[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
VOL.2 NO.5, APRIL 2015 JURNAL PERSADA HUSADA INDONESIA PERSADA HUSADA INDONESIA HEALTH JOURNAL ISSN 2356-3281 Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2010-2012 Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan dengan Perilaku Pencegahan Chikungunya pada Masyarakat Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis Rawat Jalan RSUD dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014 Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak Usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2011 Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian Terapi Obat di Ruang Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2012 STIKES PERSADA HUSADA INDONESIA, JAKARTA Jurnal Persada Husada Indonesia VOL.2 No.5 Hal.88 Jakarta April, 2015 ISSN 2356-3281 Jurnal Persada Husada Indonesia (Health Journal of Persada Husada Indonesia) ____________________________________________________________________________________ Penanggung Jawab Wakil Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi Sekretaris : Dr. Qomariah Alwi, SKM., M.Med.Sc ( Ahli Kesehatan Reproduksi ) : Elwindra, ST., M.Kes : Diana Barsasella, ST., SKM., SKom., MKM : Siti Rukayah, SKp., MKep : Ns. Fitria Prihatini, S.Kep Mitra Bestari : Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH ( Profesor Riset Ahli Kebijakan Kesehatan dan Ilmu Biomedik, Profesor Pendidikan Ahli Ilmu Kesehatan Masyarakat, Guru Besar FKM UNDIP ) Prof. Dr. M. Sudomo ( Profesor Riset Ahli Medical Parasitologist ) Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM ( Profesor Riset Ahli Gizi ) Prof. Dr. Drs. Wasis Budiarto, MS ( Profesor Riset Ahli Ekonomi Kesehatan) Prof. Dr. Amrul Munif, MSc ( Profesor Riset Ahli Biologi Lingkungan ) Dr. Rustika, SKM., M.Sc ( Ahli Biostatistik Epidemiologi ) Dr. dr. Sandi Iljanto, MPH ( Ahli Kebijakan Kesehatan ) Dewan Redaksi : dr. S. Reksodikusumo, MPH Herlina, SKM., M.Kes Ns. Revie Fitria Nasution, S.Kep., M.Kep Evi Vestabilivy, SKp., M.Kep Agustina, SKM., M.Kes Eliya, S.Pd., M.Pd Ahmad Farid Umar, SKM., M.Kes Edi Junaidi, SH., SKM Evandri Wancik, ST Ns. Restu Iriani, S.Kep Sekretariat : Feri Maulana, SKM Gardika Sandra Alamat Redaksi : STIKes PHI Jl. Jatiwaringin Raya, Gd. Jatiwaringin Junction Kav 4-7 No.24, Cipinang Melayu, Jatiwaringin, Jakarta Timur. Telp/Fax. (021) 86611954 Website : www.phi.ac.id i JURNAL PERSADA HUSADA INDONESIA Persada Husada Indonesia Health Journal Volume 2. No. 5 April 2015 DAFTAR ISI Editorial Artikel Penelitian Halaman 1. Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia ........................................................... Ratih Oemiati 2. Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2010-2012 ............. Maria Magdalena, Diana Barsasella 10 - 26 Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan Dengan Perilaku Pencegahan Chikungunya pada Masyarakat Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi .................... Herlina, Siti Rukayah 27 - 31 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis Rawat Jalan RSUD dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014 ............................. Eka Rahman, Ida Wahyuni 32 - 44 5. Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 ............................................................................... Royani Chairiyah, Rina Sari Marliaty 45 - 52 6. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak Usia 4 – 6 tahun di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 ................ Yati Budiarti, Sri Gustini, Siti Saadah, Endang Astiriyani 53 - 63 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2011 ................................................... Arief Tarmansyah Iman 64 - 76 8. Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian Terapi Obat di Ruang Penyakit dalam RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2012 ....................................... Ida Sugiarti, Nunung S. Sukaesih, Popi Sopiah 77 - 88 3. ii 1-9 EDITORIAL Salam hangat, Redaksi kembali menerbitkan Jurnal Kesehatan Persada Husada Indonesia volume 2 no 5 April 2015 dengan No.ISSN 2356-3281 berisi delapan artikel ilmiah dari penelitian dosen–dosen STIKes PHI maupun dosen-dosen Insitusi lain dari berbagai jurusan kesehatan (Kesehatan Masyarakat, Keperawatan, Kebidanan, dan lain-lain), dan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Jurnal Persada Husada Indonesia dapat menjadi wadah yang sangat bermanfaat bagi peneliti dan pengguna hasil penelitian dalam menginformasikan, mendiskusikan, memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam meningkatkan kualitas, kebijakan, perencanaan kesehatan evidence based sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Topik penelitian dalam jurnal edisi saat ini terdiri dari review penelitian kanker Indonesia, program pemberantasan DBD, pencegahan chikungunya, dokumen rekam medis, BBLR, pola orang tua asuh. Jurnal Persada Husada Indonesia selanjutnya akan terbit pada bulan Juli 2015, sehingga kami dari redaksi mengharapkan kerjasama rekan-rekan baik dari internal STIKes PHI maupun eksternal untuk mengisi jurnal ini dengan artikel-artikel yang berguna dalam mendukung pendidikan dan pembangunan kesehatan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Tidak menutup kemungkinan jika masih ditemukan kekurangan dan kesalahan pada jurnal terbitan ketiga ini, maka kami dari redaksi mengucapkan banyak terima kasih dengan adanya kritik dan saran untuk perbaikan jurnal Persada Husada Indonesia. Pemimpin Redaksi, Diana Barsasella, ST., SKM., SKom., MKM iii Review Penelitian Kanker Paru di Indonesia Ratih Oemiati1 Review of Lung Cancer Research in Indonesia Abstrak Data WHO menunjukkan bahwa kanker paru merupakan penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan baik laki-laki maupun perempuan.Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke 3 atau ke 4 diantara keganasan di rumah-rumah sakit. Kanker paru pada umumnya didapatkan pada usia pertengahan dan sesudahnya.Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 dan hasil Patologi Anatomi (PA) terbanyak adalah adenokarsinoma. Tulisan ini merupakan hasil kajian dari penelitian kanker paru di Indonesia dan kajian literatur. Hasil penelitian yang dikaji adalah penelitian retrospektif dan penelitian kohort. Kedua hasil dikelompokkan menurut kedua metode tersebut.Analisis yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian yang ada dihitung ulang dan diambil rata-rata dari setiap variabel yang dikaji. Hasil penelitian untuk penelitian retrospektif menunjukkan bahwa sex ratio sebesar 3,5, sedangkan umur rerata termuda adalah 30 tahun dan tertua umur 72 tahun. Stadium terbanyak adalah stadium 3. Jenis kanker paru terbanyak sel skuamosa. Pada hasil penelitian kohor terlihat bahwa hasil rerata penderita laki-laki sebesar 58 orang dan perempuan sebesar 10 orang dengan sex ratio sebesar 5,8. Menurut umur termuda adalah 37 tahun dan umur tertua 73 tahun dan rata-rata umur adalah 55 tahun.Terbanyak responden adalah stadium 3 (40 orang). Jenis kanker paru terbanyak sama dengan studi retrospektif yaitu sel skuamosa. Kata Kunci: kanker paru, sex ratio, stadium, sel skuamosa. Abstract World Health Organization (WHO) indicated that lung cancer is the leading cause of death in men and women. In Indonesia, lung cancer ranks third or fourth among cancer malignancy. Lung cancer is generally found in middle age and elderly. Ratio of lung cancer is 2:1 for male and female with adenocarcinoma as the highest of pathology anatomy. This paper is the result of a study of lung cancer research and literature review n in Indonesia. The aim of this research is to explore retrospective and cohort study of lung cancer using descriptive analysis. The mean of each variable was measured repeatedly to determine the result. The retrospective data showed that sex ratio was 3,5 with 30 years old for the youngest and the oldest was72 yearsold. Most of them were in third stadium, and squamosalcell was the most common type of lung cancer. Cohort study described that sex ratio was 5,8 with 37 years old for the youngest and the oldest was 73 years old and the average age was 55 years. The most common respondents were in the third stadium (40 people). The most common lung cancer similar to retrospective study was squamosal cell Keywords: lung cancer, sex ratio, stadium, squamosal cell. 1 Peneliti pada Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengambangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI. 1 turunan pertama mempunyai risiko menderita kanker paru 4 kali lebih besar. Faktor lingkungan yang turut mempengaruhi meningkatnya risiko terjadinya kanker paru adalah merokok atau terpajan karsinogen. Keturunan pertama pada orang tua yang perokok memberikan risiko 2,4 kali menjadi kanker paru (Yokota J, 1987; Samet JM, 1986). Korelasi antara perokok dengan risiko kanker paru terlihat pada data RS Persahabatan tahun 2004-2006 yang menunjukkan perokok laki-laki sebesar 83,4 % dan perokok perempuan sebesar 43,4 %. Jemal dkk menyatakan bahwa kanker paru mempunyai pronosis yang buruk dibandingkan dengan kanker jenis lain karena rendahnya angka ketahanan hidup dan menjadikan kanker paru sebagai penyebab utama kematian akibat kanker (Elisna Syahruddin,2010, Jemal A, 2006). Secara umum angka ketahanan hidup 5 tahun hanya 15 %. Kanker paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika Serikat dan insidensnya makin meningkat di banyak negara industri. Proporsi kanker yang ditengarai terjadi akibat pajanan di tempat kerja relatif masih jarang sekitar 5 10 %. Merokok adalah penyebab dari 90-95 % dari semua kanker paru. Hasil dari berbagai review menunjukkan bahwa sekitar 30-40 % kanker paru berhubungan dengan pekerjaan (Mukhtar Ikhsan, 2008). Kekerapan merokok berdasarkan survey 87 negara yang dilakukan WHO pada 85 % populasi di dunia menunjukkan bahwa 47 % laki-laki dan 12 % perempuan berusia 15 tahun ke atas. Survei tersebut dilakukan 20 tahun yang lalu dan laporan lebih baru diperkirakan jumlah perokok laki-laki menurun tetapi sebaliknya meningkat pada perempuan. Angka itu menjadi penting jika dikaitkan dengan perkiraan jumlah kasus baru kanker paru (WHO, 2006). Jemal dkk menuliskan laporan tahunan tentang estimasi atau perkiraan kasus baru dan kematian akibat kanker paru dan mengatakan terlihat korelasi Pendahuluan Data WHO menunjukkan bahwa kanker paru merupakan penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan baik laki-laki maupun perempuan (Yusuf A, dkk, 2005). Kanker paru termasuk penyebab utama kematian hampir di seluruh dunia terutama pada laki-laki. Dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat baik di Jepang, Eropa, Amerika dan Indonesia (Mariono dan Astuti S, 1996). Kasus kanker paru saat ini semakin meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia (Yusuf A, dkk, 2005). Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke 3 atau ke 4 diantara keganasan di rumah-rumah sakit (Mariono dan Astuti S, 1996). Kanker paru pada umumnya didapatkan pada usia pertengahan dan sesudahnya (Janto, dkk, 1995). Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 dan hasil Patologi Anatomi (PA) terbanyak adalah adenokarsinoma sebesar 54 % (Jubilier SJ and Wilson RA, 1991). Di Amerika dan negara berkembang lainnya kasus kanker paru umumnya dihubungkan dengan pajanan terhadap lingkungan seperti merokok, “occupational agents”, sedangkan faktor genetik yang berpengaruh adalah riwayat kanker paru dalam keluarga atau penderita Tb paru, bronchitis kronis, PPOK, fibrosis interstial dan parut pada paru perifer. Di New Mexico dari suatu penelitian diperoleh data bahwa faktor genetik seperti penderita bronchitis kronik atau emfisema memberikan risiko menjadi kanker paru 2 kali lebih besar, sedangkan apabila salah satu orangtuanya menderita kanker paru, risiko genetik ini akan bertambah menjadi 5 kali (Schluger NW, 1995; Yokota J, 1987; Ooi WL, 1986). Penelitian Tokuhata menyatakan bahwa faktor genetik berperan dalam memberikan risiko yang meningkat pada keluarga yang menderita kanker paru sebesar 18 kali lebih tinggi untuk setiap usia bertambah 10 tahun, sedangkan pada orang tua yang menderita kanker paru kemungkinan 2 antara jumlah perokok dengan angka estimasi tersebut (Jemal A, 2006; Taufik, 2006) Kanker adalah penyakit genetik, hal itu berkaitan dengan fenomena bahwa proses terjadinya kanker didahului oleh perubahanperubahan genetik atau mutasi yang berulang sampai suatu saat perubahan tersebut mampu menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkendali. Sedangkan kanker paru berasal dari epitel saluran napas setelah mengalami perubahan morfologik. Mulai dari sel epitel normal, hyperplasia, metaplasia, dysplasia, karsinoma in situ, kanker invasive dan berakhir sebagai kanker metastasis. Saat mengalami proses tumor genesis ini terjadi perubahanperubahan genetik yang berulang sampai suatu saat terbentuk fenotipe keganasan. Perubahan genetik yang mengarah pada proses keganasan dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada 4 golongan gen pengatur pertumbuhan normal yaitu: proto onkogen (gen pencetus pertumbuhan), cancer supresor gen (gen penghambat pertumbuhan/antionkogen), apoptosis (gen pengatur kematian sel terprogram) dan gen perbaikan DNA. Mengenal lebih dekat biologi molekuler sel kanker (Ahmad Hudoyo, 2003). Gejala kanker paru antara lain batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada, batuk berdahak, nyeri tulang, hepatomegali, dan lain-lain. Batuk adalah gejala umum kelainan paru dan juga merupakan gejala awal kanker paru. Batuk darah biasanya disebabkan oleh ruptur arteri atau vena bronkial, biasanya batuk darah karena kanker paru terjadi pada penderita yang berumur lebih dari 40 tahun. Sesak napas ini bisa disebabkan beberapa hal antara lain tumor di dalam saluran napas, atau tumor yang menekan saluran napas. Nyeri dada dapat dirasakan oleh penderita kanker paru, hal ini disebabkan keterlibatan pleura parietal, nyeri ini dirasakan saat inspirasi (Taufikdan Ahmad Hudoyo, 2007). Diagnosis kanker paru tidak selalu mudah karena membutuhkan ketrampilan khusus, saran yang tidak sederhana dan pendekatan multidisipliner kedokteran. Bronkoskopi merupakan salah satu upaya penting dalam bidang paru karena alat ini dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik (Kitamura S-A, 1990, Munir Umar, 2007). Pemeriksaan untuk kanker paru bisa dilakukan dengan thorax foto, CT Scan, MRI, bronchoscopy, pemeriksaan sitologi untuk dahak dan pemeriksaan biopsi. Deteksi dini menggunakan foto thorax berkala ternyata tidak mengubah angka mortaliti. Skrining menggunakan CT Scan terbukti lebih efektif namun memerlukan biaya yang besar (Ahmad Hudoyo, 2007). Pengobatan yang dilakukan antara lain bedah, kemoterapi dan radioterapi (Jusuf A, 1990, Anwar Jusuf, 1993). Karena penderita yang datang kebanyakan sudah pada stadium akhir, maka penanganan yang paling tepat adalah kemoterapi. Namun pengobatan ini mempunyai efek samping yang akan merugikan pasien, seperti gangguan pencernaan dan metabolisme tubuh. Berdasarkan uraian di atas maka kanker paru sangat penting disosialisasikan pada masyarakat Indonesia karena jumlah perokoknya yang peringkat lima di dunia. Selain itu kanker paru masih kurang dalam hal promosi kesehatan. Oleh karena itu tulisan ini menjadi sangat bermakna untuk penurunan angka kesakitan kanker paru.Salah satu pencegahan primer pada penyakit kanker adalah promosi kesehatan yang berupa penyuluhan atau sosialisasi. Dengan adanya kajian ini maka masalah kanker paru dapat dikendalikan dengan baik. Metode Kajian ini merupakan kumpulan hasil tinjauan pustaka tentang kanker paru dan hasil penelitian kanker paru yang telah dilakukan di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Hasil penelitian yang dikaji adalah penelitian retrospektif dan penelitian kohor. 3 Hasil penelitian retrospektif diambil dari artikel (sesuai dengan urutan tabel 1): 1. Muhammad Yusuf Hanafiah Pohan, Wiwien Heru Wiyono, dan Anwar Yusuf , 2007 2. Elisna Syahruddin, Alvin Kosasih Ahmad Hudoyo, Juniarti Ahmad Jusuf, 2008 3. Taufik, Elisna Syahruddin, Sri Mulyani, Yusrizal Chan, dan Zailirin YZ, 2006 4. Munir Umar, Elisna Syahruddin, Menaldi Rasmin, dan Sri Melati Munir, 2006 5. Elisna Syahruddin , 2003 Hasil dan Pembahasan Retrospektif Umur Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang menyebabkan banyak kematian. Lebih dari 3 juta orang pasien kanker paru, terutama berasal dari negara berkembang (American Lung Association, 2008). Depkes menyatakan bahwa lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru dan bronkus di seluruh dunia menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya. Persentase penderitanya pun semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun.Data epidemiologi kanker paru di Indonesia masih belum ada sedangkan di Rumah Sakit Persahabatan didapatkan hasil terjadi peningkatan kasus dari tahun 2003 sampai 2007 sebesar 28 % (Laporan Tahunan FKUI, 2007). Hasil penelitian studi kohor diambil dari artikel (sesuai dengan urutan tabel 2.) 1. Erlina Burhan, Nirwan Ariel, Ahmad Hudoyo Eddy Suratman, Anwar Yusuf, Elisna Syahruddin dan Bambang Sutrisna, 2007 2. Kanker paru di RS Persahabatan 2000 – 2007, (cited on Januari 2010) http://www.kankerparu.org 3. Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin, Anwar Yusuf dan Erlina Burhan, 2006 4. Jusuf A, Soeratman E, Jayusman AM, Arumdati S, Ani Widya Ningsih W,dan Arief N, 2001 5. Elysna Syahruddin, Anwar Yusuf, Ahmad Hudoyo, Siti Budina Kresno dan Sri Hartini, 2005 Analisis yang digunakan adalah meta analisa, yaitu suatu analisis integratif sekunder dengan menerapkan prosedur statistik yaitu menggabungkan, meringkas, dan meninjau penelitian kuantitatif sebelumnyadengan penyajian hasil secara deskriptif. Hasil penelitian yang ada dihitung ulang dan diambil rata-rata dari setiap variabel yang dikaji.Variabel yang dikaji adalah umur (termuda, tertua dan rata-rata), jenis kelamin (sex ratio), stadium penyakit dan juga jenis kanker yang diderita. Tabel 1 No 1 2 3 4 5 Responden Kanker Paru berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Termuda dan Tertua Laki- Perem- Umur Umur N laki Puan termuda tertua 46 35 11 29 th 72 th 48 34 14 26 th 85 th 39 30 9 39 th 66 th 133 118 15 39 th 66 th 106 92 14 34th 79 th rerata 82 23 30 th 72 th Hasil analisis tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah rata-rata laki-laki sebesar 82 orang dan perempuan 23 orang. Sex ratio sebesar 3,5. Sedangkan umur rerata termuda adalah 30 tahun dan tertua umur 72 tahundengan usia rata-rata adalah 51 tahun. Berbagai penelitian menyatakan bahwa kanker paru lebih banyak diderita lakilaki daripada perempuan (Taufik, 2006; Munir Umar, 2007; Elisna Syahruddin, 2010; Elisna Syahruddin, 2008). Kemungkinan hal ini 4 disebabkan persentase perokok lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Data penderita kanker paru di RS Dharmais th 1993-1997 laki-laki 79,5 % (Jusuf A, 2001). Rasmin dkk(2006) medapatkan 87,5 % laki-laki dari hasil penelitian pada tahun 1993-2001 di RS Persahabatan dan RS Kanker Dharmais.Dari kedua penelitian tersebut ternyata sex ratio antara laki-laki dan perempuan memang besar yaitu antara 4 sampai 6. Putnam (1977) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa usia rata-rata adalah 34 tahun untuk laki-laki dan 36,9 tahun untuk perempuan. Sedangkan hasil penelitian Anwar Yusuf et al (1993) mendapatkan umur tertua penderita kanker paru adalah 75 tahun. Demikian juga Taufik et al (2006) mendapatkan umur tertua > 65 tahun. Secara umum jumlah pasien kanker paru berdasarkan kelompok umur menunjukkan kelompok umur produktif lebih tinggi hal ini sesuai bahwa pasien yang terkena kanker paru berumur di atas 40 tahun, rerata sekitar 50-an tahun yang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan umur mulai merokok. Dilihat dari rerata responden menurut stadium pada gambar 1 memperlihatkan terbanyak adalah stadium tiga (3) sebesar 56,7 %, kedua stadium dua (2) sebesar 21,6 %. Barangkali yang stadium 4 hanya sedikit karena sudah banyak yang meninggal. Ditinjau dari stadium memperlihatkan terbanyak adalah stadium III. Hasil ini hampir sama dengan temuan Taufik et al (2006)yang menyatakan bahwa stadium 3 merupakan kasus terbanyak pada kanker paru. Jenis Kanker 35 30 25 20 15 10 5 0 Stadium 21 3 2 2 Berdasarkan jenis kankernya yang ditampilkan pada gambar 2 ternyata jenis yang terbanyak adalah sel squamosa dengan rerata 30 orang, adeno dengan rerata 17 orang, kanker besar (3), kanker kecil (2) dan jenis lain (2). Data RS Persahabatan secara konsisten menunjukkan bahwa jumlah pasien dengan jenis adenokarsinoma selalu dominan. Penelitian di RS Persahabatan 2000-2007 mendapatkan 61,9% jenis adenokarsinoma sel skuamosa (Laporan RS Persahabatan, 2007). 20 15 5 17 Gambar 2 Diagram Rerata Jenis Kanker dari Studi Retrospektif 25 10 30 8 6 2 0 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Gambar 1 Rerata Stadium Kanker Paru di Indonesia berdasarkan Penelitian Retrospektif 5 Perokok 35 30 25 20 15 10 5 0 rerata 3 perokok 1 laki-laki 10 37 73 Berdasarkan pada penelitian kohor diperoleh hasil rerata penderita laki-laki sebesar 58 orang dan perempuan sebesar 10 orang dengan sex ratio sebesar 5,8. Menurut umur termuda adalah 37 tahun dan umur tertua 73 tahun dan rata-rata umur adalah 55 tahun. Hasil ini hampir sama dengan temuan Menaldi et al yang menyatakan bahwa rerata umur 55,62 tahun dengan rentang usia 34-76 tahun (Menaldi R, 2006). Titis dkk (2011) menemukan hasil bahwa umur rata-rata pasien 59 tahun, umur termuda 22 tahun dan tertua 75 tahun. 30 28 58 1 perokok 2 perempuan Gambar 3 Diagram dua Penelitian Crosssectional dari Jumlah Perokok menurut Jenis Kelamin Stadium (Sumber : Menaldi Rasmin, dkk, 2006 dan Taufik dkk, 2006 ) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Menurut faktor risiko merokok ternyata mayoritas > 90 % berjenis kelamin laki-laki, meskipun ada 4 perempuan juga merokok pada kasus kanker paru tersebut. Perokok aktif memegang persentase paling tinggi yang mengakibatkan kanker paru.Rokok memang banyak mengandung zat beracun yang mampu memicu tumbuhnya selsel kanker dalam paru. Pada umumnya penderita baru menyadari ketika sudah memasuki stadium akhir. 40 11 Stadium 1 13 Stadium 2 Stadium 3 Gambar 4 Rerata Stadium Kanker Paru di Indonesia Berdasarkan Penelitian Kohor Studi Kohor Umur Dari bar di atas terlihat bahwa terbanyak responden adalah stadium 3 (40 orang) sedangkan stadium 1 sebesar 11 orang dan stadium 2 sebesar 13 orang. Demikian juga Menaldi et al (2006) mendapatkan hasil stadium 3 yang terbanyak. Berbagai penelitian juga menyatakan bahwa stadium terbanyak adalah stadium III (Menaldi, 2006; Taufik, 2006). Apabila sudah memasuki stadium lanjut biasanya sel kanker inipun dapat terus bermetastase. Kanker paru adalah salah satu Tabel 2 Responden Kanker Paru berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Studi Kohor Laki- Peremp Umur Umur No N laki uan termuda tertua 1 64 56 8 2 57 46 11 37 75 3 64 56 8 34 76 4 133 118 15 39 66 5 21 13 8 35 75 6 penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah (Menaldi, 2006). Pada gambar 6 terlihat bahwa kasus kanker paru terjadi pada 57 % perokok, 21 % bukan perokok dan 22 % tidak ada datanya. Sayangnya tidak tersedia data kasus kanker paru yang perokok menurut jenis kelamin. Jenis Kanker 35 30 25 20 15 10 5 0 Kesimpulan 30 1. Studi retrospektif a. Umur - Rerata termuda 30 tahun dan tertua 72 tahun - Sex ratio 3,5 b. Stadium - Terbanyak stadium 3 (56,7%) c. Jenis Kanker - Terbanyak adalah sel squamosal dengan rerata 30 orang 2. Studi Kohor a. Umur - Rerata termuda 37 tahun tertua 73 tahun - Sex ratio 5,8 b. Stadium - Stadium 3 ( 40 orang) c. Jenis kanker - Terbanyak sel squamosa 17 3 2 2 Gambar 5 Diagram Rerata Jenis Kanker dari Studi Kohor Kanker Paru Dari gambar5 terlihat bahwa sel squamosa rerata 44 orang (1), adeno dengan rerata 25 orang, kanker besar (5), kanker kecil (3) dan lainnya (2). Hasil dari Munir Umar et al (2007) juga menyatakan bahwa karsinoma sel skuamosa merupakan jenis kanker terbanyak (66,2 %). Beberapa penelitian juga memberikan hasil bahwa adenokarsinoma sel skuamosa merupakan persentase terbanyak (Titis 2011). Daftar Pustaka Ahmad Hudoyo. Memperpanjang harapan hidup pasien dengan kanker paru – mungkinkah? J Respir Indo, vol 27, no 4 Oktober 2007, p.204-205. Ahmad Hudoyo, Mengenal lebih dekat biologi molekuler sel kanker. J Respir Indo, vol 23, no : 2 : 2003, p 99-104. American Lung Association. Trends in lung cancer morbidity and mortality. [cited on Jan 2008 ]. Available from: URL:htpp// www.lungusa.org. Anwar Jusuf, Ascobat Gani, Sardikin Giriputro, Achmad Hudoyo, Adang Bachtiar, Fachrial Harahap dan Djoni Anwar. Implikasi ekonomis kanker paru pada pekerja perusahaan. Jurnal Paru, vol 13 nomor 1 Januari, 1993, p.2-8. Perokok perokok Ya 37 35 95 Tidak Tidak ada data Gambar 6 Perokok pada Kasus Kanker Studi Kohor (Sumber: Erlina Burhan, dkk, 2007) 7 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, FKUI RS Persahabatan. (2007). Laporan tahunan. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Elisna Syahruddin, Mekanisme non P glikoprotein MDR (non PgP MDR) dan faktor yang terlibat pada proses resistensi sel kanker paru. J Respire Indo, vol 23, no 2, 2003, p.93-98. Elysna Syahruddin, Anwar Yusuf, Ahmad Hudoyo, Siti Budina Kresno, Sri Hartini, T Lymphocite cells D4S function in serum of non smaal cell lung cancer patients. J Respir Indo, vol 25 no 2, April 2005 Elisna Syahruddin Alvin Kosasih Ahmad Hudoyo , Juniarti , dan Ahmad Jusuf, Kemoradioterapi konkuren dengan regimen karboplatin +etoposid pada pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil stadium lanjut di RS Persahabatan. J Respire Indo, vol 28, no 2, April 2008, p81-87. Elisna Syahruddin, Dedy Zairus dan Anwar Jusuf. Toksisiti hematologi akibat kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. J Respir Indo, vol 28 no 4, Oktober 2008, p.185189. Elisna Syahruddin, Avissena D Pratama dan Nirwan Arief. A retrospective Study: Clinical and diagnostic characteristics in advanced stage of lung cancer patients with pleural effusion in persahabatan hospital 2004-7. J respir Indo, vol 31 no 3 Juli 2010.p.146-151. Erlina Burhan, Nirwan Ariel, Ahmad Hudoyo Eddy Suratman, Anwar Yusuf, Elisna Syahruddin Dan Bambang Sutrisna, Angka tahan hidup penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang layak bedah. J Respire Indo, vol 27, no 4 Okt 2007, p. 206-213. Janto Poernomo Hadi, Sutjipto Dwijo, Slamet Harijadi dan Soegeng Sukamto, Kanker paru pada seorang anak perempuan, Jurnal Paru, vol 15 no 1, Januari 1995, p.43-44. Jemal A, Siegel R, Murray T, Cancer statistic. Cancer J Clin, 2006; 56: p.106-130. Jubilier SJ and Wilson RA.Lung Cancer in patient jounger than 40 years of age. Cancer, 1991:67; p.1436-8 Jusuf A. (1990). Penderajatan dan garis-garis besar pengobatan kanker paru, Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI, p.9-14. Jusuf A, Harrianto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman nasional untuk diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. (2005). Jakarta: PDPI, p.1-10. Jusuf A, Soeratman E, Jayusman AM, Arumdati S, Aniwidyaningsih W, Arief N, et al, Diagnostic of lung cancer in Dharmais National Cancer Hospital, Jakarta Indonesia MKI, 2001: 9; p.322-7 Kitamura S-A. (1990). Colour atlas of clinical application of fiberotic bronchoscopy. Wolfe Publishing Ltd. P.735. Kanker paru di RS Persahabatan 2000- 2007. [cited on Januari 2010]. Available from: http://www.kanker paru.org Mariono, Sutji Astuti, Peranan gen penghambat tumor pada karsinogenesis kanker paru. J Respir Indo, vol 16, 2 April 1996, p.80-84. Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin, Anwar Jusuf dan Erlina Burhan, Efikasi Prosedur Diagnosis dan Akurasi Diagnosis Sitologi Pra Bedah Kanker Paru, J Respir Indo, Vol 26 no 4 Oktober 2006, p.185-189. Menaldi Rasmin, Elisna Syahruddin, Anwar Yusuf dan Erlina Burhan. Akurasi Staging Parbedah pasien kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang menjalani pembedahan. J Respir Indo, vol 26 no 4 Oktober 2006, p.202-205. Muhammad Yusuf Hanafiah Pohan, Wiwien Heru Wiyono, Anwar Yusuf, Akurasi pemeriksaan sitology dan histopatologi pada pasien kanker paru di beberapa RS di Jakarta, J Respir Indo, vol 27 no 4 tahun 2007, p.219-225 8 Mukhtar Ikhsan, Kanker paru akibat kerja. J Respir Indo vol 28, no 4, Oktober 2008,p.176-177. The tobacco epidemic : a global public health emergency. WHO homepage. www,who.ch Munir Umar, Elisna Syahruddin, Menaldi Rasmin, dan Sri Melati Munir, Akurasi Diagnostik Paru dengan Prosedur Diagnostik Invasif Menggunakan Bronkoskopi Serat optik Lentur, J Respir Indo, vol 26 no 4 Oktober 2006, p.180-184 Ooi WL, Elston RC, Chen VW, Wilson JEB, Rothschild H, Increased familial risk among form lung cancer, JNCL, 1986, 76, 217-22 Putnam JS, Lung carcinoma in young adults. JAMA 1977; 238: p.35-6 Samet JM, Humble BEG, Pathak DR. Personal and family history of respiratory diseases and lung cancer risk. Am Rev Respir Disc, 1986, 134, 466-70. Schluger NW, Rom WN, The polymerase chain reaction in the diagnosis and evaluation of pulmonary infection. Am J Respir Crit Care Med, 1995, 152, 116. Taufik, dan Ahmad Hudoyo. Gejala Kanker Paru. J Respir Indo, vol 27, no 4, Oktober 2007, p. 226-230. Taufik, Elisna Syahruddin, Sri Mulyani, Yusrizal Chan, Zailirin YZ, Faktor risiko, gejala klinis dan diagnosis kanker paru di bagian pulmonologi FK- UNAND RS dr M Djamil Padang 2005, J Respir Indo, vol 26, no 4, 2006. Titis Dewi Wahyuni, Boedi Swidarmoko, Rita Rogayah, dan Heriawati Hidayat. The positive result of cytology brushing at flexible fiberoptic bronchoscopy compared with transthoracic needle aspiration in central lung tumor, J Respir Indo, Vol. 31, No. 1, Januari 2011. WHO, The tobacco epidemic : a global public health emergency, 2006. WHO homepage :www,who.ch Yokota J, Sugimura T. Loss heterozygosity on chromosomes 3, 13, 17 in small cell carcinoma and on chromosomes 3 in adeno carcinoma of the lung. Proc Nalt Acid Sci USA, 1987, 84, 9252-6. 9 Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2010-2012 Maria Magdalena1, Diana Barsasella2 3 Achievement of Program Evaluation Communicable Disease Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in the Work Area Health Service Bekasi in 2010-2012 Abstrak DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Informan penelitian yaitu Kasi P2DBD Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Petugas lapangan Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Kepala RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji, masyarakat yang pernah terkena DBD RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji, Kepala RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji, dan masyarakat yang pernah terkena DBD RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji. Hasil penelitian menunjukkan program pemberantasan DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan kota Bekasi meliputi: Penyelidikan Epidemiologi, Fogging Fokus, Pemantauan Jentik Berkala dan Pemberantasan Sarang Nyamuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampaian hasil pelaksanaan kegiatan program P2DBD yang meliputi PE, FF, PJB dan PSN sudah memenuhi indikator kriteria efektitas, sedangkan berdasarkan indikator kriteria efektivitas program yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau indikator nasional ada beberapa kriteria yang masih kurang seperti pelaksanaan kegiatan PE dan FF. Hambatan pelaksanaan program P2DBD yaitu keterlambatan rumah sakit dan masyarakat dalam melaporkan kasus DBD, kesulitan memperoleh bahan bakar (solar), kurangnya alat fogging atau ULV, dan kesadaran masyarakat mengantisipasi penyebaran DBD masih kurang. Dampak dari hasil kegiatan program pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi belum memberikan kontribusi penurunan angka kejadian kasus DBD setiap tahunnya. Kata Kunci: Evaluasi, Program, Pemberantasan, DBD. Abstract Dengue fever is an infection caused by the dengue virus and transmitted through mosquito AedesAegypti bite. This type of research is qualitative research. Research informant are Head of P2DBD Department of Health Bekasi City, Head of P2P Department of Health Bekasi City, the field officer Department of Health Bekasi City, Head of RT 02 RW 09 Kranji Village, RT 02 RW 09 Kranji Villagecommunitywho never exposed to dengue fever, Chief of RT 03 RW 09 Village Kranji, and RT 03 RW 09 Kranji Village people who never exposed to dengue fever. The dengue eradication program in the working area of Department of Health Bekasi City include: Research Epidemiology, Fogging Focus, Larva Monitoring Periodic and Mosquito eradication nest. The results showed that the results of the implementation of P2DBD program which includes PE, FF, PJB and PSN already meets the effectiveness criteriaindicators, whereasbased on program effectiveness criteria indicators set by the central government or national indicators there are several criteria that are lacking such as the implementation of PE and FF. Barriers to implementation onP2DBD programi.e.delays from hospitals and communities in reporting cases of dengue fever, difficulty obtaining fuel (diesel), the lack of tools or ULV fogging, and public awareness to anticipate the spread of dengue is still missing. In summary the impact of the dengue disease eradication programs in Bekasihave not contributedon decreasingdengue cases annually. Keywords: Evaluation, Program, Eradication, DBD. 1 Staf PT. International Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 3 Dosen pada STIKes Persada Husada Indonesia 2 10 Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bekasi Jumlah penderita DBD pada tahun 2011 sebesar 697 kasus, pada tahun 2012 jumlah kasus DBD di Kota Bekasi sebesar 856 kasus dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan kasus yaitu sebesar 1.415 kasus.Sedangkan CFR kota Bekasi tahun 2011 sebesar 1,5%, tahun 2012 sebesar 2,0% dan tahun 2013 sebesar 1,2%. Sedangkan Angka IR terjadi peningkatan yaitu 22/100.000 penduduk pada tahun 2011,sedangkan pada tahun 2012 sebesar 37/100.000 penduduk dan pada tahun 2013 menjadi 58/100.000 penduduk. Ini merupakan angka IR tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Dengan demikian, penanganan terhadap kasus DBD perlu mendapat perhatian khusus agar penderita DBD tidak sampai meninggal dunia (Profil Dinkes Bekasi, 2012). Angka insiden DBD tertinggi selama tahun 2011-2013 terjadi di kecamatan Pondok Melati yaitu 529 kasus, angka insiden DBD menurut jenis kelamin tertinggi pada jenis kelamin laki-laki dan Gambaran kasus DBD berdasarkan golongan umur mengambarkan proporsi rata-rata penderita DBD tahun 20112013 pada golongan umur > 45 tahun yaitu sebesar 68,2% diikuti pada golongan umur 1544 tahun sebesar 13,33%. (Profil Dinkes Bekasi, 2012) Program yang telah dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bekasi yaitu Penyelidikan Epidemiologi (PE), Fogging Fokus (FF), Pemantauan Jentik Berkala (PJB), dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Profil Dinas Kesehatan Bekasi, 2012). Dalam rangka evaluasi untuk menilai seberapa jauh keberhasilan pencapaian pelaksanaan program Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Jumlah penderita maupun luas penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Penyakit DBD sering menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya cepat dan menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menular yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa/wabah (Depkes RI, 1998). Indonesia pernah mengalami kasus terbesar (53%) DBD pada tahun 2005 di Asia Tenggara yaitu 95.270 kasus dari kematian 1.298 orang (Case Fatality Rate (CFR) = 1.36%) (WHO 2006). Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi 17% dan kematian 36% dibandingkan tahun 2004 (Seopardi, 2010). Sejarah penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 kasus dan jumlah kematian sebanyak 24 kasus (CFR=4,1%). Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Pada tahun 1998, terjadi KLB di 25 provinsi yang meliputi 201 Kabupaten/Kota, sehingga jumlah kasus meningkat menjadi 47.573 kasus angka insidens 27,098 per 100.000 penduduk) dengan jumlah kematian 1.527 (CFR = 3,2 %) (Depkes RI, 1981). Data yang telah direkomendasikan WHO pada tahun 2010 angka kesakitan DBD di Indonesia diupayakan harus mencapai 20/100.000 dan angka kematian (CFR < 1%). Saat ini Indonesia merupakan daerah endemis DBD, hal ini merupakan tantangan yang di sebabkan oleh penyakit DBD untuk mencapai target yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 2010. Data dari DepKes RI tahun 2010 mencantumkan peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 2008 berjumlah 137.469 kasus menjadi 159.912 kasus pada tahun 2009. 11 pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dinas kesehatan kota Bekasi tahun 20112013, peneliti menganalis kinerja meliputi input, proses, output, dan outcome dengan melakukan penelitian mengenai Evaluasi Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2011-2013. Hasil dan Pembahasan Profil Dinkes Bekasi Secara geografis kota Bekasi berada pada posisi 106048’28” – 107027’29” Bujur Timur serta 6010’6” - 6030’6” Lintang Selatan. Wilayah Kota Bekasi berada pada ketinggian antara 11 m – 81 m di atas permukaan laut. Ketinggian kurang dari 25 m berada pada Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan Pondok Gede. Sedangkan ketinggian antara 25-100 m di atas permukaan laut berada di Kecamatan Bantargebang, Pondok Melati, Jatiasih. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, yaitu peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Saebani, 2008). Informan penelitian yaitu: 1. Kasi Program Pemberantasan Penyakit DBD (P2DBD) Dinas Kesehatan Kota Bekasi sebagai informan kunci selanjutnya disebut informan 1 2. Seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Bekasi sebagai informan kunci selanjutnya disebut informan 2 3. Petugas lapangan Dinas Kesehatan Kota Bekasi sebagai informan kunci selanjutnya disebut informan 3 4. Kepala RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai informan pendukung selanjutnya disebut informan 4 5. Masyarakat yang pernah terkena DBD RT 02 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai informan pendukung selanjutnya disebut informan 5 6. Kepala RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai informan pendukung selanjutnya disebut informan 6 7. Masyarakat yang pernah terkena DBD RT 03 RW 09 Kelurahan Kranji sebagai informan pendukung selanjutnya disebut informan 7 Pencampaian Program Kesehatan Umur Harapan Hidup Tinggi rendahnya umur harapan hidup merupakan indikator taraf hidup suatu daerah. Semakin tingggi umur harapan hidup bearti semakin meningkat pula derajat kesehatan masyarakat. Umur harapan hidup Kota Bekasi tahun 2011 (69,70 tahun) lebih tinggi dari umur harapan hidup Indonesia (69,65 tahun) maupun provinsi Jawa Barat (68,4 tahun). Angka Kematian Kasar Angka kematian kasar atau Crude Death Rate (CDR) merupakan petunjuk umum status kesehatan masyarakat, menggambarkan tingkat permasalahan penyakit, kondisi sosial ekonomi dan dan kondisi lingkungan. Angka kematian kasar di Kota Bekasi belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan pencatatan dan pelaporan rumah sakit jumlah orang yang meninggal pada tahun 2012 ada sebanyak 2.531 orang. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat jumlah kematian tahun 2011 (771 orang) dan tahun 20120 (758 orang). Penyebab kematian pada penduduk tertinggi yaitu penyakit infeksi dan parasit (26,12%) diikuti oleh penyakit sistem pembuluh darah (18,93) dan penyakit susunan saraf pusat (16,83%). Seperti terlihat pada tabel dibawah ini. 12 Tabel 1 Pola Penyakit Penyebab Kematian Penduduk yang dirawat di Rumah Sakit di Kota Bekasi Tahun 2012 Kasus Baru No Nama Penyakit Jumlah % 1 Penyakit infeksi dan parasit 661 26.12 2 Penyakit sistem pembuluh darah 479 18.93 3 Penyakit susunan syaraf 426 16.83 4 Penyakit sistem pernafasan 269 10.63 5 Penyakit kelaianan endokrin,gizi,metabolik 195 7.70 6 Penyakit sistem pencernaan 192 7.59 7 Penyakit sistem saluran kemih dan kelamin 150 5.93 8 Penyakit kulit dan jaringan subkutan 91 3.60 9 Penyakit darah dan gangguan mekanisme imun 44 1.74 10 Tumor ganas /neoplasma ganas 17 0.67 11 Gangguan Jiwa dan perilaku 2 0.08 12 Penyakit telinga dan proc.Mastoideus 2 0.08 13 Penyakit sistem muskuloskeletal dan jaringan ikat 2 0.08 14 Penyakit pada mata dan adneksi 1 0.04 Jumlah 2,531 100.00 Sumber : Dinkes kota Bekasi bila hasil PE tidak memenuhi syarat, maka hanya dilakukan penyuluhan dan pelaksanaan PSN. Alur Pelaporan Kasus DBD Sumber data kasus DBD berasal dari rumah sakit, masyarakat atau fasilitas kesehatan lainnya. Data yang dari rumah sakit di kirim ke Dinas Kesehatan atau lewat faximile atau dikirim langsung, data tersebut kemudian di entri di bagian survailans. Data yang sudah dientri kemudian diteruskan ke puskesmas untuk dilakukan PE, hasil PE dilaporkan kembali ke Dinas Kesehatan. Tindak lanjut di lapangan sesuai hasil PE, bila hasil PE positif memenuhi syarat maka dilakukan FF, penyuluhan dan PSN, sedangkan Program P2DBD Input Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Kunci Berikut matriks hasil wawancara dengan informan kunci mengenai komponen input untuk program P2DBD dinas kesehatan kota Bekasi. Tabel 2 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan Kunci 3 tentang Komponen Input Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2013 Informan Kunci Komponen Input Informan 1 Informan 2 Informan 3 Sarana - Alat fogging kurang - Alat fogging masih - Alat fogging ada tetapi - Alat fogging ada tetapi kurang yang rusak ada yang rusak - Alat fogging ada tetapi - Alat fogging masih - Tidak semua ada yang rusak kurang puskesmas mempunyai - Tidak semua puskesmas - Sulit mendapatkan solar alat fogging mempunyai alat fogging - Alat yang lain sudah - Alat yang lainnya - Alat yang lainnya cukup cukup cukup. 13 Tenaga Biaya - Tenaga untuk kegiatan Program P2DBD ada - Tenaga jumantik masih kurang terutama untuk daerah yang endemis DBD - Tenaga yang lain sudah mencukupi - Biaya untuk program P2DBD Tersedia - Biaya sudah mencukupi - Sumber biaya dari APBD dan BOK - Tenaga Untuk Program P2DBD ada - Tenaga untuk menangani jumantik masih kurang - Tenaga yang lain sudah mencukupi - Tenaga untuk khusus jumantik masih kurang - Tenaga untuk program P2DBD ada - Tenaga yang lain sudah mencukupi - Biaya untuk program P2DBD ada - Sumber biaya dari dana APBD dan BOK - Biaya sudah mencukupi - Biaya tersedia untuk program P2DBD - Biaya sudah mencukupi tetapi APBD tetapi realisasi dana lambat disediakan sendiri oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi melalui biaya yang dianggarkan oleh pemerintah yaitu dana APBD dan BOK. Tenaga di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi dalam melakukan kegiatan PSN yaitu masyarakat sendiri yang turun langsung ke lapangan melalui sosialisasi yang dilakukan oleh tenaga puskesmas setempat, kemudian untuk tenaga jumantik di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi diperlukan tenaga jumantik yang sudah dilatih oleh dinas kesehatan maupun puskesmas setempat, tetapi dalam pelaksanaannya tenaga jumantik yang sudah dilatih masih diperlukan. Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa program P2DBD di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi untuk komponen input yang berupa sarana, tenaga, dan biaya sudah mencapai kriteria. Input (masukan) yang dibutuhkan agar program P2DBD dapat berjalan adalah sarana, tenaga dan biaya. Sarana yang menunjang untuk kegiatan program P2DBD di Dinas Kesehatan kota Bekasi terdiri dari berbagai jenis mulai dari senter untuk kegiatan PE, PSN, PJB, mesin fogging, formulir PE dan PJB. Selain itu leaflet, brosur, spanduk, kaset dan compact disk untuk kegiatan penyuluhan. Jumlah sarana tersebut sudah mencukupi untuk setiap kegiatan kecuali alat fogging yang masih kurang, ditambah lagi alat fogging yang masih bermasalah. Berdasarkan tabel 2 diatas evaluasi pencampaian program P2DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi mengenai komponen input berupa sarana,tenaga dan biaya sudah terpenuhi tetapi ada beberapa kendala yang ditemukan seperti ketersediaan solar sebagai bahan bakar untuk kegiatan fogging, ada beberapa alat fogging yang rusak, dan ada beberapa puskesmas yang belum mempunyai alat fogging, tenaga jumantik masih kurang, kemudian keterlambatan dalam merealisasi biaya untuk kegiatan program P2DBD. Sarana untuk kegiatan program P2DBD berupa alat fogging, senter, gayung Hasil Telaah Dokumen Sarana dan Prasarana Data mengenai sarana dan prasarana program P2DBD di Kota Bekasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 3 Sarana dan Prasarana Program P2DBD di kota Bekasi No Kegiatan P2DBD Sarana dan Prasarana 1 Penyuluhan Alat peraga 1. Lembar Balik 2. Infocus 2 PSN 3M Plus 14 Ketersediaan Ada Ada Ada 3 PJB 4 PE 5 FF 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. Lampu Senter Larvasida/abatisasi Form-PJB Senter Alat tranportasi Form PE Mesin fogging Insektisida Pelarut insektisida Solar Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Sumber: Dinkes Kota Bekasi Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan PSN adalah peralatan 3M, peralatan tersebut di sediakan oleh masyarakat sendiri. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan PJB adalah senter, larvasida/abatisasi dan form PJB. Setiap jumantik memiliki senter selain itu jumantik harus memiliki persediaan larvasida dan form PJB. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan Penyelidikan Epidemiologi adalah senter, alat transportasi dan form PE, semua petugas harus memiliki senter untuk memeriksa jumantik. Alat dan bahan yang dibutuhkan pada waktu FF yaitu mesin fogging, insektisida, pelarut insektisida dan solar. Tenaga Data mengenai Tenaga program P2DBD di kota Bekasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4 Tenaga untuk program P2DBD di kota Bekasi No Kegiatan P2DBD Jenis SDM 1 Penyuluhan Penyuluh 2 PSN - Petugas Program Kesling - Jumantik - Masyarakat 3 PJB Jumantik 4 PE Petugas PE 5 FF Petugas Fogging Sumber : Dinkes Bekasi Jumlah SDM 62 19 650 740 19 20 kegiatan PE jumlah tenaga berjumlah 19 orang, dan untuk kegiatan FF jumlah tenaganya ada 20 orang. Dalam melaksanakan kegiatan program P2DBD tenaga yang disediakan oleh dinas kesehatan kota Bekasi masing-masing kegiatan sudah memiliki tenaga yang ahli dalam bidangnya. Jumlah tenaga untuk kegiatan penyuluhan ada 62 orang, untuk kegiatan PSN berjumlah 669 yaitu petugas program kesling 19 orang dan jumantik 650 orang. Untuk kegiatan PJB tenaga jumantik 740 orang, untuk Biaya Data mengenai ketersediaan dana untuk pelaksanaan program P2DBD di Kota Bekasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 15 Tabel 5 Kegiatan Dana untuk Kegiatan Program P2DBD di Kota Bekasi No Kegiatan P2DBD Ketersediaan Dana 1 Penyuluhan Tidak ada 2 PSN Tidak ada 3 PJB Ada 4 PE Ada 5 FF Ada Sumber: Dinkes Bekasi Berdasarkan tabel di atas dapat diuraikan mengenai biaya operasional yang dikeluarkan untuk program P2DBD. Untuk penyuluhan dan pemberantasan sarang nyamuk tidak tersedia dana, sedangkan untuk kegiatan PJB, PE dan kegiatan FF telah tersediannya dana, yang diperoleh dari dana APBD dan dan BOK. 1, informan kunci 2 dan informan kunci 3 mengenai komponen proses berupa PE, PJB, FF dan PSN, dimana informan kunci 1 adalah kepala seksi P2DBD dinas kesehatan kota Bekasi, kemudian informan kunci 2 yaitu seksi P2P dinas kesehatan kota Bekasi dan informan kunci yang ketiga adalah petugas lapangan. Berikut matriks hasil wawancara dengan informan kunci mengenai komponen proses untuk program P2DBD dinas kesehatan kota Bekasi. Proses Pada tahap selanjutnya hasil wawancara mendalam dengan informan kunci Tabel 6 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan Kunci 3 tentang Komponen Proses Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2013 Informan Kunci Komponen PROSES Informan 1 Informan 2 Informan 3 PE - Pelaksanaan PE - PE dilakukan apabila - Pelaksanaan PE dilakukan jika ada ada laporan dari rumah dilakukan apabila ada laporan kasus DBD dari sakit atau warga yang laporan dari rumah sakit atau dari positif terkena DBD masyarakat atau rumah warga baru di lakukan - PE dilakukan oleh sakit bahwa ada PE puskesmas penderita DBD - PE dilakukan oleh - Hasil PE dilaporkan ke - Dana PE diperoleh dari Puskesmas dan hasilnya Dinas dengan formulir dana APBD dan BOK dikirim ke Dinas PE - Laporan dari RS dan Kesehatan yaitu dengan - Dana PE diperoleh dari masyarakat lambat formulir PE dana APBD dan dari - Dana PE dari BOK BOK,APBD Provinsi - Laporan dari RS lambat dan Daerah. - Mayarakat tidak bersedia - Laporan dari rumahnya diperiksa masyarakat, RS lambat - Dukungan dari dana - Masyarakat tidak sudah ada bersedia rumahnya diperiksa - Kinerja puskesmas sudah bagus FF - Kegiatan FF dilakukan - FF dilakukan apabila - FF dilakukan jika hasil apabila Hasil PE kegiatan PE ditemukan PE didapat penderita 16 - - - PJB PSN ditemukan 1 atau lebih penderita dan ditemukan 3 atau lebih tersangka DBD di daerah penderita yang terkena DBD FF dilakukan dengan radius 200 meter dengan 2 siklus dalam interval satu minggu. Dana untuk kegiatan PE tersedia Hasil FF dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota dengan formulir K-DBD Sulit memperoleh solar - Tujuan dilakukan PJB untuk mengetahui hasil pelaksanaan PSN DBD oleh masyarakat - PJB dilakukan 3 bulan sekali secara teratur - Hasil PJB dilaporkan ke dinas kesehatan dengan formulir JPJ-2 - Tenaga jumantik masih kurang - PSN dilakukan oleh masyarakat di lingkungannya masingmasing dengan cara 3M Plus - Dana untuk PSN tidak ada - PSN diukur dari ABJ - Kesadaran masyarakat untuk PSN masih kurang - - - - - - - - penderita DBD dalam satu daerah atau wilayah itu ditemukan 1 atau lebih penderita, dan 3 atau lebih tersangka DBD. FF dilakukan dengan radius 200 meter,2 siklus dengan interval satu minggu Dana kegiatan FF dari BOK dan APBD Hasil kegiatan FF dilaporkan ke Dinas kesehatan dengan formulir K-DBD Sulit memperoleh solar Kegiatan PJB dilaksanakan 3 bulan sekali secara teratur Kegiatan PJB dilaksanakan oleh puskesmas nanti hasilnya dikirim ke dinas kesehatan dalam bentuk formulir JPJ-2 PJB ini dilakukan untuk mengetahaui hasil pelaksanaan PSN DBD oleh masyarakat setempat. PSN dilakukan oleh masyarakat masingmasing wilayah dengan 3M plus Dana untuk PSN tidak ada karena yang melakukan kegiatan itu masing-masing masyarakat Kesadaran masyarakat masih kurang DBD 1 atau lebih dan 3 atau lebih tersangka DBD - Pelaksanaan FF dilakukan oleh puskesmas - FF dengan radius 200 meter,2 interval dalam satu minggu - Hasil FF dilaporkan ke Dinas Kesehatan kota dengan formulir KDBD - Dana Kegiatan FF dari APBD dan BOK. - Sulit memperoleh solar - PJB dilakukan 3 bulan sekali secara teratur - Hasil PJB kita catat dalam formulir JPJ-2 nanti dilaporkan ke dinas kesehatan kota - Pelaksanaan PJB kerja sama dengan masyarakat, RT dan RW - Tenaga untuk jumantik kurang - PSN dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan petugas puskesmas yang menggerakkan dan RT RW - PSN dilakukan dengan 3M Plus - Dana untuk PSN tidak ada - Kesadaran masyarakat untuk kegiatan PSN masih kurang dan tersangka DBD lainnya dan menentukan perlu tidaknya pelaksanaan FF. Pelaksanaan PE di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi dilaksanakan ketika ada laporan dari masyarakat, puskesmas dan rumah sakit bahwa ada penderita yang terkena DBD, kemudian Penyelidikan Epidemiologi (PE) Sesuai dengan tujuan PE yaitu untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulanggan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat tinggal penderita, mengetahui adanya penderita 17 dinas kesehatan bekerjasama dengan puskesmas untuk melakukan kegiatan PE, hasil kegiatan PE tersebut dilaporkan kembali ke dinas kesehatan agar dapat ditentukan jenis tindakan apa yang akan dilakukan. Dalam pelaksanaan kegiatan PE ada beberapa faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan tersebut, faktor-faktor tersebut antara lain: kesehatan dengan menggunakan formulir JPJ-2 sebagai bahan laporan. Berdasarkan prosedur pelaksanaan kegiatan FF, penyemprotan atau pengasapan dilakukan di rumah penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya dengan radius 200 meter, dilakukan sebanyak 2 siklus dengan interval 1 minggu, sedangkan pelaksanaan kegiatan FF di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi, penyemprotan atau pengasapan dilakukan dalam 1 siklus dengan radius 100 meter. Hal ini disebabkan kesulitan memperoleh bahan bakar (solar) yang digunakan untuk melakukan penyemprotan atau pengasapan, faktor penghamabat lain adalah kekurangan alat fogging atau ULV. Sedangkan faktor yang mendukungnya yaitu tersedianya dana yang direalisasi oleh APBD dan BOK. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pencampaian proses pelaksanaan kegiatan FF yang sudah dilaksanakan dinas kesehatan kota Bekasi belum memenuhi kriteria pencampaian program P2DBD, hal ini disebabkan oleh proses pelaksanaan yang belum sesuai dengan prosedur dan masih kekurangan sarana. 1. Faktor penghambat a) Laporan dari RS terlamabat b) Laporan dari masyarakat lambat c) Masih ada masyarakat yang tidak bersedia rumahnya untuk diperiksa d) Alamat penderita DBD yang diberikan RS ke dinas kesehatan tidak sesuai e) Ada masyarakat yang terkena DBD tidak melapor ke tenaga kesehatan 2. Faktor pendukung a) Tersedianya dana untuk kegiatan PE b) Tersedianya alat atau sarana dan c) Tersediannya tenaga untuk kegiatan PE Hasil dan pembahasan Berdasarkan hasil wawancara diatas proses kegiatan PE sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan kegiatan PE. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara antara peneliti dengan informan kunci 1, informan kunci 2 dan informan kunci 3 Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Pelaksanaan kegiatan PSN bertujuan untuk memberantas sarang nyamuk, proses pelaksanaan kegiatan PSN dilakukaan dengan cara 3M plus yaitu menguras, menutup, dan mengubur serta menggunakan kelambu atau anti nyamuk. Kegiatan tersebut dilakukan setiap hari jum’at oleh masing-masing warga.Faktor yang menghambat pelaksanaan kegiatan PSN adalah kesadaran dari masyarakat untuk mengantisipasi penyebaran DBD masih kurang. Sedangkan faktor pendukung untuk pelaksanaan kegiatan PSN antara lain sudah dilakukan penyuluhan dan sosialisasi dari dinas kesehatan serta puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses Fogging Fokus (FF) Setelah dilakukan kegiatan PE dan ternyata di wilayah tersebut ditemukan 1 atau lebih penderita DBD kemudian dari hasil PE ditemukan tiga atau lebih tersangka DBD maka perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan FF. Kegiatan FF ini bertujuan untuk membunuh nyamuk dewasa dan sebagai tindaklanjut dari kegiatan PE. Proses pelaksanaan FF di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi dilaksanakan dengan melakukan penyemprotan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Hasil pelaksanaan kegiatan FF dilaporkan oleh puskesmas setempat ke dinas 18 pelaksanaan kegiatan PSN di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi belum terlaksana dengan baik. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) Proses pelaksanaan kegiatan PJB bertujuan untuk melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD dan memotivasi masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD, PJB dilakukan selama 3 bulan sekali yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan, puskesmas dan masyarakat. Pelaksanaan PJB bisa juga dilakukan pada saat kegaiatan PSN. Hasil kegiatan PJB dan PSN dilaporkan ke dinas kesehatan dalam bentuk formulir JPJ-2. Beberapa faktor yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan PJB antara lain ada beberapa masyarakat yang tidak bersedia diperiksa rumahnya, kurangnya tenaga jumantik serta ada beberapa rumah yang kosong pada saat pelaksanaan kegiatan PJB kosong. Kemudian faktor yang mendukung untuk pelaksanaan kegiatan PJB adalah tersedia dana dari ABPD dan BOK serta koordinasi dinas kesehatan dengan puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan PSN sudah berjalan dengan baik. Berdasarkan uraian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan PJB sudah berjalan dengan baik karena sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan program, walaupun ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan. Gambar 1 Hasil Observasi terhadap Lingkungan Warga (Saluran Air) Gambar 2 Hasil Observasi terhadap Lingkungan Warga (Saluran Air) Hasil Observasi Hasil observasi dilaksanakan untuk mengetahui pelaksanaan program P2DBD yang sedang berjalan dengan mengamati secara langsung dengan mencatat gejala-gejala yang ditemukan di lapangan serta menjaring data yang tidak terjangkau. Observasi dilakukan di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi yaitu di Jalan Sakura Perum Duta Kranji Kec. Bekasi Barat RT/RW 03/09. Gambar 3 Hasil Observasi terhadap Lingkungan Warga (Tempat Sampah) Dari gambar di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kesadaran masyarakat yang ada di wilayah tersebut masih kurang. 19 PJB dan hasil penilaian kegiatan PSN hal ini sesuai dengan hasil wawancara antara penulis dengan informan kunci 1, informan kunci 2 dan informan kunci 3. Berikut matriks beserta hasil wawancara dengan informan kunci: Output Hasil Wawancara dengan Informan Kunci Hasil penilaian output masing-masing terdiri dari hasil penilaian kegiatan PE, hasil penilaian kegiatan FF, hasil penilaian kegiatan Tabel 3 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan Kunci 3 tentang Komponen Output Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Informan Kunci Komponen OUTPUT Informan 1 Informan 2 Informan 3 Hasil PE - Hasil PE dari tahun - Kegiatan PE di wilayah - Dari tahun 20112011-2013 belum kerja Dinkes Bekasi 2013 hasil PE belum mencapai target belum mencapai target mencapai target - Target yang harus nasional dicapai adalah 100 % yaitu setiap ada kasus dilakukan PE Hasil FF - Hasil kegiatan FF - FF dialakukan dengan - Hasil kegiatan FF hampir 100 % baik tahun 2011-2013 - Target FF yang harus - Hasil FF hampir adalah 99,71 % dicapai 100% mencapai target hampir mencapai - Hasil FF dari tahun target 2011-2013 adalah 99,71 - Target yang harus % dicapai 100% Hasil PJB - Rata-rata hasil PJB - Hasil PJB masih - Hasil PJB rata-rata 94,25% dibawah angka target adalah 94,25% - Target yang harus - Target rata-rata hasil dicapai adalah 95% PJB tahun 2011-2013 - Hasil PJB belum 94,25% mencapai target Hasil PSN - Hasil PSN dilihat dari - Hasil PSN dilihat dari - Hasil PSN dilihat ABJ ABJ dari ABJ - Hasil ABJ rata-rata dari - Hasil ABJ rata-rata dari - Hasil ABJ rata-rata tahun 2011-2013 adalah tahun 2011-2013 adalah dari tahun 201194,25 94,25 2013 adalah 94,25 - Hasil PSN belum - Hasil PSN belum - Hasil PSN belum mencapai target mencapai target mencapai target - Sementara target yang - Sementara target yang - Sementara target harus dicapai adalah harus dicapai adalah yang harus dicapai 95% 95% adalah 95% dari komponen output yang meliputi kriteria Berdasarkan matriks hasil wawancara di atas pelaksananaan kegiatan PE dengan rata-rata evaluasi pencampaian program P2DBD dari 64,67% , FF 99,3%, PJB 95,3 dan PSN 95,3%. tahun 2011-2013 di wilayah kerja dinas Sesuai dengan indikator pencapaian kesehatan kota Bekasi rata-rata sudah program P2DBD yang telah ditentukan oleh dikatakan baik, hal ini berdasarkan hasil dinas kesehatan kota Bekasi pencampaian hasil pencampaian kriteria pelaksanaan kegiatan pelaksanaan kegiatan program P2DBD yang 20 meliputi PE, FF, PJB dan PSN sudah memenuhi indikator kriteria efektitas, sedangkan berdasarkan indikator kriteria efektivitas program yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau indikator nasional ada beberapa kriteria yang masih kurang seperti pelaksanaan kegiatan PE dan FF. Hasil Wawancara Pendukung dengan Informan Hasil dari wawancara dengan informan pendukung mengenai program kerja yang dilakukan oleh dinas dalam menangani kasus DBD di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi sebagai berikut: Tabel 5 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Pendukung 1, Informan Pendukung 2, Informan pendukung 3 dan Informan Pendukung 4 di Wilayah Dinas Kesehatan Kota Bekasi Komponen Informan Pendukung OUTPUT Informan 4 Informan 5 Informan 6 Informan 7 Pelaksanaan - Program - Begitu ada - Program tidak - Ada penderita Program dan sudah kejadian langsung berjalan - Ada tindakan pemberantasan dilaksanakan diberikan tindakan - Kegiatan dari puskesmas DBD - Tidak ada dari pihak fogging ada tapi tapi lambat dana dari puskesmas dana nya dari prosesnya dinas - Pelaksanaan dana swadaya - Ada kegiatan kesehatan, kegiatan program - Kegiatan PJB Fogging dan hanya ada P2DBD yang Tidak berjalan dana dari dana dana dari sudah terlihat - Kegiatan PSN swadaya swadaya adalah FF,PSN aktif - Kegiatan PSN berjalan lancar. berjalan lancar Berdasarkan matriks hasil wawancara di atas mengenai pelaksanaan program kerja yang sudah dilaksanakan oleh dinas kesehatan kota Bekasi. Program yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan secara garis besar sudah dilaksanakan dengan baik begitu juga dengan puskesmas setempat yang dibantu warga. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga setempat ada beberapa program yang belum dilaksanakan oleh dinas program tersebut adalah PJB dan PE. Pelaksanaan program yang meliputi kegiatan PE dan PJB, PE dilaksanakan apabila ditemukan kasus DBD dilingkungan setempat, sedangkan PJB dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan sekali sehingga memungkinkan ketidatahuan masyarakat mengenai pelaksanaan program yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan kota Bekasi. Hasil Program P2DBD Program yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Bekasi dalam rangka memberantas penyakit DBD adalah PE, FF, PJB, dan PSN. Hasil Kegiatan PE PE adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD ditempat tinggal penderita dan rumah/ bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurang nya 100 meter. Tujuan pelaksanaan PE adalah untuk mengetahui potensi penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah tempat tinggal penderita. Kegiatan PE di Dinas Kesehatan Kota Bekasi dilaksanakan oleh petugas kesling disetiap puskesmas. Sumber dana untuk pelasksanaan PE berasal 21 dari APBD Provinsi Jawa Barat, APBD kota Bekasi dan BOK. Pelaksanaan PE dilakukan setelah diterima laporan adanya penderita dari rumah sakit melalui keluarga pasien atau laporan dari Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang kemudian diteruskan ke Puskesmas setempat dimana penderita tinggal. Kegiatan PE dilakukan pada lingkungan di sekitar tempat tinggal penderita dengan radius 100 meter atau sekitar 29 rumah. Petugas melakukan wawancara pada keluarga untuk mengetahui ada tidaknya penderita DBD lainnya atau penderita yang mengalami demam namun penyebabnya belum jelas, maka petugas PE melakukan pemeriksaan pada kulit dengan cara melakukan uji Tourniquet terhadap penderita tersebut. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) di tempat-tempat lainnya baik di dalam maupun di luar rumah. Hasil yang diperoleh kemudian dicatat dalam formulir PE, lalu formulir tersebut ditanda tangani oleh kepala puskesmas dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk dilakukan penanggulangan seperlunya. PE dilaksanakan dan dilaporkan dalam wakru 1x24 jam setelah laporan So diterima oleh Puskesmas. Hasil kegiatan PE yang telah dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Bekasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 8 Rata-Rata Hasil Kegiatan PE Per Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2011-2013 Tahun Jumlah Kasus Target PE Realisasi % 2011 2012 2013 697 856 1.415 697 856 1.415 628 1.055 81 51 62 81 64,67% Rata-rata Sumber: Dinkes Kota Bekasi dan ditemukan tiga atau lebih penderita panas tanpa sebab yang jelas. Fogging dilaksanakan pada rumah penderita dan rumah sekitarnya dengan radius ± 100 m (satu RT 40 RUMAH) yang dilaksanakan satu siklus hal ini meningingat keterbatasan dana yang ada. Pencampuran insektisida dengan pelarut sebesar 5% 1 liter malathion dicampur dengan 20 liter solar. Hasil Kegiatan FF Setelah dilakukan PE maka dilakukan FF, kegiatan ini dilakukan untuk mencegah /membatasi penularan penyakit DBD disekitar rumah penderita, tempat-tempat umum yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan. FF dilakukan apabila dari hasil PE disekitar rumah penderita terdapat jentik Aedes aegypti Tabel 9 Rata-Rata Hasil Kegiatan FF di Kota Bekasi Tahun 2011-2013 Tahun 2011 2012 2013 Jumlah Kasus 697 856 1.415 Target FF Kasus DBD Positif Kasus DBD Positif Kasus DBD Positif Rata-rata Sumber : Dinkes Kota Bekasi Keterangan FF : Fogging Fokus Dari tabel diatas dapat dilihat cakupan tertinggi pada tahun 2012 dan 2013 yaitu Realisasi 691 856 1.415 % 99,13 100 100 99,71 sebesar 100% dan cakupan terendah pada tahun 2011 sebesar 99,13%. 22 jentik tersebut diinformasikan kepada kepala wilayah / daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakan masyarakat dalam PSN DBD. Hasil kegiatan PJB di Kota Bekasi tahun 2011-2013 pada tabel berikut: Hasil Kegiatan PJB PJB dilaksanakan setiap tiga bulan sekali yang dilakukan di rumah dan di tempattempat umum. PJB ini dilakukan oleh kader jumantik dimana kader jumantik tersebut sebanyak 100 rumah sampel untuk setiap desa/kelurahan. Hasil dari pemeriksaan bebas Tabel 10 Rata-Rata Hasil Kegiatan PJB di Kota Bekasi Tahun 2011-2013 Jumlah Target ABJ % Rata-rata Tahun Kecamatan ABJ % ABJ % Tri I Tri II Tri III Tri IV 2011 12 95% 95 95 96 96 95,5 % 2012 12 95% 94 95 94 95 94,5 % 2013 12 95% 93 93 93 92 92,75 % Rata-rata ABJ 94 94,33 94,33 94,33 94, 25% Sumber: Dinkes Kota Bekasi, Keterangan PJB: Pemeriksaan Jentik Berkala, ABJ :Angka Bebas Jentik Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata angka bebas jentik selama tahun 2011-2013 sebesar 94,25% dimana angka bebas jentik ini masih dibawah angka standar nasional yaitu > 95%. mencapai 100% karena hampir semua kasus DBD dilakukan PE. Hasil kegiatan fogging fokus angkanya mengalami penurunan yaitu pada tahun 2013 sebesar 100%, tahun 2012 sebesar 99%, dan tahun 201 sebesar 99%, Hasil kegiatan Pemeriksaan jentik berkala cakupannya sebesar 95,3% dimana angka rata-rata tersebut sudah memenuhi angka nasional . Untuk dapat mengetahui tingkat efektifitas kegiatan program P2DBD lebih jelasnya dilihat pada tabel dibawah ini: Rekapitulasi Hasil Kegiatan P2DBD Hasil kegiatan program pemberantasan penyakit DBD (P2DBD) yang dilaksanakan di Kota Bekasi sebagian besar mengalami fluktasi dari tahun ke tahunnya. Hanya kegiatan Penyelidikan Epidemiologi yang hampir Tabel 11 Rata-Rata Hasil Kegiatan Program P2DBD di kota Bekasi tahun 2011-2013 Tahun Program P2DBD Rata-Rata (%) 2011 2012 2013 Penyelidikan Epidemiologi (PE) 51 62 81 64,67% Fogging Focus (FF) 100 99 99 99,3% Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) 96 95 95 95,3 % Sumber : Dinkes Kota Bekasi kriteria yang dievaluasi yaitu IR dan CFR. Berikut matriks hasil wawancara penulis dengan informan kunci: Outcome Komponen outcome bertujuan untuk mengetahui dampak program kerja yang sudah dilakukan, pada komponen outcome ada 23 Tabel 12 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan Kunci 3 tentang Komponen Outcome Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Komponen Informan Kunci OUTCOME Informan 1 Informan 2 Informan 3 IR - Angka kesakitan melebihi - Angka kesakitan - Angka kesakitan angka target nasional melebihi angka target melebihi angka target - Ada peningkatan pada nasional nasional tahun 2013 yaitu - Ada peningkatan pada - Ada peningkatan pada 58/100.000 penduduk tahun 2013 yaitu tahun 2013 yaitu - Target nasional < 58/100.000 penduduk 58/100.000 penduduk 20/100.000 penduduk - Target nasional < - Target nasional < 20/100.000 penduduk 20/100.000 pdk CFR - Angka kematian dari - Angka kematian dari - Angka kematian dari tahun 2011-2012 tertinggi tahun 2011-2012 tahun 2011-2012 tahun 2012 yaitu 2,0% tertinggi tahun 2012 tertinggi tahun 2012 - Tahun 2013 angka yaitu 2,0% yaitu 2,0% kematian 1,2%. - Tahun 2013 angka - Tahun 2013 angka - Target nasional 1 atau > kematian 1,2%. kematian 1,2%. 1% - Target nasional 1 atau > - Target nasional 1 atau 1% > 1% Berdasarkan matrik hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa program kerja dinas kesehatan kota Bekasi untuk menangani kasus DBD sudah dilakukan berdasarkan prosedur yang berlaku tetapi setelah dilakukan evaluasi atau penilaian kasus DBD meningkat dan angka kematian karena kasus DBD melebihi target nasional. Target yang ditetapkan nasional untuk CFR adalah < 1%, dan IR 20/ 100.000 penduduk sedangkan kasus yang terjadi di wilayah kerja dinas kota Bekasi melebihi sntandar nasional. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih kurang. Tabel 13 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan Kunci 1, Informan Kunci 2 dan Informan Kunci 3 tentang Komponen Outcome Program P2DBD di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi Komponen Informan Pendukung OUTPUT Informan 4 Informan 5 Informan 6 Informan 7 Dampak dari - Kurang berhasil - Belum terasa - Belum ada - Masih kurang pelaksanaan - Penderita DBD - Kegiatan sudah dampak positif - Penyemprotan program masih ada dilaksanakan - Program belum sudah dilakukan P2DBD berjalan dengan - PJB belum baik berjalan. DBD, kesulitan memperoleh bahan bakar Berdasarkan matrik hasil wawancara di atas (solar), kurangnya alat fogging atau ULV,dan menunjukkan bahwa dampak pelaksanaan kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi program P2DBD masih kurang berhasil. penyebaran DBD masih kurang. Hambatan Hambatan dalam pelaksanaan program P2DBD antara lain keterlambatan rumah sakit dan masyarakat dalam melaporkan kasus 24 1. Bagi Dinas a. Kepada pemegang program hendaknya meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan vektor intensif seperti PE, FF, PJB dan PSN serta lebih meningkatkan cakupan kegiatan program P2DBD serta evaluasinya. b. Melaksanakan Kegiatan PJB dan PSN melalui program UKS c. Melibatkan dan bekerjasama dengan organisasi atau lembaga yang ada di masyarakat seperti Posyandu, PKK, LKMD, dan organisasi pemuda dalam PSN dan gerakan kebersihan (Gerakan Jum’at bersih). d. Kerjasama lintas program dalam hal PSN melalui program Pekan Sanitasi, Program Klinik Sanitasi diPuskesmas dan Program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat. e. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang penanggulangan penyakit DBD melalui media cetak dan media eletronik. 3. Bagi Masyarakat a. Menjalin kerjasama yang baik dengan para tenaga kesehatan b. Menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan. c. Bergotong royong membersihkan lingkungan (±1 minggu sekali). 4. Bagi Puskesmas dan Rumah Sakit a. Berperan aktif dalam pencegahan penularan penyakit DBD di masyarakat b. Melakukan pengawasan berkala terhadap penularan DBD agar tidak tersebar luas. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Komponen input Program P2DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang berupa sarana, tenaga, dan biaya sudah mencapai kriteria 2. Komponen Proses berupa kegiatan PE sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan kegiatan PE, tingkat pencampaian proses pelaksanaan kegiatan FF yang sudah dilaksanakan dinas kesehatan kota Bekasi belum memenuhi kriteria pencampaian program P2DBD, pelaksanaan kegiatan PSN di wilayah kerja dinas kesehatan kota Bekasi belum terlaksana dengan baik, pelaksanaan kegiatan PJB sudah berjalan dengan baik, kesadaran masyarakat yang ada di wilayah tersebut masih kurang. 3. Komponen Output berupa pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan program P2DBD yang meliputi PE, FF, PJB dan PSN sudah memenuhi indikator kriteria efektifitas, dan berdasarkan indikator kriteria efektivitas program yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau indikator nasional ada beberapa kriteria yang masih kurang seperti pelaksanaan kegiatan PE dan FF 4. Komponen Outcome Dampak dari hasil kegiatan program pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi belum memberikan kontribusi penurunan Angka kejadian kasus DBD setiap tahunnya. 5. Hambatan dalam pelaksanaan program P2DBD antara lain keterlambatan rumah sakit dan masyarakat dalam melaporkan kasus DBD, kesulitan memperoleh bahan bakar (solar), kurangnya alat fogging atau ULV,dan kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi penyebaran DBD masih kurang. Daftar Pustaka Ahmad Saebani, Beni. (2008). Metode penelitian. Pustaka Setia. Arikunto, S., Safruddin, C. (2004). Evaluasi program pendidikan: pedoman teoretis Saran Berdasarkan hasil kesimpulan dari hasil penelitian di atas, dapat dilampirkan beberapa saran sebagai berikut: 25 praktis bagi praktisi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Dinkes. (2012). Profil kesehatan. Bekasi: Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Ditjen P3L.(2005). Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Hasan dan Ayubi. (2007). Hubungan perilaku pemberantasan sarang nyamuk dan kejadian demam berdarah dengue di kota Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2: 90. Moleong, Lexy. (2011). Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sintorini. (2007). Pengaruh iklim terhadap kasus DBD. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2: 12. Soegijanto, Soegeng. (2006). Demam berdarah dengue. Surabaya: Airlangga University Press 26 Hubungan Pengetahuan dan Lingkungan Dengan Perilaku Pencegahan Chikungunya pada Masyarakat Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi Herlina1, Siti Rukayah1 Knowledge and Environmental Relations With Chikungunya Prevention Behavior In Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi Abstrak Chikungunya merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus chikungunya. Gejala utamanya adalah demam mendadak, nyeri persendian terutama disendi lutut, jari kaki dan tangan serta tulang belakang. Salah satu pencegahan dari penyakit ini adalah dengan melakukan perilaku pencegahan dengan cara pelaksanaan PSN, melakukan 3M plus, dan pemeriksaan jentik berkala oleh petugas kesehatan. Pada tahun 2012 dan 2013 terdapat kejadian chikungunya di Kelurahan Kranji dengan jumlah penderita 263 kasus tanpa kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan lingkungan dengan perilaku pencegahan chikungunya pada masyarakat RW 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain survey deskritif korelasi. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 97 responden. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan chikungunya (OR=0,172, P=0,04), lingkungan dengan perilaku pencegahan chikungunya (OR=0.822, P=0,018). Data di chi-square dengan taraf signifikan 95% (0,05). Disarankan untuk meningkatkan kegiatan pencegahan dengan melakukan 3M Plus, tindakan PSN, penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait peningkatan perilaku pencegahan demam chikungunya. Kata Kunci: pengetahuan, lingkungan, chikungunya, perilaku, pencegahan. Abstract Chikungunya is a contagious disease caused by the chikungunya virus. The main symptoms are sudden fever, joint pain mainly pinned knees, toes and fingers, and spine. One of these is the prevention of disease by conducting preventive behaviour by means of the implementation of PSN, 3M Plus, and periodic larvae examination by the health officers. In 2012 and 2013 there were chikungunya outbreak in KranjiVillage with 263 cases and no deaths. This study aims to determine the relationship of knowledge and environment with chikungunya prevention behavior in community at RW01 Kranji Village Bekasi in 2014. This study used an observational analytic cross sectional method. Total of 97 respondents were used in this study. The results showed no significant relationship between knowledge of the behavior of chikungunya prevention (OR = 0.172, P = 0.04), with the environmental behaviour of chikungunya prevention (OR = 0822, P = 0.018). Data on the chi-square test with significance level 95% (0.05). It is recommended to increase prevention activities by implementing 3M Plus, PSN and counselling to improve public knowledge related to precautionary behaviour on Chikungunya disease. Keywords: knowledge, environment, chikungunya, behaviour, prevention. 1 Dosen pada STIKes Persada Husada Indonesia 27 penyakit demam berdarah dengue karena vektor pembawa virus ini ditularkan oleh nyamuk yang sama yaitu Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit chikungunya (Depkes RI, 2008) dan kedekatan lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan tempat tinggal manusia merupakan faktor resiko yang signifikan terjadinya chikungunya (WHO, 2008). Oleh karena itu tak ada cara lain untuk mencegah demam chikungunya kecuali mencegah gigitan nyamuk serta memberantas tempat perindukan nyamuk dengan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur barang bekas yang bisa menampung air) atau menaburkan bubuk abate pada penampungan air sebagaimana mencegah demam berdarah (RSPI, 2007). Hasil laporan penderita chikungunya dari Puskesmas Kelurahan Kranji Kota Bekasi bulan Januari s.d Febuari 2012 sebanyak 107 kasus, dan pada bulan April s.d Juni 2013 sebanyak 156 kasus. Di Kelurahan Kranji kasus chikungunya paling tinggi ditemukan di Rw 01. Chikungunya terjangkit di wilayah Kelurahan Kranji karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan sehingga mengakibatkan perkembangbiakan nyamuk yang membawa sumber penyakit, serta masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka. Pendahuluan Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk padat seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini dilaporkan menyerang di Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya, dan Uganda. Negara selanjutnya yang terserang adalah Thailand pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri Lanka dan India pada tahun 1964. Pada tahun 1973 chikungunya dilaporkan menyerang di Philipina dan Indonesia. Lokasi penyebaran penyakit ini tidak berbeda jauh dengan DBD karena vektor utamanya sama yaitu Aedes aegypty. Di daerah endemis DBD sangat mungkin juga terjadi endemis chikungunya. Biasanya, demam chikungunya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu 20052006, telah dilaporkan terjadi 200 kasus tanpa kematian yang dihubungkan dengan chikungunya di pulau Reunion dan KLB yang tersebar luas di India, terutama di Tamil dan Kerala. Ribuan kasus terdeteksi di daerahdaerah di India dan di negara-negara yang bertetangga dengan Sri Langka, setelah hujan lebat dan banjir pada bulan Agustus 2006 (Widoyono, 2008). KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, Aceh (2000), tahun 2001 di Jawa Barat (Bogor, Bekasi, Depok), yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa). Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian. (Kemenkes, 2012. p.4). Penyebaran penyakit chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain survey deskritif korelasi. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah cross sectional studi. Populasi pada penelitian ini adalah warga Rw 01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi, dengan jumlah sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 97 orang. Analisis data secara univariat, bivariat dengan Uji Chi-Square 28 Hasil distribusi responden berdasarkan jenis kelamin laki - laki lebih banyak melakukan tindakan perilaku pencegahan chikungunya, dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.175 (> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil analisis hubungan umur dengan perilaku pencegahan chikungunya, diketahui umur 35-45 menjawab benar sebanyak 42 (97,7) orang, sedangkan umur 25-35 sebanyak 40 (100,0) orang, dan yang menjawab salah sebanyak 2 (16,6) orang pada umur 35-65. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.103 (> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil analisis hubungan pendidikan dengan perilaku pencegahan chikungunya, diketahui responden yang berpendidikan sedang sebanyak 78 orang yaitu (97,5%), sedangkan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 9 orang yaitu (100%) dan yang berpendidikan rendah sebanyak 8 orang yaitu (100%). Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diperoleh p-value = 0.805 (> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil analisis hubungan pekerjaan dengan perilaku pencegahan chikungunya, diketahui responden yang tidak bekerja jumlahnya sama dengan responden yang bekerja sebagai swasta sebanyak 38 orang dan menjawab benar yaitu (95,0%) sedangkan responden yang menjawab salah sebanyak 2 orang yaitu (5,0%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.406 (> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan chikungunya, diketahui responden yang memiliki untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel tersebut. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah; karakteristik, pengetahuan dan lingkungan, sedangkan variabel terikatnya perilaku pencegahan chikungunya. Hasil dan Pembahasan Gambaran hasil penelitian yang disajikan sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dianalisa adalah sebagai berikut : Tabel 1 Hasil Analisis Univariat Variabel Frekuensi Persentase Jenis kelamin : - Laki-laki 46 47.4 - Perempuan 51 52.6 Umur : - 15-25 tahun 7 7.2 - 25-35 tahun 40 41.2 - 35-45 tahun 43 44.3 - 55-65 tahun 7 7.2 Pendidikan - Rendah 8 8.2 - Sedang 80 82.5 - Tinggi 9 4.3 Pekerjaan : - Tidak bekerja 40 41.2 - Buruh 15 15.5 - PNS 4 4.1 38 39.2 - Swasta Pengetahuan : - Baik 87 89.7 - Kurang 10 10.3 Lingkungan : - Baik 90 92.8 - Kurang 7 7.2 Tabel 2 Hasil Analisis Bivariat Variabel Independen p-value Jenis kelamin 0.175 Umur 0.103 Pendidikan 0.805 Pekerjaan 0.406 Pengetahuan 0.597 Lingkungan 0.015 29 tingkat pengetahuan masyarakat belum tentu perilaku masyarakat akan baik. Lingkungan ventilasi rumah yang tidak menggunakan kawat kasa sebanyak 15,4%. Hal ini terbukti bahwa lingkungan berhubungan secara bermakna dengan perilaku pencegahan chikungunya. Lingkungan yang sehat dan bersih akan terhindar dari vektor perkembangbiakan penyakit termasuk chikungunya. pengetahuan baik (90,4%) menjawab benar dan (85,7%) menjawab salah, sedangkan responden yang pengetahuan kurang sebanyak (9,6%) menjawab benar dan (14,3%) menjawab salah. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.597 (> 0.05) maka tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil analisis hubungan lingkungan dengan perilaku pencegahan chikungunya, lingkungan baik (92,8%) lingkungan kurang (71,4%). Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value = 0.015 (< 0.05), hal ini terbukti bahwa lingkungan berhubungan secara bermakna dengan perilaku pencegahan chikungunya. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Siska Adriani (2012) tentang Hubungan antara faktor lingkungan dengan kejadian chikungunya; studi terhadap mahasiswa Universitas Indonesia dengan memperoleh hasil terdapat hubungan antara lingkungan dengan kejadian chikungunya dengan p=0,018 (lebih rendah dari nilai alpha=0,05). Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam terjadinya dan penyebaran penyakit Chikungunya, baik lingkungan fisik maupun biologis. Tempat perkembangbiakan utama ialah tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana didalam atau disekitar rumah atau tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak digenangan air yang langsung berhubungan dengan tanah serta terdapat disaluran air yang tidak lancar seperti selokan yang disekitar rumah, terdapat jentik di bak yang terbuka (Depkes, 2012). Saran Perlu adanya kerjasama dengan kader untuk mengintensifkan pemeriksaan jentik berkala dan menggalakkan program 3M Plus (PSN) di lingkungan sekitar dan hasilnya diinformasikan kepada masyarakat sekitar pada setiap kesempatan menitoring dan evaluasi diri. Kegiatan 3M Plus ini pun bisa dilakukan dengan partisipasi/pemberdayaan warga. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kota Bekasi beserta jajarannya atas keterlaksanaan kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga kepada Yayasan Persada Husada Indonesia dan Ketua STIKes Persada Husada Indonesia yang telah memberi kesempatan, waktu arahan/bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Terima kasih juga diberikan kepada masyarakat Rw.01 Kelurahan Kranji Kota Bekasi. Terima kasih juga kepada temanteman sejawat yang telah membantu terlaksananya penelitian sampai pada penulisan jurnal ini. Daftar Pustaka Anies. (2007). Mewaspadai penyakit lingkungan, berbagai gangguan kesehatan akibat pengaruh faktor lingkungan. Jakarta: Anggota IKPI. Kesimpulan Hasil analisis menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik (89,7%), dibandingkan dengan responden yang pengetahuan kurang (10,3%). Semakin tinggi 30 Azwar, A. (2006). Metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan masyaraka. Jakarta : Binarupa Aksara. Depkes RI. (2010). Pedoman pengendalian chikungunya di Indonesia. Jakarta: Dirjen P2PL. Dinas Kesehatan (2012). Profil dinas kesehatan kota Bekasi. Bekasi: Dinas Kesehatan. Hidayat, A. A. (2010). Metodologi penelitian kesehatan paradigma kwantitatif. Surabaya: Health Books. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Kemenkes RI. (2012). Pedoman pengendalian demam chikungunya. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Pusat Informasi Penyakit Infeksi RSPI (2007). Demam chikungunya. Jakarta: RSPI. Puskesmas Kranji (2013), Profil puskesmas kranji. Bekasi: Puskesmas Kranji. Suroso. (2005). Habitat dan perkembangan nyamuk aedes agypty. Jakarta. Widoyono. (2008). Penyakit tropis, epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Jakarta: Anggota IKPI 31 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis Rawat Jalan RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014 Eka Rahman1, Ida Wahyuni2 The Factors of Affecting Decision Speed Document Ambulatory Medical Record In RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2014 Abstrak Kecepatan pelayanan merupakan salah satu hal yang dapat menunjukan kualitas pelayanan yang baik, begitu pula dengan penyediaan dokumen rekam medis. Dokumen rekam medis dituntut selalu tersedia setiap saat. Survei yang dilakukan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya ditemukan bahwa dalam kegiatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan masih ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kecepatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi. Informan adalah empat petugas rekam medis filing rawat jalan dan seorang kepala unit rekam medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan adalah terbatasnya sumber daya manusia dibagian filing rawat jalan, kurangnya pengembangan kemampuan petugas filing rawat jalan, terbatasnya sarana dan prasarana yang sesuai di ruang filing rawat jalan, dan ketidaksesuaian prosedur yang dilaksanakan dengan SOP yang ada. Saran diharapkan dapat melakukan upaya untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut agar kecepatan pelayanan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan dapat ditingkatkan. Kata kunci: faktor, kecepatan pengambilan dokumen rekam medis. Abstract The speed of service is one thing that can shows good quality of service, as well as the provision of medical record documents. Medical record documents mandatory to be available at any time. Surveys conducted in dr. Soekardjo Hospital Kota Tasikmalaya found that the extraction of outpatient medical record documents still found some factor that affecting the speed of documents retrieval outpatient medical record. The purpose of this research is to determine the factors that affecting the speed of document retrieval in the outpatient medical record dr. Soekardjo Hospital Kota Tasikmalaya. This research is descriptive qualitative study with a phenomenological approach. Data collected through in-depth interviews and observations. Informants are four workers filing outpatient and head of medical record taken by purposive sampling techniques.The results showed that the factors that affected the retrieval of documents including outpatient medical record are: limited human resources filing outpatient section, lack of development of ambulatory ability filing officer, limited facilities and infrastructure are appropriate in the outpatient filing, and discrepancy between impmentation and SOP. It is Suggested that Hospital would make an effort sto improve these factors so that the speed of document retrieval service outpatient medical record can be improved. Keywords: factors, medical record document retrieval. 1 Staf Rekam Medis RSUD dr. Slamet Garut 2 Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 32 mereka memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien. Rekam medis berfungsi sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah Sakit. Permenkes No 269 tahun 2008 tentang dokumen rekam medis pasal 12 menjelaskan bahwa berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan sehingga pihak rumah sakit harus menyediakan tempat penyimpanan dokumen (filing). Filing adalah kegiatan penataan atau penyimpanan (storage) berkas rekam medis untuk mempermudah pengambilan kembali/retrieval (Rustiyanto dan Rahayu, 2011). Dalam penyimpanan rekam medis di ruangan filing dilakukan sistem penyimpanan dan penjajaran untuk mempermudah kinerja petugas, sehingga pelayanan lebih efektif dan efisien baik dari segi waktu, tenaga dan tempat. Penyimpanan rekam medis dibagi menjadi tiga yaitu sentralisasi, desentralisasi dan sentralisasi elektronik. Sentralisasi adalah semua berkas rekam medis pasien disimpan dalam satu berkas baik rawat jalan maupun rawat inap. Desentralisasi adalah sistem penyimpanan berkas yang dibuat terpisah antara data yang satu dengan yang lain. Beberapa Rumah Sakit di Indonesia yang menerapkan sistem desentralisasi, seperti pada pelayanan poliklinik biasanya penyimpanan dokumen rekam medis menyatu dengan tempat pendaftaran rawat jalan. Untuk penyimpanan dokumen rawat inap disimpan terpisah yaitu pada penyimpanan di unit rekam medis. Hal tersebut didasarkan agar pengolahan data rekam medis rawat inap lebih mudah dilakukan (Rustianto, 2011). Kegiatan pengambilan dokumen rekam medis sangat berkaitan dengan unit pendaftaran dan filing. Unit pendaftaran merupakan unit pelayanan penyedia data pasien mana saja yang perlu dilakukan pengambilan dokumen rekam medis, Pendahuluan Pelayanan kesehatan adalah tersedianya pelayanan yang berhasil guna dan berdaya guna yang tersebar secara merata diseluruh Indonesia. Dengan demikian terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai bagi setiap orang sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jenis pelayanan di Indonesia meliputi pelayanan primer dan sekunder. Pelayanan primer merupakan pelayanan gardu pertama dimana pelayanan kesehatan dasar dilakukan. Kegiatan ini meliputi promotif dan preventif. Pelayanan kesehatan sekunder merupakan pelayanan lanjutan meliputi kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Contoh pelayanan sekunder adalah rumah sakit. Undang- undang nomor 44 tahun 2009, menerangkan bahwa rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya. Upaya untuk meningkatkan pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit adalah dengan menyelenggarakan berbagai unit sebagai pelaksana program-program untuk tercapainya pelayanan yang berkualitas. Salah satu indikator pelayanan yang berkualitas adalah dengan tercapainya tertib administrasi yang dapat dilihat dari sistem pengelolaan rekam medis yang baik (Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, 2006). Menurut Huffman (dalam Rustianto dan Rahayu, 2011:3) mendeskripsikan tentang rekam medis adalah himpunan fakta-fakta tentang kehidupan seseorang atau riwayat penyakitnya termasuk keadaan sakit, pengobatan saat itu dan lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya 33 sedangkan filing merupakan unit lokasi penyimpanan dokumen rekam medis pasien lama yang akan di ambil sesuai permintaan unit pendaftaran. Pengambilan dokumen rekam medis dilakukan untuk menyediakan data medis bagi pasien yang berkunjung ulang ke rumah sakit. Tujuannya adalah untuk mengetahui riwayat penyakit sebelumnya agar pelayanan dan tindakan yang diberikan pada pasien sesuai dengan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Menurut Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik-Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa standar waktu penyediaan dokumen rekam medis pelayanan rawat jalan adalah ≤ 10 menit. Adapun standar waktu tersebut dihitung mulai pada saat pelayanan pendaftaran sampai dengan pasien menerima dokumen rekam medis dari unit filing. Jadi, jika dalam pelayanan penyediaan dokumen rekam medis memerlukan waktu melebihi dari standar, maka pelayanan di Rumah Sakit tersebut kurang berkualitas khususnya dalam hal pelayanan pendaftaran pasien lama. Berdasarkan hasil penelitian Septian (2013) mengenai kecepatan penyediaan dokumen rekam medis pasien lama di pelayanan rawat jalan RSUD Ciamis Tahun 2013 diketahui bahwa 53,6% dari 10 kegiatan penyediaan dokumen masuk kedalam kategori lambat yaitu melebihi waktu ideal ≤ 10 menit. Hal ini mengidentifikasikan belum diperolehnya efektifitas penyediaan dokumen yang salah satunya ditunjang oleh kegiatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan pasien lama di rumah sakit. Rumah Sakit dr. Soekardjo merupakan salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik serupa dengan RSUD Ciamis. Rata-rata kunjungan rawat jalan adalah 566 pasien setiap hari, dan sekitar 74 % merupakan pasien lama. Guna mencapai kesinambungan data medis pasien, pencatatan medis harus disatukan dengan data riwayat medis sebelumnya. Hal tersebut mengharuskan petugas untuk dapat memperoleh dokumen rekam medis lamanya untuk menunjang pelayanan. Keluhan masyarakat yang berkunjung ke rumah sakit tidak sedikit. Mayoritas dari mereka membutuhkan waktu seharian hanya untuk mendapatkan pelayanan. Salah satu faktor waktu tunggu yang lama adalah pada saat mendaftarkan diri untuk memperoleh dokumen rekam medis riwayat terdahulu. Sebagaimana kita ketahui, pengunjung rumah sakit mayoritas adalah orang dengan keluhan kesehatan yang seyogyanya mendapatkan pelayanan dan tindakan dengan segera. Segi psikologis yang terpengaruhi oleh kondisi sakitnya menyebabkan tidak sedikit dari mereka rentan terpancing emosi. Pengambilan dokumen rawat jalan merupakan bagian yang penting dalam menunjang efektifitas pelayanan rekam medis pasien rawat jalan. Terlaksananya kegiatan pengambilan dokumen yang lancar dan tepat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam rangka mengetahui lebih mendalam terkait hal tersebut, peneliti mengambil kajian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis Rawat Jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi mengungkap mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi kecepatan pengambilan dokumen rekam medis pasien rawat jalan di RS dr. Soekardjo Tahun 2014. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode wawancara mendalam (indepht interview) dan observasi. Pada penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah petugas filing rawat jalan sebanyak empat orang (Informan 1- Informan 4) dan satu kepala unit rekam medis (Informan 5). Teknik wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang bersifat 34 umum yaitu tentang pengalaman informan selama kegiatan pengambilan dokumen rekam medis. Peneliti merupakan instrumen dalam penelitian kualitatif. Peneliti kualitatif atau human instument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih partisipan atau informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,menilai kualitas data, menganalisis dan menafsirkan data serta membuat kesimpulan atas semuanya (Sugiyono, 2006). Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan bebas mendalam, buku catatan harian serta alat perekam suara maupun gambar sebagai alat bantu dalam melakukan pengumpulan data. Lofland dan Loftland (1984) dalam Moleng (2006) menjelaskan bahwa alat pengumpulan data merupakan sarana penting yang membantu peneliti untuk menghimpun data penelitian. Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis belum Sesuai Standar Pelayanan rekam medis terhadap pasien masih belum optimal salah satunya kecepatan pengambilan dokumen yang masih mengalami keterlambatan. Hal ini masih belum sesuai dengan standar pelayanan minimal yang berlaku. Berikut ungkapan informan : “Kalo pas mudahnya bisa langsung dapet 5 menit, kalo susahnya kami harus muter dulu nyarinya di tumpukan-tumpukan, nanya ke poli karna suka ada yang belum dikembalikan. Jadi ya bisa sampai 15 menitan, ya gitulah pasien banyak yang ngeluh gitu .” (Informan 1) “Biasanya yang lama itu dokumennya yang belum tersusun atau belum kembali dari poli, nyarinya lama bisa sampai 10-15 menit.” (Informan 5) Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Terbatasnya Sumber Daya Manusia di Bagian Filing Rawat Jalan Penelitian ini memberikan gambaran atau fenomena tentang faktor-faktor kecepatan pengambilan dokumen rekam medis ke poliklinik dengan empat tema utama yang telah didapatkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari partisipan. Tema-tema tersebut adalah: 1) Kecepatan pengambilan dokumen rekam medis belum sesuai standar, 2) Terbatasnya Sumber Daya Manusia dibagian filing rawat jalan, 3) Kurangnya pengembangan kemampuan petugas filing rawat jalan, 4) Terbatasnya sarana dan prasarana di ruang filing rawat jalan, 5) Ketidaksesuaian prosedur yang dilaksanakan dengan SOP yang ada. Hakikatnya, setiap Sumber Daya Manusia memiliki tugas pokok dan tanggungjawab tersendiri sesuai dengan perhitungan beban kerja berdasarkan standar operasional prosedur. Namun pada pelaksanannya kadang kala petugas melaksanakan lebih dari satu tugas pokok. Hal tersebut mengakibatkan keterlambatan pengambilan dokumen rekam medis yang disebabkan meningkatnya kunjungan rawat jalan seiring adanya Jaminan Kesehatan Nasional. Berikut ungkapan informan: “kalau menurut saya SDM di filing sekarang masih kurang karena kan sekarang program baru yah BPJS jadi semua pasien menuju ke OPD ke bagian DRM jadi euu karena banyaknya pasien sehingga sekarang-sekarang SDM nya kurang kitu jadi eu terjadi penumpukan pas waktu pengambilan berkas” (Informan 1) Untuk memperjelas hasil temuan pada resume wawancara, terdapat beberapa singkatan dan istilah diantaranya OPD adalah Out Patient Departement merupakan tempat penyimpanan dokumen rekam medis rawat jalan. Yang dimaksud dengan DRM adalah Dokumen rekam medis pasien rawat jalan. 35 “masih kurang dikarenakan di ruang filing ini memerlukan banyak SDM dikarenakan euu untuk pengambilan di filing ini banyak pasien jadi SDM yang ada masih kurang” (Informan 2) ”pengembangan petugas filing sebenarnya suka ada sih tapi tidak semuanya hanya diwakili sama satu orang ya jarang kadangkadang hanya satu tahun sekali” (Informan 4) “kalau pengembangan di petugas filing sebenarnya suka ada tapi diwakili oleh satu orang biasanya oleh petugas bagian rekam medis terus diberikan informasinya pada petugas di filing rawat jalan” (Informan 3) Selain itu banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan di filing tidak sebanding dengan jumlah petugas yang ada. Hal ini dijelaskan pula oleh Informan 3: “kalau untuk filing rawat jalan menurut sayamah kurang memadai soalnya hampir setiap orang mengerjakan banyak tugas” (Informan 3) Informasi yang dihasilkan dari pengembangan kemampuan tersebut biasanya disosialisasikan melalui rapat pertemuan petugas rekam medis setelah dilakukan pengembangan. Hal tersebut ditambahkan oleh parti Informan 5: Kekurangan Sumber Daya Manusia di bagian filing dapat mengakibatkan keterlambatan pengambilan dokumen rekam medis. Hal ini dijelaskan pula oleh Informan 4: “euu kalau hasil pengembangan biasanya disosialisasikan kepada seluruh pegawai melalui rapat pertemuan semua petugas rekam medis”(Informan 5) “Ehh SDM dibagian filing saat ini masih kurang ehh kan di OPD kan totalnya lima orang seharusnya sepuluh orang jadi dengan petugas yang lima orang itu ehh setiap pagi itu bila mana dalam pengambilan buku rawat jalan itu suka terlambat gitu” (Informan 4) Pengembangan kemampuan petugas biasanya diwakilkan oleh satu orang dengan cara bergiliran yang ditetapkan oleh Kepala rekam medis berdasarkan tingkatan pendidikan petugas. Hal tersebut ditambahkan oleh Informan 5: Filing rawat jalan RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dikelola oleh lima petugas, secara idealnya masih kurang. Hal tersebut dijelaskan oleh Informan 5 sebagai berikut: “kalau itu mah biasanya secara bergiliran dan biasanya dilakukan oleh petugas yang lulusan rekam medis”. (Informan 5) “kalau itu mah sudah bapak hitung tapi lupa lagi nyimpan datanya kalau gak salah mah masih membutuhkan petugas tiga atau empat orang soalnya lupa lagi” (Informan 5) Kegiatan pengembangan kemampuan yang diperoleh petugas terhambat dikarenakan terbatasnya SDM dan pelayanan yang tidak dapat dikesampingkan sehingga tidak adanya waktu luang untuk mengikuti pengembangan kemampuan petugas yang diselenggarkan oleh luar tetapi petugas masih dapat berlatih secara mandiri. Hal ini sesuai dengan yang diungkapan informan berikut : Kurangnya Pengembangan Kemampuan Petugas Filing di Rawat Jalan Pengembangan kemampuan bagi petugas sangat berguna untuk mengoptimalkan kemampuan petugas yang ada guna meningkatkan efektivitas kinerja petugas. Pengembangan kemampuan petugas masih jarang dilakukan. Sekalipun dilakukan tidak melibatkan petugas filing secara langsung. Berikut ungkapan informan: “untuk pengarahan ada tetapi karena euu terbentur dengan SDM dan kekurangan SDM jadi euu kurang memadai untuk pengambilan dokumen dikarenakan untuk saat ini pasien 36 “sama halnya sama barusan kurang memadai ruangannya kecil masih memakai komputer istilahnya sudah memakai computer terdahulu meja dan rak juga masih pabaliut istilah sundana mah kitu tah” (Informan 3). hampir mencapai 300 sampai 400 pasien sedangkan untuk pengambilan di filing hanya lima orang saja jadi sangat cukup berat untuk SDM saat ini” (Informan 2) “pengembangan kemampuan kayanya kurang yah kitu karena harusnya ada pelatihan gimana kemampuan petugas kalau disini jarang ada pelatihan-pelatihan mungkin pas waktu kerja saja berlatih sesuai kemampuannya” (Informan 1). “kondisinya itu mungkin saat ini fasilitas dan sarananya kurang baik karena fasilitasnya itu sudah lama jadi euu untuk saat ini belum ada penggantian gitu masih mengoftimalkan fasilitas yang ada” (Informan 4) Keadaan rak sempit juga menjadi salah satu kendala keterlambatan pengembalian dokumen rekam medis dari poliklinik. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Informan sebagai berikut: Terbatasnya Sarana dan Prasarana Yang Sesuai di Ruang Filing Rawat Jalan Sarana dan prasarana dalam proses kerja sangat menunjang agar terlaksananya pekerjaan secara efektif dan efisien khususnya dalam pelaksanaan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan. Namun kondisi sarana dan prasarana masih belum memadai. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan informan sebagai berikut: “kendalanya kan raknya sempit jadi susah dimasukan ke raknya jadi setatusnya ada yang berceceran di lantai jadi pas pengambilan susah karena tidak tersusun dengan rapih” (Informan 3) “euuu kendala dalam pengambilan itu sangat buruk kan bukunya itu ada yang disimpan dibawah ada yang diatas jadi dalam pengambilan buku itu sangat….tidak sesuai” (Informan 4) “sarana prasarana ehh masih kurang sih cuman heeh banyak yang harus di apa diperbaiki lagi karena ehh kan banyak berkas berarti banyak debu sedangkan di bagian filing itu tidak ada penetralan udara dan euu pentilasinya juga kurang sehingga kurang efektif lah” (Informan 1) Rak yang sempit dan kurang mencukupi untuk menampung dokumen, sebab utamanya karena ruang filling rekam medis rawat jalan terlampaui sempit tidak sebanding dengan jumlah kunjungan yang semakin meningkat. Hal itu diungkapkan informan berikut: “fasilitas sarana dan prasarana yang ada masih menggunakan euu peralatan yang terdahulu belum ada penggantian hanya komputer masih menggunakan komputer terdahulu jadi agak lumayan euu lambat untuk melakukan proses pencarian dokumen pelayanan rekam medis jadi diusahakan kalau bisa euu di tambah untuk itu” (Informan 2) “emang yang utama di ruang penyimpanan rawat jalan mah ruangannya yang emang sempit iya, dari raknya yang sudah berjubel dokumen, pasiennya kan setiap harinya banyak. ya...jadi kayak gini banyak yang disimpan dilantai, nggak tentu penataanya. Makanya sulit lah orang filling pas nyari dokumen itu” (Informan 5) Selain itu peralatan yang digunakan saat ini masih menggunakan peralatan yang terdahulu dan tata letaknya belum teratur. Hal ini diungkapkan oleh Informan sebagai berikut: 37 dilaksanakan seperti euu tidak adanya outguide dan dokumen harus diantarkan oleh petugas kalau disini mah cukup sama pasien kan seharusnya diantar oleh petugas” (Informan 4) Ketidaksesuaian Prosedur yang dilaksanakan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang Ada SOP merupakan acuan dalam pelaksanaan proses kerja untuk meningkatkan kepuasan pasien dalam memberikan pelayanan. Dalam kenyataannya masih ada beberapa poin dalam SOP yang tidak dilaksanakan karena disebabkan oleh beberapa hal seperti belum digunakannya outguide dalam proses pengambilan dokumen, serta tidak adanya buku peminjaman dokumen rekam medis. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Informan sebagai berikut : Kendala lainnya terjadinya duplikasi dan kesalahan penulisan nomor rekam medis yang mengakibatkan kesalahan dalam penyimpanan dokumen rekam medis. Hal ini terjadi sebagai efek belum ditegakkan sepenuhnya SOP pendaftaran pasien. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Informan sebagai berikut: “kalau kendalanya paling setelah penyimpanan atau ada nomor rekam medis yang sama atau banyak juga ehh nomornomor yang salah penulisan jadi membuat kebingungan gitu salah angka dalam satu hurup jadi salah rak juga gitu” (Informan 1) “untuk pengambilan rawat jalan untuk saat ini masih ada yang kurang ehh kurang mengikuti SOP kenapa kurang mengikuti SOP masih kurangnya sarana-sarana dan fasilitas dari rumah sakit misalnya tidak adanya tracer manual terus tidak adanya outguide juga jadi masih kurang mengikuti masih ada kekurangan dari SOP tersebut”(Informan 2) “ada aja pasti pasien dengan nomor rekam medis ganda. Pada kondisi tertentu, petugas mungkin kurang fokus, jadi prosedur pelayanan saat mendaftar ada yang terlewat. Misalnya nama pasien yang tidak sesuai kartu identitas bisa dientri beda sehingga mungkin nomor dokumen beda juga. Karna itu pastinya dokumen si pasien itu disimpan beda-beda tempat” (Informan 5) “belum kalau menurut sayah mah karena masih ada yang belum diterapkan seperti pemakaian………, tracer dan outguide” (Informan 3) “kalau SOP rumah sakit sesuai, cuma menyesuaikan gitu jadi kadang juga kan tidak sesuai euu kan setandar operasional harus ada petunjuk keluar, bon peminjaman sedangkan disini outguide juga ga ada gitu terus dalam pengambilan dan penyimpanan juga berbeda sesuai dengan SOP”.(Informan 1) Selain dari pihak rekam medis, pengambilan dokumen menjadi lama karena terlambatnya pengembalian dokumen rekam medis dari poliklinik khususnya pasien yang melakukan pemeriksaan penunjang. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Informan sebagai berikut: Dalam pendistribusian dokumen rekam medis ke poliklinik diantarkan oleh petugas rekam medis agar terjaga kerahasiaan isi data pasien. Namun di RSUD dr. Soekardjo dalam pendistribusian dokumen rekam medis ke poliklinik dibawa oleh pasien sendiri, berikut ungkapan Informan: “pengambilan DRM ehhmm diantaranya kendalanya kurangnya SDM terus tercecer berkas rekam medis dan juga ada yang belum dikembalikan dari poli jadi masih banyak kendala-kendala di pelayanan rawat jalan yang membuat kelancaran pelayanan yang optimal di rumah sakit kota tasikmalaya” (Informan 2) “euu kalau saya kira ini belum karena masih ada beberapa yang masih belum bisa 38 “pengembalian dokumen dari poli oleh petugasnya sendiri yang harusnya langsung setelah pelayanan selesai, kecuali pasien yang masih melakukan proses pelayanan penunjang. Itu kan lama, kadang ada yang nggak kelar sehari jadi dokumennya nggak langsung dikembalikan.“ (Informan 5) Tabel 1 Matriks Hasil Wawancara Tasikmalaya Tahun 2014 No Variabel Informan 1 1 Kecepatan Tingkat Pengambilan tersulit Dokumen pengambilan Rekam Medis dokumen Belum Sesuai hingga 15 Standar menit jika penyimpanan yang belum tersusun atau belum kembali dari poli 2 Terbatasnya Sumber Daya Manusia di bagian filing rawat jalan 3 Kurangnya pengembangan kemampuan petugas filing di rawat jalan jumlah kunjungan pasien semakin bertambah tidak sebanding dengan jumlah petugas pengambilan yang cenderung tetap petugas bekerja sesuai kebiasaan, penugasan mengikuti pelatihan sangat kurang Mendalam dengan Lima Informan di RSUD dr.Soekardjo Informan 2 Petugas pengambilan harus antri mengambil di lorong rak sehingga proses pengambilan lama Informan 3 dokumen rekam medis yang tercecer menghambat gerak petugas sehingga pengambilan dokumen sampai 15 menit Informan 4 Pasien dengan dokumen rekam medis ganda akan lebih sulit dicari bisa membutuhkan waktu lebih lama Informan 5 Pengambilan dokumen rekam medis yang lama biasanya antara 10-15 menit SDM petugas filing masih kurang untuk melakukan kegiatan pengambilan dokumen yang kian semakin banyak Ruangan yang sempit tidak memungkinkan adanya penambahan pegawai, meskipun sebenarnya masih kurang tenaga pegawai filing yang tersedia ada lima orang sedangkan yang dibutuhkan sepuluh orang pegawai filing masih kurang tiga atau empat orang lagi kegiatan pengembangan kemampuan pegawai filing belum berjalan karena terbentur beban pelayanan yang tinggi kesempatan pengembangan kemampuan pegawai sudah ada tapi selalu diwakilkan oleh pegawai lain yang memiliki dasar pendidikan D3 Rekam Medis pengembangan pegawai filing sangat jarang biasanya hanya satu tahun sekali itupun diwakilkan oleh salah satu pegawai kegiatan pengembangan kemampuan pegawai filing masih jarang dan hanya bisa diwakilkan oleh salah satu pegawai rekam medis dan hasilnya disosialisasikan dalam rapat 39 4 Terbatasnya sarana dan prasarana yang sesuai di ruang filing rawat jalan rak dan sarana prasarana masih kurang dan banyak yang harus diperbaiki 5 Ketidaksesuaian prosedur yang dilaksanakan dengan SOP yang ada tidak adanya Bon peminjaman dan outguide sebagaimana di SOP penyediaan sarana prasarana yang efisien masih belum memadai karena terhambat ruang penyimpanan yang sempit pengembalian dokumen dari poliklinik tidak tepat waktu bertolak belakang dengan SOP pengambilan dokumen rekam medis ruangan yang sempit dan tidak memungkinkan diadakan penambahan rak sehingga dokumen banyak disimpan dilantai penyimpanan yang tidak tertib menyebabkan kesulitan dalam pencarian sehingga banyak pasien mendapatkan dokumen baru Ruangan penyimpanan belum ideal karena tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang dokumen distribusi dokumen rekam medis belum berjalan, sejauh ini masih dibawa sendiri oleh pasien ke poliklinik pertemuan instalasi rekam medis Rak dokumen masih kurang karena ruangannya sempit ditemukan dokumen pasien ganda sebagai impact dari prosedur pendaftaran pasien tidak sesuai standar Sejalan dengan itu, hasil wawancara mendalam dengan lima informan diperoleh bahwa kegiatan pengambilan dokumen rekam medis mengalami keterlambatan sehingga tidak cepat sesuai dengan ketentuan. Hal tersebut dipengaruhi diantaranya oleh kurangnya pegawai di filing, sulitnya kegiatan pencarian dokumen karena banyak dokumen tercecer dilantai sehingga susunannya tidak beraturan dan adanya dokumen rekam medis ganda sehingga untuk mendapatkan riwayat medis pasien yang terintegrasi membutuhkan waktu yang lama yaitu pengambilan satu dokumen pasien bisa hingga 15 menit. Melihat uraian di atas dapat diketahui bahwa pelayanan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya belum sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal. Didukung dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti yang menunjukan 47% dari 15 kali pelayanan pengambilan dokumen rekam medis Pembahasan Kecepatan Pengambilan Dokumen Rekam Medis Masih belum Sesuai Satndar Menurut Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik-Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) bahwa standar waktu penyediaan dokumen rekam medis pelayanan rawat jalan adalah ≤ 10 menit. Adapun standar waktu tersebut dihitung mulai pada saat pelayanan pendaftaran sampai dengan pasien menerima dokumen rekam medis dari unit filing. Rata-rata kunjungan pasien di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya adalah 566 pasien perhari dan 74% merupakan pasien lama dan sisanya pasien baru. Kondisi tersebut membutuhkan penggunaan sumber daya waktu dan tenaga semakin banyak dalam rangka menyediakan dokumen rekam medis riwayat pasien terdahulu dan seyogyanya pelayanan tersebut dapat diterima pasien sesuai standar pelayanan. 40 rawat jalan melebihi SPM yang ada yaitu ≤ 10 menit. Sejalan dengan penelitian Septian (2013) bahwa terjadi keterlambatan penyediaan dokumen pasien lama rawat jalan di RSUD Ciamis sebesar 53,6% yang disebabkan diantaranya kurangnya petugas filing, sistem penjajaran yang tidak beraturan dan tidak adanya sarana pendukung dalam penyediaan dokumen (tracer dan buku peminjaman). manajemen, meliputi pengrekrutan, penyaringan, pelatihan, pengimbalan, dan penilaian. Perencanaan jumlah SDM harus berdasarkan perhitungan beban kerja petugas di bagian filing. Hal ini sejalan dengan teori menurut Komarudin (1996), analisa beban kerja merupakan proses untuk menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau beban kerjayang tepat dilimpahkan kepada seorang petugas. Hasil penelitian menunjukan bahwa SDM yang terdapat di bagian filing masih kurang sehingga menyebabkan terlambatnya pengambilan dokumen rekam medis. Kepala Instalasi Rekam Medis menegaskan, telah melakukan perhitungan analisis beban kerja yaitu untuk mencapai pekerjaan yang optimal di unit filling diperlukan petugas sebanyak maksimal 9 (sembilan) orang. Sedang yang sekarang tersedia 5 (lima) orang sehingga masih diperlukan petugas maksimal 4 (empat) orang. SDM dibagian filing saat ini masih kurang disebabkan meningkatnya kunjungan rawat jalan seiring pemberlakuan program jaminan kesehatan nasional, terdapat petugas yang melakukan tugas lebih diri satu tugas pokok sehingga beban kerja tidak sebanding dengan jumlah petugas yang ada. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Septian (2013) kurangnya petugas penyedia dokumen rekam medis menyebabkan dokumen yang telah ditemukan tidak langsung diserahkan ke pelayanan tetapi ditumpuk terlebih dahulu sehingga penyediaan dokumen rekam medis menjadi terhambat. Kurangnya Sumber Daya Manusia di Bagian Filing Rekam medis berfungsi sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah Sakit. Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang dokumen rekam medis pasal 12 menjelaskan bahwa berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan sehingga pihak rumah sakit harus menyediakan tempat penyimpanan dokumen (filing). Filing adalah kegiatan penataan atau penyimpanan (storage) berkas rekam medis untuk mempermudah pengambilan kembali/retrieval (Rustiyanto dan Rahayu, 2011). Dalam penyimpanan rekam medis di ruangan filing dilakukan sistem penyimpanan dan penjajaran untuk mempermudah kinerja petugas, sehingga pelayanan lebih efektif dan efisien baik dari segi waktu, tenaga dan tempat. Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan diri dalam upaya manajemen kesehatan (Kemenkes RI,2011). Adapun menurut Gary Dessler (2009), menyatakan bahwa sumber daya manusia adalah kebijakan dan praktik yang digunakan untuk menjalankan aspek orang atau sumber daya manusia dan posisi seorang Kurangnya Pengembangan Kemampuan Sumber Daya Manusia di Bagian Filing Sejauh ini kegiatan pengembangan kemampuan belum berjalan, dikarenakan 41 pelayanan di filing cukup padat sehingga kegiatan pengembangan sangat sulit. Hal itu menyebabkan peserta yang diajukan untuk mewakili kegiatan pengembangan dari petugas pengolahan data rekam medis yang berlatar belakang pendidikan rekam medis. Pengembangan kemampuan biasanya diwakilkan sama satu orang secara bergiliran dan hasil pengembangan akan di sosialisasikan kepada petugas yang lain dalam rapat petugas rekam medis. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Wijono (2000), menyatakan bahwa semua staf mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Adapun kriterianya 1) Program orientasi diselenggarakan untuk staf baru agar mengetahui pekerjaan dan tanggung jawabnya, 2) Ada mekanisme identifikasi kebutuhan dan pengembangan staf yang berkaitan dengan peningkatan prestasi, 3) Ada kesempatan bagi semua staf untuk mengetahui latihan kerja dan pendidikan berkelanjutan yang sesuai. Dalam pengertian tersebut bila rumah sakit tidak mempunyai hal itu, dapat dimintakan sumber dari luar, 4) staf professional perlu dibantu untuk menghadiri pertemuan dan program profesi. disediakan agar tercapai pelayanan yang efisien. Kegiatan pengambilan DRM yang efisien ditunjang pula dengan kondisi ruangan yang sesuai. Adapun kriterianya penyimpanan DRM menurut Wijono (2000) meliputi: 1) Unit rekam medis mempunyai lokasi sedemikian rupa sehingga pengambilan dan distribusi pengambilan lancar. 2) Ruang kerja harus memadai untuk staf agar dapat mengelola rekam medis termasuk microfilm. 3) Harus ada ruang penyimpanan dokumen baik DRM aktif dan in-aktif. Pendapat tersebut tidak sejalan dengan kondisi yang ditemukan dilapangan bahwa masih ada DRM in-aktif yang disimpan di ruangan aktif. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pengambilan dokumen rekam medis terganggu. Sejalan pula dengan pendapat Rustianto (2011) bahwa ruang penyimpanan dokumen rekam medis aktif dan in-aktif sebaiknya dipisah. Hal ini akan lebih memudahkan petugas dalam mengambil dokumen rekam medis yang masih aktif dan akan lebih mudah dalam melaksanakan pemusnahan dokumen rekam medis. Tidak dipungkiri, ketersediaan dan kondisi sarana prasaran yang telah mengalami penurunan daya guna menghambat pelayanan terhadap pasien, pihak Rekam Medis telah melakukan upaya pengajuan rak-rak baru dan perluasan ruang penyimpanan dokumen rekam medis berikut prasarana yang ada didalamnya. Namun realisasi usulan tersebut belum dapat dipastikan. Terbatasnya Sarana dan Prasarana yang Sesuai di Ruang Filing Rawat Jalan Ada beberapa kendala dalam pengambilan dokumen rekam medis diantaranya ruang penyimpanan yang sempit, kondisi fasilitas dan peralatan masih belum sesuai dengan standar yang ada seperti halnya masih kurangnya peralatan di ruang filing seperti outguide, tracer, dan buku peminjaman manualo, masih digunakannya peralatan yang sudah lama seperti komputer, meja, kursi dan rak. Namun demikian peralatan tersebut masih dapat digunakan sejalan dengan pendapat Wijono (2000), bahwa Fasilitas dan peralatan yang memiliki daya guna cukup lama harus Ketidaksesuaian Prosedur yang dilaksanakan dengan SOP yang Ada Kegiatan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya ternyata masih belum sesuai dengan SOP Nomor 025/CM/2010 tentang pengambilan dokumen rekam medis. Diantaranya tidak digunakannya outguide dalam pengambilan dan pendistribusian 42 dokumen masih dilakukan oleh pasien yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan kurangnya petugas di bagian filing sehingga aspek kerahasiaan dokumen rekam medis kurang terjaga. PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 mengatur masalah kerahasiaan suatu informasi yang menyangkut informasi medis pasien pada pasal 10: Rekam medis merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiaanya. Pasal 11 : (1) penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundangundangan; (2) pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kendala lain pada kegiatan pengambilan dokumen kaitannya dengan pelaksanaan prosedur pelayanan diantaranya pasien dengan nomor rekam medis ganda sebagai akibat prosedur pendaftaran pasien masih belum berjalan secara optimal, misalnya bagian penerimaan pasien dan prosedur penamaan pasien. Dalam SOP No. 06/CM/2010 mengenai Penerimaan Pasien Lama bahwa untuk memperlancar kegiatan pendaftaran, pasien lama hendaknya membawa kartu identitas berobat di rumah sakit tersebut guna mengetahui nomor rekam medis pasien secara cepat sehingga dokumen riwayat medis terdahulu dapat diperoleh segera. Begitu juga dengan SOP No. 07/CM/2010 mengenai penamaan pasien bahwa ketika mendaftarkan pasien petugas harus mencatat identitas pasien sesuai kartu identitas (KTP, SIM, Asuransi, dll) agar seorang pasien tetap tercatat satu nama yaitu sesuai identitas tersebut sehingga tidak terdaftar dengan nomor rekam medis berbeda. Depkes (2006) menjelaskan pada dasarnya sistem penamaan untuk memberikan identitas kepada seorang pasien serta untuk membedakan antara pasien satu dengan yang lainnya, sehingga mempermudah dalam proses pemberian pelayanan kesehatan pasien. Selain dari pihak rekam medis, pengambilan dokumen menjadi lama juga karena terlambatnya pengembalian dokumen rekam medis dari poliklinik khususnya pasien yang melakukan pemeriksaan penunjang. Dalam hal ini belum sesuai dengan petunjuk kerja pada SOP No.035/CM/2010 mengenai Pengembalian berkas rekam medis poin 4.5 bahwa setelah selesai pelayanan berkas dikembalikan oleh petugas poliklinik ke unit filling rekam medis rawat jalan dengan buku ekspedisi. Pada beberapa kasus pasien yang memerlukan pemeriksaan penunjang, dokumen pasien masih diperlukan hingga selesai pelayanan di poliklinik. Hal seperti itu terkadang tanpa melakukan pemberitahuan ke filling sehingga pengembalian dari poliklinik lebih lama. Kesimpulan Hasil penelitian ditemukan beberapa faktor pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan diantaranya: 1. Kecepatan pengambilan dokumen rekam medis belum sesuai standar minimal pelayanan yang dipengaruhi oleh kurangnya sumber daya manusia, penyimpanan dokumen yang belum tersusun dengan baik dan adanya dokumen rekam medis ganda. 2. Masih kurangnya Sumber daya manusia dibagian filing RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya disebabkan tingginya beban kerja petugas akibat meningkatnya jumlah kunjungan pasien seiring berjalannya pemberlakuan jaminan kesehatan nasional. 3. Pengembangan kemampuan petugas tidak bisa dilaksanakan secara optimal karena kurangnya sumber daya manusia dan kegiatan pelayanan yang sangat padat. 4. Sarana dan prasarana dibagian filing masih belum memadai. Kondisi peralatan yang dipergunakan masih 43 5. mengoptimalkan peralatan lama, masih belum tersediannya outguide, tracer, dan buku peminjaman manual dokumen rekam medis serta sempitnya ruangan sehingga tata letak peralatan belum teratur. Belum sesuainya prosedur yang dilaksanakan dengan Standar Operasional Kerja yang ditetapkan. Prosedur yang belum dilaksanakan adalah belum digunakannya outguide dalam pengambilan dan peminjaman dokumen rekam medis, pelaksanaan prosedur penerimaan pasien lama dan penamaan pasien belum optimal, pendistribusian masih dilakukan oleh pasien yang bersangkutan, pengembalian dokumen dari poliklinik belum tepat waktu. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hatta, G. (2008). Pedoman manajemen informasi kesehatan di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta: UI-Press. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Buku saku pusat perencanaan dan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman penyelenggara rekam medis di Indonesia.kementrian kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Komarudin. (1996). Analisis beban kerja [online]. http://www.scribd. com/doc/77438558/analisis-beban-kerja. MenKes RI. (2008). Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam medis. Jakarta: Menteri Kesehatan Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Rustiyanto, E & Rahayu, A. (2011). Manajemen filing dokumen rekam medis dan informasi kesehatan. Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Permata Indonesia. Saryono. (2013). Metodologi penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam bidang kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Septian. (2013). Gambaran kecepatan penyediaan dokumen rekam medis pasien lama di pelayanan rawat jalan rumah sakit daerah Ciamis. Tasikmalaya: Politeknik Kesehatan Tasikmalaya. Shofari, B. (2002). Modul pembelajaran pengelolaan rekam medis dan dokumentasi rekam medis. Semarang: PORMIKI Jawa Tengah. Sugiyono. (2008). Metodologi penelitian kuantitatif kualitaitf dan r & d. Bandung: Erlangga. Wijono. (2000). Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Surabaya : Airlangga University Press. Saran Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pengambilan dokumen rekam medis rawat jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya yang didasarkan pada hasil penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Melakukan penambahan Sumber Daya Manusia sesuai perhitungan beban kerja termasuk tenaga pendistribusian dokumen rekam medis. 2. Memberikan kesempatan pada petugas filing untuk mengikuti pengembangan kemampuan. 3. Memperbaiki peralatan yang sudah rusak atau tidak layak pakai. 4. Penambahan peralatan dalam kegiatan pengambilan seperti outguide, tracer, dan buku peminjaman manual. 5. Penegakkan posedur pelayanan sesuai standar yang ditetapkan. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. (2006). Pedoman penyelenggara dan prosedur rekam medis. 44 Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 Royani Chairiyah1, Rina Sari Marliaty1 Overview Maternal Characteristics With Low Birth Weight Infants (LBW) at RSUD Kota Bekasi in 2012 Abstrak Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bila berat badan bayi kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru sehingga dapat mengakibatkan pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat menggangu kelangsungan hidupnya (Prawirohardjo, 2006). Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan melihat buku status ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan umur, paritas, hamil ganda, dan usia kehamilan. Populasi dalam penelitian ini adalah 196 ibu bersalin dengan Berat Badan Lahir Rendah di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 yang dilakukan pada tanggal 11 Juli sampai dengan 12 Juli 2013 dan dilakukan teknik pengambilan dengan cara total sampling. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu gambaran karakteristik ibu bersalin dengan berat bayi lahir rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi tahun 2012. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan d RSUD Kota Bekasi tahun 2012 sejumlah 196 ibu bersalin dengan BBLR yang dibagi dalam beberapa kategori yaitu frekuensi BBLR yang tertinggi yaitu berat lahir 1500-2500 gram sebanyak 168 bayi baru lahir (85.7%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan kelompok umur ibu, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu berumur 20–35 tahun sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan paritas, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin (55.8%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan hamil ganda yaitu sebanyak 42 bayi baru lahir (21.4%), kejadian ibu bersalin dengan BBLR berdasarkan Usia Kehamilan, frekuensi yang tertinggi yaitu usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak 100 orang (51%).Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa variabel. Variabel umur, paritas, hamil ganda dan usia kehamilan memiliki kesenjangan antara teori dengan hasil penelitian, sedangkan kejadian BBLR sesuai dengan teori dan hasil penelitian. Untuk itu peneliti menyarankan agar RSUD Kota Bekasi dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu bersalin dengan BBLR sebagai rumah sakit rujukan serta dapat mengurangi angka kejadian BBLR di Jawa Barat. Kata Kunci: ibu bersalin, BBLR, umur, paritas, hamil ganda, usia kehamilan. Abstract Low birth weight (LBW) is when the baby's weight less than 2500 grams (up to 2499 grams). Babies who are born with LBW are generally unable to reduce the new environmental pressures that can lead to weakened growth and development, even interfere with their survival (Prawirohardjo, 2006). This study uses secondary data to review maternal books with LBW status, maternal age, parity, double pregnant, and gestational age. The populations in this study were 196 women giving birth to LBWatBekasi City Hospital from July 1, 2012 until July 12, 2013 and the sampling technique used by total sampling. This study is a descriptive, overview of women characteristics giving birth to low birth weight in the General Hospital of the City of Bekasi. Based on the results obtained fromBekasi City Hospital in 2012, 196 maternal LBW are divided into several categories, the highest LBW 1500-2500gram 168 newborns (85.7%), the incidence of maternal LBW mothers by age group, the highest frequency of 20-35 year-old mother, maternal 156 (79.6%), the incidence of maternal with LBW based on parity, the highest frequency with parity multiparous mothers as many as 108 women giving birth (55.8%), the incidence of maternal LBW pregnant by double as many as 42 newborns (21.4%), the incidence of birth mothers with LBW by Age Pregnancy , the highest frequency of 37-42 weeks gestational age of 100 people (51%). Base on the resultfrom several variables. Agevariable, parity, double pregnant and gestational age had a gap between theory and research, while the LBW incidence wasin accordance with theory and research. The researchers suggestedBekasi City Hospital toimprove maternal health services in LBW as a referral hospital which could reduce LBW in West Java. 1 Dosen pada Akademi Kebidanan Farama Mulya Jakarta 45 Keywords: mother maternity, LBW, age, parity, pregnant ganda, age pregnancy. Angka Kematian Bayi Baru Lahir (AKKBL) di Indonesia saat ini masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan sasaran pembangunan milenium. Hasil SDKI 20022003), jadi AKBBL di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup atau dua kali lebih besar dari target WHO sebesar 15 per 1000 kelahiran hidup. Menurut Menteri Kesehatan (2007), berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (2001), penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia diantaranya BBLR 29%, asfiksia 27%, tetanus neonatorum 10%, masalah pemberian makanan 10%, gangguan hematologik 6%, infeksi 5%, dan lain-lain 13%. Menurut Mitayami (2011) faktor penyebab BBLR adalah komplikasi obstetri, komplikasi medis, faktor ibu dan faktor janin. Faktor ibu diantaranya adalah dikarenakan penyakit, usia ibu, keadaan sosial ekonomi dan kondisi ibu saat hamil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2003) Angka Kematian Bayi (AKB) di Propinsi Jawa Barat masih tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional yaitu 321,15 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian bayi adalah komplikasi pada bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), asfiksia dan infeksi.Penyebab tidak langsung AKB adalah faktor lingkungan, perilaku, genetik dan pelayanan kesehatan sendiri (Retnasih, 2005). Berdasarkan hasil survey di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2007 yang mengalami insiden BBLR sebanyak 15,5%17% dari kelahiran hidup 95% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2007). AKB di Kabupaten Bekasi tahun 2007 adalah 41,25 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini masih di atas target dalam indikator sehat tahun 2008, yakni < 35 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi pada tahun 2007 jumlah kematian bayi di Kabupaten sebanyak 346 Pendahuluan Salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). AKB di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi, yaitu tercatat 31 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008, ini memang bukan gambaran yang indah, karena masih terbilang tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan penyebab kematian bayi terbanyak adalah disebabkan gangguan perinatal. Dari seluruh kematian perinatal sekitar 2-27% disebabkan oleh BBLR. Sementara itu, prevelensi BBLR di Indonesia saat ini diperkirakan 7-14% yaitu sekitar 459.200 - 900.000 bayi (Depkes RI, 2008). Berdasarkan perkiraaan organisasi kesehatan dunia Word Health Organization (WHO) sebesar 98% dari lima juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga kematian ibu terjadi pada periode neonatal dini. Umumnya karena Berat Badan Lahir kurang dan 2.500 gram. Menurut WHO 17% dari 25 juta persalinan pertahun adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan hampir semua terjadi di Negara berkembang (Dinkes, 2009). Berkaca dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Angka kematian ibu (AKI) yaitu 228 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB 34 per 1000 KH. (http:prov.Bkkbn. go. Id diakses tanggal 15 April 2010). Tingginya angka kejadian BBLR dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor ibu, faktor janin, lingkungan. Faktor ibu antara lain: usia, status gizi, paritas keadaan sosial ekonomi, penyakit ibu. Sebab lain: Ibu perokok, peminum alcohol dan pecandu obat narkotika. Faktor janin yaitu cacat bawaan, hidramnion, kehamilan ganda dan infeksi dalam rahim (Sitohang, 2004). 46 kasus. Jumlah ini meningkat pada tahun 2008 yaitu jumlah kematian bayi di sebanyak 385 kasus. Salah satu penyebabnya adalah kejadian BBLR sebesar 24,5% (Dinas Kesehatan Kabupaten 2008). Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat itu masih rendah.Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian BBLR agar kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat. Kejadian BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya (Elizawarda, 2003). Menurut DEPKES Jawa Barat (2005) RSUD Kota Bekasi merupakan rumah sakit terbesar kedua yang memiliki kasus kejadian BBLR di Jawa Barat. Pada tahun 2012 kasus BBLR di RSUD Kota Bekasi mencapai 196 bayi, dalam kejadian tersebut, peneliti belum mendapatkan informasi gambaran kejadian BBLR di RSUD Kota Bekasi. Sehingga peneliti tertarik ingin mengetahui “Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan BBLR Di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012”. populasi adalah seluruh ibu bersalin dengan BBLR di RSUD Kota Bekasi pada tahun 2012 sebanyak 196 bayi baru lahir. (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah total populasi atau seluruh ibu bersalin dengan BBLR di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi pada tahun 2012 sebanyak 196 ibu bersalin Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan master tabel/tabel induk dari data sekunder yang diperoleh dari register ibu di ruang kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi yang memiliki bayi dengan BBLR. Hasil dan Pembahasan Gambaran Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu rumah sakit terbesar kedua yang memiliki kasus kejadian BBLR di Jawa Barat dan memiliki fasilitas yang cukup lengkap dalam pelayanan kesehatan di bagian maternal dan neonatal yang fisiologis maupun phatologis, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. RSUD Kota Bekasi merupakan rumah sakit umum kota bekasi yang terletak di pinggiran kota metropolitan dengan beralamat di Jl. Pramuka No 55, Margajaya, Bekasi, Jawa Barat, dikelola oleh pemerintah. RSUD Kota Bekasi merupakan rumah sakit tipe A yang menerima rujukan dari rumah sakit tipe B atau C, puskesmas, dan klinik swasta yang telah memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar. Metode Jenis penelitian adalah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan studi Case Serial Kasus yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan BBLR di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi. Desain penelitian bersifat deskriptif dimana peneliti hanya menjelaskan atau mendeskripsikan setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi, pada tanggal 11 Juli 2013 memberikan surat permohonan dan langsung melakukan penelitian dengan mencatat langsung data dari rekam medic di ruang perinatologi yang dilakukan selama 2 hari yaitu pada tanggal 11 Juli-12 Juli 2013. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Sesuai dengan definisi di atas maka yang menjadi 47 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa kejadian kelahiran BBLR tertinggi yaitu pada berat bayi lahir 1500-2500 gram sebanyak 168 (85,71%) ibu bersalin. Bayi Berat Badan Lahir Rendah Tabel 1 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan BBLR di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 berat badan lahir rendah 1000-1500 gram >1500-2500 gram Umur Ibu Tabel 2 No 1 2 3 Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Umur Ibu di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 Umur Ibu Frekuensi Presentase < 20 tahun 15 7.7% 20 – 35 tahun 156 79.6% > 35 tahun 25 12.8% Jumlah 196 100% ibu banyak dialami oleh ibu berumur 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%). Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa kejadian kelahiran BBLR berdasarkan umur Paritas Tabel 3 No 1 2 3 Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Paritas Ibu di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 Paritas Frekuensi Presentase Primipara 57 29.1% Multipara 108 55.8% Grandemultipara 31 15.1% Jumlah 196 100% Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa kelahiran BBLR berdasarkan paritas adalah terbanyak dialami oleh ibu dengan paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin (55.8%). 48 Hamil Ganda Tabel 4 No 1 2 Distribusi pada Ibu yang Melahirkan BBLR berdasarkan Hamil Ganda di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 Hamil Ganda Frekuensi Presentase Ya 42 21.4% Tidak 156 78.6% Jumlah 196 100% Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kelahiran BBLR berdasarkan hamil ganda adalah 42 orang (21.4%), sedangkan yang kehamilan (78.6%). tunggal sebanyak 156 orang Usia Kehamilan Tabel 5 Distribusi pada ibu yang melahirkan BBLR berdasarkan Usia Kehamilan di RSUD Kota Bekasi Tahun 2012 No Usia kehamilan Frekuensi Presentase 1 < 37 minggu 96 49% 2 37- 42 minggu 100 51% 3 > 42 minggu 0 0% Jumlah 196 100% Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kejadian kelahiran BBLR berdasarkan kelahiran BBLR berdasarkan Usia kehamilan paling banyak yaitu usia kehamilan ≥ 37 minggu sebanyak 100 orang (51%). Pembahasan Kejadian BBLR Besar Bahasa Indonesia, 2002). Menurut Prawihardjo, 2006, dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Pada umumnya bayi dengan BBLR dari wanita yang berusia muda biasanya disertai dengan kelainan bawaan dan cacat fisik, epilepsi, retardasi mental, kebutaan dan ketulian. Bila bayi dapat bertahan hidup akan menimbulkan masalah yang besar dan mengalami pertumbuhan yang lambat. Departemen Kesehatan R.I (2000) menyebutkan bahwa umur yang baik untuk melahirkan adalah 20-35 tahun. Kurang dari 20 tahun mempunyai resiko BBLR lebih tinggi dari pada ibu yang lebih dari 35 tahun. Umur pada wanita adalah umur yang kurun waktu reproduksi sehatnya atau dikenal bahwa usia Menurut Hanifa (2009) BBLR dibedakan dalam: BBLR (berat lahir 15002500 gram), BBLSR (Berat Lahir < 1500 gram) dan BBLER (Berat Lahir < 1000 gram). Menurut prawihardjo 2006, Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bila berat badannya kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram). Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa angka kejadian BBLR dengan berat 1500-2500 gram sebesar 85.7%. Kejadian BBLR lebih sering terjadi dengan berat badan 1500-2500 gram. Dalam hal ini hasil penelitian d RSUD Kota Bekasi tidak terdapat kesenjangan antara teori dengan praktek. Umur Ibu Umur adalah lamanya waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan (Kamus 49 aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 30 tahun. Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi tahun 2012, bahwa kelahiran BBLR berdasarkan umur frekuensi yang tertinggi yaitu ibu berumur 20 –35 tahun sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%). Sehingga kejadian kelahiran BBLR berdasarkan umur ini tidak sesuai dengan teori. Disebabkan penyebab lain seperti Kehamilan ganda, hal ini sesuai dengan penelitian Handry Mulyawan, FKM UI, 2009, hasil uji statistik usia didapatkan hasil terbanyak yaitu pada usia tidak resti (20–35 tahun) yaitu sebanyak 75,9%. berdasarkan paritas ini tidak sesuai dengan teori. Ini bisa disebabkan karena KPD. Ini sesuai dengan hasil penelitian Pipit Festy, Fakultas Ilmu kesehatan UM Surabaya, hasil uji statistik paritas didapatkan hasil bahwa dari 128 responden ibu bersalin, hasil terbanyak yaitu didapatkan pada multipara sebanyak 78 orang (60.9%). Hamil Ganda Menurut Manuaba (2012), hamil ganda atau kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan kembar dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap bayi dan ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih intensif. Pertumbuhan janin kehamilan kembar bergantung pada factor plasenta apakah menjadi satu (sebagian besar hamil kembar monozigotik) atau bagaimana lokalisasi implantasi plasentanya. Dari kedua faktor tersebut, mungkin jantung salah satu janin lebih kuat dari yang lainnya, sehingga janin yang mempunyai jantung lemah mendapat nutrisi yang kurang yang menyebabkan pertumbuhan terhambat sampai kematian janin dalam rahim. Bentuk kelainan pertumbuhan tersebut secara umum ditunjukkan dengan tiap berat janin hamil kembar lebih rendah sekitar 700 sampai 1.000 gram dari hamil tunggal. Dalam pertumbuhan yang bersaing, antara kedua janin hamil kembar dapat terjadi selisih berat badan sekitar 50 sampai 150 gram. Hasil penelitian di RSUD Kota Bekasi tahun 2012, bahwa kejadian BBLR berdasarkan hamil ganda, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan kelahiran tunggal yaitu sebanyak 154 bayi baru lahir (78.6%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa kejadian kelahiran BBLR berdasarkan hamil ganda ini tidak sesuai dengan teori. Ini disebakan faktor lain seperti KPD Berdasarkan hasil penelitian Fitri.W, di RSUD Kabupaten Bekasi tahun 2008 hasil uji statistik didapatkan hasil bahwa dari 96 Paritas Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara, grandemultipara. Paritas atau jumlah kelahiran merupakan faktor penting dalam menentukan nasib ibu serta bayi yang dikandungnya selama kehamilan dan persalinan. Menurut Depkes (2004) ibu hamil yang telah memiliki anak lebih dari empat orang perlu diwaspadai, karena semakin banyak anak, rahim ibu pun semakin lemah. Angka kejadian tertinggi terjadi pada multigravida yang jarak antara kehamilannya terlalu dekat. Menurut karakteristik kesehatan ibu sebelum dan ketika hamil, kematian neonatal banyak terjadi pada kelompok umur 20-35 tahun, pada anak pertama dan pada ibu dengan paritas lebih dari empat. Banyak studi menunjukan bahwa kehamilan kedua dan ketiga adalah paling tidak menyulitkan, sedangkan komplikasi meningkat setelah anak ketiga. (Depkes, 2003) Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi tahun 2012, bahwa kelahiran BBLR berdasarkan paritas, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin (55.8%). Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut bahwa kejadian kelahiran BBLR 50 responden, hasil uji statistik didapatkan hasil terbanyak yaitu ibu dengan kelahiran tunggal sebanyak 86 orang (89,6%). dengan jumlah 196 ibu bersalin dengan berat badan lahir rendah, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik pada ibu bersalin dengan BBLR di RSUD Kota Bekasi tahun 2012, frekuensi yang termasuk ibu bersalin dengan BBLR yaitu sebanyak 196 kasus dengan frekuensi BBLR yang tertinggi yaitu berat lahir 1500-2500 gram sebanyak 168 bayi baru lahir (85.7%). 2. Kejadian BBLR berdasarkan kelompok umur ibu, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu berumur 20 –35 tahun sebanyak 156 ibu bersalin (79.6%). 3. Kejadian BBLR berdasarkan paritas, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan paritas multipara yaitu sebanyak 108 ibu bersalin (55.8%). 4. Kejadian BBLR berdasarkan hamil ganda, frekuensi yang tertinggi yaitu ibu dengan kelahiran tunggal yaitu sebanyak 154 bayi baru lahir (78.6%). 5. Kejadian BBLR berdasarkan Usia Kehamilan, frekuensi yang tertinggi yaitu usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak 100 orang (51%), Usia Kehamilan Usia kehamilan adalah taksiran usia janin yang dihitung dari hari pertama masa haid normal. (kamus besar bahasa Indonesia). Dalam hal ini, usia kehamilan dengan kelahiran BBLR dapat diartikan makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan maka makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Dengan pengelolaan yang optimal dan cara-cara kompleks serta menggunakan alat-alat yang canggih, beberapa gangguan yang berhubungan dengan prematuritasnya dapat diobati. Dengan demikian gejala sisa yang mungkin diderita dikemudian hari dapat dicegah dan dikurangi. Bayi dengan berat lahir rendah biasanya disebabkan oleh usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai usia kehamilan yang dihitung mulai hari pertama haid (HPHT) yang teratur (Sarwono, ilmu kebidanan 2008). Hasil penelitian di RSUD Kota Bekasi tahun 2012, bahwa kelahiran BBLR berdasarkan paritas frekuensi yang tertinggi yaitu usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak 100 orang (51%). Berdasarkan hasil penelitian Handry Mulyawan (2009) hasil uji statistik usia kehamilan didapatkan hasil bahwa dari 220ibu ber responden, didapatkan hasil terbanyak adalah 52,7% melahirkan cukup bulan ( ≥37 minggu-42 minggu). Berdasarkan hasil penelitian ibu bersalin dengan BBLR dari beberapa variabel. Variabel umur, paritas, hamil ganda dan usia kehamilan memiliki kesenjangan antara teori dengan hasil penelitian, sedangkan kejadian BBLR sesuai dengan teori dan hasil penelitian. Saran 1. 2. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di RSUD Kota Bekasi pada tanggal 11-12 Juli 2013 dengan mengambil data sekunder tahun 2012 3. 51 Diharapkan agar setiap pasangan usia subur dapat merencanakan usia untuk hamil karena usia kurang dari 20 tahun mempunyai resiko BBLR lebih tinggi dari pada ibu yang lebih dari 35 tahun. Diharapkan agar setiap keluarga dapat menerapkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera sebagai salah satu program pembangunan kesehatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paritas tinggi akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan baik ibu dan bayi yang dilahirkan, salah satu dampak kesehatan yang mungkin timbul paritas tinggi adalah kejadian BBLR Dari penelitian ini, diharapkan bagi hamil dengan hamil ganda dapat meningkatkan 4. asupan nutrisi karena pertumbuhan janin dalam rahim apabila tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup dapat terjadi pertumbahan janin terlambat sehingga pada saat bayi lahir dapat terjadi BBLR. Diharapkan pada ibu hamil untuk memperhatikan HPHT karena untuk tafsiran berat janin sesuai usia kehamilan yang dihitung mulai hari pertama haid (HPHT) yang teratur. Azikin, Gunandar. Gambaran kejadian BBLR di RSUD Lapatarai baru periode Januari 2009-Maret 2010 (A-0043), di unggah tanggal 16 september 2013. Denise, Tiran. (2006). Kamus saku bidan. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metode penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka. Manuaba, Gde, Ida Bagus. (2012). Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan KB untuk pendidikan bidan. Jakarta: EGC. Saifuddin, Barri, Abdul. (2002). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifuddin, Barri, Abdul. (2009). Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus besar bahasa Indonesia ed.3 cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka. Daftar Pustaka A. Azis, Alimul Hidayat. (2011). Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data. Surabaya: Salemba Medika. Anik Maryunani, Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan dalam kebidanan. Jakarta: Trans Info Media. Ai Yeyeh Rukiyah, Lia Yulianti. (2010). Asuhan neonatus bayi dan anak balita. Jakarta: Trans Info Media. 52 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Anak Usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 Yati Budiarti1, Sri Gustini1, Siti Saadah1, Endang Astiriyani1 Relationships of Parents Parenting Pattern with Child Development age 4-6 At Al-Faridah Kindergarten Sindangkasih Sub District Ciamis District Year 2014 Abstrak Kualitas anak merupakan penentu sumber daya manusia di masa yang akan datang. Oleh karenanya harus dimulai dengan pembinaan anak dimasa sekarang untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Kunci kesuksesan seorang anak menjadi individu yang mandiri sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah pola asuh orang tua. Oleh sebab itu maka orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4 – 6 tahun Di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Penelitian ini mengggunakan metode analitik dan pendekatan cross sectional. Populasinya seluruh siswa TK Al-Faridah usia 4 – 6 tahun beserta orang tuanya yang berjumlah 46 orang. Pengambilan sampel dengan teknik sampling jenuh. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar orang tua menggunakan pola asuh authoritative (58,7 %). Perkembangan anak yang sesuai ( 30,4%), penyimpangan dan meragukan (34,8%). Nilai p value yang diperoleh 0,022 maka terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Kata kunci: pola asuh orang tua, perkembangan anak usia 4 – 6 tahun Abstract Quality of child is determinant of human resources in the future. Therefore children coaching need to begin in the early age to prepare for qualified human resources. Key to the success of a child to become independent are affected by several factors, one of which is the parent parenting pattern. Therefore it is the parents who play a role innurturing, guiding and helping direct the child to become independent. The purpose of this study is to determine the relationship of parenting parents pattern with child development ages 4-6 years AlFaridah Kindergarten. Traditional survey research methods were used with analytic cross-sectional approach. The population of entire kindergarten students at Al-Faridah ages 4-6years and their parents with the total 46 respondents. Sampling technique used saturated sampling technique. The results showed the majority of parents use authoritative parenting (58,7%), appropriate child development (30,4%), deviation and doubt (34,8%). P value obtained was 0,022 showed there area relationship between parenting parents with child development. Research result summarized a significant relationship exists between parenting parents pattern with child developmentages 4-6years at kindergarten Al-Faridah. Keywords: patterns of parenting, child development ages4-6 years 1 Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 53 pihak lainnya karena pengaruh suasana interaksi keluarga (Rahayu, 2009). Penelitian Diana Baumrind dalam Rekawati (2010) menunjukan dari pengasuhan orang tua yang menunjukan perhatian dan cinta pada anak, bersikap respek pada anak dan mendorong anak untuk terbuka, maka akan membentuk anak yang memiliki rasa percaya diri dan mampu mengendalikan diri. Hal ini diperlukan untuk membentuk kemandirian mereka. Kunci kesuksesan seorang anak menjadi individu yang mandiri sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pola asuh orang tua. Oleh sebab itu orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Pada usia 4-6 tahun inisiatif anak mulai berkembang dan anak ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai hal – hal disekitarnya. Anak mulai berfantasi dan mempelajari model keluarga atau bermain peran. anak mulai bermain bersama dengan tujuan yang telah ditetapkan yang salah satunya untuk mengembangkan koordinasi motorik, sosialisasi dan kemampuan untuk mengendalikan emosi (Nursalam, 2005). Data yang diperoleh dari divisi tumbuh kembang anak di tujuh Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, menunjukan terdapat 5 kelainan terbanyak, yaitu: keterlambatan bicara, keterlambatan motorik, down syndrome, cerebral palsy dan Global Development Delay (GDD). Di samping itu, terdapat gangguan kesulitan belajar, Gangguan Pemusatan Perhatian dan hiperaktif (GPPH) termasuk autis (Kemenkes, 2010). Penelitian di 110 wilayah puskesmas di Pulau Jawa, 13% balita berpotensi mengalami keterlambatan perkembangan. Penelitian di daerah kumuh perkotaan di Bandung, memberikan hasil 28,5% balita mengalami keterlambatan perkembangan (Fadlyana,dkk, 2003). Pendahuluan Pembangunan Kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya, melakukan pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kegiatan kesehatan ibu dan anak, sejak masih dalam kandungan hingga usia balita ditujukan untuk melindungi anak dari ancaman kematian dan kesakitan yang dapat membawa cacat. Kualitas anak merupakan penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) dimasa yang akan datang, oleh karenanya harus dimulai dengan pembinaan anak di masa sekarang untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas dimasa yang akan datang agar anak bisa tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya (Arief S, 2010). Aspek tumbuh kembang pada anak adalah salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh pakar, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan dan perkembangannya (Nursalam,dkk, 2008). Perkembangan anak juga perlu dipantau sehingga apabila terdapat sesuatu hal yang sekiranya meragukan atau terdapat keterlambatan dalam perkembangannya, anak dapat segera mendapatkan pelayanan kesehatan dan diberikan solusi pencegahannya (Riyadi, 2009). Tingkah laku orang tua sebagai pemimpin kelompok dalam keluarga sangat mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan dapat merangsang perkembangan pada pribadi anak. Orang tua yang otoriter, yang terlalu melindungi anak dan yang terlalu menunjukan sikap menolak akan menyebabkan pengaruh yang berdampak pada perilaku sosial selanjutnya sehingga anak menjadi terhambat dalam merefleksikan hubungan sosial dengan 54 Jumlah balita di Kabupaten Ciamis sampai Desember 2012 yaitu terdiri dari usia 0–1 tahun berjumlah 24.629 balita, usia 1-3 tahun dengan jumlah 46.199 balita dan usia 3-5 tahun dengan jumlah 41.185 balita. Namun belum ada data yang jelas tentang data tumbuh kembang balita karena program pendataan tumbuh kembang balita baru akan dilakukan pada tahun 2014 ini (Dinkes Kab.Ciamis). Jumlah siswa TK Al Faridah tahun 2014 berjumlah 48 orang terdiri dari 6 orang berumur 4 tahun, 15 orang berumur 5 tahun dan 27 orang berumur 6 tahun. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sepintas tentang pola asuh orang tua dengan cara wawancara dapat disimpulkan 5 dari 6 orang ibu yang diwawancara biasa menerapkan pola asuh authoritative atau otoriter kepada anaknya dan 1 orang ibu menerapkan pola asuh authotarian atau demokratis. Semua ibu mengatakan bahwa anak mereka sudah bisa mandiri dalam melakukan aspek dalam personal sosial seperti memakai baju, menggosok gigi dan mengambil makan sendiri, namun terkadang anak masih perlu bantuan walaupun secara keseluruhan mereka sudah bisa melakukan nya sendiri. Berdasarkan pernyataan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pemikiran dalam rangka pemantapan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kebidanan dan kebijakan institusi, terutama yang berhubungan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak balita, memberikan sumbangan informasi berupa pola asuh orang tua terhadap perkembangan anak, sehingga dapat dijadikan acuan dalam menentukan sistem pembelajaran yang dapat menunjang. Perkembangan, memberikan informasi kepada orang tua tentang pentingnya pola asuh yang harus diberikan kepada anak dalam mengembangkan perkembangannya. Metode Rancangan Penelitian yang digunakan adalah survei analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis untuk mengetahui adanya korelasi antara faktor resiko dengan faktor efek. Faktor risiko dalam peneltian ini adalah pola asuh orang tua, sedangkan faktor efek adalah perkembangan anak usia 4–6 tahun. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan “crossectional” yaitu dimana suatu penelitian untuk mempelajari korelasi antara faktor–faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014. Penelitian ini dilaksanakan di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Taman kanak–kanak di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis usia 4–6 tahun beserta orang tuanya yang berjumlah 48 orang. Teknik dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total sampel yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 orang. Akan tetapi karena terdapat 2 orang siswa dan orangtua yang tidak datang dan mengundurkan 55 diri saat penelitian maka sampel dalam penelitian ini menjadi 46 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua dan variabel terikatnya adalah perkembangan anak usia 4-6 tahun. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang sudah baku yaitu: Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : Editing, Cooding, Processin, dan Cleaning. Analisadata dilakukan secara univariat dan bivariat. (58,7 %), sedangkan pola permisif digabung dengan authotarian berturut turut adalah sebanyak 1 orang ( 2,2 %) dan 18 orang (39,1%). Gambaran Perkembangan anak Distribusi frekuensi responden berdasarkan perkembangan anak dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Tabel 2 Distribusi Frekuensi Perkembangan Anak Usia 4–6 Tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 Perkembangan No F Presentase Anak 1 Sesuai 14 30,4 2 Meragukan 16 34,8 3 Penyimpangan 16 34,8 Jumlah 46 100% Hasil dan Pembahasan Hasil Analisis Univariat Pola Asuh Orang Tua Distribusi frekuensi responden tentang pola asuh orang tua dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis Pola asuh Orang Tua di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun 2014 Jenis Pola Presentase No F Asuh (%) 1 Authoritative 27 58,7 2 Permisif 1 2,2 3 Authotarian 18 39,1 Jumlah 46 100 % Berdasarkan tabel 2, kategori perkembangan sesuai sebanyak 14 orang (30,4%), sedangkan perkembangan dengan penyimpangan dan meragukan sebanyak 16 orang (34,8%). Analisis Bivariat Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia 4–6 Tahun Di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Dari hasil penelitian mengenai pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasi Kabupaten Ciamis dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan tabel 1, frekuensi terbesar yaitu pola asuh authoritative sebanyak 27 orang Tabel 3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia 4–6 Tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten CiamisTahun 2014 Perkembangan Anak No 1 Pola Asuh Orang Tua Authotarian+ Penyimpangan Meragukan Sesuai Total F % F % F % F % 11 57,9 4 21,1 4 21,1 19 100 56 Value 0,022 Permisif 2 Authoritative Jumlah 5 18,5 12 44,4 10 37 27 100 16 34,8 16 34,8 14 30,4 46 100 Dari 19 orang yang mendapat pola asuh authotarian+permisif dengan 11 (57%) anak yang perkembangannya terjadi penyimpangan, 4 (21%) anak meragukan dan 4 (21%) anak sesuai. 27 orang yang mendapat pola asuh authoritative dengan 5 (19%) anak perkembangannya terjadi penyimpangan, 12 (44%) anak meragukan dan 10 (37%) anak perkembangannya sesuai. Berdasarkan hasil analisis didapat nilai hitung < α, nilai p value = 0,022 α = 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. atau pola asuh demokratis, dimana orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak, orang tua mendorong anak untuk menjadi mandiri, tetapi tetap memberikan batasan serta mengontrol perilaku anak. Jadi orang tua tidak secara sepihak memutuskan berdasarkan keinginannya sendiri. Sebaliknya orang tua juga tidak begitu saja menyerah pada keinginan anak. Ada negosiasi antara orang tua dengan anak, sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama. Pola asuh authoritative yaitu pola asuh dimana orangtua memiliki batasan dan harapan yang jelas terhadap tingkah laku anak, mereka berusaha untuk menyediakan paduan dengan menggunakan alasan dan aturan dengan reward dan punishment yang berhubungan dengan tingkah laku anak secara jelas. Orangtua sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur yang otoritas, tetapi mereka juga tanggap terhadap kebutuhan dan kemampuan anak. Pola asuh ini dapat menjadikan sebuah keluarga hangat, penuh penerimaan, mau saling mendengar, peka terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan di dalam keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 27 orang tua dengan pola asuh authoritative memiliki kecenderungan perkembangan anak yang sesuai (37%) Anak dengan pola asuh authoritative berkompeten secara sosial, enerjik, bersahabat, ceria, memiliki keingintahuan yang besar, Pembahasan Pola Asuh Orang Tua di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Berdasarkan hasil penelitian terhadap variabel pola asuh orang tua didapatkan data sebanyak 27 orang (58,7 %) dengan pola asuh authoritative, sedangkan pola permisif digabung dengan authotarian berturut turut adalah sebanyak 1 orang ( 2,2 %) dan 18 orang (39,1%).Menurut Casmini dalam Septiari (2012) Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma–norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Soekirman dalam Septiari (2012) pola pengasuhan adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap dan perilaku dalam hal kedekatanya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga, masyarakat dan lain sebagainya. Pola asuh yang banyak diberikan orang tua di TK Al Faridah sebagian besar adalah dengan menggunakan pola asuh authoritative 57 dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi serta memiliki prestasi yang tinggi. Menurut David dalam Shochib (2000), keluarga dengan pola asuh demokratis dapat dijumpai pada keluarga seimbang yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Orangtua bertanggung jawab dan dapat dipercaya, serta sebagai coordinator dan bersikap proaktif. Melalui teladan dan dorongan orang tua pula setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama. Setiap tipe pola asuh mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga tidak semua orang tua nyaman menerapkan pola asuh yang dianggap baik oleh orang lain, karena setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda-beda dalam mengasuh anaknya. Menurut Dewi (2008), anak yang di asuh secara demokratis cenderung aktif, berinisiatif, tidak takut gagal karena anak diberi kesempatan untuk berdiskusi dalam pengambilan keputusan di keluarga. Orang tua memberikan pengawasan terhadap anak dan control yang kuat serta dorongan yang positif. Namun tidak menutup kemungkinan akan berkembang pada sifat membangkang dan tidak mampu menyesuaikan diri. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian di dapatkan 1 orang siswa dengan pola asuh permisif. Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang serba bebas dan membolehkan segala sesuatunya tanpa menuntut anak. Menurut Lutvita (2008), anak yang di asuh secara permisif mempunyai kecenderungan kurang berorientasi pada prestasi, egois, suka memaksakan keinginannya, kemandirian yang rendah serta kurang bertanggung jawab. Anak juga akan berperilaku agresif dan anti sosial, karena sejak awal tidak diajarkan untuk mematuhi peraturan social, tidak pernah di beri hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua. Hasil penelitian terdapat 39,1% dengan pola asuh Authotarian. Authotarian menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak orang tua kepada anak. Anak harus menurut kepada orang tua. Keinginan orang tua harus dituruti, anak tidak boleh mengeluarkan pendapat. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tajam, kurang tujuan, curiga kepada orang lain dan mudahstres. Menurut Adek (2008), pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menantang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri. Sikap orang tua yang keras akan menghambat inisiatif anak. Dewi (2008) menjelaskan bahwa di sisi lain anak yang di asuh dengan pola asuh otoriter cenderung memiliki kompetensi dan tanggung jawab seperti orang dewasa. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Anjani (2006), dimana 15,6% orang tua menerapkan pola asuh otoriter, 18,8% menerapkan pola asuh permisif dan 65,6% orang tua menerapkan pola asuh demokratis kepada anaknya. Menurut Adek (2008), pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menantang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri. Sikap orangtua yang keras akan menghambat inisiatif anak. Kemampuan sosialisasi yang dimiliki anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama oleh keluarga, yaitu peran dan keterlibatan orangtua yang tercermin didalam pelaksanaan pola asuh. Menurut Ekowati (1995), bila anak mendapat stimulasi, penerimaan, dan kehangatan dari ayah, ibu dan nenek atau kakek akan berpengaruh positif bagi perkembangan sosial anak, jika 58 lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk dan mengembangkan sikap sosial yang baik, kemungkinan besar akan menjadi pribadi yang sosial yang akan mempengaruhi anak dalam kemampuan sosialisasi baik dalam keluarga maupun di luar keluarga (masyarakat). Dengan meningkatnya usia anak ke tahap sekolah dasar maka peraturan tidak sepenuhnya ditetapkan oleh orang tua, melainkan dibicarakan bersama anak. Pemantauan atau kontrol tetap diperlukan sekalipun tidak dalam jarak dekat seperti sebelumnya, misalnya orang tua selalu memantau dengan siapa anak bermain, apa saja kegiatan yang dia lakukan bersama temantemannya di luar rumah. permainan sederhana dan dapat mengenali anggota keluarganya. Pada perkembangan bahasa juga anak sudah mampu menyebutkan bermacam macam warna, menyebutkan kegunaan benda, menggunakan bunyi untuk mengidentifikasi objek. Pada anak yang perkembangannya meragukan dan terjadi penyimpangan sebagian besar dikarenakan anak belum bisa mengancingkan bajunya sendiri, anak ketika ditinggalkan orangtua masih rewel dan menangis, belum bisa menangkap bola kecil, belum bisa mempertahankan diri ketika berdiri dengan satu kaki dalam waktu 11 detik atau lebih serta belum bisa menjawab bahwa sendok, sepatu dan pintu bahannya terbuat dari apa. Hal ini masih bisa di stimulasi dan dilatih supaya perkembangannya sesuai. Menurut Depkes RI dalam Marimbi, perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi dari alat tubuh. Perkembangan lebih menitik beratkan aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ atau individu, termasuk perubahan aspek sosial atau emosional akibat pengaruh lingkungan. Menurut Nursalam (2008) Agar faktor lingkungan memberikan pengaruh yang positif bagi tumbuh kembang anak, maka diperlukan pemenuhan atas kebutuhan dasar, yaitu asuh, asih, dan asah. Asuh berhubungan dengan jasmani dan rohani, asih berhubungan dengan kasih sayang yang diberikan orang tua baik berupa rasa aman, harga diri, dukungan ataupun kemandirian. Asah berhubungan dengan stimulasi atau perangsangan dari lingkungan luar anak, yang berupa latihan atau bermain. Menurut teori Syaodih tahun 2013 perkembangan ditunjukkan dengan perubahan yang bersifat sistematis, progresif dan berkesinambungan. a. Perubahan bersifat sistematis Perubahan dalam perkembangan yang ditunjukkan dengan adanya saling mempengaruhi anatara aspek-aspek fisik dan psikis. Perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Berdasarkan hasil penelitian pada variabel perkembangan anak didapatkan data sebanyak 14 orang (30,4%) dengan kategori perkembangan sesuai, sedangkan perkembangan dengan penyimpangan dan meragukan sebanyak 16 orang (34,8%). Anak usia 4-6 tahun di TK Al Faridah memilikiperkembangan yang berbeda beda. Ada yang sesuai dengan tahapan perkembangannya, ada pula yang meragukan dan terjadi penyimpangan. Hal ini berdasarkan pada penilaian dengan menggunakan KPSP. Anak dengan perkembangan yang sesuai dapat dilihat dari perkembangan motorik kasar seperti dapat berdiri dengan kaki selama 1–5 detik, melompat dengan satu kaki, membuat posisi merangkak dan dapat dilihat dari perkembangan motorik halus dimana sebagian besar anak sudah memiliki kemampuan seperti menggambar 2 atau tiga bagian, memilih garis yang lebih panjang, menggunakan tangannya untuk bermain, dapat minum sendiri. Pada anak yang perkembangannya sesuai, dapat pula dilihat dari perkembangan adaptasi sosialnya misalnya bermain dengan 59 b. Perubahan bersifat progresif Perkembangan yang ditunjukkan dengan adanya perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan mendalam baik secara kualitatif maupun kuantitatif. c. Perubahan bersifat berkesinambungan Berkesinambungan ditunjukkan dengan adanya perubahan yang berlangsung secara berurutan, tidak bersifat meloncatloncat atau karena unsur kebetulan. Para psikolog mengemukakan bahwa terdapat tiga tipe temperamen anak, yaitu : a. Anak yang mudah di atur, mudah beradaptasi dengan pengalaman baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya. b. Anak yang sulit diatur seperti sering menolak rutinitas sehari-hari, sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah saat tidur. c. Anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya terlihat agak malas dan pasif, jarang berpartisipasi secara aktif dan seringkali menunggu semua hal diserahkan kepadanya. Karakteristik perkembangan usia 4-6 tahun dibagi menjadi : (Rahman Ulfiani, 2009) a. Perkembangan fisik motorik Usia 4 tahun, anak tetap melakukan gerakan yang sama, tetapi sudah berani mengambil risiko seperti jika si anak dapat naik tangga dengan satu kaki lalu dapat turun dengan cara yang sama dan memperhatikan waktu pada setiap langkah. Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak-anak telah semakin meningkat dan menjadi lebih tepat seperti bermain balok, kadang sulit menyusun balok sampai tinggi sebab khawatir tidak akan sempurna susunannya. Pada usia 5 tahun, si anak lebih percaya diri dengan mencoba untuk berlomba dengan teman sebayanya atau orang tuanya. Pada usia 5 tahun, mereka sudah memiliki koordinasi mata yang bagus dengan memadukan tangan, lengan, dan anggota tubuh lainnya untuk bergerak. Hal ini tidak terlepas dari ciri anak yang selali bergerak dan selalu ingin bermain sebab dunia mereka adalah dunia bermain dan merupakan proses belajar. Mulai sejak si anak membuka mata di waktu pagi sampai menutup mata kembali di waktu malam, semua kegiatannya dilalui dengan bergerak, baik bolak balik, berjingkrak, berlari maupun melompat. b. Perkembangan kognitif. Usia 4-6 tahun, jika dilihat dari perkembangan kognitif termasuk tahap pra operasional, yakni usia di mana penguasaan sempurna akan objek permanen dimiliki. Artinya, si anak memiliki kesadaran akan eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada. Mengembangkan peniruan yang tertunda seperti ketika melihat perilaku orang lain saat orang merespon barang, orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi pada masa lalu. Disamping itu juga anak mulai mampu memahami sebuah keadaan yang mengandung masalah, setelah berpikir sesaat, lalu menemukan reaksi yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak. Akan tetapi, si anak belum bisa memahami jika terjadi perbedaan pandangan dengan orang lain. c. Perkembangan sosio emotional. Pada usia 4-6 tahun, muncul pemahaman perbedaan antara kepercayaan dan keinginan seorang anak yakni persahabatan yang didasarkan pada aktivitas bersama. Ketika anak berusia 610 tahun, persahabatan yang terbangun lebih pada kesamaan fisik dan ada kepercayaan secara timbal balik. 60 d. Perkembangan Bahasa Pada usia 2,5-5 tahun, pengucapan kata meningkat. Bahasa anak mirip orang dewasa. Anak mulai memproduksi ujaran yang lebih panjang, kadang secara gramatik, kadang tidak. Pada usia 6 tahun keatas, anak mengucapkan kata seperti orang dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya anak berbicara, antara lain : 1) Intelegensi, 2) Jenis disiplin, 3) Besarnya keluarga, 4) Status social ekonomi, 5) Status ras, 6) Berbahasa dua 7) Penggolongan peran seks. Melihat data hasil penelitian terlihat jelas bahwa jika anak dengan pola asuh authotarian atau otoriter maka sebagian besar perkembangan anak terjadi penyimpangan, akan tetapi jika pola asuh authorithative maka dapat ditekan perkembangan yang menyimpang dan meragukan. Hal ini dapat dilihat dari data hasil penelitian bahwa anak dengan pola asuh authoritative sebanyak 37% perkembangannya sesuai jika dibandingkan bahwa anak dengan pola asuh authotarian hanya 21,1 % dengan perkembangan sesuai. Hal ini Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Baumrind dalam Suseno (2010) Dampak gaya pengasuhan orang tua akan berbeda terhadap kemandirian anak. Orang tua yang demokratis (authoritative), anak diharapkan dapat mengembangkan kemandiriannya dengan baik. Pola pengasuhan demokratis sangat mendukung perkembangan kemandirian (healthy autonomy) pada anak, sedangkan dua gaya pengasuhan lainnya yaitu pola pengasuhan otoriter (authotarian) dan permisif bersifat negatif terhadap kemandirian anak. Menurut Soetjiningsih (2002) dalam Nursalam, pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak yang satu dengan anak yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama, faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya yaitu faktor dalam (internal) termasuk di dalamnya adalah genetika dan pengaruh hormon dan faktor lingkungan yang terbagi menjadi lingkungan pranatal, kelahiran dan pasca natal. Menurut Septiari (2012) anggota keluarga merupakan orang yang paling berarti dalam kehidupan anak selama anak tumbuh dan berkembang dimana peran keluarga akan membentuk kepribadian anak nantinya. Pengaruh keluarga jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengaruh lainnya bahkan di sekolah pun. Pola asuh orang tua juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Sebagian besar pendidikan orangtua siswa di TK Al Faridah Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak usia 4–6 tahun di TK Al-Faridah Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data dari 19 orang yang mendapat pola asuh authotarian+permisif dengan 11 anak yang perkembangannya terjadi penyimpangan, 4 anak meragukan dan 4 anak sesuai. 27 orang yang mendapat pola asuh authoritative dengan 5 anak perkembangannya terjadi penyimpangan, 12 anak meragukan dan 10 anak perkembangannya sesuai. Berdasarkan hasil analisis didapat nilai hitung < α, nilai p value = 0,022 α = 0,05, sehingga disimpulkan terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4-6 tahun di TK Al-Faridah kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Di TK Al Faridah ini pola asuh yang banyak dipakai orang tua untuk mendidik anaknya yaitu dengan pola asuh authoritative atau demokratis dimana orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan. 61 adalah SD dan SMP. Menurut Soetjiningsih (1998), dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi , maka dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan yang baik, sedangkan Sekartini (1998) menjelaskan bahwa status pendidikan ibu sangat menentukan kualitas pengasuhan. Shalahuddin (1990) juga menjelaskan bahwa jenjang pendidikan juga mempengaruhi pola pikir, sehingga di mungkinkan mempunyai pola pikir yang terbuka untuk menerima informasi baru serta mampu untuk mempelajari hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anaknya. Hal ini sesuai dengan penelitian Prasetya (2004) yang meyatakan bahwa orangtua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orangtua yang pendidikannya terbatas, sedangkan menurut Supartini (2004) rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. Semakin dewasa usia seseorang maka mereka akan lebih bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan. Hal ini disebabkan karena semakin dewasa usia seseorang, maka pengalaman hidup yang di peroleh akan semakin banyak. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi, usia yang semakin dewasa, maupun informasi yang semakin memadai dapat dijadikan sebagai pedoman bagi orangtua untuk menerapkan suatu pola asuh yang di anggap paling baik untuk diterapkan pada anaknya yaitu pola asuh yang demokratis. Menurut Syamsu Yusuf (2007), factorfaktor yang mempengaruhi perkembangan social personal anak pra sekolah antara lain factor keluarga dan kematangan anak. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Begitu juga dengan usia, semakin meningkat usia seseorang, maka kematangannya juga semakin meningkat. Faktor yang paling utama dalam mempengaruhi perkembangan social personal anak adalah keluarga. Ketika orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk banyak bergaul dengan teman sebayanya maka mereka akan lebih mandiri, dan mempunyai perkembangan social yang lebih baik. Thoha (2006), menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua tidak hanya pendidikan dan usia orang tua saja, tetapi juga usia anak dan kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert. Orangtua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung pada usia anak. Orang tua akan lebih memberikan kelonggaran pada anak usia pra sekolah daripada usia sekolah. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun di TK Al Faridah Kabupaten Ciamis didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagian besar orang tua (58,7 %) menerapkan pola asuh authoritatif. 2. Perkembangan anak yang sesuai dengan tahapan perkembangannya sebanyak 30,4% dan perkembangan anak yang meragukan dan terjadi penyimpangan sebanyak 34,8% 3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia 4–6 tahun dengan nilai p value 0,022. Saran 1. 62 Bagi Tempat Penelitian Tenaga pendidik diharapkan dapat lebih aktif dalam memantau peserta didiknya dan pemantauan tersebut tidak hanya di fokuskan pada pemantauan intelegensi saja tetapi juga perkembangan sosial peserta didiknya. 2. Bagi tenaga kesehatan Disarankan tenaga kesehatan dapat berperan aktif dalam menilai perkembangan anak. 3. Bagi orang tua Disarankan agar sering menstimulasi perkembangan anaknya supaya dapat diminimalisir perkembangan anak yang meragukan dan apalagi terjadi penyimpangan. Diharapkan juga dapat lebih aktif mencari informasi yang berkaitan dengan kesehatan terutama yang berkaitan dengan masalah pola asuh dan tumbuh kembang anak sehingga dapat melakukan deteksi dini secara mandiri dan dapat melakukan intervensi sedini mungkin. 4. Bagi Pihak Sekolah Disarankan agar pihak sekolah dapat memfasilitasi kegiatan penyuluhan bagi orang tua tentang pola pengasuhan anak, agar tercipta keselarasan antara pola asuh di sekolah dan di rumah. Hildayani, dkk. (2006). Psikologi perkembangan anak. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional. Kemenkes RI. (2010). Stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak. Jakarta: Kemenkes RI. Marimbi, H. (2010). Tumbuh kembang, status gizi dan imunisasi dasar pada balita. Yogyakarta: Nuha Medika. Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, dkk. (2008). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta: Salemba Medika. Rahman Ulfiani. (2009). Karakteristik perkembangan anak usia dini. Jakarta: Lentera Pendidikan. Rahayu, D, S. (2009). Asuhan keperawatan anak dan neonatus. Jakarta: Salemba Medika. Rekawati, S, dkk. (2010). Hubungan pola asuh orang tua dengan kemandirian anak usia 3 – 4 tahun di pos PAUD mawar kutisari Surabaya. Surabaya: Penelitian. Riyadi & Sukarmin. (2009). Asuhan keperawatan pada anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. Septiari, B, B. (2012). Mencetak balita cerdas dan pola asuh orang tua. Yogyakarta: Nuha Medika. Soetjiningsih. (2007). Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Tuslina, T. (2012). Perkembangan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia, tersedia dalam: http://edukasi.kompasiana.com/perkembang an-pendidikan-anak-berkebutuhan-khususdi-indonesia-463559.html, diakses tanggal 7 Januari 2015. Daftar Pustaka Anonim. (2006). Tersedia dalam: http://www.depkes.go.id/, diakses tanggal 7 Januari 2015. Arief S.2010. Deteksi dini tanda dan gejala penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan anak. Diakses pada tanggal 1 Juni 2012 dalam jurnal stikes Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta. Fadlyana, dkk. (2003). Pola keterlambatan perkembangan balita di daerah pedesaan dan perkotaan bandung. Sari Pediatri, IV/IV/,Hal 168 – 175. 63 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2011 Arief Tarmansyah Iman1 The Contributing Factors Of Medical Records Completeness At Inpatient Ward In RSUD of Sumedang District Year 2011 Abstrak Salah satu sumber informasi utama SIRS adalah rekam medis. Rekam Medis harus terisi dengan benar dan lengkap meliputi aspek-aspek administrasi, legal, finansial dan aspek klinis. Persentase rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2010 74,8% tidaklengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelengkapan pengisian serta faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengisianrekam medis rawat inap. Penelitian dilakukan dengan rancangan mixed methods sequential explanatory, diawali dengan penelitian kuantitatif terhadap 385 berkas rekam medis (7 lembaran umum dan 5 lembaran khusus), selanjutnya dilakukan analisis mendalam secara kualitatif terhadap 13 orang unsure manajemen dan petugas kesehatan di rawat inap. Hasil penelitian menunjukkan 58,4% rekam medis terisi tidak lengkap, yaitu lembaran umum pada Resume Keluar 23,9% (laboratorium, radiologi dan konsultasi), lembaran khusus: Laporan Operasi 30,3% (nama perawat dan operator), Identifikasi Bayi 18,2% (diagnosa, nama dan tandatangan bidan) dan Laporan Persalinan 14,9% (Nama Penolong). Faktor penyebab ketidak kelengkapan tersebut yaitu faktor input (petugas penaggung jawab, pengetahuan teknis pengisian, sikap negatif petugas, sarana prasarana, SPO dan sosialisasi) dan faktor proses (prosedur pengisian dan perbedaan perlakuan, belum optimalnya sistem monitoring dan evaluasi, sistem reward and punishment dan kerja sama tim belum terlaksana) Peningkatan pengetahuan dan kejelasan kewenangan petugas, sarana prasarana,sosialisasi peraturan dan SPO serta penerapan monitoring dan evaluasi diikuti reward and punishment yang terintegrasi dan berkesinambungan diharapkan mempunyai daya ungkit terhadap kelengkapan pengisian rekam medis. Kata Kunci: kelengkapan, rekam medis, rawat inap. Abstract One of the vital information for SIRS is medical records. Medical records must be filled correctly and completely becauseitcontain vital information that covers administrative, legal, financial and clinical aspects. At Sumedang District Hospital in 2010, 74.8% inpatient medical records werefilled partly.The aim of this study isto analyze the completeness of medical records at inpatient ward and the contributing factors. A mixed methods sequential explanatory research had been used.It started with a quantitative research for385medical records, followed by a qualitative research to describe the findings. Subjects consist of health officers from inpatient ward and hospital managers, totalling13 people. The results showed that 58,4% inpatient medical records were incomplete. This results consist of 23,9% Medical Resume, 30,3% Operation Report, 18,2% Identification of Infants and 14.9% Labor Report. The contributing factors are input factor(lack of technical knowledge, negative attitudes, inadequatefacilities, SOP, and socialization) and process factor (SOP, difference in treatment, monitoring and evaluation system not optimaland incoherent teamwork). The completeness of medical records can be improved by evaluating and monitoring the aforementioned factor. Keywords: completeness, medical record, inpatient ward. 1 Dosen pada Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 64 pencitraan (imaging) dan rekaman elektro diagnostik (Depkes RI, 2004). Rekam Medis yang terisi dengan benar dan lengkap memuat data dan informasiyang penting meliputi aspek-aspek administrasi, legal atau yang berkaitan dengan hukum, finansial dan aspek klinis.(Depkes RI, 2008) Rekam Medis harus diisi dengan lengkap oleh petugas kesehatan sesuai kewenangannya setelah pasien menerima pelayanan (WHO, 2011). Rekam medis yang terisi dengan lengkap adalah salah satu indikator kualitas pelayanan di rumah sakit dan indikator kinerja rumah sakit (Depkes RI, 2006). Dalam Permenkes Nomor 129/MENKES/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit tercantum bahwa SPM rekam medis yang lengkap dan tepat waktu adalah 100% (Depkes RI, 2008). Pada kenyataannya, kelengkapan pengisian rekam medis di rumah sakit masih memprihatinkan. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh McGain di Melbourne Western Hospital, sebanyak 83% rekam medis tidak lengkap mendokumentasikan vital sign dan clinical reviews yang dilakukan oleh dokter dan perawat pada rekam medis dengan kasus-kasus bedah mayor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herlambang (2001) menunjukkan, angka ketidaklengkapan rekam medis di RS Kanker Darmais adalah 54,18%. Demikian pula Hasani (2003) menemukan sebanyak 95,3% berkas rekam medis di RSUD Tarakan pada periode Bulan Oktober 2002 tidak lengkap dan hasil penelitian oleh Purwaningtias (2002) menunjukkan bahwa sebanyak 98,44% resume medis di Rumah Sakit Budhi Asih tidak diisi dengan lengkap. RSUD Kabupaten Sumedang adalah Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, merupakan Rumah Sakit Kelas B Non Pendidikan serta memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 256 Tempat Tidur (Purwaningtyas, 2002). RSUD Pendahuluan Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri. Adapun karakteristik rumah sakit adalah organisasi yang padat karya, padat teknologi, padat profesi dan padat konflik sehingga pengelolaan rumah sakit serta kegiatannya harus terintegrasi dalam suatu sistem informasi rumah sakit yang dapat diandalkan. Rumah sakit sebagai institusi dalam upaya kesehatan sekunder dan tersier,wajib menyelenggarakan sistem informasi kesehatan yang akan digunakan untuk kepentingan rumah sakit dan merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan pada tingkat kabupaten, provinsi serta nasional. Sesuai Permenkes Nomor 1171/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) (Depkes RI, 2008). Salah satu data dan informasi vital bagi SIRS adalahrekam medis. Dalam Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis, dinyatakan bahwa setiap institusi pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit diwajibkan untuk menyelenggarakan rekam medis. Sistem penyelenggaraan rekam medis adalah suatu sistem yang mengorganisasikan formulir, catatan, dan laporan yang dikoordinasikan sedemikian rupa untuk menyediakan dokumen yang dibutuhkan manajemen rumah sakit (Depkes RI, 2004). Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.Catatan merupakan tulisan-tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan, sedangkan dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, danatau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar 65 Kabupaten Sumedang juga merupakan rumah sakit yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebagai rumah sakit rujukan regional bagi daerah/kabupaten disekitarnya sebelum dirujuk ke rumah sakit rujukan yang lebih tinggi seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin. Sebagai gambaran pada tahun 2010, rata-rata jumlah pasien yang dirawat setiap bulannya adalah sekitar 4.975 pasien rawat inap dan 18.200 pasien rawat jalan. Fenomena tingginya ketidaklengkapan rekam medis, juga terjadi di RSUD Kabupaten Sumedang. Menurut Laporan Seksi Rekam Medis RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2010, diketahui persentase ketidaklengkapan rekam medis di RSUD Kabupaten Sumedang adalah 74,8% di rawat inap dan 67,6% di rawat jalan. Sebagai Rumah Sakit Rujukan Regional dengan volume pasien yang cukup tinggi setiap bulannya, tingginya angka ketidaklengkapan Rekam Medis di RSUD Kabupaten Sumedang ini terutama pada rekam medis rawat inap perlu mendapatkan perhatian. Berdasarkan studi pendahuluan, beberapa upaya perbaikan telah dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit seperti pelatihan rekam medis kepada petugas dan sosialisasi kelengkapan rekam medis, namun belum tampak perbaikan yang bermakna terhadap masalah ketidaklengkapan pengisian rekam medis ini yang ditandai dengan masih tingginya angka ketidaklengkapan rekam medis. Sampai dengan saat ini faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketidaklengkapan rekam medis tersebut belum diketahui. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan rekam medis, beban kerja, jenis kelamin, sikap, pengetahuan, pendidikan, jenis operasi, masa kerja, spesifikasi keahlian dokter, umur, kelas perawatan dan jenis pasien dengan kelengkapan pengisian rekam medis (Mc, Gain, 2005). Metode Analisis Kuantitatif Analisis Kualitatif OUTPUT : Kelengkapan Pengisian Rekam Medis, berdasarkan :  Lembaran umum dan khusus  Petugas  Ruangan  Jenis pembayaran Gambar 1: PROSES  Pelaksanaan Pengisian Form Rekam Medis  Monitoring dan supervisi INPUT  SDM Petugas Kesehatan: - Pengetahuan - Sikap - Beban Kerja - Masa Kerja  Material Peraturan dan dasar hukum penyelenggaraan Rekam Medis  Sarana Prasarana  Metode Kerangka Konsep Penelitian 66 rancangan 2010) Desain Penelitian Rancangan penelitian ini adalah mixed methodssequential explanatory berupa kombinasi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan urutan atau tahapan penelitian adalah menggunakan rancangan kuantitatif terlebih dahulu untuk selanjutnya hasil yang didapatkan dari analisis kuantitatif digali lebih dalam dengan pendekatan penelitian kualitatif.(Cresswell, Subjek/Objek Penelitian Subjek dalam penelitian kualitatif ini adalah petugas rekam medis, perawat / bidan dan dokter yang merupakan petugas yang langsung mengisi rekam medis rawat inap dan dari unsur manajemen yang menjadi informan adalah sebagai berikut: Tabel 1 Matrix Kode dan Jabatan Informan No. Kode 1 2. M1 M2 3. KM1 4. P1 5. 6. PM1 SP1 7. MJ1 Jabatan No. Kode 7. 8. MJ1 KP Wadir Pelayanan Medis Ketua Komite Keperawatan 9. M2 Kabid Pelayanan Medis 10. M3 Perekam Medis 11. Ketua SPI / dr. Sp. 12. Anak Wadir Pelayanan 13. Medis PO P2 Dokter Spesialis Bedah Orthopedi Perawat Anastesi Kepala Ruangan Perinatologi Bidan Ruang VK Dokter Umum Dokter Sp. penyakit Dalam Ketua komite Medik / dr. Spesialis Bedah Perawat Asosiet B1 Pada awal penelitian, jumlah sampel berjumlah 9 orang yang sebelumnya terpilih secara purposive, namun pada saat penelitian dilaksanakan jumlah subjek berkembang menjadi 13 orang, hal ini dilakukan atas dasar kepentingan penelitian yaitu wawancara terus dilakukan oleh peneliti secara snowball dan dihentikan ketika informasi mencapai titik jenuh dan informasi yang diinginkan berhasil diketahui. Objek dalam penelitian ini adalah berkas rekam medis rawat inap pasien RSUD Kabupaten Sumedang periode 1 April sampai dengan 31 Juni 2011dengan pertimbangan bahwa sampel yang diambil akan cukup memadai dan diharapkan seluruh rekam medis telah masuk bagian penyimpanan dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Jabatan Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah meliputi populasi target yaitu seluruh rekam medis rawat inap pasien RSUD Kabupaten Sumedang, sedangkan yang menjadi populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah berkas rekam medis rawat inap pasien RSUD Kabupaten Sumedang pada periode 1 April 2011 sampai dengan 31 Juni 2011 sebanyak 13.136 berkas RM. Jumlah sampel rekam medis yang dibutuhkan ditetapkan berdasarkan tingkat kekeliruan sebesar 5% dan tingkat ketepatan sebesar 95% dari populasi berkas rekam medis dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Machfoedz, 2005) dan (Kasjono, 2009). n 67 Z 2 1 -  / 2 P(1  P) d2 n 2) Data Kualitatif Pada tahap ini untuk data kualitatif, seperti diungkapkan Cresswell dilakukan melalui tahap-tahap mengorganisasikan dan mempersiapkan data, membaca seluruh data, membuat kode (Coding Process), membuat / membuat tema dengan hasil koding tersebut dan terakhir membuat intepretasi atau makna dari data (Cresswell, 2010). Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data sesuai dengan panduan Miles dan Huberman adalah : (Milles, 1994) dan (Sahid, 2011) a) Meringkaskan data b) Pembuatan catatan obyektif. c) Pembuatan catatan reflektif. d) Membuat catatan marginal. e) Penyimpanan data. f) Pembuatan memo. 2. Tahap Peragaan Data Tahap peragaan data yang meliputi reduksi informasi menjadi himpunan atau konfigurasi yang mudah dipahami yang tetap dan sederhana. Pada tahap peragaan data ini untuk data kuantitatif/numerik mengenai kelengkapan rekam medis digunakan tabel distribusi frekuensi terhadap setiap lembaran rekam medis dan kelengkapan secara umum 3. Tahap Transformasi Data Pada tahapan ini data dapat dikualifikasikan dan atau dikuantifikasikan. Pada penelitian ini data yang terkumpul, diolah lalu dilakukan peragaan data selanjutnya dikualifikasikan, dengan demikian diharapkan dapat memberikan lebih banyak makna kepada data. Untuk mencari faktorfaktor yang mempengaruhinya dilakukan analisis faktor eksploratoris yang bersumber dari hasil wawancara mendalam. 4. Integrasi Data Tahap ini merupakan simpul terakhir dalam mata rantai analisis data, dalam tahap ini semua data dihimpun dan menjadi sebuah 3,841 x 0.25 0.0025 n = 384,1 atau dibulatkan = 385 Keterangan : n = jumlah sampel p = estimasi proporsi sebesar 0,5 α = tingkat kekeliruan (5%) Z = adalah derajat kepercayaan 1- α/2=1,96 Instrumen Penelitian Data Kuantitatif Alat atau instrumen penelitian yang dipergunakan adalah berupa lembar telaahan, diisi sesuai dengan kondisi atau keadaan pengisian rekam medis (diisi atau tidak). Data Kualitatif Sumber data kualitatif dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan hasil wawancara dengan subjek penelitian atau informan yang berkaitan dengan penyelenggaraan rekam medis di rumah sakit. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara dimulai dari tema yang dicakup dalam pedoman wawancara namun dalam pelaksanaannya informan dipersilahkan mengeluarkan pendapat atau persepsinya, namun tetap dalam arahan sesuai panduan wawancara. Analisis Data 1. Tahap reduksi data Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah mereduksi setiap bentuk data yang dikumpulkan pada tahap pengumpulan data. 1) Data kuantitatif Pada tahap ini, untuk data kuantitatif reduksi data meliputi distribusi frekuensi dan persentase kelengkapan dan ketidaklengkapan pengisian berkas rekam medis (lembaran-lembaran umum dan khusus). 68 totalitas yang terpadu atau dapat juga menjadi dua himpunan totalitas yang terpadu. lembaran umum dan khusus. Lembaranlembaran umum ini terdapat pada seluruh berkas rekam medis sebanyak 385 berkas, yaitu : Hasil dan Pembahasan Formulir/lembaran rekam medis untuk pasien rawat inap terdiri dari lembaranTabel 2 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Pengisian Lembaran-Lembaran Umum Tidak lengkap Lengkap Total No Lembaran Jumlah % Jumlah % Jumlah 1 Ringkasan Masuk dan 39 10,1 346 89,9 385 keluar 2 Anamnese dan 45 11,7 340 88,3 385 Pemeriksaan Fisik 3 Lembaran Grafik (RM 4) 5 1,3 380 98,7 385 4 Perjalanan 55 14,3 330 85,7 385 Penyakit/Perkembangan Perintah Dokter dan Pengobatan (RM 5) 5 Catatan Perawat/Bidan 16 4,2 369 95,8 385 (RM 6) 6 Formulir Catatan 11 2,76 374 97,14 385 Perkembangan (RM 6, 4) 7 Resume Keluar (RM 8) 92 23,9 293 76,1 385 Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kelengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang berada pada 41,6% atau sebesar 58,4% tidak lengkap. Ketidaklengkapan rekam medis pada formulir / lembaran umum dengan persentase ketidaklengkapan paling tinggi adalah pada lembaran Resume Medis (RM 8) yaitu sebesar 23,9%. Lembaran ini sesuai dengan namanya merupakan lembaran yang berisi resume penting atas semua kondisi penyakit, riwayat pengobatan, tindakan, hasil pemeriksaan 1 2 3 100 100 100 100 100 100 penunjang hingga prognosa penyakit yang wajib diisi dan ditandatangani oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP). Hasil pengamatan berdasarkan sub variabel/kolom dalam lembaran RM 8 ini, ketidaklengkapan paling tinggi sebesar 11% pada kolom hasil Hasil-hasil laboratorium, Rontgen dan konsultasi. Kolom ini merupakan kolom yang harus diisi dengan hasil laboratorium, Rontgen dan konsultasi yang telah dilakukan kepada pasien. Tabel 3 No % 100 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Pengisian Lembaran-Lembaran Khusus Berkas Rekam Medis Pasien dengan Pembedahan Tidak lengkap Lengkap Total Lembaran Jumlah % Jumlah % Jumlah Persetujuan Tindakan 19 28,8 47 71,2 66 Medis Laporan Operasi 20 30,3 46 69,7 66 Laporan Anaestesi 0 0 66 100 66 69 pada % 100 100 100 Tampak ada fenomena yang menarik, yaitu persentase kelengkapan pada lembaran khusus pasien dengan pembedahan yaitu adanya kesenjangan yang tinggi antara ketidaklengkapan lembaran laporan anastesi (0%) dengan lembaran laporan operasi (30,3%). Hasil wawancara terhadap Dokter spesialis anastesi dan perawat anastesi serta dokter bedah umum dan bedah tulang yang mengisi lembaran laporan anastesi dan laporan operasi menunjukkan bahwa memang terdapat perbedaan prosedur pengisian lembaran ini. Laporan anastesi diisi sejak proses anestesi akan dilakukan, saat berlangsung anastesi / operasi hingga pasca operasi atau dalam masa recovery. Prosedur kerja seperti ini menimbulkan kemungkinan adanya kolom yang terlewat tidak diisi lebih kecil dibandingkan dengan prosedur kerja pengisian laporan operasi. Pada pengisian lembaran operasi datadata identitas dan kondisi atau keadaan praoperasi memang dicatat sebelum operasi namun keadaan dan hasil saat operasi serta kondisi pasca operasi dicatat oleh operator setelah selesai operasi, sehingga ada kemungkinan ada yang terlewat kelengkapan pengisiannya. Selain itu kondisi ini juga ditunjang oleh format Laporan operasi yang tidak dimengerti cara pengisiannya oleh petugas. Berdasarkan pengamatan peneliti seperti ditunjukkan oleh informan memang terdapat kolom yang pengisian menyulitkan petugas, yaitu kolom “tanggal; jam operasi dimulai; jam operasi selesai dan lama anastesi berlangsung” letak kolom2 tersebut membingungkan petugas yang akan mengisi, sehingga seringkali diabaikan. No 1 2 Lembaran Riwayat Kehamilan Laporan Persalinan Tidak Lengkap Jml % 5 5,7 Jml % Jml % 82 94,3 87 100 13 74 14,9 Lengkap 85,1 Total 87 100 Berdasarkan tabel diatas tentang lembaran khusus Rekam Medis Pasien dengan Persalinan diketahui sebesar 14,9% tidak lengkap dengan persentase ketidaklengkapan pengisian paling tinggi adalah 8,1% pada variabel nama penolong (dokter atau bidan).Hasil wawancara menunjukkan bahwa menurut dokter spesialis kandungan, dan bidan di ruang bersalin, penyebab ini seringkali tidak terisi karena menganggap bahwa cukup diisi dengan tanda tangan saja sementara nama menjadi terabaikan karena penolong merasa namanya sudah dicatat pada lembaran rekam medis sebelumnya. Hal ini tidak sesuai dengan protap atau SPO yang ada yang mengharuskan seluruh kolom diisi tanpa terkecuali. Berdasarkan hasil wawancara informan perekam medis, Umpan balik mengenai hal ini tidak dilakukan secara berkesinambungan, terhadap hal ini sikap petugas yang kurang memperhatikan ketidaklengkapan pengisiannya. Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Lembaran Identifikasi Bayi No 1 Lembaran Identifikasi Tidak Lengkap Jml 8 Lengkap % Jml % 18,2 36 81,8 Total Jml 44 % 100 Bayi Berdasarkan tabel diatas tentang lembaran khusus Rekam Medis Pasien bayi baru lahir didapatkan sebesar 18,2% tidak lengkap. Lembaran ini sangat penting karena berisi informasi mengenai keadaan bayi yang dilahirkan di RS, dengan tanda pengenal bayi serta berita acara penyerahan bayi. Petugas Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Pengisian Lembaran-Lembaran Khusus Rekam Medis Ibu Bersalin 70 yang berwenang mengisi adalah: Dokter umum/Spesialis dan Perawat/Bidan. Persentase ketidaklengkapan yang terbesar adalah 11,4% pada variabel diagnosa dan tanda tangan serta nama bidan.Hasil wawancara terhadap perawat serta bidan sebagai informan penelitian diketahui bahwa tidak terisinya variabel atau kolom-kolom diatas sebagian besar terjadi pada rekam medis bayi baru lahir dengan Intra Uterine Fetal Distress (IUFD), petugas khususnya bidan seringkali terabaikan mengisi tanda tangan dan nama bidan pada lembaran ini dikarenakan bayi yang sudah meninggal tersebut sudah diserahkan terlebih dahulu kepada keluarganya sehingga petugas tidak begitu memperhatikan kelengkapan pengisian lembaran ini. Ditambahkan menurut perekam medis, tanpa adanya umpan balik yang berkesinambungan kepada petugas / unit terkait, menyebabkan seolah-olah hal ini menjadi yang biasa. Medis Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sumedang. Dengan mengacu kepada kerangka sistem, faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan pengisian rekam medis dimana kelengkapan sebagai outputnya dapat identifikasi komponen Input terdiri atas Faktor SDM petugas Kesehatan (pengetahuan, sikap, beban kerja dan masa kerja), faktor material yang terdiri dari peraturan dan dasar hukum penyelenggaraan rekam medis, sarana prasarana dan terakhir komponen Proses terdiri atas pelaksanaan pengisian rekam medis serta monitoring dan supervisi. Selanjutnya akan dibahas satu persatu faktor-faktor tersebut berdasarkan hasil wawancara terhadap para informandidapatkan informasi : 1) Pengetahuan Para informan yaitu perekam medis, perawat dan dokter memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pentingnya pengisian rekam medis yang lengkap, terlihat dari mereka dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pentingnya kelengkapan rekam medis, Informan M1, KM1, PM1 dan KP menyatakan bahwa: “mengisi RM itu sangat penting, sejak masa pendidikan / sekolah pun sudah paham”. Dinyatakan bahwa hal tersebut melekat terhadap profesi masing-masing dan ditanamkan sejak dalam masa pendidikan, namun Informan M1, KM1, M2, B1, dan M3 juga menyatakan bahwa mereka tidak begitu mengetahui kejelasan pengisian beberapa kolom pada formulir rekam medis sehingga pada kolom tertentu petugas membiarkannya kosong seperti pada formulir Laporan Operasi, Laporan Identifikasi bayi, Formulir Masuk IGD dan Resume keluar. Berdasarkan hal tersebut maka diketahui bahwa pengetahuan mengenai teknis pengisian formulir dalam berkas RM adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya persentase Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Rawat Inap Tahap pertama dalam penelitian yang menggunakan metodologi mixed methode ini adalah dengan melakukan penelitian secara kuantitatif yaitu melakukan telaahan terhadap sampel yaitu berkas rekam medis rawat inap, hasilnya diketahui bahwa lebih dari separuh berkas rekam medis tidak lengkap atau sebesar 58,4% tidak lengkap, hal ini masih jauh dari standar yang telah ditetapkan menurut Kementerian Kesehatan yaitu tingkat kelengkapan Rekam Medis adalah 100%.9 Untuk menindaklanjuti temuan pada tahap pertama ini selanjutnya menuju ke tahapan yang kedua yaitu penelitian kualitiatif dengan melakukan wawancara terhadap informaninforman yang merupakan stake holder dalam penyelenggaraan pengisian rekam medis rawat inap. Wawancara ini ditujukan untuk menggali faktor-apa saja yang mempengaruhi tingginya persentase ketidaklengkapan pengisian Rekam 71 ketidaklengkapan pengisian RM. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Purwaningtias yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kelengkapan rekam medis rawat inap di RSU Budi Asih. 2) Sikap Hasil wawancara menunjukkan informan M1, M2, P1, B1, KM1, PM, M3 dan KP memiliki sikap yang negatif atau kurang mendukung terhadap pengisian rekam medis yang lengkap, ini ditunjukkan dengan pernyataan “Bahwa pengisian rekam medis yang tidak lengkap sudah sejak dahulu demikian, sehingga petugas yang ada merasa hal tersebut tidak begitu bersalah karena sudah merasa biasa seperti itu” dan menurut InformanM2, KM, SP1 dan KP Sikap tersebut terbentuk oleh beberapa hal baik dari luar dirinya maupun dalam dirinya. Berapa hal dari luar diri petugas adalah beban kerja, kebiasaan / budaya organisasi di unit kerja yang kurang mendukung pelaksanaan pengisian dengan lengkap, sedangkan dari dalam meliputi rasa malas dan motivasi. Hal-hal tersebut membentuk sikap negatif petugas terhadap kelengkapan pengisian rekam medis, yang menimbulkan tingginya persentase ketidaklengkapan pengisian rekam medis rawat inap.Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Purwaningtias yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan kelengkapan rekam medis rawat inap di RSU Budi Asih (Purwaningtias, 2002). 3) Beban Kerja Berdasarkan hasil wawancara, dokter spesialis dan perawat menyatakan bahwa beban kerja terutama dokter spesialis sangat berat, menyita waktu dan tenaga sehingga dokter tidak dapat mengisi secara maksimal atau lengkap lembaran rekam medis yang seharusnya diisi. Hasil analisis dengan membandingkan ratio jumlah Dokter spesialis penyakit dalam (2 orang) dengan pasien yang harus dilayani yaitu rata sebanyak 67 pasien rawat inap dan pasien rawat jalan sebanyak 75 orang setiap harinya. Berkaitan dengan hal tersebut, analisis beban kerja harus segera dilaksanakan, menurut Komaruddin analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang petugas (Mcgain, 2005). 4) Masa Kerja Seluruh reponden menyatakan bahwa masa kerja petugas baik dokter, perawat serta petugas rekam medis tidak memiliki pengaruh terhadap kelengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang. Menurut mereka petugas yang baru cenderung meniru petugas lama dalam pengisian RM, sehingga menjadi sebuah kebiasaan. “dokter senior saja mengisinya demikian ya, kami ikuti saja seperti itu” demikian menurut salah seorang dokter umum. Berdasarkan hal tersebut, masa kerja saja ternyatatidak cukup mempengaruhi kelengkapan pengisian, sesuai dengan pendapat Siagian, mutu dan kemampuan kerja seseorang tumbuh dan berkembang melalui dua jalur utama yaitu pengalaman kerja dan yang dapat mendewasakan seseorang dan yang kedua adalah pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh (Siagian, 2008). 5) Peraturan dan dasar hukum penyelenggaraan Rekam Medis. Hasil wawancara diketahui para informan memberikan jawaban yang kurang meyakinkan ketika diberikan pertanyaan mengenai adanya perturanperaturan dan pedoman yang berkaitan dengan rekam medis. Dokter dan perawat mengaku tidak banyak mengetahui peraturan dan dasar Hukum Penyelenggaraan Rekam Medis di RS, 72 mereka merasa belum tersosialisasi atau terpapar informasi tersebut. Padahal pedoman sudah diterbitkan oleh manajemen rumah sakit namun rupanya sosialisasi terhadap peraturan-peraturan, pedoman tersebut sangat kurang, sehingga banyak diantara informan yang memberikan jawaban yang kurang meyakinkan. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya persentase ketidaklengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang. 6) Sarana dan Prasarana Penunjang Penyelenggaraan Pengisian Rekam Medis Hasil penelitian menunjukkan sebagian informan (perawat dan perekam medis) menyatakan sarana dan prasarana sudah cukup baik namun sebagian lagi (dokter spesialis) menyatakan sarana prasarana masih kurang, sarana prasarana yang masih kurang ini terutama bagi dokter spesialis untuk melakukan kegiatan pengisian rekam medis yaitu keberadaan ruangan khusus dan atau meja kerja khusus bagi dokter untuk melengkapi pencatatan atau pengisian rekam medis. Secara umum sarana dan prasarana dapat diartikan sebagai alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana. Demikian juga menurut Kabid Pelayanan dan Wakil Direktur pelayanan, yang menyatakan bahwa hampir semua ruang perawatan belum mempunyai ruang khusus dan juga meja khusus bagi dokter spesialis untuk melakukan kegiatan administrasi termasuk kegiatan melengkapi pengisian RM. 7) Ketersediaan SPO untuk menunjang Penyelenggaraan Pengisian Rekam Medis Hasil wawancara terhadap informan diketahui dokter dan perawat mengaku belum mendapatkan SPO yang mengatur secara khusus mengenai pengisian rekam medis. Sedangkan menurut perekam medis SPO bagi prekam medis sudah lengkap. Hasil wawancara dengan Kabid Pelayanan menyatakan bahwa SPO yang ada bagi dokter dan perawat sudah ada dalam pedoman pelayanan rekam medis, namun sosialisasi nya hanya satu kali dilakukan saat diluncurkan sehingga masih banyak petugas baik dan perawat yang tidak terpapar. SPO merupakan acuan bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan pengisian rekam medis rawat inap, dokter, perawat dan petugas rekam medis masing-masing memiliki pedoman sebagai acuan kerja sesuai kewenangannya. Setiap petugas harus mematuhi apa yang tertulis dalam SPO ini. Ketidak tahuan akibat kurangnya sosialisasinya SPO menimbulkan ketidakpatuhan petugas dalam melakukan pengisian rekam medis dengan lengkap. Komponen Proses Komponen selanjutnya dalam kerangka sistem adalah komponen proses, komponen proses dalam penelitian terdiri atas 2 faktor yaitu faktor pelaksanaan pengisian di ruangan serta monitoring dan evaluasi. 1) Proses pelaksanaan Pengisian Rekam Medis Faktor pelaksanaan pengisian di ruangan dimaksudkan untuk mengetahui apakah kelengkapan pengisian rekam medis rawat inap ini juga dipengaruhi oleh keadaan tertentu di ruangan perawatan saat petugas melakukan pengisian rekam medis. Menurut penuturan perawat terdapat perbedaan proses pengisian RM mereka menyatakan bahwa pengisian rekam medis seringkali diprioritaskan pada kasus-kasus tertentu seperti kasus yang berkaitan dengan asuransi yang dalam hal ini berkaitan dengan persyaratan klaim dan 73 juga RM yang berkaitan dengan proses hukum misalnya pasien yang merupakan korban penganiayaan atau kecelakaan. Mereka juga menuturkan bahwa ada perbedaan cara / prosedur pengisian lembaran rekam medis dalam hal ini laporan Operasi dan Laporan Anastesi juga adanya kesenjangan persentase kelengkapan yang cukup tinggi. Selain itu pada sebagian besar ruangan perawatan, atas instruksi dokter, perawat ikut membantu dokter mengisi/ melengkapi lembaran resume keluar yang sebenarnya merupakan tugas dokter dan pendelegasian wewenang pengisian ini dilakukan tanpa dokumen tertulis. Meskipun demikian saat penandatanganan, dokter selalu memeriksa hasil pengisian perawat tersebut. Menurut Pedoman pelayanan RM, Pencatatan / pengisian rekam medis harus dilaksanakan oleh petugas setelah memberikan pelayanan pada seluruh pasien tanpa terkecuali. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa faktor pelaksanaan pengisian di ruangan yaitu prosedur pengisian oleh petugas di Instalasi Bedah Sentral dan perlakuan perbedaaan pengisian rekam medis pasien umum dan asuransi serta adanya pendelegasian wewenang pengisian tanpa dokumen tertulis di ruangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya ketidaklengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang. 2) Monitoring dan Evaluasi Pengisian Rekam Medis Menurut penuturan dokter,sistem monitoring / kontrol dan evaluasi mengenai RM dokter hanya sebatas sosialisasi pada saat rapat komite medik, dalam rapat itu biasanya para dokter diingatkan untuk melakukan pengisian dengan lengkap, hal tersebut dilakukan tidak rutin terkadang setiap bulan atau triwulan, Pelaksanaan monitoring diruangan dilakukan oleh perawat dengan menggunakan metode tim, dalam tim tersebut kelengkapan pengisian rekam medis terutama terhadap lembaran yang wajib diisi oleh perawat, ketua tim memeriksa ulang hasil pengisian dan tahap terakhir diperiksa oleh kepala ruangan. Menurut Kabid pelayanan system monitoring dan evaluasi memang masih sendiri-sendiri belum terintegrasi dengan baik, pelaksanaan monitoring biasanya dilakukan kalau ada penilaian tertentu dan sistem yang ada tidak berorientasi ke pemecahan masalah. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwatidak optimalnya pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi pengisian rekam medis rawat inap merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya ketidaklengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang 3) Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Pengisian Rekam Medis Faktor lain yang sangat penting menurut dokter dan perawat perekam medis dan juga dari pihak manajemen yaitu Kabid pelayanan dan Wadir pelayanan adalah perlu adanya sistem reward dan punishment baik berupa penghargaan bagi petugas atau tim yang telah melakukan pengisian rekam medis dengan baik dan sangsi bagi petugas atau tim yang belum melaksanakan pengisian dengan baik, reward dan punishment dapat berupa materi maupun non materi. Pernyataan lain dari kabid pelayanan dan wadir pelayanan adalah belum terciptanya sistem yang baik antar unit atau petugas pengisi rekam medis seperti dokter, perawat, petugas rekam medis. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ketidaklengkapan pengisian rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten 74 Sumedang sebesar 58,4%. Ketidaklengkapan pada lembaran umum dengan persentase ketidaklengkapan paling tinggi adalah pada lembaran Resume Medis (RM 8) yaitu sebesar 23,9%. Pada lembaran–lembaran khusus, persentase ketidaklengkapan paling tinggi adalah pada lembaran Laporan Operasi 30,3%, Identifikasi Bayi 18,2% dan Laporan Persalinan 14,9%. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persentase kelengkapan rekam medis rawat inap RSUD Kabupaten Sumedang adalah : 1. Komponen Input 1) Faktor SDM a) Kurangnya pengetahuan petugas b) Sikap negatif / kurang mendukung petugas, sikap c) Tingginya beban kerja petugas dalam hal ini beban kerja dokter spesialis dan perawat. 2) Kurangnya sosialisasi tentang Peraturan dan Dasar Hukum Penyelenggaraan Rekam Medis di RSUD Kabupaten Sumedang 3) Kurangnya sarana prasaranadi ruangan perawatan terutama tidak adanya ruangan / meja khusus bagi dokter untuk melakukan tugas administrasi termasuk pengisian rekam medis. 4) Kurang lengkapnya SPO yang ada serta kurangnya sosialisasi SPO yang mendukung penyelenggaraan Rekam Medis kepada petugas terutama dokter dan perawat di ruangan. 2. Komponen Proses 1) Faktor Pelaksanaan PengisianDi Ruangan Adanya Perbedaan cara / prosedur pengisian rekam medis serta adanya pendelegasian wewenang pengisian tanpa dokumen tertulis. 2) Faktor Monitoring dan Evaluasi Tidak optimalnya sistem monitoring dan evaluasi. 3. Faktor-faktor lain Belum adanya sistem reward dan punishmentserta belum baiknya kerjasama secara tim di ruangan perawatan antara dokter dan perawat serta seksi rekam medis dalam penyelenggaraan rekam medis. Saran Berdasarkan kepada hasil penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1) Untuk lebih meningkatkan kinerja petugas kesehatan dalam hal pengisian rekam medis maka: a. Perlu menyelenggarakan kegiatan peningkatan pengetahuan khususnya pengetahuan tentang teknis pengisian lembaran-lembaran rekam medis. b. Mengkaji penerapan sistem reward and punishment bagi petugas atau tim yang melaksanakan pengisian rekam medis. c. Memfasilitasi kegiatan penyelenggaraan sistem monitoring dan evaluasi yang tepat serta terintegrasi dengan melibatkan berbagai unsur profesi. d. Perlu peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana terutama ruangan dan atau meja khusus di ruangan perawatan bagi dokter untuk melaksanakan tugas administrasi termasuk melakukan pengisian rekam medis. 2) Perlu ada penelitian selanjutnya untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini terutama mengenai sistem reward and punishment yang tepat serta sistem monitoring dan evaluasi rekam medis yang komprehensif seperti penerapan analisis rekam medis secara kuantitatif dan kualitatif yang berkesinambungan. 75 di Internet] Australian Medical Association Journal; diunduh dari http://ama.com.au/node/3404. Miles, M B & Huberman A M. (1994). Qualitative data analysis. second edition. California: Sage Publications, Thousand Oaks. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nurhaidah. (2008). Analisis kepatuhan dokter mengisi resume medis di RS Muhammad Husni Thamrin Internasional Salemba. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Purwaningtias. (2002). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelengkapan pengisian dan keterlambatan pengembalian berkas rekam medis rawat inap di RSUD budhi asih tahun 2002. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. RSUD Kabupaten Sumedang. (2011). Profil rumah sakit umum daerah kabupaten Sumedang Tahun 2010. Sumedang: RSUD Kabupaten Sumedang. Rustiyanto, Ery. (2010). Sistem informasi manajemen rumah sakit yang terintegrasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sahid, Rahmat. (2011). Analisis data penelitian kualitatif model miles dan huberman. Dokumen dalam internet. Diunduh tanggal 20 Nopember 2011. Siagian, Sondang P. (2008). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Simatupang. Togar. (2002). Teori sistem suatu perspektif teknik industri. Yogyakarta: Andi. Offset. Sujono. (2006). Studi perbandingan hasil pendokumentasian keperawatan pada bangsal inisiasi MPKP dan non MPKP di rumah sakit grhasia Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. World Health Organization. (2006). Medical record manual: A guide for developing countries. Western Pasific region. [e-book] WHO. Daftar Pustaka Cresswell JW, Clark, VPL, Gutmann ML, Hanson WE. (2003). Rancangan penelitian metode campuran yang modern. Dalam: Tashakkori. A, Teddlie. C. (2010). Handbook of mixed methodes in social dan behavioral research. California: Sage Publication. Penerjemah Daryatno, Pustaka Pelajar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman penyelenggaraan prosedur rekam medis rumah sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) Nomor No. 269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor No. 1171/Menkes/Per/VI/2011 tentang sistem informasi rumah sakit (SIRS). Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Sistem kesehatan nasional (SKN). Jakarta: Depkes RI. Fathansyah. (2002). Basis data. CV. Bandung: Informatika. Hatta, Gemala. (2008). Analisis kuantitif dan kualitatif dalam rekam kesehatan kertas maupun elektronik. Dalam: Hatta. Pedoman manajemen informasi kesehatan di sarana pelayanan. Jakarta: UI Press. Konsil kedokteran Indonesia. (2006). Manual rekam medis. Jakarta: Konsil kedokteran Indonesia. Machfoedz, Ircham. (2005). Metodologi penelitian bidang kesehatan, keperawatan dan kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya. Mariana. (2009). Analisis kelengkapan rekam medis Rawat Jalan Psikiatri RS. Dr. H. Marzoeki mahdi Bogor. Thesis. Depok: Universitas Indonesia. McGain, Forbes. (2005). Incomplete Medical Records After Major Surgery; [Homepage 76 Pengetahuan Perawat dalam Melaksanakan Pemberian Terapi Obat di Ruang Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2012 Ida Sugiarti1, Nunung S. Sukaesih2, Popi Sopiah2 Nurses Knowledge on Medicine Therapy in The Disease Room at RSUD of Sumedang District In 2012 Abstrak Peran perawat yang sering dilakukan dalam fungsi dependent adalah pemberian obat. Pemberian terapi obat beresiko dan perawat perlu tahu mengenai resiko dan cara pemberiannya untuk menghindari efek samping obat. Hasil studi pendahuluan berdasarkan hasil observasi selama 2 minggu pada bulan Maret 2012, perawat sudah memberikan obat sesuai jadwal. Dalam memberikan obat, perawat tampak sudah terampil tetapi perawat tidak memberikan Health Education berupa dampak, interaksi obat dengan makanan/minuman, faktor-faktor yang mempengaruhi kerja obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pengetahuan perawat (Conseptual Knowledge) tentang pemberian terapi obat yang sering diberikan di ruang penyakit dalam RSUD Kabupaten Sumedang tahun 2012 berupa Antimikroba (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin dan Anti TB), Histamine Antagonis (Ranitidine, Lansoprazole) dan Non Narkotik Analgesic Antipiretik (Paracetamol). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di ruang penyakit dalam RSU BLUD Sumedang berjumlah 56 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampel. Alat ukur pengumpulan data berupa kuesioner. Variabel yang dibuat berasal dari soal-soal NCLEX-RN REVIEW 2000 dan NCLEX-RN 2003-2004 EDITION. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan Ana-Test. Hasil penelitian menunjukkan 3, 58 % memiliki pengetahuan cukup, dan 96, 42 % memiliki pengetahuan kurang. Saran penelitian ini agar diadakannya nursing conference yang sistematis dan terjadwal mengenai obat-obatan dan peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat, dan memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengikuti pelatihan/seminar yang berhubungan dengan pemberian obat. Kata Kunci: pengetahuan perawat, terapi pemberian obat, antimikroba, histamine antagonis, non narkotic analgesic antipiretik Abstract One of the nurse rolesis regularlypreparethe administration of medicinesin the dependent function. Nurses need to know the risks inprovidingmedicine therapy and ways of administration to avoid theside effects.Preliminary studies result based on 2 weeks observation in March 2012showed that the nurse had delivered themedicines as per schedule.The nurse seemed to have skilled in administering the medicinesbut did not provided Health Instruction in regards toside effect, interactions with food or drinks, factors influencing the medications. The purpose of this study is to provide an overview of the nurse knowledge (Conseptual Knowledge) regarding the provision of medicine therapy in the disease room atSumedang District Hospital in 2012, such as Antimicrobials (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin and Anti-TB), Histamine antagonists (Ranitidine, lansoprazole) and Non-Narcotic Analgesic Antipyretic (Paracetamol). The method used in this research is descriptive method. The research populationsare 57nurses inthe internal medicine room at HospitalBLUDSumedang. The Total sample technique is used for sampling technique. A series of questionnaireis use for measurement instrument of data collection. The variablesare taken from NCLEX-RN and NCLEX REVIEW 2000-RN 2003-2004 EDITION. Ana-Test used forValidity and reability test. The results showed that only 3,58% nurses have enough knowledge and 96,42% have less knowledge. Recommendations from this research isto conduct nursing conference about medicineprograms and the nurserole in the medicine administrationimplementation, and also giving the opportunity to attend the training related to the administration of medicines. 1 2 Dosen Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Dosen AKPER Pemkab Sumedang 77 Keywords: nurses knowledge, therapeutic drug delivery, antimicrobials, histamine antagonists, non-narcotic analgesic antipyretic. pasien (caring) (Praptianingsih, 2006; 20), demikian juga dengan tenaga kesehatan lain, bekerja sesuai kewenangan profesinya. Salah satu ciri profesi yang paling banyak direkomendasikan oleh ahli sosiologi adalah profesi harus memiliki otonomi sebagai satusatunya karakteristik pembeda profesi (Styles, 1982, dikutip oleh Kathleen et. al., 2007; 6). Untuk memiliki otonomi, profesi keperawatan harus memiliki kewenangan legal untuk menetapkan ruang lingkup prakteknya, menjelaskan peran dan fungsi khususnya yang membedakannya dengan profesi lain, dan dapat menentukan tujuan dan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan. Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang diberikan pada klien dengan menggunakan proses keperawatan berpedoman pada standar praktek, dilandasi etik & etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan. Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Fungsi perawat yaitu (Kusnanto, 2004; 88 – 89): fungsi independent (mandiri), yaitu aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri dengan dasar pengetahuan dan keterampilannya, fungsi dependent (ketergantungan) yaitu tindakan keperawatan berdasarkan order tenaga kesehatan lain dan fungsi interdependent (kolaboratif) yaitu aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan tim kesehatan lain. Anggota tim kesehatan yang paling sering berinteraksi di rumah sakit adalah dokter dan perawat. Masalah utama yang seringkali menjadi polemik dalam hubungan dokter dan perawat adalah masalah lingkup kewenangan masing-masing, meskipun sudah dipahami Pendahuluan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 1, Butir 1). Definisi paripurna menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah lengkap (Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989 ; 649). Lengkap dalam arti setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan. Rumah Sakit mempekerjakan tenaga kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, keperawatan, kefarmasian, dan lain-lain sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1). Fokus upaya pelayanan kesehatan dalam hubungan antara rumah sakit dan pasien, seyogyanya menempatkan perhatian terhadap pasien dan keluarganya. Fokus dalam upaya pelayanan kesehatan ditujukan terhadap pasien dan keluarganya. Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit bekerja sebagai tim yang saling bekerjasama untuk kepentingan kondisi optimal yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Tindakan medik tertentu oleh dokter bertujuan untuk kesembuhan pasien dilakukan dengan pengobatan (curing), sedangkan tindakan keperawatan dalam bentuk pemberian asuhan keperawatan bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan optimal 78 bahwa tugas dokter adalah cure (mengobati) sedangkan perawat adalah care (merawat), tetapi dalam prakteknya terdapat wilayah “abuabu” (grey zones) yang rentan menjadi sumber konflik. Fungsi perawat dalam hubungannya dengan dokter adalah bersifat interdependent (kolaboratif) dan dependent (ketergantungan). Kerjasama antara anggota tim kesehatan dikenal dengan istilah kolaborasi. Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat (American Medical Assosiation/ AMA, 1994). Definisi di atas memberikan penekanan arti kolaborasi sebagai kesetaraan peran, adanya pengakuan serta penghargaan terhadap profesi yang berbeda dengan tujuan yang sama memberikan kontribusi dalam perawatan klien. Idealnya dalam fungsi kolaborasi tidak memicu konflik karena terdapat kesetaraan peran dan penghargaan. Sedangkan fungsi dependent (ketergantungan), dapat menimbulkan polemik dalam pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan. Peran perawat yang paling sering dilakukan dalam fungsi dependent (ketergantungan) adalah pemberian obat. Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting perawat (Potter & Perry, 2005; 991). Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang memiliki masalah kesehatan. Perawat bertanggungjawab memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon klien, membantu klien menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan, perawat juga harus memahami masalah kesehatan klien saat ini dan sebelumnya untuk menentukan apakah obat tertentu aman untuk diberikan (Potter & Perry, 2005; 991). Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengintegrasikan terapi obat ke dalam perawatan (Potter & Perry, 2005; 1011). Setiap obat memiliki efek samping masing-masing dan sangat tergantung kondisi pasien. Aplikasi proses keperawatan dalam mengintegrasikan terapi obat kedalam asuhan keperawatan meliputi proses pengkajian sampai dengan evaluasi. Pada proses pengkajian, untuk menetapkan kebutuhan terhadap terapi obat dan respons potensial terhadap terapi obat, perawat mengkaji banyak faktor, diantaranya riwayat medis, riwayat alergi, data obat, riwayat diet, kondisi klien terkini, persepsi klien atau masalah koordinasi, sikap klien terhadap penggunaan obat, pengetahuan klien dan pemahaman tentang terapi obat, kebutuhan pembelajaran klien. Diagnosa keperawatan ditetapkan setelah melakukan pengkajian. Terdapat berbagai diagnosa NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) untuk terapi obat, diantaranya adalah; kurang pengetahuan tentang terapi obat, ketidakpatuhan terhadap terapi obat, gangguan menelan, penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif, dan lain-lain. Pada tahap perencanaan, perawat menetapkan sasaran ; tidak ada komplikasi yang timbul akibat rute pemberian obat yang digunakan, efek terapeutik obat yang diprogramkan dicapai dengan aman sementara kenyamanan klien tetap dipertahankan, klien dan keluarga memahami terapi obat, pemberian obat secara mandiri dilakukan dengan aman. Pada tahap implementasi, perawat mentranskripsi program yang benar (meliputi nama, kamar, dan nomor tempat tidur klien, dosis, waktu pemberian obat, rute pemberian obat, dokumentasi pemberian obat) dan mengkomunikasikan program, peningkatan kesehatan melalui penyuluhan klien serta dapat mempertahankan hak klien. Pada tahap evaluasi, perawat memantau respons klien terhadap obat secara 79 berkesinambungan. Untuk melakukan ini, perawat harus mengetahui kerja terapeutik dan efek samping yang umum muncul dari setiap obat. Perubahan kondisi klien dapat secara fisiologis berhubungan dengan status kesehatan, dapat muncul akibat penggunaan obat, atau keduanya. Perawat harus mewaspadai reaksi yang akan timbul ketika klien mengkonsumsi beberapa obat (Potter & Perry, 2005; 1016). Kesalahan perawat dalam memberikan obat dapat membawa perawat ke dalam perkara hukum tentang malpraktek. Kesalahan dalam pemberian dosis, identifikasi pasien, atau pemilihan obat oleh perawat telah menyebabkan kebutaan, kerusakan otak, henti jantung, dan kematian (Helm, 2006; 29). Beberapa kasus pengadilan berikut menjelaskan bagaimana kesalahan dalam pemberian obat dapat menyebabkan perawat berurusan dengan pengadilan. Pada kasus Demers v. United States (1990), pasien masuk rumah sakit untuk menjalani penanaman alat pacu jantung (pacemaker). Setelah prosedur dilakukan, ditemukan bahwa pasien secara keliru telah diberi diltiazem (Cardiazem), obat yang seharusnya diberikan kepada pasien lain. Kesalahan ini menyebabkan pasien meninggal sehingga isteri pasien mengangkat perkara ini. Pemberian dosis yang benar juga wajib sifatnya. Pada suatu kasus di Ohio, kasus Gallimore v. Childrens Memorial Hospital (1993), perawat ceroboh memberikan 200 mg gentamisin padahal seharusnya 30 mg, karena ia tidak mengklem slang infus dengan kuat. Akibatnya, kemampuan dengar anak hilang karena pemberian dosis berlebih dan perawat dinyatakan lalai. Hal yang sama terjadi pada kasus Dessauer v. Memorial General Hospital (New Mexico, 1981), seorang dokter di unit kedaruratan memprogramkan 50 mg lidokain untuk seorang pasien. Perawat yang memberi obat biasanya bekerja di bangsal kebidanan dan ia memberi obat dengan dosis 800 mg. Pasien kemudian meninggal, keluarga menuntut, dan rumah sakit terbukti bertanggung jawab (Helm, 2006; 56). Pada kasus (Wright v. Abott Laboratories, 1999), perawat memberikan NaCl pekat melalui intravena kepada bayi baru lahir padahal yang diprogramkan adalah larutan normal saline. Bayi mengalami cedera fisik permanen berat (Helm, 2006; 54). Pada kasus Voorhees v. University of Pennsylvania (1997), pasien yang didiagnosis nekrosis avaskuler bilateral pada kaput femoris meninggal setelah terlibat dalam penelitian terkontrol-acak untuk terapi profilaksis anti koagulan. Perawat terlibat tindak pelalaian, yakni, gagal memberi obat yang diprogramkan untuk mencegah bekuan pada hari pembedahan dan dua kali pada masa sebelumnya, gagal memberikan profilaksis antikoagulan setelah pembedahan selama 36 jam dan gagal memberitahukan dokter tentang tanda klinis pembengkakan di pergelangan kaki pasien (Helm, 2006; 53-54). Kecenderungan kasus malpraktek di Indonesia belum terdata dengan baik. Budaya di Indonesia yang lebih “pemaaf” dan ketidaktahuan masyarakat tentang masalah kesehatan, menjadikan kasus-kasus yang ada tidak sampai ke pengadilan. Tetapi ada kecenderungan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang perawatan kesehatan semakin meningkat dan tuntutan tentang profesionalisme profesi serta persaingan institusi pelayanan kesehatan, membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Kasus perawat Misram di Kutai Kertanegara yang terbukti menyimpan obat terpaksa harus dipidana karena di luar kewenangannya sebagai perawat, meskipun kedudukannya sebagai Kepala Puskesmas pembantu, tetapi Pengadilan Tinggi tidak dapat menerima alasan tersebut. Pengetahuan perawat tentang pemberian obat menjadi suatu keharusan agar perawat dapat menjalankan peran dan fungsi dependent dalam pemberian obat sesuai dengan aturan dan terhindar dari malpraktek. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan 80 bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Rogers, 1974 dikutip oleh Notoatmodjo, 2007; 139). Implementasi yang benar dan tepat dalam praktiknya harus didasari oleh pengetahuan yang benar tentang pemberian obat. Dengan memiliki pengetahuan yang memadai tentang kerja suatu obat dan efek terapeutiknya, seorang perawat harus mampu melakukan observasi efek obat dan harus melakukan upaya untuk meningkatkan keefektifkan suatu obat. Pemberian obat tidak boleh dipandang sebagai perawatan, karena upaya kesehatan tidak dapat terlaksana dengan pemberian obat saja, pemberian obat harus dikaitkan dengan tindakan perawatan (Prihardjo, 2012) . Tulving (1983, 1991, 1993) dalam Omrrod (2004), menjelaskan Pengetahuan (Knowledge) seseorang terdiri dari Episodic Knowledge, Semantic Knowledge, Procedural Knowledge dan Conceptual Knowledge. Episodic Knowledge berarti bahwa pengetahuan diperoleh berdasarkan pengalaman hidup seseorang secara pribadi. Pengalaman perawat memberikan obat secara langsung di ruangan atau di ruangan sebelumnya menjadi dasar pengetahuan. Semantic knowledge adalah pengetahuan seseorang yang didapat tentang hal-hal umum yang terjadi, diperoleh melalui pengalaman masyarakat lain pada umumnya. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan umum, yang dianggap sudah diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Misalnya obat tablet atau sirup dikonsumsi secara oral atau diminum/dimakan. Perbedaan secara sederhana antar episodic dengan semantic dapat dijabarkan bahwa kita akan mengetahui dan mengingat kejadiankejadian yang pernah dialami ( episodic) tapi juga mengetahui hal-hal umum yang terjadi di dunia ini (semantic). Procedural Knowledge terkait dengan “ how to do things” atau bagaimana kita mengerjakan sesuatu (JR Anderson, 1983, 1995, dalam Ormrod 2004; 203). Perawat melakukan tindakan dalam hal ini pemberian obat dengan memperhatikan prinsip pemberian obat untuk mencapai tujuan. Conceptual Knowledge lebih memberikan gambaran pemahaman seseorang tentang mengapa sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu bisa terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih efektif dibanding prosedur yang lain (J.R. Anderson 1995; Byrnes, 2001, dalam Ormrod 2004; 203). Setiap perawat yang dinas di ruangan dianggap sudah pernah terpapar pengetahuan tentang pemberian obat atau yang dikenal dengan Episodic Knowledge, demikian juga dengan Semantic Knowledge, karena masyarakat umum sebagai orang awam juga dianggap mengetahui apalagi perawat. Procedural Knowledge atau pengetahuan prosedur seharusnya juga sudah diketahui perawat ketika perawat sudah sering terpapar dan melaksanakan langsung kegiatan pemberian obat di ruangan. Conceptual Knowledge menjadi penting untuk diteliti berhubung dengan peran perawat dalam pemberian obat. Perawat harus memiliki pemahaman tentang obat dan pemberian obat dalam batas kewenangannya. Rumah Sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan yang lebih banyak mempekerjakan perawat sebagai tenaga kesehatan. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien (Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 13, Butir 3). Ruang penyakit dalam RSUD Sumedang merupakan ruang rawat inap yang dikhususkan untuk pasien dengan penyakit dalam tanpa adanya prosedur pembedahan sehingga penanganan medis di ruangan tersebut lebih banyak mengandalkan pengobatan. Hasil penelitian Astuti (2008) tentang deskripsi tugas perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang penyakit dalam di RSUD Pemangkat Kabupaten Sambas, menunjukkan bahwa 81 kegiatan keperawatan langsung berupa adanya komunikasi kepada pasien, pemberian obat dan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan eleminasi. Hasil studi pendahuluan di Ruang Rawat Inap RSU Kabupaten Sumedang, berdasarkan hasil observasi selama 2 minggu pada bulan Maret 2012, perawat sudah memberikan obat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Dalam memberikan obat, perawat tampak sudah terampil karena sudah menjadi kegiatan rutin harian. Tetapi perawat belum secara paripurna mengintegrasikan pelaksanaan terapi obat kedalam asuhan keperawatan. Aktivitas pemberian obat belum mengkaji banyak faktor seperti kondisi klien terkini, riwayat alergi, pengetahuan klien tentang obat dan pemahaman terapi, atau kebutuhan belajar klien. Dalam penegakan diagnosa keperawatan untuk terapi obat juga tidak ada, padahal masalah efek samping obat yang dirasakan klien seperti keluhan mual setelah memperoleh injeksi obat tertentu kadang ditemukan. Pada tahap imlementasi perawat baru sebatas komunikasi terapeutik dan pemberian obat saja, tanpa disertai Health Education tentang obat yang diberikan, berupa dampak, interaksi obat dengan makanan/minuman, faktor-faktor yang mempengaruhi kerja obat. Pada tahapan dokumentasi, pemberian obat baru sebatas pada lembar observasi saja, belum mendokumentasikan secara langsung pada catatan perawatan. Data ruang penyakit dalam menunjukkan tiga obat yang paling sering diberikan adalah Antimikroba (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin dan Anti TB), Histamine Antagonis (Ranitidine, Lansoprazole), Non Narkotik Analgesic Antipiretik (Paracetamol). Tiga golongan obat ini menjadi penting bagi perawat, meskipun efek samping tiap obat berbeda namun efek samping secara umum seperti reaksi alergi, reaksi toksik, dari gejala ringan seperti mual, anoreksia, sakit kepala, reaksi pruritus sampai reaksi berat berupa sindrom Steven Johnson. Ditemukan 1 kasus pasien mengalami sindrome steven johnson setelah diberikan salah satu obat dari golongan obat-obatan diatas di salah satu ruang rawat penyakit dalam RSUD Kabupaten Sumedang. Apabila perawat kurang memahami tentang reaksi obat, interaksi obat, efek samping yang diberikan akan menemui kesulitan untuk menentukan kebutuhan pasien akan terapi obat dan respon potensial yang mungkin muncul. Perawat juga memegang peran dependent dengan profesi dokter dalam memberikan terapi obat, sehingga mustahil ini akan terjalin kerjasama yang baik bila perawat tidak membekali diri dengan pengetahuan tentang pemberian obat ini. Metode Penelitian dilakukan minggu ke III September samapai dengan minggu ke IV Oktober 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang dinas di ruang penyakit dalam RSUD Sumedang berjumlah 57 orang terdiri dari 18 orang di ruang cempaka, 18 orang di ruang sakura, dan 21 orang di ruang kenanga, 1 orang di ruang Cempaka sedang cuti bersalin, jadi total populasi 56 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampel atau total populasi sebanyak 56 orang. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penyakit Dalam RSU Kabupaten Sumedang (Ruang Cempaka, Ruang Sakura, Ruang Kenanga). Alat ukur pengumpulan data berupa kuesioner. Soal yang dibuat berasal dari soal-soal NCLEX-RN REVIEW 2000 dan NCLEX-RN 2003-2004 EDITION. Uji validitas dan reliabilitas penelitian ini menggunakan Ana-test. Nilai Reliabilitas dengan hasil Rata2= 12,80 Simpang Baku= 2,70 Reliabilitas Tes= 0,70, artinya reliable. Questioner penelitian dikatakan reliable jika nilai r >0.5, dengan tingkat kepercayaan 5%. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada perawat di ruang penyakit dalam RSU Pakuwon sebanyak 10 orang. 82 Data di analisa dengan mengunakan data univariat untuk melihat gambaran responden berdasarkan variabel dependent. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran prosentase atau proporsi. professional menghancurkan, dan secara finansial membawa petaka (Helm, 2006; 1). Sehingga meningkatkan pengetahuan menjadi kewajiban yang diamanatkan perundangundangan. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. (Anonim, 2012). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada di kepala kita. Kita dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki, diberitahu oleh orang lain, juga bisa diperoleh dari tradisi. ( Prasetyo, 2007; 3-4). Hasil penelitian di atas menunjukkan kurangnya pengetahuan perawat tentang terapi pemberian obat. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Conceptual Knowledge. Pengetahuan konseptual lebih memberikan gambaran pemahaman seseorang tentang mengapa sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu bisa terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih efektif dibanding prosedur yang lain (Anderson , 1995; Byrnes, 2001, dalam Ormrod 2004; 203). Dalam pengetahuan ini, membutuhkan perawat yang dapat berpikir kritis tentang mengapa sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu bisa terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih efektif dibanding prosedur yang lain. Berpikir kritis adalah suatu proses yang menantang seorang individu untuk menginterpretasi dan mengevaluasi informasi untuk membuat penilaian (Potter & Perry, 2005; 131). Kemampuan perawat untuk berpikir kritis sangat penting untuk menjalankan perannya sebagai advocate klien yang membantu memberikan pilihan-pilihan perawatan kesehatan untuk mencapai hasil perawatan kesehatan yang optimal dan terbaik bagi pasien Hasil dan Pembahasan Penelitian dilakukan minggu ke III September samapai dengan minggu ke IV Oktober 2012 dengan jumlah responden sebanyak 56 orang terdiri dari jumlah perawat ruang sakura 18 orang, ruang cempaka 17 orang, dan ruang kenanga 21 orang. Latar belakang tingkat pendidikan S 1 Keperawatan 5 orang, D IV Keperawatan 1 orang dan D III Keperawatan 50 orang. Hasil penelitian dalam bentuk tabel distribusi frekwensi. Tabel 1 Distribusi Frekuensi pengetahuan perawat dalam melaksanakan pemberian terapi obat di ruang penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang tahun 2012 o. 1. 2. 3. Kriteria Baik Cukup Kurang Frekuensi 2 54 % 0% 3,58 % 96,42 % Perawat bekerja di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan yang berinteraksi lebih sering dengan pasien daripada tenaga kesehatan lain. Kewajiban perawat dalam melaksanakan praktik salah satunya adalah harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya (Ayat 2 Pasal 12 Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/2010). Perawat yang senantiasa meningkatkan pengetahuannya diharapkan lebih berpikir kritis dan dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam lingkup kewenangannya agar terhindar dalam malpraktek keperawatan. Perkara malpraktik secara emosional dapat menyiksa, secara 83 dan keluarganya. Kemampuan perawat dalam berpikir kritis sangat penting dalam pemberian terapi obat. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat diberikan (Potter & Perry, 2005; 991). Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting perawat (Potter & Perry, 2005; 991). Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang memiliki masalah kesehatan. Perawat bertanggungjawab memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon klien, membantu klien menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan, perawat juga harus memahami masalah kesehatan klien saat ini dan sebelumnya untuk menentukan apakah obat tertentu aman untuk diberikan (Potter & Perry, 2005; 991). Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengintegrasikan terapi obat ke dalam perawatan (Potter & Perry, 2005; 1011). Pertanyan di questioner adalah tiga golongan obat yang paling sering diberikan di ruang penyakit dalam yaitu Antimikroba (Cephalosphorine/Cepotaxime, Ciproploxacin dan Anti TB), Histamine Antagonis (Ranitidine, Lansoprazole), Non Narkotik Analgesic Antipiretik (Paracetamol). Hasil penelitian menunjukkan kurangnya pengetahuan perawat tentang kebutuhan pasien terhadap terapi obat dan respons potensial terhadap terapi obat, kurangnya pengkajian tentang riwayat medis, riwayat alergi, data obat, riwayat diet, kondisi klien terkini, persepsi klien atau masalah koordinasi, sikap klien terhadap penggunaan obat, pengetahuan klien dan pemahaman tentang terapi obat. Pada tahap implementasi perawat juga tidak menetapkan sasaran terapi obat berupa; tidak ada komplikasi yang timbul akibat rute pemberian obat yang digunakan, efek terapeutik obat yang diprogramkan. Pada tahap implementasi, perawat sudah mentranskripsi program yang benar (meliputi nama, kamar, dan nomor tempat tidur klien, dosis, waktu pemberian obat, rute pemberian obat, dokumentasi pemberian obat) tetapi belum memberikan penyuluhan kesehatan berhubungan dengan obat yang diberikan. Pada tahap evaluasi, perawat sudah memantau respons klien terhadap obat secara berkesinambungan, tetapi hasil penelitian menunjukkan kurangnya pengetahuan perawat untuk melakukan evaluasi, hal ini tergambar dari jawaban perawat yang masih belum mengetahui kerja terapeutik dan efek samping yang umum muncul dari setiap obat. Perubahan kondisi klien dapat secara fisiologis berhubungan dengan status kesehatan, dapat muncul akibat penggunaan obat, atau keduanya. Jawaban seluruh perawat benar tentang salahsatu efek samping terberat dari pemberian obat berupa steven jhonson syndrome. Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya (anonym, 2012): a. Pendidikan Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan perilaku seseorang atau kelompok dan upaya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Data tingkat pendidikan di ruang penyakit dalam S1 Keperawatan 5 orang, D IV Keperawatan 1 orang dan 50 orang D III Keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan tentang terapi obat. Pendidikan formal keperawatan tidak secara spesifik membahas obat-obatan tersebut, muatan farmakologi hanya 2 SKS, sehingga dibutuhkan pendidikan non formal berupa pelatihan-pelatihan atau seminar untuk perawat di masingmasing ruangan agar dapat mengetahui informasi tentang obat yang sering diberikan di ruangan tersebut. 84 b. Media Media dirancang untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas. Contoh media massa adalah televisi, radio, koran, dan majalah. Belum terdapat penelitian yang menunjukkan berapa sering perawat terpapar oleh media yang berisi informasi tentang obat-obatan tersebut. c. Informasi Informasi hakikatnya tidak dapat diuraikan (intangible), sedangkan informasi itu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar kita serta diteruskan melalui komunikasi. Informasi tentang obat mungkin hanya diperoleh perawat dari dokter yang bersangkutan ketika perawatnya mau bertanya. Pentingnya terjalin komunikasi yang baik antara dokter dan perawat terutama seputar terapi pemberian obat. Pola komunikasi perawat–dokter belum terjalin dengan baik (Siegler & Whitney, 1999; 25). Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu peran terpenting perawat. Peran merupakan sekumpulan harapan yang dihubungkan dengan suatu posisi dalam masyarakat (Kathleen et. al., 2007; 31). Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem (Kusnanto, 2004; 82). Peran akan selalu sejalan dengan fungsi. Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Fungsi perawat yaitu (Kusnanto, 2004; 88 – 89): fungsi independent (mandiri), fungsi dependent (ketergantungan), dan fungsi interdependent (kolaboratif). Fungsi perawat dalam hubungannya dengan dokter adalah bersifat interdependent (kolaboratif) dan dependent (ketergantungan). Peran perawat yang paling sering dilakukan dalam fungsi dependent (ketergantungan) adalah pemberian obat. Pemberian obat seringkali menjadi grey area (wilayah abu-abu), yang bisa menimbulkan konflik antara dokter dan perawat dalam masalah pertanggunggugatan. Pemberian obat adalah wilayah kewenangan dokter yang dimandatkan atau didelegasikan kepada perawat. Definisi pendelegasian atau pemberian mandate harus dipahami oleh kedua belah pihak sebagai bentuk kolaborasi, bukan semata pemberian instruksi yang hanya cukup dicatat dan dilaksanakan tanpa dipikirkan dengan benar untuk melindungi kepentingan pasien. Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat (American Medical Assosiation/AMA, 1994). Definisi di atas memberikan penekanan arti kolaborasi sebagai kesetaraan peran, adanya pengakuan serta penghargaan terhadap profesi yang berbeda dengan tujuan yang sama memberikan kontribusi dalam perawatan klien. Terdapat hambatan dalam melakukan kolaborasi diantaranya adalah: a. Pola pendidikan Sebagai praktisi, dokter memang berbagi lingkungan kerja dengan para perawat dan professional kesehatan lainnya, tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/ kolega kerja (Siegler & Whitney’ 1999; 15). Di sisi lain seorang perawat professional seringkali masih menempatkan diri di bawah dokter, sebagai tenaga vokasional yang bertindak atas perintah dokter. Dalam pemberian obat, perawat lebih bersikap pasif dan menunggu instruksi dari dokter, serta mencatatkan perintah dokter terkait pemberian terapi obat. 85 b. Pola komunikasi perawat – dokter Komunikasi yang kurang terjalin dengan baik antara perawat dan dokter, dihubungkan dengan tingkat sosial dan jenis kelamin (Siegler & Whitney, 1999; 25). Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian, mempertajam pendirian professional terhadap praktik kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi, dan biasanya fisiknya lebih besar dibandingkan perawat. Meskipun perbedaan ini kini tidak terlalu tajam, karena semakin banyak wanita yang menekuni bidang medis, demikian juga profesi perawat juga mulai ditekuni lakilaki, semakin banyak perawat mencapai pendidikan yang lebih tinggi dan meluasnya pilihan masyarakat diantara pemberi pelayanan perawatan kesehatan. Tetapi iklim dan kondisi sosial masih mendukung dominasi dokter. c. Konflik dalam keperawatan : membentuk suatu profesi Profesi keperawatan merupakan profesi yang masih muda jika dibandingkan dengan profesi lain. Profesi dokter sudah lebih dulu berkembang dibanding profesi perawat. Keadaan ini menimbulkan ketimpangan dalam masalah kolaborasi keilmuan. d. Disintensif pengaturan dan finansial Pemerintah belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menyediakan tenaga dokter sampai ke pelosok daerah sedangkan tuntutan pelayanan kesehatan makin meningkat. Keberadaan tenaga perawat di daerah menjadi alternatif masyarakat untuk berobat. Pemerintah daerah juga mengambil keuntungan dengan situasi ini, karena “sementara waktu”, keberadaan perawat menjadi solusi bagi masyarakat. Di lain pihak, beberapa perawat juga mengambil kesempatan dengan menjadi “mantri kesehatan” lebih menguntungkan secara finansial, karena regulasi tentang pelayanan kesehatan masih terus berfokus pada unsur kuratif saja. Keadaan ini juga menular bukan hanya di daerah pedesaan, tetapi juga di daerah perkotaan. Masyarakat merasa lebih mudah, murah dan lebih familier dengan berobat ke perawat, menimbulkan “kegerahan” di profesi medis, karena lahan prakteknya terganggu. Keadaan ini menimbulkan ketegangan antara profesi perawat dan dokter, sehingga menyulitkan proses kolaborasi. Di lain pihak, belum terdapat aturan yang jelas tentang perlindungan hukum bagi perawat dalam menjalankan profesinya. Beberapa permasalahan di atas, menyebabkan proses kolaborasi menjadi lebih sulit dilaksanakan. Ruang penyakit dalam RSUD Sumedang merupakan ruang rawat inap yang dikhususkan untuk pasien dengan penyakit dalam tanpa adanya prosedur pembedahan sehingga penanganan medis di ruangan tersebut lebih banyak mengandalkan pengobatan. Hasil penelitian Astuti (2008) tentang deskripsi tugas perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang penyakit dalam di RSUD Pemangkat Kabupaten Sambas, menunjukkan bahwa kegiatan keperawatan langsung berupa adanya komunikasi kepada pasien, pemberian obat dan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan eleminasi. Pemberian terapi obat merupakan salahsatu peran perawat yang sering dilaksanakan di ruang penyakit dalam, oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan perawat yang mumpuni dalam melaksanakan pemberian terapi obat terutama obat-obatan yang paling sering diberikan di ruangan tersebut. Kompetensi perawat dalam menjalankan pemberian obat menjadi suatu keharusan agar perawat dapat menjalankan peran dan fungsi dependent dalam pemberian obat sesuai dengan aturan dan terhindar dari malpraktek. Pengetahuan perawat tentang pemberian obat akan menentukan level dari kompetensi yang 86 dicapai (novice, advanced beginner, competent, proficient, expert). Menurut Patricia Alexander (1997, 1998, in in Ormrod 2004 ; Dreyfus brothers 2005, in Dent et all, 2009) Pada level novice, pada tahapan ini seseorang masih memiliki persepsi yang sempit, pengetahuan masih awam, lebih sering terjadi kesalahpahaman dalam memahami sesuatu, serta tidak bisa membuat keputusan. Level kedua yaitu advanced beginner ditandai dengan mulai memperoleh pengalaman, persepsi terhadap situasi sekeliling masih terbatas. Level ketiga yaitu Competent, ditandai kemampuan mengatasi masalah, memiliki kesadaran secara terencana, dan menunjukan performa sesuai standar. Level kelima proficient yaitu menilai sesuatu secara holistik, memahami penyimpangan dari tanda tanda normal, masih sulit untuk membuat keputusan,, menggunakan panduan dengan modifikasi. Level kelima yaitu Expert seseorang sudah memiliki intuisi untuk mengatasi masalah berdasarkan pemahaman, pendekatan analitis, pandangan tentang prediksi kedepan yang mungkin terjadi. Melihat hasil penelitian, kemungkinan pengetahuan perawat berada pada level pertama yaitu novice dan kedua yaitu advanced beginner. Dimana perawat belum dapat membuat keputusan atau persepsinya masih terbatas dalam hal terapi pemberian obat. Perawat memiliki peran dalam pemberian terapi obat (Perry & Potter, 2005; 1008-1011), diantaranya adalah ; memantau respon klien terhadap pengobatan, memberikan pendidikan untuk klien dan keluarga tentang program pengobatan, menginformasikan kepada dokter kapan obat efektif, tidak efektif atau tidak dibutuhkan lagi, menentukan apakah klien harus menerima obat pada waktunya, mengkaji kemampuan klien untuk menggunakan obat secara mandiri dan menggunakan proses keperawatan untuk mengintegrasikan terapi obat ke dalam perawatan. Kesimpulan Hasil penelitian di atas menunjukkan kurangnya pengetahuan perawat tentang terapi pemberian obat, yaitu tidak adanya perawat dengan pengetahuan baik, 3.58% dengan pengetahuan cukup, dan sisanya 96.42% dengan pengetahuan kurang. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Conceptual Knowledge. Pengetahuan konseptual lebih memberikan gambaran pemahaman seseorang tentang mengapa sesuatu terjadi, bagaimana sesuatu itu bisa terjadi, dan mengapa suatu prosedur lebih efektif dibanding prosedur yang lain (Anderson , 1995; Byrnes, 2001, dalam Ormrod 2004; 203). Saran 1. Bagi peneliti dan akademisi Untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk melanjutkan penelitian tentang procedural knowledge atau psychomotor skill perawat dalam pemberian obat ke pasien, atau menghubungan antara pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan obat ke pasien. 2. Bagi rumah sakit Kurangnya pengetahuan perawat tentang konsep dasar obat dapat ditingkatkan dengan adanya nursing conference yang sistematis dan terjadwal mengenai obatobatan dan peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat, atau dengan memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengikuti pelatihan/seminar yang berhubungan dengan pemberian obat. 3. Bagi profesi keperawatan Diharapkan profesi selalu melakukan evaluasi terhadap kompetensi perawat yang sesuai dengan peran dan fungsi perawat sehingga institusi pendidikan dapat menterjemahkan kompetensi tersebut ke dalam kurikulum pendidikan keperawatan. 87 Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi kesehatan & ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Priharjo, Robert. (1996). Praktik keperawatan profesional, konsep dasar & hukum. Jakarta: EGC. Potter, Patricia A & Perry, Anne G, alih bahasa Yasmin Asih dkk. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan praktek, Edisi 4. Jakarta: EGC. Praptianingsih, Sri. (2006). Kedudukan hukum perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ormrod, Jeanne Ellis. (2004). Human learning. United States of America: Upper Saddle River. Stein, Alice M & Miller, Judith C. (2000). NCLEX – RNTM review 4th edition. United States of America: National Student Nurses Association. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1989). Kamus besar bahasa Indonesia cetakan kedua. Balai Pustaka, Jakarta. Anonim. Pengetahuan. http://id.m. Wikipedia.org. diakses tanggal 31 Juli 2012. Astuti. 2008. Deskripsi tugas perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang penyakit dalam di RSUD pemangkat kabupaten Sambas. http/undip.ac.id diakses tanggal 31 juli 2012. Robert Prihardjo. Teknik dasar pemberian obat bagi perawat. http/books.google.com. diakses tgl 30 Juli 2012. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit PP No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Ucapan Terima Kasih Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada direktur RSUD Kabupaten Sumedang dan seluruh responden serta semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Billings, Diane M. (2002). NCLEX-RN Sevent Edition. USA: Lippincott. Goodman & Gilman. (2008). Dasar farmakologi terapi volume 2. Alih bahasa Amir Musadad, dkk. Jakarta: EGC. Harden, Ronald M & Dent, John A. (2009). A practical guide for medical teachers. USA: Churchill Livingstone. Hastono, Sutanto Priyo. (2001). Modul analisa data. Jakarta: FKM Universitas Indonesia. Helm, Ann. Alih bahasa Helwiyah Ropi & Heni Mediani S. (2006). Malpraktik keperawatan: menghindari masalah hukum. Jakarta: EGC. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. Jakarta: Salemba Medika. Kathleen et. al. Alih bahasa Yuyun Y & Budi S. (2007). Praktik keperawatan profesional, konsep & persfektif. Jakarta: EGC. Katzung, Bertram G. Alih bahasa Staf Dosen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya. (1998). Farmakologi dasar dan klinik, edisi VI. Jakarta: EGC. Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan praktek keperawatan profesional. Jakarta: EGC. Lehne, Richard A. (2001). Pharmacology for nursing care. United States of America: W.B. Saunders Company. 88 PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL                 Jurnal Persada Husada Indonesia menerima naskah ilmiah mengenai hasil penelitian, tinajaun hasil-hasil penelitian, metodologi dan pendekatan-pendekatan baru dalam penelitian yang berkaitan dengan dunia kesehatan Naskah yang dikirim merupakan naskah asli dan belum pernah diterbitkan sebelumnya Naskah yang telah diterbitkan menjadi hak milik redaksi dan naskah tidak boleh diterbitkan dalam bentuk apapun tanpa persetujuan redaksi. Jenis naskah yang diterima redaksi adalah hasil penelitian atau kajian analitis di bidang Ilmu Kesehatan. Artikel ditulis dengan Times New Roman, ukuran 11, spasi 1.15 dan dalam format dokumen berukuran A4 (210mm x 297mm) dengan margin atas 3.5cm, bawah 2.5cm, kiri dan kanan 2.5cm, rata kanan-kiri.. Isi dokumen, sudah termasuk tabel, grafik, gambar tidak boleh lebih dari 15 halaman. Hudul harus singkat, informatif dan tidak lebih dari 16 kata. Artikel dibuat 2 kolom Sistematika penulisan naskah hasil penelitian meliputi: judul bahasa Indonesia, nama penulis, judul bahasa Inggris, abstrak bahasa Indonesia disertai kata kunci, abstrak bahasa Inggris disertai kata kunci, pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, saran, ucapan terimakasih (bila ada), dan daftar pustaka. Judul naskah menggambarkan isi pokok tulisan secara singkat, jelas dan informative. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ringkasan judul (tidak lebih dari 40 karakter) hendaknya juga disertakan. Nama penulis ditulis lengkap disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat penulis bekerja. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris dan tidak lebih dari 250 kata serta intisari seluruh tulisan, meliputi : tujuan, metode, hasil dan simpulan. Di bawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words). Pendahuluan berisi latar belakang justifikasi mengapa penelitian itu dilakukan, perumusan masalah, tinjauan pustaka Metodeberisi desain dan jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel, cara pengumpulan data dan instrumen penelitian, teknik pengolahan dan analisis data. Hasil dan Pembahasan. Hasil dikemukakan dengan jelas bila perlu dengan ilustrasi (lukisan, grafik, diagram) atau foto. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu diuraikan panjang lebar dalam teks. Garis vertikal dan horizontal dalam tabel dibuat seminimal mungkin agar memudahkan penglihatan. Tabel, grafik dan gambar diberi nomor urut angka disertai judul dan keterangan yang lengkap. Pembahasan menerangkan arti hasil penelitian, bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat memecahkan masalah, perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu serta kemungkinan pengembangannya. Daftar pustaka, disusun alfabetis menurut sistem Harvard. Setiap nama pengarang diberi nomor urut sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan mencantumkan: (a)untuk buku: nama-nama penulis, editor, penerbit, tahun, dan nomor halaman. (b) untuk terbitan berkala: nama-nama penulis, judul tulisan, judul terbitan (disingkat sesuai dengan Index Medicus), volume, tahun, dan nomor halaman. (c) Internet: website, judul naskah, waktu unduh. Ketentuan penulisan sebagai berikut: Jarak spasi yang digunakan 1.15 spasi. Baris kedua setiap pustaka dimulai menjorok ke dalam dengan 5 ketukan. Urutan penulisan artikel berdasarkan abjad tanpa diberi nomor. Penyerahan Naskah dalam bentuk print out naskah dan satu CD yang berisi naskah. Naskah juga dikirim melalui e-mail kepada penyunting dengan alamat phi.jurnal@gmail.com Tiap naskah akan ditelaah oleh reviewer dan/atau mitra bestari. Naskah yang diterima dapat disunting atau dipersingkat oleh reviewer. Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak dapat diperbaiki oleh reviewer dikembalikan lagi kepada penulis. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis. 89