TOERI ‘HABITUS’ BOURDIEU DAN
KEHADIRAN KELAS MENENGAH MUSLIM INDONESIA
Drs. Moeflich Hasbullah, MA
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Alumni Southeast Asian Sudies ANU Canberra Australia.
Sejak tahun 1980an, di Indonesia muncul sebuah ‘lapisan
masyarakat baru’ yang disebut sebagai kelas menengah
(middle class). Kemunculan kelas ini difasilitasi oleh sukses
pembangunan ekonomi dan transformasi pendidikan sebagai
akibat dari program modernisasi yang dijalankan
pemerintahan Orde Baru. Dampak dari kemakmuran ekonomi
dan transformasi pendidikan ini, sejak tahun 1980an,
Indonesia kemudian memiliki sejumlah besar tenaga ahli (skilled man-power)
yang terdiri dari para menejer, para pekerja terlatih, para teknisi, para guru dan
dosen yang berdedikasi tinggi, dan jenis-jenis SDM lainnya yang cukup
kualified (Syafii Anwar 1995: 120). Transformasi di bidang pendidikan
berpengaruh luas terhadap bertambahnya kelas menengah terdidik yang siap
memasuki berbagai jenis lapangan pekerjaan. ”Dengan masing-masing profesi
mereka, kelas menengah terdidik ini kemudian menjadi kelompok penting di
birokrasi pemerintah dan juga di banyak sektor swasta yang ada” (Nakamura
1993: 12 – 13). Dalam konteks ini, banyak pengamat seperti Hefner (1993,
1997a), Kuntowijoyo (1993), Arief Budiman (1994), Ramage (1995) dan yang
lainnya, berkesimpulan bahwa kelas sosial ekonomi baru telah muncul secara
fenomenal di Indonesia sebagai sebuah kelas menengah. Dalam kelas
menengah ini terdapat sejumlah kaum akademisi, kaum cendikiawan,
reformis, intelektual, para pengusaha muda, pengacara, tokoh-tokoh politik,
aktifis kebudayaan, kaum teknokrat, aktifis LSM, para juru dakwah, publik
figur, para presenter, para pengamat ekonomi dan sejenisnya (Robison 1993:
60).1
1
Beberapa studi telah dilakukan dalam mengungkap fenomena kelas menengah di Indonesia.
Yang paling awal adalah Majalah PRISMA terbitan LP3ES, edisi Februari 1984. Majalah ini
mengangkat tema kelas menengah dengan topik Kelas Menengah Baru: Menggapai Harta dan
Kuasa. Farchan Bulkin, Loekman Sutrisno, J.S.C Mackie, John S. Nimpono Soetjipto
Wirosardjono dan Hadimulyo mengulas fenomena kelas menengah sebagai produk
pembangunan ekonomi Orde Baru dalam majalah itu. Kemudian harian Kompas membuat
liputan tentang gaya hidup kelas menengah tahun 1986. Memasuki tahun 1990an muncul
beberapa buku dan tulisan yang mengulas fenomena kelas menengah Indonesia. Misalnya,
buku yang disunting Richard Tanter and Kenneth Young (eds). The Politics of Middle Class
1
Yang menarik, di Indonesia, kemunculan kelas ini diikuti pula oleh
meningkatnya semangat kembali pada kehidupan agama. Vatikiotis
memberikan kesaksian atas fenomena ini: “Di Indonesia, kebangkitan kembali
kepada semangat keagamaan tahun 1980an dan 1990an adalah fenomena khas
kelas menengah di wilayah-wilayah perkotaan – segmen masyarakat yang
paling banyak tersentuh oleh pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.
Fenomena ini berpengaruh luas pada meningkatnya ketaatan beragama pada
orang-orang Islam yang sedang menikmati kemakmuran sebagai kelas
menengah” (1996: 152 – 53).
Mengapa kemakmuran ekonomi, status sosial dan posisi kelas
mendorong mereka pada intensitas keagamaan? Mengapa perubahan sosial
yang cepat yang mengakibatkan sekularisasi kebudayaan justru mendorong
sikap kembali kepada ketaatan agama (religious devotion)? “Ketika masyarakat
digempur oleh perubahan sosial yang cepat,” kata Naisbitt (1990: 250),
“kebutuhan terhadap hal-hal yang spiritual mengalami intensifikasi.” Tesis
Naisbitt diperkuat oleh Vatikiotis (1996: 153). Ia berargumen bahwa telah
terjadi gejala dislokasi sosial yang luas yang menghinggapi masyarakat yang
sedang berubah cepat. Banyak orang kemudian kembali pada agamanya untuk
memperteguh diri sebagai reaksi atas hancurnya tatanan nilai-nilai moral sosial
tradisional yang terjadi di sekitar mereka.
Ketika mereka kembali pada intensitas keagamaan, menggapai
spiritualitas, lalu bagaimana mereka “membentuk diri” menjadi sebuah kelas?
Sebuah kelas sebagai sebuah identitas kolektif dibentuk oleh banyak kodekode sosial tergantung dari bentuk kesetiaan, komitmen, atribut (ascription)
dan afiliasi yang menentukannya: bahasa, agama, ideologi (Rao 1999: 56).
Selain itu, juga pakaian, mode (fashion), selera (taste) dan lain-lain. Kode-kode
ini mengikat “anggota-anggota” dan memunculkan simbol-simbol kelompok
menjadi sebuah identitas kolektif. Identitas kolektif dibentuk oleh beberapa
kode kelas. Dalam konteks inilah, di Indonesia sejak tahun 1980an, saluran
ekspresi yang luas sebagai kode-kode yang saling menunjang dan melengkapi
telah membentuk kelas sosial baru yaitu kesadaran sebagai ‘kelas menengah
Muslim.’ Kode itu melebihi sekedar kode politik dan ekonomi yaitu kode
kultural.
Indonesia, Melbourne: Monash Papers on Southeast Asia, 1990; Howard. W. Dick, "Futher
Reflections on the Middle Class," dalam Richard Tanter and Kenneth Young (eds).1990; Happy
Bone Zulkarnain, Faisal Siagian dan Laode Ida (eds.), Kelas Menengah Digugat, Jakarta:
Penerbit Fikahati Aneska, 1993; Majalah Forum mengangkat headline tentang kelas menengah
tahun 1996. Tulisan-tulisan ini membahas sekitar eksistensi, gaya hidup, peranan, pengaruh
dan posisi kelas menengah di Indonesia. Nico Daryanto menulis Kelas Menengah dan Budaya
Politik Sipil di Indonesia (makalah untuk Seminar Proses Demokratisasi di Indonesia
diselenggarakan oleh Yayasan Paramadina 5 Agustus 1989), dan seterusnya.
2
‘Habitus’ dan Kehadiran Kelas Menengah Muslim
Kelas sosial ekonomi baru sebagai kelas menengah ini tak pelak lagi
secara luas adalah umat Islam yang berdomisili di wilayah-wilayah perkotaan.2
Kelas menengah Muslim mulai terbentuk dengan unsur-unsurnya seperti
kaum profesional, modernis, aktifis kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan,
dan tidak tertarik lagi kepada orientasi politik lama (Islam politik yang
berorientasi ideologi dan negara Islam). Kelas menengah Muslim muncul
didorong oleh proses urbanisasi yang terjadi sejak tahun 1960an. Proses
industrialisasi dan pembangunan yang sentralistik telah mendorong timbulnya
proses urbanisasi kaum santri dari desa-desa ke wilayah-wilayah perkotaan. Di
tengah-tengah kultur kehidupan metropolis, mereka dihadapkan pada situasi
tarik menarik antara tuntutan menjadi modern di satu sisi tetapi dengan resiko
terjangkit alienasi dan dislokasi, dan bagaimana mempertahankan akar-akar
kultur santri dengan resiko “kehilangan” modernitas. Hal ini menjadi dilema,
kaum santri urban merasa sakit untuk sepenuhnya modern, tetapi juga sakit
untuk sepenuhnya meninggalkan tradisionalitas mereka. Menurut Huntington,
dalam situasi seperti inilah, “Islamist symbols, commitment, and beliefs meet
these psychological needs.” (1996: 116).
Bagaimana membuktikan kehadiran kelas menengah Muslim di
Indonesia? Bagaimana melihat bahwa kelas ini telah benar-benar hadir di
tengah-tengah kita? Tulisan ini menggunakan perspektif Bourdieuan tentang
‘habitus’ dan ‘cultural capital’ dalam melihat proses-proses sosial kultutal
pembentukan kelas menengah Muslim.
“Habitus is a kind of expression of the (unconscious) investment those
in social space have in the power stakes. Habitus is a kind of grammar
of actions which serves to differentiate one class (e.g. dominant) from
another (e.g., dominated) in the social field."
(Habitus adalah sebuah ekspresi --dalam bentuk investasi sikap yang
tidak disadari-- di sebuah ruang publik dalam konteks kekuasaan.
2
Bagaimana pembangunan ekonomi memiliki dampak sosiologisnya terhadap masyarakat
Islam? Dalam sektor ekonomi, program pembangunan Orde Baru mengalami kesuksesan
dengan rata-rata pertumbuhan GDP (General Domestic Product) lebih dari 7,5 persen
pertahun. Hal ini telah menaikkan inkam perkapita masyarakat dari dibawah US $420 menjadi
US $4500. Revolusi pendidikan kemudian terjadi disebabkan kenaikan demi kenaikan
anggaran pendidikan oleh pemerintan walaupun masih sangat terbilang kecil terutama bila
dibandingkan dengan negara-negara maju. Di sisi lain, proses modernisasi dan industrialisasi
telah mendorong terjadinya urbanisasi yang kemudian juga menjadi penyebab munculnya
kesejahteraan jenis baru yaitu dari sektor industri. Orang-orang kaya baru di perkotaan
bermunculan disebabkan oleh proses pembangunan industri. Kemunculan orang-orang kaya
baru inilah yang kemudian disebut sebagai kelahiran kelas menengah Indonesia (Indonesian
middle class), sebuah kelas sosial ekonomi baru yang mulai menikmati kemakmuran.
3
Habitus adalah sebuah pedoman aksi yang dilakukan untuk
membedakan sebuah kelas (kelas dominan) dari yang kelas yang lain
(yang didominasi) dalam kehidupan sosial). (Lechte, 1994 : 47)
Habitus adalah pembiasaan sikap yang dilakukan berulang-ulang atau
membuat tindakan sosial menjadi biasa (natural) sehingga muncul kebiasaan
yang terlembagakan oleh anggota masyarakat dan akhirnya membentuk
sebuah identitas dan kelas sosial baru. Pembiasaan berulang-ulang ini
dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Sesuai perjalanan waktu, pembiasaan
ini, atau naturalisasi tindakan ini, akhirnya membentuk sebuah kultur baru -dalam hal ini kultur kelas menengah— dalam waktu yang panjang karena
individu atau aktor yang melakukan pembiasaan itu, menurut Bourdieu (1977:
79), “do not know what they are doing that what they do has more meaning
than they know” (tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, apa yang
mereka lakukan itu bermakna jauh dari yang mereka sadari).
Presentasi Kultural Kelas Menengah Muslim
Berbeda dengan kajian-kajian umum tentang kelas menengah yang
selama ini diidentifikasi sebagai sebuah fenomena ekonomi,3 makalah ini akan
melihat kelas dari sisi yang belum pernah dilakukan yaitu sebagai presentasi
kultural. Kemakmuran ekonomi tentu adalah basis dari proses kehadiran
mereka, tetapi kehadiran kelas ini tidak selalu harus ditatap secara ekonomi.
Penghampiran budaya menjadi menarik karena merupakan sesuatu yang baru
atau belum pernah dilakukan.
Dari kerangka Bourdieu-an ini, akan dilihat lima fenomena yang terjadi
di kalangan umat Islam Indonesia terutama tahun 1980an dan 1990an yang
berfungsi sebagai presentasi kultural kelas menengah Muslim. Kelima
fenomena tersebut adalah: (1) Gelombang pemakaian kerudung sebagai sebuah
peneguhan identitas kelas, (2) kemunculan lagu-lagu kasidah modern Bimbo
yang khas berseleras kelas menengah, (3) pendirian Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia (ICMI), (4) penerbitan media Islam dan (5) pengajian elit
di tempat-tempat prestisius dan hotel-hotel berbintang. Kelima fenomena itu
akan dilihat tidak hanya sekadar bukti telah meningkatnya ekspresi keagamaan
atau gejala kebangkitan kegairahan Islam tahun 1980an dan 1990an, tetapi
lebih dari itu, dilihat sebagai apa yang disebut Bourdieu sebagai “reproduksi
kultural” (cultural reproduction) yaitu investasi sosial yang secara generatif
(terus-menerus)s dilakukan dan secara perlahan kemudian meneguhkan
terbentuknya sebuah identitas kelas baru bernama kelas menengah Muslim.
Busana Muslimah: Afirmasi Identitas
3
Lihat catatan kaki no. 1.
4
Ciri pertama yang menonjol, kehadiran kelas menengah Muslim di
Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena busana muslimah
(kerudung/jilbab) di kalangan wanita Muslim yang muncul sejak awal tahun
1980an. Revolusi Islam Iran yang meletus tahun 1979, secara psikologis telah
menaikkan harga diri umat Islam di mata dunia, terutama dihadapan Barat.
Setelah sekian lama umat Islam berada dalam posisi marjinal dan merasa
tereliminasi secara politik dan kultural di berbagai negara dan bangsa Muslim,
revolusi Islam kemudian memberikan harga diri baru (self-esteem), identitas
baru dan kebanggaan. Awal 1980an, di Bandung, para mahasiswa Muslim
mulai muncul dengan busana tertutup mereka dengan mententeng Al-Qur’an
di tangan dan mereka terlihat di bis-bis kota, di jalan raya, di kampus, di mallmall, tempat-tempat umum bahkan di pusat-pusat hiburan. Dengan bangga
mereka mengikuti gaya wanita-wanita Iran yang memakai busana Muslimah
kemana-mana (saat itu di Indonesia belum terbiasa).
Terilhami oleh wanita-wanita Iran, busana muslimah di Indonesia
kemudian menjadi populer di kalangan pelajar perkotaan. Bermula dari Masjid
Salman di Bandung, busana muslimah merebak masuk ke kalangan mahasiswa,
pelaku bisnis, artis dan pegawai negeri/birokrat pemerintahan. Sejak awal
tahun 1980an, perempuan Muslim Indonesia mulai bangga memakainya
sebagaimana perempuan-perempuan Iran mengenakannya. Mengikuti
kemenangan revolusi Islam Iran, fenomena jilbab di Indonesia telah menjadi
simbol perlawanan Islam terhadap hegemoni budaya Barat. Sejak 1980an,
pengaruh revolusi ini terasa kuat di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Identitas Islam berupa busana Muslimah telah menjadi kebanggaan di kotakota besar, tersosialisasi secara luas diantara kalangan wanita Muslim dan
mahasiswa yang akhirnya kemudian menyentuh kalangan kelas menengah.
Ketika masuk pada kalangan menengah, busana muslimah telah bermakna lain,
bukan hanya ekspresi kesadaran beragama semata tetapi secara sosial berfungsi
sebagai peneguhan identitas (affirmative identity) dan simbol kebangkitan
kelompok.
Busana muslimah berperan efektif dalam proses kesadaran
pembentukan kelas karena ia berfungsi sebagai apa yang disebut Bourdieu
dengan ‘habitus.’ Habitus adalah “sistem pengulangan ekspresi penampilan
(disposisi) yang kemudian berkembang menjadi struktur sosial yang berfungsi
menstrukturkan struktur baru. Sistem pengulangan itu kemudian
menggenerasi menstruksturkan praktek-praktek representasi yang secara
obyektif terus berlangsung” (Bourdieu 1977: 73). Habitus Busana muslimah
dikenakan terus-terusan, dimana-mana (masjid, sekolah, kampus, ruang kelas,
tempat-tempat hiburan, mal-mal, lapangan olah raga dan seterusnya) sehingga
setelah berproses dalam jangka waktu yang cukup lama, ia membentuk sebuah
kesadaran kelompok.
Disposisi (bahasa penampilan) ditunjukkan melalui proses yang
5
perlahan, bertahap dan terus-menerus. “Tubuh” kata Bourdieu, “secara literal
kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk tertentu, menjadi simbol, dimana
habitus perlahan-lahan terefleksikan dari cara orang berjalan, berpakaian,
berbicara, bergerak dan makan” (Thompson, 1995: 102). Sebagai prinsipprinsip generatif yang berulang terus-menerus, habitus kemudian
memproduksi dan mereproduksi “the ‘practices’ of a class.” Ketika kelompok
yang tersadarkan itu adalah kelompok Muslim yang sedang mengalami
kemakmuran ekonomi sebagai hasil dari modernisasi pembangunan Orde Baru,
busana muslimah kemudian menjadi identitas sebuah kelas baru yaitu kelas
menengah Muslim. Individu-individu yang mengenakan busana Muslimah,
“do not know what they are doing that what they do has more meaning than
they know” (Bourdieu, 1977: 79). Dengan membiasakan memakai busana yang
khas di kalangan mahasiswa dan kelas menengah, para wanita Muslim, “terusmenerus mengkonstruk dunia sosial mereka melalui praktek kehidupan seharihari dan kemudian mengisinya dengan makna baru” (Keaton 1999: 49).
Berbusana Muslimah, secara sosial, lebih dari sekadar menjalankan ajaran
agama dan peneguhan identitas, tapi pembentukan sebuah kelas.
Kasidah Modern Bimbo
Pada saat pemakaian kerudung/jilbab mulai populer, di sisi lain pada
tahun 1980an, hadir juga sebuah ekspresi musik yang melantunkan kasidah
modern yang menjadi simbol keberagamaan dan kehausan spiritual masyarakat
terdidik perkotaan. Jiwa yang gersang masyarakat Muslim perkotaan ini, sejak
tahun 1980an disiram oleh teduh dan sejuknya musik kasidah modern dalam
bentuk musik pop yang ditampilkan oleh Bimbo. Melalui kasidah modern yang
khas kelas menengah ini, grup Bimbo mengenalkan sebuah simbol Islam lain
yang memperkuat identitas keagamaan kelas menengah Muslim yang,
sebelumnya ditampilkan oleh semaraknya berjilbab. Acil Bimbo mengatakan
bahwa-bahwa lagu-lagu kasidah modern tersebut dimaksudkan untuk
menyuguhkan selera musik relijius masyarakat Islam urban yang tinggal di
wilayah-wilayah perkotaan (Tatang Sumarsono 1998: 179). Diterimanya musik
kasidah modern Bimbo di kalangan masyarakat kelas menengah kota tahun
1980an ini nampaknya karena mereka mencari “ekspresi estetis relijius yang
damai, tenang dan menyejukkan” (Majalah Ummat, 19 Februari 1996). Sebagai
alternatif dari kasidah tradisional yang didominasi instrumen-instrumen
musik, nada dan syair Arab atau kearab-araban, Bimbo menghadirkan sebuah
warna musik kasidah baru yang didominasi oleh alat musik modern yaitu gitar,
organ, drum dan lain-lain. Alunan kasidah modern Bimbo ini dirasakan oleh
kelas menengah Muslim dengan indah mentransformasikan nilai-nilai agama
melalui musik pop. Sebagai grup musik yang telah sukses memuaskan
kebutuhan ekspresi relijius masyarakat urban, Bimbo mendominasi hampir
semua penampilan musik relijius yang ditampilkan dalam televisi setiap bulan
6
Ramadhan dan perayaan Idul Fitri pada tahun 1980an dan 1990an. Bimbo
telah memberikan kontribusi besar dalam lanskap seni musik relijius di
kalangan kelas menengah di Indonesia.
Melalui media musik pop, dimana kata-kata lebih dominan daripada
suara musik, kasidah baru ini lebih mampu masuk ke dalam penghayatan rasa
pendengar secara mendalam. Di tengah hingar-bingarnya kehidupan modern,
degradasi moral, krisis keteladanan, ketidakpastian sosial dan tingginya angka
kriminal, masyarakat urban mendambakan figur moral yang dapat meredakan
problem-problem sosial yang dihadapi. Dalam kondisi kebangkrutan moral
pemimpin dan krisis keteladanan yang akut, kaum Muslim kota mengingatmengingat lagi “collective memory” mereka ketika masa kecil di pedesaan (di
surau-surau dan masjid) yang mengagungkan sosok Nabi Muhammad SAW.
Bimbo merefleksikan fenomena gejolak psikologis ini melalui salah satu
lagunya yang menyejukkan yang berjudul “Rindu Rasul.” Iin Parlina, vocalis
Bimbo, mengakui ketika melantunkan lagu ini sering meneteskan air matanya
dan juga air mata pendengarnya:
Rindu kamu padamu ya Rasul
rindu tiada terkira
berabad jarak darimu ya Rasul
terasa dikau disini
Cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja . . .
Bimbo mungkin satu-satunya grup musik yang sering tak sanggup
meneruskan penampilannya di panggung ketika melantunkan lagu-lagu
kasidahnya kemudian berhenti bernyanyi karena berurai air mata menyentuh
perasaannya dan audiennya (Kompas, 14 Desember 1997). Kompas menulis
penampilan Bimbo di Kemayoran Jakarta tahun 1993. Saat itu Bimbo sedang
tampil menyanyikan lagu Rasul Menyuruh Kita Mencintai Anak Yatim
dengan begitu khidmat di hadapan 5.000 anak yatim dan orang tua jompo.
Rasul menyuruh kita mencintai anak yatim
Rasul menyuruh kita mengasihi orang miskin
Dunia penuh dengan orang yang malang
Mari dengan rata kita bagi cahaya matahari
Mari dengan rata kita bagi cahaya bulan
Bagaimana kasidah Bimbo bisa menyentuh selera musik kelas
7
menengah Muslim? Ketika kaum santri mengalami transformasi kelas sosial
ekonomi menjadi kelas menengah, selera musik, bahasa, pakaian dan gaya
hidup juga otomatis berubah. Perbedaan kelas sosial cenderung memiliki selera
musik yang berbeda pula. Sebagaimana digambarkan Simon Frith, konsep
Pierre Bourdieu tentang “selera” (taste) secara jelas menggambarkan hubungan
antara status sosial dan seleras musik ini:
People produce and consume the music they are capable of producing
and consuming; different social groups possess different sorts of
knowledge and skill, share different cultural histories, and so make
music differently. Musical tastes do correlate with class cultures and
subcultures; musical styles are linked to specific age groups; we can take
for granted the connections of ethnicity and sound (Frith 1996: 120).
Dengan demikian, lagu-lagu kasidah tradisional yang umumnya didominasi
oleh orkes gambus dan rebana yang liriknya berbahasa Arab sudah tidak lagi
match dengan selera musik kelas menengah yang sedang mengalami
transformasi sosial, intelektual dan ekonomi ini. Musik gambus dan rebana,
selama beberapa dekade termarjinalisasikan dan dianggap sebagai musik Islam
tradisional di pesantren-pesantren dan madrasah. Dalam ketidakhadiran
ekspresi estetis kelas menengah inilah, popularitas kasidah Bimbo tahun
1980an dan 90an bisa difahami.
Jika masjid-masjid hanya menyediakan “tempat penampungan” bagi
kelompok kelas menengah yang terdislokasi, musik kasidah Bimbo
memberikan sesuatu yang lain: “sejenis musik relijius yang tenang dan sunyi,
sebuah kemurnian jiwa yang membawa pendengarnya pada sebuah kesadaran
yang damai.” (Ummat, 19 Februari 1996). “Kelas menengah,” menurut Afrizal
Malna, seorang sastrawan, “adalah sebuah kelas dengan orang-orang yang
memiliki basis sosial yang pecah. Karenanya, mereka membutuhkan sebuah
ruang individu untuk menemukan kedirian mereka sendiri dan itulah yang
diberikan oleh lagu-lagu kasidah Bimbo.” (idem) Kasidah modern Bimbo,
dengan kata lain, memberikan dua hal: kebutuhan psikologis kelompok santri
yang memiliki simbol-simbol identitas urban dan kelas menengah urban
dengan simbol-simbol identitas keagamaan.
Proses urbanisasi kaum santri tahun 1960an – 1970an ke kota-kota,
menyebabkan mereka terpisah dengan akar-akar tradisional mereka. Di
wilayah urban yang baru, mereka jauh dari sumber-sumber simbol relijius
yang dulu bersatu dengan jiwa mereka di pedesaan. Sebagai sebuah kelas
menengah baru, mereka membutuhkan simbol-simbol relijius baru yang bisa
mengikat dan mempertahakankan identitas mereka. Ketika Bimbo
menyanyikan lirik-lirik lagu relijius yang sejuk dan damai melalui musik pop,
tanpa nada marah dan bergejolak, kaum santri kota ini menemukan apa yang
8
mereka cari disitu. Bimbo membangun sebuah genre musik modern dengan
basis dan identitas basis relijius kultural. Genre musik kasidah modern ini
memperkuat simbol-simbol pembentukan kelas yang sebelumnya disimbolkan
oleh busana Muslimah. Jika busana Muslimah berfungsi sebagai simbol
kembalinya kelas menengah pada agama, musik kasidah modern Bimbo
memberikan rasa estetis dalam selera musik dari kelas ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, prakarsa Bimbo ini kemudian diikuti
oleh performan musik relijius artistik yang lain yaitu kelompok Kiayi Kangjeng
pimpinan budayawan Emha Ainun Nadjib. Emha bersama kelompoknya
seniman Yogyakarta, menghidangkan musik relijius kreatif dengan menyulap
dan mentransformasikan gamelan Jawa menjadi dentingan-dentingan musik
bernuansa relijius Islami. Kreasi ini ia persembahkan dalam album Kado
Muhammad yang di-release tahun 1988. Album ini berisi puisi, musik dan
shalawatan, diiringi komposisi musik model baru yang merupakan gabungan
antara gamelan Jawa seperti demung, saron, gambang, siter, bonang, gender,
gong dan lain-lain, dengan unsur-unsur instrumen musik Barat seperti
sintesiser, gitar, flute, violin, drum, dan organ. Album Kado Muhammad
menuai sukses besar karena dianggap bisa memenuhi selera kreatif masyarakat
Muslim kelas menengah dalam bidang musik dan seni relijius. Emha bersama
krunya kemudian diundang tampil di berbagai kota-kota besar di Indonesia
dan beberapa perguruan tinggi ternama untuk menampilkan simfoni
kreatifnya. Kemudian, terinspirasi oleh observasinya bahwa masyarakat
Muslim di wilayah-wilayah perkotaan sedang diterjang oleh kehausan musik
bernuansa relijius, dia kemudian menghadirkan album selanjutnya yaitu
“Menyorong Rembulan” tahun 1998 juga berisi lantunan shalawatan.
Observasi Emha tentang hausnya masyarakat kota akan musik relijius tidak
meleset. Tidak hanya album keduanya mengalami best seller, Emha juga
menerima 500 undangan pertahun untuk menampilkan shalawatan Kiayi
Kangjeng. Setiap penampilannya dihadiri oleh ribuan orang. (Republika 4
Nopember 1998; 21 Februari 1999). Semaraknya shalawatan Kiayi Kangjeng
adalah fenomena khas kelas menengah Muslim dimana masyarakat Muslim
yang sudah mengalami transformasi ekonomi dan pendidikan di kota-kota
menemukan ekspresi musik kasidahnya dalam bentuknya yang modern dan
menyejukkan rasa.
Pendirian ICMI
Walaupun masih dalam level simbol, kelas menengah Muslim, sejak
tahun 1980an, telah menjadi kekuatan penggerak bagi proses Islamisasi yang
terjadi hampir di semua level sosial dan politik di Indonesia. Saat islamisasi
sedang berlangsung, kelas menengah tengah tumbuh menjadi kekuatan
penting. Ketika kalangan menengah Islam ini sedang mengalami mobilisasi
vertikal, pemerintah membuka dirinya untuk mengakomodasi kekuatan yang
9
sedang tumbuh ini. Kelas menengah Muslim pada periode ini mulai memiliki
kekuatan memasuki pusat kekuasaan. Pejabat pemerintah dan birokrat
kemudian mengalami apa yang disebut dengan “santrinisasi” atau “ijo royoroyo,” sebuah istilah yang pernah populer sebagai proses “penghijauan” di
lembaga DPR/MPR. Terbawa arus kuat kelompok santri yang semakin terbuka
dan bertambah luas secara kuantitas, kelompok abangan pun semakin lama
semakin terpengaruh mengalami proses santrinisasi. Sejalan dengan proses
islamisasi yang terus menguat, “jumlah” mereka kemudian semakin berkurang.
Sejak pertengahan tahun 1980an, dominasi kelompok abangan mulai menurun
dan hegemoni kaum santri mulai menguat. Lonceng kematian dominasi kaum
abangan Jawa dalam birokrasi Orde Baru kemudian “dibunyikan” oleh
Presiden Soeharto sendiri --yang sebelumnya dikenal sebagai abangan dan jauh
dari tradisi Islam-- pada tanggal 6 Desember 1990, ketika ia mendukung dan
meresmikan berdirinya organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia
sebuah
organisasi
modern
yang
paling
representatif
(ICMI),4
mempresentasikan telah hadirnya sebuah kelas sosial baru di tengah-tengah
umat Islam Indonesia yaitu kelas menengah Muslim. Perubahan sosial politik
penting sedang terjadi ketika itu. ICMI kemudian tumbuh menjadi kekuatan
kelas menengah yang signifkan. Menurut catatan Arief Budiman (1994: 232):
Banyak anggotanya menjadi anggota parlemen dan menjadi menteri.
Koran baru yaitu Republika didirikan dan sebuah bank Islam yaitu
Bank Muamalat juga berdiri. CIDES, lembaga kelompok akademisi dan
para pemikir muda juga dibentuk dan mulai bekerja. Dengan cepat,
kelas menengah Muslim ini telah berpengaruh besar dalam dinamika
Islam di Indonesia.
4
Pendirian ICMI ini cukup fenomenal. Berbagai respon dan komentar muncul di sekitar
pendiriannya. Bagi para sarjana seperti Robert Hefner, Nakamura, Douglas Ramage dan Arief
Budiman, kemudian juga para pendukung dan aktifis ICMI yaitu Kuntowijoyo, Nurcholish
Madjid, Dawam Rahardjo, Imaduddin Abdulrahim dan Amien Rais, ICMI adalah simbol
kebangkitan politik Islam dan jalan pintu masuk bagi kalangan Islam ketika itu untuk bisa
berperan di pusat kekuasaan setelah sekian lama terpinggirkan. Tetapi bagi yang lain, yang
dikenal sebagai analis sekuler, seperti Abdurrahman Wahid dan William Liddle, ICMI tidak
lain adalah bentuk kooptasi Soeharto atas kelompok Islam yang sedang naik untuk tujuan
politiknya yaitu pemilu 1992. Bagi Wahid dan Liddle, ketika Soeharto menjadi presiden lagi
untuk periode berikutnya, ICMI akan ditinggalkan begitu saja dan akan kehilangan
kekuasaannya (lihat Liddle 1996a; Schwarz 1994). Bagi kelompok ini, ICMI adalah kendaraan
untuk kepentingan politik kelompok Muslim “modernis radikal” (yaitu posisi di pemerintahan
atau mendirikan negara Islam). Kasus kejatuhan Soeharto kemudian menunjukkan bahwa
pandangan sekuler ini tidak terbukti. Setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998, ICMI masih
tetap berdiri bahkan pengaruhnya menguat di masa-masa awal reformasi dengan terpilihnya
Habibie sebagai presiden dan banyak anggotanya menjadi menteri.
10
ICMI saat itu tidak hanya sangat berpengaruh, sebagai organisasi kelas
menengah pun berkembang cepat dan meluas. Pada kongres keduanya saja di
Jakarta,
1.200 delegasi hadir, mewakili 42.000 anggotanya dari seluruh propinsi
di Indonesia. Dari komunitas-komunitas Islam luar negeri juga
berpartisipasi. Menteri Riset dan Tekonologi, B.J. Habibie, yang
dipandang sebagai menteri favoritnya Soeharto, terpilih menjadi
pemimpinnya yang kedua kali. 16 menteri, hampir setengahnya dari
anggota kabinet, duduk di jajaran ketua-ketua ICMI dan presiden
Soeharto sendiri berperan sebagai Pelindung. (Liddle 1996a: 613).
Bagi kelas menengah di wilayah-wilayah perkotaan, ICMI telah
menjadi simbol kebangkitan political capital kelompok Islam. Lebih dari itu,
ICMI juga telah menjadi simbol identitas Islam modern dimana umat Islam
tidak lagi merasa terbelakang dan marjinal. Dewi Fortuna Anwar merasakan
betul perubahan citra ini. “Dulu, Islam diasosiasikan dengan keterbelakangan
dan kemiskinan, dan kalangan Islam cenderung marasa rendah diri dengan
keislaman mereka… [tetapi sekarang] Islam tidak lagi dipandang sebagai
agamanya orang-orang yang kalah” (Vatikiotis 1996a: 153). Dengan kata lain,
melalui ICMI, Islam mempresentasikan dirinya dalam citra yang modern.
Salah satu dampaknya adalah tahun 1990an, modernitas ICMI telah
memberikan landasan bagi banyak kalangan Islam untuk mulai menunjukkan
identitas keislaman mereka yang sebelumnya kurang percaya diri. Fenomena
psikologis keagamaan telah muncul dimana para pejabat pemerintah dan para
birokrat “berlomba” menunjukkan identitas keislaman mereka. Pada saat
kelompok abangan menguasai birokrasi pemerintahan dan militer,
menunjukkan identitas keislaman secara terbuka adalah sesuatu yang “tidak
mungkin” karena keislaman identik dengan ancaman pada negara dan telah
menjadi stigma anti Pancasila. Istilah “satrinisasi birokrasi” atau “birokratisasi
santri” telah menjadi jargon yang populer untuk menggambarkan hubungan
yang membaik antara Islam dan negara. Begitu kuatnya perubahan simbolsimbol hegemoni budaya ketika itu, muncul tren sosial kultural di kalangan
elit Indonesia, kelas menengah Muslim di kota-kota besar dan kelompok
terpelajar yaitu munculnya perasaan out of date jika mereka tidak terlibat
dalam diskursus ICMI atau tidak menjadi anggota.
Liddle (1996: 613) memperlihatkan keheranannya dan cukup terkejut
melihat orang-orang yang tidak memiliki latar belakang keislaman atau
sebelumnya tidak simpati kepada perkembangan Islam seperti Wakil Presiden
Try Sutrisno (Panglima ABRI 1988 - 1993) mantan Wakil Presiden
Sudharmono, yang dalam masa perjuangan revolusi kemerdekaan tahun 1945 1949 diduga memiliki keterkaitan dengan gerakan sayap kiri (PKI), Ginanjar
11
Kartasasmita (mantan aktifis PNI) dan Jenderal Rudini (mantan Kasad dan
Menteri Dalam Negeri), semuanya berpartisipasi dalam pendirian ICMI.
Keheranan Liddle belum habis, “banyak aktifis dan intelektual Muslim diluar
lingkaran negara juga tercatat diantara 148 pengurus ICMI.” Mereka termasuk
KH.Ali Yafie, Sri Bintang Pamungkas, Imaduddin Abdulrahim, beberapa unsur
pimpinan NU (yang memiliki sekitar 30 juta pengikut) dan Amien Rais
(Pemimpin Muhammadiyah, organisasi pendidikan terbesar di Indonesia) yang
saat itu “memainkan peranan kunci dalam kongres dan terpilih sebagai Ketua
Dewan Pakar ICMI” (1996a: 614).
Terlepas dari terjadinya mobilisasi kaum santri, ada juga faktor
resiprokal (saling keterpengaruhan) antara pemerintah dan umat Islam.
Nurcholis Madjid (1993) mendeskripsikan saling keterpengaruhan ini sebagai
“titik temu kondisi-kondisi obyektif dan subyekif.” Kondisi obyektif adalah
diterimanya Islam oleh pemerintah dan kondisi subyektif adalah harapan
kalangan Islam untuk mendominasi pemerintahan. Dua kondisi ini, menurut
Cak Nur, terlihat dari proses penghijauan di DPR/MPR sebagai hasil dari
Islamisasi tahun 1990an.
Bagi Cak Nur, islamisasi yang ekstensif dan kemunculan kelas
menengah Muslim tahun 1990an adalah sebagai hasil dari proses panjang
hubungan Islam dan pemerintah. Tahun 1950an, dibuat kesepakatan antara
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan. Ketika itu disepakati bahwa sekolahsekolah agama akan mendapat pendidikan umum, dan sebaliknya, sekolahsekolah umum akan mendapatkan pendidikan agama. Akibatnya, banyak
orang tua santri ketika itu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum
karena mereka tidak memiliki beban psikologis lagi. Sebagai hasilnya, menurut
Cak Nur, di tahun 1960an, mereka yang bergelar BA banyak sekali. Di tahun
1970an, jumlah sarjana melimpah. Namun, saat itu mereka masih disibukkan
oleh urusan-urusan individunya. Sebagian mereka mencari lapangan kerja dan
yang lain menikah. Tahun 1980an, para sarjana Islam ini mulai bergerak keluar
komunitas dirinya sehingga ekspresi keislaman tampak di kantor-kantor, di
hotel-hotel, birokrasi dan sebagainya. Namun, ini pun baru sebagai fenomena
sosial. Baru di tahun 1990an lah, pengaruh dan nuansa politiknya mulai terasa.
Dan ini adalah sebuah perkembangan yang bisa dimengerti. Jika
perkembangan ini dibendung, kata Cak Nur, akan berbahaya karena akan
melawan arus. Soeharto yang sudah sangat faham akan proses pembangunan,
cukup bijaksana menangkap arus gelombang ini, makanya ia kemudian
mendukung pembentukan ICMI. Soeharto akan merasa aman bersama
komunitas Islam yang sedang menguat. Dari perspektif inilah, proses
12
penghijaun atau menguatnya Islam dalam pemerintahan adalah sebuah proses
alami dan akan terus terjadi sampai keseimbangan baru terjadi.5
Menguatkan kesimpulan ini, Aswab Mahasin (1984) mengatakan bahwa
kelas menengah Muslim adalah bukti dari dua fenomena: Pertama, apa yang
disebut Aswab sebagai “borjuisisasi anak-anak Muslim atau priyayisasi santri.”
Aswab tidak setuju dengan pendekatan “ekonomi bazar” Geertz6 dan
mengatakan bahwa pengiriman anak-anak kaum santri ke sekolah-sekolah
modern adalah basis dari munculnya generasi baru karena melalui rute
pendidikan modern inilah, anak-anak Muslim masuk dalam kelas sosial baru
yaitu kelas menengah. Melalui penjelasan ini, Aswab sesungguhnya
menegaskan ide Bourdieu –pemikir Posmodern asal Perancis-- tentang
“cultural capital.” Bourdieu mengamati bahwa untuk meraih dan
mempertahankan posisi kelas dalam masyarakat, masyarakat modern tidak lagi
mewariskan modal-modal material pada anak-anak mereka melainkan
membekalinya dengan ‘cultural capital’ (modal kultural) berupa lingkungan
belajar (keahlian komputer, kursus-kursus dll), nilai-nilai pendidikan atau
mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan posisi
sosial yang lebih baik di masyarakat. Melalui transfer modal kultural ini, anakanak modern akan memiliki sejumlah keistimewaan-keistimewaan sosial
sehingga dapat memasuki lingkaran-lingkaran elit masyarakat walaupun
dengan absennya kekayaan individu (Bourdieu and Passeron, 1977). Kedua,
pencarian ekspresi relijius kelas menengah Muslim. Disebabkan proses
sekularisasi yang kuat, mereka tidak menemukan kehidupan yang damai dan
menentramkan dalam peradaban modern yang akhirnya mendorong mereka
kembali pada nilai-nilai agama.
Kepasrahan pada nilai-nilai agama dalam masyarakat Islam dapat
menyembuhkan mereka dari gejala-gejala krisis sosial dan malaise
5
Lihat “Rindu Kehidupan Zaman Masyumi,” wawancara Majalah Amanah dengan Nurcholish
Madjid 11- 12 Januari 1993. Senada dengan Cak Nur, Dawam Rahardjo (1993: 329) juga
menyaksikan “panen raya” kelas menengah santri terdidik terjadi di tahun 1970an: “Meraka
pada mulanya memasuki pemerintahan (sebagai pegawai negeri) dan menjadi dosen di
perguruan-perguruan tinggi melalui hubungan patronase dengan senior-senior mereka.
Sebagian mereka juga memasuki dunia bisnis dan profesional. Dalam proses itu, dikotomi
santri-abangan mulai luntur, dalam persepsi maupun dalam realitas sosial. Tahun 1980an,
mereka kemudian menduduki posisi-posisi lebih tinggi dalam karir mereka di birokrasi dan
menjadi manajer di perusahaan-perusahaan.”
6
Dalam teori ekonomi bazar-nya, Geertz melihat perkembangan entreuprenership
(kewirausahaan) dalam ekonomi modern bermula dari petty trading (pedagang-pedagang
kecil). Bagi Mahasin, ekonomi bazar “tampaknya hanya memberikan harapan-harapan palsu.
Sektor negara tetap dominan dalam ekonomi dan sektor-sektor swasta sebagian besarnya
berada dalam monopoli kelompok Cina dan klien pengusaha yang memberi bantuan. Tidak ada
jalan bagi ekonomi bazar untuk merubah dirinya menjadi tipe ekonomi perusahaan (1990:
140).
13
ekonomi […] karena agama dapat memberikan realisme moral yang
terumuskan dengan baik dan dapat membendung konsern-konsern
duniawi. Kebutuhan akan peneguhan moral ini membantu menjelaskan
mengapa, walaupun ada asumsi bahwa agama telah mengalami erosi
oleh proses politik pada era pasca kemerdekaan, peranan agama sebagai
sebuah kekuatan sosial semakin tumbuh berkembang (Vatikiotis 1996:
154).
Dengan kemunculan kelas ini, posisi politis kalangan Islam pada tahun
1990an telah berubah secara drastis. Mereka memiliki bargaining position dan
diperhitungkan. Kaum Muslimin, kata Arief Budiman, bergerak “dari gerakan
berbasis kelas bawah, sekarang telah mengalami transformasi kepada kelas
menengah. Dari gerakan diluar lingkaran kekuasaan, sekarang sedang bergerak
dalam struktur negara” (1994: 233). Dengan kata lain, kelompok Islam yang
sebelumnya berada dalam posisi marjinal sekarang telah menjadi gerakan
berpengaruh dalam pusat kekuasaan dan sedang menciptakan keseimbangan
baru dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik. “Setelah hampir tiga dekade
Orde Baru berkuasa,” ujar Syafii Maarif (1994), “baru dalam kabinet
Pembangunan VI tahun 1993 inilah, jumlah menteri secara seimbang
merefleksikan komposisi penduduk Indonesia dimana umat Islam adalah
mayoritas. Sekitar 90% dari jumlah menteri adalah dari kelompok santri, baik
secara kuantitas dan maupun kualitas. Begitu besarnya pengaruh politik Islam
saat itu dan begitu banyaknya kaum santri duduk di pemerintahan, William
Liddle (1996a: 913) menyebut periode tahun 1990an sebagai “Islamic Turn in
Indonesia” (Giliran Islam di Indonesia).7 Tumbuhnya pengaruh politik yang
kuat kelompok Islam terpelajar ini, diakui oleh beberapa ahli, sebagai bukti
kuat telah hadirnya sebuah menengah Muslim di Indonesia (Kuntowojoyo
1991; Hefner 1993; Nakamura 1993; Arief Budiman 1994; Douglas Ramage
1995; Syafii Anwar 1995).8
7
Walaupun demikian, banyak sarjana Muslim berpendapat bahwa pengaruh politik Islam yang
semarak dan luas tersebut belum betul-betul dapat dikatakan sebagai kebangkitan Islam yang
sesungguhnya. Yang sedang terjadi saat itu hanyalah simbolisasi Islam untuk tujuan-tujuan
politik. ICMI adalah simbol dari bangkitnya kepentingan politik Islam. Kenyataannya, simbol
ini telah memainkan peranan penting dalam bagaimana kelompok Islam, yang dulu dianggap
outsiders, sejak itu mengidentifikasi mereka sebagai kelompok yang sudah berperan dalam
negara.
8
Perlu ditambahkan bahwa ini tidak berarti kelas menengah Muslim hanyalah fenomena yang
terjadi pada masa Orde Baru. Kemunculan Syarikat Islam (SI) dengan ratusan ribu anggota dan
pengikutnya pada tahun 1910an dengan ciri ekonomi kerakyatannya yang menonjol dan Jong
Islamiten Bond (JIB), organisasi pemuda Islam tahun 1920an dengan tokohnya KH. Agus
Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, Syamsurridjal dan yang lainnya, bisa juga dianggap sebagai
fenomena kemunculan kelas menengah Muslim. Namun, kelas menengah yang didiskusikan
dalam studi ini adalah kelas yang telah mendorong gelombang islamisasi yang tanpa preseden
14
Penerbitan Islam: Wacana Liberal Kelas Menengah Muslim
Perkembangan Islam tahun 1980an dan 1990an juga diwarnai oleh
munculnya beberapa penerbitan atau media cetak Islam yang khas bernuasna
kelas menengah baik dari kualitas penampilan maupun bahasa dan wacana
yang diusungnya. Diantara yang paling populer adalah Jurnal Ulumul Qur’an
(UQ), Harian Republika, dan majalah mingguan Ummat. Jurnal UQ pertama
diluncurkan tahun 1989. Editornya adalah Muslim Dawam Rahardjo, seorang
cendikiawan, aktifis LSM dan pendiri ICMI. Duduk sebagai Dewan Redaksi
adalah para Muslim modernis seperti Adi Sasono, Quraish Shihab, Sutjipto
Wirosardjono, Marwah Daud Ibrahim, Haidar Bagir, Azyumardi Azra,
Kuntowijoyo dan Imaduddin Abdulrahim. Orang-orang ini adalah para aktifis
ICMI. Republika dan Ummat juga melibatkan orang-orang seperti Nurcholish
Madjid, Quraish Syihab, Amien Rais, Adi Sasono, Din Syamsuddin, Haidar
Bagir dan Dawam Rahardjo. Pemimin Redaksi Republika mengatakan, jajaran
cendikiawan itu dimaksudkan untuk mengangkat tulisan-tulisan yang bermutu
dangan nafas Islam, pengelolaan yang profesional, dan menempatkan Islam
dalam konteksnya yang luas (Tempo, 8 January 1993).
Menarik dicatat adalah, selain muncul saat kebangkitan Islam semarak
di akhir pemerintahan Orde Baru, penerbitan ini berorientasi Islam,
pengelolaan yang modern dan profesional dan mengusung tema-tema Islam
liberal, inklusif dan pluralis. Gaya jurnalistiknya adalah bukti jelas dari telah
munculnya sebuah lapisan masyarakat terdidik baru yaitu kelas menengah
Muslim yang di Indonesia. Ini bisa diidentifikasi selain dari jajaran
pengelolanya juga dari ‘language of discourse’ yang mengisi tema-tema
penerbitan ini. Sebagaimana kemunculan gejala busana Muslimah, kasidah
modern Bimbo, berdirinya ICMI, kehadiran media Islam modern ini tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan Islam dua dekade terkahir sebelum pergantian
milenium kedua, terutama apa yang disebut Hefner sebagai ‘expansion of mass
education.’ Robert W. Hefner (1997b: 80) menyatakan,
In Indonesia and other majority-Muslim societies, the expansion of
mass education in the aftermath of the Second World War played an
important role in facilitating the establishment of new Muslim print
media. Mass education created a public eager to consume Islamic works
and open to new perspectives on politics and society. These
developments also created conditions for the ascent of a new category
dengan hasilnya yaitu intensifikasi keislaman dalam skala yang luas. Jika awal abad 20 kelas
menengah Muslim terbentuk dari organisasi-organisasi komunal, maka kelas menengah tahun
1980-1990an adalah fenomena nasional yang difasilitasi oleh proses pembangunan ekonomi
yang cepat dan transformasi pendidikan di kalangan umat yang pada gilirannya mendorong
lahirnya dominasi Islam dalam politik Indonesia.
15
of religious leader, different in worldview and political commitment
from the carefully trained scholars (ulama) of traditional Islam.
Ulumul Qur’an (UQ) adalah jurnal ilmu dan kebudayaan yang diterbitkan oleh
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) binaan Dawam Rahardjo. Jurnal
sekualitas UQ adalah jenis media yang lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat
Muslim Indonesia. Dawam Rahardjo melaporkan bahwa ratusan orang Islam di
berbagai kota dan perguruan tinggi sudah memesan sebelum jurnal itu terbit.
Dalam kata pengantarnya untuk edisi perdana, Dawam (1989 : 1) menjelaskan
bahwa penerbitan UQ diinspirasikan oleh empat perkembangan modern yang
terjadi di dunia Islam: Pertama, kembalinya kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Umat Islam perlu memahami kembalinya kepada Al-Qur’an dengan cahaya
baru. Umat Islam perlu metode baru untuk memahami dunia yang berubah.
Untuk menangkap semangat zaman, umat Islam perlu memiliki paradigma
baru untuk memahami ilmu-ilmu Al-Qur’an. Usaha ini telah dirintis oleh para
pemikir semisal Fazlur Rahman, Thabathaba’i, Yusuf Ali, Muhammad Asad
dsb. Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan. Pionir dari usaha ini adalah Ismail
Al-Faruqi. Ide ini paling banyak berpengaruh pada ekonomi, politik,
antropologi dan kedokteran. Ketiga adalah aktualisasi ilmu-ilmu Islam
tradisional dan modern, yang telah diwariskan oleh para pemikir Islam
sebelumnya. Warisan intelektual Islam perlu di reaktualisasi, diapresiasi dan
ditemukan kembali dalam konteksnya yang modern, dan dilengkapi dengan
perkembangan pengetahuan terakhir.
Dibandingkan dengan media Islam yang ada, Robert Hefner (1997b: 90)
mengatakan UQ adalah “Jurnal Islam liberal yang paling dihargai di
Indonesia.” Liberalitasnya ini dapat dilihat dari ciri-cirinya sebagai berikut:
Pertama, UQ menggugat pemahaman yang established dalam Islam Indonesia.
Ini terlihat dari dukungan UQ terhadap gerakan pembaharuan Islam yang
diserukan oleh Nurcholish Madjid. Kedua, UQ memprakarsai dialog-dialog
keagamaan dengan umat yang berbeda. Ini dilakukan dengan mengangkat
tema pluralitas agama dan memuat tulisan-tulisan dari non-Muslim walaupun
kemudian menuai kritik dari sebagian pembacanya.9 Ketiga, UQ merubah imej
tentang penerbitan Islam bahwa dakwah harus mengangkat bahasa-bahasa
9
Saat media Islam didefinisikan sebagai sarana bagi pembaca dan penulis Muslim, UQ
merubah tradisi ini dengan memuat tulisan non-Muslim seperti penulis Kristen yaitu Franz
Magnis Suseno and Victor Tanja. UQ juga menuai kritik tajam ketika memuat tulisan
pengamat politik Amerika yaitu R. William Liddle, yang dicap sebagai Yahudi, orientalis dan
memusuhi Islam. Menjawab ini, pemimpin redaksi, Dawam Rahardjo, menjelaskan bahwa UQ
adalah jurnal ilmiah. Karenanya, UQ terbuka bagi siapa saja termasuk penulis non-Muslim.
Artikel dari penulis non-Muslim dibutuhkan sebagai perbandingan. Kami, kata Dawam,
bahkan menerima artikel dari Muslim yang mengkritik pemikiran para cendikiawan Muslim.
Ini diperlukan sebagai introspeksi karena jurnal UQ mendukung harmonitas antara agama
(Rahardjo 1993: 1).
16
normatif. Dengan menekankan pada semangat obyektifitas, UQ menyatakan
bahwa Islam terbuka bagi kritik. Ciri-ciri UQ seperti ini belum pernah
ditemukan pada media Islam konvensional yang ada sebelumnya tahun
1980an.10
Selain UQ, Harian Republika (terbit tahun 1993) dan majalah mingguan
Islam populer Ummat (terbit tahun 1995) juga hadir sebagai media modern
yang yang ditunggu-tunggu umat Islam. Setelah umat Islam mengalami
booming lulusan pendidikan tinggi, selera mereka tentang bacaan pun
berubah. Mereka mengharapkan sebuah media yang dapat mewakili selera
mereka yang berubah. Dalam konteks inilah jurnal UQ, Republika dan Ummat
muncul. Setelah delapan bulan sejak terbit pertamanya tanggal 4 Januari 1993,
Republika sukses menjual sahamnya total penjualan 1,3 juta saham dengan
harga 5.000/saham Detik, 1-7 September 1993). Penjualan saham koran kepada
publik seperti ini adalah sebuah fenomena baru dalam sejarah pers di
Indonesia. Sebelumnya, kepemilikan saham dimonopoli oleh para investor
pengusaha dan pemilik koran itu sendiri.
Ketiga media ini juga memiliki ciri-ciri umum yang sama. Mereka
berusaha mewakili opini sejumlah masyarakat luas yang sudah mengalami
transformasi pendidikan dalam komunitas Islam. Berbeda dengan majalah
Islam konvensional sebelumnya seperti Media Dakwah, Risalah, Hidayatullah,
Suara Masjid, Al-Muslimun dan yang lainnya, Republika dan Ummat membuat
reportase tentang film, bintang fim, dan artis. Laporan selebritis adalah sesuatu
yang tidak lazim dalam media Islam. Mengkritik Republika dan Ummat, Media
Dakwah menulis bahwa liputan tentang kehidupan selebritis turut
menyumbang kerusakan moral masyarakat Indonesia. Namun, sebagaimana
digambarkan Hefner,
Editors at Republika and Ummat counter these criticisms by
emphasizing that their publications are intended not just for political
stalwarts or the deeply pious, but for individuals who are still uncertain
in their faith and uncomfortable with moral stridency. These editors see
their missions in Indonesian society in terms quite different from those
of Media Dakwah. In a country still haunted by memories of religious
trauma, they say, their charge is to reassure citizens that Islam is
modern, tolerant, and in tune with modern concerns.
10
UQ mengangkat tema yang luas seperti ilmu dan teknologi, islamisasi ilmu, Islam masa
depan, orientalisme, sastra relijius, mosaik Islam tradisional, tasawuf dan mistisisme Islam,
Islam dan posmodernisme, pembaruan Islam, perkembangan Islam di Barat, filsafat Islam, hak
azasi manusia, feminisme dan seterusnya. Kekayaan topik pembahasan ini, “telah
menempatkan dan mengangkat reputasi UQ sebagai jurnal yang paling berani di dunia Islam.”
(Hefner 1997: 90).
17
Editor Republika menulis pada tahun 1997: “Orang-orang Media
Dakwah percaya bahwa bila sesuatu tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau
sunnah adalah telarang. Mengapa begitu? Tuhan menciptakan kita dengan akal
fikiran untuk mencari dan menemukan kebenaran. Menurut kami, bila sesuatu
tidak secara eksplisit dilarang oleh Al-Qur'an atau Sunnah berarti hal itu bisa
diexplorasi. “Karena itulah Republika dan Ummat mengangkat berbagai
laporan tentang seni, televisi, sastra, literatur, tren busana untuk konsumsi
kelas pembaca menengah Muslim.
Pada tanggal 17 April 1995 dan 30 Desember 1996, Republika
didemonstrasi oleh sekelompok pembacanya sendiri. Mereka berkumpul di
depan kantor Republika di Jakarta. Mereka memprotes tulisan tentang Ahmad
Wahib, seorang pemikir liberal yang meninggal tahun 1960an. Ahmad Wahib
adalah seorang pemikir perenung dan kumpulan renungannya selama menjadi
aktifis HMI di Yogyakarta, yang ditulis dalam buku diarinya, dibukukan
dengan judul Revolusi Pemikiran Islam, terbit tahun 1982. Buku ini berisi
refleksi kritis dan rasa frustrasinya dengan kehidupan agama saat itu.
Walaupun ia berasal dari keluarga santri Madura, “buku diari Wahib berisi
keraguan tentang misi kenabian, makna yang benar tentang Al-Qur'an dan
integritas intelektual ulama. Pernyataan-pernyataan Wahib sering
mengejutkan para ulama dan sebagian mereka menyesali penerbitan buku itu.”
(Hefner 1997: 98). Para pendemo Republika menganggap Wahib telah
menghina Islam, Al-Qur'an, Nabi dan Tuhan. Dalam beberapa catatan
renungannya Wahib mengatakan, “tidak ada hukum Islam yang ada itu adalah
sejarah Muhammad,” (hal. 60). Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang
tidak bisa lagi digunakan,” (hal. 38). Dan, “Al-Qur'an tidak identik dengan
Islam.” Menurut para pendemo, “Wahib yang pernah tinggal di Asrama
Kristen ketika menjadi mahasiswa di Yogya telah dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran Yahudi, Kristen, filsafat Jawa dan mistisisme. Karenanya, mereka
menuntut penulisnya harus dihukum. Republika sebaliknya, ia mendukung
gagasan-gagasan independen dan liberal yang dikemukakan Wahib. Para
pendemo juga memprotes Republika terbitan 30 Desember 1996 yang
mengucapkan “Selamat Hari Natal.” Mereka menganggap, mengucapkan Natal
pada agama Kristen berarti menjustifikasi kepercayaan agama lain, karena itu
terlarang bagi umat Islam. Dengan kata lain, bagi mereka, koran Islam
Republika “terlalu kosmopolit, mendukung kultur selebritis dan kurang sensitif
terhadap moral Islam.” (Hefner 1997: 99).
Apa yang dapat disimpulkan dari media massa kelas menengah Muslim
dengan karakteristiknya yang liberal ini adalah transformasi pendidikan
selama Orde Baru telah memfasilitasi kebutuhan akan diskursus intelektual
baru. Pendidikan massa telah memunculkan suatu lingkungan intelektual baru
dan generasi baru terdidik yang kritis dan mendukung nilai-nilai seperti
18
pluralitas, keterbukaan, demokrasi, moderasi dan sebagainya. Semua itu adalah
lingkungan yang menandai kehadiran kelas menengah Muslim yang
membutuhkan wacana intelektual baru seiring kehadiran mereka yang telah
mapan secara ekonomi.
Pada periode yang sama, muncul pula ekspresi lain khas kelas
menengah Muslim dalam bidang penerbitan Islam yang modern dari segi
kemasan, isi dan analisis. Banyak pemikiran yang cenderung liberal
mengemuka berbarengan dengan kemunculan lapisan terdidik Islam yang
menyuguhkan pandangan Islam yang lebih maju. Berawal dari kelahiran
penerbit Pustaka Salman, Mizan membuktikan kehadiran kelas menengah
Islam dari dunia pemikiran Islam. Setelah itu, penerbitan-penerbit Islam lain
yang bonafid dan modern pun bermunculan. Pra tahun 1980an, media
penerbitan Islam identik dengan pembahasan fiqih, akhlak, tauhid dengan lay
out dan kemasannya yang rata-rata tradisional dan menyedihkan. Kehadiran
Jurnal Ulumul Quran dan majalah Ummat --yang disayangkan tidak berumur
lama-- menegaskan kehadiran kelas menengah Muslim, selain koran Republika
dan Jurnal Studia Islamika yang masih terbit sampai sekarang. Lewat media
inilah kelas menengah Muslim menemukan ekspresinya dalam aspek
penerbitan, pemikiran dan suguhan Islam yang lain. Belakangan, menyusul
penampilan Mizan, muncul penerbit-penerbit modern serupa yang
menyuguhkan buku-buku dengan tema-tema keislaman yang khas kelas
menengah seperti Penerbit Paramadina, LKiS, Pustaka Pelajar, Pustaka Sufi,
Qalam dan yang lainnya.
Dalam bidang organsisasi cendikiawan, sebelum dan sesudah ICMI, ada
LSAF yang sudah lama bergerak dalam bidang penerbitan jurnal dengan
menerbitkan majalah PRISMA. Kemudian Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta yang menerbitkan Jurnal Studia Islamika.
Dalam tubuh NU ada Lakpesdam NU. Belakangan, yang paling kontroversial,
Jaringan Islam Liberal (JIL) hadir mengusung gerakan liberalisasi Islam yang
bersemangat sekuler. Kelas menengah Muslim semakin meluaskan dan
melebarkan kode-kodenya belakangan ini. Sebagai fenomena yang muncul
sejak pertengahan Orde Baru, kelas menengah Muslim memang sebuah kelas
sosial baru yang belum banyak diperhatikan dan belum ada studi yang
mendalam, padahal semakin hari mereka semakin menegaskan kehadiran,
kekuatan dan pengaruhnya di Indonesia.
Mencumbui Tuhan di Hotel Berbintang: Pengajian Kelas Elit
Selain di bidang musik dan intelektual, ekspresi relijius kelas menengah
muncul juga secara fenomenal dalam bentuk lain dalam periode yang sama
yaitu pengajian elit yang diselenggarakan di tempat-tempat prestisius, mewah.
Tren atau fenomena itu adalah semaraknya pengajian kelas elit. Sejak tahun
1980an, tren pengajian yang khas kelas menengah muncul dan menjamur di
19
hotel-hotel berbintang, kantor-kantor mewah, televisi dan tempat-tampat
prestisius lainnya. Paramadina merintis pengajian paket dalam bentuk kursus
keagamaan dengan bayaran mahal di bertempat di hotel. Yayasan Tazkia
Sehati membuka pengajian-pengajian tasawuf di kalangan elit. Sebelumnya,
pengajian agama identik dengan sekelompok orang tradisional,
diselenggarakan di madrasah-madrasah dan masjid-masjid dengan suasana
pedesaan. Jauh dari kesan-kesan elit dan modern. Tetapi sejak tahun-tahun
itulah, pengajian agama mulai merambah menjadi pandangan kelas elit.
Sejak tahun 1980an, kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya dan yang lainnya telah dibanjiri oleh gelombang baru
kebangkitan agama. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kelompokkelompok pengajian kelas elit. Yang hadir adalah mereka dari lapisan sosial
kelas menengah. Beberapa pengusaha sukses seperti Abdul Latief, pemilik
Pasaraya Mall dan Direktur Sarinah Jaya, dan Ahmad Ganis, Direktur PT.
Radiant Utama, bekerjasama dengan Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan
Fahmi Idris mendirikan klub kajian agama yaitu Paramadina tahun 1986.
Peresmiannya diselenggarakan di lantai VI Sarinah Jaya. Dalam pertemuan itu
ditekankan bahwa sambil pengajian peserta akan “menikmati pemandangan
malam Jakarta, menikmati hidangan, mendengarkan dentingan piano dan
mendengarkan pembicaraan tentang agama” (Tempo, 3 Januari 1987). Sejak
itu, Paramadina yang dipimpin Nurcholish Madjid, kemudian dihadiri oleh
ratusan peserta dari kalangan kelas menengah, pejabat tinggi pemerintah,
pengusaha dan elit sosial lainnya. Walaupun Paramadina menyelenggarakan
kursus-kursus seperti pemikiran Islam dan filsafat Islam, tetapi yang paling
populer adalah program kajian tasawuf. Menurut Budy Munawar Rahman,
Direktur Divisi Pendidikan, “itu karena para anggota pengajian tidak hanya
mencari pengetahuan agama tetapi ingin melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.”
Tanggal 15 September 1997, di Kafe News Setia Budi Kuningan Jakarta,
sekitar 400 orang menghadiri seminar tentang “Kebangkitan Spiritualitas Baru”
yang mendiskusikan novelnya James Redlfield yang terkenal yang berjudul
“The Celestine Prophecy.” Pembicaranya adalah Karlina Leksono, sosiolog
Ignas Kleden dan seorang artis Oppie Andarista. Pada saat yang sama, di Plaza
Bapindo Jalan Jendral Sudirman, diselenggarakan seminar tentang “Relevansi
Kehidupan Tasawuf dalam Kehidupan Modern.” Seminar diselenggarakan
Keluarga Pengajian Sehati, Adyanti B.N. Rachmadi, anak mantan wakil
Presiden, Sudharmono. Sekitar 500 orang hadir. Pembicaranya orang-orang
terkenal dengan latar belakang bervariasi seperti Emha Ainun Nadjib,
Djalaludin Rahmat, dan Said Agil Munawar, tokoh NU. Dalam pertemuan itu,
Sudharmono meresmikan “Pusat Kajian Tasawuf.” Seminar itu diselenggarakan
di kawasan elit segitiga emas Jakarta (Ummat, 15 September 1997).
Januari 1999, 50 orang eksekutif dari berbagai perusahaan turut serta
20
dalam program yang disebut “Pesantren Eksekutif” diselenggarakan di Giri
Gahana Golf & Resort di Jatinangor, Bandung. Selama tiga hari mereka
berusaha membersihkan hatinya dalam acara itu untuk masa depan hidup yang
lebih baik. Acara ini diselenggarakan oleh PT. Bimantara Citra, perusahaan
milik Bambang Triatmodjo, anak Presiden Soaharto. Program ini
diselenggarakan setiap bulan ramadhan selama tiga tahun. Setiap peserta
membayar Rp. 350.000 selama tiga hari. Tahun 1999, lebih dari 110 eksekutif
yang mendaftar tetapi hanya 50 orang yang diterima karena persoalan
kapasitas akomodasi hotel. Program yang sama juga diselenggarakan di
beberapa hotel di Jakarta seperti Hotel Hilton, Senayan selama tiga hari 8 – 10
Januari 1999. Disini, setiap eksekutif harus membayar pendaftaran sebesar Rp.
950.000 selama tiga hari (Gatra, 23 Januari 1999). Karena, para pesertanya
adalah para eksekutif, biayanya menjadi sangat mahal.
Bentuk-bentuk pengajian seperti itu masih banyak lagi dan semakin
menjamur di kota-kota besar di Indonesia sejak tahun 1980an seiring dengan
proses islamisasi yang semakin ekstensif. Bila kini, gemanya tidak terdengar
lagi dan kurang gegap gempita karena sudah menjadi fenomena umum, sudah
keluar dari sekat-sekat sosial kelas menengah. Pengajian sudah menjadi
fenomena semua kalangan.
Kesimpulan
Kelima presentasi budaya tersebut membuktikan kehadiran sebuah
‘spesies’ kelas sosial baru di Indonesia yang muncul sejak tahun 1980an yaitu
kelas menengah Muslim. Kehadiran kelas menengah sosial ekonomi sudah
ditunjukkan oleh banyak studi. Kelas menengah Muslim, tentu harus
dibuktikan oleh kriteria sosial kemusliman, sesuatu yang melampaui kriteria
ekonomi. Indikasi kultural adalah sesuatu yang baru dalam penghampiran
sosok kelas menengah. Lima presentasi kultural yang telah diulas dalam tulisan
ini telah berperan dan berfungsi persis seperti apa yang disebut Bourdieu
sebagai ‘habitus’ yang berproses melalui ‘reproduski kultrual.’ Habitus dan
reproduksi kultural keduanya bekerja membentuk sebuah formasi kelas sosial
baru bernama kelas menengah Muslim Indonesia. Wallahu’alam bishshawab.[]
21
KEPUSTAKAAN
Amanah. 1993. “Nurcholish Madjid. Rindu Kehidupan Zaman Masyumi,"
wawancara dengan Nurcholish Madjid, 11-24 Januari.
Anwar, M. Syafi’i. 1991. ”Kelas Menengah Santri dan Konvergensi Sosial
Politik: Menguak Dimensi Sosio-Historis ICMI.” Pelita, 18 Maret.
_______________. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Sebuah Kajian
Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
Aparno Rao. 1999. “The many sources of identity: an example of changing
affiliations in rural Jammu and Kashmir.” Ethnic and Racial Studies
Volume 22 Number 1 Januari.
Arief Budiman. 1994. "From Lower to Middle Class: Political Activites Before
and After 1988." In David Bourchier and John Legge, eds., Democracy in
Indonesia 1950s and 1990s, pp. 289-235. Melbourne: Centre of Southeast
Asian Studies Monash University.
Aswab Mahasin. 1984. "The Santri Middle Class: An Insider's View." Prisma.
English Edition. February.
Bourdieu, Pierre. 1977. An Outline of a Theory of Practice. trans. Richard
Nice. Cambridge: Cambridge University Press.
_____________ and Jean-Claude Passeron. 1977. Reproduction in Education,
Society, and Culture. London and Beverly Hills: Sage.
_____________. 1988 [1984]. Homo Academicus. trans. Peter Collier.
Cambridge: Polity Press.
Frith, Simon. 1996. “Music and Identity.” In Stuart Hall and Paul du Gay, eds.,
Questions of Cultural Identity. pp. 108-127. London, Thousand Oaks,
New Delhi: SAGE Publications.
Gatra. 1999. “Pesantren Eksekutif: Agar Tak Menohok Kawan,” p. 70. 23
Januari.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. London: The Free Press of
Glencoe.
Harun, Lukman. 1991. “ICMI dan Harapan Umat,” Pelita, 27 Maret.
Hefner, Robert W. 1993. "Islam, State, and Civil Society: ICMI and the
Struggle for the Indonesia Middle Class.” Indonesia. Number 56
(October).
______________. 1997a. “Islamization and Democratization in Indonesia.” In
Hefner, Robert W. and Patricia Horvatich, eds., Islam in an Era of
Nation-States, Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawai'i Press.
______________. 1997b. “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries
Among Indonesian Muslims.” Indonesia. Number 64 (October).
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of
22
World Order. New York: Simon and Schuster.
Keaton, Trica Danielle. 1999. “Muslim Girls and the ‘Other France’: An
Examination of Identity Construction.” Social Identities. Volume 5,
Number 1.
Kasiri, Julizar. 1994. “Kini Bersaing di Jurnal.” Gatra, 17 Desember.
Kompas. 1990. “Lebih Jauh dengan Bacharuddin Jusuf Habibie,” wawancara
dengan Habibie, 16 Desember.
Kuntowijoyo. 1985. "Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950: Sebuah
Pencarian Identitas." Prisma No. 11, hal. 35-51.
__________ . 1991. Paradigma Islam. Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Liddle, R. William. 1995. “ICMI dan Masa Depan Politik Islam di Indonesia.”
dalam Nasrullah Ali Fauzi, ed., ICMI: Antara Status Quo dan
Demokratisasi. Bandung: Mizan.
_______________. 1996a. “The Islamic Turn in Indonesia: A Political
Explanation.” The Journal of Asian Studies 55, No. 3 (Agustus): 913-34.
Maarif, A. Syafii. 1987. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
______________. 1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.
______________. 1994. "Proses Santrinisasi Politik di Indonesia" Jawa Pos, 15
April.
Media Dakwah No. 124 - Muharram 1405/10 Oktober 1984.
Media Dakwah No. 130 - Rajab 1405/10 April 1985.
Mohammad, Herry and Ainur R. Sophian. 1990. “Riwayatmu, Cendikiawan
Muslim.” Prospek. No. 12, 15 Desember.
Nakamura, Mitsuo. 1993. The Emergence of Islamizing Middle Class and the
Dialectics of Political Islam in the New Order of Indonesia: Preludes to
Informations of the ICMI. A paper presented at Honolulu's seminar on
"Islam and the Social Construction of Identities: Comparative Perspective
on Southeast Asian Muslim." 4- 6 August.
Rahardjo, Dawam. 1989. “Assalamu’alaikum.” Ulumul Qur’an No. 1 (I).
_______________. 1993. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.
Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan.
_______________. 1995. “Visi dan Misi Kehadiran ICMI: Sebuah Pengantar,”
hal. 25-43. dalam Ali Fauzi, ed., ICMI Antara Status Quo dan
Demokratisasi. Bandung: Mizan.
Ramage, Douglas E. 1995. Politics in Indonesia. Democracy, Islam and the
Ideology of Tolerance. London and New York: Routledge.
Ricahrd Robison. 1993. "The middle class and the bourgeoisie in Indonesia." In
Richard Robison and David S.G. Goodman, eds., The New Rich in Asia,
Mobile Phones, McDonald's and Middle Class Revolution. London and
New York: Routledge.
23
Schwarz, Adam. 1994. Nation in Waiting. Indonesia in the 1990s. Sydney:
Allen & Unwin.
Vatikiotis, Michael R.J. 1996. Political Change in Southeast Asia, Trimming
the Banyan Tree. London and New York: Routledge.
Tampi, Nico J. 1987. “Trend Bacaan 1980an: Cermin Meningkatnya Telaah
Keagamaan.” Diskusi Buku Agama, Bagian Dokumentasi dan Informasi
Majalah Tempo, Tempo, 4 Juli.
Tanter, Richard and Kenneth Young. eds. 1990. The Politics of Middle Class
Indonesia. Melbourne: Monash Papers on Southeast Asia.
Tempo. 1989. “Berjilbab Urusan Siapa.”1 Juli.
Tempo. 1990. “Cendikiawan Muslim: Melangkah dari Malang.”No. 41, 8
Desember.
Tempo. 1990. “Marhaban, Ya Habibie.”No. 41 th.XX, 8 Desember.
Tempo. 1990. “Momentum ICMI, dan Munculnya Habibie.” No. 41 th. XX, 8
Desember.
Tempo. 1993. “Islam Kosmopolitan dalam Berita.” 9 Januari.
Thompson, John B. 1995. “Bourdieu on ‘habitus.’” In Patrick Joyce, ed., Class.
Oxford, New York: Oxford University Press.
Ummat No. 7 Thn. I, 2 October 1995/7 Jumadil Awal 1416H
Ummat No. 9 Thn. I, 30 October 1995/Jumadil Akhir 1416H
Ummat. 1996. “Ir. H. Ahmad Noe’man: Nge-jazz adalah Ibadah.” No. 14 Th. 1,
8 Januari/17 Sya’ban 1416H.
Ummat. 1996. “Mariana Ramelan. Tahajudku Cuma untuk Keluarga,” pp. 8789. No. 16 Thn. I, 19 Februari.
Ummat No. 11 Thn. II, 25 Desember 1996/24 Rajab 1417H.
Ummat. 1997. “Mutiara Tasawuf di Hutan Beton.” No. 9 Thn. III, 15
September/13 Jumadil Awal 1418H.
Ummat. 1998. “Suplemen Ramadhan: Kalangan Eksekutif: Dari Kafe sampai
Mesjid,” pp. 39-47. No. 26 Thn. IV 4 Januari /16 Ramadhan 1419H.
Ummat. 1998. “Masjid Kampus di Tengah Perubahan.” No. 27 Thn. III, 19
Januari/20 Ramadhan 1418H.
Ummat. 1998. “Suplemen Ramadhan: Pengajian Tidak Sekedar ‘Lipstik,’” pp.
40-44. No. 24 Thn. IV 21 Desember/2 Ramadhan 1419H.
Utami, Achsin. 1991. “Tantangan dan Harapan kepada ICMI,” Media
Indonesia, 3 April.
24