Agustus 2020
Melakukan Riset di
INDONESIA
Laporan Negara
Centre for Innovation Policy and Governance &
The Global Development Network
Doing Research in Indonesia – Country Report
Melakukan Riset di Indonesia – Laporan Negara
ISBN: 978-623-94586-0-7
Untuk jadi perhatian:
Laporan ini disusun oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dengan dukungan dari Global
Development Network (GDN). Pandangan yang tertulis di dalam laporan ini merupakan perspektif penulis dan tidak
mewakili perspektif GDN.
Global Development Network merupakan organisasi internasional publik yang mendukung riset ilmu sosial
berorientasi kebijakan berkualitas tinggi di negara-negara berkembang maupun negara-negara (yang tengah
menjalani) transisi untuk mempromosikan kehidupan yang lebih baik.
Centre for Innovation Policy and Governance merupakan lembaga penelitian yang mendukung proses kebijakan
berbasis bukti melalui penyelenggaraan penelitian di area pengetahuan dan inovasi serta informasi dan perubahan
sosial.
www.gdn.int
www.cipg.or.id
Tim Peneliti:
Inaya Rakhmani
Zulfa Sakhiyya
Afra Suci Ramadhan
Wirawan Agahari
Penerjemah:
Muhammad Damm
1
Program Pelaksanaan Riset
Menjembatani celah riset dan meningkatkan kebijakan pembangunan
Dewasa ini, pemerintah dan para pemberi dana semacamnya memiliki informasi sistematik yang sedikit
tentang keadaan riset ilmu sosial, kecuali di sebagian kecil negara maju. Padahal, implementasi agenda global
untuk pembangunan berkelanjutan membutuhkan kapasitas riset lokal guna memastikan bahwa kalangan
ilmiah siap untuk secara kritis menganalisis tantangan pembangunan dan kebijakan, dan untuk menyertai
tindakan dan reformasi dengan pengetahuan yang kontekstual tentang lingkungan lokal.
Analisis mendalam tentang sistem riset merupakan kunci untuk memahami bagaimana menjembatani celah
ini dan menaikkan profil riset yang dihasilkan di negara berkembang. Analisis sistem riset dapat membantu
para pembuat kebijakan, pemberi dana, dan akademisi menjawab pertanyaan: Apa yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan dan mengarus-utamakan lebih jauh riset lokal sebagai masukan kunci bagi debat publik dan
kebijakan pembangunan manusia yang berkelanjutan?
Asesmen dan Pematokan Sistem Riset Ilmu Sosial
Doing Research (Pelaksanaan Riset, diluncurkan 2014) merupakan sebuah prakarsa Global Development
Network (Jaringan Pembangunan Global [GDN]) yang bertujuan untuk secara sistematis menilai bagaimana
fitur-fitur sistem riset nasional memengaruhi kapasitas untuk memproduksi, mendifusikan, dan menggunakan
riset ilmu sosial berkualitas demi kemanfaatan pembangunan sosial dan ekonomi. Tahap rintisan (2014–2017)
di 13 negara didukung oleh Agence Française de Développement (Badan Pembangunan Prancis), Bill & Melinda
Gates Foundation (Yayasan Bill & Melinda Gates), French Ministry of Foreign Affairs and International
Development (Kementerian Luar Negeri dan Pembangunan Internasional Prancis), dan Swiss Agency for
Development and Cooperation (Badan Pembangunan dan Kerja Sama Swiss). Pada 2017, GDN melakukan
sintesis terhadap kajian-kajian rintisan dan mengembangkan metodologi standar untuk mengkaji sistem riset
ilmu sosial di negara berkembang, ‘Doing Research Assessment’ (Asesmen Pelaksanaan Riset). Sejak 2018,
GDN telah mengimplementasikan DRA melalui kemitraan dengan lembaga riset nasional yang dipilih secara
kompetitif, dengan tujuan menghasilkan bukti tentang sistem riset. Program tersebut juga bertujuan untuk
mendukung munculnya jaringan lembaga riset di Belahan Selatan Dunia yang didedikasikan untuk menyuluhi
kebijakan riset nasional, menggunakan bukti baru yang komparatif dan berbasis riset.
Doing Research National Focal Points (Titik Fokus Nasional Pelaksanaan Riset) – Sebuah jaringan kepakaran
‘riset tentang riset’ lokal di Selatan
Melalui kolaborasi antara GDN dengan lembaga lokal, program ini bertujuan untuk menginspirasi kebijakan
riset, memetakan kekuatan riset, mendukung upaya pembangunan kapasitas riset, dan meningkatkan kualitas
riset yang dapat digunakan untuk keputusan kebijakan dan debat demokratis lokal di negara berkembang. Riset
ilmu sosial menyediakan analisis kritis tentang masyarakat dan perilaku manusia dan berkontribusi pada
1
Dalam dokumen ini, penggunaan istilah ‘sistem riset’ dan ‘sistem riset ilmu sosial’ dapat saling dipertukarkan.
2
http://www.gdn.int/sites/default/files/GDN-2017-DR-pilot-synthesis.pdf
3
http://www.gdn.int/sites/default/files/GDN%20-%20Theoretical%20Framework.pdf
2
pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan pembangunan – yang mana fundamental dalam
merealisasikan agenda pembangunan nasional dan global. Laporan per negara, laporan dan data global yang
komparatif akan menyuluhi para aktor dari kalangan riset, pembangunan, dan kebijakan tentang lingkungan
riset berorientasi kebijakan mereka dan bagaimana memperbaikinya.
Doing Research Assessment (Asesmen Pelaksanaan Riset): untuk memahami, memetakan, dan menilai sistem
riset4
Fitur khas DRA adalah metodologinya memperlakukan sebagai sama penting faktor dan aktor produksi, difusi,
dan pemanfaatan dalam menganalisis penghalang dan peluang sistemik untuk pengembangan ilmu sosial.
Metodologi ini melibatkan tiga tahapan dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi sistem riset ilmu
sosial di suatu negara atau kawasan, yang akan mengarahkan pada beberapa luaran pengetahuan dan upaya
peningkatan kesadaran.
Langkah dan kegiatan mengimplementasikan DRA
Analisis konteks
Pemetaan aktor riset
Kerangka kerja Pelaksanaan
Riset
Pengumpulan data baru pada tataran negara
Publikasi DRA
Seminar nasional dan diseminasi
Doing Research Framework (Kerangka Kerja Pelaksanaan Riset): inti dari asesmen
Kerangka Kerja Pelaksanaan Riset merupakan modul riset dengan metode campuran yang memungkinkan
penyelidikan komparatif yang kontekstual terhadap sistem riset nasional, melihat faktor-faktor kunci yang
menentukan produksi, difusi, dan pemanfaatan ilmu sosial. Kerangka kerja ini biasanya berguna sebagai kaca
pembesar untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang memerlukan perhatian regulator, atau menyediakan garis
batas bagi pembuatan strategi investasi dalam pembangunan kapasitas untuk produksi riset, difusinya, atau
penggunaannya.
4
http://www.gdn.int/doing-research-assessment
3
1. Produksi
2. Difusi
3. Pemanfaatan dalam
kebijakan
Input
1.1 Masukan riset
2.1 Aktor dan jaringan
3.1 Riset yang ramah kebijakan
Kegiatan
1.2 Kultur dan layanan
2.2 Praktik komunikasi riset
3.2 Pembuatan kebijakan
pendukung riset
Luaran
1.3 Luaran & pelatihan riset
berbasis riset
2.3 Produk komunikasi riset
3.3 Perangkat kebijakan
berbasis riset
Hasil
1.4 Peluang & keberlanjutan
2.4 Popularisasi ilmu
3.4 Riset untuk kebijakan yang
pengetahuan
lebih baik
Kerangka kerja di atas bertindak sebagai dasar dalam pembandingan dan pematokan sistem riset di negaranegara yang berbeda dan mencakup 54 indikator. Indikator-indikator ini diisi menurut konteks nasional yang
dibingkai oleh NFP; mengikuti panduan proyek sembari mengadaptasikannya ke lingkungan nasional masingmasing. Oleh karena itu, tiap-tiap negara mengikuti kerangka kerja dan panduan umum yang sama,
memungkinkan pembandingan di antara laporan-laporan yang berbeda terhadap indikator yang menyusun
DRA. Hal yang sama juga berlaku untuk Laporan per Negara, yang mengikuti struktur serupa.
4
Ucapan Terima Kasih
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), tim peneliti, peneliti utama, Inaya Rakhmani (Universitas
Indonesia), dan para peneliti lainnya, Zulfa Sakhiyya (Universitas Negeri Semarang), Afra Suci Ramadhan
(Komunitas Pamflet), dan Wirawan Agahari (CIPG), mengucapkan terima kasih atas dukungan semua ‘penjaga
gerbang’ di universitas, lembaga riset, kementerian dan badan, serta organisasi sektor komunitas, yang karena
mereka kami dapat memilih orang-orang terbaik untuk berpartisipasi dalam riset ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada manajer penelitian kami, Rika Rosvianti, tim pendukung administrasi dan keuangan, para
enumerator, pembuat transkrip, dan ahli statistik atas kerja mereka, kepada pembimbing kami, Fred Carden,
dan para peninjau atas umpan balik mereka yang berharga, serta kepada Muhammad R. Damm yang telah
menerjemahkan laporan ini ke dalam bahasa Indonesia. Hanya dengan semua upaya bersama inilah kami
dapat menghasilkan laporan ini.
5
Daftar Singkatan dan Akronim
AIPI
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
ALMI
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia
ASEAN
Association of Southeast Asian Nations (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara)
AUN
ASEAN University Network (Jaringan Universitas ASEAN)
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BRN
Badan Riset Nasional
CIPG
Centre for Innovation Policy and Governance
CSO
Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat Sipil)
DOAJ
Directory of Open Accessed Journals (Direktori Jurnal Berakses Terbuka)
DRA
Doing Research Assessments (Asesmen Pelaksanaan Riset)
DRN
Dewan Riset Nasional
FTA
Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas)
FTE
Full Time Equivalent (Ekuivalen Penuh Waktu)
GCI
Global Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global)
GDN
Global Development Network (Jaringan Pembangunan Global)
GII
Global Innovation Index (Indeks Inovasi Global)
HTI
Hizbut Tahrir Indonesia
IPB
Institut Pertanian Bogor
IPM
Indeks Pembangunan Manusia
Kemristekdikti
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
KSI
Knowledge Sector Initiative (Prakarsa Sektor Pengetahuan)
LGBT
Lesbian, Gay, Bisexual and Trans (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trans)
LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PDB
Produk Domestik Bruto
PT
Perguruan Tinggi
NFP
National Focal Point (Titik Fokus Nasional)
SSCI
Social Science Citation Index (Indeks Sitasi Ilmu Sosial)
TIK
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Daftar Isi
Program Pelaksanaan Riset ......................................................................................................................................... 2
Ucapan Terima Kasih .................................................................................................................................................... 5
Daftar Singkatan dan Akronim ..................................................................................................................................... 6
Daftar Isi ......................................................................................................................................................................... 7
Daftar Gambar ............................................................................................................................................................... 9
Daftar Tabel ................................................................................................................................................................. 10
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................................................... 11
Temuan utama ....................................................................................................................................................... 11
Tuas perubahan ...................................................................................................................................................... 13
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................................... 15
ANALISIS KONTEKS .................................................................................................................................................... 17
Konteks pembangunan Indonesia ........................................................................................................................ 18
Perkembangan historis ..................................................................................................................................... 19
Persoalan terkait budaya organisasi ............................................................................................................... 20
Pembuatan kebijakan berbasis bukti: Apakah kita sudah mencapainya? ........................................................ 22
Struktur Umum dari Sistem Riset ......................................................................................................................... 24
Konteks Sosiopolitik............................................................................................................................................... 28
Agenda dan kebijakan riset .............................................................................................................................. 29
Kebebasan akademis ........................................................................................................................................ 30
Tata kelola riset ................................................................................................................................................. 33
Konteks Ekonomi.................................................................................................................................................... 34
Indikator ekonomi kunci ................................................................................................................................... 34
Tingkat pembangunan manusia ...................................................................................................................... 35
Akses ke teknologi modern .............................................................................................................................. 37
Infrastruktur fisik untuk riset............................................................................................................................ 38
Peneliti ilmu sosial di sektor swasta ............................................................................................................... 40
Konteks Internasional ............................................................................................................................................ 41
Partisipasi global dalam politik dan perdagangan ......................................................................................... 41
Jaringan pengetahuan dan riset ...................................................................................................................... 42
Jaringan profesional, program beasiswa, dan program pertukaran ............................................................ 43
Tingkat bahasa Inggris ..................................................................................................................................... 44
Tinjauan sejawat ............................................................................................................................................... 44
Batasan ................................................................................................................................................................... 45
PEMETAAN PEMANGKU KEPENTINGAN .................................................................................................................. 46
Pendahuluan ........................................................................................................................................................... 46
Para Pemangku Kepentingan Kunci pada Riset Ilmu Sosial di Indonesia ........................................................ 48
Pilihan Metodologis/Penyampelan ....................................................................................................................... 49
Perguruan tinggi ................................................................................................................................................ 50
Pemerintah dan badan pendanaan publik ...................................................................................................... 52
Sektor swasta .................................................................................................................................................... 53
Masyarakat sipil (sektor swasta dan lembaga penelitian non-profit) .......................................................... 54
KERANGKA KERJA DRA ............................................................................................................................................. 56
Produksi Riset ......................................................................................................................................................... 57
Input riset ........................................................................................................................................................... 57
Kultur dan layanan riset.................................................................................................................................... 62
7
Kualitas pembimbingan .................................................................................................................................... 63
Luaran dan pelatihan riset ................................................................................................................................ 64
Pembelajaran dan keberlanjutan ..................................................................................................................... 66
Difusi Riset .............................................................................................................................................................. 67
Aktor dan jaringan ............................................................................................................................................. 67
Komunikasi riset ................................................................................................................................................ 69
Produk komunikasi riset ................................................................................................................................... 70
Popularisasi ilmu pengetahuan ....................................................................................................................... 72
Pemanfaatan Riset ................................................................................................................................................. 74
Riset ramah kebijakan ...................................................................................................................................... 74
Pembuatan kebijakan berbasis riset ............................................................................................................... 76
Produk kebijakan berbasis riset ....................................................................................................................... 78
Penggunaan riset untuk kebijakan yang lebih baik ........................................................................................ 78
SIMPULAN .................................................................................................................................................................... 80
Rekomendasi Kebijakan ........................................................................................................................................ 81
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................................. 83
8
Daftar Gambar
Gambar 1 Jumlah riset dalam negeri (persentase) ................................................................................................. 18
Gambar 2 Sistem riset ilmu sosial Indonesia dan ekosistemnya ........................................................................... 25
Gambar 3 Worldwide Governance Indicator (Indikator Tata Kelola Seluruh Dunia) ............................................. 28
Gambar 4 Akses listrik di daerah perdesaan dan perkotaan di Indonesia (2012–2016) ..................................... 37
Gambar 5 Persebaran infrastruktur riset di Indonesia (2015) ................................................................................ 39
Gambar 6 Jumlah dan persebaran geografis responden ........................................................................................ 49
Gambar 7 Persebaran perguruan tinggi di delapan pulau/kepulauan utama ....................................................... 51
Gambar 8 Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta ...................................................................................................... 51
Gambar 9 Persebaran pengajar dan mahasiswa perguruan tinggi menurut bidang studi dan lokasi (2015).... 58
Gambar 10 Waktu yang dialokasikan untuk riset..................................................................................................... 58
Gambar 11 Waktu yang didedikasikan untuk riset .................................................................................................. 59
Gambar 12 Akses ke sumber primer informasi dan data ........................................................................................ 61
Gambar 13 Produk riset yang dijadikan sumber terbuka ........................................................................................ 61
Gambar 14 Kesadaran akan adanya badan riset nasional...................................................................................... 62
Gambar 15 Kesadaran akan adanya kebijakan nasional mengenai riset ilmu sosial ........................................... 63
Gambar 16 Akses ke pembimbing riset .................................................................................................................... 63
Gambar 17 Keefektifan sistem pembimbingan ........................................................................................................ 64
Gambar 18 Artikel bertinjauan sejawat ..................................................................................................................... 64
Gambar 19 Durasi pelatihan riset .............................................................................................................................. 65
Gambar 20 Persentase staf dengan PhD .................................................................................................................. 65
Gambar 21 Persepsi terhadap riset sebagai sebuah karier .................................................................................... 66
Gambar 22 Keanggotaan jaringan riset profesional ................................................................................................ 66
Gambar 23 Tingkat kolaborasi multi-pemangku kepentingan ................................................................................ 68
Gambar 24 Frekuensi kolaborasi riset ...................................................................................................................... 68
Gambar 25 Inklusivitas diskusi kebijakan sosial ...................................................................................................... 69
Gambar 26 Partisipasi dalam pelatihan komunikasi ............................................................................................... 70
Gambar 27 Konferensi akademis .............................................................................................................................. 70
Gambar 28 Debat publik ............................................................................................................................................. 71
Gambar 29 Halaman web pribadi .............................................................................................................................. 71
Gambar 30 Keterdaftaran di repositori/pangkalan data internasional .................................................................. 72
Gambar 31 Pelaporan dan peliputan media ............................................................................................................. 73
Gambar 32 Tingkat independensi riset ..................................................................................................................... 74
Gambar 33 Permintaan atas masukan riset untuk pembuatan kebijakan ............................................................ 75
Gambar 34 Para peneliti yang menempati posisi dalam pembuatan kebijakan ................................................... 75
Gambar 35 Peneliti di posisi pertimbangan kebijakan ............................................................................................ 76
Gambar 36 Riset pesanan pemerintah...................................................................................................................... 76
Gambar 37 Peneliti yang mengerjakan riset yang dipesan oleh para pembuat kebijakan .................................. 77
Gambar 38 Peneliti dalam negeri versus asing ........................................................................................................ 77
Gambar 39 Produksi produk kebijakan berbasis riset ............................................................................................. 78
Gambar 40 Penggunaan riset .................................................................................................................................... 79
9
Daftar Tabel
Tabel 1 PDB dan PDB per kapita Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN ............................. 34
Tabel 2 Peringkat Indonesia dan beberapa negara ASEAN dalam GCI 2017–2018 dan GII 2018 ...................... 35
Tabel 3 Indikator kunci dalam Indeks Pembangunan Manusia 2017 .................................................................... 36
Tabel 4 Indikator TIK Indonesia dibandingkan beberapa negara ASEAN, Januari 2017 ...................................... 38
Tabel 5 Persebaran pendanaan riset dan proposal yang didanai menurut topik riset (2011-2015) ................... 60
10
Ringkasan Eksekutif
Penelitian terkini mengenai penyelenggaraan produksi riset di Asia memperlihatkan dampak marketisasi
terhadap kualitas kerja akademik. Kasus Indonesia dalam laporan ini menggambarkan kompleksitas dampak
tersebut dalam konteks pasca-otoritarian. Produksi riset seturut pasar yang tidak independen dan tidak
memiliki kualitas tinggi terbentuk karena melayani kepentingan pemberi hibah dan bersifat instrumental.
Dengan latar belakang ini, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), yang berbasis di Indonesia,
melakukan penelitian mengenai kondisi sistem riset ilmu sosial Indonesia, dengan melihat produksi, difusi, dan
pemanfaatan riset dalam pengembangan dan penerapan kebijakan publik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan dan melaporkan data yang orisinal mengenai sistem
penelitian ilmu sosial, untuk memberi pertimbangan bagi kebijakan riset dan program pengembangan
kapasitas pada tingkat nasional. Lebih penting lagi, kajian ini bertujuan mengangkat aspek-aspek yang
membutuhkan perhatian para regulator, pembuat kebijakan, komunitas sains, dan donor potensial, serta
memastikan tindakan dan reformasi yang didasarkan pada pengetahuan kontekstual mengenai situasi lokal.
Penelitian ini menjalankan metodologi Doing Research Assessment. Pertama, tim riset melakukan kajian
terhadap literatur yang relevan untuk memahami konteks ekonomi, politik, sejarah, dan internasional yang
berkenaan dengan penyelenggaraan riset di Indonesia. Kedua, para peneliti memetakan pemangku
kepentingan dalam sistem riset ilmu sosial untuk mengidentifikasi produsen dan pengambil manfaat penelitian
dalam konteks Indonesia. Ketiga, tim peneliti melakukan tinjauan dokumen, wawancara, dan survei untuk
menganalisis kinerja riset ilmu sosial Indonesia yang berkenaan dengan produksi, difusi, dan pengambilan
manfaatnya.
Temuan utama
Indonesia tidak memiliki kultur riset yang berkembang sebagaimana ditunjukkan oleh kinerja para ilmuwan
sosial Indonesia – terlihat dari tingkat publikasi akademik yang rendah dibandingkan negara dengan PDB lebih
rendah seperti Bangladesh, Kenya, dan Nigeria. Survei menunjukkan bahwa peneliti merasa mereka tidak
memiliki cukup waktu untuk mengerjakan riset dan memiliki akses terbatas terhadap pembimbingan penelitian.
Kinerja buruk sistem riset ini akibat kultur audit hibah riset yang memberatkan, monodisiplinaritas yang kaku
(yang menghambat interaksi antardisiplin), dan budaya kepangkatan seturut pemerintah pra-Reformasi (yang
tidak mengasuh profesionalisasi akademik).
Insularitas akademik menghambat kinerja. Sejumlah besar peneliti tidak membuka akses atas produk riset
mereka dan tidak memublikasikan temuan mereka di jurnal internasional. Mayoritas periset bukan anggota
jejaring riset profesional yang dapat membuka ruang untuk pengembangan kapasitas dan peningkatan
masukan melalui kolaborasi dengan sejawat internasional.
11
Investasi penelitian dan pengembangan di Indonesia salah satu yang terendah di kawasan, dengan belanja
litbang 0,25 persen dari PDB pada 2017. Meski ada peningkatan dari 0,09 persen pada 2013, angka ini masih
jauh lebih rendah dari Singapura (2,2 persen dari PDB), Malaysia (1,3 persen dari PDB), Thailand (0,6 persen
dari PDB), dan bahkan Vietnam (0,4 persen dari PDB).
Penelitian ilmu sosial menerima lebih sedikit pendanaan. Data menunjukkan bahwa permintaan tinggi dari
pemerintah terhadap penelitian dalam ilmu sosial tidak dibarengi tingkat pendanaan yang memadai untuk
produksi riset ilmu sosial. Pada periode 2011 hingga 2015, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
menyediakan kira-kira Rp 4,2 triliun untuk mendanai riset, di mana ilmu sosial dan humaniora hanya menerima
kira-kira Rp 1 triliun. Proposal riset ilmu sosial dan humaniora menerima jumlah pendanaan rendah karena
asumsi bahwa tidak ada kebutuhan belanja barang dan infrastruktur untuk menjalankannya, terutama jika
dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.
Ketimpangan regional dan gender menciptakan disparitas kegiatan riset. Ketimpangan regional, khususnya
antara kota-kota industrial dan urban yang besar di Pulau Jawa dengan kota kecil maupun besar di Pulau
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, turut memperparah disparitas tingkat reformasi di antara institusi
pendidikan tinggi. Lembaga riset di Jawa memiliki akses lebih langsung terhadap pendapatan (didorong oleh
marketisasi riset ilmu sosial). Ketimpangan gender juga terlihat. Meski jumlah periset relatif setara antara lakilaki dan perempuan, kesetaraan gender ini tidak tampak pada posisi puncak. Jauh lebih sedikit perempuan
menduduki jabatan strategis dibandingkan laki-laki.
Permasalahan struktural membatasi kualitas kinerja penelitian dalam ilmu sosial di Indonesia, khususnya
dalam institusi pendidikan tinggi, yang tunduk pada kebijakan dan regulasi Kementerian Riset dan
Teknologi/BRIN. Hal ini telah menciptakan putusnya keterhubungan riset negeri dan swasta – di mana yang
kedua lebih mampu memberikan jasa konsultansi profesional bagi klien pemerintah maupun swasta. Sebagai
tambahan, lembaga dan periset yang menyediakan jasa penelitian pasar bagi perusahaan swasta tidak dapat
memublikasikan temuan riset karena keharusan kompetisi pasar. Keterputusan ini artinya beberapa lembaga
riset profesional, baik negeri maupun swasta, tidak memandang diri sebagai bagian dari ekosistem riset ilmu
sosial meskipun pada praktiknya mereka menjalankan kajian sosial. Akibatnya, keterhubungan dan pertukaran
pengetahuan antar-tipe aktor dan lembaga yang berbeda amat minim.
Diseminasi produk berbasis riset didorong oleh komodifikasi riset ilmu sosial. Sementara diseminasi penelitian
melalui kolaborasi multisektor antara berbagai pelaku dan jejaring dapat dipandang sebagai bukti adanya
tautan yang kuat antara riset dan kebijakan, pada praktiknya, interaksi-interaksi ini lebih berhubungan dengan
‘marketisasi’ penelitian ilmu sosial dan penggunaan riset untuk memengaruhi kebijakan pemerintah demi
manfaat kelompok klien tertentu – mirip dengan bagaimana penelitian pasar melayani kepentingan korporasi.
Kapasitas untuk mengomunikasikan penelitian berkualitas ke akademia dan publik terbatas. Banyak sekali
peneliti di Indonesia merasa bahwa mereka belum menerima pelatihan yang memadai mengenai bagaimana
mengomunikasikan riset mereka. Sementara peneliti Indonesia sudah cukup efektif dalam berkomunikasi
12
melalui berbagai platform media, lemahnya tradisi riset akademik dapat mengakibatkan penyampaian karya
akademik berkualitas buruk – dan hal serupa berlaku untuk tautan riset dan kebijakan dan popularisasi sains
secara umum.
Sementara penelitian ilmu sosial di Indonesia dianggap ‘ramah’ terhadap pembuat kebijakan, pembuatan
kebijakan itu sendiri didasarkan pada penelitian dengan dasar teoretis yang lemah tanpa tradisi tinjauan
sejawat yang kokoh. Hal ini karena riset yang dipesan pemerintah adalah sumber pemasukan utama bagi
organisasi riset. Risikonya adalah bahwa kebijakan – terlepas kebijakannya ‘berbasis bukti’ – didasarkan pada
data yang dipilih-pilih dan temuan yang sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan. Riset pesanan
pemerintah juga memperburuk ketimpangan kapasitas regional, karena sebagian besar riset diambil oleh
perguruan tinggi yang berbasis di Jakarta atau Jawa.
Tuas perubahan
Kenaikan pangkat akademik lebih menggunakan target administratif dan penilaian kinerja yang tidak
terhubung langsung dengan produktivitas atau kualitas riset. Selain itu, ada budaya ‘insularitas akademik’ yang
kuat di antara peneliti Indonesia – mereka tidak memiliki mobilitas akademik dan interaksi dengan sejawat
internasional, yang mengisolasi/mengucilkan Indonesia dari perbincangan global tentang produksi
pengetahuan. Terapkan kebijakan pemajuan karier dan insentif dalam pendidikan tinggi yang mendorong
promosi berbasis kecakapan, produktivitas penelitian, multidisiplinaritas dan transfer gagasan dan perdebatan
lintas departemen dan organisasi akademik dan non-akademik. Insentif juga harus mendorong interaksi antara
peneliti lokal dan sejawat internasional mereka.
Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia telah menunjukkan keberpihakan pada ilmu-ilmu eksakta, sebagaimana
ditunjukkan oleh alokasi terbatas dana penelitian untuk ilmu-ilmu sosial. Terapkan kebijakan riset nasional dan
mekanisme pendanaan yang mendorong keseimbangan antara penelitian yang menyasar prioritas nasional
dan agenda riset independen untuk ilmu-ilmu sosial.
Penyaluran dana riset pemerintah pusat mengikuti siklus anggaran belanja tahunan yang terpusat. Ini berarti
bahwa seluruh kegiatan riset yang didanai pemerintah harus rampung pada akhir tahun. Hal ini membatasi
waktu sesungguhnya untuk menjalankan riset menjadi hanya tiga sampai enam bulan, kadang dengan syarat
publikasi akademik yang wajib. Berikan lebih banyak keleluasaan dalam penyaluran dana riset pemerintah
pusat untuk mengampu para peneliti meneruskan kegiatan riset yang didanai pemerintah melampaui siklus
satu tahun – untuk mendorong produksi riset dan keluaran akademik berkualitas, alih-alih kepatuhan pada
proses administratif/audit.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) telah mengembangkan metode klaster
kelembagaan untuk mengategorikan lembaga sesuai kapasitas riset masing-masing. Kinerja riset suatu
universitas diukur dari jumlah publikasi (sebagian besar jurnal) internasional, sitasi dalam publikasi yang diakui
13
dan hibah penelitian. Jika metode pengelompokan serupa dapat digunakan dengan jurnal (lokal), maka
Indonesia akan memiliki tolok ukur dan mekanisme untuk memperkuat kualitas riset.
Pengguna internet Indonesia sering menggunakan ponsel pintar mereka untuk mengakses media sosial (3,3
jam/hari) dan menelusur (3.9 jam/hari), yang jauh lebih tinggi daripada orang Singapura (2,3 jam/hari untuk
menelusur; 2,1 jam/hari untuk media sosial). Angka-angka ini menengarai bahwa pengguna internet di
Indonesia akan dapat mengakses riset sosial melalui media sosial dalam cara yang spesifik dan relevan secara
sosial, andai para peneliti mendiseminasi temuan mereka dengan cara yang sesuai.
Peneliti di Indonesia tidak mendapat pelatihan yang memadai tentang bagaimana meningkatkan kapasitas
mereka untuk mengomunikasikan riset mereka. Mengingat jumlah pengguna internet yang signifikan di media
sosial dan besarnya potensi komunikasi riset daring yang belum digali, Kemenristek Dikti bekerja sama dengan
perguruan tinggi perlu melakukan pelatihan komunikasi riset bagi peneliti. Ini akan menguatkan kapasitas
peneliti untuk mempromosikan dan mengomunikasikan penelitian mereka baik kepada khalayak akademik
maupun publik/awam.
14
PENDAHULUAN
SOROTAN UTAMA
▪
Program DRA di Indonesia diimplementasikan oleh Centre for Innovation Policy and Governance
(CIPG) di Jakarta.
▪
Program DRA mengombinasikan desk research, survei, dan wawancara (desain riset metode
gabungan) untuk pengumpulan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif.
▪
Laporan DRA menyajikan gambaran sistem produksi, difusi, dan pemanfaatan riset sosial di
Indonesia. Laporan ini dibuat dengan tujuan menjadi bukti akuntabel bagi para sejawat komunitas
keilmuan, sekaligus memantik diskusi kritis terkait kebijakan berbasis data dan analisis yang orisinal.
▪
Penyelenggaraan DRA bertujuan untuk mendukung kebijakan berbasis bukti untuk riset sosial.
Global Development Network (GDN) dan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) bekerja dalam
kemitraan sebagai National Focal Point (Titik Fokus Nasional [NFP]) untuk program Doing Research
(Pelaksanaan Riset) di Indonesia. Kemitraan ini dibangun dengan tujuan untuk memahami, memetakan, dan
menilai sistem riset ilmu sosial di Indonesia. Dalam kemitraan ini, CIPG merekrut tim riset untuk
mengimplementasikan Doing Research Assessments (Asesmen Pelaksanaan Riset [DRA]). DRA merupakan
sebuah metode yang dikembangkan oleh GDN untuk menyuluhi kebijakan riset dan pembangunan kapasitas
dengan menyodorkan analisis terperinci tentang sistem riset nasional.
Laporan DRA menyediakan kesempatan untuk menilai sistem riset ilmu sosial Indonesia. Laporan ini
menghasilkan data orisinal tentang produksi, difusi, dan pemanfaatan riset ilmu sosial untuk menerangi jalan
menuju pembangunan kapasitas yang lebih efektif dan tepat sasaran. Tujuannya adalah untuk memampukan
produksi riset ilmu sosial bermutu tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki tautan yang lebih
kuat dengan pembuatan kebijakan. Sejalan dengan ini, CIPG menyelenggarakan diskusi dan penjangkauan
seputar penguatan sistem riset untuk meningkatkan debat terbuka dan diskursus kebijakan mengenai riset dan
pembuktian untuk kebijakan di Indonesia melalui riset dan pengumpulan data yang inovatif. Upaya ini dilandasi
dasar yang secara teoretis tersuluhi dan berpijak pada bukti yang kuat.
Dengan demikian, laporan ini disusun sesuai dengan ketiga fase kerangka kerja DRA. Fase pertama adalah
analisis konteks. Bagian analisis konteks mengkaji konteks ekonomi, politik, sejarah, dan internasional dari
pelaksanaan riset di Indonesia. Bagian kedua mendeskripsikan bagaimana tim riset memetakan para
pemangku kepentingan dalam sistem riset ilmu sosial. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi para
produsen dan pengambil manfaat penelitian dalam konteks Indonesia. Bagian ketiga, melalui kombinasi data
sekunder, survei, dan wawancara, menganalisis kinerja riset Indonesia.
Perlu dicatat bahwa penelitian ini dilaksanakan selama masa pemilihan umum di Indonesia (April 2019). Iklim
politik berdampak pada survei dan wawancara kami, khususnya dengan kalangan kebijakan, yang tengah fokus
ke pemilu. Kerumitan dalam menyelidiki sistem riset Indonesia bertambah karena adanya persepsi bahwa para
15
peserta riset dari badan nonpemerintah tidak memandang diri mereka sebagai bagian dari ekosistem riset ilmu
sosial sekalipun bukti yang ada menunjukkan sebaliknya. Hal ini utamanya dikarenakan organisasi mereka
tidak menyelenggarakan riset secara langsung dan oleh karenanya tidak dianggap bagian dari ekosistem riset.
Bersama-sama dengan proyek DRA lain yang didanai GDN, program ini menawarkan peluang untuk keterlibatan
global melalui jejaring dan para mitra GDN, dan memberi tim riset pandangan yang lebih komparatif tentang
sistem riset ilmu sosial di seluruh dunia.
16
ANALISIS KONTEKS
SOROTAN UTAMA
▪
Hanya terdapat 12 persen dari artikel publikasi di bidang ilmu sosial dan humaniora yang ditulis oleh
penulis Indonesia, di mana nilai ini merupakan setengah dari nilai negara tetangga, Malaysia dan
Thailand.
▪
Model manajemen perguruan tinggi yang birokratis, berpadu dengan struktur teknokratis, sempit yang
terlanjur ada dan terbangun sejak rezim otoritarian, berimbas pada kualitas dan kedalaman riset ilmu
sosial saat ini.
▪
Manajemen teknokratis pendanaan riset dari pemerintah mendukung ‘kultur audit’ di sektor penelitian,
di mana upaya lebih besar ditekankan pada mekanisme pemantauan dan pelaporan dana
dibandingkan untuk menyelenggarakan pekerjaan analitis.
▪
‘Insularitas’ masih merupakan fitur utama kultur akademik di Indonesia, dengan mobilitas akademik
yang terbatas dan kurangnya interaksi dengan sejawat internasional, meskipun sudah ada upayaupaya menghubungkan Indonesia dengan diskusi global mengenai produksi pengetahuan dan
promosi keterlibatan akademik.
▪
Kebebasan akademis terhalang oleh klientilisme politis yang memengaruhi distribusi proyek riset,
juga oleh pemasaran riset yang menghasilkan kepemilikan pengetahuan.
▪
Pembuat kebijakan terutama menganggap penugasan kajian sebagai persyaratan administratif, dan
tidak menggunakan hasilnya untuk menyuluhi diskusi kebijakan maupun proses pengambilan
keputusan.
Analisis konteks memeriksa akibat-akibat dari konteks nasional, makro terhadap produksi dan pemanfaatan
riset ilmu sosial di Indonesia. Menurut pedoman implementasi GDN:
Tujuan dari analisis konteks adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor relevan yang
memengaruhi kinerja sistem riset dalam hal ketiga fungsi [produksi, difusi, pemanfaatan]…
Analisis konteks melibatkan pengumpulan dokumentasi yang tersedia terkait lingkungan
riset di suatu Negara. (GDN 2018, 4).
Analisis ini didasarkan pada pengumpulan semua “dokumentasi yang tersedia tentang lingkungan riset dari
sumber yang kredibel” (GDN 2018, 5) dan melibatkan peninjauan terhadap dokumen-dokumen kebijakan yang
tersedia secara umum dan terpandang, laporan-laporan penelitian, dan tautan ke rujukan-rujukan mengenai
sistem riset Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mengupayakan asesmen menyeluruh terhadap konteks
ekonomi, politik, sejarah, dan internasional dalam pelaksanaan riset di Indonesia.
17
Konteks pembangunan Indonesia
Kinerja riset dan pendanaan riset Indonesia tertinggal di belakang kebanyakan negara tetangga di ASEAN dan
negara berpendapatan menengah (Rakhmani and Siregar 2016). Sebagaimana terukur dari jumlah publikasi di
jurnal internasional bertinjauan sejawat, yang diindeks oleh Social Science Citation Index (Indeks Sitasi Ilmu
Sosial [SSCI]), Indonesia menduduki peringkat terendah di antara negara berkembang di kawasan Asia
(Suryadarma, Pomeroy and Tanuwidjaja, 2011). Hanya 12 persen dari artikel terpublikasi di bidang ilmu sosial
dan humaniora yang ditulis oleh para pengarang yang berbasis di negeri ini. Angka ini separuhnya dari negara
tetangga, Malaysia dan Thailand.
Gambar 1 Jumlah riset dalam negeri (persentase)
60
53
Persentase (%)
50
40
30
21
20
12
25
27
28
India
Thailand
Malaysia
15
10
0
Indonesia
Filipina
Tiongkok
Brazil
Sumber: Suryadarma, Pomeroy, & Tanuwidjaja (2011, 3), berdasarkan pangkalan data SSCI, Thomson Reuters Web of
Knowledge, 1956–2011
Anggaran riset yang dialokasikan oleh Pemerintah Indonesia jauh lebih rendah daripada negara-negara
tetangga. Secara umum, negara berkembang yang kuat menghabiskan sekitar 1–3 persen dari anggaran
nasional (APBN) mereka untuk penelitian dan pengembangan. Pemerintah Indonesia menganggarkan sekitar
0,25 persen dari PDB-nya untuk riset di tahun 2016, naik dari 0,09 persen di tahun 2013 (Y. Nugroho,
Prasetiamartati and Ruhanawati, 2016), sepuluh kali lebih rendah daripada negara lain di kawasan (Pellini,
Prasetiamartati, Nugroho, Jackson and Carden, 2018). Sebagai pembanding, Singapura mengalokasikan 2,2
persen, Malaysia sekitar 1,25 persen, Korea Selatan 4 persen, dan Jepang 3,6 persen (Pellini et al., 2018).
Pendanaan riset di sini merujuk pada pengeluaran bruto (PDB) yang dialokasikan untuk penelitian dan
pengembangan di sebuah negara. Kurangnya alokasi anggaran oleh Pemerintah Indonesia membatasi
produksi riset bermutu tinggi dan berdampak kuat.
Rendahnya kualitas dan terbatasnya produktivitas riset ilmu sosial berakar pada upaya reformasi pascaotoritarianisme yang terganjal. Kebanyakan organisasi yang memproduksi riset merupakan lembaga negeri,
yang pada awalnya merupakan bagian dari proyek besar pembangunan yang melanggengkan rezim otoriter,
kapitalis-kroni (Hadiz & Dhakidae, 2005). Dengan demikian, penting untuk mengakui sejak awal perkembangan
18
historis organisasi penghasil sains di Indonesia agar dapat mengidentifikasi dengan lebih baik faktor-faktor
relevan yang memengaruhi kinerja sistem riset Indonesia saat ini.
Perkembangan historis
Pemerintah Orde Baru (1966–1998) mengejar pendekatan teknokratik yang sangat terpusat dalam mengelola
produsen riset utamanya: perguruan tinggi (PT) (Guggenheim, 2012; H. Nugroho, 2005; Rakhmani and Siregar,
2016; Rosser, 2016). Universitas, yang sebagian besarnya negeri, diharapkan untuk mengabdi pada proyek
pembangunan nasional.
Kotak 1
Developmentalisme merupakan ideologi negara dan ‘pembangunan’ merupakan konsep kunci semasa
pemerintahan Orde Baru (Heryanto, 1988, 1995; Langenberg, 1987). Rezim tersebut bukan hanya mengaku
sebagai Orde Baru, tetapi juga Rezim Pembangunan. Sang Presiden, yang memerintah selama 32 tahun,
menyandang gelar kehormatan, ‘Bapak Pembangunan,’ dan didukung oleh ‘Kabinet Pembangunan.’ Selama
periode ini, istilah ‘pembangunan’ tidak hanya merujuk pada agenda ekonomi, tetapi juga ideologi negara
yang “menjalin dan melegitimasi cara-cara berpikir tertentu, serta menegasikan bentuk-bentuk kesadaran
lain, [yang] barangkali unik di antara berbagai negara berkembang” (Heryanto, 1995, p. 8).
Universitas negeri didudukkan sebagai wahana untuk menyosialisasikan dan menginternalisasikan ideologi
pembangunan di kalangan pengajar dan mahasiswa (Farid, 2005; H. Nugroho, 2005; Widjojo and Noorsalim,
2004). Tugas universitas adalah untuk melegitimasi kebijakan negara, yang berarti semua kegiatan akademis
harus sejalan dengan dan mendukung agenda pembangunan. Hanya ada sedikit ruang untuk kontestasi
gagasan dan pemikiran kritis yang menantang kebijakan pemerintah (Heryanto, 2005), apalagi untuk karya
dengan ketelitian ilmiah. Universitas umumnya berfungsi sebagai organisasi pengajaran dan bukannya
lembaga berorientasi riset; riset ilmu sosial, khususnya, digunakan untuk menjustifikasi kebijakan negara
(Guggenheim, 2012; Hadiz & Dhakidae, 2005).
Tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 menandai pergeseran dalam penggunaan ilmu sosial, khususnya oleh
negara (Achwan, 2017). “Produksi ilmu sosial ‘membludak’ seiring para pemberi dana internasional, birokrasi
negara, bisnis swasta, dan partai politik mengundang ilmuwan sosial yang bekerja di dalam maupun di luar
universitas untuk memberikan layanan nasihat dan konsultansi” (Achwan, 2017, p. 473). Achwan (2017)
berpendapat bahwa kenaikan permintaan akan konsultansi ilmu sosial ini tidak mampu meningkatkan kualitas
ilmu sosial di kalangan akademia maupun pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan, terlepas dari peningkatan
produktivitas di antara segelintir think tank dan kelompok riset. Di kemudian hari, pada 2010-an, diskursus
seputar ‘pembuatan kebijakan berbasis bukti’ mengemuka sebagai konsekuensi dari tekanan dan pendanaan
luar – seperti Knowledge Sector Initiative (Prakarsa Sektor Pengetahuan [KSI]) dan Australia-Indonesia
Partnership for Decentralization (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Desentralisasi) – yang mendorong
19
agenda tautan riset–kebijakan. Tren ini berkontribusi dalam membentuk bagaimana riset dikembangkan
selama dua dasawarsa terakhir. Produksi ilmu sosial yang dihasilkan oleh permintaan instrumental ini, bisa
dibilang, berupa sebentuk marketisasi yang parah atas pendidikan tinggi (Rakhmani, 2019).
Pada 2000-an, pengaturan universitas dikembangkan untuk monetisasi pasar peserta didik perguruan tinggi
dan para akademisi dituntut untuk mengemban beban ajar yang semakin besar (Achwan, 2017; Rakhmani,
2019). Baru setelah 2010-an pendanaan disalurkan melalui universitas untuk membiayai riset, namun tanpa
infrastruktur untuk mengembangkan kompetensi akademis dasar – yang hampir-hampir memang tak ada –
apatah lagi karya akademis bermutu untuk menyuluhi pembuatan kebijakan. Model birokratis dalam
manajemen universitas, ditambah lagi struktur teknokratis sempit yang sudah ada sebelumnya yang
berkembang semasa rezim otoritarian, masih menahan riset ilmu sosial yang bermutu dan mendalam hingga
kini.
Lebih-lebih, sistem riset ilmu sosial Indonesia tidak dirancang untuk memprofesionalkan peneliti ilmu sosial
(Achwan, 2017; Rakhmani, 2019; Rakhmani & Siregar, 2016) sehingga tidak menghasilkan peneliti ilmu sosial
yang sangat mumpuni dan gesit di kancah internasional. Hingga akhir 1990-an, ilmu sosial berada di bawah
kendali negara, sehingga membatasi imajinasi teoretis para peneliti serta kualitas karya mereka. Pada 2000an, kurangnya budaya akademis berpadu dengan permintaan pasar (Sakhiyya & Rata, 2019). Hal ini terus
berlangsung dan diperburuk oleh marketisasi perguruan tinggi yang parah (Rakhmani, 2019). Tipe reformasi
pendidikan tinggi yang dominan dicirikan oleh privatisasi, marketisasi, dan internasionalisasi (Sakhiyya & Rata,
2019; Susanti, 2011). Dengan kata lain, kian terbukanya negeri ini, seiring dengan hegemoni diskursus
neoliberal yang berlaku tentang peran instrumental riset, telah mengubah riset terutama sebagai komoditas
yang laku. Hal ini dapat dilihat dari tren saat ini dalam riset pemerintahan dan pasar: riset yang tidak
menghasilkan pendapatan pun terpinggirkan dan tidak didanai. Isu ini didiskusikan pada bagian selanjutnya.
Persoalan terkait budaya organisasi
Terdapat tiga persoalan terkait budaya organisasi pada organisasi riset yang kami pandang berpengaruh
terhadap kinerja para ilmuwan sosial, serta tautannya dengan pembuatan kebijakan: kultur audit yang berat
dalam pemberian hibah riset; kurangnya interdisiplinaritas; dan budaya kepangkatan seturut pemerintah.
Peggelontoran dana riset pemerintah pusat mengikuti siklus tahunan anggaran belanja pemerintah yang
terpusat. Artinya, semua kegiatan riset yang didanai pemerintah harus diselesaikan pada akhir tahun. Sama
halnya, mereka harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam proses audit, yang menitikberatkan pada
kepatuhan administratif daripada kualitas luaran akademis. Hal ini membatasi waktu yang benar-benar
digunakan untuk melaksanakan penelitian menjadi kurang lebih tiga sampai enam bulan saja, kadang-kadang
dengan disertai syarat wajib publikasi akademis. Hal ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai peluang, tapi
harus disikapi dengan hati-hati, belajar dari ‘efek kobra’ pada target publikasi. Selain itu, skema pendanaan riset
pemerintah perlu belajar dari dan mengadopsi model tinjauan sejawat yang digunakan di negara-negara
20
dengan sistem manajemen perguruan tinggi yang lebih baik. Ini dapat dimulai dari para penerima dana dengan
sejawat internasional.
Sebagai akibat dari kendala waktu ini, jauh lebih banyak upaya dihabiskan untuk mekanisme pemantauan,
pengaturan, dan pelaporan ketimbang untuk melakukan penelitian sungguhan. Ini berujung pada
berkembangnya apa yang disebut ‘kultur audit,’ yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas (Gaus & Hall, 2016; Shore, 2008), namun dengan mengorbankan kinerja akademis.
Kultur audit jauh lebih efektif dalam meningkatkan kepatuhan administratif daripada memperbaiki kinerja
akademis. Fokusnya kurang pada pengerjaan riset bermutu dan lebih pada bagaimana menulis laporan
keuangan yang dapat diaudit, lengkap dengan segala dokumen pendukung yang dibutuhkan untuk setiap
pengeluaran dari dana penelitian (Rakhmani, 2019; Rakhmani & Siregar, 2016). Kultur audit ini berlaku untuk
lembaga publik maupun swasta, dan terutama diarahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian
Keuangan.
Kedua, masalah-masalah penelitian cenderung bersifat interdisipliner, sedangkan universitas tidak
distrukturkan demikian. Sementara banyak negara telah mengadopsi pendekatan lintas disiplin (crossdisciplinary approach), fakultas-fakultas pada universitas negeri secara kaku mengatur departemendepartemen mereka berdasarkan disiplin dan, kerap kali, diatur berdasarkan kekhususan ketimbang tematik.
Hal ini tercermin dalam kebijakan terkini menyangkut kepangkatan para pengajar di Indonesia, yang didasarkan
pada prinsip ‘linearitas:’ mempersempit pengalaman pendidikan seseorang untuk meningkatkan
spesialisasinya (Y. Nugroho et al., 2016). Kebijakan semacam ini, yang berlaku baik untuk universitas negeri
maupun swasta, bertentangan dengan tuntutan akademis global yang tengah berkembang serta pasar kerja
profesional, yang membutuhkan pengalaman interdisipliner (Oey-Gardiner et al., 2017; Schwab, 2016).
Akibatnya, para cendekiawan cenderung berdiam di dalam disiplinnya masing-masing dan mengejar
kepangkatan di lembaga mereka sendiri (Karetji, 2010). Struktur ini merintangi transfer gagasan dan debat
antardepartemen akademis. Hal ini pun memperkuat insularitas, baik di dalam maupun antarlembaga.
Kurangnya interaksi antarorganisasi dan kecenderungan pada insularitas ini terkonfirmasi di dalam survei
kami: mayoritas responden (61,5 persen) tidak pernah menyelenggarakan debat publik, sementara hanya 17,9
persen lembaga saja (berlokasi di Jakarta) yang pernah menyelenggarakannya lebih dari tujuh acara.
Secara global, penelitian interdisipliner menawarkan potensi yang lebih besar untuk mengembangkan dan
memproduksi pengetahuan baru melalui penelitian yang mengombinasikan dan mengintegrasikan wawasan
dan perspektif dari beragam disiplin (Barry, Born & Weszkalnys, 2008; Wernli & Darbellay, 2016). Kurangnya
interdisiplinaritas di kalangan organisasi pemroduksi riset di Indonesia, dengan demikian, menghambat upayaupaya untuk meningkatkan kinerja para peneliti ilmu sosial.
Permasalahan ketiga terletak pada birokratisasi kepangkatan. Kebanyakan akademisi di universitas terkemuka
di Indonesia – yang didominasi, kalaupun tidak semuanya, oleh universitas negeri – merupakan pegawai negeri
sipil yang kepangkatannya dikendalikan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
21
(Kemristekdikti). Selain itu, kenaikan pangkat mereka juga dinilai menggunakan sasaran-sasaran administratif
dan penilaian kinerja yang tidak secara langsung terkait dengan produktivitas atau kualitas riset (Rakhmani,
2019). Kenaikan pangkat bersandar lebih kepada persetujuan atasan birokratis daripada kecakapan akademis.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Guggenheim (2012): “Kejeniusan sistem kontrol Orde Baru terletak
bukan pada cara-cara opresi terang-terangan terhadap para cendekiawan, analis, dan peneliti yang kritis,
melainkan pada penggunaan insentif birokratis untuk menggerogoti produksi pengetahuan dari dalam lembaga
yang menciptakan dan menggunakannya” (p. 142). Adalah mustahil mendorong para akademisi untuk
menghasilkan karya bermutu di bawah struktur dan pengaturan universitas yang terpusat pada negara.
Kualitas, menurut Achwan (2017), bukanlah prioritas.
Ketiga aspek kunci dalam budaya organisasi ini berkontribusi pada insularitas para cendekiawan Indonesia. Ini
merupakan budaya di mana “kebanyakan peneliti Indonesia kurang dalam mobilitas akademis dan interaksi
sejawat internasional, serta memilih untuk berdiam di lembaganya sendiri” (Rakhmani & Siregar, 2016, p. ii).
Budaya ini telah mengasingkan Indonesia dari percakapan global tentang produksi pengetahuan dan
keterlibatan akademik.
Pembuatan kebijakan berbasis bukti: Apakah kita sudah mencapainya?
Di bawah kondisi yang telah kami gambarkan, klaim mengenai pembuatan kebijakan berbasis bukti harus
diteliti dengan cermat. Pembuktian yang tidak dihasilkan melalui metode yang secara akademis ketat, rawan
pilih-pilih; artinya, kebijakan tersebut – sekalipun digadang-gadang ‘berbasis bukti’ – bisa jadi tidak efektif. Di
Indonesia pasca-otoritarianisme, setidaknya 50 persen menteri di kabinet sebagian besar ditunjuk berdasarkan
pertimbangan politis, yang berarti bahwa kebijakan menjadi instrumen politik dalam persaingan elite
memperebutkan pemilih dan konstituen (Mietzner, 2018; Muhtadi, 2019). Politik pembuatan kebijakan di
Indonesia sarat dengan solusi jangka pendek dalam rangka bersiap-siap untuk pemilu selanjutnya. Ini berujung
pada pembuatan kebijakan jangka pendek yang mengabaikan kebutuhan perencanaan jangka panjang. Amat
banyak penelitian ilmu sosial – melalui pengondisian sosial – diterapkan dan digunakan demi kepentingan
kliennya.
Peneliti kebijakan lainnya berpendapat sama. Yanuar Nugroho et al. (2016, p. 20) menyatakan bahwa “entah
pemerintah yang tidak melihat arti penting dan nilai riset dalam menyuluhi kebijakan, atau komunitas riset yang
gagal mengikutsertakan pemerintah.” Karetji (2010) berpendapat bahwa penciptaan kultur riset berbasis bukti
dan peningkatan kapasitas pengetahuan utamanya merupakan keputusan politik. Sekalipun regulasi
diperkenalkan untuk menentukan penggunaan bukti, “para pembuat kebijakan kerap menganggap pemesanan
kajian sebagai urusan ‘mencentang’ belaka dan tidak memeriksa ataupun menggunakan kajian tersebut”
(Guggenheim, 2012, p. 154). Ketika pimpinan baru menduduki posisinya, mereka semakin berpaling ke sumber
pertimbangan mereka sendiri alih-alih menggunakan temuan riset yang disediakan oleh para konsultan.
22
Memang ada tanda-tanda reformasi, namun bukannya tanpa kontradiksi. Pada Oktober 2014, Presiden Joko
Widodo (lebih dikenal sebagai ‘Jokowi’) menggabungkan pendidikan tinggi (yang tadinya berada di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) ke Kementerian Riset dan Teknologi. Penggabungan mereka
menunjukkan bahwa perhatian serius diberikan kepada pendidikan tinggi sebagai pendorong ekonomi, dengan
harapan bahwa “pendidikan tinggi akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi” (Kemristekdikti, 2015, p.
10). Diharapkan pula bahwa kinerja riset universitas akan membaik, sebagaimana ditunjukkan oleh
peningkatan jumlah publikasi internasional, paten, hak cipta, dan bentuk-bentuk lain monetisasi inovasi riset.
Namun demikian, struktur kementerian yang baru, ditetapkan pada Oktober 2019, mengembalikan kendali
pendidikan tinggi kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara Badan Riset dan Inovasi
Nasional kini berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Hal ini mengonfirmasi pendapat Karetji (2010)
bahwa fokus kepada peningkatan kapasitas pengetahuan pada dasarnya merupakan keputusan politik.
Demikian halnya, perguruan tinggi kini didorong untuk menghasilkan pemasukan; penelitian pun dilaksanakan
untuk menghasilkan pendapatan bagi universitas ketimbang sebagai keterjalinan institusional antara
universitas negeri dengan pembuatan kebijakan. Universitas negeri pasca-otoritarian kini memiliki hak legal
untuk mencari pendanaan riset non-negara. Skema hibah penelitian juga bergeser pada 2010-an, dari distribusi
terpusat ke pendanaan berbasis kompetisi. Meskipun hal ini telah meningkatkan manajemen pendanaan,
namun tidak meningkatkan kualitas riset ilmu sosial secara umum. Pergeseran ini dan peningkatan pendanaan
riset telah memungkinkan universitas yang berada di Pulau Jawa yang sudah sangat terindustrialisasi dan
terurbanisasi untuk melakukan lebih banyak riset, sementara universitas di daerah lain tertinggal di belakang
(Rakhmani & Siregar, 2016). Universitas di Jawa pada umumnya lebih baik dalam hal kapasitas riset, sumber
daya, dan infrastruktur. Selain itu, universitas negeri di Jawa cenderung memiliki akses yang lebih baik ke
pemberi dana internasional dan pendanaan dari sektor swasta daripada universitas di pulau-pulau lainnya,
sehingga makin memperlebar kesenjangan akses antardaerah. Disparitas yang terus berlangsung dalam hal
daya saing dan akses ke pendanaan riset, khususnya untuk riset ilmu sosial, perlu dibahas dalam asesmen apa
pun terhadap ekosistem riset Indonesia.
Menanggapi permasalahan di atas, Presiden mengumumkan rencananya, pada 2018, untuk mendirikan Badan
Riset dan Inovasi Nasional. Badan riset tersebut didirikan sebagai sebuah kerangka kerja kelembagaan tunggal
untuk memangkas inefisiensi banyak sub-badan riset yang ada hampir di semua kementerian dan lembaga (Y.
Nugroho, 2019). Namun bagaimanapun, Badan Riset dan Inovasi Nasional merupakan sebuah badan terpusat
yang berada di bawah pemerintah pusat di Jakarta. Karakteristik dari rancangannya (berbasis di Jakarta) dapat
memperburuk kesenjangan antardaerah yang sudah ada dan menggemukkan ciri insular dari riset ilmu sosial
– jika isu-isu struktural ini tidak diatasi secara fundamental.
5
Penelitian DRA ini dilaksanakan ketika sektor Pendidikan Tinggi dikelola di bawah Kemristekdikti. Pada saat laporan ini diselesaikan,
reformasi struktural pada kabinet menempatkan kembali Pendidikan Tinggi di bawah kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(seperti sediakala sebelum 2014). Oleh karena itu, laporan ini menggunakan Kemristekdikti sebagai rujukannya, bukan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan saat ini.
23
Struktur Umum dari Sistem Riset
Bagian ini menjabarkan arsitektur umum sistem riset ilmu sosial. Sesuai dengan kerangka kerja DRA, kami
menggunakan konsep Sistem Inovasi Nasional (National Innovation System [NIS]) (Lundvall, 2016) sebagai
pedoman bagi sebuah ekosistem riset yang lebih adaptif. Dengan menggunakan kerangka kerja ini, sistem riset
dapat dipahami sebagai sebuah sistem inovasi yang “tersusun atas unsur-unsur dan hubungan-hubungan yang
saling berinteraksi dalam produksi, difusi, serta penggunaan pengetahuan baru dan secara ekonomis berguna”
(Lundvall, 1992, p. 2). Melengkapi analisis struktural, kerangka kerja ini memetakan cara-cara alternatif dalam
melihat bagaimana organisasi negara dan non-negara memberi bentuk pada budaya riset ilmu sosial.
Sistem riset Indonesia, sebagaimana di belahan dunia lainnya, tersusun oleh pemerintah dan badan
pendanaan, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Tiap-tiap institusi ini memainkan peran khas
sesuai negaranya dalam ekosistem riset suatu negeri sesuai dengan fungsi riset mereka: memproduksi,
mendifusikan/mendiseminasikan, dan menggunakan penelitian. Kategori-kategori ini amat pokok dalam
memetakan para pemangku kepentingan pada sistem riset Indonesia.
Keempat kategori di atas memiliki beberapa sub-kelompok berdasarkan pembacaan penulis atas berbagai
dokumen kebijakan dan laporan penelitian. Pemerintah dan badan pendanaan terdiri atas divisi penelitian dan
pengembangan (litbang) pada semua kementerian dan lembaga non-kementerian, dewan riset pemerintah,
serta organisasi pemberi dana internasional baik publik maupun swasta. Di Indonesia, aktor negara yang utama
dalam kategori ini mencakup Kemristekdikti, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama (yang mengatur dan
mendanai universitas berbasis agama), serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Aktoraktor non-negara yang memiliki pengaruh signifikan dalam proses reformasi mencakup Knowledge Sector
Initiative (Prakarsa Sektor Pengetahuan [KSI]) dari Australia’s Department of Foreign Affairs and Trade
(Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia) dan Bank Dunia; meskipun banyak organisasi
internasional lainnya juga berkontribusi (lihat Lampiran 4 untuk daftar lengkapnya). Organisasi-organisasi ini
aktif mendanai riset ilmu sosial di Indonesia dan mempromosikan riset mereka sebagai dasar bagi pembuatan
kebijakan.
Lebih lanjut, perguruan tinggi dapat dibagi menjadi universitas negeri dan swasta, yang bisa jadi berupa
organisasi bisnis maupun nirlaba. Hanya ada 74 universitas negeri dari keseluruhan 4.482 lembaga pendidikan
tinggi di Indonesia (1,6 persen); mereka berada di bawah Kemristekdikti (PDDIKTI, 2018). Kebanyakan dari
mereka lebih berorientasi pada pengajaran dan mengikuti pembatasan disipliner konvensional. Pendanaan
untuk universitas negeri sebagian besarnya berasal dari pemerintah (Purwadi, 2001).
Sumber pendanaan menjadi lebih beragam sejak undang-undang otonomi universitas negeri diluncurkan pada
2000-an. UU ini membolehkan universitas negeri untuk mencari sumber pendanaan alternatif seperti
pendanaan pemerintah pusat, anggaran rutin, alokasi anggaran infrastruktur, biaya operasional pendidikan,
dan inisiatif-inisiatif swadaya lainnya. Kebanyakan universitas swasta berorientasi profit, meski sebagian di
24
antaranya berjalan untuk memenuhi misi pendidikan ketimbang menghasilkan keuntungan (lihat Lampiran 2
untuk daftar lengkapnya).
Organisasi masyarakat sipil mencakup organisasi non-pemerintah, pembentuk opini, think tank non-profit, dan
media. Sektor swasta atau industri mencakup think tank dan konsultan pencari profit, serta yayasan yang
didirikan oleh perusahaan mapan.
Gambar 2 didasarkan pada pedoman DRA dan diadaptasi dari Salmi (2011). Gambar tersebut memperlihatkan
sistem riset suatu negara sebagai sebuah ekosistem. Kami mengadaptasi ini agar sesuai dengan konteks
Indonesia untuk riset ilmu sosial, berdasarkan analisis konteks pada penelitian ini. Yang pokok dari proses
penelitian dan inovasi adalah para pemangku kepentingan kunci yang diidentifikasi dan dicantumkan dalam
pemetaan pemangku kepentingan kami: pemerintah dan badan pendanaan, lembaga pendidikan tinggi,
masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Gambar 2 Sistem riset ilmu sosial Indonesia dan ekosistemnya
Sumber: Dimodifikasi dari pedoman DRA (2018) dan Salmi (2011)
25
Kinerja para pemangku kepentingan ini bersandar pada sistem pendukung yang mengitarinya – yakni,
kerangka kerja politik dan ekonomi, mekanisme pendanaan dan sifat kolaborasi (multidisipliner dan multipemangku kepentingan), kapasitas reformasi, tata kelola, mekanisme informasi, jaminan kualitas, sumber daya
dan insentif, serta infrastruktur. Kerangka kerja ini digunakan untuk menyusun indikator kerangka kerja DRA,
yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian pemetaan pemangku kepentingan dan laporan ini.
Kepemimpinan riset Indonesia saat ini berada di bawah kewenangan Kemristekdikti. Hingga 2014, perguruan
tinggi berada di bawah Kementerian Pendidikan sebagai sebuah direktorat, sejajar dengan Direktorat
Pendidikan Dasar dan Menengah. Sejak 2014, Presiden Joko Widodo menggabungkan perguruan tinggi dengan
riset dan teknologi untuk meningkatkan akses kepada dan kualitas dari riset dan pendidikan tinggi bagi pasar
dan para pengguna riset. Kemristekdikti bertanggung jawab atas pendanaan universitas negeri dan pengaturan
urusan terkait ketentuan dan riset perguruan tinggi.
Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan lembaga riset independen nasional yang membangkitkan
pengetahuan, gagasan, dan perspektif bagi mereka yang meminati riset dan teknologi di Indonesia. Meskipun
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2005 menyebutkan bahwa tugas dari dewan tersebut adalah “membantu
Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”
(Pemerintah Indonesia, 2005), hasil wawancara menunjukkan bahwa DRN sedikit saja kontribusinya dalam
kepemimpinan riset. Walaupun rencana nyata untuk meningkatkan kinerja DRN belum diungkapkan, pada
2019, Presiden Joko Widodo yang baru terpilih kembali membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional untuk
memastikan penggunaan dana penelitian yang lebih efektif dan efisien – khususnya untuk mendukung
kebijakan riset nasional (Kemristekdikti, 2017). Masyarakat Indonesia belum pula menyaksikan dampak dari
struktur baru tersebut dalam memecahkan permasalahan menyangkut produksi dan pemanfaatan riset
(Juliandi, 2019).
Organisasi pemberi dana internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, juga memiliki pengaruh signifikan dalam
mereformasi sektor pendidikan tinggi (Rosser, 2016). Sejak 1998, Bank Dunia telah memublikasikan laporan
mengenai sistem pendidikan tinggi Indonesia dan mendorong pemerintah untuk membuka sektor tersebut bagi
investasi asing (World Bank, 1998). Bank Dunia telah memulai kerja sama dengan universitas-universitas
terpilih, memberikan ‘pinjaman ringan’ melalui program yang disebut IMHERE (Indonesia – Managing Higher
Education for Relevance and Efficiency [Indonesia – Pengelolaan Pendidikan Tinggi Untuk Relevansi dan
Efisiensi]) kepada lebih dari 40 universitas di Indonesia. Ini dilakukan dengan memberikan berbagai bentuk
bantuan teknis kepada universitas. Termasuk dengan memberikan layanan konsultansi untuk membayangkan
masa depan universitas, membangun kapasitas administratif dan manajerial (manajemen aset fisik dan
keuangan), membuat rencana strategis dan bisnis bagi lembaga, merancang kegiatan untuk menghasilkan
pemasukan, dan berinvestasi pada beasiswa berkeadilan (Sakhiyya, 2018).
Namun demikian, upaya reformasi manajerial ini belum dibarengi dengan langkah-langkah serius untuk
meningkatkan otonomi akademis organisasi riset dan gagal dalam memperhitungkan konteks pascaotoritarian Indonesia (Irianto, 2012; H. Nugroho, 2005; Y. Nugroho et al., 2016; Rosser, 2016). Semasa
26
pemerintahan Orde Baru, organisasi riset dan perguruan tinggi tunduk di bawah kekuasaan negara dan kurang
otonomi kelembagaan, akademis, maupun manajerial (Guggenheim, 2012; H. Nugroho, 2005). Warisan sejarah
ini menciptakan rintangan struktural dalam menghasilkan apa pun yang mendekati riset ilmu sosial progresif.
Itulah mengapa kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan otonomi kelembagaan – yakni UU BHMN tahun
1999, yang kemudian diamandemen dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Manajemen
Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) – kurang berpengaruh dalam meningkatkan kinerja akademis.
Bagaimanapun, dorongan menuju internasionalisasi, baik oleh Kemristekdikti maupun universitas negeri,
berdampak pada profesionalisasi. Ambisi ini dapat diwujudkan bukan hanya melalui sumber daya dan insentif
keuangan, tetapi juga melalui mekanisme tinjauan sejawat. Terdapat insentif untuk publikasi baik dari
Kemristekdikti maupun perguruan tinggi. Rentangan insentif tersebut bervariasi menurut tingkat pengaruh dan
standar jurnal. Peraturan Menristekdikti terakhir (No. 20 Tahun 2017) menetapkan publikasi jurnal internasional
sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat dan kemajuan karier para profesor dan pengajar senior. Publikasi
jurnal juga menjadi salah satu prasyarat dalam pengajuan proposal riset yang didanai oleh Kemristekdikti.
Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan peringkat global Indonesia dan berkontribusi bagi tautan riset–
kebijakan. Menurut pangkalan data Scopus (2018), peringkat Indonesia jauh tertinggal dari Singapura dan
Malaysia dalam hal publikasi jurnal. Dorongan untuk publikasi jurnal (Zein, 2018) dimulai pada 2012, dengan
dikeluarkannya Surat Edaran No. 152/E/T/2012 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pengindeksan merupakan kriteria pokok yang digunakan untuk mengategorikan jurnal internasional dan lokal.
Di samping Scopus, indeks internasional lain juga digunakan. Directory of Open Accessed Journals (Direktori
Jurnal Berakses Terbuka [DOAJ]) menggunakan kriteria asesmen yang relatif jelas dan transparan. Dari 2009
hingga 2016, DOAJ mengindeks sekitar 400 jurnal pada semua disiplin dari Indonesia; dari 2016, Indonesia
menduduki peringkat kedua setelah Brasil. DIKTI (Direktorat Pendidikan Tinggi), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, juga mengembangkan SINTA, sistem riset dan publikasi berbasis web yang mendaftar dan
mengategorikan jurnal lokal Indonesia. Pada 2018, terdapat 2.251 jurnal atau publikasi akademis, di mana 52
jurnal berperingkat SINTA 1, 579 SINTA 2, 469 SINTA 3, dan seterusnya (pangkalan data Sintadikti 2018). Upaya
ini menunjukkan bahwa warisan birokratisasi Orde Baru tengah direformasi, dengan regulasi korporatis yang
bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme akademis melalui peregulasian kembali. Hal ini, bagaimanapun,
bukannya tanpa masalah.
Para cendekiawan mafhum bagaimana pertumbuhan publikasi dan sitasi yang pesat ini telah mengantarkan
pada obsesi yang berlebihan terhadap pengindeksan jurnal dan teknologi pengukuran/pemeringkatan, dengan
mengorbankan kualitas akademis (Abraham, Irawan & Dalimunthe, 2019; Fiantis & Minasny, 2019; Zein, 2018).
Lebih spesifik lagi, hal ini berkontribusi pada ‘efek kobra’ (Zein, 2018) dalam Scopus: praktik publikasi curang
dan predatorial oleh para akademisi demi melejitkan sitasi mereka (h-indeks di Scopus).
6
SINTA, the Science and Technology Index, adalah sebuah sistem informasi riset berbasis web untuk para akademisi Indonesia, yang
mencakup indeks sitasi dan informasi mengenai area-area riset. Indeks ini berfungsi sebagai rujukan untuk kinerja riset.
27
Tinjauan kami pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penghargaan material yang meningkat untuk
para cendekiawan yang memiliki publikasi internasional dipandang sebagai salah satu insentif, namun bukan
dorongan utamanya (Rakhmani & Siregar, 2016). Apa yang lebih penting adalah membangun sebuah ekosistem
yang mengasuh kultur akademis yang kuat, yang memampukan sistem tinjauan sejawat antarorganisasi dan
multidisipliner baik di antara maupun di dalam perguruan tinggi dan aktor riset – itulah mengapa penelitian ini
begitu penting.
Konteks Sosiopolitik
Dinamika sejarah dan masa kini, serta politik nasional dan lokal secara signifikan memengaruhi kapasitas
Indonesia dalam menghasilkan riset ilmu sosial yang otonom dan independen (Achwan, 2017; Hadiz &
Dhakidae, 2005; Rakhmani, 2019). Sejauh mana riset dapat diproyeksikan ke ranah publik tanpa pemeriksaan
pemerintah merupakan salah satu indikator penting untuk hal ini. Menurut Worldwide Governance Indicators
(Indikator Tata Kelola Seluruh Dunia) dari Bank Dunia, skor Indonesia terus-menerus meningkat dari 1996
hingga 2017 (lihat Gambar 3 di bawah). Ini berarti bahwa persepsi publik terhadap kinerja pemerintah terus
membaik. Dari enam indikator (stabilitas politik, kualitas kepengaturan, penegakan hukum, keterbukaan dan
akuntabilitas, kontrol atas korupsi, dan keefektifan pemerintahan), yang mengalami perubahan paling drastis
adalah keterbukaan dan akuntabilitas, serta penegakan hukum. Hal ini mengonfirmasi analisis kami terdahulu:
bahwa tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 menandai pergeseran menuju demokrasi.
Gambar 3 Worldwide Governance Indicator (Indikator Tata Kelola Seluruh Dunia)
Sumber: Bank Dunia (2017)
Meskipun terus-menerus ada kemajuan dalam hal akuntabilitas, keefektifan pemerintahan, dan penegakan
hukum, reformasi belum berdampak signifikan pada level kebebasan akademis dalam praktik riset sosial di
Indonesia. Sebagai hasil dari perkembangan demokrasi di Indonesia, kebebasan akademis para peneliti tidak
lagi terhalang oleh negara kuat, tetapi oleh – di antara faktor-faktor lainnya – klientelisme politik dalam
28
pendistribusian proyek penelitian (H. Nugroho, 2005) dan marketisasi riset (Rakhmani, 2019). Yang pertama
merujuk pada pengendalian pendanaan riset melalui sistem patronase di universitas negeri, sementara yang
kedua merujuk pada kecenderungan produksi riset yang disetir oleh pasar.
Watak birokrasi negara yang terpusat menimpa struktur dan kebijakan bentukan baru yang diberlakukan oleh
pemerintah nasional dan lokal yang bertujuan meningkatkan produktivitas riset – seperti dewan riset, badan
pendanaan nasional, ataupun kebijakan riset nasional. Pendanaan riset dikelola secara tematik, melalui
kolaborasi dengan para ilmuwan terkemuka di bidang-bidang tertentu dan di universitas-universitas yang
unggul di area tertentu. Pada saat yang bersamaan, organisasi akademis yang didukung oleh organisasi
pembangunan internasional berusaha mendorong iklim kebebasan akademis – sebagai basis bagi keunggulan
ilmiah. Namun demikian, hal ini berlaku hanya pada konteks-konteks spesifik. Pendanaan pemerintah-kepemerintah cenderung berfokus pada area-area tertentu ketimbang memengaruhi sistem riset secara umum.
Sebagai contoh, riset mengenai keragaman hayati (sebagaimana terlihat dari wawancara kami dengan seorang
anggota ALMI [Akademi Ilmuwan Muda Indonesia]) dilaksanakan dengan ilmuwan dari universitas tertentu
(dalam contoh ini, IPB [Institut Pertanian Bogor]) dan memanfaatkan ALMI untuk meningkatkan dampak
publiknya (contoh video dan laporan media tersedia jika ada permintaan).
Organisasi-organisasi ini, seperti ALMI dan IPB, menggambarkan bagaimana administrasi birokratis secara
sistematik menghambat riset bermutu. Riset yang inovatif adalah buah dari kerja keras para peneliti dan
bukannya konsekuensi dari rancangan institusional, yang membatasi pengaruh jaringan profesional langsung
yang dimiliki oleh para peneliti. Kami berpendapat bahwa konteks politik dari riset ilmu sosial di Indonesia saat
ini membuktikan adanya tegangan antara unsur birokratis yang menyusun alat negara dengan kalangan
akademisi dan organisasi pembangunan internasional.
Agenda dan kebijakan riset
Beberapa kebijakan, seperti Rencana Induk Riset Nasional dan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (UU SISNAS IPTEK), dirancang dan diberlakukan untuk mendukung produksi
pengetahuan di universitas dan badan penelitian dan/atau organisasi penelitian. Namun demikian, kebijakan
ini tidak dirancang untuk mendorong penggunaan riset secara sistematik di kalangan instansi pemerintahan.
Para pembuat kebijakan pada umumnya menganggap pemesanan kajian sebagai persyaratan administratif
belaka, dan tidak menggunakannya untuk menyuluhi pengambilan keputusan. Bahkan jika riset ilmu sosial
digunakan, ia tidak digunakan sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan, melainkan sekadar untuk
menjadikannya terlihat ilmiah (Hadiz & Dhakidae, 2005). Situasi ini bukan khas Indonesia saja (Jarvis, 2014).
Perkembangan terkini pendanaan penelitian juga mencerminkan subordinasi riset ilmu sosial di Indonesia.
Lembaga Pengelola Dana Penelitian (LPDP) telah memotong anggaran riset ilmu sosial sejak 2017
(www.lpdp.kemenkeu.go.id). Demikianlah adanya, sekalipun Rencana Strategis Kemristekdikti (2015–2019)
menekankan bahwa “arah kebijakannya adalah melaksanakan riset sosial dan kemanusiaan yang mencakup
29
seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia” (Menristekdikti, 2015, p. 26). Rencana Strategis ini merupakan
kerangka kerja yang mendasari semua kebijakan dan peraturan lain yang terkait. Kendatipun mendukung
produksi riset, Rencana Strategis ini tidak menyebut-nyebut penggunaan dan difusi riset.
Hal serupa juga terjadi pada kebijakan lain, seperti regulasi baru yang dirumuskan untuk menggantikan UU No.
18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Abdullah, 2015). Rancangan
undang-undang tersebut, disusun oleh Kemristekdikti, menyebutkan kegunaan instrumental riset sebagai salah
satu prinsip penting, namun tidak merinci penggunaan riset sebagai alat pendukung pembuatan kebijakan
berbasis bukti – apalagi produksi riset dasar. Kurangnya kesadaran akan pemanfaatan riset cukup
mengejutkan, mengingat universitas – termasuk para pengajar perorangan dan pusat penelitian think tank –
tetap menjadi penyedia penting riset dan layanan konsultansi bagi pemerintah, pemberi dana internasional,
dan korporasi. Para peneliti dari universitas memberikan konsultansi riset teknokratis, yang menyediakan
solusi ilmiah atau teknologis untuk masalah sosial, baik melalui konsultansi individual dan/atau kemitraan
instansi–universitas. Riset semacam ini tidaklah independen dan bermutu tinggi karena seturut pemberi dana
dan instrumental. Marketisasi riset ilmu sosial yang melayani kebutuhan birokrasi pemerintahan – jangan
dikacaukan dengan pemanfaatan riset karena tidak selalu memengaruhi pembuatan kebijakan – amat jauh
dari riset independen. Hal ini terkonfirmasi pada survei kami: mayoritas peneliti dan pengelola penelitian
melakukan riset pesanan dalam tiga tahun terakhir.
Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), sebuah badan pendanaan independen yang diprakarsai oleh Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), menjanjikan kebebasan akademis yang lebih besar (Putra, 2016). Namun
demikian, DIPI menunjukkan keberpihakan pada ilmu alam, sebagaimana terlihat dari terbatasnya alokasi
pendanaan riset untuk ilmu sosial (Oxford Business Group, 2017) (Rakhmani & Siregar, 2016).Oleh karena itu,
tanpa adanya rangkaian kebijakan dan mekanisme pendanaan yang mantap, kurang pulalah keseimbangan
antara riset untuk menangani prioritas nasional dan agenda riset independen untuk ilmu sosial.
Kebebasan akademis
Persoalan utama yang muncul dalam wawancara pelingkupan kami dengan para akademisi dan cendekiawan
di lapangan adalah persoalan kebebasan akademis. Kebebasan akademis amat pokok dalam memampukan
para aktor riset untuk mendorong batas-batas pengetahuan dan menghasilkan pemahaman alternatif tentang
dunia sosial dengan cara-cara yang, idealnya, berdampak. Kendatipun kebebasan akademis bukanlah suatu
hak yang berdiri sendiri, kebebasan untuk menekuni riset dan kecendekiaan ilmu sosial tanpa kekangan sensor
dan persekusi tidak dapat dipisahkan dari kebebasan untuk mengamalkan hak dasar sipil dan politik (Saunders,
1998). Hal ini penting untuk produksi, diseminasi, dan pemanfaatan riset ilmu sosial, mengingat upaya
melembaga yang menghalangi pemikiran kritis bisa saja berdampak pada pengetahuan dan sistem riset.
Menurut hasil wawancara pelingkupan kami, kebebasan akademis Indonesia pasca-Soeharto “tidaklah lebih
baik” (cendekiawan hukum dan aktivis hak asasi manusia, wawancara personal, 2019) terlepas dari runtuhnya
30
rezim otoritarian. Yang ada hanyalah modus, aktor, dan tren penindasan baru. Setidaknya ada empat area yang
dianggap kontroversial dan sensitif: isu-isu Marxisme/komunisme, kritik terhadap korporasi, agama, dan LGBT.
Menurut kajian tentang kebebasan akademis yang dilakukan oleh Wiratraman (2018), dari 49 kasus
pembubaran diskusi akademis yang diteliti pada 2018, 37 persen menyangkut komunisme, 31 persen
merupakan hasil dari tekanan korporasi, 18 persen menyangkut topik keagamaan, 10 persen menyoal isu LGBT,
dan 4 persen mengenai isu-isu lainnya.
Komunisme masih menjadi isu yang sangat sensitif hingga kini dan merupakan salah satu warisan rezim Orde
Baru. Bentuk represinya bervariasi, mulai dari pelarangan diskusi akademis, penyitaan buku, hingga
pembuangan intelektual kiri (Farid, 2005; Hadiz & Dhakidae, 2005; Heryanto, 2005; Sangadji, 2017). Sebagai
contoh, pemutaran film Joshua Oppenheimer, Senyap (The Look of Silence), dibatalkan, dihentikan, ataupun
dilarang di beberapa universitas di Yogyakarta, Malang, dan Surabaya. Laporan mengenai penyitaan buku-buku
komunis dan Marxis dari beragam genre juga mencerminkan upaya penindasan serupa. Wawancara
pelingkupan kami dengan Editor Indoprogress (sebuah platform untuk para peneliti kiri) mengonfirmasi hal ini.
Dia berpendapat bahwa ada pengawasan ketat terhadap penggunaan Marxisme sebagai lensa teoretis dalam
riset ilmu sosial di Indonesia melalui pemeriksaan dan penyaringan oleh badan pemerintah. Selain itu,
kurangnya literatur dan pakar (yang ahli dalam Marxisme), serta penghalang-penghalang struktural lainnya
(pengontrolan lembaga, perizinan riset, dll.) membuktikan serangan terhadap kebebasan akademis.
Komunisme merupakan satu-satunya topik yang secara legal dan sistematis dibatasi. Semasa rezim Orde Baru,
kajian tentang Marxisme dan komunisme di universitas dilarang. Hal ini diatur oleh kebijakan pemerintah, yakni
TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996. Rezim otoritarian bersikeras bahwa kajian Marxisme merupakan
ancaman terhadap stabilitas politik, dan memandangnya sebagai sebentuk pemikiran analitis dan kritis yang
mengarah pada pelengseran rezim (Farid, 2005; Heryanto, 2005). Sekalipun kebijakan ini dihapuskan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000 – di tengah begitu banyak kritik (Bourchier, 2001) – Marxisme dan
komunisme tetap dipandang sebagai representasi Partai Komunis Indonesia. Marxisme/komunisme masih
tetap menjadi isu kontroversial di Indonesia hingga kini (Kasenda, 2014). Banyak diskusi akademis, baik lisan
maupun tertulis, tentang Marxisme/komunisme telah dibubarkan dengan kekuatan militer (Saunders, 1998).
Hal ini berdampak pada kurangnya diskursus akademis alternatif untuk menganalisis dampak-dampak
kontradiktif dari kebijakan neoliberal di Indonesia (Farid, 2005), termasuk di antaranya kesenjangan sosial,
pengonsentrasian kemakmuran di kalangan elite dan kelas menengah berada, serta efeknya terhadap kualitas
demokrasi.
Isu kedua terkait dengan tekanan korporasi. Lantaran anggaran nasional yang menyusut, dunia akademik
semakin berada di bawah pengaruh korporasi dan kepentingannya. Kendali korporasi atas kebijakan
7
Senyap atau The Look of Silence merupakan sebuah film dokumenter tentang pembunuhan massal di
Indonesia tahun 1965–1966, disutradarai oleh Joshua Oppenheimer pada 2014. Meskipun memperoleh banyak
pujian internasional dan memenangkan 70 penghargaan internasional, film tersebut dilarang di Indonesia.
31
universitas dapat dilihat dari beberapa kasus pelarangan pemutaran dokumenter yang mengkritik korporasi
(Wiratraman, 2018). Sebagai contoh, pemutaran Samin vs Semen – sebuah film mengenai penolakan
masyarakat terhadap industri semen – oleh Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur, dilarang. Hal serupa
terjadi pada pemutaran Prahara Tanah Bangkoran – sebuah film mengenai sengketa lahan – di Universitas 17
Agustus 1945, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah diskusi akademis yang sedianya direncanakan di Universitas
Gajah Mada pada 2015, menyoal gugatan hukum terkait warga Rembang dan PT Semen Indonesia, juga
dilarang. Hal ini membatasi kritik terhadap korporasi yang sebenarnya dapat menyuluhi kebijakan tentang
keberlanjutan lingkungan.
Pada isu hak kelompok sosial dan kelompok keagamaan minoritas, wawancara kami mengungkapkan bahwa
tidak ada penghalang yang berarti bagi kajian-kajian tentang agama minoritas. Namun demikian, kasus-kasus
pembatasan terhadap hak umat beragama minoritas tertentu di beberapa universitas mengisyaratkan
ancaman yang lebih luas terhadap kebebasan akademis di sektor pendidikan tinggi (Suhadi, 2017). Satu di
antara banyak kasus melibatkan pelarangan diskusi akademis tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan
pengawasan terhadap para akademisi yang dituduh memiliki keterkaitan dengan organisasi tersebut. Hal ini
sejalan dengan keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI.
Isu LGBT juga merupakan area sensitif lainnya yang memantik debat dan kontroversi di perguruan tinggi. Hal
ini memiskinkan pluralisme akademis karena membatasi jenis ideologi dan praktik sosial marginal yang dapat
dikaji di kampus. Juga membatasi keberagaman kajian yang dapat menyuluhi pembuatan kebijakan terkait
inklusivitas sosial.
Usaha-usaha untuk menghambat pemikiran kritis ini merupakan perintang utama bagi kebebasan akademis.
Pemikiran kritis, unsur utama ilmu sosial, diyakini dapat menantang dan mengacaukan ‘stabilitas
nasional/institusional.’ Menurut Wiratraman (2018), neo-feodalisme di universitas merupakan akar dari
otoritarianisme dan penindasan yang dilakukan di universitas. Neo-feodalisme menganggap kampus sebagai
sebuah kerajaan kecil dan memengaruhi relasi-relasi di dalam lembaga tersebut. Mempromosikan kebebasan
akademis merupakan langkah penting pertama dalam mengasuh sebuah sistem riset ilmu sosial yang kokoh
yang memungkinkan produksi, difusi, dan pemanfaatan riset ilmu sosial. Pada 6 September 2017, Prinsip
Kebebasan Akademik atau Surabaya Principles on Academic Freedom dikeluarkan oleh kelompok Human Rights
Law Studies (Kajian Hukum Hak Asasi Manusia); prinsip tersebut disebarkan ke seluruh dunia, khususnya
melalui Southeast Asian Human Rights and Peace Studies Network (Jaringan Kajian Hak Asasi Manusia dan
Perdamaian Asia Tenggara). Ia menjadi rujukan penting dan telah disokong oleh jaringan tersebut. Prinsip
tersebut sebagai berikut:
1. Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan
otonomi institusi akademik
2. Insan akademis, mereka yang melakukan aktivitas di ranah akademik, memiliki kebebasan penuh
dalam mengembangkan pengabdian masyarakat, pendidikan, penelitian, serta mempublikasikan hasilhasilnya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan
32
3. Insan akademis yang bekerja sebagai pengajar pada dunia pendidikan memiliki kebebasan di dalam
kelas untuk mendiskusikan mata kuliah dengan mempertimbangkan kompetensi keilmuan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
4. Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan
budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan
5. Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkahlangkah untuk menjamin kebebasan akademik
Meskipun hukum yang ada tidak sepenuhnya melindungi kebebasan politik dan akademis, penggunaan
platform digital oleh lingkaran intelektual muda progresif, Indoprogress, publikasi cetak, Marjin Kiri, dan jurnal
nasional, Prisma, telah secara rutin memproduksi dan mendiseminasikan riset sosial kritis. Demikian halnya,
komunitas-komunitas intelektual yang meneliti dan mengadvokasi kesehatan reproduktif dan seksual serta hak
LGBT juga ada, namun penelitian mereka masih belum dipublikasikan dan dampaknya terhadap pembuatan
kebijakan masih minimal.
Tata kelola riset
Modus tata kelola, khususnya melalui UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP),
memungkinkan penggunaan pendanaan yang lebih transparan sekaligus publikasi kebijakan dan regulasi
secara daring. Selain itu, terdapat perubahan signifikan dalam hal pengadaan. Menurut peraturan pengadaan
sebelum adanya Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
organisasi non-pemerintah di Indonesia (termasuk lembaga riset) pada awalnya melarang keikutsertaan
universitas dalam riset yang didanai pemerintah. Dengan regulasi baru, organisasi tersebut kini dapat
mengakses pendanaan pemerintah untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat. Ini termasuk
menyelenggarakan riset untuk mendukung proses pembuatan kebijakan. Biarpun demikian, proyek penelitian
menghadapi rintangan birokratis yang besar dan praktik audit (Moeliodihardjo, Soemardi, Brodjonegoro, &
Hatakenaka, 2012). Tuntutan birokratis ini membatasi waktu untuk melakukan riset yang sesungguhnya.
Terlepas dari meningkatnya transparansi dan akuntabilitas, literatur yang ada menunjukkan bahwa
klientelisme masih terus mengatur proses sosial dan kultural. Kajian Siahaan dan Trimurni (2014) menunjukkan
bagaimana ‘e-Pengadaan’ di Sumatra Utara dimanipulasi untuk mengakomodasi tender yang disukai. Lebih
jauh, ada resistensi di kalangan staf untuk mengimplementasikan regulasi baru lantaran mengancam
kepentingan mereka (Siahaan & Trimurni, 2014). Dalam kasus pengadaan, adalah jaringan relasi individual yang
menghalangi perubahan legal struktural dalam mengadakan layanan riset.
33
Konteks Ekonomi
Indikator ekonomi kunci
Ekonomi Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan ASEAN. PDB Indonesia pada 2016 tumbuh 5,03
persen dan mencapai USD 932,4 miliar (World Economic Forum, 2017). Pertumbuhan ini lebih tinggi daripada
tahun sebelumnya (4,88 persen pada 2015) dan lebih tinggi daripada negara ASEAN lainnya seperti Malaysia
(4,22 persen) dan Singapura (2,4 persen) (World Bank, 2018). Indonesia juga negara dengan PDB tertinggi di
kawasan ASEAN, peringkat ke-16 di dunia. Ini mencerminkan kedudukan Indonesia sebagai salah satu anggota
G20. Namun demikian, PDB per kapita Indonesia tetaplah rendah, yakni pada USD 3.604,3 di tahun 2016, dan
jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura (USD 52.960,7), Malaysia (USD 9.360,5), dan Thailand
(USD 5.899,4). Indonesia hanya sedikit lebih baik daripada Filipina (USD 2.924,3) dan Vietnam (USD 2.173,3)
(World Economic Forum, 2017). Meskipun ada tren positif dalam hal tingkat kemiskinan (pada 2016 hanya 6,5
persen dari keseluruhan penduduk yang pendapatan hariannya di bawah USD 1,9 berdasarkan Paritas Daya
Beli tahun 2011) dan tingkat pengangguran (4,12 persen dari total angkatan kerja pada 2016) (World Bank,
2018), kesenjangan justru meningkat (The World Bank, 2016). Pada 2014, 10 persen orang Indonesia terkaya
mengonsumsi sama banyak dengan 54 persen penduduk termiskin (World Bank, 2016). Antara 2002 dan 2014,
konsumsi per kapita dari 10 persen penduduk termiskin tumbuh 12 persen saja, sementara pada 10 persen
penduduk terkaya pertumbuhannya 74 persen (World Bank, 2016).
Tabel 1 PDB dan PDB per kapita Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN
Negara
PDB 2016 (USD miliar)
Negara
PDB per kapita 2016 (USD)
Indonesia
932,4
Singapura
52.960,7
Thailand
406,9
Malaysia
9.360,5
Filipina
304,7
Thailand
5.899,4
Singapura
297
Indonesia
3.604,3
Malaysia
296,4
Filipina
2.924,3
Vietnam
201,3
Vietnam
2.173,3
Sumber: World Economic Forum (2017)
Indikator global, seperti Global Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global [GCI]) dan Global Innovation
Index (Indeks Inovasi Global [GII]), dapat digunakan untuk mengukur kapasitas suatu negara, khususnya dalam
hal riset dan inovasi. Indonesia menduduki peringkat 36 (dari 137 negara) untuk GCI pada 2017–2018, naik
lima peringkat dibandingkan 2016–2017. Namun demikian, di kawasan ASEAN Indonesia masih tertinggal di
belakang Singapura (3), Malaysia (23), dan Thailand (32), meski lebih unggul dibandingkan Vietnam (55) dan
Filipina (56). Posisi Indonesia lebih buruk lagi dalam hal GII pada 2018 dibandingkan pesaing-pesaingnya di
kawasan. Terlepas dari perbaikan peringkatnya dari 87 pada 2017 menjadi 85 pada 2018 (dari 126 negara),
Indonesia berada di belakang Singapura (5), Malaysia (35), serta Thailand (44), dan bahkan Vietnam (45)
maupun Filipina (73).
34
Tabel 2 Peringkat Indonesia dan beberapa negara ASEAN dalam GCI 2017–2018 dan GII 2018
Negara
Peringkat GCI 2017–2018
Negara
Peringkat GII 2018
Singapura
3
Singapura
5
Malaysia
23
Malaysia
35
Thailand
32
Thailand
44
Indonesia
36
Vietnam
45
Vietnam
55
Filipina
73
Filipina
56
Indonesia
85
Sumber: Cornell University, INSEAD, dan WIPO (2018); World Economic Forum (2017)
Jika dilihat lebih cermat, kekuatan Indonesia pada GCI 2017–2018 terletak pada empat pilar: ukuran pasar
(pilar ke-10, peringkat 9), lingkungan ekonomi makro (pilar ke-3, peringkat 26), inovasi (pilar ke-12, peringkat
31), dan kecanggihan bisnis (pilar ke-11, peringkat 32). Namun demikian, analisis serupa terhadap GII 2018
menunjukkan bahwa Indonesia berkinerja baik hanya di satu sub-pilar: perdagangan, kompetisi, dan skala pasar
(4.3). Pada semua indikator ini, Indonesia termasuk ke dalam kelompok 25 persen teratas dunia.
Pertumbuhan ekonomi ini dicapai melalui industri-industri utamanya, di mana yang tertinggi adalah dari
pertambangan dan penggalian. Namun demikian, angkatan kerja terbesarnya berdasarkan pekerjaan adalah di
bidang agrikultur. Ekspor Indonesia sebagian besar adalah barang-barang manufaktur, yakni minyak dan gas,
kayu lapis, tekstil, karet, dan semen. Demikian halnya, GCI 2017–2018 mengindikasikan bahwa negara tersebut
masih tertinggal dalam hal kesiapan teknologi (pilar ke-9, peringkat 80) dan efisiensi pasar tenaga kerja (pilar
ke-7, peringkat 96). Sementara itu, GII 2018 mengindikasikan tiga kelemahan utama Indonesia dalam hal
kapasitas inovasi: lingkungan peregulasian (sub-pilar 1.2, peringkat 125), pekerja pengetahuan (sub-pilar 5.1,
peringkat 121), dan penciptaan pengetahuan (sub-pilar 3.2, peringkat 115). Angka-angka ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan yang dialami Indonesia tidak beriringan dengan peningkatan kapasitas tenaga kerja
berketerampilan tinggi. Hal ini, ditambah kurangnya riset ilmu sosial dasar, dapat memperburuk tingkat
kesenjangan yang memang sudah bertambah di antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Sisi positifnya,
pertumbuhan ini juga bisa dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan riset dan kapasitas riset sebagai
sesuatu yang lebih mendesak daripada di negara-negara tetangga.
Tingkat pembangunan manusia
Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar di kawasan ASEAN (sekitar 264 juta). Indonesia menduduki
peringkat 116 (dari 189 negara; setara dengan Vietnam) dan mendapatkan skor 0,689 (skala 0–1) untuk Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) pada 2017. Hal ini mendudukkan negara tersebut, bersama-sama dengan
Vietnam dan Filipina (peringkat 113), pada kategori pembangunan manusia menengah. Indonesia tertinggal di
belakang Singapura (peringkat 9) dan Malaysia (peringkat 57), yang sama-sama berada dalam kelompok
pembangunan manusia tinggi (United Nations Development Programme, 2018).
35
Memperhatikan indikator pembangunan manusia yang lebih spesifik, angka melek huruf orang dewasa di
Indonesia sebesar 95,4 persen, lebih tinggi daripada negara lain di kawasan seperti Vietnam (93,5 persen),
Malaysia (93,1 persen), dan Thailand (92,9 persen). Namun demikian, angka melek huruf ini masih lebih rendah
ketimbang Singapura (97 persen) dan Filipina (96,4 persen). Di saat yang bersamaan, Indonesia memiliki angka
partisipasi kasar terendah pada tingkat pendidikan tersier, dengan hanya 27,93 persen penduduk usia sekolah
tersier mengikuti pendidikan tersier. Angka ini jauh di bawah Thailand (45,88 persen), Malaysia (44,11 persen),
dan Filipina (35,64 persen), serta sedikit di bawah Vietnam (28,26 persen) (United Nations Development
Programme, 2018).
Tabel 3 Indikator kunci dalam Indeks Pembangunan Manusia 2017
Angka Melek
Negara
Peringkat IPM 2017
Huruf (Dewasa, %
usia 15 tahun ke
atas)
Angka Partisipasi
Kasar pada Tingkat
Tersier (%)
Singapura
9 (Pembangunan Manusia Sangat Tinggi)
97
tidak tersedia
Malaysia
57 (Pembangunan Manusia Sangat Tinggi)
93,1
44,11
Thailand
83 (Pembangunan Manusia Tinggi)
92,9
45,88
Filipina
113 (Pembangunan Manusia Menengah)
96,4
35,64
Indonesia
116 (Pembangunan Manusia Menengah)
95,4
27,93
Vietnam
116 (Pembangunan Manusia Menengah)
93,5
28,26
Sumber: United Nations Development Programme (2018)
Sementara itu, transformasi digital pada sektor industri di Indonesia berpengaruh terhadap jenis keterampilan
yang dibutuhkan oleh angkatan kerjanya (Mari Pangestu, 2017) – kerap disebut-sebut oleh para pembuat
kebijakan pemerintah, terutama Kementerian Perindustrian (Kementerian Peridustrian RI, 2017), sebagai
‘revolusi industri keempat’ (Schwab, 2016). Kementerian mengerti bahwa revolusi ini tengah berlangsung dan
akan menyebabkan pergeseran besar-besaran, tidak hanya dalam hal implikasi teknologis, tetapi juga dalam
kebutuhan sumber daya manusia. Perubahan pada kebutuhan akan kapasitas ini diperkirakan akan terjadi baik
pada sisi permintaan (misalnya, para pengguna riset ilmu sosial) maupun sisi penawaran (misalnya, para
produsen riset ilmu sosial).
Pada sisi permintaan, sifat menggebrak dari revolusi industri keempat menuntut pemerintah untuk secara
signifikan meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dalam menggunakan riset untuk mengelola secara
efektif agenda pembangunan nasional (Schwab, 2016). Kapasitas riset dibutuhkan untuk memastikan bahwa
revolusi industri keempat akan memelihara pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan sosial. Revolusi
industri keempat mensyaratkan pada riset sosial kapasitas sumber daya manusia yang dinamis, fleksibel,
kasual, kolaboratif, dan berbasis jaringan – sebuah pergeseran signifikan dari model birokrasi pemerintahan
yang hierarkis dan institusionalis yang telah diterapkan berpuluh-puluh tahun. Selain itu, revolusi industri
keempat mensyaratkan fondasi riset dasar yang kuat. Konsekuensi yang tak terduga dari pendekatan seturut
36
teknologi ini adalah bahwa ia menempatkan keutamaan pada ilmu-ilmu fisis, yang menjadi fondasi bagi
perkembangan dan inovasi di ranah ini, dan memarginalkan ilmu sosial, khususnya riset dasarnya.
Akses ke teknologi modern
Dalam hal akses ke teknologi modern, walaupun sudah terbangun infrastruktur teknologi yang mencukupi,
infrastruktur tersebut belumlah digunakan sepatutnya untuk menghasilkan pengetahuan dan lebih untuk
mengonsumsi informasi. Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap kinerja sistem riset.
Tingkat akses ke teknologi modern tergantung pada akses ke infrastruktur dasar dan teknologi, seperti listrik
dan TIK. Di Indonesia, bagaimanapun, banyak orang masih belum bisa mengakses infrastruktur dasar. Pada
2016, hanya 97,62 persen penduduk yang dapat mengakses listrik, sementara rasio elektrifikasi di Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Vietnam sudah 100 persen (World Bank, 2018). Khususnya di daerah perdesaan,
sekitar 5,2 persen penduduknya masih belum memiliki akses ke listrik. Kesenjangan ini menjadi latar bagi kami
dalam mendekati pertanyaan menyangkut dukungan teknologi bagi riset sosial.
Gambar 4 Akses listrik di daerah perdesaan dan perkotaan di Indonesia (2012–2016)
Sumber: Bank Dunia (2018)
Penetrasi internet di Indonesia sebesar 51 persen dari jumlah penduduk, lebih rendah daripada Singapura (83
persen), Malaysia (71 persen), Thailand (67 persen), Filipina (58 persen), dan Vietnam (53 persen) (We Are Social
& Hootsuite 2017). Rendahnya kecepatan rata-rata internet (3,9 mbps), bandwidth (6,2 kbps/pengguna), dan
penetrasi broadband seluler (65 persen dari jumlah penduduk) mengindikasikan bahwa Indonesia bersusah
payah dengan infrastruktur TIK-nya (Agahari, Auliya, & Putri, 2018).
Pada saat yang bersamaan, Indonesia mengalami perkembangan digital yang pesat. Penetrasi seluler tinggi
karena murahnya broadband seluler (USD 3,4/500 MB) dibandingkan dengan Malaysia (USD 26/500 MB) dan
Singapura (USD 11,8/500 MB). Hasilnya, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di
dunia (130 juta pengguna aktif bulanan) dan memiliki tingkat penggunaan Instagram tertinggi di kawasan AsiaPasifik (53 juta pengguna aktif bulanan) (Hootsuite & We Are Social, 2018). Lebih jauh, para pengguna internet
di Indonesia kerap kali menggunakan telepon pintar mereka untuk media sosial (3,3 jam/hari) dan jelajah
internet (3,9 jam/hari), secara signifikan lebih tinggi daripada orang-orang Singapura (2,3 jam/hari untuk jelajah
37
internet, 2,1 jam/hari untuk media sosial) (Agahari, Auliya, & Putri, 2018). Angka-angka ini menunjukkan bahwa
para pengguna internet di Indonesia akan dapat mengakses riset sosial melalui media sosial dalam cara-cara
yang tertentu dan sesuai dengan kehidupan sosialnya, jika para peneliti mendiseminasikan temuan mereka
dengan cara yang sesuai.
Tabel 4 Indikator TIK Indonesia dibandingkan beberapa negara ASEAN, Januari 2017
Negara
Tingkat penetrasi(%)
Internet
Telepon seluler
Media sosial
Broadband seluler
Singapura
82%
147%
77%
146%
Malaysia
71%
139%
71%
104%
Thailand
67%
133%
67%
131%
Filipina
58%
126%
58%
65%
Vietnam
53%
131%
48%
40%
Indonesia
51%
142%
40%
65%
Sumber: We Are Social & Hootsuite (2017)
Terlepas dari pembangunan digital Indonesia yang pesat, mempersempit kesenjangan digital antara bagian
timur dan barat Indonesia tetap menjadi tantangan. Pembangunan infrastruktur TIK sebagian besar terfokus
pada Pulau Jawa dan Sumatra yang secara ekonomi lebih maju dan terurbanisasi. Akibatnya, lebih dari 80
persen pengguna internet di Indonesia berada di kedua pulau tersebut. Para pengguna internet di bagian barat
negara ini memiliki akses yang lebih baik ke TIK, yang berarti mereka lebih dapat menggunakan teknologi dalam
kehidupan sehari-harinya dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di provinsi-provinsi bagian timur
(Agahari, Auliya, & Putri, 2018).
Indeks Pembangunan TIK Indonesia pada 2017 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 111, naik
tiga tingkat dari 2016 (International Telecommunication Union, 2017). Terlepas dari sedikit peningkatan ini,
peringkat Indonesia lebih rendah daripada Singapura (18), Malaysia (63), Thailand (78), Filipina (101), dan
Vietnam (108). Pada tingkat nasional, empat besar provinsi berperingkat tertinggi dalam Indeks Pembangunan
TIK Indonesia berada di Pulau Jawa. Adapun lima provinsi terbawah berada di bagian timur Indonesia (Agahari,
2018). Mempersempit kesenjangan ini, menurut kami, merupakan prasyarat penting untuk menjamin
ketersediaan infrastruktur dasar yang mencukupi bagi produksi, diseminasi, dan pemanfaatan riset sosial.
Infrastruktur fisik untuk riset
Di samping kesenjangan digital, ada pula jarak dalam hal infrastruktur spesifik untuk menyelenggarakan riset.
Pada 2015, terdapat 4.482 perguruan tinggi di Indonesia. Namun demikian, 74 persen dari institusi-institusi ini
terdapat di Jawa dan Sumatra. Sebaliknya, hanya 9 persen perguruan tinggi terletak di bagian timur negeri ini
(misalnya Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) (Kementerian Ristekdikti RI, 2016). Bukti empiris
menunjukkan bahwa kebanyakan kegiatan riset terpusat di pulau-pulau Indonesia yang lebih terindustrialisasi.
38
Kemristekdikti memiliki beberapa program untuk mengembangkan infrastruktur riset di seluruh negeri,
terutama untuk meningkatkan daya saing nasional. Program ini termasuk Pusat Unggulan Iptek (PUI) dan
Science and Techno Park (Taman Ilmu Pengetahuan dan Teknologi [STP]). PUI adalah institusi yang
menyelenggarakan aktivitas riset berstandar internasional (menurut ukuran Kementerian), kebanyakan di
antaranya memiliki kekhususan tematik dan multidisipliner. Pusat-pusat ini diharapkan menghasilkan produk
bermutu tinggi yang relevan bagi kebutuhan pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi atau yang laku
(Kementerian Ristekdikti RI, 2018). Sementara itu, STP merupakan area yang dikelola oleh para profesional
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penguasaan, pengembangan, dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi (International Association of Science Parks and Areas of Innovation, 2018).
Pendek kata, kedua program tersebut bertujuan untuk menjamin bahwa Indonesia memiliki infrastruktur yang
dibutuhkan untuk mendukung aktivitas riset sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya melalui
monetisasi pengetahuan.
Gambar 5 Persebaran infrastruktur riset di Indonesia (2015)
Sumber: Kementerian Ristekdikti RI (2016); Direktorat Kawasan Sains dan Teknologi dan Penunjang Lainnya (2017)
Secara keseluruhan, 72 lembaga riset telah dipilih oleh Kementerian untuk mendapatkan pelatihan dan
pembangunan kapasitas untuk meningkatkan mereka menjadi PUI. Lembaga-lembaga ini terletak di delapan
provinsi di Indonesia, 55 persen di antaranya berbasis di Jawa Barat; bahkan, hanya 15 lembaga yang berbasis
di luar Jawa (Direktorat Kawasan Sains dan Teknologi dan Lembaga Penunjang Lainnya, 2017). Bukan hanya
kesenjangan antardaerah, tetapi ada pula preferensi terang-terangan ke ilmu-ilmu alam: hanya dua PUI yang
fokus pada ilmu-ilmu sosial karena dianggap kurang laku. Akibatnya, pengembangan PUI dan STP tidak
memiliki dampak berarti apa pun terhadap ilmu sosial.
Ketimpangan antardaerah yang jelas-jelas terjadi pada infrastruktur TIK juga jelas-jelas terjadi pada
pengembangan PUI. Dari 66 STP yang saat ini dalam proses pengembangan, 39 persen di antaranya terletak
39
di Jawa dan hanya 11 STP yang akan dikembangkan di bagian timur Indonesia (Direktorat Kawasan Sains dan
Teknologi dan Lembaga Penunjang Lainnya, 2017).
Persebaran yang tidak merata ini membuktikan disparitas antara infrastruktur fisik dan teknologis untuk ilmuilmu alam dan riset ilmu sosial, yang sudah mendarah daging dalam pembuatan kebijakan dan penggelontoran
dana. Konsekuensinya, hal ini hanya akan memperburuk ketimpangan antardaerah, ketimpangan ilmiah, dan
ketimpangan digital yang sudah ada. Tanpa usaha mengatasi disparitas ini, upaya untuk mereformasi ilmu
sosial akan gagal dalam mengatasi persebaran yang tidak merata dan memunculkan ketidakkonsistenan
internal dalam produksi, diseminasi, dan pemanfaatan riset ilmu sosial bermutu tinggi, serta merusak
keberlanjutan.
Peneliti ilmu sosial di sektor swasta
Informasi tentang apakah ada peluang bagi para peneliti ilmu sosial di Indonesia untuk bekerja di sektor swasta
terbatas – menjustifikasi perlunya wawancara pelingkupan. Pertama-tama, penulis mewawancarai anggota
korporat dari Perhimpunan Filantropi Indonesia. Penulis memilih filantropi karena adanya temuan terkait isu
kebebasan akademis dan pengaruh perusahaan terhadap jenis-jenis riset yang dapat dilakukan. Pendanaan
filantropi menciptakan suatu tingkat perlindungan tertentu dari kepentingan korporat, yang dapat
meminimalkan pengaruh terhadap isi riset.
Kedua, penulis juga mewawancarai perusahaan konsultansi internasional swasta yang beroperasi di Indonesia,
seperti Boston Consulting Group dan McKinsey & Company. Kedua perusahaan ini aktif bekerja dan berhubungan
dengan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan riset dan memberikan layanan pertimbangan strategis
(konsultansi) untuk program dan kebijakan pembangunan nasional. Kedua perusahaan juga secara rutin
memproduksi berbagai bentuk laporan, buku putih, ringkasan kebijakan, dan dokumen terkait lainnya untuk
menyuluhi dan memberikan penyadaran kepada para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, akademisi, dan audiens
yang lebih umum di Indonesia mengenai isu-isu spesifik yang mereka kerjakan. Kedua perusahaan merupakan
sebagian dari sedikit perusahaan konsultansi swasta yang beroperasi di Indonesia yang memiliki orientasi kuat
pada kebijakan (Suryadarma, Pomeroy, & Tanuwidjaja, 2011). Pengaruh mereka terlihat nyata, mengarahkan
kebijakan pemerintah kepada kompetisi pasar regional daripada redistribusi kemakmuran di antara daerahdaerah di Indonesia.
Terakhir, konsisten dengan temuan menyangkut ambisi pemerintah Indonesia pada revolusi industri keempat,
perusahaan start-up dan tekno kini mulai membuka peluang bagi para peneliti ilmu sosial di sektor swasta. Gojek, “kuda sembrani” perusahaan start-up pertama Indonesia, mempunyai divisi risetnya sendiri, yang memiliki
sebuah tim multidisipliner yang fokus pada riset seturut data. Menggunakan riset, Go-jek dapat terus-menerus
meningkatkan produk mereka dan mengukur dampak sosialnya. Go-Jek telah berkolaborasi dengan Universitas
Indonesia dalam menilai dampak ekonomi produk mereka (Wisana, Rakhmani, Primaldhi, Walandouw, &
Nugroho, 2018). Selain itu, sebuah kolaborasi antara Asosiasi Fintech Indonesia dengan Institute for
Development Economics and Finance (Institute Ekonomi Pembangunan dan Keuangan) meneliti peran peer-to40
peer lending (pinjaman sejawat-ke-sejawat) dalam ekonomi Indonesia (Institute for Development Economics
and Finance, 2018). Kolaborasi-kolaborasi ini menandai keterkaitan langsung antara universitas publik dengan
perusahaan tekno digital; universitas yang menerima pendanaan pemerintah kini melakukan riset yang secara
langsung maupun tidak langsung meningkatkan pendapatan perusahaan swasta. Oleh karena itu, membuat
pemisah yang jelas antara riset ilmu sosial dan pendanaan swasta – melalui filantropi – amatlah penting untuk
menjamin bahwa kebebasan akademis terjaga.
Konteks Internasional
Partisipasi global dalam politik dan perdagangan
Konteks internasional terkini menghadirkan peluang bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam politik dan
perdagangan global. Indonesia terbuka pada komunitas internasional, walaupun ada tanda-tanda
proteksionisme perdagangan (Patunru & Rahardja, 2015). Negara ini merupakan salah satu anggota aktif G20,
APEC, dan ASEAN. Indonesia mendukung terbangunnya Masyarakat Ekonomi ASEAN serta perjanjian
perdagangan bebas (FTA) antara negara-negara ASEAN dan Tiongkok pada 2002 – sebuah indikasi yang jelas
bahwa Indonesia terbuka pada perdagangan. Pada 2008, Indonesia juga menegosiasikan dan menandatangani
perjanjian perdagangan bebas dengan Jepang, perjanjian perdagangan bebas bilateral pertama antara
Indonesia dengan mitra dagang terpentingnya. Perjanjian ini tetap ditandatangani terlepas dari resistensi
dalam negeri yang mengikuti implementasinya pada 2010.
Secara global, pendidikan tinggi telah diidentifikasi sebagai mesin utama pengembangan ekonomi berbasis
pengetahuan (Robertson & Keeling, 2008). Pasar pendidikan tinggi di Asia merangsang jaringan politik regional
dan strategi baru pun diadopsi untuk memajukan pasar yang tengah berkembang ini. Regionalisasi merupakan
sebuah langkah strategis menuju internasionalisasi. ASEAN University Network (Jaringan Universitas ASEAN
[AUN]) adalah salah satu contoh upaya untuk melesatkan dorongan menuju koordinasi regional dan
memajukan pasar regional di Asia (Yang, 2002). Indonesia memainkan peran dalam pendirian AUN, sebagai
bagian dari upaya untuk internasionalisasi pendidikan tinggi di kawasan (Sakhiyya, 2018). Program kunci AUN,
yang mencakup penjaminan mutu dan mobilitas mahasiswa, bertujuan untuk meningkatkan daya saing global
anggota-anggotanya – terdapat kapasitas yang amat beragam dalam penjaminan mutu dan mobilitas yang
relatif rendah di antara negara anggotanya (Rumbley, Altbach & Reisberg, 2015). Walaupun jaringan tersebut
memfasilitasi mobilitas mahasiswa dan banyak universitas Indonesia sekarang berbondong-bondong untuk
mendapatkan sertifikat AUN-QA, kolaborasi regional tersebut tidak berkontribusi secara signifikan dalam
produksi, difusi, dan pemanfaatan riset di Indonesia. Ini tidak lain karena produksi pengetahuan memang belum
menjadi prioritas bagi jaringan tersebut.
41
Jaringan pengetahuan dan riset
Diskusi mengenai arti penting ‘pengetahuan/riset’ sebagai basis bagi pembuatan kebijakan dan perdebatan
kebijakan publik merupakan salah satu di antara banyak tanda dari transisi negara menuju demokrasi
(Guggenheim, 2012). Sikap baru terhadap penggunaan riset secara fundamental berbeda dari bagaimana riset
digunakan semasa rezim Orde Baru (Guggenheim, 2012; Hadiz & Dhakidae, 2005) – pendekatan baru ini melihat
pengetahuan sebagai sebuah sumber daya yang terbuka daripada instrumen untuk melegitimasi kekuasaan.
Keterlibatan pemerintah Indonesia dalam jaringan pengetahuan dimulai pada sekitar tahun 2009. Sejak itu,
pemerintah Indonesia dan Australia telah membentuk inisiatif bersama untuk meningkatkan penggunaan bukti
dalam pembuatan kebijakan publik. Program 15 tahun Knowledge Sector Initiative (Prakarsa Sektor
Pengetahuan) bertujuan untuk “mendukung pembuatan kebijakan melalui riset bermutu tinggi, analisis, dan
bukti.” Fase pertama KSI (2010–2016) menyediakan batu pijakan untuk proyek tersebut, mengidentifikasi
bagaimana pengetahuan diasup ke kebijakan di Indonesia (Australian Aid, 2012; Guggenheim, 2012; Karetji,
2010). Fase kedua saat ini (2017–2021) bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemauan politik yang lebih
luas untuk menggunakan bukti dalam pembuatan kebijakan dan menyediakan bantuan organisasi bagi badanbadan pengetahuan nasional. Belum ada laporan yang tersedia menyangkut keberhasilan atau keterbatasan
dari kedua fase tersebut. KSI, bagaimanapun, memusatkan perhatian terutama pada Indonesia, dengan
komitmen internasional yang terbatas.
AIPI, salah satu mitra KSI, terlibat dalam jaringan internasional – terutama, dengan akademi nasional di AS,
tapi juga dengan jaringan global lainnya. Namun demikian, terlihat bahwa tantangan utama dalam penjalinan
jaringan adalah bahwa banyak dari tautan global ini utamanya berupa himpunan jaringan perorangan, yang
terhubung dengan masing-masing institusinya. Untuk menyelidiki kesahihan dari dugaan ini, penulis
melakukan wawancara dengan anggota dewan AIPI, juga dengan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia
(ALMI). Aliansi yang ada di antara AIPI, DIPI, dan ALMI terbukti instrumental dalam mengadvokasi pembuatan
kebijakan berbasis ilmu pengetahuan, mengomunikasikan ilmu pengetahuan ke publik, dan mendorong batasbatas penemuan ilmiah. Beberapa anggota ALMI merupakan bagian dari Global Young Academy (Akademi
Muda Global), yang bekerja bersama-sama untuk mereformasi institusi pendidikan, serta menyelenggarakan
riset akademis kolaboratif menggunakan hibah internasional. Namun demikian, dampak dari jaringan
internasional ini sifatnya ad hoc dan terbatas karena merupakan jaringan berbasis perorangan.
8
Peneliti utama hendak menerangkan bahwa dia merupakan salah satu anggota dan anggota sekretariat ALMI. Penulis menyatakan
tidak ada konflik kepentingan.
42
Jaringan profesional, program beasiswa, dan program pertukaran
Jaringan profesional pada umumnya didirikan secara independen oleh lembaga think tank (universitas,
lembaga riset, kementerian, departemen) tanpa membawa jaringan-jaringan ini bersama ke dalam sebuah
konsorsium yang lebih luas. Sebagian lembaga think tank besar di Indonesia telah membangun jaringan
profesional dengan lembaga luar negeri. KSI, melalui kemitraan dengan Badan Perencana Pembangunan
Nasional dan Australian Aid, telah memperluas jaringannya ke institusi lain, yakni pusat-pusat riset di bawah
Universitas Indonesia dan SMERU Research Institute.
Pemerintah Indonesia, melalui Kemristekdikti dan Kementerian Keuangan, telah mengalokasikan pendanaan
beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Sebagai contoh, dari 2013 hingga 2017, setidaknya 18.446 mahasiswa
Indonesia memperoleh dukungan dari program beasiswa Pemerintah Indonesia, LPDP (LPDP, 2017), untuk
belajar di negara maju seperti Inggris, AS, Australia, dan Selandia Baru, serta Uni Eropa. Negara lain juga
menyediakan beasiswa bagi para sarjana cemerlang Indonesia untuk mendukung studi pascasarjana mereka
– seperti Australia melalui Australia Awards Scholarship, AS melalui skema Fullbright, Belanda melalui StuNed,
Jepang melalui Monbukagakusho, Jerman melalui DAAD, dan Selandia Baru melalui NZ ASEAN Scholars Awards.
Namun demikian, tidak ada data mengenai proporsi studi ilmu sosial yang didanai oleh program-program
beasiswa ini.
Tetangga dekat Indonesia, Australia, menyediakan kurang lebih AUD 316,2 juta dalam Official Development Aid
(Bantuan Pembangunan Resmi) pada 2018–19; AUD 166 juta di antaranya dialokasikan untuk beasiswa
periode 2014–2022. Australia Awards (Penghargaan Australia) mengklaim sebagai program beasiswa
internasional terbesar dan paling lama berjalan bagi warga negara Indonesia. Beasiswa ini memungkinkan
tautan orang-ke-orang (people-to-people) dan menyediakan jaringan intelektual dan sosial, khususnya bagi
mereka yang meminati produksi dan difusi pengetahuan. Salah satu kritik terhadap para penyedia beasiswa ini
adalah bahwa mereka memperkuat koneksi personal tanpa membangun tautan kelembagaan. Sebagian
penerima beasiswa berkontribusi pada produksi riset negara dengan mengejar karier riset dan akademis,
namun dengan derajat keberhasilan yang beragam. Kajian-kajian mengungkapkan bahwa mereka masih saja
menghadapi masalah struktural yang menghalanginya dari karier di dunia akademis dan di dalam produksi
kebijakan publik (Australian Aid, 2012). Masalah struktural ini mencakup infrastruktur riset yang tidak memadai,
kurangnya jenjang karier yang jelas bagi pada peneliti, dan ketiadaan sistem remunerasi berbasis kepatutan
yang jelas bagi para peneliti – kesemuanya berujung pada ekosistem riset yang tidak bersahabat (Guggenheim,
2012; Y. Nugroho et al., 2016). Ini semua berkontribusi pada ‘kuras otak’ (brain drain), di mana sekitar delapan
juta diaspora Indonesia mengambil pekerjaan yang menguntungkan di luar negeri (Tempo, 2017).
Beberapa program pertukaran terkini dirancang untuk menggenjot produktivitas dan publikasi riset di semua
disiplin. Contohnya, World Class Professors (Profesor Kelas Dunia, yang mengundang profesor kenamaan dunia
dari luar negeri untuk melatih para akademisi menulis jurnal untuk publikasi di universitas lokal) dan beasiswa
pasca-doktoral (postdoctoral fellowships, mengirim akademisi lokal ke luar negeri untuk melakukan riset).
Terlepas dari kemajuannya, program-program ini tetap saja ad hoc dan sebagian di antaranya belum
43
terlembagakan. Upaya-upaya ini belum berhasil meningkatkan luaran kesarjanaan dan ilmiah secara
sistematis, sebagaimana diindikasikan oleh rendahnya tingkat publikasi internasional di kancah ilmu sosial dan
humaniora.
Tingkat bahasa Inggris
Seperti di tempat-tempat lain, bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang memberikan akses ke
pasar global, pengetahuan ilmiah, dan jejaring internasional di Indonesia (Hamied, 2011; Lamb & Coleman,
2008). Terlepas dari fakta bahwa bahasa Inggris tidak mempunyai akar historis di Indonesia (Sakhiyya et al.,
2018), ia merupakan salah satu bahasa asing yang paling kelihatan, digunakan dan ditampilkan secara luas di
ruang publik (Martin-Anatias, 2018). Hal ini terlepas dari posisinya sebagai bahasa asing – bahasa yang hanya
digunakan di kantor-kantor internasional dan diajarkan hanya dalam pelajaran bahasa Inggris (sebagai subjek,
bukan sebagai pengantar pembelajaran). Pengantar pembelajaran yang utama di sekolah adalah bahasa
Indonesia.
Tidak ada data pasti untuk mengukur tingkat penggunaan bahasa Inggris di tengah-tengah masyarakat.
Namun demikian, Dardjowidjojo (2000) menyatakan kalaupun bahasa Inggris digunakan oleh sedikitnya 5
persen dari jumlah penduduk, jumlahnya akan lebih dari 10 juta orang (penduduk Indonesia pada saat itu ada
di kisaran 240 juta jiwa). Orang-orang penutur bahasa Inggris ini cenderung berasal dari kalangan masyarakat
yang berada. Selain itu, bahasa Inggris umumnya digunakan di kota-kota yang lebih kosmopolitan, seperti
Jakarta (Martin-Anatias, 2018), atau di sektor pariwisata. Oleh karena hubungan antara bahasa Inggris dan
para penggunanya, bahasa tersebut telah menjadi sebentuk modal kultural yang bergengsi (Sakhiyya, 2011;
Tanu, 2014).
Status bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia memiliki implikasi penting bagi diseminasi dan
publikasi riset karena bahasa Inggris merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam jurnal internasional
bertinjauan sejawat. Kurangnya cendekiawan Indonesia pada pentas akademis global, khususnya di bidang
ilmu sosial, bisa jadi terkait dengan rendahnya tingkat bahasa Inggris di tengah-tengah masyarakat serta
kurangnya dukungan untuk para cendekiawan ilmu sosial. Hal ini diperumit oleh perkembangan diskursus
retoris barat yang berbeda-beda dan standar bahasa akademis yang dipersyaratkan untuk publikasi (Arsyad,
2013). Ini menghentikan upaya riset yang diproduksi di dalam negeri untuk menjangkau audiens global, dan
oleh karenanya, mengucilkan cendekiawan Indonesia dari percakapan global tentang produksi dan difusi
pengetahuan (Rakhmani, 2019; Rakhmani & Siregar, 2016).
Tinjauan sejawat
Peninjauan sejawat juga menjadi tantangan nyata dalam sistem publikasi Indonesia. Hal ini diperparah oleh
obsesi pemerintah pada pengukuran dan pemeringkatan universitas dan cendekiawan. Sebagaimana sudah
disebutkan, pada 2017, Kemristekdikti menciptakan teknologi pemeringkatan, SINTA (Science and Technology
44
Index), yang dimaksudkan sebagai rujukan kinerja riset. SINTA ini merupakan sistem informasi riset berbasis
web untuk jurnal dan akademisi Indonesia, serta mencakup indeks sitasi dan kategori area riset (lihat
sinta2.ristekdikti.go.id). Bibliometrik Scopus digunakan sebagai rujukan utama untuk indeks publikasi yang
digunakan SINTA. Zein (2018) berpendapat bahwa obsesi ini telah membawa pada apa yang disebut ‘efek
kobra’ – sebuah kondisi di mana para peneliti melakukan segala cara untuk melejitkan reputasi mereka –
khususnya dalam hal publikasi dan sitasi. Akibatnya, peringkat telah menjadi tujuan tersendiri, alih-alih sarana
untuk mengembangkan kapasitas membangun dan bertukar pengetahuan (Sakhiyya, 2018). Untuk
meningkatkan dampak dan pengaruh lokal – dan ini semua menjadi tujuan utama riset – akan dibutuhkan
pengembangan publikasi bahasa Indonesia yang prestisius serta kemampuan komunitas riset untuk
mengartikulasikan temuannya dengan cara-cara yang dapat dipahami dan digunakan oleh para pembuat
kebijakan.
Batasan
Analisis konteks yang dihadirkan di atas berguna untuk mengidentifikasi fitur-fitur struktural dan konteks
nasional dari sistem riset. Namun demikian, selama masa pengumpulan data Indonesia tengah menggelar
pemilihan umum. Bukan hanya aktivitas politik memunculkan tantangan praktis dalam melakukan survei dan
wawancara, khususnya di kalangan komunitas kebijakan, namun terjadi pula reformasi struktural penting
akibat perubahan di kabinet. Hal ini termasuk pengenalan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, penggabungan pendidikan tinggi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta
pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Semua perubahan pada konteks dan dinamika tersebut tidak
dapat dibahas sepenuhnya dalam analisis konteks mengingat keterbatasan waktu.
45
PEMETAAN PEMANGKU KEPENTINGAN
SOROTAN UTAMA
▪
Sifat birokratis dan terpusat dari sistem riset ilmu sosial di Indonesia mencerminkan betapa penting
pemerintah dan lembaga pendanaan sebagai pendorong dan pemberi pengaruh utama.
▪
Indonesia memiliki 89,2 Full Time Equivalent (FTE) peneliti (baik di ilmu sosial maupun ilmu alam)
untuk setiap satu juta penduduk, yang mana jauh lebih rendah dari Singapura (6.729,7 FTE per sejuta)
dan Malaysia (2.274 FTE per sejuta).
▪
Sebagian besar peneliti aktif berada di kawasan industri dan urban di pulau Jawa, dengan implikasi
pada ketimpangan dalam hal distribusi kapasitas riset di seluruh negeri.
▪
Total 102 responden terlibat dalam riset ini: 28 anggota komunitas kebijakan, 40 pengelola penelitian,
dan 34 peneliti yang disurvei.
Pada bagian ini, kami menjelaskan metode untuk pemetaan dan identifikasi aktor riset di Indonesia, baik para
produsen maupun penggunanya. Sebelum beranjak ke pemetaan pemangku kepentingan, adalah penting untuk
mencermati karakteristik Indonesia sebagai kepulauan; bagian ini akan melihat ketimpangan antarpulau,
khususnya dominasi Jawa (Barat) sebagai pusat produksi, diseminasi, serta pemanfaatan riset dan
pengetahuan.
Pertama-tama, kami menyajikan dan mendiskusikan lingkungan keseluruhan dan merinci pilihan metodologis
kami. Kami sajikan kriteria sampling pilihan kami (dijelaskan lebih jauh di bagian berikutnya), serta karakteristik
utama tiap-tiap kategori dan sub-kategori aktor. Bagian ini mengidentifikasi dan memetakan aktor riset, baik
produsen maupun pengguna riset. Tujuan dari pemetaan pemangku kepentingan ini adalah sebagai berikut.
“Pemetaan dilakukan untuk mengidentifikasi dengan lebih baik aktor riset—para produsen
dan pengguna—yang menyusun sistem riset, dan kemudian memungkinkan mereka yang
menggarap DRA untuk fokus pada kategori aktor tertentu, tergantung pusat perhatian
mereka” (GDN, 2018, p. 16)
Demikianlah, kami “mengidentifikasi dan mencirikan arti penting dari kelompok aktor yang berbeda dan sifat
hubungan di antara mereka, serta mengidentifikasi para pemain utama di dalam tiap-tiap kelompok” (GDN,
2018, p. 16). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan mengikuti pedoman DRA, kami mengategorikan aktor
riset ke dalam empat sub-kategori: perguruan tinggi (PT), organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, serta
pemerintah dan organisasi pendanaan (GDN, 2018).
Pendahuluan
Pada bagian berikut kami menjelaskan bagaimana kami melakukan pemetaan pemangku kepentingan,
mengidentifikasi aktor aktif dalam riset ilmu sosial, ruang lingkup mereka, dan tantangan yang dihadapi selama
46
proses ini. Ini merupakan analisis berskala besar yang melihat karakteristik umum dari tiap-tiap kategori aktor
riset Indonesia. Tujuan dari pemetaan pemangku kepentingan ini bukan untuk menilai kinerja masing-masing
institusi.
Kami memetakan keempat kategori aktor riset pada subbagian berikut. Mengingat sifat terpusat dan birokratis
dari ekosistem riset ilmu sosial Indonesia, pemerintah dan badan pendanaan diidentifikasi sebagai penggerak
dan pemberi pengaruh utama. Dua lembaga negara mendominasi bangunan ekosistem ini, Kemristekdikti dan
BAPPENAS, dengan puluhan unit penelitian dan pengembangan (litbang) yang berada di bawah kementerian
dan badan nonkementerian menyelenggarakan riset atas pendanaan anggaran negara. Organisasi pemberi
dana internasional, yang memiliki kemitraan baik jangka pendek maupun panjang dengan Kemristekdikti dan
BAPPENAS, juga dimasukkan ke dalam kategori ini.
Kami mengembangkan kerangka penyampelan untuk perguruan tinggi (yang berada di bawah wewenang
Kemristekdikti) yang beroperasi di ketiga puluh empat provinsi di Indonesia. Data perguruan tinggi ini
bersumber dari pangkalan data pendidikan tinggi, PDDIKTI. Kami tidak menggunakan kerangka penyampelan
yang sepenuhnya acak karena kebanyakan peneliti aktif berbasis di Pulau Jawa yang industrial dan sangat
terurbanisasi – 60 persen penduduk tinggal di Jawa, 22 persen di Sumatra, dan sisanya tersebar di pulau-pulau
lain. Disparitas kepadatan penduduk ini tercermin dalam kesenjangan infrastruktur riset dan digital (lihat
Gambar 5)
Gambar 5 menunjukkan bahwa 79 persen Pusat Unggulan Iptek (57 lembaga), 48 persen perguruan tinggi (34
lembaga), dan 39 persen STP (28 lembaga) ada di Jawa. Ini berarti bahwa program pembangunan kapasitas
dan pendanaan dari Kemristekdikti menitikberatkan pada lembaga-lembaga ini. Guna memperhitungkan
senjang antara Jawa dan pulau-pulau lain ini, kami melakukan penyampelan acak berdasarkan cakupan
representatif untuk menangkap semua segmen populasi yang relevan. Ini termasuk organisasi besar dan kecil
serta peneliti aktif dan yang kurang aktif. Kami membuat daftar para pemangku kepentingan yang relevan di
34 provinsi di seluruh negeri.
Tantangan yang dijumpai selama pemetaan termasuk ketiadaan daftar yang lengkap organisasi masyarakat
sipil dan sektor swasta yang berkiprah di sektor riset. Hal ini terutama karena organisasi masyarakat sipil
didaftarkan pada berbagai kementerian dan departemen, dan mereka melakukan beragam pekerjaan.
Mengidentifikasi mereka dan membuat sebuah daftar yang dapat diandalkan akan menjadi tugas yang amat
berat. Penulis saat ini mengembangkan kerangka penyampelan yang layak berdasarkan daftar organisasi
masyarakat sipil yang dikeluarkan oleh BAPPENAS, yang selanjutnya disaring berdasarkan aktifnya status
hukum mereka dan kemudian diacak. Kerangka penyampelan yang layak untuk organisasi sektor swasta
dikembangkan menggunakan informasi yang diberikan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia dan perusahaan
digital yang terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika – agar dapat memperhitungkan arti penting
revolusi digital sebagaimana dijelaskan rinci pada analisis konteks.
47
Selain itu, tidak tersedia data statistik mengenai jumlah pasti peneliti ilmu sosial di Indonesia. Untuk
memperoleh data tersebut dibutuhkan sebuah sensus manual di tiap-tiap sektor dan di masing-masing
organisasi. Untuk mengatasi tantangan ini, kami mengidentifikasi jumlah pengajar yang sekaligus juga peneliti
di sektor pendidikan tinggi. Pertama-tama, bagaimanapun, kami perlu mendefinisikan apa yang kami maksud
dengan ‘peneliti.’ Definisi dalam pedoman DRA, yang diadopsi dari OECD, mendefinisikan peneliti ilmu sosial
sebagai “para profesional yang berkiprah mengonsepkan dan menciptakan pengetahuan melalui riset,
memperbaiki dan mengembangkan konsep, teori, model, teknik, peralatan, perangkat lunak, atau metode
operasional (OECD, 2015).” Definisi ini konsisten dengan metode penyampelan kami karena para peneliti ilmu
sosial dapat dipekerjakan entah di universitas, lembaga penelitian atau pusat penelitian (yang independen dari
universitas), organisasi riset nonpemerintah, dan perusahaan konsultansi riset. Indonesia memiliki 89,2 peneliti
Ekuivalen Penuh Waktu (Full Time Equivalent [FTE]) (baik di ilmu-ilmu sosial maupun alamiah) untuk setiap satu
juta orang, yang mana secara signifikan lebih rendah daripada Singapura (6.729,7 FTE per satu juta orang) dan
Malaysia (2.274 FTE per satu juta orang) (Cornell University, INSEAD, and WIPO, 2018). Terdapat sekitar 2.959
juta peneliti FTE bekerja di dalam dan di luar perguruan tinggi.
Pertimbangan-pertimbangan di atas didasarkan pada analisis konteks yang telah disajikan sebelumnya.
Para Pemangku Kepentingan Kunci pada Riset Ilmu Sosial di
Indonesia
Pemerintah dan organisasi pendanaan merupakan para pemangku kepentingan kunci, memerankan peran
sentral dalam pengembangan riset ilmu sosial. Organisasi-organisasi ini sifatnya terpusat ke negara. Beberapa
badan pemberi dana internasional dan kebanyakan organisasi sektor swasta menolak ikut serta dalam survei
lantaran mereka tidak melihat dirinya berpengaruh terhadap dan/atau bagian dari ekosistem ilmu sosial –
terlepas dari hasil tinjauan pustaka, yang mengungkapkan sebaliknya. Lebih jauh, tidak ada kerangka
penyampelan yang dapat diandalkan untuk organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta yang
mempraktikkan riset ilmu sosial. Memproduksi kerangka penyampelan ini merupakan sebuah proyek penelitian
tersendiri. Tak terelakkan jika penentuan populasi ekosistem riset ilmu sosial, oleh karenanya, terpusat ke
negara, dan hal ini pada kenyataannya konsisten dengan analisis konteks yang disajikan di bagian sebelumnya.
Kemristekdikti dan BAPPENAS sangatlah berpengaruh dalam bangunan ekosistem riset ilmu sosial Indonesia,
dengan perguruan tinggi bertindak sebagai pelaksana; organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta
menghuni lingkungan riset yang cukup berbeda, menjawab kalangan kliennya sendiri. Demikianlah, hasil dari
survei harus diolah untuk mengonfirmasi angka-angkanya.
Kerangka penyampelan diorganisasi menurut kategori kelembagaan (perguruan tinggi, organisasi masyarakat
sipil, sektor swasta, serta pemerintah dan organisasi pendanaan) dan kategori perorangan (peneliti, pengelola
penelitian, dan kalangan kebijakan). Pemetaan aktor riset berguna dalam mengategorikan jenis institusi yang
hadir di dalam sistem dan arti penting relatif mereka dalam hal peran dan pengaruhnya pada produksi, difusi,
dan pemanfaatan riset. Namun demikian, mengingat pemetaan ini terutama mengidentifikasi tataran yang
48
berbeda dalam produksi riset, pemetaan ini mengecualikan organisasi berjejaring dengan struktur non-hierarkis
dalam mana para penelitinya bisa saja menjadi pengelola penelitian juga sembari memengaruhi pembuatan
kebijakan.
Pilihan Metodologis/Penyampelan
Berpijak pada analisis konteks, penulis menerapkan dua metode penyampelan: pertama, penyampelan nonprobabilitas ditujukan untuk menghimpun wawasan mendalam dari aktor aktif riset ilmu sosial (50 persen);
dan kedua, kerangka penyampelan probabilitas acak (50 persen). Total sebanyak 102 anggota kalangan
kebijakan, pengelola penelitian, dan peneliti disurvei. Para responden yang kami survei terdiri atas 28
perwakilan kalangan kebijakan; 40 pengelola penelitian dan 34 peneliti.
Gambar 6 Jumlah dan persebaran geografis responden
Sumber: Penulis
Namun demikian, terjadi perubahan pada persebaran yang dialokasikan (persentase) karena kurangnya
tanggapan dari sebagian organisasi yang kami hubungi. Tanggapan pada penyampelan acak sangat rendah
(di bawah 5 persen); oleh karena itu, para peneliti menyarankan penyampelan menyengaja (purposive sampling)
sebagai metode terbaik – khususnya mengingat konteks pasca-otoritarian di mana sebagian organisasi dan
aktor tidak melihat diri mereka sebagai bagian dari sistem riset ilmu sosial. Penyampelan menyengaja terhadap
organisasi, diikuti penyampelan bola salju terhadap aktor yang berkenan memberikan tanggapan membantu
meningkatkan kesadaran selama tahap awal dan memetakan ekosistem dengan lebih akurat. Pada akhirnya,
total ada 102 responden. Dari jumlah ini, 26 dari perguruan tinggi, 27 dari pemerintah dan badan pendanaan,
36 dari organisasi masyarakat sipil, dan 13 dari sektor swasta.
49
Indonesia merupakan sebuah kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau (dengan delapan
pulau/kepulauan utama). Kami mengembangkan kriteria penyampelan kami dengan memperhatikan hal ini.
Gambar 7 menggambarkan tingkat tanggapan dari wilayah-wilayah yang berbeda. Kami melakukan
penyampelan acak dengan mengembangkan sebuah kerangka penyampelan untuk perguruan tinggi yang
beroperasi di ketiga puluh empat provinsi, untuk tiap-tiap kategori aktor dan lembaga.
Aktor-aktor riset yang dipilih memiliki kepentingan dalam riset ilmu sosial di Indonesia, meskipun mereka
berbeda-beda dalam hal fungsi riset (produsen, penyebar, dan pengguna) dan skala (besar, menengah, kecil).
Aktor-aktor ini berasal dari perguruan tinggi, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, pemerintah dan badan
pendanaan – tiap-tiap lembaga dengan pengaturan profesional yang spesifik sesuai organisasinya masingmasing. Dengan demikian, metode penyampelan ini menyediakan potret ekosistem ilmu sosial Indonesia yang
lebih representatif. Lebih jauh, untuk meningkatkan tingkat tanggapan, kami menggunakan pendekatan
penyampelan bola salju untuk para pengelola riset dan peneliti dari tiap-tiap organisasi. Hal ini membuat
metode penyampelan, kendati tidak bisa digeneralisasikan, lebih dapat diandalkan daripada penyampelan
konvensional (dengan memilih-milih organisasi). Metode penyampelan ini juga membantu memastikan strategi
penelitian dan diseminasi yang lebih tepat sasaran.
Perguruan tinggi
Sektor pendidikan tinggi Indonesia secara luas diatur oleh dua kementerian: Kemristekdikti dan Kementerian
Agama. Ada dua kategori perguruan tinggi di bawah Kemristekdikti: negeri dan swasta. Menurut PDDIKTI
(2019), terdapat 122 perguruan tinggi negeri, terdiri atas 63 universitas, 12 institut, 4 akademi, dan 43 politeknik.
Terdapat 3.171 perguruan tinggi swasta, terdiri atas 500 universitas swasta, 79 institut, 1.449 sekolah tinggi
swasta, 973 akademi, 14 akademi komunitas, dan 156 politeknik. ‘Swasta’ di sini berarti bahwa institusi
tersebut didirikan oleh yayasan swasta dan tidak didanai oleh pemerintah. Institusi-institusi ini perlu
didaftarkan entah di bawah Kemristekdikti atau Kementerian Agama. Kebanyakan institusi swasta berorientasi
pada keuntungan, namun di Indonesia terdapat beberapa institusi non-profit yang bertujuan menunaikan misi
pendidikan daripada menghasilkan keuntungan dari penyediaan layanan pendidikan. Ini termasuk Universitas
Jentera, Moestopo, dan Sahid, yang menawarkan beasiswa penuh bagi mahasiswa-mahasiswa terpilih.
Sebagaimana yang disebutkan pada analisis konteks, setidaknya 50 persen perguruan tinggi ada di Jawa dan
20 persen di Sumatra, sementara sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya. Statistik yang lebih rinci tersedia
pada Gambar 7 di bawah ini.
50
Gambar 7 Persebaran perguruan tinggi di delapan pulau/kepulauan utama
Sumber: PPDIKTI
Semua perguruan tinggi (4.516 yang terdaftar di PDDIKTI), baik negeri maupun swasta, harus diakreditasi oleh
Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT) untuk menjamin kualitas dan standar. BAN-PT memberikan akreditasi
untuk tiap-tiap institusi dan masing-masing program studi. Kriteria asesmennya mencakup visi lembaga,
manajemen, sumber daya manusia, kurikulum, infrastruktur, dan kapasitas riset. Dari 4.551 institusi (per 2017),
hanya 1.0212 perguruan tinggi (22,24 persen) yang telah diakreditasi oleh BAN-PT. Beberapa institusi yang
tidak terakreditasi masih beroperasi mengingat permintaan pasar, sementara lainnya susah payah
mendapatkan mahasiswa. Proses akreditasi tersebut sangat birokratis, dan Badan Akreditasi Nasional memiliki
daftar tunggu yang panjang.
Gambar 8 Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta
Sumber: PDDIKTI (2019)
Kegiatan inti universitas – fokus dari DRA – ditetapkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012, Pasal 1, Ayat 9): pengajaran, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Skala dan ruang lingkup kegiatan penelitian berbeda-beda dari institusi ke institusi.
Kemristekdikti telah mengembangkan metode pengelompokan lembaga untuk mengategorikan institusi
menurut kapasitas riset mereka. Asesmen untuk pengelompokan lembaga tersebut dilakukan secara rutin,
51
namun hasilnya selalu sama: universitas tingkat atas adalah universitas-universitas yang secara kesejarahan
paling tua dan mengabdi paling lama (Sakhiyya, 2018). Kelompok pertama berisikan sepuluh besar universitas
Indonesia, yang memiliki kapasitas riset jauh lebih besar daripada mereka di kelompok di bawahnya. Kinerja
riset sebuah universitas diukur berdasarkan jumlah publikasi internasional (sebagian besar jurnal), sitasi pada
publikasi yang diakui, dan hibah riset.
Pemerintah dan badan pendanaan publik
Ada dua kategori badan pendanaan publik di Indonesia: badan negara dan non-negara. Badan-badan
pendanaan negara terutama dibawahi oleh BAPPENAS dan kementerian terkait seperti Kemristekdikti,
Kementerian Agama, dan Kementerian Keuangan. Terdapat 105 lembaga yang tercatat dalam pangkalan data
mitra BAPPENAS, termasuk badan kementerian dan non-kementerian, serta mitra internasional. Badan nonnegara termasuk organisasi pemberi dana internasional yang bisa saja bermitra dengan organisasi negara,
bisa juga tidak. Ada beberapa kemitraan – yang paling terkini dan relevan adalah KSI (BAPPENAS dan
Australian Aid) – yang berfokus pada tautan riset–kebijakan dan mendorong pembuatan kebijakan berbasis
bukti. Sumber pendanaan lain termasuk skema pinjaman lunak, seperti proyek Indonesia–Managing Higher
Education for Relevance and Efficiency (Indonesia–Pengelolaan Pendidikan Tinggi untuk Relevansi dan
Efisiensi) dari Bank Dunia, serta proyek-proyek infrastruktur dan suprastruktur untuk perguruan tinggi
Indonesia yang didanai oleh Islamic Development Bank (Bank Pembangunan Islam).
Ada perbedaan yang patut diperhatikan di antara tiap-tiap kategori. Badan-badan negara sangat birokratis.
Rata-rata memakan waktu satu minggu untuk para partisipan menanggapi surat permintaan kami untuk
berpartisipasi dalam riset ini. Surat tersebut kerap diberikan ke staf yang bekerja di bawah responden yang
disasar – sekalipun hal ini tetap menjamin bahwa para partisipan riset dari badan negara ada dalam kategori
responden yang diharapkan keterlibatannya oleh DRA. Birokrasi hierarkis dalam mana mereka bekerja memberi
mereka wawasan yang lebih luas mengenai hambatan birokratis ketimbang kinerja akademis. Berikut adalah
penggalan hasil wawancara mendalam dengan seorang peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) untuk mengilustrasikan tekanan administratif dan birokratis yang kian menggencet mereka:
Tempo hari kami ada demo, demo itu antara lain sebenarnya [menyuarakan] kerisauan kami
melihat keinginan Kepala LIPI untuk menata ulang kelembagaan LIPI ini. Tetapi bagi kita
[peneliti]… itu malah justru menyulitkan kami. … Rasanya, [lembaga] PNS [tapi] rasa
korporasi… . [Dihilangkannya staf administratif dimaksudkan] biar peneliti sibuk dengan
penelitiannya, tidak perlu sibuk dengan administrasinya. Ternyata malah kebalik. Kalau dulu
dibantu oleh teman-teman administrasi, sekarang semua harus dilakukan sendiri. (Peneliti
LIPI, wawancara pribadi, 2019).
Badan negara yang berpartisipasi dalam riset kami jelas-jelas melihat diri mereka sebagai bagian dari
ekosistem riset ilmu sosial – hal ini secara jelas dinyatakan dalam tujuan organisasi mereka. Partisipan riset
dari badan non-negara, di lain pihak, kurang birokratis dan sangat terprogram, serta tidak melihat diri mereka
sebagai bagian dari ekosistem riset ilmu sosial, terlepas dari bukti terkait praktik profesional mereka.
52
Salah satu responden, yang merupakan seorang manajer senior pada organisasi pendanaan dengan puluhan
tahun pengalaman mengarahkan, melaksanakan, dan membimbing para peneliti di sektor masyarakat sipil,
menarik diri di tengah survei. Alasannya dua. Pertama, partisipan berpendapat bahwa, meskipun organisasinya
merupakan salah satu badan non-negara terpandang yang mendanai riset tentang proyek desentralisasi dan
transisi demokrasi di Indonesia, mereka tidak bertugas menyelenggarakan riset dan oleh karenanya bukan
bagian dari ekosistem riset. Berikut adalah penggalan dari keberatan tertulisnya:
Mandat utama [organisasi kami] bukanlah riset; kami hanya sekali-kali mengadakan riset.
Inilah tantangan utama kami untuk berpartisipasi dalam survei…
Kedua, partisipan tersebut mengkhawatirkan tujuan kami, khususnya dalam hal menggeneralisasi isu-isu
sosial, dan menilai proses yang spesifik per negara serta membandingkannya dengan negara lain dengan
konteks yang berbeda.
Penyelidikan lebih jauh mengungkapkan bahwa kerja terprogram organisasi-organisasi pendanaan di
Indonesia berfokus pada upaya memampukan aktor lokal dan nasional untuk mengambil alih proyek-proyek
reformasi. Didudukkan sebagai organisasi pendanaan nasional berlawanan dengan prinsip ini. Hal ini karena
organisasi pendanaan utama dalam ekosistem riset adalah badan nasional. Terlepas dari temuan ini, tim
peneliti secara sengaja tetap memilih organisasi dan menghimpun rekomendasi dari badan-badan non-negara
yang menolak berpartisipasi dalam survei.
Sektor swasta
Sebagaimana telah dijelaskan pada analisis konteks, para partisipan riset dari sektor swasta dipilih
berdasarkan peran yang mereka mainkan dalam produksi, diseminasi dan difusi riset di Indonesia. Kategori ini
terdiri atas beberapa sub-kategori: lembaga riset komersial dan organisasi sektor swasta (seperti anggota
korporat Perhimpunan Filantropi Indonesia, media, perusahaan digital, dll.). Riset yang dipesan oleh organisasi
filantropi bertujuan untuk membangun reputasi organisasi tersebut atau meningkatkan keberlanjutan prakarsa
pembangunan. Salah satu responden kami, seorang anggota dewan Perhimpunan Filantropi Indonesia,
menjelaskan bahwa “tujuan utama Filantropi Indonesia adalah mengembangkan program kami yang ada saat
ini, agar lebih terkelola secara strategis, mendukung program strategis kami dengan lebih berlanjut dan
berjangka panjang.” Dia juga menambahkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi, “kami memiliki program
pembangunan kapasitas untuk anggota kami dan prakarsa pelatihan filantropi. Kami juga mendukung
kolaborasi di antara anggota kami, dan prakarsa-prakarsa di kalangan anggota merupakan hasil dari kolaborasi
ini” (anggota dewan Perhimpunan Filantropi Indonesia, wawancara pribadi, 2019).
Organisasi riset komersial memesan dan/atau melakukan riset sebagai bagian dari layanan konsultansi mereka
dan memanfaatkan riset untuk meningkatkan pendapatan. Mereka menyediakan layanan profesional yang
9
Partisipan telah berkenan agar keberatan tertulisnya turut dilaporkan demi perbaikan riset ini.
53
kompetitif untuk pemerintah dan badan pendanaan publik. Korporasi yang memesan dan melakukan penelitian
internal menolak untuk berpartisipasi dalam riset kami dikarenakan persaingan pasar – walaupun, dalam
praktiknya, kegiatan mereka berjalin kelindan dengan apa yang ada dalam ekosistem riset.
Terdapat dua alasan utama mengapa organisasi sektor swasta menolak untuk ikut serta dalam survei.
Pertama, mereka menggarisbawahi kerahasiaan dari entitas swasta, dan berpendapat bahwa mengungkap
data akan mendatangkan konsekuensi terhadap keuntungan kompetitif dan pendapatan mereka (komunikasi
pribadi, 2019). Kedua, permintaan survei kami diurus oleh divisi hubungan masyarakat dari organisasi swasta.
Sebuah perusahaan yang menolak permintaan kami telah menerima kritik dari masyarakat menyangkut
disrupsi teknologis yang mereka bawa ke pasar tenaga kerja. Tegangan politik ini telah mengganggu relasi
mereka dengan pemerintah; keterputusan hubungan antara organisasi swasta dan lembaga negara oleh
karenanya menjadi area penyelidikan yang signifikan bagi riset ini. Kendati demikian, data semacam itu sulit
untuk diperoleh melalui metode survei.
Menghimpun data dari partisipan riset sektor swasta sangatlah menantang. Terdapat pembedaan antara riset
pasar, yang dapat dimasukkan ke dalam riset ilmu sosial, dengan pengetahuan publik. Yang pertama bertujuan
untuk memenuhi kepentingan perusahaan swasta, yang melihat publik sebagai konsumennya (Lundvall,
1992).Riset ilmu sosial yang diselenggarakan di dalam organisasi ini tidaklah tersedia untuk umum.
Masyarakat sipil (sektor swasta dan lembaga penelitian non-profit)
Menurut data terakhir dari Kementerian Dalam Negeri dan Direktorat Politik dan Komunikasi Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, saat ini terdapat 6.567 organisasi masyarakat sipil yang terdaftar
(Kementerian Dalam Negeri 2010). Organisasi masyarakat sipil terdaftar merujuk pada organisasi non-profit
dan non-pemerintah yang secara resmi dicatat dan diakui oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Terdapat dua bentuk status hukum bagi organisasi masyarakat sipil, yayasan atau perkumpulan. Tidak semua
organisasi masyarakat sipil terdaftar relevan untuk kajian ini dan beberapa bisa jadi tidak aktif.
Saat ini, sebuah pangkalan data mengenai organisasi yang memproduksi riset tengah dikembangkan oleh
Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kemristekdikti (Staf Kepresidenan, wawancara pribadi, 2019).
Pangkalan data ini akan menjadi sumber data yang paling dapat diandalkan untuk penyampelan organisasi
masyarakat sipil yang melakukan riset di Indonesia pada riset yang relevan di bidang ini di masa mendatang.
10
Juga terdapat jarak antara kerangka kerja ekosistem riset secara keseluruhan dengan kuesioner. Kuesionernya memiliki karakteristik
hierarkis – lantaran dirancang secara struktural dari kalangan kebijakan, pengelola penelitian, dan peneliti. Adapun ekosistem riset
merupakan peta sosial aktor dan organisasi yang aktif dalam produksi, diseminasi, dan pemanfaatan riset. Seorang aktor dapat menjadi
peneliti dan pengelola penelitian sekaligus. Selain itu, pada sektor komersial, aktor-aktornya tidak melihat diri mereka sebagai bagian
dari proses produksi pengetahuan yang lebih besar, sehingga mereka tidak melihat faedah apa pun dari menjalin tautan dengan para
sejawat di luar kepentingan langsung mereka.
54
Kegiatan organisasi masyarakat sipil mencakup pula memproduksi dan mendiseminasikan riset entah untuk
tujuan advokasi, menyuluhi pembuatan kebijakan, atau keduanya. Riset yang mereka hasilkan biasanya khas
riset seturut pemberi dana, riset pesanan pemerintah, atau riset pesanan industri. Riset yang dilakukan sifatnya
terprogram, di mana riset mengikuti ekspektasi atau pola tertentu, seperti intervensi sosial, deradikalisasi, dan
pemetaan pemangku kepentingan. Riset pesanan yang demikian merupakan sumber penghasil pendapatan
bagi organisasi masyarakat sipil.
Beberapa organisasi masyarakat sipil berfokus pada diseminasi, yang melibatkan pengomunikasian temuan
riset melalui cara-cara yang lebih dapat diakses oleh audiens yang lebih luas dalam rangka menghasilkan
dampak sosial yang lebih besar. Menurut wawancara pelingkupan kami dengan The Conversation Indonesia,
tujuan mereka adalah:
Untuk berperan sebagai sebuah platform – sebagai wahana komunikasi bagi sektor
riset/pengetahuan. Dengan kata lain, kami ingin mengangkat isu riset di Indonesia dan
mendiseminasikan analisis serta artikel opini yang ditulis oleh para ahli di ranah isu-isu
sosial. Dan adalah penting bahwa mereka ditulis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh
audiens yang lebih luas… sehingga riset tersebut dapat dibaca dan digunakan secara luas.
Ini juga dapat memberikan inspirasi atau solusi untuk para pembuat kebijakan dan publik
yang lebih luas. (Editor The Conversation, wawancara pribadi, 2019).
Menurut wawancara pelingkupan kami dengan organisasi masyarakat sipil progresif, IndoProgress, tujuan
mereka adalah untuk melakukan advokasi dan memengaruhi pembuatan kebijakan. Hal ini terjelaskan dalam
wawancara pelingkupan kami dengan editor kepala IndoProgress di bawah ini:
Beberapa anggota aktif kami juga aktif di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan […]
Direktur Jenderal yang baru, Hilmar Farid, adalah salah satu editor kami. Dia merekrut
beberapa anggota tim kami untuk bekerja sebagai asistennya. Mereka mulai melakukan riset,
dan mereka bilang bahwa hasilnya regulasi terbaik yang pernah dihasilkan dalam urusan
kebudayaan… Artikel kami berbasis riset dan digunakan sebagai rujukan untuk proses
pembuatan kebijakan. (Editor kepala IndoProgress, wawancara pribadi, 2019).
Terlepas dari penghalang struktural di birokrasi dan perguruan tinggi, kepemimpinan riset yang kuat pada
kantong-kantong masyarakat sipil memungkinkan produksi riset berkualitas. Penulis mengeksplorasi isu ini
lebih jauh dengan mewawancarai aktor riset yang secara aktif memproduksi riset ilmu sosial progresif.
Kapasitas untuk menyebarkan riset telah meningkat karena akses dan literasi internet organisasi. Mereka jelasjelas mendapatkan faedah dari transformasi digital yang masif yang dialami dunia dan Indonesia sejak tahun
2000-an. Sentralitas literasi internet bagi difusi riset didiskusikan lebih jauh dalam wawancara kami dengan
aktor-aktor ini. Ini juga bisa menjadi area potensial untuk kajian di masa mendatang.
55
KERANGKA KERJA DRA
SOROTAN UTAMA
▪
Indonesia menghabiskan 0,25 persen PDB-nya untuk riset, sepuluh kali lebih rendah dibanding negaranegara sekawasan, sehingga membatasi produksi riset yang berkualitas tinggi dan berdampak.
▪
Riset ilmu sosial dan humaniora kerap dibiarkan menerima tingkat pendanaan paling rendah dengan
asumsi bidang ini tidak membutuhkan infrastruktur dan material ‘keras’ yang biasa dibutuhkan ilmu
alam.
▪
Kesenjangan gender sangat kentara di antara aktor-aktor di kalangan kebijakan dan di dua kategori
lainnya, peneliti dan pengelola penelitian. Perempuan secara signifikan kurang terwakili di kalangan
kebijakan (21,4 persen) dan pembuatan kebijakan tetap menjadi wilayah yang didominasi laki-laki.
▪
Responden dalam jumlah signifkan menyatakan bahwa penelitian merupakan jenjang karir yang
menjanjikan.
▪
Peneliti dalam jumlah signifikan menyatakan bahwa mereka merasa tidak mendapatkan pelatihan
yang cukup untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengkomunikasikan hasil riset mereka ke
komunitas akademik dan publik.
▪
Diskusi-diskusi mengenai isu-isu sosial yang sensitif tidak selalu inklusif, ditandai dengan
pembubaran diskusi-diskusi terkait topik-topik yang dianggap kontroversial atau tidak selaras dengan
posisi politik arus utama.
▪
Terdapat peningkatan pengakuan akan pentingnya pembuatan kebijakan berbasis bukti dan, sebagai
hasilnya, lebih banyak permintaan atas penelitian, meskipun pengadaan penelitian masih kerap
dianggap sebagai persyaratan birokratis.
▪
Sebagian besar responden pembuat kebijakan (92,9 persen) menyatakan mendapatkan manfaat dari
produk-produk riset, seperti makalah ilmiah, kertas kerja, bahan presentasi, dan kertas posisi.
Bagian ini menyajikan kerangka kerja DRA dan temuan kami berdasarkan indikator yang telah ditetapkan.
Sebelum mengelaborasi temuan mengenai produksi, difusi, dan pemanfaatan riset, penulis hendak membahas
satu isu penting – gender. Terdapat kesenjangan yang nyata di antara aktor-aktor yang ada di kalangan
kebijakan dan mereka yang ada di dua kategori lainnya, peneliti dan pengelola penelitian. Perempuan secara
signifikan kurang terwakilkan di kalangan kebijakan (21,4 persen) dan pembuatan kebijakan tetap menjadi
wilayah yang sangat didominasi laki-laki (Fitzgerald, 2012; Sakhiyya & Locke, 2019).
Sebagai perbandingan, dalam sampel DRA, 64,7 persen peneliti merupakan laki-laki dan 35,3 persen
perempuan, sementara untuk pengelola penelitian, 55,8 persen laki-laki dan 44,2 persen perempuan.
Dengan memperhatikan hal ini, penulis juga secara kritis melihat rasio gender yang muncul dari survei, dan
mengaitkannya dengan analisis konteks untuk memberikan pandangan yang lebih utuh mengenai keadaan
ekosistem riset ilmu sosial Indonesia.
56
Produksi Riset
Produksi riset terkait dengan proses yang melaluinya riset dibuat oleh para peneliti perorangan serta oleh
lembaga penelitian. Proses ini mencakup masukan riset, kultur riset dan layanan pendukung, luaran dan
pelatihan riset, serta peluang riset. Semua ini dirinci lebih jauh di bawah ini.
Input riset
Masukan riset merujuk kepada sumber daya – orang, pendanaan, infrastruktur, dan data yang relevan – yang
dibutuhkan untuk memproduksi riset ilmu sosial.
Sebagaimana didiskusikan pada pendahuluan bagian pemetaan pemangku kepentingan, tidak ada data
mengenai jumlah pasti peneliti ilmu sosial (dan peneliti pada umumnya) di Indonesia. Namun demikian,
tersedia data mengenai jumlah pengajar yang juga adalah peneliti di sektor pendidikan tinggi. Pertama-tama,
bagaimanapun, kami perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa yang kami maksud dengan ‘peneliti.’ Definisi di
dalam pedoman DRA, yang diadopsi dari OECD, mengartikan peneliti ilmu sosial sebagai “para profesional yang
berkiprah mengonsepkan dan menciptakan pengetahuan melalui riset, memperbaiki dan mengembangkan
konsep, teori, model, teknik, peralatan, perangkat lunak, atau metode operasional (OECD, 2015).” Para peneliti
ilmu sosial dapat dipekerjakan di universitas, lembaga penelitian atau pusat penelitian (independen dari
universitas), organisasi riset non-pemerintah, dan perusahaan konsultansi riset.
Indonesia memiliki 89,2 peneliti Ekuivalen Penuh Waktu (FTE) (baik di ilmu-ilmu sosial maupun alamiah) per
satu juta orang, yang secara signifikan lebih rendah daripada Singapura (6.729,7 FTE per satu juta orang) dan
Malaysia (2.274 FTE per satu juta orang) (Cornell University, INSEAD, and WIPO, 2018). Terdapat kira-kira 2.959
juta peneliti FTE yang bekerja di dalam maupun di luar perguruan tinggi. Namun demikian, ada minat yang
terus tumbuh untuk mengejar gelar akademis yang lebih tinggi dan riset di ilmu sosial. Pada 2015, jumlah
mahasiswa ilmu sosial (60,49 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswa perguruan tinggi) secara signifikan
lebih tinggi daripada jurusan-jurusan lain, seperti teknik dan ilmu kesehatan (masing-masing 18,5 persen dan
10,54 persen). Sama halnya, jumlah pengajar ilmu sosial mencapai 47,85 persen dari semua pengajar, lebih
tinggi daripada pengajar untuk teknik (20,14 persen) dan ilmu-ilmu kesehatan (16,06 persen) (Kementerian
Ristekdikti RI, 2016). Mayoritas mahasiswa dan pengajar berbasis di Pulau Jawa dan Sumatra yang secara
ekonomi lebih maju. Kedua pulau ini memiliki lebih dari 70 persen mahasiswa dan pengajar di seluruh negeri
(Kementerian Ristekdikti RI, 2016).
57
Gambar 9 Persebaran pengajar dan mahasiswa perguruan tinggi menurut bidang studi dan lokasi (2015)
Sumber: Kementerian Ristekdikti RI (2016)
Bagi para peneliti FTE, kelangsungan riset ditentukan oleh waktu yang dialokasikan untuk melakukan
penyelidikan. Dikarenakan birokrasi yang berat, proyek riset menghadapi rintangan birokratis dan praktik audit
yang masif (Rakhmani & Siregar, 2016). Hal ini cenderung membatasi waktu yang tersedia untuk melaksanakan
riset yang sesungguhnya. Wawancara dengan salah satu peneliti dari universitas swasta tingkat menengah di
Jawa Tengah mengilustrasikan hal ini. Dia menyatakan bahwa penekanan pada audit sungguh memakan
waktu dan bahkan kontraproduktif.
Kolega-kolega dan saya kadang-kadang enggan melakukan penelitian lantaran proses
pelaporan (untuk audit). Pelaporan ini memiliki format yang sangat spesifik dan kaku, seperti
neraca keuangan. Kalau laporan kami tidak sesuai templat, mereka akan mengembalikannya
ke kami serta meminta kami merevisi dan menyerahkan ulang. Jadi, ini semua soal
memformat dan memformat. Revisi dan revisi. Ini benar-benar menghabiskan waktu.
(Peneliti, wawancara pribadi, 2019).
Hal ini juga tercermin di dalam survei kami: separuh dari responden kami merasa bahwa mereka tidak memiliki
waktu yang mencukupi untuk melaksanakan riset. Mayoritas dari mereka sudah memiliki sampai tujuh
publikasi jurnal dan kebanyakan berbasis di Jakarta.
Gambar 10 Waktu yang dialokasikan untuk riset
Sumber: Survei DRA
58
Sebagian responden kami (29,4 persen) mencurahkan satu hari dalam sepekan atau satu sampai dua bulan
dalam setahun untuk riset, dan mereka dengan tingkat publikasi yang relatif tinggi (29,4 persen)
mendedikasikan sekitar tiga hari dalam sepekan atau lima sampai enam bulan dalam setahun. Lainnya (14,7
persen) menghabiskan sekitar dua hari dalam sepekan, dan sedikit responden kami (14,7 persen) – para peneliti
profesional di pemerintahan dan badan pendanaan – menghabiskan lima hari dalam sepekan atau sembilan
bulan atau lebih dalam setahun untuk riset.
Gambar 11 Waktu yang didedikasikan untuk riset
Sumber: Survei DRA
Dalam hal pendanaan riset, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan litbang jauh lebih rendah daripada
negara lain di kawasan. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia, rata-rata, menghabiskan sekitar 3,5 persen dari
PDB untuk pendidikan. Di kawasan, Indonesia menempati peringkat di bawah Malaysia (4,83 persen dari PDB)
dan Thailand (4,12 persen dari PDB), meskipun lebih tinggi dari Singapura (2,91 persen dari PDB). Pengeluaran
Pemerintah Indonesia untuk pendidikan tinggi, sama-sama Thailand dan Vietnam, sekitar 15 persen dari
keseluruhan anggaran pendidikan. Sebagai perbandingan, Singapura dan Malaysia menghabiskan lebih dari 20
persen anggaran pendidikan mereka untuk pendidikan tinggi (United Nations Development Programme, 2018;
World Bank, 2018). Investasi Indonesia pada litbang merupakan salah satu yang terendah di kawasan, dengan
belanja bruto 0,25 persen dari PDB pada 2017, terlepas dari peningkatan dari 0,09 persen pada 2013. Ini masih
jauh di bawah Singapura (2,2 persen dari PDB), Malaysia (1,3 persen dari PDB), Thailand (0,6 persen dari PDB),
dan bahkan Vietnam (0,4 persen dari PDB) (Cornell University, INSEAD, and WIPO, 2018).
59
Tabel 5 Persebaran pendanaan riset dan proposal yang didanai menurut topik riset (2011-2015)
Topik Riset
Pendataan riset
(dalam juta USD)
Banyaknya
proposal yang
didanai
Pendanaan riset per
proposal (dalam USD)
Energi terbarukan
2,8
250
11.277
Ilmu sosial dan humaniora
73,4
27.609
2.658
Kemaritiman
7,2
1.519
4.759
Pangan dan pertanian
50,9
7.147
7.117
Bahan canggih
17,7
123
143.958
Transportasi
2,2
214
10.512
TIK
18,9
4.894
3.859
Kesehatan
21,6
5.474
3.954
Pertahanan dan keamanan
1,7
84
19.906
Lain-lain
89
18.095
4.918
Sumber: Dikompilasi dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan (2017)
Pemerintah Indonesia berupaya menggenjot kapasitas riset dan produksi pengetahuan dengan
mengalokasikan pendanaan litbang untuk beragam prakarsa riset. Pada periode 2011–2015, Kemristekdikti
menyediakan pendanaan riset USD 285,5 juta, yang didistribusikan untuk 65.409 proposal penelitian dari
berbagai bidang (Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, 2017). Menariknya, mayoritas
proposal yang didanai berasal dari ilmu sosial dan humaniora: lebih dari 27.000 proposal didanai dari 2011
sampai 2015. Tidak hanya itu, ilmu sosial dan humaniora juga menerima total pendanaan terbesar (USD 73,4
juta). Namun demikian, pendanaan per proposal untuk ilmu sosial dan humaniora jumlahnya paling rendah:
rata-rata hanya USD 2.658 per proposal; asumsinya bahwa bidang-bidang ini tidak membutuhkan infrastruktur
dan material keras seperti yang dibutuhkan ilmu alamiah. Rata-rata pendanaan per proposal tertinggi adalah
untuk ‘bahan canggih’ (bahan-bahan yang diciptakan melalui pemrosesan khusus dan teknologi sintesis): ratarata USD 0,14 juta per proposal – walaupun Kementerian hanya mendanai 123 proposal penelitian khusus
untuk bidang riset ini (Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, 2017). Sementara data
tersebut menunjukkan adanya permintaan yang tinggi dari pemerintah untuk lebih banyak riset ilmu sosial, ini
juga menunjukkan kekurangan dana yang serius untuk semua riset, namun terutama riset ilmu sosial.
Angka-angka ini menunjukkan adanya peningkatan dukungan pemerintah kepada riset ilmu sosial, namun
dengan sedikit bukti tentang upaya-upaya untuk menautkan riset dengan pembuatan kebijakan dan/atau
komitmen publik. Juga ada sedikit bukti bahwa pendanaan ditargetkan pada riset sosial dasar (noninstrumental) yang dapat membawa implikasi jangka panjang untuk kemakmuran bangsa dan reduksi
kesenjangan. Indonesia belum memiliki tingkat pembangunan manusia yang mencukupi untuk mendorong
riset sosial melampaui instrumentalitas – yang dalam banyak cara lebih relevan secara sosial, karena secara
langsung mengurusi isu-isu yang menjadi perhatian publik dibandingkan dengan ilmu sosial untuk pembuatan
kebijakan (Burawoy, 2007).
60
Gambar 12 Akses ke sumber primer informasi dan data
Sumber: Survei DRA
Akses ke sumber primer informasi dan data masih menjadi tantangan berat. Menurut survei DRA, 28,1 persen
lumayan puas dengan akses ke data primer, 15,6 persen puas, dan hanya 18,8 persen yang sangat puas.
Sebaliknya, 37 persen mengalami masalah dalam mengakses data. Mengingat kuesioner tidak menanyakan
lokasi geografis responden, adalah sulit untuk menentukan disparitas geografis dalam hal akses; ada
kebutuhan riset di masa mendatang untuk memeriksa ketimpangan geografis ini. Selain itu, ketersediaan
produk riset para peneliti sendiri – apakah mereka tersedia untuk umum (dengan menjadikan mereka sumber
terbuka) – juga dapat memberikan indikasi mengenai tingkat akses ke data primer. Sebanyak 27,3 persen
responden kami selalu membuka produk riset mereka, dan 21,2 persen kadang-kadang saja membukanya.
Menjadikan sumber daya ilmu sosial sumber terbuka bukan hanya menguntungkan para peneliti (khususnya
mereka yang berada pada tahap awal kariernya) tetapi juga meningkatkan dampak riset. Sayangnya, 30,3
persen tidak menjadikan produk riset mereka sumber terbuka.
Gambar 13 Produk riset yang dijadikan sumber terbuka
Sumber: Survei DRA
61
Infrastruktur riset, seperti kantor, komputer dan printer, juga penting dalam mendukung peneliti. Survei
mengungkapkan bahwa sementara kantor kerap disediakan, fasilitas-fasilitas pendukung lainnya tidak.
Responden kami menyebutkan terbatasnya ketersediaan sejumlah sumber daya, yakni komputer (mereka
harus punya sendiri), perpustakaan digital (akses ke buku dan artikel daring), perangkat lunak plagiarisme, dan
fasilitas peminjaman antarperpustakaan.
Kultur dan layanan riset
Badan Riset Nasional (BRN), sebagai lembaga pusat di bawah negara untuk manajemen riset publik,
bertanggung jawab menjamin ketersediaan, efektivitas, dan efisiensi pendanaan riset untuk mendukung
kebijakan riset nasional (Kemristekdikti, 2017). Ada juga badan pelingkup riset lainnya, termasuk Dewan Riset
Nasional (jika sudah didirikan). Namun lantaran sifat BRN sebagai sebuah organisasi yang independen dari
organisasi-organisasi riset, dampaknya pun terbatas. Kurangnya kesadaran akan adanya lembaga di bawah
negara yang didedikasikan untuk manajemen riset publik juga tercermin di dalam survei: 70,6 persen responden
yakin bahwa tidak ada badan riset nasional.
Gambar 14 Kesadaran akan adanya badan riset nasional
Sumber: Survei DRA
Pada 2019, Dewan Perwakilan Rakyat merancang Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (RUU SISNAS IPTEK) – saat ini menunggu ditandatangani Presiden – yang mengatur sistem dan
kinerja riset nasional. RUU ini akan menggantikan Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18 Tahun 2002) yang sudah ketinggalan zaman.
Sementara RUU yang diajukan ini bertujuan untuk meningkatkan sistem dan kinerja riset dengan “mendukung
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar ilmiah bagi perumusan dan pembuatan kebijakan
pembangunan” (2019, Bab 1, ayat 1, halaman 3), ia tidak menyebutkan apa-apa menyangkut kebebasan
akademis, yang krusial untuk memampukan para peneliti dan aktor penelitian memproduksi dan
mempromosikan riset mereka serta berkontribusi dalam proses pembuatan kebijakan.
62
Gambar 15 Kesadaran akan adanya kebijakan nasional mengenai riset ilmu sosial
Sumber: Survei DRA
Yang lebih problematis, RUU tersebut mencakup klausul yang banyak disengketakan tentang hukuman bagi
para akademisi asing tak terdaftar yang mengumpulkan data di Indonesia tanpa izin. Namun demikian, hal ini
tidak tercermin di dalam hasil survei. Ini bisa jadi karena survei dilakukan sebelum RUU tersebut diluncurkan
ke publik untuk dinilai. Hasilnya, adanya kesadaran yang terbatas tentang RUU tersebut (67,6 persen tidak
sadar akan keberadaannya – Gambar 15).
Kualitas pembimbingan
Kualitas pembimbingan juga memengaruhi produksi riset ilmu sosial. Hanya separuh dari responden (58,8
persen) memiliki akses ke pembimbingan, yang merefleksikan temuan dari analisis konteks.
Gambar 16 Akses ke pembimbing riset
Sumber: Survei DRA
Lebih jauh, dengan banyaknya penghalang struktural yang merintangi transfer pengetahuan, akses yang relatif
terbatas ke pembimbingan riset mengakibatkan proses yang tidak terlihat sangat efektif, sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 17 di bawah ini.
63
Gambar 17 Keefektifan sistem pembimbingan
Sumber: Survei DRA
Luaran dan pelatihan riset
Hampir separuh dari responden (43,8 persen) tidak melakukan publikasi di jurnal internasional bertinjauan
sejawat (Gambar 19). Mereka yang telah melakukannya terutama dari universitas yang berbasis di Jawa (85
persen), khususnya universitas di Jakarta (56 persen). Hal ini mengonfirmasi kajian terdahulu (Rakhmani, 2019;
Rakhmani & Siregar, 2016) yang menunjukkan “kapasitas yang terbatas untuk memublikasikan, tetapi juga
disparitas dalam hal kapasitas di antara universitas negeri, di mana akademisi yang memiliki publikasi
cenderung ditemukan di kalangan universitas besar yang berlokasi di Jawa” (Rakhmani & Siregar, 2016, p. 40).
Gambar 18 Artikel bertinjauan sejawat
Sumber: Survei DRA
64
Sebagian besar responden kami mendapatkan manfaat dari pelatihan riset. Namun demikian, sebagian besar
pelatihan riset dalam tiga tahun terakhir hanya selama 0–2 pekan (76,5 persen), membuktikan kurangnya
pelatihan yang intensif dan berlanjut.
Gambar 19 Durasi pelatihan riset
Sumber: Survei DRA
Jumlah peneliti/pengajar PhD di lingkungan ilmu sosial masih rendah. Terbatasnya jumlah akademisi dengan
gelar PhD di universitas-universitas Indonesia menghalangi kapasitas dan potensi riset bermutu tinggi. Pada
sektor pendidikan tinggi, hanya 12 persen yang memegang gelar PhD, sementara mayoritas (63,8 persen)
memiliki kualifikasi tingkat Magister (PDDIKTI 2017). Survei kami mencerminkan statistik nasional tersebut:
mayoritas lembaga (67,5 persen) memiliki staf bergelar PhD yang jumlahnya terbatas (0–15 persen). Menurut
GDN (2018), semakin tinggi persentase staf universitas dengan PhD, semakin tinggi kualitas pelatihan riset
pada universitas tersebut.
Gambar 20 Persentase staf dengan PhD
Sumber: Survei DRA
65
Pembelajaran dan keberlanjutan
Dari 43 respons yang diterima, mayoritas responden (73,5 persen) memiliki persepsi positif terhadap peluang
karier bagi peneliti. Menurut survei, hal ini didasari oleh, antara lain, aspirasi pribadi, peluang untuk bekerja di
organisasi non-pemerintah ternama, dan tren saat ini dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti. Survei
tersebut tidak menyinggung penghargaan finansial atau keamanan kerja.
Gambar 21 Persepsi terhadap riset sebagai sebuah karier
Sumber: Survei DRA
Menariknya, seorang responden berkomentar bahwa “masalahnya bukan pada persepsi tentang karier riset,
tetapi apakah kita mampu bersaing di dalam ekosistem riset di Indonesia. Ini utamanya karena ekosistem itu
jauh dari ideal – kita memiliki beban kerja administratif lebih besar, penghargaan finansialnya rendah, dan ilmu
sosial tidak mendapatkan pendanaan yang cukup” (peneliti, wawancara pribadi, 2019).
Keanggotaan dalam jaringan riset profesional membantu mempertahankan produktivitas dan difusi riset.
Namun demikian, mayoritas responden kami (57,6 persen) bukanlah anggota jaringan riset profesional.
Sebanyak 42,4 persen sisanya merupakan anggota jaringan riset, entah regional, nasional, maupun
internasional.
Gambar 22 Keanggotaan jaringan riset profesional
Sumber: Survei DRA
66
Ringkasnya, temuan kami menunjukkan bahwa ada bidang perhatian penting menyangkut produksi riset di
Indonesia – suatu proses yang melaluinya riset dibuat oleh para peneliti perorangan serta lembaga riset. Dalam
hal masukan riset, sejumlah besar peneliti merasa bahwa mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan riset dan hanya lumayan puas dengan akses ke sumber primer informasi dan data. Hal ini
diperburuk oleh fakta bahwa banyak peneliti tidak menjadikan produk riset mereka sumber terbuka. Berkenaan
dengan kultur riset dan layanan pendukung, sejumlah besar peneliti tidak memiliki akses ke pembimbingan,
sementara kebanyakan tidak merasa bahwa sistem pembimbingan tersebut efektif. Demikian halnya, hampir
separuh dari responden tidak memublikasikan artikel mereka di jurnal internasional. Mereka tidak menerima
pelatihan riset yang mencukupi dan organisasinya kekurangan akademisi dengan gelar PhD. Biarpun demikian,
terdapat potensi yang mendorong dalam hal peluang riset. Sebagian besar responden merasa bahwa riset
merupakan jenjang karier yang menjanjikan. Mayoritas dari mereka, bagaimanapun, bukanlah anggota dari
jaringan riset profesional – yang dapat menyediakan kesempatan untuk pembangunan kapasitas dan
meningkatkan masukan riset melalui kolaborasi dengan sejawat internasional.
Difusi Riset
Bagian ini menyajikan temuan mengenai difusi riset di Indonesia – suatu proses yang melaluinya produk
berbasis riset didiseminasikan dan dikomunikasikan melalui perantaraan ke kelompok-kelompok audiens yang
berbeda, seperti akademisi, pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Terdapat empat indikator
untuk difusi: aktor dan jaringan, praktik komunikasi riset, produk komunikasi riset, dan popularisasi ilmu
pengetahuan. Tujuan kami adalah menganalisis bagaimana riset disirkulasikan (melalui perantaraan) di
tengah-tengah masyarakat dan menentukan faktor utama yang memengaruhi proses ini.
Aktor dan jaringan
Aktor dan jaringan, apakah para peneliti atau lembaga penelitian, memiliki akses ke segenap pemangku
kepentingan yang berminat di riset ilmu sosial. Semakin besar keberagaman aktor dan jaringan, semakin besar
pula peluang bagi riset dan produk riset menjangkau audiens yang lebih luas dan memiliki dampak. Survei kami
mengungkapkan bahwa sementara para peneliti memiliki akses ke para pemangku kepentingan dari
pemerintah, organisasi non-profit internasional, serta universitas nasional dan internasional, mereka tidak
memiliki akses apa pun ke badan internasional seperti OECD, UNESCO, dan World Economic Forum (Forum
Ekonomi Dunia).
67
Gambar 23 Tingkat kolaborasi multi-pemangku kepentingan
Sumber: Survei DRA
Frekuensi/jumlah kolaborasi riset dengan organisasi/lembaga lain menyediakan indikasi sejauh mana
pendekatan multidisipliner – kolaborasi multi-pemangku kepentingan memperkuat tautan riset–kebijakan,
khususnya ketika pemangku kepentingan pemerintah dilibatkan. Mayoritas responden telah berkolaborasi satu
sampai dua kali (36,4 persen) atau tiga sampai empat kali (24,2 persen); 12,1 persen telah mengerjakan lima
sampai enam proyek riset kolaboratif, dan 15,2 persen telah melakukannya lebih dari tujuh kali. Namun
demikian, 12,1 persen tidak berkolaborasi dalam riset mereka (lihat Gambar 24 di bawah ini).
Gambar 24 Frekuensi kolaborasi riset
Sumber: Survei DRA
68
Komunikasi riset
Salah satu aspek penting difusi adalah komunikasi riset untuk menyuluhi diskusi kebijakan yang relevan
dengan isu-isu di riset ilmu sosial. Hal ini memerlukan keterlibatan pemangku kepentingan dari lingkup yang
luas (peneliti, organisasi non-pemerintah, badan internasional, para pembuat kebijakan, komunitas, dan
kelompok minoritas), khususnya dalam hal akses ke forum diskusi kebijakan. Pada umumnya, diskusi kebijakan
sosial bersifat inklusif dan terbuka untuk semua kelompok yang terdampak oleh kebijakan publik. Namun
demikian, survei kami pada kalangan kebijakan menunjukkan bahwa akses untuk orang-orang dengan
disabilitas terbatas karena kurangnya infrastruktur yang sesuai. Sebagaimana didiskusikan pada analisis
konteks, kajian terdahulu tentang kebebasan akademis juga menunjukkan bahwa diskusi mengenai isu-isu
sosial yang sensitif tidak selalu inklusif, dengan adanya pembubaran terhadap beberapa diskusi mengenai
topik yang dianggap kontroversial (Wiratraman, 2018). Lihat Gambar 25 untuk rincian lebih lanjut.
Gambar 25 Inklusivitas diskusi kebijakan sosial
Sumber: Survei DRA
Pelatihan komunikasi penting untuk meningkatkan kapasitas peneliti dalam mempromosikan dan
mengomunikasikan riset mereka ke audiens internal maupun eksternal. Namun demikian, mayoritas responden
kami (66,7 persen) tidak menerima pelatihan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem riset tidak
mendukung komunikasi riset yang lebih luas.
69
Gambar 26 Partisipasi dalam pelatihan komunikasi
Sumber: Survei DRA
Produk komunikasi riset
Produk komunikasi riset, di sini, merujuk pada saluran-saluran yang digunakan untuk mendiseminasikan
temuan riset, seperti konferensi akademis dan debat atau diskusi publik. Yang pertama digunakan untuk
berbagi pengetahuan akademis terutama dengan audiens akademis, sementara yang terkemudian digunakan
untuk mengomunikasikannya dengan khalayak yang lebih luas guna meningkatkan relevansi dan dampak
sosialnya. Mayoritas responden kami (54,8 persen) menyatakan bahwa lembaga mereka tidak
menyelenggarakan konferensi akademis. Beberapa (14,3 persen) menyelenggarakan satu atau dua, sementara
11,9 persen menggelar tiga sampai empat konferensi. Sebanyak 14,3 persen sisanya menyelenggarakan lebih
dari tujuh konferensi; mereka ini terdiri atas lembaga-lembaga dari Jakarta.
Gambar 27 Konferensi akademis
Sumber: Survei DRA
70
Sementara konferensi akademis cukup lazim, debat publik malah jarang. Terdapat juga kesenjangan yang
nyata antara lembaga-lembaga yang berbasis di Jakarta dengan mereka yang ada di luar ibu kota. Mayoritas
responden kami (61,5 persen) tidak pernah menyelenggarakan debat publik, sementara 17,9 persen lembaga
di Jakarta menyelenggarakannya lebih dari tujuh acara. Hal ini membuktikan bahwa lembaga-lembaga di ibu
kota melakukan usaha yang lebih besar untuk mengomunikasikan temuan riset mereka untuk menumbuhkan
kesadaran, bukan hanya di kalangan akademisi tetapi juga para politikus dan masyarakat sipil.
Gambar 28 Debat publik
Sumber: Survei DRA
Penggunaan situs dan jaringan daring meningkatkan visibilitas daring, menyoroti informasi mengenai riset, dan
berpotensi membuka lebih banyak peluang dan jaringan. Halaman web pribadi, khususnya, penting untuk
menyediakan akses ke karya dan produk peneliti. Namun demikian, mayoritas responden kami (73,5 persen)
tidak memiliki halaman web pribadi yang disediakan oleh lembaga mereka.
Gambar 29 Halaman web pribadi
Sumber: Survei DRA
71
Insularitas ini diperburuk oleh fakta bahwa lebih dari separuh responden kami (51,5 persen) tidak terdaftar di
pangkalan data atau repositori internasional. Menarik bahwa baik yang telah terpublikasi di jurnal internasional
bereputasi dan yang belum sama-sama berlokasi di Jakarta, yang juga menjadi tempat dengan persentase
tertinggi dalam hal publikasi dan keterdaftaran di repositori internasional. Hal ini boleh jadi dikarenakan oleh
penghalang struktural, seperti birokrasi yang berlebihan, mekanisme kepangkatan sumber daya manusia, dan
kecenderungan ke arah monodisiplinaritas. Lagi-lagi, hal ini mencerminkan kajian awal GDN tentang reformasi
riset (Rakhmani & Siregar, 2016), yang menyoroti insularitas akademis yang dialami oleh akademisi Indonesia.
Gambar 30 Keterdaftaran di repositori/pangkalan data internasional
Sumber: Survei DRA
Popularisasi ilmu pengetahuan
Usaha-usaha terdahulu oleh beragam aktor untuk mendiseminasikan riset dan menyajikannya dengan istilahistilah yang lebih nyata, telah membantu memopulerkan ilmu pengetahuan dan mendemonstrasikan peran
penting yang dimainkannya dalam kehidupan orang-orang. Hal ini dapat diukur dari tingkat keminatan
peliputan media terhadap temuan riset. Peliputan tersebut tersebar dengan baik di semua saluran media –
surat kabar, televisi, internet, dan radio – khususnya ketika lembaga berkolaborasi dengan media. Namun
demikian, para responden kami mengemukakan kekhawatirannya atas kurangnya akses ke peliputan media
untuk riset yang tidak memiliki kegunaan komersial.
72
Gambar 31 Pelaporan dan peliputan media
Catatan: 1 merupakan nilai terendah dan 6 tertinggi
Sumber: Survei DRA
Ringkasnya, produk berbasis riset didiseminasikan dan didifusikan melalui beragam perantaraan untuk
menjangkau kelompok-kelompok audiens yang berbeda: kalangan akademis, pembuat kebijakan, masyarakat
sipil, dan sektor swasta. Temuan tersebut memberikan bukti mengenai kolaborasi para peneliti dengan
berbagai sektor. Sementara kolaborasi ini bisa saja dilihat sebagai bukti dari adanya tautan yang kuat antara
ilmu pengetahuan dan kebijakan, dalam praktiknya, penulis mengaitkannya lebih dengan ‘marketisasi’ riset ilmu
sosial dan penggunaan riset untuk memengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan klien tertentu – tidak
berbeda dengan cara-cara riset pasar melayani kepentingan korporasi. Sebagaimana dijelaskan pada bagian
lain laporan ini, tanpa adanya kultur kebebasan akademis yang kuat, riset dapat saja digunakan untuk
menguntungkan kepentingan yang berkuasa.
Dalam kaitannya dengan komunikasi riset, sejumlah besar peneliti di Indonesia merasa mereka tidak
mendapatkan pelatihan yang memadai untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengomunikasikan
risetnya ke kalangan akademis dan masyarakat luas. Sejalan dengan bertumbuhnya popularisasi ilmu
pengetahuan, para peneliti Indonesia telah cukup efektif dalam berkomunikasi melalui beragam platform
media. Melejitkan visibilitas daring dari karya bertinjauan sejawat melalui situs web pribadi/lembaga juga
merupakan saluran yang menjanjikan untuk mengomunikasikan riset. Namun demikian, seperti pada kasus
tautan riset-ke-kebijakan, komunikasi riset berkualitas yang efektif ke publik mengandalkan tradisi riset
akademis yang kuat. Selain itu, pelatihan komunikasi dapat diselenggarakan tidak hanya di kalangan peneliti,
tetapi juga di kalangan jurnalis ilmu pengetahuan untuk membantu mereka mengidentifikasi akademisi
bereputasi untuk dikutip di pemberitaan media (Editor the Conversation, wawancara pribadi, 2019).
73
Pemanfaatan Riset
Bagian ini menyajikan temuan mengenai pemanfaatan kebijakan di Indonesia: sifat dasar dari riset yang ramah
kebijakan, sejauh mana pembuatan kebijakan berbasis riset, dan keadaan tautan riset-ke-kebijakan. Penulis
secara kritis menafsirkan data sesuai dengan hasil analisis konteks. Lebih khusus lagi, kami menilai dampak
dari marketisasi terhadap riset dan bagaimana hal ini membentuk tautan riset-ke-kebijakan, khususnya dalam
hal mengasup kepentingan klien pemerintah tertentu, serta bagaimana mereka menghasilkan jenis-jenis riset
untuk menyuluhi kebijakan yang terutama teknokratis dengan komitmen teoretis yang rendah. Di bagian ini,
kami juga memeriksa isu kesenjangan antardaerah dan bagaimana universitas di Jawa diuntungkan oleh akses
langsung ke pemerintah pusat (khususnya dalam hal pendapatan).
Riset ramah kebijakan
Riset yang ramah kebijakan merujuk pada sejauh mana para peneliti mampu melaksanakan riset mengenai
isu-isu yang memiliki arti penting sosial tanpa pengaruh yang tidak semestinya dari kalangan kebijakan dan
seberapa dapat para peneliti merumuskan produk riset yang bertujuan untuk mendukung pembuatan
kebijakan. Lebih dari separuh responden kami (51,7 persen) mengaku bahwa mereka melakukan risetnya tanpa
campur tangan apa pun dari pemerintah; 17,2 persen mengalami sedikit campur tangan, 13,8 persen cukup
campur tangan, sedangkan 17,2 persen menghadapi banyak campur tangan. Mereka yang tidak mengalami
campur tangan apa pun terutama berada di Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sebaliknya, mereka yang mengalami banyak campur tangan juga dari Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Campur tangan ini dikarenakan kedekatan antara Jakarta, serta Jawa Barat dan Jawa Tengah, dengan institusi
kekuasaan negara, yang lebih mungkin menggunakan riset ilmu sosial sebagai alat politik (lihat Hadiz &
Dhakidae, 2005).
Gambar 32 Tingkat independensi riset
Sumber: Survei DRA
74
Tingkat independensi dalam melakukan riset terkait dengan permintaan-permintaan yang dibuat oleh
pemerintah dalam pengembangan kebijakan. Mayoritas responden kami (66,7 persen) menerima permintaan
dari kalangan kebijakan untuk memberikan masukan dan saran ahli dari akademisi mengenai isu-isu yang
memiliki relevansi sosial selama pengembangan kebijakan. Mereka terutama berbasis di Jakarta.
Gambar 33 Permintaan atas masukan riset untuk pembuatan kebijakan
Sumber: Survei DRA
Tautan riset–kebijakan lebih efektif ketika para peneliti memiliki akses ke pembuatan kebijakan, termasuk
dengan memegang posisi dalam pembuatan kebijakan. Para peneliti yang memiliki pengalaman dalam posisi
pengambilan keputusan (pemerintah pusat maupun daerah, parlemen) memberikan pandangan dalam proses
pertukaran antara peneliti dengan pembuat kebijakan. Kolaborasi antara para peneliti dan pembuat kebijakan,
melalui saluran langsung untuk mentransfer temuan riset ke proses kebijakan, terbukti menjadi modus paling
efektif dalam transfer riset–kebijakan. Hanya sedikit saja dari responden kami yang memegang posisi dalam
pembuatan kebijakan – 3,1 persen pada tingkatan yang terdesentralisasi dan tak satu pun pada tingkat pusat.
Gambar 34 Para peneliti yang menempati posisi dalam pembuatan kebijakan
Sumber: Survei DRA
75
Sementara peneliti pada posisi politik itu jarang sekali, terdapat beberapa peneliti yang berada pada posisi
penasihat: 6,5 persen responden kami (berbasis di Jakarta) merupakan anggota badan pertimbangan kebijakan
pada tingkat pusat dan 3,3 persen pada tingkat yang terdesentralisasi.
Gambar 35 Peneliti di posisi pertimbangan kebijakan
Sumber: Survei DRA
Pembuatan kebijakan berbasis riset
Tingkat independensi dalam melakukan riset terkait dengan sejauh mana permintaan yang dibuat oleh
pemerintah dalam pengembangan kebijakan. Saat ini terdapat pengakuan yang semakin besar akan arti
penting pembuatan kebijakan berbasis bukti dan, sebagai hasilnya, permintaan yang semakin besar pula untuk
masukan riset. Hal ini tercermin di dalam hasil survei kami. Mayoritas responden kami (68,3 persen) pernah
bekerja dalam riset yang dipesan langsung oleh para pembuat kebijakan dalam tiga tahun terakhir. Sebanyak
31,7 persen yang tidak mengerjakan riset pesanan pemerintah umumnya dari lembaga di luar Jakarta dan
Jawa.
Gambar 36 Riset pesanan pemerintah
Sumber: Survei DRA
76
Peneliti perorangan juga melakukan riset yang dipesan langsung oleh para pembuat kebijakan. Mayoritas
responden kami (66,7 persen) pernah mengerjakan riset pesanan pemerintah, dengan rentang anggaran antara
USD 100 sampai USD 6.000. Peneliti-peneliti ini umumnya juga berbasis di Jawa, khususnya Jakarta.
Gambar 37 Peneliti yang mengerjakan riset yang dipesan oleh para pembuat kebijakan
Sumber: Survei DRA
Keberagaman aktor riset juga berarti bagi kualitas masukan riset dalam pembuatan kebijakan. Keberagaman
ini tercermin dalam rasio antara peneliti dalam negeri dan asing. Pada mayoritas lembaga (52,4 persen) 80–
100 persen penelitinya berasal dari dalam negeri. Rasio yang lebih berimbang, 40–60 persen, kurang lazim (4,8
persen). Hal yang sama juga benar adanya pada rasio 20–40 persen, yang terdapat pada 4,8 persen lembaga.
Gambar 38 Peneliti dalam negeri versus asing
Sumber: Survei DRA
77
Produk kebijakan berbasis riset
Produk kebijakan berbasis riset merujuk pada publikasi riset ilmu sosial yang digunakan untuk mendukung
analisis dan pengambilan keputusan berbasis bukti. Dari 28 respons yang diterima dari kalangan kebijakan,
mayoritas (81,5 persen) menyusun bersama bahan kebijakan dengan para peneliti.
Gambar 39 Produksi produk kebijakan berbasis riset
Sumber: Survei DRA
Penggunaan riset untuk kebijakan yang lebih baik
Bagian ini mendiskusikan sejauh mana para pembuat kebijakan menggunakan masukan riset dan
berkonsultasi dengan para peneliti dalam isu-isu terkait kebijakan. Penggunaan masukan riset dapat bersifat
instrumental maupun simbolik. Penggunaan instrumental dapat diukur dengan memeriksa pengutipan riset di
dalam dokumen kebijakan untuk mendukung analisis dan pengambilan keputusan berbasis bukti, sementara
penggunaan simbolik dapat diukur dengan melihat rujukan ke riset di dalam komunikasi yang dilakukan para
pembuat kebijakan. Secara keseluruhan tujuannya adalah untuk memungkinkan riset ilmu sosial memainkan
peran dalam mengembangkan kebijakan yang lebih efektif. Survei kami terhadap kalangan kebijakan mengukur
persepsi mengenai kebergunaan riset. Mayoritas responden pembuat kebijakan kami (92,9 persen) mengaku
diuntungkan oleh produk riset seperti makalah ilmiah, kertas kerja, paparan presentasi, dan makalah posisi.
78
Gambar 40 Penggunaan riset
Sumber: Survei DRA
Pada bagian tentang pemanfaatan riset ini, kami memeriksa data survei melalui lensa yang kami kembangkan
pada analisis konteks. Walaupun data yang disajikan pada Gambar 37 dan 38 menunjukkan bahwa riset ilmu
sosial yang dilakukan di Indonesia itu ‘ramah’ terhadap para pembuat kebijakan, dan bahwa ada bukti mengenai
pembuatan kebijakan berbasis riset serta tautan riset-ke-kebijakan, kinerja riset ilmu sosial di Indonesia masih
saja buruk. Ini berarti bahwa pembuatan kebijakan terutama disuluhi oleh riset yang komitmen teoretisnya
terbatas dan kekurangan tradisi tinjauan sejawat yang kuat. Hal ini dikarenakan fakta bahwa riset pesanan
pemerintah merupakan sumber pendapatan utama organisasi riset. Tidak hanya sistem tersebut membantu
reproduksi riset berkualitas rendah, tetapi juga memperburuk kesenjangan antardaerah mengingat sebagian
besar kapasitas diserap oleh universitas berbasis Jakarta dan Jawa. Tanpa sistem yang efektif untuk produksi,
difusi, dan pemanfaatan riset ilmu sosial, penyebaran dan penggunaan analisis bermutu rendah dalam
pembuatan kebijakan akan terus berlanjut.
79
SIMPULAN
SOROTAN UTAMA
▪
Inklusivitas gender yang lebih besar harus didorong di dalam lembaga dan organisasi dengan
penekanan pada pemberian insentif bagi kalangan profesional dan manajer untuk menerapkan
kebijakan yang inklusif secara sosial.
▪
Peneliti harus diizinkan untuk mendalami persoalan yang saat ini dianggap tabu atau sensitif secara
politik.
▪
Organisasi dan peneliti yang menyediakan jasa riset pasar kepada perusahaan swasta tidak dapat
mempublikasikan temuan mereka karena tuntutan kompetisi pasar.
▪
Penting untuk mempromosikan jejaring dengan sejawat internasional – yang kemudian juga akan
membantu peneliti lokal berinteraksi dengan pembuat kebijakan.
Laporan ini memaparkan asesmen ekosistem riset ilmu sosial dan implikasi dari analisis tersebut. Kami
memulai dengan analisis konteks pada kondisi mutakhir sistem riset ilmu sosial di Indonesia. Senyampang
dengan transisi menuju demokratisasi dan desentralisasi (1998 hingga hari ini), pemerintah Indonesia telah
menerapkan reformasi pada kementerian dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Peraturan baru juga telah
diberlakukan, dengan ambisi untuk menginternasionalisasi sektor pendidikan tinggi untuk mengampu
Indonesia bersaing di pasar regional. Namun upaya reformasi ini tidak merata, sedangkan struktur birokrasi
yang ditetapkan pemerintah pusat sering berbenturan dengan upaya sistematis untuk mendorong
profesionalisasi periset ilmu sosial. Inilah mengapa upaya untuk meningkatkan dana riset dan hibah dengan
memberikan otonomi lebih kepada perguruan tinggi sejauh ini belum berdampak pada peningkatan kualitas
riset atau pelibatan lebih dalam antara kerja akademis berkualitas tinggi dan pembuatan kebijakan.
Penulis menyorot masalah mendasar ekosistem riset ilmu sosial di Indonesia: ketimpangan. Ketimpangan
regional, khususnya antara pulau Jawa, dengan perkembangan industri dan pembangunan yang lebih pesat
dibandingkan pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, telah memperparah disparitas tingkat
reformasi di antara institusi PTN. Organisasi riset di Jawa memiliki akses langsung ke sumber pendapatan
(yang didorong marketisasi riset ilmu sosial).
Ketimpangan gender masih menjadi persoalan. Penulis mendorong organisasi dan institusi yang lebih inklusif
terhadap gender, dengan memberikan insentif kepada kalangan profesional dan manajer yang menerapkan
kebijakan yang inklusif secara sosial. Walau ada keseimbangan gender tertentu di antara peneliti, tidak
demikian halnya pada jenjang karier lebih tinggi, di mana lebih sedikit perempuan yang menempati posisi
strategis. Hal ini penting bukan hanya demi keseimbangan gender dalam sistem riset, tetapi juga untuk
mendorong pengarusutamaan kebijakan yang inklusif gender.
Inklusivitas juga perlu menjangkau berbagai persoalan terpinggirkan yang masih dipandang kontroversial (isu
LGBT, hak minoritas keagamaan, dll). Pembuatan kebijakan untuk bidang-bidang tersebut harus melibatkan
80
kelompok atau organisasi yang memperjuangkan mereka. Inklusivitas juga berhubungan dengan kebebasan
akademik – dalam arti bahwa peneliti tidak boleh dilarang untuk mendalami isu yang dianggap tabu atau
sensitif secara politis.
Penulis mengakui adanya permasalahan struktural yang menghambat peningkatan kualitas kinerja riset ilmu
sosial di Indonesia, khususnya untuk perguruan tinggi, yang tunduk pada kebijakan dan regulasi Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Permasalahanpermasalahan ini telah menciptakan jurang antara peneliti berstatus pegawai negeri dan swasta. Peneliti
swasta lebih dapat memberikan layanan konsultan profesional kepada klien pemerintah dan sektor swasta,
sementara kebijakan dan regulasi pemerintah membatasi gerak institusi publik, sehingga merugikan mereka.
Selain itu, peneliti dan organisasi yang menyediakan jasa riset pasar kepada sektor swasta tidak dapat
memublikasikan temuan riset mereka karena keharusan kompetisi pasar. Ini berarti bahwa organisasi riset
profesional, baik negeri maupun swasta, tidak memandang diri mereka sebagai bagian dari ekosistem riset
ilmu sosial meskipun sebetulnya mereka melakukan riset ilmu sosial. Konsekuensi dari ini adalah minimnya
hubungan dan pertukaran antara jenis organisasi dan aktor yang berbeda.
Patut dicatat bahwa dalam sektor masyarakat sipil, terdapat bukti adanya kepemimpinan riset yang
menjanjikan yang telah mampu menghubungkan riset dan kebijakan dengan lebih bermakna. Organisasiorganisasi ini telah terbantu oleh perkembangan literasi digital dan berhasil menggunakan media sosial dan
platform digital berbiaya rendah untuk mendiseminasi tulisan akademik kepada publik, serta melibatkan
pembuat kebijakan yang cenderung akademis di dewan direksi mereka. Demikian pula, platform media yang
bergerak khusus di bidang komunikasi sains telah efektif mendiseminasi riset ilmu sosial berkualitas kepada
publik. Penting untuk dicatat bahwa riset yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat ini tidak terlalu
dikendalikan pasar, tetapi lebih bergantung pada donasi, sponsor dan kolaborasi. Ini adalah pendekatan yang
potensial yang dapat diaplikasikan oleh peneliti, pelaksana riset, dan pembuat kebijakan yang bekerja untuk
meningkatkan kinerja riset ilmu sosial di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan
Sebagaimana diidentifikasi di bagian-bagian sebelumnya, Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi yang mengatur sistem dan kinerja penelitian nasional, telah disahkan setelah survei DRA.
Penting agar ada penelitian tindak lanjut mengenai pelaksanaan undang-undang tersebut.
Undang-undang ini menggantikan undang-undang lama tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18 tahun 2002). Sementara undang-undang ini hendak memperbaiki
sistem dan kinerja riset dengan “mendukung pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan
ilmiah untuk perumusan dan pembuatan kebijakan pembangunan” (2019, Bab 1, ayat 1, butir 3), Undangundang ini sama sekali tidak mengatur tentang kebebasan akademik, yang merupakan hal krusial untuk
mengampu peneliti dan aktor penelitian untuk menghasilkan dan mendiseminasi penelitian mereka, terlebih
81
lagi berkontribusi pada proses pembuatan kebijakan. Selain itu, sanksi pidana yang diatur dalam Undangundang tersebut adalah kontraproduktif bagi upaya Indonesia untuk mendorong kolaborasi riset internasional
(AIPI, 2019; ALMI, 2019). Pasal 74-77 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tanpa izin pemerintah,
peneliti asing yang menjalankan riset berisiko tinggi (riset dengan potensi dampak yang tinggi tapi
kemungkinan kegagalan yang besar pula), riset pembangunan, asesmen dan riset terapan, diancam hukuman
maksimal dua tahun penjara, atau denda maksimal Rp 2 miliar. Pasal ini berpotensi untuk menghambat
kolaborasi riset internasional. Hal ini memerlukan penelitian lebih dalam mengenai bagaimana kebijakan
berdampak pada produksi, difusi dan penggunaan penelitian dan terhadap sektor pengetahuan Indonesia
secara umum, serta implikasinya bagi rerangka DRA.
Selain perlunya peraturan perundang-undangan menjamin ekosistem riset yang kondusif, penting untuk
mengembangkan jejaring dengan sejawat internasional – yang pada gilirannya juga akan membantu peneliti
dalam negeri berinteraksi dengan pembuat kebijakan. Sebagaimana dikatakan penelitian sebelumnya, sarjana
Indonesia cenderung bersifat insular: “peneliti tidak memiliki mobilitas akademik dan interaksi sejawat
internasional, dan memilih untuk tetap berada di dalam institusinya” (Rakhmani & Siregar, 2016, hal. ii). Karena
itu, kebijakan tentang penelitian juga perlu menjawab kebutuhan akan kerja sama internasional yang lebih
besar.
82
Daftar Pustaka
Abraham, J., Irawan, D. E., & Dalimunthe, S. (2019, January 9). Jalan evolusi bibliometrik Indonesia. The
Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/jalan-evolusi-bibliometrik-indonesia-104781
Achwan, R. (2017). Production of Social Science in Indonesia : An Incomplete Reform from Above. Asian Politics
and Policy, 9(3), 462–478.
AIPI. (2019). Pandangan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia terhadap Isu Kelembagaan, Pendanaan, dan Sanksi
Pidana dalam RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan danTeknologi. Jakarta.
ALMI. (2019). Pandangan & Masukan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia. Jakarta.
Arsyad, S. (2013). A genre-based analysis of Indonesian research articles in the social sciences and humanities
written
by
Indonesian
speakers.
Journal
of
Multicultural
Discourses,
8(3),
234–254.
https://doi.org/10.1080/17447143.2013.849711
Australian Aid. (2012). Australia-Indonesia Partnership for Pro-Poor Policy: the Knowledge Sector Initiative.
Barry, A., Born, G., & Weszkalnys, G. (2008). Logics of interdisciplinarity. Economy and Society, 37(1), 20–49.
https://doi.org/10.1080/03085140701760841
Dardjowidjojo, S. (2000). English teaching in Indonesia. EA Journal, 18(1), 22–30.
Farid, H. (2005). The class question in Indonesian social sciences. In V. R. Hadiz & D. Dhakidae (Eds.), Social
Science and Power in Indonesia (pp. 167–196). Jakarta: Equinox Publishing.
Fiantis, D., & Minasny, B. (2019, January). Apa kendala peneliti Indonesia menulis di jurnal internasional? The
Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/apa-kendala-peneliti-indonesia-menulis-dijurnal-internasional-108715
Fitzgerald, T. (2012). Ivory Basements and Ivory Towers. In T. Fitzgerald, J. White, & H. M. Gunter (Eds.), Hard
Labour?: Academic Work and the Changing Landscape of Higher Education (Vol. 7, pp. 113–135). UK:
Emerald Group Publishing Limited. https://doi.org/10.1108/S1479-3628(2012)0000007007
Gaus, N., & Hall, D. (2016). Performance Indicators in Indonesian Universities: The Perception of Academics.
Higher Education Quarterly, 70(2), 127–144. https://doi.org/10.1111/hequ.12085
GDN. (2018). Doing Research Assessment: Guide for Implementation Part I. Global Development Network.
GoI. President Regulation number 16 year 2005 (2005). Indonesia.
Guggenheim, S. (2012). Indonesia’s quiet springtime: knowledge, policy and reform. In A. J. S. Reid (Ed.),
Indonesia Rising: The repositioning of Asia’s third giant (pp. 141–169). Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Hadiz, V. R., & Dhakidae, D. (2005). Social Science and Power in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.
Hamied, F. A. (2011). English as a lingua franca: An Indonesian perspective. Keynote speech Hong Kong, 26-28
May. In The fourth international conference of English as a lingua franca, Hong Kong, 26-28 May 2011.
Hongkong.
Heryanto, A. (1988). The Development of “Development.” Indonesia, 46, 1–24.
Heryanto, A. (1995). Language of Development and Development of Language : the case of Indonesia. Canberra:
Department of Linguistics, Research School of Pasific and Asian Studies, The Australian National
University.
83
Heryanto, A. (2005). Ideological baggage and orientations of the social sciences in Indonesia. In V. R. Hadiz &
D. Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia (pp. 57–90). Jakarta: Equinox Publishing.
Irianto, S. (2012). Otonomi Perguruan Tinggi: suatu keniscayaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Jarvis, D. S. L. (2014). Regulating higher education : Quality assurance and neo-liberal managerialism in higher
education
—
A
critical
introduction.
Policy
and
Society,
33(3),
155–166.
https://doi.org/10.1016/j.polsoc.2014.09.005
Juliandi, B. (2019). Membentuk Badan Riset dan Inovasi yang Efektif dan Inovatif. Retrieved November 21,
2019,
from
https://almi.or.id/2019/11/03/membentuk-badan-riset-dan-inovasi-yang-efektif-dan-
inovatif/
Karetji, P. C. (2010). Overview of the Indonesian Knowledge Sector.
Lamb, M., & Coleman, H. (2008). Literacy in English and the Transformation of Self and Society in Post-Soeharto
Indonesia. International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 11(2), 189–205.
https://doi.org/10.2167/beb493.0
Langenberg, M. Van. (1987). Analysing Indonesia’s New Order State: a keywords approach. Review of Indonesian
and Malaysian Affair, 20(2), 1–47.
LPDP. (2017). Annual Report 2017. Jakarta. Retrieved from https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wpcontent/uploads/2018/11/Annual-Report-LPDP-2017.pdf
Lundvall, B.-Å. (1992). National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning.
London: Pinter Publisher.
Martin-Anatias, N. (2018). Bahasa gado-gado: English in Indonesian popular texts. World Englishes, 37(2), 340–
355. https://doi.org/10.1111/weng.12313
Mietzner, M. (2018). Indonesia: why democratization has not reduced corruption. In B. Warf (Ed.), Handbook on
the Geographies of Corruption (p. 350). Edward Elgar.
Ministry of Research Technology and Higher Education. Strategic Plan of the Ministry of Research and
Technology and Higher Education 2015 - 2019 (2015). Jakarta.
MRTHE. (2017). National Research Plan 2017-2045. Jakarta.
Muhtadi, B. (2019). Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery. Singapore: Palgrave Macmillan.
Nugroho, H. (2005). The political economy of higher education: the university as an arena for the struggle of
power. In V. R. Hadiz & D. Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia (pp. 143–166). Jakarta:
Equinox Publishing.
Nugroho, Y. (2019). Membangun Ekosistem Riset. Kompas.
Nugroho, Y., Prasetiamartati, B., & Ruhanawati, S. (2016). Addressing Barriers to University Research (No. 8).
Jakarta.
Oey-Gardiner, M., Rahayu, S. I., Abdullah, M. A., Effendi, S., Darma, Y., Dartanto, T., & Aruan, C. D. (2017). Era
Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. (D. Dhakidae, Ed.). Jakarta: Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Patunru, A. A., & Rahardja, S. (2015). Trade protectionism in Indonesia : Bad times and bad policy. Australia.
Pellini, A., Prasetiamartati, B., Nugroho, K., Jackson, E., & Carden, F. (2018). Knowledge, Politics and Policymaking
in Indonesia. Singapore: Springer Nature.
84
Purwadi, A. (2001). Impact of Economic Crisis on Higher Education in Indonesia. In N. V. Varghese (Ed.), Impact
of the Economic Crisis on Higher Education in East Asia: Country Experiences (pp. 61–79). Paris:
International Institute for Educational Planning/UNESCO.
Rakhmani, I. (2016). Insularity leaves Indonesia trailing behind in the world of social research. The Conversation.
Retrieved from https://theconversation.com/insularity-leaves-indonesia-trailing-behind-in-the-world-ofsocial-research-53973
Rakhmani, I. (2019). Reproducing Academic Insularity in a Time of Neo-liberal Markets: the case of social
science research in Indonesian state universities. Journal of Contemporary Asia, 1–23.
Rakhmani, I., & Siregar, F. (2016). Reforming Research in Indonesia: policies and practice. Jakarta. Retrieved from
http://cipg.or.id/gdn/
Robertson, S. L., & Keeling, R. (2008). Stirring the lions: Strategy and tactics in global higher education.
Globalisation, Societies and Education, 6(3), 221–240. https://doi.org/10.1080/14767720802343316
Rosser, A. (2016). Neo-liberalism and the politics of higher education policy in Indonesia. Comparative
Education, 52(2), 109–135. https://doi.org/10.1080/03050068.2015.1112566
Rumbley, L. E., Altbach, P. G., & Reisberg, L. (2015). Internationalization within the Higher Education Context. In
D. K. Deardorff, H. De Wit, J. D. Heyl, & T. Adams (Eds.), The SAGE Handbook of International Higher
Education (pp. 3–26). Thousand Oaks: SAGE Publications Inc.
Sakhiyya, Z. (2011). Interrogating identity: the International Standard School in Indonesia. Pedagogy, Culture &
Society, 19(3), 345–365. https://doi.org/10.1080/14681366.2011.607841
Sakhiyya, Z. (2018). Knowledge and the Market: the Internationalisation of Indonesian Higher Education. The
University of Auckland.
Sakhiyya, Z., Agustien, H. I. R., & Pratama, H. (2018). The reconceptualisation of knowledge base in the preservice teacher education curriculum : Towards ELF pedagogy. Indonesian Journal of Applied Linguistics,
8(1), 1–8.
Sakhiyya, Z., & Locke, K. (2019). Empowerment vs. meritocracy discourses in Indonesian public universities :
The
case
of
female
leaders.
Asian
Journal
of
Women’s
Studies,
25(2),
198–216.
https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1610210
Sakhiyya, Z., & Rata, E. (2019). From “priceless” to “priced”: the value of knowledge in higher education.
Globalisation,
Societies
and
Education,
17(3),
285–295.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/14767724.2019.1583089
Sangadji, A. (2017). Reflections on activists and scholars in Indonesia. Critical Asian Studies, 1–3.
https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1339462
Saunders, J. (1998). Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers. USA: Human Rights
Watch.
Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. Geneva: World Economic Forum.
Shore, C. (2008). Audit culture and illiberal governance: Universities and the politics of accountability.
Anthropological Theory, 8(3), 278–298.
Suhadi. (2017). Kebebasan Akademik dan Ancaman yang Meningkat. Yogyakarta.
Suryadarma, D., Pomeroy, J., & Tanuwidjaja, S. (2011). Economic Factors Underpinning Constraints in Indonesia’s
Knowledge Sector: final report, diagnostic for AusAID’s Tertiary Education and Knowledge Sector Unit.
85
Canberra. Retrieved from https://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks2-economicincentives.pdf
Susanti, D. (2011). Privatisation and marketisation of higher education in Indonesia: The challenge for equal
access and academic values. Higher Education, 61, 209–218. https://doi.org/10.1007/s10734-0109333-7
Tanu, D. (2014). Becoming “international”: the cultural reproduction of the local elite at an international school
in Indonesia. South East Asia Research, 22(4), 579–596. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0236
Tempo. (2017). Diaspora Indonesia bukanlah Brain Drain. Tempo, p. Nasional.
Wernli, D., & Darbellay, F. (2016). Interdisciplinarity and the 21 st century research-intensive university
(November).
Retrieved
from
https://www.leru.org/files/Interdisciplinarity-and-the-21st-Century-
Research-Intensive-University-Full-paper.pdf
Widjojo, M. S., & Noorsalim, M. (2004). Bahasa Negara versus Bahasa Gerakan Mahasiswa: Kajian semiotik atas
teks-teks pidato presiden Soeharto dan selebaran gerakan mahasiswa. Jakarta: LIPI Press.
Wiratraman, H. P. (2018). Kebebasan Akademik, Non-Feodalisme dan Penindasan HAM. In A. Khanif & M. K.
Wardaya (Eds.), Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia (pp. 53–67). Yogyakarta: LKI.
World Bank. (1998). Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Washington DC.
Yang, R. (2002). University internationalisation: Its meanings, rationales and implications. Intercultural
Education, 13(1), 81–95. https://doi.org/10.1080/14675980120112968
Zein, R. A. (2018, November 16). Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela
menuju universitas kelas dunia. The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/efekkobra-dosen-indonesia-terobsesi-pada-indeks-scopus-dan-praktik-tercela-menuju-universitas-kelasdunia-105808
86
Centre for Innovation Policy and Governance
Jl. Danau Toba No. 138C
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat 10210
INDONESIA
office@cipg.or.id
T +62-21-2253-2432
Global Development Network
Global Office | 2nd Floow, West Wing ISID Complex
4, Vasant Kunj Institutional Area
New Delhi 110070
INDIA
www.gdn.int
T +91-11-4323-9478/4323-9494
F +91-11-2613-6893
87