Jurnal SmaRT: Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi, Vol. 04 No. 02, 2018
Abstract: The article is result of qualitative research that focuses on understanding data by mea... more Abstract: The article is result of qualitative research that focuses on understanding data by means of classification, categorization, and taxonomy; while the approach in this research is Max Weber’s Social Action Theory to analyze Guru Bakhiet’s sufism thought with the perspective of Max Weber's social action theory. By referring to Weber's theory, Guru Bakhiet occupies position as ‘the actor/agent, the meaning, and the movement’. As the actor, he is 'the source of meaning, the interpreter of meaning, and contextualising and transforming meaning' to his own community or outside community so that they are moved to act. He builds his movement with a rational action based on the value. The value of his central reference is the teachings of sufsm that have been interpreted creatively to be understood by others, and act with and on behalf of the value. Therefore, the movement or social action is performed by Guru Bakhiet is not merely emerges from a vacuum. It appears in an interaction pattern that already exists between individuals and groups. Therefore, when Sufism in his mind, it means the actor speaks of texts, while the texts are about language, and the language plays the personality of the Sufis and the people around them. Because of his important role, it is very important to continue to renew the language of Sufism and refresh it in order to maintain its transformative power or social criticism in the contextual or reality realm.
Keywords: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada pemahaman data-data dengan cara klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi, sedangkan pendekatannya adalah Teori Tindakan Sosial Max Weber untuk menganlisis pemikiran tasawuf Guru Bakhiet. Guru Bakhiet menduduki posisi sebagai ‘agen/aktor, makna, dan aksi’. Sebagai aktor, ia adalah ‘sumber makna, pemberi makna, dan mengkontekstualisasikan serta mentransformasikan makna’ kepada komunitasnya sendiri atau komunitas luar sehingga mereka tergerak untuk bertindak. Ia membangun aksinya dengan tindakan yang rasional berdasarkan value (nilai). Value yang menjadi referensi sentralnya adalah tasawuf yang telah dimaknai secara kreatif agar dapat dipahami oleh orang lain, dan bertindak dengan dan atas nama value tersebut. Karena itu, gerakan atau aksi sosial yang dilakukan Guru Bakhiet tidak semata-mata lahir dari sebuah kekosongan. Ia muncul dalam pola interaksi yang sudah ada di kalangan individu dan kelompok. Ketika tasawuf yang melingkarinya (sphered Sufism), berarti sang aktor berbicara tentang teks-teks, sedangkan teks-teks adalah tentang bahasa, dan bahasa itu berperan membentuk kepribadian para sufi dan orang-orang di sekeliling mereka. Karena peranan pentingnya itulah sangat penting untuk terus memperbarui bahasa tasawuf dan menyegarkannya agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya atau kritik sosialnya dalam ranah kontekstual atau realitas.
Kata-kata Kunci: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Uploads
Papers
Keywords: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada pemahaman data-data dengan cara klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi, sedangkan pendekatannya adalah Teori Tindakan Sosial Max Weber untuk menganlisis pemikiran tasawuf Guru Bakhiet. Guru Bakhiet menduduki posisi sebagai ‘agen/aktor, makna, dan aksi’. Sebagai aktor, ia adalah ‘sumber makna, pemberi makna, dan mengkontekstualisasikan serta mentransformasikan makna’ kepada komunitasnya sendiri atau komunitas luar sehingga mereka tergerak untuk bertindak. Ia membangun aksinya dengan tindakan yang rasional berdasarkan value (nilai). Value yang menjadi referensi sentralnya adalah tasawuf yang telah dimaknai secara kreatif agar dapat dipahami oleh orang lain, dan bertindak dengan dan atas nama value tersebut. Karena itu, gerakan atau aksi sosial yang dilakukan Guru Bakhiet tidak semata-mata lahir dari sebuah kekosongan. Ia muncul dalam pola interaksi yang sudah ada di kalangan individu dan kelompok. Ketika tasawuf yang melingkarinya (sphered Sufism), berarti sang aktor berbicara tentang teks-teks, sedangkan teks-teks adalah tentang bahasa, dan bahasa itu berperan membentuk kepribadian para sufi dan orang-orang di sekeliling mereka. Karena peranan pentingnya itulah sangat penting untuk terus memperbarui bahasa tasawuf dan menyegarkannya agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya atau kritik sosialnya dalam ranah kontekstual atau realitas.
Kata-kata Kunci: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
in Indonesia. Although it must be noted that today there is a group of Indonesian citizens who still reject Pancasila with reasons not in accordance with Islam. This rejection seems to be caused by a paradigm
and a different perspective. Islam is a religion, and Pancasila is an ideology. As an ideology, Pancasila is the objectification of Islam, the religion
objective elements exist in Pancasila. Universal values of Islam explicitly
animating principle of Pancasila which has principles of divinity, humanity, unity, deliberation, and justice. This article will elaborate on these principles from the perspective of wisdom Sufi Jala>l al-Di>n Ru>mi> (1207-1273). Sufism thought of Ru>mi> will be used as an analysis tool in “reading” the principles of Pancasila, particularly the principle “Belief in God Almighty” (“Ketuhanan Yang Maha Esa”). The focus of the first principle is due to the historical fact on serious debate between the nationalist Muslims and secular Muslims on the one hand, and other religious groups, on the other hand, so that led to the compromise.
Keywords: Wahid, Gülen, Pancasila, cosmopolitanism, hizmet, and democracy
Abstrak: artikel ini akan mengelaborasi pemikiran Islam kosmopolitan KH. Abdurrahman Wahdi dan Fethullah Gülen. Secara ideologi masing-masing mewakili Indonesia sebagai negara yang berideologi Pancasila (non-sekular) dan Turki yang menganut sekularisme. Tentu saja keadaan ini langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap pemikiran mereka. Namun ketika diuji pada dimensi kosmopolitanisme, tampak bahwa mereka bertujuan untuk menampilkan Islam yang raḥmatan li al-‘ālamīn. Dalam menyampaikan gagasannya ini, mereka menitikberatkan pentingnya umat Islam menguasai sains dan teknologi tanpa merasa canggung darimana sumbernya, kemudian mengembangkan sikap keterbukaan, dialog, dan toleransi serta menghargai nilai-nilai universal yang berlaku di seluruh dunia seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia. Pendekatan dan metode yang mereka dalam menyampaikan pemikiran Islam kosmopolitan memang berbeda. Wahid melalui lembaga resmi keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, sedangkan Gülen melalui The Hizmet Movement yang fokus pada pendidikan dan layanan kemanusiaan.
Kata-kata Kunci: Wahid, Gülen, Pancasila, kosmopolitanisme, hizmet, dan demokrasi.
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menganalisis Fethullah Gülen dan Gerakan Gülen yang berhasil melakukan perubahan sosial berdasarkan ajaran tasawuf. Ia melakukan sufism creativity (kreativitas sufisme) yang bertujuan agar ajaran tasawuf mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia modern. Ia meyakini bahwa hanya dengan reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran tasawuf, maka dimensi spiritualitas Islam ini akan mampu melakukan transformasi atau perubahan sosial di kalangan umat Islam. Karena itu, dengan menggunakan teori tindakan sosial Weber, tulisan ini akan menganalisis tiga ajaran kunci tasawuf Gülen: zuhud, inbisat (ekspansi), dan hizmet. Dengan kerangka teori Weber, maka Gülen menempati posisi yang sangat sentral dan otoritatif: agen/aktor, aksi, dan makna. Sebagai sumber makna dan penafsir makna, maka konsep kunci tasawuf tersebut ditransformasikan oleh Gülen ke komunitas internal dan eksternal sehingga mereka tergerak untuk melakukan gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan. Bagi para pengikut Gülen, gerakan itu menamakan dirinya Gerakan Gülen atau Gerakan Hizmet yang bergerak dalam bidang pendidikan, layanan kesehatan, bantuan-bantuan kemanusiaan, dan media massa. Semua bentuk gerakan ini sepenuhnya didasari oleh nilai-nilai spiritualitas Islam yang telah diformulasikan oleh Gülen.
Keywords: zuhd, inbisat, hizmet, mahabbah, Gülen Movement, neo-sufisme.
Abstrak: Pancasila memegang peranan penting dalam mempersatukan berbagai macam latar belakang di Indonesia. Meskipun harus diakui bahwa hingga saat ini ada saja sekelompok warga negara Indonesia yang masih menolak Pancasila dengan alasan tidak sesuai dengan Islam. Penolakan ini tampaknya disebabkan oleh paradigma dan cara pandang yang berbeda. Islam adalah agama, dan Pancasila adalah sebuah ideologi. Sebagai ideologi, Pancasila merupakan objektivikasi dari Islam, yakni unsur-unsur objektif agama ada dalam Pancasila. Nilai-nilai universal Islam secara eksplisit menjiwai muatan Pancasila yang berprinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Artikel ini akan mengelaborasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif kearifan (wisdom) sufi agung Jalāl al-Dīn Rūmī (1207-1273). Pemikiran tasawuf Rūmī akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam “membaca” (“reading”) prinsip-prinsip Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Fokus terhadap sila pertama ini disebabkan oleh fakta sejarah adanya perdebatan yang serius antara Muslim-Nasionalis dan Muslim sekuler di satu sisi, dan kelompok agama lain, di sisi yang lain, sehingga berujung pada kompromi.
Kata Kunci: Pancasila, Rūmī, objektivikasi, ideologi, nasionalis.
Keywords: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada pemahaman data-data dengan cara klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi, sedangkan pendekatannya adalah Teori Tindakan Sosial Max Weber untuk menganlisis pemikiran tasawuf Guru Bakhiet. Guru Bakhiet menduduki posisi sebagai ‘agen/aktor, makna, dan aksi’. Sebagai aktor, ia adalah ‘sumber makna, pemberi makna, dan mengkontekstualisasikan serta mentransformasikan makna’ kepada komunitasnya sendiri atau komunitas luar sehingga mereka tergerak untuk bertindak. Ia membangun aksinya dengan tindakan yang rasional berdasarkan value (nilai). Value yang menjadi referensi sentralnya adalah tasawuf yang telah dimaknai secara kreatif agar dapat dipahami oleh orang lain, dan bertindak dengan dan atas nama value tersebut. Karena itu, gerakan atau aksi sosial yang dilakukan Guru Bakhiet tidak semata-mata lahir dari sebuah kekosongan. Ia muncul dalam pola interaksi yang sudah ada di kalangan individu dan kelompok. Ketika tasawuf yang melingkarinya (sphered Sufism), berarti sang aktor berbicara tentang teks-teks, sedangkan teks-teks adalah tentang bahasa, dan bahasa itu berperan membentuk kepribadian para sufi dan orang-orang di sekeliling mereka. Karena peranan pentingnya itulah sangat penting untuk terus memperbarui bahasa tasawuf dan menyegarkannya agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya atau kritik sosialnya dalam ranah kontekstual atau realitas.
Kata-kata Kunci: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.
in Indonesia. Although it must be noted that today there is a group of Indonesian citizens who still reject Pancasila with reasons not in accordance with Islam. This rejection seems to be caused by a paradigm
and a different perspective. Islam is a religion, and Pancasila is an ideology. As an ideology, Pancasila is the objectification of Islam, the religion
objective elements exist in Pancasila. Universal values of Islam explicitly
animating principle of Pancasila which has principles of divinity, humanity, unity, deliberation, and justice. This article will elaborate on these principles from the perspective of wisdom Sufi Jala>l al-Di>n Ru>mi> (1207-1273). Sufism thought of Ru>mi> will be used as an analysis tool in “reading” the principles of Pancasila, particularly the principle “Belief in God Almighty” (“Ketuhanan Yang Maha Esa”). The focus of the first principle is due to the historical fact on serious debate between the nationalist Muslims and secular Muslims on the one hand, and other religious groups, on the other hand, so that led to the compromise.
Keywords: Wahid, Gülen, Pancasila, cosmopolitanism, hizmet, and democracy
Abstrak: artikel ini akan mengelaborasi pemikiran Islam kosmopolitan KH. Abdurrahman Wahdi dan Fethullah Gülen. Secara ideologi masing-masing mewakili Indonesia sebagai negara yang berideologi Pancasila (non-sekular) dan Turki yang menganut sekularisme. Tentu saja keadaan ini langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap pemikiran mereka. Namun ketika diuji pada dimensi kosmopolitanisme, tampak bahwa mereka bertujuan untuk menampilkan Islam yang raḥmatan li al-‘ālamīn. Dalam menyampaikan gagasannya ini, mereka menitikberatkan pentingnya umat Islam menguasai sains dan teknologi tanpa merasa canggung darimana sumbernya, kemudian mengembangkan sikap keterbukaan, dialog, dan toleransi serta menghargai nilai-nilai universal yang berlaku di seluruh dunia seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia. Pendekatan dan metode yang mereka dalam menyampaikan pemikiran Islam kosmopolitan memang berbeda. Wahid melalui lembaga resmi keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, sedangkan Gülen melalui The Hizmet Movement yang fokus pada pendidikan dan layanan kemanusiaan.
Kata-kata Kunci: Wahid, Gülen, Pancasila, kosmopolitanisme, hizmet, dan demokrasi.
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menganalisis Fethullah Gülen dan Gerakan Gülen yang berhasil melakukan perubahan sosial berdasarkan ajaran tasawuf. Ia melakukan sufism creativity (kreativitas sufisme) yang bertujuan agar ajaran tasawuf mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia modern. Ia meyakini bahwa hanya dengan reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran tasawuf, maka dimensi spiritualitas Islam ini akan mampu melakukan transformasi atau perubahan sosial di kalangan umat Islam. Karena itu, dengan menggunakan teori tindakan sosial Weber, tulisan ini akan menganalisis tiga ajaran kunci tasawuf Gülen: zuhud, inbisat (ekspansi), dan hizmet. Dengan kerangka teori Weber, maka Gülen menempati posisi yang sangat sentral dan otoritatif: agen/aktor, aksi, dan makna. Sebagai sumber makna dan penafsir makna, maka konsep kunci tasawuf tersebut ditransformasikan oleh Gülen ke komunitas internal dan eksternal sehingga mereka tergerak untuk melakukan gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan. Bagi para pengikut Gülen, gerakan itu menamakan dirinya Gerakan Gülen atau Gerakan Hizmet yang bergerak dalam bidang pendidikan, layanan kesehatan, bantuan-bantuan kemanusiaan, dan media massa. Semua bentuk gerakan ini sepenuhnya didasari oleh nilai-nilai spiritualitas Islam yang telah diformulasikan oleh Gülen.
Keywords: zuhd, inbisat, hizmet, mahabbah, Gülen Movement, neo-sufisme.
Abstrak: Pancasila memegang peranan penting dalam mempersatukan berbagai macam latar belakang di Indonesia. Meskipun harus diakui bahwa hingga saat ini ada saja sekelompok warga negara Indonesia yang masih menolak Pancasila dengan alasan tidak sesuai dengan Islam. Penolakan ini tampaknya disebabkan oleh paradigma dan cara pandang yang berbeda. Islam adalah agama, dan Pancasila adalah sebuah ideologi. Sebagai ideologi, Pancasila merupakan objektivikasi dari Islam, yakni unsur-unsur objektif agama ada dalam Pancasila. Nilai-nilai universal Islam secara eksplisit menjiwai muatan Pancasila yang berprinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Artikel ini akan mengelaborasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif kearifan (wisdom) sufi agung Jalāl al-Dīn Rūmī (1207-1273). Pemikiran tasawuf Rūmī akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam “membaca” (“reading”) prinsip-prinsip Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Fokus terhadap sila pertama ini disebabkan oleh fakta sejarah adanya perdebatan yang serius antara Muslim-Nasionalis dan Muslim sekuler di satu sisi, dan kelompok agama lain, di sisi yang lain, sehingga berujung pada kompromi.
Kata Kunci: Pancasila, Rūmī, objektivikasi, ideologi, nasionalis.
Guru Bakhiet adalah pimpinan tarekat ‘Alawiyah di Kalimantan Selatan dengan pengikut ratusan ribu dan ulama kharismatik di kalangan masyarakat Banjar. Karena itu, ketika kita melihat tasawuf yang melingkarinya (sphered Sufism), berarti sang actor/agen berbicara tentang teks-teks, sedangkan teks-teks adalah tentang bahasa, dan bahasa itu berperan membentuk kepribadian para sufi dan orang-orang di sekeliling mereka. Karena peranan pentingnya itulah sangat penting untuk terus memperbarui bahasa tasawuf dan menyegarkannya agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya atau kritik sosialnya dalam ranah kontekstual atau realitas. Di sinilah, sang aktor membutuhkan inovasi kreatif agar ajaran tasawuf mampu berfungsi nilai yang mampu menggerakkan orang lain.
Dimensi psikis diinterpretasi dan dikontekstuali-sasikan dalam pengertian nafs dalam tradisi sufi. Akibatnya memang sedikit berbeda dengan jiwa dalam pengertian Frankl. Nafs dalam tradisi sufi ada yang memandangnya secara negatif, namun itu ketika mereka melihatnya pada tingkatan nafs terendah. Tetapi, nafs bisa mengalami transformasi diri hingga mencapai puncaknya. Nafs puncak inilah sesungguhnya mampu mentransendensikan diri (istilah Frankl) sehingga mampu menemukan makna hidup.
Sementara itu, dimensi spiritual dalam logoterapi, diinterpretasi dan dikontekstualisasikan sebagai rūḥ dan qalb perspektif sufi. Karena itu tidaklah mengherankan jika spiritualitas dalam logoterapi sufistik sangat theosentris, menggeser spiritualitas Frankl yang anthro-posentris. Hal ini tidak bisa dihindari karena memang rūḥ dan qalb mempunyai potensi Ilahiah. Rūḥ, secara fitrahnya memang sudah ditiupkan dari ruh-Nya, sedangkan qalb merupakan rumah Tuhan.
Sementara itu prinsip-prinsip pelayanan logoterapi sufistik merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip yang sudah mapan dalam logoterapi Frankl, sehingga penulis hanya menambahkan dimensi sufistik. Demikian pula dalam teknik yang digunakan juga merupakan pengembangan dari Frankl.