[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
PIAGAM AYLIA Oleh: Indra Ari Fajari dan Muhammad Taqiyuddin Pendahuluan Islam dalam sejarah dan peradabannya berkontribusi dalam elaborasi hak asasi manusia. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah landasan utama Rasulullah dan para sahabat dalam penyusunannya. Piagam Madinah merupakan salah satu contoh Piagam yang sukses disusun oleh para sahabat. Adalah Pagam Ayla, piagam yang disusun oleh Umar bin Khattab dalam menetapkan batasan-batasan kebebasan beragama demi menyatukan ummatnya. Peradaban Barat mendeklarasikan kebebasan beragama dalam UDHR (Universal Declaration of Human Rights) mulai 19 Desember 1948. Dasar adalah piagam yang ditandatangani oleh Raja yaitu berwujud sebagai Magna Charta. Kejadian tersebut adalah starting point pengakuan hak-hak asasi manusia di dunia Barat pada masa itu, setelah runtuhnya dogma dan otoritas gereja oleh para ilmuwan. Para filosof dan ilmuwan selanjutya menyatakan kebebasan atas pengaruh agama terhadap kebebasan individu, dikuatkan lagi dengan Magna Charta pada 15 Juni tahun 1215 yang membatasi kekuasaan Inggris terhadap kebebasan absolut pada zaman raja John, secara singkat isinya tentang kebebasan hak warga dan gereja Inggris. Isu tentang kebebasan beragama dalam hak asasi manusia terdengar sangat universal bahkan seluruh dunia, sehingga negara-negara di dunia bersepakat untuk menjalankan konsep tersebut walaupun konsep dan pengertiannya masih terpengaruh oleh worldview peradaban Barat. Terlebih lagi beberapa tokoh-tokoh di negara Islam hanyut mengikuti arus worldview peradaban Barat tersebut. Indonesia yang notabene dengan populasi muslim terbesar di Asia juga turut berpartisipasi dengan mendirikan KOMNASHAM yang mana konsepnya masih mengadopsi worldview Barat terkecuali beberapa pasal tertentu. Jika merujuk pada sejarah Islam konsep-konsep hak asasi manusia sudah pernah dirumuskan dalam al-Qur’an yang diaplikasikan oleh Rasulullah dengan adanya Piagam Madinah. Konsep kebebasan tersebut sudah final dengan wafatnya Rasulullah. Para Sahabat kemudian melanjutkan implementasi konsep tersebut dalam kehidupan bertetangga dan bernegara dengan penduduk Yahudi dan Nasrani. Salah satu contohnya adalah pemberian kebebasan beragama dalam Piagam Aylia oleh Umar bin Khattab pada penduduk Aylia di Jerussalem, Masjidil Aqso. Pembahasan Biografi Umar bin Khattab Umar Bin Abdul Khattab Bin Nufail Bin Abdul U’za Bin Riyah Bin Abdullah Bin Qurt Bin Rowah Bin A’di Bin Ka’ab Bin Lui Bin Ghalib Bin Al-Qorsyi Al-Aduwy nasabnya bertemu dengan Rasul pada ka’ab bin luay bin ghalib julukannya adalah al-faruq, karena dia berislam terang-terangan. Asholaby, D. A. (2006). Fashlu-l-khitab fi siiroti ibn-l-khattab. Emirat Arab: Maktabah Shohabah. hal. 15 Dilahirkan 13 tahun setelah tahun gajah pada masa Jahiliyah. Umar adalah salah satu pemuda yang terpelajar dan mampu baca tulis dididik dengan keras dan menggembala domba pada masa kecilnya. Beliau adalah orang yang kuat dan berkemauan keras, gemar berolah fisik, khususnya gulat dan menunggang kuda dan bersyair, beliau sering mendatangi pasar-pasar terkena seperti Ukaz dan Zulmajaz, berniaga atau bertukar pengetahuan tentang syair-syair mengenai Bahasa Arab dan kabilah-kabilahnya. Loc. Cit. (Asholaby, 2006) hal. 19 Umar mendapatkan hidayah cahaya Islam ketika melihat banyaknya kaum perempuan yang mulai berhijrah kemudian bertemu Ummu Abdillah binti Hantamah yang membaca ayat al-Qur’an dan membuat Umar terkagum. Islamnya Umar merupakan salah satu do’a Nabi yang terkabul. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ ، بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ " ، أحمد في مسنده ، والترمذي في جامعه ، وابن سعد في الطبقات ، والبيهقي في الدلائل ، كلهم من جهة خارجة بن عبد اللَّه بن سليمان بن زيد بن ثابت عن نافع عن ابن عمر مرفوعا به ، وقال الترمذي : إنه حسن صحيح غريب من حديث ابن عمر ، وصححه ابن حبان رقم الحديث: 165 كتاب المقاصد الحسنة فيما اشتهر على الألسنةMenurut Ishaq, umar masuk Islam setelah Hijrah Nabi yang pertama ke Habasyah tahun kelima, atau ada juga yang meriwayatkan di tahun keenam dari kerasulan Muhammad, M. H. (tt). Sirah wa manaqib Umar bin Khattab. tk: tp. hal. 16 . Kekhilafahan Umar bin Khattab dalam Menegakkan Syuro Syuro merupakan musyawarrah antar pejabat negara, ahli hukum dan ulama. Pada masa Umar hal tersebut mulai digalakan karena daerah kekuasaan umat Islam meluas, maka diperlukan pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat dalam menanganinya, belum lagi menjamin kesejahteraan rakyat yang saat itu sedang dalam masa perkembangan. Op. cit. (Asholaby, 2006) hal. 111 Umar sangat ingin menegaskan peraturan-peraturan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami, salah satunya dengan menegakkan keadilan bagi pejabat dan rakyat biasa. Beliau juga terkenal karena khutbahnya tentang keadilan tersebut saat dibaiat menjadi khalifah. ياأيها الناس إني داع فأمنوا. اللهم إني غليظ فليني لأهل طاعتك بموافقة الحق ، إبتغاء وجهك والدار الآخرة ، وارزقني الغلظة والشدة على أعدائك وأهل الدعارة والنفاق من غير ظلم مني لهم ، ولا اعتداء عليهم. اللهم إني شحيح فسخني في نوائب المعروف قصداً من غير سرف ، ولا تبذير، ولا رياء ولا سمعة ، واجعلني ابتغي بذلك وجهك، والدار الآخرة. اللهم ارزقني خفض الجناح ، ولين الجانب للمؤمنين. اللهم إني كثير الغفلة والنسيان ، فألهمني ذكرك على كل حال ، وذكر الموت في كل حين. اللهم إني ضعيف عن العمل بطاعتك ، فارزقني النشاط فيها ،والقدرة عليها بالنية الحسنة التي لا تكون إلا بعزتك وتوفيقك Pada zaman kekhilafahannya Beliau menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak asasi manusia, zaman itu juga menerapkan hukum-hukum Islam yang ketat dalam menjaga dan mengawal jalannya kebebasan tersebut, dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Pada zamannya pluralitas sangat kontras baik dalam segi beragama maupun berkeyakinan, akan tetapi kerukunan sangat terjaga dengan jalan membebaskan negara-negara kekuasaan yang berpenduduk non muslim dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka. Tanpa memaksa penduduknya untuk menganut ajaran Islam. Penaklukan Baitil Maqdis Dari abu Ja’far bin Jarir pada tahun 15 Hijriyah melalui riwayat Saif bin Umar meringkas sebagian apa yang dia ingat tentang peristiwa penaklukan Baitul Maqdis: “ketika Abu Ubaidah selesai mengurusi peperangan di Damaskus dia menulis surat untuk penduduk Aylia menyeru kepada Allah dan kepada agama Islam atau memilih untuk membayar jizyah, atau juga berperang, namun para penduduk Aylia tidak menjawab atas pilihan apa yang diajukan kepada mereka. Selanjutnya Abu Ubaidah dan Said bin Zaid mengepung baitul maqdis. Untuk memojokkan dan memaksa mereka menyerah, kemudian barulah mereka menjawab untuk menyerah dan mengadakan perjanjian damai namun dengan syarat, amirul mu’minin Umar bin Khattab harus menghadiri acara tersebut, kemudian Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar tentang kondisi tersebut. Katsir, I. (1998). Al-Bidayah wannihaayah. Kairo: Darul Hijroh. hal. 655 Salim bin Abdullah berkata, ketika dia menghadap Umar di Al-Jabiyyah ada seorang Yahudi berkata kepadanya, wahai pemimpin para muslimin, janganlah engkau pergi ke negeri mu sampai engkau menaklukkan Aylia. Pada waktu itu banyak pasukan-pasukan musuh berkuda yang datang dan menyerahkan senjata. Umar berkata, mereka adalah kaum yang meminta perlindungan, maka kalian harus menjamin keamanannya. Sebagian besar mereka adalah penduduk Aylia dan mereka bersepakat untuk membayar Jizyah kepada umat muslim. Peristiwa tersebut diriwayatkan oleh Khalid dan Ubadah: mereka berdua berkata bahwa penduduk Palestina yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin dan membayar Jizyah adalah para penduduk sipil, maka Umar membuat perjanjian dengan mereka sebagaimana yang dilakukan kepada penduduk Syam. Ibrahim, M. A. (1879). Tarikh Tabary, Tarikh Rasul wa-l-muluk. Mesir: Darul Ma'arif. hal. 607-608 Dan diriwayatkan juga dari Raja’ bin Haiwah bahwasannya Umar memulai penaklukan Bitul Maqdis berawal dari Al-Jaabiyah kemudian menuju Aylia dan mendekati pintu masjidil aqsa, kemudian Umar berkata La baik allahuma labaik, kemudian menuju mihrab, yaitu mihrab nabi Daud alaihissalam pada malam hari lalu shalat di dalamnya. Lalu berdiam diri hingga terbit fajar dan memerintahkan muadzin untuk berikomah, selanjutnya Umar maju bertindak sebagai imam. Pada rakaat pertama membaca surat shad dan pada rakaat kedua surat bani israil. Beliau tidak menghadap ke masjidil aqsa sebagai mana orang Yahudi dan Nasrani tetapi menghadap ke arah Ka’bah. Loc. Cit. (Ibrahim, 1879) hal.611 Isi Piagam Aylia Bismillahirrahmanirrahim Hamba Allah, Umar Amirul Mukminin dengan ini memberikan keamanan bagi warga Eliya. Aku telah memberikan mereka keamanan bagi diri-diri mereka, harta-harta mereka, gereja-gereja mereka serta keturunan mereka. Orang-orang sakit ataupun yang sehatnya berikut ajaran keyakinanya mendapatkan perlindungan. Gereja mereka jangan diambil atau dihancurkan. Mereka tidak boleh diusir tidak juga terhadap keturunanya mereka atau sedikitpun harta-harta mereka. Mereka jangan dipaksa keluar dari agamanya. Tidak boleh dianiaya. Tetapi tidak ada seorang yahudi pun yang boleh tinggal di kota Eliya ini. Warga Eliya diwajibkan membayar jizyah, sebagaimana diperlakukan kepada warga Madain. Mereka harus memisahkan diri dari Romawi dan dari para pencuri. Barang siapa yang keluar diantara mereka, maka ia akan aman, dirinya dan hartanya hingga sampai tempat perlindungan dirinya. Barang siapa yang tinggal (di Eliya) maka dia juga akan aman. Bagi dirinya sebagaimana bagi warga Eliya terkait kewajiban Jizyah. Siapa saja dari warga Eliya yang mau pergi bersama Romawi dan keluar dari perjanjian ini bersama keturunanya, maka ia aman atas dirinya, keturunanya hingga ia sampai ke tempat perlindunganya. Barang siapa yang sudah ada di sana sebelum peristiwa (pembunuhan ini), maka ia bebas. Jika mau tinggal maka baginya sebagaimana warga Eliya dari Jizyah atau ia mau pergi bersama Romawi (terserah dia) barang siapa yang kembali ke keluarganya maka tidak boleh diambil darinya sedikitpun, hingga ia memanen tanamanya. Tulisan ini adalah perjanjian dengan Allah, RasulNya, Para Khalifah Kaum Muslimin. Jika mereka memberikan apa yang diwajibkan bagi mereka berupa Jizyah. Hal ini disaksikan oleh Kholid bin Walid, Amer bin Ash, Abdurrahman bin Auf dan Muawiyah bin Supyan dan juga Sofronius dari Damascus. Di tulis dan disaksikan pada tahun 15 H. معاهدة عمر بن الخطاب مع أهل بيت المقدس (15 هجرية) صالح عمر أهل إيليا- (يعنى بيت المقدس)- بالجابية وكتب لهم فيها الصلح لكل كورة كتاباً واحداً ما خلا أهل إيليا. وأما سائر كتبهم فعلى كتاب لد على ما سيأتي بعد هذا: بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما أعطى عبد الله عمر أمير المؤمنين أهل إيليا من الأمان. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقيمها وبريئها وسائر ملتها. أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم ولا ينتقص منها ولا من حيزها ولا من صليبهم ولا من شئ من أموالهم، ولا يكرهون على دينهم ولا يضار أحد منهم ولا يسكن بإيليا معهم أحد من اليهود. وعلى أهل إيليا أن يعطوا الجزية كما يعطى أهل المدائن. وعليهم أن يخرجوا منها الروم واللصوت. فمن أخرج منهم فإنه آمن على نفسه وماله حتى يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو آمن وعليه مثل ما على أهل إيليا من الجزية يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو أمن وعليه مثل ما على أهل إيليا من الجزية ومن أحب من أهل إيليا أن يسير بنفسه وماله مع الروم يخلى بيعهم وصلبهم حتى بلغوا أمنهم، ومن كان بها من أهل الأرض قبل مقتل فلان فمن شاء منهم قعد وعليه ما على أهل إيليا من الجزية، ومن شاء صار مع الروم، ومن شاء رجع إلى أهله. فإنه لا يؤخذ منهم شئ حتى يحصد حصادهم. وعلى ما في هذا الكتاب عهد الله وذمة رسوله وذمة الخلفاء وذمة المؤمنين إذا أعطوا الذي عليهم من الجزية. شهد على ذلك خالد بن الوليد وعمرو بن العاص وعبد الرحمن بن عوف ومعاوية بن أبى سفيان وكتب وحضر سنة خمس عشر. _______________________ * بسيوني، محمود شريف، الوثائق الدولية المعنية بحقوق الإنسان، المجلد الثاني، دار الشروق، القاهرة، 2003 Kesimpulan dari Piagam Aylia atau Perjanjian Umariyyah Menurut sejarah, penaklukan Baitil Maqdis dimulai dengan dakwah pada penduduknya dan memberinya pilihan menyeru kepada Allah dan kepada agama Islam atau memilih untuk membayar jizyah, atau juga berperang, dan ini adalah salah satu contoh dari etika berperang dalam Islam. Adanya konsep toleransi beragama di Baitil Maqdis, hal tersebut dibuktikan dengan adanya kaum Muslimin yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah serta menjamin keamanan pemeluk agama lain dengan persyaratan membayar jizyah. Kewajiban membayar jizyah adalah suatu pembayaran yang diambil dari ahlu dhimmah yaitu, orang non muslim yang mendapatkan jaminan keamanan dari negara muslim. Luis ma’luf, al-munjid fillughoh walalam, Beirut, Darul Masriq, Lebanon, hal. 90 Referensi Asholaby, D. A. (2006). Fashlu-l-khitab fi siiroti ibn-l-khattab. Emirat Arab: Maktabah Shohabah. Basyunni, M. S. (2003). al-Watsaiq Addauliyyah al-ma'niyyah bihuquqi-l-insan, jilid 2. Kairo: Darussuruq. Ibrahim, M. A. (1879). Tarikh Tabary, Tarikh Rasul wa-l-muluk. Mesir: Darul Ma'arif. Katsir, I. (1998). Al-Bidayah wannihaayah. Kairo: Darul Hijroh. Ma'luf, l. (2000). Al-Munjid fillughaoh walalam. Beirut: Darul Masriq. Muhammad, M. H. (tt). Sirah wa manaqib Umar bin Khattab. tk: tp. 7