[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia

2013, Buku Referensi

Diskursus tentang partai politik Islam di Indonesia tak lekang ditelan zaman sejak negeri ini belum merdeka hingga sekarang. Bahkan perjuangan kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik Islam, begitu juga setelah kemerdekaan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim di dunia, komunitas Islam menjadi kekuatan tersendiri di Indonesia untuk meraih kursi kekuasaan dan menjadi pemimpin politik. Pada setiap pemilu, perolehan suara partai Islam selalu diperhitungkan oleh berbagai kalangan. Buku ini secara utuh mengulas tentang partai politik Islam dalam sejarah panggung politik Indonesia (sejak pra kemerdekaan hingga era Reformasi) yang ditinjau dari segi teori maupun prakteknya. Penulis mampu menghadirkan data akurat serta analisis yang tajam dan mendalam. Cocok menjadi bacaan bagi dosen, mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum yang konsen dengan kajian Islam dan politik serta dapat menjadi bahan evaluasi bagi para politisi maupun anggota legislatif terutama yang berasal dari partai Islam.

PARTAI POLITIK ISLAM Teori dan Praktik di Indonesia Oleh : Ridho Al-Hamdi Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta  2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail : info@grahailmu.co.id Al-Hamdi, Ridho PARTAI POLITIK ISLAM: Teori dan Praktik di Indonesia/Ridho Al-Hamdi - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 xviii + 164, 1 Jil. : 26 cm. ISBN: 978-602-262-049-5 1. Politik 2. Agama I. Judul BAB … KATA PENGANTAR Alhamdulillah pada akhirnya buku tentang studi partai politik Islam ini dapat disajikan di hadapan Anda. Secara garis besar, buku ini mengkaji tentang dinamika partai politik Islam yang terjadi di panggung politik Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan yang sudah mengalami tiga kali rezim, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Tentunya, peran dan tantangan di masing-masing rezim sangat berbeda yang menjadikan partai Islam harus tetap kuat dan mampu menyusun strategi politiknya. Secara lebih terperinci, buku ini mengulas tentang teori kepartaian Islam di Indonesia serta pergulatan partai-partai Islam pada pemilu 1955 hingga pemilu 2009. Selain itu, buku ini memaparkan juga tentang sistem kenegaraan dan pemerintahan Islam yang dapat dijadikan perbandingan bagi sistem pemerintahan di Indonesia yang multikultur dan multireligi. Dengan hadirnya buku ini, diharapkan dapat menambah khazanah studi tentang partai politik di Indonesia terutama studi tentang partai politik aliran (Islam). Sebagai negara yang jumlah penduduknya mayoritas Muslim, kajian tentang Islam dan politik memang tak akan pernah habis ditelan zaman. Justru, perdebatan itu semakin hangat di tengah berbagai kajian yang hadir di belantara akademik maupun seminar-semniar. Semoga buku yang ada di tangan Anda ini dapat memberikan secercah insight tentang partai politik Islam di Indonesia. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Chusnul Septina Ari yang sering penulis tinggal pergi ke mana-mana dan putri kami Queena Nabihasophie Al-Hamdi (usianya tepat 22 bulan atau 2 tahun kurang 2 bulan saat menulis kata pengantar ini). Begitu juga untuk keluarga kami yang ada di Lampung terutama untuk ibunda saya yang telah terlebih dahulu pergi menghadap yang Maha Kuasa di usianya yang ke-51 tahun di tengah penulis sedang menyelesaikan naskah ini (Semoga ibunda mendapatkan surga-Nya yang paling mulia). Ucapan terima kasih juga untuk rekan-rekan sesama tenaga pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY beserta karyawan yang telah banyak berdiskusi tentang banyak hal serta teman-teman di Muhammadiyah yang dalam berbagai kesempatan banyak berdiskusi tentang Islam, politik, demokrasi dan lain sebagainya. Tentunya, percikan-percikan kecil itu vi Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia menjadi salah satu inspirasi bagi selesainya buku ini. Tak lupa pula, ucapaan terima kasih penulis haturkan untuk Graha Ilmu yang telah bersedia menerbitkan dan menyebarluaskan kepada khalayak umum. Demikian apa yang bisa penulis haturkan. Tentunya kekurangan dan kelemahan masih banyak terdapat dalam buku ini. Masukan dan kritik konstruktif tetap ditunggu guna kesempurnaan buku ini. Salam. Pelemwulung Yogyakarta, 17 Januari 2013 Ridho Al-Hamdi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GRAFIK DAFTAR SINGKATAN BAB I HAKIKAT PARTAI POLITIK ISLAM A B. C. D. E. F. BAB II Islam dan Politik Asal-Usul Partai Islam Pengertian Partai Politik Islam Prinsip-prinsip Dasar Partai Islam Tujuan dan Fungsi Partai Islam Partai Islam dan Partai Lainnya: Perbedaan dan Kritik xiii xv 1 1 4 6 9 10 11 TIPOLOGI PARTAI POLITIK ISLAM 13 A B. C. D. 14 17 18 20 Metode Klasifikasi Partai Islam Tradisionalis Partai Islam Modernis Partai Islamis BAB III NEGARA DAN PEMERINTAHAN MENURUT ISLAM A B. C. D. Model Negara Menurut Islam Implementasi Negara Islam di Indonesia Karakteristik Pemimpin Negara Sistem Pemilihan Kepala Negara 25 26 31 38 42 viii Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB IV DINAMIKA PARTAI ISLAM PRA KEMERDEKAAN BAB V BAB VI BAB VII 45 A Sarekat Islam (1911-1942) B. Partai Muslimin Indonesia (1930-1936) C. Partai Islam Indonesia (1938-1941) 45 50 51 PARTAI ISLAM DAN PEMILU 1955 55 A B. C. D. E. 55 59 60 71 72 Platform Partai-partai Islam Sistem Pemilu 1955 Menakar Kekuatan Partai Islam Komposisi Menteri Partai Islam di Kabinet Situasi Pasca Pemilu 1955 PARTAI ISLAM DAN PEMILU-PEMILU ORDE BARU 75 A B. C. D. E. F. G. H. 76 79 80 81 84 85 86 88 Platform Partai-partai Islam Sistem Pemilu di Era Orde Baru Pemilu 1971: Kejayaan Partai NU Pemilu 1977: Intimidasi Terhadap Partai Islam Pemilu 1982: Konflik PPP dan Campur Tangan Pemerintah Pemilu 1987: Asas Tunggal dan Merosotnya Suara PPP Pemilu 1992: Harmonisasi Islam dan Pemerintah Pemilu 1997: Atraksi Mega-Bintang PARTAI ISLAM DAN PEMILU DI ERA REFORMASI A B. C. D. 93 Platform Partai-partai Islam Pemilu 1999: Kebangkitan Kembali Partai Islam Pemilu 2004: Munculnya Fenomena PKS Pemilu 2009: Partai Islam Semakin Turun? 96 107 117 121 BAB VIII PARTAI ISLAM LOKAL DAN DINAMIKANYA 133 BAB IX A Partai Islam Lokal di Indonesia B. Partai Islam Lokal di Aceh dalam Pemilu 2009 C. Urgensi Partai Lokal di Indonesia 133 136 139 PENUTUP 141 A Kesimpulan Umum B. Fakta tentang Partai Islam: Belajar dari Sejarah C. Menimbang Masa Depan Partai Islam 141 147 151 DAFTAR PUSTAKA 153 LAMPIRAN 159 -oo0oo- DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2. Tabel 3.1. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3. Tabel 5.4. Tabel 5.5. Tabel 5.6. Tabel 5.7. Tabel 5.8. Tabel 5.9. Tabel 5.10. Tabel 5.11. Tabel 5.12. Tabel 5.13. Tabel 5.14. Tabel 5.15. Tabel 5.16. Tabel 5.17. Tabel 5.18. Tabel 5.19. Tabel 5.20. Klasifikasi Umat Muslim di Indonesia Tipologi Partai-partai Islam di Indonesia Empat Alternatif Rumusan Dasar Negara yang Muncul dalam Sidang Tahunan MPR Perolehan Suara dan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 Perolehan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 Berdasarkan Dapil Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Timur Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Tengah Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Barat Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jakarta Raya Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Selatan Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Tengah Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Utara Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Barat Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Selatan Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Timur Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sulawesi Utara Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Maluku Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di NTT Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di NTB Prosentase Suara antara Partai Islam, Partai Non-Islam, dan Partai Kristen Perolehan Suara Dua Partai Utama Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Menteri-menteri dari Partai Islam dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (Periode 1956-1957) Hasi Pemilu 1955 16 23 34 61 63 64 64 65 65 65 66 66 66 67 67 67 68 68 68 69 69 70 72 x Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 6.6. Tabel 6.7. Tabel 6.8. Tabel 6.9. Tabel 6.10. Tabel 6.11. Tabel 6.12. Tabel 7.1. Tabel 7.2. Tabel 7.3. Tabel 7.4. Tabel 7.5. Tabel 7.6. Tabel 7.7. Tabel 7.8. Tabel 7.9. Tabel 7.10. Tabel 7.11. Tabel 7.12. Tabel 7.13. Tabel 7.14. Tabel 7.15. Tabel 7.16. Tabel 7.17. Tabel 7.18. Tabel 8.1. Tabel 8.2. Tabel 9.1. Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Perolehan Suara dan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1971 Hasil Perolehan Suara Pemilu 1977 Pergeseran Suara Per Provinsi pada Pemilu 1971 dan 1977 (%) Hasil Perolehan Suara Pemilu 1982 Hasil Perolehan Suara Pemilu 1987 Hasil Perolehan Suara Pemilu 1992 Perolehan Kursi PPP untuk DPR RI dari Pemilu 1982-1992 Hasil Perolehan Suara Pemilu 1997 Hasil Perolehan Suara Pemilu Selama Rezim Orde Baru Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam (PPP) Selama Pemilu Orde Baru Pembagian Kursi untuk DPR RI Tahun 1971-1997 Tingkat Partisipasi Pemilih dari Pemilu ke Pemilu Selama Orde Baru Nama-nama Partai Islam di Awal Era Reformasi 1998 Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 1999 Perolehan Suara Major Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) Perolehan Suara Medium-sizes Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) Perolehan Suara Small Group Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) Periode Oktober 1999-20 Agustus 2000 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) Periode 21 Agustus-23 Juni 2001 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Gotong Royong (2001-2004) Periode 9 Agustus 2001-Oktober 2004 Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 2004 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Periode 21 Oktober 2004-6 Desember 2005 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Perombakan Pertama Periode 7 Desember 2005-8 Mei 2007 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Perombakan Kedua Periode 9 Mei 2007-20 Oktober 2009 Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 2009 Perolehan Kursi Empat Partai Islam pada Pemilu 2009 (Per Provinsi) Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid II (2009-2014) Periode 21 Oktober 2009-17 Oktober 2011 Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid II (2009-2014) Periode 18 Oktober 2011-2014 Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Pemilu Selama Era Reformasi Prosentase Menteri-menteri dari Partai Islam Selama Era Reformasi Partai Lokal dalam Pemilu 1955 Perolehan kursi Partai-partai di DPRA pada Pemilu 2009 Sistem Pemilu di Indonesia dari Tahun ke Tahun 81 82 83 84 85 87 88 89 89 90 90 91 94 109 110 111 112 114 115 116 118 119 120 121 122 123 127 128 130 130 134 138 141 DAFTAR GRAFIK Grafik 7.1 Grafik 9.1. Perbandingan Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu Era Reformasi Perolehan Suara Partai Islam pada Pemilu-pemilu di Indonesia (%) -oo0oo- 125 145 xii Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia DAFTAR SINGKATAN AD ABRI AKUI AMII AMM BP KNIP BPUPKI BPS BTI Capres Cawapres Dapil Depdagri Depkeh DI/TII DIY DKI DPR DPRA DPRD DPRK FPI GAM GAPI GBHN GM Kiara Golkar Golput : Anggaran Dasar : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia : Aksi Kesatuan Umat Islam : Angkatan Muda Islam Indonesia : Angkatan Muda Muhammadiyah : Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat : Badan Pekerja Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia : Badan Pusat Statistik : Barisan Tani Indonesia : Calon Presiden : Calon Wakil Presiden : Daerah Pemilihan : Departemen Dalam Negeri : Departemen Kehakiman : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia : Daerah Istimewa Yogyakarta : Daerah Khusus Ibukota : Dewan Perwakilan Rakyat : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota : Front Pembela Islam : Gerakan Aceh Merdeka : Gabungan Politik Indonesia : Garis-garis Besar Haluan Negara : Generasi Muda Kiara : Golongan Karya : Golongan Putih xiv HAM HAMAS HMI HPMI ICMI IMM IPKI IPM IPNU IRM ISII JIL Jurkam KAMMI KIB KKN KPPNU KPPSI KPSI KPU KPUD LDK Lekra Lesbumi LIPI LPU LP3ES LSM MARA Masyumi Menag Mendagri Menko MI MIAI MLB MOU MPR MRI MUI Munas Murba NA NAD Nasakom Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia : Hak Asasi Manusia : Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah : Himpunan Mahasiswa Islam : Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia : Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia : Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah : Partai Ikatan Pendukung Kemerkdekaan Indonesia : Ikatan Pelajar Muhammadiyah : Ikatan Pelajar Nahdhatul ‘Ulama : Ikatan Remaja Muhammadiyah : Ikatan Sarjana Islam Indonesia : Jaringan Islam Liberal : Juru Kampanye : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia : Kabinet Indonesia Bersatu : Korupsi Kolusi Nepotisme : Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama : Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam : Komite Penegakan Syariat Islam : Komisi Pemilihan Umum : Komisi Pemilihan Umum Daerah : Lembaga Dakwah Kampus : Lembaga Kebudayaan Rakyat : Lembaga Seni Budaya Muslim : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : Lembaga Pemilihan Umum : Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial : Lembaga Swadaya Masyarakat : Majelis Amanat Rakyat : Majelis Syuro Muslimin Indonesia : Menteri Negera : Menteri Dalam Negeri : Menteri Koordinator : Muslimin Indonesia : Majelis Islam A’laa Indonesia : Muktamar Luar Biasa : Memorandum of Understanding : Majelis Permusyawaratan Rakyat : Majelis Rakyat Indonesia : Majelis Ulama Indonesia : Musyawarah Nasional : Musyawarah Rakyat Banyak : Nasyiatul ‘Aisyiyah : Nangroe Aceh Darussalam : Nasionalisme, Islam, dan Komunisme Daf t ar Singkat an NII NKRI NTB NTT NU Parkindo Parmusi PAN Partai KAMI Partai SUNI PAY PBB PBR PCD PDI PDIP Perguru NU Permi Persis Pertanu Perti PIB PID PII PII PKB PK PKI PKNU PKS PKU PM PMB PMB PNI PNS PNU PP PPII PPKI PPNUI PPP PPSK PPTI PRD : Negara Islam Indonesia : Negara Kesatuan Republik Indonesia : Nusa Tenggara Barat : Nusa Tenggara Timur : Nahdhatul ‘Ulama : Partai Kristen Indonesia : Partai Muslimin Indonesia : Partai Amanat Nasional : Partai Kebangkitan Muslim Indonesia : Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia : Partai Abul Yatama : Partai Bulan Bintang : Partai Bintang Reformasi : Partai Cinta Damai : Partai Demokrasi Indonesia : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan : Persatuan Guru NU : Partai Muslimin Indonesia : Persatuan Islam : Persatuan Tani NU : Persatuan Tarbiyah Islamiyah : Partai Indonesia Baru : Partai Islam Demokrat : Partai Islam Indonesia : Pelajar Islam Indonesia : Partai Kebangkitan Bangsa : Partai Keadilan : Partai Komunis Indonesia : Partai Kebangkitan Nasional Ulama : Partai Keadilan Sejahtera : Partai Kebangkitan Umat : Pemuda Muhammadiyah : Partai Masyumi Baru : Partai Matahari Bangsa : Partai Nasionalis Indonesia : Pegawai Negeri Sipil : Partai Nahdhatul Ummat : Partai Persatuan : Partai Politik Islam Indonesia : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia : Partai Persatuan Nahdhatul Ummah Indonesia : Partai Persatuan Pembangunan : Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan : Partai Politik Tarekat Islam : Partai Rakyat Demokratik xv xvi PRI PRN PRRI PSI PSI PSII PUI PUMI PT P4 Rantap RUU Sarbumusi SAW SBY-JK SDI Seskab SI SWT TKW UGM UIN UU UUD WNI Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia : Partai Rakyat Indonesia : Partai Rakyat Nasional : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia : Partai Sarekat Islam : Partai Sosialis Indonesia : Partai Sarekat Islam Indonesia : Partai Ummat Islam : Partai Ummat Muslimin Indonesia : Parliamentary Threshold : Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila : Rancangan Ketetapan : Rancangan Undang-Undang : Sarikat Buruh Muslim Indonesia : Shalallahu Alaihi Wasallam : Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla : Sarekat Dagang Islam : Sekretaris Kabinet : Sarekat Islam : Subhanahu Wa Ta’alaa : Tenaga Kerja Wanita : Universitas Gadjah Mada : Universitas Islam Negeri : Undang-Undang : Undang-Undang Dasar : Warga Negara Indonesia -oo0oo- BAB 1 HAKIKAT PARTAI POLITIK ISLAM Bab ini membahas tentang: 1. 2. 3. Sejarah relasi antara Islam dan politik yang terjadi sejak zaman Rasulullah SAW hingga ke Indonesia kekinian serta mengapa partai politik Islam diperlukan di Indonesia. Pengertian, prinsip dasar, tujuan dan fungsi dari keberadaan partai politik Islam di tengah pergulatan politik praktis. Perbedaan partai politik Islam dengan partai-partai lain baik yang berbasis agama maupun yang lainnya misal nasionalis, komunis, dan sosialis. A. I SLAM DAN POLI T I K Mengkaji tentang Islam dan politik berarti mengulas tentang dua hal yang berbeda. Di satu sisi, Islam merupakan sebuah keyakinan dan agama yang berkembang cukup pesat sejak abad ketujuh Masehi atas perjuangan Muhammad SAW beserta para pengikutnya hingga saat ini. Dengan berpegang kepada sumber ajaran utamanya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Islam menjadi sebuah kekuatan besar di dunia. Sedangkan di sisi lain, politik adalah dimensi praktis dan menyejarah yang terkait dengan kekuasaan dan kepartaian terutama dalam lingkup negara. Dalam konteks ini, Islam dan politik dipertemukan dalam satu ruang di mana pada kenyataannya Islam harus terlibat dalam aktivitas politik kemanusiaan untuk memperjuangkan kekuasaan dan kewilayahan. Karena kaum Muslim sepakat bahwa Islam adalah agama komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Jika kita menengok sejarah, keterlibatan Islam dalam dunia politik sudah dimulai sejak Muhammad SAW menguasai Kota Madinah dan Mekkah di Jazirah Arab. Bahkan Muhammad SAW menjadi simbol kekuatan masyarakat Kota Madinah yang mampu menyatukan antara kaum Anshor (warga asli Madinah) dan kaum Muhajirin (pendatang). Selama Muhammad SAW hidup dan memimpin, tidak ada perpecahan di antara umatnya. Semua persoalan keagamaan maupun keumatan dapat dirujuk melalui sabda-sabdanya. 2 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Barulah pasca meninggalnya Nabi terakhir ini, tanda-tanda perpecahan muncul di tubuh kaum Muslimin. Mengapa demikian? Muhammad SAW tidak pernah menunjuk satu orang di antara umatnya untuk menggantikannya ketika kelak dia meninggal. Selain itu, Muhammad SAW tidak pernah memberikan warisan tentang mekanisme pemilihan seorang pemimpin. Tapi segera setelah itu, para sahabat yang dekat dengan Rasul Muhammad SAW mengadakan konsolidasi untuk menunjuk satu orang agar kaum Muslimin tidak berpecah belah. Di situlah Abu Bakar dianggap sebagai orang yang tepat menggantikan Muhammad sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam. Meskipun Abu Bakar telah ditunjuk menjadi pemimpin Islam, tetapi tidak lantas persoalan umat selesai begitu saja. Justru masalah umat semakin pelik dan tidak semua kaum Muslim selalu percaya kepada Abu Bakar. Begitu juga dengan kepemimpinan Umar bin Khattab yang dianggap terlalu keras dalam mengambil kebijakan sehingga tidak semua kaum Muslim pada saat itu sepakat dengan setiap keputusan-keputusan Umar. Selain itu, sejak kepemimpinan Umar menjadi Amirul Mukminin, pembunuhan terhadap khalifah pun dimulai. Begitu juga dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang meninggal karena pembunuhan. Ketika Utsman menjadi khalifah, nepotisme sangat lekat pada karakter kepemimpinannya di mana Utsman mengganti para pejabat dan gubernur di beberapa kawasan Jazirah Arab dengan orang-orang terdekat dan familinya. Begitu juga ketika perebutan kekuasan khalifah selanjutnya pasca Utsman yang menyebabkan konflik keras di kalangan umat Islam antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah meskipun kemenangan tetap berada di kubu Ali. Periode dinasti empat khalifah (Khulafaurrasyidin) ini sejak 632-661 M diselimuti oleh konflik keras bahkan pertumpahan darah di antara para elite-elite politik saat itu. Inilah warisan politik Islam: konflik kekuasaan dan pembunuhan. Setelah pusat pemerintahan Islam berpusat di Madinah, pada perkembangan selanjutnya berpindah ke Damaskus (Suriah) di bawah daulah Dinasti Umayyah yang berkuasa sejak 661-750 M. Kemudian, setelah Dinasti Umayyah runtuh dan posisi khalifah direbut oleh Abul Abbas, maka pusat peradaban Islam berpindah ke Kota Baghdad (Irak) di bawah daulah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa sejak 750950 M. Selama dua dinasti ini pula, persoalan yang muncul ke permukaan adalah persoalan perebuatan wilayah (negara atau pusat pemerintahan) dan kekuasan. Tiga dinasti telah mengajarkan kepada kaum Muslimin, bahwa relasi Islam dan politik adalah relasi kekuasaan dan perebutan wilayah di kalangan umat Islam itu sendiri. Pasca Dinasti Abbasiyah, Islam dalam kurun waktu kurang lebih dua abad tidak memiliki khilafah Islamiyah. Barulah pada abad ke-13, Islam memiliki khalifah baru yaitu Daulah Turki Utsmani yang berkuasa selama enam abad dimulai sejak 1294-1924 M). Masa keemasan Kerajaan Turki Utsmani terjadi pada masa pemerintahan Sulaiman I Al-Qonuni (1520-1566) di mana pada masa ini Islam menyebar luas ke seantero negeri di Asia meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hijaj dan Yaman; di Afrika meliputi Mesir, Libia, Tunis, dan al-Jazair; dan di Eropa meliputi Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria dan Rumania. Pasca periode ini, Islam hanya bisa bertahan bahkan pernah mengalami fase kemunduran dan beberapa wilayah Islam jatuh ke tangan musuh seperti kawasan Hongaria. Setelah Turki Utsmani mengalami modernisasi yang dilakukan oleh Kemal Attartuk, khilafah Islamiyah tidak ada lagi dan berganti menjadi Republik Islam Turki sejak 1924. Hakikat Part ai Polit ik Islam 3 Jika relasi Islam dan politik dikontekskan dalam sejarah politik Indonesia, maka relasi tersebut dapat diketahui sejak sebelum Indonesia merdeka di mana Sarekat Islam sebagai simbol kekuatan utama politik Islam yang bergerak untuk memperjuangkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan serta pengusiran para penjajah dari bumi Indonesia. Karena itu, Islam dan perjuangan politik Indonesia sudah menjadi satu kesatuan (entitas) yang tidak bisa dipisahkan. Jika berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia berarti berbicara juga tentang perjuangan Islam. Barulah relasi Islam dan politik semakin nampak menjelang kemerdekaan dengan perdebatan tentang dasar negara (Islam atau Pancasila). Pasca kemerdekaan, pemerintah yang sudah terbentuk memberikan ruang kepada seluruh rakyat Indonesia untuk terlibat dalam dunia politik praktis dengan mendirikan partai politik. Umat Islam dalam kongres pertamanya di Yogyakarta bersepakat mendirikan Masyumi sebagai satu-satunya kekuatan politik Islam. Namun, keutuhan Masyumi tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, 1947, PSII keluar dari Masyumi dan dilanjutkan oleh NU yang juga menarik dukungan terhadap Masyumi dan menyatakan menjadi partai independen pada tahun 1952. Inilah periode di mana konflik kekuasaan di internal umat Islam Indonesia telah dimulai. Meskipun pada pemilu 1955 Masyumi menduduki peringkat pertama di antara partai Islam lainnya, namun secara keseluruhan partai-partai Islam belum bisa menguasai mayoritas suara parlemen. Relasi Islam dan politik menjadi semakin tegang ketika Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1959 karena tuduhan keterlibatan dalam aksi perlawanan terhadap pemerintah Soekarno di Sumatera Barat yang dikenal dengan Permesta/PRRI. Inilah fase konflik serius antara Islam dan negara di mana kekuatan politik Islam dikebiri oleh Soekarno dengan periode Demokrasi Terpimpin-nya. Keterpurukan kekuatan politik Islam semakin sempurna ketika Soeharto naik tahta ke kursi RI satu dan kebijakan fusi partai tahun 1973 di mana semua partai Islam harus disederhanakan menjadi PPP. Kesempurnaan itu semakin lengkap ketika muncul kebijakan “asas pancasila” sehingga PPP yang menjadi satu-satunya kekuatan politik Islam menjadi tak berdaya. Namun, ketidakberdayaan ini tak berlangsung lama. Akibat relasi Soeharto yang kurang baik dengan militer menyebabkannya melirik Islam sebagai kekuatan alternatif yang dapat mendukung kepemimpinannya. Maka sejak pemilu 1992, kekuatan politik Islam cenderung korporatis. Elite-elite Islam yang tergabung dalam ICMI semakin terlibat dalam percaturan politik praktis tanah air. Pasca Soeharto tumbang dari tahta kekuasaannya tahun 1998, kekuatan Islam bagaikan meneguk air di tengah gurun pasir. Pasca peristiwa bersejarah 1998, kekuatan politik Islam muncul ke permukaan tanpa kontrol. Berbagai partai Islam dengan sederet nama dan simbol berbondong-bondong menjadi peserta pemilu 1999. Di antara mereka ada yang menghidupkan kembali nama dan simbol kekuatan politik lama, tetapi ada pula yang mendirikan nama dan lambang baru meskipun akar sejarahnya juga sama. Terpilihnya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden RI keempat tahun 1999 semakin mengukuhkan kebangkitan politik Islam. Inilah fase pragmatis Islam di mana relasi Islam dan politik sudah masuk ke dalam lumbung kekuasaan. Meskipun Gus Dur tak lama memimpin, kekuatan politik Islam tak sanggup menjadi oposan pemerintah. Fase pragmatisme partai Islam semakin kentara pasca pemilu 2004 di mana partai-partai Islam utama masuk dalam koalisi pemerintah, seperti PKB, PPP, PAN, dan PKS. Dari sini dapat diketahui, bahwa dinamika antara Islam dan politik tidak terlepas pada wilayah perebuatan kekuasaan, konflik dan perpecahan di antara umat Islam serta tidak siapnya kelompok Islam 4 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia menjadi kekuatan oposisi penguasa. Sebagai pengikut Islam sunni, doktrin untuk patuh pada penguasa menjadikan corak dan gaya partai-partai Islam di Indonesia sehingga mereka tidak berani dan tidak siap menjadi oposan sejati terhadap penguasa. Sebaliknya, partai Islam lebih mudah bergabung dalam koalisi untuk bersama-sama terlibat dalam kabinet pemerintahan, meskipun sang penguasa korup. B. ASAL-U SU L PARTAI I SLAM Mengenai sejarah partai politik Islam, kita dapat menelusurinya sejak masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan yang berseteru dengan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu dikenal dengan “peristiwa Ali kontra Utsman” yang menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Muslimin, siapakah yang benar dan yang salah di antara keduanya. Hal pertama yang diperselisihkan adalah mengenai imamah (kepemiminan kaum Muslimin) dan syarat-syaratnya serta siapa yang berhak memegangnya. Kelompok Ali meyakini bahwa imamah yang tepat adalah Ali dan keturunan-keturunannya. Sedangkan lawan politiknya mengatakan, bahwa yang berhak memegang jabatan imamah haruslah orang terbaik dan paling cakap meskipun dia budak dan bukan dari keturunan Quraisy (Hanafi, 2003: 13). Setelah Utsman meninggal (Tahun 655 M), pembaiatan umat Islam terhadap Ali sebagai khalifah terakhir ternyata tidak disetujui oleh seluruh kaum Muslimin pada saat itu. Pada saat yang bersamaan, umat Islam terpecah belah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang mendukung pembaiatan Ali. Kedua, kubu yang mendukung Mu’awiyah sebagai khalifah yang tepat setelah Utsman bin Affan. Di satu sisi, Ali menyatakan bahwa pembaitannya telah resmi dan sah. Bagi mereka yang terlambat membaiat, diminta untuk mengikuti keputusan yang sudah ditetapkan oleh kaum Muslimin di Madinah, tempat tinggal Nabi Muhammad SAW dan kampung halaman para sahabat. Di sisi yang lain, kelompok penentang Ali menyatakan bahwa pembaitannya tidak sah karena Ahlu Hill wal ‘Aqd (lembaga yang berhak memilih pemimpin Islam) berselisih pendapat. Di antara para anggota lembaga ini ada yang mengatakan, bahwa yang cocok menjadi khalifah adalah Muawiyah, Amr bin Ash, Ummul Mu’minin ‘Aisyah, dan lain sebagainya (Rais, 2001: 31-32). Di samping kedua kelompok ini, ada kelompok ketiga yang minoritas. Kelompok ini tidak menemukan bentuk kebenaran sehingga mereka tidak hadir dalam pembaiatan, menjauhi massa, dan tidak ikut serta dalam peperangan. Kelompok ini juga berpandangan, bahwa umat Islam sedang dalam fitnah sehingga harus ditenangkan dulu sebelum memulai memikirkan soal khalifah. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Saad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, Abu Said Al-Khudlri, Hassan bin Tsabit, Maslamah bin Mukhallad, Abdullah bin Salam, dan An-Nu’man bin Basyir. Dalam perkembangan selanjutnya, para pendukung Ali mengalami konflik internal dan terbelah menjadi dua. Kelompok pertama disebut dengan Syiah, yaitu orang-orang yang tetap setia dan loyal dengan kekhalifahan Ali hingga wafatnya. Kesetiaan kelompok pertama ini hingga anak cucu keturunan berikutnya. Kelompok kedua disebut dengan kaum Khawarij, yaitu kelompok yang pada awalnya begitu amat sangat setia terhadap Ali tetapi karena sebuah peristiwa bernama peristiwa At1 Tahkim, akhirnya mereka keluar dari barisan pendukung Ali, bahkan menjadi pembangkang dan 1 Peristiwa At-Tahkim adalah peristiwa perselisihan antara kelompok Ali dan Muawiyah tentang siapa yang berhak atas wilayah Syam dan Irak. Hakikat Part ai Polit ik Islam 5 mengecam Ali dan pendukungnya (Rais, 2001: 32). Selain itu, hal yang menjadi perdebatan antara kelompok Syiah dan Khawarij adalah apa yang dimaksud dengan dosa besar. Dari perdebatan ini menimbulkan perselisihan mengenai perdebatan iman. Perdebatan tentang dosa besar ini bermula dari pembunuhan terhadap Utsman. Dari sinilah awal mula munculnya partai politik Islam yang kemudian melahirkan sekte-sekte politik pada periode selanjutnya, seperti Murjiah, Asy’ariyah, Mu’tazilah serta sekte-sekte selanjutnya. Dalam sejarah politik Indonesia, di kalangan pemikir Islam mengalami perdebatan tentang suatu hal yang sangat fundamental: Mengenai perlukah umat Islam melahirkan dan memiliki partai Islam? Di satu sisi, ada kelompok yang menolak dibentuknya partai Islam yang diwakili oleh pemikiran Nurcholis Madjid alias Cak Nur. Di sisi lain, ada kelompok yang sangat keras memperjuangkan perlunya kelahiran partai Islam sebagai alat perjuangan dan aspirasi politik kaum Muslim untuk mengimplementasikan nilainilai Islam yang menurut mereka sesuai dengan kehidupan umat di dalam sebuah negara. Untuk gagasan yang pertama, yaitu tidak perlunya dibentuk partai Islam merupakan hasil renungan yang dipopulerkan oleh lulusan Chicago University yang terkenal dengan slogannya: Islam Yes, Partai Islam No! Menurut Cak Nur, harus ada pemisahan antara urusan agama dan politik. Agama tidak boleh dibawa-bawa pada urusan praktis yang ujung-ujungnya hanya akan membawa konflik antara umat Islam. Dengan adanya pemisahan tersebut, umat Islam bisa lebih konsen pada urusan-urusan dakwah dan keummatan serta urusan lain semisal pendidikan dan sosial. Sedangkan urusan politik diserahkan pada partai politik yang cenderung menggunakan simbol nasionalis atau moderat tanpa harus mencantumkan asas dan simbol-simbol Islam. Sedangkan gagasan yang kedua, yaitu perlunya partai Islam sebagai alat perjuangan politik Islam muncul dari kalangan praktisi politik. Menurut mereka, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Ini merupakan modal besar bagi mereka untuk mendirikan partai politik agar aspirasi kelompok Islam dapat terwakilkan dalam kebijakan-kebijakan di pemerintahan. Pemikiran kedua ini hingga kini diyakini oleh sebagian besar kelompok Islam dan pada kenyataannya animo kaum Muslim untuk berpolitik praktis tetap besar, sehingga pemikiran Cak Nur pasca meninggalnya seolah terpinggirkan dan tak lagi dimunculkan ke permukaan. Namun demikian, partai politik Islam telah ada dan berkembang hingga saat ini. Dari sini dapat diketahui, bahwa lahirnya partai politik Islam di Indonesia menunjukkan kenyataan di mana dinamika politik di negeri ini salah satunya berorientasi aliran. Menurut Th. Sumartana, sebagaimana dikemukakan oleh Romli (2006: 115-116), ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya partai politik berbasis agama. Pertama, karena agama itu sendiri memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang dipercayai. Kedua, karena ikatan politik dari para warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut. Ketiga, karena umat agama tersebut merasa lebih nyaman dengan pemimpin politik yang lahir dari komunitasnya sendiri dan tidak percaya manakala politik dikuasai oleh kelompok agama yang lain. Ada beberapa alasan mengapa partai politik Islam diperlukan di Indonesia. Pertama, faktor teologis. Dalam Islam, hubungan antara agama dan negara belum terselesaikan. Dalam kitab suci memang tidak dikatakan secara eksplisit tentang hubungan tersebut. Ia hanya menjelaskan secara global dan garis-garis besarnya saja, seperti perlunya penegakan keadilan, persamaan, musyawarah, dan 6 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia toleransi. Oleh karena sifatnya guidelines tersebut, kemudian menumbuhkan berbagai penafsiran terhadap masalah hubungan antara agama dan negara. Ada tiga pandangan tentang hubungan agama dan negara, yaitu bersifat integrated, mutualisme-simbiosis, dan sekularistik. Dalam kaitannya itu, perlu adanya partai politik Islam berkaitan dengan pandangan yang pertama, yaitu bersatunya antara agama dan negara. Agama tidak bisa dipisahkan, karena itu Islam adalah din wa daulah (Islam itu agama sekaligus juga kedaulatan/negara). Mengenai urusan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya urusan negara dan politik, merupakan bagian yang melekat dari urusan agama. Sebagai manifestasi dari pandangan ini, perlu adanya kekuasaan politik. Kekuasaan ini diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Dengan demikian, perdirian partai politik Islam merupakan suatu keharusan atas dasar pandangan teologis tersebut (Romli, 2006: 116-117). Kedua, faktor sosiologis. Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Data BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa penduduk Muslim di Indonesia mencapai prosentase 87% dibanding pemeluk agama lain. Jumlah mayoritas tersebut merupakan kekuatan besar bagi kelompok Muslim untuk menggalang kekuatan melalui partai politik dan menyalurkan aspirasi politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Islam. Anggapannya, penduduk mayoritas akan merasa lebih aman dan nyaman jika menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik Islam. Atas dasar itulah, pendirian partai politik di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Konteks sosiologis inilah yang digunakan oleh elite-elite Islam untuk mendirikan partai politik Islam. Namun, kelompok Islam abangan dan substansialistik menolak bentuk-bentuk formalistik agama sehingga mereka menginginkan partai politik yang berorientasi nasionalis-religius (Romli, 2006: 117-119). Ketiga, faktor historis. Dalam sejarah Indonesia, Islam merupakan satu kekuatan yang sangat berperan dalam melawan penjajahan (Romli, 2006: 119). Sebelum pra kemerdekaan, kelompok Islam merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajah Belanda maupun Jepang. Hal ini terbukti dengan kelahiran organisasi-organisasi sosial maupun politik seperti Boedi Oetomo, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam yang berbasis Muslim dan dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Elite-elite dari gerakan ini bersatu padu melawan penjajah dengan harapan bumi pertiwi dapat tegak dan merdeka. Gambaran tersebut menunjukkan, bahwa secara historis keberadaan partai politik Islam tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan dalam menegakkan Republik Indonesia. Bahkan, mayoritas para pendiri dan pencetus dasar-dasar negara adalah kalangan Muslim. Atas dasar itulah, partai politik di Indonesia merupakan keniscayaan dari hasil perjuangan panjang Indonesia. Dengan demikian, kemunculan dan keberadaan partai Islam di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dari sejarah politik itu sendiri. Islam, kaum Muslimin, dan politik menjadi satu entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun, besarnya jumlah umat Islam tersebut tidaklah serta merta seragam satu pemikiran. Sebaliknya, justru jumlah yang banyak itulah menyebabkan heterogenitas di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor perbedaan budaya, pendidikan, agama, konteks sosial-politik serta realitas yang dihadapi oleh mereka di masing-masing daerahnya. Para ahli memiliki perbedaan pendapat dalam mengklasifikasikan keragaman umat Islam di Indonesia. Hakikat Part ai Polit ik Islam 7 C. PEN GERT I AN PARTAI POLI T I K I SLAM Memahami dan mendefinisikan partai politik tidaklah mudah. Literatur akademik telah banyak memberikan definisi tersebut kepada khalayak publik hingga sebagian orang terkadang malah menemukan kesulitan dalam memahami kepastian definisi partai politik. Menurut Ware (1996: 1-2), mendefinisikan partai politik seperti mendeskripsikan seekor gajah yang hampir setiap orang pasti mengetahui apa itu binatang yang bernama gajah, tetapi mengalami kesulitan ketika harus menjelaskan tentang gajah kepada orang yang belum pernah tahu tentang gajah. Namun demikian, membayangkan politik tanpa partai politik merupakan suatu hal yang mustahil, walaupun pada kenyatannya ada sebuah negara tanpa kehadiran partai politik seperti yang terjadi di Persian Gulf, sebuah negara yang dikelola oleh keluarga yang mendominasi kawasan itu jauh sebelum diakui oleh dunia sebagai negara independen. Kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional. Atas dasar itu, Ware mencoba mendefinisikan partai politik sebagai lembaga yang menghantarkan rakyat pada tujuan kekuasaan dalam sebuah negara. Ware (1996: 2-3) menawarkan karakteristik partai politik sebagai berikut. Pertama, tujuan partai politik adalah menghantarkan negara pada tujuan akhirnya untuk kesejahteraan rakyat daripada sekadar merebut kekuasaan. Kedua, partai politik dapat dijadikan sebagai sebuah strategi untuk meraih tujuan utama meraih kekuasaan dari sebuah rezim untuk membentuk suatu pemerintahan. Ketiga, ada sekelompok organisasi politik yang mengkalim diri mereka sebagai partai politik dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik seperti terlibat dalam pemilu. Tetapi mereka tidak menjadi kontestan resmi dalam pemilu. Tujuan organisasi politik ini hanya sekadar menjadi penggembira dalam aktivitasaktivitas politik. Di luar tiga karakteristik tersebut, partai politik selalu berusaha mencari legitimasi dalam bentuk apapun untuk memperoleh tujuan akhir mereka. Dalam makna yang lain, Ware mendeskripsikan partai politik sebagai bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan keyakinan, sikap, dan nilai-nilai yang dianut. Sedangkan ilmuwan politik Inggris, Edmund Burke mendefinisikan partai politik sebagai satu kesatuan struktur organisasi yang bertujuan untuk menyebarluaskan usaha-usaha yang telah menjadi kesepakatan di antara mereka untuk kepentingan nasional. Dengan cara yang sama, Ware (1996: 5) mengambil kesimpulan, bahwa partai politik merupakan sebuah lembaga yang mempengaruhi negara dengan cara menguasai jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Biasanya, partai politik memiliki lebih dari sekadar satu kepentingan dan mencoba memperjuangkan kepentingan tersebut. Bagi Budiarjo (2007: 160-161), partai politik adalah sebuah kelompok yang teorganisir di mana anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah mendapatkan kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik secara konstitusional demi melaksanakan kepentingan (kebijaksanaan) mereka. Sejalan dengan itu, pengertian partai politik menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan partai politik setidaknya paling sedikit terdiri dari 50 orang WNI 8 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukannya menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Sementara itu, Pamungkas (2011: 5-6) menjelaskan tentang partai politik sebagai organisasi yang memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur dan kekuasaan yang diperoleh melalui keikutsertaan dalam kontestasi pemilu. Dari pengertian tersebut, ada beberapa hal yang yang diambil garis besarnya. Pertama, partai politik adalah organisasi yang bekerja pada prinsip-prinsip tertentu seperti adanya kepemimpinan dan keanggotaan, pembagian divisi dalam kerja, melakukan perencanaan, pengorganisasiaan, pelaksanaan, kontrol serta adanya aturan main yang mengatur perilaku pimpinan, anggota, dan organisasinya. Kedua, partai politik adalah alat perjuangan nilai atau ideologi. Sebagai alat perjuangan menuju cita-cita yang luhur, partai harus meyakini sebuah nilai yang diyakini dan dijadikan sistem kepartaiannya. Perlu disadari, bahwa semua partai politik pasti berorientasi pada kekuasaan, yaitu mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Namun, kekuasaan tersebut diraih dalam rangka mengimplementasikan nilai yang mengikat partai, bukan semata-mata hanya mengejar kekuasaan. Ketiga, instrumen meraih kekuasaan adalah melalui pemilu bukan yang lainnya. Di luar pemilu, tidak ada pengakuan legal dalam meraih kekuasaan dalam sistem kenegaraan. Karena itu, setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu harus secara fear bertarung dalam arena pemilu yang sudah diatur regulasinya. Senada dengan itu, Firmanzah (2008: 66) menegaskan bahwa partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membentuk opini masyarakat dan membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Karena itu, partai politik setidaknya memiliki empat karakteristik dasar, yaitu organisasi yang berjangka panjang, memiliki struktur organisasi yang berjenjang (Pusat, Daerah, Cabang, Ranting) dan adanya pembagian divisi di setiap masing-masing level, memiliki orientasi kekuasaan sebagai alat untuk mengimplementasikan kepentingan rakyat, dan meraih dukungan suara sebanyak mungkin agar partai dapat diterima oleh masyarakat luas. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan tentang partai politik sebagaimana dijelaskan dalam point-point di bawah ini. 1. 2. 3. 4. 5. Partai politik adalah organisasi yang memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu sehingga mereka memiliki kepentingan yang harus diperjuangkan melalui penguasaan struktur dan kekuasaan dalam pemerintahan. Untuk mendapatkan kekuasaan tersebut, partai politik harus berkontestasi dalam arena demokrasi yang bernama pemilu. Kekusaan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat yang dijadikan media untuk mewujudkan kepentingan rakyat, yaitu rasa aman dan nyaman, adil, dan sejahtera. Partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan membentuk opini masyarakat, membawa pemimpinnya berkuasa di pemerintahan serta mengusahakan para pendukungnya mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai politik memiliki empat karakteristik: (1) Organisasi yang berjangka panjang; (2) Memiliki struktur organisasi yang berjenjang dan adanya pembagian divisi di setiap masing-masing level; (3) Memiliki orientasi kekuasaan sebagai alat untuk mengimplementasikan kepentingan rakyat; dan (4) Hakikat Part ai Polit ik Islam 6. 9 Meraih dukungan suara sebanyak mungkin agar partai dapat diterima oleh masyarakat luas. Dalam pembentukan partai politik ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan UndangUndang yang telah diatur oleh pihak yang berwenang. Pengertian partai politik telah gamblang dijelaskan di atas. Sekarang, jika dikaitkan dengan Islam, apa yang dimaksud dengan partai politik Islam? Islam dalam konteks ini dipahami sebagai doktrin agama yang harus diimplementasikan dalam masyarakat serta mengatur seluruh aktivitas dan perilaku manusia di dalamnya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan agama komprehensif yang sudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Dengan demikian, partai politik Islam dapat dipahami sebagai sebuah organisasi publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks yang berbeda-beda melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah baik pada level legislatif maupun eksekutif. Proses mendapatkan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan dalam pemilu serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program yang tidak lepas dari nilainilai ideologis Islam. Di Indonesia, pembilahan partai politik sangat beragama. Masing-masing partai politik memiliki ideologi dan nilai perjuangannya. Ada partai politik yang berbasis ideologi (nasionalis, sosialis, komunis, demokrat, pancasila, dll), berasas dan berbasis agama (Islam, Katholik, Kristen Protestan, Yahudi, dll), berbasis etnis kedaerahan (Minang, Jawa, Madura, Bugis, dll), berbasis profesi (guru, pengusaha, buruh, mahasiswa, pelajar, dll), berbasis programatik, dan lain sebagainya. Feith dan Castle (1970) mengelompokkan aliran politik di Indonesia selama rentang 1945-1965 ke dalam lima arus utama, yaitu (1) Nasionalisme Radikal; (2) Tradisionalisme Jawa; (3) Islam; (4) Sosialisme Demokratik; dan (5) Komunisme. Sedangkan selama era Orde Baru terutama sejak terjadinya fusi partai pada pemilu 19771997, aliran politik hanya terbagi menjadi dua, yaitu kelompok nasionalis dan kelompok Islam serta satu golongan karya. Dalam kajian ilmu politik, penggunaan istilah “partai Islam” setidaknya memiliki dua konotasi. Pertama, ideologi organisasi, yaitu merujuk kepada partai politik yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. Ideologi organisatoris dianggap penting karena ia merupakan tujuan dan orientasi. Ideologi manjadi alat pembeda antara satu partai dengan partai yang lain. Dalam pengertian ini, yang termasuk partai Islam di Indonesia antara lain Masyumi, Partai NU, PSII, Parmusi, PPP, PBB, dan PKS (Liddle, 2005; Baswedan, 2004: 679-681; Ufen, 2005; Permata: 2010). Kedua, basis sosio-kultural, di mana partai politik bukan hanya dilihat sebagai organisasi tetapi juga sebagai sarana atau media bagi masyarakat, atau kelompok-kelompok di masyarakat, untuk mengartikulasikan, mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingan politiknya. Sehingga, identitas dari sebuah partai bukan hanya pada bentuk organisasinya, namun lebih kepada basis sosio-kultural kelompok masyarakat yang diwakilinya (Von der Mehden, 2008: 12). Selaras dengan itu, berdasarkan data dan fakta historis, Romli (2006: 111, 122) membagi partai yang berasas Islam ke dalam tiga dikategorikan: (1) Partai Islam yang berasas Islam; (2) Partai Islam yang berasaskan Islam dan Pancasila; (3) Partai Islam yang berasaskan Pancasila tetapi berbasis massa mayoritas dari kalangan Muslim. 10 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia D. PRI N SI P-PRI N SI P DASAR PARTAI I SLAM Prinsip adalah sesuatu hal yang dipegang teguh dan dijadikan pijakan oleh partai Islam yang mendasari segala aktivitas keorganisasian. Sebagai partai yang menggunakan label dan atribut Islam serta mewakili kepentingan kaum Muslim, partai Islam harus mendasarkan seluruh program dan kegiatan organisasinya pada prinsip-prinsip berikut ini. 1. 2. 3. 4. Berpedoman pada nilai-nilai universal Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala keputusan organisasi tidak boleh bertentangan dengan sumber ajaran utama Islam yaitu kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber ajaran Islam tersebut memuat nilai-nilai universal yang mencakup segala kehidupan manusia di muka bumi ini. Karena itu, partai Islam harus mendasarkan segala aktivitas kepartaian pada nilai-nilai universal kedua sumber ajaran Islam tersebut. Musyawarah. Setiap keputusan-keputusan organisasi harus melalui koordinasi dan komunikasi dengan segenap pengurus yang memiliki wewenang. Dengan proses koordinasi tersebut, partai akan mendapatkan banyak pertimbangan dari beragam pihak sehingga melahirkan keputusan yang bijak dan tidak terkesan terburu-buru. Dengan proses musyawarah pula, kebesaran organisasi akan didukung oleh banyak pihak yang memiliki kekuatan besar. Musyawarah mengindikasikan antiotoritarianisme dan anti-kediktatorian. Karena itu, partai Islam harus bersifat kolektif-kolegial di mana setiap kebijakan harus diputuskan secara bersama-sama. Berlaku adil. Setiap pimpinan dan anggota memiliki hak yang sama sesuai dengan aturan yang berlaku di masing-masing partai. Karena itu, partai harus membuat keputusan yang adil untuk sebuah keputusan sehingga tidak merugikan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Artinya, meskipun pada akhirnya sebuah keputusan tersebut akan merugikan pihak lain, tetapi keputusan tersebut sudah sesuai aturan dan berpihak pada mereka yang tertindas. Menghargai perbedaan dan bukan perpecahan. Perbedaan adalah fitrah setiap manusia dan merupakan anugerah dari yang Maha Kuasa. Dengan perbedaan pula kehidupan menjadi indah dan beragam. Namun, perbedaan itu harus dikelola dengan baik dan bukan malah menimbulkan perpecahan. Perbedaan harus diatur dengan sedemikian rapi sehingga menciptakan perpaduan yang saling terkait satu sama lain dan bukan perpecahaan yang bisa berdampak pada perang dan pertumpahan darah. Islam tidak mengajarkan perpecahan yang berdampak pada rusaknya iman dan moral umat manusia. E. T U J UAN DAN FU N GSI PARTAI I SLAM Sebagai representasi dari perjuangan Islam, partai politik Islam harus memiliki tujuan sebagai spirit gerakannya. Tentunya, tujuan dari partai politik Islam tidak terlepas dari keberadaan sebuah institusi negara sebagai media bagi partai Islam untuk mewujudkan cita-cita besar Islam. Adapun tujuan partai Islam dapat dirumuskan dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Baldatun thayyibatun warabbun ghafur yang artinya terwujudnya sebuah negara yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh Allah SWT. Dari tujuan ini, dapat dirumuskan tiga tujuan utama partai Islam. 1. Masyarakat yang adil. Keadaan di mana seluruh masyarakat di suatu negara tidak ada yang merasa terintimidasi maupun terpinggirkan dari kehidupan masyarakat luas serta mendapatkan hak-haknya Hakikat Part ai Polit ik Islam 2. 3. F. 11 sebagai salah seorang warga yang mendiami suatu daerah tertentu. Keadilan meliputi segala hal yang melekat pada mereka seperti, hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak berbicara, dan lain sebagainya. Masyarakat yang makmur dan sejahtera. Setiap manusia menginginkan hidup bahagia. Salah satu indikator hidup bahagia adalah memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Makmur mengindikasikan kehidupan seseorang sudah cukup dari segi materi dan sejahtera mengindikasikan bahagianya seseorang tidak hanya dari segi materi tetapi juga dari segi psikis, misalnya bahagia berada pada lingkungan keluarga yang peduli dan perhatian terhadap mereka. Masyarakat yang aman dan nyaman. Salah satu fungsi negara adalah membuat warganya merasa aman dari berbagai bentuk kejahatan maupun tindakan kriminal lainnya. Sedangkan nyaman adalah rasa bahagia dari segi psikologis seseorang yang hidup dalam lingkungan tertentu. Tujuan ini merupakan tujuan dari partai Islam untuk menjadikan masyarakat tidak merasa terganggu dari segala bentuk kejahatan maupun gangguan masyarakat sekitar. PARTAI I SLAM DAN PARTAI LAI N N YA: PERBEDAAN DAN K RI T I K Untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan terutama pada pemilu 1955, Feith dan Castles (1970: 12-17) membagai partai politik di Indonesia ke dalam lima aliran utama, yaitu komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), sosialisme demokrat (PSI), tradisionalisme Jawa, dan Islam (Masyumi dan NU). Sedangkan pada era Orde Baru, partai politik hanya dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu partai nasionalis (PDI) dan partai Islam (PPP). Di luar dua partai ini ada satu golongan karya (Golkar) yang menjadi mesin politik penguasa. Pasca Orde Baru tumbang, partai politik kembali berdiaspora dalam berbagai bentuk sehingga pada pemilu 1999 ada 48 peserta. Dhakidae (2004: 34-37) membagai partai politik pasca Orde Baru terutama pada pemilu 1999 ke dalam beberapa aliran. Pertama, partai agama, terdiri dari partai Islam baik yang berasas Islam (PPP dan PK) maupun partai Islam yang berdimensi nasionalis (PAN dan PKB). Sedangkan partai agama lainnya adalah dari agama Kristen Protestan dan Khatolik. Kedua, partai sosialisme radikal seperti PRD yang didirikan oleh Budiman Sudjatmiko dkk. Ketiga, partai kebangsaan seperti PDI Perjuangan. Keempat, partai developmentalisme (Golkar) yang mengambil jalur untuk berpihak pada kaum pemilik modal, internasional dan domestik. Dari sini dapat diketahui, bahwa partai Islam memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan partai-partai yang lainnya. Dari segi asas, partai Islam berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari dua kitab suci baik mereka yang mencantumkan Islam sebagai asasnya atau hanya menjadikan Islam sebagai spirit perjuangan mereka. Tak cukup itu saja, bahkan partai Islam bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dari segi konstituen, partai Islam memiliki mayoritas pendukung dan pemilih dari kelompok Muslim dengan varian yang beragam (baik Muslim abangan, Muslim taat atau santri dan Muslim elite). Hal ini tidak terlepas bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah mereka yang memeluk Islam sebagai agamanya. Karena itu, partai-partai Islam memiliki basis sosialnya sendiri-sendiri seperti PKB dan PPP memiliki pendukung dari Nahdhatul ‘Ulama, PAN didukung oleh Muhammadiyah, PBB didukung oleh Persis, PKS didukung oleh kelompok Gerakan Tarbiyah di perkotaan, dan lain sebagainya. 12 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Perkembangan kekinian, terutama pasca pemilu 2004, perbedaan partai Islam dan partai politik lainnya semakin memudar. Hal ini tidak terlepas faktor regulasi pemilu yang mengharuskan masingmasing partai berkompetisi meraih suara dan kursi sebanyak-banyaknya. Pada pemilu 2004, masingmasing partai harus mampu melampaui electoral threshold 2,5% (dari total suara). Sedangkan pada pemilu 2009, masing-masing partai harus meraih parliamentary threshold 2,5% (dari total kursi di DPR RI). Regulasi ini pada akhirnya membuat partai-parai Islam berpikir ulang dan mencari strategi untuk memperoleh suara dan kursi sebanyak mungkin. Karakteristik cacth all party yang berujung pada politik kartel pada akhirnya menjadi pilihan semua partai Islam. Hal ini terbukti, bahwa dalam beberapa pilkada baik pilgub maupun pilbub/pilwalikot, terjadi koalisi partai antara partai Islam dengan partai nasionalis bahkan dengan partai yang berbeda agama. Fenomena ini semakin memperkuat tesis Ambardi (2008), bahwa partai politik mengalami kartelisasi (pragmatisasi) untuk meraih kekuasaan dan uang. Dengan demikian, kita semakin tidak bisa membedakan antara PKS dan PDIP, antara PPP dengan Golkar yang di era Orde Baru saling serang satu sama lain. Selain itu, sejumlah partai politik nasionalis pun mulai menampung aspirasi dari kalangan kaum Muslimin, seperti PDIP yang mendirikan Baitul Muslimin sebagai organisasi sayap Islam untuk menjaring kepentingan-kepentingan umat Muslim. Selain itu, ada Partai Demokrat yang mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis-religius serta keberadaan Majelis Dzikir Nurussalam yang meskipun secara struktural tidak ada kaitannya dengan Demokrat, tetapi pada kenyataannya menjadi penyokong utama SBY yang tidak bisa dipisahkan dari partainya, sehingga muncul sebuah ungkapan “SBY itu Demokrat dan Demokrat itu SBY”. Citra inilah yang menjadikan Partai Demokrat seolah peduli dengan kepentingan kaum Muslimin. Begitu juga dengan Golkar yang memiliki AMII yang menjadi gerakan underbow-nya untuk menampung kepentingan-kepentingan Islam. Karena itu, jurang pemisah antara Islam dan nasionalis menjadi semakin tipis. -oo0oo- BAB 2 TIPOLOGI PARTAI POLITIK ISLAM Bab ini membahas tentang: 1. 2. Metode yang digunakan dalam mengklasifikasi partai politik Islam. Adapun metode yang digunakan berbasis pada teori Geertz tentang masyarakat Jawa yang terbagi menjadi tiga varian, yaitu abangan, santri, priyayi. Selain Geertz, digunakan pula teori lainnya sehingga menjadi satu kesimpulan tentang tipologi partai politik Islam. Tiga tipologi partai politik Islam, yaitu partai tradisionalis, partai modernis, dan partai Islamis. Masing-masing kategori partai tersebut memiliki relasi kuat dengan basis pendukungnya. Ada beragam pendekatan yang digunakan dalam melakukan pengelompokan terhadap tipologi partai politik. Menurut Almond (1978: 62-63), tipologi partai politik dapat dibagi berdasarkan basis sosialnya. Pertama, partai politik yang berbasis kelas dalam masyarakat, seperti kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kedua, partai politik yang berbasis kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, guru, dan pengusaha. Ketiga, partai politik berbasis agama tertentu, seperti Islam, Katholik, Protestan, dan Hindu. Keempat, partai politik berbasis kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu. Sedangkan Surbakti (1992: 122-123) mengelompokkan partai berdasarkan asas dan komposisi keanggotaan. Di Indonesia partai berdasarkan asas dapat dibedakan secara ekstrem menjadi dua, yaitu partai berasas pancasila (termasuk di dalamnya UUD 1945) dan partai berasas Islam. Di luar dua asas ini ada beberapa partai yang menggabungkan kedua asas tersebut atau mengambil bagian tertentu saja, misal Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tapi secara ekstrem, pembagian partai berdasarkan asas hanya terbagi menjadi dua. Sedangkan tipologi partai politik berdasarkan komposisi keanggotaan dapat dibagi menjadi dua pula, partai massa atau lindungan (patronage) dan partai kader. Partai massa adalah partai yang mengandalkan suara dengan cara memobilisasi massa untuk memilih partainya 14 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia sehingga dapat memenangkan dalam setiap pemilu. Partai ini biasanya merupakan gabungan beberapa partai guna memperjuangkan kepentingan yang sama. Sedangkan partai kader adalah partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketaatan organisasi dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. Karena itu, partai kader sifatnya berjenjang dan menegakkan aturan partai tanpa pandang bulu. Berdasarkan teori Almond dan Surbakti, pendekatan yang digunakan dalam pengelompokan partai Islam yang digunakan dalam kajian ini adalah berdasarkan asas, orientasi, dan basis pendukung utama. Untuk memulai melakukan pengelompokan tersebut, metode klasifikasi yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada riset Clifford Geertz sebagai orang pertama yang mengklasifikasikan kehidupan keagamaan umat Islam di Jawa sebagaimana dijelaskan dalam bukunya The Religion of Java (1960). Geertz klasifikasi masyarakat Jawa di Desa Mojokuto (Provinsi Jawa Timur) dengan mengamati perilaku sehari-hari dan kebudayaan mereka sehingga dia menemukan sebuah konsep tentang keberagamaan dalam masyarakat Jawa. Hasil riset itu menunjukkan, bahwa secara kultural masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu abangan, santri, priyayi. A. M ETODE K LASI FI K ASI Menurut temuan Geertz (1960: 5-6, 126-130), umat Islam dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, ABANGAN, merupakan kelompok Muslim yang banyak mengadopsi nilai-nilai tradisi dan budaya animisme dan dinamisme dalam kehidupan keagamaannya. Kelompok ini banyak dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan di Jawa. Meskipun secara formal mereka beragama Islam, namun praktek kegamaan mereka lebih didominasi oleh ritual dan tradisi lokal, berupa slametan atau pemberian sesajen kepada ruh-ruh dan makhluk halus yang dianggap menentukan kebaikan atau keburukan kehidupan manusia. Kedua, SANTRI, merupakan kelompok Muslim yang memusatkan perhatiannya pada ibadah ritual serta mempraktikkan kehidupan agama Islam berdasarkan ajaran yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kitab-kitab fikih yang shahih. Geertz membagi kelompok ini ke dalam dua subkategori, yaitu tradisional yang biasanya berlatar belakang pendidikan pesantren dan mayoritas tinggal di desa dan modern yang biasanya berlatar belakang pendidikan sekolah dan mayoritas tinggal di perkotaan. Ketiga, PRIYAYI, merupakan kelompok Muslim yang berasal dari keluarga aristrokat dan dalam kehidupan keagamaannya banyak diwarnai oleh nilai-nilai etika kebangsawanan Jawa (budaya adiluhung). Kelompok ini banyak dijumpai di wilayah Jawa perkotaan di mana masyarakat sudah menikmati pendidikan dan pengetahuan tentang warisan budaya kaum bangsawan. Meskipun mereka Muslim, namun kehidupan keagamaannya didominasi oleh nilai-nilai etika “kasta kesatria” dalam tradisi Hindu, yang banyak dikembangkan oleh kalangan bangsawan di Jawa, seperti sikap pemberani namun sabar, berwibawa namun rendah hati, tenggang rasa, dan lain sebagainya. Temuan Geertz menjadi pedoman dalam pembentukan partai politik. Masing-masing varian mewakili budaya yang berbeda. Abangan mewakili budaya animistik dan sinkretisme. Santri menitikberatkan pada aspek Islam ortodoks. Priyayi menekankan aspek Hindu-Budha. Pada kenyataannya teori ini dijadikan sebagai basis legitimasi oleh rezim Orde Baru dalam melakukan fusi partai. Kelompok abangan terwakili dalam PDI yang terdiri dari kaum nasionalis, sosialis, dan komunis. Kelompok santri terwakili dalam PPP yang terdiri dari kaum Muslim tradisional, modernis, maupun fundamentalis. Tipologi Part ai Polit ik Islam 15 Sedangkan kelompok priyayi terwakili dalam Golkar yang terdiri dari kaum birokrat (PNS atau abdi negara) dan bangsawan yang cenderung dekat dengan kekuasaan. Selain Geertz, klasifikasi terhadap kaum Muslim di Indonesia juga dikemukakan oleh Von der Mehden (2008: 12). Menurutnya ada empat kategori kaum Muslim di Indonesia. Pertama, tradisionalis, yaitu kelompok Muslim yang dalam praktek keagamaannya mengikuti kebiasaan dan tradisi (customary tradition). Kedua, modernis, yaitu mereka yang mengambil inspirasi dari gerakan modernis Islam yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dari Mesir. Ketiga, Neo-Modernis, yaitu kelompok yang mengedepankan nilai-nilai universal dalam Islam, seperti HAM dan pluralisme agama. Keempat, Islamis, yaitu kelompok yang mendorong diterapkannya Islam secara formal dalam kehidupan sosial maupun politik, serta cenderung bersifat eksklusif. Sementara Permata (2005; 2010: 19) mengusulkan pengelompokan umat Islam ke dalam empat kategori. Pertama, Kelompok Abangan: mencakup kategori ‘abangan’ dan ‘priyayi’ dalam klasifikasi Geertz. Istilah ini merujuk kepada kelompok Muslim yang secara formal beragama Islam namun dalam praktek kehidupannya tidak banyak mengenal tradisi agama Islam yang formal, yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan lebih mengikuti tradisi lokal. Konsekuensinya, dalam kehidupan politik kelompok ini tidak memiliki aspirasi khusus terkait dengan keagamaan, dan karenanya tidak memerlukan saluran partai politik berlabel Islam. Kedua, Kelompok Tradisionis: merujuk kepada sub-kategori “santri-tradisionalis” dalam tipologi Geertz. Kelompok ini menjadikan tradisi dan budaya Islam sebagai sumber pemahaman dan praktek keagamaan. Mereka mengenal dan mengakui sumbersumber skriptural (Al-Qur’an dan As-Sunnah), tetapi menempatkan otoritas dari sumber skriptural ini di bawah otoritas tradisi yaitu para ulama. Dengan kata lain, sumber-sumber skriptural tersebut hanya dapat dibaca oleh para ulama, dan umat Islam dari kelompok ini dalam kehidupan keagamaan mereka tidak merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan mengikuti fatwa dan ajaran para ulama. Secara organisatoris, ada beberapa organisasi kemasyarakatan sebagai wadah komunitas Muslim tradisionis di Indonesia, seperti NU, Perti dan Nahdhatul Wathan. Ketiga, Kelompok Modernis: kelompok yang merujuk kepada sub-kategori “santri-modernis”, yaitu kelompok yang beraliran puritan, yang menempatkan otoritas keagamaan kepada kitab-suci. Kelompok ini meyakini, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber ajaran yang dapat diakses langsung oleh semua umat Islam sesuai dengan kapasitas keilmuannya, sementara posisi ulama lebih sebagai pembimbing atau guru dan bukan pemegang hak eksklusif memahami dan menafsirkan kitab suci. Secara organisatoris, kelompok modernis direpresentasikan oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Keempat, Kelompok Islamis: kelompok ini menekankan pemahaman yang formalistik dalam kehidupan kegamaan dan beranggapan bahwa Islam adalah sebuah sistem peradaban yang lengkap. Karena itu, dalam kehidupan kolektif, umat Islam harus mendasarkan diri pada sistem dan lembaga Islam. Kelompok ini kemudian banyak mendorong dibentuknya lembagalembaga publik berlabel “Islam”, seperti negara/pemerintah Islam, ekonomi Islam, dan lain sebagainya. Kelompok Islamis secara umum terbagi ke dalam dua golongan, yaitu mereka yang anti-sistem, atau kelompok-kelompok yang secara ideologis tidak mengakui otoritas politik negara republik seperti Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin, dan mereka yang bisa menerima sistem negara republik seperti FPI, Hidayatullah, dan KPPSI di Sulawesi. 16 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Atas dasar empat klasifikasi terhadap kaum Muslim di Indonesia, Permata (2010: 18-21), mengelompokkan partai Islam di Indonesia ke dalam tiga kategori sesuai dengan basis sosio-kultural keagamaan Muslim Indonesia. Pertama, partai politik yang mewakili kelompok Muslim tradisionalis, seperti Partai NU, PKB, PPP, PKU, PNU, PKNU, dan PPNUI. Kedua, partai politik yang mewakili kelompok Muslim modernis antara lain Masyumi, Parmusi, PAN, PBB, PSII, PUI, dan PMB. Ketiga, partai politik yang mewakili kelompok Islamis. Kelompok ini muncul di era Reformasi yang direpresentasikan oleh PKS. Sedangkan kelompok Muslim abangan tidak memiliki afilisasi partai politik. Sementara Samson (1978: 199-200) membagi dinamika politik umat Islam di era Orde Baru ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok fundamentalis, yaitu kelompok yang mendukung penafsiran Islam yang kaku dan murni, menentang sinkritisme, menolak pengaruh Barat yang sekuler, dan menekankan keutamaan agama atas politik. Kedua, kelompok reformis, yaitu kelompok yang memandang bahwa Islam merupakan agama yang relevan dengan era modern. Sekalipun tetap menekankan keutamaan agama atas politik, kelompok ini bisa bekerjasama dengan kalangan sekuler atas ide-ide yang disepakati bersama. Ketiga, kelompok akomodasionis, yaitu kelompok yang cenderung tetap mengakui pentingnya perpaduan antara Islam dan fleksibilitas kepentingan politik untuk tujuan sosial dan ekonomi umat. Basya (2004: 27-33) membagi politik umat Islam di era reformasi ke dalam empat mainstream utama. Pertama, kelompok tradisionalis. Partai yang termasuk kelompok ini adalah PPP, PBR, dan PPNUI. Kelompok ini sering dikaitkan dengan NU sebagai basis pendukung utamanya. Kedua, kelompok modernis. Partai yang termasuk kelompok ini adalah PAN dan PBB. Kelompok ini selalu diidentikkan dengan Muhammadiyah sebagai basis pendukung utamanya. Ketiga, kelompok neo-revivalis. Partai yang termasuk kelompok ini adalah PKS. Kelompok Neo-Revivalis, meminjam istilah Fazlur Rahman, sering dikaitkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di Indonesia, variannya muncul dalam beberapa organisasi seperti KAMMI, HAMAS, Hizbut Tahrir, FPI, dan Majelis Mujahidin. Keempat, kelompok post-tradisionalis. Partai yang termasuk kelompok ini adalah PKB. Kelompok ini merupakan kelanjutkan kelompok tradisionalis. Mereka merupakan generasi pemikiran baru dari NU di mana warisan menurut mereka bukan sebagai sesuatu yang stagnan tetapi tetap terus hidup dan bisa dikontekstualisasikan sesuai dengan zamannya. Bila dilihat dari sisi metodologi, kelompok ini merupakan sintesa dari kelompok modernis dan tradisionalis. Dari sejumlah pandangan ilmuwan politik tentang polarisasi umat Muslim dalam dunia politik, dapat diambil titik temu dari teori-teori tersebut seperti tergambar dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.1. Klasifikasi Umat Muslim di Indonesia GEERTZ Abangan Tradisionalis Santri Modernis MEHDEN PERMATA SAMSON BASYA - - - - Tradisionalis - Tradisionalis - - Post-Tradisionalis Tradisionalis Modernis Modernis Reformis Modernis Tipologi Part ai Polit ik Islam 17 Tabel 2.1. Lanjutan GEERTZ MEHDEN PERMATA - Neo-Modernis - - Islamis Priyayi Islamis - - SAMSON Akomodasionis Fundamentalis - BASYA Neo-Revivalis - Sumber: Diolah oleh penulis. Dari tabel di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa umat Islam di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok mainstrem, yaitu tradisionalis, modernis, dan Islamis. Klasifikasi ini menjadi dasar terhadap pembagian partai politik Islam di mana kecenderungan cara beragama dan keyakinan mereka didasarkan pada masing-masing kelompok ini. Keyakinan itulah yang berdampak pada kesamaan sikap dan perilakunya dalam kehidupan politik praktis. Ketiga kelompok inilah yang menjadi kecenderungan tipologi partai politik Islam sepanjang sejarah Indonesia. B. PARTAI I SLAM T RADI SI ONALI S Istilah “tradisionalis” merujuk pada suatu kondisi masyarakat yang masih meyakini adat-istiadat yang telah menjadi warisan para pendahulunya dan kini tetap dilakukan oleh masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, partai Islam tradisionalis dapat dipahami sebagai partai Islam yang memiliki basis pemilih dan pendukung dari kalangan Muslim yang berpegang teguh pada tradisi Islam yang kuat terutama pada masyarakat pedesaan termasuk pedalaman. Tradisi Islam yang dimaksud adalah tradisi Islam yang sudah mengalami akulturasi dengan budaya Jawa, seperti tahlilan, yasinan, kenduri atau slametan, kajian kitab kuning, sikap patuh pada kyai serta berpola hidup sederhana. Kelompok ini tumbuh dan berkembang di kalangan pesantren. Karena itu, kelompok Islam tradisionalis sering disebut sebagai “kaum sarungan”. Basis sosial partai Islam tradisionalis merujuk pada organisasi Islam tradisionalis terbesar, yaitu NU. Secara kultural, ajaran dan praktek ibadah NU lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan dan pedalaman ketimbang ajaran-ajaran ibadah Muhammadiyah. Dengan demikian, partai politik Islam tradisionalis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki kesamaan identitas “Islam tradisional” antara elite dan basis pendukung. Kedua, basis pendukung utama bersal dari kawasan pedesaan dan pedalaman (meskipun di perkotaan tetap ada). Ketiga, asas partai cenderung Islam. Meskipun ada yang menggunakan pancasila sebagai asasnya, hakekatnya setiap gerakan dan doktrinnya berdasar pada ajaran-ajaran Islam. Keempat, khusus untuk PKB, partai ini tidak hanya sekadar partai tradisionalis an sich, tetapi jauh dari itu, PKB dapat dikelompokkan sebagai partai post-tradisionalis dengan asasnya pancasila. Partai post-tradisionalis merupakan partai kelanjutkan kelompok tradisionalis. Mereka terdiri dari generasi pemikiran baru NU di mana warisan harus terus dikontekstualisasikan sesuai dengan zamannya. Secara sederhana, kelompok post-tradisionalis dapat dikatakan sebagai titik temu antara kelompok modernis dan tradisionalis. Kelima, secara kultural partai Islam tradisionalis cenderung dekat dengan NU baik secara organisatoris maupun individu-individunya. 18 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia NU merupakan organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia yang berdiri pada tahun 1926 di Surabaya, Jawa Timur. Beberapa survei mutakhir menunjukkan, bahwa kurang lebih 40 juta masyarakat Muslim Indonesia mengaku sebagai warga NU. Sementara survei yang lain mengindikasikan bahwa ada sekitar 80 juta warga Muslim Indonesia yang mengaku sebagai kelompok tradisionis. Jika survei ini benar (karena belum ada survei kekinian yang bisa membuktikan lebih akurat), maka wajar jika kekuatan kelompok Islam tradisional terdiaspora ke dalam partai politik yang beragama (Islam). NU sendiri pernah mengganti jubahnya menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilu 1955 setelah resmi memisahkan diri dari Masyumi. Namun, akibat rezim Orde Baru, NU difusikan menjadi PPP bersamaan dengan partai Islam lainnya tahun 1973. Pasca konflik di internal PPP pada tahun 1980-an, NU menarik diri dari PPP dan mendeklarasikan kembali sebagai organisasi sosial non-politik. Menurut Feillard (1995: 7-15) sebagaimana yang dikutip oleh Permata (2010), secara historis kelahiran NU merupakan upaya artikulasi publik dan politik dari paham Islam tradisionis, serta status sosial kaum ulama. Di satu sisi, lahirnya NU dipicu oleh makin meluasnya pemahaman Islam modernis di kalangan Muslim Indonesia, terutama di kalangan ulama Sumatera Barat dan juga berdirinya Muhammadiyah tahun 1912. Gerakan modernisme Islam tidak hanya menyuarakan seruan pembaruan keagamaan, dengan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga dibarengi dengan tuduhan kepada kelompok tradisionalis sebagai pendukung praktik “bid’ah” dan bahkan “syirik” dalam kehidupan keagamaan Islam. Terbingkai dalam konteks nasional (rangkaian Kongres Al-Islam 1922-1926) serta konteks internasional (rencana pelarangan praktik keagamaan non-Wahabi oleh penguasan Arab Saudi), maka para tokoh kyai tradisionalis sepakat mendirikan organisasi untuk menyuarakan kepentingan mereka. Sejak tahun 1999, sebagai hasil dari Muktamar NU ke 30 di Lirboyo Kediri, NU mencanangkan program besar organisasi yang dikenal dengan 10 Program Dasar. Kesepuluh program ini merupakan reinterpretasi para pimpinan NU terhadap visi dan misi organisasi dalam konteks baru era reformasi. Berikut ini adalah 10 program dasar NU: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pengembangan kelembagaan Pemberdayaan sumberdaya dakwah Program pengembangan keagamaan Program pengembangan ekonomi ummat Pemberdayaan hukum dan keadilan Program pemberdayaan politik warga Program peningkatan kualitas pendidikan Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional Program pelayanan sosial Program mobilisasi dana dan pengelolaannya. C. PARTAI I SLAM M ODERN I S Istilah “modernis” merujuk pada satu kondisi kekinian, rasional, dan biasanya terdiri dari masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan memiliki cara berpikir yang pragmatis, ekonomis, memiliki pola hidup yang cenderung individualis serta tingkat pendidikan masyarakat yang jauh lebih maju dari Tipologi Part ai Polit ik Islam 19 pada kelompok tradisional. Dalam konteks ini, partai Islam modernis adalah partai politik yang merujuk pada masyarakat Muslim yang sudah maju dan biasanya berada di kawasan perkotaan. Meskipun mereka memiliki ketaatan pada tradisi Islam, tetapi itu semua tidak selalu mempengaruhi pola dan gaya hidupnya. Sebagai masyarakat yang berpikir rasional dan pragmatis, mereka tidak mudah untuk diarahkan pada satu pilihan tertentu. Dengan demikian, partai Islam modernis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, basis pemilihnya adalah kelompok Muslim terdidik (setidaknya pernah mengenyam pendidikan universitas). Kedua, secara geografis basis pemilih utamanya berada di perkotaan dan sub-urban (walaupun tidak menutup kemungkinan banyak juga di pedesaan dan pedalaman). Ketiga, asas partai cenderung nasionalis (pancasila) dan tidak menggunakan simbol dan atribut Islam pada setiap aksi-aksinya. Keempat, isu yang diusung ke publik adalah persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, HAM, pluralisme, dan lain sebagainya. Kelima, secara kultural partai-partai yang masuk dalam kategori ini dekat dengan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Secara spesifik, partai Islam modernis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok lagi. Pertama, Partai Islam Neo-Modernis: Partai yang mengusung isu-isu HAM, pluralisme dan gender serta cenderung anti-negara Islam. Kelompok ini dapat juga dikatakan sebagai Partai Islam Reformis. PAN dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kedua, Partai Islam Akomodasionis: Ideologi partai sering tidak digunakan sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan, cenderung berpola pikir pada keuntungan, tidak ingin berseteru dengan pemerintah, lebih suka pada model kerjasama daripada perlawanan, serta berorientasi pada kepentingan “kekuasaan” semata tanpa memperjuangkan basis konstituennya. Partai model ini bisa menggejala di semua partai Islam. Beberapa gerakan Islam yang mendukung partai Islam modernis adalah Muhammadiyah dan AlIrsyad serta ormas-ormas Islam modernis lain yang tersebar di tanar air. Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Pada awalnya, organisasi ini lebih banyak menangani masalah-masalah yang terkait dengan sosial kegamaan dengan memfokuskan program pada pendidikan, kesehatan serta penyediaan fasilitas dan layanan kepada kelompok yang kurang mampu. Namun dalam perkembangannya, kegiatan Muhammadiyah berkembang menjadi penyediaan layanan sosial profesional dengan sasaran kelompok menengah, serta kegiatannya meluas mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik. Di bidang politik, Muhammadiyah memiliki hubungan dengan politik praktis terutama sejak keterlibatan dalam perjuangan Sarekat Islam. Namun, pada tahun 1926 terjadi perpecahan di mana para tokoh di bawah sosok Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) harus keluar dari SI karena tidak diperbolehkan memiliki keanggotaan ganda. Beberapa tahun kemudian, Sukiman Wiryosanjoyo dan beberapa tokoh lain ikut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) dan melajutkan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kepartaian. Ketika kekuasaan kolonial Belanda berganti dengan penjajahan bala tentara Jepang, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi utama yang ikut mendirikan MIAI. Pasca kemerdekaan, Muhammadiyah menjadi salah satu anggota istimewa Partai Masyumi. Banyak tokoh Muhammadiyah menjadi petinggi partai tersebut dan mendapatkan posisi peting, termasuk menjadi perdana menteri. Di antara nama-nama tokoh Masyumi yang berasal dari Muhammadiyah adalah Sukiman Wiryosanjoyo, Mohammad Roem, dan Kasman Singodimedjo. Nama yang terakhir ini adalah 20 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia ketua umum Partai Masyumi ketika partai tersebut dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah tahun 1959, karena keterlibatan beberapa tokohnya dalam peristiwa pemberontakan PRRI di Sumatera Barat. Di era Orde Baru, Muhammadiyah melanjutkan keterlibatannya dalam politik kepartaian dengan ikut melahirkan Parmusi tahun 1967. Keterlibatan dalam politik masih berlanjut ketika Parmusi berfusi dengan partai Islam lain menjadi PPP dan menjadi salah satu faksi utama yang dikenal dengan Muslimin Indonesia (MI). Namun demikian, keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis semasa Orde Baru tidak terlalu menonjol. Menurut Permata (2010) hal ini disebabkan dua hal. Pertama, karena kebijakan politik rezim pemerintah yang otoriter kurang memberikan ruang kepada aspirasi oposisi, termasuk kelompok Islam. Kedua, fakta sosiologis Muhammadiyah yang memiliki basis kelas menengah, membuat organisasi ini memiliki kecenderungan untuk dekat dengan kekuasaan, melalui aktivitas sosial keagamaan yang tidak bercorak politik praktis. Pasca Orde Baru yang ditandai dengan era Reformasi, Muhammadiyah kembali muncul dengan semangat politik adiluhung. Di bawah komando Amien Rais yang saat itu menjadi ketua PP Muhammadiyah, lahirlah sebuah partai politik yang akan menjadi wadah aspirasi warga Muhammadiyah, yaitu PAN. Secara organisatoris, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan formal dengan PAN, tetapi banyak kader-kader Muhammadiyah yang turut membidani lahirnya partai ini baik di level nasional maupun lokal. Secara programatis, aspirasi politik Muhammadiyah terangkum dalam wacana yang dikenal sebagai pemikiran Muhammadiyah abad kedua. Secara umum, aspirasi programatis tersebut terbagi ke dalam tiga kategori: keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Selain Muhammadiyah dan Al-Irsyad, pendukung lain yang tergabung dalam kelompok ini adalah Badan Koordinasi Surau (BKS) yang menjadi basis pendukung PCD, Ormas GM Kiara yang menjadi basis pendukung PID, yayasan yang konsen pada anak yatim yang berpusat di Aceh yang menjadi basis pendukung PAY serta ormas-ormas modernis lain yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. D. PARTAI I SLAM I S Sebutan partai Islamis merujuk pada istilah yang digunakan oleh Douglas Webber (2007). Istilah lain yang digunakan untuk kelompok ini adalah “formal sharia group” (Hosen, 2007), “formalist Islamic parties” (Barton, 2006) atau bisa juga disebut sebagai partai Islam fundamentalis. Istilah “Islamis” dapat dipahami sebagai ajaran-ajaran Islam yang mendasar dan harus dipegang teguh. Sedangkan kata “fundamentalis” merujuk pada makna kuat dan kokohnya sebuah pendirian yang telah diyakininya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan partai Islamis adalah partai yang mengadopsi Islam terutama ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai ideologi mereka. Kelompok ini berkeyakinan, bahwa demokrasi dan kondisi kekinian hanya sebagai alat dan media untuk mengimplementasikan gagasan negara Islam serta cenderung suka dengan hal-hal yang simbolik dan antiBarat (Sukmajati, 2011: 14). Karena itu, partai-partai Islam yang termasuk dalam kelompok ini yakin bahwa asas partai mereka adalah Islam. Dengan demikian, partai Islamis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki basis konstituen dari kelompok Islam militan dan ideologis. Kedua, sebagian latar belakang pendidikan elitenya dari Timur Tengah dan sebagian yang lain adalah mantan aktivis dakwah kampus ketika menjadi mahasiswa. Ketiga, baik elite dan pendukungnya adalah kelompok anak muda dan secara geografis berada di perkotaan. Keempat, asas partai dalam kelompok ini adalah Islam dan cenderung selalu Tipologi Part ai Polit ik Islam 21 mengajarkan apa yang tekstual dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kelima, partai-partai yang termasuk kelompok ini cenderung lebih dekat ke Gerakan Tarbiyah, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahir, FPI, NU garis keras, Persis, Perti dan sejumlah organisasi Islam radikal lainnya. Namun demikian, gerakannya menyebar ke berbagai segmen dan menjadi corong utama perjuangan kelompok Islam militan. Kekinian di era Reformasi, kenyataan tentang partai Islam fundamentalis sudah mulai bergeser ke arah kartelisasi partai akibat dinamika politik tanah air. Sebenarnya, gerakan kelompok Islamis sudah ada sejak era Orde Lama, seperti pada Masyumi, Parmusi, PSII, Perti, PPTI, dan PPP. Hanya saja, nuansa perjuangan Islam yang ideologis dan sikap antagonis terhadap pemerintah tidak serta mereka mereka tunjukkan di setiap perjuangan mereka. Di Masyumi sendiri, kekuatan unsur Muhammadiyah sangat mendominasi partai pasca NU dan PSII keluar dari Masyumi. Begitu juga Parmusi yang pada awal berdirinya dibidani oleh kader-kader dari Muhammadiyah. Karena itu, untuk Masyumi dan Parmusi tidak dikategorikan sebagai partai Islamis. Sedangkan di Perti, dukung kuat mengalir dari internal orang-orang Perti yang berbasis geografis di Sumatera Barat, dan PPTI yang didukung sejumlah aliran dalam tarekat Islam. Kelompok Islamis mulai mencuat dan menunjukkan eksistensinya ke panggung politik nasional pasca Orde Baru yang diwakili oleh kaum revivalis Gerakan Tarbiyah di Indonesia yang kemudian mendirikan PK. Peran para aktivis Gerakan Tarbiyah sangat penting terhadap kemunculan PK hingga perkembangannya mengalami metamorfosa menjadi PKS. Gerakan ini tidak hanya memberikan warna baru bagi pergerakan Islam di Indonesia, tetapi kekhasan pemikiran keagamaannya menjadi salah satu kekuatan pendorong reformasi politik, sosial maupun budaya di Indonesia. Para pioner gerakan ini kini telah menjadi elite politisi nasional sekalipun sebelumnya mereka tidak banyak dikenal luas oleh masyarakat. Mereka awalnya hanyalah sekelompok anak muda yang memiliki keinginan untuk mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan yang universal melalui jalur politik (Mahmudi, 2005: 9). Jika kajian sosiologis-antopologis pada era Orde Baru menyebutkan bahwa varian santri hanya ada dua kelompok, yaitu tradisionalis diwakili oleh NU dan modernis diwakili oleh Muhammadiyah, kajian di era Reformasi bertambah satu varian lagi yaitu varian Islamis yang diwakili oleh kelompok Gerakan Tarbiyah. Para pencetus Gerakan Tarbiyah ini pada awalnya lahir dari latar belakang Islam tradisionalis maupun modernis. Hanya saja mereka tidak puas dengan sikap kedua organisasi tersebut (NU dan Muhammadiyah), sehingga berusaha mencari alternatif pemikiran dari luar Indonesia. Kelompok baru ini tergolong sangat kritis terhadap hegemoni Barat dan menaruh perhatian serius terhadap isu-isu internasional yang melibatkan umat Islam di belahan bumi lain. Dari berbagai gerakan Islam internasional, setidaknya ada empat arus besar yang telah mempengaruhi kelahiran Gerakan Tarbiyah di Indonesia, yaitu Ikhwanul Muslimin, Salafi, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Tabligh. Gerakan Tarbiyah sendiri secara khusus lebih banyak dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang kemudian mengokohkan eksistensi perjuangannya melalui pendirian PKS (Mahmudi, 2005: 9). Gerakan Tarbiyah pada intinya menyempurnakan model gerakan Islam yang selama ini telah dipraktekkan di Indonesia, yaitu menggabungkan gaya purifikasi dan gaya akomodasi sehingga disebut sebagai reislamisasi ala Gerakan Tarbiyah. Titik temu inilah yang menjadi jalan tengah antara kelompok tradisionalis yang berkeinginan menyempurnakan praktik-praktik agama menuju yang lebih ortodoks dan kelompok purifikasi yang memandang pentingnya gaya yang lebih fleksibel dalam praktiknya. Pemikiran 22 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Hassan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin) menjadi salah satu rujukan utama bagi para aktivis Gerakan Tarbiyah. Dalam mewujudkan negara yang Islami, Gerakan Tarbiyah tidak ingin terjebak pada orientasi negara sekuler atau negara Islami. Sejalan dengan konsep PKS, Gerakan Tarbiyah menggunakan pendekatan yang cenderung membumi dan fleksibel yang akan berdaya hidup panjang untuk merealisasikan ide-ide Islam dalam negara. Inilah yang disebut dengan politik dakwah (syiasatud dakwah) Gerakan Tarbiyah yang bercirikan fleksibel, supel, dan toleran (Mahmudi, 2005: 33-40). Secara programatis, aspirasi politik Jamaah Tarbiyah terangkum dalam berbagai model yang beragam sebagaimana dijelaskan berikut ini. 1. 2. MODEL KEGIATAN – Gerakan Tarbiyah menggunakan kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan sebagai bentuk penanaman ideologi mereka. Setidaknya ada lima model kegiatan yang mereka lakukan: a. Liqo’ yaitu program pertemuan rutin dan biasanya satu pekan sekali di mana kegiatan pengkajian nilai-nilai keislaman dilakukan dengan sistematis dan kontinyu. Biasanya kelompok liqo’ terdiri dari 5-15 anggota yang dipimpin oleh satu orang murabbi (guru atau pembimbing kelompok). b. Daurah adalah bentuk aktivitas yang menekankan pada pengayaan wawasan para anggota. Kegiatannya berupa mengumpulkan anggota atau calon anggota dalam jumlah relatif banyak di suatu tempat untuk mendengarkan cerah, kajian, penelitian atau pelatihan tentang suatu masalah yang dianggap relevan bagi keberlangsungan dakwah. Model kedua ini biasanya sering digunakan untuk rekruitmen anggota baru. c. Rihlah atau perjalanan merupakan bentuk pendidikan yang menekankan pada pembinaan fisik. Kegiatannya biasanya menyusuri rute-rute tertentu dengan berjalan kaki sepanjang hari. Biasanya, rihlah diadakan di luar kota dan memilih pemandangan alam yang menarik, seperti pegunungan dan pantai (Damanik, 2002: 125-132). d. Mabit merupakan kegiatan bermalam yang diselenggarakan bersama oleh para anggota kelompok dan murabbinya. Acara seperti ini biasanya diadakan satu bulan sekali, pada malammalam yang disepakati bersama, bertempat di salah satu rumah anggota secara bergantian. Bisa juga ditentukan di sebuah tempat, misalkan di masjid. e. Seminar dan bedah buku. Model seperti ini merupakan model resmi yang dilakukan oleh para aktivis Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kegiatan seperti ini sangat gencar dilakukan para aktivis gerakan ini di Indonesia, baik di dalam maupun di luar kampus. Para peserta yang berminat pun sangat banyak. Padahal biasanya jika acara-acara ilmiah sepi peminat. Tapi berbeda dengan topik-topik masalah Islam dan ideologi (Damanik, 2002: 133-137). BENTUK-BENTUK KELEMBAGAAN – Selain proses ideologisasi sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keislaman, Gerakan Tarbiyah juga melakukan sosialisasi ideologinya melalui berbagai bentuk kelembagaan resmi yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten, seperti munculnya Lembaga Bimbingan Belajar Nurul Fikri, terbitnya Majalah Sabili sebagai corong utama majalah Islam di Indonesia, penerbitan-penerbitan buku yang cenderung mempublikasikan tema-tema harakah, munculnya berbagai bentuk kesenian nasyid yang tampil dalam berbagai acara di tanah air, serta lahirnya sejumlah lembaga dakwah kampus yang namanya beragam dan mengusung nilai-nilai perjuangan Islam serta cenderung anti-Barat (Damanik, 2002: 152-178). Tipologi Part ai Polit ik Islam 23 3. PENGUASAAN LEMBAGA KEMAHASISWAAN – Pertumbuhan aktivitas dakwah kampus sepanjang tahun 1990-an menjadi sangat luar biasa. Nuansa Islam yang awalnya gersang menjadi tumbuh berkembang secara perlahan-lahan. Jumlah mahasiswi yang berjilbab dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak. Hampir di seluruh kampus negeri di Indonesia, kekuatan politik mahasiswa dikuasai oleh jaringan aktivis dakwah kampus. Kekuatan tersebut disadari dengan baik oleh para penggiatnya. Dari kesadaran itulah, dibuat jaringan yang tertata rapi di kemudian hari, yang membuat kekuatan politik mereka semakin menonjol, khususnya dalam momentum gerakan reformasi 1998 (Damanik, 2002: 178-182). 4. LAHIRNYA KAMMI – Forum Silaturahmi LDK Se-Indonesia ke-10 mengadakan pertemuan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 25-29 Maret 1998, dua bulan sebelum lengsernya Soeharto. Kegiatan rutin tahunan ini menjadi ajang untuk menyatukan visi dan misi sesama aktivis Islam di kalangan kampus. Namun, pertemuan kali ini berbeda, karena alasan-alasan moril serta keprihatinan melihat krisis yang berkepanjangan. Atas dasar itulah, forum tersebut menyepakati dibentuknya wadah yang dapat mengkoordinasikan dan menyatukan berbagai LDK di tanah air yang mengkonsentrasikan pada agenda politik. Atas dasar itulah, nama KAMMI lahir dari buah pikiran anak-anak muda tersebut (Damanik, 2002: 182-183). Dari sini dapat diketahui, bahwa partai Islam di Indonesia merupakan sejarah panjang yang menjadi sebuah keniscayaan karena kelompok Islam turut membangun republik ini jauh sebelum kemerdekaan. Dalam pembentukan maupun perjalanannya, setiap partai politik tidak bisa dilepaskan dari mana mereka berasal. Masing-masing partai Islam memiliki basis pendukung sesuai dengan tipologi yang digambarkan oleh Geertz dan ilmuwan lain yang mengkaji tentang Indonesia. Pada akhirnya, dapat ditemukan bahwa partai Islam di Indonesia memiliki kecenderungan ke arah tiga mainstream tipologi, yaitu partai tradisionalis, partai modernis, dan partai Islamis. Untuk mempermudah pemahaman tentang tipologi politik Islam di Indonesia, berikut ini disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 2.2. Tipologi Partai-partai Islam di Indonesia TIPOLOGI PARTAI KARAKTERISTIK TRADISIONALIS MODERNIS ISLAMIS Asas Pancasila/Islam Pancasila/Islam Islam Interpretasi Islam Tergantung Kyai Substantif Formal-tekstual Negara Islam Tidak setuju Tidak setuju Setuju Basis Sosial Nahdhatul ‘Ulama Muhammadiyah dan ormas modernis lain NU, Gerakan Tarbiyah, Persis, Perti, dll Orde Lama Partai NU Masyumi, AKUI PSII, Perti, PPTI Orde Baru Partai NU Parmusi PSII, Perti, PPP Orde Reformasi PKB, PKU, SUNI, PNU, PKNU, PPNUI PAN, PUMI, PID, PCD, PIB, PAY, PMB (Matahari Bangsa) PKS, PPP, PBR, PBB, PP, PUI, KAMI, PSII, PSII 1905, PPII, Masyumi Baru (PMB) Afiliasi Partai Sumber: Diolah oleh penulis. 24 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Dari dua tabel terakhir, dapat diambil beberapa catatan penting sebagai kesimpulan berikut ini: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kelompok tradisionalis dikuasai oleh partai-partai yang berasal dari basis sosial yang sama, yaitu NU. Perpecahan di kalangan partai-partai yang berbasis NU mulai muncul sejak pemilu 1999, tepatnya pasca Soeharto lengser dari kekuasaannya. Secara ideologis, kelompok tradisionalis terbagi menjadi tiga. Pertama, kelompok berasas pancasila, yaitu PKB dan SUNI. Kedua, kelompok berasas Islam, yaitu Partai NU, PKNU, dan PPNUI. Ketiga, kelompok berasas gabungan antara pancasila dan aqidah Islam ahlussunnah wal jamah, yaitu Partai Nahdhatul Ummah dan PKU. Meskipun berbeda ideologi, basis sosial dan pola gerakan partai-partai tersebut relatif cenderung sama dan sulit untuk dibedakan satu sama lain. Kelompok modernis sebenarnya tidak hanya memiliki basis sosial dari kalangan Muhammadiyah. Karena pada dasarnya, partai yang mengklaim memiliki basis sosial dari Muhammadiyah hanya PAN dan PMB. Selain itu, masing-masing dari mereka memiliki basis sosial dari kelompok-kelompok modernis lainnya. Sedangkan PUMI, PID, PCD, PIB, dan PAY memiliki basisnya sendiri-sendiri yang akan dijelaskan pada bab empat. Namun, pola gerakan partai-partai ini relatif tidak jauh berbeda satu sama lain. Asas Masyumi sebenarnya Islam. Tetapi dalam konteks ini dimasukkan sebagai partai modernis. Alasannya, secara historis meskipun Masyumi pada awalnya merupakan satu-satunya representasi partai Islam dan didukung kuat oleh seluruh elemen Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan lain sebagainya, tetapi NU di tengah jalan mengundurkan diri dan merubah dirinya menjadi partai. Begitu juga dengan Persis yang keluar dari Masyumi. Hanya Muhammadiyah yang mejadi penyokong utama Masyumi saat itu. Setelah dibubarkan oleh Seokarno, eks Masyumi ingin merehabilitasi partainya tetapi tidak disetujui oleh Soeharto dan menemukan jalan tengah dengan berdirinya Parmusi. Sedangkan NU tetap menjadi partai mandiri hingga ada kebijakan fusi partai. Mengenai partai Partai AKUI, pola gerakannya cenderung dekat dengan Masyumi. PPP di era Orde Baru pernah menggunakan pancasila sebagai asas partainya atas paksaan rezim yang berkuasa. Karena itu, fase tersebut bukanlah murni asas keinginan dari internal PPP. Pada kenyataannya, partai-partai Islamis di era Reformasi tidak begitu gencar dalam memperjuangkan gagasan syariat Islam (Negara Islam) seperti diperjuangkan oleh partai-partai Islam di era Orde Lama dan Orde Baru. Namun demikian, gagasan tersebut masih menjadi tujuan mereka atas dasar sejarah yang telah membentuk pola gerakannya. Partai Islam banyak lahir ke permukaan di era Reformasi, terutama pada pemilu 1999. Banyaknya partai Islam tersebut tidak terlepas dari euforia politik, di mana politik Islam pada era Orde Baru hanya disimbolkan melalui PPP saja, sehingga lengsernya Soeharto adalah momentum strategis bagi kebangkitan politik Islam atau politik santri. Namun, pada dua pemilu berikutnya, 2004 dan 2009, jumlah partai Islam perlahan mulai berkurang akibat sistem pemilu yang mensyaratkan adanya electoral treshold atau parliemantary treshold. -oo0oo- BAB 3 NEGARA DAN PEMERINTAHAN MENURUT ISLAM Bab ini membahas tentang: 1. 2. 3. 4. Model negara menurut Islam. Dalam sejarah Islam, ada tiga pemikiran yang berkembang tentang negara, yaitu negara Islam (Islamic state), negara sekuler, dan negara “Islam substantif”. Implementasi negara Islam di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, gagasan tentang negara Islam telah tiga kali mengalami kegagalan, yaitu pada saat sidang BPUPKI 1945, sidang Majelis Konstituante 1955-1959, dan sidang tahunan MPR RI 1999-2002. Karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara. Sistem pemilihan untuk seorang kepala negara. Berbicara tentang negara dan pemerintahan tidak terlepas dari perbincangan seputar sistem kenegaraan maupun sistem pemerintahan. Secara istilah, kata “sistem” dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian. Beberapa ilmuwan politik seperti Campbell (1979: 3) mendefinisikan sistem sebagai himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersamasama berfungsi mencapai suatu tujuan. Menurut Awad (1979: 4), sistem merupakan kumpulan komponen atau sub-sistem yang terorganisir dan berkaitan dengan rencana untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Konontz dan O’Donnell (1976: 14), sistem itu terdiri dari fakta, prinsip, doktrin, dan sejenisnya. Jadi, A. Rahman (2007: 4) meyimpulkan, bahwa sistem harus memenuhi unsur-unsur yang meliputi komponen, relevansi, fakta, prinsip, doktrin, fungsi dan tujuan bersama. Unsur-unsur tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling terkait dan mendukung dalam rangka mencapai tujuan organisasi atau negara. Sistem memiliki ciri-ciri yaitu, terbuka, terdiri dari dua atau lebih sub-sistem, saling ketergantungan, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kemampuan untuk mengatur dirinya, dan ada tujuan dan sasaran. Dengan demikian, sistem politik adalah keseluruhan dari interaksi- 26 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara otoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat (Rahman, 2007: 4). Dalam konteks negara modern, sistem politik dapat termanifestasikan pada lembaga trias politica, yaitu pembagian wewenang antara lembaga legislatif (mengurus masalah UU, mengawasi kinerja eksekutif, dan membuat anggaran), lembaga eksekutif (pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif), dan lembaga yudikatif (mengurus masalah konstitusi dan yang terkait dengan hukum). Selain itu, dengan adanya sistem pemilihan umum sebagai ajang rekruitmen pemimpin, sistem pembentukan partai politik, dan birokrasi sebagai penopang jalannya pemerintahan membuat tananan negara menjadi lebih teratur dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, berbicara tentang sistem pemerintahan Islam, berarti mengkaji tentang tatanan secara keseluruhan sebuah negara seperti bagaimana bentuk negara (khilafah atau negara sekuler)? Bagaimana karakteristik seorang kepala negara atau seorang pemimpin? Bagaimana sistem pemilihan seorang kepala negara? Apakah partai politik Islam diperlukan sebagai alat perjuangan? Serta bagaimana partisipasi warga negara untuk menciptakan kedamaian dan kemakmuran bersama. Kira-kira demikian pembahasan yang akan dikaji dalam bab ini. A. M ODEL N EGARA M EN U RU T I SLAM Sepanjang sejarah pemikiran politik Islam, kajian tentang bentuk negara merupakan salah satu perdebatan yang belum tuntas. Perdebatan tentang negara Islam (khilafah) seolah tidak selesai ditelan zaman. Dari generasi ke genarasi, perjuangan sebagian kelompok Islam selalu muncul untuk meneriakkan dengan keras tentang negara Islam yang ideal sebagaimana cita-cita Islam pada zaman Rasulullah SAW. Secara ekstrem, dalam literatur Islam ada dua arus utama perdebatan tentang bentuk negara, yaitu negara Islam atau disebut dengan khilafah dan negara sekuler. Dalam tradisi Syiah, konsep negara Islam sangat cocok dan menjadi pemikiran utama mereka. Sedangkan dalam tradisi Sunni, konsep khilafah bukanlah pilihan untuk sebuah negara. Konsep negara lebih dikenal dengan imarah atau lebih mudahnya adalah pemerintahan yang dibentuk oleh umat, dari umat, dan untuk umat. Sebuah pemerintahan bukan lahir dari Tuhan yang diturunkan untuk umat manusia. Karena itu, kecenderungannya adalah negara sekuler. Menurut Al-Farabi, konsep negara itu seperti struktur tubuh manusia yang masing-masing bagian memiliki fungsi yang berbeda seperti yang pernah dinyatakan oleh Plato, filsuf Yunani. Negara ideal dalam angan-angan Al-Farabi adalah negara utama, yaitu negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara, dibantu oleh mereka yang berbakat membantu kepala negara. Di bawahnya masih ada lagi yang membantu struktur di atasnya. Sederhananya, sistem masyarakat itu seperti piramida. Di atasnya diduduki oleh filsuf, di bawahnya ada kelompok tentara yang mendukung penguasa dan di bawahnya lagi ada masyarakat tani, tukang, dan lainnya. Untuk menjadi seorang kepala negara, setidaknya harus memenuhi syarat-syarat berikut ini, yaitu, lengkap anggota badannya; baik pemahaman, daya ingat, dan intelektualitasnya; cerdas; pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; cinta ilmu pengetahuan; tidak rakus; cinta kejujuran dan benci kebohongan; berjiwa besar dan berbudi luhur; cinta keadilan dan benci kedzaliman; kuat pendirian; dan tidak terikat dengan materi atau uang (Iqbal dan Nasution, 2010: 13-14). Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 27 Dengan struktur piramida terbalik dan analogi tubuh manusia tersebut, sebuah negara yang ideal akan terwujud dan dapat bekerja sesuai dengan bidang dan tugasnya masing-masing. Karena itu, negara tidak boleh diatur oleh banyak orang. Jika semua orang ingin menjadi kepala negara dan jabatan kepala negara diduduki oleh banyak orang, tunggulah saatnya kehancuran sebuah negara tersebut. Harus ada simbol kepala negara sebagai komando utama yang kemudian dibantu oleh orang-orang yang patuh dan mampu menjalankan amanah seperti akal yang mengatur tubuh, perut, kaki, dan anggota badan yang lainnya. Di Indonesia, meskipun telah ditetapkan sebagai negara sekuler dan memilih pancasila sebagai landasan ideologi negara, sebagian kelompok Islam tetap memperjuangkan gagasan negara Islam yang dianggap lebih tepat sebagai asas negara ketimbang pancasila yang tidak jelas orientasinya. Sepanjang sejarah Islam, perdebatan tentang negara setidaknya terbagi menjadi tiga arus utama: (1) Bentuk khilafah Islamiyah atau negara Islam; (2) Negara sekuler; dan (3) “Negara Islam” substantivistik. Model Pertama: Khilafah Islamiyah Gagasan tentang khilafah Islamiyah atau negara Islam banyak dijumpai pada gagasan para pemikir Islam abad klasik (hingga tahun 1250 M), abad pertengahan (1250-1800 M), dan abad modern (1800 Msekarang). Mereka berpandangan, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik. Karena itu, agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Justru, agama harus dijadikan sebagai landasan untuk menyelamatkan sebuah negara. Umat Islam harus meneladani politik yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW dan penerusnya, tanpa harus mereplikasi apa yang telah dilakukan oleh Barat. Gagasan tentang negara Islam dapat kita jumpai pada tokoh-tokoh seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan Al-Banna, Al-Maududi, dan Sayyid Quthb (Iqbal dan Nasution, 2010: 57, 235). Menurut Al-Mawardi, negara Islam harus ada sebagai pengganti era kenabian dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah sebuah kewajiban. Alat untuk mewujudkan kemaslahatan itu adalah negara. Hal ini pula yang dilakukan oleh kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbas sebagai lambang pemersatu politik umat Islam. Hal senada juga diungkapkan oleh Al-Ghazali. Menurutnya, agama dan kekuasaan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Agama adalah dasarnya dan sultan adalah penjaganya. Setiap orang harus patuh pada penguasa, karena kekuasan kepala negara itu suci dari Tuhan. Dalam pandangan Al-Ghazali, kekuasaan itu dipilih oleh Tuhan. Karena itulah, sistem pemerintahan yang tepat adalah sistem pemerintahan teokrasi. Di sinilah letak perbedaan Al-Ghazali dengan Al-Mawardi. Jika dalam gagasan Al-Mawardi ada kemungkinan untuk melakukan pemakzulan terhadap seorang pemimpin, sedangkan dalam gagasan Al-Ghazali sama sekali tidak dibicarakan masalah ini. Bahkan, kepala negara tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi langsung kepada Tuhan (Iqbal dan Nasution, 2010: 18, 29-31). Menurut Rasyid Ridha, khilafah merupakan kepemimpinan menyeluruh dalam persoalan yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan duniawi sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW. Menurut Ridha, khilafah itu wajib dan sistemnya bersifat internasional (kekuasaan politik yang mendunia). Artinya, dunia Islam hanya mengenal satu khilafah dan seorang khalifah. Tidak dibenarkan adanya dua 28 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia khalifah. Alasannya adalah sabda Muhammad SAW, yaitu Apabila satu negara mempunyai dua khalifah, maka bunuhlah salah satu dari keduanya. Dengan satu konsep satu khilafah dan satu kekuasaan politik, Ridha menolak negara kesatuan berdasarkan kebangsaan (nasionalisme) menurut konsep Barat dengan mengesampingkan fanatisme, sebab dalam Islam, rasa kebangsaan bisa tumbuh di atas dasar agama. Untuk mewujudkan proyek khilafah tersebut, Ridha menggagas perlu adanya muktamar Islam di Mesir yang dihadiri oleh wakil-wakil semua negara Islam dan umat Islam dengan menetapkan bahwa Mesir adalah satu-satunya negara yang layak menjadi penyelenggara dan tuan rumah pertemuan akbar tersebut. Gagasan acara ini pernah terlaksana tahun 1926 M tetapi tidak mencapai titik temu alias gagal karena tidak ada kesepakatan siapa yang berhak menjadi khalifah, apakah Mesir ataukah Turki ataukah negara Islam yang lain (Iqbal dan Nasution, 2010: 83-87). Bagi Hassan Al-Banna, negara Islam ada sebuah kebutuhan dan merupakan konsep yang ideal. Hal ini didasarkan pada dua hal. Pertama, lemahnya nalar intelektualitas kaum Muslim tentang konsep Islam sehingga lemah pula di hadapan Barat. Kedua, kaum muda Islam yang terdidik semakin terasing dari tradisi budaya dan intelektual mereka sendiri karena menelan mentah-mentah konsep politik Barat tanpa sedikit pun mempertimbangkan tradisi Islam yang jauh lebih berwibawa. Karena itu, khilafah dalam pandangan Al-Banna harus mampu mengkoordinasikan seluruh negara Islam yang ada di bawah komandonya. Polanya adalah negara-negara Islam yang sepakat tersebut bermusyawarah untuk memilih mediator yang disepakati sebagai pemimpin seluruh umat. Dengan demikian, bentuk negara yang ideal adalah negara koordinatif yang berbentuk khilafah, tetapi kekuasaan negara bagian tetap diperhatikan (Iqbal dan Nasution, 2010: 198-199). Menurut Al-Banna, setidaknya ada tiga prinsip yang harus dipegang dalam sebuah negara Islam. Pertama, penguasa harus bertanggung jawab kepada Allah SWT dan rakyat. Penguasa bahkan dianggap sebagai abdi rakyat. Kedua, bangsa-bangsa Muslim harus bersatu, karena persaudaraan Muslim merupakan prinsip iman. Ketiga, bangsa-bangsa Muslim berhak memonitor tindakan penguasa, menasehati penguasa, dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati. Atas dasar itu, negara Islam harus berupaya melakukan beberapa hal: (1) Menyediakan lapangan pekerjaan bagi umatnya dalam berbagai bentuk seperti bidang industri mupun pertanian. Para pekerja pun harus mendapatkan hak gaji yang memadai dan asuransi kesehatan; (2) Negara Islam harus mengurangi jurang antara si kaya dan si miskin; dan (3) Penguasa harus bertindak tegas terhadap siapa saja yang mencari nafkah dengan cara maksiat. Dari sini terlihat, bahwa gagasan khilafah Al-Banna sebenarnya tidak terkesan kaku. Dia hanya menginginkan negara-negara Islam dapat bersatu untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam (Iqbal dan Nasution, 2010: 200-202). Karena itu, gagasan khilafah Al-Banna tidak sekaku gagasan yang lain. Al-Banna termasuk salah satu orang yang bersikap elastis dalam mewujudkan negara Islam. Perlu banyak tahapan yang harus dilakukan untuk menuju negara Islam. Dengan demikian, sifatnya bukanlah dengan cara kekerasan atau revolusi fisik, tetapi terlebih dahulu dengan menghidupkan semangat Islam di seluruh aspek kehidupan manusia (Iqbal dan Nasution, 2010: 208). Sedangkan menurut Al-Maududi, negara Islam adalah negara yang mempunyai sistem tersendiri yang berbeda dengan negara sekuler, baik menyangkut sifat, karakteristik maupun tujuannya. Islam adalah antitesis demokrasi Barat, karena landasan demokrasi Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 29 dalam penentuan nilai-nilai perilaku sepenuhnya berada di tangan rakyat. Namun, negara Islam yang dimaksud Al-Maududi adalah negara Islam yang bersifat universal, tidak membatasi ruang lingkup kegiatannya. Lapangan kegiatannya bersifat koeksistensif dengan seluruh umat manusia. Dalam negara seperti ini, tidak seorang pun dapat mengklaim urusan-urusan kehidupannya bersifat pribadi. Semua milik bersama. Islam pun tidak mengakui sekat geografis, bahasa atau warna kulit (Iqbal dan Nasution, 2010: 180-182). Karena itu, negara Islam memiliki tujuan sebagai berikut. Pertama, menghapus adanya eksploitasi antar-manusia maupun antar-kelas. Kedua, memelihara kebebasan warga negara dan melindungi dari invasi bangsa asing. Ketiga, menegakkan keadilan sosial. Keempat, mendorong setiap kebajikan dan memberantas kejahatan. Kelima, mengayomi seluruh umatnya tanpa adanya diskriminasi. Secara lebih terperinci, Al-Maududui menawarkan gagasan perlunya lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara ketat. Ketiga lembaga itu adalah lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif yang masing-masing memiki tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. (Iqbal dan Nasution, 2010: 183-186). Senada dengan Al-Maududi, Sayyid Quthb mengembangkan konsep pemerintahan kedaulatan ilahi. Menurutnya, bentuk pemerintahan yang ideal adalah suatu negara yang berdasarkan kedaulatan hukum ilahi. Sistem pemerintahan di dunia harus berdasarkan penghambaan diri kepada Tuhan saja. Kemudian, di bawah sistem umum ini setiap manusia boleh memilih akidah yang dianutnya. Dengan begitu, setiap agama telah menjadi milik Tuhan. Karena itu, Quthb menolak kedaulatan rakyat. Baginya, manusia hanyalah pelaksana kedaulatan hukum Tuhan dan tidak dibenarkan menjalankan hukum yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. Pemerintahan negara Islam harus dibangun di atas asas keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan musyawarah (Iqbal dan Nasution, 2010: 213-215). Hamid (2001: 115-120) memberikan empat karakteristik sebuah negara Islam. Pertama, negara Islam adalah negara tauhid yang bebas. Selama keadilan diloyalitaskan kepada Allah, maka hasilnya adalah penyatuan loyalitas tersebut akan membebaskan manusia. Kedua, negara Islam adalah negara yang diperuntukkan bagi manusia. Negara tidak milik seseorang atau sekelompok orang, tetapi untuk semua penghuni dan alam semesta yang ada di dalamnya. Ketiga, negara Islam adalah negara undang-undang. Karena itu, baik pemimpin maupun rakyatnya harus berkhidmat kepada syariat yang telah ditetapkan. Keempat, negara Islam bukanlah negara teokrasi tetapi negara yang berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang universal. Dengan demikian, di antara pemahaman para pemikir Islam tentang negara Islam terdiaspora dari yang mulai fundamental hingga cenderung mengarah pada model moderat seperti yang dipaparkan di atas, yaitu pemberlakuan nilai-nilai Islam yang universal. Di Indonesia, kelompok pendukung dan pejuang gagasan ini adalah Hizbut Tahrir, FPI, Majelis Mujahidin, PKS serta kelompok-kelompok Islam lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Model Kedua: Negara Sekuler Gagasan utama kelompok ini adalah perlunya pemisahan antara agama dan negara. Mereka berpandangan, bahwa Islam dan politik adalah dua hal yang berbeda. Islam tidak menggariskan aturan 30 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia politik yang baku dan Muhammad SAW tidak diutus untuk mendirikan negara. Untuk kemajuan, umat Islam harus meniru kebudayan yang telah maju, dan itu adalah Barat. Karena itu, Islam tidak boleh raguragu untuk mengadopsi peradaban Barat, termasuk politik, ke seluruh aspek kehidupan. Para pemikir Islam yang masuk dalam kategori ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun Mustafa Kemal Ataturk, Thaha Husein, dan Ali Abdurraziq (Iqbal dan Nasution, 2010: 57, 235). Ibnu Taimiyah setuju dengan konsep imarah serta menolak model pemerintahan Sunni yang diterapkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas. Menurut Ibnu Taimiyah, penegakan negara Islam bukanlah ajaran dasar Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis masyarakat saja. Karena itu, Ibnu Taimiyah menolak konsep imamah yang ditawarkan oleh Al-Mawardi atau konsep khilafah yang menjadi agenda mayoritas kalangan Sunni. Al-Qur’an sendiri sebenarnya tidak pernah menyinggung masalah imamah. Jadi, secara yuridis-formal tidak ada konsep imamah yang sah. Bahkan para sahabat Nabi tidak pernah menarik kesepakatan bahwa otoritas politik perlu ditegakkan untuk kebaikan pelaksanaan perintah-perintah agama. Karena itu, tawaran Ibnu Taimiyah tentang bentuk negara adalah konsep imarah (pemerintahan). Pemilihan seorang kepala negara tidak harus dibaiat oleh segelintir ulama, tetapi perlu adanya sekelompok orang-orang yang memiliki kekuatan (ahl asy-syawkah) yang ditugaskan untuk mencari seorang kepala negara yang sesuai dengan kehendak umat. Praktisnya, Ibnu Taimiyah setuju dengan adanya semacam panitia pemilihan yang memiliki kekuatan penuh untuk mengadakan proses kandidasi calon kepala negara yang terpilih (Khan, 2001: 222; Iqbal dan Nasution, 2010: 34-36). Sedangkan menurut Ibnu Khaldun yang telah berkecimpung dalam dunia politik praktis, sistem pemerintahan dalam pemikirannya sama dengan Ibnu Taimiyah. Karena itu, jika Al-Mawardi dan AlGhazali setuju dengan konsep khilafah, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun berpandangan sebaliknya, alias lebih setuju dengan konsep imarah. Senada dengan itu, Ali Abdurraziq juga merupakan salah satu pemikir yang menolak khilafah sebagai bentuk ideal pemerintahan Islam. Bahkan, Thaha Husein mengusulkan peniruan mentah-mentah terahadap sistem politik Barat. Sementara itu, Mustafa Kemal Ataturk bergerak lebih jauh lagi. Ia menolak peran agama dalam politik praktis dan membangun sebuah negara Turki modern yang sekuler. Hal-hal yang berbau agama tidak boleh masuk dalam tataran politik praktis. Agama hanyalah urusan personal yang tidak diatur oleh agama (Iqbal dan Nasution, 2010: 49-50, 235). Di Indonesia, gagasan sekulerisasi antara agama dan negara telah digagas oleh Nurcholis Madjid alias Cak Nur, murid Fazlurrahman dan pernah “nyantri” di Chicago University, yang mempopulerkan sebuah ungkapan Islam yes partai Islam no pada awal tahun 1980-an. Tujuan dari gagasan ini adalah bahwa Cak Nur menolak segala bentuk partai politik yang melabelkan dengan simbol maupun asas agama serta menjauhkan agama dari kehidupan politik praktis. Jika Islam dicampurkan dengan urusan politik praktis, menurut Cak Nur, maka kesucian Islam akan ternodai. Gagasan ini kemudian ditangkap oleh kelompok muda kiri Islam seperti Ulil Abshar-Abdalla dkk yang kemudian menamakan diri mereka sebagai JIL alias Jaringan Islam Liberal yang salah satu agendanya adalah melanjutkan gagasan sekulerisasi tersebut. Model Ketiga: “Negara Islam” Substantivistik Kelompok ketiga ini menolak pandangan kelompok pertama dan kedua dan berusaha menjembatani arus pemikiran yang bertentangan tersebut. Mereka tidak menolak mentah-mentah Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 31 pemikiran politik yang berasal dari Barat, tetapi juga tidak menerima apa adanya warisan pemikiran Islam yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Menurut mereka, Islam hanya memberikan seperangkat nilai-nilai politik yang harus diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi umatnya. Karena itu, umat Islam dapat mengadopsi politik Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam (Iqbal dan Nasution, 2010: 57, 235-236). Para pemikir Islam yang masuk dalam kategori ini adalah Muhammad Iqbal, Jamaluddin AlAfghani, Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, dan Mohammad Natsir. Mereka dapat menerima demokrasi dan sosialisme, misalnya, tetapi diberikan nilai-nilai religiusitas. Mereka juga tidak sepenuhnya dapat menerima sistem pemerintahan khilafah universal yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Karena itu, kelompok ketiga ini mencoba merumuskan sistem pemerintahan Islam dengan tetap berpijak pada akar-akar keislaman yang kokoh seperti syura, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pemikiran-pemikiran politik yang berkembang dan tidak bertentangan dengan nilainilai ajaran Islam (Iqbal dan Nasution, 2010: 236). Pemikiran yang ketiga inilah yang cenderung digunakan dan telah diberlakukan di Indonesia. Pancasila yang telah menjadi asas negara secara universal tidak bertentangan dengan Islam, bahkan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya adalah nilai-nilai utama yang juga terkandung dalam pemikiran-pemikiran mendasar di agama Islam. Karena itu, pilihan moderat inilah pilihan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia dan tetap dipegang teguh agar konflik di Indonesia dapat diredam sehingga perdamaian dan kesejahteaan rakyat dapat terwujud dengan sebenar-benarnya. Kelompok yang tergabung dalam gagasan ini cenderung lebih moderat daripada dua gagasan ekstrem di atas. Kelompok ini memilih jalan tengah terhadap kebuntuan dua jalur ekstrem di atas. Negara Islam menurut kelompok ini adalah negara yang menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif tanpa harus menggunakan simbol keagamaan. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini banyak muncul dari kalangan kampus seperti Ahmad Syafii Ma’arif, Amein Rais, Komaruddin Hidayat, Dawam Rahardjo, Munir Mulkhan, Azyumardi Azra, dan Amien Abdullah. Mereka juga dapat disebut sebagi cendikiawan Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat atau setidaknya mempelajari teori-teori ilmu sosial dan ilmu-ilmu sekuler lainnya. B. I M PLEM EN TASI N EGARA I SLAM DI I N DON ESI A Secara legal-formal, bentuk negara dan aturan yang ada di dalamnya tidak pernah dijelaskan secara terperinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah sebagai sumber ajaran utama Islam. Karena itu, tidak ada perintah kewajiban bagi umat manusia untuk mendirikan negara Islam. Meskipun negara Madinah yang dibangun pada zaman Muhammad SAW dijadikan sebagai prototipe negara Islam, tetapi sebenarnya kota tesebut tidak sedang dirancang menjadi benchmark negara Islam secara legal-formal seperti yang sedang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin. Dalam perkembangannya, menurut Jurdi (2008: 26-27), Madinah mejadi pusat pemerintahan Islam seluruh dunia meskipun mengalami perpindahan ke beberapa negara lain seperti ke Andalus, lalu ke Baghdad, dan terakhir ke Turki Utsmani. Pasca negara Islam Turki yang berakhir pada tahun 1924, umat Islam tidak lagi memiliki pusat pemerintahan Islam. Meskipun sudah digagas untuk kembali mendirikan khilafah Islamiyah pada dekade 1920-an, tetapi usaha itu belum menuai hasil. 32 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Hancurnya khilafah Islamiyah di Turki dan sulitnya membangun kembali khilafah tersebut diduga kuat diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, lemahnya penegakan syariat Islam dan bersamaan dengan itu semakin menguatnya kehidupan yang materialistik dan hedonistik di kalangan elite Islam. Kedua, perilaku korup yang dilakukan oleh para penguasa Islam, sehingga para penguasa tersebut mengalami kesulitan untuk menegakkan keadilan dan bersikap jujur. Ketiga, adanya skenario pihak luar yang menginginkan hilangnya simbol politik Islam dari muka bumi. Menurut Barat, politik Islam membahayakan demokrasi dunia. Keempat, konflik di internal elite-elite Islam yang tidak pernah berakhir sehingga memudahkan kaum imperialis Barat untuk mengatakan bahwa pemerintahan Islam harus dihilangkan dan diganti dengan model demokrasi Barat yang lebih manusiawi (Jurdi, 2008: 27). Dampaknya, negara Islam seolah hanya utopia saja. Hal ini berlaku juga di Indonesia. Di tengah masyarakat yang heterogen dan majemuk serta konflik horizontal yang salah satunya diakibatkan oleh konflik agama, maka sulit bagi kelompok Islam untuk mengimplementasikan gagasan negara Islam di Indonesia. Jika kita menengok sejarah, dinamika antara Islam dan politik telah dimulai sejak menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika perdebatan tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Menurut Anshari (1997: 27-28, 34), perdebatan di antara para anggota sidang memunculkan dua gagasan utama tentang dasar negara. Kelompok nasionalis Islam menginginkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler menginginkan Indonesia sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan antara urusan negara dan Islam, dengan kata lain: bukan negara Islam. Selain kelompok nasionalis Islam, seperti Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoe-joso, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, dan Wachid Hasyim yang tergabung dalam “Panitia Sembilan” sebagai penggagas Piagam Jakarta, anggota sidang BPUPKI lainnya yang juga mendukung Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo, saat itu menjabat ketua PP Muhammadiyah. Kemudian, sehari setelah kemerdekaan, 18 Agustus 1945, anggota PPKI yang terdiri dari 21 orang mengadakan sidang untuk menetapkan UUD beserta mukadimah dan persoalan lain yang diusulkan oleh para anggota sebelum dan sesudah kemerdekaan (Anshari, 1997: 46). Dalam sidang itu, Mohammad Hatta menyampaikan beberapa usulan perubahan, di antaranya perubahan pada preambul Piagam Jakarta, yaitu anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjelankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Thaba, 1996: 47). Pada awalnya, sebagian anggota sidang PPKI menolak gagasan Bung Hatta (sapaan akrab Mohammad Hatta), seperti Ki Bagus Hadikusumo. Namun, setelah Bung Hatta, Teuku Muhammad Hasan, Wachid Hasyim, dan Kasman Singodimejo meyakinkan Ki Bagus dengan berbagai alasan agar jangan sampai pecah dengan non-muslim demi kemerdekaan Indonesia, akhirnya Ki Bagus menyetujui perubahan tersebut. Akhirnya, syariat Islam sebagai ideologi negara mengalami kegagalan. Sepuluh tahun kemudian, babak kedua mengenai perdebatan negara Islam kembali muncul kepermukaan dalam sidang Majelis Konstituante setelah Pemilu 1955. Menurut Syafii Maarif (1984: 7475), Majelis Konstituante diharapkan mampu membuat UUD yang permanen untuk menggantikan UUD Sementara yang pernah dimiliki. Namun, usaha itu belum dapat terselesaikan sekalipun sudah mencapai 90% hingga sidang terakhirnya, 2 Juni 1959. Situasi yang setengah macet ini diatasi oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juni 1959 dengan membubarkan Majelis Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD ‘45 sebagai dasar ideologi negara, dengan tetap Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 33 mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang menjiwai UUD ’45 dan merupakan satu rangkaian dengan UUD tersebut. Ini artinya, perjuangan syariat Islam kembali menemukan kegagalan untuk yang kedua kalinya. Pada era Orde Baru, kekuatan-kekuatan politik Islam dibendung agar tidak muncul ke permukaan. Hal ini mengakibatkan perjuangan politik Islam tidak dapat bergerak bebas, apalagi ketika penguasa saat itu menerapkan asas tunggal pancasila sebagai satu-satunya landasan dalam setiap kehidupan warga negaranya. Di rezim Soeharto, gagasan negara Islam dibungkam rapat-rapat. Meskipun demikian, gerakan bawah tanah dari kelompok Islam militan tetap dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil. RM Kartosuwiryo merupakan tokoh sentral di balik deklarasi pendirian NII. Di beberapa daerah muncul organisasi Islam garis keras yang melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru, seperti Jamaah Warsidiyah di Talangsari (Lampung) sehingga terjadi pembantaian terhadap para jamaahnya oleh aparat pemerintah pada tahun 1989, KPPSI di Makassar (Sulawesi Selatan), dan KPSI di Sumatera Barat. Kasus Tanjung Priok juga disebabkan persoalan penodaan agama oleh aparat militer yang masuk masjid pakai sepatu dan membuat marah warga sekitar. Meskipun dibungkam, teriakan dari bawah tanah untuk mendirikan gagasan negara Islam selalu muncul dalam berbagai bentuk perjuangan. Pasca tumbangnya rezim Soeharto, perjuangan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 muncul ke pelataran publik terutama dalam Sidang Tahunan MPR yang berlangsung sejak 2000-2002. Dalam sidang tersebut, muncul dua arus sikap. Pertama, sikap mendukung terhadap gagasan negara Islam yang diwakili kelompok nasionalis Islam seperti F-PPP dan F-PBB. Kedua, sikap penolakan terhadap gagasan tersebut yang diwakili oleh kelompok nasionalis sekuler seperti F-PDIP, F-PG, F-KB, dan F-Reformasi. Menurut laporan riset yang dilakukan oleh Sumarjan dkk (2002: 37) dari Inside Jakarta, setujunya kelompok Islam terhadap pemberlakukan Piagam Jakarta didasarkan pada alasan, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, syariat Islam dapat menjadi alternatif di tengah kegagalan penegakan hukum sekuler, dan secara historis perdebatan tentang Piagam Jakarta belum selesai. Sedangkan ketidaksetujuan kelompok nasionalis terhadap pemberlakukan Piagam Jakarta karena menghidupkan kembali Piagam Jakarta sudah tidak relevan lagi untuk konteks sekarang. Jikalau ada pihak yang mengangkat isu tersebut, itu hanya untuk komoditas (jualan) politik saja. Akibatnya, akan terjadi ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama dan akan merusak sendi hukum serta mengundang perpecahan bangsa. Pada dasarnya, negara tidak berhak mencampuri urusan keyakinan seseorang. Perkembangan isu Piagam Jakarta diikuti juga oleh proses negosiasi antar partai ketika pleno Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR yang membahas pasal 29. Hasil negosiasi itu menghasilkan empat pembahasan alternatif sebagai berikut. Perdebatan di parlemen berlanjut pada, apa dampak dari pemberlakuan Piagam Jakarta? Menurut laporan Sumarjan dkk (2002: 45), kelompok nasionalis menyatakan, pemberlakukan Piagam Jakarta akan berdampak pada hak eksklusif dan diskriminasi pada sebagian warga negara, dualisme dalam penegakan hukum di Indonesia, terjadi gejolak sosial antar warga negara, dapat mengakibatkan disintegrasi, dan akan merubah Indonesia menjadi negara agama. Sedangkan kelompok Islam menyatakan, pemberlakukan Piagam Jakarta akan berdampak pada lebih mudahnya pemberantasan KKN, pelacuran, perjudian, dan kemaksiatan lainnya, sehingga umat Islam akan lebih terjamin dalam menjalankan keyakinannya. 34 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 3.1. Empat Alternatif Rumusan Dasar Negara yang Muncul dalam Sidang Tahunan MPR No. Rumusan Partai Pendukung 1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa F-PDIP dan F-PG 2. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan F-PPP dan F-PBB kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 3. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan F-PKB dan F-Reformasi kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing 4. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian Tidak ada satu pun fraksi yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang yang mendukung dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ alternatif ini perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Sumber: Sumarjan dkk (2002: 42); Ambardi (2009: 240-244). Dari sini telah nampak, bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok Islam tidak berhasil. Terbukti upaya-upaya itu tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Bagi sebagian pengamat, kandasnya perjuangan dalam amandemen pasal 29 merupakan kekalahan politik Islam. Sementara bagi sebagian pihak yang memperjuangkan amandemen tersebut, mereka merasa tidak kalah. Hanya belum menang. Tembok terlalu tangguh. Perjalanan harus tetap berlangsung. Siapa tahu ada peluang ke depannya. Menang, kalah, belum berhasil, gagal atau apapun namanya memang biasa dalam perjuangan politik. Tetapi persoalan memperjuangkan pasal 29 telah membelah umat Islam ke dalam pro dan kontra secara ekstrem, baik di internal partai maupun di lingkungan organisasi sosial keagamaan umat Islam, termasuk Muhammadiyah. Bagi partai dan kelompok Islam yang memperjuangkan tujuh kata tersebut, itu merupakan langkah perjuangan Islam. Dengan amandemen itu diharapkan terjadi islamisasi yang lebih baik termasuk dalam kehidupan politik. Namun, di sisi lain, pemberlakuan Piagam Jakarta dapat membawa kehancuran Indonesia. Sungguh, dua arus dan sikap politik yang sangat berseberangan. Suasananya terkesan menjadi centang perenang dan sarat dilema. Umat Islam harus bergumul dengan pilihan sulit, ketika isu syariat Islam secara kuat didorong menjadi langkah politik oleh sebagian kekuatan kelompok Islam. Tidak ada proses dialog awal secara komprehensif oleh seluruh komponen dan tokohtokoh Islam, baik menyangkut konsep syariat Islam sendiri maupun strategi memperjuangkan amandemen pasal 29 (Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002: 6). Di tubuh umat Islam sendiri belum ada kata sepakat tentang beberapa hal. Pertama, tentang konsep syariat Islam dan pelembagaannya dalam kehidupan bernegara. Kedua, tentang strategi politik Islam itu sendiri. Ketiga, tentang formalisasi dan amandemen pasal 29 dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Bagi sekelompok elite Islam yang tidak sepakat dengan perjuangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta bisa berakibat fatal. Mereka akan dicap sebagai anti syariat Islam, sekuler, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang memperjuangkannya merasa sebagai pejuang syariat Islam, mujahid, dan lain sebagainya. Tapi, bagi pihak yang tidak setuju akan menilai, seperti penilaian yang disampaikan oleh Majelis Sinergi Kalam ICMI, bahwa kelompok yang memperjuangkan amandemen tersebut dianggap hanya melakukan komoditas politik semata. PPP misalnya, tidak sungguh-sungguh memperjuangkannya, karena sekadar untuk merebut suara politik umat Islam. Namun, penilaian yang demikian itu dibantah Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 35 oleh sebagian elite PPP. Hal ini menandakan, politik di kalangan elite Islam masih belum ada titik temu. (Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002: 6) Menurut Cipto (Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002: 34), kegagalan pengembalian Piagam Jakarta pada pasal 29 setidaknya didasarkan oleh empat hal. Pertama, usulan tersebut tidak mendapat dukungan partai-partai besar yang mendominasi legislatif dan eksekutif. Kedua, kedua ormas Islam terbesar (Muhammadiyah dan NU) berpikir usulan tersebut tidak bijak untuk dikembangkan lebih lanjut. Terbukti, Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran tentang penolakan penegakan syariat Islam dan perubahan pasal 29 yang juga dimuat dalam Suara Muhammadiyah (1-15/09/ 2002). Ketiga, umat Islam pada umumnya tetap mampu mengembangkan organisasi masing-masing tanpa perubahan pada pasal 29. Keempat, usulan tersebut hanya sekadar upaya kelompok minoritas untuk meningkatkan dukungan. Syafii Maarif (1985; 1984: 76) sangat keras menolak pemberlakuan Piagam Jakarta sebagai dasar negara atas dasar dua peristiwa sejarah yang terkait dengan masalah konstitusionalisme di Indonesia. Peristiwa pertama, yakni pada sidang PPKI, pembicaraan tentang Islam sebagai dasar negara tidak berhasil. Padahal juru bicaranya mayoritas tamatan pesantren. Sedangkan kelompok intelektual pendidikan umum tidak banyak bicara. Pada peristiwa kedua, yakni dalam Sidang Majelis Konstituante tahun 1959 yang isu sentralnya tetap mengkaji tentang masalah dasar negara. Pihak Islam pada kesempatan ini juga diwakili oleh kelompok santri lulusan pesantren dan pendidikan umum. Mereka sama-sama lantang dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar ideologi negara, sekalipun kenyataan menunjukkan, bahwa suara mereka dalam Majelis Konstituante kurang dari 45%. Perdebatan itu berakhir pula dengan kegagalan di pihak Islam. Kini, ketika euforia terjadi di mana-mana, perdebatan tentang dasar negara muncul untuk ketiga kalinya di negeri ini. Dengan sikap tegas pula, Maarif yang berdarah Minang ini sudah menduga sebelumnya, bahwa amandemen tersebut hanya akan didukung sekitar 10%. Sisanya akan menolak (Kompas, 7/02/2002). “Ramalan” murid Fazlur Rahman ini tidak begitu meleset jauh. Sidang Tahunan MPR yang dipimpin oleh Amien Rais, rekannya dari Muhammadiyah, akhirnya tetap mempertahankan pancasila sebagai dasar negara. Ma’arif (1996: 31) sendiri memaknai sila pertama dalam Pancasila sebagai berikut: “…Tidak diragukan lagi bahwa atribut “Yang Maha Esa” bagi sila ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh atau delapan perkataan yang dicoret, di samping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam. Namun, tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masingmasing. Di mata Al-Qur’an, umat Islam dilarang keras memaksa orang lain mengikuti keyakinannya (lihat QS. Al-Baqarah: 256).” Sikap tersebut pada kenyataannya menjadi sikap resmi Muhammadiyah seperti termaktub dalam Surat Edaran No. 10/EDR/I.0/I/2002 tentang “Penjelasan Sikap Muhammadiyah tentang Penegakan Syariat Islam dan Perubahan Pasal 29 UUD 1945”. Dalam pernyataan itu ditegaskan, bahwa sebagai organisasi Islam besar di Indonesia dan sebagai bagian dari bangsa yang sejak berdirinya memberikan perhatian yang besar dan terlibat dalam masalah kebangsaan dan keumatan, Muhammadiyah tidak dapat menghindari dari wacana dan kontroversi tersebut. Sehingga, melalui ketuanya, Syafii Ma’arif, 36 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Muhammadiyah menyatakan tidak setuju dengan usulan perubahan pasal 29 UUD 1945 tersebut. Ketidaksetujuan Muhammadyah terhadap perubahan tersebut sama sekali bukanlah berarti Muhammadiyah menolak penegakan syariat Islam di Indonesia seperti yang disalahpahami oleh sebagian orang termasuk anggota Muhammadiyah sendiri. Selaras dengan itu, Amien Rais (2008: 12) menilai, bahwa keberadaan pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara sudah cukup memadai bagi umat Islam yang memang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Jika kita mengusung ide negara Islam, pasti akan muncul kontroversi dan konflik politik serta sosial, bahkan konflik keagamaan yang melelahkan. Dalam kaitannya dengan ini, undangundang yang kita miliki saat ini beraroma teo-demokrasi, yang termaktub pada pasal 29 ayat 1 UUD ’45, yaitu: Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa. ”Sampai kapan pun pasal ini tidak dapat dirubah,” tegas guru besar ilmu politik UGM ini. Gagasan teo-demokrasi ini didukung pula oleh pendiri LP3ES Dawam Rahardjo (2002: 241-242). Menurutnya, pancasila merupakan hasil sintesa trikotonomi tradisi Islam modernitas. Pancasila adalah puncak prestasi intelektual cendekiawan Indonesia secara kolektif yang mencari dan menemukan identitasnya, baik bertolak dari segi tradisi, agama, maupun modernitas. Kelompok Islam menemukan identitasnya dalam rumusan pancasila. Begitu juga bagi kelompok agama lain, semisal Kristen dan Katholik, yang menganggap pancasila sebagai sintesa kultural yang memberikan identitas. Mantan aktivis HMI ini melihat, bahwa pancasila hadir untuk menangkal dan menepis Islampolitik yang berkembang mengarah “Islam-fundamentalis”. Namun, jika Islam lemah, baik Islam-sosial, Islam-budaya, maupun Islam politik, maka pancasila ikut lemah. Dawam (1999: 140) yang juga mantan Pemred Jurnal Ulumul Qur’an ini menuturkan, bahwa proses historis yang teramat lama telah membentuk Islam sebagai unsur kebangsaan yang utama. Pancasila tanpa Islam bagaikan kerangka tanpa daging tanpa jiwa. Karena itulah, Amien Rais (2008: 12-13) bersikap, bahwa sudah saatnya Islam jangan terjebak dalam “politik kosmetik” atau “politik bendera”. Sebagaimana pesan Bung Hatta kepada umat Islam untuk berpikir bijak dan menggunakan “politik garam”, Bapak Reformasi ini pun mengajak kepada seluruh umat Islam khususnya, untuk berjiwa besar dan menggunakan falsafah “politik garam”, bukan “politik gincu” atau “politik bendera”. Sebagaimana dilansir oleh tempointeraktif.com, 5/11/2001, Amien menegaskan, bahwa gincu atau bendera memang akan tampak berkibar dan menyala-nyala. Tetapi belum tentu asin dan gurihnya seperti garam yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Kalau begitu, mengapa masih ada yang tergoda mengibarkan bendera lama atau memasang gincu tebal-tebal? Karena itulah, mantan ketua MPR RI ini (2008: 13) menilai, bahwa pancasila adalah jalan tengah yang menunjukkan sikap kepada bangsa ini, bahwa kita tidak boleh terperangkap pada sekulerisme, tetapi sekaligus menolak adanya teokrasi yang akan memunculkan perdebatan panjang tanpa ujung dan tanpa maslahat untuk negeri ini. Abdul Munir Mulkan (2010) juga memberikan sikapnya. Menurutnya, umat Islam sekarang masih terlalu normatif dan romantik. Politiknya tidak bersumbu pada kondisi obyektif. Jika kita membaca dan menengok sejarah dengan cermat, telah terlihat dengan jelas, bahwa Piagam Jakarta selalu menemui kegagalan setiap kali diperjuangkan menjadi konstitusi negara. Karena itu, pemberlakuan tujuh kata tersebut tidak cocok dengan realitas politik Indonesia yang multikultur. Mulkhan berpandangan, bahwa Piagam Jakarta itu bukan tidak berlaku lagi, tetapi siapa pendukungnya saat ini? Jika dulu saja tidak ada Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 37 yang mendukung, apalagi sekarang. Praktisi politik dari Islam saat ini pada kenyataannya sudah ada di mana-mana. Tidak hanya di PPP atau di PKS, tetapi di Golkar, Demokrat, dan lain sebagainya. Solusi yang ditawarkan oleh guru besar UIN Sunan Kalijaga ini adalah sebuah negara dengan bentuk “negara Islam substansial” yang tidak menekankan anggotanya harus muslim semua. Yang penting, mereka bisa menciptakan kehidupan dan perilaku yang Islami. “Jika ini yang dimaksud dengan negara Islam, ya negara Islam dalam tanda kutip. Bukan yang versi Kartosuwiryo. Jadi, negara Islam itu misinya. Orang hidup itu kan gak satu pandangan. Apa kita mau memaksakan orang untuk muslim, sedangkan dia gak mau muslim? Apa kita mau melawan takdir Tuhan?” tegasnya saat diwawancarai pada tanggal 20 Oktober 2010. Senada dengan itu, Yahya A. Muhaimin menilai, bahwa pilihan teo-demokrasi adalah jalan tengah dari problem tentang dasar negara yang telah melewati perjuangan melelahkan. Jika Indonesia menganut sistem pemerintahan sekuler sebagaimana dianut oleh Amerika dan Turki, maka akan sangat mengekang dan membelenggu hak asasi manusia untuk beribadah. Begitu juga jika pilihan jatuh pada sistem teokrasi. Maka pemerintahan yang berjalan hanya akan melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan dalam konteks Indonesia yang plural dan majemuk. Namun, sekalipun Yahya sepakat dengan gagasan Pancasila, mantan Mendiknas di era kepemimpinan Gus Dur ini memiliki kritik terhadap pancasila. Menurutnya, pada pelaksanaannya pancasila tidak ada tolok ukur dan hasil yang jelas. “Pancasila tidak bisa memberi arahan yang pasti kepada hak-hak rakyat, contoh seperti kasus Prita Mulyasari, Bu Minah, dll. Mereka ini kan contoh dari korban pancasila yang tidak jelas. Harus ada mekanisme yang mengatur secara jelas. Butirbutir pancasila jangan hanya dihafalkan saja,” terangnya saat ditemui pada tanggal 29 Oktober 2010. Karena itulah Malik Fadjar mengingatkan, bahwa kita harus belajar pada sejarah panjang perjuangan bangsa ini. Piagam Jakarta sudah tidak realistis untuk zaman sekarang. Tanpa harus dimunculkan secara simbolik, nilai-nilai dasar yang ada pada UUD ’45 sudah sesuai dengan semua prinsip ajaran Islam. Kalaupun pada akhirnya Piagam Jakarta diterapkan, menurut mantan Mendiknas dan Menteri Agama ini, hanya akan menjadi kepentingan bisnis kelompok tertentu. Politisi Partai Golkar, Hajriyanto Y. Tohari (2002: 7) menyatakan, bahwa gagalnya pemberlakuan syariat Islam karena di internal elite-elite Islam nggak ada yang satu kata. Mereka masih memiliki pendapat yang berbeda tentang Piagam Jakarta dalam sidang MPR 1999-2002. Ada egoisme yang luar biasa di antara para pemimpin Islam. Yunahar Ilyas, wakil ketua MUI Pusat, mengatakan hal yang selaras, bahwa formalisasi syariat Islam sebagai sebuah strategi boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan mudharat. Tapi secara realistis hal ini belum mungkin dilangsungkan mengingat realitas politik bangsa, di mana ada non muslimnya juga. Sesama Islam sendiri masih pro dan kontra. Yunahar (2002: 8-10) menilai, bahwa Islam substansiallah yang harus dikedepankan. Negara Islam Madinah zaman Nabi Muhammad SAW bukanlah tujuan, tapi sebagai akibat dari digarapnya dakwah di berbagai elemen masyarakat. Negara terbentuk otomatis begitu saja. Sebab, formalitas tidak selalu berjalan dengan baik. Buktinya ada negara yang mengatakan dirinya negara Islam, tapi realisasinya jauh dari Islam itu sendiri, contohnya Pakistan. Dengan demikian, sebenarnya Negara Pancasila secara substantif adalah “negara Islami” sebagaimana dikemukakan oleh Dien Syamsuddin (2000: 43-44). Hal tersebut didasarkan pada Pancasila yang mengandung nilai-nilai Islam substansial, seperti tauhid, kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan. Selain itu, berdasarkan kenyataan, bahwa “Negara Pancasila agama” memiliki tempat yang 38 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia tinggi. Walaupun Negara Pancasila sering dinilai bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi pada kenyataannya, Negara Pancasila adalah negara “demokrasi yang bersifat keagamaan.” Karena itu, Amien Rais (2008: 13) mengambil kesimpulan, suatu saat umat Islam bisa saja membuat Negara Islam ketika umatnya sudah bersatu padu menggagas sebuah masa depan yang jelas, kemudian semua wakil rakyat (parlemen) sekitar 95% lebih menghendaki negara syariah, maka bisa jadi pada saat itu pembicaraan tentang negara Islam dan lain sebagainya dapat diterima oleh akal sehat. C. K ARAK T ERI ST I K PEM I M PI N N EGARA Pada bagian ini akan dibahas tentang dua hal, yaitu (1) Syarat calon seorang kepala negara; (2) Apa saja tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang kepala negara. 1. Syarat Calon Kepala Negara Seorang kepala negara memegang peranan penting dan memiliki kekuasan yang sangat luas. Rakyat wajib mematuhi kepala negara. Biasanya, mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Alasan mereka menekan ketaaan terhadap kepala negara adalah untuk menjaga stabilitas politik umat Islam itu sendiri, sehingga negara benar-benar aman dan penegakan syariat Islam terlaksana dengan baik. Hal ini membawa pengaruh besar terhadap perkembangan politik Islam, terutama sejak dinasti Bani Abbas barkuasa hingga abad pertengahan. Jika pada masa khulafaurrasyidin (empat khalifah), kepala negara hanya sebagai khadimul ummah (pelayan umat) yang lebih menekankan pada kepentingan umat Islam dan dipilih tidak berdasarkan garis keturunan, maka setelah itu seorang kepala negara diangkat secara turun-temurun (Iqbal dan Nasution, 2010: 1-3). Menurut para pemikir Islam klasik, kekuasaan kepala negara berasal dari mandat Allah, bukan pilihan rakyat. Memang dinasti Bani Abbas berdiri melalui revolusi di atas sisa-sisa kekuasaan Bani Umaiyah. Untuk melegitimasi kekuasaan Bani Abbas, maka Al-Manshur mengembangkan konsep Zhill Allah fi al-Ardh (bayang-bayang Allah di muka bumi). Karena itu, kekuasaan dipandang suci dan harus dipatuhi umat Islam. Konsep yang demikian itu dipengaruhi oleh praktek politik asing. Pada masa itu pula, umat Islam banyak berinteraksi dengan budaya orang-orang non Arab. Konsep politik di luar Islam saat itu adalah menjadikan raja atau kaisar sebagai titisan darah dari Tuhan. Inilah yang direplikasi oleh penguasa Islam saat itu yang kemudian diberi nuansa religius (Iqbal dan Nasution, 2010: 3). Di kalangan pemikir politik Sunni, ada pandangan tidak dibenarkannya melakukan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa, apalagi pemberontakan, meskipun pemerintahannya bersifat korup dan despotik. Pandangan ini didasari oleh alasan bahwa menghindari kekacauan yang lebih besar harus diutamakan. Melakukan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa dapat membawa kekacauan yang lebih besar daripada membiarkannya tetap berkuasa. Atas dasar itulah, pemikiran politik Sunni klasik dan pertengahan tidak terdapat gugatan terhadap bentuk pemerintahan kerajaan. Bahkan ada sebagian pemikir yang menyatakan, bahwa kerajaan adalah bentuk pemerintahan yang ideal. Selain itu, pemikiran politik mereka ditandai juga oleh legitimasi otoritas suku Quraisy sebagai satu-satunya pihak yang berhak memegang kekuasaan. Dominasi Quraisy yang demikian itu bersumber dari hadits yang menyatakan bahwa kepemimpinan politik umat Islam harus berasal dari suku Quraisy (Iqbal dan Nasution, 2010: 4). Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 39 Pemikiran tersebut lahir tidak terlepas dari realitas historis umat Islam saat itu. Pemikiran para tokoh di zaman ini terkait erat dengan kedekatan mereka dengan kekuasaan. Pemikir-pemikir yang dekat dengan kekuasaan dan bahkan terlibat dalam pemerintahan sebagai aktor politik, biasanya cenderung sangat akomodatif terhadap penguasa, walaupun ada kemungkinan juga tokoh yang tidak terlibat dalam kekuasaan politik tidak akan bersikap oposisi dan mengambil sikap akomodatif pula. Namun, sikap akomodatif mereka yang terlibat dalam kekuasaan lebih tegas daripada tokoh yang tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan (Iqbal dan Nasution, 2010: 4-5). Menurut Al-Mawardi, ada tujuh syarat jika seseorang ingin menjadi kepala negara, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berjihad, sehat pancainderanya, mampu menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, dan keturunan Quraisy (Iqbal dan Nasution, 2010: 18). Sedangkan menurut Al-Ghazali, seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: dewasa, otak sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan sehat, memperoleh hidayah, berilmu luas, dan wara’. Dengan demikian, pemikiran Al-Ghazali lebih berpihak pada kekuasaan. Doktrin politik Sunni begitu kental dalam pemikirannya. Tidak ada kamus oposisi dalam pemikiran Al-Ghazali. Sementara itu, menurut Ibnu Khaldun kualifikasi untuk menjadi pemimpin itu harus memiliki syarat-syarat, yaitu: memiliki pengetahuan dan skill, adil, sehat pancaindera, keturunan Quraisy. Namun, untuk syarat yang terakhir ini, Ibnu Khaldun memberikan tafsir kontekstual, bahwa orang yang memiliki kemampuan setara dengan kemampuan orang-orang suku Quraisy mereka dapat dikelompokkan dalam syarat ini (Iqbal dan Nasution, 2010: 29-31, 49-50). Sedangkan menurut menurut Ibnu Taimiyah, syarat menjadi seorang kepala negara tidaklah terlalu rumit sebagaimana tawaran Al-Mawardi, Al-Ghazali maupun Ibnu Khaldun yang selalu menekankan dari kalangan suku Quraisy. Menurutnya, kepala negara cukup memiliki kejujuran, kewibawaan/kekuatan dan tidak harus dari suku Quraisy. Yang penting untuk menjadi kepala negara harus memiliki sikap jujur dan berwibawa tinggi sehingga dapat memilih wakil-wakil pembantunya yang profesional sesuai dengan bidang ahlinya serta perintahnya dipatuhi bawahannya. Selain itu, seorang kepala negara harus memilih pejabat pembantunya sesuai dengan profesionalisme, bukan atas dasar subyektif-kolutif. Dengan demikian, akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan tujuan utama syariat Islam (Khan, 2001: 222; Iqbal dan Nasution, 2010: 34-36). Penolakan Ibnu Taimiyah terhadap keharusan kepala negara dari suku Quraisy adalah karena hal ini bertentangan dengan semangat egalitarianisme. Islam tidak membeda-bedakan antara satu golongan dengan golongan lain atau satu suku dengan suku lain. Tatanan sosial Islam dibangun atas dasar prinsip persaudaraan dan persamaan. Karena itu, Ibnu Taimiyah selalu berjuang untuk menghancurkan supremasi temporal dan spiritual dari pendeta, klan atau keluarga tertentu. Negara merupakan institusi kerjasama di mana semua warganya berperan sesuai dengan kemampuan, kepintaran, dan kedudukannya masingmasing. Karena itu, setiap Muslim yang mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari dewan pemilih, mereka berhak untuk dipilih menjadi salah satu pemimpin atau imam (Khan, 2001: 248-250). Menurut Ibnu Taimiyah, sulit untuk menemukan orang-orang yang memiliki syarat-syarat di atas. Jika tidak menemukan kandidat seperti itu, maka lebih diutamakan adalah kandidat yang kuat dan berwibawa. Mengapa demikian? Jika seorang kepala negara baik tapi lemah, maka kelebihannya hanya 40 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia untuk dirinya sendiri dan kelemahannya bisa membahayakan negara dan rakyatnya. Sebaliknya, jika dia kuat dan berwibawa meskipun jahat, maka kekuatannya akan berguna bagi negara dan rakyatnya. Dalam kamus pemikiran Ibnu Taimiyah, memberontak kepada kepala negara meskipun kafir tidak dibolehkan selama dia bersikap adil dan tidak memerintahkan rakyat berbuat maksiat. Negara Islam adalah keluarga besar Islam yang bersatu, kukuh dan solid tanpa melepaskan batas-batas wilayah geografis. Sejalan dengan itu, menurut Sayyid Quthb, sebaiknya kepala negara memiliki kekuasaan yang kuat agar dapat menyelesaikan berbagai urusan yang ada kaitannya dengan kesejahteraan umat (Iqbal dan Nasution, 2010: 37-41, 216). Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan umum bahwa syarat menjadi seorang kepala negara yang ideal adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 2. Bersikap dewasa, jujur, dan independen sehingga dapat bertindak adil dan dapat menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat. Memiliki skill dan ilmu pengetahuan yang memadai terutama pengetahuan tentang mengelola pemerintahan. Secara fisik, seorang kepala negara harus sehat panca inderanya. Mengapa demikian? Hal ini agar menghindari hal-hal teknis yang dapat menghambat dalam pengambilan keputusan. Berani melindungi kekuasaan Islam dan berjihad untuk memerangi musuh. Berwibawa tinggi sehingga dapat memilih jajaran pembantunya yang profesional sesuai dengan bidang ahlinya serta perintahnya dipatuhi bawahannya. Memilih pejabat pembantunya sesuai dengan profesionalisme, bukan atas dasar subyektifkolutif. Keturunan Quraisy. Syarat yang satu ini penuh dengan perdebatan. Namun, dapat dimaknai secara substansial, yaitu syarat ini ingin menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang kepala negara bukanlah sembarang orang melainkan orang pilihan sehingga seorang kepala negara harus memiliki kemampuan setara dengan kemampuan orang-orang suku Quraisy. Tugas dan Kewajiban Kepala Negara Menurut Al-Mawardi, seorang kepala negara harus melaksanakan 10 tugas dan kewajibannya: 1. 2. Memelihara agama. Melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiayanya dan menjaganya. 3. Memelihara keamanan dalam negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman. 4. Menegakkan hudud. 5. Membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari serangan musuh. 6. Melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran Islam. 7. Memungut zakat dari orang yang wajib membayarnya. 8. Membagikan zakat tersebut kepada yang berhak. 9. Menyampaikan amanah. 10. Memperhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas pemerintahannya. Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 41 Karena itu, Al-Mawardi menegaskan untuk tidak memilih pemimpin yang tidak sesuai dengan 10 syarat tersebut. Dalam kaitannya dengan itu, seorang kepala negara harus dapat menjadi pelindung agama dari ajaran-ajaran sesat yang dapat memurtadkan kalangan Muslim. Bagi Al-Mawardi, karena adanya hubungan timbal balik antara agama dan penguasa, umat Islam wajib mengangkat penguasa yang berwibawa dan tokoh agama sekaligus (Iqbal dan Nasution, 2010: 19-20). Selain itu, dalam pemikiran Al-Mawardi, seorang kepala negara berhak mencari pembatu kepala negara atau perdana menteri yang bertindak atas nama kepala negara dan mempunyai kebijakan untuk urusan-urusan yang lebih riil di bidang pemerintahan. Karena, jabatan perdana menteri adalah “tangan kanan” kepala negara, maka jabatan ini harus tetap dari kelompok Quraisy. Sedangkan di bawah perdana menteri ada jabatan lagi yang menjadi pelaksana terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Untuk jabatan ini, menurut Al-Mawardi, boleh dari orang bukan suku Quraisy karena dia tidak membuat kebijakan. Konsep pemimpin atau imam menurut Al-Hilli adalah pemimpin politik dan pembuat undangundang yang mampu meningkatkan kesalehan masyarakatnya. Dia harus menjadi teladan yang wajib ditiru dan dipatuhi perintah-perintahanya. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, seorang pemimpin harus mempraktekkan regulasi yang berlaku dalam konstitusi secara menyeluruh terhadap masyarakat dan menegakkan lembaga-lembaga yang menyeru pada kebajikan dan mencegah kejahatan, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah dapat terwujud dan kedamaian sosial serta hak-hak individu dapat terjamin. Seorang pemimpin juga harus meratakan kesejahteraan rakyatnya, membela orang-orang yang lemah dan tertindas, menyempurnakan fungsi-fungsi pelayanan kemasyarakatan serta mematuhi aturan yang menjamin harga diri dan hak milik individu (Khan, 2001: 256-260). Seorang imam harus melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya seperti ibarat wali bagi anakanak yatim atau pengurus sumbangan. Baik wali anak yatim maupun imam harus sama-sama menjalankan amanah yang sudah diberikan kepadanya untuk dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya kepada orang banyak. Kelapangan dan keteguhan harus juga mutlak dimiliki oleh seorang imam. Karena itu, dia harus berjuang dengan segenap dayanya untuk menciptakan kesejahteraan material bagi rakyatnya. Untuk menciptakan kerjasama yang baik di antara aparat negara, seorang imam harus menempatkan ahli-ahli yang terbaik sehingga mekanisme negara dapat bekerja dengan efektif dan efisien dan tujuan negara dapat terwujud. Pemilihan tenaga-tenaga ahli ini tidak boleh didasarkan atas subyektifitas, pertemanan, satu aliran agama/kesukuan, apalagi karena suap. Yang diperlukan adalah kecakapan teknis dan loyalitas (Khan, 2001: 260-265). Secara per excellence, seorang imam adalah seorang Muslim yang cakap untuk memimpin dua hal, yaitu sholat dan jihad. Jika kedua fungsi ini dapat dijalankan, maka seorang imam akan memiliki kedudukan yang tinggi di negaranya. Namun, jihad yang dimaksudkan di sini tidak harus selalu berbentuk perang, tetapi berbentuk universal seperti berjuang sungguh-sungguh dalam mempertahankan nasionalisme negara serta segala bentuk perjuangan yang menegakkan nilai-nilai universal Islam tanpa harus dengan cara kekerasan. Selain itu, seorang pemimpin atau imam juga harus melakukan dakwah ke seluruh pelosok negeri untuk menyebarkan ajaran Islam dan musyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Karena itu, seorang imam harus menerima kritik dan masukan dari siapa saja, baik itu dari wakil-wakilnya maupun dari masyarakat bawah, tanpa harus menunjukkan sikap otoriternya. (Khan, 2001: 266, 275-276). 42 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Inilah tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang kepala negara agar dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya demi melindungi agama dan umat yang diwakilinya. D. SI ST EM PEM I LI H AN K EPALA N EGARA Secara ekstrem, sistem pemilihan seorang kepala negara dapat terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang setuju, bahwa seorang kepala negara itu pilihan Tuhan dan rakyat tidak berhak untuk memilih. Karena itu, tidak ada kamus pemilu dan seorang kepala negara harus turun-temurun dari kalangan suku Qurasy. Pemikiran yang demikian banyak dijumpai di kalangan pemikir Islam syiah. Kedua, pemilihan seorang kepala negara itu harus melalui tahap pemilu dan perlu adanya lembaga yang berwenang dan berkuasa penuh atas kandidat yang dicalonkan untuk menjadi seorang kepala negara. Pembahasan ini lebih cenderung pada pilihan yang kedua. Mengapa demikian? Mayoritas para pemikir Islam cenderung pada pilihan yang kedua dan pilihan ini berpedoman pada Al-Qur’an dan AsSunnah terutama pembahasan yang terkait dengan keharusan bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan yang terkait dengan urusan dan kepentingan bersama. Menurut Al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur. Pertama, adanya lembaga yang berwenang untuk memilih kepala negara. Lembaga ini harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui kandidat kepala negara, berwawasan luas, serta bijak dalam menentukan keputusan sehingga dapat mencari hal-hal yang terbaik untuk negara. Kedua, adanya orang yang berhak menduduki kepala negara. Pemilihan kandidat kepala negara harus diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Bagi kandidat yang lolos, maka mereka dimintai kesediaannya. Al-Mawardi menolak pemaksaan terhadap kandidat kepala negara. Mengapa demikian? Menurutnya, jabatan kepala negara adalah kontrak yang harus dilakukan kedua belah pihak atas dasar kerelaan antara kandidat kepala negara dengan rakyat yang diwakilinya (Iqbal dan Nasution, 2010: 18-19). Sejalan dengan itu, teori pemerintahan yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah adalah al-Syawkah, yaitu orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl as-Sywkah inilah yang berhak memilih kepala negara untuk diikuti oleh rakyat. Sebagai contoh, kita lihat pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang dipilih oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahl as-sywkah) dan diikuti oleh umat (Iqbal dan Nasution, 2010: 34-36; Khan, 2001). Hal ini diperkuat dan diperjelas lagi oleh Sayyid Quthb yang setuju dengan diadakannya sistem pemilihan umum (pemilu). Dasarnya adalah bahwa hubungan antara penguasa dan rakyat adalah perdamaian, keadilan, dan ketertiban. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, calon penguasa yang ingin mendapatkan kekuasaan harus melalui persetujuan rakyat dalam pemilu yang bebas dan dia akan tetap bertahan dalam jabatannya selama memenuhi aturan yang ada (Iqbal dan Nasution, 2010: 216). Dengan diadakannya sistem pemilu dari rakyat, maka akan terjadi kontrak yang jelas antara seorang kepala negara dengan rakyatnya. Dengan demikian akan terjadi check and balance dalam struktur pemerintahan. Dari sini dapat diketahui, bahwa untuk memilih seorang kepala negara dibutuhkan lembaga dan sistem yang mengaturnya. Lembaga itulah yang disebut dengan Ahlul Hilli Wal Iqdi atau Ahlul Ikhtiyar (Dewan Perwakilan Rakyat). Mereka yang masuk dalam lembaga ini orang-orang yang ahli memilih dan bermusyawarah dalam menentukan seorang pemimpin yang kemudian diajukan kepada rakyat untuk Negara dan Pemerint ahan Menurut Isl am 43 dinobatkan oleh mereka. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang ahli dalam mengawasi para pejabat. Ada beragam perbedaan mengenai syarat-syarat seorang anggota dewan tersebut. Menurut Al-Farra, anggota lembaga pemilihan ini harus memiliki tiga syarat. Pertama, adil. Kedua, memiliki ilmu yang dapat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan. Ketiga, terdiri dari par apakar dan ahli manajemen yang dapat memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang amanah menjadi seorang pemimpin (Khaliq, 2005: 106, 108-109). Demikianlah kiranya, negara dalam perspektif Islam, syarat seorang kepala negara, dan sistem pemilihan yang seharusnya dilakukan. Pilihan Indonesia sebagai “negara Islam substantif” sangatlah tepat karena nilai-nilai Islam yang universal dapat mengayomi seluruh masyarakat Indonesia yang multikultur. Sekalipun data BPS 2010 menunjukkan bahwa kaum Muslim termasuk mayoritas dengan prosentase 87% dari total jumlah penduduk Indonesia, ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai kekuatan politik yang besar. Namun, kekuatan politik itu tidak lekas disimbolkan dengan adanya negara Islam. Dengan pilihan model ketiga inilah, Islam Indonesia tetap tidak meninggalkan warisan kebudayaan dan peradaban Islam serta tidak menolak mentah-mentah terhadap pemikiran politik dan demokrasi yang berasal dari Barat. Keduanya dapat dipadukan untuk diambil nilai-nilai universal yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang bercorak bhinneka tunggal ika. Dengan begitulah, Indonesia diharapkan dapat menjadi republik yang sejahtera, aman, nyaman, dan penghuninya tidak ada yang dirugikan maupun didiskriminasikan. -oo0oo- 44 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB 4 DINAMIKA PARTAI ISLAM PRA KEMERDEKAAN Bab ini membahas tentang partai-partai Islam yang pernah lahir pada zaman pra kemerdekaan Indonesia. Dari berbagai referensi yang ada, terdapat tiga partai Islam yang pernah ada pada zaman pra kemerdekaan, yaitu Sarekat Islam (1911-1942), Partai Muslimin Indonesia atau Permi (19301936), dan Partai Islam Indonesia atau PII (1938-1941). A. SAREK AT I SLAM (1 9 1 1 -1 9 4 2 ) Partai politik Islam yang didirikan pertama kali oleh umat Islam di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI) pada tanggal 11 November 1912 di Solo. Partai ini lahir dari sebuah organisasi dagang yang bernama SDI yang dicetuskan pada tahun 1905 di kota yang sama oleh Haji Samanhudi (1868-1956), seorang pedagang batik sukses di Surakarta. Tirtoadisurjo (1880-1918) adalah orang yang berperan penting mendorong Samanhudi dalam mendirikan organisasi ini. Kelahiran SI disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keinginan untuk melindungi diri dari persaingan yang semakin keras di bidang perdagangan batik terutama dalam menghadapi kelompok Cina serta sikap superioritas mereka terhadap orang Indonesia karena keberhasilan Revolusi Cina tahun 1911. Kedua, membentengi masyarakat Indonesia yang ada di Solo dari tekanan kaum bangsawan mereka sendiri dan kelompok Cina. Ketiga, sebagai instrumen umat Islam untuk membendung politik pengkristenan pemerintah Belanda dan kegiatan misionaris. Tiga hal di atas pula yang pada akhirnya memberikan posisi kuat SI di hadapan para pedagang Cina maupun pemerintah kolonial Belanda saat itu (Ricklefs, 2005: 347; Noer, 1985: 115-116; Amir, 2003: 26-27). Secara historis, perkembangan SI dapat terbagi ke dalam empat fase. Fase pertama (1911-1916) merupakan fase pembentukan karakter dan corak partai pada SI. Fase kedua (1916-1921) merupakan fase kejayaan bagi SI. Fase ketiga (1921-1927) merupakan fase konsolidasi SI yang harus bersaing keras dengan kelompok komunis dan harus menghadapi tekanan dari pemerintah Belanda. Fafse keempat 46 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia (1927-1942) merupakan fase pertahanan diri di tengah perpolitikan nasional (Noer, 1985: 114-115). Secara lebih detail, berikut ini penjelasannya. Fase Pembentukan Karakter: 1911-1916 Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa SI merupakan metamorfosa dari organisasi terdahulu bernama SDI. Organisasi ini didirikan di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh beberapa orang seperti Haji Samanhudi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdojo, dan M. Hadji Abdulradjak. Pada fase ini, perhatian SI terfokus pada persoalan-persoalan penguatan internal organisasi termasuk di dalamnya usaha mencari pimpinan, penyusunan Anggaran Dasar serta pembagian tugas hirarkis antara pengurus pusat dan pengurus daerah. Untuk Anggaran Dasar pertama telah berhasil dirumuskan pada tanggal 11 November 1911 oleh Raden Mas Tirtoadisurjo, lulusan OSVIA, sekolah administrasi pemerintah Belanda. Tujuan SI termaktub dalam AD adalah mewujudkan persaudaraan, kerukunan, dan sikap saling tolong menolong di antara anggota-anggota SI serta mengangkat harkat dan derajat rakyat agar dapat hidup makmur dan sejahtera (Noer, 1985: 117-118). Pada bulan Mei 1912, SI mendapatkan seorang tokoh dari Surabaya yang bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau disingkat dan dibaca HOS Cokroaminoto (1882-1934), yang menjadi ketua SI di Surabaya. Dia merupakan lulusan OSVIA yang telah mengundurkan diri dari dinas pemerintahan dan dikenal sebagai tokoh yang memiliki kharisma kuat serta berani memusuhi orang-orang pemegang kekuasaan, baik dari kalangan Belanda maupun pribumi. Bergabungnya Cokroaminoto ke dalam SI berkat ajakan sang pendiri Haji Samanhudi yang memang selalu mencari orang-orang yang memiliki pendidikan lebih baik dan memiliki berpengalaman untuk memperkuat organisasi. Pada tahun 1912, SDI berubah menjadi SI. Pada masa ini terjadi konflik antara dua elite SI, yaitu Tirtoadisurjo dan Samanhudi. Akhirnya, Samanhudi yang sebagian waktunya banyak difoksukan pada urusan dagang, menyerahkan SI kepada Cokroaminoto untuk memimpin keberadaan organisasi ini selanjutnya. Setelah SDI berganti menjadi SI, organisasi yang awalnya bersifat Islam dan dagang segera menjadi kabur. Istilah Islam pada namanya hanya lebih merefleksikan adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya terdiri dari masyarakat Indonesia yang Muslim, bukan terdiri dari orang-orang Cina maupun Belanda. Selain itu, Cokroaminoto sendiri sebenarnya tidak terlalu memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam jika dibandingkan dengan para ulama semasanya (Ricklefs, 2005: 347-348; Noer, 1985: 118). Ketika Cokroaminoto merumuskan Anggaran Dasar yang baru dan menginginkan SI tidak dibatasi hanya pada wilayah Solo saja, keinginan tersebut ditolak oleh Pemerintah Belanda. Padahal SI di daerahdaerah lain berkembang pesat. Namun, meskipun belum terstruktur, masing-masing SI di daerah lain meminta restu dari Pemerintah Belanda dan izin di masing-masing lokal disetujui. Akhirnya dalam kongres pertamanya di Surabaya pada bulan Januari 1913 diputuskan tentang pembagian wilayah organisasi ke dalam tiga bagian. Pertama, Jawa Barat yang meliputi Jawa Barat, Sumatera, dan pulaupulau di sekitar Sumatera. Kedua, Jawa Tengah yang meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan. Ketiga, Jawa Timur yang meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau lain di Indonesia bagian Timur. Ketiga wilayah ini di bawah pengasawan pengurus pusat di Solo yang diketuai oleh Samanhudi sendiri (Noer, 1985: 118-119). Dinamika Part ai Isl am Pra Kemerdekaan 47 Walaupun sudah ada keputusan tersebut, problem tidak ada izin dari Pemerintah Belanda harus dicari jalan keluarnya. Karena itu, SI di tiap-tiap lokal harus saling bekerjasama untuk mencari solusi yang terbaik. Pada sebuah pertemuan di Yogyakarta, 18 Februari 1914 disepakati adanya pengurus pusat yang terdiri dari Haji Samanhoeddi sebagai Ketua Kehormatan, HOS Cokroaminoto sebagai Ketua dan Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus pusat SI tersebut akhirnya mendapatkan izin dari Pemerintah Belanda pada tanggal 18 Maret 1916. Selain para pengurus tersebut yang menjadi tokoh SI, ada tokoh lain yang turut mengembangkan SI pada periode 1911-1916, yaitu Wignjadisastra, Ki Hadjar Dewantoro, Abdoel Moeis (bergabung atas permintaan Cokroaminoto) dan Agus Salim (bergabung dengan SI tahun 1915). Kedua tokoh yang terakhir berasal dari daerah yang sama, Bukittinggi (Noer, 1985: 119-125). Mereka-mereka inilah yang telah berjasa dalam menggerakkan dan mempertahankan SI pada fase pembentukan karakter ini. Karena itu, pada fase ini program-program SI memang tidak begitu jelas. Hanya saja, arahan-arahan kebijakannya mengarah pada minat perdagangan, persaudaraan sesame Islam, kemajuan, dan agama. Fase Kejayaan: 1916-1921 Pada fase ini SI memasuki periode puncak di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis, dan Agus Salim. SI tak lagi sekadar organisasi pedagang pribumi di Solo, melainkan berkembang pesat dan sudah menyebar di seluruh nusantara Indonesia. Penggunaan nama “Kongres Nasional” juga menunjukkan, bahwa SI telah memiliki struktur di berbagai daerah di tanah air. Cokroaminoto pun mulai melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Belanda. Dalam kongres pertama SI di Bandung pada tahun 1916, Cokroaminoto mengatakan, bahwa tidak wajar melihat Indonesia hanya menjadi sapi perahan yang diberikan makan hanya karena susunya. Tidak pada tempatnya orang-orang pendatang malah mengambil hasil kekayaan negeri ini dan penduduk pribumi malah tidak dilibatkan dalam partisipasi politik yang menyangkut masalah pribadinya sendiri. Tidak boleh terjadi lagi bahwa orang lain yang membuat aturan untuk kita tetapi tanpa partisipasi kita. Kecamaman Cokroaminoto ini diperjelas lagi dalam beberapa bidang kehidupan (Noer, 1985: 126-127). Di bidang pendidikan, SI menuntut diskriminasi penerimaan murid di sekolah-sekolah, menuntut wajib belajar hingga berumur 15 tahun, memperbaiki dan memperbanyak lembaga pendidikan sekolah serta dibuatlah universitas-universitas serta beasiswa kepada pemuda-pemuda Indonesia untuk belajar ke luar negeri. Di bidang agama, SI menuntut penghapusan peraturan yang menghambat tersebarnya ajaran Islam, meminta adanya gaji bagi kyai dan penghulu (karena pendeta mendapatkan gaji) serta subsidi untuk lembaga-lembaga Islam dan juga pengakuan hari-hari besar Islam. Di bidang pemerintahan, menuntut pemisahan antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif serta adanya keadilan hak-hak di antara semua penduduk yang ada di negeri ini. Selain itu, SI menuntut kemudahan bagi warga miskin untuk memperoleh perlindungan hukum. Di bidan pertanian, menuntut penghapusan hak milik tuan tanah dan perlunya nasionalisasi industri-industri untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Di bidang keuangan dan perpajakan, SI menuntut pajak-pajak yang proporsional di antara semua pihak serta perlu adanya bantuan untuk koerasi. Di luar itu semua, SI menuntut Pemerintah Belanda harus memerangi minuman keras, perjudian, prostitusi, penggunaan anak-anak sebagai tenaga kerja serta meminta untuk mengeluarkan peratuaran perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja serta menambah poliklinik dengan gratis (Noer, 1985: 128-129). 48 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Selain itu, SI melakukan perjuangan politik dengan ikut berpartisipasi di Volksraad (koperasi) meskipun ditentang keras oleh Semaun (salah seorang tokoh SI di Semarang yang kemudian menjadi seorang komunis). Semaun menilai, bahwa Volksraad adalah alat bagi kaum kapitalis. Dalam forum Volksraad ini, Tjokroaminoto dan Moeis menjadi bintang karena tuntutan-tuntutannya yang keras dalam memperluas hak-hak Volksraad, pembentukan dewan-dewan daerah dan perluasan hak pilih, penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk bepergian (Amir, 2003: 27-28). Selain itu, pada fase ini pertentangan antara kelompok SI Merah (komunis) yang dikomandoi oleh Semaoen dan SI Putih (Islam) yang digawangi oleh Agus Salim dan Abdoel Moeis sangat mengental bahkan mengeras di tubuh SI. Bahkan pertikaian ini menyebabkan kekuatan di tubuh SI semakin berkurang. Namun demikian, pada tahun 1919 SI memiliki anggota hampir mencapai 2,5 juta orang dari berbagai lapisan masyarakat, seperti pedagang, petani, buruh, dan bangsawan pribumi. Inilah potret perjuangan SI yang sangat dinamis dan penuh konflik. Meskipun banyak pihak yang mengatakan bahwa SI merupakan gerakan keagamaaan, tetapi Moes meyakinkan bahwa SI merupakan gerakan nasionalis Islam yang bertujuan untuk melakukan politik perlawanan terhadap penjajah yang berupaya melakukan kristenisasi di berbagai bidang kehidupan. Fase Konsolidasi: 1921-1927 Pada fase ketiga, SI melakukan perubahan pada platform organisasi. Dalam platform SI yang baru yang digagas oleh Agus Salim dinyatakan, bahwa kita perlu persatuan di antara para petani dan pekerja yang diharapkan akan berjuang untuk menghapuskan segala kejahatan dari perbudakan politik dan ekonomi. Selain itu, agar tidak terjadi konflik internal organisasi SI memecat sebagian anggotanya yang berafiliasi dengan PKI. Hal ini dilakukan untuk mempertegas disiplin organisasi dan bertentangan dengan landasan SI yang berasaskan Islam. Pada tanggal 17-20 Februari 1923 melalui Kongres Nasional SI di Madiun, organisasi ini resmi bergani nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Perubahan nama ini berkaitan dengan penahanan Tjokroaminoto pada tahun 1921-1922 serta untuk merapikan jajaran PSI di Cabang-cabang yang selama ini belum terkoordinir dengan baik (Noer, 1985: 144-146). Pada periode ini, PSI kehilangan salah satu tokohnya, yaitu Abdoel Moeis yang tidak lagi masuk dalam jajaran pimpinan pusat PSI pada kongres tahun 1923 di Madiun. Sementara Agus Salim semakin meroket namanya dan menjadi wakil presiden partai. Mundurnya Moeis bisa disebabkan oleh kekecewaannya terhadap para pemimpin SI yang lain terutama HOS Cokroaminoto yang tidak lagi memberikan dukungan moril terhadap segala ide dan program yang diusulkan Moeis. Kekecewaannya terhadap kelompok komunis di SI dan mulai terjun ke dalam perjuangan-perjuangna lokal juga menjadi salah satu faktor mundurnya Moeis dari SI. Pada perkembangan selanjutnya, PSI mengkritik keras pemerintah dan melalui keputusan Kongres di Surabaya, 8-10 Agustus 1924 menyatakan tidak lagi mengutus wakilnya di dalam Dewan Rakyat atau Volksraad (Noer, 1985: 147-150). Fase Pertahanan Eksistensi: 1927-1942 Pada fase keempat ini, SI berusaha keras untuk mempertahankan eksistensinya di pentas nasional. Namun, dalam perjalanannya, SI gagal mempertahankan posisinya sebagai pemain kunci dalam pergerakan nasional. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, konflik internal di kalangan elite partai. Dinamika Part ai Isl am Pra Kemerdekaan 49 Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam terhadap SI seperti dari Muhammadiyah dan Al-Irsyad mewakili kelompok modernis, kalangan tradisionalis serta konflik yang sebenarnya tidak fundamental dengan Persis tetapi semakin menambah daftar kelompok Islam yang menjauhi SI. Ketiga, munculnya pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis yang sempat masuk ke tubuh SI melalui Semaun dan Darsono (Amir, 2003: 28-30). Tantangan terhadap dominasi SI sebagai aktor gerakan nasional dikomandoi oleh kalangan nasionalis. Soekarno adalah pelopornya, yang merupakan anak muda didikan Tjokroaminoto. Setelah melihat perpecahan di internal SI, Soekarno berinisiatif mendirikan organisasi baru bagi anak muda dari berbagai unsur masyarakat. Maka dari itu, pada tahun 1927, Soekarno mendirikan PNI yang bertujuan memperoleh kemerdekaan penuh bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik, di bawah suatu pemerintahan yang dipilih oleh dan bertanggung jawab pada seluruh rakyat Indonesia. Sekalipun banyak diisi oleh kalangan Muslim, PNI tidak berasas Islam melainkan nasionalis yang mencerminkan para pendirinya yang menginginkan Indonesia bukanlah negara Islam (Amir, 2003: 30-31). Pada fase ini juga terjadi pertentangan antara kelompok Agus Salim dan Abikusno terutama 1 kaitannya dengan politik hijrah. Kelompok Salim berpendapat, bahwa SI tidak usah lagi bekerjasama dengan Belanda dan memfokuskan diri pada penguatan partai. Sedangkan kelompok Abikusno menginginkan partai tetap melanjutkan kerjasama dengan Belanda dengan tujuan SI tetap ingin melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Atas peristiwa inilah, konflik keduanya semakin memuncak ketika kedua kubu ini saling serang satu sama lain. Kelompok Salim menyatakan, bahwa pembahasan masalah politik hijrah ini ditunda dan menuduh kelompok Abikusno telah berbuat sewenang-wenenag di mana Abikusno menginstruksikan kepada semua cabang SI untuk mengabaikan saran Salim tentang politik hijrah terserbut. Di tingkatan basis, cabang-cabang SI bingung harus mengikuti pihak yang mana antara Agus Salim atau Abikusno. Namun, pada tanggal 28 November 1936, Salim membentuk fraksi sendiri di internal partai yang disebut dengan Barisan Penyadar PSII dengan tujuan agar gagasangagasannya dapat diterima oleh partai. Gerakan ini secara operasional dipimpin oleh Mohammad Roem. Namun, gerakan ini segera direspon Abikusno yang kemudian menginstruksikan ke semua cabang SI untuk tidak membantu gerakan-gerakan Salim. Akhirnya pada bulan Januari 1937, Agus Salim dan kelompoknya seperti Roem, Sangaji, Sabirin serta 24 tokoh Penyadar dipecat oleh dari SI (Noer, 1985: 159-163). Pada era 1930-an ini pula, muncul tokoh SI baru bernama Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (SM Kartosuwiryo), seseorang yang pernah belajar di sekolah dokter, cenderung pada pemikiran mistik, pernah belajar pada beberapa kyai di daerah Priangan (Jawa Barat), dan termasuk kelompok Abikusno dalam persoalan pertikaian dengan kelompok Agus Salim tentang politik hijrah. Pada konferensi SI bulan Desember 1938, Kartosuwiryo ditugaskan untuk mengomandoi sebuah lembaga yang direncanakan untuk melatih kader-kader partai militant. Lembaga itu bernama Suffah. Namun, sejatinya lembaga ini diperuntukan untuk Kartosuwiryo seorang, bukan resmi lembaga partai. Kecenderungan pada mistik menyebabkan dirinya terasing dari SI serta mengambil posisi berlawanan dengan kebijakan partai yang 1 Politik hijrah merupakan gagasan Agus Salim yang inti gagasannya adalah menolak bekerjasama dengan pihak Belanda. 50 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan untuk menuntut Indonesia Berparlemen yang menurutnya dapat membahayakan stabilitas partai. Dia juga menolak partisipasi partai dalam GAPI, sebuah federasi dari partai-partai politik Indonesia yang didirikan pada tahun 1938 (Noer, 1985: 166). Atas sikapnya yang demikian itulah, Kartosuwiryo bersama dengan sekitar delapan cabang SI di Jawa Tengah dipecat pada tahun 1939. Segera setelah itu, dia mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran PSII yang dianggap Komite inilah sebagai SI yang sebenarnya. Namun, Abikusno meminta semua cabang SI untuk berhenti berkomunikasi dengan Kartosuwiryo yang gerakan-gerakannya tidak lagi mencerminkan kebijakan SI. Atas kebijakan pemecatan kepada beberapa kader inilah yang menyebabkan kebesaran SI makin melemah. Jumlah cabang SI yang pada tahun 1933 ada 135, tetapi pada tahun 1938 berkurang 35 cabang sehingga tinggal 100 cabang. Munculnya Komite Kebeneran Kartosuwiryo dan Partai Islam Indonesia tahun 1937 juga menyebabkan gerakan SI tidak sekuat sebelumnya (Noer, 1985: 166-167). Dalam perjalanan berikutnya, seiring dengan masuknya Jepang ke Indonesia, pertarungan antara kubu Islam dan nasionalis-sekuler yang tercermin antara SI dan PNI berhenti total. Sehari setelah penyerahan pemerintah Belanda ke Jepang, pemerintah Jepang mengharamkan semua kegiatan organisasi dan rapat. Maka pada tanggal 20 November 1942, semua kegiatan yang terkait dengan organisasi dilarang dan sejak saat itu tidak ada lagi kegiatan-kegiatan politik. Ketika kegiatan politik dilarang, pada saat itu pemerintah Jepang memberikan perhatian kepada organisasi Islam. Karena itu, pada tanggal 10 September 1943, Muhammadiyah dan Nahdhatul ’Ulama diakui keberadaannya oleh Jepang dan pada tanggal 1 Februari 1944 disahkan pula Perikatan Umat Islam di Majalengka dan Persatuan Islam (Persis) di Sukabumi. Organisasi Islam bersatu dalam sebuah Konfederasi MIAI yang terbentuk tahun 1937, kemudian dibubarkan dan diganti dengan Masyumi pada tahun 1943, yang menyatakan siap membantu Jepang. Sejak saat ini pula, Muhammadiyah dan NU terlihat eksistensi kebesarannya, terbukti dengan hanya dua organisasi itulah yang diperbolehkan menjadi anggota Masyumi (Amir, 2003: 31-32). Ada dua hal penting selama masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Pertama, munculnya ide bahwa partai politik merupakan alat pemerintah untuk menyebarkan ide-ide pemerintah ke masyarakat. Kedua, ide untuk menyisipkan superioritas militer di atas kaum birokrat sipil. Hanya partai yang bersedia menjalankan program-program pemerintah saja yang bisa berdiri dan beraktivitas. Kebijakan yang juga cukup penting adalah meminta partai untuk menggalang massa dengan cara ikut melatih massa dalam kemiliteran (Amir, 2003: 33). Demikian kiranya, dinamika partai politik Islam di Indonesia selama pra kemerdekaan. Pergerakan politik Islam telah diwarnai oleh SI dan Masyumi guna memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. B. PARTAI M U SLI M I N I N DON ESI A (1 9 3 0 -1 9 3 6 ) Partai Muslimin Indonesia (PMI atau Permi) merupakan partai politik yang didirkan pada tahun 1930 dan berpusat di Minangkabau. Ruang gerak partai ini ada di bidang pendidikan. Kelahiran Permi tidak dapat dilepaskan atas jasa dua orang tokohnya, yaitu Haji Ilyas Yakub dan Haji Muchtar Luthfi yang keduanya berasal dari tanah Minangkabau dan pernah belajar di Mesir. Menurut kedua tokoh ini, pertiakaian antara SI dan PNI menjadi pelajaran berharga bahwa sebenarnya ideologi Islam dan Dinamika Part ai Isl am Pra Kemerdekaan 51 nasionalisme dapat menjadi satu dalam praktek kehidupan seseorang. Karena itulah, Permi mempunyai cita-cita Islam mulia dan Indonesia sentosa via Indonesia merdeka. Sependapat dengan SI, Permi pun meyakini bahwa penderitaan yang dialami Indonesia akibat kapitalisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Barat. Selain dekat dengan SI, Permi juga sangat erat hubungannya dengan PNI (Noer, 1985: 172173). Karena bergerak di bidang pendidikan, Permi mendirikan Islamic College pada tanggal 1 Mei 1931 di Padang, sebuah sekolah tingkat menengah dan juga gerakan kepanduan Al-Hilal. Selain pendidikan, Permi bergerak aktif di bidang ekonomi dengan gerakan swadeshi yang merupakan semboyan gerakan cinta terhadap hasil-hasil dalam negeri. Dalam kongres Permi tahun 1931 di Pandang, partai ini menyarankan kepada semua anggotanya untuk memakai pakaian-pakaian dan barang-barang lain yang dibuat oleh teman sejawat tanah air (Noer, 1985: 173). Permi dipandang menadi partai yang menyalurkan aspirasi politik orang-orang Islam di Sumatera teruama setelah gerakan SI mengalami kemunduran. Karena itulah, Permi mendirikan cabang-cabang di Sumatera Tengah, Bengkulu, Tapanuli, Sumatera Timur dan Aceh. Gerakan-gerakan Permi tidak lantas jauh dari rintangan. Pidato pemimpin-pemimpin Permi dianggap sangat radikal dan meresahkan pihak Belanda dan juga ninik-mamak. Bahkan gerakan kepanduannya dianggap sebagai langkah permulaan untuk latihan-latihan militer. Beberapa tokoh perempuan Permi pada tahun 1933 ditangkap Belanda disebabkan pidato-pidatonya yang meresahkan, seperti Fatimah Hatta dan Ratna Sari yang ditahan selama 10 hari, Rasuna Said dan Rasimah Ismail yang dipenjara selama sembilan bulan di Semarang (Noer, 1985: 173-174). Rintangan yang dihadapi tak hanya itu saja. Sekitar delapan orang guru Thawalib Padang Panjang yang berada dibawah pengawasan Permi dilarang mengajar. Pada tahun yang sama, 1933, beberapa pentolan Permi dibuang oleh Belanda ke Boven Digul, Irian Jaya, di antaranya adalah Muchtar Luthfi, Ilyas Yakub, dan Djalaluddin Thaib. Jika ditotalkan, tokoh-tokoh Permi baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi korban keganasan Belanda ada sekitar 45 orang. Pengawasan ketat dari Belanda terus dilakukan kepada Permi, termasuk larangan-larangan untuk mengadakan rapat. Akhirnya pada tahun 1936, Pemerintah Belanda memberikan pilihan kepada Permi: Apakah Permi akan tetap dilanjutkan tetapi tanpa hasil yang jelas atau dibubarkan? Akhirnya setelah dirapatkan di kalangan pimpinan partai, Permi memutuskan untuk membubarkan diri (Noer, 1985: 174). Karena itu, tahun 1936 merupakan tahun pembubaran Permi. Dengan demikian, usia Permi kurang lebih enam tahun. C. PARTAI I SLAM I N DON ESI A (1 9 3 8 -1 9 4 1 ) Partai Islam Indonesia (PII) lahir atas dasar kekecewaan sejumlah kader SI seperti Sukiman dan kawan-kawannya yang diskors oleh partai pada tahun 1933. Akhirnya, Sukiman dan kelompoknya mendirikan Partai Islam Indonesia (Partii) yang bekerjasama dengan PSII Merdeka di Yogyakarta. PSII Merdeka adalah nama fraksi yang memutuskan hubungan dengan SI Pusat. Usaha ini disambut awalnya tidak direspon baik oleh sejumlah cabang SI, tetapi pada tahun-tahun berikutnya keinginan ini disambut positif oleh beberapa Cabang SI Lokal di Jawa seperti Cirebon, Telukbetung, Pare, Solo, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, dan Pekalongan. Dari sinilah nama PII resmi didirkan pada tanggal 4 Desember 52 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia 1938. Ketua pertama PII adalah Raden Wiwoho, mantan ketua umum Jong Islamieten Bon dan juga anggota Wolksraad. Pemilihan Wiwoho menjadi ketua partai baru ini didasarkan atas pertimbangan bahwa namanya masih bersih dan tidak terlibat dalam sejarah buruk masa lalu. Sosoknya yang muda juga menjadi kekuatan sendiri bagi PII. Sedangkan anggota lainnya adalah Sukiman (wakil ketua), Ahmad Kasmat dan Wali Al-Fatah sebagai sekretaris, Dr. Sukardi dan HA Hamid sebagai bendahara serta beberapa komisaris seperti KH Mas Mansur, H. Hadikusumo, A. Kahar Muzakkir, Rasjidi, dan H. Farid 2 Ma’ruf (Noer, 1985: 175-177). Dari struktur di atas, petinggi Muhammadiyah termasuk menguasai partai ini. Tetapi di beberapa daerah seperti di Priangan dan Bandung dikuasai oleh tokoh-tokoh Persis. Mohammad Natsir menjadi ketua Cabang PII Bandung. Sedangkan di Sumatera, PII mendapatkan dukungan kuat dari mantan anggota-anggota Permi. Dalam perjalanannya, partisipasi Mas Mansur dalam PII mendapatkan sorotan dari kalangan internal Muhammadiyah. Konflik yang dilakukan oleh Mas Mansur dengan sejumlah politisi PII lainnya menyebabkan sejumlah kader Muhammadiyah menyarankan agar Mas Mansur tidak lagi masuk dalam PII. Tetapi dalam sidang tanwir Muhammadiyah tahun 1939 tetap mengizinkan Mas Mansur terlibat dalam kepengurusan PII. Namun, untuk mengurangi konflik internal PII posisi Mas Mansur dirubah menjadi penasehat partai, sebuah keduduan yang kecil kemungkinan akan menimbulkan konflik internal PII (Noer, 1985: 177). Sejak berdiri hingga perkembangannya, meskipun sudah memiliki cabang-cabang di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, PII belum memiliki dasar-dasar perjuangan dan program yang jelas. Para pimpinannya terkesan membiarkan gerakan PII berkembang sesuai tuntutan realitas. Namun, dari berbagai gerakannya, PII menuntut masalah Indonesia Berparlemen. Setelah dua tahun berjalan, pada tahun 1940, PII mulai menyusun program aksi yang disetujui oleh kongres pertama di Yogyakarta. PII menginginkan negara kesatuan yang dilengkapi oleh pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen dan lembaga perwakilan lainnya serta berdasarkan pemilu yang umum dan langsung. Selain itu, PII menginginkan adanya perluasan hak-hak politik serta kebebasan berpikir dan kemerdekaan pers. Di bidang agama, PII menuntut penghapusan aturan yang menghambat perluasan Islam dan penghapusan subsidi untuk semua agama. Di bidang ekonomi, PII menuntut penyerahan perusahan-perusahan penting kepada negara, dihapusnya imigrasi, penghapusan segala bentuk pajak yang memberatkan rakyat serta perlindungan perusahaan-perusahaan tanah air dari tekanan perusahaan aisng. Satu hal lagi yang patut dicatat, bahwa PII menolak terahdap milisi paksaan di tengah-tengah tidak adanya kemakmuran dan kurangnya hak-hak politik rakyat (Noer, 1985: 178). Pada kongres kedua di Solo, 25-27 Juli 1941, PII mengemukakan kesediaannya untuk bergabung dalam dewan-dewan perwakilan yang ada dan mendukung tuntutan GAPI untuk Indonesia Berparlemen. PII cenderung bersikap kooperatif. Masih pada tahun yang sama, 1941, gerakan-gerakan PII mendapat halangan dari pemerintah Belanda. Bahkan ketika Jepang melancarkan serangan ke Hawai pada tanggal 8 Desember 1941, tiga tokoh utama PII yaitu Ahmad Kasmat, Faried Ma’ruf dan A. Kahar Muzakkir ditangkap oleh Belanda dengan tuduhan PII bersimpati dengan Jepang (yang merupakan musuh Belanda). Akhirnya PII bekerjasama dengan partai dan organisasi lain bergabung dengan GAPI dan MIAI dan 2 Pada tahun 1940, Sukiman menggantikan Wiwoho sebagai ketua. Sedangkan Wiwoho menjadi wakil ketua. Dinamika Part ai Isl am Pra Kemerdekaan 53 secara tidak langsung dengan MRI. Dengan bergabungnya ke dalam kelompok ini, PII berharap, bahwa gerakan model ini merupakan strategi yang paling sehat untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia meskipun pada kenyataannya tidak sesuai dengan harapan (Noer, 1985: 178-179). Dari tiga partai Islam yang pernah lahir dan berkembang dengan tantangannya masing-masing, dapat diambil kesimpulan bersama bahwa semangat perjuangan partai-partai tersebut adalah spirit nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah bentuk perlawanan mereka terhadap Pemerintah Belanda bahkan mereka berani menyatakan tuntutan-tuntutan dan hak-hak kaum pribumi meskipun mereka harus merelakan diri untuk dipenjara dan diasingkan di daerah terpencil. Nilai Islam dan nasionalisme menjadi satu kekuatan baik yang ada di SI, Permi maupun PII. Namun, perlu dicatat juga bahwa sejak pra kemerdekaan perpecahan di internal partai merupakan warisan abadi yang kemudian menjadi tradisi sejak pasca kemerdekaan hingga tiga rezim sesudahnya. Selain itu, di zaman ini belum pernah diadakan pemilu baik oleh Pemerintah Belanda maupun tuntutan dari partai-partai pribumi karena konsentrasi partai-partai pribumi adalah pengusiran penjajah dan semangat kemerdekaan. -oo0oo- 54 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB 5 PARTAI ISLAM DAN PEMILU 1955 Bab ini membahas tentang partai Islam selama era Orde Baru terutama keterlibatannya dalam pemilu pertama di Indonesia tahun 1955. Secara spesifik, pembahasannya mencakup tentang platform partai-partai Islam, sistem pemilu 1955, hasil perolehan suara dan kursi partai-partai Islam serta komposisi menteri dari partai Islam dalam pemerintahan. Pasca merdeka, sejarah politik kepartaian di Indonesia diawali pada tanggal 30 Oktober 1945, yakni ketika BP KNIP yang berfungsi sebagai parlemen sementara sebelum diadakannya pemilu, mengeluarkan keputusan untuk membentuk suatu sistem kepartaian atas dasar konsep multiparty. Pertimbangan dari keputusan ini adalah agar berbagai pendapat di masyarakat dapat tersalurkan dengan tertib. Di samping itu, keputusan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan bangsa. Atas dasar keputusan ini, melalui Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3 November 1945, terbentuklah beberapa partai politik antara lain seperti Masyumi, PKI, PSI, dan PNI (Aziz, 2006: 35). Namun, di internal Partai Masyumi mengalami konflik yang berkepanjangan. Hal ini menyebabkan mundurnya beberapa pihak dari Masyumi dan sejak 1952 lahirlah partai-partai Islam yang kemudian menjadi peserta pemilu tahun 1955. Setelah diidentifikasi, dari sekitar 172 kontestan pemilu yang terdiri dari partai politik, organisasi maupun perorangan, ada enam partai Islam yang menjadi peserta pemilu 1955. Keenam partai tersebut adalah Masyumi, Partai NU, PSII, Partai Perti, PPTI, dan Partai AKUI. A. PLAT FORM PARTAI I SLAM 1. Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) resmi menjadi partai politik dengan asas Islam pada tanggal 7 November 1945 melalui sebuah Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Awalnya, Masyumi adalah 56 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia organisasi sosial-keagamaan yang lahir pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI. Tujuan didirikannya partai ini adalah menjadi satu-satunya partai politik umat Islam pasca kemerdekaan serta terwujudnya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan masyarakat dan negara menuju keridhaan ilahi. Pada awal berdirinya, Masyumi hanya memiliki empat anggota istimewa yang terdiri dari Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, hampir semua organisasi Islam di Indonesia bergabung menjadi anggota Masyumi kecuali Perti yang sudah menjadi partai independen sejak awal. Masyumi menjadi kekuatan partai Islam di era Orde Lama dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan (Noer, 1987: 493; Romli, 2006: 35; http://wikipedia.org.id). Tokoh-tokoh Masyumi antara lain Hasyim Asy’arie dan Wahid Hasjim (NU), Agus Salim (PSII), dan Syekh Djamil Djambek (Pembaharu dari Sumatera Barat). Mereka adalah anggota Majelis Syuro Masyumi. Sedangkan Pengurus Besar terdiri dari para politisi senior seperti Muhammad Natsir (Persis), Mohammad Roem, Soekiman, Abikusno, dan Kartosuwiryo. Selain itu, ada juga Hamka dan Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Syafrudin Prawiranegara, Muhammad Isa Anshari, dan Anwar Hardjono. Di tengah perjalanan, keutuhan Masyumi tidak bertahan lama. Satu per satu para pendukungnya meninggalkan dan mendirikan partai politik sendiri. Mula-mula adalah PSII yang mundur pada bulan Juli 1947 dan mendeklarasikan diri sebagai partai politik independen. Pada tahun 1952 disusul oleh NU yang juga memproklamirkan diri sebagai partai Islam. Dengan keluarnya NU, hal ini cukup mengguncangkan internal Masyumi. Mengapa demikian? NU merupakan organisasi Islam yang mempunyai pengikut cukup besar terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dua provinsi terpadat di Indonesia. Dengan keluarnya tersebut, dukungan terhadap Masyumi otomatis berkurang sangat drastis (Romli: 2006: 35-37). Menurut Romli (2006: 37), keluarnya NU dari Masyumi tidak sekadar persoalan rebutan kekuasaan semata, bahwa jatah Menteri Agama yang seharusnya jadi pos NU malah diberikan pada Fakih Usman dari Muhammadiyah atau tidak sekadar peran Majelis Syuro yang hanya menjadi badan penasehat. Hal yang sangat mendasar atas keluarnya NU dari Masyumi adalah perbedaan kultur politik di antara keduanya di mana NU cenderung konservatif, sedangkan Masyumi cenderung modernis yang dekat dengan Muhammadiyah. Pada akhirnya, pada pemilu 1955 suara Masyumi dan NU tidak jauh berbeda. Menjelang akhir 1960, Masyumi menghadapi peristiwa yang sangat genting. Presiden Soekarno membubarkan Masyumi pada akhir 1960 karena tuduhan, bahwa tokoh-tokoh Masyumi dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan di Sumatera Barat yang dikenal dengan Permesta/PRRI. Kemudian, pada era pemerintahan Soeharto, sebagian eks elite Masyumi ingin merehabilitasi partai tersebut tetapi ditolak oleh rezim yang berkuasa. Sebagai jalan tengahnya adalah mendirikan partai baru, yang kemudian melahirkan Parmusi. 2. Partai Nahdhatul ‘Ulama (Partai NU) Partai Nahdhatul ‘Ulama (Partai NU) lahir atas kekecewaannya terhadap Partai Masyumi. Disebabkan terjadinya perubahan sikap Masyumi yang awalnya menghormati dan memberikan arti penting pada ulama, berubah menjadi tidak menghormati ulama lagi. Selain itu, di berbagai kesempatan semakin nampak kekurangserasian antara pimpinan NU dengan Masyumi dan tidak diterimanya calon Part ai Islam dan Pemilu 1955 57 menteri agama dari NU di Kabinet Wilopo yang pada akhirnya menjadi dasar bagi NU untuk menarik diri dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik yang dikukuhkan dalam kongres NU di Palembang, Oktober 1952. Karena itu, NU yang awalnya merupakan organisasi sosial-keagamaan dengan basis massa di kalangan Muslim pedesaan berubah menjadi partai politik sejak tahun 1952. Partai ini berasas Islam dengan tujuan menegakkan syariat Islam, dengan berhaluan pada salah satu empat madzhab dalam Islam serta melaksanakan berlakuknya hukum-hukum Islam dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai asas negara. (Noer, 1987: 86, 90, 494). Setelah resmi terpisah dari Masyumi, Partai NU melebarkan sayapnya ke berbagai daerah, terutama setelah kedudukannya dalam berbagai kabinet terjamin. Dominasi NU di Kementerian Agama juga mempermudah penyebaran partai ini. Namun, NU tidak berhasil menghimpun pengikut dalam jumlah yang besar, termasuk tidak berhasil menarik para pengikut Masyumi ke dalam partainya. Pada tahun 1954, iuran anggota menjadi penting bagi Partai NU. Keberadaan kyai NU yang dekat dengan pemerintah juga cukup membantu partai ini. Pada Pemilu 1955, NU menjadi salah satu partai yang mendapatkan suara tiga besar dan diperhitungkan dalam percaturan politik di Indonesia. Banyak kalangan yang tidak menyangka terhadap hasil perolehan suara partai ini. Namun pada awal rezim Orde Baru, Partai NU bersama partai Islam lainnya difusikan menjadi PPP pada tahun 1973 (Noer, 1987: 98, 103). 3. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sering membanggakan diri karena dianggap sebagai partai tertua di Indonesia. PSII merupakan metamorfosa dari organisasi bisnis bernama SDI tahun 1905 oleh KH. Samanhoedi dan berubah menjadi SI pada tahun 1912. Pada waktu itu, SI adalah satu-satunya organisasi yang yang beranggotakan banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Di bawah komando HOS Cokroaminoto, SI menjadi garda terdepan melawan penjajahan. Tetapi, dalam perkembangannya SI mengalami perpecahan internal dengan masuknya paham marxis, terutama SI Cabang Semarang di bawah pimpinan Semaoen. Akhirnya SI terpecah menjadi dua, yaitu SI Merah (Komunis) dan SI Putih (Islam). Akibat perpecahan ini, peranan SI dalam perjuangan Indonesia menjadi menurun. Kemudian kekuatan politik saat itu digantikan oleh kelompok nasionalis, terutama dari PNI di bawah pimpinan Soekarno. Pada tahun 1921, SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) dan pada tahun 1930 berubah lagi menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia atau disingkat PSII (Romli, 2006: 39-40). Setelah Indonesia merdeka, PSII turut bergabung dan melebur menjadi bagian elemen Islam yang mendukung dan terlibat dalam pembentukan Partai Masyumi. Namun, keterlibatan dalam Masyumi tidak bertahan lama. Dua tahun setelah itu, tahun 1947, PSII menyatakan keluar dari Masyumi. Peristiwa keluarnya PSII disebabkan karena kekecewaan sebagian politisinya di Masyumi yang tidak mendapatkan peran dan kedudukan strategis seperti Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata. Selain itu, kemunduran sebagian elite Masyumi ini disebabkan Masyumi yang begitu lunak menghadapi Belanda untuk berunding dalam berbagai hal. Atas dasar itulah, PSII didirikan kembali pada tahun 1947 yang dulu pernah lahir pada tahun 1930-an. Salah satu kebesaran PSII adalah nama besar HOS Tjokroaminoto yang mendirikan SI generasi awal (Noer, 1987: 81-83). Struktur PSII pada tahun 1950 adalah sebagai berikut: 58 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Ketua Dewan Partai Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Sekretaris Sendral : Abikusno Tjokrosujoso : Harsono Tjokroaminoto : Sudibjo Pada periode 1953-1955, struktur PSII mengalami perubahan sebagaimana berikut ini: Presiden Dewan Partai PSII Presiden Lajnah Tanfidziyah Sekretaris Umum : Anwar Tjokroaminoto : Arudji Kartawinata : Soehardjo Tujuan PSII adalah membangun persatuan yang tersusun rapat di kalangan umat Islam, yang teratur dengan aturan mencukupi perintah-perintah Allah dan Rasulullah SAW dalam segala bidang kehidupan, pencaharian, dan pergaulan. Sejalan dengan itu, PSSI membangun kekuatan untuk mendapatkan hak menguasai segenap tumpah darah negeri sehingga menjadi semakin kuat dalam perastuan umat Islam seDunia. Selain itu, berdirinya partai ini bertujuan untuk menjaga hubungan antar umat Islam di berbagai bangsa dan negara yang membawa manfaat untuk kebersamaan. PSII terlibat menjadi kekuatan politik tersendiri pada pemilu 1955 dan 1971. Pasca pemilu 1971, PSII tak lagi bisa ikut dalam pemilu hingga akhir rezim Orde Baru akibat kebijakan fusi partai Islam (Noer, 1987: 98, 494-495, 499-500). 4. Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Partai Perti) adalah partai politik yang pada awalnya berasal dari sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatera Barat, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Organisasi Perti berakar dari para ulama ahlussunnah wal jamaah di Bukittinggi, Sumatera Barat yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1930. Karakter gerakan Perti sama dengan NU, yaitu organisasi Islam tradisional. Pendiri-pendiri Perti antara lain adalah Syekh Abbas, Syekh Sulaiman ArRasul, dan Syekh Muhammad Djamil Djaho. Organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi. Perti ikut berjuang di kancah politik nasional dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman. Asas partai ini adalah agama Islam dengan tujuan menegakkan kalimat Allah dalam arti kata yang seluas-luasnya (Noer, 1987: 495-496; Romli, 2006:41; http://wikipedia.org.id). Tidak seperti NU dan PSII, Perti sejak awal kemerdekaan Indonesia telah menjadi partai politik mandiri dengan gerakannya yang eksklusif. Dalam pemilu 1955, Partai Perti mendapatkan empat kursi di DPR RI dan tujuh kursi di Majelis Konstituante. Namun, setelah Majelis Konstituante dan DPR RI dibubarkan oleh Soekarno, Partai Perti mendapatkan dua kursi di DPR-Gotong Royong. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Partai Perti bersama-sama dengan PSII, Partai NU, dan Masyumi tergabung dalam Liga Muslim yang mendukung gagasan Nasakom. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Partai Perti bersama partai Islam lainnya difusikan menjadi PPP (http://wikipedia.org.id). Struktur organisasi Partai Perti pada tahun 1950 terdiri dari Ketua Dewan Partai Tertinggi: H. Sirajuddin Abbas, Ketua Dewan Pimpinan: H. Rusli dan Sekretaris Jendral: M. Toha Ma’ruf. Pada periode 1953-1955, Ketua Dewan Partai Tertinggi: H. Sirajuddin Abbas, Ketua Dewan Pimpinan: H. Rusli Abdul Wahid dan Sekretaris Jendral: Abdur Rahman. Pada tahun 1962 terjadi perubahan struktur, Part ai Islam dan Pemilu 1955 59 Ketua Dewan Pimpinan Pusat: H. Sirajuddin Abbas dan Sekretaris Umum: Nyak Diwan dari Aceh. Bersamaan dengan partai Islam lainnya, Partai Perti turut menjadi korban dari kebijakan fusi partai Islam sehingga tidak lagi ambil bagian dalam pemilu 1977-1997 (Noer, 1987: 500-501; Romli, 2006: 42). 5. Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) merupakan partai Islam yang menjadi kontestan pada pemilu 1955. Hasil pemilu 1955 menunjukkan, bahwa PPTI berada pada peringkat ke-23 untuk DPR RI dengan memperoleh total keseluruhan 85.131 suara atau 0,22% dan mendapatkan jatah 1 kursi di parlemen. Namun, tidak mendapatkan kursi di parlemen tingkat provinsi. Sedangkan hasil suara untuk Majelis Konstituante, PPTI berada pada urutan ke-26 dengan memperoleh 74.913 suara. Menurut Feith (1957: 58-59), PPTI termasuk partai kecil yang merepresentasikan kelompok Islam yang menganut aliran mistik dengan basis pemilih di Sumatera terutama di Sumatera Tengah (jika sekarang meliputi kawasan Sumatera Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau). Secara detail, Feith (1957: 66-72) menunjukkan hasil suara PPTI yang tidak memperoleh suara di tiap provinsi. PPTI hanya memperoleh suara di tiga provinsi, yaitu Sumatera Tengah (35.156 suara untuk DPR RI dan 33.516 suara untuk Majelis Konstituante), Sumatera Utara (27.084 suara untuk DPR RI dan 21.459 suara untuk Majelis Konstituante), dan Kalimantan Selatan (16.429 suara untuk DPR RI dan 14.074 suara untuk Majelis Konstituate). Di luar itu, PPTI tidak mendapatkan suara satu pun. Karena itu Feith (1957: 36) mengkategorikan PPTI sebagai A Small Group Party of Nation-wide Significance yang berbeda dengan Partai AKUI meski sama-sama tergolong partai kecil. Setelah pemilu 1955, PPTI tidak lagi menjadi peserta pemilu pada tahun berikutnya selama rezim Orde Baru. 6. Partai AKUI Partai Aksi Kesatuan Umat Islam (Partai AKUI) termasuk juga partai Islam yang berkontestasi pada pemilu 1955. Feith (1957: 59-61) mengkategorikan AKUI sebagai A Small Group Party of Regional Significance dengan basis utama di Provinsi Jawa Timur. Secara politik, Partai AKUI cenderung dekat dengan Masyumi. Pada pemilu 1955, partai ini berada pada peringkat ke-24, tepat setelah PPTI. Menurut catatan Feith (1957: 58), Partai AKUI berhasil meraih 81.454 suara untuk DPR RI atau setara dengan 0,2% dan hanya mendapatkan jatah 1 kursi di parlemen. Sedangkan suara untuk Majelis Konstituante, Partai AKUI berada pada peringkat 24 (di atas PPTI) dengan jumlah suara 84.862. Secara detail, dari hasil pemilu yang diolah oleh Feith (1957: 66-72), Partai AKUI memperoleh mayoritas suara di Provinsi Jawa Timur dengan hasil 78.281 suara (96,1%) untuk DPR RI dan 82.370 suara (97,1%) untuk Majelis Konstituante. Sedangkan sisa suara tidak dijelaskan secara detail. Atas hasil suara yang kurang signifikan ini, Partai AKUI tidak ikut lagi pada pemilu 1971 dan seterusnya hingga sekarang. 60 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia B. SI ST EM PEM I LU 1 9 5 5 Sejak Indonesia merdeka, keinginan untuk mengadakan pemilu selalu muncul setiap tahun. Tetapi keinginan itu selalu kandas disebabkan pada saat itu, suasana masih dalam kondisi revolusi mempertahankan kemerdekaan dan mengatasi munculnya gerakan-gerakan kedaerahan. Di samping itu, belum terlaksananya pemilu disebabkan belum ada basis pijakan yang dijadikan dasar untuk rujukan. Barulah pada tahun 1955, pemerintahan di bawah kabinet Boerhanoeddin Harahap (Masyumi) bisa melaksanakan pemilu secara jujur dan adil. Pemilu ini didasarkan pada UU Pemilihan Umum No. 7 Tahun 1953 dengan asas umum, periodik, jujur, berkesamaan, bebas, rahasia, dan langsung. Sistem pemilihan yang dipakai adalah sistem proporsional murni (sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar dan sisa suara terbanyak). Penentuan jumlah kursi di tiap Dapil benar-benar didasarkan pada proporsi jumlah penduduk. Di Dapil Jawa, jumlah kursi yang diperuntukkan untuk wilayah ini sebanyak 172 dari 257 kursi di DPR RI (prosentase 66,92%). Sedangkan di daerah pemilihan di luar Jawa hanya mendapatkan jatah 85 kursi (Asfar, 2006: 37-38; Ismanto dkk, 2004: 259). Tujuan pemilu kali ini adalah untuk memilih anggota Majelis Konstituante dan Anggota DPR. Sistem pemilihannya menggunakan sistem daftar tertutup atau meminjam istilah Lijphart disebut closed list system. Para pemilih harus memilih satu partai politik saja dari partai-partai yang tersedia sebagai peserta pemilu, bukan memilih kandidat/calon. Sedangkan kandidat yang bertarung keberadaannya dalam daftar calon ditentukan oleh partai. Dengan begitu, pelaksanaan pemilu 1955 relatif bebas dan adil. Mereka yang berhak memilih adalah WNI yang sudah berumur 18 tahun atau sudah menikah. Prosedur pendaftarannya tidak menggunakan sistem stelsel aktif. Artinya, petugas pemilihan berkewajiban mendata semua warga negara yang sudah memiliki hak pilih. Prosedur nominasi calegnya ditentukan secara internal oleh partai politik. Sementara kuota atau proporsi untuk memperoleh satu kursi adalah ekuivalen dengan 300 ribu pemilih. Jumlah penduduk yang terdaftar pada tahun 1955 sejumlah 43.104.464 orang dan pemilih terdaftar ada 37.875.299 orang (Asfar, 2006: 38). Pemilu kali ini diikuti oleh 172 tanda gambar yang terdiri dari perorangan, partai politik nasional, partai politik lokal, dan organisasi kemasyarakatan (no-partai politik). Sedangkan penyelenggara pemilu diorganisir oleh kepanitiaan dalam lima tingkat, di tingkat nasional: Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Kemudian, ada panitia pemilihan di tiap daerah pemilihan, panitia pemilihan di tingkat kabupaten, panitia pemungutan suara tingkat kecamatan dan panitia pendaftaran pemilih untuk tingkat desa. Keanggotan panitia didominasi oleh pejabat pemerintah pada posisi ketua, sementara parpol pada posisi wakil atau anggota biasa (Ismanto dkk, 2004: 260-261). Sistem pemilihan yang demikian memiliki konsekuensi sebagai berikut. Pertama, adanya ketidakproporsionalan berdasarkan wilayah. Hal ini disebabkan ketimpangan antara jumlah perwakilan Jawa dan luar Jawa. Kedua, adanya fragmentasi politik. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sistem proporsional, yang memungkinkan munculnya partai-partai kecil. Akibatnya, sangat sulit mendapatkan suara mayoritas di parlemen, sehingga sering kali sidang-sidang di parlemen tidak memperoleh kesepakatan dan mengalami dead lock. Munculnya fragmentasi politik ini disebabkan sistem proporsional yang diterapkan tidak disertai dengan electoral threshold. Padahal keberadaan electoral threshold ini sangat penting untuk mengeliminir fragmentasi politik (Asfar, 2006: 38-39). Part ai Islam dan Pemilu 1955 61 C. M EN AK AR K EK UATAN PARTAI I SLAM Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk pemilihan anggota DPR RI dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk pemilihan anggota Majelis Konstituante. Pada pemilu kali ini, penggunaan agama dan ideologi sebagai basis perjuangan partai politik sangat mengental. Satu dekade setelah kemerdekaan, ideologi-ideologi partai politik memang begitu mendominasi percaturan politik. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga berimbas sampai ke desa-desa. Akibatnya, masyarakat yang terkotak-kotak berdasarkan ideologi keagamaan tersebut dibatasi secara tegas ke dalam partai-partai politik. Pembagian kultural terhadap masyarakat Jawa yang telah ditemukan oleh Clifford Geertz, yaitu santri, abangan, dan priyayi, termanifestasikan dalam bentuk partai politik. Kelompok abangan masuk ke dalam partai-partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri berafiliasi ke partai-partai Islam, seperti Partai Masyumi, Partai NU, PSII, Partai Perti, dan Partai AKUI (Asfar, 2006: 66). Kenyataan di atas menyebabkan terjadinya perang ideologis antar partai dan saling menjatuhkan di antara mereka. Partai Masyumi misalnya, selama Pemilu 1955 menyerang PKI dan pendukungnya sebagai kelompok atheis. Sebaliknya, Masyumi mendapat kritik luar biasa justru dari Partai NU karena ide-ide pembaharuan yang diperjuangkannya. Di Pasuruan, faksi tertentu dari NU menyerang PKI sebagai kelompok yang anti-Islam, meskipun beberapa pimpinan NU kurang tertarik dengan isu komunis dibanding kelompok Islam modernis lainnya. Salah satu penyebab terjadinya konflik yang demikian adalah karena keyakinan yang begitu kuat dari masing-masing pimpinan dan pengikut partainya (Asfar, 2006: 66). Hasil perolehan suara pada pemilu 1955 kurang menggembirakan bagi partai-partai Islam, terutama bagi Masyumi. Partai-partai Islam yang diyakini akan menjadi the ruling party atau setidaknya memperoleh suara mayoritas mutlak atau memperoleh suara di atas 50 persen, ternyata tidak terbukti. Partai pemenang pada pemilu kali ini adalah PNI, partai milik Soekarno yang berkuasa saat itu. Kemudian disusul oleh Masyumi, NU, dan PKI. Adapun perolehan suara dan kursi partai-partai Islam pada pemilu 1955 diumumkan pada tanggal 8 Oktober 1955, sebagaimana berikut ini: Tabel 5.1. Perolehan Suara dan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 No. Nama Partai Suara untuk DPR RI Prosentase Suara DPR RI (%) Jumlah Kursi di DPR RI Suara untuk Majelis Konstituante Perolehan Kursi DPRD Provinsi 1. Masyumi 7.903.886 20,9 57 7.789.619 44 2. Partai NU 6.955.141 18,4 45 6.989.333 8 3. PSII 1.091.160 2,9 8 1.059.922 4 4. Perti 483.014 1,3 4 465.359 1 5. PPTI 85.131 0,2 1 74.913 0 6. AKUI 81.454 0,2 1 84.862 0 16.599.786 43,9 116 16.464.008 57 TOTAL Sumber: Diolah dari Feith (1957: 58-59, 65). 62 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Jika dikaitkan dengan optimisme kekuatan politik Islam sebelum pemilu, hasil di atas merupakan pukulan telak bagi Masyumi, karena di samping tidak berhasil memperoleh suara terbanyak, partai-partai Islam juga tidak berhasil mengumpulkan suara mayoritas. Apalagi setelah pemilu para elite politik Masyumi menyadari betapa sulitnya menyatukan partai-partai Islam dalam satu koalisi pemerintahan di kabinet. Hal ini terbukti dengan sulitnya bersatu antara Masyumi dan Partai NU. Karena Partai NU lebih mudah menjalin koalisi dengan PNI daripada partai-partai Islam lainnya, terutama Masyumi. Menurut Liddle sebagaimana dikemukakan oleh Asfar (2006: 67), dari hasil perolehan suara partai-partai Islam dapat diketahui, bahwa suara Masyumi didukung oleh pemilih Islam perkotaan di Jawa dan pedagang serta pengusaha Islam di luar Jawa. Sedangkan pemilih Partai NU adalah santri Jawa khususnya para guru Islam dan para pemilik tanah yang saleh. Partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, dan AKUI berhasil meraih 116 kursi dari 272 kursi di DPR RI. Ini berarti partai Islam berhasil merebut 42,64% kursi parlemen di tingkat nasional, yang sebelumnya hanya mendapatkan jatah 24% atau 57 kursi DPR RI. Partai NU mengalami peningkatan luar biasa, dari hanya 8 kursi di DPRS menjadi 45 kursi atau dari sekitar 3% menjadi 16,54%. Kemenangan Partai NU memang diduga banyak kalangan sangat mengejutkan. Padahal sebelumnya, sebagian orang memperkirakan, bahwa Partai NU hanya mendapatkan 20-23 kursi. Kemenangan Partai NU juga merupakan kemenangan bagi Wahab Chasbullah yang telah membawa NU ke panggung politik dan mampu meyakinkan beberapa kyai yang meragukan kemampuan organisasi NU untuk menjadi partai politik yang independen dan berpengaruh. Sementara itu, Partai Masyumi yang awalnya mendapatkan 42 kursi di DPRS bertambah 15 sehingga menjadi 57 kursi. PSII juga mendapat tambahan sebanyak 4 kursi dan Perti 3 kursi (Asfar, 2006: 68). Selain itu, hasil perolehan pemilu menunjukkan bahwa adanya polarisasi antara partai-partai agama dan non agama. Di Jawa, kecuali Jakarta Raya, gabungan kekuatan partai non agama lebih kuat daripada gabungan partai Islam. Sedangkan di luar Jawa, gabungan kekuatan partai Islam lebih kuat daripada gabungan kekuatan partai non agama. Basis dukungan partai-partai Islam bisa dipilah-pilah berdasarkan wilayah. Menurut Liddle sebagaimana diuraikan ulang oleh Asfar (2006: 69-70), Partai NU memiliki basis dukungan dari pemilih Jawa sehingga dapat dikatakan sebagai Javanese party. Sedangkan Masyumi didukung oleh pemilih dari luar Jawa. Partai-partai Islam yang berbasis massa Islam santri kebanyakan mendapatkan dukungan kuat di wilayah Indonesia bagian barat, terutama di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, dan Sumatera Utara. Sedangkan di Jawa, partai-partai Islam cenderung kurang seimbang, karena dikuasai oleh partai-partai nasionalis dan komunis. Dalam pandangan Feith (1957: 57), data di atas menunjukkan kesuksesan Partai NU yang mampu meraih kursi dari 8 menjadi 45 kursi di DPR RI. Sebaliknya, Masyumi malah meraih suara yang kecil terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun, sebagaimana prediksi para pengamat politik lainnya, Feith pun sudah meramalkan bahwa Masyumi dan Partai NU bersama dengan PNI dan PKI akan menjadi big four party dalam pemilu 1955 dan terbukti “ramalan” itu tidak meleset. Dari hasil perolehan sebagaimana tergambarkan di atas, Feith (1957: 61) mengelompokkan partai Islam menjadi tiga kelas. Part ai Islam dan Pemilu 1955 1. 63 Partai Utama (Major Parties) yaitu partai yang meraih suara mayoritas di bandingkan partai-partai yang lain. Partai Islam yang termasuk kelompok ini ada dua, yaitu Masyumi dan Partai NU, setera dengan PNI dan PKI. Partai Menengah (Medium-sized Parties) yaitu partai yang meraih suara luas secara nasional tetapi tidak masuk dalam kategori empat partai besar. Partai yang termasuk dalam kelompok ini antara lain PSII dan Perti, setara dengan Parkindo, Partai Katolik, PSI, dan IPKI. Partai Kecil (Small Parties), yang dibagi lagi menjadi dua kelompok: a. Small Groups of Nation-wide Significance yaitu kelompok partai yang mampu meraih suara di berbagai provinsi sehingga dikatakan sebagai partai kecil dengan dukungan luas secara nasional. Kelompok ini terdiri dari PPTI, setara dengan PRN, Partai Buruh, PRI, Partai Murba, dll. b. Small Groups of Regional Significance yaitu kelompok partai yang hanya meraih suara di suatu provinsi tertentu. Seperti Partai AKUI yang hanya meraih suara di Jawa Timur, terutama dari kalangan etnis Madura. Selain Partai AKUI, ada Gerinda di Yogyakarta, Partai Persatuan Daya di Kalimantan Timur, Partai Rakyat Desa (PRD) di Jawa Timur, Gerakan Pilihan Sunda dan Partai Tani Indonesia di Jawa Barat, Partai Indonesia Raya di NTB terutama di Lombok, dll. 2. 3. Pengelompokan terhadap partai menjadi tiga kelas seperti dijelaskan di atas adalah berdasarkan fakta dan data suara yang diperoleh oleh masing-masing partai. Dengan angka-angka tersebut, masingmasing partai telah menunjukkan kekuatan dan kinerjanya dibanding partai yang lain. Secara terperinci, berikut ini adalah hasil perolehan kursi partai-partai Islam berdasarkan dapilnya. Tabel 5.2. Perolehan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 Berdasarkan Dapil DAERAH PEMILIHAN NO. NAMA PARTAI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Masyumi 7 6 13 2 4 6 6 1 2 2. Partai NU 20 11 5 1 1 - 1 - 3. PSII - 1 3 - 1 - - 4. Perti - - - - - - 5. PPTI - - - - - 6. AKUI 1 - - - 28 18 21 3 TOTAL TOTAL 11 12 13 14 15 - 1 5 1 1 2 57 3 - - 2 - - 1 45 - - - 2 1 - - - 8 3 1 - - - - - - - 4 1 - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - 1 6 7 10 2 5 - 3 8 1 1 3 116 Sumber: Diolah dari Asfar (2006: 71). Keterangan: 1= Jawa Timur; 2= Jawa Tengah; 3; Jawa Barat; 4= Jakarta Raya; 5= Sumatera Selatan; 6= Sumatera Tengah; 7= Sumatera Utara; 8= Kalimantan Barat; 9= Kalimantan Selatan; 10= Kalimantan Timur; 11= Sulawesi Utara; 12= Sulawesi Selatan; 13 Maluku; 14= Nusa Tenggara Timur; 15= Nusa Tenggara Barat. 64 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Sedangkan jumlah suara yang diperoleh oleh masing-masing partai Islam pada Pemilu 1955 per provinsi untuk DPR RI dan Majelis Konstituante dapat disajikan dalam tabel berikut ini sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Feith (1957: 66-72): Tabel 5.3. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Timur No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 1.109.742 1.119.595 +9.853 2. Partai NU 3.370.554 3.260.392 -110.162 3. PSII 43.357 43.458 +5.501 4. Perti 2.078 1.792 -286 5. PPTI - - - 6. AKUI 78.281 82.370 -4.089 Tabel 5.4. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Tengah No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 902.387 892.556 -9.831 2. Partai NU 1.772.306 1.822.902 +50.596 3. PSII 62.922 69.355 +6.433 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.5. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jawa Barat No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 1.844.442 1.761.406 -83.036 2. Partai NU 673.466 692.755 +19.289 3. PSII 393.174 384.790 -8.384 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Part ai Islam dan Pemilu 1955 65 Tabel 5.6. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Jakarta Raya No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 200.460 180.488 -19.972 2. Partai NU 120.667 124.923 +4.256 3. PSII 23.245 19.971 3.274 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.7. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Selatan No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 628.386 594.662 -33.724 2. Partai NU 115.938 136.008 +20.070 3. PSII 149.239 132.439 -16.800 4. Perti 42.912 41.321 -1.591 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.8. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Tengah...? ?! No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 797.692 797.897 +205 2. Partai NU 71.959 78.164 +6.205 3. PSII 32.753 30.899 -1.854 4. Perti 351.768 337.081 -14.687 5. PPTI 35.156 33.516 0 6. AKUI - - - 66 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 5.9. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sumatera Utara No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 789.910 762.404 -27.506 2. Partai NU 87.773 103.823 +16.050 3. PSII 26.393 26.719 +326 4. Perti 78.358 75.177 -3.181 5. PPTI 27.084 21.459 5.625 6. AKUI - - - Tabel 5.10. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Barat No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 155.173 152.715 -2.458 2. Partai NU 37.945 37.123 -822 3. PSII 3.030 1.863 -1.167 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.11. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Selatan No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 252.296 236.513 -15.783 2. Partai NU 380.874 390.561 +9.687 3. PSII 6.717 4.916 -1.801 4. Perti - - - 5. PPTI 16.429 14.074 -2.355 6. AKUI - - - Part ai Islam dan Pemilu 1955 67 Tabel 5.12. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Kalimantan Timur No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 44.347 38.610 -5.731 2. Partai NU 20.795 24.304 +3.509 3. PSII 7.401 5.521 -1.880 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.13. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sulawesi Utara No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 189.198 192.313 +3.115 2. Partai NU 21.619 23.744 +2.125 3. PSII 173.364 166.148 -7.216 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.14. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 446.255 502.357 +56.102 2. Partai NU 159.193 173.291 +14.098 3. PSII 114.798 106.280 -8.518 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - 68 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 5.15. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di Maluku No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 117.440 122.615 +5.175 2. Partai NU - - - 3. PSII 11.310 9.162 -2.143 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.16. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di NTT No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 157.972 154.386 -3.596 2. Partai NU 17.684 18.111 +427 3. PSII 23.046 22.452 -594 4. Perti 3.487 3.207 -280 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Tabel 5.17. Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu 1955 di NTB No. Nama Partai Suara DPR RI Suara Majelis Konstituate Perbedaan Suara 1. Masyumi 264.719 258.358 -6.361 2. Partai NU 104.282 102.294 -1.988 3. PSII 7.020 5.804 -1.216 4. Perti - - - 5. PPTI - - - 6. AKUI - - - Dari tabel-tabel di atas, kita dapat mengetahui tentang beberapa hal sebagaimana dijelaskan berikut ini: 1. 2. Basis pemilih Masyumi ada di luar Jawa terutama Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, Masyumi selalu mendapatkan suara signifikan di setiap provinsi. Basis pemilih Partai NU ada di Jawa (85,6% suara di Jawa dari total suara Partai NU). Secara lebih spesifik, mayoritas pemilih NU ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah (73,9% suara dari total suara Partai NU). Meskipun demikian, Partai NU tetap mendapatkan suara di luar Jawa kecuali di Maluku. Part ai Islam dan Pemilu 1955 3. 4. 5. 6. 69 Basis pemilih utama PSII adalah Jawa Barat dan Sulawesi dengan 62,4% dari total suara berasal dari kedua Dapil tersebut. Di luar daerah ini, PSII tetap mendapatkan suara di tiap provinsi. Basis pemilih utama Partai Perti ada di Sumatera Tengah dengan 62,4% dari total suara keseluruhan ada di provinsi tersebut. Selain itu, basis pemilih Perti lainnya ada di Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan NTT. Basis pemilih utama PPTI ada di Sumatera, terutama di Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Di luar Sumatera, PPTI hanya mendapatkan suara di Kalimantan Selatan. Di luar provinsi-provinsi tersebut, PPTI tidak mendapatkan suara sama sekali. Mayoritas pemilih Partai AKUI ada di Jawa Timur, terutama pemilih dari kelompok etnis Madura. Di luar Jawa Timur, Partai AKUI tidak mendapatkan suara sama sekali. Karena itu, Partai AKUI dapat dikategorikan sebagai partai lokal. Selain menyajikan data tentang hasil perolehan suara dan kursi sebagaimana telah dipaparkan di atas, perlu juga diuraikan tentang prosentase perolehan suara antara partai Islam, partai non-agama, dan partai Kristen. Tabel 5.18. Prosentase Suara antara Partai Islam, Partai Non-Islam, dan Partai Kristen No DAPIL Partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti) Partai NonAgama (PNI, PKI, PSI, IPKI) Partai-partai Kristen 1. Jawa Timur 45,75 46,6 0,51 2. Jawa Tengah 30,27 59,53 0,84 3. Jawa Barat 42,1 42,3 0,28 4. Jakarta Raya 44,71 38,0 3,0 5. Sumatera Selatan 63,4 29,1 0,5 6. Sumatera Tengah 79,74 10,24 0,51 7. Sumatera Utara 45,4 26,05 14,8 8. Kalimantan Barat 41,9 20,4 0,5 9. Kalimantan Selatan 81,35 11,2 1,41 10. Kalimantan Timur 40,68 37,33 3,91 11. Sulawesi Utara 50,9 19,21 21,36 12. Sulawesi Selatan 64,3 6,51 11,41 13. Maluku 38,81 11,81 38,42 14. NTT 17,52 6,53 58,74 15. NTB 29,9 61,0 0,29 Sumber: Feith (1957: 81). 70 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa partai Islam unggul di 10 provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jakarta Raya, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku. Di Maluku, Partai Islam (mayoritas suara di Maluku bagian utara) dan Partai Kristen (mayoritas suara di Maluku bagian selatan) bersaing ketat satu sama lain. Begitu juga di Jawa Barat, persaingan antara Partai Islam dan partai non-agama sangat tipis. Di luar itu, partai Islam tidak mendapatkan suara mayoritas. Seperti di NTT dimenangkan oleh partai-partai Kristen, di NTB dimenangkan oleh partai-partai non-agama. Begitu juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur dimenangkan oleh partai non-agama. Secara lebih spesifik lagi, di bawah ini akan disajikan hasil temuan yang dilakukan oleh Feith (1957: 85) terhadap hasil perolehan suara dua partai Islam utama (Masyumi dan NU) pada pemilu 1955 yang disajikan per kabupaten (residen). Tabel 5.19. Perolehan Suara Dua Partai Utama Islam pada Pemilu 1955 di Jawa No. Nama Kabupaten Masyumi Partai NU JAWA TIMUR 1. Besuki 150 699 2. Malang - - 3. Madura 134 591 4. Surabaya 117 431 5. Kediri 155 366 6. Madiun 137 92 7. Bojonegoro 300 131 1.109.742 3.370.554 48 285 Total Suara JAWA TENGAH 8. Pati 9. Surakarta 198 45 10. Yogyakarta 134 99 11. Semarang 53 370 12. Kedu 120 470 13. Pekalongan 138 361 14. Banyumas 171 259 902.387 1.772.306 Total Suara JAWA BARAT 15. Cirebon 298 167 16. Priangan 578 199 Part ai Islam dan Pemilu 1955 71 Tabel 5.19. Lanjutan No. Nama Kabupaten Masyumi Partai NU JAWA BARAT 17. Jakarta 269 63 18. Bogor 416 107 19. Banten 224 84 1.844.442 673.466 200 121 200.460 129.667 Total Suara JAKARTA RAYA 20. Jakarta Raya Total Suara Sumber: Diolah dari Feith (1957: 85). Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui bahwa Partai NU menguasai suara pemilih di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Masyumi hanya bisa mengungguli Partai NU di beberapa kabupaten, seperti di Madiun dan Bojonegoro (untuk Jawa Timur) serta di Surakarta dan Yogyakarta (untuk Jawa Tengah). Selebihnya, Partai NU menguasai kabupaten-kabupaten tersebut. Sebaliknya, Masyumi berkuasa di Jawa Barat dan Jakarta Raya. Di dua Dapil ini, Masyumi menang mutlak atas Partai NU sebagaimana tergambar dalam tabel di atas. D. KOM POSI SI M EN T ERI PARTAI I SLAM DI K ABI N ET Sebagai bagian dari konsekuensi hasil pemilu 1955, cukup menarik juga dikemukakan tentang komposisi menteri-menteri dari partai Islam di Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (Periode 1956-1957). Setelah hasil suara ditetapkan, Soekarno berharap empat partai pemenang, yaitu PNI, Masyumi, Partai NU, dan PKI dapat terakomodasi di kabinet. Tetapi Masyumi tidak menerima kehadiran PKI yang memiliki sejarah buruk di masa lalu, yaitu melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Dengan masuknya PKI ke kabinet, hal itu bisa dijadikan alat untuk menghimpun kekuatannya kembali. Sikap Masyumi ini didukung oleh PSII. Namun, di sisi lain Partai NU malah justru bisa menerima orangorang pilihan PKI asal bukan anggota dan daftar calon PKI. Sedangkan posisi Perti agak membingungkan, yaitu bersedia menerima PKI duduk di kabinet asalkan Masyumi tidak. Karena, jika kedua-duanya duduk dalam satu kabinet, dapat dipastikan kabinet akan cepat bubar (Asfar, 2006: 73). Dalam komposisi kementerian, Masyumi tidak berhasil memperjuangkan kepentingannya untuk mendapatkan Jabatan Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Masyumi mendapatkan posisi sebagai Wakil Perdana Menteri I, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Menteri Pekerjaan Umum. Sementara itu, Partai NU memperoleh jatah lima menteri, yaitu Wakil Perdana Menteri II, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perekonomian, Menteri Sosial, dan Menteri Agama. Berikut ini daftar menteri-menteri dari partai Islam yang duduk di Kabinet Ali Sastroamidjoyo (Asfar, 2006: 73): 72 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 5.20. Menteri-menteri dari Partai Islam dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (Periode 19561957) Hasil Pemilu 1955 No. Jabatan Menteri Nama Menteri Asal Partai 1. Wakil PM I Mr. Mohamad Roem Masyumi 2. Keuangan Mr. Yusuf Wibisono Masyumi 3. Kehakiman Mr. Mulyatno Masyumi 4. Pekerjaan Umum Ir. P. Mohammad Noer Masyumi 5. Wakil PM II KH. Idham Chalid NU 6. Dalam Negeri Mr. Soenarjo NU 7. Perekonomian Mr. Burhanuddin NU 8. Sosial KH. Fatih Yasin NU 9. Agama KH. M. Iljas NU 10. Wakil Sjech Marhaban PSII 11. Penerangan Sudibjo PSII 12. Negara H. Rusli A. Wahid Perti Sumber: Diolah dari Asfar (2006: 73-74). Secara keseluruhan, dari 21 menteri yang duduk di kabinet, partai-partai Islam mendapatkan porsi menteri mayoritas. Artinya, jika diprosentasekan, maka 57% menteri berasal dari gabungan partai Islam. Namun, di tengah perjalanan, Masyumi menarik keanggotaannya dalam Kabinet Ali II pada tanggal 9 Januari 1957. Masyumi menilai, bahwa langkah-langah yang ditempuh pemerintah tidak mampu memperbaiki keadaan Indonesia, tetapi justru menciptakan disintegrasi bangsa. Sikap yang demikian diikuti oleh Perti pada tanggal 17 Januari 1957. Akibatnya, Kabinet Ali II melanjutkan kerjanya selama dua bulan tanpa Masyumi dan Perti. Sedangkan NU dan PSII menuntut adanya perombakan kabinet (Asfar, 2006: 74). E. SI T UASI PASCA PEM I LU 1 9 5 5 Setelah pemilu 1955 terlaksana dengan aman dan damai, perjuangan partai Islam mengalami fragmentasi yang kurang stabil. Di tengah tidak jelasnya kerja Majelis Konstituante dalam menyusun UUD Permanen, Soekarno pada akhirnya mengeluarkan dekrit presiden pada tanggal 5 Juni 1959 yang isinya adalah menentapkan UUD ’45 sebagai UUD permanen Indonesia dan pada saat yang bersamaan membubarkan Majelis Konstituante karena kerjanya dianggap oleh Soekarno tidak jelas. Padahal, menurut sumber yang lain, Majelis Konstituante hampir selesai dalam menyusun UUD permanen tersebut. Hanya saja, ketidaksabaran Soekarno lah yang membuat dirinya membubarkan lembaga rakyat tersebut yang merupakan hasil mandat pemilu 1955. Pasca peristiwa tersebut, Soekarno menyatakan bahwa periode kepemimpinannya adalah Demokrasi Terpimpin. Maksud dari gagasan ini adalah bahwa Soekarno adalah pemimpin tunggal dan tidak ada yang berhak melawannya. Konsep yang demikian ini memiliki sejumlah dampak yang tidak berpihak terhadap partai-partai Islam. Part ai Islam dan Pemilu 1955 73 Pemusatan kekuatan di satu tangan ini mengakibatkan politik umat Islam semakin lemah dan mengalami fragmentasi. Ketika kelompok modernis seperti Masyumi mengambil sikap kritis dan menentang atas kebijakan-kebijakan pemerintahan Soekarno, partai Islam yang lainnya seperti NU, PSII, dan Perti justru mengambil sikap sebaliknya, mendukung Demokrasi Terpimpin. Akibatnya, Masyumi dianggap oleh Soekarno sebagai penghambat revolusi sehingga keberadaannya harus ditinjau kembali, dan pada tanggal 20 Maret 1960, Masyumi dikucilkan dari DPR Gotong Royong yang merupakan parlemen bentukan Soekarno untuk menggantikan parlemen hasil pemilu 1995. Sedangkan NU, PSII, dan Perti tetap diizinkan eksis karena mereka mendukung konsep Nasakom penguasa. Tidak lama kemudian, empat bulan setelah dikucilkan tersebut (sekitar Juli 1960), Masyumi resmi dibubarkan dengan alasan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat (Aziz, 2006: 50-51). Padahal, menurut dokumen politik, Masyumi tidak memiliki hubungan maupun keterlibatan secara organisatoris di dalam peristiwa PRRI. Yang terlibat hanya personal tokoh-tokohnya seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegoro, dan Burhanuddin Harahap. Peranan mereka bertiga lebih banyak sebagai pemberi landasan teoritik (think-thank) bagi perjuangan untuk menekan pemerintah. Bahkan, berkat peranan mereka pula, PRRI tidak berubah menjadi gerakan separatis. Namun, nasib malang menimpa para politisi Masyumi. Selain tiga tokoh di atas, nama-nama lain juga ditangkap, seperti Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshori, Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono, Hamka, Assat, dan KH. EZ. Muttaqin (Aziz, 2006: 51). Dibubarkannya Masyumi menjadikan Partai NU sebagai partai politik Islam terbesar saat itu. Akan tetapi, sebenarnya pengaruh Partai NU sangat kecil dalam proses pengambilan keputusan nasional di masa Demokrasi Terpimpin. Sebagaimana telah diketahui, bahwa ide dasar dari gagasan Demokrasi Terpimpin adalah pengebirian partai-partai politik. Bagi Soekarno, partai-partai politik inilah yang menjadi penyebab tidak efektifnya roda pemerintahan. Di masa Demokrasi Terpimpin, telah terjadi pemangkasan jumlah partai politik dari 24 menjadi 10 partai (Aziz, 2006: 53). Sebenarnya, sikap politik Partai NU tidak seakomodatif seperti yang dijelaskan di atas. Pada tataran riil, Partai NU tampil sebagai penantang utama gerakan PKI. Di bidang kepemudaan, ketika PKI menggalang Gerakan Ofensif Pemuda, Partai NU membentuk Banser Ansor. Di bidang perburuhan, ketika PKI membentuk SOBSI, Partai NU menandinginya dengan membentuk Sarbumusi. Di bidang pertanian, ketika PKI menggalang para petani dalam BTI, Partai NU membendungnya dengan membentuk Pertanu. Di bidang kebudayaan, ketika PKI membentuk Lekra, Partai NU membentuk Lesbumi. Di samping itu pula, Partai NU juga mendirikan organisasi independen di bawahnya seperti IPNU, Muslimat NU, Perguru NU, HPMI, ISII, Hai’ah Ta’miril Masaajid (Perkumpulan Para Pengelola Masjid), dan lain sebagainya (Aziz, 2006: 53-54). -oo0oo- 74 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB 6 PARTAI ISLAM DAN PEMILU-PEMILU ORDE BARU Bab ini membahas tentang dinamika partai Islam selama era Orde Baru terutama keterlibatannya dalam setiap pemilu ke pemilu. Selama rezim otoriter ini, pemilu terjadi sebanyak enam kali. Hanya pemilu 1971 yang diikuti oleh multiparti (10 partai). Setelah itu, akibat kebijakan fusi partai, pemilu hanya diikuti oleh dua partai (PPP sebagai representasi partai Islam dan PDI sebagai representasi partai nasionalis). Di luar dua partai ini ada golongan netral yang bernama Golkar. Peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal dengan Supersemar merupakan titik awal kemunculan rezim Orde Baru. Berkat peristiwa ini pula, Soeharto didapuk menjadi pemegang mandat kepemimpinan nasional. Kondisi saat itu adalah buruknya ekonomi dan instabilitas politik karena pertarungan antar kekuatan politik yang merupakan warisan dari rezim Orde Lama. Karena itu, untuk mewujudkan kondisi ekonomi yang sehat dan mandiri serta kehidupan politik yang stabil dan terkendali, strategi keamanan adalah solusi terbaiknya. Cara pandang inilah yang dipakai oleh rezim Orde Baru. Tujuan dari strategi ini adalah sebagai proteksi terhadap kemungkinan munculnya ancaman kepada negara yang sedang giat membangun. Namun, dalam prakteknya, alasan proteksi yang demikian itu justru membuka akses bagi militer (ABRI) untuk ikut memainkan peranan politik. Peran militer menjadi begitu sangat dominan dalam panggung politik nasional. Lantaran dianggap kontroversial, keterlibatan militer dalam politik tersebut menuai protes dan kecaman, terutama dari gerakan pro-demokrasi. Lebih jauh lagi, dominasi ABRI semakin menemukan momentumnya ketika dwifungsi ABRI diterapkan. Dwifungsi ABRI adalah keterlibatan militer selain dalam bidang pertahanan-keamanan (hankam), juga berfungsi di bidang politik. Jika dwifungsi ini dilakukan, maka stabilitas politik akan tercipta untuk kepentingan akselerasi pembangunan ekonomi (Aziz, 2006: 74-76). Pada akhirnya, ABRI melakukan penetrasi ke segala aspek kehidupan sosial politik, dari tingkat nasional hingga ke pedesaan, serta menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan baik di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik (Golkar), dan terutama sekali adalah birokrasi. Bahkan, 76 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia dengan dalih dwifungsi pula, militer secara ekstensif menguasai sektor bisnis dan ekonomi strategis. Fatah (1993: 11) memberikan data yang riil tentang keterlibatan militer dalam struktur pemerintahan. Selama dua dekade lebih pada era pemerintahan Orde Baru, ABRI menduduki 71,4% posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi, seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri Sekretaris Negara, Menko, Menhankam, Menlu, dan Mendagri. Sisanya, 28,6% dijabat oleh kalangan sipil. Selain itu, data Kompas menyebutkan bahwa di era 1980-an, jabatan duta besar yang dipegang oleh kalangan ABRI ada sebesar 44,44%, jabatan gubernur sebesar 70%, dan jabatan bupati 56,6%. Adapun dalam konteks kepartaian, ABRI dikenal sebagai salah satu dari tri jalur utama (Golkar, ABRI, dan birokrasi). Dominasi ABRI selama Orde Baru memunculkan pandangan bahwa pemerintah yang berkuasa saat itu mengebiri keberadaan partai politik yang dipandang dapat menjadi pesaing yang berbahaya bagi stabilitas politik dan seringkali memicu konflik yang akan menyebabkan keresahan rakyat. Partai politik yang dimaksudkan adalah PNI dan Masyumi. Karena itu, pemerintah melalui elite-elite Golkar melarang unsur-unsur pendukung Soekarno masuk ke jajaran pengurus PNI dan melarang dihidupkannya kembali Masyumi dengan mendirikan partai baru yang bernama Parmusi (Aziz, 2006: 77-78). Sebenarnya pertentangan ideologis yang terjadi di era Orde Lama meninggalkan trauma politik bagi Orde Baru. Karenanya, sejak awal Orde Baru memandang perlunya desain politik anti-ideologi yang dinilai mampu menghilangkan perbedaan dan pertentangan ideologis, khususnya di bidang agama. Partai Islam dianggap menjadi kekuatan yang dapat membayakan negara. Kalangan militer berpandangan, bahwa para politisi Islam telah menggunakan agama sebagai tameng untuk mendesak tuntutan terbentuknya sistem pemerintahan yang berasaskan Islam. Menghadapi militansi dan oposisi Islam tersebut, Orde Baru menggunakan strategi model Snouck Hurgronye, yakni memisahkan Islam sebagai agama dan Islam sebagai pandangan politik. Islam yang memuat dimensi politik dipandang sebagai ancaman potensial bagi stabilitas politik. Karena itu, Orde Baru berusaha melumpuhkan kepemimpinan Islam politik yang masih ada serta menyingkirkan tokoh-tokoh partai Islam seperti Parmusi (Aziz, 2006: 80-81). Atas dasar itulah, rezim Orde Baru menerapkan fusi partai politik hingga rezimnya tumbang. A. PLAT FORM PARTAI -PARTAI I SLAM Selama era Orde Baru, terdapat lima partai Islam yang pernah lahir dan terlibat menjadi peserta pemilu. Empat di antaranya yaitu Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti pernah hidup di awal kepemimpinan Soeharto sejak 1968 hingga menjadi peserta pemilu 1971. Namun, akibat kebijakan penguasa saat itu, empat partai Islam tersebut difusikan pada tahun 1973 menjadi satu partai yang kemudian diberi nama PPP. Mengenai platform kelima partai Islam tersebut, tiga di antaranya merupakan partai peninggalan rezim Orde Lama, yaitu Partai NU, PSII, dan Perti. Tidak ada perbedaan platform ketiga partai tersebut baik di era Orde Lama ataupun di era Orde Baru. Karena itu, penjelasan terhadap tiga partai ini tidak akan duraikan lagi karena telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Sedangkan bab ini hanya menguraikan dua partai lainnya, yaitu Parmusi dan PPP, yang memang lahir di era Orde Baru. 1. Parmusi Kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) merupakan hasil kesepakatan antara mantan petinggi Masyumi yang gagal merehabilitasi partainya dengan rezim yang berkuasa saat itu. Soeharto Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 77 mengizinkan berdirinya partai baru tersebut dengan catatan eks Masyumi tidak boleh lagi masuk dalam jajaran pimpinan Parmusi. Setelah melalui perdebatan dan perjuangan yang panjang, Parmusi dapat didirikan secara resmi pada tanggal 20 Februari 1968 dengan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Jenderal Lukman Harun, yang keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Namun, kedekatan dua pimpinan tersebut dengan tokoh senior Masyumi mengakibatkan mereka disingkirkan dari partai oleh penguasa Orde Baru dengan cara negara merekayasa adanya konflik di internal partai melalui manuver politik HJ. Naro. Konflik tersebut yang menjadi pintu masuk negara “membantu menyelesaikannya” dengan menunjuk ketua umum baru yang lebih akomodatif terhadap negara, yaitu MS. Mintardja (Amir, 2003: 47-48). Parmusi tidak berumur panjang. Tak lama setelah konflik di internal Parmusi, muncul keputusan rezim Orde Baru yang mengharuskan partai-partai digabungkan atau difusikan menjadi dua saja, yaitu partai nasionalis dengan lahirnya PDI dan partai Islam yang melahirkan PPP. Di luar itu, ada satu golongan netral, yaitu Golkar yang menjadi kekuatan tunggal rezim Orde Baru. 2. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) didirikan pada tanggal 5 Januari 1973 dengan asas Islam. Partai ini merupakan hasil fusi empat partai Islam sebelumnya yaitu Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Tujuan dari penggabungan keempat partai tersebut adalah agar terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi pemilu selanjutnya pada masa Orde Baru. Pada awalnya, jabatan ketua umum berbentuk presidium yang terdiri dari KH. Idham Chalid sebagai presiden partai serta Mintardja, Thayeb Gobel, Rusli Halil, dan Masykur sebagai wakil presiden partai. Setelah dideklarasikan, ketua pertama adalah HM Syafaat Mintardja SH (5 Januari 1973-1978), kemudian dilanjutkan H. Djailani Naro (1978-1989), Ismail Hassan Metareum (1989-1998). Basis pendukung PPP tentu dari kalangan umat Islam yang sebelumnya bergabung dalam Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Secara lebih detail, pengikut Parmusi yang tergabung dalam PPP disebut dengan MI. MI memiliki kecenderungan kuat sebagai kelompok modernis. Kecenderungan ini tercermin dari asal-usul anggota MI yang berada di PPP, yang sebagian besar dari HMI, PII, Al Washilah, dan Muhammadiyah yang kedua organisasi terakhir ini merupakan pendukung utama Masyumi di era Orde Lama. Garis hubungan MI dan Masyumi menjadi semakin jelas jika dikaitkan dengan Parmusi. Namun, sebenarnya jika dilihat dari basis pendukungnya, MI merupakan representasi dari kelompok yang mengambang. Keterlibatan para politisi MI yang ada di PPP lebih bersifat personal dan hampir tidak ada hubungannya dengan organisasi massa pendukungnya, baik Muhammadiyah, HMI, PII, bahkan Masyumi (Aziz, 2006: 92-93). Dalam menjalankan khidmah politiknya, sepak terjang PPP didasarkan pada prinsip-prinsip perjuangan yang sekaligus berfungsi sebagai kerangka nilai yang ingin ditegakkan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: (1) Ibadah; (2) Kebenaran, kejujuran, dan keadilan; (3) Musyawarah; (4) Persamaan, persatuan, dan kebersamaan; (5) Istiqomah; dan (6) Amar makruf nahi munkar (Aziz, 2006: 96). Dalam perjalanan selama Orde Baru, wajah PPP mengalami perubahan dua kali. Fase pertama adalah fase ideologis yang berlangsung sejak 1973 hingga 1985. Fase kedua adalah fase di mana perilaku 78 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia politik PPP cenderung korporatis terhadap rezim Orde Baru. Fase itu berlangsung antara tahun 1985 hingga 1998. Pada fase ideologis, PPP benar-benar memerankan sebagai partai penyambung generasi partai Islam terdahulu. Lambang ka’bah dan asas Islam menjadi inspirasi kekuatan fundamendal tersendiri bagi gerakan-gerakan politik PPP. Sikap ideologisnya terinspirasi dari Piagam Jakarta yang masih kuat mewarnai perjuangan Islam saat itu. Bahkan bagi PPP, Islam memiliki ajaran yang holistik dan mencakup semua aspek kehidupan termasuk politik. Atas dasar itu, PPP bertekad untuk tetap konsisten memperjuangkan syariat Islam dalam membangun banga Indonesia. Realitas mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam merupakan faktor penguat makna ideologis perjuangan PPP (Aziz, 2006: 153-155). Karena itu, PPP selalu bekerja keras untuk memperjuangkan kepentingan politik Islam dalam rangka menjamin tegaknya pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Itu artinya, PPP berkepentingan untuk memasukkan syariat Islam ke dalam perundang-undangan negara. Memasukkan agama sebagai bagian formal dari kehidupan politik nasional merupakan agenda terpenting dari langkah-langkah politik PPP pada periode awal kelahirannya. Banyak peran politik yang dimainkan oleh PPP dalam rangka menegakkan syariat Islam, seperti menentang RUU perkawinan yang disinyalir mengandung maksud kristenisasi, menolak rencana dihapuskannya pelajaran agama dari draft GBHN 1973 serta menolak sejumlah kebijakan di DPR yang dinilai merugikan umat Islam serta persoalan-persoalan lainnya (Aziz, 2006: 155-157). Sikap-sikap ideologis PPP dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, struktur partai yang secara hierarkis menempatkan ulama sebagai panduan dalam pengambilan kebijakan penting. Dalam struktur PPP, ada struktur Dewan Eksekutif dan ada juga Dewan Syuro yang dipegang oleh kelompok ulama. Kedua, keterlibatan Dewan Syuro dalam setiap pengambilan keputusan dan sikap politik partai. Ketiga, wacana politik sangat dipengaruhi oleh ideologi jajaran para Dewan Syuro. Sikap-sikap ideologis PPP terhadap UU perkawinan, Penataran P4, dan lain sebagainya tidak terlepas dari figur KH. Bisyri Syamsuri. Kyai ini merupakan tokoh NU yang amat setia menganut aliran formalistik pada fikih. Keempat, tantangan eksternal yang menghadirkan semacam ancaman politik serius terhadap kepentingan politik umat Islam (Aziz, 2006: 157-158). Fase korporatis, fase ini terjadi setelah adanya kebijakan dari penguasa terhadap pemberlakuan asas tunggal pancasila di setiap ormas maupun orpol. Keputusan itu tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila. UU ini merupakan puncak strategi Orde Baru untuk menyeragamkan seluruh makna dan potensi politik yang ada dalam masyarakat. Kecenderungan watak politik Orde Baru inilah yang kemudian melahirkan kekuasaan otoritarian. Heterogenitas masyarakat, terutama yang berbasis agama, dipandang hanya sebagai potensi konflik berbahaya, sehingga harus diamankan melalui penyeragaman ideologi, yaitu pancasila. Gerak langkah ideologis PPP akhirnya mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Munculnya generasi muda membuat kesadaran baru bahwa pendekatan politik kepartaian tidak mungkin berjalan efektif di tengah represi negara yang begitu kuat. Tujuan-tujuan sosial politik Islam kembali didefinisikan (Aziz, 2006: 158-160). Ada beberapa faktor yang mendorong kecenderungan perubahan sikap politik PPP tersebut. Pertama, langkah politik PPP selama 15 tahun tidak sepenuhnya bertujuan untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam. Hal ini menyebabkan sebagian generasi mudanya berupaya Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 79 mentransformasikan padangan yang bersifat fundamentalistik - formalistik ke yang substansialistik. Hal ini dimaksudkan agar hubungan politik masa lalu yang antagonistik antara Islam dan negara dapat terhapus. Kedua, sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan sikap akomodatifnya terhadap kepentingan kelompok Islam. Hal ini tidak terlepas sejak mulai melemahnya dukungan ABRI kepada Soeharto ketika dia dan keluarganya sedang mengembangkan bisnisnya. Karena itu, untuk mencari legitimasi yang lain, Soeharto melirik Islam sebagai sumber legitimasinya. Langkah akomodatif Soeharto ditunjukkan dengan disahkannya UU pendidikan nasional tahun 1989 yang di dalamnya memuat secara eksplisit kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah formal, serta disahkannya UU peradilan agama tahun 1989 (Aziz, 2006: 160). Soeharto juga mulai merekrut para aktivis Islam untuk ditempatkan pada pos-pos eksekutif dan legislatif, seperti di Bappenas dan tim ekonomi. Kehadiran ICMI semakin menunjukkan sikap akomodatif politik negara terhadap Islam. ICMI yang dimotori oleh BJ Habibie secara cepat menjadi lokomotif baru yang dapat membawa aspirasi dan kepentingan umat Islam di tanah air. Parlemen yang ijo royo-royo dan dominasi ICMI dalam kabinet Pembangunan VII menunjukkan bahwa situasi telah berubah. Dengan demikian, corak gerakan dan kepemimpinan di tubuh PPP mengalami perubahan. Tipologi kepemimpinan lama PPP yang bersifat radikal dan fundamental digantikan oleh tipe baru yang tunduk pada negara. Tampilnya Ismail Materium sebagai pemimpin PPP menjadi klimaks dari transformasi tersebut. Gaya tokoh inilah yang dikehendaki oleh rezim Orde Baru. Pendekatan politiknya dinamakan sebagai ‘politik sejuk’. Fase inilah yang menjadi episode menarik perilaku politik PPP yang korporatis dan menjadi titik awal menuju fase politik pragmatisnya PPP. Fase ‘politik sejuk’ ini sangat kompromistis terhadap negara dan PPP benar-benar bisa bekerja sama dengan pemerintah dalam berbagai kesempatan (Aziz, 2006: 161162). Demikianlah kiranya, dinamika politik Islam selama era Orde Baru hanya direpresentasikan oleh kekuatan politik PPP yang telah mengalami transformasi dari fase ideologis kepada fase korporatis dan pada era Reformasi menuju pada fase pragmatis. B. SI ST EM PEM I LU DI ERA ORDE BARU Setelah rezim Orde Lama tumbang, Soeharto mengangkat dirinya menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dan menyingkirkan Soekarno dari kegiatan politik. Kemudian, pada tahun 1968 dengan keputusan MPR Sementara, Soeharto resmi menjadi presiden RI kedua. Sejak saat itu, kekuasaan di tangan rezim Orde Baru. Tahun 1968-1971 merupakan masa transisi yang oleh Soeharto harus segera diakhiri dengan konsensus rakyat yang diekspresikan melalui pemilihan umum (pemilu) secara langsung. Akhirnya, menjelang akhir 1969 dibuat dua keputusan penting. Pertama, segera menyelenggarakan pemilu pada tahun 1971 serta penetapan Soeharto sebagai presiden melalui MPR. Kedua, pelaksaan pemilu harus menjamin formasi DPR dan MPR dapat dikontrol langsung oleh presiden dan jajarannya (Liddle, 1992: 35-36). Sistem pemilu selama era Orde Baru cenderung tidak ada perbedaan dari tahun ke tahun. Asasnya adalah umum, langsung, bebas, dan rahasia. Sistem penentuan kursinya tidak jauh berbeda dengan pemilu 1955, yaitu proporsional. Hanya saja, jika pada pemilu 1955 penentuan kursi berdasarkan jumlah 80 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia penduduk di daerah, maka di era Orde Baru, penentuannya didasarkan pada wilayah administrasi. Karena itu, sistem yang diterapkan di era Orde Baru adalah sistem proporsional yang digabungkan dengan sedikit unsur distrik atau sistem proporsional tidak murni. Penerapan sistem ini adalah sebagai penyempurnaan sistem pemilu sebelumnya yang menunjukkan tingginya kesenjangan antara wakil dari Jawa dan luar Jawa. Dengan begitu, penentuan kursi masing-masing dapil harus melalui dua tahap. Pertama, jumlah wakil dari setiap dapil untuk DPR RI sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah tingkat II yang ada dalam dapil bersangkutan. Artinya, setiap daerah tingkat II sekurang-kurangnya memiliki seorang wakil. Kedua, bagi dapil yang mempunyai kelebihan penduduk kelipatan 400 ribu (kuota untuk satu kursi di DPR RI), maka daerah tersebut mendapat tambahan kursi sesuai dengan kelipatannya. Jika masih ada kelebihan jumlah penduduk yang bilangannya tidak sampai 400 ribu, maka kelebihan tersebut akan dihitung dengan memperhatikan jumlah kelebihan di daerah tingkat II yang lainnya (Asfar, 2006: 41). Sebagaimana terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu Orde Baru juga menggunakan sistem closed list system. Para pemilih hanya boleh memilih satu partai politik yang tersedia sebagai peserta pemilu, bukan memilih kandidat maupun calon. Selain itu, calon legislatif (caleg) juga ditentukan oleh pemerintah, melalui mekanisme litsus (penelitian khusus). Karena itu, sebenarnya partai tidak otomatis dapat menentukan daftar calegnya sendiri. Konsekuensinya, kriteria utama boleh atau tidaknya seseorang tampil menjadi elite dapat dirumuskan dalam PDLT: Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela. Warga yang berhak memilih adalah mereka yang berstatus WNI yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah. Prosedur pendaftarannya sama dengan sistem pemilu 1955 (Asfar, 2006: 44-45; Ismanto dkk, 2004: 267). Tujuan pemilu selama era Orde Baru adalah memilih anggota DPR RI, DPRD I dan DPRD II serta untuk mengisi keanggotaan MPR RI. Sedangkan penyelenggara pemilunya dilaksanakan oleh pemerintah di bawah pimpinan presiden. Untuk itu, presiden membentuk Lembaga Pemilihan yang diketuai oleh Mendagri. Strukturnya adalah Panitia Pemilihan Indonesia yang ada di Jakarta, Panitia Pemilu Dati I yang berkedudukan di ibukota Provinsi, Panitia Pemilihan Dati II yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, Panitia Pemungutan Suara di kota Kecamatan, dan Panitia Pendaftaran Pemilu di tingkat Desa. Peserta pemilu adalah partai politik (PPP dan PDI) dan 1 Golongan Karya (Ismanto dkk, 2004: 266-278). C. PEM I LU 1 9 7 1 : K EJAYAAN PARTAI N U Pemilu pada tahun ini diadakan pada tanggal 3 Juli 1971 dan diikuti oleh 10 kontestan partai politik, yaitu PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, Parkindo, Partai Katolik, Murba, IPKI, dan Golkar. Sejak pemilu 1971-1997, para ilmuwan politik menyatakan bahwa pada setiap pelaksanaan pemilu, pasti tidak terlepas dari persoalan-persoalan seperti campur tangan birokrasi dan ABRI, kecurangan pada saat pendaftaran, manipulasi dalam proses perhitungan suara, dan lain sebagainya. Hasil pemilu 1971 menunjukkan, bahwa Golkar berhasil menjadi partai pemenang dengan meraih 62,8% suara. Kemudian disusul oleh Partai NU dan Parmusi (Asfar, 2006: 75-76). Jumlah anggota DPR RI yang diperebutkan pada pemilu 1971 adalah 460 kursi. 207 (sepertiga dari keseluruhan) kursi diangkat langsung oleh presiden untuk mewakili angkatan bersenjata yang tidak ada Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 81 kewajiban untuk kampanye dan tidak memiliki hak pilih dan kelompok-kelompok lain dari rezim Orde Baru. Sisanya 253 terdiri dari wakil-wakil daerah yang dipilih oleh DPRD dan kelompok lain yang oleh presiden dianggap tidak terwikili di DPR RI (Liddle, 1992: 35-36). Setelah semua proses dilalui dan pelaksanaan pemilu telah berlangsung, berikut ini dipaparkan hasil perolehan suara dan kursi yang diraih empat partai Islam yang menjadi peserta pada pemilu 1971 sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 6.1. Perolehan Suara dan Kursi Partai-partai Islam pada Pemilu 1971 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi Partai NU 10.213.650 18,68 58 Parmusi 3.930.746 5,36 24 PSII 1.308.237 2,39 10 Perti 381.309 0,69 2 15.833.942 27,12 94 TOTAL Sumber: Diolah dari LPU 1971. Lihat juga, Liddle (1992: 46); Asfar (2006: 76). Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa partai-partai Islam mengalami penurunan suara yang luar biasa. Gabungan partai-partai Islam yang sebelumnya berhasil meraih 43,93% suara, pada pemilu kali ini hanya berhasil mendapatkan 27,12% suara. Penurunan terbesar terjadi pada Parmusi yang merupakan metamorfosa Partai Masyumi. Partai NU mengalami kenaikan sedikit, dari 18,4% pada pemilu 1955 menjadi 18,68% pada pemilu 1971. Kenaikan jumlah suara NU berdampak pada bertambahnya kursi NU di DPR RI dari 45 menjadi 58 kursi. Penurunan suara partai-partai Islam memang sudah diprediksi banyak kalangan. Pertama, ada proses “penggarapan” terhadap Parmusi yang dikhawatirkan menjadi lahan subur bagi bangkitnya kembali kekuatan Masyumi, khususnya tokoh-tokohnya yang dinilai sebagian dari mereka “melindungi” kegiatan DI/TII. Kedua, kehadiran Parmusi nampaknya dipandang oleh pemerintah sebagai ancaman bagi kebesaran Golkar pada pemilu 1971. Sebagai reinkarnasi dari Masyumi, Parmusi dikhawatirkan akan dapat mengumpulkan suara menyamai perolehan suara Masyumi pada pemilu 1955 (Asfar, 2006: 80). Di tengah berbagai konflik yang mencuat ke permukaan dan masa transisi yang belum stabil, kekuatan dari kelompok NU di akar rumput justru masih sangat kuat pada pemilu 1971. Kekuatan itu justru semakin bertambah dibuktikan meningkatnya suara Partai NU meskipun hanya sedikit. Karena itu, Partai NU pada pemilu 1971 menjadi the ruling party di antara partai-partai Islam yang lainnya. Pemilu 1971 juga menjadi masa kejayaan bagi Partai NU. D. PEM I LU 1 9 7 7 : I N T I M I DASI T ERH ADAP PARTAI I SLAM Sejak pemilu 1977, partai politik difusikan menjadi dua yaitu, PDI mewakili kelompok nasionalis yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katholik. Sedangkan PPP mewakili kelompok Muslim yang terdiri dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Di luar dua partai ini ada satu golongan netral, yaitu Golkar. Karena itu, dari lima kali pemilu sejak 1977-1997, kontestan partai yang ikut dalam pemilu juga hanya dua partai dan satu Golongan Karya. Pemenang pemilu berturut-turut selalu diraih oleh Golkar sebagai partai penguasa dan pendukung rezim Soeharto. 82 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Pemilu 1977 terjadi pada tanggal 2 Mei 1977. Sebanyak 63.495.479 pemilih menghadiri tempat pemungutan suara dari 70.110.007 orang yang mempunyai hak pilih. Ini berarti, sekitar 90% warga yang berhak memilih menggunakan suaranya. Di banding pemilu 1971, ada penurunan jumlah pemilih sekitar 5%. Meningkatnya jumlah ketidakhadiran ini, disebabkan salah satunya oleh keberhasilan kelompokkelompok kritis perkotaan yang menentang pelaksanaan pemilu karena dianggap tidak demokratis, melalui apa yang disebut dengan Gerakan Golput (Asfar, 2006: 81). Salah satu tokoh utama di balik Gerakan Golput ini adalah Arif Budiman, kakak dari Soe Hok Gie. Pada pelaksanaan pemilu 1977, terjadi ketegangan antara PPP dan Golkar di saat melakukan kampanye selama dua bulan. Pemilu 1977 seolah menjadi ajang pertarungan antara Islam dan pemerintah. Awalnya Golkar dianggap ingin menyingkirkan umat Islam dari panggung politik Orde Baru. Namun, anggapan ini diperkuat oleh sejumlah bukti di lapangan. Para pejabat sipil dan militer di tingkat lokal begitu ramah terhadap para politisi Golkar tetapi tidak terhadap para politisi PDI maupun PPP. Partaipartai selain Golkar tidak diberikan izin melaksanakan rapat umum, polisi mengintimidasi pemimpinpemimpin partai, warga desa diwajibkan oleh pemerintah desa untuk bekerja bakti ketika partai sedang mengadakan pertemuan serta untuk pemimpin Golkar mendapatkan fasilitas yang mewah dibanding pemimpin partai yang lain. Peristiwa paling penting pada awal-awal kampanye adalah penembakan terhadap dua pekerja PPP di Situbondo, Jawa Timur. Selain itu, peristiwa lainnya adalah adanya penculikan pemimpin Islam, intimidasi terhadap politisi lokal PPP dan PDI, serta kasus bunuh diri yang mengesankan adanya perencanaan (Liddle, 1992: 44). Inilah potret pemilu 1977 yang menjadi ajang penindasan penguasa terhadap kelompok Islam termasuk juga elite-elite PDI. Namun demikian, pemilu tetap diselenggarakan. Hasil perolehan suara pada pemilu 1977 menunjukkan, bahwa Golkar tetap menjadi partai pemenang. Berikut ini adalah hasil perolehan suara pemilu 1977: Tabel 6.2. Hasil Perolehan Suara Pemilu 1977 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi PPP 18.743.491 29,3 99 Golkar 39.750.096 62,1 232 5.504.757 8,6 29 63.998.344 100,0 360 PDI TOTAL Sumber: Diolah dari Data LPU 1977. Lihat juga, Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30); Haris (2004: 31, 34). Dari segi perolehan suara, perolehan PPP mengejutkan banyak pihak. Mengejutkan bukan dalam arti positif, tetapi dalam arti negatif. Jauh sebelum pemilu diadakan, banyak tokoh Islam menaruh harapan besar pada PPP untuk dapat mengembalikan kejayaan partai Islam di masa rezim Soekarno yang berhasil mengumpulkan 43,93% suara pada pemilu 1955. Namun, PPP hanya bisa berhasil meraih suara 29,3%, meskipun meningkat sedikit dari pemilu 1971. Dapat disinyalir, bahwa kenaikan suara PPP merupakan akibat penurunan suara Golkar di 13 dari 25 provinsi yang mengadakan pemilu, meliputi 7 dari 8 provinsi di Sumatera, Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan NTB. Di Aceh misalnya, Golkar kehilangan suara 8,5%, sedangkan PPP mendapatkan tambahan Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 83 suara 8,4%. Di Sumatera Utara PPP bertambah 6,4% disertai dengan turunnya Golkar 3,7% dan PDI 2,7%. Di DIY, PPP naik 1,8% dan PDI juga naik 5,1%, sedangkan Golkar kehilangan 6,8% (Liddle, 1992: 47, 92; Asfar, 2006: 83-84). Secara lebih detail, berikut ini disajikan data hasil perolehan suara pemilu 1971 dan pemilu 1977 sebagai bahan perbandingan analisa naik dan turunnya PPP dengan PDI dan Golkar. Tabel 6.3. Pergeseran Suara Per Provinsi pada Pemilu 1971 dan 1977 (%) Provinsi GOLKAR PPP PDI 1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan Aceh 49,7 41,2 -8,5 48,9 57,3 +8,4 1,4 1,5 +0,1 Sumut 70,1 66,4 -3,7 15,8 22,2 +6,4 14,0 11,3 -2,7 Sumbar 63,2 66,5 +3,3 34,5 32,4 -2,1 2,2 1,0 -1,2 Riau 76,7 63,3 -13,4 20,3 33,9 +13,6 2,7 2,7 0 Sumsel 62,6 49,8 -12,8 30,0 42,6 +12,6 7,4 7,5 -0,1 Jambi 88,2 83,5 -4,7 10,4 15,7 +5,3 1,4 0,8 -0,6 Bengkulu 82,7 76,5 -6,2 15,4 21,8 +6,4 1,9 1,7 -0,2 Lampung 71,8 61,8 -10,0 21,6 30,8 +9,2 6,0 7,4 +1,4 Jabar 76,1 66,3 -9,8 20,3 28,5 +8,2 3,1 5,2 +2,1 Jakarta 46,7 39,3 -7,4 34,8 43,5 +8,7 18,5 17,3 -1,2 Jateng 50,3 52,6 +2,3 28,7 28,3 +0,4 20,9 19,1 -1,8 DIY 63,4 56,6 -6,8 21,4 23,2 +1,8 15,1 20,2 +5,1 Jatim 54,9 58,8 +3,9 39,2 36,0 -3,2 5,8 5,1 -0,7 Kalbar 66,7 68,9 +2,2 18,7 21,8 +3,1 14,6 9,3 -5,3 Kateng 81,4 69,8 -11,6 16,0 26,6 +10,6 5,0 3,5 -1,5 Kalsel 64,8 49,6 -15,2 33,9 49,4 +15,5 1,2 1,0 -0,2 Kaltim 54,8 47,0 +2,2 30,1 35,4 +5,3 15,2 7,6 -7,6 Sulut 60,7 72,8 +12,1 22,9 17,6 -5,3 16,4 9,5 -6,9 Sulteng 76,8 79,3 -2,5 19,0 19,3 +0,3 4,2 1,4 -2,8 Sultra 92,4 96,1 +3,7 5,8 3,1 -2,7 1,9 0,8 -1,1 Sulsel 78,4 85,2 +6,8 18,8 14,0 -4,8 2,8 0,8 -2,0 Bali 82,8 85,4 +2,6 2,3 1,6 -0,7 14,9 13,0 -1,9 NTB 69,8 57,5 -12,3 24,7 36,6 +11,9 5,4 5,9 +0,5 NTT 61,5 90,3 +28,8 3,4 1,9 -1,5 29,2 7,8 -21,4 Maluku 47,7 71,8 +24,1 25,4 19,0 -6,4 27,7 9,1 -18,6 Sumber: Diolah dari LPU 1971. Lihat juga, Kompas (9 Juni 1977); Liddle (1992: 46). 84 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel di atas menunjukkan, bahwa suara masing-masing partai di setiap provinsi mengalami pergeseran dengan tingkat variasi yang sangat beragam. Secara umum, PPP mengalami peningkatan pada pemilu 1977 dari pemilu 1971. Dari 25 provinsi, PPP hanya turun di 8 provinsi, yaitu di Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Bali, NTT, dan Maluku. Sebaliknya, Golkar mengalami penurunan meski di beberapa provinsi mengalami kenaikan seperti di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan lain-lainnya. Begitu juga dengan PDI yang mengalami penurunan hampir di semua provinsi kecuali di 5 provinsi (Aceh, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan NTB). E. PEM I LU 1 9 8 2 : KON FLI K PPP DAN CAM PU R TAN GAN PEM ERI N TAH Proses pelaksanaan pemilu 1982 diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Pemilu kali ini tidak jauh berbeda dengan pemilu 1977 dan 1971. Keluhannya juga masih sama, seperti kecurangan, intimidasi, dan semacamnya. Menjelang pemilu 1982, PPP sibuk dengan konflik internal antara kelompok NU dan MI yang salah satunya disebabkan adanya campur tangan pemerintah yang terlalu jauh terhadap masalah internal PPP. Konflik itu bermula dari perbedaan pendapat dalam Sidang Umum MPR RI yang membahas tentang hasil pemilu 1977. Kelompok NU bersikeras melakukan walk out pada saat pembahasan Rantap tentang GBHN (aliran kepercayaan) di komisi A dan Rantap tentang P4 di komisi B. Sedangkan dari unsur MI, SI, dan Perti ingin tetap mengikuti pemungutan suara. Konflik antara NU dan MI juga terjadi dalam berbagai arena politik di parlemen yang semakin mengeras. Di tengah kemelut PPP tersebut, pemilu 1982 tertap dilaksanakan (Asfar, 2006: 85-86). Setelah pemilu dilaksanakan dan proses penghitungan suara selesai, Golkar tetap menjadi partai pemenang. Berikut ini adalah hasil perolehan suara pada pemilu 1982: Tabel 6.4. Hasil Perolehan Suara Pemilu 1982 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi PPP 20.871.880 27,8 94 Golkar 48.334.724 64,3 242 5.919.702 7,9 24 75.126.306 100,0 360 PDI TOTAL Sumber: Diolah dari LPU 1982. Lihat juga, Haris (2004: 31, 34); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). Menurunnya suara PPP pada pemilu kali ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, para pendukung dan simpatisan PPP di pedesaan masih trauma dengan cara-cara tidak proporsional yang dilakukan aparat keamanan pemerintah dalam menyelesaikan tuduhan kasus Komando Jihad. Selama rentang waktu 19771982, banyak tokoh-tokoh Islam di berbagai daerah ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam aktivitas Komando Jihad. Kebetulan, hampir mayoritas tokoh-tokoh Islam yang dituduh tersebut adalah pendukung PPP. Mereka ditangkap dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti ditangkap waktu malam, tanpa surat perintah, dan tidak boleh dijenguk. Kedua, semakin populernya ide-ide gerakan moral yang memisahkan agama dan politik. Ide sekularisasi yang digencarkan Nurcholis Madjid alias Cak Nur dengan slogannya Islam Yes, Partai Islam No direspon luas di tingkat bawah pada awal tahun 1980-an Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 85 (Liddle, 1922: 92; Asfar, 2006: 87-88). Pemilu 1982 menjadi puncak ketegangan antara kelompok Islam dan pemerintah yang mengakibatkan banyak korban dari kelompok Islam dengan berbagai bentuk pendindasan yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. F. PEM I LU 1 9 8 7 : ASAS T U N GGAL DAN M EROSOT N YA SUARA PPP Pada pemilu 1987 ada satu keputusan yang tidak menguntungkan PPP yaitu adanya keharusan organisasi sosial maupun politik mencantumkan pancasila sebagai asasnya. Sebagai partai politik yang selama ini selalu dicitrakan sebagai partai Islam, PPP tentu tidak memiliki landasan formal lagi untuk menggunakan Islam sebagai basis perekat massa. Padahal, kejayaan PPP dapat diraih karena kemampuan para elite-elitenya dalam memanfaatkan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk memobilisasi massa. Dengan larangan penggunaan asas Islam, banyak kalangan yang meramalkan PPP akan kehilangan isu utamanya pada pemilu 1987. Dan ramalan itu tidak berlebihan. Suara PPP merosot jauh dari 27,8% pada pemilu 1982 menjadi 15,97% pada pemilu 1987. Dengan demikian, PPP kehilangan 33 kursi di DPR RI. Golkar meningkat dari 64,3% pada pemilu 1982 menjadi 73,16% pada pemilu 1987. PDI juga mengalami kenaikan dari 7,9% pada pemilu 1987 menjadi 10,87% pada pemilu 1987 (Liddle, 1992: 92; Asfar, 2006: 89). Secara lebih detail, berikut ini disajikan hasil perolehan suara pemilu 1987. Tabel 6.5. Hasil Perolehan Suara Pemilu 1987 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi PPP 13.701.428 15,97 61 Golkar 62.783.680 73,16 299 9.384.708 10,87 40 85.869.816 100 400 PDI TOTAL Sumber: Diolah dari LPU 1987. Lihat juga, Suryadinata (1982); Kompas (7 Juni 1987); Liddle (1992: 92); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). Di kawasan pedesaan Jawa Timur, satu-satunya daya tarik PPP adalah posisinya yang lekat dengan simbol partai Islam. Para pemilih tradisional NU misalnya, menghadiri kampanye PPP bukan karena tertarik untuk mendengarkan program-program partai, bukan pula karena kehadiran elite-elite PPP tingkat pusat, tetapi lebih karena tertarik dengan ceramah dan tampilnya para tokoh dan kyai panutan mereka. Artinya, di tingkat bawah kampanye bukan sekadar alat komunikasi politik, melainkan sebagai sarana dakwah Islam. Dengan dihilangkannya asas Islam dan larangan penggunaan simbol ka’bah sebagai gambar partai, PPP seakan kehilangan identitas. Hal ini terbukti dengan tidak mampunya PPP menawarkan isu-isu alternatif kecuali mereaksi berbagai aksi kelompok-kelompok tertentu yang menyudutkan posisi partainya. Selain itu, adanya keputusan NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 yang menyatakan kembali pada khittah 1926 dan tidak ingin terlibat dalam dunia politik praktis semakin menambah turunnya suara PPP. Sejak saat itu, peran elite-elite NU dalam PPP semakin dikurangi dan pada pemilu 1987, caleg-caleg dari NU semakin dikurangi dari daftar calon sementara (Asfar, 2006: 89-90). 86 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Dari tabel di atas dapat diketahui pula, bahwa meningkatnya suara Golkar diimbangi dengan menurunnya suara PPP. Di PPP, NU memberikan porsi besar terhadap suara partai tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pemilu sebelumnya di mana Partai NU meraih 2/3 dari total suara partai-partai Islam pada pemilu 1971. Karena itu, hilangnya 40% suara PPP pada pemilu 1987 tidak terlepas dari hengkangnya para pemilih NU ke Golkar. Analisa data pemilihan pada tahun 1987 menunjukkan, bahwa dukungan PPP merosot drastis di 24 dari 27 provinsi kecuali di NTT, Irian Jaya, dan Timor Timur. Arbi Sanit menganalisa, bahwa 76,7% kemerosotan pemilih PPP terjadi di basis utama NU, 8 provinsi di mana NU memperoleh suara lebih dari 60% dari empat partai Islam pra-fusi pada pemilu 1971. Dari seluruh pemilih PPP, 75% hidup di 8 provinsi tersebut. Secara spesifik, hampir 5 juta (69%) dari hilangnya 7 juta suara yang dialami oleh PPP di tahun 1978 dibandingkan dengan 1982 bisa diketahui di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, di mana pada pemilu 1971 NU meraih suara 89,6%, 80,6%, dan 63,3% dari total suara yang diperoleh semua partai Islam. 62% dari 13,7 juta pemilih PPP pada pemilu 1987 tinggal di tiga provinsi ini. Jawa Timur yang merupakan provinsi terbesar Indonesia, sumber dari 25% pemilih PPP pada pemilu 1987 dan jantung NU, bertanggung jawab atas kemerosotan 32% tersebut (Liddle, 1992: 92-93). Kemerosotan suara PPP pada pemilu 1987 tidak terlepas dari campur tangan pemerintah, di mana Soeharto selangkah demi selangkah memperlemah gerakan politik kaum Islam. Hal ini sebenarnya sudah terlihat sejak keinginan sebagian mantan politisi Masyumi yang ingin merehabilitasi partainya tetapi ditolak oleh Soeharto dengan jalan keluar mendirikan partai baru bernama Parmusi dengan syarat orang Masyumi tidak boleh masuk Parmusi. Hal ini berlanjut dengan adanya kebijakan fusi partai yang meringkas 9 partai menjadi dua partai (PPP dan PDI) serta satu Golongan Karya. Meskipun sudah ada kebijakan fusi, pemerintah tetap waspada pada setiap gerakan PPP yang masih kuat di akar rumput. Hal ini yang kemudian membuat pemerintah untuk kembali campur tangan terhadap dinamika di internal PPP dengan cara menyingkirkan NU. Pemerintah tahu bahwa NU adalah penyumbang besar terhadap suara PPP. Karena itu, dengan cara menyingkirkan NU dari PPP, maka partai ini akan merosot suaranya. Setelah NU mundur dari keanggotan di PPP pada tahun 1984 dan menyatakan diri sebagai organisasi sosial non politik, gerakan-gerakan PPP mulai tidak mendapatkan simpatik di tingkat akar rumput. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya kewajiban dari pemerintah pada awal 1980-an yang mengharuskan semua partai dan organisasi sosial menerima pancasila sebagai “asas tunggal” mereka. Pada tahun 1985, PPP didesak untuk mengganti tanda gambarnya, Ka’bah di Mekkah yang menjadi arah kiblat umat Islam, dengan bintang yang berasal dari lambang negara pancasila dan jelas-jelas tidak terlihat Islam. Selain itu, merosotnya suara PPP disebabkan oleh adanya gerakan penggembosan dari sebagian tokoh-tokoh NU di sejumlah daerah. Para tokoh NU selalu mengkampanyekan kepada umatnya, bahwa “Tak wajib nyoblos PPP, tidak haram nyoblos Golkar, tak jahat nyoblos PDI”. Karena itu, kekalahan PPP adalah kemenangan NU. Hal ini mengakibatkan hubungan NU dan pemerintah menjadi lebih dekat. Sebagian tokoh-tokoh NU menjadi elite di Golkar dan sekolah-sekolah NU menjadi sasaran dari sumbangan pemerintah (Liddle, 1992: 94-95). G. PEM I LU 1 9 9 2 : H ARM ON I SASI I SLAM DAN PEM ERI N TAH Pemilu 1992 termasuk relatif lebih baik dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya selama era Orde Baru. Hal ini terkait erat dengan keinginan Golkar untuk dapat menang secara kesatria. Namun, persoalan pelanggaran dan kecurangan tetap terjadi dengan modus operandi yang jauh lebih canggih Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 87 dibanding dengan pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1992, PPP mengalami kenaikan dalam memperoleh suara sekalipun tegolong kecil peningkatannya, dari 15,97% pada pemilu 1987 menjadi 17,0% pada pemilu 1992. Pada pemilu kali ini, ada beberapa hal yang menarik, yaitu suara PPP dan dua partai yang lain hampir merata di semua dapil dengan perolehan suara yang berbeda-beda (Asfar, 2006: 94-98). Secara detail, perolehan suara pada pemilu 1992 adalah sebagai berikut sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini: Tabel 6.6. Hasil Perolehan Suara Pemilu 1992 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi PPP 16.624.647 17,0 62 Golkar 66.599.331 68,1 282 PDI 14.565.556 14,9 56 TOTAL 97.789.534 100 400 Sumber: Diolah dari LPU (1992). Lihat juga, Suryadinata (1982), Kompas, 7 Juni 1987, Liddle (1992: 92); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar tetap menjadi partai pemenang pemilu meskipun mengalami penurunan suara. Sebagai bahan perbandingan, disajikan juga perolehan kursi PPP pada tiga pemilu terakhir yang diperlihatkan di setiap provinsi. Berikut ini dijelaskan dalam tabel Tabel 6.7. Perolehan Kursi PPP untuk DPR RI dari Pemilu 1982 - 1992 DAPIL 1982 1987 1992 DI Aceh 6 4 3 Sumatera Utara 4 3 2 Sumatera Barat 5 3 2 Riau 2 1 1 Jambi 1 1 - Sumatera Selatan 4 2 2 Bengkulu 1 1 0 Lampung 2 1 0 DKI Jakarta 5 3 3 Jawa Barat 13 8 9 Jawa Tengah 14 10 13 DI Yogyakarta 1 1 1 Jawa Timur 21 13 16 Kalimantan Barat 1 1 1 Kalimantan Tengah 1 1 1 88 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 6.7. Lanjutan DAPIL 1982 1987 1992 Kalimantan Timur 2 1 1 Kalimantan Selatan 4 2 2 Bali - - - NTT - - - NTB 2 2 1 Timor Timur - - - Sulawesi Selatan 2 2 2 Sulawesi Tengah 1 1 1 Sulawesi Utara 1 1 - Sulawesi Tenggara - - - Maluku 1 1 1 Irian Jaya - - - 94 61 62 Total Sumber: Diolah dari Surbakti (1992); Asfar (2004: 95-96). Dari tabel di atas, dapat diambil beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, basis suara PPP ada di Jawa, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Di luar Jawa, PPP mendapatkan kursi yang cukup lumayan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Kalimantan Selatan. Kedua, suara PPP mengalami penurunan hampir di semua dapil bahkan di empat provinsi tidak mendapatkan kursi, yaitu: Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sulawesi Utara. Ketiga, PPP tidak pernah mendapatkan kursi untuk Provinsi Bali, NTT, Timor Timur, Sulawesi Tenggara, dan Irian Jaya. Namun demikian, hubungan harmonis antara kelompok Islam dan pemerintah semakin erat, terutama dengan diizinkannya kelahiran ICMI dan masuknya menteri-menteri dari kalangan Islam ke dalam kabinet Soeharto. Momentum ini pula yang menjadikan nama BJ Habibie melambung hingga ke posisi wakil presiden setelah Tri Soetrisno. H . PEM I LU 1 9 9 7 : AT RAK SI M EGA-BI N TAN G Pemilu 1997 diadakan dalam suasana Golkar pada posisi “defensif”. Pada pemilu kali ini ada fenomena yang menarik yaitu munculnya Mega-Bintang pada musim kampanye, yaitu pendukung PPP yang pro PDI Megawati atau pendukung PDI Megawati yang pro PPP. Fenomena ini setidaknya membenarkan dugaan beberapa pengamat, bahwa sebagian massa PDI pro-Megawati hijrah ke partai Bintang. Atas kejadian yang demikian, suara PPP naik 5% yang awalnya pada pemilu 1992 meraih 17,01% menjadi 22,43% pada pemilu 1997. Kenaikan suara PPP disebabkan salah satunya karena kembalinya massa “tradisional” PPP di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang pada dua pemilu sebelumnya hijrah ke Golkar dan PDI. Ini artinya, ada realignment dari pemilih PPP yang pada pemilu sebelumnya memilih partai lain. Kenaikan suara PPP juga disebabkan reaksi simpati pemilih tradisional PPP terhadap Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 89 nasib PPP karena didera ketidakberdayaan secara terus-menerus akibat penggembosan Gus Dur yang dekat dengan penguasa maupun faktor konflik yang terjadi di tubuh PDI yang mengakibatkan sebagian kader NU di PDI kembali ke PPP (Asfar, 2006: 101-105). Selain itu, naiknya suara PPP dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya kesadaran kalangan pemilih perkotaan, khususnya yang berasal dari kalangan Muslim, untuk melihat PPP sebagai partai alternatif. Para pemilih ini berharap, PPP dapat berperan kritis dan menjadi lokomotif untuk berperilaku politik secara etis dan menomorsatukan akhlak yang mulia. Gejala ini terlihat dengan kegairahan massa PPP dalam menyambut yel-yel Jurkam yang memperjuangkan perbaikan sistem dengan menggunakan idiom-idiom Islam. Kedua, keberhasilan PPP dalam mengangkat isu reformasi politik pada saat kampanye. Pada pemilu 1997, PPP terlihat berbeda. Kali ini, kampanye PPP memberikan perhatian besar pada isu-isu perubahan sosial-politik serta bersikap kritis terhadap pemerintah. Cara-cara yang demikian mampu meraih simpati masyarakat (Asfar, 2006: 105). Di tengah berbagai politik tersebut, pemilu tetap dilaksanakan sehingga menghasilkan perolehan suara dan kursi sebagai berikut: Tabel 6.8. Hasil Perolehan Suara Pemilu 1997 Nama Partai Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi PPP 25.340.028 22,4 89 Golkar 84.187.907 75,6 325 3.463.225 3,0 11 112.991.150 100 425 PDI TOTAL Sumber: Diolah dari LPU (1997). Lihat juga, Suryadinata (1982), Kompas, 7 Juni 1987, Liddle (1992: 92); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa Golkar tetap menjadi partai pemenang dan PPP tetap juga berada pada peringkat kedua dengan perolehan suara yang jauh lebih banyak pada pemilu sebelumnya. Di atas telah dijelaskan dinamika partai Islam sepanjang pemilu di era Orde Baru. Untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang perolehan suara pemilu sepanjang era Orde Baru, berikut ini disarikan dalam tabel: Tabel 6.9. Hasil Perolehan Suara Pemilu Selama Rezim Orde Baru (%) Nama Partai Tahun Pemilu 1971 1977 1982 1987 1992 1997 PPP 27,1 29,3 27,8 15,97 17,0 22,4 Golkar 62,8 62,1 64,3 73,16 68,1 75,6 PDI 10,1 8,6 7,9 10,87 14,9 3,0 TOTAL 100 100 100 100 100 100 Sumber: LPU (1971-1997). Lihat juga, Asfar (2006: 84-131); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). 90 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia Dari enam kali pemilu selama rezim Orde Baru, perolehan suara tertinggi PPP terjadi pada pemilu 1977. Selebihnya, perolehan suara cenderung selalu menurun terutama pada pemilu 1987 dan 1992 di mana penguasa saat itu sangat otoriter terutama setelah kebijakan asas tunggul sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi termasuk partai politik. Kebijakan ini memberikan imbas negatif pada PPP sehingga suaranya anjlok di bawah 20%. Secara lebih detail, berikut ini disajikan tabel perolehan suara partai Islam selama pemilu Orde Baru: Tabel 6.10. Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam (PPP) Selama Pemilu Orde Baru No. Tahun Pemilu Suara Prosentase (%) Jumlah Kursi 1. Pemilu 1971 15.833.942 27,12 94 2. Pemilu 1977 18.743.491 29,29 99 3. Pemilu 1982 20.871.880 27,78 94 4. Pemilu 1987 13.701.428 15,97 61 5. Pemilu 1992 16.624.647 17,00 62 6. Pemilu 1997 25.340.028 22,43 89 Sumber: Diolah dari LPU (1971-1997). Lihat juga, Asfar (2006: 84-131); Subekti (1998); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 25-30). Pembacaan atas tabel di atas adalah, bahwa pasca pemilu 1977, suara PPP mengalami penuruan akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan PPP, terutama ketika penerapan asas tunggal pancasila sehingga dengan terpaksa PPP berganti asas. Barulah pada pemilu 1992 mengalami peningkatan, begitu juga pada pemilu 1997. Hal ini disebabkan kepiawaian elite-elite PPP dalam memainkan isu terutama mampu meraih simpati masyarakat terhadap PPP sebagai partai alternatif yang berani bersikap kritis terhadap pemerintah. Sebagai gambaran umum, perlu disajikan juga data jumlah kursi untuk DPR RI secara keseluruhan selam era Orde Baru serta pembagiannya untuk fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Jumlah kursi di DPR RI dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mewakili pemerintah, terdiri dari Golkar dan militer. Kelompok kedua mewakili selain pemerintah, terdiri dari PPP dan PDI. Berikut ini tabel pembagian kursi di DPR RI selama 1971-1997. Tabel 6.11. Pembagian Kursi untuk DPR RI Tahun 1971-1997 Fraksi Tahun 1971 1977 1982 1987 1992 1997 Golkar 236 232 242 299 282 325 Militer 100 100 100 100 100 75 Subtotal 336 332 342 399 382 400 Pemerintah Part ai Isl am dan Pemil u-Pemil u Orde Baru 91 Tabel 6.11. Lanjutan Tahun Fraksi 1971 1977 1982 1987 1992 1997 PPP 94 99 94 61 62 89 PDI 30 29 24 40 56 11 Subtotal 124 128 118 101 118 100 TOTAL 460 460 460 500 500 500 Non-Pemerintah Sumber: Diolah dari KPU (1971-1997). Lihat juga, Haris (2004: 34). Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jatah kursi untuk DPR RI selalu dikuasai oleh kelompok pemerintah. Kelompok oposisi (non-pemerintah) tidak pernah meraih suara di atas 30 persen. Di samping data tentang pembagian kursi di DPR RI selama Orde Baru, perlu disajikan pula data tingkat partisipasi pemilih di Indonesia selama pemilu Orde Baru sebagai pengetahuan bersama. Berikut ini disajikan dalam tabel. Tabel 6.12. Tingkat Partisipasi Pemilih dari Pemilu ke Pemilu Selama Orde Baru Tahun Terdaftar Suara Sah Suara Tidak Sah/Tidak Hadir Prosentase (%) 1971 58.179.245 54.696.887 3.479.696 94,01 1977 70.378.750 63.998.344 6.380.406 90,93 1982 81.629.250 75.126.306 6.502.944 92,03 1987 93.965.953 85.809.816 8.156.137 91,32 1992 107.565.697 97.789.534 9.776.163 90,91 1997 117.815.053 112.991.160 11.749.827 95,90 Sumber: Diolah dari Subekti (1998); KPU (1998); Kompas, 6 Mei 2004; Asfar (2004: 131). Tabel di atas menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu selama Orde Baru tergolong sangat tinggi di atas 90 persen. Menurut Asfar (2004: 131), angka seperti ini hampir selaras dengan negara-negara komunis atau negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos. Namun, tingginya angka tersebut tidak terlepas dari kondisi saat itu di mana rezim menekan rakyat untuk terlibat dalam pemilu, terutama kelompok PNS yang wajib memilih Golkar sebagai satu-satunya pilihan partai mereka jika tidak ingin jabatan PNS dilepaskan. -oo0oo- 92 Part ai Pol it ik Isl am; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB 7 PARTAI ISLAM DAN PEMILU DI ERA REFORMASI Bab ini membahas tentang partai-partai Islam di era reformasi. Pembahasan mencakup platform partai-partai Islam yang pernah lahir dan pernah menjadi peserta pemilu serta keterlibatannya dalam setiap pemilu (1999, 2004, 2009). Meskipun jumlah partai Islam cukup banyak, namun tidak seluruhannya mampu meraih suara banyak dan memiliki kursi di parlemen (DPR RI). Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden akibat tekanan massa di berbagai daerah. Pasca tumbangnya, rezim berganti ke era Reformasi atau era transisi. Pada era reformasi, partai politik Islam banyak muncul ke permukaan bahkan mengalami fragmentasi yang sangat beragam. Kekuatan-kekuatan Islam yang pernah berjaya sejak pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan kembali muncul ke pelataran publik. Di antara mereka ada yang hanya ikut sekali dalam pemilu, setelah itu dibubarkan karena tidak mendapatkan suara signifikan. Ada yang hanya berganti nama dan lambang agar bisa lolos verifikasi pada pemilu berikutnya. Ada juga yang melakukan penggabungan (fusi) dengan beberapa partai lainnya sehingga melahirkan partai baru. Namun, ada juga partai yang selalu mendapatkan kursi dan menjadi salah satu partai yang diperhitungkan dalam dinamika politik nasional. Di awal tumbangnya pemerintahan Orde Baru, partai-partai Islam mulai bermunculan dengan puluhan corak ideologi dan lambangnya. Berikut ini adalah daftar nama-nama partai Islam yang lahir di awal-awal reformasi tahun 1998. 94 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 7.1. Nama-nama Partai Islam di Awal Era Reformasi 1998 No. Nama Partai Terdaftar di Depkumham Lolos Seleksi Pemilu 1999 Tidak Daftar Tidak 1. Partai Ahlu Sunnah wal Jamaah (PAS) 2. Partai Aliansi Kebangkitan Muslim Sunni Indonesia (AKAMSI) Ya Tidak 3. Partai Abul Yatama (PAY) Ya Ya 4. Partai Amanah Masyarakat Madani (PAMM) Diskualifikasi Tidak 5. Partai Amanat Bangsa (PAN) Ya Ya 6. Partai Bakhti Muslim (PBM) Ya Tidak 7. Partai Bulan Bintang (PBB) Ya Ya 8. Partai Cinta Damai (PCD) Ya Ya 9. Partai Demokrasi Islam Republik Indonesia (PADRI) Ya Tidak 10. Partai Dinamika Umat (PDU) Ya Tidak 11. Partai Dua Syahadat (PDS) Ya Tidak 12. Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Ya Tidak 13. Partai Indonesia Baru (PIB) Ya Ya 14. Partai Islam Demokrat (PID) Ya Ya 15. Partai Islam Indonesia (PII) Tidak Daftar Tidak 16. Partai Islam Persatuan Indonesia (PIPI) Ya Tidak 17. Partai Gerakan Insan Muttaqin Indonesia (GIMI) Tidak Daftar Tidak 18. Partai Ka’bah Ya Tidak 19. Partai Keadilan (PK) Ya Ya 20. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ya Ya 21. Partai Kebangkitan Kaum Ahlussunah wal Jamaah (PAKKAM) Ya Tidak 22. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (Partai KAMI) Ya Ya 23. Partai Kebangkitan Ummat (PKU) Ya Ya 24. Partai Kesatuan Umat Indonesia (PKUI) Ya Tidak 25. Partai Kesatuan Wahdatul Ummah (PKWU) Ya Tidak 26. Partai Politik Islam Masyumi (PPIM) Ya Ya 27. Partai Majawangi Tidak Daftar Tidak 28. Partai Masyumi Baru (PMB) Ya Ya 29. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) Ya Ya 30. Partai Persatuan (PP) Ya Ya 31. Partai Persatuan Islam Indonesia (PPII) Diskualifikasi Tidak 32. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ya Ya 33. Partai Persatuan Sabilillah (PPS) Ya Tidak Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 95 Tabel 7.1. Lanjutan No. Nama Partai Terdaftar di Depkumham Lolos Seleksi Pemilu 1999 34. Partai Pengamal Thareqat Indonesia (PPTI) Ya Tidak 35. Partai Persatuan Tarikat Islam (PPTI) Ya Tidak 36. Partai Politik Tariqat Islam (PPTI) Ya Tidak 37. Partai Republik Islam (PRI) Tidak daftar Tidak 38. Partai Solidaritas Uni Indonesia (Partai SUNI) Ya Ya 39. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1905 Ya Ya 40. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Ya Ya 41. Partai Umat Islam (PUI) Ya Ya 42. Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) Ya Ya Sumber: Salim (1999: 12). Dari 42 partai Islam, dua di antaranya tidak memenuhi persyaratan pendaftaran (diskualifikasi) oleh Depkeh dan lima partai Islam yang lainnya sengaja tidak mendaftarkan ke Depkeh. Hanya saja kelima partai tersebut telah tercatat pada Depdagri sebelum diberlakukannya UU nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik. Tidak ditemukan data yang jelas mengapa lima partai Islam tersebut “tidak berani” mendaftarkan ke Depkeh. Namun, setidaknya hal ini menunjukkan, bahwa memang ada partai politik yang sekadar partai papan nama, untuk tidak mengatakan partai fiktif. Dengan kata lain, mereka hanya merupakan partai politik “media massa” yang deklarasinya dimuat di koran-koran (Salim, 1999: 7). Kemudian 35 partai Islam tersebut mendaftarkan ke LPU untuk menjadi peserta pemilu tahun 1999. Setelah diseleksi, ada pengkerucutan jumlah menjadi 20 partai Islam dari 48 partai politik yang menjadi peserta pemilu 1999. Namun, jumlah partai Islam pada pemilu berikutnya, menjadi lebih sedikit. Pada pemilu 2004, dari 24 partai politik yang menjadi peserta pemilu, ada 7 partai yang dinyatakan partai Islam. Empat di antaranya (PPP, PKB, PAN, dan PBB) merupakan partai peserta Pemilu 1999. Sedangkan PK yang tidak lolos election threshold atau ambang batas merubah diri menjadi PKS. Dua partai baru adalah PBR dan PPNUI. Begitu juga pada pemilu 2009, dari 38 partai politik yang menjadi peserta pemilu, ada 9 partai Islam. Tujuh di antaranya adalah partai lama, yakni PPP, PKB, PAN, PBB, PBR, PKS, dan PPNUI. Dua lainnya merupakan partai baru, yaitu PMB, dan PKNU. Dari sini dapat diketahui, bahwa jumlah partai Islam dari pemilu ke pemilu selalu berkurang. Sebagian pengamat pun menyatakan, bahwa pada pemilu 2014 jumlah partai Islam semakin mengalami penurunan menjadi lebih sedikit. Hal ini tidak terlepas dari Undang-Undang yang menginginkan adanya perampingan partai politik dan mengurangi konflik di parlemen. Pada tahun 2009, ada aturan parliamentary threshold minimal 2,5%. Sedangkan pada pemilu 2014, UU tentang partai politik sudah disahkan dengan abang batas 3,5%. Dan terbukti “ramalan” tersebut tidak melesat ketika KPU Pusat menentapkan 10 partai politik yang lolos verifikasi dan akan menjadi peserta pemilu resmi pada tahun 96 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia 2014. Dari 10 partai politik yang akan bertarung dalam laga demokrasi tersebut, empat di antaranya adalah partai politik Islam yang merupakan partai lama, yiatu PKS, PAN, PKB, dan PPP. A. PLAT FORM PARTAI -PARTAI I SLAM Jika ditotalkan secara keseluruhan, selama era Reformasi (pemilu 1999, 2004, 2009), jumlah partai politik Islam ada 24. Di bawah ini akan dijelaskan tentang platform dari 24 partai Islam tersebut yang meliputi sejarah pendirian, asas dan tujuan partai, tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya serta hal-hal lain yang terkait dengan partai. 1. Partai Abul Yatama (PAY) Tidak seperti partai-partai lainnya yang selalu mengetengahkan nuansa demokrasi, persatuan, kerakyatan, ataupun keagamaan, berdirinya PAY justru diilhami oleh keinginan untuk menyadarkan semua orang agar lebih memperhatikan nasib anak yatim. PAY didirikan di Jakarta, 7 Januari 1999 dengan asas pancasila. Ketua Umum adalah Dr. H. Rusli Bintang dan Sekretaris Jenderal adalah Drs. Agus Suarman Sudharsa (http://www.seasite.niu.edu). Penekanan partai ini sesuai dengan arti abul yatama (ayah anak yatim), yang pada mulanya berupa yayasan penyantun anak yatim yang sejak tahun 1979 sudah berdiri di Provinsi Aceh (NAD, dulu bernama Daerah Istimwa Aceh atau DIA). PAY ingin menyadarkan semua orang bahwa begitu banyak kepentingan politik telah merampas hak-hak anak yatim. Menurut PAY, mereka harus diperjuangkan agar dapat memperoleh kehidupan yang layak. Di samping itu juga, PAY mendesak agar anak yatim tidak hanya memiliki wadah untuk menuntut ilmu, tetapi juga dalam menyalurkan aspirasi politiknya (http://www.seasite.niu.edu). 2. Partai Amanat Nasional (PAN) PAN merupakan partai berasas pancasila yang didirikan oleh Amien Rais (mantan ketua PP Muhammadiyah). Di tengah hingar-bingar peristiwa menjelang turunnya Soeharto, kita tidak bisa melupakan peran sang reformis bernama Amien Rais. Kedudukannya sebagai ketua Muhammadiyah semakin membuat kritikan-kritikannya didengarkan oleh penguasa. Seiring turunnya Soeharto, di internal warga Muhammadiyah muncul keinginan untuk mendirikan partai baru. Hal itu mencuat ketika Sidang Tanwir Muhammadiyah, 5-7 Juli 1998 di Semarang. Di akhir sidang, forum tersebut memberikan amanat kepada PP Muhammadiyah untuk melaksanakan ijtihad politik dalam rangka mencapai maslahat umat dengan berlandaskan semangat dakwah amar makruf nahi munkar. Sinyal itu ditangkap positif oleh Amien, bahwa ada kerinduan warga Muhammadiyah untuk mempunyai partai yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Pada akhirnya, ijtihad politik tersebut diungkapkan pada pembentukan sebua partai (Amir, 2003: 135-136). Nama awal partai itu adalah Partai Amanat Bangsa (PAB) dengan usulan ketua yaitu Ahmad Syafii Ma’arif. Namun, seiring perjalanan waktu, Syafii menolak tegas tawaran tersebut dengan mengatakan pada Amien Rais, “Anda sajalah yang ke partai, biar saya yang menjaga Muhammadiyah.” Namun, di tengah jalan ada upaya permintaan kepada Amien untuk memimpin PPP. Setelah dipikir masak-masak, Amien akhirnya membatalkan tawaran itu dikarenakan sebagian kader PPP menolak kehadiran Amien Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 97 dengan alasan yang sebenarnya cukup rasional: Amien adalah orang baru di PPP. Kemudian, Amien konsen kembali untuk meneruskan partai baru tersebut. Upaya konkrit pendirian partai baru dilangsungkan pada tanggal 5 Agustus 1998 di Wisma Tempo Sinargalih, Jawa Barat. Pertemuan ini dihadiri oleh tiga kelompok, yaitu kelompok PPSK Jogja, kelompok Tebet, dan kelompok MARA. Pertemuan tersebut akhirnya memutuskan nama PAN (Amir, 2003: 137-139). Forum tersebut juga menetapkan formatur yang ditugaskan untuk menyusun kepengurusan. Amien Rais ditetapkan sebagai ketua formatur didampingi delapan anggota lainnya, yaitu Goenawan Mohamad, Zumrotin, Abdillah Toha, AM Luthfi, AM Fatwa, Ismid Hadad, Albert Hasibuan, dan Rizal Panggabean. Selain itu, para deklarator PAN yang lain adalah Rizal Ramli, Toety Heraty, Emil Salim, Faisal Basri, AM Fatwa, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya. Deklarasi PAN dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Istora Senayan, Jakarta yang disaksikan sekitar 15 ribu manusia (Amir, 2003: 139). PAN menetapkan basis massa utama dari kalangan muslim modernis, terutama kalangan warga Muhammadiyah. Hal ini berdampak pada identitasnya sebagai partai politik yang menjadikan agama sebagai landasan moral dan etika berbangsa dan bernegara yang menghargai harkat dan martabat manusia serta kemajemukan dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan kehidupan bangsa yang lebih baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang makmur, maju, mandiri dan bermartabat. Adapun sifat PAN adalah partai yang terbuka bagi warga negara Indonesia yang berasal dari berbagai pemikiran, latar belakang etnis maupun agama, dan mandiri (www.pan.or.id). Visi kepartaian adalah terwujudnya PAN sebagai partai politik terdepan dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur, pemerintahan yang baik dan bersih di dalam negara Indonesia yang demokratis dan berdaulat, serta diridhoi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa (www.pan.or.id). Sebagai bagian dari platform partai, PAN memiliki garis perjuangan. Prinsip dasar PAN adalah partai politik yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-citanya berakar pada moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan. PAN mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial, otonom dan mandiri. Karena itu, partai ini menghormati dan mendorong kemajemukan. Selain itu, PAN menjunjung tinggi demokrasi dan menentang segala bentuk kediktatoran, karena hal itu berlawanan dengan harkat dan martabat manusia (Kazim dan Hamzah, 1999: 48-49). PAN memiliki sejumlah garis perjuangan di berbagai bidang kehidupan antara lain bidang politik dan hukum, bidang pertahanan negara, bidang ekonomi, bidang tanah, bidang buruh, bidang agama dan sosial, bidang pendidikan, bidang perempuan, bidang lingkungan hidup, dan bidang pergaulan dunia (Tim Litbang Kompas, 2004: 234-239). 3. Partai Bintang Reformasi (PBR) Partai Bintang Reformasi (PBR) didirikan dan dideklarasikan pada tanggal 20 Januari 2002 dengan ketua umum Zaenuddin MZ dan Sekjen Dja’far Badjeber. PBR merupakan nama baru dari Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi). Partai ini berasas Islam dengan mengedepankan nasionalisme dan merupakan hasil penggabungan dari empat partai, yaitu PIB, PUMI, KAMI, dan Partai Republik. Pada pemilu 2004, ada 13 orang yang duduk di DPR RI. Tetapi pada pemilu 2009, PBR tidak lolos syarat 2,5% sehingga tidak ada perwakilannya yang duduk di DPR RI (Khoirudin, 2004: 297-298; http://wikipedia.org.id). 98 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia PBR lahir pasca Orde Baru dari rahim perpecahan. Penyebabnya adalah ketidaksepakatan sebagian politisi senior PPP atas pengunduran jadwal muktamar partai hingga setelah pemilu 2004. Pada awal perpecahan, partai tersebut bernama PPP Reformasi. Namun, karena ada UU No. 31 tahun 2002 tentang partai politik yang mengharuskan PPP Reformasi menyesuaikan diri dengan eksistensi UU tersebut, maka digelar MLB pada tanggal 7-9 April 2003 yang berhasil melahirkan nama PBR setelah melalui voting sekitar 3.000 kader partai yang hadir. PBR mempunyai tujuan untuk memperbaiki kepemimpinan nasional, pemerataan ekonomi dan penegakan hukum yang selaras dengan cita-cita partai untuk mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera lahir dan batin, adil, mandiri dan demokratis yang diridhoi Allah SWT. Pada Pemilu 2004, partai ini sempat berniat mengajukan Zaenuddin MZ yang dikenal dengan sebutan dai sejuta ummat, sebagai calon presiden. Beberapa tokoh PBR adalah Zainuddin MZ, Bursah Zarnubi, dan Rusman Ali. Kunjungi juga websitenya di alamat: http://www.pbr.or.id (Khoirudin, 2004: 298; http://wikipedia.org.id). 4. Partai Bulan Bintang (PBB) Partai Bulan Bintang (PBB) adalah partai politik yang berasaskan Islam dan menganggap dirinya sebagai partai penerus Masyumi. PBB didirikan pada 17 Juli 1998. Partai ini telah ikut pemilu selama tiga kali (1999, 2004 dan 2009). Pada Pemilu 1999, PBB mempu meraih 2.050.000 suara (2%) dengan 13 kursi DPR RI. Pada Pemilu 2004 meraih suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62%) dan mendapatkan 11 kursi di DPR. Pada pemilu 2009, partai ini memperoleh suara sekitar 1,8 juta (1,7%) yang berarti tidak memenuhi PT 2,5% sehingga tidak mendapatkan kursi di tingkat nasional. Ketua PBB pertama adalah Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang memelopori amandemen konstitusi pasca reformasi. Kemudian pada tahun 2005, jabatan ketua partai dilanjutkan MS Kaban yang pernah menjabat Menteri Kehutanan di era SBY-JK (http://wikipedia.org.id). Namun, partai yang memperjuangkan syari’at Islam ini masih memiliki sekitar 400 anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Sejak Muktamar ketiga, April 2010 di Medan, partai ini telah menetapkan kembali Ketua Umum: MS Kaban, Sekjend: BM Wibowo Hadiwardoyo (mantan Sekjen Ormas Islam Hidayatullah), Ketua Majelis Syura: Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua Dewan Kehormatan Partai: Fuad Amsyari. Kunjungi juga websitenya: http://www.bulanbintang.org (Thaha, 2004: 175-160). 5. Partai Cinta Damai (PCD) Partai Cinta Damai (PCD) merupakan partai politik sosial keagamaan bersifat terbuka bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Partai ini didirikan dan dideklarasikan di Jakarta, 10 September 1998 atau di Bogor, 17 Oktober 1998 dengan asas Pancasila. Ketua Umum: Drs. H. Iskandar Zulkarnain, SH dan Sekretaris Jenderal: Drs. H. Syahril Malik. Berawal dari sebuah organisasi keagamaan yang dikenal sebagai Majelis Tarikatullah yang bernaung di bawah sebuah yayasan yang terdapat di beberapa kota, partai ini mempunyai basis pendukung dari Badan Koordinasi Surau (BKS) yang terdapat di tingkat provinsi di seluruh Indonesia (http://www.seasite.niu.edu). Dengan prioritas utama pembinaan mental spiritual, partai ini mendasarkan ciri pengamalan dzikrullah sebagai fundamen Dienul Islam yang inti maknanya adalah cinta damai dan rahmat bagi alam Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 99 semesta. Untuk itu, dasar perjuangan partai diwujudkan dalam bentuk piagam pengabdian kepada Allah SWT, bangsa, negara, dunia, serta kepada manusia dan perikemanusiaan (http://www.seasite.niu.edu). 6. Partai Indonesia Baru (PIB) Partai Indonesia Baru (PIB) merupakan partai hasil fusi dari sembilan partai dengan visi yang sama, yaitu nasional religius. Sembilan partai tersebut adalah Partai Kedaulatan Rakyat Indonesia, Partai Kesatuan Umat Indonesia, Partai Perjuangan Amanat Rakyat Indonesia, Partai Amanat Rakyat Madani, Partai Indonesia Raya, Partai Penyantun Perkembangan Islam, Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah, Partai Aliansi Rakyat Miskin, dan Partai Kepentingan Rakyat. PIB adalah partai berasas pancasila yang didirikan di Jakarta, 18 Januari 1999. Ketua Umum: Drs. HM. Syaiful Anwar dan Sekretaris Jenderal: Drs. H. Zakirudin Djamin, SH., MM (http://www.seasite.niu.edu). Walaupun dibentuk oleh sebagian besar tokoh Islam, PIB menolak dikatakan sebagai partai Islam karena tidak mau menutup pintu terhadap simpatisan non-Islam. Namun, PIB amat menentang sekularisme dan memilih bentuk masyarakat madani yang berwawasan agama. (http://www.seasite.niu.edu). 7. Partai Islam Demokrat (PID) Undang-Undang Kepartaian yang memperbolehkan setiap warga negara mendirikan partai, mendorong lahirnya Partai Islam Demokrat (PID) yang cikal bakalnya adalah ormas GM Kiara. GM Kiara berdiri pada tanggal 21 Agustus 1991 yang berpusat di Jl. Pondok Rajeg No. 19 Rt.002/03, Kec. Cibinong, Kabupaten Bogor. GM Kiara merupakan ormas yang independen dan memiliki tujuan menjadi wadah pembentukan kader-kader yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri serta sebagai wadah berkarya dan penyalur aspirasi pemuda sesuai dengan sifat pemuda yang kreatif dan dinamis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asas GM Kiara adalah pancasila dan UUD 1945. Karena PID bersifat demokrat, maka tidak alasan bagi PID untuk bergabung dengan partai Islam lainnya yang dianggap beraliran fundamentalis dan garis keras. Asas PID adalah pancasila. Partai ini didirikan di Jakarta, 15 Oktober 1998 dengan Ketua Umum adalah Drs. H. Andi Rasyid Djalil dan Sekretaris Jenderal adalah Imam Dipowinoto. PID memiliki tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa sesuai ajaran Islam dan menjunjung tinggi musyawarah dalam kehidupan demokrasi. Beberapa program yang ditawarkan adalah pembaruan UU tentang aliran kepercayaan dan UU Perkawinan. Di bidang ekonomi, PID memperjuangkan ekonomi kerakyatan dengan memberikan kesempatan berusaha pada semua golongan, meningkatkan peranan koperasi dalam ekonomi kerakyatan, dan menciptakan pemilu yang jujur dan adil (http://www.seasite.niu.edu). 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kelahiran PKS tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan aktivitas dakwah Islam sejak awal tahun 1980-an. Partai yang berlambang dua bulan sabit ini merupakan kelanjutan dari PK yang didirikan pada tanggal 20 Juli 1998. Pada awal 1980-an, gerakan-gerakan Islam mulai menguasai masjid-masjid sebagai pusat gerakan, terutama masjid kampus. Gerakan ini semakin membesar dan mengental ke berbagai 100 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia daerah di tanah air melalui jalur tabligh, seminar, aktivitas sosial, ekonomi dan pendidikan, meskipun masih dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Peristiwa lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi pertanda di kalangan aktivis dakwah Islam untuk melahirkan iklim baru bagi cita-cita mereka, yaitu mewujudkan sebuah bangsa dan negara yang diridhai Allah SWT. Karena itulah, mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam guna mencapai tujuan dakwah Islam dengan cara-cara demokratis yang bisa diterima banyak orang (Tim Litbang Kompas, 2004: 301). Kesepakatan ini didukung oleh hasil survei yang diadakan di masjid-masjid kampus di Indonesia yang menyatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian. Survei ini dinilai mencerminkan tumbuhnya kesamaan sikap di kalangan sebagian besar aktivis dakwah. Karena itulah, wajar jika para politisi PKS tergolong orang-orang muda dari kalangan intelektual Islam kampus. Ada sekitar 50 orang pendiri partai ini, di antaranya Hidayat Nurwahid, Luthfi Hasan, Salim Segaf Aljufri, Yusup Supendi, dan Nur Mahmudi Ismail. Pada pemilu 1999, PK (nama saat itu) hanya mendapat 7 kursi di DPR RI. Hasil ini tidak memenuhi electoral threshold sehingga tidak dapat mengikuti pemilu 2004 kecuali berganti nama dan lambang. Akhirnya, pada tanggal 20 April 2002 merupakan kelahiran PKS sebagai kelanjutan dari nama PK. Secara resmi, PKS dikukuhkan melalui akta notaris pada tanggal 18 Maret 2003 (Tim Litbang Kompas, 2004: 301303). PKS berasaskan Islam. Visi Indonesia yang dicita-citakan oleh PKS adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Sedangkan misi PKS ada tiga hal, yaitu 1) Mempelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi, peradilan, dan militer untuk berkomitmen terhadap penguatan demokrasi; 2) Mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui strategi pemerataan pendapatan, pertumbuhan bernilai tambah tinggi, dan pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan melalui langkah-langkah utama berupa pelipatgandaan produktivitas sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan; pentingkatan daya saing industri nasional dengan pendalaman struktur dan up grading kemampuan teknologi; dan pembangunan sektor-sektor yang menjadi sumber pertumbuhan baru berbasis resources dan knowledge; 3) Menuju pendidikan berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia (MPP PKS, 2008: 1-4). Untuk mencapai visi misinya tersebut, PKS melakukan usaha-usaha berikut ini, 1) Membebaskan Bangsa Indonesia dari segala bentuk kedzaliman; 2) Membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islami; 3) Mempersiapkan bangsa Indonesia agar mampu menjawab berbagai problema dan tuntutan masa mendatang; 4) Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; 5) Membangun Negara Indonesia baru yang adil, sejahtera, dan berwibawa (Tim Litbang Kompas, 2004: 305). Secara garis besar, platform perjuangan PKS terbagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya (MPP PKS, 2008: 4-14). Kunjungi websitenya di http://www.pk-sejahtera.org. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 9. 101 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Tidak bisa dipungkiri bahwa PKB merupakan partai politik warga NU, karena secara historis partai ini lahir dari dalam organisasi NU. Selepas runtuhnya Orde Baru 1998, banyak usulan masuk ke dan dari kalangan tradisionalis ke PB NU untuk masuk ke gelanggang politik. Ada yang mengusulkan agar NU mendirikan partai politik, dan bahkan ada juga yang mengusulkan agar NU sendiri langsung bermetamorfosis menjadi partai politik. Lebih jauh lagi, warga NU bahkan sudah banyak yang mengusulkan nama untuk partai yang mereka inginkan, tidak kurang dari 39 nama sempat tercatat. Sebagian besar dari mereka mengusulkan lambang parpol adalah gambar bumi, bintang sembilan dan warna hijau. Ada yang mengusulkan bentuk hubungan dengan NU. Selain itu, ada yang mengusulkan visi dan misi parpol, AD/ART parpol, nama-nama untuk menjadi pengurus parpol, ada juga yang mengusulkan semuanya. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH. M. Cholil Bisri dan PW NU Jawa Barat (Kazim dan Hamzah, 1999: 237-238). Melihat kuatnya dorongan dari bawah tersebut, pada 3 Juni 1998 PB NU membentuk Tim Lima yang bertugas mempersiapkan berdirinya partai untuk warga NU. Setelah tim dibentuk, usulan dari warga NU semakin deras. Untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU untuk menginginkan partai politik, maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PB NU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima. Selain itu juga, dibentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU. Setelah melalui proses yang panjang, maka tanggal 23 Juli 1998 resmi dideklarasikan berdirinya PKB di kediaman Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan (Kazim dan Hamzah, 1999: 238-240). Secara ideologis, PKB menetapkan pancasila sebagai asas partainya. Prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah SWT, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Partai ini bersifat kebangsaan, demokratis, dan terbuka (Tim Litbang Kompas, 2004: 260). Dalam MLB PKB di Ancol Jakarta, 2-4 Mei 2008, partai ini memiliki lima fungsi utama: 1) Sebagai wadah berhimpun bagi setiap warga negara Indonesia dengan tanpa membedakan asalusul, keturunan, suku, golongan, agama dan profesi; 2) Sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan pendidikan, hak sipil, dan partisipasi politik; 3) Sebagai saluran aspirasi politik rakyat bagi terwujudnya hak-hak sipil dan politik rakyat; 4) Sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembaga-lembaga dan proses-proses politik, 5) Sebagai sarana mempersiapkan, memunculkan dan melahirkan pemimpin politik, bangsa, dan negara. Sedangkan tujuannya ada tiga, yaitu 1) Mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945; 2) Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spiritual; 3) Mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah. Adapun program-program PKB dapat terbagi dalam beberapa bidang, yaitu bidang pengembangan demokrasi, bidang ekonomi, bidang pendidikan, dan bidang otonomi daerah. Kunjungi websitenya di http://www.dpp-pkb.or.id. 102 10. Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Partai Kebangkitan Umat (PKU) Berawal dari perbedaan visi sebagian tokoh NU dengan PKB bentukan PB NU, dibentuklah Partai Kebangkitan Ummat (PKU) sebagai wadah penerus perjuangan jam’iyah NU di jalur politik. Berbeda dengan PKB, partai ini menandaskan keberadaannya sebagai partai Islam murni dengan mencantumkan pancasila dan aqidah Islam Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah sebagai asasnya. Walaupun begitu, PKU tidak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan tidak pula menjadi negara sekuler (http://www.seasite.niu.edu). PKU didirikan di Jakarta, 21 September 1998 dan juga deklarasikan di Jombang, 25 Oktober 1998. Ketua Umumnya adalah KH. Yusuf Hasyim dan Sekretaris Jenderal adalah Drs. H. Asnawi Latief. Secara umum, PKU bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur dan diridhai Allah SWT melalui tatanan kenegaraan yang demokratis dan berakhlak mulia. Secara khusus, PKU ingin memperjuangkan masuknya nilai-nilai Islam yang relevan ke dalam peraturan perundang-undangan (http://www.seasite.niu.edu). 11. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (Partai KAMI) Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI) didirikan pada tanggal 29 Agustus 1998. Ketua dan sekjendnya adalah Drs. H. Syamsahril SH., MM dan Djamhari Maskat. Asas partai adalah Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kelahirannya adalah untuk menjawab tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, terutama masalah disintegrasi bangsa. Di samping itu, partai ini juga bermaksud memperingatkan bangsa Indonesia agar terhindar dari laknat Allah SWT yang sedang menggerogoti seperti krisis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan. Partai ini bertujuan meningkatkan peran aktif Muslim Indonesia untuk membangun manusia seutuhnya dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Perolehan suara pada pemilu 1999 termasuk kecil sehingga pada tahun 2002 bersama beberapa partai Islam lainnya berfusi menjadi PBR (http://wikipedia.org.id). 12. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) didirikan pada tanggal 21 November 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Partai ini bisa diartikan sebagai alat politik para ulama untuk memperjuangkan kebangkitan nasional sebagai perwujudan rasa cinta tanah air. Ideologinya adalah Islam. Visinya adalah menciptakan negara dan bangsa yang adil, damai, dan sejahtera (baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur) sebagai perwujudan dari rasa keimanan yang berlandaskan keagamaan dan rasa cinta tanah air. Ketua Umumnya adalah Choirul Anam dan Sekretaris Jenderal adalah Idham Cholied (http://wikipedia.org.id). Misi PKNU tercermin dari tiga bentuk tanggung jawab yang diemban ulama. Pertama, tanggung jawab yang berkaitan dengan agama Islam (diniyyah islamiyyah). Yakni ulama menjadi penjaga keberlangsungan agama Islam yang berdasarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai kerangka berpikir dan bertindak dalam beragama dan berbangsa sehingga antara agama dan negara tumbuh bersama saling mengisi dan tercapai harmonisasi. Kedua, tanggung jawab yang dipikul ulama adalah berkaitan dengan umat. Yakni ulama berupaya untuk memenuhi tuntutan umat atas tiga hal yang menjadi Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 103 kebutuhannya, antara lain kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan yang sifatnya aksesoris. Kebutuhan umat baik yang primer, sekunder, maupun aksesoris ini menjadi tanggung jawab ulama untuk memenuhinya agar tercapai kesejateraan. Ketiga, tanggung jawab ulama yang berkenaan dengan berbangsa dan bernegara. Terkait tanggung jawab ini, para ulama meyakini bahwa NKRI adalah final. Keyakinan ini harus senantiasa dikawal melalui perjuangan politik ulama agar cita-cita negara Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud dengan sebaik-baiknya (http://wikipedia.org.id). 13. Partai Masyumi Baru (PMB) Partai ini bukanlah partai yang baru muncul setelah era reformasi. Pada tahun 1995, partai ini telah hadir dengan nama organisasi Majelis Syarikat Umat Muslimin Indonesia. Tahun berikutnya, diikrarkan kembali sebagai wadah perhimpunan dan penampung aspirasi umat Muslimin dengan nama Masyumi Baru. Walaupun menggunakan nama “Masyumi”, partai ini menolak dikatakan sebagai lanjutan dari Partai Masyumi yang pernah jaya pada masa Orde Lama (http://www.seasite.niu.edu). Partai ini berasaskan Islam. Didirikan dan dideklarasikan di Jakarta, 28 Oktober 1995 dan 24 November 1995. Dilakukan juga ikrar pemantapan di Jakarta, 20 Januari 1996. Ketua Umum adalah Drs. H. Ridwan Saidi dan Sekretaris Jenderal adalah H. Fairuz Basyar. Partai Masyumi Baru yang berbasis kelompok Islam modernis ini, mendukung pemikiran ekonomi yang berorientasi kerakyatan dan mengharuskan pelaksanaan prinsip trias politica dalam kehidupan bernegara. Partai ini menginginkan terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa dan menolak diskriminasi dalam segala bentuk (http://www.seasite.niu.edu). 14. Partai Matahari Bangsa (PMB) PMB merupakan partai Islam moderat yang digagas oleh eksponen AMM yang terdiri dari aktivis PM, NA, IMM, dan IPM/IRM. Partai yang berdiri pada tanggal 16 Desember 2006 ini merupakan partai “Islam Berkemajuan” yang meletakkan landasan perjuangannya kepada prinsip-prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, terbuka terhadap kemajuan, cinta damai dan menghargai kemajemukan agama, budaya, dan etnisitas. PMB menyakini, bahwa Islam dapat membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan material dan spiritual. Karena itu, tujuan perjuangan partai ini adalah menjaga kemuliaan Islam dengan jalan mengupayakan pemenuhan kebutuhan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan (Media Sinar Matahari, Edisi I/Mei 2007). Kelahiran partai yang berlambang mirip dengan lambang Muhammadiyah ini disinyalir banyak pihak sebagai bentuk kekecewaan atas kegagalan PAN dalam menghantarkan “kader terbaik” Amien Rais menjadi presiden republik ini dan juga tidak terakomodirnya aspirasi politik sebagian warga Muhammadiyah. Namun demikian, alasan tersebut mendapat pertentangan keras dari para pimpinan PMB, dengan berbagai alasan. Imam Addaruqutni sebagai ketua umum PP PMB mengatakan, bahwa dirinya prihatin atas persoalan yang dihadapi bangsa ini, sudah lebih setengah abad merdeka, kemiskinan terus meningkat, sementara aset negara semakin mengecil. Kami melihat, PAN belum maksimal memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah, termasuk Pak Amien dan AM Fatwa. Namun, persoalannya bukan karena kami kecewa dengan PAN, tapi kami ingin mencapai target-target pokok Muhammadiyah untuk mensejahterakan rakyat” (Rakyat Merdeka, 19/3/2007 dan Sinar Matahari, Edisi I/Mei 2007: 27). 104 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Struktur PP PMB dimotori oleh anak-anak muda Muhammadiyah. Ketua Umum PP PMB adalah Imam Addaruqutin (mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah periode 1998-2002), Sekjendnya Ahmad Rofiq (mantan ketua umum DPP IMM periode 2003-2006). Pimpinan PMB lainnya adalah Ma’mun Murod Al-Barbasy, Sudar Sindaes, Faozan Amar, Manager Nasution (aktivis PM), Laili Nailulmuna (aktivis NA), Ahmad Imam Mujadid Rais dan Sanusi Ramadhan (aktivis IRM/IPM), dan lain sebagainya. Berdirinya PMB juga mendapat restu dari sejumlah petinggi Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin dan Hajriyanto Y. Tohari yang juga mantan politisi dan politisi Golkar. Hanya saja, usulan nama “PMB” muncul dari ide Jeffrie Geovanni (politisi Golkar) yang kemudian disepakati untuk nama partai. Struktur PMB dengan mudah dapat terbentuk di tingkat provinsi dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia dengan “menunggangi” struktur Muhammadiyah di berbagai level. 15. Partai Nahdhatul Ummat (PNU) Partai NU didirikan oleh para mubaligh yang tergabung dalam Ittihadul Mubalighin (IM) sebagai respons terhadap aspirasi cabang-cabangnya di daerah. Walaupun para pengurus terasnya berasal dari unsur Nahdhatul Ulama (NU), namun partai ini tidak bermaksud menandingi kehadiran PKB bentukan PBNU. Partai NU memakai jalur dakwah dan majelis taklim sebagai jaringannya, karena memang IM sendiri sejak lama sudah memiliki organisasi pendukung seperti Mubalighat NU dan Persatuan Majelis Taklim (http://www.seasite.niu.edu). Asas PNU adalah pancasila dan beraqidah Islam mab'da Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Didirikan dan dideklarasikan di Jakarta, 16 Agustus 1998. Ketua Umum adalah KH Sjukron Ma'mun dan Sekretaris Jenderal adalah KH Achmad Sjatari. Partai yang menandaskan mab'da Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebagai spiritnya ini dalam program kerjanya mengutamakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan berusaha memperjuangkan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (http://www.seasite.niu.edu). 16. Partai Persatuan (PP) Partai Persatuan (PP) didirikan oleh H. Jaelani Naro dan beberapa tokoh lainnya dari PPP karena kecewa atas hasil Muktamar PPP. Tujuan didirikannya partai ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggembosi PPP, justru menampung kader PPP agar tidak lari ke partai lain. Partai dengan lambang gambar bintang berwarna kuning emas merupakan lambang PPP lama, berasaskan Islam. Akan tetapi, partai ini tetap bersifat terbuka bagi siapa pun. PP Didirikan dan dideklarasikan di Jakarta, 3 Januari 1999 dan 5 Januari 1999. Ketua Umum H. Jailani Naro dan Sekretaris Jenderal Drs. Mardinsyah (http://www.seasite.niu.edu). Salah satu tujuan partai adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur materiil dan spiritual dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang diridhoi Allah SWT. Dalam bidang ekonomi, Partai Persatuan ingin meningkatkan dan mengembangkan sumber daya alam dalam rangka peningkatan kualitas manusia dan kesejahteraan masyarakat (http://www.seasite.niu.edu). Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 17. 105 Partai Persatuan Nahdhatul Ummah Indonesia (PPNUI) PPNUI didirikan pada tanggal 5 Maret 2003 dengan asas Islam dengan Ketua Umum adalah KH. Syukron Ma’mun dan Sekretaris Jenderal adalah KH. Achmad Sjatari. Sebelumnya, partai ini merupakan metamorfosa dari Partai Nahdhatul Ulama (PNU) yang gagal memenuhi electoral threshold dan hanya mendapatkan 5 kursi di DPR RI pada pemilu 1999. Ketika Pemilu 2004, PNU harus mengganti nama dan lambang apabila ingin berpartisipasi kembali, karena tidak memenuhi electoral threshold. Maka, PNU berganti nama menjadi PPNUI (Khoirudin, 2004: 295; Thaha, 2004: 190-193). Kelahiran PPNUI didasari juga atas dasar tidak sejalannya pemikiran sebagian kyai di kalangan NU dengan garis politik Abdurrahman Wahid (pendiri PKB). Nilai yang digunakan sebagai pijakan politik PPNUI adalah terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia dalam wadah NKRI yang adil dan makmur, sejahtera berkeadaban, demokratis, berkeadilan, maju dan mandiri di bawah ridho Allah dan maghfiroh Allah SWT. Pada pemilu 2009, PPNUI sebenarnya tidak lolos verifikasi, tetapi dengan adanya gugatan 4 partai gurem pada pemilu 2004 kepada Mahkamah Konstitusi, akhirnya 4 partai politik gurem ini disahkan juga menjadi partai politik perserta pemilu, yang mana salah satunya ada PPNUI. (Khoirudin, 2004: 295; http://wikipedia.org.id). 18. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) PPP merupakan partai berasas Islam peninggalan Orde Baru yang sudah terlibat dalam pemilu sejak 1977 hingga saat ini. Pasca lengsernya Orde Baru, partai yang dikenal dengan lambang ka’bah ini dipimpin oleh Hamzah Haz yang pada Pilpres 2004 pernah maju sebagai salah satu kandidat presiden RI berpasangan dengan Agum Gumelar. Landasan ideologis partai adalah nilai amar makruf nahi munkar, nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan keikhlasan akan dapat terwujud dengan mamantapkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan nilai-nilai tersebut, terwujud pula manusia dan masyarakat yang saling menghargai dan menyayangi tanpa membedakan suku, ras, agama, kasta, warna kulit, bahasa, dan sebagainya (Khoirudin, 2004: 293). Sekalipun berasas Islam, PPP mengajak semua kalangan untuk berpandangan nasionalis dan menjalankan pancasila secara konsisten dan konsekuen, karena Pancasila dapat mengayomi seluruh rakyat Indonesia dan mengajak melaksanakan Pancasila secara konsisten (Thaha, 2004: 164-167; Khoirudin, 2004: 293). Mayoritas pendukung partai ini adalah dari kalangan Muslim, terutama kelompok Islam tradisionalis diwakili NU dan sebagian dari kalangan Muslim moderat seperti Muhammadiyah. 19. Partai Politik Islam Indonesia (PPII Masyumi) Dilatarbelakangi pemikiran bahwa pelarangan Partai Masyumi sudah dicabut dengan dianulirnya segala produk hukum pemerintahan Orde Lama, dan seiring dengan maraknya pendirian partai politik di masa reformasi, maka Partai Masyumi sebagai kelanjutan dari yang pernah ada dahulu dihidupkan kembali. PPII Masyumi berasas Islam, didirikan di Yogyakarta, 8 November 1945 dan dihidupkan kembali di Jakarta, 28 Agustus 1998. Ketua Umum PPII Masyumi adalah Abdullah Hehamahua M.Sc dan Sekretaris Jenderalnya adalah Sayuti Rahawarin (http://www.seasite.niu.edu). 106 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Kebangkitan kembali partai ini menurut KH Mawardi Noor SH, salah satu tokoh Partai Masyumi tahun 1960-an, merupakan konsekuensi logis dari kesepakatan para tokoh Islam yang menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan golongan dan pribadi. Partai berlambang bulan bintang ini bertujuan menyelenggarakan syariat dan hukum Islam dalam kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara (http://www.seasite.niu.edu). 20. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) Secara historis, PSII berasal dari SDI yang didirikan di Solo tahun 1905. Setelah berfusi dalam PPP pada masa Orde Baru, kini PSII dimunculkan kembali oleh H. Taufiq R. Tjokroaminoto (keturunan HOS Tjokroaminoto yang merupakan salah satu pimpinan PSII tahun 1912). Walaupun saat ini muncul dua partai PSII, namun keduanya memiliki visi dan misi yang sama. Yang berbeda hanyalah dalam masalah prinsip saja. Asas PSII adalah dienul Islam. Didirikan dan dideklarasikan di Solo, 16 Oktober 1905 serta di Jakarta, 29 Mei 1998. Ketua Umum adalah H. Taufiq R. Tjokroaminoto dan Sekretaris Jenderal adalah Ir. H. Amaruddin Djajasubita (http://www.seasite.niu.edu). Salah satu tujuan PSII adalah memelihara hubungan umat Islam dengan segala golongan sebangsa tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan warga negara Indonesia lainnya demi terwujudnya usaha kerja sama yang berfaedah bagi kesejahteraan umum. Program partai adalah program thadhim, yaitu program untuk melepaskan dari belenggu penjajahan supaya tidak terjajah kembali, lepas dari segala bentuk kekuasaan, dan persatuan umat (http://www.seasite.niu.edu). 21. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII 1905) Partai Sarekat Islam Indonesia 1905 (PSII 1905) pada dasarnya sama dengan PSII, asasnya samasama dienul Islam. Hanya saja, antara PSII dan PSII 1905 berbeda prinsip saja. PSII 1905 juga lahir dengan mengacu pada pendirian Syarikat Dagang Islam yang bertahun 1905. Pada masa Orde Baru, PSII kemudian berfusi dengan partai politik lain menjadi PPP karena tuntutan undang-undang dan menjadi organisasi kemasyarakatan. Setelah pemerintahan Soeharto turun, muncul dua kubu, yaitu PSII 1905 pimpinan Drs.H.Ohan Sudjana dan PSII pimpinan Taufiq R. Tjokroaminoto. (http://www.seasite.niu.edu). Seperti pada tahun 1905, partai ini tetap berlambang “Kalimat Tauhid” dalam gambar bulan sabit di bawahnya dan disertai tulisan PSII 1905. Didirikan dan dideklarasikan di Solo, 16 Oktober 1905/Jakarta, 21 Mei 1998. Ketua Umum adalah Drs. H. Ohan Sudjana dan Sekretaris Jenderal adalah Ir. Paka Chairi. Partai ini bertujuan menjalankan Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya. Prioritas programnya adalah persatuan di dalam kalangan umat Islam, supaya tidak diadu domba dan terpecahpecah. Wujudnya dengan konsolidasi ke dalam dan keluar. Konsolidasi keluar dengan mendorong demokratisasi dengan berbagai macam masukan-masukan ke DPR/MPR (http://www.seasite.niu.edu). 22. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI) Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI) yang didukung oleh KPPNU. KPPNU merupakan Pengurus Besar NU “tandingan” dan menjad wadah penampung dan penyalur aspirasi politik masyarakat, terutama warga NU pecahan Muktamar ke-19 tahun 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. H. Abu Hasan, MA yang merupakan pesaing utama KH. Abdurrahman Wahid dalam Muktamar Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 107 tersebut merupakan ketua umum partai yang mengincar kelompok NU sebagai pendukungnya (http://www.seasite.niu.edu). Partai SUNI berasaskan pancasila. Didirikan dan dideklarasikan di Jakarta, 27 Juli 1998. Ketua Umum adalah H. Abu Hasan MA dan Sekretaris Jenderal adalah Ali Fahmi. Tujuan Partai SUNI adalah mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang adil dan makmur. Prioritas utamanya adalah peningkatan pada sektor primer, terutama perikanan dan pertanian, dengan koperasi sebagai ujung tombaknya (http://www.seasite.niu.edu). 23. Partai Umat Islam (PUI) Partai Ummat Islam (PUI) merupakan partai berasas Islam yang dideklarasikan di Jakarta, 26 Juni 1998 dengan ketua umum Deliar Noer dan sekretaris umum Fahmi Rahman. Pendirian PUI didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu segi ajaran dan historis. Dari segi ajaran, adalah ajaran agama Islam yang tidak memisahkan antara kehidupan agama dalam arti sempit dengan kehidupan bermasyarakat seperti politik, ekonomi, dan sosial. Dari segi historis, umat Islam di Indonesia merupakan pelopor dalam mendirikan partai-partai politik. Kalau Budi Oetomo masih bersifat nasionalisme Jawa, maka kehadiran Partai Serikat Islam pada tahun 1912 tujuannya antara lain adalah nasionalisme di Indonesia (http://www.seasite.niu.edu). PUI sama sekali tidak bermaksud membentuk negara Islam. Partai ini memandang pengalaman membuktikan pada saat zaman Nabi Muhammad SAW yang bisa berdampingan dengan umat bangsa lain secara damai dengan menggunakan hukum masing-masing, yaitu Konstitusi Madinah. Partai yang didirikan oleh kalangan berlatar belakang dosen ini memiliki program utama pembangunan dan pembinaan moral dari setiap aspek kehidupan bernegara dengan landasan moral Islam (http://www.seasite.niu.edu). 24. Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) Partai Ummat Muslimin Indonesia (PUMI) memiliki ideologi pancasila, didirikan pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai reaksi dari reformasi. Partai ini melihat bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi erosi keteladanan kepemimpinan dan krisis moral. Karena itu, dibutuhkan kehadiran sebuah partai politik yang menekankan pada agama Islam dan aqidah Islam (http://wikipedia.org.id). Partai yang kental dengan nuansa Islam dan terbuka bagi agama lain ini, memiliki program dalam bidang agama yaitu menciptakan kerukunan umat beragama dan meningkatkan iman dan takwa masyarakat. Di bidang ekonomi, PUMI berupaya memperjuangkan ekonomi yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam bidang politik, partai ini memperjuangkan agar kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Sementara dalam bidang ideologi, PUMI memiliki program memperjuangkan agar pancasila tetap menjadi ideologi negara. Ketuanya adalah H. Anwar Junus SH dan Sekretaris Jenderal adalah KH. Abdillah Muhammad. Partai ini mengikuti pemilu 1999, akan tetapi karena perolehan suaranya kecil, pada tahun 2002 partai ini berfusi dengan beberapa partai Islam lainnya menjadi PBR (http://wikipedia.org.id). 108 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia B. PEM I LU 1 9 9 9 : K EBAN GK I TAN K EM BALI PARTAI I SLAM 1. Sistem Pemilu Pemilu tahun 1999 diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999. Sistem pemilu 1999 mengalami proses perdebatan yang sangat panjang. Banyak pihak yang mengusulkan sistem pemilu kali ini, antara lain Depdagri, LIPI, konsorsium organisasi otonom dan independen, dan pihak kehakiman. Setelah melalui proses-proses yang dinamis, disepakati beberapa hal terkait dengan sistem pemilu 1999. Pertama, pemilu menggunakan sistem proporsional dengan sistem stelsel terdaftar. Kedua, penyelenggara pemilu adalah KPU sebagai lembaga independen. Anggota KPU terdiri dari unsur-unsur partai politik peserta pemilu (masing-masing partai 1 wakil) dan pemerintah 5 wakil. Ketiga, pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah, termasuk mantan tahanan politik (tapol) G30S-PKI serta anak keturunannya. PNS mempunyai hak pilih, tetapi tidak berhak untuk dipilih (menjadi anggota DPR). Sedangkan anggota ABRI tidak mempunyai hak pilih dan dipilih. Keempat, semua partai mempunyai kedudukan yang sama dalam melaksanakan kampanye. Hanya saja, partai politik dilarang menerima dana dari pihak asing. Dana kampanye harus diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan oleh partai politik kepada KPU 15 hari sebelum pemungutan suara (Asfar, 2006: 54-55). Selain itu, Undang-Undang pemilu yang baru juga mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran pemilu. Misalnya, jika ada pihak yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri dan orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun. Bahkan, bagi penyumbang yang melebihi jumlah yang ditetapkan oleh UU, akan dikenakan hukuman (Asfar, 2006: 55). 2. Kekuatan Partai Islam dalam Pemilu Pemilu tahun 1999 diikut oleh 48 partai politik. Pemilu kali ini merupakan pertaruhan hidup dan mati bagi partai penguasa Orde Baru, yaitu Golkar. Golkar yang telah mendapatkan klaim sebagai partai penyokong Soeharto harus berhadapan dengan partai-partai baru yang dipimpin oleh tokoh-tokoh reformasi. Jumlah partai pun mengalami pergerseran, dari yang awalnya hanya tiga partai menjadi ratusan partai dengan berbagai ideologi yang berbeda-beda. Hal ini pun berdampak pada partai Islam yang jumlahnya juga beragam. Dengan banyaknya jumlah partai Islam, menyebabkan konflik serius dalam perebutan basis massa. Bahkan, dalam satu aliran yang sama seperti NU, telah terbentuk lebih dari tiga partai. Ini berarti, persaingan memperebutkan sumber dukungan politik akan berasal dari basis massa yang sama, sehingga sangat rentan terjadi gesekan politik. Pertarungan antara PPP dan PKB cukup kuat di kantong-kantong Jawa Timur dan Jawa Tengah (Asfar, 2006: 110-114). Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menjadi pentolan PKB saat itu mengakui, bahwa antara PKB dan PPP memang keluar dari ayam yang sama, hanya saja PKB itu telurnya, sementara PPP adalah teleknya. Akibat pernyataan Gus Dur tersebut, konflik di akar rumput terjadi antara basis pendukung PKB dan PPP terutama di Jawa Timur. Bahkan di Jepara terjadi pembunuhan antara kedua pendukung tersebut. Selain itu, PPP dianggap sebagai partai politik lama, sehingga hal ini menyebabkan suara PPP mengalami penurunan. Mengapa demikian? PPP dianggap sebagai salah satu penyokong rezim Orde Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 109 Baru, bahkan pernah mencalonkan Soeharto untuk menjadi presiden yang ketujuh kalinya. Sekalipun sudah ada usaha PPP untuk merubah diri di awal reformasi, tetapi perjuangan itu agaknya belum mampu menarik simpati para pemilih di tengah-tengah munculnya banyak partai yang juga mempunyai misi yang sama, seperti Partai Keadilan dan PBB. The ruling party pada pemilu 1999 adalah PDI Perjuangan yang meraih 35.689.073 suara atau setara 33,74% dengan perolehan 153 kursi di DPR RI. Urutan selanjutnya disusul oleh Golkar, PKB, PPP, dan PAN (Asfar, 2006: 115-118). Dengan demikian, partai-partai Islam bertengger sebagai partai kelas menengah (the middle class party). Setelah proses pemilu selesai terlaksana, berikut ini hasil perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu 1999. Tabel 7.2. Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 1999 No. Nama Partai Suara Prosentase (%) Kursi 1. PKB 13.336.982 12,61 51 2. PPP 11.329.905 10,71 58 3. PAN 7.528.956 7,12 34 4. PBB 2.049.708 1,94 13 5. PK 1.436.565 1,36 7 6. PNU 679.179 0,64 5 7. PP 655.052 0,62 1 8. PPII Masyumi 456.718 0,43 1 9. PSII 375.920 0,36 1 10. PKU 300.064 0,28 1 11. Partai KAMI 289.489 0,27 0 12. PUI 269.309 0,25 0 13. PAY 213.979 0,20 0 14. PIB 192.712 0,18 0 15. Partai SUNI 180.167 0,17 0 16. PSII 1905 152.820 0,14 0 17. PMB (Masyumi Baru) 152.589 0,14 0 18. PID 62.901 0,06 0 19. PUMI 49.839 0,05 0 39.712.854 37,53 172 Total Sumber: Diolah dari KPU Pusat (1999), Asfar (2006: 118, 129); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 32-34). Dari tabel di atas, hasil perolehan suara gabungan partai-partai Islam mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan hasil pemilu sebelum-sebelumnya (1971-1997). Namun, peningkatan jumlah suara ini belum bisa melampui hasil suara partai Islam pada pemilu 1955. Jika suara partai Islam pada pemilu 1955 mencapai 43,93%, pada pemilu 1999 belum mampu mencapai di atas 40%. Di luar pemilu ini (pemilu selama Orde Baru), perolehan suara partai Islam selalu di bawah 30%. 110 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Berdasarkan tabel perolehan suara dan kursi partai Islam di atas, meminjam klasifikasi Feith (1957), partai Islam dalam pemilu 1999 dapat digolongkan menjadi tiga kelas: 1) Partai Utama (Major Parties) yaitu partai Islam yang meraih suara mayoritas di banding partai Islam lainnya. Partai yang masuk dalam kelompok ini ada tiga, yaitu PKB, PPP, dan PAN. 2) Partai Menengah (Medium-sized Parties) yaitu partai Islam yang meraih suara luas secara nasional dan mendapatkan kursi di DPR RI (minimal 1 kursi) tetapi tidak masuk dalam kategori tiga partai besar. Partai yang termasuk dalam kelompok ini adalah PK, Partai NU, PP, PPII Masyumi, PSII, dan PKU. 3) Partai Kecil (Small Group Parties), yaitu partai Islam yang mampu meraih suara di berbagai provinsi tetapi suara tersebut tidak mencukupi untuk mendapatkan kursi di DPR RI. Partai yang termasuk alam kelompok ini adalah Partai KAMI, PUI, PIB, Partai SUNI, PSII 1905, Masyumi Baru (PMB), PID, dan PUMI. Secara lebih detail, di bawah ini akan dipaparkan hasil perolehan suara partai-partai Islam di setiap provinsi. Tabel 7.3. Perolehan Suara Major Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) NO. PROVINSI PKB PPP PAN JUARA 1. DI Aceh 11.750 285.014 177.069 PPP 2. Sumut 57.296 520.121 465.543 PPP 3. Sumbar 17.083 400.649 430.880 PAN 4. Riau 62.861 295.924 216.688 PPP 5. Jambi 55.024 126.621 88.721 PPP 6. Sumsel 174.352 299.779 279.104 PPP 7. Bengkulu 24.128 53.939 51.794 PPP 8. Lampung 386.364 265.503 173.491 PKB 9. DKI Jakarta 174.661 806.298 797.766 PPP 10. Jabar 1.622.124 3.513.348 1.707.252 PPP 11. Jateng 2.953.511 1.899.390 1.197.643 PKB 12. DIY 257.240 87.865 311.619 PAN 13. Jatim 7.034.707 1.026.862 940.342 PKB 14. Kalbar 47.098 209.792 47.734 PPP 15. Kalteng 47.501 88.842 38.198 PPP 16. Kaltim 56.086 117.868 75.424 PPP 17. Kalsel 131.050 251.182 137.110 PPP 18. Bali 32.253 17.630 25.006 PKB 19. NTB 52.094 198.429 71.520 PPP 20. NTT 7.147 43.100 29.270 PPP Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 111 Tabel 7.3. Lanjutan NO. PROVINSI 21. Timor Timur 22. PKB PPP PAN JUARA 629 2.211 9.618 PAN Sulsel 58.876 313.903 129.712 PPP 23. Sulteng 17.692 114.660 26.737 PPP 24. Sulut 13.152 122.567 34.124 PPP 25. Sultra 15.365 53.765 17.747 PAN 26. Maluku 11.879 191.014 21.564 PPP 27. Irian Jaya 30.069 23.647 27.280 PKB 13.336.982 11.329.905 7.528.956 PKB TOTAL Sumber: Diolah dari KPU Pusat (1999), Suryadinata (2002: 218-223). Dari tabel di atas, dapat diketahui, bahwa meskipun PKB meraih suara terbanyak di antara partai Islam yang lainnya, tetapi perolehan kursi di DPR RI berada di bawah PPP. Mengapa demikian? Dari total suara PKB secara nasional, 52,74% suara berasal dari Jawa Timur dan 22,14% suara berasal dari Jawa Tengah. Sisanya (25,12% suara) tersebar di berbagai daerah. Sedangkan PPP hampir selalu menjuarai di setiap provinsi dibandingkan partai Islam yang lainnya. Basis suara PPP ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Untuk PAN, hanya menjuarai di empat provinsi, yaitu DIY (di mana Amien Rais dan keluarganya tinggal), Sumatera Barat, Timor Timur, dan Sulawesi Utara. Untuk lebih detailnya, dapat dilihat dalam tabel di atas. Selanjutnya, akan disajikan data perolehan suara untuk partai Islam menegah sebagaimana ada dalam tabel berikut ini. Tabel 7.4. Perolehan Suara Medium-sizes Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) NO 1. PROVINSI DI Aceh PBB 30.628 PK PNU 16.251 21.131 PP PPII Masyumi PSII 13.928 9.149 2.288 PKU 9.728 2. Sumut 78.556 43.673 19.179 20.726 28.987 15.566 3.179 3. Sumbar 115.678 56.020 5.083 17.209 3.023 6.057 2.254 4. Riau 49.495 26.496 27.950 15.931 13.162 4.328 3.451 5. Jambi 27.141 9.773 8.442 16.136 10.457 3.846 2.313 6. Sumsel 103.389 54.501 25.940 22.386 26.247 24.827 5.530 7. Bengkulu 12.473 17.173 5.793 4.614 5.396 3.799 2.090 8. Lampung 31.185 61.887 64.346 12.343 18.385 14.028 11.497 9. DKI Jakarta 95.265 231.545 20.573 45.795 9.258 4.281 4.806 10. Jabar 806.293 537.897 152.641 157.133 95.501 105.677 52.142 11. Jateng 154.628 133.886 59.355 58.796 54.868 44.453 48.850 12. DIY 27.027 27.808 4.572 6.204 9.784 3.383 5.355 13. Jatim 175.516 84.517 103.587 42.068 53.885 24.540 109.033 112 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 7.4. Lanjutan NO PROVINSI PBB PK PNU PPII Masyumi PP PSII PKU 14. Kalbar 23.327 10.250 11.172 15.534 9.653 2.466 2.881 15. Kalteng 13.167 2.407 13.346 7.163 3.619 1.223 2.812 16. Kaltim 28.913 18.433 6.847 11.337 3.803 1.848 2.162 17. Kalsel 60.344 17.732 64.286 15.760 11.009 1.960 7.288 18. Bali 4.238 1.753 1.622 1.708 3.329 771 634 19. NTB 66.571 17.498 34.375 10.796 22.260 18.783 3.840 20. NTT 8.118 2.837 1.776 2.412 2.559 3.770 388 21. Timor Timur 1.078 133 227 578 1.619 773 180 22. Sulsel 52.099 24.539 10.970 22.704 12.957 29.022 15.313 23. Sulteng 20.142 5.899 4.367 6.328 4.526 22.277 1.344 24. Sulut 10.984 4.029 5.146 5.773 1.874 28.303 244 25. Sultra 29.183 5.496 3.742 3.576 3.507 781 1.855 26. Maluku 19.649 21.224 868 11.957 6.696 5.708 471 27. Irian Jaya 4.621 2.908 1.843 2.133 1.205 1.162 424 2.049.708 1.436.565 679.179 551.028 456.718 375.920 300.064 TOTAL Sumber: Diolah dari LPU Pusat (1999), Suryadinata (2002: 218-223). Meski secara mayoritas PBB mengungguli semua partai yang tergabung dalam Medium-sizes Parties, tetapi di beberapa provinsi PBB tidak memperoleh suara mayoritas. Misalnya di Bengkulu, DKI Jakarta, DIY, dan Maluku dimenangkan oleh PK. Di Lampung, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan dikuasai oleh PNU. Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara didominasi oleh perolehan suara PSII. Hal ini menunjukkan, bahwa meskipun partai-partai Islam terlihat kecil secara mayoritas tetapi di beberapa daerah mereka memiliki basis kuat dan mengakar. Di bawah ini akan disajikan data perolehan suara yang dicapai oleh kelompok partai Islam kecil (Small Group Parties) sebagaimana ada dalam tabel berikut ini. Table 7.5. Perolehan Suara Small Group Parties untuk DPR RI pada Pemilu 1999 (Per Provinsi) NO PROVINSI P. KAMI PUI PIB P. SUNI PSII 1905 PMB PID PUMI 1. DI Aceh 6.267 12.714 5.062 2.642 1.520 4.814 1.367 1.088 2. Sumut 11.946 24.650 10.963 1.549 4.891 7.224 2.357 999 3. Sumbar 20.617 20.928 6.146 1.051 4.308 11.069 971 676 4. Riau 7.255 7.494 8.132 1.211 2.319 5.365 4.537 840 5. Jambi 5.114 2.870 7.313 10.726 1.438 4.752 696 682 6. Sumsel 16.329 14.686 11.459 3.983 6.456 7.691 5.276 1.577 7. Bengkulu 3.545 1.934 2.530 1.479 1.423 3.773 1.895 392 8. Lampung 9.713 9.186 7.342 6.454 6.439 5.537 2.986 1.034 9. DKI Jakarta 7.783 7.303 5.499 1.095 3.841 3.835 1.376 1.524 10. Jabar 48.403 75.188 38.703 20.352 68.536 29.473 11.718 8.859 Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 113 Table 7.5. Lanjutan NO PROVINSI 11. Jateng P. KAMI 53.334 PUI PIB 22.841 19.371 P. SUNI 12. DIY 15.714 3.280 4.545 4.025 1.545 2.745 1.176 927 13. Jatim 42.697 30.255 18.820 59.063 9.801 16.370 9.287 5.311 14. Kalbar 3.447 2.439 2.953 1.645 2.185 3.293 588 484 15. Kalteng 2.195 2.244 2.029 886 655 1.405 587 663 16. Kaltim 1.757 2.581 2.943 470 2.508 1.589 290 222 17. Kalsel 5.722 8.199 7.255 5.748 2.079 2.938 1.232 2.698 18. Bali 873 445 690 321 331 493 380 184 36.070 PSII 1905 11.191 PMB 16.831 PID 7.052 PUMI 4.361 19. NTB 5.899 5.441 4.837 14.499 5.520 8.192 1.536 10.831 20. NTT 2.020 1.054 1.469 248 856 905 388 360 21. Timor Timur 981 331 644 158 271 394 259 85 22. Sulsel 8.441 5.362 10.552 3.947 7.832 4.950 3.637 3.017 23. Sulteng 1.413 1.545 3.352 229 3.108 2.472 425 368 24. Sulut 2.457 874 2.567 105 2.257 502 248 154 25. Sultra 2.296 1.182 1.173 212 401 706 458 1.015 26. Maluku 1.740 3.544 5.486 1.748 741 4.827 1.980 1.362 27. Irian Jaya 1.531 739 733 215 308 444 199 122 289.489 269.309 192.712 180.167 152.820 152.589 62.901 49.839 TOTAL Sumber: Diolah dari LPU Pusat (1999), Suryadinata (2002: 218-223). Sama seperti partai-partai yang tergabung dalam Medium-sizesParties, kekuatan partai-partai Islam yang tergabung dalam Small Group Parties tidak selalu didominasi oleh Partai KAMI sebagai partai pemenang dalam grup ini. Partai KAMI hanya unggul di 11 kantong suara seperti di Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, Bali, NTT, Timor-Timur, Sulawesi Tenggara, dan Irian Jaya. Selebihnya, kantong-kantong suara dikuasai oleh PUI (menang di 6 provinsi: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan), PIB (dominan di 6 provinsi juga: Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku), Partai SUNI (unggul di 3 provinsi: Jambi, Jawa Timur, dan NTB), dan PMB yang hanya juara di satu provinsi yaitu di Bengkulu. Hal ini menunjukkan, bahwa kekuatan partai-partai Islam di lokal sangat beragam variannya. Tentunya hal ini sangat ditentukan oleh model kepemimpinan tokoh lokal yang dapat mempengaruhi massa serta ketersediaan sumber daya dalam melakukan kampanye terhadap basis Muslim yang beragam coraknya. Dalam grup ini, ada tiga partai yang tidak pernah menjadi pemenang di 27 provinsi. Ketiga partai itu adalah PSII 1905, PID, dan PUMI. Namun, sebenarnya suara yang diraih oleh PSII 1905 sangat potensial di beberapa provinsi seperti di Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Artinya, partai-partai Islam tersebut meskipun kecil tetap menjadi kekuatan-kekuatan lokal di beberapa provinsi. 114 3. Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Menteri-menteri dari Partai Islam di Kabinet Gus Dur dan Megawati Dinamika politik di era reformasi tidak selalu tepat jika dilihat dengan teori linier atau dihitung dengan rumus logika, bahwa jika partai pemenang pemilu selalu berhasil mencalonkan kadernya menjadi orang nomor satu di republik ini. Hal ini telah dibuktikan, bahwa meskipun PDI Perjuangan menjadi partai pemenang pada pemilu 1999, tetapi Megawati Soekarno Putri (ketua umum PDI Perjuangan saat itu dan putri proklamator Soekarno) yang digadang-gadang menjadi presiden, tidak mampu meraih kursi RI satu. Megawati dikalahkan oleh lawan politiknya (yang kemudian menjadi mitra), yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menang melalui Sidang Umum MPR RI. Gus Dur adalah tokoh sentral PKB dan kyai yang disegani di kalangan Nahdhatul Ulama’. Kemenangan Gus Dur tentu tidak terlepas dari perjuangan gerakan Poros Tengah (Central Axis movement) yang digagas oleh Amien Rais dkk (partai Islam dan partai reformis lainnya). Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden RI sekaligus menjadi momentum bangkitnya kembali politik santri yang pernah tenggelam akibat rezim yang berkuasa. Setelah pertarungan politik dalam arena pemilu usai, langkah selanjutnya adalah penyusunan komposisi kabinet di pemerintahan (lembaga eksekutif). Hal ini pun dilakukan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Secara lebih terperinci, berikut ini disajikan daftar nama-nama kader dari partai Islam yang menjadi menteri di Kabinet Parsatuan Nasional selama pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999-2001. Tabel 7.6. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) Periode Oktober 1999-20 Agustus 2000 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Alwi Shihab PPP Menteri Luar Negeri 2. Zarkasih Nur PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Hamzah Haz PPP Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan 4. Yahya Muhaimin PAN Menteri Pendidikan Nasional 5. Bambang Sudibyo PAN Menteri Keuangan 6. Hasballah M. Saad PAN Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia 7. Al-Hilal Hamdi PAN Menteri Negera Ketenagakerjaan dan Transmigrasi 8. AS Hikam PKB Menteri Negara Riset dan Teknologi 9. M. Tholchah Hasan PKB Menteri Agama 10. Achmad Sujudi PKB Menteri Kesehatan 11. Ali Rahman PKB Menteri Sekretaris Negara 12. Bondan Gunawan/ Marsilam Simanjuntak PKB Menggantikan Ali Rahman sebagai Menteri Sekretaris Negara 13. Rozy Munir PKB Mengganti Laksamana Sukardi di tengah jalan sebagai Menteri Negara for Investmen and State Interprises pada tanggal 1 Mei 2000 Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 115 Tabel 7.6. Lanjutan No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 14. Yusril Ihza Mahendra PBB Menteri Hukum dan HAM 15. Nur Mahmudi Ismail PKS Menteri Kehutanan dan Perkebunan Sumber: Diolah dari Suryadinata (2002: 261-262). Di tengah perjalanan, Gus Dur melakukan reshuffle beberapa menterinya. Perombakan tersebut juga berdampak pada jumlah menteri dari partai-partai Islam yang semua 15 menteri menjadi 14 menteri. Lihat hasil perombakan menteri-menteri dari partai Islam berikut ini. Tabel 7.7. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) Periode 21 Agustus-23 Juni 2001 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Alwi Shihab PPP Menteri Luar Negeri 2. Zarkasih Nur PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Yahya Muhaimin PAN Menteri Pendidikan Nasional 4. Al-Hilal Hamdi PAN Menteri Negera Ketenagakerjaan dan Transmigrasi 5. Mahfud MD PAN Menteri Pertahanan 6. Prijadi Praptosuhardjo PKB Menteri Keuangan 7. AS Hikam PKB Menteri Negara Riset dan Teknologi 8. M. Tholchah Hasan PKB Menteri Agama 9. Achmad Sujudi PKB Menteri Kesehatan 10. Bambang Yudhoyono PKB Menteri Koordinator Politik dan Keamanan 11. Khofifah Indar Parawansa PKB Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan 12. Baharuddin Lopa PKB Menggantikan Yuzril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 1 Juni 2001 13. Yusril Ihza Mahendra PBB Menteri Hukum dan HAM 14. Nur Mahmudi Ismail PKS Menteri Kehutanan dan Perkebunan Sumber: Diolah dari Suryadinata (2002: 263-264). Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah menteri dari partai Islam sangat banyak meskipun periode kepemimpinan Gus Dur relatif cukup singkat. Pada kabinet pertama, prosentase jumlah menteri dari partai Islam di atas 40 persen. Pasca reshufle, jumlah menteri dari partai Islam menjadi mayoritas di kabinet, 50 persen. Ini merupakan prestasi besar terlepas dinamika yang terjadi di dalamnya. Tentunya, 116 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia keberadaan kader-kader dari partai Islam di kabinet tidak terlepas dari posisi Gus Dur yang merepresentasikan dari kekuatan politik Islam, apalagi dia berasal dari PKB. Namun, akibat tuduhan terlibat dalam Bulog Gate (kasus Badan Urusan Logistik) dan Brunei Gate yang hingga saat ini kasusnya belum jelas, Gus Dur didongkel dari kepemimpinannya pada pertengahan 2001. Selain itu, gaya dan karakter kepemimpinan Gus Dur yang keras kepala dan kurang lincahnya model komunikasi politik yang dimainkan oleh mantan ketua umum PBNU inilah yang membuat sebagian elite-elite politik tidak suka dengan dirinya yang vulgar dan asal ceplas-ceplos. Diduga banyak pihak, bahwa aktor di balik pendongkelannya justru sahabat yang dulu mengangkatnya menjadi presiden, yaitu Amien Rais. Akhirnya, Gus Dur mengundurkan diri menjadi presiden dan kepemimpinan diambil alih oleh Megawati. Posisi wakil presiden kemudian dikonvensikan dalam sidang MPR dan di antara dua kandidat, yaitu Hamzah Haz dan Susilo Bambang Yudhoyono, sidang tersebut akhirnya memilih dan menetapkan Hamzah Haz yang juga merupakan salah satu kader PPP sebagai wakil presiden pendamping Megawati. Di sisa kepemimpinan mereka sebagai pelanjut atas kepemimpinan Gus Dur, Mega-Hamzah merombak kabinet mereka. Berikut ini adalah nama-nama kader dari partai Islam yang menjadi menteri di era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Tabel 7.8. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di Kabinet Gotong Royong (2001-2004) Periode 9 Agustus 2001-Oktober 2004 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Bachtiar Chamsyah PPP Menteri Sosial 2. Alimarwan Hanan PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Hatta Radjasa PAN Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia 4. Matori Abdul Djalil PKB Menteri Pertahanan 5. Yusril Ihza Mahendra PBB Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Sumber: Diolah dari Suryadinata (2002: 265-266). Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui bahwa porsi menteri untuk partai Islam relatif sangat sedikit. Berbeda dengan era Gus Dur. Tentunya, siapa dan dari mana yang berkuasa serta gaya berkuasa sangat menentukan seseorang untuk mengambil sebuah kebijakan. Megawati merupakan representasi dari kelompok nasionalis, sehingga jatah bagi kalangan partai Islam semakin diperkecil hingga hanya mendapatkan jatah 15,62% dari total jabatan menteri. C. PEM I LU 2 0 0 4 : M U N CU LN YA FEN OM EN A PK S 1. Sistem Pemilu Pada pemilu kali ini, banyak pihak yang berharap adanya perubahan sistem pemilu. Kekecewaan publik terhadap perilaku dan kinerja para anggota DPR disebabkan salah satunya oleh sistem pemilu yang tidak memberikan ruang kepada anggota dewan untuk bertanggung jawab kepada pemilih. Karena itu, berikut ini beberapa perubahan sistem pemilu pada tahun 2004. Pertama, sistem pemilihan adalah proporsional terbuka. Jika pada pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup dan pemilih Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 117 hanya memilih tanda gambar partai saja, pada pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka dan memberikan ruang kepada pemilih untuk memilih nama kadidat sesuai keinginannya. Kedua, pada pemilu kali ini, pemilih harus memilih beragam calon di beberapa lembaga pemerintahan, seperti DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan pasangan Capres-Cawapres (Asfar, 2006: 56-57). Ketiga, pemilu 2004 dibangun “hampir mendekati” prinsip one person one vote one values (Opovov). Dengan begitu, penentuan jumlah kursi untuk masing-masing daerah pemilihan benar-benar didasarkan pada jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut, sehingga anggota DPR atau DPRD benar-benar mewakili penduduk di wilayahnya. Keempat, adanya perbedaan dalam penentuan dapil. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang penentuan dapil dan jumlah kursi sudah ditetapkan secara baku dalam UU pemilu, maka dalam pemilu 2004 penentuan dapil dan jumlah kursi untuk satu dapil akan ditetapkan oleh KPU Pusat. Kelima, syarat partai politik peserta pemilu jauh lebih ketat dibanding pada pemilu sebelumnya, yaitu harus memiliki pengurus di 2/3 provinsi yang ada di Indonesia dan pengurus 2/3 pada Kabupaten/Kota yang ada di provinsi-provinsi tersebut, serta harus didukung oleh 1.000 orang di masing-masing Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota (KTA) partai politik yang bersangkutan. Keenam, syarat anggota legislatif harus memiliki minimal ijazah SMA atau yang sederajat, setia pada pancasila dan UUD 1945, dan tidak terlibat dalam organisasi terlarang. Ketujuh, panitia penyelenggara pemilu adalah KPU, termasuk penyelenggara pemilu di Daerah adalah KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota. Anggota KPUD yang dicalonkan pun independen dan non partisan (Asfar, 2006: 58-59). 2. Kekuatan Partai Islam dalam Pemilu Pemilu 2004 diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 yang menandai kemenangan kembali Partai Golkar dengan meraih 24,4 juta suara pemilih (21,58%). Kemudian disusul oleh PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PKS (7,34%), PAN (6,44%), PBB (2,26%), dan PBR (2,44%). Jumlah partai politik yang ikut menjadi peserta pemilu adalah 24 partai politik. Pemilu kali ini sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena warga Indonesia yang telah memiliki hak pilih harus memilih lima lembaga sekaligus, yaitu DPR RI, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden. Pemilu 2004 akan menjadi pertarungan perebutan suara yang cukup ketat. Ketika Golkar tampil sebagai the ruling party, suara partai-partai Islam mengalami penurunan (Asfar, 2006: 119, 122, 130). Di kalangan pemilih Muslim, ada pergeseran para pemilih PAN menjadi mengarah ke PKS. Alasan pendukung PAN bergeser ke PKS karena image PKS yang telah menjadi kesadaran massa, bahwa partai yang berasas Islam itu para politisinya relatif jauh lebih bersih dari KKN. Sedikitnya anggota dewan dari Partai Keadilan (nama PKS sebelumnya) hasil pemilu 1999 tampaknya membawa berkah. Dengan anggota yang terbatas, PK bisa mengontrol utusannya di lembaga legislatif untuk bersikap di luar kelaziman: bersih dari KKN. Faktor inilah yang menyebabkan banyak pemilih menaruh harapan besar pada PKS. Melonjaknya suara PKS adalah limpahan suara dari PAN, PPP, PKB, dan PBB. Sedangkan PAN dan PKB yang menjadi partai oposisi tidak mampu melakukan kinerja-kinerja dengan baik. Selain itu, pergeseran suara ke PKS disebabkan para pendukung yang berbasis Islam santri tampaknya tidak bisa menggantungkan perubahan pada ketiga partai Islam besar, yaitu, PPP, PAN, dan PKB yang memperoleh suara signifikan pada pemilu 1999. Bagi para pemilih tiga partai ini, mereka kesulitan membedakan 118 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia antara PAN, PKB, PBB, dan PPP dengan partai-partai yang lainnya. Paling tidak, partai-partai berbasis Islam itu tidak bisa meyakinkan pada pemilih kritis bahwa mereka berbeda denga partai yang lainnya, seperti yang telah ditunjukkan oleh PKS (Asfar, 2006: 124, 126-127). Keberbedaan PKS inilah yang mampu mengangkat partainya mengalami peningkatan suara yang sangat signifikan (kurang lebih enam kali lipat). Untuk mempermudah melacak perolehan suara partaipartai Islam pada pemilu 2004, berikut ini dalam tabel. Tabel 7.9. Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 2004 No. Nama Partai Suara Prosentase (%) Kursi 1. PKB 11.989.564 10,57 52 2. PPP 9.248.764 8,15 58 3. PKS 8.325.020 7,34 45 4. PAN 7.303.324 6,44 52 5. PBB 2.970.487 2,62 11 6. PBR 2.764.998 2,44 13 7. PPNUI 895.610 0,78 0 43.497.767 38,35 231 Total Sumber: Diolah dari kpu.go.id; Asfar (2006: 130); Djodjosoekarto dan Sandjaya (2008: 37-39). Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa peroleh suara gabungan partai-partai Islam mengalami peningkatan dari pemilu 1999 meskipun secara terperinci sebagaian partai mengalami penurunan suara. Naiknya suara partai Islam sangat ditopang dengan meningkatnya suara PKS secara drastis. Menurut analisa Anies Baswedan (2004: 184), naiknya suara PKS ada korelasinya dengan turunnya suara partaipartai Islam modernis di perkotaan seperti PAN, PPP, dan PBB. Di mana basis pemilih PAN, PPP, dan PBB menurun, di situ suara PKS meningkat. Sebaliknya, suara PKS tetap rendah di kantong-kantong suara partai nasionalis dan Nahdhiyin seperti PDIP, Golkar, dan PKB. Ini artinya, meskipun PKS tampil dengan citra politik bersih, anti-korupsi, dan berorientasi pada public service akan tetapi itu semua hanya berhasil meraih simpati dari kelompok pemilih Muslim modernis. Citra PKS masih belum berhasil menembus bata-batas politik aliran dan ideologis. Namun, dalam kasus tertentu tetap saja PKS menerima limpahan suara dari bekas pendukung PDIP maupun PKB meskipun tidak signifikan jika dilihat secara nasional. Sebagai bukti, kita dapat melihat pergeseran suara PDIP di DKI Jakarta, di mana suara PDIP menurun dari 1,8 juta di tahun 1999 menjadi 581 ribu di tahun 2004. Ini artinya sebanyak 1,3 juta pemilih telah hengkang dari PDIP. Sementara total suara yang hijrah meninggalkan PPP, PBB, dan PAN adalah 934 ribu. PKS pada pemilu 1999 hanya meraih 226 ribu suara, pada pemilu 2004 berhasil meraih 985 ribu suara. Kenaikan suara PKS di DKI Jakarta sebesar 758 ribu. Sebuah angka yang sangat besar (Baswedan, 2004: 185). Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar penyumbang terhadap meningkatnya suara PKS adalah pemilih-pemilih dari kalangan muslim modernis yang telah meninggalkan PPP, PBB, dan PAN terutama pemilih yang tinggal di kawasan perkotaan. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 3. 119 Menteri-menteri dari Partai Islam di Kabinet SBY Jilid I Pemilihan Capres dan Cawapres pada pemilu 2004 dimenangkan oleh pasangan SBY-JK. Pasangan ini didukung oleh kekuatan utama dari Partai Demokrat. Meskipun Jusuf Kalla adalah kader Golkar, keberadaannya menjadi pasangan SBY bukanlah resmi rekomendasi dari Golkar. Karena Golkar sudah menetapkan pasangan Wiranto-Gus Solah yang menang dari hasil konvensi internal partai Golkar. Sedangkan Capres dan Cawapres yang diusung dari partai-partai Islam seperti Hamzah Haz dari PPP dan Amien Rais dari PAN kalah pada putaran pertama dan tidak bisa ikut pada putaran selanjutnya. Ini menunjukkan, bahwa basis pemilih Muslim terdiaspora ke berbagai partai politik, tidak hanya ke partai Islam saja. Inilah pemilihan presiden dan wakil presiden untuk pertama kali dipilih oleh rakyat secara langsung. Amien Rais yang digadang-gadang bakal memenangkan pertarungan ini, tetapi kenyataan di lapangan mengatakan hal yang berbeda. Suhu politik di era Reformasi benar-benar sangat dinamis dan unpredictable. Meskipun pasangan SBY-JK tidak didukung oleh partai-partai besar, tetapi dalam penyusunan kabinetnya, pasangan ini tetap melakukan konsolidasi dengan semua pihak. Dari jajaran kabinet yang sudah tersusun, berikut ini adalah daftar nama-nama kader dari partai Islam yang masuk dalam kabinet SBY-JK. Tabel 7.10. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Periode 21 Oktober 20046 Desember 2005 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Bachtiar Chamsyah PPP Menteri Sosial 2. Suryadharma Ali PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Yusril Ihza Mahendra PBB Menteri Sekretaris Negara 4. Hatta Radjasa PAN Menteri Perhubungan 5. Bambang Sudibyo PAN Menteri Pendidikan Nasional 6. Alwi Shihab PKB Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraaan Rakyat 7. Saifullah Yusuf PKB Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 8. MS Ka’ban PBB Menteri Kehutanan 9. Adhyaksa Dault PKS Menteri Negara Pemuda dan Olahraga 10. Anton Apriantono PKS Menteri Pertanian 11. M. Yusuf Asy'ari PKS Menteri Negara Perumahan Rakyat Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Di tengah jalan, rezim SBY-JK melakukan perombakan kabinet demi kebaikan kinerja pemerintah. Beberapa menteri dari partai Islam mengalami perubahan meskipun secara kuantitatif tetap 11 menteri. Berikut ini nama-nama menteri dari partai Islam. 120 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 7.11. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Perombakan Pertama Periode 7 Desember 2005-8 Mei 2007 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Bachtiar Chamsyah PPP Menteri Sosial 2. Suryadharma Ali PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Hatta Radjasa PAN Menteri Perhubungan 4. Bambang Sudibyo PAN Menteri Pendidikan Nasional 5. Erman Suparno PKB Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (menggantikan Fahmi Idris) 6. Saifullah Yusuf PKB Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 7. Yusril Ihza Mahendra PBB Menteri Sekretaris Negara 8. MS Ka’ban PBB Menteri Kehutanan 9. Adhyaksa Dault PKS Menteri Negara Pemuda dan Olahraga 10. Anton Apriantono PKS Menteri Pertanian 11. M. Yusuf Asy'ari PKS Menteri Negara Perumahan Rakyat Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Untuk yang kedua kalinya, pemerintahan SBY-JK kembali melakukan perombakan kabinetnya karena berbagai pertimbangan di antaranya untuk stabilitas politik dan untuk perbaikan kinerja pemerintahan. Berikut ini adalah perombakan yang kedua yang diumumkan pada tanggal 9 Mei 2007. Tabel 7.12. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid I (2004-2009) Perombakan Kedua Periode 9 Mei 2007-20 Oktober 2009 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Bachtiar Chamsyah PPP Menteri Sosial 2. Suryadharma Ali PPP Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 3. Hatta Radjasa PAN Menteri Sekretaris Negara (menggantikan Yusril Ihza Mahendra) 4. Bambang Sudibyo PAN Menteri Pendidikan Nasional 5. Erman Suparno PKB Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 6. Mohammad Lukman Edy PKB Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (menggantikan Saifullah Yusuf) 7. MS Ka’ban PBB Menteri Kehutanan Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 121 Tabel 7.12 Lanjutan No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 8. Adhyaksa Dault PKS Menteri Negara Pemuda dan Olahraga 9. Anton Apriantono PKS Menteri Pertanian 10. M. Yusuf Asy'ari PKS Menteri Negara Perumahan Rakyat Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Pada perombakan kedua ini, jumlah menteri dari partai Islam mengalami penurunan dari 11 menjadi 10 posisi. Namun, porsi ini masih relatif banyak dibanding pada era Megawati. Dibanding dengan era Gus Dur, jumlah menteri pada era SBY-JK masih tergolong sedikit. Pasca perombakan kedua ini, SBY mengganti beberapa jabatan menteri, tetapi pergantian ini tidak merubah posisi menteri-menteri dari partai Islam. D. PEM I LU 2 0 0 9 : PARTAI I SLAM SEM AK I N T U RU N ? 1. Sistem Pemilu Pada pemilu kali ini sistem pemilihannya tidak jauh berbeda pada pemilu 2004. Hanya saja, jika pada pemilu 2004 sistem pemilihannya adalah proporsional tertutup dengan cukup memilih partai politik saja, pada pemilu 2009 ini sistem pemilihannya adalah proporsional terbuka dengan membolehkan pemilih mencoblos gambar partai atau nama calonnya. Jadi, pemilih dapat memilih salah satunya. Di samping itu, jika pada pemilu 2004, seorang kandidat diuntungkan pada nomor urut lebih kecil, maka pada pemilu 2009 lebih pada sistem suara terbanyak. Sebagai ilustrasi, jika suara terbanyak ada pada nomor lima, maka yang terpilih sebagai anggota dewan tetap nomor lima, bukan nomor satu seperti yang terjadi pada pemilu 2004. Sistem ini sangat menguntungkan bagi mereka yang memiliki mesin politik kuat termasuk kekuatan finansial. Namun, dampak dari sistem proprosional terbuka ini adalah adanya konflik tidak hanya antara satu elite partai politik dengan elite partai politik yang lainnya, tetapi konflik antar elite di internal partai politik juga bisa terjadi. Konflik yang demikian bisa saja terjadi karena perebutan kursi yang hanya terbatas. Sebagai ilustrasi, misalnya, di dapil DIY hanya memperbutkan 8 kursi untuk DPR RI. Sedangkan untuk caleg dari PAN dan PKS jumlahnya sama dengan jumlah kursi untuk DPR RI. Secara logika, tidak mungkin 8 caleg dari satu partai mampu meraih 8 kursi tersebut, sedangkan hampir semua partai besar memiliki caleg yang jumlahnya juga 8 orang. Karena itu, konflik internal antar elite dalam satu partai sangat mungkin bisa terjadi. Bahkan dalam prakteknya, caleg untuk DPRD Provinsi malah menggandeng caleg dari partai lain untuk tingkat DPR RI untuk kemudian dibuat dalam satu spanduk atau baliho atau stiker. Pada masa kampanye pemilu 2009, di jalanan sepanjang Yogyakarta banyak dijumpai spanduk yang isinya caleg DPRD Provinsi dan caleg DPR RI dari partai yang berbeda. Dengan demikian, pada pemilu kali ini mesin politik seolah tidak berjalan dengan baik, karena pada tataran prakteknya, mesin politik tergantung pada kekuatan masing-masing individu caleg dalam memperjuangkan dirinya untuk meraih kursi parlemen. Jika mesin politiknya tidak berjalan dan kekuatan 122 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia finansialnya lemah, hampir dipastikan kandidat tidak akan lolos walaupun syarat kedua ini tidak harus selalu mutlak dimiliki oleh seorang kandidat. Namun yang jelas, akibat sistem seperti ini, konflik antar sesama kandidat dari satu atap partai bisa terjadi bahkan saling menyerang dan black campaign dalam berbagai kesempatan. Sama seperti pemilu 2004, anggota KPU harus terdiri dari orang-orang independen dan bebas kepentingan partai politik. Karena itu, profil anggota KPU Pusat pada pemilu 2009 adalah orang-orang kampus dan sebagian dari kalangan ormas maupun LSM. Struktur KPU juga ada hingga Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan tugas dan wewenang masing-masing. 2. Kekuatan Partai Islam dalam Pemilu Pemilu tahun 2009 diikut oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh (NAD). Partai pemenang pada pemilu kali ini adalah Partai Demokrat yang memperoleh 21.703.137 suara atau 20,85% dari total pemilih dan meraih 150 kursi di DPR RI. Peringkat selanjutnya disusul oleh Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), dan PKB (4,94%). Sedangkan perolehan suara partai-partai Islam dapat disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 7.13. Hasil Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam pada Pemilu 2009 No. Nama Partai Suara Persentase (%) Kursi 1. PKS 8.204.946 7,89 57 2. PAN 6.273.462 6,03 46 3. PPP 5.544.332 5,33 38 4. PKB 5.146.302 4,95 28 5. PBB 1.864.642 1,79 0 6. PKNU 1.527.509 1,47 0 7. PBR 1.264.150 1,21 0 8. PMB 415.294 0,40 0 9. PPNUI 146.831 0,14 0 30.387.468 29,21 169 Total Sumber: Diolah dari KPU Pusat (Pemilu 2009 dalam Angka). Data ini setelah keputusan MK. Dari able di atas, dapat diketahui bahwa PKS merupakan the ruling party di antara partai-partai Islam yang lainnya. Partai-partai Islam pada pemilu 2009, meminjam istilah Feith (1957), dapat dikategorikan sebagai Medium-size Parties (partai kelas menengah). Semakin sedikitnya jumlah partai Islam yang memiliki kursi di parlemen disebabkan oleh adanya regulasi parliamentary threshold minimal 2,5% yang menyebabkan sejumlah partai seperti PBB, PKNU, PBR, PMB, dan PPNUI harus lapang dada tidak mendapatkan jatah kursi di DPR RI. Adapun empat partai Islam yang memperoleh kursi di DPR RI adalah PKS, PAN, PPP, dan PKB. Untuk mengidentifikasi persebaran kursi mereka, berikut ini disajikan perolehan kursi empat partai Islam yang mendapatkan kursi di DPR RI pada pemilu 2009. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 123 Tabel 7.14. Perolehan Kursi Empat Partai Islam pada Pemilu 2009 (Per Provinsi) Provinsi PKS PAN PPP PKB Jumlah Aceh 2 1 1 - 4 Sumut 5 3 2 - 10 Sumbar - 2 2 - 4 Riau 1 1 1 1 4 Jambi - 2 - - 2 Sumsel 2 1 1 - 4 Bengkulu 1 1 - - 2 Lampung 2 2 - 1 5 Kepri 1 - - - 1 Bangka Belitung - - - - - Banten 3 1 3 - 7 DKI Jakarta 4 1 1 - 6 Jabar 12 3 8 3 26 Jateng 7 8 7 6 28 DIY 1 1 - 1 3 Jatim 6 7 4 13 30 Bali - - - - - NTB 1 1 1 - 3 NTT - 1 - - 1 Kalbar 1 1 1 - 3 Kalteng - 1 1 - 2 Kaltim 1 - 1 - 2 Kalsel 2 1 2 1 6 Sulut - 1 - - 1 Gorontalo - - 1 - 1 Sulteng 1 - - - 1 Sulbar - 1 - - 1 Sulsel 3 3 1 - 7 Sultra 1 1 - - 2 Maluku - - - 1 1 Maluku Utara - - - - - 124 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 7.14. Lanjutan Provinsi PKS PAN PPP PKB Jumlah Papua Barat - - - - - Papua - 1 - 1 2 57 46 38 28 169 TOTAL Sumber: Diolah dari KPU Pusat (Pemilu 2009 dalam Angka) Dari tabel di atas, dapat diketahui beberapa hal mengenai persebaran kursi partai-partai Islam dalam pemilu 2009. Berikut ini adalah kesimpulan garis besarnya: 1) Kantong-kantong suara partai Islam, jika diasumsikan minimal mendapatkan 4 kursi per provinsinya, ada di provinsi-provinsi berikut ini: a. Sumatera : Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Lampung b. Jawa : Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Kaltim c. Kalimantan : Kalimantan Selatan d. Sulawesi : Sulawesi Selatan Di luar provinsi-provinsi tersebut, partai Islam hanya mendapatkan maksimal 3 kursi di tiap provinsinya. 2) Partai-partai Islam tidak mendapatkan kursi di empat provinsi, yaitu Bangka Belitung, Bali, Maluku Utara, dan Papua Barat. Di antara empat provinsi ini, dua di antaranya jumlah penduduk yang beragama Islam termasuk relatif minoritas, yaitu Bali dan Papua Barat. 3) Kursi partai-partai Islam tergolong kecil di Indonesia bagian timur (Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). 4) Perolehan kursi untuk PAN dan PKS tergolong merata di hampir seluruh provinsi. 5) Basis pemilih PKS (jika diasumsikan minimal mendapatkan 2 kursi per provinsi) ada di 10 provinsi dengan urutan berikut ini: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Banten, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Selatan. 6) Basis pemilih PAN (jika diasumsikan minimal mendapatkan 2 kursi per provinsi) ada di 8 provinsi dengan urutan sebagai berikut: Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, dan Sumatera Barat. 7) Basis pemilih PPP (jika diasumsikan minimal mendapatkan 2 kursi per provinsi) ada di 7 provinsi dengan urutan sebagai berikut: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Kalimantan Selatan. 8) Basis pemilih PKB (jika diasumsikan minimal mendapatkan 2 kursi per provinsi) ada di 3 provinsi dengan urutan sebagai berikut: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dari 28 kursi di DPR RI, 46,42% kursi berasal dari Provinsi Jawa Timur. Karena itu, PKB pada kenyataannya dapat dikategorikan sebagai “partai Islam lokal” berbasis massa kaum Nahdhiyyin di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Secara umum, keempat partai Islam tersebut (PKS, PAN, PPP, PKB) memiliki dinamikanya masing-masing. Ada PKS yang suaranya dari pemilu ke pemilu selalu meningkat. Sebaliknya, ketiga partai lainnya (PPP, PAN, PKB) selalu mengalami penurunan suara. Penuruanan suara yang sangat drastis Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 125 terjadi pada PKB dan PPP. Turunnya suara PKB tidak terlepas dari konflik internal partai, terutama ditunjukkan oleh konflik antara kubu Gus Dur sebagai pendiri PKB dan kubu Muhaimin Iskandar sebagai generasi muda yang menjadi ketua umum DPP PKB saat itu. Dalam berbagai kesempatan, kedua kubu ini secara terang-terangan saling menyerang satu sama lain. Bahkan, di internal PKB terjadi dua kali muktamar dengan versi yang berbeda. Selain itu, pada saat pengambilan nomor urut peserta pemilu 2009, Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid masing-masing dari mereka mengambil kertas yang berbeda di kantor KPU Pusat, sehingga masing-masing mereka menunjukkan angka yang berbeda di hadapan para peserta pemilu lainnya. Pada akhirnya, pengambilan nomor urut diulang lagi dan PKB mendapatkan nomor urut 13. Kejadian ini semakin membuktikan kepada publik, bahwa PKB benar-benar mengalami konflik yang serius. Sekalipun kemenangan berpihak pada kubu Muhaimin Iskandar, namun kubu Gus Dur tidak tinggal diam. Gus Dur akhirnya keluar dari PKB dan secara terang-terangan mendukung Partai Gerindra dalam banyak kesempatan. Bahkan Gus Dur dan putrinya Yenny Wahid beserta sebagian pendukung fanatik PKB Gus Dur menggembosi suara basis massa PKB di berbagai daerah agar tidak memilih PKB. Pada akhirnya, sebagian pendukung loyal PKB berbondong-bondong hijrah mendukung Gerindra serta tersebar ke partai-partai yang lainnya baik partai Islam maupun partai nasionalis. Dari situlah, suara PKB yang pada pemilu 2004 adalah 10,57% mengalami penurunan 5,62% sehingga pada pemilu 2009 hanya memperoleh 4,95% suara. Berikut ini disajikan data perbandingan hasil perolehan suara partai-partai Islam pada tiga kali pemilu selama era Orde Baru. Grafik 7.1 Perbandingan Perolehan Suara Partai-partai Islam pada Pemilu Era Reformasi 14 12,61% 12 10,71% 10,57% 10 8,15% 8 6 5,33% 7,89% 7,34% 7,12% 6,44% 6,03% 4,95% 4 1,36% 2 0 PPP PAN 1999 Sumber: Diolah oleh penulis. PKB 2004 2009 PKS 126 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara menyeluruh, partai Islam di era Reformasi mengalami kemunduran suara. Ini menjadi dasar evaluasi bersama untuk partai-partai Islam agar bisa mengoptimalkan mesin partai secara lebih efektif dan mulai melakukan konsolidasi internal partai. Gejala yang muncul belakang adalah di internal PKS terjadi konflik di kalangan elitenya antara Yusup Supendi dan para pendiri PKS. Sebagian pengamat politik menilai, bahwa konflik di internal PKS ini dapat mengakibatkan turunnya suara PKS pada pemilu 2014. Di samping itu, munculnya sejumlah kasus moral di kalangan elite PKS dapat juga menyebabkan turunnya suara partai ini pada pemilu 2014. Sebagai contoh, terekamnya adegan Arifinto (salah satu pendiri PKS dan pendiri Majalah Sabili) yang membuka situs video porno saat sidang paripurna DPR RI atau dipergokinya salah seorang anggota DPRD dari PKS di salah satu Kabupaten/Kota di Jambi yang kedapatan sedang pijat plus-plus dan saat dipegoki hanya memakai celana dalam saja. Meskipun anggota DPRD tersebut menyangkal dan mengatakan sedang pijat, bukti riil tidak bisa dielakkan lagi. Kasus lain adalah tertuduhnya Misbakun (anggota DPR RI dari PKS) yang dilaporkan oleh Andi Arief (staff khusus SBY) terlibat dalam kasus Century juga dapat menjadi salah satu faktor menurunya suara PKS meskipun tuduhan itu belum dapat dibuktikan secara hukum. Selain itu, fenomena PKS yang menyatakan diri sebagai partai terbuka yang dibuktikan dengan Munas di Bali beberapa pada tahun 2008 dinilai sebagian pengamat memiliki dampak yang tidak baik. Keterbukaan ini tentu tidak disambut baik oleh kalangan kader fanatik PKS, sehingga bisa saja sebagian kader dan pendukung PKS akan keluar dari partai yang selama ini mampu mencitrakan diri sebagai partai Islam. Keputusan PKS menjadi partai terbuka tidak terlepas dari tujuan utama partai politik pada umumnya, yaitu memperbanyak suara sehingga memiliki kursi mayoritas di DPR RI. Inilah yang disebut oleh Ambardi (2009) sebagai adanya gejala kartelisasi partai politik di Indonesia pada era Reformasi. Dalam tradisi politik, semakin modern partai politik, maka proses kartelisasi dan pragmatisasi akan mengalahkan nilai-nilai ideologis yang selama ini diperjuangkan oleh partai politik. Karena itu, keputusan PKS menjadi partai terbuka bisa berdampak pada turunnya suara mereka pada pemilu 2014. Pemilu DKI Jakarta tahun 2012 menjadi bukti awal, di mana kekuatan PKS tidak lagi segemilang sebelum-sebelumnya. Meskipun PKS berkolisi dengan Demokrat dan partai lainnya pada putaran kedua dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017, tetap saja suara PKS dan gabungan koalisi lainnya tidak dapat mendongkrak kemenangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara). 3. Menteri-menteri dari Partai Islam di Kabinet SBY Jilid II Hasil perolehan suara pemilu 2009 menunjukkan, bahwa partai-partai Islam dapat dikategorikan sebagai partai kelas menengah (Medium-size Party) sebagaimana yang pernah dikategorikan oleh Feith (1957). Sebagai partai menengah, partai Islam mempunyai bargaining di hadapan presiden untuk mengajukan nama-nama kadernya sebagai calon menteri yang duduk di KIB jilid dua. Setelah presiden melakukan proses seleksi, tes wawancara dan tes kesehatan, maka dibentuklah jajaran yang akan membantu dalam pemerintahannya sejumlah 34 menteri dan jabatan setingkat menteri. Dari 34 menteri, enam di antaranya adalah menteri lama. Dilihat dari komposisinya, 61% kabinet terdiri dari orang-orang partai. Selebihnya (39%) dari kalangan profesional. Adapun partai Islam yang mendapatkan porsi kekuasaan dalam kabinet ini adalah PAN, PKS, PKB, dan PPP yang keempat partai ini mempunyai kursi di DPR RI. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 127 Berikut ini disajikan data nama-nama kader partai Islam yang duduk menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua. Tabel 7.15. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid II (2009-2014) Periode 21 Oktober 200917 Oktober 2011 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Hatta Radjasa PAN Menko Perekonomian 2. Patrialis Akbar PAN Menteri Hukum dan HAM 3. Zulkifli Hassan PAN Menteri Kehutanan 4. Suswono PKS Menteri Pertanian 5. Salim Assegaf Aljufrie PKS Menteri Sosial 6. Tifatul Sembiring PKS Menteri Komunikasi dan Informatika 7. Suharna Surapranata PKS Menteri Riset dan Teknologi 8. Muhaimin Iskandar PKB Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 9. Helmy Faisal Zaini PKB Meneg Pembangunan Daerah Tertinggal 10. Suharso Monoarfa PPP Meneg Perumahan Rakyat 11. Suryadarma Ali PPP Menteri Agama Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Komposisi menteri yang telah disusun rapi oleh SBY di awal kepemimpinannya untuk KIB jilid kedua mengalami evalusi besar tidak hanya dari internal kekuasaan Cikeas, tetapi mendapatkan sorotan publik dari banyak kalangan. Atas pertimbangan itulah, pada akhirnya SBY “dipaksa” publik untuk mengevaluasi serta mereshufle (jika tidak ingin dikatakan tukar guling) kabinetnya. Beberapa menteri dari partai Islam pun sempat mendapatkan sorotan untuk direshufle, seperti Patrialis Akbar, Tifatul Sembiring, Suswono, dan Muhaimin Iskandar. Kinerja nama-nama tersebut dianggap publik tidak becus dan harus diganti. Namun, dari proses komunikasi baik dengan kelompok koalisi maupun pertimbangan dari berbagai pihak, beberapa menteri dari partai Islam tidak mengalami perubahan. Hanya Patrialis Akbar (PAN) yang hilang dari jajaran KIB II. Sedangkan Suharso Monoarfa (PPP) mengundurkan diri dengan alasan masalah keluarga diganti oleh Djan Faridz dari partai yang sama. Berikut ini nama-nama menteri dari partai Islam pasca reshuffle. 128 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 7.16. Nama-nama Menteri dari Partai Islam di KIB Jilid II (2009-2014) Periode 18 Oktober 201120141 No. Nama Menteri Asal Partai Jabatan Menteri 1. Hatta Radjasa PAN Menko Perekonomian 2. Azwar Abubakar PAN Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (menggantikan EE Mangindaan) 3. Zulkifli Hassan PAN Menteri Kehutanan 4. Suswono PKS Menteri Pertanian 5. Salim Assegaf Aljufrie PKS Menteri Sosial 6. Tifatul Sembiring PKS Menteri Komunikasi dan Informatika 7. Muhaimin Iskandar PKB Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 8. Helmy Faisal Zaini PKB Meneg Pembangunan Daerah Tertinggal 9. Djan Faridz PPP Meneg Perumahan Rakyat (menggantikan Suharso Monoarfa) 10. Suryadarma Ali PPP Menteri Agama Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Demikianlah dinamika reshuffle menteri sebagai pembantu presiden. Bisa jadi, setelah buku ini terbit, SBY melakukan reshuffle kembali atas kabinetnya karena beberapa faktor, seperti menteri yang bersangkutan terkena kasus korupsi atau menteri yang bersangkutan terjerat kasus moral atau bisa pula karena kinerjanya dianggap tidak becus seperti akhir-akhir ini (sepanjang tahun 2012) menimpa Muhaimin Iskandar (PKB) dan Suryadarma Ali (PPP). Muhaimin dianggap tidak becus karena banyak TKW bermasalah di luar negeri bahkan banyak di antara mereka yang harus hilang nyawanya, terutama di Arab Saudi dan Malaysia. Sedangkan SDA (inisial untuk Menteri Agama) dianggap gagal mengawal Kementerian Agama karena banyak terjadi korupsi di lembaga suci tersebut, misalnya korupsi dana untuk penerbitan Al-Qur’an. 4. Prestasi-prestasi Partai Islam dalam Pemilu 2009 Di samping membicarakan tentang kekuatan partai-partai Islam dalam meraih suara dan kursi di parlemen maupun dalam kabinet pemerintahan, perlu juga menyajikan prestasi-prestasi lain yang patut kita uraikan dalam buku ini. Adapun prestasi-prestasi yang diraih oleh partai-partai Islam dalam pemilu 2009 adalah sebagai berikut: a. 1 MEMPEROLEH SUARA TERBANYAK DI 6 PROVINSI. Kekuatan dan kebesaran partai tidak terlepas dari topangan masing-masing kandidat dalam meraih suara di kantong-kantong pemilih. Berikut ini enam anggota DPR RI terpilih dari partai Islam yang meraih suara terbanyak di provinsinya: Data ini iolah pada Bulan Januari 2013 dengan asumsi tidak ada perubahan menteri dari partai-partai Islam. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi No. Dapil 129 Asal Partai Nama Caleg Terpilih Jumlah Suara 1 Jambi PAN Ratu Munawarah Zulkifli 151.651 2 Lampung I PAN Zulkifli Hassan 3 DKI Jakarta III PKS Adang Daradjatun 119.287 4 Banten I PPP Ima Narulita 127.585 5 Kalimantan Selatan I PKS Aboe Bakar 57.253 6 Maluku PKB Mirati Dewaningsih 90.092 96.888 Sumber: Diolah dari KPU Pusat (Pemilu 2009 dalam Angka). b. c. Data di atas menunjukkan, bahwa di antara partai-partai Islam yang berkontestasi dalam pemilu 2009, caleg PAN di Provinsi Jambi memperoleh suara tertinggi di antara caleng partai Islam yang lainnya. Setelah itu, disusul caleg dari PPP di dapil Banten I dan PKS di dapil Jakarta III. ANGGOTA DPR RI TERMUDA. Di antara 560 anggota DPR RI yang terpilih pada pemilu 2009, M. Aditya Mufti Ariffin adalah anggota DPR RI termuda dengan kelahiran 21 Maret 1984 (saat terpilih berusia 24 tahun). Dia adalah caleg terpilih dari Partai Persatuan Pembangungan (PPP) di Dapil Kalimantan Selatan II. Dia adalah lulusan sarjana Fakultas Hukum Universitas Labuan Mangkurat (Unlam) tahun 2003-2007. KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM DPR RI. Dari 9 partai yang lolos parliamentary threshold dan mendapatkan kursi di DPR RI, semuanya memiliki wakil perempuan. Berikut ini disajikan data prosentase jumlah anggota DPR RI dari perempuan. No. Fraksi Kursi di DPR RI Wakil Perempuan Prosentase (%) 1. Demokrat 148 35 23,64 2. Golkar 106 18 16,98 3. PDIP 94 17 18,08 4. PKS 57 3 5,26 5. PAN 46 7 15,21 6. PPP 38 5 13,15 7. PKB 28 7 25,00 8. Gerindra 26 4 15,38 9. Hanura 17 3 17,64 560 99 17,67 TOTAL Sumber: Diolah dari KPU Pusat (Pemilu 2009 dalam Angka) Dari tabel di atas data diketahui, bahwa di antara partai-partai Islam, PKB memiliki caleg terpilih perempuan dengan prosentase paling banyak. Sedangkan PKS sebaliknya, memiliki caleg terpilih perempuan dengan tingkat prosentase paling rendah, bahkan terendah di antara semua partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. 130 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Sebagai penutup bab ini, perlu disajikan tentang tingkat partisipasi masyarakat Indonesia pada setiap pemilu di era Reformasi dapat disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 7.17 . Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Pemilu Selama Era Reformasi Tahun Daftar Pemilih Tetap (DPT) Suara Sah Suara Tidak Sah/Tidak Hadir Prosentase (%) 1999 117.815.053 105.786.661 12.028.392 89,79 2004 148.000.369 113.462.414 34.537.955 76,66 2009 171.265.442 104.099.785 67.165.657 60,78 Sumber: Diolah KPU Pusat (Pemilu 2009 dalam Angka); dari Subekti (1998); Asfar (2004: 131). Berbeda dengan tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu selama Orde Baru di atas 90%, partisipasi masyarakat Indonesia pada era Reformasi adalah di bawah 90%. Bahkan dari tahun ke tahun, tingkat partisipasi mereka semakin menurun. Tabel di atas menunjukkan, penurunan drastis terjadi pada pemilu 2009 yang menyatakan suara sah pemilih kurang lebih 61 persen. Dari sini dapat diketahui, bahwa panggung yang bernama demokrasi pada kenyataannya tak berbanding lurus dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam arena pemilu. Sebaliknya, dengan sistem otoriter, tingkat partisipasi masyarakat justru semakin tinggi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang salah dari demokrasi yang telah dilaksanakan di Indonesia? Meskipun tingkat partisipasi rendah, roda pemerintahan tetap harus berjalan sembari menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi politik dalam setiap momentum pemilu. Di bawah ini akan dikemukan juga ringkasan mengenai prosesntase menteri-menteri dari partai Islam yang duduk dalam kabinet pemerintahan selama era Reformasi. Tabel 7.18. Prosentase Menteri-menteri dari Partai Islam Selama Era Reformasi Kabinet Persatuan Nasional Gotong Royong Indonesia Bersatu I Indonesia Bersatu II Presiden Menteri Partai Islam Prosentase (%) Gus Dur (1) 15 dari 35 Menteri 42,85 Gus Dur (2) 14 dari 28 Menteri 50,00 Megawati 5 dari 32 Menteri 15,62 SBY (1) 11 dari 34 Menteri 32,35 SBY (2) 11 dari 34 Menteri 32,35 SBY (3) 10 dari 34 Menteri 29,41 SBY (1) 11 dari 34 Menteri 32,35 SBY (2) 10 dari 34 Menteri 29,41 Keterangan: Jabatan menteri yang juga termasuk di sini adalah Menko, Menteri Departemen, Menag. Untuk pejabat setingkat menteri atau pejabat negara serta Seskab tidak termasuk dalam kategori di sini. Adapun mengenai keterangan satu dan dua dalam tabel di atas menandakan adanya perubahan kabinet menteri sebelum dan sesudah reshuffle. Part ai Islam dan Pemilu di Era Ref ormasi 131 Secara garis besar, dapat diketahui beberapa hal tentang dinamika partai Islam dalam kabinet pemerintahan selama era Reformasi. Pertama, banyaknya jumlah menteri dari partai Islam terjadi pada masa kepemimpinan Gus Dur. Hal ini tidak terlepas dari sosoknya yang mewakili kepentingan politik kaum santri dan kemenanganya menandakan kebangkitan politik Islam yang sempat ditenggelamkan oleh rezim Orde Baru. Kedua, perombakan kabinet banyak terjadi pada era kepemimpinan SBY. Sebaliknya, pada era Megawati, perombakan kabinet tidak pernah terjadi. Namun, porsi menteri partai Islam pada era Megawati sangat sedikit. Ketiga, pada dua periode kepemimpinannya, SBY cenderung menerapkan pola yang sama jatah untuk menteri partai-partai Islam. Dapat terlihat, SBY sudah mematok jatah menteri untuk partai-partai Islam tidak lebih dari sepertiga total jumlah menteri. Dari dua kali kepemimpinannya, jumlah menteri dari partai-partai Islam berkisar 10 atau 11 posisi. -oo0oo- 132 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia BAB 8 PARTAI ISLAM LOKAL DAN DINAMIKANYA Bab ini membahas tentang partai Islam lokal di Indonesia. Secara spesifik, bab ini menjelaskan tentang apa itu partai Islam lokal, sejarah partai Islam lokal di Indonesia, partai Islam lokal di Aceh dalam pemilu 2009 serta urgensi keberadaan partai lokal termasuk partai Islam lokal dalam konteks keindonesiaan. Definisi partai Islam lokal tidak jauh berbeda dengan definisi partai Islam sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab pertama. Perbedaannya hanya terletak pada faktor geografis. Jika partai Islam secara umum tidak dibatasi oleh faktor geografis dan keberadaannya diakui luas secara nasional. Sedangkan yang dimaksud dengan partai Islam lokal adalah partai politik yang berasas Islam dan ruang geraknya dibatasi oleh geografis wilayah tertentu (provinsi). Karena itu, partai Islam lokal tidak bisa berada di dua provinsi atau lebih apalagi diakui secara nasional. Seorang warga negara di luar provinsi NAD tidak bisa memilih caleg dari partai salah lokal di NAD tersebut. Karena ruang geraknya dibatasi secara teritorial, partai Islam lokal tidak dapat mengartikulasikan kepentingannya di tingkat nasional. Namun, partai Islam lokal dapat berkompetisi dalam kancah nasional seperti yang terjadi pada pemilu 1955 meskipun suara mereka tidak signifikan dan kalah dari partai-partai berskala nasional. A. PARTAI I SLAM LOK AL DI I N DON ESI A Fakta sejarah mengungkapkan, bahwa partai lokal di Indonesia pernah lahir dan terlibat dalam mewarnai panggung politik tanah air. Keikutsertaan menjadi peserta pemilu pernah terjadi pada dua kali pemilu yaitu tahun 1955 dan 2009. Di luar dua pemilu ini, partai lokal tidak pernah diakui, bahkan harus dibumihanguskan untuk menghindari adanya gerakan separatisme atau revolusi lokal untuk kemerdekaan. Feith (1957: 61) menemukan 12 partai lokal yang pernah terlibat dalam pemilu 1955. Berikut ini diuraikan dalam tabel beserta perolehan suaranya. 134 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 8.1. Partai Lokal dalam Pemilu 1955 No. Nama Partai Lokal 1. Gerinda 2. Partai Parsatuan Daya 3. Angkatan Kekuatan Umat Islam (AKUI) 4. Basis Pendukung Suara Prosentase Kursi DPR Yogyakarta 154.792 0,4% 1 Kalimantan Barat 149.287 0,4% 1 Madura 81,454 0,2% 1 Partai Rakyat Desa (PRD) Jawa Barat 77.919 0,2% 1 5. Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM) Jawa Barat 72,523 0,2% 1 6. R. Soejono Prawirosoedarso dkk Madiun 53.305 0,1% 1 7. Gerakan Pilihan Sunda Jawa Barat - - - 8. Partai Tani Indonesia Jawa Barat - - - 9. Raja Kaprabonan dkk Cirebon, Jawa Barat - - - 10. Gerakan Banteng Jawa Barat - - - 11. Persatuan Indonesia Raya (PIR) Nusa Tenggara Barat 114.644 0,3% 1 12. Partai Pendukung Pencalonan LM. Idrus Effendi - - - Lombok Sulawesi Tenggara Sumber: Feith (1957: 58, 61). Keberadaan partai-partai lokal tersebut pada kenyataannya dapat berkompetisi tidak hanya di level lokal tetapi juga pada level nasional. Namun, kekuatan mereka pada akhirnya tidak mampu meraih suara besar pada level nasional, bahkan di level lokal di mana menjadi basis utama mereka pun suara mereka kalah dengan partai-partai berskala nasional. Partai-partai lokal hanya dapat meraih suara bilangan desimal atau partai nol koma. Karena itulah, Feith mengklasifikasikan mereka sebagai “partai kelompok kecil dengan cakupan daerah”. Dari 12 partai lokal tersebut, hanya ada satu partai Islam lokal, yiatu Partai AKUI sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya (Bab 6). Selain AKUI, semua partai lokal berbasiskan daerah-etnisitas dan perorangan seperti terlihat dalam tabel di atas. Sedangkan sepanjang rezim Orde Baru, partai lokal tidak pernah diakui oleh penguasa akibat kebijakan fusi partai dengan alasan penyederhanaan partai dan menghindari terjadinya konflik elite maupun daerah serta menghindari gerakan-gerakan kemerdekaan lokal. Pasca tumbangnya Soeharto, partai lokal masih belum diakui secara sah sebagai peserta pemilu tahun 1999 dan 2004. Barulah pada pemilu 2009, partai lokal diakui sebagai peserta pemilu. Itu pun hanya di Aceh saja dengan alasan, bahwa Aceh menjadi salah satu provinsi istimewa dan agar mengurangi konflik horizontal di kawasan serambi mekah ini, maka pembentukan partai lokal diizinkan. Pengakuan partai lokal di Aceh tidak terlepas dari kesepakatan damai Helsinki di mana partai lokal sebagai bentuk implementasi dari kekuatan-kekuatan Part ai Islam Lokal dan Dinamikanya 135 lokal untuk dapat berekspresi di lokal Aceh setelah beberapa puluh tahun terjadi gencatan senjata antara GAM dengan pemerintah RI. Dalam butir 1.2.1 tentang partisipasi politik dalam Nota Kesepahaman Damai Helsinki disebutkan: “Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penendatangan Nota Kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan Nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partaipartai politik lokal, Pemerintahan RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat18 bulan sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.” Keputusan ini pun disambut hangat oleh masyarakat Aceh yang kemudian beramai-ramai mendirikan partai lokal di Aceh. Berdasarkan UU Nomor 11/2006, PP Nomor 20/2007 tentang Parlok di Aceh dan petunjuk Pelaksanaan Menkum HAM RI Nomor M-08.UM.08/2007 tentang pendaftaran Parlok di Aceh, maka ada 12 partai lokal (parlok) yang lolos verifikasi. Keduabelas partai tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Partai Darussalam Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Pemersatu Partai Aceh Partai Gabthat Partai PARA Partai Aceh Meudaulat (PAM) Partai Lokal Aceh Partai Daulat Aceh (PDA) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) Partai Bersatu Atjeh (PBA) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Dari 12 partai lokal tersebut, setelah KPU Pusat melakukan verifikasi faktual pada tanggal 8 Juli 2008, maka ditetapkan hanya adalah enam partai lokal yang diakui serta dapat menjadi peserta pemilu pada tahun 2009. Keenam partai tersebut adalah Partai Aceh, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Daulat Aceh (PDA). Dari enam partai yang yang terdaftar menjadi partai lokal pada pemilu 2009, ada tiga partai yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam, yaitu: 1. 2. 3. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) Partai Daulat Atjeh (PDA) Partai Aceh Selain partai lokal yang memang berbasis pada satu daerah tertentu, ada satu hal menarik dalam pemilu 2009, bahwa hampir 50% kursi untuk PKB (dari 28 kursi) berasal dari Dapil yang ada Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian, suara PKB tidak merata di semua provinsi. Karena itu, meskipun PKB 136 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia merupakan partai dengan skala nasional tetapi pada kenyataannya dapat pula dikategorikan sebagai “partai Islam lokal” berbasis massa kaum Nahdhiyyin di Jawa Timur dan Jawa Tengah. B. PARTAI I SLAM LOK AL DI ACEH DALAM PEM I LU 2 0 0 9 Pada pemilu 2009, ada enam partai lokal yang menjadi peserta pemilu. Keenam partai itu adalah Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) dengan nomor urut 35. Partai Daulat Atjeh (PDA) dengan nomor urut 36, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dengan nomor urut 37, Partai Rakyat Atjeh (PRA) dengan nomor urut 38, Partai Aceh dengan nomor urut 39, dan Partai Bersatu Atjeh (PBA) dengan nomor urut 40. Dari keenam partai tersebut, tiga di antaranya meletakkan Islam sebagai asas partainya. Ketiga partai inilah yang diklasifikasikan sebagai partai Islam lokal. Berikut ini penjelasan secara detail mengenai platform tiga partai Islam lokal di Aceh. 1. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) berdiri pada tanggal 3 Juni 2007 dengan asas Islam. Secara historis, PAAS didirikan oleh seorang mantan anggota MPR RI, Ghazali Abbas Adnan. Pada saat pendeklarasiannya 6 Juni 2007, dia didukung oleh sejumlah ulama besar dari kabupaten-kabupaten di Aceh. Saat pendeklarasian, Ghazali berjanji partainya tidak akan mempraktikkan politik uang, teror atau menjadi oposan dari penguasa. “Kita akan mengambil jalan tengah dalam menilai dan menyikapi perilaku pengelola Pemerintahan,” katanya (http://pemilu.detiknews.com). Adapun visi dan misi PAAS adalah mewujudkan kehidupan rakyat Nanggroe Aceh Darussalam yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, dengan karakter kepemimpinan yang amanah (tepercaya), istiqamah (teguh pendirian), ‘iffah (bersih), musyarakah (kebersamaan) dan syaja’ah (berani). Inisiator pendirian PAAS adalah Ghazali Abbas Adan. Sedangkan tokoh-tokoh pendirinya antara Ghazali Abbas Adan, Zainal Arifin, T Syamsuddin Beurabo MS, Ali Amin, Miswar Sulaiman, Tgk. H Zulkifli TA, dan Aisyah M Ali. Lambang Partainya adalah gambar peta Aceh di tengahnya ada Qur’annya yang ada di dalam lingkaran. Secara structural, ketua umum adalah Ghazali Abbas Adan dan sekretaris jenderal adalah Nusri Hamid. Alamat kantor DPN PAAS berada di Jl Teuku Nyak Arief, No 159, Banda Aceh (http://mediacenter.kpu.go.id). 2. Partai Daulat Atjeh (PDA) Partai Daulat Atjeh (PDA) berdiri pada tanggal 1 Februari 2008 dengan asas Islam. Secara historis, PDA didirikan oleh kalangan ulama. “Kejayaan Aceh ada di tangan ulama, PDA ingin membawa kejayaan Aceh tempo dulu melalui tangan ulama,” kata Tengku Harmen Nuriqmar, ketua Dewan Tanfidz PDA. Partai ini bermula dari sebuah forum kajian yang dinamakan Forum Daulat Aceh. Forum itu berisikan santri, politisi lokal, dan ulama. Mereka merasa aspirasinya tidak tersalurkan, forum sepakat mengubah diri menjadi partai lokal. Nama PDA sempat naik ketika akhir 2008, muncul video pidato Letjen (Purn) Kiki Syahnakri yang menyebut PDA satu-satunya partai lokal yang berbau merah putih. Sementara yang lain dianggapnya berujung pada referendum. Rekaman ini sempat membuat repot PDA sehingga mereka membuat jumpa pers tak ada kaitan apapun antara PDA dengan Kiki Syahnakri (http://pemilu.detiknews.com). Part ai Islam Lokal dan Dinamikanya 137 Adapun visi dan misi PDA adalah mewujudkan kehidupan rakyat Nanggroe Aceh Darussalam yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, dengan karakter kepemimpinan yang amanah (tepercaya), istiqamah (teguh pendirian), ‘iffah (bersih), musyarakah (kebersamaan) dan syaja’ah (berani). Tokoh-tokoh pendirinya antara lain Tengku Haji Hasanul Basri, Tengku Haji Muhammad Nasir Wali. Lambang Partai Gambar topi khas Aceh yang diapit dua menara dalam lingkaran oval biru telur. Ketua Umum adalah Nurkalis dan Sekretaris Jenderal adalah Mulyadi M Ramli. Kantor DPN PDA berpusat di Jl Tengku Iskandar, Desa Lambhuk, Banda Aceh (http://mediacenter.kpu.go.id). 3. Partai Aceh Partai Aceh berdiri pada tanggal 7 Juli 2007 dengan asas Islam. Tokoh-tokoh pendirinya antara lain Malik Mahmud dan Muzakkir Manaf. Mengenai lambang partai, penjelasannya adalah Kata Aceh dengan latar bendera merah dan hitam eks bendera GAM. Secara struktural, ketua umum dijabat oleh Muzakkir Manaf dan Sekretaris Jenderal adalah Muhammad Yahya. Alamat kantor DPP Partai Aceh berada di Jl. Tgk Imam Al-Asyi Luengbata, No 48 Banda Aceh. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang dinamika Partai Aceh dapat mengunjungi http://www.partaiaceh.com. Adapun visi Partai Aceh adalah membangun citra positif berkehidupan politik dalam bingkai NKRI serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan NKRI dengan menjunjung tinggi MOU Helsinki yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005) antara Pemerintahan RI dan GAM. Sedangkan misinya adalah mentransformasi dan atau membangun wawasan berpikir Masyarakat Aceh dari citra revolusi party menjadi citra development party dalam tatanan transparansi untuk kemakmuran hidup rakyat Aceh khususnya dan Bangsa Indonesia. Secara historis, berdirinya Partai Aceh mengalami dinamika yang sangat pelik. Perang 30 tahun antara RI-GAM yang disusul oleh gempa bumi dan tsunami, Aceh mengalami banyak kesulitan pada masa itu dengan kehilangan segala-galanya. Akhirnya, semuanya dimulai dengan MOU Helsinki yang ditandatangani pada hari Senin tanggal 15 Agustus 2005 atas nama Pemerintah RI Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM) dan juga atas nama Pimpinan GAM adalah Malik Mahmud. Setelah MOU Helsinki ditandatangani, keadaan Aceh menjadi aman dan damai (http://www.partaiaceh.com). Atas dasar inilah masyarakat Aceh tidak mau kehilangan masa depan mereka yang demokratis, adil dan bermartabat di bawah payung kepastian hukum dengan perumusan ekonomi yang memihak kepada rakyat Aceh secara khusus dan seluruh tanah air secara umum. Untuk menjamin perdamaian yang hakiki dan bermartabat serta dapat membangun masa depan Aceh dan mengukuhkan NKRI adalah melalui proses demokrasi dengan partai politik lokal berdasarkan perjanjian MOU Helsinki. Pimpinan Politik GAM Malik Mahmud memberikan surat mandat kepada Tgk Yahya Mu’ad, SH untuk membentuk partai politik lokal (Partai GAM) pada tanggal 19 Februari 2007. Dalam proses pembentukannya, Partai GAM harus ada kepanjangan atau akronim dan dipindahkan bulan bintang. Jika tidak diubah, maka tidak boleh diverifikasi untuk sah sebagai badan hukum oleh Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi NAD. Karena itulah, Partai GAM berubah dan mempunyai kepanjangan Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM), dan juga diverifikasikan oleh Kakanwil Hukum dan HAM pada tanggal 3-April 2008. Kemudian atas dasar 138 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia persyaratan nasional tertulis dalam poin 1.2.1 MOU Helsinki, dengan kebijakan Pemerintah agar tidak menggunakan nama GAM. Sebab itulah pihak Kanwilkum dan HAM menyurati Partai Gerakan Aceh Mandiri untuk merubah lagi namanya. Pada tanggal 6-7 April 2008 diadakan rapat antara RI dan GAM serta CMI yang difasilitasi oleh IPI Interpeace di Jakarta. Kemudian pada tanggal 8 April 2008, Wakil Presiden Jusuf Kalla membuat kepastian hukum untuk berdirinya Partai Aceh. Setelah itu, rekruitmen calon legislatif dari Partai Aceh terus dilakukan dalam reformasi demokrasi di Aceh. (http://www.partaiaceh.com). Partisipasi partai-partai Islam lokal Aceh dalam pemilu pada kenyataannya mendapatkan respon positif di masyarakat. Hal ini terbukti dengan keberadaan Partai Aceh yang menduduki posisi pertama dalam pemilu 2009 di Aceh serta dua partai Islam lainnya. Di samping memilih anggota DPR RI dan DPD RI, masyarakat Aceh sangat antusias memilih DPRA (tingkat Provinsi) dan DPRK. Karena pemilihan DPRA dan DPRK melibatkan partisipasi partai-partai lokal. Sebagaimana informasi yang dilansir oleh TAPOL (Nomor 8, Juni 2009), pemilihan untuk 69 kursi di DPRA menghasilkan lebih dari 80% wajah baru. Begitu juga dengan DPRK, terdapat banyak wajah baru yang menduduki 645 kursi di 23 kabupaten dan kota. Tetapi, hanya ada lima perempuan yang terpilih dalam DPRA. Untuk melihat hasil DPRA untuk Provinsi Aceh pada pemilu 2009, berikut ini digambarkan dalam tabel: Tabel 8.2. Perolehan kursi Partai-partai di DPRA pada Pemilu 2009 No. Nama Partai Lokal Prosentase Kursi 1. Partai Aceh 46,91% 33 2. Partai Demokrat 10,84% 10 3. Partai Golkar 6,63% 8 4. PAN 3,87% 5 5. PKS 3,80% 4 6. PPP 3,45% 3 7. Partai Daulat Atjeh 1,85% 1 8. PKB 1,41% 1 9. PBB 1,74% 1 10. PKPI 1,92% 1 11. PDI Perjuangan 1,01% 1 12. Partai Patriot 0,70% 1 Sumber: TAPOL (Nomor 8, Juni 2009: 5). Dalam pemilihan DPRK, hasilnya lebih mengagetkan lagi. Di kubu GAM, Partai Aceh sukses dan memenangkan mayoritas kursi. Di kabupaten Pidie, Partai Aceh memenangkan 34 dari 45 kursi (75,55%). Di Aceh Utara, Partai Aceh juga merebut kemenangan besar dengan mendapatkan 32 dari 45 kursi Part ai Islam Lokal dan Dinamikanya 139 (71,11%). Di Aceh Timur, Partai Aceh memenangkan 25 dari 35 kursi (71,42%). Sedangkan di tempattempat di mana kelompok etnis bertempat tinggal, Partai Aceh kurang mendominasi. Di Aceh Tengah, Partai Demokrat berhasil merebut 4 kursi sementara Partai Aceh hanya mendapatkan 3 kursi. Berbagai partai lain mendapatkan 1 atau lebih kursi dari 31 kursi. Di Aceh Singkil, kabupaten yang agak terpencil di bagian barat daya, Golkar muncul sebagai pemenang, sementara di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Subulussalam, PAN adalah partai terbesar (Tapol, Nomor 8 Juni 2009: 5). Dengan demikian, meskipun partai lokal menguasai secara mayoritas, pada beberapa kabupaten/kota, partai lokal mengalami kekalahan. C. U RGEN SI PARTAI LOK AL DI I N DON ESI A Menurut Jafar (2009), ada enam keuntungan politik apabila partai lokal lahir dan berkembang di Indonesia yang multikompleks. Keenam keuntungan itu adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Partisipasi politik masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan lokalitas kedaerahannya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik rakyat. Keberadaan partai lokal secara subtansi dapat memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya tanpa campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut. Rekruitmen politik lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi isu yang signifikan karena acap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerahnya sehingga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi. Keberadaan partai lokal semakin menambah pilihan politik masyarakat. Beragamnya pilihan calon yang diusung dengan berbagai kendaraan politik sebenarnya sedang melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat. Sehingga yang terbangun tidak hanya sekadar sentimen kedaerahan saja, tapi juga kesadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat perihal calon-calon yang ada. Harus diakui, bahwa salah satu peluang yang harus diminimalisir dalam pembangunan partai lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabi buta. Yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai lokal. Tereksploitasinya segenap potensi daerah untuk bersama-sama membangun daerahnya secara konstruktif. Keberadaan potensi daerah yang tidak muncul saat menggunakan sistem kepartaian nasional, karena adanya campur tangan pusat, maupun dewan pimpinan pusat partai bersangkutan 140 6. Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia dalam pencalonan dan seleksi kandidat akan tereduksi dengan diperbolehkannya partai lokal. Hal ini menjadi salah satu peluang bagi potensi lokal yang selama ini tidak terakomodasi untuk membuktikan kapasitasnya lewat kendaraan politik partai lokal. Dengan adanya partai lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat. Regenerasi kepemimpinan politik yang berkesinambungan memberikan harapan bagi masyarakat untuk secara bersungguh-sungguh memberikan aspirasi politiknya agar daerahnya lebih maju, dengan tetap memperhatikan asas tata kelola pemerintahan yang baik. Selain enam hal tentang urgensi partai lokal seperti yang telah diuraikan di atas, keberadaan partai Islam lokal juga menjadi payung tersendiri bagi mayarakat yang secara populasi terdiri dari mayoritas kaum Muslim. Aceh merupakan kawasan pontensial untuk berdirinya partai lokal Islam. Mengapa demikian? Data BPS 2010 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk yang beragama Islam di provinsi yang terkenal juga dengan sebutan “serambi mekkah” tersebut adalah 98,19% atau setara dengan 4.413.244 jiwa dari total penduduk berjumlah 4.494.410. Jumlah mutlak tersebut yang menjadikan Aceh memiliki asas syariat Islam yang berbeda dari provinsi-provinsi lain dan secara prinsipil bertentangan dengan UUD 1945. Namun, agar tidak terjadi gerakan separatis seperti yang telah ditunjukkan GAM untuk jangka waktu tiga dekade yang lalu, akhirnya diberikanlah gelar keistimewaan untuk Aceh sebagai salah satu provinsi spesial daripada provinsi-provinsi yang lain. Inilah bentuk demokrasi asimetris ala Indonesia dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demokrasi tidak semestinya dipahami seperti teori-teori yang telah didapatkan dari bangku kuliah, bahwa syariat Islam bukanlah demokrasi, kerajaan bukanlah demokrasi, dan lain sebagainya. Indonesia menjadi satu bukti, bahwa demokrasi selaras dengan syariat Islam di Aceh dan model kerajaan di Yogyakarta. Justru inilah sebenarnya yang disebut dengan demokrasi sejati, mengakui perbedaan model demokrasi karena faktor lokalitas demi tujuan substantif demokrasi itu sendiri, yaitu terwujudnya kesejahteraan dan keamanan untuk rakyat sehingga keberadaan negara benar-benar dirasakan oleh warganya. -oo0oo- BAB 9 PENUTUP Bab ini membahas tentang: 1. 2. 3. Kesimpulan umum yang menguraikan ulang tentang pembahasan yang telah diuraikan pada babbab sebelumnya. Fakta-fakta tentang partai Islam berdasarkan sejarah yang telah terjadi. “Meramalkan” tentang masa depan partai Islam dalam konteks keindonesiaan yang multi-etnis, multi-religi, dan multi-ras. A. K ESI M PU LAN U M U M 1. Sistem Pemilu di Indonesia Sistem pemilu yang telah berlasung di Indonesia sejak 1955 hingga 2009 mengalami perubahan demi keadilan dan proporsionalitas. Ini juga menunjukkan, bahwa dinamika politik di Indonesia selalu berkembang dari tahun ke tahun. Berikut ini sistem pemilu di Indonesia dijelaskan dalam tabel. Tabel 9.1. Sistem Pemilu di Indonesia dari Tahun ke Tahun SISTEM PEMILU TAHUN PEMILU 1955 1971-1997 ASAS Umum, periodik, jujur, berkesamaan, bebas, rahasia, dan langsung Umum, langsung, bebas, dan rahasia TUJUAN Memilih anggota Majelis Konstituante dan Anggota DPR Memilih DPR RI, DPRD I, DPRD II, anggota MPR RI 1999 2004 2009 Umum, langsung, bebas, dan rahasia Umum, langsung, bebas, dan rahasia Umum, langsung, bebas, dan rahasia Memilih DPR RI, DPRD I, DPRD II Memilih DPR RI, DPRD I, DPRD II, CapresCawapres Memilih DPR RI, DPRD I, DPRD II, CapresCawapres 142 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 9.1. Lanjutan TAHUN PEMILU SISTEM PEMILU 1955 1971-1997 1999 2004 2009 PENENTUAN DAPIL Proporsional murni berdasarkan proporsi jumlah penduduk Sistem proporsional tidak murni Sistem Proporsional dengan sistem stelsel terdaftar Sistem proporsional tidak murni Sistem proporsional tidak murni SISTEM PEMILIHAN Close list system Close list system Close list system Open list system Open list system PESERTA PEMILU 172 10 48 24 44 Sumber: Diolah oleh penulis. Untuk mempermudah memahami maksud dari masing-masing kolom di atas, berikut ini adalah keterangan lebih lanjut. a. b. 2. Close list system adalah sistem di mana pemilih cukup memilih atau mencoblos tanda gambar partai saja. Mengenai penentuan caleg ditentukan dari masing-masing partai. Sedangkan open list system adalah sistem di mana pemilih dapat memilih langsung Caleg yang disukai untuk kemudian dipilih atau dicoblos sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Peserta pemilu tahun 1955 ada 172 yang terdiri dari perorangan, partai politik nasional, partai politik lokal, dan organisasi kemasyarakatan (no-partai politik). Sedangkan peserta pemilu tahun 2009 ada 44 partai yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh. Di luar dua pemilu tersebut, peserta pemilu adalah partai nasional. Partai-partai Islam dalam Pemilu Berikut ini disajikan data partai-partai Islam yang pernah menjadi peserta pemilu sepanjang sejarah Indonesia. Tabel 9.2. Partai-partai Islam yang pernah Menjadi Peserta Pemilu Tahun Pemilu Peserta Jumlah Pemilu Partai Islam Prosentase (%) Nama-nama Partai Islam 1955 172 6 1971 10 4 40,00 Partai NU, Parmusi, PSII, Perti 1971-1997 3 1 33,33 PPP 20 PKB, PPP, PAN, PBB, PK, SUNI, PUMI, PID, PCD, PIB, PAY, PNU, PP, PPII Masyumi, 41,66 PSII, KAMI, PKU, PUI, PSII 1905, PMB (Masyumi Baru) 1999 48 3,48 Masyumi, PNU, PSII, Perti, PPTI, AKUI Penut up 143 Tabel 9.2. Lanjutan Tahun Pemilu Peserta Pemilu Jumlah Partai Islam Prosentase (%) 2004 24 7 29,16 PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI 2009 38 9 23,68 Nama-nama Partai Islam PKS, PAN, PKB, PPP, PBB, PBR, PKNU, PMB (Matahari Bangsa), PPNUI Sumber: Diolah oleh penulis. Dari data tabel di atas dapat diketahui, bahwa jumlah partai Islam terbanyak terjadi pada pemilu 1999. Hal ini tidak bisa dilepaskan dalam konteks reformasi, di mana pada era sebelumnya kekuatan politik Islam dipinggirkan bahkan dianggap oleh rezim yang berkuasa sebagai ancaman. Sebagai titik tolak, berkat kemenangan kelompok Islam, pemilu 1999 menjadi momentum bagi elite-elite partai Islam untuk menunjukkan eksistensinya melalui kekuatan basis sosial masing-masing. Selain itu, dari pemilu ke pemilu, jumlah partai Islam selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika politik yang berkembang saat itu. Di era reformasi, prosentase partai Islam semakin menurun. Perbedaan jumlah partai Islam pada setiap pemilu disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, konflik di internal partai yang menyebabkan sebagian politisi Islam mendirikan partai tandingan dengan nama dan atribut yang serupa dengan partai sebelumnya untuk menunjukkan eksistensi mereka. Kedua, ketidakmampuan partainya dalam meraih ambang batas yang telah ditentukan oleh aturan main sehingga memaksa untuk merubah atau mefusikan partai untuk kemudian ikut kembali pada pemilu berikutnya. 3. Asas Partai-partai Islam Untuk mempermudah dalam mengidentifikasi asas partai-partai Islam, berikut ini disajikan dalam tabel tentang asas masing-masing partai Islam sepanjang sejarah Indonesia. Tabel 9.3. Asas Partai-partai Islam di Indonesia NO. NAMA PARTAI ASAS PARTAI 1. Masyumi Islam 2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) Islam 3. PSII Islam 4. Perti Islam 5. PPTI Islam 6. AKUI Islam 7. Parmusi Islam 8. PPP Islam 9. PKB Pancasila 10. PKU Pancasila dan Aqidah Islam Ahlussunah wal Jamaah 144 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Tabel 9.3. Lanjutan NO. NAMA PARTAI ASAS PARTAI 11. Partai SUNI Pancasila 12. Partai Nahdhatul Ummah (PNU) 13. PKNU Islam 14. PPNUI Islam 15. PAN Pancasila 16. PUMI Pancasila 17. PID Pancasila 18. PCD Pancasila 19. PIB Pancasila 20. PAY Pancasila 21. Partai Matahari Bangsa (PMB) 22. PKS (PK) Islam 23. PBR Islam 24. PBB Islam 25. Partai Persatuan Islam 26. PUI Islam 27. Partai KAMI 28. Partai Masyumi Baru (PMB) 29. PSII 1905 30. PPII Masyumi Pancasila dan beraqidah Islam Islam Berkemajuan Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi Muhammad SAW Islam Dienul Islam Islam Sumber: Diolah oleh penulis. Berdasarkan tabel di atas, secara ideologis, partai Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, partai Islam berasas Islam. Sebagian dari kelompok ini menjelaskan secara detail bahwa yang dimaksud dengan asas Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, partai Islam berasas pancasila. Kelompok ini cenderung lebih nasionalis ketimbang yang lainnya. Ketiga, partai Islam yang menggabungkan asas Islam dan pancasila. Dalam pandangan kelompok yang ketiga ini, nilainilai yang terkadung dalam pancasila tidak ada pertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Catatan lain atas tabel di atas adalah bahwa PPP pernah menjadikan pancasila sebagai asas partainya akibat kebijakan rezim Orde Baru terutama setelah 1985. Karena itu, suara PPP pada pemilu 1987 merupakan suara terendah partai Islam sepanjang sejarah Indonesia. Demikianlah paparan tentang sejarah dan perjuangan partai-partai Islam yang pernah mewarnai panggung politik Indonesia. Pada bab selanjutnya akan dibahas tentang kekuatan partai-partai Islam dalam pemilu di Indonesia, sejak 1955 hingga 2009. Penut up 4. 145 Perolehan Suara Partai Islam Mengenai hasil pemilu untuk partai Islam, masa keemasannya terjadi pada pemilu 1955 dimana Masyumi merupakan simbol besar kekuatan partai Islam saat itu. Kemenangan partai Islam juga tidak terlepas dari euforia politik bahwa kekuatan partai ideologis berbasis agama benar-benar mampu mempengaruhi massa untuk memilih partai Islam. Setelah pemilu 1955, perolehan suara gabungan partaipartai Islam tidak mampu meraih di atas 40%. Berikut ini disajikan data tentang hasil perolehan partai Islam sepanjang pemilu yang pernah terjadi di Indonesia. Grafik 9.1. Perolehan Suara Partai Islam pada Pemilu-pemilu di Indonesia (%) 50 43,93 40 38,35 37,53 29,29 30 27,78 29,21 22,43 27,12 20 17,01 15,97 10 0 1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 2009 Sumber: Diolah oleh penulis. Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah pemilu 1955, suara partai Islam terbanyak adalah pada pemilu 2004. Hal ini disebabkan sumbangan suara dari PKS yang meningkat cukup tajam, disusul suara dari PPP, PKB, dan PAN. Sebaliknya, suara partai Islam mengalami kemerosotan pada era Orde Baru, tepatnya pada pemilu 1987. Anjloknya suara partai Islam tersebut tidak bisa dilepaskan dengan konteks politik saat itu, yaitu adanya kebijakan rezim yang tidak membolehkan partai politik menggunakan Islam sebagai asas dan simbol partai politik. Praktis, PPP tidak bisa berbuat apa-apa pada pemilu 1987. Demikian kira-kira dinamika partai Islam dalam pemilu di Indonesia. 5. The Ruling Islamic Party Di bawah ini disajikan partai Islam pemenang (the ruling Islamic party) di antara partai Islam yang lainnya dalam setiap arena pertarungan Pemilu selama sepanjang sejarah Indonesia. Tabel 9.4. The Ruling Islamic Party di Indonesia PERINGKAT 1955 1971 Ruling Party Masyumi Partai NU Runner Up Partai NU Parmusi Sumber: Diolah oleh penulis. 1977-1997 1999 2004 2009 PPP PKB PKB PKS - PPP PPP PAN 146 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Kemenangan Mayumi pada pemilu 1995 adalah atas kekuatan kaum Muslimin pada saat itu, meskipun Partai NU juga memperoleh suara yang sangat signifikan. Pada pemilu berikutnya, Partai NU dan PKB yang memilik suara mayoritas dari kalangan Nahdhiyyin selalu meraih suara terbanyak pada beberapa kali pemilu, kecuali pada pemilu 2009 akibat konflik internal PKB, terutama perseteruan kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur. Akibat turunnya suara PKB dan PPP, PKS mampu menjadi the ruling party di antara partai Islam yang lainnya. PAN yang menjadi simbol partai nasionalis bercirikan pemilih dari kalangan Muslim modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah, belum mampu meraih suara terbanyak di antara partai Islam yang lainnya. Padahal Amien Rais merupakan tokoh sentral yang membawa perubahan Indonesia pada momentum 1998. 6. Klasifikasi Kelas Partai Islam Sebagaimana Herbert Feith mengklasifikasikan partai politik pada pemilu 1955 ke dalam tiga kelompok tingkatan, pola tersebut sepertinya tepat jika diterapkan pada setiap pemilu di Indonesia sejak 1955-2009. Hal ini berlaku juga untuk partai Islam yang terlibat dalam setiap pemilu-pemilu di Indonesia. Karena itu, di bawah ini akan disajikan data tentang klasifikasi partai-partai Islam ke dalam tiga kelas, yaitu partai utama (Major Parties), partai menengah (Medium-size Parties), dan partai kecil (Small Group Parties). Tabel 9.5. Klasifikasi Kelas Partai Islam Sepanjang Sejarah Pemilu di Indonesia Tahun Pemilu Major Parties Medium-size Parties Small Group Parties 1955 Masyumi, Partai NU PSII, Perti PPTI, Partai AKUI 1971 Partai NU, Parmusi PSII Perti 1977-1997 PPP - - 1999 PKB, PPP, PAN PBB, PK, PNU, PP, PPII Masyumi, PSII, PKU Partai KAMI, PUI, PAY, PIB, Partai SUNI, PSII 1905, Masyumi Baru (PMB), PID, PUMI 2004 PKB, PPP, PKS, PAN PBB, PBR PPNUI 2009 PKS, PAN, PPP, PKB PBB, PKNU, PBR Matahari Bangsa (PMB), PPNUI Sumber: Diolah oleh penulis. Dari tabel di atas, ada beberapa hal yang harus dikomentari sebagai penjelas. Pertama, pada pemilu 1977-1997, PPP menjadi satu-satunya kekuatan partai Islam. Karena itu, analisa Feith tidak berlaku pada periode tersebut. Secara otomatis, PPP menjadi partai terbesar saat itu. Kedua, meskipun suara PAN belum mampu mengungguli di antara semua partai-partai Islam selama era Reformasi, tetapi PAN selalu masuk dalam kategori partai utama bersama PKB dan PPP. Ketiga, meskipun PBB, PKNU, dan PBR tidak mendapatkan kursi pada pemilu 2009, tetapi suara mereka sangat signifikan di beberapa DPRD Daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten atau Kota. Keempat, PK pada pemilu 1999 belum termasuk kategori partai utama, barulah pada pemilu 2004 dan 2009 PK/PKS menjadi partai utama, Penut up 147 bahkan menjadi partai pemenang di antara partai-partai Islam dalam pemilu 2009. Ini sebuah lonjakan yang sangat cepat. B. FAK TA T EN TAN G PARTAI I SLAM : BELAJAR DARI SEJARAH Berdasarkan penjelasan dari bab-bab sebelumnya, berikut ini enam fakta mengenai partai Islam di Indonesia sejak pasca kemerdekaan hingga pemilu 2009. 1. Masyumi Simbol Kekuatan Politik Islam Masyumi merupakan partai yang dilahirkan atas gagasan bersama dari kongres umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Partai ini diharapkan mampu mewakili aspirasi politik umat Islam serta dapat memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam panggung politik Indonesia. Semua aliran dalam Islam menjadi anggota istimewa Masyumi, terutama Muhammadiyah dan NU. Karena itu, Masyumi diharapkan mampu menjadi partai pemenang dalam pemilu 1955. Namun, perolehan suara Masyumi menjadikannya berdapa pada urutan kedua setelah PNI yang lolos menjadi partai pemenang pemilu. Jika digabung, perolehan gabungan partai Islam adalah 44% suara atau 45% kursi di parlemen. Ini merupakan hasil perolehan maksimal dari partai-partai Islam. Pasca pemilu 1955, partai Islam tidak lagi mampu memperoleh suara di atas 44%. Bahkan, pada pemilu 1987, PPP sebagai simbol partai Islam hanya mampu meraih suara 16%. Ini tidak terlepas dari kebijakan rezim Orde Baru yang tidak membolehkan ormas dan orpol menggunakan asas dan lambang Islam. Praktis, nilai-nilai dan simbol Islam yang selama ini menjadi kekuatan PPP luluh lantah akibat kewajiban menggunakan Pancasila sebagai asas partai. Pada pemilu-pemilu selanjutnya, terutama pada pemilu 1999, partai Islam kembali bermunculan dengan beragam nama dan simbol. Banyak partai-partai Islam di Indonesia yang menggunakan “Masyumi” sebagai nama sekaligus lambang partai, bahkan masih ada partai yang mengaku sebagai penerus cita-cita utama partai Masyumi. Hal ini menunjukkan, bahwa Masyumi merupakan simbol kekuatan sekaligus simbol romantisme umat Islam di Indonesia untuk kembali mendapatkan kejayaan politik Islam. 2. Pasca Pemilu 1995, Suara Selalu Turun Pemilu di Indonesia telah terjadi sebanyak 10 kali. Dari kesepuluh pemilu tersebut, perolehan suara partai Islam tertinggi terjadi pada pemilu 1955. Perolehan suara terbanyak kedua terjadi pada pemilu 2004 terutama meningkatnya suara dari PKS yang dianggap menyuarakan aspirasi kelompok Muslim terdidik, perkotaan, dan dari kelompok kaum muda. Selain dua pemilu ini, partai Islam tak lagi mampu meraih suara yang sangat signifikan bahkan merosot jauh dari harapan hingga hanya mendapatkan 16% suara pemilih pada pemilu 1987. Ini cukup ironi memang, tetapi fakta sejarah telah menunjukkan demikian. Pada pemilu-pemilu selain 1955 dan 2004, partai Islam seolah tak berdaya untuk memperjuangkan dan meningkatkan suara pemilihnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya fragmentasi di kalangan partai-partai Islam yang terbelah menjadi banyak partai sebagaimana terjadi pada pemilu 1999. Selain itu, menurunnya suara partai Islam di era Orde Baru akibat kebijakan rezim yang menyudutkan PPP bahkan menjadikan trauma di kalangan umat Muslim jika ikut bergabung di PPP. Alasannya, jika umat Islam 148 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia tergabung dalam PPP, maka militer akan melakukan tindakan-tindakan kekerasan bahkan bisa mengilankan para aktivis Muslim tanpa jejak. Inilah fakta bahwa perolehan suara partai Islam selalu turun terus. 3. Kudeta Gus Dur: Kegagalan Politik Kaum Santri Pada sidang MPR RI 1999, politik poros tengah yang digagas oleh Amien Rais dkk merupakan simbol kekuatan politik Islam di era Reformasi dan menjadi tesis besar di kalangan pemikir Islam bahwa politik santri telah bangkit ke panggung politik Indonesia. Keberhasilan dalam menghantarkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menuju kursi RI satu adalah hasil kerja keras tokoh-tokoh Islam saat itu. Namun, dalam politik segalanya bisa berubah setiap saat. Gus Dur yang pada awalnya berhasil menjadi presiden berkat strategi poros tengah Amien Rais, dimakzulkan sebagai presiden dua tahun kemudian. Diduga, dalang di balik ini semua adalah mereka yang awalnya mendukung Gus Dur, yaitu kelompok poros tengah dan Amien Rais menjadi salah satu tokoh kunci di balik pemakzulan tersebut. Sekalipun Amien Rais bisa dianggap tidak terlibat dalam hal ini, tetapi keputusan akhir ada di sidang MPR RI dan Amien Rais saat itu adalah ketua sidangnya. Karena itu, ketua MPR RI tentu memiliki peran yang sangat vital sama halnya ketika memenangkan Gus Dur sebagai presiden. Namun, pemakzulan Gus Dur tersebut dapat dimaklumi oleh sejumlah pihak. Mengapa demikian? Selama menjabat sebagai presiden, Gus Dur banyak mendapatkan sorotan dan kritik dari berbagai pihak akibat kebijakan maupun ungkapannya yang selalu menimbulkan kontroversial. Misalnya, Gus Dur menghendaki dibubarkannya DPR RI dan menganggap DPR RI sebagai Taman Kanak-kanak (TK). Selain itu, Gus Dur dianggap tidak bisa dikontrol oleh elite-elite partai yang dulu memperjuangkannya sehingga Gus Dur dianggap bermain sendiri tanpa mempertimbangkan masukan dari partai lain yang telah mendukungnya. Terlepas dari konflik di internal partai Islam, pemakzulan Gus Dur sebagai presiden menjadi preseden dari gagalnya politik santri yang tidak mampu bertahan lama di arena politik. Politik Islam seolah tak mampu memainkan kekuasaan dengan baik. Karena itu, turunnya Gus Dur menjadi bukti bahwa politik santri telah gagal memerankan dirinya di panggung politik Indonesia. 4. Fragmentasi Partai Islam Setiap pemilu sepanjang sejarah di Indonesia, partai Islam tidak bisa bergabung menjadi satu atau dua partai. Sekalipun pernah terjadi di era Orde Baru, itu akibat kebijakan pemerintah sehingga partai Islam difusikan menjadi satu saja, yaitu PPP. Dari data yang didapatkan, partai Islam selalu terbelah menjadi cukup banyak bahkan pada pemilu 1999 terbagi menjadi 19 partai Islam di antara 48 partai yang menjadi peserta pemilu. Di akar rumput, para pemilih Islam dibingungkan dengan banyaknya partai sehingga mereka tak bisa membedakan antara partai Islam yang satu dengan partai Islam yang lainnya, bahkan yang terjadi adalah kaum Muslim malah memilih partai yang non-Islam tetapi jelas perjuangannya. Fragmentasi di kalangan partai Islam memiliki dampak negatif, yaitu semakin merosotnya perolehan suara partai Islam. Kita dapat melihat sejumlah partai Islam yang memiliki basis massa yang sama. Misalnya, basis Muhammadiyah diperebutkan oleh partai-partai seperti PAN, PBB, sebagian juga ke PPP, dan PMB (Partai Matahari Bangsa). Di NU malah semakin banyak partai yang Penut up 149 memperebutkannya, seperti PKB, PKNU, PNU, PPNUI dan lain sebagainya yang tetap menggunakan simbol mirip dengan NU. Fragmentasi di kalangan partai Islam ini pada akhirnya menjadi kejenuhan di basis pemilih sehingga tak salah jika pada akhirnya para pemilih Muslim berlari pada partai nasionalis yang perjuangannya lebih jelas. 5. Konflik antar Elite Partai Islam Dampak dari adanya fragmentasi di kalangan partai Islam adalah terjadinya konflik di kalangan elite-elite partai Islam. Misalnya konflik elite antara PKB dan PPP. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengatakan bahwa antara PKB dan PPP memang lahir dari ayam yang sama. Hanya saja, PKB itu telornya dan PPP adalah teleknya. Pernyataan Gus Dur ini berdampak sangat menyakitkan bagi para politisi di kalangan PPP dan di akar rumput terjadi konflik berdarah dan berkepanjangan seperti di Jepara Jawa Tengah maupun di beberapa daerah di Jawa Timur. Selain itu, pasca Gus Dur diturunkan sebagai presiden, hubungan antara Gus Dur dengan Amien Rais menjadi semakin renggang jika tak ingin dikatakan sebagai musuh bebuyutan satu sama lain. Padahal, pada awalnya hubungan mereka sangat baik bahkan sebelum ketika mereka masih sama-sama memimpin NU dan Muhammadiyah, hubungan mereka sangat harmonis untuk bersama-sama melawan rezim Orde Baru. Namun, lagi-lagi dalam politik semuanya bisa berubah. Pasca dimakzulkan dari jabatan presiden, Gus Dur menganggap Amien Rais sebagai musuhnya. Konflik juga terjadi antara Gus Dur dan dengan kubu Alwi Shihab dan juga dengan Muhaimin Iskandar (keponakan Gus Dur). Belum lagi, konflik menimpa sejumlah elite di kalangan PKS. Kemunculan buku Yusup Supendi yang membongkar boroknya partai dakwah ini, menjadikan konflik keras di kalangan elitenya. Bahkan sejumlah politisi PKS menuduh Yusup Supendi memiliki kelainan jiwa. Padahal Yusup Supendi merupakan salah satu kader terbaik PKS dan juga salah satu pendiri partai ini. Inilah politik, awalnya teman bisa menjadi lawan. Awalnya sahabat, akhirnya bisa menjadi penjahat yang saling adu sikat. Dengan berbagai macam persoalan, elite-elite Islam seolah tak bisa bersatu untuk kepentingan umat. 6. Munculnya Fenomena PKS Setelah berubah dari nama PK menjadi PKS, partai dakwah ini mampu meraih suara yang sangat signifikan pada pemilu 2004. Pada pemilu 1999, PKS hanya memperoleh 1,36% suara. Sedangkan pada pemilu 2004, PKS berhasil melipatgandakan suara menjadi 7,34% alias kurang lebih enam kali lipat dari suara sebelumnya. Ini merupakan keberhasilan yang luar biasa. Besarnya perolehan suara PKS ini mampu menyumbangkan besarnya suara partai Islam pasca Orde Baru. PKS menjadi partai fenomenal di era Reformasi. Bahkan, pasca pemilu 2004, sejumlah pengamat politik meramalkan PKS akan menjadi partai yang besar di Indonesia. Inilah contoh partai yang mampu mewakili suara kelompok Islam dan berhasil menjual simbol dan asas Islam ke hadapan publik. Besarnya perolehan suara PKS juga sempat mencibir partai-partai Islam lain yang sebenarnya memiliki basis pemilih yang jauh lebih riil, misal PAN dan PKB. Ketika PKS mengalami lonjakan suara yang cukup dahsyat, partai-partai Islam yang lain malah mengalami kemerosotan suara yang cukup drastis. Kemerosotan suara yang sangat drastis terjadi di PKB. Pada pemilu 1999, PKB mampu meraih 12,61% suara. Namun, pada pemilu 2004 turun dengan hanya memperoleh 10,57% suara. Pada pemilu 150 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia berikutnya tahun 2009 akibat konflik berkepanjangan antara kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur, perolehan suara PKB semakin merosot di 4,49% suara. Penurunan suara juga terjadi di PPP. Pada pemilu 1999 memperoleh 10,71% suara. Pada pemilu 2004 turun menjadi 8,15% suara. Dan pada pemilu 2009 juga terus merosot manjadi 5,32% suara. Kemerosotan suara juga terjadi di PAN sekalipun turunnya tidak terlalu signifikan. Pada pemilu 1999 memperoleh suara 7,12% suara. Pada pemilu 2004 turun menjadi 7,44% suara. Dan pada pemilu 2009 turun menjadi 6,01%. Disinyalir, turunnya suara di PKB, PPP, dan PAN akibat para pemilihnya berlari dan berhijrah menjadi pendukung PKS. Menurut Deni JA, selaku direktur Lingkaran Survei Indonesia, meningkatnya suara PKS karena partai ini mampu menjual program-program yang kongkret, bukan sekadar getol meneriakkan syariat Islam. Hal inilah yang mendapatkan simpatik publik (Jawa Pos, 11/4/2004). Senada dengan itu, Todung Mulya Lubis dari Cetro mengatakan, bahwa program-program PKS lebih menyentuh kepentingan masyarakat, seperti anti KKN, penegakan hukum, dan anti politisi busuk. Sikap ini jelas berbeda dengan partai lain yang cenderung mengutamakan pembangunan kantor-kantor Cabang, sedangkan PKS berada di garis terdepan untuk berdemo secara damai menyuarakan anti perang (Jawa Pos, 9/4/2004). Liputan tentang fenomenalnya PKS menjadi headline di Harian Kompas (10/4/2004). Dalam laporan tersebut diberitakan, bahwa banyaknya suara yang diperoleh karena kerja keras para kader dan mesin partai. Mereka memiliki jaringan yang dibangun perlahan-lahan selama lima tahun belakangan. Jaringan itu makin lama makin besar tetapi selektif. Pola kaderisasi yang diterapkan juga termasuk paling modern jika dibanding dengan partai-partai yang lain. Pencitraan terhadap partai juga berkembang dengan baik sehingga menimbulkan simpati dari masyarakat. Misalnya, ketika ada gempa di Papua, PKS terlihat peduli terhadap para korbannya. Massa yang memilih dan mendukung PKS adalah massa yang membutuhkan partai yang benar-benar bekerja, bukan partai yang menjual jargon semata. 7. Kartelisasi Partai Islam Era reformasi merupakan era kebebasan bagi siapa saja untuk dapat mendirikan partai politik asalkan memenuhi kualifikasi yang telah disepakati. Beragam partai telah bermunculan, ada partai yang berbasis ideologis, ada pula partai yang berbasis programatis maupun partai berbasis etnis keadaerahan. Namun, pasca Reformasi menandakan pula bahwa jurang pemisah dan pembeda antar partai satu dengan partai lain semakin kabur. Saat ini, kita semakin tidak bisa membedakan perbedaan antara PKS dan PDS maupun PDIP. Ketiga-tiganya secara legal formal memang berbeda, PKS partai Islam, PDS partai non Islam, dan PDIP mewakili kepentingan kelompok nasionalis. Namun, pada tataran prakteknya, ketiga partai ini tidak mampu membedakan dirinya dari partai yang lain. Bahkan dalam banyak kesempatan, terutama dalam dinamika politik lokal antara PKS dan PDIP berkoalisi untuk mengusung kandidat calon kepala daerah. Bahkan di Indonesia bagian timur, PKS pernah berkoalisi dengan PDS untuk mengusung satu calon kepala daerah. Fenomena ini sah-sah saja di dalam politik sejauh satu sama lain tidak ada yang dirugikan. Namun, dalam konteks Islam, hal ini menjadi ironi dan seolah nama agama hanya menjadi simbol jualan dan dagangan para politisi dari kalangan Islam. Belum lagi sejumlah perilaku elite-elite partai Islam yang tetap berkoalisi dengan partai penguasa (Partai Demokrat) dalam membahas Century Gate dan kasuskasus yang lainnya. Ini menjadi bukti bahwa partai-partai Islam tidak mampu menyuarakan aspirasi Penut up 151 kelompoknya di mana NU dan Muhammadiyah sangat keras untuk menghukum semua pihak yang terlibat dalam kasus ini. Namun, PKB dan PAN tetap tak mendengarkan suara basis massanya. Inilah yang membuat tesis Ambardi (2009) menjadi benar, bahwa politik kartel sudah menggejala di semua partai politik tanpa mengenal ideologi. C. M EN I M BAN G M ASA DEPAN PARTAI I SLAM Berdasarkan kesimpulan umum dan fakta sejarah sebagaimana telah dijelaskan di atas, kita tidak bisa meramalkan secara pasti apakah partai Islam di Indonesia masih dibutuhkan atau tidak sama sekali. Namun, secara garis besar, ada beberapa catatan yang bisa dijadikan acuan bagi partai politik Islam jika memang ingin tetap eksis keberadaannya mengingat jumlah mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dengan berbagai variannya. 1. 2. 3. PARTAI-PARTAI ISLAM BERSATU. Artinya, jumlah partai Islam tidak harus tunggal, tetapi bisa dua atau tiga partai. Tujuannya agar fragmentasi partai-partai Islam tidak terlalu banyak, sehingga sekalipun tidak bisa satu partai Islam, setidaknya partai Islam maksimal cukup tiga saja dengan kecenderungan pada model partai Islam modernis, partai Islam tradisionalis, dan partai Islamis. Mengapa partai Islam kok tidak satu saja? Hal ini tidak terlepas dari kebesaran jumlah Islam yang varian pemeluknya sama dan agar supaya dapat menampung aspirasi politik mereka yang beragam. Kalau tetap dipaksakan satu partai Islam saja, dikhawatirkan konflik tajam akan melanda partai tersebut. Kemudian, mengapa maksimal tiga partai saja? Hal ini untuk mengurangi konflik horizontal sesama elite partai Islam dan mengurangi terjadinya fragmentasi dan keterpecahbelahan politik Islam yang bisa berdampak buruk dan membuat kaum Muslim menjadi trauma dengan partai Islam. PLATFORM DAN AGENDA PARTAI ISLAM HARUS JELAS. Kelemahan partai-partai Islam adalah tidak jelasnya agenda politik mereka. Para politisi partai Islam lebih senang dengan urusan kekuasaan dan lupa terhadap tugas dan kewajiban mereka yaitu berjuang untuk pentingan umat. Karena itu, partai Islam harus kembali mendudukan posisi mereka dan membuat agenda-agenda riil yang terkait dengan program partai. Jika partai Islam modernis, maka prioritasnya apa. Jika partai Islam tradisionalis, maka sasaran programnya apa. Serta jika partai Islamis, program dan sasarannya seperti apa. Selain itu, di antara partai Islam harus membangun kesepakatan dan pembagian tugas ke mana basis massa yang harus mereka garap masing-masing. Jika hal ini dilakukan, maka partai-partai Islam tidak tumpang tindih dan rebutan basis pendukungnya. Selain itu, program-program partai Islam harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kesantunan dalam bersikap. Jika partai Islam mampu membedakan platform dirinya dari partai yang non-Islam, maka ini keberhasilan dari partai Islam. JANGAN TERJEBAK PADA PRAGMATISASI POLITIK. Dalam politik, apa saja bisa terjadi. Untuk merebut kekuasaan, segala strategi dapat dilakukan. Namun, hal ini seharusnya tidak terjadi di kalangan partai politik Islam. Di sinilah seharusnya yang menjadi pembeda antara partai Islam dan partai non-Islam. Sebagai partai yang memperjuangkan moralitas, partai Islam seharusnya dapat memperjuangkan nilai-nilai dasar Islam sebagai konsekuensi penggunaan atribut dan nama Islam. Partai Islam tidak terjebak pada pragmatisasi politik uang, politik suap, politik balas budi, politik dagang sapi ataupun politik beli kucing dalam karung. Politik Islam harus mengedepankan moral dan 152 4. Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia menegakkan nilai-nilai Islam yang luhur di atas segalanya. Di sinilah, partai Islam pasti akan mendapatkan tempat di hati para pemilih Islam, bahkan di luar Islam sekalipun. BEKERJA NYATA UNTUK KEPENTINGAN UMAT. Konflik di partai politik seolah sudah menjadi sebuah keniscayaan. Namun, jika konflik dikelola dengan baik akan berdampak positif sebagai bentuk pendewasaan partai dan kader-kadernya. Namun, partai Islam harus mampu bekerja secara riil untuk kepentingan umat bersama. Adapun beberapa contoh dari kepentingan riil yang menyentuh umat adalah bidang pendidikan seperti program pendidikan gratis untuk tingkat pendidikan SD dan SMP atau memperjuangkan adanya program beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi maupun yang melanjutkan studi lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Contoh lain dari program riil adalah kesehatan. Partai Islam dapat memperjuangkan adanya Jamkesos atau Jamkesda untuk benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat umum serta perlunya asuransi kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia terutama mereka yang tidak mampu dan dari kalangan miskin. Dua agenda ini jika benar-benar diperjuangkan oleh partai Islam, maka partai Islam akan mendapatkan simpatik dari mayoritas masyarakat. Selain itu, agenda riil lain yang cukup penting adalah pembangunan infrastruktur maupun pelayanan transportasi umum (udara, laut, dan darat) Jika agenda-agenda di atas dapat dijalankan dengan baik, partai-partai Islam akan mendapatkan simpati yang luar biasa dari masyarakat. Dengan sendirinya pula, suara partai Islam akan semakin meningkat. Namun, sebaliknya jika partai-partai Islam tetap terfragmentasi ke banyak partai, platform dan agenda partai Islam tidak ada bedanya dengan partai yang lain, terjebak pada pragmatisasi politik, tidak berjuang untuk kepentingan umat dan malah memperkaya serta mengeruk keuntungan dari harta rakyat, ditambah lagi para politisinya melakukan tindakan-tindakan yang amoral, seperti melakukan tindakan korupsi dan suap, terjerat kasus perempuan, maka kiranya kamus “politik Islam” cukup sampai di sini saja dan ditutup untuk kemudian ditenggelamkan dari panggung politik Indonesia. Karena itu semua akan semakin memperburuk kesucian Islam itu sendiri. -oo0oo- BAB … DAFTAR PUSTAKA Buku Almond, Gabriel A. 1978. “Kelompok Kepentingan dan Partai Politik” dalam Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (editor), Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ambardi, Kusridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Kerjasama Antara Lembaga Survei Indonesia (LSI) dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Amir, Zainal Abidin. 2003. Peta Islam Politik Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949. Jakarta: Gema Insani Press Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya: Pustaka Eureka Aziz, Abdul. 2006. Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP Menjadi Partai Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Barton, Greg. 2006. “Islam and Democratic Transition in Indonesia” in Tun-Jen Cheng and Deborah A. Brwon (eds.), Religious Organizations and Democratization. Case Studies from Contemporary Asia. London: Armonk Basya, M. Hilaly. 2004. “Umat Islam dan Pemilu 2004” dalam Idris Thaha (Editor), Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 154 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Damanik, Ali Said. 2002. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju Dhakidae, Daniel. 2004. “Partai-partai Politik Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-patahan Sejarah” dalam Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas, Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program. Jakarta: Kompas Djojosoekarto, Agung dan Utama Sandjaya (Editor). 2008. Transformasi Demokratis Partai Poilitik di Indonesia: Model, Strategi, dan Praktik. Jakarta: Patnership Esposito, John L. 1990. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang Feith, Herbert. 1957. The Indonesian Election of 1955. New York: Cornell University Ithaca Feith, Herbert dan Lance Castles (eds). 1970. Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithaca: Cornell University Press Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago and London: University of Chicago Press Hamid, Tijani Abdul Qodir. 2001. Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an. Terjemahan Oleh Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru Haris, Syamsuddin. 2004. “Politicization of Religion and the Failure of Islamic Parties in the 1999 General Election” dalam Hans Antlov and Sven Cederroth (Editor). Elections in Indonesia: The New Order and Beyond. London: RoutledgeCurzon Hosen, Nadirsyah. 2007. Sharia and Constitutional Reform in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS) Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Predana Media Group Ismanto, Ign, dkk. 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. Jakarta: Kerjasama Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jurdi, Syarifuddin. 2008. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kazhim, Musa dan Alfian Hamzah. 1999. 5 Partai dalam Timbangan. Bandung: Pustaka Hidayah Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Terjemahan Oleh Fathurrahman A. Hamid. Jakarta: AMZA Daf t ar Pust aka 155 Khan, Qomaruddin. 2001 (Cetakan II). Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka Khoirudin. 2004. Profil Pemilu 2004: Evaluasi Pelaksanaan, Hasil, dan Perubahan Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legislatif 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lembaga Pemilihan Umum. 1971. Daftar Pembagian Kursi: Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1971. Jakarta Liddel, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Kusut Kekusaan Politik. Jakarta: LP3ES _______ dan Saiful Mujani. 2002. Leadership, Party and Religion: Explaining Voter Behavior in Indonesia. Comparative Political Studies, 40 (7) Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES _______. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Depan Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press Machmudi, Yon. 2005. Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia. Bandung: Harakatuna Publishing Majelis Pertimbangan Pusat PKS. 2008. Memperjuangkan Masyarkat Madani: Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS. Jakarta Noer, Deliar. 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES _______. 2000 (Cetakan II). Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism Permata, Ahmad-Norma. 2010. “The Prosperous Justice Party (PKS) and the Decline of Political islam in the 2009 Election in Indonesia,” in Remy Madinier (ed.) Islam and the 2009 Indonesian Election: Political and cultural Issues. Bangkok: IRASEC Rahardjo, M. Dawan. 1999. Tantangan Indonesia Sebagai Bangsa: Esai-esai Kritis tentang Ekonomi, Sosial dan Politik. Yogyakarta: UII Press _______. 2002. Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa Rahman HI, A. 2007. Sistem Politik Indonsia. Yogyakarta: Graha Ilmu Rais, H. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Romli, Lili. 2006. Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 156 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Salim, Arskal. Partai Islam dan Relasi Agama-Negara. Jakarta: Kerjasama Puslit IAIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Fondation dan JPPR, 1999 Samson, Allan. 1978. “Conception of Politics and Ideology in Contemporary Indonesia Islam” dalam Karl D. Jackson and Lucian Pye (Peny). Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley, Los Angeles: University of California Press Sumarjan, Joni, dkk. 2002. Tinjauan Kritis Respon Parlemen Terhadap Masalah Piagam Jakarta: Debat Penerapan Syariat Islam. Jakarta: INSIDE Suryadinata, Leo. 2002. Elections and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS Syamsuddin, M. Din. 2000. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Jakarta: CV. Medya Duta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Jakarta: Cemerlang Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press Thaha, Idris (Editor). 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Tim Litbang Kompas. 2004. Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Kompas Von der Mehden, Fred R. 2008. “Islam in Indonesia in the Twenty-First Century” in John L. Esposito, John O. Voll, Osman Bakar (ed) Asian Islam in the 21st Century, Oxford UP Ware, Alan. 1996. Political Parties and Party Sistems. New York: Oxford University Press Webber, Douglas. 2007. “A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Suharto Indonesia” in Frederic Volpi and Francesc Cavatorta (eds.), Democratization in the Muslim World. Changing Patterns of Power and Authority. Oxon: Routledge Jurnal, Artikel, Disertasi, Tesis, Makalah dan Dokumen Baswedan, Anis. 2004. Votes Circulation in 2004 Election. Paper pressented at Conference on Democracy and Election in Southeast Asia. Johnhopkins University, 12 May 2004 _______. 2004. “Sirkulasi Suara dalam Pemilu 2004” dalam Analisis CSIS, Vol. 33, No. 2 Juni 2004 Cipto, Bambang. “Partai-partai Islam dan Pemilihan Presiden 2004” dalam Suara Muhammadiyah, 1630/09/2002 Fatah, Eep Saefullah. 1993. “Dwifungsi ABRI dan Demokratisasi: Retrospeksi dan Prospeksi Peranan Politik Militer/ABRI di Masa Orde Baru” dalam Cendikia Muda, Jurnal Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisip UI, Edisi I/Th. 1/Februari 1993 Daf t ar Pust aka 157 Jafar, Muhammad. 2009. Perkembangan dan Prospek Partai Politik Lokal di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis untuk Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Pengurus Besar NU. Materi Pertanggungjawaban Pengurus Besar Nahdhatul ‘Ulama Masa Khidmat 1994-2004. Disampaikan dalam Muktamar NU ke-31, 28 November-2 Desember 2004 di Asrama Haji Donohudan, Solo, Jawa Tengah _______. 2011. Kinerja Menteri-menteri dari Partai Islam dalam Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi 2000-2010: PKB, PAN, PKS (Hasil Penelitian). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Rais, Amien. “Undang-Undang Dasar Kita Beraroma Teo-Demokrasi” dalam Suara Muhammadiyah, 1631/08/2008 Subekti, Valina Singka. “Electoral Law Reform as a Prerequisite to Create Democratization in Indonesia”. Makalah Disampaikan pada International Conference tentang Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects, Jakarta, 12-14 Agustus 1998 Sukmajati, Mada. 2011. How Islamic Parties Organize at The Local Level in Post-Suharto Indonesia. Dissertation Presented in Partial Fulfillment of the Requirement for the Degree of Dr. rer. pol. in Political Scince in Universitat Heidelberg, Germany Surbakti, Ramlan. Pemilihan pada Pemilu 1992: Antara Kendala dan Tantangan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pemilu 1992 dan Pengembangan Demokrasi Pancasila. Surabaya, 6-9 Agustus 1992 Ufen, Andreas. 2008. “The Evolution of Cleavages in Indonesian Party System” in GIGA Working Paper, Hamburg Harian dan Majalah Harian Jawa Pos, 9 April 2004 _______. 11 April 2004 Harian Kompas, 9 Juni 1977 _______. 7 Februari 2002 _______. 10 April 2004 _______. 6 Mei 2004 Harian Rakyat Merdeka. 19 Maret 2007 Majalah Prisma. No. Ekstra, 1984 Th. XIII Majalah Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002 Media Sinar Matahari. Edisi I/Mei 2007 Tapol - Kabar Pemilu, Nomor 8, Juni 2009 158 Part ai Polit ik Islam; Teori dan Prakt ik di Indonesia Website dan Links http://mediacenter.kpu.go.id http://pemilu.detiknews.com www.bulan-bintang.org www.bps.go.id www.dpp-pkb.or.id www.kpu.go.id www.pan.or.id www.partaiaceh.com www.pbr.or.id www.pk-sejahtera.org www.seasite.niu.edu www.tempointeraktif.com, 5 November 2001 www.wikipedia.org.id Daftar Wawancara Abdul Munir Mulkhan, wawancara tanggal 20 Oktober 2010 di Kota Gede, Yogyakarta Abdul Malik Fadjar, wawancara tanggal 23 Oktober 2010 di Kompleks Colombo, Yogyakarta Yahya A. Muhaimin, wawancara tanggal 29 Oktober 2010 di Ruang Jurusan HI Fisipol UGM, Yogyakarta oo0oo