Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
POTENSI SISTEM PEMILU
MEMUNCULKAN PERILAKU KORUPSI DI INDONESIA
Novance Silitonga
Dosen FISIP Universitas Bung Karno
ABSTRAK
Literatur kepemiluan mengenal beberapa sistem pemilu yang sering digunakan oleh berbagai
negara untuk menyelenggarakan pemilu diantaranya adalah sistem distrik/mayoritarian, sistem
proporsional dan sistem campuran. Sistem-sistem pemilu ini memiliki variannya masingmasing dan praktek pemilu yang telah diselenggarakan menunjukkan bahwa tidak ada sistem
pemilu terbaik di dunia dan kompatibel digunakan oleh semua negara, tetapi sistem pemilu
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tiap tiap negara yang menyelenggarakan pemilu.
Namun beberapa riset baik skala nasional maupun internasional menunjukkan bahwa sistem
pemilu proporsional cenderung menciptakan peluang untuk terjadinya perilaku korupsi oleh
politisi atau korupsi politik. Inilah mengapa kemudian di negara negara yang menggunakan
sistem pemilu proporsional khususnya yang terbuka, semakin menyuburkan praktek-praktek
korupsi.
Kata Kunci: Sistem Pemilu, Korupsi, Institusi
PENDAHULUAN
Pemilihan umum atau pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih dan
menentukan figur-figur yang menjadi representasi rakyat atau pemilih di lembaga legislatif
ataupun lembaga eksekutif. Di lembaga legislatif, pemilih menentukan wakil-wakil yang
duduk di parlemen seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
sering diasosiasikan sebagai senator yang ada di Amerika. Di lembaga eksekutif, melalui
pemilu pemilih mempunyai hak konstitusional menentukan seorang kepala daerah (Gubernur,
Bupati dan Walikota) dan seorang kepala negara (Presiden).
Pemilu menjadi penting dan urgen karena menyangkut masa depan keberlangsungan
sebuah negara dan bangsa. Negara harus dikelola dengan kekuasaan yang sah dan
konstitusional. Kekuasaan yang sah dan konstitusional tersebut harus berasal dan diberikan
oleh rakyat yang berdaulat melalui mekanisme pemilu dengan asas-asas seperti langsung (tidak
dapat diwakilkan atau tanpa perantara), umum (kesempatan bagi seluruh warga negara yang
memenuhi syarat sebagai pemilih tanpa adanya diskriminasi berbasis suku, ras, agama dan
613
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
antar golongan), bebas (tanpa paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun dalam
menentukan pilihannya) dan rahasia (apapun pilihannya tidak akan diketahui oleh orang lain).
Selain asas-asas tersebut terdapat pula asas yang paling penting dan bersifat melengkapi yaitu
jujur (penyelenggaraan pemilu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
tidak mengingkari setiap klausul yang ada) dan adil (perlakuan yang adil dan bebas dari
kecurangan bagi pemilih dan peserta pemilu).
Kekuasaan yang didapat tanpa melalui pemilu yang berasas langsung, umum, bebas
dan rahasia serta jujur dan adil hanya akan berujung pada praktek-praktek pemerintahan zalim,
diskriminasi bahkan korup. Oleh karenanya pemilu perlu didesain dan dikelola sedemikian
apik agar proses penyelenggaraannya mampu menghasilkan wakil-wakil atau pemimpin yang
berintegritas dan bermoral. Dalam konteks ini perekayasaan sistem pemilu menjadi prioritas
untuk diperhatikan agar hasil pemilu memang memilih insan-insan yang berintegritas. Melalui
perekayasaan sistem pemilu, maka dapat ditentukan tatanan politik yang bagaimana yang ingin
dicapai.
Berbagai studi literatur menjelaskan bahwa negara-negara di dunia yang
menyelenggarakan pemilu, sistem pemilu proporsional (proportional representation system)
adalah paling banyak digunakan. Sistem pemilu proporsional memiliki varian dengan karakter
masing-masing yaitu sistem pilihan tunggal yang dapat ditransfer (single transferable vote) dan
sistem proporsional daftar (list proportional system). Sistem yang terakhir dapat dibedakan
menjadi dua yaitu sistem daftar terbuka dimana pemilih akan memilih calon dan daftar tertutup
yang mengarahkan pemilih hanya memilih partai politik.
TABEL.1.1. SISTEM PEMILU LEGISLATIF DI DUNIA (TAHUN 2000)
JUMLAH
PERSENTASE
CONTOH NEGARA
KASUS
SISTEM PLURALITAS
/MAYORITAS
FPTP
36
20.2
AS, Inggris, India
BLOK VOTE
11
6.2
Lebanon, Kuwait
SNTV
3
1.7
Afghanistan, Yordania
RUNOFF
20
11.2
Perancis, Gabon
AV
4
2.2
Australia
Daftar
67
37.6
Rusia, Spanyol, Afsel
STV
2
1.1
Irlandia, Malta
SISTEM PROPORSIONAL
SISTEM CAMPURAN
614
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
MMP
9
5.1
Jerman, Selandia Baru
MMM
26
14.6
Jepang, Korea Selatan
TOTAL
178
99,9
sumber:www.sagepub.co.uk.leduc 3
Dalam tulisan ini penulis memberi fokus kepada sistem pemilu proporsional terbuka
yang membuka peluang lebar bagi politisi berkompetisi secara bebas dan terbuka dan memilih
penggunaan politik uang sebagai mekanisme dalam perolehan suara. Dampak ikutan yang
menyertai penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka adalah politisi terpilih banyak yang
memilih opsi melakukan praktek korupsi. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah sistem
pemilu proporsional punya celah atau kelemahan permanen sehingga sistem ini dituduh atau
setidaknya dianggap sebagai sistem pemilu yang menciptakan perilaku korupsi. Apakah sistem
pemilu proporsional punya insentif untuk memunculkan perilaku korupsi politisi? Mengapa
Indonesia selalu berbasis pada pilihan sistem pemilu proporsional walaupun secara faktual
menambah jumlah politisi yang terjerat kasus pidana korupsi?.
PEMBAHASAN
Korupsi dan Korupsi Politik
Memberi definisi korupsi merupakan persoalan yang tidak sederhana namun bukan
berarti tidak bisa diurai dan dijelaskan. Ketidak sederhanaan terletak pada kata korupsi itu
sendiri dan cara diagnosa sebuah perilaku atau tindakan yang disebut sebagai korupsi.
Semenjak reformasi pada 1998 kata korupsi paling sering muncul dalam diskursus lokal
maupun nasional baik di lingkungan akademisi, birokrasi pemerintahan, organisasi nonpemerintah bahkan partai politik. Lonjakan perhatian pada korupsi memicu munculnya banyak
tulisan dalam bentuk opini di media massa, survey persepsi, laporan penelitian, artikel jurnal,
beberapa buku kajian konseptual dan buku panduan hukum penanganan korupsi. 1
Korupsi memiliki arti yang tidak seragam karena memiliki keluasan daya cakup
(capacious). Oleh karenanya cukup sulit menemukan satu pengertian korupsi yang cukup
tangguh. Hal ini dianggap wajar oleh Robert William karena “if they are too narrowly drawn,
they will not be comprehensive, if they are broad, they may be seen as vague and imprecise.”2
Setidaknya ada beberapa tipologi yang dapat digunakan menjelaskan keragaman definisi yaitu
definisi yang berporos pada jabatan publik, definisi yang berporos pada mekanisme pasar dan
definisi yang berporos pada kepentingan publik. 3 Lebih jauh tulisan ini akan mengaitkan
1
B Herry Priyono, 2018, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, Gramedia, hal.2.
William Robert.1999. New Concepts for Old? Third World Quarterly, hal.504.
3
Priyono, Ibid.,hal 38-48.
2
615
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
korupsi yang berporos pada jabatan publik dan menjelaskan keterhubungannya dengan sistem
pemilu. Tulisan ini akan melihat lebih jauh apakah sistem pemilu yang digunakan dalam
pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) berpotensi memunculkan perilaku korupsi politisi
(anggota DPR dan DPRD) hanyalah sebatas gejala (penyelewengan jabatan publik) bukan
dampak (rusaknya kepentingan publik)?
Oleh karenanya, penulis menganggap definisi yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye
adalah definisi yang paling pas untuk menjelaskan korupsi sebagai sebuah perilaku yaitu
Corruption is behavior which deviates from the formal duties of a public role because of
private-regarding (personal, close family, private clique), pecuniary or status gains; or
violates rules against the exercise of certain types of private regarding influence. This
include such behavior as bribery (use of a reward to pervert the judgment of a person in a
position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather
than merit); and misappropriation (illegal appropriation of public resources for privateregarding uses).4
Sebagai sebuah perilaku maka korupsi dilakukan oleh aktor-aktor tertentu yang
dianggap punya kemampuan untuk melakukannya. Kemampuan itu didorong oleh atribut
kekuasaan yang ada pada dirinya yaitu jabatan atau posisi. Namun kemampuan ini harus pula
didukung oleh kemauan dari aktor tersebut. Korupsi yang berhubungan dengan jabatan dan
kekuasaan dapat disebut sebagai korupsi politik.
Korupsi politik adalah bagian dari penyelewengan jabatan politik yang diamanatkan
kepada seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok politik yang berafiliasi
padanya. Pengertian korupsi politik secara konkret dijelaskan oleh Artidjo Alkostar sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang
memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini cenderung
dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik bisa dilakukan
oleh presiden, politisi, anggota parlemen, para menteri. 5
Daya Institusi Korupsi
Mengapa korupsi selalu saja terjadi walaupun ada sejumlah perangkat hukum yang
cukup kuat memberi batasan-batasan normatif. Perang terhadap korupsi selalu digaungkan
bahkan ancaman terhadap koruptor didesak agar lebih kuat yaitu hukuman mati. Apakah
korupsi memiliki daya pikat yang kuat sehingga ancaman sebesar apapun yang mengintai para
4
5
J.S Nye.1967. Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis, Harvard University, hal.419.
Artidjo Alkostar.2015. Korupsi Politik di Negara Modern, FH.UII Press, hal.19.
616
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
pelakunya, korupsi tetap saja menggoda. Indonesia memang belum menjadikan hukuman mati
bagi hukuman terberat bagi para koruptor, tetapi desakan ini selalu muncul dan menjadi bahan
diskursus nasional hingga saat ini. Hingga saat ini belum ada koruptor di Indonesia yang
dijatuhi hukuman mati.
Hukuman mati bagi koruptor dianggap bukan bagian dari solusi yang dapat
memberikan efek jera bagi para pelaku. Indonesia masih memandang bahwa setiap manusia
punya hak absolut untuk hidup. Hukuman mati sebagai refleksi masyarakat frustasi dalam
upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif sehingga hukuman mati dijadikan
jalan pintas menyelesaikan masalah korupsi yang telah mengakar. Korupsi adalah sebuah
gejala penyakit dari ketidakberesan sistem di sektor pemerintah, privat dan masyarakat. 6
Secara institusi, korupsi memiliki daya pikat yang cukup kuat sehingga mampu
menjerumuskan para pelakunya dalam praktek-praktek kecurangan. Institusi memberikan
insentif atau daya bagi munculnya perilaku korup yang culas. Institusi politik seperti sistem
pemilu memberikan kerentanan bagi anggota DPR dan DPRD untuk berperilaku korupsi.
Dalam perspektif institusional inilah korupsi fokus pada persoalan pilihan rasional (rational
choice) yang menjelaskan bahwa corruption is the result of the equilibrium between resources
and cost.7
Sistem Pemilu
Sistem pemilu adalah seperangkat aturan yang digunakan untuk menjalankan
penyelenggaraan pemilihan umum. Sistem ini biasanya memiliki tiga elemen atau unsur
penting yaitu ballot structure, constituency structure and electoral formula8. Unsur-unsur
dalam sistem pemilu berfungsi memastikan seluruh proses dan hasil penyelenggaraan pemilu
dapat berlangsung secara objektif. Unsur-unsur dalam sistem pemilu harus diatur dalam aturanaturan teknis yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan pengaturan secara teknis ini
dilakukan oleh sebuah Badan Penyelenggara Pemilu.
Sistem pemilu dalam sejarah perjalanan pemilu di Indonesia selalu digugat dalam
pembahasan rancangan undang-undang pemilu. Undang-undang tentang pemilu di Indonesia
selalu mengalami perubahan dan salah satu yang paling mendapat perhatian dalam proses
pembahasan perubahan tersebut adalah terkait pengaturan sistem pemilu. Tampaknya
6
www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/3/12/1709/komnas-ham-hukuman-mati-bukan-solusipemberantasan-korupsi.html
7
Maria Martini.2012. Causes Of Corruption in Indonesia, Transparency International and Anti Corruption
Resources Centre.hal.3.
8
Alan Ware.2015. Electoral Systems, Cambridge University Press, hal. 349.
617
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
perdebatan sistem pemilu yang mengemuka hanya terkait apakah sistem pemilu yang
digunakan dalam pemilu legislatif adalah proporsional terbuka atau tertutup? Perdebatan tidak
menjurus pada penggunaan sistem pemilu lainnya diluar sistem proporsional. Jika mencermati
dinamika di parlemen, seringkali yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup adalah
partai-partai besar dan punya pengalaman panjang dalam pemilu baik pada masa rezim orde
baru maupun pasca orde baru. Partai yang lebih mendukung sistem proporsional terbuka relatif
partai politik baru yang lahir setelah rezim politik lebih demokratis.
Tabel 2.2. Dukungan Partai Politik Parlemen Terhadap Sistem Pemilu
Proporsional
Dukungan Parpol
Sistem Pemilu
PDIP, Gerindra dan Golkar
Sistem Proporsional
Tertutup
Argumentasi Parpol
1. Lebih memudahkan
pemilih menggunakan
hak pilih dalam pemilu
serentak karena hanya
memilih partai politik;
2. Pembiayaan pemilu
menjadi relatif murah;
3. Peserta Pemilu adalah
partai politik bukan
caleg/individu. Sistem
terbuka membuat caleg
menjadi lebih sentral
daripada peran partai
politik;
4. Sistem tertutup
memungkinkan terjadi
efek ekor jas yaitu
kesamaan antara parpol
yang dipilih pemilih
dengan capres dari parpol
yang dipilih.
Nasdem, PKB, PKS, PPP,
Sistem Proporsional Terbuka 1. Mengurangi/menghindari
618
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
Demokrat dan PAN
kemunculan oligarki elit
partai dalam menentukan
calon-calon terpilih;
2. Memperkuat partisipasi
publik/pemilih dengan
menentukan caleg pilihan
sendiri berdasarkan
kriteria-kriteria yang
ditentukan sendiri oleh
pemilih.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Konsensus politik nasional menyepakati bahwa sistem pemilu proporsional adalah
sistem pemilu yang paling menjawab kebutuhan politik Indonesia yang majemuk, khususnya
sistem pemilu proporsional terbuka. Konsensus nasional tersebut didukung pula oleh aliansi
kelompok masyarakat sipil melalui Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu
dengan beberapa alasan yang mereka ajukan. Pertama, sistem pemilu proporsional menguatkan
hubungan antara caleg dengan pemilih menjadi hubungan yang lebih terbuka tanpa harus ada
intervensi partai politik yang mengusungnya. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih
adalah hubungan yang rasional. Pemilih akan memilih caleg yang menguntungkan baginya;
Kedua, partai politik masih tertutup dalam merekrut caleg yang akan berkompetisi, partai
politik menyodorkan beberapa caleg dari setiap daerah pemilihan sehingga pemilih tidak selalu
mengenal caleg yang akan mereka pilih. Caleg yang muncul bukan berasal dari pemilih
sehingga pemilih tidak mengenal dan mengetahui siapa dan bagaimana caleg tersebut. Yang
muncul sejatinya adalah oligarki partai politik.
Ketiga, sistem proporsional terbuka memberikan pembelajaran kepada caleg perempuan
mengenai bagaimana kompetisi secara elektoral dan jika sistem pemilu diubah maka apa yang
selama ini sudah dipelajari oleh para caleg perempuan tersebut akan sia-sia; Keempat, jika
rekrutmen atau penerimaan caleg dilakukan secara demokratis oleh tiap-tiap partai politik,
maka ada garansi bahwa yang akan terpilih adalah caleg yang memiliki dukungan dari akar
rumput; Kelima, walaupun sistem proporsional rentan terhadap praktek politik uang dan isu
kualitas anggota parlemen yang rendah, namun jika mengembalikan sistem terbuka menjadi
sistem tertutup akan semakin menyuburkan oligarki politik dan menghambat partisipasi politik
berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat selama ini.
619
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
Keenam, penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dilakukan dalam dua
aspek yaitu aspek sistem dan aspek manajemen. Pada aspek sistem pemilu ada dua hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu (1) variabel besaran daerah pemilihan perlu diperkecil menjadi
3-6 kursi, dengan demikian calon dan pemilih lebih saling mengenal dan saling
bertanggungjawab; dan (2) penegasan terhadap variabel metode pencalonan, pemilih hanya
memilih calon sebab memilih calon berarti memilih partai politik karena calon diajukan partai
politik. Kemudahan memilih ini akan membuat pemilih dan calon fokus dalam berkampanye.
Dalam aspek manajemen, perbaikan dilakukan terutama dalam metode kampanye. Kampanye
mengharuskan interaksi yang kuat antara pemilih dan calon sehingga mereka tidak hanya saling
kenal tetapi juga saling bertanggung jawab, baik pada masa pemilu maupun pasca pemilu;
Ketujuh, sistem pemilu proporsional daftar terbuka terbukti mampu meningkatkan jumlah
perempuan di parlemen. Lebih dari itu sistem ini telah mendorong perempuan untuk berpolitik
praktis di lapangan melalui berbagai kegiatan pemenangan pemilu. Pendewasaan politik
perempuan yang diusung oleh sistem pemilu proporsional daftar terbuka ini menjadi modal
penting buat gerakan politik perempuan pada masa mendatang;
Kedelapan, upaya menjamin perempuan masuk parlemen melalui pemilu, tidak cukup
hanya bersandar pada ketentuan “keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon” dan
“sedikitnya satu dari tiga calon adalah perempuan” tetapi juga harus ditambah ketentuan baru
“sekurang-kurangnya 30% daerah pemilihan calon perempuan ditempatkan pada nomor urut 1
”; Kesembilan, ketentuan ini penting dengan dua pertimbangan: pertama, pengalaman pemilu
sebelumnya menunjukkan, calon terpilih 90% berasal dari calon nomor urut 1; kedua, dengan
pengecilan besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 kursi maka akan semakin banyak jumlah
daerah pemilihan, sehingga calon perempuan bernomor urut 1 juga harus tersebar secara secara
proporsional sesuai prinsip minimal 30% perempuan. 9
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Munculnya Perilaku Korupsi Politik Pada
Anggota DPR dan DPRD.
Sejak pemilu pertama diselenggarakan tahun 1955, sistem pemilu proporsional selalu
menjadi referensi bagi bangsa Indonesia bahkan hingga pemilu di masa pasca reformasi, sistem
pemilu proporsional tetap menjadi pilihan yang dianggap paling rasional untuk bangsa
Indonesia. Kekuatan politik parlemen pernah mencoba mengubah sistem pemilu proporsional
menjadi sistem distrik namun tidak berhasil. Presiden Sukarno pernah mengusulkan sebuah
gagasan untuk membentuk partai politik tunggal atau partai pelopor pada awal kemerdekaan,
9
Lihat www. perludem.org
620
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
namun usulan atau gagasan ini tidak mendapat respon oleh banyak kalangan. Usulan tentara
dari Angkatan Darat agar menggunakan sistem distrik pada awal Orde Baru juga mendapat
penolakan dari partai politik, bahkan Presiden Habibie melalui Tim Reformasi Politik yang
dibentuknya pernah mengajukan sistem pemilu mayoritarian yang dimodifikasi, namun
mendapat penolakan. 10
Setidaknya penelusuran secara literatur menyebut berbagai argumentasi mengapa
sistem pemilu proporsional menjadi pilihan bangsa ini. Argumentasi sosiologis mengatakan
bahwa sistem pemilu proporsional guna meningkatkan representasi politik yang ditandai
dengan dekatnya caleg dengan pemilih. 11 Argumen ini bertolak dari anggapan bahwa caleg
yang layak terpilih adalah caleg yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Sistem ini juga
dianggap dapat memperkuat sistem kepartaian yang menuntut partai politik berperan lebih
besar. Prinsip yang dipegang dalam argumentasi ini adalah bahwa peserta pemilu adalah partai
politik bukan individu. Sistem pemilu proporsional diyakini telah sesuai dengan karakter
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, baik secara politik, sosial budaya maupun
ekonomi. Sistem pemilu proporsional dianggap berpihak kepada kaum minoritas seperti
perempuan dan disabilitas. Kemungkinan terpilihnya kelompok minoritas hanya terjadi pada
sistem pemilu proporsional jika dibandingkan dengan sistem mayoritarian atau distrik.
Sayangnya jika mencermati data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang jumlah
politisi yang tersangkut kasus korupsi seakan memastikan bahwa sistem ini tidak ramah
terhadap integritas politisi yang terpilih dalam pertarungan pemilu legislatif. Setiap tahun
jumlah politisi atau anggota DPR dan DPRD yang berurusan dengan KPK selalu menunjukkan
peningkatan. Artinya setiap tahun pasti ada anggota DPR dan DPRD yang korupsi dan setiap
tahun semakin bertambah. Rentang Tahun 2009-2014 terdapat 73 orang anggota DPR dan
DPRD ditindak KPK, sementara rentang tahun 2015-2019 ada sebanyak 175 orang anggota
DPR dan DPRD tersandung kasus korupsi.
Hal ini berbeda dengan pemilu sebelum tahun 2009 dimana jumlah anggota DPR tahun
2004-2008 hanya 9 orang yang terjerat tindak pidana korupsi.12 Data ini memberi keyakinan
bahwa politisi partai politik yang menjadi anggota DPR dan anggota DPRD menjadi aktor
utama praktek korupsi di Indonesia. Fenomena korupsi tersebut tidak saja dilakukan oleh
10
Tentang ini lihat Didik Supriyanto, Salah Paham Pemilu: Proporsional Terbuka vs Tertutup, yang penting
konsisten, www.detik.com, dipublikasikan tanggal 23 Mei 2020.
11
Agus Riwanto, 2015, Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Berbasis Suara Terbanyak
Dengan Korupsi Politik di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol.4 No.1, Januari-April 2015.
12
Data diolah dari KPK yang dikutip dari website www.kpk.go.id
621
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
seorang aktor, namun dilakukan secara bersama-sama atau massal. Fenomena korupsi seperti
ini terjadi di tingkat lokal. Misalnya di Provinsi Papua Barat, Sumatera Utara dan Kota Malang.
Jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2014-2019 sebanyak 100
orang dari 11 partai politik dan 38 orang diantaranya kena kasus tindak pidana korupsi. Mereka
menerima suap dari mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho terkait persetujuan laporan
pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumut tahun anggaran 2012-2014 dan persetujuan
APBD-P Provinsi Sumut tahun 2013-2014 serta pengesahan APBD Provinsi Sumut tahun
anggaran 2014-2015. Begitu pula dengan anggota DPRD Provinsi Papua Barat periode 20142019 yang berjumlah 56 orang dimana 44 orang diantaranya terlibat dalam praktek korupsi
penggunaan APBD 2010-2011 yang ditangani oleh Kejaksaan. Korupsi massal yang terjadi di
Kota Malang menunjukkan betapa anggota dewan merupakan pelaku utama dari maraknya
praktek-praktek korupsi di Indonesia. Sebanyak 41 orang terlibat dalam kasus korupsi
pembahasan APBD-P Pemerintahan Kota Malang tahun 2015.
Lantas, apakah data-data diatas dapat dikatakan bahwa sistem pemilu proporsional
terbuka berkontribusi atau mendorong munculnya perilaku korupsi pada anggota DPR dan
DPRD? Tentang ini Chang mengatakan bahwa korupsi politik terjadi karena dipicu oleh
kompetisi atau persaingan intra partai yang berat, sehingga para calon mencari sumber-sumber
illegal untuk pembiayaan kampanye. Political corruption becomes a necessary evil because
intra-party competition triggers candidates’ needs for illegal resources to finance their
campaigns.13 Lebih jauh Chang mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka
memunculkan sebuah ketidakpastian akan kemenangan calon sehingga ini pulalah yang
memaksa para caleg melakukan korupsi politik sebagaimana yang terjadi di Italia, tempat ia
melakukan riset yang cukup panjang. Apa yang terjadi di Finlandia, Brasil dan Chile yang juga
menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka membawa ketiga negara ini pada perilaku
korupsi politik yang dilakukan oleh politisi. 14
Di Indonesia sendiri, riset Ayu Pratiwi membuktikan bahwa sistem pemilu proporsional
terbuka dengan suara terbanyak tidak hanya memperlemah partai politik sebagai institusi
demokrasi menjadi sekedar event organizer, tetapi juga dapat memberikan insentif bagi para
caleg, pemilih dan petugas pemilu dalam transaksi jual beli suara. 15 Muhtadi memberi analisis
13
Eric C.C. Chang.2005. Electoral Incentive for Political Corruption under Open-List Proportional Representation.
The Journal of Politics Vol.67 No.3, August 2005, hal.1-2.
14
Joel W. Jhonson.2014. Electoral Systems and Political Corruption. (tidak ada penerbit) diunduh dari
https://ssrn.com/abstract=2488834, tanggal 12 Februari 2021.
15
Diah Ayu Pratiwi.2018. Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik?,
Jurnal Trias Politica, Vol.2 No.1. hal.24.
622
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
pada politik uang yang terjadi dalam pemilu legislatif yang menggunakan sistem pemilu
proporsional terbuka. Sistem ini memberi insentif pada para caleg untuk melakukan politik
uang karena kompetisi antar calon di internal partai politik semakin ketat. Muhtadi memberi
penjelasan bahwa terdapat efek samping yang dimunculkan oleh sistem pemilu proporsional
terbuka yaitu meningkatkan politik uang.
Hal ini terjadi karena ada perubahan strategi caleg yaitu, pertama, dalam sistem
proporsional terbuka, caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam satu partai politik
dalam rangka mengejar personal vote. Kedua, karena struktur partai politik diperebutkan antar
caleg dalam satu partai, maka mereka mengandalkan jaringan personal atau tim sukses nonpartai; Ketiga, sistem proporsional terbuka mengandaikan kursi yang diperoleh oleh satu partai
kepada caleg yang suaranya paling banyak dalam partai tersebut, maka mereka hanya
membutuhkan sedikit suara untuk mengalahkan rival separtainya. Oleh karenanya politik uang
merupakan mekanisme pembeda seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata
pemilih dibanding kompetitor internal. 16 Dalam pertarungan elektoral di pemilihan anggota
DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota uang menjadi penentu kemenangan. untuk
merebut suara konstituen, seorang caleg membutuhkan uang sebagai faktor penentu meskipun
secara kuantitatif politik uang hanya memengaruhi sekitar 10 persen dari total pemilih. 17
KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan yang telah diberikan, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah
sebagai berikut:
1.1. Sistem pemilu proporsional terbuka masih dianggap relevan dengan kondisi sosial
kultural masyarakat Indonesia yang majemuk dan sistem ini lebih berpihak kepada
kelompok-kelompok yang secara politis dianggap minoritas seperti kaum disabilitas
dan kaum perempuan. Dipastikan bahwa pemilu legislatif berikutnya tetap masih
menggunakan sistem proporsional terbuka;
1.2. Dalam konteks Indonesia sistem pemilu proporsional terbuka memiliki pengaruh
terhadap perilaku korupsi politik;
1.3. Perilaku korupsi politik yang dilakukan oleh anggota DPR dan DPRD adalah dalam
konteks upaya pengembalian modal uang yang telah digunakan untuk keperluan masa
pencalonan (uang sewa perahu), masa kampanye (biaya kampanye) dan masa menjabat
anggota legislatif (korupsi anggaran, korupsi uang reses);
16
Burhanuddin Muhtadi.2019. Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Pasca Orde Baru, Jurnal Antikorupsi
INTEGRITAS Vol.5, Komisi Pemberantasan Korupsi, Tanggal 1 Juni 2019, hal.55-70.
17
Burhanuddin Muhtadi.2020. Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru. Gramedia.hal.260.
623
Jurnal Communitarian Vol.4, No.1, Agustus 2022 E-ISSN2686-0589
1.4. Korupsi politik juga sebagai upaya memenuhi kebutuhan politik uang pada
pertarungan elektoral berikutnya;
1.5. Korupsi tidak pernah berdiri sendiri tetapi dilakukan melalui atau dengan
menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. Secara spesifik, lembaga
eksekutif (melalui kementerian atau dinas) dan legislatif (melalui fraksi dan komisi)
telah menjelma menjadi pusat korupsi.18
Daftar Pustaka
1. Alkostar Artidjo.2015. Korupsi Politik di Negara Modern, FH.UII Press
2. Chang Eric C.C. Electoral Incentive for Political Corruption Under Open-List
Proportional Representation. The Journal of Politics Vol.67 No.3, August 2005.
3. Johnson Joel. W.2014. Electoral Systems and Political Corruption. (tidak ada
penerbit).
4. Martini Maria.2012. Causes Of Corruption in Indonesia, Transparency International
and Anti Corruption Resources Centre.
5. Muhtadi Burhanuddin.2020. Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde
Baru. Gramedia.
6. Muhtadi Burhanuddin.2019. Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Pasca Orde
Baru, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS Vol.5, Komisi Pemberantasan Korupsi.
7. Nye J.S.1967. Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis, Harvard
University.
8. Pratiwi Diah Ayu.2018. Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia:
Melahirkan Korupsi Politik?, Jurnal Trias Politica, Vol.2 No.1.
9. Priyono B. Herry.2018, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, Gramedia.
10. Robert William.1999. New Concepts for Old? Third World Quarterly.
11. Riwanto Agus.2015. Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Berbasis Suara Terbanyak Dengan Korupsi Politik di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol.4
No.1, Januari-April 2015.
12. Ware Alan.2015. Electoral Systems, Cambridge University Press.
18
https://theconversation.com/ramai-ramai-korupsi-persekongkolan-legislatif-dan-eksekutif-138002.
624