[go: up one dir, main page]

0% found this document useful (0 votes)
37 views10 pages

Kearifan Lokal Dan Pengembangan Identitas Untuk Promosi Wisata Budaya Di Kabupaten Banyumas

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 10

Jurnal Pariwisata Terapan Vol. 4, No.

1, 2020
ISSN-2580-1031 (print) ISSN- 2580-104X (online)
https://jurnal.ugm.ac.id/jpt/article/view/50417
https://doi.org/10.22146/jpt.50417

Kearifan Lokal dan Pengembangan Identitas


untuk Promosi Wisata Budaya di Kabupaten
Banyumas
Triana Ahdiati 1, Solahuddin Kusumanegara 2

Affiliation
1,2
Jurusan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman

Correspondence
Triana Ahdiati. Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Brubahan, Grendeng,
Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah, 53122. Email: triana.ahdiati@unsoed.ac.id

Abstract
The development of local identity reflecting the local wisdom in the tourism development
aims at maximizing the local values in developing the area. This research-based paper
describes the local wisdom and the development of local identity to promote cultural
tourisme in Banyumas. By using a qualitative method and a case study as its approach,
the research reveals that the tourism development in the Banyumas regency has not
focused on the development of its local identity yet. Cablaka as the local identity of the
Banyumas society has not become the way of life. In this case, it has not absorbed into
every sector of the Banyumas people’ lives, including the tourism sector. The local
wisdom in the tourism development is important for a society–including the Banyumas
society–to get a better regional income. It means the tourism develoment through
implementating the local wisdom is able to improve the life condition of a society better
than before. So, the tourism development–especially promoting the cultural tourism–in
the Banyumas regency does need to develop the local identity through its local values.

Keywords: Local wisdom; Local identity; Cultural tourism; Development.

Article Information
Submitted 21 May 2019 | Revised 13 December 2019 | Accepted 3 September 2020

Recommended Citation: Ahdiati, T., Kumumanegara, S. (2020). Kearifan Lokal dan


Pengembangan Identitas untuk Promosi Wisata Budaya di Kabupaten Banyumas. Jurnal
Pariwisata Terapan, 4(1), 25-34. https://doi.org/10.22146/jpt.50417

Copyright © 2020 by the author(s). This article is published by Universitas Gadjah Mada, Indonesia under
the Creative Commons Attribution (CC BY 4.0) license. Anyone may reproduce, distribute, translate, and
create derivative works of this article (for both commercial and noncommercial purposes), subject to full
attribution to the original publication and author(s). The full terms of this license may be seen at
http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/legalcod

25
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Pendahuluan
Para ahli antropologi sering menyebut kebudayaan sebagai blueprint karena hakikat
kebudayaan itu sendiri yang menjadi pedoman menyeluruh bagi kehidupan manusia.
Seperti yang diungkapkan oleh Parsudi Suparlan: “Kebudayaan sebagai pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya ialah perangkat-perangkat model-model
pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para pendukung/ pelakunya untuk
mengintepretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi
atau pedoman untuk bertingak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan)
sesuai dengan lingkungan yang dihadapi” (Suparlan, 1986: 106).

Kebudayaan menjadi patokan hidup bagi masyarakat sebagai pelakunya. Lebih jauh
kebudayaan mencakup keyakinan-keyakinan, norma-norma, nilai-nilai, asumsi-asumsi,
pengharapan-pengharapan dan rencana-rencana tindakan yang mewarnai masyarakat
pemangku/ pelaku kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan itu dipelajari,
dibagikan/ disebarluaskan, dan diadaptasi. Kebudayaan pun merupakan sebuah sistem yang
dinamis yang dapat berubah secara terus menerus sepanjang masa (Spradley & Rynkiewich,
1975: 7-8).

Dalam kehidupan nyata, kebudayaan diwujudkan dalam tindakan-tindakan sehari-hari oleh


masyarakat setempat sebagai penggunanya. Hal ini hanya mungkin terjadi karena adanya
pranata-pranata sosial yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Pranata sosial sendiri
merupakan: “sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud
sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial utama tertentu,
yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang bersangkutan” (Suparlan, 1986:
108).

Sementara itu, sebuah kebudayaan yang dijadikan blueprint oleh masyarakat setempat
tidaklah diwariskan secara genetik. Kebudayaan dipahami dan melekat pada manusia
sebagai anggota masyarakat suatu daerah setelah kelahirannya melalui proses belajar. Hal
itu terjadi karena manusia mempunyai kemampuan untuk membuat dana memahami ide-
ide yang abstrak serta mewujudkan kelakuan simbolik, yang mencerminkan kebudayaan
yang digunakannya. Kemampuan manusia dalam mempelajari dan menggunakan
kebudayaannya tersebut didasari oleh bahasa yang dimilikinya (Suparlan, 1986: 108).

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang diyakini
oleh masyarakat penggunanya. Nilai–dalam hal ini, nilai budaya–merupakan konsepsi-
konsepsi yang diinginkan. Artinya, nilai-nilai budaya menjadi asumsi-asumsi yang
membentuk setiap aspek dalam kehidupan masyarakat. Karena hakikat nilai budaya
merupakan “a total framework which provides an integrated conception of reality” (Spradley
& Rynkiewich, 1975: 361-362), maka nilai budaya itu sendiri pun berfungsi menyatukan
manusia sebagai individu-individu dalam sebuah masyarakat. Namun karena hakikat
manusia sebagai individu itu sendiri unik, maka selain dapat menyatukan masyarakat, nilai
budaya sebagai sektor kebudayaan utama pun dapat menciptakan konflik ketika sektor-
sektor kebudayaan lain dan masyarakat penggunanya berubah pada tingkat kecepatan yang
berbeda.

26
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Karena nilai budaya merupakan kerangka pemikiran total masyarakat yang meyakininya,
yang berarti juga menjadi inti kebudayaan masyarakat penggunanya, maka nilai budaya pun
menjadi identitas masyarakat tersebut. Dalam hal ini identitas menjadi ciri yang
membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Ini terjadi karena identitas itu
sendiri “socially constructed and culturally defined” (Segal, 1997: 184). Hal ini berarti bahwa
identitas merupakan ciri/ karakteristik yang mewakili sebuah masyarakat sebagai kelompok
etnis yang berbeda karena kedaerahannya, yang berarti pula menjadi karakteristik lokal
suatu masyarakat. “An ‘ethnic group’ is supposed to be a cultural category, of which there
are said to be certain continuing behaviours that are passed on from generation to
generation and that are not normally linked in theory to state boundaries” (Wallerstein,
1991: 77).

Bagi masyarakat Banyumas, yang juga sebagai pemilik dan pengguna kebudayaan
Banyumas, nilai Budaya yang diyakininya adalah nilai budaya yang mencerminkan
karakteristik budaya Banyumasan. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah Jawa
Tengah lainnya yang berada di daerah sebelah timur (baik yang melalui arah utara maupun
selatan) Banyumas, masyarakat Banyumas memiliki karakteristik yang unik, yang
dipengaruhi oleh setting keberadaan masyarakatnya, baik secara geografis maupun historis.
Nilai budaya yang menjadi karakteristik utama masyarakat Banyumas adalah nilai blaka suta
(keterusterangan). Nilai inilah seharusnya yang menjadi dasar bagi pengembangan
pariwisata sebagai bagian dari pembangunan daerah Banyumas.

Sebagai bagian dari pembangunan, pengembangan pariwisata di daerah Banyumas, seperti


juga di daerah-daerah lainnya, harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi. Ini
terjadi karena pariwisata itu sendiri terdefinisi sebagai “the sum of the phenomena and
relationships arising from the interaction of tourists, business suppliers, host governments,
and host communities in the process of attracting and hosting these tourists and other
visitors” (McIntosh, Goeldner & Ritchie, 1995: 10). Di sini, terlihat ada 4 (empat) unsur
utama sebagai perspektif masing-masing yang berbeda yang mempengaruhi keberhasilan
pengembangan pariwisata di sebuah daerah:

1. Wisatawan, yaitu mereka yang mencari pengalaman dan kepuasan fisik dan psikis,
yang menetukan tujuan yang dipilih dan aktivitas yang dinikmati.
2. Pengusaha/ wiraswastawan, yaitu mereka yang menyediakan barang-barang dan
layanan jasa wisata, yang melihat pariwisata sebagai sebuah kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan dengan menyediakan barang-barang dan layanan yang
diminati pasaran wisata.
3. Pemerintah Daerah, yaitu para politisi yang melihat pariwisata sebagai faktor
kemakmuran dalam ekonomi yurisdiksi mereka, di mana perspektif mereka
dihubungkan dengan penghasilan warga sekitar yang didapat dari bisnis mereka
masing-masing.
4. Masyarakat setempat, yaitu masyarakat lokal yang biasanya melihat pariwisata
sebagai faktor budaya dan ketenagakerjaan, yang bisa pula menjadi ajang relasi-
relasi antara pengunjung mancanegara dengan penduduk sekitar, baik relasi yang
mendatangkan keuntungan maupun relasi yang mendatangkan kerugian.

27
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Di Kabupaten Banyumas, pariwisata belum dikembangkan secara optimal dan masih


merupakan sektor yang kurang signifikan dalam mendukung otonomi daerah. Berdasarkan
pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2018, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Banyumas tahun 2018 adalah sebesar 49,896 trilyun rupiah. Sektor-sektor
penyumbang yang besar adalah sebagai berikut: 1) Industri pengolahan (24,34%); 2)
Perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (15,28 %); 3) Konstruksi
(13,25%); 4) Pertanian, kehutanan dan perikanan (12,37%) (BPS Kabupaten Banyumas,
2019: 188 & 190). Secara rinci, gambaran sektor-sektor penyumbang PDRB tergambar dalam
Tabel 1.

Tabel 1. PDRB Kabupaten Banyumas Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
(juta rupiah dan persentasenya) Tahun 2018

Sektor Jumlah Persentase


Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.351.391,20 12,73
Pertambangan dan Penggalian 2.854.729,86 5,72
Industri Pengolahan 12.143.970,93 24,34
Listrik dan Gas 47.242,35 0,09
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 37.158,97 0,07
Konstruksi 6.613.480,83 13,25
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7.624.997,48 15,28
Transportasi dan Pergudangan 1.743.295,09 3,49
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1.645.170,25 3,30
Informasi dan Komunikasi 2.325.242,06 4,66
Jasa Keuangan dan Asuransi 1.609.030,80 3,22
Real Estate 1.099.535,56 2,20
Jasa Perusahaan 154.803,08 0,31
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 1.527.189,02 3,06
Jasa Pendidikan 2.750.600,83 5,51
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 496.947,46 1,00
Jasa lainnya 871.340,98 1,75
TOTAL 49.896.126,75 100,00
(Sumber: BPS Kabupaten Banyumas, 2019: 188 & 190)

Implementasi pengembangan wisata di Kabupaten Banyumas masih berorientasi pada


wisata alam–terutama di Baturraden–yang dipandang memberikan kontribusi besar bagi
pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu, muncul keunikan dalam pengembangan
wisata budaya. Di satu sisi, wisata budaya masih belum bisa dikembangkan dengan alasan
fasilitas dan sarana yang ditampilkan belum mempunyai daya tarik tinggi, namun pada sisi
lainnya wisata budaya dianggap sebagai kekuatan pariwisata sehingga perlu untuk
dikembangkan. Dengan demikian, ditemukan kontradiksi sikap pemerintah dalam
mengembangkan wisata budaya.

Jika upaya pengembangan wisata budaya berarti menggali identitas lokal dan
memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi masyarakat maka dapat dikatakan bahwa
Pemerintah Kabupaten Banyumas bersikap kontradiktif dalam mengembangkan identitas
lokal yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung otonomi daerah melalui
promosi wisata budaya. Dikaitkan dengan pentingnya pariwisata bagi penguatan otonomi
daerah saat ini, maka kiranya cukup urgen untuk mengeksplorasi lebih jauh pengembangan
identitas lokal untuk mempromosikan wisata budaya di Kabupaten Banyumas.

28
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Metode
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan metode penelitian kualitatif.
Sementara pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi; dan studi
dokumen. Data yang sudah terkumpul dianalisa dengan menggunakan model analisis
interaktif dari Miles and Huberman (1992). Untuk mendapatkan kesimpulan yang sahih,
maka hasil analisis data divalidasi lagi dengan teknik triangulasi (Lincoln & Guba 1984;
Moleong 2009).

Hasil dan Pembahasan


Promosi Wisata Budaya di Kabupaten Banyumas
Promosi wisata budaya di Kabupaten Banyumas belum benar-benar dilaksanakan dengan
baik karena promosi tersebut masih bersifat bisnis dan umum, belum ada program khusus
tentang promosi wisata budaya yang masuk dalam peraturan daerah. Promosi wisata yang
ada di Kabupaten Banyumas selama ini didasarkan pada Perda No.9 Tahun 1993 Tentang
Promosi Wisata Daerah. Dalam Perda (1f) disebutkan bahwa “promosi pariwisata daerah
adalah upaya dan kegiatan secara sistematis yang dilaksanakan oleh Daerah (Kabupaten
Dati II Banyumas) guna merangsang masyarakat agar menggunakan waktu luangnya untuk
melakukan perjalanan wisata di dan ke daerahnya”. Teknik promosi meliputi (4,5,6,7): 1)
pemasangan iklan (media cetak, elektronik dan ruang terbuka); 2) pengadaan sarana
pendukung penjualan (folder, rekaman suara bergambar, peragaan, dll); 3) hubungan
masyarakat (widyawisata pengenalan, keikutsertaan dalam kegiatan wisata di dalam dan di
luar negeri, humas dengan stakeholders, pementasan festival seni budaya dll, pelayanan
informasi kepariwisataan). Sementara itu, penyelenggaraan promosi wisata merupakan
wewenang dan tanggung jawab Dinas Pariwisata atas nama Bupati (8). Dinas dapat
menyertakan pihak ketiga dalam promosi wisata. Penyelenggaraan promosi ke luar negeri
dilakukan dibawah koordinasi Dirjen Pariwisata.

Selama ini, banyak daerah yang mempromosikan budayanya ke luar negeri. Kontingen
budaya Banyumas pernah sekali melawat ke Madrid (Spanyol), tetapi itu pun dibiayai oleh
Depparbud, Jakarta. Dari Disparbud Banyumas sendiri, tidak pernah mempromosikan
budaya Banyumas sampai ke luar negeri. Selama ini Disparbud Banyumas lebih berorientasi
pada kegiatan promosi yang bernuansa proyek, yang secara instant bisa menghasilkan uang
bagi aparat, misalnya Prosesi Hari Ulang Tahun Kabupaten Banyumas yang dilakukan setiap
tahun. Prosesi HUT Kabupaten Banyumas (yang dimulai dari Kotatif sampai alun-alun) tidak
tumbuh dalam masyarakat, tetapi sengaja diadakan oleh pemerintah. Ironisnya, tidak ada
turis yang muncul dan masyarakat Banyumas sendiri jarang yang berminat datang untuk
melihat/ menonton prosesi tersebut. Beda dengan tradisi Jaru Rojab di Kalisalak yang
acaranya tidak dikemas dan dihadiri oleh pemerintah, tetapi justru ramai dikunjungi oleh
masyarakat. Jelas terlihat di sini bahwa wisata budaya lebih dihargai pada hal-hal yang
besifat ritual keagamaan/ kepercayaan. Dalam hal ini, identitas lokal sebagai refleksi nilai-
nilai budaya daerah lebih dipahami sebagai bagian dari hal-hal yang lebih dipengaruhi oleh
nilai-nilai keagamaan/ kepercayaan, tidak lagi pada nilai budaya Banyumas itu sendiri.

29
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Pengembangan Identitas Lokal


Identitas lokal orang Banyumas adalah Cablaka. Cablaka bermakna apa adanya, apa
mestinya; identik atau selaras dengan apa yang disebut transparansi. Bagi orang Banyumas–
seperti halnya orang Jawa, pada umumnya–nama mempunyai makna. Misalnya, ada nama
Senin karena lahirnya hari Senin. Daldiri berarti medal (keluar) sendiri, karena pada waktu
itu belum ada bidan, sehingga mbabar (melahirkan) sendiri. Nama Slamet dimaksudkan
supaya selamat. Sementara Bawor yang menjadi ikon Banyumas selama ini bermakna tiba
awor, yang artinya mudah adaptasi (mudah menyesuaikan dengan perubahan, awor-umor).
Bawor juga berarti blakasuta (apa adanya, terbuka, transparan), antep (seperti nada bicara
yang mantap), wanteg (tidak mudah terpolusi dengan bahasa apapun), omber (mampu
menirukan bahasa-bahasa yang lain), rageg atau reang (kalau berbicara berisik). Dalam
dunia pewayangan, tokoh Bawor dikesankan bersifat cablaka, merakyat (orang yang bisa
berkomunikasi ke atas maupun ke bawah) dan tidak tinggi diri. Wayang Bawor hanya ada
dalam Wayang Banyumasan. Figur Bawor lain dengan Bagong.

Nilai cablaka tercermin dalam wisata budaya Banyumas. Misalnya, nilai cablaka dalam
begalan dan kesenian Banyumas lainnya tercermin dalam iramanya yang mantap. Namun
demikian, nilai-nilai budaya Banyumas belum tercermin seluruhnya dalam wisata budaya,
sehingga para wisatawan belum dapat membedakan budaya Banyumas dengan budaya
Jawa pada umumnya. Hal ini terjadi karena potensi wisata budaya Banyumas belum benar-
benar digali dan dikembangkan. Penggalian potensi wisata budaya yang dikembangkan dan
menghasilkan PAD bisa menunjang kehidupan masyarakat setempat agar bisa lebih baik dan
sejahtera.

Budaya Banyumas–khususnya kesenian dan tradisinya–bisa dijual untuk memperoleh PAD


seperti di Bali, asalkan ada perluasan informasi mengenai budaya Banyumas yang keluar
melalui berbagai cara. Namun saat ini, penghargaan terhadap nilai seni dan budaya di
Banyumas saja masih rendah. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen para pemimpin dan
stakeholders pariwisata untuk mengembangkan budaya Banyumas itu sendiri. Dalam
pertunjukan kuda lumping, misalnya, satu paket Ebeg hanya dibayar murah. Padahal
pelakunya berjumlah 30 orang, belum sound system dan lain-lain. Satu orang kira-kira
hanya mendapat beberapa ribu saja untuk satu hari pertunjukan. Selain itu, perhatian
terhadap kualitas kesenian masih rendah. Misalnya, pertunjukan Ebeg sampai sekarang
masih memakai karung goni sebagai ornamennya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi
di Bali, di mana wisata budaya telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat
setempat. Selain itu, hukum adat yang berlaku dan sudah terlembaga pun bisa mendukung
keberadaan nilai-nilai lokal yang digali dalam pengembangan wisata budaya di Bali.
Sedangkan hukum adat di Banyumas belum ada yang terlembaga sebagaimana di Bali, yang
ada hanyalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Kearifan Lokal Dalam Pariwisata


Dalam kehidupan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Banyumas, identitas lokal–cablaka-
tidak jelas tercermin. Menurut informan, itu tergantung pada kepribadian personal dan
sejauh mana pengaruh lingkungan terhadap birokrasi dan kepribadian aktor-aktornya.
Dalam interaksi kehidupan sosial masyarakat Banyumas, identitas lokal tersebut masih ada/
bisa ditemukan di beberapa tempat. Di beberapa desa, misalnya, masih ada tradisi yang
disebut pinggelan. Tradisi ini tercermin dalam sebuah hajatan. Bila ada hajatan, maka yang

30
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

mengundang hajatan meminta jenis barang yang mau disumbangkan berikut jumlahnya
kepada yang diundang secara terus terang (“ngarani”). Nanti pada saat yang diundang
mempunyai hajatan, dibalas dengan sumbangan yang sama dan serupa dengan yang pernah
disumbangkannya terdahulu. Tapi ada pula yang mengundang hajatan tetapi tidak ngarani
hanya meminta secara terus terang yang bersangkutan memerlukan bantuan. Dalam
kehidupan birokrasi dan masyarakat, budaya terus terang itu sebenarnya ada tetapi bentuk
perwujudannya diperhalus. Misalnya, pada saat pemilihan kepala desa (pilkades),
permohonan kepada voters dinyatakan melalui beberapa orang dekat

Budaya Banyumas merupakan subbudaya Jawa. Oleh karena itu, budaya Banyumas masih
berada dalam lingkup budaya Jawa pada umumnya. Dalam berinteraksi dengan masyarakat,
misalnya, kaum priyayi Banyumas (yang kebanyakan mengisi birokrasi pemerintahan) masih
mengenal nilai feodalisme yang dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial. Sementara
masyarakat pun masih berorientasi pada priyayi/ pegawai negeri. Misalnya, ada kata-kata:
anakku sing sugih lan singgih (kehormatan karena jabatan); atau kowe nganah dadi pegawai
negeri ora ketang gajieh sekethip tapi kan nduwe setrip (jadi pegawai negeri saja, meskipun
gajinya sedikit tapi kan punya pangkat). Kehidupan birokrasi di Kabupaten Banyumas masih
berprinsip “ngono yo ngono ning ojo ngono”.

Ketidakterusterangan tercermin dalam proses pembuatan kebijakan pengembangan


pariwisata di Kabupaten Banyumas. Anggaran untuk pengembangan pariwisata dipandang
tidak transparan karena tidak mencantumkan indikator-indikator yang jelas dalam hasil-hasil
kegiatan yang telah dilakukan pemerintah (lihat dokumen anggaran). Berkenaan dengan
soal anggaran, salah satu narasumber mengungkapkan bahwa Dinas Pemuda dan Olahraga
Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas selalu ditekan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas. Ibarat mobil, gasnya
diinjak tapi koplingnya juga diinjak, jadi hanya menimbulkan suara mbengung. Di satu
pihak, Komisi A dari DPRD Kabupaten Banyumas banyak melakukan pemotongan anggaran
yang telah dibuat oleh Dinporabudpar. Namun di lain pihak, Komisi D dari DPRD Kabupaten
Banyumas meminta Dinporabudpar untuk menaikkan targetnya dalam upaya
pengembangan pariwisata di Kabupaten Banyumas. Padahal di lingkungan birokrasi
(termasuk bagian promosi wisata), tidak ada mekanisme reward and punishment
(penghargaan dan sanksi). Jika target terpenuhi (padahal target naik setiap tahunnya), tidak
ada reward. Namun jika target tidal terpenuhi, ada punishment. Selain itu, selama ini tidak
pernah ada evaluasi kebijakan pengembangan pariwisata yang melibatkan stakeholders baik
di dalam maupun di luar pemerintah, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI), Biro Perjalanan Wisata (BPW), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), dan masyarakat
setempat.

Fokus pemerintah dalam pengembangan pariwisata–di Baturraden, misalnya, yang menjadi


objek wisata unggulan di Kabupaten Banyumas–adalah aspek bisnis. Misalnya, pembinaan
masyarakat seperti sopir angkutan umum, pemilik warung, dan sebagainya). Pembinaan
terhadap pengusaha warung, misalnya, difokuskan pada permintaan untuk mencantumkan
harga-harga secara jelas kepada pelanggan. Tarif menu harus dipasang di setiap warung.
Hal ini dimaksudkan agar wisatawan tidak “lari” dari Baturraden. Di sini, terlihat bahwa
penekanan pada aspek bisnis hanya berimplikasi pada kepentingan jangka pendek.
Sementara kepentingan jangka panjang hanya bisa dipenuhi dengan memberi fokus

31
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

pengembangan pariwisata pada pengembangan nilai-nilai budaya. Dalam hal ini,


pengembangan identitas lokal menjadi signifikan dalam pengembangan pariwisata.

Tidak adanya transparansi anggaran untuk pengembangan wisata di Kabupaten Banyumas


terjadi karena tidak adanya pemahaman yang menyeluruh tentang prioritas dan
sustainabilitas pengembangan wisata–khususnya budaya–yang berdasarkan identitas lokal.
Ketidaktahuan akan signifikansi identitas lokal menyebabkan kebijakan lebih dibuat dan
diberlakukan secara pragmatis (market demand). Jadi semakin jelas bahwa kebijakan
pengembangan pariwisata lebih dibuat dan diberlakukan untuk kepentingan jangka pendek.
Pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat (di sekitar objek wisata)
sebenarnya sudah jelas. Ada pembinaan untuk memproduksi barang-barang dan memberi
peluang pemasarannya–menghubungi keyperson/s di Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
misalnya–tetapi hasilnya masih kurang efektif. Tampaknya masyarakat hanya menyadari
nilai bisnisnya, bukan menyadari nilai budayanya. (Contoh: penjualan bunga-bunga tiruan/
artifisial, baik dalam ukuran aslinya maupun dalam bentuk miniatur. Dalam hal ini, pihak
Disparbud menghimbau para wisatawan dengan memberikan peringatan tertulis untuk
tidak membeli bunga-bunga tiruan tersebut. Selain untuk melindungi para wisatawan dari
tindakan penipuan, upaya ini juga bertujuan untuk melindungi para pedagang yang menjual
bunga-bunga asli supaya tidak merugi.)

Di objek wisata alam, budaya – dalam hal ini kesenian dan tradisi - hanya bersifat
komplementer karena hanya berfungsi sebagai hiburan saja/ sekedar tontonan. Di satu sisi,
misalnya, pertunjukan lengger dan ebeg jarang digelar. Namun di sisi lain, terutama hari
Minggu, pertunjukan konser dangdut sering digelar untuk menyedot pengunjung di objek
wisata tersebut. Jadi sepertinya tidak ada nuansa Banyumas di Baturraden/ objek wisata
alam lainnya. Untuk pertunjukan musik, misalnya, hotel-hotel di Kawasan Wisata
Baturraden/ Banyumas menyuguhkan lagu-lagu asing untuk menyambut wisatawan, bukan
memperdengarkan tembang-tembang Banyumasan. Bahkan pertunjukan tari yang digelar
bukan tari-tarian Banyumasan, melainkan tarian asing seperti striptease dan sebagainya.
Selain itu, fasilitas khusus/ istimewa yang diberikan oleh penginapan-penginapan yang ada
di kawasan wisata tersebut lebih bernuansa modern daripada tradisional. Hotel Queen
Garden, misalnya, menyediakan fasilitas diskotik yang diberi nama Lengger Diskotik. Selama
ini nampaknya upaya promosi (atau tindakan pemerintah seperti sosialisasi) belum sampai
ke sana.

Kesimpulan
Cablaka sebagai refleksi dari nilai budaya Banyumas belum menyatu dengan gaya hidup
wisata pelaku/ pengguna kebudayaan Banyumas. Ini berarti nilai budaya cablaka pun belum
sepenuhnya menjadi identitas lokal Banyumas yang menjiwai kehidupan masyarakatnya di
berbagai sektor kegiatan, termasuk sektor pariwisata. Padahal identitas lokal dalam
pengembangan pariwisata – khususnya promosi wisata budaya - bukan hanya soal seperti
apa kesenian dan tradisinya, tapi juga bagaimana nilai-nilai lokal masuk dalam program
pengembangan pariwisata itu sendiri.

Promosi wisata budaya yang dilakukan selama ini lebih bertumpu kepada promosi hasil-hasil
kebudayaan, bukan nilai-nilai budaya yang mendasari kegiatan budaya/ kebudayaan
Banyumas itu sendiri. Padahal yang penting dan pokok dalam pengembangan pariwisata –

32
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

khususnya promosi wisata budaya– di Kabupaten Banyumas adalah bukan hanya tentang
bagaimana institusi-institusi pengembangnya bisa menyuguhkan kesenian dan tradisi
Banyumas, tetapi juga tentang bagaimana kesenian dan tradisi Banyumas itu sendiri bisa
diterima oleh para wisatawan. Dalam hal ini, bagaimana identitas lokal sebagai refleksi dari
kebudayaan Banyumas itu sendiri mampu melawan arus kuat globalisasi. Tidak adanya
upaya untuk mengembangkan identitas lokal terjadi karena identitas lokal itu sendiri belum
dipahami secara benar dan serius oleh institusi-institusi pengembang yang berwenang.
Sementara pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat (di sekitar objek
wisata) lebih difokuskan pada hal-hal yang bersifat material, bukan pada nilai-nilai/ hal-hal
yang bersifat substansial. Hal inilah yang menyebabkan pengembangan pariwisata –
khususnya wisata budaya– di Kabupaten Banyumas belum dapat mencapai hasil yang baik
dan bermanfaat bagi pelaku dan pengguna kebudayaan Banyumas itu sendiri.

Jadi jelas bahwa pengembangan identitas lokal yang mencerminkan kearifan lokal suatu
daerah adalah penting dan menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses
pengembangan pariwisata di Kabupaten Banyumas. Pengembangan pariwisata di
Kabupaten Banyumas melalui promosi wisata budayanya menjadi hak dan tanggung jawab
semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Dengan kata lain, promosi wisata budaya
harus bersifat demokratis. Dalam hal ini, promosi wisata budaya harus dilakukan ‘oleh’,
‘dari’, dan ‘untuk’ keempat unsur utama dalam pengembangan pariwisata di suatu daerah,
yaitu: wisatawan, pengusaha/ wiraswastawan, pemerintah daerah dan masyarakat
setempat.

Daftar Pustaka
Anonymous, 2000. Analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats)
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyumas. Purwokerto: Diparta Kabupaten
Banyumas.
BPS, 2004. Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2004. Purwokerto: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas.
Eagleton, Terry, 2000. The Idea of Culture. Oxford: Blackwell Publishers.
Gertler, Len, 1992. “Linkage Between Past, Present and Future”. Dalam Wiendu Nuryanti
(chief-ed.), Universal Tourism Enriching or Degrading Culture? (Proceedings on the
International Conference on Cultural Tourism). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hill, Hall. “The Economy”, dalam Hill, Hall (ed), 1994, Indonesia`s New Order: The Dynamics
of Socio-Economics Transformation. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd.
Huttington, Samuel P., 2000. “Cultures Count”. Dalam Lawrence E. Harrison & Samuel P.
Huttington (eds.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress. New York:
Basic Books.
Lincoln, Yvonna dan Egon G. Guba, 1984. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, London: Sage
Publications.
McIntosh, Robert W., Charles R. Goeldner & J.R. Brent Richie, 1995. Tourism: Principles,
Practices, Philosophies; Seventh Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Miles, B. Matthew dan A. Michael Huberman (terjemahan), 1994. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J., 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

33
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara

Spradley, James P. & Michael A. Rynkiewich, eds., 1975. The Nacirema. Boston,
Massachussetts: Little, Brown and Company.
Suparlan, Parsudi, (tanpa tahun). “Kebudayaan dan Pembangunan”. Dalam Kajian-Kajian
Antropologi Masa Kini: Suatu Bunga Rampai; Media IKA. Jakarta IKA UI.
Susanto, Hery, dkk, 2003. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal: Pikiran Serta Konsepsi
Syaukani HR. Jakarta: Millenium Publisher.
Wallerstein, Immanuel, 1991. “The Construction of Peoplehood: Racism, Nationalism,
Ethnicity”. Dalam Etienne Balibar & Immanuel Wallerstein (eds.), Race, Nation,
Class: Ambiguous Identities; English Language Edition. London: Verso.

34
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020

You might also like