07-Oktober-2019 - Kompetensi Konselor Abad 21-Mungin
07-Oktober-2019 - Kompetensi Konselor Abad 21-Mungin
Oleh
PENYELENGGARA
IKATAN BIMBINGAN KONSELING SEKOLAH INDONESIA
BEKERJASAMA DENGAN
PERTUMBUHAN PENYELIDIKAN DAN PENYELIDIKAN PENDIDIKAN MALAYSIA
2019
ABSTRACT
Counselors are the helping profession is a concept that underlies the role and function of counselors in
today's 21st century society. The aid profession is a profession whose members are specially trained and
have a license or certificate to perform a unique service that is counseling and is needed by the
community. In the 21st century in an era of increasing pressure to show competence, counselors will
know that they will be asked to provide evidence of their knowledge and to hone and expand their skills in
counseling. higher education through formal and / or special education and improving practices. The
21st century counselor in carrying out helping professionals must have multicultural competence in
dealing with a very diverse group of clients. Multicultural competence has received a lot of attention over
the past few years. Multiculturalism emphasizes unique issues related to race, ethnicity, gender, sexual
orientation, language, age, social class, disability, education, and religious and spiritual orientation that
are specific to each individual. Professional counselors of the 21st century in carrying out the aid
profession must be able to be an effective counselor. Effective counselors are counselors who in carrying
out their duties produce benefits and gain trust for the people served. The effectiveness of the counselor in
carrying out his profession because it has convincing accountability supported by personality ownership,
formal education obtained by the counselor, and convincing counselor's ability through evidence-based
counseling practice and action research. Future counselors in the 21st century are counselors who in
carrying out the creative, innovative, productive and fun counseling profession to make the counseling
profession strong and exist so that the accountability of national professional counselors in Indonesia can
be realized. 21st-century professional counselors are counselors who have professional identity
(counselors) obtained by counselors in education in the counseling profession, and already have
competence in the theory and practice of counseling.
Keywords: 21st century future counselor, competency counselor, professional identity.
PENGANTAR
Di abad ke-21 milenium ketiga merupakan era kemajuan teknologi dan era disrupsi yang akan
mempengaruhi profesi bantuan (helping profession) yaitu profesi konseling. Tantangan dan
sekaligus peluang bagi profesi konseling dalam disrupsi di dalam semua segi kehidupan manusia
dewasa ini terutama disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Profesi
konseling harus mampu menghadapi tantangan dan memanfaatkan untuk menjadi peluang
sehingga profesi konseling akan menjadi eksis, kokoh dan dipercaya oleh masyarakat (public
trust).Masyarakat percaya bahwa pelayanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari
orang yang dipersepsikan sebagai seorang konselor yang kompeten untuk memberikan pelayanan
konseling. Publict trust akan akan melanggengkan profesi,karena dalam public trust terkandung
keyakinan public bahwa profesi konselor berada dalam kondisi : (a) memiliki kompetensi dan
keahlian yang disispkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang
tinggi ; (b) memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku professional dan melindungi
kesejahteraan publik; dan (c) anggota profesi konselor dimotivasi untuk melayani pengguna dan
pihak-pihak terkait dengan cara terbaik.
Dalam melaksanakan fungsi profesionalnya itu konselor bekerja di sekolah, di luar sekolah,
di lembaga formal dan non-formal, di desa-desa dan di kota-kota; konselor bekerja sama dengan
keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat, dengan kepala desa dan camat, dengan para pemimpin
formal dan non-formal. Konselor masa depan di abad ke-21 bekerja di semua bidang kehidupan,
mengembangkan jasanya meningkatkan kualitas kehidupan itu, membantu orang dari berbagai
umur dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi, dan menjadikan tahap
perkembangan yang mereka hadapi menjadi optimal.
Persaingan antarprofesi dalam abad ke-21 dan era disrupsi menuntut penguasaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menjalankan profesi. Oleh sebab itu,
semua profesi berlomba-lomba untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar
profesinya. Pengembangan keprofesionalan keberlanjutan bagi konselor merupakan suatu
keharusan, bila ingin menjadi konselor profesional sepanjang masa dalam menjalankan tugas
profesi konseling yang mulia dan altruistik serta dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Di abad ke-21 pengembangan keprofesionalan keberlanjutan bagi konselor merupakan suatu
keharusan,bila ingin menjadi konselor professional sepanjang masa dalam menjalankan tugas
profesi konseling yang mulia dan altruistik serta dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang
mulikultural. Konselor dalam kinerjanya harus dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan
menjadikan profesi konselor menjadi profesi yang bermartabat, yaitu pelayanan konseling yang
diberikan benar-benar bermanfaat, pelaksana bermandat, dan diakui secara sehat oleh pemerintah
dan masyarakat. Konselor harus berusaha memenuhi standar profesi konselor agar pelayanan
konseling yang dilakukan oleh konselor dapat merebut kepercayaan publik (public trust) melalui
peningkatan kinerja konselor dalam pelayanan konseling bermartabat.Konseling akan benar-
benar bermanfaat di abad ke-21 apabila dilakukan oleh konselor professional yaitu konselor
yang kompeten dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.
Seperti yang diramalkan oleh Alvin Toffler (1980), dunia kita telah memasuki gelombang
ketiga, yaitu gelombang dunia internet yang berada dalam era informasi. Gelombang
modernisasi di abad ke-21 ini lahirlah perubahan-perubahan sosial yang dahyat yang tidak lagi
dapat dihadapi oleh manusia menurut cara-cara lama tetapi harus diubah melalui cara-cara baru.
Beck (2000) mengemukakan lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia
dewasa ini, yaitu: (a) globalisasi, (b) individualism, (c) revolusi gender, (d) pengangguran, dan
(e) risiko global karena krisis lingkungan dan krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun
1997. Gelombang modernisasi membawa manusia kepada apa yang disebut masyarakat penuh
risiko (risk society).
Masyarakat masa depan yang penuh risiko adalah masyarakat modern yang mengalihkan
pemikiran manusia bukan kepada masa lalu, tetapi ke masa depan. Masyarakat masa depan yang
penuh risiko, berorientasi kepada masa depan, sebagai masa depan yang telah diperhitungkan
hal-hal yang mungkin terjadi. Suatu masyarakat yang berisiko adalah ciri utama masyarakat
masa depan. Dalam menghadapi masyarakat yang penuh risiko ini, kita dapat mengambil sikap
yang ragu-ragu atau pesimistis. Sikap yang lain adalah suatu sikap optimisme untuk menghadapi
perubahan global di abad ke-21 ini. Sikap ini didorong oleh kenyataan bahwa umat manusia
telah menghadapi berbagai krisis dalam kehidupannya pada milinium-milinium yang lalu.
Eksistensi umat manusia menunjukkan bahwa manusia telah berhasil dalam membawa
kehidupannya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Artinya, manusia mempunyai
kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan itu serta dapat mengambil keputusan yang
tepat dalam membawa masyarakatnya dari kehidupan tradisioanal menuju kehidupan yang
demokratis. Kemampuan manusia tersebut tentunya tidak mengikuti suatu pola tertentu seperti
pola yang telah dijalani oleh masyarakat maju. Peralihan dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern seperti masyarakat Indonesia tentunya tidak bertumpu dari keadaan hampa.
Setiap komunitas masyarakat mempunyai sejarah dan kebudayaannya masing-masing sebagai
modal utama dalam menentukan gerak langkah perubahan tersebut. Masyarakat Indonesia
bentuknya yang bhineka telah mengalami kehidupan yang beraneka ragam dalam sejarah
perkembangannya. Masyarakat Indonesia telah banyak mengalami berbagai risiko dari berbagai
keputusan dalam menentukan jalan hidupnya sebagai negara-bangsa (Wibowo,2019:145).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkembang, yaitu berada dalam masa
transisi dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. Masyarakat Indonesia
dipengaruhi oleh arus globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi, sehingga
kemungkinan bertemunya orang-orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula.
Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural yang kesadaran akan kehidupan sangat
terbatas dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Dengan
pengaruh arus globalisasi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang dapat
menembus kehidupan tanpa batas, tanpa waktu, dan tanpa batas geografis. Namun, ketermelekan
masyarakat modern atas kehidupan yang berubah cepat juga membawanya pada rasa
keterasingan, dan mungkin kegelisahan menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat.
Keberadaan manusia modern ialah keberadaan di dalam suatu masyarakat yang penuh risiko,
masyarakat yang berubah dengan cepat meminta manusia mengambil sikap, mengadakan pilihan
yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama dengan perubahan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan adanya konselor yang mampu memberikan pelayanan konseling dalam
menyiapkan manusia Indonesia berkualitas untuk menghadapi masa depan.
Masa depan yang dibawa oleh proses globalisasi di abad ke-21 adalah masyarakat yang
berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based society). Masyarakat masa depan tersebut
adalah masyarakat yang berubah dan didasarkan pada penemuan-penemuan yang meningkatkan
taraf hidup manusia. Sikap inovatif merupakan syarat yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan termasuk juga dalam konseling. Sikap inovatif memerlukan manajemen waktu (time
management) dalam bekerja, kualitas terkontrol dalam pekerjaan, serta sikap keterbukaan untuk
mencari yang lebih baik. Suatu masyarakat berdasarkan ilmu pengetahuan adalah suatu
masyarakat komunikatif. Oleh karena itu penguasaan bahasa dunia serta bahasa komputer
merupakan syarat mutlak dalam kemajuan suatu masyarakat.
Menghadapi perubahan kehidupan yang begitu cepat di era globalisasi abad 21 di masa
depan, manusia dituntut untuk mampu melakukan kompetisi dan bahkan mega-kompetisi di
dalam seluruh kehidupan manusia. Mega-kompetisi tersebut adalah dorongan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia, dengan kualitas tersebut orang saling bersaing satu
dengan yang lain. Manusia modern yang hidup dalam masyarakat yang penuh risiko, harus cepat
mengambil sikap, mengadakan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama
dengan perubahan tersebut. Suatu masyarakat yang berisiko adalah ciri utama masyarakat masa
depan. Dalam menghadapi masyarakat yang penuh risiko tersebut kita dapat mengambil sikap
yang ragu-ragu atau pesimis atau sikap optimisme untuk menghadapi perubahan.
Masyarakat masa depan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi belum cukup untuk
membangun masyarakat yang sejahtera dan damai. Masyarakat itu adalah masyarakat madani
yang berkembang berdasarkan kehidupan yang mengakui akan hak asasi manusia dan partisipasi
setiap anggotanya di dalam membangun masyarakatnya. Inilah masyarakat demokratis yang
mengakui akan hak-hak asasi manusia, hidup penuh toleransi dan saling menghargai. Dengan
demikian penguasaan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi tidak diarahkan kepada
pemusnahan peradaban manusia tetapi terarah kepada kehidupan dunia yang lebih baik, aman,
saling pengertian,dan saling menghargai.
Ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah diarahkan kepada kehidupan bermoral manusia.
Oleh karena itu esensi nilai dalam masyarakat global di abad ke-21 menjadi amat penting, dalam
kondisi manusia menghadapi ketidakpastian (uncertainty) dan bahkan kesemrawutan (chaos)
yang bisa membuat nilai-nilai rujukan yang ada menjadi amat rentan terhadap pengaruh nilai-
nilai baru yang dangkal dan instrumental. Di sinilah manusia perlu belajar memahami dan
memaknai nilai agar nilai rujukan yang diikutinya tidak semata-mata nilai transformasi kultural
tetapi dimaknai secara kontekstual. Dikatakan oleh Frankl (1985) bahwa pencarian makna pada
diri manusia merupakan motivasi primer di dalam kehidupannya dan bukan rasionalisasi
sekunder dari dorongan instinktif. Makna ini unik dan spesifik yang harus dan hanya bisa
dipenuhi oleh dirinya sendiri; dan terjadi dalam semua aspek kehidupan (Zohar &
Marshall,2000).
Pada abad ke 21 Indonesia menghadapi berbagai tantangan dari dalam dan dari luar akibat
dampak globalisasi, liberalisasi dan tantangan perkembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK). Indonesia menghadapi pelbagai tantangan internal dan eksternal akibat
dampak globalisasi, liberasisasi dan tantangan teknologi, informasi dan komunikasi.Implikasi
dari tantangan ini memicu kebutuhan negara untuk membangun sumber daya yang berciri
produktif, cerdas, terampil TIK, mantap spiritual dan emosional, mampu bersaing diperingkat
lokal,global serta memiliki jati diri bangsa yang tinggi.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin mendunia yang diiringi berbagai
perubahan dan kemajuan serta masalah-masalah yang melekat di dalamnya menimbulkan
berbagai tantangan dan sekaligus menumbuhkan harapan bagi seluruh warga masyarakat.
Tantangan,harapan,kesenjanjangan, dan persaingan yang terus menerus sebagai suatu kenyataan
yang dihadapi manusia dalam berbagai setting kehidupan,yaitu keluarga, sekolah, organisasi
pemuda dan kemasyarakatan, menjadi potensi timbulnya berbagai permasalahan. Kondisi
semacam ini menjadikan fokus,perhatian serta medan pelayanan konseling semakin lebar,tidak
hanya terbatas pada lingkungan persekolahan,melainkan juga memasuki lingkungan masyarakat
luas.
Pada abad ke-21 merupakan era peradaban baru, yaitu saatnya perubahan dan terjadilah
disruption. Disruption menembus berbagai bidang kehidupan termasuk profesi pendidik dan
profesi konselor yang harus berlomba antar profesi untuk meningkatkan inovasi IPTEK dan
pelayanan sehingga akan tetap eksis, kokoh dan terjadi public trust. Profesi konselor harus
menggantikan pola kerja lama yang berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya lama,
menghasilkan kebaruan (inovasi) yang lebih efisien, efektif dan komprehensif berkaitan dengan
terjadinya disrupsi sosial dan budaya pada era peradaban baru di abad ke-21 ini. Profesi
konseling sebagai profesi bantuan harus berlomba melalui kreativitas, inovatif dan disruptif
sehingga tidak ketinggalan zaman. Profesi konselor harus melakukan manajemen baru dan
distruptive mindset dengan cara melakukan akselerasi inovasi melalui total quality control, just
is time dalam budaya organisasi profesi yang sehat demi mengejar perubahan yang semakin hari
semakin cepat terkait dengan disrupsi sosial dan budaya karena pengaruh teknologi dan
globalisasi.
Konselor dalam menjalankan profesi konseling harus melakukan disruptive mindset, untuk
mengubah pola pikir menjadi kreatif dan inovatif, dan tidak takut melihat perubahan. Konselor
harus menghasilkan perubahan, dengan modal kemampuan untuk “melihat dan percaya”. Melihat
artinya dengan “membaca” sebab tidak semua orang bisa “membaca” mengenai orang lain, alam
semesta dan segala sesuatu yang tak tertulis dan terungkap atau terucap. Melihat perubahan dan
berada dalam gelombang disruption tentu saja berbeda dengan melihat benda-benda yang
terlihat. Bagi setiap manusia, termasuk konselor bahwa perubahan adalah sesuatu yang tidak
mudah terbaca, apalagi jika terlena. Mungkin perubahan sedang terjadi di tempat yang jauh dan
kurang diperhitungkan, mungkin terjadi di depan kita tetapi kita tidak mempercayai. Konselor
dituntut kecerdasan dalam “membaca” dan membedakan kebenaran serta bergerak cepat
meresponnya. Caranya dengan mencari cahaya, yaitu dengan membuka diri, mencari celah,
mendatangkan orang dari luar dan melakukan inovasi.
Konselor harus segera melakukan disruptif mindset untuk mengubah pola pikir menjadi
kreatif dan inovatif dalam menjalankan profesi bantuan yaitu profesi konseling. Mindset adalah
bagaimana konselor berpikir yang ditentukan oleh setting yang dibuat sebelum berpikir dan
bertindak. Disruptive mindset konselor yang menjalankan profesi konseling merupakan tuntutan
zaman baru, peradaban baru di era abad ke-21. Ini merupakan mindset tuntutan zaman baru bagi
profesi konselor yang hidup dalam zaman baru, zaman digital yang serba cepat, mobilitas tinggi,
informasi melekat pada diri setiap konselor yang menjalankan profesi konseling. Kasali, R.
(2017) mengatakan bahwa kita hidup dalam era kecepatan eksponensial di mana manusia
menuntut kesegeraan, real-time iniah corporate mindset. Mindset kecepatan eksponensial, yaitu:
(a) respon cepat: tidak terlambat; (b) real-time: begitu diterima, segera diolah; (c) follow-up:
langsung ditindaklanjuti; (d) mencari jalan: bukan mati langkah; (e) mengendus informasi dan
kebenaran; (f) penyelesaian parallel; (g) dukungan teknologi informasi; (h) 24/7 (24 jam sehari, 7
hari seminggu); dan (i) terhubung (connected).
Kita bangsa Indonesia memasuki suatu peradaban baru yang berbeda dengan era-era
peradaban sebelumnya. Era peradaban baru terjadi karena kemajuan teknologi. Sulit untuk
dibantah, bahwa saat ini adalah era peradaban baru terjadi disrupsi sosial dan budaya dengan
sokongan utama internet. Masyarakat Indonesia sekarang menghadapi sebuah era baru-era
disruption. Era ini membutuhkan disruptive regulation, disruptive culture, disruptive mindset,
dan disruptive marketing. Bukan rahasia lagi, kini dunia tengah menyaksikan perubahan sosial
dan budaya yang dikendalikan teknologi informasi (internet) melalui smartphone. Suka tidak
suka, internet of things membentuk peradaban baru yang kita alamni sekarang ini.
Multikulturalisme berhembus sangat keras seiring dengan gelombang globalisasi yang
melanda dunia di abad ke-21. Gelombang globalisasi yang ikut dipacu oleh teknologi informasi
bahkan telah melahirkan, bukan hanya budaya dunia tetapi juga budaya maya (cyber culture).
Kemajuan teknologi informasi telah membentuk ruang cyber yang maha luas, suatu universe
baru, yaitu universe yang dibangun melalui computer dan jaringan komunikasi. Melalui dunia
nyata yang semakin sempit serta dunia maya yang melahirkan berbagai jenis fantasi manusia,
umat manusia dewasa ini bukan hanya mengenal budayanya sendiri tapi juga mengenal budaya-
budaya lain di segala penjuru dunia. Multikulturalisme bukan sekedar pengenalan terhadap
berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga telah merupakan tuntutan dari berbagai komunitas
yang memiliki budaya-budaya tersebut.
Penelitian yang
tersedia
EBP
Karakteristik,
budaya dan Keahlian
preferensi klien Praktisi
EBP harus dapat meningkatkan keefektifan, efisiensi dan penerapan layanan yang diberikan
oleh konselor kepada klien baik secara individu maupun secara kelompok. Layanan ini dapat
mencakup asesmen, formulasi kasusu, pencegahan, hubungan terapeutik, perlakuan, dan
konsultasi. Konselor yang menggunkana intervensi berbasis bukti dalam praktek psikologis
memerlukan kombinasi keterampilan relasional dan teknis yang kompleks. Hal ini tentunya
memerlukan penggunaan prinsip-prinsip empiris dan pengkajian sistematis untuk menilai eviden
secara akurat dan mengembangkan formulasi diagnostik, memilih strategi intervensi dan untuk
menyusun tujuan intervensi secara kolaboratif dengan pertimbangan preferensi unik klien dan
dalam batas sumber daya yang tersedia (APS, 2010). Pemilihan strategi memerlukan
pengetahuan tentang intervensi dan penelitian yang mendukung keefektifannya, di samping
keterampilan yang membahas situasi psikososial dan budaya yang berbeda dalam situasi individu
tertentu. Untuk pelayanan konseling kesehatan berbasis bukti yang komprehensif, metode ilmiah
tetap menjadi alat terbaik untuk observasi sistematis dan untuk mengidentifikasi intervensi yang
intensif.
EBP mendorong konselor untuk mencari eviden tentang penerapan intervensi dan
mempertimbangkan lebih luas tentang efektivitas intervensi konselor ketika memilih suatu
perlakuan. Konselor menggunakan EBP dalam pengambilan keputusan, dapat membuat konselor
menjadi lebih terampil dalam mencari literatur untuk intervensi yang dapat berpotensi
memberikan klien sebuah pengobatan yang lebih baik (Rubin, 2008).
McLeod, J. (2011) mengemukakan ada tujuh area kompetensi konselor, yaitu:
a. Keterampilan interpersonal (interpersonal skills). Konselor yang efektif mampu
mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran
komunikasi non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi
emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, menggunakan bahasa.
b. Keyakinan dan sikap personal (personal beliefs and attitudes). Kapasitas untuk menerima
yang lain, yakin adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral.
Sensitivitas terahadap nilai yang dipegang oleh klien dan diri.
c. Kemampuan konseptual (conceptual ability). Kemampuan untuk memahami dan menilai
masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses kilat
dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi yang berkenaan
dengan klien. Fleksibelitas kognitif dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
d. Ketegaran personal (personal ‘soundness’). Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan
irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk
menoleransi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam hubungan dengan klien, batasan
pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien. Tidak mempunyai prasangka sosial,
etnosentrisme dan autoritarianisme.
e. Menguasai teknik (mastery of technique). Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana
melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi,
memahami dasar pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup.
f. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial (ability to understand and
work within social system). Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan
klien, pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas untuk mendukung jaringan dan supervisi.
Sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis,
orientasi seks, atau kelompok umur.
g. Terbuka untuk belajar dan bertanya (openness to learning and inquiry). Kemampuan
untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah klien. Terbuka terhadap pengetahuan
baru. Menggunakan riset untuk menginformasikan praktik.
Konselor yang efektif akan bertahan dalam menjalankan profesi konseling apabila dalam
menjalankan profesi konseling mempunyai alasan yang masuk akal, dan menganggapnya sebagai
“panggilan hati” (Foster, 1996, dalam Gladding, 2009). Oleh karena itu seorang konselor dan
konselor yang masih berada dalam masa pelatihan harus mempertanyakan pada dirinya, yaitu
siapa diri mereka, dan apa yang mereka lakukan agar menjadi konselor yang efektif. Literatur
profesional konsisten dalam penekanan pada karakteristik konselor yang dianggap penting bagi
keberhasilan konseling diantaranya adalah: (a) kesadaran dan pemahaman diri, (b) kesehatan
psikologis yang baik, (c) sensitive dan memahami ras, etnik dan faktor-faktor budaya dan diri
dan orang lain, keterbukaan pikiran, (d) keterbukaan pikiran, (e) obyektif, (f) kompeten, (g)
kepercayaan dan (h) daya tarik interpersonal (Hackney, L.H & Cormier, S., 2009). Karakteristik
lain yang telah diidentifikasi meliputi kemampuan untuk bersikap empati, asli, dan menerima
(Neukrug, 2007); Keefektifan seorang konselor dan sebuah konseling ditentukan oleh hal-hal
sebagai berikut: (a) kepribadian dan latar belakang konselor, (b) pendidikan formal yang didapat
oleh konselor, (c) kemampuan konselor untuk terlibat dalam kegiatan konseling profesional
seperti melanjutkan pendidikan, supervisi, advokasi, dan membangun portofolio (Gladding,
2009). Konselor dan proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau
tidak bermanfaat, kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan
(Carkhuff, 1969). Kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling.
Seorang konselor haruslah dewasa, ramah, dan berempati. Mereka harus altruistik dan tidak
mudah marah atau frustasi. Sayangnya masih ada saja beberapa orang yang ingin terlibat dalam
profesi konseling dengan alasan yang salah.
Keefektifan seorang konselor dan sebuah konseling ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:
(a) kepribadian dan latar belakang konselor, (b) pendidikan formal yang didapat oleh konselor,
(c) kemampuan konselor untuk terlibat dalam kegiatan konseling profesional seperti melanjutkan
pendidikan,supervisi, advokasi, dan membangun portofolio (Gladding,T.S (2009). Konselor dan
proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau tidak
bermanfaat,kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan. Kepribadian
konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling. Seorang konselor haruslah
dewasa,ramah,dan berempati. Mereka harus altruistik dan tidak mudah marah atau frustasi.
Sayangnya masih ada saja beberapa orang yang ingin terlibat dalam profesi konseling dengan
alasan yang salah.
Pada era globalisasi dan abad ke-21 sekarang ini, konselor diharapkan untuk mampu berbuat
lebih banyak, serta mampu mengatasi berbagai macam tantangan global seperti terorisme,
bencana alam, sekaligus stresor dan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Saat konselor
bertukar nilai harapan dan pandangan optimis mereka dengan klien, perspektif ini akan mulai
berpindah pada klien dan menegaskan relasi pertolongan yang ada (Smith,2006:42). Bagaimana
kita sebagai konselor harus bertahan selama masa kerja yang berat padahal konselor masih harus
memberikan dukungan dan membantu klien? Jawaban atas pertanyaan tersebut ditemukan pada
literatur perspektif berbasis kekuatan dan literatur resiliensi, yang menemukan bahwa resiliensi
paling dekat terkait dengan efikasi diri dan emosi positif (Lee, Nam,Kim, Kim,Lee, & Lee,2013,
dalam Wibowo,2019).
Menjadi seorang konselor professional di abad ke-21 merupakan tantangan besar, akan ada
sesuatu hal yang baru, unik, dan merupakan pekerjaan yang mulia dan altruistik,serta ibadah,
karena akan berurusan dengan harkat dan martabat manusia yang sedang berkembang untuk
menjalani kehidupan keseharian yang efektif berdasarkan norma-norma yang berlaku. Peran
konselor memungkinkan jadwal kerja fleksibel, dan harus menyesuaikan dengan orang yang
akan dilayani dengan latar belakang ragam budaya (multicultural). Oleh karena itu, sebelum
dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan diri sendiri sebagai seorang konselor yang
professional, hendaklah dengan kritis dan jujur memahami dan menilai dirinya, terutama tentang
apakah memang kemampuannya cukup kuat untuk bertanggungjawab dalam membantu orang
lain.
.
Konselor masa depan di abad ke-21 adalah konselor yang dalam menjalankan profesi
konseling kreatif, inovatif, produktif dan menyenangkan untuk menjadikan profesi konseling
menjadi kuat dan eksis sehingga akuntabilitas konselor profesional secara nasional di Indonesia
ini dapat diwujudkan. Konselor yang kreatif, inovatif dan menyenangkan akan menjadikan
proses konseling hidup, berkembang, dinamis, dan menyenangkan bagi pihak yang dilayani,
sehingga menimbulkan kepercayaan publik (public trust). Profesi konselor akan menjadi kokoh,
banyak dicari orang dan menjadi pilihan yang sangat berguna bagi individu yang hidup dalam
dunia yang kompleks, sibuk dan terus berubah sehingga banyak pengalaman yang sulit dihadapi
seseorang untuk segera diselesaikan. Pada saat itulah konseling merupakan pilihan yang tepat
dan sangat bermanfaat.
Kreatif, inovatif dan produktif adalah karakteristik personal yang terpatri kuat dalam diri
seorang konselor profesional untuk bekerja secara efektif. Profesi konseling yang tidak dilandasi
upaya kreatif, inovatif dan produktif dari konselor tidak akan menjadikan profesi konselor
menjadi eksis dan bermartabat karena tidak ada perolehan atau hasil yang dicapai oleh individu
yang dilayani. Masyarakat yang begitu dinamis menuntut konselor untuk selalu adaptif dan
mencari terobosan terbaru untuk dapat memberikan pelayanan konseling secara efektif dan
bermartabat. Karakter cepat berpuas diri dan cenderung stagnan sama saja membawa profesi
konseling menjadi tidak eksis dan tidak berkembang yang pada akhirnya menjadi kepercayaan
publik menurun.
Konselor di abad ke-21 adalah seorang profesional di dalam masyarakat terbuka, dan
sebagaimana dengan profesi-profesi lain, profesi konselor di masyarakat terbuka adalah suatu
profesi yang kompetitif. Artinya, profesi konselor haruslah benar-benar mempunyai identitas
profesional dan karakteristik profesional karena sifat dari pekerjaannya, tetapi juga
profesionalisme profesi konselor harus berhadapan dan bersaing dengan profesi-profesi lain di
dalam masyarakat terbuka di abad ke-21. Masyarakat terbuka di abad ke-21 hanya menerima
tenaga profesional dalam berbagai bidang kegiatan, termasuk konselor. Artinya, barang siapa
yang tidak profesional tidak akan survive karena tidak dapat berkompetisi dengan profesi atau
orang lain yang lebih kompeten dan kompetitif. Apabila profesi konselor tidak kompetitif, tidak
profesional, hal itu dapat berakibat matinya profesi tersebut, tidak terjadi public trust, dan tidak
memiliki makna bagi kehidupan manusia yang sedang menjalani proses perkembangan. Oleh
karena itu profesionalisme konselor sangat penting, karena merupakan syarat mutlak di dalam
kehidupan global abad ke-21. Globalisasi mengubah hakikat kerja amatirisme menuju
profesionalisme yang kinerjanya didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, tranformasi
kebudayaan ke arah budaya yang dinamis, kreativitas, inovasi, produktivitas yang tinggi dan
kualitas kinerja dan karya yang kompetitif.
Konselor profesional di abad ke-21 dalam menjalankan profesi konseling harus didasarkan
bukti sebagai akuntabilitas suatu profesi. Konselor profesional di abad ke-21 dalam menjalankan
profesi konseling harus didasarkan bukti sebagai akuntabilitas suatu profesi. Bertanggung jawab
berarti bertanggung jawab atas tindakan seseorang, terutama untuk tujuan, prosedur, dan hasil
dari pekerjaan atau program seseorang. Ini melibatkan penjelasan tentang apa yang telah
dilakukan termasuk informasi dan data untuk mengajukan klaim apa pun yang dibuat. Prinsip
dasar pertanggungjawaban menunjukkan ada beberapa bukti yang membuat keputusan atau
pertimbangan (Myrick, 2011).
Akuntabilitas bisa menjadi masalah untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri atau
orang lain. Kedua aspek tersebut relevan dengan program bimbingan dan konseling. Setiap
konselor perlu mengajukan pertanyaan mendasar: “Apa tujuan saya? Apakah saya efektif?
Apakah ada cara yang lebih baik untuk melakukan hal yang sama?” Profesional yang
bertanggung jawab menginginkan sistem pertanggungjawaban yang dirancang dengan baik.
Mereka menginginkan umpan balik atas pekerjaan mereka dan, selanjutnya, untuk dapat
melakukan modifikasi jika perlu atau mempertahankan apa yang ditunjukkan untuk bekerja.
Mengidentifikasi kebutuhan siswa dan cara untuk mencapainya dapat menyebabkan
ketidaknyamanan. Hal itu bisa membangkitkan rasa takut seseorang tidak memenuhi harapan dan
mereka akan dinilai gagal. Di sisi lain, ketika tujuan dan sasaran tercapai, umpan balik positif
sangat memuaskan. Mendorong hasil dapat bermanfaat secara profesional dan memicu rasa
bangga pada pekerjaan seseorang.
Akuntabilitas adalah menganalisis, mengolah, dan membagikan hasil usaha evaluasi. Dalam
proses akuntabilitas, data evaluasi dianalisis untuk (a) lebih memahami bagaimana waktu
digunakan, (b) menguraikan proses yang ada, (c) menangkap persepsi stakholder, dan (d)
memberikan bukti efek intervensi berbasis tujuan. Praktik berbasis bukti berarti bahwa perilaku
konselor sekolah saat memberikan layanan profesional kepada orang lain didasarkan pada dan
didukung oleh bukti empiris. Ada dua sumber bukti bagi konselor sekolah. Salah satu sumbernya
adalah laporan yang diterbitkan dalam literatur profesional yang menyediakan landasan ilmiah
dan empiris untuk intervensi dan program yang disampaikan oleh konselor sekolah dan teori
yang mereka gunakan. Menemukan dan mengumpulkan laporan yang terkait langsung dengan
usaha sehari-hari, konselor sekolah dapat memakan waktu yang tidak produktif dalam beberapa
kasus. Sumber bukti kedua adalah data evaluasi yang dihasilkan oleh konselor sekolah
profesional sendiri. Oleh karena itu, data evaluasi yang diidentifikasi sebelumnya yang diperoleh
untuk populasi akuntabilitas juga berpotensi menjadi tempat penyimpanan bukti lokal untuk
praktik berbasis bukti seseorang. Cara evaluasi ini juga disebut sebagai penelitian praktisi, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh konselor sekolah untuk konselor sekolah untuk
menginformasikan praktik bersosialisasi di sekolah (Foxx,Baker, & Gerler,2017:53-54).
Kinerja konselor pada era globalisasi abad ke-21,menuntut konselor profesional yang
memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Kinerja (performance). Kemampuan ini merupakan seperangkat perilaku nyata yang
ditunjukkan oleh seorang konselor profesional pada waktu melaksanakan tugas
profesionalnya/keahliannya.
2. Penguasaan landasan profesional/akademik. Kemampuan ini mencakup pemahaman dan
penghayatan yang me mencakupndalam mengenai filsafat profesi/kepakaran di bidang
konseling.
3. Penguasaan materi akademik/profesional. Kemampuan ini mencakup sosok tubuh
disiplin ilmu konseling beserta bagian-bagian dari disiplin ilmu terkait dan penunjang
yang melandasi kinerja profesional konseling.
4. Penguasaan keterampilan/proses kerja. Kemampuan ini mencakup keterampilan khusus
yang diperlukan oleh konselor profesional dalam melaksanakan kinerja profesional sejak
perencanaan sampai akhir proses pelaksanaannya dalam bentuk penampilan hasil
kinerjanya.
5. Penguasaan penyesuaian interaksional. Kemampuan ini mencakup cara-cara untuk
menyesuaikan diri dengan suasana hubungan kerja pada saat melaksanakan tugas profesi
konselor profesional. Suasana lingkungan kerja yang dimaksud yaitu suasana lingkungan
dimana klien memperoleh layanan, suasana sosial budaya tempat kerja, nilai-nilai dan
norma-norma yang dianut dan sebagainya.
6. Kepribadian. Kemampuan ini mencakup sifat-sifat dan keyakinan yang perlu dimiliki
oleh konselor profesional, termasuk ke dalamnya adalah sikap, nilai, moral dan etika
profesi terkait.
Keenam kemampuan dasar profesi konselor itu tidak boleh dipandang sebagai pilahan-
pilahan yang terpisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu keterpaduan yang menjelma dan
bermuara pada kualitas kinerja konselor. Di samping itu,proporsi setiap kemampuan dasar dalam
keseluruhan profil kemampuan konselor itu tidak sama besar tergantung penekanannya. Dengan
demikian kualitas kemampuan lulusan program studi bimbingan dan konseling setidak-tidaknya
dapat dilihat dari kemampuannya dalam melakukan tugasnya, dengan memperlihatkan perilaku
nyata yang didasari olehketahanan profesional-akademik, penguasaan bahan akademik/profesi/
kepakaran, penguasaan proses yang diperlukan, dan kemampuan menyesuaikan diri dalam
suasana interaksional yang dilandasi oleh kepribadian yang sehat, mantap, dan produktif.
Konselor profesional abad ke-21 adalah konselor yang memiliki identitas profesional
(professional identity) konselor diperoleh melalui pendidikan dalam profesi konseling, dan telah
memiliki kompetensi dalam teori dan praktik konseling. Melalui proses akulturasi profesional,
para mahasiswa dan lulusan mengadopsi identitas yang mendukung filsafat,pandangan, dan nilai
profesi konseling yang mereka pilih. Konselor yang telah memiliki identitas profesional akan
dapat menjawab pertanyaan “Siapakah saya seharusnya?” kepemilikan identitas profesional,
dimana mereka dapat menyatakan dengan keyakinan “Saya adalah seorang konselor”.
Pengakuan diri sebagai seorang profesional pertolongan dan anggota profesi pertolongan tertentu
dapat dinyatakan secara dikotomi diakui secara sehat oleh masyarakat sebagai tenaga profesional
yang telah memiliki identitas yang kuat dalam profesi konseling. Oleh karena itu pendidikan
profesi konselor harus dirancang untuk membangun dasar bagi identitas profesional yang kuat.
Jelas bahwa hampir semua program pendidikan tinggi untuk melatih konselor harus memenuhi
standar yang ditetapkan oleh masing-masing departemen pendidikan negara.
Konselor abad ke-21 harus memenuhi pelatihan dan kredensial minimal meliputi tiga
aktivitas,yaitu (a) lulus dari program pendidikan yang terakreditasi, (b) memperoleh sertifikat
atau ijazah, dan (c) memperoleh lisensi (izin praktik) ( Vacc & Loesch,2000:304). Semua calon
konselor dilatih melalui program pendidikan yang berlandaskan kompetensi dan standar profesi
tertentu. Selain tenaga profesional memperoleh gelar untuk konseling atau bidang terkait,
konselor juga berusaha memperoleh lisensi (izin praktik) setelah pendidikan dan pelatihan
selesai. Lisensi (izin praktik) adalah penetapan kredensial secara legislatif yang dianggap jauh
lebih bernilai daripada sertifikat,karena tidak hanya mengatur gelar, namun juga praktik
profesinya.
Identitas profesional konselor akan dibuktikan oleh sertifikasi, akreditasi, dan lisensi.
Sertifikat profesi yaitu pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pelayanan konseling setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan profesi konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Akreditasi
memberikan derajat penilaian terhadap kondisi yang dimiliki oleh satuan pengembang dan/atau
pelaksana konseling seperti jurusan/program studi konseling di LPTK yang dinyatakan
kelayakan program satuan pendidikan. Lisensi memberikan izin kepada konselor untuk
melaksanakan praktik pelayanan konseling.
Konselor profesional abad ke-21, dalam praktik konseling, penggunaan teori oleh konselor
harus dilihat sebagai upaya untuk memahami klien, dimana pemahaman konselor juga bersumber
dari perasaan dan pengalaman pribadi mereka serta dari ide dan konsep.Beberapa teori yang
digunakan oleh konselor didesain untuk membantu mereka mengklasifikasi dan memahami apa
yang sedang terjadi dalam sesi konseling. Pemahaman teoretis memungkinkan konselor untuk
menyelidiki jauh ke dalam informasi yang diberikan dan mengembangkan perspektif yang
digunakan untuk memahami klien, proses konseling itu sendiri dan reaksi terhadap klien. Teori
konseling harus diintegrasikan dengan pengalaman pribadi konselor, dan akan menjadi lebih baik
lagi apabila teori tersebut dipandang sebagai seperangkat alat heuritis pembanding yang apabila
digunakan secara bijak akan mengarahkan kepada pemahaman dan pendalaman hubungan
terapeutik (McLeod,2009).
PENUTUP
Keberhasilan profesi konselor di abad ke-21ditandai terjadinya peningkatan keunggulan mutu
pelayanan dan kinerja berbasis data dan berbasis bukti sehingga profesi konselor mampu
berkompetisi di era globalisasi abad ke-21. Konselor dalam memberikan pelayanan konseling
harus memuaskan stakeholders-nya, dengan mengembangkan kemampuannya untuk tumbuh
menjadi keunggulan dan memiliki daya saing tinggi dalam kancah masyarakat global di abad ke-
21. Semuanya itu mengisyaratkan tidak hanya perubahan paradigma tetapi juga perubahan
kebijakan, peraturan perundang-undangan terkait, dan praksis yang berintikan profesionalisme
profesi konselor serta pemberdayaan semua kekuatan yang ada dan.dikelola secara profesional
dan akuntabel.
Dalam menghadapi tantangan global di abad ke-21 dan dalam masyarakat Indonesia yang
multikultural, konselor harus melihat peluang bagi profesi konseling untuk menjadi profesi bantuan
sesungguhnya, yang harus mampu merespon kebutuhan masyarakat multikultural dan masyarakat masa
depan serta mengantisipasi masa depan. Oleh karena itu, konselor harus berupaya meningkatkan
kompetensinya untuk mengokohkan dan mempromosikan identitas, kelayakan, dan akuntabilitas konselor
profesional secara nasional maupun internasional, serta menegaskan identitas profesi konseling dan
masyarakat konselor yang secara nasional telah memenuhi standar profesi konseling, sehingga dapat
memenuhi tuntutan dinamika perkembangan masyarakat global.
Konselor profesional harus menyadari dan memahami bahwa konseling merupakan kegiatan yang
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang dan secara mekanis, sebab kegiatan konseling merupakan
perjumpaan antara orang yang terlatih dalam konseling (konselor) membantu orang lain yang
membutuhkan pertolongan untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan (klien) dalam sebuah relasi
bantuan yang dibentuk untuk tujuan tersebut. Relasi ini tidak akan banyak menimbulkan masalah bila
konselor memiliki keterampilan untuk melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Kunci utama
konseling efektif adalah konselor itu sendiri, sebab konselor merupakan unsur utama untuk mencapai
hasil konseling, artinya sebagai konselor harus memiliki kepribadian tertentu yang dapat memperlancar
relasi konseling, memiliki pengetahuan menyangkut teori dan praktik konseling serta keterampilan-
keterampilan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander,A. & kempe,R. (1984). The role of the lay therapist in long term treatment. Child
Abuse and Neglect, 6: 329-334.
American Psychological Association. (2003). Guidelines on multicultural education, training,
research, practice, and organizational change for psychologists. American Psychologist, 58,
377–402.
Baker, S. B., & Gerler, E. R. (2004). School Counseling for the Twenty-firstCentury. Upper
Saddle River, NJ:Merrill/Prentice Hall.
Baker,S.B. (2012). A New View of Evidence-Based Practice. Counseling Today. 55(6),42-43.
Beck, Ulrich. (2000). World Risk Society. Malden, MA: Blackwell.
Belkin, G.S. (1975). Practical Counseling in The School. Dubuque, Iowa:W.C.Brown Company
Publishers.
Blocher,Donald H (1987) The Profession Counselor. New York: Macmillan Publishing
Company.
Blocher,Donald H. (1974). Developmental Counseling. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Bradley T.Erford. (2004). Professional School Counseling A Handbook of Theories, Programs &
Practices. Texas: PRO-ED An International Publisher.
Brown,Steven D. & Lent,Robert W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. New York:
John Wiley & Sons.
Chris Jenks (2013). Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Coffone,R.Rocco & Tarvydas, Vilia M. (1998). Ethical and Professional Issues in Counseling.
New Jersey: Prentice-Hall,Inc.
Corey, Gerald & Corey, M. Schneider. (1984) Issues & Ethics in the Helping Profession.
Menterey. California: Brooks/Cole Publishing Co.
Cormier, S., (2016). Counseling Strategies and Interventions for Professional Helper. New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Covey, S, (1993). The 7 habits of highly effective people. New York: Golden Books.