[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

KAIDAH-KAIDAH AL JARH WA AT TA'DIL

choir934@gmail.com (Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta) KAIDAH-KAIDAH AL JARH WA AT TA’DIL A. SYARAT-SYARAT AL JARH DAN AT TA’DIL Al jarh dan at ta’dil mempunyai dua macam syarat, yaitu: pertama, syarat Ulama yang boleh melakukan al jarh dan at ta’dil dan kedua, syarat diterimanya al jarh dan at ta’dil. Adapun syarat ulama yang akan melakukan al jarh dan at ta’dil itu, sebagai berikut: 1. Berilmu, bertaqwa, warak dan jujur. 2. Mengetahui sebab-sebab al jarh dan at ta’dil. 3. Mengetahui penggunaan lafadz dan ungkapan bahasa Arab sehingga lafadz yang digunakan tidak terpakai kepada selain maknanya yang tepat dan tidak menjarh dengan lafadz yang sebenarnya tidak digunakan untuk al jarh. 4. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak diterima. 5. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia memenuhi syarat sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan ulama.1 Sementara syarat-syarat diterimanya al jarh dan at ta’dil itu, sebagai berikut: 1. Al Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.2 2. Penilaian jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat yang sama sekali tidak ada yang menta’dilnya dapat diterima. 3. Al Jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya.3 B. PROSEDUR PENETAPAN AL JARH DAN AL TA’DIL Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama ahli al jarh dan al ta’dil yang digunakan sebagai prosedur penetapan al jarh dan al ta’dil, yaitu: 1. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad ibn Sirin: “Sungguh Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu. Jami’ah Al-Azhar: Mesir. 1998.hal:40-41 dan 74 2 Ibid, hal. 40 3 Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits.PT Alma’arif : Yogjakarta.1970.hal.310-311 1 1 choir934@gmail.com (Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta) engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukankeburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”. 2. Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Ulama tentang al jarh dan al ta’dil kita bisa menemukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk beluk perawi yang mereka kritik. 3. Mematuhi etika al jarh dan al ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penelitian ilmiah. Ungkapan paling keras yang mereka kemukakan adalah “Fulan Wadhdha” (Fulan tukang palsu), “Fulan kadzdzb” (Fulan tukang dusta), “Fulan Yaftari al-Kadziba Ala ash-Shahabat ra.” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra.) atau ungkapan-ungkapan lain yang mereka berikan untuk orang yang memalsukan hadits. 4. Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-ungkapan Imam-Imam al jarh dan al ta’dil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab at ta’dil mereka terhadap para perawi. Karena sebab-sebab at ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh yang umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas ulama menerapkan prinsip semacam ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if (lemah).4 C. CARA MENGETAHUI KEADILAN SEORANG PERAWAI Keadilan seorang rawi dapat mengetahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut: 1. Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan al-Sauri, Sya’ban bin al-Hajjaj, ash-Syafi’iy, Ahmad dan lain-lain. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya. 4 Ash-Shidieqy, T.M. Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II). Bulan Bintang: Jakarta.1976.hal:217-218 2 choir934@gmail.com (Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta) 2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.5 Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh: a. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. b. Demikian pendapat kebanyakan muhadditsin, berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi. c. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebabsebab yang dapat mengadilkannya. Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat ditempuh dengan dua jalan: a) Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. b) Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya. c) Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebabsebabnya dia cacat.6 Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para muhadditsin, sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.7 D. PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH DAN AL-TA’DIL Kadang-kadang pernyataan-pernyataan tentang al jarh dan al ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sedang sebagian lain 5 Op.Cit.Abdul Mahdi.hal:29 Ibid, hal. 79 7 Ibid, hal. 29 6 3 choir934@gmail.com (Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta) menta’dilkannya. Jika hal demikian tersebut terjadi, maka sebagai solusinya ada beberapa pendapat ulama yang dapat dipegangi yakni: 1. Mendahulukan jarh dari pada at ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak dari pada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil. 2. Ta’dil didahulukan dari pada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang menta’dil meski lebih banyak jumlahnya, tidak memberitakan apa yang bisa menggah pernyataan yang mentajrih. 3. Bila al jarh dan al ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.8 8 Ibid.hal:89-95 Op., Cit, Abdul Mahdi, hal. 89 4 choir934@gmail.com (Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta) DAFTAR PUSTAKA Ash-Shidieqy, T.M. Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II). Bulan Bintang: Jakarta.1976. Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT Alma’arif : Yogjakarta.1970. Mahdi. Abdul, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu. Jami’ah Al-Azhar: Mesir. 1998. 5