Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Perkenalkan nama saya Idris Affandi, saya salah seorang santri perantauan asal Padang di salah satu pondok pesantren modern di pulau Jawa tepatnya di Jawa Timur. Kuakui, sebelumnya sering malu kalau orang lain mengetahuiku pernah jadi santri. Kadang sering mangkir pernah jadi santri. Tapi belakangan malah bangga. Aku bangga sebab punya pengalaman hidup yang lebih dari anak-anak kota pada umumnya. Banyak ilmu yang aku dapatkan dari pesantren baik ilmu dunia tentang matematika, fisika, kimia dan biologi maupun ilmu akhirat. Didalam pesantren aku memiliki dua orang sahabat yan begitu dekat dan akrab denganku, mereka adalah Alwi dari Jakarta dan Samsul dari Banten. Kedua sahabat itulah yang selalu membuatku berasa memiliki saudara sekaligus keluarga karena kelucunan dan candaan mereka. Pernah pada suatu hari kami bertiga dihukum oleh ustad kami karena kami membawa sebuah handphone, sedangkan peraturan dalam pesantren tidak diperkenankan membawa handphone. Akhirnya kami mendapatkan hukuman yaitu rambut kepala kami diplontosin dan disuruh membersihkan WC selama seminggu. Kehidupanku di pesantren tidak selalu mengenakan selalu pasti ada fase dimana saya merasa jenuh dan bosan berada di pesantren. Fase yang membuat saya jenuh dan bosan yaitu di waktu memasuki waktu libur lebaran, kedua temanku begitu dengan mudahnya berkumpul dengan keluarga mereka dan saya hanya menghabiskan waktu lebaran di Pesantren dengan santri-santri rantauan lainnya yang hanya bertemu via suara dengan ayah dan ibu saya. Ingat waktu pertama kali masuk pesantren di suruh kedua orang karena paksaan, mengingat saya termasuk anak yang bandel di rumah sering pulang rumah magrib, pergi tanpa pamit dengan orang tua dan jarang mendengarkan kata-kata orang tua apabila sedang di nasihati. Waktu itu saya masuk pesantren yaitu kelas 2 SMA, awal orang tua menyuruh pesantren, saya menolak dan dalam pikiran saya pesantren itu bagaikan sebuah penjara dimana kita tidak boleh bawa handphone, makan diatur, tidur diatur, dan antara lelaki dan perempuan dipisah, tetapi pada waktu itu orang tua menginginkan saya untuk masuk pesantren guna memperbaiki akhlak dan tingkah laku saya. Saya ingat pesan orang tua saya waktu itu " Nak, ayah dan ibu mu ini mengingankan kau menjadi anak yang shaleh, berbakti pada orang tua, berguna bagi orang banyak. Pesantren ini untuk kebaikanmu juga nak. Belajarlah ngaji kau di pesantren, rajinlah kau shalat dan banggakan kedua orang tuamu ini " , ucap ayah kepadaku dengan meneteskan air mata. Mendengar isakan tangis ayah, saya baru sadar dan merasakan betapa besar cinta ayah dan ibu saya, dengan nada tersendak aku bicara pada orang tuaku " baiklah ayah, ibu, aku akan mengikuti arahan ayah dan ibu untuk menuntut ilmu di pesantren ini,
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Di sinilah letak afinitas dari aspek pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai suatu yang mengikat kebebasan seseorang. Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan, karena dari sepanjang perjalanan hidup manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturitas nilai-nilai kehidupan. Hal itu sejalan dengan salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU SISDIKNAS RI No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan di sisi lain manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia, maka semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur‟an surat al-Mujadalah ayat 11 Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Depag RI, 1974: 911). Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai mencermati sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti, karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud. Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus di seputar pesantren menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai fokus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “subkultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang ber-tipologi unik dan menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984: 32). Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri yang unik, sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal), sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71). Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang mampu melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Pesantren sebagai salah satu format lembaga pendidikan dipercaya sebagai formula jitu yang dapat menangani permasalahan-permasalahan umat dewasa ini, mengingat perkembangan dunia pendidikan dewasa ini tampak sangat memprihatinkan. Tidak hanya pendidikan Islam saja bisa dengan tanpa mengurangi nilai-nilai dan pandangan hidup yang sudah berjalan di pesantren. Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak memandang strata sosial, lembaga ini dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, laki-laki perempuan, tua-muda, miskin kaya, mereka semua dapat menikmati pendidikan di lembaga ini. Dan satu hal yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, di antara pemikiran mereka diwarnai dengan pola pendidikan pondok pesantren. Di banyak tempat istilah yang identik dengan pondok pesantren ini juga mempunyai banyak persamaan nama, di Jawa dan Madura istilah yang sering digunakan adalah pondok (Dhofier, 1984: 18) atau pondok pesantren (Ali, 1987: 15), sedang di Aceh dikenal dengan istilah “Dayah, Rangkang, atau Meunasah/ Madrasah (Hasbullah, 1999: 32), adapun di Minangkabau pesantren lebih dikenal dengan istilah “Surau”, sedangkan di Pasundan institusi ini disebut dengan “Pondok” (Raharjo, 1985: 2). Sebagai lembaga pendidikan lanjut, pesantren merupakan tempat yang mengkonsentrasikan para santrinya untuk diasuh, dididik dan diarahkan menjadi manusia yang paripurna oleh kyai atau guru.
sejarah berdiri, tokoh sentral dan dinamika pendidikan yang ada di sana dari masa ke masa
Khurul Munawaroh
SEJARAH PESANTREN DI INDONESIA2021 •
KHURUL MUNAWAROH 191030005 PENDAHULUAN Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini. Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam separti pesantren yang mampu bertahan disamping karena "modelnya". 1 Sifat ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan Kyai dan Santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan. Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga paling tidak mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: Tawuran. Sehingga pada 1 Azyumarid Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet.II, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2000. h. 95
2022 •
Puede parecerte extraño, pero Kumara Kasyapa es en realidad Kumari Kasyapa. En la traducción china del sutra, se trata de una mujer, aunque en la tradición pali, Kasyapa era un hombre. El maestro Xiao PingShi de nuestra asociación ha escrito un libro para mostrar la evidencia de que en realidad Kasyapa era una mujer, en el futuro traduciremos este libro. Este sutra relata la conversación entre un brahmán y Kumari Kasyapa. Forma parte de la compilación del Agama sutra, que suele considerarse una compilación fundamental del budismo. Mucha gente cree que en el budismo se discrimina a las mujeres, que estas no pueden alcanzar la iluminación y que incluso son inferiores a los hombres. En realidad, esto es un malentendido sobre el budismo, y esta escritura sería la mejor evidencia de que las bhikkhunis (monjas) también pueden alcanzar la iluminación y guiar a los bhikkhus (monjes) a continuar su práctica. De hecho, el Buda dijo que todos los seres son iguales en cuanto a su potencialidad de llegar a iluminarse. Por ejemplo, en el Sutra del Diamante podemos encontrar lo siguiente: "Todos los dharmas son iguales, no hay superiores ni inferiores. Se dice que la persona que ha sido capaz de observar este aspecto ha alcanzado anuttara-samyak-sambodhi (verdadera iluminación suprema y última)”. Igualdad significa que todos los seres sensibles tienen la verdadera naturaleza de Buda, el tathagatagarbha. Es esta naturaleza de Buda la que hace posible el karma y la reencarnación. Si debemos dinero a otra persona en el pasado y nos encontramos con ella en esta vida, sin saberlo, querremos ofrecerle dinero. Del mismo modo, si hemos matado a alguien en el pasado, corremos el riesgo de que esa persona nos mate cuando nos encontremos con ella en esta vida. La naturaleza búdica es idéntica en todos los seres sensibles, por lo que la forma en que tratamos a los demás es la forma en que ellos nos tratarán a nosotros. Aunque esta historia no nombra explícitamente esta naturaleza de Buda, describe continuamente sus características. Disfruta de la lectura. Association du Vrai Cœur, Francia.
2008 •
In this paper the measurement of a resistance by means of a Wheatstone bridge in which the detector is a digital voltmeter (DVM) is investigated. The relationships for the determination of the Wheatstone bridge resistances in order to accurate measurement of a resistance are derived. To validate the derived relationships some experimental results are carried out.
Hugo Miguel Crespo (ed.), A Arte de Coleccionar. Lisboa, a Europa e o Mundo na Época Moderna (1500-1800). The Art of Collecting. Lisbon, Europe and the Early Modern World (1500-1800), Lisboa, AR-PAB, 2019, pp. 55-77
"Um diamante gravado para D. Sebastião I de Portugal no Palazzo Pitti. An engraved diamond for Sebastião I of Portugal in Palazzo Pitti"2019 •
Open Journal of Earthquake Research
Forecasting the Epicenter Area of a Future Strong Earthquake2024 •
It is clear from the literature data that the geometric characteristics of the seismogenic source are directly related to the nucleation of their strong earthquakes. Our study starts from the observation of the proximity relationship between the epicenter of a strong earthquake and the surface trace of the seismogenic source. The proposed model is based on the mathematical analysis of seismicity falling within an area, through a polynomial function to determine a curve. The experimental results of our model confirm that 97% of the epicenters of strong earthquakes are located near the concavities or at the inflection points of the polynomial curve. Only 3% of strong earthquakes are located at the edges of the analyzed areas, where the number of data is not significant. The proposed model makes it possible to locate, with good approximation, the areas most likely to be the site of future strong earthquakes.
In: Marcos Alcino de Azevedo Torres; Maurício Jorge Pereira da Mota; Emerson Affonso da Costa Moura. (Org.). Direito à moradia digna. 2ed.Rio de Janeiro: Lumen Juris, 2024, v. 1, p. 221-250.
O direito à moradia no Código Civil (The right to housing in the Civil Code)2024 •
No Brasil, o Código Civil não trata a moradia como um princípio e — à exceção do direito real de habitação (arts. 1.414 a 1.416 e art. 1.831 do Código Civil c/c parágrafo único do art. 7º da Lei nº. 9.278/1996) — sempre a associa à realização ou à eficácia da tutela interdital da posse ou de um direito real. Quer dizer, a moradia dá direito à propriedade (usucapiões), dá direito à manutenção na posse (turbação), dá direito à adjudicação compulsória (direito real do promitente comprador), dá direito à regularização imobiliária (laje e puxadinho). O que se tem no Código Civil, então, é um direito à conservação da moradia, que decorre por meio da tutela judicial possessória, reipersecutória e publiciana e da tutela administrativa (regularização).
Citizenship Studies
The dilemmas around digital citizenship in a post-Brexit and post-pandemic Northern Ireland: towards an algorithmic nation?2022 •
Northern Ireland (NI) has pervasively been a fragile and often disputed city-regional nation. Despite NI's slim majority in favour of remaining in the EU, de facto Brexit, post-pandemic challenges and the Northern Ireland Protocol (NIP) have revealed a dilemma: people of all political hues have started to question aspects of their own citizenship. Consequently, this article suggests an innovative approach called 'Algorithmic Nations' to better articulate its emerging/complex citizenship regimes for this divided and post-conflict society in which identity borders and devolution may be facilitated through blockchain technology. This article assesses implications of this dilemma for a city-regionalised nation enmeshed within the UK, Ireland and Europe. This article explores digital citizenship in NI by applying 'Algorithmic Nations' framework particularly relating to intertwined (i) cross-bordering, (ii) critical awareness, (iii) digital activism and (iv) post-pandemic realities and concludes with three dilemmas and how 'Algorithmic Nations' framing could better integrate NI's digital citizenship.
2021 •
Baghdad Science Journal
Improved Image Security in Internet of Thing (IOT) Using Multiple Key AES2021 •
Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endodontology
The use of rhBMP-2 in the osseous restoration of cleft palate defects without the use of bone grafting2006 •
Journal of updates in Pediatric Dentistry
Parental attitudes and parenting styles in paediatric dentistry: A review of the current literature2021 •
Plankton and Benthos Research
Fine structures of the mantle tissue in the pinkish-brown salp <i>Pegea confoederata</i> (Tunicata: Thaliacea)2018 •
Journal of Applied and Natural Science
Efficient Deep Learning model for de-husked Areca nut classification2023 •
Comparative Exercise Physiology
Effects of minimalist and maximalist footwear on Achilles tendon load in recreational runners2015 •