[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
80 tayangan26 halaman

Bab 2 DBD

Dokumen tersebut membahas tentang demam berdarah dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes. Virus tersebut memiliki 4 serotipe utama yang menyebabkan penyakit, sedangkan faktor risiko terkena DBD antara lain infeksi sekunder, usia, dan genetik.

Diunggah oleh

retnowati hazanah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
80 tayangan26 halaman

Bab 2 DBD

Dokumen tersebut membahas tentang demam berdarah dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes. Virus tersebut memiliki 4 serotipe utama yang menyebabkan penyakit, sedangkan faktor risiko terkena DBD antara lain infeksi sekunder, usia, dan genetik.

Diunggah oleh

retnowati hazanah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Pengertian DBD

World Health Organization Demam berdarah dengue (DBD)

merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang

terinfeksi dengan salah satu dari empat virus dengue. Virus tersebut dapat

menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa (WHO, 2013). Sedangkan

menurut Depkes RI, DBD adalah penyakit akut yang disebabkan oleh

Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk

(Aedes aegypti atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus DBD.

(Depkes RI, 2011)

Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit

kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih

dan ruam- ruam. Demam berdarah dengue/ dengue hemorraghagic fever

(DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan

manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan

sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat

kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS)

(Mardiana, 2010).

2. Penyebaran Penyakit DBD

Epidemi penyakit demam dengue (dengue fever/ DF) pertama kali

dilaporkan di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779. Penyakit ini

10
11

disebut penyakit demam 5 hari. Wabah demam dengue terjadi pada tahun

1871- 1873 di Zanzibar kemudian di Pantai Arab dan terus menyebar ke

Samudra Hindia. Quintos dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus

demam berdarah dengue di Philipina, kemudian disusul negara- negara

lain seperti Thailand dan Vietnam. Pada dekade 60-an penyakit ini mulai

menyebar ke negara- negara Asia Tenggara, antara lain Singapura,

Malaysia, Srilangka dan Indonesia. Pada dekade 70-an, penyakit ini

menyerang di kawasan Pasifik termasuk di kepulauan Polinesia. Dekade

80-an demam berdarah menyerang negara- negara Amerika Latin, yang

dimulai dengan negara Kuba pada tahun 1981. Penyakit demam berdarah

hingga saat ini terus menyebar luas di negara- negara tropis dan sub

tropis. (Nisa, 2007)

Kasus DBD di Indonesia, pertama kali terjadi di Surabaya pada

tahun 1968, tetapi konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat

pada 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada 1969. Kemudian,

DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta pada 1972.

Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada 1972 di Sumatra Barat

dan Lampung, disusul oleh daerah Riau, Sulawesi utara dan Bali,

penyebaran DBD di Indonesia semakin meluas, hingga saat ini Indonesia

menempati urutan kedua terbesar setelah Thailand dengan jumlah

penderita dan tingkat kematian yang tinggi akibat demam berdarah.

(Ginanjar, 2007)
12

3. Vektor Penyebab DBD

Mardiana (2010) menjelaskan bahwa penyebab demam dengue

dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang berbeda

antigen. Virus ini adalah kelompok flavivirus dan serotype tersebut

terdiri dari DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN 4, sedangkan menurut

Depkes RI 2012 menjelaskan bahwa dari 4 serotype tersebut yang

terbanyak kasusnya disebabkan oleh serotype DEN-3 dan DEN-2. Infeksi

oleh salah satu jenis serotype akan memberikan imunitas seumur hidup

terhadap serotype tersebut, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap

serotype yang lain.

Menurut Widoyono (2008) vektor primer dan yang paling efektif

terhadap penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah

perkotaan) yang merupakan nyamuk tropis dan subtropis, akan tetapi

distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian, biasanya tidak dijumpai

pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter dan vektor

sekundernya yaitu nyamuk Aedes albopictus (di daerah pedesaan).

Depkes RI (2012) menjelaskan bahwa Nyamuk Aedes aegypti

aktif menggigit pada waktu pagi hari (pukul 08.00-12.00) dan sore hari

(pukul 15.00–17.00). Nyamuk Aedes aegypti ini hidup dan berkembang

biak pada tempat- tempat penampungan air bersih yang tidak langsung

berhubungan dengan tanah seperti: vas bunga, toren air, bak mandi,

tempayan, ban bekas, kaleng bekas, botol minuman bekas dll.

Menurut Hadinegoro (2004), Perkembangan hidup nyamuk

Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12
13

hari. Ginanjar (2007) menjelaskan bahwa hanya nyamuk betina yang

menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk

mematangkan telurnya, sedangkan nyamuk jantan tidak menghisap darah

manusia, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh- tumbuhan.

Menurut Hadinegoro (2004), umur nyamuk Aedes aegypti betina

berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata- rata 1½ bulan,

tergantung dari suhu kelembaban udara disekelilingnya. Kemampuan

terbangnya berkisar antara 40-100 meter dari tempat

perkembangbiakannya. Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes

aegypti adalah benda-benda yang tergantung yang ada didalam rumah,

seperti gordyn ataupun baju-baju dikamar yang gelap dan lembab,

sehingga menjadi tempat perindukan yang baik bagi nyamuk Aedes

aegypti, terutama pada pemukiman penduduk yang tidak dibersihkan.

Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan,

dimana terdapat banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat

perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti. Vektor lain penyebab

demam berdarah juga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus,

namun nyamuk ini kurang berperan dalam menyebarkan penyakit demam

berdarah, jika dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti. Hal ini

karena nyamuk Aedes albopictus hidup dan berkembangbiak dikebun

atau semak- semak, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia

dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti yang berada didalam dan

disekitar rumah. (Hadinegoro, 2004)


14

4. Faktor- Faktor Resiko pada DBD

Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DBD,

termasuk juga antibodi- pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan

faktor risiko untuk terkena DHF, tidak semua tipe virus berpotensi

menimbulkan epidemi atau mengakibatkan kasus yang parah. Usia dan

genetik pejamu juga termasuk faktor risiko terhadap DBD. Walaupun

DBD dapat dan memang menyerang orang dewasa, kebanyakan kasusnya

ditemukan pada anak- anak yang berusia kurang dari 15 tahun, dan bukti

tidak langsung memperlihatkan bahwa beberapa kelompok di masyarakat

mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom pecahnya pembuluh darah

daripada kelompok lainnya. (WHO, 2005)

5. Siklus Penularan DBD

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang

menjadi terinfeksi saat menghisap darah dari manusia yang sedang sakit

dan viremia (terdapat virus dalam darah). Virus berkembang dalam tubuh

nyamuk selama 8-10 hari, sehingga kelenjar air liur nyamuk menjadi

terinfeksi dan virus dapat disebarkan ketika nyamuk menggigit dan

menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Dalam tubuh

manusia, virus akan berkembang selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari).

Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya

akan sakit DBD, tergantung dari status imunitas setiap individu, ada yang

mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, bahkan ada

yang sama sekali tanpa gejala sakit, meskipun tidak mengalami tanda dan
15

gejala sakit, orang tersebut merupakan pembawa virus dengue selama

satu minggu. Akan tetapi pada individu yang imunitasnya lemah, akan

tampak gejala awal seperti demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu

makan, dan gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam

kulit (Widoyono, 2008).

6. Patogenesis DBD

Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui perantara

gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus dengue

tersebut akan masuk kedalam sirkulasi darah dengan masa inkubasi virus

terjadi selama 3-15 hari (rata-rata 7-10 hari). Selama masa inkubasi, virus

akan memperbanyak diri dengan cara replikasi. (Nasronudin, 2007)

WHO (2005) menjelaskan bahwa patogenesis DHF menyebabkan

perubahan pada fisiologis manusia yaitu:

a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan

kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. DHF memiliki ciri yang

unik karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan

peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).

b. Hemostatis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia

sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.

Aktivasi sistem komplemen merupakan temuan yang konstan

pada pasien DHF. Kadar C3 dan C5 turun, sementara C3a dan C5a naik.

Mekanisme aktivasi komplemen tidak diketahui. Keberadaan kompleks

imun juga dilaporkan pada beberapa kasus DHF, tetapi kontribusi


16

kompleks antibodi-antigen terhadap aktivasi komplemen pada pasien

DHF belum berhasil diperlihatkan. (WHO, 2005)

Berdasarkan hipotesis, tingkat keparahan DHF jika dibandingkan

dengan DF dapat ditunjukkan melalui peningkatan multiplikasi virus

dalam makrofag oleh antibodi heterotipik akibat infeksi dengue

sebelumnya. Walaupun begitu ada bukti yang memperlihatkan bahwa

faktor virus dan respon imun yang diperantarai sel juga terlibat dalam
patogenesis DHF. (WHO, 2005)

7.Macam-macam DBD

Menurut Hoirunnisa (2007), infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik

atau mengakibatkan penyakit demam biasa (sindrom virus), demam dengue

(DF), atau demam berdarah dengue (DHF) termasuk sindrom syok dengue

(DSS).
17

Berikut ini adalah perbedaan dari demam biasa (sindrom virus), demam dengue (DF), dan demam berdarah

dengue (DHF) atau sindrom syok dengue (DSS):

Tabel 2.1 Perbandingan Demam biasa, demam dengue, DHF atau DSS

Demam biasa Demam dengue DHF atau DSS

Usia Bayi, anak- anak, dan dewasa Anak dan dewasa Anak <15 tahun paling banyak dan

dewasa

Gejala awal Sama seperti demam biasa Sakit kepala, sakit punggung, Peningkatan suhu tiba- tiba dapat

akibat virus lain malaise, awitan tiba- tiba selama mencapai 40˚C, kemerahan wajah,

5-7 hari, peningkatan suhu tajam anoreksia, muntah, sakit kepala,

(39- 40˚C) disertai menggigil dan nyeri otot dan sendi, bisa terjadi

kemerahan pada wajah kejang demam.

Gejala umum Ruam makupopular Nyeri retroorbital, fotofobia, Sakit tenggorokan, faring merah,

anoreksia, konstipasi, nyeri, ruam perdarahan, hepatomegali,


18

kulit pada wajah, leher dan dada, kegagalan sirkulasi.

ptekie (+)

Hemostasis Normal Normal Penurunan trombosit

Perjalanan penyakit Terjadi akibat infeksi virus Berbeda- beda antar individu Peningkatan permeabilitas

dengue pertama kali pembuluh darah mengakibatkan

kebocoran plasma, hipovolemia

dan syok

Sumber: WHO (2005)


19

8. Manifestasi Klinis DBD

Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai dari

sindrom virus nonspesifik sampai perdarahan yang dapat berakibat fatal

sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi. (Mardiana,

2010)

Tanda atau gejala DBD yang muncul seperti bintik-bintik merah

pada kulit. Selain itu suhu badan lebih dari 38˚C, badan terasa lemah dan

lesu, gelisah, ujung tangan dan kaki dingin berkeringat, nyeri ulu hati,

dan muntah. Dapat pula disertai pendarahan seperti mimisan dan buang

air besar bercampur darah serta turunnya jumlah trombosit hingga

100.000/mm3 (Depkes RI, 2012).

Berdasarkan gejala DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:

a. Derajat 1 : demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu- satunya

manifestasi perdarahan adalah dengan melakukan tes torniquet

positif.

b. Derajat 2 : gejala yang ada pada tingkat 1 disertai dengan

perdarahan spontan , perdarahan dapat terjadi di kulit maupun

perdarahan lain.

c. Derajat 3 : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang

cepat dan lemah, hipotensi, hipotermi dan pasien biasanya menjadi

gelisah.

d. Derajat 4 : syok berat yang ditandai dengan nadi yang tidak

teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase kritis pada

penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. (WHO, 2005)


20

9. Diagnosa DBD

Rentang variasi klinis infeksi virus dengue sedemikian luas, maka

WHO (2005), membuat kriteria diagnosis DBD yang dapat ditegakkan

bila semua hal dibawah ini terpenuhi:

a. Demam: awalnya akut, cukup tinggi dan kontinu yang berlangsung

selama 2 sampai 7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan pada uji tourniquet positif, petekie,

purpura, ekimosis, epitaksis, gusi berdarah dan hematemesis atau

melena.

c. Pembesaran hati (hepatomegali) tampak pada beberapa tahap

penyakit.

d. Syok ditandai dengan denyut yang cepat dan lemah disertai tekanan

denyut yang menurun atau hipotensi, kulit lembap, dingin dan

gelisah.

e. Trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang)

f. Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20%

atau lebih.

Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan

hemokonsentrasi cukup untuk menetapkan diagnosis klinis DBD. Efusi

pleura yang tampak melalui rontgen dada dan hipoalbuminemia menjadi

bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna

terutama pada pasien yang anemia dan mengalami perdarahan berat.

Pada kasus syok, jumlah hematokrit yang tinggi dan trombositopenia

memperkuat diagnosis terjadinya DBD (WHO, 2005).


21

10. Penatalaksanaan DBD

Penatalaksanan kasus DBD yang efektif memerlukan keterlibatan

dokter dan perawat yang terlatih, diagnosa dini terhadap penyakit dan

dirawatnya pasien dirumah sakit sangat penting guna menurunkan angka

kematian pada pasien DBD (WHO, 2005). Adapun penatalaksanaan

tersebut meliputi:

Tindakan mandiri perawat:

a. Observasi tanda- tanda vital pasien meliputi suhu, nadi, tekanan

darah serta adanya tanda perdarahan, hepatomegali serta nyeri tekan

pada hati.

b. Pertahankan tirah baring sangat dianjurkan selama fase demam akut

c. Berikan kompres hangat pada kepala maupun axilla untuk

menurunkan suhu tubuh

d. Catat intake dan output pasien, amati terhadap adanya

ketidakseimbangan cairan tubuh.

e. Kaji tanda dan gejala dehidrasi/ hipovolemik (muntah, diare, tampak

kehausan, turgor kulit buruk) dan anjurkan klien untuk banyak

minum, untuk mencegah dehidrasi

f. Observasi tanda dan gejala syok seperti gelisah, tangan dan kaki

terasa dingin dan terdapat sianosis sirkumoral, oliguri, denyut cepat

dan lemah atau hipotensi dll. (Hadinegoro, 2004).


22

Tindakan kolaborasi:

a. Pemberian antipiretik untuk menjaga suhu tubuh dibawah 40˚C.

Pemberian aspirin tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan

gastritis, perdarahan dan asidosis sebaiknya berikan parasetamol.

b. Pemberian cairan intra vena (sebagai contoh cairan kristaloid

maupun cairan koloid) jumlah cairan diberikan tergantung dari

derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit serta diperhatikan umur

dan berat badan pasien.

c. Pemberian sedatif jika pasien tampak gelisah

d. Pemberian oksigen pada semua pasien yang mengalami syok

dengan menggunakan masker oksigen

e. Transfusi darah diinstruksikan pada kasus yang menampakkan

perdarahan yang signifikan dan diberikan sesuai indikasi.

f. Pemeriksaan kadar hematokrit diukur setiap dua jam selama 6 jam

pertama dan sesudahnya setiap 4 jam sampai kondisi pasien stabil

(WHO, 2005)

11. Kebijakan Pemerintah Terkait DBD

Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga saat

ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD dititik

beratkan pada pemberantasan vektor nyamuk disamping kewaspadaan

dini terhadap kasus DBD. (Hadinegoro, 2004). Tujuan dari pada program

pemberantasan vektor ialah menurunkan morbiditas dan mortalitas

penyakit DBD, mencegah dan menanggulangi KLB, meningkatkan peran


23

serta masyarakat (PSM) dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

(Widoyono (2008).

Berdasarkan permasalahan diatas, maka dibuatlah Kepmenkes no.

581/Tahun 1992, yang ditetapkan sebagai Program Nasional

Penanggulangan DBD yang terdiri dari 8 pokok program yaitu,

surveilans kasus DBD, Pemberantasan Vektor, Penatalaksanaan Kasus,

Penyuluhan, Kemitraan dalam pembentukan kelompok kerja operasional

DBD (Pokjanal DBD), peran serta masyarakat melalui pembentukan

kader juru pemantau jentik (Jumantik), Pelatihan dan Penelitian terkait

DBD.

12. Upaya Pencegahan DBD

a. Manajemen lingkungan

Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang

dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor

sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang (WHO, 2005).

Menurut Hadinegoro (2004) menjelaskan bahwa cara yang

tepat guna menekan pertumbuhan vektor ialah dengan melaksanakan

pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu menghindari

menggantung pakaian dikamar yang gelap dan lembab karena dapat

menjadi tempat perindukan bagi nyamuk serta meningkatkan

kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam membasmi jentik

nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M yaitu: menguras

atau membersihkan secara teratur minimal seminggu sekali, menutup


24

rapat tempat penampungan air (bak mandi, kolam hias, drum, wadah

air minum hewan, pot bunga) dan mengubur atau menyingkirkan

barang bekas (ban, kaleng serta ember bekas) yang dapat menjadi

sarang nyamuk.

b. Perlindungan diri

Pakaian mengurangi risiko tergigit nyamuk jika pakaian itu

cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang

dengan kaus kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang

merupakan tempat yang paling sering terkena gigitan nyamuk WHO

(2005). Selain itu untuk menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti

dapat menggunakan kelambu bila tidur, memasang kawat kassa pada

ventilasi udara, memakai obat nyamuk bakar/semprot serta obat

nyamuk oles (repellent) di dalam maupun di luar rumah pada pagi

dan sore hari (Depkes RI, 2012).

c. Abatisasi

Abatisasi dilaksanakan didesa/ kelurahan endemis terutama

disekolah dan tempat- tempat umum. Semua tempat penampungan

air dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik nyamuk ditaburi

bubuk abate sesuai dengan dosis yaitu 10 gram abate untuk 100 liter

air (WHO, 2005).

d. Pengendalian biologis

Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan

agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. beberapa agen

biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan


25

populasi larva vektor DBD ialah ikan pemakan jentik yang terbukti

efektif dan telah digunakan salah satunya dikota Palembang adalah

ikan cupang. (Depkes RI, 2012)

Penelitian yang dilakukan oleh Taviv.Y dkk (2010), tentang

pengendalian DBD melalui pemanfaatan pemantauan jentik dan ikan

cupang mendapatkan hasil bahwa intervensi dengan pemanfaatan

ikan cupang plus pemantauan jentik lebih efektif untuk

meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan menurunkan House

Index (HI), Conteiner Index (CI), Breteau Index (BI).

e. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

Pemantauan jentik berkala yang dilakukan setiap 3 bulan di

rumah dan di tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala

dirumah dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sebagai sampel

untuk setiap desa/ kelurahan. Hasil PJB ini diinformasikan pihak

kesehatan kepada kepala wilayah/ daerah setempat sebagai evaluasi

dan dasar penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan

angka bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan desa dapat mencapai lebih

95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD (Hadinegoro,

2004). Depkes RI (2012) mengungkapkan salah satu kebijakan

pemerintah di dalam pengendalian DBD yaitu dengan melibatkan

warga yang ditugaskan menjadi kader jumantik dalam mengawasi

kegiatan PSN DBD. Kader Jumantik adalah juru pemantau jentik

yang bertugas memeriksa genangan-genangan air di dalam maupun

luar rumah, menemukan larva yang terdapat di dalam tempat-tempat


26

yang dapat menampung air, mengindentifikasi rumah-rumah yang

tidak berpenghuni dan mengajak pemilik rumah untuk berpartisipasi

dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara teratur. Penelitian

yang dilakukan oleh Chadijah dkk (2009) menjelaskan bahwa terjadi

peningkatan ABJ dan penurunan HI, BI, dan CI dengan

memberdayakan jumantik dalam mengawasi kegiatan pelaksanaan

PSN dimasyarakat di dua kelurahan kota Palu, Sulawesi Tengah.

f. Fogging Fokus

Fogging fokus merupakan kegiatan menyemprotkan

insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dan merupakan salah

satu cara yang cukup banyak dipakai di Indonesia, namun cara ini

kurang efektif karena hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada

suatu wilayah dengan radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif

hanya untuk satu sampai dua hari. Kegiatan fogging ini tidak dapat

membunuh larva nyamuk.

B. Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Perilaku menurut Suryani (2003) dalam Fitriani (2011) merupakan

aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungannya, sedangkan menurut

Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku ialah tindakan atau

aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang

sangat luas mulai dari berjalan, bicara, menangis, tertawa, dapat


27

disimpulkan bahwa perilaku merupakan tindakan yang dilakukan

seseorang setelah orang tersebut mendapatkan rangsangan atau stimulus.

2. Teori Stimulus- Organisme- Respon (SOR)

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa

perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Maka teori Skiner ini disebut juga dengan teori

SOR (Stimulus- Organisme- Respon) dimana stimulus terhadap

organisme kemudian organisme tersebut akan memberikan respon.

Skiner membedakan adanya 2 respon yaitu:

a. Respondent respons atau reflexive merupakan respon yang muncul

karena rangsangan tertentu. Atau disebut juga dengan eliciting

stimulation atau stimulasi yang menimbulkan respon tetap seperti

makanan lezat merangsang keinginan untuk makan, cahaya terang

menyebabkan mata tertutup, juga mencakup perilaku emosional

seperti menagis bila sedih, luapan kegembiraan bila bahagia.

b. Operant respons atau instrumental respon merupakan respon yang

timbul dan berkembang oleh stimulus tertentu. Perangsang ini

disebut reinforcer artinya penguat. Seperti karyawan yang telah

bekerja dengan baik diberikan penghargaan atau hadiah dengan

harapan dapat meningkatkan kinerjanya.

Apabila dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka

perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:


28

a. Perilaku tertutup (convert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup

(convert). Respon ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk

tindakan nyata, yang mudah dapat diamati atau diobservasi secara

langsung oleh orang lain (Fitriani, 2011).

3. Pengertian Perilaku Kesehatan

Menurut WHO dalam Nursalam yang dimaksud dengan perilaku

kesehatan adalah aktifitas apa pun yang dilakukan oleh individu tanpa

memandang status kesehatan aktualnya maupun status kesehatan menurut

persepsi individu tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan,

melindungi atau mempertahankan kesehatannya tanpa

mempertimbangkan apakah perilaku tersebut efektif untuk mencapai

tujuan tersebut. Sedangkan menurut Skiner dalam Ayubi (2006)

menjelaskan bahwa perilaku kesehatan merupakan suatu respon individu

atau seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.


29

4. Klasifikasi Perilaku Kesehatan

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) perilaku kesehatan

diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan usaha yang dilakukan

oleh seseorang untuk memelihara kesehatannya atau menjaga

kesehatan agar tidak sakit dan melakukan usaha untuk penyembuhan

jika sakit.

b. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan merupakan respon seseorang

terhadap pencarian pengobatan yang menyangkut upaya atau

tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan.

c. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan merupakan respon

seseorang terhadap lingkungan sehingga lingkungan tersebut tidak

mempengaruhi kesehatannya yaitu dengan cara mengelola

lingkungannya agar tidak mengganggu kesehatan diri sendiri,

keluarga maupun masyarakat. Skiner dalam Notoatmodjo (2007).

5. Domain Perilaku

Menurut Bloom (1968) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan

bahwa, pengukuran terhadap perilaku kesehatan dapat dilihat dari domain

perilaku, yakni ada pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan

tindakan atau praktik (practice) ialah berikut:

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan melalui panca indera manusia


30

terhadap suatu objek. Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan yaitu:

1) Tahu

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali suatu yang spesifik dari materi yang dipelajari.

2) Memahami

Memahami dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan

secara tepat terhadap objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut dengan tepat.

3) Aplikasi

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada kondisi nyata. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai

aplikasi atau penerapan hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya.

4) Analisis

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen, yang berkaitan satu sama

lain.

5) Sintesis

Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih

dalam satu struktur organisasi dan berkaitan satu sama lain.


31

6) Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan

pada kriteria yang dilakukan sendiri ataupun menggunakan kriteria

yang ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Sungkar dkk (2010)

menjelaskan bahwa, intervensi melalui penyuluhan terhadap PSN

dapat berpengaruh pada peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa

Bayah, penelitian tersebut didapatkan hasil sebelum penyuluhan

sebanyak 11,3% pengetahuan baik, 24,5% pengetahuan cukup dan

64,2% berpengetahuan kurang namun, setelah dilakukan penyuluhan

didapatkan hasil bahwa 13,2% berpengetahuan baik, 35,8%

berpengetahuan cukup dan 50,9% berpengetahuan kurang.

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap stimulus atau objek. Allport dalam Fitriana (2011)

menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen yaitu, kepercayaan

terhadap objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek dan

kecenderungan untuk bertindak.

c. Praktek atau Tindakan

Setelah seseorang mengetahui stimulus kemudian mengadakan

penelitian atau pendapat terhadap apa yang diketahui yang selanjutnya

diharapkan akan mempraktekkan apa yang diketahui, seperti halnya

pencegahan terhadap DBD, diperlukan praktek atau tindakan


32

masyarakat dalam upaya menekan angka kejadian DBD salah satunya

melalui kegiatan PSN- DBD.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2009) menjelaskan

bahwa upaya praktek responden dalam pencegahan DBD di Kelurahan

Kramatpela mendapatkan hasil 17,8% keluarga termasuk dalam

kategori praktek baik, 57,5% keluarga termasuk dalam tingkat

kategori praktek cukup, dan 24,7% keluarga termasuk dalam tingkat

kategori praktek kurang. Hal ini menyebabkan masih tingginya angka

kejadian DBD yang terjadi di daerah RW 09 Kelurahan Kramatpela

karena masih banyak keluarga yang tidak melaksanakan kegiatan PSN

DBD secara sungguh-sungguh. Hal ini dapat dibuktikan bahwa

sebagian besar responden membiarkan pakaian kotor bergantungan di

belakang pintu, padahal hal tersebut dapat mendorong terjadinya

kejadian DBD karena nyamuk penyebab DBD menjadikan tempat

tersebut sebagai tempat transmisinya.

6. Teori Pembentukan Perilaku

Menurut teori Lawrence Green, terdapat 3 faktor yang

mempengaruhi terjadinya perilaku, yaitu:

a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor yang ada

dalam diri seseorang yang menyebabkan dia melakukan sesuatu, yaitu

pengetahuan, sikap, praktik, persepsi, usia, budaya dll.

b. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang

memungkinkan seseorang untuk berperilaku tertentu seperti adanya


33

sarana dan prasarana. Contoh: fasilitas kesehatan yang sarana tidak

mendukung (puskesmas sangat jauh dan sulit dijangkau) akan

berpengaruh pada kunjungan pelayanan kesehatan.

c. Faktor penguat atau pendukung (reinforcing factors), adalah faktor

yang memperkuat atau memberikan dukungan seseorang untuk

berperilaku,yaitu kebijakan yang ada. (Notoatmodjo, 2007)

C. Penelitian Terkait

Penelitian terkait telah dilakukan oleh Supriyanto (2011), penelitian

ini menggunakan pendekatan penelitian analitik observasional dengan

pendekatan case control tentang pengetahuan, sikap dan praktik keluarga

tentang pemberantasan nyamuk (PSN) terhadap kejadian demam berdarah

dengue. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 50 responden kelompok

kasus dan 50 responden kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan

dengan cara wawancara menggunkan kuisioner. Hasil penelitian ini

didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus didapatkan 50%

berpengetahuan PSN buruk, 76% tidak mendukung PSN , dan 36% memiliki

praktik PSN buruk. Sedangkan pada responden kelompok kontrol didapatkan

76% berpengetahuan PSN baik, 94% mendukung PSN dan 96% memiliki

praktik PSN baik. Sehingga, didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan (p= 0,007, OR= 3,17), sikap (p= 0,000, OR=

49,61), praktik (p= 0,000, OR= 13,5).


34

D. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori

Faktor predisposisi

Pengetahuan
Sikap
Praktik
Persepsi
Usia
Budaya

Faktor Pemungkin : Perilaku kesehatan

-Sarana dan Prasarana

Faktor Pendukung:

-Kebijakan Pemerintah

Sumber: Green dalam Notoatmodjo (2007).


35

Anda mungkin juga menyukai