[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Pola Regulasi Emosi Orang Tua Dengan Anak Temper Tantrum Mas Ian Rif’ati Program Studi Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Kampus B Unair – Jl. Airlangga 4-6 Surabaya, 60286, Jawa Timur, Indonesia Phone: 031 5032770/031-5014460 Email: info@psikologi.unair.ac.id mas.ian.rifati-2018@psikologi.unair.ac.id No. HP: 089639426199 Suryanto Program Studi Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Kampus B Unair – Jl. Airlangga 4-6 Surabaya, 60286, Jawa Timur, Indonesia Phone: 031 5032770/031-5014460 Email: info@psikologi.unair.ac.id suryanto@psikologi.unair.ac.id No. HP: 087702697767 Abstract — Emotional regulation is an individual who can express his emotions. This study aims to provide overview emotional regulation of parents with temper tantrum children and find out factors of emotional regulation formation in parents with temper tantrum children. This study uses a qualitative approach with phenomenological design. Data collection techniques use interviews and analytical techniques using interpretative phenomenology. Participants in this study were mothers under 35 years old with temper tantrum children in Surabaya. The results showed that subjects experienced emotional regulation in a variety of ways, namely 1) Feelings of irritation due to children's behavior, 2) Mother felt ashamed of the teacher at school, 3) Mother felt sorry for the condition of the child who cannot control emotions, 4) Mother feels sad when her two children fight and make harsh words, 5) The subject goes out of the house to calm down. 6) The subject tells the problem to the husband. While the emotion regulation factors on parents with temper tantrum children, namely 1) Mother wants to have a gentle and loving personality, 2) Mother is obliged to advise the troubled child, 3) When the mother is happy then it can facilitate communication between mother and child. From the results of the above research it can be concluded that parents with temper tantrum are not able to manage emotions well, such as the emergence of negative emotions caused by the inability of parents to think clearly. Suggestions for parents should manage emotions more patiently, consult with psychologists or religious leaders to be able to manage emotions by controlling negative emotions, and communicating positively verbally and non-verbally. Keywords: Emotion Regulation; The Parents; Temper Tantrum Children. Abstrak— Regulasi emosi merupakan individu yang dapat mengekspresikan emosinya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum dan mengetahui faktor-faktor pembentukan regulasi emosi pada orang tua dengan anak temper tantrum. Penelitian ini menggunakan pendektan kualitatif dengan desain fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan teknik analisis menggunakan fenomenologi interpretatif. Partisipan dalam peneltian ini adalah ibu berusia dibawah 35 tahun dengan anak temper tantrum di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami regulasi emosi dengan cara beragam, yaitu 1) Perasaan jengkel akibat perilaku anak, 2) Ibu merasa malu dengan guru di sekolah, 3) Ibu merasa iba dengan kondisi anak yang tidak dapat mengontrol emosi, 4) Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar dan mengeluarkan kata-kata kasar, 5) Subjek keluar rumah untuk menenangkan diri. 6) Subjek Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya menceritakan permasalahan kepada suami. Sedangkan faktor pembentukan regulasi emosi pada orang tua dengan anak temper tantrum, yaitu 1) ibu ingin memiliki kepribadian yang lembut dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang bermasalah, 3) Ketika ibu bahagia maka dapat memperlancar komunikasi antara ibu dan anak. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum tidak mampu mengelola emosi dengan baik, seperti timbulnya emosi negatif yang disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua dalam berpikir jernih. Saran untuk orang tua sebaiknya mengelola emosi dengan lebih sabar, berkonsultasi dengan Psikolog ataupun tokoh agama untuk mampu mengelola emosi dengan mengontrol emosi negatif, dan berkomunikasi positif secara verbal dan non verbal. Kata kunci: Regulasi Emosi; Orang Tua; Anak Temper Tantrum. 1. Pendahuluan Latar Belakang. Anak memiliki keunikan masing-masing yang berbeda dengan anak lainnya. Keragaman anak tidak hanya dapat dilihat secara kasat mata, seperti melihat perbedaan warna kulit, tinggi badan, bentuk hidung ataupun tipe rambut akan tetapi melihat bagaimana karakter, kepribadian ataupun intelegensi anak yang berbeda dengan yang lainnya. Pemahaman mengenai keunikan setiap anak sangat penting dalam dunia pendidikan, dimana karakter setiap anak memiliki acuan untuk menggali potensi dan kekurangan pada diri anak tersebut. Soetijiningsih (dalam Syam, 2013) juga berpendapat bahwa anak merupakan individu yang unik, karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan perkembangan juga berbeda. Anak memiliki berbagai macam permasalahan yang merupakan kekurangan dalam proses pembentukan perkembangan. Tidak sempurnanya pembentukan perkembangan anak dikarenakan terdapat beberapa aspek seperti, nilai agama dan moral, sosial emosional, bahasa, kognitif dan fisik yang tidak dapat terpenuhi dengan baik sehingga berpengaruh pada tahap perkembangan anak berikutnya. Hal ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang biasa dialami anak usia 18 bulan sampai 4 tahun diantaranya dalah permasalahan mengendalian emosi anak yang dapat disebut dengan temper tantrum. Menurut Hayes (2003: 12) mengatakan bahwa anak usia 5-6 tahun mengalami perilaku tantrum merupakan hal yang tidak biasa. Pada umumnya temper tantrum merupakan episode dari kemarahan dan frustasi yang ekstrim, yang tampak kehilangan kendali seperti gambaran perilaku menangis, berteriak, sampai timbulnya perilaku agresif dengan menendang, memukul, mencakar, memrusak benda disekitarnya. Dalam beberapa kasus terdapat anak yang sampai menyakiti orang tua atau dewasa lainnya sebagai bentuk pelampiasan atas kemarahannya tersebut (Tandry, 2010). Dapat diketahui bahwa anak yang mengalami temper tantrum akan menimbukan perilaku negatif yang dapat mengganggu orang lain seperti berteriak, memukul, menendang dan mencakar. Figur Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang menjadi objek untuk melampiaskan emosinya adalah teman di sekolah, guru bahkan orang tua. Orang tua berperan penting dalam proses pembentukan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan melakukan beberapa hal seperti, mendampingi selama masa tumbuh kembang anak, melindungi anak, menyayangi anak dan memberikan semua yang dibutuhkan oleh anak. Orang tua akan berperan menjaga anak dan berusaha memberikan penanganan apabila anak terjadi kesalahan. Orang tua yang memiliki anak temper tantrum memahami bahwa anaknya memiliki emosi yang tidak stabil sehingga muncul perilaku negiatif seperti memukul, menendang, bahkan melukai seseorang di lingkungan sekitar. Orang tua di anjurkan untuk memahami dan menerima kondisi anak temper tantrum. Orang tua seharusnya memikirkan perilaku temper tantrum anak yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Menjadi orang tua yang memiliki anak temper tantrum sebaiknya mampu untuk mengelola emosi atau regulasi emosi ketika melakukan pengasuhan terhadap anak. Ketika orang tua mampu dalam mengelola emosi maka akan membantu dalam mengatasi permasalahan anak. Sesuai dengan pendapat Neven, Rathus, & Greene (2005) mengatakan bahwa seseorang yang kemampuan dalam regulasi emosi dan penyesuaian diri maka setidaknya akan terhindar dari masalah-masalah psikologis. Thomson berpendapat bahwa regulasi emosi dapat dipandang sebagai proses awal dapat merasakan, mendalami, memelihara, dan mengelola emosi untuk mencapai tujuan dengan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. (Zimmerman & Thomson, 2014). Regulasi emosi merupakan seseorang yang dapat mengekspresikan emosi yang dialaminya (Gross, 2002). Selain itu Gross dan Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012) berpendapat bahwa regulasi emosi merupakan suatu strategi yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja untuk menunjukkan emosi yang dimiliki seseorang. Orang tua mampu mengekspresikan emosinya dengan baik dapat berdampak positif terhadap pola asuh orang tua terhadap anak temper tantrum. Terdapat hasil wawancara pada guru di salah satu sekolah taman kanak-kanak di Surabaya bahwa terdapat 3 siswa dengan rata-rata usia 5-6 tahun memiliki perilaku tantrum di sekolah. Siswa A dan B adalah saudara kembar berusia 5 tahun yang memiliki masalah untuk mengelola emosi terutama dilingkungan sekolah. Hampir setiap hari mereka bertengkar dengan teman hingga memukul, mengancam teman dan menyakiti teman secara fisik. Apabila keinginan mereka tidak dikabulkan oleh guru kelas maka mereka mengancam akan pulang dan tidak ingin masuk sekolah, memberontak, memukul guru, dan berkata kotor. Sedangkan siswa C juga memiliki karakteristik tantrum yang sama, yaitu siswa ketika tidak dapat dikabulkan keinginannya oleh guru siswa tersebut marah hingga menyakiti guru dan teman sekitarnya Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dengan memukul, menendang, berteriak, dan memberontak. Mereka memiliki orang tua memiliki karakter cenderung emosional. Sehingga fakta tersebut mendorong peneliti untuk ingin mengetahui pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum. Terdapat penelitian oleh Martin, Clement, dan Crnic (2002) menemukan bahwa keadaan emosional seorang ibu ketika berinteraksi dengan anak-anak mereka dan memeriksa hubungan emosi ibu, kesusahan keluarga, dan kepekaan pengasuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa ibu mengalami dan mengungkapkan banyak emosi positif dan negatif selama bermain dengan balita mereka, akan tetapi, emosi yang diekspresikan ibu tidak mempunyai korelasi ketika anak menunjukkan emosi positif, ibu membalas dengan emosi yang lebih positif. Pengalaman emosional ibu selama berinteraksi dengan anak-anak mereka menunjukkan hubungan antara distres keluarga dan perilaku pengasuhan yang sensitif. Temuan ini mendukung teori bahwa pengasuhan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti anak, orang tua, keluarga dan faktor emosi. Penelitian lain oleh Halimah dan Hidayati (2015) menemukan bahwa ibu dengan anak Sindrom Down merasakan kesedihan yang mendalam saat mengetahui kondisi anak tersebut, subjek dalam penelitian tersebut dapat mengelola emosi dari dukungan sosial keluarga. Ketiga subjek tersebut menerima keadaana nak mereka yang Sindrom Down. Syahadat (2013) melakukan penelitian dengan hasil bahwa regulasi emosi dapat membantu seseorag dalam mengelola pikiran negatif menjadi positif. Sehingga mempengaruhi emosi dan perilakunya, misalnya ketika seseorang mengubah pikirannya terhadap stimulus negatif, kemudian dapat mengelola denganmenurunkan kadar emosi negatif maka perilaku yang muncul adalah perilaku yang positif. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum membutuhkan regulasi emosi yang baik. Penelitian betujuan untuk mengetahui gambaran pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum dan faktor-faktor pembentukan regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum. Kajian Teoritik. Perilaku temper tantrum merupakan hal yang wajar akan tetapi apabila tidak dilakukan penaganan maka dapat mempengaruhi pada perkembangan anak selanjutnya. Terdapat pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial anak, yaitu 1) ketegangan emosi mengganggu aktivitas mental, 2) Emosi mengganggu keterampilan motorik, 3) emosi dapat mempengaruhi suasana psikologis anak, 4) reaksi emosial apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi suatu kebiasaan yang buruk (Harlock: 2009). Regulasi Emosi memliki 3 aspek menurut Thomshon (dalam, Hasanah 2010), yaitu 1) Emotions monitoring, yaitu kemampuan untuk memahami semua proses yang terjadi dalam diri terutama perasaan, pikiran, dan latar belakang dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang. 2) Emotion evaluating, yaitu kemampuan untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi yang Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dialami oleh seseorang. 3) Emotion modification, yaitu kemampuan individu untuk merubah emosi sehingga mampu memotivasi diri ketika individu tersebut dalam kondisi putus asa cemas dan marah. Gross (2014) mengatakan bahwa proses pembentukan regulasi emosi terdapat lima tahapan diantaran, yaitu pemlihan situasi (Situation Selection) dimana tindakan untuk menghindari atau mendekati objek yang dapat meningkatkan emosi pada seseorang. Perubahan situasi (Situation Modification) usaha yang dilakukan seseorang untuk mengubah situasi agar dapat menunjukkan emosi yang dirasakan. Penyebaran perhatian (Attentional Deployment) merupakan bentuk pengolahan emosi oleh seseorang dengan mengalihkan perhatian tanpa menggunakan alat indera tetapi menggunakan konsentrasi. Perubahan kognitif (Change Cognitive) yang menghubungkan dan membandingkan situasi yang dialami dengan situasi yg dialami sebelumnya. Perubahan respon ( Response Modulation) respon yang muncul setelah mengalami emosi, seperti efek dari penggunaan obat, terapi atau relaksasi. Regulasi emosi memiliki 3 element yang penting, yaitu 1) Mampu mengatur emosi positif maupun emosi negatif dengan baik. Regulasi emosi digunakan seseorang tidak hanya untuk menekan emosi negatif akan tetapi juga mengontrol emosi positif agar seseorang dapat mengekspresikan emosi tersebut tidak berlebihan. 2) Secara sadar dapat mengendalikan emosi. Seseorang mampu merasakan emosi yang terjadi daaat itu sehingga ia mampu untuk mengontrol emosi tersebut. 3) Mampu menguasai tekanan akibat masalah yang dihadapi. Regulasi emosi mampu sebagai pengendali individu ketika dihadapkan dengan situasi yang menekan (Gross, 2007). Daniel Goleman (Dalam Ali ,2011) menjelaskan beberapa klasifikasi emosi, yaitu 1) Amarah yang berupa, melakukan tidakan kekerasan, tersinggung, marah besar, terganggu, memberontak, benci, dan brutal. 2) Takut yang berupa, cemas, khawatir, takut, waspada, tidak tenang, gelisah, panik, phobia, dan ketakutan yang mendalam. 3) Kesedihan yang seperti, muram, kesepian, depresi, putus asa, dan merasa rendah diri. 4) kenikmatan yang seperti, gembira, senang, bahagia, kasmaran, penerimaan, persahabatan, kesetiaan, ketulusan hati, bakti, rasa dekat, dan hormat. 5) Jengkel beupa, benci, mual, tidak suka, menyebalkan, jijik, dan hina. 5) Malu, menyesal, kesal hati, dan aib. 2. Metode Penelitian Partisipan. Penelitian ini menggunakan karakteristik partisipan, yaitu 1) Ibu berusia dibawah 35 tahun dengan anak temper tantrum di Surabaya. 2) bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Berdasarkan karakteristik tersebut peneliti mendapatkan 2 partisipan dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik sampling dengan teknik purposive sample yaitu Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya peneliti dapat menentukan partisipan berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti (Sugiyono, 2014) Desain. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif fenomenologi. Fenomenologi merupakan metode penelitian yang akan menemukan makna yang terkandung dalam sebuah fenomena dan partisipan menjadih peran utama dalam memberikan gambaran tentang pengalaman yang dialami (Smith, 2009). Desain fenomenologi digunakan dalam penelitian ini karena fenomena regulasi emosi orang tua merupakan permasalahan yang dialami banyak orang. Sehingga peneliti ingin mengetahui gambaran regulasi orang tua yang memiliki anak temper tantrum. Prosedur. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik wawancara kepada orang tua dengan anak temper tantrum. Wawancara dilakukan untuk menggali data, perilaku anak temper tantrum dengan orang tua, bentuk perlakuan orang terhadap anak temper tantrum, ekspresi emosi orang tua serta cara mengelola emosi orang tua. Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang dilakukan oleh interviewer dan interviewie untuk mencapai tujuan tertentu (Kristi, 2017). Teknik Analisis. Penelitian ini menggunakan teknik analisis fenomenologi interpretatif. Menurut Willig (2013) berikut cara untuk melakukan analisis fenomenologi interpretatif yaitu 1) menggunakan stranskrip wawancara semi terstruktur. 2) pertanyaan terbuka dan non-direktif. 3) pertanyaan spesifik. 4) pendekatan idiografik dimana wawasan yang dihasilkan merupakan hasil kontribusi intensif dan terperinci dengan kasus individu. 3. Hasil Penelitian dan Diskusi Penelitian ini mendapatkan sebuah fakta penelitian pada orang tua dengan anak temper tantrum diantaranya sebagai berikut: 1) Pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum. Setelah melakukan penggalian data dengan menggunakan prosedur penelitian wawancara dan dilakukan analisis dengan teknik fenomenologi interpretatif. Maka peneliti menemukan beberapa pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum yang beragam dari dua partisipan, diantaranya sebagai berikut: a. Perasaan emosi ibu ketika menghadapi anak tantrum. Orang tua dengan anak temper tantrum mengalami berbagai emosi ketika menghadapi anak tantrum. Emosi yang dirasakan oleh orang tua adalah emosi negatif. Orang tua merasa terganggu terhadap perilaku anak tantrum. Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya “Nggeh jujur mawon mbak kulo nggeh jengkel, ga serantan ngoten niku, nggeh kulo ini ga sabar ngatasi anak seng keras ngoten mbak, lak ngamuk niku sampe jejek-jekek, ngantem ngantem mbak. Dadine nggeh kulo gepuk kale kayu larene ben meneng. Soale lak mboten ngoten larene malah ngelunjak mbak.(Subjek E)” (ya jujur aja ya mbak saya ya jengkel, seperti nggak sabar gitu, ya saya ini nggak sabar mengatasi anak yang wataknya keras, kalau marah sampai menendang, memukul mbak, jadi ya saya pukul menggunakan kayu biar anaknya diam, soalnya kalo tidak diperlakukan seperti itu anaknya pasti membantah) “Ya jengkel karena di tuturi alus mboten saget e mbak (Subjek E)” ( ya saya jengkel karena di nasehati secara hasul tidak bisa mbak) ” Ya tak lerai mbak. tak wara “ ojok tukaran ae po’o nak ibuk sumpek iki lo” ya omongan lo mbak ya tak bengok ngono ae. (Subjek D)” (ya saya pisah mbak, saya kasi pengertian “ jangan bertengkar ya nak ibu ini susah loh” ya sebatas ucapan saja mbak ya saya teriakin aja) “Pegeel mbak sakjane lak delok arek arek tukaran ae. Ga pegel masalah ngene nggak, pegel lak ga kenek diomongi “wes alaaah tak tinggal turu kon kok suwe suwe (Subjek D)” (capek mbak sebenarnya jika melihat anak-anak bertengkar terus. Nggak capek karna masalah ini mbak bukan, capeknya jika anak-anak tidak dapat dinasehati “udah ya ibu tinggal tidur loh ya lama lama” Dari pernyataan yang diungkapkan oleh subjek dapat diketahui mereka memiliki emosi negatif seperti jengkel, merasa terganggu, merasa lelah ketika anak mereka menunjukkan perilaku tantrum seperti ketika anak mereka marah dan menimbulkan reaksi yang berlebihan. Bahkan partisipan tersebut sampai memukul anak dengan kayu dan berteriak kepada anak dengan keras agar dapat meminimalisir perilaku tantrum tersebut. akan tetapi pada Subjek E timbul rasa penyesalan setelah melakukan kekerasan fisik pada anak. Menurut Walgito (2010) berpendapat bahwa seseorang yang cenderung kurang dapat mengendalikan diri dan tidak memperhatikan norma yang ada maupun keadaan sekitarnya ketika memiliki emosi. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak dapat berpikir jernih ketika emosi negatif sedang menguasai akibatnya terjadi kekerasan fisik pada anak. “Jadinya saya ini bisa lebih tenang. tidak jengkel lagi. Tp kulo nggeh pernah mukul gt terus menyesal mbak. (Subjek E)” ( jadinya saya ini bisa lebih tenang, tidak jengkel lagi. Tapi saya ya pernah mukul dan saya menyesal mbak). Dalam hal ini orang tua tidak dapat mengelola emosi negatif, ia malah menunjukkan emosi tersebut dengan perlakuan kekerasan fisik dan psikis pada anak. Setiap disregulasi emosi yang dihasilkan dapat menyebabkan tanggapan yang berpusat pada orang tua, bukan lagi Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya berpusat pada tuntutan anak (Fabes, dkk: Bahrami, Dolatshahi, Pourshahbaz, & mohammadkhani, 2018). Dengan kata lain, orang tua yang memiliki kesulitan dalam regulasi emosi mungkin lebih fokus pada menenangkan ketidaknyamanan mereka sendiri dari pada anak mereka dan dapat menggunakan strategi pengasuhan negatif, seperti minimisasi dan hukuman, untuk mengehentikan kesususahan anak ( Fabes, Dkk, 2018). “Saya sebenarnya ya malu sama tentangga dan kepala sekolah punya anak kok buat masalah terus. Nggeh hampir tiap hari ngehan kulo disanjangi kale kepala sekolah lak anak kulo mantun nyundep batuke koncone kale pensil nang batuke (Subjek E)” (Saya sebenarnya ya malu sama tentangga dan kepala sekolah punya anak kok buat masalah terus. Ya hampir setiap hari saya diberi informasi oleh kepala sekolah bahwa anak saya telah melukai temannya dengan menusukkan pensil ke dahi) “Saya juga sampe malu sama kepala sekolahe mbak. “buk !!, yaopo iki buk !! anaku iki wong sekolah durung buyar !!” jarene “gak gapap gapapa” lak ngono kan aku seng malu karo guru ambek wali murid liane gara-gara eson anak ya. (Subjek D)“ (saya juga malu dengan kepala sekolah mbak, “bu! Gimana ini bu ! anak saya belum waktunya pulang sekolah kok sudah pulang!” ya saya kan yang malu mbak sama guru dan wali murid yang lain ya akibat perilaku anak saya mbak”) Perilaku anaknya juga berakibat tidak baik antara hubungan orang tua dengan sekolah dan wali murid yang lain. Ibu merasa malu dengan perilaku anak yang tidak dapat mencermintan keprilaku yang positif. Rasa malu merupakan perasaan ketika melihat diri seseorang tidak sebaik oralng lain meskipun tidak pernah melanggar moral dalam masyarakat dimana perasaan malu dapat merigikan manusia (Semmel, 1994). Ferguson dan Tangney (dalam Eisenberg, 2000) juga perpendapat bahwa perasaan malu bermula dari situasi yang tidak bermoral dan permasalahan yang terkait dengan kegagalan atau perilaku sosial yang tidak pantas. “Saaken kulo nggean mbak soale kan anak saya mboten saget ngerem emosine. kadang nggeh kulo mikir ngeten mbak. Kulo kepikiran angen angen terus lak sekolah engkok ndang tukaran mane ambek koncoee. Engkok anakku ga due koncoo. terus lak dolen ngoten niku nggeh kulo wedi lak anakku garai koncone seng liane mbak, mangkane lak dolen mesti kulo tunggui mbak soale kulo wedi lak sampe tukaran male (Subjek E)” (kasihan saya mbak, karena nak saya ini tidak dapat menahan emosinya, terkadang saya berpikir seperti ni, saya terngiang-ngiang jika anak saya di sekolah akan bertengkar dengan temannya lagi. Nanti anakku tidak memiliki teman, jika bermain dengan anak tetangga aku takut anakku bertengkar lagi mbak, mangkanya saya temani dia bermain dengan anak tetangga). Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya “Saya ya sedih mbak melihat anak yang bertengkar sampai seperti itu. Rasane iku susah mbaaak kayok eeehhhhh nyelekit nang dodo ngono mbak. Atie ke iris iris lak tukaran ae. (Subjek D)” (saya sedih mbak melihat anak yang bertengkar sampai seperti itu. Rasanya itu sedih mbak seperti eeehhhhh menusuk di dada gitu mbak, hati seperti teriris ketika anak bertengkar) “Ya aku sedih laaah mbaak, cumak yooo di kasi tau nanti dia uda ngerti dan ga minta labrak anake wong mane, terus ya aku iki sedih kok anakku iki ngerti omongan kasar sampe gowo sapu, gowo watu lak kasar loh ya ibarate. (Subjek D)”. (ya aku sedih laaah mbaak, tapi ya di kasih aja gitu dia sudah ngerti mbak dan sudah tidak meminta untuk memarahi anak tetangga lagi, terus ya saya sedih juga kok anakku ini mengerti onongan yang kasar sampai meminta untuk membawa sapu, membawa batu kan kasar loh ya ibaratnya” Pernyataan diatas menunjukkan bahwa ibu merasa sedih dengan apa yang dilakukan anaknya sampai menimbulkan perassaan khawatir terhadap perlakuan yang akan dilakukan anaknya dalam lingkungan yang lain. Gangguan mental yang dilamai seseorang dengan adanya perasaan khawatir, takut yang tidak menyenangkan disebut kecemasan (Sundbreg,Winebarger, dan Taplin, 2007). Dari beberapa pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum memiliki perasaan emosi yang beragam, seperti 1) Perasaan jengkel dan terganggu akibat perilaku negatif anak, 2) ibu lelah apabila anak tidak dapat menerima nasehatnya, 3) Ibu menyesal melukai anak, 4) Ibu merasa malu dengan guru dan wali murid di sekolah, 5) Ibu merasa iba dengan kondisi anak yang tidak dapat mengontrol emosi negatif, 6) Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar dan ketika anak mengeluarkan kata-kata kasar. b. Kemampuan orang tua dalam mengelola emosi Dalam penelitian ini menemukan bahwa orang tua tidak hanya mengekspresikan emosi yang di dapat akibat perilaku anak tantrum. Melainkan orang tua berusaha mengelola emosi dengan berbagai cara, sebagai berikut: “Nggeh tak tinggal mbak larene. kulo medal dateng griyo mbak, jalan- jalan ke taman (Subjek E)” ( ya saya tinggal mbak anaknya, saya pergi dari rumah mbak, jalan –jalan ke taman) “Ngajak ayahe pergi berdua aja. Terus ya aku bilang sama ayahe (Subjek D)”. (mengajak ayahnya pergi berdua. Dan saya menceritakan perilaku anak kepada ayahnya) Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Terlihat bahwa kedua orang tua pada subjek E dan D sama sama memilih untuk pergi dari rumah agar dapat meminimalisir emosi negatif akibat menangani perilaku anak tantrum. Selain kedua subjek ini juga memiliki strategi lain dalam mengelola emosi dengan menceritakan kepada suami mereka mengenai perilaku anak tantrum. Regulasi Emosi dapat dikatakan sebagai strategi yang digunakan seseorang dalam mengalihkan perasaaan emosi yang dirasakannya (Dennis, 2007) “Nggeh kulo mesti curhat kale mas mbak. yaopo yaopo nggeh kulo kudu curhat kale mas, soale kan nggeh sinten male seng saget kulo madulii (Subjek E)” (ya saya selalu curhat dengan suami mbak. ya gimanapun saya harus curhat dengan suami, karena ya siapa lagi yang dapat menerima segala keluh kesah hati saya mbak) “Yah anake iki lo beling” terus ayahe jawabi “yo jenenge arek cilik dek” yawes mbak aku mesti lak curhat nang suamiku ya ditenang no. (Subjek D)” (“yah ini lo anaknya nakal” terus ayah menjawab ”ya namanya anak kecil dek” yaudah mbak saya curhat dengan suami merasa diberi ketenangan) Subjek melakukan strategi tersebut dengan pergi dari rumah, jalan-jalan dengan suami yang dapat menghasilkan tergantinya emosi negatif dengan emosi positif seperti yang diutarakan oleh subjek. Semmel (1994) berpendapat bahwa salah satu strategi dalam regulasi emosi ialah diperlukan pembicaraan mengenai pikiran yang dialami seseorang terhadap teman atau anggota keluarga agar mendapat pertolongan untuk mengerti apakah pikiran kita sendiri yang menyebabkan munculnya emosi. “Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpen sendiri..ee.. lah lak pun kulo sampun tenang ngoten kulo nggeh saget nuturi anak saya mboten kale emosi mbak. lah lak kulo ga tenang kan kulo mboten saget alus kale anakku (Subjek E)” (Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpan sendiri, eee lah ketika saya sudah tenang gitu saya baru bisa menasehati anak saya dengan tidak emosi mbak, kalau saya tidak merasa tenang ya saya tidak dapat berbicara halus denagn anak saya) “Ya dadi luweh enteng mbak pikiran seng awale sumpek wes ijo seneng mane wes ga sumpek sumpek ndelok anak tukaran ae mending aku tak metu ta refeshing. Lak aku ga curhat mbak lak aku ga seneng seneng yo aku takbah sumpek isok isok aku stress mbak, jadi ya aku kudu ngilangno pikiran iku sek mbak. (Subjek D)”. (ya jadi lebih ringan pikiran saya yang awalnya susah bisa lebih senang sudah tidak mual melihat anak saya bertengkar terus lebih baik saya pergi refreshing. Jika saya curhat mbak saya tidak merasa senang dan saya bertambah mual, bisa-bisa saya menjadi stress mbak, jadi ya saya harus mencertakan dan minghilangkan pikiran yang seperti itu mbak) Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Selain itu subjek D juga berbagi cerita kepada nenek dari anak temper tantrum dan ia juga memiliki strartegi dengan memisah kedua anak kembarnya agar tidak berlangsung pertengkaran yang hebat. Menurut Reivich dan Shatte (dalam Gross &John, 2004) mengatakan bahwa regulasi emosi dapat membuat seseorang melakukan sesuatu agar tetap tenang dan dapat mengatasi perasaan kahwatir, marah atau sedih yang dapat membantu menyelesaikan masalah. “Terus aku ya curhat karo ibuku mbak, ibuku seng paling ngerti terus ibuku yo seng biasa nuturi anakku mbak. Soale anakku iki yo wedie karo mak.e.. (Subjek D)”. (terus saya ya curhat sama ibuku mbak, ibuku yang paling bisa ngerti dan ibuku juga yang terbiasa menasehati anakku mbak, karena anakku takut dengan neneknya) “Sempet pas riwuh riwuhe ya tak wara “melok’o emak bubuk.o ndek ningsor ae” ngono lek wes aku ben lego mbak ya sumpek aku kerungu arek arek tukaran bengok-bengok terus ya lak tukaran kan yo pukul pukulan ngono lo mbak lak nangis lak ga mukul yo gak lego arek.e mbak kudu sampe nangis (Subjek D)”. (waktu itu sedah sibuk-sibuknya ya saya bilang “ikut sana sama nenek tidur di lantai bawah aja” gitu saya bisa lega mbak, saya pusing kalau mendengar anak-anak bertengkar teriak-teriakan, pukul-pukulan dan kalau tidak nangis ya tidak puas mbak, harus sampai nangis) Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa ibu dapat mengekspresikan emosi yang dirasakannya akan tetapi tidak dapat menyimpan emosinya sendiri, mereka lebih nyaman dengan berbagi cerita kepada suami. Hal ini membuat beban pikiran ibu menjadi lebih ringan. Ketika ibu sudah mendapat ketenangan ia merasa dapat lebih maksimal dalam menjalankan pola asuh terhadap anak tantrum dengan berkomunikasi dengan lembut. Menurut Gross (2002) mengatakan bahwa regulasi emosi merupakan suatu individu yang mampu mengekspresikan emosi yang dialaminya. Semmel (1994) juga berpendapat bahwa dengan membicarakan permasalahan bersama keluarga dan teman dapat melegakan hati dan menyadarkan individu untuk memandang sisi yang lain, memberi pengertian baru mengenai perasaan yang sedang dialami dengan demikian individu merasa lebih maju dan bertambah kuat. Dari pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum memiliki strategi regulasi emosi yang beragam, seperti 1) kedua subjek memilih untuk keluar rumah untuk menenangkan diri. 2) kedua subjek menceritakan permasalahan kepada suami. 3) Salah satu subjek menceritakan permasalahan dengan ibunya. 4) Ketika bersedih ibu memiirkan permasalahan yang terjadi pada anaknya. 5) Ibu memerintahkan anak untuk berpisah agar pertengkaran tidak terus terjadi. Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya 2) Faktor pembentukan regulasi emosi orang tua Penelitian ini menemukan beberapa faktor pembentukan adanya regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum dari dua subjek. Faktor tersebut sangat berpengaruh bagi orang tua untuk mampu mengelola emosi dengan baik. a. Menjadi orang tua ideal. Orang tua merupakan pusat kehidupan rohani anak, maka setiap reaksi emosi anak dan hasil perilaku anak tersebut merupakan salah satu hasil dari pembelajaran pendidikan informal. Terutama seorang ibu yang memiliki peranan penting dalam mendidik anak dengan memberikan kasih sayang, mengasuh, memelihara, ibu sebagai tempat mencurahkan isi hati anak, ibu mengatur kehidupan rumah tangga, dan sebagai pendidik dalam segi-segi emosional (Wahib, 2015). Dalam penelitian ini menemukan bahwa tujuan orang tua dengan mengelola emosinya agar menjadi ibu yang baik, ibu yang dapat menjelankan tugasnya untuk mengasuh anak dengan baik.seperti yang diutarakan oleh kedua subjek sebagai berikut: “Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpen sendiri. ..ee... lah lak pun kulo sampun tenang ngoten kulo nggeh saget nuturi mboten kale emosi mbak.. lah lak kulo ga tenang kan kulo mboten saget alus (Subjek E)” (ya saya jauh lebih tenang mbak karena saya punya pikiran itu tidak bisa disimpan sendiri, eee lah ketika saya sudah tenang gitu saya baru bisa menasehati anak saya dengan tidak emosi mbak, kalau saya tidak merasa tenang ya saya tidak dapat berbicara halus dengsn anak saya) “Lak misale awakku iki wes bungah mane ya mbak lak dijak anak ngomong kan isok jawab enak ngono loh mbak, masio anakku kayok ngono tp aku kan yo sayang mbak aku yo pengen ngalusi anakku ngejak goyon anakku (Subjek D)” (misalnya saya ini udah bahasgia ya mbak jika berkomunikasi dengan anak itu bisa baik gitu loh mbak. Meskupun anakku seperti itu tetapi aku kan sayang mbak aku ya pengen beri kasih sayang dan bercanda dengan anakku). Hal ini menunjukkan bahwa Subjek E dan Subjek D memiliki dorongan untuk melakukan regulasi emosi dikarenakan ia tidak dapat terus menerus berkomunikasi dengan anak menggunakan emosi negatif. Mereka memahami dengan menjadi lebih tenang mereka dapat maksimal menasehati anaknya. Subjek D berpendapat bahwa meskipun anak mereka sering menimbulkan perilaku tantrum dengan adanya kasih sayang yang besar kepada anaknya ibu berkenginan mencaikan suasana dengan mangajak anak untuk bercanda bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Hoffman( dalam Victoria, Jonathan, Weis, 2017) mengatakan bahwa pakar emosional menggambarkan kemampuan orang tua untuk menjadikan tugas sebagai pengalaman positif bagi anak yang ditujukan dengan menjaga kepekaan terhadap Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya emosi anak, berbagai emosi positif anak, dan menilai partisipasi anak dalam tugas.dalam penelitian ini orang tua memiliki keinginan lebih memperhatikan anaknya dengan memberi kasih sayang dan berkomunikasi yang positif sehingga dapat meningkatkan kemampuan anak untuk memiliki emosi positif. Menurut Balson (1997) berpendapat bahwa anak-anak yang memiliki permasalahan perlu berbicara dengan orang tua yang memiliki peran untuk mengadakan komunikasi dengan anak-anak, karena mereka memahami bagaimana perasaan anak-anak dan bersedia memberikan bantuan dengan pendekatan attachment untuk mengahdapi permasalahannya. “Ya gimana ya mbak kan ya anakku... sakjane ya wajar anak iku ya pancen ga mbak ngamukan nangisan ngoten niku lak wajar nggeh tapi nggeh niku sampek jejek jekek niki kulo mboten seneng... mangkane kulo nggeh wajib nuturi soale kulo niki wong tuone mbak kan nggeh pengen anak kulo saget normal kayok arek arek liane... (Subjek E)” (ya gimana ya mbak kan ya anakku, sebenernya ya wajar anak itu berperilaku seperti nangisan gitu. Tapi yang sampai menendang itu yang membuat saya tidak suka, mangkanya saya berkewajiban untuk menasehati anak saya, kan saya orang tuanya ya saya pingin anak saya normal seperti anak yang lain). Pada Subjek E menyatakan bahwa salah satu faktor pembentuk regulasi emosi adalah melihat kewajiban orang tua untuk menasehati dengan cara yang baik apabila anak berbuat kesalahan dengan harapan orang tua dapat merubah anak menjadi anak yang manis dan seperti anak lain diusianya. Orang tua membantu anak untuk memahami mana perilaku yang baik dan tidak baik sehingga anak dapat mengetahui masalah yang ia hadapi (Balson, 1997). Dari pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor-faktor pembentukan regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum, yaitu 1) ibu ingin memiliki kepribadian yang lembut dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang bermasalah, 3) Ketika perasaan emosi ibu sedang senang dan bahagia maka dapat memperlancar komunikasi antara ibu dan anak. 4. Kesimpulan Hasil penelitian ini menemukan beberapa fakta mengenai pola regulasi orang tua dengan anak temper tantrum dan faktor-faktor pembentukan regulasi emosi dengan anak temper tantrum. Perasaan emosi ibu ketika menghadapi anak tantrum, yaitu 1) Perasaan jengkel dan terganggu akibat perilaku negatif anak, 2) ibu lelah apabila anak tidak dapat menerima nasehatnya, 3) Ibu menyesal melukai anak, 4) Ibu merasamalu dengan guru dan wali murid di Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya sekolah, 5) Ibu merasa iba dengan kondisi anak yang tidak dapat mengontrol emosi negatif, 6) Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar dan ketika anak mengeluarkan kata-kata kasar. Kemampuan orang tua dalam mengelola emosi menemukan fakta yaitu, 1) kedua subjek memilih untuk keluar rumah untuk menenangkan diri. 2) kedua subjek menceritakan permasalahan kepada suami. 3) Salah satu subjek menceritakan permasalahan dengan ibunya. 4) Ketika bersedih ibu memikirkan permasalahan yang terjadi pada anaknya. 5) Ibu memerintahkan anak untuk berpisah agar pertengkaran tidak terus terjadi. Sedangkan faktor-faktor pembentukan regulasi emosi orang tua dengan anak tantrum dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor, yaitu 1) ibu ingin memiliki kepribadian yang lembut dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang bermasalah, 3) Ketika perasaan emosi ibu sedang senang dan bahagia maka dapat memperlancar komunikasi antara ibu dan anak. Hasil penelitian ini harus dipertimbangkan dengan beberapa keterbatasan. 1) penelitian ini hanya diberikan kepada ibu, dan peran ayah juga diperlukan dalam penelitian ini. 2) Serupa dengan penelitian lain, kami hanya menggunakan wawancara, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber, misalnya menggunakan metode observasi. 3) subjek dalam penelitian ini terbilang sedikit, peneliti selanjutnya dapat menambahkan jumlah subjek dan dapat menggunakan subjek pendukung seperti anggota keluarga lain. 5. Daftar Pustaka Ali, M., &Asrori M., (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Bahrami, B., Dolatshahi, B., Pourshahbaz, A., & Mohammadkhani, P. (2018). Parenting Style and Emotion Regulation in Mothers of Preschool Children. Journal of Practice in Clinical Psychology, 6(1), 3-8. https://doi.org/10.29252/NIRP. JPCP.6.1.3 Balson, Maurice. (1997). Menjadi Orang Tua Yang Sukses. Jakarta: Grafindo. Dennis, T. A. (2007). Interactions Between Emotion Regulation Strategies and Affective Style: Implications for Traits Anxiety Versus Depressed Mood. Journal Hunter College, 200207. DOI. 10.1007/s11310079069. Eisenberg, N. (2000). Emotion, Regulation, and Moral Development. Annual Review Psychology. Willig, Carla. (2013). Introducing Qualitative Research In Psychology Third Edition. New York: Open University Press Gross, J, J. (2002) Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences. Society for Psychophysiological Research, Vol. 1(1), Hal. 281-291. DOI: 10.10.17.S0048577201393198. Gross, J.J.& John, Oliver. P. (2004). Healthy and Unhealthy Emotion Regulation: Personality Processes, Individual Differences, and Life Span Develompment. Journal of Personality. Gross, J.J.(2007). Handbook of Emotion Regulation. New York: The Guilford Press. Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial 2018 Conference Call for Paper (2-3) Novermber 2018 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Gross, J. J. Adn Jazaieri, H. (2014). Emotion, Emotion Regulation, and Psychopathology: An Affective Science Perspective. Clinical Psychological Science 2014, Vol. 2(4) 387-401. Hasanah, D, N. (2010). Hubungan Self Efficacy dan Regulasi Emodi dengan Kenakalan Remaja pada Siswa SMPN 7 Klaten. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Harlock, E. B. (2009) Perkembangan Anak. Jakarta: Airlangga. Hayes, Eileen. (2003). Tantrum Panduan Memahami Dan Menangani Ledakan Emosi Anak. (Alih Bahasa: Hamiyn Octopus). Jakarta: Erlangga. Kristi, E, P. (2017). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Universitas Indonesia. Lane, A., M., Bucknall, G., Davis, P, A., & Beedie, C, J. (2012). Emotions and Emotion Regulation Among Novice Military Parachutists. Journal of Military Psychology, Vol. 24(1), Hal. 331-345. DOI: 10.1080/08995605.2012.678244 Martin, S. E., Clements, M. L., & Crnic, K. A. (2002). Maternal Emotions During MotherToddler Interaction: Parenting in Affective Context. Parenting, 2(@), 105-26. DOI: 10.1207//s15327922par0202_02. Nevid, J. S., Rathus, S. C., &Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal jilid 2. Jakarta: Erlangga. Semmel, R, A. (1994). Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan mengarahkannya.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sundberg. D, Winebarger, A. & Taplin, R. (2007). Psikologi Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Smith, Jonathan A. (2009). Psikologi Kualitatif Panduang Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syahadat, Yustisi Maharani. (2013). Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Agresif Pada Anak. Jurnal Psikologi Indonesia, 10, 20-36. Syam, Subhan. (2013).Hubungan Pola Asuh Terhadap Kejadian Temper Tantrum Anak Usia Toddler Di PAUD Dewi Kunti Surabaya. Jurnal Promkes. Vol. 1, No. 2 Desember 2013:164-169. Tandry, N. (2010). Bad Behaviour, Tantrums, and Tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Victoria, Ting., & Jonathan, A, Weiss (2017). Emotion Regulation and Parent Co-Regulation in Children with Autism Spectrum Disorder. J Autism Dev Disord. Retrieved from Springerlink.com/ DOI 10.1007/s10803-016-3009-9 Wahib, Abdul. (2015). Konsep Orang Tua Dalam Membangun Kepribadian Anak. Jurnal Paradigma. Vol. 2, No.1, ISSN 2406-9787. Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:Andi Offset. Zimmermann, P.. &Thomson Ross A. (2014). New Direction in DevelopmentalEmotion Regulation Research Across the Life Span: Introductiob to Thr Special Section. International Journal of Behavioral Development 2014, vlo. 38 (2) 139-141.