[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
INOVASI PENDIDIKAN DI INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Oleh: Amrazi Zakso (Pendidikan Sosiologi, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abtrak: Inovasi pendidikan merupakan faktor penting bagi kemajuan pendidikan. Sayangnya, inovasi pendidikan di Indonesia tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan. Bahkan terkesan tertatih-tatih. Kunci persoalan tampaknya berada pada level kelas. Oleh sebab itu, upaya melakukan pembaharuan pendidikan harus berawal pada level kelas. Kata Kunci: Inovasi, Inisiasi, Implementasi Pembaharuan. Pendahuluan Otonomi daerah yang pelaksanaannya dimulai 1 Januari 2001, membawa berbagai konsekuensi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu di antaranya adalah perubahan peranan pemerintah pusat dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan. Di masa lalu, isi atau muatan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Akibatnya, seringkali isi atau muatan pelajaran yang diberikan di sekolah tidak sesuai dengan kondisi sekolah yang ada di berbagai daerah. Dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2003) diharapkan pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah menjadi sesuai dengan kondisi dan situasi setiap daerah. Menyinggung pembaharuan di bidang pendidikan, sebelum inovasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya Indonesia kaya akan pengalaman pembaharuan pendidikan. Dulu kita mengenal adanya Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Sekolah Pamong, CBSA, SD Kecil serta SMP Terbuka. Sayangnya, implementasi pembaharuan pendidikan yang dilakukan itu bukan “a success story” yang indah untuk dikenang. Justru sebaliknya, banyak pembaharuan pendidikan pada level sekolah yang telah dilaksanakan berjalan tertatih-tatih, seperti CBSA. Bahkan tidak jarang program pembaharuan pendidikan itu hilang tanpa proses evaluasi yang jelas, seperti PPSP. Sebenarnya, hal tersebut tidak aneh karena di banyak negara maju pun inovasi yang banyak diperkenalkan pada sekolah, hilang tanpa meninggalkan bekas (Cuban, 1988:89). Pada setiap implementasi suatu program pembaharuan pendidikan pada level kelas, guru memegang peranan penting dan menentukan. Begitu juga dengan implementasi kurikulum berbasis kompetensi, keberhasilannya sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan guru untuk melaksanakannya. konseptual, 11 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Hiumanora Vol. 1. No.1. April 2011:1 - 100 Schaeffer (1987:4) menjelaskan tentang pembaharuan tersebut sebagai berikut: Although hopes for school renewal often centered on aspects of schooling other than teacher training, such as improvements in curriculum, materials and programs, it soon became appearent that teachers were the bottom line in any change that might take place. If teachers were unwilling or unable to implement an innovation, even the most “teacher proof” package was doomed to failure. Guru adalah kunci setiap upaya pembaharuan di sekolah. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan pendidikan di sekolah harus berangkat dari upaya membangun perilaku guru ke arah pembaharuan. Keengganan dan ketidak-mampuan guru untuk melaksanakan inovasi mengakibatkan setiap pembaharuan pendidikan tidak pernah berjalan sebagaimana diharapkan. Keengganan untuk melakukan pembaharuan di dunia pendidikan, antara lain, diperkenalkan oleh Domoyer (1978); Hull dan Rudduck, J. (1991), Fullan (1991) serta Bennet, dkk. (1991). Dari hasil kerja mereka ini dapat disimpulkan bahwa keengganan guru melaksanakan inovasi pendidikan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1). latar belakang pengetahuan dan kemampuan bidang yang dikuasai guru untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan tidak memadai; (2). pelaksanaan pembaharuan di bidang pengajaran terlalu kompleks dan memakan waktu, (3). ketidakjelasan akan dampak langsung pada diri siswa segera setelah pembaharuan dilaksanakan; (4). umumnya orang yang terlibat dalam pendidikan lebih menyukai status quo. Konservatisme ini mengakibatkan kesulitan bagi pelaksana pendidikan yang mau melakukan pembaharuan; (5). pembaharuan seringkali hanya menyangkut aspek yang sifatnya supervisial. Keadaan seperti ini, dalam pandangan guru, mengakibatkan pembaharuan yang dilakukan tidak membawa makna apa-apa bagi kemajuan pendidikan; dan (6). terkait dengan pertanyaan bagaimana mengetahui pembaharuan tertentu itu bermakna, dan siapa yang memutuskannya ? PROSES PEMBAHARUAN Secara sederhana Fullan (1991) menggambarkan proses pembaharuan seperti disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Ringkasan Proses Pembaharuan Inisiasi Implementasi Kontinuasi Hasil Akhir Inovasi Pendidikan Di Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan (Amrazi Zakso) 12 Pada tahapan inisiasi ada 8 (delapan) hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: (a). eksistensi dan kualitas inovasi, (b). akses terhadap inovasi, (c). advokasi dinas pendidikan, (d). advokasi para guru, (e). agen-agen pembaharu eksternal, (f). tekanan masyarakat, (g). kebijakan baru termasuk pendanaan baik pada level pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, serta (h). pemecahan masalah dan orientasi birokratis. Tahapan Inisiasi Pembaharuan Pendidikan dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tahapan Inisiasi Pembaharuan Pendidikan 1. Eksistensi dan 8. Orientasi pemecahan masalah dan birokrasi 7. Kebijakan BaruPendanaan (Nas/Prov/kab) 6. Tekanan Masyarakat (dukungan vs apatis) Kualitas Inovasi 2. Akses pada Informasi KEPUTUSANKEPUTUSAN INISIASI 5. Agen pembaharuan 3. Advokasi dari Depdiknas 4. Advokasi Guru Eksternal Faktor lain yang terkait dengan tahap inisiasi adalah selektivitas yang terjadi akibat perbedaan akses terhadap informasi. Keunggulan kontak pribadi dalam difusi inovasi sudah lama dikenal, begitu juga pentingnya dalam dunia pendidikan. Para guru secara individual sangat mungkin kurang kontak dengan agen pembaharu karena mereka dibatasi oleh ruang kelas dan secara profesional memiliki keterbatasan jaringan. Para guru betul-betul menerima informasi hanya dari kepustakaan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk kontak personal secara terus menerus yang mungkin bisa membawa pembaharuan bagi dirinya. Proses inisiasi dalam pembaharuan pendidikan, dilakukan dengan mempertimbangkan faktorfaktor: relevansi, kesiapan, dan ketersediaan sumber-sumber. Idealnya, proses inisiasi ini didasarkan atas ketiga hal tersebut, bukan salah satu atau beberapa di antaranya. Pertimbangan relevansi terkait dengan interaksi kebutuhan dan kejelasan inovasi, dengan pemanfaatan inovasi, atau apa sesungguhnya yang harus ditawarkan pada guru dan siswa. Kesiapan mencakup keterlibatan baik secara konseptual maupun praksis dari sekolah untuk memulai mengembangkan atau mengadopsi inovasi yang given. Kesiapan 13 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Hiumanora Vol. 1. No.1. April 2011:1 - 100 tersebut bisa saja bersifat invidual tetapi juga bisa bersifat organisasional. Sedangkan ketersediaan sumber-sumber berkenaan dengan syarat dukungan sebagai bagian dari proses pembaharuan. Hubungan antara tahap inisiasi dan implementasi sesungguhnya sangat interaktif. Proses yang terjadi selama tahap inisiasi dapat bermakna atau bahkan membingungkan, melahirkan komitmen atau bahkan aleniasi, serta hal-hal lain yang dipengaruhi oleh pembaharuan. Cukup banyak inovasi yang dikenalkan. Kesukarannya biasanya terjadi dalam menentukan kesepadanan antara kebutuhan lokal dengan sumbersumber inovasi yang tersedia. Proses pelaksanaan atau implementasi program inovasi bersifat lebih intriktis karena melibatkan banyak orang dan karena pembaharuan itu sendiri. Banyak kebijakan yang inovatif hanya bagus pada tataran konseptual namun sulit diimplementasikan. Faktor kunci yang mempengaruhi proses implementasi program pembaharuan adalah seperti disajikan pada Gambar 3. Karakteristik pembaharuan yang dikenalkan, karakteristik lokal dan faktor-faktor eksternal merupakan tiga hal kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi program pembaharuan. Gambar 3 Faktor-faktor Interaktif yang Mempengaruhi Implementasi Pembaharuan Pendidikan A. Karakteristik Pembaharuan 1. Kebutuhan 2. Kejelasan 3. Kompleksitas 4. Kualitas & Kepraktisan IMPLEMENTASI C. FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL Pemerintah dan Agensi Pembaharuan Lainnya B. Karakteristik Lokal 1. Kabupaten 2. Masyarakat 3. Kepala Sekolah 4. Guru Inovasi Pendidikan Di Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan (Amrazi Zakso) 14 Dari sisi lain, agar proses implementasi pembaharuan menjadi baik, setidaknya ada 6 (enam) hal pokok yang perlu dilakukan. Keenam hal tersebut tampak seperti disajikan pada Gambar 4. Dari gambar tersebut tampak bahwa membangun visi, mengembangkan inisiatif untuk pembaharuan, perencanaan yang matang, pengembangan staf, restrukturisasi dan monitoring program pembaharuan merupakan hal-hal yang perlu mendapat prioritas perhatian untuk keberhasilan program pembaharuan pendidikan. Pengabaian keenam hal tersebut mendorong munculnya kegagalan dalam setiap program pembaharuan pendidikan yang direncanakan. Gambar 4 Hal-Hal Pokok Yang Perlu Dilakukan Dalam Pembaharuan Pendidikan Membangun Visi Perencanaan Evolusioner Monitoring/ Pemecahan Masalah Pengambilan Inisiatif Pemberdayaan PERBAIKAN SEKOLAH & RUANG KELAS Pengembangan staf/ Sumber-sumber Asistensi Restrukturisasi Diskontinyu implementasi program pembaharuan biasanya ditentukan oleh dukungan dana dari pemerintah lokal yang kecil bahkan tidak ada, kekurangan dana untuk pengembangan staf, daya dukung staf untuk kelangsungan program tersebut dan penyediaan guru baru. Meskipun diyakini hal-hal di atas mempengaruhi kelangsungan implementasi program pembaharuan, Fullan (1991) menyatakan bahwa kepala sekolah tetap merupakan kunci dari keberhasilan implementasi dan kelangsungan program pembaharuan. 15 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No.1. April 2010 Banyak perencanaan pembaharuan pendidikan gagal karena kesalahan mengidentifikasi masalah teknis yang spesifik, seperti kekurangan material yang baik, pelatihan yang tidak efektif dukung dan administratif yang kurang. Penyebab lain dari kegagalan perencanaan program pembaharuan adalah karena seringnya para pembuat kebijakan membuat asumsi yang hyperrational. Komitmen terhadap what should be changed seringkali bertolak belakang dengan pengetahuan mengenai bagaimana bekerja dalam proses pembaharuan (how to work through a process of change). Pembaharuan Pendidikan Pada Tingkat Lokal Keberhasilan pembaharuan pendidikan sesungguhnya sangat tergantung pada apa yang guru perbuat dan pikirkan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Fullan (1991:344) yang menyatakan: “improvements in schools will not occur without changes in the qualities of learning experiences on the part of those who run the schools”. Pembelajaran dan pendidikan di sekolah menjadi efektif kalau: (1). orang yang diminta untuk menjadi guru adalah orang yang berkualitas, dan (2). sekolah diorganisasi untuk menstimulasi dan menghargai setiap pelaksanaan pembaharuan. Jika pembaharuan pendidikan harus dilaksanakan, maka pembaharuan tersebut menghendaki agar para guru memahami diri mereka sendiri dan dipahami oleh yang lain. Selain itu, kita juga harus memahami aturan-aturan yang berlaku di dunia pendidikan. Implementasi adalah esensi dari pembaharuan. Dalam pembaharuan pendidikan, guru adalah implementator sentral pembaharuan tersebut. Hal yang patut dicermati di sini adalah situasi konkrit dari iklim kerja guru, beban kerjanya dalam satuan jam pelajaran, jumlah siswa yang menjadi tanggung jawabnya, kompensasi atas pekerjaannya dan masalah fasilitas belajar yang kurang memadai. Inovasi pendidikan yang dikenalkan seringkali hanya menjadi salah satu dari sekian banyak masalah baru yang dihadapi guru. Ada berbagai temuan penelitian yang menarik untuk dikaji, dan oleh Fullan sudah diringkas menjadi beberapa tahapan yang sebagai berikut: 1. Pendidikan guru ternyata tidak membekali para mahasiswanya untuk menghadapi realitas kelas yang nanti menjadi tugas pokoknya; 2. Organisasi sekolah yang bersifat seluler mengakibatkan para guru selalu dihadapkan pada berbagai masalah dan ketakutan yang bersifat pribadi. Akibatnya, para guru banyak menghabiskan waktu mereka hanya untuk membicarakan persoalanpersoalan tersebut kepada koleganya, bukan membicarakan hal-hal yang terkait dengan tugas pokoknya dalam pembelajaran; 3. Para guru umumnya gagal mengembangkan budaya kerja sebagai guru; 4. Kalau para guru menghadapi persoalan dan ingin minta bantuan penyelesaian, sumber- Inovasi Pendidikan Di Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan (Amrazi Zakso) sumber yang paling efektif digunakan guru pada umumnya cenderung mengikuti apa yang dikatakan guru itu sendiri; 5. Para guru umumnya tidak yakin apakah ia telah melakukan pembaharuan atau belum; Permasalahan yang serius dari guru adalah apakah para guru melihat pembelajaran sebagai suatu karir yang layak untuk dipilih. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil polling nasional, menunjukkan bahwa profesi guru bukanlah pilihan pertama. Hasil penelitian yang dilakukan Rees dkk (1989) di Ontario, Kanada, menunjukkan bahwa 71% dari guru wanita di jenjang pendidikan dasar menjadikan guru sebagai pilihan pertama, sedangkan di kalangan guru laki-laki 64% menyatakan sebagai pilihan pertama. Pada jenjang sekolah menengah, prosentase tersebut menurun. Hanya 56% dari guru wanita dan 37% guru laki-laki yang menjadikan profesi guru sebagai pilihan pertama. Di Kalimantan Barat, mungkin juga di Indonesia) nyaris tidak berbeda dengan di atas. Hasil kajian Aswandi & Amrazi Zakso (2004) menunjukkan bahwa para guru SLTA yang berstatus sebagai PNS umumnya memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap pekerjaannya sebagai 16 guru ketimbang PNS yang bekerja di kantor. Kepala Sekolah merupakan manajer pada level menengah. Karena itu, para Kepala Sekolah dihadapkan pada dilema organisasional yang klasik. Harapan bahwa Kepala Sekolah harus menjadi pemimpin dalam implementasi pembaharuan pendidikan, ternyata dalam realitas selalu menghadapi hambatan. Dari 9 Kepala Sekolah yang dikaji The Principal-Teacher Interaction (PTI), 2 digolongkan sebagai inisiator, 3 diklasifikasi sebagai manajer, dan 4 orang digolongkan sebagai responder (Fullan, 1991). Dalam pembaharuan pendidikan, faktor siswa juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Dalam kaitan dengan siswa ini, perlu dinamika komitmen guru dan siswa agar pendidikan sukses, sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Dari gambar tersebut tampak bahwa interaksi komitmen guru dan siswa sangat dipengaruhi oleh karakteristik sekolah. 17 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No.1. April 2010 Gambar 5 Dinamika Komitmen Guru-Siswa Komitmen Guru: Ke Siswa Ke PBM Ke Sekolah Karakteristik Sekolah: - Relevansi Afiliasi Dukungan Harapan - Resiko Guru Menyalahkan Siswa Tingkah laku Siswa Komitmen Siswa: untuk Belajar untuk Sekolah Peranan administrator pendidikan kabupaten juga menjadi faktor penentu dalam proses pembaharuan pendidikan. Para administrator level kabupaten (seperti Kadis, Kasub dinas, maupun para pengawas pendidikan) harus benar-benar bekerja sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya dalam pembaharuan pendidikan (Fullan, 1991). Jangan sampai para administrator tersebut lebih mengedepankan peran manajerial politik ketimbang peran pembelajarannya. Para administrator dan staf di Kabupaten harus mendorong proses inovasi: 1. sesuai dengan kebutuhan dan dapat diuji; 2. menentukan inovasi tertentu sesuai kebutuhan; 3. mengklarifikasi, dan mendukung peran kepala sekolah serta administrator lainnya dalam implementasi program pembaharuan; 4. menjamin dukungan implementasi pembaharuan; 5. memungkinkan adanya redefinisi dan adaptasi inovasi tertentu; 6. mengkomunikasikan dan memelihara dukungan orangtua dan dewan pendidikan; Orangtua dan masyarakat juga perlu dilibatkan dalam proses pembaharuan pendidikan. Bentuk utama dari keterlibatan orangtua mencakup: 1. Keterlibatan langsung di sekolah (seperti sebagai sukarelawan, atau asisten); 2. Keterlibatan orangtua dalam aktivitas pembelajaran anak di rumah (seperti membantu belajar anak di rumah, atau sebagai tutor di rumah); 3. Relasi sekolah orangtua atau masyarakat; 4. Badan penasehat pendidikan. Inovasi Pendidikan Di Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan (Amrazi Zakso) Penutup Sebagai akhir dari makalah ini, saya mengidentifikasi adanya 6 (enam) tema sentral dari paradigma baru yang dibutuhkan dalam pembaharuan pendidikan. Keenam tema tersebut adalah: (1). dari cara berpikir negatif dalam melihat pembaharuan ke positif; (2). dari solusi yang bersifat monolitik ke alternatif; (3). dari inovasi individual ke institusional; (4). dari kerja individu ke kerja bersama; (5). dari pengabaian proses pembaharuan ke apresiasi yang serius terhadap proses pembaharuan; dan (6). dari berpikir “hanya jika” ke “jika saya” atau “jika kami”. Daftar Pustaka Aswandi., & Amrazi Zakso. (2004). Mutu Hasil Belajar: Telaah Proses Produk. Laporan Penelitian. Pontianak: Educational Advocacy Center. Bennett, W.J. (1991). To Reclaim a Legacy: A Report on the Humanities in Higher Education. Washington DC: National Endowment Press. Cuban, L. (1988). Constancy and Change in Schools (1980s to the Present). Dalam P.W. Jackson (Ed.). Contributing to Educational Change. Barkeley, CA: McCutchan Publishing. Fullan, M.G. (1991). The New Meaning Educational Change. Second Edition. New York: Teachers College Press. Hull, C., & Rudduck, J. (1991). Introduction Innovation to Pupils. Norwich, United 18 Kingdom: Centre for Applied Research in Education, University of East Anglia. Rees, R., et al. (1989). A Study of Recruitment of Ontario Teachers. Toronto: Ontario Public School Teacher Federation.