Skip to main content

    BAYU SUJADMIKO

    The cultural property becomes objects of destruction in armed conflicts, such as Syria and Iraq, which were carried out by ISIS squads (Islamic State of Iraq and Syria). For ISIS’s actions, the ICC should judge ISIS. However, new problems... more
    The cultural property becomes objects of destruction in armed conflicts, such as Syria and Iraq, which were carried out by ISIS squads (Islamic State of Iraq and Syria). For ISIS’s actions, the ICC should judge ISIS. However, new problems will arise regarding the jurisdiction of the ICC to judge ISIS. Based on the explanation of this background, the question will arise: How are humanitarian law regulations related to protecting cultural property during armed conflict? And what is the regulation of the ICC’s jurisdiction over the protection of cultural property in armed conflict by ISIS? The research in this article is normative legal research with the statue approach. According to humanitarian law, the research results show that the regulations relating to the protection of cultural property during armed conflict are contained in the 1954 Hague Convention, Additional Protocol I and Additional Protocol II of the Geneva Conventions of 1977. The destruction of cultural property carried...
    Penyelundupan benih lobster merupakan salah satu tindak pidana yang sedang marak terjadi di wilayah perairan Provinsi Lampung, hal ini diketahui berdasarkan data pada Ditreskrimsus Polda Lampung yang menunjukkan bahwa terhitung sejak... more
    Penyelundupan benih lobster merupakan salah satu tindak pidana yang sedang marak terjadi di wilayah perairan Provinsi Lampung, hal ini diketahui berdasarkan data pada Ditreskrimsus Polda Lampung yang menunjukkan bahwa terhitung sejak Tahun 2017 hingga Tahun 2019 jumlah tindak pidana tersebut cenderung meningkat.Penelitian ini akan memfokuskan pada permasalahan tentang terjadinya tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, upaya penanggulangan tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, hambatan dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, dan kerangka internasional dalam pencegahan penyelundupan benih lobster. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung terjadi karena tingginya kebutuhan lobster dari berbagai negara sedangkan di perairan Lampung memiliki potensi lobster yang cukup memadai, rendahnya kesadaran masyarakat atas dampak lingkungan, pemberian sanksi pidana kepada pelaku belum memberikan edukasi, serta pengawasan di wilayah perbatasan perairan tidak dilakukan secara optimal. Adapun upaya penanggulangan yang dilakukan adalah dengan tindakan preventif dan tindakan represif. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat paling dominan dalam tindakan preventif adalah faktor masyarakat dan faktor kebudayaan, selanjutnya dalam tindakan represif adalah faktor perundang-undangan yang mewajibkan adanya koordinasi proses penyidikan antara penyidik kepolisian dengan PPNS dan faktor penegak hukum yakni tidak semua penyidik berpendidikan sarjana hukum serta menumpuknya beban kerja. Kerangka internasional pencegahan penyelundupan benih lobster bersumber dari ketentuan yang termuat dalam UNCLOS 1982, RMFO, CCRF, IPOA, serta RPOA. Abstract Smuggling of lobster seeds is one of the crimes that is rife in the waters of Lampung Province, it is known based on data from the Lampung Police Directorate General that shows that from 2017 to 2019 the number of these crimes tends to increase. This research will focus on the problem concerning the crime of smuggling lobster seeds in Lampung Province, efforts to deal with criminal acts of smuggling lobster seeds in Lampung Province, obstacles in overcoming the crime of smuggling lobster seeds in Lampung Province, and the international framework in preventing lobster smuggling. The method used in this research is normative-empirical legal research. The research showed that the crime of smuggling lobster seeds in Lampung Province occurred because of the high demand for lobsters from various countries while in the waters of Lampung have sufficient potential lobster, low public awareness of environmental impacts, criminal sanctions for perpetrators have not provided education, and supervision in the border region waters are not carried out optimally. The countermeasures taken are preventive and repressive measures. While the most dominant inhibiting factor in preventive action is the community and cultural factors, furthermore in repressive measures is the legislation that requires the coordination of the investigation process between police investigators and PPNS and law enforcement factors ie not all investigators have a legal degree education and accumulate them workload. The international framework for preventing smuggling of lobster seeds originates from the provisions contained in UNCLOS 1982, RMFO, CCRF, IPOA, and RPOA.
    Bab I Pendahuluan I.I Latar Belakang Seiring dengan kemajuan dan perkembangan dunia teknologi, telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap lingkungan sosial dan aktivitas manusia. Banyak sekali kegiatan yang telah bertransformasi dan... more
    Bab I Pendahuluan I.I Latar Belakang Seiring dengan kemajuan dan perkembangan dunia teknologi, telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap lingkungan sosial dan aktivitas manusia. Banyak sekali kegiatan yang telah bertransformasi dan digunakan dalam rangka mengakses dan mendapatkan informasi yang cepat. Kini manusia dapat dengan mudah dan bebas dalam menggunakan fasilitas teknologi umum ataupun pribadi kapan pun dan di mana pun. Namun, dalam praktiknya, kini teknologi seperti pedang bermata dua, di mana digunakan untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa, tetapi juga efektif dalam mendukung tindak kejahatan cyber. Sehubungan dengan kekayaan intelektual dan kemajuan teknologi, hak cipta juga memasuki babak baru, yaitu era digital copyright. Proses regulasi, produksi, objek dan pendistribusian copyrighted contents mengalami perubahan yang substansial. Akibatnya, sering kali terjadi conflict interest antara proses perlindungan hak cipta dan perkembangan teknologi itu sendiri. Hari ini dengan adanya Interconnection-Networking (Internet), pelanggaran hak cipta di dunia maya semakin meningkat, dan menjadi hal biasa khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada era smartphones, online entertainments streaming, software dan didukung dengan layanan gratis di internet sudah pasti mempunyai efek yang sangat besar terhadap bentuk konsumsi dan kebutuhan masyarakat. Karya cipta sangat berpotensi dan sangat mudah untuk di rubah, di duplikasi, dijual dan di distribusikan secara ilegal di dunia maya.