Skip to main content
Rizkal  Husaini
  • Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah... more
ABSTRAK Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah Agung menetapkan hak kewarisan kepada non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah, hal ini sebagaimana yang telah diputuskan dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persoalan pokok yaitu: 1) mengenai keberadaan peraturan wasiat wajibah dalam hukum positif di Indonesia; 2) pertimbangan hukum apakah yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan hak kewarisan kepada non-Islam berdasarkan wasiat wajibah; dan 3) mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 berdasarkan ketentuan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian kualitatif serta jenis penelitian kepustakaan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, bahwa dalam Putusan Mahkamah A...
Research Interests:
Abstrak Secara yuridis, korban pemerkosaan berhak meminta restitusi (ganti kerugian) kepada kepada pelaku, namun fakta empiris menunjukkan masih adanya pihak korban maupun keluarganya yang belum menuntut restitusi. Beberapa contoh putusan... more
Abstrak Secara yuridis, korban pemerkosaan berhak meminta restitusi (ganti kerugian) kepada kepada pelaku, namun fakta empiris menunjukkan masih adanya pihak korban maupun keluarganya yang belum menuntut restitusi. Beberapa contoh putusan yang tidak diberikan ganti kerugian yaitu Nomor 0003/JN/2016/MS.Ttn. di mana perempuan tidak diberikan restitusi kepadanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan restitusi dalam penanganan kasus jarimah pemerkosaan bagi anak, apa faktor-faktor yang menghambat perealisasian ganti kerugian bagi korban dan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban dalam kasus pemerkosaan di Aceh?. metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris yakni mengkaji penerapan aturan restitusi dalam kenyataan empiris. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan hakim yang pernah mengadili perkara pemerkosaan. Penelitian dilakukan di Mahkamah Syar'iyah Takengon dan Mahkamah Syar'iyah Tapaktuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan restitusi dalam Qanun Hukum Jinayat kurang memprioritaskan kepentingan korban, karena korban harus meminta terlebih dahulu baru bisa dikabulkan oleh hakim dan berkoordinasi lebih lanjut dengan JPU. Faktor penghambat perealisasian restitusi yaitu kesadaran hukum rendah, penegak hukum kurang teliti memahami konsep restitusi, korbannya anak-anak, stigma merendahkan martabat perempua dan kelemahan finansial pelaku. Perlindungan hukum bagi anak korban yaitu adanya restitusi, anak didampingi oleh P2TP2A, dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku berupa penjara agar pelaku tidak bertemu lagi dengan anak korban. Kata Kunci: Restitusi, jinayat, pemerkosaan, cambuk A. Pendahuluan Kasus kekerasan seksual kepada anak terus meningkat. Berdasarkan data yang disampaikan oleh KPAI pada tahun 2011 hingga 2014 adanya peningkatan kasus yang signifikan. Sementara menurut data dari komnas perempuan pada tahun 2016, kekerasan seksual berada pada peringkat kedua yang berjumlah 2.399 kasus (72 %), pencabulan 601 1 Artikel ini berawal dari penelitian tim peneliti yang dilakukan pada tahun 2019. Biaya penelitian diperoleh dari dana hibah Kementerian Research dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tahun anggaran 2019.
In general, the Law of Marriage in Indonesia adheres to the principle of monogamy, although it does not rule out the possibility for husbands to have wife of more than one person at a time, or known as polygamy. The polygamy marriage... more
In general, the Law of Marriage in Indonesia adheres to the principle of monogamy, although it does not rule out the possibility for husbands to have wife of more than one person at a time, or known as polygamy. The polygamy marriage desired in Article No. 1 of 1974 concerning Marriage and in the Compilation of Islamic Law is conditional polygamy, where the husband is permitted to marry polygamy with the provisions that must meet the juridical requirements stated in the Marriage Law and KHI. One of the requirements is that there is an agreement or permission from the first wife made in writing. Polygamy without the permission of the first wife will cause conflict in the household, namely psychological violence conflict suffered by the wife. So that the wife will ask for divorce because she feels betrayed by her husband. In such circumstances, the wife will feel very aggrieved by the act of polygamy secretly, the psychological disturbance due to betrayal by the husband, and other disadvantages are the wife is not entitled to a mut'ah post-divorce from the husband, because this divorce was submitted at will the wife herself.
The Population and Civil Registration Service of Banda Aceh city continues to make various efforts in providing population administration services to the community. One of the innovations that developed was an online birth registration,... more
The Population and Civil Registration Service of Banda Aceh city continues to make various efforts in providing population administration services to the community. One of the innovations that developed was an online birth registration, where the community utilizes modern technology. The recording model has become stimulation for other regions in Aceh who want to apply the same thing. Even, there were other areas that have learned good practices that had been implemented in Banda Aceh. This study aims to determine the background that led to the initiation of online birth registration and the impact of online birth registration on the expansion of birth ownership. The research method used was qualitative research and the data were analyzed descriptively. Data were obtained through in-depth interviews with relevant stakeholders. The results showed that the background that led to the creation of online birth certificates were: to utilize modern technology; to facilitate the community; to implement the inspiration that came when was doing a comparative study to Pasuruan with the Education and Community Study Center (PKPM) team and the presence of community that had no time to conduct the birth certificate. The existence of online birth registration has a very big impact on the community, which increasing the scope of birth certificates and speeding up the management process which can be handled at any time and at any moment.
Aceh merupakan salah satu provinsi yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintrah pusat Republik Indonesia, pemberian hak atas otonomi khusus kepada provinsi Aceh tersebut tidak terlepas dari konflik internal diwilayah Aceh yang di aktori... more
Aceh merupakan salah satu provinsi yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintrah pusat Republik Indonesia, pemberian hak atas otonomi khusus kepada provinsi Aceh tersebut tidak terlepas dari konflik internal diwilayah Aceh yang di aktori atau dimainkan oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Di deklarasikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pertama kali pada tanggal 4 desember 1976, lahirnya GAM itu sendiri diawali karena keinginan untuk melepaskan diri/ wilayah Aceh dari pemerintah pusat negara republic Indonesia (NKRI), hal tersebut dilakukan disebabkan oleh sikap deskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pada masa orde baru atas perekonomian (hasil kekayaan alam Aceh) dan bidang politik Aceh. Oleh karena itu, pihak GAM merasa bahwa hasil kekayaan alam Aceh telah dirampas atau telah dikuasai oleh pemerintah pusat, maka dengan niat ingin memperjuangkan haknya ia meminta untuk melepaskan diri dari NKRI.1 Konflik berkepanjangan di Aceh yang dilakukan oleh GAM dengan TNI-RI atau pemerintah pusat yang telah terjadi bertahun-tahun dan telah menewaskan banyak masyarakat sipil Aceh itu berkahir secara damai setelah musibah dahsyat (gempa dan tsunami pada 26 desember 2004) terjadi di bumi serambi mekkah tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2005 pihak GAM dan pemerintah RI bersepakat untuk menandatangani akta kesepahaman (MoU) perdamaian di Helsinky, Finlandia. Penandatanganan nota MoU perdamaian tersebut dari pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud selaku pimpinan GAM sedangkan dipihak pemerintahan RI diwakili oleh Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan HAM RI. Pertemuan kesepakatan perdamaian antara GAM dan pemerintah RI tersebut di bantu atau disponsori oleh pihak ketiga yaitu mantan presiden Finlandia Martti Ahtissaari yang juga mejabat sebagai presiden 1 1 Diakses melalui:
Research Interests:
ABSTRAK Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah... more
ABSTRAK Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah Agung menetapkan hak kewarisan kepada non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah, hal ini sebagaimana yang telah diputuskan dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persoalan pokok yaitu: 1) mengenai keberadaan peraturan wasiat wajibah dalam hukum positif di Indonesia; 2) pertimbangan hukum apakah yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan hak kewarisan kepada non-Islam berdasarkan wasiat wajibah; dan 3) mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 berdasarkan ketentuan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian kualitatif serta jenis penelitian kepustakaan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tidak disebutkan pertimbangan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai ketentuan warisan dan mengenai pemberian wasiat wajibah sebagaimana yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Putusan Mahkamah Agung tersebut berseberangan dengan ketentuan hukum Islam dan ketentuan Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI mengenai pemberian wasiat wajibah kepada non-Islam. Kata kunci: wasiat wajibah, hak warisan, Kompilasi Hukum Islam. ABSTRACT In Islamic law, it has been defined clearly that everyone of different faiths cannot inherit to each other, like both Muslims inherit to non-Muslims, and vice versa. However when it comes down to it, the Supreme Court has determined that the right of inheritance of non-Muslims is based on "wasiat wajibah", as set out in the Decision Number 16 K/AG/2010. This analysis aims to examine the main issues as regards; first, the subsistence of law on "wasiat wajibah" and the positive law in Indonesia; second, legal interpretation of the judge in determining the right of inheritance to non-Muslims based on "wasiat wajibah"; and third, the elaboration of Supreme Court's Decision Number 16 K/AG/2010 under the Islamic law provisions and positive law in Indonesia. This analysis is a normative legal research prepared through qualitative literature study. Based on the study, it can be highlighted that the Supreme Court in Decision Number 16 K/AG/2010, did not take into consideration the provisions regarding inheritance along with the prevailing
Research Interests:
Research Interests:
Kegiatan pinjam meminjam uang telah banyak dilakukan di kalangan masyarakat perdesaan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat, dan bisa dikatakan juga praktek pinjam meminjam uang di antara para masyarakat satu dengan lainnya merupakan... more
Kegiatan pinjam meminjam uang telah banyak dilakukan di kalangan masyarakat perdesaan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat, dan bisa dikatakan juga praktek pinjam meminjam uang di antara para masyarakat satu dengan lainnya merupakan salah satu perbuatan yang baik dikalangan masyarakat Karena dianggap sebagai perbuatan untuk saling tolong-menolong terhadap orang yang membutuhkan uang. Masyarakat telah menjadikan pinjam meminjam uang sebagai suatu hal yang diperlukan guna untuk mendukung ekonomi keluarga dan meningkatkan kebutuhan kehidupannya. Praktek transaksi pinjam meminjam dikalangan masyarakat adat tidak terlepas dari barang atau benda jaminan, benda yang kerap kali dijaminkan yaitu tanah. Karena tanah dalam masyarakat adat merupakan suatau harta atau benda yang sangat tinggi nilainya, dan tanah dalam hukum adat juga mempunyai kedudukan yang sangat penting baik karena sifatnya maupun karna faktanya. Transaksi pinjam meminjam dengan mempergunakan tanah sebagai jaminannya merupakan kesepakatan utama dalam transaksi pokok pinjam meminjam uang. Hal ini bersifat persiapan, dalam artian bahwa pada saat pihak yang akan meminjam uang menerima uang pinjaman dari si pemberi pijaman, maka ia telah mempersiapkan tanah miliknya untuk ditetapkan sebagai jaminan atas pinjamannya tersebut.1 Setelah transaksi pinjam meminjam dengan jaminan tanah telah disepakati oleh para pihak, maka para pihak harus melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana yang telah disepakati dalam transaksi. 1 1Ter Haar (diterjemah oleh: K.Ng. Soebakti Poesponoto)¸Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991. hlm: 108.
Research Interests:
Research Interests: