red54;;;Sejarah Suram Sastra Indonesia yang Ter-Di-lupakan
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tugas Matkul Sejarah Sastra dengan Dosen Pengampu Halimah.
Oleh: Amran Halim
Penulis adalah mahasiswa tingkat paling akhir di Jurdiksatrasia FPBS UPI, Prodi Non-dik, angkatan 2005.
Sejarah sastra Indonesia nampaknya akan sulit untuk dilepaskan dari konteks pembentukan Indonesia sebagai nation. Meski telah banyak upaya pembiasan sejarah nasional maupun sejarah sastra Indonesia, namun apa yang sebenarnya terjadi mulai muncul ke permukaan melalui literatur-literatur seiring kemajuan teknologi informasi belakangan ini.
Negeri ini terbentuk dari keragaman suku bangsa yang disatukan oleh perjuangan melawan kolonialisme Belanda, begitu pun dalam khasanah sastranya. Perlawanan terhadap dominasi lembaga sastra Belanda terus bermunculan meski terjadi pemberangusan, pembakaran, dan “pelecahan” terhadap karya-karya sastra di luar kehendak Balai Pustaka.
Namun menjadi keprihatinan tersendiri ketika menghadapi kenyataan bahwa dunia sastra di Indonesia tidak mengalami kemerdekaan pasca 1945, bahkan kehendak kekuasaan terus merepresi kesusastraan di negeri ini. Konteks kemerdekaan dalam dunia sastra baru diraih ketika rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998. Sehingga rentetan catatan sejarah yang suram dalam kesusastraan indonesia lebih panjang dari pada sejarah Kolonialisasi di negeri ini.
Sebagai batasan, tulisan ini hanya akan merangkum perjalanan sejarah sastra di masa-masa “suram”, yakni dalam rentang waktu pra-Balai Pustaka pada tahun 1800-an hingga akhir kekuasaan Belanda di Indonesia yang ditandai kedatangan Jepang di Indonesia. Baiklah mari kita mulai dari masa-masa kemunculan Balai Pustaka pada tahun 1918 dan perkembangan kesusastraan di masa itu.
Kemunculan budaya literasi massal di Indonesia diawali pada tahun 1624, ketika para misionaris gereja dari Belanda membawa mesin cetak ke negeri ini
Budaya literasi nusantara sebelum itu masih terbatas secara jumlah karena masih menggunakan tulisan tangan pada prasasti, lontar, daluang dll.. Namun ketiadaan tenaga ahli untuk menggunakan mesin cetak ini mengakibatkan mesin cetak ini hampir tidak berguna. Menurut catatan J.A. Van der Chijs (1875) dalam MSM (2008), mesin cetak ini mulai difungsikan dengan produk pertamanya adalah naskah Perjanjian Bongaya antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanudin pada 15 Maret 1668. Sejak saat itulah VOC menggunakan mesin cetak tersebut untuk menghasilkan cetakan-cetakan kontrak dan dokumen perjanjian dagang.
Kemudian pada tahun 1718, pemerintah Belanda mendatangkan dua mesin cetak lagi terkait makin banyaknya dokumen yang harus dicetak. Secara penanganan, kedua mesin cetak itu dibagi dengan swasta. Pemerintah mencetak dokumen-dokumen resmi dan laporan berkala, dan pihak swasta mencetak berita berkala seputar jadwal kapal, harga-harga komoditi pertanian hingga pengumuman lelang. Pada perkembangannya percetakan swasta tersebut berkembang dengan menerbitkan surat kabar yang disebut courant pada tahun 1800-an.
Dari courant berbahasa Belanda itulah kemudian berkembang mengikuti targetan pasar pembaca, lahirlah surat kabar berbahasa Jawa pertama yang terbit 25 Januari 1855 yang bernama Bromartani dan Poespitamantjawarna yang beredar di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian di Surabaya terbit Soerat Kabar Bahasa Melaijo pada 15 Januari 1856. Pada dekade tersebut beberapa surat kabar berbahasa Melayu bermunculan, diantaranya: Bintang Oetara di Rotterdam, 5 Februari 1856. Soerat Chabar Betawi di Batavia, 3 April 1858. Surat kabar mingguan Selompret Melayoe di Semarang, 3 Februari 1860. Surat kabar Bientang Timoor di Surabaya, 10 Mei 1862 dan surat kabar mingguan Biang-Lala di Batavia, 11 September 1867
Baca dalam tulisan berjudul "Carut-Marut Sejarah Sastra Indonesia" dipublikasikan oleh Maman S. Mahayana pada hari Jumat, 5 December 2008 (07:49)..
Di tengah maraknya surat kabar, kemudian muncullah Multatuli dengan bukunya Max Havelaar cetakan pertamanya pada tahun 1860, pengaruhnya sangat besar dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887), meski sejak pertama terbit Roman Max Havelaar ini mendapat konfrontasi dari para akademisi Belanda. Setelah itu disusul oleh peranakan Indo misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima pada tahun 1896.
Setelah itu, seperti jamur di musin hujan, karya-karya sastra di Indonesia bermunculan dengan marak. Ditandai pada tahun tahun 1900 dengan ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Salah satunya ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti. Bahkan pemimpin redaksi Medan Prijaji, yang bernama Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Berkembangnya surat kabar dengan sendirinya memerlukan luasnya pasar pembaca, yang awalnya terbatas pada golongan-golongan kesultanan. Selain itu dengan adanya perjanjian antara Maka pada tahun 1901 Belanda memberlakukan Politik Etis yang diantaranya adalah pemberlakuan sistem pendidikan untuk golongan peranakan dan golongan pribumi.
Literatur Socialism
Selain pemerintah Belanda dan pihak-pihak swasta, kalangan pergerakan pun telah menghasilkan puluhan surat kabar dan bacaan, yang tidak dapat dipisahkan dari pembentukan perkumpulan atau partai politik yang disuarakannya, seperti SI Semarang yang memiliki Sinar Hindia, SI Surabaya dengan Oetoesan Hindia, IJB dan Doenia Bergerak, Insulinde dan Medan Muslimin, IP dan De Exprees, NIP-SH dengan Persatoean Hindia, dan PKI dengan Njala.
Dari sanalah kemudian muncul nama seperti Mas Marco Martodikromo, yang menerbitkan beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Juga Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Bacaan yang diproduk oleh pemimpin pergerakan, pada awalnya tidak ditujukan untuk melakukan counterhegemony terhadap produk-produk Balai Poestaka. Produksi bacaan lebih ditujukan kepada para pembaca kaum kromo untuk berbicara tentang banyak hal dengan kata-kata “sihir” seperti kapitalisme, beweging, vergadering, imperialisme, staking dan Internasionalisme. Istilah-istilah seperti ini sering diperkenalkan melalui rapat-rapat umum dan lingkaran pembahasan (prapat) untuk memecahkan persoalan di kalangan buruh dan petani. Contohnya, dalam Hikajat Kadiroen, ketika tokoh Tjitro yang digambarkan oleh Semaoen sebagai propagandis PKI bertutur:
...Orang-orang yang bermodal mempoenjai fabriekfabriek, kapal dan spoor, toko-toko dan sebagainya, orangorang itoe doeloenja satoe sama lain reboetan keoentoengan sehingga sering sama tidak dapat oentoeng, oempamanja begini; “mereka sama bersaingan berdjoealan moerah-moerahan asal sadja barangnja lekas habis dan lakoe, djadi meskipoen oentoeng sedikit tetapi bisa seringkali, achirnja oentoengnja banjak djoega. Selamanya golongan soedagar diatas itoe berhaloean bersaingan begitoe, tentoelah rajat atau pendoedoek masih enak, sebab bisa beli berbeli barang-barang dengan harga moerah, sedang jang beroesaha tambah roegi.’’ Tetapi kaoem soedagar besar-besar tambah lama tambah pinter djoega, achirnja mereka laloe B e r k o e m p o e l - R o e k o e n dengan golongannja masing-masing, sehingga mereka laloe Rokoen Menaikkan Bersama-sama semoea harganja barang-barang keperloeannja manoesia, oempama sadja sekarang semoea fabriek goela di Hindia berkoempoel dalam “Java-Suiker-Syndikaat’’, dan itoe perkoempoelan soedagar jang besar tentoe laloe bisa Roekoen Menaikkan Harganja Goela Bersama-sama atau menoeroenkan kalau ada perloenja. Begitoelah adanja dengan semoea hal, sehingga rajat bertambah lama bertambah soesah hidoepnja, karena semoea barangbarang keperloeannja menaik-naik sadja keperloeannja, csedang hatsilnja rajat itoe tidak bisa menaik jang bersepadan karena mereka reboetan pekerdjaan sebagai tadi soedah saja terangkan.
Pemaparan dari seorang propagandis rupanya tidak sekedar memperkenalkan istilah, tetapi juga membahas pengertian dari kapitalisme. Yang menarik dari pemaparan Semaoen, bahwa ia membentuk semacam common sense baru untuk menentang common sense yang lama. Dengan menunjuk Java Suiker-Syndikaat, ia membuka mata para pembacanya bahwa yang menyebabkan kemiskinan adalah pabrik gula. Dengan demikian “common sense” yang baru lebih menyatukan dan mengkoherenkan konsepsi dunia yang baru. Dalam konteks Hikajat Kadiroen, Semaoen berpikir bagaimana common sense yang baru dapat membentuk aksi politik yang kolektif, dan untuk itu harus dibangun common sense yang baru, mengikis common sense yang lama, warisan masalalu yang diawetkan oleh negara kolonial melalui bacaan-bacaan. Tentang ini dikatakannya “kaoem kapital sekarang menerbitkan matjam-matjam boekoe jang tidak terhingga banjaknja. Itoe semoea maksoednja tidak lain jaitoe oentoek menjesatkan dan membingoengkan kaoem boeroeh, soepaja ia tidak bisa melawan keras-kerasan sebagaimana mestinja.”
Semaoen, “Menentang Literatuur Menjesatkan,” Keras Hati, Februari 1920, no. 7.
Di sini Semaoen tidak secara langsung menuding Balai Poestaka sebagai lembaga aparatus negara kolonial. Rata-rata pelajar sekolah di Hindia Belanda membaca terbitan Balai Poestaka dan harus diingat bahwa Balai Poestaka sebagai benteng dari Politik Etis dan lebih jauh kekuasaan kolonial, langsung berhubungan dengan kepentingan modal. Dengan kata lain melalui produksi bacaan Balai Poestaka–penerbit kolonial yang menikmati berbagai fasilitas terbaik untuk operasinya–tidak dapat disangsikan lagi sangat berperan untuk menjamin stabilitas kedudukan kaum modal di Hindia. Maka dari itu, golongan pergerakan mulai membuat literatur-literatur atau disebut bacaan sosialisme.
Bacaan sosialisme yang pertamakali terbit adalah Hikajat Kadiroen yang mulanya dijadikan fouilleton di Sinar Hindia tahun 1920, yang kemudian dicetak menjadi buku pada 97 Soekindar, “Socialistische Litteratuur di Hindia,” Sinar Hindia, 17 Desember 1921. Tahun 1921 dengan harga jual f.0,25 kemudian disusul oleh Tan Malaka, Parlemen atau Soviet yang terbit pada tahun yang sama dan dijual dengan harga yang sama pula. Komisi bacaan dari partai ini berhubungan erat dengan sekolah SI Semarang yang didirikan oleh Tan Malaka dan “literatuur socialisme”-nya seperti Parlement atau Soviet yang menjadi bacaan wajib sekolah SI Semarang.
Lihat Sinar Hindia, 4 Desember 1921.
Derasnya produksi “literatuur socialisme” mengungkapkan realitas masyarakat kolonial yang jelas meresahkan kekuasaan kolonial Belanda. Dr. D.A. Rinkes, direktur pertama Balai Pustaka dengan watak kolonialnya dalam peringatan Wilhemina 25 tahun di atas Tahta (1923) mengemukakan:
Hasil pengadjaran itu boleh djuga mendatangkan bahaja, kalau orang jang telah tahu membatja itu mendapat kitab-kitab batjaan jang berbahaja dari saudagar kitab jang kurang sutji hatinja dan dari orang-orang jang bermaksud hendak mengatjau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab batjaan jang memenuhi kegemaran orang kepada pembatja dan mamadjukan pengetahuannja, seboleh-bolehnja menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu perlu didjauhkan segala jang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.
Dikutip dari Prof. Bakri Siregar, Sedjarah Sastera Indonesia Modern, djilid I. Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli,” 1964, hal. 32.)
Penegasan Rinkes ini menjadi policy dasar dari Balai Pustaka dalam menerbitkan buku-buku bacaan, yang perlu dikemukakan agar dapat menilai secara tepat buku-buku terbitan Balai Pustaka dan lebih jauh mempertanyakan sampai mana terbitan-terbitan ini merupakan karya suatu zaman. Dengan garis kebijakan dari suatu pemerintahan jajahan seperti itu, amat sukar mengharapkan produk-produk bacaan yang menjadi juru bicara zaman, dan masyarakatnya menghadapi dua kepentingan yang saling bertentangan: negara jajahan yang ingin mempertahankan kekuasaannya dan pergerakan yang ingin membebaskan rakyat.
Adapun garis kebijakan Balai Poestaka yang ditegaskan oleh Rinkes ini pada satu pihak ditujukan untuk membendung bacaan-bacaan politik produk para pemimpin pergerakan seperti Semaoen dengan Hikajat Kadiroen-nya yang pertamakali terbit di Sinar Hindia tahun 1920, dan diterbitkan kembali menjadi buku kecil oleh Drukkerij VSTP tahun 1921, atau Soemantri dengan Rasa Mardika yang terbit tahun 1924, (100 Rasa Mardika: Hikajat Soedjanmo yang ditulis oleh Soemantri menjadi perdebatan hingga sekarang untuk mencari tahu siapa pengarang sebenarnya, apakah Marco atau Soemantri sendiri? Benedict Anderson dalam Imagines Communities menegaskan bahwa Soemantri adalah teman dekatnya Marco, sedangkan Takashi Siraishi mengatakan bahwa Rasa Mardika ditulis oleh Soemantri. Mendiang Professor Bujung Saleh yang kompeten dalam bidang ini menegaskan bahwa Rasa Mardika ditulis oleh Marco. Dalam kesempatan ini saya menegaskan bahwa buku itu ditulis oleh Soemantri sendiri. Ada dua alasan. Pertama, Marco pada tahun 1924 sedang sibuk menulis “Babad Tanah Djawa,” satu naskah yang memerlukan konsentrasi dan waktu yang banyak. Kedua, Soemantri adalah sebagai Pemimpin Redaktur Si Tetap, organ VSTP. Ia ditangkap ketika ada pemogokan buruh kereta api di seluruh Jawa tahun 1923, dan mendekam dalam penjara di Semarang selama 1 tahun. Kenyataan ini sangat sesuai dengan pernyataan di dalam Rasa Mardika, bahwa buku itu ditulis ketika pengarangnya berada dalam penjara di Semarang.) Matahariah yang ditulis Marco tahun 1918 atau Apakah Maoenja Kaoem Kommunist? yang dikarang oleh Axan Zain dan diterbitkan oleh Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI pada tahun 1925.
Razif. 2005. “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan. Disclaimer & Copyright Notice © 2005 Edi Cahyono’s Experience.
Buku ini adalah saduran dari buku Manifesto Komunis dan beberapa kali pernah dimuat di suratkabar Proletar pada tahun 1924. Dunia “bacaan liar” tidak dimonopoli oleh Partai Komunis Indonesia. Bacaan seperti itu juga diproduksi oleh Soerjopronoto dan Hadji Fachroedin yang menggunakan percetakan PFB (setelah pecah dengan Sosrokardono, kedua orang itu mengambil alih percetakan tersebut).
Lihat Proletar, 3 Juni 1923.
Ketika Rinkes menyatakan “harus dijauhkan bacaan yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri,” berarti perlu “diperkencang” dan diperluas bacaan-bacaan yang diproduksi oleh Balai Poestaka. Untuk itu pemerintah kolonial melalui Balai Poestaka menerbitkan majalah-majalah seperti Sri Poestaka (1918) dan Pandji Poestaka (1923). Terbitan yang pertama memberikan penyuluhan kepada para tani untuk bercocok tanam yang baik, sedangkan yang kedua adalah laporan kejadian seharihari baik di dalam maupun luar negeri. Pemberitaan luar negeri yang dianggap akan menganggu ketentraman negeri tidak disiarkan, seperti gejolak perubahan di Tiongkok ataupun di Russia. Balai Poestaka di akhir 1910-an dan awal 1920-an semakin gencar memproduksi bahan-bahan bacaan untuk konsumsi kaum bumiputera. Pada tahun 1918 terbit Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disadur oleh Merari Siregar dari Jan Smees karangan J. van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman dalam bahasa Indonesia yang pertama diterbitkan Balai Poestaka, karangan Merari Siregar juga, yang berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920). Menyusul dua tahun kemudian terbit roman Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaja (1922), yang disusul Muda Teruna karangan Moehammd Kasim.
Dominasi Balai Poestaka yang ditentang oleh kalangan pergerakan sangat erat hubungannya dengan usaha-usaha PKI untuk memberikan kalangan pergerakan sebuah sense disiplin proletariat. Darsono dalam kongres tersebut menegaskan: “Partai tanpa disiplin, bagaikan tembok tanpa semen, mesin tanpa baut.” Tentangan yang hebat terhadap dominasi produk bacaan Balai Poestaka dilancarkan oleh Moeso pada tahun 1925 dalam surat kabar Api yang menyatakan:
Volksalmanak-volksalmanak dan almanak-almanak tani itoe soedah tentoe memoeat hal-hal wetenschappenlijk, jang kelihatannja tidak bersangkoetan dengan politiek.
Tetapi orang jang mengerti sedikit tentang politiek mengerti djoega, bahwa boekoe-boekoe dan almanak-almanak itoe nomer satoe dibikin tidak memboeat mendidik Ra’jat, tetapi boeat menjesatkan pikiran Ra’jat. Systematisch, dengan tjara jang haloes sekali boeah-boeah pikiran pihak sana dimasoekkan dalam kepala Ra’jat. Sekarang kewadjiban sekalian saudara jaitoe melawan pengaroeh Balai Poestaka.
Sekarang kita haroes menerbitkan boekoe jang perloe, dan boekoe-boekoe tjerita sendiri, soepaja Ra’jat tidak terlepas dari pergerakan kita. Karena itoe Ra’jat haroes tidak menoeroet nasehat-nasehat jang ,,baik’’ dalam boekoe-boekoe dari volkslectuur itoe, karena ,,baik’’ disitoe boekan baik boeat klas jang miskin.
Moeso. 1925. “Kita Haroes Mendirikan Bibliothiek Sendiri!!,”. Artikel. Api, 25 Juli.
Balai Poestaka sebagai benteng kolonial menyebut “literatuur socialisme” sebagai “bacaan liar.” Untuk membendung pengaruh “literatuur sosialistisch,” maka diproduksi berbagai bacaan. Untuk keperluan itu, Balai Poestaka, yang awalnya adalah Komisi Bacaan Rakyat, pada tahun 1921 mengembangkan sayapnya dan makin kokoh karena memiliki percetakan sendiri. Sejak tahun 1923 Balai Poestaka menerbitkan majalah Pandji Pustaka yang terbit tiap minggu. Majalah ini berisi berita-berita penerangan dari pihak pemerintah kolonial dan memuat cerita-cerita pendek.
Cerita-cerita pendek itu kebanyakan reproduksi dari sastra lisan tradisional yang sudah dikenal sejak lama sebagai cerita pelipur lara. Sifatnya adalah hiburan semata dan dapat dikategorikan sebagai bacaan di waktu senggang. Meskipun bacaan-bacaan politik yang dihasilkan oleh para pemimpin pergerakan seperti Hikajat Kadiroen atau Rasa Mardika juga dimaksudkan untuk menghibur para pembacanya, tetapi posisinya sangat berbeda. Penghibur yang pertama adalah untuk melupakan derita dan lari ke alam khayal semata-mata, sedangkan fungsi menghibur yang kedua adalah untuk mengajak berfikir dan serta memberi pengetahuan kepada para pembacanya tentang kontradiksi-kontradiksi kolonial kepada para pembacanya.
Untuk argumentasi ini lihat Prof. Bakri Siregar, Sedjarah Sastera Indonesia Modern, djilid I, Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli,” Jakarta, 1964, hal. 62.
Cerita-cerita pendek Pandji Pustaka ini mengambil bahan dari kehidupan sehari-hari yang disajikan secara ringan dan sambil lalu. Ceritanya sering dihubungkan dengan peristiwaperistiwa atau perayaan-perayaan yang berulang setiap tahun, seperti Hari Lebaran dan Tahun Baru. Sumber inspirasinya umumnya didapat dari tokoh-tokoh cerita rakyat lama seperti si Kabajan, si Lembai Malang, Djaka Dolok dll. Lelucon-lelucon dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh salah paham, perbedaan bahasa, salah dengar dan anekdot banyak dijadikan tema-tema cerita. Pandji Poestaka pada tahun 1923 dicetak sebanyak 1.500 eksemplar dan dijual dengan harga yang sangat murah f.0,20. Pada tahun yang sama Balai Poestaka mulai menerbitkan majalah Kadjawen dan Parahiangan yang pada penerbitan pertamanya dicetak dengan tiras yang sama seperti Pandji Poestaka. Kadjawen yang terbit dalam bahasa Jawa dan Belanda (bilingual) selalu menonjolkan nasionalisme Jawa yang mengagung-agungkan zaman keemasan sejarah Jawa pada masa kerajaan Majapahit.
Di samping itu Balai Posetaka juga mencetak dan menyebarkan naskah-naskah terjemahan cerita rakyat seperti Hikajat Sri Rama yang dikarang oleh W. G. Shellabear. Kebanyakan cerita rakyat ini diterjemahkan ke berbagai bahasa daerah. Sejak tahun 1920 Balai Poestaka menerbitkan dan menyebarkan karangan-karangan yang ditulis oleh orang bumiputera sendiri, seperti Abdoel Moeis, Merari Siregar dan Nur Sutan Iskandar yang pada tahun 1919 bekerja pada redaksi Melayu, dan kemudian menjadi anggota redaksi selanjutnya menjadi kepala redaksi Balai Poestaka. Untuk penerbitan buku, Balai Poestaka menaikkan anggarannya sejak tahun 1921 sebanyak 10%, sedangkan anggaran pendapatannya terus menurun.
Razif. 2005. “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan. Disclaimer & Copyright Notice © 2005 Edi Cahyono’s Experience.
Dari produk-produk Balai Poestaka nampak jelas eksploitasi yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial tidak ditunjukkan apalagi ditonjolkan. Yang lebih dominan justru sikap menyerah terhadap nasib dan mengikuti aturan. Dalam banyak novel ditunjukkan bagaimana “kebaikan” mengalahkan “kejahatan”. Pihak yang “baik” diwakili oleh tokoh kolonial atau pro-kolonial. Wataknya memang digambarkan baik, sabar, bijaksana dan sebaiknya (tentu dalam ukuran dunia kolonial), sedangkan lawannya seperti Datuk Meringgih dalam Sitti Noerbaja digambarkan sebagai tokoh yang luar biasa jahat. Dengan gambaran ini posisi Datuk Meringgih sebagai orang yang menentang pajak dan kekuasaan kolonial secara terbuka pupus.
Dalam penulisan sejarah maupun kritik sastra Indonesia ada beragam pandangan tentang dunia bacaan di Hindia. Profesor Teeuw yang mempertahankan sangat tekun mengikuti perkembangan sastra Indonesia, mengatakan bahwa sastra di Hindia Belanda dimulai oleh Balai Poestaka, dan tanpa ragu-ragu ia tegaskan bahwa “literatuur socialisme”–terutama yang ditunjuk adalah Hikajat Kadiroen–”....ditinjau dari kesusastraan semata-mata buku itu amat lemah.” Lebih jauh ia mengemukakan pendapatnya tentang Hikajat Kadiroen:
...memandang dibeberapa tempat buku itu semata-mata merupakan risalah komunis, dibagian lain lagi merupakan semacam laporan. Perkembangan peristiwanya kadang-kadang amat mustahil, dan watak-wataknya jika tidak hitam seluruhnya maka putihlah seluruhnya. Namun demikian buku ini merupakan sebuah dokumentasi yang menarik, yang memperlihatkan propaganda PKI di Indonesia pada zaman permulaan itu, dan bahasa pembujuk rayu yang digunakannya untuk mencoba meyakinkan pemerintah dan rakyat bahwa komunisme sama sekali tidak bersifat revolusioner.
A. Teeuw. Sastra Baru Indonesia I, Yayasan Ilmu Sosial, Jakarta, 1978, hal. 34.
Ia juga mengecam bahasa yang digunakan oleh “literatuur socialisme” adalah bahasa pra-Balai Poestaka, yang amat kacau ejaan serta tatabahasanya dan penuh dengan bahasa percakapan sehari-hari, bahasa Melayu Pasar, bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Di sini jelas Teeuw samasekali mengabaikan konteks pergerakan, dan bahkan dengan gampang ia berusaha mereduksi kontradiksi-kontradiksi masyarakat kolonial yang diungkapkan dalam “literatuur socialism.”
Roman Pergaoelan
Pesaing Balai Pustaka selain kaum gerakan adalah sastrawan-sastrawan daerah yang memeriahkan media massa daerah yang kemudian dikenal sebagai Roman Pergaoelan pada tahun-tahun 1930-an hingga awal 1940-an. Beberapa kantong-kantong sastra itu hidup di Bukittinggi, Medan, Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya. Di Bukittinggi, Fort de Kock pada masa itu, kehadiran penerbit Penjiaran Ilmoe, beralamat di Bioscoopstraat 90, merupakan satu fenomena yang menarik. Selain menerbitkan buku-buku pergerakan dan pemikiran dari sejumlah intelektual Indonesia, juga membentuk satu lini penerbitan bernama Roman Pergaoelan.
Roman Pergaoelan adalah sejenis roman populer yang digemari oleh pembaca dan sebagian berdasarkan cerita-cerita rakyat yang telah ada di daerah Sumatra Barat (Suryadi, 2003: 477-478). Ukuran roman-roman ini biasanya berbentuk buku saku karena ukurannya yang cukup mudah untuk dibawa-bawa (portable). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, dengan kosa kata yang banyak diwarnai dan diambil dari bahasa Minangkabau dan juga Belanda. Bahasa dan kosa kata Melayu rendah dan Minangkabau ini tetap digunakan oleh pengarang meski para tokohnya berasal dari, dan bersetting di luar etnis Minangkabau.
Misalnya dalam menggambarkan lokasi di Dayak Kalimantan, salah satunya ditulis pengarang dari Kalimantan, Merayu Sukma dalam romannya Joerni-Joesri (1940), muncul juga kosa kata khas Minangkabau meski para tokoh dan penggambarannya berasal dan berada di Dayak. Peran editor sangat berpengaruh dalam penggunaan bahasa yang ada dalam sejumlah roman.
Kasus yang lain terjadi pada roman Samora Gadis Toba (Tamar Djaja, 1940a). Tak sedikit kosa kata Minangkabau muncul meski keseluruhan setting dan karakternya menggambarkan kehidupan orang-orang Batak di Sumatra Utara. Hal ini menunjukkan bahwa sudut penceritaan dan pengaruh bahasa dan adat Minangkabau sangat mempengaruhi pengarang yang berasal dari Minangkabau. Salah satu hal yang bisa diduga dalam hal ini adalah seperti yang terjadi di tempat lain yaitu karena kerja editor, seperti terlihat dalam Balai Pustaka, yang mengedit naskah-naskah yang masuk ke meja editor (Watson, 1972: 52-56).
Dari kedua contoh ini, karya Merayu Sukma dan Tamar Djaja, terlihat fenomena bagaimana bahasa yang digunakan mendapat campur tangan dari editor dan bahasa yang digunakan pengarang dalam menjaga konteks dan setting cerita. Ini akan menjadi bahan yang menarik dalam pengkajian proses kreatif dan produksi teks sastra. Kepentingan penerbit dan editor selalu muncul terutama dalam menentukan selera estetika karya-karya sastra yang diterbitkan, seperti pada kasus Balai Pustaka dan Roman Pergaoelan ini.
Genre ini diterbitkan sebulan dua kali sejak bulan September 1938. Penerbitan periodik ini pula yang membuat bacaan ini disebut-sebut oleh sejumlah ahli seperti Teeuw dan Roolvink, dan juga Faizah, sebagai bagian serial majalah. Jenis bacaan yang diterbitkan adalah “history-politiek-detective-romans” seperti yang tercantum dalam setiap “katalog dalam terbitan”nya. Melihat lama bertahannya penerbitan Roman Pergaoelan menunjukkan bahwa persoalan distribusi dan pangsa pasar tidak menjadi masalah. Metode yang digunakan dalam pendistribusian roman-roman itu adalah dengan cara melalui agen dan langganan langsung.
Melihat informasi yang terdapat dalam salah satu roman, distribusi ini juga menjangkau hingga ke luar negeri seperti Singapura, Kuala Lumpur dan Brunei. Sasaran pembacanya adalah kalangan muda yang terdidik, sekitar 7,5% dari penduduk Indonesia pada waktu itu (Alisjahbana dkk, 1957: 28). Setiap roman berisi sekitar 70-100 halaman. Jumlah oplah setiap edisi pada awalnya hanya 1000 eksemplar, namun kemudian ditambah hingga 3000 eksemplar setiap terbit. Oestaz A. Ma’sjoek (Martha, 1939) bahkan dicetak ulang tiga kali dengan jumlah 10.000 eksemplar pada cetakan ketiganya (Djaja, 1955: 208).
Genre serupa juga terbit di berbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda. Zainuddin Pangaduan Lubis (2000) misalnya meneliti roman picisan yang terbit di Medan. Demikian juga di Makassar, roman dan syair banyak ditulis oleh orang-orang China Makassar sekitar tahun 1930-an hingga 1960-an (Bahrum, 2004). Ditambah lagi pembicaraan sastra Bali modern yang oleh Nyoman Darma Putra ditengarai hadir lebih awal (1913) dengan terbitnya karya-karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro, yang meruntuhkan kepercayaan sementara ahli sastra Bali yang meyakini bahwa sastra Bali baru (modern) lahir sejak tahun 1931 (Putra, 2000). Sitti Faizah pernah meneliti roman picisan sebelum perang kemerdekaan untuk skripsinya (1963).
Di sini terlihat geliat sastra yang dalam pembicaraan selama ini tersembunyi, dan karenanya menjadi titik lemah dalam melihat sejarah sastra Indonesia secara menyeluruh. Perhatian pemerhati sastra lebih terfokus pada novel-novel “besar” (Balai Pustaka) dan tak urung membiarkan kerapuhan dalam memetakan sastra modern Indonesia. Dari berbagai usaha penyusunan sejarah sastra Indonesia, periodeisasi dengan menentukan jangka waktu tertentu dan diisi dengan sejumlah karya dan pengarang menjadi sistem yang sering digunakan. Dari sinilah kemudian muncul tonggak-tonggak karya, kanonisasi, yang dikenal dan diajarkan kepada khalayak umum. Tentu saja hal ini menyisakan banyak karya dan pengarang yang tidak masuk dalam catatan sejarah sastra Indonesia. Namun, patut juga disadari bahwa usaha penulisan sejarah kadang-kadang menciptakan standard yang selalu diperdebatkan, menguntungkan bagi sebagian pihak dan merugikan bagi pihak yang lain.
Pembicaraan yang lebih luas atas kehadiran Roman Pergaoelan dan roman-roman sejenis, roman picisan, dilakukan oleh Faizah. Faizah (1963: 100-105) menarik kesimpulan bahwa roman jenis ini memang tak dapat dikategorikan dalam kesusastraan seperti yang dicapai oleh novel-novel terbitan Balai Pustaka. Pandangan ini menyetujui pandangan Teeuw dan Roolvink dalam Pokok dan Tokoh (1990: 159). Hal penting dalam pembicaraan Faizah adalah pencarian landasan dalam meneliti roman-roman ini. Bila menggunakan cara analisis yang sama yang digunakan untuk meneliti sastra Balai Pustaka, sebut Faizah, maka yang akan ditemukan adalah hasil nol, karena memang pada dasarnya roman-roman ini tak memiliki nilai literer (Faizah, 1963: 105).
Menariknya, penerbitan Roman Pergaoelan ini memiliki misi khusus yaitu sebagai perlawanan atas bacaan cabul yang terbit pada sekitar tahun 1930-an. Hal ini secara eksplisit diutarakan oleh pengemoedi (istilah redaktur dan editor pada masa itu) dalam sebuah polemik yang disertakan dalam salah satu roman (Tamar Djaja, 1940b) antara Habe Espei, H. Siradjoeddin Abbas, dan Tamar Djaja. Memang, pada masa itu, bacaan cabul menjadi masalah tersendiri dalam perkembangan sastra, dan juga dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Dalam roman jang laloe jaitoe Roman no. 24 5 Juli ‟40 pembajta tentoe soedah membatja lampirannja sedikit toelisan jg ditanda tangani oleh Habe Espei, jg mana toelisan itoe terhadap pada persoon saja. Soepaja pembatja djangan ragoe atau soepaja pembatja djangan dapat diaboei oleh t. Tamar Djaja maka baik joega kami [sesoedah bersaja, berkami] menoelis sedikit oentoek pembalas itoe. Hendak kemana t. H.S.A.? Begitoe tanja t. Tamar Djaja (?)
Saja djawab; Hendak membasmi sekalian roman tjaboel jang meroesakan moreel pemoeda2 [kita setoedjoe roman tjaboel dibasmi, bahkan djoega segala jang tjaboel Tr.] dan hendak mempertahankan nama goeroe2 agama. Toean Tamar Djaja mengatakan bahwa ada menggezien maklomeat rahsia jang tidak boleh dibatja orang lain.
Tamar Djaja, 1940: 71-72, ejaan dan huruf miring sesuai aslinya.
Roman Pergaoelan memiliki ciri khas sebagai sebuah genre sastra pada masa itu. Sepanjang pengamatan penulis, belum ada pembicaraan terhadap kehadiran Roman Pergaoelan ini, selain Faizah (1963) yang meneliti roman-roman secara menyeluruh yang terbit di berbagai daerah, dan singgungan yang dilontarkan Teeuw dan Roolvink dalam Pokok dan Tokoh. Selain tersebut, terdapat pula sebuah hasil penelitian Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang dilakukan oleh Tirto Suwondo dkk (1997), kemudian dibukukan dalam Karya Sastra di Luar Balai Pustaka. Buku ini memberikan gambaran secara umum tentang keberadaan karya sastra yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di luar Balai Pustaka.
Padahal, bacaan-bacaan roman picisan ini memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan sastra, terutama sebelum kemerdekaan. Setidaknya ia menjadi alternatif bacaan yang memang masih sangat kurang pada masa itu. Roman-roman yang diterbitkan pada masa itu, termasuk Roman Pergaoelan, menjadi bacaan yang digemari oleh masyarakat dengan bahasanya yang segar dan akrab bagi masyarakat umum, tanpa harus menggunakan bahasa yang metaforik (Junus, 2004: 55-57). Ditambah lagi bahwa Roman Pergaoelan memiliki misi yang spesifik dan karenanya berbeda dengan jenis roman remaja dan populer, atau bacaan liar, pada masa Balai Pustaka. Kesadaran yang ada pada Penjiaran Ilmoe yang dikemudikan oleh Tamar Djaja, seakan ingin menyatakan bahwa sastra memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membangun bangsa.
Roman Pergaoelan ini menunjukkan bahwa penyadaran akan masa depan bangsa terletak pada usaha membangun mentalitas generasi muda. Tak sedikit roman-roman ini yang berisi penyadaran akan kerja keras dan bersikap realistik dalam menghadapi hidup. Provokasi dan ajakan untuk melihat hidup dengan sikap realistik ini menjadi point penting, terutama dalam menyambut sebuah era baru yang akan segera datang, Indonesia merdeka. Inilah yang tampaknya harus dibedakan antara roman-yang tidak (belum) banyak dikaji seperti yang pernah marak di Bukittinggi dan Medan dengan roman yang lain dalam penyebutan roman picisan secara umum yang dianggap negatif, yang sempat hangat dibicarakan dalam sastra Indonesia.
Beberapa nama pengarang sastra Indonesia yang eksis dalam Roman Pergoelan yang tidak dikenal namanya dalam peta historis kesusatraan Indonesia, seperti Aziz Thaib, Maisir Thaib (Martha), Thaher Samad, Tamar Djaja, St. R. Alamsjah, M. Kasim, Hs. Bakry, D. Umri, Mohd. Hasan Tansa, Mahals, Aminar, Nuraji ZR, Merayu Sukma, SZ Kamisir, Fajoermiah, Suara Sutji, dan Roma-Nita untuk sekedar menyebut beberapa nama. Naum nama-ama terebut tak tercatat dalam “pengakuan” sejarah sastra Indonesia, hanya karena para kritikus pro-Balai Pustaka yang menganalisis karya sastra berdasarkan kriteria sastra ala Balai Pustaka yang kemudian menyebut “keseluruhan” dari karya-karya Sastra dalam Roman Pergaoelan tidak memenuhi kriteria sebagai kasrya sastra adiluhung dengan istilah lain sebagai “roman picisan”.
Sastra Peranakan
Kees Groeneboer (1995) menyebutkan bahwa antara tahun 1823—1900 jumlah peranakan Tionghoa yang bersekolah, baik yang bersekolah di sekolah Raja (Eropa), sekolah Cina, dan sekolah pribumi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak pribumi. Dengan dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan Tionghoa ini juga memberi peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan peranakan Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu.
Dengan penguasaan bahasa Melayu oleh golongan peranakan Tionghoa, secara tidak langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika bermunculan penerbitan suratkabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Melayu pada tahun 1850an, golongan peranakan Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha mempermahir penguasaan bahasa Melayu mereka.
Di samping itu, kehausan mereka akan kisah-kisah dari tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli Cina. Salah satu karya terjemahan yang terkenal, Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok), telah mendorong bermunculannya cerita terjemahan. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. Dengan demikian, kelompok pembaca golongan peranakan Tionghoa ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pembaca pribumi, bahkan juga Belanda.
Kesusasteraan Indonesia yang ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” kemudian sangat berkembang. Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806 orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.
Sudah lama suara terpendam yang mengakui kepeloporan kesastraan Melayu-Tionghoa mulai terdengar sayup-sayup meskipun di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada 1930-an, Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesusastraan ini. Dinamainya dengan Kesusastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang berkembang sendiri di luar lembaga resmi.
Setelah merdeka, Pramoedya Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia modern. Tahun 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).
Hal itu terungkap dalam “Sekapur Sirih” buku Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, Jilid 1, cetakan ke-1 Februari 2000. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation jilid pertamanya memuat tujuh buah tulisan: Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870) pengarangnya anonim. Sya’ir Jalanan Kreta Api (1890) oleh Tan Teng Kie. Kitab Eja A.B.C (1884) oleh Lie Kim Hok. Lo Fen Koei (1903) oleh Thio Tjin Boen. Cerita Sie Po Giok (1912) oleh Tio Ie Soei. Dan Riwajatnja Sato Bokser “Tionghoa” (Tan Sie Tiat) (1928) Telah terkumpul dan terpilih tulisan sebanyak 15.000 halaman. Diperkirakan seluruhnya akan terbit dalam 25 jilid.
Irwansyah. 2011. Sastra Melayu-Tionghoa dan Nasionalisme. http://www.rajaalihaji.com/id/opinion...
Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya. Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh buku-buku bacaan lainnya.
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.
Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).
Sebenarnya sastrawan Peranakan Tionghoa juga telah menyodorkan novel-novel modern yang mengupas permasalahan kawin campur antarsuku yang tidak kalah bernilainya dengan Azab dan Sengsara atau Sitti Nurbaya seperti karya Thio Cin Boen (1885-1940) dengan dua novel yang kesohor Cerita Oey Se (1903) dan Cerita Nyai Sumirah (1917). Juga “Soepardi Soendari: Berpisa pada waktoe hidoep, berkoempoel pada waktoe mati” karya Tan Hong Boen juga seorang keturunan Cina di Indonesia yang diterbitkan oleh TAN’S DRUKKERY, Soerabaia, 1925.
Leo Suryadinata (Penyunting). Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. http://id.shvoong.com/humanities/...
Namun berdirinya Balai Pustaka dan segala celaan terhadap karya sastra peranakan ini tidak mampu membendung para penulis peranakan dan pembaca setianya. Hal ini ditunjukkan pada peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan masyarakat kolonial seperti pemberontakan 1926, pembuangan ke Boven Digul, aksi pemogokan kaum buruh dan sebagaimana ditabukan oleh sastra Balai Pustaka, sehingga dalam karya-karyanya sedikit pun tidak tercermin, tapi bagi sastra peranakan Tionghoa itu semua menjadi sumber inspirasi dan bahan kreasinya yang menghasilkan sejumlah novel seperti Drama di Boven Digoel oleh Kwee Tek Hoay (1929-32), Darah dan air mata di Boven Digoel oleh Oen Bo Tik (1931), Antara idoep dan mati atawa boeroen oleh Boven Digoel oleh Wiranta (1931), Merah oleh Lim Khing Hoo (1937) dll. Yang terutama patut dicatat di sini adalah Drama di Boven Digoel oleh Kwee Tek Hoay, roman ini mulai dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Panorama (seluruhnya 180 nomor), begitu hangat sambutannya dari kalangan pembaca sehingga pada tahun 1938 perlu diterbitkan kembali dalam bentuk buku empat jilid dengan jumlah halamannya mencapai718 halaman - sebuah roman besar yang tak pernah dicapai sastra Balai Pustaka pada masa itu.
Hal terpenting untuk kita ketahui selain pada soal tebalnya saja, tapi juga isinya yang sangat kaya dan luas, merangkul macam-macam masalah penting seperti politik, percintaan, filsafat, keagamaan sampai ke masalah kreasi sastra dan bahasa. Yang tak kurang menarik adalah kritik si pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya terhadap bahasa baku Balai Pustaka.
Dikatakannya bahwa bahasa Melayu Riau yang kukuh dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda itu adalah bahasa yang “asing dan sabagian besar tidak tjotjok dengan kabiasaan kita”, bahwa “styl dan atoerannya Melajoe Riouw tida bisa dipake boeat loekisan pikiran satjara atoeran Barat yang sifatnya terang dan ringkes”, maka itu “styl yang dipake dalam boekoe-boekoe dari Volkslectuur ada jelek, tida menoeroet natuur, hingga waktoe menoetoerkan orang bitjara, atawa meloekiskan orang poenja tabeat dan tingkah lakoe, tidak tjotjok dengan kaadaaan sabenarnja”, dengan demikian buku-buku Balai Pustaka, termasuk yang ditulis oleh beberapa pengarang yang termasyur “samoea bersifat entjer, tida ada rasanja apa-apa”.
Oleh Liang Li Ji. 1987. Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda. Archipel. Volume 34. pp. 165-179
Kritik yang cukup tajam terhadap Balai Pustaka, termasuk terhadap kita yang mengimani keadiluhungan karya-karya cetakan Balai Pustaka pada pra kedatangan Kolonian Jepang. Kritik tersebut bukan sama sekali tidak beralasan, soal bahasa, justru itulah yang dijadikan salah satu dalih untuk menggencet dan meremehkan sastra peranakan Tionghoa. Harus diakui, bahwa dalam perkembangan bahasa Indonesia, sastra peranakan Tionghoa pun telah memberikan sumbangannya. Bahasa yang dipakainya adalah bahasa Melayu umum yang lebih mementingkan kepraktisan sehingga lebih lincah, luwes dan hidup daripada bahasa baku Balai Pustaka, dan dalam proses perkembangannya juga menuju ke bahasa Indonesia sekarang.
Dari beberpa informasi diatas, ternyata sastra peranakan Tionghoa itu jauh lebih kaya, lebih luas dan lebih bermutu daripada yang disangka orang semula. Tapi sebegitu jauh yang telah digali dan diperbincangkan orang agaknya hanya terbatas pada sastra Melayunya saja.
Kesimpulan
Mari kita pertanyakan ulang, “Kapankah kesusastraan Indonesia lahir?” Pertanyaan ini pernah diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928.
Alasannya, bahwa sastra ada sesudah bahasa ada maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya bahwa ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.
Maman S.Mahayana. Catatan Kecil untuk Gagasan Besar. http://mahayana-mahadewa.com
Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922. Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku.
Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa, sastrawan daerah dan sastrawan kiri yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta.
Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai bacaan liar, dan roman picisan. Jika dikatakan, tonggak awal sejarah sastra Indonesia terletap apda momen sumpah pemuda, mungkin M Yunus, Ayip, dan Teuw tidak menyadari bahwa tonggak Sumpah Pemuda tersebut hanya “tonggak pengakuan dan pelabelan bahasa Indonesia” yang sesungguhnya bahasa yang dinamai “bahasa Indonesia” tersebut adalah “bahasa melayu rendah atau pasar” yang telah hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia sejak abad ketujuh ketika para pedagang dari Sriwijaya, kerajaan terbesar di Sumatera Selatan, datang ke segala penjuru nusantara hingga ke pantai Nugini untuk berdagang dan dalam rangka mendapatkan hasil bumi.
Sukardi Gau. 2011. Menjejaki Bahasa Melayu Maluku di Papua: Kerangka Pengenalan. Makalah. Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Indonesia. Jurnal Elektronik, Jabatan Bahasa & Kebudayaan Melayu Jilid 3. hal 21-40
Sehingga kita bisa pada satu kesimpulan bahwa sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, penyesatan dan kesuraman. Tetapi lantaran sejarah milik penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa.***