Kekuasaan Sunda dalam Konstalasi Politik Modern:
Sebuah Perspektif Perbandingan dengan Jawa
Oleh Moeflich Hasbullah
Kompas Jabar, 12 April 2006
BERBICARA tentang kekuasaan, ada dua hal berbeda yang perlu dibahas:
tradisi kekuasaan dan tradisi berkuasa dari sebuah etnis atas suku-suku
atau kerajaan lain dalam sejarah politik Nusantara. Yang pertama, yaitu
tradisi kekuasaan, dapat dipastikan ada dalam setiap kelompok
masyarakat. Di mana masyarakat manusia berkumpul dan hidup
bermasyarakat, dapat dipastikan, di situ terdapat seperangkat instrumen
dan struktur kekuasaan serta sekelompok kecil elit penguasa yang
memimpin, mengatur dan seringkali menjadi penentu arah hidup publik. Sejak dikenal
lewat catatan sejarah, diketahui bahwa masyarakat Sunda mengenal tradisi kekuasaan.
Tradisi kekuasaan di Nusantara dalam era klasik dalam wujud konkritnya terlihat dari
hadirnya institusi politik seperti kerajaan (masa pra-Islam) dan kesultanan (masa
pengaruh Islam), atau negara dan partai politik dalam era modern.
Dalam sejarah politik Nusantara, Kerajaan Tarumanagara adalah salah satu
kerajaan tertua yang dikenal terletak di daerah Jawa Barat. Dari naskah Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, diketahui bahwa kerajaan itu berdiri selama kurang lebih
3 abad (abad ke-4 sampai abad ke-7) dan telah berlangsung sekitar 12 kali pergantian raja.
Masa puncak kejayaan Tarumanagara terjadi pada masa Raja Purnawarman (394 -434).
Raja Tarumanagara yang terakhir yaitu Linggawarman mempunyai menantu bernama
Tarusbawa. Tarusbawa inilah yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan raja pertama
kerajaan Sunda yang berkuasa selama kurang lebih 54 tahun (669-723) (Ajip Rosidi dkk.,
2000: 649). Kerajaan Sunda sendiri runtuh pada tahun 1579 akibat serangan gabungan
Banten dan Cirebon yang sedang meluaskan pengaruh Islam. Adanya Kerajaan
Tarumanagara dan Kerajaan Sunda (Galuh, Pakuan Padjadjaran dan Sumedang Larang)
membuktikan bahwa sejak awal masehi masyarakat Sunda mengenal tradisi kekuasaan
dan tradisi politik yang cukup stabil dan panjang. Karenanya dapat dikatakan bahwa bila
tradisi kekuasaan itu diukur oleh adanya kerajaan Sunda, maka pengalaman politik Sunda
telah berlangsung sekitar 14 abad atau lebih.
Yang menarik adalah, mengamati fenomena politik Sunda dalam konstalasi politik
Indonesia modern pasca kemerdekaan. Sering muncul pertanyaan bahkan gugatan di
1
kalangan masyarakat Sunda, mengapa orang Sunda relatif tidak memiliki pengaruh dalam
percaturan politik nasional pasca kemerdekaan? Mengapa hanya sedikit tokoh Sunda
yang berperan sentral dalam pentas politik dan kepemimpinan nasional terutama pada
masa-masa awal kemerdekaan? Mengapa muncul asumsi kuat para pengamat asing
tentang Indonesia (Indonesianis) -dan asumsi sangat populer dalam studi-studi sosial
politik Indonesia– bahwa untuk memahami Indonesia harus memahami Jawa, atau bahwa
Indonesia adalah Jawa. Padahal, ketika disebut “Jawa,” dalam konteks geografis, Sunda
adalah bagian dari pulau Jawa.
Sejak kekuasaan kerajaan Sunda ditamatkan oleh pengaruh Islam (abad ke-17),
sejarah politik Sunda relatif tidak memiliki kelanjutannya. Dominasi kerajaan Sunda
digantikan kerajaan Islam Cirebon dan Banten. Pasca kemerdekan, warisan faham dan
nilai-nilai kekuasaan Sunda tidak menemukan refleksinya dalam sejarah negara modern
Indonesia. 20 tahun masa Orde Lama dan 32 tahun Orde Baru, seperti disinyalir oleh
Benedict Anderson (1990) dan Fachry Ali (1986), merupakan refleksi dan manifestasi dari
faham kekuasaan Jawa. Kebudayaan Sunda nyaris tidak mewariskan nilai-nilai kekuasaan
dalam politik Indonesia modern.
Kebudayaan Sunda memiliki konsep tentang kekuasaan. Masalahnya, studi
tentang konsep kekuasaan Sunda ini masih sangat jarang dilakukan. Dari yang sangat
sedikit ini, mungkin baru Nina H. Lubis yang pernah membahasnya (1998: 56 - 68; 2000:
136 - 149) kendati dalam uraian pendek dan tidak mendalam. Ia hanya menggambarkan
perkembangan legitimasi kekuasaan dalam tradisi Sunda tapi tidak menganalisisnya dalam
kaitan dengan kondisi politik Sunda modern. Sepanjang sejarahnya, menurut Nina, konsep
legitimasi kekuasaan Sunda mengalami beberapa perubahan baik karena pengaruh intern
maupun ekstern. Dari uraiannya, perkembangan legitimasi kekuasaan dalam tradisi Sunda
dapat diringkas dalam skema 1.
Konsep-Konsep Kekuasaan
Masa/ Pengaruh Sumber/ Asal Kekuasaan Syarat Perolehan Kekuasaan Sumber Naskah
Kerajaan Sunda
Silsilah/keturunan raja
Putra dewata
Pra Pengaruh
Kabuyutan (Mandala), yang
Mataram
keramat, adikodrati
Pengaruh Mataram Pulung (Wahyu)
Nurbuat, Cahaya Nurbuat
Penguasaan kabuyutan, bertapa
di kabuyutan
Tertitisi Pulung terdahulu
Shalat, Munajat, Pdkt. Diri
Masa
Keturunan/silsilah tokoh
Islamisasi(pengaruh besar, tokoh agama
Islam)
Pemberian pusaka/gelar
Pendirian Kerajaan (Kesultanan
Cirebon)
Hubungan darah, pertalian
saudara, kesinambungan
kekuasaan
Carita Prahyangan,
Batara Danghyang
Amanat dari
Galunggung
Sejarah Sukapura
Pangerah Kornel
(roman)
Carita Purwaka
Caruban Nagari
Carita Purwaka
Caruban Nagari
2
Konsep-konsep kekuasaan Sunda ini, hampir seluruhnya memiliki kemiripan
dengan konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa, terutama dalam dua cirinya yang menonjol:
terjadi beberapa perubahan sesuai perkembangan dan pengaruh-pengaruh luar serta
bersifat mistik. Hanya, berbeda dengan Jawa, yang “tidak ditemukan” dalam tradisi Sunda
adalah uraian tentang ide dan sifat kekuasaan yang justru sangat menonjol dalam alam
pemikiran Jawa. Menurut Anderson (1990:17-23), dalam tradisi Jawa kekuasaan
dipandang sebagai sesuatu yang konkrit, homogen, jumlah keseluruhannya tetap dan
kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren. Selain empat ciri tersebut, Frans
Magnis Suseno (1984: 98) menambahkan bahwa kekuasaan bagi orang Jawa bersifat
numinus yaitu bersifat adikodrati. Menurut Fachry Ali (1986: 32), gabungan sifat-sifat ini
memiliki implikasi praktek kekuasaan: “konsentrasi atau pemusatan kekuasaan.” Bagi
orang Jawa, konsentrasi dan pemusatan kekuasaan bertujuan untuk menghadirkan
keteraturan dan menciptakan keselarasan. Sambil mengutip Anderson, Fachry Ali (1986:
32) menulis:
“Keteraturan dan keselarasan selalu menjadi obsesi orang Jawa. Obsesi ini yang
kemudian melahirkan gejala kekuasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang
konkret, yang homogen dan tak berbagi. Dan pemencaran kekuasaan hanya akan
menyebabkan timbulkan ketidakaturan ataupun berbagai konflik dan huru-hara
lainnya. Dan oleh karena itu, sebagian kepustakaan tradisional Jawa lebih banyak
membicarakan masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan
daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar.”
Krisis dan Transformasi Kekuasaan Tradisional
SAMA dengan di Jawa, baik masa Hindu atau pengaruh Islam, pusat kekuasaan di
Sunda terkonsentrasi pada keraton atau istana kerajaan. Terpusatnya kekuasaan di
keraton ini ditunjang oleh legitimasi yang kuat masyarakat Sunda pada rajanya seperti
tercermin dari istilah-istilah murbawisesa (pemegang kekuasaan tertinggi), ngawula kanu
kawasa (mengabdi pada yang berkuasa), kawula gusti, dewa raja dll di mana raja yang
dihayati kekuasaannya tak terbatas adalah sebagai titisan dewa yang wajib ditaati
perintahnya.
Tetapi sejak masuknya VOC dan kuatnya kekuasaan Belanda yang menghancurkan
struktur kekuasaan tradisional, sejak tahun 1684 seluruh daerah Sunda ditaklukan, tahun
1755 seluruh Jawa Tengah dan Timur dijatuhkan dan sejak tahun 1830 seluruh Jawa sudah
berada dalam kontrol pemerintah kolonial Belanda. Sejak itulah, struktur dan pusat-pusat
kekuasaan tradisional mengalami krisis, transisi dan keruntuhannya. Tetapi, berkuasanya
negara asing tidak praktis menggantikan struktur kekuasaan tradisional yang ada.
Penguasaan dan kontrol kolonial ini bersifat tidak langsung. Belanda kemudian
memerlukan “kelas menengah” dari kelompok ménak Sunda yang menjadi penghubung
antara pemerintah kolonial Belanda dengan rakyat jajahan. Dari sinilah kemudian muncul
3
kelompok elit birokrat tradisional pribumi dalam masyarakat Sunda yaitu bupati dan para
pangreh praja. Pangreh praja adalah korps pegawai pemerintahan sipil pribumi. Pangreh
praja berarti “penguasa kerajaan.” Hierarki pangreh praja umumnya adalah susunan
pejabat yang terdiri dari bupati, patih, wedana, asisten wedana. Di samping itu ada pula
pejabat mantri seperti mantri tanah, mantri kopi, mantri tebu, mantri pengairan dll.
Sebagai bentukan Belanda, posisi mereka sangat dekat dengan Belanda. Selain
memonopoli hubungan dengan penguasa kolonial, mereka adalah wakil golongan pribumi
dalam urusan dengan Belanda.
Dengan munculnya elit pribumi yaitu bupati dan pangreh praja ini, maka
runtuhnya kekuasaan tradisional (baik Sunda maupun Jawa) tidak berarti hapusnya sisasisa kekuasaan tradisional yang ada. Para bupati sebagai elit pribumi memiliki kekuasaan
dan memimpin masyarakat. Tetapi sesuai dengan perubahan struktur politik yang terjadi,
dimana pemerintah asing Belanda menjadi penguasa, para bupati ini melepaskan
kesetiaan dan keterikatannya sedikit demi sedikit pada pusat-pusat kekuasaan tradisional,
yaitu keraton, kemudian merubah kesetiaannya dengan mengintegrasikan dirinya pada
penguasa yang baru.
Pergeseran Kekuasaan Tradisional:
Keraton (Raja) >>>
Kabupaten
(Bupati)
>>>
Institusi modern
(Ketua/pemimpin)
Sampai disini, struktur dan sejarah kekuasaan tradisional baik di Sunda maupun di Jawa
relatif berada dalam kondisi dan perkembangan yang sama. Yang kemudian berbeda dan
kelak Jawa mengkonsolidasikan perannya yang menonjol dalam percaturan politik pasca
kemerdekaan adalah periode sejarah yang berkembang sejak kehadiran kelompok
birokrat lokal yaitu bupati dan para pejabat pangreh praja ini.
Elit Sunda dalam Pergerakan Nasional
DALAM perkembangannya, fungsi para pejabat pangreh praja tidak terbatas hanya
sebagai penghubung atau komunikator antara kaum pribumi dan penguasa Belanda atau
ekspresi kekuasaan asing dalam sosok pribumi. Lebih jauh mereka telah menjadi lapisan
elit masyarakat tersendiri yang terus berkembang. Dalam perkembangannya pangreh
praja telah mengalami perluasan fungsi sebagai berikut:
1. Menjadi katalisator terhadap tuntutan-tuntutan dan aspirasi-aspirasi baru di
kalangan mereka akibat perubahan struktural dan kebijaksanaan politik etis.
2. Menjadi wadah bagi munculnya gerakan-gerakan bersifat institusional dan
menjadi wadah saluran kekuasaan.
3. Menjadi ujung tombak perubahan-perubahan sosial.
4
Karena fungsi yang berkembang seperti di atas, pangreh praja justru telah telah
berkembang menjadi agen modernisasi bagi kelompok pribumi. Perkembangan mereka
yang signifikan adalah pada posisi sosial dan kemakmuran ekonomi, tetapi yang paling
penting adalah hak privilese yaitu akses kelompok ini pada dunia pendidikan modern yaitu
STOVIA, HIS dan HBS. Dari 743 orang murid yang bisa bersekolah di STOVIA Batavia pada
tahun 1875 - 1904 hampir semuanya adalah anak-anak pangreh praja: anak-anak pejabat
tinggi 146 orang, pejabat menengah 278 orang, pejabat rendah 119 orang. Dari dominasi
anak-anak pejabat itu, yang lulus hanya sedikit yaitu 160 orang. Yang lulus paling banyak
adalah dari anak-anak wedana dan bupati.
Dapat dikatakan, peranan dan posisi pangreh praja dalam sistem kekuasaan
kolonial inilah yang kemudian membedakan peranan sejarah kekuasaan Sunda dari Jawa
dalam era modern abad ke-20. Pada awal abad ke-20 hanya anak-anak dari kelompok elit,
bangsawan dan pejabat terhormatlah yang bisa memasukkan anak-anaknya ke lembaga
pendidikan modern seperti STOVIA dan sekolah-sekolah Belanda lainnya. Sejarah
mencatat, para lulusan pendidikan modern sekolah-sekolah Balanda inilah yang kemudian
melahirkan para aktivis pergerakan nasional dan cikal-bakal pemimpin nasional seperti
Soekarno, Hatta, Gatot Mangkuprojo, Subardjo, Soetomo, Dokter Tjipto, Gunawan
Mangunkusumo dll.. Para aktivis gerakan yang mendirikan Perhimpunan Indonesia
misalnya adalah sekelompok intelektual mahasiswa Indonesia yang mengenyam
pendidikan Belanda.
Gerakan ini terus bertambah, meluas dan berkembang sampai kemerdekaan dan
sampai terbentuknya pemerintahan negara Republik Indonesia. Juga para aktivis
pergerakan nasional lah yang awalnya masuk dalam pendidikan elit modern yang
kemudian menjadi para pemimpin Negara Indonesia baik di masa Orde Lama maupun
Orde Baru. Para pemimpin di puncak tertinggi inilah -yang rata-rata orang Jawa- kemudian
merefleksikan nilai-nilai kekuasaan yang mereka hayati dan internalisasi sejak dari kecil.
Pengalaman penghayatan nilai-nilai kekuasaan tradisional Jawa itu begitu berkesan,
ditambah model kekuasaan yang otoriter, sehingga memuluskan para penguasa ini
mengaplikasikan ideologi dan nilai-nilai tradisionalnya dalam kepemimpinan modern.
Dalam konteks inilah nama-nama atau tokoh-tokoh Sunda dan berorientasi Sunda tidak
terdengar. Rata-rata para aktifis Jawalah yang menguasai dunia pergerakan nasional awal
abad ke-20, baik yang berhaluan Islam, nasionalis maupun komunis seperti Boedi
Oetomo, SI, Muhammadiyah, PI, PNI dan lain-lain.
Walhasil, ketiadaan jejak politik dan kekuasaan Sunda dalam konteks pergerakan
nasional dan kepemimpinan Indonesia pasca kemerdekaan adalah sesuatu yang terjadi
dan berproses secara alami. Mungkin SDM, jumlah penduduk atau khazanah kekayaan
historis kekuasaan Sunda memang tidak mewariskan kebesarannya. Kemunculan kesan
kebesaran Jawa dalam Indonesia modern, sepenuhnya berkat kebangkitan kembali
manusia Jawa (para aktivisnya) yang mendominasi percaturan politik dan pergerakan
5
nasional. Ketika manusia-mansuia Jawa ini memimpin negara (Soekarno, Soeharto)
mereka mendapat kesempatan yang besar untuk mengeksperimenkan kekuasaan Jawa
dalam Indonesia modern.[]
Penulis Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Daftar Pustaka
Ajip Rosidi dkk. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, Pustaka Jaya.
Ayatrohaedi. 2003. ‘Orang Sunda Salah Memilih Leluhur?,’ Pikiran Rakyat, 2 Januari.
Anderson, Benedict R. O’G. 1990. Language and Power. Exploring Political Culture in
Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.
Fachry Ali, Refleksi Faham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Gramedia, Jakarta:
Gramedia.
Frans Magnis Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia.
Nina H. Lubis.1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1900 - 1942, Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
6
7