Kearifan Lokal Dan Pengembangan Identitas Untuk Promosi Wisata Budaya Di Kabupaten Banyumas
Kearifan Lokal Dan Pengembangan Identitas Untuk Promosi Wisata Budaya Di Kabupaten Banyumas
Kearifan Lokal Dan Pengembangan Identitas Untuk Promosi Wisata Budaya Di Kabupaten Banyumas
1, 2020
ISSN-2580-1031 (print) ISSN- 2580-104X (online)
https://jurnal.ugm.ac.id/jpt/article/view/50417
https://doi.org/10.22146/jpt.50417
Affiliation
1,2
Jurusan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman
Correspondence
Triana Ahdiati. Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Brubahan, Grendeng,
Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah, 53122. Email: triana.ahdiati@unsoed.ac.id
Abstract
The development of local identity reflecting the local wisdom in the tourism development
aims at maximizing the local values in developing the area. This research-based paper
describes the local wisdom and the development of local identity to promote cultural
tourisme in Banyumas. By using a qualitative method and a case study as its approach,
the research reveals that the tourism development in the Banyumas regency has not
focused on the development of its local identity yet. Cablaka as the local identity of the
Banyumas society has not become the way of life. In this case, it has not absorbed into
every sector of the Banyumas people’ lives, including the tourism sector. The local
wisdom in the tourism development is important for a society–including the Banyumas
society–to get a better regional income. It means the tourism develoment through
implementating the local wisdom is able to improve the life condition of a society better
than before. So, the tourism development–especially promoting the cultural tourism–in
the Banyumas regency does need to develop the local identity through its local values.
Article Information
Submitted 21 May 2019 | Revised 13 December 2019 | Accepted 3 September 2020
Copyright © 2020 by the author(s). This article is published by Universitas Gadjah Mada, Indonesia under
the Creative Commons Attribution (CC BY 4.0) license. Anyone may reproduce, distribute, translate, and
create derivative works of this article (for both commercial and noncommercial purposes), subject to full
attribution to the original publication and author(s). The full terms of this license may be seen at
http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/legalcod
25
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Pendahuluan
Para ahli antropologi sering menyebut kebudayaan sebagai blueprint karena hakikat
kebudayaan itu sendiri yang menjadi pedoman menyeluruh bagi kehidupan manusia.
Seperti yang diungkapkan oleh Parsudi Suparlan: “Kebudayaan sebagai pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya ialah perangkat-perangkat model-model
pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para pendukung/ pelakunya untuk
mengintepretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi
atau pedoman untuk bertingak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan)
sesuai dengan lingkungan yang dihadapi” (Suparlan, 1986: 106).
Kebudayaan menjadi patokan hidup bagi masyarakat sebagai pelakunya. Lebih jauh
kebudayaan mencakup keyakinan-keyakinan, norma-norma, nilai-nilai, asumsi-asumsi,
pengharapan-pengharapan dan rencana-rencana tindakan yang mewarnai masyarakat
pemangku/ pelaku kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan itu dipelajari,
dibagikan/ disebarluaskan, dan diadaptasi. Kebudayaan pun merupakan sebuah sistem yang
dinamis yang dapat berubah secara terus menerus sepanjang masa (Spradley & Rynkiewich,
1975: 7-8).
Sementara itu, sebuah kebudayaan yang dijadikan blueprint oleh masyarakat setempat
tidaklah diwariskan secara genetik. Kebudayaan dipahami dan melekat pada manusia
sebagai anggota masyarakat suatu daerah setelah kelahirannya melalui proses belajar. Hal
itu terjadi karena manusia mempunyai kemampuan untuk membuat dana memahami ide-
ide yang abstrak serta mewujudkan kelakuan simbolik, yang mencerminkan kebudayaan
yang digunakannya. Kemampuan manusia dalam mempelajari dan menggunakan
kebudayaannya tersebut didasari oleh bahasa yang dimilikinya (Suparlan, 1986: 108).
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang diyakini
oleh masyarakat penggunanya. Nilai–dalam hal ini, nilai budaya–merupakan konsepsi-
konsepsi yang diinginkan. Artinya, nilai-nilai budaya menjadi asumsi-asumsi yang
membentuk setiap aspek dalam kehidupan masyarakat. Karena hakikat nilai budaya
merupakan “a total framework which provides an integrated conception of reality” (Spradley
& Rynkiewich, 1975: 361-362), maka nilai budaya itu sendiri pun berfungsi menyatukan
manusia sebagai individu-individu dalam sebuah masyarakat. Namun karena hakikat
manusia sebagai individu itu sendiri unik, maka selain dapat menyatukan masyarakat, nilai
budaya sebagai sektor kebudayaan utama pun dapat menciptakan konflik ketika sektor-
sektor kebudayaan lain dan masyarakat penggunanya berubah pada tingkat kecepatan yang
berbeda.
26
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Karena nilai budaya merupakan kerangka pemikiran total masyarakat yang meyakininya,
yang berarti juga menjadi inti kebudayaan masyarakat penggunanya, maka nilai budaya pun
menjadi identitas masyarakat tersebut. Dalam hal ini identitas menjadi ciri yang
membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Ini terjadi karena identitas itu
sendiri “socially constructed and culturally defined” (Segal, 1997: 184). Hal ini berarti bahwa
identitas merupakan ciri/ karakteristik yang mewakili sebuah masyarakat sebagai kelompok
etnis yang berbeda karena kedaerahannya, yang berarti pula menjadi karakteristik lokal
suatu masyarakat. “An ‘ethnic group’ is supposed to be a cultural category, of which there
are said to be certain continuing behaviours that are passed on from generation to
generation and that are not normally linked in theory to state boundaries” (Wallerstein,
1991: 77).
Bagi masyarakat Banyumas, yang juga sebagai pemilik dan pengguna kebudayaan
Banyumas, nilai Budaya yang diyakininya adalah nilai budaya yang mencerminkan
karakteristik budaya Banyumasan. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah Jawa
Tengah lainnya yang berada di daerah sebelah timur (baik yang melalui arah utara maupun
selatan) Banyumas, masyarakat Banyumas memiliki karakteristik yang unik, yang
dipengaruhi oleh setting keberadaan masyarakatnya, baik secara geografis maupun historis.
Nilai budaya yang menjadi karakteristik utama masyarakat Banyumas adalah nilai blaka suta
(keterusterangan). Nilai inilah seharusnya yang menjadi dasar bagi pengembangan
pariwisata sebagai bagian dari pembangunan daerah Banyumas.
1. Wisatawan, yaitu mereka yang mencari pengalaman dan kepuasan fisik dan psikis,
yang menetukan tujuan yang dipilih dan aktivitas yang dinikmati.
2. Pengusaha/ wiraswastawan, yaitu mereka yang menyediakan barang-barang dan
layanan jasa wisata, yang melihat pariwisata sebagai sebuah kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan dengan menyediakan barang-barang dan layanan yang
diminati pasaran wisata.
3. Pemerintah Daerah, yaitu para politisi yang melihat pariwisata sebagai faktor
kemakmuran dalam ekonomi yurisdiksi mereka, di mana perspektif mereka
dihubungkan dengan penghasilan warga sekitar yang didapat dari bisnis mereka
masing-masing.
4. Masyarakat setempat, yaitu masyarakat lokal yang biasanya melihat pariwisata
sebagai faktor budaya dan ketenagakerjaan, yang bisa pula menjadi ajang relasi-
relasi antara pengunjung mancanegara dengan penduduk sekitar, baik relasi yang
mendatangkan keuntungan maupun relasi yang mendatangkan kerugian.
27
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Tabel 1. PDRB Kabupaten Banyumas Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
(juta rupiah dan persentasenya) Tahun 2018
Jika upaya pengembangan wisata budaya berarti menggali identitas lokal dan
memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi masyarakat maka dapat dikatakan bahwa
Pemerintah Kabupaten Banyumas bersikap kontradiktif dalam mengembangkan identitas
lokal yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung otonomi daerah melalui
promosi wisata budaya. Dikaitkan dengan pentingnya pariwisata bagi penguatan otonomi
daerah saat ini, maka kiranya cukup urgen untuk mengeksplorasi lebih jauh pengembangan
identitas lokal untuk mempromosikan wisata budaya di Kabupaten Banyumas.
28
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Metode
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan metode penelitian kualitatif.
Sementara pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi; dan studi
dokumen. Data yang sudah terkumpul dianalisa dengan menggunakan model analisis
interaktif dari Miles and Huberman (1992). Untuk mendapatkan kesimpulan yang sahih,
maka hasil analisis data divalidasi lagi dengan teknik triangulasi (Lincoln & Guba 1984;
Moleong 2009).
Selama ini, banyak daerah yang mempromosikan budayanya ke luar negeri. Kontingen
budaya Banyumas pernah sekali melawat ke Madrid (Spanyol), tetapi itu pun dibiayai oleh
Depparbud, Jakarta. Dari Disparbud Banyumas sendiri, tidak pernah mempromosikan
budaya Banyumas sampai ke luar negeri. Selama ini Disparbud Banyumas lebih berorientasi
pada kegiatan promosi yang bernuansa proyek, yang secara instant bisa menghasilkan uang
bagi aparat, misalnya Prosesi Hari Ulang Tahun Kabupaten Banyumas yang dilakukan setiap
tahun. Prosesi HUT Kabupaten Banyumas (yang dimulai dari Kotatif sampai alun-alun) tidak
tumbuh dalam masyarakat, tetapi sengaja diadakan oleh pemerintah. Ironisnya, tidak ada
turis yang muncul dan masyarakat Banyumas sendiri jarang yang berminat datang untuk
melihat/ menonton prosesi tersebut. Beda dengan tradisi Jaru Rojab di Kalisalak yang
acaranya tidak dikemas dan dihadiri oleh pemerintah, tetapi justru ramai dikunjungi oleh
masyarakat. Jelas terlihat di sini bahwa wisata budaya lebih dihargai pada hal-hal yang
besifat ritual keagamaan/ kepercayaan. Dalam hal ini, identitas lokal sebagai refleksi nilai-
nilai budaya daerah lebih dipahami sebagai bagian dari hal-hal yang lebih dipengaruhi oleh
nilai-nilai keagamaan/ kepercayaan, tidak lagi pada nilai budaya Banyumas itu sendiri.
29
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Nilai cablaka tercermin dalam wisata budaya Banyumas. Misalnya, nilai cablaka dalam
begalan dan kesenian Banyumas lainnya tercermin dalam iramanya yang mantap. Namun
demikian, nilai-nilai budaya Banyumas belum tercermin seluruhnya dalam wisata budaya,
sehingga para wisatawan belum dapat membedakan budaya Banyumas dengan budaya
Jawa pada umumnya. Hal ini terjadi karena potensi wisata budaya Banyumas belum benar-
benar digali dan dikembangkan. Penggalian potensi wisata budaya yang dikembangkan dan
menghasilkan PAD bisa menunjang kehidupan masyarakat setempat agar bisa lebih baik dan
sejahtera.
30
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
mengundang hajatan meminta jenis barang yang mau disumbangkan berikut jumlahnya
kepada yang diundang secara terus terang (“ngarani”). Nanti pada saat yang diundang
mempunyai hajatan, dibalas dengan sumbangan yang sama dan serupa dengan yang pernah
disumbangkannya terdahulu. Tapi ada pula yang mengundang hajatan tetapi tidak ngarani
hanya meminta secara terus terang yang bersangkutan memerlukan bantuan. Dalam
kehidupan birokrasi dan masyarakat, budaya terus terang itu sebenarnya ada tetapi bentuk
perwujudannya diperhalus. Misalnya, pada saat pemilihan kepala desa (pilkades),
permohonan kepada voters dinyatakan melalui beberapa orang dekat
Budaya Banyumas merupakan subbudaya Jawa. Oleh karena itu, budaya Banyumas masih
berada dalam lingkup budaya Jawa pada umumnya. Dalam berinteraksi dengan masyarakat,
misalnya, kaum priyayi Banyumas (yang kebanyakan mengisi birokrasi pemerintahan) masih
mengenal nilai feodalisme yang dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial. Sementara
masyarakat pun masih berorientasi pada priyayi/ pegawai negeri. Misalnya, ada kata-kata:
anakku sing sugih lan singgih (kehormatan karena jabatan); atau kowe nganah dadi pegawai
negeri ora ketang gajieh sekethip tapi kan nduwe setrip (jadi pegawai negeri saja, meskipun
gajinya sedikit tapi kan punya pangkat). Kehidupan birokrasi di Kabupaten Banyumas masih
berprinsip “ngono yo ngono ning ojo ngono”.
31
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Di objek wisata alam, budaya – dalam hal ini kesenian dan tradisi - hanya bersifat
komplementer karena hanya berfungsi sebagai hiburan saja/ sekedar tontonan. Di satu sisi,
misalnya, pertunjukan lengger dan ebeg jarang digelar. Namun di sisi lain, terutama hari
Minggu, pertunjukan konser dangdut sering digelar untuk menyedot pengunjung di objek
wisata tersebut. Jadi sepertinya tidak ada nuansa Banyumas di Baturraden/ objek wisata
alam lainnya. Untuk pertunjukan musik, misalnya, hotel-hotel di Kawasan Wisata
Baturraden/ Banyumas menyuguhkan lagu-lagu asing untuk menyambut wisatawan, bukan
memperdengarkan tembang-tembang Banyumasan. Bahkan pertunjukan tari yang digelar
bukan tari-tarian Banyumasan, melainkan tarian asing seperti striptease dan sebagainya.
Selain itu, fasilitas khusus/ istimewa yang diberikan oleh penginapan-penginapan yang ada
di kawasan wisata tersebut lebih bernuansa modern daripada tradisional. Hotel Queen
Garden, misalnya, menyediakan fasilitas diskotik yang diberi nama Lengger Diskotik. Selama
ini nampaknya upaya promosi (atau tindakan pemerintah seperti sosialisasi) belum sampai
ke sana.
Kesimpulan
Cablaka sebagai refleksi dari nilai budaya Banyumas belum menyatu dengan gaya hidup
wisata pelaku/ pengguna kebudayaan Banyumas. Ini berarti nilai budaya cablaka pun belum
sepenuhnya menjadi identitas lokal Banyumas yang menjiwai kehidupan masyarakatnya di
berbagai sektor kegiatan, termasuk sektor pariwisata. Padahal identitas lokal dalam
pengembangan pariwisata – khususnya promosi wisata budaya - bukan hanya soal seperti
apa kesenian dan tradisinya, tapi juga bagaimana nilai-nilai lokal masuk dalam program
pengembangan pariwisata itu sendiri.
Promosi wisata budaya yang dilakukan selama ini lebih bertumpu kepada promosi hasil-hasil
kebudayaan, bukan nilai-nilai budaya yang mendasari kegiatan budaya/ kebudayaan
Banyumas itu sendiri. Padahal yang penting dan pokok dalam pengembangan pariwisata –
32
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
khususnya promosi wisata budaya– di Kabupaten Banyumas adalah bukan hanya tentang
bagaimana institusi-institusi pengembangnya bisa menyuguhkan kesenian dan tradisi
Banyumas, tetapi juga tentang bagaimana kesenian dan tradisi Banyumas itu sendiri bisa
diterima oleh para wisatawan. Dalam hal ini, bagaimana identitas lokal sebagai refleksi dari
kebudayaan Banyumas itu sendiri mampu melawan arus kuat globalisasi. Tidak adanya
upaya untuk mengembangkan identitas lokal terjadi karena identitas lokal itu sendiri belum
dipahami secara benar dan serius oleh institusi-institusi pengembang yang berwenang.
Sementara pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat (di sekitar objek
wisata) lebih difokuskan pada hal-hal yang bersifat material, bukan pada nilai-nilai/ hal-hal
yang bersifat substansial. Hal inilah yang menyebabkan pengembangan pariwisata –
khususnya wisata budaya– di Kabupaten Banyumas belum dapat mencapai hasil yang baik
dan bermanfaat bagi pelaku dan pengguna kebudayaan Banyumas itu sendiri.
Jadi jelas bahwa pengembangan identitas lokal yang mencerminkan kearifan lokal suatu
daerah adalah penting dan menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses
pengembangan pariwisata di Kabupaten Banyumas. Pengembangan pariwisata di
Kabupaten Banyumas melalui promosi wisata budayanya menjadi hak dan tanggung jawab
semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Dengan kata lain, promosi wisata budaya
harus bersifat demokratis. Dalam hal ini, promosi wisata budaya harus dilakukan ‘oleh’,
‘dari’, dan ‘untuk’ keempat unsur utama dalam pengembangan pariwisata di suatu daerah,
yaitu: wisatawan, pengusaha/ wiraswastawan, pemerintah daerah dan masyarakat
setempat.
Daftar Pustaka
Anonymous, 2000. Analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats)
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyumas. Purwokerto: Diparta Kabupaten
Banyumas.
BPS, 2004. Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2004. Purwokerto: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas.
Eagleton, Terry, 2000. The Idea of Culture. Oxford: Blackwell Publishers.
Gertler, Len, 1992. “Linkage Between Past, Present and Future”. Dalam Wiendu Nuryanti
(chief-ed.), Universal Tourism Enriching or Degrading Culture? (Proceedings on the
International Conference on Cultural Tourism). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hill, Hall. “The Economy”, dalam Hill, Hall (ed), 1994, Indonesia`s New Order: The Dynamics
of Socio-Economics Transformation. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd.
Huttington, Samuel P., 2000. “Cultures Count”. Dalam Lawrence E. Harrison & Samuel P.
Huttington (eds.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress. New York:
Basic Books.
Lincoln, Yvonna dan Egon G. Guba, 1984. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, London: Sage
Publications.
McIntosh, Robert W., Charles R. Goeldner & J.R. Brent Richie, 1995. Tourism: Principles,
Practices, Philosophies; Seventh Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Miles, B. Matthew dan A. Michael Huberman (terjemahan), 1994. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J., 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
33
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020
Triana Ahdiati, Solahuddin Kusumanegara
Spradley, James P. & Michael A. Rynkiewich, eds., 1975. The Nacirema. Boston,
Massachussetts: Little, Brown and Company.
Suparlan, Parsudi, (tanpa tahun). “Kebudayaan dan Pembangunan”. Dalam Kajian-Kajian
Antropologi Masa Kini: Suatu Bunga Rampai; Media IKA. Jakarta IKA UI.
Susanto, Hery, dkk, 2003. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal: Pikiran Serta Konsepsi
Syaukani HR. Jakarta: Millenium Publisher.
Wallerstein, Immanuel, 1991. “The Construction of Peoplehood: Racism, Nationalism,
Ethnicity”. Dalam Etienne Balibar & Immanuel Wallerstein (eds.), Race, Nation,
Class: Ambiguous Identities; English Language Edition. London: Verso.
34
Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 4., No. 1, 2020