[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

A WISH

A Wish Karena takdir tak mengizinkan SATU Saat seseorang bertemu dengan orang lain Yang memiliki sesuatu yang nggak dimilikinya biasanya akan timbul dua reaksi : Dia terpikat olehnya atau malah bermusuhan dengannya “Permisi Pak, maaf mengganggu aktivitas mengajar anda sebentar. Ada tambahan murid baru di kelas anda. Terima kasih Pak.” Setelah Bu Endah – Wali kelas XI IPA 3 - keluar dan masuklah cowok tinggi dengan wajah ramahnya, gayanya santai sekali, rambutnya dibiarkan acak-acakan (jabrik), nilai plusnya wajahnya penuh dengan senyuman. Pak Yanto mempersilahkan cowok itu memperkenalkan diri. Cowok itu dapat nilai 6 dari Dyon. “Perkenalkan nama saya Danny Dirgantara,” cowok itu menyeringai sesaat. “Panggilnya Danny aja biar lebih enak, D-A-N-N-Y. Saya pindahan dari Jakarta. Terima kasih”. Lagi-lagi cowok yang bernama Danny itu menyeringai, memandangi setiap cewek yang menatapnya dengan penuh ketertarikan. Pak Yanto mempersilahkan Danny duduk di sebelah Tina dan di depan Dyon yang duduk di bangku nomor dua. “Hai,” Danny menyapa Dyon dan Sarah, setelah sebelumnya menyapa Tina terlebih dahulu tentunya. Sarah tersenyum lebar dan membalas sapaan sopan Danny sedangkan Dyon hanya tersenyum tipis, setelah membetulkan letak kacamata minusnya yang melorot sedikit gara-gara terlalu serius memperhatikan cowok itu saat memperkenalkan diri. “Mata cowok itu menyorot tajam namun hangat,” nilai Dyon dalam hati, dapet nilai tambah dari Dyon untuk cowok itu. Dyon tanpa sadar sudah memperhatikan dan tertarik pada Danny, padahal dia tak pernah menilai cowok, kecuali Devon. 999 “Dy, tuh cowok bener-bener keren yah, pas ngenalin diri di depan kayak magnet gitu, semuanya pada merhatiin dan tertarik sama dia. Termasuk kamu kan Dy. Cye cyeee yang biasanya nggak peduli sama cowok, sekarang jadi tertarik sama cowok baru pindahan dari Jakarta nih? Tahu nggak tadi mukamu sampe keliatan bloonnya.” Sarah menggoda Dyon habis-habisan. “Nggak kok.” Dyon membantah dengan cepat, malah terlalu cepat untuk ukuran seorang Dyon membuat Sarah menyipitkan matanya, menyelidik. “Kata siapa aku tertarik sama tuh cowok, dia itu biasa aja tau, nggak keren”. Dyon semakin sewot ditatap seperti itu oleh teman semejanya. “Ya udah kalo nggak tertarik, berarti tuh cowok buat aku aja.” Sarah senyam-senyum sendiri membayangkan Danny menjadi miliknya. Dyon Cuma geleng-geleng melihat tingkah Sarah. Saat ini mereka berada di koridor depan gudang yang memang tuh gudang letaknya paling pojok membuat tak ada murid yang berniat mendekati tempat ini. Dyon dan Sarah ke sini juga karena terpaksa, mereka terusir oleh cewek-cewek yang berebut minta kenalan dengan Danny. Setelah bel istirahat berbunyi Dyon dan Sarah sebenarnya lebih suka di kelas waktu istirahat setelah membeli pastel dan minuman di kantin. Ternyata kabar ada anak pindahan dari Jakarta sudah terdengar di segala penjuru sekolah, membuat kelas XI IPA 3 seperti pasar. Dyon dengan sabar menunggu ruang kelas mereka sepi, tapi hingga waktu istirahat hampir habis tak ada satu-pun yang keluar, mungkin karena terlalu ramai dan sibuk bertanya ini itu pada Danny, jadi nggak ada yang peduli. Karena Sarah tipe cewek yang nggak sabaran membuatnya turun tangan untuk membereskan cewek-cewek itu. “PERMISI, PERMISI, UDAH BEL MASUK TUH.” Sarah berteriak berkali-kali, tapi sebenernya nggak usah teriak-teriak juga sih, nanti kalo bel berbunyi juga bakalan bubar. Dyon yang berada di belakang Sarah hanya tersenyum tipis, dia sih nyantai-nyantai aja ya, pikir Dyon nggak perlu repot-repot. Dyon sekilas melihat wajah cowok itu, raut mukanya tak menunjukan dia keberatan malah wajahnya terlihat senang walaupun dia juga sedikit kesusahan menjawab dari banyaknya pertanyaan yang di berikan kepadanya. Dasar playboy, Dyon geleng-geleng. 999 “Mau minum apa?” Dyon bertanya pada Sarah yang sudah berbaring dengan nyaman di kasur Dyon. Seperti biasa, Sarah paling senang kalau dia boleh mampir di rumah Dyon sepulang sekolah dengan alasan belajar bareng tapi Dyon sendiri juga sudah tahu kedok teman baiknya itu, padahal Sarah cuma pengen ketemu Kakak Dyon. “Terserah.” Sarah menjawab sekenanya. “Eh Dy tuh cowok bener-bener keren ya? Tapi sayang kayaknya dia playboy cap kadal.” Sarah berkomentar setelah ia meneguk habis es jeruk yang dibawa Dyon. Kerongkongan tuh cewek kering, gara-gara tadi dia teriak-teriak bilang permisi buat nyingkirin cewek-cewek yang berada di bangkunya dan bangku Dyon. “Baru tau?” Dyon menanggapi sembari melepas kacamatanya. “Kamu tertarik sama dia ya Dy?” Tiba-tiba Sarah bertanya dengan wajah serius. “Hah? Eng~gak.” Jawab Dyon seadanya. Emang gitu kok yang dia rasain. Nggak minat. Tapi tadi dia sudah memberi nilai tujuh pada Danny. Nggak konsisten tuh si Dyon, apa gengsi? “Yah padahal aku berharap kamu bilang iya. Lupain cinta pertamamu deh Dy” Sarah tahu Dyon masih menyukai cinta pertamanya, walaupun sebenarnya Sarah tak tau siapa cinta pertama Dyon, Sarah sih masih menebak-nebak siapa orangnya sih. Tapi udah satu tahun lebih, bareng Dyon, dirinya nggak dapet penerangan apa-apa. Dyon tak berkomentar apa-apa. Dia tak berniat sama sekali untuk berteman dengan cowok model Danny, dia sedikit tak suka bukan berarti dia benci Danny. Dyon juga berpikir dia hanya akan berteman dekat dengan Sarah saja, bagi Dyon, Sarah sudah cukup mengisi hari-harinya. DUA Yang sulit bukanlah melenyapkan kenangan, Melainkan mengumpulkan kekuatan untuk merelakan Malam ini hujan turun lagi, seperti malam-malam sebelumnya. Tenggelam dalam kebisingan derasnya suara hujan. Dyon Dav, lagi-lagi cewek itu melakukannya; menghabiskan waktunya untuk mengamati hujan. Bukan karena dia menyukai hujan tapi karena akhir-akhir ini dirinya membutuhkan hujan. Hujan menenggelamkan suara isak tangisnya, hujan membuat dunianya tak terasa sunyi, kebisingan suara hujan membuatnya masih merasa hidup, tapi hujan tak memberinya rasa dingin alam yang seharusnya menyeruak dalam tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. Dirinya sudah tenggelam dalam perihnya kehilangan. Setiap hujan mulai turun, dalam hati Dyon berdo’a tak ada habisnya; “Izinkan sekali saja aku mengenang semuanya dengan nyata.” Cewek itu tahu sekalipun dirinya mengiba dirinya tak dapat kembali pada masa itu. 999 “Geo. Kak Dyon panggil sana! Suruh turun buat sarapan.” Devon, cowok dengan wajah rupawan yang penuh keramahan dan kehangatan itu empat tahun lebih tua dari Dyon yang baru berumur tujuh belas tahun, dua bulan yang lalu. “Tak perlu.” Satu suara dingin menghentikan Geo, anak laki-laki itu sudah hendak beranjak memanggil kakaknya itu. Dyon menyeringai kaku, merutuki kebodohannya yang tidak pernah berhasil memberikan kehangatan sesungguhnya. Sudah satu bulan ia menjalani hari-harinya dengan keluarga barunya; Bunda, Geo, Ayah Danar yang adalah ayah barunya, dan seorang Kakak laki-laki yang sempurna baginya tapi tak ingin diakuinya sebagai kakak: Kak Devon. Ayah Danar menikah dengan Bunda sekitar sebulan yang lalu, saat liburan kenaikan kelas. Pesta pernikahan itu bagi Dyon acara yang bodoh, Dyon tak menyukainya, bukan karena tak menyetujui Bundanya menikahi seorang pria duda beranak satu yang baik hati dan penuh kehangatan itu, tapi dia hanya tak ingin mempunyai kakak laki-laki yang ia cintai selama lima tahun. Ayah Dyon meninggal ketika setahun sbelum Dyon bertemu dengan Devon. Ayah Dyon memiliki sakit jantung, dan beliau sudah sakit-sakitan selama dua tahun sebelum akhirnya setahun yang lalu beliau tiada. Sedangkan tanpa Dyon dan Devon tahu Bunda dan Ayah Dyon sudah mengenal Ayah Devon sejak dulu. Dan mereka sudah memiliki rencana yang merubah hidup Dyon dan Devon. Dyon dan Devon sudah bersama sejak kecil, Geo saat itu masih bayi entah bagaimana ceritanya mereka bisa bertemu di lapangan komplek, dulu Dyon masih anak kecil yang giginya masih ompong. Waktu itu dia masih bermain dengan sepeda pink roda tiganya, Dyon tak menaikinya, gadis kecil itu hanya menuntunnya mengitari lapangan komplek berkali-kali dan disaat itulah Devon datang. Mengajarinya mengayuh sepedanya. Sejak saat itu Dyon sudah menganggap Devon sebagai pangerannya dan lama kelamaan semakin dirinya tumbuh besar perasaan mengagumi Devon tumbuh semakin besar dan menyebabkan cewek itu tahu rasa cemburu pertama kali kelas enam SD. Saat Devon bergandengan tangan dengan teman SMA-nya. Hingga saat ini perasaan mengagumi itu tumbuh menjadi perasaan suka dan menjadi cinta. Bunda dan Ayah Danar tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Devon sudah mengetahuinya satu tahun yang lalu. Satu tahun yang lalu Dyon yang masih kelas 9 SMP dengan keberaniannya menyatakan perasaanya yang menggebu-gebu kepada Devon yang baru saja selesai Ujian Nasional SMA, saat itu pula Devon hanya diam dan mengangguk kebas, menatap Dyon lalu berikutnya kata yang keluar dari mulut cowok itu membuat dunia Dyon berubah. “Tak bisa Dy, sekalipun aku mau takdir tak mengijinkannya,” kalimat itu keluar dalam bentuk bisikan yang lirih dan bahkan hampir tak terdengar oleh Dyon tapi setiap kata yang terucap masih tertangkap telinga Dyon. “Bunda dan ayah pergi pagi-pagi sekali. Mereka pergi ke Hongkong.” Suara Devon menarik pikiran Dyon kembali ke realita. Dyon hanya mendongak sebentar dan mengangguk mengerti. Tak ada yang membuka suara lagi hanya suara dentingan dari sendok dan piring Geo yang beradu. Devon menikmati sarapannya dengan tenang dan Dyon berusaha untuk menikmatinya. “Kapan pulang? Ngapain ke Hongkong? Kok nggak bilang ke Geo? Geo uhuk uhuk.” Ucapanya tak selesai karena Geo menyambar dengan mulut penuh makanan yang membuatnya tersedak. Devon dengan sigap mengambilkan minuman dan menepuk pelan punggung Geo. Dyon meliriknya sekilas; dasar anak SD. “Dua minggu lagi, Ayah Bunda lagi ditugasin sama kantor. Ngapain bilang ke Geo? Nanti Geo nangis doang ditinggal,” mimik lucu Devon untuk meledek Geo membuat Dyon sedikit tersenyum, cewek itu mencoba menahannya agar tak berubah menjadi tawa. “Oh ya Dy nanti kamu berangkat ke sekolah bareng aku dan pulangnya ku jemput. Geo juga.” Aku mendongak, mulutku sudah terbuka hendak membantah. “Ini perintah Ayah,” tandas Devon sambil bangkit berdiri lalu cowok itu tersenyum hangat. “Yuk cepet berangkat, udah siang.” Dyon masih duduk manis tidak beranjak dari tempat duduknya. Jantungnya tadi berhenti sedetak, saat melihat senyum itu. Itulah rutinitas setiap pagi yang Dyon jalani sebelum berangkat sekolah, menahan sakit hati untuk dirinya sendiri saat sarapan bukan hanya saat itu, tapi setiap saat dia merasakannya. Menelan makanan dengan susah payah yang terasa tak mau tertelan dan hanya tersangkut di kerongkongan yang membuat dadanya sesak. Entah sejak kapan masakan Bunda hambar dimulutnya termasuk pagi ini. Di mobil hanya cerita-cerita Geo yang mendominasi, Devon menanggapinya dengan antusias, dan Dyon buka suara seperlunya. “Kak Devon emangnya nanti nggak kuliah?” Tadi Geo membicarakan masalah cewek cantik di kelasnya, lalu ke nilai ulangannya sekarang anak itu udah ganti topik lagi dengan seenak jidatnya. “Ya kuliah dong, Kakak ambil kuliah pagi.” Jelas Devon yang tetap masih fokus dengan jalanan di depannya. Dari belakang Dyon memerhatikan Devon yang sedang menyetir lewat kaca sepion. Tampilan Devon dari dulu tak pernah berubah, gayanya yang santai namun stylist dan sedikit terlihat nakal membuatnya terlihat keren. “Eh Kak Dyon katanya lagi punya gebetan lho di kelasnya. Cowok playboy pindahan dari Jakarta.” Tiba-tiba Geo banting stir, mengganti topik dengan mudahnya. Membuat Dyon kelabaan salah tingkah. Devon melirik sekilas ke belakang. “Eh eh Geo bo~bohong, ka~kata siapa?” Perkataan Dyon terbata-bata. Serangan Geo datang tiba-tiba, Dyon belum ada persiapan. “Apa iya? Siapa tuh Dy? Kok kamu nggak crita ke Kakakmu ini?” Devon menggoda Dyon. “Nggak ada kok. Geo bohong!” Kepala Dyon geleng-geleng dengan kuat, mencoba meyakinkan Devon. “Geo nggak bohong kok, kemarin Geo denger sendiri obrolannya Kak Dyon sama Kak Sarah. AAWW.” Tangan Dyon menjitak kepala Geo gemas. Dasar penguping! Geo berteriak-teriak saat Dyon hendak menjitaknya lagi. “Udah udah Geo. Cepet turun udah sampe sekolahmu.” Geo turun dengan memasang wajah penuh kemenangan. Dyon juga ikut turun hendak pindah ke samping Devon. Memang itu kebiasaan sebulan terakhir mereka. Devon tak mau duduk sendiri di depan dan menyetir tanpa ada seseorang di sebelahnya tapi kalau memang dia sendirian, apa boleh buat. Sebenarnya Dyon tak suka karena jantungnya akan berdetak tak beraturan dan di waktu yang sama dadanya juga akan merasa sesak. Setelah Geo turun tak ada yang membuka mulut. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Dyon sedang sibuk merutuki kecerobohannya sendiri, obrolannya kemarin dengan Sarah bisa sampai terdengar di telinga Geo. “Tadi bener yang dibilang Geo?” Devon mencoba membuka percakapan, tapi gadis berkacamata di sebelahnya tak acuh terhadapnya. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Dyon?” Devon sedikit mendesak Dyon. Jujur saja dia khawatir terhadap Dyon, cewek itu belum bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Di mata Devon, Dyon adalah gadis kecil yang harus dilindungi dan dijaga olehnya. Dyon masih tetap bungkam, cewek itu masih asik dengan pikirannya sendiri membuat Devon menghela napas. Dulu Dyon tak seperti ini. Dyon gadis yang tak pendiam seperti ini, cewek itu selalu tertawa bahagia bersamanya dulu. Saat mereka masih tak mengerti tentang arti kehidupan yang sebenarnya, saat mereka hanya mengerti soal bermain. Tapi waktu terus berputar hingga mereka dewasa, dan mulai mengerti di dunia ini tak sekedar dunia bermain. “Dy udah sampai. Baik-baik di sekolah ya?” Dyon mengangguk tanpa menatap mata Devon. Devon tak peduli dengan sikap Dyon, cowok itu tetap tersenyum dan dengan pelan mengacak rambut Dyon yang sebahu itu. “Jangan anggap aku masih kecil” Devon terkejut, bukan hanya cowok itu tapi Dyon juga tak kalah terkejut, bagaimana bisa dia berteriak kepada Devon. Kakaknya. “Maaf hehe, lagi bad mood.” Dyon tersenyum kaku. “Tak apa, aku tahu.” Devon tersenyum menenangkan. Dyon lalu buru-buru turun sebelum dia lepas kendali lagi. “Nanti pulang kujemput,” Devon mengingatkan. “Oke,” Dyon mengangguk tersenyum, lalu melambai. Mobil Devon menjauh dan hilang di belokan. Dyon merasa bodoh karena belum bisa melupakan perasaan keparat yang ia simpan bertahun-tahun, padahal dirinya sudah di tolak mentah-mentah oleh cowok itu dan takdir. Dirinya belum bisa merelakan. Belum cukup kuat untuk merelakan bahkan melenyapkannya. Cewek itu tersenyum sedih, untuk dirinya sendiri. 999 “Ada apa?” Dyon bingung melihat Sarah dan beberapa teman sekelasnya tak seperti biasanya bercokol di koridor kelas mereka. Sarah hanya mengarahkan dagunya menunjuk cewek-cewek yang bercokol di bangku mereka, bangku milik Tina dan Danny malah udah penuh. Cewek-cewek itu berdesak-desakan, kayak di angkot. Ini malah lebih parah mereka saling berebut ingin duduk di bangku dekat bangku Danny, padahal cowok yang mereka tunggu juga belum kelihatan batang hidungnya. Dyon manggut-manggut melongo, takjub. Hebat juga tuh cowok, pikir Dyon. “Kita buka stand makanan ringan aja Sar, hahaha.” Dyon berpikir sejenak dengan usulnya, benar juga. Pasti mereka untung. “Wah wah ide cemerlang tuh,” Sarah ikut-ikutan manggut-manggut setuju. Lalu mereka tertawa. “Tuh cewek-cewek ada apa sih?” Tiba-tiba satu suara menghentikan tawa Dyon dan Sarah dan si empunya suara juga seenak jidatnya nimbrung melompat memisahkan kedua cewek itu yang berdiri merapat bersebelahan. Tepat di tengah-tengah. Wajah Danny menunjukan tampang; ada-yang-salah? Dua cewek itu terdiam karena melihat wajah Danny yang dekat dengan wajah mereka. Danny menoleh ke kiri dan ke kanan menatap kedua cewek yang menatapnya tanpa berkedip. “Oh itu para fans-mu lagi nungguin kamu.” Sarah yang tersadar terlebih dahulu. Sarah sedikit mengambil jarak, menjauh selangkah dari tubuh Danny yang tadi rapat dengannya. Dyon juga melakukan hal yang sama bahkan Dyon melangkah begitu jauh untuk mengambil jarak dengan Danny. Dyon sedikit ngeri dengan Danny. “Oooh,” Danny manggut-manggut berasa itu adalah hal yang biasa. Heran deh kok pada hobi manggut-manggut ya? “Cepet urusin sana fans-fansmu itu!” seperti biasa Sarah tidak sabaran. Danny mengangkat kedua alisnya lalu dengan tiba-tiba cowok itu memutar badannya ke arah Dyon yang tetap pada posisinya tadi, di belakang Danny. Dyon sedikit terkejut, terlihat dari pundaknya yang naik sesaat. “Oke, tapi temenmu kok kayaknya pendiem amat.” “Nggak juga sih.” Itu pernyataan yang dilontarkan Danny untuk Sarah bukan pertanyaan, tapi Sarah tetap menjawabnya. Saat mengatakan itu Danny masih menghadap dan menatap Dyon dengan tajam tapi ada kehangatan di dalamnya. Dyon berpaling tidak berniat menantang tatapan itu. Danny melangkah masuk ke dalam kelas yang riuh kayak pasar. Cowok itu tersenyum tipis melihat reaksi cewek pendiam tadi. Oh ya tadi dia lupa menanyakan nama cewek itu kalo temen sebangkunya sih udah kenal, tapi yang cewek pendiem tadi dia belum tahu namanya. Dari kemarin dirinya sibuk banget meladeni fans-fansnya itu. Nanti ku tanyakan deh, putus cowok itu pada akhirnya. “Hai Girls?!” Danny menyapa ringan dengan senyum mautnya yang ia sengaja pamerkan, semua cewek menoleh ke sumber suara. “Ah Danny tambah keren sih kamu?” “Ah wangi banget sih kamu,” “Senyummu manis banget,” Danny tersenyum puas, menyadari pesonanya tak akan pernah habis dan berubahlah ruang kelas menjadi keramaian yang pekat. Di luar kelas bisa terdengar suara-suara manja cewek-cewek itu. Sarah dan Dyon saling berpandangan dan wajah mereka berubah menjadi ingin muntah mendengar seruan-seruan cewek-cewek itu. Ternyata tidak hanya mereka berdua tetapi juga teman-teman sekelasnya yang tergusur keluar kelas. Wajah Sarah jelas-jelas terpampang; lebay-amat-sih-tuh-cewek-cewek. Sedangkan Dyon sedikit tak acuh. 999 TIGA Love looks not with the eyes but With the mind. (William Shakespeare) Sudah kedua kalinya ini, Dyon dan Sarah terpaksa harus bercokol di koridor depan gudang sekolah. Pengennya sih di kelas, duduk di bangku mereka sambil baca majalah yang biasanya di bawa Sarah dan ngobrol. “Sampe kapan kita keusir terus sih?” Sarah mulai gerah dengan cewek-cewek lebay itu alias fans-fansnya Danny. “Entah.” Dyon menjawab dengan lesu, males juga nongkrong di depan gudang. Keduanya menghela napas bersamaan. Bosan. “Nanti ke toko buku yuk?” celetuk Sarah semangat. Dyon langsung hendak menyetujui tapi dia ingat nanti dia kan mau dijemput Kak Devon. “Nggak bisa,” ucapnya kemudian, “aku nanti dijemput Kak Devon.” Jelas Dyon. Muka Sarah langsung jadi lesu lagi. “Besok aja deh, pulang sekolah,” putus Sarah. Dyon mengangguk setuju. Keduanya kembali terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Dyon lagi mikirin Kak Devon dan Sarah lagi mikirin Danny yang fans-nya kok bisa berjibun. “Hai?” Dyon dan Sarah serempak menoleh ke asal suara. Danny berdiri di belakang mereka dengan wajah tanpa dosanya lagi membuat Dyon dan Sarah kembali ke aktivitas terakhir mereka. “Beuh. Pada dingin banget sih?” Danny mulai berkomentar. “Siapa?” Sarah bertanya singkat. “Panas kok,” Dyon tiba-tiba nyeletuk lalu cewek itu terkekeh sendiri dengan celetukannya. Sarah dan Danny menatap Dyon takjub. Sarah tertawa hambar. “Barusan kamu ngelucu ya Dy? Lucu sekali,” katanya datar, cewek itu meledek lelucon Dyon yang sama sekali nggak lucu. “Wah bisa ngelucu juga toh.” Danny malah berkomentar senang, “Kenalin namaku Danny, namamu?” Dyon mengernyit, “Udah tau,” lalu tersenyum sesaat. “Dyon.” “Kok kayak nama cowok? Dyon siapa emangnya?” Danny bertanya dengan penuh antusias. “Dyon Dav.” Lagi-lagi jawaban Dyon sangat singkat. Sarah mengulum senyum, terlihat jelas Danny tertarik pada Dyon yang tak acuh. “Aku suka namamu.” “Dasar cowok playboy,” kata Dyon dalam hati. Itu rayuan Danny untuk Dyon. Cowok itu ingin melihat reaksi cewek di hadapannya ini. Tak ada tanggapan, hanya tatapan datar dari cewek berkacamata di hadapannya. Danny sedikit menciut melihat tatapan dingin Dyon, tapi Danny juga bisa melihat ada kesedihan yang mendalam di balik tatapan dingin itu. 999 Selama pelajaran berlangsung Danny hanya memikirkan Dyon. Cewek berkacamata, rambut sebahu, wajahnya nggak cantik-cantik amat, tapi kalau dilihat-lihat tuh cewek punya inner beauty deh, sikapnya aja sok dingin tapi kayaknya tuh cewek sedikit rapuh? Danny sedikit nggak yakin dengan penilaiannya yang terakhir. Akhirnya tuh cowok menoleh kebelakang untuk melihat wajah Dyon, hanya sesaat tapi Danny sudah tahu apa yang sedang dilakukan cewek itu. Dyon sedang menunduk dan sibuk menulis, entah cewek itu sedang menulis apa. Semua yang dimiliki cewek itu nggak satupun yang membuat Danny tertarik, tingkah cewek itu yang sok dingin juga tak membuatnya tertarik, tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin mendekati cewek itu. Apa sih yang membuatnya ingin melihat Dyon? Danny mulai frustasi memikirkan alasan kenapa dia melihat Dyon sebagai cewek yang berbeda. Perasaan yang Danny rasakan setelah dia tadi mengbrol dengan Sarah dan Dyon. Dia ingin melihat Dyon tersenyum seperti tadi, bahkan Danny ingin melihat cewek itu tertawa di depannya. “Bodoh, alesan macam apaan tuh?” Danny bergumam, sekarang cowok itu benar-benar frustasi. Selama ini dia mendekati cewek karena tampangnya yang lumayan atau paling nggak tuh cewek terkenal dan pintar, minimal juara kelas-lah, bukannya yang biasa-biasa amat, kayak Dyon. Danny menoleh lagi ke belakang untuk memastikan lagi. Danny kaget bukan main, cowok itu cepat-cepat kembali menghadap ke depan. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak tak teratur. Dyon tadi sedang menatapnya saat dia menoleh. “Kanapa salting?” Danny berpikir sesaat, lalu geleng-geleng kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang ada di dalam otaknya. 999 “Kenapa sih tuh cowok, Sar?” Dyon berbisik pada Sarah, tapi kepalanya menunduk, tidak melihat kearah Sarah. “Suka kamu kali Dy.” Sarah menjawab dengan tenang. Tentunya Sarah juga berbisik dan melakukan hal yang sama seperti Dyon. Gila aja mereka lagi pelajaran Bu Ida yang kalau lagi ngajar harus sunyi senyap, kalau nggak ‘You Out!’ Ngeri nggak tuh?! Dyon mendengus; nggak-mungkin. Kalau Danny tertarik sama dia palingan juga karena dia tak peduli dengan kehadiran tuh cowok, jadi tuh cowok berasa tertantang untuk mendekatinya. Ck, Dasar playboy. 999 EMPAT Tak ada yang berubah, Bukan berarti semuanya Masih sama. (Thy Nastiti) “Ada apa?” tanya Devon lembut kepada Dyon. “Nggak apa-apa.” Dyon menjawab seadanya. Dia paling nggak suka kalau hanya duduk berdua di mobil dengan Devon, padahal dulu dia paling suka kalau hanya duduk berdua dengan Devon di taman. Devon melirik Dyon yang duduk di sebelahnya, mencoba mencari kebenaran di raut wajah Dyon, tapi Dyon berpaling menghadap keluar jendela kebiasaan Dyon kalau sedang mencoba menyembunyikan suasana hatinya. “Oh, baiklah. Kalau nggak mau cerita.” Lagi-lagi Devon mencoba memancing Dyon untuk bicara tapi cewek itu tetap bungkam. Devon sekali lagi melirik Dyon. Ada apa dengan gadis yang duduk di sebelahnya ini? Tangan Devon terulur hendak mengelus puncak kepala Dyon, tapi lalu dia urungkan. “Kakak masih menganggapku sama seperti yang dulu?” Dyon bertanya lirih. “Lhoh, bukannya kamu tetap Dyon yang dulu? Dyon yang nggak suka kalo Kakaknya main sama anak perempuan lain.” Devon tertawa, mengingat bagaimana lucunya Dyon saat itu. Dyon akan menangis dan ngambek atau bahkan marah saat melihat dirinya bermain dengan anak perempuan lain. Nanti setelah itu dengan susah payah dirinya harus membujuk Dyon untuk memaafkannya. Padahal bisa saja Devon tak perlu membujuk Dyon untuk memaafkannya, tapi Devon tak kuasa melihat gadis kecil itu tak mau memandangnya lagi. “Ya, dulu dan sekarang aku tetap sama.” Suara Dyon lirih menjawab bahkan terdengar sedikit bergetar. Devon tertawa lagi. “Tetap sama di mata Kakak ya?” Dyon bergumam lebih untuk dirinya sendiri, tapi Devon masih bisa mendengarnya. Hati Devon berdesir sesaat, kembali teringat semuanya berawal. Perasaan marah terbit dalam dirinya sesaat, hanya sekejap karena cowok itu sudah terlatih untuk menekan perasaan bodoh itu. “Gimana sama gebetan kamu?” Devon iseng bertanya. Sebenarnya mencoba mengalihkan pembicaraan. “Gebetan siapa? Nggak ada kok,” jawab Dyon. “Masa’ sih?” Devon menggoda, sedikit lega karena topik pembicaraan berganti. “Iya beneran,” dengan gemas Dyon mencoba meyakinkan Devon. “Beneran nih? Nggak usah malu-malu lagi kalo mau cerita.” Devon memancing reaksi gadis di sebelahnya. “Kalo nggak percaya ya udah.” Dyon merengut, manyun. Devon tertawa renyah, senangnya melihat Dyon seperti itu. Dari kejauhan Geo melambai-lambai di depan gerbang sekolahnya. Mobil berhenti, Geo masuk ke mobil dan Dyon juga keluar dari mobil untuk pindah ke belakang, bareng Geo. Diam-diam Devon menghela napas. Kamu berubah Dy, di mataku kamu sudah terlihat berubah enam tahun yang lalu, segalanya berubah pada saat itu Dy. “Kalian mau ice cream?” tanya Devon semangat, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang membuatnya sulit bernapas. “MAUUUU...” 999 LIMA “Thanks to loving me and I’m sorry if hurt you” “Hai Dyooooon?!” sapaan yang penuh semangat itu mengagetkan Dyon yang baru turun dari mobil. Dyon menatap sengit Danny yang cengengesan nggak jelas. Kaca mobil di buka separuh. “Dy, nanti pulang kujemput saja. Nanti ke toko bukunya kuantar.” Devon beralih ke cowok yang berdiri di sebelah Dyon. Siapa dia? “Hai kakak?! Saya Danny, temen deketnya Dyon. Salam kenal.” Tanpa diminta siapapun Danny memperkenalkan dirinya sendiri dengan jabatan sebagai teman dekat Dyon. Dyon yang di sebelahnya, langsung menoleh ke arah cowok itu, menatap Danny dengan tatapan; sejak kapan kamu jadi temen deketku? Devon manggut-manggut, tersenyum tipis, lalu melambai dan mobil itu pun pergi menjauh. “Apaan sih kamu?” Dyon langsung menyemprot Danny. “Gilaaaa’, galak banget kamu Dy. Ckck pantes nggak ada yang mau deket-deket kamu.” Komentar Danny serius sambil geleng-geleng. Dyon hanya diam, lalu dia melangkah pergi meninggalkan Danny. Danny tersenyum senang, bisa menggoda Dyon. “Ciye’elah Dy, gitu aja ngambek. Tapi kamu untung lho ketemu sama aku, soalnya aku cowok yang baik hati banget udah mau deket-deket sama kamu. Aku suka sama kamu lho Dy, bener-cit-cit-cit-cit-cit-cit-cit.” Entah apa yang dikatakan Danny, suara cowok itu berubah jadi kayak tikus di telinga Dyon. Berasa lama perjalanan Dyon ke kelasnya yang berada di lantai dua, mungkin karena ada cowok-playboy-cerewet-jelmaan-tikus yang berjalan bersamanya. Di undakan tangga paling atas yang mendekati kelas mereka, Dyon berhenti mendadak membuat Danny juga ikut-ikutan berhenti mendadak. “Ada apaan?” Danny bertanya heran. “Kamu jalan duluan!” Dyon mendorong Danny agar berjalan mendahuluinya. “Kenapa?” dahi Danny berkerut, bingung. “Mmm. Aku pengen jalan di belakangmu aja.” Dyon menyesali perkataannya barusan. Lihat aja Danny langsung memasang senyum yang seharusnya manis kalo yang lihat cewek-cewek fansnya Danny, tapi di mata Dyon senyum itu menyebalkan. “Baiklah Nona.” Danny berlagak hormat ala prajurit. Dyon mendengus. Sebenarnya Dyon menyuruh Danny untuk berjalan di depannya karena dia malas jadi perhatian dan sasaran amukan fans-fansnya Danny yang pasti udah nongkrong di dalam kelasnya dan dugaannya tepat. “Astagaaaa. Kapan suasana pasar dadakan ini akan berakhir?” Dyon bergumam frustasi. 999 Dyon dan Sarah sedang asik menulis daftar buku yang akan mereka beli di toko buku, bukannya mereka bingung mau beli buku apa saking banyaknya tapi mereka bingung karena uang mereka pas-pasan. Ini kebiasaan yang mereka suka sebelum pergi ke toko buku. Aneh tapi menyenangkan, itulah yang dirasakan kedua cewek itu. Daripada mereka menunggu jemputan Kak Devon di luar tanpa melakukan hal apapun? Ruang kelas udah sepi, soalnya udah bel pulang. Mereka berdua berdebat kecil, lalu tertawa, dan bersamaan melihat handphone milik Dyon yang di letakkan di tengah-tengah meja. Menunggu telphone dari Kak Devon. “Aku ikut kalian dooooong?” suara itu mengagetkan Dyon dan Sarah. Dyon dan Sarah mengelus dada, jantung mereka berasa akan copot. Gimana nggak? Suara Danny pas ruangan lagi sepi kayak mercon di telinga mereka. “Bisa nggak sih nggak usah ngagetin?” Dyon langsung sewot. “He’eh bener tuh. Suaramu udah hampir bikin jantungku mau copot tau.” Sarah menambahkan. “Hehehe maaf-maaf. Lagian kalian masa’ nggak denger aku masuk sih? Kan tadi aku ud....” ucapan Danny terpotong karena dering dari telephone Dyon. Lagu soundtrack-nya Naruto, Kanashimi No Yasasisha Ni terdengar. Tanpa disadari senyum Dyon dan Sarah merekah. Danny melihat senyum Dyon, senyum itu berbeda. “Yuk Sar! Kak Devon udah di luar.” Dyon berdiri dan diikuti Sarah. “Eh eh eh, aku ikut kalian doooong?” dengan cepat Danny menahan Dyon dan Sarah yang sudah hampir mencapai ambang pintu. “Nggak boleh.” Dyon menolak dengan tegas, tapi penolakan itu tak didengar Danny karena Sarah sudah terlebih dahulu menerima Danny dengan senang hati. “Yes,” Danny bersorak senang, berjalan mendahului Dyon yang masih melongo menatap Sarah, yang ditatap malah cuma nyengir kuda. 999 “Hai Kakak? Ketemu lagi. Minta restunya ya Kakak mau deketin Dyon.” Baru duduk beberapa menit yang lalu Danny udah buat sesi keributan dengan Dyon. “Apaan sih?!” Dyon langsung menyahut. Matanya mendelik menatap Danny. “Galak banget sih. Ati-ati lho sama aku. Hehe.” Danny santai menanggapi. Sarah tertawa, “Haha bener tuh kata Danny.” Danny juga ikut-ikutan tertawa, kelihatan banget tuh cowok bahagia banget bisa menggoda Dyon. Dyon merengut, mood-nya langsung jelek. Diam-diam dia melirik Devon yang ada di sebelahnya, di balik setir kemudi. Devon dari tadi bungkam, tak menyahut apa-apa. Muka cowok itu juga datar-datar saja. Kelihatannya tuh cowok fokus banget sama jalanan yang ramai. “Eh Kak Devon, Dyon sukanya sama cowok yang kayak gimana sih?” Danny berganti target. “Eeeem gimana ya?” Devon bingung mau jawab apa. Sebenarnya dia kaget tiba-tiba ditanyai begitu sama Danny. Tadi dia lagi sibuk menata hatinya. “Masa nggak tau sih?” Danny tetap memaksa. Dyon tambah merengut, mulutnya mengerucut. Apaan sih mereka berdua? “Ooh, Dyon itu sukanya cowok yang kayak pangeran.” Devon jawabnya ngelantur. Kening Danny berkerut bingung. “Kayak pangeran-pangeran di cerita dongeng anak-anak.” Devon menjelaskan, tambah ngelantur. Dyon hanya diam saja, males menanggapi. “Dyon suka cerita kayak gitu Kak?” sekarang giliran Sarah, ikut nyeletuk. Jujur saja dia terkejut dengan fakta itu, karena dia pikir Dyon anti banget sama cerita-cerita dongeng kayak gitu, cerita novel romance yang berakhir bahagia saja dia nggak suka apalagi cerita dongeng yang pasti akhirnya bahagia dan penuh cinta. “Ehm. Dyon itu waktu kecil bilangnya pangeran-pengeran terus waktu main. Dia sering nyebut-nyebut Pangeran Sepeda.” Devon tertawa, mengingat masa kecilnya dulu bersama Dyon. Cowok itu tidak sadar sudah menampar Dyon untuk kembali mengingat masa kecilnya dulu bersama Devon. Devon tahu benar siapa yang dimaksud pangeran sepeda Dyon. Rasanya menyenangkan bagi dirinya, dianggap menjadi pangeran sepeda untuk Dyon, walaupun yang seharusnya lebih tepat Pangeran berkuda. “Lho Kakak kan naiknya sepeda nggak naik kuda, jadi ya Pangeran sepeda.” Itulah alasan Dyon saat kecil dulu kenapa dia memanggil Devon dengan sebutan itu. Julukannya aneh memang tapi Devon sangat menyukai julukan itu, hati Devon juga selalu menghangat setiap dia mengingat kenangan itu. “Siapa tuh pangeran sepeda?” Danny bertanya penasaran. Menarik Devon kembali ke alam raya. Dyon pucat pasi. “Nggak ada pangeran sepeda.” Dyon menjawabnya terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu memaksakan. “Ehem. Nggak ada pangeran sepeda kok, beneran.” Dyon mengulangi pernyataannya. “Kak Devon cuma bercanda. Iya kan?” Dyon menelan ludah susah payah, suaranya sedikit bergetar. Matanya menatap Devon. Memohon, untuk menyetujui pembelaannya. Devon menatap Dyon bingung. Hatinya sedikit sakit dan terasa sesak. Tiba-tiba kerongkongannya begitu kering. Apa segitu inginnya gadis kecilnya tak ingin mengingat masa kecil mereka dulu? “Haha, kalian kok gampang banget dikibulin sih?” Devon memaksa untuk tertawa, dan dia gagal. Tawa itu kaku dan sangat terlihat dipaksakan. Dyon menghela napas lega, akhirnya dia bisa bernapas lagi, setelah beberapa detik diam-diam cewek itu menahan napas. Dyon juga ikut tertawa, mencoba menutupi kekakuan yang ada; antara dirinya dan Devon. Sarah merasa ada yang salah dengan suasana ini. Ada sesuatu yang janggal dan ditutupi oleh Dyon. Tapi dia hanya bisa menduga-duga, belum berani membuat kesimpulan. Pada akhirnya dia hanya ikut-ikut tertawa. Sebenarnya Danny juga merasakan hal yang sama dengan Sarah. Tapi cowok itu hanya diam, tak menanggapi candaan itu yang baginya sangat ganjil. ‘Di saat seperti ini, kenapa Geo nggak ada sih?’ Dyon menyangkut pautkan adiknya yang nggak ada di saat-saat tuh anak dibutuhkan. 999 Toko buku yang mereka datangi saat ini, tak cukup ramai hanya ada beberapa pengunjung sedang asik membaca dan memilih-milih buku. Beberapa remaja berpakaian SMA berbisik-bisik melihat kedatangan mereka, mungkin hanya melihat kedatangan Danny dan Devon. Terutama Danny yang dengan santainya tebar pesona sana-sini. Dyon cuek saja dengan tingkah laku cowok itu. Kak Devon aja nyantai, tuh cowok kenapa kampungan banget? Dasar playboy. Mereka semua sudah berpencar ke rak-rak yang ingin mereka tuju, tidak termasuk Danny yang membuntuti Dyon, kemanapun cewek itu pergi. Awalnya Dyon nggak merasa terganggu tapi lama kelamaan dia merasa gerah juga. “Dy? Cari buku apaan sih? Serius banget.” Lagi-lagi Dyon merasa terganggu oleh Danny. Ada apa sih dengan cowok itu? Dyon menoleh sesaat, lalu kembali berkutat ke deretan buku di depannya. “seperti biasa, dingin.” Danny bergumam. “Apa?” Dyon bertanya datar tanpa mengalihkan kesibukannya. “Nggak apa-apa. Kenapa nggak cari novel? Malah nyari buku yang berat-berat kayak gini?” Danny nggak habis pikir dengan cewek yang satu ini. Kebanyakan cewek remaja seumuran mereka lebih menyukai novel-novel romance daripada buku-buku berat yang berderet di rak depannya ini. “Kamu suka aku ya?” tiba-tiba Dyon berbalik, menghadap Danny dan langsung bertatapan dengan mata gelap Danny yang terlihat kaget, walaupun raut wajahnya tak memperlihatkannya. Danny terdiam, tak langsung menjawab. Cowok itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia berkata, “kalau memang iya, gimana?” alisnya naik turun, menantang Dyon. “Selamat berjuang aja deh. Aku nggak tertarik sama kamu tuh masalahnya.” Dyon malah meremehkan. “Ati-ati lho kamu Dy, kepincut aku beneran baru tahu rasa kamu.” Danny mulai sebel dia diremehkan begitu. “Nggak salah? Kamu yang ati-ati.” Balas Dyon tak kalah sengit. “Lho kok aku? Aku kan emang udah tertarik sama kamu, jadi nggak perlu ati-ati.” Danny menangkis dengan mudah. “Nggak usah bohong deh. Aku tahu kok kamu cuma tertarik aku gara-gara kamu merasa tertantang karena cuma aku cewek satu-satunya yang nggak tertarik sama kamu. Iya kan?” Dyon mengucapkannya dengan penuh kemenangan karena dilihatnya Danny hanya diam tak bisa membalas perkataannya. Dyon masih menunggu, tapi kelihatannya cowok di hadapannya ini tak akan membuka mulutnya. Dyon berbalik, lalu pergi meninggalkan Danny yang masih mematung. “Cerdas juga tuh cewek,” gumam Danny. Melihat punggung Dyon yang terlihat semakin menjauh. Baru kali ini mulutnya dibungkam sama cewek. 999 ENAM “Bukan tak ingin mengakuinya, Apalagi menyangkalnya. Hanya ingin meredam saja, Apa yang seharusnya tak ada.” “Hallo Mama?” Danny melangkah masuk dengan membawa hatinya yang meledak-ledak saking senangnya. Lalu cowok itu melangkah menuju dapur, dimana mamanya berada. Cowok itu mencium dan memeluk mamanya. Mama Danny sampai bingung, biasanya anak satu-satunya ini akan mengeluh, betapa capeknya dia dikerumuni cewek-cewek centil, dan betapa bangganya dia dengan pesonanya yang selalu berhasil menggaet cewek manapun. Biasanya ketika pulang tuh anak hanya akan mengucapkan salam, dan mengeluh ataupun membanggakan dirinya sendiri lalu berjalan masuk ke kamarnya. “Ada apa sih Dan? Dapet cewek baru?” Mama bertanya tanpa menoleh. “Emmm menurut Mama?” Danny malah balik bertanya ke mamanya. Mendengar jawaban anaknya itu, perempuan yang masih terlihat muda dengan wajah ramah yang selalu menghiasi wajah cantiknya, berbalik menatap anak laki-lakinya. Heran. “Kamu lagi jatuh cinta ya?” tebak Mamanya, ingin tahu. “Hehe enggak juga sih, cuma aku dapet tantangan baru nih.” Penjelasan Danny membuat mamanya berbalik lagi, meneruskan aktivitas terakhirnya; memasak. Jawaban Danny membuat perempuan itu tak tertarik dengan obrolan yang akan dimulai anaknya. “Ih Mama kok gitu sih?” Danny menggoda mamanya, yang malah kembali asik memasak. “Sudah sana masuk kamar, terus mandi!” Danny tertawa menanggapi komentar mama, lalu melenggang pergi ke kamarnya. Mamanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya. 999 Setelah mandi, Danny hanya rebahan di kasur. Tubuhnya berbaring menghadap langit-langit kamarnya yang putih. Matanya menerawang, kembali mengingat kejadian tadi siang di toko buku. Senyumnya mengembang seketika. “Aku harus dapetin Dyon, masak cewek kayak Dyon aja nggak bisa ku dapetin?” Putus cowok itu mantab. Otaknya langsung berputar, berpikir keras mencari cara untuk menarik perhatian Dyon besok. 999 “Hai Dy?” Sapa Danny dengan senyum manisnya yang sengaja dipamerkan. Menunggu reaksi Dyon, setelah cewek itu menyadari betapa manisnya senyumnya itu. Dyon menoleh dan cewek itu hanya diam, menatap Danny dengan datar. Padahal Danny berharap cewek itu akan memujinya paling nggak balas tersenyum kepadanya. “Apaan sih?” malah yang keluar dari mulut cewek itu jauh dari nada manis, nada sebal justru mendominasi nada suaranya. Danny berbalik memunggungi Dyon sesaat, berpikir keras lagi. Dyon sudah hendak pergi, tapi batal karena Danny mencengkeram sebelah tangannya dengan kuat. Cowok itu lagi-lagi memamerkan senyum mautnya, dilanjut dengan kerlingan sebelah mata dan sebelah tangan cowok itu yang bebas menyisir rambutnya yang jabrik, persis seperti model-model remaja cowok. Mata Dyon menyipit, “Kenapa sih? Hiiii, serem tauuuk.” Dyon lagi-lagi justru berseru jijik. Nggak terpesona sama sekali. Danny melongo, genggaman tangannya pada tangan Dyon terlepas saking syoknya sama reaksi Dyon. Kok bisa cara yang dulu sampai sekarang ampuh banget ngegaet cewek, bisa gagal. Dyon langsung ngacir pergi. “Tuh cewek picek kali ya?” Danny bergumam putus asa. 999 Selama jam pelajaran Bahasa Inggris, Bu Dewi nggak tahu kalau salah tiga anak didiknya sedang tidak konsentrasi dengan bahan ajar yang beliau terangkan. Seharusnya semua penghuni kelas XI IPA 3 dengan khidmat mendengarkan penjelasan Bu Dewi. Dalam artian mereka sedang berusaha berkonsentrasi karena mereka tahu kebiasaan Bu Dewi yang selalu, wajib, dan tak pernah terlupakan oleh beliau, yaitu; mengadakan kuis pemahaman setelah beliau menerangkan. Dyon, cewek itu sedang membaca bahan ajar yang tadi dibagikan Bu Dewi dengan serius, tapi itu tak bertahan lama. Pikirannya melayang ke sosok Devon. Dyon merasa dirinya tak bisa hidup seperti ini terus, dia tak bisa bertahan menahan rasa sakit di hatinya, melihat Devon setiap hari dengan luka di hatinya yang menganga. Dyon tak tahu juga teman sebelahnya; Sarah sedang berpikir keras mencoba menggabung-gabungkan potongan pazel yang nantinya akan memberikan jawaban dari pertanyaan yang sudah lama bersarang diotaknya sejak cewek itu mengenal Dyon. Sarah melirik Dyon sesaat, ada perasaan kasihan dalam hatinya yang setiap saat ia menatap mata Dyon. Sebenarnya Sarah tahu apa yang dirasakan Dyon. Putus asa, itulah yang sering terlihat oleh Sarah dari kedua mata milik Dyon. Di sisi lain, Danny, cowok itu saat ini justru masih sibuk dengan pikirannya sendiri, berkutat dengan strategi-strategi yang nantinya akan dia lancarkan untuk Dyon. Bahkan tangannya sibuk mencoret-coret buku tulisnya, seolah-olah cowok itu sedang sibuk mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Bu Dewi. Padahal dia sedang sibuk menulis strategi-strateginya agar dirinya tak lupa strategi mana dulu yang akan ia jalankan. Misi menggaet Dyon jadi pacar : Memberikan senyuman maut dan kesemapatan Dyon mengagumi wajah penuh pesonanya (GAGAL) Memberikan perhatian spesial Menarik perhatiannya Metode tempo dulu -> kirim surat cinta, bunga? Merubah sikap jadi cool Mencoba menjauhinya, mungkin. Berdo’a aja! Fighting! Ganbate! Bu Dewi melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sepuluh menit lagi istirahat kedua. “Masukkan semua buku kalian. Sekarang kita kuis pemahaman!” Tak ada satupun murid yang memprotes, karena memang beginilah ibu guru-berwibawa-muda itu mengajar, lagian juga percuma kalau protes sama Bu Dewi. 999 “Argh, bisakah tak ada kuis saat pelajaran Bu Dewi?” erangan Danny yang cukup keras tak dipedulikan oleh Dyon dan Sarah. Kedua cewek itu justru beranjak dari tempat duduk, hendak pergi ke kantin. Mereka lapar. “Eh, eh, eh kalian mau kemana?” lagi-lagi Danny tak dipedulikan. Cowok itu mendengus sebal. “Sabar Dan, sabar, demi misi.” Tangan Danny mengelus-elus dadanya. Mencoba menyabarkan diri. “Tuh cowok kenapa sih?” kali ini Sarah berkomentar dengan sikap Danny yang aneh setelah dia berhasil menjajari Dyon. Dyon mengangkat kedua pundaknya sesaat, menjawab tak acuh. “Pada dingin banget sih?” ternyata Danny sudah berhasil mengejar kedua cewek yang udah ngacangin dia. Semua sekolah pasti juga sama dan pasti nggak ada kantin sekolah yang sepi pada saat jam istirahat kecuali lagi bulan ramadhan, nggak usah ditanya juga yang jualan juga nggak pada buka. “Gila rame banget, ckckck.” Lagi-lagi Danny berkomentar dengan hal yang emang sudah sewajarnya terjadi, sudah hukum rimba di sekolah. Dyon dan Sarah justru sudah mengantre di penjual soto. Danny hendak menyusul tapi tiba-tiba tuh cowok dihampiri oleh sekelompok cewek-cewek cantik, stylist pula. “Danny kan?” tanya salah satu cewek yang paling depan, tinggi, dan cantik diantara lainnya, sepertinya cewek itu yang paling berkuasa. “Emm iya,” jawaban Danny berasa ngambang. Cowok itu mengamati cewek-cewek di depannya, tapi terlihat dari sikap tubuhnya yang santai. Danny sudah tahu apa tujuan mereka. Pertama, mereka pasti bakal ngajak kenalan. “Namaku Nina Anggriyani, salam kenal ya?” benar kan? Tebakan Danny, tuh cwok mengulum senyum. Danny tersenyum tipis, lalu mengangguk kecil “Oh Ok.” Sengaja Danny hanya menjawab singkat, biar kelihatan cool. Cowok itu diam menunggu Nina bicara. Tujuan keduanya pasti ngajak Danny makan bareng di kantin. “Mau ke kantin kan? Bareng aku aja yuk?” sekali lagi Danny mengulum senyum. “Tapi aku udah ditunggu temen. Lain kali ok?” Danny menolak halus, sengaja membuat Nina penasaran. Danny beranjak pergi, cowok itu langsung celingak-celinguk mencari-cari Dyon dan Sarah. Tak membutuhkan waktu lama, Danny sudah melihat kedua cewek itu, sedang asik makan dan tertawa, entah apa yang mereka tertawakan tapi tawa Dyon menghangatkan hatinya. “Hai? Lagi nertawain apaan sih?” Danny menghempaskan tubuhnya di sebelah Dyon. “Kamu,” Danny menoleh. Apa yang barusan Dyon bilang? Sarah mendongak, melihat Danny yang menatap Dyon. Dyon yang ditatap Danny lekat-lekat justru asik dengan sotonya entah menyadarinya atau tidak tapi Dyon terlihat tak peduli. Sarah menghela napas diam-diam, apa sih yang dia rasain? Kenapa dia pengen diperhatiin Danny ya? Nggak-nggak mungkin dia suka cowok kayak Danny. 999 “Sarah ke toko buku yang kemarin lagi yuk? Aku kelupaan mau beli buku sketsa.” Entah sudah berapa kali Dyon memohon, tapi Sarah tetep aja geleng-geleng. Tiba-tiba Danny menoleh ke belakang. “AKU BISA!!!” Cowok itu tersenyum lebar dan menaik-naikkan kedua alisnya. Dyon memegangi dadanya, dia kaget setengah mati. Apaan sih tuh cowok, teriak-teriak segala, untung udah pada pulang jadi kelas sepi. Dyon manyun, mukanya ditekuk tiga belas kali. Danny yang berjalan di sebelah Dyon justeru senyam-senyum tidak jelas, hatinya sedang berbunga-bunga, siapa peduli? Dyon sebel banget bagaimana bisa tadi dia tak menolak ataupun melawan Danny biar tuh cowok nggak ikut dengannya ke toko buku, apalagi Sarah nggak bisa ikut, hal itu semakin membuat Dyon sebel. Lagian Danny juga seenak jidatnya ngikut padahal tadi dia nggak bilang Danny boleh ikut, tadi memang sih Dyon cuma diam tapi bukan berarti tuh cowok boleh ikut dong. Mereka memasuki toko buku hanya ada dua penjaga toko buku dan dua wanita yang lagi asik memilih novel. Dyon langsung menuju rak bagian alat tulis yang di sebelahnya tepat ada rak yang memajang bermacam-macam alat melukis. Dyon paling senang di toko buku ini karena menyediakan semua yang dia inginkan, sedangkan Danny malah pergi ke rak bagian novel. “Kalau mau cari komik nggak di sini.” Tba-tiba Dyon sudah ada tepat di samping Danny. “Eh, siapa bilang aku mau cari komik?” Tangan Danny terulur hendak mengambil salah satu novel tapi sesaat terhenti di udara karena pertanyaan Dyon yang terdengar meremehkan. “Dunia Sophie?” “Kenapa? Cuma pengen lihat doang.” Danny mengambil novel filsafat itu. “Aku suka novel itu.” Danny menoleh seketika, salah satu alisnya terangkat, “Apa?” “Aku suka novel itu.” Dyon mengulangi pernyataannya. “Kenapa?” Dyon terdiam sesaat, “Yaaa... suka aja.” Mata Danny menyipit menatap Dyon. “Masak nggak ada alasan yang lain?” Danny bertanya, mulai tertarik dengan pembicaraan ini. “Emang suka harus ada alasannya?” Dyon malah balik bertanya. “Iya dong...” Danny menggangguk kuat-kuat. “Trus, kamu suka aku karena apa?” Danny kaget bukan main dengan Dyon yang tiba-tiba bertanya seperti itu. Dyon menaik-naikkan alisnya menunggu jawaban Danny, jadi bikin Danny tambah salah tingkah. Cowok itu bergerak-gerak tidak jelas. Danny tersenyum lebar tapi kaku, lalu cowok itu berjalan melewati Dyon, “Ayuk ah pulang.” Dyon tersenyum menang berhasil membuat cowok tengik itu mati kutu. Satu-kosong untuk dirinya. 999 Jalanan menuju halte sedikit lengang karena baru saja hujan mengguyur kota ini. Danny melirik Dyon yang berjalan dalam diam. Danny mengamati Dyon, mencoba mencari penyebab cewek ini begitu dingin. Hati Danny sedikit terusik, tadi saat menunggu hujan reda di luar mall, dia melihat sisi lain dari Dyon. Cewek itu berbeda saat mengamati hujan, matanya tak beralih dari langit yang menumpah ruahkan air. Mata itu juga seolah memohon pada hujan dan mata itu terlihat akan menangis, seolah cewek itu tersakiti berbeda dengan biasanya mata cewek itu tidak terlihat dingin. Nih cewek kenapa sih? Pikir Danny. “Jangan liatin aku terus, beneran suka lho.” Suara datar Dyon menembus pikiran Danny dan berhasil membuat cowok itu salah tingkah yang ketahuan sedang mengamatinya. Cowok itu berdeham, “Aku jadi beli Dunia Sophie lho Dy.” Danny mencoba mengelak. “Buat pajangan?” tanya Dyon datar. “APA? Ya nggak-lah.” Danny tertawa mendengar pertanyaan Dyon. “Aku beli buku ini biar aku juga tahu buku kayak apa sih yang Dyon suka. Ini demi biar aku bisa deket kamu lho Dy.” Lanjut Danny bangga. Dyon Cuma melengos. Cewek itu justru menatap jalanan di depannya, tanpa ia sadari dirinya dan Danny sudah hampir sampai di halte. “Kalo nggak percaya ya udah.” Percuma ngerayu Dyon. “Eh kamu suka gambar Dy?” tanya Danny karena tadi dia lihat Dyon membeli buku sketsa dan pensil warna. “Aku pulang dulu ya!” Dyon ditanyai malah ngacir lari ngejar bus yang berhenti di depan halte. Danny melongo sesaat, tiba-tiba ide gila terbesit di otaknya. “SAMPAI KETEMU BESOK YA SAYAAAANG?!” Danny sengaja berseru keras biar Dyon dan orang-orang yang ada di halte mendengarnya. Biar malu tuh si Dyon haha, Danny tertawa bahagia dalam hati. Danny seneng banget tuh. Saat sudah sampai di pintu bus Dyon memutar kepalanya ke arah Danny. Kaget mendengar seruan itu, Dyon memasang muka garang, cewek itu juga mengacungkan kepalan tangan kanannya di udara membentuk tinju ke arah Danny yang sedang tertawa puas bahkan cowok itu sampai membungkukan badannya. Seketika itu juga Dyon menyadari sesuatu, dia menoleh ke segala arah, dan Dyon sudah tahu pasti do’anya tidak akan terkabul. Di halte ada gerombolan remaja cewek yang juga memakai seragam sama seperti dengannya sedang memandangnya tanpa ragu dengan tatapan mengerikan. Dyon segera naik ke bus daripada dia dipandangi cewek-cewek itu. Selama di bus cewek itu merutuki kebodohannya sendiri, kenapa tadi dia tidak cuekin aja si Danny tengil itu. 999 TUJUH My Mama always said, life was like a box of chocolates. You never know what you’re gonna get. -Forrest Gump- Dyon celingak-celinguk mencari tanda-tanda kehidupan di rumahnya, tapi dia tak melihat siapa-pun bahkan lampu rumahnya juga mati semua padahal jam-jam sore begini biasanya Geo dan Kak Devon udah pada pulang. “Dari mana aja kamu?” Tiba-tiba lampu ruang tengah menyala. Dyon kaget setengah mati, kepalanya berputar ke arah suara. Devon berdiri menjulang di belakang Dyon. Tangan cowok itu tenggelam di saku celana jins-nya dan Geo berada di sampingnya dengan wajah cemberut. Dyon baru menyadari Devon masih memakai kaus dan celana jins yang tadi pagi buat kuliah, dan Geo juga masih memakai seragam sekolahnya. Lho kok belum pada ganti? Dyon berpikir sejenak. Astaga dia lupa sesuatu. “Hehe Maaf.” Dyon memamerkan wajah memelasnya. Dalam hati dia meramalkan do’a-do’a tanpa henti, karena dari cara Kak Devon menatap dirinya dan gelagatnya Dyon tahu pasti Devon marah besar sama dirinya. “Kak Dyon tahu, Geo sama Kak Devon itu cari kakak kemana-mana tao’?! Kak Sarah ditelephon juga nggak bisa apa lagi Kak Dyon ditelephon nggak diangkat-angkat. Capek tau cari Kak Dyon. Kalo nggak mau dijemput bilang dong! Mentang-mentang Mama Papa nggak di rumah Kak Dyon seenaknya” Geo langsung marah-marah, walaupun raut wajahnya terlihat lelah tapi tuh anak masih kuat teriak-teriak. Geo diam sesaat, capek, lalu anak itu menarik dan menghembuskan napasnya berulang kali seolah-olah dia baru saja maraton. Anak itu akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi ke kamar mandi, dia udah kebelet pipis dari tadi. Sebenarnya dia sudah mau meminta Kak Devon buat menepikan mobil ke pom bensin, tapi saat melihat muka Devon yang marah campur khawatir Geo-pun mengurungkan niatnya. Dia takut mengusik kakaknya itu. Dyon jadi tambah bersalah, dia akhirnya menunduk, menunggu sesi dimarahi sama Devon. Beberapa detik berlalu, Devon nggak bersuara. Cowok itu hanya diam menatap Dyon. Cewek yang Devon tatap tak berani mendongakkan kepala apalagi menantang tatapan matanya. Diam-diam Devon menghela napas lega, Dyon sudah pulang. Tadi dia khawatir setengah mati, tak biasanya Dyon pergi main bersama temannya tanpa meminta izin olehnya. Cowok itu juga sempat berpikiran macam-macam. Bagaiamana kalau dia kehilangan Dyon? Devon akhirnya beranjak pergi tanpa kata-kata dan meninggalkan teka-teki bagi Dyon. 999 “KAKAK BANGUUUN! UDAH JAM ENAM TAO’!” Geo berteriak tepat di telinga Dyon. Tanpa aba-aba tubuh Dyon langsung mlenting dari tempat tidur. “Dasar, kebo banget sih! Teriakan Kak Devon aja nggak mempan.” Gerutuan Geo hanya membuat Dyon nyengir, nggak niat membalasnya. Jam tujuh tepat. Dyon turun dari sepeda gunungnya yang sudah lama banget Dyon nggak pernah menyentuhnya. Napasnya masih terengah-engah, nggak terbiasa nyepeda jauh. Sebenarnya, jalan dari rumah Dyon sampai sekolah jauh kalau pakai mobil membutuhkan waktu dua puluh lima menit kurang lebih, tapi itu kalau lewat jalan raya. Kalau lewat jalan pintas yang Cuma bisa dilewati sepeda dan sepeda motor, hanya membutuhkan waktu lima belas menit tapi harus dengan kecepatan penuh. Nah, hal itulah yang menyebabkan Dyon kehabisan napas. Dyon menarik napas panjang, cewek itu mengambil ancang-ancang untuk lari maraton menuju kelasnya yang berada di lantai atas. “BENTARAAAN TUNGGUIIIN!!” serta merta teriakan itu membuat kepala Dyon berputar ke asal sumber suara dan detik berikutnya cewek itu malah ngacir lari maraton meninggalkan Danny yang berdiri jauh di belakangnya. “Kurang asem. Dasar tuh cewek.” Danny menyumpah pelan, tapi di detik berikutnya cowok itu sudah melesat dari tempatnya berdiri, dan berusaha mengejar cewek yang sudah berani-beraninya meninggalkan dia. Dyon menoleh ke belakang memastikan Danny sudah tertinggal jauh darinya. Jujur saja dia sudah hampir mati karena udara di paru-parunya udah berasa kosong. Dyon berhenti sejenak di tangga menuju kelasnya, tubuhnya sampai membungkuk, tangan kanannya memegangi dada untuk mencoba mengurangi rasa sakit di dadanya. “NAH KENA KAN LOE!” “AAAaaa...” Dyon kaget setengah mati. Reflek cewek itu berteriak ngeri melihat Danny dengan wajah menyeramkan, antara capek banget, sebel, dan bingung melihat Dyon malah lari terbirit-birit sambil berteriak ketakutan, ditambah lagi Danny justeru mengejar Dyon. 999 GUBRAAAAK..... Suara pintu yang didobrak dengan paksa membuat seluruh isi kelas XI IPA 3 yang sunyi senyap dan khidmat mendengarkan materi pelajaran yang disampaikan menoleh ke arah pintu. Seluruh siswa meringis melihat siapa dalang dari adegan mengerikan tadi di tengah-tengah penjelasan penting yang di sampaikan oleh Bu Ida. Seluruh siswa melihat Dyon yang diikuti Danny dengan penuh keprihatinan dan menampakan muka; ‘sial-banget-kalian-berdua.’ Danny mengerem larinya saat melihat muka garang Bu Ida terpampang jelas. Cowok itu berdiri tepat di belakang Dyon. “Kalian ini apa-apaan? Kalian kira kalian itu umur berapa?!” hardik Bu Ida. “Itu Bu Danny tuh, Bu!” Dengan napas terengah-engah Dyon berbalik menunjuk Danny lurus-lurus. “Pagi, Bu,” sapa Danny dengan nada santun. Lengkap dengan senyum manis dengan anggukan kepala. “Kalian berdua sudah mengganggu jam saya.” Bu Ida langsung melotot. Dyon dan Danny menunduk, ngeri ngeliat muka garang Bu Ida. Mereka menunggu hukuman mereka yang ada di tangan Bu Ida. Dyon rasanya pengen ngamuk-ngamuk sama Danny, sedangkan Danny, tuh cowok malah girang banget jadi bisa berduaan dihukum sama Bu Ida. Kesempatan dalam kesempitan nih ceritanya. “Kalian kumpulin daun kering di taman belakang sekolah kita!” suara tegas Bu Ida membuat seluruh isi kelas XI IPA 3 mengerang prihatin plus kasihan pada Dyon yang tak pernah dihampiri oleh derita hukuman dan Danny yang anak baru dan sudah membuat masalah dengan Bu Ida. 999 “Sekarang apa lagi?” Dyon menggerutu kesal lebih pada dirinya sendiri. “Apa?” Satu suara menghentikan gerutuan Dyon. Dyon menoleh cepat ke asal suara, astaga dia lupa ada cowok menyebalkan bersamanya. “Kenapa kamu mengikutiku?” Kening Danny berkerut heran. “Bukankah aku dihukum karena kamu?” Sekarang Dyon berhenti melangkah, tubuhnya berbalik cepat menghadap Danny. “Hei! Apa maksudmu karena aku?” Dyon tidak terima dia disalahkan. “Lalu siapa?” Danny mengerang gemas, dengan raut wajah pura-pura sebal. Sebenarnya hatinya tertawa-tawa bahagia. Dyon diam saja, hanya menatap Danny dingin. Danny yang ditatap begitu jadi ciut. Nih cewek dinginnya bikin gue mati kutu, Danny mengutuk dalam hati. 999 “Astaga-naga-bonar-jadi-dua. Ini mah namanaya bukan hukuman, tapi kerja rodi!” Danny berkomentar panjang lebar. Dyon melirik cowok di sebelahnya. Mereka berdua sampai di taman belakang sekolah yang tak pernah didatangi oleh murid, jelas saja siswa siswi pada nggak minat datang ke sini. Rumput hijau yang seharusnya terhampar dan bagaikan padang rumput digantikan dengan sampah-sampah buangan dari gedung lantai atasnya. Daun kering yang berguguran dari pohon linden yang rindang semakin menutupinya. Pohon linden, pohon besar itu menjadi obyek utama yang ada, menghalangi sinar matahari terik yang tak berhasil menembus rimbunnya dedaunan, hanya sedikit sinar matahari yang berhasil menyelinap. Pohon linden itu tak sendirian ada bangku panjang khas bangku taman yang berada tepat di bawahnya yang sangat kotor dan hampir tertutupi oleh daun-daun kering. Dyon memandang sejenak, menghela napas tak berdaya, dan cewek itu mengerang sebal karena dia lupa meminta sapu pada Pak Amat - petugas kebersihan sekolah. Cewek itu berbalik lalu berlari meninggalkan Danny yang berada di sebelahnya. “EH DY MAU KEMANA?” Danny berseru keras. Dyon hanya mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat pada Danny untuk menunggu. Tak berapa lama cewek itu kembali, menyerahkan salah satu sapu yang dibawanya ke Danny. Danny mendesah, dilihatnya Dyon yang susah payah menyapu daun yang menumpuk hingga sapu-pun tak berhasil untuk menggerakkan tumpukan daun itu. Danny menarik-narik baju seragam Dyon. “Kita nyuruh Pak Amat aja yuk?” usul Danny lesu. “Ini hukuman kita.” Dyon menjawab tanpa menoleh ke arah Danny yang ada di belakangnya. Sekali lagi Danny menarik-narik baju seragam Dyon. “Kita minta bantuan aja sama Pak Amat?” usul cowok itu lagi. “Ini hukuman untuk kita berdua.” Dyon menjawab dengan menekankan setiap katanya tanpa menoleh, dia mulai kesal. Lagi-lagi Danny menarik-narik baju seragam Dyon. Danny hendak mengucapkan sesuatu ketika tiba-tiba Dyon berbalik dengan muka marah. “APA LAGI!? Sekali lagi kamu menarik-narik bajuku, ku tendang kamu!” Danny melongo, mulutnya masih terbuka, matanya berkedip-kedip lucu, dan raut mukanya terlihat benar-benar kaget. “HAHAHAHA...” Detik berikutnya tawa Dyon meledak, raut wajah marah tadi berganti tawa yang benar-benar lepas. Sekarang wajah Danny benar-benar aneh, karena cowok itu sekarang merasa bingung, kaget, dan senang. Senang karena melihat cewek di depannya bisa tertawa seperti itu, yang dirinya sendiri bingung, entah melakukan apa hingga membuat cewek di depannya tertawa sampai membungkuk memegangi perutnya. Dan ketika melihat cewek itu sesaat melepas kacamatanya, karena cewek itu tertawa sampai mengeluarkan air mata. Hanya sesaat Dyon melepas kacamatanya, tapi Danny melihat wajah tanpa kacamata itu, mata indah yang tersembunyi dibalik kacamatanya selama ini. Tiba-tiba hatinya berdebar, jantungnya berdegup lebih cepat, dan hatinya menghangat. Tanpa Danny sadari benar cowok itu tersenyum, senyum yang benar-benar dari hatinya. “Cantik.” Desis Danny. Dyon mendongak untuk melihat muka Danny. Deg. Jantungnya berhenti sedetak. Mukanya memanas. Danny menatapnya dengan tatapan yang aneh. Senyum itu, senyum itu juga... desis Dyon dalam hati. Cewek itu akhirnya berpaling, pura-pura sibuk mengelap kacamatanya yang tadi berembun karena air mata. Danny masih tersenyum dan menatap Dyon dengan tatapan anehnya tadi, “Apaan sih?” Dyon mulai gusar, cewek itu tetap tidak berani menatap Danny langsung. “Aku pengen liat tawa itu lagi.” Danny masih tersenyum, sepertinya cowok itu mengucapkannya tanpa sadar. “Kamu yang apaan, ketawa nggak jelas.” Danny menambahkan karena melihat Dyon hanya diam saja. “Wajah kamu tuh.” Dyon menunjuk wajah Danny. Danny meraba-raba wajahnya seolah dia bisa tau penyebab Dyon bisa tertawa. “Ada yang aneh dengan wajahku?” Danny bertanya pura-pura bodoh. “Oh aku tahu, wajahku ganteng kan? Kamu baru sadar?” Dyon melongo, narsis bener nih cowok. ‘Sruuuuk....’ “IIIIIIHHH APAAN SIIIIH?” Dyon berseru kesal karena tiba-tiba sebelah tangan Danny sudah menggenggam penuh daun-daun linden kering dan melemparnya tepat di muka Dyon. “Hahaha mukamu lucu banget Dy.” Sekarang giliran Danny yang tertawa terbahak-bahak. Dyon dengan cepat meraup daun-daun kering di dekatnya, lalu melemparkannya tepat di muka Danny, tapi cowok itu menghindar dengan cepat. Dyon nggak menyerah cewek itu membungkuk, meraup daun linden yang kering lebih banyak lagi. Saat Dyon mendongak, Danny sudah berlari meninggalkannya. “Dasar curaaaaaang...” teriakan Dyon membuat Danny semakin tertawa terbahak-bahak. Akhirnya taman belakang yang seharusnya mereka bersihkan, justru berubah menjadi arena kejar-kejaran antara Dyon yang berlari mengejar Danny sambil berteriak sebal tapi wajahnya menyeringai senang dan Danny yang berlari menghindar dari kejaran Dyon sambil tertawa-tawa mengejek. Napas Danny dan Dyon terengah-engah. Danny sudah tiduran di atas tumpukan daun linden yang kering tanpa peduli nasib baju seragamnya yang putih. Dyon juga melakukan hal yang sama. Menyenangkan, pikir cewek itu. “Kamu tahu rasanya jatuh cinta?” Danny bertanya lirih. Dyon diam saja. “Aku yakin kamu pernah merasakannya, mungkin kamu juga pernah merasakan sakit hati.” Danny terdiam sesaat. “Dulu aku pernah merasakannya. Jatuh cinta, sakit hati, dan aku juga tahu bagaimana rasanya ditinggalkan seolah aku hidup tak ada yang menginginkan.” Lagi-lagi cowok itu terdiam, seolah merenungi sesuatu. “Kau tahu Dy? Sebelumnya aku pernah bertemu seseorang yang hampir sama sepertimu. Dia cewek yang dingin, tapi senbenarnya hangat. Dia yang tak peduli dengan sekitar tapi sebenarnya dia yang paling peduli dan justru paling mengerti dengan keadaan di sekelilingnya. Dia tegar, tapi sebenarnya hatinya rapuh. Aku benci cewek itu karena dia hidup dalam kepura-puraan tapi tanpa kusadari aku malah membutuhkannya.” Danny terdiam lama sekali. Dyon juga tak ingin mengatakan apa-apa, dia masih tak mengerti. Semilir angin membuat poni Dyon bergerak-gerak, tapi sepertinya cewek itu tidak peduli. Dyon justru memejamkan kedua matanya menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Rasa lelah menguasai tubuh cewek itu, bukan hanya tubuhnya tapi juga hatinya, baru kali ini dia bisa sedikit melupakan dan melepaskan rasa lelah itu walaupun sesaat. Kebaikan alam membuat Dyon tertidur dengan sendirinya, cewek itu benar-benar tidur. Danny mengamati Dyon yang tertidur di sebelahnya. “Ku harap kau akan mengerti Dy.” Rasanya menyenangkan saat-saat bersama Dyon, apapun yang dilakukan oleh cewek itu membuat hatinya selalu menghangat. Danny juga merasakan ternyata dia juga membutuhkan ketenangan bersama Dyon. Cowok itu bangkit berdiri dan mulai membersihkan taman belakang sekolah sambil berusaha agar tak membangunkan Dyon. 999 “Astaga, jam berapa ini? Astaga, aku ketiduran. Astaga, tamannya bel....” kepanikan Dyon terhenti karena setelah dia tersadar tamannya sudah bersih, bahkan sangat bersih dan indah. Dyon menatap Danny yang sedang berbaring, mata cowok itu sih terpejam tapi perasaan Dyon cowok itu sedang nggak tidur. “Berhentilah mengagumi wajahku, entar terpesona lagi?!” Bener kan kata Dyon, Danny Cuma pura-pura tidur. “Cih, terserah apa katamu.” Dyon membuang muka. Suara gemersik dedaunan yang hanya mendominasi di antara Danny dan Dyon, yang membuat Dyon bosan setengah mati, dan dengan Danny entah apa yang sedang cowok itu renungkan kenapa dia betah sekali dengan suasana seperti ini. Dyon melirik Danny yang masih saja tiduran. Akhirnya daripada dirinya tak ada kerjaan lebih baik dia pergi. Tapi tiba-tiba tangan Danny menangkap pergelangan tangan Dyon. “Kamu mau tau siapa cewek itu?” Dyon terdiam, kata-kata yang diucapkan Danny selalu saja buram dan sekarang apa? “Nama cewek itu Dyon Dav.” Dyon membuang napasnya, yang tanpa sengaja ia tahan dengan sebal. Permainan apa lagi ini? Pikir dia lucu? “Ah sudahlah, terserah apa katamu”, ujar Dyon sambil mengibaskan tangannya yang masih dicekal Danny. “HEI BUKANKAH INI LUCU? HAHAHA.... ” Dyon berajalan semakin cepat dan merapalkan sumpah serapah untuk cowok brengsek yang sudah membuatnya tak bisa bernafas dengan benar. 999 “Lucu darimana coba?” gumaman cewek yang tadi ia usili terdengar samar oleh Danny. Danny berjalan dengan badan miring menghadap kearah Dyon. Melihat wajah cewek itu yang cemberut dan mulut cewek itu yang mengerucut sebal membuat hati Danny menghangat. Hingga tanpa disadarinya salah satu sudut bibirnya terangkat hingga membentuk senyum yang manis jika itu dilihat dari cewek-cewek penggemarnya dan sayangnya itu tidak termasuk Dyon. “Apaan sih, senyam-senyum sendiri? Ngeri tau’ ngeliatnya. Kalo mau tebar pesona, salah tempat,” Dyon mengambil napas sejenak. “Oh ya, tolong jangan buat hal-hal aneh deh.” Lanjut protes dari Dyon disambut dengan gelak tawa Danny, cowok itu puas karena sekarang ada kemajuan yang didapat setelah kejadian tadi dan ia akhirnya juga tahu titik kelemahan Dyon. “Aku seneng kamu ngomongnya jadi agak banyakan .” Kata Danny serius. Dyon terpaku beberapa detik lalu langkahnya semakin cepat, meninggalkan Danny. “Hei Dy, tungguin dong. Aku ditinggalin terus!” Danny berlari mengejar Dyon dengan senyum yang mengembang. Tanpa disadari mereka berdua, ada seseorang yang memerhatikan tingkah laku mereka berdua. Nina memperhatikan Dyon dan Danny dengan muka masam, merasa tak rela Dyon bisa sedekat itu dengan Danny. Apakah tidak ada cewek lain selain cewek cupu yang bisa dekat dengan Danny? Sungut Nina. Dan ada seseorang lagi yang terpaku menatap setiap sikap, reaksi, dan tingkah laku Dyon dan Danny. Hatinya sedikit nyeri, tapi itu hanya sedikit. “Tak apa, lupakan saja,” seseorang itu meyakinkan dirinya sendiri. “Kamu suka baca novel jenis apa aja Dy?” Danny bertanya ingin tahu. “....” Dyon nggak meduliin. “Suka lihat sinetron Dy?” Danny bertanya dengan maksud iseng. “....” Dyon masih diam. “Aku udah baca Dunia Sophie lho Dy, tapi masih di halaman ke-lima.” Danny pantang menyerah. “....” Dyon nggak terpengaruh. “Dy, aku kok pengen ngrangkul kamu, biar kita jadi kayak temen yang akrab banget Dy,” Danny berpikir sejenak. “Eh jangan, jangan, kita gandengan tangan aja yuk? Biar kayak di sinetron-sinetron ABG gitu lho Dy?” cowok itu manggut-manggut seolah-olah apa yang dipikirkannya adalah hal wajar. “Eh kok diem sih Dy? Diem tandanya mau lho....” Danny masih bertahan menggoda Dyon. Tangan cowok itu hendak bergerak.... “Danny, cukup!” nada suara Dyon tenang bahkan terbilang datar, tapi matanya menatap Danny sebal. Tangan Danny berhenti di udara sebelum tangannya berhasil menyentuh tangan Dyon. Danny menatap sepasang mata Dyon, Oooh, marah beneran nih cewek. 999 Danny membalikkan badannya menghadap Dyon yang masih sibuk menulis entah apa di tempat duduknya, yang tepat di belakangnya. Wajah cewek itu terlihat sangat serius. “Pinjem yaaa, Dyon manis?” tangan Danny terulur mengambil pensil mekanik di meja Dyon sambil tersenyum jail, tapi nggak ada reaksi. Danny berbalik lagi, bingung. Cowok itu berpikir sejenak. “Makasih yaaa Dyon maniiiiiis?” Danny menunggu respon dari Dyon, dengan memperlambat gerakan menaruh pensil mekanik itu. Tapi Dyon tetap tak bereaksi, masih dengan kesibukannya. “DY-YON A-KU PIN-JEM PENG-HA-PUS-NYA YA-A-A-A-A?” Suara Danny mengeras dan sengaja ia penggal setiap suku katanya biar Dyon denger. Otomatis semua mata yang ada di kelas-yang-penghuninya-penuh karena jam kosong memperhatikan dua sejoli, yang satu diam menunduk menahan marah sedangkan yang barusan bikin gara-gara justru tetap fokus menatap cewek di depannya tanpa peduli dengan teman-teman yang lain menatap keduanya dengan caranya sendiri-sendiri. Ada yang bingung, ada yang merasa terganggu, ada yang menatap tetarik, tapi ada yang menatap dengan tatapan benci dan itu tidak segelintir, sepertiganya jumlah siswi di kelas. Dyon berdecak sebal, sekarang dia benar-benar merasa sangat-sangat terganggu dan marah. Cewek itu menarik napas panjang berulang kali berusaha menahan amarahnya yang udah nyampe di ubun-ubun. Sambil menahan marah, Dyon bangkit berdiri dengan gerakan cepat dan pergi ke luar kelas dengan pandangan lurus-lurus. Danny kaget, karena tidak ada perlawanan apapun. Tanpa sadar keningnya berkerut seakan-akan sedang berpikir keras. Astaga jangan-jangan tuh cewek marah beneran nih. Danny bergegas berdiri, lalu cowok itu melesat pergi menyusul Dyon. Disisi lain Sarah menghela napas panjang setelah melihat tingkah laku keduanya. “Dyooon? Kamu di dalem?” Danny berteriak di depan pintu kamar mandi cewek. “ASTAGA!” Danny memekik kaget, karena tiba-tiba pintu terbuka lebar. “Cari siapa?” Ternyata Nina, cewek yang dulu mengajaknya kenalan di kantin. “Oh, Mmm di dalem masih ada cewek?” Tanya Danny sambil mencoba melongok ke dalam. Nina menatap Danny bingung, “Mmm nggak kayaknya deh Dan..” Danny melirik cewek di depannya sekilas, wajahnya menampakkan rasa frustasi “Dimana sih tuh cewek? Ngilangnya cepet banget.” “Siapa?” Perhatian Danny soal Dyon teralihkan sama cewek cantik di depannya ini, dia perhatikan Nina dari ujung kaki sampai ujung rambut. Boleh juga nih cewek. Danny tersenyum, sengaja ia memunculkan senyum seribu watt-nya yang selalu berhasil meluluhkan setiap hati cewek yang melihatnya, tapi itu nggak mempan buat Dyon sayangnya. “Hai cantik? Nggak masuk kelas?” Danny mulai menggunakan jurus playboy cap kadalnya. “Mmm masih jam kosong kok,” Alis Danny terangkat, bodoh deh nih cewek, kamar mandi kok buat nongkrong. “Terus kamu sendiri di sini ngapain? Ini kan kamar mandi cewek.” Sekarang Danny teringat Dyon, tujuannya kesini kan buat nyari tuh cewek. Belum sempat dia menjawab, tiba-tiba suara di belakang Nina membuat Danny tersentak. “Ehm, maaf ganggu. Permisi mau lewat.” Nina reflek menyingkir, sedangkan Danny masih diam, Aduh tadi dia denger nggak ya? berasa ketangkap basah deh si Danny. Dyon mendelik memberi isyarat agar Danny tidak menghalangi jalannya. Refleks tuh cowok minggir, tapi terlihat jelas dia masih diambang keterkagetannya. Dyon lewat aja tanpa menoleh lagi ke arah Danny, Ngrayu cewek di kamar mandi, cih dasar playboy., gerutu Dyon dalam hati tentunya, soalnya di situ ada Nina Anggriyani, dia nggak mau kenal, apalai berurusan sama cewek tipe Nina yang suka menindas yang lemah dan sok berkuasa. Danny tersadar, matanya mengerjap-ngerjap. “Eh aku duluan ya?” tanpa menunggu jawaban dari Nina Danny udah ngacir ngejar Dyon. “Eh eh mau kemanaaaa?” Nina sebel setengah mati, ditinggal gitu saja sama Danny yang lebih milih ngejar cewek berkacamata itu. “Lihat aja tuh cewek.” “Dy, jangan marah dong?!” sesaat setelah berhasil menjajari langkah Dyon, Danny merengek, berharap Dyon luluh. “Ayolah Dy, aku minta maaf dari hatiku yang terdalam.” Dyon memutar bola matanya. “Aku janji deh dy nggak bakal ganggu kamu lagi.” Dyon cuma melirik Danny sekilas. “Mau aku beliin novel harga berapa aja deh?!” seperti biasa, Danny pantang menyerah. “Mau aku ajak nonton? Mau aku traktir makan siang?” cowok satu ini memang berkulit badak, udah dicuekin Dyon abis-abisan masih tetep ngeyel. Ditambah lagi dengan tawaran yang dilontarkan Danny berikutnya, membuat Dyon tambah yakin kalau tuh cewek nggak punya malu. “Atau mau ku cium?” Danny tersenyum jail. “Diem tandanya mau lho?!” “Ih apaan sih? BE-RI-SIK!” Dyon kehilangan kesabaran. Danny meloncat tepat di depan dyon, yang otomatis menghentikan langkah cewek itu. Wajah cowok itu berubah memelas, “Aku dimaafin ya?” tanyanya kemudian. Dyon kaget. Matanya menatap sepasang mata gelap milik Danny, yang didalamnya ada kesungguhan dan penyesalan. Dyon menghela napas, akhirnya dia mengangguk. Untuk kali ini dia mau mengalah, tapi nggak ada lain kali. Raut wajah Danny beruabah, tatapan bersalah tadi lenyap seketika, berganti tengan tatapan jenaka. “Tapi tetep boleh dong aku deket-deket kamu?!” Danny tersenyum penuh kemenangan. Untuk ke-dua kalinya Dyon kaget. Mulut Dyon sudah terbuka hendak membantahnya... “Tadi kan aku Cuma bilang nggak mau ganggu kamu, selebihnya berarti boleh dong, hehehe.” Danny meringis menang. Mulut Dyon tertutup lagi, karena merasa benar dengan pernyataan Danny barusan, “Eh tapi itu kan gangguan menurutku.” Dyon nggak mau kalah. “Tapi menurutku nggak tuh.” Danny juga nggak mau kalah. “Dasar nyebelin.” Dyon masih dongkol banget sama cowok di depannya ini, jadi dia nggak bisa berpikir jernih dan perdebatan itu berakhir, dengan Danny sebagai pemenang.