Adisti Maharani Putri - 2106110642 - Kelompok 4
Adisti Maharani Putri - 2106110642 - Kelompok 4
OLEH:
ADISTI MAHARANI PUTRI
NIM. 2106110642
KELOMPOK 4
DOSEN PEMBIMBING :
1. NISKAN WALID MASRURI, S.Hut., M.Sc
2. NUR SUHADA, S.Hut., M.Si
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2023
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKTIK PENGELOLAAN HUTAN (PPH), HUTAN PENDIDIKAN
GUNUNG WALAT (HPGW), KAB. SUKABUMI, JAWA BARAT
Oleh:
ADISTI MAHARANI PUTRI
NIM. 2106110642
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kehutanan
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum yang berjudul Praktik
Pengelolaan Hutan ini tepat pada waktunya.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Dosen Pembimbing yaitu Bapak Niskan Walid Masruri, S.Hut., M.Sc dan Bapak Nur
Suhada, S.Hut., M.Si pada mata kuliah Praktik Pengelolaan hutan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada para dosen pengampu dan asisten praktikum atas
segala arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat melaksanakan praktik dengan
lancar dan menyelesaikan laporan praktik ini.
Penulis berharap laporan akhir praktik pengelolaan hutan ini dapat memberi
manfaat kepada pembaca dan terutamanya kepada penulis sendiri. Penulis menyadari,
bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan laporan akhir ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna penyempurnaan laporan akhir praktik pengelolaan hutan ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ......................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................................. 3
1.2.1 Kehutanan Masyarakat ................................................................................. 3
1.2.2 Hama dan Penyakit Hutan ............................................................................ 3
1.2.3 Konservasi Tanah dan Air ............................................................................ 4
1.2.4 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ........................................................ 4
1.2.5 Pembinaan Hutan .......................................................................................... 4
1.2.6 Inventarisasi Tegakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat ......................... 5
1.2.7 Pemetaan Blok Pengelolaan ......................................................................... 5
1.2.8 Perencanaan Kawasan Taman Hutan Raya .................................................. 5
iv
3.7 Pemetaan Blok Pengelolaan .............................................................................. 28
3.8 Pengelolaan Taman Hutan Raya........................................................................ 28
V. PENUTUP ............................................................................................................. 54
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 54
5.1.1 Kehutanan Masyarakat dan Kemitraan Kehutanan .................................... 54
5.1.2 Hama dan Penyakit Hutan .......................................................................... 55
5.1.3 Konservasi Tanah dan Air .......................................................................... 55
5.1.4 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ...................................................... 56
5.1.5 Pembinaan Hutan ........................................................................................ 56
5.1.6 Inventarisasi Tegakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat ....................... 57
5.1.7 Pemetaan Blok Pengelolaan ....................................................................... 57
5.1.8 Perencanaan Kawasan Taman Hutan Raya ................................................ 58
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Desain Plot pengamatan ......................................................................... 19
2. Ilustrasi titik pengambilan contoh tanah pada jalur penanaman ............ 21
3. Ilustrasi jalur penanaman seedball per regu .......................................... 23
4. Peta Batas Kawasan Hutan Pendidikan gunung walat ........................... 30
5. Bedeng sapih bibit Pinus ........................................................................ 32
6. Peta Transek Dusun Nanggareng ........................................................... 40
7. Rekapitulasi hasil inventarisasi blok TOSO regu A .............................. 44
8. Petak Luasan Blok HPGW ..................................................................... 46
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kategori Kemasaman tanah ...................................................................... 22
2. Kategori KTK Tanah................................................................................. 23
3. Prestasi Kerja ............................................................................................ 31
4. Evaluasi penanaman .................................................................................. 33
5. Data pengamatan pohon Agathis .............................................................. 34
6. Rekapitulasi Hasil pemeriksaan hama tegakan dalam PU ........................ 34
7. Hasil pengamatan penyakit pada tegakan hutan HPGW........................... 34
8. Deskripsi kondisi dari perangkat desa....................................................... 38
9. Rekapitulasi hasil inventarisasi blok TOSO regu A ................................. 41
10. Rekapitulasi hasil inventarisasi blok TOSO regu B ................................ 42
11. Rekapitulasi Data Semua petak yang diinvestarisasi .............................. 43
12. Hasil Analisis Uji Tanah ......................................................................... 48
13. Pengukuran produksi sadapan Getah Pinus (gram) ................................ 50
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Dokumentasi .......................................................................................... 62
2. Perhitungan ............................................................................................ 67
viii
I. PENDAHULUAN
1
secara optimal bagi kepentingan ekonomi dan sosial, akan tetapi dalam
pemanfaatannya harus diatur menurut luas dan kaidah pelestarian lingkungan
meskipun di HPGW terdapat kebijakan zero cutting, HPGW dapat mengelola nilai
intangible yang dimilikinya sehingga dapat memberikan manfaat dan nilai tambah
secara berkelanjutan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi organisasi HPGW dan
masyarakat sekitar.
HPGW perlu di tata kelola dengan baik, kata tata kelola kehutanan yang baik
terdiri dari 3 suku kata, yaitu tata kelola (governance), kehutanan (forestry), dan yang
baik (good). Tata kelola kehutanan yang baik sangat diperlukan dengan tujuannya
sebagai berikut: (i) memberikan pengertian tentang tata kelola kehutanan yang baik,
(ii) mengidentifikasi prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan peraturan perundangan
terkait, (iii) mempelajari penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, (iv)
mengidentifikasi langkah-langkah operasional penyempurnaan proses perijinan di
sektor kehutanan, dan (v) menyusun strategi perwujudan kesinambungan pelayanan
prima (Subarudi, 2008).
Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) secara geografis terletak
antara 6º54’23” 6º55’35” LS dan 106º48’27”-106º50’29” BT dan secara administratif
terletak dalam wilayah Kecamatan Cibadak dan Kecamatan Cicantayan Kabupaten
Sukabumi. Sedangkan secara administratif kehutanan termasuk dalam wilayah BKPH
Gede Barat, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Luas
wilayah hutan 359 Ha. HPGW terdiri dari tiga blok yaitu Blok Timur (Cikatomas)
seluas 120 ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 ha, dan Blok Tengah (Tangkalak)
seluas 114 Ha.
Oleh karena itu, diperlukannya pengenalan tata kelola hutan bagi mahasiswa
kehutanan dengan melakukan praktek di hutan pendidkan gunung walat sehingga
mahasiswa dapat mendapatkan edukasi tentang kegiatan kehutanan dan tata kelola
hutan yang baik. HPGW adalah tempat sempurna untuk mendapatkan pendidikan
tersebut.
HPGW terletak pada ketinggian 460-726 m dpl. Gunung Walat merupakan
sebagian dari pegunungan yang berderet dari timur ke barat. Bagian selatan merupakan
2
daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan
melandai daru utara ke selatan. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang
terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang
semakin curam. Dibagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat
pada titik triangulasi KQ 2212 dan bagian barat dengan ketinggian 726 m dpl dapat
dilihat pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian 500 m dpl,
hanya kurang 10 % dari bagian selatan yang berada di bawah ketinggian tersebut.
1.2 Tujuan
1.2.1 Kehutanan Masyarakat
Tujuan praktikum ini adalah:
1. Mengenal dan merasakan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta
berinteraksi dengan masyarakat sekitar hutan.
2. Menangkap aspirasi dan gagasan masyarakat sekitar hutan terkait HPGW.
3. Menerapkan dan mempraktikkan metode pengumpulan data untuk kajian
sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
4. Menggali potensi, permasalahan, dan tantangan pada masyarakat sekitar hutan
dan kaitannya dengan pengelolaan hutan.
5. Menggali model interaksi, motif kegiatan masyarakat di hutan.
6. Menggali persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan ide masyarakat
dalam pengelolaannya.
7. Mengetahui konsep penilaian hutan sebagai salah satu alternative dalam opsi
pengelolaan hutan.
1.2.2 Hama dan Penyakit Hutan
Tujuan praktikum ini adalah:
1. Mengenali macam-macam gangguan hutan (hama dan penyakit) yang terjadi
di HPGW.
2. Mengetahui frekuensi terjadinya hama dan penyakit.
3. Mengenali sebab-sebab/latar belakang terjadinya hama dan penyakit.
3
4. Mengetahui dan menelaah pengaruh yang ditimbulkan oleh hama dan
penyakit.
5. Mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi hama dan
penyakit.
6. Merumuskan upaya-upaya yang dapat disarankan mahasiswa untuk
mengatasi masalah hama dan penyakit.
4
1.2.6 Inventarisasi Tegakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat
Tujuan praktikum ini adalah:
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam melakukan
kegiatan inventarisasi.
2. Mampu merancang kegiatan inventarisasi hutan.
3. Mampu mengukur dimensi pohon dan tegakan.
4. Mampu menduga potensi tegakan pada areal rehabilitasi di HPGW.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
6
lingkungan secara berkelanjutan. Mengingat tujuan Pehutanan Sosial sebagai upaya
kesejahteraan masyarakat, maka sangat penting dilaksanakan pendampingan kepada
masyarakat sebagai upaya perwujudan fungsi perhutanan sosial, sehingga fungsi
kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Dampak positif yang dirasakan masyarakat
adalah peningkatan pendapatan, peluang kerja, akses pasar, dan jaringan (Suharti,
2016).
7
singkat penyakit tanaman adalah penyimpangan dari keadaan normal
(Pracaya,1991:320). Suatu tanaman dapat dikatakan sehat atau normal jika tanaman
tersebut dapat menjalankan fungsi-fungsi fisiologis dengan baik, sepertipembelahan
dan perkembangan sel, pengisapan air dan zat hara, fotosintesis dan lain-lain.
Gangguan pada proses fisiologis atau fungsi-fungsi tanaman dapat menimbulkan
penyakit.
Penyakit pada tanaman budidaya biasanya disebabkan oleh Cendawan, Bakteri,
Virus dan faktor lingkungan (iklim, tanah, dan lain-lain). Cendawan dapat juga disebut
jamur. Cendawan adalah suatu kelompok jasad hidup yang menyerupai tumbuhan
tingkat tinggi karena mempunyai dinding sel, tidak bergerak, berkembang biak dengan
spora, tetapi tidak mempunya klorofil. Cendawan tidak mempunyai batang, daun, akar,
dan sistem pembuluh seperti pada tumbuhan tingkat tinggi. Bakteri adalah salah satu
jenis mahluk kecil (organisme) yang sebagian besar termasuk saprofit (numpang hidup
di dalam tubuh mahluk lain, tidak merugikan dan menguntungkan mahluk lain
tersebut). Virus adalah pathogen obligat (hanya hidup dan berkembang biak dalam
organisme hidup). Ukuran virus amat kecil (submikroskopik) dan terdiri atas komposisi
kimia, yaitu protein dan nucleic acid. Virus bersifat parasitic dan dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit pada semua bentuk organisme hidup. Penyakit yang
disebabkan oleh faktor lingkungan biasanya diakibatkan oleh ketidaksesuaian kondisi
lingkungan tempat tanaman tumbuh dengan kondisi lingkungan yang menjadi habitat
asli tanaman, sehingga tanaman tumbuh tidak sehat atau tidak normal.
8
tergolong tinggi, berkisar antara 60−625 t/ha/tahun, padahal banyak lahan pertanian
yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100% sehingga erosi tanah tergolong
sangat tinggi. Konservasi tanah dan air mengarah kepada terciptanya sistem pertanian
berkelanjutan yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan serta
lingkungan (Sutrisno, 2013).
Upaya untuk mencegah atau meminimalkan degradasi lahan marginal yang
dikelola, dapat dilakukan dengan penambahan amelioran. Salah satu jenis amelioran
yang dapat diberikan ke dalam tanah adalah bahan organik. Penambahan bahan organik
dalam tanah dapat memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah melalui peranannya dalam
penyediaan unsur hara, pembentukan struktur tanah dan peningkatan kemantapannya
serta memperbaiki aerasi dan perkolasi.
Pembuatan seedball untuk penanaman pertama dilakukan dengan menggunakan
campuran benih, tanah, air dan lumpur (Fukuoka, 1992). Seedball mengandung
komponen-komponen yang dibutuhkan benih untuk berkecambah. Pada aeroseeding,
seedball dibuat dengan beberapa tujuan. Pertama, menambah massa benih agar jatuh
pada lokasi target rehabilitasi. Kedua, memberikan kondisi yang lebih kondusif bagi
benih untuk berkecambah dan bertahan sehingga mampu bertahan hingga benih
berkecambah (Priadi, 2010).
Seedball dibuat dengan tujuan untuk memberikan kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan oleh benih untuk berkecambah serta memberikan kondisi lingkungan
yang lebih mendukung dalam perkecambahan. Oleh karena itu, seedball dibuat dengan
bahan-bahan organik. Pada penelitian ini, bahan organik yang
digunakan adalah gambut, kompos, tanah liat, dan talk. Talk sendiri merupakan bahan
yang sudah sangat umum digunakan sebagai coating biji pada tanaman pertanian
(Madsen et al., 2012).
10
mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu
pemerintah pusat harus segera melakukan pembinaan dan pengendalian kepada
masyarakat dan perusahaan yang diberi hak oleh pemerintah untuk mengolah hutan
terutama pengusaha hutan tanam industri dalam hal pengelolaan hutan, pengawasan,
dan sanksi bagi perusak hutan untuk menjamin tertibnya penyelenggaraan tata hutan
dan penyusunan rencana tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Dalam rangka melaksanakan Pasal 22, Pasal 39, Pasal 66, Pasal 80, Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah diundangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang
kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah PP No 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Persemaian (nursery) adalah tempat atau areal untuk kegiatan memproses benih
(atau bahan lain dari tanaman) menjadi bibit/semai yang siap ditanam di lapangan.
Kegiatan di persemaian merupakan kegiatan awal di lapangan dari kegiatan
penanaman hutan karena itu sangat penting dan merupakan kunci pertama di dalam
upaya mencapai keberhasilan penanaman hutan.
Aeroseeding merupakan satu cara rehabilitasi yang awalnya dikembangkan di
daerah Amerika pada lahan-lahan pasca kebakaran hutan, salah satunya di daerah DAS
South Fork Trinity (Miles et al., 1987). Di Indonesia sendiri, kegiatan aeroseeding
sudah dilakukan, antara lain di hutan kota Palangkaraya (Tim Aerial Seeding Jurusan
Kehutanan Universitas Palangkaraya, 2011), Balangpulang dan di Pegunungan Willis
(Millang, 2010). Dalam pelaksanaannya, aeroseeding dilakukan dengan dua
cara yakni dengan
menebarkan benih secara langsung dari pesawat, dan dibungkus dengan bahan
tertentu. Pembuatan seedball untuk penanaman pertama dilakukan dengan
menggunakan campuran benih, tanah, air dan lumpur (Fukuoka, 1992). Seedball
mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan benih untuk berkecambah. Pada
11
aeroseeding, seedball dibuat dengan beberapa tujuan. Pertama, menambah
massa benih agar jatuh pada lokasi target rehabilitasi. Kedua, memberikan kondisi
yang lebih kondusif bagi benih untuk berkecambah dan bertahan sehingga mampu
bertahan hingga benih berkecambah (Priadi, 2010).
2.6 Inventariasi Tegakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat
Inventarisasi hutan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang kekayaan hutan, menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon
hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Istilah lain dari
inventarisasi hutan adalah perisalahan lahan, risalah hutan, dan inventore hutan.
Menurut Simon (1996) istilah inventore hutan dipakai pengelola hutan jati di Jawa,
khususnya pada waktu inventore hutan masih menggunakan metode okuler. Dalam
bahasa inggris, istilah yang sama dengan inventarisasi hutan, tetapi memiliki ruang
lingkup yang lebih terbatas adalah timber cruising, cruising, timber estimation. Secara
konseptual inventarisasi hutan berarti menyajikan data secara menyeluruh mengenai
hutan, meliputi pertumbuhan pepohonan di dalamnya, berbagai arti ekonomi,
lingkungan, fungsi, serta nilai sumber dayanya. Sedangkan secara operasional,
inventarisasi hutan berarti mencari dan menyajikan data potensi produksi hutan,
meliputi luasan, volume kayu standing-stock, growing-stock, dan struktur tegakan
yang ada di dalamnya (Durbani, 1993).
Dalam inventarisasi hutan penaksiran volume tegakan diminimalkan pada salah
satu variabel penting. Volume tegakan selalu ditaksir dengan mengukur sejumlah
pohon dalam petak ukur sebagai sampel. Pendugaan suatu komunitas salah satunya
dilakukan dengan melakukan pengukuran pada diameter pohon dari komunitas yang
akan diketahui tersebut. Diameter merupakan dimensi pohon yang sangat penting
dalam pendugaan potensi pohon dan tegakan. Data diameter bukan hanya diperlukan
untuk menghitung nilai luas bidang dasar suatu tegakan melainkan juga dapat
digunakan untuk menentukan volume pohon dan tegakan, berguna dalam pengaturan
penebangan dengan batas diameter tertentu serta dapat digunakan untuk mengetahui
struktur suatu tegakan hutan. Dalam pengukuran luas bidang dasar, diameter setinggi
dada 1.3 m atau dalam satuan internasionalnya 4.3 feet (kaki) diatas pangkal batang
12
dimana untuk pohon yang berdiri pada lereng, titik pengukuran harus ditentukan pada
bagian atas pengukuran sederhana. Alat ini merupakan alat pengukur koreksi secara
otomatis seperti tingkat Biltmore stick dan relaskop bitterlich.
Penaksiran volume kayu yang masih berdiri hanya merupakan langkah awal
untuk menghitung hasil akhir dalam inventore hutan. Target yang lebih penting adalah
menaksir volume tegakan merupakan jumlah volume pohon yang terdapat disuatu areal
hutan. Konsep ini berlaku bila sampel yang diambil merupakan individu pohon. Untuk
kepentingan pengelolaan hutan yang perlu diketahui bukan hanya volume tegakan yang
ada sekarang saja, tetapi juga pertimbangan tegakan tersebut dimasa yang akan datang
khususnya selama jangka waktu perencanaan.
13
ada di permukaan bumi sejauh skalanya memungkinkan, dan disajikan seteliti
mungkin.
2. Peta Khusus, yang menggambarkan kenampakan khusus yang ada di permukaan
bumi atau kenampakan yang ada kaitannya dengan permukaan bumi. Peta khusus
ini dikenal dengan nama Peta Tematik karena menunjukkan hanya tema tertentu,
bergantung pada informasi yang ingin disampaikan. Jika informasinya merupakan
informasi tanah, maka disebut peta tanah, jika informasinya merupakan informasi
iklim, maka disebut peta iklim, dan sebagainya.
3. Peta Navigasi, yang biasanya disebut dengan istilah khusus, yaitu charts. Peta ini
penggunaannya khusus untuk kepentingan navigasi, misalnya navigasi laut dan
udara.
Metode Pemetaan
Pada dasarnya metode pemetaan dapat dikategorikan atas 3 metode :
1. Metode Terestris
a. Pengadaan Titik Kontrol
1) Metode-metode terestis (polygon, triangulasi, kemuka, kebelakang)
2) Metode Survei GPS
b. Penentuan Koordinat Titik Obyek
Metode Tachymetri (pengukuran sudut, jarak dan beda tinggi)
c. Metode Terestris untuk Penentuan Titik Kontrol Vertikal
1) Pengukuran Beda Tinggi dengan Metode Sipat Datar (Metode Leveling)
d. Metode Terestris untuk Penentuan Koordinat Titik Obyek
2. Metode Fotogrametris
a. Pengadaan Titik Kontrol : ¾
1) Metode-metode terestris (poligon, triangulasi, kemuka, kebelakang)
2) Metode Survei GPS
b. Penentuan Koordinat Titik Obyek : Dari Foto Udara (Metode Fotogrametri)
3. Metode Inderaja
a. Pengadaan Titik Kontrol : Metode Survei GPS
14
b. Penentuan Koordinat Titik Obyek : Dari Citra Satelit (Metode Inderaja)
15
2.8 Perencanaan Kawasan Taman Hutan Raya
Konservasi keanekaragaman hayati yang diwujudkan dalam bentuk kawasan
konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep pembangunan
berkelanjutan untuk mengelola sumberdaya alam dan ekosistemnya yang meliputi
aspek pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan sehingga bermanfaat dan
mendukung kehidupan manusia (Saefullah,2017). Hermawan et al. (2014) menyatakan
bahwa esensi dari sebuah kawasan konservasi adalah berbasis wilayah tertentu;
bertujuan untuk keanekaragaman hayati: membutuhkan suatu pengelolaan: ada otoritas
pengelola untuk menjamin penyelenggara upaya konservasi.
Di Indonesia istilah kawasan yang dilindungi dikenal dengan kawasan konservasi
atau kawasan hutan konservasi. Menurut UU No. 41 Tahun 1990 sebagai berikut :
1. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
a. Cagar Alam (CA), adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang
dapat mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan cagar alam. Cagar alam
hanya dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya.
b. Suaka Margasatwa (SM), adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri
khas berupa keanekaragaman atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam suaka marga satwa adalah kegiatan
bagi kepentingan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata
dalam jumlah yang terbatas (menikmati keindahan alam dengan syarat
tertentu) serta kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
16
2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di darat atau pun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sisitem
peyangga kehidupan, pengawettan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari terhadapn sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas:
a. Taman Nasional (TN) kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi.
b. Taman Hutan Raya (Tahura), kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau
bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
c. Taman Wisata Alam (TWA), kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi dengan kriteria dan pertimbangan
tertentu ditetapkan dalam peraturan Pemerintah RI No.34 Tahun 2002 tentang tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : kawasan hutan konservasi terdiri dari
kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka marga satwa), kawasan pelestarian alam
(taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam), hutan lindung serta hutan
produksi. Peraturan pemerintah mempunyai tujuan setiap fungsi pengelolaan hutan
masing-masing mempunyai tata ruang dengan konsep berbeda sehingga pelestarian
mengenai cagar alam, suaka marga satwa, hutan lindung dan hutan produksi tetap
dijaga dengan peraturan yang ditetapkan. Dalam hubungannya antara hutan dan
masyarakat, isu akses masyarakat menjadi salah satu aspek yang penting dan perlu
perhatian besar (Ruhimat, 2013).
17
III. METODOLOGI
18
pada pukul 08:00 WIB sampai dengan selesai, di kawasan tegakan Damar
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).
3. Amati ada tidaknya gejala serangan hama pada tiap tiap bagian pohon
yang ada di dalam PU tersebut (batang bengkak, berlubang, pucuk mati
/ layu, daun gundul, pohon mati, dan lain – lain).
4. Ambil bagian bagian pohon yang rusak (misalnya kulit, pucuk, daun),
pelajari dan gambarkan gejala serangannya.
19
1. Buat rekapitulasi hasil pengamatan pada PUP tersebut di atas untuk
menggambarkan keadaan seluruh petak / tegakan, cantumkan hasilnya
pada tallysheet.
2. Hitung banyaknya pohon yang mendapat serangan suatu hama, atau oleh
kombinasi serangan hama dalam PU yang dibuat tersebut. Begitu juga
dengan pengamatan penyakit hutan lakukan kegiatan atau prosedur yang
sama dan hasil nya akan dimasukkan ke dalam tallysheet yang tersedia.
20
Gambar 2. Ilustrasi titik pengambilan contoh tanah pada jalur penanaman
22
Tabel 2. Kategori KTK Tanah Melalui Pendugaan Dengan “Teknik KocokEndap”
Kategori KTK Lama waktu pengendapan padatan tanah
Rendah <1,5 jam
Sedang 1,5 – 24 jam
Tinggi >24 jam
g. Persiapan Bahan Seed Ball
1. Campurkan tanah mineral + kompos + pasir (5 : 3 : 2) secara merata.
2. Gunakan air secukupnya agar campuran media menjadi lembab.
3. Siapkan 3 benih tanaman (cover crop atau pohon).
4. Lapisi ketiga benih tersebut menggunakan campuran tanah mineral
dan kompos dan bentuk sedemikian rupa menjadi bola yang kompak
dengan diameter ± 2 cm.
5. Satu orang membuat satu seed ball
.
Gambar 3. Ilustrasi jalur penanaman seed ball per regu
24
ranting/kayukecil.
4. Talang berbentuk pipa berdiameter 0,5 inchi dengan panjang 5 cm
dimasukkan ke dalam lubang bor
5. Semprotkan stimulansia sebanyak 1 cc dengan cara spray.
6. Kantung plastik digantung di bawah talang sebagai penampung getah.
C. Penyadapan Kopal
1. Kulit pohon damar dibersihkan dengan lebar 20 cm dan tinggi 70 cm
2. Pembuatan mal sadap dengan ukuran 10 cm x 60 cm pada ketinggian
20 cm diatas permukaan
3. Pelukaan dengan alat kudikoni tinggi 1 cm, lebar 10 cm, kedalaman
pelukaantidak boleh melukai kayu.
4. Pemasangan talang.
5. Pembaharuan luka dan pengambilan hasil dilakukan setiap 7 hari
6. Jarak antar lubang, horizontal: 10-11 cm, vertikal 2 cm.
25
2. Buat campuran pasir (85%) dan arang sekam (15%)
3. Siapkan bak kecambah dan masukkan campuran media tersebut
bakkecambah, setebal 4-5 cm
4. Catat waktu kerjanya mulai dari no 1 sampai dengan 3.
d. Evaluasi Penanaman
1. Hitung jumlah bibit yang mati berdasarkan jenis
2. Perhatikan sebab-sebab kematian adakah tanda-tanda serangan hama
ataupenyakit
e. Penyiangan
1. Penyiangan dilakukan manual dengan sistim piringan berdiameter 1-2
meter dimana batang tanaman sebagai porosnya. Penyiangan dilakukan
dengan parang atau arit dengan cara menebas total semua tumbuhan
pengganggu yang ada disekitar tanaman selebar piringan (2 meter),
26
tinggi penebasan gulma adalah 5 cm dari permukan tanah.
f. Pendangiran
1. Pendangiran dilakukan pada radius 50 cm dari batang tanaman,
namuntergantung pada jarak tanamnya.
27
5. Plot yang akan dibuat yaitu berbentuk lingkaran dengan jari jari 11,28
m.
6. Setelah dibuat plot, lakukan inventarisasi tiap plot yang dibuat seperti
mengukurdiameter dan tinggi pohon.
7. Kemudian menentukan kerapatan tegakan, biomassa tegakan,
cadangan karbon, serapan karbon, dan juga riap tahunan rata rata tiap
plot berdasarkan data yang diambil di lapangan.
8. Masukkan hasil data yang dibuat ke tally sheet pengukuran.
28
Kompleks Tahura,Jl. Ir. H. Juanda No. 99, Ciburial, Kecamatan Cimenyan,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
30
pada titik triangulasi KQ 2212 dan bagian barat dengan ketinggian 726 m dpl dapat
dilihat pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian 500 m dpl,
hanya kurang 10 % dari bagian selatan yang berada di bawah ketinggian tersebut.
Tanah Gunung Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (latosol menah
kekuningan), Tropodult Tipik (latosol coklat), Dystropept Tipik (podsolik merah
kuning) dan Troportent Lipik (litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis
tanah yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di
daerah lembah terdapat tanah podsolik.
Pada saat ini, kondisi penutupan lahan oleh vegetasi sekitar 70%, dengan
dominasi tegakan Agathis (Agathis loranthifolia) dan campuran (Pinus merkusii, Pinus
ocarpa, dan Schima wallichii) merupakan hasil tanaman tahun 1951/1952. Sekitar 30%
lainnya merupakan hasil tanaman yang baru berumur 1-40 tahun, yang terdiri dari
Sonokeling (Dalbergia latifolia), Acacia auriculiformis, Acacia mangium, dan
Rasamala (Altingia excelsa), serta beberapa jenis asli yang dipertahankan. Selain
pepohonan terdapat juga jenis paku-pakuan, epifit dan berbagai jenis perdu dan rumput.
Sedangkan 25% sisanya masih merupakan tanah kosong ± 113,5 Ha (kegagalan
reboisasi, bekas ladang, bekas kebakaran dan perambahan).
4.2 Hasil dan Pembahasan Silvikultur
4.2.1 Pembinaan Hutan
Tabel 3. Prestasi kerja
Volume Prestasi
Waktu kerja (menit)
Jenis Kegiatan kegiatan kerja HOK
Efektif Istirahat Total m,m3, dst per HOK
Pembuatan media 12 Menit 0,207
0,27
(3) 26 detik jam
Pengisian Media 1 Jam 5
1,03 jam 2∏rt 1,08
ke polybag (4) Menit
1 Menit 16
Penyiraman (1) 0,16 jam 100 polybag 0,021 0,147
Detik
Penyiangan & 29 Menit 10 39 Menit
0,34 Ha 0,48
Pendangiran 30 Detik Menit 30 Detik
41 Menit 41 Menit
Evaluasi Tanaman 0,34 Ha 0,68
30 Detik 30 detik
31
HOK dilakukan untuk meningkatkan efisienitas dalam bekerja yang selanjutnya
berpengaruh dalam produktuvitas penanaman. Prestasi kerja yang dilakukan dalam
pratikum cukup baik, jumlah pekerja dan pekerjaan yang dilakukan sesuai. Semakin
banyak jumlah tenaga kerja semakin menurun produktivitas tenaga kerjanya, (Salim,
2017) artinya terlalu banyak tenaga kerja yang digunakan dibanding dengan jumlah
pekerjaan sehingga pekerjaan tidak efektif. Berdasarkan kegiatan yang dilakukam,
mencakup seluruh kegiatan didapatkan hasil akhir rata-rata HOK adalah 0,147.
32
dilihat bahwa dalam kegiatan pesemaian dengan membuat bedeng sapih, pengisian
polybag, penyiangan dan pendangiran serta evaluasi tanaman. HOK yang terkecil
yaitu pada proses penyiraman media yang sudah dimasukkan ke polybag. Kegiatan
ini tidak memerlukan waktu lama, dilakukan hanya dengan menyiram dengan
penyemprotan air dengan kadar air yang tidak terlalu banyak agar tanah tidak
tergenang.
Tabel 4. Evaluasi Penanaman
Jumlah tanaman/batang
Nomor petak
Mati Sehat Sakit/cacat
1 7 103 38
33
4.2.2 Hama dan Penyakit Hutan
Tabel 5. Data pengamatan Pohon Agathis.
Koordinat: 701422, 9234999
34
Praktik hama dan penyakit hutan dilakukan dengan membuat 4 petak ukur
berbentuk lingkaran dengan jari-jari 7,32 meter. Jarak antar titik pusat PU yang dibuat
tiap kelompok 18 meter. Tanaman yang diidentifikasi dalam PU adalah pohon Agathis
alba (Damar). Berdasarkan tabel hasil diatas, pemeriksaan hama pada tegakan dalam
PU dimana mayoritas terdapat jenis hama yang menyerang yaitu rayap tanah. Rayap
tanah yang menyerang pohon pohon damar sebanyak 5 dan sisanya tidak terdapat
hama. Menurut Cornelia, et al., (2016) jenis damar yang biasanya menimbulkan
kerusakan pada tanaman damar yaitu Tenangau (pygoplatys, sp), tetuwer (sub famili
Cicadidae) dan kumbang biji (Acidodes, sp). Untuk meningkatkan persentase hidup
tegakan perlu dilakukan identifikasi agar dapat mengetahui secara pasti jenis hama
yang menyerang tegakan damar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, tidak
ditemukannya ketiga ham aini dikarenakan kemampuan produksi telur rendah mungkin
serangga tua dan adanya populasi serangga menciptakan kompetisi. Serta factor lain
adalah suhu (Rukmana, 1997).
Hama merupakan semua binatang yang merusak hutan dan hasil hutan karena
aktivitas hidupnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kerugian ekonomis.
Kerusakan oleh hama hutan dapat terjadi pada semua tumbuhan penyusun hutan tingkat
pertumbuhan dan organ tumbuhan (akar, batang, daun, buah, biji, dan lainnya).
Besarnya kerusakan yang terjadi akibat Serangan hama ditentukan oleh banyak faktor
seperti, jumlah serangan serangga hama, caranya merusak, bagian tanaman dan tingkat
pertumbuhan tanaman, luasan bagian yang terserang. Bentuk kerusakan umumnya
ditentukan oleh tipe alat mulut dan kebiasaan hidup serangga hama.
Persentase hama pada tegakan damar dalam PU adalah 20,8% dan persentase
penyakit adalah 62,5%. Hal ini harus ditangani secara baik dan rutin, dengan
melakukan Upaya pengendalian hama dan penyakit. Upaya yang dapat dilakukan
dalam penanggulangan hama dapat berupa pengelolaan lingkungan, memastikan
lingkungan sekitar tegakan damar tidak terlalu lembab, sanitasi yaotu pemeriksaan
rutin terhadap tegakan damar yang ada di HPGW, penggunaan fungisida untuk
pengendalian pertumnuhan jamur, pemangkasan secara teratur agar memiliki sirkulasi
35
yang baik, serta pemupukan dan penyiraman rutin. Penyakit yang diapatkan pada
tegakan damar di PU adalah karat daun, tumor batang, dan akar merah.
Umur : 40 tahun
b. Informan 2
Nama : Uus
Umur : 43 tahun
c. Responden 3
Nama : Isa
Umur : 30 tahun
36
Jenis Kelamin : Perempuan
d. Responden 4
Nama : Fauzi
Umur : 50 tahun
d. Responden 5
Nama : Dita
Umur : 40 tahun
37
responden yang diwawancarai menjelaskan bahwa masyarakat sekitar HPGW
mayoritas bekerja sebagai penyadap getah pinus dan damar. Kontribusi HPGW
terhadap pendapatan tunai Masyarakat rat-rata 60%. Hal ini pendapatan tunai
Masyarakat berasal dari hasil sadap getah pinus dan damar yang berada di Kawasan
HPGW. Harga upah sadap getah berkisar Rp. 2000-3000/kg. Bentuk-bentuk kegiatan
masyarakat yang berkontribusi padap pendapatan natura yaitu masyarakat
mendapatkan air yang bershi dan mengalir banyak, penggunaan kayu bakar dan
pengambilan buah-buah yang ada di HPGW.
Manfaat berdirinya HPGW ini masyarakat mengatakan tejadi peningkatan
kualitas air dan lingkungan. Masyarakat yang begantung terhadap pekerjaaan
penyadapan getah tegakan pinus dan damar HPGW, responden menjelaskan bahwa
adanya HPGW dapat mengurangi konflik kepemilikan lahan antar warga sekitar.
HPGW juga berdampak terhadap perubahan perilaku masyarakat seperti pedlu
terhadap lingkungan sekitar, hal ini dipicu oleh ketergantungan masyarakat akan
pekerjaan penyadapan getah. Adapun Saran dan masukan masyarakat yaitu:
a. Pengelolaan HPGW dapat berjalan baik. Dan tidak adanya Batasan kepada
masyarakat.
b. Meningkatkan komunikasi dan integrasi antara masyarakat dan pengelola
HPGW.
c. Saling bekerja sama dalam membangun dan meningkatkan rasa memajukan ke
depannya.
1. Deskripsi kondisi dari perangkat desa
Tabel 8. Deskripsi kondisi dari perangkat desa
No. Aspek Deskripsi Kondisi
1. Tata Pemerintahan
- Kelembagaan Bpm, lpm, pkk, bimber
- Administrasi Desa Kades, bukdes, bendahara
- Sumberdaya manusia Lk (3056), pr(3040)
- Kepemimpinan/Ketokohan Pemerintah
38
2. Geologi dan Geografis
- Topografi Daerah berbukit (400-700 mdpl)
- Keadaan Tanah
- Pemanfaatan lahan Pertanian (sawah), perkebunan
(beberapa)
- Aksesibilitas Ada jalan yang sulit ditempuh
- Potensi bencana Longsor, angin puting beliung
3. Demografi
- Jumlah penduduk (Laki-laki Lk (3056), pr(3040)
& Perempuan)
- Berdasarkan umur
- Ketenagakerjaan Potensi kerja : 500, ditempatkan 300
- Tingkat kesejahteraan Ada berbagai masalah ksejahtraan
- Pola pemukiman Tersusun dari rumah kerumah
dengan pola acak
4. Pendidikan
- Tingkat Pendidikan Rata rata SLTA
- Sarana/prasarana 21 sarana pendidikan forma
- Akses dan minat terhadap Masyarakat punya minat yang tinggi
Pendidikan untuk menempuh pendidikan
- Kendala dalam peningkatan Kapasitas guru dan kesejahteraan
Pendidikan guru srta infrastruktur
5. Ekonomi
- Lembaga Pabrik tekstil, pabrik sepatu, pabrik
ekonomi/permodalan garam
- Mata pencaharian Bermacam, swasta, petani
- Tingkat pendapatan Beragam strata yang cukup
- Kelompok usaha
39
Gambar 6. Peta Transek Dusun Nanggerang.
Berdasarkan transek Dusun Nanggerang secara umum dapat dilihat bahwa Dusun
Nanggerang sebagian besar merupakan persawahan, lahan agroforestry, hutan bambu,
dan perkebunan warga. Sedangkan fasilitas umum yang ditemukan adalah tiga masjid
atau musholla, untuk perumahan warga tidak terlalu padat, dan terdapat lahan
pemakaman. Pada lahan agroforestry dijumpai beberapa jenis tanaman seperti agathis,
durian manggis, dan tanaman perkebunan yaitu coklat, ubi, pisang, dan kelapa. Kondisi
perumahan warga Dusun Nanggerang memiliki beberapa titik kepadatan, rumah warga
cenderung lebih padat disekitar persawahan. Sedangkan perumahan disekitar lahan
agroforestry lebih sedikit jumlahnya.
Dusun Nanggerang memiliki potensi di bidang perkebunan. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan tiga responden dan informan, dimana tiga responden tersebut
merupakan masyarakat Dusun Nanggerang dan informan tersebut adalah Kepala Desa
serta Sekretaris Desa Hegarmanah. Perkebunan Dusun Nanggerang didominasi oleh
tanaman manggis karena topografi, suhu, dan kelembaban yang mendukung. Hal ini
40
terbukti dengan kualitas manggis yang dihasilkan sudah dikirim ke berbagai daerah di
Indonesia.
Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki manfaat kepada masyarakat sekitar
berupa pemanfaatan air. Penyadapan getah pinus, rekreasi, dan jalan pintas menuju
area lain. Hal ini didukung dengan presepsi positif dari masyarakat Dusun Nanggerang.
Dimana hampir semua responden setuju HPGW memberikat manfaat untuk
meningkatkan kualitas lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Namun, ada juga
responden yang tidak merasakan manfaat dari HPGW tersebut.
Setelah melakukan wawancara, masyarakat menyerahkan harapan untuk HPGW
kedepannya yaitu perbaikan akses jalan dan lebih banyak melakukan penanaman
tanaman jenis baru karena sudah dua tahun lalu pihak HPGW tidak melakukan
penanaman kembali. Harapan untuk kedepannya peningkatan akses jaringan seluler
untuk daya Tarik wisatawan khusus mahasiswa untuk melakukan penelitian di HPGW.
Dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat dapat mengetahui persepsi
masyarakat terhadap HPGW, hal ini bertujuan untuk melihat bagaimana masyarakat
memandang pengelolaan HPGW yang sudah berdiri sejak lama. Adanya masukan dan
saran dari masyarakat bisa dipertimbangkan dan akan direalisasikan dalam pengelolaan
berbasis masyarakat.
41
Keterangan: Rata-rata: D (cm), T (m), Kerapatan (N/ha), B (ton/ha), C (ton/ha). Riap tahunan
rata-rata: D(cm/th), T (m/th), C (ton/ha/th), CO2 (ton/ha/th)
42
menginventarisasi tanaman yang ada di plot dengan kemiringan lahan 50% yang tinggi
dan susah untuk dilewati serta banyaknya semak belukar di lokasi. Hal ini diakibatkan
oleh topografi yang berbukit dan juga dipengaruhi oleh sawah-sawah sehingga
kegiatan inventarisasi lumayan terhambat.
Menentukan nilai biomassa pada plot ditentukan dengan jumlah biomassa tiap-
tiap pohon dibagi luas plot. Hasil pengolahan diperoleh data biomassa tertinggi pada
plot 51 dan yang terendah di plot 39. Nilai biomassa yang didapat digunakan untuk
mendapatkan nilai karbon dan serapan air. Plot pengamatan berada pada ketinggian
500 mdpl hingga 593 mdpl dengan dua jenis pohon yaitu agathis lorentifolia dan pinus
merkusii lahan tanam 2010 termasuk hutan homogen karena nilai CV yang kecil.
43
Kelerengan yang besar pada lokasi pal 1 ke pal lainnya, dan kelerengan terkecil pada
pematokan kawasan pada Pal 6-7.
Kondisi tapak yang dilalui pada blok yang ditentukan terdapat jalur sudah ada
sebelumnya, dan beberapa jalur juga dibuat sendiri oleh kelompok saat pemasangan
pal. Karakteristik vegetasi yang dijumpai sedikit rimbun dengan tegakan pinus yang
ditanam dikawasan tersebut. Jalur yang dibuat untuk merintis dan pemasangan Pal
dapat dikatakan cukup curam dan kondisi vegetasi yang lembab. Pemetaan blok
pengelolaan kawasan HPGW. Pengukuran pemetaan blok pengelolaan saat di lapangan
di lakukan dahulu pengukuran Jarak datar antar Pal, sudut azimuth Pal, dan kelerengan.
Posisi patok di lapangan di buat berdasarkan koordinat yang telah diketahui sebagai
titik awal pengukur pemetaan. Lokasi praktikum memiliki sudut kelerengan mulai dari
8-25ᵒ. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan GPS Garmin dan Avenza Maps.
Pembuatan peta/ Layouting peta dilakukan dengan menggunakan aplikasi Q-GIS,
44
dengan keterangan peta diantaranya, yaitu titik Pal, Polyline dan batas HPGW. Judul
peta Peta Polyline Pal Batas Kelompok 1. Skala pada peta 1:8.000.
45
Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda merupakan hutan konservasi yang berada tiga
wilayah administrasi (Kab. Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung) seluas 528 Ha.
Tahura ini merupakan tahura pertama yang diresmikan oleh Ir. Soeharto. Tahura ini
dulunya dikelola perhutani, dan sekarang oleh kementerian dinas kehutanan. Beberapa
keunikan dan potensi pada tahura ini, sebagai berikut:
a. Tahura Djuanda merupakan peninggalan perang dunia 2, terdapar Goa Jepang
dan Goa Belanda dan juga prasasti Thailand.
b. Ada 3 blok yaitu pemanfaatan, perlindungan, dan koleksi.
c. Terdapat curug dan tebing keraton.
d. Pembangunan Persemaian namun untuk sekarang tidak banyak memproduksi
bibit.
Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih lanjut merinci
kawasan hutan konservasi ke dalam 3 (tiga) kawasan, yaitu Kawasan Hutan Suaka
Alam (KSA) KSA adalah kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Hutan Pelestarian
Alam (KPA) KPA adalah kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, serta taman buru.
Tata Hutan Pada Kawasan Taman Hutan Raya meliputi kegiatan: (a) Penentuan
batas-batas kawasan yang ditata; (b) Inventarisasi, identifikasi dan perisalahan kondisi
kawasan; (c) Pengumpulan data sosial dan budaya di kawasan dan sekitarnya; (d)
Pembagian kawasan ke dalam blok-blok; (e) Pemancangan tata batas blok; (f)
Pengukuran dan pemetaan (PP 34/2002). Sistem Blok Taman Hutan Raya adalah
pembagian wilayah di dalam taman hutan raya guna menentukan kegiatan pengelolaan
yang diperlukan secara tepat dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan fungsinya
46
(Gunawan, et al. 2014). Juanda memiliki daya tarik wisata alam yang cukup beragam
seperti pemandangan alam, flora dan fauna serta keadaan udaranya yang sejuk dan
nyaman. Selain itu di dalam kawasan Taman Hutan Raya terdapat berbagai obyek
wisata yang cukup menarik seperti Monumen Ir. H. Juanda yang terletak pada suatu
plaza, gua-gua buatan peninggalan jaman Belanda dan Jepang, Kolam Pakar yang
merupakan kolam buatan seluas 1,15 Ha milik PLN yang berfungsi sebagai tempat
penampungan air yang berasal dari sungai Cikapundung untuk sumber pembangkit
tenaga listrik. Serta terdapat 2 buah curug (air terjun) yaitu Curug Dago dan Curug
Omas yang tingginya 35 m (Akliyah, 2010).
Taman hutan raya merupakan tempat pelestarian alam yang memiliki tujuan
untuk koleksi tumbuhan atau satwa yang dimanfaatkan untuk bagi kepentingan umum
seperti untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. TAHURA Ir. H.
Juanda memiliki daya tarik wisata alam yang cukup beragam seperti pemandangan
alam, flora dan fauna serta keadaan udaranya yang sejuk dan nyaman. Selain itu di
dalam kawasan Taman Hutan Raya terdapat berbagai obyek wisata yang cukup
menarik seperti Monumen Ir. H. Juanda yang terletak pada suatu plaza, gua-gua buatan
peninggalan jaman Belanda dan Jepang. Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Bandung merupakan salah satu Kawasan Hutan Lindung yang dikategorikan sebagai
hutan konservasi Bersama-sama dengan cagar alam, suaka margasatwa, taman
nasional, taman wisata alam, dan taman buru. Meski dikategorikan sebagai Kawasan
hutan lindung, Kawasan ini juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata.
Tahura Ir. H. Djuanda mempunyai system penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa asli atau bukan asli, serta dimanfaatkan
untuk edukasi, pariwisata, dan rekreasi.
4.4 Hasil dan Pembahasan Kegiatan Konservasi
4.4.1 Konservasi Tanah dan Air
Tabel 12. Hasil analisis sifat tanah
47
Parameter Hasil
Warna tanah 10R 4/4 weak red
Tekstur tanah Slit Loam
Struktur tanah Granuler-bulat-porous
pH tanah 5 (sangat masam)
KTK tanah Sedang (1,5 – 24 Jam)
Hasil analisis tanah yang didapatkan, pada warna tanah dilakukan uji dengan
mencocokan Munsel Color Chart Soil. Tekstur tanah yang didapatkan adalah slit loam
atau Lumpur Lempung, saat di lapangan dengan cara memijat tanah dengan dibasahi
sedikit air, dipijat diantara jari-jari sambal merasakan halus kasarnya yaitu butir-butir
pasir debu dan liatnya. Pada sturktur tanah dengan kategori garnuler, pada tipe struktur
tanah yang memiliki butiran-butiran tanah yang terorganisir secara longgar dan berpori,
mirip dengan butiran-butiran yang tersusun dalam bentuk bulatan. Struktur ini
memungkinkan pergerakan air dan udara dengan lebih baik dalam tanah, Yang penting
untuk pertumbuhan tanaman. Butiran-butiran tanah yang tersusun dalam bentuk
butiran memungkinkan adanya ruang pori-pori yang besar, hal tersebut memfasilitasi
pergerakan air, memungkinkan akar tanaman untuk menembus tanah dengan lebih
mudah serta memungkinkan pertukaran udara yang baik di dalam tanah.
PH tanah pada ketiga ulangan berada pada asam karena berada pada pH 5. Secara
umum tingkat kemasaman pada ulangan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang
rendah dan unsur hara yang tersedia bergolong rendah. KTK tanah yang diamati berada
pada kategori sedang karena lama waktu yang dibutuhkan pada ketiga ulangan adalah
4 jam. Hal ini dipengaruhi kandungan liat. dalam kegiatan praktikum ini dilakukan
penanaman dengan seed ball. Seedball merupakan salah satu alternative metode yang
digunakan untuk meningkatkan rehabilitasi dengan eroseeding. Seedball terbuat dari
sekam dan tanah yang dibulatkan dengan diameter 2 cm sampai 4 cm. Penggunaan
seedball mempermudah dalam penanaman yang sulit dijangkau oleh manusia. Namun,
48
seedball hanya bisa digunakan pada tanah tertentu. Seed ball yang dibuat dengan benih
kaliandra, satu seed ball dimasukkan benih sebanyak 3 benih.
Metode ini membantu meningkatkan peluang keberhasilan penanaman dan juga
memiliki manfaat konservasi tanah dan air. Seed ball memiliki kelebihan antara lain:
a. Pemeliharaan yang mudah, seed ball dilapisi dengan campuran tanah dan
tanaman, membuatnya lebih tahan terhadap cuaca ekstrim dan lingkungan yang
keras. Hal ini mengurangi kebutuhan untuk pemeliharaan yang intensif.
b. Penanaman yang efisien, seed ball membantu dalam penanaman yang lebih
efisiendan merata.
c. Perlindungan tanah terhadap erosi tanah, lapisan tanah pada seed ball membantu
memecah erosi tanah dengan memberikan lapisan perlindungan yang melindungi
biji dari hujan dan angin.
d. Bantuan bagi ekosistem, seed balls membantu merehabilitasi tanah yang
terdegradasi dan memulihkan ekosistem yang terganggu dalam menjaga tanaman
asli pada areal tersebut.
e. Minimnya limbah plastik, metode penanaman mengurangi penggunaan plastik
yang membantu menjaga kelestarian lingkungan.
49
4.5 Hasil dan Pembahasan Kegiatan Teknologi Kehutanan
4.5.1 Pengelolaan Penyadapan Getah Pinus dan Kopal
50
eksudat dari pohon yang tergolong dalam marga Pinus pada umumnya dan khususnya
jenis Pinus merkusii. Getah pinus mulai disadap sejak abad 15 di Amerika dan
digunakan untuk menambal perahu yang retak atau bocor (Satil, Selvi, & Polat, 2011).
Penyadapan pinus merupakan kegiatan yang cocok bagi negara negara yang memiliki
tegakan pinus untuk menghasilkan biomassa getah yang memberikan manfaat ekonomi
dan sosial. Di masa silam, penyadapan getah pinus merupakan sumber pendapatan
mendasar bagi masyarakat pedesaan di seluruh dunia (Nanos, Tadesse, Montero, Gil,
& Alia, 2001).
Pada pengelolaan getah pinus dengan cara destilasi diperoleh gondorukem
sebagai residu dan produk tambahan berupa destilat yang disebut minyak terpentin
(Kasmudjo, 2010). Produk gondorukem digunakan pada berbagai bidang industri
antara lain kertas, sabun, detergen, kosmetik, cat, vernis, semir, perekat, karet,
insektisida dan desinfektan, sedangkan terpentin, digunakan dalam industri parfum,
farmasi, kimia, desinfectant denaturant. Produk turunan dari getah pinus sebagai salah
satu jenis HHBK sudah masuk dalam sistem perdagangan internasional. Perdagangan
getah pinus (gondorukem dan terpentin) Indonesia di pasar internasional menempati
urutan ketiga setelah China dan Brasil (Bina, 2014). Sebagai produsen derivat
gondorukem dan terpentin urutan ketiga, Indonesia melalui Perum Perhutani mampu
menembus 10% total produksi dunia setelah China (70%) dan Brasil (11%).
Produksi getah pinus Indonesia berkisar 900.000 ton/tahun dan yang
diperdagangkan di pasar getah internasional mencapai 50.000 – 60.000 ton/tahun.
Negara tujuan ekspor produk getah pinus Indonesia antara lain Eropa, India, Korea
Selatan, Jepang dan Amerika. Sehubungan dengan tingginya harga gondorukem dan
terpentin di pasar internasional, beberapa tahun belakangan ini Perum Perhutani
melakukan penyadapan getah pinus secara intensif (Sukarno, ' Hardianto, Marsoem,
dan Naiem, 2015). Harga derivat gondorukem pada tahun 2014 antara US$ 2.000 –
US$ 4.000 per ton dan bahkan ada yang mencapai US$ 15.000 per ton (Bina, 2014).
Produksi getah pinus di Indonesia tidak hanya dimonopoli oleh Perum Perhutani yang
mengelola hutan di Pulau Jawa. Perusahaan swasta dan BUMN juga telah melakukan
pengelolaan hutan pinus untuk memproduksi getah, misalnya di Sulawesi dengan areal
51
hutan pinus 130.000 ha dan di Sumatera 335.000 ha (Santosa, 2010). Belakangan ini,
dalam pelaksanaan penyadapan getah pinus secara komersial dilakukan dengan cara
melukai kulit batang dan jaringan di bawahnya yang disertai dengan atau tanpa
penggunaan stimulan kimia.
Penyadapan dengan metode quarre menggunakan alat kadukul, mal, parang dan
lain-lain. Sedangkan penyadapan dengan metode bor menggunakan alat mesin bor,
pipa dan plastik. Penyadapan tersebut diberikan perlakuan yang berbeda dengan
menyemprotan larutan stimulansia dan tidak menyemprotkan stimulansia. Larutan
stimulansia terdiri dari hormon etilen dan asam nitrat, larutan stimulan tersebut dapat
mempercepat dan memperbanyak getah keluar. Penyadapan getah Pinus merkusii
menggunakan metode quarre memiliki produktifitas getah yang lebih besar
dibandingkan dengan metode bor (Sukadarti, et al., 2014) hal ini sedengan hasil
pengamatan yang dilakukan di lapangan bahwa metode quarre menghasilkan getah
dengan rata-rata 50,98 dan 33,72 lebih banyak dibandingkan dengan metode bor tang
menghasilkan getah 31,76 dan 35,98 selain itu, penyadapan dilakukan dalam waktu
yang singkat dengan biaya yang murah tetapi kadar getah yang dihasilkan lebih kotor
dibandingkan dengan metode bor.
Penyadaan pinus dengan cara bor merupakan sistem penyadapan yang bersifat
tertutup dengan luka sadap yang lebih masuk kedalam batang. Sedangkan cara quarre
merupakan sistem penyadapan terbuka dengan luka sadap yang lebar. Luas permukaan
sadap yang lebar memungkinkan hama penyakit dapat masuk kedalam batang melalui
luka batang yang dapat mengganggu pertumbuhan pohon. Metode bor tidak banyak
melukai batang pohon dan cenderung lebih sulit terkena hama penyakit.
Metode bor mempunyai keunggulan meminimalkan kerukan kayu akibat luka
sadap, kesehatan pohon lebih terjaga, dan mengurangi resiko pohon tumbang akibat
angin kencang (Sukadarti, et al., 2014). Sukadarti, et al (2014) menjelaskan metode
bor, luka sadap yang kecil diharapkan cepat menutup kembali seiring pertumbuhan
batang pohon. Upaya rekayasa alat bor semi mekanis perlu dikembangkan untuk
mempermudah pembuatan luka sadap tertentu dengan pertimbangan ekonomi, sosial
dan lingkungan. Tahapan kegiatan dengan metode quarre dan bor memiliki perbedaan
52
yang signifikan sehingga penerapan kedua metode tersebut berkolerasi terhadap hasil
getah yang diperoleh.
Penyadapan getah kopal pada pohon Agathis laurantifolia merupakan hasil
eksudat dari pohon damar. Kopal memiliki sifat yang tidak larut dalam air, larut dalam
pelarut organik, rapuh, meleleh jika dipanaskan dan mudah terbakar. Getah kopal
berguna untuk bahan baku pembuatan vernis, cat, lak, bahan pelapis tekstil, perekat
dan lain-lain. Penyadapan getah dapat menggunakan kudikoni dengan menggunakan
metode quarre.
53
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Kehutanan Masyarakat dan Kemitraan Kehutanan
54
5.1.2 Hama dan Penyakit Hutan
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada praktikum ini:
1. Gangguan hama dan penyakit yang terjadi di HPGW pada plot pertama terdapat
dua pohon yang diserang dengan tanda penyakit terdapat hama pada batang.
Plot kedua bercak kuning pada daun dan plot ketiga.
2. Frekuensi hama dan penyakit yang terdapat di PU, Hama sebesar 20,8% dan
Penyakit sebesar 62,5%.
3. Terjadinya hama penyakit dikarenakan musim tanam, cara budidaya, dan
musuh alami.
4. Hama penyakit mengganggu pertumbuhan tanaman dan dapat mematikan
tanaman sehingga merugikan secara ekonomis.
5. Metode yang dilakukan yaitu pengendalian mekanis dengan tindakan nyata.
Selanjutnya pengendalian biologis dengan menggunakan predator untuk
memangsa hama dan mencegah penyebaran organisme pengganggu.
6. Perumusan upaya yang dilakukan untuk pengendalian hama dan penyakit
hutan, dapat dilakukan secara biologis. Yakni dengan menggunakan musuh
alami serangga. Hal ini dapat memicu musuh alami memakan serangga yang
ada pada tegakan. Alternatif lain yaitu dengan pengendalian pemangkasan yang
rutin dan bijak.
55
3. Secara sederhana Pembuatan Seedball diawali dengan Pencampuran tanah
dengan kompos, dan ditambahkan air secukupnya, lalu stapkan benih tanaman.
Bentuk tanah menjadi seperti bola dengan diameter ± dua cm. Seed ball siap
untuk ditanam.
5.1.4 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada praktikum ini adalah:
56
mati. Sehingga dapat ditentukan Upaya penyulaman dan penanaman Kembali
pada Kawasan HPGW.
57
3. Memetakan batas blok pengelolaan yang dihasilkan yaitu peta polyline pal batas
sederhana
5.1.8 Perencanaan Kawasan Taman Hutan Raya
Adapun kesimpulan pada praktikum ini adalah Menjaga kelestarian ekosistem
Tahura, termasuk hutan, flora, dan fauna yang ada di dalamnya. Kegiatan pemeliharaan
dan pengembangan ekosistem meliputi penanaman pohon, pengendalian hama dan
penyakit, dan monitoring ekosistem. Tahura juga berperan sebagai destinasi wisata
alam. Kegiatan pengelolaan kawasan wisata meliputi pengelolaan fasilitas wisata,
pengaturan pengunjung, dan promosi wisata.
58
DAFTAR PUSTAKA
59
Maryudi, A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufannyi, Y., Salla, M., Aurenhammer, H.,
Krott, M. (2012). Back to basics: considerations in evaluating the outcomes of
community forestry. Forest Policy and Economics 14(1): 1–5.
MIPL. 2010. Konservasi. Purwokerto: STMIK AMIKOM.
Mitchell B., Setiawan, B., & Rahmi, D.H. (2003). Pengelolaan sumber daya dan
lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Moko, H. (2008). Menggalakkan hasil hutan bukan kayu sebagai produk unggulan.
Informasi Teknis Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan, 6(2), 1–5.
Ngatiman, Armansah dan Budiono M. 2008. Pemangkasan Cabang Untuk
Mengendalikan Serangan Hama Pada Tanaman Shorea Leprosula Miq. Balai
Besar Penelitian Dipterokarpa.
Nugroho, A. F., Ichwandi, I. and Kosmaryandi, N. (2017) ‘KHUSUS ( Studi Kasus
Hutan Pendidikan dan Latihan Gunung Walat )’, 2(2), pp. 51–59.
Palmolina, M. 2014. Peranan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Pembangunan Hutan
Kemasyarakatan di Perbukitan Menoreh (Kasus di Desa Hargorejo, Kokap,
Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kehutanan, 8 (2) : 117 - 125.
Peraturan Menteri Kehutanan No P.35 tahun 2007 Tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.
Pohan, RM, Purwoko, A, Martial, T. 2014. Kontribusi hasil hutan bukan kayu dari
hutan produksi terbatas bagi pendapatan rumah tangga masyarakat. Peronema
Forestry Science Journal. 3(2).
Pracaya. 1991. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soils of Indonesia : location, clasification and problems
for sustainability. Pp. 45-54. In J.O. Riele and S.E. Page. Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peatland. Samara Publishing Limited. Cardigan, UK.
Rahayu, S.1999. Penyakit Tanaman Hutan Di Indonesia. Gejala, Penyebab, dan Teknik
Pengendaliannya. Kanisius. Yogyakarta.
Riyanto (2009) Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi Geografis Berbasis Desktop
dan Web. Gava Media. Yogyakarta.
60
Ruhimat, I.S. 2013. Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi
Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan : Sutdi Kasus di KPH Model
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
10(3) : 255-267.
Saefullah. 2017. Pengelolaan Kawasan Konservasi Berkelanjutan Melalui Skema
Partisipasi dan Kolaborasi. Buletin Sumber Informasi Alam dan Lingkungan.
Volume IX, Desember Tahun 2017. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Taman Nasional Bukit Duabelas. Jambi.
Salaka, F. J., Nugroho, B., & Nurrochmat, D. R. (2012). Strategi kebijakan pemasaran
hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(1), 50–65.
Shiver BD, Borders BE. 1996. Sampling Techniques for Forest Resource Inventory.
New York (US): John Wiley & Sons,Inc.
Subarudi (2008) ‘SEBUAH PEMBELAJARAN DARI KABUPATEN SRAGEN (
Good Forestry Governance : A Learning from Sragen District )’, Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan, 5(3), pp. 179–192.
Suharti, S., Darusman, D., Nugroho, B., Sundawati, L. 2016. Kelembagaan dan
Perubahan Hak Akses Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di
Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Sodality : Jurnal Sosiologi Pedesaan. Hal. 165-
175.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sutrisno, N., Heryani, N. 2013. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air Untuk Mencegah
Degradasi Lahan Pertanian Berlereng. J. Litbang Pert. Vol. 32 No. 3 : 122-130
Syahputra, O.H. 2019. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Hutan melalui Perhutanan
Sosia. Rambideun : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 2, No. 1.
The Hindu. 2002. Vermicomposting Using Paddy Straw.
http://www.hinduonnet.com/thehindu/ seta/2002/03/21. Online edition of
India’s National Newspaper.
Undang Undang Republik Indonesia no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
61
LAMPIRAN
1. Dokumentasi
62
Gambar 7. Penentuan Titik Koordinat Gambar 8. Pengukuran Kelerengan
Areal.
63
Gambar 13. Proses pencampuran media Gambar 14. Proses penanaman seedball.
polybag
Gambar 17. Penyadapan Getah pinus Gambar 18. Konservasi Rusa (Ranca
metode bor. Upas)
64
Gambar 19. Pembuatan Seedball Gambar 20. Hasil Seedball
65
2. Peta Transek Praktikum Kehutanan Masyarakat dan Kemitraan Kehutanan
66
3. Perhitungan
67
68