Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
PENYULUHAN MENANGKAL RADIKALISME MELALUI
PENGUATAN KARAKTER SISWA DI MTS ARROSYIDIN
MAGELANG
1Novitasari, 2Nike
Mutiara Fauziah, 3Sukron Mazid, 4Achmad Busrotun Nufus,
5Yasnanto, 6Delfiyan Widiyanto
1,2,3,4,5,6Universitas Tidar
1bbqenak@untidar.ac.id
2
nikemutiara@untidar.ac.id
3sukron@untidar.ac.id
4busro@untidar.ac.id
5yasnanto@gmail.com
6delfiyanwidiyanto@untidar.ac.id
ABSTRAK
Persoalan Radikalisme di Indonesia saat ini telah menjadi salah satu ancaman nasional.
Ideologi-ideologi radikal terus mengikis nasionalisme bangsa ini. Radikalisme menjadi
embrio lahirnya terorisme, dimana ideologi tersebut dapat dengan mudah
mempengaruhi masyarakat sipil di Indonesia untuk menjadi pelaku teror yang dapat
membahayakan masyarakat luas. Program-program deradikalisasi melalui penguatan
pendidikan karakter siswa dapat menjadi salah satu alternatif soft power dalam
menangkal ideologi-ideologi radikal. Melalui program penguatan karakter ini siswa
dapat diarahkan untuk mengikis sejak dini sikap dan paham radikal. Oleh karena itu,
dibutuhkan pengabdian kepada masyarakat untuk menangkal radikalisme melalui
penguatan karakter siswa di MTs Arrosyidin Magelang. Pengabdian ini dilaksanakan
dalam tiga tahapan dengan menggunakan unsur-unsur pembelajaran aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Tahapan pertama adalah penyampaian materi dengan
menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan PAKEM berbasis karakter.
Tahapan kedua dilaksanakan dalam bentuk menonton video, diskusi dan praktek dengan
PAKEM berbasis karakter. Tahapan ketiga berupa evaluasi dan refleksi bersama guru.
Hasil pengabdian menunjukkan bahwa penyuluhan menangkal radikalisme dengan
penguatan karakter membelajarkan beberapa nilai-nilai karakter secara tidak langsung,
yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana.
Kata Kunci: Menangkal Radikalisme, Penguatan Karakter, PAKEM.
1. PENDAHULUAN
Persoalan radikalisme di Indonesia saat ini telah menjadi salah satu ancaman
nasional. Ideologi-ideologi radikal terus mengikis nasionalisme bangsa ini. Kondisi ini
terus tumbuh subur terbukti dari aksi terorisme yang pelakunya diduga terpapar
radikalisme yang terjadi baru-baru ini di Polrestabes Medan. Pasca tragedi tersebut, 71
terduga teroris diamankan di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Jawa Tengah.
Menurut Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, dari 12
daerah zona merah penyebaran radikalisme di Indonesia, salah satunya adalah provinsi
Jawa Tengah (Kompas.com, 2018) . Terdapat 4 wilayah yang masuk ke dalam zona
merah tersebut, satu diantaranya adalah wilayah Kedu. Terlebih lagi, Gubernur Jawa
Tengah, Ganjar Pranowo menemukan adanya indikasi radikalisme di sejumlah sekolah
di Jawa Tengah. Pranowo mengemukakan bahwa berdasarkan hasil pantauan yang telah
10
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
dilakukan, kurang lebih terdapat tujuh kepala sekolah yang diduga terindikasi dalam
jaringan radikalisme (Kompas.com, 2019).
Menurut Asrori (2015), radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki
perubahan pada bidang sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan
kekerasan. Meskipun pada mulanya, makna radikalisme memiliki makna yang positif
yaitu paham yang mengarah kepada paradigma berfikir secara mendalam dan mendasar.
Yunus (2017) mengemukakan bahwa makna radikalisme adalah cara berpikir seseorang
yang menghendaki terjadinya peningkatan pada mutu, perbaikan, dan perdamaian di
berbegai bidang sehingga masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang rukun dan
tenteram. Akan tetapi, makna radikalisme di era dewasa ini telah mengalami pergesaran
makna. Masyarakat yang memiliki sudut pandang yang minim cenderung menganggap
bahwa radikal diidentikkan dengan kelompok yang melakukan praktek kekerasan dan
kurang menyoroti pada tujuan yang sebenarnya dicari oleh kelompok tersebut yaitu
perbaikan (Yunus, 2017). Radikalisme menjadi embrio dari kelahiran terorisme, yaitu
suatu paham yang dapat dengan mudah mempengaruhi masyarakat sipil di Indonesia
untuk menjadi pelaku teror yang membahayakan masyarakat. Padahal masyarakat sipil
merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan pertahanan nasional. Dalam
wawasan nusantara, kehidupan bernegara yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan
bersama akan terjamin apabila ada kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan yaitu
masyarakat sipil. Oleh karena itu, keberadaan masyarakat sipil diperlukan sebagai
kekuatan penyeimbang kekuatan negara (Sulisworo, 2013). Ketahanan nasional di
Indonesia dapat diwujudkan dengan adanya masyarakat sipil yang bermoral, sadar
hukum, dan beradab terutama generasi muda yang menjadi penerus bangsa Indonesia.
Gerakan radikal yang terjadi di Indonesia dewasa ini dikhawatirkan dapat
membuat generasi muda Indonesia ikut terpapar paham radikal. Hal tersebut cenderung
diperparah dengan kondisi keterbukaan dan kecepatan akses informasi sebagai
konsekuensi Era Disrupsi. Para penganut ideologi radikal memperluas gerakannya
melalui penyebaran informasi di internet. Faisal mengatakan bahwa penyebaran
radikalisme dilakukan oleh kelompok radikal dengan mengunggah video dan foto
disertai dengan tulisan yang persuasif berbagai kegiatan yang dilakukan melalui internet
(Kompas.com, 2016). Kepala Badan Investigasi Densus 88 mengatakan bahwa berbagai
aktivitas gerakan kelompok radikal dengan mudah dapat diakases oleh publik melalui
internet bahkan anak-anak juga bisa terkena (Kompas.com, 2016). Sedangkan generasi
muda adalah generasi penerus bangsa yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke
depan. Oleh karena itu, perlu pembekalan bagi generasi muda terutama remaja karena
dalam usia mencari jati diri. Apabila remaja sudah memiliki bekal yang kuat maka akan
memiliki benteng untuk menyaring ajaran paham-paham radikal di masa pencarian jati
diri.
Kondisi yang memprihatinkan ini jelas perlu kepedulian bersama seluruh pihak
baik pemerintah, masyarakat, keluarga maupun lembaga pendidikan formal. Salah satu
strategi yang perlu dilakukan adalah melalui pendidikan karakter yang dimulai dari
anak-anak muda sebagai tunas bangsa. Salah satu fungsi pokok character building
adalah menjadi penyaring (Winataputra, 2012). Oleh karena itu, penyuluhan menangkal
radikalisme melalui penguatan pendidikan karakter butuh dilakukan terutama di
sekolah. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak setelah keluarga. Kusumah (dalam
Kurniawan, 2013) menjelaskan bahwa sebagian besar orang tua memiliki harapan besar
kepada sekolah agar dapat menjadi rumah kedua bagi anak-anaknya. Mulai pagi hingga
sore hari waktu anak dihabiskan di sekolah sehingga program penguatan pendidikan
11
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
karakter penting diberikan di sekolah. Dengan demikian, pengabdian kepada
masyarakat ini perlu dilakukan untuk membekali generasi muda agar memiliki karakter
yang baik sehingga menangkal paham radikal.
2. METODE PELAKSANAAN
Pengabdian dilaksanakan di MTs Arrosyidinn Pabelan, Pancuranmas, Magelang.
MTs Arrosyidin dipilih sebagai lokasi pengabdian berdasarkan empat pertimbagan.
Pertama, secara psikologi, usia-usia siswa di sekolah tersebut merupakan masa emas
yang dimiliki oleh seorang anak untuk membangun hubungan sosial yang diharapkan
yaitu ke arah yang lebih baik. Havighurst (Hurlock, 1997) menjelaskan bahwa tugas
perkembangan individu di masa remaja adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem
etis yang digunakan untuk tempat berpijak dalam berperilaku dan mengembangkan
ideologi. Sedangkan di sekolah tersebut masih terdapat beberapa siswa yang melakukan
pelanggaran disiplin. Terlebih lagi, sekolah tersebut berada di wilayah Kedu, di mana
FKPT menyebutkan bahwa wilayah kedu termasuk dalam zona merah terindikasi
sebagai tempat penyebaran paham radikal. Pertimbangan selanjutnya adalah dari sisi
budaya, siswa di sekolah tersebut saat tim pengabdian melaksanakan observasi awal,
didapati bahwa budaya senyum, salam, sapa, sopan dan santun belum terinternalisasi
dengan baik. Pola komunikasi yang tertutup dapat menjadi salah satu ladang bagi
penyebaran paham radikal. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), ciri-ciri dari sikap dan paham yang menunjukkan menganut paham radikal
adalah intoleran, fanatik, eksklusif, dan revolusioner (Belmawa, 2016). Pertimbangan
ketiga adalah dari sisi keagamaan, kehidupan keagamaan di sekolah tersebut sudah baik
karena merupakan sekolah agama. Akan tetapi, kegiatan-kegiatan keagamaan yang
dilaksanakan belum secara langsung dihubungkan dengan pendidikan karakter. Siswa
dapat belajar untuk memiliki karakter yang baik dengan mengetahui maksud dan tujuan
dari nilai-nilai karakter yang diajarkan terutama yang bersifat praktis sehingga mudah
diaplikasikan dalam aktivitas siswa sehar-hari. Karakter yang baik meliputi tiga
rangkaian proses psikologis yaitu mengetahui hal yang baik (knowing the good),
menginginkan hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing
the good) (Lickona, 2015). Pertimbangan lainnya adalah dari segi mutu layanan, di
sekolah tersebut berdasarkan hasil observasi awal belum memiliki mutu layanan yang
cukup baik karena jumlah guru sangat terbatas sehingga 1 guru bisa mengampu lebih
dari 4 mata pelajaran. Dengan demikian, layanan guru masih berfokus pada
penyampaian mata pelajaran saja belum pada penguatan karakter siswa. Oleh karena itu,
pengabdian ini perlu dilaksanakan di sekolah tersebut agar dapat membekali siswa
dengan karakter yang baik untuk menangkal radikalisme.
Pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama dan kedua
menggunakan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)
dalam kegiatan pembelajaran dengan siswa. Tahapan pertama adalah penyampaian
materi dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan PAKEM
berbasis karakter. Tahapan kedua dilaksanakan dalam bentuk menonton video, diskusi
dan praktek berbasis karakter. Tahapan ketiga berupa evaluasi dan refleksi. Sasaran
pelaksanaan pengabdian ini adalah siswa kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX di MTs
Arrosyidin. Pada tahapan pertama, pembicara yang memberikan ceramah berasal dari
tim pengabdian sendiri karena materi yang disampaikan sesuai dengan kepakaran tim
pengabdian. Tahapan kedua yaitu menonton video singkat yang ditampilkan dengan
bantuan LCD proyektor, laptop, dan pengeras suara berupa mini sound system. Diskusi
12
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
dilaksanakan dalam kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil
beranggotakan 5-6 orang. Setelah diskusi kelompok kecil selesai, dilanjutkan praktek
pembuatan poster untuk ditempel di mading sekolah. Kegiatan selanjutnya adalah
diskusi kelompok besar untuk mempresentasikan hasil pembuatan poster. Tahapan
ketiga yaitu evaluasi dan refleksi yang dilaksanakan dengan melibatkan guru untuk
melihat kemungkinan pengabdian dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan Pertama
Pelaksanaan pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Pada tahapan pertama,
siswa diberikan materi melalui ceramah dan tanya jawab. Materi yang disampaikan ada
dua, yaitu materi bahaya radikalisme bagi keutuhan bangsa Indonesia dan masa depan
generasi penerus bangsa serta materi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai
generasi penerus bangsa. Materi tentang bahaya radikalisme bagi keutuhan bangsa
Indonesia disampaikan dengan tujuan agar siswa megetahui bahwa radikalisme dapat
mengancam setiap orang termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu,
disampaikan pula tentang penyebaran paham radikalisme baik secara langsung maupun
tidak langsung serta tentang akibat dari penyebaran paham radikalisme. Kemudian
materi kedua berisi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus
bangsa. Materi kedua tersebut juga memaparkan tentang pentingnya menjadi siswa yang
memiliki karakter baik sejak dini serta motivasi untuk menuntut ilmu dengan sungguhsungguh. Ceramah bersifat dua arah antara pemberi ceramah dengan siswa. Ceramah
disampaikan oleh tim pengabdian sendiri tanpa mengundang pembicara karena pada
dasarnya materi yang disampaikan sesuai dengan kepakaran tim pengabdian.
Penyampaian materi dilaksanakan secara bergantian oleh anggota tim pengabdian.
Kegiatan diikuti oleh seluruh siswa kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX dalam sebuah
ruang aula. Kegiatan dapat mengikutsertakan seluruh siswa karena jumlah siswa di MTs
Arrosyidin berjumlah 38 orang sehingga penyampaian materi dengan ceramah klasikal
dipandang masih efektif untuk melaksanakan pengajaran. Rohani dan Ahmadi (dalam
Faruqi, 2018) mengemukakan bahwa salah satu faktor penghambat dalam pembelajaran
adalah jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas sehingga kesempatan bagi
guru untuk memahami tingkah laku siswa menjadi terbatas. Para siswa mengikuti
pembelajaran dengan antusias sehingga pada saat diberikan kesempatan untuk bertanya
atau memberikan tanggapan, banyak siswa yang mengangkat tangan dan berebutan
untuk bertanya atau memberikan tanggapan. Selain itu, pemberian ice breaking dalam
bentuk kuis, banyak siswa yang antusias untuk menjawab kuis yang terkait dengan
materi yang disampaikan. Setelah sesi ceramah dan tanya jawab selesai, tim pengabdian
mengulas kembali materi dengan cara pemberian kuis kembali terkait materi secara
keseluruhan. Kemudian kegiatan ditutup dengan mengajak siswa secara bersama-sama
untuk menarik kesimpulan tentang materi yang disampaikan. Dengan demikian,
meskipun pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk ceramah dan tanya jawab, dua
unsur dari pembelajaran PAKEM masih terpenuhi yaitu efektif dan menyenangkan.
Budimansyah mengemukakan bahwa pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang
menghasilkan tentang apa yang harus dikuasai siswa setelah pembelajaran berlangsung
karena pembelajaran memiliki tujuan pembelajaran yang hendak dicapai (Amalia SP,
2016). Sementara pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang dilaksanakan
dengan membuat hubungan antara pendidik dan peserta didik tanpa ada perasaan
terpaksa atau tertekan (Mulyasa, dalam Amalia SP, 2016).
13
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
Selain dua unsur pembelajaran PAKEM yang terpenuhi, siswa dapat berlatih
untuk memiliki kemampuan berpikir logis agar tidak cenderung untuk fokus hanya
hafalan. Saragih mengatakan bahwa hafalan hanya terbatas pada kemampuan
mengingat, sedangkan berpikir logis mengacu pada pembentukan kecapakan proses
termasuk mengerti, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi (Surat,
2016). Siswono mengatakan bahwa kemampuan berpikir logis adalah kemampuan
siswa untuk berpikir dengan menggunakan logika dan pengetahuan-pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya sehingga dapat menarik kesimpulan yang sah dan dapat
membuktikan kesimpulan tersebut (Surat, 2016).
Tahapan Kedua
Pada tahapan kedua, tim pengabdian mengajak siswa untuk menonton video yang
berisi tentang tugas dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa.
Sebelum menonton, siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan 5 – 6
orang. Siswa diberi tugas untuk mengamati jalan cerita dari video yang ditampilkan.
Setelah selesai menonton video, siswa diberi waktu untuk mendiskusikan alur cerita dan
pesan yang ditangkap dari video tersebut. Video tersebut berisi tentang perjuangan
sebuah keluarga agar anaknya dapat melanjutkan sekolah. MTs Arrosyidin meski
terletak tidak jauh dari kota, namun sebagian siswanya berasal dari keluarga dengan
kemampuan ekonomi menengah ke bawah sehingga penayangan video pendek tersebut
bertujuan untuk menyentuh hati siswa karena kondisi yang dialami pemeran toko dalam
video tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sebagian siswa. Kemudian
masing-masing kelompok memaparkan hasil diskusinya secara bergantian. Setelah itu,
tim pengabdian mengajak siswa untuk menarik kesimpulan dari video tersebut bersamasama. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan membuat poster dengan tema tugas dan
tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Tim pengabdian menyediakan
seperangkat alat tulis untuk masing-masing kelompok yang meliputi dua kertas bufalo,
dua pensil, satu penghapus, satu spidol warna hitam, satu spidol warna hijau, satu spidol
warna kuning, satu spidol biru, dan satu spidol warna merah. Masing-masing kelompok
berdiskusi tentang gambar apa yang akan dibuat poster.
Masing-masing kelompok memiliki cara tersendiri untuk membuat poster. Ada
kelompok yang membuatnya dengan membagi tugas kepada masing-masing anggota,
yaitu bagian menggambar, bagian mewarnai dengan warna hitam, hijau, dan lain
sebagainya. Ada kelompok yang menggambar pada kedua kertas bufalo yang
disediakan sehingga kelompok tersebut memecah menjadi dua sub kelompok meskipun
kelompok tersebut telah mengetahui bahwa poster yang diikutkan penilaian hanya satu
poster dari setiap kelompok. Ada kelompok yang hanya menggambar pada satu kertas
bufalo, namun juga hanya dikerjakan oleh satu orang dan yang lain menonton. Ada
kelompok yang mengandalkan dua orang anggota dengan formasi yang satu
menggambar menggunakan pensil dan yang lain langsung menebalkan garis tepi
menggunakan spidol warna. Ada kelompok yang semua anggotanya terlibat secara
langsung dalam pembuatan poster yaitu ketika yang satu menggambar dengan pensil,
yang lain mewarnainya dengan spidol warna hitam, hijau, merah, biru, dan kuning.
Meskipun cara menggambar poster untuk masing-masing kelompok dibebaskan, namun
tim pengabdian membatasi durasi pengerjaannya. Dari masing-masing kelompok yang
memiliki keunikan cara tersebut, kelompok yang melibatkan seluruh anggotanya adalah
kelompok yang selesai tepat waktu dengan hasil yang bagus dalam kategori poster
sederhana karya anak MTs dalam waktu singkat. Sedangkan kelompok-kelompok yang
14
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
hanya mengandalkan pada satu atau dua orang anggota untuk menyelesaikan posternya,
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pengerjaan karena harus dikerjakan secara
bergantian yaitu menunggu selesai menggambar dengan pensil terlebih dahulu baru
dapat mewarnainya. Selain itu, pesan-pesan yang coba disampaikan oleh siswa melalui
poster juga berbeda hasilnya antara kelompok yang hanya mengandalkan anggota
tertentu dengan kelompok yang mengandalkan seluruh anggotanya. Kelompok yang
hanya mengandalkan anggota tertentu cenderung meniru poster yang disampaikan oleh
tim pengabdian sebagai contoh. Sedangkan kelompok yang mengikutsertakan seluruh
anggotanya lebih kreatif sehingga baik gambar maupun pesan yang dituliskan berasal
dari hasil pemikiran bersama dan tidak ada unsur menjiplak.
Pengerjaan poster selesai dan masing-masing siswa mempresentasikan maksud
dari poster yang digambar. Lalu tim pengabdian mengumumkan hasil pemenang dari
pembuatan poster. Kelompok-kelompok yang menjadi juara diberikan penguatan berupa
hadiah sederhana yaitu buku tulis dan pulpen. Setelah itu, siswa diajak menarik
kesimpulan tentang mengapa kelompok pemenang bisa menjadi juara. Beberapa siswa
mengangkat tangan dan menyampaikan pendapatnya bahkan ada yang langsung
berpendapat. Ada siswa yang mengatakan bahwa kelompok pemenang menjadi juara
karena kompak. Ada yang mengatakan bisa menang karena gambarnya memang bagus.
Ada yang mengatakan bisa juara karena tepat waktu. Ada yang mengatakan bahwa
kelompok tersebut bisa menang karena kerja sama semua anggotanya. Setelah tidak ada
lagi yang ingin berpendapat, tim pengabdian kemudian menjelaskan bahwa beberapa
nilai karakter tersembunyi dalam tingkah laku masing-masing individu selama
pengerjaan kelompok tersebut. Nilai-nilai karakter yang dimaksud antara lain: tanggung
jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana, yang secara tidak langsung dipelajari
meskipun tidak diberitahukan terlebih dahulu dapat dibelajarkan dengan baik kepada
siswa. Tanggung jawab tercermin pada tingkah laku siswa ketika berusaha untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Disiplin terlihat ketika siswa berupaya untuk
menyelesaikan pengerjaan poster tepat waktu. Jujur ditunjukkan dari tingkah laku siswa
yang berani mengatakan referensi gambar yang menjadi inspirasi untuk membuat
poster. Kerja sama terlihat ketika masing-masing kelompok membagi peran dalam
mengerjakan poster. Nilai sederhana dapat dilihat ketika siswa berusaha untuk
menggambar sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok tanpa menambah
alat tulis yang lain selain yang diberikan.
Nilai-nilai karakter tersebut dibutuhkan untuk menangkal paham-paham
radikalisme. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal, antara
lain: (1) intoleran, dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mau menghargai
pendapat dan keyakinan orang lain; (2) fanatik yaitu selalu merasa benar sendiri dan
menganggap orang lain salah; (3) eksklusif, dimana seseorang atau sekelompok orang
berkumpul menutup diri atau kelompoknya dan membedakan diri dari masyarakat pada
umumnya; dan (4) revolusioner artinya memiliki kecenderungan untuk menggunakan
cara-cara kekerasan demi mencapai tujuan (Belmawa, 2016). Setelah selesai pembuatan
poster, tim pengabdian mengajak siswa untuk merefleksikan hasil dari kegiatan
pembelajaran PAKEM tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Asmani
yang mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis PAKEM memusatkan pada guru
dan siswa sebagai aktor utama yang dituntut untuk sama-sama aktif dan kreatif dalam
kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dengan tujuan
pembelajaran yang dapat dicapai secara efektif (Amalia SP, 2016).
15
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
Tahapan Ketiga
Tahapan ketiga yaitu evaluasi dan refleksi. Pada tahap evaluasi, penilaian
efektivitas keberlangsungan program pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan
melalui evaluasi perubahan perilaku yang menyertai pada siswa dengan melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan kepada guru untuk menilai dampak dari program
pengabdian masyarakat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru dan kepala
sekolah, diperoleh keterangan bahwa siswa menjadi lebih tanggap dengan lingkungan
sekitar termasuk kepada teman-temannya. Hal tersebut terbukti ketika kerja kelompok
tidak mendominasi jalannya diskusi karena diperlukan kerja sama dan pembagian tugas
yang jelas. Selain itu, siswa juga menanyakan tentang bahaya radikalisme kepada guru
PKn pada saat pembelajaran PKn di kelas sehingga menunjukkan bahwa siswa semakin
sadar tentang bahaya radikalisme. Selain itu, siswa juga masih menyimpan hadiah yang
diperolehnya ketika menjadi juara kuis atau juara poster dan akan menggunakannya
ketika sudah dibutuhkan. Dengan demikian, nilai-nilai karakter yang dibelajarkan untuk
menangkal radikalisme cukup terinternalisasi dengan baik. Dengan demikian, siswa
yang berkarakter diharapkan mampu menangkal paham-paham radikalisme. Senada
dengan Haryati (2017) yang menagatakan bahwa pendidikan karakter menjadi sesuatu
yang penting untuk membentuk generasi yang berkualitas dan merupakan salah satu alat
untuk membimbing seseorang menjadi orang baik, sehingga mampu memfilter
pengaruh yang tidak baik.
Lalu pada tahap refleksi, guru-guru menyampaikan bahwa berdasarkan
pengamatannya, siswa memiliki antusias yang tinggi mengikuti kegiatan pengabdian
dan apabila tim pengabdian bersedia maka para siswa menghendaki kembali untuk
diadakan kegiatan lanjutan. Meskipun demikian, pelaksanaan pengabdian lanjutan
belum dapat dilaksanakan dalam waktu dekat karena siswa kelas IX harus mengikuti
ujian kelulusan. Apabila siswa kelas IX tidak dapat berpartisipasi maka siswa yang lain
juga tidak diperbolehkan oleh kepala sekolah untuk mengikuti kegiatan pengabdian agar
tidak menimbulkan rasa iri terhadap siswa yang tidak bisa ikut kegiatan. Dengan
demikian, tim pengabdian membutuhkan koordinasi lebih lanjut agar dapat
melaksanakan kegiatan pengabdian lanjutan.
4. SIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penguatan
pendidikan karakter melalui penyuluhan menangkal radikalisme dapat dilaksanakan
dengan menggunakan unsur-unsur pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan. Dengan menciptakan hubungan yang dengan komunikasi multi arah
membantu siswa dapat mengikuti kegiatan pengabdian dengan baik sehingga tujuan
pengabdian tercapai. Kegiatan pengabdian dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu
pemberian materi, praktek pembuatan poster, dan evaluasi serta refleksi. Tahapan
pertama dan tahapan kedua hanya melibatkan siswa. Sementara tahapan ketiga hanya
melibatkan guru. Kendala yang dihadapi selama pelaksanaan pengabdian adalah
kendala teknis ketika kegiatan menonton video. Penyuluhan menangkal radikalisme
dengan penguatan karakter membelajarkan beberapa nilai-nilai karakter secara tidak
langsung, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan sederhana. Penguatan
nilai-nilai karakter pada siswa sangat dibutuhkan karena dengan harapan siswa dapat
menyaring paham-paham yang mengarah ke radikalisme.
16
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
REFERENSI
Amalia SP, Wulan Rizki. (2016). Pembelajaran Berbasis PAKEM pada Mata Pelajaran
IPS di Kelas IV SD Gugus Gatotkaca Kecamatan Semarang Barat Kota
Semarang.
Skripsi.
Universita
Negeri
Semarang.
https://lib.unnes.ac.id/24372/1/1401412314.pdf
Asrori, Ahmad. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropositas.
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 9 No. 2, hlmn. 253:
268. DOI: 10.24042/klm.v9i2.331
Belmawa. (2016). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS.
https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/StrategiMenghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf
Faruqi, Dwi. (2018). Upaya Meningkatkan Kemampuan Belajar Siswa melalui
Pengelolaan Kelas. Evaluasi, Vol. 2 (1). Hlm. 294-310. DOI:
10.32478/evaluasi.v2i1.80
Haryati, Sri. (2017). Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013. Magelang: FKIPUTM.
Hurlock, Elizabeth B. (1997). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kompas.com. (2016). Ini Tiga Cara Penyebaran Radikalisme di Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2016/11/30/14081631/ini.tiga.cara.penyebar
an.radikalisme.di.indonesia
Kompas.com. (2018) Jateng Masuk Zona Merah Penyebaran Radikalisme dan
Terorisme. https://regional.kompas.com/read/2018/09/10/14251871/jatengmasuk-zona-merah-penyebaran-radikalisme-dan-terorisme
Kompas.com. (2019). 7 Kepala Sekolah di Jateng Terpapar Radikalisme, Ganjar
Tindak Tegas. https://regional.kompas.com/read/2019/09/16/08491381/7kepala-sekolah-di-jateng-terpapar-radikalisme-ganjar-tindak-tegas?page=all.
Kompas.com.(2019). Jateng Masuk Zona Merah Penyebaran Radikalisme dan
Terorisme.
https://regional.kompas.com/read/2018/09/10/14251871/jatengmasuk-zona-merah-penyebaran-radikalisme-dan-terorisme.
Kurniawan, Syamsul. (2013). Pendidikan Karakter Konsepsi & Implementasinya
Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, &
Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Lickona, Thomas. (2015). Educating for Character Mendidik untuk Membentuk
Karakter Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan
Tanggung Jawab. Diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi
Aksara.
Surat, I Made. (2016). Pembentukan Karakter dan Kemampuan Berpikir Logis Siswa
melalui Pembelajaran Matematika Berbasi Saintifik. Jurnal EMASAINS, Vol. V
(1).
Hlm.
57-65.
https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/emasains/article/view/20/17
Winataputra, Udin Saripudin. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan, Instrumentasi,
dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Press.
Yunus, A Faiz. (2017). Radikalisme, Liberalisem dan Terorisme: Pengaruhnya
Terhadap Agama Islam. Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir
17
Civ ita s M i n i st er ium Vol. 4, No.01, Oktober 2020
Qur’ani,
Vol.
13
No
https://doi.org/10.21009/JSQ.013.1.06
1,
hlmn.
76-94.
DOI:
18