[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 19 BAB 1 TANEBAR-EVAV: SEBUAH RUANG SOSIAL, SIMBOLIK DAN RITUAL Untuk mengikuti sebuah logika observasi yang baik, tetapi juga oleh rasa, kami telah memilih untuk memasuki masyarakat ini melalui sebuah ruang, pertama-tama ruang fisik, kemudian konseptual, dalam mana masyarakat itu bergerak, dengan mulai memandang dan mendengarkannya dalam beberapa hal daripada memaksakan dari awal konsep-konsep “analitis” yang berisiko untuk mengintroduksi suatu pandangan yang terfragmentasi dari realitas. Metode eksposisi ini memberikan keuntungan bagi pembaca, yang akan tetap mengingat sejumlah kaka-kata asing. Kami menggunakannya sesedikit mungkin untuk tidak menambah kesulitan. Namun setelah semua itu, bukankah natural jika pembaca harus, selama beberapa waktu, mengatasi hambatan kecil sebagaimana diceritakan selama berbulan-bulan oleh peneliti? Dalam hal berbicara dengan sejumlah pria dan wanita, yang mana semua dalam kebersamaan yang membentuk sebuah masyarakat, kelihatannya logis untuk pertama-tama menempatkan mereka di tengah, dimana mereka hidup dan terjelaskan. Misteri dari komposisi sebuah ruang adalah sesuatu yang menarik untuk mengekplorasi. Ini adalah satu dari kejutan-kejutan pertama yang dirasakan selama kedatanganku di desa ini. Saya tinggal, merenungkan, sambil memandang desa ini, yang terbentang pada kaki-kakiku, dan sambil menjelaskan kepadaku batu-batu ini, tembok-tembok ini dan pohon-pohon ini dengan sejumlah kecemasan tentang rahasia-rahasia manusia dan tanah ini, yang dapat percaya kepadaku. Dengan demikian kita akan mengikuti jalan yang secara primitif terlihat di sepanjang desa, seputar rumah-rumah dan di dalam pulau, untuk kemudian tiba pada suatu deksripsi tentang penduduk-penduduknya, sebagaimana telah dipresentasikan di awal dan akan dijelaskan kembali kemudian. Dalam semangat ini, kami menerapkan untuk memberikan arti-arti yang berbeda kata-kata dari bahasa dan interpretasi mereka telah ajukan untuk kami. Tujuan kami bukan untuk memotong realitas dan untuk membuatnya masuk ke dalam kompartemen pemahaman antropologi. Kami memilih untuk memberikan sebuah sudut pandang bersama yang lengkap untuk pergi dengan mengusulkan sebuah awal dari interpretasi teoretis. 1. Organisasi Ruang dari Pulau dan Desa Nama Tanebar-Evav atau Tanimbar-Kei meliputi baik itu pulau maupun sebuah desa tunggal yang ditemukan di sana. Evav, dalam bahasa lokal, adalah nama yang diberikan kepada Kepulauan Kei, dimana dua pulau utama, yakni Kei Kecil dan Kei Besar, yang masing-masing diberi nama juga Nuhu Roa (pulau atau desa laut) atau Nuhuten dan Nuhu Yut (pulau tabu atau terlarang). TanebarEvav berbeda dari Tanebar-Mav, sebuah nama yang menggambarkan, dalam bahasa lokal, Kepulauan Tanimbar yang berada di barat daya Kepulauan Kei; mav berarti “asing”. Pulau yang kecil ini, yang kami gambarkan, terletak tepat di barat daya kepulauan Kei dan juga beberapa ratus mil dari Tanimbar. Di antara keduanya, inilah mungkin menjadi asal-usul nama Tanebar Evav. 19 Pulau Tanimbar Kei Pulau lain yang dekat adalah dua pulau, yang tak berpenghuni, terletak beberapa kilometer di utara, Wetir dan Nuhuta, adalah milik para penduduk Tanebar-Evav. Mereka menanam di sana kelapa dan mengambil kayu. Pada akhirnya, pohon-pohon kelapa lain ditemukan di bagian barat pulau Ur, sedikit ke utara, dimana para penduduknya terhubung oleh relasi-relasi ketergantungan dengan para penduduk Tanebar-Evav. Tempat-tempat tertutup Desa tradisional mendominasi sebuah teluk yang luas dari ketinggian dan dari sebuah jurang kecil sekitar lima belas meter yang melekung dekat pantai. Mereka memiliki akses ke sana sambil mendaki sebuah tangga kayu yang monumental, seluas dua meter, dan beberapa karang di tengah yang dengannya menjadi pintu desa, ia sendiri dikelilingi sebuah tembok. Sebagian penduduk telah memulai, untuk berbagai alasan, untuk membangun semenjak kurang lebih lima puluh tahun pada kurang lebih tiga puluh meter tanah padat yang memisahkan jurang dari pantai. Tetapi, meskipun mereka berbicara tentang oho, “desa”, mereka mengindikasikan selalu desa di atas jurang, yang lebih tua dan tradisional; desa yang di bawah disebut tahat, “air laut” (dan juga tempat rendah, selalu terletak di pantai). 20 Sebagaimana dapat kita lihat pada peta (gambar 3), teluk Tanebar Evav membentuk huruf U, yang di dalamnya ditemukan sebuah desa, dilindungi oleh pelabuhan alam. Ketika kita tiba dengan kaki kering pada saat air surut, kita melihat pertama-tama puncak tebing dengan pohon-pohon besar dan kemudian rumah-rumahnya. Kemudian kita melihat rumah-rumah pertama di desa bawah. Sambil mendekat lagi sekitar 100 meter darinya, kita melintasi sebuah tumpukan batu. Ini adalah sebuah tembok kuno (red. lutur), yang membagi bagian dasar teluk atas dua bagian, memanjang di setiap sisi sampai tepian tanaman bakau (gambar 4). Dengan sekejap mata, kita melihat di sisi kiri beberapa batu yang berdiri, seperti berbentuk manusia. (Sementara di tengah) tembok kuno ini, dengan tinggi lebih dari satu meter, yang telah menutup jalan masuk pelabuhan, dengan membiarkan sedikit terbuka sebuah jalur sempit, yang pada setiap sisi dilindungi oleh sebuah patung batu, yang merepresentasikan seorang pria yang duduk: seperti tampak pada sebuah foto yang dibuat pada tahun 1893 (Pleyte, 1893c). Patung kiri mempunyai kaki-kaki yang menyilang, tangan-tangan yang bersandar pada perut. Sedangkan patung kanan mempunyai kaki-kaki yang melipat, siku-siku pada lutut-lutut dan tangan-tangan menopang dagu. Kita hampir tidak mengenal kedua patung, kecuali bahwa keduanya menjaga jalan masuk ke pelabuhan. Terletak pada batas bagian suci dari pulau, kedua patung itu terhubung dengan siklus ritual kelahiran desa yang mencakup di dalamnya suatu periode sembilan tahunan. Pada saat ini, adalah tidak mungkin untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang patung-patung ini. 21 Gambar 4. Situasi desadari teluk sampai desa atas Dalam keadaan sekarang ini, tembok kuno itu telah runtuh di semua bagiannya yang panjang, tetapi tumpukan batu-batu menjelaskan secara sempurna susunannya. Dari dua patung, hanya tertinggal patung kiri; terfragmentasi dalam tiga bagian yang dapat dikenali: kepala, dada dan bagian bawah tubuh, yang saling bertumpuk. Tetapi seperti tembok yang telah runtuh, begitu juga patung yang dibangun kembali ditemukan terbaring di pasir, dan tidak lagi dibangunkan. Pada saat pasang naik, sungguh mengesankan melihat sebuah kepala (patung) muncul di atas permukaan air, kadangkala ia menghilang, tenggelam kembali. Anak-anak senang untuk mendirikannya kembali (jika patung itu rebah). Para remaja sedikit membicarakannya dan tampak tidak meminati patung itu. Di mana-mana, patung-patung, yang terbuka di setiap wilayah desa, menandakan tempat yang melahirkannya, dicuci secara ritual, dan seolah-olah patung-patung itu dibersihkan oleh mereka ketika melintasi pintu masuk itu, sama seperti anak mereka telah dibersihkan pada saat keluar dari rahim. Tembok ini telah dibangun kembali, kata mereka, oleh para pengungsi dari Banda (Pulau yang terkenal akan hasil-hasil rempah-rempah di Maluku Tengah), yang telah melarikan diri dari pembantaian Belanda, sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para penduduk Tanibar-Evav. Sebagian dari mereka kemudian tinggal di bagian utara-timur Kei 22 Besar, dimana mereka tinggal pada desa Wadan-El atau Banda Eli. Tembok ini mamakai nama sebuah nama dan disebut lutur ngil rov oho (bunyi yang berkumandang di seluruh desa). Mereka mengatakan bahwa sebelumnya, di dekat musuh-musuh, tembok telah memancarkan sebuah bunyi yang sangat nyaring, yang telah memberikan tanda waspada kepada semua penduduk. Melalui gemuruh bunyi lonceng, tembok ini telah menjaga desa. Penjelasan pertama ini menerangkan bahwa tembok dan patung-patung penjaga mempunyai hubungan dekat dengan sebuah perang, yang sering terjadi pada abad yang lalu. Ini terhubung dengan situasi umum desa-desa dahulu, yang sering diperkuat dan ditempatkan pada tempat tinggi di sebuah lembah atau di batu-batu karang. TanebarEvav adalah contoh terakhir yang menjadi saksi dalam literatur akhir abad ini dari tempat-tempat yang kuat yang tercatat tidak hanya di Kei, tetapi juga di Kepulauan Aru dan di Tanimbar (Riedel 1886; Planten 1893). Jalan masuk pelabuhan, terdapat lutur di pantai dengan masing-masing di kiri dan kanan terdapat sebuah patung. Foto dibuat oleh Pleyte (1893) Di Tanebar-Evav, kita menemukan di tempat lain, tembok-tembok lain di sekeliling pulau, untuk mencegah babi-babi hutan. Satu dari tembok-tembok ini, yang ditemukan memanjang dari tembok di pelabuhan, membagi pulau dalam dua bagian: di barat, Nuhuten (pulau ibu atau pulau wanita) atau pulau leluhur, dan di timur, Nuhu Yanat (pulau anak); yang pertama dianggap sebagai suci, ini adalah tanah dari para leluhur asli, yang memerintahkan kebiasaan-kebiasaan; yang kedua, tidak suci, dapat dianggap sebagai tanah para pendatang, dari mereka yang telah memberikan istriistri, dan dari anak-anak mereka; di sanalah kini diizinkan untuk membangun masjid dan gerejagereja. Sebuah pemisahan antara dalam dan luar memungkinkan untuk melengkapi interpretasi dari dua wilayah: satu, tidak suci, diperuntukan bagi para pengunjung yang datang dari luar (memang, pesisir timur dan pesisir utara-timur dekat dengan Kei Kecil, menghadapnya dan memiliki akses cukup mudah dibanding di di dalam teluk); pada pesisir yang sama ini dibuang para pembangkang yang melawan tradisi, boleh dikatakan telah terusir keluar pulau, sebelum menemukan perlindungan di sebuah pulau tetangga. Wilayah yang lain, di barat atau di tenggara, adalah sebuah tempat kejadian atau tempat kedatangan dari para leluhur atau para roh; sebuah tempat yang terlindungi, di luar di mana dimulai dunia eksterieur; ini adalah sebuah pusat yang vital dan seperti rahim dari pulau dan dari masyarakat. Wilayah ini sendiri terorganisasi dan terorientasi juga dalam sebuah rincian, sementara wilayah tidak suci tidak dikenal sama sekali subdivisi yang signifikan. 23 Di bawah jalur antara dua patung, jalur tersebut disebut ngor (mulut), sebuah area pasir dan tanah lumpur yang luas yang memisahkan desa pengunjung. Depan rumah-rumah pertama yang tegak lurus di atas pantai, mereka menandai sebuah wilayah yang diperuntakkan beberapa batu suci, yang tidak dapat gerakkan. Ini adalah tempat pemotongan tradisional beberapa binatang laut: penyu belimbing, ikan duyung dan lumba-lumba. Setelah dipotong-potong, bagian-bagian yang berbeda dibagi di antara semua penduduk desa seturut aturan-aturan. (Penyu-penyu biasa dapat dipotong dimanapun, sementara ikan paus, jika kebetulan ia terdampar, dipotong-potong dekat sebuah batu berbeda, yang disebut vat lot, “batu ikan paus”, terletak sedikit di sebelah kanan). Di sana juga, dekat batu-batu pertama, yang untuk keturunan mereka disambut para pengunjung, seperti juga mereka yang tiba kembali dari sebuah perjalanan seremonial, yang pergi atau kembali dari perang. Di luar dari kesempatan-kesempatan ini, tempat ini bukan subjek untuk larangan-larangan dan anak-anak bermain di sana tanpa masalah, di saat air surut seperti pada saat air naik. Tempat ini ditentukan, secara tepat, di poros desa, yang menuntun secara langsung pada tangga selanjutnya pada desa di ketinggian. Pantai itu sendiri, ditutupi laut dua kali setahun pada ekuinoks (red. Matahari melintas di atas katulistiwa, 21 maret dan 23 september), adalah kuburan tua tradisional. Pantai ini telah dipindahkan lebih jauh ketika para penduduk telah mulai mendiami bagian bawah dari tebing. Bagian dari pantai ini disebut ngur da mat rok (pasir dimana datang orang-orang mati). Ini bukan tempat istirahat dari 24 para leluhur, tetapi tempat dari tubuh jenazah dan dari orang-orang mati, yang orang sebut dengan nama yang sama nit; di sana orang membawa kepada mereka persembahan-persembahan, diletakkan pada tanah yang sama. Orang-orang mati mempunyai sejumlah hubungan dengan tanah-ibu dan dimakamkan dalam pasir, kaki-kaki selalu mengarah ke laut, jika mungkin ke utara, arah dari tempat peristirahatan khusus mereka. “Pantai” ini bukan lagi sebuah makam, tetapi tetap aktual tempat upacara yang dipersembahkan kepada tuhan matahari-bulan, untuk memelihara desa dari penyakitpenyakit. Namun, ini bukan sebuah tempat tabu dan rumah-rumah dibangun di sana tanpa sebuah ritual khusus. Untuk pergi ke desa di ketinggian, harus menyeberang sebuah benteng suci yang sungguh nyata, dimana sejarah panjang terhubung pada kedatangan kelompok-kelompok imigran. Pertamatama mendaki sebuah tangga yang besar sekitar sepuluh meter tingginya, kemudian beberapa karang, kita tiba pada pintu; pintu ini, terbenam di dalam karang, telah dibuat dahulu dari sebuah kusen pintu dan dari dua daun pintu; satu daun pintu masih terletak pada tempatnya, daun-daun pintu, tidak terpasang, tergeletak di tanah di samping. Pintu dan tangga diukir. Kita menemukan di sana gambargambar daun pada pintu, gambar-gambar ayam, telur-telur, seekor anjing dan bahkan sebuah bayangan hitam manusia pada kusen pintu dan sandaran tangga. Ukiran-ukiran utama adalah ukiranukiran ular dan ikan paus, yang mana kita menemukannya pada bagian atas kusen pintu; sandaransandaran tangga memiliki semuanya bentuk ular. Kepala-kepala ular dan paus – ini sangat berkelas dan mereka menandainya seperti dalam bentuk sebuah balok besar di atas pintu- memandang ke arah bagian utara-barat, dari bagian interieur desa, mengarah ke kiri. Ular adalah penjaga pintu dan tangga ini, jadi seperti benteng desa; ular ini diidentifikasi dengan seekor ular merah kecil, dengan gigitan mematikan, dimana ia dilarang untuk dibunuh; di dalam bentuk yang lain, ia secara simbolik terhubung pada gunung suci yang terletak pada pusat desa. Ikan paus terhubung secara semantik dan simbolik pada sebuah konsepsi “masyarakat” (lihat bab 2); pada bagian ini, ikan paus menerima persembahan-persembahan ritual; sebuah tempat kultus disediakan baginya di pantai, disebut batu vat lor. Ular dan ikan paus adalah dua figur esensial bagi sebuah interpretasi sosiologis. Mereka diperlawankan seperti ungkapan dari dua aspek berbeda dan komplementer dari Hukum dan hubungannya dengan masyarakat. Tangga menuju desa atas dan pintu masuk desa 25 Tangga dan pintu, masing-masing memiliki nama sendiri-sendiri seperti digunakan juga bagian-bagian berbeda seputar pintu masuk. Pintu ini terletak sedikit di bawah dibandingkan dengan ketinggian desa, dimana kita mencapainya dengan memanjat beberapa karang; dengan demikian, sebuah tangga kecil pada tiang-tiang berukir telah memungkinkan perjalanan ini. Sejumlah ritual dihubungkan dengan pintu masuk ini; secara khusus, pemeliharaan pintu dan tangga, atau perbaikan keduanya, tidak dikerjakan pada saat-saat kebetulan; mereka adalah jantung-hati lingkaran ritual kelahiran desa, yang dibuat dalam sembilan tahun. Tembok (lutur) dan kesatuan tangga dan pintu adalah pendukung-pendukung material dan simbolik, dengan mana ritual-ritual memberikan semua kepentingannya dalam renovasi desa. Perjalanan melalui tangga merupakan pintu masuk utama dan juga merupakan pintu kehormatan dari desa. Pintu ini dapat ditutup dalam kasus perang. Ada juga dua jalan masuk yang lain, satu di kanan di luar desa, yang lain di kiri di dalam desa, dimana kita memasukinya juga melalui tangga-tangga dan pintu-pintu. Yang pertama secara simbolik dijaga oleh ular; ini adalah jalur bagi para wanita dalam periode larangan. Yang kedua ditujukan bagi para budak, tetapi tidak lagi digunakan juga tidak dapat digunakan pada masa kini; meskipun demikian orang melakukan di sana ritual-ritual. 26 Desa itu sendiri dikelilingi oleh tiga sisi dengan sebuah tembok batu, yang mencakup ketinggian satu setengah meter; mereka menyebutnya “dinding dengan empat sisi”, tembok itu melingkari wilayah persegi empat dari desa atau desa yang dikelilingi dengan benteng. Di dalam cerita-cerita perang, mereka menyebutnya kot (dalam bahasa Indonesia, kota, atau “kota yang dikelilingi dengan benteng”, sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta), artinya tempat yang kuat. Ini adalah sebuah kubu pertahanan untuk mematahkan serangan, ketika orang ingin memasuki pertahanan musuh, dan dengan demikian semua desa terlindungi. Sisi tembok yang mengikuti tebing berhadapan dengan laut hanya merupakan sebuah tumpukan batu, yang tidak mencapai tinggi 30 sentimeter. Ini adalah sebuah tempat tinggal ular dan adalah sebuah larangan bagi orang untuk memindahkan batu. Tetapi tiang-tiang penyangga rumah dapat lebih tinggi darinya dan dengan begitu empat pemukiman dibangun dengan baik di tepian tebing. Masing-masing dari dua sisi tembon, tegak lurus dengan tebing, menurun ke dua tempat untuk memungkinkan sebuah jalan menuju ke hutan. Dua dari jalan tersebut hanya mempunyai nama “pintu”, fid, dan sebagai jalan masuk utama, ditempatkan di bawah lindungan ritual dari beberapa penduduk desa; jalan-jalan ini menandai titik keberangkatan dari arah-arah yang menuju ke hutan. Dengan demikian desa ini ditutup oleh tiga “pintu” utama. Di belakang, pada sisi yang keempat, pararel dengan jurang, tidak terdapat tembok dan desa membelakangi langsung hutan. Dengan demikian, sisi ini dalam beberapa hal dilindungi oleh perpanjangan dua tembok samping ke dalam hutan. Di balik rumah-rumah yang terakhir, dibuat dua jalan yang pararel dengan tembok-tembok ini, yang selanjutnya membingkai bagian belakang desa dengan sesuatu yang mirip tali hutan, dan masuk ke dalam melintasi hutan-hutan kecil sampai ke bagian barat dari desa. Dengan demikian dua jalan ini membatasi sebuah ruang sentral yang disebut “belakang” atau eksterieur desa, oho mirin, tempat sangat suci dimana tinggal roh-roh yang dihormati. Di tengah dari tempat ini, suatu bagian yang secara khusus menjadi pokok larangan-larangan. Tempat ini dibatasi oleh sisi desa dan di sisi lain, sekitar satu kilometer menuju bagian dalam dari desa, oleh sebuah tembok kecil yang diperuntukan untuk menutup jalan bagi babi-babi hutan. Di luar waktuwaktu seremonial, tempat ini secara praktis terlarang; dilarang untuk mengambil kayu, meludah dan kencing atau melakukan relasi seksual di sana. Pelanggaran atas tabu ini diberi sanksi melalui hukuman yang sangat berat, sama seperti incest atau perzinahan. Karakter suci dari tempat ini ditandai dengan mitos-mitos dan ritual-ritual yang terhubungan dengannya, oleh roh-roh yang bersemayam di sana, oleh tabu-tabu yang melindunginya. Jalan-jalan yang menjadi batasnya adalah juga menjadi zona tabu, tetapi pergi dan pulang bukan merupakan larangan. Perjalanan-perjalanan memiliki juga sebuah nama diri dan sejarah dimana urutan yang sangat penting mengingatkan pada rute yang dilalui oleh roh-roh untuk tiba di desa: setelah berjalan keliling pulau, mereka menggunakan salah-satu dari jalur-jalur ini untuk tiba di desa melalui barat, melalui belakang – dirancang di sini seperti sebuah jalan masuk. Mereka menyebut ini dua jalur “pintu”. Dengan demikian desa ini memiliki untuk akses tiga tangga yang berhadapan dengan laut, dan lima pintu, dimana dua untuk berbalik ke hutan, dua jalan utama, yang semacam, memanjang dari desa sampai ke sisi barat, yang menggambarkan suatu ruang yang secara fisik terbuka tetapi secara ritual tertutup. Desa dan jurang menghadap ke utara-timur, tetapi sebenarnya sama seperti tembok di tepian pantai, mereka dianggap oleh penduduk desa menghadap ke timur; mereka menemukan kembali di sini oposisi timur-barat, yang telah menandai dua bagian dari pulau (Nuhuten dan Nuhu Yanat), yang dipisahkan oleh tembok. 27 Rumah-rumah dan tiga tempat Dua puluh tiga rumah tradisional terletak dalam sebuah ruang segi empat dari desa. Tanahnya miring, menanjak menuju ke hutan; tanah itu telah diratakan melalui tempat-tempat yang tinggi; masing-masing ditopang oleh satu baris batu-batu dengan tangga-tangga kecil untuk melangkah. Dengan demikian, rumah-rumah yang terletak di belakang menjulang di atas yang lain, tetapi ini bukan berarti bahwa tingkatan rumah ini secara sosiologis penting. Gambar 5. Plan desa 28 Rumah-rumah menyebar dalam kelompok-kelompok kecil sekitar empat atau lima, sehingga rumah-rumah tersebut berhadapan satu dengan yang lain 1 . Ini adalah rumah-rumah rektanguler, terbuat dari kayu, di atas tiang-tiang penyangga; pintu masuk selalu ditandai oleh sebuah serambi, dimana kita memiliki akses masuk melalui sebuah tangga kecil; di setiap kelompok, dengan begitu serambi-serambi saling berhadapan dua-dua. Ada tujuh rumah di bagian tanah yang datar, dan yang lain tersebar di tanah datar yang lebih tinggi, dan tanpa putus ditandai bersama rumah-rumah yang pertama. Demikianlah ini tersusun, rumah-rumah dibatasi dalam tiga tempat; setiap rumah terasosiasi secara fisik dan sosiologis dengan satu dari tempat-tempat ini. Ada pula tempat-tempat sekunder dalam jarak antara dua atau kadangkala tiga rumah. Tiga tempat ini ditandai dengan kehadiran sebuah tempat suci yang terasosiasi pada mitosmitos asal-usul dan secara periodik dihoramati dengan kurban-kurban. Tempat-tempat ini membagi luas desa dalam tiga bagian, bukan dalam oposisi antara bagiannya yang lebih tinggi dan bagian yang lebih rendah, tetapi pembagian-pembagian pararel antara sisi-sisi tembok. Jadi ini membatasi sebuah pusat dan dua sisi, yang membawa masing-masing sebuah nama diri yang berbeda dari nama tempat yang berhubungan. Desa dalam keseluruhannya selanjutnya digambarkan sebagai seekor ikan dimana kepala menghadap ke utara (sisi kanan di peta, gambar. 5), dimana perut adalah bagian sentral dari desa, dan dimana titik ekor di bagian selatan (sisi kiri di peta). Pembagian atas tiga bagian ini tidak hanya dipengaruhi lembah, tetapi diperpanjang sampai di tembok (lutur) di pantai, maka pembagian ini teraplikasi sampai di desa bagian bawah. Tiga bagian ini juga dibedakan di tepi pantai itu sendiri; anehnya, ketika arus lambat dari gelombang pasang mulai masuk, air melewati dahulu “mulut” antara patung-patung, kemudia air itu terbagi dalam saluransaluran yang dihantar masing-masing menuju ke pusat, ke kiri dan kanan pantai, sambil menampakkan semacam tiga bagian. Kenaikan air laut dalam bentuk meruncing, dibentuk di air pasang, menurut beberapa orang disebut la‟oan. Istilah ini menggambarkan juga tiga bagian dari desa, yang bukan hanya spasial, tetapi juga sosiologis (gambar 4). Tiga la‟oan, pembagian-pembagian spasial dan territorial, disebut masing-masing: la‟oan vovan rattan atau “atas-bawah” (di kanan dari gambar 5), la‟oan faruan, “di tengah”, dan la‟oan e wahan, “di tepi” (di kiri). Bagian vovan-ratan diartikan secara khusus oleh dua tempat penting: dari sisi atas, ditemukan sebuah lubang, sekarang ini ditimbun dan dibatasi batu-batu, disebut nuhu fuhar, pusar dari pulau”, dilukiskan dalam satu dari dua mitos utama asal-usul desa. Menurut versi pertama dari mitos, seorang laki-laki atau roh, Lev, muncul pada titik dan waktu yang sama ketika cahaya hari pertama muncul, setelah ayam berkokok; versi kedua menceritakan tiga laki-laki muncul dalam kondisi yang sama. Sebuah kultus dibuat di sana, dalam kenangan akan Lev, dirancang seperti seorang leluhur dan disebut “roh” mitu2; mereka memberikannya korban babi sebagaimana kepada roh-roh desa. Ia adalah leluhur dari kelompok yang dibentuk oleh penduduk-penduduk dari tiga rumah (5, 6 dan 7 pada bagian atas di kanan pada gambar 5), dan kultusnya ditandai dengan larangan-larangan khusus. Tidak akan ada tempat pertanyaan tentang tempat pemukiman, yang mengatakan “desa bawah” di kaki jurang; “rumah” yang memiliki sebuah nama diri disatukan secara sosiologis dan kelompok kekerabatan 2 Mitu adalah nama umum yang diberikan kepada roh-roh penjaga desa dan rumah-rumah; sebagian memiliki nama sendiri. Mereka adalah perantara antara tuhan matahari-bulan dan menusia dan dibedakan dari orang-orang mati, nit. 1 29 Dekat dengan jurang, ditemukan sebuah tempat besar Wama Tamo, dikelilingi oleh empat rumah berhadap-hadapan (gambar 5, no 1 sampai 4). Ini adalah tempat tinggal dari salah satu roh lain, secara partikular diperuntukan bagi budaya botan. Mitos mengatakan bahwa roh ini, Labul, tiba di Kei Kecil; di tempat asal-usulnya, ia telah datang dari langit, dari atas. Lokasinya adalah tempat dari banyak sekali pesta-pesta seremonial, semuanya secara relatif untuk botan. Satu dari rumah-rumah ini, Teli (no 1), memainkan peran dari lumbung masyarakat yang dipandang suci, dimana botan ini dirawat semejak beberapa generasi. Ini juga adalah tempat kultus roh-roh Labul dan Aturan, yang kelihatannya saling tercampur. Pada tempat ini, tetapi di suatu rumah lain, juga diasosiakan dengan satu dari roh-roh yang menjelmakan beberapa aspek dari hukum, roh Hukum, secara simbolik terkait dengan ikan paus. Dua roh, Labul dan Hukum, berhubungan dalam perkara komplementer: penjaga aturan-aturan positif dari budidaya botan; yang lain, sanksi-sanksi pada umumnya. 30 Bagian kedua, faruan, di tengah, terorganisasi seputar tempat besar Wama Vurfen –secara harafiah berarti “memotong penyu”- yang behubungan dengan tempat pemotongan di tepi pantai; di sisinya, suatu bidang datar, agak tinggi dari batu-batu, berbentuk segi empat, setinggi satu meter; ini adalah tempat pemujaan roh Larmedan. Gundukan kecil ini merepresentasikan gunung suci, yang disebut Vu‟ar Masbait, tempat tinggal dari ular mistik naga. Ia menjaga secara simbolik kepemilikannya, yakni aturan-aturan tradisional dan harta karun desa. Menurut mitos besar kedua dari asal-usul, di sana turun dari langit tujuh saudara, tujuh sultan –yang kemudian akan pergi menetap di berbagai tempat di Maluku-, dan seorang perempuan; satu dari ketujuh saudara ini adalah leluhur desa. Bersama mereka muncul sebuah pohon besar yang suci, yang menyimbolkan uang-uang dari pulau. Tempat Vurfen adalah sebuah tempat penyembahan bagi Tuhan, tapi juga tempat pertemuan selama ritual untuk budidaya botan. Sementara di tempat Tamo, masyarakat desa bertemu untuk menghormati hukum dan satu dari proses-proses hukum, di tempat Vurfen, tempat ini merepresentasikan suatu komunitas penduduk-penduduk yang terhubung dengan aturan-aturan positif dari organisasi yang memberikan bersama-sama klasifikasi-klasifikasi yang besar dan logika dunia. Oposisi dari dua tempat di desa ini mencakup suatu oposisi fundamental antara dua cara yang menjadi milik masyarakat yang harus dipahami. 31 Seputar tempat Vurfen ini diatur tujuh rumah (no 9-16), dimana empat rumah membentuk suatu tempat yang lebih kecil dengan nama Vurfen iten, yang berarti Vurfen “ibu” atau “perempuan”. Keseluruhan terletak secara tepat pada poros dari pintu dan tangga, di bagian sentral desa, yang disebut “sisi atas tangga”. Pada lapisan tanah yang tinggi di atas tangga, orang-orang mati, nit, dihormati dengan persembahan-persembahan dan pengorbanan-pengorbanan; dimana pun juga, di desa atas, mereka adalah objek dari korban. Tempat ini berhubungan dengan tempat di bawah jurang, di tempat kuburan, di tepian pantai. Di bagian lain, tempat Vurfen ini dibatasi oleh dua rumah (no 22 dan 23), yang dibuat berhadapan dan dibatasi suatu tempat kecil, Vumas. Tempat ini dibaktikan bagi roh yang paling dihormati di desa: Adat, yang disebut Rat Bad Ham3. Dengan demikian, bertempat tinggal di belakang desa, roh ini adalah penjangga wilayah suci, yang meluas menuju ke barat, antara dua jalan, oho mirin. Ia adalah, berangkat dari namanya, “raja yang mengadili dan yang membagi”, ia merepresentasikan hukum, artinya kumpulan kebiasaan-kebiasaan dan sangsi-sangsi. Dialah ordinator segala hal; ia menuntut pelaksaan ritual-ritual perdamaian dan silih. Menurut pemetaan spasial, roh ini dihubungkan dengan tempat Vurfen di pusat desa, tetapi dua rumah (no 22 dan 23) berpartisipasi secara sosiologis dengan dua bagian samping desa. Dalam arti ini, roh Adat menggambarkan secara simbolik bagian puncak dari arsitektur desa dan waktu yang sama menjadi pusat ritual dan keagamaannya. Ia termanifestasi, sebagaimana akan terlihat, pada beberapa tingkatan. Wilayah ketiga dari desa e wahan (di kiri pada gambar 5) terorganisasi pada Wama Kartut, dimana bersemayam roh Limwad. Sebuah bidang datar yang agak tinggi dari batu-batu adalah sebuah tempat bagi pengorbanan-pengorbanan yang diberikan kepada roh ini. Datang kepadanya juga dari Kei Kecil, dalam kebersamaan dengan roh-roh pendiri dari beberapa rumah, sejarahnya kurang dikenal dengan baik. Dari lima rumah yang dikelompokkan pada tempat ini (no 17 – 21), dua dari antara mereka (no 17 dan 21) memiliki asal-usul yang sedikit berbeda, yang menghubungkan mereka dengan bagian pertama vovan-ratan. Selanjutnya, roh Wilin, sahabat dari Hukum dan partnernya dalam mempertahankan hukum, bersemayam juga di tempat Kartut. Tanpa upacara penting apapun yang menyatukan masyarakat dilakukan di tempat ini, yang nampaknya kurang diminati jika dibandingkan dengan dua yang lain. Mereka menyatakan bahwa bagian desa ini, dalam banyak hal, terhubung pada yang pertama. Itu berarti baik dua bagian ini maupun kelompok-kelompok yang mereka defenisikan, melalui ungkapan wahan kid ru, “batas dari dua sisi”, menyatukan mereka sambil memperlawankan keduanya pada sebuah bagian pusat, yang disebut “tengah”. Jadi kita dapat menjelaskan wilayah desa sebagai pemisahan, baik itu dalam tiga bagian, maupun hanya dalam dua bagian, artinya pinggiran-pinggiran dan sebuah pusat. Nama-nama dari roh-roh Hukum, Adat dan Aturan, yang berasal dari kata Arab, dipakai oleh bahasa Indonesia. Kata-kata ini berarti secara respek di dalam bahasa Indonesia: kebiasaan, hukum atau sangsi, dan aturan-aturan. Disatukan dalam kultur lokal, nama-nama ini dipersonifikasikan dan dijadikan roh-roh penjaga desa. 3 32 Dengan demikian semua rumah tradisional desa terbagi antara tiga bagian besar la‟oan, masing-masing sering dibagi dalam sub-divisi dalam tempat-tempat kecil. Tiga tempat terhubung pada lima roh mitu yang terpenting dan yang tergabung dalam tempat-tempat lain yang terbatas dan menjadi milik masing-masing sejarah partikuler mereka. Penduduk-penduduk desa pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk menandakan sebuah ritual dari sebuah periode setahun atau pelaksanaan sebuah kerja bersama yang terpimpin. Wilayah sekitar desa terdefinisikan melalui tembok, pintupintu, tangga-tangga, jalur-jalur keberangkatan dan tempat-tempat yang menunjukkan peristiwaperistiwa utama yang bersifat mitis, sosiologis dan religious. Melaluinya, mereka melihat suatu organisasi tertentu dari hidup masyarakat, bahkan sebelum mengetahui struktur. Mereka dapat menamai kesatuan-kesatuan dari tampilan yang koheren dan mungkin penuh dengan kontadiksi. Pembagian yang berciri tiga diperlukan pada tingkat spasial daripada mistis: tiga pintu utama, tiga tangga, tiga jalur di pantai, tiga leluhur pendiri untuk satu mitos asal-usul dan tiga tempat. Namun, beberapa fitur yang diamati dalam realitas kejadian-kejadian membuat kita berpikir bahwa dua dari pembagian-pembagian spasial secara sosiologis lebih signifikatif daripada yang ketiga, dan pada tempat lain, yang pertama dan ketiga mempunyai di antara mereka titik-titik kesamaan. Kenyataankenyataan ini bermaksud mengurangi menjadi dua pembagian dalam tiga, tetapi juga satu konsep dan konsep yang lain harus diambil dalam pertimbangan untuk dianalisa. 33 Lebih dari itu, harus dijelaskan bahwa di semua Kepulauan Kei, desa-desa disebut masingmasing, dalam lagu-lagu, sejarah-sejarah dan mitos-mitos serta melalui nama-nama dari dua tempat utama mereka. Dalam apa yang diperhatikan oleh Tanebar-Evav, mereka menyanyikan Wama VurfenTamo; jadi ini adalah tentu saja dua tempat yang penting untuk identifikasi desa dan yang ketiga tinggal tetap untuk menjelaskan. Tempat-tempat lain menggambarkan desa-desa dengan empat nama maskulin dan feminim, semacam nama keluarga, melalui nama-nama dari dua belan, melalui nama dari pantai yang ada di hadapannya, melalui nama dari pelabuhan dan melalui nama dari sebuah tempat di laut di depan desa; pada akhirnya melalui nama dua makanan yang khas dari desa. Di Tanebar-Evav, inilah nama dari Ditoknil-Masbait, Welav-Farfar, perahu Ha‟a Ub-Sardes, pantai Ngur Da Mat Rok, pelabuhan Lutur Ngil Rov Oho, batas di laut Nam Ngil Vovo, dua makanan nur dan botan; cukup dengan menyebutkan satu dari nama-nama ini untuk mengetahui bahwa inilah desa Tanebar-Evav4. Ada banyak hal yang akan dilakukan dalam analisis tentang pembagian dalam dua dan tiga ini, kekayaan yang luar-biasa dari terminologi spasial yang menjelaskan sejumlah hal mendasar adalah daftar dari masyarakat ini tentang tanah dari pulau ini. Berbunga-bunganya nama-nama tempat dan klasifikasi metodiknya menunjukkan, dengan arti-arti literal dari setiap kata, kepentingan dari setiap posisi, satu dalam hubungan dengan yang lain. Setiap pintu, setiap tangga, setiap jalan, rumahrumah, tempat-tempat, tempat-tempat kudus, pohon-pohon dan batu-batu mengimplikasikan apriori keberadaan dari relasi-relasi spesifik antar istilah. Sebuah detail istimewa akan menjadi berharga untuk menuntun sebuah arah progresif dari analisa sosiologis. 2. Arah-arah mata angin Di balik konfigurasi ruang, konseptualisasinya berhubungan langsung dengan suatu sisipan sosial dan ritual dari pulau dalam dunia dan pulau-pulau dalam kesatuan dengan kemanusiaan. Untuk memahaminya, haruslah mendefenisiskan posisi-posisi, arah-arah yang seputarnya mengambil tempat dan terorganisasi yang hidup dan yang mati, desa dan pulau, rumah dan kapal layar. Gambar 6. Arah-arah mata angin utama Dunia dilingkupi oleh empat titik kardinal, disebut dun, “sudut”, ditambahkan empat arah tengah utara-barat, utara-timur, selatan-barat dan selatan-timur. Namun pembagian dalam delapan ini Satu dari perahu-perahu ini adalah “yang tertua”, yang lain adalah “yang muda”. Selain itu, lagu-lagu perang dipahami selalu dalam dua “sisi”, sisi kanan “tertua” dan sisi kiri “yang muda” dan refren lagu, artinya tiga bagian. 4 34 tidak ditemukan lengkap, karena mereka menjelaskan keberadaan hanya “tujuh angin”, dimana asalusul mistik menjelaskan tentang tujuh saudara yang hilang; yang sulung tinggal di timur dan adikadiknya berturut-turut di selatan, di tenggara, kemudian di timur laut, -yang terakhir memperkuat angin timur ketika angin selatan mulai bertiup sangat kencang. Mitos tidak mengatakan dengan aturan apa berdiam mereka yang lain, tetapi mitos menjelaskan secara persis bahwa mulai dari timur, anginangin “naik” ke selatan, kemudian “turun kembali” ke tenggara melalui selatan. Selatan disebut sebagai “di tinggi” atau “sisi tinggi”, utara disebut “di bawah” atau “sisi bawah”. Mereka mengisahkan juga bahwa di barat, tiga saudara meniup angin musim. Terlihat dengan baik bahwa mereka menghadirkan di sini dua oposisi. Pertama, timur/ barat, ditandai dengan suatu bidang horizontal yang sama melalui intervensi indra dari angin-angin yang dominan – angin pasat 5 dan angin musin- dan mengenakan nama-nama yang dipinjam dari bahasa Indonesia, tumur “timur” dan varat “barat”. Oposisi yang kedua pada waktu lain utara dan selatan, tetapi masing-masing menunjuk atas dan bawah; nama-nama dari arah ini menggunakan nama diri dari bahasa lokal, madmar, “utara” dan taranan “selatan”. Jadi sumbu dari utara-selatan terhirarki dari bawah ke atas dan membawa sebuah beban ritual partikuler pada masyarakat pulau dan pada sejarah mistik. Bagi penduduk-penduduknya, desa menghadap ke timur, begitu juga tembok yang membagi pulau dalam dua bagian, timur dan barat. Dalam kenyataan, peta dari tempat-tempat menjelaskan bahwa desa, jurang dengan mana ia bertengger dan tembok desa yang dibuat menghadap ke timur laut (utara-timur), menurut sebuah poros barat laut (utara-barat)/ atau tenggara (selatan-timur), yang telah melewati panjang jurang. Poros ini juga adalah poros dari angin-angin muson dan angin pasat yang mereka sebut dari timur dan dari barat. Penduduk-penduduk desa seakan terorientasi pada utara-barat, yang telah membentuk tubuh dengan barat dan timur laut dengan timur, sambil boleh dikatakan searah dua arah tengah barat daya/ utara timur dan tenggara/ barat laut untuk meminimalkannya pada suatu oposisi tunggal timur/ barat. Rotasi ini teramati cukup sering dalam daerah-daerah ini dan bertepatan dengan angin-angin yang dominan bersama dengan arah timur dan barat. Dalam kasus khusus Tanebar-Evav, oposisi bawah/ atas yang terorientasi pada utara-selatan mencakup arah timurlaut, untuknya berhadapan dengan desa; dalam arah yang sama timur laut terletak pulau-pulau utama dari kepulauan yang melaluinya mereka “turun”. Dengan demikian mereka dapat “melihat” di sisi timur dan utara dari sisi yang sama, dari sisi bawah partikuler ke masyarakat, yang berlawanan dengan barat dan selatan, sisi dari atas (bdk. gambar 6). Dari konsep-konsep yang berbeda ini tampaknya membuat kita “kehilangan utara”, bagi kita orang-orang barat yang berjalan di belahan bumi selatan, harus menarik dua proposisi tentatif; pada tingkat umum dimana ditempatkan bagian pertama dari analisis, ada dua arah yang tidak memiliki signifikasi yang sama. Yang pertama, arah timur-barat, adalah arah universal, arah dari angin, arah dari matahari dan tanpa mengabaikan arah utara-selatan, karena ia mencakup semua garis tengah (barat laut dan barat daya adalah barat dan timur laut dan tenggara adalah timur); ini adalah orientasi umum dunia dimana untuknya bahasa lokal tidak memiliki kata-kata dan menggunakan kata dari Bahasa Indonesia. Kedua, utara-selatan, adalah arah signifikatif pada tingkat lokal dan terhubung pada suatu konsep lokal tentang dunia, yang dibagi atas dan bawah yang mengarahkan pulau pada pulau-pulau lain, tetapi juga desa, rumah dan kesatuan universal lokal. Sebagaimana kita telah membahasnya perihal problem-problem dari luar dan dari dalam, depan dan belakang, harulah dibuat analisis persis setiap kali pada tingkat mana dan tentang tingkat mana; hal ini mengakibatkan terungkapnya perbedaan-perbedaan dan kebalikan-kebalikan dari suatu (Penerj) Angin yang bertiup tetap sepanjang tahun dari daerah subtropik menuju ke daerah katulistiwa. 5 35 tingkat pada tempat lain, yang membawa semua rasa mereka ketika mereka bermaksud untuk membuat suatu artikulasi dari berbagai tingkatan. Dalam hubungan dengan arah utara-selatan, harus dicatat sebuah kontradiksi nyata dalam mitos asal-usul yang menceritakan kepada mereka kedatangan entitas-entitas supranatural dari utara, tetapi juga dari langit, artinya dari tempat tinggi. Demikian juga sejarah penyu belimbing, binatang laut ini yang adalah juga seorang leluhur, atau sejarah Labul, satu dari roh-roh desa. Arah utara adalah juga tempat peristirahatan orang-orang mati. Meskipun demikian, dari satu sudut pandang, beberapa roh, untuk mencapai desa, tiba di sisi barat daya. Roh-roh ini masuk melalui bagian belakang desa, yang dibuktikan dengan adanya zona terlarang suci, oho mirin. Ada di sana dua model rujukan: yang pertama berhubungan dengan dunia kosmik, yang datang dari utara, dari langit, dari atas, beberapa entitas supranaturel; kedua, berhubungan dengan desa riil dan dunia yang hidup, yang menyatakan kedangan entitas-entitas supranatural dari belakang desa, tetapi dari selatan, dari bawah. Jadi adalah mungkin bahwa suatu oposisi antara atas dan bawah tidak menjelaskan sudut pandang yang sama dari internal desa dan ekternal desa, artinya dari suatu titik, dimana kemanusiaan terletak dalam relasinya dengan hal-hal yang luar biasa. Oposisi antara sesuatu yang mistik “di atas” yang menampakkan bagian di utara dalam dunia seberang sana dapat berhubungan dengan suatu posisi “di atas” kongkrit, yang menampakkan bagian di selatan dalam dunia di sini (bdk. gambar. 7). Skema akan terasa sulit, ketika mereka memunculkan konsep umum tentang dunia berhadapan dengan relasi-relasi, sambil mengambil titik-titik referensi. Orang-orang Kei menempatkan leluhur-leluhur mereka di atas orang-orang hidup dan di depan mereka; mereka menyebutnya lan u, mereka yang “mengantar di depan”, yang “membuka jalan”; mereka adalah karat “atas”, artinya di atas. Para turunan adalah femur, apa yang ingin dijelaskan sebagai “setelah” dan “kemudian”, kata yang memiliki akar kata mur, “di belakang”; mereka juga adalah kabav, “bawah” dan “di bawah” (gambar. 8). Gambar 7. Posisi perbandingan desa dan dunia 36 Gambar 8. Posisi para leluhur terhadap yang hidup Menarik secara semantik untuk dicatat tentang kata mur, “belakang”, yang secara pasti tidak memiliki arti kata yang sama dengan mirin, “belakang”, tetapi juga “punggung” (dari tubuh) dan “dibelakangnya”. Mur juga adalah sinonim dengan kata nangan, “hutan”, “bagian dalam” pulau, dan “pedalaman” dibandingkan dengan di pesisir, dan di laut, roa. Jika mereka pergi ke kebun, mereka menggunakan kata mur. Mirin, dari sisinya, ingin mengatakan hanya “punggung” dan “belakang”, tetapi juga “bagian luar”, seperti contoh desa, artinya hutan (sebagai mur), tetapi juga bagian luar dari pulau. Ketika kita melihat sebuah kapal layar datang, ini adalah tal mirin, “dari luar”. Mereka ingin menonjolkan di sini bahwa dua kata, yang memiliki arti berdekatan dan berarti “belakang”, kadangkala memiliki arti yang sungguh berbeda satu dengan yang lain: interieur untuk yang pertama dan eksterieur untuk yang kedua. Kenyataan kontradiksi ini mewajibkan kita untuk membuat persis apa yang di dalamnya terletak oposisi-oposisi yang dicapai untuk menjelaskan, yaitu: desa yang tertutup oleh oposisi yang ada dari pulau; bagian dalam pulau berhadapan dengan lingkungannya, laut dan pantai; sekitar pulau berhadapan dengan dunia eksterieur yang secara tepat dikatakan, baik itu kepulauan Kei, maupun Maluku seluruhnya. Di luar itu, mereka menembus negeri-negeri asing, yang berasal dari Makasar atau dari Prancis. Dengan demikian, mereka dapat, dan pada setiap tingkatan, membentuk suatu semesta yang tertutup, dimana batas-batas yang berhadapan dengan dunia eksterieur selalu secara persis tergambar. Antara yang hidup dan para leluhur, femur dan lan u, mereka tidak mengimplikasikan perbedaan antara “interieur” dan “eksterieur”. Namun kita melangkah lebih jauh bahwa oposisi ini memainkan peran yang menentukan untuk membedakan berbagai tipe roh-roh atau leluhur-leluhur. Untuk singkatnya, hanya perlu bagi kita mempertimbangkan bahwa para leluhur ditempatkan secara konseptual di tempat tinggi dan di depan. Ketika mereka menceritakan suatu genealogi, mulai dari leluhur yang lebih jauh, mereka “menurunkan” dari generasi ke generasi secara progresif melalui mereka yang hidup, yang datang kemudian, dari belakang. Hubungan antara para leluhur-mereka yang hidup terdefenisikan secara esensial ke dalam dua istilah ganda: atas-bawah dan depanbelakang. Situasi desa dapat dibuat persis juga mulai dari empat oposisi. Di sini dianggap desa dalam hubungan dengan lingkungannya, artinya pantai, hutan, pulau dan bukan dalam hubungan dengan peta interieurnya, dibatasi oleh empat sisi lutur desa. Kita telah mendefenisikan apa yang merupakan bagian belakang desa: semua bagian dari hutan yang kemudian langsung didukung rumah-rumah yang ada pada baris terakhir dan yang merupakan sebuah wilayah terlarang dan suci; kita menyebutnya oho mirin, “punggung” dan “bagian luar” desa. Pada bagian depan desa terdiri atas pantai (tempat kuburan kuno, disebut ngur da mat rok, “pasir dimana berasal orang-orang mati” dan di pantai sampai tembok masuk dari dermaga. Tempat 37 ini juga dianggap sebagai bawah dan “bagian bawah”, tenan, sementara oho mirin adalah atas desa dan “bagian atas”, ratan6. Sambil memahami desa, depan terasosisi dengan atas dan bagian belakang dengan bawah. Kita telah menggariskan bahwa pintu masuk desa, disebut “mulut”, antara dua patung, mengantar pada tangga melalui jalan yang ditandai dengan beberapa titik penting pada peta ritual dan sosial. Depan ini juga adalah tempat dari orang-orang mati, sementara bagian belakang adalah tempat peralihan dan tempat tinggal dari roh-roh. Ini tampaknya masuk pada kondisi apa yang kita ingin untuk katakana pada paragraph sebelumnya tetang posisi konseptual dari para leluhur. Memang, para leluhur telah ada di depan, tetapi di atas. Di sini kita melihat orang-orang mati di depan, tetapi di bawah, di bagian bawah dari desa. Dalam kenyataan, tidak ada di sana kontradisi, tetapi perbedaan yang ditandai antara para leluhur dan orang-orang mati. Persembahan-persembahan yang dialamatkan kepada orang-orang mati, dalam beberapa ritual, diletakkan secara langsung di tanah. Sebaliknya persembahan-persembahan yang diberikan kepada para leluhur, selalu ditempatkan pada posisi lebih tinggi, sebagaimana contoh di dalam rumah-rumah. Kita memiliki di sana dua tingkatan konseptualisasi berbeda, di satu sisi orang-orang mati yang terurai dalam tanah, terhubung pada tanah, pada bumi; di sisi lain orang-orang mati yang menjadi leluhur, terhubung pada sesuatu “di atas” dari sesuatu yang cukup sulit didefenisikan. Berhubungan dengan keadaan bagian dalamnya, di depan desa adalah sisi dari pintu dan tangga, bagian belakang adalah sisi dari hutan; tetapi ia mempunyai juga sisi kiri dan kanan, yang masing-masing merupakan tangan kanan dan kiri dari seseorang yang berdiri di bagian dalam sambil berhadapan ke arah pintu. Posisi desa berhubungan dengan konsep pulau itu sendiri. Ini dijelaskan sebagai tubuh manusia: kepalanya dibentuk oleh tanjung selatan, Nif; kaki-kaki adalah utara, ini adalah tanjung barat laut dan timur laut, Kor dan Wargna (lih. gambar. 3). Di Kepulauan Kei, selatan dalam konteks pulaupulau digambarkan sebagai tutu, “puncak” (searti dengan puncak dari pohon-pohon), dan utara sebagai itin, “kaki dari sebuah pohon”, atau tavun, “dasar atau kaki”. Pulau Tanebar-Evav, dengan kepalanya di selatan, jadi terorientasi menurut poros atas-bawah, yang berhubungan dengan arah selatan-utara. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa, untuk seluruh pulau, arah matahari yang terbit adalah di depan pulau, arah dari matahari terbenam adalah di belakang; ini adalah oposisi u/mur. Mereka akan dapat mengatakan bahwa tubuh manusia menghadap ke timur, yang dengan demikian ada di depan dan berbalik ke punggung di barat, yang adalah belakang. Kita menemukan di sana kebaruan, empat arah utama atas-bawah dan depan-belakang yang ditempatkan di atas pada empat titik kardinal (gambar. 9). Namun, kita harus membuat sebuah komentar tambahan; di depan dan di belakang mengkualifikasikan juga tubuh manusia: dari ikat kepala, itulah depan; dari ikat pada kaki-kaki, itulah belakang. Ratan dan tenan mengindikasikan atas dan bawah atau bagian atas dan bagian bawah dalam hubungan dengan titik referensi; karat dan kabav mengindikasikan arah-arah. 6 38 Gambar 9. Titik-titik kardinal dan arah Kita mengorientasi lagi lebih banyak tubuh manusia, yang di dalamnya memberikan posisi horizontal, yang adalah posisi dari binatang dengan kepala dan ekor, jadi bagian depan dan belakang, tetapi juga posisi tubuh manusia pada waktu kelahiran dan pada waktu kematian. Bersama dengan dimensi ini, kepala pulau, selatan, adalah sebuah depan; kaki pulau, selatan, adalah sebuah belakang. Selatan dan timur teroposisi dari utara dan barat sebagaimana sebuah depan dan sebuah belakang. Dengan demikian ia memunculkan dengan sangat kuat, melalui beberapa orientasi yang dipetik, bahwa oposisi depan/ belakang adalah fundamental dalam suatu pemahaman tentang dunia, karena ia mendefenisikan sekaligus ruang dan waktu. Rumah tradisional adalah suatu konstruksi luas persegi empat atau rektanguler, diletakkan pada tiang-tiang setinggi satu meter, diperluas pada satu sisi untuk sebuah galeri pada bagian luar atau serambi. Mereka membuat akses masuk di sana untuk satu atau dua tangga kecil, di tangga-tangga yang berukir. Sisi-sisi dari atap pararel dengan serambi (gambar. 10). Pada pintu masuk, sambil membuka bagian tengah serambi, kita masuk ke dalam suatu ruang sentral; dari sana, kita memiliki akses ke setiap sisi dari ruang lain yang lebih kecil, kamar, rin. Di bawah, suatu ruang yang dibuat sepanjang rumah adalah tempat untuk tungku api dan dapur. Lantai dari ruang utama dibagi dalam dua bagian oleh sebuah balok besar yang membantu proyeksi, totoma; balok adalah subjek dari larangan-larangan (contohnya, mereka tidak boleh memukulnya) dan, dipahami sama seperti sebuah lunas kapal, balok ini menerima pembayaran-pembayaran yang ditujukan kepada kapal layar; ia membatasi rumah pada bagian yang diperuntukan kepada para pengunjung (sisi pintu masuk) dan balok ini adalah tempat berdiri kepala rumah (sisi dari tungku api). Batas ini tidak lagi dihormati pada saat ini, tetapi balok ini dijaga arti pentingnya sebagai tempat persembahan. Skema ini berhubungan dengan kerangka umum dari semua rumah, dengan berbagai varian. Sebagaimana pulau, tetapi kurang eksplisit, rumah dapat dibandingkan dengan sebuah tubuh manusia. Sisi serambi pada bagian luar, bagian untuk masuk, merupan bagian depan, u, dan atas ratan; bagian bawah, sisi perapian, adalah belakang, mur, dan bawah, tenan, dari rumah. Ada kalanya karena alasan kemiringan tanah, belakang rumah memiliki posisi yang lebih tinggi dari bagian depan; tetapi konsepsi simbolik dari “atas” dan “bawah” tidak dipengaruhi. Bagian belakang rumah disebut tav, kata yang adalah akar dari kata tavun, yang kita telah lihat mengkualifikasi kaki pulau, bagian utara mereka; ini menyatakatan secara baru asosiasi dari belakang ke bawah. 39 Gambar 10. Plan sebuah rumah Kanan dan kiri ditandai dengan dua ruang kecil yang terletak di setiap sisi; mereka ditemukan masing-masing dari sisi kiri dan sisi kanan sekitar manusia yang dari bagian dalam berhadapan dengan pintu masuk. Oposisi kanan/ kiri dieksplesitkan dan diulangi oleh opisisi kelompok-kelompok sosiologis yang terletak pada setiap sisi dari rumah; ia memberikan dimensi hirarkis esensial pada struktur sosial, karena sisi kanan lebih superior daripada sisi kiri. Gambar 11. Rekapitulasi posisi dan arah Kapal layar, sarana transport, juga memberikan banyak pengertian. Kapal memberikan sebuah model simbolik dari masyarakat: dari begitu banyak relasi dan fungsi di dalam desa dirancang dalam begitu banyak hubungan antara para anggota dalam sebuah tim: kapitan, pengemudi, awak dan lain-lain. Lagu-lagu dan mitos-mitos menunjuk secara terus-menerus acuan di sana dan dengan demikian adalah penting untuk meletakkan di sana karakteristik-karakteristik dari kapal layar dalam 40 hubungan dengan lagu dan mitos yang menandakan seluruh masyarakat, dan bahwa kami ingin mengangkatnya7. Haluannya dianggap sebagai depan, tetapi juga atas, ia diklasifikasikan sebagai sisi maskulin, dibanding buritannya yang adalah belakang dan bawah, dan sisi perempuan; arah ini adalah sama dengan arah dari rumah. Dan sama seperti rumah, konstruksi kapal-kapal layar ditandai dengan banyak upacara-upacara dan larangan-larangan yang berhubungan dengan sebuah rumah. Pembayaran atas kesalahan-kesalahan selama ritual berlangsung di totoma rumah, yang mengganti haluan dari kapal. Rumah dan kapal layar secara simbolik terhubung pada perempuan; pemberian-pemberian seputar pembangunan rumah mengulangi pemberian-pemberian harta kawin; objek-objek pertukaran harta kawin seorang perempuan, yang diberikan dalam perkawinan disebut haluan dan dayung dari kapal layar. Kami menjelaskan di sini sebuah gambaran untuk mengelompokkan berbagai oposisi dan arah yang kami telah amati. Bukan sebuah skema defenitif, karena kita tidak telah memberikan sebuah totalitas informasi yang berhubungan dengan struktuk internal sebuah desa dan berbagai kategori berbeda, orang-orang mati, para leluhur, roh-roh dan lain-lain. Namun, hal ini dapat berfungsi sebagai indikasi, supaya dapat meringkaskan apa yang kami telah ketahui, untuk memvisualisasi prinsip-prinsip oposisi yang tersedia yang menggunakan sejumlah hipotesa. Kami mengusulkannya sebagai sebuah alat kerja (gambar. 11). Sebagaimana secara umum di Indonesia, simbol kapal layar diasosiasikan pada rumah untuk merepresentasikan seluruh masyarakat (Vroklage, 1936b) 7 41 2 SEBUAH MASYARAKAT, SEBUAH BAHASA DAN MANUSIA-MANUSIA Sama seperti yang didefenisikan oleh ruangnya, masyarakat Tanebar-Evav didesain melalui bahasanya sendiri. Untuk memahami strukturnya, pertama-tama adalah penting menjelaskan kata-kata khusus, yang digunakan untuk menamakan dan mengidentifikasi. Kata-kata ini menggambarkan kategori-kategori personal yang dipenuhi dengan fungsi-fungsi yang berbeda atau juga menamakan kelompok-kelompok dengan formula-formula simbolik atau juga membicarakan masyarakat secara umum menurut dua sudut pandang yang dikontraskan. Mulai dari kata-kata referensi ini kita akan dipandu dari kata-kata penduduk Tanebar-Evav, yang pertama-tama membuat kita terperangkap di dalam kehalusan tradisi mereka. Inilah kondisi yang mungkin akan terjadi pada saat komplesitas dan organ konseptual yang membingkai semua masyarakat. Kita tidak akan berbicara dari alam sosiologis dari kelompok-kelompok bersangkutan, dari komposisi mereka dan dari penerimaan-penerimaan mereka, tetapi hanya dari pengertian mereka pada tingkat konseptual. Jika kata “rumah” sering digunakan di sini, defenisinya akan dibuat persis kemudian. Tetapi mulai dari sekarang, harus dipahami bahwa rumah bukan sebagai tempat tinggal sederhana, tetapi juga sebagai sebuah kelompok yang dipahami secara sosial. 1. Dua rujukan untuk satu masyarakat yang sama: lor dan haratut Mereka menyebut lor-haratut, masyarakat desa secara umum. Dua kata ini menerjemahkan ide komunitas yang dilingkupi oleh warga desa. Namun, menurut keadaan-keadaannya, mereka menggunakan satu atau yang lain sendiri-sendiri: mereka mengatakan bahwa haratut berkumpul, atau sama seperti ritual dibuat oleh lor; dalam dua hal ini, diterangkan totalitas warga desa. Kedua ungkapan ini bereferensi pada masyarakat yang sama, tetapi dalam konteks yang berbeda. Masyarakat dikatakan haratut berkumpul di suatu tempat di bagian sentral desa, Vurfen, dekat dengan gunung suci simbolik Vu‟ar Masbait. Di sana mereka melaksanakan ritual-ritual yang ditujukan kepada tuhan matahari-bulan, dimana masyarakat berkumpul sebelum perburuan yang, bersifat ritual untuk menangkap babi hutan; dimana mereka menerima orang asing yang datang ke pulau; ini bereferensi pada “gunung” dan pada hukum-hukumnya yang diberikan oleh para leluhur, dimana masyarakat mengajarkan itu kepada para pemimpin desa masa depan. Mereka mengatakan bahwa “isi” dari gunung adalah seluruh pulau Tanebar-Evav, harta-harta kekayaannya, hasil-hasil buminya, manusia-manusia dan hukum-hukumnya. Haratut adalah masyarakat dari mereka yang hidup dan yang mati, yang terorganisasi menurut aturan-aturan konstitutif positif yang memegang asal-usul mereka dan otoritas “gunung” mereka. Di hadapan Tuhan, kolektivitas ini didesain sebagai “anak-anak” (yanan) Tuhan. Masyarakat sebagai lor berhimpun di tempat Tamo, di depan rumah roh Hukum (di kiri, gambar. 5). Lor menggambarkan kolektivitas dalam hubungannya dengan instansi-instasi yang menghukum, artinya dengan roh-roh penghubung antara Tuhan dan manusia, Adat, Hukum dan Wilin, yang kami jelaskan pada bagian tiga; lor merepresentasikan para “keponakan” (yanan duan) dari tingkatan-tingkatan supranatural ini. Pada tingkatan sangsi-sangsi, masyarakat memahami wewenang mereka dalam hal incest, pembunuhan dan perzinahan. Ini secara esensial ada pada bagian ini dan dalam suatu relasi yang penuh hormat untuk sebuah hukum umum yang dipahami masyarakat sebagai lor. 42 Tetapi marilah kita mengecek pengertian-pengertian khusus masing-masing istilah ini. Lor menggambarkan awal dari semua paus, binatang dari mitos asal-usul ini yang mereka telah pahatkan bersama dengan ular pada kosen pintu masuk desa. Lor juga mempunyai arti buah yang tidak dapat dimakan dan sayur yang dapat dimakan. Ibaratnya, Lor mengkualifikasi kerangka kapal yang karam di pantai, yang berarti sebuah ikan besar atau seekor binatang laut, sebuah perahu, seorang manusia atau semua objek berbeda, yang berasal dari kecelakaan dan dari daerah yang jauh.8 Jadi kapal-kapal karam digambarkan, karena mereka “termasuk di dalam lor” (lor ni), artinya di dalam masyarakat di hadapan hukum dan roh Hukum. (Sebaliknya, dalam hubungan dengan binatang yang ditangkap atau ditombak oleh warga desa, mereka menyebutnya haratut ni, “itu adalah milik haratut”, artinya secara langsung pada masyarakat desa). Jika mereka mendapatkan sebuah bangkai kapal kandas, mereka harus memberikan sebuah persembahan kepada roh Hukum sebuah persembahan dan sebuah pembayaran ritual, yang merupakan “bagian”, sebagaimana roh ini telah menggunakan sebuah hak atas atas bangkai kapal dan telah memberikan sebuah perlindungan ritual melawan semua yang datang dari luar pulau. Ketika, pada suatu periode yang panjang, bangkaibangkai kapal berjumlah banyak, atau jika ada bangkai-bangkai kapal besar, warga desa bersamasama melewati sepanjang malam untuk memukul tambor-tambor dan bernyanyi untuk menghormati lor di depan rumah dari roh Hukum; ini adalah upacara yang disebut tiva lor “memukul tambor untuk lor”, dimana mereka mulai dengan merayakan paus. Perlindungan simbolik melawan yang dari luar ini, lor, memberikan sangsi atas pelanggaranpelanggaran internal, yang adalah incest, pembunuhan dan perzinahan. Aturan Hukum menyatakan aturan-aturan yang jelas, dan pada setiap pelanggaran berhubungan dengan sebuah pembayaran khusus. Dalam kasus incest yang sangat berat, sebuah ritual pembersihan (sob lor, “membuat upacara bagi lor”), dilakukan dengan partisipasi seluruh desa. Hal ini akan dilihat dengan rinci dalam hubungan dengan pembayaran dan sangsi (Bab 8). Dalam oposisi haratut/ lor ini, yang merupakan masyarakat desa, lor mengembalikan tidak hanya hukum umum, tetapi juga pada Kepulauan Kei yang terbagi dalam dua kelompok politik, lorsi dan lorlim, yang umumnya disebut ursi dan urlim, “sembilan saudara dan saudari” dan “lima saudara dan saudari”. Pembagian ini ada di seluruh Maluku, dimana pembagian ini dikenal dengan istilah berasal-usul Melayu, siwa dan lima, “sembilan” dan “lima”; di Kei, mereka menyebutnya dengan sebuah mitos yang mengisahkan kedatangan keilahian dan para raja yang berasal dari Bali: setelah berbagai petualangan, lambang-lambang kekuasaan mereka tersebar di antara desa-desa di kepulauan ini, yang tersampaikan melalui hukum-hukum mereka dan membentuk pembagian lorsi dan lorlim. Dalam hubungan dengan kesatuan dari kepulauan, masyarakat Tanebar-Evav terletak sedikit di luar, artinya bahwa masyarakat ini sama sekali tidak mengenal kekuasaan pimpinan (raja) dari pembagian politik ini; ini dinamakan lor la ba “masyarakat tengah”, atau masyarakat bebas. Pada masa kini, masyarakat ini adalah bagian dari sebuah kelompok yang meliputi tujuh desa di Kei Kecil, di bawah kekuasaan sekitar raja dari lorsi. Dengan demikian lor merujuk dalam semua penggunaannya yang sangat ekplisit pada hukum yang berasal dari luar, yang mungkin datang dari Bali dan yang dibawa ke dalam pulau oleh roh-roh Adat dan Hukum. Dalam semua defenisi ini, lor berarti kelompok sosial yang dibentuk oleh desa, yang disatukan secara global dan bertanggung-jawab, berhadap dengan instansi-instansi yang menghukum; lor adalah ada sosial yang diharuskan tunduk pada hukum universal yang datang dari luar, dan yang terbentang di dunia. 8 43 Kata lain yang yang menerjemahkan ide masyarakat, haratut, tidak memiliki arti yang lain. Kata ini menggambarkan masyarakat desa dalam hubungan dengan asal-usulnya dan dengan leuhurleluhurnya. Untuk memahami artinya, kita dapat membaginya dalam har dan ratut, dua kata sering digunakan. Bahasa Kei sering dibentuk dari kata-kata majemuk, apa yang mewajibkan kita untuk menggunakan analisa di atas ini untuk menemukan arti ekplisit dari istilah ini. Ratut berarti “seratus” dan sama seperti ruvun “seribu”, ini adalah sebuah angka simbolik, untuk mencatat sebuah jumlah yang banyak. Kata har mempunyai beberapa arti; digunakan tunggal, kata ini menggambarkan seekor binatang yang kini telah tiada, semacam reptil berkaki empat, yang telah hidup di hutan perawan. Untuk memanggil mereka yang hidup dan yang mati, mereka menemukan kata har, yang terhubung pada dua hal yang majemuk: ungkapan tur har yang menjelaskan warga dari generasi yang sama; tuv har u mengindikasikan generasi yang sulung, yang lebih tua, sebaliknya tuv har mur menggambarkan generasi yang lebih muda, yang baru. Dalam kesatuan antara kata u dan mur, har mengartikan dua kategori orang mati: har u, orang-orang mati yang lebih tua, di depan, dan har mur, orang-orang mati yang lebih muda, di belakang. Digunakan sebagai kata kerja, har ingin menjelaskan “untuk mengakhiri sebuah larangan”, menghapus tanda tabu yang melindungi, sebagai contoh, kepemilikan dari sebuah kebun kelapa, atau keluar dengan baik dari sebuah periode ritual di bawah laranganlarangan khusus. Pada akhirnya, har sebagai sebuah nama, menggambarkan sebuah tangkapan pertama, tembakan pertama yang tertangkap oleh alat yang baru, yang digunakan untuk pertama kali. Hal ini dapat menjelaskan juga sebuah penangkap yang besar yang secara baru dipasang, sebuah jala, sebuah tali dan sebuah tombak. Ikan har harus merupakan sebuah bagian yang besar dan jenis-jenis dari ukuran kecil dibuang. Ikan tersebut dibawa ke desa, kemudian diberikan menurut sebuah ritual khusus kepada roh, mitu, dari rumah pemilik alat penangkap. Upacara-upacara yang sama diadakan untuk penangkapan pertama binatang-binatang buruan, yang didapat dengan menggunakan senjata baru, seperti sebuah perburuan di dalam hutan. Dengan demikian, har menjelaskan suatu cara umum ikan dan binatang buruan ditangkap, ditombak dan dijebak dengan sebuah alat yang baru. Produk-produk dari sebuah perburuan dan penangkapan ikan –dalam sebuah kasus partikuler, dijelaskan di atas yang disebut har– di antara makanan-makanan, diklasifikasikan secara umum dengan nama wad atau wad-met (met berarti pantai yang kering), artinya “makanan daging” yang dibedakan dengan makanan sayur-sayuran. Tetapi wad terimplikasi juga pada tahanan-tahanan dalam perang, yang adalah para tahanan yang dibekuk di desa-desa tetangga. Jadi kita harus mengklasifikasikan dalam suatu kategori yang sama dari semua apa yang ditangkap dalam arti kekerasan, ikan-ikan, binatang buruan, manusia-manusia dan juga perempuan-perempuan, ketika itu merupakan sebuah pemerkosaan, artinya mencakup semua hal, baik itu binatang maupun juga manusia9. Harus dijelaskan di sini beberapa tanda pada tingkat semantik dan simbolik. Dalam klasifikasi makanan-makanan, wad pertama-tama adalah sebuah makanan hewani. Itu berarti seekor binatang peliharaan atau liar, yang telah dibunuh untuk dikonsumsi. Jika tidak ada kata untuk menyebut “binatang”, setiap jenis membawa sebuah nama, namun binatang-binatang yang dikonsumsi, sekali mati, adalah wad; binatang-binatang yang tidak dikonsumsi diklasifikasikan sebagai balanun “racun”. Meskipun kanibalisme dapat saja hidup dalam masyarakat Kei, namun tidak telah menemukan gejala seperti itu dan hal ini terbukti dalam literatur. Apa yang diartikan oleh wad dalam kasus “para tanahan perang” atau “penjahat perang”, ini adalah relasi kekerasan, penangkapan atau 9 44 Dalam konteks ini bukan sesuatu yang tidak berarti bahwa orang-orang mati akan disebut baik har u, maupun har mur, sejauh mereka adalah tua atau muda. Dengan demikian, mereka dipahami dalam beberapa ritual sebagai binatang buruan yang ditangkap oleh para leluhur, jadi ini juga adalah perebutan-perebutan manusia. Sebagaimana apa yang dijelaskan sebelumnya, haratut diinterpretasikan sebagai har ratut yang diartikan “seratus perebutan”, baik itu dalam kebersamaan “seratus” dari masyarakat desa yang dipahami dalam hubungan dengan luluhur, artinya yang dipahami dari generasi mereka yang hidup dan yang sudah meninggal, sebagai binatang buruan para leluhur, maupun yang masih bebas ataupun sudah ditangkap10. Perbedaan antara haratut dan lor terdiri beberapa aspek: haratut adalah masyarakat desa di hadapan leluhur mereka, terhubung pada gunung Vu‟ar Masbait, yang adalah pusat dan asal-usul kebersamaan di pulau dan penduduk-penduduknya; semua ritual-ritual yang diperuntukan bagi haratut dibuat pada tempat ini: ini adalah masyarakat interieur. Lor bereferensi pada suatu hukum dan pada roh-roh yang berasal dari luar. Haratur mengimplikasikan ide dari suatu perampasan dengan kekerasan dan dari sebuah kontrol atas kejahatan-kejahatan, binatang-binatang atau manusia; lor dikontrol oleh ritual-ritual khusus, apa yang didatangkan dari luar atas cara yang dapat kita sebut “damai”, yang terdampar di pantai, tetapi juga berbahaya bila tidak dikenal. Jadi ada dua sikap berbeda dan fundamental dalam relasi dengan dunia: pertama, aktif, kekerasan, dipimpin dari dalam ke luar, dengan mengakangi; kedua, pasif, damai, dibawah control ritual, yang memanifestasikan suatu penerimaan terhadap dunia luar. “Penangkapan-penangkapan” dipertentangkan pada “kapal-kapal karam”, inisiatif kemenangan ada pada hormat dari sebuah hukum universal. Marilah kita mengingat kembali bahwa haratut terasosiasi pada gunung, tempat tinggal mistik dari ular, sebaliknya lor menggambarkan ikan paus. Ular dan paus keduanya terepsentasi pada atas dan pintu masuk desa, sebagai dua simbol dari masyarakat. Kemudian, dalam relasi dengan supranatural, masyarakat haratut, inilah “anak-anak tuhan”, sebaliknya masyarakat lor, inilah “keponakan-keponakan roh-roh”; ini terhubung pada asal-usul yang dipahami sebagai relasi filial pembunuhan. Dalam hubungan dengan wanita, pemerkosaan diklasifikasikan sebagai, dalam cerita-cerita, wad-met, tetapi, sebuah relasi kekerasan yang lain, mereka dapat mengatakan bahwa kekerasan adalah “dimakan” secara simbolik, suatu ungkapan yang diperluas untuk mengganti kata “bersanggama” oleh dia yang “memakan”: mereka mengatakan “dimana engkau memakanku malam ini?” Istilah wad diterjemahkan pada satu sisi ide relasi dan di sisi lain ide konsumsi. 10 Dalam kamus Bahasa Kei Kecil, dipublikasi oleh Geurtjens (1921b), kami tidak menemukan kata haratut. Sebaliknya kami menemukan sebuah ungkapan yang memiliki kesamaan untuk menggambarkan masyarakat desa, tomato hoi ratut (tomat, orang-orang; ohoi, desa), “seratus orang-orang desa”; ungkapan ini dibedakan dengan tomato hoi ruvun “seribu orang-orang desa”, yang mengkualifikasikan masyarakat yang dipahami dalam sebuah distrik yang terdiri dari beberapa desa, dibawah otoritas seorang raja. Sebagaimana bahasa Kei Kecil sedikit berbeda dari bahasa Tanebar-Evav, adalah mungkin bahwa telah ada di sana suatu transformasi linguistic dari ohoi di dalam ha; dalam keadaan aktual kami tidak mempunyai contoh lain dari tipe ini antara dua bahasa. Adalah bahwa beberapa arti umum dari dua ungkapan ini adalah sama dan menggambarkan masyarakat desa sebagai lawan dari sesuatu yang lain. Meskipun demikian, tampaknya melalui analisa yang telah kami lakukan atas kata haratut, bahwa adalah masyarakat Tanebar-Evav telah memberikan pada kata ini sebuah kata yang mengandung isi yang sedikit berbeda, mungkin sedikit eksplisit. 45 dengan tuhan, sebaliknya relasi “keponakan” dengan roh-roh mengindikasikan suatu hubungan dengan kekuasaan. Hal ini akan dikonfimasi dalam banyak contoh. Dengan demikian ada pada akhir analisa dua hal komplementer untuk menciptakan masyarakat Tanebar-Evav: yang satu mengimplikasikan suatu relasi ke dalam, pada asal-usul, pada gunung dan tuhan, dan diekpresikan dengan penangkapan yang bersifat kekerasan; yang lain mengimplikasikan suatu relasi ke luar, pada roh-roh yang datang dari mana-mana, dibebankan dengan fungsi-fungsi yang bersifat menghukum, dan terimplikasi pada penerimaan ritual dari kapal-kapal karam. Lebih lanjut, kita akan melihat seluruh analisis, bahwa kedua konsep ini terhirarki 11 : masyarakat dalam relasinya ke luar, pada rujukan umum, artinya lor, melingkupi haratut, masyarakat dari dalam yang terorganisasi menurut aturan-aturan spesifik konstitutif; satu bersama yang lain, disatukan pada relasi ini, keduanya membentuk lor-haratut, masyarakat Tanebar-Evav yang dipahami dalam kesatuan kultural Kei dalam hubungannya dengan dunia. Untuk menutup dapat dilihat table berikut ini: Pahatan pada pintu Lor Dalam Paus Diotoriasi pada hal-hal dan adaada tertentu Kandas Haratut Luar Ular Ditombak Relasi-relasi supranatural Hukum “Keponakan” dari roh Hukum datang dari luar “Anak-anak tuhan”- relasi dengan gunung suci Dari dunia pada umumnya dan dari Maluku Dari masyarakat partikuler (desa) Gambar 12 Perbedaan antara lord an haratut 2. Masyarakat sebagaimana tampak Di dalam sidang-sidang desa dimana mereka membahas tentang tata kebiasaan, juru bicara mengumumkan kepada para warga dengan menggunakan rumusan yang jelas. Bahasa, kaya akan sinonim, mengakumulasi dengan kesenangan ungkapan-ungkapan majemuk, pengungkapan pikiran dalam beberapa kata yang dinyatakan dengan satu kata (periphrase) dengan rasa yang tersembunyi, pepatah dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan ini bermaksud, dalam semacam mantra, dialamatkan secara bergilir pada satuan-satuan sosial yang berbeda dan pada individu-individu yang menyusun masyarakat, yang menandakan juga posisi spesifik mereka dalam komunitas. Ungkapan-ungkapan ini membentuk kesatuan sebagai suatu tabel organisasi sosial dan peran-peran yang diperlukan oleh individu-individu. Ini adalah presentasi yang sangat langsung yang masyarakat dapat berikan dari koherensinya sendiri dan dari kompleksitasnya. Rumusan-rumusan utama adalah sebagai berikut: ub i si, yam i tel, sir yararu, malin ankod dan dir u ham wang. Rumusan-rumusan ini sering diganti dengan sinonim: wadar en si, ngiar i tel, ulun oho ten, mel nuhu duan dan yanan duan. Ungkapan-ungkapan ini dimunculkan pertama-tama oleh para penduduk pulau kepada kelompok-kelompok, dalam mana mereka terbagi, kemudian Kita menggunakan konsep hirarki sebagaimana dijelaskan oleh Luis Dumont dalam karyanya Homo Hierarticus (1967a) p. 92 11 46 fungsi-fungsi esensial pada tingkat politik dan ritual, dan pada akhirnya, fungsi-fungsi sekunder. Untuk menemukan istilah-istilah ini dan menjelaskan relasi-relasi mereka, kita dapat memberikan secara singkat resume sebagai berikut: warga desa termasuk dalam “rumah-rumah”; semua rumah dipahami dalam sembilan kelompok, ub, dan sembilan ub ini termasuk dalam tiga kelompok, yam. Ungkapan-ungkapan yang sering muncul bukan pada kesatuan-kesatuan yang mengelompokan sejumlah orang, tetapi pada fungsi-fungsi individual dari sejumlah warga desa yang dipahami sebagai para pimpinan. Kita akan menganalisa masing-masing perbedaan-perbedaan arti dari setiap istilah. Ub dan wadar Ub i si dan wadar en si menggambarkan sembilan ub dan sembilan wadar, kelompokkelompok yang termasuk semua warga desa. Namun kata-kata ub dan wadar di dalamnya sendiri tidak menjelaskan “kelompok”. keduanya memiliki arti yang berbeda, yang memungkinkan untuk menjelaskan tindakan yang mereka gunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok. Pertama-tama ub adalah singkatan dari suatu istilah kekerabatan, ubun, yang ingin menjelaskan “para kakek” dan “cucu-cucu”. Dari sebuah arti umum, ketika mereka mengatakan ub hir (hir adalah kata ganti diri personal dari orang ketiga jamak), secara literal “nenek moyang mereka”. Mereka menggambarkan kebersamaan dengan leluhur-leluhur seseorang, semua keturunannya pada garis maskulin dan feminin. Kita akan dapat menerjemahkan secara literal ub si sebagai “sembilan kakek” atau “sembilan keturunan”, artinya semua orang yang berasal-usul dari sembilan leluhur. Ub memiliki juga arti-arti yang lain. Ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah wadah, sebuah tempayan dari tanah liat, yang tertutup dan dihiasi dengan gambar-gambar geometrik dengan warna merah kekuningan, merah atau hitam. Tempayan-tempayan ini dibuat secara khusus di dua tempat: di pulau Tam, yang terletak di barat daya dari Tanembar-Evav, dan desa Banda-Eli, di timur laut Kei Besar, dimana hidup koloni tua dari para imigran yang datang dari pulau Banda (Maluku Tengah). Sediakala sangat kaya dekorasi, tempayan-tempayan itu telah terukir dan dicat dengan gambar-gambar yang rumit, sebagaimana kita dapat melihat contohnya di museum-museum di Belanda atau pada foto-foto kuno. Lebih besar dari masa kini, tempayan-tempayan itu terus dibuat dan dijual di seluruh Kepulauan Kei dan sampai di pesisir Seram12. Tempayan-tempayan ini, dibawa di atas kepala atau di punggung, untuk membawa air, tetapi tempayan-tempayan itu dipakai juga sebagai wadah-wadah untuk menyimpan botan yang tidak dikupas. Bibit bersama desa terisi dalam sepuluah tempayan penuh botan yang dikumpulkan pada masa lalu; sereal ini dijaga secara sempurna dan tidak diserang oleh hama manapun. Tugas untuk wadah ub ini akan sangat menarik dari sudut pandang simbolik. Ub juga adalah nama dari sejenis ikan terbang kecil, yang kita lihat melompat keluar dari air sekitar kapal-kapal, yang adalah leluhur yang hilang yang kemudian bermetamorfosa dari sebuah rumah di desa. Keturunan dari leluhur ini tidak dapat memakan ikan ini. Ub juga adalah satu dari nama-nama, yang mereka berikan kepada penyu belimbing atau tabob. Ketika mereka akan menangkapnya, mereka akan memanggilnya “Ub!”, artinya mereka Orang-orang Kei secara tepat mengatakan, sama seperti mereka di Tanimbar, tidak mengenal barang tembikar, hal ini berbeda dengan penduduk Aru dan Ambon. Di Tanimbar, mereka membuat dari semacam buah labu, tetapi di Kei, dimana tidak terdapat buah semacam itu, mereka menggunakan tembikar atau seperti apa yang dipakai diTanimbar yang dibeli atau ditukar. 12 47 memanggil kakek atau leluhur atau juga cucu-cucu. Tangkapan diiringi dengan nyanyian-nyanyian, yang seperti sebuah panggilan yang ditujukan kepada seekor binatang, supaya ia datang untuk ditangkap. Apa yang dilakukan, mereka bernyanyi: “Ub o!” dan ia datang (ketika seorang anak kecil menangis, mereka membuainya sambil bernyanyi juga “Ub o!”). Kemudian binatang laut ini secara ritual dipotong, dibagi dan dimakan – satu bagian diberikan kepada para leluhur secara simbolik. Binatang ini memegang tempat yang besar dalam sejumlah mitos asal-usul, dimana mereka menjelaskan relasi-relasi saling menolong antara Tanebar-Evav dan desa-desa Kei Kecil. Relasi ini disebut teabel, yang sangat terkenal di Maluku dengan nama pela. Menurut legenda, penyu belimbing datang dari langit di utara; ia diundang dengan penuh hormat dari para leluhur yang mereka sebut dengan nama yang sama, ub. Pada akhirnya, Ubnus adalah salah satu nama “roh” yang sangat besar mitu desa, roh Adat yang telah disebutkan di atas; ia singgah di zona larangan di belakang desa, oho mirin. Namun sementara ub ingin menjelaskan “kakek”, nus pada sisinya adalah suatu perluasan dari nisin “kakek buyut”. Dengan demikian ubnus berarti secara literal adalah “kakek dari kakek buyut”. Sebagaimana penyu belimbing, menurut sejumlah mitos, menemaninya, roh Ubnus datang dari utara, dan setelah sebuah perjalanan yang panjang, kandas di pantai Tanebar-Evav. Di sini kategori-kategori leluhur dan roh disatukan dalam satu entitas supranatural yang tunggal. Di akhir penjelasan ini, semua arti dari kata ub menyarankan sebuah hubungan dengan para leluhur. Dan sama seperti tempayan-tempayan menjaga botan dari masa ke masa, sembilan kelompok mengandung tindakan dan berisi individu-individu dalam sebuah sutruktur yang sama dalam masyarakat yang melintasi berbagai generasi. Dengan demikian kita melihat pada akhirnya keanekaragaman yang tampak dari arti-arti kata itu, suatu kesatuan tertentu. Ungkapan wadar en si adalah sinonim dari ub i si, yang menggambarkan sembilan kelompok yang sama yang mengumpulkan anggota-anggota desa. Tetapi kata wadar memiliki sebuah arti yang jelas, yang memancarkan suatu cahaya khusus tentang sifat dari sembilan kelompok ini. Representasi dari dua wadar Adalah sembilan pasang leluhur, pria dan wanita, dimana mereka tidak tahu apakah mereka itu saudara-saudari atau suami-istri. Mereka telah pergi menangkap penyu di laut dan hilang. Tempat 48 kultus yang diperuntukan bagi mereka berada di dataran yang agak tinggi dari lumbung sembilan rumah, mereka menyebutnya sembilan wadar; ini adalah para leluhur, tetapi mereka tidak mengenal nama para leluhur ini; dan adalah mustahil untuk menjajaki suatu garis genealogis langsung dari mereka. Kita tidak memiliki informasi yang lebih detail dari asal-usul wadar ini, yang dipahami sebagai para leluhur yang besar. Mereka “diberi makan” secara teratur dengan persembahanpersembahan, lebih sering dengan daging penyu; dapat diberikan kepada mereka juga daging lumbalumba dan ikan duyung, tetapi tidak secara langsung daging penyu belimbing. Persembahan yang terakhir ini diberikan dengan cara simbolik, daging-daging sebelumnya diberikan dalam bentuk potongan-potongan yang secara ritual disiapkan. Mereka membagi atas dua bagian, yang satu untuk laki-laki dan yang lain untuk perempuan; dan mereka meletakkannya di atas pintu rumah dan di atas bidang datar yang agak tinggi dari lumbung, artinya di depan dan dibelakang rumah. Persembahanpersembahan adalah wajib ketika satu dari binatang-binatang laut ini datang terdampar di pantai – dimana satu bagian selalu diambil untuk diberikan kepada Hukum, roh penjaga hukum yang meraja di kapal-kapal karam. Dengan demikian penyu itu digunakan sebagai persembahan pada tingkat sembilan pasang leluhur, sedangkan pada tingkat superieur, penyu belimbing, terasosiasi, mereka telah menyebutnya, pada leluhur tunggal dan prestisius yang merepresentasikan roh Adat, hanya diberikan atas cara simbolik. Ada suatu tingkat perbedaan yang nyata di sini, dan itu harus diingat. Sembilan pasang leluhur dari sembilan ub adalah dari orang-orang yang terasosiasi pada perburuan penyu, aktivitas khas dari haratut, masyarakat yang menangkap hasil-hasil yang diburu dan ditangkap, dipenjara atau ditundukan. Sistim persembahan-persembahan yang bersifat pengorbanan berhubungan dengan ub mengkonfirmasi kepada kita pada kerangka mistik dan simbolik. Mereka merupakan, melalui sejumlah aspek, ungkapan dari haratut, masyarakat desa yang dipahami berasal dari interieur. Dalam dua rumah desa, Teli dan Fitung (no 1 dan 21 dari fig. 5), wadar dinyatakan dalam bentuk patung-patung kayu; satu dalam bentuk manusia yang duduk, siku-siku ditekuk di atas lututlutut dengan kepala berbentuk burung dengan paruh memanjang; yang lain hanya suatu bentuk massif dari paruh burung; mereka mengatakan bahwa kepala-kepala ini adalah kepala ayam jantan; haruskah dilihat di sini suatu hubungan dengan mitos asal-usul berikut, dimana, setelah ayam berkokok, manusia pertama telah muncul di pulau ini bersama dengan seekor burung? Rumah-rumah lainnya tidak memiliki repretsentasi wadar; hanya sebuah baki dari kayu diletakkan di atap untuk menerima persembahan-persembahan yang menggambarkan tempat dari para leluhur. Untuk meringkas, ub i si atau wadar en si menggambarkan pembagian desa dalam sembilan kelompok dalam referensi dengan sembilan pasang leluhur mistik; semua rumah desa dikelompokkan dalam dua atau tiga seputar rumah-rumah yang melindungi kultus dari sebuah wadar, yang membentuk ub. Anggota-anggota dari kelompok-kelompok ini dipahami sebagai turunan dari para leluhur ini, yang menjelaskan orang-orang yang berasal-usul dari desa atau para pendatang yang terintegrasi kemudian. Jika kultus para wadar secara nyata diberikan kepada para leluhur, tinggal nyata sifat sosiologis dari kelompok yang memberikan kultus ini. Karena tentu baik bahwa para leluhur tidak diberi nama, masing-masing dari sembilan ub membawa sebuah nama diri. Marilah kita sejenak mengingat hubungan simbolik yang akan kita temukan pada bagian selanjutnya: kelompok-kelompok ub, diberinama, diturunkan dari leluhur wadar, berisi orang-orang seperti tempayan-tempayan berisi botan. Yam dan ngiar 49 Sembilan ub itu pada gilirannya termasuk dalam tiga kelompok yang disebut yam i tel, “tiga yam”, atau ngiar i tel. Kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan segera pada suatu relasi jenis segmental antara dua tingkatan ini. Kita hanya menemukan sebuah arti tunggal dari yam, yang adalah singkatan dari kata yaman “bapak”; yam i tel yang secara literal berarti “tiga bapak”; tetapi ungkapan ini dapat menggambarkan juga leluhur-leluhur pada umumnya, “bapak-bapak kami”: seorang pria mengatakan yaman-ubun untuk berbicara tentang leluhur-leluhurnya, “bapak-bapaknya dan kakek-kakeknya”. Angka tiga dapat diterjemahkan untuk hal-hal yang berbeda; sebuah mitos yang sangat kontroversial menjelaskan tentang tiga orang bapak yang datang dari matahari, yang adalah asal-usul dari tiga yam. Sebuah penjelasan yang lebih masuk akal tanpa ragu tersedia dalam sebuah mitos lainnya, dimana telah dibahas: tiga orang telah hilang bersama dengan fajar di dekat pusar pulau, nuhu fuhar, di pusat desa. Mereka adalah leluhur dari tiga rumah yang terletak masing-masing dalam setiap tiga bagian dari desa. Yam i tel akan menjelaskan juga tiga kelompok ini sebagai keturunan dari tiga bapak atau tiga leluhur. Ngiar i tel, “tiga ngiar”, adalah suatu ungkapan lain yang menggambarkan kelompokkelompok yang sama ini. Ngiar memiliki beberapa arti. Pertama-tama ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah kain putih yang membungkus jenasah-jenasah dari anak-anak yang mati pada saat lahir dan dari mereka yang meninggal dalam tiga hari berikutnya sesudah kelahiran. Anak-anak ini dikelompokkan ke dalam bidar, roh-roh yang dekat dengan tuhan, sama seperti melikat, janin yang keguguran. Dalam mitos yang dihubungkan dengan pusar desa, seorang melikat turun ke bumi bersama seekor ayam; melikat ini mungkin yang tergabung bersama dengan Lev, roh dari “pusar desa”. Beberapa aspek berbeda dari mitos yang sama saling melengkapi: ngiar, kain putih untuk mereka yang mati pada saat lahir dapat bereferensi dengan mitos ini dimana menggambarkan melikat, dan dimana suatu variasi menjelaskan tampilan dari tiga pria yang adalah leluhur dari tiga kelompok; ngiar dan yam adalah dua istilah yang menggambarkan kelompok-kelompok ini. Ngiar juga memiliki arti sebuah wadah; ini adalah sejenis perangkap besar untuk ikan yang berbentuk segi empat dan juga sebuah keranjang anyaman berbentuk corong, yang dalamnya mereka meletakkan ikan segar yang baru ditangkap untuk membawanya ke desa. Sejumlah rumusan seremonial kerap menggunakan istilah ini untuk menyampaikan kepada warga desa sebagai “yang” perangkap; kata ngiar juga digabungkan dengan kata vuv, “perangkap untuk ikan”. Kita menemukan kembali di sini arti dari “tangkapan” atau “buruan” yang telah diceritakan untuk menjelaskan komunitas dari manusia-manusia, ketika komunitas itu adalah haratut, masyarakat desa. Sama halnya bahwa untuk istilah ub diartikan di sini sebagai suatu wadah yang menutup suatu tangkapan manusia yang ditangkap oleh para leluhur. Pada akhirnya, ngiar mengkualifikasikan seorang prajurit, seorang yang berani, seorang pria yang akan memerangi musuh-musuh. Dalam cerita-cerita perang mereka menyebut ngiar i tel, artinya kesatuan para penduduk desa Tanebar-Evav, yang pergi berperang melawan desa-desa dari luar. Yam i tel atau ngiar i tel mendefenisikan tiga pembagian yang menggabungkan semua rumah di desa dengan bereferensi pada tiga leluhur. Tiga kelompok memiliki masing-masing sebuah nama diri; nama-nama itu adalah Rahakratat-Lefmanut, Rahanmitu dan E Wahan yang mengingatkan secara langsung tiga pembagian spasial desa. Kita melihat di sini dua tingkatan yang saling bertumpang tindih, satu yang adalah representasi spasial dan yang lain adalah realitas sosiologis. Asosiasi rumahrumah dalam tiga yam berhubungan secara ketat pada asosiasi mereka pada tiga bagian dari desa. Jadi 50 yam-yam ini membagi desa dalam tiga kelompok yang terlokalisasi dalam wilayah-wilayah yang jelas13. Tidak ada kultus partikuler diberikan kepada para leluhur yang tereferensi, tetapi anggota dari setiap yam bertidak secara kolektif sebagai kelompok seremonial dalam ritual-ritual yang dialamatkan kepada Tuhan. Apa yang kelihatannya mengkarakteriskan yam-yam, pada tingkat pertama analisis, adalah sebuah referensi, perbedaan referensi dari ub, di sejumlah leluhur dan kepada tuhan, tetapi juga pada wadah-wadah seperti kain atau keranjang-keranjang dan perangkap-perangkap. Akhirnya, adalah penting mencatat kebiasaan dari ungkapan tiga bagian ini untuk membedakannya dari desa di luar: dari kesamaan bahwa “botan dan buah kelapa” mengkarakteristikkan pulau Tanebar-Evav, rumusanrumusan “tiga yam” atau “tiga ngiar” membedakan masyarakat ini dari rumusan-rumusan desa-desa lain. Melalui analisis atas kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok, adalah mencolok untuk menjelaskan bahwa dua tipe ungkapan berefenrensi pada leluhur-leluhur dan juga pada wadah-wadah: tempayan dari tanah liat, keranjang, perangkap dan kain. Ini adalah sesuatu yang sedikit menggambarkan seolah-olah seluruh masyarakat, masyarakat yang dibentuk oleh para leluhur meskipun oleh orang-orang yang hidup, yang telah dianggap sebagai yang terkandung dalam hal-hal tertentu, dalam suatu dunia yang tertutup dimana hukum-hukum akan memberikan batasbatas. (Marilah kita mengingat bahwa ini secara tepat mendefenisikan isi dari gunung, masyarakat sebagai haratut.) Kita dapat mengajukan sebuah interpretasi yang menjelaskan oposisi yang telah ditandai antara bagian dalam dan bagian luar. Ub-ub bereferensi pada leluhur-leluhur, yang mana mereka Kita dapat mendorong lebih jauh analisis pada tingkat bentuk-bentuk itu sendiri. Marilah kita mengingat bahwa tiga pembagian la’oan disebut “atas-bawah”, “tengah” dan “perbatasan”. Ini menjelaskan bukan dari sudut pandang permukaan desa, tetapi dari suatu representasi tiga dimensi yang membawa suatu ukuran struktur yang sama, yakni perangkap-perangkap ikan, semacam bubu, yang disebuat ngiar dan vuv. “Pembatasan” mengatar ikan-ikan ke “tengah” dan dari sana ke suatu bagian ketiga, bagian ini di dalam, baik itu di “atas maupun dibawah”, dimana ikan secara defenitif tertangkap. Permukaan desa, dibagi dalam tiga la’oan (dan diartikan dalam panjangnya, artinya mulai dari pembatasan” sampai pada bagian “atas-bawah”, dari kiri ke kanan pada permukaan, gambar 5) adalah sebagai proyeksi di tanah dari ukuran bubu, “perangkap” ini dibentangkan oleh tiga leluhur yang terasosiasi pada pusar desa, dalam suatu gerakan berlawanan, sebagai sebuah gerakan dari kelahiran, daro dalam menuju keluar (dari kanan ke kiri). Marilah kita mengingat bahwa desa itu sendiri dipahami sebagai seekor ikan, dimana kepala berhubungan dengan bagian “atas-bawah” dan ekor pada bagian “pembatas”, dalam arti seekor ikan yang masuk dalam perangkap. Dengan demikian, wadah-wadah sosiologis memunculkan gambaran dari wadah riil, yang menangkap ikan-ikan di laut. 13 “pembatas” “bawah” “Tengah” “atas” 51 memberikan sebuah kultus; mereka mengumpulkan cadangan-cadangan dari botan, makanan tradisional desa, dimana budidaya ada pada dasar organisasi masyarakat. Ub i si memunculkan suatu bagian masyarakat, yang tereferensi pada organisasi internalnya. Yam i tel, pada gilirannya, memunculkan para leluhur, tetapi tidak mengimplikasikan sebuah kultus. Sebaliknya, pada gilirannya, memunculkan para leluhur, tetapi tidak mengimplikasikan sebuah kultus; sebaliknya, yam dan ngiar i tel menggunakan acuan-acuan berhadapan dengan eksterieur. Dalam cerita-cerita perang, mereka selalu menceritakan yam dan ngiar i tel untuk menggambarkan desa, sebaliknya kita tidak selalu menemukan ub i si. Yam i tel akan digunakan untuk pemakluman tentang desa ke luar, sebaliknya ub i si tersedia untuk menunjuk internal masyarakat; di satu sisi perang dan di sisi lain botan. Kita akan melangkah lebih jauh untuk memperjelas perspektif ini. Beberapa hal yang terkait dengan ub dan yam telah mengingatkan kita beberapa karakteristik dari masyarakat haratut, penangkapan ikan, perang dan persembahan-persembahan kepada Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa ub-ub dan yam-yam terletak pada sisi haratut, artinya dari oraganisasi masyarakat ke arah dalam. Tetapi adalah sama bahwa lor dan haratut teroposisi sebagai eksterieur dan interieur, pada bagian dalam yang sama dari haratut kita menemukan oposisi: ub-ub berhubungan dengan dengan relasi ke interireur, yam-yam berhubungan dengan relasi ke eksterieur. Kita melihat, termasuk dalam yang pertama, suatu hirarki relasi baru, karena yam-yam mengandung ub-ub. Fungsi-fungsi Terbagi dalam berbagai rumah, sejumlah laki-laki terlatih dalam fungsi-fungsi yang bersifat turunan, dimana gelar-gelar menunjukkan karakteristik-karakterisik. Semua telah diinisiasi sebelum masuk dalam kekuasaan dan menjadi semacam dir u ham wang. Beberapa, dimana peran-peran adalah sangat penting, membawa gelar-gelar spesifik, seperti malin ankod. Secara literal, gelar-gelar merujuk pada fungsi-fungsi yang berbeda dari anggota tim sebuah kapal. Perjalanan yang baik dari sebuah masyarakat terkomparasi pada perjalanan sebuah kapal layar atau sebuah perahu perang (belan). Perbandingan ini hadir dalam bahasa metaforik dalam lagu dan beberapa aspek ritual. Ungkapan malin ankod menggambarkan kapitan kapal layar atau perahu. Angkod berasal dari kata nahkoda. Malin terdiri atas ma dan lin; ma mengindikasikan pergerakan; lin berasal dari nablin “menjadi tenang”, ketika menjelaskan angin atau laut: malin ankod adalah kapitan yang tahu menguasai dan menjauhkan badai, memimpin kapal layar, dan menjaga waktu yang baik. Sama seperti itu, di desa, ia menjaga kedamaian dan kehidupan yang baik, dan mengizinkan masyarakat untuk mengetahui suatu hidup yang tenang. Dalam arti ini, ia adalah kepala dari suatu masyarakat, yang harus ia bawa menuju pelabuhan yang baik; perlindungan atas masyarakat yang menjadi tanggung-jawabnya. Ada dua jenis kapitan: malin angkod nangan atau “kapitan di darat” dan malin ankod roa atau “kapitan di laut”. Malin ankod nangan menggambarkan dua Tuan Tan (tuan tanah). Mereka bukan pemilik tanah, tetapi lebih tepat penjaga-penjaga tanah dan semua yang berhubungan dengan tanah. Di Tanebar-Evav, dua pria bergantian secara bergilir dalam kurun waktu tiga tahun sebagai pimpinanpimpinan ritual. Pada sejumlah kesempatan, mereka memimpin secara berdampingan. Meskipun fungsi mereka adalah salah satu yang terpenting, istilah “pemimpin” menerjemahkan secara kabur peran mereka. Mereka adalah penjaga-penjaga tradisi lebih sebagai gelar dibanding inisiasi-inisiasi lainnya, bahkan jika mereka membawa tanggung-jawab yang berat. 52 Belan kepulauan Kei. Dipublikasi oleh Geurtjens 1921 Tempat yang paling umum dari Tuan Tanah dikenal pertama-tama pada aktivitas ritual mereka. Dalam siklus tahunan aktivitas-aktivitas seremonial, Tuan Tanah mengambil peran pertama selama waktu budidaya botan, tempat kebun-kebun baru. Ia melakukan ritual-ritual sebelum setiap tahap budidaya dan harus tunduk pada sejumlah larangan-larangan dibanding para partisipan yang lain. Selama ritual berburu babi hutan, yang menandai awal dari musim panen, Tuan Tanah dikunci dalam rumah Teli (no 1), yang dimengerti sebagai pusat ritual botan. Ia melakukan di sana sebuah tindakan “berjaga” dengan tujuan untuk menjaga mereka yang pergi berburu di hutan. Ia di satu sisi adalah kepala ritual dan semacam kambing hitam yang mumpuni, melalui kehadirannya yang diam, memikul segala pelanggaran dari anggota masyarakat lainya. Dalam hal ini ia menjamin kesuksesan dari panen. Tuan Tanah yang kedua membantu rekannya sepanjang periode berjaga dan membantu selama kurban-kurban. Sentuhan dari kedua orang ini adalah untuk membantu setiap tahun suatu panen botan yang berlimpah-limpah. Keberhasilannya bukan hanya dari aturan agraris, tetapi tanda keberuntungan desa dan persetujuan dari para leluhur. Panen-panen yang buruk diatributkan pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh warga desa melawan tradisi. Tuan Tanah pada kesempatan ini adalah penjaga-penjaga tanah dan warga desa. Mereka memainkan peran penting, lebih dari pada yang lain, karena tanpa mereka tidak ada budidaya yang baik dari botan, tidak ada panen, dan tidak ada kekayaan bagi desa. Kapitan yang lain yang juga penting adalah malin angkod roa, “kapitan di laut”. Mereka menyebutnya juga ten ya‟an dir u atau nvar u, yang secara literal berarti “yang sulung dari yang tuatua yang berdiri di depan” atau “yang membawa di depan” (sebuah pikulan). Ndir u adalah nama dari kelasi yang mengawal, yang berdiri di ujung perahu untuk memberitahukan bila ada batu karang. Bagian ini adalah penting pada laut-laut yang penuh koral di dasar, yang muncul setiap saat sebagai perangkap yang berbahaya. Fungsi dari orang ini adalah untuk “membawa ke depan”, menjadi yang pertama. Dengan demikian ia memiliki peran ganda, di satu sisi sebagai kapitan dan di sisi lain kelasi yang mengawasi. Ia dalam beberapa hal adalah superieur dibanding dua Tuan Tan: dalam upacaraupacara, ia berbicara sebelum mereka, kemudian memberikan kesempatan kepada mereka. Ia mengalamantkan kesatuan masyarakat sambil menggunakan rumus-rumus yang telah kami jelaskan pada awal bab. Meskipun ia tidak mencakup secara langsung botan dan tanah, ia menampakan sisi sulung (jadi ia adalah pemimpin) rumah yang dianggap sebagai pusat ritual botan, dengan demikian 53 Tuan Tan memiliki posisi bungsu dalam hubungan dengan rumah ini14. Mereka menyebutnya malin ankod roa karena fungsinya, yang secara esensial adalah prajurit, memutuskan selama ekspedisi yang diarahkan untuk melawan desa-desa tetangga di atas perahu khusus yang termasyur di seluruh kepulauan, yakni perahu-perahu belan. Dengan demikian ia adalah kapiten pada saat perang. Ia memainkan peran pertama sebagai kepala desa pada saat perang, tetapi juga selama perburuan babi hutan dan dalam ritual botan. Dialah untuk beberapa hal mengantar orang-orang ke perburuan di hutan, selama kedua Tuan Tan berjaga sambil diam di desa. Sekembalinya, ia dipersilahkan untuk menyatakan pertama kali kepada para Tuan Tan jumlah babi yang dibunuh. Ia adalah pembawa pesan dan pengantara antara mereka yang berjaga dan warga desa. Kemudian, ketika malam tiba, ia tidur pada tempat yang sama dengan para Tuan Tan di dalam rumah botan, yang adalah rumahnya. Kita melihat sekarang sesuatu yang menarik dalam relasi antara perang dan budidaya botan. Kapitan untuk perang adalah sangat penting daripada dua yang lain dan memainkan peran pertama dalam ritual botan: ia mempunyai perkataan dan mengantar orang-orang ke perburuan, yang dipahami sebagai sebuah perang simbolik yang harus membawa kemakmuran di desa. Dari tiga orang ini, yang pertama adalah dari sisi para korban, kematian kekerasan atau perang; dari sisi laut dan relasi ke luar, mereka yang kedua diasosiasikan pada kesuburan, pada makanan-makanan sayuran, di tanah dan pada organisasi internal desa. Meskipun gelarnya berasal dari aturan laut, kapitan laut menghadirkan dua aspek ganda: dalam hubungan dengan di luar melalui perang, dan dalam hubungan dengan ke dalam melalui perburuan babi hutan bagi budidaya botan. Ini berarti bahwa dalam hubungan dengan itu tidak ada yang bermakna tunggal; relasi ke luar ditangkap dalam sudut pandang ganda. Hal ini mengingatkan persyaratan untuk selalu menempatkan tingkat-tingkat analisis. Masalah ini telah dijelaskan pada suatu pertanyaan kosakata pada bab sebelumnya: pulau dipandang sebagai bagian dalam dibanding laut, bagian luar; tetapi hutan adalah bagian luar, ketika mereka hanya memandang desa. Kita harus meletakkan itu secara pararel bersama dengan apa yang baru saja kita lihat: pada tingkat umum, para kapitan tanah dan laut teroposisi sebagai bagian dalam ke bagian luar. Dalam situasi khusus perburuan babi hutan, Tuan Tan tinggal di bagian dalam desa, sebaliknya kapitan laut mengantar perburuan ke luar desa, di hutan. Relasi ini mengambil semua artinya ketika mereka memposisikan kerangka ini: hutan adalah di desa dari apa yang adalah laut di bagian tanah pulau. Dengan demikian kekuasaan terbagi di antara ketiga orang ini, yang membawa nama yang sama “kapitan”. Pembagian atas tiga ini berhubungan dengan suatu dikotomi ganda, pertama-tama antara tanah dan laut, dan kemudian kedua kapitan tanah. Fakta bahwa dua orang dilekatkan pada fungsi terakhir ini, melakukannya secara bergilir dan membaginya, tidak diterangkan dalam literatur tentang Kei. Kita menemukan di sini, sebagaimana untuk tiga tempat di desa, suatu pembagian dalam tiga yang teredusksi pada suatu komplementaritas pada dua istilah: kapitan di laut teroposisi dengan dua kapitan di darat. Fakta bahwa telah ada dua Tuan Tan yang bertindak secara bergilir menyarankan suatu tanda berfungsinya kekuasaan: fungsi dari Tuan Tan adalah utama, tetapi individu membawa beban tertentu, karena ia dapat mengganti dan diganti pada hari berikutnya. Bukan kita yang penting, tetapi fungsi dan simbol-simbol yang direpresentasi. Semua terjadi seolah-olah, melalui cara pergantian pemagang jabatan, masyarakat mencapai kontrol atas pemegang kekuasaan yang besar dan untuk mencegah peningkatan secara berlebih-lebihan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Bahkan, fungsi teroposisi pada fungsi tunggal yang menjamin stabilitas dan menghindari sebuah kompetisi ganda. Lebih dari tiga peran ini yang memunculkan kepada kita dalam organisasi masyarakat ini. Kita akan 14 Untuk rumah-rumah ini, dilihat lebih jauh pada bab 3. 54 membicarakannya setelah memunculkan kesatuan inisiasi, yang telah mengkualifikasi semua dir u ham wang. Kita melihat arti dari dir u, “berdiri di depan”, ini adalah peran dari kelasi kapal; ham ingin menjelaskan “membagi”, wang berarti “bagian-bagian” atau “membagi rata”; bereferensi di sini pada pembagian di antara seluruh warga desa potongan-potongan penyu, duyung, lumba-lumba dan lain-lain, dimana mereka yang terinisiasi mempunyai beban untuk memotong di pantai di depan desa. Dalam arti yang digambarkan, mereka memabagi kurban-kurban, yang diberikan kepada roh-roh desa, dimana mereka adalah para petugas; setiap roh mempunyai beberapa orang yang diinisiasi yang menjadi anggota dari kultusnya. Di Tanebar-Evav, dua puluh tiga orang adalah dir u ham wang dan yang mengorbankan kepada roh-roh dan kepada tuhan15. Orang-orang ini diinisiasi pada saat dimana mereka akan mengambil tanggung-jawab mereka, secara umum pada usia dewasa, setelah kematian atau pergeseran dari pendahulu mereka. Ada pula kasus yang jarang dimana mereka telah diinisiasi ketika mereka masih anak-anak. Mulai dari inisiasi, mereka harus menghormati satu seri larangan-larangan yang disebut “dari laut” dan “dari darat” yang mengecualikan mereka dari hampir semua referensi pada perilaku seksual. Mereka “yang dari” laut mengecualikan konsumsi sejumlah ikan, dimana kualitas spesifik mengangkat suatu sikap tidak senonoh. Larangan-larangan dari “tanah” hanya larangan seksual. Mereka yang diinisiasi dapat memiliki beberapa istri sesuai dengan tradisi yang memungkinkan itu, tetapi mereka tidak boleh memiliki relasi seksual di luar perkawinan. Pada akhirnya, laranganlarangan “dari tanah” berkaitan dengan aturan bahan makanan, dimana hanya memperhatikan makanan-manakan yang bereputasi merangsang nafsu seksual. Larangan-larangan ini menyatakan kembali aturan-aturan untuk menuntun masyarakat. Larangan-larangan ini tidak selalu dihormati, tetapi ketika ini menyangkut seorang yang tidak diinisiasi, hal ini akan menyebabkan sangsi-sangsi individual. Melalui tanggung-jawab, mereka berhadapan dengan kolektivitas, mereka yang diinisiasi akan mengambil sebuah resiko yang lebih besar dalam kebersamaan desa dan mendatangkan sangsi yang lebih keras. Dari pelanggaranpelanggaran yang berulang mewajibkan suatu inisiasi baru, dan kemudian pengusiran. Inisisi tidak memberikan suatu pemahaman lebih daripada sesuatu yang biasa dalam hukumhukum masyarakat, tetapi ini membutuhkan hormat padanya. Mereka menggunakan seremoniseremoni untuk mengingat keberadaan dari hukum-hukum, yang mereka rangkum dalam ungkapan Vu‟ar Masbait ni sasa‟a “di dalam, isi dari gunung Masbait”, gunung di pusat desa: ini adalah semua hukum dari Tanebar-Evav. Dengan demikian mereka yang diinisiasi, dengan cara yang luar biasa, adalah penjamin dan yang dipercaya dari isi gunung ini, artinya dari masyarakat dan dari hukumhukumnya. Fungsi utama mereka adalah petugas untuk kultus dari beberapa roh pelindung desa, para mitu, dimana mereka ada dalam salah satu cara para penjaga. Fungsi ini menjadi jelas hanya selama periode perburuan yang dilakukan pada kesempatan panen, ketika mereka menyelesaikan kurban babi-babi hutan, mengatakan rumusan-rumusan dan menerima potongan-potongan binatang. Hal yang sama terjadi setiap kali seekor babi peliharaan dibunuh, karena semua babi-babi adalah “milik” dari para mitu. Pembagian dari mereka yang diinisiasi di antara lima mitu utama adalah sebagai berikut: empat mitu dimasukan pada mitu Labul (tempat Tamo, di kanan, fig. 5), dan yang satu di Lev (roh dari Tampaknya ini sepertinya menjadi salah satu dari karakteristik-karateristikdesa ini berhadapan dengan desa-desa lain de Kei, karena literatur tentang Kei hanya menjelaskan seorang laki-laki di setiap desa memikul gelar dir u ham wang (Van Wouden, 1968:36-7). Penelitian-penelitian lain di bagian-bagian lain di kepulauan ini memungkinkan untuk membantah atau menyetujui kenyataan ini 15 55 tampat yang disebut nuhu fuhar, “pusar desa”), delapan di Larmedan (tempat Vurfen, di pusat desa), empat di Limwad (tempat Kartut, di kiri) dan empat di Adat atau Rat Bad Ham, roh Tuhan oho mirin, bagian belakang desa yang suci. Dalam setiap kelompok ini, satu atau yang lain dari mereka yang diinisiasi mengambil tempat pertama sambil memimpin kurban, yang lain mendampinginya. Petugas utama dari roh Adat, agak sedikit berbeda dari yang lain. Sebagai tanda hormat, mereka memanggilnya lebih sering dengan gelarnya Turan Mitu Duan “Tuan Mitu”. Ia dikenakan sejumlah besar larangan suplementer, terutama makanan. Ia makan di piring, makanan yang dimasak terpisah oleh seorang gadis kecil; larangan-larangan yang lain menekan perilakunya setiap hari (tidak memiliki kontak dengan air laut, tidak membuat lelah tubuhnya dan lain-lain). Ada semacam halangan antara dirinya dan yang lain dari dunia. Ia tidak harus dicemarkan oleh kontak dari piring atau makanan yang disentuh oleh yang lain. Sebagian besar dari larangan dijustifikasi oleh mitos, yang menceritakan kedatangan ke pulau roh Adat yang ditemani penyu belimbing. Kita telah mengatakan bahwa Adat adalah satu dari roh-roh yang sangat penting di pulau Tanebar-Evav, dan kita telah mencatat bahwa melalui gelar-gelarnya kita dapat memahaminya semacam roh mitu dan semacam leluhur Ubnus. Sejumlah kendala yang dikenakan pada tugasnya hanya menyatakan posisi superior Adat dalam tugu kenangan. Selama ritual botan, yang diinisiasi ini tidak berpartisipasi dalam perburuan dan tinggal tiga hari tanpa aktivitas harian untuk berjaga di dalam rumah roh Adat. Petugas mitu lev, dari “pusar desa”, adalah inisiasi tunggal yang ditambahkan kepada roh ini. Ia juga menderita akibat beban-beban dari larangan-larangan khusus, yang cenderung ada seputar dirinya sejumlah pemurnian, supaya tak ada pencemaran untuk berhadapan dengan mitu (sebagai contoh persiapan khusus dari makanan). Ia berpartisipasi dalam perburuan babi-babi, tetapi pada waktu perang, ia tinggal berjaga di desa selama semua orang pergi dengan menggunakan perahuperahu. Lev adalah roh manusia, yang menurut mitos, muncul pertama kali di pulau bersama dengan ayam; adalah di dalam roh asali ini, yang bertanggung-jawab atas beban untuk melindungi para pasukan. Dengan demikian ada dua roh, Lev dan Adat, dimana satu adalah lebih tua dalam hubungan dengan asal-usul, yang lain adalah roh yang paling penting di antara mereka yang datang dari luar dan keduanya dipahami sebagai roh-roh dan sebagai leluhur. Tanpa keraguan kita dapat memahami di sana fakta bahwa para petugas ini sendiri mengamati sejumlah besar larangan. Seorang lain yang diinisiasi berdiri pada suatu tempat partikuler, bukan karena laranganlarangannya, tetapi dari perannya, ini adalah Orangkaya. Gelarnya, yang berasal-usul kata melayu, tidak memiliki padanan dalam bahasa lokal, fungsinya tampaknya baru dibanding dengan yang lain. Mereka menceritakan bahwa pada asal-usulnya hanya ada dua tuan tanah, Tuan Tan. Diinisiasi pada gelar yang sama dengan yang lain, ia adalah petugas utama dari roh Larmedan, dari tempat Vurfen di pusat desa. Dalam ritual botan, ia memberikan persembahanpersembahan atas nama masyarakat haratut. Di tepian perahu perang, ia adalah yang terakhir untuk menjelaskan; mereka menantinya, mereka memanggilnya dan tempatnya ada di tengah. Sentuhan Orangkaya adalah untuk mengorgansir relasi antara masyarakat Tanebar-Evav dan dunia luar. Mereka mengatakan juga bahwa ia mengadakan hubungan dengan “pemerintah”, kubni, artinya adalah kontak-kontak dengan negeri asing (kubni, ini dulunya adalah administrasi Belanda, dan kini adalah pemerintah Indonesia). Ia mempresentasikan desanya berhadapan dengan desa-desa lain; di internal distrik, ia berada dalam otoritas Raja; ia sejajar dengan seorang “kepala desa”16. Ia Di Kei, kepala-kepala desa adalah baik itu Raja, Orang Kaya meupun Kepala Soa. Raja pada waktu yang sama adalah kepala dari suatu wilayah tertentu yang terdiri atas beberapa desa 16 56 menerima orang asing, mengadakan sidang desa yang berhubungan dengan pembukaan musim tangkap dan awal dari kerja bersama. Pada masa kini, ia mengorganisasi pengumpulan pajak dan mencakup tugas-tugas administratif. Kekuasaannya sangat terbatas. Ia hanya dapat mengambil keputusan dengan persetujuan dewan desa yang terinisiasi dan para tua-tua dan, sebaliknya mereka hanya dapat memutuskan dalam kehadirannya dan bersamanya. Ia tidak dibebankan penerapan sangsi-sangsi yang berhubungan dengan kebiasaan. Ini adalah tanggung-jawab dari “penjaga” roh Hukum, dan di desa-desa lain di Kei pada Raja. Ini adalah aspek umum dari fungsi Orangkaya. Ia adalah figur penghubung antara pulau dan dunia luar. Dengan demikian ia berpatisipasi pada aktivitas-aktivitas “tanah” (ritual botan, yang di dalamnya ia merepresentasikan masyarakat haratut) dan aktivitas-aktivitas “laut” (perang dan relasi dengan dunia luar). Ia berada di perbatasan, berbalik ke dalam dan ke luar. Posisinya ini mengingatkan pada posisi kapitan laut, kapitan kapal untuk perang, tetapi yang mengantar juga masyarakat selama perburuan babi-babi. Pada akhirnya, harus digariskan kehadiran dari seorang dir u ham wang dimana inisiasi berbeda sedikit dari inisiasi yang lain. Sesekali ia menggunakan gelar leb (bahasa melayu lebai, imam dalam islam), yang hanya sedikit digunakan pada masa sekarang ini. Leb adalah petugas ritual yang dialamatkan pada tuhan matahari-bulan, sering diasosiasikan pada budidaya botan. Ia melakukan juga tugas sebagai peramal. Tiga pria telah mengadakan fungsi ini, yang telah diberikan kepada mereka oleh keturunan-keturunan dari sebuah rumah pendiri desa. Dua orang melaksanakan tugasnya pada masa kini. Mereka adalah bagian dari kelompok yang diinisiasi, yang menghadiri semua pertemuan desa. Seluruh pembagian yang berhubungan dengan kebiasaan dan urusan sehari-hari diambil-alih oleh musyawarah-musyawarah yang menyatukan mereka yang diinisiasi dan beberapa tua-tua dari rumah yang tidak diinisiasi. Ketika itu membahas secara ketat tentang kebiasaan, mereka mengambil tempat di rumah yang berkenan untuk itu (sebagai contoh, rumah botan, Hukum atau Adat). Jika ini menyangkut masalah-masalah administratif, mereka akan memutuskannya di rumah Orangkaya atau, karena tidak ada, di rumah Kepalasoa. Semua orang dapat berpartisipasi pada jenis-jenis pertemuan ini. Setiap orang akan berbicara di sana pada gilirannya, mereka kadang mengkonsultasikan roh-roh, dan keputusan diambil setelah satu atau beberapa putaran diskusi. Pada masa kini, menurut suatu aturan pemerintah Indonesia, perwakilan-perwakilan dipilih dari kelompok-kelompok konvensional yang harus berpartisipasi pada musyawarah-musyawarah, di Tanebar-Evav, ada pula seorang perwakilan dari islam, protestan, katolik dan agama tradisional. Dengan demikian berfungsilah pemerintahan desa. Adalah mustahil, jika mereka ingin tetap setia pada budaya lokal, untuk membicarakan aktivitas-aktivitas “keagamaan” yang dilengkapi oleh aktivitas-aktivitas “politik” dan “ekonomik”. Kategori-kategori ini, yang adalah milik kita, tidak memiliki kesetaraan dalam bahasa; bahkan kubni, yang mereka terjemahkan sebagai “pemerintahan”, hanya diperuntukan bagi asal-usul yang menggambarkan dominasi asing Belanda dan alat yang dipimpin oleh Orang Kaya atau Kepala Soa. Gelar-gelar ini semua berasal dari luar Kei dan dipakai sebagai sebuah sistimpemerintahan yang umum hampir di seluruh Maluku, dan lebih kurang dikenakan oleh orang-orang Belanda. Tanebar-Evav adalah bagian dari Raja Matwaer, di selatan Kei Kecil. Kepala desa tradisionalnya adalah Orang Kaya; tetapi akhir-akhir ini tidak menjalankan tugasnya selama beberapa tahun, diganti oleh Kepala Soa, yang dirancang oleh para penduduk untuk merepresentasikan desa di hadapan pemerintah. Kepala Soa aktual bukan seorang yang diinisiasi, dan fungsinya bukan turun-temurun, seperti fungsi dari Orang Kaya. 57 pemerintahannya. Mereka yang adalah “di kepala” masyarakat, para dir u ham wang, telah memperoleh posisi ini melalui inisiasi mereka: mereka telah berjanji untuk menjadi penjaga-penjaga yang setia pada aturan-aturan, hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan desa. Mereka diasimilasikan kepada “tua-tua”, itaten, dan hal ini meski kadang-kadang dalam usia muda mereka: mereka diberi tanggung-jawab untuk menjalankan beberapa fungsi desa, yang adalah ritual-ritual dan urusan-urusan yang kita akan kualifikasikan sebagai non-keagamaan. Para tua-tua yang berpatisipasi dalam rapatrapat musyawarah tidak memiliki peran ritual, tetapi pengalaman mereka meluas ke setiap aspek kehidupan sosial. Semua rapat musyawarah, mereka organisasikan seperti jalan yang damai dari kapal layar, diiramakan oleh peristiwa-peristiwa ritual dan upacara-upacara. Mereka mengatur konflikkonflik, memutuskan aktivitas-aktivitas kolektif dan pertemuan-pertemuan dengan desa-desa tetangga. Inilah “pemerintahan” dari para tua-tua yang memimpin dewan yang terdiri atas orangorang muda. Orang kadang mengalamatkan mereka yang diinisiasi dengan sebuah nama lain, yang mendefenisikan posisi mereka yang superior melalui aturan-aturan yang berlaku di desa; mereka menyebutnya mel nuhu duan, “tuan-tuan besar dari pulau”, dan ulun oho ten, “kepala dari para tua-tua desa”; mel mengindikasikan yang besar, penting, bertumbuh, dan ini adalah juga nama yang diberikan kepada orang-orang pada tingkatan bangsawan17; nuhu duan, ini adalah para penduduk atau tuan dari pulau; kedua ungkapan ini mengkualifikasi mereka yang diinisiasi melalui oposisi dengan mereka yang tidak diinisiasi, artinya untuk semua yang tinggal dari populasi yang mereka sebut yanan duan, “para ponakan”. Kata ini digunakan juga untuk menggambarkan orang-orang dari tingkatan inferior, para budak. Diletakkan dalam konteks masyarakat pada umumnya, penggunaan istilah-istilah komplementer ini mengindikasikan suatu oposisi hirarkis antara kesatuan para pemimpin desa, mereka yang ada di kepala, di depan dan mereka yang tinggal di desa, di belakang, dijaga dalam suatu posisi yang tidak berdiri sendiri dan dipaksa untuk menghormati, dan untuk mendengar mereka yang diinisiasi. Dua sisi atap rumah: sir yararu Ungkapan sir yararu, dicatat pada awal dari bagian ini, tidak diingat lagi. Penjelasanpenjelasan yang diberikan pada rumusan ini adalah berbeda dan kami akan memberikan padanya apa adanya. Terjemahan literal dari kata-kata ini adalah hal yang mudah. Ungkapan ini dapat dibagi dalam sir, yarar dan ru. Ru atau en ru berarti “dua”. Sir adalah nama yang diberikan pada dua balok lateral yang padanya diletakkan kayu-kayu untuk pemasangan atap rumah. Yarar menggambarkan miringan dari atap rumah. Dengan demikian, sir yararu menjelaskan atap rumah, terdiri atas dua bagiannya yang diletakkan pada dua balok lateral. Lebih luas lagi, ide ini adalah ide dari sesuatu yang menutupi, suatu pelindung dalam bentuk atap. Penjelasan pertama memberikan suatu sudut pandang hirarkis tentang organisasi desa: di satu sisi, masyarakat dalam kebersamaannya, dan di sisi lain, para pimpinan yang ada pada kepalanya. Kita dapat bertanya jika kita tidak menemukan di sini oposisi spasial hirarkis yang diatur antara depan dan belakang rumah, para pemimpin yang ada di depan dan masyarakat yang ada di belakang. Akan baik bila kita kembali ke sana. Penjelasan kedua bereferensi pada fungsi yang lebih penting dari desa -dipahami dalam dirinya sendiri, di luar dari relasinya di luar- fungsi dari Tuan Tan, “tuan tanah”. Fungsi ini dipegang 17 Tentang tiga “aturan”, bangsawan, orang pada umumnya dan budak, lihat pada bab tiga. 58 oleh dua kita, yang dilaksanakan masing-masing dalam periode tiga tahun. Fungsi ini adalah esensial untuk masyarakat, dan mereka yang menjalaninya adalah penjaga-penjaga utama dari kebiasaan. Pada judul ini, kita dapat merepresentasikan mereka sebagai dua sisi dari satu atap yang melindungi masyarakat melawan angin dan arus. Penjelasan ketiga menyatakan bahwa dua sisi dari atap rumah adalah dua holan; lebih lanjut, masyarakat kadang dijelaskan sebagai yang terdiri atas dua bagian yang disebut holoan (kata ini tidak memiliki arti yang lain); bagian pertama terdiri atas yam Rahanmitu, kedua, dari yam Rahakratat dan E. Wahan, yang disebut juga wahan kid ru, “dua sisi di perbatasan” desa. (Marilah kita mengingat di sini pembagian desa dalam tiga wilayah penting; dua yam yang terakhir berhubungan dengan dua sisi, sementara yam Rahanmitu berhubungan dengan bagian sentral). Dua holan tidak memiliki kenyataan sebagai kelompok-kelompok (tidak ada upacara-upacara untuk nama dari holan), ini hanya merupakan suatu representasi dualistik dimana sir yararu adalah suatu gambaran. Tidak ada tempat untuk memilih antara dua penjelasan, tapi mungkin perlu digarisbawahi bahwa ungkapan sir yararu mengindikasikan suatu dualitas dimana penting untuk menemukan pengertian. Kita perlu mencatat bahwa representasi simbolik yang bersifat dua ini memunculkan pertanyaan tentang suatu istilah ketiga; karena pada kenyataannya, atap memiliki juga sebuah balok tengah. Kita akan mencatat bahwa melalui analisis atas istilah-istilah ini dan rumusan-rumusan yang masyarakat gunakan untuk menjelakan ditemukan masalah-masalah esensial yang menonjol dalam aturan organisasi, meskipun bersifat ideologis atau simbolisme. Relasi antara di dalam dan di luar mengangkat sejak awal, melalui konsep-konsep dari lor dan haratut, kemudian melalui kelompok-kelompok dan fungsi-fungsi yang diotorisasi, menampakan secara jelas suatu oposisi hirarkis, yang mengartikulasi berbagai aspek dari masyarakat dan mengorganisasi di dalamnya suatu kesatuan koheren keberagaman dari hukum, dan dari beragai pihak, tuhan, leluhur, roh-roh dan lain-lain. Apa yang telah kami jelaskan pada tingkat konsep-konsep akan ditemukan lagi kemudian ketika kita tiba pada pertanyaan tentang pertukaran dalam berbagai manifestasinya, pertukaran-pertukaran perkawinan, perang dan lain-lain. Hal kedua yang diperoleh dari analisis semantik ini adalah fokus yang diletakkan pada gambaran benda-benda yang menjadi wadah –barang tembikar, keranjang-keranjang, kain-kain pembungkus, sisi-sisi dari atap dan lain-lain. Faktanya bukan tanpa hubungan erat bersama apa yang ingin dikatakan, karena masyarakat “dari dalam” dirancang sebagai “isi” dari beberapa hal, khususnya gunung. Secara logis ide ini terhubung pada posisi dalam/ luar, karena jika ada di dalam dan di luar, ini berarti bahwa ada juga sebuah isi simbolik, dimana dibutuhkan pemahaman atas struktur. Kita akan menemukan kembali ide yang sama yang sangat eksplisit dalam ritual-ritual. Dengan demikian tujuan dari upacara-upacara seputar budidaya botan adalah untuk “masuk” ke dalam pulau. Masalah yang muncul oleh keberagaman fungsi-fungsi mendorong suatu investigasi lebih lanjut dalam kesatuan masyarakat Kei dan dengan demikian hal ini melebihi bingkai tulisan ini. Namun di sini, bahkan mereka menemukan suatu kontras antara dua bentuk, yang satu hirarkis dan yang lain egaliter, dimana analisis komposisi kelompok-kelompok, sifat dari pertukaran-pertukaran dan fungsi-fungsi mereka akan terus diperdalam. Pada akhirnya, dan seperti untuk menerjemahkan keseimbangan antara bentuk hirarkis dan bentuk egaliter, masyarakat menghadirkan suatu pemahaman yang konstan antara suatu ketigaan dan suatu dualisme yang menyentuh sebagai wajah yang lain dari ketigaan. Dalam studi tentang wilayah desa, kita telah dapat merasakan apa yang penting, tetapi rapuh pembagiannya dalam tiga, yang selalu dapat direduksi pada suatu pembagian dalam dua. Pada kerangka konsep, kita dapat mengajukan 59 suatu ide masyarakat, yang terdiri baik itu tiga yam, maupun dua sisi dari satu atap, dan kita akan melihat itu secara detail pada bab berikut. Pada kerangka fungsi-fungsi, tiga “kapitan” teroposisi dalam dua kategori, laut dan darat. Indikasi-indikasi ini berguna untuk menganalisis tipe-tipe dari pertukaran dan untuk analisis hirarkis dari kelompok-kelompok sebagai individu-individu. Masalah-masalah yang telah diajukan melingkupi sedikit demi sedikit dalam usaha-usaha untuk memahami pulau, desa, penduduk-penduduknya dan bahasanya, akan muncul kembali pada bab-bab berikut, dan ini adalah sebuah tantangan untuk memecahkannya, dimana kita dapat memulai sedikit demi sedikit untuk memahami masyarakat Tanebar-Evav. 60 3 RUMAH-RUMAH, KELOMPOK-KELOMPOK DAN TINGKATAN-TINGKATAN Dalam hal mengorganisasi wilayahnya dan dengan suatu seri lengkap dari istilah-istilah yang digunakan untuk membahas hal tersebut, masyarakat Tanebar-Evav mempresentasikan pertama-tama sebuah aspek yang kaku dan sebagaimana diatur untuk tidak berubah-ubah. Jika sekarang kita ingin memahami dengan baik isi rangkaian yang kompleks dan komposisi dari berbagai unit sosial, haruslah mempelajari pada tempat pertama rumah dengan kedua sisinya, rin, yang mendefenisikan garis patrilineal, kemudian kita mempelajari unit-unit pengantara, ub, dengan jumlah sembilan, kemudian tiga unit superior, yam. Sambil memilah-milah kesatuan ini, kita akan membahas juga berbicara tentang fam umum. Akhirnya di Kepulaun Kei, lebih jauh lagi di seluruh Maluku, masyarakat terbagi dalam tiga tingkatan, dimana kita menemukan sejumlah aspek di desa TanebarEvav, yang dari sudut pandang ini, mempresentasikan beberapa kekhususan. Tujuan dari bab ini adalah untuk mempelajari, melalui kekayaan data-data yang diperoleh, prinsip-prinsip, yang pada semua tingkatan menstrukturkan masyarakat. 1. Rumah Dua puluh tiga rumah tradisional, dalam arti tempat tinggal dan kelompok sosial, membentuk suatu masyarakat Tanebar-Evav.18 Rumah-rumah ini telah dikelompokkan di desa bagian atas, tetapi kini dua rumah dari antaranya telah dibangun di bawah di lembah, sementara itu satu yang lain tidak pernah dibangun kembali selama kami tinggal di tahun 1973. Setiap rumah mempunyai posisi yang ditentukan dalam ruang desa dan terhubung secara spasial dan sosiologis pada satu dari tiga tempat, bahkan jika rumah itu tidak lagi ditemukan di sana sebagai bangunan. Rumah-rumah ini memiliki nama-nama diri (Gambar 13). Beberapa ada di permulaan desa, yang lain dibuat karena pembagian atau juga karena integrasi dari elemen-elemen asing, dan itu berarti tidak ada perubahan dari generasi-generasi lalu. Dalam kesatuan, rumah-rumah itu membentuk bingkai jelas, tidak bergerak, kekakuan masyarakat desa; sementara orang-orang sendiri terus bergerak. Sebagai entitas sosial dan tempat tinggal, rumah, rahan, menyatakan kesatuan eksogami. Rumah menentukan kelompok sosial referensial, yang kembali pada struktur kesatuan desa. Dipahami sebagai tubuh manusia, bersama dengan kepala seorang leluhur pendiri, rumah dipahami dalam dua sisi, kiri dan kanan. Ini adalah kamar-kamar lateral rin yang dibingkai oleh ruang sentral: rin mel “ruang kanan” dan rin balit, “ruang kiri”, yang dioposisikan lagi dalam yang sulung/ yang adik. Dalam prinsip patrilineal, kesatuan sosial dibentuk oleh rumah dibagi dalam dua kelompok yang dipahami sebagai saudara-saudara (klasifikasi, sulung dan adik) dan mencakup masing-masing satu rin. Setiap sisi atau rin berhubungan juga dengan apa yang kita dapat sebut sebuah garis patrilineal. Jika leluhur pendiri kerap diberikan namanya pada kelompok sosial yang dibentuk oleh rumah (lihat lebih jauh pada pokok fam umum), setiap garis terdefenisi pada sebuah rin yang sering membawa sebuah nama lain, yang adalah patronim dari anggota-anggota garis keturunan (secara umum tersusun Angka dua puluh tiga rumah tidak signifikatif di dalam dirinya; adalah sebuah hasil kebetulan dari sejarah; jumlah dari “tempat tinggal”, 18 61 dari nama pendiri garis keturuanan yang diikuti dengan ubun, (yang kecil-anak-anak), artinya “turunan dari yang pertama”. Gambar 13. Tabel rekapitulasi rumah, ub, yam dan fam umum. Tidak ada istilah lokal untuk menjelaskan ide “garis keturunan” sebagai kelompok sosial, tetapi hanya satu kata untuk menggambarkan tempat, rin, yang berisi kelompok sosial ini. Mereka memiliki rin mel atau rin balit dari rumah. Meskipun demikian, sejak lama sekali, kata fam (yang datang dari kata Belanda familie, “keluarga”) dipakai untuk menyebutkan garis keturunan.19 Dengan Kata fam pertama-tama digunakan oleh Geurtjens (1921a) untuk menggambarkan sebuah kelompok turunan patrilineal, itu dikutip kemudian oleh van Wouden (1968) dan Nutz (1959). Yang terakhir mengajukan pendapat jika kata ini telah datang dari kata Belanda familie, “keluarga”. Kami tidak menemukannya pada penulis-penulis sebelumnya. Sebaliknya van Houwell (1890: 131) berbicara tentang sebuah kelompok yang disebut soa dan menjelaskan juga kata rahan sebagai yang menggambarkan “keluarga”. Soa adalah sebuah kata yang diambil dari Maluku Tengah, dimana menggambarkan sebuah kelompok territorial dan terkadang sebuah kelompok keturunan; ini tidak terdapat pada organisasi tradisional masyarakat Kei. Kata rahan yang menggambarkan kelompok familial adalah lebih tepat dengan realitas masyarakat Tanebar-Evav. Kata fam tidak dikisahkan dalam masyarakat-masyarakat tradisional di sekeliling kepulauan dimana pulau-pulau Kei memiliki kesamaan kultural. Kata ini kayaknya telah didatangkan dari luar dan sedikit demi sedikit telah mengambil tempat dari kata rahan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang dipahami sebagai sebuah rumah. Kita tidak 19 62 demikian mereka menyebut fam X dari rumah Y: nama fam adalah sama dengan nama dari garis keturunan. Namun preferensi dibawa pada preferensi rumah sebagai kelompok dari keanggotaan, yang jelasnya “sisi kiri” dan “sisi kanan”. Secara teoretis semua rumah dibagi dalam kamar kanan dan kamar kiri, artinya dibentuk dari dua garis keturunan yang terpisah. Pada kenyataannya, sembilan rumah secara aktual hanya ditempati oleh sebuah garis keturunan tunggal (jadi kita menyebutnya sebuah rin tunggal) dan tampaknya selalu demikian. Dua rin dari satu rumah yang sama secara umum mengandung garis-garis keturunan dari satu leluhur yang sangat jauh dan tidak dapat dilacak dalam genealogis. Kerapkali dua rin mendefenisikan pertentangan dua garis keturunan dengan asal-usul yang secara total asing. Pada akhirnya, kita tidak mengetahui selalu sejarah panjang dari setiap garis keturunan. Bukan lagi garis keturunan yang dihitung, tetapi sejarah mitos atau riil yang menghubungkan dua kelompok: sebagai contoh, suatu garis keturunan yang mencakup rumah yang menerima suatu garis keturunan asing di pulau. Ia memberikan kepadanya tanah dan menganugerahkan kepadanya sebuah fungsi, yang memasukan secara defenitif rin kedua. Apa yang merupakan asal-usul dari garis keturunan, anggota-anggota dari sebuah rin tidak dapat mengawani mereka yang berasal dari rin lain dalam rumah yang sama. Dua sisi dari sebuah rumah terhirarki: sisi kanan adalah sulung, sisi kiri adalah adik. Keunggulan dimiliki oleh sisi kanan dalam arti bahwa dalam semua urusan yang berhubungan dengan kesatuan rumah, garis keturunan kakak yang memutuskan, yang berbicara, bahkan jika garis keturunan adik berasal-usul berbeda. Secara umum, sisi kanan merepresentasikan garis keturunan asali. Mereka adalah leluhur pendiri dari rumah. Sebuah rin tunggal dapat juga menaungi sebuah garis keturunan yang terdiri dari bagianbagian yang terhubung pada leluhur yang sama, yang menanjak pada tiga atau empat generasi. Itu merupakan sebuah bagian sulung dan bagian-bagian adik yang menggunakan nama yang sama. Jika dari sudut pandang eksogami, rumah, rahan, adalah kelompok yang relevan, dari sudut pandang pertukaran, karena rin adalah kesatuan yang paling kecil. Ketika rumah digabung dalam suatu garis keturunan tunggal, kesatuan eksogami dan kesatuan pertukaran pun tergabungkan. Dibentuk dari dua puluh tiga rumah, dimana sembilan hanya tergabung dalam satu garis keturunan tunggal, desa berisi tiga puluh tujuh garis keturunan, atau rin atau fam atau kesatuan pertukaran minimal. Adalah penting untuk membedakan antara kesatuan eksogami dan kesatuan pertukaran, karena rin adalah kesatuan. yang dengannya ditambahkan gelar-gelar, fungsi-fungsi dan ritual-ritual, tetapi juga kepemilikan tanah dan pohon-pohon kelapa. Relasi tetap dari pertukaran dipermanenkan antar rin, sehingga dua rin dari satu rumah yang sama tidak mempunyai pasangan yang sama. Fungsi dari Tuan Tan menampakkan sisi kanan dari rumah, seperti itu juga fungsi lain atau ritual yang menampakkan sisi kiri. Sisi kanan membuat kurban kepada roh Labul, sisi kiri membuat kurban kepada sebuah roh lain, seperti Larmedan. Setiap rin membuat juga suatu kesatuan terpisah dari rin lain, bersama dengan fungsinya, tanah-tanahnya, hubungan-hubungannya, semua yang menjadi bagian dari suatu entitas yang lebih besar, rumah, dimana ia hanya merupakan setengahnya. akan mendiskusikan di sini istilah soa yang tidak digunakan di yang tidak digunakan dianebarEvav, tidak juga di bagian-bagian lain di Kepulauan ini, kecuali ungkapan Kepala Soa; sebagaimana kita telah lihat, istilah ini menggambarkan seorang kepala desa, yang bukan merupakan bagia daari kelompok mereka yang diinisiasi dan fungsinya pada waktu itu dihubungkan dengan administrasi Belanda. 63 Untuk kesatuan pertukaran, setiap rin mendefenisikan pasangan-pasangannya dalam aliansialiansi perkawinan, dalam relasi-relasi spesifik yang saling bantu dan sebagainya. Sebuah rin kanan atau kiri dari sebuah rumah digambungkan bersama dengan sebuah rin yang lain dari sebuah rumah yang lain, dan dalam relasi ini, rin digambarkan lebih sering dalam nama rumah yang diikuti dengan “kanan” atau “kiri”, misalnya Teli mel atau Teli balit; dan jika sebuah rumah hanya terdiri atas sebuah garis keturunan, mereka menyebutkan hanya nama dari rumah daripada nama dari garis keturunan. Mereka mengatakan bahwa rumah Welob mempunyai sebuah relasi aliansi dengan rumah Hernar. Semua rumah dan semua rin desa terhubung juga dalam jaring-jaring, yang menentukan relasi-relasi antara kelompok-kelompok dan memberikan kesinambungan pertukaran-pertukaran di dalam desa. Keanggotaan dari seorang individu di dalam sebuah rumah dan di dalam sebuah rin mendefenisikan tempatnya dalam masyarakat dan membatasi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya di hadapan pasangan-pasangannya dari rumah-rumah dan rin-rin yang lain. Yang sulung dari suatu garis keturunan adalah di kepala sebuah rin (atau dari rumah, jika rumah itu hanya memiliki sebuah garis keturunan tunggal). Dialah yang memegang beban dan gelar, yang memiliki hak atas tanah-tanah, kepemilikan-kepemilikan dan ritual-ritual rin. Anak laki-laki sulung mengganti ayahnya, ia memiliki otoritas atas saudara-saudaranya yang adik dan atas bagianbagian adik. Ia membagi di antara semuanya tanah dan pohon-pohon kelapa, menjadi tanggung-jawab masing-masing dan membuatnya tumbuh. Dalam kasus konflik, ia dapat mengadakan sebuah pembagian tanah baru di antara saudara-saudara atau antara bagian-bagian. (Secara aktual, dalam semua kasus dimana ada satu bagian dari yang adik, bagian-bagian dibiarkan tetap sama untuk beberapa generasi dan pembagian tampaknya defenitif). Rin, dan rumah yang hanya memiliki satu garis keturunan, adalah kesatuan-kesatuan tunggal sosiologis yang dilekatkan pada tanah; ub-ub dan yam-yam tidak memiliki realitas territorial, kecuali dalam wilayah partikuler dari pengelompokan penduduk desa. Selain itu, semua anggota dari garis keturunan hidup di bawah satu atap. Anak-anak menetap dalam rumah bapak mereka dan setiap sisi rumah ditempati. Pada masa kini –dan bahwa desa di bagian bawah telah mulai dibangun- anak-anak yang telah menikah memiliki kecenderungan untuk mempunyai tempat tinggal sendiri, secara umum di bawah lembah. pada saat kematian seorang ayah, dan untuk menggantikannya, yang sulung akan tinggal di rumah tradisional desa di atas20. Adalah esensial bahwa rumah yang ditinggali, dipelihara, dan bahwa yang sulung dari garis keturunan memenuhi di sana ritual-ritual dan persembahan-persembahan. Tempat tinggal itu patrilokal, tetapi pada awal perkawinan, ketika sebagian besar harta kawin belum dibayar, terjadi bahwa pasangan Pembagian keluarga dalam bagian kumpulan-kumpulan kecil terjadi karena pertama-tama pengaruh pemerintah kolonial dan kristianisasi, dan itu terus berlanjut hingga kini. Ada sebuah tendensi umum untuk menghancurkan rumah-rumah dan bangunan-bangunan tradisional untuk menggantinya dengan rumah-rumah yang menjawab semua untuk sebuah tipe yang sesuai dengan kriteria modern. Hingga kini, hanya desa Tanebar-Evav secara relative dilestarikan dari pengaruh ini, karena kebersamaan rumah-rumah tradisional di atas telah dikonservasi utuh meskipun ada tampilan rumah-rumah baru di desa bawah. Dalam kebersamaan dengan Kepulauan Kei, adalah sama bahwa dalam pulau-pulau tetangga di Tanimbar dan Aru dimana rumah-rumah tradisional adalah sungguh sebuah ojek seni, masih terdapat apa-apa. Di Tanebar-Evav, meskipun rumah-rumah tradisional tinggal, adalah relatif berbeda bahwa kumpulan-kumpulan keluarga pergi tinggal di dalam sebuah rumah yang terpisah. Tetapi pada hari dimana rumah tradisional tidak akan lagi dipelihara dan dihancurkan, adalah menakutkan bahwa tidak sebuah dorongan fisik, semua isi sosiologis yang dibuktikan oleh rumah diruntuhkan pada saat yang sama, dan bahwa fungsi-fungsi dan ritual-ritual menyusut sedikit demi sedikit sampai berakhir. 20 64 muda bertempat tinggal di rumah ayah dari istri dan membantunya dalam kesibukan-kesibukannya. Situasi yang sifatnya sementara ini kerapkali berlangsung lama sampai kematian ayah dari istri. Dengan demikian rumah ditinggali oleh seorang menantu. Di sini ia hanya akan kembali ke rumah asal-asulnya untuk melakukan ritual-ritual yang penting. Tetapi jika rumah tersebut terlalu lama kosong dari anggota-anggota yang sah, penyakit-penyakit atau masalah-masalah dari para penghuni dikaitkan dengan kemarahan para leluhur dan roh-roh rumah yang merasa ditinggalkan. Dengan demikian mereka berkumpul untuk suatu gerakan berpindah dari perpindahan umum dan setiap orang mengambil kembali tempatnya dalam rumahnya sebagai anggota. Sebuah rumah atau sebuah rin tidak hilang, bahkan jika garis keturunannya keluar, karena tanahnya, fungsi-fungsinya dan tempatnya di dalam desa tetap terjaga. Keturunan-keturunan yang tidak ada berganti melalui sebuah prosedur adopsi. Adopsi dapat berasal dari semua rumah manapun di desa. Jadi ia mengambil nama, fungsi dan gelar-gelar. Ia menanami tanah-tanah dan perkebunanperkebunan dan meninggalkan semua hak-haknya pada rumahnya atau pada rin asal-usul-nya. Anakanaknya akan menggantikan posisi barunya. Perkiraan tunggal di sini adalah fakta bahwa rumah atau sisi rumah tidak dapat tinggal kosong. Kita dapat mengatakan bahwa masyarakat desa terorganisasi dalam rumah-rumah, seperti dalam bentuk tetap, dimana orang-orang melaluinya. Setiap rumah terasosiasi masing-masing pada satu dari tiga tempat desa atau roh-roh yang terhubung padanya; lebih dari itu setiap rumah dilindungi oleh setiap roh partikuler (pelindung tempat tinggal dan bukan sebuah kelompok garis keturunan) dimana yang sulung dari sisi kanan dari rumah melakukan secara rutin persembahan-persembahan. Dalam relasi antara yang hidup, sebagaimana pada tingkat supernatural, rumah-rumah dari referensi-referensi yang berwujud, berlokasi pada tanah dan sekitarnya terorganisasi masyarakat, penganut-penganutnya dan berkelanjutan. Dengan demikian rumah dipahami sebagai suatu pribadi moral, sebagai suatu keberadaan sosial. Adapun garis keturunan itu sendiri dirancang hanya sebagai sisi kanan dan kiri sedemikian rupa dari rumah, artinya dalam relasi dengan rumah dimana ia adalah bagian atau salah satu dari dua bagian dalam keseluruhannya. Diintroduksi dengan sebuah istilah yang tanpa ragu diambil dari fam untuk menggambarkan sebuah kelompok keluarga, rumah (tidak ada istilah lokal untuk menggambarkan garis keturunan sebagai kelompok sosial) menjelaskan dengan baik kesulitan untuk menangkap realitas berbeda ini dari kita: mereka telah membuat jalan keluar bagi sebuah istilah yang meletakkan identifikasi individu dalam hubungan dengan leluhur-leluhurnya, tetapi menjelaskan pencantumannya di desa, artinya bahwa mereka mengabaikan kelengkapan struktur dari masyarakat, dari rumah-rumah dan relasi-relasi antar rumah-rumah. Dengan demikian kelompok sosial terdefenisi oleh satu rumah dengan dua sisinya, artinya dalam hubungan dengan sebuah titik tetap yang terletak dalam struktur desa. Referensi tidak dilakukan untuk sebuah tempat tinggal dalam arti yang secara murni lokal, tetapi pada sebuah lokalisasi dalam suatu ruang yang terstruktur secara sosiologis. Rin-rin atau rumah-rumah terletak di dalam ruang terstruktur ini, yang adalah pemegang gelar-gelar, fungsi-fungsi, kultus-kultus roh-roh dan tanah-tanah. Ini adalah untuk mempertahankan kedudukan sebuah rin dimana nama dari garis keturunan dapat diberikan kepada individu-individu berbeda, tanpa memperhatikan asal-asul mereka. Dalam arti ini kita bukan lagi dihadapkan pada sebuah realitas yang membentuk bagian-bagian atau yang berbentuk garis keturunan yang akan mendefenisikan kelompok-kelompok; bukan pula sebuah kebersamaan garis-garis yang terdiri atas para leluhur yang mengorganisasi masyarakat. Ini adalah kesatuan dari rumah-rumah yang terhubungan dengan rumah-rumah dan pertukaran-pertukaran, mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan, yang membentuk suatu struktur yang di dalamnya tercatat dan bergerak; jika perlu tanpa memperhatikan garis keturunan asali mereka. Kita melihat dengan baik di sini bahwa tidak ada legitimasi dari bentuk garis keturunan yang memberi isi pada rumah-rumah 65 mereka, tetapi rumah-rumah yang memiliki para pemegang hak-hak dan fungsi-fungsi yang penting pada kehidupan sosial. Semua terjadi sedemikian karena paternatitas secara sosiologis adalah model dari sebauh cara imperatif melalui suatu prinsip yang lain yang superior terhadapnya. Kita jauh dari suatu masyarakat dengan tipe segmenter yang kembali pada suatu tangga genealogis dari bagian-bagian yang yang dibagi dalam tingkat, dimana dimana jumlah dari setiap tingkat tergantung dari dia dalam hubungan dengan saudara-saudara dan sepupu-sepupu, semua setara di antara mereka. Di sini apapun perubahan dari jumlah saudara, rumah tetap satu dan tidak mengenal lebih dari dua sisi. Di sini suatu bentuk yang berwujud, yang menyebabkan selalu suatu seri kerabat-kerabat laki-laki sebuah acuan dari pasangan kakak-adik. Penyederhanaan ini sangat kuat dan menyatukan dalam suatu takdir yang sama adik-adik dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian struktur dari rumah merupakan sebuah hambatan dalam membangun sebuah patriliealitas yang setara dalam apa yang menyangkut saudara-saudara. Hal ini menunjukkan hirarki dalam dualitas. 2. Sembilan kelompok Dua puluh tiga rumah desa terdistribusi dalam sembilan kelompok yang disebut ub, yang terbentuk dari satu atau beberapa di antara mereka. Setiap rumah, yang dipahami sebagai satu atau dua rin, termasuk dalam sebuah ub. Kelompok ub dari rumah-rumah, bukan dari garis-garis keturunan, dan keanggotaan untuk sebuah ub adalah fungsi dari keanggotaan pada sebuah rumah. Pembagian desa atas Sembilan kelompok –ub i si atau wadar en si- dijelaskan oleh sebuah kultus wadar. Sembilan pasang leluhur mistik pendiri ub. Setiap wadar tinggal dalam sebuah kelompok rumah, dimana mereka membawanya persembahan-persembahan. Leluhur-leluhur ini tidak memiliki nama yang diakui dan mereka tidak dapat membuat jejak genealogis sampai pada para leluhur ini. Marilah kita mengingat bahwa ub menggambarkan juga para kakek, dan tempayan tanah liat yang bersisi air atau botan. Pertama-tama sebuah ub adalah sebuah pengelompokkan dari beberapa rumah, yang mengadakan kurban pada wadar yang sama dan bertindak bersama pada sejumlah kesempatan seremonial. Sebuah ub tidak memegang sama sekali fungsi otoritas dan tidak memiliki sama sekali tanah. Dengan demikian rumah-rumah atau rin-rin tereferensi pada suatu prinsip unilateral dan pada leluhur pendiri yang secara umum telah memberikan nama kepada garis keturunan. Setiap ub menghormati satu sampai sembilan pasang leluhur mitos dan merupakan bagian integral dari desa sebagai totalitas. Tidak ada relasi-relasi segmenter antara ub dan rumah-rumah. Ub tidak dipahami sebagai suatu tingkat superior dari struktur unilateral. Rumah-rumah konstitutif dari ub sering tidak memiliki hubungan di antara mereka, jika bukan sebuah referensi bersama pada pasangan leluhur ini, yang dengannya mereka membuat sebuah kultus. (Ub berasal dari kata ubun, dari “para kakek”, dimana mereka harus tercakup dan mereka harus menghormati dalam bentuk pertukaran untuk melihara mereka dan melindungi mereka). Tidak terdapat keturunan dari para leluhur ini tetapi ada suatu hubungan mistik yang dibedakan, yang meletakkan pada setiap rumah untuk memuja para wadar sebagai leluhur mereka. Jika mereka sekarang memahami bukan lagi asal-usul dari ub tetapi komposisi mereka dan fungsi mereka, kita perlu mencatat suatu ketiadaan heterogenitas yang memungkikan masalahmasalah baru. Kita menemukan ub-ub yang tersusun pada sebuah rumah, kadangkala dua atau kadangkala empat. 66 Dengan demikian satu dari ub-ub ini terdiri dari satu-satunya rumah 7 (Gambar. 13). Namanya dibentuk dari nama dua garis keturunan kanan dan kiri dari sebuah rumah. Garis-garis keturunan ini berasal-usul berbeda dan dari luar desa. Itu berarti bahwa satu dan yang lain datang dari utara pulau Kei Kecil. Tidak ada sama sekali hubungan kekerabatan dan tidak ada sama sekali sesuatu yang umum di antara mereka, jika hanya fakta bahwa mereka diterima di dalam desa, dimana mereka telah menerima tanah, ritual-ritual, fungsi-fungsi dan bahwa mereka telah mendirikan rumah ini. Mereka membuat kurban untuk kultus dari wadar yang sama. Nama dari ub mengingatkan sejarahnya, tetapi tanpa relasi dengan asal-usul mistik dari wadar dan untuk hal itu adalah sama dengan ub-ub yang lain. Di sini, komposisi ub secara umum heterogen dan prinsip keturunan tidak berlaku untuk memahami struktur. Komposisi ini mencatat prinsip-prinsip lain yang ada untuk mendefenisikannya. Tiga ub yang tersusun dari empat rumah mengangkat sedikit demi sedikit masalah yang sama. Nama dari yang pertama, Rahakratat (rumah-rumah dari 1-4, Gambar. 13), bukan nama dari garis keturunan, bukan nama leluhur dan tidak menjelaskan sama sekali asal-usul. Nama kedua, Soar-Taver (rumah-rumah 9-12) dihubungkan dengan para pendiri dua rumah dari satu ub. Nama ketiga, Rahanmitu (rumah-rumah 13-16 dan 8), menggunakan nama salah satu dari tiga garis keturunan pendiri desa yang juga adalah nama dari salah-satu yam. Ini adalah nama yang tereferensi pada asalusul. Dalam tiga kasus ini, rumah-rumah ub tidak mempunyai asal-asul leluhur bersama. Ub-ub menyatakan suatu struktur penerima yang di dalamnya rumah-rumah dimasukan secara bertahap, seputar satu atau dua garis keturunan. Selain itu, titik tunggal bersama mereka adalah kultus para leluhur wadar yang dilakukan oleh semua rumah ub dalam rumah wadar. Pembagian desa tidak berarti sampai pada referensi suatu organisasi yang berdasar pada garis keturunan, tetapi mungkin pada jumlah tetap dari elemen-elemen yang terhubung pada suatu sejarah mistik, pada sebuah kultus dan pada ritual-ritual. Kebingungan kita hanya tinggal pada lima ub yang terakhir, dimana empat dibentuk masingmasing dari dua rumah. Dua dari antara mereka, ub Fakil‟ubun (rumah 5 dan 6) dan ub Eler (rumahrumah 22 dan 23), membentuk secara eksplisit apa yang dapat kita sebut sebuah klan patrilineal. Dua garis keturunan dari kesatuan rumah-rumah dan garis keturunan tunggal dari rumah kedua menampakkan asal-usul dari satu leluhur bersama, yang telah nama ub –Fakil dalam sebuah kasus tertentu dan Elar dalam kasus lain. Dari dua kelompok rumah ini, mereka menyebutnya tiga rin tetapi sesungguhnya sebuah rumah tunggal. Kita tahu bahwa rumah kedua beasal dari perpecahan, rumah ini telah menjaga referensi pada garis keturunan pendiri. Dalam contoh ini, tidak hanya dua rin dari sebuah rumah, garis keturunan dari sebuah rumah lain menghubungksn tiga rumah secara keseluruhan di antara mereka melalui garis genealogis yang diakui sulit untuk dilacak kembali. Dan di sini lagi, tidak terdapat hubungan antara pasangan leluhur mistik pendiri ub. Tiga ub tersusun dari rumah-rumah 17 dan 18, 19 dan 20, dan 21 menggunakan nama yang sama Fa‟an-E.Wahan. Fa‟an adalah nama dari sebuah garis keturunan pendiri desa (seperti Rahanmitu) dan nama dari salah satu dari yam-yam; E. Wahan adalah nama dari yam yang dengannya ditemukan tiga ub. Itu berarti bahwa empat rumah akan dikelompokkan seputar rumah, yang dicakup oleh garis keturunan Fa‟an. Namun, semua rumah berasal-usul berbeda dan tanpa hubungan di antara mereka. Meskipun demikian rumah-rumah itu menggunakan nama yang sama, dalam arti bahwa dari tiga ub yang menghormati para wadar dalam tiga rumah terpisah. Di sini sebuah rumah tunggal (no 21) membentuk sebuah ub dimana ia sendiri. Rumah ini dipahami sebagai garis keturunan asali dari desa (Fa‟an) dan sebuah garis keturuna dari luar. 67 Dari sudut pandang semua perbedaan ini, kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah ub adalah sebuah kelompok keturunan, meskipun ia mencoba untuk terlihat sebagai sebuah kelompok tertentu. Kita dapat mendisainnya sebagai sebuah kelompok ritual yang memberikan sebuah kultus kepada para leluhur, tetapi fungsinya sebagai kelompok sosial dalam aktivitas-aktivitas yang beragam membingungkan dalam interpretasi terbatas ini. Ada sebuah hirarki di dalam sebuah ub, yang menirukan hirarki rumah. Tentu saja, mereka mengatakan bahwa tempat tinggal wadar adalah rumah sulung dimana kepala rumah dipahami sebagai kepala dari ub. Mereka tidak mengatakan bahwa yang lain adalah adik, tetapi hal tersebut jelas tersirat. Rumah-rumah yang dihubungkan oleh pasangan-pasanganp mempunyai posisi-posisi spesifik yang dijelaskan oleh istilah-istilah yaman a‟an dan yanan duan, yang menjelaskan masingmasing “saudara sulung dari ayah” dan “keponakan”. Istilah yang pertama menggambarkan dari suatu cara yang sangat umum semua paman dari sisi ayah dan secara defenitif semua laki-laki dari garis keturunan patrilineal. Juga, sejumlah rumah adalah “keponakan”, yang lain adalah “paman-paman dari sisi bapak”, dan istilah yang lain mendefenisikan posisi dari rumah dalam hubungan dengan yang lain dalam relasi mereka. Kita telah mengatakan, tentang lor, bahwa ini adalah sebuah relasi kekuasaan. Tetapi melihat dalam kebersamaannya, sebuah ub mengakui suatu superioritas tunggal, superioritas dari rumah sulung dalam kebersamaan dengan adik-adiknya tanpa distingsi, dan kita tidak memahami di sini relasi ganda paman-keponakan. Apa yang, dalam sebuah sistim segmenter, ada pada tingkat yang sama, adalah kebalikan di sini, bukan pada tingkat yang sama, mungkin pada tingkat dari setiap pasang, mungkin pada tingkat kebersamaan. Di sini bentuk ini bersifat membatasi, terlepas dari nasib yang mengubah manusia. Posisi-posisi ini masing-masing mengambil semua dimensi mereka dalam kenyataan kongkrit, sebagaimana kita akan melihatnya sambil menjelaskan fungsi ub. Gambar 14. Relasi-relasi antara rumah-rumah di dalam dengan ub dari empat rumah 68 Gambar 15. Relasi-relasi antara sebuah ub dengan sebuah rumah di luar Sebagaimana kelompok, sebuah ub terkongkritkan dengan baik dalam sebuah realitas spasial daripada sosiologis. Di dalam sebuah desa, rumah-rumah secara umum didirikan berhadapan, duadua, oleh ub atau oleh pasangan di dalam sebuah ub, yang terdiri atas empat rumah, yang membatasi juga sebuah tempat kecil yang sering menggunakan sebuah nama. Sama seperti itu, dalam lagu-lagu, sejarah-sejarah dan rumus-rumus tradisional, rumah-rumah dikelompokkan dua-dua; meskipun mereka menyebutnya dalam nama yang satu, nama dari yang lain datang secara langsung melalui bibir, kemudian nama-nama rumah dari pasangan lain dalam ub-ub di empat rumah. Ini adalah rumusan ritmik yang mereka bacakan dan yang menjelaskan ketakterpisahan dari pasangan rumah ini. Mereka mengatakan di sini Teli-Meka Welob-Yelmas, Maskim-Kadom Fator-Sirwod, Korbib-Hernar Sokdit-Tokyar etc. Semua terhubung dengan sejarah, ritual, lagu, tidak pernah satu terlepas dari yang lain. Pada tingkat empirik, asosiasi ini diterjemahkan sebagai sebuah solidaritas besar, yang diperkuat oleh hubungan-hubungan dekat ketetanggaan. Serambi-serambi saling berhadapan, para perempuan duduk di sana sepanjang waktu untuk bekerja. Pada waktu malam, para pria berkumpul di sana untuk berdiskusi. Tetapi ini tidak hanya berarti kepentingan dan kebersamaan antara tetangga terdekat. Sebuah ub mempunyai suatu realitas sosial, dikelompokkan, dan rumah-rumah mempunyai tanggung-jawab bersama dalam organisasi masyarakat. Suatu ub berpartisipasi secara kolektif dalam semua kejadian hidup dari satu atau beberapa rumahnya: perkawinan, kelahiran, kesediahan dan halhal yang sangat intens yang hanya dilakukannya terhadap rumah-rumah di desa. Dalam kasus sakit, sebagai contoh, mereka mulai dengan memberitahukan kepada anggota-anggota dari ub-nya. Sebuah ub memainkan peran dominan dalam mengatasi konflik-konflik. Sebagai contoh, jika sebuah sengketa atas hak-hak kepemilikan tanah antara saudara-saudara dalam sebuah rumah yang sama atau antara dua sisi dalam satu rumah, dan jika sebuah garis keturunan atau sisi sulung tidak sampai memecahkannya, mereka akan memanggil rumah pengantara yang superior, artinya mungkin rumah yang terkualifikasi sebagai “paman”, atau mungkin “yang sulung” dari ub. Mereka umumnya mengalamatkan pada yang sulung yang merepresentasikan kesatuan superior pada rumah yang mengalami konflik, pertama-tama pada satu sisi rumah, kemudian “paman” dalam satu pasang rumah, kemudian yang sulung dari empat rumah. Sebagai contoh, rumah-rumah Fator-Sirwod Maskim-Kadom dari ub Soar-Taver (rumahrumah 9-12, Gambar. 13). Fator merepresentasikan “paman” untuk Sirwod, sama halnya Kadom adalah “paman” daro Maskim; tetapi Fator adalah rumah yang sulung dari ub. Sebuah konflik untuk Maskim (no. 11) pertama-tama akan ditangani oleh Kadom (no.12); sama halnya sebuah konflik dari Sirwod (no. 10) akan pertama-tama ditangani oleh Fator (no.9). Tetapi sebuah konflik untuk Kadom sebaliknya akan dibawa secara langsung ke hadapan Fator (Gambar. 14). Namun harus dijelaskan secara tepat bahwa, dalam kasus yang berat, semua anggota ub bertemu bersama untuk mendiskusikan masalah-masalah; debat-debat dipimpin oleh kepala rumah sulung dari ub, dan semua orang berpartisipasi dan saling menjelaskan, para perempuan sebagaimana para pria. Hasil diskusi diambil setelah persetujuan umum dan tidak dipaksakan dari atas. Sebuah masalah yang diajukan oleh rumah sulung dari ub diatur menurut cara yang sama. Kesatuan sosiologis ub dibangun juga pada tingkat relasi-relasi spesifik antara rumah-rumah atau sisi-sisi dari rumah, dalam bingkai umum dari desa. Sebuah ub tidak bertindak demikian, ia tidak memberikan pada dirinya sendiri kewajiban yang harus dipenuhi, tidak ada relasi global dari ub ke ub; tetapi ketika sebuah rumah ada, semua yang lain dari ub yang sama datang membantu dan 69 berbaris pada sisi-sisinya. Ketika pembahasan-pembahasan untuk mempersiapkan sebuah perkawinan, anggota-anggota lain ub secara umum hadir untuk mendukung rumah bersangkutan. Mereka mengambil bagian aktif untuk persiapan-persiapan material dan sering berkontribusi pada kewajibankewajiban harta kawin. Sebuah ub bukan sebuah kesatuan pertukaran, tetapi sebuah kelompok solidaritas, dimana tiap-tiap rumah menyusunnya. Dengan demikian, sebuah relasi permanen yang menghubungkan sebuah rumah X dengan rumah A dari sebuah ub akan menghasilkan, dalam kasus kematian sebuah rumah B dari ub yang sama daripada A, kewajiban-kewajiban bagian X di rumah B (Gambar. 15). Kesamaan semua anggota dari sebuah ub di belakang sebuah rin sebuah rumah ub pada sebuah kesempatan seremonial dikenal dengan nama temar vut. Temar adalah nama yang diberikan kepada sebatang bambu ketika ia muda dan kurus; vut adalah angka sepuluh; temar vut adalah “sepuluh bambu”, menunjukkan gambaran sebuah kaki muda dari batang tanaman ini yang meliukliuk satu terhadap yang lain. Gambaran ini menunjukkan, di satu sisi, solidaritas rumah-rumah ub dimana setiap kali satu di antara mereka ditunangan dalam sebuah pertukaran; dan kedua fakta bahwa mereka dikenal sebagai satu kesatuan, suatu kolektivitas di hadapan pasangan leluhur mistik wadar. Mereka menggenggam di sana pada suatu waktu sruktur internal suatu ub dan tempatnya sebagai kesatuan utama dari masyarakat global. Pada internal suatu ub, mereka mereferensikan relasi-relasi yang berbeda dari kekerabatan: paman (dari pihak ayah)-keponankan atau juga kakak-adik. Jika dua relasi terakhir ini memberi kesaksian suatu hirarki antara rumah-rumah dari sebuah ub, maka bukan asal-usul mistik, bukan realitas historis yang tidak menyatakan ub sebuah kelompok keturunan dari sisi patrilineal, dan meskipun demikian, ada upaya dari masing-masing untuk mendamaikannya secara fiktif model ini. Mereka bersikukuh bahwa peran dari rumah yang disebut “yang sulung” dari ub adalah mirip denga peran dari yang sulung dari garis keturunan ayah (rin) atau dari rumah lengkap pada dua sisi. Adalah suatu penataan hirarkis yang mengatur sebuah ub. Tentang relasi mistik pria-wanita di saat asal-usul ub, ini dapat dipahami entah sebagai suatu relasi saudara-saudari, entah sebagai suami-istri, artinya saudara-saudari mengklasifikasi dalam suatu relasi asali dari rumah-rumah sulung dari sebuah ub di antara mereka. Dalam kasus pertama, relasi saudara-saudari mengentalkan pada waktu itu kemungkinan relasi yang sumbang dari asal-usul dan kepentingan untuk mengikuti aturan-aturan perkawinan yang tidak lagi eksplisit. Dalam kasus kedua, ini mengembalikan aturan-aturan eksplisit perkawinan asimetrik dengan perkawinan sepupu silang dari pihak ibu, yang disebut “saudari” dalam terminologi sebelum dipanggil istri. Penggabungan yang mungkin dalam sebuah ub dari beberapa “saudari-saudari” yang kawin di luar atau di dalam mengingatkan pada komposisi non-unilinear dari sebuah ub. Dengan demikian kita mengenalnya dalam formasi mistik ub-ub suatu sifat dari kekerabatan yang dibedakan secara kontras dengan aspek patrilinear. Kita akan menemukan dualitas ini kemudian dalam analisis pada sistim kekerabatan. Semua ub adalah equivalen dihadapan masyarakat global. Mitos dalam jumlah sembilan, dan ritual-ritual mengkonfirmasikan jumlah yang berubah. Apakah bentuk ini akan dilihat kembali pada sistim perkawinan? Ada dalam perkawinan-perkawinan di dalam ub-ub, tetapi orang-orang menyebut bahwa itu harus menjadi kekecualiaan, sebagaimana ub-ub telah mempunyai suatu panggilan eksogami. Dari sudut pandang masyarakat yang disebut haratut, kita dapat melihat bahwa sembilan ub ini membawa aturan-aturan antara rumah-rumah, sebagaimana Sembilan tempayan penuh dan bulat dipenuhi oleh leluhur-leluhur dan mereka yang hidup. Tinggal kini adalah pada meninggalkan mereka seputar tiga tempat di desa. 3. Tiga kelompok 70 Pada tingkat superior, tiga yam berlaku dengan cara yang sama dengan ub. Mereka terhubung dengan suatu pembagian tripartit dari masyarakat, yang tertulis pertama-tama pada kerangka spasial, dan yang mendefenisikan tiga bagian dari desa seputar tempat-tempat utama. Jadi kita menyebutnya tiga la‟oan. Kita telah menjelaskan bagaimana tiga yam atau ngiar i tel tereferensi secara literal pada bapak-bapak, para leluhur dan objek-objek, yang dapat mengisi makanan dan secara metaforik para leluhur. Secara sosiologis, tiga yam mengandung sembilan ub menurut distribusi berikut: yam Rahakratat mengandung tiga ub, yam Rahanmitu berisi dua, yam E. Wadan tiga, dan pada akhirnya ub Eler berpartisipasi pada yam pertama dan yam ketiga. Marilah kita mengulang mitos asal-usul yang berisi sebuah penjelasan yang mungkin dari eksistensi yam. Mitos ini mengacu pada “pusar desa”, nuhu fuhar, satu dari pusat desa: tiga orang hilang pada tempat ini pada fajar hari pertama, setelah ayam berkokok. Pria-pria ini adalah pendiri tiga garis keturunan desa dimana rumah-rumah dalam beberapa hal ada di kepala, masing-masing, satu dari tiga yam: ini adalah rumah Marud (no 5, fig. 13) (yam Rahakratat), Korbib (no. 13) (yam Rahanmitu) dan Fitung (no. 12) (yam E. Wahan). Rumah-rumah yang lain tidak menampakkan keturunan riil atau mistik dari para leluhur. Tetapi dikumpulkan secara bertahap pada seputar garis keturunan asali, yang diberikan kepada mereka dari tanah-tanah dan fungsi-fungsinya. Kita mengenal sejarah partikuler secara salah dari setiap rumah yang baru, tetapi mereka berkata lagi pada masa kini bahwa garis keturunan Fa‟an dari rumah Fitung, satu dari pendiri, telah memiliki semua tanah di sisi barat, dan kita menemukan bahwa semua rumah dari yam E.Wahan, dimana ia adalah pendiri, memiliki tanah-tanah mereka di sisi barat. Itu adalah sama untuk hal sedemikian, kata mereka, di antara tangan para pendiri: jadi fungsi-fungsi dari Tuan Tan diserahkan kepada rumah-rumah Teli dan Meka (no. 1 dan 2), yang kini mempunyai sebuah peran ritual dari aturan pertama dalam hubungan dengan budidaya botan. Kita tahu bahwa Tuan Tan, berkat gelarnya, bukan tuan atas tanah dalam arti pemilik tanah, tetapi mungkin kepala ritual, yang memastikan kesuburan tanah. Fungsi dari Orang Kaya diberikan kepada seorang yang telah datang dari tenggara, dimana misi adalah untuk mengurus relasi-relasi dengan dunia luar. Fungsi-fungsi dari Leb, atau yang bertugas untuk tuhan, didistribusikan sama kepada pendatangpendatang yang lain. Dengan demikian, rumah-rumah asali mencakup semua fungsi-fungsi, tampaknya mereka secara sukarela membagikannya di antara gairs-garis keturnan baru, yang melepaskan tangung-jawab dalam pertukaran dari sebuah perlindungan berhadapan dengan sesuatu di luar, atau dari suatu perlindungan ritual yang diasumsikan oleh yang lain. Ini seolah-olah beban berat yang telah dipertimbangkan begitu banyak para pemegangnya, dan bahwa hal itu akan diatur untuk membaginya. Para pendatang baru, yang diterima tinggal di dalam pulau, yang menerima tanah dan mungkin juga para perempuan, harus mengambil bagian kekakuan-kekakuan mereka dan dari tanggung-jawab untuk memastikan fungsi yang baik dari masyarakat. Ini adalah suatu kenyataan yang sangat penting untuk mengingat dan membuat penasaran: semua fungsi yang ada pada masa kini datang dari tiga rumah, semua kekuasaan dan tanah-tanah diberikan oleh pendiri-pendiri mereka, mereka disediakan sebagai jalan keluar terakhir, oleh perantara dari rumah Korbib, suatu hak yang terlihat dari kebiasaan, atau suatu kekuatan paling tinggi, yang terverifikasi di dalamnya. Kepala rumah Korbib dipandang oleh semua orang sebagai kepala dari kebiasaan, pribadi yang sangat besar di desa. Mereka selalu menyebut tentang dia dengan suatu rasa hormat yang besar sebagaimana ia merupakan seorang yang memiliki kekuasaan riil. Disayangkan, adalah tidak mungkin untuk memahami ddengan detail realitas dari posisinya, karena ia ditempatkan secara aktual oleh seorang yang tidak telah diinisiasi dan dengan demikian tidak menjalankan lagi bebannya. Hal ini berarti 71 bahwa ia terhubung dengan ritual besar dari kelahiran desa yang meluas pada suatu siklus sembilan tahunan dan ia dilarang berbicara di luar untuk berbagai kesempatan. Adalah sama dengan mereka dari ub-ub, anggota-anggota dari sebuah yam tidak memiliki garis-gasris genealogis di antara mereka; tetapi kebalikan dari ub-ub, yam-yam tidak dipahami sebagai kelompok-kelompok keturunan, dan lebih lagi, mereka sama sekali tidak tereferensi pada kultus para leluhur bersama. Tiga yam bertindak sebagai perwakilan bersama semua masyarakat dalam sejumlah ritual dan berpartisipasi dalam pertukaran-pertukaran dalam upacara-upacara yang mengimplikasikan rumah-rumah mereka. Adalah ritual-ritual demi kepentingan umum, seperti budidaya botan atau relasi-relasi dengan tuhan matahari-bulan, sebagai contoh, memproteksi penyakit-penyakit. Dalam kasus ini, ritual dibagi dalam empat bagian: tiga untuk nama dari tiga yam yang dilakukan di tiga tempat utama desa, dan satu untuk nama dari masyarakat haratut di tempat sentral. Meskipun hanya ada stu ritual untuk tiga yam, ini dilaksanakan di oleh seorang anggota dari yam Rahanmitu, ia yang berhubungan dengan tempat sentral dari desa. Artinya kenyataan tersebut merepresentasikan masyarakat haratut. Sama dengan itu, ketika mengumpulkan botan untuk menyatakan persediaan-persediaan masyarakat, selain bagian individual yang ditakdirkan untuk dijaga oleh rumah Teli bagi haratut, setiap yam dikumpulkan di antara anggota-anggotanya suatu jumlah botan yang akan diletakkan di salah satu dari rumah-rumah yam dan akan disimpan dalam yam. Ketika sebuah rumah yam ada dalam suatu relasi pertukaran dengan sebuah rumah yam yang lain, kebersamaan dari yam “mengikuti”-nya dan membantunya dalam kewajiban-kewajiban dan dalam persiapan-persiapan pesta. Itu berarti sebagai temar vut, “sepuluh bambu”, sama seperti ub, artinya sebagai sebuah tubuh tunggal, solidaritas sesama anggota; berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan sering berkontribusi untuk sebuah bagian yang mungkin untuk membayar harta kawin. Solidaritas yam diperkuat oleh disposisi rumah-rumah satu ke sisi-sisi lain yang bersebelahan dalam tiap-tiap bagian dari wilayah desa. Pada akhirnya, berhadapan dengan eksterior, tiga yam bertindak sebagai perwakilanperwakilan dari haratut, dalam perang atau dalam pertukaran-pertukaran dengan desa-desa yang lain. Mereka sering disebut sebagai ngiar i tel (ngiar menggabarkan keberanian, sekitar laki-laki yang berani dalam peperangan). Sama halnya dengan ub, keberadaan dari yam hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan masyarakat seluruhnya dan, secara lebih khusus, sebagai haratut. Aktivitas-aktivitas dari yam menyatakan karakteristik-karakteristik yang telah memungkinkan orang untuk mendefenisikan masyarakat haratut: relasi yang keras ke luar, karena perang dan relasi dengan tuhan. Para yam tidak memberikan kultus kepada para leluhur, tetapi hanya kepada tuhan dan atas nama semua masyarakat. Tidak pernah sebuah yam terimplikasi sendiri kepada sebuah ritual, tetapi selalu dengan dua yam lain sebagai representasi dari semua. Mereka memikul sebuah kenyataan bahwa sembilan ub tidak tersebar secara adil, dalam kelompok-kelompok tiga, dalam tiga yam. Dengan begitu, yam dalam pusatnya berisi dua, para yam dari dua sisi yang berisi masing-masing tiga, dan ub yang terakhir berpartisipasi pada dua yam berdampingan, Rahakratat dan E. Wahan, di antara keduanya membentuk sebuah jembatan. Kita telah menandai dalam distribusi dari rumah-rumah dalam tiga kelompok spasial yang mana rumah-rumah dari ub ini terkait pada territorial-teritorial dari dua yam, yang juga mengindikasi di antara mereka sebuah hubungan partikuler. Lebih dari itu, sejumlah rumah dari yam E. Wahan mengacu, mengenai asal-usul mereka, pada yam Rahakratat yang dengannya mereka memiliki relasi-relasi khusus. Pada akhirnya, kita telah mencatat bab sebelumnya bahwa dalam hubungan dengan pembahasan tentang 72 tiga yam, dan pada tingkat konseptual yang sama, artinya bereferensi pada semua masyarakat, kita berbicara bahwa dari dua holan, holan mitu yang berhubungan dengan yam Rahanmitu, dan holan helean yang mencakup dua yam Rahakratat dan E. Wahan. Dua yam terakhir sering digambarkan dalam istilah tunggal wahan kid ru, yang berarti “dua sisi di jalur”; dua yam ini juga disatukan oleh oposisi dalam yam Rahanmitu yang terletak di pusat, sebagai dua sisi yang dioposisi di tengah. Marilah kita menggarisbawahinya: sementara tiga yam secara fisik direpresentasikan dalam tiga kelompok dimana kenyataan dalam pertukaran-pertukaran tidak diragukan lagi, dua haloan berurusan murni konseptual. Dalam kasus yang pertama, kta berbicara tentang kelompok-kelompok dimana dua, dibandingkan dengan ketiga, terhubung secara rapat oleh sejarah mereka, relasi-relasi mereka dan pertukaran-pertukaran mereka. Dalam kasus yang kedua, bersama dengan holan, kita berbicara tentang sebuah representasi yang masyarakat miliki sendiri. Adalah baik di sini dari sudut pandang global masyarakat, dan kita telah menandakan keseimbangan ini antara sebuah pembagian di dalam dua dan sebuah pembagian di dalam tiga. Dengan demikian untuk rumah, disusun dalam sebuah bagian sentral dan dari dua sisi (rin-rin), kita dapat mengatakan bahwa rumah dibuat, baik itu dalam dua bagian, rin-rin dan ruang sentral, atau lagi dua rin, maupun dari tiga ruang. Adalah sama dengan itu untuk tiga yam yang tersusun, mungkin itu dua jalur dan satu pusat, mungkin juga itu tiga bagian, dan hal ini dijelaskan dengan terang melalui istilah wahan kid ru dan juga sir yararu (dua sisi atap), yang diangkat pada bab sebelumnya. Secara fundamental, masyarakat dibangun di atas dua aspek dari dualisme dan dari ketigaan; artinya pada aliansi ini di antara dua bentuk yang berbeda. Distribusi dari ub-ub dan yam-yam bermain pada oposisi yang sama. Yam di sentral (Rahanmitu) hanya berisi dua ub, sehingga yam-yam di jalur tepi berisi masing-masing tiga, ditambah sebuah ub yang merupakan bagian dari keduanya. Yang terakhir ini secara spasial dan sosiologis menyatukan dua yam untuk mengoposisikannya sebagai sebuah kebersamaan pada yam yang berada di tengah. Jadi berada di antara mereka sebagai sebuah pusat dan jika mereka menghubungkannya sebagai pemikiran akan yam sentral, ia menjadi tiga bagian. Ub perantara ini mengingatkan akan pembuatan atap (kita melihatnya sambil menghubungkannya dengan ritual-ritual) dimana dua rumah dari ub ini memiliki posisi sentral dalam organisasi desa. Mereka dapat merepresentasikan sebuah gerak bebas dari dua rumah dan dari tiga rumah melalui gambaran berikut, yang mengambil ketentuan dari yam-yam dan ub-ub dalam wilayah desa (fig. 16). Gambar 16. Disposisi ub-ub dan yam-yam dalam ruang desa Dengan demikian kita dapat mendefenisikan yam sebagai sebuah representasi dari masyarakat, yang hanya menampakan realitas, sementara masyarakat dipahami sebagai keseluruhan: dalam relasinya ke luar, ke budidaya padi botan dan kepada tuhan. Tanpa sebuah garis genealogis menyatukan anggota-anggota dari sebuah yam. Mereka di sini hanya memiliki dalam kebersamaan sebuah fakta yang dikelompokan seputar rumah pendiri dan merupakan kesatuan dari sejumlah keadaan. Kita dapat berbicara tentang kepatuhan jika telah ada hutang-hutang yang relatif sebagai 73 contoh pada pemberian tanah-tanah; tidak ada; satu-satunya pertimbangan adalah, untuk rumahrumah para pendatang, untuk mengisi fungsi-fungsi yang dianugerahkan kepadanya dari sebuah tanggung-jawab sosial yang diberikan kepada mereka untuk partisipasi penuh demi hidup di dalam kelompok. Tabel yang diberikan kepada kita tentang tingkat-tingkat yang berbeda dari oraganisasi masyarakat merepresentasikan suatu karakter kompleks dan teliti. Rumah-rumah bersama dengan garis keturunan mereka diberi nama dan dikategori dalam kanan/ kiri, dan kakak/ adik, terspesialisasi dalam fungsifungsi dan ritual-ritual mereka, terhubung dengan tanah-tanah mereka, yang dipahami dalam ub-ub di dalam mana mereka ada pada kategori-kategori yang baru, kemudian dalam yam-yam yakni pada fungsi-fungsi partikuler, nama-nama, oposisi-oposisi dan kategori-kategori dengan mempertahankan cara yang kaku dari keseluruhan masyarakat dalam bentuk dan takdir, yang tidak pernah dimainkan. Tanah-tanah telah diberikan sekali kepada semua pendatang sebagai harta kawin dari beban yang telah dipercayakan kepada mereka. Rumah-rumah sama sekali tidak terhubungan dengan roh-roh pada tempat-tempat seputar rumah mereka dibangun. Orang-orang dapat menghilang, tembok-tembok dapat diruntuhkan, tetapi rumah-rumah tinggal tetap. Di belakang tepat yang cukup penting ini (di depan rumah), ada sebuah keluwesan besar, dimana terletak sebuah sistim yang hidup, dan dimana terletak karakter yang kontradiktif dari sejumlah elemen. Dengan demikian rumah secara fundamental sekaligus bersifat satu dan bersifat dua, seputar oposisi kakak/ adik. Karakter ini, yang pada padangan pertama adalah partikuler, bersifat membatasi, karena setiap sisi memiliki hak-hak dan tanggung-jawab sendiri, beban-bebannya dan fungsi-fungsinya, yang meletakkan juga sejumlah keluwesan dalam relasi antar rumah. Rumah-rumah akan dibagi atau tidak dibagi dalam dua garis keturunan, tetapi rumah-rumah itu sendiri kadang dibagi dalam bagian-bagian. Rumah membentuk sebuah tubuh yang solider. Satu sisi dari rumah sangat jarang berjalan sendiri, dan ini hampir selalu bahwa sekeliling rumah menjawab kewajiban-kewajiban dari sisi-sisi. Relasi pertukaran yang tetap didirikan di antara sisi-sisi rumah, tetapi terkadang, jika satu dari mereka tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan dari relasi-relasi, ia akan memanggil sisi “saudara laki-laki”, yang akan menggantinya untuk sementara waktu. Kita telah lihat bahwa adalah sama dengan ub, dan dalam suatu tingkat yang lebih cepat, untuk yam, yang mendukung anggota-anggota mereka dalam semua kesempatan. (lihat bab 8 tentang pertukaran-pertukaran) Namun tanah-tanah yang telah diberikan sekali untuk semua dan bersama dengan fungsifungsi untuk para pendatang baru pada saat mereka tinggal di desa bersirkulasi, ketika seorang bapa memutuskan untuk memberikan sebidang kecil tanah kepada anak perempuannya pada saat perkawinannya. Persediaan tanah yang dapat digarap menjelaskan bahwa dengan demikian suatu proporsi dari kepemilikan yang besar berpindah dari tangan ke tangan: dari perkebunan kelapa, yang dapat berpindah tangan 15 sampai 70 pohon, tanah-tanah untuk berladang, dan sangat jarang kebunkebun yang ditutup dengan pagar batu; kadangkala tanah diberikan juga pada kesempatan adopsi atau pembayaran kesalahan. Selanjutnya, kita telah menggariskan bahwa rumah-rumah, karena alasan tempat mereka dalam struktur desa, tidak pernah tinggal kosong, melalui adopsi, perwakilan-perwakilan yang terakhir dari sebuah garis keturunan dapat memastikan bahwa fungsi mereka akan berlanjut dan dijalankan, bahwa tanah-tanah akan digarap dan roh-roh dihormati. Adopsi (yang menjadi objek dari bab 6) adalah sesuatu umum dalam kerangka prinsip keturunan patrilinear, yang diletakkan pada struktur untuk bertahan berkat sirkulasi para pria. Dengan demikian adopsi mengatasi ketidakteraturan demografik, yang akan memprovokasi hilangnya dengan cepat rumah-rumah: tidak jarang melihat keberhasilan dalam suatu fungsi adopsi yang melanggengkan garis keturunan pendiri dan 74 mempertahankan tempat rumah. Di sini tampaklah sejumlah mobilitas dari individu-individu yang kontras dengan kekakuan yang dibutuhkan oleh bingkai tetap rumah-rumah. Ada sedikit isi variasi tetapi isi-isinya, rumah-rumah, ub dan yam tidak pernah berubah; hanya melengkapi, dan sedikit mengambil dari luar prinsip keturunan. Ini bukan garis keturunan yang, seperti dalam struktur segmenter. adalah wadah dari orang-orang, tetapi rumah atau rin yang, sebagaimana memegang gelar dan fungsi-fungsi, berguna untuk mengabadi diri sendiri, terkadang prinsipnya unilinear, terkadang prinsip-prinsip lain. Jadi ini mengimplikasikan keberadaan prinsip-prinsip tatanan yang lebih tinggi dari mereka. 4. Fam Umum Lebih dari rumah-rumah dan rin-rin, ub-ub dan yam-yam, ada sebuah istilah untuk menggambarkan satu pengelompokan variable dari garis keturunan dalam satu kesatuan, yang berhubungan dengan rumah, mungkin dipahami dalam beberapa rumah yang mereproduksi sebagian dalam ub, tetapi tidak pernah lebih besar daripada yam. Inilah fam umum. Orang tidak mengetahui sejak kapan ungkapan ini ada. Orang tidak tahu jika ungkapan ini mengganti suatu ungkapan lain yang lebih kuno, tetapi kami menemuan bahwa ungkapan ini tersusun dari istilah-istilah yang dipinjam dari suatu ungkapan yang tanpa ragu berasal dari Bahasa Belanda (fam, dari familie, “keluarga”) dan lainnya dari kata Indonesia (umum), dan yang berarti secara harafiah “keluarga umum”. Fam umum menggambarkan nama yang dibawa dalam kebersamaan dan lebih dari itu melalui dua atau beberapa garis keturunan. Ini secara nyata tidak menggambarkan sebuah kelompok sosial. Jika kata fam menggantikan kata rin untuk menggambarkan kelompok sosial, yang mencakup satu sisi rumah (rin), sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, kami tidak mengetahui apa yang digantikan oleh kata fam umum. Kami telah memahami, tanpa dapat cukup memverifikasinya, bahwa fam umum dikatakan juga fam lor dan mengulangi konsep masyarakat yang berferensi ke luar. Inilah sebuah nama umum, publik, melalui mana diakui hubungan-hiubungan khusus antara garis-garis keturunan. Di Tanebar-Evav, kita memperhatikan bahwa fam umum tidak membagi sebuah rumah; kedua sisi rumah masih menjadi bagian dari fam umum yang sama. Ia dapat membagi sebuah ub, tetapi tidak melebihi batas-batas sebuah yam: semua anggota dari sebuah fam umum adalah dari sebuah yam yang sama. Fam um terorganisasi pertama-tama di sekeliling seorang pendiri atau sebuah garis keturunan pendiri. Itu terjadi di atas semua referensi asal-usul, pada sebuah sejarah bersama. 75 Gambar 17. Hubungan antara rumah-rumah, ub-ub, yam-yam dan fam umum-fam umum Untuk empat rumah di desa, nama fam umum diberikan pada kesatuan sosial yang dibentuk oleh rumah dan dua sisinya. Hal ini membangkitkan nama pendiri rumah di bawah bentuk dari “keturunannya”. Dalam tiga kasus, ia mengumpulkan garis-garis genealogis yang tidak dapat dilacak. Dalam kasus keempat, orang tidak memiliki kepastian untuk keturunan bersama. Ini agak mirip rumah yang didirikan dari sebuah garis keturunan yang diberi nama fam umum dan dari dua segmen, rin-rin. Dalam contoh-contoh yang lain, rumah-rumah telah dikumpulkan sekeliling seorang pendiri. Kita dapat membuat detail setiap kasus untuk mengilustrasikan kompleksitas yang pelik dari kumpulan rumah-rumah yang membantu untuk membentuk masyarakat desa, dan mungkin mencapai secara final untuk melihat prinsipnya. Waktunya telah tiba untuk menceritakan di sini, dalam ukuran dimana ia dikenal oleh kita, sejarah setiap rumah desa dan untuk menjelaskan setiap tempat bahwa sejarah-sejarah ini ada dalam organisasi umum masyarakat (gambar 17). Rumah Teli (no. 1) membentuk, bersama dengan dua rin-nya, sebuah fam umum; Rumah ini didirikan oleh Vuha‟a, asal-usul tak dikenal, yang telah memberikan nama kelompoknya. Garis keturunan kanan, Singerubun, turun dari Vuha‟a. Sisi ini memegang satu dari fungsi-fungsi tertinggi, yakni “kapitan di laut”. Sisi kanan, Tabal‟ubun, bisa jadi sebuah keturunan dari leluhur yang sama, tetapi itu tidak pasti. Ia memegang beban sebagai Tuan Tan. Rumah Teli adalah kakak dari ub Rahakratat. Ia terutama pusat dari ritual budidaya padi botan dan mengandung dalamnya cadangan 76 benih botan yang diberikan setiap tahun dalam kendi-kendi yang besar untuk semua masyarakat yang disebut haratut. Ini adalah satu rumah yang paling penting di desa. Rumah Meka (no.2) ditinggali oleh sebuah garis keturunan yang datang dari barat daya Maluku, yang telah memberikan namanya pada fam umum, yang dibentuk oleh dua rin. Kedua sisi berasal dari leluhur yang sama, sisi kakak telah menjaga nama, Sarmav, dan memagang fungsi Tuan Tan; sisi adik memiliki nama seorang adik dari garis keturunan asali dan tidak melakukan fungsi apapun. Garis keturunan kiri telah punah sejak satu generasi, tetapi sisi kanan memberikan seorang saudara adik yang telah mengganti nama dan mengabadikan sisi kiri. Rumah-rumah no. 3 dan 4, Welob dan Yelmas, menggunakan nama fam umum yang sama, Yahawadan, yang adalah juga nama dari setiap garis keturunan mereka. Mereka rupanya tergabung dalam masing-masing satu rin tunggal, meskipun orang mengatakan bahwa Yalmas berisi di dalamnya dua (tetapi adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk merekonstruksi genealogi dari sisi kedua). Para Yahawadan ini berasal-usul dari sebuah desa di sisi barat Kei Kecil dan dua rumah ini menganggap diri mereka sebagai kakak-adik. mereka ini tanpa ragu memiliki sebuah akar bersama, tetapi tidak terverifikasi. Rumah Welob adalah rumah roh Hukum, sedangkan rumah Yelmas melindungi roh wilin, teman dari hukum, ketika ia tiba di desa. Dua kepala dari geris keturunan ini terinisiasi, dan lagi, kepala dari Yelmas adalah petugas (leb) ritual-ritual untuk tuhan. Tugas-tugas ini diberikan kepadanya oleh rumah Marud (no. 5). Keempat rumah membentuk bersama sebuah ub, dimana Teli adalah yang sulung dan mereka membentuk saling berhadapan berdua-dua seputar tempat Tamo. Rumah-rumah no. 5, 6 dan 7, Marud, Fenkor dan Reng, membentuk bersama fam umum, Lefmanut. Nama ini mengingatkan kita akan satu dari dua mitos asal-usul desa, nama yang berhubungan dengan “pusar pulau”, yang memunculkan seorang laki-laki atau sesuatu roh, Lev, pada saat dimana setelah ayam berkokok (manut). Mengikuti cerita mitos, diceritakan bahwa kemudian mucul tiga laki-laki (yang adalah asal-usul dari tiga yam). Rumah Marud memiliki dua rin, yang kakak adalah Fakil, satu dari tiga laki-laki itu, yang telah memberikan namanya pada garis keturunan kanan. Seorang adik telah membentuk sisi kiri, Kat‟ubun. Rin tunggal dari rumah Fenkor berasal dari seorang saudara laki-laki lain, yang terbagi dan, karena ia selalu sakit gigi (nifan), telah memberikan namanya pada garis keturunannya, Tanifan‟ubun. Garis keturunan ini tidak memiliki beban fungsi di desa. rumah Marud, sebagai pendiri desa, mengadakan banyak fungsi, dimana mengarah ke peperangan ke luar. Tetapi rumah ini mempercayakan ibadah roh Lev kepada sebuah garis keturunan dari rumah Reng. Rumah ini terdiri atas dua garis keturunan yang berasal dari utara utara Kei Kecil, dan rupanya tanpa hubungan sama sekali di antara mereka. Disambut oleh rumah Marud, mereka menjadi bagian dari fam umum yang sama dan yam yang sama dengan Marud, tetapi membentuk pada mereka hanya satu ub, yang membawa nama dari dua garis keturunan, Yamko-Rumwadan. Marud dan Fekor membentuk sebuah ub lain. Kedua kepala dari garis keturunan Marud dan kedua kepala Reng terinisiasi. Yang kakak dari rumah Murad membuat pengorbanan kepada roh Labul dari tempat Tomo. Adik membuat pengorbanan untuk roh Adat pada bagian luar desa. Yang kakak dari Reng membuat pengorbanan kepada Larmedan dari tempat Vurfen (bagian tengah desa), adik membuat pengorbanan kepada Lev, roh dari pusar pulau. Dengan demikian pada tingkat ibadah-ibadah, kedua rumah ini berpartisipasi pada dua tempat yang sangat penting di desa, tetapi terhubung juga pada roh Adat yang mencakup suatu posisi median antara yam-yam. Rumah Marud selain itu adalah satusatunya di desa yang mempunyai hamba-hamba. Mereka ini tidak tinggal di desa Tanebar-Evav, tetapi di satu pulau yang terletak di utara, Ur. Sebuah desa tunggal dari dua ratus penduduk yang juga terdapat hamba-hamba dari rumah Marud. Seluruh tanah dari desa ini dulunya adalah milik rumah Marud, yang telah memberikan sejumlah tanah kepada garis-garis keturunan lain di Tanebar-Evav. 77 Tujuh rumah ini membentuk tiga ub dan tersusun yam satu dari sisi-sisi di perbatasan, Rahakratat-Levmanut. Pada kebersatuan ini, sekarang harus ditambahkan rumah Kubalama (yang tampak dalam n 8 dan 8bis pada gambar kami). Rumah ini menawarkan suatu kasus sejarah tentang perpecahan. Garis keturunan asal tampak pada rumah Kadom (no. 12) dimana ditemukan tiga saudara, Taver, Tayor dan Tavat. Setelah suatu kekerasan perselisihan, Tavat mematahkan papan kayu dimana tersimpan persembahan-persembahan kepada roh-roh rumah. Melalui tindakan simbolik, ia menjelaskan penolakkannya untuk selanjutnya termasuk pada rumah ini. Kelanjutan dari sejarah menjelaskan dengan baik bahwa, dalam masyarakat ini, sebuah garis keturunan saja tidak dapat eksis di luar dari suatu sentuhan “institusional” dan bahwa keluar dari satu rumah adalah sama dengan menghilang, untuk melakukan suatu bunuh diri sosial. Sebuah garis keturunan hanya akan eksis sebagai bagian dari suatu kebersamaan, yang memberikan kepadanya tempat dalam struktur desa, dan demikian juga dalam sebuah rumah. Di luar bingkai ini tidak ada eksistensi yang diakui. Tavat mendirikan rumahnya sendiri, Kubalama, dengan dua sisi, kaka dan adik, dan bergabung dengan ub lain dari yam yang sama, artinya pada Rahanmitu. Bagaimana dua sisi yang terpisah berhadapan lagi? Atau apakah ub Rahanmitu akan menolak untuk sepenuhnya menggambungkan sebuah rumah jika suka membuat masalah? Kita mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini. Selalu bahwa sisi adik akan pergi mencari perlindungan pada rumah Marud, termasuk dalam ub Fakil‟ubun, dan sekarang menjadi bagian dari yam Rahakratat-Levmanut. Kubalama adalah sebuah rumah tunggal, tetapi setiap sisi menjadi bagian dari ub dan yam berbeda. Kubalama tidak melakuan fungsi, berasal dari Kadom, yang lain dari Marud. Rumah-rumah 9 sampai 12 membentuk suatu ub dari yam tengah, Rahanmitu. Rumah Fator (no. 9) adalah kakak dari ub. Rumah ini hanya terdiri atas sebuah rin tunggal dengan nama Soar‟ubun, yang adalah juga nama dari fam umum, yang rumah ini bentuk bersama dengan rumah Maskim (no 11). Kepala dari garis keturunan ini diinisiasi dan mempersembahkan korban kepada roha Larmedan dari tempat sentral Vurfen. Rumah ini sangat terhubung dengan rumah Sirwod (no. 10), yang berisi dua garis keturunan dari asal-usul yang sama yang datang dari Kei Besar, para Rahaya‟an (kedua rin memiliki nama yang sama). Hubungan yang dekat dengan rumah sebelumnya. Fator yang ditandai oleh nama fam umum dibawa oleh dua sisi Sirwod, yang adalah Rahaya‟an-Soar‟ubun. Kedua rumah ini membentuk suatu rumah kembar paman-ponakan dalam ub dan, sejak dua generasi, Fator telah memberikan satu dari anak-anaknya kepada Sirwod untuk melanjutkan garis keturunan, yang akan berlanjut. Ini terjadi, karena suatu alasan bahwa para Rahaya‟an aktual ingin menggabungkan Soar‟ubun pada nama mereka, untuk secara jelas menunjukkan asal sebenarnya dan transfer terbaru mereka. Kedua kepala dari garis keturunan Sirwod diinisiasi, yang tua memberika pengorbanan kepada Larmedan, adik kepada roh Adat. Dan lagi mereka memiliki beban ritual dari pintu dan tangga desa; leluhur mereka tampaknya datang dari Kei Besar. Hanya sedikit yang bisa dikatakan tentang rumah Maskim (no. 11), yang jumlahnya tidak banyak dan tidak melakukan fungsi. Terdiri dari dua rin dari asal-usul yang sama, dua garis keturunannya membawa nama yang sama. Rumah ini adalah “keponakan” dari pasangan MaskimKadom, tetapi membawa sebagai nama fam umum Soar‟ubun, apa yang adalah sambungan ke rumah Fator (no. 9). Rumah Kadom (no. 12) adalah sangat penting. Ini adalah rumah Orangkaya, seorang kepala desa yang merepresentasikan desa ke luar. Garis keturunan pendiri rumah ini berasal-usul dari Maluku Barat Daya, seperti asal-usul dari rumah Meka (no. 2), dan sisi kakaknya membawa nama yang sama dari fam umum rumah Meka, yakni Sarmav. Kami telah menyebut rumah ini dalam hubungan dengan rumah Kubalama: setelah perselisihan, dua garis keturunan mencakup dua rin: sisi kanan, Sermav adalah yang menjadi Orangkaya, dan sisi kiri yang dipanggil Tayor‟ubun tidak 78 memegang fungsi. Nama fam umum dari rumah ini diberikan kepadanya oleh saudara sulung pada saat perselisihan, yakni Taver‟ubun. Sisi kanan memberikan pengorbanan kepada roh Larmedan dan lagi mengisi peran khusus untuk merepresentasikan haratut selama ritual-ritual yang berhubungan dengan budidaya padi botan. Secara aktual, keturunan terakhir dari sisi kiri hidup di kepulauan Aru, yang terletak di timur Kei. Ub yang dibentuk oleh empat rumah ini membawa nama dua pendiri rumah utama dan disebut Soar-Taver. Rumah-rumah 13 sampai 16 dan 8bis terdiri dari ub lain dari yam ini. Yam ini terartikulasi seputar rumah Korbib (no. 13), yang mewadahi garis keturunan kedua dari salah satu dari tiga lakilaki pertama dalam mitos penciptaan desa. Rumah ini memiliki dua rin dari asal-usul yang sama dan ia adalah yang sulung dari ub. Kepala dari garis keturunan sisi kanan terinisiasi dan memberi korban kepada roh Larmedan. Ia mengisi juga, seperti rumah Kadom, sebuh peran penting, sebagai representasi dari masyarakat haratut dan menyangkut ritual-ritual kelahiran desa. rumah Korbib telah merepresentasikan rumah adat. Garis keturunan kiri tidak memiliki fungsi tertentu. Garis keturunan pendiri mitos, Rahanmitu (“rumah mitu”) telah memberikan nama pada ub dan pada fam umum, yang mencakup tiga rumah dari ub untuk empat. Rumah Hernar (no. 14) dari ub yang sama tidak membawa nama fam umum. Rumah ini terdiri satu rin, dan nama garis keturunan adalah Mantean‟ubun. Garis keturunan ini ada dalam dua mitos asal-usul desa dan dengan demikian menjadi bagian para pendiri, tetapi tempatnya adalah tunggal: ketika tiga laki-laki muncul di pulau, masih gelap, mereka tidak melihat apa-apa. Namun mereka mendengar suara dalam kegelapan. Ketika setelah ayam berkokok dunia menjadi terang, mereka menyadari bahwa ada orang di bawah tempat dimana mereka menemukan diri mereka: inilah para leluhur dari garis keturunan aktual Mantean‟ubun. Mitos lain tentang asal-usul, banyak diceritakan dalam garis keturunan ini, turun dari langit tujuh saudara dengan saudari mereka ke tengah desa di gunung suci. Saudara-saudara ini adalah para sultan yang pergi untuk memerintah banyak tempat di Maluku (terutama Ternate dan Tidore di utara) dan bahkan di tempat lain, mungkin sampai di Sulawesi. Satu dari antara mereka tinggal di Tanebar-Evav dan, kata mereka, ia memiliki sebuah hubungan dengan garis keturunan Mantean‟ubun. Kepala dari garis keturunan ini diinisiasi. Ia mempersembahkan kurban kepada roh Larmedan. Ia juga adalah petugas dari tuhan, beban yang ia pegang dari rumah Marud (no. 5). Orang mengenal juga sedikit sejarah dari pasangan ub yang lain, rumah-rumah Sokdit dan Tokyar (no. 15 dan 16). Yang terakhir ini adalah “paman”. Tidak satupun dari mereka yang memiliki fungsi. Kedua rumah ini tersusun dalam dua rin, yang, kepada Tokyar, menggunakan nama yang sama. Hampir tidak pernah keturunan rin kiri dari Sokdit hidup di desa. Garis keturunan dari dua rumah berasal-usul dari luar pulau tanpa orang dapat menunjukkan tempatnya. Rumah-rumah ini memiliki nama fam umum Rahanmitu, apa yang terkait pada rumah pendiri Korbib. Pada akhirnya kita mengingat bahwa sisi kanan dari rumah Kubalama (no 8bis), dimana orang telah melaporkan sejarahnya, bagian dari ub yang sama. Rumah-rumah 17 sampai 21 adalah bagian dari yam yang lain dari perbatasan, yakni E Wahan, dan membentuk tiga ub. Empat dari lima ub hanya memilki satu rin tunggal. Rumah Fitung (no. 21) adalah rumah pendiri yam. Garis keturunan dari sisi kanan adalah keturunan laki-laki ketiga dari mitos asal-usul desa dari pusar pulau dan menggunakan nama Fa‟an, yang telah diberikan kepada yam. Inilah rumah satu-satunya yang terdiri atas dua rin. Sisi kanan mewadahi garis keturunan pendiri dan sisi kiri sebuah garis keturunan dari luar yang ditambah pada rumah ini. Sebagaimana rumah Reng (no. 7), rumah ini merupakan satu ub untuk rumah ini sendiri. Seputar rumah ini ditambahkan rumah-rumah yam yang lain yang kepadanya ia telah memberikan satu bagian tanah di semua sisi 79 barat. Kepala dari garis keturunan sisi kanan terinisiasi dan memberikan pengorbanan untuk roh Limwad dari tempat Kartut, di bagian ketiga desa. Rumah-rumah 17 dan 18, Falav dan Hedmar, membentuk satu ub. Falav ada dalam posisi “dari paman”. Garis keturunan yang khas bahwa ia terkait erat dengan sisi kiri rumah Teli (no.1). Kita tidak tahu apakah ini adalah keturunan biasa, tetapi orang mengatakan bahwa rumah ini pernah menjadi bagian dari rumah Teli dan bahwa orang telah meminta kepadanya untuk menetap di bagian lain dari desa ini untuk menjaga para pendatang baru. Garis keturunan ini disebut Sat‟ubun, tetapi berdasarkan apa yang dikatakan tentang asal-usul, membawa sebagai nama fam umum, yakni Tabal‟ubun, artinya ia dari garis keturunan dari sisi kiri rumah Teli. Ini adalah nama fam umum yang diberikan oleh semua rumah dari yam ini (sama seperti Fitung) untuk memanggil hubungan ini barsama dengan rumah asali. Hal ini juga diperkuat dengan jumlah relasi pertukaran antar rumah. Kepala dari garis keturunan Sabat‟ubun diinisiasi. Ia mempersembahkan korban kepada roh Linwad. Dan lagi, ia adalah penjaga ritual pulau Nuhuta, di utara Tanebar-Evav, yang memiliki desa dan sekelilingnya. Garis keturunan Hedmar (no. 18), “keponakan” dari pasangan, berasal-usul dari luar; kepalanya diinisiasi, dan ia memberikan persembah kepada roh Adat. Rumah-rumah Habad dan Maslodar (no. 19-20) memiliki kedua garis keturunan yang berasalusul dari luar. Rumah-rumah ini membentuk satu ub, dimana Habad adalah “paman” dan sulung. Para kepala dari garis keturunan diinisiasi, dan rumah Habad adalah petugas utama dari roh Limwad. Lagipula, rumahnya menaungi roh Wilin (membangkitkan rumah Yelmas no. 4). Satu dari roh-roh yang merepresentasikan hukum dari luar desa, yang telah tiba dengan Hukum. Dengan demikian, lima rumah ini membawa nama yang sama, fam umum Tabal‟ubun, dan membentuk dalam kebersamaan sebuah yam tunggal disebut E. Wahan. Pada akhirnya, dua rumah yang terakhir, Sulka dan Solan (no. 22 dan 23) menghadirkan sedikit masalah: rumah-rumah membentuk sebuah ub, yang terdiri atas tiga rin, satu untuk Sulka dan dua untuk Solan, menganggap diri mereka sebagai “tiga rin, tetapi satu rumah tunggal” dan mengikutkan dua yam “berbatasan”, artinya Rahakratat-Levmanut dan E. Wahan. Dalam ruang di desa, rumah-rumah terletak di pusat pada bagian atas (dalam bagian tengah desa yang disebut faruan dimana biasanya terletak semua rumah yam dari pusat Rahanmitu), yang menjadi semajam jembatan antara dua yam, yang padanya rumah-rumah termasuk secara simultan. Kita tidak tahu semua asalusul dari garis keturunan Eler dari rumah Sulka. Rumah Salon sepertinya telah terkandung dalam asal-usal tiga atau empat garis keturunan, tetapi orang hanya menyebutkan dua, yang berhubungan dengan dua rin, Rahakbav dan Sok‟ubun. Tiga garis keturunan dari dua rumah ini menyebut menjadi bagian dari satu keturunan yang sama, keturunan Eler. Mereka belum ada di sana pada saat pendirian desa, dan kita tidak tahu dari mana asal mereka. Kepala dari rumah Sulka adalah seorang yang diinisiasi, dialah yang paling terlarang, karena dia adalah Turan Mitu Duan, penjaga roh-leluhur Adat (lih. Bab 2), yang ada pada kepala roh-roh; inilah yang terinisiasi, yang memikul beban terberat. Kepala dari garis keturunan dari sisi kanan rumah Solan adalah petugas kedua roh Larmedan dari tempat sentral desa; tetapi ia memiliki fungsi-fungsi ritual yang lain yang berhubungan dengan rohroh lain, yang berhubungan dengan gunung suci, yang dengannya ia sulit untuk membuat cahaya. Sisi kiri tidak memiliki fungsi. Sepanjang empat generasi, rumah Sulka telah diwajibkan melakukan empat adopsi berturut-turut, sehingga beban terus diberikan, setiap kali keturunan membuat kesalahan. Adopsi terakhir berasal dari rumah Kadom dari yam Rahanmitu. Dua rumah Sulka dan Salon menggunakan nama fam umum yang sama, Eler. Posisi khusus dari kedua rumah ini pertama-tama datang dari keanggotaan mereka serentak pada dua yam, yang mereka satukan, dari posisi sentral mereka dalam ruang desa, yang memproduksi posisi dari yam sentral dan dari aktivitas ritual mereka. Dengan demikian, roh Adat memiliki suatu tempat khusus, sekaligus sebagai roh dan leluhur, sebagai 80 penjamin hokum, superior pada Hukum (kesalahan-kesalahan melawan Adat dibayar, tidak dengan benda-benda berharga, tetapi dengan orang-orang yang telah diberikan pada rumah Sulka dan kemudian memiliki keturunannya). Ada empat petugas untuk kultusnya, dimana tiga berasal dari tiaptiap yam dan yang keempat dari rumah Sulka, seolah masing-masing yam harus terepresentasi. Masing-masing rumah mengambil figur sentral, baik itu untuk tiap-tiap yam maupun untuk seluruh masyarakat. 5. Tingkatan-tingkatan Pada sisi divisi horizontal dari masyarakat desa ini, ada suatu divisi vertical yang tumpang tindih dalam seluruh masyarakat Kepulauan Kei dan yang, untuk sebagian orang Kei, muncul sebagai karakteristik fundamental dari masyarakat mereka. Dalam alasan referensi ini pada suatu totalitas yang lebih besar daripada totalitas desa, adalah sulit untuk membahas tanpa membuat suatu penelitian ekstensif di utara dan selatan kepulauan, artinya tanpa memiliki suatu sudut pandang umum yang didasarkan pada komparasi antara desa-desa yang berbeda. Penelitian kami secara esensial terbatas pada sebuah desa yang menghadirkan beberapa partikularitas berhadapan dengan pembagian ini dan kami tidak telah mendapatkan lebih banyak informasi yang sangat parsial. Tanpa bermaksud menjelaskan seluruh sistim, kami akan membatasi diri kami sendiri, berangkat dari data-data yang diperoleh, untuk meformulasikan preposisi-preposisi yang dapat membantu untuk suatu analisa ekstensif. Di Kei bahkan, rumah bagi orang-orang yang lebih berpendidikan, pembagian ini kerapkali dibuat untuk “kasta” (kata ini ada dalam dialek Maluku yang datang dari bahasa Portugis), untuk bangsa (kata Indonesia yang menjelaskan baik itu warga, ras dan kelompok sosial), terkadang bahkan “sistim feodal”. Perlu dikatakan bahwa tidak satupun istilah-istilah ini yang dapat menggambarkan kenyataan, dan terutama karena tidak ada kata dalam bahasa lokal Kei untuk mengkualifikasikan secara umum pembagaian ini. Kami telah memilih istilah “ordre” (saya terjemahkan sebagai “tingkatan”), sebagai prasangka dari interpretasi tertentu dan selanjutnya sebagaimana didefenisikan dalam Kamus Robert: “ordre atau tingkatan” adalah “kategori, kelas yang ada dan yang dipilih, yang dipertimbangkan sesuai dengan strukturnya”. Dalam tingkatan superioritas yang menurun, kami menemukan tiga tingkatan: melmel, renren dan iri-ri (pengulangan mengindikasikan arti generik), yang orang dapat interperetasi dalam tempat pertama sebagai bangsawan, orang biasa atau orang-orang bebas dan para hamba. Tetapi disposisi dalam tiga tingkatan ini tidak harus membuat kita percaya bahwa ada hubungan subordinasi di antara mereka karena hal itu tidak sepenuhnya terjadi. Kata mel berarti “besar”, dalam arti “karakter bangsawan” dan “martabat”, tetapi juga “kanan” (dalam perbandiangan dengan “kiri”) dan, seperti kata kerja, “bertumbuh” (untuk manusiamanusia, binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan). Para mel ada di bagian kepala masyarakat, pengontrol dan pemberi keadilan. Tingkat mel, dalam dirinya terbagi dalam tujuh tingkatan, yang sesuai untuk distribusi pembagian peran tertentu dalam pelaksanaan kekuasaan. Kami tidak cukup memiliki detail-detail untuk membahasnya panjang lebar. Para mel memiliki para hamba iri-ri yang merupakan bagian dari rumah mereka, sering menggunakan nama yang sama, dipahami sebagai para “keponakan” dan melayani tuan-tuan mereka sebagai “bapak atau paman”, artinya bahwa relasi mereka dirancang seperti dalam dari garis keturunan ayah. Peran dari para hamba secara esensial adalah peran pelayan dalam rumah, kebun-kebun, penanaman, pesta-pesta dan lain-lain. Kata iri-ri tidak memiliki arti lain dan kata “hamba” hanya bersifat aproksimatif untuk menjelaskan situasi ketergantungan penuh ini. 81 Kata ren berasal dari kata renan, “ibu”. Para ren adalah orang-orang bebas, yang memiliki rumah dan tanah mereka dan secara riil bukan subordinasi dari mel. Orang mengatakan bahwa inilah para eksekutor. Para mel dipahami sebagai mereka yang sulung, sebaliknya para ren adalah adik-adik, dan sebagaimana semua adik-adik, peran mereka adalah secara esensial membantu kakak mereka. Para ren tidak memiliki hamba-hamba dan tidak memiliki relasi sama sekali dengan hamba-hamba dari mel. Adalah sebuah sistim dari tiga tingkatan yang hirarkis, tetapi agaknya ada dua relasi yang mengorganisasi hubungan-hubungan antar manusia: pasangan paman-keponakan, mel-iriri, bangsawan-hamba, dan suatu pasangan kakak-adik, mel-ren, bangsawan-orang biasa. Pembagian dalam tiga hanya masuk akal dalam dualitas hubungan ini. Tanpa ragu seorang ren adalah “superior” terhadap seorang iri-ri, tetapi proses memastikan ini hanya memiliki arti terbatas, sejak dua istilah bukan dalam hubungan satu terhadap yang lain. Karena itu gradasi dalam tiga, seperti yang selalu diberikan pertama, memberikan sebuah gambaran palsu dari realitas: ia mengasumsikan tingkatan logis transitif yang sebenarnya tidak ada. Bagaimana dengan asal-usul dari tingkatan ini? Orang hampir sepakat mengatakan bahwa para ren adalah penduduk asli (autochtone), penduduk yang benar dari kepulauan dan para pemilik tanah: hal ini terkonfirmasi melalui karakter feminis dari sebutan mereka (dari renan, “ibu”), dari asosiasi mereka pada tanah-ibu, dan melalui posisi mereka sebagai adik (sebagaimana kita telah melihatnya, adik dapat dihubungkan dengan sisi feminim). Orang menceritakan dua asal-usul dari mel. Sebagian datang dari luar pulau, mungkin Bali atau Luang dan dari Leti di barat daya Maluku, mungkin dari Ternate dan Tidore (di Maluku Utara), dan sejarah mereka terhubung pada hukum yang datang dari luar, yang mengkarateristikkan masyarakat lor. Hukum ini disebut hukum larvul ngabal, “hukum dari darah (lar) meral (vul) dan dari tombak (nga) dari Bali (bal). Nama yang membangkitkan petualangan dari mitos yang menceritakan kedatangan tokoh-tokoh ini. Kepada para pangeran ini, penduduk asli menyerahkan “kunci-kunci kerajaan”. Penduduk asli ini menyerahkan kepada mereka para perempuan untuk kawin, tanah-tanah dan fungsi-fungsi desa dan pada waktu yang sama mereka memasukan hukum baru dalam sistim mereka. Tidak pernah orang berbicara tentang “penjajah” untuk mengkualifikasi para pendatang baru ini. Sebuah mitos menceritakan melalui contoh perkawinan dari seorang imigran bangsawan dengan seorang anak perempuan dari raja sebuah desa di selatan Kei Kecil. Episode ini di antara yang lain mengindikasikan bahwa para raja, artinya para bangsawan, telah menghuni kepulauan ini dan mengepalainya. Ada pula asal-usul kedua yang mungkin dari mel: sejumlah orang asali datang langit dan dari tanah dan muncul pada saat dimana “dunia terbuka”. Mereka seharusnya lebih autochtone (asali) daripada para autochtone (asali), tetapi tidak ada yang mengatakan demikian. Mitos asal-usul yang digunakan di Tanebar-Evav dapat mengangkat kontradiksi yang nyata ini: tiga laki-laki pertama yangh muncul pada saat bersamaan dengan ledakan cahaya pertama kali mendengar suara-suara di bawah mereka, yang menunjukan kehadiran manusia (tetapi marilah kita memperhatikan bahwa rasionalisasi tidak relevan di Tanebar-Evav, karena di sana semua adalah bangsawan, suara di malam hari sebagaimana tiga laki-laki pertama). Orang mengatakan juga bahwa sebuah asal-usul terletak baik itu di langit maupun di kedalaman bumi adalah lebih prestisius daripada hunian pertama yang diberikan tanpa penjelasan. Tetapi para ren sering dipandang sebagai para autochtone, para penghuni pertama di tanah, dan juga para adik feminis tanpa kekuatan, sebaliknya mel adalah penghuni kedua, para kakak dan para pemimpin. Hal ini menyediakan kepada kita sebuah indikasi penting tentang konsepsi kesulungan, yang dipahami secara esensial bukan tentang anak yang sulung dalam sebuah seri kelahiran, tetapi sebagai sebuah posisi relatif yang menjelaskan status dan peran. 82 Tentang iri-ri, kata orang, mereka adalah para terpenjara karena perang yang ditangkap, terutama di kepulauan-kepulauan tetangga, tetapi juga di desa-desa di Kei. Kadang-kadang orang mengatakan juga bahwa mereka telah dibeli. Mereka adalah milik mel, yang dapat dijual kembali oleh mereka. Tetapi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para hamba dibayar oleh tuan, yang memberikan juga untuk mereka pemberian-pemberian perkawinan, jika ini penting. Tuan memiliki kekuasaan untuk mengawasi mereka seperti anaknya sendiri dan untuk mendukung kebutuhankebutuhan mereka, mereka menjadi bagian dari rumah tuan dan bekerja untuknya. Ia sepenuhnya bertanggung-jawab atas mereka. Bagaimana terjadi pembagian tingkatan-tingkatan ini dalam sebuah desa? Sepertinya (tetapi di sana juga informasi-informasi kami menjelaskan dengan saksama untuk dilengkapi) bahwa tidak ada percampuran di desa. Ada desa-desa mel, artinya terdiri atas rumah-rumah mel bersama dengan hamba-hamba dan dalam desa-desa ren, secara unik terdari dari orang-orang biasa. Ada sangat sedikit di desa-desa dimana mel dan ren dipadukan dan mereka yang eksis ada dalam pembentukan kembali belum ini. Kadang-kadang, dalam kebersamaan (disebut desa karena ia memiliki seorang raja atau seorang orangkaya sebagai kepalanya) terdiri atas dusun-dusun, yang bejarak satu dengan yang lain, yang menjelaskan beberapa mel dan hamba-hamba dan yang lain ren. Tingkatan-tingkatan ini terkarakteriskan secara esensial oleh sifat endogami mereka, perilaku mereka dan, pada tingkat lebih rendah, melalui aturan-aturan perkawinan mereka sendiri. Hal ini tampaknya mungkin secara aktual untuk membedakan para mel dari para ren melalui suatu pembagian fungsi-fungsi (para ren memiliki beban dalam hubungan dengan tanah dan budaya, para mel memiiki tugas dalam “pemerintahan”, lihat Van Wouden 1968: 141). Para iri-ri ditandai lebih baik, karena mereka juga disebut sebagai “iri-ri tungku-perapian”, yang menggambarkan tempat mereka di dapur. Keanggotaan pada satu tingkat diberikan oleh kelahiran. Perkawinan campur adalah terlarang dan, meskipun frekwensi kian sering, masih sangat tidak disetujui atau bahkan ditekan. Seorang perempuan mel yang mengawiani seorang laki-laki ren kehilangan statusnya dan suaminya harus membayar kompensasi khusus kepada orang tua untuk mengganti apa yang orang sebut “kerugian dari melnya”. Seorang laki-laki mel yang mengawini seorang perempuan ren hanya kehilangan sebagian dari statusnya –bagian tubuh superior tetap mel, bagian inferior menjadi ren. Dengan demikian seorang laki-laki dapat mempunyai anak-anak ren dari seorang istri pertama dan anak-anak mel dari istri kedua. Dalam kasus penyatuan antara mel dan hamba-hamba, laki atau perempuan menjadi hamba dan anak-anak juga. Hanya dapat dibayangkan tentang kehilangan status, tidak pernah untung. Perilaku-perilaku itu sendiri dibedakan: pertama-tama, cara berpakaian; kemudian, cara berperilaku satu sama lain. Orang-orang biasa tidak harus berdiri pada tingkat yang sama atau tempat yang sama dengan para bangsawan. Para hamba tidak diterima dalam rumah, tetapi hanya di teras. Mereka harus mengambil jalan-jalan berbeda, supaya tidak bertemu dengan bangsawan. Mereka tentu saja tidak makan semeja dengan bangsawan dan, kata orang, orang memberikan mereka makan “remah-remah yang jatuh dari meja” para bangsawan. Mereka mengenakan pakaian-pakaian yang menutup lengan dan kaki. Orang-orang biasa memiliki lengan-lengan dan kaki-kaki terbuka, sementara para hamba mengenakan hanya sebuah cawat. Pada masa kini, perbedaan-perbedaan ini kurang terlalu tampak, tetapi kita melihat selalu iri-ri duduk di tanah, sementara seorang mel berdiri di meja untuk membagi makanan yang sama. Kritianisasi telah memainkan sebuah peran yang besar untuk mencoba menghapuskan perbedaan-perbedaan ini, tetapi perbedaan-perbedaan ditemukan lagi, sering sangat diungkapkan, secara khusus dalam desa-desa terpencil. 83 Ada usaha untuk dapat mengklasifikasikan aturan-aturan perkawinan dalam kaitan dengan sistim tiga tingkatan, artinya memahami sistim tingkatan-tingkatan berkat perbedaan-perbedaan aturan mereka tentang perkawinan (Van Wouden 1968: 15). Para bangsawan pada prinsipnya harus kawin menurut aturan perkawinan umum, artinya ia harus memilih selalu istri-istri mereka dalam beberapa garis keturunan, terkualifikasi dari para pemberi istri-istri dan hanya memberi saudarisaudari mereka dalam perkawinan kepada garis-garis keturunan lain, disebut para penerima perempuan. Orang-orang biasa sering mempraktekan semacam pertukaran langsung (artinya, sebuah pertukaran perempuan-perempuan hanya antara dua kelompok), tetapi sebenarnya praktek ini juga digunakan di antara para bangsawan. Orang mengatakan bahwa para hamba kawin dengan “cara apa saja”, “di antara mereka”, yang melanggar larangan inces. Kami tidak mempunyai contoh untuk memverfikasi informasi-informasi ini. Tentu saja orang memahami inces sebagai kebersatuan dengan seseorang dari rumahnya sendiri; atau beberapa garis keturunan hamba yang memiliki tuan yang sama dan dari rumah yang sama dapat kawin antar mereka, tanpa itu menjadi inces yang nyata. Partikularitas Tanebar-Evav berasal dari kenyataan bahwa para penghuninya pada prinsipnya semua bangsawan. Para hamba adalah milik rumah Marud, tetapi tinggal di pulau tetangga Ur. Para bangsawan adalah para pendiri desa, tetapi juga semua pendatang yang berasal dari Luang dan Leti sebagaimana dari Kei Besar dan Kei Kecil. Ada sebuah garis keturunan dalam garis feminim dari seorang raja. Orang-orang Ur dijadikan hamba sesudah perang atau karena mereka melanggar suatu larangan atas teritori Tenebar-Evav. Kisah-kisan ini bervariasi. Dahulu, mereka datang bekerja pada tuan mereka dan melakukan pekerjaan besar dengan menebang pohon-pohon, yang dibutuhkan untuk konstruksi kapal layar dan rumah. Mereka berpartisipasipada dalam berbagai kegiatan seputar kehidupan keluarga, seperti perkawinan, pemakaman, dalam arti bahwa mereka bertanggung-jawan atas semua tugas persiapan sebuah pesta. Ketika mereka datang di sebuah desa, mereka tidak melewati tangga sentral, tetapi melalui sebuah jalan masuk, yang disiapkan bagi mereka pada sisi desa. Mereka tidak masuk ke dalam rumah, tetapi tetap di luar di teras. Mereka berutang sejumlah pemberian kepada tuan-tuan mereka yang, kembali, memberikan kepada mereka bantuan dan perlindungan. Para tuan membayar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dari para hamba ini. Selanjutnya, rumah Marud telah membayar sebuah kompensasi untuk penculikan seorang perempuan Tanebar-Evav oleh seorang pria dari Ur. Penyatuan-penyatuan antara para bangsawan dan para hamba adalah terlarang dan dahulu dihukum berat. Mereka yang bersalah dibuang ke dalam laut, sebuah batu diikat pada leher. Hal ini juga berlaku bagi inces. Pada saat ini hukumannya tidak begitu parah, tetapi tuan masih tetap dituntup untuk memperbaiki beberapa pelanggaran. Di luar para hamba, dengan menjadi bagian dari masyarakat Tanebar-Evav, ada garis-garis keturunan dan segmen-segmen garis keturunan ren, yang berasal dari para bangsawan yang telah menghilangkan status mereka seturut pelanggaran dari larangan-larangan perkawinan. Dalam kasus pertama yang dikenal, seorang bangsawan bersatu dengan seorang hamba, dan desa seluruhnya ingin memburu pelakunya. Sebuah rumah menentang pengusiran ini, membawanya dalam perlindungan dan bersamanya seluruh keturunannya. Ia berada dalam posisi pemberi dan mengharuskan pemberianpemberian pada rumah yang membayarnya; menawarkan hasil buruan dan hasil tangkapan, dan mungkin mengisi sebuah peran pelayan pada berbagai kesempatan seremonial. Garis keturunan yang jatuh harus memiliki status hamba, tetapi untuk alasan-alasan misterius, ia dipahami sebagai ren. Ia memang kehilangan status, tetapi ia menjaga tanah-tanahnya, rumahnya dan fungsi-fungsinya. Anggota-anggotanya hidup sebagai orang-orang bebas dan tidak dipahami sebagai hamba. Namun, aturan endogami dipelihara dan para mel tidak dapat kawin dengan anggota-anggota dari garis keturunan yang terdegradasi. Tetapi sejak ada para ren di desa, perkawinan-perkawinan terjadi, apa yang telah meningkatkan jumlah segmen-segmen yang terdegradasi. Mengingat ukuran populasi desa yang relatif kecil, kadang-kadang adalah sulit menemukan istri-istri yang sesuai dengan aturan-aturan 84 perkawinan; dan para ren sedikit kawin, baik itu dengan para bangsawan yang meninggalkan status mereka, atau para perempuan di luar pulau, maupun sepupu silang dari pihak ayah dan yang secara normal terlarang. Jadi orang menemukan dalam desa, rumah-rumah dimana segmen-segmen garis keturunan masih tertinggal mel, sementara sebuah segmen lain menjadi ren. Hal ini tidak memilki dampak bagi fungsi-fungsi desa, kecuali dalam kasus garis keturunan dari turunan seorang raja, dimana fungsi-fungsi adalah aplikasi-aplikasi dari sangsi-sangsi yang bereferensi pada aturan Hukum. Fungsi ini berpindah pada garis keturunan “saudara”, yang menggunakan nama yang sama. Garisgaris keturunan ren yang lain melanjutkan untuk menjalakan fungsin-fungsiya dan kepala rumah yang terinisiasi. Jadi tidak ada perbedaan antara para mel dan para ren. Dalam kasus desa yang kami ketahui, pembagian dalam bangsawan dan orang-orang biasa sepertinya hanya memiliki dampak yang kecil terhadap sistim fungsi-fungsi desa. Namun sebuah kasus tunggal tidak cukup untuk menggeneralisir dan masalah artikulasi antara sistim-sistim yang berbeda (rumah, ub, yam, fungsi-fungsi dan tingkatan-tingkatan) tinggal tetap. Namun, fakta bahwa sebagian dari bangsawan berasal dari luar dan bahwa sebuah hukum luar memberikan artinya pada masyarakat lor (masyarakat luar dalam perbandingan dengan haratut, masyarakat organisasi internal) memungkinkan untuk memikirkan kombinasi dari perbedaan-perbedaan sistim yang mengonfirmasi bahwa masyarakat ini hanya dapat dipahami oleh referensi pada “eksterior”, dan dalam suatu oposisi hirarkis antara sebuah “dalam” yang tersubordinasi ke suatu “keluar” yang secara sosiologis lebih kuat, yang memungkinkannya untuk terdefenisi kembali. Pembagian antara bangsawan dan orangorang biasa dibuktikan di hampir seluruh Maluku dan masyarakat-masyarakat, dimana para hamba eksis (atau telah eksis) di seluruh Indonesia. Fakta yang luar biasa adalah cara dimana tingkatan-tingkatan dipikirkan dalam logika struktur internal desa, darimana datang pembagian ini dalam tiga bagian (bahwa itu menjadi suatu sistim atau dia muncul di bawah pengaruh eksternal), pembagian hanya dipahami sebagai relasi ganda. Hal ini memberikan suatu gema tunggal pada suatu masalah yang muncul berkali-kali sejak awal, dari oposisi konstan dan komplementer dari dua atau tiga. Hal lain, penggunaan istilah-istilah kekerabatan untuk mengkualifikasi relasi-relasi yang berbeda antara tingkatan-tingkatan tidak gagal dalam menekankan karakter fundamental sejumlah ideologi yang didirikan di atas laporan dari kekrabatan sebagaimana kami telah temukan organisasinya sedikit demi sedikit. 4 KOSA-KATA KEKERABATAN Kini kita mencoba akrab dengan kesatuan-kesatuan konstitutif dari masyarakat Tanebar-Evav, rumah-rumah dan garis-garis keturunan secara esensial. Relasi-relasi, yang melingkupi mereka dari generasi ke generasi terus berkembang, berhimpitan satu di dalam yang lain di atas kain yang sangat padat dan terformalkan. Untuk siap menganalisisnya, hal ini mengharuskan kita untuk pertama-tama memahami kategori-kategori kekerabatan yang dengannya mereka dijelaskan. Secara esensial, perhatian kita akan terarah pada istilah-istilah referensi, yang meletakkan setiap subjek yang tertera pertama-tama di antara keluarganya, kemudian pertalian orang tua-orang tuanya. Istilah-istilah yang digunakan, sedikit banyak dan sering dipinjam dari bahasa-bahasa lain, membentuk kategori-kategori sangat umum dan sedikit signifikatif. Meskipun demikian, suatu sifat yang ditandai adalah penggunaan suatu teknonym untuk dialamatkan pada para orang tua setelah kelahiran dari anak pertama mereka. 85 1. Kosakata referensi Kosa kata kekerabatan secara relatif itu mudah dan mencakup empat belas istilah. Dimulai dari generasi kedua ke atas dan ke bawah dan sampai ke lima, ada asimilasi orang tua-orang tua di setiap generasi dan istilah-istilah itu resiprok. Sepuluh istilah yang tersisa digunakan untuk membedakan orangtua-orangtua dari tiga generasi, generasi Ego dan generasi pertama ke atas dan ke bawah. Pada istilah-istilah dasar orang menambahkan beberapa penentu yang, untuk mayoritas, adalah tanda pertalian. Sebagaimana nama-nama dari bagian-bagian tubuh yang berbeda, istilahistilah kekerabatan (kecuali satu, ifar) memasukan sufiks-sufiks, yang menjelaskan relasi pronominal (nomina-nomina yang tergantung). Kami akan mepresentasikan di sini setiap istilah pada orang ketiga tunggal, yang ditandai dengan sufiks n. Kebersamaan yang terbertuk oleh kekerabatan disebut yan te; yan berasal dari kata yanan, “anak”, te (yang berasal dari kata ite) adalah sebuah determinan yang ditandai dengan hormat dan karakter feminism. Mereka menerjemahkan secara literer yan te dengan “anak-anak para perempuan” dan meletakkan dalam kesamaan ungkapan ini dengan ungkapan yang mengkualifikasi kebersamaan dari para leluhur, ren ub te: “ibu-ibu para nenek”. Ren berasal dari kata renan, “ibu”, ub te adalah singkatan dari ubun te, “nenek”. Untuk semua sistim yang didasarkan sebagai bagian dari suatu ideologi patrilineal (garis-garis keturunan, rumah-rumah), adalah ditandai bahwa kebersamaan dari kekeraban dan para leluhur yang memiliki suatu konotasi feminis. Hal ini akan mengambil semua artinya setelah kita menulis sistim perkawinan. Ada juga sebuah istilah yang menjawab pada pengertian genealogis kita; inilah beb lar. Ketika kita meminta kepada orang-orang genealogi mereka, mereka akan menarik dari leluhur patrilineal yang sangat jauh untuk “turun” hingga mereka melalui orang-orang pada garis keturunan: genealogis ini disebut beb lar. Beb pertama-tama berarti yang tertinggal, apa yang dibuang dan, pada kiasan, tulang-tulang; lar adalah darah. Jadi para leluhur dipahami sebagai “tulang-tulang darah”. Semua keturunan dari seseorang, pertama-tama adalah anak-anaknya, kemudian keturunann-keturnan mereka dikualifikasikan sebagai minang larang, “lemakku darahku” (secara partikular, lemak itu ditonjolkan; “menjadi lemak” menjelaskan kesempurnaan seekor ikan atau seekor babi yang dimakan). Jadi, perbedaan antara leluhur dan keturunan ditandai oleh ketiadaan sufiks pronominal untuk leluhur dan oleh suatu oposisi antara tulang dan lemak, antara “yang tertinggal” dan makanan terbaik. Tidak ada istilah untuk menerjemahkan gagasan orang tentang “pertalian” dan para orang tua melalui pertalian termasuk dalam ungkapan yan te. 86 Gambar 18. Istilah-istilah kekerabatan Generasi ego 1. a‟an     Kakak yang tua dengan jenis kelamin yang sama Sepupu “tua” dengan jenis kelamin yang sama: artinya ia yang mana ayah atau ibu adalah kakak yang tua untuk salah satu dari orang-tua Ego. Diikuti dengan baran atau vat (“anak laki-laki” atau “anak perempuan”): suami-istri dari dua kategori sebelumnya. (diikuti vat: istri dari saudara tua suami). 2. warin   Saudara bungsu dengan jenis kelamin yang sama Sepupu “bungsu” dengan jenis kelamin yang sama: artinya dia yang mana ayah atau ibu adalah saudara bungsu dari satu dari orang tua Ego 87   Diikuti oleh baran dan vat: suami-istri dari dua kategori sebelumnya Diikuti oleh vat: istri dari saudara bungsu dari suami  Kakak atau sepupu dengan jenis kelamin yang berbeda 3. uran Generasi orang tua 4. Yaman     Ayah, saudara ayah dan suami dari saudari ibu Diikuti dengan a‟an, mereka menjelaskan saudara “sulung” dari ayah, suami dari saudari “sulung” dari ibu Diikuti warin, mereka menjelaskan saudara “bungsu” dari ayah, suami dari saudari bungsu dari ibu. Yaman turan: bapak mantu21. 5. Renan     Ibu, saudari dari ibu, dan istri saudara dari ayah Diikuti dengan a‟an, mereka menjelaskan saudari “sulung” dari ibu dan istri dari saudara “sulung” dari ayah. Diikuti dengan warin, mereka menjelaskan saudari “bungsu” dari ibu dan istri dari saudara “bungsu” ayah. Renan te: mama mantu 6. Memen  Sauara dari ibu dan suami dari saudari ayah 7. Avan: tante  Saudari ayah dan istri dari saudara dari ibu. Generasi anak-anak 8. yanan: anak    Anak, anak dari kakak dan anak dari sepupu Diikuti duan: mereka menjelaskan sebagai keponakan laki-laki dan perempuan Diikuti turan atau te, menantu laki-laki dan perempuan. Turan untuk laki-laki dan te untuk perempuan adalah penentu-penentu kehormatan. Mereka meletakkan kedua kata ini mengikuti nama dan gelar ketika mereka menghormati seseorang. Kedua kata ini digunakan juga untuk menandai jenis kelamin beberapa binatang, terutama babi. 21 88 Gambar 19. Istilah-istilah aliansi (Ego masculin dan Ego Feminim) Generasi simetrik dimulai dari yang kedua 9. Ubun  (generasi -2 dan +2) kakek-nenek (dapat diikuti turan atau te yang menunjukkan jenis kelamin) dan cucu-cucu 10. Nisin  (generasi -3 dan +3) kakek-nenek buyut dan cicit-cicit 11. Kekan  (generasi -4 dan +4) orang tua dari kakek-nenek buyut dan anak-anak dari cicit-cicit 12. Hare‟en  (generasi -5 dan +5) kakek-nenek dari kakek-nenek buyut dan cucu-cucu dari cicit-cicit. Istilah-istilah yang berhubungan dengan generasi Ego 13. Hoan  suami atau istri 14. Ifar 89    sejajar dengan Ego dari jenis kelamin yang sama, artinya dapat berupa suami dan istri dari kakak atau dari sepupu dengan jenis kelamin yang berbeda (artinya suami dan istri dari uran), dapat juga kakak dan sepupu dari jenis kelamin yang berbeda dari suami-istri (artinya uran dari suami dan istri) istri dari saudara istri suami dari saudara suami Generasi Ego Generasi Ego adalah sangat penting dari semua. Generasi ini mencakup lima istilah, dimana dua berasal dari pertalian murni, sebaliknya empat istilah untuk generasi orang tua, dan orang melihat bahwa generasi ini memerintah yang sebelumnya, dan bukan sebaliknya: prinsip-prinsip pokok pada proses dari dua generasi hanya tertulis secara jelas pada dua generasi Ego. Tidak ada istilah yang menjawab “saudara” dan “saudari” kami, yang mengandaikan suatu distingsi dari jenis kelamin absolut. Jenis kelamin memainkan sebuah peran, tetapi dihubungkan pada Ego. Semua kakak dan semua sepupu dibedakan pada tempat pertama menurut aturan bahwa mereka berasal dari jenis kelamin yang sama dengan Ego, atau jenis kelamin yang berbeda. Seorang wanita menggambarkan saudarinya oleh istilah yang sama dengan seorang pria dengan saudaranya: pembedaan dari jenis kelamin adalah relatif pada jenis kelamin Ego. Prinsip kedua dari pembedaan ini adalah karya di dalam mereka yang hadir sebelumnya: para kakak dan sepupu dari jenis kelamin yang sama dan mereka sendiri dibedakan dalam para sulung dan para adik. Dengan demikian hanya ada satu istilah, uran, untuk para kakak dan para sepupu dari jenis kelamin yang berbeda dari dia yang adalah Ego, meskipun ada dua istilah untuk mereka dari jenis kelamin yang sama dengan Ego: a‟an untuk yang sulung baik lelaki atau perempuan, dan warin untuk adik baik lelaki maupun perempuan. Ditambahkan bahwa perbedaan kakak/ adik berfungsi secara berbeda untuk para kakak dan para sepupu: usia dari kakak seorang Ego dibandingkan dengan dia yang adalah Ego, dan untuk mengklasifikasikan seorang sepupu. Mereka mengkomparasi usia dari dua kakak dimana Ego dan sepupu ini berasal. Misalnya, seorang lelaki yang lebih muda dari Ego maskulin dari seorang anak saudara tua dari ayah Ego adalah seorang yang sulung. Mari kita mencatat lagi bahwa bagi para sepupu orang membandingkan usia dari orang tua mereka masingmasing, bahkan jika mereka berasal dari jenis kelamin yang berbeda. Dengan demikian, seorang anak laki-laki dari saudari sulung ayah Ego adalah seorang “yang sulung”. Adalah penting di sini bahwa sebutan-sebutan dapat mencakup kesatuan sepupu-sepupu yang berjenis kelamin sama dengan Ego. Jadi pada titik ini, perbedaan usia membawanya pada perbedaan dari jenis kelamin relatif (Gambar 20). Gambar 20. Perbedaan usia dalam dua generasi 90 Kita akan melihat jalannya bahwa kombinasi sempit dari dua perbedaan dari jenis kelamin dan usia relatif adalah sangat kuat. Kami telah melihat bahwa hal ini memungkinkan, dengan cara mewarisi atau komplikasi detail, pengembangan penuh dari perbendaan usia relatif itu sendiri. Jika, sesuai dengan praktek yang berlaku dalam studi kosa-kata dari suatu tipe yang berbeda darinya, kami menyebutnya relasi “pararel” antara saudara sesama jenis kelamin dan relasi “silang” antara saudara dengan jenis kelamin berbeda. Kami melihat bahwa di sini sistim sekarang ini menolak secara persis untuk meneruskan relasi dari satu generasi ini kepada generasi berikutnya. Mari kita mencatat segera untuk sebab dari suatu ketidaksepakatan antara kosakata dan institusi-institusi. Diberikan eksistensi dari suatu aturan perkawinan dengan sepupu silang (dari pihak ibu), kami menanti bahwa kosa-kata membedakan antara sepupu-sepupu pararel dan sepupu-sepupu silang. Tidaklah demikian, dan dalam perkawinan seperti itu, seorang laki-laki mengawinkan satu dari saudari-saudarinya (uran) untuk pengecualian kepada yang lain. Kami belum menjelaskan kegunaan dari a‟an dan warin yang mendefisikan sampai di sini sebagaimana kakak dan adik dari jenis kelamin yang sama dengan Ego. Akibatnya, kami menggambarkan dengan istilah-istilah ini dengan menambahkan faktor penentu baran “laki-laki” atau vat “perempuan”, sejumlah orang tua dari jenis kelamin yang berbeda yang kepadanya Ego terhubung oleh perantara sebuah perkawinan. A‟an vat, secara harafiah “perempuan sulung” untuk seorang lakilaki, adalah baik saudari sulung dari istinya, maupun istri dari saudara sulungnya (gambar 21b dan d). Dengan demikian orang melewati, melalui sebuah perkawinan, kesedarahan (dari pihak ayah) jenis kelamin yang sama ke suatu afinitas jenis kelamin yang berbeda. Kita dapat mengatakan demikian, karena inversi yang ditandai, bersifat kontradiktif, dari jenis kelamin yang jelas yang menandakan afinitas. Dicatat di sini dua sifat yang luar biasa: peralihan ke jenis kelamin absolut dan, secara korelatif, fakta bahwa setiap ungkapan memiliki satu jenis kelamin. Para lelaki lajang menggunakan vat; dan sebaliknya para perempuan menggunakan baran. Ego feminism menyebut “laki-laki dengan kesulungan perempuan” dan “laki-laki dengan sifat adik perempuan” (gambar 21a dan c), yang menjadi baik suami dari adik perempuan atau menjadi adik laki-laki dari suami.22 Di sini lagi, ada suatu kekecualian, suatu pekerjaan dan hanya satu dari a‟an vat melalui seorang Ego feminis. Adalah tentang istri dari a‟an baran sebagai saudara dari suami (bambar 21c). mengingat bahwa orang tua yang berubungan dengan Ego maskulin tidak disebutkan (gambar 21d), hal ini menggonda untuk mejelaskan sifat ini secara terpisah oleh fakta tentang tempat tinggal: setelah Ungkapan-ungkapan terakhir ini tidak dapat digolongkan dengan nama sederhana dalam sebuah “isitlah” yang lebih luas sebagaimana dalam sebuah kosa-kata bersifat klasifikasi. Ini adalah bukti bahwa kosa-kata adalah dari deskripsi natural, artinya proses yang dimulai dari Ego melalui komposisi relasi-relasi dasariah (tetapi saudara + perkawinan = perkawinan + saudara) 22 91 perkawinan mereka dengan dua saudara, kedua perempuan ini (Ego dan a‟an vat, gambar 21c) menjadi bagian dari rumah yang sama dan dimengerti sebagai dua “saudari”. Harus dicatat bahwa dalam semua ini perbedaan kakak/ adik meluas ke orang-orang tua melalui pertalian sambil membedakan mereka dengan cara sekunder (melalui penentuan-penentuan) dari kesedarahan (dari pihak ayah). Dua istilah ini khusus untuk apa yang mereka sebut para orang tua melalui pertalian: hoan, timbal-balik antara suami, dan ifar23 yang adalah hubungan yang dekat dari satu bagian pada hoan dan bagian lain untuk uran atau “saudara dari jenis kelamin yang berbeda”. Memang, relasi ifar menghasilkan komposisi hoan dan uran. Ini menggambarkan baik hoan (suami) maupun kebalikan saudara dari jenis kelamin berbeda dari suami (uran dari hoan) dan, harus ditambahkan dalam kasus ini, suaminya. Kecuali untuk hal yang terakhir, ifar menggambarkan orang tua dari jenis kelamin Ego, sebagaimana hoan (suami atau istri), orang tua dari jenis kelamin berbeda (gambar 22)24. Kenyataan bahwa ifar menggambarkan dua pribadi yang berbeda dari satu sisi relasi (saudara dari istri dan pasangannya, atau saudari dari suami dan pasangannya), sementara ia hanya menggambarkannya satu yang lain (suami dari saudari dan istri dari saudara) adalah penting. Ini adalah tautan silang pertama uran yang kemudian memungkinkan untuk mengasimilasi pasangan dari hubungan yang satu ke hubungan yang lain. Tetapi ifar tidak teraplikasi pada orang-tua yang menyilang dari suatu hubungan, artinya setelah rantai silang yang kedua dari suatu hubungan (saudari dari suami dari saudari). Ketika ada suatu hubungan perkawinan, suami dan istri teridentifikasi dalam relasi, sementara dalam relasi silang, seorang saudara tidak dapat disatukan dengan saudari. Dalam gambar 22a, relasi silang pertama-tama datang dari dan memutuskan penggunaan istilah yang menandakan suatu hubungan. Di luar itu, setelah suatu relasi silang yang kedua, tidak ada istilah tersebut. Dalam gambar 22b, pertama-tama ada relasi perkawinan, kemudian relasi silang, yang membatasi penggunaan istilah ifar setelah relasi yang kedua dari perkawinan. Kita melihat bahwa istilah ifar adalah resiprok, sama dengan uran. Ifar berasal dari kata melayu ipar, “ipar laki-laki” dan “ipar perempuan”. Istilah-itilah ini tidak menandakan pertalian dan tiudak juga yang lain. Inin adlah satu-satunya yang tidak memiliki akhiran untuk menandai hubungan pronominal. 24 Hal ini yang menyarankan suatu observasi relatif tentang penggunaan suatu kategori jenis kelamin relative. Tidak seperti ungkapan jenis kelamin absolut, ungkapan jenis kelamin relative hanya menanyakan kepada kita tentang tentang jenis kelamin dari orang tua yang menggambarkan sebagaimana kita tahu, di luar pernyataan terminology itu sendiri. Ia adalah pribadi yang berbicara (atau kepada siapa orang tua bertanya disebut oleh orang ketiga). Dalam kasus umum, pemahaman tentang jenis kelamin, baik itu subjek yang berbicara, maupun pribadi menggambarkan, memungkinkan untuk menyimpulkan jenis kelamin pasangan. Sebaliknya, pemahaman non-terminologis tentang jenis kelamin dari orang tua pada saat bersamaan dari Ego, dalam beberapa kasus, untuk menentukan….. 23 92 Generasi orang tua Dengan melintasi generasi sebelumnya, suatu kejutan menanti kita. Numenklatur memang ada di sini sebuah tipe yang dikenal, pada pandangan pertama, semuanya berbeda dari apa yang kami temukan pada generasi sentral. Kami berpikir dalam sistim klasik yang berhubungan pada perkawinan antar sepupu silang, yang disebut dalam bahasa Inggris “bifurcatemerging”. Dua kategori untuk lakilaki, dimana secara timbal balik jatuh pada ayah dan paman dari pihak ibu, dan dua untuk para perempuan, yang berhubungan dengan ibu dan dengan tante dari pihak bapak. Singkatnya, dua pasangan suami-istri, berbeda dan secara radikal dibedakan untuk jenis kekamin juga: di satu sisi para “ayah” (yaman) dan dari para “ibu” (reman) – suami dari saudari ibu menjadi ayah, istri dari saudara ayah menjadi seorang “ibu”- di sisi lain para “paman dari pihak ibu” (memen) dan para “tante dari pihak ayah” (avan) –telah didengar bahwa istri dari paman dari pihak ibu adalah seorang “tante dari pihak ayah” dan bahwa suami dari tante dari pihak ayah adalah seorang “paman dari pihak ibu”. Pembedaan kakak/ adik teraplikasi di sini kebaruan antara saudara dari jenis kelamin yang sama dan meluas ke pasangan-pasangan mereka, tetapi perbedaan tidak menghentikan apa yang mendahului, karena perbedaan hanya bermain pada basis sekunder, sebagai tambahan pada sufiks dari dua nama yang telah dikenal, a‟an dan warin. Dengan demikian, yaman a‟an adalah “bapak tua”, baik itu “saudara tua” dari bapak, maupun suami dari saudari sulung dari ibu. Kita mencatat bahwa perbedaan usia tidak berlaku untuk pasangan lain. Itu adalah jenis kelamin yang berbeda, baik itu ayah maupun ibu dan suami mereka: saudari dari ayah dan suaminya, saudari dari ibu dan istrinya. Jadi kita melihat bahwa untuk aplikasi perbedaan kesulungan antar saudara kandung, ada korespondensi yang benar antar generasi ini dan generasi berikutnya. Hal ini mengantar kita untuk melihat sebuah hubungan yang dekat antara kedua generasi, di luar penampilan-penampilan dan penggantian perbedaan dari jenis kelamin relatif dengan jenis kelamin absolut. Apa yang disimpan, itu adalah perbedaan antar saudara kandung dari jenis kelamin yang sama dan saudara kandung dari jenis kelamin yang berbeda, sebagaimana kita telah melihatnya dan itu sudah cukup untuk memberikan penjelasan tentang bentuk nomenklatur pada generasi ini, jika kita mengakui bahwa prinsip ekonomi memerintahkan untuk memiliki cukup istilah-istilah yang mungkin. Memang, kita dapat mengakui, karena faktanya sangat umum, harus membedakan ayah dari ibu melalui istilah-istilah yang secara radikal berbeda, dengan alasan jenis kelamin mereka, yang 93 dipahami bahwa kedua relasi hanya berbeda di sana dan untuk yang ada diperlakukan sama, jadi secara struktural identik. Patut dikira bahwa satu istilah untuk para orang tua maskulin, dan satu untuk para orang tua feminim. Hal tersebut akan menjelaskan bahwa saudara atau saudara kandung dari jenis kelamin yang sama dari ayah tidak dibedakan dari saudara atau saudara kandung dari jenis kelamin yang berbeda dari ibu (sama untuk para perempuan). Jadi, harus minimum dua istilah untuk setiap jenis kelamin untuk menjaga pada generasi ini perbedaan yang dimaksud, yang dengannya dicangkokan secara kedua sebagaimana kita telah melihatnya perbedaan usia yang sama seperti dalam generasi Ego. Generasi anak-anak Generasi inferior hanya memiliki sebuah istilah dasar tunggal, yanan, “anak”. Dibandingkan dengan sistim itu sendiri, dari apa yang kita kenal dalam dua generasi superior, ketiadaan perbedaan dari jenis kelamin (absolut) tidak mengejutkan. Kami melihat lebih banyak ketiadaan perbedaan antara anak-anak dari dua jenis pasangan menikah yang membedakan generasi Ego (gambar 23 a dan b), tetapi kami telah menjelaskan mengenai klasifikasi untuk semua sepupu secara keseluruhan, dimana mereka adalah anak-anak dari saudara-saudara pararel atau silang. Singkatnya, kombinasi dari jenis kelamin relatif dan dari kesulungan yang mengkarakteristikan sistem yang sedang bekerja dalam generasi sentral dan tercermin secara unik ke atas, dalam generasi para orang tua. Ada di sana suatu perbedaan utama bersama dengan distingsi klasik antara pararel dan silang, yang mengkarakteristikkan sistim-sistim pada perkawinan para sepupu silang dan yang, ia, terproduksi secara identik setidaknya dalam tiga generasi sentral. Namun ada suatu perbedaan sekunder, yang tidak mengubah kesatuan dari kategori “anakanak”. Jika kita ingin membuat persis bahwa itu keponakan laki-laki dan keponakan perempuan, kita harus menambahkan istilah bawah yanan determinan duan dan mengatakan yanan duan. Ungkapan ini jarang digunakan, acapkali muncul untuk menggambarkan suatu relasi yang ditandai oleh suatu pertukaran pemberian antar rumah-rumah misalnya. Seperti halnya seseorang menjustifikasi pemberian semacam ini melalui suatu relasi afinitas. Orang mengatakan bahwa yang lain dilakukan dangan gelar yanan duan. Di luar kesempatan-kesempatan ini dimana orang ingin menandakan hubungan partukuler antara dua pasangan rumah, para ponakan laki-laki dan perempuan disebut yanan dalam percakapan sehari-hari. Duan dapat diterjemahkan sebagai “tuan”, atau kerapkali “penjaga”. Ia memenuhi syarat sebagai orang yang memiliki hak asuh atas sesuatu atau seseorang, yang mengawal, yang menjaga, yang memiliki suatu relasi khusus pada sesuatu atau pada pribadi yang diproteksi dan kadang-kadang memiliki hak khusus atasnya. Kita akan menjelaskan lagi secara panjang ungkapan yanan duan pada akhir bab ini. Pada generasi anak-anak, batasan-batasan yang telah dijelaskan turan dan te dilampirkan pada yanan (yanan turan, yanan te) untuk menggambarkan menantu laki-laki dan menantu perempuan. Berhadapan dengan keseluruhan dari para yanan duan, satu dari antara mereka akan dapat mengganti status selama keberadaannya dan mentransformasi relasinya berhadap-hadapan dengan saudara ibunya. Sejak kebiasaan yang khusus perkawinan dari kakak dari garis keturunan dengan anak perempuan dari saudara dari ibunya, dari yanan duan ia akan menjadi yanan turan, artinya putra, sebaliknya saudara-saudara mudanya akan tinggal sebagai yanan duan. Dengan demikian, oposisi antara yanan turan dan yanan duan mengembalikan suatu hirarkis antara seorang sulung yang membuat kontrak suatu perkawinan yang ditentukan dan para adik yang pernikahan ini meninggalkan 94 ketergantungan yang lebih besar berhadapan dengan paman dari sisi ibu mereka dan dari kakak sulung mereka. Generasi-generasi lainnya Mulai dari kakek-nenek dan cucu-cucu, dan untuk empat generasi berikutnya, kami hanya memiliki setiap kali satu istilah timbal-balik, artinya bahwa kosa-kata mengindikasikan hanya jarak antar generasi-generasi, tanpa membuat persis arah (generasi ke atas dan ke bawah) tanpa pertimbangan jenis kelamin. Identifikasi dari cucu laki-laki ke kakek diperkuat kembali oleh kenyataan bahwa orang sering memberi kepada seorang anak nama dari kakeknya. Untuk para kakek-nenek, kita menambahkan batasan-batasan kehormatan turan dan te: ubun turan kakek, dan ubun te nenek. 2. Ucapan Sapaan Pada tingkat mengucapkan salam, semua orang pada kelas usia ayah disebut mam atau lagi bab –ungkapan yang terakhir berasal dari kata Indonesia. Para perempuan, khusus para nenek, dipanggil nen, apa yang menunjukkan relasi kekerabatan istimewa dengan mereka. Para kakek disebut ubun atau untuk sebuah` ungkapan yang singkat dari ubun, misalnya bu, diikuti nama pertama mereka. Para anak disapa oleh adik-adik mereka, sesuai dengan jenis kelamin mereka seperti ungkapan ul, dan para kakak dipanggil dengan nama mereka. Setelah kelahiran anak pertama mereka, orang menyapa sesuai ayah atau ibu sebagai nama anak diikuti yaman atau renan. Jika anak mati pada usia muda, orang akan menggunakan nama dari anak kedua. Kakek satu kali, ia masih dipanggil nama anak sulungnya oleh orang-orang sebayanya, tetapi generasi-generasi yang lebih muda memanggilnya dengan istilah kakek diikuti namanya. Orang suka juga menggunakan singkatan, atau nama-nama lain yang terhubung dengan sejumlah peristiwa dari hidupnya sendiri atau sejumlah karakter-karakter personal. Para cucu yang menggunakan nama para kakek akan dipanggil dengan nama panggilan yang biasa orang berikan kepada kakek tersebut, bahkan bila ia tidak memiliki karakter yang terhubung. Orang-orang pada sejumlah usia, yang mengisi fungsi-fungsi penting, sering dipanggil dengan istilah turan, ungkapan hormat, lalu diikuti nama mereka. Ungkapan-ungkapan sapaan, tidak lebih dari ketentuan penamaan di tempat lain, dalam beberapa cara tidak menyiratkan referensi untuk sikap atau perilaku spesifik berhadap-hadapan dengan hubungan kekerabatan masing-masing. Keakraban dalam hubungan dengan hidup sehari-hari adalah fungsi dari kedekatan tempat tinggal yang jauh atau dekat. Jika orang tinggal di rumah paman dari pihak ibu, orang memperlakukannya sebagaimana dengan ayahnya sendiri. Saudara ayah yang hidup dalam satu wilayah yang jauh dari miliknya akan diperlakukan dengan penuh respek dan hormat dibandingkan dengan seorang paman dari pihak ibu yang tinggal di rumah yang sama. Para orang tua sangat dekat dengan anak-anak mereka, dan tidak ada hubungan yang erat antara ayah dan anak laki-laki. Ayah akan berbicara pertama dan anak laki-laki harus mendengarkan, dan sebaliknya dipahami sebagai sebuah pelanggaran sesuai kebiasaan. Sikap ini adalah sikap yang orang telah pahami sejak muda terhadap semua orang dari generasi yang lebih superior. Pertama-tama mereka yang tua memiliki perkataan dan yang muda berikutnya, apapun pun fungsinya. Para perempuan tua diberi otoritas di atas yang lebih muda dalam hal umum, dan bukan hanya dari ibu menantu kepada anak-anak mantu. Relasi-relasi ketergantungan dari kepribadian setiap orang dan kedekatan lokasi tempat tinggal, adalah lebih dari sekedar kode yang akan direduksi dari relasi kekerabatan. Inilah komunitas tempat tinggal yang menciptakan hubungan-hubungan yang lebih kuat pada titik dimana 95 orang mengatakan bahwa anak-anak yang tumbuh di bawah atap yang sama tidak dapat saling menikah, bahkan jika perkawinan itu masih sesuai dengan aturan (misalnya perkawinan sepupu silang dari pihak ibu). 3. Penutup Kita dapat, pada tahap ini, mempertimbangkan hubungan-hubungan kosa-kata dengan aspekaspek lain dari kekerabatan atau organisasi sosial secara umum, dengan bereferensi pada bab-bab sebelumnya, dan pada peluang dengan mengantisipasi apa yang akan mengikuti. Pada titik ini, kita telah mengambil kebebasan untuk mendekat sebuah detail kosa-kata dari data eksternal: fakta bahwa para istri dari dua saudara memiliki sebuah istilah untuk menggambarkan secara timbal-balik, sementara tidak ada di sana untuk para suami dari dua saudari, telah terhubung dengan tempat tinggal dari dua perempuan dalam rumah yang sama. Penunjukkan ini diperoleh dengan apa yang dapat disebut sebuah perluasan. Harus keluar dari kosa-kata untuk mendapatkan implikasinya dan arti dari ungkapan yanan duan. Apa artinya perbedaan, di satu sisi kategori “anak-anak” dan sisi lain kategori “keponakankeponakan”? Menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita diundang untuk membalikkan perspektif dan untuk menempatkan kita pada posisi yanan duan berhadapan dengan semua orang tua yang menjelaskan kepada kita. Kemudian, kita akan melihat bagaimana generasi superior berhasil untuk mencampur keturunan-keturunan dari mereka yang telah dijaga untuk membedakan. Kita dapat berada pada situasi yanan duan dibandingkan dengan empat pasang orang tua, dimana dua bernama yaman-renan dan dua yang lain meman-avan. Untuk masing-masing dari pasangan ini berhubungan dengan eksistensi sebuah rumah dan mungkin dengan hubungan-hubungan perkawinan bersama dengan rumah dari yanan duan. Sebuah relasi pertama dengan seorang yaman dan seorang renan adalah istri, satu dalam sebuah rumah yang sama atau sebuah rin yang sama, anak-anak dari saudara-saudara yang tergantung semua dari yang sulung dalam garis keturunan, kepala dari rumah yang sama. Semua paman memiliki tanggung jawab sebagai anggota kakak atau adik dari rumah yang sama dan dipanggil yaman a‟an atau yaman warin, “bapak tua” atau “bapak muda”. Relasi-relasi antara para paman dan ponakanponakan tergantung ketuaan pada generasi superior. Hubungan yaman duan-yaman a‟an mengkualifikasi relasi-relasi internal dari sebuah kelompok patrilineal yang sama dan pasti dari rumah yang sama. Kita teringat bahwa ungkapan ini mengandung relasi-relasi antara rumah-rumah dari sebuah ub yang sama, sebagaimana jika relasi-relasi ini menjadi bagian dari sebuah kelompok patriliear yang sama. Dan lagi, yaman duan menggambarkan bagi seorang bangsawan hamba-hamba rumahnya, yang merupakan bagian dari rumah yang sama tanpa partisipasi mereka dalam kelompok patrilinearnya. Dengan demikian yanan duan menandakan secara esensial di sini ketergantungan ke dalam dari suatu rumah yang sama, yang memperkuat model hirarkis kakak-adik. Relasi kedua menyatukan orang-orang dari garis-garis keturunan dan dari rumah-rumah yang berbeda: relasi ini menghubungkan para ponakan dengan seorang memen, saudara dari ibu dan dengan istrinya, avan. Memen ini memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban khusus, sebagai anggota rumah dimana ibu keluar. Relasi ini, yang nantinya akan tampak dalam beberapa ungkapan lainnya, secara esensial adalah suatu relasi berhadap-hadapan dengan para pembela perempuan, yang menampakan suatu rumah yang berbeda. Artinya, suatu relasi kecocokan. Di sana juga ada suatu relasi ketergantungan yang berhadap-hadapan dengan saudara ibu, tetapi relasi ini terhirarkis melalui kecocokan dan bukan lagi melalui kesulungan. Relasi yang ketiga adalah relasi yang menyatukan para 96 keponakan ke saudara perempuan ayah, avan, yang dikawini di rumah lain. Dimana tinggal penerima perempuan, memen. Dan lagi, ada relasi istimewa, dikaraketristikan oleh ungkapan-ungkapan relatif lain untuk perkawinan, dan hirarki berganti, para peneriman adalah inferior di hadapan para pemberi. Pada akhirhnya, relasi keempat menyatukan para ponakan dengan saudari dari ibu, renan, dan dengan pasangannya, yaman, yang menampakan rumah yang terpisah dari tiga yang pertama. Relasi ini menjawab dengan prinsip-prinsip yang sama dengan yang pertama, didasarkan di atas hubunganhubungan antara orang-orang tua pararel yang terhirarkis seturut kesulungan. Yaman ini memiliki rumah yang dengannya tidak ada perkawinan yang mungkin (keturunan-keturunan dari dua saudari) dan yaman ini dapat dikelompokkan sebagai konsangunis yang terasimilasi (asimilasi dari saudarasaudara dari ayah). Relasi ini sering tidak berarti dalam arti bahwa rumah ayah dan rumah suami dari saudari ibu tidak memiliki sama sekali relasi dan bahwa kedua laki-laki tidak menyebutkan nama dalam terminoloki kekerabatan, tetapi secara tepat, relasi dengan keponakan menciptakan hubunganhubungan antara kedua rumah ini yang tanpanya tidak akan terjadi. Untuk setiap rumah, yang lain ada dalam posisi yanan duan, rumah berisi keturunan-keturunan dari seorang saudari. Relasi melalui para yanan duan adalah satu-satunya, yang dapat membenarkan eksistensi dari pemberian-pemberian antara dua rumah. Orang mengatakan beberapa kali bahwa pemberian seperti ini dibuat oleh para yanan duan. Ini adalah kasus satu-satunya, dimana penggunaan istilah ini penting untuk menjelaskan secara eksplisit suatu relasi, sementara dalam relasi-relasi lain antara paman atau tante dengan ponakan, sebuah kosa-kata spesifik menjelaskan kualitas relasi-relasi ini (baik itu kosa-kata dari keanggotaan di rumah yang sama, maupun kosa-kata berdasarkan kecocokan). Kami terpaksa melampaui bingkai terminologi untuk memberi semua artinya pada ungkapan yanan duan, yang membawa juga melalui relasi-relasi yang lebih luas sebagaimana relasi-relasi dengan para hamba, relasi-relasi dari masyarakat berhadapan dengan Hukum, Adat dan mereka yang diinisiasi25. Sementara pada tingkat terminologi, ungkapan ini menandakan suatu jarak dibandingkan dengan keturunan-keturunan langsung yanan, kita akan dapat melihat secara persis, menggunakan tingkat yang lebih umum dari rumah-rumah, yang dalam dua kasus, relasi terhirarki oleh kesulungan (dalam sebuah rumah yang sama atau antara dua rumah) dan dalam dua kasus yang lain melalui aliansi antara dua rumah. Dijelaskan bahwa semua yanan duan tidak ekuivalen di antara mereka. Jadi apa artinya mengelompokan mereka di bawah satu denominasi? Dari sudut pandang generasi superior, “keponakan-keponakan” ini tercampur, orang mengatakan hampir membawa pada berbagai jenis keponakan dalam rumah yang sama yang terhirarki oleh kesulungan pada tingkat ayah mereka. Sistim ini mereduksi dua macam keponakan, satu terhirarkis melalui aliansi dan yang melalui kesulungan pada tingkat ibu mereka. Kami mencapai titik dimana relasi-relasi, yang muncul kepada kami untuk menemukan kecocokan yang muncul, bukan melalui keturunan tetapi melalui perbedaan usia (terutama para orang tua dari generasi superior). Secara umum, dalam generasi-generasi yang sama dan superior, kecocokan berada di bawah perbedaan jenis kelamin relatif antara konsanguinis. Dengan demikian kecocokan itu sifatnya adalah sisa-sisa dan tidak dapat diteruskan ke atas atau ke bawah semenjak anak-anak dari persilangan saudara-saudara kandung tercampur dengan mereka yang berasal dari relasi pararel. Titik ini penting, karena ini bukan apa yang orang dapat harapkan dari suatu sistim kekerabatan yang memahami suatu aturan perkawinan antara sepupu silang. Ingatlah bahwa masyarakat Tanebar-Evav, sebagai haratut, memiliki kualitas sebagai “para anak” dari tuhan matahari-bulan, dan sebagai lor, “ponakan” dari roh-roh Adat dan Hukum, yang datang dari luar. Perbedaan ini menggambarkan posisi berbeda dari masyarakat berhadap-hadapan dengan contoh-contoh ini. 25 97 Dengan kata lain, perbedaan generasi dan hirarki kesulungan mencakup semua ini dan membawa semua model dalam sebuah rumah tunggal. Ini seolah-olah hubungan antara generasi dan generasi yang mengikutinya mengabaikan pemisahan antar rumah-rumah untuk mengetahui hanya satu komunitas keturunan dari saudara dan dari saudari yang sama. Di sinilah masyarakat secara persis berpikir, pada suatu tingkat ideal dan mistik, melalui suatu model dari suatu “rumah” saudarasaudara dan saudari-saudari bercampur dan hanya diurutkan melalui prinsip kesulungan yang menghapus di dalamnya perbedaan dari jenis kelamin. Kita telah mencatat suatu aspek ketidaksesuaian antara kosa-kata dan perkawinan dengan sepupu silang dari sisi ibu dalam arti pengulangan, yang adalah aturan bagi yang sulung dalam sebuah rumah atau rin. Perkawinan semacam ini mendorong perubahan-perubahan mendalam dalam pemisahan para orang tua. Pertama-tama istri, yang adalah juga uran menjadi a‟an vat atau warin vat, diikuti usianya dibandingkan dengan istri. Istri masuk pada saat yang sama dengan kategori mereka yang tidak-dapat-diperistri. Saudara dari istri, yang adalah a‟an atau warin, “kakak” atau “adik”, menjadi ifar: ia melintas dari kategori “saudara-saudara” ke kategori mereka yang cocok. Pada generasi superior pada Ego, paman dari pihak ibu dikelompokkan dalam suatu kategori berbeda dari kategori para “ayah”, tetapi setelah aliansi diperbaharui, ia menjadi seorang “ayah” melalui alinsi, yaman turan. Ego sendiri tidak berganti secara radikal kategori untuk pamannya: ia adalah yanan duan, “keponakan”, ia menjadi “putra”, yanan turan (gambar 24). Jika orang memahami determinan-determinan yang disandingkan pada ungkapan-ungkapan kekerabatan yang sederhana, orang melihat bahwa sebagian –kecuali duan dalam yanan duanmemancarkan kesesuaian. Pertama, ini adalah pasangan turan dan te, yang menjelaskan para mantu (bapa mantu dan mama mantu dari seorang laki-laki atau seorang perempuan) atau untuk menantu 98 laki-laki dan menantu perempuan, dan menjelaskan secara tepat untuk para cucu, jenis kelamin dari para kakek-nenek mereka (ubun turan, kakek, dan ubun te, nenek). Sambil menjelaskan turan dan te, para cucu menandakan kenyataan bahwa para kakek-nenek mereka juga merupakan para mantu dari orang tua mereka sendiri. Di sini kategori jenis kelamin menggambarkan lebih khusus hubunganhubungan yang tercipta mulai dari perkawinan. Hal itu sama untuk determinan-determinan baran dan vat yang terasosiasi pada a‟an dan warin, memungkin untuk menghubungan mereka yang susuai dengan konsanguin pararel. Kita melihat bahwa muncul di sini suatu pertanyaan besar: menurut semua tampilan, kita ada di hadapan heterogenitas antara kosa-kata dan aturan perkawinan (lih. Bab 5). Memang tidak pernah dalam terminologi memprediksi keberadaan dari sebuah sistim aliansi asimetrik, contohnya, menantu laki-laki dan saudara ibu tidak dicampur dan menampakan kebalikannya pada kelas-kelas yang berbeda: istri yang khusus tidak dibedakan dari para saudari dan keponakan kandung diklasifikasikan sebagai keponakan-keponakan lain. Kesesuaian sedikit ditandai tidak seperti pada apa yang orang harapkan untuk ketemukan dalam masyarakat dimana aliansi asimetrik dipraktekkan. Dua istilah spesifik (ifar dan hoan) dan berbagai kategori kekerabatan menyederhanakan apa yang orang tambahkan sebuah determinan (turan, te, baran, vat). Jika tidak, meskipun jenis perkawinan ini dipilih untuk para kakak, orang memahami bahwa “darah adalah panas”, artinya bahwa orang berada pada batas-batas inces: untuk membersihkan kesalahan, orang harus memberikan pembayaran simbolik kepada roh Hukum. Tidak hanya terminologi pada tingkat ini menyarankan aturan aliansi tetapi hal ini juga dirasa sebagai lawan dari aturan universal. 99 5 RELASI-RELASI SEREMONIAL YANG DIFORMALKAN 1. Pengantar: aturan-aturan dari perkawinan Setelah menjelaskan keadaan alamiah dari seluruh kesatuan yang ada dan perbedaanperbedaan tingkatan, kita masuk dalam keseluruhan relasi. Di sini terdapat secara esensial dinamisme masyarakat dimana bingkai tunggal diamati sampai sekarang. Harus mempelajari kehadiran garisgaris hubungan berbeda yang merakit elemen-elemen: adakah relasi-relasi di internal tingkatantingkatan, antar tingkatan, untuk pertukaran-pertukaran mana yang memberikan tempat? Inilah obyek yang dibahas dalam bagian ini. Kapan kita menggunakan istilah relasi, kami tidak hanya mempertimbangkan relasi-relasi perkawinan, tetapi juga relasi-relasi dimana konten sosiologis meletakkan semua kelompok dalam kondisi satu terhadap yang lain, artinya relasi-relasi ritual, politik dan historis. Garis-garis hubungan lain yang diciptakan oleh aliansi perkawinan, ada garis-garis hubungan yang didasarkan oleh saling membantu,. Dua tipe aliansi yang digunakan masyarakat ini terbagi dalam fakta yang pertama, yang dibangun melalui model pertukaran umum, yang mengimplikasikan suatu hirarkis antara hubunganhubungan relasional dan suatu arah pertukaran. Setiap rin (atau rumah) ditentukan dalam hubungan dengan dua yang lain, salah satu yang memberikan perempuan-perempuan sebagai istri (rin dari para pemberi perempuan, yang untuk sederhananya, kami mengindentifikasikan sebagai “para pemberi”) dan yang superior; yang lain yang menerima perempuan dalam perkawinan (“para penerima”), yang inferior. Tipe ini mengimplikasikan bahwa dua rin (atau rumah) tidak dapat bercampur: kita tidak dapat memberikan perempuan-perempuan kepada rin yang memberikan kepadamu perempuan. Jadi pertukaran ini terarah. Tipe kedua dari aliansi adalah sebaliknya sebuah pertukaran resiprok perempuan antara dua rin (atu rumah); artinya bahwa kita dapat sekaligus memberikan perempuan-perempuan untuk sebuah rin dan menerimanya. Untuk perbedaan pertama, model pertukaran ini sangat sedikit digunakan pada masa ini dan merepresentasikan sebuah tipe idel dari relasi-relasi. Pertukaran timbal-balik ini mengimplikasikan kesetaraan dari status dari hubungan-hubungan relasional. Ketika kita berbicara tentang aliansi antara dua rumah, orang membangkitkan suatu relasi kontinyu, membuka sebuah asal-usul dalam sebuah perkawinan, dipelihara dari generasi ke generasi melalui perkawinan-perkawinan baru. Hal ini diperkuat oleh pertukaran pemberian seremonial; kita menyebutnya yan‟ur-mang‟ohoi, dari nama yang diatributkan dari setiap relasi perkawinan, relasi yang menerima seorang perempuan dalam perkawinan dan yang memberikannya. Di luar perkawinan, rumah-rumah dapat terhubung dari dua relasi yang lain yang menjawab dua model yang sama, satu egaliter dan satu hirarkis. Yang pertama disebut baran ya‟an war yang didasarkan saling membantu dan mendukung resiprositas antara relasi dua rumah yang sederajat dalam status. Kedua, ko-mardu, terjadi karena suatu hubungan ketergantungan yang hirarkis antara seorang “tuan” dan para “bawahan” (kecil), satu memiliki hak-hak dan tanggungjawab; yang lain memiliki pekerjaan-pekerjaan dan kewajiban-kewajiban. 100 Jalinan-jalinan kebersamaan yang melingkupi setiap rumah 26 adalah sejenis jejaring dalam mana posisinya adalah variable, terkadang superior, terkadang sederajat, terkadang inferior. Dengan demikian, sebuah rumah tidak pernah memiliki sebuah posisi absolut di hadapan yang lain, ketika kita mempertimbangkan totalitas dari relasi-relasi pada tingkat global dari suatu desa. Melalui persoalanpersoalan seputar pertukaran, kita akan menemukan keseimbangan antara dua atau tiga rumah, yang menandakan, sebagaimana kita telah melihatnya sepanjang analisa, yakni struktur dari ruang, dari kelompok-kelompok dan dari fungsi-fungsi. Pada dua atau tiga hubungan rumah, relasi-relasi antara rumah-rumah memberikan suatu model eksplikatif dari karakteristik-karakteristik struktur masyarakat ini. Kita akan melihat pada bagian berikut melalui studi tentang pemberian-permberian dalam pertukaran-pertukaran pada pembahasan tentang upacara-upacara, bagaimana setiap rumah menandakan relasinya dengan sebuah rumah lain dan posisinya dalam hubungan dengan hirarki atau kesetaraan. Upacara-upacara seremonial yang terpenting adalah perkawinan, pemakaman, pembangunan rumah dan pemasangan atap, kostruksi dan peluncuran kapal layar. Yang tertua dari setiap rin (rumah) pada prinsipnya harus mengulangi perkawinan dari ayahnya dan mengawini anak dari saudara ibunya. Ini adalah aturan tunggal positif. Perkawinan ini mengindikasikan bahwa pada setiap generasi sebuah perkawinan harus memperbaharui hubungan yang ada antara kedua rumah yang terhubung. Di luar perkawinan sepupu silang matrilateral, tidak ada saudara sepupu lain diisinkan. Namun tampaknya bahwa suatu sepupu silang patrilateral pada tingkat ketiga, artinya cucu buyut dari saudari dari kakek buyut, dapat dinikahi. Sehubungan dengan para pemuda dari silsilah dan dari rumah-rumah, dikemukakan aturan-aturan negatif. Tetapi mereka tidak dapat memilih seorang istri dalam sembarang rumah, sebagaimana kita akan lihat pada bagian berikut. Aturan yang berlaku adalah endogami, dan para bangsawan tidak dapat dinikahkan dengan orang kebanyakan atau pada hamba. Namun jika hal ini terjadi, dalam kasus ini anak selalu memiliki status orang-tua yang lebih rendah. Jika istri berasal dari tingkatan yang tinggi, suami harus membayar suatu kompensasi untuk “hilangnya tingkatan”, karena ia merendahkan istrinya. Jika suami berasal dari tingkatan yang lebih tinggi, ia hanya kehilangan sebagia dari statusnya. Berhubungan dengan aturan-aturan positif dan negarif dari perkawinan sebagaimana dikatakan di atas, kita akan mengamati perbedaan-perbedaan sesuai dengan urutan dimana seseorang berada. Pada orang-orang umumnya, perkawinan dengan sepupu silang dari pihak ibu sering dihormati, tetapi dikatakan juga perkawinan dengan sepupu silang dari pihak ayah, mungkin dengan sepupu pararel, seolang-olah batasan-batasan incest begitu sempit. Tidak ada aturan yang menjelaskan tentang para hamba. Di Tanimbar-Evav, silsilah orang-orang pada umumnya sedikit dan adalah sulit untuk memahami suatu aturan pada tingkat empiric. Silsilah-silsilah menjelaskan kasus-kasus perkawinan dengan para sepupu dari pihak ayah dan mungkin sejumlah perkawinan di luar pulau. Pada masa kini dan tergantung tingkatan dalam masyarakat, aturan-aturan perlahan-lahan kurang dihormati, tetapi orang mempertahankan aturan minimum, dengan salah satu cara, hubunganhubungan dengan beberapa rumah. Dalam bab berikut, kita akan menggunakan istilah “rumah” untuk menyederhanakan dan menghindari untuk mengatakan setiap kali rumah atau rin”. Beberapa rumah mungkin hanya memiliki sebuah rind an rumah tersebut memiliki kesatuan pertukaran; ketika ada dua rin, salah satu rin adalah kesatuan pertukaran. Relasi-relasi dimana kita bahas di sini tidak mencampurkan dua rin dari satu rumah yang sama, tetapi selalu antara sebuah rin dari rumahrumah yang berbeda. 26 101 Dua orang saudara laki-laki tidak dapat menikah dengan perempuan-perempuan yang berasal dari rin yang sama atau dari rumah yang sama. Silsilah-silsilah menjelaskan beberapa kasus perkawinan dengan model ini, tetapi pengulangan dari hubungan ini diberi sangsi dengan suatu pembayaran. Kesalahan ini dikasifikasikan dalam kategori insest. Poligini dulunya umum dan para istri berasal dari beberapa rin dan rumah berbeda. Poliandri tidak ada, tetapi perceraian, tidak jarang terhadap para istri, seperti dijelaskan dalam silsilah, dapat membuat mereka memiliki dua atau tiga pasangan. Pertukaran pemberian sangat kompleks dan mengimplikasikan bahwa suatu bagian dari harga tunangan yang dibayarkan dalam perkawinan yang lampau dibuat pada pasangan-pasangan yang lalu yang digantikan oleh sebuah pembayaran pada pasangan baru. Dengan demikian, jejaring hubungan dan perkawinan dibuat sulit untuk dipahami oleh kesatuan-kesatuan yang kompleks dari seorang laki-laki atau dari seorang istri. Jika ada anak-anak dari setiap kesatuan, table akan menjadi lebih kompleks lagi. Persetubuah di luar nikah, tetapi tidak terinstitusionalisasi; jika tidak ditransformasi dalam perkawinan; anak-anak menjadi bagian dari rumah ibu. 2. Relasi hirarkis dari perjanjian Marilah kita mengingat bahwa rumah, secara umum terdiri atas dua rin, menyatakan kesatuan eksogami dan dengan demikian mendefenisikan hal-hal negatif suatu kebersamaan orang-orang yang dengannya tidak mungkin ada pernikahan. Perempuan-perempuan yang tidak dapat dijadikan istri pertama-tama adalah para sepupu pararel patrilineal, tetapi juga para perempuan yang menampakkan garis keturunan dari “sisi” lain, yang dengannya orang tidak dapat menggambarkan garis genealogis; tanpa menjadi “saudara-saudara perempuan”, uran; perempuan-perempuan ini berpartisipasi dalam suatu kesatuan sosiologis yang sama, rumah, yang mana kedua rin ini dianggap sebagai kakak dan adik. Rin adalah sama dalam satu keturunan, yang mungkin dapat dipahami dalam beberapa segmen. Para pemberi dan para penerima wanita-wanita Semua perkawinan menentukan suatu relasi partikuler antara rin dari dua rumah di desa, dimana yang satu memberikan seorang perempuan dalam perkawinan sebaliknya yang lain memberikannya. Relasi antara seorang penerima perempuan dan pemberi disebut yan‟ur-mang‟oho. Yan‟ur menggambarkan rumah dari para penerima perempuan. Ini adalah singkatan dari yanan uran, “anak-anak dari saudari-saudari”, yakni saudari-saudari yang diberikan dalam perkawinan dan turunan mereka, yang secara implisit dibedakan dari anak-anak dari saudara-saudara yang ada dalam silsilah. Para pemberi perempuan disebut mang‟oho, “orang-orang desa.” Ungkapan ini mengindikasikan bahwa para perempuan telah diberikan dalam perkawinan dari orang-orang yang tiba dari luar atau bisa juga dari desa-desa lainnya. Di Tanebar-Evav, desa adalah hampir endogami, tetapi sebagian perkawinan dari silsilah-silsilah para pendatang telah terintegrasi sedikit demi sedikit dalam desa sambil membentuk kesatuan dari rumah-rumah masa kini. Jadi setiap perkawinan ikut memainkan dua hubungan antar rumah yang membentuk sepasang yan‟ur-mang‟oho, penerima dan pemberi. Tetapi seperti aturan menginginkan, orang tidak memberikan perempuan kepada rumah dimana orang menerima perempuan. Setiap rin adalah satu sisi dari pemberi, dari penerima yang lain. Dengan demikian orang harus mengakui keberadaan suatu relasi antara sedikitnya tiga rumah: rumah subjek, rumah yang kepadanya diberikan perempuan dan rumah yang kepadanya memberikan perempuan. A memberikan kepada B dan A menerima dari C. Perkawinan-perkawinan ini harus berulang pada generasi-generasi berikut dan menghubungkan 102 rumah-rumah melalui suatu relasi aliansi. Setiap rin (atau rumah) sesungguhnya memiliki beberapa relasi antar rumah yan‟ur dan mang‟ohoi yang dengannya hubungan telah terjalin sejak semula dalam perkawinan. Tautan abadi antara dua rumah ini ditandai dengan pertukaran-pertukaran pemberian dan melalui pekerjaan-pekerjaan dan kewajiban-kewajiban timbal-balik: sesuai dengan keadaan, sebuah rin dapat memanggil para penerimanya dan kepada para pemberi perempuannya, yang ada dalam kewajiban untuk menjawab panggilan ini. Setiap kesempatan seremonial yang penting, dimana pemberian-pemberian menandai kedudukan yang mungkin di hadapan rin ini. Akibatnya, dalam sistim pertukaran untuk tiga hubungan antar rumah ini para pemberi perempuan dipandang sebagai superior. Orang menyebutnya “kakak”. Para penerima adalah inferior dan disebut “adik”. Orang berhak meminta beberapa hal kepada yan‟urnya; tetapi orang memberikan kepada mang‟ohonya bantuan dan hormat. Hirarki ini diterjemahkan melalui bentuk-bentuk pemberian yang ditawarkan, yang bukan dalam aturan yang sama antara satu dan hubungan lain. Kita dapat mengatakan kembali bahwa meng‟oho adalah itaten, artinya “yang tua”, sebaliknya yan‟ur adalah koko “anak-anak”. Ungkapan-ungkapan ini mengkasifikasikan hubungan-hubungan antar rumah dalam posisi hirarkis, dimana hormat dan hak pada perkataan memberikan otoritas kepada yang tua kepada anak-anak, dari kakak kepada adik-adik, dari pemberi kepada penerima. Pemberi perempuan secara ideal direpresentasikan oleh garis keturunan saudara ibu. Mari kita ingat di sini perjelasan-penjelasan dari terminologi kekerabatan: dua relasi dasariah, kakak-adik di satu pihak, saudara-saudari (relation antara uran) di bagian lain, ditandai satu pihak oleh hirarki, di pihak lain oleh perbedaan seks. Ketika orang mempertimbangkan tipe aliansi ini, relasi kedua ini menjadi terhirarki pada gilirannya sejak pemberi perempuan, saudara dari ibu (memen) ada dalam suatu posisi superior berhadapan dengan penerima, yan‟ur, garis keturunan dari anak-anak dari saudari. Jadi, ada suatu superioritas seturut sisi ibu, yang menggambarkan saudara-saudari, dan lagi, yang dijelaskan pada gilirannya dalam ungkapan dari oposisi yang tua/ yang muda. Apa yang membedakan memen dan yaman secara esensial adalah suatu perbedaan status baik itu superioritas (sadaura ibu) maupun dalam inferioritas (ibu dari saudari dari ayah). Skema umum dari tipe pertama aliansi yang diceritakan di Tanimbar-Evav menjelaskan karakteristik-karakteristik dari suatu sistim pertukaran yang tergeneralisasi. Keberadaan dari hubungan rumah yang mencakup minimum tiga rumah, ketidakmungkinan membalikan arti aliansi, para pemberi tidak dapat dibingungkan dengan para penerima, superioritas pertama di atas yang kedua, pertukaran yang melanjutkan pemberian-pemberian dalam hubungan-hubungan antar rumah. Lagi, kita akan melihat pada bagian berikut bahwa apapun tipenya dari perkawinan yang dipertimbangkan, kelompok pertukaran selalu diklasifikasikan dalam pemberi, mang‟oho dan penerima, yan‟ur. Namun, jika semua perkawinan mengulangi atau menciptakan suatu aliansi, ia yang tua pada principnya berbeda dari ia yang muda, dan beberapa aliansi lebih dihargai daripada yang lain. Relasi dasariah Relasi aliansi antara dua rumah acapkali disebut dalam ungkapan mang‟oho itin kan-vu‟un yang menyatakan suatu model ideal relasi. Menurut tipe dasariah ini, setiap rumah harus mempunyai pada sisi-sisi suatu rumah “pemberi” dan suatu rumah “penerima”, yang bersamanya rumah tersebut diikat suatu relasi fundamental yang disatukan dengan perkawinan yang sulung dengan perempuan dari sepupu silang dari sisi ibu dan perempuan sulung dengan sepupu silang dari sisi bapaknya. Relasi yang khusus ini, diawali dengan sebuah perkawinan dan diperbaharui pada setiap generasi melalui perkawinan para sulung, sehingga membedakan sebuah mang‟oho di antara hubungan-hubungan 103 antara rumah pemberi dan sebuah yan‟ur, di antara semua hubungan rumah penerima, dan meneguhkan suatu model ideal aliansi asimetrik. Pemberi khusus digambarkan melalui ungkapan mang‟oho utin kan atau mang‟oho tu‟ar tom. Itin menerjemahkan “akar” sebuah pohon, “fundamen dari berbagai hal”, “dasar”; kan menggambarkan batang dari tumbuhan botan. Itin kan menyatakan rumah “dasar”, akar dari silsilah, asal-usul, sebuah rumah yang telah memberikan perempuan ketika mengukuhkan relasi. Ungkapan yang menggambarkan tangkai tanaman botan, apa yang tersisa ketika bulir-bulir botan telah diambil sebagai makanan atau sebagai benih untuk memproduksi tanaman botan yang baru. Rumah dikosongkan oleh perempuan-perempuan, diberikan dalam perkawinan, untuk mendasari keturunan mereka dari rumah-rumah baru dan dari garis keturunan yang baru. Harus dicatat bahwa ungkapan ini bekerja bersama dengan sufiks-sufiks pronominal, seperti istilah-istilah kekerabatan dan nama-nama menggambarkan bagian-bagian tubuh manusia. Jadi orang mengatakan di sini itir kar untuk “itin kan mereka”. Hal ini menggariskan personalisasi dari relasi yang sama mendasarnya dengan relasi pada ayah dan pada ibu atau pada kepala dan pada kaki. Ungkapan mang‟oho berubah-ubah dan dalam arti ini tidak kaku. Dengan demikian itin kan bekerja mengimplikasikan relasi untuk suatu keseluruhan, dimana mengambil bagian setiap individu. Kita memahami dengan baik di sini posisi yang secara hirarkis superior dari pemberi dibanding penerima. Ungkapan tambahan tuar tom memiliki satu arti yang sangat dekat; tu‟ar juga menggambarkan akar dari sebuah pohon, dan gagang pisau atau gagang sebuah alat; tom dapat diterjemahkan sebagai “mitos” atau “sejarah” dan berbeda dengan sarit yang berarti kisah-kisah, perang dan petualangan; tom adalah sejarah asal-usul, kesatuan antara mitos-mitos dan sejarahsejarah, yang adalah asal-usul masyarakat. Tu‟ar tom dengan demikian menggambarkan dasar sejarah, awal dari sejarah, akar dari “pohon genealogis”, “tindakan pendiri”, artinya pemberian pertama seorang perempuan dalam perkawinan yang karenanya sebuah rumah didirikan. Sebagaimana itin kan, tu‟ar tom adalah suatu gambaran, sedikit metaforik, yang menerjemahkan asal-usul dari masyarakat atau awal dari sebuah sejarah melalui fondasi dari rumah-rumah dan pemberian perempuan dalam perkawinan. Mang‟oho itin kan (secara harafiah: orang-orang desa yang dianggap sebagai akar dari batang tanaman botan yang tidak lagi ada bulir-bulir) telah menjadi representasi rumah yang dengannya suatu relasi aliansi dimulai oleh para leluhur, yang menyatukan dua rumah dari beberapa generasi sebelumnya. Ungkapan vu‟un (atau va‟un) menggambarkan rumah penerima perempuan yang menampakkan pada relasi khusus. Va‟un hanya deformasi dari kata pertama. Vu‟un memiliki dua arti berbeda, keduanya diberikan sebagai penjelasan dari relasi dengan para penerima. Kata ini pertamatama berarti suatu “titik waktu”, suatu “artikulasi”, pergelangan tangan atau kaki sebagai contoh, dan juga suatu “simpul” dalam kayu. Orang kemudian mendesain kelompok penerima sebagai suatu artikulasi, suatu simpul dari hubungan. Namun vu‟un juga suatu kontraksi dari vu‟un ulun “kepala ikan”; orang menjelaskan sebutan ini melalui tindakan dimana para penerima perempuan harus memberikan pemberian-pemberian dari ikan kepada pemberi mereka ketika mereka berhasil mendapat hasil pancingan yang melimpah. Mereka memberikan juga kepala ikan, yang diartikan sebagai bagian terpilih. Dalam arti yang terakhir ini, para penerima didefenisikan dalam suatu istilah yang menjelaskan kewajiban-kewajiban mereka kembali kepada para pemberi mereka, yang juga mengkonfirmasi posisi mereka yang inferior dalam hirarki. Secara logis, orang mengharapkan untuk menemukan sebuah rumah partikular yang memenuhi syarat vu‟un. Rumah yang diterima melalui perkawinan seorang perempuan di awal relasi aliansi dalam relasi aliansi ideal tiga hubungan antar rumah. Rumah ini adalah simetrik dari mang‟oho 104 itin kan, sejak ungkapan lengkap yang menjelaskan relasi dasariah pemberi-penerima yang berisi dua istilah dan sejak sebuah rumah menerima perempuan di satu sisi dan memberikan perempuan di sisi lain. Namun, tidak pernah sebuah rumah mengkualifikasi sesuatu yang lain dari vu‟un, sebagai “penerima” asal preferensi pada pemberi-pemberi lainnya, sebagaimana dalam itin kan, pemberi pertama. Ciri ini koheren dengan fakta ganda suatu jumlah kecil dari rumah adalah para pemberi pertama dari seluruh rumah secara berturut-turut yang terintegrasi di dalam masyarakat (artinya setiap itin kan memiliki beberapa vu‟un, yang telah memberikan perempuan-perempuan kepada beberapa garis keturunan), dan bahwa pada bagian lain pemberi mendapatkan suatu posisi yang secara hirarkis superior dibanding penerima dan bahwa orang lebih mengingat relasi yang paling penting. Dengan demikian ini adalah tempat itin kan dalam ideologi dan dalam realitas aliansi yang mencakup masa kini sejak hubungan rumah dalam relasi ini digariskan dalam masyarakat itu sendiri. Dua ungkapan dari penelitian ini telah memungkinkan untuk memahami sedikit demi sedikit arti dari itin kan. Pada awalnya, kami telah menjelaskan dimana setiap rumah menyebut hubungan rumahnya, itin kan, para pemberi “biasa” dan para penerima. Pada bagian kedua, kami telah membandingkan daftar ini dengan genealogis dan dengan pengamatan yang dilakukan selama seremoni. Penjelasan-penjelasan tentang itin kan pada tempat pertama adalah penjelasan-penjelasan tentang asal-usul atau penjelasan-penjelasan yang orang percaya sebagai asal-usul. Kita kemudian memperhatikan bahwa hampir semua rumah memiliki nama sebagai itin kan (ada sembilan yang sering ditandai, dan tiga hanya ditandai sekali) merupakan bagian dari dua yam, yam Rahakratat dan Rahanmitu; dalam kedua yam ini dua belas rin dianggap sebagai itin kan oleh semua rumah yang lain. Dalam yam yang ketiga hanya sebuah rumah dengan dua rin-nya dijelaskan. Sejumlah pemberi itin kan ini tampaknya suatu proporsi yang sangat kecil untuk sebuah desa dari tiga puluh tujuh rin, tetapi menjelaskan bahwa sejarah asal-usul terpusat secara esensial seputar sembilan rumah. yang pertama telah memberikan perempuan-perempuan dalam perkawinan kepada semua yang lain. Tindakan ini dapat menjelaskan arah hirarkis dari relasi-relasi antar rumah. Secara ideologis terdapat sembilan rumah superior, “para pemberi” perempuan, yang berlawanan secara hirarkis dengan semua yang lain, menyimpulkan suatu peran para penerima. Sembilan rumah menyatakan dua yam yang terasosiasi dengan dua mitos utama asal-usul pulau (mitos “pusar pulau” dan mitos dari gunung Masbait); ke Sembilan yang menjelaskan yam yang lain adalah rumah Fitung, terasosiasi pada mitos “pusar pulau”. Para pemberi istri ada dalam hubungan dekat dengan asal-usul dari desa dan keberadaan itin kan mencakup semua maknanya: ia berarti penciptaan, melalui perempuan-perempuan yang diberikan dalam perkawinan, dari hubungan-hubungan hirarkis dengan garis keturunan dari luar, dengan demikian terintegrasi di desa. Kita mengingat bahwa rumah-rumah yam E Wahan hampir mencakup semua asal-usul dari luar. Kita memiliki konfirmasinya di sini, karena tidak satupun dari mereka (kecuali Fitung) disebut sebagai itin kan. Jadi rumah-rumah ini ada dalam posisi penerima. Dalam jumlah kecil dari rumah-rumah itin kan menyatakan rumah-rumah asal-usul dari pulau yang memiliki, melalui pemberian perempuan, terkumpul sekeliling rumah-rumah itu dari rumah-rumah lain. Dengan demikian, melalui daftar pertama ini, kita harus memahami aliansi itin kan lebih sebagai suatu relasi fundamental yang menyatukan rumah-rumah di antara mereka sebagai suatu sistim pertukaran perempuan-perempuan dan melalui perkawinan. Pada sebuah pertanyaan langsung: apakah kamu itin kan, orang bereferensi pata tempat pertama pada relasi asali yang dalam bentuk suatu perkawinan, telah dimungkinkan pada rumah mereka untuk menepati sejumlah tempat dalam desa. Rumah-rumah yang disebutkan sebagai itin kan adalah itin kan itu sendiri satu terhadap yang lain. Hal ini memberikan pemikiran bahwa rumah-rumah ini telah menukar perempuan-perempuan di antara mereka, yang telah membentuk suatu lingkaran aliansi secara relatif tertutup. 105 Jika kita memahami sekarang tindakan-tindakan tersebut, orang pertama melihat diri mereka sendiri dalam genealogis leluhur pendiri dari relasi itin kan bukan selalu pendiri rumah atau rin. Pada bagian lain, perkawinan-perkawinan yang terjadi dengan pemberi khusus dalam keseluruhannya agak jarang. Ada ketidakselarasan yang ditandai antara apa yang dapat kita sebuat sebagai ideologi aliansi bersama dengan itin kan dan frekwensi perkawinan yang secara nyata disimpulkan dalam arti ini. Ketika ada konkordansi, aliansi tidak pernah terulang lebih dari dua kali berturut-turut. Kadangkadang hubungan darah menyatakan saling kawin yang terjadi secara berturut-turut dengan suatu mang‟oho yang bukan itin kan. Di tempat lain, ia memberikan sebuah perkawinan tunggal yang sangat lama dengan itin kan; sesekali hal ini tidak mengindikasikannya. Ketika orang meminta penjelasan tentang pemberian-pemberian yang teramati, kita mendapatkan nama dari beberapa rumah yang disebut sebagai itin kan; sepertinya telah ada kebingungan antara itin kan yang jauh, dimana orang tidak dapat melihat jejak dalam genealogis, dan suatu relasi dengan pemberi yang lebih baru, misalnya rumah yang telah memberikan nenek buyut. Dengan demikian, inilah aliansi dengan pemberi yang diulang, di bawah aturan perkawinan dengan seorang perempuan dari sisi paman dari pihak ibu. Untuk memahami hal tersebut, haruslah kita memperhitungkan kesenjangan yang mungkin dalam penelitian ini sendiri dan dari ingatan terbatas genealogis para informan. Lebih dari itu, karena alasan dari letak demografis yang bervariasi, dari prosedur-prosedur yang acapkali penting untuk mengatasi kekurangan istri yang tersedia dalam rin yang khusus dan menggantinya dengan seorang perempuan lain: dalam hubungan dengan generasi yang jauh, secara umum para informan tidak mengingat kondisi, yang dengannya perkawinan telah direalisasi dan mereka tidak tahu apakah itu istri yang ditentukan atau seorang pengganti. Pada bagian lain, setelah segmentasi dari aliran darah terpenting, bagian dari garis keturunan adik dapat memiliki sebuah itin kan berbeda dari bagian garis keturunan kakak dan direpresentasikan oleh rumah yang telah memberikan seorang perempuan di bagian adik pada asal-usulnya, baik itu tiga atau empat generasi. Bagian adik harus menganggap tidak hanya relasi-relasi dengan itin kan-nya sendiri, tetapi mengingat juga relasi-relasi dari bagian kakak. Dengan demikian, beberapa itin kan dapat disebut untuk rumah yang sama. Namun, penggunaan beragam dari sebuah istilah mengaplikasikan beberapa relasi yang menjadi saksi dari sebuah fenomena penting. Relasi yang disebut mang‟oho itin kan adalah awal dari semua relasi aliansi. Jika pada asal-usulnya, secara nyata ada sebuah perkawinan, untuk berbagai alasan (antara lain mungkin fakta bahwa Sembilan rumah tidak dapat menyediakan secara material, pada setiap generasi, para istri kepada dua puluh tiga rumah di desa) relasi-relasi aliansi tercipta dengan rumah-rumah lain, dipelihara oleh perkawinan yang berulang, dan dipandang sebagai aliansialiansi fundamental. Semacam regulasi tentang pertukaran-pertukaran yang terjadi antara rumahrumah di desa sampai semuanya memiliki hubungan antara rumah pemberi dan penerima, yang lebih kurang tetap: satu atau lain dari pemberi-pemberi ini dipandang sebagai itin kan. Jadi tidak harus bertanya-tanya tentang pemberian-pemberian yang dibuat pada sebutan itin kan atau rin dari saudara ibu, sebagai contoh, yang telah diberikan oleh nenek buyut. Ada semacam kenaikan harga dari relasi ini berhadapan dengan relasi-relasi dengan rumah-rumah “para pemberi” lain, yang mungkin hanya menyediakan seorang istri saja. Dalam genealogi, kita menemukan dua puluh dua rin dari tiga puluh tujuh yang telah membuat setidaknya sekali perkawinan dengan pemberi itin kan yang dijelaskan pada bagian pertama, tetapi tidak pernah lebih dari tiga kali pada lima generasi. Jadi proporsi perkawinan dengan dengan Sembilan rumah yang tersebut adalah sangat rendah. Aliansi ini tidak selalu faktual dari yang tertua dan aliansi mungkin dibuat oleh bagian adik. Jadi ini menerangkan bahwa jumlah perkawinan yang secara efektif terealisasi terbilang sedikit, sementara adalah penting mengingat keberadaan dari relasi 106 fundamental, meskipun pemberi yang lebih baru disebut itin kan karena ia menyediakan beberapa istri. Jaringan perjanjian-perjanjian Jika aturan perkawinan dan keberadaan itin kan menyarankan bahwa setiap rumah mempunyai suatu relasi khusus dengan sebuah rumah “pemberi” perempuan-perempuan, ada juga, di sekeliling setiap rumah, keseluruhan jejaring aliansi yang dinyatakan oleh rumah-rumah yang telah memberikan dan menerima perempuan-perempuan di dalam perkawinan. Pertama-tama kita dapat melihat bahwa jika si sulung telah menghormati aturan perkawinan sepupu silang dari pihak ibu (yang telah menampakkan secara idel pada rumah pemberi itin kan), kita akan menemukan suatu relasi yang kuat terhirarki antara dua rumah atau dua rin. Memang para pemberi selalu dalam suatu posisi superior. Jika aliansi ini diulang pada setiap generasi, semua rumah atau rin di desa akan terealisasi melalui pasangan dalam suatu relasi yang secara defenitif terhirarkis, dimana masing-masing akan selalu inferior di hadapan rumah pemberi tradisional. Sebagaimana rumah-rumah itin kan sedikit jumlahnya, hal ini menyebabkan bahwa jumlah yang sedikit dari rumahrumah ini akan ada dalam suatu posisi superior absolut di hadapan semua yang lain. desa akan dibagi dalam dua bagian, di satu sisi para pemberi superior dan di pihak lain para penerima inferior. Skema teoretis dari sistim seperti ini menjelaskan bahwa rumah-rumah itin kan tidak pernah sama sekali menerima perempuan-perempuan dari rumah lain dari itin kan dan dengan demikian terjadi pertukaran-pertukaran di antara rumah-rumah ini, sementara mereka juga menerimanya dari rumah-rumah dari lain, para pemberi (yang tidak memberikannya kepada mereka, dan menukarkan juga perempuan-perempuan di antara mereka). Dengan demikian, dua kelompok rumah-rumah ini memiliki karakteristik secara kuat menjadi endogami dan terhirarkis melalui tindakan, dimana perempuan-perempuan bersirkulasi dalam hanya satu arti, dari pertama menuju kelompok kedua. Skema ini tidak berhubungan dengan realitas untuk beberapa alasan. Kita telah menggariskan kebingungan-kebingungan seputar penggunaan istilah itin kan. Aturan aliansi dengan itin kan yang adalah selalu rumah dari saudara ibu, tidak dipahami secara ketat. Lagi pula, situasi secara statistik tidak dapat dipraktekkan. Sembilan rumah tidak dapat menjadi pemberi-pemberi khusus kepada dua puluh tiga rumah pada setiap generasi. Pada akhirnya, dari relasi-relasi lainnya datang mengimbangi ketidakadilan relasi-relasi yang diciptakan oleh relasi-relasi aliansi antar rumah. Realitas empirik terbangun, jika ia telah mencoba mengatasi kontradiksi-kontradiksi inheren pada prinsip-prinsip teoretis, yang mengarahkan aturan pertukaran; pertama-tama untuk menghilangkan suatu hirarki ganda yang tetap yang menciptakan banyak relasi-relasi terhirarkis, yang mengurangi efek-efek dari suatu relasi tunggal. Selanjutnya, untuk memperluas lingkaran dari para pemberi, yang meluas ke seluruh rumah desa, memungkinkan di sini menjadi beberapa kali dalam posisi pemberi dan penerima, yang menempatkannya pada suatu situasi egaliter. Relasi untuk itin kan tetap sangat penting; namun demikian perannya berkurang di hadapan garis keturunan sesungguhnya dari ibu. Aturan perkawinan yang mencakup yang tertua menganggap bahwa para adik melakukan perkawinan yang kurang penting dan tidak membentuk aliansi. Struktur dari rumah membentuk dua sisi, kakak dan adik, memungkinkan untuk melihat sekilas model ideal yang dalamnya rin kakak akan menyatakan aliansi rumah, sementara perkawinan para adik akan dikenakan aturan-aturan partikuler. Skema pertukaran antara dua rumah di desa menjawab sebuah sistim yang lebih teliti, masing-masing dengan hubungan rumah yang diakui. 107 Realitas yang dapat diamati pada masa kita ini sesuai dengan sebuah sistim yang fleksibel yang dalamnya tertinggal yang esensial dari sejumlah relasi yang dihormati, tanpa penerapan aturan perkawinan yang sempurna. Akibatnya, kepentingan kakak ditemukan secara aktual pada tingkat fungsi-fungsinya di kepala rin dan rumah, yang padanya aturan perkawinan tidak dihormati selalu. Jika seorang anak laki-laki tunggal tidak mengawinkan anak perempuan dari sisi ibunya, putranya sendiri mungkin akan diwajibkan untuk menghormati aliansi pada tempatnya. Pokoknya, relasi tetap ada dan pemberian-pemberian berlanjut menjadi pertukaran-pertukaran, bahkan jika tidak ada perkawinan baru. Ketika ada beberapa anak laki-laki, terjadi bahwa anak laki-laki tertua mengawini anak perempuan dari pamannya dari pihak ibu, yang bukan milik rumah itin kan, sementara seorang saudara yang lebih muda menghidupkan tempat aliansi khusus dengan itin kan. Secara teoretis saudara-saudara yang lebih muda memiliki pilihan untuk perkawinan mereka sendiri, pada kondisi bahwa mereka tidak mengambil pasangan dari satu penerima perempuan, artinya pada satu rumah yang mana rumah mereka telah memberikan seorang perempuan. Sebaliknya mereka dapat mengambil pasangan mereka dari para mang‟oho, rumah-rumah yang telah memberikan seorang perempuan dapa waktu sebelumnya. Dengan demikian jejaring mang‟oho tidak pernah tertutup, dan adalah selalu mungkin untuk memulai suatu relasi yang baru melalui perkawinan dengan satu atau lainnya di desa. Semua perkawinan menciptakan suatu relasi yang membaharui atau tidak melalui perkawinan lainnya, diperkuat dengan pertukaran pemberian yang berkelanjutan. Aliansi-aliansi baru ini sering, ketika perkawinan, tidak diatur para tetua desa dan menghasilkan contohnya perpindahan. Penyelesaian dilakukan setelahnya dan rumah saudara dari pihak ibu akan mempunyai suatu peran pada gerenerasi berikut. Pada bagian lain, karena masalah demografis, rumah pemberi perempuan tidak dapat selalu menjawab permohonan dari penerimanya. Dengan demikian pemberi memohon bantuan kepada rumah atau ub, yang memohon kepada sebuah rin yang lain untuk menyediakan istri pada tempatnya. Dalam contoh pada gambar di atas, rumah B adalah mang‟oho dari rumah A: di generasi kedua, ia tidak mempunyai perempuan untuk diberikan kepada penerimanya; ia meminta pada rumah C dari fam umum yang sama untuk mengganti tempatnya. Dalam kasus ini, situasi dibuat rumit oleh fakta bahwa laki-laki B diadopsi oleh C untuk melanjutkan garis keturunan dan bahwa ia ditemukan sebagai paman langsung dari pria A (gambar 25). Dalam kasus lainnya, sebuah rumah dari ub yang sama dapat membantu menemukan seorang istri; jika misalnya rumah Tokyar dari ub Rahanmitu (rumah Korbib, Hernar, Sokdit, Tokyar) harus memberikan seorang perempuan, rumah Sokdit dapat memberikannya satu pada tempatnya; lalu ub bertindak sebagai sebuah kelompok saudara-saudara, dimana saudari-saudari akan dipertukarkan 108 sebagai istri-istri potensial untuk hubungan rumah dari pihak penerima (tetapi adalah bukan terlarang untuk menikah di dalam ub sendiri). Setiap kali, proses ini menciptakan suatu aliansi baru dengan suatu rumah berbeda dari rumah saudara dari ibu; dengan demikian relasi ini menjadi harus dihormati pada pelaksanaannya dan diperbaharui oleh perkawinan-perkawinan. Rumah Sokdit dapat melajutkan untuk memberi perempuan-perempuan sampai hari dimana Tokyar mengambil perannya sebagai itin kan, sementara Sokdit terus menerima pemberian-pemberian sebagai pemberi. Haruslah dipahami dengan baik kompleksitas dari jejaring ini pada tingkat empirik dari perkawinan-perkawinan. Aturannya tampak tidak dihormati, namun demikian, aturan sering ada dengan cara pengalihan. Jejaring aliansi ada dalam gerakan abadi, melalui aturan-aturannya sendiri, ia menciptakan aliansi-aliansi baru yang pada gilirannya dalam prinsip harus diulang. Tidak hanya aliansi dari yang sulung, tetapi setiap perkawinan mereka yang lebih muda, yang menciptakan atau mengulang suatu aliansi; hal ini tidak memperhatikan yang muda atau bagian yang muda sendiri, tetapi setiap kali seluruh rumah atau rin, sejak relasi-relasi terbentuk dari rin ke rin atau rumah ke rumah. Keberadaan dari jejaring tentu saja tidak tak terbatas; ia dibatasi oleh kemungkinankemungkinan demografik, tetapi juga oleh fakta bahwa aliansi awal tetap lebih besar dan bahwa orang memilih membaharui aliansi-aliansi yang sedang berlangsung untuk memperkuat tautan yang sudah ada. Kita juga melihat bagaimana politik perkawinan memberikan suatu realitas baru kepada kelompok-kelompok berbeda, yang adalah bagian rumah (ub, yam, fam umum). Pada saat memilih pasangan, beberapa kemungkinan terbuka; pertama-tama dekat dengan para pemberi tradisional, kemudian dalam jaringan relasi dari rumah ub, mungkin dari yam. Perkawinan-perkawinan adalah kesempatan untuk memperkuat kembali relasi, untuk melakukan suatu pilihan di antara lainnya, yang menjadi saat untuk menyambung kembali, atau untuk mengabaikan perkawinan-perkawinan, yang mereka pilih untuk melupakannya. Pilihan dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan riil, artinya keberadaan istri-istri potensial, tetapi pilihan menentukan sejumlah politik relasi-relasi antara rumahrumah. Masalah lebih akut, jika itu adalah putra tunggal, atau lagi, jika semua saudara dinikahkan dimana-mana dan bahwa hanya ada seorang untuk mengulangi aliansi penting, yang kali ini orang tidak ingin mendorangnya ke generasi berikut. Pilihan pasangan, dalam suatu jejaring dari beberapa aliansi adalah selalu krusial. Peran partikular dari saudara ibu Jika para pemberi perempuan adalah superior dan sulung, mereka juga adalah representasirepresentasi dari kategori orang-orang mati secara partikular, ditakuti, para duad-nit, para “orangorang mati-tuhan”, 27 para leluhur dari garis keturunan mereka. Dengan demikian para penerima perempuan tidak hanya menghormati relasi mereka, tetapi orang-orang mati dari relasi mereka. Pada setiap perkawinan, dan pada berbagai kesempatan yang lain, mereka membawa persembahanpersembahan yang diunjukan dalam rumah para pemberi. Tidak jarang untuk menunjukkan para pemberi mereka sendiri melalui istilah duad-nit, yang dilayani pada setiap relasi. Di antara duad-nit, sebagaimana di antara para pemberi, beberapa dihormati lebih daripada yang lain, tetapi orang-orang mati dari garis keturunan yang benar dari saudara ibu, yang adalah itin Nit menggambarkan orang-orang mati, duad adalah kata untuk Tuhan, seperti dalam ungkapan duad ler vuan, “tuhan matahari-bulan”; orang juga dapat mengatakan duang, “tuhanku”. 27 109 kan atau bukan, dianggap lebih berat dalam hidup setiap hari. Mereka merepresentasikan sebuah contoh hukuman yang melaluinya mereka kembali pada setiap masalah dan setiap kesalahan. Semacam candaan untuk mengatakan bahwa “tunggu sebentar supaya duad-nit menghukummu” (jika engkau melakukan sebuah kesalahan). Dengan demikian, orang dapat menjadi familiar dengan duadnit-nya, karena pertanyaan-pertanyaan sehari-hari mengarah kepada mereka, sementara orang memandang mereka dengan penuh hormat. Jika semua keponakan dipanggil tanpa perbedaaan yanan duan oleh para paman mereka, satu dari mereka, paman dari pihak ibu, dibedakan sebagai duad nit; relasi pada paman ini digariskan oleh relasi penting pada orang-orang matinya. Paman dari pihak ibu berpartisipasi dalam berbagai keputusan dalam hidup sehari-hari. Saudarinya meminta nasehat dekat dengannya dan ia memiliki otoritas atas keponakankeponankannya (ingat bahwa keturunan dari para penerima perempuan-perempuan disebut sebagai yan‟ur, “anak-anak saudari-saudari”). Mereka berkonsultasi dalam hubungan dengan perkawinan keponakan-keponakannya. Pada prinsipnya, ia harus memberikan anak perempuannya dalam perkawinan dan menerima pertukaran harta kawin. Jika keponakan tidak ingin mengawini sepupu ini, dia harus memberikan sebuah kompensasi kepada pamannya. Jika paman tidak memiliki anak perempuan untuk diberikan, ia sendiri harus mencari untuk keponakannya seorang istri di antara para kerabatnya, mereka dari rumah, dari ub atau yam. Peran partikular dari saudara ibu dikenal dengan nama tul den atau vav u, yang secara harafiah berarti “menunjuk jalan” atau “membawa di depan” (vav menggambarkan tindakan membawa pada punggungnya, sebuah beban atau seorang anak). Istilah-istilah ini menjelaskan secara tepat posisi dari saudara ibu dan posisi rumah berhadapan dengan posisi keponakannya. Pemberi perempuan adalah kepala, depan, pertama dan utama dalam relasi. Posisi ini dapat dibandingkan dengan posisi dir u ham wang bersama dengan para kapitan ankod, sebagai kepala masyarakat (dir u, berdiri di depan). Kesamaan posisi ini memungkinan untuk menempatkan secara pararel dua istilah yanan duan (keponakan), diaplikasikan pada satu bagian untuk anak dari saudari-saudari, pada warga desa, berhadapan dengan para pimpinan mereka (bab 2). Kita telah mencatat bahwa para pemberi perempuan diklasifikasikan sebagai yang tertua. Di sini posisi superior mereka terkonfirmasi oleh homologie bersama dengan posisi dari para pimpinan desa. Sebuah contoh dapat menggambarkan “mengatur di depan” paman dari pihak ibu dalam pengamantan seorang istri untuk keponakannya. Seorang laki-laki dari rumah A mempunyai untuk memberikan itin kan dua rin dari rumah B, ibunya datang dari B2. Tetapi sisi B2 tidak memiliki anak perempuan untuk diberikan dalam perkawinan, dan keturunan-keturunan dari sisi B1, harus menyediakan istri untuk rumah A. Semua saudari dari b1 masing-masing menolak untuk menikah, yang ini bisa saja memanggil pemberinya sendiri, jika yang terakhir memiliki perempuan yang bisa kawin. Ia mengalamatkan kepada penerima perempuannya, dari rumah C; kepadanya, ia akan memberikan satu dari saudari-saudarinya; ini kurang lebih dianggap sebagai tanggung-jawab atas penolakan saudari-saudari lain, karena dia memberikan saran yang jelek. 110 Dalam contoh ini pemberi meminta sebuah layanan pada penerima dan menempatkannya dalam posisi penerima. Sementara b1 harus menerima dari rumah A harta kawin dalam pertukaran saudarinya, sebaliknya, karena ia menjadi penerima pengantara, ia harus memberikan kontribusi harta kawin untuk memperoleh saudari dari penerimanya sendiri c. Adapun yang ini, c, sejumlah penanggung-jawab yang behubungan dengan kewajiban pada istrinya, ia harus mengajukan saudarinya untuk mengatur masalah-masalah dari relasi-relasi dan memuaskan roh-roh yang mulai menyatakan kemarahan mereka. Kasus ini secara partikulat sangat mengesankan, karena menerangkan rumah-rumah penting di dalam desa. Mereka memiliki peran politik dan ritual dan secara partikular penanggung-jawab untuk hormat pada aturan-aturan dalam desa. Pimpinan dari rumah A, seorang dalam, telah melangsungkan beberapa perkawinan di luar para pemberi tradisonalnya. Ia tidak memiliki anak-anak dan sering sakit. Ia telah merasa bahwa saatnya telah tiba untuk membereskan dalam rumahnya dan menyambung kembali dengan itin kan-nya, supaya memastikan suatu keturunan. Sebuah perkawinan seperti ini memperhatikan semua orang, karena aturan ini terlalu dihormati; sangsi duad-nit tidak hanya jatuh pada satu rumah, tetapi memnyaanjang nanti ke seluruh desa. Dalam contoh di atas, ditemukan bahwa paman dari pihak ibu dari istri juga adalah paman dari pihak ibu dalam klasifikasi suami. Kasus ini jarang. Tetapi pada setiap perkawinan, dua paman dari pihak ibu diperhatikan, yakni dia dari anak laki-laki (ia memberikan anak perempuan atau tidak) memiliki sebuah peran asali dalam pilihan istri dari ponakannya; dan ia yang dari anak perempuan memegang juga suatu tempat partikular sebagai duad-nit, harus menghormati setiap perkawinan: ia menerima sebuah tempat penting dari harta kawin, ia yang berasal dari paman dari pihak ibu dari anak laki-laki (ayah dari anak perempuan), yang menerimanya dan ia dari paman dari pihak ibu dari anak perempuan (gambar 27a). Dalam kasus-kasuh lain, pemberian-pemberian memperhatikan empat garis keturunan: garis keturunan penerima, ia adalah paman dari pihak ibu dari anak laki-laki yang menerima sebuah kompensasi sambil kontribusi untuk suatu bagian rendah dari harta kawin; garis keturunan pemberi dan ia adalah paman dari pihak ibu dari tunangan, yang menerima suatu bagian dari harta (gambar 27b). 111 Dalam semua kasus, pemberian-pemberian pada paman dari pihak ibu diarahkan kepada duad-nit, artinya kepada orang-orang mati dari rumah pemberi perempuan pada generasi berikutnya; mereka begitu esensial karena orang takut secara khusus pada sangsi-sangsi. Dengan demikian kita melihat di sini suatu sifat esensial: aliansi apapun yang dipilih oleh seseorang untuk memperbaharui. Rumah yang penting pada saat perkawinan adalah rumah pemberi terakhir dari perempuan-perempuan, rumah yang telah memberikan ibu; meskipun orang melanjutkan untuk menghormati aliansi-aliansi yang lebih tua melalui pemberian-pemberian. Relasi yang paling penting dari seorang laki-laki adalah relasi yang menghubungkannya pada saudara dari ibunya, pemberi, yang sulung, superior, duad-nit. Relasi partukular yang telah menandai kami selama penelitian tentang terminologi kekerabatan; melalui dua generasi, relasi ini diterjemahkan dalam tiga istilah: uran (relasi saudara-saudari), ifar (relasi antara ipar, bapak dan saudara ibu) dan memen (saudara ibu atau suami dari saudari bapak). Lebih dari semua itu, relasi yang mempersatukan seorang saudara dan saudari bertransformasi dalam suatu relasi yang kuat antara keponakan dan paman dari sisi ibu. 3. Relasi setara dari perjanjian Ada sebuah relasi lainnya, dirancang sebagaimana sebuah aliansi, yang menjelaskan relasi timbal-balik langsung antara dua hubungan antar rumah dalam relasi simetrik, dan dengan demikian menentang model pertukaran umum. Dalam analisa yang dibuat oleh van Wouden (1968: 12) yang berangkat dari informasi Geurtjens (1921a: 294), tipe pertukaran ini terhubung pada sistim pemesanan. Dalam hal ini akan disediakan untuk orang-orang banyak dan kepada para budak, sementara para bangsawan mempraktekkan pertukaran yang tergeneralisasi. Pengamatan yang dibuat di lapangan tidak mengonfirmasinya. Pengamatan justru menjelaskan bahwa sebuah sistim pertukaran timbal balik ada di Tanebar-Evav dalam relasi-relasi antara rumah para bangsawan. Hal ini berarti bahwa relasi ini dipraktekkan juga di desa-desa di pulau-pulau, dimana ada lebih banyak rumah “orang biasa”, tetapi kami memverifikasi dengan investigasi menyeluruh. Dengan demikian analisa kami di sini terbatas pada situasi yang diceritakan dalam sebuah desa tunggal yang secara esensial terdiri dari para bangsawan. Relasi ganda Laporan tentang kesetaraan antara dua rumah ini pertama-tama dirancang sebagai suatu relasi aliansi. Asal-usulnya tidak selalu suatu pertukaran perempuan, tetapi seringkali kesepakatan yang tercapai antara dua rumah atau dua rin pada suatu momen dari sejarah mereka. Sebagai contoh, sebuah rumah telah memberikan kepada yang lain hak untuk melakukan ritual pada tempatnya 112 (khususnya ia yang membangun kapal-kapal layar) atau telah mengisinya dengan sebuah fungsi atau dengan permujaan sebuah roh. Selanjutnya, seorang perempuan telah diberikan dalam pertukaran prerogative, yang diperoleh dengan menyegel perjanjian dan tanpa pemberian balasan. Sebenarnya, jika beberapa kasus secara historis telah diakui, asal-usul dari relasi tetap sangat sering tidak dijelaskan atau dilupakan. Terkadang, orang mengacaukannya dengan relasi egaliter yang saling membantu. Relasi meluas sepanjang generasi generasi, paling sering melalui serangkaian pertukaran tertunda dari perempuan-perempuan yang sangat jarang melalui sebuah pertukaran serentak (yang adalah sebuah pertukaran saudari-saudari). Relasi ini disebut yan‟ur-mang‟oho sivelek; istilah-istilah yan‟ur dan mang‟oho bereferensi pada dua kelompok yang selalu ada dalam perkawinan, para penerima dan para pemberi perempuanperempuan. Sivelek menerjemahkan ide pertukaran sesuatu yang sifatnya sama. Istilah ini sinonim dengan slalin, “pertukaran”, dan berbeda dengan lalin “perubahan”, “menukar”, yang digunakan lebih secara umum untuk memperoleh sesuatu melalui sebuah pemberian balasan; tambahan huruf s, berlanjut sesering mungkin untuk kata kerja, mengindikasikan ide timbal-balik. Dalam sivalek dan slalin, objek-objek pertukaran adalah sama dan sama pula sifatnya. Tidak ada mitra yang diharapkan dalam bentuk uang; nilai dari benda-benda yang ditukar adalah sama. Ide pokok adalah ide dari suatu pertukaran permanen, terbuka, sehingga dalam kasus lalin, sebuah urutan pertukaran berakhir begitu diberikan pemberian balasan. Relasi sivelek ini sering dijelaskan sebagai sebuah metafora. Orang mengatakan bahwa relasi nla‟a lor enmav “menjalar seperti labu dan ubi”; dengan membangkitkan tanaman merayap yang menjalar di tanah dan membuat jalan memutar untuk kembali ke tempat mereka mulai, orang berpikir tentang perempuan-perempuan yang pergi dan datang antara dua rumah. Dalam relasi ini dua rumah atau dua rin saling memberi secara timbal-balik perempuanperempuan tanpa menunggu pemberian-pemberian balasan diberikan kembali, tanpa pembayaran kompensasi perkawinan. Secara umum, sebuah rumah memberikan seorang perempuan pada suatu generasi, dan ia menerimanya dalam pertukaran pada suatu generasi berikutnya. Ini adalah suatu relasi rangkap, secara sempurna egaliter, sementara setiap rumah bergantian sebagai pemberi atau penerima berhadapan dengan yang lain. Pertukaran saudari-saudari, artinya pertukaran perempauan pada generasi yang sama, jarang terjadi. Meskipun demikian, genealogis-genealogis menjelaskan beberapa kasus; apakah masih saudara yang mengklasifikasi atau berasimilasi, seperti perempuanperempuan dari rin yang lain dari rumah yang sama. Perkawinan ditandai dengan pembayaran simbolik sebuah perhiasan, sangat sering sebuah gelang yang disebut mas “emas”, dengan nilai rendah. Orang tidak sama sekali berdagang dengan sejumlah pemberian-pemberian kompensasi perkawinan. Orang mengatakan bahwa pada generasi berikut orang berhak mengklaim seorang perempuan dalam kondisi-kondisi yang sama. Sebuah relasi tidak pernah berhenti, meskipun dua perempuan telah dipertukarkan. Orang dapat menerima seorang perempuan lalu meminta satu setelah beberapa generasi. Dua tipe pemberian, yakni pemberianpemberian yang mengkarakteristikkan para penerima sebagaimana pemberian-pemberian yang mengkarakteriktikkan para pemberi, dapat ditukar secara simultan. Dalam relasi ini, mereka tidak mengungkapkan posisi relatif hubungan-hubungan antar rumah. Relasi ini mengimplikasikan bagian lain posibilitas untuk memohon bantuan dari hubungan rumah siveleknya tanpa ia menanti suatu balasan; permintaan ini disebut tul mas, “mengatakan emas”, dan mengindikasikan melalui pemberian awal sebuah perhiasan kecil. Setiap hubungan rumah dapat memanggil yang lain pada bagiannya, kemungkinan ini termasuk dalam aturan pertukaran. Ideologi dan realitas empirik 113 Tidak semua rumah memiliki sivelek; relasi ini begitu kuat dalam beberapa hal (kebanyakan mereka yang mengenal asal-usulnya). Yang lain diabaikan, takterpakaikan. Bahkan hal ini sering tidak dapat terobservasi dalam genealogis atau orang tidak mencatat sama sekali relasi di antara dua rumah. Dari suatu cara umum, hal ini menerangkan bahwa relasi ada sebagai sebuah potensialitas, jarang menjadi nyata melalui perkawinan-perkawinan, mungkin melalui permintaan-permintaan bantuan dan dari pemberian-pemberian seremonial. Ia memberikan juga sejenis kemungkinan mengimbangi sistim aliansi yang lain, yang menggariskan kesetaraan absolut hubungan-hubungan rumah melalui oposisi pada hirarki dan pada arah pertukaran-pertukaran (diimplikasikan melalui perkawinan dengan sepupu silang perempuan dari pihak ibu). Dalam arti ini, relasi perkawinan dapat digunakan dalam kasus-kasus ekstrim, dimana adalah mungkin menemukan seorang perempuan di tempat lain, atau ketika orang tidak memiliki sarana untuk membayar kompensasi perkawinan. Kami memikirkan sebagai contoh pada perkawinan anak-anak yang lebih muda, ketika yang tua telah mengawini anak perempuan dari saudara ibu dan membaharui aliansi hubungan antar rumah yang khusus. Tipe pertukaran sivelek ini dapat menikahkan para lelaki muda untuk menurunkan biaya sambil memastikan hubungan yang setara. Di Tanebar Evav, kami berpikir tentang perkawinanperkawinan warga yang menampakkan garis-garis keturunan dari tingkatan inferior. Adalah sulit menemukan seorang perempuan dan tingkat sivelek adalah lebih mudah bagi mereka (apa yang telah datang memperkuat ide bahwa tipe perkawinan ini terhubung aturan interior dari masyarakat). Tetapi preposisi-preposisi ini adalah untuk meletakkan pada latar belakang, jika kita berpikir di awal segalanya bahwa kita berhadapan dengan sebuah sistem yang menggambungkan sebuah model yang terhirarki, pada tiga hubungan antar rumah, dan suatu kesederajatan dan simetrik yang lain pada dua hubungan antar rumah. Jika secara regular pertukaran telah terjadi antara dua rumah atau dua rin, sambil memulai suatu pertukaran simultan, artinya suatu pertukaran saudari-saudari, akan ada perkawinan dengan sepupu silang bilateral dan pembentukan sebuah sistem pertukaran yang sempit bersama dengan kelas-kelas yang berhubungan dengan perkawinan, sementara rumah-rumah kerapkali memiliki beberapa hubungan sivelek. Perkawinan dengan sepupu telah cocok dengan bilateralitas terminologi kekerabatan pada generasi superior, paman dari pihak ibu yang telah bercampur dengan suami dari saudari ayah. Namun, hal ini tidak memungkinkan untuk memahami mengapa pararel-pararel atau silang-silang dikacaukan pada generasi Ego. Pertukaran-pertukaran dari saudari-saudari tidak dilarang; tetapi jarang, dan kebanyakan tidak berulang pada generasi berikut. Memang orang mengingat aturan-aturan yang melarang perkawinan sepupu silang dari pihak ayah sampai generasi ketiga. Kombinasi sebuah pertukaran para saudari dan larangan perkawinan di antara keturunan mereka akan terkonfirmasin pada terminologi; tetapi hal ini tidak menjelaskan mengapa perkawinan sepupu silang dari pihak ibu yang diotorisasi, sejak dikalsifikasikan dengan simetrik patrilinealnya. Pertukaran ini dapat mengambil bentuk perkawinan dengan sepupu silang dari pihak ayah jika seorang perempuan telah diberikan dalam arti ini pada suatu generasi, kemudian diberikan lagi pada generasi berikut; hal ini akan melanggar larangan perkawinan baru, yang mengarah pada sepupu ini, sambil memungkinkan untuk membayangkan skema teoretik pertukaran umum, dimana perempuanperempuan bersirkulasi dalam arti ini antara semua rumah sivelek pada suatu generasi, dan dalam arti lain, pada generasi berikut. Memang masalahnya tidak muncul; orang-orang mempertimbangkan keuntungan dari sistim ini sebagai sebuah kemungkinan, sebagai sebuah tipe aliansi yang secara nyata dipraktekkan. Menurut genealogis, baik pengembalian seorang perempuan terjadi setelah beberapa generasi (dengan demikian sepupu diizinkan), maupun dilakukan oleh sebuah segmen berbeda dari sebuah rin yang sama atau melalui rin yang berbeda dari sebuah rumah yang sama. Maupaun lagi, hubungan antar 114 rumah diganti oleh suatu rumah lain dari ub-nya; di sini orang memainkan solidaritas dari relasi-relasi pada internal rumah-rumah dan ub-ub untuk membantu satu dari antara mereka untuk menjawab permintaan rumah partnernya. Pada akhirnya, sistim sivelek menggariskan kepentingan dari suatu hubungan timbal-balik antara dua rumah yang telah menyediakan sendiri satu ke lainnya perempuanperempuan, yang bukan suatu tipe aliansi atau suatu aturan perkawinan. Pertukaran ini sangat jarang terjadi; dan lagi sangat jarang bahwa hal tersebut dilakukan dengan cara sepupu silang patrilateral, tetapi pemberian-pemberian bersirkulasi pada semua kesempatan. Jika relasi sivelek mengimplikasikan kontradiksi-kontradiksi pada tingkat larangan incest dan pada aturan aliansi, relasi ini mengatasinya, karena relasi ini bukan merupakan sebuah persyaratan, melainkan bertujuan untuk mempertahankan relasi antara dua partner antar rumah atau rin. Sementara dalam sistim itin kanvu‟un, perkawinan sepupu silang dari pihak ibu adalah istimewa. Dalam sistim sivelek, orang tidak menyebut aturan perkawinan dalam bentuk pilihan sepupu ini atau itu; perkawinan campur menampakkan konsekwensi (dan bukan lagi kondisi) dari hubungan yang menyatukan dua rumah. Kami diwajibkan menjaga dari suatu relasi aliansi, sehingga sistim sivelek dijelaskan dalam istilahistilah aliansi asimetrik (yan‟ur-mang‟oho). Namun relasi ini tidak menjawab dengan tepat defenisidefenisi aliansi perkawinan dan bahwa laporan egaliter antara dua rumah partner membawa ideologi yang lain. Dengan demikian kita dibawa oleh kontras antara konsepsi pertukaran perkawinan, yang termasuk dalam relasi ini, yang mengindikasikan pertukaran yang terorientasi dalam arti tunggal; dan dari sisi lain, ada timbal-balik dan kesamaan, dari yang lain, arah dan hirarki. Konsepsi-konsepsi ini menjelaskan dua model kontradiktoris dan kohabitasi, yang dapat terlihat mengejutkan. Kami akan mengajukan sebuah penjelasan pada tingkat model, dimana model-model perkawinan berbeda untuk mereka yang tua dan mereka yang muda. Namun bukan caranya bahwa dua sistem dipahami dan dipresentasi kepada warga desa. 4. Relasi setara dan saling membantu Dua relasi yang sedang kami dekati sekarang tidak lagi bereferensi pada tipe-tipe aliansi perkawinan tetapi sesuai dengan model yang sama. Relasi-relasi didasarkan pada hubungan-hubungan historik dan politik antara beberapa rumah partner, secara umum dari rumah-rumah dan rin-rin, tetapi juga sehubungan dengan kedua, antara kelompok-kelompok rumah dan mungkin desa-desa. Kami mempelajari pertama-tama relasi egaliter, yang terlihat dalam banyak hal pada relasi sivelek dan terkadang bingung karenanya. Relasi ini disebut baran ya‟an war. Kita menemukan kembali dari ungkapan ini kata yang telah kita perlajari dalam terminologi kekerabatan: baran berarti “laki-laki dewasa” dan “anak lakilaki”; ya‟an war “ini adalah dua saudara”. Ya‟an war mengindikasikan lebih relasi persaudaraan antara dua laki-laki, yang dibedakan secara usia, yang dijelaskan dengan ungkapan a‟an dan warin. Bahasa ini tidak memiliki istilah untuk kata “saudara laki-laki” dan hanya dapat memberikan kesetaraan sambil menotalkan kedua relasi, kakak dan adik. Kami mencatat sedikit perbedaan dalam bentuk linguistik yang berhubungan dengan konjungsi partikuler dari dua kategori ini. Telah dikatakan bahwa ungkapan ini adalah konjungtif “kakak dan adik”, dan bukan bersifat relasional (kaka/adik atau kakak/ adik). Adalah relasi antara dua rumah partner, yang dijelaskan sebagai “saudara”, yang mana yang lebih tua tidak relevan. Satu ungkapan sinonim yang menerjemahkan dengan lebih baik ide ini adalah rahan dek afwar. Rahan adalah “rumah”, dek berasal dari dadek, kembar, af berarti “panggilan”, dan war berasal dari kata warin, sehingga secara harafiah berarti “rumah kembar yang disebut adik”. Ini adalah relasi 115 antara saudara, secara khusus antar saudara “kembar”. Intinya hubungan antara dua saudara, oposisi antara kakak dan adik, untuk memberi ruang bagi apa yang paling dekat dengan kesetaraan-identitas, kesetaraan dari para kembar. Ada usaha penghilangan dari konsep kesulungan. Dengan demikian ungkapan ini menyatakan persaudaraan antara rumah-rumah sambil menolak relasi oposisi atau subordinasi. Dalamnya, rumah-rumah partner baran ya‟an war dalam kebersamaan dengan rumahrumah partner sivelek, yang tidak terhirarki. Sama saja, pemberian-pemberian yang ditukarkan semuanya ada pada urutan yang sama, tanpa orientasi relasi. Bahkan orang dapat, dalam beberapa kasus, menetukan bahwa rumah seperti itu adalah yang tua dan yang adalah yang muda, tanpa mempengaruhi kesamaan mereka dalam relasi. Asal-usul dari relasi-relasi ini bervariasi dan orang menemukan di sana penjelasan-penjelasan yang disebut tentang sistim sivelek. Mengikuti suatu partikularitas, dua rumah telah memutuskan untuk mempertimbangkan sebagai “saudara-saudara.” Hal ini dapat menjadi mistik, kadang-kadang ini tampak dalam suatu kisah perang: suatu rumah telah mendukung yang lain melawan musuh bersama dan kemudian rumah-rumah itu telah menyegel perjanjian mereka melalui persetujuan; kadang-kadang sebuah ritual dibagi atau dipercayakan pada penjaga sebuah rumah atau sebuah rin. Kemudian semua rumah dari ub Rahanmitu dalam relasi dengan rumah Tokyar, membuat bagi mereka ritual konstruksi dan penjualan kapal-kapal layar; tetapi rumah yang sama Tokyar ada dalam relasi baran ya‟an war dan sivelek dengan rumah Marud untuk alasan yang sama. Beberapa asal-usul dari relasi tereferensi pada sejarah kedatangan para imigran. Orang-orang dari rumah Sirwod telah diterima oleh rumah Yelmas dan telah dikuatkan oleh relasi sambil mengenang kedatangan ini. Tidak ada larangan untuk menikah antara rumah partner dalam relasi baran ya‟an war sebagaimana dapat terlihat dari namanya. Ada perkawinan campur, tetapi sedikit rumah dicatat sekaligus, seperti yan‟ur (penerima) atau mang‟oho (pemberi) dan baran ya‟an war. Relasi-relasi tidak bercampur dalam pertukaran; tetapi secara de facto, kadang-kadang perkawinan-perkawinan dibuat bersama dengan baran ya‟an war tanpa ada yang menemukan untuk mengatakannya; sebaliknya, sebuah perkawinan memperkuat hubungan antara dua rumah. Relasi antara rumah-rumah “saudara-saudara” pertama-tama dirancang untuk saling membantu timbal-balik. Hal ini dikongkritkan kebanyakan oleh pemberian-pemberian selama seremoni-seremoni dimana satu dan rumah patner lain adalah penanggung-jawab. Jadi selama perkawinan, sebuah rumah memanggil rumah partner baran ya‟an war untuk membantunya menerima undangan-undangannya atau untuk mengumpulkan harta kawin. Ia berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi pendahuluan sebagai seorang tua mendukung yang lebih muda dalam perkawinan berikutnya. Kadang-kadang untuk memberi hormat pada rumah partner, satu bagian dari seremoni akan berjalan di rumahnya sendiri. Persembahan-persembahan dan balasan persembahan-persembahan adalah dari sifat yang sama (orang memberi, kemudian orang menerima pakaian-pakaian), baik itu serentak maupun berbeda. Tetapi pertukaran-pertukaran selalu ditandai oleh kesetaraan sempurna dari rumah-rumah partner, yang harus membantu secara timbal-balik, sementara itu meskipun ia dibantu oleh kakaknya, seorang adik tetap tunduk pada yang terakhir. Relasi baran ya‟an war secara umum menyatukan dua rumah –sangat jarang dua rin– tetapi dapat juga mengambil bentuk-bentuk berbeda; begitu pula ia terkadang mengikat kedua sisi dari sebuah rumah yang sama yang ambil bersama dengan dua rumah dari sebuah ub yang sama. Di tempat lain, semua rumah dari ub yang sama mengikuti rumah dari yang sulung dari ub; tetapi relasi selalu dirancang sebagai suatu hubungan antara dua rumah partner. Sebagai contoh, rumah Meka (no 2) ada dalam relasi dengan rumah-rumah Sokdit dan Tokyar (no 15-16); ini bukan tiga rumah yang terhubung bersama, tetapi yang satu dari satu sisi dan satu pasangan dari yang lain. 116 Ini menerangkan bahwa jenis dari relasi-relasi ini lebih sering pada sisi dalam dari sebuah ub, sebagaimana sebuah penguatan kembali hubungan yang telah ada atau pada bagian dalam dari yam. Kebalikannya muncul untuk relasi sivalek. Rumah-rumah partner sivalek ditemukan lebih sering dalam ub-ub dan yam-yam berbeda. Orang dapat memformulasikan di sini sebuah hipotesa teoretik yang menarik, jika para pemberi yang sambil menaruh perhatian pada rumah-rumah partner dari setiap rumah lebih persis; tetapi orang-orang bingung dengan relasi-relasi, melupakan yang lebih kuno dan dalam sebuah desa dimana penduduknya sedikit, mereka menemukan selalu sebuah hubungan apa saja, yang memungkinkan untuk mendekatkan dua rumah tanpa hubungan yang sebenarnya menyatukan mereka sebagaimana diketahui. Kita akan dapat menyusun relasi baran ya‟an war sebagai suatu ungkapan egaliter berhadapan dengan rumah-rumah “saudara” dari suatu ub yang sama (laporan yang sebaliknya terhirarkis dalam kakak-adik atau paman dari pihak ayah-ponakan), sebaliknya relasi sivelek adalah ungkapan egaliter dari aliansi yang mempersatukan rumah-rumah yang memiliki ub-ub dan yam-yam yang berbeda. 5. Relasi ketergantungan Kami tidak menemukan terjemahan yang tepat untuk ungkapan ko-maduan atau ko-mardu: ko berasal dari kata koko dan menggambarkan sesuatu yang umum tentang anak-anak dalam arti “mereka yang kecil”; mardu atau maduan, sebagaimana duan, menjelaskan baik itu “tuan”, maupun “pemilik”, atau lagi, dia yang “merawat”, yang “mengawasi”. Kami telah menjelaskan kata ini dalam ungkapan nuhu duan, “tuan dari pulau”, artinya para penduduk, yanan duan, “para keponakan” dan dalam turunannya duad “tuhan”. Secara harafiah, ko-maduan menjelaskan “yang kecil dan tuan” dan menjelaskan relasi antara seorang ayah dengan anak-anaknya, seorang tuan dan para hamba atau seorang tuan bangsawan dan bawahannya. Kata koko yang menggambarkan semua anak kecil yang tidak kapabel untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya yang juga menunjukan hubungan ketergantungan yang erat, sebaliknya kata maduan, diterjemahkan sebagai “tuan”, membangkitkan subordinasi dari mereka yang tergantung. Satu dari pasangan-pasangan rumah memiliki kewajibankewajiban kepada yang lain, dan begitu sebaliknya, tunduk kepada kewajiban-kewajiban. “Kewajiban” dipahami di sini sebagai suatu kendala dan, pada saat yang sama, secara harafiah, sebagai hutang. Van Wouden (1968: 12; Geurtjens 1921a: 301) mendisain relasi ini sebagai relasi antara seorang debitur (penerima) kepada krediturnya (pemberi). Kata “pelindung” juga dapat menjelaskan relasi dalam sejumlah cara: secara asali, satu dari pasangan-pasangan rumah memiliki kewajiban kepada yang lain, yang “sambil mengakui hutangnya”, kemudian menempatkan dirinya di bawah perlindungannya. Di tempat lain, satu-satunya garis keturunan yang diizinkan untuk tinggal di desa yang menempatkannya pada posisi sebagai penerima berhadapan dengan seluruh desa. Kadangkadang, kendala secara jelas terungkap: sebuah rumah dituduh oleh desa tetangga telah mencuri semua tombak desa. Hal ini mewajibkannya di bawah ancaman sebuah perang untuk masuk dalam relasi ko-maduan. Sebuah ungkapan lain menjelaskan relasi: orang mengatakan bahwa si kecil nafdu maduan, “ada dalam perlindungan seorang tuan”. Hal ini memiliki tugas-tugas seputar perlindungannya yang, kembali, harus menghormati hutangnya. Istilah ini digunakan dalam dua kasus yang lain. Istilah dari suami yang tidak selesai membayar kompensasi perkawinan dan harus tinggal dan bekerja di rumah bapa mantunya. Jika situasi sulit ini begitu lama, beberapa anak dapat termasuk rumah dari istrinya. Kasus yang lain, di Tanebar-Evav, istilah dari rumah yang telah jatuh dari tingkatan bangsawannya, karena satu dari anggota-anggotanya melakukan hubungan seksual dengan seorang hamba. Rumahrumah lain ingin mengusir garis keturunan yang dianggap bersalah, tetapi sebuah rumah 117 menentangnya dan membayar untuk melindunginya. Sejak itu rumah yang jatuh itu wajib memberikan pemberian-pemberian seremonial dan untuk pelayanan-pelayanan ritual. Dengan demikian, tidak hanya ada sebuah posisi hirarkis antara pasangan-pasangan rumah, tetapi suatu subordinasi yang kuat dari yang paling lemah menuju pelindungnya. Namun, si “kecil”, ko, dapat meminta dukungan dari tuannya sambil memberikan kepadanya sebuah perhiasan bernilai rendah. Pemberian ini disebut mas u, “emas di depan”. Menu pemberian ini “dikedepankan” untuk mendapatkan sebuah pasangan yang penting. Relasi ko-maduan dapat menyatukan berbagai jenis pasangan rumah; baik dua rumah, maupun sebuah rumah dan sebuah fam umum, atau sebuah yam atau lagi semua desa, yang diambil sebagai haratut. Orang menemukan sebuah rin dalam relasi dengan semua yam atau dengan semua desa, atau dengan sebuah rumah dari sebuah desa yang lain. Akhirnya, seua masyarakat haratut Tanebar-Evav dapat disatukan baik sebagai sebuah rumah dari sebuah desa lain, maupun dengan sebuah desa secara keseluruhan.28 Semua kombinasi adalah mungkin, di luar batas-batas dari ub, dari yam, dari desa dan aturan-aturan yang sama. Beberapa rumah adalah ko dari masyarakat haratut. Semua ada di bawah perlindungannya dan dapat meminta bantuan dari semua masyarakat dalam bentuk kerja atau bantuan keuangan. Dalam kasus ini, pertemuan haratut mengumpulkan semua orang yang diinisiasi dan para tua-tua desa diselenggaran di rumah Korbib (no. 31), rumah adat dimana peran khusus yang masih kurang dijelaskan telah disebutkan di atas (Bab 3). Ada tiga macam relasi ko-maduan: yang kuat, yang menengah dan yang lemah. Semua diklasifikasikan menurut jumlah dan berat dari kewajiban-kewajiban pasangan-pasangan rumah. Sebuah maduan selalu dalam kewajiban-kewajiban untuk menjawab kepada permohonan bantuan, apapun itu. Suatu relasi “lemah” membawa pemberian-pemberian hampir secara simbolik, dan hanya dalam kesempatan-kesempatan besar. Sebuah relasi “kuat” lebih berat dalam memberikan dukungan. Ko harus memberikan banyak pelayanan dan maduan memiliki semua tanggung-jawab, antara mereka, tanggung-jawab untuk membayar biaya atas sangsi-sangsi yang dikeluarkan atau juga kompensasi perkawinan di perkawinannya. Di dalamnya, relasi ini mirip dengan relasi para bangsawan dengan para hambanya, dimana ia menjawab di semua kesempatan sebagaimana anakanaknya sendiri.29 Pemberian-pemberian yang menyertai relasi ini adalah mirip dengan pemberian-pemberian pada aliansi perkawinan, antara seorang penerima inferior dan seorang pemberi superior. Pemberianpemberian menggunakan nama-nama yang sama dan berorientasi. Ko, seperti penerima perempuan, memberikan sejumlah pemberian, sebalikya maduan, seperti pemberi perempuan, menjawab pemberian-pemberian dengan jenis pemberian yang lain. Dalam kasus relasi kuat, lebih berat, maduan meminta kepada ko-nya untuk bekerja untuknya, untuk membantunya membangun rumah atau kapal layarnya. Ketika ia datang, ko harus menyediakan sejumlah makanan dan menandakan hormat melalui persembahan-persembahan ritual. Ia harus hadir pada semua kesempatan penting, yang menandai kehidupan dari rumah maduan, seperti kelahiran, perkawinan, kematian dll. Di dalamnya, dan hanya dalam relasi kuat saja, pemberian-pemberian pelayanan mengingatkan pemberian-pemberian para hamba kepada tuan mereka. Homologi dari model-model kreditur-debitur dan pemberi-penerima, dan kenyataan bahwa pemberian-pemberian menggunakan nama yang sama dan mirip, ada satu-satunya sifat yang lebih dekat dengan relasi ko-maduan dan aliansi perkawinan: kedua terhirarkis, tetapi yang pertama Relasi antar desa ini 29 Berdasarkan Kamus Geurtjens (1921b: 68, 105) kata yanan duan (dieja janan duan) diberikan kepada 28 118 menggariskan suatu ketergantungan yang kuat yang tidak ada pada yang kedua. Di sana berakhirlah perbandingan: relasi koi-maduan bukan sebuah relasi aliansi. Tidak ada larangan perkawinan antara hubungan-hubungan rumah, tetapi juga tidak ada kecenderungan untuk mencari seorang istri di rumah ko-nya atau maduan-nya. Dalam relasi kuat, maduan harus membayar kompensasi perkawinan untuk ko-nya, dan ia memiliki hak-hak dalam pilihan istri. Hal ini mengimplikasikan bahwa ia mempunyai hak-hak atas istri. Ia mungkin ada dalam posisi paman dari pihak ibu, yang mencari seorang istri untuk keponakannya dan berkontribusi dalam pembayaran harta kawin. Dalam tataran umum, orang tidak dapat mereduksi peran maduan kepada peran pemberi istri sebagaimana hal yang sama dijelaskan oleh Geurtjen (1921a: 332). Pararelisme antara kedua relasi, ko-maduan di satu pihak dan yan‟ur-mang‟oho di pihak lain adalah mencolok dari sifat dari pemberian-pemberian, posisi dari hubungan-hubungan rumah dan nyanyian-nyanyian bersama yang membangkitkan mereka. Jangan lupa pula bahwa relasi pemberipenerima disebut itaten-kako, “tua-tua dan mereka yang kecil”. Tetapi relasi ko-maduan terisolasi, komplet, bersama dengan dua hubungan antar rumah, sebaliknya relasi yan‟ur-mang‟oho adalah suatu elemen ganda yang terbagi dalam kain dari aliansi-aliansi perkawinan, yang untuk menjadi lengkap, membutuhkan minimal tiga hubungan antar rumah. Dan lagi, homologi antara dua relasi ini memungkinkan untuk menerjemahkan posisi dari penerima istri sebagai posisi debitur dan untuk memahami lebih lengkap relasi khususnya untuk paman dari pihak ibu dan kepentingan dari para duad-nit pada tingkat sangsi. Jika sistim aliansi bersama dengan itin kan secara sempurna diikuti – artinya jika setiap rumah hanya memiliki sebuah hubungan antara rumah tunggal itin kan- orang dapat mengatakan bahwa rumah secara khas tergantung dari pemberi istrinya untuk menemukan seorang istri, sedikit seperti ko berhadap-hadapan dengan maduan. 6. Penutup Pada istilah empat analisa seremonial antar rumah ini, kita dapat melihatnya atas cara yang kontradiktif dan mencoba untuk menjelaskan secara luas terus-menerus pertukaran-pertukaran. Sambil melakukan ini, kami diwajibkan untuk mempertimbangkan dalam hubungan yang kurang terformalkan tetapi sangat hidup, relasi yang menghubungkan secara natural rumah-rumah dari sebuah ub yang sama di antara mereka. Dari sudut pandang global pertama-tama, dua relasi memunculkan secara egal relevan dalam apa yang mereka implikasikan suatu referensi pada masyarakat dalam totalitasnya. Pertama adalah relasi aliansi, yang dalam versi aslinya itin kan-vu‟un, sebagaimana dalam versi umum yan‟urmang‟oho, tertera pada pertukaran-pertukaran perkawinan suatu kurva melingkar ideal dimana setiap rumah memegang tempat yang sama pada semua yang pada waktu yang sama diatur secara hirarkis dalam berhadapan muka dengan pemberinya atau penerimanya. Relasi ini dibangun di atas suatu rantai pasangan saudara-saudari, dimana kita telah melihat kepentingan terminologi dalam kekerabatan dan yang menggandakan di sini untuk rumah-rumah dari suatu seri penerima dan pemberi. Pada gambaran totalitas ini, setiap kali yang terkonfirmasi oleh seremoni perkawinan menjawab suatu relasi yang lain antar rumah, kurang terformalkan dan ditandai oleh hirarki kakakadik, yang membagi rumah-rumah dari sebuah ub yang sama ke dalam para kakak dan para adik. Solidaritas ini menghasilkan sebuah aliran pemberian-pemberian yang sepertinya berujung pada sebuah perkawinan, yang mengimplikasikan satu rumah-rumah ub, dan secara khusus rumah kakak. Dengan demikian, suatu rantai ideal dari aliansi-alinasi terpelihara melalui relasi solidaritas internal dalam masing-masing ub. Jadi, kita melihat bahwa ada kerjasama dua relasi fundamental ini 119 dimana satu adalah hirarkis dalam bingkai (dyadique), tetapi disamakan dalam keseluruhan, dan yang lain kebalikannya, secara tak terbatalkan hirarkis. Sepertinya demikian bahwa pada tingkat relasirelasi antar rumah-rumah ini setidaknya relasi aliansi, terpisahkan dari relasi kesulungan, mungkin adalah superior baginya. Hal ini menjelaskan jika bereferensi pada masyarakat haratut, masyarakat partikuler, yang melingkupi untuk sementara, pada tingkat yang persis dari referensi pada relasi-relasi antar rumah-rumah ini, relasi kesulungan, lebih universal, tetapi melayani di sini sebagai dukungan sederhana. Dari sudut pandang khusus, tiga relasi yang lain meyatukan dua-dua dari rumah-rumah dan tampaknya memotong ke lengkuan keseluruhan yang baru saja dijelaskan. Jika mereka yang dari luar ada dalam globalitas ini, tetapi mereka merujuknya dalam ungkapan-ungkapan mereka dan seperti banyak pengecualiaan yang mengonfirmasi dan mendukung aturan. Dengan demikian, aliansi sirkuler menentang saling pertukaran perempuan-perempuan dan berulang antara dua rumah, sivelek, bentuk ideal yang mengingatkan pada perkawinan sepupu silang patrilateral tetapi dilarang. Bentuk aliansi ini, egaliter secara sempurna, mengkonkritkan aliansi dari para kakak. Hal ini tampak menjawab berbagai kendala (demografi atau keuangan, sebagai contoh) dan dapat membantu perkawinan para adik. Namun hal ini memunculkan sebagian, seperti semacam pelengkap dari relasi egaliter ganda. Relasi baran ya‟an war bertentangan dengan hirarki kakak-adik dalam apa yang mengimplikasikan kesamaan sempurna dari pertukaran-pertukaran timbal-balik antara dua rumah. Namanya mengindikasikan suatu kesetaraan dari para saudara (para adik) dan dari para “kembar” dalam pertukaran-pertukaran dan dalam saling membantu. Hal ini mengingatkan situasi rumah para “adik” di dalam ub yang semuanya setara di hadapan rumah “kakak”, tetapi memodifikasi secara persis aturan yang terhirarkis ini sejak rumah-rumah, dimana “kakak” menjadi “kembar-kembar” dari adik-adik mereka. Jadi rumah ini memperoleh keuntungan pada sepasang rumah-rumah dimana sejarah membawa pada kedekatan. Akhirnya, relasi ko-maduan memanifestasikan kebalikan dari prinsip umum kesetaraan umum antara semua rumah dan melembagakan hubungan ketergantungan. Relasi ini menggunakan kosa-kata aliansi dan kesulungan sebagai sebuah topeng karena ia bertentangan satu dengan yang lain. Ini semacam kecelakaan dalam struktur, beranjak dari sejarah, terkadang melibatkan unit yang lebih besar dari rumah, kadang-kadang di luar desa. 120 6 ADOPSI Kita akan mempelajari dalam bab ini dua istitusi yang kami telah kasifikasikan di bawah nama “adopsi”. Yang pertama memiliki untuk peran mendatangkan bantuan pada sebuah rumah atau pada sebuah rin tanpa keturunan dengan memberinya pewaris laki-laki. Ia memungkinkan untuk sebuah rumah mengabdikan dirinya sendiri dengan menerima seorang anak melalui sebuah kompensasi. Kita dapat mempelajari adopsi pada saat bersamaan bentuk-bentuk lain pertukaran, dimana perkawinan campur, dan dengan demikian dimasukan secara pararel suatu sirkulasi lak-laki dengan sirkulasi perempuan. Adopsi memang menyediakan, lebih pasti daripada perkawinan, anak yang diperlukan sebagai keturunan. Tetapi untuk memahami aturan adopsi, pertama-tama harus memahami relasirelasi yang, sambil mempersatukan rumah-rumah, memungkinkan mereka untuk mencari adopsi masa depan. Karena itu kami mendekati sekarang institusi ini. Adopsi menggunakan jejaring relasi-relasi rumah, kadang-kadang memperkuat hubungan yang telah ada. Ketika itu melibatkan rumah-rumah yang memegang fungsi-fungsi penting, pilihan pribadi untuk mengadopsi dapat mengadakan perhitungan politik untuk kontrol fungsi dan terciptanya konflik. Adopsi selalu merupakan tindakan penting. Institusi yang kedua adalah sebuah pemberian anak dalam pembayaran kesalahan yang dilakukan melawan kebiasan. Kita dapat bertanya jika orang didasarkan pada dua kelompok dalam dua tipe “adopsi”, yang tampak menaikan prinsip-prinsip yang berbeda dan yang digambarkan oleh istilah-istilah yang berbeda dalam bahasa. Tetapi di satu sisi, warga desa menyebutkan kebarsamaan mereka dalam kebersamaan, dan di sisi lain, ada dalam dua transfer seorang anak dari sebuah rumah kepada sebuah rumah yang lain, disertai dengan dampak serupa. Ada di sana pembenaran-pembenarannya yang cukup untuk mendekatkan dua institusi ini dan untuknya kita akan menggunakan istilah umum adopsi. Kami berharap bahwa setelah selesai, kesatuan yang mendasarinya akan muncul dengan sendirinya. Sebagaimana kita mengharapkannya, adopsi memiliki konsekwensi-konsekwensi pada jejaring aliansi, tetapi juga pada relasi-relasi hirarkis antara rumah-rumah, dimana dapat berganti atau memperkuat. 1. Adopsi melalui pembelian Dalam struktur yang tidak berubah, bersama dengan rumah-rumahnya, ub-ub-nya dan yamyam-nya, adopsi adalah satu-satunya jalan yang meletakkan pada kesatuan-kesatuan pertukaran untuk memastikan kontinuitas mereka dan untuk mempertahankan ketidakberubahan komposisi desa. Tampanya, fluktuasi-fluktuasi demografi akan menghilangkan dengan cepat beberapa rumah dan dengan mereka, fungsi-fungsi dan ritual-ritual yang mereka pegang. Dalam sebuah sistim keturunan patrilineal, anak-anak laki-laki harus menggantikan ayah mereka. Jika tidak ada anak laki-laki atau jika mereka dipandang tidak layak untuk menggantikan –masalah diajukan lebih banyak daripada masa sekarang dalam pembicaraan-pembicaraan dari satu kepada yang lain dalam tiga agama-, maka harus dicari seorang anak laki-laki pengganti untuk menjamin kontinuitas dari rumah. Jika suatu garis keturunan memudar, menumbuhkan relasi-relasi dan tanah-tanah menampakkan sebuah rumah. Individu yang diadopsi tidak memelihara dengannya kewajiban-kewajiban dan biaya-biaya dari 121 rumah asalnya; sebaliknya, ia menyerahkan semua haknya pada rumah lamanya, kebun-kebunnya dan relasi-relasinya (ia hanya menjaga relasi-relasi kekerabannya; ia harus selalu hormat kepada paman dari pihak ibu, tetapi tidak harus memberikan kepadanya persembahan). Dalam pertukaran, ia akan mengesahkan jejaring seluruhnya dari relasi-relasi rumah adosinya dan teringrasi dengan ayah adoptifnya. Pada titik itu larangan-larangan incest harus diasumsikan berlaku bagi keturunanketurunannya. Mereka tidak dapat kawin dengan perempuan-perempuan yang dilarang pada rumah adoptif, meskipun mereka tidak mempunyai sama sekali hubungan darah dengan perempuanperempuan tersebut. Kami mengobsevasi tidak banyak kasus, dimana sebabnya bukan karena “kekosongan” dalam sebuah rumah, tetapi kegagalan dalam membayar kompensasi perkawinan. Anak-anak saudari dipulihkan. Ada sangat sedikit contoh di Tanebar-Evav, dan lagi menerangkan perkawinanperkawinan yang tidak regular. Prosedur adopsi melalui pembelian30 disebut ndok holok atau ndok lalin. Ndok adalah sebuah kata kerja yang menandai keadaan atau ingin mengatakan juga “duduk”; holok berarti “mengganti”, “menukar”; ini adalah satu dari dua operasi pertukaran, menggantikan satu hal melalui sebuah keadaan berbeda lainnya, memberikan sebuah kompensasi. Lalin memiliki arti yang sama dengan holok, “menggantikan” dan berbeda dari slalin, “pertukaran” (sesuatu dari bentuk yang sama seperti dalam perkawinan sivelek). Dalam adopsi sama seperti dalam perkawinan, orang memberikan seseorang terhadap sebuah kompensasi; hal ini disebut vilin seperti harta kawin; melalui adopsi, orang mengatakan “bahwa mereka membayarnya untuk mengganti seorang perempuan”, ra faha fo vavat. Dan lagi, relasi antara rumah-rumah partner itu ganjil. Jika orang mengatakan, “pemberi” adalah debitur kebalikan dari “pemberi”-nya. Namun, perbedaan tidak ditandai, karena adopsi, berbeda dari perkawinan, yang mengimplikasikan kebaruan kembali. Relasi yang diciptakan oleh adopsi dipertahankan di luar pertukaran yang layak dikatakan melalui pemberian-pemberian seremonial, tetapi tidak diulangi melalui adopsi-adopsi yang baru. Adalah jarang bahwa orang memilih seorang laki-laki pada tempat yang sama dimana orang memilih istiri-istri, artinya di antara para pemberi perempuan-perempuannya. Adopsi sering menggunakan relasi-relasi lain dari sebuah rumah, baik itu rin alternatif, maupun lagi rumah-rumah dari ub dan dari fam umum, mungkin rumah “kembar” dari relasi baran ya‟an war, mungkin pada akhirnya rumah-rumah yang terhubung para penerima perempuan. Tidak ada aturan preferensial atau dari aturan yang memfavoritkan pilihan pada rumah satu atau rumah yang lain. Namun orang menyatakan sebuah tendensi statistik untuk pilihan yang disukai di antara para anggota ub-nya. Beberapa contoh adopsi pada saat yang sama akan menjelaskan mekanismenya tanpa keberadaan dari semua aturan imperatif dan dari analisa konsekwensi-konsekwensi. Adopsi independen dari perkawinan-perkawinan campur Kasus yang sangat sederhana memperhatikan dua rin dari sebuah rumah yang sama. Ketika salah sisi keluar, sisi yang lain menyediakan beberapa saudara, satu dari antara mereka mengganti sisi melalui sebuah kompensasi minimal. Kedua rin tidak selalu dipersatukan pleh hubungan-hubungan genealogis, tetapi mereka memiliki tendensi layaknya saudara-saudara; kita telah melihat usulan perkawinan sebuah rin untuk menggantikan yang lain seperti pemberi perempuan-perempuan. Lewat istilah-istilah “pembayaran”, kompensasi, “membeli” dll dan melalui pemberianpemberian dalam pertukaran-pertukaran. 30 122 Dua rumah yang bertindak berpasangan pada interieur sebuah ub mengikuti prinsip-prinsip yang sama: sebagai contoh Fatur dan Sirwon (No. 9 dan 10), sama juga Teli dan Meka (No 1 dan 2). Dengan demikian, kedua sisi dari rumah Sirwod telah tiga kali diperbaharui oleh orang-orang dari rumah Fator, dipanggil “paman”; sejak itu orang memiliki kecenderungan untuk memahami dua rumah ini sebagai satu atau seperti dua aspek dari realitas yang sama. Namun demikian, asal-usul dan sejarah mereka terpisah, fungsi-fungsi mereka berbeda, tetapi mereka solider dalam satu ub yang sama dan adopsi diulang untuk menghubungkan mereka dengan sangat dekat. Fam umum juga menyediakan adopsi-adopsi. Meskipun memiliki rumah-rumah pembawa fungsi-fungsi yang begitu beragam, garis keturunan dari sebuah fam umum dirancang sebagai sebuah “keluarga yang luas” dan mempraktekkan saling membantu. Demikian halnya dengan keluarga Levmanut; rumah Marud telah memberikan seorang laki-laki kepada rumah Reng dan beberapa generasi sebelumnya, mereka pada gilirannya telah memberikan satu dari anak-anaknya pada sisi kanan dari rumah Marud (No 5 dan 6). Kompensasi yang diberikan tidak besar. Sebelum apapun ia dimaksudkan untuk mencegah roh mitu dari rumah yang satu dari anggota-anggotanya yang mengubah keanggotaan dan untuk selanjutnya akan berkorban pada salah satu mitu lain. Contoh dari rumah A (gambar 29) secara partikuler sangat khas. Dituduh melakukan satu dari fungsi-fungsi yang sangat berat dari kebiasaan, ia ditemukan tanpa keturunan selama empat generasi berikutnya, apa yang membuatnya melakukan empat adopsi. Hal ini menjelaskan bahwa kemalangan melanda rumah ini. Pada dua generasi pertama, orang mengambil dari rumah B, dari ub yang sama dan yang membawa nama yang sama dari garis keturunan (dua rumah ini dipahami sebagai tiga rin tetapi “sebuah rumah tunggal”. Pada generasi ketiga, orang memilih sebuah rumah yang terhubung asal-usul, penerima perempuan, dari sebuah yam yang lain dan dari sebuah ub yang lain, rumah C. Di sini sejarah menjadi rumit. Seorang laki-laki dari rumah D (rumah “ponakan” dari C dalam ub yang sama) akan mengambil seorang perempuan adopsi (dimana anak tunggal meninggal pada usia muda). Pengambilan ini berakibat hukuman berat, sebagai akibatnya orang-orang sekelilingnya jatuh sakit dan terpaksa membuat dua pembayaran, satu kepada roh Adat dari rumah A (perempuan-perempuan dari rumah ini memang hampir disucikan, karena mereka termasuk roh yang sangat penting di desa), yang lain pada pimpinan rumah C, secara moral bertanggungjawab, di dalam “paman”, kesalahankesalahan dari “ponakan-ponakan”-nya. Rumah C berkomitmen untuk memberikan kompensasi melalui pemberian satu dari anak-anaknya sendiri pengambilan istri dari pemimpin rumah A. Harga dari seorang anak dibayarkan oleh D ke C, kemudian anak dari C diberikan ke A. Mereka ini pada saat ini memiliki turunan yang sangat besar dan suksesinya tersedia. 123 Sejarah terarah untuk menjawab bagaimana fungsi ub sebagai kesatuan solider: sebuah rumah “paman” dari ub memberikan anaknya untuk menghapus kesalahan dari rumah “ponakan”, yang bersalah karena mengambil seorang anak perempuan yang adalah milik sebuah rumah suci. Dari dua pembayaran, pertama adalah aturan perzinahan (dalam kasus ini dari rumah A, harus dibayar dengan pemberian seorang anak); yang kedua adalah dengan harga adopsi, tetapi bukan dibayar oleh dia yang diadopsi, karena orang telah mengambil kepadanya istrinya dan dengan demikian menghapus semua kemungkinan dari keturunan. Pilihan adopsi pada generasi keempat di sebuah rumah yang terhubung penerima tidak memiliki penjelasan yang baik; adalah mungkin bahwa harga harta kawin tidak secara lengkap dibayar dan dengan demikian penerima mendapatkan lagi debitor. Untuk pengambil dua kali rumah B, yang mengambil bagian dari ub-nya dan dari fam umum-nya dan dua kali rumah C, penerima perempuannya dan penanggung-bersama dari sebuah pemindahan. Satu dari adopsi terakhir telah memberi tempat pada sebuah kompensasi yang lebih tinggi. Adopsi yang terasosiasi pada perkawinan campur Jika seorang pemberi perempuan tidak memiliki anak laki-laki untuk menggantikannya, ia dapat membuat suatu kesepakatan dengan menantu masa depannya. Ia tidak akan membayar kompensasi perkawinan dan dengannya atau dengan satu dari anak-anaknya membahas perkawinan yang akan diberikan dalam pertukaran untuk mengganti kepala dari rumah pemberi. Dalam kasus pertama, semua keturunan dari menantu masa depan memiliki rumah baru; dalam kasus kedua, hanya satu dari anak-anak yang pindah rumah. Ketika perkawinan telah menghubungkan dengan sepupu silang dari pihak ibu, adopsi menggantikan paman dari pihak ibu, ayah dari istrinya sendiri. Para penerima perempuan di sini ditransformasi oleh adopsi dalam para pemberi laki-laki. Dalam kasus yang pertama, transformasi terjadi pada generasi pertama; dan kedua, pertukaran terjadi pada dua generasi. Sebuah contoh (gambar 30) menjelaskan tiga rumah dan menggambarkan dua kasus adopsi. Ada dua saudara, a1 dan a2, dalam rumah A. Yang kedua menikah seturut kebiasaan dengan seorang perempuan dari rumah B dari yam yang sama, dimana ia memiliki anak-anak a3. Kemudian, anakanak lain dari rumah B meninggal tanpa meninggalakan keturunan; kemudian b1 memutuskan mengadopsi calon suami dari anak perempuannya, a2, menantu masa depannya sediri. Anak perempuan ini mati atau bercerai (informan-informniku lupa persisnya) dengan demikian a2 menjadi b2 melalui adopsinya dan yang menikah kembali; dari pernikahan kedua ini lahir seorang anak (yang akan ada di rumah B, mungkin b2, karena ayahnya diadopsi di sana). Sejarah dibangun karena yang sulung a1 dari rumah asal A ditemukan tanpa keturunan. Sambil memberikan saudarinya dalam perkawinan pada sebuah rumah C dari sebuah yam yang berbeda; ia menyimpulkan kesepakatan yang dengannya seorang anak laki-laki dari kesatuan ini akan diberikan kepadanya untuk menggantinya sebagai kepala rumah A tersebut. Suami dari saudari, c, menerima dan tidak membayar kompensasi perkawinan; ia memiliki tiga anak laki-laki, dimana satu diberikan kepada rumah A dan menjadi skema a4. 124 Contoh ini menjelaskan bahwa anak laki-laki a2 dari suatu garis keturunan adik akan dapat mengganti paman dari pihak ayahnya sebagai kepala rumah, jika sebuah persetujuan telah dibuat sebelumnya dengan rumah C, yang memberikan kepadanya seorang anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan yang sulung dari rumah A. Kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana seorang putra dari seorang saudara perempuan. (Dari kelompok-kelompok yang terhubung) dipilih untuk seorang anak laki-laki dari saudara yang muda (dari sebuah kelompok patrilineal) untuk menggantikan seorang kakak (yang tua), yang dihilangkan dari keturunan. Kita tidak dapat menjawabnya dalam kasus ini, tetapi dalam tataran umum, hal ini tergantung dari konteks dan dari kepentingan langsung masing-masing pasangan. Sebuah contoh yang lain (gambar 31) menjelaskan adopsi dari orang-orang yang menampakkan aturan-aturan yang berbeda, antara tiga rumah dari yam A, B, dan C. Garis keturunan dari rumah A adalah bangsawan, tetapi satu dari anggota-anggotanya telah menikah dengan seorang perempuan dari tingkat yang lebih rendah dari rumah C; anak-anak mereka adalah “orang kebanyakan/ biasa”. Garis keturunan rumah C telah meninggalkan status bangsawan mereka, sejak beberapa generasi, setelah kesalahan itu. Dua sisi X dan Y dari rumah B adalah bangsawan. Sisi X dari rumah B pergi keluar, X memutuskan untuk mengadopsi seorang laki-laki dari rumah A, dari fam umum yang sama. A memberikan kepadanya sebagai adopsi terhadap sebuah kompensasi salah satu dari laki-laki dari tingkat yang lebih rendah, dimana ayahnya telah melakukan kesalahpaham; kami menyebut adopsi ini x1. Garis keturunan dari sisi X rumah B akan menjadi rendah pula. Adopsi x1 telah memiliki dua anak laki-laki x2, yang telah menjadi Kristen, tidak dapat mengklaim melakukan fungsi-fungsi ritual dari ayah mereka. Dengan demikian x1 mengadopsi satu dari menantu masa depannya, x2, yang berasal dari rumah C dan dari tingkatan yang rendah. Melalui tindakan adopsi 125 pertama, ditemukan bahwa menantu sekaligus keponakan uterus x1, saudari x1, yang akan dikawini oleh seorang laki-laki C. Selama adopsi kedua saudari dari x3 tidak memiliki kompensasi, meskipun adopsi menggantikan paman dari pihak ibunya sebagai kepala keturunan dan tidak membayar kompensasi perkawinan. Garis keturunan dari sisi X dari rumah C dibuka oleh adopsi pertama dari seorang laki-laki dari tingkatan rendah rumah A; keturunan-keturunan dari adopsi harus mengawini pasangan dengan tingkatan yang sama dengan mereka. Kita memahami bahwa adopsi tidak menjaga hanya hubunganhubungannya secara personal dari kekerabatan (dalam hal ini dipahami inces misalnya), tetapi juga statusnya dalam hirarki aturan, yang menetapkannya dari keturunan-keturunannya. Kita dapat berpikir bahwa adopsi seorang laki-laki dari tingkat atas/ bangsawan untuk menaikan status dari sebuah garis keturunan inferior. Kita tidak dapat memahaminya sebagai contoh dari masa sekarang, tetapi ini adalah sebuah kemungkinan. Memang kita dapat melihat dengan baik di sini, setidaknya dalam apa yang berkaitan dengan Tanebar Evav, bahwa status mencakup garis-garis keturunan dan individu-individu dan bukan rumahrumah. Semua ini dijelaskan oleh tempat mereka dalam struktur desa, melalui relasi-relasi aliansi mereka dan saling membantu, dalam prinsip, dari status para lelaki, yang melingkupi mereka. Relasirelasi seremonial termasuk pada rumah, bukan pada para lelaki. Relasi-relasi kekerabatan dan keanggotaan pada satu dari tiga aturan yang menandai sebaliknya individu-individu dan kemudian keturunan-keturunan dan tidak mementikan rumah. Sementara itu dua sisi dari rumah yang sama dapat menampakkan aturan-aturan yang berbeda. Hubungan-hubungan individual dan peristiwa pada lor (bab 3) membedakan dengan jelas di sini struktur total dari rumah-rumah, tidak berubah, masingmasing pada tempatnya. Dalam kasus dimana hilang status sebuah rumah, ini terjadi karena suatu kesalahan. Tempat dari rumah tidak berganti. Meskipun demikian, hal ini tergantung tingkatan yang dipengaruhi oleh garus keturunan, yang melingkupinya. Rumah akan dapat atau tidak akan dapat hormat dari relasi-relasi aliansinya (karena endogami). Dengan demikian, tindakan individual ini dapat mempunyai konsekwensi-konsekwensi temporal melalui struktur dan jaring-jaring relasi. Pemberian-pemberian akan berlanjut ditukarkan tetapi tidak akan ada perkawinan yang mungkin, selama peristiwa adopsi dari seorang bangsawan tidak menaikan status dari garis keturunan. Tak usah dikatakan bahwa sangat banyak status berakhir dengan memprovokasi kebingungan-kebingungan mendalam pada struktur. Kami tidak bermaksud untuk menjelaskan di sini, tetapi hanya menggariskan berbagai implikasi dari adopsi. Adopsi dua generasi: pertukaran dari para pria Suatu bentuk lain dari adopsi adalah sama dengan suatu pertukaran para lelaki tanpa membayar saat relasi, bukan berakhir setelah adopsi pertama, sebalinya beralih ke generasi berikutnya. Seorang anak diadopsi menurut prinsip-prinsip sebagaimana disebut di atas (di antara relasi-relasi ub, relasi baran ya‟an war atau di antara hubungan-hubungan) tetapi tanpa membayar sama sekali, atau hanya membayar sebagian. Kesepakatan itu menetapkan bahwa seorang anak lakilaki yang diadopsi akan diberikan dalam pertukaran untuk mengganti ayahnya dalam rumah asalnya. Rumah A (gambar 32) diminta oleh penerima perempuan B untuk mengadopsi seorang anak; rumah B, yang tidak memiliki anak untuk diberikan, beralih ke rumah C dari ub yang sama. Rumah B setuju memberikan seorang anak pada generasi berikut, dengan demikian seorang anak laki-laki adopsi dikembalikan kepada Rumah C. Ketiadaan kompensasi dalam kasus ini dikarakteristikkan oleh pertukaran para laki-laki, seorang laki-laki yang setara dengan seorang laki-laki yang lain, persembahan yang murni simbolik, hanya menandakan kesepakatan antara tiga rumah. 126 Tipe pertukaran yang berbeda ini mengenal sebuah varian, yang menjelaskan dengan baik kepentingan dari kesepakatan-kesepakatan di masa lalu antar rumah-rumah. Dalam contoh yang kedua, seorang anak dari rumah A diadopsi oleh rumah B dalam pertukakaran ibunya. Pada generasi berikut, rumah A tidak memiliki keturunan; dengan demikian ia meminta kepada rumah B untuk mengambil anak yang diberikan melalui adopsi. Rumah B menerima dalam kondisi bahwa seorang anak pada adopsi yang lalu akan diberikan kepadanya sebagai kompensasi. Adopsi yang diangkat dalam rumah asalnya A, akan kawin, akan memelihara putra pertamanya, supaya memastikan penggantinya sendiri. Istinya telah meninggal tanpa memberikan kepadanya anak-anak lelaki. Ia akan kawin kembali, dan pada kesempatan kedua ini memberikan kepadanya beberapa anak, dimana seorang anak akan diberikan kepada rumah B: pertukaran, yang terbuka sejak tiga generasi, akhirnya telah ditutup. Dengan demikian beberapa adopsi yang tidak berbayar mengarah ke generasi adopsi-adopsi yang bersifat kompensasi berikutnya, dimana tujuan tidak lagi untuk memastikan keturunan. Penyelesaian hutang hanya ditangguhkan, kemudian direalisasikan melalui pengembalian seorang anak. Hal ini mengingatkan bentuk hubungan sivelek, dimana pertukaran tinggal terbuka hingga pengembalian seorang perempuan. Tidak ada pembayaran kompensasi, tidak juga untuk adopsi di sini, tidak dalam bentuk perkawinan ini. Konsekwensi-konsekwensi dari siklus ini dalam pengembalian menjelaskan dengan baik perbedaan dengan model adopsi lain: sebagai gantinya, adopsi menjadikan seorang kepala rumah sebagai pengganti ayah adoptifnya, ia menjadi adik adoptif dari beberapa saudara yang melanjutkan menggunakan hak-hak mereka dalam rumah mereka sendiri 2. Adopsi dalam pembayaran suatu kesalahan 127 Tipe kedua dari adopsi adalah suatau kompensasi ritual untuk sebuah pelanggaran serius terhadap kebiasaan. Orang tidak lagi mengatakan “menukarkan”, tetapi “membayar hutang”, vear mat; mat berarti “hutang” dan dalam kata kerja berarti “mati”. Pembayaran ini merupakan jawaban atas pelanggaran atas satu dari larangan-larangan ruang belakang desa, oho mirin, kediaman dari roh Adat. Ruang yang dibatasi oleh dua jalan ini adalah suci; tempat ini terlarang, khususnya untuk melakukan relasi-relasi seksual di sana, apakah dengan istrinya sendiri atau dengan perempuanperempuan lainnya. Dalam kasus pelanggaran atas suatu larangan minor (mengambil kayu sebagai contoh), orang harus memberikan pembayaran sebuah kalung yang diberikan kepada roh Adat dan diberikan kepada pemimpinnya, kepala rumah Sulka. Dalam kasus pelanggaran seksual, seorang anak diberikan dalam “adopsi” kepada rumah Sulka. Di sini, rumah adopsi harus memberikan kompensasi. Di pihak lain, siapapun yang bersalah dari sebuah pelanggaran, harus menyingkirkan seorang anak tanpa kompensasi. Anak yang diberi untuk membayar hutang terbuka oleh kesalahan yang dilakukan, bukan terhadap orang-orang, tetapi terhadap roh-roh. Pembayar uang sering menyertai pemberian anak. Secara umum pihak yang bersalah memberikan satu dari anak-anak perempuannya. Ia kehilangan semua hak untuknya dan untuk selanjutnya anak perempuan itu menjadi milik rumah Sulka. Di pernikahannya, kompensasi perkawinan sepenuhnya dibayar kepada rumah Silka yang, sangat sering, membesarkannya sampai dewasa. Dengan demikian, rumah asal kehilangan seorang anak perempuan, dan sebuah kompensasi perkawinan; rumah asal mungkin juga kehilangan kemungkinan untuk menjawab permintaan relasi para pemberi perempuannya dan diwajibkan untuk mencari bantuan dalam relasi-relasinya untuk memenuhi permintaan ini, akan ditemukan dalam posisi pemberi apa tempat yang secara normal menjadi pemberi perempuan. Pada tempat untuk menerima kompensasi perkawinan, rumah asal memberikan di sana tanpa ragu, seturut prosedur sebagaimana telah dipelajari sebelumnya (Bab 3). Memberi seorang anak perempuan dalam pembayaran suatu kesalahan adalah setara untuk menjalani suatu kerugian besar dari konsekwesi-konsekwensi dalam keseimbangan pertukaran-pertukaran perkawinan. Rumah yang bersalah dapat juga memberikan seorang anak laki-laki. Di sana, rumah tersebut mengambil resiko untuk menghilangkan keturunannya sendiri jika anak-anak lain tidak berhasil untuk memberikan pengganti kepada ayah mereka. Mungkin kemudian dia akan dibatasi untuk mengadopsi seorang anak sebagai pengganti. Sebuah kesalahan besar terhadap roh Adat pada bagian belakang desa hanya dapat dihapus melalui suatu denda berlipat, dalam bentuk pembayaran dan pemberian seorang anak; itu sama ketika kesalahan langsung mempengaruhi rumah Sulka, perzinahan atau pengambilan seorang perempuan (seperti contoh yang telah disebut di atas). Adalah sepertinya bahwa “pembayaran hutang” ini dapat dilakukan untuk jenis kesalahan yang sama terhadap rumah-rumah lainnya. Kita sama sekali tidak akan menaikan kasus dalam genealogis dan informasi-informasi kita tidak terlalu jelas. Kita mengerjakan juga ungkapan vear mat untuk anak-anak yang lahir di luar perkawinan dan ditinggalkan pada rumah dari ibunya. Secara nyata ini bukan sebuah adopsi, bukan sebuah pertukaran. Akibatnya, pertukaran tidak terbuka, karena tidak ada pernikahan dan tidak ada pembayaran kompensasi perkawinan, tetapi bukan kesalahan melawan kebiasaan. Orang tua dirampas keturunannya, dan hanya dapat mengklaimnya jika ia menyatakan sebuah perkawinan bersama-sama dengan seorang ibu. 3. Adopsi dan perjanjian 128 Adopsi pararel dalam perkawinan Sirkulasi para lelaki, melalui adopsi, menambah sirkulasi para perempuan, dalam pertukaran perkawinan, ketika ia belum memenuhi tujuannya dan menyediakan keturunan di rumah. Dalam semua kasus, semua ini memastikan kontinuitas rumah-rumah. Sirkulasi-sirkulasi individu-individu antar kesatuan-kesatuan pertukaran adalah ungkapan dari beberapa fleksibilitas, yang melakukan sebaliknya dari kekakuan yang nyata dalam struktur rumahrumah. Dalam kasus perkawinan, kemungkinan dari satu pilihan di antara relasi-relasi bukan tidak berujung, tetapi ia ada. Dengan demikian pilihan ini menjawab suatu kekhawatiran untuk memuaskan pasangan ini atau itu sesuai keadaan. Dalam kasus adopsi, pilihan sangat luas, karena tidak ada aturan, tanpa arah pertukaran, tanpa larangan dengan rumah itu atau itu. Adopsi mengambil keuntungan dari solidaritas-solidaritas ub, yam, fam umum, dari rumah-rumah “kembar”, dari hubungan-hubungan. Dalamnya, adopsi berbeda dari relasi-relasi lainnya, karena adopsi ditumpangkan pada hubungan-hubungan yang telah terjalin. Permintaan terhadap seorang anak tidak menciptakan suatu relasi baru, tetapi mengekploitasi masa lalu, yang diperoleh dan mengambil keuntungan dari keadaan yang menguntungkan. Dan lagi, adopsi bukan dalam prinsip yang diperbaharui. Namun, adopsi dirancang seperti sebuah perkawinan. Akibatnya orang menyebut ra fa fo vavat, “mereka membeli (seorang laki-laki) seperti seorang perempuan”. Kompensasi menggunakan nama yang sama dan sangat sering menggunakan sebuah seri barang-barang berharga yang sama: sebuah meriam untuk “mengganti” (holok) tubuh anak sama seperti mengganti tubuh seorang perempuan yang diberikan dalam perkawinan. Jika prosedur-prosedur dari transaksi satu dan yang lain sangat berdekatan, kompensasi tidak bisa didorong lebih jauh. Kita tidak mungkin mengidentifikasi suatu “sistim” adopsi sebagaimana orang telah temukan sebuah sistim aliansi. Tampaknya adopsi adalah sebuah fenomena yang tidak biasa yang, dalam menanggapi suatu kecelakaan, menciptakan suatu fenomena lain; hal tersebut tidak dapat didirikan dalam suatu sistim. Perkawinan uksorilokal dan keturunan rahim? Jika kita membandingkan tindakan-tindakan adopsi dengan sistim-sistim aliansi, dua pertanyaan dapat diajukan: yang pertama mementingkan uxorilokalitas dan kedua, modifikasimodifikasi dalam jejaring-jejaring hubungan-hubungan. Ketika pemberi perempuan kekurangan keturunan maskulin, ia dapat mengadopsi menantunya sambil memberikan kompensasi perkawinan, atau ia dapat memintanya seorang anak untuk melahirkan dari pernikahan sebagai ganti putrinya. Dalam kasus yang pertama, menantu itu melakukan perkawinan uxorilokal; ia mewarisi dari saudara iparnya selama hak-haknya atas rumahnya sendiri. Dalam kasus kedua, ada rantai keturunan sejak anak-anak mengganti keturunanketurunan dan menampakan rumah ayah dari ibu mereka. Hal ini bertentangan dengan aturan umum dari perkawinan virilokal dan keturunan patrilineal sambil menciptakan suatu bentuk perkawinan yang berbeda untuk mereka yang, setelah kesepakatan, tidak membayar perkawinan. Tindakan-tindakan ini tidak memungkinkan untuk mendefenisikan secara tegas suatu tipe perkawinan pada tingkat umum. Kasus seperti ini jarang dan hanya terprovokasi oleh suatu kebutuhan, ketiadaan yang sesungguhnya dari keturunan. Dalam kasus apapun, perkawinan tidak mengambil bentuk ini ketika ayah mertua memiliki seorang putra untuk menggantikannya. Ada suatu kemungkinan legitim, jadi suatu aturan, tetapi hanya dalam suatu kasus partikuler. Adopsi bukan 129 seperti dalam masyarakat lain di Indonesia (Berthe, 1961) suatu aliansi yang samar atau sebuah paliatif untuk perkawinan yang tidak mungkin. Pelanggaran perjanjian Adopsi sering menghasilkan pergolakan-pergolakan yang nyata dari jejaring aliansi jika ia memproduksi hubungan-hubungan, karena adopsi itu terlarang untuk beberapa generasi, di antara kedua rumah, sehingga pemulihan perkawinan-perkawinan harus dilakukan menurut aturan. Kita memahami dengan mudah alasan-alasan dari pemecatan sementara dari sebuah relasi: rumah A adalah pemberi perempuan kepada rumah B dan pada prinsipnya seorang perempuan A menikah dengan seorang laki-laki B pada setiap generasi. Jika A memberikan seorang anak sebagai adopsi kepada B, dan sejak itu anak itu harus mengikuti relasi-relasi dari rumah adopsinya. Ia akan mengikuti pula dengan mengambil seorang istri dari rumah pemberi A-nya, dengan demikian pada generasi yang sama mengawini saudarinya sendiri, atau pada generasi anaknya, meminta seorang sepupu pararel patrilateral. Kedua solusi ini adalah mustahil dan rumah B harus untuk sementara meminta dari para pemberi lain (dan pada prinsipnya sampai tujuh generasi, jika seorang sepupu pararel patrilineal menjadi yang boleh dikawini). Dalam kasus dari sebuah adopsi di rumah pemberi perempuan, fenomena yang sama juga terjadi: anak perempuan dari adopsi ini, yang telah mengikuti aturan perkawinan akan mengawini sepupu pararel patrilinealnya. Dengan demikian aliansi terputus selama tujuh generasi antara dua rumah, yang harus menggunakan rumah-rumah partner lain dari jejaring aliansi mereka untuk menemukan istri-istri. Kami menemukan preferensi yang ditandai (20 dari 31 kasus) untuk adopsi dari rumah-rumah yang begitu dekat, rumah-rumah ini adalah un-nya atau fam umum-nya, yang sangat jarang dalam waktu yang sama dari rumah-rumah yang terhubung, atau lagi dalam rin yang lain dari rumah yang sama. Tetapi adopsi dapat menyebabkan perubahan signifkatif dalam hubungan dengan hirarki kakak-adik atau “paman-ponakan” yang ada antara rumah dari ub yang sama atau dari fam umum yang sama. 4. Modifikasi-modifikasi status: konflik-konflik Pada tingkat global dari sebuah desa, perbedaan status antara dua rumah partner dari relasi aliansi, pemberi dan penerima, cenderung menghilang saat orang mempertimbangkan totalitas dari pertukaran. Hal tersebut tidak sama dalam relasi adopsi, yang tidak pernah hanya menyangkut dua rumah partner. Pemberi yang menerima kompensasi dalam pertukaran anak, mempunyai sebuah posisi superior. Namun demikian ada sebuah kasus dimana relasi adopsi adalah egaliter, ketika sebaliknya dari sebuah kompensasi, seorang anak diberikan sebagai ganti pada generasi berikut. “Pertukaran” anak mengingatkan pertukaran perempuan-perempuan sivelek. Dalam kedua kasus ini, relasi adalah rangkap dan objek-objek pertukaran adalah sama wujudnya. Kompensasi berhenti di sana, karena dalam perkawinan sivelek, orang menggunakan ungkapan slalin, “menghubungkan dua benda dari wujud yang sama”. Dalam kasus adopsi, orang mengatakan lalin, “mengganti” sesuatu hal dengan sesuatu yang lain dengan wujud berbeda. Pengamatan atas tindakan-tindakan menjelaskan bahwa adopsi dapat memiliki implikasiimplikasi yang berbeda yang memodifikasi status individu di luar posisi-posisi formal yang diciptakan oleh relasi pemberi-penerima. Pada tempat pertama, adopsi adalah kesempatan unik bagi seorang adik untuk menjadi kakak pada putarannya (kecuali kematian kakak) dan melihat dirinya bertanggung jawab atas peran, yang 130 kelahirannya sendiri tidak dapat menghargai dirinya. Menjadi independen dari kakaknya, ia dapat jika ia mau, mengambil sebuah tempat yang lebih besar dalam kehidupan di desa. Tetapi kebalikannya, jika A memberikan satu dari saudara-saudaranya kepada B untuk mengambil kepala rumah B, A “menyelamatkan” B, dan melalui pengantaraan dari adik yang diberikan melalui adopsi ini dapat melakukan control atas rumah B; adopsi pada B dapat sepanjang beberapa periode yang berlanjut tergantung dari kakaknya. Ia bagaimana pun juga dapat memperpanjang kekuasaannya di hadapan batas-batas sebuah ub atau sebuah yam. 5. Penutup Kita ingat bahwa sepanjang bab-bab sebelumnya, lor menjelaskan masyarakat dalam hubungan dengan orang-orang di sekitarnya dengan sebuah dunia luar universal dari sebuah pulau. Dengan demikian, meskipun kebersamaan ub dan yam bereferensi pada haratut, kebersamaankebersamaan fam umum mengingatkan sebuah sejarah yang membingkai struktur pulau, tingkatantingkatan, yang menandakan individu-individu serta garis-garis keturunan dan bukan rumah-rumah, yang mengulangi pembagian-pembagian yang dihormati di pulau-pulau tetangga. Bahkan di sini adopsi menggantikan individu-individu, pada pilihan-pilihan mereka dan pada sejarah mereka. Dengan demikian, secara anekdotik, historis, dan aksidental dari adopsi menggantinya dari sisi lor, dan pada waktu yang sama hasil-hasilnya mengonfirmasi masyarakat haratut secara esensial, yakni keberlanjutan rumah-rumah dan kontinuitas relasi-relasi. Dengan demikian, adopsi melalui pembelian tampaknya menjadi titik untuk mengartikulasi nilai-nilai luhur, yang berbeda dari lor dan haratut. Pemberian seorang anak melalui pembayaran dari suatu kesalahan kepada rumah Sulka adalah sebuah sangsi yang memukul individu yang bersalah dan melaluinya, ia berganti ke sisi lor. Tetapi kebalikan dari mayoritas dari sangsi-sangsi, hal ini tidak mementingkan roh hukum, tetapi roh Adat, yang didatangkan kepadanya dari luar, pembawa sebuah hukum asing, tetapi sekaligus roh dan leluhur Ubnus. Didatangkan ke desa, ia telah menerima hak untuk menjaga gunung suci di pusat; hal ini yang mengandung nilai-nilai haratut. Rumahnya ruang suci di belakang desa, adalah sebuah kawasan perantara antara desa dan bagian luar. Melanggar suatu larangan adalah pelanggaran terhadap tatanan seluruh masyarakat yang dipresentasikan oleh Adat, ia yang ada di persimpangan dua hukum, hukum haratut, dari gunung dimana ia adalah penjaga, dan hukum lor, yang ia telah bawa. Dengan demikian dalam dua modalitasnya, adopsi mengembalikan sekaligus kepada lor dan haratut, dimana adopsi menjadi satu dari artikulasi-artikulasi; tetapi sementara adopsi dalam pembayaran adalah pelayanan kepada hukum-hukum dan dari nilai-nilai transendental. 7 SIRKULASI HARTA BENDA: BENDA BERHARGA Analisa kami tentang masyarakat Tanebar-Evav akan tidak lengkap jika analisa ini menjelaskan sirkulasi benda-benda yang menyertai sirkulasi para perempuan dan para laki-laki. Akibat dari relasi-relasi, yang formal dan tidak formal, dinyatakan secara kongkrit melalui pertukaran-pertukaran pemberian-pemberian dimana orang memunculkan posisi-posisi yang harus dihormati dari rumah-rumah, partner. Kami ingin menyatakan hokum-hukum umum dari aturan pertukaran dan prosedur-prosedur yang berbeda, yang meminjam unit-unit sosial untuk menjelaskan relasi-relasi mereka. 131 Untuk melalui pertukaran, tidak hanya masyarakat melihat organisasinya, ia menjelaskan pula hubungan-hubungan yang menyatakan para leluhur dan pada dunia supranatural. Sirkulasi bendabenda menjelaskan solidaritas antara mereka yang hidup, orang-orang mati dan roh-roh. Itu sebabnya, untuk mengakhirinya, kami akan bahas secara singkat relasi-relasi dengan dunia supranatural dan satu seri pemberian-pemberian, yang dipersembahkan kepadanya. Namun pertama-tama, objek-objek apakah yang melayani benda-benda berharga dan manakah kosakata sehari-hari dalam pertukaran-pertukaran? Kami akan membahas benda berharga, karena tanpa adanya kata lain, perlu menggunakannya untuk menggambarkan apa yang mengukur pertukaran, memberikan nilai pada objek-objek dan tidak memiliki dalam dirinya nilai kegunaan. Di Tanebar-Evav, benda berharga diukur dengan nilai dari beberapa benda, -kuantitas dari makanan misalnya- dan ditempatkan pada skala relatif berbagai peristiwa dalam hidup seremonial -perkawinan, adopsi, kematian, pembangunan rumah dan kapal layar-, tetapi juga ukuran pembayaran kesalahankesalahan terhadap kebiasaan, seperti contohnya sebuah kematian, melanggar sesuatu yang terlarang, incest dan perkosaan. Orang akan menyebut benda berharga semua objek digunakan sebagai kompensasi dalam pertukaran-pertukaran pada interior desa dan dalam relasi-relasi tradisional antar desa. Obyek-obyek ini, kecuali benda-benda berharga yang berasal dari Indonesia, tidak digunakan untuk perdagangan di luar, seperti membeli kopra atau membeli barang-barang konsumsi asing. Dengan demikian benda berharga ini tidak mengikuti sistim pasar dan hal itu diperlukan untuk menjaga hubungan dengan realitas benda berharga di Tanebar-Evav dan di Kei dengan konotasikonotasi ekonomi. Sebaliknya, benda berharga Indonesia yang berpatisipasi dalam sistem pasar, untuk satu bagian tahap demi tahap menjadi penting dalam sistim pertukaran dari pemberian-pemberian seremonial. Lagi pula, sejak masyarakat-masyarakat Kei ada dalam kontak dengan peradabanperadaban berbeda di luar mereka, dimulai dengan peradaban Cina, mereka telah mengenal dan mengintegrasikan sistim keeping-keping perak dari uang-uang asing mereka, Cina, Arab, Portugis kemudian Belanda. 1. Asal-usul dari uang satu dari dua mitos utama tentang asal pulau, asal gunung di pusat desa, Vu‟ar Masbait, menjelaskan asal dari benda berharga. Dari langit telah turun tujuh bersaudara dan seorang perempuan; bersama mereka mucul sebuah pohon suci, semacam beringin yang sangat khusus, karena pohon tersebut dipenudi dengan benda-benda berharga. Batang dan dahan-dahannya terdapat meriammeriam dari berbagai ukuran (kasber dan sadsad), dahan-dahan kecilnya terdapat gong (dada), daundaunnya adalah kain (sibo), buah-buahnya adalah emas dan perhiasan (mas). Para lelaki itu mulai mengambil daun-daun, kain-kain, untuk mereka pakai. Kemudian, meledak guntur dan kilat, pohon itu menghilang. Tampaklah bahwa pohon benda-benda berharga tersebut telah hancur mulai pada saat dimana para lelaki mengambil satu dari benda-benda berharganya. Sekarang ini, para lelaki menggunakan pemberian-pemberian dari objek-objek yang berbeda, yang dimiliki oleh pohon mistik ini: meriam-meriam, gong-gong, kain-kain dan perhiasan-perhiasan. Meriam-meriam berasal dari para penjajah Potugis dan Belanda. Ini adalah meriam perunggu, dengan panjang bervariasi mulai dari satu meter hingga satu setengah meter. Gong-gong berasal dari Cina, tetapi juga dari barat Indonesia, Sumatra, Jawa dan Bali. Gong-gong ini dibawa oleh para pedagang Jawa, Bugis dan Makasar, yang menjelajahi seluruh negeri dengan kapal-kapal layar mereka, kain-kain juga didatangkan dari berbagai penduduk yang berasal dari barat daya Maluku dan dari semua pulau di Nusa Tenggara. Orang-orang Kei tidak mengetahui cara menenun. Mungkin mereka menggunakan kain-kain kulit, tetapi kami tidak mempunyai bukti. Dari kain-kain, harus menambahkan pula piring-piring dan piring-piring makan, bingan, pertama-tama hasil buatan Cina, 132 kemudian dari produksi orang-orang eropa (kami menemukan piring-piring hasil buatan Belgia dan Luksemburg pada abad lalu). Kain-kain dan piring-piring selalu diasosiasikan dengan pemberianpemberian. Orang tidak pernah menawarkan satu tanpa yang lain dan dimana-mana piring-piring tidak tercatat dalam mitos. Mas menggambarkan emas dan perhiasan pada umumnya. Sangat jarang emas asli, tepatnya semacam campuran ringan. Perhiasan-perhiasan ini, dijual juga oleh para pedagang, adalah gelanggelang, cincin-cincin, kalung-kalung, anting-anting dan liontin. Mengikuti bentuk dan asal mereka, perhiasan-perhiasan memakai satu nama, yang memungkin untuk membedakan mereka. Nama-nama ini adalah umum di seluruh Kepulauan Kei dan rupanya juga di Kepulauan Tanimbar di selatan. Dipahami dengan nama mas, kita menemukan uang-uang logam asing dari Cina, Portugis dan Belanda yang tidak memiliki nilai saat ini. Nama tradisional untuk menyebut uang logam atau uang kertas adalah kubang (yang berasal-usul uang logam kecil dari Cina, kobang); sangat umum dan sering dalam nyanyian-nyanyian, digunakan kata kepeng dalam arti umum yang sama dari uang logam; ini adalah sebuah nama getah cina. Saat ini kata-kata ini diganti dengan kata seng (yang mungkin berasal dari kata “cent” dalam bahasa Belanda), yang menjelaskan seluruh jenis mata uang dalam bentuk logam dan lembar-lembar. Sementara kubang dan seng tinggal sebagai kategori umum, mas dapat dipersiskan melalui nama dari setiap perhiasan; tetapi kubang dan mas diasosiasikan dengan ungkapan umum kubang mas (perhiasan-perhiasan dan emas) yang menggambarkan kesatuan dari beberapa tipe pemberian-pemberian yang tersusun juga dari meriam-meriam dan gong-gong, yang adalah benda-benda berharga yang berasal dari luar. Akhirnya, harus dijelaskan gobang, sebuah sebuah uang logam perunggu, yang diperkenalkan oleh orang-orang Belanda, digunakan dalam beberapa kasus untuk menjelaskan ref, “serentangan tangan”. Ini adalah satu satuan untuk mengukur panjang (misalnya panjang meriam), tetapi kebanyakan ini adalah suatu ukuran abstrak dari pembayaran-pembayaran dalam perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran. Sangsi-sangsi diukur seturut skala dari objek-objek. 133 Kesatuan dari benda-benda berharga, berasal-usul dari gunung suci yang dijaga oleh hukum, diasosiasikan dengan apa yang disebut orang sebagai karamat (istilah yang berasal dari bahasa Arab), benda-benda suci dari desa, menyimbolkan kekuatan dan kekuasaannya. Orang mengatakan bahwa gunung suci Vu‟ar Masbait berisi karamat desa. Karamat adalah kesatuan-kesatuan hukum, kebiasankebiasaan, benda-benda yang menyatakan kekayaan desa dibandingkan dengan desa-desa lain. Suatu penyebab perang yang sering terjadi adalah kompetisi tentang kekuatan masing-masing karamat dari setiap desa. Sebuah kisah menceritakan bagaimana dua desa berhadapan: mereka memutuskan untuk meletakkan dari ujung ke ujung semua kekayaan mereka, mulai dari pusat desa sampai ke laut; dan siapa yang membentuk rantai yang lebih panjang adalah pemenangnya. 134 Di sini orang menghitung kekuasaan suci dari setiap desa sebagai kekuasaan simbolik dari benda-benda berharganya. Pada tingkat pertukaran antar rumah, orang tidak membahas tentang kompetisi yang melibatkan kehormatan. Tidak ada konfrontasi dalam hal kekuatan benda-benda berharga masing-masing. Orang tidak mengukur secara riil kekuasaan dari rumah dari benda-benda yang ia tunjukkan. Namun, sirkulasi yang terarah pada beberapa benda berharga mengindikasikan posisi hirarkis dari rumah-rumah partner. Mitos tentang asal-usul benda-benda berharga menyatakan sebuah bunga ganda. Ia menceritakan pertama-tama bahwa benda-benda berharga memunculkan dalam waktu yang sama orang-orang pertama dan berpatisipasi dalam penciptaan masyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa cara-cara pertukaran. Ia kemudian menunjukkan sebuah paradoks: kita mengetahui bahwa objekobjek ini semua berasal dari luar Kei, dimana objek-objek tersebut dipertukarkan, tetapi, orang mendesainnya seolah berasal dari masyarakat, terhubung pada haratut, pada hukum-hukum positif yang berasal dari dalam gunung suci, pada prinsip-prinsip internal. Kita mengetahui di sana satu dari contoh-contoh yang sangat bagus dari hubungan dekat antara dua dunia, dua interior dan dunia eksterior, yang menjadi karakter dari masyarakat Tanebar-Evav ini. Ada integrasi dari obyek-oyek eksterior di pulau, yang tidak memiliki nilai kegunaan di dalam masyarakat ini, dan mitos menjelaskan fungsi-fungsi baru mereka. Objek-objek yang datang dari luar diterima dalam bentuk benda berharga pada penggunaan internal dan mitos menyatakan benda-benda berharga ini sebagai sesuatu yang inheren pada masyarakat, tetapi yang berhubungan secara implisit dengan nilai-nilai dari dunia eksterior. 135 Obyek-obyek yang berasal dari seluruh dunia eksterior diperoleh melalui pertukaranpertukaran komersial, melalui penjualan kapal-kapal layar yang dibuat secara lokal, melalui perangperang (jika ada yang mati pada saat perang), melalui para pemenang yang harus dibayar dengan benda-benda berharga, dan jika merasakan bahwa kebaikan yang diupayakan tidak memadai, melalui tanah-tanah, dan lalu melalui perempuan-perempuan. Emas juga disebut mas tom, atau kadang-kadang tom saja. Kata ini berarti pertama-tama “kuning”, jadi “emas kuning,” tetapi orang telah menjelaskan pula kata ini dalam arti “sejarah”, “mitos”, dalam ungkapan tu‟ar tom, “akar sejarah”, tentang relasi aliansi asali. Sebagaimana dikatakan dalam mitos, emas –benda berharga- adalah asal-usul dari sejarah. Kita dapat mengajukan pertanyaan untuk mengetahui apa yang telah digunakan sebelum kedatangan meriam Portugis. Atvul Sarmav, asisten kami, menyatakan bahwa perempuan telah ditukarkan dengan sebuah perahu dan dua produk lainnya, diklasifikasikan seperti “dari laut” dan “dari darat”, ikan dan babi hutan. Tipe dari benda-benda ini telah dipertukarkan terlebih dahulu, atau pada masa yang sama, benda-benda lain tidak berganti sama sekali, karana katanya bahwa bendabenda tersebut menyatakan keduanya karakteristik yang sama: kapal layar, yang dibuat di desa dan sering ditukar di luar, mempresentasikan secara sempurna relasi di luar; kebutuhan akan produkproduk laut dan darat menjelaskan juga asosiasi yang sempit antara kedua dunia, dunia pulau yang terhubung dengan tanah, direpresentasi oleh budaya dan perburuan; dunia luar, terhubung pada laut, dinyatakan dengan panangkapan ikan dan perang. Selain dari perahu layar, buatan lokal, tidak ada sama-sekali ojek lokal lain digunakan dalam pertukaran. Masyarakat tetangga di Kepulauan Tanimbar mengenal seni menenum dan menggunakan tenun dalam pertukaran seremonial; di Kai, kain-kain adalah produk yang didatangkan. Dalam ritual-ritual persembahan kepada Tuhan, para roh, para leluhur dan orang-orang mati, orang memberikan lebih dari sekedar benda berharaga, bahan-bahan makanan dimana beberapa di antaranya tidak diproduksi di pulau Kei. Tanaman padi botan dibudidaya di Tanebar-Evav, tetapi bukan beras, yang masuk dalam bahan persembahan. Dijelaskan bahwa beras tidak dibudidaya di Kepulauan Kei, dan lagi semua mitos Kei Kecil menceritakan sebagaimana beras diperkenalkan. Di sana kita menemukan pada konteks ritual suatu asosiasi antara dua budaya yang sangat berbeda, budaya beras dan budaya padi botan. 2. Benda-benda berharga dan Pertukaran-pertukaran melalui bahasa Mengikuti proses yang diikuti oleh studi-studi tentang kesatuan-kesatuan sosial, kami memulai dengan mengidentifikasi berbagai tingkat pertukaran. Melalui istilah yang paling umum digunakan. Kami telah menjelaskan kata kerja “membayar”, vear. Jika kita berbelanja di kota pelabuhan Tual, kita “membayar” denga uang logam; dalam pertukaran seremonial, orang menggunakan uang tradisional. Meskipun orang mengatakan vear mat ”membayar hutang”, orang menyertakan juga hutang-hutang yang timbul dari sebuah pembelian saat ini daripada perbaikan dari suatu kesalahan yang berat. Kita telah melihat dalam bentuk adopsi, dan dalam hal kekurangan anak, orang dapat “membayar” hutang dengan sebuah meriam. Orang juga menggunakan vear mat, ketika orang membuat dan menjual sebuah kapal layar sambil membayar sejumlah pelanggaran. Untuk kesalahan-kesalahan ritual, orang mengatakan juga fetar; arti pertama dari kata ini menggambarkan sebuah tumpukan kayu yang digunakan untuk menutup kebun; dalam arti yang kedua, “membayar” teraplikasi pada perbaikan suatu kesalahan selama ritual pembuatan kapal layar, 136 atau pelanggaran-pelanggaran dalam sejumlah ritual budidaya botan, dan juga pada kompensasi kematian ular suci di tangga masuk ke desa. Pembayaran pertama, untuk kapal layar, diajukan dalam rumah, pada balok suci, yang memisahkan bagian utama dan yang dipahami sebagai “lunas”; ini terdiri atas sebuah perhiasan kecil. Kedua terdiri atas sebuah pemberian yang terdiri atas botan; ketiga dalam sebuah pemberian perhiasan, mas. Fetar berisi ide perbaikan –secara metaforik. Ini adalah untuk membangun kembali pagar yang dihancurkan dengan melanggar hal terlarang. Kita tentu ingat bahwa ide hutang juga termasuk dalam kata kerja fdu, “menempatkan diri dalam perlindungan”, digunakan oleh laki-laki yang, belum membayar kompensasi perkawinan, tinggal di rumah bapak dari istri; digunakan juga untuk ko yang dilindungi oleh maduan-nya dan, di Tanebar-Evav, rumah yang di bawah dilindungi oleh sebuah rumah bangsawan. Jadi fdu menjelaskan situasi dari suatu kewajiban. Faha, yang menjawab ide “membeli”, mementingkan obyek-obyek sehari-hari yang ditemukan di pasar, para perempuan menerima dalam pertukaran kompensasi perkawinan, para adopsi dimana orang mengatakan ra faha fo vavat, “ia membelinya di tempat seorang perempuan”. Tanah, yang sering mengiringi seorang perempuan dalam pertukaran, tidak dibeli, tidak juga di kebun kelapa. Faha berbeda dari fed, “menjual.” orang menjual ikan-ikan, buah-buah kelapa, hasil-hasil buruan, tangkapan ikan dan lain-lain. Orang menjual juga kapal-kapal layar menurut suatu ritual yang dikembangkan, yang dalam beberapa sisi menyerupai ritual perang. Orang membeli dan menjual pula para budak. Harga dari seorang perempuan, kapal layar dan budak dicatat bersama dalam hampir semua rumusan ritual dari budidaya botan; asosiasi dengan tiga jenis pertukaran ini adalah satu dari artikulasi-artikulasi utama dari sistim sosial. Fed dipahami dalam ungkapan yang menerjemahkan pertukarangan dalam arti umum: orang mengatakan fed-havel; havel ini agak sulit diterjemahkan, karena ia menjelaskan ide “pertukaran kembali” (kita menemukan di sana akar dari sivelek, saling bertukar perempuan antara dua rumah, dan dari velin, nama dari kompensasi perkawinan). Fed-havel adalah “menjual-mengambil” atau mungkin “memberi terhadap beberapa sebagai ganti”, melalui kebalikan dari “memberi” fiang; ini adalah ide dari pertukaran timbal-balik. Semua dari apa yang ditukar, dibeli, dijual, dibayar memiliki dalam arti umum suatu “harga”, enan; yang diterjemahkan dalam ungkapan ni enan felbe? “berapa harganya?” Orang dapat mengatakan juga “biaya”, sebagaimana telah kita lihat di atas. Enan adalah harga yang dibayar untuk makanan, obyek-obyak yang dipakai sehari-hari; tetapi harus juga dipahami istilah ini sebagai yang memaknai hasil dari suatu kerja, produk dari upaya, konsekwensi dari suatu aksi: sesuatu kemarin adalah nger enan, “hasil dari pemotongan-pemotongan”. Panen, artinya efek dari kerja dalam sebuah kebun, adalah enan; ini adalah juga hasil kerja dari transaksi-transaski perkawinan, dari pertemuanpertemuan dan diskusi-diskusi antara rumah-rumah partner, tahap-tahap seremoni, artinya perkawinan, perempuan diberikan, kompensasi yang diterima. Bukan seorang perempuan yang memiliki suatu “harga”, tetapi kesatuan dari pertukaran-pertukaran yang penting pada akhir perkawinan yang mempunyai suatu hasil, enan; perkawinan ini membawa juga nama urat yab van, pembuatan sebuah keranjang dari serat secara berselang-seling, seperti sebuah jejaring pembuluh darah (urat); perkawinan berhubungan dengan gambaran ini. Ini adalah hasil selang-seling relasirelasi antar rumah. Enan menjelaskan yang sama tentang kapal-kapal layar dan budak-budak; dan lagi, biaya ini berhubungan juga dengan kompensasi yang dibayar kepada budak yang terbunuh. Harga dari sebuah pelayanan dijelaskan selalu melalui kata-kata, yang membangkitkan konsep kelelahan. Pemberian upah disebut reang, “kelelahanku”. Harga secara umum dibayar dengan uang. Tetapi sangat sering kompensasi dibayar dengan bahan-bahan makanan untuk sebuah pekerjaan yang dilakukan secara umum. Dengan ini orang mengatakan rehar, yang secara harafiah “menjelaskan sebuah istilah capek”. Orang menjelaskan di sana makanan yang ditawarkan sepanjang 137 hari selama masa kerja. Pekerjaan-pekerjaan ini, sangat penting untuk seorang laki-laki membersihkan kebun, mengolah kopra, jeruk nipis, balok-balok kayu untuk konstruksi rumah dan kapal layar- memanggil utnuk solidaritas rumah, ub dan yam, mungkin untuk seluruh desa. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan memberikan sebuah kontribusi melalui bahan-bahan makanan utama untuk mempersiapkan makan, bahan-bahan makanan yang akan dikontribusi kembali pada akhir hari jika masih ada kelebihan. Ada suatu kompensasi untuk bantuan yang diberikan pada persiapan sebuah ritual; ketika disarankan untuk menawarkan kura-kura kepada para leluhur wadar dari ub, suatu bagian yang istimewa dari binatang yang diberikan kepada para perempuan yang bertanggungjawab atas persiapannya dan memasaknya. Bagian ini disebut rean atau barean; kata-kata ini berasal dari kata rabre, “mereka capek”, ini adalah “capek”, harga yang diambil untuk melakukan pekerjaan itu. Di antara tiga pembayaran untuk pelayanan yang diberikan, yang kedua sangat sering. Ini tidak terjadi sepanjang minggu, hanya terorganisir satu atau beberapa pekerjaan-pekerjaan kolektif yang disebut maren. Kata “pembayaran” ini tidak cocok, karena itu sebenarnya adalah pertukaran timbal-balik dari layanan-layanan yang menyebar dari waktu ke waktu. Masing-masing pada gilirannya adalah penerima dari bentuk saling membantu ini dan pemberian bahan makanan hanya merupakan aspek instan dari pertukaran. Marilah kita meringkas di sini ungkapan-ungkapan yang mungkin pada pertukaran antar rumah. Bentuk perkawinan sivelek adalah suatu contoh dari ungkapan slalin, “menukar benda-benda yang sama nilainya”, yang memunculkan dua operasi pertukaran. Istilah-istilah yang lain tereferensi pada hanya satu dari dua: lalin dan holok, “mengganti.” benda-benda yang ditukar tidak memiliki sifat yang sama. Perempuan yang dikawinkan menurut aturan perkawinan asimetrik ditukarkan dengan sebuah kompensasi, velin, dan begitu pula dengan adopsi. Holok bekerja juga untuk menggambarkan harga laki-laki, kompensasi untuk kematiannya. Ide yang sama mendominasi ketika orang menggunakan kata itu dalam sejumlah konsekwensi dari ritual tumbuhan botan, untuk menggambarkan persembahan-persembahan yang dilakukan sebagai kompensasi dari kerusakankerusakan yang terjadi di dalam hutan dan di antara binatang-binatang dalam pembukaan ladangladang. Ketika pertukaran menjawab ide slalin, uang hampir tidak ada. Sebuah perhiasan –saksi pertukaran- sering dibuka. Jika ini operasi-operasi holok dan lalin, benda-benda berharga tersirkulasi –meriam-meriam, gong-gong, perhiasan-perhiasan, piring-piring dan kain-kain. Masing-masing dari benda-benda berharga ini merepresentasikan satu bagian dari tubuh, dari istri, dari adopsi dan dari pembunuhan. Uang dan perhiasan-perhiasan, meriam-meriam dan gong-gong bersirkulasi dalam suatu arah. Piring-piring dan kain-kain diberikan sebagai jawaban. Saat perkawinan tradisional, pemberianpemberian dari para penerima perempuan terarah kepada para pemberi disebut kubang mas, “uangperhiasan”, dan termasuk meriam-meriam dan gong-gong; pemberian-pemberian balasan, para pemberi perempuan kepada para penerima disebut bingan sibo, “piring-piring dan kain-kain”, dan termasuk obyek-obyek lain yang penting untuk kebutuhan sebuah rumah. Pemberian kain dan piringpiring menyatakan di mata semua orang superioritas dari rumah-rumah partner, yang menawarkannya. Sirkulasi-sirkulasi dari pemberian-pemberian memancarkan selalu hirarki yang berbeda di antara rumah-rumah partner. Dengan demikian, benda-benda berharga berbeda sesuai dengan arah peredarannya, sebagaimana benda-benda tersebut berjenis-jenis dalam bagian-bagian yang berbeda dari pohon mitos. Tetapi benda-benda berharga mempresentasikan lagi suatu karakter yang lain. Dalam doa-doa ritual, benda- 138 benda berharga digambarkan di bawah nama ubran; kata ini terurai dalam ub, “guci” dan ran. Ran pertama-tama adalah suatu kontraksi dari kata ralan. “interior”, tetapi menjelaskan pula “signifikansi” dan “makna”. Ubran, benda berharga, adalah “interior”, “isi” dari ub, dan juga “signifikansi” dari ub. Kita ingat penggunaan-penggunaan lain dari kata ub, guji sering digunakan untuk budidaya botan, tetapi juga “kakek”, “leluhur”, “ikan-leluhur”, ingatlah kita dari wadah-wadah ini, yang mengunci para leluhur atau para laki-laki (ketika laki-laki dianggap sebagai babi hutan). Metafor ini istimewa dalam apa yang mengingatkan kita akan benda-benda berharga dalam arti-arti simboliknya. Jika benda-benda berharga adalah “isi dari ub”, ini juga adalah manusia yang demikian, yang hidup dan yang mati dari masyarakat, dibedakan dalam suatu angka fiks dalam ub. Ub-ub ini berisi para lelaki, tetapi juga, sebagaimana guci yang disimpan dalam loteng bersama, botan dipanen setiap tahun, kesaksian dari usaha setiap penduduk desa dari generasi-generasi sebelumnya. Botan dengan bulir kuning keemasan (tom) menyimbolkan perhiasan-perhiasan (mas tom), kekayaan masyarakat yang sebenarnya. Kita menemukan bahwa masyarakat telah menjelaskan dalam batas-batas daratan: bendabenda berharga adalah, seperti botan, para lelaki, para leluhur, isi yang menyatakan keberadaan dari masyarakat. 139 8 SIRKULASI HARTA BENDA: PEMBERIAN-PEMBERIAN Pemberian-pemberian seremonial ditukarkan dalam banyak kesempatan: pada tempat pertama, perayaan-perayaan perkawinan, yang sangat panjang dan sangat penting, kemudian pada kematian-kematian, dan akhirnya pada saat pembangunan sebuah rumah (hari dimana atap dipasang), peluncuran kapal layar, upacara-upacara keberangkatan dan kembalinya ke desa para anggota sebuah rumah. Pada kesempatan lain, seperti kelahiran, ritual-ritual melawan penyakit, tidak memberi tempat bagi pertukaran sebagaimana dijelaskan, tetapi hanya pemberian-pemberian makanan mentah dan masak. Di samping relasi-relasi yang terhirarki, arah dari pemberian-pemberian mengungkapkan posisi. Dengan demikian meriam-meriam, gong-gong, perhiasan-perhiasan mengarah dari yang inferior kepada yang superior, piring-piring dan kain-kain sebagai balasannya. Dalam relasi-relasi yang sepadan, semua harta bersirkulasi dalam dua arti ini. Pertukaran-pertukaran pemberian adalah kesempatan menyatakan secara jelas relasi-relasi yang menyatukan rumah-rumah dan rin-rin. Pada setiap kejadian penting seluruh anggota rumah di desa menaruh perhatian pada relasi-relasi mereka untuk satu atau dua relasi terpenting dan apa yang tampak pada sirkulasi uang. Pemberian-pemberian tidak hanya menjadi perhatian masyarakat dari mereka yang hidup, tetapi juga dalam relasi-relasi dengan keberadaan-keberadaan supranatural. Kita akan membahas secara singkat beberapa aspek dari relasi-relasi pada dunia supranatural dalam konteks, di mana mereka melengkapi apa yang dikatakan tentang pertukaran-pertukaran. 1. Kewajiban antar rumah-rumah Pemberian-pemberian dalam relasi hirarkis Setiap perkawinan menghadirkan relasi dua rumah yan‟ur-mang‟ohoi, para penerima dan pemberi perempuan. Perempuan itu ditukarkan dengan sebuah harta kawin yang disebut vilin, diberikan sekali atau beberapa kali. Jumlahnya diputuskan setelah beberapa kali pertemuan adat antara kedua rumah, terpisah dari pertemuan-pertemuan bersama yang lebih besar. Dengan demikian rumah yang akan menikah mengumpulkan semua “saudara”-nya, keluarga besarnya dan lain-lain, supaya memutuskan jumlah yang rumah tersebut dapat berikan. Kadang-kadang rumah yang akan melaksanakan perkawinan mengajukan sesuai kemampuannya suatu permohonan yang disampaikan sebelum diskusi. Di Tanimbar Kei, harta kawin yang umum diberikan adalah satu atau dua meriam, beberapa gong, sedikit uang dan beberapa perhiasan dengan nilai yang berbeda. Di beberapa bagian di Kepulauan Kei, harta kawin ini menjadi sedikit lebih sulit, mungkin puluhan meriam dan jumlah uang yang besar. Suatu perjanjian yang ditetapkan, harta kawin dikumpulkan dengan bantuan rekan-rekan, dan tanggal pertukaran-pertukaran ini ditetapkan. Bagian utama dari pemberian ditakdirkan bagi bapak dan ibu dari perempuan yang menikah, yang akhirnya mendistribusikan kembali satu bagian kepada rekan-rekan mereka sendiri yang dengannya mereka menjalankan kewajiban mereka. Bagian yang diberikan kepada paman dari pihak ibu dari perempuan yang menikah. Pemberian ini disertai dengan bahan-bahan ritual kepada duad nit, orang-orang mati dari 140 rumahnya. Meskipun perkawinan tidak dilakukan dengan cara sepupu silang dari pihak ibu, pihak laki-laki yang menikah harus memberikan sebuah harta kawin kepada paman dari pihak ibunya. Hal ini bukan bagian dari harta kawin yang berhubungan dengan perkawinan dari perkawinannya, tetapi bereferensi pada perkawinan dari ibunya. dalam kasus, dimana paman tidak mampu menyediakan seorang istri bagi keponakannya, ia harus membantu ponakannya untuk membayar harta kawin. Pemberian-pemberian dari pihak pemberi perempuan menggunakan nama umum kubang mas. Pada saat perkawinan, pemberian-pemberian ini terdiri atas beberapa bagian. Pertama, disebut ngaban tenan, terdiri dari sebuah meriam; ungkapan ini menggambarkan kebersamaan dari potongan-potongan kayu –lunas dan papan-papan pertama- yang membentuk lambung perahu layar (tenan, “lunas”, ngaban, “bahu”, nama yang diberikan pada satu dari papan-papan pertama). Disebutkan bahwa meriam “menggantikan” (holok) tubuh perempuan yang diberikan pada saat perkawinan. Pemberian kedua, disebut habo nil eat vehe, yang dinyatakan gong-gong, perhiasan dan sejumlah uang; ungkapan ini menggambarkan “tiang-tiang dan dayung-daying dari perahu layar”. Kita dapat membandingkan secara metafora perempuan muda di sebuah kapal layar yang hendak berangkat. Analogi ini tidak mengherankan, karena kita telah melihat pada bab sebelumnya bahwa harta kawin dan harga penjualan kapal layar ditandai bersama dalam rumusan-rumusan ritual. Lagi pula, ritual-ritual yang diarahkan pada roh-roh selama perkawinan dan apa yang menyertai pembuatan kapal layar menggunakan nama yang sama, meskipun keduanya tidak memiliki persembahan-persembahan yang sama. Akhirnya, kita telah mencatat semua informasi terakhir ini yang mengajarkan kepada kita bahwa perempuan-perempuan telah ditukar layaknya kapal layar. Analogi yang telah muncul dari analisa ini ditemukan terkonfirmasi. Hal yang menonjol dari semua elemen ini bahwa harta kawin untuk perempuan, kapal layar dan budak secara berdekatan dibawa lebih dekat dalam sistim ritual yang berhubungan dengan ideologi global. Suatu studi yang lengkap tentang ritual-ritual, mitos-mitos dan kisah-kisah perang memperpanjang kehadiran studi sosiologis hingga sebuah sintesa total dari kepercayaan yang lebih mendalam. Ini akan menjadi objek dari karya lainnya. Secara umum pemberian yang ketiga dan keempat tidak memiliki tempat dalam waktu yang sama dalam seremoni perkawinan. Mereka disebut sisidak dan dirtalik, secara hariah berarti “keberangkatan” dan “penghubung”. Terdiri dari perhiasan dengan nilai-nilai yang berbeda (kalung-kalung, anting-anting, liontin); semua ini ditujukan kepada ibu dari pihak istri sebagai harta kawin saat berangkat, kini ia akan berjauhan dari anaknya. Selanjutnya, setelah upacara, pasangan muda ini akan tinggal terlebih dahulu di rumah orang tua dari istri selama beberapa saat (yang dapat bervariasi dari beberapa hari sampai satu tahun) dan hanya akan meninggalkan tempat tinggal ini sampai dua pemberian terakhir. Istri baru ini akan tinggal dalam rumah suaminya, setelah “dipisahkan” dari ibunya. Di Tanimbar Kei, harta kawin yang layak, sebagaimana dijelaskan di atas, dianggap sudah tercapai. Terkadang terjadi bahwa beberapa tahun telah terlewat sebelum terjadi pembayaran terakhir. Dalam kasus ini anak-anak yang lahir akan dibesarkan oleh para paman dari pihak ibu. Ada satu dari kasus-kasus dimana perkawinan demikian menghadirkan masalah, karena anak-anak dalam rumah yang sama (bangunan rumah) dari para paman, dianggap terlalu dekat untuk bisa menikah. Ini adalah fakta yang menjelaskan dengan baik kata “rumah” dan kepentingannya di samping sebagai kelompok sosial dan juga sebagai kesatuan tempat tinggal. Setelah harta kawin dibayarkan, pemberian-pemberian tidak berhenti sampai situ. Dalam semua kesempatan seremonial (sebagaimana telah kami gariskan di awal bab ini), para penerima melanjutkan terus penghormatan mereka kepada para pemberi perempuan sambil menawarkan 141 uang tergantung besarnya kepentingan yang mengikuti keadaan hutang mereka. Semua pemberian dari para penerima melalui para pemberi perempuan dinamakan flurut duad-nit, yang dapat diterjemahkan secara aprosimatif dengan “memberi makan kepada orang-orang mati-tuhan”, orang-orang mati (leluhur) dari para pemberi. Hal ini dijelaskan dengan baik melalui istilah kubang mas. Pada kesempatan seremoni pemasangan atap rumah dan jika hutangnya besar, para penerima perempuan dapat membawa sebuah meriam yang disebut ngutun telvunan. Pada kesempatan pemakaman, gong-gong dan perhiasan disebut nit vokan, “bagian dari orang mati”. Meskipun ini semua kurang penting, pemberian-pemberian selalu memiliki sejumlah uang dan perhiasan. Lebih dari itu, dan di sana adalah asal dari nama mereka, vu‟un, para penerima perempuan secara tradisional menghormati para pemberi mereka dengan membawa kepada mereka suatu bagian dari binatang buruan dan kepala ikan (vu‟un atau vu‟ut ulun, “kepala ikan”). Jika ada kesulitan-kesulitan dalam rumah mereka, para penerima perempuan ingin menyampaikan kepada para duad-nit, sambil membawa ke rumah para pemberi perempuan sedikit makanan dan pemberian sirih pinang, dan sesekali sopi. Balasan pemberian dari para pemberi kepada para penerima disebut bingan sibo, “piring dan kain”. Secara riil ini adalah piring-piring, piring-piring yang bernilai atau piring-piring seharihari dan berbagai jenis kain, yang ditawarkan rumah istri bersama dengan banyak upacara sambil menemani perempuan muda dalam rumah suaminya. Pemberian-pemberian ini memperindah barang-barang di dapur dan di rumah, barang-barang tembikar, bantal-bantal, dan bahkan sesekali memperindah mesin jahit. Setelah perkawinan, setiap upacara adalah kesempatan dari pemberianpemberian baru. Dikatakan bahwa para pemberi fa‟an fnolok, “makanan dan pakaian” para pemberi yan‟ur, “anak-anak dari saudari-saudari”. Dengan demikian mereka menandakan kembali setiap kali sikap proktektif mereka kepada turunan dari anak-anak perempuan dan saudari-saudari mereka, yang diberikan pada saat perkawinan dan posisi superior mereka. Tidak jarang bahwa bapak memberikan kepada anak perempuannya sebidang tanah atau sebuah pohon kelapa yang ditanam. Pemberian ini disebut helek na‟a ni yafar, secara literer “membuang dalam bakul”; hal ini mengingatkan bahwa para perempuan membawa di punggung mereka, ketika mereka pergi ke kebun, ketika mereka mengisi kembali dengan umbi-umbian, kelapa atau semua saja yang mereka butuhkan. Ini ada suatu atribut yang khas feminim, bakul gendong tidak pernah dibawa oleh laki-laki, kecuali untuk diejek. Banyak bidang tanah berpindah dari rumah ke rumah; sambil melepaskan pelepasan kepemilikan, kita dapat menyadari pentingnya pemberian ini. Tanah bukan ditawarkan pada para penerima wanita, tetapi milik istri yang akan memberikannya ke keturunannya. 142 Kita tidak mengalamatkan di sini studi tentang ritual-ritual yang menyertai upacara perkawinan. Mereka masuk dalam sebuah studi yang lain. Tetapi di sini diringkaskan pada tabel prinsip-prinsip dari pertukaran. (Gambar 34) Penerima perempuan Rumah A Pemberian 1 Pemberian 2 Pemberian 3 Pemberian 4 Pemberian 5 1 merian ngaban tenan 1 gong 3 gelang 2 anting-anting 10 perhiasan berbagai bentuk 1 gong untuk duad-nit 1 gelang sisidak 1 mas dalam bentuk meriam dirtalik Pemberi perempuan Rumah B Hibo ni leat vehe 6 pring bagus 3 kain Bermacam-macam baju Makanan mentah Benda-benda dapur 1 mesin jahit Gambar 34. Pertukaran pemberian dalam perkawinan Adopsi dikarakteriskan oleh pertukaran-pertukaran dengan cara yang sama seperti dalam pertukaran perkawinan, dari pemberian-pemberian para penerima (laki-laki) menjawaban pemberian-pemberian dari para pemberi. Kompensasi menggunakan nama yang sama, vilin, dan terdiri atas uang; meriam menyimbolkan tubuh anak; pemberian perhiasan menawarkan kepada bapak dan ibu disebut sisidak; para pemberi menawarkan kubang mas dan menerima sebagai balasan bingan sibo. Kita telah mengamati upacara adopsi, tetapi hanya pemberian-pemberian memperpanjang relasi pada generasi berikutnya. Seorang laki-laki dari rumah A telah diadopsi oleh rumah B; anak laki-laki b telah menerima pemberian-pemberian dari bagian A pada saat pembangunan rumahnya; para pemberi A menawarkan bingan sibo dan situasi ini digambarkan sebagai fa‟an fnolok “memberi makan” kepada layaknya para pemberi perempuan. Lebih lanjut, dijelaskan di sana suatu relasi dengan uran “saudari”, yang mengidentifikasikan juga posisi dari yang diadopsi kepada relasi seorang saudari yang diberikan dalam perkawinan kepada para penerima yan‟ur “anak-anak saudari-saudari”. Adalah jelas bahwa kita mengasimilasikan pemberian dari seorang laki-laki pada pemberian dari seorang perempuan dan bahwa adopsi menciptakan suatu relasi identik untuk relasi perkawinan. Pada akhirnya, pemberian-pemberian dari relasi ko-maduan terorientasi pada hal yang sama juga bahwa pemberian-pemberian dari relasi perkawinan: ko memberikan kubang mas kepada anak maduan yang membalasnya dengan bingan sibo. Tetapi ada pemberian-pemberian dasar, dan mungkin sebuah pembalikan arah ketika maduan (sebagai paman dari pihak ibu) membantu ko untuk membayar kompensasi dari pihak ibu perkawinannya. 143 1 Ko (Rumah A, Kei Kecil) Pinang dan tembakau Sopi 2000 biskuit 1 gelang Maduan (Tanimbar Kei) 2 56 piring 24 gelas 4 helai kain Beras botan 100 kg beras 1 kambing 3 4 1 meriam 2 gelang Rp. 2500 Pinang dan tembakau 1 dan 2 diberikan pada saat kunjungan ko 3 dan 4 diberikan pada hari pesta Gambar 35. Pertukaran pemberian antara ko dan maduan Pertukaran-pertukaran memunculkan fomalitas: jika ko mendatangkan kepada dirinya suatu panggilan untuk membantu maduan; ia membawa pemberian-pemberian tuat wad dan maneran tabak, “sopi dan makanan daging”, “sirih pinang”; memberikan sirih dan tembakau adalah cara tradisional untuk menghormati seorang yang dihormati. Jika permintaanya itu penting, ko menawarkan bib vav, wear bina, “kambing, babi, air dan makanan sayuran”. Pemberian ini mungkin adalah permintaan maduan sendiri, meskipun ia menyatakan bantuan kepada ko-nya untuk mempersiapkan sebuah perayaan; ko membawa makanan-makanan dan termasuk transport air, kayu dan lain-lain. Dengan demikian, sama seperti penerima para perempuan, ko menawarkan persembahan (meriam, gong, perhiasan) dan makanan-makanan. Maduan memberikan piring dan kain sebagai balasan dan sering berpatisipasi kompensasi perkawinan dari ko sambil memberikan perhiasan, meriam-meriam, gong-gong dan sejumlah uang. Kita dapat mengamati sebuah pertukaran antara ko dan maduan yang telah kami contohkan di sini. Maduan adalah haratut, keseluruhan masyarakat Tanebar-Evav, ko adalah sebuah rumah dari sebuah desa tetangga yang terletak di sisi barat Kei Kecil. Pada kesempatan yang tersedia untuk upacara untuk pemasangan atap dari rumah baru ko. Beberapa minggu sebelum peristiwa itu ko tiba di Tanebar Evav untuk menyampaikan kepada maduan dan membuat pemberian-pemberian seturut kebiasaan dengan mana maduan akan menjawab dengan balasan persembahan. Hari itu tiba, tiga puluhan penduduk desa Tanebar Evav bertolak dengan sebuah kapal layar, sambil membawa makanan untuk pesta. Untuk kembalinya mereka, ko, menawarkan kepada mereka persembahan-persembahan berharga kepada mereka. Kesatuan pertukaran dapat dilihat pada gambar di atas (35). Pemberian-pemberian yang diberikan oleh maduan dikumpulkan, atas nama haratut, dihadapan seluruh warga desa; pemberian dalam bentuk benda-benda berharga yang diterima sebagai pertukaran dimasukan kepada haratut dan disimpan dalam rumah adat, kecuali sebuah gelang yang dimaksudkan secara kolektif kepada ketiga puluh orang, yang telah berlayar “sebagai bentuk kompensasi”. Jika satu dari tiga puluh orang pada suatu hari membutuhkan gelang ini untuk sebuah persembahan, ia dapat memohon kepada kelompok tersebut yang akan memutuskannya. 144 Meriam yang diterima itu akan berpindah tangan. Seorang laki-laki dari rumah X dari Tanebar Evav, dalam posisi ko dihadapan haratut, maduan-nya, membutuhkan sebuah meriam untuk menyelesaikan pembayaran kompensasi perkawinan untuk istrinya (ia telah menikah delapan tahun). Ia mengajukan permintaan kepada haratut dalam pertemuan di rumah adat desa. Ia membawa tuat wad dan maneran tabak, sopi, makanan daging, pinang dan tembakau. Kebersamaan sidang adat serentak menerima permohonannya, ia mengambil meriam itu, yang ia akan serahkan secara langsung kepada saudara istrinya, kemudian ia memberikan sebuah pesta untuk semua penduduk desa. Contoh ini menjelaskan dengan baik sirkulasi benda-benda berharga dan menggariskan juga kesulitan yang mungkin ada untuk mendapatkannya. Meriam tersedia dalam jumlah yang terbatas di desa, dan kerapkali menanti lama sebelum dapat memperoleh meriam yang orang harus berikan dalam pertukaran perkawinan. Pemberian-pemberian dalam relasi sejajar Relasi sivelek dan baran ya‟an war dicirikhaskan oleh pertukaran pemberian-pemberian yang identik, yang berisi mulai dari meriam-meriam dan perhiasan-perhiasan sampai piring-piring dan kain-kain. Kita telah mengamati perkawinan dengan tipe sivelak, tetapi hanya dipahami bahwa pemberian-pemberian sangat sederhana: kita memberikan sebuah perhiasan (umumnya gelang) untuk mengenal rumah pasangannya untuk mendapatkan istri dalam rumahnya. Pemberian ini disebut u tul mas, secara harafiah berarti “saya menyebut emas” atau “perhiasan”. Gelang ini pada tempatnya adalah kompensasi perkawinan. Perannya yang sama adalah cukup untuk sebuah permohonan bantuan. Berakhirnya pertukarang dan pengembaliannya dipahami dalam suatu masa depan yang tidak dapat ditentukan. Pemberian-pemberian yang ditukar antara pasangan baran ya‟an war disebut fa‟an fnolok, dari nama yang sama sebagaimana pemberian-pemberian para pemberi istri. Tetapi mereka memahami juga pemberian-pemberian yang dikarakteriktikan para penerima, artinya terdiri atas meriam-meriam, gong-gong dan perhiasan. Mereka diberikan melalui upacara seperti telah dijelaskan, seperti satu dari pasangan mengawinkan anak perempuan atau anak laki-laki, membangun kapal layar dan lain-lain. Ia menerima di sini bantuan, baik untuk mengumpulkan kompensasi perkawinan, maupun untuk menerima makanan-makanan. Ia memberikan bantuannya ketika pada gilirannya pasangannya membutuhkan bantuannya. Selama pembangunan rumahrumah atau kapal-kapal layar, pemberian balasan sering segera dibuat, dan umumnya yang satu membawa perhiasan, yang lain memberikan kepadanya pada hari yang sama perhiasan-perhiasan lainnya atau sebuah gong sebagai pertukaran. Ungkapan fa‟an fnolok yang diaplikasikan pada pertukaran mereka menjelaskan dengan baik bahwa tindakan suatu relasi dari bantuan dan proteksi, dari dukungan satu rumah ke rumah lainnya, dalam kasus ini, relasi ini secara sempurna berulang dan adil. Masing-masing untuk putarannya melindungi lainnya, kedua rumah solider dan menjadi seperti dua kawan muda. Relasi baran ya‟an war kurang diformalkan, kurang dramatik, dibanding relasi hirarkis, seperti relasi perkawinan. Perkawinan adalah pernyataan kembali garis-garis sosial, sangat sering telah berlangsung lama. Hal ini meletakkan berhadap-hadapan dua kelompok, yang membagi keseluruhan desa. Hal ini juga membangkitkan minat yang berlipat ganda, yang diikat oleh tanah, pada fungsi-fungsi ritual dan politik; ini sering pula menghidupkan konflik-konflik atau menciptakan konflik baru. 145 Sirkulasi cepat dari benda-benda berharga Upacara-upacara pada setiap rumah adalah kesempatan untuk menghadirkan pasanganpasangan dari semua relasi-relasi yang rumah tersebut pelihara dan lengkapi, yang memulai dan mengakhiri pertukaran-pertukaran relative pada aneka peristiwa sebelumnya dan ke masa depan. Adalah mudah untuk melihat sirkulasi benda-benda berharga melintasi desa dan mungkin ke luar desa. Benda-benda berharga ini tidak menetap dalam waktu yang sama di antara tangan-tangan yang sama; kita menggunakan benda-benda berharga, dimana kita menerima aturan hutanghutang dan meletakkannya dalam aturan. Dapat dilihat pada contoh (gambar 36). Ini adalah hari perkawinan seorang laki-laki dari rumah A; ia tidak kawin dengan sepupu silang dari pihak ibunya dan paman dari pihak ibunya (berasal dari rumah B di sebuah desa di Kei Kecil) dengan demikian menerima sebuah kompensasi; jadi a memberikan sebuah gelang yang bernilai tertentu kepada anak laki-laki b yang menghadiri perkawinan. Ditemukan di sini bahwa b adalah saudara (classificatoire) dari seorang pria yang berasal dari rumah C. Laki-laki terakhir ini, c, telah menikah dan ayah dua orang anak, belum membayar kompensasi perkawinan untuk istrinya, dari rumah A. Saudara (classificatoire) b1 menawarkan kepada c bantuan untuk mengatur hutangnya dan memberikan kepadanya gelang; c memberikan pada hari yang sama perhiasan ini kepada ayah dari istrinya, yang berasal dari rumah A, dengan membayar sisidak, pemberian untuk “keberangkatan” anak perempuan. Pada sore itu, a menerima gelang yang ia telah berikan pada pagi di hari yang sama. Melalui sirkulasinya, perhiasan telah melalui aturan kompensasi yang berhubungan dengan dua perkawinan, hal ini pada hari yang sama dan yang lain lebih dahulu. Kita senantiasa berpegang pada laporan tentang apa yang kita harus dan siapa kamu, supaya mendapat kekuasaan, segera setelah kesempatan ada, menyesuaikan dengan aturan-aturan pembayaran kuno. Kita menggunakan bahkan, tampaknya, cara perhitungan tertentu, semacam papan yang dengannya diukir objek-objek berbeda yang berisi persembahan-persembahan yang telah diberikan (Pleyte 1893). Terjadi bahwa pertukaran-pertukaran tersebar sepanjang waktu; contohnya sebuah perkawinan ditetapkan oleh orang-orang tua sementara pasangan masa depan adalah anak-anak; satu bagian dari harga dibalikkan, sebuah gong dan perhiasan-perhiasan, dan pemberianpemberian ini disebut “mengikat larangan perempuan muda” (seperti kita mengikat daun kelapa untuk menjelaskan bahwa dilarang untuk memanjatnya). Ayah dari pasangan masa depan dapat menyerahkan lebih awal untuk memberikan pemberian-pemberian, yakni pemberian-pemberian 146 perkawinan dari anak laki-lakinya sebagai contoh; bahkan sebelum sebuah siklus akan diakhiri, benda-benda berharga dapat masuk dalam sirkulasi-sirkulasi pemberian yang lain. Sirkulasi benda-benda berharga menyatakan relasi-relasi dan mengafirmasi garis-garis hubungan antara rumah-rumah. Semua aktivitas sosial menjelaskan melalui pertukaran bendabenda ini yang menerjemahkan keabadian dari relasi dan kontinuitas dari kelompok-kelompok. Kita dapat melihat dengan baik bagaimana di setiap perkawinan situasi-situasi dapat dimodifikasi dan konflik-konflik diperbaiki lagi. Lebih dari semua peristiwa lain dari hidup seremonial (lebih dari peluncuran kapal layar, pembangunan rumah atau kematian-kematian, yang hanya mengimplikasikan salah satu pasangan relasi, kepemilikan kapal layar, rumah atau rumah dari kematian), pertukaran perkawinan meletakan berhadap-hadapan dua kelompok dalam proses merealisasikan secara simultan dua operasi pertukaran: pemberian seorang perempuan kontra sebuah kompensasi. Sejak semua rumah dilibatkan, sebuah seremoni menjadi semacam titik tetap di dalam waktu, suatu perhentian dari waktu dimana kita dapat melihat, terproyeksi pada sebuah gambaran komplet. Kebersamaan dari relasi-relasi yang ditenun sejak lama; setiap rumah diletakkan, mengambil posisi dalam relasinya terhadap yang lain melalui suatu titik tertentu dari peristiwa: relasi itu adalah baran ya‟ar war dari satu pasangan relasi, tetapi ia juga adalah mang‟oho dari yang lain, yang kepadanya ia membawa kain-kain dan piring-piring; satu yang lain adalah itin kan dari penerima aktual, yang lain telah menerima seorang anak untuk diadopsi. Haruslah diingat bahwa semua relasi menempatkan disposisi dari yang satu di salah satu sisi dan yang lain disisi lainnya. Di sana terdapat garis-garis solidaritas dari ub dan yam, dan fam umum, rumah-rumah tertua dari ub yang memimpin rumah-rumah mereka yang lebih muda dalam aturan kewajibankewajiban mereka. Jika ada konflik, mereka muncul. Sebuah rumah yang muda, yang kaya akan laki-laki dan barang-barang, dapat memamerkan kekuasaannya sambil memberi lebih banyak, sambil berbicara lebih keras, sambil menuntun musyawarah-musyawarah. Rumah-rumah yang dipilih sebagai tempat upacara seringkali dipermasalahkan: sering terjadi, telah dilupakan sebuah garis hubungan yang lebih tua atau mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang kurang penting, bahwa upacara tersebut terjadi dalam rumah lain. Hal ini menerangkan secara nyata dari suatu sudut pandang, kita harus berhenti, memandang dimana ia berada; ini adalah sebuah saat yang sulit. Kita dapat berbicara total empirik dari relasi-relasi, satu di hadapan yang lain. Suatu pertimbangan yang lain mengeluarkan dari tempat asal pertukaran perkawinan di antara relasi-relasi lain dan karakter totalnya. Jika kita membandingkan pemberian-pemberian pertukaran seturut fungsi nya dalam berbagai relasi (gambar 37), kita mempertimbangkan bahwa pemberian-pemberian yang tersirkulasi menurut arah yang sama, dari pasangan relasi yang superior ke pasangan relasi inferior (pemberi ke penerima, maduan ke ko etc,) dikualifikasikan oleh ungkapan fa‟an fnolok. Kebalikannya, ungkapan flurut duad-nit (memberi makan orang-orang mati-tuhan). Menjelaskan pemberian-pemberian dari para penerima perempuan sendiri dan bukan kepada pasanganpasangan relasional lainnya dalam posisi inferior: di sini pemberian dijelaskan oleh aspeknya yang sangat penting, relasi kepada orang-orang mati dari para pemberi perempuan. 147 Bukan perbedaan bahwa pemberian tunggal kepada orang-orang mati (artinya relasi kepada supranatural) baik itu pemberian dari para penerima perempuan yang menghormati bukan orang-orang mati dari garis keturunan mereka, tetapi garis keturunan pasangan relasional mereka; ini menyiratkan garis keturunan yang satu lebih kurang berbahaya dari yang lain. Mengenai pemberian-pemberian dari para pemberi, ini bukan hanya mengimbangi, tetapi memberi suatu isyarat aktual tentang suatu makna yang mengingat kembali masa lalu leluhur, “memberi makan” garis keturunan dari para leluhur para pemberi. Tindakan ini bukan, seperti dalam relasi komaduan, pembayaran suatu hutang yang tepat waktu, peristiwa, suatu tindakan memutar yang memproduksi suatu masyarakat seluruhnya; “memberi makan” orang-orang mati, ini menyelesaikan tindakan riil dan simbolik yang mendasari dan melanggengkan masyarakat. 2. Susunan Supernatural Kami tidak ingin menggambaran di sini tentang keseluruhan organisasi keyakinan Tanembar-Evav, tetapi sebuah gambaran singkat tentang beberapa ritual, yang mengacu pada apa yang telah kami jelaskan tentang organisasi sosial. Meskipun demikian kami memandang perlu untuk meyakinkan bahwa telah dibuat di sana suatu analisis tentang masyarakat. Penjelasan ini akan menjadi lengkap sampai setelah penelitian dari ritual-ritual dan sistim-sistim kurban dimana kami harus benar-benar memahami semua yang melekat pada masyarakat. Pada bagian ini pula setelah berbicara tentang makhluk-makhluk yang menghuni surga, kami menunjukkan hubungan mereka dengan dunia orang-orang hidup, melalui karunia yang mereka terima dan sanksi-sanksi yang memaksa mereka. Keberadaan-keberadaan Supernatural Dunia akhirat tersusun dari berbagai keberadaan supernatural yang saling mengatur satu terhadap yang lain. Kita dapat mengklasifikasikan keberadaan-keberadaan supernatural ini menurut nama mereka, jenis persembahan yang dibuat untuk mereka, dan menurut relasi-relasi mereka dengan orang-orang yang hidup. Gambar singkat ini menunjukkan variasi dan kompleksitas hubungan mereka di dunia. Di bagian atas hirarki, pertama-tama ditemukan “tuhan matahari-bulan”, duad ler vuan; di permukaan bumi, ada manusia, dan kemudian di bawah manusia, bumi-ibu yang memberi 148 makan manusia, bum. Perantara antara tuhan dan manusia terdapat sekumpulan makhluk-makhluk supranatural. Di samping Allah, pertama ada bidar dan melikat: yang pertama, menunjuk angka simbolik dari angka tujuh, menunjukkan roh anak-anak yang mati saat lahir. Yang terakhir (dimana nama asli Arab yang menjelaskan "malaikat" seperti dalam Islam), menunjuk angka lima, adalah roh-roh dari janin yang hilang pada waktu keguguran. Dekat dengan tuhan ada pula nabi, yang utama adalah Adam dan Hawa, masing-masing menjaga penyu-penyu di laut dan babi di bumi. Ekspresi duad-nabi secara langsung mengasosiasikan tuhan sebagai satu kategori tunggal dari keberadaan supernatural yang superior. Secara bersama-sama terasosiasi dan terhubung dengan tuhan, yakni melikat-bidar tidak memainkan peran besar. Mereka kadang-kadang datang untuk mengganggu orang-orang hidup sambil mempersalahkan mereka, membiarkan mati dan juga memberitahu orang tua mereka: "Apa kesalahan yang telah engkau lakukan, sehingga saya terbunuh?" (Kematian tidak pernah alami, tetapi selalu merupakan akibat dari suatu kesalahan). Melikat-bidar, yang terasosiasi secara simbolik dengan angka tujuh dan lima, menjelaskan tatanan dunia: kita menggunakan angka ini untuk menandakan secara abstrak kebiasaan dan aturan dalam ungkapan adat i fit i lim atau aturan i fit lim, "hukum tujuh dan lima" dari kebiasaan. Orang mengatakan juga binakit i fit i lim, "penyakit tujuh dan lima,” yang berarti cara yang digunakan oleh Tuhan untuk menghukum yang orang-orang yang hidup. "Tujuh dan lima" adalah sebuah abstraksi yang mengungkapkan semua kebiasaan dan adat istiadat masyarakat dalam kaitannya dengan dunia supranatural. Di samping keberadaan-keberadaan partikuler ini ada pula kategori umum para mitu, "roh-roh" pengantara nyata antara Allah dan manusia, yang dianggap sebagai lengan atau "tangan" tuhan, atau duad ni neran, mereka akan mengeksekusi semua keinginan. Di antara mereka, yang paling penting adalah Adat, hukum (dan wilin) dan aturan; inilah roh penjaga dari setiap desa, yang telah disebutkan. Satu dari fungsi mereka adalah untuk menghukum "jiwa" yang 149 diberi sangsi oleh Tuhan, dan menyembunyikan mereka dari hukuman, karena dosa-dosa mereka: "Ketika kita membuat kesalahan, kita sama sekali tidak memiliki jiwa, Tuhan telah mengambilnya", demikian orang memahaminya. Dan jiwa ini kemudian tersembunyi di dalam segala macam tempat, sebagaimana ditemukan dalam hidup sehari-hari, kecuali pada ub (guci), ngus (jenis lain yang diimpor Jawa), vov dan bis. Vov adalah panci tanah liat yang besar untuk memasak makanan, tetapi juga tempat di mana orang membaringkan janin yang keguguran untuk dibawa ke hutan; bis adalah suatu anyaman berbentuk kantong dimana orang menyimpan padi botan, yang belum dikupas. Kami telah mencatat sebelumnya dalam buku ini asosiasi yang sempit dari ub dengan nenek moyang, sebagai wadah sosiologis dan simbolis. Adapun ngus dalam nama tertentu digunakan di lumbung padi botan untuk menjaga mata uang suci; vov menerima janin atau melikat yang ada dekat dengan tuhan; bis yang sama dengan ub mengandung padi botan, dan salah satu dari mereka, di lumbung padi botan, berisi uang suci. Adalah penting bahwa jiwa-jiwa "diburu" tidak pergi ke bersembunyi di dalam tempat-tempat yang terasosiasi dengan dengan para nenek moyang, roh-roh, uang dan padi botan. Di antara para mitu yang paling penting, kita perlu mengingat eksistensi dari tiga mitu yang terikat masing-masing pada salah satu dari tempat-tempat besar di desa, yakni Labul, Limwad dan Larmedan. Didasarkan pada mitos-mitos, dua yang pertama adalah berasal-usul dari luar pulau; yang ketiga adalah suku asli. Kultus mereka secara langsung terkait dengan ritual tumbuh padi botan. Dari ketiga ini, harus ditambahkan lev, mitu dari "pusar pulau" sekaligus roh dan leluhur (sebagaimana Adat). Keempat roh ini tidak diasosiasikan sebagai pelaksana sanksi melainkan sebagai penjaga-penjaga organisasi internal desa (tiga tempat, tiga yam) dan dari kultur padi botan. Setiap rumah di desa dilindungi oleh satu roh mitu, yang memakai nama dan memiliki sejarah tertentu; mereka menerima persembahan makanan dan uang, sementara yang lain menerima persembahan daging babi; setiap kali setiap kali seekor babi – harus domestik dan di luar ritual padi botan - dibunuh, suatu bagian dipersembahkannya kepada mitu dari suatu tempat yang padanya termasuk rumah dari pemilik babi. Penjaga para ub, sperti telah dijelaskan tentang wadar. kadang-kadang disebut ub-wadar atau wadar-mitu dari para penduduk sembilan rumah. Mereka ini adalah pasangan nenek moyang mitis pria-wanita, para pendiri ub. Kultus mereka bersifat spesifik. Sambil turun kembali dalam hirarki dari keberadaan-keberadaan supernatural, kemudian muncul seluruh orang-orang mati-nenek moyang dari silsilah. Secara umum, orang-orang mati disebut nit: kata ini pertama-tama menggambarkan jenasah, tetapi juga orang-orang mati, oleh mereka kita ditawarkan manfaat-manfaat setelah pemakaman. Di antara orang-orang mati, yang paling penting adalah duad-nit. Mereka adalah orang-orang mati dari pihak pemberi perempuan, kemudian nit ulun pada tempat ketiga. Ini adalah pemujaan yang diberikan kepada ayah oleh anak laki-laki, tetapi untuk ini kita hanya memiliki sedikit informasi. Dan akhirnya, nit yang adalah orang-orang mati dari rumah-rumah desa, yang disebut duad kabav, para "tuhan dari bawah" (dan juga orang-orang tua dari rumah-rumah), artinya, mereka yang mengatur kita di bumi ini. Karena selain itu, ada pula duad karatat "tuhan di atas", yakni tuhan matahari-bulan. Nit menerima semua jenis persembahan, babi, makanan, uang logam dan sirih, dan harus selalu berhati-hati ketika meninggalkan pulau dan kembali. Tidak dapat diklasifikasikan dalam hirarki ini, tetapi bagian dari dunia supranatural juga adalah foar, orang hilang-hilang, roh nenek moyang yang jauh, sering setelah perdebatan, pergi ke hutan dan tidak pernah kembali. Mereka menghuni hutan dan diberi makan dari persembahan. Kita harus menyebutkan juga mav, "asing", roh yang datang ke dalam pikiran dan juga berada 150 dari tempat lain, yang bertempat tinggal di dalam pulau, tampaknya menjadi wakil-wakil dari dunia yang berbeda, wakil dari masyarakat luar desa. Selama ritual budidaya padi botan, "orang hilang-hilang" dan "mav" menerima persembahan-persembahan dalam hutan dalam bentuk sesuatu yang menyerupai makanan (kulit sayuran, sekam, dll.) Secara ringkas, dan untuk mengatur kepelbagaian ini dalam aturan hirarki yang ada, kita menemukan: tingkatan tertinggi, yang menentukan bentuk, tuhan yang tunggal, asal dari segala sesuatu dan acuan terakhir, sekaligus maskulin dan feminim (matahari dan bulan), yang terkait dengan prinsip feminin dari bumi, pasangan dari matahari: masyarakat haratut dianggap sebagai "keponakan", yanan duan, dari Hukum. Akhirnya nenek moyang, yang dapat dibagi menjadi dua kategori, leluhur-leluhur mistik ciptaan dari aturan masyarakat yang baru (sembilan) ub, kemudian leluhur-orang-orang, lebih dekat, silsilah yang mengontrol organisasi sehari-hari dari kehidupan orang-orang hidup. Tuhan berada di atas semua roh Adat adalah eksekutor-eksekutor yang besar, tetapi orang-orang umumnya takut sekali terhadap duad nit dan lebih umum nit, para nenek moyang yang mati, yang lebih umum peduli dengan kehidupan orang-orang dari rumah. Dalam semua ini, kadang-kadang sulit untuk membedakan dengan cermat antara roh dan nenek moyang. Roh yang lebih besar, Adat, berasal dari luar, sesuai dengan mitos bahwa roh larmedan mempercayakan penjagaan dan kontrol dari pulau, kadang disebut "roh" mitu, kadangkadang ub nus, "kakek di belakang kakek." Ia antara baik roh maupun nenek moyang, dan menerima manfaat yang menjadi ciri dan kategori yang lain. Roh lev juga di persimpangan dua kategori. Semua mitu yang dimohon dalam rumusan-rumusan ritual disebut ubun "kakek", sebagai wadar yang sama. Tuhan sendiri kadang-kadang disebut sebagai "yang terbesar di antara “tua-tua" dan dalam masyarakat tetangga dari kepulauan Tanimbar (yang juga mengenal tuhan matahari-bulan), ia disebut sebagai ub hila'a "kakek yang besar" atau "moyang yang besar". Akhirnya, masih perlu suatu kajian menyeluruh tentang ritual yang memungkinkan beberapa penyempurnaan klasifikasi ini. Namun, kita bisa melihat hal penting: mitu adalah "tangan" tuhan dan wakil-wakil hukum yang datang bersama mereka dari luar, hukum yang yang menjelaskan kebersamaan kultural, yang dibentuk oleh kepulauan, sutau hukum yang terkait dengan lor. Di pihak lain wadar dan nit adalah representasi hukum internal dari masyarakat, dari aturan-aturan dan organisasi yang menjamin kontinuitas, rumah-rumah; Adat ada di batas dari duanya, karena, datang dari luar, ia telah menerima secara eksplisit kekuasaan-kekuasaan untuk memastikan kepatuhan dari hukumhukum dari gunung Masbait, hokum-hukum positif yang mengatur masyarakat haratut TanibarEvav. Pada tingkat ini, dengan demikian kita dapat membedakan antara satu sisi keberadaankeberadaan supernatural, wadar dan nit, yang berhubungan dengan rumah, ub, hubungan antara rumah-rumah, struktur internal organisasi sosial dan lain-lain, beberapa mitu, adat dan terutama hukum, yang mengacu pada dunia yang lebih luas, kepada suatu hukum yang lebih fundamental dan universal, yang mengatur incest dan pembunuhan, dan juga seluruh politik yang mengorganisasi kepulauan dalam wilayah di bawah otoritas raja (khususnya dalam pembagian lorsi dan lorlim). Pemberian-pemberian kepada orang-orang mati-leluhur Duad-nit adalah orang-orang mati yang berbahaya, dimana orang sering membicarakan. Pada mereka tergantung kelangsungan hidup dari rumah dari pemberi perempuan. Jika anda lupa untuk "memberi makan/ menghidupi" pada saat perkawinan, maka perempuan tidak mempunyai anak, atau ia akan jatuh sakit pada saat hamil dan anaknya tidak akan terjamin. Selama sakit, 151 orang akan mengajukan pertanyaan untuk mengetahui apakah tidak ada perbedaan pendapat di antara duad-nit; orang lalu membawa kepada para pemberi perempuan suatu persembahan makanan, sirih dan tembakau, beberapa uang logam, yang mereka letakan pada kuburan atau pada rumah di atas pintu depan, dan tempat lewat orang-orang mati. Tapi sangsi dari duad-nit beresiko untuk merasakan apakah kita dapat merealisasikan suatu pernikahan dengan pihak “pemberi perempuan sejak semula.” Jika seseorang yang sakit, kita mengatakan bahwa duad-nit "menjadi gila", ia memiliki kepalanya dan menoleh kepadanya; sehingga kita merasa dipaksa untuk melaksanakan perkawinan menurut aliansi tradisional. Orang-orang mati lainnya kurang berbahaya tetapi jangan melupakan mereka. Pada saat perkawinan, rumah laki-laki dan perempuan masing-masing pada gilirannya memiliki suatu kewajiban untuk salah satu dari tiga nit ulun: kata ini secara harafiah berarti "kepala orang-orang mati"; dan mengacu kepada seorang leluhur yang terhormat, yang membedakan dari yang lain sejak semula. Mereka menerima pada saat perkawinan kewajiban-kewajiban yang terdiri dari permata kecil, ikan asap dan makanan yang digoreng, yang kita letakkan ke dalam sebuah piring di tempat kultus di tengah hutan. Pemberian ini adalah penting, sehingga pada masa depan anakanak tidak menjadi sakit. Kami tidak tahu acara-acara lain di mana nit ulun akan dihormati. Orang-orang mati secara umum, nit dari rumah, sangat sering diberikan persembahan kecil pada saat kelahiran, selama sakit dan ketika meninggalkan pulau atau kembali. Ini disebut tul nit "memberitahukan kepada orang mati." Atas nama seluruh penduduk desa, mereka menerima persembahan-persembahan daging babi dan makanan selama ritual padi botan, gelar yang sama yakni roh-roh. Bila ada mati dengan baik, yakni mereka yang telah menyerah pada penyakit yang jahat, mereka dimakamkan di luar desa dan tidak menerima persembahan. Semua orang mati, bahkan dalam bentuk mayat, mempunyai kekuatan yang berlipat: kenajisan mereka ditakuti para Mitu, perwira mereka, dan juga juru bahasa mereka. Semua orang tidak bisa makan makanan yang ditawarkan di pemakaman. Makanan ini pertama-tama harus dimurnikan setelah diletakan di atas tanah. Di sisi lain, orang mati memiliki kekuatan untuk melanggar larangan-larangan tertentu: jika suatu kematian terjadi ketika sebuah tabu (sasi) ditaruh di desa, ia secara otomatis terangkat. Orang mengatakan bahwa kematian "mendinginkan" larangan. Jika orang baru saja membangun sebuah rumah, orang harus menghentikan pekerjaan yang buruk, seperti penyakit, dan membawa mereka yang sakit keluar dari desa. Jadi tidak hanya orang-orang mati berbeda dari roh-roh, tetapi mereka kurang takut kepada orang-orang hidup dibanding kepada roh-roh, yang harus melindungi dari noda mereka. Pemberian-pemberian kepada wadar Wadar tinggal dalam sembilan rumah; anak tertua dari rumah memimpin doa. Ia tidak memimpin secara teratur tetapi menurut kesempatan dan situasi dari satu rumah ub atau rumah ub yang lain. Setiap rumah dapat membuat persembahan-persembahan, ketika ia menginginkannya sebagai perantara. Jika orang melupakan Wadar dalam waktu yang lama, orang akan jatuh sakit. Jika pewaris rumah tinggal bertahun-tahun di rumah istrinya karena dia belum selesai memberikan harta kawin, nenek moyang akan marah, karena rumah tetap kosong dari penghuninya; anak-anak meninggal dari penyakit yang tidak bisa dimengerti. Karena itu pewaris harus memutuskan untuk memuaskan Wadar dengan kembali tinggal di rumahnya setelah membayar hutang perkawinan. Ia lalu membuat persembahan untuk Wadar. 152 Para wadar “memakan” banyak kura-kura, tapi juga lumba-lumba dan penyu laut. Ketika orang menangkap kura-kura dengan kait di laut, kura-kura itu diberikan kepada Wadar, sedangkan jika orang menangkapnya saat ia sedang berada di pantai, maka satu bagian akan dipersembahkan kepada roh Hukum. Setiap bagian itu terdiri dari sembilan potong. Orang memilih juga bagian-bagian penyu (senantiasa bagian-bagian yang sama, tetapi daging babi, yang dipersembahkan kepada roh-roh Mitu). Sembilan bagian mewakili sembilan Wadar, yang semuanya dihormati pada saat yang sama melalui salah satu dari mereka. Lalu sisi kanan perut penyu dimasak untuk mereka yang tinggal di luar yang sedang hamil. Setelah matang, bagianbagian tersebut disimpan di rumah, pada papan yang berfungsi sebagai loteng, di atas pintu masuk, di bagian depan rumah, sama seperti yang dibuat untuk orang-orang mati. Orang meletakkan makanan-makanan ini seolah-olah pemberian sirih dan pinang. Pada tempat sirih, orang meletakkan beberapa daun sirih yang disebut ina'an nit, "sirih kita mati", dan pada tempat lain dari buah pinang, kita memberikan sebuah pecahan tembikar. Dengan demikian, sambil mempersiapkan setiap delapan belas bagian, sesuai dengan jumlah total mitos nenek moyang, orang membuat persembahan kepada semua wadar pada waktu yang sama, yang berarti dengan ttidak terpisahkan Wadar mewakili keseluruhan, kesemua sembilan ub. Kita tahu bahwa para wadar tidak punya nama, dan tidak memperbolehkan membedakan satu dari yang lain; mereka hanya mengirim persembahan dengan mengacu pada totalitas. Kultus wadar tidak hanya mengingatkan kohesi internal ub oleh hubungan antara rumahrumah mereka, tetapi juga merupakan penegasan kembali dari kohesi dari desa yang terbentuk dari totalitas tak keliatan dari sembilan ub. Tetapi, ada di sana sebuah ambiguitas, karena jika wadar adalah para penjaga rumah, berdasarkan prinsip keturunan patrilineal, kultus menunujukan dengan baik pada suatu pasangan laki-laki-perempuan pendiri dari ub dan ke delapangan pasangan yang lain yang ekuivalen. Yang dengannya totalitas masyarakat dipresentasikan. Ada di sana suatu karakter yang tidak berbedakan, yang kontras dengan ideologi patrilineal dari rumah-rumah dan hubungan antara rumah-rumah pada interiur dari ub. Harus berbeda juga dengan orang-orang mati lebih menakutkannya, yakni orang-orang mati dari pihak pemberi wanita, yang menggarisbawahi pentingnya aliansi. Dalam tingkat kultus-kultus, seseorang dihadapkan pada konfrontasi dua aspek masyarakat yang tampaknya bertentangan, kehadiran sifat-sifat yang tidak terbedakan terlibat dalam ideologi aliansi. Kewajiban kepada roh-roh: lor dan bangkai-bangkai kapal Kami tidak membahas kultus mitu secara umum yang berhubungan erat dengan ritual dari kultus budidaya botan untuk sebagian besar di antara mereka. Hanya menarik bagi kami di sini roh-roh Hukum dan Adat, yang dalamnya mereka adalah sangat khusus penjaga-penjaga hokum, yang datang dari ekteriur dan di sana, melindungi dan menghukum sekaligus masyarakat. Roh Hukum selalu terasosiasi dengan roh wilin, yang datang dalam waktu yang sama dengannya di belakang desa. Kata wilin bukan bahasa Indonesia, yang berarti “kemudi”. Roh-roh ini seperti dua aspek dalam satu realitas; orang berkata bahwa wilin mencakup lor roa, “masyarakat laut”, sedangkan Hukum mencakup lor nangan, “masyarakat darat, dari dalam”. Kita ingat bahwa semua yang datang dari luar berhenti di pantai, semua bangkai kapal, memiliki hak atas Hukum, dan harus pertama-tama diberikan kepadanya. Orang mengatakan lor ni, “itu milik lor”. Tidak ada yang dapat masuk ke pulau tanpa menerima “selamat datang” atau mendapatkan suatu perawatan khusus. Dalam istilah-istilah yang lain, orang mengatakan yaf, yang berarti di 153 satu sisi “api” dan di sisi lain “selamat datang”. Orang-orang asing diterima menurut sebuah seremoni, bahkan bangkai-bangkai yang terdampar. Kata “penerimaan” adalah ambigu; ini adalah suatu cara untuk menghormati apa yang datang dari luar, tetapi juga melindunginya, untuk mengontrolnya dan untuk mengurangi efek-efek yang merugikan, yakni hal-hal yang datang dari luar. Beberapa kategori bangkai harus dihujukkan kepada Hukum, secara nyata atau secara simbolik atau diganti oleh kompensasi-kompensasi. Pertama-tama adalah ikan paus, yang disebut lor. Kemudian binatang-binatang laut yang lain, seperti penyu, penyu blimbing, ikan duyung, lumba-lumba, ketika mereka terdampar. Semua binatang laut ini masuk dalam kategori lor tomat. Lor “manusia atau laki-laki” (orang menyebut tomat atau umat, “manusia”). Kemudian ada juga kategori lor mas, “perhiasan dan emas”; ini adalah semua bangkai yang mempertahankan sebuah bentuk yang masih dapat dikenali, seperti perahu, botol-botol, drum-drum dan orang-orang. Kumpulan pertama dari bangkai-bangkai ini disebut lor mas tomat, sinonimnya wad, “makanan daging”, dan menyataan apa yang dapat dimakan. Sebaliknya ada pula kategori yang tidak dapat dimakan lor balanum, lor “ikan”; ini adalah semua jenis kayu, berbagai serpihan; semua ini yang tidak lagi berbentuk adalah dari “racun”. Jenasah-jenasah manusia yang terdampar masuk dalam kategori pertama. Untuk semua yang orang jemput di pantai, orang harus mempersembahka kepadanya Hukum, lor ni wang “bagian dari lor”. Bagian yang spesial dari binatang-binatang diberikan kepada Hukum. Untuk obyek-obyek lain, orang memberikan persembahan pinang dan mas, sering dengan kain putih –lebih dari mitu-mitu lain. Hukum tidak dapat dicapai dengan batin yang kotor. Persembahan-persembahan dihujukan di atas sebuah piring putih; kata orang, putih itu menyimbolkan kebersihan dan kemurnian. Jika orang lupa memberikan persembahan-persembahan, binatang-binatang kecil yang berbahaya, kutu daun, ulat bulu, kumbang dll. menyerang ladang dan merusak tanaman; orang mengatakan bahwa “mereka adalah milik lor”, yakni di lor nangan, “dari dalam”. Untuk memperbaiki kesalahan, orang harus membayar, vear lor relan; relan, ini berarti “leher”, tetapi diaplikasikan pada obyek-obyek ritual, kata ini menggambarkan prinsip internal dari sesuatu hal , apa yang orang dapat terjemahkan sebagai “hati” atau “jiwa”. Perbaikan terdiri atas “melakukan tindakan keluar” dari rumah yang secara simbolik menjelaskan hal-hal yang yang masuk ke sana melalui bangkai yang masuk tanpa kompensasi. Orang memberikan kepada Hukum sedikit daging babi dan botan, yang dihitung sebanyak ukuran sepuluh ref; dari dalam rumah, orang menonjolkan satu dari ikatan-ikatan daun, yang merupakan penutup atap, dan orang mempersembahkan di sana daging babi dan satu sak botan. Selanjutnya, daging babi dikorbankan di depan rumah hukum, melalui batu suci, lalu kemudian dikonsumsi. Jika melalui suatu waktu yang panjang, banyak obyek terdampar di pantai –secara umum setelah murim barat, dimana angin besar dan arus membawa puing-puing-, orang melakukan sebuah seremoni khusus dimana tujuannya adalah sesuatu untuk “memurnikan” seluruh desa dalam sekali jalan. Orang menyebutnya tiva lor, “memukul tipa untuk lor”. Semua penduduk desa pada suatu malam masuk dalam rumah Hukum. Dan menyanyikan bersama dengan iringan tipa; lagu-lagu ini, pelan dan berulang, menyatakan mantra-mantra di malam hari. Nyanyian-nyanyian awal merayakan kenangan akan ikan paus dan yang mengambil kembali mitos-mitos. Kemudian orang menyanyikan nyanyian-nyanyian perang, sejarah desa. Semua pengulangan-pengulangan terasa melelahkan, hingga matahari terbit. Seremoni ini sangat indah dan sangat meletihkan. Seremoni mulai dengan penuh gairah, tipa-tipa berbunyi panjang; di tengah malam, suara-suara tersebar, tubuh-tubuh terbentang di serambi-serambi rumah para tetangga mengisi malam dengan 154 kehadiran yang tak terlihat. Orang hanya mendengar suara-suara laki-laki tua yang memainkan peran. Ini mengalun seperti sebuah misteri yang meliputi lagu-lagu pada bahasa yang tak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Akhirnya rembulan terbenam, menghilang pada bagian belakang rumah-rumah, dan pada waktu istirahat, masyarakat kembali kepadanya, menemukan kembali kekuatan-kekuatan yang diperbaharui oleh panggilan matahari setelah malam yang panjang dari usaha-usaha penebusan. Aksen-aksen terakhir dari lagu-lagu bergemuruh dengan matarahi, yang mengambil kembali guna mengakhiri perayaan ikan paus. Dengan demikian, peran pertama dari roh hukum, seperti yang merepsentasikan lor, adalah untuk membangun semacam penghalang seputar pulau, suatu ritual perlindungan, yang memungkin desa untuk membentuk suatu dunia interior, yang terbagi; sebagaimana semua perbatasan, hal ini pada saat yang sama membagi dalam suatu dunia yang tertutup dan apa yang menghubungkan ke dunia luar. Tetapi lor behubungan juga dengan organisasi internal, dalam apa yang menjelaskan nilai-nilai yang lebih fundamental dan universal. Pelanggaran dan sangsi-sangsi Tanpa masuk dalam detail-detail, kami akan membahas aturan-aturan utama, yang berhubungan dengan incest, perzinahan dan pembunuhan, dan dimana Adat dan khususnya hukum adalah penjamin. Dalam kasus incest yang terjadi bervariasi dan hukuman-hukumannya akurat, yang paling berat adalah incest dengan ibu atau antara saudara dengan saudari. Lebih ringan adalah incest dengan bapak-bapak, kakek-kakek, tante-tante dan saudari-saudari tiri (dimana yang sangat penting adalah incest dengan saudari dari istri). Semua kesalahan ini dipahami sebagai gangguan, kerusakan-kerusakan. Orang mengatakan: dos nbib tal vaha wan, ndit tal telvunan, “kesalahan (seperti air) merembes dalam palka perahu layar dan menetes dari atap rumah” (inilah perbandingan antara kapal layar dan rumah, yang dirusakan oleh kesalahan). Semua kesalahan ini terdefenisi oleh aturan tentang besaran pembayaran, yang mengimplikasikan sangsi-sangsinya. Pembayaran ini terukur. Untuk melakukan itu, orang menggunakan ukuran panjang yang disebut ref sinukat dan bernilai “empat puluh empat”. Incest-incest dengan saudara tiri atau saudarisaudari, atau dengan saudari dari ayah, adalah masalah yang dirasa tidak terlalu besar, dan mungkin nilai dari sangsinya sama dengan “delapan puluh delapan”; ini adalah suatu tatanan dari besaran simbolik. Yang lain bernilai, dua puluh tujuh, dua puluh lima, tujuh belas, lima belas, dalam suatu tatanan gravitasi yang menurun. Orang mengariskan suatu kompensasi yang bernilai sepuluh ref. Kami tidak mempelajari sistim numerik ini dan dengan demikian tidak dapat mengintepretasi. Kami hanya mengetahui bahwa angka-angka ini memungkinkan untuk mengukur dan untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang berbeda. Jenis-jenis perilaku yang terkait dengan inces adalah sangat kompleks dan sangat persis mendefenisikan. Sebagai contoh, seorang yang bertindak sebagai perantara antara dua orang yang bakal yang dikemudian hari bakal melakukan incest dikenanakan sangsi hukum dan harus membayar kesalahannya. Dahulu sangsi-sangi untuk incest dengan ibu atau antara saudara dan saudari adalah masalah besar. Kedua kesalahan tersebut harus dibawa dengan perahu di laut lepas. Orang mengikat batu di leher mereka dan membuang mereka ke laut. Lebih lagi, harus memberikan sebuah meriam, sebuah gong, berbagai perhiasan dengan berbagai nilai, sejumlah uang, semua ini dinilai empat puluh empat depa. Pembayaran, diserahkan ke para petugas dari Hukum, ditujukan untuk membayar ritual, bila terjadi pembunuhan, meriam untuk “mengganti”, holok, tubuh korban. Pada masa kita kini, pemandangannya tidak begitu tragis; orang membawa yang bersalah 155 ke laut lepas dengan menggunakan perahu layar, dan di atas sebuah kapal layar lain yang akan membawa suatu arah yang berbeda. Orang meletakkan sebuah gong dan juga emas dan perhiasan. Kedua kapal layar saling mengikuti ke laut lepas; orang memindahkan orang-orang yang bersalah ke satu kepala layar ke kapal layar lain dan orang membuang ke laut benda-benda berharga. Melalui cara ini –meletakkan orang yang bersalah ke kapal yang lain- orang berhasil membuat percaya para roh bahwa orang-orang yang bersalah telah tenggelam, kemudian kapal layar mereka kembali dengan cepat. Benda-benda berharga bertukar tempat dengan lelaki (atau perempuan), dimana benda berharga itu setara secara simbolik. Setelah sebuah kejadian incest yang berat, desa harus dibersihkan melalui sebuah seremoni yang bernama sob lor, “doa untuk lor”. Saat matahari terbit, para laki-laki dari semua rumah menjalani desa di segala arah, merusak segala yang ada di jalan yang mereka lewati, binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan, atau manusia yang berani keluar; kemudia persembahan-persembahan diberikan kepada hukum. Perbaikan-perbaiakan karena perzinahan juga banyak dan rinci. Ada seorang suami yang menipu istrinya, atau sebaliknya, dengan seorang yang telah menikah atau tidak, anak perempaun dapat atau tidak menemukan dirinya hamil, memohon perceraian dari suami yang berzinah atau tidak memintanya, menerima atau menolak menjadi istri kedua dll. Masalah-masalah yang diajukan sungguh kompleks, mungkin harus mengambil sebagian atau seluruhnya kompensasi perkawinan. Dalam banyak kasus disediakan dan nilai dari sangsi-sangsi tergantung dari tingkat kesalahan. Pokoknya, sebuah kompensasi adalah karena untuk Hukum dan satu bagian dibayar kepada Adat. Pemberian terakhir ini disebut tul Adat, “mencegah Adat”. Untuk Hukum dan Adat, ini adalam pemberian-pemberian sirih dan pinang, dan benda-benda berharga (lebih kurang penting mengikuti tingkat kesalahan), serta seringkali bahan makanan. Masalah-masalah sangat sulit untuk menyelesaikan orang telah dibayar. Dalam kasus kesalahan-kesalahan yang berulang atau perzinahan yang tekonfirmasi tanpa penyelesaian oleh sebuah perkawinan, seringkali orang tersebut harus diajukan pada inisiasi yang kedua. Dalam kasus perilaku buruk yang telah dikenal, ia dapat ditolak dalam kelompoknya, artinya diberhentikan dari fungsi-fungsinya dan diganti oleh seorang dari keturunannya. Pemindahan-pemindahan dari para lelaki desa atau dari orang-orang asing disebut lutur varaha, “tembok pagar dihancurkan”, yang menginsyaratkan tembok yang mengelilingi dan melindungi penduduk desa, sebagaimana suatu pelanggaran yang sangat tinggi diasimilasi dengan suatu kerusakan pada rumah atau kapal layar. Putusnya pertunangan dalam kasus perjodohanperjodohan sejak kanak-kanak menyebabkan kompensasi-kompensasi yang harus diberikan kepada hukum atau kepada orang tua dari anak itu. Akhirnya, ada pula sangsi-sangsi untuk kasuskasus perkawinan yang disebutkan antara orang-orang yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Sangsi yang paling besar adalah penenggelaman, seperti incest saudara dengan saudari. Dalam kasus lain, harus dengan membayar “harga dari mel”, harga yang berhubungan dengan hilangnya tingkatan dalam masyarakat. Seperti benda-benda yang diberikan dalam pembayaran kesalahan-kesalahan atas hukum dan atas Adat tidak dapat lagi masuk dalam sirkulasi pertukaran-pertukaran yang sifatnya umum. Tindakan tersebut terverifikasi untuk pembayaran-pembayaran ritual lain, yang dilakukan selama budidaya padi botan; benda-benda berharga diajukan dalam rumah yang menyimpan padi botan dan tidak keluar lagi. Orang mengatakan mas na mam atau mas na mat, “emas yang menghiang” atau “emas kematian”. Sesekali benda-benda berharga itu diberikan atau dibuang di air, dan tubuh dapat memperoleh kesehatan. Pemberian defenitif dari benda-benda berharga merekonstruksi apa yang rusak dan mengganti tubuh manusia yang tercemar. 156 Hal ini sama dengan sangsi-sangsi pembunuhan-pembunuhan. Pemberian diberikan untuk korban kepada keluarga yang mati dan kepada Hukum disebut tuv (kita dapat mengingat arti lain dari tuv, dalam ungkapan tuv har, yang menjelaskan jarak genealogis antara dua generasi). Pemberian dialamatkan untuk “mengganti tubuh”, holok itumun, dan terdiri atas sebuah meriam untuk disimpan (tubuh), sebuah gong untuk kepala, perhiasan dan uang untuk anggota-anggota; sebuah permata “emas merah” diberikan kepada Hukum, untuk hati. Untuk kematian seorang hamba, hanya harga anggota, jumlah uang dan perhiasan, diberikan sebagai kompensasi; ini mereduksi nilai dari hamba pada nilai dari lengannya dan kakinya. Pemberian tuv juga menjelaskan ide pertukaran dari binatang-binatang yang menjadi korban. Dengan demikian, dalam sebuah ritual budidaya padi botan, setelah dimulai pembukaanpembukaan hutan yang pertama, orang “memberi makan” benda-benda berharga dari tiga rumah melalui sebuah ritual yang disebut fa‟an mas, “memberi makan emas”. Di sana, orang memberi makan ular di pintu masuk desa. Tetapi pemberian ini dialamatkan untuk mengganti semua korban dari pembukaan hutan, yakni ular-ular, kadal-kadal, tikus-tikus dan lain-lain, yang dapat terbunuh selama pembatatan hutan. Ritual dialamatkan untuk mengganti, supaya mereka tidak membalas dendam dengan merusak hasil panen. Dalam beberapa kasus, kematian seorang manusia tidak dibayar, tetapi dibalaskan dendam melalui kematian dari anggota keluarga dia yang terbunuh. Namun pemberian jantung dan hati kepada Hukum adalah karena kedua keluarga. Ada sebuah kasus dendam kolektif: seorang laki-laki menjadi seorang tukang sihir, ia menggunakan mantra untuk orang banyak, kata orang, ia sungguh-sungguh gila. Setelah mencoba beberapa kali tenang dan kuasai keadaan, masyarakat haratut bertemu untuk semacam gugatan di tempat Vurfen dan mengambil keputusan untuk hukuman mati. Mereka membawanya keluar pada suatu hari dari rumahnya dan setelah meletakkan tali di sekeliling lehernya, orang membunuhnya dengan memukul tubuhnya. Mereka membuang tubuhnya depan rumahnya sambil berteriak kepada keluarganya: mu wad met ntub “lihatlah (hasil dari) tangkapan” (ikan). Keluarga tidak menginginkannya dan para pembunuh memakamkannya. Tanpa kompensasi sama sekali, bukan karena pembunuhan kecuali lar ni wang, “bagian dari darah”, dengan mengganti jantung dan hati untuk Hukum. Namun banyak yang lupa untuk membayar dan, selama waktu yang lama, mereka sakit, mereka memiliki abses dan luka di leher mereka, anak-anak mereka mati, sampai mereka menyerahkan pemberianpemberian kepada Hukum. Dengan demikian, keputusan bersama masyarakat sudah cukup untuk membunuh seseorang tanpa keluarga mengajukan protes dan meminta kompensasi; tetapi sangsi aturan, seperti Hukum, tetap ada. 3. Penutup Dari semua yang telah dikatakan, pertama-tama harus dijelaksan suatu konsekwensi: apa yang kami telah sebut “benda-benda berharga” secara nyata adalah sebuah ukuran yang baik, pertama-tama adalah pertukaran antar rumah, artinya kekuatan dari relasi, pertukaran-pertukaran antar desa, sangsi-sangsi yang mengenai semua pelanggaran atas sejumlah hokum, yang meletakkan secara tepat guna mengorganisasi relasi ini. Hal ini bukan suatu barter, seorang perempuan berhadapan dengan beberapa benda berharga dengan kualitas khusus, tetapi suatu referensi pada suatu sistim nilai dimana suatu kesetaraan umum memungkinkan untuk mengukur tindakan-tindakan esensial dari hidup (perkawinan, adopsi, sangsi-sangsi, pembunuhanpembunuhan dll). Meriam selalu “mengganti” sebuahn tubuh manusia dan mengesankan bahwa, melalui ironi nasib, sebuah instrument kematian, meriam, baik itu menjadi sebuah instrumen peralihan dari kehidupan, dari kelahiran maupun pada suatu pemulihan dari kesalahan. Mitos 157 mengatakan bahwa benda berharga adalah sebuah referensi asali. Tetapi asal-usul masyarakat hanyalah jumlah yang kecil dari itin kan, yang memberikan perempuan-perempuan kepada pihakpihak di luar untuk memastikan bersama kehidupan damai yang bersamanya memadukan masyarakat. Pertukaran benda-benda berharga memperpanjang pertukaran perempuan; ini adalah sebuah aspek yang lain dari relasi, yang menjadi dasar dari struktur masyarakat ini di rumah. Kita telah melihat dengan baik dua aspek dari asal-usul yang terhubung secara tak terpisahkan: pertukaran-pertukaran perempuan menjelaskan suatu sirkulasi yang berorientasi pada benda-benda berharga, dari para penerima menuju kepada para pemberi dan dengan demikian benda-benda berharga ini sangat bernilai. Tidak ada sama sekali benda-benda berharga yang bernilai “rendah”, karena semuanya ini digunakan untuk “membayar” kesalahan-kesalahan. Hanya meriam-meriam, gong-gong, emas (mas), dan tidak pernah piring-piring dan kain-kain. Relasi pada otoritas melewati benda-benda berharga “khusus” untuk pengeculian dari yang lain. Adalah baik bahwa pemahaman mereka melebihi pemahaman “pemberian balasan” yang sederhana dalam pertukaran yang dengan baik diterima. Benda-benda berharga adalah simbol dari relasi fundamental dalam dunia orang-orang hidup, relasi aliansi, dan relasi yang dapat dihindari pada dunia supranatural, penjaga dan pendukung kepercayaan. Dalam optik ini, tidak dapat disangkal bahwa, dalam hubungannya dengan tuhan, diterima sebagai “anak-anak” tuhan, sementara masyarakat lor dipahami sebagai “keponakan-keponakan”. Tentu saja tidak persiskan paman dari pihak bapak atau dari pihak ibu, tetapi kita sadar bahwa relasi otoritas tidak berjalan melalui ayah, dan jika kita dapat mengimajinasikan, relasi otoritas berjalan melalui bagian yaman a‟an, “ayah-ayah sulung”, saudara sulung dari ayah dalam kesatuan patriliniar. Meskipun demikian perlu diakui bahwa manifestasi relasi otoritas yang lebih kuat adalah paman dari pihak ibu, para duad-nit. Relasi pada paman dari pihak ibu adalah tempat sosiologis, dimana beralihnya nilai-nilai “sosial” ke nilai-nilai dari dunia supranatural dan melaluinya dirancang sebagai poros organisasi sosial. Lalu apa yang kita pikirkan dalam relasi kakak-adik? Ini adalah artikulasi lain yang diperlukan untuk menstrukturkan kesatuan-kesatuan sosial yang di antaranya ada relasi. Dan aliansi itu sendiri disubordinasi pada konsepsi ini sejak para pemberi dikualifikasikan sebagai “kakak” sedangkan penerima sebagai “adik”. Realitas dari rumah, yang orang sangat keras gariskan, membawa di sini semua maknanya. Jika rumah adalah tiang-tiang dari sirkulasi yang melanjutkan pemberian-pemberian, rumah-rumah ini tidak selamanya material-material sebagaimana pada kesempatan-kesempatan perkawinan, tangisan-tangisan dan beragam tindakan saling membantu, tetapi juga pemberianpemberian ritual dan simbolik, yang menghormati kebiasaan lokal dan pada waktu yang sama menghormati hukum umum. Bukankah ini mengejutkan bahwa contoh-contoh supernatural, seperti duad-nit, wadar dan mitu, tidak memiliki kultus yang berpusat di rumah. Dengan demikian relasi dengan dua supranatural yang lebih luas selalu diikat di antara rumah-rumah. Pergi dari satu rumah ke rumah yang lain, ini bukan hanya untuk mempertahankan suatu hubungan sosial, tetapi hampir selalu berhubungan dengan penghormatan kepada seorang leluhur atau kepada sesuatu roh. Ini sedikit menyerupai “panteon”, yang ditemukan tinggal di masingmasing rumah di desa. Visi ini, sekaligus sosiologis dan kosmologis desa, hanya dapat muncul setelah studi tentang pemberian-pemberian untuk membayar hutang-hutang biasa, kompensasikompensasi dan pelanggaran-pelanggaran pada hukum lokal sebagaimana pada hukum universal, lor dan haratut. Kami ingin menyarankan di sini bahwa desa Tanebar-Evav, sekaligus masyarakat dan representasi kosmologis dari suatu perintah abadi, ada bersama dengan rumah-rumah sebagaimana sebuah kuil yang satu dan luas, sama seperti yang terlihat oleh para tertua desa, ketika mereka membangkitkan legenda dengan menurutnya masyarakat ini memagang hukum dari pulau Bali yang jauh. 158 159 9 PENUTUP Pada akhir dari studi ini, haruslah kami menjelaskan lebih persis beberapa point, yang menyangkut jenis-jenis pendekatan yang telah kami pilih dan latar belakang teoretis, sebagaimana adanya. Kami akan memunculkan sejumlah hasil analisis, supaya memberikan suatu sudut pandang bersama, yang memungkinkan untuk mendefenisikan perspektif-perspektif utama. Sebagaimana telah kami gariskan pad bagian pengantar, kami telah dengan sukarela membantasi buku ini pada studi intensif pada sebuah desa tunggal dari masyarakat Kei; dan kesimpulan-kesimpulan kami dapat bernuasa analisa komparatif. Jika demikian, studi lengkap tentang ritual tanaman botan, dari sistim fungsi-fungsi, dari mitologi dan dari hidup seremonial, akan melengkapi kerja pertama ini, terutama dalam apa yang berhubungan dengan analisa sistim politik dan masalah kekuasaaan. Pada tampilan antropologi sosial, masyarakat kecil Tanebar-Evav mempresentasikan kepada kita bersama dengan karakter-karakter yang sering kontradiksi. Desa kecil ini mengajukan kepada kita sejumlah pertanyaan fundamental, karena desa ini terletak dalam satu kawasan dimana struktur sosialnya tampak membaur. Akibatnya, Tanebar-Evav ditempatkan pada pinggiran pada tiga kesatuan masyarakat yang mempraktekkan sistem-sistem pada tampilan yang kontras. Di bagian barat mendominasi struktur-struktur jelas yang dimodelkan oleh aliansi asimetrik perkawinan, di timur sebaliknya struktur-struktur banyak yang sangat misterius dan seperti mengambang dalam rentetan pengulangan pertukaran seremonial; di selatan, Australia menghadirkan sistim-sistim bilateral pada kelas-kelas perkawinan yang disatukan oleh “pertukaran sempit”. Antara struktur dasariah dan sistim-sistim kompleks, antara teori keturunan dan teori aliansi, Tanebar-Evav pertama-tama memberikan kepada kita rumah-rumah mereka, diambil dalam organisasi ritual dan spasial desa. Kita akan berhadapan di sini dengan suatu masyarakat yang cenderung untuk menjelaskan melalui semua cara melalui bahasanya –keturunan, aliansi dll- ruang yang ia cakup, organisasi kepercayaannya, yang hanya satu hal adalah penting, rumah dan keberlanjutan. Masuk ke dalam desa, ini artinya membiarkan diri diambil melalui suatu aturan yang tidak berubah dan superior, dimana setiap rumah adalah unggul, permanen dan dalam waktu yang sama diambil dalam kesatuan ritual. Semuanya tampak lebih rendah dari keabadian ini, artinya sistim nilai-nilai ini merepresentasikan pertama-tama rumah. Dalam konstituasi rumah-rumah ini, yang memiliki tempat mereka selama beberapa generasi, filiasi unilinear tampak insidental. Seperti untuk aliansi yang sesuai dengan model perkawinan asimetrik, ia tampaknya mendominasi plan ideologi, sementara sejumlah fitur, seperti absennya homogenitas di antara terminologi kekerabatan dan bentuk perkawinan, berangkat dari model. Bagaimana merawat rumah-rumah ini? Mungkin secara persis berkat fakta bahwa rumahrumah ini tidak menjalankan suatu prinsip tunggal yang lebih besar. Berhadapan dengan pertanyaan tradisional untuk memahami prinsip rekrutmen? Bagaimana mengabadikan rumah-rumah satu terhadap yang lain dan mempertahankan rumah-rumah tersebut berhadapan dengan masyarakatmasyarakat tetangga? Pertanyaan ini tidak menemukan aturan yang melahirkan sistim ini, tetapi mungkin, sambil mengakui kesewenang-wenangan yang diberikan, yang mengatur aturan-aturan sistim yang dipilih sebagai sarana untuk tetap seperti itu. Sistim rumah-rumah bukan suatu bentuk organisasi sosial sambil terdata dalam suatu konsep dunia yang berlaku dalam keseluruhan suatu bagian dari kebersamaan melayu-polinesia? Di Tanebar-Evav, rumah merepresentasikan dengan baik poin-poin masyarakat itu sendiri dalam reduksi, semacam microkosmos, dari gambaran kongkrit suatu 160 fusi konsep-konsep simbol. Rumah adalah tubuh manusia –tubuh yang mempersatukan kedua jenis kelamin-, tetapi juga suatu masyarakat lengkap, dari yang kakak dan kemudian yang adik, dari saudara dan saudari yang melebur dan solider. Secara sama rumah di tanah adalah analogi kapal layar di laut dengan kapitan dan para pelaut menyatu dan solider dengan lunas ibu. Rumah ditandai dengan vector tunggal dari suatu aturan kelahiran yang teraplikasi pada para lelaki dan para perempuan. Semua itu, menyatu dan terpelihara sambil hidup di dalam rumah-rumah. Bagaimana ini dijelaskan? Kembali pada analisa sosiologis dan mengingatkan beberapa poin esensial, tentang laporan sulung-adik dan saudara-saudari, tempat dari aliansi, relasi-relasi pamanponakan dn artikulasi dari dua konsep masyarakat. Analisa terminologi kekerabatan secara jelas menerangkan kedua relasi fundamental: kakak dan adik dengan jenis kelamin yang sama dan saudarasaudari. Oposisi kakak/ adik memberikan pertama-tama suatu arti, mulai dari kekerabatan, kepada kesatuan sosiologis yang dibentuk oleh rumah. Hal ini diterjamahkan secara komplementer dengan sisi kanan dan kiri dari rumah (rin mel-rin balit), kakak di sisi kanan, yang adalah kepala dari rumah, petugas ritual-ritual kepada leluhur, kepada orang-orang mati dan kepada roh-roh rumah. Ketiadaan satu dari nenek moyang yang sama pada dua sisi dalam beberapa kasus menjelaskan dengan baik bahwa tidak ada prinsip keturunan yang mempersatukan mereka, tetapi oposisi hirarkis yang menambakan antara seorang kakak dan para adik. Eksistensi dari dua sisi, dan hanya dua, adalah ungkapan minimal dari oposisi ini, tetapi kita dapat mengimajinasikan, dan sama seperti masyarakatmasyarakat tetangga seperti Aru menjelaskannya, bahwa ada beberapa “sisi” para adik. Di TanebarEvav sama, dua rumah yang sangat dekat satu dari yang lain dipahami dalam beberapa konteks seperti “tiga rin, tetapi hanya satu rumah”. Oposisi ini terjadi di sekitar rumah-rumah, yang dikumpulkan pada suatu tingkat superior dalam satu dari sembilan ub. Kelompok rumah yang didirikan seputar kultur satu dari sembilan pasang leluhur mistik, para wadar. Pada bagian dalam ub, yang bereferensi pada desa sebagai totalitas, satu dari rumah-rumah adalah kakak, tanpa mengatakan bahwa yang lain adalah para adik, dan ketua rumah kakak memimpin untuk yang lain dalam kultur para leluhur. Komposisi ub didirikan melalui relasi kakak-adik, dan mungkin referensi mistiknya adalah relasi laki-laki dan perempuan (saudara-saudari atau suami-istri). Artikulasi antara kedua relasi ini sepertinya menawarkan sebuah model struktur: oposisi kakak/ adik sebagai prinsip strukturasi internal dari kelompok-kelompok, relasi laki-laki-perempuan sebagai prinsip yang total, kembali pada kebersamaan masyarakat melalui pengantaraan sembilan pasang. Ini benar untuk rumah-rumah yang didirikan atas oposisi kakak/adik dan tereferensi pada totalitas melalui sistim aliansi yang mewajibkan untuk mengawini saudarisaudari dari eksterior rumah dan untuk masuk ke dalam rumah para istri, yang datang dari luar. Dalam desa, relasi antara rumah-rumah pertama-tama suatu relasi aliansi yang menjelaskan pada tempat pertama aturan-aturan perkawinan asimetrik dari anak-anak laki-laki sulung. Namun relasi yang tercipta oleh perkawinan campur adalah relasi-relasi itu sendiri yang dibawa pada oposisi kakak/ adik. Orang menyebut pemberi perempuan, mang‟oho (orang-orang desa), yang adalah yang kakak, sementara penerima perempuan, yan‟ur (anak-anak saudari-saudari), dipahami sebagai adik. Namun kita telah melihat bahwa perbedaan ini menghilang ketika semua anak dari saudara dan saudari dipahami dalam istilah yang sama, yanan duan (keponakan). Semua yang dikelompokkan dalam hubungan dengan aturan kelahiran dari orang tua mereka adalah laki-laki atau perempuan. Ini agak mirip dengan sistim yang ingin mereduksi semua dari apa yang mengandung keturunan unilateral dan aliansi –keanggotaan pada rumah, perbedaan antara para penerima dan para pemberi perempuan- untuk menjaga suatu model yang dibangun mulai dari relasi-relasi yang bertalian darah, dimana rumah dan relasi-relasi aliansi antar rumah menghilangkan dalam relasi-relasi kekerabatan yang terjadi sesuai dengan perbedaan generasi-generasi dan oposisi kakak/ adik. Ini 161 adalah kesimpulan yang memaksakan keberadaan istilah yanan duan, istilah kekerabatan yang menyeberango perbatasan rumah-rumah dan melebihi hirarki yang tercipta ileh aliansi. Partikularitas dari masyarakat ini secara tepat merupakan koeksistensi dari prinsip-prinsip yang bertentangan dan secara komplementer memberikan sejumlah keluwesan pada sistim sambil mempertahankan keberadaan dari suatu jumlah yang pasti dari rumah-rumah. Ada di sana suatu artikulasi antara apa yang dapat disebut wajah-wajah aliansi simetrik dan wajah-wajah kelautan. Tidak ada keraguan, memang itulah ideology aliansi asimetrik yang mendominasi pada tataran relasi-relasi pertukaran antar rumah-rumah. Kita mnegetahui bahwa teori aliansi asimetrik memiliki suatu filiasi reguler dengan pembagian menjadi garis keturunan yang terpisah, tetapi harus mengenali bahwa di sini aliansi dapat memiliki ator-aktor dari person-person moral yang terstruktur pada dua tingkatan: pertama adalah dia dari “sisi rumah”, rin, pada suatu panggilan unilinear; kedua adalah ia dari rumah, solider, eksogami dan gabungan dalam dua sisinya yang menyatu. Jika dalam teori aliansi menyatukan rin-rin, sesungguhnya didasarkan pada duduk rumah-rumah yang sepenuhnya ditandai dengan relasi kakak-adik. Namun, untuk memperhitungkan semua relasi-relasi, jika “pertukaran umum” antara rumah-rumah memiliki model aliansi, aliansialiansi yang lain dan sistim terminologi menangkal aliansi atau mentransformasi dalam kaitan dengan kesamaan-kesamaan hubungan hirarkis ganda yang diciptakan antara dua rumah. Rumah-rumah yang didasari bagian-bagian yang memerima dan yang memberi dari pertukaran umum ini dan yang total. Akibatnya, sepertinya sekali ditanyakan aliansi sebagai prinsip relasi antara rumah-rumah, hubunganhubungan dari suatu aturan yang lain yang menipiskan aspek aliansi untuk hanya mempertahankan aspek antara kesatuan-kesatuan: jadi hubungan-hubungan yang didasarkan pada kekerabatan, saudarasaudari, saudara-saudara, saudari-saudari dan keturunan mereka, yanan duan, “keponakankeponakan”, relasi-relasi yang terformalkan antara rumah-rumah “kembar” baran ya‟an war, antara rumah-rumah tergantung satu dari lain ko-maduan, antara rumah-rumah sejenis yang memastikan kemalinya para perempuan yang diberikan dalam perkawinan sivelek, relasi-relasi solidaritas antara rumah-rumah dari ub yang sama, yang disebut “satu berkas dari sepuluh bamboo” temar vut. Relasi fundamental adalah relasi aliansi (orang menyadarinya dengan baik pada setiap perkawinan, kesempatan tunggal dimana semua masyarakat dibagi dua kesatuan rumah partner yang saling berhadapan), tetapi kebersamaan dalam relasi-relasi yang menghubungkan satu rumah dengan beberapa lainnya yang memiliki suatu efek totalisasi, yang melampaui aliansi yang memastikan keabadian dari ide relasi antar rumah. Kembali pada oposisi kakak/ adik, kita dapat melihat bahwa ini memunculkan juga untuk menjelaskan hubungan yang ada antara dua aturan superior, bangsawan dan orang pada umumnya, meld an ren. Perbedaan ini mengesankan di hadapan antara bangsawan dan hamba, yang dijelaskan oleh relasi antara paman dan ponakan, yaman a‟an – yaman duan. Ungkapan kekerabatan ini, dibandingkan “kaka-adik”, mengintrodusir suatu perbedaan dari generasi-generasi, menandakan bagian pada suatu relasi ketergantungan dan otoriter. Di sini ia bukan lagi oposisi hirarkis komplementer tetapi suatu relasi subordinasi. Kita melihat bahwa istilah-istilah ini menjelaskan relasi-relasi antara generasi-generasi pada interior dari suatu rumah yang sama –dan implikasi-implikasi mereka pada tingkat ini-, tetapi juga mengorganisir rumah-rumah berpasangan pada interior ub. Dalam kasus terakhir, ini bukan tentang suatu relasi pada ub seperti semua di sekitar ibadah wadar –relasi yang telah kita lihat dijelaskan dalam istilah kakak-adik pada paragraph sebelumnya-, tetapi dari suatu relasi ketergantungan yang menghubungkan dua rumah ub. Kita melihat dengan sangat jelas di sini nuansa antara satu bagian dari relasi dari sebuah rumah adik pada rumah kakak dari ub dalam referensi pada totalitas dan relasi pada interior ub antara dua rumah dimana satu bergantung pada yang lain –dan hal ini sedang berjalan di dalam ub. Di sini lagi, model 162 ub mengacu pada rumah, terstruktur pada relasi kakak-adik, tetapi dalam fungsinya oleh hubungan antar genrasi, paman-ponakan. Pada model yang sama dari relasi antr generasi ini, relasi yang satu antara satu paman dan satu ponakan tampaknya mengungkapkan suatu hubungan pada suatu otoritas fundamental, inilah relasi dengan paman dari pihak ibu. Ia terasa sangat fundamental karena ia berefenrensi pada dunia supranatural melalui pengantara orang-orang mati dari para pemberi perempuan-perempuan, duad-nit. Relasi dengan para duad-nit mengembalikan pada semua aliansi pada masa lalu dan menyatukan masa lalu dengan sekarang, yang berdasarkan pada sangsi yang dijatuhkan melalui orag-orang mati khusus ini. Hal ini termaktub dalam konsep umum dunia, dimana para leluhur ada di depan sementara para lelaki ada di belakang. Orang mengatakan bahwa paman dari pihak ibu nvav u “pintu depan”, “menunjuan jalan”, pada keponakan-keponakannya yang ada di belakang. Ungkapan-ungkapan yang sama ditemukan ketika orang berbicara tentang fungsi-fungsi dari orang-orang dalam dir u ham wang, yang adalah di depan masyarakat yang dipahami sebagai “keponakan” yanan duan, “semua anak-anak kecil“ koko, dan “di belakang” femur (hal ini merupakan sebuah penggunaan di luar kekerabatan dari istilah yanan duan, yang menjelaskan sekaligus perbedaan dari generasi-generasi dan subordinasi para kepala desa). Posisi di depan ini, na‟a u, adalah posisi kapten kapal layar, untuk mencari haluan, berhadapan dengan semua awak kapal di buritan – masyarakat-, di belakang, na‟a mur. Kita melihat dalam semua kasus ini bahwa ini adalah suatu otoritas yang lebih fundamental, posisi hokum, dari sangsi, dari aturan supranatural. Dengan demikian, relasi dengan paman dari sisi ibu dapat menjadi oposisi dari relasi dengan paman dari pihak ayah. Ini adalah dua relasi dari ketergantungan dan dari kewenangan, tetapi yang satu adalah lebih fundamental daripada yang lain melalui kepengentaraan dengan orang-orang mati. Jika kita sampai pada tingkat nilai-nilai yang lebih umum, harus diingat artikulasi hirarkis antara lor dan haratut, kedua konsep yang didirikan pada ide tentang masyarakat. Lor merepresentasikan nilai-nilai superior, yang bersifat universal dan dirancang sebagai yang datang dari luar, sebaliknya haratut merepresentasikan kebersamaan dari nilai-nilai konstitutif masyarakat, hokum-hukum yang mengorganisasi tata ruang internal, terasosiasi pada asal-usul relasi dengan gunung suci pada interior desa. Kedua konsep ini menjadi dasar masyarakat Tanebar-Evav, bersama dengan rumah-rumahnya, ub-ubnya, yam-yamnya (tiga kelompok dari tingkat superior pada ub), organisasi dari orang-orang dalam dalam hubungan dengan dunia yang lebih luas yang merupakan budaya kepulauan, dengannya dibentuk wilayah-wilayah di bawah otoritas raja-raja, tunduk pada satu hokum tunggal lar vul nga bal, yang dirancang sebagai yang datang dari barat Indonesia, dan mungkin di dalamnya terkandung nilai-nilai universal. Kita telah melihat secara detai bagaimana oposisi hirarkis global antara lor dan haratut ini mengambil aspek-aspek yang berbeda pada tingkattingkat yang berbeda; bagaimana nilai-nilai saling melengkapi dan mungkin saling mengganti. Kita adapat mencatat sebagai contoh kasus dari para penerima perempuan-perempuan dari semula yang, datang dari eksterior, adalah bangsawan dan para pembawa nilai-nilai superior; tetapi sekali terintegrasi dalam sistim rumah-rumah dari desa melalui permainan aliansi, dan dalam bingkai yang lebih ketat ini, sebagai penerima-penerima perempuan-perempuan, mereka dijadikan inferior dihadapan orang-orang yang berasal-usul dari desa, yakni para pemberi perempuan-perempuan. Dalam arti umum, ide tentang lor berreferensi pada otoritas dan pada sangsi-sangsi, masyarakat lor dirancang sebagai para “ponakan” yanan duan dari roh Hukum. Ide haratut bereferensi pada asal-usul, dan dapat dikatakan memperanakkan, dan ini menjelaskan dalam relasi dengan tuhan. Haratut dipahami sebagai “anak-anak” yanan dari tuhan, ini adalah prinsip pertama, prinsip asali. 163 Oposisi lor/ haratut menjelaskan secara umum relasi-relasi antara eksterior dan interior, mungkin di bawah aspek relasi antara laut dan darat, atau antara hutan dan desa. Kita mengingat fungsi-fungsi dari kapiten-kapiten, “kapitan di laut” dan “kapitan di darat”, prinsip yang terakhir dengan dua pemegang. Kapitan di laut, dimana perannya sedikit kelihatan, adalah yang pertama, pembuka percakapan, ia adalah “pintu di depan”. Ia adalah yang pertama di antara semua mereka yang ada di depan. Artikulasi fungsi-fungsi kapitan adalah sangat jelas ditandai jika orang bereferensi pada rumah. Sisi kanan, sulung dari rumah Teli (no 1) memegang beban kapitan di laut; sisi kiri, adik, memegang satu dari beban-beban kapitan di tanah atau tuan tan. Di sini oposisi kakak/adik mendukung oposisi eksterior/ interior dan laut/ darat. Mungkin, pada sejulah tingkatan, beban-beban tuan tan adalah lebih menentukan dna lebih berat, sebagai pewaris ritual-ritual budidaya botan. Jika kita melihat secara pararel dengan lor dan haratut, kita dapat mengatakan juga bahwa nilai-nilai nilainilai yang terasosiasi dengan lor adalah lebih fundamental, tetapi organisasi kongkrit dan berfungsinya masyarakat seputar orang-orang dalam melewati nilai-nilai haratut. Pada titik ini kita dapat bertemu dengan sejumlah analisis Louis Barthe. Ialah yang menjelaskan pertama kali pada tahun 1965 kekhasan relasi kakak- adik dalam hubungan dengan sistim aliansi dan sistim politik. Kesimpulan-kesimpulannya, dari sebuah masyarakat di Jawa, membuka perspektif-perspektif dari analisa sejumlah masyarakat Indonesia; intrepretasi posisi kakak sebagai pemegang sebuah otoritas fundamental sebagai lawan dari posisi adik sebagai pemegang kekuasaan kongkrit sesuai dengan situasi kapitan-kapitan di laut dan darat di Tanebar-Evav. Tetapi bagaimana jika kita meninggalkan tingkat representasi-representasi yang lebih umum untuk mengembalikannya pada rumah stricto sensu? Model partikuler dari interpretasi relasi kakak/ adik tampaknya tidak memperhitungkan apa yang terjadi pada interior sebuah rumah yang terdiri dari dua sisi kakak dan adik. Jika kita memahami rumah dalam dirinya dan bukan dalam kebalikan dengan kesatuan fungsi-fungsi desa, rumah sebagaimana kesatuan yang tetap membutuhkan subjek manusia kongkret untuk merepresentasikan dan, setiap kali ia dipresentasikan dalam kesatuannya, ini melalui sisi kakak. Dengan demikian sisi kakak memegang kekuasaan dan kekuatan. Ia bertugas untuk peribadatan-peribatan kepada wadar dan orang-orang mati, ia menengahi konflik, ia menjamin melalui pengantaraannya keberadaan relasi-relasi. Dalam rumah yang mencakup keseluruhan, adik tidak memiliki peran dan kakak adalah perwakilan absolut. Namun mempertimbangkan rumah sebagai satu bagian dari keseluruhan, kita dapat mengatakan bahwa posisi kakak tidak absolut. Dalam relasi yang diciptakan oleh perkawinan, ia menjadi adik penerima dalam hubungan dengan seorang kakak, yakni rumah yang memberikan kepadanya perempuan-perempuan. Jika ia memagang kekuasaan di interior dalam rumahnya sendiri, ia tunduk pada otoritas dari sebuah rumah lain, rumah dari para pemberi perempuan-perempuan dan dari orang-orang mati mereka, duad nit, yang dipahami sebagai para kakak. Jika ia adalah kakak dalam hubungan dengan mereka yang hidup, maka ia adalah adik dalam hubungan orang-orang mati. Dengan demikian, tidak hanya oposisi kakak/adik tidak absolut, tetapi, menurut tingkatantingkatan mana ia termanifestasi, oposisi dapat berganti, atau mungkin terreduksi pada titik dimana satu dari istilah-istilah tampaknya mendominasi yang lain sama sekali. Tetapi secara persis, melalui pembalikan-pembalikan dan reduksi-reduksi ini, kita menyadari bahwa oposisi hirarkis ini mencakup segalanya dari struktur. Lebih persis lagi, pada tingkatan rumah satu istilah tampaknya mencakup istilah lainnya, dan bahwa askpek-aspek yang lain dari relasi tetap mendasarinya. Kita memahami bagaimana struktur oposisi dari rumah ini dan menyatakan rumah sepanjang analisis masyarakat ini baik sebagai satu kesatuan maupun sebagai bagian dari satu keseluruhan dimana rumah dalam cara apapun adalah model. 164 165 KEPUSTAKAAN Abrẻviations Bijid: Bijdragen tot de Taal-, Land- end volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Koninklijk Instituut, Amsterdam –„s-Gravenhage. TITLV: Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde , Bataviaash Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia-„s-Hage. VBGKW: Verhandelingen Van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschappen. Batavia-„s-Gravenhage. Buku-buku Beberapa buku tentang Maluku Tenggara: Adams , M. J. 1969. System and Meaning in East Sumba Textile Design: A study in Tradisional Indonesian Art, Cultural Series, no 16. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies. Barnes , R. H. 1974. Kedang. A study of the Collective Thought of an Eastern Indonesian People. Oxford: Clarendon Press. Berthe , L. 1961 . Le marriage par achat et la captation des gendres dans unesociẻtẻ semi-fẻodale: les Buna „de Timor Central, L„ Homme, vol. 1, no 3, pp. 5-32. 1965. Ainẻs et cadets : L‟alliance et la hiẻrarchie chez les Baduj (Java Occidental ), L‟Homme , Vol. 5, no 3-4, pp. 189-223. Coppet , D. de. 1968. Pour une ẻtude des ẻchanges cẻrẻmoniels en Mẻlanẻsiẻ, L‟Homme, vol. 8, no 4, pp. 45-57. 1970a. 1, 4, 8; 9, 7. La monnaie: prẻsence des morts et mesure du temps, L‟Homme, vol. 10, no1, pp. 17-39.1970b. Cycles de meurtres et cycles funẻraires. Esquisse de deux structures d‟ẻchange, pp. 759-81 in Echanges et communications. Mẻlanges offerts á Claude Lẻvi –Strauss. The Hague, Paris: Mouton. 1973. Premier troc, double illusion, L‟Homme, vol. 13, no 1-2, pp. 10-22. 1976. “Jardinsdevie, jardinsde morten Mẻlanẻsie”, Traverses, no pp.60-70 1977. “Des porcs et des homes”, Traverses, no 8,pp. 60-70. Cunningham, C. E. 1964. Order in the Atoni House, Bijid ., vol. 120, pp. 34-68 Doren, J. B. J. van. 1863. De Keij- Eilanden ten N.W van de Aroe- Eilanden, Bijd., vol. 10 , pp. 238-59 Drabbe, P. 1940. Het Leven van den Tanẻmbaress. Ethnografische Studie over het Tanẻmbareesche Volk. Leiden: Brill. Eijbergen, H. C. van. 1864. Korte Woordenlijst van de Taal der Aroe- en Keij-Eilanden, TITLV, vol. 14, pp. 557-68. 1866. Verslag eener Reis naar de Aroe-en Keij-Eilanden en 1862, TITLV, vol. 15, pp. 250-72. Elmberg, J. E. 1965. The Popot Feast Cycle, Ethnos, supplement to vol. 30. 1968. Balance and Circulation. Aspects of Tradition and change among the Mejprat of Irian Barat, The Ethnographical Museum, Monograph series, no 12. Stockholm. Fox, J. J. 1973. On Bad Death and the Left Hand: A Study of Rotinese Symbolic Inversions, pp. 342 -68 in R. Needham (ed), Right and Left. Chicago, London: University of Chicago Press. 166 Freeman, D. 1970, Report on the Iban, London School of Economics, Monographs on Social Anthropology, no 41. New York: The Athlone Press. Geurtjens, P. H. 1910. Le cẻrẻmonial des voyages aux Îles Kei, Anthropos, vol. 5, pp. 33458.1921 a. Uit een Vreemde Wereld. „sHertogenbosch: Teulings‟ Uitgevers Maatschappij. 1921b. Woordenlijst de Keieesche Taal , VBGKW, vol. 63, partie 3. 1924. Keieeche Legenden, VBGKW, vol. 65. Hikcks, D. 1976. Tetum Ghosts and Kin, Explorations in World Ethnology . Palo Alto, California: Mayfield Publishing Company. Hinloopen-Labberton, D. van. 1934. Dictionnaire des termes de droit coutumier Indonẻsien . La Haye. Juynboll, H. H. 1930. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums, vol. 21-22, Molukken. Leiden : Brill. Kennedy, R. 1962. Bibliography of Indonesian people and Cultures, Yale University Southeast Asia Studies, 2nd edition. New Haven: Human Relations Area Files Press. Koentjaraningrat (ed). 1964. Masjarakat Desa di Indonesia Masa ini. Djakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Ekonomi, Editions anglaise : villagers in Indonesian. Ithaca: Cornell University Press, 1967. Labetubun , O. 1965. Studi tentang sistem feudal di Kepulauan Kei. Skripsi sardjana –Muda Ilmu Pendidikan. Intitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Djakarta Tjabang Ambon. Dactylogr. Langen, G. 1888. The Key or Ke Islands , Proceedings of the Royal Geographical Society, vol. 10, pp. 764-79.1902, Die Key- oder Kii- Inseln. Wien. Mauss, M. 1968- 69. Oeuvres. Paris : Editions de Minuit. 3 vol. Nooteboom, C. 1947. The study of Primitive Sea-Going Craft as an Ethnological Problem, Internationales archiv für Ethnographie , vol. 45, p.216. 1952, Trois Problẻmes d‟ethnologie maritime . Rotterdam : Museum voor Land-en Volkenkunde en het Maritiem Museum “Prins Hendrik Nutz , W. 1959. Eine Kulturanalyse von Kei , Beiheft zur Ethnologica , no 2. Dusseldorf: Michael Triltsch Verlag. Planten , H.O.W. 1893a. Voir Planten et Wertheim 1893. Planten , H.O.W. et C. J. M. Wertheim , 1893 . Verslagen van de Wettenschappelijke Opnemingen en Onderzoekingen op de Key- Eilanden (opdracht van het Koninkijk Nederlandsch Aardrijkskunding Genootschap). Leiden: Brill. Rassers , W. H. 1959. Panji, the Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java , koninklijk Instituut voor Land -, Taal- en Volkenkunde , Translations Series , 3 The Hague: M. Nijhoff. Riedel, J. G.F. 1886, De sluik en Kroesharige Rassen tussen Selebes en Papua. „s-Gravenhage. (Pp.215-43). Shrieke, B. 1955. Indonesian Sociological Studies: Selected Writings. The Hague, Bandung: W. van Hoeve. 2 vols. Stokes, A. 1839. Discoveries in Australia. London: T. and W. Boon. 2 vols. Tutein Nolthenius, A. B. 1935. overzicht van de Literatur betreffende de Mulukken (exclusief Niew Guinea), vol 2 (1922-1933). Amsterdam: Molukken Instituut. Valeria, V. 1972. Le fonctionnement di systẻme des rang‟s á Hawai, L‟Homme vol. 12, no 1, pp. 29-66 167 Verbeek , R. D. M . 1908. Rapport sur les Muluques . Reconnaissances gẻologiques dans la partie orintalie de I‟ Archipel des Indes Orientales nẻerlandaises, vol 46, Batavia. Edition francaise du jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oast -Indiẻ, t.37, 1908. Walllace , A. R. 1869 . The Malay Archipelago. London: Macmillan and Company. Webster, H. C. 1898. Through New Guinea and Other Cannibal Counttries. London (pp. 17597, 231-9) Yamaguchi,M. 1977. Le serpent dans la cosmologie Lio (Flores). Asahi, no1. Zeemangids voor den Oast- Indischen Archipel. 1914 vol. 5, no 3, pp 40-95.„s-Gravenghage. Kartu-kartu Konsultasi South –East Asia, 1: 5,800,000. Bartholomew‟s World Series. Edinburg. Eastern Archipelago, KAI ISLANDS. from Netherlands Government Surveys between 1927 and 1930. Netherlands chart No162. U.S. Hydrographic office Pulblications. Wanghington D. C . New Publication: 2nd edd. Mar. 1938. No3026. 1: 200,000. Kaokanao, Indonesia 1:1000,000. Stock No1301XSB53****04. Sheet SB 53. Army Map Service. 168