[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
‫ل‬ َ ‫ح ح لل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ُ‫صوُرُه‬ ُ ‫عنُُ ُت‬ ُ ُُ‫ُالّشءُُ ُفرُع‬ ُ ُ ُ‫الكُ ُم‬ ‫َع‬ ُ “Memberikan status hukum terhadap sesuatu merupakan cabang dari tasawur tentang sesuatu itu” REDAKSI LAIN KAIDAH: ُ ‫الكمَُعُالّشءُبانليفُواإلثباتُموقوفَُعُاتلصور‬ ُ ‫الكمَُعُالّشءُبانليفُواإلثباتُفرعُعنُتصوره‬ ُ ‫الكمَُعُالّشءُباإلثباتُاوُانليفُمسبوقُبتصوره‬ ُ ‫رشطُالكمُتصورهُبوجهُما‬ ُ ‫اتلصديقُاليلحقُباملجهول‬ KAIDAH YANG MEMILIKI KAITAN ُ )‫بطالنُالّشءُفرعُعنُوجودهُ(عالقةُلزوم‬ ُ .)‫الكمُبالّشءُفرعُتصوره(مكملة‬ ُ ،)‫الكمُبوجودُالّشءُينبينَُعُوجودُحقيقتهُ(لزوم‬ ُ .)‫الكمُمرتبَُعُالقيقةُُ(عالقةُلزوم‬ PENJELASAN KAIDAH Pengertian Hukum Hukum secara bahasa berarti mengadili (al-qadha). Hukum diartikan dalam beberapa pengertian dan dalam kamus “al-Maqayis al-Lughat” bahwa (Ha, Kaf dan Mim) merupakana satu akar, yaitu bermakna menghalangi, penyair itu berkata: ‫إين أخاف عليكمُأنُأغضبا‬ ُ‫أبين حنيفة أحكمواُسفهاءكم‬ 1 “Wahai Bani Hanifah, ajarilah orang-orang yang bodoh diantara kalian. Sesungguhnya saya khawatir akan marah kepada kalian” Yakni, mencegah kebodohan bodoh kalian. Dan apa yang disebutkan oleh Ibn Faris dalam Dictionary of Language Measures kata hukum memiliki interpretasi makna ganda dan konversinya ke makna asli yang dia sebutkan. Disebutkan dalam banyak literasi bahwa pecahan huruf (ha, ka, ma) dimaksudkan untuk dua pengertian: Pertama: mencegah dan mengalihan, dan perkataan: hakamtuh wa ahkamtuh, yaitu ketika Anda mencegahnya dan mengalihkannya dari pendapatnya. Dan perkataan: “hakumat al-farasu wa hikamtahu” ketika kebijaksanaan (hiknmah) dapat mencegahnya dari sikap keras kepala, dan dalam pengertian lahir penyebutan “seseorang yang bijaksana” (rajulun hakiman); karena dia mampu menahan dirinya sendiri, dan merespons dan memalingkan diri dari keinginan hawa nafsunya. Kedua: ketepatan dan kesempurnaan, dan darinya adalah firman Allah dalam Surat Hud: 1: ‫َٰ ح‬ َ ‫َٰ ح ح ح ل‬ ‫ل‬ ُ‫كتلبُُأحك لمتُُ لءايلتح ُهۥُث َُمُف ِّصلتُُمنُ حَّلنُُ لحكيمُُخبي‬ “(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” Berdasarkan ayat di atas, kata hukum merupakan satu dari nama-nama Allah, dalam arti Allah sebagai pengatur hukum dunia yang menunjukkan atas kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, karena Dia adalah Penentu Hukum yang mahasempurna. Secara terminologi, definisi hukum berbeda berdasarkan pencetus terminologinya, tetapi yang paling tepat dari mereka merujuk kepada pengertian aturan tersebut adalah definisi para ahli logika, bahwa hukum merupakan atribusi suatu perintah kepada yang lain, positif (ijab) ataupun negatif (salab). Dilihat dari berbagai jenis-jenisnya serta cakupannya terhadap apa terhadap inderawi (hissy), rasional (aqli), adat (urfi), syari dan wadh’I (situasional), maka hukum dibagi menjadi bagain-bagian sebagai berikut: 1. Hukum Syar’i: yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang ditarik dari syariat, seperti wajibnya shalat, zina, dan lain-lain. Di di sini tersirat bahwa hukum syariat dapat dimasukkan ke dalam hukum urf; Berdasarkan fakta bahwa term “alsyari” (pembuat syariat) meurpakan istilah urf syar’i. 2. Hukum Adat: yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang diambil dari dari adat/kebiasaan. Misalnya matahari bersinar, api menyala, minum khamar memabukkan, dan emas tidak mengapung di atas air. 2 3. Hukum Aqli: yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang diambil dari logika/akal. Misalnya, pernyataan: keseluruhan lebih besar daripada bagian, dan dua hal yang berlawanan tidak akan bersatu atau saling meniadakan, dan menentukan hukum pada suatu hal adalah cabang dari konsepsinya. 4. Hukum Wadh’i: yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang diambail dari ketentuan-ketentuan bahasa, misalnya pernyataan: dabbah adalah segala sesuatu yang bergerak di atas bumi. Termasuk hukum wadh’I adalah hukum urf, yaitu sesuatu yang bekaitan dengan hal-hal yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan khusus, misalnya: fail memiliki huruk ra’af dalam terminology ahli tata bahasa, dan khas itu bersifat qathiiy dalam terminology para ahli ushul fiqih. 5. Hukum Hissy: yaitu hukum yang terdapat pada teks kaidah-kaidah yang mencakup semua jenis hukum. Pengertuan Far’u (Cabang) Cabang (al-far’u) secara etimologi berarti sesuatu yang bersumber dari segala sesuatu yang berada di atasnya, cabang dari asal, dan bentuk jamaknanya adalah furu’. Dan darinya dikatakan: “wa furi’at min hadzal Ashli masailun fatafarra’at” yaitu bermakna ditarik/dicabut dan keluar. Jadi far’u itu adalah sesuatu yang dibangun di atas yang lainnya, sedangkan asal adalah sesuatu yang dibangun di atasnya, sesuatu yang lain. Far’u memiliki beberapa makna dalam terminologi, salah satunya adalah sesuatu yang diqiyaskjan terhadap yang lain dalam bab Qiyas. Namun demikian makna lughawi merupakan makna yang paling tepat dalam menjelaskan makna kaidah ini. Pengertian Tasawur Adapun tasawur menurut bahasa: mewujudkan gambar sesuatu dan bentuknya dalam pikiran. Secara terminilogi tasawuf ditafsirkan sebagai lahrinya gambaran tentang sesuatu di dalam nalar, baik yang disertai penjelasan tentang status tertentu ataupun tidak. Menurut ahli manthiq, tasawur adalah menemukan/memahami kosa kata. AlAkhdari berkata dalam kitab Al-Sulam: ‫ادراكُمفردُتصورُعلمُُُُُُودركُنسبةُبتصديقُوسم‬ "Memenahi suatu kosa kata dikenal dengan nama tasawur, dan menemukan status dari (kosa kata) dinamakan tashdiq” Apapun masalahnya, tasawur merupakan persepsi tentang citra sesuatu tanpa penentuan status atasnya, baik dengan menegasikan ataupun mengafirmasikan. Tasawur mencakup : 3 1. Konsepsi tentang zat tunggal seperti Muhammad, Kitab, pohon, keadilan dan ketidakadilan, kebencian, kebutuhan, kesucian, kesehatan dan kecacatan. 2. Murakkab insya’i, misalnya: Tinggalkan berbohong, Dan jangan minum khamr, dan saya berharap saya adalah debu. 3. Murakkab idhafi, seperti: pintu rumah, dan pelayan rumah, dan itu termasuk senyawa deskriptif, menuju: rumah akhirat, hewan merayap, dan sidik jari genetic. Semua jenis tasawur tersebut lepas dari penentuan status tetentu baik berupa penyangkalan atau penetapan. Pengertian Kaidah Menetapkan atau meniadakan sesuatu dari sesuatu didasarkan pada tasawur tentang gambaran sesuatu itu dan mengetahui kebenarannya. Tidak mungkin menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau menafikannya, tanpa melalui proses penalaran terlebih dahulu. Ketika dikatakan: “Kayu akan mengapung di atas air”, berarti kita telah memberikan hukum kepada kayu dengan status mengapung di atas air. Status mengapung di atas air, didasarkan pada pengetahuan kita tentang realitas kayu dan konsepsinya, dan bahwa ia memiliki sifat daya apung, sebagai hukum yang tidak dimiliki oleh benda lain seperti besi atau batu, atau benda-benda serupa yang menegasikan hukum mengapung tersebut berdasarkan fakta bahwa besi tidak dapat mengapung di atas air, dan batu juga tidak dapat mengapung di atas air. Kita tidak dapat menentukan hukum keharaman atau kebolehan sewa sukuk tanpa ada dasar pertimbangan akal dan mengetahui kenyataan sewa sukuk, maupun sewa yang diakhiri dengan kepemilikan, kita tidak bisa menentukan hukum boleh atau tidaknya, tanpa mengetahui terlebih dahulu tentang hakikat dan bentuk-bentuknyanya. PETUNJUK TENTANG KAIDAH Kaidah ini bersumber dari dalil akal, dan tidak secara khusus berkenaan dengan persoalan syariat, melainkan juga untuk semua kelompok masyarakat, dan dalam berbagai jenis ilmu. Seorang ulama ushul tidak dapat memutuskan hukum istihsan bahwa itu sesuai dengan dalilnya atau tidak, tanpa memahami terlebih dahulu maknanya, mengetahui hakikat dan substansi istihsan tersebut. Demikian pula, ushuli tidak akan menentukan hukum tentang macam-macam dilalah khas, jika dia tidak mengetahui apa pengertian khas, dan apa itu jenis-jenis dilalah. Seorang insinyur tidak mungkinan keputusan untuk menentukan bangunan lantai tambahan di atas bangunan 4 yang ada, jika dia tidak mengetahui bagaimana bangunan yang akan dibangun di atasnya, dan apa spesifikasinya. Tidak dapat dibayangkan bahwa syariat atau hukum akan bertentangan, karena itu adalah masalah rasional yang tidak ada khilafiyah, dan hal itu merupakan masalah yang terbukti dengan sendirinya. Untuk alasan ini, kita mendapatkan bahwa para cendeikian di semua disiplin ilmu selalu mendahulukan penentuan definisi, sebelum mereka masuk ke rincian ilmu yang mereka akan bahas. PENERAPAN KAIDAH: 1- Ketika seseorang berkata kepada orang lain: Apa yang ada dalam buku catatanmu bersifat aktivitas, dan apa yang ada dalam buku catatan itu adalah sesuatu yang maklum. Saat penggugat menyebutkan sesuatu yang didiketahuinya, kemudian si tergugat berkata: Semua yang Anda sebutkan itu telah saya patuhi. Semua itu merupakan tashqid (yaitu pengakuan). Tashdiq tidak diikuti yang dengan ketidaktahuan. Tashdir merupakan ungkapan tentang tasawur terhadap dua belah pihak disertai adanya hukum. Memberikan status hukum terhadap sesuatu merupakan cabang dari tasawur tentang sesuatu itu. Tasawur tentang sesuatu yang majhul (tidak dikenal) merupakan hal yang tidak mungkin dan tidak ada hubungannya dengan tashdiq. 2- Mujmal dan mutasyabih dalam terminologi Hanafi, tidak dapat ditemukan adanya tarjih untuk memberikan preferensi kepada yang satu di atas yang lain, bahkan ketika yang dimaksudkan itu setelah adanya bayan terhadap mujmal, karena mentarjih salah satu atas yang lain hanya terjadi setelah memahami keduanya. Menentukan status hukum terhadap sesuatu merupakan cabang dari tasawur tentang sesuatu itu. Mutasyabih dalam madzhab Hanafi terputus dari harapan untuk mengetahuinya. 3- Hukum yang didefinisikan menurut para ahli ushul fiqih adalah firman Allah yang berkaitan dengan perilaku seorang mukallaf, dalam arti dia seorang yang dibebani. Makna mengakitkan khitab merupakan penjelasan tentang kondisi khitab apakah sebagai tuntutan atau bukan. Para ahli ushul menyebutkan definisi hukum sebelum mereka menjelasakn materi hukum itu sendiri, karena hukum tersebut merupakan salah objek tujuannya tergantung di dalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa para ahli ushul fiqih terkadang menetapkan hukum tersebut dan terkadang menafikan hukum, dan hal 5 tersebut tidak mungkin terjadi kecuali setelah menyadari makna dari hukum tersebut dan konsepsinya. 4- Di antara hal-hal yang dapat dijadikan contoh dan penerapan aturan tersebut adalah banyak ketentuan diperbedabtkan di kalangan para ulama dan belum ditentukan pokok sengketanya. Salah satu ketidaksepakatan para ulama tersebut adalah tentang apakah suatu perintah mengharuskan pembalasan ketercukupan (ijza’) atau tidak? Bagian-bagian tersebut ditafsirkan dengan dua arti: a. Tercapaikanya kepatuhan. b. Jatuhnya qadha karenanya. Para ulama mengambil salah satu dari masing-masing dari dua makna tersebut. Para peneliti di antara mereka memilik ke interpretasi jatuhnya qadha. Tampaknya keputusan masing-masing kelompok didasarkan pada tasawur atas makna bagianbagian tersebut. Didasarkan kepada kaidah “menentukan hukum sesuatu merupakan cabang dari tasawur tentang sesuatu itu”. 5- Ini termasuk keputusan dewan yurisprudensi mengenai berbagai perkembangan kontemporer, yang didasarkan pada mengetahui kebenaran dan persepsi mereka, jika sesuatu dinilai hanya setelah konsepsinya. Ini adalah bahwa: A. Keputusan Akademi Fiqih Islam yang berasal dari Organisasi Konferensi Islam - Jeddah No. (6) dalam sesi kedua pada 10-16 Rabi' al-Akhir 1406 H tentang bank susu, yang dikeluarkan setelah studi yurisprudensi dan studi medis, untuk memvisualisasikannya dan mengetahui kebenaran dan dimensinya, yang menyatakan: Pertama: Mencegah berdirinya bank ASI di dunia Islam. Kedua: Larangan menyusui darinya Melainkan, putusan ini dikeluarkan sebagaimana yang tertuang dalam dasar pemikiran putusan tersebut, setelah melalui kajian mendalam, refleksi dan diskusi yang mencakup berbagai aspek subjek. Karena itu perlu untuk memvisualisasikan dan mengetahui realitas bank-bank tersebut, maka menilai suatu hal adalah cabang dari persepsinya. B. Keputusan Akademi Fiqih Islam di Jeddah No. (44) dalam sidang kelima yang diadakan di Kuwait pada tanggal 1-6 Jumada al-Ula tahun 1409 H tentang transsaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan. Keputusan berdasarkan kepada konseptualisasi (tasawur) tentang apa yang dimaksud dengan sewa yang diakhiri dengan kepemilikan (al-Ijarah al-Muntahiyah bi Tamlik), yang menyatakan: 6 Pertama: Bentuk-bentuk sewa- berkahir-kepemilikan dianggap memenuhi dengan dipenuhinya alternatif lain, mencakup dua alternatif berikut: a. menjual secara mencicil, dengan memperoleh jaminan yang cukup b. kontrak sewa, dengan pemilik memberikan opsi kepada penyewa, setelah menyelesaikan semua angsuran sewa yang jatuh tempo selama jangka waktu, dalam salah satu hal berikut:  Perpanjangan masa sewa.  Pemutusan kontrak sewa dan pengembalian properti sewaan kepada pemiliknya.  Membeli aset sewaan pada harga pasar, pada akhir masa sewa. Kedua: terdapat berbagai bentuk sewa yang diakhiri dengan kepemilikan, diputuskan untuk menunda pertimbangannya ke sesi mendatang, setelah menyerahkan sampel kontrak mereka, dan mengklarifikasi keadaan dan batasan di sekitar mereka dalam kerjasama dengan bank syariah, untuk mempelajarinya dan mengeluarkan keputusan tentang mereka, dan Tuhan tahu yang terbaik. Majelis mengeluarkan keputusannya setelah melakukan tasawur tentang apa yang akan diputuskan, jadi hukumnya atas itu datang setelah melalui tahapan tasawur. Adapun tasawur-tasawur ditunda pertimbangnnya adalah yang belum terverifikasi kebenarannya, dan tasawurnya tidak mencukupi untuk dikuluarkan putusan hukumnya. Karenanya keputusan pertimbangan ditunda sampai mereka mendapatkan tasawur yang lengkap, karena kaidah “menentukan hukum pada sesuatu merupakan cabang dari tasawur tentang sesuatu itu”. Dr. Yakub Al-Bahsin 7