayang
Tuan-tuan takkan dapat membikinnya untuk sisa hidup
kalian. Jadi selam at bermimpi, Tuan-tuan, mem bikin
meriam, pulang ke Lisboa!”
Tanpa diduga-duga Tholib Sungkar
menghantamkan tongkatnya pada Rodriguez.
Az-Zubaid
“Ampun, ampun,” gumam Rodriguez dengan suara
semakin lemah tak nyata, kemudian terguling, tertidur.
“Kau
pun
mendapat
bagianmu,”
menghantami punggung Esteban.
tongkatnya
Orang Portugis yang dihantami itu nampak seperti orang
yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya
tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lam a kemudian ia
tersungkur dan juga jatuh tertidur.
Syahbandar menyorong-nyorongkan kepala mereka
dengan terompahnya, bergumam tak nyata, keluar dari
ruangan dan memasak pintu dari luar.
Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang
mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap
bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati
gedung utama, langsung ke pintu gandok Wiranggaleng dan
mendengar-dengarkan. Kemudian ia pergi meninggalkan
kesyahbandaran.
0o-dw-o0
Bulan tua itu m engintip dari celah mendung.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masih juga tak tahu sedang
diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia mem asuki warung
yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti
oleh beberapa orang. Sampai di kesyahbandaran ia
menuding ke arah gandok kanan, kemudian masuk ke
dalam
dan
terburu-buru keluar lagi,
mengikuti
segerombolan orang itu ke gandok kanan.
Mereka semua masuk ke tempat Esteban dan Rodriguez
terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua.
Sam pai di gedung utam a Syahbandar mem berikan sesuatu
pada Yakub dan orang itu mem eriksanya, langsung
mem asukkan ke dalam sakunya.
Syahbandar masuk ke rum ah dan tak keluar lagi.
Wiranggaleng dan Liem Mo Han mengikuti
penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik
ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata
sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka
belum lagi tersinggung.
Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari
bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu
tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu
dayung besar sedang m eluncur menuju ke kapal tersebut. Di
atasnya adalah gerom bolan Yakub mem bawa Esteban del
Mar dan Rodriguez Dez.
“Jelek benar nasibnya,” kata Liem Mo Han. “Kalau
mereka mem buka matanya, mereka sudah berhadapan
dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah
lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam
kapal akan mem bacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti
mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di
sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang
ke laut untuk hiu.”
“Hanya Sang Adipati saja tidak percaya Syahbandarnya
hanya orangnya Peranggi,” kata Wiranggaleng.
“Sang Adipati mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang
cerdiknya daripada siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat
sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk
tidak akan menggunakan kekerasan dalam m encapai semua
maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga
sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama
Syahbandar itu masih bisa dipergunakannya untuk
keselam atan dirinya dan Tuban, dia akan tetap dilindungi
dan mendapatkan hak-haknya.”
“Dan nampaknya Peranggi akan mencoba membikin
pangkalan di Jawa.”
“Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa
mengepung Maluku dari semua jurusan. Mereka punya
kepentingan untuk mem utuskan hubungan antara Jawa
dengan Maluku. Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa
Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang Adipati
menyebutkan, kami tidak akan m emasuki wilayah Maluku.
Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. Peranggi lain
lagi, Wira. Maka itu G usti Kanjeng Adipati Unus
seluruhnya benar, musuh pertama adalah Peranggi, mereka
harus dihalau dari perairan Nusantara.”
Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam.
Pengetahuan semacam itu takkan dapat diperolehnya dari
para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para
nakhoda.
Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke
dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak
dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan
sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi
dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar
dari ruang kehidupan.
0o-dw-o0
Esteban terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal
dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. Tapi
pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan
peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia
berusaha lagi untuk duduk. Kemudian dirasainya tangan
dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang
tidak beres. Tapi ingatannya m enolak disuruhnya bekerja.
Dirasainya punggungnya memar dan kepalanya
berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti
diliputi awan tipis. Ia tajam kan pengelihatannya. Juga tak
berhasil. Kemudian ia tutup kembali matanya dan
menopangkan kepala di atas lutut.
Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh
pengelihatannya, samar dan tidak meyakinkan. Bundaran
cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan
diketahuinya itu tak lain daripada sebuah patrisporta kapal.
Patrisporta kapal! Kapal apa? Di mana? Dan mengapa
sampai bisa datang ke mari? Sekarang ingatannya mulai
berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan
pandang ke sekelilingnya. Kapal apa? Kapal Siapa?
Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di
sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak
merabainya, apakah itu am bin kayu benar. Dan tangannya
berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di
sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu
tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding.
Kemudian ia menyedari adanya Rodriguez yang tidur
miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya
terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai
udara. Kepalanya miring dan air liur menetes dari sudut
mulurnya. Dengan sendirinya Esteban menyeka sudut
mulut sendiri dengan bahu.
Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia
terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal
Portugis!
“Maut,” bisiknya, dan dibangunkannya temannya.
“Aha!” seseorang berseru dari belakangnya.
Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang
terkirai seorang perwira sedang mengintipnya.
Esteban mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh
terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari
mulurnya keluar ucapan selam at, pelan dan ragu-ragu – ia
tidak tahu waktu.
“Puas berpetualang, he?” ejek perwira itu.
Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.
“Akhirnya pulang kembali ke geladak lam a juga?”
Jantung Esteban mulai berdebaran kencang. Ia mencoba
untuk berdiri lagi. Tapi perwira itu telah hilang. Pintu
tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha
mem bangunkan temannya.
Rodriguez hanya menggeliat malas,
meneruskan tidurnya sam bil menyeka mulut.
kemudian
“Bangun, bangun kau,” ia goyang-goyangkan temannya
dengan tangannya yang terikat. Melihat Rodriguez tak juga
bangun ia mem bisikkan pada telinganya, “Bangun kau,
anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam
kamar perwira! Bangun, anjing!”
Ia sorong-sorong temannya. Rodriguez menggeliat lagi
kemudian mencoba mem buka tapuk matanya yang berat.
Dan m ata itu tertutup kembali.
“Anjing terkutuk!” makinya, “menikmati tidur, tak tahu
kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selam a-lamanya.”
Melihat tem annya tak juga m au bangun ia pergunakan sikut
untuk menyakitinya.
Rodriguez bangun dengan malasnya. Dan ia m engulangi
pengalaman Esteban. Ia buka matanya dengan tapuk berat.
“Mem ang kita masih mabuk,” kata Esteban. “Sebentar lagi
kau tahu sendiri apa sedang m enunggu kita.”
Rodriguez telah menutup matanya kembali. Dengan dua
tinjunya yang terikat Esteban mem ukul pipinya, dan
temannya jatuh di geladak sambil menggeram. Esteban
menggunakan sikutnya lagi dan Rodriguez bangun
menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola
matanya mengintip.
“Hhhh?” tanyanya.
“Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup
waktu untuk tidur.”
Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk
dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak
menghadapi orang Moro atau Pribumi, tapi bangsanya
sendiri.
Dengan sikutan dan tonjokan Rodriguez menjadi sadar.
Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya.
Ia siap hendak mem aki.
“Sttt,” cegah Esteban. “Jangan gaduh. Kita sedang di
kapal Portugis.”
Kesedaran mem bikin Rodriguez terkejut, kemudian
pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke
dalam membawa sebilah tongkat: “Anak maut!” katanya
menggigit pahit. Ia pandangi Rodriguez yang berjuang
hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya
dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya.
Rodriguez berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.
“Habis suka datang duka, he? Akhirnya di geladak yang
lama juga. Apa sudah lupa mem beri hormat?
Sekali lagi Rodriguez berjuang untuk dapat bangun.
Esteban tinggal duduk di tempat.
“Bagaimana? Sudah siap menghorm at, kalian, anak-anak
maut terkutuk?” Rodriguez berdiri dan Esteban berdiri pula
dengan berpegangan pada dinding.
Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat m ereka
berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak
pada mukanya.
“Kalau semua pemuda Portugis semacam kalian ini, apa
jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian?
Bagaimana dengan tugas suci kalian? Ha? Mem ang hanya
tali gantungan yang terbaik. Ya, menghorm at!”
Mereka berdua mem beri hormat. Tapi perwira itu tidak
mem balas, m engawasi mereka dari ujung ram but sampai ke
tum it: “Mana sepatu kalian?”
“Sudah lama hancur, Tuan,” jawab Esteban. “Pakaian
apa kalian kenakan itu? Merampas kepunyaan kafir
perbegu?”
Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan
mereka dan meninju muka Esteban. Ia menggelepar jatuh
miring di geladak.
“Bangun!” perintahnya.
Sebelum ia dapat bangun, Rodriguez mendapat giliran.
Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih
tangan sendiri.
“Apa kataku? Bangun!”
Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam
pengawasan kejam perwira itu.
“Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap
maju ke pengadilan kapal? Mengapa diam saja? Sudah tak
punya lidah? Sudah kau gadaikan lidah itu pada kafir
perbegu? Sam bar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar
saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam
kuah. Jawab.”
“Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan.”
“Bagus. Begitulah pemuda Portugis menghadapi
mautnya.” Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku
dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka.
Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga
jam. Kemudian: “Jadi kalian sudah banyak tahu tentang
daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dulu
dengan perintah,” ia tertawa mengejek, “Sri Baginda dan
Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik
istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian,
sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan.
Kalau tidak boleh jadi kalian akan mendapatnya. Siapa
tahu mungkin diangkat jadi laksamana… Barisan
kehorm atan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan
mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana.
Apa sekarang? Aku pun muak melihat kalian. Mengapa
gemetar? Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi?”
Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat
belum lagi m akan selam a ini, dan merasa lapar mem belit di
dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah
untuk dapat m empertahankan keseimbangannya.
“Jawab!”
“Dua hari satu malam kami belum lagi makan,” jawab
Esteban del Mar.
“Kasihan hiu-hiu itu. Tentu kau terlalu kurus untuk
mereka. Kasihan, bukan?” melihat mereka tak juga
menjawab, ia menggertak: “Kasihan, bukan?”
“Ya, Tuan, kasihan sekali,” jawab Rodriguez.
“Mengapa dengan sekali?”
“Karena m ungkin mereka seminggu belum makan.”
“Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang?” teriaknya
pada Rodriguez, kemudian m endadak menuding Esteban:
“Tiang gantungan, Tuan.”
“Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu?”
mendadak ia alihkan tudingan pada Rodriguez: “Indah,
Tuan.”
“Tanpa sekali?”
“Kalau Tuan m embutuhkan yang sekali….”
Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya
Rodriguez jatuh. Tapi perwira itu menyambarnya dengan
pertanyaan: “Tanpa sekali, tanyaku.”
“Tanpa sekali, Tuan,” jawab Rodriguez sam bil berdiri.
“Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu
sekarang?” ia tunggu Rodriguez kukuh dalam tegaknya.
“Kau sim pan di mana?”
Rodriguez bingung untuk menjawabnya.
“Di m ana?” pekik perwira itu.
“Sudah tertelan, Tuan.”
“Tertelan? Jadi dalam perut?” dan dipukulnya perut
Rodriguez.
Dan sekali ini Rodriguez Dez tak bangun lagi. Ia
pingsan.
“Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya
gantungan?”
tiang
“Seperti seorang penari, Tuan.”
“Penari? Coba terangkan mengapa seperti penari.”
“Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan.
Kalau lelaki dia gagah, Tuan.”
“Juga tanpa sekali, Tuan.”
“Kira-kira tanpa, Tuan.”
“Anak maut! Mengapa tanpa?”
“Karena Tuan belum m enghendakinya.”
Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan
menjenguk keluar. Mem anggil-manggil: “Kelasi. He,
kelasi!” ia kembali ke tempatnya dan duduk.
Kelasi yang dipanggil masuk, mem beri hormat dan
berdiri di tempat.
“Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini
biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.”
Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan.
Rodriguez masih nyenyak dalam pingsannya.
“Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu
bangun lagi,” dan pada Esteban, “mengerti kau? Dengan
kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.”
“Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang
gantungan.”
“Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan,
apakah kau akan mem balas dendam padaku?”
“Tidak, Tuan.”
“Mengapa tidak, kau, calon iblis?”
“Karena Tuan m enjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri
Ratu dan negeri Portugis.”
“Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan
sekarang ia pura-pura.”
Dan Rodriguez bangun terburu-buru.
“Nah itulah tingkah pemuda Portugis yang tidak patut.
Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng
ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka
sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan.”
“Lebih cepat dari sekarang, Tuan.”
“Lantas?”
“Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu am at sangat
gemetarnya seseorang harus membantunya.”
“Cuma itu saja?”
‘Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi
basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentarsebentar menelan ludah, kerongkongannya kering.”
“Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah
menggantung o-rang.”
“Pekerjaan tam bahan, Tuan.”
“Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan,
kelasi.”
“Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak
dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati.
Celakalah yang lehernya kuat.”
“Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh?”
“Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti
bunyi kecil ‘klik’ dari persambungan tulang leher yang
patah. Setelah itu hanya lidah m enjelir seperti anjing, Tuan,
sebagai pertanda: saat itu….”
“Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis.”
“Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada
apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher,
dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan,
Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.”
“Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk
digantung orang?”
“Selama bersetia pada Portugis, Tuan, Sri Baginda, Sri
Ratu dan negeri… Tuhan takkan mem biarkan diri ini mati
di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing
kepanasan.”
“Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan,
kelasi!”
“Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu
dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari
tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang
melemparkannya ke laut. Selanjutnya…”
“Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak m aut ini sebelum
berjalan ke pengadilan. T entu kau sudah tak kenal. Hampir
lim a tahun m enghilang.”
“Em pat tahun,” Esteban membetulkan.
“Nafsu hidupmu masih menyala, Esteban!” tegur
perwira itu. “Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal
hidup ini?”
‘Tiang gantungan yang indah itu, Tuan.”
“Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi?”
“Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.”
“Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada
anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita setelah mereka
nanti gentayangan sebagai iblis?”
Kelasi itu mem buat gerak salib dan perwira itu terdiam,
kemudian: “Cukup, pergi kau.”
Kelasi itu mem beri hormat dan pergi. Perwira itu
mengawasinya sampai hilang di balik pintu.
“Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh
menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda Portugis
yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa
kepatuhan yang jadi sendi kebesaran Portugis dan Salib,
negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian telah
dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara
kalian mem asuki angkatan laut. Bukankah kalian
meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya
untuk kebesaran Portugis dan Salib?”
“Demikianlah pada mulanya, Tuan,” sambar Rodriguez.
“Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan
juga.”
Rodriguez terdiam lagi, nam paknya menyesal telah
menyam bar. Esteban mem perhatikan tangan perwira itu.
Nam paknya pikirannya beku.
“Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak punya
pengampunan. Ada, ya, selam a pengabdian padanya dan
pada Salib tetap dijunjung tinggi-”
“Kami sanggup mengabdi lebih
mendesis.
baik!” Rodriguez
“Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah, apa maksudmu berm ulut lancang itu?”
“Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih
baik.”
“Bukankah itu sudah terlambat?”
“Kami masih
mem perkuat.
hidup,
Tuan,”
sekarang
Esteban
Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya.
Secuwil senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya
mem ancarkan cahaya ram ah. Dan terdengar suaranya yang
ram ah pula, memikat dan menawarkan: “Ya, tentu, lebih
dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya
kalian masih sanggup melayani meriam setelah
berpetualangan selam a empat tahun belakangan ini. Belum
lupa, kan?”
“Meriam itu rasanya masih hangat dalam genggaman,
Tuan,” sambar Rodriguez.
“Dan m engapa temanmu mem bisu saja, Rodriguez?”
“Lebih dari melayani meriam kami pun sanggup, Tuan.”
“Nah, begitu pemuda Portugis,” perwira itu tertawa,
mem perhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan
matanya berseri-seri mengejek.
“Nafsu hidup kalian mem ang besar.” Ia keluarkan
sepucuk surat dari kantong. “Kalian sudah pandai
berbahasa Melayu dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian
kenal juga siapa itu Tholib Sungkar Az-Zubaid.”
‘Tidak, Tuan,” jawab Esteban del Mar mencoba
meram ahi perwira itu.
“Dasar goblok. Mestinya kau Pribum i Jawa atau
Malaka, bukan Portugis. “Siapa yang menangkap kalian
kalau bukan Tholib Sungkar Az-Zubaid? Syahbandar
Malaka?”
“Bukan, Tuan, Sayid Habibullah Almasawa, Syahbandar
Tuban,” Esteban m endapatkan semangatnya pribadi.
“Serigala pun lebih cerdik daripada kalian.”
“Ya, Tuan.”
“Dengarkan: Tholib Sungkar Az-Zubaid, bekas
Syahbandar Malaka, apakah namanya Tholib Sungkar
ataukah Sayid Mahm ud ataukah Sayid Habibullah, telah
mem inta padaku untuk keselam atan nyawa kalian.
Dengar?”
“Ya, Tuan,” mereka menjawab berbareng.
“Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali
tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya.
Daripada kalian jadi makanan hiu, pintanya, baiklah kalian
diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian
barangkali sekarang lebih mengerti: Tholib Sungkar itu
penyelamat nyawa kalian. Tapi entahlah bagaimana kalian
nanti menjawab di depan pengadilan kapal.”
“Kami akan m enjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda
dan Sri Ratu, demi Portugis, demi Salib,” Esteban
mewakili.
Dan perwira itu tidak menggubris.
“Mari aku bawa kalian ke pengadilan.”
Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. Esteban dan
Rodriguez mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke
belakang.
0o-dw-o0
Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap
kapal Portugis. Pandang mata sepanjang jalan tidak
menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting
daripada pandang orang.
Tetapi mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya
pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka
terus juga m engikuti perwira itu m enuruni tangga sampai ke
dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan
gelap. Perwira itu mem erlukan mem bawa lentera gantung.
Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak
atau setengah rusak dan m eriam-meriam dengan atau tanpa
roda.
“Pada mulanya,” perwira itu mem ulai lagi, “dua pucuk
ini akan kukirim kan ke Pasuruan.” Mendadak ia tertawa
dengan muka tertengadah pada langit-langit. “Kafir-kafir
dungu itu mengira, dengan meriam orang bisa jadi segagah
Portugis. Tidak jadi barang-barang ini kukirim kan ke
Blam bangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, Esteban
dan Rodriguez, sanggupkah kalian melayani dua pucuk
meriam ini?”
‘Tapi ini barang rusak, Tuan,” Rodriguez menyambar.
Tinju itu menghantam mulut Rodriguez dan ia meliuk.
Darah keluar dari m ulutnya. Ia meludahkan darah dan gigi.
“Kami bisa betulkan, Tuan,” Esteban memperbaiki.
“Betul. Itu jawaban gaya Portugis. Kalian bisa betulkan
sendiri. Mem ang meriam rusak semua ini. Kalian justru
harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini.
Kalaulah tidak karena ini, tali gantungan yang akan kalian
temui.”
“Ya, Tuan,” Esteban menjawab sangat sopan. “Kami
pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blam bangan.”
“Ke mana dikirimkan, aku yang m enentukan.”
“Ya, Tuan,” Esteban menjawab lebih sangat sopan lagi.
“Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata
ini…. Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup
atau mati pada senjata ini.”
Dan Esteban dan Rodriguez justru tak dapat berpikir.
“Bagaimana?”
“Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan,”
jawab Esteban.
“Betul? Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai
pemuda Portugis?”
“Betul, Tuan.”
Perwira itu tertawa melecehkan. Kemudian: “Memang,
tali lebih berat daripada meriam. Hanya sekali ini
kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan
mem perbaiki diri. Tidak benar? Tali gantungan juga yang
kalian parani.”
“Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia
padanya sampai mati,” Esteban hampir-hampir m engulangi
sumpahnya sebagai kanonir.
Perwira itu mem beri isyarat. Ia berjalan lebih dahulu dan
dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari
belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu mem ang
tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nam pak ada
persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan
orang bukan Portugis sedang berdiri menggerombol dan
tersenyum-senyum m emandangi mereka.
“Ya!” seru perwira itu pada mereka, kemudian dalam
Melayu, “bawa mereka turun!”
Dengan bantuan beberapa orang Esteban dan Rodriguez
diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung
besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke
belakang.
Hari telah malam dan mendung tebal mengapung di
udara.
Lampu-lampu dari atas kapal mem bikin mereka dapat
melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang
berpakaian Pribumi. Tetapi dari raut mukanya mereka
nam paknya peranakan Arab atau Benggal. Di tengahtengah perahu besar itu berdiri dua buah meriam beroda
dan peluru-peluru besi.
Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan
tenggelam, pikir Esteban. Dan dengan tangan terikat
begini… maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai
mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin
menjauhi kapal Portugis, menuju ke arah titik nyala nun
jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak.
Para pendayung itu tak ada yang bicara.
Esteban mencoba menembusi kegelapan dengan
matanya yang sudah kehilangan keawasannya karena lapar
dan tegang selam a ini. Nam un ia masih dapat melihat
beberapa biduk Portugis mengikuti dari belakang.
Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik
nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, mem bikin Esteban
dan Rodriguez m erasa kedinginan.
“Makan!” tiba-tiba Rodriguez m eraung.
Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan
diam-diam. Dan Rodriguez tidak merasa terhina, juga tidak
menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan
giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap.
Esteban
duduk
merenung-renung.
Seseorang
mem asukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi
kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia
mengenalnya: Yakub, pewarung arak dan tuak. Ia merasa
agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa
jahat. Ia mengunyah dan m enelannya.
“Lagi!” teriak Rodriguez dalam Melayu. “Dan minum,
bedebah!” Ia mendapatkan apa yang dipintanya dan
terdiam.
Juga Esteban mendapat tambahan dan minum sampai
kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama
karena m inum manis itu.
“Lepaskan tali ini,” raung Rodriguez mem erintah.
“Ayoh, bedebah! Lepaskan!”
Ia lihat Yakub berdiri, mendekati Rodriguez dan
meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok
lagi atau tidak. Ia tak mem buka mulut lagi. Iring-iringan
biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik
nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan
gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih
sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang
menuju ke arah barat.
“Moga-moga kapal kafir itu tak melihat kita,” doa
Yakub.
“Mereka akan menduga kita nelayan.”
Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi.
Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal Portugis
bila diburu. Tetapi kapal peronda itu tidak melepaskan
eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti
bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut
tanpa bergerak maju.
Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal peronda itu
semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh.
Yakub mem beri perintah untuk maju lagi, dan majulah
semua iring-iringan, tetapi ke arah cahaya yang timbultenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya.
0o-dw-o0
Iring-iringan itu m emasuki hutan bakau-bakau yang agak
rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan
mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di
belakang mereka orang-orang Portugis memaki-m aki dalam
bahasanya sendiri.
Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan
batang yang m enghalangi.
Pantai itu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah
api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas,
tetapi hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya.
Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu.
Nyamuk mendengung dan m enyerang setiap titik kulit yang
terbuka.
Hanya Esteban dan Rodriguez tinggal di atas perahu itu.
Dan tak ada seorang pun yang m enggugat m ereka. Nyamuk
makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap
yang keluar dari obor. Dan orang-orang Portugis itu tak
juga berhenti menyumpah-nyumpah.
Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai.
Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan m engobrol
ram ai. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng,
mencoba m enembusi kegelapan dan bertanya: “Yakub?”
“Ya, Yakub di sini,” ia menjenguk ke perahu dan
mem erintahkan E steban dan Rodriguez turun.
Orang mulai sibuk menurunkan meriam dan peluru.
Juga orang-orang Portugis yang beberapa belas itu
menurunkan barang-barang dari biduknya masing-m asing:
peluru, onderdil meriam dan perlengkapan sendiri.
Esteban dan Rodriguez menghindarkan mukanya dari
sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk
menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk,
kemudian merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan
mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya.
Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri.
Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam
keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang
sebangsanya mendirikan kemahan, mem bangunkan sendiri
api unggun, menghangati makanan kemudian makan, tanpa
datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu.
Untuk pertam a kali dalam hidupnya Esteban merasa
disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan
sebangsa sendiri, yang selam a ini tak pernah dimakannya,
juga tersingkirkan daripadanya. Ia m erasa nelangsa. Dan ia
tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di
tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri.
“Setidak-tidaknya,” bisik Rodriguez, “sampai detik ini
kita m asih hidup. Sambar gledek mereka.”
Esteban menutup matanya dengan melindungkan
mukanya pada rumputan. Seperti Rodriguez ia pun tidur
tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu
tungau menyerang kemaluan mereka, m ereka menyumpahnyum pah, lupa akan keadaan.
Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak
dapat menggunakan tangan untuk menggaruk. Dalam
serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia.
Mereka gigit pundak, tapi tak sampai. Mereka melompatlompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke
dalam kulit.
“Tolong, Tuan Yakub,” pinta Esteban, “ada binatang
masuk ke celana.”
“Tidak mati kau karena binatang celaka itu. Dia sendiri
yang bakal mati. Tidur.”
Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada
Yakub yang m enyala-nyala marah.
Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling.
Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka
jalan terus tanpa menggubris.
Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur.
Juga orang-orang Portugis.
Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru
angin, dan deburan ombak, dan nyala api.
Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur.
0o-dw-o0
17. Balatentara Tuban Turun Tangan
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua
punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan
Rangga Iskak telah mem persembahkan pagardesa mereka
tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji
Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak
terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang
menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti
terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang.
Waktu selam a sebulan yang diberikannya oleh Sang
Patih telah terlampau sia-sia.
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai
menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi
sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi
jadi Sunan Rajeg.
“Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian telah
menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak
ada jalan lain daripada mengirimkan balatentara ke
pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa
kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian
mengeluh karena harus makan lebih sedikit dan bekerja
lebih banyak.”
Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-m asing di
bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan
desa terancam dengan perintah untuk mendesak para
perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga
Iskak dan m emukul mereka di kandang sendiri.
Mereka berangkat setelah mendapat restu Sang Patih,
berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa,
wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang
menyaksikan keberangkatan ini. G ong, canang dan
gendang sam a sekali tidak berbunyi.
Setelah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia
mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula
tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan
ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik
bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut
serta berpesta pora.
Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu
yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan
pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam
bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban
Kota.
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa
belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang
anaknya belum juga kembali selam a ini, tak ketahuan ke
mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban.
Seorang penjual lain m enambahi, kira-kira m ereka tertawan
atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang
pedagang dari pedalaman menam bahi, bahwa orang sudah
mulai m eninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan
itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan
baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih.
Sang Patih telah mem erintahkan satu kesatuan berkuda
untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak
berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa
bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri.
Setelah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia
menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di seram bi belakang.
“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang Adipati
acuh tak acuh.
Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah
menjalar Kiai Benggala.
“Jangan gegabah,” Sang Adipati menjawab. “Tidak kami
benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana
kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata
tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di
hadapan.”
Ia m asih mencoba m eyakinkan gustinya.
“Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh
keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.”
“Tetapi bawahannya, G usti Adipati sesembahan patik,
barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau
tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mem persembahkan
hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan
regu prajurit kaki. “Ular berbisa itu, G usti Adipati Tuban
sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor,
pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera
ditumpas.”
“Apa yang kakang Patih inginkan?”
Dan Sang Patih mem ohon agar diperkenankan
mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar,
seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang
paling cakap.
“Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, G usti,
cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.”
Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan
tertindih am arah, dengan mata menyala, ia berkata cepat:
“Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang.
Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya
sekedar menghalangi pertum buhan mereka. Tindakan yang
seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu?
Pergi!”
Sang Patih pulang membawa kejengkelan – kejengkelan
semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap
gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada
cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang
karena sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit
sampai ke dasarnya.
Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil
kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal
yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang
Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu
untuk mem impin dua ratus orang prajurit kaki untuk
mem impin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak
alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg.
“Sahaya akan segera berangkat, G usti,” sembah
Mahm ud
Barjah.
“Hanya
ijinkan
sahaya
mem persembahkan sedikit pikiran, karena sahaya orang
Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.”
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih
sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia
diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah
Mahm ud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang,
untuk menumpas para perusuh di pedalaman.
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang,
cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tom bak.
Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit
pilihan….
0o-dw-o0
Belum lagi Mahm ud Barjah dan pasukannya
meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk
bersim puh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya
Sang Adipati.
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah
sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin
gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang
pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan
perdagangan yang sepi akan m enjadi mati sama sekali. Dan
untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa
kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat
dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada
kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid
Habibullah bilam ana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan
dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara.
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan
itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang
Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di
belakangnya mengikuti Nyi G ede Daludarmi.
Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan
tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih
sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik
daripada depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk
menuding Sang Patih dan mem bentak: “Kerjakan apa yang
telah tertitahkan. Kami yang m enentukan.”
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya
segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina
seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih
di hadapan seorang selir dan seorang pengurus keputrian.
Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah
dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus
menggandeng selir baru dalam iringan Nyi G ede
Daludarmi.
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia
mengangkat sembah lagi, kemudian berjalan terburu-buru
pulang ke kepatihan mem bawa kesakitan dalam hatinya.
Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku?
Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri?
Mem ang ia mem ahami alasan Sang Adipati: bila
balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya
para bupati tetangga, terutam a Demak bisa menyerbu
dengan leluasa. Mem ang sudah lama bandar Tuban yang
indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya karena
kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai
sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Mem ang
bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa
kekuasaan persekutuan. Tetapi Demak adalah kekuatan
yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan
darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru.
Dan mem ang Sang Adipati punya hak mencemburui
dirinya sebagai patih.
Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai
persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat
diriku sendiri. Mem ang, mem ang. Tetapi menyakiti hati
patihnya sendiri, pembantu-utam anya dengan sekasar dan
sehina ini?
Ia tak dapat m enerima.
Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan,
Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain
dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus
disingkirkan. Selam a itu Sang Adipati hanya mendengarkan
tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi,
pertanda tak sesuatu dalih untuk m enyingkirkannya.
Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah
bandar-bandar
adalah kebesaran.
Ia
tak begitu
mem entingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri
Tuban. Ia terlalu mem percayakan segala pada pasukan
gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati
menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah,
para perusuh akan dapat ditumpas. G ustinya tak pernah
mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan
Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang
Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari
perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan
kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri
Tuban sudah terjam ah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah
itu – akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu – akan
jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap
dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar.
Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya
dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan
Ispanya akan datang sebagai sahabat – seperti dilakukan
oleh G iri Dahanapura Blam bangan? Terlalu banyak yang
dipertaruhkan untuk keselam atan Sayid Habibullah.
Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai
Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan.
‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan
meriam?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang
kuat di Nusantara ini tak ada yang mem punyai, apa pula
hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari
Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu
berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal Islam pada kabur
berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam
tangannya Peranggi dan Ispanya mem ang tidak bisa
ditahan – mereka sedang naik pada jaman jayanya.’
Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran
Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut
jaya.
Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang
di luar yang jaya, orang tak dapat mem bangunkan kejayaan
sendiri.
Pada
puncak
kejengkelannya
ia
mengulangi
pandangannya yang lama yang mem bikin Sang Adipati
cemburu: Aku dapat am bil seluruh kekuasaan atas negeri
Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban.
Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan
Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat
dalam hatiku untuk mem bikin kau menungging di bawah
kakiku.
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh
pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk
melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda
menyam bar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran,
bahwa hukum an pastilah yang sedang digalangnya bila
perhitungan meleset. Dan hukum an mati itu bisa dicegah
hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan
garuda menyam bar elang juga terhadap gustinya sendiri,
dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk
mengabdi pada gustinya sampai mati.
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati
yang itu juga.
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan
gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan
ketidakpedulian.
0o-dw-o0
Pukulan pertam a itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua
datang menyusul, dan tidak terduga-duga.
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan:
Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas.
Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira
pengawal.
Pukulan kedua itu hanya mem bikin semakin parah
kelum puhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia
merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih,
sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya
sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau m emikirkannya.
Ham pir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung
di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka
terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan
bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh
kapal-kapal peronda pantai.
Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan
dikerubut nyam uk dan tungau tanpa dapat sedikitpun
kesempatan mem bela diri. Tangan mereka tetap terikat ke
belakang.
Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang
rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak
kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orang-
orang Portugis segera mem bongkari perkemahan mereka,
mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat
entah ke mana.
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutanhutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez
meraung seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka
tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut
makanan hiu.”
Belum lagi Esteban sempat mem uaskan kejengkelannya,
Yakub telah datang dan mem erintahkan dengan kasar,
semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia
tak bilang berangkat ke m ana. Semua orang terkecuali dua
orang Portugis itu mulai sibuk.
Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat
ke Blam bangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana
tempat itu. Orang pun tak bakal mem beritahukan.
Dengan petunjuk Esteban orang mulai mem bongkari
meriam dari roda-rodanya, kemudian semua dipikul. Juga
peti-peti obat dan peluru besi.
Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang
itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara,
makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan
dengan parang terhunus sebagai pem buka jalan.
Setelah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di
sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan
terus m enghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi
berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang
dikuasai oleh Sunan Rajeg.
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyam but mereka,
menggabungkan diri dan mengganti memikul beramairam ai sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani
orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang
badan, terutam a yang berambut pirang dan ompong gigi
depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam,
dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju.
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan
penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki
perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin
melewatkan keanehan sekali ini.
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di
depan rumah joglo Sunan Rajeg.
Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu,
berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia
mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas
Angin yang selam a ini tak pernah dikenakannya, sorban
putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari
dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar
tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di
samping-menyam -ping mereka regu-regu bertombak duduk
dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatangpendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang
duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang
mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez
duduk di tanah pula dan menyembah.
Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan
terikat ke belakang.
Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang m elihat dua orang
kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak
tersinggung. Ia m alah m engangguk-angguk pada m ereka. Ia
turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam.
Khaidar mengikuti dan juga menjam ah, malah mengintip
pada mulut meriam, kemudian mem bersihkan tangan
dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul
pendopo.
“Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg,” seru Yakub
mengacarai serah terima m eriam dan penembaknya.
“Keselamatan untuk kalian semua.”
“Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk
meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi
penembaknya,” katanya dalam Melayu. “Hei, kalian,
Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.”
“Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut
Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas.
“Alham dulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya
berkumandang ke seluruh Rajeg.
Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke
hadapan Kiai Benggala. Dan m ereka maju dan tetap berdiri
di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan mem beri
hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari
kemuakan.
“Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat!” teriak
Yakub di tempatnya dalatri Melayu.
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia
berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua
orang itu dan mem bagikan spdokan tinju pada pinggang
mereka.
“Hormat! Horm ati kanjeng Sunan Rajeg,” orang-orang
berseru-seru m emperingatkan dalam Jawa.
“Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memperkuat
perintah m ereka dalam Melayu.
Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez
beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil
menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka
sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula
ke bawah sam pai mencium debu.
“Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini,” kata Sunan
Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir!
Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan
bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian
jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian
sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan
Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup
atau mati kalian berada dalam tanganku.”
Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri
mem protes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata
Esteban, “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada
Tuan,” dalam Melayu yang cukup jelas. “Mengapa kami
diperlakukan begini?”
“Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang
Tuan tak pernah kenal ini?” tam bah Rodriguez.
“Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik airmuka
bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding
dirinya sendiri, kemudian tangan itu berkembang m enunjuk pada semua orang
di hadapannya, “pada seluruh umm at Islam. Dungu! Tak
mengerti kalian apa kataku?” ia mem bentak. “Mengapa
diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa
semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua
pengikutku, jagalah jangan sam pai dua kafir laknat ini lepas
tanpa seijinku.”
Satu suara bersama bergalau mem bubung dari para
hadirin di depannya.
“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian?
Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi? Perompak,
bajak, pembunuh, peram pas harta, nyawa dan negeri!”
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk
dan menekurkan kepala mereka ke tanah.
Sunan Rajeg kembali mendapatkan keramahannya. Ia
mengangguk-angguk membenarkan.
“Kiriman paling mem berkahi,” tiba-tiba ia tertawa
pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu
mengangguk-angguk menyetujui.
“Alham dulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara
menggelora.
“Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan
penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana
kehendaknya,” katanya dalam Jawa. Kemudian dalam
Melayu. “Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu,
bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami,
um mat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada
tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriammeriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa
saja. Jawab kalau kalian bersedia.”
“Tidak m ungkin menembak dengan dua tangan terikat,”
bantah Rodriguez bengkeng.
“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei,
om pong, pernahkah aku katakan pada kalian harus
menembak dengan tangan terbelenggu?”
“Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai
manusia yang punya juga kehorm atan sebagai manusia.”
seru Esteban lantang.
Sunan Rajeg
terguncang.
tertawa
senang
sampai
bahunya
“Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir
Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian
bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku,
dan bersedia m enjalankan perintahku. Demi Allah!”
“Demi Allah!” para pengikat m endengung mengulangi.
“Aku dapat m elihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi,
kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui
kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.”
“Kami bukan kafir!” bantah Rodriguez, mukanya m erahpadam karena m arah.
“Bukan kafir?” pekik Sunan Rajeg. “Baik, kurung
mereka selam a seminggu dengan tangan tetap terikat dan
makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi
selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing
minta ampun. Kurung!”
Dan dikurunglah m ereka.
0o-dw-o0
Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu
kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan
kelaparan.
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah
mem ohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg.
Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo.
Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri
di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga petipeti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang
bertom bak, tak ada para pengikut.
“Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” Sunan Rajeg
mendahului dari bendul pendopo.
“Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan,” kata
Esteban.
“Mengapa baru sekarang m enjawab?”
“Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan
boleh gusar sebelum nya, jangan kemudian. Maka kami
pikirkan masak-m asak untuk dapat m emutuskan.”
“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu
teruskan persembahanmu.”
“Mem ang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari
Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani
meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah,
Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan
disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?”
“Rusak?”
menggerutu.
bedebah!”
Sunan
Rajeg
mem ekik.
Kemudian
“Bedebah itu hendak menipu aku. Si
“Kalau terjadi kemacetan…,” Rodriguez menam bahi.
Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang
pada meriam -meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat
semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya
berseri kembali.
“Tidak apa,” katanya, “meriam adalah meriam. Yang
penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barangbarang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan
atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi
Tuban yang ikut denganku bisa m emperbaiki segala barang
apa dari logam.”
“Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan
sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.”
“Bagaimana
mendesak.
dengan
belenggu
kami?”
Rodriguez
“Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian
kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian
menuntut bebas.”
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseruseru ram ai. Kemudian disusul dengan suara orang
berlarian.
Sunan Rajeg mem anggil seorang pengantar tangkapan
itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum
suruhan itu datang muncul beberapa orang bertom bak,
berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun.
Kemudian: “Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan
diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.”
“Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau
mati!” Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, “Juga
kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani
meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila
kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku –
kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan
kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum
kehilangan kepalanya yang dua.”
Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg
terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub.
“Ya, bagaimana persembahan kalian?”
“Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah
Tuan.” jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg
sudah mulai agak ramah.
“Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam ?”
“Ya, tuan.” Esteban m emperkuat.
“Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuhmusuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.”
Esteban terdiam dan Rodriguez menyam bar: “Kami
sanggup, Tuan.”
“Mengapa kau diam saja?” tanya pada E steban.
“Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami
berdua,” jawabnya.
“Baik. Apa lagi?”
“Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan
berperang cara Eropa, secara Peranggi.”
Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias
Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil
mem perlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin
kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. Tapi
kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada
kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian – sudah
bergelimang dengan banyak dosa.”
“Kami mem ang Peranggi, tapi bukan kafir.” Rodriguez
mem bantah. “Kami Kristen.”
Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa m enang, dan tertawanya
terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan
itu.
“Mem ang tidak suka dinamai kafir? Bukankah kalian
menam ai kami juga kafir?”
Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin
untuk tidak menjawab.
“Mengapa diam ? Bukankah kami kafir untuk kalian dan
kalian kafir untuk kami?”
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu
mengandung ancam an m aut.
“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” Sunan Rajeg
mendesak terus.
Setelah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu:
“Semua yang Tuan inginkan.”
“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan
kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. Karena tiada
sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari
bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya,
dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini,
kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan.
Tapi ingat, aku tak mem punyai kafir.”
Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam,
merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan
batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki
oleh Sunan Rajeg.
“Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam?”
Esteban bertanya ragu-ragu.
Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya
berkilau-kilau semakin ram ah. Ia pandangi tenang-tenang
dua orang tangkapan itu, tersenyum m anis, dan keluar katakata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa
aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam? Kalian
sendiri yang m enentukan, bukan aku dan bukan siapa pun.
Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, karena kalian
sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang
lain.”
“Kami bersedia,” Rodriguez m enyambar.
“Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam,” Sunan
Rajeg memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri,
kerelaan sendiri dan suka sendiri.”
“Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan,” Rodriguez
mem betulkan kata-katanya, dan ia m engangkat sembah.
Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk
mem anggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah
penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah
dalam terik matari menunggu kata-katanya: “Dengarkan
kalian, bahwa pada hari ini,” ia mem ulai dalam Jawa.
“Orang Peranggi yang ompong ini…” tiba-tiba dalam
Melayu, “siapa nam amu, ompong?”
“Rodriguez, Kanjeng Sunan.”
“… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk
Islam. Syukur Alhamdulillah.”
“Syukur Alham dulillah,”
dengan suara menggelora.
orang-orang
mengulangi
“Dan kau, siapa pula nam amu?”
“Esteban, Kanjeng Sunan.”
“Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganm u?”
“Sam a saja. Kanjeng Sunan.”
Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah
lolos dan tak dapat ditemukan lagi….
Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyam but
peng-Islam an Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga
terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu
semakin lama semakin dekat, kemudian nampak
serom bongan
orang
desa
mengantarkan
seorang
penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan,
berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam daripada Sunan
Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban,
perwira pengawal.
Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul
pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.
“Assalamu alaikum !” perwira itu memulai sambil turun
dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg.
“Pam an!” dan diulurkan tangannya setelah mem buat
sembah dada.
Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk
pertam a kali penduduk m elihat orang bersalaman.
“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan mem berikan sembah
dada pula.
Khaidar mem balas dengan sembah dada pula.
“Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,”
kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh
istri dan tamunya.
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung
masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua
di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg
menghalau orang-orang yang masih menggerom bol di
depan pendopo. Mereka bubar setelah m enyembah.
“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali Sunan Rajeg
mem buka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi
tam unya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia
mem ulai dengan m enggunakan M elayu.
“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah
mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.”
“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rum ah berkobarkobar.
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup
mulutnya.
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang
telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu
mem bungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja
itu tertarik jadi siku-siku.
“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” Sunan Rajeg
mem peringatkan.
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari
tawanya.
“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan
sahaya untuk menindas Pam an,” ia tak dapat menahan
tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg
untuk ikut tawa.
“Teruskan, teruskan.”
“Karena bernafsu untuk menindas Pam an dengan
terburu-buru dia kirim kan pasukan yang lebih besar
daripada yang diperkenankan oleh G usti Adipati. Dua ratus
prajurit!”
“Dua ratus!” seru Sunan Rajeg. “Teruskan, Nak.”
“Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman,
di samping diri sahaya sendiri.”
Sunan Rajeg merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan
yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau.
Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.”
“Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Pam an.”
“Kau pilih sendiri!”
“Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak
laut pelawan ombak penakluk pulau!”
“Tuhan mem berkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?”
“Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk
dari Kanjeng Sunan Rajeg.”
“Betapa tahu adat, kau ini, Nak.”
“Sahaya adalah seorang perwira, Pam an.”
“Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka
masuk, Mahm ud. Tiada kafir di antara mereka, bukan?”
“Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi
menjemput mereka. Dua ratus, Pam an. Tidak sedikit.
Sediakan tempat dan m akannya?”
“Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglim aku datang,
panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah
mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk mem beri
isyarat pada Mahm ud Barjah agar segera pergi.
Mahm ud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan
perpacu hilang di balik debu mengepul.
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu mem anggil
orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan
orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rum ah dan
pekarangan, mem enuhi pelataran depan pendopo Sunan
Rajeg. Dan orang bersorak-sorak m endengar dari mulutnya:
dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan
mereka.
“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban
sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama
dideritakan. Sam butlah m ereka dengan pesta dan syukur!”
Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba.
Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka.
Kelelahan yang am at sangat mem aksa mereka mencari
tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak
mungkin.
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun.
Mahm ud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam
rumah Sunan Rajeg.
Lain lagi yang terjadi di gedung utam a kesyahbandaran.
Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban
sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak
berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar
nam paknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal
beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari
menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan
tersobek-sobek dari dalam . Kekacauan dan kebalauan akan
mem bikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya.
Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan
kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani
mem bayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya
pasukan kuda tanpa ada petani mem persembahkan upeti
rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila
daratnya kocar-kacir?
Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam.
Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para
pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri
sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, am bruk
berkeping-keping.
Tuban harus jadi bangkai yang mem busuk dari dalam.
Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar
Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan
dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi
selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau
Lisboa. Atau dikirim kan kepadanya di rumahnya di
Andalusia, Ispanya.
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga
tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan
senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup
selanjutnya.
Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi.
Diri akan tinggal duduk-duduk m embacai cerita-cerita Arab
semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia,
mengagumi orang-orang besar dalam berbagai bidang
keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia,
filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir
atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina…
Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah daripada
Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa
lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya,
Tuban sedang dalam keadaan runtuh.
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa
mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan
dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh,
manusia-m anusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti
merak, kau Idayu! Apalah artinya kau! Ia tindas
kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus
daripada kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana.
Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang,
kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta
penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk
dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke
dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat
selir kesayangan
baru, seorang gadis Tionghoa
persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa nam aharemnya.
Dari percakapan dengan Pam an Marta ia mengetahui,
orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tandatanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda
kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai
menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya
Purnawisesa jatuh setelah menyelir Ratna Subanci anak
saudagar G resik, Tan G o Hwat, yang lebih terkenal dengan
sebutan Babah Ba tong itu?
Melihat Nyi G ede Kati sedang datang mem bawa
nam pan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi G ede’
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiapsiap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia
tinggal berdiri di hadapannya.
“Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi G ede?”
“Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nam a itu.”
“Orang-orang sudah mem bicarakannya, Nyi G ede.
Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia,
Kati?”
“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu
Campa sahaya tidak tahu.”
“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau
menyembunyikan sesuatu daripadaku?”
sudah
mulai
“Tidak, Tuan, demi Allah.”
“Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu,
Kati. Bagaimana jawabanm u sekarang?”
“Bukankah sahaya telah m enjawab, Tuan Sayid?”
“Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.”
“Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan
menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah.
Tidak untuk kedua kalinya.”
“Itu salah benar, Kati, Nyi G ede. Hubungan lama jangan
dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak
melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya
berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak,
sedikit pun jadi. Bukankah begitu?”
“Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.”
“Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan
permintaan, tapi perintah.”
“Betul, Tuan, perintah.”
“Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri
tidak patut menolak perintah suami. Orang harus
melakukannya. Bukan, Kati?”
“Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak
sedia.”
“Kau mem bangkang, Kati,” kata Syahbandar itu tak
bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.
“Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua
kalinya pada G usti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban,
Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat m eninggalkan
tempat ini entah ke mana-mana.”
“Akan kubawa ke m ana pun aku pergi kau, Kati. Jangan
kuatir,” Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya
sendiri.
“Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya.”
“Tapi kau istriku!” Syahbandar m enekan.
“Sahaya istri Tuan Sayid.”
“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya
“Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot.
keras.
“Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami
sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.”
“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya
berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan
lama,” Tholib Sungkar menurunkan kembali nada
suaranya.
“Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu
besok sahaya akan pergi ke desa Awis Kram bil,
mengantarkan Idayu untuk m elahirkan.”
“Binatang,” desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari
tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya.
“Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya
tenang, “tidak lagi seperti Tuan.”
“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya ram but
Nyi G ede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai
ham pir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk
kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan
itu seperti hendak m enotok biji matanya.
“Lepaskan sahaya, Tuan,” pohon Nyi G ede.
Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan
cengkaman pada ram but tak juga dilepaskannya. “Ampun,
Tuan, lepaskan sahaya.”
Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke
belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya
nam pak sudah kalap dalam menundukkan istrinya.
Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke
atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi G ede.
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas
pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait
sebelah kaki Tholib Sungkar. Kemudian ia berguling
berputar.
Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseim bangan
dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak
terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala
kehorm atan, kemudian berhenti mendarat pada kaki meja.
Dan belum ia mendapatkan keseim bangannya dan
kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya,
istrinya telah melom pat dan mem bikinnya jadi
tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang
dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya.
“Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan.”
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan.
Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mem perhatikan
tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat
yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri
sebelum terpental.
“Jangan, Nyi G ede, jangan.”
“Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan
yang m ulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan
sendiri.”
Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya
menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke
samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka
mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi
G ede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti
terbuat dari ketan hitam.
“Lepaskan aku,” rintihnya.
“Mintalah ampun, Tuan.”
Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi G ede Kati
menam bahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki
itu m engaduh, m engerang dan merintih.
“Ya-ya, ampun, Nyi G ede.”
Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu
jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk
suam inya, berdiri, kemudian dengan tangan sendiri
menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban,
menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan
orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.
“Ampun, ampun, ampun, Nyi G ede!” rintih Syahbandar
dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.
“Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong
suam inya berdiri.
Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu
menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari
lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari
pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, ram but, dan:
“Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?”
Nyi G ede Kati mengait topi itu dengan kaki,
mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan
kepala suam inya di dalamnya.
“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya lelaki jangkung
itu sam bil memperbaiki letak tarbusnya.
“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan
sungguh tidak patut.”
“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya.
“Mem ang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga
tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau
suam i itu sudah begitu kurangajarnya….”
“Aku…. ?”
“Siapa lagi, Tuan,” Nyi G ede berjalan beberapa langkah
dan mengam bil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan
mendengarkan sahaya?” m elihat lelaki itu mengangguk lesu
ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodohbodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau
dia mem ang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan,
seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai
ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang
dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya
seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya
sebagai suam i saja, juga sebagai gurunya dan sebagai
dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya
sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu
mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.”
Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan
ceramah yang bodoh itu.
“Kau wajib minta ampun pada suamimu.”
“Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengem balikan
tongkat pada pemiliknya. “Sahaya minta ampun. Sekiranya
terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah
tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.”
“Perempuan haibat! Tak
menggeleng-geleng pusing.
pernah
aku
temui,”
ia
Nyi G ede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan
tanpa menghormatinya.
Syahbandar mem benahi kitab-kitabnya, beberapa kali
menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan
rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan
bengkung merajawali, kemudian mengenangkan dengan
tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditum bangkan
seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia
dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka,
pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina
seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti
dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung
dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan
sanggup mem bendung kekuatan Portugis, kekuatan yang
sedang jaya.
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada
kekalahannya
terhadap
Idayu.
Di mana
harus
kusangkutkan mukaku kalau dia m enyaksikan peristiwa itu
tadi? Tidakkah Nyi G ede akan menyampaikan gempa bumi
ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar,
bagaimanapun mereka takkan sanggup mem bendung
kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah
mem bikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu!
0o-dw-o0
Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg
mem perkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu
Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez.
“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembakpenembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita
itu.”
“Meriam? seru Mahmud
Meriam Peranggi?”
Barjah.
“Meriam
betul?
Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk mem benarkan.
“Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih
anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi.”
Mahm ud Barjah mengernyitkan kening.
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata
Mahm ud, Sunan Rajeg buru-buru menam bahkan: “Dan
perwira Tuban ini, Mahm ud Barjah, adalah panglimaku.
Mem ang M anan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah
perintahm u, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud,
perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi
Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya
dari Peranggi.
“Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi?”
Barjah mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku
dengar atau lihat.”
“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak
bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh,
bersalam-salam an kalian.”
Mereka bersalam-salam an. Dan segera setelah itu
Mahm ud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat
anakbuahnya.
Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu
hati panglim anya. Panglima Rajeg itu muncul lagi
menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung
dengan semua makmum sampai isya. Kemudian semua
orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg
menyam paikan wejangannya pada seluruh penduduk yang
sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa
tikar masing-masing.
Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan.
Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan
pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu
terpasang di mana-m ana dengan apinya yang gelisah.
Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam
pendopo. Di belakangnya duduk Mahm ud Barjah dan para
tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan
panglima baru, kemudian diteruskan dengan wejangan yang
biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah
kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini,
Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah
Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap
wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya.
Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur
jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang
selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya
kerajaan Islam yang pertam a-tam a.”
Ia m emperdengarkan tawa yang pahit menggigit.
“Siapa yang m enamakan itu? Pasti bukan Sunan Rajeg,”
ia meneruskan. “Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan
dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.”
Mahm ud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan
karena itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang
penduduk sudah hafal di luar kepala: “Kalian tahu benar
siapa musafir-musafsir Demak itu – ratusan orang yang
dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk
bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak,
rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan
anggota-anggotanya,” ia menengok pada Mahmud Barjah.
“Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia
meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan
Islam pertama-tam a di Jawa tidak di Demak, tapi di sini!”
dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyalanyala pada para hadirin di depannya.
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak
ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di
belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan
patung-patung tembaga pada sebuah candi.
“Pekerjaan musafir-m usafir celaka itu hanya mem bedaki
dan merias muka Sultan Al-Fatah dan mem ajang-m ajang
Demak, karena m uka
Sultan itu bopeng dan karena Demak itu busuk. Ingatingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan
dengan kebohongan dan dusta m acam apa pun. Maka juga
tidak ada hak Demak menam akan kerajaan Islam pertam atam a di Jawa’
Dengan pandang menantang seakan Demak ada di
depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Katakatanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan
panglimanya.
“Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu
mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa
gurum u? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah
dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian
menyam akan Al-Fattah dengan Ali dan Um ar? Apa
dasarmu dan dasar kalian?”
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya
menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya mem bungkuk dan
kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya.
Mahm ud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati
bahu dan punggung pemimpinnya, tetapi tak berani. Para
hadirin mem anjangkan leher untuk dapat melihat
bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk,
apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang
gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan
untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak m enyatakan
dirinya.
Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta
bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap
tangan itu. Ia mem bantunya berdiri dan mem bawa tubuh
pemimpin yang terbongkok-bongkok karena batuknya
masuk ke dalam .
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar
karena sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya
Mahm ud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk
mem berikan perintah bubar.
Perwira m uda yang tampan itu duduk di atas permadani
bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri mem belakangi para tetua. Ia
dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan
dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak
mem aklumi.
Setelah m engucapkan salam, yang disambut m enggelora,
ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang
pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap
Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban,
tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita
bukan m uhrim, namun tanpa m alu adipati itu m enamai diri
Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak
pernah menyebut Demak.
Dan pidatonya makin lama makin m elarut mem beberkan
perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat
berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan
dan khayalan, bertele, m eliuk ke sana dan ke mari.
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih
terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga.
Dam arsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para
tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia
tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintangpukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari
pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah.
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar
negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasanagadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di
pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua,
para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal
kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala
Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan
kaki.
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah
Wiranggaleng. Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun.
Ia duduk sebagai kepala pasukan laut.
Tempat Sang Patih masih juga kosong.
Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkalikali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap
kosong. Karena tak dapat menahan kesabarannya, keluar
suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina:
“Di m anakah kakang Patih?”
Tiada berjawab. Semua menunduk.
“Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?”
Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh
penghadap.
“Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu
dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap
perusuh?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” salah
seorang yang tertua di antara mereka bersembah,
“demikianlah adanya.”
“Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?”
“Ampun,
G usti,”
“demikianlah adanya.”
sembah
Banteng
Wareng,
“Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa
bekas?”
“Ampun, G usti, sesembahan, demikianlah adanya,”
sembah Rangkum.
“Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang
peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud
Barjah juga lenyap tanpa bangkai?”
“Demikianlah adanya,” sembah Rangkum.
“Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan
Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan
sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus
tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh karena
balatentaranya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukanpasukan Tuban tiada mungkin terkalahkan? Dalam dua
ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan
Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut
maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu,
apa dan siapa G ustimu!
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik,
kepala pasukan pengawal G usti Adipati tiada rela Tuban
dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun
orangnya, apa pun dalih dan kapan pun m akarnya. Seluruh
pasukan pengawal adalah kulit G usti Adipati. Barang siapa
menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan
pasukan pengawal, karena Braja yang akan menjawab.”
“Kesetiaanm u adalah kesetiaan lama dari perwira
Majapahit. Kau, Banteng W areng, bersembah.”
“Ampun, G usti Adipati sesembahan patik, ada pun
pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang
segala yang bergerak menuju ke T uban dengan kejahatan di
dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa
dijadikan malam, sebagaimana G usti Adipati titahkan.
Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambukcambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh
durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar
menepis puncak-puncak om bak. Musuh akan diporakporandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng
Wareng adalah dada G usti Adipati.”
“Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng
Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah
Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah
yang bersembah.”
“Ampun, G usti Adipati. Pasukan gajah selam anya
jantung hati Tuban dan G usti Adipati. Tanpa kesudian
G usti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan
darah pertahanan Tuban. G ajah-gajah yang lincah dan
berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati,
adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang
ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya,
terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam
gadingnya. Bila musuh ingin m encoba, pasukan gajah G usti
Adipati akan mem berikan pada mereka apa yang mereka
kehendaki. G usti Adipati sesembahan patik, kesetiaan
pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan G usti,”
“Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku
andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan
gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada
dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud
Barjah.”
“Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang
sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah
persembahkan?”
“Ampun, G usti, patik persembahkan jumlah yang hilang
tersebut kepada G usti Patih berdasarkan titah.”
“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape
yang bisa dikeping-keping dan ditelan? Dua ratus sembilan
puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang
Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau,
Rangkum, dan segera.”
Setelah
menyembah
mengundurkan diri.
Rangkum
tergopoh-gopoh
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan
luarbiasa. Jangankan senyum, keramahan sedikit pun tak
nam pak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa
tersenyum itu keunguan karena murka. Keriput pada
wajahnya nampak semakin dalam.
Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar
Tuban: “Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah AlMasawa,” katanya dalam Melayu. “Dalam bulan ini hanya
ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat,
jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot.
Sekarang tinggal tiga.”
“Ampun, G usti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah
mem bikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia
mem bikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi
daratan. Itulah usaha manusia, G usti. Tetapi semua
ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak,
singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik
Tuhan.”
Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di
bawahnya, dan wanita-wanita itu mem persembahkan
nam pan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan
bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain
dengan gopoh-gapah mem persembahkan tempolong ludah,
dan lelaki itu m eludah ke dalamnya.
Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan
sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.
“Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan
makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana.
Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang mem bagi-bagi
rejeki di antara ummatNya!”
Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat.
“Sebentar satu bandar dimakm urkan-Nya, sebentar pula
dilupakan-Nya. Sam a sekali bukanlah pekerjaan seorang
Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, G usti.”
“Sam pai di mana usahamu untuk mengem balikan
semarak bandar Tuban?”
“Ampun, G usti, kejayaan juga berpindah-pindah karena
bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya karena bandarnya. Itu
sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya,
hanya bisa mem ohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindahpindah, G usti, tetapi bandar tidak. Tak ada kekuasaan di
bawah kolong langit dapat mem erintah: hei, kau, kapalkapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya
Nabi Musa a.s. dapat mem buka jalan laut hanya dengan
tongkatnya dan menyelamatkan umm at-Nya.”
“Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana
usaham u? Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban
untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan
susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh.”
“Segala usaha telah patik tempuh, G usti, akhirnya
Tuhan jua yang m enentukan. Ham ba tak mampu memaksa
kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di
Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai
dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai.
Tinggal benderanya saja yang m asih Tuban.”
“Diam!” bentak Sang Adipati.
Wiranggaleng yang duduk sejajar dengan para kepala
pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya
tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di
mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang
harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang
Adipati.
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat
dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda
pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang
sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring,
tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak
terdalam terselitkan. Dan m atanya m erah seperti tidak tidur
selam a seminggu atau seperti habis menangis sepanjang
hari.
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan
menyembah, kemudian dengan tak acuh menempati
tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk
dalam .
“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada m enghadap pada
waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka
demikian tingkahm u?”
Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut tetapi tak
berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.
‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan
matamu merah. Kau masih kuat mem bawa badan sendiri.
Apakah kurang kami terhadapm u?”
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia
tetap tak bersembah barang sepatah.
Sang Adipati mengernyitkan kening dan mem bentak:
“Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk
dipersembahkan lagi?”
Pelahan Sang Patih m engangkat kepala dan menyembah
lagi, tetapi kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak
beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya.
“Adakah kam i yang tuli, ataukah kau yang bisu?”
“G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” kata Sang
Patih parau.
“Apalah lagi yang mesti patik persembahkan? Dalam
satu minggu belakangan ini semua telah patik
persembahkan dan G usti Adipati Tuban, sesembahan patik
tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat
murka G usti Adipati.”
“Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban
tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus
mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal
kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang.
Dan kau Kang Patih, telah kirim kan dua ratus sembilan
puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai.
Bukankah dem ikian?”
“Patik, G usti Adipati.”
“Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih
banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara
Tuban akan terkuras habis.”
Sang Patih tidak bersembah.
“Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.”
“Ampun, G usti Adipati, dua ratus sembilan puluh
adalah kehilangan besar. Tetapi pasukan kaki Tuban
belum lah bergerak dalam bentuknya yang semestinya.
Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti
bukan perang, G usti. Yang demikian tidak mungkin terjadi.
Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu
yang mendahului-G usti Patih Tuban. Ialah bahwa
hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah
karena pengkhianatan.”
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum.
Sementara sunyi-senyap.
“Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian?
Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik,
kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki.
Mahm ud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah
bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat
tam bahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.”
“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi
dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang
pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat?”
Kesenyapan menyusul lagi.
“Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan
pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?”
“Demikianlah adanya, G usti.”
“Dan tanpa sepengetahuan kami?”
“Demikianlah adanya, G usti.”
“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan
gustimu?”
“Sam a sekali tidak keliru, G usti. Maka jatuhkanlah
hukum an pada patik karena kekeliruan ini.”
Sang Adipati nampak menghela nafas panjang.
Airmukanya m ulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya
tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan
untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk
meneruskan persembahannya.
“Kalau permohonan patik untuk mengerahkan
balatentara agar dapat menumpas perusuh secepatcepatnya, G usti, G usti timbang sebagai kekeliruan juga,
mem ang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada
sesuatu yang patut patik persembahkan lagi,” ia
mengangkat sembah dan berdiam diri.
“Kami mengerti kesulitanm u, Kakang Patih, dan itulah
tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu
kesetiaanm u. Tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan titah… “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik,
demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau
mengeluarkan lim a ratus prajurit, dapat kau am bil dari
berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut,
Wiranggaleng, ayoh, persembahkan sesuatu tentang
pasukanm u.”
Wiranggaleng mengangkat sembah. Selama itu ia telah
susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan,
meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.
“Ampun, G usti, sesungguhnya belum lagi lama patik
mem egang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing
tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari,
dengan lampu-lampu dipadamkan. Tetapi kilat di musim
hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara
tidak m elihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya
juga segan mem persembahkan. Boleh jadi takut
menghadapi Peranggi. Ampun, G usti, pada waktu itu patik
belum mem egang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang
mencurigakan itu, G usti Adipati sesembahan patik,
pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari
laut tidak kalah buruknya daripada darat. Jatuhnya Malaka,
G usti, jadi peringatan….”
“Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan
besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga,
penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh
ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut
selam anya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau
pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga
yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban?”
Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang
jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok.
Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai
mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar
agak ragu-ragu: “Ampun, G usti, tentang Malaka itu sahaya
kurang periksa, malahan tidak pernah m endengarnya.”
“Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang
tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban
bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang M alaka’
Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jarijarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari
mulutnya.
Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan
semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban
Arya Teja Tum enggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud
Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki
bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. G ajah-
gajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal
Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajahgajahm u.”
“Peringatan G usti Adipati jadilah ajimat untuk patik.
Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang
dan malam, G usti, kecuali oleh pawang masing-m asing,
sejak jatuhnya Malaka.”
Wiranggaleng
gelisah
di
persembahannya belum lagi selesai.
tempatnya
karena
“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?”
Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata
sesuatupun.
Sikapnya itu mem bikin gelisah para penghadap. Dan
Wiranggaleng
sendiri
merasa
jengkel karenanya.
Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada
semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan
kebijaksanaannya? Ia pun m erasa tidak puas terhadap Sang
Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih.
Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain katakata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa
rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu
tentang rencananya itu. Dan m engapa tak juga ada sesuatu
tindakan diam bil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia
menarik kesimpulan Sang Adipati masih
tetap
melindunginya.
Ia mem benarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan
yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar
harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat
sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran.
Prajurit sejum lah lim a ratus orang yang diperkenankan
mem ang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak
mem persembahkan pendapatnya? Malah semestinya
meyakinkan Sang Adipati, bahwa lim a ratus orang itu tidak
mem punyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud
Barjah dan pasukannya? Mengapa dia hanya menyembah
dan mem bisu?
“Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan
harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan
coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang
hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki.
Pergunakan lima ratus! Wiranggaleng, bagaimana cetbangmu?”
“Dalam keadaan siap dan menunggu titah, G usti?”
“Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran
darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di
darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.”
Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang
dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin
terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin
mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.
“Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat,
kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.”
“Patik laksanakan titah G usti.”
“Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?”
Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata
sesuatu pun.
“Jadi kau tidak mem benarkan kami?” suara Sang
Adipati meledak dengan suara parau.
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan
semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya.
Ketegangan m embenam mereka semua dalam kewaspadaan
yang makin lama makin m eruncing. Sunyi. Dan di sela-sela
kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan
lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang
berguling-guling seperti guruh yang sedang m alas.
Beberapa bentar kemudian kewaspadaan itu buyar. Satu
ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang
pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh
gemerasak ke tanah.
Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun,
pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk
untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh
ketentuan.
Tak ada seorang pun bicara.
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan
untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar kemudian
gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan
bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.
“Meriam!” seru Syahbandar
meriam, G usti, meriam!”
Tuban.
“Masyaallah,
“Meriam!” gumam Sang Adipati.
“Meriam Peranggi!” seru Syahbandar.
“Diam!” bentak Wiranggaleng pada Tholib Sungkar AzZubaid. “Tak ada canang dari m enara pelabuhan.”
“Betul, tidak dari pelabuhan, G usti,” baru Sang Patih
bersembah, “meriam Peranggi. Perusuh sudah punya
meriam Peranggi, G usti. Laut dan darat m engancam .”
“Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang Adipati
mengulangi. “Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya!” ia
berteriak: “Tuban tetap jaya. G usti Adipati tetap jaya!”
semua penghadap bersorak menyam but.
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah
dan pohon beringin kurung yang som plak. Sebutir lagi jatuh
antara gapura roboh dengan pendopo.
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya.
Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung
mereka masing-masing. Dan orang mulai mem bayangbayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh
para penghadap jadi penyok kejatuhan. “Persembahkan
sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang Adipati dengan masih
tetap berdiri dan m atanya tertuju ke luar pendopo.
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali
kemudian mem bisu lagi.
“Kau Wiranggaleng,
persembahkan sesuatu.”
pelantang
dan
pelancang,
“Menurut dugaan patik, G usti, para perusuh sudah
sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya G usti
sesembahan, perkenankan patik mem ohon agar G usti
menitahkan balatentara Tuban bergerak… tiada kan lama,
dan perusuh itu…”
“Diam, kau, pelancang!”
Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang
Adipati pada peluru yang m ungkin akan segera jatuh lagi.
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam
kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut
oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh
para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap
pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemudian terdengar
derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati
gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal
pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan
bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak
berambut. Pada tangannya ia mem bawa tombak teramang.
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang
Adipati yang m elihat penunggang itu m endekati.
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang
kuda dari pasukan Tuban yang mem burunya.
“Terima ini!” pekik penunggang kuda serba putih itu dan
melemparkan tom baknya ke arah pendopo.
Tom bak itu m elayang dan berhenti menancap pada salah
sebuah tiang pendopo.
Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan
mem buru penunggang kuda itu tak menggubris mereka
yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia
melom pati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun,
mem belok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan.
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten
dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, kemudian
pun hilang ke arah timur.
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan,
bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia
menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam
kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang
bersembah: “Seorang perusuh, G usti Adipati Tuban
sesembahan patik, dengan berkuda telah mem asuki Tuban
Kota, mem asuki kadipaten dan melemparkan tom bak ke
pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang mem burunya.
Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia
menyembah dan mengundurkan diri.
“Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau
sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua:
hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban.
Selamatlah kau, sejahteralah kalian.
pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!”
“Ampun,
menyela.
Kepala-kepala
G usti Adipati…,” Sang Patih
mencoba
Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan
am arah yang telah dicobanya ditindasnya selam a ini.
Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk
menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit
pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah,
kemudian dengan
terburu-buru mempersembahkan:
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan, telah patik
cabut tom bak perusuh dari tiang pendopo. Padanya
disertakan lontar ini, G usti,” dan dipersembahkannya surat
tertulis dalam basa dan huruf Jawa.
“Baca, biar semua dengar,” titah Sang Adipati.
Prajurit itu mem bawa lontar itu di depan matanya, dan
mulai mem bacanya dengan suara lantang sehingga
terdengar ke seluruh pendopo: “Adipati Tuban kafir-kufur
Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta,
“Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang
menggetarkan Tuban Kota dan hatim u,”
“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau,
itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri
Tuban selatan.”
“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap
jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, karena tak akan
ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.”
“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan
bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di
medan perang.”
“Sunan Rajeg tak mem butuhkan jawaban dari mulut
atau hati si kafir-kufur tanpa harga.”
Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontarlontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang
lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu
pun m engundurkan diri tanpa mengambilnya.
“Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami.
Dengan jum lah yang telah kami tentukan untukmu.”
Melihat Sang Patih masih juga akan mem persembahkan
keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong
kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang
oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan
melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada
siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan
pendopo dan hilang dari pemandangan.
Semua penghadap menurunkan sembah, kemudian
bubar meninggalkan kepala pasukan yang mem bantunya
mem bersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya.
Balatentara Tuban mulai bergerak.
0o-dw-o0
18. D an Pertempuran Meletus
Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya setelah
menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata
dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana
meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan
peluru
dengan
iringan
halilintar.
Peluru-peluru
menyeberangi langit di atas padang rumput, kemudian di
kejauhan nam pak suara gerak pada kehijauan hutan.
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari
prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus
untuk menjaga keselam atan senjata ampuh dan para
pelayannya.
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara
Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua
orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin,
kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya.
Panglim a Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat
menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihanlatihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di
bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut m enyertai.
Ia mem bikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak
mampu
mengendalikannya.
Akhirnya
ia
tidak
mem aksanya.
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan
Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk
dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri
bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya,
mem astikan, tentaranya jauh lebih unggul daripada Tuban.
“Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng
Sunan,” kata Esteban. “Lain halnya dengan yang langsung
dipimpin oleh panglima Rajeg.”
Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak
bicara lagi.
Esteban mem peringatkan, dalam setiap orang, kesabaran
diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah
untuk mem enangkan tujuan. Tetapi Sunan Rajeg
mem bantahnya, sekaranglah waktunya yang setepattepatnya untuk mem ukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk
segera m enyerang.
Mahm ud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala
dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia
melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia
tidak m embantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara.
Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak
tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada
kepala pasukan Melayu – pelarian dari Malaka itu. Ia turun
sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan.
“Perintah harus dijalankan,” perintahnya.
Bersam a Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan
Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta
menyaksikan rencana penyerangan.
Mahm ud Barjah menggariskan, penyerangan akan
dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di manamana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke
perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak
dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia m elawan dan
punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga
berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang,
mem anaskan hati musuh agar keluar ke medan
pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi
pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriammeriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu
mereka turun ke gelanggang.
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya
kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu
hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang
dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan
adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti
menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang
pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum
lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai
Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit
prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang
jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak
dengan baik, dapat mem anah dengan baik, dan dapat
berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi
prajurit yang baik.
Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu.
Mahm ud Barjah diam saja mendengarkan keterangan
Manan alias Esteban.
Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali
perintahnya.
“Kalau begitu,” kata Esteban alias Manan. “Seluruh
tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam
beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak
semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar
dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan
dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin
bisa m enghancurkan seluruh kekuatan Tuban.”
“Bukan dengan bantuan meriam,” bantah Sunan Rajeg,
“meriam yang harus dibantu oleh semuanya.”
“Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua
ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan.
Mahm ud Barjah yang tidak mem punyai sesuatu
pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan
dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang
perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara
Peranggi itu dapat m embikin para prajurit jadi jari-jari pada
lengan seorang panglim a. Ia sangat setuju. Tetapi dalam
menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus
tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti.
Semua harus menerima garisnya.
Ia m embantah M anan, ia pun mem bantah Sunan Rajeg.
Pertikaian m ulai terjadi.
Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan
kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, karena
dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan
saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi
Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja
sekarang berani mem bantahnya. Ia m engalami krisis emosi.
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang m ualaf dan
panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi.
Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah,
terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar
selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya,
ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera
dilakukan.
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan
panglima Mahm ud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus
terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua
orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka
berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan
darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. M ahmud Barjah hanya
mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan
itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskarlaskar.
“Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan
siapa yang mem impin laskar-laskar itu?”
“Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami
hanya m engurus soal meriam dan pasukan pengawalnya.”
“Apakah m eriam juga mendengarkan perintahku?”
“Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus
diselesaikan dulu.” Pertikaian dengan demikian m ereda.
Kesim pulannya : dalam penyerangan pertam a tidak
dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti
sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk
mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus
dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan
kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan
langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup
persiapan.
“Tak pernah terjadi surat tantangan dikirim kan,” bantah
Mahm ud Barjah, “perang adalah perang.”
Dan untuk ke sekian kalinya Panglim a Rajeg terdesak
dalam pertikaian tentang makna perang.
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak
dapat lagi dihindari oleh Panglima.
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi.
Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura
yang roboh untuk m engangkat sembah pada para pembesar
yang sedang meninggalkan kadipaten.
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan
lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengahtengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan
tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka
mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak
tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang som plak,
melotot di atas tanah.
Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan
paling depan, berhenti, mengambil peluru
dan
mengamatinya sebentar, kemudian menyerahkannya pada
yang lain.
Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar
Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang
Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan,
Wiranggaleng.
termasuk
Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba
mem ahami mengapa Sang Patih kehilangan semua
kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya
sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lim a ratus orang
prajurit dan musuh punya m eriam.
“Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu
mendapat giliran memegang peluru itu.
Wiranggaleng menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil
dan menjawab: “Tidak, G usti,” dan ia lihat kepucatan
sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu.
“Sam a
sekali
tidak
menakutkan
sebagaimana
didongengkan orang,” kata Kala Cuwil mem berikan
pendapatnya. “Tapi bagaimana m ereka bisa sudah memiliki
meriam?” tanyanya kemudian sambil menyerahkan peluru
itu pada yang lain.
“Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih Tuban
merangkap Senapati mulai mem buka pidatonya di bawah
pohon beringin kurung. Kemudian kata-katanya keluar
sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui
giginya yang sudah banyak om pong: “Keadaan sungguh
sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun
dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup
kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai
berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara
yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya
perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul
banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian.
Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama
sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan
mengitari beringin kurung. “Sang Adipati menghendaki
dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap
yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak.
Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya
tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan
tam bahan dari yang baru, dan itu yang G usti Adipati tidak
bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban
mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu
yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka
gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa
pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban,
Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan
gugusan Tuban untuk mem berikan pukulan berlipat atas
Demak, tetapi Tuban sendiri yang rugi. M alaka tidak jatuh,
Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandarbandar lain di seluruh Jawa.”
Dan Wiranggaleng tak bisa mengerti mengapa Sang
Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia
hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud
menghentikan pidatonya ia menyam bar sengit: “Lima ratus
prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke M alaka, G usti
Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang
Trantang. G ugusan Tuban telah siap bertempur”.
“Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa
sudah kau perbuat di Malaka? Tiada sesuatu, kecuali
melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari
Tuban terlambat berangkat, untuk mem buktikan keraguraguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.”
Wiranggaleng semakin tak mengerti melihat Sang Patih
masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk
menyabarkan diri.
“Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau
pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan karena
keterlam batan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh.
Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara
gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan
tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara
tertinggal di Malaka. Tuban pulang mem bawa malu dan
sesal. Tapi G usti Adipati berhasil menyelamatkan lima
kapal dan lim a ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai
Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang
kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak
mampu
menderitakan
malu,
bersumpah
takkan
menginjakkan kaki di bumi Tuban.”
“Ampun, G usti Patih dan Senapati Tuban,”
Wiranggaleng menyela. “Kaum perusuh sudah dekat,
G usti.”
Tetapi Sang Patih tak peduli dan m eneruskan: “Ternyata
baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak
pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang
Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak m engikuti yang
lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru.
“Lihat itu!” ia menuding pada Syahbandar Tuban yang
berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang
tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.”
“Tidak benar, G usti Patih dan Senapati Tuban,” bantah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, “tak pernah G usti Adipati
mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang
yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka
patiklah yang disalahkan.”
“Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan
menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk
dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang Peranggi
yang kam i minta itu?”
“Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia
gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara
dengan gerak-gerik tangan ram ai, mata bersinar-sinar dan
senyum terbuka m elecehkan: “Ah, G usti Patih dan Senapati
Tuban, tak pernah leluhur patik mem benarkan fitnah,
apalagi karena hukum an seberat-beratnya dijatuhkan pada
pemfitnah.
Demi
Allah,
bukankah
telah
patik
persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban?
Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati.
Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan
Pribumi kawula Tuban.”
Wiranggaleng meremas-remas tangan. Ia merasa telah
kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak.
Dan ia tak dapat bertindak.
“Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan
padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau
sendiri yang m elarikan mereka ke kapal Peranggi?”
“G usti Patih Senapati Tuban,” Wiranggaleng m enyela.
“Perlukah disebutkan saksi-saksi? Hei, Syahbandar
Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh G usti Adipati
Tuban. Tetapi akan tiba masanya….”
“Mereka sedang mendesak Tuban, G usti Senapati,”
sekali
lagi
Wiranggaleng
mencoba
mem utuskan
perbantahan dan mengem balikan Sang Patih pada tugasnya
sebagai Senapati.
Tetapi Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya
sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan
perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti.
Tapi m enyadarkan G usti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa
itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia.
Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan?”
Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai
kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wiranggaleng
yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan
Sang Patih Senapati dari keasyikan m embela kebijaksanaan
sendiri.
“Perusuh sedang mengancam, G usti Senapati,” sekali
lagi kepala pasukan laut itu m emperingatkan.
“Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh.
Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan
berasal dari kekeliruan G usti Adipati sendiri. Selama Sang
Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian,
perusuh-perusuh lain akan berdatangan.”
“Sekarang ini perusuh sudah menyerang, G usti.”
“Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai
penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa
yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan
dihina?”
“Apakah
Senapati?”
G usti
Patih
lupa
telah
dititahkan
jadi
Sang Patih menatap Wiranggaleng tenang-tenang,
mencibir, kemudian mengalihkan tatanannya pada para
kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka
dengan pandangnya mem benarkan kepala pasukan laut itu.
Juara gulat itu telah bertekad untuk mem peringatkan
Senapati akan kewajibannya.
“Kau, W ira, anak baru kemarin!”
“Adakah G usti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah
sedang m embangkang?”
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi
Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan
Wiranggaleng daripadanya. Tapi yang dijauhkan mendesak
terus untuk mendekat.
“Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengahtengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah
yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang
menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya
sementara mem biarkan musuh berjingkrak di atas
kepalanya?”
“Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, G usti
Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam!”
sambar Wiranggaleng yang m enjadi galak.
“Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? Kiai
Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi? Atau kedua-duanya?
Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga
Iskak telah melepaskan peluru Peranggi? Rangga Iskak
adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu
Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana
dia si kumis-kumis Peranggi itu? Biar aku tunjukkan pada
kalian semua.”
“Percum a, G usti. Yang datang bukan Peranggi, tapi
Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.”
“Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa
menghinakan. “Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa
Peranggi? Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban
bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama
sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh
kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si
trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid
keparat itu perencananya. Peranggi mem butuhkan
pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah.
Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang
jadi incaran!”
Kepala-kepala pasukan
melindungi mereka.
tetap mem bisu,
juga
tetap
“G usti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,”
bantah Wiranggaleng. “Perintahkan saja apa yang kami
harus perbuat sekarang ini.”
“Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, G aleng,
G ajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar
G ajah M ada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk
itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan mem asuki
Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus
berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban m enang, kita akan
hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan
muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.”
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak
menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah
Wiranggaleng, Senapati Tuban mem ang tidak mempunyai
niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan
Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya
sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melom pat
menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang
Patih pada pinggangnya.
Orang-orang itu terpekik.
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris
dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu
keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut
Wiranggaleng.
“Ampuni patik, G usti Patih Senapati Tuban!” pekik
juara gulat itu dengan suara lantang.
“Baik. Aku am puni kau, G aleng. Berangkatlah ke medan
perang. Kau G ajah M ada baru. Hanya kau dapat kerahkan
seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan
percuma selam a raja-raja adalah seperti G usti Adipati,
gustiku.”
Ia tak m engedipkan m ata pada orang yang menikamnya.
Tubuhnya mulai m eliuk, jatuh ke tanah.
“Aku ampuni, kau.”
Sang Patih Senapati Tuban m ati di tempat.
Dengan keris berlumuran darah di tangan Wiranggaleng
mem indahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat
matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi
seorang. Mata itu mem beliak siaga “Siapa tidak suka?
Maju!”
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak
bergerak. “Kalian saksikan, Wiranggaleng telah bunuh
G usti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi
pembunuhan ini.”
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi,
Wiranggaleng telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.”
“Semua!” bentaknya sambil berkeliling mem utari
lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak
keras tetapi masih tetap ragu-ragu.
“Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali
lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.”
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang,
mengumandang ke seluruh alun-alun.
“Sebutkan:
Tuban
dan
G usti Adipati
harus
diselam atkan.” … Dengan suara menggelora kepala-kepala
pasukan mengulangi. “Sekarang Wilanggaleng Senapati
Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras.”
“Wiranggaleng Senapati kami!”
“Wiranggaleng Senapatiku!”
Wiranggaleng
Senapatiku!”
mem betulkan.
“Wiranggaleng
Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang
dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun
sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya pelurupeluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari
alun-alun ke pedalamannya, juga m asuk ke bilik-bilik dalam
kadipaten.
“Kepala-kepala pasukan tinggal di sini,” perintahnya.
“Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera
kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!”
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti
adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak.
“Tak
perlu
kalian
sembah
aku,”
mem peringatkan. Mereka pergi bercepat-cepat.
katanya
“Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wiranggaleng
Senapati Tuban?” Tak berjawab.
“Tak ada yang tidak setuju?”
“Kami menyetujui,” jawab Kala Cuwil, kepala pasukan
gajah.
“Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku,
Senapati Tuban!” perintahnya.
Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di
tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu
mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka
menyembah pada mayat itu kemudian melolosi tanda-tanda
jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung,
keris, permata pada destar dan ikat pinggang.
Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru.
“Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang
semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada
kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan
berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku
bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar
kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak
cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan
mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya
dengan tembakanmu. Hati-hati, karena semua kapal perang
dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke
suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian
dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu.”
“G usti!”
“Panggil aku Senapatiku.”
“Senapatiku,” ulangnya rikuh.
“Jalankan perintah itu dan pergi kau.”
“Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku?”
“Kosongkan dari pengawalan.”
Braja pergi untuk m enjalankan perintah.
“Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku.
Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke
medan pertempuran, kalian dan aku.”
“Senapatiku!” mereka menyahut.
“Tidak ada pembangkangan!” perintahnya.
“Senapatiku, tidak ada pembangkangan.”
“Berangkat!”
“Senapatiku, berangkat!”
Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun.
Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di
bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang
sunyi senyap.
Sayup-sayup terdengar guruh, tetapi tak ada peluru
meriam datang m enyambar. Tuban Kota semakin senyap.
Setelah melepaskan berturut-turut empat butir peluru
pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriammeriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman.
Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak
obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar
diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda
datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal
meriam telah m enyiapkan tombak.
Manan mem erintah semua berhenti dan bersiaga.
Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke
pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap
untuk berkelahi.
Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa
pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak
menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang
berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!”
ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah
menghinakan.
“Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang!” Jawab
Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat
dengan meriam.”
“Kalian sudah tinggalkan gelanggang!”
“Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau
bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan
bertom bak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak,
dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh.
Dan kita tak punya pasukan kuda.”
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang
hanya beberapa m eter tingginya.
Mahm ud Barjah masih tetap marah, namun cambuk
perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya.
Waktu Manan mem erintahkan meneruskan perjalanan,
Mahm ud tak membantah.
Laskar tom bak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba
putih melewati mereka. Tom bak yang terpanggul berdiri
pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan
nam pak seperti ulat putih berbulu tom bak sedang
merangkaki jalanan.
Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri
diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang
itu bertikai dalam Melayu.
Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya
menetakkan kata-katanya: “Bukankah telah disetujui dan
diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh
sebelum mereka turun ke gelanggang?”
“Benar sekali, Panglim a. Tetapi juga menurut keputusan
tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan
musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat
mesanggrah dan m emerintahkan langsung masuk ke Tuban.
Kalau mengikuti Panglim a, meriam-meriam kita bisa jadi
takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita
sendiri di tangan mereka.”
“Aku Panglim a.”
“Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam
adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi
meriam-meriam ini takkan berguna.”
Mahm ud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa
meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah
datangnya laskar, mencari kesatuannya.
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan
jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda
sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di
tengah-tengah pertigaan.
Panglim a Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu
turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke
tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah.
“G usti Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat
tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat
pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang
yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh
pasukan kuda. Hujan tom bak telah m embikin dia terjungkal
bersama kudanya. Mati, G usti Panglima.”
“Surat itu sudah sampai?”
“Sam pai dengan pasti.”
“Baik. Bagaimana hasil meriam?”
“Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan
kadipaten seperti disengaja, G usti. Waktu itu sudah terjadi
perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah
matinya Patih Tuban, sedang m ayatnya dibiarkan tergeletak
di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini
ini.”
“Siapa Senapati Tuban?”
“Tidak bersenapati, G usti Panglim a, sejauh sahaya
dengar. Belum tahu sekarang ini.”
“Tidakkah balatentara Tuban bergerak?”
“Belum nampak ada tanda-tanda, G usti.”
“Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg.”
“G usti.”
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain.
Mahm ud Barjah mem acu kudanya. Pada suatu pinggiran
hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia
perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan
panji-panji.
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat
jalan.
“Lebih cepat!” perintahnya lagi.
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju
setengah lari.
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya
mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan
hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah
ham pir sampai di perbatasan Tuban Kota.
Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di
belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang
mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia
perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digelenggelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh
seperti hendak m embelah langit. Dan debu pun seakan ikut
bersorak, m engepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara
kemudian jatuh m enaburi bumi.
Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya.
Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar
pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari
ram pak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah.
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang
pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah
barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih.
Di belakangnya adalah laskar tom bak berperisai. Setiap
orang membawa empat batang tombak yang langsing.
Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata
tom baknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan
berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain
terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji
dilonjakkan, makin m enderu gong dan gendang, dan m akin
cepat langkah para prajurit.
Sorak-sorai, ancam an, ejekan, raungan, berpadu jadi satu
guruh, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang
menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan
menghiba-hiba.
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul
di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di
belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin
nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paruparu mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi
mereka dari depan mereka mengejek, mem aki, menghina
dengan kata-kata sekotor m ungkin.
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar
panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa,
mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan
ejekan dan cacian.
Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan
Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis.
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan
melonjak.
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian
tanah lapang seperti sekawanan elang menyam bar barisan
pedang sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari
gunung: Mau cari apa ke Tuban?” dan menggeletarkan
cambuk perang mereka, m engatasi sorak-sorai lawannya.
“Kirik Tuban! Anjing Peranggi!” balas lawannya. “Ayoh
mendekat, lebih m endekat, biar kubelah kepala kalian!”
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng
Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledekledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan
Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh
lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi.
Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu m endengung
karena caci-maki dan geletar cambuk.
Panglim a Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi
tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi
parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan
menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!”
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan soraksorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang.
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia
ham piri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi
menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan
terus mempercepat langkahnya untuk dapat mem asuki
Tuban sebelum m atari tenggelam.
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan
cacian. Banteng Wareng mem erintahkan melemparkan
batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batubatu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak
sebuah pun m elayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang
yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah
menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh
dan terinjak-injak oleh barisan sendiri.
Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu
sambil mengintip ke mana-m ana untuk mencari tempat
meriam. Tetapi yang dicari-cari tidak nampak. Mereka
lepaskan tugas pokoknya dan mem perhebat gangguan.
Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram
am arah semakin riuh. G ong dan gendang dan sorak
kembali m embelah udara.
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil
mem uputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka
yang
sedang
kejangkitan
semangat
perang
itu
mem perhatikan.
Mahm ud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai.
Suaranya yang parau terdengar mem erintah langsung
masuk ke Tuban Kota.
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyam barnyam barkan cambuk perang pada tubuh para prajurit
Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah
mengucur. Perintah-perintah Mahm ud sudah tidak
didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak
dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat
ditangkap tangan karena tajamnya gerigi baja. T angan yang
tercam buk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi
teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah.
Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan
merenggut keluar biji dari rongganya.
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda
musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat
mem bela diri dan mulai m enyerang.
“Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg!” pekik
Mahm ud Barjah parau, “jangan tinggalkan barisan!”
Barisan pedang semakin banyak meninggalkan
laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu
musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan
pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar
pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan
lagi.
Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah
berpacu ke depan, mem erintahkan barisan pemanah untuk
mem binasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jum lahnya.
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai
mem buru, Banteng Wareng mem erintahkan untuk
mem encarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian
tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang,
dan lama-kelam aan menjadi lingkaran besar mengepung
barisan yang telah m embubarkan diri.
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama
lain. Laskar tom bak yang masih utuh itu maju terus ke
depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari
tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke
belakang.
“Manan keparat! Rois laknat!” sumpah M ahmud Barjah.
“Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya.
Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!”
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya.
Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan mem buru
barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan
sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang
sangat pendek semua tentara Mahm ud Baijah telah
bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda
Tuban.
Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia
perintahkan mem bikin gerakan pengepungan semu,
semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan
tom bak mulai beterbangan di udara.
Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan
dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada
gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar
mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas
dataran.
Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan
lagi, semakin lama semakin memecah dan mem encarkan
diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas
ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik,
mem ekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap
ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di
bawah
pengendalian pawang-pawangnya,
binatangbinatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan
dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan
kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.
“Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak.
Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu
keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tom bak. Di situ
terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah
sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang
dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti
jubah kebesaran, melambai-lam bai, juga tak tertembusi oleh
anak panah dan tom bak. Pada setiap langkah kaki belakang
binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah
baja yang m elindungi tumitnya.
“Tentara putihhhhhhh!” Mahmud Barjah mem ekik.
“G ajah! Awas gajah datang!”
“G ajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana.
Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan
gajah dan dari gajah ke kuda.
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah
dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu
keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar,
melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya.
G ajah-gajah itu terus juga maju mem asuki medan
pertempuran.
Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi.
Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia
perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu.
Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari
atas kudanya dengan di tangan melambai-lam baikan
pedang: “G oblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur!
Terobos itu kepungan kuda!”
“Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang
Banteng Wareng. “Perlihatkan moncongmu yang besar
itu.”
Tetapi Mahm ud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk
mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia
hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah.
Barisan kuda tak mem biarkan mereka menerobos.
Seakan terbang kuda-kuda itu menyam bari para penerobos,
menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging.
Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun
mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka
yang sedang berbunuh-bunuhan.
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan
barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang
bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya
merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh
bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih
mereka dan bumi negerinya sendiri.
“Trobos kuda sambil mem ekik kencaaaang!” perintah
Mahm ud. Suaranya semakin parau.
Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang
jatuh untuk kemudian dihujani dengan tom bak dan pedang.
Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam
kegalauan medang perang.
Kepungan semu kemudian bobol. Dan tak bisa lain.
G ajah-gajah itu telah mem asuki tengah-tengah medan
pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya
menyam bar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap
akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk
kemudian jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selam alamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan
ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa
peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang
pengganda yang menggerincing karena krenyaknya. Barang
siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari
belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban,
gelom bang demi gelom bang, beraturan, melayang seperti
jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas
terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya
dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan
Batara Yam adipati. Tak ada bisa meluputkan diri.
Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg
menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng,
mem buyar lari ke segala jurusan.
Dan Banteng Wareng mem erintahkan anakbuahnya
untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang
dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka
menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan
raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah
bergelantangan anak panah lawannya.
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi
telah menjadi merah karena darah dan daging menganga.
Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil
bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak
dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar.
Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan
kocar-kacir.
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras,
duduk Wiranggaleng dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda
pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan
di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya
tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia
menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang
berlangsung.
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda
berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang
kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambailambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan
kirinya ia mem egangi cambuk perang. Kendali sama sekali
tak digubrisnya.
“Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu,” katanya.
“Itulah M ahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja.”
“Pantas.
Perhatikan
bagaimana
dia
mengundurkan tentaranya dalam keselam atan.”
berusaha
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata Rama
Cluring sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah
kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah
habis di dalam keputrian.’
“Pantas,” ia m engulangi; “Peranakan Koja.”
“Apanya yang dikagumi, Senapatiku?”
“Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selam atkan
dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka
dapat jatuh begitu mudah.”
Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak
mengerti.
“Lihat!” Wiranggaleng berseru, “dia telah kehilangan
kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap
berusaha. Lihat!”
Kala Cuwil nam paknya tak senang mendengarkan pujipujian untuk musuh dan pengkhianat itu.
“Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini?”
“Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam.”
“Sorong terus sampai matari tenggelam,” Kala Cuwil
mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat
panji-panji dengan menuding ke depan.
Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke
arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya
melesit seperti binatang beralih m enembusi awan coklat dan
putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima
Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya
pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya.
Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu
terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah
terkena garu, licin dan rata.
“Banteng Wareng!” Senapati Tuban berteriak dengan
tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik
pasukanm u!”
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar.
“Dia akan tangkap Mahm ud, Senapatiku,” Kala Cuwil
mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah,
jera dan kehabisan senjata.”
“Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.”
“Dia akan mudah ditangkap,” Kala Cuwil mencoba
menerangkan untuk ke sekian kalinya.
“Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu.
Kita harus lihat sampai di mana Mahm ud bisa urus
anakbuahnya.” Kemudian menjerit: “Banteng Wareng!
Kembali!”
Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan
teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan
pertempuran….
Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud
menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia
kelihatan berteriak-teriak mem peringatkan anakbuah di
selingkungannya, dan m ereka berbalik menghadapi Banteng
Wareng.
“Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!”
“Didekatkan pada mereka, Senapatiku!”
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu
sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil
bersuling.
“Biar dia mendapat kesempatan selam atkan dan
undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan
bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam
perangkap. Lepaskan dia!”
Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembelapembela Mahm ud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda.
Logam beradu logam berdentangan mem ainkan lagu m aut.
Prajurit-prajurit Rajeg yang mem bela panglimanya tak
dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak
semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung
oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat
bergerak sebagaimana harusnya.
Mahm ud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk
itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu
anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata
pedang anakbuah sendiri.
“Banteng Wareng, lepaskan dia!” teriak Wiranggaleng.
Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas
jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban
melambai-lambaikan tangan. Tetapi pasukan kuda tak
mengerti maksud isyaratnya dan terus m endesak.
Mahm ud Barjah dengan para pengawalnya telah berada
dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat.
Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang
demi seorang.
“Matari hampir tenggelam, Senapatiku!”
Matari sudah lama hilang ditelan mendung.
“Hentikan pengejaran!” perintah Senapati.
“Pengejaran dihentikan, Senapatiku,” Kala Cuwil
mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya.
G ajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda m atari di barat.
Hanya m endung, perbukitan dan hutan hitam.
Mahm ud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan.
Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala
penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas
punggung kuda.
“Berhenti!” teriak Wiranggaleng dari atas gajahnya.
Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki
Mahm ud.
Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan
tom bak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda.
Bunyi berdentang menyusul. Mata tom bak itu menerjang
mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki
Mahm ud tak jadi tertebang tatas.
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan
mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala
Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh
semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati
mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi
kau, Mahmud! Pergi kau dengan dam ai!”
Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masingmasing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia
jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya
dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu,
Wiranggaleng, anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa
lagi!”
Kuda diputarnya lambat-lam bat, berjalan melangkahi
bangkai yang bertebaran di tanah, kemudian m emacu tanpa
menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan
yang diselaputi rembang senja.
Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh
malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan
mereka. Tentara T uban berhenti di tempat dan mesanggrah.
Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga
melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah
padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paruparunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan,
bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan
untuk mem bunuh sesam a, dia adalah bentrokan dari dua
keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajuritprajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga
keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada
musuhm u. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit
Mahm ud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak
lari sendirian dan mem biarkan anakbuahnya tumpas. Dia
undurkan anakbuahnya pada keselam atan. Dia punya
kesetiaan pada anakbuahnya.”
“Dia hanya pengkhianat!” pekik Banteng Wareng
mem bantah tanpa pikir panjang.
“Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap G usti Adipati
dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan
anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian
ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan
turun.”
Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang
telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang.
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar
kota itu mem berikan mereka perlindungan dari hujan yang
mulai m engancam.
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur
nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua
butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit
bermendung m elewati perbatasan kota.
G ajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kudakuda m eringkik lemah.
Kemudian sunyi senyap.
0o-dw-o0
19. Kesepian di Tuban
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar
seseorang menohok-nohok mem perbaiki sesuatu. Pasar
pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu
kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang
melom pong dengan pintu semua terbuka.
Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada
sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan
pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada
meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke
mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur
sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayam nya tidak
dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa
pemilik.
Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu
tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya.
Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu
datangnya hujan deras untuk kemudian tenggelam.
Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar
berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di
G resik, ia telah mem buka warung tuak di sana. Berita lain
menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan.
Berita ketiga m engabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada
balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas
warungnya tinggal tutup.
Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah
pun. Semua telah diungsikan ke G resik atas perintah
Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat m embela diri
terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-m andir
sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa
mem bikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa
berguna kembali.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan
harian. Ia kelihatan lebih kurus daripada biasanya. Jarang ia
nam pak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam
kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak
sering lagi orang melihatnya berjalan mem eriksai bagianbagian pelabuhan yang mem butuhkan perbaikan. Dana
untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan
kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat
melihat ia sedang gelisah m eninjau ke jurusan timur.
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal
canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi.
Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak.
Kesyahbandaran lebih sunyi daripada di mana pun.
G andok kiri dan kanan tiada berpenghuni. G edung utama
pun kosong. G edung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu
kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah
ditinggalkan oleh pemeluk agam anya. Syahbandar sendiri
jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis
G elar. Ia dibawa oleh Idayu ke Awis Krambil. Nyi G ede
Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap
hari kelihatan m engurus tam an.
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat
difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan
tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari
tanpa pekerjaan. Karena tiada keris pada pinggang dan
tiada tom bak pada tangan, orang yang tak mengenalnya
menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan
diri dari kesatuan. Dan m ereka selalu berada di luar daerah
pelabuhan.
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara
mereka segera tahu, mereka tidak lain daripada anggotaanggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian
prajurit. G erak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang
tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka
kerjakan. Karena di balik semak-semak hutan yang
mem batasi daerah pelabuhan dengan daerah tak
berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua
diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka
disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya
Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara
pertempuran sedang terjadi di pedalaman.
Perkam pungan non-Nusantara juga sepi karena setelah
terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah
meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya
penduduk Pecinan tidak susut, karena hukum Tuban
melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua
prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak
diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk
kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk
biasa pun tidak diperkenankan mem asuki di waktu perang,
sekalipun untuk m enyelamatkan diri. Belum jelas benar dari
mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan
dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit
atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He
dengan Adipati Tuban mem perkokoh perjanjian itu untuk
ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli
Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah
mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi
keselam atan warganya.
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat keramaian
dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki
di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya,
ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pem bunuhan atas
diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah
mem bikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang
tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang
dan menerjang-nerjang pelataran tetangga.
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari
tempat semula karena serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut
pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh
penjuru mata-angin. Tak ada orang mem eliharanya.
Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan.
Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu
murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal
menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus
bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya
kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak
berubah.
Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa
pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah
diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal
atas perintah Wiranggaleng.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti,
tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan
menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu
pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh
para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata
menghadapi ujian. Dan justru karena pengetahuan baru itu
ia m enjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus
diperbuatnya.
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin,
kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia,
untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan
dam ai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal
dari Dia yang mem bikin hidup. Maka sudah menjadi
patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja,
mem bangkangnya,
adalah
juga
melanggar
mem bangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang?
dan
Sang Patih jelas telah mem bangkang terhadap dirinya.
Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah
sudah sepatutnya sebagai satria – mendapat tikaman keris
sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang m embikin
hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak
mati karena Wiranggaleng, pasti karena perintahnya. Dan
itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap
kawula. Karena itu setiap permohonan untuk mem elihara
dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan.
Tetapi Wiranggaleng! Apakah yang diperbuatnya? Dia
telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban.
Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret
Tuban seluruhnya dalam perang, mem beri kelonggaran
pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia
mem biarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah
kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa.
Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa
saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama
tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri
dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri
– seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama
dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gam elan
tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi
mata dan hati. Makanan hilang rasa: Tetapi jantung terus
juga berdenyut.
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam.
Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggam an
tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi
kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua m ereka. Ia
akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan
untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia
lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di
dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya
kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya.
Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan
badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh
dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu
arti lagi baginya.
Terhadap keam anan jiwanya pribadi ia tak pernah punya
waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada
penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria:
hanya ada satu m acam maut dengan tiga nilai, tidak kurang
dan tidak lebih. Nilai pertam a dan terpuji adalah maut
karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena
kehorm atan sebagai satria, di medan perang dan di mana
saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena
hukum an dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya
boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap
saat ia bersedia mati baik karena usia mau pun karena
kehorm atan. Ia tak pernah punya keraguan.
Bila
ternyata
Wiranggaleng
kelak
melakukan
pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengam bil nilai
kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut,
dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia
yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas
penghabisan sebagai satria dengan kehorm atan. Dan apalah
salahnya selam a ia tetap satria? Putra-putranya akan
mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan
mengerti dan m enghormatinya.
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan
mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat
mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman
itu sendiri akan m embunuh-nya bila ia m elawannya, karena
jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada Batara
Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau
Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat
tempatnya.
Tetapi yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan.
Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di
selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri
kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa
kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah.
Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang
tak tahu adat. Seorang anak desa telah mem bunuh saudara
sepupunya, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi
Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka
dia berbuat tanpa titahku?
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak
akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat
hanya demi keselam atan praja. Seseorang raja tidak akan
berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya
demi keselam atan praja. Dan beberapa kalim at lagi sebangsanya.
Dan praja sekarang lumpuh.
Dan praja adalah raja.
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia
kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga:
Wiranggaleng, seorang anak desa tanpa makna yang telah
berani mem bunuh seorang dari darah Majapahit, darah
tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa
lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa
setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak
untuk menjadi raja.
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa M ajapahit
bisa berdiri hanya karena bantuan orang-orang kebanyakan,
dan orang-orang itu kemudian diangkat oleh Sri Baginda
Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu
melenyapkan dendamnya pada Wiranggaleng. Ia harus
mem bunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun
sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya.
Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu
ini: ia dicintai dan dihorm ati oleh kawula Tuban.
Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai
dan menghormatinya? Tidakkah kawula Tuban akan
melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukum an
padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada
raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula karenanya
ingkar dan m embangkang terhadap dirinya?
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi mem benarkan
kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata
dewa-dewa juga berpihak pada m anusia….
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing.
Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya
haremnya.
Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon
beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban.
Nam paknya orang lain tak ada yang berani menghadap.
Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong
Wiranggaleng ke pojokan sebagai biangkeladi segala
keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun
pengampunan daripadanya.
“Wira, si anak desa itu, G usti, telah berani melanggar
titah setelah dia mengangkat diri jadi Patih Senapati
Tuban,” Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, “bukan
hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah
perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan
menjalankan perintahnya. Dialah yang pertam a-tama
menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah
mem bikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih
dan mem bunuhnya, mem bunuh atasannya, ya G usti,
seperti mem bunuh anak kambing.”
Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan:
“Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan
dia?”
“Takut, G usti. Setan telah merasuki dirinya.”
Sang Adipati mengerti, bukan karena takut mereka
mendengarkannya. Juga bukan karena kerasukan setan.
Mem ang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa
itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewadewa. Dan tidak mungkin kalau hanya karena kepalakepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya
mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah
berkenan, mereka akan m endengarkannya juga.
Yang teringat olehnya adalah pemberontakanpemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa
kejayaan Majapahit, hanya karena pembagian kekuasaan
antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir
kadipaten Tuban?
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing.
Syahbandar Tuban tak mem biarkan kesempatan berlalu
tanpa mem bakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak
terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda.
“Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi
Patih dan Senapati sekaligus, G usti, itu adalah menyalahi
darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan
ia m erenungkan m akna dari darah, takdir dan kodrat.
Tetapi Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingatingat akan mendesaknya G ajah Mada, si anak desa itu, ke
atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga
pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja
jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken
Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di
Jawa kemudian. Tetapi Wiranggaleng takkan jadi Patih
Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selam a Adipati Tuban
Arya Teja Tum enggung Wilwantikta belum lenyap dari
muka bumi.
Dan sejak mem persembahkan peristiwa di alun-alun
Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling
kadipaten, tak peduli pada bau m ayat yang mengem bara ke
mana-mana. Ia merasa lebih am an di dekat Sang Adipati.
Sebaliknya keputrian yang kadang mem bosankan itu
mem bikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban –
satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara.
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar
suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di
pedalaman. Tetapi Sang Adipati tidak pernah m elayaninya.
Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu
menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin
dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wiranggaleng
ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan m enang.
Tidak percuma selam a dua ratus tahun jadi andal-andal
Majapahit.
Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang
Wiranggaleng makin jelas gam baran anak desa itu di
hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu
akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh
telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan
balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada
waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat
diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap
menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing
yang mengem bik-ngembik mem ohon pengesahan. Dan dia
akan menunggu datangnya karunia dari tanganku.
Kambing yang mengem bik itu takkan mendapat umpan.
Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton.
Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali
seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan
sendiri. Sederhana.
Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram
pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang
perbuatan Wiranggaleng. Tak ada seorang kawula yang
mem punyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih.
Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak
desa itu yang mem bunuhnya? Mengapa Wiranggaleng?
Anak desa yang justru dicintai dan dihorm ati itu?
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi
pengantin agung dengan Idayu. Semua orang ikut bersuka
cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang
menggoncangkan itu bukan telah diram alkan dalam
jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai Senapati
Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk?
Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya?
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang
suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah
terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya
pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban,
gum pilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak
desa yang naik ke atas. G ajah Mada dan Ken Arok.
Tetap tak ada yang dapat meramalkan apa yang bakal
terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran
di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali
seperti semula.
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa
Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang
dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru
menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang
pun berani menjam ah kulitnya. Dan mem ang orang tidak
tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati.
Dan Idayu? Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang
tetirah ke Awis Kram bil untuk melahirkan. Dan mungkin
juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan
diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar
terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan
terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu
mem ang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan
ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih
gemilang daripada kedua orangtuanya.
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah
oleh guruh dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di
kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan
menunggu datangnya taufan.
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan
semakin m embikin hati gundah.
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan
menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur,
sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah.
Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari
Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa
mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya.
Ia m erasa m asih mem punyai cukup kehormatan: Ia tidak
akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja
Blam bangan G iri Dahanaputra, G irindra Wardhana. Tuban
tidak perlu mengakui keunggulan M alaka….
0o-dw-o0
20. Pertempuran dan Pertempuran
Hujan jatuh tak semena-m ena di atas pesanggrahan
balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang
antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding
daun kelapa setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat
mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelom pok
anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk.
Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah
pelita minyak kelapa m emancari wajah dan tubuh beberapa
orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita
itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak
berubah-ubah, seperti bukan wajah m anusia tetapi makhluk
menyeram kan dari alam lain. Tak ada di antara mereka
tersenyum atau tertawa. Semua mem usatkan pikiran dan
kesungguhan mereka menegangkan suasana.
“Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini
bukanlah dan belum lah seluruh kekuatan mereka,” kata
Kala Cuwil. “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di
mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.”
“Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah
tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya.
“Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap
waktu.”
“Dia tetap akan meninggalkan bekas.”
“Orang bisa mem bikin supaya tidak berbekas.”
“Mereka takkan mempunyai cukup waktu untuk itu.”
“Moga-moga.”
“Selama m ereka masih menembakkan meriamnya, induk
pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum,
kepala pasukan kaki.
“Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala Cuwil
meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka
takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk
melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang
mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban
akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan
hanya m enjadi beban.”
“Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan
untuk
berperang
lama,”
Banteng
Wareng
mem perdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu
subur. Daerah Tuban Kota sendiri tandus. Selam a ini hanya
kebesaran
bandar yang diagung-agungkan. Kalau
pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kelaparan yang
ada.”
“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita
inilah kunci’ Wiranggaleng menyarani. “Kalau mereka
menghendaki perang panjang, kitalah yang akan mem bikin
pendek.”
Banteng Wareng mengangkat muka. Suatu perasaan tak
senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia
mem perdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga
mem egang kunci atas kita. Menyesal sekali M ahm ud Barjah
dilepas murah.”
Kala Cuwil mendengus menahan kegusaran Banteng
Wareng. Ia m emang terkenal sebagai jurudam ai yang tidak
pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap
katanya: “Ikan besar umpan pun besar.”
“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah Banteng Wareng,
“lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang
berperang.”
“Dengarkan, kau, Rangkum,” Senapati Tuban
mem belokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari
pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku.
Besok bila mereka bangun, m ereka akan tahu telah terputus
dari induk pasukannya sendiri!”
“Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu m alam,”
bantah Banteng Wareng.
“Apakah Senapati kalian kira keturunan raja? Aturan
perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa
katam u, Kala Cuwil?”
“Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang m enjawab.”
“Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku,” jawab
Rangkum. “Besok mereka masih mem butuhkan tenaganya
sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka
mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari
jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, Senapatiku.”
Dan Wiranggaleng tahu, hanya Senapati tidak bijaksana
disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan
mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di
atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh m ereka.
“Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini,”
Banteng Wareng m emperingatkan.
“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu,
hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang.”
“Senapati baru sekali ini berperang,” bantahnya.
“Dalam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya
sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanm u tidak lebih
banyak dari aku,” jawab Senapati. Dengan sendirinya
tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak
layak setelah kemenangan gemilang hanya karena dirinya
yang mem erintahkan dimulainya gerakan, la telah
pertaruhkan nasibnya dengan m engambil-alih kesenapatian.
Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang.
Dan ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cuwil tak
menyokongnya.
“Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh.
Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud
Senapati,” katanya menyarani. “Kalian mem ang boleh
menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang
adalah perang.”
“Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku.
Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku
bijaksana.”
“Kala Cuwil!” panggil Senapati. “Juga kau sendiri tahu,
yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak
dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari
pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai
separoh. Bagaimana jawaban ini?”
“Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada
sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahm ud Barjah dari
kepungan,
demikian
juga
Rangkum
melepaskan
anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas.
“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu
pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti
ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini.
Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada
yang m au berangkat. Siapa siap berangkat?”
Tak berjawab. Senapati masih m emerlukan m emandangi
kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendapat jawaban.
Sia-sia.
“Baik,” katanya kemudian, “Banteng Wareng, sediakan
untukku seekor kuda yang segar.”
“Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri?”
“Mem utuskan mereka dari induk pasukannya.”
Banteng Wareng menatap Senapati dengan diam-diam.
Melihat Wiranggaleng tetap pada pendiriannya, lambatlambat tapi pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh
pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam
ini juga.”
“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan
sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu
aturan perang para raja ini bertarung.”
Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng
Wareng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini
mengangguk.
“Senapatiku,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan
bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.”
Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu
bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat
menerangi bumi barang sekejap.
Tanah berumput di bawah kaki memudahkan
perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan
berhenti dan curah kembali. M ereka terus berjalan m elintasi
padang rumput berbatu-batu, kemudian mem asuki jalanan
desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan
bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung.
Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar
berkeruyuk. Kemudian unggas-unggasan yang lain mulai
menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mulai
mem ancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di
timur sana.
Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada.
“Apa katamu sekarang. Rangkum?”
“Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari.”
“Apa artinya itu, Rangkum ?”
“Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang
dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.”
Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak
di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan.
Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua
bergerak menyusul Senapati.
G erakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas m ereka pada
siang kemarin telah terhapus oleh hujan.
Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang
tanpa persiapan dan tanpa m engerahkan pagardesa ataupun
penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan m ati
kelaparan, kehujanan dan kedinginan.
Setelah magrib, di depan pendopo, di hadapan para
pengikut ia mem berikan wejangan pendek sebelum isya:
“Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan
pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka
bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat
untuk mem erintah orang desa.”
“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita
pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa
Majapahit. Di Tuban aku pun sudah banyak dengar tentang
itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang
punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam.
Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar
itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.”
“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang
Paregreg. Bukankah kalian juga m asih ingat soalnya karena
tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani
Suhita yang masih juga mau meneruskan mem berikan
kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga
masih ingat, bahwa dalam kekuasaan Majapahit hampir
semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu
pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir
seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?”
“Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati
Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandarbandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja
di mana-m ana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di
bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.”
Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blam bangan, yang
menam akan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah
sudah diketahui semua orang dia m engemis-ngemis meriam
pada Peranggi? Pada Kongso Dalbi di Malaka? Begitulah
ningrat Jawa. Untuk mengam bil hati Peranggi, raja
Blam bangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang
tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di
Blam bangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di
Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan
rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang
pada kalian karena meriam? Dan disertai orang Arabnya
sekali? Tidak! Tak ada orang Arab m enyampaikan ajaran di
Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan
Nusantara ini. Orang-orang Arab datang hanya untuk
mem aneni jerih-payah orang lain. Islam datang dari
kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati
mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti
berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi
dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam,
dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa
mem inta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.”
Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada
Rois dan Manan, Peranggi mualaf, mem bersihkan
tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang
bukan sebagai Peranggi Blam bangan. Mereka berdua
datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara
sendiri.”
Dari kejauhan telah terdengar guruh bergumam dan
gerimis tipis mulai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak
juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau
Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan,
mengusir Hindu dan Nasrani dan Peranggi dari
Blam bangan. Tak ada alasan Tuban bisa m engalahkan kita.
Adipati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah,
tak berkemauan. Ingin am an dan senang terus sampai mati,
tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang.
Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja mem erintah
dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih dua ratus tahun jadi
perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit
tinggal segenggam tanah yang bernama Blam bangan,
jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan.
Dia malah mau meniru raja Blam bangan, G irindra Wardhana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi,
sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya
sendiri pada lari meninggalkannya.
Hujan mulai melebat. Dan untuk pertam a kali dalam
kekuasaannya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut
masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu.
Dan ia terpaksa meneruskan wejangannya, karena
mem ang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: Demak.
“Nah,” ia meneruskan setelah semua mendapat
tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap
dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian
mem anggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak
sesederhana itu nam anya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam
Akbar Al-Fattah. Sam a sekali bukan nam a Jawa. Mem ang
dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir
Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit.
Bohong! Semua pemasyhuran tentang Demak oleh musafirmusafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini
takkan punya kemampuan mem buat sesuatu yang baru,
apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama.
“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir
Demak, hei, kau bekas musafir Demak, benarkah Sultan
Demak orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian
sebut Sultan Demak orang itu sama sekali tidak bisa baca
dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara
sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan
tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja,
kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa.
Hei, kau bekas musafir Demak, cobalah jawab: sipit atau
tidakkah Sultan Demak?”
Seorang pemuda jangkung nampak mem anjangkan
badan dan leher dan menjawab: “Sahaya belum pernah
melihatnya, Ki Aji.”
“Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia
mem ang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan
percaya kalian pada orang selam a dia mengaku diri musafir
Demak. Mari aku ceritai kalian: “Sultan Demak mem ang
tidak pernah m uncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh
kawulanya sendiri. Karena itu dia mem butuhkan musafir
untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.”
“Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan?”
Pertanyaan itu menyebabkan orang tergugah dari
kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka
ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar.
Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa,
orang akan dapat mem peroleh keterangan yang benar
tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tam bo. Kalian
harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara.
Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya,
“ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah
arm ada dari utara sana, memang bukan untuk
menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya,
bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk
mem bajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir
dari negerinya dan minta perlindungan pada Majapahit.
Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu
bagaimana isi perjanjian itu, karena dialah waktu itu
ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnawisesa untuk
melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao
Sam sekarang dan Semarang sekarang, tetapi mereka tidak
boleh mem asuki perairan Maluku. Mereka boleh
mendapatkan rempah-rempah hanya dari bandar-bandar di
Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo
Awang. Orang hanya mengenal gelarnya: Ceng He.
“Mem ang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. Dan
mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai
perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui
jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapalkapal Jawa.”
“Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar
arm ada Majapahit di masa jayanya. Dan karena waktu itu
di Jawa tak ada arm ada besar lagi, armada itu nampaknya
mem ang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang
itu, tetapi ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.”
“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka
datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka
datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang,
tidak menembak dengan meriam atau cet-bang, tidak
merampas bandar orang dan tidak m enumpas rajanya.”
“Di mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, karena
menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di
pantai Rembang.”
“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak
bandar!”
Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh
tam pias dan bunyi jatuh air di perlimbahan.
“Mereka mem ang tidak kembali ke negeri sendiri.
Mereka tersekat di sini karena di negerinya sendiri terjadi
pergantian kaisar.
Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan
Tum enggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah
rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar
perdagangan dengan nam a Sampo Toa-lang.
“Dulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak
penyakit. Lam a-lam a ada juga yang datang dan mendapat
pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu
aku m asih jadi Syahbandar.
“Dengan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada
musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur
untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir
perjanjian dan Tum enggung Wilwatikta itu kehilangan
kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat
adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari
timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya.
Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik
sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan
benteng Sam po Toa-lang itulah Demak.”
“Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya
G lagah Wangi Demak,” seseorang mem bantah berapi-api
sambil berjongkok meninggikan badan.
“Bukankah kau bekas musafir Demak, Firman?”
“Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan
begitu.”
“Mem ang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk
jadi musafir Demak. Coba, adakah pernah seorang raja
Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa.
Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya
untuk mem bual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan
asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan M ajapahit, anak
Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari G resik.
Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong mem ang orang
Tionghoa Islam. Nam a sebenarnya Tan G o Hwat. Bapakku
mengenal dia, karena beberapa kali dia memang pernah
berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri
Baginda Bhre Wijaya, tetapi tidak benar anaknya itu
dihadiahkan pada Arya Damar, Adipati Palembang dan
melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam
lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada
yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar!
“Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak
pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh
ayahnya ke M alaka semasa masih gadis kecil. Mem ang dia
mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi
anak itu kemudian mati. Dia sangat menderita di dalam
keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu
merengek minta menjenguk orangtuanya. Sri Baginda
dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada
Sang Adipati Tuban, ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi
hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu
dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak
yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca.
Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum
meninggalnya dia diserahkan pada G ouw Eng Cu untuk
dididik.”
“Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa
bantah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak
arm ada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar,
boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao
Sam , boleh jadi juga di Semarang sendiri.”
Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohamm ad Firman
menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya.
“Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menangkap
kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu kemudian jadi Raden
Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina,
maka juga ikut m engelom pok di Demak. Demak dan Islam
dibikin jadi satu – dengarkan itu, karena kekuatan di Jawa
sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam.
Apakah Sultan Demak sesungguhnya sudah setingkat
keislamannya dengan Sunan Rajeg ini? Hei, kau, bekas
musafir Demak, pernahkah kau mendengar Sultan Demak
menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang
pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak
ada urusan. Urusannya hanya keselam atan Semarang.”
Sikap Sunan Rajeg yang memusuhi Demak itu sudah
sangat diketahui oleh um um. Mohammad Firman yang
dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa
menandinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan
oleh pengaruh Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan
bahwa Sultan Demak bukan berdarah Majapahit dan
peranakan awak kapal Dam po Awang sungguh
menggoncangkan:
Dan melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan
Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan:
“Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah
bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja
arm ada yang tersekat itu sampai dapat mem buka bandar
dan perkampungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu
melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja
Islam pertama-tam a. Mungkin kalian tidak tahu,
Semaranglah-bandar Demak. Apakah kalian tidak malu
adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa
bicara Jawa m enjadi raja dari orang-orang Jawa?”
Sam pai pada puncak semangatnya kembali ia terserang
oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk
bertahan.
“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang
Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan mem baca Jawa?
Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin
lebih baik daripada guru-guru kalian. Dan semua isinya
om ong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku
tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang
dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa…
lain halnya dengan Sultan Demak, mendirikan kerajaan
untuk jadi benteng Sem arang. Islam dipergunakan dalih.”
“Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira
belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di
sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura
Blam bangan, Pejajaran nam anya. Rajanya juga lemah
seperti G irindra Wardhana. Penghasilannya melimpahlim pah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh.
Karena rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi
orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah karena
kekayaannya. Dia pun berusaha m endapatkan persahabatan
dengan Peranggi. Dia mencari persahabatan dari singa yang
lapar.” Bedug masjid R ajeg telah mem anggil-manggil untuk
bersembahyang isya.
“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai
oleh Peranggi,” Sunan Rajeg meneruskan, “dan itu tidak
boleh. Tidak boleh. Demi Allah!” dan ia memberi tekanan
pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala,
mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis
kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.”
“Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang
balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang.
Pasukan gajahnya akan punah oleh meriam kita, akan
terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang.”
0o-dw-o0
Mahm ud Barjah dengan m embawa dendamnya terhadap
Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga.
Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan,
dengan kuda dan gajahnya sebelum ia mempunyai
persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak
dapat dielakkan.
Hujan deras yang turun pada malam itu telah
diperhitungkannya akan m enjadi pelindungnya. Balatentara
Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan
dapat menemukan.
Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan
rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit
penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus
masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas.
Sementara itu ia perintahkan untuk membikin jejak-jejak
ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang
dibangun. Ia
rencananya itu.
mem butuhkan
waktu
pendek
untuk
Ham pir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang
melaporkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di
malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji
laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda.
Mem ang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari.
Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam,
tak mengindahkan cuaca, dan dengan hasil yang tidak
mem uaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian.
Nam un petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah
dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan
itu
menghemat
tenaganya
dibandingkan
dengan
pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap
menghalangi kemajuan.
Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak
menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang
telah dimulai. Kekalahan pada hari pertam a ia anggap
sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih
juga belum dapat berdam ai dengan kekalahannya yang
pertam a. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera
perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. Dan ia pun
menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu,
bahkan dengan diam -diam mengakui, diri sendiri ingin
segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah
dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang
bakal mem erintah, malah m emerintah semua orang. Betapa
lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua
atasannya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya
dan menyembah m engakui keunggulannya.
Kekalahan pertam a ini menjauhkan dari impiannya
sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan
Rois itu mereka menam bahi segalanya pula, karena harus
berbagi pendapat dengan m ereka.
Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg karena
kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang
melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk
melindungi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat
kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor.
Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja
siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia
mem butuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka
pertempuran baru.
Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois
adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut
luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam
kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang
pasukan pemanah yang akan m elemparkan anak panah api
dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau
ketakutan karena api, meriam akan beraksi sehingga musuh
kehilangan keseim bangan. Serangan selanjurnya tinggal
pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas
tentara Tuban sendiri.
Ia telah kirimkan penghubung untuk menempatkan
meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka
mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan
pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal
gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari
mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan
seksama.
Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada
pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada
penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri.
0o-dw-o0
Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat
serom bongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. Dari
kejauhan nam pak jumlah mereka begitu sedikit.
Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. Dan
sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk
bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala
penjuru m enuju ke tempat Mahmud Barjah telah m enunggu
dengan diam-diam.
Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari
ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati
tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi
parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di
balik semak-semak.
Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah mem asuki
jebakan waktu di kejauhan Wiranggaleng dari atas gajah
mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan
pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum
sedang mem asuki jebakan raksasa. Penghubung itu
mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di
tengah-tengah jebakan.
Dengan terbata-bata Rangkum mem berikan perintah
berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu
serangan.
Banteng Wareng menyebarkan pasukannya di luar
daerah jebakan untuk m elakukan gerakan penyisiran.
Mahm ud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di
tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari
masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak
mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah
untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah.
Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai
sebagai payung.
Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan,
bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan
pemanahnya,
dan
mereka
sambil bersorak-sorak
menggugupkan lawannya.
Banteng Wareng mengalami kesulitan dalam melakukan
penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditum buhi dengan
semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang
liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap
kegelapan yang mem untahkan anak panah dan api. Ia tak
dapat m enanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya
mundur dengan meninggalkan banyak korban.
Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wiranggaleng
mem erintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan
kuda.
G ajah-gajah Tuban itu tak lam a kemudian lari mem asuki
semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng W areng.
Dari atas gajahnya Senapati melihat pasukan Rangkum
di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung
perisai tanpa bisa mem balas. Dan dari belakang jebakan
sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin
bersemangat.
Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa
mem balas, namun berhasil keluar dari tungku maut.
Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu
kudanya melarikan diri dari api yang sedang
menandatangani, tetapi terjungkal dengan kepala pecah
kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh
anakbuahnya.
Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi
rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamnya tak
dapat m elukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun
penunggangnya,
terhalang
oleh
semak-semak
persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri
mereka terdengar riang penuh kemenangan.
Meriam tiba-tiba berhenti menembaki.
Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran.
Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak.
Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam
disebabkan karena senjata-senjata itu juga terpaksa
diundurkan.
Mahm ud Barjah dengan senyum puas mem erintahkan
seluruh tentaranya mundur. Ia telah terhibur karena telah
dapat menebus kekalahannya yang pertam a. Tak ada
seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang.
Beberapa orang saja terkena cedera karena kecelakaan.
Sekarang ia mendapatkan keseim bangannya lagi. Ia akan
tidak malu lagi menghadap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu
Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak
berarti di mata Sunan.
Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai
merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal
kuda tapi lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos
pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan
tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia
menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan
jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus
tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutam a sekali
pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan.
Wiranggaleng, setelah melihat kerusakan pada pasukan
kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi
Rangkum.
Kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia
datang.
“Pasukanku rusak, Senapatiku.”
“Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur.”
“Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup
bergerak terus.”
Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya
menginginkan kuda baru.
Dan Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud
Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan
penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum
mem aklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh
sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi
menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak.
Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, karena
tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman.
Pertemuan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg,
Mahm ud Barjah, Esteban dan Rodriguez.
Panglim a Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang
jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan
diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada
sesuatu kerugian pada pihak Rajeg.
Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak
mem berikan sesuatu pendapat.
Mahm ud Barjah kemudian menjanjikan kemenangan
gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mem punyai
rencana yang m asak.
Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh
semangat kemenangan.
“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Pam an
Sunan?” tanyanya kemudian.
“Tentu kau yang lebih mengetahui daripada aku.
Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik.
Teruskan saja,” ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez,
“bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?”
“Pengalam an kedua ini sungguh mem uaskan,” Manan
mem uji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan
api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah
takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.”
“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,”
susul Rois. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang
bisa m embikinnya? Barang sepuluh orang?”
Sunan Rajeg menjanjikan akan mem berikan tenaga itu.
Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan
berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan
gajah. Dan Sunan Rajeg mengharap pada M anan dan Rois
yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk
menyatakan pendapatnya.
“Mem ang ada jalan yang mudah,” Rois alias Rodriguez
mem ulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang
yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, karena
kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang
dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya
orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya
lagi untuk selam a-lam anya. Ia akan menggelosot sampai
mati.”
“Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rahasia.
Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu
akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.”
“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek Mahm ud
Barjah, “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di
mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan
sambar tumit itu dengan kapak atau tom bak… beres. Lihat,
tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma
bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit
lim apu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang
ke depan. Mereka juga m engawal tum it gajahnya.”
“Tetapi Rois betul,” Manan membenarkan temannya.
“Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada
kita mem ang mudah. Karena tiada, harus diadakan
penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap
pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit
binatang itu.”
“Di mana pengalaman perang kalian?” Mahmud
mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan
di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan
zirahbaja? Dengarkan, gajah perang Tuban bila berjalan,
zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti
kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak
demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di
negeri orang itu.”
Sunan Rajeg tertawa mendamaikan.
“Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat
mendadak mem bongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.”
“Tidak semua orang-orang bisa m embongkarnya, apalagi
dengan cepat dalam serangan mendadak,” Mahmud
mem bantah.
“Setiap bikinan manusia dapat dihancurkan oleh
manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependekpendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah
itu sendiri mem akan waktu lama di tangan bukan ahli
daripada pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai,
serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan
saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat
zirahnya, sebaliknya belalai gajah mem bantingnya ke
bumi”.
“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,”
Manan berkukuh.
Dan untuk ke sekian kalinya Mahm ud tak berhasil
menyudutkan dua orang saingannya itu.
Pembicaraan itu terputus karena datangnya seorang
penghubung: mem beritakan: ada
beberapa orang
penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan
jebakan baru.
“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah
Mahm ud Barjah. Dan setelah penghubung itu pergi, ia
meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak.
Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Pam an
Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita
bersiap-siap.”
Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: “Manan,
aku ikut bersama dengan m eriammu.”
Dan m ereka pun berangkat ke medan pertempuran.
0o-dw-o0
Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada
sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk.
Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu.
Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah
roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan
tam pang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka
tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan
titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal
meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti
bulu di selingkaran mata.
Manan dan Rois sedang sibuk mem eriksa sepucuk di
antara yang dua.
Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang
sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya
telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan
salah-salah kam ar ledak itu yang sendiri meledak.
Melihat adanya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg
menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan?
“Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab
Manan mantap.
Dari atas bukit kecil nam pak pasukan kuda Tuban
bergerak pelahan m engapit pasukan gajah.
Sunan Rajeg menuding ke jurusan m ereka.
“Mereka nam pak sudah lelah mencari-cari,” katanya
mem beri perhatian. “Hajarlah dengan meriammu, biar
segera tum pas!”
“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum
mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum
diberikan oleh Panglima Mahmud.”
“Aku lebih tinggi daripada Mahmud.”
Rois tertawa.
Dan Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu,
berpaling padanya dan m embentak: “Tertawa.”
“Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan,” Manan
cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak.
Mereka belum lagi sampai di tempat yang telah kita
tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak
lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan,
pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.”
“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara
Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois?” tetak Sunan. Ia
menuding Rois dengan tongkatnya.
Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian,
langsung m engepung M anan dan Rois mengacukan tombak
mereka.
“Aku tahu apa aku kehendaki,” Sunan Rajeg
meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti
Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu
bergelimpangan karena meriamnya? Manan! mengapa kau
diam saja?”
“Kanjeng Sunan,” Manan datang mendekati Sunan.
“Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersumpah
sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh
menembak tanpa perhitungan. Meriam adalah dirinya
sendiri yang kedua. Dia harus selam atkan meriamnya bila
dalam keadaan bahaya dan dia….”
“Diam!” bentak Sunan Rajeg, “kalian bukan lagi
penembak meriam Peranggi. Kalian penembak meriamku.”
Sunan Rajeg terpaksa menghentikan curah katanya.
G elom bang batuk tiba-tiba menyerangnya.
Keadaan itu dipergunakan oleh Manan
menyelamatkan keadaannya menolong Sunan
untuk
Rajeg
meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng
Sunan menghendaki kemenangan kecil tapi akan berpanen
kehancuran. Kalau itu yang Sunan kehendaki, baik, kami
akan m enembak!”
Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan.
Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang
menentukan. Hanya Allah.”
Rois hendak mem bantu temannya tetapi telah kena
bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur karena
ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam.
“Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan,”
Manan masih juga mem buka mulut. “Semua Kanjeng
Sunan, tetapi yang tahu bertanggung jawab hanyalah
manusia.”
“Ajaran
kafir.
Dari mana
datangnya ajaran
tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada
kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg
sendirikah kau ini?”
“Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari
tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap.
Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni
bukit dan melakukan tugasnya.
Sunan Rajeg mundur menjauh sambil menutupi dua
belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan
tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu.
Rois telah mem asukkan obat ke dalam kamar ledak.
Manan mem asukkan peluru dari moncong meriam.
Kemudian laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada
musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan
roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam setelah
digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di
bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar.
Kiai Benggala Sunan Rajeg mundur lima langkah lagi
dan semakin merapatkan tangan pada telinga. Kemudian
semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga
orang lain. Sunan Rajeg menghadap ke arah musuh untuk
melihat bagaimana mereka menerima maut dari
meriamnya.
Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak.
Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia.
Meriam itu seakan hendak melom pat muncul dari bumi ke
angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam
melemparkan peluru.
Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu
terbang cepat mem belah udara menuju ke arah balatentara
musuh yang sedang bergerak
Mereka berada di luar jarak tembak….
Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di
hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya
pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah
mem bentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan
sarang m eriam untuk mengepung dan mem binasakannya.
“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan!”
Manan mem peringatkannya.
“Tembaki terus!”
‘Tidak m ungkin, terlalu tipis untuk ditembak.”
“Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab Sunan Rajeg
pelahan. “Ayoh tembaki, tembaki terus.”
“Pengawal” raung Rois, “selam atkan Sunan Rajeg!”
Mahm ud Barjah datang dengan kudanya. Mukanya
merah-padam karena marah. Tangan kirinya mem egang
kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda.
“Bangsat!” Pekiknya murka sambil mencam buk Manan.
Yang dicambuk m elom pat menghindar. “Siapa perintahkan
menembak?”
“Kanjeng Sunan,” jawab Rois.
“Apakah kalian sudah buta? Mahm ud Barjah Panglima,”
dengan cambuknya Mahmud m enyambar kepala Rois yang
juga m elom pat mengelak.
“Mereka datang kemari!” teriak Manan.
Panglim a Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan
berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap
kudanya makin terdengar pelan kemudian hilang sama
sekali, ditelan oleh semak.
Dengan dipapah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil
berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas
tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa.
0o-dw-o0
Setelah diurut dengan cermat dan dapat menggunakan
tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum
menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah mem egangi
kendali dan tangan kiri mem bawa cambuk perang ia
mem impin kembali pasukan kakinya.
Pasukannya berbaris dalam form asi supit udang
melewati pasukan gajah dan m aju ke depan m engikuti jejak
pasukan kuda.
Terhenti karena parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu
melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk
melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan
ujung-ujung parit.
Mahm ud Barjah tak menghendaki mereka menemukan
ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. Tetapi
musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus
bergerak meninggalkan jebakan.
Dari balik-balik semak di seberang parit terjal
bersemburan anak panah dan api dan tom bak. Orang mulai
bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh temanteman sendiri.
Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai
ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang
parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois
berdentum an. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang
telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani
menembaki musuh yang telah menyusup dalam semaksemak di belakang jebakan.
Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam
pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak
mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung
parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan,
mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak
dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak
mengambil alih.
Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang
mengamuk.
Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di
depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti
pasukan gajah. Dan balatentara Tuban mendesak terus.
Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah.
Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera
mem erintahkan mengungsikan meriam dan segala
perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari
naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari
ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa
bebannya seperti serom bongan kucing menggondol
anaknya sendiri. Dan pucuk meriam itu menuruni bukit
dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan
sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun
barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam
rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak
mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya
terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri.
Berpegangan pada pengalaman sebelum nya kini
Wiranggaleng tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia
mem erintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak
mau tentaranya menderita lelah hanya untuk mencari-cari.
Sorak-sorai tentara Tuban yang mengguruh dari dalam
semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan
didesak.
Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin
mendekat. Manan mem erintahkan agar regu pengangkut
meninggalkan medan terbuka dan m asuk ke dalam hutan.
Waktu pasukan Banteng Wareng datang, mereka sudah
tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal.
Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di
medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam
hutan. Mereka mem buangi pakaian putihnya dan segera
hilang di antara kehijauan dan kecoklatan.
Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncang-goncang
dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar
terdengar Sunan berseru-seru mem peringatkan dari atas
tandunya.
Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas:
“Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat’ dan terus
lari tak peduli tandu semakin berguncangan.
Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul
mem erlukan berhenti untuk mengambil nafas dan
menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan
Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan
cambuk perang ke udara.
Dengan serta m erta mereka turunkan tandu.
“Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri.”
Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu,
dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan….
0o-dw-o0
Matahari belum lagi tenggelam.
Banteng Wareng dan pasukannya menyisiri setiap
jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk
menandingi kelajuan dan kesigapan mereka.
Pasukan kaki di bawah Rangkum kemudian datang
menyusul dan mem buru m usuhnya m asuk ke dalam hutan.
Baru kemudian nampak pasukan gajah sebagai bukitbukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan
hidungnya.
Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk m empertemukan
dua tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi
semak-semak bamban dan com brang. Rotan m elata datar di
tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi
ram batannya sendiri bergum ul meliliti barang apa yang
dapat ditangkapnya, kemudian melambai-lam baikan
puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan
dan keangkuhan.
Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki
menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan
telah dari tadi terbang m elarikan diri, lupa pada kicauannya
sendiri…
O0-dw-oO
21, Keributan di Bandar Tuban
Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya
hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar
Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak.
Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang,
berdiri dengan diam-diam, bukan karena menunggu
langganan yang tak kunjung datang.
“Yakinkah tuan kita masih selam at dan tetap akan
selam at?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan
diri.
“Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu,
Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten?”
“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih
tetap am an buat si Yakub ini?”
“Lebih am an daripada di pangkuan ibumu sendiri.”
“Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun
sahaya tak merasa am an lagi. Sekiranya sudah, tuan
siapkan surat balasan itu…”
‘Tak ada surat balasan Yakub”.
Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan
Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk
diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.
“Ya, memang terlalu sepi,” Syahbandar mem benarkan
keluhannya. ‘Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari
tuak, arak dan penipuan.”
“Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa
tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri
dari maut dengan pertolongan Allah saja.”
“Cukup baik. Tuban takkan m elupakan jasa-jasamu.”
“Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan?”
“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan ramai
kembali.”
“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin
hanya T uan dengan Yakub menghabiskan arak ini.”
“Kau belum lagi bercerita, Yakub.”
“Hanya satu yang sahaya dengar di Blam bangan sana.
Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di
Nusa Tenggara sana”.
“Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira
karena kapal-kapal G resik terlalu berani menerobos ke
Maluku – pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau
Peranggi mem buka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu
untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira
bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang
didudukinya”.
“O, itu m ulai kelihatan orang berdatangan,” seru Yakub
pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar
kegelisahan hatinya.
Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya
orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa m enengok
ke arah warung.
“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.”
“Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada
apa gerangan?”
Tetapi Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi
cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa.
Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.”
“Ham pir sama dengan hewan,” Yakub membenarkan.
“Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan
meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan? Ya
begitulah cetbang, dan begitulah meriam,” Syahbandar
Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk
senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun
tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak
hidup di jaman meriam ini, Yakub.”
“Mem ang m eriam saja yang m enentukan dunia sekarang
ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu
berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.”
Syahbandar
Tuban
meneguk.
Yakub
kembali
mem perhatikan orang-orang yang makin banyak juga
menuju ke bandar.
“Dan biadab!” Syahbandar m enambahi. “Arakmu cocok
sekali hari ini”.
“Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik.
Mem ang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua,
dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak
busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-
robek anjing. Dan tiada seorang Islam pun mem eliharanya.
Dan m ereka mengaku Islam pula, Tuan.”
“Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.”
“Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling
bandar, di balik semak-semak?” tiba-tiba Yakub
mengalihkan percakapan.
“Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?”
“Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya
lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di
G resik. Orang-orang G resik pada bernafsu untuk
menyewanya ke Maluku.”
“Tentu tak ada yang m enyewakan.”
“Mem ang tak ada, Tuan.”
‘Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi
yang kau kua-tirkan?”
“Boleh jadi Demak sana m embantu.”
Mula-m ula Yakub hendak menuntut upah untuk
keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan
keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar
Az-Zubaid menyebabkan ia m engendalikan diri. Kemudian
mem ulai dengan ragu-ragu.
“Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.”
Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, tetapi
matanya yang bulat itu m elirik sekejab di bawah keningnya.
‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah
keluarnya upah. “Masa seorang Syahbandar bisa tidak
tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang
dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik.
“Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan.
Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya
Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah
juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang
sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah
merugikan orang.”
“Jangan terlalu rakus, Yakub,” Syahbandar menasihati,
“katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok
dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.”
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub
berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak.
“Apa itu. Tuan Syahbandar?” mata Yakub menjadi liar.
“Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka
keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di
balik punggung, juga berjalan ke arah bandar.
“Masyaallaaaaah!” teriak Syahbandar waktu dilihatnya
sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali
pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!”
teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke
pelabuhan.
Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat mem enuhi
derm aga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa
yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan
kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan
untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih
keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia.
Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah
kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka.
Padatan orang itu kemudian diketahuinya bersenjatakan
tongkat kayu.
Ia m elihat L iem M o Han m enelisip di antara m ereka dan
menjadi bagian dari mereka. Kemudian bukan hanya
punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di
dalam kepadatan m anusia itu.
“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak
seorang Portugis dalam Melayu. “Panggilkan Syahbandar.
Francisco de Sa perlu dilayani.”
“Syahbandar tak ada!” teriak yang lain m enjawab.
“Syahbandar sudah mampus!” teriak yang lain.
Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam.
Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana
dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi
tongkatnya dan m enegakkan bongkok berjalan kian ke mari
penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di
sini!”
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja
menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan
mendorong, menyerudug dan m enerobos. Kekuatannya tak
mencukupi.
“Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar!” pekiknya.
Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan
tangannya melambai-lam bai. Tongkatnya pun berkibarkibar. Dan tetap sia-sia.
“Beri jalan!” pekik Francisco de Sa. “Portugis akan
temui Sang Adipati.”
“G usti Adipati tak menerima siapa pun!” orang berteriak
berbareng dengan berbagai cara dan nada.
“Kembali kalian, Peranggi!”
“Ayoh, kembali!”
“Bukan cara Portugis diperlakukan begini!” pekik de Sa.
“Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii!” Tholib Sungkar
meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug
dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan
Syahbandar!”
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan
menengok ke belakang dan menertawakannya beramairam ai.
Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis:
“Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini,” sambil
mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti
burung gereja.
Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang
kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya
kembang-kempis.
“Yesus! Bunyikan m eriam!” perintahnya dalam Melayu.
“Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau
tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam
Melayu.
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek.
“Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam Portugis,
“kembali dan bu nyikan.”
“Kalian Peranggi!” tuding Liem Mo Han dalam
Portugis, “yang letak kan kekuatan pada meriam semata.
Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!”
“Siapa bicara Portugis itu?” tanya Francisco de Sa
melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan
menembak!”
“Kami bisa menembak kalian lebih
Tinggalkan Tuban!” jawab Liem M o Han.
dulu.
Pergi!
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak.
Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal
Portugis mulai mengalir turun dari kapal mem bawa segala
macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa
musket.
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan
manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan
mengusir, mem aksa dan menyorong mereka kembali ke
kapal.
Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan
tongkat.
Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah
kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan
tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus L aslo tidak urung
terpaksa masuk ke kapal juga.
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali
kapal. Orang makin ramai bersorak berjingkrak melambailambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.
“Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke
Peranggi! Tinggalkan Tuban!”
“Kapal celaka! Pergi!”
Kapal Portugis itu mem asang layar. Tak ada seorang pun
di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan
kapal itu mulai bergerak menjauhi derm aga. Di derm aga
sendiri orang terus juga m eledak dan mengejek.
“Francisco de Sa akan datang lagi!” teriak Portugis itu.
“Awas!”
Setelah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan
oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian
meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang
juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang
mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas
berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan
untuk ikut berjingkrak dengan majikannya.
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari
pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang
dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka.
Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka
menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah
Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak
oleh orang banyak.
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu
yang m elekat pada kulit dan pakaiannya.
“Tongkatku!” perintahnya.
Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan
menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan
mem berengut.
“Tarbusku!” perintahnya lagi.
Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik
pitam.
“Tarbus! G oblok,” waktu dilihatnya tarbus itu
menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna
merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan
terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit!
punggung dan mengam bilnya, mem bersihkannya dari lebu,
kemudian menciumnya.
Pedagang-pedagang pada
meninggalkan daerah bandar.
mengutuk
dan
mem aki
Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar AzZubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid
Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya
kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada
tongkatnya.
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang
bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu
telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lam bat
tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh m eninggalkan jarak
tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan
ornam en haluan yang indah lagi gagah.
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu
pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung
agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri
seorang diri di derm aga menghadap ke laut, dan kapal
Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia
melambai-lambaikan tangan mem anggil kembali kapal
tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpahnyum pah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang
paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap
tak peduli dan semakin m enjauh.
“Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar!”
suaranya parau menghiba-hiba.
Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal.
Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar.
Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib
Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru
mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak
menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan
tembakan kedua mem aksa Syahbandar merangkak-rangkak
sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporakporandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan
kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan
mem anggil-m anggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung
panjang bengkung itu m enghadap ke warung Yakub.
Pewarung itu tidak kelihatan.
Bondongan peluru yang ke tiga mem bikin Tholib
terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari
rangkakannya.
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam
warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak
menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan
arak dan barang-barang dagangan.
Bondongan tembakan ke empat mem bikin Syahbandar
itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di
depan kam ar kerja kesyahbandaran.
Kemudian Portugis menghentikan tembakannya.
Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai
menyam but kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti
bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala
ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir
pun m encapai sasaran.
Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam
tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur
Alham dulillah, karena yakin tak ada sepasang dan sebelah
mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak
henti-hentinya berkom at-kamit.
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang
mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia.
Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia
kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan
tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh.
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai
menyum pahi pandai-pandai Trantang. Kemudian ia dengar
juga yang lain m engutuki pandai-pandai peluru.
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang
sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak
kaget terpandangi oleh pemimpinnya.
“Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku,”
tegurnya. “Mem ang dia orang desa nam un dia lebih
daripada hanya kalian. Tutup mulut kalian.”
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat
cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan
perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon.
Dituliskannya
sepucuk
surat
di
atas
lontar,
menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam
daun pisang kering dalam ikat pinggangnya.
“Cari Senapati sampai dapat,” perintahnya pada dua
orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja
menunggu di tempat. Pergi.”
Setelah menerima lontar, dua orang melom pat ke atas
kudanya, mem asuki kota, kemudian ke pedalaman.
0o-dw-o0
22. Pertempuran Penentuan
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap.
Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah
kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di
seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang
beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar
daripada sebelum nya. Kini diketahui tentara Rajeg
menggunakan alat pelempar api.
Binatang-binatang raksasa itu
terkendali.
berlarian
gugup
tak
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratusratus kentongan bambu dipukul berbareng.
Binatang-binatang raksasa itu bingung.
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil mem beri
isyarat dengan tombak pimpinan, mem erintahkan agar
segera m eninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai balatentara T uban.
Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di
seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan
kentongan suaranya riuh rendah mem belah langit. Dengan
bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan
mem bunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang
dan berlari-larian liar m erusak tubuh balatentara sendiri.
“Mundur! Cepat mundur!” pekik Kala Cuwil sambil
menaik-turunkan tom bak dengan kedua belah tangan.
Di sampingnya berdiri Wiranggaleng yang mencoba
menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan
pandangnya.
“Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini.
Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada.
Mem alukan,” gumam Kala Cuwil. “Dan hanya melawan
orang desa!”
“Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau
orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang.
Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.”
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu
menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut
itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-
bentar m enyebabkan orang jatuh tergelincir. G ajah-gajah itu
dapat menginjak mereka.
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak
menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh.
Tapi Kala Cuwil dengan tom bak pimpinan mencegah
mereka meneruskan niatnya dan mem erintah mundur sama
sekali.
Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan
dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di
ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu
kemudian juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan
jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling
sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajuritprajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi
dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba
berdiri, la jatuh lagi.
Dari seberang parit orang bersorak-sorai
meningkat. Sorak kemenangan.
semakin
Sebuah peluru telah menyam bar kotak benteng seekor
gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah
ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang
kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke m ana dia suka
tanpa bisa dihalang-halangi.
Kala Cuwil dengan tom bak pimpinan terus sibuk
mem berikan perintah m undur.
G ajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling
marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia.
Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti
dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya
menetes airm ata. Dan makin lama ia makin jauh
ditinggalkan
menembaki.
oleh
yang
lain-lain.
Meriam
berhenti
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan,
tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit
dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai
mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
Banteng Wareng menghampiri gajah
sebagaimana telah diperintahkan kepadanya.
Senapati
“Kudam u takut pada api?” tanya Senapati Tuban.
‘Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah
berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah
biasa.”
“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. G ajah
mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar
mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang.
Mereka mem butuhkan waktu untuk melemparkan apinya.
G ajah akan berbalik lagi.”
Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas
tanah basah berlumpur untuk m enjemput pasukannya yang
bersembunyi di dalam hutan.
Waktu seluruh pasukan gajah telah m eninggalkan medan
jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari
jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng
Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang,
mem biarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah.
Mereka memasuki medan m elalui pinggiran jebakan, di atas
tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda
sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas
titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal
sambil memperingatkan teman-temannya.
Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat m elarikan diri
di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti
kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetim bangan.
Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi
mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang
mem ilukan menggantikan sorak-sorai.
Dengan kembalinya pasukan gajah mem asuki medan
jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi
bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali.
“Apa
boleh
buat,”
Wiranggaleng
bergum am,
“penumpasan ini akan mem atahkan kekuatan mereka.”
“Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan,
Senapatiku,” Kala Cuwil mem peringatkan.
“Mahm ud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan
anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia
mem butuhkan untuk kemenangan dan keamanannya
sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan
ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi.
Kekalahan mereka selam a ini, dan kegagalan bertubi,
dengan penum pasan ini moga-moga akan mem atahkan
mereka sam a sekali.”
“Tidak patut Senapati berbelas kasihan.”
“Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil,
yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak,” ia
menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka
itu sanak dan kenalanku sendiri.”
“Apa boleh buat.”
“Ya, apa boleh buat. Dan setelah ini tinggal prajuritprajurit sejati saja masih akan berlawan.”
Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini
terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat
sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Mem bawa diri
sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam
jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng
dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan.
Dan m alam itu hujan berhenti.
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan
manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari
bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap
Wiranggaleng, menyampaikan beberapa lembar lontar.
Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati
mem bacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan
orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala
pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal meriam
mem ang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita
akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita mem ang
hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki.
Jangan
kalian
punya
pikiran
Senapati
hendak
mem erintahkan kalian berperang melawan meriam
Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan
cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal
pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi
dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk
melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi
mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi
mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan katakataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati,
hanya karena cetbang tak dapat kalahkan m eriam.”
Setelah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum:
“Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah tentara
Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya?”
“Terlalu banyak, Senapatiku.”
“Tinggal berapa kiranya kekuatannya?”
“Kira-kira m asih cukup untuk bertempur dua kali.”
“Dua kali!” Senapati Tuban mengulangi. “Bagaimana
pendapatm u Banteng Wareng?”
“Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada
kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.”
“Apa pun kekuatannya,” Kala Cuwil menambahi, “yang
tersisa sudah tidak akan lebih kuat.”
“Dua kali pertempuran lagi”, Senapati mengulangi katakata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku
mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara
Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita
menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran
penentuan.”
“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini,
Senapatiku.”
“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum,
sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku
perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai
menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan.
Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat
temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak
beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.”
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang
bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai
merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud
Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak
pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai
sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut
dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya
tetapi dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tum buh
jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak
berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih
mendengarkan dia daripada dirinya.
Sekarang Panglima Rajeg itu semakin mem bikin hatinya
cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak
panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu
berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari
Tuban.
Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan
Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya
terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siangmalam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil
begitu saja oleh Mahmud Barjah.
Pernah
terpikir
olehnya,
untuk
mem ulihkan
kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya:
menyingkirkan anak m uda itu. Tetapi bagaimana jalannya?
Panglim a itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya.
Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di
hadapan Tuban, tetapi tidak punya ikatan m esra dengannya
sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada
Panglim anya.
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi
tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri.
Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan
Sunan.
Manan dan Rois, andal-andalannya selam a ini, juga
lebih mendengarkan M ahm ud.
Dan batuk yang suka menyam bar-nyam bar dadanya itu
pun tidak kurang mem usingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata
kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala
yang diimpikannya selam a ini. Dan bila ia renungkan
segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh
kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau
Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah
sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan
ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blam bangan, Hindu
Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya,
hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang
pertam a-tama.
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan
sekali Mahm ud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja
di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga
tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan M ahm ud
daripada Sunan.
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima
Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin
menyerahkan tahta dan m ahkota itu pada Sunan. Dia akan
marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk daripada Adipati
Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah
menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu
tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan
mem buncah tanpa kendali.
Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan
jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh
atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta
dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat
melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum
Manan dan Rois, hanya karena mereka berdua telah
menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat
mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan
perintahnya.
Keadaan mem ang berkembang tidak sebagaimana ia
kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di
manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang
masih terbuka untuk dapat m enaungkan diri adalah Demak
– satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafirmusafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya
bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan
Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah
mem punyai sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai
patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali
sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu
ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah
seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan
lebih berilmu daripada siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya
tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi
seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan
agam a. Maka semua yang menghalangi sikap dan
perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan
untuk dibasmi.
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya
justru Mahmud Barjah.
Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun
Panglim a dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di
banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar
anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia
sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan
kanan dan kirinya, dan semua akan beres.
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada
suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah
datang menghadap.
Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap
orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan mem berinya
sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji
takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus
menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat suaranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia
bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya Tuban
sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?”
“Betul, Pam an Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak
terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran
pertam a,” jawab Mahmud tenang.
“Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing?”
“Betul, Pam an, mula-mula mereka, kemudian kita.”
Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal
jalannya perang juga.
“Bukankah kau belum lupa, kita harus mem asuki Tuban
sebelum Peranggi masuk? Itu kau sendiri yang telah
tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.”
“Tidak keliru, Paman Sunan.”
“Jadi kapan Tuban dapat dimasuki?”,
“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.”
“Betul anakku, tetapi sekarang ini kita yang kena serang
terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau
menyerang?”
Mahm ud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg
pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai
orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja
mengenal.
Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang
pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia
singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin
mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi
kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid.
“Belum lagi tahu, Paman Sunan,” jawab Mahmud.
“Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan
malam. Sunan diperkirakan tujuannya.”
“Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari
kita di perdalam an. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban
tanpa sepengetahuan m ereka. Semua tak ada yang tinggal.”
Mahm ud Barjah mengangkat muka dan dengan terheranheran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu
telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang
lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya
bermain-main atau bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak
mengiakan.
Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu
sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor
dan mesum . Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang
melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
Mahm ud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa
mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
Sunan Rajeg mem punyai dugaan terhadap sikapnya,
pertam a, orang muda itu karena pengalaman perangnya
dalam waktu pendek sekali telah m enjadi masak dan sedang
menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat
diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke
dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya
ajal.
Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan
waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam….
Dengan menyam paikan gagasan mendadak di bidang
ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya
menjadi pulih. Mahm ud sendiri tak pernah punya gagasan
semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini
dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas
permadani pendopo.
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar
di atas tikar bawaan m asing-m asing. Suaranya kembali jadi
lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada
pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan
gaya dan caranya yang lama. Kemudian: “Mana
Mohamm ad Firman, itu bekas musyafir Demak? Takkan
bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau
ikut-ikut m enyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur
menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap
orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Ia tidak m enggunakan akal karena ia
tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik.
Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini,
maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu
orang m endapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak
dan musafir-m usafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau
tentang mula dan tentang kemudian. Itu menyalahi nikmat
yang dikaruniakan Allah kepada kita.”
“Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang
benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena
pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapalkapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai,
juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada
Dam po Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali
kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke
mari, dan tahu akibatnya? Ialah – semua penduduk Jawa ini
akan m asih tetap kafir jahiliah.”
“Alham dulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam
datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi
perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak
mem bajak. Hanya karena di jalan Aliahlah maka kapalkapal ini lebih berhasil daripada armada Dampo Awang
dengan kesempatan yang sama. Kemudian Peranggi
datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk
mem enuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan.
Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi
Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya
Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu
tidak boleh, itu m enentang ketentuan Allah, maka kita tidak
akan mem biarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua
bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda
tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan
Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja.
Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja:
lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan
ajarannya.”
“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat
untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan
mem benarkan Peranggi. Mem benarkan dia berarti tidak
berada di jalan Allah. Hukum nya adalah musuh. Dan
negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun
hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah
musuh Allah itu sendiri, karena dia sudah bersekutu dengan
iblis.”
“Mem ang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya.
Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita
mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam
sendiri.
Sebelum
bikin,
kita
harus
berusaha
mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk
dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.”
“Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia
bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada
bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya
seperti Tuban? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini
kerajaan bandar? Kecuali Demak, dan karenanya menyerbu
Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain?
Karena kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah
masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti
Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan
Peranggi. Kalian m engerti?”
Dan semua pendengar m enjawab mengerti.
“Syukur Alham dulillah.”.
“Syukur Alham dulillah,” semua menggemakan. “Maka
semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi
adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya
melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di
hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya
Mahm ud Barjah yang berani lakukan itu, tetapi ia tak ada.
“Tetapi ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi
Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga
tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu
juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak
suka itu. Dan m ereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat
tangannya untuk meyakinkan. “Semua itu memang bisa
bersatu melawan Peranggi, termasuk kita – Perbegu,
Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan
Islam pertama-tama bila Tuban jatuh.” Ia terengah-engah
kehabisan nafas.
“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa
Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas
jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita
lebih maju daripada Demak…. karena apa yang kita
kerjakan selam a ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan
Dam po Awang.”
“Kanjeng Sunan”, seseorang menyela, “putra mahkota
Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus
Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri
belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu
pertanda mereka jauh lebih maju daripada kita?” Sunan
Rajeg tertawa m elecehkan.
“Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak.
Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam
Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa?
Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa
sesungguhnya? – anak perempuan Kiai Ampel. Apakah
belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel?”
“Belum, Kanjeng Sunan”.
“Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti
Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara
dalam Jawa pada kalian selam a ini. Dia tak tahu. Kiai
Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu
G resik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya,
orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak
perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga
bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan
gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng G usti? Karena,
walaupun Demak m engaku kerajaan Islam pertama-tama di
Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot
lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan
keprajaannya.”
“Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya.”
“Nanti dulu, kau, Mohamm ad Firman yang
berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan
baik-baik. Patah ini menam akan diri Khalifah pertama di
Jawa. G elar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama
ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: G lagah Wangi,
Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu? Karena mem ang
tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas
utam anya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak:
melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar
tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para
wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan
satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah
mereka bunuh beramai-ramai karena perselisihan berebut
pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu,
putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke
mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa.
Boleh jadi ia tak mampu m engatasi perpecahan.”
“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih m aju daripada
Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera
akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi:
Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai
terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. Kemudian, anakanakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah
akan jatuh ke tangan kita. Jadi…”
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang
padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg
mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian tertawa
dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh
semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal
Sunan Rajeg dan pembisiknya. Kemudian tertawa
meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah,
menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomatkamit aneh: “Idayu, Idayu! Kau juga, kau!”
0o-dw-o0
Mahm ud Barjah telah mem utuskan mengerahkan
seluruh tentara Rajeg untuk mem asuki Tuban dengan
menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara
Tuban.
Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan
kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik,
dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan
musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa
perlawanan.
Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk
meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka
yang bukan kekuatan perang m engikuti garis berat dan jauh
itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang
mem bawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak m ereka hiraukan.
“Allah bersama kita,” Sunan Rajeg merestui. “Hanya
Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di
tangan-Nya”.
Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan
balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wiranggaleng.
Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu,
Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat
berlenggang-kangkung mem asukinya, langsung masuk ke
dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan
cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran
pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap
keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan
terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara
untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang
dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu
ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya
tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu
ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengirangira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa
menjadi sumber bencana. Tetapi menunggu lebih lama
adalah kebinasaan….
O0-dw-oO
Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu
menerobosi mendung putih itu.
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang
bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak
pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu
panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri
lebih dari tiga rangkulan m anusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat
pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan,
sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis
putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan
jalan desa.
“Ha! itu mereka!” pengintai pertam a berseru terangsang.
“Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua m enambahi.
“Berm inggu!” yang pertam a mem betulkan.
“Berm inggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat!
Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk
ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk m encari-cari”.
‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”.
“Nam paknya mereka berangkat malam,” kata pengintai
kedua. Ia bercepat-cepat m enuruni tangga batang bam bu.
“Bagaimana pun kita akan lebih dulu sam pai,” jawabnya
sambil juga m enuruni tangga.
“Jangan
meremehkan,”
pengintai
mem peringatkan, “biarpun kita berkuda”.
kedua
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masingmasing yang selam a itu gelisah diserang nyamuk. Mereka
berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama
berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda
Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian
hormatku”.
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung
ke kota. Pengintai ke dua mencam buk kuda, mem belok ke
kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang.
Setelah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil,
kemudian sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang
prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang
baru. Selama mem asang abah-abah pengintai kedua itu
berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri.
“Sam paikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka
bergerak untuk langsung m emasuki Tuban dari jalan negeri.
Setiap orang mem bawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari.
Teruskan, aku akan menghadap Senapati”.
“Berapa kekuatan m ereka?”
“Mem beludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan
mem asuki kota pada waktu m atahari tenggelam ”.
Ia melom pat ke atas kudanya dan hilang di antara
rimbunan pepohonan buah.
Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada
dua orang prajurit lainnya, kemudian berpacu mengikuti
pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula
ke jurusan lain.
Prajurit pengintai pertam a yang menuju ke kota itu
disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan
kudanya. Ia menyam paikan perintah pada mereka,
kemudian ketiganya berangkat, menempuh jalan berlainlainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala
pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri.
Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar
mem inggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa
menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis
yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
“Brenti!” sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan.
Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu
dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada
punggung kuda. Tangan kirinya mem eluk batang leher
kuda dan tangan kanan mencam buki binatang itu. agar
berpacu terus, lebih cepat.
“Tom bak!” ia dengar lagi pekikan lain.
Bersam aan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan
menyam bar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah
kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tom bak.
Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus
sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak.
Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras.
Kepalanya menengok ke kiri kemudian ke kanan, mencoba
melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia
melonjak sam bil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke
tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya
yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium
mukanya. Sebatang tom bak lain melayang dan
menyerompat iganya. Binatang itu m emekik dan melarikan
diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan
mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka
kumpulkan kembali tombak-tom bak yang luput.
“Berpacu secepat itu pasti mem bawa berita,” seorang di
antaranya mem berikan pendapat sambil menembuskan
tom bak dalam tubuh pengintai dan mem alui tembusan itu
mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,”
katanya lagi sembari mem bersihkan tombak berdarah itu
dengan daun-daunan.
“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun
tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!”
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan,
kemudian mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina
di kanan dan kiri jalan.
0o-dw-o0
Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak
langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertam atam a karena peluru-peluru
Portugis yang telah
dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Kedua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama
bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu.
Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama T holib
Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu
banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi
berdagang.
Sam bil melayani Yakub berkicau terus-m enerus. Penutup
dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis
itu. Juga pada pagi ini.
Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki
bangkunya, sebuah tempat penghorm atan untuknya di
pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia
bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan
Yakub.
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari.
Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian
seberang, berkum is bapang tanpa jenggot, selalu m engam bil
tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia
tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau M elayu.
Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan
bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak
lain daripada Braja.
“Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi,”
Tholib Sungkar mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar
ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia
dibikin m arah”.
“Mem ang begitu.” Yakub meneruskan. Tak ada yang
dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja
pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang
setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging
dan tulang. Sungguh m enakutkan”.
“Setidak-tidaknya, G usti Tuan Syahbandar,” seorang
langganan lain di dekat Braja menyela, “di Tuban dia
pernah dihina dan dihalau”.
“Apa? Dihina dan dihalau?” seru Yakub, “dihina dan
dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut
lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan
Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati”.
“Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu,” Tholib
Sungkar m engegongi lagi.
“Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh.
“Dihina dan dihalau katanya Yakub”, Syahbandar itu
berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai
tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu
betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia
mendelik pada langganan di samping Braja.
“Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam Melayu
– bicara untuk pertama kali, “dibinasakan sama sekali”.
“Puh! Berapa lama Malaka jatuh? Berapa bentar Maluku
dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa
Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi:
Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar….”
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang
mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang
serba wulung nila itu tak lain daripada Braja, kepala
pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak
acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat.
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh
datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih
menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung,
mendapatkan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang
sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda.
Kemudian kedua-duanya meninggalkan warung.
“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik.
“Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum
dikenal namanya mem bantah. “Bukan Braja. Braja aku
kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lim a tahun”.
Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar.
“Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di
dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu
dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap Tholib Sungkar untuk
mem beri simpati. “Tak pernah ada memang Peranggi
dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali”.
“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” Tholib
Sungkar mulai hidup kembali.
Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di
dekat Braja tadi juga ikut m eramaikan, tak lagi m embantah.
Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui.
Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan
itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah
bukan arak.
Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat
mem perhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit
pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri
terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat
ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan
ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya,
dengan sebatang tom bak tertancap pada pinggul dan darah
meleleh dari bawah mata tom bak, sedang berjalan payah
terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana.
Tom bak itu jelas bukan milik tentara Tuban. “Sunan Rajeg
sudah mendekati kota,” seseorang mem astikan. Semua
langganan keluar dari warung untuk dapat mem perhatikan
tom bak dan binatang itu.
“Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya!”
“Ya, mem ang kuda tentara Tuban,” orang mem benarkan.
Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan
rombongan petani tanpa barisan mem bawa pedang dan
tom bak tentara Tuban, juga busur dan perisai.
“Itulah tentara Rajeg”, bisik Tholib Sungkar megapmegap. Tak ada yang m enanggapi.
Sebentar kemudian menyusul pemikul-pemikul cetbang
di belakang rombongan kacau itu.
“Bukan
balatentara
Tuban”,
Tholib
Sungkar
meyakinkan, “jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang
mem asuki kota.”
“Masyaallah, Tuan Syahbandar!” sebut Yakub, “kita
tutup kedai dengan lupa m embayar minum an….”
Segera setelah menerima laporan, Braja mengerahkan
pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan
diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan
yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg.
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajuritprajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain
karena keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya.
Setiap di antara mereka dapat mem pergunakan semua
macam senjata dan penunggang kuda yang m ahir.
Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima
balasan dari Wiranggaleng, dengan pasukannya yang kecil
ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan
berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukanpasukan Tuban lainnya datang mem bantu.
Tuban yang keramat tidak boleh dijamah oleh tangan
pemusuh ia bersumpah.
Setelah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang,
dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit
selebihnya diperintahkannya mem biak ke kiri dan ke kanan
jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan
meninjau ke seluruh medan.
0o-dw-o0
Mahm ud Barjah telah mem erintahkan agar tentaranya
tidak bersorak sama sekali, tidak mem bunyikan gendang
dan gong, tidak m enggunakan um bul-umbul ataupun panjipanji, sebelum berhasil memasuki Tuban.
Ia pun telah memberikan perintah, begitu mem asuki kota
semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan
melalui jalan belok dan akan mem asuki Tuban melalui
pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala
kesulitan dengan cetbang.
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh
sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada
pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah am an
selam a ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap
pemimpinnya.
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata
separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke
mana m ereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia
berangkat ke medan pertempuran.
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di
bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di
depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya.
Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam
seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak
pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri.
Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya
berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus
diperbuat.
Padang ilalang itu akan mem bikin pasukannya terbuka
dari serangan panah dan tom bak, dan musuh telah
mendapat posisi lebih dahulu. Untuk mem bentuk form asi
apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini
pun akan mem bikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam
melakukan serangan nyam uk menggigit kuping binatang
itu.
Ia ragu-ragu.
Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan
melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung
berpacu ke jurusan musuh, dengan mem bawa tom bak.
Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi.
Maesa Wulung merasa m enghalangi jalanan, dan ia pun
berangkat maju.
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju
dan menyerang. Dan tom bak-tom bak berlayangan jatuh di
tengah-tengah laskar musuh yang mem balas dengan anak
panah. Pasukan kuda itu tak berani m endekat-dekat. Medan
tak mem ungkinkan. Setiap habis melempar mereka
menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Setelah
lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak
dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru.
Tom bak-tom bak itu mengenai sasaran, namun tentara
musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota
dengan meninggalkan korban di jalanan.
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah
yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan
kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin
pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk
menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan
baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki m ulai m enyerbu
dengan form asi lebar, formasi om bak laut. Tetapi itu pun
tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari
menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki
dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun
rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti
untuk mengurus tunas alang-alang yang patah dalam
telapak kaki itu, kemudian lari lagi. Dan tak kurangkurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincangpincang. Namun m ereka bersorak gegap gempita.
Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan
tom baknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan
para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang
lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg
terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan
barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejarkejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung
dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang
sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban.
Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang
melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke
keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban
pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar Danang mem aki-maki karena Maesa
Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak
menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi
gusar, karena dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda
berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwiraperwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih
berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan
gabungan.
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara
Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya
dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga
antara musuhnya yang dapat dirobohkan.
0o-dw-o0
Wiranggaleng menerima
Rajeg yang menuju ke kota
Banteng Wareng yang
diperintahkannya mengejar
setelah dapat m enjejak jalan
berita tentang gerakan tentara
di tempat lain pada siang hari.
nampak sudah kurus itu
dan menyerang dari belakang
m ereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda.
Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus
menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali
mem asuki Tuban bersam a dengan seluruh pasukan gajah.
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala
Cuwil: “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat
dikerjakan. Jangan ada yang m enghadap G usti Adipati”.
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan
Banteng Wareng yang telah m emasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak
lama kemudian dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis
dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar setelah kena
terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan
bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan
dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu
melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya.
Di mana-m ana bagian air menggenang sampai ke paha
berwarna kelabu. Hutan itu mengem bangkan bau daun
kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam
dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang
terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda,
dan hanya dapat dihindari dengan m embuat jalan belok.
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan
perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara karena
sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri
yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun
terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus
mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya karena
telah jadi bubur. Tetapi untuk pasukan kuda tak ada suatu
rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu
matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah
nam pak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di
atas padang rumput hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk
perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak
bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan
musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat
mem pertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya
menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran
pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana
buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serom bongan
semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke
seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi
bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan
lebar.
Banteng Wareng dan Wiranggaleng berpacu terus untuk
dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada
pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban
di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah
Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling
untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran.
Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan
pertempuran dan m enghadap padanya.
“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!”
tegur Banteng Wareng, tanpa mem perhatikan bawahannya
dan terus mengawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di
seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit
Rajeg tampak sedang m engangkuti sesuatu.
“Ya, itulah meriamnya!” seru Wiranggaleng. “Maesa
Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh
pasukanm u, sergap rombongan sana itu!”
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan
pertempuran, dengan cambuk perang m enggeletar di udara,
mem ekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!”
Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah
barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa
Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan
menggantikan yang pergi.
0o-dw-o0
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang
menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk
tempat mem asang meriamnya guna menembaki Tuban.
Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka
meletakkan beban masing-m asing dan melindungkan diri
dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu.
“G anggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan
beri kesempatan!”
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu
meledek menjauh dan mendekat sambil mem aki dan
menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung
cambuk itu menyam bar dan menyobeki daging dan kulit
dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan
lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari
mengelilingi musuhnya.
“Bantuan!” pekik Esteban alias Manan dari tengahtengah lingkaran.
Tetapi suaranya tenggelam
berperang tanding.
dalam
keriuhan orang
“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung.
“Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya.
“Babat begundal Rangga Iskak!”
“Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!”
“Lingkar! Kepung! Hore! Hore!”
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran
kepungan m akin lama makin menyempit.
“Tom bak!” perintah Maesa Wulung.
“Tom bak!
mengulangi.
Tom bak!
Tom bak!”
seru
anakbuahnya
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam
selipan pinggang, dan tom bak pun mulai dimain-mainkan
di udara.
“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda.
Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam
mulai bergelimpangan.
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit
jua.
Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa
senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan
cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang
dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap
dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin
tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan
mereka.
“Pedang!” perintah M aesa Wulung.
“Pedang! Pedang!” anakbuahnya menyambut.
Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan
berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu
mulai mem babat dan menyam bar, digerakkan oleh tangantangan ahli dan terlatih.
Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah
digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan
sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian
mencoba m eloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan
Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan
tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara
menunggu serangan.
“Lari, ayoh,
musuhnya.
lari!”
Maesa
Wulung
berseru
pada
“Lari, ayoh, lari!” sorak anakbuahnya.
Mereka lari dan tidak dikejar.
Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal
bersenjatakan pedang.
“Pedang di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung.
“Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda.
“Cambuk di tangan kanan!”
“Kanan! Kanan!”
Kecuali cambuk bergeletar mem erahi kulit yang terkena
dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran
darah terputus.
“Terjang!”
‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai.
Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan
dengan cambuk yang menyam bar-nyambar bergelataran
yang mem ekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya
di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi
semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi
cambuk.
‘Tombak!”
Rodriguez
menyarani
Esteban.
Ia
menyam bar sebatang tom bak dari tangan seorang
pengawalnya yang telah rebah.
Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun mem bungkuk
mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu
telah menyam bar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah
menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan
tiada berguna.
Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan
tom bak
dari
tangan
Rodriguez,
mengelupas
pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan
pula pada m ukanya.
“Panglim a! Panglima!” Esteban m emekik.
“Keparat!” sumpah Rodriguez.
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini
berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah.
“Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung.
Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang
setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti
ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka
telah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang
pohon punggung-mem unggung, di bawah pengawalan
seorang prajurit kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap
dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan
meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal
berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai
dalam keadaan setengah mati
Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya
itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran.
Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk
menyelamatkan
meriam
mereka
dan
penembakpenembaknya. Medan pertempuran makin lama makin
meluas, karena pasukan kuda Tuban di bawah Banteng
Wareng setelah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya
kemudian berpacu ke depan dan mem bikin medan
pertempuran jadi semakin lebar. Matahari m ulai tenggelam.
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentum an
cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai.
Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun.
Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah.
0o-dw-o0
23. Idayu Jadi Sandera
Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi
melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa
menelungkup. Baru belajar miring.
Setelah melahirkannya Idayu merasa sangat berbahagia.
Bayi ini tidak seperti G elar. Wajahnya cerah seperti
ayahnya dan hidungnya seperti ibunya.
Setiap han penduduk desa ada saja yang mem erlukan
datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di
antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang
Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai
dipersembahkan kepada sang bayi.
Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopohgopoh mengurus kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan
anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan
oleh Idayu.
Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering
menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah
karena kebijaksanaannya mengirimkan Idayu dan G aleng
ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.
Kebahagiaan meliputi hati Idayu. Bayi itu adalah
segalanya.
Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya
mem beritahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban,
Idayu dan anaknya dan Nyi G ede Kati harus diboyong dari
Awis Kram bil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan R ajeg telah
bersebaran di mana-m ana; mereka bertiga harus
diselam atkan.
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya
mereka berangkat meninggalkan Awis Kram bil: Idayu
dengan menggendong si bayi, Nyi G ede Kati yang
mem bawa popok bayi dan menggandeng G elar. Barangbarang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan
pelan-pelan.
Baik Idayu maupun Nyi G ede Kati merasa was-was
terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati
Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru
melahirkan. Tapi mereka tak bertanya.
Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput,
yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi
G ede Kati m elangsungkan perjalanan ke Tuban.
“Sendirian?”
“Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu,
tapi tanpa anak yang kau tuntun itu”.
“Bagaimana dengan Nyi G ede Idayu nanti?”
“Begitulah perintah Senapati”.
“Biar aku bawa G elar”.
“Tidak, jalan kau sendiri”.
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi Idayu dan
G elar dan si bayi mem belok ke kanan dalam iringan regu
penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di
kejauhan, baru kemudian meneruskan perjalanan seorang
diri.
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi,
mem bawa bungkusan dan menggandeng G elar itu tidak
diperkenankan beristirahat.
Idayu mulai curiga.
Bayi itu pun tak boleh disusuinya.
G elar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan
antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun
di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan
penolongnya.
Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh
suam inya. G a-leng takkan mungkin memperlakukan
keluarganya seperti ini.
Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selam atkan aku
dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.
Dan makin lama G elar makin sering minta digendong.
Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan
pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.
“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan
diri bertanya.
“Ke mana? Ke suatu tem pat di mana Wiranggaleng akan
datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup
menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Setelah itu ia tak
bertanya lagi.
Menjelang tengah malam setelah melalui banyak desa,
barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya
dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan
pintu dipasak dari luar.
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya am bin
tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai
menyusui anaknya sambil memijiti kaki G elar. Ia sudah tak
dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya
sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih
tidur. Ia duduk dan mem andangi mereka. Lubang-lubang
pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan
kakinya masih juga sesak dan pegal.
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu
mem buat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga.
Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala
alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit.
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat
kilat ia am bil bayinya dan didekapkannya pada dada.
Dengan punggung melindungi G elar yang masih nyenyak
dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi
bajunya telah basah diompoli bayinya.
“Ah, ah, si Upik!” tegur Sunan Rajeg dengan senyum
menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan
gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga?
Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau
kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup
kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai
perempuan?”
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan Idayu:
“Tidak tahu,” jawabnya pendek.
“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan
Syahbandar Tuban?”
‘Tuan Syahbandar Sayid….”
“Sayid Sayid!” lelaki itu melecehkan. “Dari mana
sayidnya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat
juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku,
Idayu.”
Suaranya m embangunkan G elar. Anak itu berdiri di atas
am bin, berteriak ketakutan.
Idayu menengok ke belakang sejenak untuk
menenteramkan
anak
itu
dengan
mem berikan
punggungnya.
G elar mengerti, menempel pada punggung itu, mem eluk
leher ibunya dan m engintip Sunan Rajeg dari samping leher
ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin.
“Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan
menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut,
Idayu. Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan
Rajeg di desamu Awis Krambil? Inilah aku, Idayu”.
Idayu tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia
justru menajam kan kewaspadaan dan m engikuti gerak-gerik
tangannya..
Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak
menggubrisnya, juga tak mendiam kannya. Matanya tetap
tertuju pada tangan Sunan Rajeg.
“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali
berturut pujaan Tuban. Di sini, Idayu, kau bukan pujaan
siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wiranggaleng”.
Ia m enunggu sambutan. Idayu tetap mem bisu.
“Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu
tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah
kemerahan karena tersinggung. “Tahu kau mengapa di
sini?” ia belai-belai
kemarahannya.
jenggot
untuk
menyalurkan
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang
mulai m embanyak.
Mengetahui Idayu tak juga bicara ia m eneruskan dengan
gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan
ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini.
Suam imu Wiranggaleng, si anak desa tak tahu di untung
itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban.
Bukan karena pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan
aku Idayu, tapi asalnya! Asalnya! Karena bukan ningrat,
hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak
jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka
perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa
maunya. Mengerti kau?”
G elar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si
bayi m enggerayangkan tangan pada dada Idayu.
Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan
meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan
sim pati yang ikhlas.
“Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau.
Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu
akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan
kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke
Tuban. Sekiranya kau dulu mem ilih jadi selir, mem ang
semua tidak akan begini jadinya, Idayu”.
G elar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya.
Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan
perhatian pada anak itu.
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada G elar:
“Mengapa anak itu tak ada kesam aannya dengan G aleng?
Ah, Kau. Idayu pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati
jatuh ke dalam terkam an si H abibullah keparat itu”.
Ia diam memperhatikan G elar yang sekarang mencoba
menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan
Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua
lelaki, Idayu! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya,
matanya, ram butnya yang agak keriting. Hah! Mukanya
sama tipisnya. Kulit kehitam an. Sama sekali tak dapat
dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau
mem ang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi,
yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi
Idayu mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya
menunduk, m akin m enunduk. Kedua orang anaknya harus
selam at. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan
diterimanya dengan menunduk.
“Malu? Pura-pura malu?”
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat
kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut,
seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku
sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan m enggugat seperti
itu”.
“Karena dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama
kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban.
Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu,
kalau bukan karena dungunya, dia takkan mungkin berani
mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi penghalangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi
selatan ini”.
“Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban,”
Idayu berkata lambat-lam bat dan hati-hati untuk tidak
menakutkan G elar, dan bangga ia istri Wiranggaleng.
“Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak
ragam nya.”
“Hanya suamiku yang m enilai diriku”.
“Suam inya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak
setia patut bangga pada suaminya yang dungu”.
“Kalau yang menilai itu Wiranggaleng, Sunan,” Idayu
berkata lebih lunak lagi. “Wiranggaleng Senapati Tuban,
tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya,
terserah. Setiap orang m emang m enilai setiap orang”.
“Kau mem ang bijaksana, perempuan!” Sunan Rajeg
tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami
dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti
dalam dongeng, Idayu. Tapi biarlah, justru karena suamimu
mem uja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia
akan datang kemari. Dia musuhku”.
“Ya, Sunan.”
“Tak ada yang menyebut aku Sunan – Kanjeng Sunan.”
“Ya, Kanjeng Sunan”.
“Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa
kadipaten. Baiklah. Kau sendiri mem ang bukan musuhku.
Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di
hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati
menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata
itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga.
Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan
muhrim”.
Idayu dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu
sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi
hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap
tariannya. G uru-gurunya telah mem bikin ia jadi seorang
penari ulung, berhasil mem enangkan tiga kali kejuaraan
berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang
satu ini justru menghinanya?
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari
menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga
tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.
“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di
hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi
bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, Idayu, bukan kafir
jahiliah”.
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di
belakangnya. “Lihat, ini Idayu, istri Wiranggaleng, istri
tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat,
karena dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri
cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat
Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anakanaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia m utlak
padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan
kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anakanak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan,
kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri.
Mengerti?”
“Sahaya, Kanjeng Sunan.”
“Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan,
dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari
orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa
nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula
nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita
sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi
seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan
petunjuk”.
Kemudian kata-katanya dialihkan lagi pada Idayu:
“Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis.
Suam imu akan terpanggil kemari karena kesetiaannya
padamu. Apa keberatannya sekarang, Idayu?”
“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku
hanya ditipu untuk datang kemari”.
“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan
salah. Ini hanya m uslihat perang.”
“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku
ditanyai?”
“Diam!” bentak Sunan Rajeg. “Kau tak juga mau
mengerti siapa yang kau hadapi”.
Idayu menunduk, m engetahui tak ada gunanya bicara.
“Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” Idayu tetap
mem bisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.
Dan Idayu tak juga mem buka mulut. Suaranya
kemudian merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang
yang kutolak permohonannya untuk menghadap?
Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya
menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?”
“Sunan Rajeg.”
“Kanjeng Sunan Rajeg,” Rangga Iskak membetulkan.
“Kanjeng Sunan Rajeg.”
“Betul. Siapa lagi?”
“Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”.
“Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya
keangkuhan itu di hadapanku”.
“Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.”
“Ya, itulah keangkuhan.”
“G uru-guru mengajarkan pada kami sikap tahu harga
diri dan kehormatan diri”.
“Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak
disanjung orang, ya? Maka di hadapan Sunan Rajeg juga
minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di
hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak
untukku. G amelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya
barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam
ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan
harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua
sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh
anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan
perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian
anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap
angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan
garam ku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan
dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga
keselam atan dan keamananm u sampai suamim u datang
menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka
kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum
tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan
pengadilan yang adil”.
“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan
Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, mem ang tak
perlu lagi aku bicara”.
“Jih! Dasar kafir turunan kafir!”
Ia tinggalkan rum ah itu bersama pengiring-pengiringnya
dan pintu kembali dipasak dari luar.
Setelah mereka pergi Idayu baru sadar, di atas ambin
telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi
minum dan pasu kayu berisi air.
“Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada G elar dan
disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak
harus layani?” ia melayani G elar sam bil menyusui.
Ia m empunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan
kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada
dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru
mem erlukan perlindungannya pada saat seperti ini.
Tidak lebih dari seminggu kemudian terdengar bunyi
kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dindingdinding bambu masuk ke dalam rum ah itu.
Idayu duduk di atas am bin mendengarkan. Si bayi
berkicau di tengah-tengah ambin dengan G elar sedang
mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang m engucapkan
syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan.
“Apa yang ramai itu, Mak?” Gelar bertanya.
Idayu mulai memperhatikan keriuhan itu.
Tak lama kemudian terdengar langkah orang berlarian di
depan rumah, makin lama makin banyak.
“Siapa pada lari itu, Mak?”
Suara orang berlarian itu berhenti.
“Tak ada apa-apa, G elar. Mainlah lagi dengan adikmu”.
Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan
bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang
menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari
berbagai kelam in dan umur. Suara-suara itu kemudian
berkurang. Kemudian terdengar suara seorang nenek yang
tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lam bat: “Cepat,
Yung, jangan terlam bat.”
“Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau,” suara seorang
lelaki dewasa yang m elewatinya.
Tertarik oleh suara-suara itu Idayu m eninggalkan am bin,
mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari
lubang dilihatnya orang berduyun-duyun mem bawa harta
bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik
coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada
digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam
gandengan.
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari
rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya
ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa
mesti berlari-lari begini? G usti Adipati raja kita, tak
mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa”.
Nam paknya
ia
tak
mendapat
jawaban
atas
pertanyaannya sendiri, kemudian menggabungkan diri
dengan yang lain-lain, juga lari.
Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu.
Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan
terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang
diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti
lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, kemudian
meneruskan jalan dengan pelan-pelan.
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa
mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus.
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan
terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada
dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat
pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari
mulutnya keluar keluh dan um patan, kemudian: “Nasibm u,
Nak, nasibmu. Bapakm u tewas entah di mana. Lahirmu tak
ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini.
Terkutuk sekarang dan kemudian”.
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan
berhenti di depan pintu, lambat-lam bat duduk bersandar
pada daun pintu.
Idayu tak dapat m elihatnya lagi.
“Ada apa, Mak?” tiba-tiba G elar bertanya dari belakang.
Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini
mem perdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ?
Mengapa pintu dipasak dari luar?”
Idayu menutup mulut G elar dengan tangannya. Dan
terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk.
Tolonglah aku!”
Idayu tak menjawab, malah mem beri isyarat pada
anaknya agar tak bersuara.
“Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jam an
sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain.
Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum
seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu
mengerang.
“Ah, dipasak mati dari luar begini”. Kemudian katakatanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya Allah, ya Dewa
Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa
mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. Idayu
menarik G elar, dibawanya naik lagi ke am bin. Tak
disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang
kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan
disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri
dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai
G elar dan merangkulnya, kemudian menciumnya. “Emak
menangis, Mak,” bisik G elar, dan ia seka airm ata ibunya.
Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba
mem buka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang
lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu
pintu itu!”
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar
ibu muda itu mencoba mem buka pasak. Mungkin telah
pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi
dan G elar telah tertidur, ia turun lagi dari am bin dan
mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun
nam pak. Balik lagi ke ambin ia ciumi G elar, satu-satunya
orang selam a hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara.
Anak itu terbangun, kemudian juga adiknya.
“Ada apa, Mak?”
‘Tak ada apa-apa. G elar. Barangkali saja bapakmu akan
datang”.
“Bapak, Mak?”
“Bapakm u, ya. Barangkali mem bawa balatentara yang
sangat banyak”.
G elar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk
mengintip. Bayi itu m enangis, dan Idayu m enyusuinya lagi.
“Kembali, G elar, sini saja dengan emak”.
Terdengar suara beberapa orang lelaki. G elar lari dari
dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin
mendekati pintu.
“Siapa itu, Mak?”
“Stt,” Idayu menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa
Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang,
selam atkan anak-anak ini”.
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan
pintu itu terbuka.
Idayu tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya G elar
mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba
putih, bertombak dan berpedang.
“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami
antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”.
Idayu turun dari am bin. Bayi itu digendongnya, dan
G elar digandengnya.
“Mari, Mak, kita pergi,” dan tak
mengatakan: pergi untuk selama-lamanya.
diteruskannya
Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi
semam pai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya
berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan
rumah.
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada G elar:
“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan,
rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan
lupa lihat dulu ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat
dilihat oleh anaknya.
“Mengapa harus dilihat semua, Mak”.
“Biar kau akan selalu ingat di kemudian hari, G elar”.
“Ke sebelah sini, Mbokayu”, orang muda itu berkata
lagi.
Dengan G elar dalam gendongan dan si bayi dalam
gendongan ia mem belok. Orang-orang lelaki berpedang dan
bertom bak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam.
Suara pemuda itu mem bangkitkan kenang-kenangan
yang indah, jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah
yang pernah mem anggilnya Mbokayu dengan suara seperti
itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu?
Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat
mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat
sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka
telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya.
0o-dw-o0
24. D emak
Tahun 1518 Masehi
Sesuatu telah terjadi di Demak – Demak yang
dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang
berduyun-duyun di depan istana, kemudian bergerak ke
mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan
wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar alFattah atau Raden Patah, Khalifah pertam a-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu.
Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka
mem asuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk
dan berdiri di pelataran depan.
Dengung Allahu Akbar berkali-kali mem buntingi udara,
mem bubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid.
G erak dan suara mereka berirama dalam bertakbir
bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang
di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah
yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri
jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah
barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit
kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada.
Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita
putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari
tom bak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-m enyamping jenasah berjalan beberapa
orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar
Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga,
yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik,
tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan
sedang berada di Demak.
Menyusul kemudian para punggawa dan rakyat biasa. Di
tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah
tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning
keemasan. Di dalam nya terdapat putra mahkota Demak:
Adipati Unus Jepara.
Di samping-m enyamping tandu adalah para keluarga
Sultan, kecualiwanita, karena tak ada seorang pun wanita di
dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan
pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari
pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan
sepi.
Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung.
0o-dw-o0
Delapan minggu kemudian sekitar alun-alun menjadi
ram ai kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung.
G ong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan
kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertom bak
berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun
bersorak-sorai menyam but. Mereka mengangkat tangan dan
selendang dan kerudung.
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu
bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya,
diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus.
Di belakangnya pasukan pengawal lagi. Kemudian barisan
dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung
Bintoro.
Alun-alun semakin lama semakin ramai. Orang
berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-m ana
dipasang um bul-um bul berwarna-warni dan berwarna
ganda.
Begitu akhir barisan memadat di halam an mesjid, peluru
cetbang berledakan di udara. Kemudian tenang, dan tiada
antara lama kemudian mem bubung ucapan syukur di
udara: Alham dulillah berkali-kali. G ong dan canang
semakin riuh.
Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan
Demak.
Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana.
Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua
didudukkan di atas singgasana – ia tak mampu lagi
tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras
cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah
mem buatnya jadi cacad untuk selam anya.
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah mem anggil
kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan
sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk
menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah
pekerjaan masing-masing, dengan mem bawa cerita tentang
Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan –
kebijaksanaan baru.
Amanat itu kemudian ternyata diadakan di balairung
penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada
seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai
musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak
berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara
untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna
mem bangunkan arm ada gabungan yang perkasa.
Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang
setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan
Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu
musuh dan harus dihancurkan juga….
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan
baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah
yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap
menunggu tanpa mem berikan ulasan.
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke
seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari
Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung,
sepanjang pesisir Kalim antan, Nusa Tenggara dan Maluku.
Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera,
seruan itu mem bangkitkan harapan baru akan terjadinya
perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali
seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan
seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak
pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah
seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus
dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi
laksamana.
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa
kekuasaan pusat pada mem erlukan datang menghadap
menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang
menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan
berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul
dengan perang.
Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja!
Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain,
orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia mem ang
pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui
kekalahannya, nam un takluk ia tak pernah.
Titah yang kemudian menyusul lebih menggoncangkan:
segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa
kecuali, harus dikerahkan untuk mem bangun armada.
Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang
paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi
selatan.
Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah
mendapat firasat takkan mem erangi segala apa yang akan
dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya
akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak
ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini,
selam a Peranggi masih bercokol di sini.
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blam bangan dan
Pajajaran mem baui datangnya bahaya ini. Dengan serta
merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan
persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke
dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada
Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggungsinggung tentang kepentingan agama dan pengluasannya?
Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan
jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal
ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas Peranggi
mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang
terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil
penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya
disuburkan, selama Peranggi m asih m engancam ?”
Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu
terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi
dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya
perpecahan baru. Dan pertikaian itu mem ang tak pernah
terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah
meninggalkan Majelis Demak untuk selam a-lamanya,
mengutamakan perguruannya, dan menolak membicarakan
kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan.
Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh,
melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di
Malaka.
Pengalam an telah mengajarkan pada Portugis, belum
lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi
penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris
mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka
jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran
antara G oa dengan Maluku. Maka Demak terlalu
berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan
Blam bangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh
dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara
harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang
Blam bangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai
sumber keterangan tentang kegiatan Demak.
Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal
Portugis. Pelayaran Pribumi mulai ramai kembali,
sekalipun masih ragu-ragu mem asuki perairan Maluku dan
Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan
percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada
dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kuputarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempahrempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada
meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara
mulai hidup kembali. Arusnya mem antai pulau Jawa, dan
tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu m akin
mem besar, mem antai Sumatra sebelah barat dan m enuju ke
Teluk Bayur.
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar
ram ai, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara.
Arus yang m enuju ke Pasai mulai mengendor.
Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali,
bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti
digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah
api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai
berubah, apa pula nanti tindakannya!
Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat.
Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya
melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun.
Pasar-pasar diperbesar dan ditam bah jumlahnya. Dan para
musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya.
Tetapi Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak
Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak
dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai
kerajaan bebas.
0o-dw-o0
Hanya Tuban belum juga bangun dari kemuramannya.
Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar
enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh
dengan mudah dan murah di Tuban.
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan
negerinya m encari penghidupan di Jepara.
Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke
pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang,
masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban
sendiri.
0odwo0
25. Akhir Perang
Dengan pedang terawang di atas kepala Wiranggaleng
dan Banteng Wareng terjun ke tengah-tengah medan
pertempuran. Dan seperti pedang kembang senjata-senjata
itu m enyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas.
Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru:
“Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang!
Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda,
anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!”
“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!”
Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara
parau mem beri balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang
terus!” dan itulah suara Mahmud Barjah.
Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak
merampas kembali meriam dan mem bebaskan Esteban dan
Rodriguez.
“Buru dia!” perintah Senapati sambil mem bebaskan diri
dari para penyerangnya dan langsung m emburu Mahmud.
“Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi!” teriak
Mahm ud m enghina.
“Budak Koja, kambing Rangga Iskak!” teriak Banteng
Wareng. “Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau
pengkhianat. Inilah harimau”.
Mahm ud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu
melihat yang mendatangi juga berpedang.
Laskar kaki yang dipimpinnya untuk m engambil kembali
meriam ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia
menengok ke belakang mem beri perintah: ‘Teruskan tanpa
aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi
ini tumpas di tangan Mahmud Barjah,” ia berpacu
mendatangi pemburu-pemburunya.
“Percum a, Mahmud!” teriak Banteng Wareng. “Lebih
baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan leherm u.”
Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk
menyelamatkan Senapati dan Banteng Wareng dari
kepungan laskar kaki Rajeg. Dengan cambuk menggeletar
di udara mereka menerjang dan mem bubarkannya.
Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak
menyelamatkan meriam dan penembaknya.
“Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku!” pekik
prajurit-prajurit kuda itu.
“Dan pedang terlalu m ulia untuk lehernya.”
“Biar kami cambuki saja, Senapatiku!”
Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmud untuk
dapat bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng.
‘Tuban sudah jatuh!” pekik Panglima Rajeg
mem beranikan tentaranya. “Kalian tinggal masuk. Semua
jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang
terus!”
“Pembohong!” bentak Banteng Wareng dan diterjangnya
lapisan prajurit Rajeg dengan kudanya sampai porakporanda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki
pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan satria
yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”.
Wiranggaleng berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud,
berbalik memunggungi.
Mahm ud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati
Tuban karena tak dilayani. Ia m emekik dengan suara parau:
“Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang
Panglim a Rajeg, Mahmud Barjah”.
la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya
sendiri dan mulai mem buru. Yang diburu menyusup ke
tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya.
“Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang.
Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti
Mahm ud Barjah anak Koja? Saksikan bagaimana dia
terbalik dari kudanya kena cambuk Tuban jadi babi yang
merangkak-rangkak”.
Senapati melarikan kudanya,
mem bikin Mahmud Barjah kalap.
berputar-putar, untuk
“Hanya mereka bagian iblis. Sini, G aleng, jangan lari,
biar kupapras moncongm u. Jangan lari, G aleng!”
Mahm ud mencoba menerobos medan pertempuran
untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya
berdentingan menyam bar, menetak dan menangkis prajuritprajurit kaki Tuban. Kemudian diketahuinya ia telah
terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda
Tuban.
Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang
tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu,
mengerling, mem belalak, menyipit, menangkap segala
gerak yang hendak mem belah kepala dan badannya,
menangkisi semua serangan. Nam un masih sempat ia
mengerling Senapati dan berteriak parau: “Jangan lari,
G aleng, anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati
dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. Pedangku merasa
hina m enjamah jagatmu”.
Wiranggaleng
tetap
mencemoohkannya
dengan
menyam bar-nyambarkan pedangnya pada musuh di
sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi
yang tak mau lari! Selam at bagi yang pulang ke desa!”
“Jangan lari di balik punggung anak-buah, G aleng!”
Mahm ud mem ekik lagi tak dapat menahan marah dan
kekesalannya.
Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda
Mahm ud keluar dari kepungan dan mem buru Senapati di
tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan
menarik cambuk perang dari pinggang.
Tiga orang prajurit kuda Tuban mem burunya dengan
cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang.
Punggung dada dan tangan Mahmud telah bermandi darah
dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan
bajunya yang berbelang-belang m erah.
“Pengecut! Pengecut!” teriak Mahmud Barjah murka,
terus mem buru Senapati tanpa mengindahkan para
penyerang di belakangnya.
Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa
menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya
mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya
penunggang kuda itu terjungkal di tanah.
Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan
sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!”
Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang
mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan
menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh
tarikan cambuk musuh-musuhnya yang mem belit dan
mengiris leher.
Dengan m uka tertutup darah dan telah buta ia meraungi:
“G aleng, selesaikan aku dengan pedangm u! Jangan kau
hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”.
Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah
menyam bar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua
tangan mem egangi mata tombak yang menyembul dari
rusuk, kemudian ia tak bangun Lagi untuk selam a-lam anya
di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan
prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi.
“Mahm ud Barjah mampus!” seseorang mem ekik.
“Panglim a Rajeg tewas!” seorang lain m enjerit.
Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar
bersorak. Dan seperti mendapat perintah gaib semua
prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak,
seakan lidah tercabut dari mulut m ereka.
“Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang mem ekik.
“Ayoh pulang! Pulang sekarang!” Senapati tak bosanbosannya berseru. “Panglim a kalian telah tewas. Buang
senjata! Pulang!”
Menyaksikan sendiri betapa panglim anya tewas, tentara
Rajeg membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa
kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg
telah menjenguk di am bang pintu. Hanya sebagian kecil
mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar
telah mulai melarikan diri tanpa senjata.
Panji-panji Mahmud Barjah, panji-panji Panglima, telah
lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor
kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat
bawaannya lagi.
“Berhenti menyerang!” perintah Senapati. “Beri
kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang
ke desa masing-masing. Berkum pul kalian!”
Dan balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka
bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg
menarik dan m embubarkan diri masuk ke dalam hutan.
“Balik ke Tuban!” Senapati menjatuhkan perintah.
Dim ulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati,
kemudian juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban
mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota.
Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran
berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!”
Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan.
Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbangcetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian
yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan
um bul-um bul tentara Rajeg yang serba putih nampak di
senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar
pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan
depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka
perhitungkan.
Mahm ud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg
akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa
perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai.
Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai
delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau
pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di
tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan
kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan
udara panas m embakar. Orang pun jatuh bergelimpangan.
Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala
penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji
dan umbul-um bul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa
angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan
angin pun m ereka tinggal sesobek kain berwarna.
Tetapi Braja pun tidak tahu, inti tentara Rajeg sudah
mulai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka
menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan
merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah
pelabuhan.
Yang dirunduk ternyata tiada.
Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan
pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua
kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke
dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian
balatentara Tuban. Kini berkelahi saling m enerkam. Sebuah
pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan
hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat
lolos, lari menghindari terkam an maut untuk dapat
mencapai pemimpinnya: Braja.
“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang,
pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!”
Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia
mem erintahkan terus menembaki musuh sambil terus m aju,
sampai peluru habis.
Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke
jurusan kota membawa pasukan pengawal.
Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung
tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu
meletus di sepanjang pantai kota Tuban, dilatar belakangi
oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota,
disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh
matahari.
Malam jatuh.
Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal
am pun.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak
lama kemudian sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajahgajah yang kembali m emasuki kota.
Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula menghentikan
serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui
kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah
mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya
pertempuran bukan tentara Rajeg yang mem asuki kota
Tuban tanpa perlawanan, tetapi pasukan gajah Tuban
sendiri.
Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan
segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan
diri di bawah lindungan kegelapan m alam.
Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang
minta terlalu banyak korban itu.
Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka
seluruhnya kembali mem asuki kota dengan bersorak-sorai.
Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian
dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan.
Para nelayan yang lari dan darat dengan perahuperahunya, malam itu juga m emerlukan kembal» ke pantai.
Kota Tuban seakan-akan berpesta pora.
Orang pun bersorak mem ekikkan nam a Wiranggaleng
dan para pemimpin pasukan balatentara T uban.
Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali
melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan
bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak
kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan
tum pasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun
bertekuk lutut.
Sebuah krangkeng besi telah dipasang di derm aga
pelabuhan atas perintah Senapati.
Beberapa hari kemudian Esteban dan Rodriguez
dimasukkan ke dalam nya untuk disaksikan oleh dunia
seluruh negeri bagaimana Tuban menghinakan Portugis.
Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan
menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau
melukai.
Dari bandar-bandar tetangga dan kampung-kampung
nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang
mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi ramai dan
pasar bandar hidup kembali. Nam un perdagangan antarpulau belum juga pulih.
Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh
sendiri dan ludah penonton.
Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan
Peranggi, lama-kelam aan ketakutan orang pada mereka
meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan
dihinakan.
Belum lagi lim a belas hari dua orang Portugis itu jadi
tontonan Wiranggaleng telah mem erintahkan pada Braja,
mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu
telah menyelewengkan terjemahan surat Rangga Iskak alias
Iskak Indrajid alias Kiai Benggala alias Sunan Rajeg.
Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan.
Dalam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka
dijatuhi hukuman mati dengan jalan mem bandul mereka
dengan batu dan melemparkan ke laut.
Dan kadipaten tidak berpengawal. Wiranggaleng telah
menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak mem asuki
kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang
diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan
belum selesai selam a Rangga Iskak belum tertangkap, hidup
atau mati.
Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran
Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh
kekuasaan atas Tuban dapat berpindah ke tangan si anak
desa juara gulat bernam a G aleng. Dahulu hanya Sang
Adipati yang mempunyai duga sangka Wiranggaleng lah
yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan
G ajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan
menghendaki itu, boleh jadi ia hendak m engangkat diri jadi
Adipati sendiri, m enjadi raja, seperti Ken Arok.
Setiap orang punya duga-sangkanya, duga sangka belaka.
Mereka tak berani mempergunjingkannya.
Wiranggaleng
kesyahbandaran.
belum
juga
nam pak
pulang
ke
Nyi G ede Kati setiap hari mem bersihkan kamar gandok
kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat
mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan
berita tentang Idayu dan anak-anaknya.
Dan berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah
sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak
desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa
sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang Adipati atau
Sang Senapati? Bila yang pertam a yang berkuasa, ia masih
punya perlindungan dan Sang Senapati takkan meletakkan
tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak
ada jalan lain baginya daripada harus melarikan diri. Ke
mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri karena
tak menyediakan persiapan sebelum nya. Lari melalui laut
tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan
ketat. Pasukan laut pun telah dipanggil pulang dari G resik.
Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki mem agari
Tuban. Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk
itu.
Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada
kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga
mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selam a Sang
Adipati yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh
jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya
dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis
itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang Senapati
tak berani melakukannya.
Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak
jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya.
Ia sudah m encoba mem ikirkannya. Tak mampu. Kemudian
ia m enganggap karena m ereka itu terlibat dalam kerusuhan.
Dan ia sudah puas dengan anggapannya.
Tetapi dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu
ketenteramannya. Ia menduga mereka akan diperas
keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang
menyangkut soal meriam. Dari mana meriam itu? Boleh
jadi tak ada yang dapat m embuktikan dari mana.
Tetapi mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas
telah mem bawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada
Rangga Iskak.
Tidak, Yakub akan mem bisu sampai mati selam a ia
berada di Tuban. Keselam atannya sendiri ikut dalam
pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut
nam a Yakub, barulah kemudian nam anya akan
dikedepankan pula.
Tak bisa tidak hanya dua orang Peranggi itu yang bisa
mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang
Adipati ataukah Sang Senapati, bila nam anya tersebut
dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia
menyesali Portugis celaka yang semudah itu dapat
ditangkap – punya meriam dan punya pengalaman perang
begitu banyak!
Dan ia mengenal pengadilan Pribumi – tak banyak
mem butuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum
pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan
pada harapan belaka hendaknya Sang Adipati menjadi
senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan
semua dakwaan, tapi pikiran Pribumi tidak akan
menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam
mengurus keadilan. Ia harus mencari jalan keselam atan….
Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung
dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikirpikir, datang Nyi G ede Kati mem bawakan kabar. Justru
pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana m ungkin
dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mudah oleh
prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di
mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup!
“Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus?
Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan
Tuban”.
“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap
G usti Adipati”.
“Tuan biasa menghadap ke sana”.
“Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun
mengatakan G usti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak
boleh dim asuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”.
“Bukankah Tuan juga Punggawa?”
“Ya, tapi bukan punggawa kadipaten”.
“Bagaimana
menghadap?”
mungkin
Tuan
tak
diperkenankan
“Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau
saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat
menghadap”.
“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu
kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya?”
“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi.
“Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke
mana saja”. Ia tahu, Nyi G ede Kati menolak dan takkan
pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang
perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk
meneruskan pikirannya.”
Dengan berani ia memutuskan Esteban dan Rodriguez
harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan
pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek
dan menghina Portugis. Mereka berdua harus aku habisi
dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak
mereka akan menghabisi dua-duanya, kemudian juga aku.
Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan
menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di
pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan
kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya.
Sebilah pisau panjang sempit kehitam an muncul di depan
matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam
cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas
dan mem biarkan cairan itu m enetes balik ke dalam botol.
Ia berkomat-kam it. Suaranya tergumam tak jelas. Walau
demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya
pada keampuhan pisau tongkatnya. Kemudian ia melatih
diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak.
Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak
begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyam barnyam bar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan
senjata khusus ini.
Setelah keringat mulai mem basahi tubuh ia berhenti,
mem asang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk
tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju,
meninggalkan kamar dan keluar dari rumah.
Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di
pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan
terutam a untuk dapat berhadapan m ata dengan orang-orang
Portugis celaka itu.
Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana
penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah
mem percayakan keselam atan Esteban dan Rodriguez pada
aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng
besi.
Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah
kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol
sebentar, kemudian mem eriksa seluruh medan bandar
dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan
akhirnya ia mendapat keputusan dapat melaksanakan
rencananya.
Dari menara itu juga ia dapat melihat warung Yakub
yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke
kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selam a ini?
Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu
bahaya sedang mengancam lehernya?
Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang
mem punyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya,
mungkin aku telah menginjak tua.
Sementara Ini menara itu mem berinya kedamaian.
Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol
Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu
sebagal pokok untuk kemudian menyanjung nyanjung
Wiranggaleng. Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban
yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan
bagaimana Senapati mem ancing mancing Mahmud Barjah
untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dapat
dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat.
“Seorang penghianatt tak layak mendapatkan pedang,
apalagi keris, Clambuk mem ang sepatutnya, cocok untuk
seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya.
Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjingguk angguk
mengiakan dan ikut mem uji-muji Syahbandar-muda itu,
Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua
orang penjaga itu tak m engganggunya.
Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara,
langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut
waktu dilihatnya Nyi G ede Kati sedang bicara dengan
Wiranggaleng di jalanan antara gedung utama dongan
gandok kanan. Senapati itu menunduk tak melihat ke
kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya
sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak
melihatnya,
Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar,
kemudian pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu
tergeletak di sampingnya.
Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah
kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu
meninggalkan kesyahbandaran. Ia pun jatuh tertidur.
Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan
suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa.
Nyi G ede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada
hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia
tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya
mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, kemudian
bangkit dan duduk-duduk di kamar tam u. Ia sendiri, tanpa
bicara sesuatu pun kemudian masuk kedalam kamar dan
tak keluar lagi.
Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup
langit G uruh tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat
apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh
Syahbandar Tuban.
Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan
terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke
derm aga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana
walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik
kesegala jurusan yang mungkin. Tetapi kegelapan malam
yang mem bisikkan padanya takkan semudah itu orang
dapat menyaksikan dirinya sering menoleh,
Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun
yang menyaksikan kehadirannya, Tetapi dari perasaannya
ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang
melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedom an
perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon
asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih
tajam daripada pancainderanya. Waktu hujan turun ia
dengar empat orang lari meninggalkan derm aga.
Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan
mem pergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan
derm aga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia
tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam
hidupnya.
Semam painya di tempat yang dituju, sambil berpegangan
pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam
Portugis: “Sini kalian, Nak, Esteban, Rodriguez! Kesini
kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan Syahbandar ada di
sini”.
Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak
nyata, bercampur dengan bunyi deburan om bak dan
pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun
berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya.
“Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng
ini bersama-sama”.
“Benarkah itu Tuan Syahbandar?” seseorang bertanya
dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu
karena tiupan angin malam yang dingin.
“Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah
aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat.
Tak dapat aku m embuka kunci ini seorang diri saja”.
“Dilindungi Tuhan hendaknya Tuan ini”.
“Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia mem peringatkan
sambil mem buka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan
sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”.
“Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”.
“Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik
kembali di tengah laut nanti”.
“Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam,
pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan
getaran pada jeriji krangkeng itu mem beritakan pada T holib
Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susahpayah untuk dapat mendekati.
Syahbandar itu m ulai m erasa tangannya diraba-raba oleh
tangan Esteban atau Rodriguez yang panas karena demam.
“Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan
cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang
berdiri di hadapannya.
Suatu pekikan lemah mem beku ditelan deburan ombak
mem ukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya
yang jatuh.
Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan
berputar-putar di dalam krangkeng untuk m enghindari m aut
yang m ematuk-m atuk dari sela-sela jeriji krangkeng.
“Pembunuh! Tolong! Tolong!” pekiknya dalam M elayu.
G ugup karena jeritan dan takut kalau-kalau diketahui
orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar
mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan
senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke
dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya.
Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk
menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan
penikam an-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengahengah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga mendapatkan
daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam
krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan
diri.
Dari kejauhan terdengar guruh, menggerutu seperti
kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh
Portugis yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran
kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar.
Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak Esteban
sedang m enggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian
atas krangkeng.
“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik Syahbandar dan
menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya.
Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti
keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk
udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh
menggeletak.
Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambarmenyam bar.
Syahbandar kembali ke gedung utam a, basah kuyup tapi
dengan perasaan lega.
Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari
sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga….
0odwo0
Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh
binatang-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di
dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar
bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis
hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan
tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan
kotoran burung. Orang m enamai gua ini: G owong.
Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga
dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar
telah mengusir dan mem bunuh semua makhluk hidup di
dalam nya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung,
karena semua telah disingkirkan dan dilambari dengan
balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri telah dibagi
dalam bilik-bilik dari papan kayu.
Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran
setanggi yang terus-menerus.
Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang
semakin lama semakin lebar karena setiap hari dilewati oleh
beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan
barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan
setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin
orang. Belum lagi lim a belas hari.
Kini gua itu telah siap untuk ditinggali.
Tetapi bila orang m asuk ke dalamnya, ia takkan melihat
satu peti pun, karena semua itu tersimpan dalam rongga di
bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang
berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot.
Yang pertama-tama m eninggali gua ini adalah Idayu dan
dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan
berpedang telah mengawal mereka mem asuki hutanbelantara itu dan membawanya ke mari, kemudian
menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap
berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan
setanggi.
Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istriistri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di
antara m ereka. Dan tak ada mereka membawa anak, karena
dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan.
Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu
kamar m ereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik
Idayu.
Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih
mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan.
Dan setelah semua pengangkutan selesai baru nampak
Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang muda tinggi
semam pai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul
bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak
sebagai pikulan.
Pemuda itu juga yang mengawal Idayu anak-beranak
waktu m enuju ke G owong ini.
Waktu Sunan Rajeg mem asuki G owong, pemuda
jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil
itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia
perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu.
Dan itulah pohon pelaka.
la perhatikan tamba-tam bi atau tunjangannya, rendah,
tipis dan panjang, kemudian duduk di atas salah satu di
antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di
atas tanah.
Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari
luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai
ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang
kayu.
Seseorang datang padanya membawakan dandang dan
kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu.
Seorang lagi mem bawakan kayu bakar dan sebuah kranjang
rotan berisi daging rusa,
”Kanjeng Sunan mem erintahkan masak besar hari ini.
Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi
selam a ini”, si jangkung mengumum kan.
“Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga
puluh”.
“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak
tam u nanti”,
“Tam u siapa akan datang ke mari?” si jangkung
menukas,
“Makan besar buat kita semua yang ada di sini”,
“Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecapkecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa
minggu belakangan ini kita diperbolehkan”
Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan
mem asang beberapa dandang di atannya, serta dua belanga
dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung
mem peringatkan. Semua mem andang ke langit yang suram
tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kelapa,
biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai
menghasilkan satu kranjang. Dan setelah diperas jadi
santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan
pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”.
“Mengapa kita
bertanya.
pergi ke mari, Firman?” seorang
“Mana aku tahu?”
“Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan
tempat ini”. Tetapi Mohammad Firman enggan terlibat
dalam pem bicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua
orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung
berkumis itu mem perhatikan mereka pergi, menghilang di
dalam hutan.
Mem atuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg,
orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak
sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak
harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak
sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di
dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang
mengurangi atau menambahi bahan makanan yang telah
tersedia.
Setelah tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap
dengan gulai Api yang menyala besar itu mem aksa ia
mem buka baju, dan m uncul barisan iga pada dadanya. Dan
dada itu mengkilat kekunm gan karena warna kulitnya dan
karena api yang kemerahan.
Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu
nam pak ia tak gugup atau mem berengut. Dan memasak
mem ang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus daging,
menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan
dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan
mendua beras, mencicip dan menggulai.
Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup
dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah
Sunan Rajeg yang semakin lama semakin aneh.
la seorang bekas musafir Demak tadinya mem asuki
Tuban untuk mem bawa Kiai Benggala berpihak pada
Demak, karena Demak menilainya sebagai seorang yang
berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan
Nusantara. la pun mendapat tugas untuk mem bersihkan
pedalaman Tuban dari guru guru pembicara kafir yang
mengem bara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini
karena dilahirkan dan dibesarkan disini,
Sebelum berangkat seorang guru menyampaikan
padanya disebuah pojookan mesjid agung, bahwa agama
Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya,
keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan guruguru sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka
dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya.
Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu
sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri.
Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengem bangkan
Islam, karena m ereka sudah tidak diperlukan lagi.
Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan
tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun.
Dan ternyata ia tak mampu m engendalikan Sunan Rajeg,
yang jauh lebih berpengalaman daripadanya, lebih berilmu
dan berpengaruh, la tak berhasil mem bawanya berpihak
pada Demak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai
impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah
sekaligus.
Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua
medan
pertempuran.
Sunan
Rajeg
harus
lari
menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat
watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun
berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya,
hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak
habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang
berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan,
guru yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti
itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat
mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu
dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan
miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan
kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di
kemudian hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan
diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai.
Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya.
Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan
tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti
sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang
tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok.
Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung daripada
biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi
ram butnya yang hitam-lekam.
Melihat kegesitan Mohamm ad Firman dalam memasak
ia tertawa menyapa. Lambat-lam bat ia masukkan tasbih ke
dalam saku baju, m embelai-belai janggut dengan tangan kiri
dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu
mem asak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan?
Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli
untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu? Baik.
Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya
dan tenangkan agak lama setelah mendidih sekali lagi”.
Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari
anyam an bambu.
“Kau sendiri yang m enuangkan, Firman. Dengan serbuk
ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan
nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. G ulai
Malabari! Ada juga yang menam ainya kare, tapi lain dari
yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila
dicicip ia bisa berubah jadi racun!”
‘Jadi racun. Kanjeng Sunan? ”
“Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang
bumbu, bumbu bikinan leluhur,sudah ratusan tahun, yang
menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan
orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah
menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”.
Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk
melihat-lihat sekitar tungku, kemudian balik lagi pada
Firm an: “Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat,
semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus,
harus ditanam sampai tak nam pak mata. Iblis pun tak boleh
mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu
itu”.
Dan ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mem atuhi
semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum.
Tetapi juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik
mengebaskan tahyul dan om ong kosong sebagai musafir
pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang
semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan
antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau
pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung
semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap
tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan
manusia? Dan tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang
sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus
ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui?
Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap
bau gulai itu mem ang luarbiasa dan menarik liur untuk
bertetesan semaunya sendiri. Baunya m engawang berat dan
buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu.
Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari
kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura
tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik
dedaunan.
Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru
masak tak boleh m encicip?
Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata
mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga,
bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas
tam bi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan
gam oh, hampir lum at, jatuh di antara kedua belah kakinya.
Firm an menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak
diridhoi maka tak mengam bil sepotong lagi. Dilihatnya
beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan
terpanggil oleh harum sang gulai.
Ia pergi ke tungku dan mem adam kan api. Tanakan dan
makanan ia turunkan di atas tanah, kemudian dengan pacul
kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan
bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalam nya.
Hilang semua itu dari pandangan m ata.
Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. G ulai tetap
dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum.
Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup,
dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap.
Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar.
Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada
tam binya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia
bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya
sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu
tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak
pohon yang baru saja mati.
Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu
tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada
tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya
berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa
pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan hartabendanya. G ila!
Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini
mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan
kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang
dibusuk-busukkannya selam a ini, tidak lebih baik daripada
Sang Adipati atau pun kafir, kufur, munafik mana pun.
Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan
dan semua ummat.
Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah
digelari dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah
boleh mem asukkan hidangan. Menurut aturan yang baru
diterimanya, dalam tata-tertib G owong, yang pertam a-tama
dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri,
kemudian para pengikut, dan paling akhir sandera Idayu
dan anak-anaknya.
Berjalan melewati ruang tengah setelah kembali dari
mem bawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati Rangga
Iskak telah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang
tersetia itu mengepung hidangan.
“Firm an”, tegur Sunan Rajeg, “sekali ini kau pun
bersama-sam a kita semua menikmati rejeki dari Allah ini.
Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian
makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg”.
Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain
dari Sunan sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan
dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun
mulai m enyantap dengan lahap.
“Ayoh, habiskan. Mau m elihat bagaimana kalian makan
gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi
dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh,
semua, jangan enggan”.
Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa
mem perhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun
pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan
dengan rakus. Matanya jeli mem perhatikan Sunan Rajeg,
yang tak juga menjam ah makanannya, dan terus juga
bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas.
Harum kare itu mem ang tak tertahankan. Makanan
Firm an pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama
sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan.
Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil
terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi.
Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan mem ang sedang
akan terjadi sesuatu.
Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan
dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung
mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mulurnya
menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian jatuh
seperti karung kosong di lantai.
Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun
atau mem utar-mutarkan kepala, berdiri untuk kemudian
jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi.
Firm an menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir
mereka mula-m ula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak
gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan
kemudian melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting.
Mata m ereka nampaknya juga m enjadi buta sebelum m ati.
Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi
semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang
matanya diarahkannya pada Firm an yang m asih juga belum
menggeletak.
Tak ada jalan lain bagi si jangkung daripada mesti
mengikuti contoh teman-tem annya. Ia berdiri dengan mulut
ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring
dan mata tertutup lengan, mengintip Sunan Rajeg.
Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk.
Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah
seorang korban dan berbisik padanya: “Ya Allah, terjadilah
apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan
semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendakMu, semua ini takkan m ungkin berlaku”.
Ia berjalan meneliti wajah seorang dem i seorang. Sampai
pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, merabaraba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paruparunya yang masih juga kembang-kempis. Ia m enganggukangguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan
padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau
hanya lebih cepat. Ampunilah aku”.
Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia
meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan,
bim bang, sekali lagi menebarkan pandang pada korbankorbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia raguragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang
terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin
kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan
akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti
bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselam atan
pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah
terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya
akhirat akan lebih baik, lebih menentu, daripada dunia.”
Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti,
menoleh ke m ana-m ana dan mem ekiki: “Khaidar! Khaidar!
Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia
menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. Sembilan
belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?”
“Khaidar sudah m ati, Kanjeng Sunan!” jawab jurumasak
dengan suara bisik.
“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak
mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa
kudengar ini? Khaidar! Ayoh, sini, keluar”.
Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan Sunan Rajeg
mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang
sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka.
“Mati!” katanya setiap habis memeriksa.
Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya
mencekam ram but jurumasak dan menatap wajahnya. Si
jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan
Rajeg terbalik sangking kagetnya.
“Ya, akulah iblis!” raung Firman, kemudian tawanya
bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu.
“Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari
tanganku”, ancam nya dengan suara dada yang dalam.
Sunan Rajeg gemetar tak mampu m empertahankan tegak
badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggilmanggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan
untuk mencari tempat bersandar. Kemudian mulurnya
berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat.
Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk.
“Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, pekiknya setelah
selesai doanya. “Pergi kau ke alam mu sendiri”.
“Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doam u tidak
mem pan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau
bunuh?”
“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman!
Dengarkan Firman”, kembali Sunan mencobai memidatoi
dan nampak ia menabah-nabahkan diri.
Jurumasak mem ungut segumpak daging kare, dicium nya
sebentar, kemudian diulurkan pada pemimpinnya.
Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan,
kataku!”
“Tidak, aku tak suka kare”.
“Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi
mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi
pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju
mendekati.
“Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan”.
Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar.
“Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya.
‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak
mengeluarkan pisau dari pinggangnya.
“Jangan, jangan. Kau boleh am bil satu dari peti-petiku
dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu
peti dan pergilah dengan dam ai,” kata pemimpin Rajeg itu
setelah mengetahui, jurum asak itu tidak mati. “Khaidar!
Khaidar!”
“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!”
“Bohong. Tak pernah Sunan Rajeg mem bunuh orang.
Kau, dengan tanganmu sendiri yang mem bunuh mereka”,
katanya sambil menuding korban-korbannya yang
bergelimpangan.
“Kau pembunuh!” tuding Firman. “Ningrat Jawa takkan
lakukan kekejian semacam ini”.
“Pergi! Pergi!” pintanya gugup.
“Bawa satu peti”.
“Hanya
satu?”
Firm an
pembunuhan keji ini?”
menggertak,
“setelah
“Dua. Ya, dualah”.
“Dua peti takkan dapat kuhabiskan seum ur hidup”.
“Sam pai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar
dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delim a, mirah,
kecubung, kalim aya, batu-batuan mulia yang tak pernah
kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan
dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani
buatan Libanon dan Ashkhabad….”
“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi”.
“Siapa tidak?”
“Setelah kau m embunuhnya?”
“Bukan aku. Kau!” tuduh Sunan Rajeg.
“Ayoh, makan daging kare ini”.
“Tiga peti!”
“Lebih baik kau susul istri-istrimu…’
‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan mem bunuh
dirinya sendiri dan m embelanjakan harta tiada sepatutnya”.
“Kau tak perlu mem bunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku
yang m engerjakan. Sini! Si… ni”.
Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan
mencekik. Mereka harus mem biasakan diri untuk dapat
tinggal di situ. G elar dan adiknya nampaknya merasai
bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak
mem protes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan
menguasai bilik itu.
Mendengar ribut-ribut di luar bilik, Idayu melom pat ke
pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu.
Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas
sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik
G elar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya.
Kata-kata keras di luar itu berham buran menembusi
dinding kayu dan lubang-lubangnya.
Mereka tak dapat melihat sesuatu.
“Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati karena kau!
Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini.
Apa kau lebih m emilih pisau dapur?”
“Jangan, ambillah tiga peti itu”.
“Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain
jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau
menggagahi semua, menipu, mengacau, mem utar balikkan,
mengadu dom ba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan
keringat dan darah dan nyawa orang lain!”
“Tiga peti cukup, Firman, demi Allah”.
“Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!”
suara bentakan
“Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai
mewejang, hafal semua firman Allah… hanya iblis laknat
belaka. Rasakan ini!”
Cepat-cepat Idayu mengangkat G elar dan mereka purapura tidur nyenyak.
Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar
langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin
mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan
satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga.
Ia dekap G elar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan
mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan.
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik.
“Dewa Batara!” bisik Idayu hampir tak terdengar.
“Mak”.
Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal
cahaya rem-bang masuk ke dalam .
“Keluar!” terdengar oleh Idayu dan G elar suara yang
mem erintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur.
“Tidurkah kau, Mbokayu?”
Tersirap darah Idayu. Ia pernah dengar suara itu –
suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda
pengawal yang mem bawanya ke mari. Mengapa suaranya
selalu selunak itu?
Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di
am bang pintu dan mengulangi perintahnya dengan
suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan mem ikat.
Idayu tak dapat mem pertahankan pura-puranya lebih
lama. Ia turun dari ambin. G elar tak sudi melepaskan
rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan
menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa
jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak
dengar si bayi sudah mulai menangis pula.
“Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan
Tuban?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan
mengambil
bayinya.
G endong
melengket
pada
punggungnya.
“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke
Tuban. Kang G aleng sudah lama menunggu”.
Siapakah orang ini? Tapi ia tak berani bertanya.
“Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”.
G elar m eronta dan meraung. Dan ia tak m emaksa.
“Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan
tangan. Idayu m emandanginya dengan curiga. Matanya liar
tak m empercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya.
“Ah, M bokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”.
0odwo0
26. Pertemuan Kembali
Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua
puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng.
Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wiranggaleng sendiri yang
mem bawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur.
Mereka sedang berusaha m encari Idayu dan anak-anaknya.
Seluruh Tuban gempar mendengar berita Idayu, penari
pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada
orang bisa mem aafkan bila dia sampai terkena cedera.
Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban
terhadapnya, bila tidak karena perlindungan Sang Adipati,
telah lama dapat mem bunuh Tholib Sungkar itu secara
kejam . Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada
am pun.
Semua berdoa dan berharap agar penari itu
diselam atkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak
Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya
sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya,
belum tentu ada penari seperti itu lagi.
Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat
dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak
berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang
yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung
desa Rajeg, yang selam a ini memang belum lagi dijamah
oleh balatentara.
Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu
berkendara pelan-pelan mem perhatikan kehidupan yang
sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai
menggarap sawah dan ladang. Kedam aian yang dulu
kelihatan sedang m embiak kembali. Dan bila malam datang
gam elan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan
perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat
tertentu orang belajar mem baca Al-qufan tanpa gangguan.
Di tempat lain lagi orang mendengarkan guru pembicara
yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg.
Perguruan-perguruan Buddha semakin susut. Dan
dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat
dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh
Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabadabad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang
Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah mem eluk
Islam.
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya
beberapa orang lelaki melarikan diri melihat m ereka datang.
Dan Sang Senapati mem erintahkan pada anakbuah untuk
mem biarkan mereka lari. Dan pada desa demikian
ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk
mengaduk desa. karena Senapati Tuban adalah juga anak
desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa,
menjadi petani seperti yang lain-lain.
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu
menam bahi: “Jangan takut Kami tak mem usuhi kalian.
Mem ang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke
mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang
pun di antara kalian.
Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan
ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana
Sunan Rajeg bersembunyi.
Sam pai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui
kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada
tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan
gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan
tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih
menunggang kuda Senapati mem asuki pendopo rumah
joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, kemudian
masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan.
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rum ah masih utuh,
tetapi semua barang berharga tiada nampak.
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas
Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk
melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta
bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah
itu Idayu tak ditemukan.
Wiranggaleng mem erintahkan mem eriksa setiap rumah.
Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka
dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai,
pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi Idayu dan anakanaknya. Ia perintahkan mem eriksa daerah sekitar.
Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.
Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang
wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.
Wiranggaleng memerlukan menelitinya, dan ia
mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.
Mayat-mayat itu kemudian ditimbun dengan tanah dan
ditinggalkan.
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan
Senapati menam bahi pesannya: “Penduduk desa Rajeg
supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda
yang masih tertinggal, tetapi jangan lagi tinggal di situ.
Tinggalkan Rajeg, m enetaplah di desa lain. Jangan lagi desa
sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”.
Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan
keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan
Rajeg. Regu itu mulai dapat m enjejak tempat Rangga Iskak
yang terakhir.
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang
melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah
G owong, persembunyian bekas Syahbandar T uban itu.
Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil
tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda
dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas
pepohonan dan puncak bukit.
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia.
Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin
merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di
depan pintu gua keadaan tetap sunyi. Tetapi bau bangkai
menjadi-jadi.
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua.
Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat m ubal beterbangan ke
luar m asuk gua.
“Tak ada orang di dalam. Masuk!”
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau
busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka.
Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di
hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau
belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke
mari.
Melihat bangkai-bangkai itu Wiranggaleng melom pat
turun dari kuda. Ia periksa mayat-m ayat yang sudah rusak
itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya
mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di
antara mereka.
Juga semua prajurit ikut mem eriksa.
“Dayu!
manggil.
Idayu!”
teriak
Wiranggaleng
memanggil-
Hanya gema yang menjawabi kembali.
“Seorang mati ditikam keris, Senapatiku!” seorang
melaporkan.
Mereka memeriksa yang mati terkeris.
“Periksa seluruh gua!” pekik Senapati. “Inilah si keparat
Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini
saja akhirmu?”
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota
badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan
belatung itu.
Mati terbunuh atau bunuh diri?
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan
mengetahui: pisau dapur.
Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan
diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam
atau di luar gua terdapat sebuah dapur.
Mungkinkah Idayu yang mem bunuhnya? Dan ia
berteriak mem anggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang
menjawabi.
Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam
menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia
melaporkan. Senapati bergegas masuk mem bawa obor dari
ranting-ranting
kayu
dan
serangga
beterbangan
menubrukinya.
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi
seorang, dan ia ragu tak dapat mem astikan. Hanya hatinya
yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.
“Perbanyak obor!” perintahnya. Tapi hatinya lebih keras
meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan
begini, dan tak boleh di sini.
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari
seluruh rongga berlapis papan itu.
Dalam bilik yang lain orang m enemukan selembar popok
bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan mem eriksa
popok itu, Satu raungan keluar dari m ulurnya, seperti suara
orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!”
“Nyi G ede Idayu!” yang lain-lain mulai berlarian keluar
dan mem anggil-manggil ke sekitar.
Suara ramai dan keras itu bergema-gem a di dalam
rongga, juga di dalam rimba.
Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur.
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil
berseru-seru dari atas kudanya. Tetapi hanya gaung yang
menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran
burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran
tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada
tulang, tak ada pakaian. Kemudian didapatkan galian baru,
tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata
bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah
terbakar bekas tempat tungku.
Wiranggaleng itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada
cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan
bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidaktidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang
ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan
seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan,
seorang lelaki. Bukan Idayu yang m embunuh Rangga Iskak,
tapi seorang juru-masak lelaki.
Mereka menemukan sumber air yang m engalir jemih. Di
sana m ereka membersihkan diri.
“Bakar gua itu!” perintahnya.
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya
di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering
ditimbunkan dan kemudian dibakar.
“Kembali!” perintah Senapati.
Regu itu m eninggalkan bukit dan gua G owong. Hasilnya
dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah
mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa
menikamnya.
Api di dalam gua itu dengan cepat m embubung. Rongga
itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih
juga m enganga
Dan popok itu mem beri firasat pada Senapati, bahwa
anaknya belum m ati, juga istrinya.
G elar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firm an
dan tangannya berpegangan pada kepala. Idayu
menggendong bayi.
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam
rimba belantara itu. Idayu mem bawa tombak sebilah dan
pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang
untuknya. G elar mem bawa empat bilah tombak. Juga pada
pinggangnya tergantung pedang.
“Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak
datang menolong?” bisik Idayu dalam usahanya untuk
menyatakan terimakasihnya.
Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu
menembusi. Dengan tom bak di tangan dua orang itu selalu
waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas
untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu
mangsa. Dan mem ang ular itu juga musuh yang paling
berbahaya. Baunya yang langau mem ang segera dapat
dikenal, tetapi tanpa mata awas boleh jadi orang tak
mem perhatikan baunya lagi.
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan
tom bak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Nam un
pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan
oleh wanita pujaan itu.
“Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lam bat,
“kalau Kang G aleng ja lankan apa yang diperintahkan
padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu”.
“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis Idayu.
“Ya, Mbokayu, berliku-liku mem ang, dan tak ada orang
tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja
menuju ke arah kematian, mem asuki akhirat”.
“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat
pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara
seperti ini”.
“Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang
jantan, Mbokayu?”
“Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada,
tak bisa keluar dari rimba ini?”
“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam
lagi, sebidang bulak rumput, kemudian desa pertama”.
“Dua m alam lagi?”
“Insya Allah, dua m alam lagi”.
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasarasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan
kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan
mem perebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi
berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu
justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina
dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesakdesakan, mem perebutkan sisa sinar matari yang mungkin
jatuh tercecer dari langit.
Antara sebentar mereka mem apasi jalur-jalur bekas jalan
babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan
dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang,
runcing dan tajam, m engancam di mana-mana. Segala jenis
monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan
buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati
kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan
muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang
berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih m ana
yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada.
Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah
selam a mengem bara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara
menghindari atau melawan.
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak
tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar
tinggi mem bikin kantung jadi gangguan tambahan.
“Berapa anakmu sekarang. Pada?”
“Seorang pun belum ”.
“Kau belum lagi kawin?”
“Nantilah
Mbokayu”.
kalau
sudah
temukan
seorang
seperti
“Ah, kau “.
Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil
mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau
gedrugan kaki. Kadang mereka mem biarkan sampai lama
lintah jatuh sendiri dari tubuh setelah kenyang menghisap.
Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan
pancaindera.
“Apa menurut dugaanm u anakbuah Sunan Rajeg tak
keluyuran di sini?”
“Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang”
G elar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan
mem bungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari
atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan
tetap siaga dengan tombaknya.
“Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban”.
“Begitulah”. Pada langsung mem ulai, “Kang G aleng
mem bawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang
Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang G aleng tidak
bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku
kesempatan melompat ke laut. Aku m elompat dan berenang
ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu
belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah
bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit
dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah
mem ungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, karena
dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”.
“Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”.
“Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga karena diketahuinya
aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten
Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, karena dia
tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak
dengarkan aku, Mbokayu?”
“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir
oleh Sang Adipati… kau. Pada, tega juga kau….”
“Ah, Mbokayu… semua itu ceritera lama. Dan siapa
tidak mengimpikan seorang Idayu dalam hidupnya?
Sekalipun dia m asih kanak-kanak?”
“Huh!”
“Aku teruskan ceritaku?” mengetahui Idayu tak
menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian
masalalu. Dan melihat Idayu nampak tak acuh, ia
mem berikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”.
“Teruskan saja ceritamu”.
“Kau sajalah yang bercerita”.
“Sudah habis ceritaku, Pada”.
“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat:
Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang
ham pir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa
berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak
penduduknya dan rumah-rum ahnya lebih besar dan bagus,
walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus.
Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak.
Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan
Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di
Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang
kuberi surat itu. Bersam a dengan banyak pemuda lain di
rumahnya aku belajar agam a Islam, macam-macam lah, kau
tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama
dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para
wali, babad Demak. Kemudian kami pindah belajar di
mesjid agung Bintoro. Setelah itu kam i dikirimkan ke manamana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban,
pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku
berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku
melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg… sudah bosan,
Mbokayu?”
“Tidak. Ayoh teruskan”.
“Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”.
‘Teruskan saja. Pada”.
Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu Idayu tak
tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan.
“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”.
“Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg.
Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan
peradaban Jawa daripada m enyebarkan agam a Islam. Kata
Sunan Bonang, orang tak bisa mem bikin peradaban yang
sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan
Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai
meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya
kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak,
dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan
Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan
untuk mendekatkan dia dengan Demak”.
“Ternyata kau orang penting Demak, Pada”.
‘Tidak, hanya m usafir. Apalah artinya seorang Pada?”
“Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu
pekerjaan rahasia?”
“Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan
Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang
mem bunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang
kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin
sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak.
Sebaliknya kerakusannya mem bikin semua kelebihannya
menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan
semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi
jurumasaknya. Iblis masih mau mem beri pada seseorang
untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak
mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun
ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani
mem bayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi daripada desadesa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia
harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali
mem beri m akan enak, dia bermaksud m embunuh m ereka –
orang-orang yang justru paling setia padanya”.
“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?”
“Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah
orang berilmu, ikuti dia, selam atkan dia dan jalani petunjuk
dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak
desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak
pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”.
“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamam u yang
baru itu. Pada?”
“Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh
alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang
diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar M ohamm ad, di
bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja
Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah
Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa
harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung
dan mem besarkan nama Sultan”.
“Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”.
“Lam a kelam aan kau akan m engerti juga, Mbokayu”.
“Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti
itu”.
“Celakalah orang Islam Jawa yang tak mem atuhi
Khalifahnya, dunia dan akhirat”.
“Yang lain, Pada”.
“Sunan Rajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia
celaka juga”.
“Dan kau yang mem bunuhnya. Pada. Apakah itu juga
perintah dan Demak?”
“Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat
dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran
agam a Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, rajaraja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh
dari pesisir. G uruku bilang: orang Jawa tidak mau
kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti
Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu,
pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu
besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar kemudian akan
lebih kembali ke dalam alam jahiliah.”
“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”.
“Bukankah M bokayu juga sudah Islam?”
Dan Idayu m endengus tertawa.
“Kata orang, Mbokayu, Kang G aleng juga sudah masuk
Islam. Bukankah itu benar?”
“Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak.
Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang G aleng.
Dia hanya pintar gulat”.
“Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak.
Aku harus mem bantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu,
tidak benarkah Kang G aleng sudah masuk Islam ?”
“Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu?
Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani
biasa. Kang G aleng tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau,
maka tak perlu bagi kami masuk Islam
“Ah, M bokayu”.
“Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para
dewa ataupun dari Aliahm u, maka dia tidak ingin
mem bunuh atau dibunuh oleh siapa pun”.
“Mbokayu!” Pada m enegah.
“Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan
hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin
jadi manusia biasa….”
“Mbokayu!”
“Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak
ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga
menyebabkan Demak mem bunuh Rangga Iskak melalui
tanganmu….”
“Mbokayu!”
“… Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan
balatentara Tuban mem erangi Rangga Iskak dan Kang
G aleng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan
menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada,
kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”.
“Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti dudukperkara,” Pada menyela.
“Itulah duduk-perkaranya”.
“Siapa yang m engajarinya begitu, Mbokayu?”
“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung
kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu
banyak dari para guru pengembara di desa-desa”.
“Masih banyakkah guru-pembicara mengem barai desadesa?”
“Belakangan ini berkurang mem ang”.
“G uruku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud
dan Musa… siapa di antaranya yang paling Mbokayu
puja?”
“Rama Cluring. Suaranya lantang penuh keberanian dan
kebesaran”.
‘Tentu dia sudah mati”.
“Ya. Sebelum kam i berdua berangkat ke Tuban”.
“Siapakah kiranya yang berhasil mem bunuhnya?”
“Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan
mem bunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak
rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan
kejayaan di kemudian hari untuk sesam a orang?” Mereka
berhenti.
G elar bangun dari tidurnya. Mereka mem unguti buah
jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka
telah mem akannya sampai perut merasa agak isi kemudian
berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak
boleh makan buah sampai kenyang.
G elar berjalan kaki lagi. tetapi kelelahan kemarin yang
belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk
di atas bahu, dan di sana ia m enyanyi-nyanyi.
“Mengapa Rama Curing harus dibunuh?” mendadak
Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya
lagi. “Demakkah yang menghendaki? Dan kau yang harus
kerjakan?”
Pada tak m enengahi.
“Setelah mendengarkan ceritam u, Pada, terpaksa aku
mem bayangkan Demak, di sana tentu takkan ada gurupembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”.
“Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di
desa. Bukankah aku sendiri juga seorang guru-pembicara?
Cuma di Demak namanya musafir Demak”.
“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain
daripada di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi
sekali lagi aku terpaksa mem bayangkan, Pada,, gurupembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat
pengikut atau merebut pengikut orang lain. G uru-pembicara
kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya
menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya
apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya.
Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.
Bukankah kau jadi musafir Demak karena kebencianmu
terhadap Sang Adipati? Dan Sang Adipati hendak
mem bunuhmu karena kau merugikannya lebih dahulu?” Ia
mem erlukan menengok ke belakang m elihat pada Pada, dan
lelaki itu tak m embantah. “Kata orang, dahulu kala mereka
itu adalah guru-guru Buddha. M akanya pun didapatkannya
dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan.
Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau mem berinya
perlindungan”.
“Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu”.
“Kau tak marah padaku setelah menolong kami?”
“Apa harus dimarahkan?
“Karena ternyata kita berlainan?”
“Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu.
Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu
yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru
pembicara di desa-desa seperti itu, m aka ada seribu macam
pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh,
semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sam a sekali”.
“Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah
terbiasa mem ilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang
paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah
karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku
keliru?”
“Ah, Mbokayu, selam a kebenaran berasal dari manusia,
dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran,
yang M aha Besar”.
“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum
mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali,
karena mendengarnya pun belum . Betapa berdosanya kami
kalau harus menganggap mereka tidak
kebenaran, hanya karena tak tahu Aliahmu”.
mengenal
Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana
pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan katakatanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anakanaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada
sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya G elar tertawatawa dan m enyanyi di atas bahu Pada.
0o-dw-o0
Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Rantingranting dan dedaunan kering m ereka kumpulkan untuk alas
tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun
dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu
mem bubungkan asap tebal dan kelabu.
“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular
atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak
akan menerkam atau mengganggu. Matanya m emancarkan
gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa
pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi
seperti habis menonton tarianmu, M bokayu.”
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka
mengumpulkan sejum lah besar kepompong jati. Mereka
mem bakari binatang kecil-kecil coklat itu dan mem akannya
dengan senang.
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap
lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah
dilalui.
Sebuah padang ilalang mem bentang di hadapan mereka.
Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah
terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana
tum buh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang
merumput.
“Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling
menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semaksemak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya
mengintip di mana-mana”.
“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”.
“Ya, syukur alham dulillah. Nam paknya Mbokayu belum
juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu.
Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah
begitu?”
“Tum buhlah yang muda,” Idayu meneruskan. “Ribuan
rusa berdatangan m erumput….”
“Lupakan ladang dan sawahm u”, Pada menyambung.
“Macan menerkam nya sehari seekor. Selamatlah
perjalananm u” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Nam un
mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak
juga m eninggalkan hutan.
“Sebelum tentu si m acan berhasil menangkap seekor dan
si petani sudah lewat m elintasi”, Pada berkata pelahan pada
padang alang-alang di depannya.
“Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke
mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu
bangsa yang suka makan orang?”
“Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu
ajaran”.
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai
menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan
setapak yang hampir hilang.
“Mengherankan,” Idayu meneruskan untuk melupakan
kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa?
Sewaktu mem akannya tidakkah terbayang orangtua atau
anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali
akan dimakan juga oleh yang lain?”
“Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu
sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”.
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan
sendiri.
“Barangkali itu lebih baik”. Sambung Idayu.
“Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada m enolak.
“Mereka makan-m emakan karena lapar, kiraku. Ajaran
datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuhmem bunuh, tidak sampai makan-m emakan, dan bukan
karena lapar. Mungkin salah karena ajaran yang kau
bawa”.
Pada tak m enanggapi. Idayu tahu, ia tersinggung.
“Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah
karena ucapan seperti itu. M aafkan kalau kau tak bersenang
hati. Tak apa, Pada.”
“Kau mem ancing-m ancing, Mbokayu”, Pada menuduh.
“Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan
sesam anya. Kau lantas mem bawa soal ajaran. Jangan
hubungkan”.
“Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan
ini”.
“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”.
Sementara mereka berjalan tanpa bicara. G elar di atas
bahu nampaknya juga m erasai kegentaran mereka.
“Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut
pendapatm u? Mereka itu ingin makan daging, tapi
perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah
ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan
bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang
sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana
pendapatm u. Pada?”
Dan Pada tak menjawab.
Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke
mana-mana. G elar bersorak-sorak di atas bahu Pada
melihat sekawanan rusa yang merumput damai di
kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang.
Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia
dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari
kesibukannya.
Semua
mem anjangkan
leher
dan
menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat
tinggi. Setelah mengetahui, hanya serombongan manusia
berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anakanaknya berlom pat-lompatan lagi.
“Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke
sebuah hutan m uda, kemudian padang rumput pendek, dan
sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana,
Mbokayu? Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis
Kram bil”.
“Ke kiri. Pada, Awis Kram bil.”
“Dan Kang G aleng nanti?”
“Kalau dia masih mem erlukan anak dan bininya, tentu
dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan
dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal
lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”.
“Kasihan Kang G aleng”.
“Biarlah dia kembali saja ke desa”.
“Senapati Tuban kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan
main-m ain, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan
mem bajak?”
Mereka berjalan dan berjalan.
“Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan
manusia. Dia akan kembali ke desa.”
“Kalau tidak? Kalau dia mem ang dengan semau sendiri
jadi Senapati untuk dapat berkuasa?”
Idayu mempercepat jalannya.
“Kalau dia tidak mau pulang
mem butuhkan Mbokayu lagi?”
ke
desa? Tidak
Idayu menyusui anaknya sam bil mempercepat jalannya.
0o-dw-o0
27. D emak Bergo lak
Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala.
Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak
kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar
biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke
bandar Banten, untuk mem udahkan saudagar-saudagar
Atas Angin m endapatkan dagangan.
Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan teramai di
Jawa, mengalahkan G resik, apalagi Tuban. Dan untuk
sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak
mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat
Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya Demak yang tak
bersenang hati. Tetapi saudagar-saudagar Pribumi yang
sudah lama terjauh dari keuntungan dengan serta-m erta
berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal Islam dari
Atas Angin.
Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan
tetap baik untuk selam a-lamanya: rejeki dari laut tidak
sesendat selam a ini dan cuaca damai menghangati seluruh
Jawa.
Orang tak biasa lagi tentang perang.
Di Jepara pembangunan kembali, armada Demak sedang
giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur
akan dipindahkan ke sebelah tengah.
Tahun 1521 Masehi.
Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengubah
segala-galanya.
Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka.
Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan
Demak kedua, yang semakin keras juga sakitnya karena
serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat.
Satu-satunya penantang Portugis telah wafat. Armada
besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain.
Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipergunakan untuk
meneruskan cita-cita Unus? Tak ada orang yang bisa
menduga tentang teka-teki ini. Jururam al mulai sibuk
dengan perhitungan dan ram alannya.
Siapa Sultan Demak ke tiga? Karena Unus tiada
berketurunan?
Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutam a para
saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa,
sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke Demak.
Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatnya Unus
disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur
pun
dibagi
melimpah-limpah
untuk
merayakan
kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi
semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak
peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, karena
hanya ada seorang penantang selam a ini, dan ia sudah m ati,
dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari
selatan sudah padam.
Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya.
Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk
sementara. Kekosongan Demak untuk waktu yang
dianggap terlalu lama itu m enyebabkan orang digoda untuk
mem bikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi
berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun
kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum
juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga
raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja?
Ketegangan meram bati seluruh Demak tanpa kepastian.
Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak
menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan
kerusuhan
melahirkan
perang.
Diberanikan
oleh
kekosongan ini juru tafsir dan ram al sampai-sampai berani
menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan
di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa
kegentaran. Praja Demak hampir-hampir lumpuh.
Tafsiran dan ram alan kemudian padam: Sultan Demak
ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan.
Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, nam un itulah
kenyataannya: Trenggono, adik Unus.
0o-dw-o0
Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono
naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya
perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran,
apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa
lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada
halangan lagi selam a Unus tak ada. Segera mereka
menyerbu Pasai.
Dan Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan bandarnya
yang sedang kembali berkembang.
Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai,
mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta
hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri,
Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan
oleh Majelis Kerajaan, tetapi Sunan Kalijaga menjagoi
Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini
sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi
demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar.
Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang
balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya
di Pasai telah m eninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti
ke mana perginya. Dan Portugis lebih tidak peduli lagi.
Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk
mem basahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak
haus, anggur terbaik dari O ran dan Aljazair.
Setelah Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut
Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar
lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka
tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa
datang ke Pasai atau langsung ke Malaka.
Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh
seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi,
Atas Angin atau Tionghoa bisa m elaluinya tanpa m engakui
pernaungan m eriam-meriam nya.
Dan kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka?
Campang. Portugis akan mendatangi sumber-sum bernya.
Dan sumber utam a lada adalah: Pajajaran dengan
ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten,
Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan
lagi mengalir ke C ampa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan
dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan
Pajajaran yang sendiri sudah merasa mem butuhkan
perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan
kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama
pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai karena kelainan
agam a? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis
akan mem berinya “perlindungan”. Kuasai bandar Banten
dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak
mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan
Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaankerajaan bandar di Jawa dan Sum atra akan semakin lemah.
Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan,
gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk
kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke
tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan.
Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat ramai
itu pun akan dapat dikuasainya.
Portugis dalam
usahanya
untuk melaksanakan
rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali
“sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan
“kantor dagang” di Sunda Kelapa. Dengan adanya “kantor
dagang” Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri,
karena “kantor” akan melindunginya dari serangan
kerajaan-kerajaan lain.
Utusan dikirim kan menghadap Prabu Sedah, raja
Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak
term asuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon
perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan
agam anya.
Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah.
Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap
diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan,
bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan
demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama
baru di dalam wilayah kekuasaannya.
Pesta besar-besaran diadakan dengan
penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri.
pengerahan
Dan dengan upacara khidmat pihak Portugis dan
Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah
pihak mulai memahat lambang persetujuan dan
persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk
penggada.
Demikianlah Portugis kembali ke Malaka mem bawa
kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan
meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan….
Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh
Nusantara. Pajajaran sendiri mem punyai kepentingan
menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu
lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan
persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran
baginya.
Jatuhnya Pasai segera terdesak
persahabatan Portugis-Pajajaran.
oleh
perjanjian
Satu-satunya kerajaan yang mem buka mata lebar-lebar
terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan
Demak.
Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan
mem bicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana
saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak
menjadi pertikaian-pertikaian.
Mula-m ula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono
yang begitu sampai hati mem bunuh abangnya sendiri,
kemudian diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap
peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan
sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai gerayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak
datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati
lagi telah bermusyawarah dan mem bentuk utusan untuk
menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang
terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak
dan musafir.
Jawaban itu m engecewakan para musafir. Bila demikian,
mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para
musafir mengagungkan Demak, karena keagungannya
mem ang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar
peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau
bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikian
terjam in dan melindungi Demak sebagai negeri Islam
pertam a-tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti
ancam an langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap
tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan
Islam.
Segolongan kecil para musafir m enolak alasan itu dengan
dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan Islam
yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaannya tak
bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. Tetapi
kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan
dan
keleluasaan,
karena
adanya
perlindungan,
menyebabkan para musafir berkewajiban memperteduh
perlindungan dengan jalan mengagungkan Demak.
G olongan besar m usafir menuduh, bila dem ikian m ereka
stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir,
bukan
pembantu
muballigh
itu
sendiri,
dan
mem persekutukan agama dengan kekuasaan, dan
kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang
murni.
Pertikaian kemudian dicampuri oleh kerajaan. G olongan
besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan
melarikan diri. G olongan kecil yang taat, kehilangan
kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh
golongan besar, mereka kemudian menjadi punggawa
kerajaan belaka.
Sejak itu Demak tak punya musafir lagi.
Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di
pedalaman negeri lain atau di seberang, mem utuskan
hubungan dengan Demak dan menjadi muballigh bebas.
Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga
Sultan sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa.
Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada
henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan
Demak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk
menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu
dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan Demak
ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman.
Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada
um um nya merugikan Demak. Insinyur dan tukang-tukang
kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang
mem busuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja
yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang
dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek
kembali Demak sebagai kerajaan yang m asuk ke pedalaman
karena takut pada arm ada Portugis, lebih suka berkubang
dalam lumpur tanah tandur pedalaman daripada
menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang
selam a
ini menyum bang iuran
tahunan
untuk
pembangunan armada, menyumpah-nyumpah karena
merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir
lainnya yang menyatakan berlindung di bawah Demak
tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan
menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya.
Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini.
Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah
tandu diusung meninggalkan Demak. Beberapa puluh
orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di
belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul.
Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut
mem bangunkan yang m asih tidur.
Di atas tandu adalah G usti Ratu Aisah, biasa disebut
Ngaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah
almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono.
Dan iring-iringan yang mem bisu itu menuju ke Jepara.
Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan
ibunya tertumbuk pada jalan buntu. G usti Ratu Aisah harus
menyingkir karena tak mau tahu lagi tentang Demak.
Bahwa Jepara jadi tujuan adalah karena itulah tempat
putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa G usti Ratu
berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa,
bahwa….
Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain
artinya daripada, bahwa Trenggono tak ada niat untuk
menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun,
baik di darat atau lautan.
Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk
apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan
dibiarkan tenggelam karena tak terawat?
Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula
berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu
masih banyak disangsikan, karena seorang Sultan di Demak
takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis.
Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka
bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah
terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, kafir.
Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit.
Pasukan kuda Demak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya
menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama
didirikan, karena sebelum nya hampir-hampir tak terdapat
kuda di Demak. Sultan Al-Fattah yang mem bangunkannya
dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin
dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam
Atas Angin.
Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi.
Pajajaran m engadakan pesta agung….
21 Agustus 1522
Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di
bandar Sunda Kelapa. Di antara mereka terdapat dutanya:
Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian
Portugis-Pajajaran.
Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan
berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dieluelukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan
wakil Prabu Sedah.
Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan
beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada
keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari
para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan,
menghadap Sri Baginda.
Di Pakuan pesta kehorm atan besar menyambut mereka.
Henrique Leme mem persembahkan terimakasih atas
perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan
tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan
sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah
mulai mem buka rum ah penampungan untuk janda dan
yatim-piatu.
Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk
mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan
permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan.
Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik
dari Eropa.
Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh
Pangeran Sunda Kelapa.
Di bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah
um pak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya
didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran, pahatan
bersama antara dua belah pihak.
Henrique Leme dengan regu musik yang sangat
sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan
Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain
pihak. Mereka saling
terjemahan M elayu.
menyam paikan
pesan
dengan
Dengan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah
menjadi kenyataan.
Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan
untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran
mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendapat
serangan dari luar.
Pesan-m emesan selesai.
Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas
kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka
bertaburan di sekeliling para tamu, kemudian bertaburan
lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi
dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang
laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu
nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan
dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau
mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit
yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih,
kemudian di bawahnya pegunungan yang tiada habishabisnya.
Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu
mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera mem ainkan
musik yang m enggelora….
Itulah berita yang kembali menggoncangkan Dem ak.
Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang
pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak
jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya
berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak
berani terhadap Peranggi? Bukankah perbuatan Portugis di
Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap
Islam, dan karenanya terhadap khalifah Demak? Dan apa
pula gunanya arm ada besar yang telah makan biaya begitu
banyak?
Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu.
Dari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda:
“Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang
dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah
karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama
tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun
bakal mengancam, kita akan mem belanya, karena modal
pertam a adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat
sesuatu.”
Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan
bicara tentang tanah, bukan tentang agam a dan Peranggi
sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang
ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka
sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran
karena ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah
tua, suaranya sayup-sayup datang dari Jepara. Wanita tua
itu adalah G usti Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh
alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak
tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali
Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar.
Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang
siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa,
Unus yang mengatakan itu”.
Pertikaian itu kemudian berpusat dalam keluarga raja
sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan G usti
Ratu Aisah di lain pihak.
Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari
kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan,
menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-m ana – air
dan tanah, laut dan darat.
Setelah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak
mem balas Dalam mem bisu ia perbesar pasukan daratnya,
terutam a pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya
untuk menyelesaikan arm ada agung. Tanpa menyatakan
pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan
yang semakin menjadi lemah, ia hendak mem buktikan,
bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun Demak akan
jadi besar dan jaya.
Tetapi dari Jepara ibundanyalah yang membuka suara
lebih dulu: “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang
dapat menghalau Peranggi, musuhnya, dengan pasukan
darat orang cuma akan mem erangi saudara-saudaranya
sendiri, bukan musuhnya”.
Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun
laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya
dari Demak sedang di ambang pintu: Demak akan
meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang.
Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar Demak
wanita tua itu terus-m enerus ditunggu-tunggu kata-katanya
selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga
di Demak sendiri.
Tapi apakah yang dilakukan wanita yang
kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya?
telah
Dengan diam nya Ratu Aisah, berbondong-bondong
utusan menghadap ke Jepara mem bawa persembahan,
sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat
bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi.
Dan wanita tua itu justru mem bisu.
Di desa-desa pinggiran negeri Demak, penduduk mulai
pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang.
Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan
terhadap hak milik kafir, pemuda-pemuda desa
meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk
menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat
Demak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung
menggabungkan diri bersam a kudanya pada pasukan kuda.
Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir:
antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan
pertanyaan kemudian yang timbul: Adakah Sultan akan
mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana
ia telah melakukannya terhadap abang-kandungnya.
Pangeran Seda Lepen?
Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan
prihatin terhadap keselam atan wanita tua itu.
Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan
terhadap ibunya. Ia makin kranjingan m embangun pasukan
daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada
di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam
latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil
mem ainkan pedang menghajar boneka yang digantungkan
pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan
ini.
Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia
berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh
daripada pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!”
Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan
merubungnya, semua di atas kuda masing-m asing.
“Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan
debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke
bumi, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada
satu tapak kaki orang Peranggi pun nampak. Juga tapaktapaknya di Blam bangan dan Pajajaran akan musnah
lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.”
“Berapalah kuatnya Blam bangan dan Pajajaran? Mereka
tak punya pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya
hanya tum pukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa
tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono
dengan sumpahnya ini….”
Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada
ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti,
kebebasan mereka sedang dalam ancaman.
Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada
mem bicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada –
bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata
begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak
sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhormat itu
meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa mem bisu
tanpa mengatakan sesuatu?
Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika
mendengarnya. Tetapi pada kesempatan lain, di tengahtengah pasar bandar Jepara, ia berkata: “Tidak percuma
wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi mem ang banyak
yang m erasa percuma mempunyai ibu”.
Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih
Trenggono mem anggil perwira-perwiranya dan berkata
keras: ‘Tidak percuma seorang anak punya ayah.
Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan
ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap
musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk
kejayaan Demak. Siapa yang belum pernah dengar nama
Demak di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”.
Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia
mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak
mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan
kudam u! Sekali langkah Blam bangan pecah. Balik, dan
melangkah tiga kali. Pajajaran belah”.
Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih
mem perhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin
keras melantang. Trenggono punya kekuatan bersenjata,
Aisah hanya punya kebijaksanaan.
Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa
suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya
di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan
keprajaan? Bukan sabda seorang Sultan? Hanya ucapan
pribadi semata?
Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan katakata, tetapi dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak
didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri.
Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia.
Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia
daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan
kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit
dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun
segan melatai untuk tempat bercengkeram a pun kerajaan itu
tidak am an. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya
menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat
menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah
dikuasainya, m usuh takkan m enikam dari belakang, apalagi
dari depan. Demak bukan M alaka, bukan Pasai. Pada suatu
kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang
setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di manamana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono:
darat akan dikuasai, laut akan dirajai, karena… G usti Ratu
Aisah tidak sia-sia melahirkannya….”
Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para
pengiring dalam suatu perburuan harim au di pedalaman
Demak.
Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan kawula
bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing,
mengeluarkan dari rumpun bam bu.
Seekor harimau betina yang sedang mem bawa anaknya
mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang
bertom bak bambu runcing.
Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok:
“Saksikan bagaimana macan Peranggi akan terguling di
bawah tombak Trenggono, Sultan Demak”.
Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan
jantung perburuan. Tetapi binatang itu tak meneruskan
jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang
harimau menjondil, mengaum dalam kegeraman. Tak
peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia
melom pat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek
dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah
bermandi darah dan kepungan rantas.
Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk
menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya telah tewas
tertembusi tom bak: la angkat anaknya dengan gigitan pada
tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke
dalam hutan bambu dengan tom bak-tom bak pada badannya
sendiri dan anaknya yang telah mati.
“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono
Demak. Serahkan binatang itu pada kami.”
Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan
kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke
ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai
perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan
nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah
jalan, takkan m enyelesaikan garapan.
Setelah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan
karena Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan
sudah mem bisu untuk selama-lamanya, orang menganggap
pertikaian sudah selesai.
Ternyata tidak demikian.
Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar
telah menyebabkan Trenggono bicara lagi.
Sembah pembesar itu: “Sudahkah G usti Kanjeng Sultan
pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya
oleh seorang anak desa bernam a Wiranggaleng?”
Sejenak Trenggono termangu-m angu untuk menjawab.
Ia tarik-tarik dagunya, kemudian menjawab lantang:
“Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh
G ajah Mada di jaman jahiliah dulu? Ingat-ingat kesalahan
Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk
kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja
dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai
modal, dan ia hanya mem ungut bunga dari modal yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban m engutuknya. Ilmu
dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah
padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang
menyam barnya, hanya seekor oret mem atahkan batangnya.
Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang
dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada
jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, karena Sultan
Trenggono tidak akan pernah demikian”.
Ratu Aisah tetap mem bisu.
Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. Setelah
wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke
Mantingan dari Jepara.
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan
Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang,
bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukangtukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana
mem bikin batu dan mem bangun rum ah dari batu. Maka
mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh
Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang
dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu
berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat
Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus
untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka
mem batalkan niat itu.
Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup
dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undakundakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap
term asuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar
dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergam bar biru
sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi
dengan relief-relief persegi bergam bar margasatwa dan
penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun
Mantingan tak lain daripada Babah Liem Mo Han.
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah
dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai
itu, terjadi suatu percakapan yang kembali mem bangunkan
pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.
“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan
terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum
Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan
menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang
Peranggi? Babah mengenal sendiri putraku almarhum.
Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia
gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi
pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah
kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi
bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum,
dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu,
Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku
sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan
berakibat panen yang sebaliknya”.
Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan
dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri
pikiran G usti Ratu. Lagi pula ia m enganggap wanita tua itu
sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki
tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak.
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu
dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka.
Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan
Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap
mem ang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan
Portugis mem utuskan untuk memadam kan pengaruh Ratu
Aisah.
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki.
0o-dw-o0
Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku
kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti
biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang
tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di
bawahnya duduk seorang perempuan Melayu.
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata
dalam Melayu: “Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri
seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh,
datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat
Peranggi yang sehina ini isinya? Tidak, perempuan M elayu,
tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali.
Sam paikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di
Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami
dengan G usti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh
Jawa. G usti Kanjeng Sultan tak mem butuhkan meriam
Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri
akan datang menggambar Malaka”.
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan
Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun
tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah
sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara.
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan
melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan
antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa
bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan
itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati
untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka
akan bergabung tanpa ragu-ragu. Tetapi Trenggono
mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan
yang takkan menyatu akibatnya.
O0dwoO
Walaupun utusannya pada R atu Aisah tak m embuahkan
sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu
berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada
pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya;
wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan
menolak tawaran meriam.
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya,
pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap
Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya:
Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.
Maka
diputuskanlah:
belum
masanya
untuk
melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di
Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari
Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat.
Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan.
Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan
berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar
mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga
wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah,
menyelamatkan nam anya dari kecam an um um. Tetapi ia
pun menjadi murka karena perempuan itu berani begitu
lancang bicara atas namanya.
Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui
tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus
mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari
seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri
adalah seorang anak.
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak,
akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar
mengambil manfaat dan setiap hal yang m enguntungkan.
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam
iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke
Jepara untuk bersujud pada G usti Ratu Aisah. Orang harus
mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada
pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan
perdamaian.
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan
kemewahan. Mereka semua bersenjata tom bak tunggal
dengan um bai-umbai berwarna-warni pada persambungan
antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup
baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap
pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni
bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan
perunggu. Um bul-um bul kecil berkibar-kibar di tengahtengah, di depan Sultan.
Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan
pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan
mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.
Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling
kota – suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah
sebelum nya dalam sejarah Jepara.
Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk
mendapat G usti Ratu Aisah.
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan
kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu
seakan sedang m engepungnya.
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai
duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di
hadapannya – lebih tinggi, karena dialah Sultan.
Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan
selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias
kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning
dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai m as
dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening –
juga bernam a kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan
mengenakan terompah kulit.
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan
menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat
mendatang dan jauh di kemudian hari – pertemuan antara
ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan
pendapat.
Ratu Aisah mem utar-mutarkan tangkai bunga kuning
dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas
pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan
senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan
suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda
Baginda Sultan adalah laksana siram an air sejuk di hati
bunda dalam terik berapa tahun. Alham dulillah Baginda
Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum
Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si
tua-renta ini hanya anak seorang guru agam a di pesisir.”
“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih
agar tak terulang lagi yang telah ibunda R atu ucapkan pada
kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada
almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya?”
“Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang
ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan
tangannya masih terus juga mem utar-mutar tangkai bunga
itu.
“Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda
Ratu.”
“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang
lebih mem esrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih
dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai karena apa
yang telah dipersembahkannya pada ibunya.”
“Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu,
untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu,” kata
Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di
luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono
dan Demak”.
“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda
almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan
Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”.
“Baru di tangan Trenggono m endapatkan bentuknya”.
“Syukurlah. Allah telah mengabulkan”.
“Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah
mem persembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki
Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa
ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda
Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padam u. Insya Allah.
Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam
tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.”
“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah
lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda
Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di
atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda
dilahirkan di pesisir G resik maka tahu tentang pasir.”
Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: “Tak
sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan
mem perolehnya.”
“Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah
utara sana.”
“Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.”
“Mungkinkah Putranda Baginda Sultan? Mungkinkah
tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah
kehidupan tak ada di dalamnya?”
“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono
mem otong gusar.
“… karena nadi darah kehidupan mengalir adalah selat
Semenanjung di utara sana?”
“Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah
kehidupan ada di selat, karena Demaklah jantung
kehidupan”.
“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan
dapatkah jari-jari menggenggam m engepal tanpa darah?”
“Karena tanah dapat digenggam, dan air tidak”.
“Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya,
darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak
tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada
darat?”
Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan
tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya.
“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”.
“Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan
mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia
takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah.
Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan
itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu
ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?”
“Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya
dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini
mem ang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya
Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau
Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu
jua sahaya pohon.”
“Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya
telah raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan
akan segera pergi karena marah, “tak ada indahnya sebuah
kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang
jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, karena tiada
mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat
merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak
tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi
meninju. Dia hanya akan gerayangan.”
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah
beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga
belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo.
Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga.
“Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada
rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya,
dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaikbaiknya, pula.”
Trenggono
berpaling ke belakang pada para
pembesarnya. Seorang pun tak mem bantunya bicara. Dan
Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.
“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan
mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari
tenggelam, agar surya tetap mem ancar di atas kepala, di
atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum … Peranggi
tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu
merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah
digenggamnya.”
“Dan pada waktu itu Kakandam u Unus almarhum
pulang mem bawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat
sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan
kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara.
Sekarang Peranggi lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa
bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari
depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani,
tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan
Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak
berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri
bukan m usuhnya”.
“Ibunda Ratu….”
“Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa
berpendapat menguasai Jawa lebih penting daripada
menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu,
karena sudah tahu sebelum nya, pendapatnya itu telah
menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi
sudah sejak dalam kandungan ibunya.”
“Peranggi akan dihadapi di darat.”
“Ham pir setiap bocah mengatakan begitu”.
“Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono
menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di
mana kesanggupan kalian”.
“Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan
untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli
Kanjeng G usti Sultan”, seseorang mem persembahkan.
“Begitu Unus wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa
mem pedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda
Demak. “Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah
mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blam bangan. Apa
bakal terjadi lusa?”
“Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono,
Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan:
Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selam a dia masih
hidup”.
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati
Trenggono m enyerahkan tangannya untuk dicium.
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan
mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak
bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan
dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu
berkaca-kaca.
Trenggono tak berani menentang mata itu dan
menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada
lagi jarak antara ibu dan anak.
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang
hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah:
“Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun.
Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak
lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah
racun, bisa mem bunuh setiap raja. Barang siapa tak
waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan
racun itu selam anya bersumber pada pikiran sendiri.”
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari
mukanya M ukanya m asih tetap menunduk.
“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli
dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan
tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam ? Mata yang
jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang
jernih.”
‘Tak taulah aku kapan Allah akan m emanggil diri. R asarasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang,
Trenggono, anakku, hapuskan darah abangm u yang kau
kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa am pun-Nya takkan ada
sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan
suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan
pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas
Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada
raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum
menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan
kecewakan setiap dan semua orang.”
Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi,
orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca.
Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya.
0odwo0
28. Tuban dalam Suasana Baru
Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan
kedamaian – kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban
mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin
pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya
yang lengkap: G usti Patih Tuban Kala Cuwil Sang
Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin
pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam
sebutan.
Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti
sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin,
pulih kembali.
Sang Adipati telah m enjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban
mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di
Malaka ataupun Pasai.
Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi
menutup kemerosotan besar.
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang
Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap
segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau
berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten.
Bercengkeram a di tam an kesayangan di tentang kandang
gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni
dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.
Dan di kadipaten sendiri Idayu tak pernah muncul lagi
dari tariannya.
Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang
Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan
dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat
dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah
tidak bisa tegak lagi.
Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah
tum pas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang
merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang
mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya
yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak
layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernam a
Wiranggaleng. Juga penyesalannya telah mem bohongi
Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya
dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas
Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga m erusuhi
pikirannya: ia tak dapat mengam bil sesuatu tindakan
sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wiranggaleng.
Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu
jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan
nam a Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah
adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan
Rama Cluring mendiang. Dan cemburunya masih juga
dapat dirasainya karena anak itu ternyata dihorm ati,
dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah
pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal
mendengarkan dan mem atuhinya. Anak desa yang lancang
itu….
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun
dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu
tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak
desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati
Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam
ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari
penghadapan pertam a setelah padamnya kerusuhan Rangga
Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa
penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam
bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali
ke Tuban Kota oleh Wiranggaleng. Namun pendopo itu
tetap tiada berpenghadap.
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah.
Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya
yang semula. G apura kadipaten telah berdiri kembali dan
rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari.
Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan
kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar
dan kepala-kepala pasukan, juga Wiranggaleng, datang
bersim puh m enghadap.
Seorang punggawa telah datang menghadap padanya,
mem persembahkan datangnya para penghadap.
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu
bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga.
Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai
kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas
anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar
rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa
menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan
dirinya sebagai adipati.
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan
kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah
berubah jadi kakek dengan ram but seluruhnya telah putih
dan jalan tak tegak lagi.
Seseorang harus mem bantunya naik ke atas singgasana
gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi
itu.
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut
melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun
kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya
redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan
tergantung.
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai
patihnya, karena dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai
seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja.
pada siapa saja, pada semua.
“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami
di pedalaman?”
Dan semua penghadap melihat pada Wiranggaleng, Sang
Patih Senapati Tuban.
Dengan hati berat Wiranggaleng, Patih Senapati tanpa
pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah
sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, kemudian
meneruskan dengan sangat hati-hati: “Sunan Rajeg telah
kedapatan tewas dalam gua G owong beserta pengikutpengikutnya terakhir. G usti Adipati Tuban sembahan
patik.”
“Siapa mempersembahkan itu?”
“Patik, G usti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si
Wiranggaleng”.
“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama
yang m empersembahkan?”
“Telah ham ba bunuh Patih Tuban karena keraguraguannya.”
“Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban?”
“Ampun. G usti Adipati Tuban sesembahan patik,” Kala
Cuwil menengahi. “Adapun Sang Patih Senapati Tuban
Wiranggaleng telah tumpas kerusuhan besar itu, G usti.
Ampunilah dia karena tiada tahunya tentang adat praja
maka telah menyebutkan nam a kotor si perusuh itu di
hadapan duli G usti Adipati. Ampun, G usti, mem ang besar
keragu-raguanlah yang telah menewaskan G usti Patih
almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk
kemenangan Tuban. M aka itu sudah sepatutnya Sang Patih
Senapati Tuban Wiranggaleng dikukuhkan oleh G usti
Adipati akan jabatannya itu”.
“Ampun. G usti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak
lain dari Senapati Wiranggaleng yang merajang-rajang
balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai
berkeping-keping, G usti, tak berdaya dan binasa, musnah”.
Banteng Wareng m enambahkan.
“Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana
pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si
pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar nam un
tegap.
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi
tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah
kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan
penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar
keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang
masih juga duduk menekur tak tahu apa harus
diperbuatnya.
“Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat
terhormat itu?”
Wiranggaleng menyembah, kemudian beringsut-ingsut
duduk dengan para kepala pasukan.
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang
Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di
samping rangkum.
“Siapakah orangnya yang m endapatkan dia pada barisan
kepala pasukan?” Sang Adipati menetak lagi dengan suara
lambat, perlahan gem etar namun tegap dan dingin.
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik”, kata
Kala Cuwill “adapun Wiranggaleng telah menempati
tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”.
“Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan
semacam itu?”
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan
beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar
praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu
lama dan tak bakal habis.
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan
semua m ata terarah kepadanya.
“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya G usti
Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin
berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun
nasihat”.
“Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban”.
Dan Wiranggaleng mengangkat sembah lagi, beringsut
ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di
pelataran.
“Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, karena
kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan
perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban
dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat
kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan
kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban”.
Kala Cuwil beringsut maju sam bil menyembah.
“Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di
alun-alun sebagai hukum an bagi si pembangkang.
Beruntunglah dia karena keluarganya tiada ikut tertumpas.
Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?”
Sang Adipati menunggu sokongan dari semua
penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh
penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak
ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan.
Kemudian ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi
dan minta pendapatnya.
“Ampun, G usti, tak ada pelancang di antara kawula
Sang Adipati sembah Kala Cuwil.
”Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukum an
yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana
pembangkang harus jalani hukum annya?”
“Ampun, G usti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang
Patih Tuban almarhum ”, Kala Cuwil bersembah dengan
gugup,
“telah
menjalani
hukum annya
sebagai
pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih
Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan
dan menjatuhkan hukum an yang dititahkan terhadap
senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri
hukum annya dengan sukarela”.
“Apa hukuman yang patut untuknya?”
Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: “Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu.
Senapatiku, Wiranggaleng, apakah hukuman yang patut
untukmu?”
Dari tempatnya di pelataran pendopo Wiranggaleng
menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut.
Hanya, bila Wiranggaleng ini akan dihukum juga”,
serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih
almarhum dengan sebaik-baiknya dulu”.
“Usir dia dari Tuban!” bisik Sang Adipati gemetar.
“Direjam sampai mati, G usti Adipati yang bijaksana”,
Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, “seorang pelancang
adalah juga pengkhianat”.
Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil
Sang Wirabumi, dan mem erintahkan padanya untuk
menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheranheran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya
dan ikut masuk ke dalam kadipaten.
Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada
penghadap dan mem erintahkan mereka bubar. Mereka
mem bubarkan diri dan mengerum uni Wiranggaleng. Semua
menawarkan tenaga untuk mem bantu merawat sisa-sisa
jenasah Sang Patih Tuban.
Ia m enolak.
“Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih
mengetahui betapa aku menghorm atinya sampai ke dasar
hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya
terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku
akan kembali”.
“Kami akan antarkan”.
“Apakah yang dapat kami sum bangkan?”
“Senapatiku! Senapatiku!”
“Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik
dengan abah-abahnya yang baik pula”.
0o-dw-o0
Setelah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah
dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan
semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala
Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang mem egangi kendali
kuda.
“Sepeninggalku, Kala Cuwil”, ia berpesan pada
sahabatnya “awaslah pada Demak. G uruku, R ama Cluring,
sudah lebih dahulu memperingatkan”.
“Panglim aku!” Kala Cuwil tak mampu m eneruskan.
Wiranggaleng m elompat ke atas kudanya.
“Senapatiku, mari kami antar”.
“Jangan”.
“Senapatiku tak mem bawa sesuatu pun, pedang tidak,
tom bakpun tidak.”
Orang mengulurkan
menerimanya.
cambuk
perang.
Ia
tak
“Anak desa pulang ke desa. Dia tak mem erlukan
senjata”.
Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: “Tak
mungkin Tuban tanpa Senapatiku”.
Wiranggaleng mencam buk kudanya dan hilang di balik
debu jalanan di kejauhan.
0o-dw-o0
Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang
Adipati. Betapa ingin ia m enumpas sama sekali orang itu –
seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang
ningrat keturunan m aha M ajapahit. Dia berani mengangkat
diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua
aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukum an
terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala
pasukan berontak terhadap dirinya.
Beban lain yang mem berati hati Sang Adipati adalah
hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak.
Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi
menghadap. Beritanya pun tiada pernah sam pai lagi. Dan ia
sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban setelah
dirinya? Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar
Adipati? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakankemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi
yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat dipikul
berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan
salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua
bukan berdarah ningrat. Apalagi Wiranggaleng, si lancang.
Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat
menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela.
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem.
Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib
Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu
satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah,
yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia
minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas
Angin.
Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita.
G erak tangannya yang mempesonakan dan turun naik
bongkoknya mem beri hidup pada ceritanya. Pada bagianbagian tegang ia melambai-lam baikan tangan dan bertepuktepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi
hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian
asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan,
dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia m elolong
meratapi.
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu
lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya,
Zanggi dan bukan Zanggi.
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya,
Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan
tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan
Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya,
dengan kudanya pula mem asuki rumah-rumah dan istana.
Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istanaistana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam
hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis
Zanggi perbegu yang m enari seperti kesetanan, dan tentang
peram al-peramal Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan
Muawiyah di Iberia.
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada
Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita
tentang dirinya sendiri.
Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban
dari Sang Adipati, karena pendengar-tunggalnya telah
berkeruh dalam tidurnya.
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya
Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan
menanyakan apa yang dideritanya.
“Ah, Tuan Sayid”, jawabnya, “sekiranya diri masih
muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….”
“G usti Adipati masih muda, belum tua”.
“Mem bawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan
Sayid. Betapa indahnya hidup muda….”
Dan dengan demikian Syahbandar
penghadap tetap dalam kadipaten.
Tuban
jadi
Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan
kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata
dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap mem batasi
wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi setelah Kala
Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih.
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang
Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia
tak
pernah
melalaikan
ramuan-ramuan
yang
dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar AzZubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan setelah
cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng
tentang khayal yang tum buh sendiri dalam kepalanya. Dan
waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah
mengalirlah segala kebohongannya.
Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar.
Sang Adipati yang mem butuhkan ceritanya atau dirinya
sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis
celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke
Tuban, dan barulah ia m erasa aman.
Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan
atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau
tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar
saja dihadirinya sebagai syarat, kemudian Sang Patih Tuban
Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala
urusan.
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari
menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan
menyam butnya dengan senang hati dan perasaan
terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang
datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara.
Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah
diterimanya di tam an kesayangan di tentang kandang gajah
pribadi.
“G usti Adipati Tuban yang mulia”, ia bersembah.
“Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering G usti.
Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan
salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan
karunia Allah dari G usti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh
G usti Kanjeng sultan Trenggono”.
Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua
orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga
Kala Cuwil pergi setelah mengangkat sembah.
Aji Usup mem persembahkan beribu terimakasih dan
syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan
untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun.
“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di
dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat
mendengarkan Tuan dengan terang”
Aji Usup mendekat sambil mem bawa tempolong ludah,
mem persembahkan dan Sang Adipati mem buang ludah
sirih ke dalamnya kemudian berbaring lagi.
“Dalam keadaan G usti gering begini, patik merasa tidak
patut menyam paikan sesuatu yang penting, G usti”.
“G ering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan
Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”.
“Ampun, G usti Adipati, sebagai duta, patik ingin
mendapat am anat dari G usti, adalah kiranya G usti Adipati
Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada
suatu persekutuan mem bentuk arm ada gabungan untuk
menggempur M alaka, menghalau Peranggi?”
Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di
pembaringan dan Aji Usup mem bantunya.
“Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”.
Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati
kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan,
mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang
mem buram itu mem ancar sinar hidup.
Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan
bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat
berkenan m elihat pada kebaikan duta itu.
Lam a Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan
pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus praja.
Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun
dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan
Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati
Unus dan sekaligus untuk mem balaskan dendamnya
dengan kebohongan melanggar janji. Kemudian ia
menyesal untuk selam a-lam anya. Sesal kemudian mem ang
tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan
persekutuan mem bentuk armada gabungan lagi. Ia
menawarkan jalan untuk dapat mem bebaskan dari sesalan
di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan
kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai
matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan.
Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya
bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan
gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan.
Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan
cepat ia dapat tem ukan cara mem berangkatkan gugusan itu
sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya
ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan
datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya
sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak
akan m enom er-satukan lagi. Ia m ulai m enom or-duakannya.
Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa
persahabatan.
“Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat”,
katanya lunak, “telah lama kami pikirkan kemungkinan
itu”.
Dan
Aji
terimakasihnya.
Usup
segera
‘Tuban, Tuan Duta, sudah
menggunakan kesempatan itu”.
mem persembahkan
lama
bersedia untuk
“Ya, G usti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan
gugusan Tuban insya Allah akan menjam in kemenangan,
G usti, semoga Allah s.w.t. merah-mati G usti dengan
kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”.
“Hanya kam i tak mampu menyediakan kapal”.
Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang
Adipati dapat m enangkap perubahan pada airmukanya.
“Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang
terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal
kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar
keterlam batan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan
kami?”
“Besarlah sudah kemurahan G usti Adipati Tuban.
Berapakah kiranya besarnya pasukan yang G usti relakan
untuk armada gabtungan itu, G usti?”
“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat
seperti dahulu. Hanya kami mem ang merasa malu
menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua,
jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara”. Dan Aji
Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus
mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang
dengan persenjataan dan perbekalan. Ia term angu-mangu.
“Kapal perang Tuban cukup baik, G usti Adipati,
sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah
mem bawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas
Tum asik”,
“Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu
dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi
bikin. Keadaan laut tidak begitu mem beranikan kami
mem bikin yang baru. Janganlah berkecil hati karena prajurit
laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit”.
“Besarlah kemurahan G usti Adipati. Tuban akan
melim pahi G usti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan
putus-putusnya. Ampun G usti, apabila G usti berkenan
bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima
gugusan Tuban?”
“Tentu, dengan panglim anya sekali, panglim a tanpa
tandingan tuan Duta – Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban”.
Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk
menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keraguraguannya. Wiranggaleng jadi lebih berharga daripada lima
buah kapal perang Tuban. “Dia pun kepala pasukan laut
Tuban, Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar
kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang
mengenangkan mendapat Liem Mo Han – Wiranggaleng,
itulah pimpinan perang tanpa tandingan
untuk
melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan
lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan,
bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri
dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak
tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban.
0odwo0
29. Lahirnya Persekutuan Rahasia
Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban
sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara
maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian:
Mem ang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono
sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan m encium kaki
tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud
waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya.
Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga
diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya
merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan
cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh
semua pembesar pasukan kuda.
Sam pai di pelataran Sultan masih mem erlukan
menghadap pada rum ah itu dan sekali lagi mengangkat
sembah dalam tegak berdiri. Kemudian ia menaiki
kudanya.
Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan
kepulan debu tanah Jepara di belakangnya.
Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan
oleh ibu dan anak yang nam paknya begitu mesra itu.
Perdamaian, orang m enduga. Kalau perdamaian itu tak lain
artinya daripada terjadi kompromi antara dua pandangan
dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang
pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, arm ada Demak
akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang
tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari
Blam bangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang
menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan
menyerang M alaka sekaligus m enguasai Jawa.
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan
bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya
sebanyak itu.
Tetapi di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam
keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi
atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap
dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan
melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan
dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa,
kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa
orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau
perkawinan – sudah pada mem bikin persekutuan militer
untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan
adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban
sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa
pertam a dari Trenggana.
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan
kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara
terkena boikot dari Jawa sendiri.
Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar
Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya
diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan
Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa,
bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti
bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja
Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan
bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi
bagian selatan ini sudah dapat diram alkan.
Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan
seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai
G oa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau
saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara
Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke
tangan Pribumi.
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan
mem batasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi
mem asuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya
pada garis Pasai-M alaka, mem bentuk bentengan laut yang
tak bakal kena terjang.
Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara
Sultan dan Ratu m enjadi padam.
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang
dengan pedang bermata dua? Mengapa Sultan tiba-tiba
nam pak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan
kaki? Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi
dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali
seakan arm ada itu sudah akan terangkatkan dalam
setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu
berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya
juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu
yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha
kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara.
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu
apakah amanat Sultan Demak.
Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru
pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk
bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan
Peranggi.
Tetapi para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi
seruan itu. Mereka pada um umnya menganggap seruan itu
sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di
kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada
gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat
mengurangi
penggunaan
kekuatannya
sendiri,
mem perbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan
akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari
punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka
tidak
menggubrisnya,
bahkan
memperuncing
kewaspadaannya.
Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia
sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu
datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah mem bikin
persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak
mem beludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak
pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan
kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan
wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak,
yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu,
bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban,
yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk
mem pertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin
dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang
sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan
gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban.
Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian.
Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan
bandar pun mulai sedikit hidup.
Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya
sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil.
Wiranggaleng merasa telah diusirnya tanpa ampun ke
desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan
berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala
pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat
apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman
sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tam bah tanpa
sesuatu kekuasaan dan pengaruh. Tetapi ia teringat pada
G ajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan
dalam hatinya: siapa dapat meramalkan apa akan
diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang
justru karena dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan
pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu
apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa
anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para
kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak
berani menyingkirkan dari m uka bumi.
Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya
minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur
Malaka, Blam bangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan
anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini
akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.
Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan
Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah
laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih
untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu
menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah
Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia
akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak
mem ukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan
jawabannya: Wiranggaleng akan diangkatnya secara resmi
sebagai Senapati Tuban.
Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas
melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara
kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan,
bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda,
reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan
balasan dari G usti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya
Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa
maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke
tangannya.
Di Jepara Ratu Aisah m eneruskan kesibukannya dengan
masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka.
Ia
akan mem bukanya nanti sebagai peringatan
berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka,
mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan.
Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum
dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri
menunggunya.
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis
seperti kain dengan gam bar biru yang nampak bukan
berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita
tentangnya, bagaimana mem buatnya, apa bahan-bahannya,
dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.
Juga sekali ini: “Sahaya sudah banyak menjelajah negeri
orang lain G usti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada
bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar
semacam ini, yang mem bikin cniipp ini lebih indah dan
berharga. Tembikar-tembikar ini, G usti, dibikin menurut
kesukaan G usti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang.
Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang
Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong G usti Ratu,
sama seperti kami menyokong G usti Kanjeng Sultan AlFattah dan G usti Kanjeng Unus almarhum ”.
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata
tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nam a itu
begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suam inya
almarhum dan putranya almarhum.
“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata
persembahan sahaya G usti Ratu. Semua ada terentang
dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang.
Tulisan tidak berubah, G usti, biarpun kata lisan bisa
berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong
penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan
ini”.
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu
satu per satu untuk ke sekian kali. Kemudian mereka
berhenti pada sebuah relief yang menggam barkan seorang
wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han
mem persembahkan keterangan.
“Ini, G usti Ratu, yang baru dipasang adalah gam bar
seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertam a-tama
taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. G usti,
wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga
tam pil sebagai panglim a perang”.
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi
bicara tentang gam bar penari itu.
“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,”
terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur
sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi
ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya
kami pria, ada praja di tangan….”
“Dengan kewibawaan G usti Ratu, tanpa G usti sendiri”.
Liem Mo Han menggarami, “Kanjeng G usti Unus
almarhum sudah melaksanakan”.
“Kau betul Babah”.
“Kanjeng G usti Itu sudah mem persiapkan armada besar
dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat
dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan
kewibawaan G usti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar,
dan mem bawa tugas yang megah dan agung?
Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng
G usti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi
arm ada nelayan, G usti? Sampai punya pikiran begitu
macam?”
“Ampun. G usti, jangan menjadi kegusaran G usti, karena
sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”.
“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke
Malaka, Babah”.
Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua
pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan
itu tersebar ke seluruh negeri, mem bangkitkan kegusaran
pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak.
Tidak lebih dari lima belas hari kemudian seorang yang
tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah,
mem persembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah.
Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh karena
pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah G usti
Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan
menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu
dalam pertemuan terakhir.
Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui.
Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu mem bunuh
abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia
bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka
penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang
sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari
pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya
Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam tam an
pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam
bahaya. Memang!
Ia m emutuskan untuk membuat kungkungan balasan.
Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir.
Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau
inang di sampingnya.
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami
semua menyokong G usti Ratu. Bagaimana bisa lain
daripada itu G usti?, peranggi adalah juga musuh kami
bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami
se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami
ditenggelamkan
dengan
atau
tanpa
pembajakan
sebelum nya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka
mem buka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari
situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan
Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua
bangtjji celaka, G usti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi
bersama-sam a”.
“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus
almarhum”. Tetapi bukan itu yang diharapkan oleh Ratu
Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus
hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan
pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan
mengatakan.
“Dalam usaha penghalauan Peranggi, G usti, tak ada
orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang
bernam a Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai
Benggala di Tuban dalam hanya beberapa m inggu. Dia pun
telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang
dia sedang diusir dari praja Tuban”.
Dan beralihlah pem bicaraan pada Wiranggaleng.
“Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak
desa? Jangankan m emimpin pertempuran laut, berlayar pun
tak pernah”.
Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar,
G usti. Orang yang bernam a Wiranggaleng pernah ikut
gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara,
G usti.”
“Di bawah Raden Kusnan?”
“Tidak keliru, G usti. Kalau sahaya tak salah, orang itu
pernah memikul tandu almarhum G usti Kanjeng Unus
waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang
mem impin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya
anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. Setelah jadi
Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia
di usir dari praja”.
“Apa kesalahannya, Babah?”
“Kesalahannya adalah karena dia hanya anak desa”.
“Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai
anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di
laut?”
“Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban
mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut m enyaksikan.
G usti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan
bernam a Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban
dengan meriam ….”
“Peristiwa itukah yang kau maksudkan?”
“Ya, G usti, peristiwa yang menggemparkan semua
bandar di Jawa itu. G usti. Tuban m embalas dengan enteng.
Bukan karena Tuban dapat menenggelamkan kapal
Peranggi itu yang sahaya nilai, tetapi kepandaian
Wiranggaleng dalam mengatur dan menggunakan
balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di
laut, di darat, di mana pun”.
“Jadi dia m ungkin berani hadapi Peranggi di laut?”
“Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut,
G usti? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana
almarhum G usti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka,
dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang
sarang Peranggi.” Suara Liem Mo Han kehilangan
kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau
G usti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk
mem bujuk G usti Adipati Tuban untuk ikut bergabung,
sahaya sanggup, G usti”.
“Jangan, Babah. Itu bukan urusanm u. Berikan saja
padaku Wiranggaleng”.
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana
diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus mem ecahkan sendiri
bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah
tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditam bah
dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila
menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan
niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang
berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan
sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha
mem bujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke
Malaka.
0o-dw-o0
Waktu tandunya m emasuki perbatasan kota Demak, satu
regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu
rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan
sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda,
mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selam a ini,
menyam but kedatangannya. Dan barisan-barisan itu
kemudian bergerak mengiringkannya.
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah
mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan
kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam
balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyam butnya
dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di
atas singgasana permaisuri.
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia
mem bisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke
Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia
dari singgasana permaisuri.
Penghadapan bubar dengan kekecewaan.
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan
wanita tua itu langsung menuju ke tam an dalam . Juru
tam an telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan
sebagai seorang anak.
“Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak
kecil kau kepala batu. Kepala batu mem ang tidak apa-apa
kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi.
Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi.
Ibum u sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas
kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi
kehendakmu. Tetapi yang kudengar belakangan ini kau
tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri
telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan
secara menyolok, berlebih-lebihan”.
“Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi
tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi
menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan,
sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang
pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.”
“Jadi kau akan segera membuat perang?”
Trenggono tidak m enjawab.
“Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera
menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa
pesanku: M alaka.”
Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa
penghormatan pasukan kuda. Ia mem bawa janji Sultan,
bahwa ia akan mengirimkan arm ada ke Malaka dalam
jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus.
Ia pun mem bawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan,
anak Trenggono’.
Tetapi yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan:
kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu
kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudarasaudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa.
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda
tercinta Unus daripada sekutu-sekutu perang. Trenggono
nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak
menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk
menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha,
Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di
luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau
semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perem puan. Ia
akan m endidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus.
Demikian ia m emasuki Jepara mem bawa kekecewaan di
satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang
ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah
berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Nam un ia tetap
tidak putus asa, justru makin m eluap.
Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan
rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus
yang setia.
Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia
mem punyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan
agam a. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke
Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah
menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang
persoalan m anca praja.
Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan
Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak
arm ada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang
dengan raja-raja di Jawa.
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati
dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara.
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan
usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak
lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk
menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya
untuk menguasai Jawa.
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah
menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan
akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya
rencana Trenggono yang hendak mem erangi saudarasaudaranya sendiri.
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak
kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara
dan Lao Sam.
Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup
meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang
berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut
Jepara. Ia telah berhasil mem bikin pasukan laut itu
mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan
mereka, mereka akan bikin Jepara mem isahkan diri dari
Demak, dan mem bikin Demak jadi segumpal tanah
lempung tandus tidak berarti.
Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan.
Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka,
mereka pun akan mulai m emisahkan diri dari Demak.
Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup
agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang
yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Karena itu
pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono
mulai menyerang tetangga-tetangganya, tetapi pada waktu
ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah
kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke
Malaka takkan menemui rintangan..
Setelah persekutuan rahasia mendapat kata sepakat
dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan
menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sum atra dan
Sulawesi Selatan.
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada
um um nya para bupati merdeka dan raja-raja, yang
dihubunginya, menolak. Mereka tak m enyukai kepongahan
Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala
batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan
yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah
dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa?
Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak?
Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan
nam a Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima
kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada
waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan
menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak,
Jam bi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut
serta.
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh
Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji
Usup akan m enghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban.
Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan
Wiranggaleng
sebagai
pimpinan
pasukan-pasukan
gabungan dari Jawa.
Mereka tinggal menunggu
tetangganya dan kewalahan.
Trenggono
menyerbui
0o-dw-o0
Trenggono kemudian mengetahui juga sikap pasukan
laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia
menjadi ragu-ragu. Tetapi pasukan kuda terus menerus
mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai
tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang duaduanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut
dan tanpa arm ada, Peranggi sudah lama akan mem balaskan
dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara
dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu
kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat
perangnya tidak disalurkan.
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan
perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetanggatetangganya,
yang
sebelum nya
diawali
dengan
pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah
untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari
kerusuhan
para
penjahat.
Tetapi
pertempuran
sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi
untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukanpasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan
lama.
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk
surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia m embantu
Sultan, baik dalam penyiaran agam a Islam maupun dalam
usaha perang.
Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu
berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai
melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai
cucu Bhre Param esywara, pendiri Malaka. Dan ia belum
lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat.
Dengan sebuah kapal Arab yang kembali m elalui sebelah
barat Sum atra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah
datang.
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi,
berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan
berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang m atanya
dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan
ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban
putih tanpa perhiasan.
Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada
pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus,
Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitankesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya
sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan
ibunda Ratu Aisah.
Trenggono mem ang bukan Fathillah. Trenggono
menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa.
Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa
dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak
dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia
melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua
impiannya.
“Nam paknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan,” ia
mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan
pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap
utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun
akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan
patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan
pada patik biarlah semua itu patik urus”.
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada
suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan
diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah
meninggalkan Demak masuk ke Jepara.
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi
kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah,
dan menyam paikan dalam Melayu, bahwa Demak telah
siap mengirimkan seluruh arm ada ke Malaka.
“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?”
“Setiap waktu, G usti Ratu”.
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan
perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat
menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap
tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat
dikendalikan.
Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan
dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang
mengerti. Hanya semua orang m elihat, bahwa kedua orang
itu nampaknya sama-sama puas.
Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan
reda.
Tak lebih dari sebulan setelah kunjungan Fathillah,
Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah
dikawinkan dengan adiknya perempuan.
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa
hari ia di samar kemudian pulang lagi ke Jepara. Demak
dirasainya terlalu panas.
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah
janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusankeputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus
menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak
percaya pada Demak dengan Panglim a barunya, yang
dengan begitu gampang bisa m endapatkan kepercayaan dari
Sultan.
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing
pendatang baru itu pandai melayani dan mem benarkan
semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat
melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu m elihat pada
suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar
ditempatkan di luar kota Jepara.
“Fathillah telah mengetahui rencana kita”, Aji Usup
berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan
laut Jepara bertindak.”
Dan ia berpendapat pula, hanya karena adanya Ratu
Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak
mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo
Han berpendapat demikian pula. H anya mereka berdua tak
sampai hati menyatakan satu kepada yang lain.
Dalam
pertemuan
terakhir
dipusatkan
untuk
mendapatkan
keterangan,
kapan
Demak
akan
menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh
Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah
harus mendapatkan Wiranggaleng untuk jadi pimpinan dan
lansung m enuju ke Malaka.
Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban
menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus
kembali ke Lao Sam demi keselam atannya.
Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan
Liem Mo Han
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan
pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima
Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu
Bhre Paramesywara: Fathillah.
0odwo0
30. Petani W iranggaleng
Sudah beberapa lama Wiranggaleng hidup di desa
perbatasan Awis Kram bil, menjadi petani seperti penduduk
selebihnya. Ia telah dapat m elaksanakan impian-m udanya –
impiannya bersama Idayu. Mereka telah mendirikan
pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu
berdiri tinggi di atas tiang.
Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua
pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan
pemukulnya jadi pelupuh, membuka hum a, menggali
saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah
mem bantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak punya
kesabaran ataupun kesenangan.
Pada telah mem buka pengajian di desa itu pula.
Persahabatannya dengan Wiranggaleng menyebabkan ia
mendapat kepercayaan dari penduduk desa. Dengan
bermodalkan kata-kata “Wiranggalenglah yang menolong
jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata Idayu “Mohamm ad
Firm an alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak
Wiranggaleng” ia muncul sebagai orang terpandang di desa
Awis Kram bil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan:
seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik
seyogyanya dibalas kebaikannya selam a hidupnya oleh
semua orang baik-baik sedesa.
Dan Wiranggaleng sendiri tak punya perhatian terhadap
kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan
pada anak-anak desa untuk belajar padanya. Idayu juga
tidak pernah m enganjurkan.
Tetapi
pengalaman
Pada
yang
banyak,
pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan
banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah
menarik anak-anak kepadanya. G ubuknya selalu berisi
dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu didapatkannya sebagai
pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di
belakangnya. Tetapi ia tak pernah tertarik untuk menggarap
tanah m aka ia pun tidak pernah jadi petani.
Setelah banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya
ia mulai mendongeng, kemudian memperkenalkan nabinabi yang pernah dipelajarinya di Demak. Tetapi segera
seluruh desa tergoncang waktt ia mulai m emasukkan aturan
yang mem isahkan anak-anak lelaki dari perempuan. Orang
tua-tua mem erlukan datang untuk bertanya: apa salahnya
anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan
hanya karena mereka perempuan? Dan ia menjawab, ia
seorang bujangan maka tak baik punya murid perempuan.
Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak
punya prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia
mengawini salah seorang gadis Awis Kram bil. Ia tak pernah
menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih.
Kemudian desa dibikin terheran-heran mengapa
pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan
bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan
tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia
menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar
sendiri dari guru-guru lama dan dari orang-tuanya.
Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada.
Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa
dipergunakan untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai
berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi
kegagalan.
Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tidak menyokongnya,
Bahkan G elar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia
mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua
dengan Kiai Benggala telah cukup tidak m enyenangkan dan
akan kenang-kenangan buruk sepanjang m asa; Maka juga ia
tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan
dirinya sendiri.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah
kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan
tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang
tinggal sedikit telah meram batkan tembang; itu ke seluruh
desa Awis Kram bil, dan merasa berbahagia dengn
suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan
di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam
sepi waktu bulan tiada terbit di rum ah-rumah yang tersebar
luas dalam kegelapan.
Nam un muridnya tidak juga bertambah.
Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tak pernah datang
menengok gubuknya.
Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai
mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan
minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan
menanyakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring
lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh
diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak
makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tuatua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan
ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan
atau ia harus keluar dari desa Awis Kram bil. Ia
mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak,
sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa.
Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan
kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mula-mula
mem bikin peraturan.
Hanya persahabatan dengan Wiranggaleng dan Idayu
mem bikin ia tidak terusir.
Suasana mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal
barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali
waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan,
cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang
tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi.
Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta
yang tak pernah ditinggalkan. Setelah dipurut cacing itu
direndam dalam air enau selam a sehari, kemudian setiap
orang mem akannya.
Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia m enjadi orang
yang tidak populer di Awis Kram bil. Ia harus lebih bersabar
lagi. Dalam kesulitan yang am at sangat itu ia datang pada
sahabatnya untuk minta perlindungan.
Waktu itu Wiranggaleng sedang di hutan untuk
menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul
sahabatnya masuk ke dalam hutan.
0o-dw-o0
Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan
Wiranggaleng tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang,
hum a atau hutan, Idayu dapat melihat sinar aneh pada
mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot
itu.
Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia
diam bil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua
persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat
menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu,
melewati hutan muda dan kemudian menyeberangi padang
rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan
sampai ke jalan negeri.
Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di
pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang
aneh itu pula. “Jadi Mbokayu tak mem belok ke kanan? ke
Tuban?”
“Tidak, Pada”.
“Ke kiri? Awis Kram bil?”
Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya
menunduk.
“Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.
“Biar aku antarkan sampai Awis Kram bil”, jawabnya
kemudian. “Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa
terganggu.”
“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang
mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg,
kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba
putih”.
Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan
pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan.
Ia menunggu di gaan. Mem ang agak lama. Kemudian ia
datang lagi mem bawa sir pisang susu matang dan
pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumuri
getah pisang.
“Begini baik, bukan, Mbokayu?”
“Cukup baik”.
Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan Awis
Kram bil.
Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang
mengawasinya, kemudian dengan gugup menyembunyikan
pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar
matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung
kasmaran.
“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”.
“Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun
bertengger di sanalah rum ahku.”
Suara lelaki itu terdengar gembira tercam pur tawa, dan
Idayu tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya
terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin
orang muda ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan
lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk mem ulai
percakapan.
Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara G elar
yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa
Pada berjalan di belakangnya.
Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja.
Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap
ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintikrintik. Pintu-pintu rum ah desa telah tutup untuk menolak
angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan
ternak atau dapur.
Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan
gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk.
Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di
samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang
terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan
sanggurdi kuda itu masih terpasang.
“Ya, Mbokayu, mem ang kuda Tuban”. Pada
mem peringatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui,
kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau raguragu, Mbokayu”.
Ia m emang ragu-ragu untuk m asuk.
Dan orang muda itu mendekatinya dengan G elar masih
juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak
senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan
melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan,
meninggalkan Pada di belakangnya.
Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah.
Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa
menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk
mendapatkan perlindungan.
Tali abah-abah tempat pengikat tom bak-tombak lempar
tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa
tom bak-tom bak-nya ke dalam rumah.
Mereka tak langsung mem asuki pintu, tapi berjalan dari
samping rum ah. Sebentar mereka berhenti untuk
mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun
dari dalam.
Juga pintu samping itu tak terkunci, Idayu masuk.
Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di
manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa
penunggang kuda itu? Dan di mana dia?
Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di
dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka – gulai bebek. Ia
buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak,
dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga
di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia
daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di
mana orang-orang rum ah? Dan mengapa anjing-anjing pun
tiada?
Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang
jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawatawa ram ai – dan suara itu dibawa oleh angin sore yang
dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. Binatangbinatang itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan
sambil memamah-biak.
“Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,”
katanya pada diri sendiri.
Ia suruh Pada dan G elar beristirahat di ambin ruang
depan, di mana dulu Rama Cluring ia rawat. Pada dengan
G elar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan.
Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan
untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran
mata itu.
Si bayi ia tidurkan di atas am bin dapur dan ia
meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar
ram ai-ramai di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka
pintu depan dan keluar. G elar dan Pada terbangun.
“Anak desa Awis Kram bil jadi Senapati Tuban!” bocahbocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. T erus
menerus menang!”
“Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian
jadi orang besar juga kelak. Kagum i!”
Di hadapan Idayu satu rombongan besar orang sedang
melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan
perempuan. Rombongan itu mengiringkan seorang
bertubuh dempal perkasa. Dan Idayu tidak keliru. Itulah
suam inya: Wiranggaleng. Ia lari menyam butnya. Tanpa
bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedansedan.
“Dayu, aku tahu kau selam at”.
Suam inya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya
dan disekakannya pada wajah istrinya, kemudian
mem apahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat
juara gulat ini.
“Dengarkan, penduduk Awis Kram bil G aleng Senapati
Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu
dengan isterinya. Dan khusus pada Idayu, “Mana
Anakku?”
Mereka mem asuki rumah disambut oleh Pada yang
berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia m elihat lelaki muda
itu seperti terpesona oleh kehadiran Wiranggaleng.
Matanya tidak lagi mem ancarkan sinar aneh.
Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang
nyenyak diatas am bin depan dan menyerahkannya
bapaknya dengan hangat “Inilah anakm u, belum
bernam a”, dan ia seret G elar dan diberikannya
G aleng, “dan ini G elar anakku”.
tidur
pada
lagi
pada
Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi
itu menciumnya. Pada wajahnya mem ancar kebahagiaan,
kepuasan,
syukur
dan
terima
kasih,
kemudian
menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat
G elar dan berseru: “Kau, G elar, kau sudah bisa menyanyi?”
“Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang”
Air muka Wiranggaleng berubah. Tanpa mengindahkan
jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencaricari orang diantara orang sebanyak itu. Airm ukanya
menjadi keras.
“Pada, di mana kau?” seru Idayu, dan ia sendiri m enjadi
kuatir melihat perubahan airmuka suaminya.
“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri
menghadap pada Senapati. “Inilah aku, Kang, adikmu
sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki
Wiranggaleng.
“Dia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang
menolong jiwaku dan anak-anak Wiranggaleng”.
Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyisenyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia
sebanyak itu. Dan semua m ata tertuju pada Senapati Tuban
dan orang yang bersujud di hadapannya.
Tiba-tiba G elar merangkul leher Pada,
“Mengapa tak bangun-bangun, Pam an?”
“Ya, bangun, kau, Pada”.
bertanya:
Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis
bangun dari sakit demam sebulan.
“Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini
bagaimana ia selamatkan kam i, Kang.”
"Aku datang untuk m enyusul kau, Idayu”.
‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke
Tuban”.
‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, Idayu.
Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.”
“Kang!” seru Idayu tak percaya.
“Kita akan mem buka huma, Idayu, mendirikan gubuk di
pinggir hutan, di tepian desa”.
“Kang!”
Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan
mem perhatikan semua kejadian itu.
0o-dw-o0
Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan
oleh Trenggono telah memperkukuh niatnya untuk tidak
kembali ke Demak. Apalagi setelah ia tahu Sultan baru itu
tidak mem perhatikan dan tidak mem butuhkan jasa para
musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi
menyam paikan laporan.
Tetapi alasan terutama adalah Idayu. Wanita itu
mem bikin ia tak mampu meninggalkan Awis Kram bil.
Bahkan hanya nam anya pun telah menyebabkan ia merasa
tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara
hatinya – menetap di Awis Kram bil.
Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah m ulai
mem anggilnya Kiai. Dan ia tidak mem bantah.
Dalam percakapan dengan Wiranggaleng dan Idayu
dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang
tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun
tidak m enginginkan harta-benda orang lain.
Ia tahu beberapa ucapan Idayu padanya dalam
perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak
pernah mem bangkit-bangkitnya kembali. Tapi ia pun tahu
betapa perem puan itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan
mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar
tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari
desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya karena
besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang
pada mereka.
Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti
itu, mem buang segala impian tentang kebesaran dan
kehorm atan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan
Demak, bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak
hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi
bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia
belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan
hidup begini.
Ia pun m engakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya
yang telah mengubah jurusan yang semula hendak
ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya.
Orang itu adalah Idayu. Apa pun yangKtHptitejf buatnya
seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan
pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh
Idayu. la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus
hati. Idayu! istri sahabatnya! ia yang lebih tua daripadanya!
ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah
mengem balikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila
kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya
dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya
sendiri ia m encintai Idayu.
0o-dw-o0
Kemudian datanglah berita itu: balatentara Demak telah
mem bludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan
barat.
Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada
persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke
gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari
pekerjaan lama telah mengem balikannya jadi Mohamm ad
Firm an yang lam a.
Ia dapatkan Wiranggaleng sedang menguliti rusa betina
yang
terperangkap
dalam
ranjaunya.
Tangannya
berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas
gelaran daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam
kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup
tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata
terlalu besar itu di atas telapak tangan.
Pada berjongkok di hadapannya.
“Suka kau?” tanyanya padanya.
Pada bergidik.
Dan G aleng mem akannya m entah-mentah sampai habis.
Darah berlumuran pada m ulutnya.
“Seperti Trenggono m akan pulau Jawa,” kata Pada.
Wiranggaleng tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia
meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging
binatang celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun
pisang.
“Kang G aleng, tak kau dengarkan aku?”
“Seperti Trenggono makan pulau
Mengapa, Pada apa maksudmu?”
Jawa,
katamu.
“Mengapa? Masa kau seorang senapati tak punya
perhatian?
“Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu
diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah
pernah meram alkan hati-hatilah kalian terhadap Demak”.
“Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang?”
Wiranggaleng
meneruskan
mem perhatikannya.
pekerjaan
tanpa
“Kau diam saja. Kang?”
“Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macammacam pertanyaanmu”.
“Tidak benar.
mem ikirkannya”.
Dengan
diam-diam
kau
telah
“Lantas apa kau harapkan daripadaku? Pertahankan
Tuban? Serang Demak? Atau pertahankan tanah ini? Huma
dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada
gubuknya.
“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi
Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik
dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan
aku. Kau orang Demak.”
“Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di
Tuban, seperti kau juga.”
Wiranggaleng berhenti bekerja dan menancapkan pisau
sayatnya pada daging paha binatang itu.
“Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang Tuban dan
pengabdianm u pada Demak. Bukan persoalanku.”
“Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau Tuban
diterjang Demak?”
“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada
cerita-ceritam u sendiri tentang Peranggi dan Ispanya?
Tentang meriam mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih
Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk
dapat m enghancurkan Kiai Benggala? Tak mungkin kau tak
punya perhatian dan pemikiran.”
”Trenggono bukan Kiai Benggala!”
“Bukan.”
‘Trenggono sama dengan Kiai Benggala.”
“Mem ang sama.”
“Lantas apa lagi?”
“Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya
akan melemahkan Jawa dan mem udahkan masuknya
Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang
Trenggono mem buka medan, dan kau enak-enak bertani
dan menjebaki rusa dan celeng”.
“Sudah ada orang lain yang mengurus, Pada.”
‘Tak ada yang sebaik kau.”
Wiranggaleng
pekerjaannya.
mencabut
pisau
dan
meneruskan
Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada
batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.”
“Mulai kapan kau dapat jabatan untuk mengurus soal
perang?”
“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.”
“Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”
G elar datang mem bawa kranjang. Tubuhnya bongsor.
Ham pir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat.
“Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya
didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.”
“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan
makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.”
“Berangkat ke m ana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau
Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai
utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang
siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.”
“Jadi kau memang sudah m emikirkannya, Kang.”
“Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya
untuk memikirkannya lagi.”
“Kau putus asa, Kang.”
“Aku tak mengharapkan sesuatu. Dulu aku m asih punya
harapan dulu, sewaktu G usti Unus belum wafat. Dan hanya
seorang saja, duanya. Setelah wafatnya semua nakhoda,
pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai
rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.”
“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah
urungkan datangnya si pelahap.”
Wiranggaleng berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia
cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu
asahan,
kemudian
berjongkok
dan
meneruskan
pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata Rama
Cluring dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis
Kram bil: Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah
runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tum buh di mana-mana.
Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja Demak.
Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak
mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian.
Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau Demak
mulai m enyerang kalian, mem buru-buru dewa-dewa kalian,
menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur
kalian pun tak am an lagi tinggal di alam kahyangan kalian
sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak
sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku
telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi
menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar katakatam u, Rama.
Sekarang ramalan itu memperlihatkan tanda-tanda akan
menjadi kenyataan.
Baru ia m enjawab, pelahan, dengan gaya Ram a Cluring:
“Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada.
Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan
terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si
rakus itu mati tua, kalau dia selam at dari sekian banyak
medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si
rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan,
mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya,
Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan
murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat
mem persatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya
Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga
puluh atau dua puluh tahun orang dapat mempersatukan
Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan
dapat menguasai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.”
Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, karena ia
bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan
dengan otot-ototnya.
“Kau bicara tentang syarat, Kang.”
“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di Demak kau
tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata Rama
Cluring, yang kau mendapat perintah untuk mem bunuhnya
itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan
Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh
jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara
dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah G ajah Mada.’
Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.”
“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya,
bagaimana kalau Trenggono menyerang Tuban?”
“Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa.
Buka daerah baru. G elar!” pekik G aleng, “tiada kau jamu
pam anmu ini?”
G elar yang mem asuki umurnya yang ke lima belas itu
datang berlarian.
“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang mem bantu
masak,” ia tertawa pada Pada kemudian lari menghilang.
Wiranggaleng pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan
kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang.
“Pada!” tiba-tiba G aleng menengok padanya. “Mengapa
kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku
lihat sudah terlalu lam a kau mencintai istriku.”
“Kang!” Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti
yang disuarakannya di atas kapal dagang dulu.
“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.”
“Kang,” Pada menyebut lemah.
“Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan Islam.
Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak
mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan
Awis Kram bil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar
yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan
salahku, Pada, kalau di seluruh Tuban hanya ada seorang
Idayu. Juga bukan salahku m engapa aku tak juga mati.”
“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.”
“Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem
Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desasdesus.”
Setelah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambatlambat tanpa menoleh.
Idayu,
Wiranggaleng,
G elar
dan
Kumbang
mengantarkan sampai batas sawah. Kemudian suami-istri
itu m engikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik
semak-semak petai cina. G elar lari pulang,dan balik lagi
mem bawa kuda, melompat ke atasnya.
“Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya
pada Wiranggaleng, dan tanpa menunggu jawaban ia
mem acu kudanya.
Tinggallah suam i-istri itu dan anaknya yang bungsu.
“Mari naik,” Idayu mengajak.
“Dia mencintai kau, Idayu,” bisik suaminya.
“Kasihan. Begitu muda,” jawab Idayu dan mem buang
muka.
“Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?”
Idayu naik ke atas tangga rum ah, tak sudi meneruskan
percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepatcepat dari belakang.
“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya.
“Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada
hukum annya. Mungkin ke Lao Sam”.
“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.”
“Kumbang! Ayoh naik!” seru Idayu. “Jangan jauh-jauh
pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu
menghindari jebakan.”
“Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu
Idayu,” suaminya meneruskan.
“Apa kau bicarakan ini?” Idayu m emprotes.
Tapi Wiranggaleng menariknya dan dibawanya ia ke
beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan,
kepala kuda dan G elar dan Pada masih kelihatan di atas
tajuk semak-semak petai cina.
“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh
dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata Idayu pada
Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu
nangka kuning, tetapi selebihnya terbuat daripada bambu.
Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula
pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah,
sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di
lantai beranda begini G ateng merasa seperti di atas
panggung gajah.
Dan kini para penunggang kuda mulai timbul dan
tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga
mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama
sekali.
“Kau tahu apa yang dibawa Pada?”
“Mana aku tahu?”
‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.”
Idayu melengos kemudian masuk ke dalam bilik,
Wiranggaleng menarik Kumbang dan memangkunya.
Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-
balik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau
siapa Idayu?”
“Em ak, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Penari tanpa tandingan, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Mak! Mak!” Kumbang berseru mem anggil-m anggil.
“Apa lagi, Mak?”
“Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan:
jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri
Tuban, Kumbang, di seluruh jagad raya.”
Dan Kumbang tertawa-tawa senang, kemudian m eloncat
dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya.
Tak lama kemudian terdengar dari dalam bilik suara Idayu:
“Husy, jangan dengarkan bapakmu.”
Dan Wiranggaleng duduk seorang diri di beranda
menunggu kedatangan G elar. Sementara itu ia mulai
mem ikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada.
Tidak! Trenggono tidak boleh mem ulai perang tanpa akhir
ini, kalau berita itu benar. Seorang Sultan harus lebih
bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan
bijaksana. Kalau tidak dia takkan m embunuh abang sendiri
untuk jadi raja. Atau haruskah dia mem bunuh saudara
sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa
kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. Dengan
alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggempur
Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan
Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa.
Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa,
ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya
kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak
orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan
perintahnya. Sekali seorang raja mem ulai…. Tak pernah
Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata
Rama Cluring. Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang
Widhi, kata Rama pula.
Dari kejauhan nampak kepala G elar timbul tenggelam
dari atas tajuk semak-semak. Makin lam a m akin mendekat,
kemudian muncul seluruh
badannya dan
kuda
tunggangannya di ujung jalan sana.
Dia lebih pandai menunggang kuda daripada aku, anak
semuda ini. Tanpa guru.
0o-dw-o0
Selang tiga bulan kemudian Pada datang. Langsung ia
temui. Wiranggaleng di hutan sedang m enurunkan air enau
dari pohon. Kemudian ia menolongnya memikulkan
lodong-lodong bambu ke rum ah.
Bersam a-sam a mereka memasaknya agak jauh dari
pondok, m enggunakan kuali tanah besar.
Pada waktu m emasak itu bekas musafir Demak itu m ulai
bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di
seberang untuk duduk dalam armada gabungan mem ukul
Malaka.
Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. la
gembira tapi tidak menunjukkan pada tamunya.
Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk
diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian
antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. Dalam hati ia
mengucapkan syukur telah ada kesepakatan bulat di Demak
untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar daripada
beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan
menyum bangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha
mengusir Peranggi dari Pasai.
“Dan, Kang G aleng, sekali ini pasukan Bugis-M akasar
yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan
berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat
kau bersinar-sinar, Kang.”
G elar dan Kum bang berlarian mendapatkan Pada.
“Pam an kelihatan kurus!” tegur G elar.
“Dan kau nam pak semakin gagah, G elar. Hai,
Kumbang, sudahkah ada makanan buat pam an kurus yang
kelaparan ini?”
“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga
Terdengar ia berseru-seru pada emaknya.
Idayu muncul di beranda pondok dan menegur keraskeras: “Pada Kaukah itu?”
“Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati,” Pada
mem peringatkan.
“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.”
“G elar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke
bawah rumah” Wiranggaleng m emerintahkan anaknya.
“Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan
dihindari”
“Tak bisa lain. Mem ang harus begitu,” Senapati Tuban
itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia
hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan
diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata
Rama Cluring, Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam
kesatuan Nusantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah
Trenggono pewaris cita-cita Unus? Mungkinkah itu?
Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh
Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?”
“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia.
Kau ragu-ragu terhadapnya?”
“Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan Peranggi dan
Malaka adalah kunci, kunci segala.”
“Bayangkan, Kang G aleng, berpuluh-puluh kapal dan
Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana,
mem beludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi
laksamananya?” Pada diam.
Lelaki yang sedang mengaduk air enau mendidih di
depannya itu term enung-m enung.
“Dan barangkali juga Tuban ikut serta di dalamnya,”
sambungnya. Ia lihat Wiranggaleng menggeleng tak
kentara. “Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh!”
“Baik, itu baik. G elar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk,
Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia
sendiri mengangkati kayu bakar mem bantu anaknya. Tak
lama kemudian ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat,
Dayu. Sudah siap-belum kelapa parutan?”
Idayu turun dari rumah m embawa kelapa parutan di atas
daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu
ke dalam bubur gula. Dari tempatnya Wiranggaleng dapat
menangkap pandang Pada yang mem belai wajah dan tubuh
istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka
merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat
pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat
sana.
Dalam hati-kecilnya ia m asih belum yakin Sultan Demak
dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak
mampu mem egang, tidak m ungkin bisa bermufakat dengan
orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai mem bunuh
abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan
kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan
arm ada besar ke M alaka, barang tentu telah terjadi sesuatu.
Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu
yang begitu berpengaruh terhadap Sultan?
Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada.
Dan Idayu sedang mem bariskan cetakan gula dari
potongan-potongan ruas bambu.
“Apakah L iem M o Han pernah m enghadap Sultan?”
“Itu aku tak tahu.”
“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” Idayu
pergi dan naik ke atas rumah.
“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di Demak?”
“Mem ang ada, Kang G aleng, datangnya Fathillah,
sekarang ipar Sultan.”
“Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.”
“Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima Demak.
Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di
tangannya, juga seluruh armada Demak.”
Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya
sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati
Tuban akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada
keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari Pasai.”
“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai,
Dia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi.
Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani.
Mungkinkah setelah semakin jauh begitu dia akan berani
mendatangi Malaka? Aku ragu, Pada.”
“Tujuh puluh kapal, Kang G aleng, paling tidak dapat
mem uat sepuluh ribu prajurit”
“Demak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau
mengimpi. Padas”.
“Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang G aleng. Dan
itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada
semacam itu ayam pun berani menyerbu M alaka.”
Wiranggaleng tetap term angu-mangu. Pikirannya bekerja
seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal
besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut.
Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya
pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit
tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri.
Dan pikiran itu selalu menjondil bila nam a Trenggono
masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan
pada Sultan? Tetapi pemipin pasukan kuda Demak tetap di
tangannya….
Pada m ulai m enuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa
bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mulai
mengental.
“Ada yang belum dikatakan padam u, Kang. Jangan kau
terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut
bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang
akan datang dari utara. Perang telah juga mengganggu
perairan Tiongkok, selamat Kang.”
Wiranggaleng mendengarkan dengan hati-hati dan tetap
dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda Demak.
Waktu makan bersama Senapati Tuban itu telah
tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai
seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya
pada Trenggono, karena dialah kunci Nusantara sekarang.
Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar
dari perbuatan seorang pembunuh saudara. Idayu
mem perhatikan raut muka dua orang lelaki itu bergantiganti. Dan ia mencoba m engalihkan suasana dengan bicara
soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak
berhasil.
Setelah selesai makan, kecuali Pada, semua minum
tuwak.
Dan orang lelaki itu kemudian menarik diri dan
bertiduran di geladak serambi. Dan waktu matari mulai
condong ke barat Senapati Tuban mem bangunkan
tam unya, mem beritahukan sudah tiba waktu baginya untuk
bersembahyang.
“Dan akan terus turun ke sawah. Pada, G elar! Kau yang
mem bawa sapi!”
“Aku ikut,” kata Pada.
“Kau belum lagi bersembahyang.”
“Nanti di sawah sana.”
Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang
tertinggal di rumah hanya Idayu dan Kum bang.
Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air
buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak
dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami
sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selam a
setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia
berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput.
Pada dan G elar menggaru bergantian. Wiranggaleng
menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah
yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang
terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing
tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang
mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan
diri dari kebinasaan. G elar mencam buki binatang-binatang
itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang
sedang m endendangkan kisah para nabi.
Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, karena
mem ang belum waktunya.
Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran
Wiranggaleng tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan
seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan
mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan
air lumpur yang agak bening, tapi tak lama kemudian
lumpur menutup mukanya lagi.
“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri
itu yang justru paling banyak tingkah mengurusnya,”
pikirnya kemudian. “Kalau Trenggono pernah mencangkul
begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah
tanah orang lain.”
Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda,
berseru-seru lantang: “Senapatiku! Senapatiku!”
Wiranggaleng mencaup air yang nam pak agak bening,
menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak
kabur dilihatnya seorang prajurit pengawal Tuban dan
menghampiri.
“Sini!” balas Wiranggaleng. Dengan masih mem bawa
cangkul ia naik ke atas pematang.
Prajurit itu melom pat turun dari
mendapatkannya, bersujud dan menyembah.
kuda,
lari
“Bangun!” bentak Senapati Tuban. “Apa artinya semua
ini?”
“Sahaya mengawal G usti Patih Tuban Sang Wirabumi,
datang untuk mengunjungi Senapatiku. G ajahnya masih
agak jauh di belakang”
’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih Tuban,’ pikir
Wiranggaleng,
“Urus kudamu.”
Kemudian ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah,
mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan
celana yang habis dicucinya.
“Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih.”
“Senapatiku, sahaya pun anak petani.”
“Dan kau lebih suka jadi prajurit pengawal daripada tani,
bukan?”
“Sahaya, Senapatiku.”
“Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor,”
katanya sambil mengenakan celananya yang basah dan
melom pat naik ke atas tangguk
“Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama
musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati
tetap Senapati? Marilah Senapatiku, datang menyongsong
G usti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi”
“Berangkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong
siapa pun.”
“Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya….”
“Berangkat!” perintahnya.
Prajurit itu m engangkat sembah, menuntun kudanya dan
pergi ke arah datangnya.
“Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang,” Pada
menukas “Tuban membutuhkan seorang Wiranggaleng.”
“Husy!”
“Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak
untuk kau suruh melom pat ke laut.”
G elar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk
perkara.
“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua
akan selesaikan petak ini.”
“Pergi dengan seluar basah begini?”
“Betul juga.”
Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa.
“Itulah barangkali G usti Patih Tuban,” G elar naik ke
tanggul dan mendengar-dengarkan.
“Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari
mandi.” Wiranggaleng pergi meninggalkan m ereka berdua.
Setelah keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak
olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajuritprajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cuwil berdiri
di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa,
tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi
sembah dengan lambaian tidak kentara. Destarnya
gemerlapan karena intan-intan yang menghiasinya sedang
bercumbuan dengan sinar matari senja.
Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari
sujud dan sembah dan kemudian bersorak riuh.
Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cuwil dengan
kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, kemudian
langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya Idayu dan
Kumbang telah turun dari rum ah untuk menyambut, dan ia
menggabungkan diri dengan anak dan istrinya.
Di hadapan mereka mem bentang panjang jalanan yang
dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu
telah mem asuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal
kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah
yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk
desa mengiringkan.
Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati
pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari
barisan dan seperti melayang menghampiri pondok,
berhenti di hadapan Wiranggaleng dan m engangkat tombak
mereka. Seorang di antaranya berseru: “Senapatiku! Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi berkenan datang untuk
berkunjung.”
“Wiranggaleng sudah menunggu,” jawab Senapati.
Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tom baknya dan
kembali m enggabungkan diri pada barisannya.
G ajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa
dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti.
Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan
kanan dan berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil
Sang Wirabumi datang berkunjung.”
“Masuklah, Sang Wirabumi!”
G ajah itu berlutut, kemudian mendekam. Kala Cuwil
turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. Dan
Wiranggaleng tidak mem balasnya. Idayu berlutut
menyembahnya dan Kumbang bersimpuh, menyembah
pula.
Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa,
juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari
rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium
kaki bergantian.
Kala Cuwil dan Wiranggaleng serta keluarga naik ke
rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang
menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan
trasi dan m emasukkannya ke pondok Idayu. Penduduk desa
masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang
Patih Tuban.
“Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala
kebesaran, Kala Cuwil,” Wiranggaleng m emulai.
“Tetap sebagai teman, Senapatiku.”
“Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.”
“Ya, kami semua harus menginap.”
“Kepala desa nanti akan m engatur segalanya.”
“Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga?”
“Sam alah dengan Sang Patih Tuban.”
‘ah’
“Nam paknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil.”
“Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini.”
Wiranggaleng merasa tersinggung mendengar jawaban
itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan
mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama
dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya.
Kala Cuwil mem perhatikan pakaian tuan rumah yang
kuning tercampur lumpur. Kemudian terdengar suaranya
yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan:
“Mana G elar, anak Senapatiku?”!’
“Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan
pulang”
Dan Kala Cuwil belum juga mengatakan apa maksud
kedatangannya, Wiranggaleng memperhatikan airmuka
tam unya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya,
mem bisikkan sesuatu, kemudian tertawa terbahak. Tetapi
tuan rumah tidak menyertainya tertawa.
“Aku bisa bayangkan,” Senapati mengangguk-angguk,
“betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan
bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk
desa ini bersimpuh m enghorm ati begitu rupa?”
“Tiada kulihat mereka.”
“Kau hanya melihat ke atas. Kala Cuwil,” ia turun,
menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam
dan penginapan untuk tamu agung. Ia mem berikan
petunjuk khusus pada kepala desa.
Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan
Idayu terdengar olehnya buntut kata-kata Idayu: “Si
Kumbang belum cukup dia keloni. G usti.”
Wiranggaleng menghentikan langkahnya. Ia lihat Idayu
dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik
Kumbang, mem eluknya kemudian dibawanya masuk ke
dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil
mem balikkan badan untuk menunggu kedatangaannya.
Kemudian dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya;
“Nasibm u, Nak, nasibmu.”
Wiranggaleng mengawasi Sang Patih dengan mata
curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku.
Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang
Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugusan
Tuban untuk ke M alaka. Lima ratus orang ada Senapatiku,
seperti beberapa belas tahun yang lalu.”
Wiranggaleng terduduk di am bin. Ia terpukau. pada
sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam
paha kemudian berubah jadi tinju.
“Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang
Wirabumi.”
Wiranggaleng tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang
dan menghembuskan nafas desis.
“Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban?”
Wiranggaleng menarik kedua belah lengannya jadi sikusiku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya.
Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia
dengar suara istrinya, tak jelas.
“Senapatiku belum juga menjawab.”
Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat
masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu
percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama.
Kemudian, tanpa diduganya, terdengar suara Idayu kesal:
“Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu.
Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya?”
0odwo0
31. Kembali ke Malaka
Mem ang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi.
Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan um bul-umbul
dan sorak-sorai yang berkumandang seperti guruh. Pendetapendeta Buddha dengan jubah kuning menggem erincingkan
giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah
banyaknya, untuk mem berikan restu. Sri Baginda
Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan
berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya
dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama
Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini
harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak,
Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan.
Dan berangkatlah armada itu untuk mem asuki daerahdaerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada
kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil
menusuk ke selatan, mem untahkan balatentaranya yang
term asyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan
keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun
lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah mem erintahkan:
persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng
terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian
arm ada Singosari muncul dengan segala kebesaran negerinegeri Melayu.
Dua ratus tiga puluh tiga tahun kemudian, pada 1523
Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer.
Tidak ke daerah Melayu, tetapi ke Malaka. Tidak dengan
um bul-um bul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha
mem bawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal
perang tetapi dengan tiga puluh buah jung! Tidak
diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang
Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang
mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan
diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak
menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada m ereka
yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan
um um: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka
balatentara dari gugusan Tuban itu.
“Baik,” kata Wiranggaleng pada Kala Cuwil yang berdiri
di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.”
“Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku.
Semua atas perintah langsung Sang Adipati.”
“Ingat-ingat ini: Wiranggaleng takkan kembali ke negeri
ini sebelum Sang Adipati mati.”
“Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa.”
“Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?”
“Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik
dari mana-m ana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku
nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati
tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.”
“Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan
kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak
dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami
jalani hukum an m ati ini.”
“Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.”
Wiranggaleng tak menggubris ulangan itu. Dengan
geram ia mem asuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyisenyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat.
Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara.
Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam
hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian
terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang
mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini?
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya,
Senapati Wiranggaleng. Dan orang melihat, tak seorang
pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan
keberangkatannya. Orang pun mengetahui: Idayu telah
menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki
di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya mem asuki um ur
lim a belas itu tidak mengantarkan – suatu hal yang
dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan
ditambah lagi dengan sumpah Wiranggaleng sendiri yang
takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati.
Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia
masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum
berangkat meninggalkan Awis Kram bil. Anak-anak itu
bersim puh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani,
mem bantu dan mem bela ibu mereka. Dan Idayu, ah,
wanita yang selalu ditinggalkannya itu – ia tak bicara apaapa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya;
protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan
seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selam at
jalan. Wanita pada menangis untuk Idayu, dan pria
menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondarmandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas
benteng penduduk: “Jaga Nyi G ede Idayu dan anakanaknya. Urus keselam atan dan kesejahteraan m ereka.”
Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan
sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke
medan perang.
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia
mengucapkan
syukur
alhamdulillah
karena
keberangkatannya.
Setidak-tidaknya
ia
merasa
mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh
jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin m udah
ia dapat m enyusun pikirannya.
Di Awis Kram bil ia merasa otak dan hatinya
terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu
terus juga mendayu-dayu mem anggilnya. Kalaulah tidak
disuruh Wiranggaleng tak bakal ia dapat meninggalkan desa
perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han.
Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak
Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati
pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah.
Suara G abah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan
angin
keras terus-menerus,
suaranya
tetap
tak
menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat
sepatah demi sepatah. “Mem ang banyak bandar-bandar
yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan
Peranggi bila serangan gagal. Mem ang sulit untuk dapat
meram alkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa
dijatuhkan. Ada suatu kelemahan um um pada mereka:
penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan.
Penyerangan dari barisan punggungnya akan mem bikin
mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.”
Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga
akan ikut serta?”
Dan Liem Mo Han menjawab: “Tidak, kami hanya
perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa
mem bantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan.
Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan
agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka
menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.”
“Siapa mereka itu?”
Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, “Aku
sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang
nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orangorang T ionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam
penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti.
Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.”
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami
dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan Idayu,
istri dari seorang sahabat Wiranggaleng, dan berharga bagi
dirinya sendiri.
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak
berbahasa Jawa atau M elayu. Semua orang Tionghoa totok,
dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan
dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang
dipergunakan.
Sebagian kecil dari awak kapal beragam a Islam dan pada
setiap kesempatan ikut berjemaat.
Di L ao Sam arm ada jung itu berlabuh.
Liem Mo Han menjemput
menemukan Pada ikut serta.
Wiranggaleng
dan
“Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah
Liem. “Senapatiku bisa tertinggal oleh arm ada Jepara.”
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jungjung itu bahan makanan, pakaian dan senjata.
“Juga tidak perlu berm alam di Jepara. Bila sudah sam pai
di Semenanjung, mem antai sebelah barat Sum atra,
Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka.
Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus
mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan
gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.”
Wiranggaleng
terheran-heran
mengapa
kata-kata
sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang
mem berikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima
Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang
tidak m engerti.
Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup:
“Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan G usti
Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan
merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan
menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri
pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur
Semenanjung. Boleh jadi arm ada Demak sudah berangkat
terlebih dahulu. Atau lebih kemudian.”
Wiranggaleng semakin terheran-heran. Bagaimana bisa
demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap
Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk
mem berinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan
ia m enatapnya dengan curiga.
Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi,
mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya.
Senapati Tuban mengucapkan terima
usahanya mendapatkan jung sebanyak itu.
kasih
atas
Pada berusaha menyertai bicara, tetapi Liem Mo Han
hanya
menghormatinya dengan
sopan
kemudian
mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal.
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap:
suram bertanya-tanya.
Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak
bermalam di Jepara, Wiranggaleng memutuskan untuk
singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin
mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari
Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir
dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya
padanya.
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem
Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia
bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang
ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan
ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu.
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram.
“Kosong!” seru Wiranggaleng waktu dari jung bendera ia
melihat pelabuhan Jepara kosong.
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal
bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan.
“Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!”
serunya geram .
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas
tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi
tontonan um mat manusia sebagai kapal yang pernah
bertempur melawan Peranggi silelananging jagad.
Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan!
Dan kapal pam eran itu seakan dimaksudkan sebagai
lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi.
Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan
setelah 1513.
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal,
bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal
sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal
menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas
kerusakan yang bisa mem bikin kapal itu tenggelam. Dan
semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk
menonton.
Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah
mem erintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya
pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan.
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan
satu itu.
Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah
sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat
bekas pesta. Di mana-m ana nampak daun bekas
pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup
angin. Dan kalau selam a pelayaran mereka banyak
term enung-menung, sekarang mereka mulai berteriakteriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!”
Wiranggaleng dapat mengerti perasaan anakbuahnya.
Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah
menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah
pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana.
Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun
sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan m ungkin
masih tetap seorang musafir Trenggono.
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, mem asuki
selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban
itu memerlukan mengangkat sembah pada gam baran gaib
Adipati Unus. Dan jung m enuju langsung ke pelabuhan.
Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang
um bul-um bul segala warna. G alangan dan bengkel sama
sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak
nam pak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua
berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di
samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para
penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton
berlabuhnya armada aneh itu. Wiranggaleng mendarat
dengan wajah merah padam.
“Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu.
“Sudah kami duga kau akan singgah.”
Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia
bersim puh dan m enyembah: “G usti Ratu, patik singgah.”
“Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu
Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu,
Wiranggaleng, Senapati Tuban. Jangan berkecil hati,
karena kau, anakku, akan mem bentuk kesatuan sendiri
dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah
dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang
Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan
Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau.
Senapati Tuban. Allah akan mem impin dan mem berkati
dan melindungi kau dan semua anakbuahm u, demi doa
kami. Insya Allah selamat dan berhasil.”
Wanita tua itu minta Wiranggaleng mengulurkan
tangan-kanannya, kemudian mem asangkan cincin. Dan
Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih
dengan kepercayaan itu.
Ia mem beranikan diri mengangkat muka dan bertanya:
“Ya, G usti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami
diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal
perang sebagaimana layaknya?”
“Jangan bertanya, anakku, karena itulah kiriman Allah
dan bukan sekedar m anusia yang mengusahakan.”
“Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung
untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak?”
“Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan
arm ada Jepara-Demak dari pikiranmu.”
“Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, G usti
Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.”
“Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di
laut. Tugasmu melakukan pendaratan.”
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan
para penandu lari menghampiri, menyembah, kemudian
mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar.
Wiranggaleng tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin
tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera
mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan
berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat
untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.”
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat
arm ada aneh – armada jung berbendera M ajapahit. Armada
apakah ini gerangan? Armada dagang mem bawa beras ke
Pasai? Dan tidak lain dari Wiranggaleng juga yang merasa
jengkel arm ada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai
keanehan jaman yang perlu disaksikan.
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas
tandunya mengantarkan arm ada jung itu dengan pandang
yang m emendungi selaput awan.
“Nenenda,”
belayar?”
panggil
cucunya,
“ke
mana
mereka
“Malaka, m engusir Peranggi.”
“Mengapa nenenda m enangis?”
“Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan
pam anmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.”
“Ya, nenenda, tapi m engapa nenenda m enangis?”
“Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk
mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan
diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus,
penantang Peranggi?”
“Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang
Peranggi.”
“Dan ingat-ingatlah satu nam a lagi: Wiranggaleng. Dia
pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk
dapat mengingat wajah pam anmu almarhum. Tapi
Wiranggaleng kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau
lupa seum ur hidup.”
“Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?”
“Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang,
antarkan arm adanya dengan doa selam at, cucunda. Sertai
nenenda m engucapkan doa untuk kemenangannya.”
Wanita itu mengucapkan sebaris kalim at doa dan
cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga
selesai. Kemudian dengan suara dalam karena perasaan
tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur
aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang
seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu
lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan
sentausa, adil dan sejahtera, adalah karena mereka. Kalau
yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau
akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf,
berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.”
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada
arm ada jung dan cericau cucu tentang um bul-umbul dan
rombongan penonton di pelabuhan.
Setelah bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa
sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah
diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata
ia mem ohon kedamaian dan kemampuan untuk
mem aafkan putranya Sultan Trenggono, karena armada
Jepara-Dem ak telah dilarang oleh putranya menerima
penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum
waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang
berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut
ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya
arm ada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah
menggerakkan putranya untuk menggerakkan arm ada itu
langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin.
Setelah bersembahyang isya ia menengok cucunya yang
ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di
samping cucunya.
“Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya.
“Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah
hafal.”
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan
sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah
untuk kemudian terhenti dan disambung dengan nafasnya
yang teratur.
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik.
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman,
mem andangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap.
Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa,
mem anggil-m anggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam
kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai
buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi
kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini,
habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa
daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah
dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku
usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku
dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, karena
jaman yang itu akan mem bikin sia-sia segala dan semua
yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah,
ya Allah.
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para
inang masih juga menunggui. Makan malam telah
dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah.
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu,
kemudian kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali
dan bersembahyang tahajjud sampai subuh.
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah
utara
untuk
mendapatkan
angin
yang
lebih
menguntungkan.
Dan Wiranggaleng masih juga tenggelam dalam
pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya.
Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya.
Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal
duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada
orang yang berani menyilakannya m akan.
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia
berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang
serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam.
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato
Rama Cluring yang terakhir itu, sewaktu cengkaman gurupembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini
orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan
tiba-tiba semua pandang terarah pada Idayu yang angkat
bicara: “Rama, aku tak begitu tertarik pada kata-katamu
yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman
kejayaan yang kau agung-agungkan itu.”
Rama Cluring menengok ke arah Idayu, tersenyum dan
mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. G adis, agar
kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri
sekarang ini. Dengarkan, G adis: “Dalam seluruh
pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman
kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di
mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut
dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang
sekali. G adis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya
mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu
lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka
lagi. Kau anak berbahagia, G adis. Mem ang aku lebih suka
melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka,
karena jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan
kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengahlengah tak sanggup mem biakkan kelapa itu.”
“Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri,
Rama,” seseorang m emprotes.
“Itu menurut kau. Soalnya karena kalian sejak dulu tak
mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku
masih terus bicara dan kalian masih juga menganga
menunggu datangnya lalat.”
“Mulailah dengan cerita itu!” Idayu m endesak.
“Baik,” sambar Rama Cluring untuk meninggalkan
pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang
anak desa, Nala nam anya. Dia berasal dari sebuah
kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para
dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia
ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang
dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan
ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal
besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang
agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang
berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal
kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek.
“Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangangalangan Majapahit di Tuban, G resik, Kawal, Panarukan,
Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan
kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada
Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka
istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu
berlayar sutra kuning gemerlapan.”
“Apakah Rama pernah melihat dan menaikinya?” Idayu
bertanya lagi.
“Waktu muda, ya, dari G resik sampai ke Nalagasari,
dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara.
Tak ada yang menyam ai besar dan kelajuannya. Kapalkapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing
di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan,
laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya
semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu
bajak takkan dapat mem buru apalagi mengepungnya. Ya,
G adis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal
Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya
sekarang.”
“Mengapa tak bisa? Bukankah di bandar-bandar orang
terus menggalang?” Idayu merangsang. “Aku sendiri
pernah berkunjung ke sebuah galangan T uban setahun yang
lalu.”
‘Tidak bisa. G adis. Sudah lebih seratus tahun orang tak
dapat mem bikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui
kayu lunas yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada.
“Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja
seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia
pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja
katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar
dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun
setelah Mpu Nala wafat, orang mem ang masih
mem bangunkan kapal Majapahit, karena masih ada
persediaan kayu lunas. Setelah habis, habis pula
kemungkinan.
“Pada suatu kali,” Rama Cluring meneruskan.
Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan
kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati
setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana,
begitu menurut cerita guruku dulu. Ternyata gunung itu
telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan
tetum buhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima
dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.”
“Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tum buh lagi di
sana,” G aleng m encoba menyertai.
“Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak
tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa
diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan
sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan
untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata.” Ia diam
sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu
Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu,
semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal
Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.”
“Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” Idayu berbisik
pada G aleng.
Dan G aleng hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita
guru itu.
“Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya.
Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali
diganti. Kata guruku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas,
beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan
sesuatu. Orang tak tahu ram uannya. Pewaris tunggal
ram uan adalah anaknya, juga seorang M pu kapal. Sayang,”
ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam
pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang
Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang
mampu membawa
ratusan
prajurit begitu, dan
perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapalkapal semacam itu m asih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal
ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari.
Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg.
Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata
satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut
akhirnya semuanya.
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban
ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita.
Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran
Bhre Param esywara itu marak jadi raja di Malaka, tetapi
tak pernah dapat mem bangunkan sendiri kapal Majapahit.
Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau
Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan
hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Param esywara.
Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala.
Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus
daripada Tuban, namun merugikan bandar-bandar di
bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan
persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun
di utara.”
“Rama,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak
bicara tentang apa? Bicaram u tidak menentu. Kau
mengagungkan kejayaan Majapahit.
Yang kau agungkan runtuh. Di m ana pula kejayaannya?
Bicaramu melom pat-lompat seperti katak diburu ular!
“Uah! kau benar,” Rama during mengangkat dagu
tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat karena keringat.
“Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya
dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari
hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan
mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu m elihat katak cuma
dalam buruan ular. Mengerti kau apa m aksudku? Boleh jadi
kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang
bisa memperluas hatimu. Puh! Rama CIuring bukan si
pengluas hati.”
“Tak ada yang berkeberatan Rama seorang pengeluas
hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baikbaik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam?
Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam
hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau
bicara tentang yang sudah mati, Rama,” penyanggah itu
menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya
atau kerajaan dedemit?”
“Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak
tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku
tak bicara tentang kema-tian. – tentang kehidupan, tentang
hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan
Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya
dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapalkapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh
dunia. Tetapi, dengarkan, kau yang tak mengerti tentang
kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau
pembantah, negeri dengan bandar begini,… orang cukup
duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan
banyaknya kapal sendiri yang mondar-m andir pergi dan
datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu.
Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak
bakal mengerti maksudku. Dan barangkali karena katakataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala,
karena panggilan ini, mem benih dalam guagarba perawanperawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/ ’
Rama CIuring diam dan berdoa. Juga G aleng
mengangkat sembah. Kata-kata Rama yang terakhir itu
menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan
kawini Idayu. Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu
penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan.
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak m endengar
tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit – Majapahit
yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa Rama
CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau,
kau m unculkan dia dari guagarba haridepan.
Ketika ia menengok pada Idayu, perawan itu sedang
tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain
kerudung pada bahu pacarnya. Kemudian tangannya
mencari tangan Idayu, dan mereka berpegangan tangan
seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya.
“Panas’ bisik Idayu.
“Mereka nam ai dia seorang dewa haridepan,”
gum amnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan
penghargaannya, ia angkat kata: “Rama, kau tahu tentang
jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan
ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru
pada jaman mendatang, seakan kau hendak mem berikan
pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti
banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu
permainan.”
“Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan
bergandengan tak putus-putusnya.”
“Ya, bersambungan terus-m enerus. Tapi tidakkah kau
keliru. Rama, atau sengaja mem bodohi kami, atau m emang
melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua
pembohong, waktu kau m engatakan lunas kapal Mpu Nala
jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti,
sampai kapal itu m encapai umur lebih dari seratus tahun?”
“Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Mem ang aku tak
dapat mem buktikan karena barangnya sudah tidak ada.
Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan.
Kau sendiri pun takkan dapat m embuktikan kebohonganku.
Di jaman jaya dulu mem ang seorang pembicara harus bisa
buktikan kebenaran om ongannya, kalau diminta. Itu aturan
dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang
dengan sendirinya.”
Rama Cluring menggerakkan tangan untuk melukiskan
bentuk lunas.
“Rama, kau tidak mem anggil kebesaran pada guagarba
haridepan. Kau mem anggil balatentara Tuban untuk
menumpas kami…,” seseorang m enuduh.
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala
bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya
sumber cipta agung. Dia juga yang mem buat aturan
sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut
dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang
ini.”
“Rama, karena kau sudah bilang para guru-pembicara
sekarang ini tak dikenakan aturan mem buktikan kebenaran
kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh mem bohong
sekuat m ulutm u. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.”
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya
menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerutkerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan
ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para
pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah.
Tak ada keluar kata-kata dari mulut.
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek.
Dan m ereka yang arif dapat segera melihat, guru-pembicara
itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal
wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan
kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap
kehorm atan pribadi Rama.
“Mengapa terdiam ? Mengapa tidak mem ekik dan
berjingkrak?”
“Jangan menangis, Ram a,” seorang dari banjar tengah
melengking ria, “memang orang-orang muda wajib
menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh
semburkan abab semau sendiri.”
Rama Cluring belum juga menjawab. Nampak benar ia
sedang bergulat untuk menindas perasaannya.
Tak lain dari Idayu yang berusaha menyelamatkan
Rama. Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai Rama.”
Idayu berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi
G aleng menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru
menyokong Idayu dan m embenarkannya.
Baru kemudian keluar kata-kata Rama yang berat dan
sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa?
Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.”
Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang
diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian
tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan
kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi
orang masih juga tak m au mengerti.”
Sekarang suaranya mengam bil nada semula, cepat dan
bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti,
jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan
sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang
bakal datang tak lain dari kebinasaan.”
“Kalau begitu. Rama,” G aleng mem aksa bicara hanya
untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana
orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan.
Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak
mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” Idayu berbisik
mem peringatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelom pok
buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa
datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di
hadapan Rama, dan mengambil cawan yang telah kosong,
kemudian pergi lagi.
G uru itu nampak sangat haus. Ia am bil gendi dan minum
dari kucuran cucuknya.
“Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan
jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman
dari pengertian-pengertiannya. G uru-pembicara seperti aku
ini hanya menyam paikan pengertian. Orang yang tidak
bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang
berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada
punggungnya. Tetapi darah
dan
keringat yang
dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan
meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah,
jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu.
Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.”
Tiba-tiba Rama Cluring m eringis. Tangannya menelusuri
perutnya. Sakit perut! orang menduga. Kemudian nampak
Rama mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah
kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat:
“Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah
mem bangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti daripada
hanya sekedar menahan kemerosotan.”
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri
perut.
“Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya
cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang
prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari
pengemongannya si bocah belajar mem bikin senjata-api
penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang
bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan
perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya,
dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi
pemenang tunggal di atas bum i manusia ini.
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat
menggunakan senjatanya. Setelah dewasa ia tinggalkan
desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke
pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari
pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala
banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira
pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama
militer: G ajah Mada.”
Wajah Rama kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh
meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil
meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu
sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia
kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan
nam a cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang
dipersenjatai cetbang arm ada Majapahit tak pernah
menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara,
kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah.”
Kembali ia meringis dan m enekan-nekan perut.
Idayu bangkit untuk menolongnya.
Rama
CIuring
meneruskan:
“Tidak menemui
perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di
seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang
menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang
yang berledakan di udara, seperti kilat dan guruh sekaligus,
mem bikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara
– suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selam a tiga ratus
tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas
permukaan air mem binasakan arm ada-arm ada perampok
dan bajak laut. Maka darat dan laut aman.
“Dalam sepuluh tahun kemudian Majapahit mulai jadi
kekaisaran. Kemudian seluruh Nusantara bersatu di bawah
bendera m erah-putihnya.”
Ia menguruti perut, dan dada dan leher. Suaranya
kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap
meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar
Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan….”
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wiranggaleng
bergum am, kemudian menghembuskan nafas dalam . Kapal
besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku
hanya dengan jung… jung Tiongkok pula….
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas
kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya,
dan dibuatnya jadi penutup dada.
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini
mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani.
Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki
jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong,
didendeng. Rusa-rusa itu – makhluk yang tak berbahagia di
negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami
seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang
yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara
di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan
dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat
kesukaannya.
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya.
Bukan bayangan yang mem buru-buru, bukan rusa bukan
kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya.
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun
mendatang? Apakah serba kebalikan daripada impian Rama
Cluring impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib G elar
dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih
tidak berdaya, tidak berkemampuan, daripada aku? Apakah
mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang
dungu?
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah
melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia
mem beranikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju
ke Malaka, Kang?”
“Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya
pada para peratus di bandar Jepara. “Kita akan gempur
Malaka.”
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari
kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung
naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung,
dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin
cerah m enantang laut.
“Kau ingat rumah, Kang?”
“Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono
dan Fathillah.”
“Jung-jung ini takkan mungkin dapat mem buru armada
Fathillah,” Pada m engalihkan percakapan.
‘Trenggono dan
mem peringatkan.
Fathillah,
Pada,”
Wiranggaleng
“Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita
fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya
Sultan dan Panglimanya, laksam ananya, mereka hanya ipar
dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap
Malaka, Kang.”
“Mengapa Liem Mo Han tak ramah terhadapmu?”
“Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang.”
Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar
kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-m ata
dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai
banyak kerja, dan mencoba m elupakan tugas tidak menentu
dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku
sebagai seorang guru-pembicara. Bergurau pun tidak terjadi,
kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin
mereka.
Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari
kejauhan nam pak armada Jepara-Demak seperti sebarisan
camar yang sedang mengapung di permukaan air, putihkelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal
berlayar dengan layar kuning gemerlapan.
Semua orang mem erlukan meninjau. Dan mereka tidak
bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali
tidak m ereka harapkan.
“Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!”
perintah Wiranggaleng. Ia sendiri malu mem erintahkan
untuk mengejar. Yang demikian-m emang tidak m ungkin.
Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan
mem butakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar
dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai
dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan
keemasan itu makin lama makin kecil. Mem ang tak
mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia
diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul
jengkel.
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama:
”Aaaaa!” dan arm ada Jepara-Demak mem belok ke kiri,
mem antai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke U jung
Kulon.
“Khianat! Benar ada
pengkhianatan,” gumam
Wiranggaleng pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum:
begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus
waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung.
Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran
selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Dem ak harus
dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk
mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal
mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa
bersalah pada Sang Adipati. G ila!
Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana
Fathillah telah mem belok ke kiri, mem antai sepanjang barat
Banten.
Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak
ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa
sesungguhnya sedang terjadi? Tetapi semua isyarat dari
kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak
berjawab.
Sam pai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit
dari kapal bendera diperintahkan m endarat. Juga PanglimaLaksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin
anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka
naik lagi membawa terlalu banyak kelapa m uda.
Kemudian armada itu balik lagi ke utara, mem asuki selat
Sunda, kembali ke Jepara.
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini
diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono
berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana
menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut.
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan
pasukan kuda dapat dipadamkan – dua-duanya
ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan
mem impin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini
akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan
Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di
Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka
bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak
tidak akan ada.
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari
sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke
Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus
bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-UsupLiem Mo Han.
Setelah arm ada berlabuh untuk beberapa hari di bandar
Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak
tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak
mengetahui, Tuban telah melihat m ereka mem belok ke kiri.
Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat
selam a tiga bulan, kemudian berangkat lagi, menempuh
garis pelayaran yang sam a.
Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-m andir
antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya
telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke
utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat
sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan
kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah
mem bikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat
sesuatu pun daripada mengikuti perintah.
Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya.
Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh
dari tiga tem pat tersebut. Ia m erasa telah kehilangan muka.
Setelah kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah
lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di
Jepara.
Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan
pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya.
Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak
telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas
anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang
berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri
dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan
tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang
terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin.
Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya.
Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar
dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta
seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia
menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak
untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita
tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita
Adipati Unus.
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud
di bawah kakinya, dari Blam bangan sampai Banten, dari
laut Jawa sam pai lautan Kidul.
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa
pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari
Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan
gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan
mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan
berdoa tak henti-hentinya untuk keselam atan dan
kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis….
0o-dw-o0
Sepanjang pelayaran mem antai pesisir barat Sumatra
arm ada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak
pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak
dalam pemusatan besar, tak pernah mem ergoki kapal
Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai.
Karena tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan
karenanya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan
perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai
dalam suasana gembira. Orang tak lagi m emikirkan armada
Jepara-Dem ak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai
kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga
dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertam a kali dalam
hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang
pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung
Kulon.
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang m embaca
lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan.
Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantunpantunan, sahut-m enyahut diikuti gelak tawa.
Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di
bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyam but
mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan
baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau
kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian
celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang
bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada –
semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka
bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki
orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Taritarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang
dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan
persahabatan.
Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk
dalam persahabatan yang semesra ini.
Kemudian datanglah hari keberangkatan. Aceh
menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah
seluruhnya seribu lebih dua orang: Wiranggaleng dan Pada.
Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan
perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan soraksorai semua orang.
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk
um mat Islam, mem ohonkan keselam atan untuk mereka
yang akan berangkat ke medan perang.
Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wiranggaleng
berkaca-kaca m elihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua
dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan
destar, bersorak-sorak mengucapkan selam at berperang.
Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di
Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di
tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih am an, dan
tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui
algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau.
Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka
takkan sia-sia.
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung
nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di
sebelah utara Malaka.
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana,
menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas
tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah
terbaik disediakan bagi Wiranggaleng yang telah mereka
angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan
panggilan Hang Wira.
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh
kampung ini. G eladak pelupuh adalah segala-galanya. Di
atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada
perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barangbarang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur
di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan
nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu.
Dan penduduk tak juga muncul. Karena tak dapat menahan
keheranannya Wiranggaleng terpaksa bertanya pada Pada:
“Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han
pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana
batang hidungnya? Semestinya mereka telah melihat kita
datang dan menghubungi kita.”
“Benar Panglim aku. Aku pun belum melihat batang
hidungnya. Heran.”
“Dan m anakah arm ada kecil Tionghoa dari utara itu?”
“Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat
kuncirnya.”
“Apa artinya semua ini?”
“Tahu, Panglimaku.”
“Ya, begini inilah jadinya.”
“Kita hanya m emikirkan Malaka ini saja, Kang.”
Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh
prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang
dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk
selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu
dilepaskan setelah diberi m akan dan perbekalan, dan diikuti
dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui,
dan mereka diperintahkan kembali ke kampung.
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan
Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan
sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari
darat maupun dari laut.
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung
diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan
dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan
kampung dan mem asuki hutan belantara. Mereka melalui
jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan
semakin m emasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas
sepatu, samar-samar.
Penduduk yang ditinggalkan m elihat semua prajurit pergi
menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi m elihat jung-jung
dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan hartabenda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu
apa.
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan m elepaskan
harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa
atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan.
Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan
keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran.
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati
kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah.
Penduduknya berlarian entah ke mana.
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah
tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang
gila. Sam a tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang
diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak
pernah melakukan gangguan: Setelah dua hari menembusi
hutan,
perundingan
antar-sekutu
menyimpulkan:
penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin.
Tak adanya pasukan semenanjung telah mem usnahkan
kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa
perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa.
Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang
pertanian harus dibuka terlebih dahulu.
Pasukan gabungan itu mem belok ke timur lebih dalam
lagi dan m embuka huma. Dan tidak lain dari Wiranggaleng
yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak
untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak
asal, ekspedisi militer ini akan gagal.
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian
antara tiga macam kesatuan. Tetapi pembukaan humalah
yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak hentihentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap
harus ditunda.
Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk
mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung
jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di
atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya.
Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk
mem asak-masak.
Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan
tom bak. Pekikan m aut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu
Peranggi yang tidak terkena tom bak berlarian membawa
musket masing-m asing dan mulai menembak dari balikbalik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan
dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi.
Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak
sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat
lagi m emasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi
tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilanglenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli
makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat
pertempuran pertam a kini mendapat kehorm atan jadi
tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang
kembali bersama-sam a mereka mem babat hutan,
mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma.
Tidak lebih dari seminggu kemudian di sebelah selatan
nam pak asap besar mem bubung ke langit Asap itu terlalu
kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu
besar untuk dianggap sebagai rum ah terbakar. Orang segera
menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah
kampung besar.
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap karena tempat
kebakaran itu tidaklah begitu jauh.
Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wiranggaleng
berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai
telah dikirim kan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan
laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari
Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung
sebelah utara. Jum lah kekuatan mereka cukup besar.
Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan.
Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembaknembak untuk menghancurkan semangat lawannya.
Wiranggaleng mem eriksa tempat penjebakan yang
ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di
bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang
bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah
banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan
hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan
semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka,
sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang
berdiri berjajar dalam jarak lim a belas depa, sedang tombak
hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena.
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi
mereka yang sudah m engetahui keampuhannya.
“Kalian datang ke m ari untuk m enghadapi mereka. Kita
akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami
pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya.
Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan
juga berhasil.”
Mereka telah mem asang perangkap di tempat yang tidak
terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan
peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdaduserdadu Portugis tidak menggerom bol sebagaimana halnya
dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada um umnya.
Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan.
Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan
keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja
kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriakteriak: “Peranggi telah mengepung kita!”
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang
menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari
segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah
mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan
letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari
panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang
menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas
tanah gundul.
Wiranggaleng memerintahkan mengubah hadap ke arah
tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan,
menyiapkan tom bak atau panah, dan tetap mem perhatikan
datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan
akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum
lagi sam pai ke Malaka!
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan
musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya
mem atahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan
dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang
dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan
bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang
menyerang.
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala
Wiranggaleng. Dan ia bergidik. Bulu rom anya berdiri.
”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka
bertemu dengan m ukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.”
Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak
jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan
cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam
semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan
desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran.
Dua orang telah jatuh pingsan di tempat karena
kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu
orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan
peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging.
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam
perang dengan m usket begini tak ada prajurit, tak ada satria,
yang ada hanya pembunuh dan korbannya.
“Mereka lebih hebat daripada kita,” seru Panglima
mem beranikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru
mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak
mem butuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini
perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah
kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik
persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin
lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi
berkurang.
Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak
semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan
peluru. Mereka mulai menggunakan pedang.
Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka
kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan
pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya
di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu.
Orang m engakui keberanian Peranggi m enghadapi lawan
yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu
mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang
menghalangi dan rotan berguguran.
Hanya karena jatuhnya malam saja mereka mulai
menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan
meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa pucuk musket telah kena ram pas, beberapa
pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga
kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya.
Wiranggaleng mengatakan: pertempuran sekali ini sama
sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh
Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah
mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas
ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah
modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari
Malaka.
Malam itu juga diadakan penguburan untuk temanteman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka
yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan
pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar
melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului
kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya,
dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan
berdaya.
Wiranggaleng memimpin pengejaran. Tetapi hutan itu
terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak
yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh.
Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka
hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang
berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya.
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan
musuh m elarikan diri.
Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa
dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di
dekat daerah peluaran kota Malaka.
0odwo0
32. Gelar Jadi Sandera
Kemarin dulu Idayu masih berseru dari beranda gubuk
panggung itu: “G elar! jangan begitu. Belajar yang baik!”
Tapi G elar tak peduli. Dengan melepas kendali ia
menggantungkan diri di samping kuda, tangan mem eluk
leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melom pat
melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping
lain. Kemudian ia berpacu di jalanan desa dengan
mem unggungi arah. Tak lama kemudian ia berpegangan
sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda.
Ia tak mau dengar emaknya mem ekik-mekik ketakutan.
Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan
berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari
sehabis kerja.
Dan sekarang ia menggeletak di atas am bin kayu.
Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang
mem asuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya.
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim:
“Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan
seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keraskeras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak
Senapati punya sejambang airmata.”
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya
dengan bantal.
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan
menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan
ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain
masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari am bin
dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan
sorai tawa.
Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani
terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya
sebelum nya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di
desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak.
Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang
ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau
mem bela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar.
Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa.
Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun!
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar
olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu
dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan
dihorm ati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak
tahu batas.”
G elar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat
olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara
pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan.
Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di
antara mereka mulai merebahkan diri di samping-
menyam pingnya dan segera kemudian tertidur dengan
menyemburkan bau tuak dari mulut.
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi
tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. Kemudian
merangkak lagi ke tempatnya.
Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban
itu dengan ibunya: “Nyi G ede Idayu, jangan kaget. G usti
Adipati Tuban telah menitahkan agar G elar, putra Nyi
G ede yang pertam a, dibawa ke Tuban.”
“Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah
juga dibawa ke Tuban?”
“Tak ada yang dapat mencegah titah G usti Adipati, Nyi
G ede. Panggillah anak itu.”
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan
kukuh tertutup dengan gumpalan otot.
“G elar, kau akan kam i bawa ke Tuban.”
“Bapak berpesan untuk menjaga dan mem bantu emak
dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya
sebagai lelaki tertua dalam keluarga.
Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya.
“Seluruh desa akan menjaga dan mem bantu Nyi G ede.
Itulah yang jadi titah G usti Patih.”
“Aku telah berjanji pada bapak….”
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian
dan amarah pada mata Idayu. Dan wajah Idayu itu tetap
cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan
tubuhnya tetap semampai berisi karena latihan-latihan.
Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan
betina yang m encium bahaya yang mendatangi.
“Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala,”
bentak Nyi G ede.
“Kami datang mem bawa titah G usti Patih.”
“Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan
pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi
mem bawa bungkusan kecil dan selembar kain batik
dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini,
G elar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau
harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu
pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar,
ham pir lim a belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah
kau seorang lelaki.”
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat
mem pertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan
pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun
meraung, menjatuhkan diri dan mem eluk kaki ibunya.
Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. “Belum
lagi kepala ini sempat berdestar…” gum am ibunya.
Kumbang pun mem ekik, merangkul leher abangnya
tercinta, meraung: “Tidak boleh. Kang G elar jangan pergi!”
Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan G elar
dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya.
Ia angkat G elar dalam bopongan. Dan yang dibopong
meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah
perjalanannya ke T uban. Dalam hidupnya yang semuda itu
ia mulai dapat m erasakan adanya kekuasaan dan pengaruh
ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Kram bil.
Wiranggaleng Senapati, semua orang senang padanya,
bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa horm at
menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan.
Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang
tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari
hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi
apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk
pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak
dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan mem bantah pun tidak
bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan,
bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan.
Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera
oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar
ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal
kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal.
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terusmenerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya
sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari
tanpa dirinya? Siapa yang m engambil rusa, atau celeng dari
ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang
mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak
adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa
akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan
betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan
kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan
terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam
kasih-sayang, tenteram dan dam ai, yang dimasukinya
sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.
Sam pai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si
bocah itu disanderakan karena Wiranggaleng pernah
menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum
Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, karena
Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang
didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang
Adipati Tuban bersekongkol dengan Wiranggaleng untuk
menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam
akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat
mendatang dan akan m embelahnya hidup-hidup jadi empat
bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa,
nam un ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara
lain. Maka ia menyesal telah mem berangkatkan
Wiranggaleng dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan
harapannya akan kematian Senapati. Ia mem butuhkannya
untuk mempertahankan Tuban. Dengan G elar sebagai
sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan
dapat dipanggilnya kembali.
G elar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya
menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai.
Matari ternyata telah tinggi.
Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan
mana orang bangun tertinggal matari?”
Sekarang G elar mengerti, tak ada seorang pun akan
melindunginya. Tak percuma emaknya m engharapkan akan
jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu.
Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar.
Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik
mem balik menjadi dendam yang mem buncah dalam
dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan
dilatihkan oleh bapaknya ia melom pat dan menerkam
prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak
ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya
masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.
Dengan dua belah tangan prajurit itu m enolaknya keraskeras. G elar terjatuh di lantai setelah menubruk dinding.
Dan dada prajurit itu berlumuran darah.
“Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada
dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sam pai mampus.”
“Dan kutikam kau sampai mampus!” balas Gelar, berdiri
dan bersiap mem bela diri terhadap segala penganiayaan
yang m ungkin m enyusul.
“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang
dirimu? Sandera!”
“Ayoh, cobalah sekali lagi.”
“Tak ada yang lebih hina daripada sandera. Kalau aku
jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari
terus m embersihkan dadanya.
“Cobalah sekali lagi,” tentang G elar. “Tak bisa kutikam
waktu jaga. waktu tidur pun kena.”
Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu m engalah dan pergi
sambil mengurus dadanya yang berdarah dengan pijitan
dan cengkam an.
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi katakata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti
hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa
pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya
tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan
siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang
sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda
lainnya. Ia mem beri isyarat dengan tangan.
“Naik!” perintahnya.
Dan G elar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi
lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang
lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak,
seseorang telah mencam buk binatangnya. Kuda itu terkejut,
melom pat. G elar terbalik di atas punggung kendaraannya
dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada
sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi
orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh
menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.
Prajurit yang mem erintahkan tadi mendekati dan dari
atas kuda m embentak.
“Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baikbaik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia
menggerakkan kudanya dan mem acunya mengelilingi alunalun.
G elar bangun berdiri, mem eriksai kakinya yang sobeksobek dan berdarah, kemudian mem basahinya dengan
ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak
jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang,
mem ang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu
nam anya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak
disebut-sebut belakangan ini: “Sultan! Sultan!” ia
menghampirinya sambil berpincang.
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus
datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali
dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan
diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah
pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai
bersih. Kemudian ia rangkul leher Sultan dan melompat ke
atasnya.
“Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul
dia, biar aku gebuk kepalanya.”
G elar tak duduk di atas pelana. Ia mem eluk leher kuda
yang tinggi besar itu dan mulai m emburu.
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk.
“Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada
kuping Sultan.
Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi
bersemangat. “Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia
menjempalit!”
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu
pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun
untuk menonton. Kemudian orang lalulalang pun
mem erlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa
pengum uman penonton semakin lama semakin banyak.
Orang berjingkrak melom pat-lompat, orang menahan nafas
ketegangan.
Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya,
tinju bocah itu m enggedabir mengenai angin. Dan demikian
beberapa kali lagi terjadi.
G elar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah
lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya
sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan
tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu
mem bungkuk dengan dua belah tangan erat-erat mem eluk
leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan
tubrukan yang menentukan.
Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan
suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke
sekian kalinya. Tetapi ia salah perhitungan. Tangan G elar
tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher
prajurit itu dua belah kaki dan m embikin jepitan sila.
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu
tetap dalam jepitan G elar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang
mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia
itu. Dan tangan G elar tetap mem eluk Sultan.
“Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!”
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan
dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh.
Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan
prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula
melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak
diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia
pun berayun kembali ke atas punggung kudanya.
Penonton terdiam terkejut.
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang
terakhir setelah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di
atas kendaraannya.
“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru.
Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak G elar
menghentikan Sultan. Prajurit itu m ulai m iring. Tangannya
yang sebelah mem egangi matanya dan kepalanya
menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan
pelan-pelan, kemudian berhenti.
G elar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun
lari mendapatkannya.
“Bodoh!” bentak prajurit bergelang baja yang semalam.
“Tidak ada aturan menggunakan kaki.”
Orang itu diturunkan
berlumuran darah.
dari
kuda
dengan
muka
G elar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong
sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas.
Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di
belakangnya.
Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan
G elar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan
pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendam nya m enungging,
dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak
dapat berbuat sesuatu.
Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang
G elar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan,
G elar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon
Senapati, G elar anak Nyi G ede Idayu. Temui dia dalam
hidupmu: Dan penduduk kota T uban, terdidik memuliakan
kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi
bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan
sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa
menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama
jadi calon prajurit.
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk
mengaguminya.
Kepala-kepala regu menjadi sibuk mengurusi para
pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan
pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah karena
mem ang sudah jadi adat yang mendarah-daging. G adisgadis datang mem bawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh
si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah
tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagahberaninya.
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal ram ai
dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan
daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di
dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan
tempat tidur G elar tak pernah sunyi dari daun bunga yang
ditebarkan.
Kemudian keadaan pulih kembali seperti biasa. G elar tak
mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan
kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di
dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap
dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad
untuk mem balas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus
bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di
lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang
ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula
pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya
dan penindasan.
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia
tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang
ditugaskan untuk melatihnya mem ainkan tom bak,
sebelum nya telah mem am erkan keunggulannya, baik dalam
melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat,
untuk mem atahkan keberaniannya.
Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu
mem ainkan tom bak? Juga G elar tahu. Hanya lengannya
belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan
permainannya kurang cepat
Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk
menindas dan
mengejeknya, mentertawakan
dan
menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap
pelatihnya yang angkuh terhadapnya.
Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara G elar
yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan
kelemahan-kelemahan yang mem berikan peluang bagi
lawan untuk mem asukkan serangan. G elar tetap menolak
tak m au m engikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, tetapi
keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap
dirinya.
Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan
itu m enghentikan latihannya, mendengus: “Kepala kerbau!”
“Apa?”
“Lepaskan cara lama. Salah semua.”
“Senapatiku lebih tahu daripada kau. Dia guruku.”
“Senapati tak pernah dididik jadi prajurit”
“Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya.
“Kalau terus mem bantah, kau takkan jadi prajurit yang
baik.”
“Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit?”
“Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit?”
“Peduli apa?”
“Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel.
“Siapa lagi?”
“Senapati Wiranggaleng? Bukan!” prajurit pelatih itu
menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang Senapati itu
bapakmu?”
“Semua orang.”
“Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.”
Dan G elar merasa kehorm atan keluarganya telah
dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan.
Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi
penduduk Awis Kram bil selebihnya.
Prajurit itu tertawa dan G elar semakin tersinggung.
“Mem ang Nyi G ede pernah melahirkan kau. Nyi G ede
yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak
pernah! Coba katakan, apakah Wiranggaleng pernah
mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!”
Melihat G elar mulai mengukuhkan pegangan pada
tom baknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia
pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang
sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan
melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.
“Jangan mencoba-coba gurumu, pelatihmu,” kata
prajurit itu. “Kalau bukan karena menghormati Sang
Senapati dan Nyi G ede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan
tom bak itu!”
Cuping hidung bengkung G elar sudah kembang-kempis
sebagai halnya Idayu bila marah.
“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu
Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.”
Tetapi G elar sudah tak mendengar lagi. Darah yang
telah menyesaki kepalanya mem bikin ia menjadi kalap dan
menyerang dengan tom baknya.
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu
mengelakkan semua serangan. Ia tahu, G elar bersungguhsungguh hendak mem binasakannya. Ia bersungguhsungguh bertahan.
Perkelahian
dengan
tom bak
adalah
perebutan
kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh
lawan. Mata tom bak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi
justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada
lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Duaduanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak
pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang
perkelahiannya m enyerupai permainan sodor.
G elar terus menyerang dan pelatih terus bertahan.
Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan
tangkisan silang. Tombak G elar terlepas dari tangan tanpa
ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tom bakmu!” perintah
pelatih.
G elar melom pat mem ungut senjatanya dengan mata tak
lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya
terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat
melemparkan tombaknya. Prajurit itu m engelak lebih cepat
dan menangkap tangkainya, kemudian melemparkannya
kembali pada G elar dan jatuh menancap di antara dua kaki.
“Ambil tom bakmu,” perintahnya lagi.
Tanpa diketahui oleh G elar, orang sudah datang
merubung. Dan G elar mulai melakukan serangan jarak
pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya
seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk
dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari
tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari,
melom pat dan mengendap, berkelit dan m enjuju.
Seorang kepala regu bergumam: “Bukan orang, iblis
kelaparan itu,” kemudian mem erintahkan: “Selesai!
Bubar!”
Bersam aan dengan itu satu pukulan telah mem bikin jarijari G elar tak dapat mencekam. Tom baknya terlepas jatuh
ke tanah. Cepat ia m engambilnya kembali.Tombak itu jatuh
lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendam nya serasa
akan m emecahkan dadanya.
“Pulang!” perintah kepala regu.
Semua bubar. G elar berjalan paling belakang. Begitu ia
mem asuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang
berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya
bergum ul bergulung-gulung dengan kemurungan.
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya
dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya
mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri
karena tak bisa mem binasakan pelatih itu. Dan ia ingin
dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan
habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka
lepaskan ia rasai gatal, panas dan m enggigit. Ia makin tidak
mengerti mengapa semua orang mem usuhinya, hanya
karena tidak mampu m encapai apa yang telah dicapai oleh
bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia
akan melom pat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan
gigi karena am arah. Ia panggil-panggil emaknya dalam
hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut
perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang
kekalahannya yang begitu m udah.
“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!”
seseorang m elengking ria.
“Kalau bantal sudah tertutup mata….”
“Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….”
Dan ingin sekali ia m embuang bantal dan berteriak ia tak
takut pada siapa pun. Ingin – ingin – tapi seluruh tubuhnya
menolak melakukan keinginannya.
“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung?
Lihat, seorang wanita datang m embawa keranjang….”
“Mana G elar, anakku?” G elar m endengar suara wanita –
suara lembut m emanggil-manggil.
“Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.”
Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya.
Kemudian terdengar lagi suaranya: “G elar, anakku,
bangun.”
“G elar! Bangun, kau!” kepala regu m emerintah.
G elar menghela nafas panjang untuk mendamaikan
perasaannya, bangun dan m enemui wanita itu.
“Aduh, kau sudah besar begini, G elar, sudah perjaka.”
Dan G elar berhadapan dengan seorang wanita bermata
agak sipit.
“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang.
G elar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu.
“Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau
padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang
paling mula, waktu kau dilahirkan?”
“Nyi G ede,” bisik G elar, lupa pada perasaannya yang
kacau sebentar tadi. Ia turun dari am bin, bersujud dan
menyembah.
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada
kepalanya.
“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut
mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat
dia. Kau pun tak kelihatan. G elar. Mengapa pakaianmu
begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah?
Keterlaluan Idayu. Datanglah ke kesyahbandaran, G elar.”
“Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang
luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan
asram a tanpa titah G usti Adipati, kecuali kalau sedang
latihan.”
“Tapi prajurit pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi
G ede.
“Ya, yang ini tidak.”
“Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan
sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang
ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. G elar?”
“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding
pada bungkusan pakaian.
“Em akmu mem ang keterlaluan.”
“Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi G ede.”
“Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati,
pakaian, pedang dan empat bilah tom bak. Nanti aku
bawakan.”
“Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera,
tak boleh punya senjata sendiri.”
“Sandera!” pekik Nyi G ede Kati. “Siapa bilang dia
sandera? Tidak m ungkin!”
“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat
diragukan.”
“Apa kesalahan Wiranggaleng Sang Senapati?”
Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya
sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang
dilepas tak menepati tugas.
“G elar! G elar!” ratapnya
menyebabkan semua ini?”
tiba-tiba.
“Siapa
yang
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada
sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, G elar.
Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia
mendehem. ‘Tinggallah tenang-tenang di sini.”
Ia bersiap-siap, kemudian pergi bercepat-cepat.
Tepat sebulan selam a di dalam asram a datanglah
beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti.
Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para
pemikul. Mereka mem bawakan untuknya pakaian dan
perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah
pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala
makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang
kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar
lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung
jumbai adalah suara dari ibunya: “G elar, anakku. Kau
harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk
menjam in kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka
jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu
sendiri baik-baik, G elar, jagalah keselam atanmu. Kau
sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk
dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu.
Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau
pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat
melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau m emasuki
asram a, kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa.
Maka itu aku m eminta padamu, G elar untuk mengerti satu
hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih
mengharapkan dapat bertemu denganm u, pada suatu kali,
di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan
jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi
sumpahku, G elar.”
Dan G elar mengerti benar apa yang tersirat di dalam
lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam
hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan
emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia
berusaha m endapatkannya dari tam u-tamunya.
“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala
regunya. “Jangan m enulis.”
“Sam paikan sembah sujudku pada emakku yang mulia,”
katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal,
“telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia
persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali
mengucapkan terimakasih.
Orang-orang sedesanya m elingkunginya dengan pandang
belas kasih. Ia bercepat mem unggungi mereka, dan waktu
mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang
ram ai-ramai m embaca lontarnya.
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal,
bahkan
dari
bangsal-bangsal
lain
orang
ikut
mem eriahkannya.
G elar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orangorang ini memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku
sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia
tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara
ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di
mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu
kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas
bukan emaknya.
Aku sendiri, ia m enentukan, tak lain diriku sendiri.
Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa.
Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar
lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan
pada dirimu. G elar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggilpanggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermainmainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi
mem punyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan
Senapatiku Wiranggaleng belum berbuat apa-apa dalam
hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu
pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain
dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang
tua-tua kita mengajarkan tentang kehorm atanjdan harga
diri. Itu di desa-desa, G elar, di kota rupanya orang sudah
tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai
tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita
itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain
yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati
Wiranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak
ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia
sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya,
maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih
berharga untuk emakmu daripada seribu pengejekdan
penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si
penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur
hidupnya. Tapi kau, G elar, anakku, akan tumbuh lebih
berharga daripada mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak
perlu mem balas surat emak ini, karena aku tahu kau tak
diperkenankan. Walau demikian Idayu tidak bicara pada si
gagu-bisu, tanpa surat pun G elar mengerti perasaan
emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di
sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan
malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk
dirimu sendiri.”
G elar tak mem balas surat itu. Ia sengaja tak meramahi
para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai
mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di
dalam asrama yang suka mem buang-buang waktu
melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang
lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang
merasa berterima kasih kadang pun merasa malu karena
perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud m encari
orang itu.
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang:
“Ayoh, barangsiapa mau m erampas surat ini, ayoh sini!”
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia
tersenyum senang, senyum pertam a selam a dua bulan ini.
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia
mem bacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak
sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan
pengawal pada um umnya. Dan orang-orang yang
mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi
taufan am arah dari Idayu sendiri. Juga kepala regu itu
menunduk dalam.
0o-dw-o0
Sesampainya di rumah Nyi G ede Kati dengan tak
sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan
begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia
menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu
kejam sejak semula daripada Tuan. Keji! Bahkan pada
anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka
kau m au binasakan dia sebagai sandera,”
“Ada apa kau ini, Kati?” Tholib Sungkar terheran-heran
tak tahu sesuatu apa.
“Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang
Adipati hanya kau!”
Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan
bukan tuan. “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung.
“Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin G elar, anakmu
sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi G ede.
“Dari rumah utam a ini, ke rumah Idayu sana, dan
lahirlah G elar. Idayu sendiri yang berkata. Seluruh Tuban
tahu ceritanya, semua tahu, siapa G elar, kecuali G elar
sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”
“Apa kau ini, Kati?”
“Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda
sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengam bil tongkat dan
berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan
ancam an hendak menyerangnya.
“Betapa kau hinakan Idayu. Kau paksa
mengandungkan anakmu selam a sembilan bulan….”
dia
“Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah
Almasawa. Kau kira siapa Idayu dibandingkan dengan
bidadari-bidadari lainnya?”
“Dan
mengapa mereka kau tinggalkan, dan
mengham bakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu
kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil
tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”
“Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?”
“Dengarkan kata Idayu? Kaulah pula yang mengirimkan
Wiranggaleng ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh.”
“Kati!”
“Kaulah yang mengada-ada m engirimkannya ke M alaka
dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas G elar
dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan
dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas
dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan
menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua
itu tidak benar!”
“Tak satu pun benar,” Tholib Sungkar m enjawab tegas.
“Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh
kau di depan umum,” Nyi G ede Kati menangkap tangan
suam inya dan mulai menyeretnya.
“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu
menyeretnya terus.
“Aku pukul kau,” Tholib Sungkar Az-Zubaid,
Syahbandar
Tuban
itu
melawan
tarikan
dan
mengamangkan tongkat.
Nyi G ede Kati mendadak melepaskan seretannya dan
Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melom pat
mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan
suam inya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari
tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan
diri.
“Hancur jari-jari ini,” pekik Syahbandar,
“Biar remuk!”
“Aku tak bisa menulis lagi nanti,” pekiknya.
Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang
dikangkangi istrinya sendiri ia tak m eneruskan niatnya, tapi
segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan
pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja
mencabuti rumput.
“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap G usti
Adipati.”
“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi G ede.”
“Jadi
kau
mengaku
menghasut,
memfitnah,
mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada
Wiranggaleng, maka kau carikan kuburan baginya di dalam
jung. Kau kalah perbawa dari Idayu, maka kau rampas
anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus,
bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu
tatasusila!”
Nyi G ede Kati melepaskan akan injakannya dan
menyepak kepala suam inya.
Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan.
Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau
tongkat dan m encoba mengaitnya.
“Pelindung kepala mulia!” Nyi G ede menyepak topi itu
dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.
“Dua kali kau aniaya aku. Nyi G ede.”
“Kaulah yang menganiaya
menghadap sekarang juga.”
mereka.
Aku
mau
Tholib Sungkar m elompat berdiri dan menubruk istrinya.
“Jangan, jangan, G usti Adipati sedang gering.”
”Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi.”
“Jangan, G usti Patih sedang ke Malaka.”
“Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada
semua orang,” ancam Nyi G ede.
“Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku
akan penuhi, Nyi G ede.”
“Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!”
“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar G elar bebas
dari sandera. Biar dia kemudian kembali ke desa dan
berkumpul dengan emak dan adiknya.”
“Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang
berkuasa. Kau sendiri tahu.”
“Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia
sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau
tahu apa bakal terjadi atas dirimu.”
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu
tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid
terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya
yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di
malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga
kunjung berlabuh.
Dan Nyi G ede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya
selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya
satu coretan setiap hari.
Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk
mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang
nasib G elar.
Nyi G ede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu
coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada
maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali m embuai
Sang Adipati dalam dongengan….
0o-dw-o0
Mem asuki bulan ke tiga G elar dianggap lulus dalam naik
kuda dan mempergunakan tom bak di atas tanah.ua
pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan
mendatang adalah memainkan tom bak di atas punggung
kuda dan m empergunakan cam buk perang.
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang
sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan
terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera
dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam
diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan
menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang
lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lim a jari lebih
rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar
Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada
sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan
senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia
masih bayi.
“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai
sandera?”
Darah G elar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan
sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan
Syahbandar, bahwa emaknya tidak mem punyai kesetiaan
pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh.
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu:
Em aknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada
suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya
yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta
Sang Adipati. M ak, aku dengar suaram u, Mak! Aku dengar!
Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.
G elar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, purapura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari
terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari
kecil sam bil mengaduh. M akin jauh berjalan, makin sunyi
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang
di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. Kemudian
sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang
kuda.
“Sultan! Sultan!” bisiknya mem anggil-manggil.
Binatang yang
meringkik pelahan.
dipanggilnya
bangun
berdiri
dan
G elar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang
pintu, mem eluk kuda itu pada lehernya, dan mem bawanya
keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk
leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. Sultan, jangan
gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam
ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa
sanggurdi.
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai
berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang,
mem asuki padang alang-alang. Setelah jauh dari daerah
perum ahan G elar m emacunya ke jurusan jalanan negeri
Malam terang bulan itu tiada angin m eniup. Pepohonan
berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada
berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di
angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah
berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak
hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang
mengepul di belakang.
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan.
G elar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya
dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang
di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang
adalah maut dan penindasan.
Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya,
biarpun ditam bah dengan tiga lemparan tombak.
0odw-o0
33. D emak Mulai Bergerak
Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan
Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota
Malaka, dan Portugis terpaksa mem batasi ruang geraknya
di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan m enyerang.
Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang
kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan
jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara
Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan
tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga
itu tak punya pasukan kuda. Trenggono m emperhitungkan:
juga Blora akan segera jatuh.
Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di
atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat m elarikan
diri, di seret terus ke tim ur untuk jadi serdadu tam bahan.
Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari
kelemahannya mem asang perangkap-perangkap kaki kuda
dengan ranjau gam bangan dari bambu, yang dijajar
renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan
dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan
terdepan pasukan kuda Demak mem asuki semua perangkap
dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada
pasukan kuda kesayangannya. Ia m engancam bupati-bupati
bersangkutan akan m erejamnya hidup-hidup.
Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh
harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh
jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak
balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan
aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk kemudian
bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak
mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya,
menerjang yang terkena terjang mem bongkar yang terkena
bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung
yang dilewati.
Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah
dipusatkan Mfeetum nya di Juana, juga bergerak ke timur.
Rem bang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya
dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah
terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang
pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat
sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga
Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan
sendiri turun ke medan.
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan,
arm ada Jepara Demak, armada terbesar setelah jatuhnya
Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh
Panglim a-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar
Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran
yang sam a: ke jurusan Banten.
Sam a halnya dengan dua pelayaran sebelum nya di setiap
bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk
menghadap Peranggi.
Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke
jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati
tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga.
Mengapa arm ada yang ditimang-tim ang Adipati Unus itu
tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya
dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke
Banten dan mem belok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan
mem ang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke
Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga.
Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama
sekali.
G erak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir
Mereka melihat arm ada besar itu menurunkan beberapa
pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu
pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada
menurunkan pasukan bantuan, kemudian mengangkat sauh
dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukanpasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam
pertempuran.
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda.
Tiba-tiba mem belok ke kanan, mem asuki bandar Banten
sambil melepaskan tembakan-tem bakan cetbang. Banten
pun melepaskan cetbangnya, tetapi pasukan-nya telah
banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran
cetbang yang berjalan selam a setengah hari telah
menghabiskan peluru Banten.
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan
pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana,
ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga
Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi
sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan
dari belakang.
Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya
Pada hari ketiga setelah pendaratannya kekuatan Demak
mem asuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah
dalam jumlah dan persiapan. Dan setelah seminggu
bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam
kekuasaan Demak.
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orangorang Demak jadi pem egang kekuasaan di Banten. Dengan
keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan
penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan
datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya
melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir
barat dan utara Banten.
Taraf pertam a persekutuan militer Trenggono-Fathillah
telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak,
seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak
harus jadi modal.
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih
kembali. Fathillah mulai mem anggili penduduk dewasa
untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah
ganti kerugian manusia selam a pertempuran seminggu.
Semua pandai besi dikerahkan untuk mem bikin peralatan
perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya
akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin.
Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa.
Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan
kedudukan G resik sebagai bandar terbesar di Jawa. Tetapi
Banten sendiri tidak mem punyai armada dagang ataupun
militer, karena percaya kegiatan perdagangan takkan
menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu
selam a dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain.
Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini
telah diperhitungkan oleh Fathillah
Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan
bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan
mem asuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk
bandar Banten sendiri mem bantu dan menyokongnya.
Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampungkampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah
penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara
dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan
takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara
Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu
takkan m ungkin dapat ditahan oleh kekuasaan m anapun!
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh
orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara
beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan
pengetahuannya tentang agam a Islam dalam waktu hanya
beberapa bulan orang m ulai m elupakan penyerbuannya dan
melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di
mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama
setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan
majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan
agam a Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya
mem bentuk barisan m usafir sebagaimana pernah dilakukan
oleh Demak, hanya sekarang untuk mem asyhurkan
G ubernur-Panglima-Laksamana Fathillah.
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman.
Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk
menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi
dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan
senjata, tetapi kekuatan besar Demak yang m embeludak itu
tiada terlawan. Kemudian mereka melawan dengan katakata – makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun
tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan
daerah hidup baru tanpa Fathillah.
Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan
Demak sampai pada Wiranggaleng dua bulan kemudian:
“Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke
suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana
kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menarinari dengan Peranggi di atas pundak si Wiranggaleng, anak
desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo
Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini
sekarang m enjadi lola di negeri orang ”
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang
terjadi telah melawan cita-cita Rama Cluring, bertentangan
dengan Adipati Unus.
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan
Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa,
justru bersangkut-sangkutan, bertali-tem ali.
Ia pulang ke m arkasnya. Dan Pada telah menunggunya,
juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu
teguran. Wiranggaleng tak menegurnya.
Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu
pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati
bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi
pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi,
dapat digarap jadi daerah pertanian tetap.
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak mem berikan
jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang m enyetujui.
‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau
kurang m enyetujui. Kam i ada persoalan lain. Setelah Sultan
Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh
Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik,
dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.”
Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh
yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada
Trenggono.
“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga
penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi
perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaikbaiknya.”
Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat
kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka
menggerom bol dan mem bicarakan kemungkinan terjadinya
penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri
“Sedang kita ada di sini’ m ereka mengeluh.
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang
Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata
betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk
melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi.
‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin
kesatuan, “telah mengubah kedudukan kita menjadi badut
yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui
Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan
sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan
kepergian kesatuan Aceh.”
“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda
Sultan dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan
kesatuan Aceh menyam paikan, “bebasnya Malaka dari
Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam.”
“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan
Bugis mem berikan jaminan. “Jatuhnya Malaka juga jadi
urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke
utara akan kembali terbuka.”
Dua minggu setelah itu kesatuan Aceh minta diri untuk
kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk
mengirimkan Pada pulang ke Jawa.
“Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan
kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem
Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa
menghadap G usti Ratu Aisah.”
Dan dengan demikian berangkatlah Pada.
Setelah pertahanan Rem bang patah dan medan
pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara
Demak mem asuki Rem bang, menjarah-riah segala yang
dapat dan ditemuinya.
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman.
Balatentara pemenang itu kemudian membelok ke
selatan untuk mem bantu menghancurkan persekutuan
militer Pesantenan Blora.
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya
balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan
melarikan diri ke selatan.
Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono
sendiri, m enang untuk ketiga kalinya.
Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten
dan mem berikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa!
Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara
yang bertemu di Blora, dengan mem bawa serdadu baru dari
tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan m enerobos ke
timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara.
Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah
menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara
Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang
dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah
di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat
menembus pasukan gajah.
Telah ia pilih tanah lapang untuk m embuka m edan ini di
mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya.
Ditunggunya para penyerbu itu m enyeberangi tanah lapang
itu. Dan perhitungannya tidak keliru.
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda
Demak yang bersenjata tom bak berjumbai berwama-wami
itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip
kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke
pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri,
bersuling, lari ke depan mem bawa bentengan kayu di atas
punggung.
Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tom bak mereka
yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar
siap untuk melayang. Tetapi mereka tak pernah berlatih
menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu
menyulitkan pembidikan.
Sebaliknya panah dan tom bak
berlayangan bebas menuju ke sasaran.
dari
atas
gajah
Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat
gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di
hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukantubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di
belakangnya langsung mem belok menghindari tanah
lapang.
“Lindungi Sultan!” seseorang berseru.
Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala
Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan
kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang
bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap
Sultan!” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui
ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di
medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami
banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum
pasukan kaki Tuban dikerahkan m emburu. Bagi Trenggono
sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk
gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa
Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas
Blam bangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan
ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan
Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas
nam anya. Dan Islam, menurut Fathillah yang kemudian
juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari
Peranggi.
Khusus untuk Trenggono, Blam bangan adalah gudang
peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan
Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris
syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan
sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak.
Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban m embikin
ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke
utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian
kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki
pasukan gajah.
Tetapi Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu.
Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia
pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota.
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan
untuk menyibuki pasukan kuda Demak.
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi
terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa
kerusakan pada kedua belah pihak.
Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara
menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam , kemudian
mengancam perbatasan timur Tuban.
Meriam Portugis
kedatangan m ereka.
di
tangan
Tuban
menyam but
Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu
sehingga gerakannya terhenti sama sekali. Kemudian
mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada
tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan.
Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan
pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.
Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan
pasukan gajah. Dan Demak m eliuk kembali ke utara. Sekali
ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan
meninggalkan pasukan gajah.
Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga
dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu
punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap
dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya.
Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh
musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.
Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak
ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah
Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi
tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan
kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga
pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di
tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi
mem berikan perintah untuk siaga.
Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil mem bendung
desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di
Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa
perintah
Patih-Panglim a mulai disiagakan
untuk
mem pertahankan kadipaten dan kota.
Dengan gopoh-gopoh Braja mem asuki kadipaten untuk
mem persiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang
perwira diperintahkannya mem beritahukan pada penduduk
untuk mengungsi.
Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja
dua orang pengawal bertom bak itu masih berdiri di
tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu
lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga m asuk.
Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk
mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia m enyembah, m enarik
tali untuk mem beritahukan pada penjaga di dalam. Tetapi
tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu.
Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan.
Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu.
“Braja!” panggil Sang Adipati.
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah.
“Ampun G ustiku, G usti Adipati Tuban sesembahan patik.”
‘Trenggono berkhianat”
“Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. G usti.”
“Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak?”
“Sorak-sorai Demak, G usti.”
“Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara
semakin lama semakin pelahan, kemudian tak terdengar
lagi.
“G usti, sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang
Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi.
Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah
menjadi begitu ciut dan ram butnya yang begitu putih
seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan
jatuh di samping kepala. Ia am bil destar itu, ia tutupkan
pada wajah jenasah itu. Kemudian ia lari keluar dan
berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi!
G usti Adipati Tuban jangan ditunggu. G usti telah
mangkat.”
Ia terus lari ke belakang, tak mem pedulikan orang
berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu
itu terkirai, ia m asuk di bawah protes Nyi G ede Daludarmi,
ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke
mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara
Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua
barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit
kebingungan.
“Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari
sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.”
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa
sekarang ia kawal? Jenasah Sang Adipati? Harta-benda
kadipaten? Ia lari masuk ke dalam asram a, mem anggil
semua anakbuahnya, kemudian memerintahkan semua
bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang
Wirabumi.
“G ila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.”
“Apa yang dipertahankan? Sang Adipati telah m angkat.”
Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam.
Mangkat? Ia term angu-mangu. Apa lagikah yang harus
dipertahankan?
Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara
Demak – tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli!
Tam bahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari
kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan
langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para
pengawal.
‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya,
“Sultan T renggono Demak datang!”
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri
Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya.
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu
datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri
dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia m enengok ke
belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda
masing-m asing dan tak m enyaksikan suatu penyerahan.
“Bedebah! Tum pas setiap yang hidup di dalam sini”
perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten,
Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.
“Peraduan
Adipati
Tuban,”
seorang
perwira
mem persembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing Tuban!”
pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang
bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada
Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya.
Dan tubuh terbujur itu tiada mem perdulikan-nya.
“Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya
destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban.
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat
Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali
kerisnya dan bergumam, “Sayang. Tak kau saksikan
bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan
bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang
kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobeksobek oleh pasukan kuda Demak!” Ia berbalik lagi dan
melusuhi mayat itu. Dengan dem ikian ia tak jadi berm arkas
di kadipaten.
Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil
masih juga tak dapat m emutuskan apa harus diperbuat.
Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa
terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan
pertempuran daripada menderita kan malu telah kalah
tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan
kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela
kalah sebelum bertempur
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa
mem beritahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan
kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota
yang telah jatuh ke tangan m usuhnya.
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan
yang telah kehilangan raja m elakukan serangan pembalasan
Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya
kemungkinan itu
Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara
Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan
menjarah kemarin dan semalam, masih am an tenang
bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan
cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban
menyam bar-nyambar seperti elang
Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat
dengan meninggalkan jarahannya
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan
terjadi. Prajurit pengawal mem bangunkannya dengan kasar
dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan.
“Bedebah!” pekik Trenggono
“Mereka menyerang, kembali. G usti”
“Siapa menyerang, bedebah? Adipati Tuban sudah
mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya
mencari pedangnya, tetapi senjata itu belum lagi padanya.
Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua.
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng
Wareng mengguruh dan segala penjuru.
Buru-buru Trenggono m elompat ke atas kudanya.
“Ke sini. G usti,” seorang prajurit.
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan
pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya
serasa hendak meledak karena murka, merasa dihina dan
dipermain-mainkan.
Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng
bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia
segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati.
Kemudian dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali,
meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong.
Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh
Wiranggaleng. Dengan berita masuknya Demak ke negeri
kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus
mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat.
Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak
berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa
Tuban mengirimkan armada jung? Di mana kapalkapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan
mengapa meriamnya ditahannya sendiri? la belum dapat
mem utuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan
dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi,
dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak
menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban
mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban
mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu,
sekarang pun masih tetap ragu-ragu.
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya.
Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada m empunyai pusat
pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil mem batasi
ruang-gerak musuhnya. Tetapi apakah artinya semua itu
bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak
mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi?
Dan beban tam bahan yang tak kurang mem berati
pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari
prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi
petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas
mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan
Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan
cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang
subur m enghidupi itu.
Hanya dengan ancam an hukum an keras saja ia berhasil
mem erintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk
mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya
mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak
mem punyai perhatian terhadap pembebasan negerinya
sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi
Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri.
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini?
Dan tak ada yang dapat mem bantunya berpikir. Kadang-
kadang ia menyesali diri bodoh hanya karena berasal dari
desa. Kemudian ia bantah kembali: apa kurangnya
Trenggono? Dia Sultan mem iliki segala-segalanya, nam un
dungu!
Dari pengalaman selam a ini ia merasa hanya
mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang
untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan
pelajaran ini takkan dilupakannya selam a ia masih
menghadapinya.
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata
tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan
bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan
pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan
luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis
sendiri? Para telik tidak tahu. Wiranggaleng pun tidak.
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi,
malah makin lama makin kendor kehabisan gairah,
mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan
pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana
lama untuk menguasai sumber lada dari selatan.
Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lam a,
Fathillah, telah mem bikin kering arus lada. Harganya di
benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali
lipat itu pun m asih sulit didapatkan. Portugis telah m emberi
penntah pada G oa, G oa pada Malaka agar segera mengisi
pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya.
Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan
arm ada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa
yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi
kapal dan perahu yang meninggalkan atau mem asuki
bandar.
Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya
untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di
daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada
Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan
hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada.
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama
saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade.
Wiranggaleng tidak tahu sama sekali tentang apa yang
terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin
menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Keduaduanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran,
dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menam bah
kekuatan manusia? Prajurit setempat tidak ada. Kampungkampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan
penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada
pertanian dan pertukaran barang semata-m ata. Mereka tak
mem punyai kepentingan dengan penghalauan terhadap
Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung
merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu
kemudian dibenci oleh orang-orang sekam pungnya.
Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil
itu kehilangan daya dalam m engimbangi kebutuhan asmara
dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang
yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita
Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin
banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara
Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot
juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di
negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan
penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam
soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi
pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu
seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung,
seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah
perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil
menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke
kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu
pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia
menjadi petani atau nelayan saja.
Wiranggaleng tahu ia tak punya kemampuan untuk
mem bendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar
karena Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh
ke tangannya.
Pada
meninggalkan
Banda
Aceh
Darusalam
menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa
mendarat di Makasar. Di sini ia m enumpang sebuah perahu
Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu G resik ia
menuju ke Tuban.
Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan.
Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun
sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar.
Warung Yakub terkunci dari dalam.
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia
mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara
Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya.
Kewaspadaan
terhadap
kemungkinan
ditangkap
punggawa Sang Adipati karena dosa-dosa lama lenyap,
digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia
rasai ke m ana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut
juga yang menganga.
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke
Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing,
yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh
penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga
Pecinan mengangakan m ulut maut.
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepatcepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri,
menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun.
Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada
apa-apanya?
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu
itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di
situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya
manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di
perguruan dan pesantren, dan guru-guru, dari dongengan
dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan
orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang
lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari
tak bisa mem bela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersoraksorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan
dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau
anjangsana tapi untuk mem bunuh dan hanya membunuh.
Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan
yang lain.
Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam
tengkurapnya pada T uhannya, memohon perlindungan atas
dirinya untuk sekali ini saja, karena dalam keadaan seperti
itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet
melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya.
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian
tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah
berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan
berpendaran ke mana-m ana mencari jalan paling dekat
untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar
mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara
Demak m akin lama m akin mendekat
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan
perisai yang m engganggu gerak. Ratusan orang yang diburu
oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan
timur lenyap dari penglihatan Pada.
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan
ketakutan yang am at sangat m enusuk seperti jarum panjang
di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak
mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Setelah
berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia
merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu
dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang
mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri
ogah menjawab, la gigit lengannya untuk mem bunuh
pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran
khianat.
Dan di depan m atanya kini melela pasukan kuda Demak
yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang
mem buru tikus. Masing-masing mem bawa perisai dan
tom bak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya,
seperti petani-petani sedang mem buru tikus di sawah.
Itukah wajah Demak yang selam a itu kumasyhurkan?
Itukah wajahnya yang sesungguhnya?
Sebagian kecil pasukan kuda itu mem belok ke kiri,
mem asuki daerah pelabuhan.
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras
tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur
agar tepukan berhenti. Tetapi sesuatu yang merambat pada
tulang belakang mem aksa pantat ini menggelom bang,
mem ukuli tangannya, gelom bang demi gelom bang. Detapa
mem alukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas
dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan
manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor
cacing. Ya Tuhan, bila kau tam atkan aku dari bahaya ini,
aku akan lebih berbakti pada-M u, lebih, lebih dari yang
sudah-sudah.
Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiangtiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah
basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup
matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela
geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah
pelabuhan.
Sunyi-senyap sekarang.
Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur.
Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak
berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. Setelah agak
tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih
kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik
selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian
kotor dan kaki
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan.
Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan
kuda berdatangan lagi untuk kemudian bertemu dengan
pasukan kaki. Mereka mengerum un seperti gerom bolan
semut.
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu mem bubarkan
diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumahrumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak.
Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang
tidak m embuka diri dirusak.
Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang.
Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang
mengambil apa saja yang dapat diam bil, memasukkan
jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah
jadi makian dan tawa bahak.
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi
menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan
kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak
kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah
canang perunggu.
G elom bang prajurit Demak mulai menyerbu ke
pelabuhan. G alangan kapal kemudian jadi api unggun,
demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuhrendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa
jarahan masing-masing.
Sekarang Tuban Kota m endapat giliran.
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempattempat lain.
Pada alias Mohamm ad Firman telah lama dingin di
tempat.
0odwo0
34. Kekacauan di Jaw a
Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut.
G alangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh
menjadi bara.
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia
mem bersihkan diri.
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan
bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah.
Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa
kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik
lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada
keselam atannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi.
Di bawah ia merasa resah karena belum merasa bersih.
Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa
mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah
jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan
kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarahmenjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan
pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya
lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia
melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia
merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia
tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa
itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada
dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia mem asuki pekarangan
rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur
dan mem bersihkan diri, mencuci pakaian yang
dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati,
tanpa mem bangkitkan bunyi.
Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil
wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang
telah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian
basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin
menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri
dari gigilan sengaja ia mem percepat jalan, tubuh lari sampai
terengah-engah.
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih
dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia.
Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik:
Awis Kram bil – Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah
yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota
dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengahengah.
Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke
dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu
datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia
mem akannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson
kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam
serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang
sebelum nya telah di-injak-injaknya m enjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya
masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu
benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas
hangat mem uputi mukanya. Dan ia meronta. Kemudian ia
dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita.
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam
pelukan seseorang.
“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita
lainnya.
Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,”
pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.”
“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega,
“mem ang Pada ini”
“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara
hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat
dicuri. Mem ang dia.”
“Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertam a-tama
menam bahi dan pelukannya dilepaskan.
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri.
Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat
diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki
terpakukan pada tanah.
“Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong
kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba
mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung
rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya.
wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di
antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada
yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak
pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya
mem ancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak
seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda
mereka semua tak bersuami. Tetapi mengapa tidak hitam?
Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka
nam pak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit,
jelas seorang gadis Tionghoa.
“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?”
seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?”
Lam bat-lam bat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan
mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia
tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik.
“Lepaskan aku.” pintanya sopan. “Mengapa Nyi Ayu
sekalian ada di sini?”
“Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai
tak tahu ada perang? Dan G usti Adipati sudah mangkat?”
“Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?”
seseorang bertanya, kemudian menggelendot padanya.
Pada sedang teringat pada sumpah Wiranggaleng. Dan
sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang
Adipati telah m angkat. Ia bisa pulang ke Tuban.
“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?”
“Mari aku antarkan
perbatasan, bukan?”
ke perbatasan.
Semua
dari
“Tidak semua,” salah seorang m enyangkal.
“Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka
mem benarkan. Suaranya tegas dan mantap.
“Dan sahaya dari Lao Sam,” gadis Tionghoa itu
mem perdengarkan suaranya.
Pada menatap yang tertua dan term uda itu bergantiganti. Ia belum pernah mengenal m ereka. Yang tua tentulah
pengurus keputrian, yang muda tentu selir terbaru.
“Nyi G ede?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu
menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di
antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara
bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak
tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu.
“Mari berjalan,” Pada menyilakan.
“Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil
mem ijit-mijit kakinya.
“Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan
terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan
harapkan aku m au menggendong.”
“Jantanku! Jantanku! Begitu kejam nya kau sekarang.
Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?”
Pada tertegun dan m enengok padanya.
“Barangkali karena aku sudah jadi tua begini, Pada?”
Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya
perasaan.
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak,
menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian
mengikutinya seperti anak-anak ayam mem buntuti
induknya. Dan semua mem bawa bungkusan, di-sunggi di
atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling
belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti
cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat.
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang
sekali, seakan ia sedang mem perlihatkan diri sudah
mem unggungi masa lalunya untuk selam a-lam anya. Antara
sebentar ia dengar suara mem anggil-manggil minta
ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja
baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat,
terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi
G ede semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas
bumi ini.
Nam paknya Nyi G ede Daludarmi telah banyak
mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseruseru: “Pada, Pada, berhenti dulu!” katanya seperti
mem erintah.
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanitawanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan
pengurus harem itu.
“G usti Adipati sudah mangkat,” katanya bersungguhsungguh, “tapi aku masih membawa tugasnya, mengem ong
wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan
mereka di masa-m asa yang lalu. Aku pun tak peduli apa
perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta,
pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang
mem butuhkan perlindungan.”
Sejenak Pada mem berontak terhadap kata-kata itu.
Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh
pada tugasnya.
“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada m enerangkan.
“Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal
selam at sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa mem buru
kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama:
selam at’
Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik
melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh
paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan
binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin
rapat juga.
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap
berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai
penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat
merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan
mengucapkannya.
Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak
menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak
mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan
berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai
menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja telah mem bikin hutan rapat itu jadi gelap.
Perjalanan m emang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia
mem erintahkan m enyiapkan tempat tidur masing-masing di
atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai
menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam.
Api unggun disiapkan.
Ia kemudian menyiapkan obor dari ranting-ranting dan
pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari
um bi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti
perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari
percakapan.
Dengan diam-diam pula
mem ahami pendapatan m ereka.
orang
mem bakar
dan
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka
telah diram bati oleh semut dan segala macam serangga,
juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersihbersihkan.
Pada mem isahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura
tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan
itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekatdekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur
demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas
daripada manusia buas.
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin.
Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa
risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya
agar tak padam sampai tengah malam.
Dalam desakan wanita yang terbaring di sampingmenyam pingnya Pada mem ikirkan soal lain: sekiranya
Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya
terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini
mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari
balatentara Demak? Ataukah dia akan melarikan diri
sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawartawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab
pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selam atkan diri
sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang
telah lolos dari hukum an matinya, justru yang melindungi
orang-orang penghiburnya selam a itu. Pada! tidak lain dari
Pada!
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini,
ia merasa sebagai manusia yang lebih agung daripada
seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan
matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita
penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya.
Ia jadi iba hati.
Bukan hanya Sang Adipati, ia berani mem astikan,
sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa
ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan
lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya
kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang
karena kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar
laranganMu.
Selir-selir yang jauh daripadanya, dan tak yakin akan
keselam atan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya,
berebutan
mem eluk
atau
memeganginya
untuk
mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas.
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan
aku!” pintanya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.”
“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh,
tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar
aum an harimau. Semua terdiam, juga Pada.
“Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan.
“Karena itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa
menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku
pergi seorang diri malam ini juga.”
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi
G ede
Daludarmi.
Dari
tempatnya
wanita
itu
mem peringatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah
sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.”
Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar
yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani,
seorang panglim a yang kehabisan m usuh.
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain daripada
mengikuti perintah. Tiada antara lama kemudian mereka
mulai
tertidur.
Pada
mendengar
Daludarmi
menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang
menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang
Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri,
menggabungkan diri dengan yang lain-lain, kemudian
mem baringkan badannya yang berisi itu di atas tilam
semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh
api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada menghampiri mereka, mengam ati seorang demi
seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada
seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur
dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat
mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat
mengingat mana-m ana yang pernah digaulinya semasa
kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua
daripadanya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang
seorang itu semua lebih tua daripada Nyi G ede Idayu.
Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun
jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan
kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang
hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam
sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan
paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong
yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka
dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala
macam bahaya.
Dengan berbantalkan bungkusan masing-m asing mereka
tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang
Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila
kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja!
Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus
perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh
dan hati mereka dulunya? Berapa saja di antaranya telah
putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang
Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masingmasing?
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah
menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok
dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada
menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan
prastika.
Sekali lagi ia um pani api dengan kayu bakar baru.
Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia
bertayam um,
kemudian
bersembahyang,
bertakbir,
bertahm id dan beristigfar. Dan ia mem ohon mendapatkan
kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam
takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana
Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu.
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di
bawah kaki m ereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada
keras lagi.
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari
sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun
terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan
mereka, tanpa mem beri peluang untuk bisa bermanja atau
mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan
bersama-sam a mereka mengitari tempat sekeliling. Ia
potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan
buah m linjo, dan pungutkan mereka madu lebah.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang
tidak secepat kemarin. Ia pun m au mem bantu memikulkan
beberapa bungkusan.
Sam pai di depan G owong Pada sengaja berhenti untuk
mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan
Idayu dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik
kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang
dipujanya. Mem ang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa
yang bersama Idayu. Tak ada tubuh dan jiwa lain di
dalam nya, apa lagi jiwa selir. Dan Idayu: ibu dari dua orang
anak dan istri sahabatnya.
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat
digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru
mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya?
“Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya.
Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan
rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai
suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam
bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
“Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalam nya’ ia
mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua
itu…. kemudian datang seorang satria… dan ia merasa diri
satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa
sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah
bunuhi bawahannya karena ia ingin memiliki Sang Dewi
untuk dirinya sendiri. Tetapi Sang Dewi menolaknya.”
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak
berani tebarkan pandang pada m ulut gua.
“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam
sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang
pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran
mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan
siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak
bertanya m engapa Sang Dewi m enolak?”
“Mari berjalan
mem ohon.
terus,”
seseorang
yang
kengerian
“Ya, mari berjalan terus. Satria itu mem bunuh kepala
drubiksa itu dengan kerisnya, jauh kemudian hari ia merasa
menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris… oh,
tidak, ia m enghabisinya dengan pisau dapur.”
‘Tentu satria itu semacam orang linglung.” Daludarmi
menyela, “Tak ada seorang satria mem bawa pisau dapur ke
mana-mana.”
“Ya, barangkali
menjawab.
semacam
satria
linglung,”
Pada
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan
Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi
dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan G ua
G owong. Dengan nada mem aksa sekarang ia bertanya:
“Mengapa Sang Dewi m enolaknya?”
“Mungkin Sang Satria sudah linglung.”
“Mungkin Sang Satria
mem aksakan diri menjawab.
sudah
tua,”
seseorang
“Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau
menerimanya. Itu bukan alasan.”
“Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda.”
“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan
satria, dan kalian pernah juga m au menerimanya.”
Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
“Karena Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir
tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke
kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.”
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi
pula apakah gunanya orang lain harus melihat
kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia
kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi
dalam hutan Mem asuki daerah alang-alang yang
menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada
nam pak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan
wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua
mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-m angu di tepi hutan. Pada masuk
lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang
mem ohon keselam atan untuk seluruh rombongan. Ia
berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke
langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua
keselam atan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan
padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan
teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang m enentukan.
“Mari berangkat!”
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan
atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling
depan daripada paling belakang. Tak ada seorang pun
berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi.
Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Perm ukaan
alang-alang tak juga m au tenang, mengimbak-imbak seperti
om bak laut setiap angin datang m eniup, m enyesatkan orang
dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir
akan mem bangunkan raja maut yang sedang mengintip
entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas
perasaan-perasaan yang lebih kecil.
“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada
maut,” gum am Pada setelah selam at melalui padang alangalang dan mem asuki hutan muda. “Alham dulillah, ya
Allah, ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon
kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang
kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan
semacam itu,” bisiknya kemudian pada dirinya sendiri.
Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda
ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di
sana.”
‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang
mem bantah.
“Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita
nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain
mem bantah juga.
“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama
matahari sedang tenggelam dan kita m enginap di sana.”
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam
telah jatuh. Tak ada suara gam elan. Tak ada lampu
menyala.
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki.
Masih ada orang tinggal di dalam nya: suami-istri dengan
dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala
kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin
dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak
mencukupi untuk orang sebanyak itu.
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari
mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi.
Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan
seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan
rombongan yang lain.
“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.”
Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan
dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus
merasa am an di dalam lingkungan manusia yang belum
diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah
menyembul di timur.
Derap kuda mem aksa semua orang melompat dari
ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya
telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi
padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain daripada naik ke atas pohon
nangka di samping rum ah: Pohon itu sangat rimbun tetapi
tiada berbuah.
Prajurit-prajurit berkuda itu mem asuki rumah dengan
masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa
orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah,
segera mengejar dan menyambar salah seorang serta
mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa
berhenti dan kembali ke rumah m engikuti perintah.
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat
cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara
Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang,
apakah dia tentara Demak atau Tuban? Ia mendekam
mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara
pelabuhan dulu.
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta
ketakutan. Prajurit itu memeluknya sam bil tertawa-tawa. Di
dalam rumah selir-selir lain mem ekik-m ekik pula. Dan
prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana.
Pekik-pekik semakin meriuh dalam rum ah. Pada hanya
bisa mendengarkan. Kemudian tak terdengar lagi
perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang
menyesatkan.
Tiada antara lama kemudian mendadak serombongan
prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat
beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit
berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat
lari mem bawa pedang masing-masing menuju ke hutan,
melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar
mengepung dan mem asuki rum ah. Dan Pada dapat melihat
di antara dedaunan nangka itu tombak-tom bak beterbangan
mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya
menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada
ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah
hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa
orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda
yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak
masing-m asing. Dalam waktu pendek yang terkejar
tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari G emerincing
pedang beradu pedang dan tom bak terdengar nyaring dari
tempat Pada.
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat
seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang
yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun
lagi buat selam a-lam anya, la dapat saksikan dari balik
dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk
oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas.
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari
pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan
rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Em pat orang berkuda dengan pedang atau tombak
berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah
persembunyian Pada.
“Mem ang selir-selir G usti Adipati,” seseorang berkata.
“Bagaimana bisa sampai ke mari?”
“Mengikuti orang bernam a Pada, hendak kembali ke
desa.”
“Di m ana Pada sekarang?”
“Katanya lari waktu orang-orang Demak datang.”
“Dia tidak melindungi selir-selir itu?”
“Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan
prajurit. Katanya juga G usti Adipati telah m angkat”
Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari
tempatnya. Kemudian nampak seekor gajah perang berjalan
diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang
perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi.
Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam,
baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula
kembali.
“Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan
ubi dan gembili kemudian dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu
kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?”
“Sudah dibawa tentara Tuban.”
“O,” ia tak meneruskan.
Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka
tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-m asing,
kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan
beribu tenm a-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah Idayu.
Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rum ahnya
telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah
sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu
yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk
ke dalam .
Ham pir saja ia terlelap begitu m enyandarkan badan pada
daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya
yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga,
berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk
menebak di mana Idayu berada. Dulu ia dan Wiranggaleng
dan G elar telah mem buka hum a di dalam hutan untuk
tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi karena telah
kejatuhan luruhan daun selam a ini. Dan ia berjalan dengan
susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi,
terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari setelah berputar-putar dalam hutan
sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia
sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan
baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan
hum a itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana
berdiri di tengah-tengah. Dan tentu G elar ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya
terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah
Idayu segera akan nam pak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar
melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi
tom bak menyam bar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak
itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon
tempat ia tadi berhenti.
“G elar! Aku di sini, aku, Pada,” ia mem ekik.
“Pam ankah itu?” terdengar suara G elar, dan pem uda itu
muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman,
tiada terduga. Pam an dari Malaka? Mengapa kelihatan
lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.”
Ia dapatkan Idayu tiada kurang suatu apa. Nampak ia
terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan
bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyam butnya.
“Kau kelihatan lebih tua. Pada.”
“Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya
menegang. Kemudian ia langsung bercerita tentang
Wiranggaleng dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di
Semenanjung.
Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Dan G elar
mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu
mem bikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap
orang-orang besar yang m empermain mainkan Senapati.
“Dan kau, G elar, kau kelihatan lebih kukuh,” Pada
langsung mem asuki persoalan pribadi setelah ceritanya
selesai. “Lem paran tombakm u seperti prajurit sungguh.”
Dan G elar hanya tersenyum senang mendengar pujian
itu. Ia m alu bercerita telah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari
Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama
semakin pelahan.
“Kau lelah. Pada.” tegur Idayu. “Dan matam u merah
seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.”
Setelah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali
ke Malaka. M asih banyak yang harus dikerjakan Dan Idayu
seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia
semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru karena
itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya
pada Idayu dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus
disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibuberanak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang
tercinta di Malaka sana: pulanglah, karena Sang Adipati
telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong
pembebasan atas M alaka
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang
wanita yang dicintainya dan tidak pernah mem balas
cintanya. Tapi juga gem bira karena akan dapat m elepaskan
dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama
berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya,
mem andangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan
ketabahannya. Tetapi bila karena sesuatu hal pandangnya
bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah
menerjang dadanya, dan darahnya mem beludag seakan
hendak mem bikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja
ia m emohon ampun pada Tuhannya karena telah m encintai
wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, am pun., tetapi
hatinya punya kemauan dan hukum sendiri
Waktu ia minta diri Idayu hanya menatapnya, kemudian
mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan,
bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia
menam bahi:
“Ampuni aku telah menyusahkan M bokayu selam a ini.”
Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh
wanita tercinta itu.
G elar pergi untuk mengurus kuda. Ia akan m engantarkan
tam unya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk
mem belah kayu bakar.
“Ya, pergilah kau dengan selam at. Dan kalau aku boleh
berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi
aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan
perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan
terbebas dari sikap yang m engganggu hidupmu selama ini’
Pada m embuang m uka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk,
ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, kemudian
bersama G elar m enerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
“Mengapa kau tak di medan perang. G elar?” tanya Pada
untuk melupakan kata-kata Idayu.
“Di pihak siapa. Paman?”
“Di pihak Tuban tentu.”
“Tuban? Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban
terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku
sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah
dibuangnya di negeri orang untuk berperang.”
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari Idayu, dari
Senapati dan dari Rama Cluring. Keluarga ini nampaknya
benar-benar anak-rohani Rama during. Dan sekilas ia
teringat pada ajaran salah seorang gurunya dulu bagaimana
seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat
terhadap guru-pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh
Rama Cluring sangat besar terhadap keluarga seorang yang
dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk
mengetahui lebih banyak tentang guru-guru itu. Tapi ia tak
jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan
tugasnya lagi.
“G elar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang
luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang
penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik
kuda dan melemparkan tom bak, segera aku dapat
mengetahui kau pernah jadi prajurit.”
“Betul, Pam an. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal
Tuban,” G elar m engakui. “Kemudian sebentar jadi Prajurit
Demak.”
“Demak?”
“Betul.”
“Kau mondar-mandir tidak karuan.”
G elar tertawa, kemudian m eneruskan: “Aku rasa, tinggal
bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk
emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada
Tuban dan Demak? Sampai sekarang aku tak tahu.”
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa m ondar-m andir
pada dua daerah yang saling berm usuhan.”
‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang
lain.”
“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? Demak
Islam, Tuban setengah Warn.”
“Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk
pembebasan Malaka, apalagi setelah ternyata Senapatiku
dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat
hanya dengan jung!”
Sekali Pada melihat semangat si Wiranggaleng di dalam
kata-katanya. Dan ia mem biarkan G elar meneruskan katakatanya.
Begitu, pam an, hanya di rumah aku merasa damai. Di
Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan
menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku?”
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di
belakang G elar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah
itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu
tajam ke jurusan lain.
“Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak
mau m enerangkan.”
“Tahu apa aku tentang itu?
Yang kuketahui selam a mi kau anak Senapati dengan
Idayu. Mengapa justru bertanya padaku
“Em ak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup
baikkah Wiranggaleng dan Idayu jadi orang tuam u?’ Aku
tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku
matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku
tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang gurupembicara, ia lupa nam anya… ia mengulangi kutipan itu
hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin
bim bang”
“Apa katanya?”
“Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah
mem inta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi.
Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang
dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.”
“Itulah guru-pembicara dungu.” Pada terangsang.
“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak
atau ibunya.”
“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’
Pada terkejut, tetapi pura-pura tak mem perhatikan. Tak
pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang gurupembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk
mem atahkan pengaruh guru-pembicara bukan golongan
sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrakabrik pengaruh itu.
“G elar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran
bukan saja mem bawa rahmat, juga mem bawa pesan pada
dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja.
Pesan itu juga diberikan kepadam u, padaku, juga untuk kita
teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai ‘Raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah’”.
“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang
kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan
perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti
pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan
karunia?”
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir
Pada. Dan cepat-cepat ia mem belokkan: “G elar, cobalah
singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir,
bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti
halnya sekarang? Bukankah itu karunia?”
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu
tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan
Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para
guru-pembicara yang telah berakar di dalam keluarga
Wiranggaleng.
Akhirnya m ereka terdiam kebosanan.
Tapi G elar tak urung mengulangi pertanyaannya:
‘Pam an belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak
Senapatiku?”
“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan
perjalanan seorang diri, G elar. Tentang itu, datanglah pada
emakm u. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup
dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui.
Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah,
terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada
emakm u, dan berbaktilah lebih baik.”
Ia ulurkan tangan untuk dicium G elar, tetapi bocah itu
tak m engenal adat itu. G elar m engangkat sembah dada.
Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya,
kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkeram an hutan ia berhadapan
dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia mem erlukan naik ke
atasnya, meninjau gubuk yang selam a ini ditinggali oleh
wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah
tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia
masuk ke dalam .
Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang
Demak telah memasuki rumah ini.
Cepat-cepat ia turun, lari, balik mem asuki hutan.
0odwo0
35. Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa
Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada
untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang W irabumi
gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerahdaerah pertempuran ia mem asuki Lao Sam dari sebelah
selatan.
Belum lagi mem asuki daerah perkampungan Lao Sam ia
telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena
dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, mem bantingnya ke
tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeonggeonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan
bawaannya terlempar entah di mana.
Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu
mengangkat badan untuk mem bebaskan kaki dengan
tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah
dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah.
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang
Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih
tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah
jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan.
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang
bertanya: “Tuban apa Demak?”
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab
tabah: “Dua-duanya tidak.”
“Bukankah kau Pribumi?”
“Betul,” Pada telah merasai kesakitan pada bagianbagian badan yang tersekat oleh tali.
“Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh mem asuki Lao
Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi.
“Tahu, tahu betul.”
“Mengapa berani-berani masuk kemari?”
“Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.”
Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di
kepalanya turun, mem bikin kakinya jadi semutan. Mereka
mengancam nya dengan senjatanya,
“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.”
“Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han.”
“Ha! Siapa kau ini?”
Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak
kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.”
“Tidak kenal.”
“Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini.”
Dan benar, mereka mem ang pendatang baru. Setelah
Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa
didatangkan ke L ao Sam dari bandar-bandar lain, terutama
dari Semarang, untuk melindungi perjanjian SemarangDemak dan Ceng He-M ajapahit Dua macam perjanjian
yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu
mereka rasai sedang terancam setelah Demak berada dalam
kekuasaan Trenggono.
Mereka tidak mengenal Pada.
Tetapi mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo
Han mereka melepaskannya dari ikatan dan m enggiringnya
di bawah ancam an tiga trisula menuju ke tengah-tengah
kota L ao Sam.
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah
dikenalnya -rumah Babah Cia M ie An. Ia disuruh duduk di
atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah
seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada
pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam
bahasa Tionghoa.
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu
mem bawa lampu tam bahan. Pada mengocok matanya.
Tidak salah. Ia m engenal dua orang wanita itu. Dan m ereka
nam pak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak
menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk,
dan mereka pergi menghindar.
“Ah, sahabat Pada Mohammad Firman,” tegur tuan
rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan
menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh.
“Sahabat m au m enemui Babah Liem, aku dengar.”
Pada m enggangguk. Pikirannya m asih tetap terpaut pada
perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih
terpancang pada pintu ke mana m ereka tadi menghilang.
“Nam paknya sahabat punya perhatian pada mereka.
Atau suka barangkali?”
Pada dipaksa
menggeleng.
untuk
menyimak
tuan
rumah,
la
“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lainlain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk
diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak.
Tapi kalau sahabat m enghendaki. ..”
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar
Pinjung dan Nyi Ayu Campa.
“Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah mem beli
mereka?”
“Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.”
“Perwira mana? Demak atau Tuban?”
“Tuban.”
“Masyaallah,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu
mereka selir-selir Sang Adipati? Bukankah yang seorang itu
Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?”
“Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri
yang m enjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut”
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar
dari mulutnya: “Aku datang dari Malaka…’
“Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah
Liem.”
“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan
Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri?
Dan pasukan Demak?”
“Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng.
“Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan
Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang.
Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan
Kalimantan. M aaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”
“Biar aku mencari Babah Liem’
“Koh…
G ouw
Eng
Cu
sudah
berkali-kali
mem beritahukan pada Liem Mo Han agar jangan
menyam paikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah
sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan G ouw
Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka?”
‘Tidak.”
“Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang
dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk.
Mem ang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa
dihindari. Perang, sahabat.”
“Dibunuh?”
“Ya.”
Mereka terdiam. Kemudian Coa Mie An meneruskan:
“Karena Babah Liem toh sudah menyam paikan pada
sahabat, aku merasa perlu untuk mem inta maaf pada
Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.”
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat
penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak
mengirimkan seorang pun ke Malaka.”
“Biar aku temui Babah Liem sendiri.”
“Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah
dilayani wanita-wanita tadi?”
‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.”
“Lebih baik sampaikan saja padaku, karena akulah
sekarang penggantinya.”
‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.”
“Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa
sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah
tiada.”
“Mati?”
“Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan
Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai
ajalnya.”
Pada m enyebut.
“Itu belum semua. Sewaktu mem bunuhnya, mereka
bersorak-sorak hendak juga menumpas Wiranggaleng dan
seluruh keturunannya. Juga nam amu disebut-sebut. Kalian
dianggap bersekongkol melawan Demak.”
Pada minta diri.
“Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan.
Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanakkeluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang
tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….”
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan
terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu
juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia
terpaksa balik ke Awis Kram bil untuk mem bawakan berita
ancam an itu.
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis
Kram bil. Ia terpaksa menemui lagi Idayu dan menceritakan
segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih
ke dalam lagi mem asuki daerah kabupaten Bojonegara. Di
sana ia tinggal selam a tiga bulan, mem bantu menyiapkan
ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan
pada kebesaran Tuhannya ia tak m erasa m erana lagi karena
cintanya. Sebaliknya G elarlah yang mem berinya kesulitan.
Ia selalu mengajak berdebat dan Idayu mendengarkan
dengan diam-diam. Ia tahu Idayu takkan berpihak padanya.
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu
kesimpulan. G elar mem benci apa saja yang berbau raja.
Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelalim an.
Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat
diatur tanpa ada seorang raja?
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak
mem uaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai
dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi
untuk melakukan tugasnya.
Sekali lagi G elar mengantarkan sampai ke perbatasan
Tuban. Sebelum perpisahan ia mem erlukan bertanya: “Apa
jawaban emakm u?”
“Tentang apa, pam an?”
“Anak Senapatiku kau ini atau bukan?”
Ternyata G elar belum juga mendapat jawaban. Dan
mereka berpisahan.
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya
hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya
pada dua bilah tom bak lempar. Pada pinggangnya sekarang
tergantung sebilah pedang.
Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan,
dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih am an.
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan
sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu
sangat berat. Lebih-lebih lagi karena ia tahu balatentara
Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di
luar kekuasaan Demak.
Setelah sampai waktu harus mem belok ke utara, ia
berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan
bekas rajanya. Dengan demikian ia selam at sampai di
Jepara.
Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan
perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan
cambangnya m elebat pada mukanya.
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu
Aisah. Sama sulitnya dengan m enghadap Kala Cuwil.
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo
rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang
menegurnya. Maka ia pun mem utuskan, bila pada hari
yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan
meneruskan perjalanan ke Malaka.
Matari sudah mulai condong dan badannya sudah
sesiang tadi mandi keringat.
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin,
berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau
bersim puh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa,
Pam an, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa
kau ini. Paman?”
“Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati
Wiranggaleng, datang untuk m enghadap G usti Ratu.”
“Wiranggaleng,” gadis cilik itu berseru riang.
nam a itu!” Dengan kekanak-kanakan dan
Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu
sampaikan. Duduk saja di situ, Pam an, biar
pada Nenenda Ratu.”
“Aku kenal
keramahan
akan aku
kubisikkan
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada
menghela nafas lega.
Dan matan sudah m ulai tenggelam. Ia m asih menunggu.
G adis cilik itu keluar lagi m embawa sebuah bungkusan dan
pundi-pundi.
“Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,”
katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk
Pam an, dinar-dinar mas untuk perjalananm u, dan ini,” ia
menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu
mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buruburu saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang,
kemudian jalan darat sampai Banten baru kemudian
menyeberang. Begitu pesan nenenda.”
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan m enyuruhnya
pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat
tanpa harga
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang
jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul
bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tom bak dan
pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang.
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke
Semarang kemudian berjalan darat mem asuki pedalaman.
Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan
dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus
mem atuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan
demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran.
la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten setelah
tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar
Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada JeparaDemak melakukan garis pengepungan terhadap Selat
Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau
tidak.
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam
rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia
berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap
cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya
akan lebih buruk daripada Demak yang Islam atau Tuban
yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk.
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati
mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah
lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu
Aisah.
Dengan ragu-ragu ia mem bukanya, mengetahui bukan
haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah.
Tetapi ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada
punggawa mem eriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada
Tuhannya juga ia serahkan putusannya.
Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas
bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak
keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih
yang sudah agak tua. Di dalam nya ada pembungkus lagi
dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning,
malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar
beberapa kali, lebih dari dua depa panjang.
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik
bergam bar kupu-tarung.
“Lam bang Jepara Adipati Unus almarhum!” pikirnya.
Kain itu dibukanya dan di dalam nya terdapat destar
dengan gam bar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu,
katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah
tilam alm arhum.
Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari
kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gam bar itu
pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat
lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga
dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas
kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan
tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. G ambar kupukupu itu seperti ditempel di atas lembaran m as itu, kaki dan
belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya
terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari
lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan
pada bagian kepalanya pun terdapat gambar yang sama.
Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan
kulit kepom pong kuning berisikan sebuah gelas emas
berukir gambar yang sama. Terakhir adalah keris yang
terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat
dan mas bertatahkan m utu m anikam.
Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah,
mengagumi indahnya ukiran.
Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia
akan m emasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran.
“Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini.
Mengapa tidak? Mem ang bukan hakku, hak orang yang
dapat m eneruskan cita-cita G usti Adipati Unus. Aku hanya
akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai
pada yang berhak.”
Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan
perjalanan, terus seorang diri.
Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai
mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia
mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali,
mengeringkan badan, dan mengenakan semua pakaian
kerajaan itu. Mem ang agak pendek dan longgar, tapi apa
salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah
mata karena pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan
ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk
kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan.
Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang
mengangkuti panen.
“Bismillah,” bisiknya, dan dalam pakaian Adipati Unus
ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil
menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan
berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan
dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali.
Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada
sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya
pada Allah ia berjalan melenggang dengan tangan kanan,
meninjau ke sana-sini seakan sedang mem eriksa sawah
sendiri.
Orang pertam a yang dipapasinya adalah seorang gadis
yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepatcepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut
dan menyembah. Dan Pada mengetahui benar anak itu
sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan
tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan
dan bergaya, lambat-lam bat berwibawa.
Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu
telah lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon
sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya
sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi.
Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah
dapat satu sembah.
Tetapi gadis itu terlalu lama belum juga m uncul, ia m ulai
mem anggil-m anggilnya. Anak itu m uncul juga dengan kain
basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan menyembah
lagi.
Dua sembah, senyum Pada alias Mohammad Firman.
“Hai, Upik!” perintahnya, “pergi kau mendapatkan
kepala desamu. Sampaikan Sang Pangeran Adipati Pada
agar dijemput.”
Ia tak yakin gadis itu dapat menangkap kata-kata
Sundanya, namun ia segera menyembah dan lari
meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di
tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan
tangan lain mem egangi ujung kainnya.
Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya
telah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang
mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup
di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah
melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali.
Jelas daerah ini jauh lebih baik daripada Tuban, Jepara atau
Demak. Udaranya sejuk dan nyam an.
Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh
bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup.
Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang
mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk
menyam but kedatangan Pangeran Adipati Pada.
Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondongbondong datang tanpa m embawa senjata. Dan ia m engucap
syukur.
Orang-orang berpakaian lebih baik daripada umumnya
penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara
mengenakan destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak
ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan
kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk.
Lelaki dan perempuan datang bersama-sam a seperti
biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka
berseri-seri, mungkin karena panen yang berhasil, mungkin
pula karena kedatangannya.
Tidak, bantahnya setelah teringat pada kata-kata G elar,
tak ada orang desa berseri-seri ikhlas karena kedatangan
seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu.
Seorang lelaki setengah tua berpakaian lebih baik, satusatunya yang menyelitkan kens pada punggungnya,
menyembahnya sekali, kemudian menyila kannya berjalan
lebih dulu.
Dan Pangeran Adipati Pada pun berjalan dengan satu
tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain.
Seseorang mem bawakan barang-barangnya. Dan semua
orang mengiringkan di belakangnya.
Pelataran kepala desa ham pir-hampir penuh dengan
tum pukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain.
Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu
dan menyam butnya dengan sembah.
Melalui tum pukan padi pula ia diiringkan mem asuki
rumah.
Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala
desa berlutut menyembah. Bocah-bocah bersimpuh di
tanah, juga m enyembah.
Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan
Sang Pangeran, insya Allah.
la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki
dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah
meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran.
Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik
di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan
mereka punggawa pada hari penghadapan.
“Betapa sukacita sekalian kawula di sini mendapat
kunjungan G usti Pangeran..”
“Pangeran Adipati Pada!” Pada mem bantunya sambil
mengangkat lengan m emamerkan gelang masnya.
“Dari manakah gerangan G usti Pangeran Adipati maka
datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring?”
Pada
mengumpulkan
kata-kata
Sunda
yang
dibutuhkannya, tapi ia tak mengerti betul apakah tepat
untuk keperluan resmi semacam ini. Ia menjawab sejadijadinya: “Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari
Jepara.”
“Jepara!” seru beberapa mulut.
Orang tak mem perhatikan keanehan
kalim atnya. Orang tersentak karena Jepara.
kata
dan
“Bagaimana mungkin, G usti Pangeran, sedang armada
G usti sedang m enerjang bandar Sunda Kelapa….”
Pada m enggeragap. la menyesal telah menggunakan kata
Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain?
Mengapa mesti Jepara? Nama yang sedang dibenci di
mana-mana. Ia tabah dadanya untuk mendapatkan
ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia
harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan
berkata meyakinkan, lebih pada diri sendiri: “Ketahuilah,
kau. Kepala Desa, kami Pangeran Adipati Jepara tidak
setuju arm ada Jepara-Demak melanggar Sunda Kelapa.
Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan Sultan
Trenggono Demak, saudara kami, juga dengan PanglimaLaksamana-G ubernur Fathillah.”
Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang
terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa
Tionghoa, Liem Mo Han mengatakan padanya: kalau kau
sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar
sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu
dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak
pandai Sunda.
Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan
ia meneruskan tersendat-sendat: “Jadi larilah kami kemari
untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah.
Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat
menghadapi Panglima-Laksamana-G ubemur Fathillah.”
Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang
di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak
ada jalan lain yang dapat ditempuhnya.
Belum lagi kepala desa mem buka suara ia menggeragap
lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa
dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda Kelapa.
Ia bermaksud hendak menerobos kepungan Demak dari
Sunda Kelapa, sekarang bandar ini justru jatuh ke tangan
Demak. Dengan m enantang Fathillah hanya karena hendak
berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih
parah.
“Patik semua di sini bergagama Hindu, G usti, sedang
G usti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri
kami dari laut, sedang G usti mem asuki negeri kami dari
darat.”
Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa
itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan
lain harus mem bantunya. Celaka. Cepat-cepat ia
menerangkan: “Ketahuilah, Pangeran Adipati Jepara ini
masuk dari darat tanpa mem bawa balatentara. Ia datang
sebagai pelarian.”
“Kalau begitu soalnya, G usti akan patik kirim kan utusan
untuk mem persembahkan kedatangan G usti Pangeran
kepada G usti Patih di Ibukota.”
Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau
datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk
menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya:
“Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan
untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami
penginapan untuk beberapa hari….”
0o-dw-o0
Armada Jepara-Demak mem blokade bandar Sunda
Kelapa dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan
bandar jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari
bandar, juga dari bandar kedua Pajajaran, Cimanuk,
berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung
selatan Sum atra, meloloskan diri dari blokade.
Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di
jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk
menguasai sama sekali Sunda Kelapa.
Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak
begitu berarti terjadi. Mula-m ula di daerah sekitar bandar,
kemudian meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran bandar.
Kekuatan Pajajaran di Sunda Kelapa terlalu kecil dan
lemah dibandingkan dengan belasan ribu balatentara
penyerbu. Pangeran Sunda Kelapa sendiri yang memimpin
pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran
pertahanan Sunda Kelapa dadal, pasukan Pajajaran
terdesak mundur sampai ke pedalaman.
Pangeran Sunda Kelapa ditemukan tewas di tengahtengah
empat
orang
perwira
yang
hendak
menyelamatkannya.
Fathillah, yang sendiri mem impin pendaratan, ikut
melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah
bandar. Ia tem ukan tugu perjanjian Portugis-Pajajaran yang
berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk
kantor dagang Portugis.
Ia
mem erintahkan
untuk merobohkannya dan
menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu
upacara.
Keesokan harinya Fathillah mendapat serangan
pembalasan. Pajajaran menurunkan balatentara besar untuk
menguasai kembali Sunda Kelapa. Pertempuran baru segera
terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan
canang dari kedua belah pihak.
Demak
menggunakan
cetbang
Blam bangan. Dan Pajajaran tak pernah
ledak yang melumpuhkan syaraf ini.
meninggalkan rawa-rawa dan naik
pengejaran peluru cetbang.
bikinan
pandai
mengenal senjata
Mereka terhalau
ke darat dalam
Melihat balatentara Pajajaran menarik diri Fathillah
mem erintahkan penghentian pengejaran. Seluruh bandar
jatuh ke tangan Demak. Perlawanan Pajajaran patah dan
Sunda Kelapa terpaksa dilepaskan.
Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk
menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, nam un
Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa
bandar, katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya,
Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka
bandarnya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut.
Seluruh pesisir harus dikawal.
Dan itulah yang akan dikenakannya.
Ia kerahkan penduduk Sunda Kelapa yang telah
beragam a Islam, dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan
dipersenjatai, kemudian dinaikkan ke kapal dan dikirim kan
ke Cimanuk
Pasukan kaki Demak ditinggalkan di Sunda Kelapa
sebagai tentara pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di
Sunda Kelapa sebagai Panglima Laksamana G ubernur
Banten dan Sunda Kelapa.
Penduduk Sunda Kelapa tidaklah banyak. Dalam banyak
hal bandar ini tak m ampu melawan bandar Banten. Daerah
bandarnya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian
dari Semenanjung, terutam a Malaka. Orang Pajajaran
sendiri segan tinggal di sini karena hebatnya penyakit
demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya
beragam a Islam. Mereka lebih berpihak pada Demak yang
Islam daripada Pajajaran. Apalagi Demaklah satu-satunya
kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir
Peranggi dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya
Sunda Kelapa ke tangan Dem ak terlalu mudah.
Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam
mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk
mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar
disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rangorang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja
untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada
mem bangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta
benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balikbalik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal kemudian
ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat
lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang
beragam a Hindu.
Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat
hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerakgerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksapaksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk
Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan
bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati
pada tam u agung yang jelas berada dalam kesulitan dan
sedang m encoba sekuat daya untuk keluar daripadanya.
Ia adalah Sabarani, anak kepala desa.
Ia jatuh kasihan. Baginya tam u itu sama sekali bukan
tam u agung, bukan seorang pangeran, hanya m anusia biasa
yang mem butuhkan pertolongan. Dalam gam barannya,
pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada JeparaDemak akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya
itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini.
Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggilmanggil untuk menolongnya. Tapi bagaimana? Ia belum
lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana? Sedang
dirinya sendiri pun m embutuhkan pertolongan?
Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang
ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan
merenggutkannya dari desanya.
Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat
sesuatu. Seluruh desa pun tidak.
Ia
menunduk waktu
orangtuanya
menyatakan
bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya,
sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan
mengirimkan utusan ke Pakuan.
Setelah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya
berkata padanya: “Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya
kau saja yang patut melayani G usti Pangeran.”
Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya,
mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat
tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati
menyebabkan ia merasa lebih dekat pada orang asing ini
daripada seluruh penduduk desa.
Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan
kesulitan tam u itu dapat menghasilkan satu penyelesaian
bagi mereka berdua.
Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan
kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu
jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia
tum buh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat
menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati
keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati
untuk membantu tam u itu melarikan diri, dan ia akan
mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak
menjadi selir saudaranya sendiri.
Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri
pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih
Narogol mendapat penginapan di rumah kepala desa. Oleh
ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi
pelayannya selam a persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak
digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi
itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai
putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani
mem persembahkannya pada Narogol.
Lima belas tahun kemudian suatu perburuan singgah lagi
di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini
sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada
kepala desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya
barang tiga tahun kemudian. Ditinggalkan olehnya
sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar
sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mem atahkan
ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih.
Pelanggaran berarti tebusan jiwa.
Setelah beberapa hari menginap, dan sawah telah dituai
seluruhnya, pesta panen untuk mem uliakan Dewi Sri.
Upacara-upacara telah selesai sedang pesta menunggu
setelah itu.
Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun
lalu. Mula-m ula diadakan pertunjukan demonstrasi
perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan
sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu
gam elan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul
sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti
telah lama di ganggang di atas api dan digosok bermingguminggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya
berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melom pat
dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti
baling-baling lepas.
Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar
cempor-cempor besar di empat penjuru.
Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau
bermandi keringat dan debu. Dan setelah agak lama
pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit
lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas
dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang
kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak
pujian untuk sang juara.
Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit
lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para
pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan.
Sang juara mem pertahankan kejuaraan desanya.
“Demikianlah kebiasaan di desa patik sejak nenekmoyangnya,” kepala desa menerangkan pada tam uagungnya.
Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang
Tuban dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia
seorang pangeran Jepara, mem atikan rangsangan. Ia
mengangguk dan m enggarami: “Bagus. Calon-calon prajurit
ulung.”
“Bukan calon prajurit, G usti. Perang soal lain lagi. Yang
pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula
negeri kami tak pernah berperang seperti negeri G usti.
Kami lebih suka hidup dalam kedam aian.”
Pada m enggeragap. Ia tahu telah salah m enanggapi. Dan
ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan
persoalan.
G amelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau
mem anggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada
melihat seorang gadis tampil ke gelanggang mem bawa dua
batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat
sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan ram butnya
terkondai ramping seperti destar.
Dan gadis itu adalah Sabarini.
“Juara?” Pada bertanya.
“Juara, G usti,” jawab kepala desa yang duduk di bawah
sebelah sam ping. Matanya berkilau-kilau bangga.
Sabarini memutar-m utarkan dua bilah tongkat pendek itu
ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan
menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti
kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian
dengan dua tongkat pendek.
Seorang gadis lain melom pat ke gelanggang dengan
sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersoraksorak, kemudian terdiam melihat hebatnya serangan.
Hantam an-hantam an parang itu tertangkis oleh bambubambu pendek yang m elindungi lengan.
Pada melihat, dengan bambu-bam bu pendek itu Sabarini
ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu
melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu
meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu
mem ukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke
tanah tanpa daya.
Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan
gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke
udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru.
Tak seorang pun tampil ke depan.
“G usti Pangeran!” seseorang berteriak.
“Ya-ya, G usti Pangeran,” yang lain-lain mem benarkan.
“G usti,” kepala desa itu mem ohon, “itulah adat desa
kami. G usti dipersilakan turun ke gelanggang.”
“Kami!?” tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai
mem basahi tubuhnya.
Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang!
Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang
pangeran tak pernah berlatih keprajuritan dan berkelahi?
Mana ada? Haruskah diri diperm alukan di depan umum
oleh seorang gadis pula? G adis desa Baleugbag? Betapa
dunia akan mentertawakan ningrat Jepara di kemudian
hari.
“Silakan G usti Pangeran Adipati Jepara!”
Dan Pada m engerahkan pikiran untuk menemukan akal.
Lam bat-lam bat ia berjalan memasuki gelanggang. Mem ang
tak ada jalan lain untuk menyelam atkan muka.
Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu
digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia
menyembah.
Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun
belum tentu dapat dan bisa meyakinkan orang….
Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah
dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi.
Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang
sudah tak sabar. Tapi akal belum juga datang pada Pada.
Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula
berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang,
tetapi bibirnya menggeletar berbisik: “Sabarini, ah,
Sabarini.”
Sabarini menyembah lagi, juga berbisik: “G usti
Pangeran, patik di sini, G usti,” suaranya lunak, bening dan
bernyanyi, menyirapkan darah Pada.
Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini
juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengem balikan
bambu pada yang punya. Sam bil berpaling pada kepala
desa ia berkata dengan nada protes: ‘Tak pernah di tempat
kami bambu begini dipergunakan untuk berkelahi.”
“Ambilkan dua bilah pedang.” seseorang berteriak.
Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu
beralih ke pedang. Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak
juga datang hei akal?
Seseorang masuk ke gelanggang mem bawa dua bilah
pedang lebar tapi pendek. Dan badan Pada telah basah
kuyup oleh keringat dingin sendiri.
Pembawa pedang itu berjongkok menyembah, kemudian
mem persembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana
yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan
menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon
perlindungan dan petunjuk dari Tuhannya. Keadaan ini
harus diatasi. Dan doa itu mem berinya ketenangan barang
sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya:
‘Tidak ada cara di negeri kami seorang satria menghadapi
wanita dalam gelanggang semacam ini/ ’
“Kang Acep, kau tam pil, kang,” seseorang berseru.
Celaka, sekarang juara lelaki yang akan tampil.
Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai
kesempatan baik – sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi.
Dengan mem bawa dua-dua pedang ia menghampiri
Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik
“Lebih baik kuperistri kau daripada aku binasakan,
Sabarini, manis.”
Sabarini mengangkat mata dan mem andangnya.
Tangannya salah menerima pedang dan senjata itu jatuh ke
tanah. Dan Sabarini tak juga segera mem ungutnya.
Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara
luput m enerima senjata.
G amelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu.
“Bagaimana, Sabarini?” bisik Pada.
“Pedang itu jatuh, G usti, dan tak ada kekuatan pada
patik untuk m emungutnya,” Sabarini berbisik menjawab.
Pada mendapat kepribadiannya kembali dan berseru:
“Ambillah pedangmu, Sabarini!”
Orang m elihat gadis itu gemetar. Sabarini mem bungkuk,
tangannya layu mengambil pedangnya, tapi badan itu
lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri
lurus, lututnya kemudian tertekuk, pedang tergelincir dan
nam pak tak ada niat padanya untuk mem ungutnya.
“Sabarini!” terdengar beberapa wanita berseru-seru.
Sekarang gam elan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling.
Kepala desa masuk ke gelanggang, menyembah Pada
dan menghampiri anaknya, bertanya: “Mengapa kau,
anakku?” dan berpaling pada Pada.
“Dia telah m enyerah, Kepala Desa, menyerah.”
G amelan berhenti sama sekali.
Kepala desa membantu anaknya berdiri.
Sabarini mengangkat sembah lagi pada tam u agung,
menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susahpayah, berjalan gem etar keluar gelanggang.
Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua
penduduk.
0o-dw-o0
Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan
kemudian bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan
syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk
yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat,
sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam
bilik membawa air hangat pencuci kaki.
Ia turun dari am bin dan menyerahkan kakinya.
“G usti,” bisik Sabarini, “benarkah yang patik dengar di
gelanggang tadi?”
“Mengapa, Sabarini?”
“Karena, G usti, ternyata orangtua patik telah
mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara
panen selesai. Pastilah tentara Pajajaran akan segera
datang. Larilah, G usti, dan bawalah patik.”
Suara ribut terdengar di luar rumah: “Kepala desa! Mana
itu Pangeran Adipati Jepara?”
“Mereka telah mulai datang, G usti, mari patik antarkan
lari, mari….”
Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik
menyam bar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari
setelah mem adamkan pelita, ke belakang, langsung
menuruni tangga belakang, melintasi ladang, kemudian
sawah, sampai ke pinggir Ciliwung.
“Naik, G usti, naik ke atas rakit ini.”
Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir.
Mereka berdua melom pat ke atasnya, dan Sabarini
mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara
gadis itu meluncurkan dan mengem udikan rakitnya m enuju
ke hilir.
Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat,
belum juga sembuh dari terkejutnya,
Dunia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyanya pada
Tuhannya. Dan ia tak m endapat jawaban. Ia menongkrong
di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala di antara dua
belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondarmandir m enyorong rakit yang laju dibawa air deras.
“Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.”
“Belum, G usti, mereka masih bisa mem buru dengan
sampan,” dan ia bekerja terus.
Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar,
kemudian berkata: “Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau
lelah.”
“Biarlah, G usti. Patik biasa mem bawa rakit begini
Sedang G usti tidak pernah.”
“Aku biasa m endayung perahu.”
“Rakit bukan perahu, G usti, lain.”
“Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri.”
“Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk,
G usti. Patik kenal riam-riam Ciliwung ini.”
Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondarmandir m endorong rakit dengan galahnya.
Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin mem buka
pembicaraan.
“Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri.”
“Nanti berputar-putar. G usti.”
“Biar berputar-putar,” dan ditangkapnya tangan gadis
itu. Ia rasai tangan itu gemetar. “Ke mana kau akan pergi
malam-malam begini?”
“Ke mana saja asal G usti selam at.” Pada melepaskan
tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul
dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang
mereka inginkan. Tapi gadis seorang ini menerbitkan
hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu
daripadanya. Ia hanya ingin menyelamatkannya.
“Dan kalau aku sudah selam at kau akan ke mana lagi?”
“Ke mana saja G usti pergi.”
“Sabarini!” dan gadis itu tak menyahut. “Terimakasih.
terimakasih
atas
pertolonganmu.
Nampaknya
keselam atanku menjadi kepentinganmu benar.”
“Bukankah G usti sudah mengucapkan kata-kata itu?
Bukankah G usti seorang satria, sekalipun Islam ?”
Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana
gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa
petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur
Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan airmuka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu
menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan
Sabarini tidak membuka mulut.
Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang
mem bangkitkan kekagum an dan hormatnya, menyemaikan
cintanya yang tulus. Orang itu adalah Idayu. Di Pajajaran
ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah
langkahku, ya Tuhan? Adalah gadis asing ini Kau
pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi
teman-hidupku yang tulus?
Dan ia tak mendapat jawaban dari Tuhannya. Tetapi
dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau
dungu kalau tetap mengimpikan Istri seorang sahabat, ibu
dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara
dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa
mem ang telah m embutuhkan seorang istri.
“Sam pai di mana kalau terus m enghilir?” ia bertanya.
“Sunda Kelapa, G usti.”
“Sunda Kelapa”, untuk ke sekian kalinya Pada
menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini.
Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia
merasa kepercayaannya pada Tuhannya belum cukup
sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering
menggeragap, karena ada iman padanya, karena ada
kepercayaan pada Tuhan dan kekuasaanNya.
“Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda Kelapa,
mem asuki daerah pendudukan Demak. Mereka akan paksa
kau m asuk Islam. Bagaimana kau?”
“Semua terserah pada G usti. Patik hanya mengikuti
G usti!”
”Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewadewamu?”
“Barangtentu G usti cukup bijaksana untuk memilihkan
yang baik untuk patik,” jawab gadis itu sambil terus
mendorong rakit dengan galahnya.
“Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.”
Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya
bertam bah keras, dan m ondar-m andirnya semakin cepat.
“Kau diam saja, Sabarini.”
Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu
yang terengah-engah karena mendorong sekuat tenaga
dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui
Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya
tertuju pada permukaan air yang samar-samar.
“Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam,
Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu
agak lama dan tetap tak mendapat jawaban. “Kau diam
saja.”
“Apalah yang harus patik katakan lagi, G usti? Semua
G usti yang menentukan. Kebijaksanaan G usti tidak akan
patik ragukan, G usti.”
“Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku.”
“Bagaimanakah dengan selir-selir G usti?”
“Selir? Seorang pun aku tak punya. Kaulah calon istriku
pertam a-tama, calon istri-tunggal.”
Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan
rakit, tanpa pernah menengok pada Pada.
Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat
persinggahan. G adis itu melom pat turun ke darat dan
mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. G alah ia
letakkan baik-baik di atas rakit, kemudian diulurkan
tangannya pada Pada untuk mem bantunya turun.
Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke
sebuah bangsal bambu pada tubir tebing.
Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang
pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus.
Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik
perahu.
Dan pada subuh itu dalam bangsal telah ada sebuah
keluarga pelarian dari Sunda Kelapa. Dari percakapan
antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui,
Sunda Kelapa benar-benar telah jatuh ke tangan balatentara
Demak.
“Mereka
begitu
berangsangan,” salah
seorang
mem berikan komentarnya, “seperti orang tak pernah
bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami
lari naik kemari. Juga orang Islam sendiri tidak am an.
Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat
perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.”
Pada m endengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal
sambil menggam barkan tingkah-laku prajurit-prajurit
Demak yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani
bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran.
“Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit?”
Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan
menyanyi.
‘Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat? Tapi buat apa?
Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan
terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari
sampai mati kena demam rawa.’
Pada mengherani apa sebabnya balatentara Demak
hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka
sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan
musuh dari mana? Mungkinkah Peranggi akan mem bantu
Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang? Dan
apa keuntungan Peranggi dengan bantuannya?
Tidak mungkin. Peranggi takkan mem bantu siapa pun
tanpa mendapat keuntungan. Boleh jadi Fathillah
mem bentengi dirinya sendiri dari serangan Demak. Dia
akan m embangkang dan berdiri sendiri jadi raja.
Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini
dengan keluarga pelarian itu. Hari telah terang tanah.
Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyam but
datangnya sang surya. Pagi itu ia tidak bersembahyang,
hanya m engucapkan doa selam at.
Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal,
menyembah dan berbisik padanya: “Lepaskan semua
pakaian G usti, dan kenakan pakaian tani.” Pada
menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selam a
mem ainkan peranan Adipati Jepara. Ia mengakui mem ang
tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua
pakaian Pangeran Adipati
Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian santri.
Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang
itu m asih tertinggal di rumah orangtua Sabarini.
Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini
berubah jadi hujan deras dan mem bekukan darah. Keluarga
pelarian itu menyalakan pediangan penghangat kemudian
naik ke am bin pelupuh dan meneruskan tidurnya.
Pada dan Sabarini pun naik ke am bin, menggolekkan
badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan
kantuk.
Hujan makin deras dan makin deras.
Dan waktu matari dengan lemahnya mewarnai langit,
dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan m ulai
muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung telah meluap
sejadi-jadinya.
0o-dw-o0
Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan
Pakuan dengan Sunda Kelapa. Hasil bumi dari pegunungan
turun ke bandar melalui kali ini pula. Sebaliknya barangbarang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula.
Tapi kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan
meluncur di atasnya setelah Sunda Kelapa jatuh.
Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia
lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap
dari Sunda Kelapa telah berangkat m eneruskan pemudikan.
Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan
telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini
sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat
mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia
lihat gadis itu menyelam untuk mendapatkan tali pada
batang ketapang. Kemudian ia muncul lagi dengan
mem bawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang
kayu itu, kemudian melompat ke atasnya dan
mendorongnya ke tepian.
Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebutnyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: “Masyaallah…
Allah Maha Besar… Kau karuniakan keindahan semacam
itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru
tidak m encari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan’
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah
berubah kuning berlumpur. Sinar m atari yang jatuh ke bumi
setelah menerobosi mendung hanya
samar-sam ar
menerawang. Namun kesam aran itu tidak mem batalkan
pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh
cantik, indah, gesit – tubuh seorang wanita yang belum lagi
jadi istrinya.
Ia perhatikan gadis itu mengenakan pakaiannya yang
disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan
pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan
mem bawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan
turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi
keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan
kemurahan Tuhannya.
Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke
atas mencari-cari Sabarini. Tapi gadis itu belum juga
nam pak. Ia berteriak-teriak mem anggil, kemudian ia lihat
gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya
terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melom pat
lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi
ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong.
“Kita belum lagi makan pagi, Sabarini.”
Ia tak menjawab.
Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak
mengijinkan.
“Patik tidak m engenal air sejak dari sini sampai ke Sunda
Kelapa, G usti, apalagi G usti sendiri. Biar patik yang
mengem udikan sendiri-lebih baik G usti ikat bungkusan itu
agar tak terlempar kalau ada apa-apa.”
Pada m erasa m alu telah kalah wibawa, ia merasa dirinya
menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya
ia merasa cerdas dan dapat mem ecahkan banyak perkara
yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga,
ia dapat menghafal nama dua puluh nabi, ajaran dan
mukjizatnya. Tapi di dekat gadis ini ia seperti seorang tua
yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri
akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah
celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian
tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, mem ungut dan
menggigitnya. Mem ang lada. Rakit hanya dipergunakan
sekali ke Sunda Kelapa. Sampai di sana dijual atau
ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini menggunakannya,
orang pernah mem unggah lada di sini, kemudian di
bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke
Sunda Kelapa.
Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap
melom pat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya
nam pak sirip hiu cucut yang mem buru, mem bentuk garis
lurus m embelah air.
“Di sini ada hiu, Sabarini?”
“Kalau kali banjir, G usti, kadang-kadang ada juga.”
Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir
sebelum datang musim penghujan? Dan mengapa di sini
sudah mulai turun hujan? Dan mengapa di Semenanjung
sana lain pula jatuhnya m usim penghujan?
“G usti!” terdengar Sabarini mem ekik
Belum sampai ia sempat m enengok rakit telah menubruk
sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada
geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu
datang padanya dan menolongnya berdiri.
“Ampun, G usti, patik tak lihat ada tonggak di bawah
air.”
”Tidak apa, Sabarini.”
”Tidakkah G usti terluka?”
”Tidak.”
“Rakit harus mem inggir. G usti. Tali bagian depan
putus.”
G adis
itu
mengam bil
lagi
galahnya
dan
mem inggirkannya. Dengan cekatan ia melom pat ke darat,
mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon
warn.
Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri
di dekatnya, bertanya: “Mem bikin tali?”
“Ya, G usti.”
“Sini, barangkali aku lebih pandai daripada kau.”
”Tidak, G usti, sebaiknya G usti lihat-lihat kalau ada
perahu balatentara Pajajaran mem buru kita.”
Jengkel karena kekikukannya Pada menjauh, mencari
pohon yang sekiranya dapat ia panjat. Tetapi pepohonan
hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua
besar-besar.
”Tak usah naik, G usti,” seru Sabarini. “Semua pohon
menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patik
sini saja, G usti.”
Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa
gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan
keselam atannya – keselamatan seorang asing yang
mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk.
Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik.
Matari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis
terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan
mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu.
“Kita teruskan m engilir, G usti.”
Dan rakit meneruskan pelayarannya.
0o-dw-o0
Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap
tikungan kali rakit itu memasuki Sunda Kelapa. Prajuritprajurit Demak m embiarkan m ereka lewat.
Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata
benar. Orang-orang sibuk mem ikuli batang bakau-bakau
yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. Di sepanjang
bandar orang mendirikan
tonggak-tonggak untuk
perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan
menimbun tanggul untuk menjadi derm aga dan benteng
sekaligus. Juga ribuan balatentara Demak bekerja
mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nam pak seperti
serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya
sendiri.
Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa mendapat
gangguan.
Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka
tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang
pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda Kelapa,
bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk
yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali
lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat
berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk
sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun.
Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun
tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak
datang dari sebelah barat Sunda Kelapa. Mereka adalah
orang-orang Banten yang bermaksud mencari perlindungan
dari Pajajaran setelah masuknya Jepara-Demak ke sana.
Serentak mereka mengetahui Sunda Kelapa juga telah
dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali
atau naik mem asuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil
dari mereka – orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak
mampu meneruskan perjalanan – terpaksa tertinggal. Di
antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya.
Fathillah mem beri mereka tempat di bedeng-bedeng bandar
yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipergunakan
oleh asram a prajurit-prajuritnya.
Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak
semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini
adalah pendatang terakhir dari selatan.
Mereka melangsungkan perkawinan di mesjid, dengan
dalih mengulangi perkawinan mereka yang telah mereka
lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk Islam dan
Pada bertaubat untuk kedua kalinya.
Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan
terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya
untuk jadi penduduk Sunda Kelapa. Ia berada dalam
perjalanan tugas. Ia harus segera m eninggalkan tempat ini.
Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat
panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali
bandar. Fathillah telah menyatakan Sunda Kelapa telah
siap untuk menerima lalulintas laut. Tetapi sebagaimana
halnya dengan bandar Banten, perdagangan lada ditentukan
olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi karena tingginya
pajak menyebabkan para saudagar enggan singgah baik di
Banten ataupun Sunda Kelapa. Sebaliknya sumber lada
kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi ram ai. Bandar
Panjang tiba-tiba menjadi ram ai dan penting.
Di sekitar mesjid orang pada mem bicarakan peraturanperaturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada
dapat
mengetahui,
perkembangan
tidak
berjalan
sebagaimana dikehendaki Sang Panglim a-LaksamanaG ubemur itu. Orang telah mendengar ancaman telah
dinyatakannya untuk menghancurkan bandar Panjang.
Untuk keperluan itu ia telah batalkan persiapannya untuk
meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon.
Ancaman itu tak jadi dilaksanakan karena tersusul
datangnya utusan dari Trenggono yang tidak mem benarkan
maksudnya, karena itu menyalahi persekutuan militer
Trenggono-Fathillah.
0odwo0
36. Blambangan
Bandar Banten dan Sunda Kelapa tetap sunyi. Bandar
Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah.
Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud
mem buka kembali Sunda Kelapa jadi pelabuhan bebas.
Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan
terburu-buru mem beli sebuah perahu layar kecil dengan
dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan
dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan
harinya pengantin baru itu berlayar m enuju Panjang.
Armada Jepara-Demak yang melakukan penjagaan itu
tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya
sekali ditahan kemudian diperkenankan meneruskan
pelayaran.
Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa
yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda Kelapa bagi
Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh
kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang
sejarah Jawa.
la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya,
berlayar dengan seorang suam i yang adalah untuk dirinya
sendiri. Namun ia tetap mem bisu bila tak ditanyai….
Begitu mendengar balatentara Demak telah sampai di
selatan Lao Sam, Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan
bantuan para pekerja bandar mengangkuti harta-bendanya
ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari
dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh
suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa
perahu layar.
Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi G ede Kati
kecuali kata-kata ini: “Nyi G ede Kati, maafkan aku selam a
ini kita sudah tidak saling menegur. Sang Adipati sudah
tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah
begitu merosotnya, m aka semua kata yang dipersembahkan
sia-sia saja… Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara
dari Tuban. Tinggallah kau di sini dalam lindungan Allah
Yang M aha Pengasih.”
“Ke manakah Tuan, biar sahaya tahu di mana tempat
Tuan.”
Ia tak mem beri jawaban, turun ke perahu dan belayar ke
jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, bandar Blam bangan
Hindu untuk perdagangannya dengan Maluku.
Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke
Panarukan, karena bandar itu tidak terlalu sunyi, karena
perdagangannya dengan Nusa Tenggara tetap berjalan baik.
Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan
G resik atau Tuban. Memang Panarukan lebih kecil
daripada Pasuruan, tetapi adanya perdagangan yang
terpelihara menyebabkan kehidupan jauh lebih baik.
“Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan,”
jawabnya.
Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak
mancai dari Tuban sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan
Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda.
Syahbandar Panarukan ternyata bukan Arab, juga bukan
Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, tetapi Pribumi
sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, Melayu dan sedikit
Arab. Ia tetap beragam a Hindu, la disambut dengan bahasa
Arab. Aturan bandar lebih longgar daripada Tuban;
Syahbandar mempunyai wewenang m emberikan ijin tinggal
di dalam ataupun luar wilayah bandar tanpa menghadap
bupati atau raja.
Setelah mendapat ijin tinggal dan mem bayar bea untuk
barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut hartabendanya menuju ke kantor dagang Portugis yang sedang
dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia
berpakaian Portugis dengan tetap bertarbus dan bertongkat.
Tubuhnya sudah lebih bongkok daripada tahun-tahun
sebelum nya. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke
kiri dan kanan, mem perhatikan pagar-pagar dari susunan
batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan
jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakanakan barang-barang dengan mata besar itu sedang
mengawasi perempatan. G apura-gapura juga menarik
perhatiannya, terbuat daripada batu merah, dan kadang
dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang
terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas
tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata
peda.
Berbeda dengan di Tuban atau Malaka, pagar di sini
menyebabkan rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau
ijuknya. Dan tajuk nyiur selam anya menaungi pelataran
depan dan belakang setiap rumah.
G edung kantor dagang itu belum lagi selesai
sepenuhnya. Pagarnya terbuat daripada tembok batu tinggi,
tetapi gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu.
Ham pir semua tukang adalah Portugis. Di tempat mana
pun mereka bekerja, penduduk dewasa, pria atau wanita,
berkerumun m emperhatikan.
Seorang Portugis yang berperawakan tinggi besar
mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan
Tholib dapat melihat orang itu menunjukkan tak
senanghatinya akan kedatangan dan kerm unculannya.
“Oh, Tuan Tholib Sungkar Az-Zubaid,” tegurnya dalam
Portugis, “tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak
kabar lebih dahulu?”
“Rupa-rupanya
kunjungan ini.”
Tuan
kurang
senang
mendapat
“Suatu kehorm atan,” jawabnya dengan muka masam.
”Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. T uan bisa
segera m asuk.”
“Apakah aku perlu memperlihatkan suratku?” sambut
Tholib menantang.
“Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat
dari Malaka itu. Siapa tidak mengenal Tuan?” katanya lagi
mencoba agak ramah. “Mari aku antarkan.”
Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya m asih
kotor. Seorang pria Pribumi yang masih muda datang
mem bawa sapu lidi dan membersihkannya, kemudian
mem asukkan barang-barangnya dan menumpuknya di
sebuah pojokan. Tholib Sungkar sendiri memberi petunjuk
bagaimana harus berbenah.
Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan
selalu berada di dekat bantal.
Syahbandar Tuban itu sama sekali tak heran melihat
Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia
sudah terbiasa melihat pembesar Portugis yang
mencemburui kedudukannya, – suatu kedudukan tanpa
pengawasan, selalu mendapatkan nafkah pokok dari
Portugis dan mendapat tambahan pula dari sangkutpautnya. Lagi pula di dalam kawasan Portugis ia harus
diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di
bawah setiap orang Portugis. Sekarang ia menggunakan
haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa
mendatangkan kesulitan.
Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia
sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan
semua disebabkan karena kedatangannya. Ia sengaja
berlama-lama di kamar untuk mem berikan kesempatan
pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari
jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan tam an
yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga
Pribumi tambahan.
Ia tersenyum -senyum puas.
Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, kemudian
merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah
sudah niatnya hendak kembali ke Malaka dan mengakui
kegagalan Portugis di Tuban: bukan karena kesalahannya
pribadi tapi karena kelengahan Portugis sendiri, tak juga
datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan.
Sekarang jatuhnya Tuban ke tangan Demak telah
melenyapkan arti bandar itu untuk mengukuhkan
kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada
yang dapat m enyalahkan bila ia tinggalkan Tuban. Dengan
berkuasanya Demak di sana tempat itu kehilangan artinya
bagi Portugis. Pada pihak lain gerakan penguasaan atas
seluruh Jawa oleh Trenggono telah mem bantu Portugis
dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa:
hubungan antar Jawa dengan Maluku akan putus sama
sekali dan rempah-rempah Maluku akan lebih sedikit
datang ke Jawa.
Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan
telah bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi
Portugis tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa
pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di
Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu
apa, kecuali, bila antara Portugis dan Ispanya terjadi
pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang
Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan
selam a ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan
hidupnya. Memang ia harus mem bayar pajak lebih tinggi,
mem ang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya
hanya karena ia seorang Moro, tapi apa salahnya kalau ia
bisa bertenang-tenang pada hari tuanya?
Sebagai orang muda ia telah tinggalkan semenanjung
lberia. Ia telah tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan
kembali sebagai orang tua yang telah menyelesaikan tugas
mem bantu kebesaran yang sedang berkembang dan
mem bantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang
menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan
sejarah pada masanya.
Waktu pelayan orang Portugis datang ke kamarnya
dengan
muka mem berengut, mem beritakan
tuan
Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun
kenakan pakaian Portugis terbaik. Terompah ia ganti
dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih,
dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, nam un
ia tetap bertarbus dan bertongkat.
Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil
mem berengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan
bongkok, kemudian tersenyum senang, bahwa tanpa
bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan
mem biarkan dirinya mem bengkok lagi Ah, berapa tahun
sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia
kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk
Martinique telah menunggunya sambil menghisap
segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam
kantong lagi.
“Nam paknya Tuan ada keperluan penting,” Martinique
mem ulai, dan mem perlihatkan wajah cerah.
“Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan.”
‘Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan ?”
“Pasti Tuan akan dapat mem bantu aku dengan sebuah
tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertam a-tama
menuju ke Malaka.”
Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi
mengatakan dengan kapal Portugis atau bukan.” ia
kelihatan lega mendengar itu, “Hanya soal tempat di kapal
itu saja, Tuan?”
“Untuk sementara.”
“Kalau begitu Tuan punya tugas lain.”
Syahbandar Tuban itu tertawa mengancam.
“Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan
ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari
Timor untuk terus ke Malaka,” ia menajam kan
kewaspadaan. Bertanya lagi, “Kata orang Demak terus
mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan?”
“Kira-kira berita itu ada benarnya.”
“Mungkin Tuban akan jatuh?”
”Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan Tuban. Kalau
Tuban m au. Demak bisa dipukul dalam beberapa minggu.”
“Oh.”
“Jadi Tuan menduga aku datang ke mari karena
melarikan diri? Suatu dugaan yang jahat.”
“Tak ada aku punya dugaan seperti itu.”
Mata tua Tholib menembusi mata bening tuan rumah
dan mencoba m enyusupi otaknya.
“Seperti matari yang tenggelam sekarang ini, demikian
juga Demak akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan
Martinique. Boleh jadi Tuban dalam pertempuran akan bisa
terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk
pertahanan yang tepat, tapi sesudah itu kekuatannya akan
jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi.”
“Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi?”
“Maksud Tuan kalau ramalanku m eleset?”
“Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu ramalan Tuan pasti
tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru
tidak mengindahkan ramalan Tuan? Kalau Tuban yang
jatuh?”
“Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban
berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan
kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga
selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa
akan tertutup bagi Portugis,” Tholib tertawa menggigit.
“Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya
pikiran membuka kantor di sini?”
‘Tentu ada,” jawab tuanrum ah gelisah, “aku hanya
menjalankan perintah.”
“Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di
kerajaan Blam bangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah
aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak
diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan
laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor.
Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat mem benkan
saran pada Malaka?”
“Apakah artinya aku ini?”
“Jawablah Tuan, itu menunjukkan
kepentingan pribadi dengan Panarukan.”
Tuan
ada
“Itu tidak benar.”
“Boleh jadi, tetapi aku akan bikin penyelidikan yang
teliti. Tuan M artinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya
istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang
mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan
bertenang di sini di luar segala pengawasan.”
“Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali
di sebelah sini.”
“Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang
hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih
sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang
lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan
usulkan pada Malaka?”
”Tiada sesuatu.”
“Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke
Malaka, juga ke Luboa!”
“Itu terserahlah pada T uan Tholib sendiri.”
“Jangan Tuan m arah.”
“Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa
disinggung kebesaran negerinya.”
“Apalah gunanya marah karena merasa kebesaran
negerinya tersinggung, sementara itu mem biarkan din
dungu dalam mengurus kebesaran itu? Untuk apa marah
kalau hanya hendak mencari jalan mem balas dendam?”
“Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan
berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari
dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya
seorang M oro.”
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan
pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro
yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang
bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan
pejabat, tak ada yang m enguntungkan. Sedang Malaka juga
mem butuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya
di darat tidak lengah karena kemakmuran dan kesenangan
karena dimanjakan oleh raja-raja Pribumi.
“Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih
mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan
mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya mem bikin
kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan
pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa
bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!”
“Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku.
Tuan tidak punya wewenang untuk mem eriksa pribadiku.
Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro.
Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali
daripada Tuan.”
“Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga
penting untuk Malaka.”
“Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di
Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak
suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.”
”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku
tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara
hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis
tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis,
malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk
kebaikan Portugis.”
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang
penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia mem ang tak
dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro
Malaka ini. Justru karena dia bukan Portugis,
didengarkan oleh Malaka, keselam atannya
permintaannya dikabulkan, biar pun hanya
atau sepuluh ons kopi.
kepercayaan
kata-katanya
dijaga dan
berupa lima
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya.
Mudah untuk melakukannya. Tetapi orang bisa takkan
melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat
pepohonan lagi. Ia tak dapat m elakukan sesuatu kekasaran.
Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di
Panarukan.
Martinique sendiri mem ang punya banyak kelemahan di
hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa
yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang
laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja
Blam bangan G iri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara
ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit
menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan.
Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi
kedudukannya. Dari Sri Baginda G irindra Wardhana yang
telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk
pekerjaan mem bakar kapur dan batu bata dan mem bantu
pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan
dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya.
Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar
sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap
dirinya di sini. Dan justru karena semua itu ia tersinggung.
Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti
akan ditarik dan Panarukan dan kembali mem asuki dinas
lama.
Mungkin
seorang
baru
akan
datang
menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan
sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia mem benarkan
cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel,
gelisah, marah dan ingin mem bunuh si hidung bengkung
ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu
terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak
malu-m alu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual
jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan G oa mem ang
mengakui jasa-jasanya dalam mem bangunkan kekuasaan
atas jalan laut dan dalam mem bangunkan monopoli
perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan,
persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la
term asuk salah seorang perancangnya.
Martinique telah mempersiapkan jalan untuk m elakukan
pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia
akan kaget! tam unya ini dengan dendam nya. Tholib takkan
mungkin akan bisa membalas.
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tam unya dengan
baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah
suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui
lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal
punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk
menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan
pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalanjalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa
kali bila toh hendak mem binasakannya di laut, karena
suaranya toh akan datang juga ke Malaka.
‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi
Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka
perangkapnya. “Ia telah berhasil mem buka rumah
perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut
ditempuh untuk berjalan-jalan.”
Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai
kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas
dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi.
“Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani.
“Tuan m engenal baik Rodriguez, bukan?”
Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu
mem ancarkan pandang curiga pada tuanrumah.
“Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan
saja karena Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga
dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez.”
“Rodriguez yang m ana?”
“Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang
lebih mengenalnya.”
‘Tidak, aku tak kenal.”
“Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan
sendiri yang menyuruh Yakub mem bawanya ke kapal
dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak
melihat tam unya nampak agak gugup dan mem betulkan
letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa mem berinya sedikit
keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu
si pelarian itu.”
Tam u yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia
menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia
tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique
mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat
tam unya agak ragu-ragu, ia mem beranikan: “Tak ada yang
perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blam bangan ini
sama am an, mungkin lebih aman daripada Lisboa atau
Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana.
Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada
herm andad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa
berjalan senang dan am an sampai ke luar kota sana ”
Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh
bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang
jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang
kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat.
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap
tak tahu nam anya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia
mem erlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap
ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak
tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian
bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok
um pak.
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di
pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalanjalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua
lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada
pinggang.
Nam paknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya
yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang
bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya
yang berat.
Apa saja yang pernah dilihat orang Blam bangan ini
dalam hidupnya, pikirnya.
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang
pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya.
Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang
kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit.
Dengan pandang sekilas ia dapat mem bedakan mana
ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang
dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap
dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani
betapa perbedaan bisa terjadi hanya karena kelainan tempat
dilahirkan
dan
dikandungkan.
Perbedaan
yang
menggelikan.
Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan
dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa
mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. Tetapi ia tidak
peduli dan meneruskan jalannya.
Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari
jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu
depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan,
mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan
kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya
selalu tertutup. Orang luar tak dapat m elihat ke dalamnya.
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah
orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya
seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor
dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha.
Wajahnya kemerah-m erahan oleh kelelahan. Ia mundur
beberapa langkah. Dan wanita itu tak mem pedulikannya,
lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi
serom bongan kecil orang mem burunya sambil berseru-seru
dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1
Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!”
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan
melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para
pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka
sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa
orang di antaranya sudah m ulai tak mampu lari lagi. Semua
lebih tua daripada perempuan m enggendong yang dipanggil
Pogoh, laki dan perempuan.
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rum ah perawatan,
langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriakteriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya.
Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya
dalam Jawa: “Ada apa ini?”
Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya:
“Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu
kami!” tuduhnya.
la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka
mukanya dengan selembar setangan putih.
“Jangan keliru!” raung Tholib, dan mengangkat tongkat.
“Aku pendatang baru.”
“Baru atau lama semua Peranggi sama saja!” ia meludah
lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri
pada yang lain-lain.
“Keparat!” Syahbandar mem ekik,
tongkat dan m enyeka mukanya.
mengamangkan
Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki
Portugis berpakaian pelaut mem unculkan kepala dari
kiraian pintu, melihat pada Pogoh, kemudian melihat pada
para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengem bangkan
kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan
para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung
orang Portugis.
Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu.
Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama
kemudian juga sam pai di depan pintu bersalib itu.
“Jangan sentuh dia, Pogoh,” pinta para pengejar itu di
hadapan orang Portugis itu.
“Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” pekik
seorang wanita setengah baya.
Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu,
terengah-engah.
“Lindungi sahaya, Bapa,” pinta Pogoh dari belakang
punggung Portugis berpakaian pelaut itu.
“Masuk cepat ke dalam,” perintah Portugis itu sambil
sedikit m enengok padanya.
Tetapi Pogoh tak berani masuk. Portugis itu
mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu.
”Ugh”
“Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya
itu m eratap.
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu
bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun
tak berani.
“Sahaya
bapaknya,
Bapa,
sahaya
berwenang
menyelamatkan dia,” lelaki yang meludahi Tholib itu
mem bela haknya.
“Kau takkan selam atkan dia,” bantah Portugis itu dalam
Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan
bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku.
Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin
dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian
sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang
bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri
juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.”
“Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya.
“Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam
keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.”
“Anak sahaya. Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu
sahaya. Bapa.”
“Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda
mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam Portugis
itu.
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan
pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di
situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditam bah
dengan sumpahan.
Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak
menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke
tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan
setangan dan m enyeka muka.
Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan
pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang
padanya dan mengulurkan tangan.
“Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam Portugis.
Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak,
mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum
terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku
hadapi?”
“Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.”
“O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini
aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka.
Mari masuk.”
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti
berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai,
sedang anaknya sedang m erangkak-rangkak.
“Lindungi sahaya, Bapa.”
“Apakah semua ini, Saudara?” tanya Syahbandar dalam
Portugis.
“Hanya kejadian sehari-hari,” kemudian dalam Jawa
pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini.
Pogoh namamu, bukan?”
Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan
besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa
orang wanita sedang bekerja mem bersihkan lantai dan
dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat
wanita dan hanya wanita atau bayi.
“Semua perempuan,” katanya kemudian.
“Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam Portugis.
Pogoh yang m enengadahkan muka itu nampak berm andi
airmata.
“Bangun, kau!” Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan.
“Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez
dalam Jawa pada Tholib Sungkar. “Seperti Pogoh ini,” Ia
menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri.
Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suam i meninggal dan
sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.”
“Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya,”
Pogoh mem protes.
“Bangsa kafir, jahil celaka,” kata Syahbandar dalam
Portugis.
“Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata
Cortez dalam Jawa. “Allah Bapa, melindungi.”
“Sahaya tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh.
“Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh
dalam Portugis.
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya
dan menangis minta dada.
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia
berdiri mem bungkuk, mengawasi lantai dan mem protes
dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun
Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap:
“Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami.
Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya.
Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api,
meliuk-liuk dan menyeringai, kemudian jadi arang dan
debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak
sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan
merawatnya.”
‘Takkan ada orang akan mengam bil kau dari sini tanpa
semaum u sendiri,” Cortez meyakinkan. Kau berada di
tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan
bekerja dengan mereka.”
“Anak sahaya, Bapa.”
“Anakmu juga selam at di sini.”
“Sahaya lari dari api karena anak ini.”
“Beristirahat kau
tenangkan hatimu.”
barang
dua-tiga
hari.
Tenang-
“Kau masih akan punya anak lagi,” kata Syahbandar.
Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya
ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan
meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….”
“Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak
dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.”
“Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam
Syahbandar.
Jawa pada
“Diamlah kau,” kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh.
Cortez nampak tak bersenang hati melihat campurtangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh
menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian pintu dalam itu
ia tutup.
“Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,”
Syahbandar mem ulai.
“Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru mem buka ladang.
Menyebar benih pun belum .”
“Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?”
“Um mat Nasrani makin lama makin banyak datang dari
segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapalkapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali
barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan
berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anakanak yang dibesarkan di sini akan mengem barai bumi
tum pah darahnya m embawa terang pada bangsanya….”
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan
wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam.
Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud
kedatangannya.
“Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara
Cortez, tentara Tuban telah mem bunuhnya. Mayatnya
dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku
beritakan dengan dukacita kepada Saudara.”
“Yesus M aria!” sebut Cortez dan mem buat salib dengan
jarinya. “Benarkah Tuan ini?”
‘Tidak ada yang lebih benar daripada itu, Saudara.”
“Tuan m engetahui betul?”
‘Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.”
‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar.
Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara
Tuban yang mem bunuhnya, walau pun dia dan temannya
mem ang dijatuhi hukum an mati. Jelas tentara Tuban
mem ang akan m embunuhnya,” ia pandangi Syahbandar itu
seakan baru saja dilihatnya. “Tuan Syahbandar Tuban,
bukan?”
“Tidak keliru, Saudara.”
“Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan?”
“Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa.”
“Alias Sayid M ahmud Al-Badaiwi, bukan?”
Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjapngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya
diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya
mengandung m aksud buruk.
“Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan?” Cortez
meneruskan. “Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orangorang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja?”
Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiapsiap hendak melakukan sesuatu, ia meramahkan wajah dan
tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal
Lisboa – tentu Tuan m asih ingat kapal itu, bukan? – melalui
nakhodanya, Malaka telah m enebus pada Tuan untuk harga
kemenakanku dan temannya bernam a Esteban. Benar
begitu, bukan?”
Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis
mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembangkempis seperti insang ikan di darat.
“Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah
macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat
ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah
ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!”
Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya.
Matanya kelap-kelip mem andangi penuduhnya yang
kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan
masuk ke dalam melalui pintu dalam .
“Astagafirullah!” sebut Tholib kemudian. Dengan
perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan
dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis.
Sam pai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran.
Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang
Peranggi di Pasai, dan barang tentu di M alaka juga, di G oa
dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga
kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah
menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian,
kemudian ia sendiri yang mem bunuhnya. Mem ang benar
ada saksi yang m enyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi
juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja
mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah mem bunuh
mereka? Mem bunuh orang Portugis – Moro mem bunuh
orang Portugis? sekaligus dua?
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak mem bantah
Saudara Cortez berdepan-depan.
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui.
Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku karena
sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan
jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan
bekas kebakaran.
Ia dengar-dengar suara ramai di depan kamarnya. Tak
salah: suara M artinique. Dan ia m erasa kecut untuk keluar.
Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka,
negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat
diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi
maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro
terbenci.
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua?
Ia merasa Martinique mem ang sengaja mondar-m andir
di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke
luar. Ia akan bertahan, Bertahan!
“Aa, Tuan Tholib Sungkar!” seru Martinique dengan
suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini
ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit
macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke
arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan.
Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai perm adani
bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda
dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa
berperm adani kulit macan. Bayangkan, Tuan.”
“Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana
Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika
dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik
bercengkeram a, berdeklam asi, berbicara tentang obatobatan baru…”
“Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.”
Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique
menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan
baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara
Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu
betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula
nam anya? O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis
dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.”
“Aku tak tahu tentang itu.”
“Mengapa Tuan terburu-buru ke rum ah Saudara Cortez
seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih? Dan
mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu
macan?”
Syahbandar Tuban megap-m egap sebentar. Ia raba
dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai
begini lemahnya.
“Baiklah kalau Tuan tak suka mem bicarakan soal
pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin
mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari
aku yang mengurus pelarian-pelarian itu waktu diserahkan
oleh Yakub ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan
pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan
berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai
menyam but Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang
hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang
Portugis!”
“Seorang pengabdi Portugis
Portugis,” bantah Tholib.
takkan
mem bunuh
“Sia-sia, T uan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di
derm aga Tuban? Ada seorang saksi ketika kilat mem ancar
dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia m enuding pada
hulu gading tongkat tam unya, “pada salah seorang di dalam
krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?”
‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!”
bantah Tholib.
Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat
setelah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui
tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya
yang telah jadi begitu lemah.
“jadi betul Tuan ada di derm aga waktu itu. Dan Tuan
mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? Karena
Malaka telah m enunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?”
“Coba Tuan terangkan’ Syahbandar itu berlunak-lunak,
“bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku mem bunuh
mereka?”
“Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka
sana. Pasti Tuan akan m erasa puas.”
“Baik!” jawabnya untuk mem utuskan persoalan yang tak
menyenangkan itu. “Bersam a dengan kulit macan dari Bali
itu.”
Tetapi Martinique belum lagi puas dalam mem balaskan
dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya:
“Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban
yang bernam a… ah, siapa pula nam anya itu, oh, ya,
Yakub,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarianpelarian itu di kapalku dulu? Ya-ya, Yakub namanya.
Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali
melihat warungnya. Dia berdayung mem antai dari timur,
sampai di derm aga naik, kilat menyam bar, dan melihat
Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain
pisau tongkat…. Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat
di tangan Tuan itulah yang Tuan m ainkan. Berani bertaruh,
dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,”
“Semua orang tahu, pewarung arak selalu m enipu.”
“Dan Tuan selalu bersedia mem bayar tipuannya, bukan?
Aku juga m embeli dari dia seperti Tuan.”
“Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang
itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita
cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan
Tuan, biar aku kawal ke Malaka.”
Ia m elangkah ke arah biliknya kembali.
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah
penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar
aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu
menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka.”
Dan sesungguhnya ia takut juga.
0o-dw-o0
Pada hari yang telah ditentukan Martinique
mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan
telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib
Sungkar masih menumpuk di dermaga.
Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya
cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambatlambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih
berat.
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambatlambat ia berjalan mendekati bersam a Martinique.
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi
yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke
dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda
Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela
pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng
Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti
air banjir membongkar tanggul Banteng W areng terdesak ke
timur. Tetapi sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih
Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya
mem otong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah
seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban
menceburkan diri di dalam kancah. Kemudian pasukan
kaki Tuban mem ukul dari luar Tuban. Hampir-hampir
Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki.
Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang
menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat
benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan
Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke T uban hari ini. Hari
ini juga. Siapa ikut boleh turut!”
“Aku ikut!” seru Syahbandar Tuban. “Pindahkan
barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya.
‘Tuan tidak jadi ke Malaka?” tanya Martinique.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang
mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu
layar Tuban.
“Bedebah!” maki M artinique.
Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban.
0odwo0
37. Panjang – Jayakarta
Bulan Juli 1527
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran
melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar
antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan
keduanya m endayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di
daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari
arm ada Jepara-Demak.
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau
Sum atra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau
Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat.
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru
dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada
permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara
sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang
dipasangi dengan
menghasilkan layur.
baling-baling
bulu
ayam
putih
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah
pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang
pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau
kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata.
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya
hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara
hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa
diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau
dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?”
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan
tangan, memandanginya sambil tersenyum dan mem buang
muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerahmerahan seperti buah tomat menjelang matang.
“Tentu karena ingat pada rum ah,” desak Pada. “Mereka
sekarang tak ada di rumah lagi, G usti,” jawabnya dengan
suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua telah
melarikan diri masuk ke hutan-hutan.”
“Ya, G usti, karena kita lari. Mereka akan menerima
hukum an dari Sri Baginda. Karena patik lari. Mereka akan
dihukum oleh Sang Patih Narogol.”
“Mereka akan dapat m enangkap kasut kami.”
Sabarini mendengus tertawa.
“Betapa besar dosaku pada m ereka.”
Sabarini mengayuh cepat-cepat.
“Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya.
“Tidak perlu. G usti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah.
Jangan jadi fikiran, G usti. Mereka akan lari ke hutan-hutan,
berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup –
tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda.
Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali m ereka
akan turun ke Sunda Kelapa.”
“Nam paknya kau tak berprihatin.”
“Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin?”
“Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.”
“Ya G usti,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami
gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat
muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut
kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan
dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tum buh jadi gadis tua
karena ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak
berani melamar patik. Orang mem andang patik dengan
belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk
seorang selir.”
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang
bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara
sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk mem beranikan.
Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih
indah daripada kebenaran yang terkandung di dalamnya:
“Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita,
G usti. Janganlah G usti menjadi risau. Semua akan
bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan
seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia
mem bantu dan melindungi dan berkorban – tahu mereka
bakal mati di ujung tom bak. G usti sama sekali tak berdosa
pada mereka.”
“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak
suka bicara seperti orang-orang lain?”
Mata gadis itu bersinar dan
Kemudian menunduk malu.
bibirnya tersenyum.
“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di
tengah laut tanpa saksi begini?”
“Ah, G usti, G usti tidak tahu bagaimana perasaan patik.
Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini
dengan hanya bicara?”
“Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku G usti.”
Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang
ceritakan tentang kebahagiaanmu.”
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal
kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh
penduduk desa yang tak berani mempersembahkan dudukperkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia
menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia
bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang
yang berani mem bela dan m elindunginya, ia akan mem bela
dan melindungi dirinya sendiri.
“Apabila patik berhasil dalam usaha patik,” Sabarini
meneruskan, “patik akan mengem bara jauh, jauh entah ke
mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus,
kemudian datang seorang pangeran dari Jepara, yang
sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari
kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang
kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya?”
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di
mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus
diam bil. Dan keputusan itu juga diam bil secara tepat Dan
tidak lain dari Sabarini yang berjasa.
“Begitulah Allah mem pertemukan kita. Segala pujipujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia
bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik.
Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali
bukan seorang pangeran”.
Pada mem perhatikan perubahan pada airmuka istrinya.
Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran,
dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan.
“Aku sama
mengulangi.
sekali
bukan
seorang
pangeran,”
ia
“Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak?
Seorang pangeran
takkan
mengindahkan istrinya
sebagaimana suamiku mengindahkan diriku’
Pada agak kecewa m elihat Sabarini tidak terkejut
“Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani
biasa, karena seorang petani hanya sederhana, tidak
ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu
tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak
bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula
kulihat, tam u agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang
orang biasa dalam pakaian kebesaran.”
“Sabarini!” gumam Pada setelah mendengar begitu
banyak kata tercurah. “lihat, bandar Panjang sudah mulai
nam pak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi
Sum atra.”
Matari m ulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal
muncul dari balik-balik gunung di daratan Sum atra. Angin
kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut
raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah
mengancam. G uruh m engaum dari kejauhan dan kilat sambar-menyam bar di cakrawala.
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan
terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang
kaki langit.
“Armada Peranggi,” gumam Pada. “Ayoh, dayung
cepat.”
Mereka mendayung cepat-cepat mem asuki pelabuhan
Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai
mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur
angin seperti langsung dilemparkan dari langit.
Setelah mencancang perahu pengantin baru itu dengan
mem bawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke
dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tum pukan
kranjang lada.
Seorang penjaga mem beri tempat berteduh pada mereka
di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari
angin dan air.
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada
sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak
kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan
nam pak belum lagi lama didirikan.
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi
akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di
panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan
Banten setelah lolos dari blokade arm ada Jepara-Demak.
Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak
jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan
Cimanuk berlomba-lomba mem indahkan kegiatannya di
sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan
rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam
kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah.
Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman
untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan
tenaga untuk mengurusi pertanian dan panen lada. Beras
pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan
minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga
yang tinggi.
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa
kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu
ke yang lain. Dan bila arm ada Jepara-Demak terus-menerus
menindas bandar-bandar lain dan m embikinnya jadi bandar
tak bebas, Panjang bisa m enggantikan M alaka atau Pasai.
Setelah berunding dengan istrinya mereka bersepakat
menunda pelayaran ke M alaka untuk melihat-lihat Panjang
lebih lama.
0o-dw-o0
Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan
semula, menolak berlindung di bandar Panjang.
Francisco de Sa, pemimpin arm ada, adalah seorang
muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan
bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat
dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurum udi,
wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin
arm ada.
Menurut perintah yang diterima ia harus mem ulai
pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda
Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu
dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke
Malaka membawa lada dari Panjang.
Tetapi ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan
pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga
bulan lagi akan dipergunakannya untuk mem bangun
kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk
Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa
jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di
Malaka.
Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya
sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun
semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang
arm ada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan
tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar
com pang-camping. Laut yang ditekan taufan itu
menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulungbergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa
daya diseret terus dalam cengkeram an gelom bang.
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut,
menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau
dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari
balik puncak om bak. Dengan tenggelamnya surya alam pun
menjadi kelabu hitam. Curah hujan m enyebabkan orang tak
bisa lagi melihat ke depan.
Semua layar telah digulung,
menghalau m ereka ke selatan.
tetapi
deras
angin
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan
adanya m anusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lenteralentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari
Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak
terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantamhantam kan kaki pada geladak, mem aki dan menyumpah.
Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal
curahnya dan kilat sabung-menyabung m erajai alam.
Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja
ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila
sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan
runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu
kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di
waktu dekat m endatang.
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa!
Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi
atas nam a Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang
telah berani menghina beberapa tahun yang lalu.
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan
dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho
telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam
mata taufan, kadang m endorong permukaan laut, kemudian
meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas
kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas,
kemudian dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke
dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal
berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak.
Petir menyam bar.
kemudian tenggelam .
Sebuah
kapal
pecah,
miring,
“Jesus M aria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus!
Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.”
Isyarat-isyaratnya mem erintahkan: M aju terus!
0o-dw-o0
Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat
keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar
kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang
dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia
menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar
ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, kemudian
jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan
pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas
kapal menancap pada dasarnya.
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah
berentakan, Manusia di dalam nya kehabisan daya, adalah
laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami
cedera, itu pun hanya karena kebetulan.
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan
lengan patah. Namun ia masih mampu mem berikan
perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah:
“Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!”
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran
melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya
hanya semak-semak rawa.
“Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru.
“Sayang kapal sebagus ini.”
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan
mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi
mengem balikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke
jurusan tenggara.
“Terdampar jauh di darat!” pekik kelasi itu.
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari
baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan
melemparkannya ke tanah. Kemudian ia berdiri di atas
batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi
pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon
lain.
‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas.
Juga tak ada sambutan.
Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte
Coelho yang pingsan tak sadarkan diri.
0o-dw-o0
Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga
perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di
belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan
mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selam a ini. Orang
gentar pada demam rawa yang mem bunuh. Maka ia lari
mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu.
Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawarawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik
di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak
berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila
yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang
kemudian masuk berbareng dengan tom bak di tangan dan
pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal
Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa
layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal
sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya
seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu.
Kemudian seorang lagi.
Monyet pada mem ekik-m ekik dan burung-burung
bernyanyi seperti lim a ratus tahun yang lalu. T ak ada buaya
nam pak di sekitar.
Mula-m ula para prajurit berunding berbisik-bisik,
kemudian mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu
sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan
melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan
menjenguk ke bawah, kemudian pergi lagi.
Peratus mem erintahkan menyerbu. Mereka turun ke air,
langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik,
semua m endongakkan kepala ke atas.
Barisan prajurit di belakang datang membawa batangbatang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik.
Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam
setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu.
Dan melihat semakin banyak orang datang membawa
batang, mereka pun m enggunakan musket dan m enembaki.
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang
Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya
menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur
dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air.
Seseorang menghantam kan pedangnya, dan tubuh itu
kemudian rebah.
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik
ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah
dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka
dapatkan
hanya
tubuh-tubuh
Peranggi
yang
bergelimpangan tanpa daya.
Tom bak dan pedang menghabisi mereka tanpa
perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte
Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba m emberikan
perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku.
Baja beradu baja berdentingan sebentar kemudian padam
sama sekali. Sebilah tom bak telah melumpuhkan Duarte
Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar.
Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai
bergelimpangan.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte
Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: “Kami datang
untuk bersahabat.”
Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak
menjawabinya.
Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh
kapal com pang-camping itu diperiksa. Semua benda
dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam,
peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas
tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat
kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal.
Peratus itu mem erintahkan menurunkan semua dan
mem persembahkan pada Fathillah. Demikian mereka
mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak
yang baru diretas.
Sebagian dari para prajurit m endapat perintah membikin
jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang
berat lain. Sebagian m endapat perintah m embikin tali. Tapi
sebagian besar melakukan pengangkutan.
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini
riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan
melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan
air minum dan makan siang.
Tengah hari Fathillah sendiri mem erlukan datang dan
melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai
pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam
renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak
dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan
tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar.
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari
penanggulan pesisir bandar yang m enghalangi pasang-surut
air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan
sesuatu, mabok mendapat jarahan.
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit
tam bahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan
melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barangbarang besar.
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi
menghadapi tanah lapang.
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rum ah ini.
Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk
melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya
menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. Tetapi
barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa
melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran
luruhan dedaunan.
Waktu musket-m usket datang ia keluar dari markas dan
mem erintahkan
mem bongkarnya
dari
ikatan.
Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan
mem bagi-bagikannya pada mereka, kemudian sendiri
mem berikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua
ratus pucuk telah dirampas pada hari itu.
Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah
bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki
dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti
pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang.
Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melom pat
kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nam pak jadi
ungu.
‘Tendang!” perintah Fathillah.
Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding
dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh
ke laut benda itu telah penyek.
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh
Fathillah.
Ia
mem eriksanya
sebentar
kemudian
menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu
ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya.
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu
diperiksanya, kemudian dipendek-panjangkan. Meneropong
lagi ke laut lepas. Kemudian m elihat dengan mata telanjang
pada ke jauhan dan m eneropong lagi.
Ia berpikir sebentar. Kemudian bertanya pada pengiring
yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: “Coba lihat
sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk
ini?”
“Ada patik lihat, G usti, tapi tidak jelas,” jawab pengiring
itu, juga dalam Melayu.
“Apa yang kau lihat?”
“Beberapa titik putih. G usti.”
“Coba dengan ini.”
Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan
mengenakannya kembali, melepas dan mem eriksa kacakaca teropong, kemudian meninjau dengan mata telanjang
dan mengenakannya lagi.
“Apa kau lihat?”
“Tiga kapal asing, G usti, dengan teropong ini.”
Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya.
Kemudian dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya
melihat ke kejauhan, setelah itu disuruhnya dengan
teropong.
“Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, G usti,
sedang m enuju ke Sunda Kelapa.”
“Pengangkutan meriam supaya lebih cepat!” perintahnya
pada yang lain.
Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di
belakang bentengan kayu bakau-bakau.
“Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus
prajurit lagi untuk m engangkut!” perintahnya pada seorang
peratus Demak.
Orang itu lari untuk menjalankan perintah.
Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan.
Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan
sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan
Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke
tangan.
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa
perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat
merampas semua kapal Portugis yang datang dan
merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus
depa.
“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan
perintah Fathillah. “Siapkan pedang dan tombak.”
Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan
pada sisa arm ada Francisco de Sa yang m endatangi. Semua
terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua
orang berbesar hati dengan adanya meriam.
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan
pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal
itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya
tum pas.
Panglim a-Laksamana-G ubernur
meneropong
dan
meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu
semakin lama semakin mem besar. Juga nyamuk semakin
giat m enyerang m ereka yang bersiaga dalam keadaan diam.
Betapa lama. Dan mem ang lama.
Kapal-kapal itu ternyata tidak mem asuki muara
Ciliwung. Tiga-tiganya mem buang sauh jauh dari darat.
Lam a, lama sekali rasanya, baru kemudian mereka
menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam
tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera
menembak. M ereka yang m endapat pembagian m usket juga
tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya
balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi.
Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua
sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara
Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang.
Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke
atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang
terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci
dengan tangga tali’ ia m emperingatkan. “Hati-hati. Mereka
kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap
Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi.
Mereka lebih suka tewas daripada bertekuk lutut. Jangan
gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’
Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian m uara
Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk
meneruskan pendaratan.
“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan
kekecewaan karena yang turun m endarat seluruhnya hanya
berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu
tetap terjaga dari dalam .
Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal
ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya
tembak cetbang.
“Mereka yang m endarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya
kemudian ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.”
Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak
bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya
dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya
terhias selempang m erah Itulah Francisco de Sa.
Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan.
Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang.
Kemudian seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka
menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti.
Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru.
Nam paknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada
orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu
sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran
pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke
samping, kemudian kembali ke barisan.
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung,
ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang
tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya
tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa m anusia.
la kembali lagi pada barisan.
Seorang pengiring mem berikan pikiran padanya,
mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada
taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa
mem bantah, karena bukan adat pelaut lari dari angin.
Mungkin sedang m erayakan pesta di pedalaman.
Seorang pengiring lain menyarankan untuk mem bawa
naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau
kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa mem berikan
jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu
dengan Pangeran Sunda Kelapa, G ubernur bandar, untuk
segera bisa mem ulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak
mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan
Sang G ubernur.
Dan di mana pula Syahbandar?
Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang
Syahbandar tak datang menyam but sewaktu Portugis
datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Di m ana Syahbandar?
Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun
tinggal lengang tak berm anusia.
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa
menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor
Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan
pada mulut: “Syahbandar! Syahbandar!”
Hanya deburan laut jua yang menjawab.
Ia mem berikan perintah agar pasukannya bergerak maju.
Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke
tempat kantor Syahbandar, kemudian mem belok ke kanan
menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran.
Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah
hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi
empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan
mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan
senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah
menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap
tempur.
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong
ram pasan.
Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke
laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan
menuju ke tempat sekoci.
Francisco de Sa menarik pandang tinggi, m emekik.
Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak
sambil melemparkan tom bak. Musket Demak tak ada
sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan
oleh Fathillah ternyata tidak kena.
Prajurit-prajurit
Portugis
mem encar
barisan.
Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu,
kemudian bergelom bang-gelom bang. Semburan pelurunya
beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam.
Meriam ram pasan mulai berdentaman dari balik semaksemak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapalkapal Portugis.
Tangan-tangan
tak
terlatih
itu
mengham burkan peluru tanpa mengenai sasaran.
Prajurit-prajurit Demak sudah m ulai bergelim pangan.
Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan
menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka
takkan segera dapat m enyiapkan senjatanya. Ia perintahkan
pelemparan tombak terus-m enerus sambil menerjang maju.
Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan.
Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar
dalam puputan angin seperti melambai-lam bai pada
barisannya.
Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di
tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan
Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya
terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring,
keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara.
Mereka yang roboh terkena tom bak ditinggalkan dalam
gerakan m undur. Tak seorang pun korban mereka bawa.
Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersoraksorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda
pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan
buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-m asing. Yang
tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu
penduduk.
Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga
dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan
anak panah. Portugis mem balas dengan tembakantembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan
tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.
Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka
mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak
yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu
telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan
penumpangnya berlompatan ke laut.
Dari teropongnya Fathillah m elihat Francisco de Sa tetap
berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan
matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah
padam karena murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa
harus diperbuatnya.
Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak,
takut mengenai teman-temannya sendiri.
Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak
berani mendaratkan pasukannya.
22 Juni 1527
Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan,
seakan sudah seia dengan Wiranggaleng: “Mereka takkan
datangi lagi tempat di m ana m ereka pernah dikalahkan.”
Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-m asing.
Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang
mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu
peluru pun dari meriam-meriamnya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa
arm ada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah
itu m enuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
Tentara
Jepara-Demak
bersorak-sorai
dalam
kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun
telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad
dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah
takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi
pudar Peranggi ternyata mem ang hanya m anusia biasa yang
dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah
mengumumkan: “Dengan nam a Allah yang M aha Pemurah
dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang
dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke
laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di
bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku
nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah
Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk
selam a-lam anya.”
Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan
terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di
Panjang. Di mana-m ana terbentuk gerom bolan orang yang
mem bicarakannya dengan bersemangat.
Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka
tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat mem beritakan pada Wiranggaleng dengan
lebih jelas Pada mem utuskan untuk sekali lagi menunda
keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyam but
putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari
ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak
kehilangan kegembiraannya itu.
Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu
berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap
pertemuan dengan armada Jepara-Demak.
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapalkapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak
meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh,
berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya
sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja mem unggah lada untuk
penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi
biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak
mengambilnya dengan harga lebih m ahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu
banyak tum pukan lada yang belum terjual. Bandar kembali
jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai mem beli
sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan
lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu
terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng,
kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan
tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan
hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam
kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari
Madura, mem bawa berita, bahwa bandar Banten dan
Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai
bandar bebas oleh Fathillah. Mem ang perahu-perahu mulai
berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk
mendapatkan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar
Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil
melom pat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap,
belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana.
Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh
serdadu-serdadu itu.”
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak
bertemu dengan armada Peranggi?”
“Alham dulillah, kami selam at Yang lain-lain tak dapat
menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah
terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang
dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh,” Nakhoda
Madura itu menjawab sam bil memilin kumisnya yang tebal.
“Di m ana bertemu dengan mereka?”
“Di atas Juana.”
“Jadi mereka tak mendarat di Jepara?”
“Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai.
Tapi m ereka terus ke jurusan timur.”
“Ke Blam bangan barangkali?”
“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak
mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum
tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus
menunggu.
Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui
barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang
didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar
dalam kekuasaan Demak m emang terus berdatangan, tetapi
jumlahnya tidak mencukupi untuk mem enuhi permintaan.
Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan
sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak
menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan
perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.
Nam paknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan
bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot
ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi
seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar
tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke
pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut
saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari
penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis
akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang
pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang.
Pedagang-pedagang lada sedang sibuk m engangkuti barangbarangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya
persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal
melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar.
Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan
adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera
dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.
“Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke
Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka
kami cari lada ke m ari. Lagi pula, kata orang, harga lada di
sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.”
Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke
depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di
Tuban?”
“Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat
dan mengamuk di sana.”
“Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?”
“Siapa lagi kalau bukan Peranggi?”
“Bukankah Tuban sudah jadi daerah Dem ak?”
‘Tidak. Hanya sehari Demak mem asuki Tuban. Mereka
diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke
tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi
masuk.”
“Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?”
“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”
“Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan
Demak?”
“Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak
meneruskan serangannya ke Tuban.”
“Jadi Tuban kena keroyok?”
“Boleh jadi begitu jadinya.”
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi.
Mereka mem asuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam
mengawasi laut, mem perhatikan perahu mereka yang sudah
lama tiada m ereka pergunakan.
“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini.
Kita akan teruskan pelayaran.”
“Karena berita-berita itu?”
“Karena berita-berita itu, Sabarini.”
“Bukankah belum tentu semua itu benar?”
“Seorang nakhoda selam anya bicara benar. Kalau tidak
dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya
akan m ati.”
0od-w-o0
38. Yang Lo la di Semenanjung
Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung
penduduk. Kemudian juga mem asuki kampung-kampung
para prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi
petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar
melupakan negeri kelahiran m asing-masing.
Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya,
dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan
untuk mem enuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan
perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang
telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit.
Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat
menanam lima belas pohon pisang, setelah mem babat
semak dan menebang hutan, berarti mereka telah
menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun
yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam
jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka
telah menyim pan sepuluh hari makanan sehari untuk empat
bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru m ereka
harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir
atas nam a mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami
saja.
Wiranggaleng tahu, ia tak mampu mengatasi
kemerosotan prajurit-prajurit. Dan dalam bicara dengan
mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya,
apalagi bila menghadapi istri-istri mereka.
Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah
yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia
untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami,
Senapatiku.”
Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih
berhak daripada Trenggono ataupun Sang Adipati. Setelah
Sultan Demak meneruskan usahanya untuk menguasai
Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan
Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah
telah jadi lelucon yang m engibakan.
Wiranggaleng menghargai perasaan mereka. Ia tak
mem punyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah
kemerosotan.
Kegiatan
ketentaraan
tinggal hanya
kesibukan
pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula
Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka.
Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa
persetujuan tanpa perjanjian.
Dan semua itu mem bikin hati Wiranggaleng menjadi
lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik
daripada masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun
untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan
kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan.
Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya
kekosongan yang m enganga, bolong dan melom pong.
Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar
kata-kata ini: “Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita
kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?”
Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari
kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam
pertum buhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon
turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus.
Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda,
dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas daripada
penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka
kebun kelapa, cengkeh dan barus.
Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya
untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap
kali ia mencoba mendapatkan pegangan baru, setiap kali
pula luput. G apaian tinggal gapaian, dan pikirannya
mem buncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari
segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya
seorang. Dan kemerosotan anak buahnya m eluncur terus ke
bawah.
Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di
Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan
segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rum ah, ladang, anak,
kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau
sultan. Tanah di sini lebih subur daripada Tuban, Demak
ataupun Jepara. Air m encukupi. Dan raja-raja di Jawa sana
hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas
nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan
dirinya sendiri.
Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum
lagi teratur, mem asuki kampung-kampung yang lebih baru.
Dan setiap keluarga me nyam butnya dengan ramah. Itulah
satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang Senapati dan
Panglim a pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua
bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah
ada tam bahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi
kelahiran Semenanjung? Tak mengenal Tuban dan Jawa?
Mem ang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan
keprajuritan m e luncur terus menuju ke titik terdalam.
Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli.
Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan
menangis: “Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah
sahaya.”
Kemudian datang juga suaminya, berdiri angkuh
mem egangi hulu parang dan menatapnya dengan
pandangan mengancam. Tak lama kemudian seluruh
penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang
merubung.
“Apa aku bisa tolongkan. Perempuan?”
“Anak sahaya, Hang Wira, seorang Tuban telah
menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada
sahaya.”
“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin
rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga
mem egangi hulu parang. “Kembalikan anakku!”
“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan.
Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit
Tuban dijatuhi hukum an m ati karena perkosaan?”
“Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin
mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih
lama.”
“Hai, Perempuan, anak itu anakm u ataukah anak lelaki
ini?”
“Anak sahaya sendiri.”
“Maksudm u orang ini bapak-tirinya?”
“Betul, Hang Wira.”
“Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan
mendapatkan menantu yang baik. Apakah lamarannya
pernah kau tolak?”
“Suam i sahaya yang menolaknya, Hang wira.”
“Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gum am sang suami
sambil menghampiri Wiranggaleng, “patutkah menerima
pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami
akan perangi semua petualang Tuban di sini.”
Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan
terjadi.
“Jangan, Bang, jangan,” tegah perempuan itu pada
suam inya sambil mem egangi tangannya. Tetapi lelaki itu
mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih
tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai
menarik parang.
Wiranggaleng melangkah ke samping dan menegah:
“Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakm u. Mengapa kau
yang m arah; sedang berhak tidak?”
Dan lelaki itu menjawab dengan ayunan parang,
mem ekik: “Rasakan parang Semenanjung!”
Wiranggaleng melompat dan melom pat. Dan lelaki itu
menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada
suatu kesempatan Senapati dapat menyam bar potongan
bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan
bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan.
“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya.
“Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira.
Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah
mem ancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya
nam pak seperti terbalik
Melihat itu Wiranggaleng mulai mem ekik menyerang
dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang
kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang
mengendorkan serangan. Namun ia m asih juga m enyerang.
Dengan
hantaman
luarbiasa
keras Hang Wira
menyeram pang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu
terpekik dan jatuh terduduk kemudian mengerang-ngerang.
Matanya melotot gusar.
“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang
Wira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau
masih hendak menyerang juga.
Lelaki itu telah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga
duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomatkamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia
lemparkan parang pada Wiranggaleng, menyerempet pada
betis, jatuh m enancap ke tanah.
Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak
melukai, karena bukan mata parang yang telah m engenai.
Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut
parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain.
Kemudian ia m enolong suaminya berdiri dan memapahnya
masuk ke rum ah.
Juga W iranggaleng ikut m asuk. Ia duduk diam-diam.
“Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. Perempuan, biarlah
aku pergi mencari menantum u itu. Dan kalian, penduduk
kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak
pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada
anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun
ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita
urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan
hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mulai jadi
saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalam u….”
Ia keluar dari rumah, berjalan m urung pulang ke markas,
la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk
berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir
Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan
permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus
dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan
Peranggi…
Dan ia mengakui, persoalan wanita mem ang jadi
masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang
anakbuahnya ada yang telah mem bikin perahu dan hanya
untuk mem bajak wanita di kampung-kampung nelayan
untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung.
Lebih enam ratus lelaki! Dan lelaki m emang dilahirkan oleh
wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia
menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk
berperang. Dan kini semua telah berkisar menjurus ke arah
yang sam a sekali berlainan.
Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi.
“Kelahiran baru,” ia mem belok ke sebuah pondok,
menjenguk ke dalam.
“Lelaki!” seseorang terdengar berseru girang.
Wiranggaleng berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu
tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar,
mungkin Portugis bukan musuh dan bukan persoalannya.
Bukankah orangtuanya sendiri sudah mem unggungi
persoalan itu karena kekecewaan pada raja-rajanya sendiri?
Ia menarik nafas panjang, mem enuhi paru-parunya
dengan udara malam yang segar.
Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang
telah membebaskan aku….
Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk
bersama seorang wanita muda cantik, berm ata bulat dengan
bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan
mengantuk, tetapi bertekad menunggu sam pai ia datang.
Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang
tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka
mem buka mata.
“Kau datang, Pada,” tegur H ang W ira.
Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis
gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini
mengangkat sembah dari tempatnya dan mem perhatikan
dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu.
“Ampuni aku bila terlalu lama.”
“Sudah tak ada bedanya lam a atau tidak. Pada. Kau baik
dan selamat. Itu sudah cukup.”
“Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya
seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang G aleng,
abangku.”
Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang
menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari m ana kau,
Upik?” tanyanya dalam jawa.
“Bukan jawa, Kang.”
“Aceh? Jambi, Minang?”
“Sunda,”
menyanyi.
jawab
Sabarini
dengan
suaranya
yang
Wiranggaleng mengangkat tangan mem berikan restu.
Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan
gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap
kepala: “Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian,
semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai
kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi
hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilanggemilang. Berdirilah kalian.”
Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dada dan
menunduk.
“Pada, bawalah istrimu beristirahat.”
Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar
lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka
berdua.
“Ya, berbahagialah kalian.”
la
segera
tenggelam
dalam
kenangan
pada
perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum
sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu,
penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut
merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan Idayu
sebagai Kamaratih. Kemudian tandunya jatuh. Sebagai
pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah.
Terjerembab! Mungkin perlambang kejatuhannya selam a
irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang
itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang mem ang
gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan
pernah gagal.
Kegagalan yang berisikan penyesalan – banyak
penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas karena tangan
dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang
majikan dan seorang guru sekaligus! Dan kiai di G resik itu
– banyak nam anya pun ia tak tahu. Dan Danu – santri
terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas karena
tangannya – dan tidak karena perang!
Ia tinggalkan markas dan memasuki malam.
Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung
mem antai pesisir timur Sum atra Pada telah berpikir keras
untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan
ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadiankejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu.
Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di
dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas
Adipati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh
tentara Demak? Dan mengapa pula keluarga Wiranggaleng
terancam kebinasaan? Mengapa Senapati dituduh
bersengkongkol menentang Demak? Dan mengapa pula
dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu?
Ia tak dapat m enjawab.
G erakan Trenggono ke jurusan timur dan barat Demak,
penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas
Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk – semua pelabuhan
penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah
Trenggono sudah bertekad menguasai semua bandar di
Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak punya
bandar? Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara
maka Trenggono bernafsu m enggagahi banyak bandar lain?
Dan mengapa lawan-lawan Sultan Demak tak ada yang
mampu menahan gelom bang balatentaranya? Mengapa
pula Tuban yang beratus tahun jadi andal-andal Majapahit
dapat ditangannya, bahkan telah terjam ah ibukotanya? Lagi
pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus
menghalau musuhnya sekalipun Sang Adipati telah
mangkat. Dan mengapa pula Peranggi langsung masuk ke
Tuban setelah kegagalannya di Sunda Kelapa? Seakan-akan
semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi?
Dan di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya
Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas.
Dan mengapa armada Jepara-Demak mengakhiri
blokadenya? Dan mengapa balatentara arm ada itu tak
meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan
mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas
dengan sekali pukul telah m ematikan bandar Panjang?
Benang yang kacau itu semakin kacau.
Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa
Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya
almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan Islam
pertam a-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan kafir
sebagai semula?
Mengapa
justru
Wiranggaleng
yang
harus
mengusahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu
yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia
mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung?
Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam
Peranggi? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah
Wiranggaleng itu sendiri yang telah merampas senjata
am puh itu. Dan m engapa Senapati yang paling berjasa pada
Tuban itu justru diusir dari Tuban? Dan mengapa ia
sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula?
Dalam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus
dan nampak lebih jangkung daripada sesungguhnya.
Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih
mem usingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa
balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan Demak?
Dan m engapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis?
Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut
peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri
semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya mem aafkan diri
sendiri, karena sedang dalam suasana pengantin baru maka
diri menjadi bebal.
Waktu mem asuki Pati ternyata tak ada gangguan dari
pihak Portugis. Mereka mem ang nampak kasar dan tidak
tahu adat, tetapi tak selembar pun barang-barangnya
mereka rampas, apalagi perahu layarnya.
Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu
kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya
segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. Dan ia tak
melihat adanya permusuhan tertuju padanya.
Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai.
Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya.
Mengapa Peranggi-Peranggi itu nampak begitu damai? Dan
jarang di antara mereka mem bawa senjata? Dan mengapa
di Tuban justru sebaliknya?
Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas
Wiranggaleng sedang istrinya menggendong pada
punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia
takan mampu menyusun laporan untuk panglim anya. Dan
ia merasa akan menderita aib sekiranya Wiranggaleng
menuduhnya hanya mengurusi soal bini semata dan tidak
melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang
ram ah
dan
tidak
menuding,
bahkan
merestui
perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya.
G aleng yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai
seorang abang yang pemurah dan bijaksana.
Keesokan
harinya
ia
telah
berniat
hendak
menyam paikan berita-berita sebagaimana adanya. T ernyata
ia tidak mampu menyusunnya.
Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di
sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya
Panglim a sedang berpikir keras. Matanya suram.
Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar
dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara
lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan
istrimu,” ia tersenyum.
Ketegangan Pada hilang sam a sekali
Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebutnyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang
bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun
terpencil, aman dan dam ai.
“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.”
“Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas
dunia ini, Kang.”
“Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak
menduga dengan begitu m udah ia m endapatkan jalan untuk
menyam paikan segala yang telah dilihat dan didengarnya
sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda
Kelapa dan Panjang, malah juga di Pasai. Pengalam annya
dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu
tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan
dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara Demak
menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang
gadis kecil menyam paikan sebuah bungkusan. Aku tahu
bungkusan itu untuk Kang G aleng. Ampunilah aku karena
telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan
sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan
itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa
Baleugbag, desa Sabarini, istriku.”
“Semua ketakutan dan kelelahanmu telah ditebus. Kau
telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum
pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan
menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan
manusia.”
“Kau melebih-lebihkan, Kang.”
“Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura
dungu. Ayoh, teruskan ceritamu.”
Pada m eneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan
Sunda Kelapa ke tangan Demak. Bahwa Sunda Kelapa
telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk kemudian
juga diseibu oleh arm ada Jepara-Demak. Dan setelah itu
arm ada bergerak dengan bantuan tenaga setempat
menduduki Cirebon.
Wiranggaleng diam term enung mendengar bagaimana
Fathillah menghalau Portugis dan kapal-kapalnya. Dan
arm ada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan
sebutir pun peluru meriam. “Apakah kau tidak keliru.
Pada?”
‘Tidak. Portugis tidak menembak. Mereka terus berlayar
ke timur, terus ke timur.”
“Dan m emasuki Tuban.”
“Ya, dan mem asuki Tuban.”
“Mungkin mereka hendak selam atkan pelurunya untuk
Tuban.” Hang Wira menerangkan. “Mungkin karena itu
mereka dapat m enusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak
dapat menemui Kala Cuwil?”
‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku
ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu Demak masuk.”
Wiranggaleng
seperti
tersengat
kalajengking.
Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya.
Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan
berjalan tanpa m enoleh.
Pada yang m asih juga duduk menunggu akhirnya berdiri
juga dan mencarinya. Didapatinya Senapati sedang berdiri
merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya
bertahan pada sebatang kayu. “Kau telah terbebas dari
sumpah. Kang.”
“Apakah hanya itu saja yang penting?”
“Mem ang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara
Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka
berperang?”
“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama m ati,
raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak
menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana
seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun
yang lalu. Pada.”
“Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok
Rajasanagara.”
“Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. Tuban
tidak m elahirkan Ken Arok. Kala Cuwil sesungguhnya bisa
marak, atau Banteng Wareng. Mereka takkan bakal ada
keberanian untuk itu Mereka mem ang lain dari Ken Arok.
Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan.
Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan
gengsi ketentaraan semata.”
Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang
mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan m emang
mereka yakin Kala Cuwil dan Banteng Wareng tak ada
keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah
Jawa akan berubah.
“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau
sebenarnya bisa, Kang’
sendiri
“Husy. Kau masih juga tidak m engerti G aleng ini”
“Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang
mengenal dan m engasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.”
“Kau keliru.”
“Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita
tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba
haridepan….”
“Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa
tidak lebih dari Idayu, hanya menginginkan jadi petani
tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun…
itulah yang justru mem bikin aku menyasar-nyasar begini,
melalui jadi Syahbandar-muda sampai Senapati dan
Panglim a gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini
muncul dan m enyilakan Hang Wira makan.
“Aah, adikku Sabarini,” tegur Senapati dalam bahasa
Melayu. “Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti
engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan
semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa
kebun yang indah seperti di negerimu.”
“Sahaya akan tetap senang selam a tidak ditinggalkan
oleh suam i sahaya,” jawab Sabarini dengan suaranya yang
menyanyi.
“Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.”
“Ya, Kang G aleng. Selama aku tak mengabdi pada
seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.”
“Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu
ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu
besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu
seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah
yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selam a
dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat
mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau,
barangkali juga dialah yang mengikuti kau.”
Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir.
Wiranggaleng tersenyum senang melihatnya dan berseru:
“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya.
Aku tak salahkan kau.”
‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergilagila padaku.”
“Benar, Sabarini?”
Dan Sabarini lari tersipu m eninggalkan mereka.
“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu
harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana
bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun
dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau
bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah
riwayatmu.”‘
“Mengapa begitu, Kang?”
“Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu.
Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya
tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup
aku akan dapat m engetahui dari suaranya saja, dia seorang
wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.”
“Kang.”
“Apalagi kau bertaubat.”
“Sudah lam a aku bertaubat.”
“Mari makan.”
Dalam berjalan kembali Wiranggaleng tenggelam dalam
pikirannya. Baginya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau
barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh
Rama Cluring? Datangnya mem anggil kejayaan dan
kebesaran itu?
Rama Cluring keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil
datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah
arti Tuban tanpa Malaka? Tuban adalah negeri
kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan
perdagangan rempah-rempah. Rama Cluring keliru. Untuk
menguasai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka
harus dibebaskan. Dan Malaka tak dapat dibebaskan karena
kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus
timbul Majapahit kedua yang sama sekali menguasai
Malaka. Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh
Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil.
Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru
orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang telah dikalahkan
oleh meriam. Senjata itu harus lebih am puh dari meriam.
“Bagaimana, Kang?”
”Ayoh makan.”
Dan malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk
bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai
menyalakan api unggun, tetapi para penjaga belum juga
datang. Yang datang justru Pada mem bawa bungkusan.
“Mengapa kau tinggalkan istrim u?”
“Sudah
tidur.
meninggalkannya?”
Kang.
Bukankah
aku
boleh
“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu
tidak patut Apa kau bawa itu?”
“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat
kusampaikan padam u bingkisan ini: dari G usti Ratu
Aisah.”
”Hm m. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan
kau m endapatkan Sabarini?”
“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah
aku ceritakan,” ia mulai mem bongkarnya.
Yang pertama keluar adalah kain batik bergam bar kuputarung. Seperti kena kejang Wiranggaleng mencengkam
kain itu kemudian meletakkan pada dadanya: “Aku pernah
melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara.
Pulang m embawa luka dan kekalahan dan M alaka. Seorang
aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk
menguasai perasaannya sendiri, kemudian, “Dahulu aku
mencurigainya, tidak mem percayainya. Hampir lima belas
tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat
mengagungkan G usti Adipati Tuban. Aku pernah
menjalankan tugas untuk mem ata-m atainya. Aku pernah
laporkan semua yang aku ketahui pada G usti Adipati
Tuban. Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu
menyerang Malaka. Dan ternyata hanya G usti Kanjeng
Adipati Unus yang benar. Betapa aku menyesal telah
pernah mencurigai, mem ata-m atai dan m engkhianatinya.”
“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.”
“Lewat saja tiada mengapa, Pada, tetapi lewat dengan
segala ketidakberesan begini.”
“Kang G aleng, Raden Ajeng cilik yang menyerahkan
bingkisan padaku itu menyampaikan pesan G usti Ratu
Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu
mengenakannya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada
orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng Wareng pun tidak.
Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.”
Wiranggaleng masih tenggelam dalam emosinya, pada
masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus.
“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau.
la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. Mohamm ad
Firm an mencoba mengikutinya dari belakang dan
menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon
dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu.
“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.”
‘Temani istrimu. Pada.”
“Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu.
Kang.”
“Pergilah kau, jangan ganggu aku.”
“Aku akan tetap di belakang. Kang.”
“Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan
sudah untuk kedua katinya.”
“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di
belakangm u, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau
kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua
orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu,
Kang.”
Lam a Wiranggaleng tak bicara. Kemudian mulai ia
bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku
tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak
desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya.
Ham pir lim a belas tahun yang lalu semestinya Peranggi
telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita
lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci
dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan
Demak. Ia telah jerumuskan Jawa dalam peperangan
melawan yang bukan musuh, dan mem biarkan musuh
semakin kuat begini. Ia telah perham ba orang-orang
serumah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas
dan menguasai sumber kehidupan.”
“Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa mem ang
tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.”
“Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir
dari Malaka hanya omong kosong, Pada.”
“Betul, Kang, hanya omong kosong.”
“Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nam a untuk
jaman kemerosotan ini.”
“Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.”
“Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan
gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa
kalau Demak tak mem ukul semangat kita. Ditariknya
pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa.
Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.”
Tapi
“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.”
“Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk
menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi
pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak
banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama
dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali.
Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di
mana-mana. Kehidupan macam apa ini?”
“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah
juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.”
“Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Muridmuridm u mungkin mem erlukan lebih dari dirimu sendiri.
Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang
dalam kekafiranku. Aku tak mem butuhkan kata-kata
hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati
oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah karena sarat
dengan beban, dan biarlah dia m eledak karena ketegangan.
Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang
mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan
hanya sekedar mem basuh kaki, sebagaimana Sabarini
mem basuh kakimu. Mem ang menyegarkan, tapi tiada arti.
Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan
untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada
titik inilah kita berpisah.”
Ia berjalan lagi m emasuki kegelapan dan hilang.
Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak didugaduganya Ia tahu sahabatnya dihembalang oleh kekecewaan
dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar
kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan
dan dukacita itu sendiri.
Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada
Tuhannya, mem ohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk
si kafir sahabatnya yang keras kepala itu. Kemudian ia
pulang ke markas membawa bungkusan.
0o-dw-o0
Panglim a itu sedang menemui pemimpin kesatuan BugisMakasar di pondoknya.
Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang
terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu
merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya
pada Wiranggaleng.
Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua mem utuskan
untuk mem buat pertemuan bersama: pada minggu
mendatang.
Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan
tenang seperti dahulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana
hatinya menggeletar, karena si kafir itu enggan
menyerahkan kesulitannya pada Yang M aha Kuasa. Dan ia
telah jarang berkhotbah di hadapannya.
“Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tibatiba ia bertanya.
“Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian.”
“Jangan dengan sahay a-sahayaan,” ia melirik pada
Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik,
baik, selam a orang sudah mulai berdamai dengan tempat
tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi.
Dalam pertemuan seminggu kemudian ia menyatakan,
pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan
lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke
negerinya
masing-m asing
kesempatan
diberikan.
Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di
depan pertemuan itu juga ia menyatakan telah melepaskan
kepanglim aannya, bukan lagi atasan mereka, hanya
sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan
Sultan Trenggono yang menyebabkan semua terdampar
sebagai prajurit di sini, tetapi untuk sebahagian toh
mendapatkan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan,
terutam a sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah
dan subur.
”Negeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi.
Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi
mereka di sana, karena Tuban negeriku. Aku tak mem aksa
kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali
denganku untuk mengusir Peranggi akan kuterima dengan
segala senang bati.”
Hanya dua puluh lim a orang yang menyatakan hendak
kembali. “Aku meninggalkan Tuban mem bawa lim a ratus
orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lim a.
Adipati Unus telah gagal. Beberapa belas tahun kemudian
juga Wiranggaleng gagal. Karena kegagalan ini disebabkan
oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum
keberangkatanku, nam ailah daerah tinggal kalian ini
dengan nama itu pula: Trenggono.”
Pada hari yang telah ditentukan, Wiranggaleng bersama
dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan
beramai-ramai ke pantai.
“Janganlah gusar kalau aku mem ilih tinggal di sini. Kang
G aleng.”
“Kau berhak, Pada.”
“Bagiku Jawa hanya tum pukan kekacauan yang tiada
habis-habisnya.”
“Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka.
Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.”
“Nam paknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ”
“Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau
kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin
melihat anakmu lagalah kesehatanm u. Kirimkan anakmu
kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur.”
0odwo0
39. Tuban Jadi Kancah Perang
Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid
tidak
mengawasi
barang-barangnya.
Orang-orang
mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga,
dan ia berjalan seorang diri mendahului.
Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup
tanah berpasir hancuran batu karang, mencium nya. Tak
pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan
sekarang.
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya
mengucapkan syukur karena tidak terbawa oleh kapal
Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa
menjadi kuburannya setelah penganiayaan berat akan
mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan
Portugis bila terbukti pernah mem bunuh seorang Nasrani
baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya
hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari
haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung
Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk
haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan
Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah
penggorengan besar bagi dirinya.
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh
mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.
Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup
baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang
penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan
senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk
mem perbaiki kelakuannya dan bertekad hendak mem balas
budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan
padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi G ede Kati, dan
akan menempatkannya sebagai wanita yang semuliamulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan
mem bantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan
am bil G elar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan
dirinya pada Wiranggaleng bila ia sudah balik dari Malaka.
Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan
panggil anak-istrinya yang ada di G oa untuk menemani di
harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk
dikuburkan di Bumi Tuban.
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di
belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya.
Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna
merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di
perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang
lama. Kakinya pun kembali berterompah.
Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, mem biarkan
para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka,
leher dan lengan dengan setangan, kemudian menjentikjentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi G ede
Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia
tak am bil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar
yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut
merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam
nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah
mulai ditum buhi rumput serta pepohonan yang m ati karena
terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja
barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan
mem bangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia
mem butuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil
berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui
Nyi G ede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera
minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu telah
mem asuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak
nam pak dan tam an depan rumah telah kehilangan
Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali.
Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu
depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan
perbaiki.
“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya
melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit
pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan
mem beri tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan Syahbandar
Tuban? Segera tinggalkan tempat ini”
“Inilah Syahbandar Tuban baru tiba.”
“Segera tinggalkan tempat ini.”
“Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih
tertumpuk di tepi jalanan tam an di depan rumah. Para
pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah
ada Syahbandar lainkah karena aku pergi tanpa minta diri
tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah.
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa:
waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali
bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran
kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati
barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang
berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit
datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia
tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali
oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali
seperti dulu.
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku
kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah
orang yang berkumis dan berjenggot itu?
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertom bak,
melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak
berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh
bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian
malah menutupi mukanya.
‘Tuan
Syahbandar,”
tegurnya
ramah
tanpa
menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, kemudian berhenti
dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia
tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan? Demak?
Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia
hanya dapat m embungkuk menghorm at dan dengan tangan
kanan bertekuk di depan dada.
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa
menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan.
Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya
tertutup ram but mem andang tajam padanya.
“Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi.”
Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan
dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi.
“Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban mem anggil,
G usti Patih,” jawabnya.
Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya
menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya
terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian,
terpanggil kembali oleh tugasnya.”
“Demikianlah yang ditugaskan oleh G usti Adipati Tuban
pada sahaya.”
Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia
kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan
Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa
Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya.
“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah.
“Masukkan dia ke dalam krangkeng.”
“Krangkeng?” pekik Tholib Sungkar.
“Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu:” Dan dua
orang pengawal itu menangkapnya.
“Apa dosa sahaya. G usti?”
“Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya.
Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya.”
“Sahaya Moro, G usti, bukan Peranggi.”
Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar
meronta dan mem bangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang
kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi,
dikunci dari luar.
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan.
Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar
berpendaran ke mana-m ana. Dan tak ada dilihatnya Nyi
G ede Kati. Pam an Marta pun tidak. Yang ada hanya
prajurit-prajurit pengawal.
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke
derm aga. Ia berseru-seru gila, mem anggil-manggil Sang
Adipati, Nyi G ede Kati, Paman Merta, bahkan juga
Wiranggaleng. Suaranya gemetar seiram a dengan geletaran
krangkeng yang disorong.
Seorang pengawal berlari-larian menyusul
menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.
dan
“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi
G ede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di
sini.”
“G usti Adipati—,” ia meraung.
“Apa yang kau raungkan? Dia sudah lam a mati.”
Syahbandar itu berhenti meraung. Ia m enggigil. Tak ada
lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang
Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan
berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati
mem ang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat
daripada yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulangtulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia
berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya.
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawalpengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahuperahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal
pasukan laut Tuban yang nampak.
Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah
kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan
panasnya sengangar. Semua manusia hanya m emusuhinya.
Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun
terdengar canang dipukul bertalu-talu mem anggil orang
untuk mendengarkan pengum uman. Orang pun mulai
berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat
melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang
bersorak-sorak
Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan
orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang
sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan
tak dapat berbuat sesuatu pun karena perlindungan Sang
Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku
ini? Belum cukupkah ketakutanku selam a ini, yang telah
Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selam atkan
dari orang sebanyak itu?
la telah dengar langkah kaki berlarian m enghampiri. Dan
ia tahu tak dapat mem bela diri. Tak ada penolong dalam
bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya
sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya
sampai pecah karena itu.
Matanya mengem bara dari ruji ke ruji, kemudian
dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa m anusia.
Tetapi ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah
mem bunuh Esteban dan Rodriguez, mem bikin bulu
badannya m enggermang. Ia m elihat jeruji atas di mana dulu
salah seorang di antara korbannya menggelantung
mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu
kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung
oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia
duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu.
Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi,
lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas
pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam.
Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki
langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak,
tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam
pengurusan hukum Pribumi di Tuban? Mati. Mati juga
yang akan dihadapinya.
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak
itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik
itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam
keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang
dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina.
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam
waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri,
basah-kuyup. Seluruh badannya berbau am is. Ia tak tahu
tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.
Karena tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba
mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama
sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk
menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia m asih
mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak
berani.
Ia tak dapat mem bela diri apa lagi melawan orang
sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan
menyum pah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi
tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan
bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu.
Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang,
duduk mem bungkuk memeluk lutut, menenggelamkan
muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan
untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus
datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan
datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya
sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan
mem bunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan
terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub
terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan
Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan
mau m embayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas
atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia
jarang kelihatan lagi.
Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising
melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya
bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir derm aga
yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh
pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya m engernyit dan
mengancam, meringis dan merongos, mem belalak dim
mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung
dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong
dan menjebik.
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menarinari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri
dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol,
dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di
dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu
seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian
hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul
semua kalian akan binasa.
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya
semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada
pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan
menetes. Dan udara pengap dan bau am is itu -betapa
bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak
henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh
ratusan, ribuan orang yang m engepungnya.
Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka
mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan
penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak
mem bawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi
berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka
mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak
jelas.
Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut
kini menjadi jelas mencapai pendengarannya.
Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malammalam begini.
Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia m enunduk
lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan
berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya
seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang
seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini?
Jantungnya yang selam a ini meriut kecil sekarang
berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah
kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam
krangkeng maut ini?
‘Tuan Syahbandar!” ia dengar panggilan pelahan.
Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton
yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu karena
semutan.
“Kati, Kati! Nyi G ede!” desaunya, “istriku yang setia.
Aku tahu kau akan datang.”
“Bagaimana, Tuan Syahbandar, m engapa jadi begini?”
“Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang
bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!”
“Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu G usti telah
mangkat?”
Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata
orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi G ede,
berbisik: “M enghadaplah pada Sang Patih.”
“Sahaya akan m enghadap. Tuan.”
“Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang
berani, yang mulia. Kati, Nyi G ede Kati….”
“Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban?”
Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini
ia merasa m enjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam
kegugupan ia menjawab: “Allah mengirimkan aku kemari
dan Allahlah yang akan m enghukum orang-orang zalim itu.
Allah telah mem bisikkan padaku untuk mengambil dan
mem elihara istrinya sebaik-baiknya…”
“Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah.
Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan
dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan
minumlah banyak-banyak, karena hari besok akan punya
kemungkinan lain.”
Ia sorongkan lodong bambu berisi air.
Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit,
dan Nyi G ede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari
kirimannya Nyi G ede Kati mengusahakan datang ke
krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada.
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi
seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek,
mencemooh dan meludahi aku, Kati,” Tholib mengadu.
“Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada
larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau,
istriku yang setia, yang mem eliharakan aku. Allah akan
mem balas semua kebajikanm u. Ampunilah segala
perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi
Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.”
“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri
Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? Sahaya
sudah menghadap Sang Patih.”
“Ya-ya, bagaimana
dengan rakus.
hasilnya?”
Tholib
menyam bar
“Nanti, nanti! kata G usti Patih, dan cuma itu. Tuan.”
Syahbandar Tuban m elengos dan menghembuskan nafas
panjang kemudian duduk tanpa daya.
“Ya Allah,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin,
terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa
ini – sampai kapankah berakhir?”
“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada
akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib
menunduk dan istrinya m engawasinya dengan dukacita.
“Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik.”
Syahbandar mengangkat muka dengan harapan am at
sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah
menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.”
“Semua telah sahaya usahakan. Tuan.”
Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya
akan kesulitan Nyi G ede dan bertanya: “Bagaimana
hidupmu. Kati, istriku?”
“Seperti yang lain-lain. Tuan-”
“Tiadakah kau m endapatkan kesulitan dari mereka?”,
“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suam i yang sedang
menderita?”
“Betapa mulia hatimu. Nyi G ede. Mengapa baru aku
ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.”
“Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan
mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia.
Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.”
Dan pergilah wanita itu pulang setelah menyorongkan
beberapa lodong bam bu air untuk mandi suaminya.
Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah
pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua
terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita
gelandangan.
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak m engikutinya.
Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di
belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia
anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus
suam inya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah
dan sabar.
“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua
ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.
Anak-anak
berseru-seru
mem perdengarkan suaranya.
riang
setiap
ia
“Mengapa cuma kau yang mau m engurusi Almasawa?”
“Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain
menam bahi.
“Kau gila, Nek?”
“Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di
gubuk. Bagaimana takkan gila.”
Nyi G ede Kati mem buka pintu, disambut oleh kegelapan
di dalam dan m enyilakan anak-anak itu masuk.
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang
yang mem bawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya.
Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu
terbawa dan Nyi G ede melepas kembali. Anak itu jatuh
terduduk. Yang lain-lain semakin ramai bersorak-sorak
Kalau aku punya anak, pikir Nyi G ede, m ungkin ada dia
di antara mereka. Ia tersenyum .
“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang
di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.”
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul.
Kemudian pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah
jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “Ayoh masuk, di dalam
sini masih ada sedikit makanan.”
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang
paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundurmundur dengan pandang m emancarkan ketakutan.
“Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.”
“Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang
terbesar mem beranikan diri bertanya.
“Mengapa? Dia suamiku.”
“Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di
krangkeng.”
“Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurusnya,
bukan? Walau dia penjahat?”
“Tidak bisa!” pekik anak paling besar itu. ‘Tidak
mungkin bapakku seperti dia!”
“Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?”
Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu.
la ambil batu dan m elemparkannya pada Nyi G ede. Wanita
itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai
menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan
kerakal.
Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid
Mahm ud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa
dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi keramaian.
Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota:
Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam
pengawalan prajurit-prajurit.
“Semua begundal Peranggi tertangkap!” seorang prajurit
berteriak mengumum kan.
“Dulu dibiarkan merajalela.”
Pengum uman itu seperti sambaran petir dalam dada
Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus
bersiap-siap menghadapi persoalan itu.
Orang berbondong-bondong turun ke derm aga, tak
menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepatcepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk
ke pelataran rum ahnya sudah tidak berlaku lagi.
Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan.
Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan
segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan
lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam.
Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selam atkan aku,
ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak
kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali
ini.
Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia
menunggu sampai sore hari.
Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib
menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan
dimulai? Apa? Prajurit itu tidak mem bukakan pintu
krangkeng. Senyum ram ahnya untuk minta keterangan
dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu
mem atahkan senyumnya.
Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. Kemudian
bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang
baru datang m enudingnya dengan m uka merah oleh m urka:
“Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda
Peranggi di Tuban? Bedebah!”
“Tidak benar,” bantah Tholib.
“Dan Yakub akan jadi patihmu!”
”Bohong!” pekik Syahbandar, menduga
pengadilan atas perkaranya m ulai disidangkan.
begitulah
“Kau kirim kan meriam pada si brandal Kiai Benggala
buat tum bangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan
jawabannya.”
Kepercayaan
diri
Syahbandar mulai
goncang.
Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya?
Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku? Inikah
macamnya? Bagaimana aku mesti mem bela diri di depan
pengadilan semacam ini? Siapa sesungguhnya penuduh dan
siapa pula hakimnya?
“Kau suruh orang m engambil meriam-meriam dari kapal
Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu
dalam keadaan terbelenggu dan terbius.”
“Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung Tholib Sungkar
dalam kegugupannya.
“Yakub dan gerom bolannya yang kau suruh.”
“Yakub keparat!” pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan
keseim bangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah
krangkeng dengan mem egangi tongkat. Semua yang telah
dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada
sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak,
kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya
tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan
putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga
yang keluar
“Yakub keparat! Yakub keparat!”
“Raja-muda
menuduh.
Tuban!”
orang-orang
mulai
bersorak
“Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar!” ia
mem ekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora soraksorai menuduh.
Matanya m embeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam
batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk
mem bela nyawa sendiri.
“Kiai Benggala
Wiranggaleng.”
berkirim
surat
padamu
melalui
“Tidak! Tidak benar. Wiranggaleng keliru!” pekiknya,
kemudian mendesau-desau, “Wiranggaleng keliru!”
pekiknya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.”
“Kau bunuh Esteban.”
“Tidak, tidak, bukan
Bukan.”
aku
mem bunuhnya.
Bukan.
Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia.
Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang
mengancam nya.
“Siapa yang m embunuh dia?”
“Bukan aku. Yakub!”
“Pembohong!” pekik orang itu.
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya,
mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara
itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata
mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang
terkandung di dalamnya.
“Kau bunuh R odriguez!”
“Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang mem bunuhnya.”
“Pembohong.”
“Betul. Betul bukan aku. Bukan.”
“Kau khianati Sultan Mahm ud Syah Malaka.”
“Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang
mengkhianati.”
“Kau racuni gajah-gajah Sultan M ahmud Syah.”
“Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.”
Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik
para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis
meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya,
dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau
bius Idayu!”
‘Tidak benar!” ia meraung melolong. ‘Tak pernah aku
bius Idayu atau siapa pun. Dan G elar bukan anakku. Benar,
tidak, tidak, tidaaaaaak!”
“Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik Idayu anakberanak,” desau angin m eneruskan tuduhannya.
“Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik
Nyi G ede Idayu. Bukan aku.”
“Kau tipu G usti Adipati dengan cerita-cerita bohong.”
“Aku orang suci!” raung Tholib putus-akal.
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air
dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan
pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya,
la mengeluh dan m enangisi ketidakmampuannya sendiri.
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum
aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku mem bela
diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah
ram pas keseim banganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan
hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin
pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku
ini?
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang
lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang
datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan m akian, hinaan
dan ludahnya. Beram ai-ramai mereka mendorong
krangkeng beroda itu m eninggalkan dermaga. Badan Tholib
menggeletar karena geletaran krangkeng dan berayun-ayun
mem pertahankan keseimbangan.
“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!”
seseorang berseru.
“Besok, Ulasawa, R aja-muda Peranggi, besok!” yang lain
menam bahi dengan gemasnya.
Dan besok selesailah apa yang dinam ai hidup ini.
Kiam at pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini.
Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana
krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.
Mendadak perhatiannya beralih pada rom bongan lain
yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya
yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar.
Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang
mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari
krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar
lebar.
“Nah, katakan semua tadi, Yakub!”
“Dia itulah,” Yakub mem ulai dengan menuding
Syahbandar Tuban dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi
segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya
sebagai bawahan.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia
berusaha mem ulihkan kemampuan dan nilai-nilai
pribadinya. Tetapi tuduhan Yakub lebih kuat daripada
usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap
olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil.
Setelah orang mendesak dan mem aksa-m aksa untuk
menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi Allah. Orang
itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia
ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak
pernah
ada
seorang pewarung arak dipercayai
om ongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh G usti
Adipati Tuban yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia
tertawa menghinakan.
“Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku ataukah dia?”
Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar
Tuban? Aku ataukah dia? Katakan, kau, Yakub, kau bukan
penipu. Ayoh, buktikan.”
Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya
menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan
mengenakannya pada kepala Yakub.
“Bicara, kau, Yakub!” bentak seseorang.
“Semua telah sahaya persembahkan pada G usti Patih
Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi
lagi.”
“Apa telah kau persembahkan, penipu?”
“Katakan, Yakub,” seorang wanita mem ohon. Dan
orang itu adalah Nyi G ede Kati yang berpakaian compangcamping.
Yakub tetap pada sikapnya.
Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat
sokongan kekuatan batin.
“Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah,
pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana
kau m enipu dan mem bunuh!” bentaknya.
“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak
punya kehormatan dan harga diri!” seorang prajurit
mem bentak Syahbandar.
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan
ludah.
Kemudian lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang
terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada
tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai
mengerum uni mereka kecuali seorang: Nyi G ede Kati.
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan
terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya
kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju
yang telah dekil.
“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati?
Mengapa diam saja? Demi Allah, aku tak bersalah sedikit
pun. Mem ang aku pernah bermaksud menganiaya kau,
dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku
telah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?”
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan
bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip
dari celah-celah sobekan.
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orangorang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah
datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah
pelabuhan menjadi sunyi kembali.
Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan temantemannya berdiri tanpa daya mem unggungi tonggak
pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.
“Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan
pengum uman di alun-alun,” Nyi G ede Kati minta diri.
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban
hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan
pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya.
Dan ia berpaling untuk tak melihatnya.
“Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia meyakinkan
dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih
baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil
ini.”
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak
ada seorang pun di antaranya mencoba bicara….
Pengum uman dari panggung alun-alun itu tak kurang
menggemparkan.
Seorang
peseru
menyampaikan:
gerom bolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan
mem bantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan
pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk
meriam
dari
kapal
Peranggi
ke
pantai
dan
mengantarkannya ke Rajeg. Bersam a dengan itu dikirim kan
pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan
meriam itu. G erombolan ini akan menjalani hukuman m ati
menurut perintah G usti Patih Tuban Sang Wirabum i. Sayid
Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi
utam a dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk
dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis.
Pengum uman kedua lebih menggemparkan lagi,
menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis
dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus
menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di
tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit.
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus
orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk.
Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang.
Orang
kembali
ke
rumah
masing-masing,
tak
mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukum an
mati. Perang yang akan datang mungkin mem bunuh setiap
orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang!
Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini?
Seminggu setelah pengumuman, perang besar telah
terjadi di sebelah barat luar kota.
Demak sedang mem usatkan kekuatannya. Trenggono
telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk
dihantamkan pada T uban. Dan Tuban tetap jadi impiannya
untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke
G resik dan Blam bangan….
Pasukan gajah Tuban yang selam a ini diundurkan ke
pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara
dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal
berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala
pasukan gajah.
Balatentara Demak selam a ini meremehkan pasukan
gajah untuk mem besarkan hati tentaranya. Setelah melihat
sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan
iringan pasukan kaki yang mem beludak dan pasukan kuda
di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. G ajahgajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan
kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa hentihentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada
jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan
pagardesa yang dikerahkan.
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan
menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubtkerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak
mem pan dipedang, di panah ataupun ditom bak. Barisan
Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk
terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi
dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti
matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke
barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling
berbareng.
Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan
mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan
sendiri, tiada terkendalikan.
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan
kuda Banteng Wareng seperti air curah.
Medan pertempuran menjadi kuning karena kepulan
debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai
dan canang.
Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan
tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan
seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rem bang.
Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali
kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk
menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara.
Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan
mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka.
0odwo0
40. D an Po rtugis pun Memasuki Tuban
Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah
mem erintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya
ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan seharihari.
Bandar Tuban Kota m ulai berisi lagi dengan manusia.
Selama pertempuran di barat kota Nyi G ede Kati tetap
mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari.
Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya
bagaimana ia mendapatkan makannya.
Dan terjadilah hari itu. Nyi G ede Kati datang pada
waktu sore dengan mem bawa bungkusan dan lodong air.
Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik
yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji
besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna
untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu
siang.”
Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang
pelabuhan bertalu-talu.
“Ada kapal asing datang!” gum am Syahbandar sambil
meninjau ke menara pelabuhan. “Dan Syahbandar masih di
sini,” gum amnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk.
“Kau lihat kapalnya, Kati?”
“Lihat, Tuan.”
“Demi Allah, aku bebas, Kati, karena hanya akulah
Syahbandar. Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.”
“Nam paknya kapal Peranggi, Tuan.”
“Peranggi? Masyaallah,” matanya bersinar-sinar penuh
harapan.
“Lihat baik-baik, Kati.”
“Peranggi, Tuan, tiga kapal.”
“Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,”
Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan
selam a ini mem bikin m atanya menjadi rabun. Dan m ata itu
berhenti pada tonggak-tonggak yang selam a ini ditakutinya.
Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani
hukum an mati, seorang demi seorang, diperas darahnya,
tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping
batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan
hatinya m enggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran
dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka
takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban
itu!
“Alham dulillah,” sebutnya berkali-kali.
“Peranggiiiiiii!” Pekik penjaga menara.
Baik Nyi G ede Kati maupun Tholib melihat penjaga
menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke
kesyahbandaran.
Beberapa bentar kemudian tiga orang penunggang kuda
berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang
bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canangcanang desa kemudian pun bertalu-talu, mem beritakan
akan datangnya bahaya dari laut.
Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan
barat. Canang kemudian berubah irama, mem berikan
isyarat
agar
semua
perempuan
dan
anak-anak
meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.
“Mereka datang!” bisik Syahbandar, “tak salah lagi.”
Nyi G ede Kati mem andangi suaminya, mencibirkan
bibir. Tangan suaminya yang mem egangi lengannya ia
lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil!”
Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam m elepaskan
peluru. Tak lama kemudian pelurunya beterbangan di atas
krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkarbangkir kena terjang.
Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir
mem bikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar.
Ditiup angin debu itu pun mengem bang dan buyar bersama
dengan angin sore.
Nyi G ede Kati meludah. Kemudian lari melintasi daerah
tembak m eriam ke sebelah timur.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa
tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak
mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran.
Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan Portugis belum lagi mem bayar penuh untuk segala
jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi,
dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia
tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta,
tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari
berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak
mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan
yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih
besar. Lelaki yang mem anggul bungkusan. Kakek atau
nenek bertongkat, berjalan lambat-lam bat. Seorang nenek
bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua
tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar
majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan
terdengar cetbang dan meriam Tuban mem berikan
tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang
dalam perjalanan kembali ke pangkalan.
Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk
menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapalkapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan
hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat
ke bandar.
Riuh-rendah
peluru
menerjang
bangunan.
Mem benarm kan suara manusia dan hewan. Nampaknya
kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi.
Peluru makin m endesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang
pun dapat m enangkis. G edung kesyahbandaran telah roboh
atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak
bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud,
atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul
di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang
biru itu.
Bandar telah m ulai kosong.
Sisa armada Francisco de Sa setelah lari dari Sunda
Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia
bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki
bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia
harus tinggalkan Sunda Kelapa karena tak mengetahui
benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar
pengetahuan Malaka sisa arm adanya telah siap untuk
berlabuh.
Tetapi gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada
yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan
rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbangcetbang itu mem ang tidak digubrisnya, tetapi meriamnya
harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo
meriam selam a lim a bentar, empat buah kapal Tuban telah
menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan
menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula.
Ia perintahkan berlabuh dan mem buang sauh di luar jarak
tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan
Menyusul kemudian
serdadu-serdadunya bersenjata
lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk
melindungi pendaratan.
Dendam nya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak
dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda
Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru
ia m engetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak.
Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di
laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari
balatentara yang sedang berperang melawan Demak.
Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus
hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba.
Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat
selam atkan m uka dan nam anya.
Adalah mem alukan bagi seorang pembesar Portugis
dikalahkan oleh Pribumi, karena kalahnya juga kekalahan
ras, kekalahan agam a, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak
boleh terjadi atas diri Francisco de Sa.
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus
mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun
tertinggal. Dalam lim a belas bentar prajurit-prajuritnya
sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat
regu pertama
perlawanan.
telah
mulai
naik
ke dermaga
tanpa
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia
sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang
pengawal.
Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat.
Bersenjatakan tom bak, panah dan perisai mereka menyerbu
ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta
mereka untuk memimpin perlawanan.
Seperti semut m ereka menyerbu ke bandar, bersebaran di
setiap tempat dan bersorak-sorak untuk mem beranikan diri
sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak.
Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur.
Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam
dengan sendirinya. Tom bak peluru musket itu tak dapat
ditembus, sebaliknya mem binasakan, menyusupi daging
dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan
mundur terus.
Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan
balatentara.
Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan
menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan
rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis
terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di
depannya, manusia dan hewan.
Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari
maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelum nya.
Dan demikian terus menerus.
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta.
Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa.
Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji
krangkengnya. Waktu tembakan m eriam telah berhenti dan
tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar
mem asuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa.
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci
telah berangkat lagi ke kapal dan m engangkuti peralatan. Di
derm aga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat
melihat m ereka adalah para pembesar.
Ia mengucapkan syukur untuk keselam atannya,
dilupakan oleh peluru m eriam dan m usket.
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di derm aga
menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan
meriam dan rodanya
“Bekas Syahbandar M alaka?”
“Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa.”
“Cukup!”
Bertiga mereka lari menggabungkan diri
rombongan Francisco de Sa yang sudah
meninggalkan wilayah bandar.
dengan
hampir
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng,
kemudian berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib
yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.
Syahbandar itu mem bungkuk dan melambaikan tangan,
menghormat: “Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar AzZubaid, Tuan.”
Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam
mengawasinya.
Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam
atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu
mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari
mulutnya: ‘Telah lama kutunggu kedatangan armada
Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.”
“Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa
tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku?”
“Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di
tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.”
“Di m ana orang-orang itu sekarang?”
“Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan
menunjukkan di mana mereka bersembunyi.”
Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi
krangkeng besi itu.
“Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar
Tuban sekarang ini?” tanyanya dengan kata Syahbandar
ditekankan.
Francisco de Sa tak menjawab. Kemudian ia berpaling
dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam
pengawalan.
“Ya Allah, ya Allah!” sebut Tholib “Akhirnya tanganmu
juga yang terulur.”
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur.
Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya
pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan
dituangkan pasir pada ram butnya dan dikacaunya.
Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah
jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk
beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada
mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan
terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang
terbaik di antaranya.
“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.”
Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke
kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari
sudah tenggelam.
Seorang pengiring nampak lari ke derm aga, kemudian
datang bersama temannya ke krangkeng mem bawa martil
besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan
palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipatlipatnya dengan pukulan, kemudian patah. Linggis tak
terpakai Pintu besi itu pun terbuka.
Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng,
menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri
di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya.
Pasukan pagardesa berham buran melarikan diri dari
bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak am an. Di antara
kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh
serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka
menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru
musuhnya, mem asuki kampung-kampung pinggiran kota,
terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masingmasing.
Para pengungsi mem enuhi jalanan, grobak dan pem ikul,
penggendong dan penuntun.
Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh
berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepalakepala pasukan.
Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai
Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan
bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala
Cuwil karena sebagai Patih kurang betul dalam
mem berikan
keterangan tentang keadaan
bandar.
Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepalakepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa
pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar karena
pertikaian dari atas.
Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota
tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan
hidup dan keselam atan di luar kota ternyata tak dapat hidup
dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang
dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan
negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang
menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan
jasa semata. Mereka tak suka lagi mem bantu seperti dulu.
Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal
mendapat bantuan dari siapa pun.
Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi
mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan
giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis
mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti
dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring
masuk ke bandar, diperintahkan m endirikan bedeng-bedeng
baru.
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba
menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh
musket.
Lam a kelam aan patroli Portugis juga berani mem asuki
daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang
dapat ditangkapnya.
Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah
bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu.
Dan semua tangkapan yang dipekerjakan kemudian di
sekap di dalam nya. Penjagaan yang ketat tidak
mem ungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang
yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah,
baik karena peluru ataupun karena pisau tongkat Tholib. Ia
sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota
dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan
kenikmatan dalam m erampas jiwa orang.
Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama
hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar
Ulasawa.
Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang
pada naik pitam. Tetapi Syahbandar dengan tongkatnya
mendapat banyak julukan karena setiap hari paling tidak ia
mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan
kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana
yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan
menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakekkakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga mem asuki
kampung-kampung m erampasi segala apa yang berupa m as
dan perak. Untuk itu ia selalu mem bawa serdadu.
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum
sambil memekik senang: “Kafir!”
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana
ia sendiri tak jarang juga ikut m elakukannya sendiri.
Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa
penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka
beramai-ramai pindah ke tempat lain di malam hari.
Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada
didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondarmandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak
mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut.
Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa
perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka
mem bakar rumahnya sekaligus.
Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara
Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis
mulai mem berikan perintah pada Tholib Sungkar AzZubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah
kiri kesyahbandaran.
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng
bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya
langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan
ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai
tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan
sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak
boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh
punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun
sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari
ditanamkan pada hati mereka melalui ancam an dan
pengaiayaan untuk mem bikin mereka jadi kecil di hadapan
Tholib Sungkar dan Portugis.
Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja
menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali
tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas
permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul,
mem adatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai
mereka kenal, alat-alat Eropa mulai m ereka pegang: gergaji
lempang, serut dan paku.
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah
berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian
atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup
dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan
sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah
menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan.
Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket
Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng.
Semua m enghadap ke pedalaman.
G edung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah
bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa
bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga
semasa M ajapahit.
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong
menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat
laut dan darat ke Lao Sam.
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah
berhenti.
Setelah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan
melakukan kerja-paksa diusir, dilarang mem asuki wilayah
pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai
berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan
menam pung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu
rajasinga.
Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan
dengan binatang baru: tikus.
Setelah meninggalkan suaminya dengan mem bawa
kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan
selam a ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus
diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang.
Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur
mem asuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur
pantai.
Tembakan-tembakan
cetbang
menyebabkan
ia
menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana
ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam
dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium
tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan – di
darat kalah, dilaut pun kalah.
Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan
seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami
dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan
mem uakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan
semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak
begini dan menjadi hewan liar?
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semaksemak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia
ke pondoknya.
Seorang
perempuan
lain
telah
menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya.
Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang
hendak m emasuki.
Dan m akin lama makin banyak perempuan berkam pung.
G ubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam ramai dengan
tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan.
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu
dengan suam inya yang diiringkan oleh beberapa orang
serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdaduserdadu itu yang kemudian menyebar memasuki gubukgubuk yang lain.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: “Begini
tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang
perempuan semulia kau. Bawalah semua barangm u. Aku
telah mendapat tempat di bekas warung Yakub.”
“Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini.”
Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk
dan mem bujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku telah
bersumpah hendak mem eliharam u baik-baik, menempatkan
kau di tempat yang mulia….”
“Itulah sum pah Tuan sendiri, bukan sahaya.”
“Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan
mem enuhi sumpahku.”
“Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat mem elihara
diri sahaya sendiri.”
‘Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih
mulia, lebih patut untukmu.”
‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan.
Sahaya akan tinggal di sini.”
‘Tapi kau istriku. Kati.”
“Kalau Tuan mem erlukan sahaya, datanglah Tuan ke
sini. Sahaya akan tinggal di sini.”
“Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?”
“Tidak, Tuan.
sekarang?”
Mengapalah
Tuan
baru
tanyakan
“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban?”
‘Tidak, Tuan, G resik. Waktu perawan sahaya diculik
oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang
Tionghoa.”
“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke G resik?”
“Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk
keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin
seorang diri, m elupakan semua dan dilupakan oleh semua.”
“Juga olehku. Kati?”
“Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk
sahaya, begini sudah baik. Tuan.”
“Makanm u bagaimana. Kati?”
“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun
bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada
bisa?”
Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan
mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur.
Tak lama kemudian datang gelombang demi gelom bang
orang-orang Portugis. Bila mem asuki pondok Nyi G ede
Kati mereka segera pergi lagi, karena perempuan yang
seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu
matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak
kunjung berhenti.
Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok
mem asuki gubuknya dan tiga hari kemudian ia rasai saluran
seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang
wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi...
Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar
luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat
pengungsian Idayu sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita
tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan
sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu
mem percayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang
menjadi gemas karena kelakuannya.
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian Idayu.
G elar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar
berita itu. Setelah mem asukkan kuda ke kandang ia sorong
pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan
adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan
Idayu terperanjat bangun.
“Ada apa G elar?”
Dan G elar mem andanginya seperti orang bingung. “Tak
pernah kau bangunkan aku seperti ini,” Idayu duduk dan ia
lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau
habis berkelahi?”
G elar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia
pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak.
“Ada apa kau ini? Kau begini aneh?”
Dan G elar bercerita tentang masuknya Peranggi di
Tuban dan mendirikan benteng, dan mem bunuhi banyak
orang, dan mem bakari rumah, dan mem ang punya banyak
meriam. Kemudian matanya meredup waktu sampai pada
titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar
Tuban. Keberaniannya hilang.
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya
mem berinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak
mem beritahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia
mem ang bukan anak Wiranggaleng, tapi Syahbandar celaka
itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesam aan rupa antara
dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan.
Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak
orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam
jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang
bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah
sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati? Dan
betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi
semacam kotoran bagi Senapatiku?
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan
sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam
terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut
yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati.
Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa!
Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang,
dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya
yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang
menanam kan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang.
Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak
pernah sampaikan padaku? Malukah emakku pada
perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada
Senapatiku? Dan adakah aku hanya anak yang tidak
diharapkan?’
Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu
itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu
melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan merabaraba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah
mem uncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani
bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan
muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak,
emakku, betapa kau menderita, hanya karena pertanyaan.
Pertanyaan belaka, mak!
“Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban.
Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa
pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan?
Sakitkah kau?”
“Mak,” G elar terhenti lagi. “Lam a sudah aku ingin
tahu.” dan ia terhenti.
Dan betul saja sebagaimana ia duga, Idayu sudah mulai
melengos mem buang muka.
“Mak, apakah Em ak berkeberatan punya G elar ini
sebagai anakm u, Mak?”
Cepat-cepat Idayu menarik muka dan menatapnya.
“Menyesalkah Emak punya anak aku?”
“G elar!” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah
aku
mengurus kau,
mengasihi,
mengasuh
dan
mem besarkan?”
“Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang
terbaik yang pernah aku temui di antara semua
perempuan.”
“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan
pertanyaan semacam itu?”
“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.”
Di luar dugaan G elar emaknya tiba-tiba merangkulnya,
suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang
dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak,
sampai kau mentala bicara semacam itu? Apakah kau tidak
suka punya emak semacam ini?”
G elar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia
beranikan diri: “Jangan m enangis begini, M ak,” ia terhenti,
“lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Em ak sendiri,”
ia diam untuk mendapat keberanian. “Kau selalu tak mau
menjawab. Entah sudah berapa kali.”
Idayu
melepaskan
rangkulan
dan
melengos
mem unggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti
maksudm u. Karena itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu:
apakah seorang lelaki yang bernam a G aleng itu kurang baik
sebagai bapakmu?”
“Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi
lebih berharga.”
Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak
cukup, anakku?”
“Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan
hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak
tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wiranggaleng?”
dan tiba-tiba keberaniannya m enjadi utuh.
Idayu mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya
sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, G elar.”
“Em ak!” ia mem erosotkan diri dari duduknya dan
menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa
mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak.
Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Em ak dan
Senapatiku.”
“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu?”
G elar berdiri, kemudian duduk di samping Idayu, tak
berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia
mengetahui emaknya sudah basah karena airmata
kesedihan.
“Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulangpunggungku selam a ini. Kau sudah jadi anak yang baik
untuk emakm u, bapakmu dan abang yang sangat baik
untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?”
“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke
medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau
melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa
bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?”
“Kau masih merasa kurang, anakku.”
“Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu,
Mak, beri aku kebenaran itu.”
“Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup
padamu?”
“Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti
harga diri dan kehorm atan yang selalu Emak ajarkan dan
tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang
mencukupi?”
“Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran
itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu,
dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas
dalam , kemudian menghem buskan ke luar seperti puputan.
“Jadi benar bapak bukan bapakku,” G elar m endahului.
Idayu melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi.
“Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu,
Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak
lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab,
bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan
menjawabkan untukku.”
Setelah untuk ke sekian kali m enghembuskan nafas besar
Idayu berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan:
“Benar, G elar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu
kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut
menyam paikan. Bukan karena takut pada kebenaran. Aku
takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah.
Keantaanm u pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh
lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu
yang terjadi? Kau mem ang berhak, dan kau menuntut
hakm u. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila
matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam
ini. Tidurlah kau.”
“Mak!”
“Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat
mem berikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih
mem butuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru
bisa rusak semua-muanya. Soalnya mem ang tidak
sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.”
Tanpa mem andang anaknya Idayu kembali ke am bin
dan membetulkan letak selimut Kumbang, kemudian ia,
tidur miring m enghadap ke dinding.
G elar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia
sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu
menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat
mem berikan kebenaran yang jadi haknya.
Keruyuk pertam a ayam jantan sudah mulai terdengar.
Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak
dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban,
mem bikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi,
dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan.
Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada
orangtuanya tergoncang keagungannya – hanya oleh yang
seorang itu, satu nama yang mem busukkan segalanya.
Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk,
menghisap udara pagi segar, kemudian pergi ke dapur. Ia
bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk
pertam a kali ia m elakukannya. Biasanya Idayu sendiri yang
mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak
enak badan.
Ia tunggui air sampai mendidih. Em aknya belum juga
turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. Idayu
belum juga m uncul.
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah
mem ancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu
hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia
lihat mata wanita tercinta itu bengkak.
G elar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa
tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya
hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia
singkirkan perasaannya.
“Mak!” ia menegur lebih dahulu.
“Ya, G elar, mari pergi ke ladang.”
Dan di ladanglah Idayu mulai bercerita tentang impianimpiannya setiap habis menari di kadipaten waktu
Wiranggaleng tak ada di Tuban. Siapakah dapat
mengatakan impian mengandung kebenaran?
“Dan kau mem butuhkan kebenaran itu, dan kebenaran
itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi
petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.”
Idayu menerangkan pada G elar tentang kehidupan
seksuil. Kemudian: “Dan bukti yang paling menentukan
adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku
tahu kau bukan anak Wiranggaleng. Telah aku serahkan
diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan
sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata
itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni
emakm u ini.”
“Ah, Em akku,
kelahiranku.”
betapa
kau
menderita
karena
“Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa
perasaanku waktu itu. Nyi G ede Kati telah siap melihat aku
bermandi darah. Bapakmu tak juga mem bunuh aku. Betapa
menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olokolokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya
sebagai lelaki….”
“Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak?
“Setelah kau lahir, dia m asih mencoba lagi. Tidak dalam
impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat
mem bela diriku. Bila suamiku bukan Wiranggaleng, sudah
lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang
itu. Dan justru karena percobaannya dalam keadaan aku
sadar dan dapat membela diri, G elar, aku dapat
mem astikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka
bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. Kemudian
orang ramai mem bicarakan dia suka mem bius orang untuk
mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi G ede
Kati.”
“Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa!”
pekik G elar.
“Kemudian dibiusnya juga penjaga-penjaga menara
pelabuhan. Kabarnya kemudian juga dua orang pelarian
Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak
impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah
senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu
bagaimana caranya aku terkena biusnya.”
“Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.”
“Itulah ceritanya. G elar. Aku takkan menuntut padamu
untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau m enim bang dan
menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak
punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar
dari emakm u sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau
anggap emakmu tidak setia pada Wiranggaleng, sudahlah
jadi nasibku, terserah padam u. Kalau kau menjadi murka
padaku, terserahlah pula padamu….”
“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernam a G elar ini
lebih percaya pada emaknya daripada siapa pun. Sekarang,
Mak apakah orang itu, yang suka m embius itu—”
“Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau
menyebutkan nam anya.”
“Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan
ia lihat duka-cita telah mem benam wajah ibunya. Buruburu ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup,
“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.”
Kemudian ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya
menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat
menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.
“G elar!” pekik ibunya. “G elar! G elaaaar!” ia lari
mem burunya. Di dekatnya ia berkata m enghiba-hiba, “Aku
telah kecewakan kau. Maafkan aku. G elar.”
G elar berjalan menuju ke kandang kuda, mem buka
palang-palang dan menuntun Sultan keluar.
“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya
ibunya kuatir.
“Mari ke gubuk dulu, Mak.”
Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda,
menuju ke gubuk. G elar masuk ke dalam dan mem anggil
adiknya.
“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak.
Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang.
G antikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.”
“Kau mau ke mana. G elar?” Idayu bertanya.
“Mak, ambilkan pedangku.”
Tanpa mem bantah Idayu pergi mengambilkan apa yang
dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang G elar segera
berkata: ‘T anganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu
sendiri.”
“Kau mau ke mana. G elar? Aku tak mau kehilangan
kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya
selam a mem asangkan ikat pinggang pedang pada tubuh
G elar.
“Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”
“Apa kataku kalau bapakmu datang?”
“Mak, pasangkan destarku.”
Idayu pergi lagi dan datang mem bawa destar terbaik.
G elar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi
ram butnya sebelum didestari.
“Aneh benar tingkahm u. Nak?”
“Keris bapak, Mak.”
“Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya
sambil menyelitkan keris yang telah mem bunuh Sang Patih
Tuban.
G elar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum,
bertanya: “Lihatlah anakm u sebelum berangkat, Mak,
gagahkah dia?”
“Tak ada yang lebih gagah.”
“G agah manakah dengan orang itu sewaktu muda,
Mak?”
“Jangan sakiti hati emakm u. G elar.”
“Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakm u baik-baik,
Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar
kau bisa kenangkan dia dengan baik.”
“G elar! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya
Idayu mem ohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua,
bukan?”
Sekarang G elar berlutut lagi dan menyembah ibunya.
“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan Idayu
terpaksa merestuinya. Kemudian ia berjalan keluar dan
mem anggil kudanya: “Sultan! Sultan!” Kuda itu datang
menghampiri. Ia m elompat ke atasnya.
“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia
selitkan cambuk-perang yang selam a ini dipergunakannya
berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang
tom bak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di
belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau
langit. Kuda itu bergerak, berpacu.
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, kemudian
hilang di dalam hutan….
0odwo0
41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang
alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu.
Pada suatu padang rumput barulah berhenti. G elar turun
dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di
tepian padang, makan rebus jagung muda.
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa
Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh
pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga
G elar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita.
Setelah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat
pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya.
Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. Kemudian ia
melanjutkan perjalanan kembali.
“Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat!
Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.”
Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia mem asuki
jalanan desa.
“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana
kau harus bawa aku?”
Sawah dan beberapa rum ah mulai dilewati dan
dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan
makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan
kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil
melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada
berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia
ini.
“Ah-ah, kau mem ang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku
hendak pergi.”
Kuda telah meninggalkan desa dan kembali mem asuki
persawahan.
“Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada
Peranggi,” ia memperingatkan. “Sekiranya, Sultan,
sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang
sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa
kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? Matari pun
belum lagi bergeser sejengkal. Jangan m anja.”
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui
jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap
kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak
banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya
matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia
pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon
tinggi, menyuruhnya berhenti.
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan
bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung.
Sam pai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. G elar
menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap
menolak maju dan terus juga m eringkik.
“Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan.
G elar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia
mencabut tom bak.
“Orang siapa? Demak?”
“Bukan.” .
“Peranggi?”
‘Tidak.”
“Tuban?”
“Tiga-tiganya tidak!”
“Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah.
Siapa kau?”
“Keluar kau dari semak, lelaki, inilah G elar.”
Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa
belas orang keluar melingkarinya. G elar sendiri duduk di
atas kuda
menyiap tombak dan
meruncingkan
kewaspadaan.
“Kau, G elar!” mereka berseru senang.
“Ayoh, turun.” G elar curiga. Tapi suara tawa mereka
ram ah. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang
melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang
prajurit pengawal Tuban.
“Ayoh, G elar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda
seperti kau.”
“Siapa kalian,” G elar bertanya curiga. “Demak atau
Tuban?” ia bertanya kembali.
“Tuban. Sudah butakah matamu? Ayoh, minum tuak
dulu! Semua ini teman-temanm u sendiri sepasukan. Tidak,
tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan
menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang
seperti itu?”
G elar mengem balikan tom bak pada tempatnya, tertawa
waspada dan turun.
“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia
awasi prajurit-prajurit pengawal itu.
“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh
bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung
dengan kami?”
Dengan tetap mem egangi hulu pedang ia hamp iri bekas
tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku
mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban.
Dengar?”
“Beres. Bergabung dulu. Minum, am bil tuak itu.
Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung
ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar
kemudian mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan.
“Kau sudah perjaka gagah berani. G elar!” seorang
mem ulai. ‘Tahukah, kau. G elar,” seseorang menyambung,
“Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?”
G elar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam
menembusi m ata si penanya, kemudian m eletakkan cangkir
di tanah.
“Jangan kau gusar,” segera orang m eredakan. “Peranggi
telah mem bebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi
segala m acam kecelakaan.”
G elar menahan diri. Ia mencoba mem ahami adakah
ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina
ataukah sekedar mem beritahukan, Belum lagi ia dapat
mem utuskan terdengar derap kuda datang mendekati.
“Siapa itu?” G elar bertanya curiga.
“Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, G elar, kau mau ke
mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?”
G elar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara:
“Ingin kami lihat tampangm u kalau sudah berhadapan
dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami
sudah cukup tahu. G elar ”
“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau
mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. G elar,
mungkin pingsan sewindu”.
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru
dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua!
Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh
kembali!”
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke
jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda
menyam paikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali.
Senapatiku telah datang.”
“Banteng Wareng?”
“Bodoh. Wiranggaleng! Bersoraklah untuk Senapatiku.”
Orang pun bersorak-sorai. G elar m enyembunyikan m uka
pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu
bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang
Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri
dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang
Senapati?
“Sultan!” sebutnya pada kudanya mem inta simpati.
Kuda itu m enengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti.
“Kau tidak ikut bersorak. G elar!” seseorang menegur.
“Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya,”
jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada
punggung Sultan.
“Ayoh, semua berangkat sekarang juga.”
Orang pun mengem asi bawaannya masing-masing dan
naik ke atas kuda. Juga G elar bergabung dengan sendirinya
dan ikut berangkat
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan
telah hilang di balik tabir debu. la mem butuhkan waktu
untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku!
Senapatiku, masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima
diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu?
Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu
kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku.
Bapak! Bapak, aku, G elar datang.
G elar diterima kembali oleh pasukannya.
Dan Senapati Tuban, W iranggaleng, ternyata tak pernah
dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita
bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian
kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit.
Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap
seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu
dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu
pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat
dilawannya.
Prajurit-prajurit yang selam a ini dibiayai oleh praja
Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani,
telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja
prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari
perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas
kecenderungan jahat ini, dan mem erintahkan setiap prajurit
menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan
ternyata setiap prajurit bisa m enjadi petani dan setiap petani
bisa m enjadi prajurit.
Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang.
G elar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk
mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa mem asuki
Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa.
Idayu telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar
itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya
dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua
orang mem benci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya,
orang yang suka mem bius itu. Ia ingin tahu dengan mata
dan kuping sendin bagaimana macamnya.
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi.
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi
pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih
mem ainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu
fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan
selam at. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia
dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan
betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang
mem benci orang Moro itu. Mereka berhak mem bencinya
dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam
perang terakhir nanti.
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang
saja bisa mem bikin diri dan emak dan Senapati menelan
kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu
sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia
meraung sunyi.
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan
pengiriman seorang telik untuk mem asuki kota, ialah yang
terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang
berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan
syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua
senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke
utara.
Sam pai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia
nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas,
bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak
ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan
pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini
diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakaubakau.
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada
kegembiraan,
beda
daripada
pondoknya
dalam
pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah
lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.
Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang
anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata
orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah
pertanian. Juga di rumah-rum ah lain, yang ada hanya
bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut
untuk bertani.
Di malam hari waktu m ereka pulang ia mendapat cerita,
penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi
orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman.
Mereka pun telah berhenti mem bikin ikan asin dan trasi.
Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan.
Tetapi G elar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah
tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan
yang am at sangat.
Walau begitu ia tak ragu-ragu mem erintahkan seorang
laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara
kuda dan barang-barang titipannya.
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke
jurusan timur – pengalaman pertama dalam hidupnya
sebagai orang pedalaman.
Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatanpemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya
di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah
geraknya.
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri
pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir
maut begini – suatu kehorm atan untuknya. Ia akan
tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang
mengenal dan tidak m engenalnya, ia mampu lakukan tugas
berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati
Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti
dirinya. Ia takkan m emalukan orangtuanya.
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak
menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan
selam at di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang
di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal
pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir
telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat,
berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan
tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan
mata menatap hanya pada satu titik. Ram but kacaunya
jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya,
terutam a hidung-bengkungnya.
Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis
dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan
cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan
permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak
kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup
manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan.
Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan
tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak
ram but yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan
satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang
menyebabkan ia mengurus dan nampak pucat. Dan itu
lebih baik baginya.
Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan
baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat
mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar
benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu.
Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan
Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu
terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng mem ang
merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, tetapi di
malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga
mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari.
Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampungkampung dan menggauli wanita yang tak mampu
meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang
berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia
sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk,
tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus
tua. Kemudian ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi
G ede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak
terpelihara lagi seperti dulu.
Beberapa hari lamanya ia mem ata-m atai Syahbandar, la
selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan
setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi G ede Kati, seorang
diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk
itu pengawal-pengawalnya kemudian pergi dan masuk ke
tempat-tempat lain.
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir
jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia
berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu
dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat
Syahbandar itu memerlukan untuk m eludahinya, dan G elar
tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya
dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu
dengan pandangnya.
Itulah bapakmu yang sesungguhnya. G elar, buruk
sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat
sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia?
Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan?
Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? Tapi
itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri
mengatakan dengan jalan dan cara lain.
Betapa emakku menderita karena kau, menanggung
malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke
tanganku iblis tua! Inilah G elar, anakm u, dia akan datang
padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari kemudian, pada
suatu sore ia melihat Nyi G ede Kati menggendong bakul
entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran,
la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah
goyah, tiada mantap seperti biasanya.
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu
mem asuki gubuk dan sebentar kemudian juga Syahbandar
dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawalpengawal itu menjauh dan mem asuki gubuk lain.
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan
debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret
dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara
tawa Syahbandar dan Nyi G ede.
“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.”
“Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.”
Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya
dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa,
mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain
muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari
bercekikikan. Ia belok kanan jalan mem buru mereka,
kemudian kembali ke gubuk Nyi G ede.
Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melom pat masuk
sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung.
Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya
ternganga.
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi
G ede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap
serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas am bin
kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya.
Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari
tempatnya: “G elar!”
“Nyi G ede!” tiba-tiba saja G elar lupa pada kegilaannya.
“G elar! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah
mendekat.
Dan G elar merasa agak berkecilhati karena wanita itu
segera
mengenalnya.
Ia
melengos
mem andangi
Syahbandar.
“Beginilah nasib anakmu, Nyi G ede.”
“G elar?” Syahbandar bengong dan turun dari am bin.
“Ya, inilah G elar.”
“Sudah kucari Nyi G ede ke mana-m ana. Beri aku
makan,” perintah G elar. Kasar.
“G elar? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku
masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.”
“Makan?” G elar tertawa sinting. “Siapa yang cukup
makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada
Tholib.
“Compang-camping begitu,” gumam Syahbandar,
“mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan
kesiagaannya. “Kulihat m emang G elar seperti celeng keluar
dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar,
biar Nyi G ede selesaikan m asaknya.”
“Di m ana emakmu?” tanya Nyi G ede.
“Lari. Tak tahu aku ke mana.”
“Seperti gila, tapi bisa menjawab,” Syahbandar
meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya,
dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan
pada G elar, “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan
prajurit Tuban?”
“Minum, Nyi G ede!” G elar m eminta kasar, mem belalak.
Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta
maaf dan m enghampiri: ‘Tuak aku tak punya, G elar.”
“Air tawar?” gumam G elar, kemudian meneguk dan
meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar,
tapi masih tetap G elar, Nyi G ede,” ia tersenyum di buatbuat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada
Syahbandar, “Siapa orang ini, Nyi G ede?”
Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan
menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa
siapa dia?”
“Apa guna kau mengenal aku?” Syahbandar menolak
untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari
pintu.
G elar m encegahnya melangkah lebih jauh.
“Siapa!” tanyanya pendek dengan suara m enggeram.
“Tingkahmu menakut-nakuti orang G elar. Dulu kau
tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, G elar.
Kau begitu kotor dan busuk.”
Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh
beberapa langkah.
“Jangan m undur!” tegah G elar. “Biar kuingat-ingat siapa
kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti
hidungmu.” gum amnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat
kau dalam hidupku.”
“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,”
tegah Nyi G ede sambil meneruskan masak.
“Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban?”
“Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar,”
G elar meneruskan gum am nya. “Kalau aku sudah menjadi
tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?”
Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan
kembali gelar menghalangi.
“Kupukul kau
Syahbandar.
kalau merintangi
jalanku,” ancam
“Syahbandar, Tuan Syahbandar,” bisik G elar. “Tuan
Syahbandar Tuban. Tapi siapakah nam anya? Sudah lama
kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi
siapakah nam anya?”
“G elar! Kau mengganggu aku mem asak. Jangan ganggu
pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.”
“Benar, Sayid
Habibullah
Al-M asawa!”
mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.”
G elar
“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi
G ede yang kembali mendekatinya. “Hormati dia
sebagaimana kau menghorm ati orangtua.”
G elar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan
tongkatnya.
“G elar! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak
Syahbandar. “Kau ini orang Demak atau Tuban, atau
hanya m ain pura-pura gila?”
“Kau
menghadapi
Tuan
Syahbandar
menghadapi…,” Nyi G ede memperingatkan.
sebagai
“Nyi G ede, ingatkah Nyi G ede semasa aku masih kecil?”
tiba-tiba G elar bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan
Syahbandar Sayid Habibullah Al-M asawa. Kata orang. Nyi
G ede, dia bapakku.”
“Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak Tholib
Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi.
“Benarkah itu, Nyi G ede?”
Wanita itu meneliti wajah G elar, memarahi: “Kau
datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan
tidak pada waktunya.”
G elar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak:
“Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar? Jangan, jangan
pergi. Anakmu ingin bicara,”
“Tak ada aku punya anak seperti kau.”
“Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang m enipu ataukah
emakku Idayu?”
“Jelas Idayu penipu!” Syahbandar memutuskan.
Nyi G ede mem egangi bahu anak muda itu, bertanya
lunak: “Pernahkah Idayu bilang begitu?”
“Tak pernah Idayu mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi
G ede, kau yang pernah mem bidani emak waktu aku lahir.
Apa katamu?”
Nyi G ede menarik G elar agar duduk di am bin, tapi ia
menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan
masakannya.
“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, G elar,” ia
mem peringatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan
Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang
kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai.
Tuan Syahbandar….”
“Apa saja semua ini…,” protes Syahbandar.
“… Jangkung, tapi tua dan bongkok. Mem ang
sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata,
ram but….”
“Diam, kau, Kati,” bentak Tholib Sungkar. “G ila kalian
berdua ini. Aku pergi.”
Dan G elar m enghadang.
“Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami?
Nyi G ede, ceritakan penderitaan emakku setelah
melahirkan.”
“Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan
dituduh oleh suam inya, Wiranggaleng. Si periang itu, jadi
pendiam untuk selama-lamanya setelah itu, jadi pem enung.
Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan
sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk
dicundrik mati.”
“Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku?”
“Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan
emakku karena tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi G ede.”
“Wiranggaleng tidak mencundrik emakmu. Dia tetap
mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. Tetapi wanita
itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat
pulih kembali.”
“Dan semua
menam bahi.
dimulai
dengan
obat
bius,”
G elar
“Kemudian, baru kemudian itu diketahui,” Nyi G ede
Kati m embetulkan.
“Tak perlu
Syahbandar.
aku
membius seorang pun!”
bantah
“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi G ede menuduh.
“Kau, Kati, kau juga m enuduh aku?”
“Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi
pelarian,” G elar m eneruskan, “korban obat bius.”
“Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan
penderitaan Idayu?”
Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia
menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat
mem utuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada
sumpahnya untuk mengakui G elar sebagai anaknya. Dan
anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu
aturan.
“Setiap dia melihat kau. G elar,” Kati meneruskan, dia
akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan
yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat
mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa
saja. Karena besarnya cintanya itu sebelum nya dia telah
hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak
segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar
mem biusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran
dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, G elar, kau pun
lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi.
Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.”
Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan
tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan,
tapi justru mendengarkan.
“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” tapi
Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. “G elar!
Akulah yang pertam a-tama menyambut kedatanganmu di
dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak
lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang
pertam a-tama kaget. Setelah kau kumandikan dan
kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diamdiam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid,
Tuanlah sekarang yang bicara.”
“Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” G elar
menuduh.
“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak
dia?”
‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.”
G elar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak.
Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan
suatu gerakan semu. G elar meliriki tangannya, tertawa,
kemudian: “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau
aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh,
siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu?
Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya
babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku,
tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak
percaya, ayoh coba.”
Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya.
“Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku.
Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah
kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan
kalau G elar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau
bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-m ana dan
kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku!
Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!”
Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai
diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya.
Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup
mem bantunya melawan anak kemarin yang tak
berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya
untuk dirimu sendiri.”
“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.”
‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?”
“Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh
kau, anak gila.”
“Biarlah bapak dan
bedanya?”
anak mati bersama. Apalah
“Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku
melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh
berdatangan?”
‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.”
“Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding,
dengan atau tanpa nama.”
“Jari itu akan patah sebelum menuding.”
“Itu benar, G elar,” Nyi G ede menggarami.
“Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi:
adakah kau bapakku?”
‘Tak pernah aku punya anak seperti kau.”
“Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih
mudah rasanya berhadapan denganm u sebagai bukan
bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan
bapakku, aku bukan anakmu.”
“Kau mem ang terlalu. Tuan, G elar sudah m arah begitu.”
“Dia kira mudah mem bunuh Sayid Habbibullah AlMasawa,” ejek Syahbandar. ”Kau hadapi seribu Peranggi.
Kau takkan lepas!”
“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak
sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!”
“Diam!” bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada
G elar, “Setan m ana yang mem bawa kau padaku?”
Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat
tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang
hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur
mem bikin gerak penikaman yang mem atikan.
G elar berkelit ke sam ping dan m emutar tongkat kayunya
sambil mendesis cepat: “Nyi G ede, jangan sesali aku kalau
kuperlakukan suamim u seperti ini.”
Nyi G ede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan
anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak m encoba melerai:
“Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk
kau!” tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari m ulut.
Tongkat G elar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan
pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu
kobra. Baru pada waktu itu orang m enyaksikan Syahbandar
dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular
berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan
berkelit, maju dan mundur dalam
senjatanya.
kesatuan dengan
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua
manusia.
Nyi G ede melompat ke atas am bin. Sekarang suaranya
dapat keluar nyaring.
‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!”
“Kau mem bela dan mem beranikan
Syahbandar sambil terus menyerang.
dia!”
jawab
‘Terkutuk si pembunuh anak!”
Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit
ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak
turun lagi.
“Menjijikkan,” dengus Nyi G ede melihat Syahbandar
berdiri tanpa bongkok di hadapan G elar tanpa bergerak,
“mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut
mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.”
“Kau tidak m embela aku. Kati.”
G elar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di
hadapan Syahbandar. Nyi G ede Kati turun dari ambin dan
mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan
kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk
kau!”
G elar m embiarkan dua-duanya sebagai suami-istri.
“Sebagai istri kau tak patut mem usuhi aku.”
“Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin
menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang
pun di antara m ereka bisa dan m au menolongnya.”
“Kau pun akan binasa, Kati.”
“Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau,”
bentak G elar dan melayangkan tongkatnya pada kepala
Syahbandar.
Nyi G ede menutup mata dengan tangan, mem ekik:
‘Terkutuk, kau G elar, pem bunuh ayah sendiri!”
Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan
tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan
mulutnya dan kupingnya keluar darah.
G elar m enarik tangan Nyi G ede ke arah pintu.
“Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!”
“Peranggi akan aniaya kau!”
“Binatang! Pergi!”
G elar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam.
Ia lari entah ke mana.
Nyi G ede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke
kanan, kemudian pun lari entah ke mana….
0odwo0
42. Koma
Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan
balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk
dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita
suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa
serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin
mem bikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang
pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan
beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di
malam hari.
Istirahat sepanjang itu mem bikin mereka jadi gelisah,
menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati
Wiranggaleng dalam mengusir Peranggi.
Pada malam itulah G elar datang ke pesanggrahan.
Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya,
kemudian ia turun.
“Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya.
Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang
bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada
waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan
Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam,
berlindungkan kegelapan.”
G elar m endeham dan percakapan berhenti. Ia m asuk dan
mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus
lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat
ditangkapnya. Kemudian peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban,
kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi
G ede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan
pekerjaannya baik.
‘Tetapi,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu
ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak
pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri
ganjarannya.”
“Barang tentu, peratusku!”
“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?”
“Nyi G ede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la
tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan.
“Maksudm u di gubuk-gubuk perempuan gelandangan?”
“Benar, peratusku!”
“Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?”
“Lebih dari melihat, peratusku.”
“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?”
Dan G elar dengan rikuh menceritakan segala yang telah
terjadi di dalam gubuk Nyi G ede Kati.
“G elar!”
Buddha?”
serunya,
“bukankah
kau
dididik
dalam
“Benar, peratusku.”
“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?”
“Tahu, peratusku.”
“Bagaimana bisa kau lakukan….”
“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.”
Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam.
Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemudian ia pergi
tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara
Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang
terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki.
Mereka nam pak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang
bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api,
mem bikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala
Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wiranggaleng.
Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari
Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan
terutam a dari darat. Mereka mengakui: pertempuran
malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh
Wiranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan
menjam in kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran
tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi
meriam m usuh.
Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama
Peranggi dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah
mereka mem berikan perlindungan yang tak tertembusi oleh
tom bak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus
kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena.
Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari
akan menyebabkan meriam -meriamnya menggagalkan
semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak
bisa diharapkan.
Kesim pulan kedua: serangan harus merupakan sekali
pukulan yang m ematikan.
Masalah yang kemudian timbul: balatentara Demak.
Walau musafir-m usafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik
dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di
mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan
Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang
pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambilalih semua usaha Tuban, bahkan m enguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan.
Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wiranggaleng.
Dengan
demikian
persidangan
sambil
berdiri
mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar,
Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik
terakhir?”
“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu,
dengan tambahan, dia telah mem erlukan menghabisi jiwa
Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil.
Wiranggaleng terdiam.
“Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu
menam bahkan.
“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.”
“Baik, Senapatiku.”
‘Tugaskan dia m encari minyak tanah. Terserah pada dia
di mana dan cara dia mendapatkan.”
G elar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan
untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil.
Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada um um.
Orang-orang bilang: jiwanya harus diselam atkan dari
intaian Demak.
Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu.
Juga dan apalagi G elar.
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah
diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa
telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak
mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu
menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan
keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh
tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu
mem balas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun
abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk
senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, segala-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun
akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa
lagi bisa mem usnahkan Syahbandar Tuban yang selalu
dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya G elar?
Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali
waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan
mendapat pujian daripadanya. ingin segera pulang untuk
berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati
bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan
balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang
emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wiranggaleng akan
malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari
kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas
yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa
kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia
harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang
lebih besar.
Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi?
Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia
mengenal G elar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas
penting. Ia m enjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia
telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik
perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin
tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja,
dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan
padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri.
Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu
sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan setelah
menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat.
Semua bersenjata lengkap.
Mem bawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman
baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit
luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan
seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang
peratus sekaligus. Pikiran itu mem besarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia
mem utuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke
Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan
mem inta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi:
mem bawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati.
Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan
emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang
prajuritku sekarang.”
Dan Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak
itu, mengagumi G elar, semuda itu telah pimpin ratusan
orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri.
“Kau mendapat kepercayaan besar, G elar.”
“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang mem beri
kepercayaan ini?”
“Mana aku tahu, Nak?”
“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada Idayu
dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak
berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba
emaknya
mem ekik:
“G elar!”
sambil
menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak
mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu.
Aku tak percaya.”
G ejolak dan rangsang girang dalam dada G elar berobah
jadi beku, kaku dan mem batu. Untuk pertama kali dalam
hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang
tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah
melahirkan, menyusui mem besarkan dan m endidiknya.
Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih
mem belalak tidak bergerak dan tidak berkedip.
G elar kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lam bat-lam bat Idayu mem ejamkan mata, menunduk.
Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak:
“Mem uakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau
menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada
anakku bisa berbuat seperti itu!”
G elar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi
berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa
lenyapnya seorang yang selam a itu menyedihkan hatinya,
merusak
ketenangan
batinnya,
ternyata
tidak
menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang
ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak
persembahan bakti….
“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?”
“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau
berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?”
Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti
tanpa mengerti duduk-soalnya.
“Kau merestui keberangkatanku, Mak.”
“Betul, tapi bukan untuk
Mem uakkan, mem uakkan.”
perbuatan
seperti
itu.
“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.”
“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha
Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan
sanggup – sekalipun kau bohong!”
Ada juga keringanannya, pikir G elar. Dan Idayu
sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang
dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan
menyam but seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah
nam pak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain,
lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga
dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara
mem ohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah
restu.”
“Berangkatlah,” kata Idayu seperti pada orang asing.
“Kau tak merestui aku, Mak?”
“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang
restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. G elar,
berangkatlah.”
“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?”
Dan wanita yang dihadapinya itu mem ang sudah bukan
emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat
lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi
di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu.
Senapatiku Wiranggaleng sudah datang di Tuban.”
“Bapak!” seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati G elar. Ia
tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lam bat-lam bat wajah Idayu kembali seperti semula.
Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
“Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan
Em ak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi,
Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai
prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak
mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat
beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan
gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing
itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi
mem asuki lebih dalam wilayah Bojonegara.
Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal
minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa
didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang
patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu
atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu
biasanya sum ber minyak.
Ia tak tahu-m enahu tentang
pimpinan pencarian padanya.
itu.
Diserahkannya
“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya
minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus
orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak
yang m embunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan
penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai
Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula
penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup
dengan minyak kelapa?
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak
mem persoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang
adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan
itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan
mungkin akan terlewati.
Kecom pang-campingan dan kebolongan hatinya segera
terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan
kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua
jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan
musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi
perbukitan Kendeng mencari sumber m inyak….
Wiranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan
sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang
dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa
orang pengawal bersenjata tom bak, pedang dan perisai.
Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka
adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
Wiranggaleng berdiri bertolak pinggang dengan pandang
merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih
tegap daripada tujuh belas tahun yang lalu. Hanya m atanya
nam pak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis
kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya.
Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di
samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat
dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu
seperti sekepal ijuk.
“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu
atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang,
bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi
Peranggi datang.”
“Senapatiku!” sela Rangkum , “telah kumasukkan dalam
pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyaktanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak
tahu. Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara
Demak.”
“Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celahcelah bukit,” pengawal datang m emperingatkan.
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan
seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas
kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.
“Nam pak seperti orang desa biasa,” Banteng Wareng
berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang prajurit.”
“Prajurit Tuban,” kata Braja.
“Seperti prajuritku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun
anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang
ditempuh orang.”
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di
balik rum pun telekan, m eneruskan pem bicaraan.
Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa
sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka
takkan kembali untuk mem buat perhitungan, mereka akan
pergi untuk selam a-lam anya. Bahwa alat dan cara perang
mereka mem ang ampuh tidak menyalahi kenyataan,
mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban.
Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih
mulia, tapi mem ang lebih unggul karena cara kerjanya.
Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam
kelam . Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun
bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.
Ia mem erintahkan pada para kepala pasukan agar semua
prajurit Tuban m emahami itu, dan bahwa lelanangin jagad
adalah dongengan kanak-kanak semata.
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan
ternyata mem ang ada beberapa orang prajurit Tuban di
antaranya.
Di dekat semak-semak telekan rom bongan itu berhenti,
dan terdengar suara wanita mem anggil-manggil: “Kang
G aleng, Kang, aku datang.”
Wiranggaleng kurang mendengar.
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan
masih memegangi kendali dan melaporkan: “Senapatiku,
Nyi G ede Idayu datang menghadap.”
Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja.
Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu,
sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan
manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan
kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya
satu nama: Idayu.
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang
lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya
berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan
ia jadi begitu kikuk.
“Kang G aleng,” panggil Idayu sekali lagi.
“Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke
tanah, menyembah kemudian m emeluk kakinya.
“Kau datang, Idayu.”
“Ya, Kang, dan itu anakmu,” Idayu menuding pada
Kumbang dengan pandangnya.
Senapati mengambil anak itu
mengangkatnya
tinggi-tinggi
melemparkannya ke langit.
dari kakinya dan
seperti
hendak
“Sudah besar, kau Nak.”
“Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku
datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk
mengantarkan anakm u. Dia berhak melihat bapaknya dan
bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat
mem uliakan kau dengan sembah yang sempurna.”
Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang
berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang
tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.”
“Ada apa Idayu? Mengapa kata-katamu begitu pahit?”
Idayu tak menjawab, dan Senapati mem belai ram but
anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di
atas sam pai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.
“Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang?
Ah-ya, siapa pula namamu?”
Semua yang m endengar tertawa.
“Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,”
tegur Idayu.
“Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?”
“Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.”
“Nandi itu anakm u yang lain lagi, yang ada di Malaka
sana,” sela Idayu.
“Kunam akan siapa kau dulu?” tanya Senapati. Kembali
orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke
tanah.
“Kumbang, Bapak,” si anak mem betulkan. “Kami
tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang G elar yang
menjaga kami. Sekarang dia pergi.”
“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik Senapati, “bapak
sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana G elar
pergi?”
“Dengan pasukan, Bapak.”
Wiranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya
ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal,
akhirnya pada Idayu: “Pasukan m ana?”
“Pasukan Senapati Wiranggaleng,” jawab istrinya.
Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin
pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?”
tanyanya tajam.
“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan
perintahm u. Senapatiku, mencari minyak-tanah.”
“Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang
menam bahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan,
agar suasana yang mulai mengandung ketegangan
ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata
pelahan setengah bisik: “G elar m enggabungkan diri kembali
pada
tentara
Tuban
setelah
Peranggi
masuk.
Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia
datang lagi mem bawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.”
“Dia yang mem bawa?” tanya Senapati mem belalak.
“Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya
berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa
Batara!” sebutnya.
“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan
khusus itu,” sela Braja.
Senapati mem egangi kedua belah bahu istrinya:
“Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa
pasukan?”
“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab Idayu.
Wiranggaleng m enoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah
pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban
Kota, Braja?”
‘Tepat, Senapatiku.”
“Ampun, Dewa Batara,” sebut Wiranggaleng.
“Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu
G elar atau bukan?” tanya Braja.
Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti
oleh semua orang.
“G elar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti
elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya
kelakuan cukup baik,” Braja menyarani.
“Maafkan kami,” Kala Cuwil menam bahkan, “bahwa
tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan
khusus itu G elar’
“Bagaimana keadaanmu, Idayu?” tanya Senapati.
“Kumbang,” panggil Idayu. “Mintalah gendong pada
bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak.”
0o-dw-o0
Kumbang dan Idayu belum pulang ke desa. Bersama
dengan anak-anak dan perempuan lain mereka ditempatkan
di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita
ditugaskan untuk mengem pleng tanah liat untuk dibikin
jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan
tak dapat berdiri.
Mereka harus mem bikin beberapa ribu buah dalam
waktu tiga minggu.
G endi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas
jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya.
Dan pada suatu hari dalam kesibukannya Idayu bertanya
pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?”
“Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat mem bikin,
Mak.”
“Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali m alam saja
kita bisa m engasoh, dan sudah lim a hari. Mengasohlah kau,
Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.”
Tetapi Kumbang menolak dan kembali ke tempat
pekerjaan.
Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “Datang
lagi, Mak. Mereka datang lagi.”
Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan
tudingan Kum bang, dan m ereka melihat serombongan kecil
pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan.
Mereka adalah rom bongan ketiga dalam seminggu yang
mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman.
Idayu berdiri dan lari menyongsong. Tetapi ia tak
dapatkan G elar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia
ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan
tenang dan mendalam . Dan ia sangat menyesal melayani
anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus
tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan
seperti seorang penuduh.
“Di m ana yang lain-lain?” ia bertanya.
“Belum bisa pulang, tentara Demak menyergap, kami
diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.”
Idayu berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan
yang lewat, la berdoa untuk keselam atan G elar.
“Mengapa Kang G elar, Mak?”
“Berlututlah,
Nak,
dan
berdoalah
untuk
keselam atannya.” Dan Kumbang pun berlutut, mem bikin
sembah dada dengan kepala menunduk.
“Nyi G ede,” seseorang m endekati, “ada apa?”
“Anakku. Pasukannya disergap Demak. Anak semuda
itu.”
Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka
berdoa.
“Nyi G ede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi
G ede, semua akan selesai pada waktunya.”
“Mari bekerja lagi,” jawabnya.
Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras daripada yang
sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya.
Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang
yang telah… tak mungkin. Dia patut menerima
hukum annya pada umur tuanya. Tapi mengapa yang
melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang
lain? Mengapa bukan G aleng? Bahkan Kang G aleng pun
nam pak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak
ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya
bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua
akan menyingkirinya. G adis-gadis akan lari daripadanya.
Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia m engembarai dunia
ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri,
aku, telah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu
hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang G aleng,
bagaimana sikapmu? Betapa sulit bisa bertemu denganmu.
Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu
Kumbang datang dan menegurnya: “Em ak tak bekerja?”
Ia terbangun, tetapi matari sudah hampir tenggelam.
Di kejauhan nam pak beberapa dapur pembakaran mulai
mengepulkan asap tipis ke udara.
0o-dw-o0
43. Tuban D ibebaskan
Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah
lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas
benteng bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah,
sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat m enembak
dan untuk jalan udara. Di dalam nya tersimpan obat m eriam
dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-m andir
meronda kota siang dan malam G edung kadipaten
dipergunakan sebagai tempat mengatur patroli, ke sana
mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat.
Patroli-patroli tak jarang mem asuki luar kota dan
merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan,
dan mereka dapat berbuat sesukanya.
Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang,
prajurit berpengalaman perang di mana-mana. Obat
ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng.
Tapi yang lebih m enggentarkan adalah semangat tinggi dan
berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang
gairah menaklukkan dunia.
Dengan diam-diam Senapati menilai mesiu dan dayaledak tinggi yang jadi sumber keampuhan Peranggi itu
harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan
Peranggi sendiri. Semua rencananya berkisar pada
menggunakan kekuatan yang ada pada lawannya sendiri.
Sekarang datang waktunya ia hendak mem buktikan,
bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan.
Balatentara Tuban akan dicoba keunggulannya.
Seribu lodong bambu minyak-tanah telah dituang ke
dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak.
Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang adalah
juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan
botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk
keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar
penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa.
Menjelang senja balatentara Tuban yang beribu-ribu
jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diamdiam tanpa sorak-sorai.
Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali
tidak berperisai. Mereka hanya mem bawa tombak. Bereguregu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka
hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu
berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka
mem asuki hutan. Waktu keluar lagi mereka telah memikuli
kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap telah turun,
dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai
melewati selatan pinggiran tertimur Kota, mem belok ke
kiri, ke kiri lagi mem asuki Kota. Mereka menggunakan
waktu sebaik-baiknya di kala patroli Peranggi sedang
kembali untuk berganti di gedung kadipaten.
Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan
mereka lim a ratus depa di sebelah timur kadipaten,
menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan
mem basahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu
menjadi bukit kecil.
Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang
mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka
berangkat setelah yang pertama. Pada waktu barisan
pertam a melakukan penumpukan kayu mereka menyebar
ke sekitar tum pukan dan di dekat sebelah timur kadipaten.
Laskar ketiga, yang m erupakan laskar terbesar, berangkat
beberapa waktu kemudian, dari barat langsung ke kota
melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tom bak dan
pedang dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya
dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri
pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir.
Pada waktu yang telah ditentukan tumpukan kayu mulai
terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak
lama kemudian peluru-peluru cetbang berledakan, melesit,
beterbangan ke udara, mem untahkan bunga api dan
menerangi bumi.
Prajurit-prajurit Portugis di dalam gedung kadipaten
keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan
ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang
beterbangan dari atas pepohonan. Sam a sekali tak m enduga
adanya pencegatan. Mereka berjatuhan seperti jerami di
babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun telah
merembes ke dalam jantung m ereka.
Lebih banyak lagi serdadu keluar dari kadipaten.
Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah
bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi serdaduserdadu Peranggi bergelimpangan. Yang selam at melarikan
diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian
yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum
mendapat perlindungan.
Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara
benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putusputusnya. Serdadu dari benteng mulai keluar dan berlarian
dengan bedil dan pedang, bersiap untuk mendatangi
keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan
Semua serdadu di bandar telah ditarik pula ke benteng. Dan
tak lama kemudian mereka berpecahan dalam regu-regu
dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian.
Hujan anak panah bersemburan lagi. Portugis kemudian
mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua
tajuk pepohonan. Prajurit Tuban mulai bergedebukan jatuh
seperti buah nangka, binasa pada m alam itu juga.
Dari belakang serdadu Portugis bermunculan pasukan
tom bak Tuban. Mereka mulai menyerang tanpa pekikan
tanpa seruan seakan sepasukan tentara gagu. Tom baktom bak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada
sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih.
Pekik-jerit kesakitan mem enuhi udara dan merangsang
pendengaran. Segelom bang pasukan Tuban dengan pedang
terhunus m enyapu lapangan.
Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti
hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakantembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti prajurit
Tuban yang berjatuhan atau menjatuhkan diri.
0o-dw-o0
G elar mendapat tugas paling berbahaya dari semua
laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari
Banteng Wareng sebagai penyelaras seluruh balatentara.
Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran
benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan
menyerang dari belakang.
la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran
bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam
keadaan hidup. Ia merasa telah terjadi persekutuan di
antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari
muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah
di Tuban Kota. Ia telah merasa tak ada seorang pun yang
akan mengampuninya. Tak seorang pun mem berikan
sokongan batin pada perbuatannya, termasuk Senapati dan
emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan
hukum an yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela
menerimanya. Sebagai anak Senapati ia masih akan
tunjukkan dan buktikan pada seluruh Tuban, pada
Wiranggaleng dan Idayu, pada bumi dan langit, ia masih
mem ilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtuanya harus ada kebanggaan padanya.
Mati! Mati! suara itu mem anggil-manggil mengatasi
tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu,
yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan
pada pandang m ata dan sikap orang.
la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap
dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara
sebagaimana telah diperintahkan.
Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada
berpenjagaan, menara pelabuhan telah kosong. Prajurit
Tuban telah menjolok penjaganya dengan semburan anak
panah. Tetapi menara benteng masih terus menggigil
dengan taluan lonceng. Beberapa orang serdadu peninjau
sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan
anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap
mem ukul lonceng.
Laskar G elar datang ke benteng waktu serdadu-serdadu
di dalamnya telah ditarik keluar untuk menadahi serangan
um um Tuban di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak
seberapa besar telah kena runduk. Beberapa serdadu yang
tidak menduga akan datang gelom bang musuh dari pesisir
tak sempat lagi menembak melarikan diri dan mem buang
senjata yang tak dapat dipergunakan. Dan sebelum mereka
sempat menggunakan pedang tombak lempar telah
berlayangan.
Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan
peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan
Portugis juga semakin kendor, semakin jauh dan
bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah
mulai terhalau.
G elar terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat
yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak
dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami:
Peranggi telah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan
telah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali
berlindung ke benteng – jalan-jalan telah digunting dengan
pencegatan.
Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh
laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk
juga turun ke medan pertempuran. G endi-gendi minyak
dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup
dalam mem bela diri, tak sempat menyiapkan musket dan
menghunus pedang. Baja beradu baja. G erak tangan dan
kaki telah menyempitkan ruangan. Orang-orang Portugis
yang sedikit itu terdesak terus oleh tom bak dan pedang dari
musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka
disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlom patan ke
atas peti-peti mesiu. Hujan gendi mem bikin mereka jadi
basah kuyup.
Minyak mem basahi semua yang ada, bahkan telah mulai
mengalir di lantai.
“Keluar!” pekik G elar.
Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga
dilemparkan ke dalam . Tombak berapi melayang m emasuki
benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin
lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai
menyala.
G elar mem bawa pasukannya lari dari daerah benteng,
mem asuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah
putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu.
Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan
patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu
Syahbandar Tuban angkatan Peranggi, botol-botol minyak
telah berlayangan mem basahi jubah putihnya. Orang itu
tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang telah lari
menghampiri, menyam barkan pedang pada tubuhnya.
G elar mem erintahkan keluar. Bangunan baru pun
menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit.
Di tengah-tengah kota balatentara Tuban menguasai
seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelom bang
besar prajurit. G endi-gendi beterbangan dan mem basahi
segala yang dikenalnya.
Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari
tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana
saja asal selamat.
Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita
dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di
kejauhan, di Tuban Kota. Mereka melihat unggun yang
hanya sebuah, kemudian m enjadi dua, tiga, empat. Letusan
dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara
menyebabkan mereka mem bisu terpukau. Tak seorang pun
di antara mereka mem buka suara. Mereka tahu maut
sedang berjingkrak berpanen nyawa di Tuban Kota. Setiap
di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan
tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut.
Di antara mereka terdapat Idayu. Ia berdiri mem egangi
bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya
melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin
lama m akin berkurang.
Idayu menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut.
“Mem ohon, Nak, pada Hyang Widhi, selam atlah
hendaknya bapak dan abangm u,” bisiknya.
“Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,”
bisik kembali Kumbang.
Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri
sendiri: “Kau m asih m embutuhkan bapak dan abang. Nak.”
“Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.”
‘Tentu, tak lama lagi. Tapi besar saja belum cukup. Kau
mem butuhkan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu
dunia, Nak.”
Kemudian terdengar ledakan paling dahsyat di Tuban
Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna
merah menyala terangkat naik ke udara, mengem bangkan
bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari
letusan gunung berapi. Setelah itu sunyi-senyap.
Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut,
kemudian tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan.
Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelanpelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk
pepohonan hutan, bulan tua sedang m emperlihatkan diri.
Semua orang berlutut dan menekur dengan mata
tertutup.
“Mem ohon,
abangm u.”
Nak,
mem ohon,
untuk
bapak
dan
Idayu
memohon
lagi.
Tetapi,
bila
doanya
dipanjatkannya untuk keselam atan G elar, dia macat. Ada
suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia
hentikan usahanya. Pikirannya bergum ul kacau, mengapa
hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci
kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir
berarti perang selesai, Nak. H anya kepunyaan Peranggi bisa
meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu
selam at.”
Tetapi Kumbang telah tersedat ke alam
Kepalanya telah rebah pada pangkuan emaknya.
mimpi.
Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan
orang-orang lain mengikuti contohnya – berdiri juga.
Bersam a-sam a mereka berjalan pulang ke bedeng
perum ahan.
“Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam
Idayu.
“Abangmu.”
“Sekarang ke mana, Mak?”
“Pulang. Mengasoh. Menunggu bapakmu.”
“Tinggal di kota lagi, Mak?”
“Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?”
Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia
melayang-layang dalam alam impian. Ia telah berusaha
untuk tetap jaga, tapi kelelahan dan kantuk sudah tak dapat
ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat
bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?”
“Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.”
Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan
kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya.
Seakan Idayu mendengar suara anaknya masih bertanya
dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka
tinggal di kota?”
“Mengapa?” jawab Idayu. “Emak lebih suka jadi orang
biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang
berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti
yang lain-lain.” Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak
menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. “Menari,
menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain.
Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak
pernah aku mengimpikan kekayaan dan kekuasaan. Sejak
ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Em ak, dan
Em ak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga
hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh
dua-duanya? Mana ada manusia suka dengan pecahan dan
gum pilan kasih-sayang?”
Sudah tak keluar bisikan kata dari m ulut Idayu. Suara itu
bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang,
kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan
dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalam nya.”
Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng
pembikin gerabah.
Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu
apinya sudah padam.
Idayu menaikkan Kumbang ke am bin. Ditutupnya pintu.
Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping
wanita dan kanak-kanak yang lain.
“Menangkah kita?” wanita di sampingnya bertanya.
“Menang,” jawab Idayu.
“Bagaimana Nyi G ede bisa tahu?”
“Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah
yang bisa diharapkan?”
Sunyi-senyap di perum ahan pembikin gerabah itu.
Matari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan
Banteng Wareng telah mem enuhi jalanan kota. Mayatmayat bergelimpangan di mana-mana, Portugis dan Tuban.
Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang
masih hidup.
Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di
lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa
dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masingmasing, moncong sedikit m endongak.
Orang mem erlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat
dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin
daripada mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya.
Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun.
Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepalan, bertebaran seperti
batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal bendabenda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal,
menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi
sendi kekuasaan dan kekuatan Peranggi.
Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di
antara reruntuhan rumah diiringkan oleh satu regu prajurit
berkuda yang bersiaga dengan tom bak. Antara sebentar ia
berhenti, menebarkan pandang ke m ana-mana, bicara pada
pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia
berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai
di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot
yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher
dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu
baik ujung-ujung batik mau pun ram butnya berkibar-kibar
seperti bendera.
Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun
menyandang pedang pada pinggang. Berbeda dari yang
lain-lain, sebilah keris terselit melintang di bawah dada.
Hulu keris itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga
sarung kerisnya terbuat daripada mas. Itulah Senapati
Tuban Wiranggaleng.
Kemudian Senapati berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia
periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar
panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya
bergelimpangan mayat prajurit Tuban di antara sejum lah
Portugis.
Bandar telah jadi tumpukan arang, dengan asap yang
masih berkepulan.
“Dengar semua kalian!” katanya pada para pengiring.
“Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk
sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah
berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada
hari ini aku nyatakan m usuh telah kalah dan kita menang.”
Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di
kejauhan.
‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali.
Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh.
Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan
yang lain-lain dalam cengkeraman maut. Ingat-ingat ini:
juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah
punah dalam semalam.”
“Kami akan selalu mengingat-ingat.
seorang pengiring berjanji.
Senapatiku,”
“Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada temantemanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu.”
“Kami akan lakukan. Senapatiku.”
“Tapi kalian jangan sampai lupa, kemenangan di Tuban
sangat kecil, belum berarti.”
“Kita sudah menang. Senapatiku, kemenangan gilanggemilang tiada tara.”
“Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang,
dengarkan aku baik-baik: selam a Peranggi belum terusir
dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari M alaka dan
Pasai, urat-nadi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh
Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.”
“Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku.”
“Dan selam a mereka masih menguasai
kemakmuran takkan lagi menyinggahi Tuban.”
Maluku,
“Senapatiku.”
‘Terserah pada kalian. Adakah Tuban akan bangkit
kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang,
pengusiran atas Peranggi dari seluruh Nusantara dan
Semenanjung.
“Demak tetap mengancam. Senapatiku.’*
“Melawan Demak lain lagi. Itu perang melawan
kebodohan.”
“Kami belum m engerti. Senapatiku.”
“Musuh Demak sesungguhnya Peranggi. Trenggono
mencari kebesaran dengan mencari musuh yang
dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari
dari musuhnya yang utama: Peranggi.”
“Bukankah Demak telah mengusir mereka dari Sunda
Kelapa, Senapatiku?” pengawal terdekat bertanya.
“Siapa saja dapat mengusir Peranggi kalau jumlahnya
hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula.
Ayoh, jalan!”
Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, kemudian
mem belok ke timur dan berpacu mendekati arah datang
suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi
tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka
berpapasan dengan prajurit-prajurit Tuban yang berjalan
dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka
mengangkat tom bak masing-m asing,
bersorak-sorak
menyam but Senapati. Wajah mereka berseri-seri gembira
penuh kepercayaan pada pemimpinnya.
Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. Prajuritprajurit yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya
sorak-sorai kemenangannya m asih saja terdengar.
Wiranggaleng berhenti melihat ke suatu jurusan. Di
kejauhan ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang
berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali
sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di
tentang dada.
la jalankan kudanya dan m endekatinya peiahan-lahan.
Mengetahui ada seorang m usuh, para pengiring mem acu
kuda, mengepung serdadu itu. Tombak-tombak pun teracu
siap untuk dijojohkan.
“jangan ganggu dia!” pekik Senapati menegah.
Orang pun menarik tom baknya kembali tetapi tetap
mengepungnya. Dan Wiranggaleng berpacu m enghampiri.
“jangan
ganggu.
Lihat
baik-baik.
Dia
lagi
bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua
tom bak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai
kalian m eletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan
bisa m elawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang
bersembahyang,
dia
tidak
menghadapi
manusia.
Menyingkir kalian dari dia.”
Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang
mem bantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia musuh
sewaktu mem usuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan
tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan
bayi atau istri yang sedang m enyusui.”
“Kalau kemudian dia m emusuhi lagi, Senapatiku?”
“Kembali kau harus mem eranginya.” “Lebih baik
dibunuh sekalian, Senapatiku.”
“Kalau begitu kau bukan prajurit, tapi pembunuh,” ia
menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka
kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu
tegak dan tetap perwira.”
Orang Peranggi itu telah selesai bersembahyang. Dengan
kudanya Wiranggaleng makin mendekati. Orang itu pucat.
Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia
tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak
dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu
pada Senapati.
“Mengerti Melayu?” tanya W iranggaleng.
Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh
berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan
pahanya. “Sedikit, ya. Tuan.”
“Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?”
“Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari.
Telah kuserahkan semua pada Tuhan,” jawabnya sambil
mem buat salib.
“Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” Senapati
mem erintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti
dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan
makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.”
Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal
untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping
melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah
tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi
mem bikin gerakan salib. Kemudian dengan suara lemah:
“Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.”
“Semoga Dewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa
nam amu selengkapnya?”
“Sylyester da C osta, Tuan.”
“Kosta!” Senapati mengulangi dan Portugis itu
mengangguk. Setelah mengangkat tangan mem beri restu
Senapati menarik kendali. Binatang itu menengok dan
berjalan berputar kemudian meninggalkan Da Costa yang
terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan
perintahnya.
Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang
menuntun binatang itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda
masing-m asing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh
pikiran, m encoba memahami maksud dan ucapan Senapati.
Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru
terdengar seseorang bicara: “Mungkinkah kiranya Sang
Senapati marak jadi raja?”
“Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang
melawan Peranggi!”
“Bisakah seorang anak desa jadi raja?”
“Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang
desa semata.”
“Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu
pengasih dan penyayang, apa pun pada kawula sendiri bila
marak.”
“Mungkin ada rencana baru terhadap Demak.”
“Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus
begini? Bisa habis kita ini bakalnya.”
“Bukankah
kita
harus mengingat-ingat
selalu?
Semenanjung, Selat, Pasai, Malaka dan Maluku, seluruh
Nusantara? Selama Peranggi masih berkuasa….”
“Dan Demak tetap m engintai.”
“Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari
Semenanjung?” seseorang bertanya dalam M elayu.
“Apakah aku ini? Hanya orang kecil tak menentu,”
jawab Sylyester da Costa dalam M elayu pula.
“Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. Tapi
yang besar kecil juga dulu-dulunya.”
“Kalau aku yang orang besar,” Da Casta meneruskan.
“Kau caplok semua pulau Jawa ini.”
“Dan jadi kedodoran sepanjang jaman,” orang lain
menam bahi.
Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam
kediaman.
Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersoraksorai, berderai-derai, dan mengguruh seakan hendak
meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak
daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat telah
tersingkirkan. Seluruh balatentara Tuban berkumpul di
alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak
gembira.
Mereka menyam but pernyataan Senapati: Portugis telah
ditumpas dari bumi Tuban; balatentara Tuban keluar
sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap
banyak: Selat, Semenanjung, Pasai, Malaka dan Maluku,
dan… Demak.
Sorak-sorai padam seketika dalam renungan um um. Ya,
dalam renungan umum semata-m ata….
0o-dw-o0
44. Arus Balik
Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan
Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka:
Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung
menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masingmasing, duduk m enghadap Senapati.
Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan
dipayungi oleh pokok laban.
Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diam diam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan
kecerahan alam m embikin suasana menjadi syahdu.
“Aku bawa ka lian ke mari,” Sang Senapati memulai,
“karena ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah
kalahkan Peranggi dengan penyerangan cepat dan
mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat
berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi
kehidupan – kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri,
dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan:
mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan
datang lagi ke Tuban, bukan saja karena telah dikalahkan di
sini, juga karena nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban
ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.”
“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering
kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selam a
Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang
menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang
gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya.
Senapati mengangkat telunjuk mem beri peringatan:
“Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah,
makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari
tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan
dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara
sudah dapat ditentukan – am bruk entah sampai berapa
keturunan.”
“Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara setelah
beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengunyah
sirih. “Bagaimana menghalau m ereka?”
“Tunggu,” tegah Wiranggaleng, “biar aku ceritai kalian.
Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari
selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit
adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa
beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya,
manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua,
itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari
selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi
mem buat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil
seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa
dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil
menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari
utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul,
mem bawa segala-galanya ke Jawa, term asuk penghancuran,
penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita
akan semakin kecil untuk kemudian tidak m empunyai sama
sekali.”
“Tidak mungkin. Senapatiku!” bantah Kala Cuwil.
‘Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi.
Selama mereka yang menguasai, mereka takkan
menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama
sekali. Sam pai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita
sendiri di pesisir dan gunung.
“Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari
utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan
hanya menyedari ini, bahkan mem bendungnya. Bukan
hanya mem bendung, bahkan melawan. Orang itu adalah
G usti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang
jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahm ana dan
satria, seorang aulia yang akan dihormati sampai akhir
jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya
berbentuk kupu-tarung.”
“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah
lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih
yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan,
mem perebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari
kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang
surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri,
sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari
ulat yang hina-dina.
“Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak
perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah
dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih
banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka,
daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum
mengalahkannya sam a sekali dari jalan laut.
“Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang.
“Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah
karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah
karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan
persoalannya. Dia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan
berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru
seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara
akan tenggelam. Surya akan segan mem berkahi dengan
sinarnya yang menghidupi.”
“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak?”
Banteng Wareng bertanya.
“Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati,
tidak dimakan bapak mati,” jawab Wiranggaleng sedih.
“Kalian hadapi Demak, kalian menjadi lemah di hadapan
Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan
jadi lemah juga di hadapan Peranggi”
“Mem ang persoalannya tak lain dari menghadapi
Peranggi,” Banteng Wareng mem betulkan pertanyaannya.
“Bagaimana harus menghadapi Peranggi, Senapati?”
sekarang Kala Cuwil bertanya.
“Majapahit telah mem berikan jawaban pada kalian:
kesatuan Nusantara. Singosari telah mem berikan jawaban:
kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan
jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan
Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha
penyatuan itu? Mem ang pernah dulu ada seorang G ajah
Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda
Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari
Majapahit…”
“Engkaulah G ajah M ada!” Kala Cuwil berseru.
“Senapatiku, kaulah G ajah Mada!” Braja memperkuat
“Kami semua sependapat!” Rangkum m enambahi.
“Tidak bisa lain,” bisik Banteng W areng seperti doa.
Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelom bang
dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam.
Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara
syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.
“G ajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian
wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan
yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan
yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara
dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa
menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya
untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa
raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang
G ajah M ada.”
“Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang
dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh
kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa
dibina – karena jaman kita ini mem erlukan kekuatan
gabungan sebagaimana dicita-citakan G usti Kanjeng
Adipati Unus. Mulialah nam a beliau sepanjang jam an.”
“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada JeparaDemak? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah
bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada
megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan
Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak
akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung
kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan.”
“Kaulah G ajah Mada!” ulang Kala Cuwil.
‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernam a G alengtahu takkan mampu mem bendung perkembangan
kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah
bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup
bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot
karena kehilangan pegangan.”
Ia mengangkat kepala dan mem andangi Kala Cuwil:
“Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala
pasukan, lepaskan destarm u dan gelar di hadapan kita.”
Kala Cuwil terheran-heran dan mem andangi Senapati
dengan mata bertanya-tanya.
“Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanm u.”
Dengan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarnya
di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya
yang keriput.
“Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang
Wirabumi,” tegur Wiranggaleng. “Lebih banyak lagi yang
bakal dipinta dari dirimu.”
“Senapatiku.”
“Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai
sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian,
karena aku takkan m engulangi lagi.”
“Senapatiku!” pekik Rangkum.
“Dengarkan!” perintah Senapati. ‘Telah aku baktikan
masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun
hanya secauk pasir untuk ikut mem bendung arus balik dari
utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung.
Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan
Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya.
Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih.
Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk
menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelom bang
raksasa, bukan sekedar yang m endesak arus balik dan utara,
bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga
kelangsungannya untuk selam a-lam anya. G ajah Mada,
anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan
semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang
disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selam a-lam anya,
meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan
G ajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran
kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri
dan terhadap diri sendiri.
“Jam an G ajah Mada, jaman anak desa dapat
mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita
tak pernah lagi punya Kaisar selam a ini. Raja-raja semakin
jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi.
“Aku menyedari tak ada kemampuan mem bendung arus
utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah
orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jam an
bukan hanya tak mem bantu, bahkan melawan kita. Itu
sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua
kuserahkan pada kalian.”
“Senapatiku!” Banteng Wareng m enyela.
“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar
itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan
para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan
semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur
dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, karena
surya enggan mem ancarkan rahmatnya pada yang
berdukacita.”
Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan
meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi
bungkusan itu.
“Lihatlah ini,” katanya lagi dan mem buka bungkusan,
dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala
Cuwil, “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam,
semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang
karena keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang,”
kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, “dan ini
keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula.
Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja
baik-baik.”
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
“Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian –
peninggalan G usti Kanjeng Adipati Unus, melalui G usti
Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman,
melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban….
“Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi
sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu
menggelantung di tengah destar.”
“Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di
antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu
seorang demi seorang “dapat mem ahami kata-kataku,
mem ahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus
balik dan pesan G usti Kanjeng Unus, ambillah dan
pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban,
usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat,
Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan
ke utara bergelom bang-gelom bang sepanjang jaman.
“Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan
Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang
sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani
bernam a G aleng. Tinggallah kalian dalam kerukunan,
karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama.
Aku akan pergi dan jangan kalian cari. H anya bila Peranggi
datang
lagi,
Wiranggaleng
akan
datang
untuk
mem usnahkannya.”
Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan
yang masing-m asing mem egangi ujung destar Kala Cuwil.
Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu
melangkah pelan-pelan menuruni bukit, kemudian berpacu
ke selatan.
Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain
berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang
dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di
sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu
berseru-seru.
G aleng menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya
seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri.
Seluruh badannya telah bersalut debu.
Prajurit itu m elom pat turun, berjalan berjongkok dengan
cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda
Senapati. Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan
tak terkendali: “Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi
bersujud padamu dan mencium kakimu?”
“Siapa kau?”
“G elar, Bapak, anakmu.”
“Kuterima sujud dan sembahm u dari atas kuda ini,
G elar.”
“Senapatiku, Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak.
“Aku, aku, aku masih patut jadi…,” hisakannya semakin
keras, “jadi, jadi, jadi anakm u?”
“Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat
padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang
tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha,” jawab
Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke
selatan.
“Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi,
Senapatiku? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan
punggung terangguk-angguk ke atas.
“Segala yang telah kulakukan selam a ini sudah bersuara
dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah
tahu dan mengerti.”
“Ya, Bapak.”
“Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu.
Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. Wiranggaleng
bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di
desa, setelah segala yang kau citakan tercapai”
G elar berdiri mem bungkuk, melepas sembah, mem eluk
kaki kiri penunggang kuda itu dan m enciumnya.
Beberapa bentar kemudian G aleng merenggutkan kaki,
menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan.
G elar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangismeraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis.
Dengan punggung masih terangguk-angguk karena hisak ia
bangun, berdiri dan mem eluk leher kudanya.
“Sultan,” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku.
Seorang demi seorang telah pergi daripadaku. Tak seorang
pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau
suka.”
Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu. Ia
turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan
dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan
kuda balatentara. Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan
lambat-lambat sekehendak hatinya.
Mata
G elar terundukkan ke bawah,
bahkan
mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak.
Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah
jalanan hutan ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang
dan turun dari kuda.
“Bapak!” seru Kumbang.
Wiranggaleng m engangkatnya dan m enaikkannya di atas
punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelanpelan tanpa bicara.
“Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kum bang.
“Ya, Nak, ikut pulang,” jawabnya.
Idayu melirik pada suaminya. Hanya sekilas.
“Mak, Mak, Bapak ikut pulang.”
“Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab
Idayu dan melirik pada suaminya lagi.
“Kau tak mem bawa perlengkapan perang, Kang?”
‘Tidak.”
“Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang.”
“Sekarang G aleng hanya petani, Idayu.”
Idayu berhenti berjalan dan mem egangi tangan
suam inya, mem andanginya dengan mata berkaca-kaca.
Mereka berbisik-bisik, kemudian berjalan lagi, makin lama
makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik
kehijauan abadi….
Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang
mengem ban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari
anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah
di tengah jalan, namun ia telah mencoba.
0odwo0
Penutup
Sylyester da Costa tak dapat m elupakan pengalamannya.
Di Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan
balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api
unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan
sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi
datang dari kegelapan, menyam bar-nyambar seperti elang
rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan
bagaimana balatentara tumpas. Benteng bawah-tanah siasia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak.
Francisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku.
Pengawalan meriam dari laut tak ada. Dibandingkan
dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sungguhsungguh lapuk.
“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa,
“berbahagialah Antonia G alyano. Celakalah kami.”
Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira
hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke
timur, hanya untuk dapat m encari kuburannya sendiri yang
agak lebih jauh dari teman-temannya.
Prajurit-prajurit Pribumi mem buru kami tanpa ampun.
Aku sendiri terguling di pinggir jalan, kemudian merangkak
menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak
panah telah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak
terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan
nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat daripada
bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi.
Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku
itu tidak berbisa. Kaki kananku telah mem ar tertumbuk
pada bongkahan batu.
Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk
keselam atan sendiri. Di mana musket dan pedangku aku
sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan
aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di
Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja
Portugis.
Lengan bajuku telah kuputus untuk menghentikan jalan
darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada Tuhan, tak
ada Kristus, tinggal malam saja melindungi aku dari maut.
Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan
muncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang
bersorak-sorak mem buru dan menumpas masih kedengaran
di mana-m ana. Mereka akan temukan aku juga. Puji
kepada-Mu, sorak-sorai kemudian semakin lama semakin
menjauh. Kesunyian menyusul.
Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang
kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini,
terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku
yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur.
Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah
mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negerinegeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan
keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak hentihentinya mem andangi anak lelakinya yang bungsu, aku
inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu
tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana
nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku
sekarang.
Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku.
Matilah aku sekarang,
menghilangkan rasa nyeri.
pikirku.
Ketakutan
telah
Satu regu berkuda balatentara Pribumi, barangkali
sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan
malam, telah menemukan aku yang sedang bersembahyang
menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu,
hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati
di dalam pengampunan-Nya.
Kafir-kafir itu mengerahkan tom bak-tom baknya padaku.
Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang
melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, karena
berkah permohonanku suatu mukjijat telah terjadi.
Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan
hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku,
mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka.
Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap
dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku
dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku
siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku.
Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna
kuning. Kakiku yang m emar telah tertutup dengan selapisan
obat berwarna putih yang mem bubungkan bau sedap. Bau
yang m embikin aku selalu mengantuk.
Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti
sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat
kumengerti tentang cerita dan percakapan m ereka.
Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku:
aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap
hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka
entahlah di Maluku.
Sebagai seorang Kristen, orang Portugis, orang Eropa,
yang lebih tinggi peradabannya daripada kafir-kafir itu,
tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin
regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya
barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata
tom bak. Jadi
sebelum
berangkat aku
perlukan
menyam paikan terimakasih pada mereka. Juga aku
utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu
yang dulu itu.
Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu.
Baiklah, barangkali m emang aku tak boleh bertemu. Paling
tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak
sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila Tuhan
menghendaki.
Nam anya Wiranggaleng, tanpa gelar. Bawahannya
mem anggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu.
Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya.
Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil,
lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja,
batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada
teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang
mem bikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh
dari kota Malaka? Kira-kira memang dia. Hang Wira
Malaka itu. Hang Wira -Wiranggaleng. Barangkali, aku tak
tahu betul. Agaknya terlalu jauh.
Setelah sampai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan.
Aku mulai bertanya-tanya. Kemudian
tak lain
kesimpulanku: Hang Wira memang Wiranggaleng itu juga,
penumpas kami di Tuban.
Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan
berterimakasih padanya…
Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampirham pir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari
dinasnya, dan selanjutnya: Orang Portugis siapa pun akan
lebih suka tinggal di Banda daripada di mana saja di
Maluku ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini
dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau,
Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukam u,
mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang
kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga
kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri
tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan
masih selamat sampai sekarang ini.
Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy
Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku
harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di
Halmahera. Tetapi keadaan di sini mencurigakan. Setiap
waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati
Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit
putih.
Aku minta pindah, dan diperintahkan ke Temate, 1548.
Istriku menolak kubawa serta. Bersam a dengan anakanaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke
kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia
menolak ke Temate, boleh jadi karena ia takut pada orang
Islam.
Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan
sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana.
Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang
Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate? Aku belum tahu
pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barangbarang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen
yang kelihatan saleh dan kemudian kuketahui tak pernah
melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih
dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis
sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia
menerima pakaian itu dari bekas tuannya, G onsalyes
Mateo, juruborong untuk Temate.
Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya
tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau
teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung.
Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia mem ukul
tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah
alat m usik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban.
Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu
yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini,
juga wajahnya tidak ada kesam aan dengan Melayu gereja
daripada Pribumi. Aku m enduga dia seorang Moro.
Pada suatu malam sedang dia mem ukul totobuang aku
datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak
dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa.
Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban
sana. Maka setelah selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia
seperti… benarkah dia seorang Moro?
“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dulu di
Tuban?”
Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup
mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak
itu ia selalu ketakutan bila melihat aku.
Berhati-hati aku mencoba meramahi dia. Waktu
kuulangi pertanyaanku dulu ia nampak tidak lagi terkejut.
“Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada
kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa
laluku.”
Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku
ini segera dapat menangkap, ia mem punyai beban pada
punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Setelah
mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang
pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian,
seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja
dapat mem peroleh dam ai.
Setahun kemudian baru dapat kukumpulkan kalimatkalim at yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu
setelah ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan
menghukum nya.
Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah mem bunuh
ayahnya sendiri. Mula-m ula ia tak mau mengaku mengapa.
Lam a-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan,
pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan
rencana, karena ayahnya m enyebabkan penderitaan ibunya,
terutam a sekali karena ayahnya berpihak pada Portugis dan
mengkhianati Tuban.
“Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis,”
bantahku.
Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, tetapi seorang
Moro, Syahbandar Tuban. Semua orang Portugis di
Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernam a Tholib
Sungkar Az-Zubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya
seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia
bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh
siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya
pembunuhan itu. Setelah itu bukan hanya ibunya, seluruh
masyarakat
mengucilkannya.
Mereka
tak
dapat
menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orangtua, pemeluk-pemeluk Buddha itu.
Ia mengem bara ke mana-m ana. Setelah kudanya mati
tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri
dengan balatentara Demak.
Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang
prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang
wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di
Semenanjung, anak pam an Paulus sendiri yang m enetap di
sana. Pamannya itu juga kelahiran T uban. Dan anak cantik
ini. Jafar, mungkin karena kecantikannya ditarik oleh
Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan.
Karena keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru
Tam an, menjuru tamani Sultan.
Sekali peristiwa Paulus mendapat perintah untuk
melakukan pekerjaan telik di Blam bangan. Trenggono telah
sampai di batas kerajaan Hindu Blam bangan. Untuk dapat
melakukan serangan gilang-gemilang dan mem atikan.
Sultan telah mem anggil Fathillah untuk memimpin
serangan um um atas Blam bangan. Paulus – tentu saja
waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa – mendapat
perintah untuk mengumpulkan keterangan.
Dalam penyusupannya di Blam bangan pada suatu pagi
ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma
dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu
banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri
yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia
mendekatinya. Lelaki tua itu m engawasinya dengan curiga.
Dua-duanya
berhadap-hadapan.
Paulus
segera
menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggilmanggil: Senapatiku! Senapatiku!
Sam pai pada bagian ini aku menajam kan perhatian.
Panggilan Senapatiku itu segera kukenal.
“Wiranggaleng?” tanyaku.
Paulus terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku
mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku.
Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan
Besar pada nama itu?”
“Seorang kafir yang berbudi,” jawabku.
Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan
muncul kekafirannya yang lama dalam ia mem bantah:
“Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Mem ang aku
tak dapat mengatakan apakah ia Islam, ataukah Buddha,
Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan
perguruan Buddha. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar,
karena itu menyakiti hati barangsiapa pernah m engenalnya.
Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan
kekalahan.”
Paulus
kudanya.
pernah
bercerita
bagaimana
ia
mencintai
Waktu binatang itu telah kehabisan tenaga karena tuanya
dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengahtengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan rantingranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering kemudian
dibakarnya dengan penghorm atan. Maka orang yang dapat
begitu setia pada binatangnya barangkali dapat mencintai
manusia dengan sedalam-dalam cinta.
Ternyata Wiranggaleng adalah ayahnya yang resmi.
Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan
menyendiri seperti pertapa.
“Aku tinggal di luar jam anku. Dalam jam an ini tenagaku
terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah
di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa
mem andang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas
dan lega. Di luar batas itu, selam a ada manusia, di situlah
kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari
bukankah tidak dengan sengaja?”
Paulus menceritakan tugasnya. Senapati menganggukangguk.
“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai citacitam u, karena kau memang tidak mempunyai cita-cita.
Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah
kalau cita-citamu telah tercapai? Kau datang kemari sebagai
telik Demak!”
Senapati mem anggil istrinya, seorang wanita yang juga
sudah nampak tua tapi sehat.
“Inilah anakmu, datang untuk bersujud padam u.”
Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat
mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah
Kumbang, Mak?”
“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuhmusuh bapaknya. Dia pergi ke G iri Dahanapura, kemudian
di sana dia ikut dengan orang Peranggi. Bertahun-tahun dia
sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar
dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia
belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya
ham ba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.”
Mendengar itu Paulus mengerti, Wiranggaleng, masih
juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan
karena itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Setelah
menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa
singgah ke gubuk.
Setelah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan
tentara Demak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh
Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dapat
mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu
harus hapus dari muka bumi.
Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan
yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap
kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia
terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan
Paulus akan m enjaga keselam atannya.
Di depan pesanggrahan balatentara Demak peristiwa itu
terjadi. Jafar menikam rajanya sebagaimana direncanakan.
Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata
lebih lincah. Trenggono mem ang mati seketika. Tapi Jafar
si Juru Taman juga tertembusi tom bak-tom bak waktu
hendak m encabut keris dari tubuh korbannya.
Karena, ya, karena seorang satria takkan meninggalkan
keris pada tubuh korbannya.
Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor
dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan
tom bak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok
dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkepingkeping.
Jafar si Juru Taman seorang yang m engalahkan Demak.
Balatentaranya mundur, intinya pulang ke Demak, sisanya
buyar ke tempat asalnya masing-m asing. Dengan matinya
Trenggono, juga Demak sebagai kerajaan runtuh dan tak
bangun lagi!
Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada
penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan
kerisku!”
Raja Blam bangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan
segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah
hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati
ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Em ak,
telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus
kuselesaikan untuk mem bendung kemerososotan besar.
Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.”
Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya
mem andanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tibatiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman
hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar,
keluar dari gubuk dan kembali ke Blam bangan. Hatinya
remuk-redam. Semua telah kehilangan arti kembali.
Ia tinggalkan Blam bangan dan berlayar ke Maluku.
Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia
pernah sempat menjam ah jubah Franciscus Xaverius, dan
sejak itu, ia mengakui mendapat kedam aian hati….
Itulah Paulus, seorang yang bisa lakukan perbuatan
besar, tetapi, seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri,
tidak mem punyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran
orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan.
Rupa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu.
Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja
mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak,
Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun.
Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada
suatu kali ia m inta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya
pada Kristus.
Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mungkin ke
Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai.
Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian
pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat
mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi,
Senapati Tuban, Wiranggaleng….
END