[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 POTENSI SISTEM PEMILU MEMUNCULKAN PERILAKU KORUPSI DI INDONESIA Novance Silitonga Dosen FISIP Universitas Bung Karno ABSTRAK Literatur kepemiluan mengenal beberapa sistem pemilu yang sering digunakan oleh berbagai negara untuk menyelenggarakan pemilu diantaranya adalah sistem distrik/mayoritarian, sistem proporsional dan sistem campuran. Sistem-sistem pemilu ini memiliki variannya masingmasing dan praktek pemilu yang telah diselenggarakan menunjukkan bahwa tidak ada sistem pemilu terbaik di dunia dan kompatibel digunakan oleh semua negara, tetapi sistem pemilu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tiap tiap negara yang menyelenggarakan pemilu. Namun beberapa riset baik skala nasional maupun internasional menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional cenderung menciptakan peluang untuk terjadinya perilaku korupsi oleh politisi atau korupsi politik. Inilah mengapa kemudian di negara negara yang menggunakan sistem pemilu proporsional khususnya yang terbuka, semakin menyuburkan praktek-praktek korupsi. Kata Kunci: Sistem Pemilu, Korupsi, Institusi PENDAHULUAN Pemilihan umum atau pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih dan menentukan figur-figur yang menjadi representasi rakyat atau pemilih di lembaga legislatif ataupun lembaga eksekutif. Di lembaga legislatif, pemilih menentukan wakil-wakil yang duduk di parlemen seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sering diasosiasikan sebagai senator yang ada di Amerika. Di lembaga eksekutif, melalui pemilu pemilih mempunyai hak konstitusional menentukan seorang kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan seorang kepala negara (Presiden). Pemilu menjadi penting dan urgen karena menyangkut masa depan keberlangsungan sebuah negara dan bangsa. Negara harus dikelola dengan kekuasaan yang sah dan konstitusional. Kekuasaan yang sah dan konstitusional tersebut harus berasal dan diberikan oleh rakyat yang berdaulat melalui mekanisme pemilu dengan asas-asas seperti langsung (tidak dapat diwakilkan atau tanpa perantara), umum (kesempatan bagi seluruh warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih tanpa adanya diskriminasi berbasis suku, ras, agama dan 613 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 antar golongan), bebas (tanpa paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun dalam menentukan pilihannya) dan rahasia (apapun pilihannya tidak akan diketahui oleh orang lain). Selain asas-asas tersebut terdapat pula asas yang paling penting dan bersifat melengkapi yaitu jujur (penyelenggaraan pemilu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak mengingkari setiap klausul yang ada) dan adil (perlakuan yang adil dan bebas dari kecurangan bagi pemilih dan peserta pemilu). Kekuasaan yang didapat tanpa melalui pemilu yang berasas langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil hanya akan berujung pada praktek-praktek pemerintahan zalim, diskriminasi bahkan korup. Oleh karenanya pemilu perlu didesain dan dikelola sedemikian apik agar proses penyelenggaraannya mampu menghasilkan wakil-wakil atau pemimpin yang berintegritas dan bermoral. Dalam konteks ini perekayasaan sistem pemilu menjadi prioritas untuk diperhatikan agar hasil pemilu memang memilih insan-insan yang berintegritas. Melalui perekayasaan sistem pemilu, maka dapat ditentukan tatanan politik yang bagaimana yang ingin dicapai. Berbagai studi literatur menjelaskan bahwa negara-negara di dunia yang menyelenggarakan pemilu, sistem pemilu proporsional (proportional representation system) adalah paling banyak digunakan. Sistem pemilu proporsional memiliki varian dengan karakter masing-masing yaitu sistem pilihan tunggal yang dapat ditransfer (single transferable vote) dan sistem proporsional daftar (list proportional system). Sistem yang terakhir dapat dibedakan menjadi dua yaitu sistem daftar terbuka dimana pemilih akan memilih calon dan daftar tertutup yang mengarahkan pemilih hanya memilih partai politik. TABEL.1.1. SISTEM PEMILU LEGISLATIF DI DUNIA (TAHUN 2000) JUMLAH PERSENTASE CONTOH NEGARA KASUS SISTEM PLURALITAS /MAYORITAS FPTP 36 20.2 AS, Inggris, India BLOK VOTE 11 6.2 Lebanon, Kuwait SNTV 3 1.7 Afghanistan, Yordania RUNOFF 20 11.2 Perancis, Gabon AV 4 2.2 Australia Daftar 67 37.6 Rusia, Spanyol, Afsel STV 2 1.1 Irlandia, Malta SISTEM PROPORSIONAL SISTEM CAMPURAN 614 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 MMP 9 5.1 Jerman, Selandia Baru MMM 26 14.6 Jepang, Korea Selatan TOTAL 178 99,9 sumber:www.sagepub.co.uk.leduc 3 Dalam tulisan ini penulis memberi fokus kepada sistem pemilu proporsional terbuka yang membuka peluang lebar bagi politisi berkompetisi secara bebas dan terbuka dan memilih penggunaan politik uang sebagai mekanisme dalam perolehan suara. Dampak ikutan yang menyertai penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka adalah politisi terpilih banyak yang memilih opsi melakukan praktek korupsi. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah sistem pemilu proporsional punya celah atau kelemahan permanen sehingga sistem ini dituduh atau setidaknya dianggap sebagai sistem pemilu yang menciptakan perilaku korupsi. Apakah sistem pemilu proporsional punya insentif untuk memunculkan perilaku korupsi politisi? Mengapa Indonesia selalu berbasis pada pilihan sistem pemilu proporsional walaupun secara faktual menambah jumlah politisi yang terjerat kasus pidana korupsi?. PEMBAHASAN Korupsi dan Korupsi Politik Memberi definisi korupsi merupakan persoalan yang tidak sederhana namun bukan berarti tidak bisa diurai dan dijelaskan. Ketidak sederhanaan terletak pada kata korupsi itu sendiri dan cara diagnosa sebuah perilaku atau tindakan yang disebut sebagai korupsi. Semenjak reformasi pada 1998 kata korupsi paling sering muncul dalam diskursus lokal maupun nasional baik di lingkungan akademisi, birokrasi pemerintahan, organisasi nonpemerintah bahkan partai politik. Lonjakan perhatian pada korupsi memicu munculnya banyak tulisan dalam bentuk opini di media massa, survey persepsi, laporan penelitian, artikel jurnal, beberapa buku kajian konseptual dan buku panduan hukum penanganan korupsi. 1 Korupsi memiliki arti yang tidak seragam karena memiliki keluasan daya cakup (capacious). Oleh karenanya cukup sulit menemukan satu pengertian korupsi yang cukup tangguh. Hal ini dianggap wajar oleh Robert William karena “if they are too narrowly drawn, they will not be comprehensive, if they are broad, they may be seen as vague and imprecise.”2 Setidaknya ada beberapa tipologi yang dapat digunakan menjelaskan keragaman definisi yaitu definisi yang berporos pada jabatan publik, definisi yang berporos pada mekanisme pasar dan definisi yang berporos pada kepentingan publik. 3 Lebih jauh tulisan ini akan mengaitkan 1 B Herry Priyono, 2018, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, Gramedia, hal.2. William Robert.1999. New Concepts for Old? Third World Quarterly, hal.504. 3 Priyono, Ibid.,hal 38-48. 2 615 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 korupsi yang berporos pada jabatan publik dan menjelaskan keterhubungannya dengan sistem pemilu. Tulisan ini akan melihat lebih jauh apakah sistem pemilu yang digunakan dalam pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) berpotensi memunculkan perilaku korupsi politisi (anggota DPR dan DPRD) hanyalah sebatas gejala (penyelewengan jabatan publik) bukan dampak (rusaknya kepentingan publik)? Oleh karenanya, penulis menganggap definisi yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye adalah definisi yang paling pas untuk menjelaskan korupsi sebagai sebuah perilaku yaitu Corruption is behavior which deviates from the formal duties of a public role because of private-regarding (personal, close family, private clique), pecuniary or status gains; or violates rules against the exercise of certain types of private regarding influence. This include such behavior as bribery (use of a reward to pervert the judgment of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather than merit); and misappropriation (illegal appropriation of public resources for privateregarding uses).4 Sebagai sebuah perilaku maka korupsi dilakukan oleh aktor-aktor tertentu yang dianggap punya kemampuan untuk melakukannya. Kemampuan itu didorong oleh atribut kekuasaan yang ada pada dirinya yaitu jabatan atau posisi. Namun kemampuan ini harus pula didukung oleh kemauan dari aktor tersebut. Korupsi yang berhubungan dengan jabatan dan kekuasaan dapat disebut sebagai korupsi politik. Korupsi politik adalah bagian dari penyelewengan jabatan politik yang diamanatkan kepada seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok politik yang berafiliasi padanya. Pengertian korupsi politik secara konkret dijelaskan oleh Artidjo Alkostar sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini cenderung dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik bisa dilakukan oleh presiden, politisi, anggota parlemen, para menteri. 5 Daya Institusi Korupsi Mengapa korupsi selalu saja terjadi walaupun ada sejumlah perangkat hukum yang cukup kuat memberi batasan-batasan normatif. Perang terhadap korupsi selalu digaungkan bahkan ancaman terhadap koruptor didesak agar lebih kuat yaitu hukuman mati. Apakah korupsi memiliki daya pikat yang kuat sehingga ancaman sebesar apapun yang mengintai para 4 5 J.S Nye.1967. Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis, Harvard University, hal.419. Artidjo Alkostar.2015. Korupsi Politik di Negara Modern, FH.UII Press, hal.19. 616 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 pelakunya, korupsi tetap saja menggoda. Indonesia memang belum menjadikan hukuman mati bagi hukuman terberat bagi para koruptor, tetapi desakan ini selalu muncul dan menjadi bahan diskursus nasional hingga saat ini. Hingga saat ini belum ada koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati bagi koruptor dianggap bukan bagian dari solusi yang dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. Indonesia masih memandang bahwa setiap manusia punya hak absolut untuk hidup. Hukuman mati sebagai refleksi masyarakat frustasi dalam upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif sehingga hukuman mati dijadikan jalan pintas menyelesaikan masalah korupsi yang telah mengakar. Korupsi adalah sebuah gejala penyakit dari ketidakberesan sistem di sektor pemerintah, privat dan masyarakat. 6 Secara institusi, korupsi memiliki daya pikat yang cukup kuat sehingga mampu menjerumuskan para pelakunya dalam praktek-praktek kecurangan. Institusi memberikan insentif atau daya bagi munculnya perilaku korup yang culas. Institusi politik seperti sistem pemilu memberikan kerentanan bagi anggota DPR dan DPRD untuk berperilaku korupsi. Dalam perspektif institusional inilah korupsi fokus pada persoalan pilihan rasional (rational choice) yang menjelaskan bahwa corruption is the result of the equilibrium between resources and cost.7 Sistem Pemilu Sistem pemilu adalah seperangkat aturan yang digunakan untuk menjalankan penyelenggaraan pemilihan umum. Sistem ini biasanya memiliki tiga elemen atau unsur penting yaitu ballot structure, constituency structure and electoral formula8. Unsur-unsur dalam sistem pemilu berfungsi memastikan seluruh proses dan hasil penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung secara objektif. Unsur-unsur dalam sistem pemilu harus diatur dalam aturanaturan teknis yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan pengaturan secara teknis ini dilakukan oleh sebuah Badan Penyelenggara Pemilu. Sistem pemilu dalam sejarah perjalanan pemilu di Indonesia selalu digugat dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilu. Undang-undang tentang pemilu di Indonesia selalu mengalami perubahan dan salah satu yang paling mendapat perhatian dalam proses pembahasan perubahan tersebut adalah terkait pengaturan sistem pemilu. Tampaknya 6 www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/3/12/1709/komnas-ham-hukuman-mati-bukan-solusipemberantasan-korupsi.html 7 Maria Martini.2012. Causes Of Corruption in Indonesia, Transparency International and Anti Corruption Resources Centre.hal.3. 8 Alan Ware.2015. Electoral Systems, Cambridge University Press, hal. 349. 617 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 perdebatan sistem pemilu yang mengemuka hanya terkait apakah sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu legislatif adalah proporsional terbuka atau tertutup? Perdebatan tidak menjurus pada penggunaan sistem pemilu lainnya diluar sistem proporsional. Jika mencermati dinamika di parlemen, seringkali yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup adalah partai-partai besar dan punya pengalaman panjang dalam pemilu baik pada masa rezim orde baru maupun pasca orde baru. Partai yang lebih mendukung sistem proporsional terbuka relatif partai politik baru yang lahir setelah rezim politik lebih demokratis. Tabel 2.2. Dukungan Partai Politik Parlemen Terhadap Sistem Pemilu Proporsional Dukungan Parpol Sistem Pemilu PDIP, Gerindra dan Golkar Sistem Proporsional Tertutup Argumentasi Parpol 1. Lebih memudahkan pemilih menggunakan hak pilih dalam pemilu serentak karena hanya memilih partai politik; 2. Pembiayaan pemilu menjadi relatif murah; 3. Peserta Pemilu adalah partai politik bukan caleg/individu. Sistem terbuka membuat caleg menjadi lebih sentral daripada peran partai politik; 4. Sistem tertutup memungkinkan terjadi efek ekor jas yaitu kesamaan antara parpol yang dipilih pemilih dengan capres dari parpol yang dipilih. Nasdem, PKB, PKS, PPP, Sistem Proporsional Terbuka 1. Mengurangi/menghindari 618 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 Demokrat dan PAN kemunculan oligarki elit partai dalam menentukan calon-calon terpilih; 2. Memperkuat partisipasi publik/pemilih dengan menentukan caleg pilihan sendiri berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri oleh pemilih. Sumber: diolah dari berbagai sumber Konsensus politik nasional menyepakati bahwa sistem pemilu proporsional adalah sistem pemilu yang paling menjawab kebutuhan politik Indonesia yang majemuk, khususnya sistem pemilu proporsional terbuka. Konsensus nasional tersebut didukung pula oleh aliansi kelompok masyarakat sipil melalui Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu dengan beberapa alasan yang mereka ajukan. Pertama, sistem pemilu proporsional menguatkan hubungan antara caleg dengan pemilih menjadi hubungan yang lebih terbuka tanpa harus ada intervensi partai politik yang mengusungnya. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih adalah hubungan yang rasional. Pemilih akan memilih caleg yang menguntungkan baginya; Kedua, partai politik masih tertutup dalam merekrut caleg yang akan berkompetisi, partai politik menyodorkan beberapa caleg dari setiap daerah pemilihan sehingga pemilih tidak selalu mengenal caleg yang akan mereka pilih. Caleg yang muncul bukan berasal dari pemilih sehingga pemilih tidak mengenal dan mengetahui siapa dan bagaimana caleg tersebut. Yang muncul sejatinya adalah oligarki partai politik. Ketiga, sistem proporsional terbuka memberikan pembelajaran kepada caleg perempuan mengenai bagaimana kompetisi secara elektoral dan jika sistem pemilu diubah maka apa yang selama ini sudah dipelajari oleh para caleg perempuan tersebut akan sia-sia; Keempat, jika rekrutmen atau penerimaan caleg dilakukan secara demokratis oleh tiap-tiap partai politik, maka ada garansi bahwa yang akan terpilih adalah caleg yang memiliki dukungan dari akar rumput; Kelima, walaupun sistem proporsional rentan terhadap praktek politik uang dan isu kualitas anggota parlemen yang rendah, namun jika mengembalikan sistem terbuka menjadi sistem tertutup akan semakin menyuburkan oligarki politik dan menghambat partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat selama ini. 619 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 Keenam, penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dilakukan dalam dua aspek yaitu aspek sistem dan aspek manajemen. Pada aspek sistem pemilu ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu (1) variabel besaran daerah pemilihan perlu diperkecil menjadi 3-6 kursi, dengan demikian calon dan pemilih lebih saling mengenal dan saling bertanggungjawab; dan (2) penegasan terhadap variabel metode pencalonan, pemilih hanya memilih calon sebab memilih calon berarti memilih partai politik karena calon diajukan partai politik. Kemudahan memilih ini akan membuat pemilih dan calon fokus dalam berkampanye. Dalam aspek manajemen, perbaikan dilakukan terutama dalam metode kampanye. Kampanye mengharuskan interaksi yang kuat antara pemilih dan calon sehingga mereka tidak hanya saling kenal tetapi juga saling bertanggung jawab, baik pada masa pemilu maupun pasca pemilu; Ketujuh, sistem pemilu proporsional daftar terbuka terbukti mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Lebih dari itu sistem ini telah mendorong perempuan untuk berpolitik praktis di lapangan melalui berbagai kegiatan pemenangan pemilu. Pendewasaan politik perempuan yang diusung oleh sistem pemilu proporsional daftar terbuka ini menjadi modal penting buat gerakan politik perempuan pada masa mendatang; Kedelapan, upaya menjamin perempuan masuk parlemen melalui pemilu, tidak cukup hanya bersandar pada ketentuan “keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon” dan “sedikitnya satu dari tiga calon adalah perempuan” tetapi juga harus ditambah ketentuan baru “sekurang-kurangnya 30% daerah pemilihan calon perempuan ditempatkan pada nomor urut 1 ”; Kesembilan, ketentuan ini penting dengan dua pertimbangan: pertama, pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan, calon terpilih 90% berasal dari calon nomor urut 1; kedua, dengan pengecilan besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 kursi maka akan semakin banyak jumlah daerah pemilihan, sehingga calon perempuan bernomor urut 1 juga harus tersebar secara secara proporsional sesuai prinsip minimal 30% perempuan. 9 Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Munculnya Perilaku Korupsi Politik Pada Anggota DPR dan DPRD. Sejak pemilu pertama diselenggarakan tahun 1955, sistem pemilu proporsional selalu menjadi referensi bagi bangsa Indonesia bahkan hingga pemilu di masa pasca reformasi, sistem pemilu proporsional tetap menjadi pilihan yang dianggap paling rasional untuk bangsa Indonesia. Kekuatan politik parlemen pernah mencoba mengubah sistem pemilu proporsional menjadi sistem distrik namun tidak berhasil. Presiden Sukarno pernah mengusulkan sebuah gagasan untuk membentuk partai politik tunggal atau partai pelopor pada awal kemerdekaan, 9 Lihat www. perludem.org 620 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 namun usulan atau gagasan ini tidak mendapat respon oleh banyak kalangan. Usulan tentara dari Angkatan Darat agar menggunakan sistem distrik pada awal Orde Baru juga mendapat penolakan dari partai politik, bahkan Presiden Habibie melalui Tim Reformasi Politik yang dibentuknya pernah mengajukan sistem pemilu mayoritarian yang dimodifikasi, namun mendapat penolakan. 10 Setidaknya penelusuran secara literatur menyebut berbagai argumentasi mengapa sistem pemilu proporsional menjadi pilihan bangsa ini. Argumentasi sosiologis mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional guna meningkatkan representasi politik yang ditandai dengan dekatnya caleg dengan pemilih. 11 Argumen ini bertolak dari anggapan bahwa caleg yang layak terpilih adalah caleg yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Sistem ini juga dianggap dapat memperkuat sistem kepartaian yang menuntut partai politik berperan lebih besar. Prinsip yang dipegang dalam argumentasi ini adalah bahwa peserta pemilu adalah partai politik bukan individu. Sistem pemilu proporsional diyakini telah sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, baik secara politik, sosial budaya maupun ekonomi. Sistem pemilu proporsional dianggap berpihak kepada kaum minoritas seperti perempuan dan disabilitas. Kemungkinan terpilihnya kelompok minoritas hanya terjadi pada sistem pemilu proporsional jika dibandingkan dengan sistem mayoritarian atau distrik. Sayangnya jika mencermati data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang jumlah politisi yang tersangkut kasus korupsi seakan memastikan bahwa sistem ini tidak ramah terhadap integritas politisi yang terpilih dalam pertarungan pemilu legislatif. Setiap tahun jumlah politisi atau anggota DPR dan DPRD yang berurusan dengan KPK selalu menunjukkan peningkatan. Artinya setiap tahun pasti ada anggota DPR dan DPRD yang korupsi dan setiap tahun semakin bertambah. Rentang Tahun 2009-2014 terdapat 73 orang anggota DPR dan DPRD ditindak KPK, sementara rentang tahun 2015-2019 ada sebanyak 175 orang anggota DPR dan DPRD tersandung kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan pemilu sebelum tahun 2009 dimana jumlah anggota DPR tahun 2004-2008 hanya 9 orang yang terjerat tindak pidana korupsi.12 Data ini memberi keyakinan bahwa politisi partai politik yang menjadi anggota DPR dan anggota DPRD menjadi aktor utama praktek korupsi di Indonesia. Fenomena korupsi tersebut tidak saja dilakukan oleh 10 Tentang ini lihat Didik Supriyanto, Salah Paham Pemilu: Proporsional Terbuka vs Tertutup, yang penting konsisten, www.detik.com, dipublikasikan tanggal 23 Mei 2020. 11 Agus Riwanto, 2015, Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Berbasis Suara Terbanyak Dengan Korupsi Politik di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol.4 No.1, Januari-April 2015. 12 Data diolah dari KPK yang dikutip dari website www.kpk.go.id 621 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 seorang aktor, namun dilakukan secara bersama-sama atau massal. Fenomena korupsi seperti ini terjadi di tingkat lokal. Misalnya di Provinsi Papua Barat, Sumatera Utara dan Kota Malang. Jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2014-2019 sebanyak 100 orang dari 11 partai politik dan 38 orang diantaranya kena kasus tindak pidana korupsi. Mereka menerima suap dari mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumut tahun anggaran 2012-2014 dan persetujuan APBD-P Provinsi Sumut tahun 2013-2014 serta pengesahan APBD Provinsi Sumut tahun anggaran 2014-2015. Begitu pula dengan anggota DPRD Provinsi Papua Barat periode 20142019 yang berjumlah 56 orang dimana 44 orang diantaranya terlibat dalam praktek korupsi penggunaan APBD 2010-2011 yang ditangani oleh Kejaksaan. Korupsi massal yang terjadi di Kota Malang menunjukkan betapa anggota dewan merupakan pelaku utama dari maraknya praktek-praktek korupsi di Indonesia. Sebanyak 41 orang terlibat dalam kasus korupsi pembahasan APBD-P Pemerintahan Kota Malang tahun 2015. Lantas, apakah data-data diatas dapat dikatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka berkontribusi atau mendorong munculnya perilaku korupsi pada anggota DPR dan DPRD? Tentang ini Chang mengatakan bahwa korupsi politik terjadi karena dipicu oleh kompetisi atau persaingan intra partai yang berat, sehingga para calon mencari sumber-sumber illegal untuk pembiayaan kampanye. Political corruption becomes a necessary evil because intra-party competition triggers candidates’ needs for illegal resources to finance their campaigns.13 Lebih jauh Chang mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memunculkan sebuah ketidakpastian akan kemenangan calon sehingga ini pulalah yang memaksa para caleg melakukan korupsi politik sebagaimana yang terjadi di Italia, tempat ia melakukan riset yang cukup panjang. Apa yang terjadi di Finlandia, Brasil dan Chile yang juga menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka membawa ketiga negara ini pada perilaku korupsi politik yang dilakukan oleh politisi. 14 Di Indonesia sendiri, riset Ayu Pratiwi membuktikan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak tidak hanya memperlemah partai politik sebagai institusi demokrasi menjadi sekedar event organizer, tetapi juga dapat memberikan insentif bagi para caleg, pemilih dan petugas pemilu dalam transaksi jual beli suara. 15 Muhtadi memberi analisis 13 Eric C.C. Chang.2005. Electoral Incentive for Political Corruption under Open-List Proportional Representation. The Journal of Politics Vol.67 No.3, August 2005, hal.1-2. 14 Joel W. Jhonson.2014. Electoral Systems and Political Corruption. (tidak ada penerbit) diunduh dari https://ssrn.com/abstract=2488834, tanggal 12 Februari 2021. 15 Diah Ayu Pratiwi.2018. Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik?, Jurnal Trias Politica, Vol.2 No.1. hal.24. 622 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 pada politik uang yang terjadi dalam pemilu legislatif yang menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Sistem ini memberi insentif pada para caleg untuk melakukan politik uang karena kompetisi antar calon di internal partai politik semakin ketat. Muhtadi memberi penjelasan bahwa terdapat efek samping yang dimunculkan oleh sistem pemilu proporsional terbuka yaitu meningkatkan politik uang. Hal ini terjadi karena ada perubahan strategi caleg yaitu, pertama, dalam sistem proporsional terbuka, caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam satu partai politik dalam rangka mengejar personal vote. Kedua, karena struktur partai politik diperebutkan antar caleg dalam satu partai, maka mereka mengandalkan jaringan personal atau tim sukses nonpartai; Ketiga, sistem proporsional terbuka mengandaikan kursi yang diperoleh oleh satu partai kepada caleg yang suaranya paling banyak dalam partai tersebut, maka mereka hanya membutuhkan sedikit suara untuk mengalahkan rival separtainya. Oleh karenanya politik uang merupakan mekanisme pembeda seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding kompetitor internal. 16 Dalam pertarungan elektoral di pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota uang menjadi penentu kemenangan. untuk merebut suara konstituen, seorang caleg membutuhkan uang sebagai faktor penentu meskipun secara kuantitatif politik uang hanya memengaruhi sekitar 10 persen dari total pemilih. 17 KESIMPULAN Dari berbagai penjelasan yang telah diberikan, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1.1. Sistem pemilu proporsional terbuka masih dianggap relevan dengan kondisi sosial kultural masyarakat Indonesia yang majemuk dan sistem ini lebih berpihak kepada kelompok-kelompok yang secara politis dianggap minoritas seperti kaum disabilitas dan kaum perempuan. Dipastikan bahwa pemilu legislatif berikutnya tetap masih menggunakan sistem proporsional terbuka; 1.2. Dalam konteks Indonesia sistem pemilu proporsional terbuka memiliki pengaruh terhadap perilaku korupsi politik; 1.3. Perilaku korupsi politik yang dilakukan oleh anggota DPR dan DPRD adalah dalam konteks upaya pengembalian modal uang yang telah digunakan untuk keperluan masa pencalonan (uang sewa perahu), masa kampanye (biaya kampanye) dan masa menjabat anggota legislatif (korupsi anggaran, korupsi uang reses); 16 Burhanuddin Muhtadi.2019. Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Pasca Orde Baru, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS Vol.5, Komisi Pemberantasan Korupsi, Tanggal 1 Juni 2019, hal.55-70. 17 Burhanuddin Muhtadi.2020. Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru. Gramedia.hal.260. 623 Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589 1.4. Korupsi politik juga sebagai upaya memenuhi kebutuhan politik uang pada pertarungan elektoral berikutnya; 1.5. Korupsi tidak pernah berdiri sendiri tetapi dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. Secara spesifik, lembaga eksekutif (melalui kementerian atau dinas) dan legislatif (melalui fraksi dan komisi) telah menjelma menjadi pusat korupsi.18 Daftar Pustaka 1. Alkostar Artidjo.2015. Korupsi Politik di Negara Modern, FH.UII Press 2. Chang Eric C.C. Electoral Incentive for Political Corruption Under Open-List Proportional Representation. The Journal of Politics Vol.67 No.3, August 2005. 3. Johnson Joel. W.2014. Electoral Systems and Political Corruption. (tidak ada penerbit). 4. Martini Maria.2012. Causes Of Corruption in Indonesia, Transparency International and Anti Corruption Resources Centre. 5. Muhtadi Burhanuddin.2020. Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru. Gramedia. 6. Muhtadi Burhanuddin.2019. Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Pasca Orde Baru, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS Vol.5, Komisi Pemberantasan Korupsi. 7. Nye J.S.1967. Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis, Harvard University. 8. Pratiwi Diah Ayu.2018. Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik?, Jurnal Trias Politica, Vol.2 No.1. 9. Priyono B. Herry.2018, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, Gramedia. 10. Robert William.1999. New Concepts for Old? Third World Quarterly. 11. Riwanto Agus.2015. Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Berbasis Suara Terbanyak Dengan Korupsi Politik di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol.4 No.1, Januari-April 2015. 12. Ware Alan.2015. Electoral Systems, Cambridge University Press. 18 https://theconversation.com/ramai-ramai-korupsi-persekongkolan-legislatif-dan-eksekutif-138002. 624