[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Mitos Islam Masuk ke Nusantara Abad ke-13 By MOEFLICH HASBULLAH Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Di antara teori Islamisasi yang terkenal di Indonesia dan banyak diajarkan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah adalah mitos bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad-13 dari Gujarat, India. Mitos ini ditiupkan oleh para sarjana Belanda seperti Snouck Hurgronje untuk tidak mengakui bahwa Islam masuk ke Nusantara jauh lebih awal. Teori ini adalah mitos karena mengabaikan fakta-fakta sejarah yang banyak pada abad-abad sebelumnya, sejak abad ke-7 hingga abad ke12. Kekeliruan abad ke-13 sudah banyak dibuktikan oleh para sejarawan yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sudah banyak ditemukan pada abad-abad sebelumnya dengan fakta-fakta yang sangat banyak. Sederetan sarjana yang mengemukakan pendapat itu adalah adalah Crawfurd, Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, J.C. van Leur, T.W. Arnold, al-Attas, Djajadiningrat, Hamka, Mukti Ali, Azyumardi Azra, Ahmad Mansur Suryanegara dan lain-lain. Mereka berkesimpulan Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8 saat Kerajaan Sriwijaya masih berdiri mengembangkan kekuasaannya. Argumen dan bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Selat Malaka pada abad ke-7/8 sudah ramai dilintasi para pedagang Cina dan Muslim dalam pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman T’ang pada abad tersebut, masyarakat Muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan Sumatra (SNI III, 1993: 1; Groeneveldt, 1960: 14; Hourani, 1951: 62). Para pedagang itu kemungkinan besar adalah utusan-utusan Bani Umayah. Kedatangan mereka dalam rangka penjajagan perdagangan sebelum datang dalam jumlah massal pada abad-abad berikutnya. Demikian juga Hamka. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M berdasarkan catatan Tiongkok bahwa saat itu datang seorang utusan raja Arab bernama Ta Cheh atau Ta Shi (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling atau Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima (SNI III, 1993: 180). Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Po-sse dan Ta-shih K-uo. Menurut Rose Di Meglio, istilah “Po-sse” menunjukkan jenis bahasa Melayu, tapi “Ta-shih” hanya untuk menunjukkan orang-orang Arab dan Persia, bukan Muslim India (SNI, III, 1993: 181). Juneid Parinduri kemudian memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus Tapanuli ditemukan sebuah makam bertuliskan Ha-Mim yang berarti tahun 670. Semua fakta tersebut tidaklah mengherankan mengingat bahwa pada abad ke-7, kawasan Asia Tenggara memang merupakan lalu lintas perdagangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar yang sedang manggung yaitu Cina dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14) dan Dinasti Umayyah (660-749). Interaksi kerajaan besar ini menyisakan banyak peninggalan dan buktibukti sejarah.Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah datang empat orang Muslim dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang kedua menetap di kota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Coang Chow.Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang mubaligh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan saja mendirikan masjid di Canton, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi). Karena itu, sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah perkembangan Islam di negeri mereka, yang dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri, sejak abad ke-7 dan sesudahnya. Makin banyak orang Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubaligh yang secara khusus melakukan penyebaran Islam. Bukti-bukti di atas terang sekali menjelaskan bahwa sudah terbangun jaringan perdagangan internasional antar Mandagaskar (Afrika), Arab, Jawa (Nusantara) dan Cina yang berpusat di Khanfu (Kanton). Tak heran bila kemudian ditemukan banyak peninggalan-peninggalan historis di seputar kawasan kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-13. Bukti-bukti sejarah menunjukkan adanya orang-orang Islam yang sifatnya masih individual di beberapa tempat di Nusantara yang datang melalui aktifitas perdagangan baik sebagai utusan, rombongan dagang maupun peninggalan batu-batu nisan yang bertarikh abad ke-7/8. Denys Lombard (2005, II: 22) menemukan sumber-sumber sejarah paling tua yang menggambarkan perkembangan kehadiran orang-orang Arab Muslim tersebut dua abad kemudian (9/10) dari naskah-naskah berbahasa Arab.Menurutnya, ada tiga sumber sejarah tertua karya penulis-penulis Arab yang banyak menceritakan tentang hubungan dagang internasional melalui jalur Asia Tenggara itu: Relation de la Chine et d’l Indie karya Ibnu Hurdâdbeh tahun 881; Prairies d’or karya karya Mas’udi (w. 956); dan kisah Merveilles d l’Indie karya kapten kapal Bozorg Ibn Shahryâr, tahun 956. Sumber-sumber itu banyak mengisahkan hubungan antara perdagangan Arab dengan Nusantara (dalam hubungan jalur perdagangan Afrika, Arab, Sumatra, Jawa dan Cina yang terbangun sejak abad ke-7/8). Istilah “Jâvaga” (Pulau Jawa), “orang waq-waq” (sebutan untuk orang Nusantara) dan “Muslim” banyak disebut-sebut dalam sumber-sumber tersebut. Mengutip Mas’udi, Lombard menjelaskan, di Kanton pada abad ke-9, bertemulah “kapal-kapal yang datang dari Basra, Sirâf, Oman, kotakota India, kepulauan Jâvaga, Campa dan kerajaan-kerajaan lain.”Seperti dikutip Lombard juga, Mas’udi pun menceritakan pemberontak Huang Chao yang menghancurkan perdagangan pada tahun 879, “200 orang Muslim, Nasrani, Yahudi dan Majusi waktu itu telah tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika mereka lari dikejar-kejar.” Bandar-bandar dagang di Sumatra saat itu, berada dalam kekuasan kerajaan Sriwijaya. (Lihat Lombard, terutama hal. 22 – 29). Melihat hubungan dagang yang luas dan intensif tersebut, orang-orang Arab Muslim sudah terbiasa memasuki kepulauan Nusantara sejak zaman Sriwijaya yang berlangsung sejak abad ke-7/8M. “Tampaknya,” kata Ricklefs (1993: 3), “para pedagang yang beragama Islam sudah ada di beberapa bagian Indonesia selama beberapa abad sebelum agama Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat-masyarakat lokal. ”Sebenarnya, polemik teori awal masuk Islam ke Nusantara “sudah selesai” sejak tahun 1963 dengan diselenggarakannya Seminar Nasional Masuknya Islam ke Indonesia di Medan yang menghadirkan para ahli dan dikoordinatori oleh Dr. A. Mukti Ali (Hasymy, 1993). Seminar itu menghasilkan kesimpulan bahwa Islam masuk ke kepulauan Indonesia sejak abad pertama hijriyah atau abad ke-7/8 Masehi dengan fakta-faktanya yang banyak. Kesimpulan seminar itu sejalan dengan kajiankajian sarjana asing atau domestik. Sejarah Nasional Indonesia (SNI) 6 jilid, sebagai buku standar sejarah Indonesia pun banyak megulas fakta tentang abad ke-7/8 ini. Dari penjelasan gamblang di atas, jelaslah teori abad ke-13 dari Gujarat India sudah out of date alias sudah kuno. Dengan banyaknya sarjana-sarjana yang mengemukakan fakta-fakta yang banyak tentang Islamisasi jauh sebelum sebelum abad ke-13, teori ke-13 adalah mitos yang sudah harus ditinggalkan! Orang yang masih berpandangan begitu karena kurang gaul dan kurang piknik!![] (Untuk pengutipan, lihat sumbernya: Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 1-12).