[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 PENYULUHAN MENANGKAL RADIKALISME MELALUI PENGUATAN KARAKTER SISWA DI MTS ARROSYIDIN MAGELANG 1Novitasari, 2Nike Mutiara Fauziah, 3Sukron Mazid, 4Achmad Busrotun Nufus, 5Yasnanto, 6Delfiyan Widiyanto 1,2,3,4,5,6Universitas Tidar 1bbqenak@untidar.ac.id 2 nikemutiara@untidar.ac.id 3sukron@untidar.ac.id 4busro@untidar.ac.id 5yasnanto@gmail.com 6delfiyanwidiyanto@untidar.ac.id ABSTRAK Persoalan Radikalisme di Indonesia saat ini telah menjadi salah satu ancaman nasional. Ideologi-ideologi radikal terus mengikis nasionalisme bangsa ini. Radikalisme menjadi embrio lahirnya terorisme, dimana ideologi tersebut dapat dengan mudah mempengaruhi masyarakat sipil di Indonesia untuk menjadi pelaku teror yang dapat membahayakan masyarakat luas. Program-program deradikalisasi melalui penguatan pendidikan karakter siswa dapat menjadi salah satu alternatif soft power dalam menangkal ideologi-ideologi radikal. Melalui program penguatan karakter ini siswa dapat diarahkan untuk mengikis sejak dini sikap dan paham radikal. Oleh karena itu, dibutuhkan pengabdian kepada masyarakat untuk menangkal radikalisme melalui penguatan karakter siswa di MTs Arrosyidin Magelang. Pengabdian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan dengan menggunakan unsur-unsur pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Tahapan pertama adalah penyampaian materi dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan PAKEM berbasis karakter. Tahapan kedua dilaksanakan dalam bentuk menonton video, diskusi dan praktek dengan PAKEM berbasis karakter. Tahapan ketiga berupa evaluasi dan refleksi bersama guru. Hasil pengabdian menunjukkan bahwa penyuluhan menangkal radikalisme dengan penguatan karakter membelajarkan beberapa nilai-nilai karakter secara tidak langsung, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana. Kata Kunci: Menangkal Radikalisme, Penguatan Karakter, PAKEM. 1. PENDAHULUAN Persoalan radikalisme di Indonesia saat ini telah menjadi salah satu ancaman nasional. Ideologi-ideologi radikal terus mengikis nasionalisme bangsa ini. Kondisi ini terus tumbuh subur terbukti dari aksi terorisme yang pelakunya diduga terpapar radikalisme yang terjadi baru-baru ini di Polrestabes Medan. Pasca tragedi tersebut, 71 terduga teroris diamankan di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Jawa Tengah. Menurut Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, dari 12 daerah zona merah penyebaran radikalisme di Indonesia, salah satunya adalah provinsi Jawa Tengah (Kompas.com, 2018) . Terdapat 4 wilayah yang masuk ke dalam zona merah tersebut, satu diantaranya adalah wilayah Kedu. Terlebih lagi, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menemukan adanya indikasi radikalisme di sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Pranowo mengemukakan bahwa berdasarkan hasil pantauan yang telah 10 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 dilakukan, kurang lebih terdapat tujuh kepala sekolah yang diduga terindikasi dalam jaringan radikalisme (Kompas.com, 2019). Menurut Asrori (2015), radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan pada bidang sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan kekerasan. Meskipun pada mulanya, makna radikalisme memiliki makna yang positif yaitu paham yang mengarah kepada paradigma berfikir secara mendalam dan mendasar. Yunus (2017) mengemukakan bahwa makna radikalisme adalah cara berpikir seseorang yang menghendaki terjadinya peningkatan pada mutu, perbaikan, dan perdamaian di berbegai bidang sehingga masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang rukun dan tenteram. Akan tetapi, makna radikalisme di era dewasa ini telah mengalami pergesaran makna. Masyarakat yang memiliki sudut pandang yang minim cenderung menganggap bahwa radikal diidentikkan dengan kelompok yang melakukan praktek kekerasan dan kurang menyoroti pada tujuan yang sebenarnya dicari oleh kelompok tersebut yaitu perbaikan (Yunus, 2017). Radikalisme menjadi embrio dari kelahiran terorisme, yaitu suatu paham yang dapat dengan mudah mempengaruhi masyarakat sipil di Indonesia untuk menjadi pelaku teror yang membahayakan masyarakat. Padahal masyarakat sipil merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan pertahanan nasional. Dalam wawasan nusantara, kehidupan bernegara yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan bersama akan terjamin apabila ada kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan yaitu masyarakat sipil. Oleh karena itu, keberadaan masyarakat sipil diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan negara (Sulisworo, 2013). Ketahanan nasional di Indonesia dapat diwujudkan dengan adanya masyarakat sipil yang bermoral, sadar hukum, dan beradab terutama generasi muda yang menjadi penerus bangsa Indonesia. Gerakan radikal yang terjadi di Indonesia dewasa ini dikhawatirkan dapat membuat generasi muda Indonesia ikut terpapar paham radikal. Hal tersebut cenderung diperparah dengan kondisi keterbukaan dan kecepatan akses informasi sebagai konsekuensi Era Disrupsi. Para penganut ideologi radikal memperluas gerakannya melalui penyebaran informasi di internet. Faisal mengatakan bahwa penyebaran radikalisme dilakukan oleh kelompok radikal dengan mengunggah video dan foto disertai dengan tulisan yang persuasif berbagai kegiatan yang dilakukan melalui internet (Kompas.com, 2016). Kepala Badan Investigasi Densus 88 mengatakan bahwa berbagai aktivitas gerakan kelompok radikal dengan mudah dapat diakases oleh publik melalui internet bahkan anak-anak juga bisa terkena (Kompas.com, 2016). Sedangkan generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Oleh karena itu, perlu pembekalan bagi generasi muda terutama remaja karena dalam usia mencari jati diri. Apabila remaja sudah memiliki bekal yang kuat maka akan memiliki benteng untuk menyaring ajaran paham-paham radikal di masa pencarian jati diri. Kondisi yang memprihatinkan ini jelas perlu kepedulian bersama seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat, keluarga maupun lembaga pendidikan formal. Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah melalui pendidikan karakter yang dimulai dari anak-anak muda sebagai tunas bangsa. Salah satu fungsi pokok character building adalah menjadi penyaring (Winataputra, 2012). Oleh karena itu, penyuluhan menangkal radikalisme melalui penguatan pendidikan karakter butuh dilakukan terutama di sekolah. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak setelah keluarga. Kusumah (dalam Kurniawan, 2013) menjelaskan bahwa sebagian besar orang tua memiliki harapan besar kepada sekolah agar dapat menjadi rumah kedua bagi anak-anaknya. Mulai pagi hingga sore hari waktu anak dihabiskan di sekolah sehingga program penguatan pendidikan 11 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 karakter penting diberikan di sekolah. Dengan demikian, pengabdian kepada masyarakat ini perlu dilakukan untuk membekali generasi muda agar memiliki karakter yang baik sehingga menangkal paham radikal. 2. METODE PELAKSANAAN Pengabdian dilaksanakan di MTs Arrosyidinn Pabelan, Pancuranmas, Magelang. MTs Arrosyidin dipilih sebagai lokasi pengabdian berdasarkan empat pertimbagan. Pertama, secara psikologi, usia-usia siswa di sekolah tersebut merupakan masa emas yang dimiliki oleh seorang anak untuk membangun hubungan sosial yang diharapkan yaitu ke arah yang lebih baik. Havighurst (Hurlock, 1997) menjelaskan bahwa tugas perkembangan individu di masa remaja adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem etis yang digunakan untuk tempat berpijak dalam berperilaku dan mengembangkan ideologi. Sedangkan di sekolah tersebut masih terdapat beberapa siswa yang melakukan pelanggaran disiplin. Terlebih lagi, sekolah tersebut berada di wilayah Kedu, di mana FKPT menyebutkan bahwa wilayah kedu termasuk dalam zona merah terindikasi sebagai tempat penyebaran paham radikal. Pertimbangan selanjutnya adalah dari sisi budaya, siswa di sekolah tersebut saat tim pengabdian melaksanakan observasi awal, didapati bahwa budaya senyum, salam, sapa, sopan dan santun belum terinternalisasi dengan baik. Pola komunikasi yang tertutup dapat menjadi salah satu ladang bagi penyebaran paham radikal. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ciri-ciri dari sikap dan paham yang menunjukkan menganut paham radikal adalah intoleran, fanatik, eksklusif, dan revolusioner (Belmawa, 2016). Pertimbangan ketiga adalah dari sisi keagamaan, kehidupan keagamaan di sekolah tersebut sudah baik karena merupakan sekolah agama. Akan tetapi, kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan belum secara langsung dihubungkan dengan pendidikan karakter. Siswa dapat belajar untuk memiliki karakter yang baik dengan mengetahui maksud dan tujuan dari nilai-nilai karakter yang diajarkan terutama yang bersifat praktis sehingga mudah diaplikasikan dalam aktivitas siswa sehar-hari. Karakter yang baik meliputi tiga rangkaian proses psikologis yaitu mengetahui hal yang baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good) (Lickona, 2015). Pertimbangan lainnya adalah dari segi mutu layanan, di sekolah tersebut berdasarkan hasil observasi awal belum memiliki mutu layanan yang cukup baik karena jumlah guru sangat terbatas sehingga 1 guru bisa mengampu lebih dari 4 mata pelajaran. Dengan demikian, layanan guru masih berfokus pada penyampaian mata pelajaran saja belum pada penguatan karakter siswa. Oleh karena itu, pengabdian ini perlu dilaksanakan di sekolah tersebut agar dapat membekali siswa dengan karakter yang baik untuk menangkal radikalisme. Pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama dan kedua menggunakan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) dalam kegiatan pembelajaran dengan siswa. Tahapan pertama adalah penyampaian materi dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan PAKEM berbasis karakter. Tahapan kedua dilaksanakan dalam bentuk menonton video, diskusi dan praktek berbasis karakter. Tahapan ketiga berupa evaluasi dan refleksi. Sasaran pelaksanaan pengabdian ini adalah siswa kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX di MTs Arrosyidin. Pada tahapan pertama, pembicara yang memberikan ceramah berasal dari tim pengabdian sendiri karena materi yang disampaikan sesuai dengan kepakaran tim pengabdian. Tahapan kedua yaitu menonton video singkat yang ditampilkan dengan bantuan LCD proyektor, laptop, dan pengeras suara berupa mini sound system. Diskusi 12 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 dilaksanakan dalam kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil beranggotakan 5-6 orang. Setelah diskusi kelompok kecil selesai, dilanjutkan praktek pembuatan poster untuk ditempel di mading sekolah. Kegiatan selanjutnya adalah diskusi kelompok besar untuk mempresentasikan hasil pembuatan poster. Tahapan ketiga yaitu evaluasi dan refleksi yang dilaksanakan dengan melibatkan guru untuk melihat kemungkinan pengabdian dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan Pertama Pelaksanaan pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Pada tahapan pertama, siswa diberikan materi melalui ceramah dan tanya jawab. Materi yang disampaikan ada dua, yaitu materi bahaya radikalisme bagi keutuhan bangsa Indonesia dan masa depan generasi penerus bangsa serta materi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Materi tentang bahaya radikalisme bagi keutuhan bangsa Indonesia disampaikan dengan tujuan agar siswa megetahui bahwa radikalisme dapat mengancam setiap orang termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu, disampaikan pula tentang penyebaran paham radikalisme baik secara langsung maupun tidak langsung serta tentang akibat dari penyebaran paham radikalisme. Kemudian materi kedua berisi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Materi kedua tersebut juga memaparkan tentang pentingnya menjadi siswa yang memiliki karakter baik sejak dini serta motivasi untuk menuntut ilmu dengan sungguhsungguh. Ceramah bersifat dua arah antara pemberi ceramah dengan siswa. Ceramah disampaikan oleh tim pengabdian sendiri tanpa mengundang pembicara karena pada dasarnya materi yang disampaikan sesuai dengan kepakaran tim pengabdian. Penyampaian materi dilaksanakan secara bergantian oleh anggota tim pengabdian. Kegiatan diikuti oleh seluruh siswa kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX dalam sebuah ruang aula. Kegiatan dapat mengikutsertakan seluruh siswa karena jumlah siswa di MTs Arrosyidin berjumlah 38 orang sehingga penyampaian materi dengan ceramah klasikal dipandang masih efektif untuk melaksanakan pengajaran. Rohani dan Ahmadi (dalam Faruqi, 2018) mengemukakan bahwa salah satu faktor penghambat dalam pembelajaran adalah jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas sehingga kesempatan bagi guru untuk memahami tingkah laku siswa menjadi terbatas. Para siswa mengikuti pembelajaran dengan antusias sehingga pada saat diberikan kesempatan untuk bertanya atau memberikan tanggapan, banyak siswa yang mengangkat tangan dan berebutan untuk bertanya atau memberikan tanggapan. Selain itu, pemberian ice breaking dalam bentuk kuis, banyak siswa yang antusias untuk menjawab kuis yang terkait dengan materi yang disampaikan. Setelah sesi ceramah dan tanya jawab selesai, tim pengabdian mengulas kembali materi dengan cara pemberian kuis kembali terkait materi secara keseluruhan. Kemudian kegiatan ditutup dengan mengajak siswa secara bersama-sama untuk menarik kesimpulan tentang materi yang disampaikan. Dengan demikian, meskipun pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk ceramah dan tanya jawab, dua unsur dari pembelajaran PAKEM masih terpenuhi yaitu efektif dan menyenangkan. Budimansyah mengemukakan bahwa pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang menghasilkan tentang apa yang harus dikuasai siswa setelah pembelajaran berlangsung karena pembelajaran memiliki tujuan pembelajaran yang hendak dicapai (Amalia SP, 2016). Sementara pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang dilaksanakan dengan membuat hubungan antara pendidik dan peserta didik tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (Mulyasa, dalam Amalia SP, 2016). 13 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 Selain dua unsur pembelajaran PAKEM yang terpenuhi, siswa dapat berlatih untuk memiliki kemampuan berpikir logis agar tidak cenderung untuk fokus hanya hafalan. Saragih mengatakan bahwa hafalan hanya terbatas pada kemampuan mengingat, sedangkan berpikir logis mengacu pada pembentukan kecapakan proses termasuk mengerti, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi (Surat, 2016). Siswono mengatakan bahwa kemampuan berpikir logis adalah kemampuan siswa untuk berpikir dengan menggunakan logika dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sehingga dapat menarik kesimpulan yang sah dan dapat membuktikan kesimpulan tersebut (Surat, 2016). Tahapan Kedua Pada tahapan kedua, tim pengabdian mengajak siswa untuk menonton video yang berisi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sebelum menonton, siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan 5 – 6 orang. Siswa diberi tugas untuk mengamati jalan cerita dari video yang ditampilkan. Setelah selesai menonton video, siswa diberi waktu untuk mendiskusikan alur cerita dan pesan yang ditangkap dari video tersebut. Video tersebut berisi tentang perjuangan sebuah keluarga agar anaknya dapat melanjutkan sekolah. MTs Arrosyidin meski terletak tidak jauh dari kota, namun sebagian siswanya berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah sehingga penayangan video pendek tersebut bertujuan untuk menyentuh hati siswa karena kondisi yang dialami pemeran toko dalam video tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sebagian siswa. Kemudian masing-masing kelompok memaparkan hasil diskusinya secara bergantian. Setelah itu, tim pengabdian mengajak siswa untuk menarik kesimpulan dari video tersebut bersamasama. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan membuat poster dengan tema tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Tim pengabdian menyediakan seperangkat alat tulis untuk masing-masing kelompok yang meliputi dua kertas bufalo, dua pensil, satu penghapus, satu spidol warna hitam, satu spidol warna hijau, satu spidol warna kuning, satu spidol biru, dan satu spidol warna merah. Masing-masing kelompok berdiskusi tentang gambar apa yang akan dibuat poster. Masing-masing kelompok memiliki cara tersendiri untuk membuat poster. Ada kelompok yang membuatnya dengan membagi tugas kepada masing-masing anggota, yaitu bagian menggambar, bagian mewarnai dengan warna hitam, hijau, dan lain sebagainya. Ada kelompok yang menggambar pada kedua kertas bufalo yang disediakan sehingga kelompok tersebut memecah menjadi dua sub kelompok meskipun kelompok tersebut telah mengetahui bahwa poster yang diikutkan penilaian hanya satu poster dari setiap kelompok. Ada kelompok yang hanya menggambar pada satu kertas bufalo, namun juga hanya dikerjakan oleh satu orang dan yang lain menonton. Ada kelompok yang mengandalkan dua orang anggota dengan formasi yang satu menggambar menggunakan pensil dan yang lain langsung menebalkan garis tepi menggunakan spidol warna. Ada kelompok yang semua anggotanya terlibat secara langsung dalam pembuatan poster yaitu ketika yang satu menggambar dengan pensil, yang lain mewarnainya dengan spidol warna hitam, hijau, merah, biru, dan kuning. Meskipun cara menggambar poster untuk masing-masing kelompok dibebaskan, namun tim pengabdian membatasi durasi pengerjaannya. Dari masing-masing kelompok yang memiliki keunikan cara tersebut, kelompok yang melibatkan seluruh anggotanya adalah kelompok yang selesai tepat waktu dengan hasil yang bagus dalam kategori poster sederhana karya anak MTs dalam waktu singkat. Sedangkan kelompok-kelompok yang 14 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 hanya mengandalkan pada satu atau dua orang anggota untuk menyelesaikan posternya, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pengerjaan karena harus dikerjakan secara bergantian yaitu menunggu selesai menggambar dengan pensil terlebih dahulu baru dapat mewarnainya. Selain itu, pesan-pesan yang coba disampaikan oleh siswa melalui poster juga berbeda hasilnya antara kelompok yang hanya mengandalkan anggota tertentu dengan kelompok yang mengandalkan seluruh anggotanya. Kelompok yang hanya mengandalkan anggota tertentu cenderung meniru poster yang disampaikan oleh tim pengabdian sebagai contoh. Sedangkan kelompok yang mengikutsertakan seluruh anggotanya lebih kreatif sehingga baik gambar maupun pesan yang dituliskan berasal dari hasil pemikiran bersama dan tidak ada unsur menjiplak. Pengerjaan poster selesai dan masing-masing siswa mempresentasikan maksud dari poster yang digambar. Lalu tim pengabdian mengumumkan hasil pemenang dari pembuatan poster. Kelompok-kelompok yang menjadi juara diberikan penguatan berupa hadiah sederhana yaitu buku tulis dan pulpen. Setelah itu, siswa diajak menarik kesimpulan tentang mengapa kelompok pemenang bisa menjadi juara. Beberapa siswa mengangkat tangan dan menyampaikan pendapatnya bahkan ada yang langsung berpendapat. Ada siswa yang mengatakan bahwa kelompok pemenang menjadi juara karena kompak. Ada yang mengatakan bisa menang karena gambarnya memang bagus. Ada yang mengatakan bisa juara karena tepat waktu. Ada yang mengatakan bahwa kelompok tersebut bisa menang karena kerja sama semua anggotanya. Setelah tidak ada lagi yang ingin berpendapat, tim pengabdian kemudian menjelaskan bahwa beberapa nilai karakter tersembunyi dalam tingkah laku masing-masing individu selama pengerjaan kelompok tersebut. Nilai-nilai karakter yang dimaksud antara lain: tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana, yang secara tidak langsung dipelajari meskipun tidak diberitahukan terlebih dahulu dapat dibelajarkan dengan baik kepada siswa. Tanggung jawab tercermin pada tingkah laku siswa ketika berusaha untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Disiplin terlihat ketika siswa berupaya untuk menyelesaikan pengerjaan poster tepat waktu. Jujur ditunjukkan dari tingkah laku siswa yang berani mengatakan referensi gambar yang menjadi inspirasi untuk membuat poster. Kerja sama terlihat ketika masing-masing kelompok membagi peran dalam mengerjakan poster. Nilai sederhana dapat dilihat ketika siswa berusaha untuk menggambar sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok tanpa menambah alat tulis yang lain selain yang diberikan. Nilai-nilai karakter tersebut dibutuhkan untuk menangkal paham-paham radikalisme. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal, antara lain: (1) intoleran, dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain; (2) fanatik yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah; (3) eksklusif, dimana seseorang atau sekelompok orang berkumpul menutup diri atau kelompoknya dan membedakan diri dari masyarakat pada umumnya; dan (4) revolusioner artinya memiliki kecenderungan untuk menggunakan cara-cara kekerasan demi mencapai tujuan (Belmawa, 2016). Setelah selesai pembuatan poster, tim pengabdian mengajak siswa untuk merefleksikan hasil dari kegiatan pembelajaran PAKEM tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Asmani yang mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis PAKEM memusatkan pada guru dan siswa sebagai aktor utama yang dituntut untuk sama-sama aktif dan kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dengan tujuan pembelajaran yang dapat dicapai secara efektif (Amalia SP, 2016). 15 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 Tahapan Ketiga Tahapan ketiga yaitu evaluasi dan refleksi. Pada tahap evaluasi, penilaian efektivitas keberlangsungan program pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan melalui evaluasi perubahan perilaku yang menyertai pada siswa dengan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan kepada guru untuk menilai dampak dari program pengabdian masyarakat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru dan kepala sekolah, diperoleh keterangan bahwa siswa menjadi lebih tanggap dengan lingkungan sekitar termasuk kepada teman-temannya. Hal tersebut terbukti ketika kerja kelompok tidak mendominasi jalannya diskusi karena diperlukan kerja sama dan pembagian tugas yang jelas. Selain itu, siswa juga menanyakan tentang bahaya radikalisme kepada guru PKn pada saat pembelajaran PKn di kelas sehingga menunjukkan bahwa siswa semakin sadar tentang bahaya radikalisme. Selain itu, siswa juga masih menyimpan hadiah yang diperolehnya ketika menjadi juara kuis atau juara poster dan akan menggunakannya ketika sudah dibutuhkan. Dengan demikian, nilai-nilai karakter yang dibelajarkan untuk menangkal radikalisme cukup terinternalisasi dengan baik. Dengan demikian, siswa yang berkarakter diharapkan mampu menangkal paham-paham radikalisme. Senada dengan Haryati (2017) yang menagatakan bahwa pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk generasi yang berkualitas dan merupakan salah satu alat untuk membimbing seseorang menjadi orang baik, sehingga mampu memfilter pengaruh yang tidak baik. Lalu pada tahap refleksi, guru-guru menyampaikan bahwa berdasarkan pengamatannya, siswa memiliki antusias yang tinggi mengikuti kegiatan pengabdian dan apabila tim pengabdian bersedia maka para siswa menghendaki kembali untuk diadakan kegiatan lanjutan. Meskipun demikian, pelaksanaan pengabdian lanjutan belum dapat dilaksanakan dalam waktu dekat karena siswa kelas IX harus mengikuti ujian kelulusan. Apabila siswa kelas IX tidak dapat berpartisipasi maka siswa yang lain juga tidak diperbolehkan oleh kepala sekolah untuk mengikuti kegiatan pengabdian agar tidak menimbulkan rasa iri terhadap siswa yang tidak bisa ikut kegiatan. Dengan demikian, tim pengabdian membutuhkan koordinasi lebih lanjut agar dapat melaksanakan kegiatan pengabdian lanjutan. 4. SIMPULAN Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penguatan pendidikan karakter melalui penyuluhan menangkal radikalisme dapat dilaksanakan dengan menggunakan unsur-unsur pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan menciptakan hubungan yang dengan komunikasi multi arah membantu siswa dapat mengikuti kegiatan pengabdian dengan baik sehingga tujuan pengabdian tercapai. Kegiatan pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu pemberian materi, praktek pembuatan poster, dan evaluasi serta refleksi. Tahapan pertama dan tahapan kedua hanya melibatkan siswa. Sementara tahapan ketiga hanya melibatkan guru. Kendala yang dihadapi selama pelaksanaan pengabdian adalah kendala teknis ketika kegiatan menonton video. Penyuluhan menangkal radikalisme dengan penguatan karakter membelajarkan beberapa nilai-nilai karakter secara tidak langsung, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana. Penguatan nilai-nilai karakter pada siswa sangat dibutuhkan karena dengan harapan siswa dapat menyaring paham-paham yang mengarah ke radikalisme. 16 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 REFERENSI Amalia SP, Wulan Rizki. (2016). Pembelajaran Berbasis PAKEM pada Mata Pelajaran IPS di Kelas IV SD Gugus Gatotkaca Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang. Skripsi. Universita Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/24372/1/1401412314.pdf Asrori, Ahmad. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropositas. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 9 No. 2, hlmn. 253: 268. DOI: 10.24042/klm.v9i2.331 Belmawa. (2016). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS. https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/StrategiMenghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf Faruqi, Dwi. (2018). Upaya Meningkatkan Kemampuan Belajar Siswa melalui Pengelolaan Kelas. Evaluasi, Vol. 2 (1). Hlm. 294-310. DOI: 10.32478/evaluasi.v2i1.80 Haryati, Sri. (2017). Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013. Magelang: FKIPUTM. Hurlock, Elizabeth B. (1997). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kompas.com. (2016). Ini Tiga Cara Penyebaran Radikalisme di Indonesia. https://nasional.kompas.com/read/2016/11/30/14081631/ini.tiga.cara.penyebar an.radikalisme.di.indonesia Kompas.com. (2018) Jateng Masuk Zona Merah Penyebaran Radikalisme dan Terorisme. https://regional.kompas.com/read/2018/09/10/14251871/jatengmasuk-zona-merah-penyebaran-radikalisme-dan-terorisme Kompas.com. (2019). 7 Kepala Sekolah di Jateng Terpapar Radikalisme, Ganjar Tindak Tegas. https://regional.kompas.com/read/2019/09/16/08491381/7kepala-sekolah-di-jateng-terpapar-radikalisme-ganjar-tindak-tegas?page=all. Kompas.com.(2019). Jateng Masuk Zona Merah Penyebaran Radikalisme dan Terorisme. https://regional.kompas.com/read/2018/09/10/14251871/jatengmasuk-zona-merah-penyebaran-radikalisme-dan-terorisme. Kurniawan, Syamsul. (2013). Pendidikan Karakter Konsepsi & Implementasinya Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, & Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Lickona, Thomas. (2015). Educating for Character Mendidik untuk Membentuk Karakter Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Surat, I Made. (2016). Pembentukan Karakter dan Kemampuan Berpikir Logis Siswa melalui Pembelajaran Matematika Berbasi Saintifik. Jurnal EMASAINS, Vol. V (1). Hlm. 57-65. https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/emasains/article/view/20/17 Winataputra, Udin Saripudin. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan, Instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Press. Yunus, A Faiz. (2017). Radikalisme, Liberalisem dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap Agama Islam. Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir 17 Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020 Qur’ani, Vol. 13 No https://doi.org/10.21009/JSQ.013.1.06 1, hlmn. 76-94. DOI: 18