SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
GERAKAN PEMBARUAN TASAWUF DI INDONESIA
Sulaiman Al-Kumayi
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
e-mail: alkumayi97@yahoo.co.id
Abstract: This article aims to elaborate on Sufism reform
movement in Indonesia. There former of Islam in Indonesia
realize that Sufism is an integral part of Islam, therefore they are
not hostile to Sufism, but tends to purify the Sufism of deviant
practices. Irregularities which they saw in the midst of the
Muslim community but claimed as part of Sufism must be
cleaned. Sufism must be free of elements of heresy or shirk that
could tarnish the purity of Islam. In this article, the author
presents the figure of Hamka as a representation of Sufism
reform movement in Indonesia. Although Hamka very
appreciative, even followers of Sufism, he was never affiliated to
the sufi order schools anywhere in the world.He also never made
a separate congregation flow, as was common in the realm of
the sufi order.
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi gerakan
pembaruan tasawuf di Indonesia. Para pembaru Islam di
Indonesia menyadari bahwa tasawuf merupakan bagian
integral dalam Islam, karena itu mereka tidak memusuhi
tasawuf, tetapi cenderung untuk memurnikan tasawuf dari
praktik-praktik yang menyimpang. Penyimpangan yang
mereka lihat di tengah-tengah masyarakat Muslim tetapi
diklaim sebagai bagian dari ajaran tasawuf haruslah
dibersihkan. Tasawuf harus terbebas dari unsur-unsur bid ah
atau syirik yang dapat menodai kemurnian ajaran Islam.
Dalam artikel ini, penulis menyajikan sosok Hamka sebagai
representasi dari gerakan pembaruan tasawuf di Indonesia.
Sekalipun Hamka sangat apresiatif, bahkan pengamal tasawuf,
ia tidak pernah berafiliasi ke aliran tarekat mana pun di dunia
ini. Ia juga tidak pernah membuat aliran tarekat tersendiri,
sebagaimana lazimnya dalam dunia tarekat.
Keywords: neo-sufisme, bid ah, al-Quran, al-Sunnah,
tarekat.
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
A. Pendahuluan
Gerakan pembaruan tasawuf—sebagaimana di bidang-bidang
lainnya dalam ranah pemikiran Islam—dapat dilacak pada abad
XVIII. Abad ini biasanya dianggap sebagai zaman kegelapan (dark
age) dunia Islam, masa kemunduran politik, ekonomi, dan budaya di
tiga negara Islam besar: Imperium Usmani, Safawiyyah Iran, dan
Mughal India.1 Marshal G. Hodgson menggambarkan abad tersebut
sebagai berikut:
Though the eighteenth century was not without its interesting
and creative figures, it was probably the least notable of all in
achievement of high-cultural excellence; the relative
barrenness was practically universal in Muslim lands.2
Meskipun abad XVIII bukan tanpa mempunyai tokoh-tokoh
yang menarik dan kreatif, mungkin masa itu merupakan titik
terrendah dalam hal pencapaian peradaban; kemandulan
relatif secara praktis universal di wilayah-wilayah Islam.
Meskipun demikian, menurut Elizabeth Sirriyeh3, dari sudut
pandang agama dan khususnya dari sudut pandang tradisi spiritual
sufi, masa tersebut tidak seluruhnya suram dan mandul. Terdapat
sebuah kesadaran yang tersebar tentang terjadi kemerosotan dan
keprihatinan terhadap pendangkalan makna sufisme di tengah
masyarakat, yang tenggelam dalam takhayul dan terpesona oleh
pengakuan-pengakuan luar biasa dari para ahli klenik.Tetapi
kesadaran ini juga mendorong upaya reformasi yang penuh
semangat, baik dari individu-individu ataupun gerakan-gerakan,
yang mencapai momentumnya pada abad XIX.Upaya-upaya seperti
ini kemudian berkembang lebih jauh menjadi revitalisasi spiritualitas
Islam di daerah-daerah pusat Islam. Mereka juga berusaha untuk
menyebarkan agama ke daerah-daerah di sekeliling mereka yang
Islamnya dangkal, dan, dalam beberapa kasus, ke daerah-daerah
yang belum terjangkau: Gurun Sahara Afrika Selatan, Asia Tenggara,
perbatasan utara Kaukasus, Asia Tengah, dan menyeberang sampai
ke Cina.4
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Ditambahkan oleh Sirriyeh, bahwa gerakan pembaruan
keagamaan (religious renewal) sebagian besar dilakukan oleh kaum
sufi sendiri, baik oleh syekh-syekh terpelajar yang terkenal karena
prestasi intelektualnya dalam bidang ilmu Islam lainnya, atau syekhsyekh yang semata-mata terkenal karena pengabdian mereka di
dalam kehidupan spiritual, atau bahkan dari anggota-anggota biasa
tarekat-tarekat sufi yang mendukung reformasi. Akan tetapi, kadangkadang ketidakpuasan karena penyimpangan-penyimpangan sufisme telah sedemikian dalamnya sehingga mereka menganggap reformasi tarekat-tarekat sufi bukan solusi yang dapat diterima. Karena
itu, muncullah anti-Sufi yang keras, dengan bentuknya yang paling
masyhur dalam gerakan kaum Wahhabi Arab yang terorganisir,
pelopor ideologis bagi banyak Muslim modern penentang Sufi.5
Di sini, timbul pertanyaan: mengapa sufisme sedemikian rupa
dibenci sehingga menimbulkan gerakan anti-Sufi seperti diperlihatkan oleh kaum Wahhabi atau gerakan modernis belakangan?
Menurut A.J. Arberry, kritik terhadap tasawuf atau sufisme
disebabkan oleh adanya praktik-praktik yang melanggar syari ah,
immoralitas yang terbuka, dan oportunisme yang curang. Ditambahkan Arberry bahwa ilmu gaib (witchcraft) telah menggeser kedudukan rasio dengan tujuan yang telah dipertimbangkan baik-baik, yakni
untuk menipu dan mengeksploitasi massa yang bodoh. Ia menggambarkan lebih jauh:
Every village or group of villages acquired its local saint, to be
supported and revered during his lifetime, worshipped and
capitalized after his death. Few indeed were the voices that
dared protest against this ruinous order of things, for politician
and theologian alike feared to oppose the true masters, and
found it easier and more profitable to share in the swindle.6
Setiap desa atau sekumpulan desa mempunyai orang suci
(wali) lokal yang didukung dan dipuja sepanjang hidupnya dan
disembah serta diagung-agungkan setelah wafatnya.Hanya ada
sedikit suara yang berani menentang tatanan yang buruk ini,
karena politisi dan teolog tampaknya takut untuk menentang
syekh-syekh sejati ini dan lebih mudah serta lebih
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
menguntungkan bagi mereka untuk bersama-sama terlibat di
dalamnya.
Dalam perkembangannya, pemujaan wali ini menjadi ritual
sehingga menziarahi makam-makam mereka dan berwasilah kepada
mereka dianggap sebagai bagian dari ibadah itu sendiri. (amka
dalam bukunya Pelajaran Agama Islam memberikan gambaran
senada dengan Arberry. Katanya:
Dari masa ke masa timbullah dalam Dunia Islam penghormatan
yang sangat berlebih-lebih kepada kubur orang yang telah mati.
Berduyunlah orang awam pergi ziarah ke kubur-kubur yang
dipandang keramat. Di sana mengadakan apa yang dinamai
haul. Apabila ada yang sakit atau mengandung cita dan hajat,
lalu bernazarlah dia, apabila citanya tercapai dia akan ziarah ke
kubur itu membawa hadiah bahkan ada juga yang ber itikaf
dalam pekarangan kubur itu, sehingga di negeri Mesir adalah
beberapa kubur yang ditentukan setiap tahun orang berkumpul
ke sana beramai-ramai, persis seperti pasar malam. Bukan saja
di Mesir, bahkan rata-rata di seluruh negeri Islam pergi ke
kubur syekh Fulan tujuh kali berturut-turut, niscaya akan
samalah pahalanya dengan naik haji satu kali.7
Pemujaan wali yang sangat berlebihan tersebut memang
menimbulkan keprihatinan bagi segelintir tokoh Islam pada masa
itu. Seorang penyair terkemuka, al-Badr al-(ijāzī misalnya, dengan
nada yang sangat pedas mengkritik prakti-praktik semacam itu:
Kita tidak hidup untuk melihat setiap orang gila yang diangkat
oleh para pengikutnya sebagai seorang Quthb.
Para ulama mereka berlindung kepadanya, mereka bahkan
mengangkatnya sebagai Tuhan, menggantikan Tuhan yang ada
di Tahta-Nya,
Karena mereka melupakan Allah, mereka mengatakan, Dia
menawarkan kebebasan dari penderitaan bagi seluruh umat
manusia.
Ketika dia wafat, mereka menjadikannya tujuan ziarah dan
mengeramatkannya, baik orang-orang Arab maupun non-Arab,
semua sama saja,
Sebagian orang menciumi makamnya, ambang pintunya, dan
debu-debunya.8
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Dari beberapa kritik yang muncul terhadap praktik-praktik
sufisme pada abad XV))), yang paling tajam datang dari Muhammad
Abd al-Wahhab
.)a melihat rusaknya tauhid umat )slam
yang dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad X)))
memang tersebar luas di dunia )slam. Di tiap negara )slam yang
dikunjunginya, Muhammad Abd al-Wahhab melihat kuburankuburan syekh tarekat bertebaran. Tiap kota, bahkan juga kampungkampung, mempunyai kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke
kuburan-kuburan itu umat )slam pergi naik haji dan meminta
pertolongan syekh atau wali yang dikuburkan di dalamnya untuk
menyelesaikan problema hidup mereka sehari-hari.Ada yang
meminta supaya diberi anak, ada pula yang meminta supaya diberi
jodoh, ada yang meminta supaya disembuhkan dari penyakit yang
dideritanya dan ada pula yang meminta supaya diberi kekayaan.Dari
sini, Abd al-Wahhab berkesimpulan bahwa praktik ini sangat
menyimpang dari ajaran tauhid.)ni adalah bentuk penyembahan
berhala dan termasuk perbuatan syirik.9)a menganggap ini sebagai
bentuk jahiliah baru, bahkan lebih gelap dan lebih bobrok dibanding
jahiliah pada masa pra-)slam.10
Sebenarnya, kritik-kritik terhadap sufisme muncul juga dari
dalam sufisme itu sendiri. Hal ini seperti yang termaktub dalam
sebuah surat dari seorang syekh terkemuka, Ahmad bin )drīs
1837), yang ditujukan kepada muridnya yang berkelana ke Sudan. Ia
memperingatkan sang murid tentang bahaya orang-orang awam
yang ada di sekitarnya terhadap keadaan (ḥāl) spiritualnya:
Ketahuilah anakku, bahwa orang-orang di zamanmu, meskipun
kelihatannya mereka memujimu, namun sebenarnya mereka
adalah orang yang mudah putus asa, dan hal ini tidak akan
membawa keuntungan bagi mereka di hadapan Allah. Allah,
yang Maha terpuji dan Mahaagung, telah memerintahkan
kepada Nabi-Nya bersabar dengan: …. yakni orang-orang
yang berdoa kepada Tuhannya di pagi dan petang karena
menghendaki perjumpaan dengan-Nya (QS. al-Kahfi [18]: 28).
Persahabatan dengan rakyat jelata yang tidak mengharapkan
ridha Allah dan Nabi-Nya adalah racun yang mematikan, yang
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
sewaktu-waktu dapat merusak agama mereka kecuali jika Allah
menjaganya.Maka berhati-hatilah terhadap orang-orang di
zamanmu itu karena mereka tidak ikhlas mencintai Allah.Dan
semoga Allah menjagamu dari orang-orang itu.11
Surat ini menunjukkan bahwa Syekh Ahmad ibn )drīs
memandang rendah kebanyakan kaum sufi Afrika, meskipun dia juga
mengakui adanya orang-orang yang benar-benar saleh di antara
kaum sufi Sudan.
Di Afrika Utara, perasaan yang sama diekspresikan oleh seorang
sufi semasa Ahmad ibn )drīs, yaitu Ahmad al-Tijānī
-1815),
dalam suratnya kepada salah seorang muridnya di Fez: Ketahuilah
bahwa tidak seorang pun sekarang ini yang bisa terhindar dari dosa,
karena dosa mengguyur manusia seperti hujan lebat. Dalam
peristiwa yang lain dia meratap: Zaman sekarang ini adalah zaman
di mana pondasi ajaran ilahi telah hancur…; dan itu di luar
kemampuan siapa pun untuk melaksanakan perintah Allah dalam
setiap keadaan dan waktu pada masa sekarang… 12
Suasana masa itu didominasi nuansa kekelaman, karena dalam
pandangan kaum reformis, orang-orang awam telah gagal meraih
kesejatian spiritualitas. Gambaran ini tidak segelap yang dilukiskan
oleh kaum Wahhābī, tetapi cukup hitam karena dianggap sangat
jarang ditemukan pencerahan, zaman ini adalah zaman penuh dosa
dan masyarakat yang tidak tercerahkan tersebut merupakan beban
berat karena ketidakmampuan mereka menggapai idealita-idealitas
sufi.13
Kritikan terhadap sufisme berlanjut pada abad XIX melalui tokoh
utamanya, Sayyid Jamāl al-Dīn al-Afghānī al-Asadabādī
-1897).
Menurut al-Afghānī, kaum sufi pada masanya itu adalah para
pemimpin religius tradisional yang bertanggung jawab atas
kemunduran umat Islam. Mereka gagal dalam beberapa hal; mereka
melakukan interpretasi yang salah tentang Islam yang jauh dari
sifatnya yang murni, dan menentang rasio; mereka mendorong sikap
fatalis atas takdir Tuhan, suatu sikap yang menyebabkan ketidaktifan
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
dan bahkan kemalasan serta menghilangkan sikap yang produktif;
mereka mengikuti syekh-syekh mereka dalam semangat ketaatan
dan taklid yang buta, yang merusak kemampuan kreatif dan
pemikiran bebas mereka. Ia juga mengajak umat untuk menolak
seluruh bentuk yang negatif dan jelek dari kepercayaan dan praktik
masyarakat yang diciptakan kaum sufi pada akhir abad XIX,
meskipun mereka tidak dikritik secara langsung, tetapi hanya
dengan kritikan secara umum.
B. Pembaruan Tasawuf di Indonesia
Para ahli menjelaskan bahwa pemikiran tasawuf di Indonesia
(baca: Nusantara), bermula dari dakwah Islam yang dilakukan oleh
wali songo (wali sembilan). Menurut Prof. Abu Bakar Aceh, tasawuf
yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jalur
masuknya agama ini, yakni tidak langsung dari tanah Arab tetapi
melalui Persia dan India yang dibawa oleh para pedagang atau
mereka yang khusus datang untuk menyiarkan agama Islam.
Berkenaan dengan ini, Abu Bakar Aceh menulis:
Jika kita memperhatikan, bahwa agama Islam itu masuk ke
Indonesia sekitar abad keempat dan kelima Hijrah, maka tak
dapat tidak paham-paham sufi dan tasawuf yang sedang tersiar
luas dan mendapat perhatian umum dalam negara-negara
Islam ketika itu, terbawa pula bersama-sama ajaran Islam ke
Indonesia. Maka lalu masuklah kemari paham wihdatul wujud
menurut tafsiran Junaid dan Hallaj di samping ajaran Islam
yang sebenarnya mengenai persoalan itu. Dalam sejarah wali
songo kita dapati Syekh Siti Jenar yang mempertahankan
pendirian fana dan kesatuan antara Khalik dan makhluk, yang
dinamakan ittihad, di samping Sunan Kalijaga yang mempertahankan pendirian ahli sunnah bersama dengan wali-wali
yang lain, lalu mengambil tindakan terhadap Syekh Siti Jenar
itu. Kita lihat pula, bahwa di Aceh Hamzah Fansuri menyiarkan
paham bersatu dengan Tuhan itu, disamping Abdur Ra uf
Singkil yang menyiarkan paham Islam yang sebenarnya untuk
membasmi paham ittihad dalam ketuhanan itu, yang
dianggapnya sesat dan menyesatkan.14
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Menurut Azyumardi Azra, secara umum Islam tasawuf tetap
unggul pada tahap pertama islamisasi di nusantara, setidaknya
sampai akhir abad ke-17. Unggulnya Islam tasawuf ini dilatorbelakangi oleh fakta bahwa Islam tasawuf dalam beberapa segi
cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Buddha dan sinkretisme kepercayaan
lokal. Juga terhadap fakta bahwa tarekat-tarekat sufi mempunyai
kecenderungan bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktek
tradisional semacam itu, yang sebenarnya bertentangan dengan
praktek ketat unilitarianisme Islam.15
Di setiap wilayah di mana pun Islam berkembang, baik pada
level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai
secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul. Hal ini tidak
terlalu mengherankan jika mempertimbangkan teori Islamisasi A.H.
Johns (1961), seorang ahli Islam di Asia Tenggara, yang menjelaskan
bahwa, khususnya sejak abad XIII, para guru sufilah yang paling
banyak mempengaruhi jalannya Islamisasi di Nusantara.
Johns menegaskan bahwa Islam tidak dapat, dan tidak akan
pernah bisa, menancapkan akarnya secara kuat di kalangan penduduk Nusantara, bahkan mungkin juga tidak dapat mengislamkan
para penguasa, jika tidak disiarkan secara massif oleh para sufi. Ini
tentu saja berkait erat dengan karakteristik sufisme itu sendiri yang
cenderung lentur dalam menyikapi berbagai kepercayaan dan
praktik keagamaan lokal, yang saat itu masih kuat dipengaruhi
tradisi dan praktik kepercayaan pra-Islam. Di antara aspek-aspek
ajaran lain, seperti fikih misalnya, sufisme merupakan bagian dari
ajaran Islam yang paling sejalan dengan adaptasi budaya lokal. Hal
ini karena sufisme lebih menekankan praktik-pratik meditasi untuk
mencapai derajat kesatuan dengan Tuhan––yang dianggap sebagai
bentuk kesempurnaan dalam beragama—ketimbang
praktikpraktik keagamaan yang ditentukan syariah (fiqh). Dalam konteks
Nusantara, lebih-lebih di Jawa, sufisme sedemikian mudah diterima
masyarakat. Sufisme dalam banyak aspek memang sejalan dengan
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
praktik-praktik dan pandangan dunia keagamaan masyarakat Jawa
yang Hindu-Budhis. Oleh karena itu, A.H. Johns, berkesimpulan
bahwa sufisme menduduki satu kategori penting dalam sejarah
Islam di Nusantara.16
Pandangan Johns ini memang sejalan dengan fakta bahwa masa
ketika Islam mulai mendapatkan tempat di masyarakat Nusantara,
khususnya sejak abad XIII, sufisme bersama dengan lembaga tarekat
tengah berjaya dalam wacana intelektual keagamaan di dunia
Muslim. Nama-nama seperti Ab”Ḥāmid al-Ghazālī w.
, Abd alQadīr al-Jīlanī w.
, )bn Arabī w.
, adalah para sufi
terkenal yang hidup ––seperti bisa dilihat dari tahun wafatnya––
dalam bentang waktu sejarah yang berdekatan dengan masa
berlangsungnya proses Islamisasi di Nusantara. Begitu pula dari
zaman sejarah yang sama kita juga mengenal nama-nama seperti
Najm al-Dīn al-Kubrā w.
dan Ab” (asan al-Syadzīlī w.
1258)––masing-masing pendiri tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah
di Asia Tengah dan Afrika Utara–– serta nama-nama sufi lain yang
sangat dikenal di dunia Islam.
Menurut Oman Fathurahman dan Jajat Burhanudin17, bila kita
mulai dengan dunia Melayu, tradisi sufisme sudah terlihat bahkan
dalam teks-teks klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah
Melayu yang telah disebut di atas. Penggambaran konversi keislaman
raja-raja Melayu melalui mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad
Saw––seperti dijelaskan dalam dua teks di atas––oleh para ahli
sejarah dilihat sebagai ungkapan yang memiliki nuansa dan
kecenderungan sufisme. Dalam tradisi sufisme, proses mimpi diakui
sebagai bagian dari praktik-praktik keagamaan para sufi, sebagai
sarana proses transmisi ilmu-ilmu keislaman. Bahkan al-Ghazālī
berpendapat bahwa apa yang muncul dalam mimpi adalah sebuah
perumpamaan (mīṡāl); ia merupakan bentuk pengalaman spiritual
yang dimiliki para sufi. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa
munculnya sufisme dalam wacana intelektual Islam di Nusantara
berlangsung sejalan dengan proses Islamisasi.
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Kenyataannya, Islam yang bercorak sufisme ini sedemikian
dominan mewarnai wacana intelektual keagamaan yang terjadi,
kendati dengan karakteristik, kecenderungan, dan penekanan yang
relatif berbeda antarsatu periode dengan periode lainnya. Di antara
sifat dan kecenderungan sufisme yang semakin menguat dari waktu
ke waktu adalah munculnya apa yang disebut dengan neo-sufisme,
yakni ajaran tasawuf yang menekankan adanya rekonsiliasi atau
saling pendekatan antara ilmu tasawuf ( ilm al-ḥaqīqah) dan ilmu
syariah ( ilm al-syarī ah).
C. Tasawuf Model Kaum Pembaru: Neo-Sufisme
Istilah neo-Sufisme (neo-Sufism) diperkenalkan oleh Fazlur
Rahman. Tasawuf ini cikal bakalnya telah ada sejak masa salāf,
namun dalam perkembangannya mengalami kemandegan dan
baru dihidupkan kembali oleh ulama-ulama mazhab Hanbali,18
antara lain Ibn Taimiyyah.19 Menurut Masyharuddin, Ibn Taimiyyah
sendiri dalam tulisan-tulisannya lebih suka menggunakan istilah alTaṣawwuf al-Masyrū (tasawuf yang disyariatkan).Dengan kualifikasi
al-Masyrū mengindikasikan bahwa tasawuf yang dikehendakinya
adalah tasawuf yang selalu berada dalam pangkuan syari ah agama .
Yakni secara normatif dan metodologis memiliki rujukan yang jelas
dari Qur an dan Sunnah serta secara aplikatif memiliki contoh dan
teladan dari praktik-praktik kerohanian Nabi dan generasi salaf.
Dengan kualifikasi itu pula Ibn Taimiyyah menganggap bid ah (baik
bid ah żātiyah/essensial maupun bid ah manhajiyah/metodologis)
terhadap tasawuf yang berada di luar bingkai syariat.20
Menurut Rahman, neo-Sufisme mempunyai ciri utama berupa
tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan
murāqabah (konsentrasi kerohanian) guna mendekati Tuhan, tetapi
sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi
(ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada
akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan
kandungan yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.21
Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbarui faktor
moral asli dan kontrol-diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang
(unorthodox sufism). Pusat perhatian neo-Sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan
tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan
bukan masyarakat.22 Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme
adalah puritan dan aktivis.23 Para pengamalnya tidak mengundurkan
diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner
detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih
maksimal.24
Menurut Nurcholish Madjid, neo-Sufisme cenderung untuk
menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali
sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum Hanbali seperti
Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah menjadi
perintis ke arah kecenderungan ini. Selanjutnya, kaum neo-sufi juga
mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme intelektual: mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran
Ilahi) kaum sufi atau ilham intuitif tetapi menolak klaim mereka
seolah-olah tidak dapat salah (ma ṣūm), dengan menekankan bahwa
kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari
kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak
terhingga.25 Baik Ibn Taimiyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya
mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf
dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi,
Ibn Taimiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan
terminologi kesufian—termasuk istilah sālik, penempuh jalan
keruhanian—dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna moral
yang puritan dan etos salafi.26
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Berdasarkan kajian Nurcholish Madjid, neo-Sufisme itu dalam
perkembangannya tampil dalam apa yang disebut oleh kelompok Dr.
Sa id Ramadhan "Al-Rūḥanīyat Al-Ijtimā īyah" (spiritualisme sosial)27
yang ciri-cirinya: [1] membaca dan merenungkan makna kitab suci
al-Quran; [2] membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi saw
melalui sunnah dan sīrah biografi beliau; [ ] memelihara hubungan
dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang
zuhud; [4] menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; [5]
mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Al-Quran dan
Al-Sunnah, dengan sikap penuh percaya; [6] melakukan ibadatibadat wajib dan sunnah, seperti sembahyang lima waktu dan
tahajjud. Setelah itu dikemukakan peringatan yang keras sekali
terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i tizālīyah):
Di sini kita ingin memberi peringatan tentang sesuatu yang
pelik dan penting, yaitu bahwa spiritualisme isolatif yang
mengungkung pelakunya dari masyarakat sehingga ia tidak
berhubungan dengan mereka dan mereka tidak berhubungan
dengan dia, tidak pula dia memberi pelajaran kepada mereka
dan dia tidak belajar dari mereka, ini adalah spiritualisme
orang-orang yang lemah, yang tidak tahan menghadapi
kejahatan dan bahaya, kemudian lari ke uzlah (pengucilan diri)
dan berpegang kepada uzlah itu; dan spiritualisme dengan
kaum egois yang hanya mencari kebahagiaan untuk diri
mereka sendiri saja. Hal serupa itu, meskipun ada unsur
kebaikan medium dan keluhuran tujuan di dalamnya, adalah
jenis penyakit.28
Dengan demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai
keseimbangan (mīzan atau tawāzun), sehingga prinsip utama hidup
ideal seorang muslim diuraikan lebih lanjut.
Jika orang dengan lurus menghadapi dirinya sendiri kemudian
memenuhi hak badannya dan hak ruhnya, maka ia telah berbuat adil
kepada kemanusiaannya, sejalan dengan sunnatullah, dan hidupa
dengan damai di dunia dan di akhirat.
Jika ia cenderung hanya kepada salah satu dari dua jurusan itu,
sambil berpaling dari yang lain, maka ia telah berbuat zalim kepada
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
dirinya, dan menghadapkan dirinya itu menentang sunnatullah.
Barangsiapa menghadapkan dirinya menentang Kebenaran tentu
hancur— Engkau tidak akan mendapatkan perubahan dalam
sunnatullah QS. Al-Ahzab [33]: 62). Maka orang yang hidup di
zaman sekarang, yang hanya mementingkan harta, berlomba untuk
sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan
kehormatan kosong dan kemegahan palsu, menyia-nyiakan tuntutan
akal dan kalbunya hanya untuk kenikmatan muspra itu, dia adalah
orang yang terkecoh dari hakikat dirinya, terdinding dari inti hidup.
Ia menginginkan agar sunnatullah mengangkatnya ke alam yang
lebih tinggi, namun tergelincir jatuh dari kemuliaan itu, dan tetap
saja bertindak memutuskan tali hubungan tersebut. Sedangkan
orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntunan
ruhnya menggunakan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya
untuk berdiri (salat), sepanjang umurnya untuk merenung semata
sambil mengingkari hal-hal yang baik dari hidup duniawi lalu tidak
berpakaian kecuali dengan yang kasar-kasar, tidak makan kecuali
yang kering kerontang dengan tujuan agar potensi hidup lahiriahnya
menjadi lemah dan—menurut anggapannya—agar potensi ruhaninya menjadi hebat, dia adalah juga orang yang bodoh tentang hakikat
hidup, lalai akan sunnatullah, menyia-nyiakan hak badannya sendiri,
atau menyia-nyiakan salah satu dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu
baginya sebagai kerugian dan pengingkaran terhadap perintah Allah.
Diriwayatkan orang banyak bahwa Rasulullah saw mengunjungi
Abdullah ibn Amr ibn Al-Aṣ, dan istrinya meminta belas kasihan
Rasulullah saw., maka beliau bersabda, Bagaimana keadaanmu,
wahai ibu Abdullah? Dijawabnya, dia itu, Abdullah ibn Amr ibn
Al- Aṣ) menyendiri, sehingga ia pun tidak tidur, tidak berbuka
(puasa), tidak mau makan daging, dan tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarganya. Beliau bertanya, Di mana dia sekarang?
Dijawab, Dia sedang keluar, dan sudah hampir pulang saat ini.
Beliau bersabdda, Kalau dia pulang, tahan dia untukku. Maka
Rasulullah saw pun keluar, lalu Abdullah datang, dan Rasulullah
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
sudah hampir pulang. Maka beliau katakana, Wahai Abdullah ibn
Amr, bagaimana itu berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu?
Engkau tidak tidur! Dijawabnya, Dengan itu aku ingin aman dari
marabahaya yang besar. Sabda beliau, Dan sampai kepadaku
berita bahwa engkau tidak berbuka puasa ! Dijawabnya, Dengan
itu aku menginginkan sesuatu yang lebih baik di surga. Beliau
bersabda, Dan sampai kepadaku berita bahwa engkau tidak
menunaikan untuk keluargamu hak-hak mereka! Dijawabnya,
Dengan itu aku menginginkan wanita yang lebih baik daripada
mereka. Maka Rasulullah pun bersabda, Wahai Abdullah ibn Amr,
bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu
berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk
keluarganya hak-hak mereka. Wahai Abdullah ibn Amr, badanmu
mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu
mempunyai hak atas engkau!
Dengan kebijakan yang mendalam itu Rasulullah saw menggambarkan untuk kita cara hidup yang sehat dan benar, dan
menjelaskan bahwa sikap berlebihan adalah tercela, biarpun mengenai sikap seorang hamba dalam kehidupan ruhaninya. Sebab
Allah tidak terima dari hamba-Nya jika sunnah-Nya diabaikan
kemudian orang itu menyangka bahwa sikap tersebut membawanya
kepada keridhaan-Nya.29
Di lain kesempatan peristiwa yang sama terjadi pada sahabat
Nabi, Utsmān ibn Mazh ”n. Diriwayatkan: istri Utsmān ibn Mazh ”n
bertandang ke rumah para istri Nabi saw dan mereka ini melihatnya
dalam keadaan buruk. Maka mereka bertanya kepadanya: Apa yang
terjadi denganmu? Tidak ada di kalangan kaum Quraisy orang yang
lebih kaya daripada suamimu! )a menjawab: Kami tidak mendapat
apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadat, dan siang
harinya ia berpuasa! Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun menemui dia Utsmān ibn
Mazh ”n , dan bersabda: (ai Utsmān! Tidakkah padaku ada teladan
bagimu? Dia menjawab: Demi ayah ibuku, engkau memang
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
demikian. Lalu Nabi bersabda: Apakah benar engkau berpuasa
setiap hari dan tidak tidur beribadat setiap malam? Dia menjawab:
Aku memang melakukannya. Nabi bersabda: Jangan kau lakukan!
Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu
punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah
dan makanlah!
Utsmān ibn Mazh ”n membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di
dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat. Berita itu datang
kepada Nabi saw, maka beliaupun datang kepadanya, lalu dibawanya
ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda:
Wahai Utsmān, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan
ajaran-ajaran kerahiban. Nabi bersabda demikian dua tiga kali, lalu
bersabda lebih lanjut , Dan sesunggunya sebaik-baik agama di sisi
Allah ialah al-hanīfīyat al-samhah (semangat pencarian Kebenaran
yang lapang . 30
Neo-Sufisme Gelombang Pertama
Azra31 menegaskan bahwa sepanjang menyangkut perkembangan Islam, khususnya di abad XVII M, neo-sufisme merupakan wacana
dominan dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah.
Sejak awal abad XVII, Timur Tengah, khususnya Makkah dan
Madinah, menyaksikan berkembangnya pemikiran Islam aliran neosufisme. Sehingga, sebagai wilayah yang terlibat dalam proses
transmisi keilmuan Islam dari Timur Tengah tersebut, Nusantara
juga memperlihatkan kecenderungan Islamnya yang neo-sufis
tersebut.
Abad XVII M dalam sejarah Islam di Nusantara memang
merupakan periode penting yang mencatat perkembangan sangat
berarti dalam pembentukan tradisi intelektual Islam. Perkembangan
ini terjadi sejalan dengan terjalinnya hubungan yang semakin
intensif antara dunia Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah, yakni
Makkah dan Madinah. Kedua kota suci tersebut saat itu tengah
berkembang menjadi pusat berlangsungnya studi-studi Islam oleh
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
para ulama di dunia Muslim, termasuk Melayu-Nusantara. Melalui
para ulama inilah transmisi keilmuan Islam di Melayu-Nusantara
berkembang semakin kuat. Para ulama ini selanjutnya membentuk
satu jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah yang
berfungsi sebagai sarana berlangsungnya proses transmisi keilmuan
Islam ke Melayu Nusantara. Sebagian besar ulama terkemuka di
Nusantara pernah belajar di Timur Tengah, khususnya Makkah dan
Madinah.
Penting dijelaskan, pada abad XVII hubungan Melayu-Nusantara
dengan Timur Tengah memang terjalin sangat intensif. Perkembangan politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
khususnya kerajaan Aceh, telah menempatkan dunia MelayuNusantara memiliki akses langsung dalam berhubungan dengan
dunia Timur Tengah. Bukti-bukti sejarah menunjukan bahwa bahwa
pada abad XVII terjadi peningkatan hubungan yang semakin intensif
dari dua dunia Muslim tersebut. Hal ini terjadi selain melalui ibadah
haji—yangmengalami peningkatan sejalan perkembangan perdagangan di Lautan Hindia––tapi yang terpenting adalah hubungan
para ulama yang terjalin melalui sebuah jaringan yang sangat
kompleks. Meski tidak sedikit yang awalnya hanya bertujuan
melaksanakan ibadah haji, para ulama kemudian belajar Islam di
Makkah dan Madinah dalam waktu yang sangat lama. Para ulama
inilah kemudian menjadi tokoh intelektual terkemuka yang bertanggung jawab atas penyebaran dan sosialisasi pemikiran-pemikiran Islam yang mereka pelajari selama berada di Timur Tengah.
Salah seorang ulama yang bertanggungjawab memperkenalkan
pemikiran neo-sufisme kepada para ulama Nusantara adalah
)brāhīm al-Kuranī
-1690), seorang ulama terkemuka di
Haramayn asal Kurdi. Ia menjadi guru bagi kebanyakan ulama
Nusantara yang belajar dan bermukim di Makkah dan Madinah. Di
antara ulama Nusantara yang pernah berguru kepadanya adalah alSinkili al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makassari. Al-Kuranī
diketahui mendapatkan pendidikan awal di tempat kelahirannya,
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
sebelum kemudian ia belajar di Iran dan di wilayah-wilayah Usmania
Anatolia, Syria dan Mesir. Hal terpenting untuk ditekankan dalam
konteks neo-sufisme ini adalah bahwa )brāhīm al-Kuranī dikenal
sebagai seorang yang memberi perhatian pada upaya mendamaikan
aliran-aliran dalam pemikiran Islam yang kerap kali bertentangan
satu sama lain, khususnya antara para ulama sufi dan ulama fikih.
Sebagaimana telah diisyaratkan di atas, aspek paling menonjol
dari pemikiran neo-sufisme adalah adanya saling pendekatan
(raproachment) antara para ulama yang lebih berorientasi syariah
(ahl al-syarī ah), khususnya mereka yang kerap disebut para ahli
fikih, dan para ulama yang lebih menekankan praktik-praktik
sufisme (ahl al-haqīqah . Oleh karena itu, dalam se¬jarah pemikiran
Islam, neo-sufisme ini sedikit banyak diakui merupakan pembaharuan yang berusaha menjadikan sufisme sejalan dengan syariah.
Hal ini lahir karena kon¬flik yang tajam antara dua kelompok
pemikir Islam di atas. Bahkan, konflik ini telah merenggut korban
dengan meninggalnya para sufi, seperti yang dialami al-(allāj, karena
tuduhan tidak menjalankan hukum-hukum atau ketentuanketentuan yang ditetapkan syariah. Demikianlah, sejak sekitar abad
X)), khususnya diwakili Ab” Muhammad al-Ghazālī w.
,
rekonsiliasi sufisme dan syariah merupakan wacana dominan dalam
perkembangan pemikiran Islam. Al-Ghazālī berpendangan bahwa
sufisme yang dijalankan para sufi eskatik seperti )bn Arabī, harus
diletakkan kembali dalam kerangka syariah.
Dalam konteks Melayu-Nusantara, khususnya di Kerajaan Aceh–
–seperti akan dijelaskan secara rinci kemudian––gagasan-gagasan
neo-sufisme diketengahkan para ulama Nu¬santara yang belajar di
Timur Tengah, yaitu Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), al-Sinkili alSinkili (1615-1693), dan Yusuf al-Makassari (1627-1699) pada abad
XVII; serta Muhammad al-Palimbani dan Abu Daud al-Patani pada
abad XVIII. Mereka, lebih-lebih al-Raniri, mewakili gerakan Islam
neo-sufisme di Melayu-Nusantara yang menentang aliran sufisme
wahdah al-wujūd yang ditanamkan pengikut )bn Arabī, khususnya
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630).
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Neo-Sufisme Gelombang Kedua: HamkaSebuah Kasus
Untuk kasus neo-sufisme di Indonesia, maka sosok Hamka
adalah sangat representatif. Ia telah menulis buku-buku tentang
tasawuf dan kritikannya sekaligus, dan ia sekaligus pelaku yang
mempraktikkan hidup kesufian.32
Nurcholish Madjid dalam sebuah wawancaranya pernah
menyinggung sosok Hamka sebagai "di satu pihak begitu modernis
dan reformis, tapi di pihak lain dia juga menerima dan mengembangkan sufi."33 Posisi ini memang penuh risiko jika kita lihat dari
background ke-Muhammadiyah-an Hamka. Mengingat, kehadiran
gerakan Muhammadiyah antara lain dimaksudkan untuk memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang
tidak Islami.34 Tetapi, seperti diakui budayawan dan sastrawan
Kuntowijoyo, dalam Muhammadiyah tetap ada unsur sufisme.35
Kehadiran Hamka dengan Tasauf Moderen-nya, menandai babak
baru dasar-dasar sufisme baru di Indonesia. Menurut Nurcholish
Madjid, merujuk buku Tasauf Modern, memberi petunjuk kepada kita
tentang adanya apresiasi Hamka yang wajar kepada penghayatan
esoteris Islam. Di samping itu, memberikan peringatan bahwa
esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar
syari ah. Jadi, sesungguhnya (amka masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Imam al-Ghazālī. Bedanya dengan alGhazālī ialah bahwa (amka menghendaki suatu penghayatan
keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan
pengasingan diri atau uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri
dalam masyarakat.36
Menurut Damami, istilah tasawuf modern merupakan lawan
terhadap tasawuf tradisional. Tasawuf yang ditawarkan Hamka
berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman
mukasyafah; jalan tasawufnya lewat sikap zuhud yang dapat
dilaksanakan dalam peribadatan resmi. Sikap zuhud tidak perlu
terus-menerus bersepi-sepi diri dengan menjauhi kehidupan
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
normal; penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang
dinamis, bukan ingin bersatu dengan Tuhan unitive state); dan
refleksi tasawufnya berupa menampakkan makin meningginya
kepekaan sosial dalam diri si sufi disebut juga karamah dalam arti
sosio-religius bukan karena ingin mendapat karamah yang
bersifat magis, metafisis dan sebangsanya.37
Mencermati pemikiran Hamka di bidang tasawuf ini, konsep
dasar yang ia tawarkan adalah sufisme yang berorientasi ke depan
yang ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan
yang unsur-unsurnya meliputi prinsip tauhid, dalam arti menjaga
transendensi Tuhan dan sekaligus merasa dekat dengan Tuhan. .
Dan memanfaatkan peribadatan sebagai media bertasawuf, dalam
arti di samping melaksanakan perintah agama juga mencari hikmah
yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki
etos sosial yang tinggi.38 Lebih jauh Hamka mengatakan:
Tasawuf ialah hubungan diri dengan Tuhan dan hubungan diri
dengan masyarakat. Bilamana telah diperkuat diri karena
hubungan dengan Tuhan, maka diri itupun kena sinar daripada
Tuhan, kilau kemilau cahayanya dan tinggi mutunya. Diri yang
mendapat limpahan Nur Ilahi itulah yang dibawa ke tengah
masyarakat…Sebab yang hendak dikurbankan itu hendaklah
barang yang bermutu. Pribadi yang bermutu menimbulkan
masyarakat yang bermutu. Batas di antara seorang penyembah
benda yang egoistis (mementingkan diri sendiri) dengan
seorang Shufi yang lari dari masyarakat sangatlah tipis.
Seorang ahli tasawuf yang senantiasa duduk dalam tempatnya
bersuluk menghitung tasbih memohonkan pahala atau hendak
mensucikan diri sendiri dan tidak mempedulikan masyarakat
adalah juga seorang yang egoistis, mementingkan dirinya
sendiri.39
Ditambahkan oleh Hamka, semangat Islam ialah semangat
berjuang, semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas,
lemah, rapuh, dan mlempem.40
Hamka mengakui bahwa bekas pendidikan tasawuf yang melemahkan itu sangat besar di Indonesia dan dunia Islam seluruhnya.
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Ini menimbulkan akibat yang cukup membekas pada masyarakat
kaum Muslim, katanya:
Sekian lamanya kaum Muslimin membenci dunia dan tidak
menggunakan kesempatan sebagaimana orang lain. Lantaran
itu mereka menjadi lemah. Akan berkorban, tidak ada yang
akan dikorbankan, karena harta benda dunia telah dibenci.
Akan berzakat, tidak ada yang akan dizakatkan, karena mencari
harta dikutuki. Orang lain maju di lapangan penghidupan,
mereka mundur. Dan apabila ada yang berusaha mencari harta
benda, mereka dikatakan telah jadi orang dunia.41
Fenomena ini disinyalir oleh Hamka sebagai tasawuf yang telah
menyimpang dari ajaran Islam. Ia mengutip kata-kata tokoh
Muhammadiyah KH. Mas Mansur yang pernah mengatakan: "80%
didikan Islam kepada keakhiratan dan 20% kepada ke uniaan. Tetapi
kita telah lupa mementingkan yang tinggal 20% lagi itu, sehingga kita
menjadi hina." Melihat situasi yang menghinggapi umat Islam itu,
Hamka, dalam melurusukan tasawuf merasa perlu menegaskan
hakikat Islam, katanya:
Agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya mencari
rezeki dan mengambil sebab-sebab buat mencapai kemuliaan,
ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsabangsa. Bahkan agama Islam menyerukan menjadi yang
dipertuan di dalam alam dengan dasar keadilan, memungut
kebaikan di mana pun juga bersuanya, dan membolehkan
peluang mencari kesenangan yang diizinkan.42
Berdasarkan pengamatannya terhadap pemikiran sufistik
Hamka, Dawam Rahardjo sampai pada kesimpulan bahwa maksud
Hamka menulis tasawuf modernnya adalah meletakkan tasawuf
kepada relnya, dengan menegakkan kembali maksud semula
tasawuf, yakni guna "membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan
dan mempertinggi derajat budi pekerti."43
Menurut Abdurrahman Wahid, salah satu sumbangan terbesar
Hamka—di luar Tafsir Al-Azhar—adalah berhasil mendudukkan
kembali beberapa aspek ilmiah yang tadinya hilang dari perhatian
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
sebagian kelompok Muslim dalam pengetahuan tentang agama
mereka, yaitu tentang tasawuf. 44 Sebagai obyek kajian ilmiah,
tasawuf pernah menjadi momok bagi kalangan pembaruan
diperempat pertama abad XX, sebagian besar karena penolakan
mereka atas praktek-praktek kaum tarekat penganut tasawuf, yang
salah dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama dalam pandangan mereka. Di sinilah, tegas Abdurrahman Wahid, kehadiran
Buya Hamka lewat Tasawuf Modern-nya memberi legitimasi kepada
kecenderungan yang memang sebenarnya sudah ada, tetapi masih
tersembunyi oleh semangat memperbarui yang mewarnai sikap
para pengikut gerakan Muhammadiyah pada masa-masa permulaan
pertumbuhannya.45
Menurut Nurcholish Madjid, Buya Hamka banyak sekali
dipengaruhi oleh al-Ghazālī, terutama Iḥyā Ulūm al-Dīn.46 Dalam
sebuah wawancaranya dengan M. Nasruddin Anshory Ch, dari
majalah Horison edisi No. 4, 23 April 1989, Nurcholish Madjid
berkomentar tentang Hamka:
Meskipun sebagai orang Muhammadiyah, beliau itu banyak
mengambil prinsip-prinsip dasar dari keyakinan keagamaannya orang seperti )bn Taymīyah, tetapi dia, seperti tercermin
dalam buku-bukunya itu, sangat banyak dipengaruhi oleh alGhazālī. Dan memang Buya (amka adalah orang yang punya
akses, karena ada kemampuan untuk membaca. Sehingga wajar
kalau dia menjadi kaya dalam pemikiran sufi ini. Saya kira tidak
banyak orang seperti Buya Hamka itu, di mana di satu pihak
begitu modernis dan reformis, tapi di pihak lain dia juga
menerima dan mengembangkan sufi. Maka dia juga menulis
buku Tasawuf Modern. Dalam Tasawuf Modern itu, Buya Hamka
bermaksud menonjolkan segi-segi kesufian dari ibadah Islam,
tanpa menjadi pengikut gerakan tarekat. Jadi bertasawuf dalam
artinya yang murni.47
Memang, sebagai seorang reformis dan modernis, Hamka
melancarkan kritik-kritik yang pedas terhadap tasawuf dan kaum
sufi. Tetapi, sebagaimana diamati oleh Nurcholis Madjid, yang
menjadi sasaran kecaman Hamka sebenarnya bukanlah tasawuf itu
an sich, melainkan tasawuf sebagaimana diamalkan orang banyak.48
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Di sini—meminjam kategorisasi Nurcholis Madjid—Hamka sesungguhnya menggunakan kategori analitis "sufisme-filosofis" dan "sufísme-populer".49 Dalam tataran "sufisme-filosofis", Hamka mendukung
tasawuf, bahkan dia ikut mengembangkan dan meluruskannya
dengan berbagai karangan, baik dalam bentuk buku, seperti Tasawuf
Modern, maupun dalam bentuk karya-karya yang lebih pendek.50
Dalam tataran "sufisme-populer", Hamka dengan gencar mengkritik praktik-praktik sufisme yang diilihatnya menyimpang dari
ajaran Islam yang sesungguhnya. Praktik-praktik bid ah seperti
dalam kebiasaan mengkultuskan guru, pemimpin, wali, dan lainlainnya. Kebiasaan mengkultuskan seorang tokoh ini tidak saja
dilakukan ketika sang tokoh masih hidup, bahkan setelah dia
meninggal sikap mengkultuskannya ini semakin mengental. Mitologi
terhadap tokoh-tokoh ini melahirkan kebiasaan memuja kuburan,
seperti dikatakan Hamka:
Sudah beratus tahun faham tasawuf yang telah jauh terbelok
dari pangkalnya itu mempengaruhi masyarakat Muslim.
Berpuluh-puluh makam dibangun orang, kemudian makammakam ini dikeramatkan. Dan ini banyak kita jumpai di setiap
negeri )slam…Pendeknya, suasana pada waktu itu adalah
suasana kuburan.51
"Suasana kuburan" yang disaksikan Hamka sudah menjurus
pada apa yang dia gambarkan: "Bukan lagi mendoakan, kiranya
orang berkubur itu dilapangi Allah, tetapi memohonkan apa-apa
kepada yang berkubur itu. Atau bernazar, jika kiranya suatu
kehendaknya tercapai, karena pemujaannya kepada kubur itu dia
berjanji akan datang lagi ke sana, mengucapkan terima kasih dan
menyampaikan apa-apa sedekah yang akan diterima dengan senang
hati oleh juru kunci!"52 Padahal, tegas Hamka, Tuhan berkali-kali
mengatakan dengan perantaraan rasul-Nya, bahwa Dia dekat kepada
hamba-Nya daripada urat leher hamba itu sendiri.53 Bahkan, seorang
penyair sufi pun pernah berkata: "Janganlah engkau meminta apaapa kepada sesamamu Anak Adam. Tetapi mohonkanlah terus kepada
yang pintu-Nya tidak pernah tertutup. Allah murka kalau engkau
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
tinggalkan memohon kepada-Nya. Dan Anak Adam marah kalau
engkau selalu meminta kepadanya."54
Paham Kesufian Hamka
Berdasarkan kajian-kajiannya terhadap karya-karya Hamka,
Nurcholish Madjid sampai pada kesimpulan bahwa inti dari faham
kesufian Hamka adalah sebagai berikut:Pertama, tauhīd, dalam arti
faham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan
adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia. Termasuk juga
faham kultus (culturism) yang dipraktikkan oleh banyak kaum
Muslimin.
Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama.
Artinya, tidak boleh "pasrah" kepada otoritas orang lain—betapa
pun tinggi ilmunya—dalam bentuk taklid buta. Dengan tandas beliau
membela faham tentang terbukanya pintu ijtihad.
Ketiga, taqarrub, dengan menghayati sebaik-baiknya makna
ibadat yang telah ditetapkan oleh agama, dan melalui ibadat itu
mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.
Keempat, akhlāq al-karīmah atau budi pekerti luhur. Simbol dan
ekspresi lahiriah keagamaan memang penting, namun manusia
diharuskan harus bisa menangkap makna di balik itu semua. Makna
ini terutama berupa pendidian moralitas, etika, dan akhlak yang
mulia.
Terakhir, sebagai kelanjutan dari akhlāq al-karīmah ini kita
diharuskan aktif melibatan diri dalam kehidupan sosial. Beragama
dengan serius tidak berarti harus meninggalkan kehidupan duniawi,
tetapi malah harus mendorong untuk ambil bagian dalam usaha
bersama memperbaiki masyarakat. Sehubungan dengan masalah ini
beliau mengatakan, "Mengisi pribadi dengan sifat-sifat yang ada pada
Tuhan, yakni sifat-Nya, yang dapat kita jadikan sifat kita, menurut
kesanggupan yang ada pada kita…Bertasawuf tetapi bukan menolak
hidup. Bertasawuf, lalu meleburkan diri ke dalam gelanggang
masyarakat."55
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
Tanpa Tarekat
Sekalipun Hamka sangat apresiatif, bahkan pengamal tasawuf, ia
tidak pernah berafiliasi ke aliran tarekat mana pun di dunia ini. Ia
juga tidak pernah membuat aliran tarekat tersendiri, sebagaimana
lazimnya dalam dunia tarekat.
Berbeda dengan tokoh reformis-modernis lainnya, Hamka tetap
menaruh hormat kepada mereka yang bergabung dan mengamalkan
tarekat tertentu. Sikap respeknya ini dapat kita ketahui dari
pembahasannya mengenai pengaruh tasawuf dalam dakwah Islam.
Menurutnya tasawuf telah berjasa besar dalam penyebaran agama
Islam. Selain berhasil memperkuat jiwa kaum Muslimin dalam
mempertahankan agama Islam, tasawuf juga telah berhasil
memompa jiwa kaum Muslimin dalam menghadapi penjajahan
bangsa asing.
Ia mengambil kasus Tarekat Sanusiyah, yang didirikan oleh
Sayid Muhammad bin Ali Al-Sanusi, di Afrika. Tarekat ini telah berjasa dalam mempertahankan agama Islam dan menjadi pemompa
jiwa kaum Muslimin di Libya dalam mengusir penjajahan Italia.56
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan
pembaruan tasawuf di Indonesia terfokus pada mengembalikan
tasawuf ke pangkalnya sehingga sesuai dengan tuntunan al-Quran
dan al-Sunnah. Pembaruan tasawuf gelombangan pertama dan
kedua di Nusantara, ternyata sama-sama fokus pada pengembalian
tasawuf tersebut. Namun yang cukup menarik adalah fakta bahwa
para pembaru tasawuf tersebut tidak serta merta mengharamkan
tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan salafi, tetapi lebih
pada menjaga agar tasawuf tidak melenceng dari jalurnya. []
Catatan Akhir
1Sebagai gambaran tentang masa kegelapan dan kemunduran dunia
Islam; lihat: Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 11-27.
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
2Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. III, Chicago: Chicago
Univesiry Press, 1974, h. 134.
3Lihat: Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti-Sufis: The Defense, Rethinking
and Rejection of Sufism in the Modern World, Richmond, Surrey: Curzon
Press, 1999.
4Ibid., h. 1.
5Ibid.
6A. J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London:
George Allen and Unwin Ltd, 1950, h. 121.
7Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 6768.
8A. J. Arberry, Sufism, h. 121.
9Harun Nasution, Pembaharuan, h. 23-24.
10Elizabeth Sirriyeh, Sufi and Anti-Sufis, h. 3.
11Dikutip dari Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti-Sufis, h. 4.
12Ibid.
13Ibid.
14Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, Solo:
Ramadhani, 1993, h. 369.
15Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, h. 35.
16A. (.Johns, Sufism as a Category in )ndonesia Literature and
(istory , JSEAH, 2, II,1961.
17Lihat Oman Fathurahman dan Jajat Burhanuddin, Tradisi dan
Wacana Intelektual Islam Indonesia , artikel diakses darihttp://
naskahkuno.blogspot.com/2007/07/neo-sufisme-ghazalian-abdussamadal.html 11-02-2009.
18Juga disebut Ḥanābilah yang dirintis oleh Aḥmad ibn Muḥammad
ibn Ḥanbal w. 855 M atau biasa disebut Imam Hanbal. Dia adalah murid
Ab” Yus”f dan )mām Syāfi`ī w.
M. corak pemikirannya tradisionalisfundamentalis. Pandangan-pandangannya didasarkan pada Qur an, Sunnah
dan pendapat sahabat. Tapi jika terpaksa ia juga menggunakan hadis
Mursal dan qiyas. Mazhab Hanbali banyak berkembang di Irak, Mesir, Syria,
Palestina dan Saudi Arabia lih. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Vol. IV [Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002], h. 216.
19Kehadiran Ibn Taimiyyah sebagai tokoh sufi sedikit ada perbedaan
di kalangan para pengkajinya. Pandangan yang menyatakan bahwa ia
adalah tokoh sufi dapat dibaca dalam beberapa tulisan berikut: Al-Ṭablawī
Maḥm”d Sa`ād, al-Taṣawwuf fī Turāṡ Ibn Taimiyah, Kairo: T.p., 1984, h. 18;
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
lihat juga Abdul-Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah, penerj. Muhammad Muchson Anasy, Jakarta: Khalifa, 2005;
George Makdisi, )bn Taimiya: a Sufi of the Qādiriya Order , American
Journal of Arabi Studies,AJAS 1 1974, h. 118-129, juga ada dalam Religion,
Law and Learning in Classical Islam Hampshire and Vermont: Variorum,
1991; Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas
Rancang Bangun Tasawuf, Surabaya: JP Books-STAIN Press Kudus, 2007.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Ibn Taimiyyah bukanlah sufi
adalah Fritz Meier, Des sauberste uber die vorbesstimmung. Ein Stuck )bn
Taymiyyah , Saeculum 32 1981, h. 74-89.
20Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas
Rancang Bangun Tasawuf,Surabaya: JP Books-STAIN Press Kudus, 2007, h.
12.
21Fazlur Rahman, Islam, edisi II, Chicago: University of Chicago Press,
1979, 205-206.
22Fazlur Rahman, "Revival and Reform", dalam P. M. Holt et.al, The
Cambridge History of Islam, 1970, II, h. 637.
23Fazlur Rahman, Islam, h. 194.
24Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas dan Aktor Sejarah,Jakarta: Gramedia, 2002, h. 194.
25Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna
dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah,Jakarta: Paramadina, 1995, h. 94.
Islam Agama Peradaban, h. 93-94.
26Ibid., h. 94.
27Gerakan neo-sufisme ini berpusat di Jenewa Swis yang diketuai Dr.
Sa`id Ramadhan dengan buku pegangan utamanya Al-Rūhanīyat AlIjtimā `īyah fī Al-Islām 1965. Dalam buku ini diuraikan secara komprehensif
tasawuf model baru yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
28Ibid., h. 95;
29Ibid., h. 96-97.
30Lihat: Jamāl al-Dīn Ab”al-Faraj `Abd al-Raḥmān ibn JawzīalBaghdādī, Talbīs Iblīs,Kairo: )dārat al-Ṭibā`at al-Munīrīyah,
(, h.
220.
31Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauana
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
32Lihat: Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997, h. 128-133.
33Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h. 320.
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
34Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,Bandung: Mizan, 1998, h 105.
35Lihat:
Pengantar Kuntowijoyo untuk buku Alwi Shihab,
Membendung Arus, h. XX
36Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna
dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah,Jakarta: Paramadina, 1995, h 92.
37Mohammad Damami, Tasawuf Positif, h. 243.
38Ibid., h. 243-244.
39Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghany, h. 59.
40M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993, h. 204.
41Ibid., h. 205.
42Ibid.
43Ibid.
44Abdurrahman Wahid, Benarkah Buya (amka seorang Besar? , h.
30.
45Ibid., h. 31.
46Dalam kata sambutannya untuk terjemahan Iḥyā `Ulūm al-Dīn oleh
)smail Yakub, (amka mengakui, Di zaman modern ini, saya sendiri amat
banyak mengambil buah renungan Ghazālī untuk buku saya Tasauf
Moderen.”Lih.Ihya Al-Ghazali, Jil.I, penerj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA,
Jakarta: CV. Faizan, 1994, h. 17.
47Wawancara ini telah dibuat dalam Nurcholish Madjid, Dialog
Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer,Jakarta: Paramadina, 1998, h. 319-320.
48Menurut Dawam Rahardjo, sasaran utama kritik Hamka terhadap
tasawuf disebabkan oleh munculnya ajaran-ajaran kebatinan, terutama
kebatinan Jawa, selain adat istiadat dan nilai-nilai budaya setempat di
daerah-daerah lain yang sering masih tercampur dengan kepercayaankepercayaan animisme dan dinamisme. Islam, seperti dikatakan oleh
berbagai ahli sejarah seperti Prof. Dr. Priyono, masuk ke Indonesia melalui
India dengan membawa unsur-unsur tasawuf.Dengan pendekatan tasawuf
ini, Islam menjadi lebih mudah diterima, dengan konsekuensi, Islam
membiarkan dirinya tercampur dengan tradisi dan nilai-nilai budaya lokal.
Muhammadiyah—di mana Hamka adalah salah seorang pengikut, penyebar
dan salah seorang pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah—datang
untuk membersihkan unsur-unsur tersebut, dengan keyakinan bahwa
Islam demikian itu akan bisa membawa umat ke arah kemajuan.
Memperkenalkan tasawuf bisa berarti melawan arus reformasi yang
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
SULAIMAN AL-KUMAYI: Gerakan Pembaruan...
dibawa oleh Muhammadiyah M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia,
h. 204.
49Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 126.
50Barangkali agak mengejutkan bagi sementara orang kalau Hamka
mengatakan bahwa Jamāl al-Dīn al-Afghānī sebagai penganut tasawuf.
Menurut Hamka, tokoh pembaharu Islam tersebut adalah seorang peminat
tasawuf. "Jamāl al-Dīn seorang peminat tasawuf.Muridnya Mohammad
Abduh pun seorang yang menyukai hidup bertasawuf.Tasawuf bagi mereka
adalah akibat yang wajar dari perasaan tauhid. Tetapi Jamāl al-Dīn tidak
membutakan matanya daripada kerusakan yang telah menimpa Islam
karena dalam tasawuf itu menyelinap pula ajaran yang lain yang bukan dari
Islam asalnya¦، Jamāl al-Dīn tidak lepaskan tasbih dari tangannya walaupun
sedang duduk menghadapi majlis raja-raja. Pada suatu hari dibilangbilangnya juga tasbihnya itu di hadapan Sultan Abdul Hamid. Lalu datang
bintara istana memberi peringatan bahwa membilang-bilang tasbih di
hadapan majlis raja adalah satu perbuatan yang kurang sopan. Dengan
murka beliau menjawab, 'Kau tahu hai bintara! Sultan mengambil
tengkorak rakyatnya dijadikan tasbih dan digoyangkannya menurut
sekehendak hatinya, tak ada orang yang berani melarang. Padahal tasbih itu
kepunyaan saya sendiri, tidak mengganggu orang lain, dan tidak saya hitung
dengan menggoyangkannya, ini tidak lain hanyalah nama Tuhanku!' Itulah
satu contoh yang simbolik dari tasawufnya Jamāl al-Dīn!" Prof. Dr. (amka,
Said Jamaluddin Al-Afghany,h. 58-60.
51Dikutip dari Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, h. 126-127; sumber
aslinya: Hamka, Mengembalikan Tasawuf Ke Pangkalnya,Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1973, h. 40-41.
52Prof. Dr. Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 69-70.
53Ibid., h. 71.
54Ibid., h. 73.
55Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 131-132.
56Lebih jauh lihat Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam,
Jakarta: UMMINDA, 1982, h. 198-213.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, Solo:
Ramadhani, 1993.
Ahmad, Abdul-FattahSayyid,Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah, penerj. Muhammad Muchson Anasy, Jakarta: Khalifa,
2005.
Arberry, A.J., Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London:
George Allen and Unwin Ltd, 1950.
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2002.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Baghdādī, Jamāl al-DīnAb” al-Faraj `Abd al-Raḥmān ibn Jawzī, Talbīs
Iblīs, Kairo: )dārat al-Ṭibā`at al-Munīrīyah,
(.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol. IV, Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Fathurahman, Oman,dan Jajat Burhanuddin, Tradisi dan Wacana
Intelektual Islam Indonesia , artikel diakses dari
http://naskahkuno.blogspot.com/2007/07/neo-sufismeghazalian-abdussamad-al.html.
Hamka, Mengembalikan Tasawuf Ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1973, h. 40-41.
Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam, Jakarta: UMMINDA,
1982.
Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghani: Pelopor Kebangkitan Muslimin,
Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013
Hodgson, Marshal G.,The Venture of Islam, Vol. III, Chicago: Chicago
Univesiry Press, 1974.
Johns, A. (., Sufism as a Category in )ndonesia Literature and
(istory , JSEAH, 2, II,1961.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,
1995.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,
1995.
Makdisi, George, )bn Taimiya: a Sufi of the Qādiriya Order ,
American Journal of ArabiStudies, AJAS 1 1974.
Makdisi, George, Religion, Law and Learning in Classical Islam,
Hampshire and Vermont: Variorum, 1991.
Masyharuddin, PemberontakanTasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas
Rancang Bangun Tasawuf, Surabaya: JP Books-STAIN Press
Kudus, 2007.
Meier, Fritz, Des saubersteuber die vorbesstimmung. Ein Stuck Ibn
Taymiyyah , Saeculum 32 1981, h. 74-89.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993.
Rahman, Fazlur, "Revival and Reform", dalam P. M. Holt et.al, The
Cambridge History of Islam, Vol. II, 1970.
Rahman, Fazlur, Islam, edisi II, Chicago: University of Chicago Press,
1979.
Ramadhan, Sa id, Al-Rūhanīyat Al-Ijtimā `īyahfī Al-Islām,Damaskus: tp,
1965.
Sa ād, Al-Ṭablawī Maḥm”d, al-Taṣawwuffī Turāṡ Ibn Taimiyah, Kairo:
T.p., 1984.
Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan,
1998.
Sirriyeh, Elizabeth,Sufis and Anti-Sufis: The Defense, Rethinking and
Rejection of Sufism in the Modern World, Richmond, Surrey:
Curzon Press, 1999.
Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
Wahid, Abdurrahman, Benarkah Buya Hamka seorang Besar? ,
dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari
(peny.), Hamka di mataUmat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013