[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 KRITIK SASTRA ARAB ERA JAHILI MENURUT PERSPEKTIF MUSTAFA ABDURRAHMAN IBRAHIM Khavivah Eka Harnida¹, Tatik Mariyatut Tasnimah² Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 20201012017@student.uin-suka.ac.id, tatik.tasnimah@uin-suka.ac.id ABSTRACT This article aims to describe about literary criticism during the period of ignorance from the perspective of Muhammad Abdurrahman Ibrahim. The method used in collecting historical research data is the library method. The results of his research show that jahiliah literary criticism appears simultaneously with Arabic poetry which is often read in the markets so that people instinctively and spontaneously want to judge whether poetry is good or bad. Based on Ibrahim's point of view, the characteristics of ignorant literary criticism are that it is subjective-impressive and results from thought and patience. Subjective criticism includes linguistic aspects, meaning, 'aruḍ, and the way of delivery. While the criticism that comes from thinking and patience includes tathqĪf and tanqĪm, al-riwāyah wa al-talammudhah, and al-ikhtiyār. The five features of literary criticism are dhawq fiṭry, spontaneity, partial, general, and concise. The principles aren’t based on technical rules, but rather the personal judgment of the critic. Keywords: Literary Criticism, Jahili Arabic, Mustafa Abdurrahman Ibrahim . ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara lebih mendalam dan terperinci tentang kritik sastra pada masa jahiliah menurut pespektif Muhammad Abdurrahman Ibrahim. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian yang bersifat historis ini adalah metode kepustakaan. Hasil dari penelitian adalah kritik sastra jahiliah muncul bersamaan dengan puisi Arab yang sering dibacakan di pasar-pasar sehingga membuat orang secara naluriah dan spontan ingin menilai baik buruknya puisi. Berdasarkan sudut pandang Mustafa Abdurrahman Ibrahim, karakteristik yang dimiliki kritik sastra jahili yaitu bersifat subjektif-impresif dan dihasilkan dari pemikiran dan kesabaran. Kritik yang subjektif meliputi aspek linguistik, makna, ‘aruḍ, dan cara penyampaian. Sedangkan kritik yang berasal dari pemikiran dan kesabaran meliputi tathqĪf dan tanqĪm, al-riwāyah wa al-talammudhah, dan al-ikhtiyār. Lima keistimewaan kritik sastra ini adalah dhawq fiṭry, spontanitas, parsial, general, dan ringkas. Prinsip yang digunakan tidak didasarkan pada aturan teknis, melainkan hanya menurut penilaian pribadi sang kritikus. Kata Kunci: Kritik Sastra, Arab Jahili, Mustafa Abdurrahman Ibrahim PENDAHULUAN Kritik sastra (naqd al-adab) secara etimologis dipahami sebagai kegiatan memaparkan karya sastra dengan tujuan untuk menilai sisi baik dan buruknya (Kholis, 2021). Kritik sastra juga diartikan sebagai salah satu model penelitian yang Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 160 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 terpusat pada aspek negatif dari sebuah karya sastra karena tujuannya cenderung mempersoalkan, mengevaluasi, dan mengomentari ketidakcocokan atau bahkan kekurangan yang terdapat di sebuah karya sastra. Di sisi lain, secara terminologis kritik sastra dimengerti sebagai aktivitas yang dipenuhi oleh spirit dalam mengapresiasi karya sastra melalui rangkaian deskripsi, penyelidikan lebih lanjut, penafsiran, hingga evaluasi terhadap baik buruknya karya sastra tersebut. Penyataan di atas mengarahkan kita untuk memahami bahwa istilah kritik sastra merupakan kegiatan berikhtiar, berdiskusi, dan beradu argumen (Aziz, 2019). Kritik sastra muncul berbarengan dengan lahirnya puisi-puisi Arab dan tumbuh bersamanya. Menurut al-Jahid, puisi jahiliah pertama kali dikenalkan oleh Umru’ul Qais bin Hujrin, salah satu penyair Arab yang eksis pada abad ke-6 dan gemar menulis syair cinta. Jika ditilik masanya, itu terjadi sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam. Puisi menjadi genre terpopuler di masa itu, di sisi lain ada juga genre amthāl (pepatah atau kata mutiara) dan pidato pendek. Sementara karya sastra bergenre prosa masih belum diminati karena pada saat itu budaya menghafal di luar kepala yang dilakukan secara turun-temurun oleh bangsa Arab sangat menonjol dan mendominasi. Mereka memanfaatkan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, yakni kemampuan daya hafal yang sangat kuat (Haeruddin, 2016). Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa sastra menjadi serpihan nuansa yang termuat dalam estetika kehidupan bangsa Arab semenjak periode Jahiliah. Bangsa Arab memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki oleh bangsa lainnya, yaitu mereka selalu menaruh perhatian besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya. Sastra menjadi bagian dari entitas budaya mereka yang kemudian melahirkan karya sastra. Unsur fundamental yang menjadi motif terciptanya hal itu tak lain karena bangsa Arab memiliki sensitivitas tinggi dan tajam dalam menyikapi berbagai peristiwa. Segala aktivitas yang mereka temui dalam kehidupan seharihari dapat dirangkai menjadi syair-syair yang indah. Pada masa itu, kerap kali gerakan kesusastraan Arab diadakan. Di antaranya yaitu acara Pergelaran ‘Ukadh yang dilangsungkan di Pasar Ukadh. Di sanalah para pujangga dan sastrawan mengarang, merangkai, hingga menazamkan puisi-puisi mereka dan saling mengkritik satu sama lain (Amin, 2012). Artikel ini dimaksudkan untuk menguraikan secara lebih mendalam dan terperinci tentang kritik sastra pada masa jahiliah berdasarkan sudut pandang Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 161 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 salah seorang tokoh, yakni Muhammad Abdurrahman Ibrahim. Pembahasannya akan difokuskan pada sejarah kritik sastra jahili dan pandangan tokoh tersebut terhadap kritik sastra. Dari pemikiran beliau nantinya akan diketahui karakteristik, jenis, keunikan, dan prinsip yang dimiliki oleh kritik sastra Jahili. LANDASAN TEORITIS DAN METODE Sejarah kritik di kalangan bangsa Arab pada era Jahiliah jika ditinjau berdasarkan teori “Tin”, maka karya sastra dianggap sebagai hasil dari lingkungan alam dan sosial suatu bangsa di zaman tertentu. Orang-orang Arab di masa itu mengatakan bahwa puisi merupakan catatan mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka pun mengatakan bahwa istilah catatan yang mereka miliki tidak hanya berlaku untuk puisi semata, melainkan secara umum juga berlaku bagi sastra. Kehidupan alamiah yang dijalani oleh bangsa Arab masa itu menginspirasi mereka untuk mencari tujuan hidup yang dihajatkan di padang pasir. Oleh sebab itu, emosi, nalar, dan gaya bahasa yang digunakan oleh bangsa Arab adalah pengalaman yang diperoleh dari kehidupan keras di tanah yang tandus, dan mereka terbiasa menjalaninya sembari bersenandung. Dari sinilah puisi rajaz muncul di permukaan. Rajaz memiliki efek magis terhadap penyair karena berkat aturan irama yang ada padanya, para penyair mampu menempuh perjalanan jauh tanpa mengenal rasa lelah. Namun seiring berjalannya waktu, rajaz berkembang menjadi puisi-puisi dengan maksud yang berbeda (Amin, 2012). Wilayah Arab selama periode Jahiliah terpecah menjadi beberapa kabilah yang masing-masing memiliki kepala suku ‘shaikh’. Hubungan antarsuku seperti tidak pernah akur, bahkan cenderung bermusuhan. Kehidupan Badui mengharuskan mereka acapkali berpindah tempat dan berjauhan dengan orangorang terkasih. Karena hidup dalam adat kesukuan, rutinitas mereka yaitu menyanyikan pujian (madḥ) untuk kabilah mereka, dan sindiran (haja’) yang ditujukan untuk musuh mereka yang berasal dari suku yang lain. Mereka tidak segan-segan untuk terjun ke medan perang demi menjaga kehormatan sukunya.(Wargadinata & Fitriani, 2018). Demikianlah kondisi moralitas di Jazirah Arab pada zaman Jahili, keberagaman emosional yang dimiliki masyarakat masih tergolong primitif (Satir, 2019). Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 162 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 Kebudayaan bangsa Arab yang sangat terkenal yaitu terletak di bidang sastra. Para pujangga di masa jahiliah dalam syair-syairnya cenderung menerapkan tema tentang tradisi mengagungkan suku, mendeskripsikan kejayaan ketika menghadapi peperangan, mengemukakan identitas dari figur ksatria dan leluhur mereka, bahkan memuji kaum hawa dan orang-orang yang mereka kagumi. Kala itu, syair bukan termasuk prevalensi bagi kaum eksklusif, akan tetapi merupakan instrumen manifestasi sastra dan antusiasme etnik (Wargadinata & Fitriani, 2018). Di antara tradisi masyarakat Arab Jahiliah adalah berniaga, bersyair, dan menghafal. Mereka menganggap kegiatan berniaga sebagai dampak yang rasional dari kawasan yang beriklim panas dan gersang sehingga mustahil bagi mereka untuk menyelami hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas agraria. Mereka memasarkan barang dagangannya ke wilayah yang berada di sekitar Mekah, yang meliputi Pasar ‘Ukādh, Majanna, dan Dhul Majaz. Selain itu, mereka berjualan dengan menempuh perjalanan jauh ke Syam dan Yaman. Di sanalah mereka sering menjumpai pertunjukan di sūq al-adab, yakni festival yang diselenggarakan untuk memperlihatkan kebolehan bangsa Arab dalam berdeklamasi. Aksi kepiawaian penyair yang demikian itu diabadikan dengan cara hafalan. Karena hanya mengandalkan hafalan, maka hal utama yang harus mereka lakukan adalah terus-menerus mengasah daya ingatnya. Sementara bagi puisi yang paling unggul di kompetisi tersebut akan didokumentasikan secara tertulis. Setelah ditulis, puisi itu akan dipajang di dinding Ka’bah yang kemudian disebut dengan mu’allaqāt (Wargadinata & Fitriani, 2018). Bersamaan dengan itu, kritik sastra mulai bermunculan di kalangan para sastrawan. Dalam rangka melakukan sebuah riset, diperlukan adanya metode penelitian. Hal ini bertujuan agar riset dapat disampaikan secara terstruktur dan mengejawantahkan uraian yang sahih mengenai persoalan yang diteliti. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah metode kepustakaan, dimana peneliti menghimpun data melalui kegiatan membaca, mencermati, mendiagnosa, dan memverifikasi data berdasarkan materi kepustakaan yang mendukung riset ini (Zed, 2008). Penelitian ini bersifat historis karena upaya yang dilakukan oleh peneliti adalah mengurutkan fakta-fakta sejarah dari berbagai sumber lalu menyortirnya dengan teliti dan menuliskannya. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif karena di dalamnya tidak mengandung konvensi dan formalitas Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 163 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 angka (Subroto, 2007). Dilihat dari intensitas dan ketajaman analisisnya, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Dalam konteks ini, peneliti berusaha untuk menghimpun beragam gejala dan fakta yang akan dirangkai, diuraikan, dan ditelaah lebih lanjut (Anwar, 2009). Penelitian deskriptif meggambarkan objek dengan tanpa memperdebatkan keterkaitan antarvariabel penelitian (Amrullah et al., 2021). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik yang dimiliki kritik sastra pada masa Jahiliah yaitu kritik subjektif dan impresif (‫التأثري‬ ‫)النقد الذاتي‬. Kritik subjektif dan impresif adalah kritik yang bersumber dari perasaan (feeling) dan bergantung pada selera bawaan (dhawq fitriy). Kritik semacam ini dilakukan atas dasar pengaruh puisi terhadap jiwa seseorang. Orang Arab secara alami dengan rasa bawaan yang kompleks dapat merasakan efek puisi. Dari sinilah penilaian terhadap puisi bersifat subjektif dan impresif sebab kritikus hanya mengandalkan selera, naluri, dan intuisinya saja (Ibrahim, 1998). Dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra, masyarakat Arab merujuk pada naluri yang mereka miliki. Berasal dari sanalah mereka dapat menilai bagaimana kualitas suatu karya sastra dari aspek gaya bahasa yang diterapkan. Selera terhadap estetika dalam sastra yang berada di benak masing-masing individu selalu berbeda sesuai dengan karakteristik otentik dari tempat tinggal mereka. Dalam hal ini, faktor lingkungan ketika seseorang bertumbuh kembang menjadi sangat berpengaruh (Ibrahim, 1998). Ada empat jenis kritik yang dilakukan secara subjektif dan impresif, antara lain: Satu, Kritik Linguistik, yaitu kritik yang berfokus pada implementasi bahasa. Manakala didapati penempatan suatu kata yang kurang tepat pada konteks kalimat yang dituturkan oleh seorang pujangga, maka kritikus akan mengulas dan mengomentari keganjilan atau bahkan deviasi yang termuat di sana sebagaimana yang dilakukan oleh Musayyab ketika ia mendeskripsikan unta menggunakan istilah ‫الصعيرية‬dan kemudian dikritik oleh Ṭarfah. Ṭarfah mengatakan bahwasanya istilah tersebut diartikan sebagai ‘tanda yang terdapat di unta betina’ sehingga tidak sesuai jika diletakkan pada konteks yang dimaksudkan syair. Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 164 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 Sebab, pada dasarnya yang dituju oleh puisi adalah kata ‫(الجمل‬Ibrahim, 1998). Sementara itu, Ahmad Amin berpendapat bahwa pada saat itu Ṭarfah bin al-‘Abd mengkritisi puisi al-Mutalammis secara personal dan subjektif berdasarkan sudut pandang kebahasaannya. Puisi al-Mutalammis yang dimaksud adalah: ‫وقد أتناسى الهم عند احتضاره‬ ‫بتاج عليه الصيعرية مقدم‬ Artinya: “Aku pura-pura melupakan kesedihan saat dia datang dengan mengenakan mahkota di atas leher depan (punuk unta).” Tarfah mengomentari puisi di atas dengan mengatakan menurutnya kata ‫استونق الجمل‬, sebab ‫ الصيعري‬adalah sifat atau tanda khusus yang dimiliki oleh unta betina, bukan tanda pada leher unta (Amin, 2012). Penempatan kosa kata tertentu tidak dapat diletakkan di kalimat manasuka karena akan menimbulkan kesan yang aneh pada puisi dan amatir bagi penyairnya. Dua, Kritik Makna. Masyarakat Arab memiliki kepekaan yang bagus terhadap penempatan kata dan maknanya. Jenis kritik ini memiliki beberapa kriteria dalam menilai makna suatu karya sastra, di antaranya yaitu: sesuai dengan kesibukan masyarakat Arab, kata harus sinkron dengan makna kontekstualnya, dan keindahan makna puisi harus memiliki kualitas yang unggul. Ketiga kriteria tersebut ditujukan agar puisi yang mereka bawakan dapat berkorelasi langsung dengan kondisi kehidupan mereka sehingga syair-syair yang dihafal dapat dijaga dengan baik. Gaya bahasa yang dipilih tentunya memiliki level yang tinggi, baik dari segi retorika bahasa maupun kesusastraannya. Hal ini perlu dilakukan agar pembaca bisa membedakan karya sastra karangan asli orang Arab dengan karya sastra orang-orang non Arab, juga agar orang-orang asing dapat mempelajari kepiawaian mereka dalam bersyair. Tiga, Kritik ‘Aruḍ. Pada hakikatnya, sastra Arab pada masa itu berkaitan erat dengan nada dan irama, khususnya syair yang disusun berdasarkan kaidah qafiyah dalam Ilmu ‘Aruḍ. Yang menjadi perhatian pokok adalah apakah syairsyair yang dipentaskan sudah mengikuti qiyas atau tidak. Qiyas yang dimaksudkan adalah pola-pola atau acuan (mawāzin) yang terdapat pada naẓam atau syair dan telah disepakati oleh para ulama’ (Nur, 2019). Dan empat, kritik yang ditujukan terhadap cara penyair dalam membunyikan karya puisinya. Kritik jenis ini dimaksudkan untuk menilai intonasi, baik tekanan maupun aksen yang dibawakan oleh pujangga ketika membacakan Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 165 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 puisinya (Ibrahim, 1998). Para penyair berlomba-lomba untuk mengeluarkan potensi terbaiknya agar pesan dari puisi dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Kritik ini memperhitungkan beberapa aspek penting, seperti: penghayatan dan penjiwaan seorang penyair, bagaimana ekspresi dan mimik wajahnya, kejelasan artikulasinya, gesture tubuhnya, dan intonasi (stress) yang digunakan. Selain bersifat subjektif-impresif, ada kalanya kritik yang dipakai oleh kritikus pada masa Jahili berdasarkan sebuah pertimbangan dan membutuhkan kesabaran (‫واألناة‬ ‫)النقد الذي مبعثه الروية‬. Beberapa metode yang dilakukan dalam kritik ini adalah meluruskan dan mengkritik (‫والتنقيم‬ (‫والتلمذة‬ ‫)التثقيف‬, bercerita dan belajar ‫)الرواية‬, serta menyeleksi (‫( )االختيار‬Ibrahim, 1998). TathqĪf dan tanqĪm adalah proses kritik praktis yang berisi tentang pandangan penyair itu sendiri terhadap seni dalam puisi sebelum dikritisi oleh orang lain. Proses kritis ini muncul dalam rangka mengoreksi sebuah puisi yang digubah oleh penyair, kemudian meninjau ulang dan merevisinya. Hal ini dilakukan agar ketika ditampilkan di hadapan khalayak umum, puisi terbebas dari cacat dan dapat diterima dengan baik. Riwāyah di masa Jahiliah memiliki kedudukan yang tinggi dan banyak dibutuhkan karena berfungsi untuk menyalurkan berita tentang keadaan suatu kota kepada masyarakat di kota lain sehingga berita dapat menyebar. Penyair menceritakan apa yang dialaminya di suatu kota dan bagaimana kondisi wilayah yang dilewati selama perjalanan menuju kota berikutnya sehingga para pendengar dapat mengetahui keadaan di sana. Dengan demikian, riwāyah itu seperti sebuah sekolah seni, tempat penyair muda atau pemula dapat mempelajari prinsip-prinsip seni. Ikhtiyār merupakan salah satu aktivitas kritis yang mengerahkan rasa dan nalar, membutuhkan pemikiran serta kesabaran, tidak datang dengan spontanitas dan juga tanpa disertai improvisasi. Dalam proses ini, penyair yang menjadi pengkritik menunjuk karya sastra terpilih berdasarkan kontruksi dan maknanya untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah contoh yang ideal. Ahmad Amin menjelaskan bahwa masyarakat Arab di masa itu berpendapat mengenai al-Nabigah al-Dhibyāni yang memiliki skill menonjol, terutama dalam mengkritik dan menyeleksi sastrawan yang dianggapnya lebih Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 166 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 berpotensi daripada yang lain. Sikapnya ini terlihat dari cara dia memilih al-A’sha dan al-Khansa’, bukan yang lainnya. Di bawah ini adalah salah satu contoh puisi yang dianggap cacat oleh al-Nabigah (Amin, 2012): ‫أمن آل مية رائح أو مغتدي‬ ‫عجالن ذا زاد وغير مزود‬ ‫زعم البوارح أن رحلينا غدا‬ ‫وبذلك حدثنا الغراب األسدو‬ Artinya: “Keselamatan keluarga dari seratus orang (Badui) yang bepergian adalah dua anak sapi yang memiliki dan tidak memiliki perbekalan. Angin panas (di musim kemarau) memperkirakan bahwa perjalanan kita akan terjadi esok. Dan begitulah yang dikatakan oleh burung gagak hitam pada kita.” Puisi di atas mendapat hinaan sampai separuh baitnya diubah karena dinilai cacat. Apa yang dilakukan kaum Quraisy adalah mereka mengambil posisi sebagai orang-orang pilihan yang sekaligus merangkap profesi sebagai kritikus. Tugas mereka adalah mengkritik pilihan kosakata dan gaya bahasa (style) terbaik dari masing-masing suku. Dengan inilah mereka dapat memperluas otoritas bahasa mereka atas kabilah-kabilah lainnya. Lima keistimewaan yang dimiliki oleh kritik sastra Jahiliah menurut Mustafa Abdurrahman Ibrahim adalah sebagai berikut (Ibrahim, 1998): Pertama, mengandung Dhawq Fiṭriy. Walaupun tidak ada standar khusus dalam kritik sastra Jahili, corak kritiknya senantiasa bersumber dari rasa yang suci dan masif yang dialami oleh seorang kritikus. Kritik sastra semacam ini disampaikan secara lisan tanpa catatan apapun. Penilaiannya didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu: kepiawaian penyair, kefasihan bahasanya, bagaimana artikulasinya, dan apa makna dari syairnya. Model kritik ini dipraktikkan oleh anNabighah dalam menilai puisi Hasan bin Sabit dimana ia melihat dari aspek kontruksi bahasa Arab dari maknanya. Kedua, spontanitas. Karakteristik ini berkaitan dengan dhawq. Dalam mengkritik karya sastra, para kritikus secara langsung (spontan) mengkritik sesuai dengan apa yang dirasa, tanpa diuji dan dipelajari kebenarannya terlebih dahulu. Spontanitas kritikus dalam menilai sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan subjektivitasnya dalam menangkap nilai-nilai estetika puisi. Tentu saja spontanitas setiap orang berbeda-beda, bergantung pada hal-hal yang menarik bagi pribadi kritikus. Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 167 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 Ketiga, bersifat parsial (juz’iy). Disebut demikian karena karya sastra akan dikritik dari sebagian aspek saja yang dapat mengesampingkan beberapa nilai estetika dalam puisi. Misalnya, kritikus hanya fokus pada lafaz dan wazn dalam puisi, lalu ia mengkritiknya tanpa menghiraukan unsur-unsur terpenting lainnya. Kritik sastra ini tercermin dari kisah al-Mutalammis yang dikritik oleh Ṭarfah. Dalam hal ini, Ṭarfah menggunakan kritik juz’iy yang hanya mengacu pada aspek kebahasaannya saja. Keempat, bersifat general. Dalam mengkritik, kritikus diberi keleluasaan dan kebebasan dalam menyampaikan kritikannya tanpa disertai alasan dan sebab mengapa ia mengkritik bagian tersebut. Dalam konteks ini, al-Nabighah pernah melontarkan suatu kalimat yang ditujukan kepada Lubaid bin Rabi’ah, yakni “Pergilah karena engkau adalah penyair Arab”. Model kritik semacam ini memiliki tingkat ambiguitas yang tinggi. Seseorang akan semakin bingung setelah mendapatkan kritik karena dia tidak memahami apa yang dimaksud dan mengapa dia dijudge seperti itu. Kelima, ringkas dan lugas. Kritik disampaikan secara singkat dan tidak bertele-tele. Seperti perkataan Ṭarfah terhadap Mutalammis ‫الجمل‬ ‫استونق‬. Kalimat singkat ini mengandung kritikan bahwa ternyata terdapat suatu kecacatan pada puisi Mutalammis. Dengan kritikan singkat tersebut, maka penyair dituntut untuk mengevaluasi diri dan karyanya secara lebih intens agar ia dapat menemukan jawaban sehingga dapat merevisi kesalahannya. Bersandarkan pada pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa prinsip-prinsip yang dibawa dalam kritik sastra masa Jahiliah tidak didasarkan pada aturan teknis tertentu, melainkan disesuaikan dengan selera pribadi, yakni semata-mata hanya berdasarkan intuisi, naluri, dan insting yang dimiliki seorang kritikus. Hal ini menyebabkan timbulnya penilaian yang berbeda dan bervariasi karena masing-masing kritikus memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap karya sastra yang sama. Walaupun pada saat itu acuan khusus yang berupa prinsip-prinsip ilmiah belum dirumuskan, para penyair dapat menerima penilaian tersebut tanpa perlu pembenaran dan analisis lebih lanjut seolah-olah mereka sudah merasa terarahkan. Selain itu, penyair menyadari bahwa semua kritikan yang diberikan hanya berdasarkan subjektivitas orang semata. Penilaian terhadap Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 168 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 beberapa aspek dalam puisi yang meliputi: kebahasaan, makna, musikalitas atau ‘aruḍ, dan cara penyampaian penyair, dinilai secara general dan tidak terperinci. Pembahasan mengenai permasalahan di atas bisa kita ketahui dari sebuah cerita yang meriwayatkan bahwa beberapa penyair berkumpul di sebuah kedai minum (tempat nongkrong) atau yang sekarang disebut dengan kafe. Di antaranya ada al-Zabarqān bin Badr, al-Mukhbil al-Sa’di, ‘Abdah bin al-Ṭayyib, dan ‘Amr bin al-Ahdam. Di sana, mereka semua membahas seputar puisi dan penyair. Masingmasing dari mereka mengklaim lalu memutuskan puisi mana yang paling unggul. Puisi ‘Amr berisi tentang musim dingin di Negeri Yaman yang mematikan dan merata. Puisi al-Zabarqān berisi seakan-akan dirinya adalah seorang pria yang mendatangi hewan yang telah disembelih lalu dia mengambil bagian terbaik dan mencampurkannya dengan yang lain. Puisi al-Mukhbil berisi meteor dari Tuhan yang dilemparkan kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Sementara puisi ‘Abdah seperti sebuah wadah bekal musafir yang paling kuat kantongnya sehingga tidak ada bekal yang tercecer (Amin, 2012). Ada dua jenis kritik yang berbeda untuk menilai puisi-puisi tersebut: Pertama, mengkritik kata-kata atau makna leksikalnya; Kedua, membandingkan antara kelebihan dan kelemahan dari para penyair. Bagaimanapun juga, ini tergolong kritik primitif. Jika kritikus hanya melihat dari makna leksikal puisi, maka pesan yang dikandung oleh puisi tersebut tidak akan tereksplorasi secara komprehensif. Begitu juga jika seorang kritikus menilai karya sastra dengan cara melihat bagaimana kepribadian dan integritas si penyair, termasuk kelebihan dan kekurangannya, maka hal ini juga tidak akan cukup karena nilai estetik puisi belum termasuk di dalamnya. Di samping dua kritik tersebut, ada juga sebuah penilaian yang hanya diperuntukkan bagi beberapa puisi yang memiliki kualitas tinggi jika dibandingkan dengan yang lain. salah satu contohnya yaitu puisi Suwaid bin Abi Kahil yang awalnya berbunyi: ‫بسطت رابعة الحبل لنا‬ ‫فوصل الحبل منها ما انقطع‬ diklaim sebagai salah satu dari puisi terbaik dan dinamai sebagai “al-Yatimah”. Dan puisi Hassan yaitu: ‫هلل در عصابة نادمتهم‬ ‫يوما بخلق في الزمن األول‬ juga merupakan puisi terbaik dan dinamakan “al-Battarah”. Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 169 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 Dari jenis kritik inilah para kritikus memilih puisi-puisi terkenal yang mereka sebut sebagai “al-Mu’allaqāt”. Dengan demikian, kritik tidak didasarkan pada kaidahkaidah teknis, juga bukan dengan kriteria yang matang dan terorganisir. Semua itu hanya mengacu pada pikiran dan intuisi yang dirasakan saat itu. KESIMPULAN Berdasarkan hasil riset pustaka di atas, maka simpulan yang dapat diambil adalah kritik sastra Arab Jahili belum memiliki fondasi yang kokoh untuk menilai sebuah kritik sastra. Bangsa Arab hanya mengandalkan kepekaan tajam yang mereka miliki, bahkan terhadap hal kecil sekalipun. Penyair berpuisi berdasarkan emosi yang ia rasakan akibat peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Begitu pula dengan kritikus yang menilai karya sastra berdasarkan kriteria natural yang dimiliki. Artinya, baik penyair maupun kritikus di masa Jahili sama-sama primitif dan naif, begitu pula dengan literatur dan bentuk kritiknya. Subjektivitas tersebut sangat ditonjolkan dalam kritik sastra di era ini. Mereka hanya menilai bagian yang menarik perhatiannya, baik dari sisi linguistik, makna, ‘aruḍ, ataupun penyampaian penyairnya saja. Namun demikian, penilaian yang sifatnya parsial digunakan untuk menilai keseluruhan karya sastra. DAFTAR PUSTAKA Amin, A. (2012). An-Naqd Al-Adabi. Hindawi. Amrullah, A. Y., Sarifudin, & Atho’illah. (2021). Tipografi Khat Diwani Muhammad Izzat, Musthafa Ghazlan Bik dan Hasyim Muhammad Baghdadi. Hijai Journal on Arabic Language and Literature, 04(02), 163–179. Anwar, S. (2009). Metode Penelitian. Pustidaka Pelajar. Aziz, A. (2019). Kritik Intrinsikalitas dan Ekstrinsikalitas Sastra Modern dalam Kajian Sastra Arab Modern. Mumtäz, 3(1), 23–36. Haeruddin. (2016). Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra - Islam. Nady AlAdab, 12(1), 35–50. Ibrahim, M. A. (1998). Fi an-Naqd al-Adabi al-Qadim ‘inda al-‘Arab. Kulliyyah adDirasat al-Islamiyyah wa al-‘Arabiyyah li al-Banin. Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 170 Hijai – Journal on Arabic Language and Literature | ISSN: 2621-1343 Kholis, N. (2021). Kritik dan Penilaian Ibnu Qutaibah terhadap Puisi Arab dalam Kitab al-Syi’ru wal Syu’ara. El-Ibtikar, 10(1), 16–36. Nur, M. (2019). Syair-Syair Wasf dalam Syair Imru’ Al-Qais (Tinjauan Ilm’ Arudh). Nady Al-Adab, 16(1). Satir, M. (2019). Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Masa Awal Kehadiran Pendidikan Islam. AL-FIKR: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 39–48. https://doi.org/10.32489/alfikr.v5i1.17 Subroto, E. (2007). Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. UNS Press. Wargadinata, W., & Fitriani, L. (2018). Sastra Arab Masa Jahiliyah dan Islam. UIN Maliki Press. Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia. Volume 05 Nomor 02, Bulan Juli – Desember 2022 | 171