64
PERANAN KOMUNITAS LOKAL
DALAM PERENCANAAN PENGEMBANGAN GEOSITE
DI KAWASAN GEOPARK BELITONG
Yuspian Djapani1
Nana Sulaksana2
Budi Muljana 3
1
Pemda Belitung Timur
2
Program studi Regional Inovasi Sekolah Pascasarjana Universitas Padjadjaran
3
Fakultas Teknik Geologi Univesitas Padjadjaran
Email: yuspiandj@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat setempat sebagai
pengelola geosite membuat perencanaan pengembangan geosite di Kawasan
Geopark Belitong. Dalam hal ini masyarakat setempat menjadi sumber utama
informasi penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini tidak didasarkan pada pengujian
hipotetis tetapi dengan menggunakan analisis terhadap definisi operasional konsep
yang telah dirumuskan berdasarkan pertanyaan penelitian. Namun demikian,
peneliti juga melakukan analisis matematika menggunakan Teknik “Weight
Scoring System” atau sistem penilaian berbobot untuk menganalisis pola dan arti
hubungan antar kategori. Sementara itu, peninjauan literatur masih tetap dilakukan
untuk mengetahui teori-teori yang telah diterapkan dalam penelitian terkait.
Instrumen pengumpulan data menggunakan teknik observasi, dokumentasi, dan
wawancara. Penelitian ini dilakukan di 4 (empat) lokasi Geosite yang terdiri dari 1)
Geosite Bukit Peramun di Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung, 2) Geosite Juru
Sebrang di Kecamatan Tanjungpandan Kabupaten Belitung, 3) Geosite OpenPit
Namsalu di Kecamatan Kelapa Kampit Kabupaten Belitung Timur dan 4) Geosite
Tebat Rasau di Kecamatan Simpang Renggiang Kabupaten Belitung Timur.
Dengan teknik "purposive sampling", maka jumlah Informan yang digunakan
adalah sebanyak 16 orang yang didistribusikan secara proporsional untuk setiap
lokasi penelitian. Penelitian ini menemukan fakta bahwa masyarakat lokal pada
umumnya memiliki kemampuan yang baik untuk menyusun dan merumuskan
perencanaan pengembangan Geosite namun tetap berpotensi untuk lebih
ditingkatkan dengan mengoptimalkan pengetahuan, partisipasi dan keterampilan
teknis dalam perencanaan melalui strategi peningkatan kapasitas sumber daya
manusia (HRD) dalam pengelolaan Geosite sesuai dengan top 10 fokus area
UNESCO Global Geopark.
Kata Kunci: Komunitas lokal, Perencanaan Partisipatif, Pengembangan Geosite,
Geopark Belitong, Geowisata
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
65
Abstract
This research is aimed to determine how the local community as geosite operator
in making geosite development planning in Belitong Geopark. The research
method is a descriptive study with a qualitative approach where the local
community becomes the main source of research information. This research is not
based on hypothetical but operational definition concepts analysis that have been
formulated based on research questions. However, the mathematical analysis is
used through the “Weight Scoring System” Technique or weighted assessment
system to analyze the patterns and meaning of relationships between the
categories. Meanwhile, a review of the literature is still undertaken to determine
the theories that have been applied in related research. Data is collected by the
observation techniques, documentation, and interviews. This research was
conducted in 4 (four) Geosite locations: 1) Bukit Peramun Geosite in Sijuk SubDistrict of Belitung Regency, 2) Juru Sebrang Geosite in Tanjungpandan SubDistrict of Belitung Regency, 3) OpenPit Namsalu Geosite in Kelapa Kampit SubDistrict of East Belitung Regency and 4) Tebat Rasau Geosite in Simpang
Renggiang Sub-District of East Belitung Regency. With the purposive sampling
technique, there are 16 respondents that are distributed in proportionately for
every research location. The study have found that local communities generally
have a good ability to structure and formulate Geosite development planning but
still have to enhance in the future by optimizing knowledge, participation and
development planning skill through human resource development (HRD)
strategies in geosite management in accordance with the top 10 focus area of
UNESCO Global Geopark.
Keywords: Local Community, Participatory Planning, Geosite Development,
Belitong Geopark, Geotourism
PENDAHULUAN
Geopark merupakan suatu kawasan yang dikembangkan dengan kegiatan
konservasi, edukasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan
tiga unsur penting sebagai “pilar” utama berupa potensi “warisan geologi”
(geological heritage), “keragaman geologi” (biological diversity) dan “keragaman
budaya (culture diversity)” dimana ketiga unsur tersebut saling berkaitan serta
dirumuskan menjadi keunikan yang dapat menjadi ciri sekaligus strategi dalam
pengembangan suatu wilayah. Menurut UNESCO Global Geopark (UGGp),
Geopark memiliki makna;
“UNESCO Global Geoparks are single, unified geographical areas where
sites and landscapes of international geological significance are managed
with a holistic concept of protection, education and sustainable
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
66
development. A UNESCO Global Geopark uses its geological heritage, in
connection with all other aspects of the area’s natural and cultural heritage,
to enhance awareness and understanding of key issues facing society, such
as using our earth’s resources sustainably, mitigating the effects of climate
change and reducing natural disasters-related risks. By raising awareness
of the importance of the area’s geological heritage in history and society
today, UNESCO Global Geoparks give local people a sense of pride in their
region and strengthen their identification with the area. The creation of
innovative local enterprises, new jobs and high quality training courses is
stimulated as new sources of revenue are generated through geotourism,
while the geological resources of the area are protected” (UNESCO Global
Geoparks, 2017)
Pulau Belitung mulai mengenal dan menerapkan konsep pengembangan
Pariwisata berbasis Geopark pada akhir tahun 2016, Pengenalan konsep Geopark
memunculkan pemahaman baru bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat tentang
adanya
kesamaan
identitas
yang
“memungkinkan”
penyatuan
konsep
pengembangan pariwisata antar dua kabupaten di Pulau Belitung yaitu Kabupaten
Belitung dan Kabupaten Belitung Timur, yaitu dengan adanya “kesamaan”
warisan geologi yang sangat bernilai (Outstanding) untuk dikembangkan bersama
antara lain; 1) Batu Satam (Billitonite Tektite), 2) Adanya lanskap Batuan Granit
berukuran besar (TOR Granit), dan 3) Adanya warisan sejarah tambang timah
yang hingga saat ini masih dapat dijumpai sebagai bekas lokasi pertambaangan
timah yang sekaligus menggambarkan sejarah teknologi tambang timah di masa
lampau. Keberadaan situs warisan Geologi tersebut memberikan pemahaman
tentang pariwisata berbasis warisan geologi dan lanskap alam atau disebut dengan
istilah“Geotourism” yang didefinisikan sebagai “(Geotourism is) associated with
tourism earth-sciences and is well known in the tourism industry as a tourism
activity with focus on geologi and natural landscape” (Anze Chen, 2015).
Selain memiliki warisan geologi Pulau Belitung juga memiliki
keanekaragaman hayati baik hewan maupun tumbuhan yang unik dan khas,
misalkan adanya Ekosistim Hutan Kerangas yang merupakan karakter hutan
diatas tanah yang “miskin” unsur hara, sehingga terdapat berbagai jenis tanaman
yang khas yang sebagian besar merupakan tanaman obat, termasuk dalam hal ini
adanya jenis hewan Tarsius Belitong yang oleh masyarakat lokal desebut Pelile’an
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
67
juga memperkaya keanekaragaman hayati Pulau Belitung. Dari aspek keragaman
budaya Pulau Belitong juga memiliki kultur sebagai masyarakat tambang
khususnya tambang timah disamping memiliki ciri sebagai masyarakat melayu
pesisir sesuai dengan karakteristik daerah kepulauan. Selain itu Pulau Belitung
juga dikenal sebagai jalur pelayaran internasional sejak masa lampau bahkan sejak
zaman kekaisaran china pertama (Dinasti Tang) hal ini terbukti dengan banyaknya
situs kapal kuno (Shipwreck) berasal dari zaman kekaisaran China yang
tenggelam sekitar perairan Pulau Belitung.
Saat ini Terdapat sebanyak 17 (tujuh belas) Geosite yang masuk dalam
manajemen pengelolaan Geopark Belitong dengan keunikan Geologi, Biologi
maupun Budaya yang beragam dan potensial untuk dikembangkan, terdiri dari; 1)
Geosite Juru Sebrang 2) Geosite Desa Wisata Terong, 3) Geosite Hutan Magrove
Kuale, 4) Geosite Bukit Peramun, 5) Geosite Tanjung Kelayang, 6) Geosite Batu
Bedil, 7) Geosite Open pit Nam Salu, 8) Geosite Batu Pulas, 9) Geosite Gunung
Lumut, 10) Geosite Hutan Kerangas Cendil, 11) Geosite Burung Mandi, 12)
Geosite Tanjung Siantu, 13) Geosite Gunung Tajam, 14) Geosite Batu Baginde,
15) Geosite Pantai Punai, 16) Geosite Tebat Rasau, dan 17) Geosite Garumedang
(Billitonite Tektite) (Geosite Map, n.d.). Banyaknya jumlah Geosite yang tersebar
di dua wilayah Kabupaten di Pulau Belitung, menjadikan pengelolaan Geosite
memiliki peran yang sangat “strategis” karena memerlukan koordinasi dari
berbagai stakeholder di kedua wilayah baik Pemerintah Daerah, Swasta maupun
Masyarakat.
Saat ini Seluruh Geosite yang ada di wilayah Geopark Belitong dikelola
oleh masyarakat setempat atau “komunitas lokal” dengan bentuk organisasi atau
kelembagaan
yang
beragam,
yaitu;
1)
Masyarakat
Pengelola
Hutan
Kemasyarakatan (HKm), 2) Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokdarwis), 3)
Pemuda Karang Taruna Desa dan 4) Kelompok Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas).
Diperlukan kemampuan dan kapasitas yang mumpuni dalam merumuskan
perencanaan
pengembangan
Geosite
sebagai
tahapan
awal
kegiatan
pengembangan sekaligus tolak ukur keberhasilan pengembangan Geosite sesuai
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
68
standar dan prinsip pengembangan Geopark Global sebagaimana 10 (sepuluh)
prioritas pengembangan yang ditetapkan oleh UGGp terdiri dari; 1) Pemanfaatan
Suberdaya Alam (Natural Resources), 2) Mitigasi Bahaya Geologi (Geological
Hazard), 3) Perubahan Iklim (Climate Change), 4) Pendidikan (Education), 5) Ilmu
Pengetahuan (Science), 6) Budaya (Culture), 7) Wanita (Women), 8) Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development), 9) Pengetahuan Asli Masyarakat Lokal
(Local and indigenous Knowledge), 10) Konservasi Gologi (Geoconcervation).
Sebagai sebuah organisasi yang memiliki tujuan bersama dalam
pengembangan Geopark, komunitas pengelola Geosite harus memiliki fondasi
yang kuat dalam menjalankan aktifitas, salah satu sarana agar sebuah organisasi
dapat berjalan dengan baik dan sehat menurut para ahli adalah apa yang mereka
sebut sebagai “azas-azas organisasi”. Selain itu partisipasi anggota dalam setiap
kegiatan organisasi juga menjadi faktor kunci keberlangsungan sebuah organisasi
oleh karena itu penelitian ini juga melakukan analisa berdasarkan teori
"perencanaan partisipatif" yang dalam hal ini akan digunakan untuk menganalisa
bagaimana bentuk-bentuk partisipasi yang dilaksanakan oleh anggota komunitas
khususnya dalam merumuskan perencanaan pengembangan Geosite.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana kemampuan
komunitas dalam menyusun maupun merumuskan perencanaan pengembangan
Geosite, maka dirumuskan tiga pertanyaan penelitian yaitu, Pertama; Bagaimana
cara Komunitas membuat perencanaan untuk pengembangan Geosite di Kawasan
Gepark Belitong?, kedua; Bagaimana bentuk keterlibatan komunitas dalam
membuat perencanaan untuk pengembangan Geosite di Kawasan Geopark
Belitong?, dan ketiga; Bagaimana kualitas pemahaman komunitas tentang Geopark
dan peran Geositenya dalam pengembangan Geopark Belitong?.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut metode penelitian yang
digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif, Dalam hal ini
peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Pengambilan sampel sumber data
dilakukan secara “purposive sampling”, teknik pengumpulan data “Trianggulasi”
bertujuan untuk memeriksa ke absahan data yang memanfaatkan data dan informasi
yang lain untuk membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
69
Penelitian ini dilaksanakan di 4 (empat) lokasi dalam wilayah Geopark
Belitong pertama; Geosite Bukit Peramun Kedua; Geosite Juru Sebrang, Ketiga;
Geosite Open Pit Namsalu, Kabupaten Belitung Timur dan Keempat; Geosite
Tebat Rasau. Untuk menjamin objektifitas penelitian maka informan ditentukan
jumlahnya secara proporsional yaitu sebanyak 4 (empat) orang untuk setiap lokasi
penelitian yang dianggap mewakili serta mampu memberikan gambaran fakta
lapangan.
Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan;
Observasi
(Pengamatan),
Wawancara
(semi-structured
interview)
dan
Dokumentasi. Sedangkan teknik analisa data yang digunakan adalah Teknik
analisis data kualitatif yang sudah disederhanakan dari metode yang ditulis oleh
pakar riset sosial Alan Bryman (Sosiologis.com, 2018), dengan tahapan: Koding,
Membuat konsep, Membuat kategori, Membuat hipotesis dan Memperoleh hasil
analisis.
PEMBAHASAN
A.
Profil Geosite lokasi penelitian
1.
Gesosite Juru Sebrang
Bentuk kelembagaan Geosite Juru Seberang adalah Kelompok Hutan
Kemasyarakatan (HKm) merupakan kelompok masyarakat yang mengelola
Kawasan hutan mangrove dan hutan pantai yang ada di Desa Juru Seberang,
Kabupaten Belitung. Geosite Juru Sebrang diketuai oleh Marwandi dan memiliki
unit usaha berbentuk koperasi yang bernama Kelompok Tani Seberang Bersatu,
dengan wilayah kerja meliputi Desa Juru Seberang dan Teluk Dalam, Kecamatan
Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Koperasi ini mengelola semua kegiatan
usaha yang ada di Kawasan HKm Seberang Bersatu meliputi kuliner, wisata,
pertanian serta perikanan.
Dalam Kawasan HKm, dikembangkan atraksi wisata berupa; Belitong
Mangrove Park (BMP) dengan dukungan dari Bappenas, KLKH, Terangi dan
ICCTF untuk membangun infrastruktur dasar di BMP berupa jalur pejalan kaki.
bantuan bibit mangrove dan program peningkatan SDM. BMP menawarkan
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
70
aktifitas pada wisatawan seperti susur mangrove dengan jalan kaki, susur sungai
dengan sampan, sewa sepeda, sunset view, penanaman bibit mangrove, kuliner
Makan Bedulang, pengamatan burung, menangkap kerang bamboo (Ngijing),
sylvofishery (memancing ikan di tambak). Area lain di kawasan HKm juga
digunakan untuk bumi perkemahan dan kebun buah.
Sebagai Geosite Juru sebrang mengusung nilai keunikan geologi berupa
lahan bekas tambang timah alluvial, nilai keanekaragaman hayati pada ekosistem
mangrove dan budaya di mana Desa Juru Sebrang merupakan tempat pemukiman
Suku Sawang.
2.
Geosite Bukit Peramun
Geosite Bukit Peramun berlokasi di Desa Air Selumar, Kecamatan Sijuk,
Kabupaten Belitung dengan mana komunitas pengelola ARSEL Community
(Komunitas ARSEL). ARSEL Comunnity berdiri 28 Oktober 2008. Dengan
semangat menjaga hutan dari tindakan pengrusakan seperti illegal logging dan
keinginan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat, kelompok
masyarakat yang diketuai oleh Adie Dermawan ini kemudian mengusulkan
kawasan hutan Bukit Peramun menjadi Hutan Kemasyarakatan. Pada tahun 2013
mereka memiliki izin sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Berselang empat
tahun setelahnya, ARSEL mengembangkan Taman Kehati seluas 16.25 di kawasan
Bukit Peramun.
Selama satu dekade, Kelompok Masyarakat ARSEL Community telah
berkembang dengan tiga unit kerja yakni HKm ARSEL Community, Lembaga
Pelatihan dan Pemagangan Usaha Kehutanan Swadaya (LP2UKS), Kerajinan Buah
Bulin. ARSEL Community mengawarkan jasa wisata 6 (enam) hari dalam sepekan.
Wisatawan bisa memilih program layanan yang tersedia diantaranya paket wisata
edukasi, lintas alam tempat berkemah untuk pelajar, paket makan bedulang,
Belitong Tarsius watching. Selain itu terdapat jasa lingkungan yang bekerja sama
dengan beberapa perusahaan dalam program penanaman pohon. Melalui jasa
wisata, produk ekonomi kreatif dan jasa lingkungan.
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
71
3.
Geosite Openpit Nam Salu
Geosite Open Pit Nam Salu dikelola oleh organisasi kemasyarakatan
(Ormas) bernama Badan Pengelola Open Pit Nam Salu (BAPOPNAS) didirikan
pada tahun 2018. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat di bidang pariwisata, meningkatkan sumber daya manusia, mendorong
terwujudnya Sapta Pesona, meningkatkan mutu produk wisata atau daya tarik
wisata dalam rangka meningkatkan daya saing. Struktur organisasi BAPOPNAS
memiliki 20 orang pengurus ini diketuai oleh Yusyarnubi dan dibimbing oleh Tino
Christian dan Trisna Hardi sebagai penasehat senior. BAPOPNAS dalam
menjalankan kegiatannya, sering kali melibatkan kelompok PKK dan Pemerintah
Desa Senyubok. Penamaan Geosite Open Pit Nam Salu merujuk pada kawasan ekstambang terbuka (Open Pit) dan Nam Salu berarti urat selatan, sebagaimana
penambang Hakka menamai area tersebut ketika bekerja sebagai buruh tambang
untuk Kolonial Belanda.
Berdasarkan literatur Pusat Survei Geologi, kawasan Open Pit memiliki
warisan geologi yang erat kaitannya dengan budaya dan sejarah penambangan
Timah di Belitung diantaranya terdapat singkapan batuan formasi Kelapa Kampit
pada tambang terbuka sedalam lebih dari 50 meter. Tampak bagaimana formasi
bebatuan tertua di Pulau Belitung ini terbentuk dengan aneka ragam lipatan yang
menjadi fenomena geologi. Selain itu terdapat juga tambang dalam timah
(underground tin mining) tertua di Indonesia yang dibangun oleh Kolonial Belanda
pada terowongan Fuk Salu yang kemudian pembangunan terowongan itu diteruskan
oleh BHP untuk operasi tambang dalam dan drainase di Open Pit. Kawasan yang
terletak di Bukit Kik Karak ini juga menyimpan kekayaan biodeverstias diantaranya
Pohon Seruk, Pasak Bumi, Kantong Semar, berbagai jenis paku-pakuan dan lain
sebagainya.
Dengan mengusung konsep Container Park, tersedia bangunan kontainer
untuk sekretariat, toilet, mushala. Selain itu terdapat amenitas seperti gerbang,
panel informasi, rambu peringatan dan penunjuk arah serta jalan tanah merah dan
kawasan parkir. BAPOPNAS juga menawarkan berbagai program seperti jasa
wisata, magang dan konservasi lahan bekas tambang. Semenjak 2018 sudah ratusan
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
72
wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung di mana wisatawan
mancanegara didominasi oleh pelancong dari Negeri Jiran.
4.
Geosite Tebat Rasau
Komunitas Lanun Tebat Rasau merupakan Komunitas Pengelola Geosite
Tebat Rasau, dibentuk pada awal 2018 dengan semangat untuk menjaga kelestarian
Rawa Tebat Rasau dan Sungai Lenggang dimana masyarakat lokal sehari-hari
bergantung pada sumber daya alam air tawar yang ada di Sungai Lenggang dan
hutan kerangas di sekitarnya, kemudian pada tahun 2019 kelembagaannya menjadi
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Lanun Tebat Rasau yang diketuai oleh Nasidi
dengan jumlah pengurus kurang lebih 20 orang.
Ekosistem air tawar dan hutan di Tebat Rasau, selain memiliki peranan
penting bagi masyarakat, juga bisa menjadi laboraturium alam. Dari turun temurun
masyarakat lokal telah memiliki pengetahuan memanfaatkan mengelola SDA di
sana seperti cara menangkap ikan dan menggunakan tumbuhan sebagai rempah.
Konsep Geopark kemuidian membantu menambah referensi ilmiah bahwa Sungai
Lenggang menjadi habitat spesies primitif Asian Arowana (Scleropages formosus)
yang memiliki nenek moyang ikan purba mengindikasikan jejak sungai purba pada
sungai lenggang. Asian Arowana termasuk dalam spesies yang terancam punah dan
masuk dalam IUCN Red List.
Nama Rasau sendiri diambil dari jenis tumbuhan pandan yang tumbuh pada
rawa dan sungai. Selain itu, ekosistem hutan kerangas di sekitarnya juga
menyimpan keunikan flora dan potensi obat herbal. Warisan geologi dan
keanekaragaman hayati tersebut membantuk budaya masyarakat setempat yang
tampak dari cara menangkap dan mengelola sumber daya alam di kawasan Tebat
Rasau.
Lanun menawarkan jasa wisata dengan suguhan utama adalah wisata
edukasi dan gastronomy. Wisatawan bisa bertamasya sekaligus menambah
pengetahuan geologi, biodiversity dan kearifan lokal. Menu makan bedulang,
minuman rempah teh sepang, teh pelawan dan kopi tanggar menjadi suguhan yang
sangat menarik. Selain aktifitas tur, di Tebat Rasau juga diselenggarakan Sekolah
Alam yang bertujuan mengenalkan anak-anak di sekitar tentang kekayaan alam
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
73
agar menjaga alam Tebat Rasau terus berlangsung dari generasi ke generasi.
Adapaun ringkasan profil umum Geosite yang menjadi lokasi penelitian dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut;
B.
Cara komunitas membuat perencanaan untuk pengembangan Geosite.
1.
Bentuk kegiatan atau forum yang digunakan.
Komunitas pengelola Geosite menggunakan media pertemuan, diskusi,
kumpul, atau rapat. sebagai cara atau sarana dalam proses menyusun perencanaan
suatu kegiatan. Sebagian besar pertemuan sudah dilaksanakan secara terjadwal,
namun demikian masih terdapat pertemuan atau rapat yang belum terstruktur
dengan baik, hal ini ditandai dengan ditemui fakta bahwa beberapa pertemuan
masih bersifat spontan, kehadiran peserta rapat hanya orang-orang tertentu saja, dan
sangat jarang membuat agenda rapat yang fokus terhadap kegiatan yang akan
dilaksanakan. Komunitas Geosite yang kelembagaannya berbentuk Hutan
Kemasyarakatan tampaknya lebih teratur dalam hal pelaksanaan pertemuan
mengingat terdapat laporan kegiatan yang harus dilaporkan setiap akhir tahun
(bulan Desember).
2.
Cara pengambilan keputusan sebagai suatu kesepakatan bersama.
Komunitas memiliki dua cara dalam menuangkan hasil kesepakatan bersama
yaitu, secara “lisan” dan secara “tertulis”. Cara tertulis dilakukan dengan cara
menuangkan seluruh hasil kesepakatan dalam bentuk berita acara, ataupun berupa
notulen rapat yang disahkan dan ditandatangani oleh pimpinan rapat sedangkan
cara lisan dilakukan dengan penyampaian hasil secara verbal dengan beberapa kata
atau kalimat oleh pimpinan rapat yang disetujui oleh peserta rapat. Fakta lapangan
menunjukan bahwa sebagian besar keputusan rapat dituangkan secara lisan.
3.
Kriteria dokumen perencanaan yang dianggap sah dan mengikat seluruh
anggota.
Diketahui bahwa jumlah komunitas yang menggunakan dokumen dengan
kriteria tidak akuntabel lebih banyak sedikit dibandingkan yang menggunakan
kriteria yang akuntabel dari total kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh komunitas. Kategori yang akuntabel memiliki ciri, pertama; keputusan
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
74
disampaikan dalam forum rapat, kedua; jika mayoritas peserta rapat setuju dan
ketiga; mendapat pengesahan secara tertulis dari ketua komunitas, sedangkan
kategori yang tidak akuntabel ditandai dengan, pertama; keputusan tidak perlu
dituangkan dalam dokumen tertulis sepanjang diakui merupakan hasil kesepakatan
bersama dalam rapat, kedua; keterwakilan jumlah peserta rapat tidak penting
sepanjang pembahasan dilakukan oleh yang ahli atau menguasai permasalahan
yang dibahas.
4.
Keterlibatan masing-masing anggota komunitas.
Wujud keterlibatan anggota komunitas dalam penyusunan perencanaan
pengembangan Geosite dilakukan tidak sepenuhnya mengikuti pembagian tugas
yang tergambar dalam struktur organisasi. Ditemukan fakta bahwa sebagian besar
keterlibatan anggota mulai dari mengusulkan ide atau gagasan sampai
melaksanakan ide dan gagasan dimaksud tidak lagi merujuk pada tugas pokok dan
fungsinya dalam struktur organisai, Siapapun berhak mengusulkan ide yang
langsung dibahas dalam rapat anggota. Bahkan ditemukan bentuk partisipasi diluar
struktur organisasi yang sudah disepakati. Oleh karena itu peneliti membagi bentuk
partisipasi anggota dalam menyusun perencanaan kedalam dua model yaitu, model
“struktural” dan model “fungsional”.
Model struktural dalam
hal ini
mengakomodasi gagasan dan partisipasi anggota mengikuti tugas pokok dan
fungsinya (tupoksi) dalam struktur organisai meskipun dalam beberapa hal masih
diberi peluang untuk mengusulkan hal atau ide lain diluar tupoksinya namun
tanggungjawab utamanya tetap sesuai tupoksinya, sedangkan model fungsional
adalah kebalikannya. Fakta lapangan menunjukan bahwa model fungsional lebih
dominan dalam praktek penyaluran partisipasi anggota dalam perencanaan
pengembangan Geosite.
5.
Cara menemukan ide, gagasan, usulan yang disampaikan.
Komunitas memiliki keunikan dalam hal sumber ide dan gagasan dalam
perencanan pengembangan Geosite. Penelitian ini menemukan dua kategori sumber
ide atau gagasan yaitu, ide yang bersumber dari “Faktor Internal” dan ide yang
bersumber dari “Faktor Eksternal”. Faktor internal didefinisikan sebagai ide yang
muncul dari pengetahuan sebagai akibat proses interaksi atau kegiatan anggota
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
75
komunitas dilapangan tanpa ada campurtangan dari luar kegiatan komunitas.
Sedangkan Faktor Eksternal didefinisikan sebagai ide yang muncul berdasarkan
pengetahuan yang didapat dari luar kegiatan atau interaksi antar sesama anggota
komunitas diluar Gesoite yang bersangkutan. Penelitian ini menemukan bahwa
sebagian besar ide atau gagasan komunitas bersumber dari luar komunitas (Faktor
Eksternal).
6.
Dasar pertimbangan menerima atau menolak sebuah ide, usulan dan
gagasan.
Dasar pertimbangan komunitas dalam menerima atau menolak sebuah ide,
gagasan atau rencana kegiatan dibagi dalam dua kategori yaitu, yang berdasarkan
alasan Rasional dan berdasarkan alasan yang tidak rasional (Irasional).
Pertimbangan rasional didasarkan pada pengukuran kemampuan anggota
komunitas baik dari segi pengetahuan, kekuatan jumlah anggota, maupun
pengalaman terhadap ide yang ingin dilaksanakan, termasuk dalam hal ini
pertimbangan kemampuan keuangan atau modal yang dimiliki. Pertimbangan
Tidak Rasional biasanya berdasarkan pada hal-hal yang “diluar logika” namun
sangat diyakini kebenarannya oleh sebagian besar anggota komunitas misalkan,
berdasarkan masukan dari penasehat spiritual, tetua adat setempat, atau berdasarkan
cerita mistis yang dipercaya oleh masyarakat sekitar.
7.
Pembagian tugas khusus dan spesifik dalam penyusunan perencanaan.
Pembagian tugas secara khusus dan spesifik terhadap anggota dalam
penyusunan perencanaan belum sepenuhnya dilaksanakan. Dalam hal ini masih
ditemukan penyusunan perencanaan komunitas yang belum terorganisir dengan
baik hal ini ditandai dengan adanya praktek memberi tugas kepada anggota yang
sekedar bersedia dan menyangupi mengerjakan sesuatu saja, meski penunjukan
yang bersangkutan tetap diputuskan dalam rapat atau pertemuan. Dalam kasus yang
lain bahkan tidak ada pembagian tugas sama sekali, masing-masing anggota ikut
mengerjakan secara gotong royong atau memiliki tugas dan tanggung jawab yang
sama mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan kegiatan dilapangan.
Namun demikian sebagian besar komunitas masih mampu melaksanakan kegiatan
perencanaan dengan lebih baik atau lebih terorganisir, yang ditandai dengan sudah
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
76
adanya pembagian tugas mengikuti struktur atau tupoksi yang ada serta pebagian
tugas yang mendasarkan kepada keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh
anggota yang bersangkutan.
8.
Mekanisme penyelesaian konflik jika terdapat perbedaan pendapat.
Saat terjadi konflik yang dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antar
anggota komunitas sebagian besar diselesaiakan secara kekeluargaan. Dalam hal ini
sangat jarang ditemui penyelesaian konflik melalui mekanisme organisasi yang
dalam kasus ini berpeluang terjadi pada komunitas yang bersatus sebagai HKm,
dimana telah diatur hak dan kewajiban anggota serta persyaratan sebagai anggota,
hal ini tidak berlaku untuk komunitas yang sejarah terbentuknya sejak awal
memang berdasar semangat kesamaan visi terhadap persoalan yang dihadapi oleh
komunitas. Berdasarkan fakta yang ditemui di lapangan terdapat fakta bahwa
sebagian besar cara penyelesaian konflik dilakukan dengan mekanisme
kekeluargaan.
9.
Keterlibatan pihak lain diluar anggota komunitas.
Keterlibatan pihak diluar anggota komunitas memiliki pengaruh besar
terhadap proses perencanaan pengembangan Geosite. Berdasarkan fakta lapangan
diketahui bahwa sebagian besar perencanaan dipengaruhi oleh pihak luar yang
dalam hal ini terdiri dari ; 1) masyarakat/pemuda disekitar lokasi Geosite yang
tertarik dengan kegiatan komunitas, 2) Tokoh masyarakat setempat atau tetua adat,
3) Pelaku wisata yang berkunjung (TA/TO) 4) Komunitas pecinta alam, 5)
Perusahaan atau Badan Usaha sekitar lokasi Geosite (se Pulau Belitung), 6) Instansi
Pemerintah Daerah dan Provinsi (termasuk penyuluh dan pendamping HKM), 7)
Komunitas HKM lain baik dari dalam maupun luar Pulau Belitung. Pengaruh pihak
diluar komunitas dimaksud berpengaruh sangat signifikan terhadap proses
perencanaan pengembangan Geosite yang dilakukan oleh Komunitas, meskipun
dalam praktek mereka tidak secara langsung ikut campur dalam perencanaan
ataupun usulan kegiatan yang akan dilakukan oleh komunitas, namun kehadiran
mereka banyak memberikan pengetahuan baru kepada anggota komunitas yang
sebagian besarnya memang memiliki lingkup pergaulan yang sangat terbatas
terhadap lingkungan diluar lokasi Geosite atau tempat tinggal mereka.
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
77
C.
Bentuk keterlibatan komunitas dalam membuat perencanaan untuk
pengembangan Geosite.
1.
Cara menyampaikan ide, gagasan dan usulan.
Cara yang dilakukan oleh anggota komunitas dalam menyampaikan ide,
gagasan, atau usulan perencanaan untuk pengembangan Geosite umumnya
disampaikan secara lisan, namun demikian forum yang digunakan ada yang
disampaikan dalan forum rapat atau pertemuan yang memang khusus direncanakan
untuk membahas kegiatan yang akan dilaksanakan dan ada juga cara lain yaitu
secara spontan dalam obrolan santai ataupun diskusi dengan sesama anggota
komunitas yang secara kebetulan memang memiliki kebiasaan berkumpul setiap
ada kesempatan atau mengisi waktu senggang. Sehingga ditemukan dua pola atau
bentuk penyampaian ide atau gagasan dalam hal ini yaitu pola yang “terorganisir”
dan pola yang “tidak terorganisir”. Pola terorganisir ditandai dengan adanya
penjadwalan pertemuan atau rapat yang memang khusus untuk membicarakan
tentang rencana kegiatan kedepan, baik rencana kerja mingguan, bulanan maupun
tahunan, bahkan seluruh hasil pembahasan dituangkan secara tertulis dalam bentuk
berita acara maupun notulen rapat yang disahkan oleh ketua komunitas atau
pimpinan rapat. Sedangkan pola yang tidak terorganisir adalah sebaliknya. Dalam
penelitian ini ditemukan fakta bahwa sebagian besar penyampaian ide atau gagasan
oleh komunitas sudah teroganisir dengan baik.
2.
Sikap jika usulan, ide, gagasan yang diajukan diabaikan atau tidak
diakomodir.
Dalam hal ide atau gagasan yang diusulkan ternyata tidak diakomodir dalam
keputusan rapat atau ditolak, sebagian besar anggota komunitas tidak
mempermasalahkannya, dalam hal ini seluruh anggota menyikapi dengan sikap
positif dalam artian tidak menunjukan sikap kecewa atau protes secara berlebihan.
Namun demikian beberapa anggota komunitas tetap meminta penjelasan atau
alasan penolakan atas usulannya tersebut. Sebagiannya lagi mengambil sikap
menerima keputusan Bersama tanpa mengajukan keberatan sama sekali dan
cenderung diam atau pasrah. Berdasarkan interview yang dilakukan didapati fakta
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
78
bahwa seluruh anggota komunitas memberikan respons secara positif atas
penolakan terhadap ide yang disampaikan. Penelitian juga menemukan beberapa
hal yang menjadi alasan penolakan terhadap ide yang disampaikan yaitu, lebih
banyak disebabkan atas pertimbangan kemampuan sumberdaya yang dimiliki baik
sumberdaya anggota maupun sumberdaya keuangan yang dimiliki.
3.
Keterlibatan dan partisipasi anggota dalam setiap tahapan sampai
ditetapkan.
Partisipasi dan keterlibatan anggota komunitas dalam proses perencanaan
merupakan partisipasi yang tinggi. Hal ini ditunjukan dengan bukti bahwa seluruh
anggota memiliki komitmen yang kuat terhadap usulan yang telah disepakati dalam
pertemuan atau rapat, artinya seluruhnya berupaya terlibat sejak proses awal sampai
selesainya kegiatan yang telah ditetapkan tersebut. Sangat jarang ditemui kasus
adanya anggota yang secara sengaja tidak mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang sudah direncanakan Bersama. Seluruh tahapan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai evaluasi atas kegiatan selalu diikuti oleh sebagian besar
anggota komunitas sesuai kapasitas masing-masing.
4.
Cara melakukan evaluasi terhadap perencanaan.
Komunitas memiliki cara masing-masing dalam melakukan evaluasi
terhadap perencanaan yang sedang, telah dan akan dilaksanakan. Peneliti membagi
dua kategori dalam evaluasi terhadap perencanaan yang telah ditetapkan, yaitu
“Evaluasi Terstruktur” dan “Evaluasi Tidak Terstruktur”. Sebagian komunitas
sudah melaksanakan mekanisme evaluasi sebagai mana seharusnya hal ini ditandai
dengan ditemuinya fakta bahwa, 1) Komunitas memiliki agenda rutin yang secara
teratur digelar komunitas untuk melakukan evaluasi terhadap perencanaan yang
telah ditetapkan, 2) Beberapa kasus evaluasi telah dilakukan secara serius bahkan
sampai pada tingkat penghentian kegiatan dan penggantian petugas pelaksana 3)
Beberapa komunitas Geosite bahkan memiliki instrumen yang akan digunakan
untuk melakukan evaluasi karena sebagian besar hasil rapat telah dibuat dalam
bentuk tertulis, 4) Beberapa kasus yang terjadi menggambarkan setiap terjadi
kesalahan dalam pelaksanaan yang mengakibatkan target tidak tercapai, maka yang
diganti adalah orang atau pelaksananya sementara target tetap tidak diubah, 5)
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
79
Seluruh anggota memiliki kewajiban yang sama dalam hal kontrol dan pengawasan,
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan
dilapangan.
5.
Jika pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan perencanaan.
Dalam hal ditemui keadaan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan
rencana, sebagian besar anggota komunitas mampu menyikapi dengan baik,
sehingga dapat dikategorikan sebagai sikap atau tindakan yang “Responsif”
(bertanggungjawab). Hal ini ditandai dengan tindakan-tindakan antisipasi yang
dilakukan antara lain; 1) Langsung berupaya mengatasi atau berupaya mencari
solusi terhadap kesalahan yang terjadi dilapangan tanpa menimbulkan konflik, 2)
selalu berkoordinasi kepada ketua komunitas atau anggota yang lain sebelum
mengambil tindakan lapangan, 3) berupaya melakukan konfirmasi dan memastikan
dengan memeriksa dokumen perencanaan yang ada, 4) Mengadakan monitoring
pelaksanaan kegiatan dilapangan secara bersama-sama secara terus menerus
meskipun tidak ada penunjukan secara khusus.
D.
Kualitas pemahaman komunitas tentang Geopark dan peran Geosite
yang dimiliki.
1.
Bagaimana, kapan dan apa yang diketahui tetang Geopark.
Masing-masing anggota komunitas memiliki sumber informasi dan
kedalaman pengetahuan tentang Geopark berbeda satu dengan yang lain. Namun
peneliti membagi dua kategori sumber informasi atau pengetahuan tentang
Geopark, yaitu “sumber resmi” dan “bukan sumber resmi”. Sumber resmi adalah
informasi atau pengetahuan yang berasal dari pihak-pihak yang secara individu
maupun kelembagaan resmi termasuk dalam pengelolaan Geopark Belitong,
misalkan Badan Pegelola Geopark Belitong, termasuk dalam hal ini sumber
informasi yang berasal dari instansi pemerintah yang benar-benar terlibat dalam
pengelolaan Geopark, misalkan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional,
Kementrian Pariwisata, Kementrian ESDM, Kemendikbud,
Badan Geologi,
Kemenkomarves) atau lembaga lain yang memiliki mandat dan tugas untuk
pengelolaan Geopark baik secara Lokal, Nasional maupun Global (UNESCO
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
80
Global Geopark, GGN, KNGI, JGI, dst). Sedangkan sumber bukan resmi
merupakan pihak-pihak yang secara individu maupun kelembagaan tidak memiliki
tugas dan wewenang dalam penggelolaan dan pengembangan Geopark Belitong.
Berdasarkan fakta lapangan diketahui bahwa sebagian besar anggota komunitas
memperoleh pengetahuan dari sumber informasi resmi tentang Geopark, sedangkan
sisanya memperoleh informasi bukan berasal dari sumber resmi, dalam hal ini
informasi diperoleh dari individu atau Lembaga yang mengatasnamakan penggiat
Geopark Belitong, walaupun dalam kenyataannya tidak demikian.
2.
Pengetahuan tentang warisan geologi, biologi, budaya yang ada di Geosite.
Pengetahuan anggota komunitas tentang warisan Geologi, Biologi, Budaya
yang dimiliki di Geosite masing-masing, masih cukup beragam, namun peneliti
membaginya dalam dua kategori pertama; “cukup memahami”, kedua “kurang
memahami”. Berdasarkan fakta yang didapat diketahui bahwa sebagian anggota
komunitas kurang memahami tentang warisan Geologi, Biologi dan Budaya yang
dimilikinya, kemudian sisanya dinilai cukup memahami tentang warisan Geologi,
Biologi dan Budaya yang dimiliki di Geosite yang bersangkutan. Pengetahuan ini
jika ditelusuri lebih dalam sebagian besar dipengaruhi oleh faktor posisi atau
kedudukan yang bersangkutan dalam komunitas, dalam hal ini hampir seluruh ketua
dan pengurus senior memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang Geopark
serta manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya bahkan untuk masyarakat secara luas.
3.
Perubahan atau dampak yang dirasakan saat sebelum dan setelah
ditetapkan sebagai Geosite.
Hampir seluruh anggota komunitas mengakui bahwa telah terjadi perubahan
yang sangat signifikan saat sebelum dan setelah lokasi mereka ditetapkan sebagai
Geosite. Perubahan yang disampaikan misalnya terkait banyaknya infrastruktur
penunjang baik berupa, jalan, WC, tempat sampah, sign board, listrik, mushola, dan
lain sebagainya. Selain itu semakin banyak kegiatan penelitian dan pengabdian
masyarakat dari berbagai kampus, serta semakin banyak kunjungan turis atau
wisatawan ke Geosite termasuk wisatawan lokal yang juga semakin antusias
berkunjung ke Geosite-Geosite.
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
81
4.
Pedoman atau rujukan yang digunakan untuk memandu seluruh kegiatan
pengelolaan Geosite.
Terkait dengan pedoman dan rujukan anggota komunitas dalam memandu
seluruh pengelolaan Geosite, yaitu pedoman untuk menentukan apa yang boleh dan
tidak terkait kegiatan pengelolaan Geosite, peneliti membaginya kedalam dua
kategori yaitu pedoman atau rujukan “resmi” dan “Pedoman Adat setempat”.
Dalam hal ini sebagian besar anggota komunitas menggunakan infromasi resmi
sebagai pedoman atau rujukan dalam pengelolaan Geosite, baik berupa SOP, Peta
Kawasan, Peraturan Kementrian terkait, Struktur Organisasi, dan lain sebagainya.
Sedangkan sisanya masih mengandalkan aturan dan kebiasaan adat setempat
sebagai pedoman acuan dalam melaksanakan kegiatan pengembangan Geosite.
5.
Dokumen perencanaan dengan tingkatan yang lebih tinggi sebagai acuan
dalam menyusun perencanaan.
Sebagian besar anggota komunitas tidak mengetahui tentang dokumen
perencanaan dengan tingkatan yang lebih tinggi yang dijadikan acuan yang harus
diikuti dalam menyusun perencanaan pengembangan Geosite. Fakta menunjukan
bahwa lebih dari separuh anggota komunitas menyatakan belum mengetahui atau
menyatakan tidak ada acuan dimaksud, mereka selama ini mengacu kepada
peraturan Pemerintah yang bersifat umum, namun tidak terkait langsung dengan
pengelolaan Geositenya, misalkan peraturan tindak pidana, perdata, dan lain
sebagainya. Sedangkan sisanya sebesar 44.44% mengaku mengetahui jika ada
pedoman yang menjadi rujukan dalam menyusun perencanaan yang harus diikuti
sebagai acuan yang lebih tinggi baik itu berupa Peraturan Menteri (misalkan
Permen Kehutanan nomor 83 tahun 2016 untuk acuan HKm) serta berdasarkan
Masterplan yang telah ditetapkan.
6.
Ketentuan atau peraturan yang mengikat dan harus dipatuhi dalam
pengembangan Geosite.
Terdapat beberapa jenis aturan dan ketentuan yang menjadi acuan
komunitas yang terdiri dari : 1) aturan adat setempat, 2) aturan Umum Pemerintah,
3) AD/ART organisasi, 4) Standar Operasional dan Prosedur (SOP), 5) Peraturan
Menteri/Pemerintah. Namun secara garis bersar dapat dikelompokan menjadi dua
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
82
kategori yaitu aturan yang bersifat “formal” dan aturan “Non formal”. Dalam hal
ini sebagian besar anggota komunitas mengacu kepada aturan formal dalam
menjalankan kegiatannya dan sisanya lebih mengacu kepada aturan yang bersifat
non formal.
7.
Pengetahuan tentang peran Geosite yang dikelola dalam pengembangan
Geopark.
Sebagian besar anggota komunitas memahami tentang peran penting
Geosite yang mereka miliki terhadap pengembangan Geopark Belitong secara
keseluruhan. Sehingga dalam hal ini peneliti membagi kedalam dua kategori yaitu,
anggota komunitas yang “sangat memahami” dan yang “kurang memahami”. Fakta
menunjukan bahwa sebagian besar anggota komunitas sangat memahami tentang
peran penting Geosite mereka.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum
komunitas pengelola Geopark memiliki kemampuan dalam menyusun dan
merumuskan
perencanaan
untuk
pengembangan
Geosite
dalam
rangka
pengembangan Geopark Belitong, sehingga layak untuk dijadikan partner dalam
penyusunan perencanaan pengembangan Geopark dengan asumsi capaian nilai
total berdasar analisis skala pembobotan sebesar 73,21% (tujuh puluh tiga koma
dua puluh satu persen). Penjelasan atas kesimpulan tersebut dapat diuraikan lebih
lanjut menggunakan tabel analisa skala pembobotan (Weighted Scale Analysis),
sebagaimana tabel berikut;
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
83
Tabel. 1.
Analisis Skala Pembobotan (Weighted Scale Analysis) terhadap
Cara Penyusunan Perencanaan, Bentuk Partisipasi Perencanaan dan
Pengetahuan tentang Geopark
Bobot
Angka
Kategori
MP
MN
MP
MN
Kesimp
ulan
Makna
Tidak
Terstruktur
14
2
87,50
12,50
Positif
Lisan
2
6
25,00
75,00
Negatif
Tidak
Akuntabel
7
8
46,67
53,33
Negatif
Struktural
13
3
81,25
18,75
Positif
Internal
10
6
62,50
37,50
Positif
Tidak
Rasional
12
3
80,00
20,00
Positif
Belum
Terorganisir
10
6
62,50
37,50
Positif
Organisasi
13
3
81,25
18,75
Positif
Tidak Ada
11
3
78,57
21,43
Positif
Jumlah A = 92
40
Bentuk-bentuk partisipasi komunitas dalam penyusunan perencanaan
Cara menyampaikan ide,
Terorganisir
Tidak
9
3
gagasan, usulan dalam
Terorganisir
perencanaan
Sikap jika usulan, ide, gagasan
Sikap
Sikap
16
0
yang diajukan diabaikan atau
Positif
Negatif
tidak diakomodir
dalam proses perencanaan
Keterlibatan dan partisipasi
Partisipasi
Partisipasi
16
0
dalam setiap tahapan
Tinggi
Rendah
perencanaan sampai ditetapkan
69,70
30,30
Positif
75,00
25,00
Positif
100
0,00
Positif
100
0,00
Positif
Definisi Operasional Konsep
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
B
1
2
3
Persentase
Makna
Positif
(MP)
Cara komunitas menyusun perencanaan
Bentuk kegiatan atau forum
Terstruktur
yang digunakan dalam proses
penyusunan perencanaan
Cara pengambilan keputusan
Tertulis
sebagai suatu kesepakatan
bersama dalam menyusun
perencanaan
Kriteria dokumen perencanaan
Akuntabel
yang dianggap sah dan
mengikat seluruhanggota
atau kegiatan organisasi
Keterlibatan masing-masing
Fungsional
anggota komunitas dalam
penyusunan
dokumen perencanaan
Cara menemukan ide, gagasan,
Eksternal
usulan yang disampaikan
dalam tahapan perencanaan
Dasar pertimbangan untuk
Rasional
menerima, mempertimbangkan
dan menolak sebuah
ide, usulan, gagasan
Pembagian tugas khusus dan
Terorganisir
spesifik dalam penyusunan
perencanaan
Kekeluargaan
Mekanisme penyelesaian
konflik jika terdapat perbedaan
pendapat
Keterlibatan pihak lain diluar
Signifikan
anggota komunitas dalam
proses
penyusunan perencanaan
Makna
Negatif
(MN)
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
84
4
5
Cara melakukan evaluasi
terhadap perencanaan yang
akan, sedang dan
akan dilaksanakan
Apa yang dilakukan jika
ditemui suatu pelaksanaan
kegiatan yang tidak
sesuai dengan perencanaan
yang telah disepakati
Jumlah B = 60
13
Pengetahuan komunitas tentang Geopark dan peran Geosite yang dimiliki
Bagaimana, kapan dan apa yang
Sumber
Sumber
12
4
diketahui tetang Geopark
Resmi
Tidak Resmi
82,19
17,81
Positif
C
1
75,00
25,00
Positif
Pengetahuan tentang warisan
geologi/biologi/budaya yang
ada di Geosite
Perubahan atau dampak yang
dirasakan saat sebelum dan
setelah ditetapkan
sebagai Geosite
Pedoman atau rujukan yang
digunakan untuk memandu
seluruh kegiatan
pengelolaan Geosite
Dokumen perencanaan dengan
tingkatan yang lebih tinggi
sebagai acuan dalam
menyusun seluruh perencanaan
Ketentuan atau peraturan yang
mengikat dan harus dipatuhi
dalam
pengembangan Geosite
Pengetahuan tentang peran
Geosite yang dikelola dalam
pengembangan Geopark
2
3
4
5
6
7
Evaluasi
Terstruktur
Tidak
Terstruktur
8
6
57,14
42,86
Positif
Responsif
Reaktif
11
4
73,33
26,67
Positif
Cukup
Memahami
Kurang
Memahami
4
4
50,00
50,00
Positif
Perubahan
Positif
Tidak Ada
Perubahan
12
1
92,31
7,69
Positif
Pedoman
Resmi
Adat
Setempat
7
3
70,00
30,00
Positif
Ada Acuan
Khusus
Belum Ada
Acuan
4
5
44,44
55,56
Negatif
Formal
Non Formal
7
3
70,00
30,00
Positif
Sangat
Memahami
Kurang
Memahami
7
2
77,78
22,22
Positif
53
205
22
75
70,67
73,21
29,33
26,79
Positif
Positif
Jumlah C =
Jumlah A+B+C =
Untuk memperjelas hasil sekaligus menjawab tiga pertanyaan penelitian
maka dapat dijelaskan kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut;
a.
Cara komunitas menyusun perencanaan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa “cara komunitas menyusun
perencanaan” termasuk dalam kategori “baik” karena memperoleh nilai “positif”
sebesar 69,70% (enam puluh Sembilan koma tujuh puluh persen). Walaupun
demikian capaian tersebut belum cukup meyakinkan jika dibanding nilai maksimal
yang masih dapat dicapai (100%). Hal ini berarti tingkat kemampuan komunitas
dalam menyusun perencanaan, masih perlu ditingkatkan. Selain itu terdapat hal
yang perlu mendapat perhatian serius yaitu, masih terdapat nilai “negatif” terhadap
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
85
“cara pengambilan keputusan sebagai suatu kesepakatan bersama dalam menyusun
perencanaan”, dimana ditemui fakta sebanyak 75% (tujuh puluh lima persen) cara
pengambilan keputusan dalam rapat dilakukan secara “lisan” atau tidak dituangkan
secara tertulis baik dalam bentuk Notulen maupun Berita Acara Rapat. Hal ini tentu
sangat “menghawatirkan” mengingat resiko-resiko yang dapat ditimbulkan karena
kemampuan daya ingat yang terbatas atau berbeda antar anggota komunitas
sehingga sangat berpotensi menimbulkan konflik internal. Selain itu, sebagai
Geosite yang potensial untuk dikembangkan di masa mendatang, tentu akan
menghadapi situasi yang semakin kompleks terhadap kegiatan-kegiatan yang akan
dihadapi termasuk keterlibatan berbagai pihak diluar komunitas yang pastinya akan
sangat membutuhkan dukungan data atau dokumen tertulis khusnya terhadap
perencanaan pengembangan Geosite yang telah disusun komunitas sebagai bahan
pertimbangan untuk mengambil keputusan terhadap kerjasama-kerjasama yang
akan dilakukan. Walaupun seluruh keputusan lisan tersebut sejauh ini dimaknai
oleh anggota komunitas sebagai suatu keputusan yang sah dan mengikat seluruh
anggota.
Selain itu, masih terdapat penilaian “negatif” terhadap kriteria dokumen
perencanaan yang dianggap sah, dalam hal ini masih didominasi kategori “tidak
akuntabel” sebesar 53,33% (lima puluh tiga koma tiga puluh tiga persen) dibanding
kategori “akuntabel” yang hanya sebesar 46,67% (empat puluh enam koma enam
puluh tujuh persen). Dalam hal ini masih banyak anggota komunitas yang
beranggapan bahwa keputusan tidak perlu dituangkan dalam dokumen tertulis
sepanjang diakui merupakan hasil kesepakatan bersama dalam rapat anggota, selain
itu keterwakilan jumlah peserta rapat juga dianggap tidak terlalu penting sepanjang
pembahasan dilakukan oleh yang ahli atau menguasai permasalahan yang dibahas.
Dalam beberapa kasus sangat terlihat dominasi ketua komunitas atau beberapa
pengurus “senior” terhadap pengambilan keputusan. Alasan lain terjadinya hal
tersebut adalah untuk lebih mempercepat pengambilan keputusan serta karena rasa
saling percaya dan kekeluargaan yang sangat tinggi antar sesama anggota
komunitas sehingga cenderung tidak mempermasalahkan proses tersebut.
b.
Bentuk-bentuk partisipasi komunitas dalam penyusunan perencanaan
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
86
Dengan perolehan nilai akumulatif sebesar 82,19 % (delapan puluh dua
koma Sembilan belas persen) maka penilaian terhadap partisipasi komunitas dalam
penyusunan pererncanaan adalah “positif” sehingga dapat disimpulkan bahwa
tingkat partisipasi komunitas dalam penyusunan perencanaan sudah sangat
memadai dan meyakinkan. Hal ini disebabkan karena komunitas memiliki rasa
kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat tinggi sehingga cenderung memiliki
visi dan misi yang sama terhadap lingkungan maupun Geosite yang dikelolanya
selain itu sangat jarang terjadi konflik atau perselisihan antar anggota komunitas
terkait penyampaian ide dan gagasan dalam penyusunan perencanaan, hampir
seluruh anggota memiliki sikap yang “positif” dalam menghadapi setiap konflik
atau perselisihan yang terjadi, termasuk tingkat partisipasi atau kehadiran anggota
komunitas yang juga sangat tinggi. Meskipun demikian masih perlu ditingkatkan
lagi kualitas partisipasi dimaksud, dari “sekedar” aktif secara kuantitas atau
kehadiran dalam pertemuan, menjadi partisipasi yang lebih “berkualitas” yang
dalam hal ini secara substansi benar-benar memberikan kontribusi yang besar
terhadap gagasan pengembangan Geosite.
c.
Pengetahuan komunitas tentang Geopark dan peran Geosite yang dimiliki
Berdasarkan capaian nilai akumulatif sebesar 70,67% (tujuh puluh koma
enam puluh tujuh persen) maka dapat disimpulkan bahwa komunitas secara
mayoritas sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang “makna Geopark serta
peran Geositenya dalam pegembangan Geopark Belitong”, namun demikian masih
perlu ditingkatkan sampai ke level nilai yang lebih meyakinkan. Selain itu terdapat
definisi operasional konsep yang masih bernilai “negatif” yaitu, terhadap penilaian
“pengetahuan komunitas terhadap dokumen perencanaan dengan tingkatan yang
lebih tinggi sebagai acuan dalam menyusun perencanaan pengembangan Geosite”,
karena sebagian besar komunitas masih belum memahami tentang adanya dokumen
perencanaan berupa “masterplan”, maupun dokumen lain yang “seharusnya”
menjadi acuan komunitas dalam pengembangan Geositenya. Misalkan aturan
pemerintah terkait Geopark (Perpres Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan
Taman Bumi), Dossier Usulan Geoaprk Belitong untuk menjadi angggota UGGp,
Masterplan Geopark Belitong, maupun Rencana Aksi Nasional Geopark yang telah
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
87
dirumuskan. Dalam hal ini kurangnya pengetahuan terkait hal tersebut ditambah
belum adanya kesadaran bahwa Geosite sendiri merupakan bagian dari
perencanaan pengembangan Geopark Belitong bahkan bagian dari pengembangan
Geopark Nasional dan Global.
DAFTAR PUSTAKA
Anze Chen, Y. L. (2015). The Principles of Geotourism. Beijing: Science Press,
Beijing.
Badan Pengelola Geopark Belitong. (n.d.). Gesosite Map. Retrieved Maret 12,
2020, from belitonggeopark: https://belitonggeopark.net/map-2
Bihamding, H. (2019). Perencanaan Pembangunan Partisipatif Desa. Yogyakarta:
Deepublish Publisher.
GEA Institut Teknologi Bandung. (2017). Explore The Unexplored. Bandung:
Bidang Media Komunikasi dan InformaBidang Media Kominfo Hima
Teknik Geologi "GEA" Institut Teknologi Bandung.
Hiriansah, M. M. (2019). Metodologi Penelitian, Suatu Tinjauan Konsep dan
Konstruk. (Dema, Ed.) Pasuruan: Qiara Media Partner.
Komite Nasional Indonesia Untuk UNESCO. (n.d.). kniu.kemdikbud. Retrieved
februari 15, 2020, from UNESCO Global Geopark (UGG):
https://kniu.kemdikbud.go.id/?page_id=492
Marakas, G. M. (2003). Decision Support Systems in The 21 st Century Second
Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Samodra, H. (2012, Januari 29). Konsep Geopark. Retrieved Januari 26, 2020, from
rusnapermadi:
https://rusnapermadi.wordpress.com/2012/01/29/konsepgeopark/
Siyoto, S. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi Media
Publishing.
Sosiologis.com. (2018, Juni 22). Teknik Analisis Data Kualitatif: Contoh &
Prosesnya. Retrieved from sosiologis.
UNESCO Global Geopark. (2017). Earth Sciences. Retrieved from unesco.org:
http://www.unesco.org/new/en/natural-sciences/environment/earthsciences/unesco-global-geoparks/top-10-focus-areas/
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021
88
UNESCO Global Geoparks. (2017). Earth Science for Society. Retrieved Mei 15,
2020,
from
uneco.org:
http://www.unesco.org/new/en/naturalsciences/environment/earth-sciences/unesco-global-geoparks/frequentlyasked-questions/what-is-a-unesco-global-geopark/
Utarini, A. (2020). Tak Kenal Maka Tak Sayang: Penelitian Kualitatif dalam
Pelayanan Kesehatan. (Galih, Ed.) Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Widi, R. K. (2018). Menggelorakan Penelitian; Pengenalan dan Penuntun
Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta: Deepublish. Retrieved from
www.penerbitdeepublish.com
Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021