Lapsus Demam Dengue
Lapsus Demam Dengue
DEMAM DENGUE
Pembimbing :
dr. Vivianty Hartiono, Sp.A, M.Kes
dr. Yoki Stefanus, MKM.
Penyusun :
dr. Angel Florence Teng
0
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................... i
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................2
2.1 Definisi ..................... .................................................................................................2
2.2 Etiologi .......................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi ..............................................................................................................3
2.4 Patogenesis .................................................................................................................4
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................................................7
2.6 Diagnosis Klinis ........................................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................12
2.8 Diagnosis Banding ....................................................................................................14
2.9 Komplikasi .................................................................................................................15
2.10 Penatalaksanaan .......................................................................................................16
2.11 Prognosis ..................................................................................................................24
2.12 Pencegahan ...............................................................................................................24
BAB 3 LAPORAN KASUS .............................................................................................27
BAB 4 KESIMPULAN ....................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32
i
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4 dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Dari 4
serotipe dengue yang terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
berhubungan dengan manifestasi klinik yang berat, diikuti dengan serotipe DEN-2.
Manifestasi klinik menurut kriteria diagnosis World Health Organization (WHO) 2011,
infeksi dengue dapat terjadi asimptomatik dan simptomatik. Infeksi simptomatik terbagi
menjadi infeksi dengue ringan yang terdiri dari undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
dan demam dengue, sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue
(DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopaty.
Populasi global yang berisiko terinfeksi virus dengue diperkirakan berkisar antara 2,5
sampai 3 miliar individu yang tinggal terutama di daerah perkotaan di daerah tropis dan
subtropis. Namun, sementara demam berdarah dulunya dianggap sebagai masalah perkotaan,
sekarang diakui juga signifikansi di daerah pedesaan di Asia Tenggara. Diperkirakan
setidaknya ada 100 juta kasus demam berdarah setiap tahunnya dan 500.000 kasus DBD yang
memerlukan rawat inap dan 90% adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.
Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung semakin
meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas. Pada tahun
2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka. kesakitan sebesar 78,13 per
100.000 penduduk, namun angka kematian dapat ditekan di bawah 1 persen, yaitu 0,79
persen. KLB DBD terjadi hampir setiap tahun di tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit
diduga.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
II.2 ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini mengandung RNA untai tunggal
sebagai genom. Virus ini mengandung RNA untai tunggal sebagai genom. Flavivirus
merupakan virus dengan ukuran 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106. Virus dengue genom adalah 11 644 nukleotida panjang, dan terdiri dari
tiga gen protein struktural pengkodean nucleocaprid atau intiprotein (C), protein membran-
terkait (M), sebuah protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara
protein non-struktural, amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting.
Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus berdasarkan
karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1,
DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi dengan satu serotipe menganugerahkan kekebalan seumur
hidup dengan virus serotipe. Meskipun keempat serotipe antigen sama, mereka cukup
berbeda untuk memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah infeksi oleh salah
satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi dengan serotipe
yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue (DBD / DSS).
Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya.
Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit. Vektor DD
dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes
albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman,
2
stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan
air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti
lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara
lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan
sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan;
sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah,
seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah
pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan di luar rumah.
Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih
menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk
memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya
menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di
wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam
satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.
II.3 EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling
ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue
shock syndrome (DSS); ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan
ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.
Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar
50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000
kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,
tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan
nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di
3
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi
KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004.
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada
kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45
tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue),
host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya
nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan
dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap
hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.
II. 4 PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi demam
berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model
binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti
pada manusia. Hingga kini sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD
dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua
dengan virus
serotype lain
dalam jarak
waktu 6 bulan
sampai 5 tahun.
4
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti
atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar,
endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari
berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan
besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel
dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di
sitoplasma sel.
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing
antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya
virion determinant spesificity, yaitu:
5
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe dengue
yang berbeda cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah
meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang
berlangsung sebagai berikut :
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus,
hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena
infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral
dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon α dan
γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan
interferon α. Interferon α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan
mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus
dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan
kebocoran plasma dan perdarahan.
6
protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada “cross protectif” terhadap serotip
virus yang lain .
a. Sindrom Virus
Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami demam
sederhana dan terkadang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan
suhu badan sampai yang normal. Gejala pernapasan dan pencernaan bagian atas
terjadi pada umumnya.
b. Demam Berdarah
Demam berdarah (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang
dewasa. Hal ini umumnya terjadi penyakit akut yang disertai demam, dan demam
kadang-kadang terjadi bifasik dengan sakit kepala, mialgia, arthralgia, ruam,
7
leukopenia dan trombositopenia juga dapat diamati. Meskipun DD mungkin jinak,
bisa jadi penyakit melumpuhkan dengan sakit kepala parah, nyeri otot dan sendi
dan tulang terutama pada orang dewasa. Kadang-kadang perdarahan yang tidak
biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis bisa
terjadi. Di daerah endemis demam berdarah, wabah DD jarang terjadi di kalangan
masyarakat setempat.
8
gastro-intestinal Hepatitis/gagal hati fulminan, acalculous cholecystitis, pankreatitis
akut, febrile diarrhea
Untuk menegakkan diagnosis kerja DBD dibutuhkan dua kriteria klinis ditambah satu
dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit). Manifestasi klinis yang
bervariasi mulai dari yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue,
demam berdarah dengue sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock
syndrome = DSS). Gambaran manifestasi yang bervariasi ini mengakibatkan suatu fenomena
gunung es dengan kasus dengue ringan (silent infection dengue) sebagai dasarnya.
1. Demam Dengue
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
9
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, dan atau melena; maupun berupa uji torniket positif
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
Leukopenia <4.000/mm3
10
3. Demam Berdarah Dengue dengan Syok (DSS)
a. Memenuhi kriteria DBD
b. Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik terkompensasi maupun
dekompensasi
• Syok Terkompensasi
- Takikardi
- Takipnea
- Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20mmHg
- Waktu pengisian kapiler >2 detik
- Kulit dingin, gelisah
• Syok Dekompensasi
- Takikardi
- Hipotensi
- Nadi cepat dan kecil
- Pernapasan Kusmaull
- Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock: Nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
11
o kaki dan tangan dingin
o kulit lembab & capillary refill time memanjang (>2 detik)
1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-
3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai
hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.
Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau
oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu
turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang
pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
2. Pencitraan
12
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang
dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan
efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding
vesica felea.
3. Pemeriksaan Rumple Leed Test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan
pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler.
Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan
itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan
sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit
(petechiae). Pemeriksaan ini didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah satu
syarat yang diperlukan untuk diagnosis demam berdarah. Suatu manset tekanan
darah diterapkan dan meningkat ke titik antara sistolik dan diastolik tekanan darah
selama lima menit. Tes positif jika ada 10 atau lebih ptekia per inci persegi. Pada
penderita demam berdarah tes dengue biasanya memberikan hasil positif yang pasti
dengan 20 ptekia atau lebih. Dewasa ini rumple leed test dianggap tes yang sudah
usang atau tidak dapat diandakan. Akan tetapi tes ini tetap menjadi bagian penting
dari penilaian seoang pasien yang mungkin memiliki demam berdarah dengue.
13
sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi predominan pada
infeksi sekunder.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA,
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 8
demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi
antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease, Scarlet
Fever
II.9 KOMPLIKASI
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
14
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan pula
bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut. Pada
ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason
0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >
80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi
tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.
b. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1
ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan
syok berat sering kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah
urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
c. Edema paru
15
adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem
paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
II.10 PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi
Intravaskuler Diseminata (KID).
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 – 6 jam pertama.
Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 – 100
ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan
disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik,
diberikan pula antikonvulsif selama masih demam.
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang memperlihatkan
penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan
16
adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin
6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD
ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah
syok.
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah
trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien dating, berikan cairan
kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,.
Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu
anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun
minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5
ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi
menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 – 48 jam. Apabila keadaan
klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi
meningkat, deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV,
maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah
12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan
klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12
jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan
koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb
turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam.
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba
kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan
tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid
20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20
ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap
15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah
17
Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum
dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20 ml/KgBB maksimal
30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan
periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula
darah.
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi
kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24
jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi
7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan
menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan
tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht
menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak
perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10
ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan
pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid
tersebut antara lain :
1. Dekstan
2. Gelatin
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah
terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan
manfaatnya juga tidak banyak.
18
faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan
kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar
hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya
menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan
transfusi.
19
Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
20
Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
21
Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
22
Tatala
ksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
23
Kriteria memulangkan pasien antara lain :
II.11 PROGNOSIS
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik.
Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan
prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi
yaitu 41,5 %. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita
demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan
daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain :
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok
II. 12 PENCEGAHAN
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vektor virus dengue.
Pengendalian vektor bertujuan :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai
penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan
yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk
modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan
vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian vektor dapat berupa :
24
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat
II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih
lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya
laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat
kemungkinan resiko penularan.
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan
DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya penanggulangan berupa :
foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir –
butir abate sand granule (SG) 1 % pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per
25
milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan
masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk.
26
BAB III
Laporan Kasus
STATUS PASIEN
Nama : An. C
Usia : 7 tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pelajar
I.2 Anamnesis
Paracetamol
27
I.3 Pemeriksaan Fisik
Suhu : 38°C
RR :24x/menit
Kepala : Normocephali,
Thoraks :
28
Palpasi :nyeri tekan (+), hepar dan lien tak teraba
Petekie (+)
Positif
I.5 Diagnosis
Demam Dengue
I.6 Tatalaksana
I.6.1 Terapi
29
Psidii syrup 3x1cth
I.6.2 Monitoring
Monitoring TTV
Monitoring DL (trombosit, leukosit, hematokrit) setiap hari
07 Juli 2021
S : Demam (+), mual (+), nyeri otot (+)
O : N : 98x/menit , S: 38°C ; RR : 26x/menit, BB : 26 Kg
Pmx DL : WBC 2.100 ; PLT : 88.000 ; HCT : 33.9
A : Demam Dengue
P : Terapi lanjut
08 Juli 2021
S : Demam naik turun, mual (-)
O : N : 100x/menit , S: 37.1°C ; RR : 25x/menit, BB : 26 Kg
Pmx DL : WBC 2.200 ; PLT : 46.000 ; HCT : 34.4
A : Demam Dengue
P : Terapi lanjut
09 Juli 2021
S : Demam (-)
O : N : 100x/menit , S: 36.5°C ; RR : 22x/menit, BB : 26 Kg
A : Demam Dengue
P : Terapi lanjut
30
BAB IV
KESIMPULAN
derajatnya. Perlu ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan DBD yang terpenting adalah
pemberian cairan intravena sebatas cukup mempertahankan sirkulasi yang efektif selama
periode plasma leakage disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik.
Disamping itu dalam penanganan DBD, hal yang perlu diperhatikan yaitu pencegahan
terjadinya DBD lagi. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit
DBD adalah”3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun serta plus yang meliputi
memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
Komplikasi yang sering terjadi pada anak dan bayi yaitu kehilangan cairan dan
elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam. Prognosis demam berdarah dapat terpengaruh
oleh antibodi pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang merupakan predisposisi
31
DAFTAR PUSTAKA
32
13. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-borne
Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis and Potential
candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol. 2010;Vol 140:271- 80.
14. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection. Postgraduate
Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
15. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria Dan
Demam Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2005.
16. World Health Organization. 2008. Guidelines for Clinical Management of Dengue
Fever, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Available at
http://www.wpro.who.int/mvp/documents/handbook_for_clinical_management_of_den
gue.pdf ( last update 2014 , December 24 )
17. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar lnfeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
18. IDAI, WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: IDAI;
2009.
19. Hasan Rusepno, Husein A. Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi Virus Dengue. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007
20. Buku pedoman diagnosis dan tatalaksana infeksi virus dengue pada anak oleh IDAI
2004
21. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
22. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
23. Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta : EGC
24. Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.
25. Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak.
Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
33