VOL.2 NO.5, APRIL 2015
JURNAL
PERSADA HUSADA INDONESIA
PERSADA HUSADA INDONESIA HEALTH JOURNAL
ISSN 2356-3281
Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia
Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kota Bekasi Tahun 2010-2012
Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan dengan Perilaku
Pencegahan Chikungunya pada Masyarakat Rw 01
Kelurahan Kranji Kota Bekasi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan
Dokumen Rekam Medis Rawat Jalan RSUD dr.Soekardjo
Kota Tasikmalaya 2014
Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin dengan
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di RSUD
Kota Bekasi Tahun 2012
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak
Usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis Tahun 2014
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan
Pengisian Rekam Medis Rawat Inap di RSUD
Kabupaten Sumedang Tahun 2011
Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian
Terapi Obat di Ruang Penyakit Dalam RSUD
Kabupaten Sumedang Tahun 2012
STIKES PERSADA HUSADA INDONESIA, JAKARTA
Jurnal Persada
Husada Indonesia
VOL.2
No.5
Hal.88
Jakarta
April, 2015
ISSN
2356-3281
Jurnal Persada Husada Indonesia
(Health Journal of Persada Husada Indonesia)
____________________________________________________________________________________
Penanggung Jawab
Wakil Penanggung Jawab
Pemimpin Redaksi
Wakil Pemimpin Redaksi
Sekretaris
: Dr. Qomariah Alwi, SKM., M.Med.Sc ( Ahli Kesehatan Reproduksi )
: Elwindra, ST., M.Kes
: Diana Barsasella, ST., SKM., SKom., MKM
: Siti Rukayah, SKp., MKep
: Ns. Fitria Prihatini, S.Kep
Mitra Bestari
: Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH
( Profesor Riset Ahli Kebijakan Kesehatan dan Ilmu Biomedik,
Profesor Pendidikan Ahli Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Guru Besar FKM UNDIP )
Prof. Dr. M. Sudomo
( Profesor Riset Ahli Medical Parasitologist )
Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM
( Profesor Riset Ahli Gizi )
Prof. Dr. Drs. Wasis Budiarto, MS
( Profesor Riset Ahli Ekonomi Kesehatan)
Prof. Dr. Amrul Munif, MSc
( Profesor Riset Ahli Biologi Lingkungan )
Dr. Rustika, SKM., M.Sc
( Ahli Biostatistik Epidemiologi )
Dr. dr. Sandi Iljanto, MPH
( Ahli Kebijakan Kesehatan )
Dewan Redaksi
: dr. S. Reksodikusumo, MPH
Herlina, SKM., M.Kes
Ns. Revie Fitria Nasution, S.Kep., M.Kep
Evi Vestabilivy, SKp., M.Kep
Agustina, SKM., M.Kes
Eliya, S.Pd., M.Pd
Ahmad Farid Umar, SKM., M.Kes
Edi Junaidi, SH., SKM
Evandri Wancik, ST
Ns. Restu Iriani, S.Kep
Sekretariat
: Feri Maulana, SKM
Gardika Sandra
Alamat Redaksi
: STIKes PHI
Jl. Jatiwaringin Raya, Gd. Jatiwaringin Junction Kav 4-7 No.24,
Cipinang Melayu, Jatiwaringin, Jakarta Timur.
Telp/Fax. (021) 86611954
Website : www.phi.ac.id
i
JURNAL PERSADA HUSADA INDONESIA
Persada Husada Indonesia Health Journal
Volume 2. No. 5 April 2015
DAFTAR ISI
Editorial
Artikel Penelitian
Halaman
1.
Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia ...........................................................
Ratih Oemiati
2.
Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2010-2012 .............
Maria Magdalena, Diana Barsasella
10 - 26
Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan Dengan Perilaku Pencegahan
Chikungunya pada Masyarakat Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi ....................
Herlina, Siti Rukayah
27 - 31
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam
Medis Rawat Jalan RSUD dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014 .............................
Eka Rahman, Ida Wahyuni
32 - 44
5. Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di
RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 ...............................................................................
Royani Chairiyah, Rina Sari Marliaty
45 - 52
6. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak Usia 4 – 6 tahun di
TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 ................
Yati Budiarti, Sri Gustini, Siti Saadah, Endang Astiriyani
53 - 63
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat
Inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2011 ...................................................
Arief Tarmansyah Iman
64 - 76
8. Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian Terapi Obat di Ruang
Penyakit dalam RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2012 .......................................
Ida Sugiarti, Nunung S. Sukaesih, Popi Sopiah
77 - 88
3.
ii
1-9
EDITORIAL
Salam hangat,
Redaksi kembali menerbitkan Jurnal Kesehatan Persada Husada Indonesia volume 2 no 5 April 2015
dengan No.ISSN 2356-3281 berisi delapan artikel ilmiah dari penelitian dosen–dosen STIKes PHI
maupun dosen-dosen Insitusi lain dari berbagai jurusan kesehatan (Kesehatan Masyarakat,
Keperawatan, Kebidanan, dan lain-lain), dan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI.
Jurnal Persada Husada Indonesia dapat menjadi wadah yang sangat bermanfaat bagi peneliti dan
pengguna hasil penelitian dalam menginformasikan, mendiskusikan, memanfaatkan hasil-hasil
penelitian dalam meningkatkan kualitas, kebijakan, perencanaan kesehatan evidence based sehingga
dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Topik penelitian dalam jurnal edisi saat ini terdiri dari
review penelitian kanker Indonesia, program pemberantasan DBD, pencegahan chikungunya,
dokumen rekam medis, BBLR, pola orang tua asuh.
Jurnal Persada Husada Indonesia selanjutnya akan terbit pada bulan Juli 2015, sehingga kami dari
redaksi mengharapkan kerjasama rekan-rekan baik dari internal STIKes PHI maupun eksternal untuk
mengisi jurnal ini dengan artikel-artikel yang berguna dalam mendukung pendidikan dan
pembangunan kesehatan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Tidak menutup kemungkinan jika
masih ditemukan kekurangan dan kesalahan pada jurnal terbitan ketiga ini, maka kami dari redaksi
mengucapkan banyak terima kasih dengan adanya kritik dan saran untuk perbaikan jurnal Persada
Husada Indonesia.
Pemimpin Redaksi,
Diana Barsasella, ST., SKM., SKom., MKM
iii
Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia
Ratih Oemiati1
Review of Lung Cancer Research in Indonesia
Abstrak
Data WHO menunjukkan bahwa kanker paru merupakan penyebab utama pada kelompok kematian
akibat keganasan baik laki-laki maupun perempuan.Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke 3 atau ke
4 diantara keganasan di rumah-rumah sakit. Kanker paru pada umumnya didapatkan pada usia pertengahan dan
sesudahnya.Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 dan hasil Patologi Anatomi (PA) terbanyak adalah
adenokarsinoma. Tulisan ini merupakan hasil kajian dari penelitian kanker paru di Indonesia dan kajian literatur.
Hasil penelitian yang dikaji adalah penelitian retrospektif dan penelitian kohort. Kedua hasil dikelompokkan
menurut kedua metode tersebut.Analisis yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian yang ada dihitung
ulang dan diambil rata-rata dari setiap variabel yang dikaji. Hasil penelitian untuk penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa sex ratio sebesar 3,5, sedangkan umur rerata termuda adalah 30 tahun dan tertua umur 72
tahun. Stadium terbanyak adalah stadium 3. Jenis kanker paru terbanyak sel skuamosa. Pada hasil penelitian
kohor terlihat bahwa hasil rerata penderita laki-laki sebesar 58 orang dan perempuan sebesar 10 orang dengan
sex ratio sebesar 5,8. Menurut umur termuda adalah 37 tahun dan umur tertua 73 tahun dan rata-rata umur
adalah 55 tahun.Terbanyak responden adalah stadium 3 (40 orang). Jenis kanker paru terbanyak sama dengan
studi retrospektif yaitu sel skuamosa.
Kata Kunci: kanker paru, sex ratio, stadium, sel skuamosa.
Abstract
World Health Organization (WHO) indicated that lung cancer is the leading cause of death in men and
women. In Indonesia, lung cancer ranks third or fourth among cancer malignancy. Lung cancer is generally
found in middle age and elderly. Ratio of lung cancer is 2:1 for male and female with adenocarcinoma as the
highest of pathology anatomy. This paper is the result of a study of lung cancer research and literature review n
in Indonesia. The aim of this research is to explore retrospective and cohort study of lung cancer using
descriptive analysis. The mean of each variable was measured repeatedly to determine the result. The
retrospective data showed that sex ratio was 3,5 with 30 years old for the youngest and the oldest was72
yearsold. Most of them were in third stadium, and squamosalcell was the most common type of lung cancer.
Cohort study described that sex ratio was 5,8 with 37 years old for the youngest and the oldest was 73 years old
and the average age was 55 years. The most common respondents were in the third stadium (40 people). The
most common lung cancer similar to retrospective study was squamosal cell
Keywords: lung cancer, sex ratio, stadium, squamosal cell.
1
Peneliti pada Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengambangan
Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI.
1
turunan pertama mempunyai risiko menderita
kanker paru 4 kali lebih besar. Faktor
lingkungan
yang
turut
mempengaruhi
meningkatnya risiko terjadinya kanker paru
adalah merokok atau terpajan karsinogen.
Keturunan pertama pada orang tua yang
perokok memberikan risiko 2,4 kali menjadi
kanker paru (Yokota J, 1987; Samet JM,
1986).
Korelasi antara perokok dengan risiko
kanker paru terlihat pada data RS Persahabatan
tahun 2004-2006 yang menunjukkan perokok
laki-laki sebesar 83,4 % dan perokok
perempuan sebesar 43,4 %. Jemal dkk
menyatakan bahwa kanker paru mempunyai
pronosis yang buruk dibandingkan dengan
kanker jenis lain karena rendahnya angka
ketahanan hidup dan menjadikan kanker paru
sebagai penyebab utama kematian akibat
kanker (Elisna Syahruddin,2010, Jemal A,
2006). Secara umum angka ketahanan hidup 5
tahun hanya 15 %. Kanker paru adalah
penyebab utama kematian akibat kanker di
Amerika Serikat dan insidensnya makin
meningkat di banyak negara industri. Proporsi
kanker yang ditengarai terjadi akibat pajanan
di tempat kerja relatif masih jarang sekitar 5 10 %. Merokok adalah penyebab dari 90-95 %
dari semua kanker paru. Hasil dari berbagai
review menunjukkan bahwa sekitar 30-40 %
kanker paru berhubungan dengan pekerjaan
(Mukhtar Ikhsan, 2008).
Kekerapan merokok berdasarkan
survey 87 negara yang dilakukan WHO pada
85 % populasi di dunia menunjukkan bahwa
47 % laki-laki dan 12 % perempuan berusia 15
tahun ke atas. Survei tersebut dilakukan 20
tahun yang lalu dan laporan lebih baru
diperkirakan jumlah perokok
laki-laki
menurun tetapi sebaliknya meningkat pada
perempuan. Angka itu menjadi penting jika
dikaitkan dengan perkiraan jumlah kasus baru
kanker paru (WHO, 2006). Jemal dkk
menuliskan laporan tahunan tentang estimasi
atau perkiraan kasus baru dan kematian akibat
kanker paru dan mengatakan terlihat korelasi
Pendahuluan
Data WHO menunjukkan bahwa
kanker paru merupakan penyebab utama pada
kelompok kematian akibat keganasan baik
laki-laki maupun perempuan (Yusuf A, dkk,
2005). Kanker paru termasuk penyebab utama
kematian hampir di seluruh dunia terutama
pada laki-laki. Dari tahun ke tahun jumlahnya
meningkat baik di Jepang, Eropa, Amerika dan
Indonesia (Mariono dan Astuti S, 1996). Kasus
kanker paru saat ini semakin meningkat
jumlahnya dan menjadi salah satu masalah
kesehatan di dunia termasuk di Indonesia
(Yusuf A, dkk, 2005). Di Indonesia kanker
paru menduduki peringkat ke 3 atau ke 4
diantara keganasan di rumah-rumah sakit
(Mariono dan Astuti S, 1996). Kanker paru
pada umumnya didapatkan pada usia
pertengahan dan sesudahnya (Janto, dkk,
1995). Perbandingan laki-laki dan perempuan
2:1 dan hasil Patologi Anatomi (PA) terbanyak
adalah adenokarsinoma sebesar 54 % (Jubilier
SJ and Wilson RA, 1991).
Di Amerika dan negara berkembang
lainnya kasus kanker paru umumnya
dihubungkan dengan pajanan terhadap
lingkungan seperti merokok, “occupational
agents”, sedangkan faktor genetik yang
berpengaruh adalah riwayat kanker paru dalam
keluarga atau penderita Tb paru, bronchitis
kronis, PPOK, fibrosis interstial dan parut
pada paru perifer. Di New Mexico dari suatu
penelitian diperoleh data bahwa faktor genetik
seperti penderita bronchitis kronik atau
emfisema memberikan risiko menjadi kanker
paru 2 kali lebih besar, sedangkan apabila
salah satu orangtuanya menderita kanker paru,
risiko genetik ini akan bertambah menjadi 5
kali (Schluger NW, 1995; Yokota J, 1987; Ooi
WL, 1986). Penelitian Tokuhata menyatakan
bahwa faktor genetik berperan dalam
memberikan risiko yang meningkat pada
keluarga yang menderita kanker paru sebesar
18 kali lebih tinggi untuk setiap usia
bertambah 10 tahun, sedangkan pada orang tua
yang menderita kanker paru kemungkinan
2
antara jumlah perokok dengan angka estimasi
tersebut (Jemal A, 2006; Taufik, 2006)
Kanker adalah penyakit genetik, hal
itu berkaitan dengan fenomena bahwa proses
terjadinya kanker didahului oleh perubahanperubahan genetik atau mutasi yang berulang
sampai suatu saat perubahan tersebut mampu
menyebabkan proliferasi sel yang tidak
terkendali. Sedangkan kanker paru berasal dari
epitel saluran napas setelah mengalami
perubahan morfologik. Mulai dari sel epitel
normal, hyperplasia, metaplasia, dysplasia,
karsinoma in situ, kanker invasive dan berakhir
sebagai kanker metastasis. Saat mengalami
proses tumor genesis ini terjadi perubahanperubahan genetik yang berulang sampai suatu
saat terbentuk fenotipe keganasan. Perubahan
genetik yang mengarah pada proses keganasan
dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada 4
golongan gen pengatur pertumbuhan normal
yaitu: proto onkogen (gen pencetus
pertumbuhan), cancer supresor gen (gen
penghambat
pertumbuhan/antionkogen),
apoptosis (gen pengatur kematian sel
terprogram) dan gen perbaikan DNA.
Mengenal lebih dekat biologi molekuler sel
kanker (Ahmad Hudoyo, 2003).
Gejala kanker paru antara lain batuk,
batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada,
batuk berdahak, nyeri tulang, hepatomegali,
dan lain-lain. Batuk adalah gejala umum
kelainan paru dan juga merupakan gejala awal
kanker paru. Batuk darah biasanya disebabkan
oleh ruptur arteri atau vena bronkial, biasanya
batuk darah karena kanker paru terjadi pada
penderita yang berumur lebih dari 40 tahun.
Sesak napas ini bisa disebabkan beberapa hal
antara lain tumor di dalam saluran napas, atau
tumor yang menekan saluran napas. Nyeri
dada dapat dirasakan oleh penderita kanker
paru, hal ini disebabkan keterlibatan pleura
parietal, nyeri ini dirasakan saat inspirasi
(Taufikdan Ahmad Hudoyo, 2007).
Diagnosis kanker paru tidak selalu
mudah karena membutuhkan ketrampilan
khusus, saran yang tidak sederhana dan
pendekatan
multidisipliner
kedokteran.
Bronkoskopi merupakan salah satu upaya
penting dalam bidang paru karena alat ini
dapat digunakan untuk diagnostik dan
terapeutik (Kitamura S-A, 1990, Munir Umar,
2007). Pemeriksaan untuk kanker paru bisa
dilakukan dengan thorax foto, CT Scan, MRI,
bronchoscopy, pemeriksaan sitologi untuk
dahak dan pemeriksaan biopsi. Deteksi dini
menggunakan foto thorax berkala ternyata
tidak mengubah angka mortaliti. Skrining
menggunakan CT Scan terbukti lebih efektif
namun memerlukan biaya yang besar (Ahmad
Hudoyo, 2007).
Pengobatan yang dilakukan antara lain
bedah, kemoterapi dan radioterapi (Jusuf A,
1990, Anwar Jusuf, 1993). Karena penderita
yang datang kebanyakan sudah pada stadium
akhir, maka penanganan yang paling tepat
adalah kemoterapi. Namun pengobatan ini
mempunyai efek samping yang akan
merugikan
pasien,
seperti
gangguan
pencernaan dan metabolisme tubuh.
Berdasarkan uraian di atas maka
kanker paru sangat penting disosialisasikan
pada masyarakat Indonesia karena jumlah
perokoknya yang peringkat lima di dunia.
Selain itu kanker paru masih kurang dalam hal
promosi kesehatan. Oleh karena itu tulisan ini
menjadi sangat bermakna untuk penurunan
angka kesakitan kanker paru.Salah satu
pencegahan primer pada penyakit kanker
adalah promosi kesehatan yang berupa
penyuluhan atau sosialisasi. Dengan adanya
kajian ini maka masalah kanker paru dapat
dikendalikan dengan baik.
Metode
Kajian ini merupakan kumpulan hasil
tinjauan pustaka tentang kanker paru dan hasil
penelitian kanker paru yang telah dilakukan di
Indonesia selama 20 tahun terakhir. Hasil
penelitian yang dikaji adalah penelitian
retrospektif dan penelitian kohor.
3
Hasil penelitian retrospektif diambil dari
artikel (sesuai dengan urutan tabel 1):
1. Muhammad Yusuf Hanafiah Pohan,
Wiwien Heru Wiyono, dan Anwar Yusuf ,
2007
2. Elisna Syahruddin,
Alvin Kosasih
Ahmad Hudoyo, Juniarti Ahmad Jusuf,
2008
3. Taufik, Elisna Syahruddin, Sri Mulyani,
Yusrizal Chan, dan Zailirin YZ, 2006
4. Munir Umar, Elisna Syahruddin, Menaldi
Rasmin, dan Sri Melati Munir, 2006
5. Elisna Syahruddin , 2003
Hasil dan Pembahasan
Retrospektif
Umur
Kanker paru merupakan salah satu
jenis kanker yang menyebabkan banyak
kematian. Lebih dari 3 juta orang pasien
kanker paru, terutama berasal dari negara
berkembang (American Lung Association,
2008). Depkes menyatakan bahwa lebih dari
1,3 juta kasus baru kanker paru dan bronkus di
seluruh dunia menyebabkan 1,1 juta kematian
tiap tahunnya. Persentase penderitanya pun
semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke
tahun.Data epidemiologi kanker paru di
Indonesia masih belum ada sedangkan di
Rumah Sakit Persahabatan didapatkan hasil
terjadi peningkatan kasus dari tahun 2003
sampai 2007 sebesar 28 % (Laporan Tahunan
FKUI, 2007).
Hasil penelitian studi kohor diambil dari
artikel (sesuai dengan urutan tabel 2.)
1. Erlina Burhan, Nirwan Ariel, Ahmad
Hudoyo Eddy Suratman, Anwar Yusuf,
Elisna Syahruddin dan Bambang Sutrisna,
2007
2. Kanker paru di RS Persahabatan 2000 –
2007,
(cited
on
Januari
2010)
http://www.kankerparu.org
3. Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin,
Anwar Yusuf dan Erlina Burhan, 2006
4. Jusuf A, Soeratman E, Jayusman AM,
Arumdati S, Ani Widya Ningsih W,dan
Arief N, 2001
5. Elysna Syahruddin, Anwar Yusuf, Ahmad
Hudoyo, Siti Budina Kresno dan Sri
Hartini, 2005
Analisis yang digunakan adalah meta
analisa, yaitu suatu analisis integratif sekunder
dengan menerapkan prosedur statistik yaitu
menggabungkan, meringkas, dan meninjau
penelitian
kuantitatif
sebelumnyadengan
penyajian hasil secara deskriptif. Hasil
penelitian yang ada dihitung ulang dan diambil
rata-rata
dari
setiap
variabel
yang
dikaji.Variabel yang dikaji adalah umur
(termuda, tertua dan rata-rata), jenis kelamin
(sex ratio), stadium penyakit dan juga jenis
kanker yang diderita.
Tabel 1
No
1
2
3
4
5
Responden
Kanker
Paru
berdasarkan Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur Termuda dan
Tertua
Laki- Perem- Umur Umur
N
laki
Puan termuda tertua
46
35
11
29 th
72 th
48
34
14
26 th
85 th
39
30
9
39 th
66 th
133
118
15
39 th
66 th
106
92
14
34th
79 th
rerata
82
23
30 th
72 th
Hasil analisis tabel 1 menunjukkan
bahwa jumlah rata-rata laki-laki sebesar 82
orang dan perempuan 23 orang. Sex ratio
sebesar 3,5. Sedangkan umur rerata termuda
adalah 30
tahun dan tertua umur 72
tahundengan usia rata-rata adalah 51 tahun.
Berbagai
penelitian
menyatakan
bahwa kanker paru lebih banyak diderita lakilaki daripada perempuan (Taufik, 2006; Munir
Umar, 2007; Elisna Syahruddin, 2010; Elisna
Syahruddin, 2008). Kemungkinan hal ini
4
disebabkan persentase perokok lebih banyak
laki-laki dibandingkan perempuan.
Data penderita kanker paru di RS
Dharmais th 1993-1997 laki-laki 79,5 %
(Jusuf A, 2001). Rasmin dkk(2006)
medapatkan 87,5 % laki-laki dari hasil
penelitian pada tahun 1993-2001 di RS
Persahabatan dan RS Kanker Dharmais.Dari
kedua penelitian tersebut ternyata sex ratio
antara laki-laki dan perempuan memang besar
yaitu antara 4 sampai 6. Putnam (1977) dalam
penelitiannya mendapatkan hasil bahwa usia
rata-rata adalah 34 tahun untuk laki-laki dan
36,9 tahun untuk perempuan. Sedangkan hasil
penelitian Anwar Yusuf et al (1993)
mendapatkan umur tertua penderita kanker
paru adalah 75 tahun. Demikian juga Taufik et
al (2006) mendapatkan umur tertua > 65 tahun.
Secara umum jumlah pasien kanker
paru
berdasarkan
kelompok
umur
menunjukkan kelompok umur produktif lebih
tinggi hal ini sesuai bahwa pasien yang terkena
kanker paru berumur di atas 40 tahun, rerata
sekitar 50-an tahun yang dihubungkan dengan
kebiasaan merokok dan umur mulai merokok.
Dilihat dari rerata responden menurut
stadium pada gambar 1 memperlihatkan
terbanyak adalah stadium tiga (3) sebesar 56,7
%, kedua stadium dua (2) sebesar 21,6 %.
Barangkali yang stadium 4 hanya sedikit
karena sudah banyak yang meninggal.
Ditinjau dari stadium memperlihatkan
terbanyak adalah stadium III. Hasil ini hampir
sama dengan temuan Taufik et al (2006)yang
menyatakan bahwa stadium 3 merupakan
kasus terbanyak pada kanker paru.
Jenis Kanker
35
30
25
20
15
10
5
0
Stadium
21
3
2
2
Berdasarkan jenis kankernya yang
ditampilkan pada gambar 2 ternyata jenis yang
terbanyak adalah sel squamosa dengan rerata
30 orang, adeno dengan rerata 17 orang,
kanker besar (3), kanker kecil (2) dan jenis lain
(2).
Data RS Persahabatan secara konsisten
menunjukkan bahwa jumlah pasien dengan
jenis adenokarsinoma selalu dominan.
Penelitian di RS Persahabatan 2000-2007
mendapatkan 61,9% jenis adenokarsinoma sel
skuamosa (Laporan RS Persahabatan, 2007).
20
15
5
17
Gambar 2 Diagram Rerata Jenis Kanker
dari Studi Retrospektif
25
10
30
8
6
2
0
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
Gambar 1 Rerata Stadium Kanker Paru di
Indonesia
berdasarkan
Penelitian Retrospektif
5
Perokok
35
30
25
20
15
10
5
0
rerata
3
perokok 1
laki-laki
10
37
73
Berdasarkan pada penelitian kohor
diperoleh hasil rerata penderita laki-laki
sebesar 58 orang dan perempuan sebesar 10
orang dengan sex ratio sebesar 5,8. Menurut
umur termuda adalah 37 tahun dan umur tertua
73 tahun dan rata-rata umur adalah 55 tahun.
Hasil ini hampir sama dengan temuan
Menaldi et al yang menyatakan bahwa rerata
umur 55,62 tahun dengan rentang usia 34-76
tahun (Menaldi R, 2006).
Titis dkk (2011) menemukan hasil
bahwa umur rata-rata pasien 59 tahun, umur
termuda 22 tahun dan tertua 75 tahun.
30
28
58
1
perokok 2
perempuan
Gambar 3 Diagram
dua
Penelitian
Crosssectional dari
Jumlah
Perokok
menurut
Jenis
Kelamin
Stadium
(Sumber : Menaldi Rasmin, dkk, 2006 dan
Taufik dkk, 2006 )
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Menurut faktor risiko merokok
ternyata mayoritas > 90 % berjenis kelamin
laki-laki, meskipun ada 4 perempuan juga
merokok pada kasus kanker paru tersebut.
Perokok aktif memegang persentase
paling tinggi yang mengakibatkan kanker
paru.Rokok memang banyak mengandung zat
beracun yang mampu memicu tumbuhnya selsel kanker dalam paru. Pada umumnya
penderita baru menyadari ketika sudah
memasuki stadium akhir.
40
11
Stadium 1
13
Stadium 2
Stadium 3
Gambar 4 Rerata Stadium Kanker Paru di
Indonesia
Berdasarkan
Penelitian Kohor
Studi Kohor
Umur
Dari bar di atas terlihat bahwa
terbanyak responden adalah stadium 3 (40
orang) sedangkan stadium 1 sebesar 11 orang
dan stadium 2 sebesar 13 orang.
Demikian juga Menaldi et al (2006)
mendapatkan hasil stadium 3 yang terbanyak.
Berbagai penelitian juga menyatakan bahwa
stadium terbanyak adalah stadium III
(Menaldi, 2006; Taufik, 2006).
Apabila sudah memasuki stadium
lanjut biasanya sel kanker inipun dapat terus
bermetastase. Kanker paru adalah salah satu
Tabel 2 Responden
Kanker
Paru
berdasarkan Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur Studi Kohor
Laki- Peremp Umur
Umur
No
N
laki
uan
termuda
tertua
1
64
56
8
2
57
46
11
37
75
3
64
56
8
34
76
4
133
118
15
39
66
5
21
13
8
35
75
6
penyakit paru yang memerlukan penanganan
dan tindakan yang cepat dan terarah (Menaldi,
2006).
Pada gambar 6 terlihat bahwa kasus
kanker paru terjadi pada 57 % perokok, 21 %
bukan perokok dan 22 % tidak ada datanya.
Sayangnya tidak tersedia data kasus kanker
paru yang perokok menurut jenis kelamin.
Jenis Kanker
35
30
25
20
15
10
5
0
Kesimpulan
30
1. Studi retrospektif
a. Umur
- Rerata termuda 30 tahun dan tertua
72 tahun
- Sex ratio 3,5
b. Stadium
- Terbanyak stadium 3 (56,7%)
c. Jenis Kanker
- Terbanyak adalah sel squamosal
dengan rerata 30 orang
2. Studi Kohor
a. Umur
- Rerata termuda 37 tahun tertua 73
tahun
- Sex ratio 5,8
b. Stadium
- Stadium 3 ( 40 orang)
c. Jenis kanker
- Terbanyak sel squamosa
17
3
2
2
Gambar 5 Diagram Rerata Jenis Kanker
dari Studi Kohor Kanker Paru
Dari gambar5 terlihat bahwa sel
squamosa rerata 44 orang (1), adeno dengan
rerata 25 orang, kanker besar (5), kanker kecil
(3) dan lainnya (2). Hasil dari Munir Umar et
al (2007) juga menyatakan bahwa karsinoma
sel skuamosa merupakan jenis kanker
terbanyak (66,2 %). Beberapa penelitian juga
memberikan hasil bahwa adenokarsinoma sel
skuamosa merupakan persentase terbanyak
(Titis 2011).
Daftar Pustaka
Ahmad Hudoyo. Memperpanjang harapan
hidup pasien dengan kanker paru –
mungkinkah? J Respir Indo, vol 27, no 4
Oktober 2007, p.204-205.
Ahmad Hudoyo, Mengenal lebih dekat
biologi molekuler sel kanker. J Respir
Indo, vol 23, no : 2 : 2003, p 99-104.
American Lung Association. Trends in lung
cancer morbidity and mortality. [cited on
Jan 2008 ]. Available from: URL:htpp//
www.lungusa.org.
Anwar Jusuf, Ascobat Gani, Sardikin
Giriputro, Achmad Hudoyo, Adang
Bachtiar, Fachrial Harahap dan Djoni
Anwar. Implikasi ekonomis kanker paru
pada pekerja perusahaan. Jurnal Paru, vol
13 nomor 1 Januari, 1993, p.2-8.
Perokok
perokok
Ya
37
35
95
Tidak
Tidak ada
data
Gambar 6 Perokok pada Kasus Kanker
Studi Kohor
(Sumber: Erlina Burhan, dkk, 2007)
7
Departemen
Pulmonologi
dan
Ilmu
Kedokteran
Respirasi,
FKUI
RS
Persahabatan. (2007). Laporan tahunan.
Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI.
Elisna Syahruddin, Mekanisme non P
glikoprotein MDR (non PgP MDR) dan
faktor yang terlibat pada proses resistensi
sel kanker paru. J Respire Indo, vol 23, no
2, 2003, p.93-98.
Elysna Syahruddin, Anwar Yusuf, Ahmad
Hudoyo, Siti Budina Kresno, Sri Hartini, T
Lymphocite cells D4S function in serum of
non smaal cell lung cancer patients. J
Respir Indo, vol 25 no 2, April 2005
Elisna Syahruddin Alvin Kosasih Ahmad
Hudoyo , Juniarti , dan Ahmad Jusuf,
Kemoradioterapi konkuren dengan regimen
karboplatin +etoposid pada pasien kanker
paru karsinoma bukan sel kecil stadium
lanjut di RS Persahabatan. J Respire Indo,
vol 28, no 2, April 2008, p81-87.
Elisna Syahruddin, Dedy Zairus dan Anwar
Jusuf.
Toksisiti hematologi akibat
kemoterapi pada penderita kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil. J Respir
Indo, vol 28 no 4, Oktober 2008, p.185189.
Elisna Syahruddin, Avissena D Pratama dan
Nirwan Arief.
A retrospective Study:
Clinical and diagnostic characteristics in
advanced stage of lung cancer patients with
pleural effusion in persahabatan hospital
2004-7. J respir Indo, vol 31 no 3 Juli
2010.p.146-151.
Erlina Burhan, Nirwan Ariel, Ahmad Hudoyo
Eddy Suratman, Anwar Yusuf, Elisna
Syahruddin Dan Bambang Sutrisna, Angka
tahan hidup penderita kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil yang layak
bedah. J Respire Indo, vol 27, no 4 Okt
2007, p. 206-213.
Janto Poernomo Hadi, Sutjipto Dwijo, Slamet
Harijadi dan Soegeng Sukamto, Kanker
paru pada seorang anak perempuan, Jurnal
Paru, vol 15 no 1, Januari 1995, p.43-44.
Jemal A, Siegel R, Murray T, Cancer statistic.
Cancer J Clin, 2006; 56: p.106-130.
Jubilier SJ and Wilson RA.Lung Cancer in
patient jounger than 40 years of age.
Cancer, 1991:67; p.1436-8
Jusuf A. (1990). Penderajatan dan garis-garis
besar pengobatan kanker paru, Jakarta:
Bagian Pulmonologi FKUI, p.9-14.
Jusuf A, Harrianto A, Syahruddin E, Endardjo
S, Mudjiantoro S, Sutandio N. Kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman
nasional
untuk
diagnosis
dan
penatalaksanaan di Indonesia. (2005).
Jakarta: PDPI, p.1-10.
Jusuf A, Soeratman E, Jayusman AM,
Arumdati S, Aniwidyaningsih W, Arief N,
et al, Diagnostic of lung cancer in Dharmais
National
Cancer
Hospital,
Jakarta
Indonesia MKI, 2001: 9; p.322-7
Kitamura S-A. (1990). Colour atlas of clinical
application of fiberotic bronchoscopy.
Wolfe Publishing Ltd. P.735.
Kanker paru di RS Persahabatan 2000- 2007.
[cited on Januari 2010]. Available from:
http://www.kanker paru.org
Mariono,
Sutji
Astuti,
Peranan
gen
penghambat tumor pada karsinogenesis
kanker paru. J Respir Indo, vol 16, 2 April
1996, p.80-84.
Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin, Anwar
Jusuf dan Erlina Burhan, Efikasi Prosedur
Diagnosis dan Akurasi Diagnosis Sitologi
Pra Bedah Kanker Paru, J Respir Indo, Vol
26 no 4 Oktober 2006, p.185-189.
Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin, Anwar
Yusuf dan Erlina Burhan. Akurasi Staging
Parbedah pasien kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil yang menjalani
pembedahan. J Respir Indo, vol 26 no 4
Oktober 2006, p.202-205.
Muhammad Yusuf Hanafiah Pohan, Wiwien
Heru Wiyono, Anwar Yusuf, Akurasi
pemeriksaan sitology dan histopatologi
pada pasien kanker paru di beberapa RS di
Jakarta, J Respir Indo, vol 27 no 4 tahun
2007, p.219-225
8
Mukhtar Ikhsan, Kanker paru akibat kerja. J
Respir Indo vol 28, no 4, Oktober
2008,p.176-177. The tobacco epidemic : a
global public health emergency. WHO
homepage. www,who.ch
Munir Umar, Elisna Syahruddin, Menaldi
Rasmin, dan Sri Melati Munir, Akurasi
Diagnostik
Paru
dengan
Prosedur
Diagnostik
Invasif
Menggunakan
Bronkoskopi Serat optik Lentur, J Respir
Indo, vol 26 no 4 Oktober 2006, p.180-184
Ooi WL, Elston RC, Chen VW, Wilson JEB,
Rothschild H, Increased familial risk
among form lung cancer, JNCL, 1986, 76,
217-22
Putnam JS, Lung carcinoma in young adults.
JAMA 1977; 238: p.35-6
Samet JM, Humble BEG, Pathak DR. Personal
and family history of respiratory diseases
and lung cancer risk. Am Rev Respir Disc,
1986, 134, 466-70.
Schluger NW, Rom WN, The polymerase
chain reaction in the diagnosis and
evaluation of pulmonary infection. Am J
Respir Crit Care Med, 1995, 152, 116.
Taufik, dan Ahmad Hudoyo. Gejala Kanker
Paru. J Respir Indo, vol 27, no 4, Oktober
2007, p. 226-230.
Taufik, Elisna Syahruddin, Sri Mulyani,
Yusrizal Chan, Zailirin YZ, Faktor risiko,
gejala klinis dan diagnosis kanker paru di
bagian pulmonologi FK- UNAND RS dr M
Djamil Padang 2005, J Respir Indo, vol 26,
no 4, 2006.
Titis Dewi Wahyuni, Boedi Swidarmoko, Rita
Rogayah, dan Heriawati Hidayat. The
positive result of cytology brushing at
flexible fiberoptic bronchoscopy compared
with transthoracic needle aspiration in
central lung tumor, J Respir Indo, Vol. 31,
No. 1, Januari 2011.
WHO, The tobacco epidemic : a global public
health emergency, 2006. WHO homepage
:www,who.ch
Yokota J, Sugimura T. Loss heterozygosity on
chromosomes 3, 13, 17 in small cell
carcinoma and on chromosomes 3 in adeno
carcinoma of the lung. Proc Nalt Acid Sci
USA, 1987, 84, 9252-6.
9
Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2010-2012
Maria Magdalena1, Diana Barsasella2 3
Achievement of Program Evaluation Communicable Disease Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) in the Work Area Health Service Bekasi in 2010-2012
Abstrak
DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Jenis
penelitian adalah penelitian kualitatif. Informan penelitian yaitu Kasi P2DBD Dinas Kesehatan Kota Bekasi,
Seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Petugas lapangan Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Kepala RT 02 RW 09
Kelurahan Kranji, masyarakat yang pernah terkena DBD RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji, Kepala RT 03 RW
09 Kelurahan Kranji, dan masyarakat yang pernah terkena DBD RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji. Hasil
penelitian menunjukkan program pemberantasan DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan kota Bekasi meliputi:
Penyelidikan Epidemiologi, Fogging Fokus, Pemantauan Jentik Berkala dan Pemberantasan Sarang Nyamuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampaian hasil pelaksanaan kegiatan program P2DBD yang meliputi
PE, FF, PJB dan PSN sudah memenuhi indikator kriteria efektitas, sedangkan berdasarkan indikator kriteria
efektivitas program yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau indikator nasional ada beberapa kriteria yang
masih kurang seperti pelaksanaan kegiatan PE dan FF. Hambatan pelaksanaan program P2DBD yaitu
keterlambatan rumah sakit dan masyarakat dalam melaporkan kasus DBD, kesulitan memperoleh bahan bakar
(solar), kurangnya alat fogging atau ULV, dan kesadaran masyarakat mengantisipasi penyebaran DBD masih
kurang. Dampak dari hasil kegiatan program pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi belum memberikan
kontribusi penurunan angka kejadian kasus DBD setiap tahunnya.
Kata Kunci: Evaluasi, Program, Pemberantasan, DBD.
Abstract
Dengue fever is an infection caused by the dengue virus and transmitted through mosquito AedesAegypti
bite. This type of research is qualitative research. Research informant are Head of P2DBD Department of
Health Bekasi City, Head of P2P Department of Health Bekasi City, the field officer Department of Health
Bekasi City, Head of RT 02 RW 09 Kranji Village, RT 02 RW 09 Kranji Villagecommunitywho never exposed to
dengue fever, Chief of RT 03 RW 09 Village Kranji, and RT 03 RW 09 Kranji Village people who never exposed
to dengue fever. The dengue eradication program in the working area of Department of Health Bekasi City
include: Research Epidemiology, Fogging Focus, Larva Monitoring Periodic and Mosquito eradication nest.
The results showed that the results of the implementation of P2DBD program which includes PE, FF, PJB and
PSN already meets the effectiveness criteriaindicators, whereasbased on program effectiveness criteria
indicators set by the central government or national indicators there are several criteria that are lacking such as
the implementation of PE and FF. Barriers to implementation onP2DBD programi.e.delays from hospitals and
communities in reporting cases of dengue fever, difficulty obtaining fuel (diesel), the lack of tools or ULV
fogging, and public awareness to anticipate the spread of dengue is still missing. In summary the impact of the
dengue disease eradication programs in Bekasihave not contributedon decreasingdengue cases annually.
Keywords: Evaluation, Program, Eradication, DBD.
1
Staf PT. International
Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
3
Dosen pada STIKes Persada Husada Indonesia
2
10
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD
tersebut kemungkinan disebabkan oleh
mobilitas penduduk tinggi, perkembangan
wilayah
perkotaan,
perubahan
iklim,
perubahan kepadatan dan distribusi penduduk
serta faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan
penelitian
lebih
lanjut
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kota Bekasi Jumlah penderita DBD pada
tahun 2011 sebesar 697 kasus, pada tahun
2012 jumlah kasus DBD di Kota Bekasi
sebesar 856 kasus dan pada tahun 2013 terjadi
peningkatan kasus yaitu sebesar 1.415
kasus.Sedangkan CFR kota Bekasi tahun 2011
sebesar 1,5%, tahun 2012 sebesar 2,0% dan
tahun 2013 sebesar 1,2%. Sedangkan Angka
IR terjadi peningkatan yaitu 22/100.000
penduduk pada tahun 2011,sedangkan pada
tahun 2012 sebesar 37/100.000 penduduk dan
pada tahun 2013 menjadi 58/100.000
penduduk. Ini merupakan angka IR tertinggi
dalam 3 tahun terakhir. Dengan demikian,
penanganan terhadap kasus DBD perlu
mendapat perhatian khusus agar penderita
DBD tidak sampai meninggal dunia (Profil
Dinkes Bekasi, 2012).
Angka insiden DBD tertinggi selama
tahun 2011-2013 terjadi di kecamatan Pondok
Melati yaitu 529 kasus, angka insiden DBD
menurut jenis kelamin tertinggi pada jenis
kelamin laki-laki dan Gambaran kasus DBD
berdasarkan golongan umur mengambarkan
proporsi rata-rata penderita DBD tahun 20112013 pada golongan umur > 45 tahun yaitu
sebesar 68,2% diikuti pada golongan umur 1544 tahun sebesar 13,33%. (Profil Dinkes
Bekasi, 2012)
Program yang telah dilakukan di Dinas
Kesehatan Kota Bekasi yaitu Penyelidikan
Epidemiologi (PE), Fogging Fokus (FF),
Pemantauan Jentik Berkala (PJB), dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Profil
Dinas Kesehatan Bekasi, 2012). Dalam rangka
evaluasi untuk menilai seberapa jauh
keberhasilan pencapaian pelaksanaan program
Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Jumlah
penderita maupun luas penyebarannya semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk. Penyakit
DBD sering menimbulkan kekhawatiran
masyarakat karena perjalanan penyakitnya
cepat dan menyebabkan kematian dalam waktu
yang singkat. Penyakit ini merupakan salah
satu penyakit yang menular yang dapat
menimbulkan kejadian luar biasa/wabah
(Depkes RI, 1998).
Indonesia pernah mengalami kasus
terbesar (53%) DBD pada tahun 2005 di Asia
Tenggara yaitu 95.270 kasus dari kematian
1.298 orang (Case Fatality Rate (CFR) =
1.36%) (WHO 2006). Jumlah kasus tersebut
meningkat menjadi 17% dan kematian 36%
dibandingkan tahun 2004 (Seopardi, 2010).
Sejarah penyakit DBD di Indonesia
pertama kali ditemukan di Surabaya pada
tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58
kasus dan jumlah kematian sebanyak 24 kasus
(CFR=4,1%). Penyakit ini kemudian menyebar
ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Pada
tahun 1998, terjadi KLB di 25 provinsi yang
meliputi 201 Kabupaten/Kota, sehingga jumlah
kasus meningkat menjadi 47.573 kasus angka
insidens 27,098 per 100.000 penduduk) dengan
jumlah kematian 1.527 (CFR = 3,2 %)
(Depkes RI, 1981). Data yang telah
direkomendasikan WHO pada tahun 2010
angka kesakitan DBD di Indonesia diupayakan
harus mencapai 20/100.000 dan angka
kematian (CFR < 1%). Saat ini Indonesia
merupakan daerah endemis DBD, hal ini
merupakan tantangan yang di sebabkan oleh
penyakit DBD untuk mencapai target yang
direkomendasikan oleh WHO pada tahun
2010.
Data dari DepKes RI tahun 2010
mencantumkan peningkatan jumlah kasus
DBD, pada tahun 2008 berjumlah 137.469
kasus menjadi 159.912 kasus pada tahun 2009.
11
pencegahan dan penanggulangan penyakit
DBD dinas kesehatan kota Bekasi tahun 20112013, peneliti menganalis kinerja meliputi
input, proses, output, dan outcome dengan
melakukan penelitian mengenai Evaluasi
Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit
DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Bekasi Tahun 2011-2013.
Hasil dan Pembahasan
Profil Dinkes Bekasi
Secara geografis kota Bekasi berada
pada posisi 106048’28” – 107027’29” Bujur
Timur serta 6010’6” - 6030’6” Lintang Selatan.
Wilayah Kota Bekasi berada pada ketinggian
antara 11 m – 81 m di atas permukaan laut.
Ketinggian kurang dari 25 m berada pada
Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara,
Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan Pondok
Gede. Sedangkan ketinggian antara 25-100 m
di atas permukaan laut berada di Kecamatan
Bantargebang, Pondok Melati, Jatiasih.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang digunakan untuk meneliti
kondisi objek yang alamiah, yaitu peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi (Saebani, 2008).
Informan penelitian yaitu:
1. Kasi Program Pemberantasan Penyakit
DBD (P2DBD) Dinas Kesehatan Kota
Bekasi sebagai informan kunci selanjutnya
disebut informan 1
2. Seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Bekasi
sebagai informan kunci selanjutnya disebut
informan 2
3. Petugas lapangan Dinas Kesehatan Kota
Bekasi sebagai informan kunci selanjutnya
disebut informan 3
4. Kepala RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji
sebagai informan pendukung selanjutnya
disebut informan 4
5. Masyarakat yang pernah terkena DBD RT
02 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai
informan pendukung selanjutnya disebut
informan 5
6. Kepala RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji
sebagai informan pendukung selanjutnya
disebut informan 6
7. Masyarakat yang pernah terkena DBD RT
03 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai
informan pendukung selanjutnya disebut
informan 7
Pencampaian Program Kesehatan
Umur Harapan Hidup
Tinggi rendahnya umur harapan hidup
merupakan indikator taraf hidup suatu daerah.
Semakin tingggi umur harapan hidup bearti
semakin meningkat pula derajat kesehatan
masyarakat. Umur harapan hidup Kota Bekasi
tahun 2011 (69,70 tahun) lebih tinggi dari
umur harapan hidup Indonesia (69,65 tahun)
maupun provinsi Jawa Barat (68,4 tahun).
Angka Kematian Kasar
Angka kematian kasar atau Crude
Death Rate (CDR) merupakan petunjuk umum
status kesehatan masyarakat, menggambarkan
tingkat permasalahan penyakit, kondisi sosial
ekonomi dan dan kondisi lingkungan. Angka
kematian kasar di Kota Bekasi belum diketahui
secara pasti, namun berdasarkan pencatatan
dan pelaporan rumah sakit jumlah orang yang
meninggal pada tahun 2012 ada sebanyak
2.531 orang. Jumlah ini meningkat lebih dari
tiga kali lipat jumlah kematian tahun 2011
(771 orang) dan tahun 20120 (758 orang).
Penyebab kematian pada penduduk tertinggi
yaitu penyakit infeksi dan parasit (26,12%)
diikuti oleh penyakit sistem pembuluh darah
(18,93) dan penyakit susunan saraf pusat
(16,83%). Seperti terlihat pada tabel dibawah
ini.
12
Tabel 1
Pola Penyakit Penyebab Kematian Penduduk yang dirawat di Rumah Sakit di Kota
Bekasi Tahun 2012
Kasus Baru
No
Nama Penyakit
Jumlah
%
1
Penyakit infeksi dan parasit
661
26.12
2
Penyakit sistem pembuluh darah
479
18.93
3
Penyakit susunan syaraf
426
16.83
4
Penyakit sistem pernafasan
269
10.63
5
Penyakit kelaianan endokrin,gizi,metabolik
195
7.70
6
Penyakit sistem pencernaan
192
7.59
7
Penyakit sistem saluran kemih dan kelamin
150
5.93
8
Penyakit kulit dan jaringan subkutan
91
3.60
9
Penyakit darah dan gangguan mekanisme imun
44
1.74
10 Tumor ganas /neoplasma ganas
17
0.67
11 Gangguan Jiwa dan perilaku
2
0.08
12 Penyakit telinga dan proc.Mastoideus
2
0.08
13 Penyakit sistem muskuloskeletal dan jaringan ikat
2
0.08
14 Penyakit pada mata dan adneksi
1
0.04
Jumlah
2,531
100.00
Sumber : Dinkes kota Bekasi
bila hasil PE tidak memenuhi syarat, maka
hanya dilakukan penyuluhan dan pelaksanaan
PSN.
Alur Pelaporan Kasus DBD
Sumber data kasus DBD berasal dari
rumah sakit, masyarakat atau fasilitas
kesehatan lainnya. Data yang dari rumah sakit
di kirim ke Dinas Kesehatan atau lewat
faximile atau dikirim langsung, data tersebut
kemudian di entri di bagian survailans. Data
yang sudah dientri kemudian diteruskan ke
puskesmas untuk dilakukan PE, hasil PE
dilaporkan kembali ke Dinas Kesehatan.
Tindak lanjut di lapangan sesuai hasil PE, bila
hasil PE positif memenuhi syarat maka
dilakukan FF, penyuluhan dan PSN, sedangkan
Program P2DBD
Input
Hasil Wawancara Mendalam dengan
Informan Kunci
Berikut matriks hasil wawancara
dengan informan kunci mengenai komponen
input untuk program P2DBD dinas kesehatan
kota Bekasi.
Tabel 2 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan
Kunci 3 tentang Komponen Input Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kota Bekasi tahun 2013
Informan Kunci
Komponen
Input
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Sarana
- Alat fogging kurang
- Alat fogging masih
- Alat fogging ada tetapi
- Alat fogging ada tetapi
kurang
yang rusak
ada yang rusak
- Alat fogging ada tetapi
- Alat fogging masih
- Tidak semua
ada yang rusak
kurang
puskesmas mempunyai
- Tidak semua puskesmas
- Sulit mendapatkan solar
alat fogging
mempunyai alat fogging
- Alat yang lain sudah
- Alat yang lainnya
- Alat yang lainnya cukup
cukup
cukup.
13
Tenaga
Biaya
- Tenaga untuk kegiatan
Program P2DBD ada
- Tenaga jumantik masih
kurang terutama untuk
daerah yang endemis
DBD
- Tenaga yang lain sudah
mencukupi
- Biaya untuk program
P2DBD Tersedia
- Biaya sudah mencukupi
- Sumber biaya dari
APBD dan BOK
- Tenaga Untuk Program
P2DBD ada
- Tenaga untuk menangani
jumantik masih kurang
- Tenaga yang lain sudah
mencukupi
- Tenaga untuk khusus
jumantik masih kurang
- Tenaga untuk program
P2DBD ada
- Tenaga yang lain sudah
mencukupi
- Biaya untuk program
P2DBD ada
- Sumber biaya dari dana
APBD dan BOK
- Biaya sudah mencukupi
- Biaya tersedia untuk
program P2DBD
- Biaya sudah mencukupi
tetapi APBD tetapi
realisasi dana lambat
disediakan sendiri oleh Dinas Kesehatan Kota
Bekasi melalui biaya yang dianggarkan oleh
pemerintah yaitu dana APBD dan BOK.
Tenaga di wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kota Bekasi dalam melakukan kegiatan PSN
yaitu masyarakat sendiri yang turun langsung
ke lapangan melalui sosialisasi yang dilakukan
oleh tenaga puskesmas setempat, kemudian
untuk tenaga jumantik di wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kota Bekasi diperlukan tenaga
jumantik yang sudah dilatih oleh dinas
kesehatan maupun puskesmas setempat, tetapi
dalam pelaksanaannya tenaga jumantik yang
sudah dilatih masih diperlukan.
Berdasarkan keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa program P2DBD di
wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi
untuk komponen input yang berupa sarana,
tenaga, dan biaya sudah mencapai kriteria.
Input (masukan) yang dibutuhkan agar
program P2DBD dapat berjalan adalah sarana,
tenaga dan biaya. Sarana yang menunjang
untuk kegiatan program P2DBD di Dinas
Kesehatan kota Bekasi terdiri dari berbagai
jenis mulai dari senter untuk kegiatan PE,
PSN, PJB, mesin fogging, formulir PE dan
PJB. Selain itu leaflet, brosur, spanduk, kaset
dan compact disk untuk kegiatan penyuluhan.
Jumlah sarana tersebut sudah mencukupi untuk
setiap kegiatan kecuali alat fogging yang masih
kurang, ditambah lagi alat fogging yang masih
bermasalah.
Berdasarkan tabel 2 diatas evaluasi
pencampaian program P2DBD di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi mengenai
komponen input berupa sarana,tenaga dan
biaya sudah terpenuhi tetapi ada beberapa
kendala yang ditemukan seperti ketersediaan
solar sebagai bahan bakar untuk kegiatan
fogging, ada beberapa alat fogging yang rusak,
dan ada beberapa puskesmas yang belum
mempunyai alat fogging, tenaga jumantik
masih kurang, kemudian keterlambatan dalam
merealisasi biaya untuk kegiatan program
P2DBD. Sarana untuk kegiatan program
P2DBD berupa alat fogging, senter, gayung
Hasil Telaah Dokumen
Sarana dan Prasarana
Data mengenai sarana dan prasarana
program P2DBD di Kota Bekasi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Sarana dan Prasarana Program P2DBD di kota Bekasi
No
Kegiatan P2DBD
Sarana dan Prasarana
1 Penyuluhan
Alat peraga
1. Lembar Balik
2. Infocus
2 PSN
3M Plus
14
Ketersediaan
Ada
Ada
Ada
3
PJB
4
PE
5
FF
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
Lampu Senter
Larvasida/abatisasi
Form-PJB
Senter
Alat tranportasi
Form PE
Mesin fogging
Insektisida
Pelarut insektisida
Solar
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Sumber: Dinkes Kota Bekasi
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam kegiatan PSN adalah peralatan 3M,
peralatan tersebut di sediakan oleh masyarakat
sendiri. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam
kegiatan
PJB
adalah
senter,
larvasida/abatisasi dan form PJB. Setiap
jumantik memiliki senter selain itu jumantik
harus memiliki persediaan larvasida dan form
PJB. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam kegiatan Penyelidikan Epidemiologi
adalah senter, alat transportasi dan form PE,
semua petugas harus memiliki senter untuk
memeriksa jumantik. Alat dan bahan yang
dibutuhkan pada waktu FF yaitu mesin
fogging, insektisida, pelarut insektisida dan
solar.
Tenaga
Data mengenai Tenaga program
P2DBD di kota Bekasi dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 4 Tenaga untuk program P2DBD di kota Bekasi
No
Kegiatan P2DBD
Jenis SDM
1
Penyuluhan
Penyuluh
2
PSN
- Petugas Program Kesling
- Jumantik
- Masyarakat
3
PJB
Jumantik
4
PE
Petugas PE
5
FF
Petugas Fogging
Sumber : Dinkes Bekasi
Jumlah SDM
62
19
650
740
19
20
kegiatan PE jumlah tenaga berjumlah 19
orang, dan untuk kegiatan FF jumlah
tenaganya ada 20 orang.
Dalam melaksanakan kegiatan program
P2DBD tenaga yang disediakan oleh dinas
kesehatan kota Bekasi masing-masing kegiatan
sudah memiliki tenaga yang ahli dalam
bidangnya. Jumlah tenaga untuk kegiatan
penyuluhan ada 62 orang, untuk kegiatan PSN
berjumlah 669 yaitu petugas program kesling
19 orang dan jumantik 650 orang. Untuk
kegiatan PJB tenaga jumantik 740 orang, untuk
Biaya
Data mengenai ketersediaan dana
untuk pelaksanaan program P2DBD di Kota
Bekasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
15
Tabel 5 Kegiatan Dana untuk Kegiatan Program P2DBD di Kota Bekasi
No
Kegiatan P2DBD
Ketersediaan Dana
1
Penyuluhan
Tidak ada
2
PSN
Tidak ada
3
PJB
Ada
4
PE
Ada
5
FF
Ada
Sumber: Dinkes Bekasi
Berdasarkan tabel di atas dapat diuraikan
mengenai biaya operasional yang dikeluarkan
untuk program P2DBD. Untuk penyuluhan dan
pemberantasan sarang nyamuk tidak tersedia
dana, sedangkan untuk kegiatan PJB, PE dan
kegiatan FF telah tersediannya dana, yang
diperoleh dari dana APBD dan dan BOK.
1, informan kunci 2 dan informan kunci 3
mengenai komponen proses berupa PE, PJB,
FF dan PSN, dimana informan kunci 1 adalah
kepala seksi P2DBD dinas kesehatan kota
Bekasi, kemudian informan kunci 2 yaitu seksi
P2P dinas kesehatan kota Bekasi dan informan
kunci yang ketiga adalah petugas lapangan.
Berikut matriks hasil wawancara dengan
informan kunci mengenai komponen proses
untuk program P2DBD dinas kesehatan kota
Bekasi.
Proses
Pada
tahap
selanjutnya
hasil
wawancara mendalam dengan informan kunci
Tabel 6 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan
Kunci 3 tentang Komponen Proses Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2013
Informan Kunci
Komponen
PROSES
Informan 1
Informan 2
Informan 3
PE
- Pelaksanaan PE
- PE dilakukan apabila
- Pelaksanaan PE
dilakukan jika ada
ada laporan dari rumah
dilakukan apabila ada
laporan kasus DBD dari
sakit atau warga yang
laporan dari
rumah sakit atau dari
positif terkena DBD
masyarakat atau rumah
warga baru di lakukan
- PE dilakukan oleh
sakit bahwa ada
PE
puskesmas
penderita DBD
- PE dilakukan oleh
- Hasil PE dilaporkan ke
- Dana PE diperoleh dari
Puskesmas dan hasilnya
Dinas dengan formulir
dana APBD dan BOK
dikirim ke Dinas
PE
- Laporan dari RS dan
Kesehatan yaitu dengan
- Dana PE diperoleh dari
masyarakat lambat
formulir PE
dana APBD dan dari
- Dana PE dari
BOK
BOK,APBD Provinsi
- Laporan dari RS lambat
dan Daerah.
- Mayarakat tidak bersedia
- Laporan dari
rumahnya diperiksa
masyarakat, RS lambat
- Dukungan dari dana
- Masyarakat tidak
sudah ada
bersedia rumahnya
diperiksa
- Kinerja puskesmas
sudah bagus
FF
- Kegiatan FF dilakukan
- FF dilakukan apabila
- FF dilakukan jika hasil
apabila Hasil PE
kegiatan PE ditemukan
PE didapat penderita
16
-
-
-
PJB
PSN
ditemukan 1 atau lebih
penderita dan ditemukan
3 atau lebih tersangka
DBD di daerah penderita
yang terkena DBD
FF dilakukan dengan
radius 200 meter dengan
2 siklus dalam interval
satu minggu.
Dana untuk kegiatan PE
tersedia
Hasil FF dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kota
dengan formulir K-DBD
Sulit memperoleh solar
- Tujuan dilakukan PJB
untuk mengetahui hasil
pelaksanaan PSN DBD
oleh masyarakat
- PJB dilakukan 3 bulan
sekali secara teratur
- Hasil PJB dilaporkan ke
dinas kesehatan dengan
formulir JPJ-2
- Tenaga jumantik masih
kurang
- PSN dilakukan oleh
masyarakat di
lingkungannya masingmasing dengan cara 3M
Plus
- Dana untuk PSN tidak
ada
- PSN diukur dari ABJ
- Kesadaran masyarakat
untuk PSN masih kurang
-
-
-
-
-
-
-
-
penderita DBD dalam
satu daerah atau wilayah
itu ditemukan 1 atau
lebih penderita, dan 3
atau lebih tersangka
DBD.
FF dilakukan dengan
radius 200 meter,2 siklus
dengan interval satu
minggu
Dana kegiatan FF dari
BOK dan APBD
Hasil kegiatan FF
dilaporkan ke Dinas
kesehatan dengan
formulir K-DBD
Sulit memperoleh solar
Kegiatan PJB
dilaksanakan 3 bulan
sekali secara teratur
Kegiatan PJB
dilaksanakan oleh
puskesmas nanti
hasilnya dikirim ke dinas
kesehatan dalam bentuk
formulir JPJ-2
PJB ini dilakukan untuk
mengetahaui hasil
pelaksanaan PSN DBD
oleh masyarakat
setempat.
PSN dilakukan oleh
masyarakat masingmasing wilayah dengan
3M plus
Dana untuk PSN tidak
ada karena yang
melakukan kegiatan itu
masing-masing
masyarakat
Kesadaran masyarakat
masih kurang
DBD 1 atau lebih dan 3
atau lebih tersangka
DBD
- Pelaksanaan FF
dilakukan oleh
puskesmas
- FF dengan radius 200
meter,2 interval dalam
satu minggu
- Hasil FF dilaporkan ke
Dinas Kesehatan kota
dengan formulir KDBD
- Dana Kegiatan FF dari
APBD dan BOK.
- Sulit memperoleh solar
- PJB dilakukan 3 bulan
sekali secara teratur
- Hasil PJB kita catat
dalam formulir JPJ-2
nanti dilaporkan ke
dinas kesehatan kota
- Pelaksanaan PJB kerja
sama dengan
masyarakat, RT dan
RW
- Tenaga untuk jumantik
kurang
- PSN dilakukan oleh
masyarakat dengan
bantuan petugas
puskesmas yang
menggerakkan dan RT
RW
- PSN dilakukan dengan
3M Plus
- Dana untuk PSN tidak
ada
- Kesadaran masyarakat
untuk kegiatan PSN
masih kurang
dan tersangka DBD lainnya dan menentukan
perlu tidaknya pelaksanaan FF. Pelaksanaan
PE di wilayah kerja dinas kesehatan kota
Bekasi dilaksanakan ketika ada laporan dari
masyarakat, puskesmas dan rumah sakit bahwa
ada penderita yang terkena DBD, kemudian
Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Sesuai dengan tujuan PE yaitu untuk
mengetahui penularan dan penyebaran DBD
lebih lanjut serta tindakan penanggulanggan
yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat
tinggal penderita, mengetahui adanya penderita
17
dinas
kesehatan
bekerjasama
dengan
puskesmas untuk melakukan kegiatan PE, hasil
kegiatan PE tersebut dilaporkan kembali ke
dinas kesehatan agar dapat ditentukan jenis
tindakan apa yang akan dilakukan.
Dalam pelaksanaan kegiatan PE ada
beberapa faktor yang menghambat dan
mendukung kegiatan tersebut, faktor-faktor
tersebut antara lain:
kesehatan dengan menggunakan formulir JPJ-2
sebagai bahan laporan.
Berdasarkan prosedur pelaksanaan
kegiatan FF, penyemprotan atau pengasapan
dilakukan di rumah penderita DBD dan
rumah/bangunan sekitarnya dengan radius 200
meter, dilakukan sebanyak 2 siklus dengan
interval 1 minggu, sedangkan pelaksanaan
kegiatan FF di wilayah kerja dinas kesehatan
kota Bekasi, penyemprotan atau pengasapan
dilakukan dalam 1 siklus dengan radius 100
meter. Hal ini disebabkan kesulitan
memperoleh bahan bakar (solar) yang
digunakan untuk melakukan penyemprotan
atau pengasapan, faktor penghamabat lain
adalah kekurangan alat fogging atau ULV.
Sedangkan faktor yang mendukungnya yaitu
tersedianya dana yang direalisasi oleh APBD
dan BOK.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa tingkat pencampaian
proses pelaksanaan kegiatan FF yang sudah
dilaksanakan dinas kesehatan kota Bekasi
belum memenuhi kriteria pencampaian
program P2DBD, hal ini disebabkan oleh
proses pelaksanaan yang belum sesuai dengan
prosedur dan masih kekurangan sarana.
1. Faktor penghambat
a) Laporan dari RS terlamabat
b) Laporan dari masyarakat lambat
c) Masih ada masyarakat yang tidak
bersedia rumahnya untuk diperiksa
d) Alamat penderita DBD yang diberikan
RS ke dinas kesehatan tidak sesuai
e) Ada masyarakat yang terkena DBD
tidak melapor ke tenaga kesehatan
2. Faktor pendukung
a) Tersedianya dana untuk kegiatan PE
b) Tersedianya alat atau sarana dan
c) Tersediannya tenaga untuk kegiatan PE
Hasil dan pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara diatas
proses kegiatan PE sudah sesuai dengan
prosedur pelaksanaan kegiatan PE. Hal ini
dapat dilihat dari hasil wawancara antara
peneliti dengan informan kunci 1, informan
kunci 2 dan informan kunci 3
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Pelaksanaan kegiatan PSN bertujuan
untuk memberantas sarang nyamuk, proses
pelaksanaan kegiatan PSN dilakukaan dengan
cara 3M plus yaitu menguras, menutup, dan
mengubur serta menggunakan kelambu atau
anti nyamuk. Kegiatan tersebut dilakukan
setiap hari jum’at oleh masing-masing
warga.Faktor yang menghambat pelaksanaan
kegiatan PSN
adalah kesadaran dari
masyarakat untuk mengantisipasi penyebaran
DBD masih kurang. Sedangkan faktor
pendukung untuk pelaksanaan kegiatan PSN
antara lain sudah dilakukan penyuluhan dan
sosialisasi dari dinas kesehatan serta
puskesmas.
Berdasarkan hasil wawancara dan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses
Fogging Fokus (FF)
Setelah dilakukan kegiatan PE dan ternyata
di wilayah tersebut ditemukan 1 atau lebih
penderita DBD kemudian dari hasil PE
ditemukan tiga atau lebih tersangka DBD
maka perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan FF.
Kegiatan FF ini bertujuan untuk membunuh
nyamuk dewasa dan sebagai tindaklanjut dari
kegiatan PE. Proses pelaksanaan FF di wilayah
kerja
dinas
kesehatan
kota
Bekasi
dilaksanakan
dengan
melakukan
penyemprotan 2 siklus dengan interval 1
minggu. Hasil pelaksanaan kegiatan FF
dilaporkan oleh puskesmas setempat ke dinas
18
pelaksanaan kegiatan PSN di wilayah kerja
dinas kesehatan kota Bekasi belum terlaksana
dengan baik.
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Proses pelaksanaan kegiatan PJB
bertujuan untuk melakukan pemeriksaan jentik
nyamuk penular DBD dan memotivasi
masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD,
PJB dilakukan selama 3 bulan sekali yang
dilaksanakan oleh dinas kesehatan, puskesmas
dan masyarakat. Pelaksanaan PJB bisa juga
dilakukan pada saat kegaiatan PSN. Hasil
kegiatan PJB dan PSN dilaporkan ke dinas
kesehatan dalam bentuk formulir JPJ-2.
Beberapa faktor yang menghambat
dalam pelaksanaan kegiatan PJB antara lain
ada beberapa masyarakat yang tidak bersedia
diperiksa rumahnya, kurangnya tenaga
jumantik serta ada beberapa rumah yang
kosong pada saat pelaksanaan kegiatan PJB
kosong. Kemudian faktor yang mendukung
untuk pelaksanaan kegiatan PJB adalah
tersedia dana dari ABPD dan BOK serta
koordinasi dinas kesehatan dengan puskesmas
dalam pelaksanaan kegiatan PSN sudah
berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan kegiatan PJB sudah
berjalan dengan baik karena sudah sesuai
dengan prosedur pelaksanaan program,
walaupun ada beberapa hambatan dalam
pelaksanaan.
Gambar 1 Hasil Observasi terhadap
Lingkungan Warga (Saluran
Air)
Gambar 2 Hasil
Observasi
terhadap
Lingkungan Warga (Saluran
Air)
Hasil Observasi
Hasil observasi dilaksanakan untuk
mengetahui pelaksanaan program P2DBD
yang sedang berjalan dengan mengamati
secara langsung dengan mencatat gejala-gejala
yang ditemukan di lapangan serta menjaring
data yang tidak terjangkau. Observasi
dilakukan di wilayah kerja dinas kesehatan
kota Bekasi yaitu di Jalan Sakura Perum Duta
Kranji Kec. Bekasi Barat RT/RW 03/09.
Gambar 3 Hasil
Observasi
terhadap
Lingkungan Warga (Tempat
Sampah)
Dari gambar di atas dapat di ambil
kesimpulan bahwa kesadaran masyarakat yang
ada di wilayah tersebut masih kurang.
19
PJB dan hasil penilaian kegiatan PSN hal ini
sesuai dengan hasil wawancara antara penulis
dengan informan kunci 1, informan kunci 2
dan informan kunci 3. Berikut matriks beserta
hasil wawancara dengan informan kunci:
Output
Hasil Wawancara dengan Informan
Kunci
Hasil penilaian output masing-masing
terdiri dari hasil penilaian kegiatan PE, hasil
penilaian kegiatan FF, hasil penilaian kegiatan
Tabel 3 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan
Kunci 3 tentang Komponen Output Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kota Bekasi
Informan Kunci
Komponen
OUTPUT
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Hasil PE
- Hasil PE dari tahun
- Kegiatan PE di wilayah - Dari tahun 20112011-2013 belum
kerja Dinkes Bekasi
2013 hasil PE belum
mencapai target
belum mencapai target
mencapai target
- Target yang harus
nasional
dicapai adalah 100 %
yaitu setiap ada kasus
dilakukan PE
Hasil FF
- Hasil kegiatan FF
- FF dialakukan dengan
- Hasil kegiatan FF
hampir 100 %
baik
tahun 2011-2013
- Target FF yang harus
- Hasil FF hampir
adalah 99,71 %
dicapai 100%
mencapai target
hampir mencapai
- Hasil FF dari tahun
target
2011-2013 adalah 99,71
- Target yang harus
%
dicapai 100%
Hasil PJB
- Rata-rata hasil PJB
- Hasil PJB masih
- Hasil PJB rata-rata
94,25%
dibawah angka target
adalah 94,25%
- Target yang harus
- Target rata-rata hasil
dicapai adalah 95%
PJB tahun 2011-2013
- Hasil PJB belum
94,25%
mencapai target
Hasil PSN
- Hasil PSN dilihat dari
- Hasil PSN dilihat dari
- Hasil PSN dilihat
ABJ
ABJ
dari ABJ
- Hasil ABJ rata-rata dari
- Hasil ABJ rata-rata dari - Hasil ABJ rata-rata
tahun 2011-2013 adalah
tahun 2011-2013 adalah
dari tahun 201194,25
94,25
2013 adalah 94,25
- Hasil PSN belum
- Hasil PSN belum
- Hasil PSN belum
mencapai target
mencapai target
mencapai target
- Sementara target yang
- Sementara target yang
- Sementara target
harus dicapai adalah
harus dicapai adalah
yang harus dicapai
95%
95%
adalah 95%
dari komponen output yang meliputi kriteria
Berdasarkan matriks hasil wawancara di atas
pelaksananaan kegiatan PE dengan rata-rata
evaluasi pencampaian program P2DBD dari
64,67% , FF 99,3%, PJB 95,3 dan PSN 95,3%.
tahun 2011-2013 di wilayah kerja dinas
Sesuai dengan indikator pencapaian
kesehatan kota Bekasi rata-rata sudah
program P2DBD yang telah ditentukan oleh
dikatakan baik, hal ini berdasarkan hasil
dinas kesehatan kota Bekasi pencampaian hasil
pencampaian kriteria pelaksanaan kegiatan
pelaksanaan kegiatan program P2DBD yang
20
meliputi PE, FF, PJB dan PSN sudah
memenuhi
indikator
kriteria
efektitas,
sedangkan berdasarkan indikator kriteria
efektivitas program yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau indikator nasional ada
beberapa kriteria yang masih kurang seperti
pelaksanaan kegiatan PE dan FF.
Hasil Wawancara
Pendukung
dengan
Informan
Hasil
dari
wawancara
dengan
informan pendukung mengenai program kerja
yang dilakukan oleh dinas dalam menangani
kasus DBD di wilayah kerja dinas kesehatan
kota Bekasi sebagai berikut:
Tabel 5 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Pendukung 1, Informan Pendukung 2,
Informan pendukung 3 dan Informan Pendukung 4 di Wilayah Dinas Kesehatan Kota
Bekasi
Komponen
Informan Pendukung
OUTPUT
Informan 4
Informan 5
Informan 6
Informan 7
Pelaksanaan
- Program
- Begitu ada
- Program tidak - Ada penderita
Program dan
sudah
kejadian langsung
berjalan
- Ada tindakan
pemberantasan
dilaksanakan
diberikan tindakan - Kegiatan
dari puskesmas
DBD
- Tidak ada
dari pihak
fogging ada tapi
tapi lambat
dana dari
puskesmas
dana nya dari
prosesnya
dinas
- Pelaksanaan
dana swadaya
- Ada kegiatan
kesehatan,
kegiatan program
- Kegiatan PJB
Fogging dan
hanya ada
P2DBD yang
Tidak berjalan
dana dari dana
dana dari
sudah terlihat
- Kegiatan PSN
swadaya
swadaya
adalah FF,PSN
aktif
- Kegiatan PSN
berjalan lancar.
berjalan lancar
Berdasarkan matriks hasil wawancara di atas
mengenai pelaksanaan program kerja yang
sudah dilaksanakan oleh dinas kesehatan kota
Bekasi. Program yang dilaksanakan oleh dinas
kesehatan
secara
garis
besar
sudah
dilaksanakan dengan baik begitu juga dengan
puskesmas setempat yang dibantu warga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga
setempat ada beberapa program yang belum
dilaksanakan oleh dinas program tersebut
adalah PJB dan PE. Pelaksanaan program yang
meliputi kegiatan PE dan PJB, PE
dilaksanakan apabila ditemukan kasus DBD
dilingkungan setempat, sedangkan PJB
dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan sekali
sehingga
memungkinkan
ketidatahuan
masyarakat mengenai pelaksanaan program
yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan kota
Bekasi.
Hasil Program P2DBD
Program yang dilakukan oleh dinas
kesehatan kota Bekasi dalam rangka
memberantas penyakit DBD adalah PE, FF,
PJB, dan PSN.
Hasil Kegiatan PE
PE
adalah
kegiatan
pencarian
penderita DBD atau tersangka DBD lainnya
dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD
ditempat tinggal penderita dan rumah/
bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat
umum dalam radius sekurang-kurang nya 100
meter. Tujuan pelaksanaan PE adalah untuk
mengetahui potensi penularan dan penyebaran
DBD
lebih
lanjut
serta
tindakan
penanggulangan yang perlu dilakukan di
wilayah tempat tinggal penderita. Kegiatan PE
di Dinas Kesehatan Kota Bekasi dilaksanakan
oleh petugas kesling disetiap puskesmas.
Sumber dana untuk pelasksanaan PE berasal
21
dari APBD Provinsi Jawa Barat, APBD kota
Bekasi dan BOK.
Pelaksanaan PE dilakukan setelah
diterima laporan adanya penderita dari rumah
sakit melalui keluarga pasien atau laporan dari
Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi
yang kemudian diteruskan ke Puskesmas
setempat dimana penderita tinggal.
Kegiatan PE dilakukan pada
lingkungan di sekitar tempat tinggal penderita
dengan radius 100 meter atau sekitar 29
rumah. Petugas melakukan wawancara pada
keluarga untuk mengetahui ada tidaknya
penderita DBD lainnya atau penderita yang
mengalami demam namun penyebabnya belum
jelas,
maka
petugas
PE
melakukan
pemeriksaan pada kulit dengan cara melakukan
uji Tourniquet terhadap penderita tersebut.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan jentik
pada tempat penampungan air (TPA) di
tempat-tempat lainnya baik di dalam maupun
di luar rumah. Hasil yang diperoleh kemudian
dicatat dalam formulir PE, lalu formulir
tersebut ditanda tangani oleh kepala puskesmas
dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota
Bekasi untuk dilakukan penanggulangan
seperlunya.
PE dilaksanakan dan dilaporkan
dalam wakru 1x24 jam setelah laporan So
diterima oleh Puskesmas. Hasil kegiatan PE
yang telah dilaksanakan di Dinas Kesehatan
Kota Bekasi dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
Tabel 8 Rata-Rata Hasil Kegiatan PE Per Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2011-2013
Tahun
Jumlah Kasus
Target PE
Realisasi
%
2011
2012
2013
697
856
1.415
697
856
1.415
628
1.055
81
51
62
81
64,67%
Rata-rata
Sumber: Dinkes Kota Bekasi
dan ditemukan tiga atau lebih penderita panas
tanpa sebab yang jelas.
Fogging dilaksanakan pada rumah
penderita dan rumah sekitarnya dengan radius
± 100 m (satu RT 40 RUMAH) yang
dilaksanakan satu siklus hal ini meningingat
keterbatasan dana yang ada. Pencampuran
insektisida dengan pelarut sebesar 5% 1 liter
malathion dicampur dengan 20 liter solar.
Hasil Kegiatan FF
Setelah dilakukan PE maka dilakukan
FF, kegiatan ini dilakukan untuk mencegah
/membatasi penularan penyakit DBD disekitar
rumah penderita, tempat-tempat umum yang
diperkirakan dapat menjadi sumber penularan.
FF dilakukan apabila dari hasil PE disekitar
rumah penderita terdapat jentik Aedes aegypti
Tabel 9 Rata-Rata Hasil Kegiatan FF di Kota Bekasi Tahun 2011-2013
Tahun
2011
2012
2013
Jumlah Kasus
697
856
1.415
Target FF
Kasus DBD Positif
Kasus DBD Positif
Kasus DBD Positif
Rata-rata
Sumber : Dinkes Kota Bekasi Keterangan FF : Fogging Fokus
Dari tabel
diatas dapat dilihat cakupan
tertinggi pada tahun 2012 dan 2013 yaitu
Realisasi
691
856
1.415
%
99,13
100
100
99,71
sebesar 100% dan cakupan terendah pada
tahun 2011 sebesar 99,13%.
22
jentik tersebut diinformasikan kepada kepala
wilayah / daerah setempat sebagai evaluasi dan
dasar penggerakan masyarakat dalam PSN
DBD. Hasil kegiatan PJB di Kota Bekasi tahun
2011-2013 pada tabel berikut:
Hasil Kegiatan PJB
PJB dilaksanakan setiap tiga bulan
sekali yang dilakukan di rumah dan di tempattempat umum. PJB ini dilakukan oleh kader
jumantik dimana kader jumantik tersebut
sebanyak 100 rumah sampel untuk setiap
desa/kelurahan. Hasil dari pemeriksaan bebas
Tabel 10 Rata-Rata Hasil Kegiatan PJB di Kota Bekasi Tahun 2011-2013
Jumlah
Target
ABJ %
Rata-rata
Tahun
Kecamatan
ABJ %
ABJ %
Tri I
Tri II
Tri III Tri IV
2011
12
95%
95
95
96
96
95,5 %
2012
12
95%
94
95
94
95
94,5 %
2013
12
95%
93
93
93
92
92,75 %
Rata-rata ABJ
94
94,33
94,33
94,33
94, 25%
Sumber: Dinkes Kota Bekasi, Keterangan PJB: Pemeriksaan Jentik Berkala, ABJ :Angka Bebas Jentik
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata
angka bebas jentik selama tahun 2011-2013
sebesar 94,25% dimana angka bebas jentik ini
masih dibawah angka standar nasional yaitu >
95%.
mencapai 100% karena hampir semua kasus
DBD dilakukan PE.
Hasil kegiatan fogging fokus angkanya
mengalami penurunan yaitu pada tahun 2013
sebesar 100%, tahun 2012 sebesar 99%, dan
tahun 201 sebesar 99%, Hasil kegiatan
Pemeriksaan jentik berkala cakupannya
sebesar 95,3% dimana angka rata-rata tersebut
sudah memenuhi angka nasional . Untuk dapat
mengetahui tingkat efektifitas kegiatan
program P2DBD lebih jelasnya dilihat pada
tabel dibawah ini:
Rekapitulasi Hasil Kegiatan P2DBD
Hasil kegiatan program pemberantasan
penyakit DBD (P2DBD) yang dilaksanakan di
Kota Bekasi sebagian besar mengalami fluktasi
dari tahun ke tahunnya. Hanya kegiatan
Penyelidikan Epidemiologi yang hampir
Tabel 11 Rata-Rata Hasil Kegiatan Program P2DBD di kota Bekasi tahun 2011-2013
Tahun
Program P2DBD
Rata-Rata (%)
2011
2012
2013
Penyelidikan Epidemiologi (PE)
51
62
81
64,67%
Fogging Focus (FF)
100
99
99
99,3%
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
96
95
95
95,3 %
Sumber : Dinkes Kota Bekasi
kriteria yang dievaluasi yaitu IR dan CFR.
Berikut matriks hasil wawancara penulis
dengan informan kunci:
Outcome
Komponen outcome bertujuan untuk
mengetahui dampak program kerja yang sudah
dilakukan, pada komponen outcome ada
23
Tabel 12 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan
Informan Kunci 3 tentang Komponen Outcome Program P2DBD di Wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Komponen
Informan Kunci
OUTCOME
Informan 1
Informan 2
Informan 3
IR
- Angka kesakitan melebihi - Angka kesakitan
- Angka kesakitan
angka target nasional
melebihi angka target
melebihi angka target
- Ada peningkatan pada
nasional
nasional
tahun 2013 yaitu
- Ada peningkatan pada
- Ada peningkatan pada
58/100.000 penduduk
tahun 2013 yaitu
tahun 2013 yaitu
- Target nasional <
58/100.000 penduduk
58/100.000 penduduk
20/100.000 penduduk
- Target nasional <
- Target nasional <
20/100.000 penduduk
20/100.000 pdk
CFR
- Angka kematian dari
- Angka kematian dari
- Angka kematian dari
tahun 2011-2012 tertinggi
tahun 2011-2012
tahun 2011-2012
tahun 2012 yaitu 2,0%
tertinggi tahun 2012
tertinggi tahun 2012
- Tahun 2013 angka
yaitu 2,0%
yaitu 2,0%
kematian 1,2%.
- Tahun 2013 angka
- Tahun 2013 angka
- Target nasional 1 atau >
kematian 1,2%.
kematian 1,2%.
1%
- Target nasional 1 atau > - Target nasional 1 atau
1%
> 1%
Berdasarkan matrik hasil wawancara di atas
menunjukkan bahwa program kerja dinas
kesehatan kota Bekasi untuk menangani kasus
DBD sudah dilakukan berdasarkan prosedur
yang berlaku tetapi setelah dilakukan evaluasi
atau penilaian kasus DBD meningkat dan
angka kematian karena kasus DBD melebihi
target nasional. Target yang ditetapkan
nasional untuk CFR adalah < 1%, dan IR 20/
100.000 penduduk sedangkan kasus yang
terjadi di wilayah kerja dinas kota Bekasi
melebihi
sntandar
nasional.
Hal
ini
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat
akan pentingnya kesehatan masih kurang.
Tabel 13 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan
Informan Kunci 3 tentang Komponen Outcome Program P2DBD di Wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Komponen
Informan Pendukung
OUTPUT
Informan 4
Informan 5
Informan 6
Informan 7
Dampak dari
- Kurang berhasil - Belum terasa
- Belum ada
- Masih kurang
pelaksanaan
- Penderita DBD - Kegiatan sudah
dampak positif
- Penyemprotan
program
masih ada
dilaksanakan
- Program belum
sudah dilakukan
P2DBD
berjalan dengan - PJB belum
baik
berjalan.
DBD, kesulitan memperoleh bahan bakar
Berdasarkan matrik hasil wawancara di atas
(solar), kurangnya alat fogging atau ULV,dan
menunjukkan bahwa dampak pelaksanaan
kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi
program P2DBD masih kurang berhasil.
penyebaran DBD masih kurang.
Hambatan
Hambatan dalam pelaksanaan program
P2DBD antara lain keterlambatan rumah sakit
dan masyarakat dalam melaporkan kasus
24
1. Bagi Dinas
a. Kepada pemegang program hendaknya
meningkatkan upaya pencegahan dan
pemberantasan vektor intensif seperti
PE, FF, PJB dan PSN serta lebih
meningkatkan
cakupan
kegiatan
program P2DBD serta evaluasinya.
b. Melaksanakan Kegiatan PJB dan PSN
melalui program UKS
c. Melibatkan dan bekerjasama dengan
organisasi atau lembaga yang ada di
masyarakat seperti Posyandu, PKK,
LKMD, dan organisasi pemuda dalam
PSN dan gerakan kebersihan (Gerakan
Jum’at bersih).
d. Kerjasama lintas program dalam hal
PSN melalui program Pekan Sanitasi,
Program Klinik Sanitasi diPuskesmas
dan Program Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) di masyarakat.
e. Penyebarluasan informasi kepada
masyarakat tentang penanggulangan
penyakit DBD melalui media cetak
dan media eletronik.
3. Bagi Masyarakat
a. Menjalin kerjasama yang baik dengan
para tenaga kesehatan
b. Menciptakan lingkungan yang bersih
dan sehat dengan menjaga kebersihan
lingkungan.
c. Bergotong royong membersihkan
lingkungan (±1 minggu sekali).
4. Bagi Puskesmas dan Rumah Sakit
a. Berperan aktif dalam pencegahan
penularan
penyakit
DBD
di
masyarakat
b. Melakukan
pengawasan
berkala
terhadap penularan DBD agar tidak
tersebar luas.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Komponen input Program P2DBD di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota
Bekasi yang berupa sarana, tenaga, dan
biaya sudah mencapai kriteria
2. Komponen Proses berupa kegiatan PE
sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan
kegiatan PE, tingkat pencampaian proses
pelaksanaan kegiatan FF yang sudah
dilaksanakan dinas kesehatan kota Bekasi
belum memenuhi kriteria pencampaian
program P2DBD, pelaksanaan kegiatan
PSN di wilayah kerja dinas kesehatan kota
Bekasi belum terlaksana dengan baik,
pelaksanaan kegiatan PJB sudah berjalan
dengan baik, kesadaran masyarakat yang
ada di wilayah tersebut masih kurang.
3. Komponen Output berupa pencapaian hasil
pelaksanaan kegiatan program P2DBD
yang meliputi PE, FF, PJB dan PSN sudah
memenuhi indikator kriteria efektifitas,
dan
berdasarkan
indikator
kriteria
efektivitas program yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau indikator nasional
ada beberapa kriteria yang masih kurang
seperti pelaksanaan kegiatan PE dan FF
4. Komponen Outcome Dampak dari hasil
kegiatan program pemberantasan penyakit
DBD di Kota Bekasi belum memberikan
kontribusi penurunan Angka kejadian
kasus DBD setiap tahunnya.
5. Hambatan dalam pelaksanaan program
P2DBD antara lain keterlambatan rumah
sakit dan masyarakat dalam melaporkan
kasus DBD, kesulitan memperoleh bahan
bakar (solar), kurangnya alat fogging atau
ULV,dan kesadaran masyarakat dalam
mengantisipasi penyebaran DBD masih
kurang.
Daftar Pustaka
Ahmad Saebani, Beni. (2008). Metode
penelitian. Pustaka Setia.
Arikunto, S., Safruddin, C. (2004). Evaluasi
program pendidikan: pedoman teoretis
Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dari hasil
penelitian di atas, dapat dilampirkan beberapa
saran sebagai berikut:
25
praktis bagi praktisi pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Dinkes. (2012). Profil kesehatan. Bekasi:
Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Ditjen
P3L.(2005).
Pencegahan
dan
pemberantasan demam berdarah dengue di
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Hasan dan Ayubi. (2007). Hubungan perilaku
pemberantasan sarang nyamuk dan
kejadian demam berdarah dengue di kota
Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2: 90.
Moleong, Lexy. (2011). Metodologi penelitian
Kualitatif.
Bandung:
PT
Remaja
Rosdakarya.
Sintorini. (2007). Pengaruh iklim terhadap
kasus DBD. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2: 12.
Soegijanto, Soegeng. (2006). Demam berdarah
dengue. Surabaya: Airlangga University
Press
26
Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan Dengan Perilaku Pencegahan Chikungunya
pada Masyarakat Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi
Herlina1, Siti Rukayah1
Knowledge and Environmental Relations With Chikungunya Prevention Behavior
In Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi
Abstrak
Chikungunya merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus chikungunya. Gejala
utamanya adalah demam mendadak, nyeri persendian terutama disendi lutut, jari kaki dan tangan serta tulang
belakang. Salah satu pencegahan dari penyakit ini adalah dengan melakukan perilaku pencegahan dengan cara
pelaksanaan PSN, melakukan 3M plus, dan pemeriksaan jentik berkala oleh petugas kesehatan. Pada tahun 2012
dan 2013 terdapat kejadian chikungunya di Kelurahan Kranji dengan jumlah penderita 263 kasus tanpa
kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan lingkungan dengan perilaku
pencegahan chikungunya pada masyarakat RW 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi Tahun 2014. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain survey deskritif korelasi. Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 97 responden. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan chikungunya (OR=0,172, P=0,04), lingkungan dengan perilaku
pencegahan chikungunya (OR=0.822, P=0,018). Data di chi-square dengan taraf signifikan 95% (0,05).
Disarankan untuk meningkatkan kegiatan pencegahan dengan melakukan 3M Plus, tindakan PSN, penyuluhan
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait peningkatan perilaku pencegahan demam chikungunya.
Kata Kunci: pengetahuan, lingkungan, chikungunya, perilaku, pencegahan.
Abstract
Chikungunya is a contagious disease caused by the chikungunya virus. The main symptoms are sudden
fever, joint pain mainly pinned knees, toes and fingers, and spine. One of these is the prevention of disease by
conducting preventive behaviour by means of the implementation of PSN, 3M Plus, and periodic larvae
examination by the health officers. In 2012 and 2013 there were chikungunya outbreak in KranjiVillage with
263 cases and no deaths. This study aims to determine the relationship of knowledge and environment with
chikungunya prevention behavior in community at RW01 Kranji Village Bekasi in 2014. This study used an
observational analytic cross sectional method. Total of 97 respondents were used in this study. The results
showed no significant relationship between knowledge of the behavior of chikungunya prevention (OR = 0.172,
P = 0.04), with the environmental behaviour of chikungunya prevention (OR = 0822, P = 0.018). Data on the
chi-square test with significance level 95% (0.05). It is recommended to increase prevention activities by
implementing 3M Plus, PSN and counselling to improve public knowledge related to precautionary behaviour
on Chikungunya disease.
Keywords: knowledge, environment, chikungunya, behaviour, prevention.
1
Dosen pada STIKes Persada Husada Indonesia
27
penyakit demam berdarah dengue karena
vektor pembawa virus ini ditularkan oleh
nyamuk yang sama yaitu Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus. KLB sering terjadi pada
awal dan akhir musim hujan. Banyaknya
tempat
perindukan
nyamuk
sering
berhubungan dengan peningkatan kejadian
penyakit chikungunya (Depkes RI, 2008) dan
kedekatan lokasi perkembangbiakan nyamuk
dengan tempat tinggal manusia merupakan
faktor resiko yang signifikan terjadinya
chikungunya (WHO, 2008). Oleh karena itu
tak ada cara lain untuk mencegah demam
chikungunya kecuali mencegah gigitan
nyamuk serta memberantas tempat perindukan
nyamuk dengan 3M (Menguras, Menutup dan
Mengubur barang bekas yang bisa menampung
air) atau menaburkan bubuk abate pada
penampungan air sebagaimana mencegah
demam berdarah (RSPI, 2007).
Hasil laporan penderita chikungunya
dari Puskesmas Kelurahan Kranji Kota Bekasi
bulan Januari s.d Febuari 2012 sebanyak 107
kasus, dan pada bulan April s.d Juni 2013
sebanyak 156 kasus. Di Kelurahan Kranji
kasus chikungunya paling tinggi ditemukan di
Rw 01. Chikungunya terjangkit di wilayah
Kelurahan Kranji karena kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap kebersihan lingkungan
sehingga mengakibatkan perkembangbiakan
nyamuk yang membawa sumber penyakit,
serta masih kurangnya kesadaran masyarakat
dalam kebersihan lingkungan tempat tinggal
mereka.
Pendahuluan
Chikungunya tersebar di daerah tropis
dan subtropis yang berpenduduk padat seperti
Afrika, India, dan Asia Tenggara. Di Afrika,
virus ini dilaporkan menyerang di Zimbabwe,
Kongo, Angola, Kenya, dan Uganda. Negara
selanjutnya yang terserang adalah Thailand
pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri
Lanka dan India pada tahun 1964. Pada tahun
1973 chikungunya dilaporkan menyerang di
Philipina dan Indonesia. Lokasi penyebaran
penyakit ini tidak berbeda jauh dengan DBD
karena vektor utamanya sama yaitu Aedes
aegypty. Di daerah endemis DBD sangat
mungkin juga terjadi endemis chikungunya.
Biasanya, demam chikungunya tidak berakibat
fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu 20052006, telah dilaporkan terjadi 200 kasus tanpa
kematian
yang
dihubungkan
dengan
chikungunya di pulau Reunion dan KLB yang
tersebar luas di India, terutama di Tamil dan
Kerala. Ribuan kasus terdeteksi di daerahdaerah di India dan di negara-negara yang
bertetangga dengan Sri Langka, setelah hujan
lebat dan banjir pada bulan Agustus 2006
(Widoyono, 2008).
KLB Chikungunya mulai banyak
dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara
Enim, Aceh (2000), tahun 2001 di Jawa Barat
(Bogor, Bekasi, Depok), yang menyerang
secara bersamaan pada penduduk di satu
kesatuan wilayah (RW/Desa). Pada tahun 2002
banyak daerah melaporkan terjadinya KLB
Chikungunya seperti Palembang, Semarang,
Indramayu, Manado, DKI Jakarta, Banten,
Jawa Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003
KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah
pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun
2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa
Barat dan Sumatra Selatan. Dari tahun 2007
sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB
Chikungunya pada beberapa provinsi dengan
149.526 kasus tanpa kematian. (Kemenkes,
2012. p.4).
Penyebaran penyakit chikungunya di
Indonesia terjadi pada daerah endemis
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan desain survey
deskritif korelasi. Tehnik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah cross sectional
studi. Populasi pada penelitian ini adalah
warga Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi,
dengan jumlah sampel yang akan diteliti
adalah sebanyak 97 orang. Analisis data secara
univariat, bivariat dengan Uji Chi-Square
28
Hasil distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin laki - laki lebih banyak
melakukan tindakan perilaku pencegahan
chikungunya, dibandingkan dengan responden
yang
berjenis
kelamin
perempuan.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square
diperoleh p-value = 0.175 (> 0.05) maka tidak
ada hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan perilaku pencegahan chikungunya.
Hasil analisis hubungan umur dengan
perilaku pencegahan chikungunya, diketahui
umur 35-45 menjawab benar sebanyak 42
(97,7) orang, sedangkan umur 25-35 sebanyak
40 (100,0) orang, dan yang menjawab salah
sebanyak 2 (16,6) orang pada umur 35-65.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square
diperoleh p-value = 0.103 (> 0.05) maka tidak
ada hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan perilaku pencegahan chikungunya.
Hasil analisis hubungan pendidikan
dengan perilaku pencegahan chikungunya,
diketahui responden yang berpendidikan
sedang sebanyak 78 orang yaitu (97,5%),
sedangkan responden yang berpendidikan
tinggi sebanyak 9 orang yaitu (100%) dan yang
berpendidikan rendah sebanyak 8 orang yaitu
(100%). Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diperoleh p-value = 0.805 (> 0.05)
maka tidak ada hubungan bermakna antara
pendidikan dengan perilaku pencegahan
chikungunya.
Hasil analisis hubungan pekerjaan
dengan perilaku pencegahan chikungunya,
diketahui responden yang tidak bekerja
jumlahnya sama dengan
responden yang
bekerja sebagai swasta sebanyak 38 orang dan
menjawab benar yaitu (95,0%) sedangkan
responden yang menjawab salah sebanyak 2
orang yaitu (5,0%). Berdasarkan hasil uji
statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.406
(> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna
antara pekerjaan dengan perilaku pencegahan
chikungunya.
Hasil analisis hubungan pengetahuan
dengan perilaku pencegahan chikungunya,
diketahui
responden
yang
memiliki
untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara dua variabel tersebut.
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah; karakteristik, pengetahuan dan
lingkungan, sedangkan variabel terikatnya
perilaku pencegahan chikungunya.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran hasil penelitian yang
disajikan
sesuai
dengan
data
yang
dikumpulkan dan dianalisa adalah sebagai
berikut :
Tabel 1 Hasil Analisis Univariat
Variabel
Frekuensi Persentase
Jenis kelamin :
- Laki-laki
46
47.4
- Perempuan
51
52.6
Umur :
- 15-25 tahun
7
7.2
- 25-35 tahun
40
41.2
- 35-45 tahun
43
44.3
- 55-65 tahun
7
7.2
Pendidikan
- Rendah
8
8.2
- Sedang
80
82.5
- Tinggi
9
4.3
Pekerjaan :
- Tidak bekerja
40
41.2
- Buruh
15
15.5
- PNS
4
4.1
38
39.2
- Swasta
Pengetahuan :
- Baik
87
89.7
- Kurang
10
10.3
Lingkungan :
- Baik
90
92.8
- Kurang
7
7.2
Tabel 2 Hasil Analisis Bivariat
Variabel Independen
p-value
Jenis kelamin
0.175
Umur
0.103
Pendidikan
0.805
Pekerjaan
0.406
Pengetahuan
0.597
Lingkungan
0.015
29
tingkat pengetahuan masyarakat belum tentu
perilaku masyarakat akan baik.
Lingkungan ventilasi rumah yang tidak
menggunakan kawat kasa sebanyak 15,4%.
Hal
ini
terbukti
bahwa
lingkungan
berhubungan secara bermakna dengan perilaku
pencegahan chikungunya. Lingkungan yang
sehat dan bersih akan terhindar dari vektor
perkembangbiakan
penyakit
termasuk
chikungunya.
pengetahuan baik (90,4%) menjawab benar
dan (85,7%) menjawab salah, sedangkan
responden yang pengetahuan kurang sebanyak
(9,6%) menjawab benar dan (14,3%)
menjawab salah. Berdasarkan hasil uji statistik
Chi-Square diperoleh p-value = 0.597 (> 0.05)
maka tidak ada hubungan bermakna antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan
chikungunya.
Hasil analisis hubungan lingkungan
dengan perilaku pencegahan chikungunya,
lingkungan baik (92,8%) lingkungan kurang
(71,4%). Hasil uji statistik Chi-Square
diperoleh p-value = 0.015 (< 0.05), hal ini
terbukti bahwa lingkungan berhubungan secara
bermakna dengan perilaku pencegahan
chikungunya. Hasil penelitian ini sama dengan
penelitian Siska Adriani (2012) tentang
Hubungan antara faktor lingkungan dengan
kejadian
chikungunya;
studi
terhadap
mahasiswa Universitas Indonesia dengan
memperoleh hasil terdapat hubungan antara
lingkungan dengan kejadian chikungunya
dengan p=0,018 (lebih rendah dari nilai
alpha=0,05). Lingkungan merupakan salah
satu faktor yang sangat berperan dalam
terjadinya
dan
penyebaran
penyakit
Chikungunya, baik lingkungan fisik maupun
biologis. Tempat perkembangbiakan utama
ialah tempat penampungan air berupa
genangan air yang tertampung disuatu tempat
atau bejana didalam atau disekitar rumah atau
tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak
500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya
tidak dapat berkembangbiak digenangan air
yang langsung berhubungan dengan tanah serta
terdapat disaluran air yang tidak lancar seperti
selokan yang disekitar rumah, terdapat jentik
di bak yang terbuka (Depkes, 2012).
Saran
Perlu adanya kerjasama dengan kader
untuk mengintensifkan pemeriksaan jentik
berkala dan menggalakkan program 3M Plus
(PSN) di lingkungan sekitar dan hasilnya
diinformasikan kepada masyarakat sekitar
pada setiap kesempatan menitoring dan
evaluasi diri. Kegiatan 3M Plus ini pun bisa
dilakukan dengan partisipasi/pemberdayaan
warga.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Dinas Kesehatan Kota Bekasi beserta
jajarannya atas keterlaksanaan kegiatan
penelitian ini. Terima kasih juga kepada
Yayasan Persada Husada Indonesia dan Ketua
STIKes Persada Husada Indonesia yang telah
memberi kesempatan, waktu arahan/bimbingan
kepada penulis dalam melaksanakan penelitian
ini. Terima kasih juga diberikan kepada
masyarakat Rw.01 Kelurahan Kranji Kota
Bekasi. Terima kasih juga kepada temanteman sejawat yang telah membantu
terlaksananya
penelitian
sampai
pada
penulisan jurnal ini.
Daftar Pustaka
Anies.
(2007).
Mewaspadai
penyakit
lingkungan, berbagai gangguan kesehatan
akibat pengaruh faktor lingkungan. Jakarta:
Anggota IKPI.
Kesimpulan
Hasil analisis menunjukan bahwa
responden yang memiliki pengetahuan baik
(89,7%), dibandingkan dengan responden yang
pengetahuan kurang (10,3%). Semakin tinggi
30
Azwar, A. (2006). Metodologi penelitian
kedokteran dan kesehatan masyaraka.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Depkes RI. (2010). Pedoman pengendalian
chikungunya di Indonesia. Jakarta: Dirjen
P2PL.
Dinas Kesehatan (2012). Profil dinas
kesehatan kota Bekasi. Bekasi: Dinas
Kesehatan.
Hidayat, A. A. (2010). Metodologi penelitian
kesehatan paradigma kwantitatif. Surabaya:
Health Books.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman pengendalian
demam chikungunya. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
Pusat Informasi Penyakit Infeksi RSPI (2007).
Demam chikungunya. Jakarta: RSPI.
Puskesmas Kranji (2013), Profil puskesmas
kranji. Bekasi: Puskesmas Kranji.
Suroso. (2005). Habitat dan perkembangan
nyamuk aedes agypty. Jakarta.
Widoyono.
(2008).
Penyakit
tropis,
epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Jakarta: Anggota IKPI
31
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis
Rawat Jalan RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014
Eka Rahman1, Ida Wahyuni2
The Factors of Affecting Decision Speed Document Ambulatory Medical Record
In RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014
Abstrak
Kecepatan pelayanan merupakan salah satu hal yang dapat menunjukan kualitas pelayanan yang baik,
begitu pula dengan penyediaan dokumen rekam medis. Dokumen rekam medis dituntut selalu tersedia setiap
saat. Survei yang dilakukan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya ditemukan bahwa dalam kegiatan
pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan masih ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi
kecepatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kecepatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi. Informan adalah empat petugas
rekam medis filing rawat jalan dan seorang kepala unit rekam medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan adalah terbatasnya sumber daya manusia
dibagian filing rawat jalan, kurangnya pengembangan kemampuan petugas filing rawat jalan, terbatasnya sarana
dan prasarana yang sesuai di ruang filing rawat jalan, dan ketidaksesuaian prosedur yang dilaksanakan dengan
SOP yang ada. Saran diharapkan dapat melakukan upaya untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut agar
kecepatan pelayanan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan dapat ditingkatkan.
Kata kunci: faktor, kecepatan pengambilan dokumen rekam medis.
Abstract
The speed of service is one thing that can shows good quality of service, as well as the provision of
medical record documents. Medical record documents mandatory to be available at any time. Surveys conducted
in dr. Soekardjo Hospital Kota Tasikmalaya found that the extraction of outpatient medical record documents
still found some factor that affecting the speed of documents retrieval outpatient medical record. The purpose of
this research is to determine the factors that affecting the speed of document retrieval in the outpatient medical
record dr. Soekardjo Hospital Kota Tasikmalaya. This research is descriptive qualitative study with a
phenomenological approach. Data collected through in-depth interviews and observations. Informants are four
workers filing outpatient and head of medical record taken by purposive sampling techniques.The results
showed that the factors that affected the retrieval of documents including outpatient medical record are: limited
human resources filing outpatient section, lack of development of ambulatory ability filing officer, limited
facilities and infrastructure are appropriate in the outpatient filing, and discrepancy between impmentation and
SOP. It is Suggested that Hospital would make an effort sto improve these factors so that the speed of document
retrieval service outpatient medical record can be improved.
Keywords: factors, medical record document retrieval.
1
Staf Rekam Medis RSUD dr. Slamet Garut
2
Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
32
mereka memberikan pelayanan kesehatan
terhadap pasien.
Rekam medis berfungsi sebagai bukti
tertulis atas segala tindakan pelayanan,
perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah
Sakit. Permenkes No 269 tahun 2008 tentang
dokumen rekam medis pasal 12 menjelaskan
bahwa berkas rekam medis milik sarana
pelayanan kesehatan sehingga pihak rumah
sakit harus menyediakan tempat penyimpanan
dokumen (filing).
Filing adalah kegiatan penataan atau
penyimpanan (storage) berkas rekam medis
untuk
mempermudah
pengambilan
kembali/retrieval (Rustiyanto dan Rahayu,
2011). Dalam penyimpanan rekam medis di
ruangan filing dilakukan sistem penyimpanan
dan penjajaran untuk mempermudah kinerja
petugas, sehingga pelayanan lebih efektif dan
efisien baik dari segi waktu, tenaga dan
tempat.
Penyimpanan rekam medis dibagi
menjadi tiga yaitu sentralisasi, desentralisasi
dan sentralisasi elektronik. Sentralisasi adalah
semua berkas rekam medis pasien disimpan
dalam satu berkas baik rawat jalan maupun
rawat inap. Desentralisasi adalah sistem
penyimpanan berkas yang dibuat terpisah
antara data yang satu dengan yang lain.
Beberapa Rumah Sakit di Indonesia yang
menerapkan sistem desentralisasi, seperti pada
pelayanan poliklinik biasanya penyimpanan
dokumen rekam medis menyatu dengan tempat
pendaftaran rawat jalan. Untuk penyimpanan
dokumen rawat inap disimpan terpisah yaitu
pada penyimpanan di unit rekam medis. Hal
tersebut didasarkan agar pengolahan data
rekam medis rawat inap lebih mudah
dilakukan (Rustianto, 2011).
Kegiatan pengambilan dokumen rekam
medis sangat berkaitan dengan unit
pendaftaran dan filing. Unit pendaftaran
merupakan unit pelayanan penyedia data
pasien mana saja yang perlu dilakukan
pengambilan
dokumen
rekam
medis,
Pendahuluan
Pelayanan kesehatan adalah tersedianya
pelayanan yang berhasil guna dan berdaya
guna yang tersebar secara merata diseluruh
Indonesia. Dengan demikian terwujudnya
derajat kesehatan masyarakat yang optimal
dapat tercapai bagi setiap orang sehingga
dapat hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Jenis pelayanan di Indonesia
meliputi pelayanan primer dan sekunder.
Pelayanan primer merupakan pelayanan gardu
pertama dimana pelayanan kesehatan dasar
dilakukan. Kegiatan ini meliputi promotif dan
preventif. Pelayanan kesehatan sekunder
merupakan pelayanan lanjutan meliputi
kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Contoh
pelayanan sekunder adalah rumah sakit.
Undang- undang nomor 44 tahun 2009,
menerangkan bahwa rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi
oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap
mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Upaya untuk meningkatkan pelayanan
yang dilakukan oleh rumah sakit adalah
dengan menyelenggarakan berbagai unit
sebagai pelaksana program-program untuk
tercapainya pelayanan yang berkualitas. Salah
satu indikator pelayanan yang berkualitas
adalah dengan tercapainya tertib administrasi
yang dapat dilihat dari sistem pengelolaan
rekam medis yang baik (Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik, 2006).
Menurut Huffman (dalam Rustianto dan
Rahayu, 2011:3) mendeskripsikan tentang
rekam medis adalah himpunan fakta-fakta
tentang kehidupan seseorang atau riwayat
penyakitnya
termasuk
keadaan
sakit,
pengobatan saat itu dan lampau yang ditulis
oleh para praktisi kesehatan dalam upaya
33
sedangkan filing merupakan unit
lokasi
penyimpanan dokumen rekam medis pasien
lama yang akan di ambil sesuai permintaan
unit pendaftaran. Pengambilan dokumen rekam
medis dilakukan untuk menyediakan data
medis bagi pasien yang berkunjung ulang ke
rumah sakit. Tujuannya adalah untuk
mengetahui riwayat penyakit sebelumnya agar
pelayanan dan tindakan yang diberikan pada
pasien sesuai dengan apa yang dikeluhkan oleh
pasien.
Menurut Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik-Departemen Kesehatan
Republik Indonesia bahwa standar waktu
penyediaan dokumen rekam medis pelayanan
rawat jalan adalah ≤ 10 menit. Adapun standar
waktu tersebut dihitung mulai pada saat
pelayanan pendaftaran sampai dengan pasien
menerima dokumen rekam medis dari unit
filing. Jadi, jika dalam pelayanan penyediaan
dokumen rekam medis memerlukan waktu
melebihi dari standar, maka pelayanan di
Rumah Sakit tersebut kurang berkualitas
khususnya dalam hal pelayanan pendaftaran
pasien lama.
Berdasarkan hasil penelitian Septian
(2013) mengenai kecepatan penyediaan
dokumen rekam medis pasien lama di
pelayanan rawat jalan RSUD Ciamis Tahun
2013 diketahui bahwa 53,6% dari 10 kegiatan
penyediaan dokumen masuk kedalam kategori
lambat yaitu melebihi waktu ideal ≤ 10 menit.
Hal
ini
mengidentifikasikan
belum
diperolehnya efektifitas penyediaan dokumen
yang salah satunya ditunjang oleh kegiatan
pengambilan dokumen rekam medis rawat
jalan pasien lama di rumah sakit.
Rumah Sakit dr. Soekardjo merupakan
salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kota
Tasikmalaya yang memiliki karakteristik
serupa dengan RSUD Ciamis. Rata-rata
kunjungan rawat jalan adalah 566 pasien setiap
hari, dan sekitar 74 % merupakan pasien lama.
Guna mencapai kesinambungan data medis
pasien, pencatatan medis harus disatukan
dengan data riwayat medis sebelumnya. Hal
tersebut mengharuskan petugas untuk dapat
memperoleh dokumen rekam medis lamanya
untuk menunjang pelayanan.
Keluhan masyarakat yang berkunjung ke
rumah sakit tidak sedikit. Mayoritas dari
mereka membutuhkan waktu seharian hanya
untuk mendapatkan pelayanan. Salah satu
faktor waktu tunggu yang lama adalah pada
saat mendaftarkan diri untuk memperoleh
dokumen rekam medis riwayat terdahulu.
Sebagaimana kita ketahui, pengunjung rumah
sakit mayoritas adalah orang dengan keluhan
kesehatan yang seyogyanya mendapatkan
pelayanan dan tindakan dengan segera. Segi
psikologis yang terpengaruhi oleh kondisi
sakitnya menyebabkan tidak sedikit dari
mereka rentan terpancing emosi.
Pengambilan dokumen rawat jalan
merupakan bagian yang penting dalam
menunjang efektifitas pelayanan rekam medis
pasien rawat jalan. Terlaksananya kegiatan
pengambilan dokumen yang lancar dan tepat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam
rangka mengetahui lebih mendalam terkait hal
tersebut, peneliti mengambil kajian tentang
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan
Pengambilan Dokumen Rekam Medis Rawat
Jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya.
Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi mengungkap mengenai faktor
apa saja yang mempengaruhi kecepatan
pengambilan dokumen rekam medis pasien
rawat jalan di RS dr. Soekardjo Tahun 2014.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan
metode wawancara mendalam (indepht
interview) dan observasi. Pada penelitian ini
yang menjadi subyek penelitian adalah petugas
filing rawat jalan sebanyak empat orang
(Informan 1- Informan 4) dan satu kepala unit
rekam medis (Informan 5).
Teknik wawancara dimulai dengan
pertanyaan-pertanyaan terbuka yang bersifat
34
umum yaitu tentang pengalaman informan
selama kegiatan pengambilan dokumen rekam
medis. Peneliti merupakan instrumen dalam
penelitian kualitatif. Peneliti kualitatif atau
human instument berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih partisipan atau informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan
data,menilai kualitas data, menganalisis dan
menafsirkan data serta membuat kesimpulan
atas semuanya (Sugiyono, 2006). Peneliti
menggunakan pedoman pertanyaan bebas
mendalam, buku catatan harian serta alat
perekam suara maupun gambar sebagai alat
bantu dalam melakukan pengumpulan data.
Lofland dan Loftland (1984) dalam Moleng
(2006) menjelaskan bahwa alat pengumpulan
data merupakan sarana penting yang
membantu peneliti untuk menghimpun data
penelitian.
Kecepatan
Pengambilan
Dokumen
Rekam Medis belum Sesuai Standar
Pelayanan rekam medis terhadap pasien
masih belum optimal salah satunya kecepatan
pengambilan dokumen yang masih mengalami
keterlambatan. Hal ini masih belum sesuai
dengan standar pelayanan minimal yang
berlaku. Berikut ungkapan informan :
“Kalo pas mudahnya bisa langsung dapet 5
menit, kalo susahnya kami harus muter dulu
nyarinya di tumpukan-tumpukan, nanya ke poli
karna suka ada yang belum dikembalikan. Jadi
ya bisa sampai 15 menitan, ya gitulah pasien
banyak yang ngeluh gitu .” (Informan 1)
“Biasanya yang lama itu dokumennya yang
belum tersusun atau belum kembali dari poli,
nyarinya lama bisa sampai 10-15 menit.”
(Informan 5)
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Terbatasnya Sumber Daya Manusia di
Bagian Filing Rawat Jalan
Penelitian ini memberikan gambaran
atau fenomena tentang faktor-faktor kecepatan
pengambilan dokumen rekam medis ke
poliklinik dengan empat tema utama yang
telah didapatkan berdasarkan informasi yang
diperoleh dari partisipan. Tema-tema tersebut
adalah: 1) Kecepatan pengambilan dokumen
rekam medis belum sesuai standar, 2)
Terbatasnya Sumber Daya Manusia dibagian
filing
rawat
jalan,
3)
Kurangnya
pengembangan kemampuan petugas filing
rawat jalan, 4) Terbatasnya sarana dan
prasarana di ruang filing rawat jalan, 5)
Ketidaksesuaian prosedur yang dilaksanakan
dengan SOP yang ada.
Hakikatnya, setiap Sumber Daya
Manusia memiliki tugas pokok dan
tanggungjawab tersendiri sesuai dengan
perhitungan beban kerja berdasarkan standar
operasional
prosedur.
Namun
pada
pelaksanannya
kadang
kala
petugas
melaksanakan lebih dari satu tugas pokok. Hal
tersebut
mengakibatkan
keterlambatan
pengambilan dokumen rekam medis yang
disebabkan meningkatnya kunjungan rawat
jalan seiring adanya Jaminan Kesehatan
Nasional. Berikut ungkapan informan:
“kalau menurut saya SDM di filing sekarang
masih kurang karena kan sekarang program
baru yah BPJS jadi semua pasien menuju ke
OPD ke bagian DRM jadi euu karena
banyaknya pasien sehingga sekarang-sekarang
SDM nya kurang kitu jadi eu terjadi
penumpukan pas waktu pengambilan berkas”
(Informan 1)
Untuk memperjelas hasil temuan pada
resume wawancara,
terdapat
beberapa
singkatan dan istilah diantaranya OPD adalah
Out Patient Departement merupakan tempat
penyimpanan dokumen rekam medis rawat
jalan. Yang dimaksud dengan DRM adalah
Dokumen rekam medis pasien rawat jalan.
35
“masih kurang dikarenakan di ruang filing ini
memerlukan banyak SDM dikarenakan euu
untuk pengambilan di filing ini banyak pasien
jadi SDM yang ada masih kurang”
(Informan 2)
”pengembangan petugas filing sebenarnya
suka ada sih tapi tidak semuanya hanya
diwakili sama satu orang ya jarang kadangkadang hanya satu tahun sekali” (Informan 4)
“kalau pengembangan di petugas filing
sebenarnya suka ada tapi diwakili oleh satu
orang biasanya oleh petugas bagian rekam
medis terus diberikan informasinya pada
petugas di filing rawat jalan” (Informan 3)
Selain itu banyaknya pekerjaan yang
harus dikerjakan di filing tidak sebanding
dengan jumlah petugas yang ada. Hal ini
dijelaskan pula oleh Informan 3:
“kalau untuk filing rawat jalan menurut
sayamah kurang memadai soalnya hampir
setiap orang mengerjakan banyak tugas”
(Informan 3)
Informasi
yang
dihasilkan
dari
pengembangan kemampuan tersebut biasanya
disosialisasikan melalui rapat pertemuan
petugas rekam medis setelah dilakukan
pengembangan. Hal tersebut ditambahkan oleh
parti Informan 5:
Kekurangan Sumber Daya Manusia di
bagian
filing
dapat
mengakibatkan
keterlambatan pengambilan dokumen rekam
medis. Hal ini dijelaskan pula oleh Informan 4:
“euu kalau hasil pengembangan biasanya
disosialisasikan kepada seluruh pegawai
melalui rapat pertemuan semua petugas rekam
medis”(Informan 5)
“Ehh SDM dibagian filing saat ini masih
kurang ehh kan di OPD kan totalnya lima
orang seharusnya sepuluh orang jadi dengan
petugas yang lima orang itu ehh setiap pagi itu
bila mana dalam pengambilan buku rawat
jalan itu suka terlambat gitu” (Informan 4)
Pengembangan kemampuan petugas
biasanya diwakilkan oleh satu orang dengan
cara bergiliran yang ditetapkan oleh Kepala
rekam medis berdasarkan tingkatan pendidikan
petugas. Hal tersebut ditambahkan oleh
Informan 5:
Filing rawat jalan RSUD dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya dikelola oleh lima petugas,
secara idealnya masih kurang. Hal tersebut
dijelaskan oleh Informan 5 sebagai berikut:
“kalau itu mah biasanya secara bergiliran dan
biasanya dilakukan oleh petugas yang lulusan
rekam medis”. (Informan 5)
“kalau itu mah sudah bapak hitung tapi lupa
lagi nyimpan datanya kalau gak salah mah
masih membutuhkan petugas tiga atau empat
orang soalnya lupa lagi” (Informan 5)
Kegiatan pengembangan kemampuan
yang diperoleh petugas terhambat dikarenakan
terbatasnya SDM dan pelayanan yang tidak
dapat dikesampingkan sehingga tidak adanya
waktu luang untuk mengikuti pengembangan
kemampuan petugas yang diselenggarkan oleh
luar tetapi petugas masih dapat berlatih secara
mandiri. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapan informan berikut :
Kurangnya Pengembangan Kemampuan
Petugas Filing di Rawat Jalan
Pengembangan
kemampuan
bagi
petugas sangat berguna untuk mengoptimalkan
kemampuan petugas yang ada guna
meningkatkan efektivitas kinerja petugas.
Pengembangan kemampuan petugas masih
jarang dilakukan. Sekalipun dilakukan tidak
melibatkan petugas filing secara langsung.
Berikut ungkapan informan:
“untuk pengarahan ada tetapi karena euu
terbentur dengan SDM dan kekurangan SDM
jadi euu kurang memadai untuk pengambilan
dokumen dikarenakan untuk saat ini pasien
36
“sama halnya sama barusan kurang memadai
ruangannya kecil masih memakai komputer
istilahnya sudah memakai computer terdahulu
meja dan rak juga masih pabaliut istilah
sundana mah kitu tah” (Informan 3).
hampir mencapai 300 sampai 400 pasien
sedangkan untuk pengambilan di filing hanya
lima orang saja jadi sangat cukup berat untuk
SDM saat ini” (Informan 2)
“pengembangan kemampuan kayanya kurang
yah kitu karena harusnya ada pelatihan
gimana kemampuan petugas kalau disini
jarang ada pelatihan-pelatihan mungkin pas
waktu
kerja
saja
berlatih
sesuai
kemampuannya” (Informan 1).
“kondisinya itu mungkin saat ini fasilitas dan
sarananya kurang baik karena fasilitasnya itu
sudah lama jadi euu untuk saat ini belum ada
penggantian gitu masih mengoftimalkan
fasilitas yang ada” (Informan 4)
Keadaan rak sempit juga menjadi salah
satu kendala keterlambatan pengembalian
dokumen rekam medis dari poliklinik. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Informan sebagai berikut:
Terbatasnya Sarana dan Prasarana
Yang Sesuai di Ruang Filing Rawat
Jalan
Sarana dan prasarana dalam proses kerja
sangat
menunjang
agar
terlaksananya
pekerjaan secara efektif dan efisien khususnya
dalam pelaksanaan pengambilan dokumen
rekam medis rawat jalan. Namun kondisi
sarana dan prasarana masih belum memadai.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
informan sebagai berikut:
“kendalanya kan raknya sempit jadi susah
dimasukan ke raknya jadi setatusnya ada yang
berceceran di lantai jadi pas pengambilan
susah karena tidak tersusun dengan rapih”
(Informan 3)
“euuu kendala dalam pengambilan itu sangat
buruk kan bukunya itu ada yang disimpan
dibawah ada yang diatas jadi dalam
pengambilan buku itu sangat….tidak sesuai”
(Informan 4)
“sarana prasarana ehh masih kurang sih
cuman heeh banyak yang harus di apa
diperbaiki lagi karena ehh kan banyak berkas
berarti banyak debu sedangkan di bagian
filing itu tidak ada penetralan udara dan euu
pentilasinya juga kurang sehingga kurang
efektif lah” (Informan 1)
Rak yang sempit dan kurang mencukupi
untuk menampung dokumen, sebab utamanya
karena ruang filling rekam medis rawat jalan
terlampaui sempit tidak sebanding dengan
jumlah kunjungan yang semakin meningkat.
Hal itu diungkapkan informan berikut:
“fasilitas sarana dan prasarana yang ada
masih menggunakan euu peralatan yang
terdahulu belum ada penggantian hanya
komputer masih menggunakan komputer
terdahulu jadi agak lumayan euu lambat untuk
melakukan proses pencarian dokumen
pelayanan rekam medis jadi diusahakan kalau
bisa euu di tambah untuk itu” (Informan 2)
“emang yang utama di ruang penyimpanan
rawat jalan mah ruangannya yang emang
sempit iya, dari raknya yang sudah berjubel
dokumen, pasiennya kan setiap harinya
banyak. ya...jadi kayak gini banyak yang
disimpan dilantai, nggak tentu penataanya.
Makanya sulit lah orang filling pas nyari
dokumen itu” (Informan 5)
Selain itu peralatan yang digunakan saat
ini masih menggunakan peralatan yang
terdahulu dan tata letaknya belum teratur. Hal
ini diungkapkan oleh Informan sebagai
berikut:
37
dilaksanakan seperti euu tidak adanya
outguide dan dokumen harus diantarkan oleh
petugas kalau disini mah cukup sama pasien
kan seharusnya diantar oleh petugas”
(Informan 4)
Ketidaksesuaian
Prosedur
yang
dilaksanakan
dengan
Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang Ada
SOP
merupakan
acuan
dalam
pelaksanaan proses kerja untuk meningkatkan
kepuasan
pasien
dalam
memberikan
pelayanan. Dalam kenyataannya masih ada
beberapa poin dalam SOP yang tidak
dilaksanakan karena disebabkan oleh beberapa
hal seperti belum digunakannya outguide
dalam proses pengambilan dokumen, serta
tidak adanya buku peminjaman dokumen
rekam medis. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan Informan sebagai berikut :
Kendala lainnya terjadinya duplikasi dan
kesalahan penulisan nomor rekam medis yang
mengakibatkan kesalahan dalam penyimpanan
dokumen rekam medis. Hal ini terjadi sebagai
efek belum ditegakkan sepenuhnya SOP
pendaftaran pasien. Sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Informan sebagai berikut:
“kalau
kendalanya
paling
setelah
penyimpanan atau ada nomor rekam medis
yang sama atau banyak juga ehh nomornomor yang salah penulisan jadi membuat
kebingungan gitu salah angka dalam satu
hurup jadi salah rak juga gitu” (Informan 1)
“untuk pengambilan rawat jalan untuk saat ini
masih ada yang kurang ehh kurang mengikuti
SOP kenapa kurang mengikuti SOP masih
kurangnya sarana-sarana dan fasilitas dari
rumah sakit misalnya tidak adanya tracer
manual terus tidak adanya outguide juga jadi
masih kurang mengikuti masih ada
kekurangan dari SOP tersebut”(Informan 2)
“ada aja pasti pasien dengan nomor rekam
medis ganda. Pada kondisi tertentu, petugas
mungkin kurang fokus, jadi prosedur
pelayanan saat mendaftar ada yang terlewat.
Misalnya nama pasien yang tidak sesuai kartu
identitas bisa dientri beda sehingga mungkin
nomor dokumen beda juga. Karna itu pastinya
dokumen si pasien itu disimpan beda-beda
tempat” (Informan 5)
“belum kalau menurut sayah mah karena
masih ada yang belum diterapkan seperti
pemakaian………, tracer dan outguide”
(Informan 3)
“kalau SOP rumah sakit sesuai, cuma
menyesuaikan gitu jadi kadang juga kan tidak
sesuai euu kan setandar operasional harus ada
petunjuk keluar, bon peminjaman sedangkan
disini outguide juga ga ada gitu terus dalam
pengambilan dan penyimpanan juga berbeda
sesuai dengan SOP”.(Informan 1)
Selain dari pihak rekam medis,
pengambilan dokumen menjadi lama karena
terlambatnya pengembalian dokumen rekam
medis dari poliklinik khususnya pasien yang
melakukan pemeriksaan penunjang. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Informan sebagai berikut:
Dalam pendistribusian dokumen rekam
medis ke poliklinik diantarkan oleh petugas
rekam medis agar terjaga kerahasiaan isi data
pasien. Namun di RSUD dr. Soekardjo dalam
pendistribusian dokumen rekam medis ke
poliklinik dibawa oleh pasien sendiri, berikut
ungkapan Informan:
“pengambilan DRM ehhmm diantaranya
kendalanya kurangnya SDM terus tercecer
berkas rekam medis dan juga ada yang belum
dikembalikan dari poli jadi masih banyak
kendala-kendala di pelayanan rawat jalan
yang membuat kelancaran pelayanan yang
optimal di rumah sakit kota tasikmalaya”
(Informan 2)
“euu kalau saya kira ini belum karena masih
ada beberapa yang masih belum bisa
38
“pengembalian dokumen dari poli oleh
petugasnya sendiri yang harusnya langsung
setelah pelayanan selesai, kecuali pasien yang
masih melakukan proses pelayanan penunjang.
Itu kan lama, kadang ada yang nggak kelar
sehari jadi dokumennya nggak langsung
dikembalikan.“ (Informan 5)
Tabel 1 Matriks Hasil Wawancara
Tasikmalaya Tahun 2014
No
Variabel
Informan 1
1 Kecepatan
Tingkat
Pengambilan
tersulit
Dokumen
pengambilan
Rekam Medis
dokumen
Belum Sesuai
hingga 15
Standar
menit jika
penyimpanan
yang belum
tersusun atau
belum
kembali dari
poli
2
Terbatasnya
Sumber Daya
Manusia di
bagian filing
rawat jalan
3
Kurangnya
pengembangan
kemampuan
petugas filing di
rawat jalan
jumlah
kunjungan
pasien
semakin
bertambah
tidak
sebanding
dengan
jumlah
petugas
pengambilan
yang
cenderung
tetap
petugas
bekerja
sesuai
kebiasaan,
penugasan
mengikuti
pelatihan
sangat
kurang
Mendalam dengan Lima Informan di RSUD dr.Soekardjo
Informan 2
Petugas
pengambilan
harus antri
mengambil di
lorong rak
sehingga
proses
pengambilan
lama
Informan 3
dokumen
rekam medis
yang tercecer
menghambat
gerak petugas
sehingga
pengambilan
dokumen
sampai 15
menit
Informan 4
Pasien dengan
dokumen
rekam medis
ganda akan
lebih sulit
dicari bisa
membutuhkan
waktu lebih
lama
Informan 5
Pengambilan
dokumen
rekam medis
yang lama
biasanya antara
10-15 menit
SDM petugas
filing masih
kurang untuk
melakukan
kegiatan
pengambilan
dokumen yang
kian semakin
banyak
Ruangan yang
sempit tidak
memungkinkan
adanya
penambahan
pegawai,
meskipun
sebenarnya
masih kurang
tenaga
pegawai filing
yang tersedia
ada lima orang
sedangkan
yang
dibutuhkan
sepuluh orang
pegawai filing
masih kurang
tiga atau empat
orang lagi
kegiatan
pengembangan
kemampuan
pegawai filing
belum berjalan
karena
terbentur
beban
pelayanan
yang tinggi
kesempatan
pengembangan
kemampuan
pegawai sudah
ada tapi selalu
diwakilkan
oleh pegawai
lain yang
memiliki dasar
pendidikan D3
Rekam Medis
pengembangan
pegawai filing
sangat jarang
biasanya
hanya satu
tahun sekali
itupun
diwakilkan
oleh salah satu
pegawai
kegiatan
pengembangan
kemampuan
pegawai filing
masih jarang
dan hanya bisa
diwakilkan
oleh salah satu
pegawai rekam
medis dan
hasilnya
disosialisasikan
dalam rapat
39
4
Terbatasnya
sarana dan
prasarana yang
sesuai di ruang
filing rawat
jalan
rak dan
sarana
prasarana
masih
kurang dan
banyak yang
harus
diperbaiki
5
Ketidaksesuaian
prosedur yang
dilaksanakan
dengan SOP
yang ada
tidak adanya
Bon
peminjaman
dan outguide
sebagaimana
di SOP
penyediaan
sarana
prasarana yang
efisien masih
belum
memadai
karena
terhambat
ruang
penyimpanan
yang sempit
pengembalian
dokumen dari
poliklinik
tidak tepat
waktu bertolak
belakang
dengan SOP
pengambilan
dokumen
rekam medis
ruangan yang
sempit dan
tidak
memungkinkan
diadakan
penambahan
rak sehingga
dokumen
banyak
disimpan
dilantai
penyimpanan
yang tidak
tertib
menyebabkan
kesulitan
dalam
pencarian
sehingga
banyak pasien
mendapatkan
dokumen baru
Ruangan
penyimpanan
belum ideal
karena tidak
sesuai dengan
ketentuan tata
ruang
dokumen
distribusi
dokumen
rekam medis
belum
berjalan,
sejauh ini
masih dibawa
sendiri oleh
pasien ke
poliklinik
pertemuan
instalasi rekam
medis
Rak dokumen
masih kurang
karena
ruangannya
sempit
ditemukan
dokumen
pasien ganda
sebagai impact
dari prosedur
pendaftaran
pasien tidak
sesuai standar
Sejalan dengan itu, hasil wawancara
mendalam dengan lima informan diperoleh
bahwa kegiatan pengambilan dokumen rekam
medis mengalami keterlambatan sehingga
tidak cepat sesuai dengan ketentuan. Hal
tersebut
dipengaruhi
diantaranya
oleh
kurangnya pegawai di filing, sulitnya kegiatan
pencarian dokumen karena banyak dokumen
tercecer dilantai sehingga susunannya tidak
beraturan dan adanya dokumen rekam medis
ganda sehingga untuk mendapatkan riwayat
medis pasien yang terintegrasi membutuhkan
waktu yang lama yaitu pengambilan satu
dokumen pasien bisa hingga 15 menit.
Melihat uraian di atas dapat diketahui
bahwa pelayanan pengambilan dokumen
rekam medis rawat jalan di RSUD dr.
Soekardjo Kota Tasikmalaya belum sesuai
dengan Standar Pelayanan Minimal. Didukung
dengan hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti yang menunjukan 47% dari 15 kali
pelayanan pengambilan dokumen rekam medis
Pembahasan
Kecepatan
Pengambilan
Dokumen
Rekam Medis Masih belum Sesuai
Satndar
Menurut Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik-Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2006) bahwa standar
waktu penyediaan dokumen rekam medis
pelayanan rawat jalan adalah ≤ 10 menit.
Adapun standar waktu tersebut dihitung mulai
pada saat pelayanan pendaftaran sampai
dengan pasien menerima dokumen rekam
medis dari unit filing. Rata-rata kunjungan
pasien di RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya adalah 566 pasien perhari dan
74% merupakan pasien lama dan sisanya
pasien baru. Kondisi tersebut membutuhkan
penggunaan sumber daya waktu dan tenaga
semakin banyak dalam rangka menyediakan
dokumen rekam medis riwayat pasien
terdahulu dan seyogyanya pelayanan tersebut
dapat diterima pasien sesuai standar pelayanan.
40
rawat jalan melebihi SPM yang ada yaitu ≤ 10
menit.
Sejalan dengan penelitian Septian
(2013)
bahwa
terjadi
keterlambatan
penyediaan dokumen pasien lama rawat jalan
di RSUD Ciamis sebesar 53,6% yang
disebabkan diantaranya kurangnya petugas
filing, sistem penjajaran yang tidak beraturan
dan tidak adanya sarana pendukung dalam
penyediaan dokumen (tracer dan buku
peminjaman).
manajemen,
meliputi
pengrekrutan,
penyaringan, pelatihan, pengimbalan, dan
penilaian.
Perencanaan jumlah SDM harus
berdasarkan perhitungan beban kerja petugas
di bagian filing. Hal ini sejalan dengan teori
menurut Komarudin (1996), analisa beban
kerja
merupakan
proses
untuk
menetapkan jumlah jam kerja orang yang
digunakan
atau
dibutuhkan
untuk
merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu
tertentu, atau dengan kata lain analisis beban
kerja bertujuan untuk menentukan berapa
jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung
jawab atau beban kerjayang tepat dilimpahkan
kepada seorang petugas. Hasil penelitian
menunjukan bahwa SDM yang terdapat di
bagian filing masih kurang sehingga
menyebabkan
terlambatnya
pengambilan
dokumen rekam medis. Kepala Instalasi
Rekam Medis menegaskan, telah melakukan
perhitungan analisis beban kerja yaitu untuk
mencapai pekerjaan yang optimal di unit filling
diperlukan petugas sebanyak maksimal 9
(sembilan) orang. Sedang yang sekarang
tersedia 5 (lima) orang sehingga masih
diperlukan petugas maksimal 4 (empat) orang.
SDM dibagian filing saat ini masih
kurang disebabkan meningkatnya kunjungan
rawat jalan seiring pemberlakuan program
jaminan kesehatan nasional, terdapat petugas
yang melakukan tugas lebih diri satu tugas
pokok sehingga beban kerja tidak sebanding
dengan jumlah petugas yang ada. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Septian (2013)
kurangnya petugas penyedia dokumen rekam
medis menyebabkan dokumen yang telah
ditemukan tidak langsung diserahkan ke
pelayanan tetapi ditumpuk terlebih dahulu
sehingga penyediaan dokumen rekam medis
menjadi terhambat.
Kurangnya Sumber Daya Manusia di
Bagian Filing
Rekam medis berfungsi sebagai bukti
tertulis atas segala tindakan pelayanan,
perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah
Sakit. Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang
dokumen rekam medis pasal 12 menjelaskan
bahwa berkas rekam medis milik sarana
pelayanan kesehatan sehingga pihak rumah
sakit harus menyediakan tempat penyimpanan
dokumen (filing).
Filing adalah kegiatan penataan atau
penyimpanan (storage) berkas rekam medis
untuk
mempermudah
pengambilan
kembali/retrieval (Rustiyanto dan Rahayu,
2011). Dalam penyimpanan rekam medis di
ruangan filing dilakukan sistem penyimpanan
dan penjajaran untuk mempermudah kinerja
petugas, sehingga pelayanan lebih efektif dan
efisien baik dari segi waktu, tenaga dan
tempat.
Sumber
Daya
Manusia
(SDM)
kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi
termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga
kesehatan
non
profesi
serta
tenaga
pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat
dan bekerja serta mengabdikan diri dalam
upaya manajemen kesehatan (Kemenkes
RI,2011). Adapun menurut Gary Dessler
(2009), menyatakan bahwa sumber daya
manusia adalah kebijakan dan praktik yang
digunakan untuk menjalankan aspek orang
atau sumber daya manusia dan posisi seorang
Kurangnya Pengembangan Kemampuan
Sumber Daya Manusia di Bagian Filing
Sejauh ini kegiatan pengembangan
kemampuan belum berjalan, dikarenakan
41
pelayanan di filing cukup padat sehingga
kegiatan pengembangan sangat sulit. Hal itu
menyebabkan peserta yang diajukan untuk
mewakili kegiatan pengembangan dari petugas
pengolahan data rekam medis yang berlatar
belakang
pendidikan
rekam
medis.
Pengembangan
kemampuan
biasanya
diwakilkan sama satu orang secara bergiliran
dan hasil pengembangan akan di sosialisasikan
kepada petugas yang lain dalam rapat petugas
rekam medis.
Hal tersebut tidak sesuai dengan
pendapat Wijono (2000), menyatakan bahwa
semua staf mempunyai kesempatan untuk
mengikuti pendidikan berkelanjutan yang
berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan. Adapun kriterianya 1) Program
orientasi diselenggarakan untuk staf baru agar
mengetahui pekerjaan dan tanggung jawabnya,
2) Ada mekanisme identifikasi kebutuhan dan
pengembangan staf yang berkaitan dengan
peningkatan prestasi, 3) Ada kesempatan bagi
semua staf untuk mengetahui latihan kerja dan
pendidikan berkelanjutan yang sesuai. Dalam
pengertian tersebut bila rumah sakit tidak
mempunyai hal itu, dapat dimintakan sumber
dari luar, 4) staf professional perlu dibantu
untuk menghadiri pertemuan dan program
profesi.
disediakan agar tercapai pelayanan yang
efisien.
Kegiatan pengambilan DRM yang
efisien ditunjang pula dengan kondisi ruangan
yang sesuai. Adapun kriterianya penyimpanan
DRM menurut Wijono (2000) meliputi:
1) Unit rekam medis mempunyai lokasi
sedemikian rupa sehingga pengambilan
dan distribusi pengambilan lancar.
2) Ruang kerja harus memadai untuk staf
agar dapat mengelola rekam medis
termasuk microfilm.
3) Harus ada ruang penyimpanan dokumen
baik DRM aktif dan in-aktif.
Pendapat tersebut tidak sejalan dengan
kondisi yang ditemukan dilapangan bahwa
masih ada DRM in-aktif yang disimpan di
ruangan aktif. Hal tersebut mengakibatkan
kegiatan pengambilan dokumen rekam medis
terganggu. Sejalan pula dengan pendapat
Rustianto (2011) bahwa ruang penyimpanan
dokumen rekam medis aktif dan in-aktif
sebaiknya dipisah. Hal ini akan lebih
memudahkan petugas dalam mengambil
dokumen rekam medis yang masih aktif dan
akan lebih mudah dalam melaksanakan
pemusnahan dokumen rekam medis.
Tidak dipungkiri, ketersediaan dan
kondisi sarana prasaran yang telah mengalami
penurunan daya guna menghambat pelayanan
terhadap pasien, pihak Rekam Medis telah
melakukan upaya pengajuan rak-rak baru dan
perluasan ruang penyimpanan dokumen rekam
medis berikut prasarana yang ada didalamnya.
Namun realisasi usulan tersebut belum dapat
dipastikan.
Terbatasnya Sarana dan Prasarana yang
Sesuai di Ruang Filing Rawat Jalan
Ada
beberapa
kendala
dalam
pengambilan
dokumen
rekam
medis
diantaranya ruang penyimpanan yang sempit,
kondisi fasilitas dan peralatan masih belum
sesuai dengan standar yang ada seperti halnya
masih kurangnya peralatan di ruang filing
seperti outguide, tracer, dan buku peminjaman
manualo, masih digunakannya peralatan yang
sudah lama seperti komputer, meja, kursi dan
rak. Namun demikian peralatan tersebut masih
dapat digunakan sejalan dengan pendapat
Wijono (2000), bahwa Fasilitas dan peralatan
yang memiliki daya guna cukup lama harus
Ketidaksesuaian
Prosedur
yang
dilaksanakan dengan SOP yang Ada
Kegiatan pengambilan dokumen rekam
medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya ternyata masih belum sesuai
dengan SOP Nomor 025/CM/2010 tentang
pengambilan
dokumen
rekam
medis.
Diantaranya tidak digunakannya outguide
dalam pengambilan dan pendistribusian
42
dokumen masih dilakukan oleh pasien yang
bersangkutan. Hal ini dikarenakan kurangnya
petugas di bagian filing sehingga aspek
kerahasiaan dokumen rekam medis kurang
terjaga.
PerMenKes
RI
No.
269/MENKES/PER/III/2008
mengatur
masalah kerahasiaan suatu informasi yang
menyangkut informasi medis pasien pada pasal
10: Rekam medis merupakan berkas yang
wajib dijaga kerahasiaanya. Pasal 11 : (1)
penjelasan tentang isi rekam medis hanya
boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
yang merawat pasien dengan izin tertulis
pasien atau berdasarkan peraturan perundangundangan; (2) pimpinan sarana pelayanan
kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis
secara tertulis atau langsung kepada pemohon
tanpa izin pasien berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Kendala lain pada kegiatan pengambilan
dokumen kaitannya dengan pelaksanaan
prosedur pelayanan diantaranya pasien dengan
nomor rekam medis ganda sebagai akibat
prosedur pendaftaran pasien masih belum
berjalan secara optimal, misalnya bagian
penerimaan pasien dan prosedur penamaan
pasien. Dalam SOP No. 06/CM/2010
mengenai Penerimaan Pasien Lama bahwa
untuk memperlancar kegiatan pendaftaran,
pasien lama hendaknya membawa kartu
identitas berobat di rumah sakit tersebut guna
mengetahui nomor rekam medis pasien secara
cepat sehingga dokumen riwayat medis
terdahulu dapat diperoleh segera. Begitu juga
dengan SOP No. 07/CM/2010 mengenai
penamaan pasien bahwa ketika mendaftarkan
pasien petugas harus mencatat identitas pasien
sesuai kartu identitas (KTP, SIM, Asuransi,
dll) agar seorang pasien tetap tercatat satu
nama yaitu sesuai identitas tersebut sehingga
tidak terdaftar dengan nomor rekam medis
berbeda. Depkes (2006) menjelaskan pada
dasarnya sistem penamaan untuk memberikan
identitas kepada seorang pasien serta untuk
membedakan antara pasien satu dengan yang
lainnya, sehingga mempermudah dalam proses
pemberian pelayanan kesehatan pasien.
Selain dari pihak rekam medis,
pengambilan dokumen menjadi lama juga
karena terlambatnya pengembalian dokumen
rekam medis dari poliklinik khususnya pasien
yang melakukan pemeriksaan penunjang.
Dalam hal ini belum sesuai dengan petunjuk
kerja pada SOP No.035/CM/2010 mengenai
Pengembalian berkas rekam medis poin 4.5
bahwa setelah selesai pelayanan berkas
dikembalikan oleh petugas poliklinik ke unit
filling rekam medis rawat jalan dengan buku
ekspedisi. Pada beberapa kasus pasien yang
memerlukan pemeriksaan penunjang, dokumen
pasien masih diperlukan hingga selesai
pelayanan di poliklinik. Hal seperti itu
terkadang tanpa melakukan pemberitahuan ke
filling sehingga pengembalian dari poliklinik
lebih lama.
Kesimpulan
Hasil penelitian ditemukan beberapa
faktor pengambilan dokumen rekam medis
rawat jalan diantaranya:
1. Kecepatan pengambilan dokumen rekam
medis belum sesuai standar minimal
pelayanan
yang
dipengaruhi
oleh
kurangnya sumber daya manusia,
penyimpanan dokumen yang belum
tersusun dengan baik dan adanya
dokumen rekam medis ganda.
2. Masih kurangnya Sumber daya manusia
dibagian filing RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya disebabkan tingginya beban
kerja petugas akibat meningkatnya jumlah
kunjungan pasien seiring berjalannya
pemberlakuan
jaminan
kesehatan
nasional.
3. Pengembangan kemampuan petugas tidak
bisa dilaksanakan secara optimal karena
kurangnya sumber daya manusia dan
kegiatan pelayanan yang sangat padat.
4. Sarana dan prasarana dibagian filing
masih belum memadai. Kondisi peralatan
yang
dipergunakan
masih
43
5.
mengoptimalkan peralatan lama, masih
belum tersediannya outguide, tracer, dan
buku peminjaman manual dokumen
rekam medis serta sempitnya ruangan
sehingga tata letak peralatan belum
teratur.
Belum
sesuainya
prosedur
yang
dilaksanakan dengan Standar Operasional
Kerja yang ditetapkan. Prosedur yang
belum dilaksanakan adalah belum
digunakannya
outguide
dalam
pengambilan dan peminjaman dokumen
rekam medis, pelaksanaan prosedur
penerimaan pasien lama dan penamaan
pasien belum optimal, pendistribusian
masih dilakukan oleh pasien yang
bersangkutan, pengembalian dokumen
dari poliklinik belum tepat waktu.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Hatta, G. (2008). Pedoman manajemen
informasi kesehatan di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
(2011). Buku saku pusat perencanaan dan
pendayagunaan sumber daya manusia
(SDM). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
(2011). Pedoman penyelenggara rekam
medis di Indonesia.kementrian kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Komarudin. (1996). Analisis beban kerja
[online].
http://www.scribd.
com/doc/77438558/analisis-beban-kerja.
MenKes RI. (2008). Keputusan menteri
kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam
medis. Jakarta: Menteri Kesehatan
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rustiyanto, E & Rahayu, A. (2011).
Manajemen filing dokumen rekam medis
dan informasi kesehatan. Yogyakarta:
Politeknik Kesehatan Permata Indonesia.
Saryono. (2013). Metodologi penelitian
kualitatif dan kuantitatif dalam bidang
kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Septian. (2013). Gambaran kecepatan
penyediaan dokumen rekam medis pasien
lama di pelayanan rawat jalan rumah sakit
daerah Ciamis. Tasikmalaya: Politeknik
Kesehatan Tasikmalaya.
Shofari, B. (2002). Modul pembelajaran
pengelolaan rekam medis dan dokumentasi
rekam medis. Semarang: PORMIKI Jawa
Tengah.
Sugiyono. (2008). Metodologi penelitian
kuantitatif kualitaitf dan r & d. Bandung:
Erlangga.
Wijono. (2000). Manajemen mutu pelayanan
kesehatan. Surabaya : Airlangga University
Press.
Saran
Dalam upaya peningkatan kualitas
pelayanan pengambilan dokumen rekam medis
rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya yang didasarkan pada hasil
penelitian, peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Melakukan penambahan Sumber Daya
Manusia sesuai perhitungan beban kerja
termasuk tenaga pendistribusian dokumen
rekam medis.
2. Memberikan kesempatan pada petugas
filing untuk mengikuti pengembangan
kemampuan.
3. Memperbaiki peralatan yang sudah rusak
atau tidak layak pakai.
4. Penambahan peralatan dalam kegiatan
pengambilan seperti outguide, tracer, dan
buku peminjaman manual.
5. Penegakkan posedur pelayanan sesuai
standar yang ditetapkan.
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik. (2006). Pedoman
penyelenggara dan prosedur rekam medis.
44
Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
Di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012
Royani Chairiyah1, Rina Sari Marliaty1
Overview Maternal Characteristics With Low Birth Weight Infants (LBW)
at RSUD Kota Bekasi in 2012
Abstrak
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bila berat badan bayi kurang dari 2500 gram (sampai dengan
2499 gram). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang
baru sehingga dapat mengakibatkan pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat
menggangu kelangsungan hidupnya (Prawirohardjo, 2006). Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan
melihat buku status ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan umur, paritas, hamil ganda, dan usia kehamilan.
Populasi dalam penelitian ini adalah 196 ibu bersalin dengan Berat Badan Lahir Rendah di RSUD Kota Bekasi
Tahun 2012 yang dilakukan pada tanggal 11 Juli sampai dengan 12 Juli 2013 dan dilakukan teknik pengambilan
dengan cara total sampling. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu gambaran karakteristik ibu bersalin dengan
berat bayi lahir rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi tahun 2012. Berdasarkan hasil penelitian
yang didapatkan d RSUD Kota Bekasi tahun 2012 sejumlah 196 ibu bersalin dengan BBLR yang dibagi dalam
beberapa kategori yaitu frekuensi BBLR yang tertinggi yaitu berat lahir 1500-2500 gram sebanyak 168 bayi baru
lahir (85.7%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan kelompok umur ibu, frekuensi yang tertinggi
yaitu ibu berumur 20–35 tahun sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR
berdasarkan paritas, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin
(55.8%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan hamil ganda yaitu sebanyak 42 bayi baru lahir
(21.4%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan Usia Kehamilan, frekuensi yang tertinggi yaitu usia
kehamilan 37-42 minggu sebanyak 100 orang (51%).Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa variabel.
Variabel umur, paritas, hamil ganda dan usia kehamilan memiliki kesenjangan antara teori dengan hasil
penelitian, sedangkan kejadian BBLR sesuai dengan teori dan hasil penelitian. Untuk itu peneliti menyarankan
agar RSUD Kota Bekasi dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu bersalin dengan BBLR sebagai
rumah sakit rujukan serta dapat mengurangi angka kejadian BBLR di Jawa Barat.
Kata Kunci: ibu bersalin, BBLR, umur, paritas, hamil ganda, usia kehamilan.
Abstract
Low birth weight (LBW) is when the baby's weight less than 2500 grams (up to 2499 grams). Babies
who are born with LBW are generally unable to reduce the new environmental pressures that can lead to
weakened growth and development, even interfere with their survival (Prawirohardjo, 2006). This study uses
secondary data to review maternal books with LBW status, maternal age, parity, double pregnant, and
gestational age. The populations in this study were 196 women giving birth to LBWatBekasi City Hospital from
July 1, 2012 until July 12, 2013 and the sampling technique used by total sampling. This study is a descriptive,
overview of women characteristics giving birth to low birth weight in the General Hospital of the City of Bekasi.
Based on the results obtained fromBekasi City Hospital in 2012, 196 maternal LBW are divided into several
categories, the highest LBW 1500-2500gram 168 newborns (85.7%), the incidence of maternal LBW mothers by
age group, the highest frequency of 20-35 year-old mother, maternal 156 (79.6%), the incidence of maternal
with LBW based on parity, the highest frequency with parity multiparous mothers as many as 108 women giving
birth (55.8%), the incidence of maternal LBW pregnant by double as many as 42 newborns (21.4%), the
incidence of birth mothers with LBW by Age Pregnancy , the highest frequency of 37-42 weeks gestational age of
100 people (51%). Base on the resultfrom several variables. Agevariable, parity, double pregnant and
gestational age had a gap between theory and research, while the LBW incidence wasin accordance with theory
and research. The researchers suggestedBekasi City Hospital toimprove maternal health services in LBW as a
referral hospital which could reduce LBW in West Java.
1
Dosen pada Akademi Kebidanan Farama Mulya Jakarta
45
Keywords: mother maternity, LBW, age, parity, pregnant ganda, age pregnancy.
Angka Kematian Bayi Baru Lahir
(AKKBL) di Indonesia saat ini masih jauh dari
target yang harus dicapai pada tahun 2015
sesuai
dengan
kesepakatan
sasaran
pembangunan milenium. Hasil SDKI 20022003), jadi AKBBL di Indonesia mencapai 35
per 1000 kelahiran hidup atau dua kali lebih
besar dari target WHO sebesar 15 per 1000
kelahiran hidup.
Menurut Menteri Kesehatan (2007),
berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga
(2001), penyebab kematian bayi baru lahir di
Indonesia diantaranya BBLR 29%, asfiksia
27%, tetanus neonatorum 10%, masalah
pemberian
makanan
10%,
gangguan
hematologik 6%, infeksi 5%, dan lain-lain
13%. Menurut Mitayami (2011) faktor
penyebab BBLR adalah komplikasi obstetri,
komplikasi medis, faktor ibu dan faktor janin.
Faktor ibu diantaranya adalah dikarenakan
penyakit, usia ibu, keadaan sosial ekonomi dan
kondisi ibu saat hamil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2003) Angka Kematian Bayi (AKB) di
Propinsi Jawa Barat masih tinggi bila
dibandingkan dengan angka nasional yaitu
321,15 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab
langsung kematian bayi adalah komplikasi
pada bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),
asfiksia dan infeksi.Penyebab tidak langsung
AKB adalah faktor lingkungan, perilaku,
genetik dan pelayanan kesehatan sendiri
(Retnasih, 2005). Berdasarkan hasil survey di
Propinsi Jawa Barat pada tahun 2007 yang
mengalami insiden BBLR sebanyak 15,5%17% dari kelahiran hidup 95% (Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2007).
AKB di Kabupaten Bekasi tahun 2007
adalah 41,25 per 1000 kelahiran hidup. Angka
ini masih di atas target dalam indikator sehat
tahun 2008, yakni < 35 per 1000 kelahiran
hidup. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Bekasi pada tahun 2007 jumlah
kematian bayi di Kabupaten sebanyak 346
Pendahuluan
Salah satu indikator untuk mengetahui
derajat kesehatan masyarakat adalah Angka
Kematian Bayi (AKB). AKB di Indonesia saat
ini masih tergolong tinggi, yaitu tercatat 31 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2008, ini
memang bukan gambaran yang indah, karena
masih terbilang tinggi bila dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN dan penyebab
kematian bayi terbanyak adalah disebabkan
gangguan perinatal. Dari seluruh kematian
perinatal sekitar 2-27% disebabkan oleh
BBLR. Sementara itu, prevelensi BBLR di
Indonesia saat ini diperkirakan 7-14% yaitu
sekitar 459.200 - 900.000 bayi (Depkes RI,
2008).
Berdasarkan
perkiraaan
organisasi
kesehatan dunia Word Health Organization
(WHO) sebesar 98% dari lima juta kematian
neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih
dari dua pertiga kematian ibu terjadi pada
periode neonatal dini. Umumnya karena Berat
Badan Lahir kurang dan 2.500 gram. Menurut
WHO 17% dari 25 juta persalinan pertahun
adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan
hampir semua terjadi di Negara berkembang
(Dinkes, 2009).
Berkaca dari Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia
masih perlu ditingkatkan. Angka kematian ibu
(AKI) yaitu 228 per 1000 kelahiran hidup,
sedangkan
AKB 34 per 1000 KH.
(http:prov.Bkkbn. go. Id diakses tanggal 15
April 2010).
Tingginya angka kejadian BBLR
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
faktor ibu, faktor janin, lingkungan. Faktor ibu
antara lain: usia, status gizi, paritas keadaan
sosial ekonomi, penyakit ibu. Sebab lain: Ibu
perokok, peminum alcohol dan pecandu obat
narkotika. Faktor janin yaitu cacat bawaan,
hidramnion, kehamilan ganda dan infeksi
dalam rahim (Sitohang, 2004).
46
kasus. Jumlah ini meningkat pada tahun 2008
yaitu jumlah kematian bayi di sebanyak 385
kasus. Salah satu penyebabnya adalah kejadian
BBLR sebesar 24,5% (Dinas Kesehatan
Kabupaten 2008).
Kejadian
BBLR
yang
tinggi
menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan
kesejahteraan
masyarakat
itu
masih
rendah.Untuk itu diperlukan upaya untuk
menurunkan angka kejadian BBLR agar
kualitas
kesehatan
dan
kesejahteraan
masyarakat menjadi meningkat. Kejadian
BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui
faktor-faktor penyebabnya (Elizawarda, 2003).
Menurut DEPKES Jawa Barat (2005)
RSUD Kota Bekasi merupakan rumah sakit
terbesar kedua yang memiliki kasus kejadian
BBLR di Jawa Barat. Pada tahun 2012 kasus
BBLR di RSUD Kota Bekasi mencapai 196
bayi, dalam kejadian tersebut, peneliti belum
mendapatkan informasi gambaran kejadian
BBLR di RSUD Kota Bekasi. Sehingga
peneliti tertarik ingin mengetahui “Gambaran
Karakteristik Ibu Bersalin Dengan BBLR Di
RSUD Kota Bekasi Tahun 2012”.
populasi adalah seluruh ibu bersalin dengan
BBLR di RSUD Kota Bekasi pada tahun 2012
sebanyak 196 bayi baru lahir. (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini sampel yang
digunakan adalah total populasi atau seluruh
ibu bersalin dengan BBLR di Rumah Sakit
Umum Daerah Bekasi pada tahun 2012
sebanyak 196 ibu bersalin
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan master tabel/tabel induk dari
data sekunder yang diperoleh dari register ibu
di ruang kebidanan Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Bekasi yang memiliki bayi
dengan BBLR.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD
Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat yang
merupakan salah satu rumah sakit terbesar
kedua yang memiliki kasus kejadian BBLR di
Jawa Barat dan memiliki fasilitas yang cukup
lengkap dalam pelayanan kesehatan di bagian
maternal dan neonatal yang fisiologis maupun
phatologis, sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian.
RSUD Kota Bekasi merupakan rumah
sakit umum kota bekasi yang terletak di
pinggiran kota metropolitan dengan beralamat
di Jl. Pramuka No 55, Margajaya, Bekasi, Jawa
Barat, dikelola oleh pemerintah. RSUD Kota
Bekasi merupakan rumah sakit tipe A yang
menerima rujukan dari rumah sakit tipe B atau
C, puskesmas, dan klinik swasta yang telah
memberikan pelayanan kesehatan sesuai
standar.
Metode
Jenis penelitian adalah kuantitatif
deskriptif dengan menggunakan studi Case
Serial Kasus yang bertujuan untuk mengetahui
karakteristik ibu bersalin dengan BBLR di
Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi.
Desain penelitian bersifat deskriptif
dimana peneliti hanya menjelaskan atau
mendeskripsikan setiap variabel penelitian
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Bekasi, pada tanggal
11 Juli 2013 memberikan surat permohonan
dan langsung melakukan penelitian dengan
mencatat langsung data dari rekam medic di
ruang perinatologi yang dilakukan selama 2
hari yaitu pada tanggal 11 Juli-12 Juli 2013.
Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Sesuai
dengan definisi di atas maka yang menjadi
47
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa
kejadian kelahiran BBLR tertinggi yaitu pada
berat bayi lahir 1500-2500 gram sebanyak 168
(85,71%) ibu bersalin.
Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Tabel 1 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin
dengan BBLR di RSUD Kota
Bekasi Tahun 2012
berat badan lahir rendah
1000-1500 gram
>1500-2500 gram
Umur Ibu
Tabel 2
No
1
2
3
Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Umur Ibu di RSUD Kota
Bekasi Tahun 2012
Umur Ibu
Frekuensi
Presentase
< 20 tahun
15
7.7%
20 – 35 tahun
156
79.6%
> 35 tahun
25
12.8%
Jumlah
196
100%
ibu banyak dialami oleh ibu berumur 20 – 35
tahun yaitu sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%).
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa
kejadian kelahiran BBLR berdasarkan umur
Paritas
Tabel 3
No
1
2
3
Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Paritas Ibu di RSUD Kota
Bekasi Tahun 2012
Paritas
Frekuensi
Presentase
Primipara
57
29.1%
Multipara
108
55.8%
Grandemultipara
31
15.1%
Jumlah
196
100%
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa
kelahiran BBLR berdasarkan paritas adalah
terbanyak dialami oleh ibu dengan paritas
multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin
(55.8%).
48
Hamil Ganda
Tabel 4
No
1
2
Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Hamil Ganda di RSUD
Kota Bekasi Tahun 2012
Hamil Ganda
Frekuensi
Presentase
Ya
42
21.4%
Tidak
156
78.6%
Jumlah
196
100%
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa
kelahiran BBLR berdasarkan hamil ganda
adalah 42 orang (21.4%), sedangkan yang
kehamilan
(78.6%).
tunggal
sebanyak
156
orang
Usia Kehamilan
Tabel 5
Distribusi pada ibu yang melahirkan BBLR berdasarkan Usia Kehamilan di RSUD
Kota Bekasi Tahun 2012
No
Usia kehamilan
Frekuensi
Presentase
1
< 37 minggu
96
49%
2
37- 42 minggu
100
51%
3
> 42 minggu
0
0%
Jumlah
196
100%
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa
kejadian kelahiran BBLR berdasarkan
kelahiran BBLR berdasarkan Usia kehamilan
paling banyak yaitu usia kehamilan ≥ 37
minggu sebanyak 100 orang (51%).
Pembahasan
Kejadian BBLR
Besar Bahasa Indonesia, 2002). Menurut
Prawihardjo, 2006, dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30
tahun pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih
tinggi dari pada yang terjadi pada usia 20-29
tahun. Pada umumnya bayi dengan BBLR dari
wanita yang berusia muda biasanya disertai
dengan kelainan bawaan dan cacat fisik,
epilepsi, retardasi mental, kebutaan dan
ketulian. Bila bayi dapat bertahan hidup akan
menimbulkan masalah yang besar dan
mengalami pertumbuhan yang lambat.
Departemen Kesehatan R.I (2000)
menyebutkan bahwa umur yang baik untuk
melahirkan adalah 20-35 tahun. Kurang dari 20
tahun mempunyai resiko BBLR lebih tinggi
dari pada ibu yang lebih dari 35 tahun. Umur
pada wanita adalah umur yang kurun waktu
reproduksi sehatnya atau dikenal bahwa usia
Menurut Hanifa (2009)
BBLR
dibedakan dalam: BBLR (berat lahir 15002500 gram), BBLSR (Berat Lahir < 1500
gram) dan BBLER (Berat Lahir < 1000 gram).
Menurut prawihardjo 2006, Badan Lahir
Rendah (BBLR) adalah bila berat badannya
kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499
gram).
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa
angka kejadian BBLR dengan berat 1500-2500
gram sebesar 85.7%. Kejadian BBLR lebih
sering terjadi dengan berat badan 1500-2500
gram. Dalam hal ini hasil penelitian d RSUD
Kota Bekasi tidak terdapat kesenjangan antara
teori dengan praktek.
Umur Ibu
Umur adalah lamanya waktu hidup atau
ada sejak dilahirkan atau diadakan (Kamus
49
aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20 – 30 tahun.
Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Bekasi tahun 2012, bahwa
kelahiran BBLR berdasarkan umur frekuensi
yang tertinggi yaitu ibu berumur 20 –35 tahun
sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%). Sehingga
kejadian kelahiran BBLR berdasarkan umur ini
tidak sesuai dengan teori. Disebabkan
penyebab lain seperti Kehamilan ganda, hal ini
sesuai dengan penelitian Handry Mulyawan,
FKM UI, 2009, hasil uji statistik usia
didapatkan hasil terbanyak yaitu pada usia
tidak resti (20–35 tahun) yaitu sebanyak
75,9%.
berdasarkan paritas ini tidak sesuai dengan
teori. Ini bisa disebabkan karena KPD.
Ini sesuai dengan hasil penelitian Pipit
Festy, Fakultas Ilmu kesehatan UM Surabaya,
hasil uji statistik paritas didapatkan hasil
bahwa dari 128 responden ibu bersalin, hasil
terbanyak yaitu didapatkan pada multipara
sebanyak 78 orang (60.9%).
Hamil Ganda
Menurut Manuaba (2012), hamil ganda
atau kehamilan kembar adalah kehamilan
dengan dua janin atau lebih. Kehamilan
kembar dapat memberikan risiko yang lebih
tinggi terhadap bayi dan ibu. Oleh karena itu,
dalam menghadapi kehamilan kembar harus
dilakukan pengawasan hamil yang lebih
intensif. Pertumbuhan janin kehamilan kembar
bergantung pada factor plasenta apakah
menjadi satu (sebagian besar hamil kembar
monozigotik) atau bagaimana lokalisasi
implantasi plasentanya. Dari kedua faktor
tersebut, mungkin jantung salah satu janin
lebih kuat dari yang lainnya, sehingga janin
yang mempunyai jantung lemah mendapat
nutrisi yang kurang yang menyebabkan
pertumbuhan terhambat sampai kematian janin
dalam rahim. Bentuk kelainan pertumbuhan
tersebut secara umum ditunjukkan dengan tiap
berat janin hamil kembar lebih rendah sekitar
700 sampai 1.000 gram dari hamil tunggal.
Dalam pertumbuhan yang bersaing, antara
kedua janin hamil kembar dapat terjadi selisih
berat badan sekitar 50 sampai 150 gram.
Hasil penelitian di RSUD Kota Bekasi
tahun 2012, bahwa kejadian BBLR
berdasarkan hamil ganda, frekuensi yang
tertinggi yaitu ibu dengan kelahiran tunggal
yaitu sebanyak 154 bayi baru lahir (78.6%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa
kejadian kelahiran BBLR berdasarkan hamil
ganda ini tidak sesuai dengan teori. Ini
disebakan faktor lain seperti KPD
Berdasarkan hasil penelitian Fitri.W, di
RSUD Kabupaten Bekasi tahun 2008 hasil uji
statistik didapatkan hasil bahwa dari 96
Paritas
Menurut Prawirohardjo (2009), paritas
dapat dibedakan menjadi primipara, multipara,
grandemultipara. Paritas atau jumlah kelahiran
merupakan faktor penting dalam menentukan
nasib ibu serta bayi yang dikandungnya selama
kehamilan dan persalinan. Menurut Depkes
(2004) ibu hamil yang telah memiliki anak
lebih dari empat orang perlu diwaspadai,
karena semakin banyak anak, rahim ibu pun
semakin lemah.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada
multigravida yang jarak antara kehamilannya
terlalu dekat. Menurut karakteristik kesehatan
ibu sebelum dan ketika hamil, kematian
neonatal banyak terjadi pada kelompok umur
20-35 tahun, pada anak pertama dan pada ibu
dengan paritas lebih dari empat. Banyak studi
menunjukan bahwa kehamilan kedua dan
ketiga adalah paling tidak menyulitkan,
sedangkan komplikasi meningkat setelah anak
ketiga. (Depkes, 2003)
Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Bekasi tahun 2012, bahwa
kelahiran BBLR berdasarkan paritas, frekuensi
yang tertinggi yaitu ibu dengan paritas
multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin
(55.8%). Berdasarkan dari hasil penelitian
tersebut bahwa kejadian kelahiran BBLR
50
responden, hasil uji statistik didapatkan hasil
terbanyak yaitu ibu dengan kelahiran tunggal
sebanyak 86 orang (89,6%).
dengan jumlah 196 ibu bersalin dengan berat
badan lahir rendah, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Karakteristik pada ibu bersalin dengan
BBLR di RSUD Kota Bekasi tahun 2012,
frekuensi yang termasuk ibu bersalin
dengan BBLR yaitu sebanyak 196 kasus
dengan frekuensi BBLR yang tertinggi
yaitu berat lahir 1500-2500 gram
sebanyak 168 bayi baru lahir (85.7%).
2. Kejadian BBLR berdasarkan kelompok
umur ibu, frekuensi yang tertinggi yaitu
ibu berumur 20 –35 tahun sebanyak 156
ibu bersalin (79.6%).
3. Kejadian BBLR berdasarkan paritas,
frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan
paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu
bersalin (55.8%).
4. Kejadian BBLR berdasarkan hamil ganda,
frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan
kelahiran tunggal yaitu sebanyak 154 bayi
baru lahir (78.6%).
5. Kejadian BBLR berdasarkan Usia
Kehamilan, frekuensi yang tertinggi yaitu
usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak
100 orang (51%),
Usia Kehamilan
Usia kehamilan adalah taksiran usia
janin yang dihitung dari hari pertama masa
haid normal. (kamus besar bahasa Indonesia).
Dalam hal ini, usia kehamilan dengan
kelahiran BBLR dapat diartikan makin rendah
masa gestasi dan makin kecil bayi yang
dilahirkan maka makin tinggi morbiditas dan
mortalitasnya. Dengan pengelolaan yang
optimal dan cara-cara kompleks serta
menggunakan alat-alat yang canggih, beberapa
gangguan
yang
berhubungan
dengan
prematuritasnya dapat diobati. Dengan
demikian gejala sisa yang mungkin diderita
dikemudian hari dapat dicegah dan dikurangi.
Bayi dengan berat lahir rendah biasanya
disebabkan oleh usia kehamilan kurang dari 37
minggu dengan berat yang sesuai usia
kehamilan yang dihitung mulai hari pertama
haid (HPHT) yang teratur (Sarwono, ilmu
kebidanan 2008).
Hasil penelitian di RSUD Kota Bekasi
tahun 2012, bahwa kelahiran BBLR
berdasarkan paritas frekuensi yang tertinggi
yaitu usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak
100 orang (51%). Berdasarkan hasil penelitian
Handry Mulyawan (2009) hasil uji statistik
usia kehamilan didapatkan hasil bahwa dari
220ibu ber responden, didapatkan hasil
terbanyak adalah 52,7% melahirkan cukup
bulan ( ≥37 minggu-42 minggu). Berdasarkan
hasil penelitian ibu bersalin dengan BBLR
dari beberapa variabel. Variabel umur, paritas,
hamil ganda dan usia kehamilan memiliki
kesenjangan antara teori dengan hasil
penelitian, sedangkan kejadian BBLR sesuai
dengan teori dan hasil penelitian.
Saran
1.
2.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD
Kota Bekasi pada tanggal 11-12 Juli 2013
dengan mengambil data sekunder tahun 2012
3.
51
Diharapkan agar setiap pasangan usia
subur dapat merencanakan usia untuk
hamil karena usia kurang dari 20 tahun
mempunyai resiko BBLR lebih tinggi dari
pada ibu yang lebih dari 35 tahun.
Diharapkan agar setiap keluarga dapat
menerapkan keluarga kecil bahagia dan
sejahtera sebagai salah satu program
pembangunan kesehatan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Paritas tinggi akan berdampak pada
timbulnya berbagai masalah kesehatan
baik ibu dan bayi yang dilahirkan, salah
satu dampak kesehatan yang mungkin
timbul paritas tinggi adalah kejadian
BBLR
Dari penelitian ini, diharapkan bagi hamil
dengan hamil ganda dapat meningkatkan
4.
asupan nutrisi karena pertumbuhan janin
dalam rahim apabila tidak mendapatkan
asupan nutrisi yang cukup dapat terjadi
pertumbahan janin terlambat sehingga
pada saat bayi lahir dapat terjadi BBLR.
Diharapkan pada ibu hamil untuk
memperhatikan HPHT karena untuk
tafsiran berat janin sesuai usia kehamilan
yang dihitung mulai hari pertama haid
(HPHT) yang teratur.
Azikin, Gunandar. Gambaran kejadian BBLR
di RSUD Lapatarai baru periode Januari
2009-Maret 2010 (A-0043), di unggah
tanggal 16 september 2013.
Denise, Tiran. (2006). Kamus saku bidan.
Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metode
penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka.
Manuaba, Gde, Ida Bagus. (2012). Ilmu
kebidanan, penyakit kandungan dan KB
untuk pendidikan bidan. Jakarta: EGC.
Saifuddin, Barri, Abdul. (2002). Ilmu
kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Barri, Abdul. (2009). Buku acuan
nasional pelayanan kesehatan maternal
dan neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus
besar bahasa Indonesia ed.3 cet. 2. Jakarta:
Balai Pustaka.
Daftar Pustaka
A. Azis, Alimul Hidayat. (2011). Metode
penelitian kebidanan dan teknik analisis
data. Surabaya: Salemba Medika.
Anik Maryunani, Yulianingsih. (2009). Asuhan
kegawatdaruratan
dalam
kebidanan.
Jakarta: Trans Info Media.
Ai Yeyeh Rukiyah, Lia Yulianti. (2010).
Asuhan neonatus bayi dan anak balita.
Jakarta: Trans Info Media.
52
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak Usia 4-6 tahun
di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014
Yati Budiarti1, Sri Gustini1, Siti Saadah1, Endang Astiriyani1
Relationships of Parents Parenting Pattern with Child Development age 4-6
At Al-Faridah Kindergarten Sindangkasih Sub District Ciamis District
Year 2014
Abstrak
Kualitas anak merupakan penentu sumber daya manusia di masa yang akan datang. Oleh karenanya
harus dimulai dengan pembinaan anak dimasa sekarang untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Kunci
kesuksesan seorang anak menjadi individu yang mandiri sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah
satunya adalah pola asuh orang tua. Oleh sebab itu maka orang tualah yang berperan dalam mengasuh,
membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4 – 6 tahun Di TK Al-Faridah
Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Penelitian ini mengggunakan metode analitik dan pendekatan cross
sectional. Populasinya seluruh siswa TK Al-Faridah usia 4 – 6 tahun beserta orang tuanya yang berjumlah 46
orang. Pengambilan sampel dengan teknik sampling jenuh. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar orang
tua menggunakan pola asuh authoritative (58,7 %). Perkembangan anak yang sesuai ( 30,4%), penyimpangan
dan meragukan (34,8%). Nilai p value yang diperoleh 0,022 maka terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan
perkembangan anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan pola
asuh orang tua dengan perkembangan anak di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis
Kata kunci: pola asuh orang tua, perkembangan anak usia 4 – 6 tahun
Abstract
Quality of child is determinant of human resources in the future. Therefore children coaching need to
begin in the early age to prepare for qualified human resources. Key to the success of a child to become
independent are affected by several factors, one of which is the parent parenting pattern. Therefore it is the
parents who play a role innurturing, guiding and helping direct the child to become independent. The purpose of
this study is to determine the relationship of parenting parents pattern with child development ages 4-6 years AlFaridah Kindergarten. Traditional survey research methods were used with analytic cross-sectional approach.
The population of entire kindergarten students at Al-Faridah ages 4-6years and their parents with the total 46
respondents. Sampling technique used saturated sampling technique. The results showed the majority of parents
use authoritative parenting (58,7%), appropriate child development (30,4%), deviation and doubt (34,8%). P
value obtained was 0,022 showed there area relationship between parenting parents with child development.
Research result summarized a significant relationship exists between parenting parents pattern with child
developmentages 4-6years at kindergarten Al-Faridah.
Keywords: patterns of parenting, child development ages4-6 years
1
Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
53
pihak lainnya karena pengaruh suasana
interaksi keluarga (Rahayu, 2009).
Penelitian Diana Baumrind dalam
Rekawati (2010) menunjukan dari pengasuhan
orang tua yang menunjukan perhatian dan cinta
pada anak, bersikap respek pada anak dan
mendorong anak untuk terbuka, maka akan
membentuk anak yang memiliki rasa percaya
diri dan mampu mengendalikan diri. Hal ini
diperlukan untuk membentuk kemandirian
mereka.
Kunci kesuksesan seorang anak menjadi
individu yang mandiri sebenarnya dipengaruhi
oleh banyak faktor salah satunya adalah pola
asuh orang tua. Oleh sebab itu orang tualah
yang berperan dalam mengasuh, membimbing,
membantu dan mengarahkan anak untuk
menjadi mandiri.
Pada usia 4-6 tahun inisiatif anak mulai
berkembang dan anak ingin mengetahui lebih
banyak lagi mengenai hal – hal disekitarnya.
Anak mulai berfantasi dan mempelajari model
keluarga atau bermain peran. anak mulai
bermain bersama dengan tujuan yang telah
ditetapkan yang salah satunya untuk
mengembangkan
koordinasi
motorik,
sosialisasi
dan
kemampuan
untuk
mengendalikan emosi (Nursalam, 2005).
Data yang diperoleh dari divisi tumbuh
kembang anak di tujuh Rumah Sakit
pendidikan di Indonesia, menunjukan terdapat
5 kelainan terbanyak, yaitu: keterlambatan
bicara,
keterlambatan
motorik,
down
syndrome, cerebral palsy dan Global
Development Delay (GDD). Di samping itu,
terdapat gangguan kesulitan belajar, Gangguan
Pemusatan Perhatian dan hiperaktif (GPPH)
termasuk autis (Kemenkes, 2010).
Penelitian di 110 wilayah puskesmas di
Pulau Jawa, 13% balita berpotensi mengalami
keterlambatan perkembangan. Penelitian di
daerah kumuh perkotaan di Bandung,
memberikan hasil 28,5% balita mengalami
keterlambatan perkembangan (Fadlyana,dkk,
2003).
Pendahuluan
Pembangunan Kesehatan sebagai bagian
dari upaya membangun manusia seutuhnya,
melakukan pembinaan kesehatan anak sejak
dini melalui kegiatan kesehatan ibu dan anak,
sejak masih dalam kandungan hingga usia
balita ditujukan untuk melindungi anak dari
ancaman kematian dan kesakitan yang dapat
membawa cacat.
Kualitas anak merupakan penentu kualitas
sumber daya manusia (SDM) dimasa yang
akan datang, oleh karenanya harus dimulai
dengan pembinaan anak di masa sekarang
untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas
dimasa yang akan datang agar anak bisa
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya (Arief S, 2010).
Aspek tumbuh kembang pada anak adalah
salah satu aspek yang diperhatikan secara
serius oleh pakar, baik secara fisik maupun
psikososial. Namun, sebagian orang tua belum
memahami hal ini, terutama orang tua yang
mempunyai tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi yang relatif rendah. Mereka
menganggap bahwa selama anak tidak sakit,
berarti anak tidak mengalami masalah
kesehatan
termasuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya (Nursalam,dkk, 2008).
Perkembangan anak juga perlu dipantau
sehingga apabila terdapat sesuatu hal yang
sekiranya
meragukan
atau
terdapat
keterlambatan dalam perkembangannya, anak
dapat
segera
mendapatkan
pelayanan
kesehatan dan diberikan solusi pencegahannya
(Riyadi, 2009).
Tingkah laku orang tua sebagai pemimpin
kelompok
dalam
keluarga
sangat
mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan
dapat merangsang perkembangan pada pribadi
anak. Orang tua yang otoriter, yang terlalu
melindungi anak dan yang terlalu menunjukan
sikap menolak akan menyebabkan pengaruh
yang berdampak pada perilaku sosial
selanjutnya sehingga anak menjadi terhambat
dalam merefleksikan hubungan sosial dengan
54
Jumlah balita di Kabupaten Ciamis
sampai Desember 2012 yaitu terdiri dari usia
0–1 tahun berjumlah 24.629 balita, usia 1-3
tahun dengan jumlah 46.199 balita dan usia 3-5
tahun dengan jumlah 41.185 balita. Namun
belum ada data yang jelas tentang data tumbuh
kembang balita karena program pendataan
tumbuh kembang balita baru akan dilakukan
pada tahun 2014 ini (Dinkes Kab.Ciamis).
Jumlah siswa TK Al Faridah tahun 2014
berjumlah 48 orang terdiri dari 6 orang
berumur 4 tahun, 15 orang berumur 5 tahun
dan 27 orang berumur 6 tahun. Berdasarkan
hasil studi pendahuluan sepintas tentang pola
asuh orang tua dengan cara wawancara dapat
disimpulkan 5 dari 6 orang ibu yang
diwawancara biasa menerapkan pola asuh
authoritative atau otoriter kepada anaknya dan
1 orang ibu menerapkan pola asuh authotarian
atau demokratis.
Semua ibu mengatakan bahwa anak
mereka sudah bisa mandiri dalam melakukan
aspek dalam personal sosial seperti memakai
baju, menggosok gigi dan mengambil makan
sendiri, namun terkadang anak masih perlu
bantuan walaupun secara keseluruhan mereka
sudah bisa melakukan nya sendiri.
Berdasarkan pernyataan tersebut diatas
maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “hubungan pola asuh orang
tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun
di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis”.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui hubungan pola asuh orang tua
dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun di
TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat pemikiran dalam rangka
pemantapan
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dalam bidang kebidanan dan
kebijakan institusi, terutama yang berhubungan
dengan
kesehatan,
pertumbuhan
dan
perkembangan anak balita, memberikan
sumbangan informasi berupa pola asuh orang
tua terhadap perkembangan anak, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam menentukan
sistem pembelajaran yang dapat menunjang.
Perkembangan, memberikan informasi kepada
orang tua tentang pentingnya pola asuh yang
harus diberikan kepada anak dalam
mengembangkan perkembangannya.
Metode
Rancangan Penelitian yang digunakan
adalah survei analitik yaitu penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa
fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian
melakukan analisis untuk mengetahui adanya
korelasi antara faktor resiko dengan faktor
efek. Faktor risiko dalam peneltian ini adalah
pola asuh orang tua, sedangkan faktor efek
adalah perkembangan anak usia 4–6 tahun.
Rancangan penelitian ini menggunakan
pendekatan “crossectional” yaitu dimana suatu
penelitian untuk mempelajari korelasi antara
faktor–faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pola asuh orang tua dengan
perkembangan anak usia 4–6 tahun.
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Desember 2014. Penelitian ini
dilaksanakan di TK Al Faridah Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis.
Populasi adalah keseluruhan subjek
penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa Taman
kanak–kanak di TK Al Faridah Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis usia 4–6
tahun beserta orang tuanya yang berjumlah 48
orang. Teknik dalam pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik total
sampel yaitu teknik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel (Sugiyono, 2007). Sampel dalam
penelitian ini yaitu sebanyak 48 orang. Akan
tetapi karena terdapat 2 orang siswa dan
orangtua yang tidak datang dan mengundurkan
55
diri saat penelitian maka sampel dalam
penelitian ini menjadi 46 orang.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
pola asuh orang tua dan variabel terikatnya
adalah perkembangan anak usia 4-6 tahun.
Instrumen
dalam
penelitian
ini
menggunakan kuesioner yang sudah baku
yaitu: Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
(KPSP).
Setelah data terkumpul
dilakukan
pengolahan data dilakukan melalui tahapan
sebagai berikut : Editing, Cooding, Processin,
dan Cleaning. Analisadata dilakukan secara
univariat dan bivariat.
(58,7 %), sedangkan pola permisif digabung
dengan authotarian berturut turut adalah
sebanyak 1 orang ( 2,2 %) dan 18 orang
(39,1%).
Gambaran Perkembangan anak
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
perkembangan anak dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini:
Tabel 2 Distribusi
Frekuensi
Perkembangan Anak Usia 4–6
Tahun di TK Al Faridah
Kecamatan
Sindangkasih
Kabupaten Ciamis Tahun 2014
Perkembangan
No
F
Presentase
Anak
1
Sesuai
14
30,4
2
Meragukan
16
34,8
3
Penyimpangan
16
34,8
Jumlah
46
100%
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Analisis Univariat
Pola Asuh Orang Tua
Distribusi frekuensi responden tentang pola
asuh orang tua dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini :
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan
jenis Pola asuh Orang Tua di TK
Al Faridah Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis
Tahun 2014
Jenis Pola
Presentase
No
F
Asuh
(%)
1
Authoritative
27
58,7
2
Permisif
1
2,2
3
Authotarian
18
39,1
Jumlah
46
100 %
Berdasarkan tabel 2, kategori perkembangan
sesuai sebanyak 14 orang (30,4%), sedangkan
perkembangan dengan penyimpangan dan
meragukan sebanyak 16 orang (34,8%).
Analisis Bivariat Hubungan Pola Asuh
Orang Tua Dengan Perkembangan Anak
Usia 4–6 Tahun Di TK Al Faridah
Kecamatan Sindangkasih Kabupaten
Ciamis
Dari hasil penelitian mengenai pola asuh orang
tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun
di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasi
Kabupaten Ciamis dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini:
Berdasarkan tabel 1, frekuensi terbesar yaitu
pola asuh authoritative sebanyak 27 orang
Tabel 3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia 4–6 Tahun di TK
Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten CiamisTahun 2014
Perkembangan Anak
No
1
Pola Asuh
Orang Tua
Authotarian+
Penyimpangan
Meragukan
Sesuai
Total
F
%
F
%
F
%
F
%
11
57,9
4
21,1
4
21,1
19
100
56
Value
0,022
Permisif
2
Authoritative
Jumlah
5
18,5
12
44,4
10
37
27
100
16
34,8
16
34,8
14
30,4
46
100
Dari 19 orang yang mendapat pola asuh
authotarian+permisif dengan 11 (57%) anak
yang perkembangannya terjadi penyimpangan,
4 (21%) anak meragukan dan 4 (21%) anak
sesuai. 27 orang yang mendapat pola asuh
authoritative
dengan
5
(19%)
anak
perkembangannya terjadi penyimpangan, 12
(44%) anak meragukan dan 10 (37%) anak
perkembangannya sesuai.
Berdasarkan hasil analisis didapat nilai
hitung < α, nilai p value = 0,022 α = 0,05,
maka dapat disimpulkan terdapat hubungan
pola asuh orang tua dengan perkembangan
anak usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah
kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis.
atau pola asuh demokratis, dimana orang tua
sangat memperhatikan kebutuhan anak, orang
tua mendorong anak untuk menjadi mandiri,
tetapi tetap memberikan batasan serta
mengontrol perilaku anak. Jadi orang tua tidak
secara sepihak memutuskan berdasarkan
keinginannya sendiri. Sebaliknya orang tua
juga tidak begitu saja menyerah pada
keinginan anak. Ada negosiasi antara orang tua
dengan anak, sehingga dapat dicapai
kesepakatan bersama.
Pola asuh authoritative yaitu pola asuh
dimana orangtua memiliki batasan dan harapan
yang jelas terhadap tingkah laku anak, mereka
berusaha untuk menyediakan paduan dengan
menggunakan alasan dan aturan dengan reward
dan punishment yang berhubungan dengan
tingkah laku anak secara jelas. Orangtua sangat
menyadari tanggung jawab mereka sebagai
figur yang otoritas, tetapi mereka juga tanggap
terhadap kebutuhan dan kemampuan anak.
Pola asuh ini dapat menjadikan sebuah
keluarga hangat, penuh penerimaan, mau
saling mendengar, peka terhadap kebutuhan
anak, mendorong anak untuk berperan serta
dalam mengambil keputusan di dalam
keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa dari 27 orang tua dengan pola
asuh authoritative memiliki kecenderungan
perkembangan anak yang sesuai (37%)
Anak dengan pola asuh authoritative
berkompeten secara sosial, enerjik, bersahabat,
ceria, memiliki keingintahuan yang besar,
Pembahasan
Pola Asuh Orang Tua di TK Al Faridah
Kecamatan Sindangkasih Kabupaten
Ciamis
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
variabel pola asuh orang tua didapatkan data
sebanyak 27 orang (58,7 %) dengan pola asuh
authoritative, sedangkan pola permisif
digabung dengan authotarian berturut turut
adalah sebanyak 1 orang ( 2,2 %) dan 18
orang (39,1%).Menurut Casmini dalam
Septiari (2012) Pola asuh orang tua adalah
bagaimana orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan
anak dalam mencapai proses kedewasaan
hingga pada upaya pembentukan norma–norma
yang diharapkan masyarakat pada umumnya.
Soekirman dalam Septiari (2012) pola
pengasuhan adalah asuhan yang diberikan ibu
atau pengasuh lain berupa sikap dan perilaku
dalam hal kedekatanya dengan anak,
memberikan makan, merawat, menjaga
kebersihan, memberi kasih sayang dan
sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan
keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan
mental, status gizi, pendidikan umum,
pengetahuan tentang pengasuhan anak yang
baik, peran dalam keluarga, masyarakat dan
lain sebagainya.
Pola asuh yang banyak diberikan orang
tua di TK Al Faridah sebagian besar adalah
dengan menggunakan pola asuh authoritative
57
dapat mengontrol diri, memiliki harga diri
yang tinggi serta memiliki prestasi yang tinggi.
Menurut David dalam Shochib (2000),
keluarga dengan pola asuh demokratis dapat
dijumpai pada keluarga seimbang yang
ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi)
antara ayah dan ibu, ayah dengan anak, serta
ibu dengan anak. Orangtua bertanggung jawab
dan dapat dipercaya, serta sebagai coordinator
dan bersikap proaktif. Melalui teladan dan
dorongan orang tua pula setiap masalah
dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan
bersama.
Setiap tipe pola asuh mempunyai
kelebihan dan kekurangan, sehingga tidak
semua orang tua nyaman menerapkan pola
asuh yang dianggap baik oleh orang lain,
karena setiap orang mempunyai cara pandang
yang berbeda-beda dalam mengasuh anaknya.
Menurut Dewi (2008), anak yang di
asuh secara demokratis cenderung aktif,
berinisiatif, tidak takut gagal karena anak
diberi kesempatan untuk berdiskusi dalam
pengambilan keputusan di keluarga. Orang tua
memberikan pengawasan terhadap anak dan
control yang kuat serta dorongan yang positif.
Namun tidak menutup kemungkinan akan
berkembang pada sifat membangkang dan
tidak mampu menyesuaikan diri.
Berdasarkan data yang diperoleh dari
hasil penelitian di dapatkan 1 orang siswa
dengan pola asuh permisif. Pola asuh permisif
merupakan pola asuh yang serba bebas dan
membolehkan segala sesuatunya tanpa
menuntut anak. Menurut Lutvita (2008), anak
yang di asuh secara permisif mempunyai
kecenderungan kurang berorientasi pada
prestasi,
egois,
suka
memaksakan
keinginannya, kemandirian yang rendah serta
kurang bertanggung jawab. Anak juga akan
berperilaku agresif dan anti sosial, karena sejak
awal tidak diajarkan untuk mematuhi peraturan
social, tidak pernah di beri hukuman ketika
melanggar peraturan yang telah ditetapkan
orang tua.
Hasil penelitian terdapat 39,1% dengan
pola
asuh
Authotarian.
Authotarian
menggunakan pendekatan yang memaksakan
kehendak orang tua kepada anak. Anak harus
menurut kepada orang tua. Keinginan orang
tua harus dituruti, anak tidak boleh
mengeluarkan pendapat. Pola asuh ini dapat
mengakibatkan anak menjadi penakut,
pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang
adaptif, kurang tajam, kurang tujuan, curiga
kepada orang lain dan mudahstres. Menurut
Adek (2008), pola asuh otoriter akan
menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar
menantang,
suka
melanggar
norma,
berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
Pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan
tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri.
Sikap orang tua yang keras akan menghambat
inisiatif anak. Dewi (2008) menjelaskan bahwa
di sisi lain anak yang di asuh dengan pola asuh
otoriter cenderung memiliki kompetensi dan
tanggung jawab seperti orang dewasa.
Hasil penelitian ini selaras dengan
penelitian Anjani (2006), dimana 15,6% orang
tua menerapkan pola asuh otoriter, 18,8%
menerapkan pola asuh permisif dan 65,6%
orang tua menerapkan pola asuh demokratis
kepada anaknya. Menurut Adek (2008), pola
asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik
anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak
berinisiatif, gemar menantang, suka melanggar
norma, berkepribadian lemah, cemas dan
menarik diri. Pola asuh ini akan menghasilkan
anak dengan tingkah laku pasif dan cenderung
menarik diri. Sikap orangtua yang keras akan
menghambat inisiatif anak.
Kemampuan sosialisasi yang dimiliki
anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
terutama oleh keluarga, yaitu peran dan
keterlibatan orangtua yang tercermin didalam
pelaksanaan pola asuh. Menurut Ekowati
(1995), bila anak mendapat stimulasi,
penerimaan, dan kehangatan dari ayah, ibu dan
nenek atau kakek akan berpengaruh positif
bagi perkembangan sosial anak, jika
58
lingkungan
rumah
secara
keseluruhan
memupuk dan mengembangkan sikap sosial
yang baik, kemungkinan besar akan menjadi
pribadi yang sosial yang akan mempengaruhi
anak dalam kemampuan sosialisasi baik dalam
keluarga
maupun
di
luar
keluarga
(masyarakat).
Dengan meningkatnya usia anak ke
tahap sekolah dasar maka peraturan tidak
sepenuhnya ditetapkan oleh orang tua,
melainkan
dibicarakan
bersama
anak.
Pemantauan atau kontrol tetap diperlukan
sekalipun tidak dalam jarak dekat seperti
sebelumnya, misalnya orang tua selalu
memantau dengan siapa anak bermain, apa saja
kegiatan yang dia lakukan bersama temantemannya di luar rumah.
permainan sederhana dan dapat mengenali
anggota keluarganya. Pada perkembangan
bahasa juga anak sudah mampu menyebutkan
bermacam macam warna, menyebutkan
kegunaan benda, menggunakan bunyi untuk
mengidentifikasi objek.
Pada anak yang perkembangannya
meragukan dan terjadi penyimpangan sebagian
besar
dikarenakan anak belum
bisa
mengancingkan bajunya sendiri, anak ketika
ditinggalkan orangtua masih rewel dan
menangis, belum bisa menangkap bola kecil,
belum bisa mempertahankan diri ketika berdiri
dengan satu kaki dalam waktu 11 detik atau
lebih serta belum bisa menjawab bahwa
sendok, sepatu dan pintu bahannya terbuat dari
apa. Hal ini masih bisa di stimulasi dan dilatih
supaya perkembangannya sesuai.
Menurut Depkes RI dalam Marimbi,
perkembangan adalah bertambah sempurnanya
fungsi dari alat tubuh. Perkembangan lebih
menitik beratkan aspek perubahan bentuk atau
fungsi pematangan organ atau individu,
termasuk perubahan aspek sosial atau
emosional akibat pengaruh lingkungan.
Menurut Nursalam (2008) Agar faktor
lingkungan memberikan pengaruh yang positif
bagi tumbuh kembang anak, maka diperlukan
pemenuhan atas kebutuhan dasar, yaitu asuh,
asih, dan asah. Asuh berhubungan dengan
jasmani dan rohani, asih berhubungan dengan
kasih sayang yang diberikan orang tua baik
berupa rasa aman, harga diri, dukungan
ataupun kemandirian. Asah berhubungan
dengan stimulasi atau perangsangan dari
lingkungan luar anak, yang berupa latihan atau
bermain.
Menurut teori Syaodih tahun 2013
perkembangan ditunjukkan dengan perubahan
yang bersifat sistematis, progresif dan
berkesinambungan.
a. Perubahan bersifat sistematis
Perubahan dalam perkembangan yang
ditunjukkan dengan adanya saling
mempengaruhi anatara aspek-aspek fisik
dan psikis.
Perkembangan anak usia 4–6 tahun di
TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis
Berdasarkan hasil penelitian pada
variabel perkembangan anak didapatkan data
sebanyak 14 orang (30,4%) dengan kategori
perkembangan
sesuai,
sedangkan
perkembangan dengan penyimpangan dan
meragukan sebanyak 16 orang (34,8%).
Anak usia 4-6 tahun di TK Al Faridah
memilikiperkembangan yang berbeda beda.
Ada
yang
sesuai
dengan
tahapan
perkembangannya, ada pula yang meragukan
dan terjadi penyimpangan. Hal ini berdasarkan
pada penilaian dengan menggunakan KPSP.
Anak dengan perkembangan yang sesuai dapat
dilihat dari perkembangan motorik kasar
seperti dapat berdiri dengan kaki selama 1–5
detik, melompat dengan satu kaki, membuat
posisi merangkak dan dapat dilihat dari
perkembangan motorik halus dimana sebagian
besar anak sudah memiliki kemampuan seperti
menggambar 2 atau tiga bagian, memilih garis
yang lebih panjang, menggunakan tangannya
untuk bermain, dapat minum sendiri.
Pada anak yang perkembangannya
sesuai, dapat pula dilihat dari perkembangan
adaptasi sosialnya misalnya bermain dengan
59
b. Perubahan bersifat progresif
Perkembangan yang ditunjukkan dengan
adanya perubahan yang terjadi bersifat
maju, meningkat dan mendalam baik
secara kualitatif maupun kuantitatif.
c. Perubahan bersifat berkesinambungan
Berkesinambungan ditunjukkan dengan
adanya perubahan yang berlangsung
secara berurutan, tidak bersifat meloncatloncat atau karena unsur kebetulan.
Para psikolog mengemukakan bahwa terdapat
tiga tipe temperamen anak, yaitu :
a. Anak yang mudah di atur, mudah
beradaptasi dengan pengalaman baru,
senang bermain dengan mainan baru, tidur
dan makan secara teratur dan dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan di
sekitarnya.
b. Anak yang sulit diatur seperti sering
menolak rutinitas sehari-hari, sering
menangis, butuh waktu lama untuk
menghabiskan makanan dan gelisah saat
tidur.
c. Anak
yang
membutuhkan
waktu
pemanasan yang lama, umumnya terlihat
agak malas dan pasif, jarang berpartisipasi
secara aktif dan seringkali menunggu
semua hal diserahkan kepadanya.
Karakteristik perkembangan usia 4-6 tahun
dibagi menjadi : (Rahman Ulfiani, 2009)
a. Perkembangan fisik motorik
Usia 4 tahun, anak tetap melakukan
gerakan yang sama, tetapi sudah berani
mengambil risiko seperti jika si anak
dapat naik tangga dengan satu kaki lalu
dapat turun dengan cara yang sama dan
memperhatikan waktu pada setiap
langkah. Pada usia 4 tahun, koordinasi
motorik halus anak-anak telah semakin
meningkat dan menjadi lebih tepat seperti
bermain balok, kadang sulit menyusun
balok sampai tinggi sebab khawatir tidak
akan sempurna susunannya. Pada usia 5
tahun, si anak lebih percaya diri dengan
mencoba untuk berlomba dengan teman
sebayanya atau orang tuanya.
Pada usia 5 tahun, mereka sudah
memiliki koordinasi mata yang bagus
dengan memadukan tangan, lengan, dan
anggota tubuh lainnya untuk bergerak.
Hal ini tidak terlepas dari ciri anak yang
selali bergerak dan selalu ingin bermain
sebab dunia mereka adalah dunia bermain
dan merupakan proses belajar. Mulai
sejak si anak membuka mata di waktu
pagi sampai menutup mata kembali di
waktu malam, semua kegiatannya dilalui
dengan bergerak, baik bolak balik,
berjingkrak, berlari maupun melompat.
b. Perkembangan kognitif.
Usia 4-6 tahun, jika dilihat dari
perkembangan kognitif termasuk tahap
pra operasional, yakni usia di mana
penguasaan sempurna akan objek
permanen dimiliki. Artinya, si anak
memiliki kesadaran akan eksisnya suatu
benda yang harus ada atau biasa ada.
Mengembangkan peniruan yang tertunda
seperti ketika melihat perilaku orang lain
saat orang merespon barang, orang,
keadaan dan kejadian yang dihadapi pada
masa lalu.
Disamping itu juga anak mulai mampu
memahami
sebuah
keadaan
yang
mengandung masalah, setelah berpikir
sesaat, lalu menemukan reaksi yaitu
pemahaman atau ilham spontan untuk
memecahkan masalah versi anak-anak.
Akan tetapi, si anak belum bisa
memahami jika terjadi perbedaan
pandangan dengan orang lain.
c. Perkembangan sosio emotional.
Pada usia 4-6 tahun, muncul
pemahaman
perbedaan
antara
kepercayaan dan keinginan seorang anak
yakni persahabatan yang didasarkan pada
aktivitas bersama. Ketika anak berusia 610 tahun, persahabatan yang terbangun
lebih
pada kesamaan fisik dan ada
kepercayaan secara timbal balik.
60
d. Perkembangan Bahasa
Pada usia 2,5-5 tahun, pengucapan
kata meningkat. Bahasa anak mirip orang
dewasa. Anak mulai memproduksi ujaran
yang lebih panjang, kadang secara
gramatik, kadang tidak. Pada usia 6 tahun
keatas, anak mengucapkan kata seperti
orang dewasa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya
anak berbicara, antara lain :
1) Intelegensi,
2) Jenis disiplin,
3) Besarnya keluarga,
4) Status social ekonomi,
5) Status ras,
6) Berbahasa dua
7) Penggolongan peran seks.
Melihat data hasil penelitian terlihat
jelas bahwa jika anak dengan pola asuh
authotarian atau otoriter maka sebagian besar
perkembangan anak terjadi penyimpangan,
akan tetapi jika pola asuh authorithative maka
dapat
ditekan
perkembangan
yang
menyimpang dan meragukan. Hal ini dapat
dilihat dari data hasil penelitian bahwa anak
dengan pola asuh authoritative sebanyak 37%
perkembangannya sesuai jika dibandingkan
bahwa anak dengan pola asuh authotarian
hanya 21,1 % dengan perkembangan sesuai.
Hal ini Sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Baumrind dalam Suseno
(2010) Dampak gaya pengasuhan orang tua
akan berbeda terhadap kemandirian anak.
Orang tua yang demokratis (authoritative),
anak diharapkan dapat mengembangkan
kemandiriannya dengan baik. Pola pengasuhan
demokratis sangat mendukung perkembangan
kemandirian (healthy autonomy) pada anak,
sedangkan dua gaya pengasuhan lainnya yaitu
pola pengasuhan otoriter (authotarian) dan
permisif bersifat negatif terhadap kemandirian
anak.
Menurut Soetjiningsih (2002) dalam
Nursalam,
pola
pertumbuhan
dan
perkembangan secara normal antara anak yang
satu dengan anak yang lainnya pada akhirnya
tidak selalu sama, faktor yang dapat
mempengaruhi tumbuh kembangnya yaitu
faktor dalam (internal) termasuk di dalamnya
adalah genetika dan pengaruh hormon dan
faktor
lingkungan yang terbagi menjadi
lingkungan pranatal, kelahiran dan pasca natal.
Menurut Septiari (2012) anggota
keluarga merupakan orang yang paling berarti
dalam kehidupan anak selama anak tumbuh
dan berkembang dimana peran keluarga akan
membentuk kepribadian anak nantinya.
Pengaruh keluarga jauh lebih banyak
dibandingkan dengan pengaruh lainnya bahkan
di sekolah pun.
Pola asuh orang tua juga dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan ibu. Sebagian besar
pendidikan orangtua siswa di TK Al Faridah
Hubungan Pola Asuh Orang Tua
Dengan Perkembangan Anak usia 4–6
tahun di TK Al-Faridah Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
data dari 19 orang yang mendapat pola asuh
authotarian+permisif dengan 11 anak yang
perkembangannya terjadi penyimpangan, 4
anak meragukan dan 4 anak sesuai. 27 orang
yang mendapat pola asuh authoritative dengan
5
anak
perkembangannya
terjadi
penyimpangan, 12 anak meragukan dan 10
anak perkembangannya sesuai.
Berdasarkan hasil analisis didapat nilai
hitung < α, nilai p value = 0,022 α = 0,05,
sehingga disimpulkan terdapat hubungan pola
asuh orang tua dengan perkembangan anak
usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis
Di TK Al Faridah ini pola asuh yang
banyak dipakai orang tua untuk mendidik
anaknya yaitu dengan pola asuh authoritative
atau demokratis dimana orang tua sangat
memperhatikan
kebutuhan
anak
dan
mencukupinya dengan pertimbangan faktor
kepentingan dan kebutuhan.
61
adalah SD dan SMP. Menurut Soetjiningsih
(1998), dengan tingkat pendidikan yang
semakin tinggi , maka dapat menerima segala
informasi dari luar, terutama tentang cara
pengasuhan yang baik, sedangkan Sekartini
(1998) menjelaskan bahwa status pendidikan
ibu sangat menentukan kualitas pengasuhan.
Shalahuddin (1990) juga menjelaskan
bahwa jenjang pendidikan juga mempengaruhi
pola pikir, sehingga di mungkinkan
mempunyai pola pikir yang terbuka untuk
menerima informasi baru serta mampu untuk
mempelajari hal-hal yang dapat meningkatkan
kemampuan sosialisasi anaknya. Hal ini sesuai
dengan penelitian Prasetya (2004) yang
meyatakan bahwa orangtua yang mendapat
pendidikan yang baik, cenderung menetapkan
pola asuh yang lebih demokratis ataupun
permisif dibandingkan dengan orangtua yang
pendidikannya terbatas, sedangkan menurut
Supartini (2004) rentang usia tertentu adalah
baik untuk menjalankan peran pengasuhan.
Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin
tidak dapat menjalankan peran tersebut secara
optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan
psikososial.
Semakin dewasa usia seseorang maka
mereka akan lebih bijaksana dalam bertindak
dan mengambil keputusan. Hal ini disebabkan
karena semakin dewasa usia seseorang, maka
pengalaman hidup yang di peroleh akan
semakin banyak. Tingkat pendidikan yang
semakin tinggi, usia yang semakin dewasa,
maupun informasi yang semakin memadai
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
orangtua untuk menerapkan suatu pola asuh
yang di anggap paling baik untuk diterapkan
pada anaknya yaitu pola asuh yang demokratis.
Menurut Syamsu Yusuf (2007), factorfaktor yang mempengaruhi perkembangan
social personal anak pra sekolah antara lain
factor keluarga dan kematangan anak. Kondisi
dan tata cara kehidupan keluarga merupakan
lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi
anak. Begitu juga dengan usia, semakin
meningkat
usia
seseorang,
maka
kematangannya juga semakin meningkat.
Faktor
yang
paling
utama
dalam
mempengaruhi perkembangan social personal
anak adalah keluarga. Ketika orangtua
memberikan kebebasan kepada anak untuk
banyak bergaul dengan teman sebayanya maka
mereka akan lebih mandiri, dan mempunyai
perkembangan social yang lebih baik.
Thoha (2006), menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua
tidak hanya pendidikan dan usia orang tua saja,
tetapi juga usia anak dan kepribadian anak.
Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih
terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang
datang pada dirinya dibandingkan dengan anak
yang introvert. Orangtua yang memberikan
dukungan dan dapat menerima sikap
tergantung pada usia anak. Orang tua akan
lebih memberikan kelonggaran pada anak usia
pra sekolah daripada usia sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang
hubungan pola asuh orang tua dengan
perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al
Faridah Kabupaten Ciamis didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebagian besar orang tua (58,7 %)
menerapkan pola asuh authoritatif.
2. Perkembangan anak yang sesuai dengan
tahapan perkembangannya sebanyak
30,4% dan perkembangan anak yang
meragukan dan terjadi penyimpangan
sebanyak 34,8%
3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua
dengan perkembangan anak usia 4–6
tahun dengan nilai p value 0,022.
Saran
1.
62
Bagi Tempat Penelitian
Tenaga pendidik diharapkan dapat lebih
aktif dalam memantau peserta didiknya
dan pemantauan tersebut tidak hanya di
fokuskan pada pemantauan intelegensi
saja tetapi juga perkembangan sosial
peserta didiknya.
2.
Bagi tenaga kesehatan
Disarankan tenaga kesehatan dapat
berperan
aktif
dalam
menilai
perkembangan anak.
3. Bagi orang tua
Disarankan agar sering menstimulasi
perkembangan anaknya supaya dapat
diminimalisir perkembangan anak yang
meragukan
dan
apalagi
terjadi
penyimpangan. Diharapkan juga dapat
lebih aktif mencari informasi yang
berkaitan dengan kesehatan terutama yang
berkaitan dengan masalah pola asuh dan
tumbuh kembang anak sehingga dapat
melakukan deteksi dini secara mandiri
dan dapat melakukan intervensi sedini
mungkin.
4. Bagi Pihak Sekolah
Disarankan agar pihak sekolah dapat
memfasilitasi kegiatan penyuluhan bagi
orang tua tentang pola pengasuhan anak,
agar tercipta keselarasan antara pola asuh
di sekolah dan di rumah.
Hildayani,
dkk.
(2006).
Psikologi
perkembangan anak. Jakarta: Universitas
Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.
Kemenkes RI. (2010). Stimulasi, deteksi dan
intervensi dini tumbuh kembang anak.
Jakarta: Kemenkes RI.
Marimbi, H. (2010). Tumbuh kembang, status
gizi dan imunisasi dasar pada balita.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam, dkk. (2008). Asuhan keperawatan
bayi dan anak. Jakarta: Salemba Medika.
Rahman Ulfiani. (2009). Karakteristik
perkembangan anak usia dini. Jakarta:
Lentera Pendidikan.
Rahayu, D, S. (2009). Asuhan keperawatan
anak dan neonatus. Jakarta: Salemba
Medika.
Rekawati, S, dkk. (2010). Hubungan pola asuh
orang tua dengan kemandirian anak usia 3
– 4 tahun di pos PAUD mawar kutisari
Surabaya. Surabaya: Penelitian.
Riyadi & Sukarmin. (2009). Asuhan
keperawatan pada anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Septiari, B, B. (2012). Mencetak balita cerdas
dan pola asuh orang tua. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Soetjiningsih. (2007). Tumbuh kembang anak.
Jakarta: EGC.
Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian.
Bandung: Alfabeta.
Tuslina, T. (2012). Perkembangan Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia,
tersedia
dalam:
http://edukasi.kompasiana.com/perkembang
an-pendidikan-anak-berkebutuhan-khususdi-indonesia-463559.html, diakses tanggal
7 Januari 2015.
Daftar Pustaka
Anonim.
(2006).
Tersedia
dalam:
http://www.depkes.go.id/, diakses tanggal 7
Januari 2015.
Arief S.2010. Deteksi dini tanda dan gejala
penyimpangan
pertumbuhan
dan
perkembangan anak. Diakses pada tanggal
1 Juni 2012 dalam jurnal stikes
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian.
Yogyakarta: Rineka Cipta.
Fadlyana, dkk. (2003). Pola keterlambatan
perkembangan balita di daerah pedesaan
dan perkotaan bandung. Sari Pediatri,
IV/IV/,Hal 168 – 175.
63
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat Inap
di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2011
Arief Tarmansyah Iman1
The Contributing Factors Of Medical Records Completeness At Inpatient Ward
In RSUD of Sumedang District Year 2011
Abstrak
Salah satu sumber informasi utama SIRS adalah rekam medis. Rekam Medis harus terisi dengan benar
dan lengkap meliputi aspek-aspek administrasi, legal, finansial dan aspek klinis. Persentase rekam medis rawat
inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2010 74,8% tidaklengkap. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kelengkapan pengisian serta faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengisianrekam medis
rawat inap. Penelitian dilakukan dengan rancangan mixed methods sequential explanatory, diawali dengan
penelitian kuantitatif terhadap 385 berkas rekam medis (7 lembaran umum dan 5 lembaran khusus), selanjutnya
dilakukan analisis mendalam secara kualitatif terhadap 13 orang unsure manajemen dan petugas kesehatan di
rawat inap. Hasil penelitian menunjukkan 58,4% rekam medis terisi tidak lengkap, yaitu lembaran umum pada
Resume Keluar 23,9% (laboratorium, radiologi dan konsultasi), lembaran khusus: Laporan Operasi 30,3% (nama
perawat dan operator), Identifikasi Bayi 18,2% (diagnosa, nama dan tandatangan bidan) dan Laporan Persalinan
14,9% (Nama Penolong). Faktor penyebab ketidak kelengkapan tersebut yaitu faktor input (petugas penaggung
jawab, pengetahuan teknis pengisian, sikap negatif petugas, sarana prasarana, SPO dan sosialisasi) dan faktor
proses (prosedur pengisian dan perbedaan perlakuan, belum optimalnya sistem monitoring dan evaluasi, sistem
reward and punishment dan kerja sama tim belum terlaksana) Peningkatan pengetahuan dan kejelasan
kewenangan petugas, sarana prasarana,sosialisasi peraturan dan SPO serta penerapan monitoring dan evaluasi
diikuti reward and punishment yang terintegrasi dan berkesinambungan diharapkan mempunyai daya ungkit
terhadap kelengkapan pengisian rekam medis.
Kata Kunci: kelengkapan, rekam medis, rawat inap.
Abstract
One of the vital information for SIRS is medical records. Medical records must be filled correctly and
completely becauseitcontain vital information that covers administrative, legal, financial and clinical aspects. At
Sumedang District Hospital in 2010, 74.8% inpatient medical records werefilled partly.The aim of this study isto
analyze the completeness of medical records at inpatient ward and the contributing factors. A mixed methods
sequential explanatory research had been used.It started with a quantitative research for385medical records,
followed by a qualitative research to describe the findings. Subjects consist of health officers from inpatient
ward and hospital managers, totalling13 people. The results showed that 58,4% inpatient medical records were
incomplete. This results consist of 23,9% Medical Resume, 30,3% Operation Report, 18,2% Identification of
Infants and 14.9% Labor Report. The contributing factors are input factor(lack of technical knowledge, negative
attitudes, inadequatefacilities, SOP, and socialization) and process factor (SOP, difference in treatment,
monitoring and evaluation system not optimaland incoherent teamwork). The completeness of medical records
can be improved by evaluating and monitoring the aforementioned factor.
Keywords: completeness, medical record, inpatient ward.
1
Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
64
pencitraan (imaging) dan rekaman elektro
diagnostik (Depkes RI, 2004).
Rekam Medis yang terisi dengan benar
dan lengkap memuat data dan informasiyang
penting meliputi aspek-aspek administrasi,
legal atau yang berkaitan dengan hukum,
finansial dan aspek klinis.(Depkes RI, 2008)
Rekam Medis harus diisi dengan lengkap oleh
petugas kesehatan sesuai kewenangannya
setelah pasien menerima pelayanan (WHO,
2011).
Rekam medis yang terisi dengan
lengkap adalah salah satu indikator kualitas
pelayanan di rumah sakit dan indikator kinerja
rumah sakit (Depkes RI, 2006). Dalam
Permenkes Nomor 129/MENKES/SK/II/2008
Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Rumah Sakit tercantum bahwa SPM rekam
medis yang lengkap dan tepat waktu adalah
100% (Depkes RI, 2008).
Pada kenyataannya, kelengkapan
pengisian rekam medis di rumah sakit masih
memprihatinkan. Sebagai contoh penelitian
yang dilakukan oleh McGain di Melbourne
Western Hospital, sebanyak 83% rekam medis
tidak lengkap mendokumentasikan vital sign
dan clinical reviews yang dilakukan oleh
dokter dan perawat pada rekam medis dengan
kasus-kasus bedah mayor. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Herlambang
(2001) menunjukkan, angka ketidaklengkapan
rekam medis di RS Kanker Darmais adalah
54,18%. Demikian pula Hasani (2003)
menemukan sebanyak 95,3% berkas rekam
medis di RSUD Tarakan pada periode Bulan
Oktober 2002 tidak lengkap dan hasil
penelitian
oleh
Purwaningtias
(2002)
menunjukkan bahwa sebanyak 98,44% resume
medis di Rumah Sakit Budhi Asih tidak diisi
dengan lengkap.
RSUD Kabupaten Sumedang adalah
Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumedang, merupakan Rumah
Sakit Kelas B Non Pendidikan serta memiliki
kapasitas tempat tidur sebanyak 256 Tempat
Tidur
(Purwaningtyas,
2002).
RSUD
Pendahuluan
Rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan
bagi
masyarakat
dengan
karakteristik tersendiri. Adapun karakteristik
rumah sakit adalah organisasi yang padat
karya, padat teknologi, padat profesi dan padat
konflik sehingga pengelolaan rumah sakit serta
kegiatannya harus terintegrasi dalam suatu
sistem informasi rumah sakit yang dapat
diandalkan.
Rumah sakit sebagai institusi dalam
upaya kesehatan sekunder dan tersier,wajib
menyelenggarakan sistem informasi kesehatan
yang akan digunakan untuk kepentingan rumah
sakit dan merupakan bagian dari sistem
informasi kesehatan pada tingkat kabupaten,
provinsi serta nasional. Sesuai Permenkes
Nomor 1171/MENKES/PER/VI/2011 Tentang
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) (Depkes
RI, 2008).
Salah satu data dan informasi vital bagi
SIRS adalahrekam medis. Dalam Permenkes
Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang
Rekam Medis, dinyatakan bahwa setiap
institusi pelayanan kesehatan termasuk rumah
sakit diwajibkan untuk menyelenggarakan
rekam medis. Sistem penyelenggaraan rekam
medis
adalah
suatu
sistem
yang
mengorganisasikan formulir, catatan, dan
laporan yang dikoordinasikan sedemikian rupa
untuk menyediakan dokumen yang dibutuhkan
manajemen rumah sakit (Depkes RI, 2004).
Rekam Medis adalah berkas yang berisi
catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang
telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan
lain
yang
telah
diberikan
kepada
pasien.Catatan merupakan tulisan-tulisan yang
dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai
tindakan-tindakan yang dilakukan kepada
pasien dalam rangka pelayanan kesehatan,
sedangkan dokumen adalah catatan dokter,
dokter gigi, danatau tenaga kesehatan tertentu,
laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan
observasi dan pengobatan harian dan semua
rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar
65
Kabupaten Sumedang juga merupakan rumah
sakit yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat sebagai rumah sakit
rujukan regional bagi daerah/kabupaten
disekitarnya sebelum dirujuk ke rumah sakit
rujukan yang lebih tinggi seperti Rumah Sakit
Hasan Sadikin. Sebagai gambaran pada tahun
2010, rata-rata jumlah pasien yang dirawat
setiap bulannya adalah sekitar 4.975 pasien
rawat inap dan 18.200 pasien rawat jalan.
Fenomena tingginya ketidaklengkapan
rekam medis, juga terjadi di RSUD Kabupaten
Sumedang. Menurut Laporan Seksi Rekam
Medis RSUD Kabupaten Sumedang Tahun
2010, diketahui persentase ketidaklengkapan
rekam medis di RSUD Kabupaten Sumedang
adalah 74,8% di rawat inap dan 67,6% di rawat
jalan. Sebagai Rumah Sakit Rujukan Regional
dengan volume pasien yang cukup tinggi
setiap
bulannya,
tingginya
angka
ketidaklengkapan Rekam Medis di RSUD
Kabupaten Sumedang ini terutama pada rekam
medis rawat inap perlu mendapatkan perhatian.
Berdasarkan studi pendahuluan, beberapa
upaya perbaikan telah dilakukan oleh pihak
manajemen rumah sakit seperti pelatihan
rekam medis kepada petugas dan sosialisasi
kelengkapan rekam medis, namun belum
tampak perbaikan yang bermakna terhadap
masalah ketidaklengkapan pengisian rekam
medis ini yang ditandai dengan masih
tingginya angka ketidaklengkapan rekam
medis.
Sampai dengan saat ini faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi ketidaklengkapan
rekam medis tersebut belum diketahui.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
pelatihan rekam medis, beban kerja, jenis
kelamin, sikap, pengetahuan, pendidikan, jenis
operasi, masa kerja, spesifikasi keahlian
dokter, umur, kelas perawatan dan jenis pasien
dengan kelengkapan pengisian rekam medis
(Mc, Gain, 2005).
Metode
Analisis Kuantitatif
Analisis Kualitatif
OUTPUT :
Kelengkapan
Pengisian
Rekam Medis,
berdasarkan :
Lembaran
umum dan
khusus
Petugas
Ruangan
Jenis
pembayaran
Gambar 1:
PROSES
Pelaksanaan
Pengisian
Form Rekam
Medis
Monitoring
dan supervisi
INPUT
SDM Petugas Kesehatan:
- Pengetahuan
- Sikap
- Beban Kerja
- Masa Kerja
Material
Peraturan dan dasar hukum
penyelenggaraan Rekam
Medis
Sarana Prasarana
Metode
Kerangka Konsep Penelitian
66
rancangan
2010)
Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah mixed
methodssequential
explanatory
berupa
kombinasi antara penelitian kuantitatif dan
kualitatif dengan urutan atau tahapan
penelitian adalah menggunakan rancangan
kuantitatif terlebih dahulu untuk selanjutnya
hasil yang didapatkan dari analisis kuantitatif
digali lebih dalam dengan pendekatan
penelitian
kualitatif.(Cresswell,
Subjek/Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian kualitatif ini
adalah petugas rekam medis, perawat / bidan
dan dokter yang merupakan petugas yang
langsung mengisi rekam medis rawat inap dan
dari unsur manajemen yang menjadi informan
adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Matrix Kode dan Jabatan Informan
No. Kode
1
2.
M1
M2
3.
KM1
4.
P1
5.
6.
PM1
SP1
7.
MJ1
Jabatan
No.
Kode
7.
8.
MJ1
KP
Wadir Pelayanan Medis
Ketua Komite Keperawatan
9.
M2
Kabid Pelayanan Medis
10.
M3
Perekam Medis
11.
Ketua SPI / dr. Sp. 12.
Anak
Wadir
Pelayanan 13.
Medis
PO
P2
Dokter Spesialis Bedah
Orthopedi
Perawat Anastesi
Kepala
Ruangan
Perinatologi
Bidan Ruang VK
Dokter Umum
Dokter Sp. penyakit
Dalam
Ketua komite Medik /
dr. Spesialis Bedah
Perawat Asosiet
B1
Pada awal penelitian, jumlah sampel
berjumlah 9 orang yang sebelumnya terpilih
secara purposive, namun pada saat penelitian
dilaksanakan jumlah subjek berkembang
menjadi 13 orang, hal ini dilakukan atas dasar
kepentingan penelitian yaitu wawancara terus
dilakukan oleh peneliti secara snowball dan
dihentikan ketika informasi mencapai titik
jenuh dan informasi yang diinginkan berhasil
diketahui.
Objek dalam penelitian ini adalah berkas
rekam medis rawat inap pasien RSUD
Kabupaten Sumedang periode 1 April sampai
dengan 31 Juni 2011dengan pertimbangan
bahwa sampel yang diambil akan cukup
memadai dan diharapkan seluruh rekam medis
telah masuk bagian penyimpanan dengan
kriteria inklusi dan eksklusi.
Jabatan
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
meliputi populasi target yaitu seluruh rekam
medis rawat inap pasien RSUD Kabupaten
Sumedang, sedangkan yang menjadi populasi
terjangkau dalam penelitian ini adalah berkas
rekam medis rawat inap pasien RSUD
Kabupaten Sumedang pada periode 1 April
2011 sampai dengan 31 Juni 2011 sebanyak
13.136 berkas RM.
Jumlah sampel rekam medis yang
dibutuhkan ditetapkan berdasarkan tingkat
kekeliruan sebesar 5% dan tingkat ketepatan
sebesar 95% dari populasi berkas rekam medis
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(Machfoedz, 2005) dan (Kasjono, 2009).
n
67
Z 2 1 - / 2 P(1 P)
d2
n
2) Data Kualitatif
Pada tahap ini untuk data kualitatif,
seperti
diungkapkan
Cresswell
dilakukan
melalui
tahap-tahap
mengorganisasikan
dan
mempersiapkan
data,
membaca
seluruh data, membuat kode (Coding
Process), membuat / membuat tema
dengan hasil koding tersebut dan
terakhir membuat
intepretasi atau
makna dari data (Cresswell, 2010).
Sejumlah
langkah
analisis
selama
pengumpulan data sesuai dengan panduan
Miles dan Huberman adalah : (Milles,
1994) dan (Sahid, 2011)
a) Meringkaskan data
b) Pembuatan catatan obyektif.
c) Pembuatan catatan reflektif.
d) Membuat catatan marginal.
e) Penyimpanan data.
f) Pembuatan memo.
2. Tahap Peragaan Data
Tahap peragaan data yang meliputi reduksi
informasi
menjadi
himpunan
atau
konfigurasi yang mudah dipahami yang
tetap dan sederhana. Pada tahap peragaan
data ini untuk data kuantitatif/numerik
mengenai kelengkapan rekam medis
digunakan tabel distribusi frekuensi
terhadap setiap lembaran rekam medis dan
kelengkapan secara umum
3. Tahap Transformasi Data
Pada tahapan ini data dapat dikualifikasikan
dan atau dikuantifikasikan. Pada penelitian
ini data yang terkumpul, diolah lalu
dilakukan peragaan data
selanjutnya
dikualifikasikan,
dengan
demikian
diharapkan dapat memberikan lebih banyak
makna kepada data. Untuk mencari faktorfaktor yang mempengaruhinya dilakukan
analisis
faktor
eksploratoris
yang
bersumber dari hasil wawancara mendalam.
4. Integrasi Data
Tahap ini merupakan simpul terakhir dalam
mata rantai analisis data, dalam tahap ini
semua data dihimpun dan menjadi sebuah
3,841 x 0.25
0.0025
n = 384,1 atau dibulatkan = 385
Keterangan :
n = jumlah sampel
p = estimasi proporsi sebesar 0,5
α = tingkat kekeliruan (5%)
Z = adalah derajat kepercayaan 1- α/2=1,96
Instrumen Penelitian
Data Kuantitatif
Alat atau instrumen penelitian yang
dipergunakan adalah berupa lembar telaahan,
diisi sesuai dengan kondisi atau keadaan
pengisian rekam medis (diisi atau tidak).
Data Kualitatif
Sumber data kualitatif dalam penelitian
ini adalah data primer yang merupakan hasil
wawancara dengan subjek penelitian atau
informan
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan rekam medis di rumah sakit.
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti
adalah
wawancara
semi
terstruktur.
Wawancara dimulai dari tema yang dicakup
dalam pedoman wawancara namun dalam
pelaksanaannya
informan
dipersilahkan
mengeluarkan pendapat atau persepsinya,
namun tetap dalam arahan sesuai panduan
wawancara.
Analisis Data
1. Tahap reduksi data
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
adalah mereduksi setiap bentuk data yang
dikumpulkan pada tahap pengumpulan
data.
1) Data kuantitatif
Pada tahap ini, untuk data kuantitatif
reduksi data
meliputi distribusi
frekuensi dan persentase kelengkapan
dan ketidaklengkapan pengisian berkas
rekam medis
(lembaran-lembaran
umum dan khusus).
68
totalitas yang terpadu atau dapat juga
menjadi dua himpunan totalitas yang
terpadu.
lembaran umum dan khusus. Lembaranlembaran umum ini terdapat pada seluruh
berkas rekam medis sebanyak 385 berkas,
yaitu :
Hasil dan Pembahasan
Formulir/lembaran
rekam medis
untuk pasien rawat inap terdiri dari lembaranTabel 2 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Pengisian Lembaran-Lembaran Umum
Tidak lengkap
Lengkap
Total
No
Lembaran
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
1 Ringkasan Masuk dan
39
10,1
346
89,9
385
keluar
2 Anamnese dan
45
11,7
340
88,3
385
Pemeriksaan Fisik
3 Lembaran Grafik (RM 4)
5
1,3
380
98,7
385
4 Perjalanan
55
14,3
330
85,7
385
Penyakit/Perkembangan
Perintah Dokter dan
Pengobatan (RM 5)
5 Catatan Perawat/Bidan
16
4,2
369
95,8
385
(RM 6)
6 Formulir Catatan
11
2,76
374
97,14
385
Perkembangan (RM 6, 4)
7 Resume Keluar (RM 8)
92
23,9
293
76,1
385
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase kelengkapan pengisian rekam medis
rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang
berada pada 41,6% atau sebesar 58,4% tidak
lengkap. Ketidaklengkapan rekam medis pada
formulir / lembaran umum dengan persentase
ketidaklengkapan paling tinggi adalah pada
lembaran Resume Medis (RM 8) yaitu sebesar
23,9%. Lembaran ini sesuai dengan namanya
merupakan lembaran yang berisi resume
penting atas semua kondisi penyakit, riwayat
pengobatan, tindakan,
hasil pemeriksaan
1
2
3
100
100
100
100
100
100
penunjang hingga prognosa penyakit yang
wajib diisi dan ditandatangani oleh Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
Hasil pengamatan berdasarkan sub
variabel/kolom dalam lembaran RM 8 ini,
ketidaklengkapan paling tinggi sebesar 11%
pada kolom hasil Hasil-hasil laboratorium,
Rontgen dan konsultasi. Kolom ini merupakan
kolom yang harus diisi dengan hasil
laboratorium, Rontgen dan konsultasi yang
telah dilakukan kepada pasien.
Tabel 3
No
%
100
Distribusi Frekuensi Kelengkapan Pengisian Lembaran-Lembaran Khusus
Berkas Rekam Medis Pasien dengan Pembedahan
Tidak lengkap
Lengkap
Total
Lembaran
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
Persetujuan Tindakan
19
28,8
47
71,2
66
Medis
Laporan Operasi
20
30,3
46
69,7
66
Laporan Anaestesi
0
0
66
100
66
69
pada
%
100
100
100
Tampak ada fenomena yang menarik,
yaitu persentase kelengkapan pada lembaran
khusus pasien dengan pembedahan yaitu
adanya kesenjangan yang tinggi antara
ketidaklengkapan lembaran laporan anastesi
(0%) dengan lembaran laporan operasi
(30,3%).
Hasil wawancara terhadap Dokter
spesialis anastesi dan perawat anastesi serta
dokter bedah umum dan bedah tulang yang
mengisi lembaran laporan anastesi dan laporan
operasi menunjukkan bahwa memang terdapat
perbedaan prosedur pengisian lembaran ini.
Laporan anastesi diisi sejak proses anestesi
akan dilakukan, saat berlangsung anastesi /
operasi hingga pasca operasi atau dalam masa
recovery. Prosedur kerja seperti ini
menimbulkan kemungkinan adanya kolom
yang terlewat tidak
diisi lebih kecil
dibandingkan dengan prosedur kerja pengisian
laporan operasi.
Pada pengisian lembaran operasi datadata identitas dan kondisi atau keadaan
praoperasi memang dicatat sebelum operasi
namun keadaan dan hasil saat operasi serta
kondisi pasca operasi dicatat oleh operator
setelah selesai operasi,
sehingga ada
kemungkinan ada yang terlewat kelengkapan
pengisiannya.
Selain itu kondisi ini juga ditunjang oleh
format Laporan operasi yang tidak dimengerti
cara pengisiannya oleh petugas. Berdasarkan
pengamatan peneliti seperti ditunjukkan oleh
informan memang
terdapat kolom yang
pengisian menyulitkan petugas, yaitu kolom
“tanggal; jam operasi dimulai; jam operasi
selesai dan lama anastesi berlangsung” letak
kolom2 tersebut membingungkan petugas yang
akan mengisi, sehingga seringkali diabaikan.
No
1
2
Lembaran
Riwayat
Kehamilan
Laporan
Persalinan
Tidak
Lengkap
Jml %
5
5,7
Jml % Jml %
82 94,3 87 100
13
74
14,9
Lengkap
85,1
Total
87
100
Berdasarkan tabel diatas tentang
lembaran khusus Rekam Medis Pasien dengan
Persalinan diketahui sebesar 14,9% tidak
lengkap dengan persentase ketidaklengkapan
pengisian paling tinggi adalah 8,1% pada
variabel nama penolong (dokter atau
bidan).Hasil wawancara menunjukkan bahwa
menurut dokter spesialis kandungan, dan bidan
di ruang bersalin, penyebab ini seringkali tidak
terisi karena menganggap bahwa cukup diisi
dengan tanda tangan saja sementara nama
menjadi terabaikan karena penolong merasa
namanya sudah dicatat pada lembaran rekam
medis sebelumnya. Hal ini tidak sesuai dengan
protap atau SPO yang ada yang mengharuskan
seluruh kolom diisi tanpa terkecuali.
Berdasarkan hasil wawancara informan
perekam medis, Umpan balik mengenai hal
ini tidak dilakukan secara berkesinambungan,
terhadap hal ini sikap petugas yang kurang
memperhatikan
ketidaklengkapan
pengisiannya.
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kelengkapan
Lembaran Identifikasi Bayi
No
1
Lembaran
Identifikasi
Tidak
Lengkap
Jml
8
Lengkap
% Jml %
18,2 36 81,8
Total
Jml
44
%
100
Bayi
Berdasarkan tabel diatas tentang lembaran
khusus Rekam Medis Pasien bayi baru lahir
didapatkan sebesar 18,2% tidak lengkap.
Lembaran ini sangat penting karena berisi
informasi mengenai keadaan bayi yang
dilahirkan di RS, dengan tanda pengenal bayi
serta berita acara penyerahan bayi. Petugas
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kelengkapan
Pengisian
Lembaran-Lembaran
Khusus Rekam Medis
Ibu
Bersalin
70
yang berwenang mengisi adalah: Dokter
umum/Spesialis dan Perawat/Bidan.
Persentase ketidaklengkapan
yang
terbesar adalah 11,4% pada variabel diagnosa
dan tanda tangan serta nama bidan.Hasil
wawancara terhadap perawat serta bidan
sebagai informan penelitian diketahui bahwa
tidak terisinya variabel atau kolom-kolom
diatas sebagian besar terjadi pada rekam medis
bayi baru lahir dengan Intra Uterine Fetal
Distress (IUFD), petugas khususnya bidan
seringkali terabaikan mengisi tanda tangan dan
nama bidan pada lembaran ini dikarenakan
bayi yang sudah meninggal tersebut sudah
diserahkan terlebih dahulu kepada keluarganya
sehingga petugas tidak begitu memperhatikan
kelengkapan
pengisian
lembaran
ini.
Ditambahkan menurut perekam medis, tanpa
adanya umpan balik yang berkesinambungan
kepada petugas / unit terkait, menyebabkan
seolah-olah hal ini menjadi yang biasa.
Medis Rawat Inap di RSUD Kabupaten
Sumedang.
Dengan mengacu kepada kerangka
sistem, faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidak lengkapan pengisian rekam medis
dimana kelengkapan sebagai outputnya dapat
identifikasi komponen Input terdiri atas Faktor
SDM petugas Kesehatan (pengetahuan, sikap,
beban kerja dan masa kerja), faktor material
yang terdiri dari peraturan dan dasar hukum
penyelenggaraan rekam
medis,
sarana
prasarana dan terakhir komponen Proses terdiri
atas pelaksanaan pengisian rekam medis serta
monitoring dan supervisi. Selanjutnya akan
dibahas satu persatu faktor-faktor tersebut
berdasarkan hasil wawancara terhadap para
informandidapatkan informasi :
1) Pengetahuan
Para informan yaitu perekam medis,
perawat dan dokter memiliki pengetahuan
yang
cukup
mengenai
pentingnya
pengisian rekam medis yang lengkap,
terlihat dari mereka dapat menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan
pentingnya kelengkapan rekam medis,
Informan M1, KM1, PM1 dan KP
menyatakan bahwa: “mengisi RM itu
sangat penting, sejak masa pendidikan /
sekolah pun sudah paham”. Dinyatakan
bahwa hal tersebut melekat terhadap
profesi masing-masing dan ditanamkan
sejak dalam masa pendidikan, namun
Informan M1, KM1, M2, B1, dan M3 juga
menyatakan bahwa mereka tidak begitu
mengetahui kejelasan pengisian beberapa
kolom pada formulir rekam medis
sehingga pada kolom tertentu petugas
membiarkannya kosong seperti pada
formulir Laporan Operasi, Laporan
Identifikasi bayi, Formulir Masuk IGD dan
Resume keluar.
Berdasarkan hal tersebut maka
diketahui bahwa pengetahuan mengenai
teknis pengisian formulir dalam berkas
RM adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi
tingginya
persentase
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Kelengkapan Pengisian Rekam Medis
Rawat Inap
Tahap pertama dalam penelitian yang
menggunakan metodologi mixed methode ini
adalah dengan melakukan penelitian secara
kuantitatif yaitu melakukan telaahan terhadap
sampel yaitu berkas rekam medis rawat inap,
hasilnya diketahui bahwa lebih dari separuh
berkas rekam medis tidak lengkap atau sebesar
58,4% tidak lengkap, hal ini masih jauh dari
standar yang telah ditetapkan menurut
Kementerian
Kesehatan
yaitu
tingkat
kelengkapan Rekam Medis adalah 100%.9
Untuk menindaklanjuti temuan pada tahap
pertama ini selanjutnya menuju ke tahapan
yang kedua yaitu penelitian kualitiatif dengan
melakukan wawancara terhadap informaninforman yang merupakan stake holder dalam
penyelenggaraan pengisian rekam medis rawat
inap. Wawancara ini ditujukan untuk menggali
faktor-apa saja yang mempengaruhi tingginya
persentase ketidaklengkapan pengisian Rekam
71
ketidaklengkapan pengisian RM. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian
Purwaningtias yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kelengkapan rekam
medis rawat inap di RSU Budi Asih.
2) Sikap
Hasil
wawancara
menunjukkan
informan M1, M2, P1, B1, KM1, PM, M3
dan KP memiliki sikap yang negatif atau
kurang mendukung terhadap pengisian
rekam medis yang lengkap,
ini
ditunjukkan dengan pernyataan “Bahwa
pengisian rekam medis yang tidak lengkap
sudah sejak dahulu demikian, sehingga
petugas yang ada merasa hal tersebut tidak
begitu bersalah karena sudah merasa biasa
seperti itu” dan menurut InformanM2,
KM, SP1 dan KP Sikap tersebut terbentuk
oleh beberapa hal baik dari luar dirinya
maupun dalam dirinya. Berapa hal dari
luar diri petugas adalah beban kerja,
kebiasaan / budaya organisasi di unit kerja
yang kurang mendukung pelaksanaan
pengisian dengan lengkap, sedangkan dari
dalam meliputi rasa malas dan motivasi.
Hal-hal tersebut membentuk sikap negatif
petugas terhadap kelengkapan pengisian
rekam
medis,
yang
menimbulkan
tingginya persentase ketidaklengkapan
pengisian rekam medis rawat inap.Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian
Purwaningtias yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
sikap dengan kelengkapan rekam medis
rawat inap di RSU Budi Asih
(Purwaningtias, 2002).
3) Beban Kerja
Berdasarkan hasil wawancara, dokter
spesialis dan perawat menyatakan bahwa
beban kerja terutama dokter spesialis
sangat berat, menyita waktu dan tenaga
sehingga dokter tidak dapat mengisi secara
maksimal atau lengkap lembaran rekam
medis yang seharusnya diisi. Hasil analisis
dengan membandingkan ratio jumlah
Dokter spesialis penyakit dalam (2 orang)
dengan pasien yang harus dilayani yaitu
rata sebanyak 67 pasien rawat inap dan
pasien rawat jalan sebanyak 75 orang
setiap harinya. Berkaitan dengan hal
tersebut, analisis beban kerja harus segera
dilaksanakan,
menurut
Komaruddin
analisis beban kerja bertujuan untuk
menentukan berapa jumlah personalia dan
berapa jumlah tanggung jawab atau beban
kerja yang tepat dilimpahkan kepada
seorang petugas (Mcgain, 2005).
4) Masa Kerja
Seluruh reponden menyatakan bahwa
masa kerja petugas baik dokter, perawat
serta petugas rekam medis tidak memiliki
pengaruh terhadap kelengkapan pengisian
rekam medis rawat inap di RSUD
Kabupaten Sumedang. Menurut mereka
petugas yang baru cenderung meniru
petugas lama dalam pengisian RM,
sehingga menjadi sebuah kebiasaan.
“dokter senior saja mengisinya demikian
ya, kami ikuti saja seperti itu” demikian
menurut salah seorang dokter umum.
Berdasarkan hal tersebut, masa kerja saja
ternyatatidak
cukup
mempengaruhi
kelengkapan pengisian, sesuai dengan
pendapat Siagian, mutu dan kemampuan
kerja seseorang tumbuh dan berkembang
melalui dua jalur utama yaitu pengalaman
kerja dan yang dapat mendewasakan
seseorang dan yang kedua adalah
pendidikan dan pelatihan yang pernah
ditempuh (Siagian, 2008).
5) Peraturan
dan
dasar
hukum
penyelenggaraan Rekam Medis.
Hasil wawancara diketahui para
informan memberikan jawaban yang
kurang meyakinkan ketika diberikan
pertanyaan mengenai adanya perturanperaturan dan pedoman yang berkaitan
dengan rekam medis. Dokter dan perawat
mengaku tidak banyak mengetahui
peraturan
dan
dasar
Hukum
Penyelenggaraan Rekam Medis di RS,
72
mereka merasa belum tersosialisasi atau
terpapar informasi tersebut.
Padahal
pedoman
sudah
diterbitkan
oleh
manajemen rumah sakit namun rupanya
sosialisasi terhadap peraturan-peraturan,
pedoman tersebut sangat kurang, sehingga
banyak
diantara
informan
yang
memberikan jawaban yang kurang
meyakinkan.
Hal tersebut merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya persentase ketidaklengkapan
pengisian rekam medis rawat inap di
RSUD Kabupaten Sumedang.
6) Sarana
dan
Prasarana
Penunjang
Penyelenggaraan Pengisian Rekam Medis
Hasil
penelitian
menunjukkan
sebagian informan (perawat dan perekam
medis) menyatakan sarana dan prasarana
sudah cukup baik namun sebagian lagi
(dokter spesialis) menyatakan sarana
prasarana masih kurang, sarana prasarana
yang masih kurang ini terutama bagi
dokter spesialis untuk melakukan kegiatan
pengisian rekam medis yaitu keberadaan
ruangan khusus dan atau meja kerja khusus
bagi dokter untuk melengkapi pencatatan
atau pengisian rekam medis. Secara umum
sarana dan prasarana dapat diartikan
sebagai alat penunjang keberhasilan suatu
proses upaya yang dilakukan di dalam
pelayanan publik, karena apabila kedua hal
ini tidak tersedia maka semua kegiatan
yang dilakukan tidak akan dapat mencapai
hasil yang diharapkan sesuai dengan
rencana. Demikian juga menurut Kabid
Pelayanan dan Wakil Direktur pelayanan,
yang menyatakan bahwa hampir semua
ruang perawatan belum mempunyai ruang
khusus dan juga meja khusus bagi dokter
spesialis untuk melakukan kegiatan
administrasi
termasuk
kegiatan
melengkapi pengisian RM.
7) Ketersediaan SPO untuk menunjang
Penyelenggaraan Pengisian Rekam Medis
Hasil wawancara terhadap informan
diketahui dokter dan perawat mengaku
belum mendapatkan SPO yang mengatur
secara khusus mengenai pengisian rekam
medis. Sedangkan menurut perekam medis
SPO bagi prekam medis sudah lengkap.
Hasil wawancara dengan Kabid Pelayanan
menyatakan bahwa SPO yang ada bagi
dokter dan perawat sudah ada dalam
pedoman pelayanan rekam medis, namun
sosialisasi nya hanya satu kali dilakukan
saat diluncurkan sehingga masih banyak
petugas baik dan perawat yang tidak
terpapar.
SPO merupakan acuan bagi tenaga
kesehatan dalam melaksanakan pengisian
rekam medis rawat inap, dokter, perawat
dan petugas rekam medis masing-masing
memiliki pedoman sebagai acuan kerja
sesuai kewenangannya. Setiap petugas
harus mematuhi apa yang tertulis dalam
SPO ini. Ketidak tahuan akibat kurangnya
sosialisasinya
SPO
menimbulkan
ketidakpatuhan petugas dalam melakukan
pengisian rekam medis dengan lengkap.
Komponen Proses
Komponen
selanjutnya
dalam
kerangka sistem adalah komponen proses,
komponen proses dalam penelitian terdiri atas
2 faktor yaitu faktor pelaksanaan pengisian di
ruangan serta monitoring dan evaluasi.
1) Proses pelaksanaan Pengisian
Rekam
Medis
Faktor pelaksanaan pengisian di
ruangan dimaksudkan untuk mengetahui
apakah kelengkapan pengisian rekam
medis rawat inap ini juga dipengaruhi oleh
keadaan tertentu di ruangan perawatan saat
petugas melakukan pengisian rekam
medis.
Menurut penuturan perawat terdapat
perbedaan proses pengisian RM mereka
menyatakan bahwa pengisian rekam medis
seringkali diprioritaskan pada kasus-kasus
tertentu seperti kasus yang berkaitan
dengan asuransi yang dalam hal ini
berkaitan dengan persyaratan klaim dan
73
juga RM yang berkaitan dengan proses
hukum misalnya pasien yang merupakan
korban penganiayaan atau kecelakaan.
Mereka juga menuturkan bahwa ada
perbedaan cara / prosedur pengisian
lembaran rekam medis dalam hal ini
laporan Operasi dan Laporan Anastesi
juga adanya kesenjangan persentase
kelengkapan yang cukup tinggi.
Selain itu pada sebagian besar ruangan
perawatan, atas instruksi dokter, perawat
ikut
membantu
dokter
mengisi/
melengkapi lembaran resume keluar yang
sebenarnya merupakan tugas dokter dan
pendelegasian wewenang pengisian ini
dilakukan tanpa dokumen tertulis.
Meskipun demikian saat penandatanganan,
dokter selalu memeriksa hasil pengisian
perawat tersebut.
Menurut Pedoman pelayanan RM,
Pencatatan / pengisian rekam medis harus
dilaksanakan
oleh
petugas
setelah
memberikan pelayanan pada seluruh
pasien tanpa terkecuali. Berdasarkan hal
tersebut
diketahui
bahwa
faktor
pelaksanaan pengisian di ruangan yaitu
prosedur pengisian oleh petugas di
Instalasi Bedah Sentral dan perlakuan
perbedaaan pengisian rekam medis pasien
umum dan asuransi serta adanya
pendelegasian wewenang pengisian tanpa
dokumen tertulis di ruangan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya ketidaklengkapan pengisian
rekam medis rawat inap di RSUD
Kabupaten Sumedang.
2) Monitoring dan Evaluasi Pengisian
Rekam Medis
Menurut penuturan dokter,sistem
monitoring
/ kontrol dan evaluasi
mengenai RM dokter
hanya sebatas
sosialisasi pada saat rapat komite medik,
dalam rapat itu biasanya para dokter
diingatkan untuk melakukan pengisian
dengan lengkap, hal tersebut dilakukan
tidak rutin terkadang setiap bulan atau
triwulan,
Pelaksanaan
monitoring
diruangan dilakukan oleh perawat dengan
menggunakan metode tim, dalam tim
tersebut kelengkapan pengisian rekam
medis terutama terhadap lembaran yang
wajib diisi oleh perawat, ketua tim
memeriksa ulang hasil pengisian dan tahap
terakhir diperiksa oleh kepala ruangan.
Menurut
Kabid
pelayanan
system
monitoring dan evaluasi memang masih
sendiri-sendiri belum terintegrasi dengan
baik, pelaksanaan monitoring biasanya
dilakukan kalau ada penilaian tertentu dan
sistem yang ada tidak berorientasi ke
pemecahan masalah.
Berdasarkan hal tersebut diketahui
bahwatidak optimalnya pelaksanaan sistem
monitoring dan evaluasi pengisian rekam
medis rawat inap merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi
tingginya
ketidaklengkapan pengisian rekam medis
rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang
3) Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi
Pengisian Rekam Medis
Faktor lain yang sangat penting
menurut dokter dan perawat perekam
medis dan juga dari pihak manajemen
yaitu Kabid pelayanan dan Wadir
pelayanan adalah perlu adanya sistem
reward dan punishment baik berupa
penghargaan bagi petugas atau tim yang
telah melakukan pengisian rekam medis
dengan baik dan sangsi bagi petugas atau
tim yang belum melaksanakan pengisian
dengan baik, reward dan punishment dapat
berupa
materi maupun non materi.
Pernyataan lain dari kabid pelayanan dan
wadir pelayanan adalah belum terciptanya
sistem yang baik antar unit atau petugas
pengisi rekam medis seperti
dokter,
perawat, petugas rekam medis.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase ketidaklengkapan pengisian rekam
medis rawat inap
di RSUD Kabupaten
74
Sumedang sebesar 58,4%. Ketidaklengkapan
pada lembaran umum dengan
persentase
ketidaklengkapan paling tinggi adalah pada
lembaran Resume Medis (RM 8) yaitu sebesar
23,9%. Pada lembaran–lembaran khusus,
persentase ketidaklengkapan paling tinggi
adalah pada lembaran Laporan Operasi 30,3%,
Identifikasi Bayi 18,2% dan Laporan
Persalinan 14,9%.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
rendahnya persentase kelengkapan rekam
medis rawat inap RSUD Kabupaten Sumedang
adalah :
1. Komponen Input
1) Faktor SDM
a) Kurangnya pengetahuan petugas
b) Sikap negatif
/ kurang
mendukung petugas, sikap
c) Tingginya beban kerja petugas
dalam hal ini beban kerja dokter
spesialis dan perawat.
2) Kurangnya
sosialisasi
tentang
Peraturan
dan
Dasar
Hukum
Penyelenggaraan Rekam Medis di
RSUD Kabupaten Sumedang
3) Kurangnya
sarana
prasaranadi
ruangan perawatan terutama tidak
adanya ruangan / meja khusus bagi
dokter
untuk melakukan tugas
administrasi
termasuk pengisian
rekam medis.
4) Kurang lengkapnya SPO yang ada
serta kurangnya sosialisasi SPO yang
mendukung penyelenggaraan Rekam
Medis kepada petugas terutama
dokter dan perawat di ruangan.
2. Komponen Proses
1) Faktor Pelaksanaan PengisianDi
Ruangan
Adanya Perbedaan cara / prosedur
pengisian rekam medis serta adanya
pendelegasian wewenang pengisian
tanpa dokumen tertulis.
2) Faktor Monitoring dan Evaluasi
Tidak optimalnya sistem monitoring
dan evaluasi.
3.
Faktor-faktor lain
Belum adanya sistem reward dan
punishmentserta
belum
baiknya
kerjasama secara tim di ruangan
perawatan antara dokter dan perawat serta
seksi
rekam
medis
dalam
penyelenggaraan rekam medis.
Saran
Berdasarkan kepada hasil penelitian
maka saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut :
1) Untuk lebih meningkatkan kinerja petugas
kesehatan dalam hal pengisian rekam
medis maka:
a. Perlu menyelenggarakan kegiatan
peningkatan pengetahuan khususnya
pengetahuan tentang teknis pengisian
lembaran-lembaran rekam medis.
b. Mengkaji penerapan sistem reward
and punishment bagi petugas atau tim
yang melaksanakan pengisian rekam
medis.
c. Memfasilitasi
kegiatan
penyelenggaraan sistem monitoring
dan evaluasi yang tepat serta
terintegrasi
dengan
melibatkan
berbagai unsur profesi.
d. Perlu peningkatan ketersediaan sarana
dan prasarana terutama ruangan dan
atau meja khusus di ruangan
perawatan
bagi
dokter
untuk
melaksanakan tugas administrasi
termasuk melakukan pengisian rekam
medis.
2) Perlu ada penelitian selanjutnya untuk
menindaklanjuti hasil penelitian ini
terutama mengenai sistem reward and
punishment yang tepat serta
sistem
monitoring dan evaluasi rekam medis
yang komprehensif seperti penerapan
analisis rekam medis secara kuantitatif
dan kualitatif yang berkesinambungan.
75
di Internet] Australian Medical Association
Journal;
diunduh
dari
http://ama.com.au/node/3404.
Miles, M B & Huberman A M. (1994).
Qualitative data analysis. second edition.
California: Sage Publications, Thousand
Oaks.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Kesehatan
masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Nurhaidah. (2008). Analisis kepatuhan dokter
mengisi resume medis di RS Muhammad
Husni Thamrin Internasional Salemba.
Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Purwaningtias. (2002). Faktor-faktor yang
berhubungan
dengan
kelengkapan
pengisian dan keterlambatan pengembalian
berkas rekam medis rawat inap di RSUD
budhi asih tahun 2002. Tesis. Depok:
Universitas Indonesia.
RSUD Kabupaten Sumedang. (2011). Profil
rumah sakit umum daerah kabupaten
Sumedang Tahun 2010. Sumedang: RSUD
Kabupaten Sumedang.
Rustiyanto, Ery. (2010). Sistem informasi
manajemen rumah sakit yang terintegrasi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sahid, Rahmat. (2011). Analisis data penelitian
kualitatif model miles dan huberman.
Dokumen dalam internet. Diunduh tanggal
20 Nopember 2011.
Siagian,
Sondang P. (2008). Manajemen
sumber daya manusia. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Simatupang. Togar. (2002). Teori sistem suatu
perspektif teknik industri. Yogyakarta:
Andi. Offset.
Sujono. (2006). Studi perbandingan hasil
pendokumentasian
keperawatan
pada
bangsal inisiasi MPKP dan non MPKP di
rumah sakit grhasia Yogyakarta. Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
World Health Organization. (2006). Medical
record manual: A guide for developing
countries. Western Pasific region. [e-book]
WHO.
Daftar Pustaka
Cresswell JW, Clark, VPL, Gutmann ML,
Hanson WE. (2003). Rancangan penelitian
metode campuran yang modern. Dalam:
Tashakkori. A, Teddlie. C. (2010).
Handbook of mixed methodes in social dan
behavioral research. California: Sage
Publication. Penerjemah Daryatno, Pustaka
Pelajar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2006).
Pedoman
penyelenggaraan
prosedur rekam medis rumah sakit di
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2008). Peraturan menteri kesehatan
Republik Indonesia (Permenkes) Nomor
No.
269/Menkes/Per/III/2008
tentang
rekam medis. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2008). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
No.
1171/Menkes/Per/VI/2011 tentang sistem
informasi rumah sakit (SIRS). Jakarta:
Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2009). Sistem kesehatan nasional (SKN).
Jakarta: Depkes RI.
Fathansyah. (2002). Basis data. CV. Bandung:
Informatika.
Hatta, Gemala. (2008). Analisis kuantitif dan
kualitatif dalam rekam kesehatan kertas
maupun elektronik. Dalam: Hatta. Pedoman
manajemen informasi kesehatan di sarana
pelayanan. Jakarta: UI Press.
Konsil kedokteran Indonesia. (2006). Manual
rekam medis. Jakarta: Konsil kedokteran
Indonesia.
Machfoedz, Ircham. (2005). Metodologi
penelitian bidang kesehatan, keperawatan
dan kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.
Mariana. (2009). Analisis kelengkapan rekam
medis Rawat Jalan Psikiatri RS. Dr. H.
Marzoeki mahdi Bogor. Thesis. Depok:
Universitas Indonesia.
McGain, Forbes. (2005). Incomplete Medical
Records After Major Surgery; [Homepage
76
Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian Terapi Obat di Ruang Penyakit
Dalam RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2012
Ida Sugiarti1, Nunung S. Sukaesih2, Popi Sopiah2
Nurses Knowledge on Medicine Therapy in The Disease Room
at RSUD of Sumedang District In 2012
Abstrak
Peran perawat yang sering dilakukan dalam fungsi dependent adalah pemberian obat. Pemberian terapi
obat beresiko dan perawat perlu tahu mengenai resiko dan cara pemberiannya untuk menghindari efek samping
obat. Hasil studi pendahuluan berdasarkan hasil observasi selama 2 minggu pada bulan Maret 2012, perawat
sudah memberikan obat sesuai jadwal. Dalam memberikan obat, perawat tampak sudah terampil tetapi perawat
tidak memberikan Health Education berupa dampak, interaksi obat dengan makanan/minuman, faktor-faktor
yang mempengaruhi kerja obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pengetahuan perawat
(Conseptual Knowledge) tentang pemberian terapi obat yang sering diberikan di ruang penyakit dalam RSUD
Kabupaten Sumedang tahun 2012 berupa Antimikroba (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin dan Anti
TB), Histamine Antagonis (Ranitidine, Lansoprazole) dan Non Narkotik Analgesic Antipiretik (Paracetamol).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di
ruang penyakit dalam RSU BLUD Sumedang berjumlah 56 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan
total sampel. Alat ukur pengumpulan data berupa kuesioner. Variabel yang dibuat berasal dari soal-soal
NCLEX-RN REVIEW 2000 dan NCLEX-RN 2003-2004 EDITION. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan
Ana-Test. Hasil penelitian menunjukkan 3, 58 % memiliki pengetahuan cukup, dan 96, 42 % memiliki
pengetahuan kurang. Saran penelitian ini agar diadakannya nursing conference yang sistematis dan terjadwal
mengenai obat-obatan dan peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat, dan memberikan kesempatan
kepada perawat untuk mengikuti pelatihan/seminar yang berhubungan dengan pemberian obat.
Kata Kunci: pengetahuan perawat, terapi pemberian obat, antimikroba, histamine antagonis, non
narkotic analgesic antipiretik
Abstract
One of the nurse rolesis regularlypreparethe administration of medicinesin the dependent function.
Nurses need to know the risks inprovidingmedicine therapy and ways of administration to avoid theside
effects.Preliminary studies result based on 2 weeks observation in March 2012showed that the nurse had
delivered themedicines as per schedule.The nurse seemed to have skilled in administering the medicinesbut did
not provided Health Instruction in regards toside effect, interactions with food or drinks, factors influencing the
medications. The purpose of this study is to provide an overview of the nurse knowledge (Conseptual
Knowledge) regarding the provision of medicine therapy in the disease room atSumedang District Hospital in
2012, such as Antimicrobials (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin and Anti-TB), Histamine
antagonists (Ranitidine, lansoprazole) and Non-Narcotic Analgesic Antipyretic (Paracetamol). The method used
in this research is descriptive method. The research populationsare 57nurses inthe internal medicine room at
HospitalBLUDSumedang. The Total sample technique is used for sampling technique. A series of
questionnaireis use for measurement instrument of data collection. The variablesare taken from NCLEX-RN and
NCLEX REVIEW 2000-RN 2003-2004 EDITION. Ana-Test used forValidity and reability test. The results
showed that only 3,58% nurses have enough knowledge and 96,42% have less knowledge. Recommendations
from this research isto conduct nursing conference about medicineprograms and the nurserole in the medicine
administrationimplementation, and also giving the opportunity to attend the training related to the
administration of medicines.
1
2
Dosen Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
Dosen AKPER Pemkab Sumedang
77
Keywords: nurses knowledge, therapeutic drug delivery, antimicrobials, histamine antagonists, non-narcotic
analgesic antipyretic.
pasien (caring) (Praptianingsih, 2006; 20),
demikian juga dengan tenaga kesehatan lain,
bekerja sesuai kewenangan profesinya.
Salah satu ciri profesi yang paling banyak
direkomendasikan oleh ahli sosiologi adalah
profesi harus memiliki otonomi sebagai satusatunya karakteristik pembeda profesi (Styles,
1982, dikutip oleh Kathleen et. al., 2007; 6).
Untuk memiliki otonomi, profesi keperawatan
harus memiliki kewenangan legal untuk
menetapkan ruang lingkup prakteknya,
menjelaskan peran dan fungsi khususnya yang
membedakannya dengan profesi lain, dan
dapat
menentukan
tujuan
dan
tanggungjawabnya
dalam
memberikan
pelayanan.
Asuhan keperawatan adalah suatu proses
atau rangkaian kegiatan pada praktek
keperawatan yang diberikan pada klien dengan
menggunakan proses keperawatan berpedoman
pada standar praktek, dilandasi etik & etika
keperawatan dalam lingkup wewenang serta
tanggung jawab keperawatan. Fungsi adalah
suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan
sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Fungsi perawat yaitu (Kusnanto, 2004; 88 –
89): fungsi independent (mandiri), yaitu
aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas
inisiatif perawat itu sendiri dengan dasar
pengetahuan dan keterampilannya, fungsi
dependent (ketergantungan) yaitu tindakan
keperawatan berdasarkan order tenaga
kesehatan lain dan fungsi interdependent
(kolaboratif) yaitu aktivitas keperawatan yang
dilaksanakan atas kerjasama dengan tim
kesehatan lain.
Anggota tim kesehatan yang paling sering
berinteraksi di rumah sakit adalah dokter dan
perawat. Masalah utama yang seringkali
menjadi polemik dalam hubungan dokter dan
perawat adalah masalah lingkup kewenangan
masing-masing, meskipun sudah dipahami
Pendahuluan
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna
(Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit Pasal 1, Butir 1).
Definisi paripurna menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah lengkap (Kamus
Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989 ; 649). Lengkap dalam
arti setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan bertujuan
untuk
memelihara
dan
meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit, dan memulihkan kesehatan. Rumah
Sakit mempekerjakan tenaga kesehatan yang
terdiri dari tenaga medis, keperawatan,
kefarmasian, dan lain-lain sesuai dengan jenis
dan klasifikasi Rumah Sakit. Tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan (Peraturan
Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan Pasal 1). Fokus upaya
pelayanan kesehatan dalam hubungan antara
rumah sakit dan pasien, seyogyanya
menempatkan perhatian terhadap pasien dan
keluarganya.
Fokus dalam upaya pelayanan kesehatan
ditujukan terhadap pasien dan keluarganya.
Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit
bekerja sebagai tim yang saling bekerjasama
untuk kepentingan kondisi optimal yang
terbaik bagi pasien dan keluarganya. Tindakan
medik tertentu oleh dokter bertujuan untuk
kesembuhan
pasien
dilakukan
dengan
pengobatan (curing), sedangkan tindakan
keperawatan dalam bentuk pemberian asuhan
keperawatan bertujuan untuk meningkatkan
atau mempertahankan kesehatan optimal
78
bahwa tugas dokter adalah cure (mengobati)
sedangkan perawat adalah care (merawat),
tetapi dalam prakteknya terdapat wilayah “abuabu” (grey zones) yang rentan menjadi sumber
konflik.
Fungsi
perawat dalam hubungannya
dengan dokter adalah bersifat interdependent
(kolaboratif) dan dependent (ketergantungan).
Kerjasama antara anggota tim kesehatan
dikenal dengan istilah kolaborasi.
Kolaborasi adalah proses dimana dokter
dan perawat merencanakan dan praktek
bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup
praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan
saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat
individu, keluarga dan masyarakat (American
Medical Assosiation/ AMA, 1994).
Definisi di atas memberikan penekanan
arti kolaborasi sebagai kesetaraan peran,
adanya pengakuan serta penghargaan terhadap
profesi yang berbeda dengan tujuan yang sama
memberikan kontribusi dalam perawatan klien.
Idealnya dalam fungsi kolaborasi tidak
memicu konflik karena terdapat kesetaraan
peran dan penghargaan. Sedangkan fungsi
dependent
(ketergantungan),
dapat
menimbulkan
polemik
dalam
pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan.
Peran perawat yang paling sering dilakukan
dalam fungsi dependent (ketergantungan)
adalah pemberian obat.
Pemberian obat yang aman dan akurat
merupakan salah satu tugas terpenting perawat
(Potter & Perry, 2005; 991). Obat adalah alat
utama terapi yang digunakan dokter untuk
mengobati klien yang memiliki masalah
kesehatan.
Perawat
bertanggungjawab
memahami kerja obat dan efek samping yang
ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat,
memantau respon klien, membantu klien
menggunakannya
dengan
benar
dan
berdasarkan pengetahuan, perawat juga harus
memahami masalah kesehatan klien saat ini
dan sebelumnya untuk menentukan apakah
obat tertentu aman untuk diberikan (Potter &
Perry, 2005; 991). Perawat menggunakan
proses keperawatan untuk mengintegrasikan
terapi obat ke dalam perawatan (Potter &
Perry, 2005; 1011). Setiap obat memiliki efek
samping masing-masing dan sangat tergantung
kondisi pasien.
Aplikasi proses keperawatan dalam
mengintegrasikan terapi obat kedalam asuhan
keperawatan meliputi proses pengkajian
sampai dengan evaluasi. Pada proses
pengkajian, untuk menetapkan kebutuhan
terhadap terapi obat dan respons potensial
terhadap terapi obat, perawat mengkaji banyak
faktor, diantaranya riwayat medis, riwayat
alergi, data obat, riwayat diet, kondisi klien
terkini, persepsi klien atau masalah koordinasi,
sikap klien terhadap penggunaan obat,
pengetahuan klien dan pemahaman tentang
terapi obat, kebutuhan pembelajaran klien.
Diagnosa keperawatan ditetapkan setelah
melakukan pengkajian. Terdapat berbagai
diagnosa NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) untuk terapi obat,
diantaranya adalah; kurang pengetahuan
tentang terapi obat, ketidakpatuhan terhadap
terapi
obat,
gangguan
menelan,
penatalaksanaan program terapeutik tidak
efektif, dan lain-lain. Pada tahap perencanaan,
perawat menetapkan sasaran ; tidak ada
komplikasi yang timbul akibat rute pemberian
obat yang digunakan, efek terapeutik obat yang
diprogramkan dicapai dengan aman sementara
kenyamanan klien tetap dipertahankan, klien
dan keluarga memahami terapi obat,
pemberian obat secara mandiri dilakukan
dengan aman. Pada tahap implementasi,
perawat mentranskripsi program yang benar
(meliputi nama, kamar, dan nomor tempat
tidur klien, dosis, waktu pemberian obat, rute
pemberian obat, dokumentasi pemberian obat)
dan
mengkomunikasikan
program,
peningkatan kesehatan melalui penyuluhan
klien serta dapat mempertahankan hak klien.
Pada tahap evaluasi, perawat memantau
respons
klien
terhadap
obat
secara
79
berkesinambungan. Untuk melakukan ini,
perawat harus mengetahui kerja terapeutik dan
efek samping yang umum muncul dari setiap
obat. Perubahan kondisi klien dapat secara
fisiologis
berhubungan
dengan
status
kesehatan, dapat muncul akibat penggunaan
obat, atau keduanya. Perawat harus
mewaspadai reaksi yang akan timbul ketika
klien mengkonsumsi beberapa obat (Potter &
Perry, 2005; 1016).
Kesalahan perawat dalam memberikan
obat dapat membawa perawat ke dalam
perkara hukum tentang malpraktek. Kesalahan
dalam pemberian dosis, identifikasi pasien,
atau pemilihan obat oleh perawat telah
menyebabkan kebutaan, kerusakan otak, henti
jantung, dan kematian (Helm, 2006; 29).
Beberapa
kasus
pengadilan
berikut
menjelaskan bagaimana kesalahan dalam
pemberian obat dapat menyebabkan perawat
berurusan dengan pengadilan. Pada kasus
Demers v. United States (1990), pasien masuk
rumah sakit untuk menjalani penanaman alat
pacu jantung (pacemaker). Setelah prosedur
dilakukan, ditemukan bahwa pasien secara
keliru telah diberi diltiazem (Cardiazem), obat
yang seharusnya diberikan kepada pasien lain.
Kesalahan ini menyebabkan pasien meninggal
sehingga isteri pasien mengangkat perkara ini.
Pemberian dosis yang benar juga wajib
sifatnya. Pada suatu kasus di Ohio, kasus
Gallimore v. Childrens Memorial Hospital
(1993), perawat ceroboh memberikan 200 mg
gentamisin padahal seharusnya 30 mg, karena
ia tidak mengklem slang infus dengan kuat.
Akibatnya, kemampuan dengar anak hilang
karena pemberian dosis berlebih dan perawat
dinyatakan lalai. Hal yang sama terjadi pada
kasus Dessauer v. Memorial General Hospital
(New Mexico, 1981), seorang dokter di unit
kedaruratan memprogramkan 50 mg lidokain
untuk seorang pasien. Perawat yang memberi
obat biasanya bekerja di bangsal kebidanan
dan ia memberi obat dengan dosis 800 mg.
Pasien kemudian meninggal,
keluarga
menuntut, dan rumah sakit terbukti
bertanggung jawab (Helm, 2006; 56). Pada
kasus (Wright v. Abott Laboratories, 1999),
perawat memberikan NaCl pekat melalui
intravena kepada bayi baru lahir padahal yang
diprogramkan adalah larutan normal saline.
Bayi mengalami cedera fisik permanen berat
(Helm, 2006; 54). Pada kasus Voorhees v.
University of Pennsylvania (1997), pasien
yang didiagnosis nekrosis avaskuler bilateral
pada kaput femoris meninggal setelah terlibat
dalam penelitian terkontrol-acak untuk terapi
profilaksis anti koagulan. Perawat terlibat
tindak pelalaian, yakni, gagal memberi obat
yang diprogramkan untuk mencegah bekuan
pada hari pembedahan dan dua kali pada masa
sebelumnya, gagal memberikan profilaksis
antikoagulan setelah pembedahan selama 36
jam dan gagal memberitahukan dokter tentang
tanda klinis pembengkakan di pergelangan
kaki pasien (Helm, 2006; 53-54).
Kecenderungan kasus malpraktek di
Indonesia belum terdata dengan baik. Budaya
di Indonesia yang lebih “pemaaf” dan
ketidaktahuan masyarakat tentang masalah
kesehatan, menjadikan kasus-kasus yang ada
tidak sampai ke pengadilan. Tetapi ada
kecenderungan perkembangan pengetahuan
masyarakat tentang perawatan kesehatan
semakin meningkat dan tuntutan tentang
profesionalisme profesi serta persaingan
institusi pelayanan kesehatan, membuat
masyarakat lebih kritis dan menuntut
pelayanan kesehatan yang lebih baik. Kasus
perawat Misram di Kutai Kertanegara yang
terbukti menyimpan obat terpaksa harus
dipidana karena di luar kewenangannya
sebagai perawat, meskipun kedudukannya
sebagai Kepala Puskesmas pembantu, tetapi
Pengadilan Tinggi tidak dapat menerima
alasan tersebut.
Pengetahuan
perawat
tentang
pemberian obat menjadi suatu keharusan agar
perawat dapat menjalankan peran dan fungsi
dependent dalam pemberian obat sesuai
dengan aturan dan terhindar dari malpraktek.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
80
bersifat langgeng (long lasting) daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Rogers, 1974 dikutip oleh Notoatmodjo,
2007; 139). Implementasi yang benar dan tepat
dalam praktiknya harus didasari oleh
pengetahuan yang benar tentang pemberian
obat. Dengan memiliki pengetahuan yang
memadai tentang kerja suatu obat dan efek
terapeutiknya, seorang perawat harus mampu
melakukan observasi efek obat dan harus
melakukan upaya untuk meningkatkan
keefektifkan suatu obat. Pemberian obat tidak
boleh dipandang sebagai perawatan, karena
upaya kesehatan tidak dapat terlaksana dengan
pemberian obat saja, pemberian obat harus
dikaitkan
dengan
tindakan
perawatan
(Prihardjo, 2012) .
Tulving (1983, 1991, 1993) dalam
Omrrod (2004), menjelaskan Pengetahuan
(Knowledge) seseorang terdiri dari Episodic
Knowledge, Semantic Knowledge, Procedural
Knowledge dan Conceptual Knowledge.
Episodic
Knowledge
berarti
bahwa
pengetahuan
diperoleh
berdasarkan
pengalaman hidup seseorang secara pribadi.
Pengalaman perawat memberikan obat secara
langsung di ruangan atau di ruangan
sebelumnya menjadi dasar pengetahuan.
Semantic knowledge adalah pengetahuan
seseorang yang didapat tentang hal-hal umum
yang terjadi, diperoleh melalui pengalaman
masyarakat lain pada umumnya. Pengetahuan
ini merupakan pengetahuan umum, yang
dianggap sudah diketahui oleh masyarakat
pada umumnya. Misalnya obat tablet atau sirup
dikonsumsi secara oral atau diminum/dimakan.
Perbedaan secara sederhana antar episodic
dengan semantic dapat dijabarkan bahwa kita
akan mengetahui dan mengingat kejadiankejadian yang pernah dialami ( episodic) tapi
juga mengetahui hal-hal umum yang terjadi di
dunia ini (semantic). Procedural Knowledge
terkait dengan “ how to do things” atau
bagaimana kita mengerjakan sesuatu (JR
Anderson, 1983, 1995, dalam Ormrod 2004;
203). Perawat melakukan tindakan dalam hal
ini pemberian obat dengan memperhatikan
prinsip pemberian obat untuk mencapai tujuan.
Conceptual Knowledge lebih memberikan
gambaran pemahaman seseorang tentang
mengapa sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu
bisa terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih
efektif dibanding prosedur yang lain (J.R.
Anderson 1995; Byrnes, 2001, dalam Ormrod
2004; 203). Setiap perawat yang dinas di
ruangan dianggap sudah pernah terpapar
pengetahuan tentang pemberian obat atau yang
dikenal dengan Episodic Knowledge, demikian
juga dengan Semantic Knowledge, karena
masyarakat umum sebagai orang awam juga
dianggap mengetahui apalagi perawat.
Procedural Knowledge atau pengetahuan
prosedur seharusnya juga sudah diketahui
perawat ketika perawat sudah sering terpapar
dan
melaksanakan
langsung
kegiatan
pemberian obat di ruangan. Conceptual
Knowledge menjadi penting untuk diteliti
berhubung dengan peran perawat dalam
pemberian obat. Perawat harus memiliki
pemahaman tentang obat dan pemberian obat
dalam batas kewenangannya.
Rumah Sakit merupakan tempat
pelayanan kesehatan yang lebih banyak
mempekerjakan perawat sebagai tenaga
kesehatan. Setiap tenaga kesehatan yang
bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan
Rumah Sakit, standar prosedur operasional
yang berlaku, etika profesi, menghormati hak
pasien dan mengutamakan keselamatan pasien
(Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit Pasal 13, Butir 3). Ruang
penyakit dalam RSUD Sumedang merupakan
ruang rawat inap yang dikhususkan untuk
pasien dengan penyakit dalam tanpa adanya
prosedur pembedahan sehingga penanganan
medis di ruangan tersebut lebih banyak
mengandalkan pengobatan. Hasil penelitian
Astuti (2008) tentang deskripsi tugas perawat
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di
ruang penyakit dalam di RSUD Pemangkat
Kabupaten Sambas, menunjukkan bahwa
81
kegiatan keperawatan langsung berupa adanya
komunikasi kepada pasien, pemberian obat dan
pemenuhan kebutuhan nutrisi dan eleminasi.
Hasil studi pendahuluan di Ruang
Rawat Inap RSU Kabupaten Sumedang,
berdasarkan hasil observasi selama 2 minggu
pada bulan Maret 2012, perawat sudah
memberikan obat sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan. Dalam memberikan obat,
perawat tampak sudah terampil karena sudah
menjadi kegiatan rutin harian. Tetapi perawat
belum secara paripurna mengintegrasikan
pelaksanaan terapi obat kedalam asuhan
keperawatan. Aktivitas pemberian obat belum
mengkaji banyak faktor seperti kondisi klien
terkini, riwayat alergi, pengetahuan klien
tentang obat dan pemahaman terapi, atau
kebutuhan belajar klien. Dalam penegakan
diagnosa keperawatan untuk terapi obat juga
tidak ada, padahal masalah efek samping obat
yang dirasakan klien seperti keluhan mual
setelah memperoleh injeksi obat tertentu
kadang ditemukan. Pada tahap imlementasi
perawat baru sebatas komunikasi terapeutik
dan pemberian obat saja, tanpa disertai Health
Education tentang obat yang diberikan, berupa
dampak,
interaksi
obat
dengan
makanan/minuman,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kerja obat. Pada tahapan
dokumentasi, pemberian obat baru sebatas
pada
lembar
observasi
saja,
belum
mendokumentasikan secara langsung pada
catatan perawatan. Data ruang penyakit dalam
menunjukkan tiga obat yang paling sering
diberikan
adalah
Antimikroba
(Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin
dan Anti TB), Histamine Antagonis
(Ranitidine, Lansoprazole), Non Narkotik
Analgesic Antipiretik (Paracetamol). Tiga
golongan obat ini menjadi penting bagi
perawat, meskipun efek samping tiap obat
berbeda namun efek samping secara umum
seperti reaksi alergi, reaksi toksik, dari gejala
ringan seperti mual, anoreksia, sakit kepala,
reaksi pruritus sampai reaksi berat berupa
sindrom Steven Johnson. Ditemukan 1 kasus
pasien mengalami sindrome steven johnson
setelah diberikan salah satu obat dari golongan
obat-obatan diatas di salah satu ruang rawat
penyakit dalam RSUD Kabupaten Sumedang.
Apabila perawat kurang memahami tentang
reaksi obat, interaksi obat, efek samping yang
diberikan akan menemui kesulitan untuk
menentukan kebutuhan pasien akan terapi obat
dan respon potensial yang mungkin muncul.
Perawat juga memegang peran dependent
dengan profesi dokter dalam memberikan
terapi obat, sehingga mustahil ini akan terjalin
kerjasama yang baik bila perawat tidak
membekali diri dengan pengetahuan tentang
pemberian obat ini.
Metode
Penelitian dilakukan minggu ke III
September samapai dengan minggu ke IV
Oktober 2012. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif.
Populasi dalam penelitian ini adalah perawat
yang dinas di ruang penyakit dalam RSUD
Sumedang berjumlah 57 orang terdiri dari 18
orang di ruang cempaka, 18 orang di ruang
sakura, dan 21 orang di ruang kenanga, 1
orang di ruang Cempaka sedang cuti bersalin,
jadi total populasi 56 orang. Teknik
pengambilan sampel menggunakan total
sampel atau total populasi sebanyak 56 orang.
Penelitian dilaksanakan di Ruang Penyakit
Dalam RSU Kabupaten Sumedang (Ruang
Cempaka, Ruang Sakura, Ruang Kenanga).
Alat ukur pengumpulan data berupa kuesioner.
Soal
yang dibuat berasal dari soal-soal
NCLEX-RN REVIEW 2000 dan NCLEX-RN
2003-2004 EDITION.
Uji validitas dan reliabilitas penelitian
ini menggunakan Ana-test. Nilai Reliabilitas
dengan hasil Rata2= 12,80 Simpang Baku=
2,70 Reliabilitas Tes= 0,70, artinya reliable.
Questioner penelitian dikatakan reliable jika
nilai r >0.5, dengan tingkat kepercayaan 5%.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada
perawat di ruang penyakit dalam RSU
Pakuwon sebanyak 10 orang.
82
Data di analisa dengan mengunakan
data univariat untuk melihat gambaran
responden berdasarkan variabel dependent.
Analisa data menggunakan distribusi frekuensi
dengan ukuran prosentase atau proporsi.
professional menghancurkan, dan secara
finansial membawa petaka (Helm, 2006; 1).
Sehingga meningkatkan pengetahuan menjadi
kewajiban yang diamanatkan perundangundangan.
Pengetahuan adalah informasi atau
maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Dalam pengertian lain pengetahuan
adalah pelbagai gejala yang ditemui dan
diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
Pengetahuan muncul
ketika seseorang
menggunakan akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum
pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
(Anonim, 2012). Pengetahuan adalah segala
sesuatu yang ada di kepala kita. Kita dapat
mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman
yang kita miliki, diberitahu oleh orang lain,
juga bisa diperoleh dari tradisi. ( Prasetyo,
2007; 3-4).
Hasil penelitian di atas menunjukkan
kurangnya pengetahuan perawat tentang terapi
pemberian obat. Pengetahuan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah Conceptual
Knowledge. Pengetahuan konseptual lebih
memberikan gambaran pemahaman seseorang
tentang mengapa sesuatu terjadi, bagaimana
sesuatu itu bisa terjadi, dan mengapa suatu
prosedur lebih efektif dibanding prosedur yang
lain (Anderson , 1995; Byrnes, 2001, dalam
Ormrod 2004; 203). Dalam pengetahuan ini,
membutuhkan perawat yang dapat berpikir
kritis tentang mengapa sesuatu terjadi,
bagaimana sesuatu itu bisa terjadi, dan
mengapa suatu prosedur lebih efektif
dibanding prosedur yang lain. Berpikir kritis
adalah suatu proses yang menantang seorang
individu
untuk
menginterpretasi
dan
mengevaluasi informasi untuk membuat
penilaian (Potter & Perry, 2005; 131).
Kemampuan perawat untuk berpikir kritis
sangat penting untuk menjalankan perannya
sebagai advocate klien yang membantu
memberikan
pilihan-pilihan
perawatan
kesehatan untuk mencapai hasil perawatan
kesehatan yang optimal dan terbaik bagi pasien
Hasil dan Pembahasan
Penelitian dilakukan minggu ke III
September samapai dengan minggu ke IV
Oktober 2012 dengan jumlah responden
sebanyak 56 orang terdiri dari jumlah perawat
ruang sakura 18 orang, ruang cempaka 17
orang, dan ruang kenanga 21 orang. Latar
belakang tingkat pendidikan S 1 Keperawatan
5 orang, D IV Keperawatan 1 orang dan D III
Keperawatan 50 orang. Hasil penelitian dalam
bentuk tabel distribusi frekwensi.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi pengetahuan
perawat dalam melaksanakan
pemberian terapi obat di ruang
penyakit dalam Rumah Sakit
Umum
Daerah
Kabupaten
Sumedang tahun 2012
o.
1.
2.
3.
Kriteria
Baik
Cukup
Kurang
Frekuensi
2
54
%
0%
3,58 %
96,42 %
Perawat bekerja di rumah sakit sebagai
tenaga kesehatan yang berinteraksi lebih sering
dengan pasien daripada tenaga kesehatan lain.
Kewajiban perawat dalam melaksanakan
praktik salah satunya adalah harus senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya,
dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan
dan
tekhnologi
melalui
pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya (Ayat 2 Pasal 12 Permenkes No.
HK.02.02/Menkes/148/2010). Perawat yang
senantiasa meningkatkan pengetahuannya
diharapkan lebih berpikir kritis dan dapat
menjalankan peran dan fungsinya dalam
lingkup kewenangannya agar terhindar dalam
malpraktek keperawatan. Perkara malpraktik
secara emosional dapat menyiksa, secara
83
dan keluarganya. Kemampuan perawat dalam
berpikir kritis sangat penting dalam pemberian
terapi obat. Walaupun obat menguntungkan
klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat
menimbulkan efek samping yang serius atau
berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya
bila tidak tepat diberikan (Potter & Perry,
2005; 991). Pemberian obat yang aman dan
akurat merupakan salah satu tugas terpenting
perawat (Potter & Perry, 2005; 991). Obat
adalah alat utama terapi yang digunakan dokter
untuk mengobati klien yang memiliki masalah
kesehatan.
Perawat
bertanggungjawab
memahami kerja obat dan efek samping yang
ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat,
memantau respon klien, membantu klien
menggunakannya
dengan
benar
dan
berdasarkan pengetahuan, perawat juga harus
memahami masalah kesehatan klien saat ini
dan sebelumnya untuk menentukan apakah
obat tertentu aman untuk diberikan (Potter &
Perry, 2005; 991). Perawat menggunakan
proses keperawatan untuk mengintegrasikan
terapi obat ke dalam perawatan (Potter &
Perry, 2005; 1011). Pertanyan di questioner
adalah tiga golongan obat yang paling sering
diberikan di ruang penyakit dalam yaitu
Antimikroba (Cephalosphorine/Cepotaxime,
Ciproploxacin dan Anti TB), Histamine
Antagonis (Ranitidine, Lansoprazole), Non
Narkotik Analgesic Antipiretik (Paracetamol).
Hasil penelitian menunjukkan kurangnya
pengetahuan perawat tentang kebutuhan pasien
terhadap terapi obat dan respons potensial
terhadap terapi obat, kurangnya pengkajian
tentang riwayat medis, riwayat alergi, data
obat, riwayat diet, kondisi klien terkini,
persepsi klien atau masalah koordinasi, sikap
klien terhadap penggunaan obat, pengetahuan
klien dan pemahaman tentang terapi obat. Pada
tahap implementasi perawat juga tidak
menetapkan sasaran terapi obat berupa; tidak
ada komplikasi yang timbul akibat rute
pemberian obat yang digunakan, efek
terapeutik obat yang diprogramkan. Pada tahap
implementasi, perawat sudah mentranskripsi
program yang benar (meliputi nama, kamar,
dan nomor tempat tidur klien, dosis, waktu
pemberian obat, rute pemberian obat,
dokumentasi pemberian obat) tetapi belum
memberikan
penyuluhan
kesehatan
berhubungan dengan obat yang diberikan.
Pada tahap evaluasi, perawat sudah memantau
respons
klien
terhadap
obat
secara
berkesinambungan, tetapi hasil penelitian
menunjukkan kurangnya pengetahuan perawat
untuk melakukan evaluasi, hal ini tergambar
dari jawaban perawat yang masih belum
mengetahui kerja terapeutik dan efek samping
yang umum muncul dari setiap obat.
Perubahan kondisi klien dapat secara fisiologis
berhubungan dengan status kesehatan, dapat
muncul akibat penggunaan obat, atau
keduanya. Jawaban seluruh perawat benar
tentang salahsatu efek samping terberat dari
pemberian obat berupa steven jhonson
syndrome.
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya (anonym, 2012):
a. Pendidikan
Pendidikan
adalah
sebuah proses
pengubahan perilaku seseorang atau
kelompok dan upaya mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Data tingkat pendidikan di
ruang penyakit dalam S1 Keperawatan 5
orang, D IV Keperawatan 1 orang dan 50
orang D III Keperawatan. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat pendidikan tidak
berbanding
lurus
dengan
tingkat
pengetahuan
tentang
terapi
obat.
Pendidikan formal keperawatan tidak
secara spesifik membahas obat-obatan
tersebut, muatan farmakologi hanya 2
SKS, sehingga dibutuhkan pendidikan
non formal berupa pelatihan-pelatihan
atau seminar untuk perawat di masingmasing ruangan agar dapat mengetahui
informasi tentang obat yang sering
diberikan di ruangan tersebut.
84
b. Media
Media dirancang untuk menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat luas. Contoh
media massa adalah televisi, radio, koran,
dan majalah. Belum terdapat penelitian
yang menunjukkan berapa sering perawat
terpapar oleh media yang berisi informasi
tentang obat-obatan tersebut.
c. Informasi
Informasi
hakikatnya
tidak
dapat
diuraikan
(intangible),
sedangkan
informasi itu dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari yang diperoleh dari data dan
pengamatan terhadap dunia sekitar kita
serta diteruskan melalui komunikasi.
Informasi tentang obat mungkin hanya
diperoleh perawat dari dokter yang
bersangkutan ketika perawatnya mau
bertanya. Pentingnya terjalin komunikasi
yang baik antara dokter dan perawat
terutama seputar terapi pemberian obat.
Pola komunikasi perawat–dokter belum
terjalin dengan baik (Siegler & Whitney,
1999; 25).
Pemberian obat yang aman dan akurat
merupakan salah satu peran terpenting
perawat. Peran merupakan sekumpulan
harapan yang dihubungkan dengan suatu posisi
dalam masyarakat (Kathleen et. al., 2007; 31).
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang,
sesuai kedudukannya dalam suatu sistem
(Kusnanto, 2004; 82). Peran akan selalu
sejalan dengan fungsi. Fungsi adalah suatu
pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai
dengan perannya, fungsi dapat berubah dari
suatu keadaan ke keadaan yang lain. Fungsi
perawat yaitu (Kusnanto, 2004; 88 – 89):
fungsi
independent
(mandiri),
fungsi
dependent (ketergantungan), dan fungsi
interdependent (kolaboratif). Fungsi perawat
dalam hubungannya dengan dokter adalah
bersifat
interdependent (kolaboratif) dan
dependent (ketergantungan). Peran perawat
yang paling sering dilakukan dalam fungsi
dependent (ketergantungan) adalah pemberian
obat. Pemberian obat seringkali menjadi grey
area
(wilayah
abu-abu),
yang
bisa
menimbulkan konflik antara dokter dan
perawat dalam masalah pertanggunggugatan.
Pemberian obat adalah wilayah kewenangan
dokter yang dimandatkan atau didelegasikan
kepada perawat. Definisi pendelegasian atau
pemberian mandate harus dipahami oleh kedua
belah pihak sebagai bentuk kolaborasi, bukan
semata pemberian instruksi yang hanya cukup
dicatat dan dilaksanakan tanpa dipikirkan
dengan benar untuk melindungi kepentingan
pasien.
Kolaborasi adalah proses dimana dokter
dan perawat merencanakan dan praktek
bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup
praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan
saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat
individu, keluarga dan masyarakat (American
Medical Assosiation/AMA, 1994).
Definisi di atas memberikan penekanan
arti kolaborasi sebagai kesetaraan peran,
adanya pengakuan serta penghargaan terhadap
profesi yang berbeda dengan tujuan yang sama
memberikan kontribusi dalam perawatan klien.
Terdapat
hambatan
dalam
melakukan
kolaborasi diantaranya adalah:
a. Pola pendidikan
Sebagai praktisi, dokter memang berbagi
lingkungan kerja dengan para perawat dan
professional kesehatan lainnya, tetapi
mereka
tidak
dididik
untuk
menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/
kolega kerja (Siegler & Whitney’ 1999;
15). Di sisi lain seorang perawat
professional
seringkali
masih
menempatkan diri di bawah dokter,
sebagai tenaga vokasional yang bertindak
atas perintah dokter. Dalam pemberian
obat, perawat lebih bersikap pasif dan
menunggu instruksi dari dokter, serta
mencatatkan perintah dokter terkait
pemberian terapi obat.
85
b. Pola komunikasi perawat – dokter
Komunikasi yang kurang terjalin dengan
baik antara perawat dan dokter,
dihubungkan dengan tingkat sosial dan
jenis kelamin (Siegler & Whitney, 1999;
25). Perbedaan status dan kekuasaan tetap
menjadi sumber utama ketidaksesuaian,
mempertajam
pendirian
professional
terhadap praktik kolaborasi. Dokter
cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih
tinggi, dan biasanya fisiknya lebih besar
dibandingkan
perawat.
Meskipun
perbedaan ini kini tidak terlalu tajam,
karena semakin banyak wanita yang
menekuni bidang medis, demikian juga
profesi perawat juga mulai ditekuni lakilaki, semakin banyak perawat mencapai
pendidikan yang lebih tinggi dan
meluasnya pilihan masyarakat diantara
pemberi pelayanan perawatan kesehatan.
Tetapi iklim dan kondisi sosial masih
mendukung dominasi dokter.
c. Konflik dalam keperawatan : membentuk
suatu profesi
Profesi keperawatan merupakan profesi
yang masih muda jika dibandingkan
dengan profesi lain. Profesi dokter sudah
lebih dulu berkembang dibanding profesi
perawat. Keadaan ini menimbulkan
ketimpangan dalam masalah kolaborasi
keilmuan.
d. Disintensif pengaturan dan finansial
Pemerintah belum dapat memenuhi
kebutuhan
masyarakat
dengan
menyediakan tenaga dokter sampai ke
pelosok daerah sedangkan tuntutan
pelayanan kesehatan makin meningkat.
Keberadaan tenaga perawat di daerah
menjadi alternatif masyarakat untuk
berobat.
Pemerintah
daerah
juga
mengambil keuntungan dengan situasi ini,
karena “sementara waktu”, keberadaan
perawat menjadi solusi bagi masyarakat.
Di lain pihak, beberapa perawat juga
mengambil kesempatan dengan menjadi
“mantri kesehatan” lebih menguntungkan
secara finansial, karena regulasi tentang
pelayanan kesehatan masih terus berfokus
pada unsur kuratif saja. Keadaan ini juga
menular bukan hanya di daerah pedesaan,
tetapi juga di daerah perkotaan.
Masyarakat merasa lebih mudah, murah
dan lebih familier dengan berobat ke
perawat, menimbulkan “kegerahan” di
profesi medis, karena lahan prakteknya
terganggu. Keadaan ini menimbulkan
ketegangan antara profesi perawat dan
dokter, sehingga menyulitkan proses
kolaborasi. Di lain pihak, belum terdapat
aturan yang jelas tentang perlindungan
hukum bagi perawat dalam menjalankan
profesinya. Beberapa permasalahan di atas,
menyebabkan proses kolaborasi menjadi
lebih sulit dilaksanakan.
Ruang
penyakit
dalam
RSUD
Sumedang merupakan ruang rawat inap yang
dikhususkan untuk pasien dengan penyakit
dalam tanpa adanya prosedur pembedahan
sehingga penanganan medis di ruangan
tersebut
lebih
banyak
mengandalkan
pengobatan. Hasil penelitian Astuti (2008)
tentang
deskripsi tugas perawat dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang
penyakit dalam di RSUD Pemangkat
Kabupaten Sambas, menunjukkan bahwa
kegiatan keperawatan langsung berupa adanya
komunikasi kepada pasien, pemberian obat dan
pemenuhan kebutuhan nutrisi dan eleminasi.
Pemberian terapi obat merupakan salahsatu
peran perawat yang sering dilaksanakan di
ruang penyakit dalam, oleh karena itu
dibutuhkan pengetahuan perawat yang
mumpuni dalam melaksanakan pemberian
terapi obat terutama obat-obatan yang paling
sering diberikan di ruangan tersebut.
Kompetensi perawat dalam menjalankan
pemberian obat menjadi suatu keharusan agar
perawat dapat menjalankan peran dan fungsi
dependent dalam pemberian obat sesuai
dengan aturan dan terhindar dari malpraktek.
Pengetahuan perawat tentang pemberian obat
akan menentukan level dari kompetensi yang
86
dicapai
(novice,
advanced
beginner,
competent, proficient, expert). Menurut
Patricia Alexander (1997, 1998, in in Ormrod
2004 ; Dreyfus brothers 2005, in Dent et all,
2009) Pada level novice, pada tahapan ini
seseorang masih memiliki persepsi yang
sempit, pengetahuan masih awam, lebih sering
terjadi kesalahpahaman dalam memahami
sesuatu, serta tidak bisa membuat keputusan.
Level kedua yaitu advanced beginner ditandai
dengan mulai memperoleh pengalaman,
persepsi terhadap situasi sekeliling masih
terbatas. Level ketiga yaitu Competent,
ditandai kemampuan mengatasi masalah,
memiliki kesadaran secara terencana, dan
menunjukan performa sesuai standar. Level
kelima proficient yaitu menilai sesuatu secara
holistik, memahami penyimpangan dari tanda
tanda normal, masih sulit untuk membuat
keputusan,, menggunakan panduan dengan
modifikasi.
Level kelima yaitu Expert
seseorang sudah memiliki intuisi untuk
mengatasi masalah berdasarkan pemahaman,
pendekatan analitis, pandangan tentang
prediksi kedepan yang mungkin terjadi.
Melihat hasil penelitian, kemungkinan
pengetahuan perawat berada pada level
pertama yaitu novice dan kedua yaitu
advanced beginner. Dimana perawat belum
dapat membuat keputusan atau persepsinya
masih terbatas dalam hal terapi pemberian
obat. Perawat memiliki peran dalam pemberian
terapi obat (Perry & Potter, 2005; 1008-1011),
diantaranya adalah ; memantau respon klien
terhadap pengobatan, memberikan pendidikan
untuk klien dan keluarga tentang program
pengobatan, menginformasikan kepada dokter
kapan obat efektif, tidak efektif atau tidak
dibutuhkan lagi, menentukan apakah klien
harus menerima obat pada waktunya, mengkaji
kemampuan klien untuk menggunakan obat
secara mandiri dan menggunakan proses
keperawatan untuk mengintegrasikan terapi
obat ke dalam perawatan.
Kesimpulan
Hasil penelitian di atas menunjukkan
kurangnya pengetahuan perawat tentang terapi
pemberian obat, yaitu tidak adanya perawat
dengan pengetahuan baik, 3.58% dengan
pengetahuan cukup, dan sisanya 96.42%
dengan pengetahuan kurang. Pengetahuan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Conceptual
Knowledge.
Pengetahuan
konseptual lebih memberikan gambaran
pemahaman seseorang tentang mengapa
sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu bisa
terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih
efektif dibanding prosedur yang lain
(Anderson , 1995; Byrnes, 2001, dalam
Ormrod 2004; 203).
Saran
1. Bagi peneliti dan akademisi
Untuk peneliti selanjutnya disarankan
untuk melanjutkan penelitian tentang
procedural knowledge atau psychomotor
skill perawat dalam pemberian obat ke
pasien, atau menghubungan antara
pengetahuan dan keterampilan perawat
dalam memberikan obat ke pasien.
2. Bagi rumah sakit
Kurangnya pengetahuan perawat tentang
konsep dasar obat dapat ditingkatkan
dengan adanya nursing conference yang
sistematis dan terjadwal mengenai obatobatan dan peran perawat dalam
pelaksanaan pemberian obat, atau dengan
memberikan kesempatan kepada perawat
untuk mengikuti pelatihan/seminar yang
berhubungan dengan pemberian obat.
3. Bagi profesi keperawatan
Diharapkan profesi selalu melakukan
evaluasi terhadap kompetensi perawat
yang sesuai dengan peran dan fungsi
perawat sehingga institusi pendidikan
dapat
menterjemahkan
kompetensi
tersebut ke dalam kurikulum pendidikan
keperawatan.
87
Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi
kesehatan & ilmu perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan
metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Priharjo, Robert. (1996). Praktik keperawatan
profesional, konsep dasar & hukum.
Jakarta: EGC.
Potter, Patricia A & Perry, Anne G, alih bahasa
Yasmin Asih dkk. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan : konsep,
proses, dan praktek, Edisi 4. Jakarta:
EGC.
Praptianingsih, Sri. (2006). Kedudukan hukum
perawat
dalam
upaya
pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Ormrod, Jeanne Ellis. (2004). Human learning.
United States of America: Upper Saddle
River.
Stein, Alice M & Miller, Judith C. (2000).
NCLEX – RNTM review 4th edition. United
States of America: National Student
Nurses Association.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(1989). Kamus besar bahasa Indonesia
cetakan kedua. Balai Pustaka, Jakarta.
Anonim.
Pengetahuan.
http://id.m.
Wikipedia.org. diakses tanggal 31 Juli
2012.
Astuti. 2008. Deskripsi tugas perawat dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan di
ruang penyakit dalam di RSUD
pemangkat
kabupaten
Sambas.
http/undip.ac.id diakses tanggal 31 juli
2012.
Robert Prihardjo. Teknik dasar pemberian obat
bagi perawat.
http/books.google.com.
diakses tgl 30 Juli 2012.
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
PP No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan
Ucapan Terima Kasih
Penghargaan dan ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada direktur RSUD
Kabupaten Sumedang dan seluruh responden
serta semua pihak yang tidak bisa kami
sebutkan satu-persatu.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur
penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Billings, Diane M. (2002). NCLEX-RN Sevent
Edition. USA: Lippincott.
Goodman & Gilman. (2008). Dasar
farmakologi terapi volume 2. Alih bahasa
Amir Musadad, dkk. Jakarta: EGC.
Harden, Ronald M & Dent, John A. (2009). A
practical guide for medical teachers.
USA: Churchill Livingstone.
Hastono, Sutanto Priyo. (2001). Modul analisa
data. Jakarta: FKM Universitas Indonesia.
Helm, Ann. Alih bahasa Helwiyah Ropi &
Heni Mediani S. (2006). Malpraktik
keperawatan:
menghindari
masalah
hukum. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode
penelitian keperawatan dan teknik analisa
data. Jakarta: Salemba Medika.
Kathleen et. al. Alih bahasa Yuyun Y & Budi
S.
(2007). Praktik keperawatan
profesional, konsep & persfektif. Jakarta:
EGC.
Katzung, Bertram G. Alih bahasa Staf Dosen
Farmakologi FK Universitas Sriwijaya.
(1998). Farmakologi dasar dan klinik,
edisi VI. Jakarta: EGC.
Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan
praktek keperawatan profesional. Jakarta:
EGC.
Lehne, Richard A. (2001). Pharmacology for
nursing care. United States of America:
W.B. Saunders Company.
88
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL
Jurnal Persada Husada Indonesia menerima naskah ilmiah mengenai hasil penelitian, tinajaun hasil-hasil
penelitian, metodologi dan pendekatan-pendekatan baru dalam penelitian yang berkaitan dengan dunia
kesehatan
Naskah yang dikirim merupakan naskah asli dan belum pernah diterbitkan sebelumnya
Naskah yang telah diterbitkan menjadi hak milik redaksi dan naskah tidak boleh diterbitkan dalam bentuk
apapun tanpa persetujuan redaksi.
Jenis naskah yang diterima redaksi adalah hasil penelitian atau kajian analitis di bidang Ilmu Kesehatan.
Artikel ditulis dengan Times New Roman, ukuran 11, spasi 1.15 dan dalam format dokumen berukuran A4
(210mm x 297mm) dengan margin atas 3.5cm, bawah 2.5cm, kiri dan kanan 2.5cm, rata kanan-kiri.. Isi
dokumen, sudah termasuk tabel, grafik, gambar tidak boleh lebih dari 15 halaman. Hudul harus singkat,
informatif dan tidak lebih dari 16 kata. Artikel dibuat 2 kolom
Sistematika penulisan naskah hasil penelitian meliputi: judul bahasa Indonesia, nama penulis, judul bahasa
Inggris, abstrak bahasa Indonesia disertai kata kunci, abstrak bahasa Inggris disertai kata kunci, pendahuluan,
metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, saran, ucapan terimakasih (bila ada), dan daftar pustaka.
Judul naskah menggambarkan isi pokok tulisan secara singkat, jelas dan informative. Judul ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ringkasan judul (tidak lebih dari 40 karakter) hendaknya juga
disertakan.
Nama penulis ditulis lengkap disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat penulis bekerja.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris dan tidak lebih dari 250 kata serta intisari seluruh tulisan,
meliputi : tujuan, metode, hasil dan simpulan. Di bawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words).
Pendahuluan berisi latar belakang justifikasi mengapa penelitian itu dilakukan, perumusan masalah, tinjauan
pustaka
Metodeberisi desain dan jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel, cara
pengumpulan data dan instrumen penelitian, teknik pengolahan dan analisis data.
Hasil dan Pembahasan. Hasil dikemukakan dengan jelas bila perlu dengan ilustrasi (lukisan, grafik, diagram)
atau foto. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu diuraikan panjang lebar dalam
teks. Garis vertikal dan horizontal dalam tabel dibuat seminimal mungkin agar memudahkan penglihatan.
Tabel, grafik dan gambar diberi nomor urut angka disertai judul dan keterangan yang lengkap. Pembahasan
menerangkan arti hasil penelitian, bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat memecahkan masalah,
perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu serta kemungkinan pengembangannya.
Daftar pustaka, disusun alfabetis menurut sistem Harvard. Setiap nama pengarang diberi nomor urut sesuai
dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan mencantumkan: (a)untuk buku: nama-nama penulis, editor,
penerbit, tahun, dan nomor halaman. (b) untuk terbitan berkala: nama-nama penulis, judul tulisan, judul
terbitan (disingkat sesuai dengan Index Medicus), volume, tahun, dan nomor halaman. (c) Internet: website,
judul naskah, waktu unduh. Ketentuan penulisan sebagai berikut: Jarak spasi yang digunakan 1.15 spasi.
Baris kedua setiap pustaka dimulai menjorok ke dalam dengan 5 ketukan. Urutan penulisan artikel
berdasarkan abjad tanpa diberi nomor.
Penyerahan Naskah dalam bentuk print out naskah dan satu CD yang berisi naskah. Naskah juga dikirim
melalui e-mail kepada penyunting dengan alamat phi.jurnal@gmail.com
Tiap naskah akan ditelaah oleh reviewer dan/atau mitra bestari. Naskah yang diterima dapat disunting atau
dipersingkat oleh reviewer. Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak dapat diperbaiki oleh reviewer
dikembalikan lagi kepada penulis.
Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.
89