Skip to main content

    Arfianto Purbolaksono

    Freedom of expression is one of the challenging issues in the reflection of 23 years of Reform in Indonesia. Several cases that criminalized and targeted democracy activists along with their personal data, gadgets, and social media have... more
    Freedom of expression is one of the challenging issues in the reflection of 23 years of Reform in Indonesia. Several cases that criminalized and targeted democracy activists along with their personal data, gadgets, and social media have been increasing. The criminalization of individuals who are critical to the government including in digital spaces has become regular news.

    In this case, existing legal foundations, including the 1945 Constitution, the Criminal Code, the Law Number 19 Year 2016 on the Law Number 11 Year 2008  regarding the Electronic Information and Transactions (ITE Law) to name a few, although they have been seen as the commitment of the government to protect human rights, apparently in practice, these regulations are also prone to be used as tools to discourage, if not to criminalize, those who are critical towards the government, particularly through electronic tools.

    Therefore, as a public policy research organization, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), writes a policy paper with a qualitative approach (January to mid-May 2021) that focuses on this topic particularly in relation to the ITE Law. The study tries to understand the policy content and context regarding freedom of expression, particularly citizens’ criticisms towards the government in digital spaces. Our analysis also looks at concepts such as digital spaces, democracy, and governance; legal-political approach, as well as policy implementation.

    We expect that the paper can provide actionable and relevant policy recommendations with human rights and freedom perspectives and involve various stakeholders in order to promote freedom of expression and digital protection in Indonesia, particularly for the citizens’ participation in the policy processes, including in voicing criticisms and feedback to the government in digital spaces.
    Reformasi tahun 1998 menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter digantikan oleh sistem kenegaraan yang lebih demokratis dalam sebuah fase transisi demokrasi. Transisi... more
    Reformasi tahun 1998 menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter digantikan oleh sistem kenegaraan yang lebih demokratis dalam sebuah fase transisi demokrasi.  Transisi demokrasi kemudian dimulai dengan pembenahan di segala lini kehidupan, termasuk dalam sistem politik. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 menjadi salah satu tonggak sejarah perubahan sistem politik di Indonesia. Pemilu yang di masa Orde Baru hanya di ikuti oleh tiga partai politik, seketika berubah dengan keikutsertaan 48 partai politik sebagai peserta pemilu. Partai politik yang pada rezim otoriter hanya menjadi kaki tangan penguasa, kemudian memiliki peran penting dalam mendorong sirkulasi kepemimpinan di tingkat nasional hingga tingkat lokal, baik di eksekutif maupun di legislatif.

    Namun dalam perjalanannya, transisi menuju demokrasi terhambat karena konsolidasi yang berlangsung secara lamban. Hal ini berakibat pada jalannya pemerintahan yang tidak efektif dan korup, ditambah lagi karena kurangnya kapasitas dan integritas dari pemimpin terpilih dalam pemerintahan serta perwakilan terpilih di parlemen. Kondisi tersebut terjadi akibat lemahnya peran partai politik di Indonesia, yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin dan perwakilan politik yang akuntabel dan kredibel untuk melayani publik. Lemahnya peran partai berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi dan pemerintahan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan cita-cita reformasi yang terjadi 23 tahun silam. Situasi ini yang kemudian menghadirkan kepentingan dan kegentingan untuk mendorong reformasi partai politik dengan mempromosikan penguatan kelembagaan partai.

    Penguatan kelembagaan partai politik dipandang sebagai kunci penting untuk mendorong reformasi partai politik. Untuk membahas permasalahan reformasi partai politik secara mendalam, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) lantas membuat naskah kebijakan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Studi ini menggunakan metode studi dokumen dan diskusi kelompok yang dilakukan dengan mengundang pimpinan pengurus pusat partai politik dan aktifis dari organisasi masyarakat sipil.

    Studi ini juga dibuat dengan kontribusi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Partai Politik yang Inklusif, Relevan, dan Responsif yang diprakarsai oleh TII bersama empat LSM lokal lainnya di Indonesia. Mereka adalah: Atmawidya Alterasi Indonesia/AAI (Yogyakarta), Averroes (Malang), Droupadi (Bandung), dan Lembaga Studi Kebijakan Publik/LSKP (Makassar).

    Pada studi ini, secara umum The Indonesian Institute (TII) meninjau aspek internal dan eksternal dari partai politik. Namun, analisis kajian ini lebih memusatkan pada aspek internal partai, khususnya bagaimana mendorong upaya penguatan kelembagaan partai politik. Dalam kajian ini, kami menggunakan beberapa konsep tentang reformasi partai politik, termasuk dari Pippa Norris (2004) untuk menganalisis temuan studi dan memberikan rekomendasi terkait upaya-upaya untuk mendorong reformasi kelembagaan internal partai politik dan inklusi kaum muda ke dalam partai politik.
    Beberapa temuan dalam penelitian ini, yang ditinjau dari dimensi internal dan eksternal partai politik sebagai berikut. Terkait dimensi internal, beberapa permasalahan terkait dimensi internal partai politik yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah persoalan rekrutmen politik; inklusi kaum muda dan perempuan dalam partai politik; keberadaan unit penelitian dalam partai politik; dan pendanaan partai politik. Sedangkan pada dimensi eksternal temuan penelitian dianalisis dengan menghubungkan persoalan kepercayaan publik, akuntabilitas sosial, dan regulasi terkait di partai politik. 

    Di sisi lain, berdasarkan temuan dan analisis yang diuraikan di atas, sistem pemilu dan regulasi mengenai partai politik juga perlu diperbaiki dalam arti mendorong reformasi yang dimaksudkan. Dimensi eksternal partai jelas mempengaruhi partai politik dalam berperilaku dan menjalankan fungsinya, serta bagaimana cara mereka dalam membangun hubungan dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam hal ini, reformasi partai harus didorong, baik secara internal untuk menopang upaya reformasi secara berkelanjutan maupun secara eksternal agar memberikan relevansi dan rasa urgensi bagi kepentingan partai untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam politik.

    Berdasarkan temuan dan analisis di atas, maka diperlukan sebuah agenda untuk mendorong reformasi internal partai dan inklusi kaum muda dalam partai politik. Agenda awal yang dapat dilaksanakan yaitu mendorong partai agar lebih inklusif, terutama bagi generasi muda; mendorong partai agar menjadi lebih relevan, termasuk ke kelompok akar rumput dan marjinal; memperkuat demokrasi internal partai; memperbaiki kelembagaan partai, termasuk dalam kepengurusan partai dan meningkatkan peran divisi penelitian, serta meningkatkan kinerja partai dalam menjalankan fungsinya.

    Berdasarkan agenda tersebut, studi ini menyarankan beberapa rekomendasi awal yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan oleh partai politik untuk kebutuhan reformasi kelembagaan dan inklusi kaum muda dalam partai politik sebagai berikut:  membuka proses rekrutmen anggota yang lebih luas, termasuk untuk generasi muda; menguatkan peran dan posisi kader muda melalui peningkatan kapasitas dan keterlibatannya dalam hal-hal substantif di dalam partai politik; memperbaiki model dan intensitas komunikasi dengan aktor demokrasi lainnya, serta mendorong partai yang demokratis berdasarkan ideologi, platform, dan kode etik., bukan didasarkan pada personalisasi atau kekerabatan.

    Rekomendasi lainnya yaitu penguatan kelembagaan partai, terutama melalui internalisasi dan penerapan ideologi, platform, dan program partai serta memaksimalkan fungsi penelitian untuk mendorong kebijakan berbasis data dan akuntabilitas sosial; memperbaiki tata kelola organisasi partai, terutama yang menyangkut prestasi dan sistem demokratis; pembiayaan partai yang transparan dan akuntabel, mengembangkan pendanaan yang berkelanjutan dan menyelesaikan konflik, serta melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan secara berkala atas pelaksanaan fungsi partai. Rekomendasi tersebut juga harus didukung oleh pemangku kepentingan demokrasi lainnya, seperti masyarakat sipil, media massa, pemerintah, parlemen, serta masyarakat pada umumnya.
    Kebebasan berekspresi menjadi salah satu permasalahan dalam refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Beberapa kasus yang mengkriminalisasi dan menyasar aktivis demokrasi beserta dengan data pribadi, gawai, dan media sosial yang mereka... more
    Kebebasan berekspresi menjadi salah satu permasalahan dalam refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Beberapa kasus yang mengkriminalisasi dan menyasar aktivis demokrasi beserta dengan data pribadi, gawai, dan media sosial yang mereka miliki semakin meningkat. Kriminalisasi individu yang kritis terhadap pemerintah termasuk yang terjadi di ruang digital sudah menjadi berita biasa.

    Dalam hal ini, landasan hukum yang ada, antara lain UUD 1945, KUHP, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperlihatkan komitmen pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya peraturan tersebut juga rawan digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti, kalau bukan untuk mengkriminalisasi, mereka yang kritis terhadap pemerintah, khususnya melalui perangkat elektronik.

    Oleh karena itu, sebagai lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), membuat naskah kebijakan dengan pendekatan kualitatif (Januari hingga pertengahan Mei 2021) yang fokus membahas topik ini, khususnya terkait dengan UU ITE. Kajian ini mencoba untuk memahami isi dan konteks kebijakan terkait kebebasan berekspresi, khususnya kritik warga terhadap pemerintah di ruang digital. Analisis kami juga melihat konsep-konsep seperti ruang digital, demokrasi dan pemerintahan; pendekatan politik hukum, serta implementasi kebijakan.

    Kami berharap makalah ini dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti dan relevan dengan perspektif hak asasi manusia dan kebebasan serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka mempromosikan kebebasan berekspresi dan perlindungan digital di Indonesia, khususnya untuk partisipasi warga dalam proses kebijakan, termasuk dalam menyuarakan kritik dan masukan kepada pemerintah di ruang digital.