BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue
1. Pengertian DBD
World Health Organization Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi dengan salah satu dari empat virus dengue. Virus tersebut dapat
menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa (WHO, 2013). Sedangkan
menurut Depkes RI, DBD adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk
(Aedes aegypti atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus DBD.
(Depkes RI, 2011)
Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit
kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih
dan ruam- ruam. Demam berdarah dengue/ dengue hemorraghagic fever
(DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan
manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan
sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat
kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS)
(Mardiana, 2010).
2. Penyebaran Penyakit DBD
Epidemi penyakit demam dengue (dengue fever/ DF) pertama kali
dilaporkan di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779. Penyakit ini
10
11
disebut penyakit demam 5 hari. Wabah demam dengue terjadi pada tahun
1871- 1873 di Zanzibar kemudian di Pantai Arab dan terus menyebar ke
Samudra Hindia. Quintos dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus
demam berdarah dengue di Philipina, kemudian disusul negara- negara
lain seperti Thailand dan Vietnam. Pada dekade 60-an penyakit ini mulai
menyebar ke negara- negara Asia Tenggara, antara lain Singapura,
Malaysia, Srilangka dan Indonesia. Pada dekade 70-an, penyakit ini
menyerang di kawasan Pasifik termasuk di kepulauan Polinesia. Dekade
80-an demam berdarah menyerang negara- negara Amerika Latin, yang
dimulai dengan negara Kuba pada tahun 1981. Penyakit demam berdarah
hingga saat ini terus menyebar luas di negara- negara tropis dan sub
tropis. (Nisa, 2007)
Kasus DBD di Indonesia, pertama kali terjadi di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat
pada 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada 1969. Kemudian,
DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta pada 1972.
Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada 1972 di Sumatra Barat
dan Lampung, disusul oleh daerah Riau, Sulawesi utara dan Bali,
penyebaran DBD di Indonesia semakin meluas, hingga saat ini Indonesia
menempati urutan kedua terbesar setelah Thailand dengan jumlah
penderita dan tingkat kematian yang tinggi akibat demam berdarah.
(Ginanjar, 2007)
12
3. Vektor Penyebab DBD
Mardiana (2010) menjelaskan bahwa penyebab demam dengue
dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang berbeda
antigen. Virus ini adalah kelompok flavivirus dan serotype tersebut
terdiri dari DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN 4, sedangkan menurut
Depkes RI 2012 menjelaskan bahwa dari 4 serotype tersebut yang
terbanyak kasusnya disebabkan oleh serotype DEN-3 dan DEN-2. Infeksi
oleh salah satu jenis serotype akan memberikan imunitas seumur hidup
terhadap serotype tersebut, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotype yang lain.
Menurut Widoyono (2008) vektor primer dan yang paling efektif
terhadap penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah
perkotaan) yang merupakan nyamuk tropis dan subtropis, akan tetapi
distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian, biasanya tidak dijumpai
pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter dan vektor
sekundernya yaitu nyamuk Aedes albopictus (di daerah pedesaan).
Depkes RI (2012) menjelaskan bahwa Nyamuk Aedes aegypti
aktif menggigit pada waktu pagi hari (pukul 08.00-12.00) dan sore hari
(pukul 15.00–17.00). Nyamuk Aedes aegypti ini hidup dan berkembang
biak pada tempat- tempat penampungan air bersih yang tidak langsung
berhubungan dengan tanah seperti: vas bunga, toren air, bak mandi,
tempayan, ban bekas, kaleng bekas, botol minuman bekas dll.
Menurut Hadinegoro (2004), Perkembangan hidup nyamuk
Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12
13
hari. Ginanjar (2007) menjelaskan bahwa hanya nyamuk betina yang
menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk
mematangkan telurnya, sedangkan nyamuk jantan tidak menghisap darah
manusia, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh- tumbuhan.
Menurut Hadinegoro (2004), umur nyamuk Aedes aegypti betina
berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata- rata 1½ bulan,
tergantung dari suhu kelembaban udara disekelilingnya. Kemampuan
terbangnya berkisar antara 40-100 meter dari tempat
perkembangbiakannya. Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes
aegypti adalah benda-benda yang tergantung yang ada didalam rumah,
seperti gordyn ataupun baju-baju dikamar yang gelap dan lembab,
sehingga menjadi tempat perindukan yang baik bagi nyamuk Aedes
aegypti, terutama pada pemukiman penduduk yang tidak dibersihkan.
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan,
dimana terdapat banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti. Vektor lain penyebab
demam berdarah juga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus,
namun nyamuk ini kurang berperan dalam menyebarkan penyakit demam
berdarah, jika dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti. Hal ini
karena nyamuk Aedes albopictus hidup dan berkembangbiak dikebun
atau semak- semak, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia
dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti yang berada didalam dan
disekitar rumah. (Hadinegoro, 2004)
14
4. Faktor- Faktor Resiko pada DBD
Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DBD,
termasuk juga antibodi- pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan
faktor risiko untuk terkena DHF, tidak semua tipe virus berpotensi
menimbulkan epidemi atau mengakibatkan kasus yang parah. Usia dan
genetik pejamu juga termasuk faktor risiko terhadap DBD. Walaupun
DBD dapat dan memang menyerang orang dewasa, kebanyakan kasusnya
ditemukan pada anak- anak yang berusia kurang dari 15 tahun, dan bukti
tidak langsung memperlihatkan bahwa beberapa kelompok di masyarakat
mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom pecahnya pembuluh darah
daripada kelompok lainnya. (WHO, 2005)
5. Siklus Penularan DBD
Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang
menjadi terinfeksi saat menghisap darah dari manusia yang sedang sakit
dan viremia (terdapat virus dalam darah). Virus berkembang dalam tubuh
nyamuk selama 8-10 hari, sehingga kelenjar air liur nyamuk menjadi
terinfeksi dan virus dapat disebarkan ketika nyamuk menggigit dan
menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Dalam tubuh
manusia, virus akan berkembang selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari).
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya
akan sakit DBD, tergantung dari status imunitas setiap individu, ada yang
mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, bahkan ada
yang sama sekali tanpa gejala sakit, meskipun tidak mengalami tanda dan
15
gejala sakit, orang tersebut merupakan pembawa virus dengue selama
satu minggu. Akan tetapi pada individu yang imunitasnya lemah, akan
tampak gejala awal seperti demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu
makan, dan gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam
kulit (Widoyono, 2008).
6. Patogenesis DBD
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui perantara
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus dengue
tersebut akan masuk kedalam sirkulasi darah dengan masa inkubasi virus
terjadi selama 3-15 hari (rata-rata 7-10 hari). Selama masa inkubasi, virus
akan memperbanyak diri dengan cara replikasi. (Nasronudin, 2007)
WHO (2005) menjelaskan bahwa patogenesis DHF menyebabkan
perubahan pada fisiologis manusia yaitu:
a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan
kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. DHF memiliki ciri yang
unik karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan
peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).
b. Hemostatis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia
sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.
Aktivasi sistem komplemen merupakan temuan yang konstan
pada pasien DHF. Kadar C3 dan C5 turun, sementara C3a dan C5a naik.
Mekanisme aktivasi komplemen tidak diketahui. Keberadaan kompleks
imun juga dilaporkan pada beberapa kasus DHF, tetapi kontribusi
16
kompleks antibodi-antigen terhadap aktivasi komplemen pada pasien
DHF belum berhasil diperlihatkan. (WHO, 2005)
Berdasarkan hipotesis, tingkat keparahan DHF jika dibandingkan
dengan DF dapat ditunjukkan melalui peningkatan multiplikasi virus
dalam makrofag oleh antibodi heterotipik akibat infeksi dengue
sebelumnya. Walaupun begitu ada bukti yang memperlihatkan bahwa
faktor virus dan respon imun yang diperantarai sel juga terlibat dalam
patogenesis DHF. (WHO, 2005)
7.Macam-macam DBD
Menurut Hoirunnisa (2007), infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik
atau mengakibatkan penyakit demam biasa (sindrom virus), demam dengue
(DF), atau demam berdarah dengue (DHF) termasuk sindrom syok dengue
(DSS).
17
Berikut ini adalah perbedaan dari demam biasa (sindrom virus), demam dengue (DF), dan demam berdarah
dengue (DHF) atau sindrom syok dengue (DSS):
Tabel 2.1 Perbandingan Demam biasa, demam dengue, DHF atau DSS
Demam biasa Demam dengue DHF atau DSS
Usia Bayi, anak- anak, dan dewasa Anak dan dewasa Anak <15 tahun paling banyak dan
dewasa
Gejala awal Sama seperti demam biasa Sakit kepala, sakit punggung, Peningkatan suhu tiba- tiba dapat
akibat virus lain malaise, awitan tiba- tiba selama mencapai 40˚C, kemerahan wajah,
5-7 hari, peningkatan suhu tajam anoreksia, muntah, sakit kepala,
(39- 40˚C) disertai menggigil dan nyeri otot dan sendi, bisa terjadi
kemerahan pada wajah kejang demam.
Gejala umum Ruam makupopular Nyeri retroorbital, fotofobia, Sakit tenggorokan, faring merah,
anoreksia, konstipasi, nyeri, ruam perdarahan, hepatomegali,
18
kulit pada wajah, leher dan dada, kegagalan sirkulasi.
ptekie (+)
Hemostasis Normal Normal Penurunan trombosit
Perjalanan penyakit Terjadi akibat infeksi virus Berbeda- beda antar individu Peningkatan permeabilitas
dengue pertama kali pembuluh darah mengakibatkan
kebocoran plasma, hipovolemia
dan syok
Sumber: WHO (2005)
19
8. Manifestasi Klinis DBD
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai dari
sindrom virus nonspesifik sampai perdarahan yang dapat berakibat fatal
sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi. (Mardiana,
2010)
Tanda atau gejala DBD yang muncul seperti bintik-bintik merah
pada kulit. Selain itu suhu badan lebih dari 38˚C, badan terasa lemah dan
lesu, gelisah, ujung tangan dan kaki dingin berkeringat, nyeri ulu hati,
dan muntah. Dapat pula disertai pendarahan seperti mimisan dan buang
air besar bercampur darah serta turunnya jumlah trombosit hingga
100.000/mm3 (Depkes RI, 2012).
Berdasarkan gejala DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:
a. Derajat 1 : demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu- satunya
manifestasi perdarahan adalah dengan melakukan tes torniquet
positif.
b. Derajat 2 : gejala yang ada pada tingkat 1 disertai dengan
perdarahan spontan , perdarahan dapat terjadi di kulit maupun
perdarahan lain.
c. Derajat 3 : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang
cepat dan lemah, hipotensi, hipotermi dan pasien biasanya menjadi
gelisah.
d. Derajat 4 : syok berat yang ditandai dengan nadi yang tidak
teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase kritis pada
penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. (WHO, 2005)
20
9. Diagnosa DBD
Rentang variasi klinis infeksi virus dengue sedemikian luas, maka
WHO (2005), membuat kriteria diagnosis DBD yang dapat ditegakkan
bila semua hal dibawah ini terpenuhi:
a. Demam: awalnya akut, cukup tinggi dan kontinu yang berlangsung
selama 2 sampai 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan pada uji tourniquet positif, petekie,
purpura, ekimosis, epitaksis, gusi berdarah dan hematemesis atau
melena.
c. Pembesaran hati (hepatomegali) tampak pada beberapa tahap
penyakit.
d. Syok ditandai dengan denyut yang cepat dan lemah disertai tekanan
denyut yang menurun atau hipotensi, kulit lembap, dingin dan
gelisah.
e. Trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang)
f. Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20%
atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan
hemokonsentrasi cukup untuk menetapkan diagnosis klinis DBD. Efusi
pleura yang tampak melalui rontgen dada dan hipoalbuminemia menjadi
bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna
terutama pada pasien yang anemia dan mengalami perdarahan berat.
Pada kasus syok, jumlah hematokrit yang tinggi dan trombositopenia
memperkuat diagnosis terjadinya DBD (WHO, 2005).
21
10. Penatalaksanaan DBD
Penatalaksanan kasus DBD yang efektif memerlukan keterlibatan
dokter dan perawat yang terlatih, diagnosa dini terhadap penyakit dan
dirawatnya pasien dirumah sakit sangat penting guna menurunkan angka
kematian pada pasien DBD (WHO, 2005). Adapun penatalaksanaan
tersebut meliputi:
Tindakan mandiri perawat:
a. Observasi tanda- tanda vital pasien meliputi suhu, nadi, tekanan
darah serta adanya tanda perdarahan, hepatomegali serta nyeri tekan
pada hati.
b. Pertahankan tirah baring sangat dianjurkan selama fase demam akut
c. Berikan kompres hangat pada kepala maupun axilla untuk
menurunkan suhu tubuh
d. Catat intake dan output pasien, amati terhadap adanya
ketidakseimbangan cairan tubuh.
e. Kaji tanda dan gejala dehidrasi/ hipovolemik (muntah, diare, tampak
kehausan, turgor kulit buruk) dan anjurkan klien untuk banyak
minum, untuk mencegah dehidrasi
f. Observasi tanda dan gejala syok seperti gelisah, tangan dan kaki
terasa dingin dan terdapat sianosis sirkumoral, oliguri, denyut cepat
dan lemah atau hipotensi dll. (Hadinegoro, 2004).
22
Tindakan kolaborasi:
a. Pemberian antipiretik untuk menjaga suhu tubuh dibawah 40˚C.
Pemberian aspirin tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
gastritis, perdarahan dan asidosis sebaiknya berikan parasetamol.
b. Pemberian cairan intra vena (sebagai contoh cairan kristaloid
maupun cairan koloid) jumlah cairan diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit serta diperhatikan umur
dan berat badan pasien.
c. Pemberian sedatif jika pasien tampak gelisah
d. Pemberian oksigen pada semua pasien yang mengalami syok
dengan menggunakan masker oksigen
e. Transfusi darah diinstruksikan pada kasus yang menampakkan
perdarahan yang signifikan dan diberikan sesuai indikasi.
f. Pemeriksaan kadar hematokrit diukur setiap dua jam selama 6 jam
pertama dan sesudahnya setiap 4 jam sampai kondisi pasien stabil
(WHO, 2005)
11. Kebijakan Pemerintah Terkait DBD
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga saat
ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD dititik
beratkan pada pemberantasan vektor nyamuk disamping kewaspadaan
dini terhadap kasus DBD. (Hadinegoro, 2004). Tujuan dari pada program
pemberantasan vektor ialah menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit DBD, mencegah dan menanggulangi KLB, meningkatkan peran
23
serta masyarakat (PSM) dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
(Widoyono (2008).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dibuatlah Kepmenkes no.
581/Tahun 1992, yang ditetapkan sebagai Program Nasional
Penanggulangan DBD yang terdiri dari 8 pokok program yaitu,
surveilans kasus DBD, Pemberantasan Vektor, Penatalaksanaan Kasus,
Penyuluhan, Kemitraan dalam pembentukan kelompok kerja operasional
DBD (Pokjanal DBD), peran serta masyarakat melalui pembentukan
kader juru pemantau jentik (Jumantik), Pelatihan dan Penelitian terkait
DBD.
12. Upaya Pencegahan DBD
a. Manajemen lingkungan
Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang
dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor
sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang (WHO, 2005).
Menurut Hadinegoro (2004) menjelaskan bahwa cara yang
tepat guna menekan pertumbuhan vektor ialah dengan melaksanakan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu menghindari
menggantung pakaian dikamar yang gelap dan lembab karena dapat
menjadi tempat perindukan bagi nyamuk serta meningkatkan
kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam membasmi jentik
nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M yaitu: menguras
atau membersihkan secara teratur minimal seminggu sekali, menutup
24
rapat tempat penampungan air (bak mandi, kolam hias, drum, wadah
air minum hewan, pot bunga) dan mengubur atau menyingkirkan
barang bekas (ban, kaleng serta ember bekas) yang dapat menjadi
sarang nyamuk.
b. Perlindungan diri
Pakaian mengurangi risiko tergigit nyamuk jika pakaian itu
cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang
dengan kaus kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang
merupakan tempat yang paling sering terkena gigitan nyamuk WHO
(2005). Selain itu untuk menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti
dapat menggunakan kelambu bila tidur, memasang kawat kassa pada
ventilasi udara, memakai obat nyamuk bakar/semprot serta obat
nyamuk oles (repellent) di dalam maupun di luar rumah pada pagi
dan sore hari (Depkes RI, 2012).
c. Abatisasi
Abatisasi dilaksanakan didesa/ kelurahan endemis terutama
disekolah dan tempat- tempat umum. Semua tempat penampungan
air dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik nyamuk ditaburi
bubuk abate sesuai dengan dosis yaitu 10 gram abate untuk 100 liter
air (WHO, 2005).
d. Pengendalian biologis
Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan
agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. beberapa agen
biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan
25
populasi larva vektor DBD ialah ikan pemakan jentik yang terbukti
efektif dan telah digunakan salah satunya dikota Palembang adalah
ikan cupang. (Depkes RI, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Taviv.Y dkk (2010), tentang
pengendalian DBD melalui pemanfaatan pemantauan jentik dan ikan
cupang mendapatkan hasil bahwa intervensi dengan pemanfaatan
ikan cupang plus pemantauan jentik lebih efektif untuk
meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan menurunkan House
Index (HI), Conteiner Index (CI), Breteau Index (BI).
e. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
Pemantauan jentik berkala yang dilakukan setiap 3 bulan di
rumah dan di tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala
dirumah dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sebagai sampel
untuk setiap desa/ kelurahan. Hasil PJB ini diinformasikan pihak
kesehatan kepada kepala wilayah/ daerah setempat sebagai evaluasi
dan dasar penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan
angka bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan desa dapat mencapai lebih
95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD (Hadinegoro,
2004). Depkes RI (2012) mengungkapkan salah satu kebijakan
pemerintah di dalam pengendalian DBD yaitu dengan melibatkan
warga yang ditugaskan menjadi kader jumantik dalam mengawasi
kegiatan PSN DBD. Kader Jumantik adalah juru pemantau jentik
yang bertugas memeriksa genangan-genangan air di dalam maupun
luar rumah, menemukan larva yang terdapat di dalam tempat-tempat
26
yang dapat menampung air, mengindentifikasi rumah-rumah yang
tidak berpenghuni dan mengajak pemilik rumah untuk berpartisipasi
dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara teratur. Penelitian
yang dilakukan oleh Chadijah dkk (2009) menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan ABJ dan penurunan HI, BI, dan CI dengan
memberdayakan jumantik dalam mengawasi kegiatan pelaksanaan
PSN dimasyarakat di dua kelurahan kota Palu, Sulawesi Tengah.
f. Fogging Fokus
Fogging fokus merupakan kegiatan menyemprotkan
insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dan merupakan salah
satu cara yang cukup banyak dipakai di Indonesia, namun cara ini
kurang efektif karena hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada
suatu wilayah dengan radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif
hanya untuk satu sampai dua hari. Kegiatan fogging ini tidak dapat
membunuh larva nyamuk.
B. Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Perilaku menurut Suryani (2003) dalam Fitriani (2011) merupakan
aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungannya, sedangkan menurut
Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku ialah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang
sangat luas mulai dari berjalan, bicara, menangis, tertawa, dapat
27
disimpulkan bahwa perilaku merupakan tindakan yang dilakukan
seseorang setelah orang tersebut mendapatkan rangsangan atau stimulus.
2. Teori Stimulus- Organisme- Respon (SOR)
Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa
perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Maka teori Skiner ini disebut juga dengan teori
SOR (Stimulus- Organisme- Respon) dimana stimulus terhadap
organisme kemudian organisme tersebut akan memberikan respon.
Skiner membedakan adanya 2 respon yaitu:
a. Respondent respons atau reflexive merupakan respon yang muncul
karena rangsangan tertentu. Atau disebut juga dengan eliciting
stimulation atau stimulasi yang menimbulkan respon tetap seperti
makanan lezat merangsang keinginan untuk makan, cahaya terang
menyebabkan mata tertutup, juga mencakup perilaku emosional
seperti menagis bila sedih, luapan kegembiraan bila bahagia.
b. Operant respons atau instrumental respon merupakan respon yang
timbul dan berkembang oleh stimulus tertentu. Perangsang ini
disebut reinforcer artinya penguat. Seperti karyawan yang telah
bekerja dengan baik diberikan penghargaan atau hadiah dengan
harapan dapat meningkatkan kinerjanya.
Apabila dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
28
a. Perilaku tertutup (convert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup
(convert). Respon ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk
tindakan nyata, yang mudah dapat diamati atau diobservasi secara
langsung oleh orang lain (Fitriani, 2011).
3. Pengertian Perilaku Kesehatan
Menurut WHO dalam Nursalam yang dimaksud dengan perilaku
kesehatan adalah aktifitas apa pun yang dilakukan oleh individu tanpa
memandang status kesehatan aktualnya maupun status kesehatan menurut
persepsi individu tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan,
melindungi atau mempertahankan kesehatannya tanpa
mempertimbangkan apakah perilaku tersebut efektif untuk mencapai
tujuan tersebut. Sedangkan menurut Skiner dalam Ayubi (2006)
menjelaskan bahwa perilaku kesehatan merupakan suatu respon individu
atau seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.
29
4. Klasifikasi Perilaku Kesehatan
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) perilaku kesehatan
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan usaha yang dilakukan
oleh seseorang untuk memelihara kesehatannya atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan melakukan usaha untuk penyembuhan
jika sakit.
b. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan merupakan respon seseorang
terhadap pencarian pengobatan yang menyangkut upaya atau
tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan.
c. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan merupakan respon
seseorang terhadap lingkungan sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya yaitu dengan cara mengelola
lingkungannya agar tidak mengganggu kesehatan diri sendiri,
keluarga maupun masyarakat. Skiner dalam Notoatmodjo (2007).
5. Domain Perilaku
Menurut Bloom (1968) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan
bahwa, pengukuran terhadap perilaku kesehatan dapat dilihat dari domain
perilaku, yakni ada pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan
tindakan atau praktik (practice) ialah berikut:
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan melalui panca indera manusia
30
terhadap suatu objek. Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan yaitu:
1) Tahu
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali suatu yang spesifik dari materi yang dipelajari.
2) Memahami
Memahami dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan
secara tepat terhadap objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut dengan tepat.
3) Aplikasi
Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada kondisi nyata. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai
aplikasi atau penerapan hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya.
4) Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, yang berkaitan satu sama
lain.
5) Sintesis
Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih
dalam satu struktur organisasi dan berkaitan satu sama lain.
31
6) Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan
pada kriteria yang dilakukan sendiri ataupun menggunakan kriteria
yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Sungkar dkk (2010)
menjelaskan bahwa, intervensi melalui penyuluhan terhadap PSN
dapat berpengaruh pada peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa
Bayah, penelitian tersebut didapatkan hasil sebelum penyuluhan
sebanyak 11,3% pengetahuan baik, 24,5% pengetahuan cukup dan
64,2% berpengetahuan kurang namun, setelah dilakukan penyuluhan
didapatkan hasil bahwa 13,2% berpengetahuan baik, 35,8%
berpengetahuan cukup dan 50,9% berpengetahuan kurang.
b. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Allport dalam Fitriana (2011)
menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen yaitu, kepercayaan
terhadap objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek dan
kecenderungan untuk bertindak.
c. Praktek atau Tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus kemudian mengadakan
penelitian atau pendapat terhadap apa yang diketahui yang selanjutnya
diharapkan akan mempraktekkan apa yang diketahui, seperti halnya
pencegahan terhadap DBD, diperlukan praktek atau tindakan
32
masyarakat dalam upaya menekan angka kejadian DBD salah satunya
melalui kegiatan PSN- DBD.
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2009) menjelaskan
bahwa upaya praktek responden dalam pencegahan DBD di Kelurahan
Kramatpela mendapatkan hasil 17,8% keluarga termasuk dalam
kategori praktek baik, 57,5% keluarga termasuk dalam tingkat
kategori praktek cukup, dan 24,7% keluarga termasuk dalam tingkat
kategori praktek kurang. Hal ini menyebabkan masih tingginya angka
kejadian DBD yang terjadi di daerah RW 09 Kelurahan Kramatpela
karena masih banyak keluarga yang tidak melaksanakan kegiatan PSN
DBD secara sungguh-sungguh. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
sebagian besar responden membiarkan pakaian kotor bergantungan di
belakang pintu, padahal hal tersebut dapat mendorong terjadinya
kejadian DBD karena nyamuk penyebab DBD menjadikan tempat
tersebut sebagai tempat transmisinya.
6. Teori Pembentukan Perilaku
Menurut teori Lawrence Green, terdapat 3 faktor yang
mempengaruhi terjadinya perilaku, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor yang ada
dalam diri seseorang yang menyebabkan dia melakukan sesuatu, yaitu
pengetahuan, sikap, praktik, persepsi, usia, budaya dll.
b. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang
memungkinkan seseorang untuk berperilaku tertentu seperti adanya
33
sarana dan prasarana. Contoh: fasilitas kesehatan yang sarana tidak
mendukung (puskesmas sangat jauh dan sulit dijangkau) akan
berpengaruh pada kunjungan pelayanan kesehatan.
c. Faktor penguat atau pendukung (reinforcing factors), adalah faktor
yang memperkuat atau memberikan dukungan seseorang untuk
berperilaku,yaitu kebijakan yang ada. (Notoatmodjo, 2007)
C. Penelitian Terkait
Penelitian terkait telah dilakukan oleh Supriyanto (2011), penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian analitik observasional dengan
pendekatan case control tentang pengetahuan, sikap dan praktik keluarga
tentang pemberantasan nyamuk (PSN) terhadap kejadian demam berdarah
dengue. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 50 responden kelompok
kasus dan 50 responden kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara menggunkan kuisioner. Hasil penelitian ini
didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus didapatkan 50%
berpengetahuan PSN buruk, 76% tidak mendukung PSN , dan 36% memiliki
praktik PSN buruk. Sedangkan pada responden kelompok kontrol didapatkan
76% berpengetahuan PSN baik, 94% mendukung PSN dan 96% memiliki
praktik PSN baik. Sehingga, didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan (p= 0,007, OR= 3,17), sikap (p= 0,000, OR=
49,61), praktik (p= 0,000, OR= 13,5).
34
D. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Faktor predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Praktik
Persepsi
Usia
Budaya
Faktor Pemungkin : Perilaku kesehatan
-Sarana dan Prasarana
Faktor Pendukung:
-Kebijakan Pemerintah
Sumber: Green dalam Notoatmodjo (2007).
35