[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
ISBN: 978-979-562-024-2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA DIES NATALIS Ke-48 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA OPTIMALISASI PENELITIAN DAN PENGABDIAN DALAM MEMBANGUN INSAN BERKARAKTER Penyunting: Dr. Sutiyono Antuni Wiyarsi, M.Sc. Peni Rahmawaty, M.Si. Dyah Respati Suryo Sumunar, M.Si. LPPM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012 i Prosiding Seminar Nasional Dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Optimalisasi Penelitian dan Pengabdian dalam Membangun Insan Berkarakter x, 792 halaman, 28 cm Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @ 2012 ISBN: 978-979-562-024-2 Peyunting: Dr. Setiyono Antuni Wiyarsi, M.Sc. Peni Rahmawaty, M.Si. Dyah Respati Suryo Sumunar, M.Si. Diterbitkan oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Yogyakarta Alamat Penerbit: Karangmalang, Yogyakarta. 55281. Telp. (0274) 550840, 555682 - Fax. (0274) 518617 Website: lppm.uny.ac.id ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional hasil penelitian dan gelar produk program pengabdian kepada masyarakat pada tanggal 11 dan 12 Mei 2012 di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta (LPPM – UNY) dapat terwujud. Buku prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian dan program pengabdian kepada masyarakat yang telah dilakukan oleh Bapak/Ibu dosen UNY dan perguruan tinggi lain, serta mahasiswa yang dikumpulkan dan ditata oleh tim dalam kepanitiaan seminar nasional dan gelar produk program pengabdian kepada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor UNY, Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd., MA. yang telah memfasilitasi semua kegiatan seminar nasional dan gelar produk program pengabdian kepada masyarakat ini. 2. Bapak/Ibu segenap panitia seminar nasional dan gelar produk program pengabdian kepada masyarakat, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi suksesnya kegiatan ini. 3. Bapak/Ibu dosen dan mahasiswa penyumbang artikel hasil penelitian dan program pengabdian kepada masyarakat dalam kegiatan ini. Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu, teknologi, seni, budaya, dan olah raga. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Terakhir, tiada gading yang tak retak. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini. Yogyakarta, 4 Mei 2012 Ketua, Prof. Dr. Anik Ghufron NIP. 19621111 198803 1 001 iii DAFTAR ISI Makalah Kunci Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Oleh: Prof. Agus Subekti, M.Sc., Ph.D. (Direktur Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendikbud) Makalah Utama Pemberdayaan Insan Berkarakter melalui Hasil Penelitian Perguruan tinggi Oleh: Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. (Rektor Universitas Negeri Yogyakarta) Peran Pendidikan dan Penelitian terhadap Pembangunan Karakter Bangsa Oleh: Prof. Dr. Paul Suparno, S.J. (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).................... 1-8 Sinergitas Perguruan Tinggi, UKM, Pemda, dan Masyarakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Oleh: Prof. Dr. Rer.nat. Mochamad Yuwono, M.S., Apt. (Reviewer Ditlitabmas Dikti)...... 9-14 Makalah Pendamping: Bidang Penelitian Pendidikan Pengembangan Campus Based Civic Education di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Oleh: Prof. Dr. H. Tukiran T, M.M. (FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto)...... 15-30 Monitoring dan Evaluasi Implementasi Program Sertifikasi Guru Kota Salatiga Oleh: Slameto (FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).................................. 31-44 Pengembangan Buku Pedoman Latiha Pencak Silat bagi Pemula Oleh: Nur Rohmah Muktiani (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) ................................ 45-58 Pengembangan Model Peningkatan Mutu Pendidikan di SMA Kabupaten Bantul dan Gunungkidul Provinsi DIY Oleh: Sri Sumardiningsih, M.Si (FE Universitas Negeri Yogyakarta) .............................. 59-70 Manajemen Sumberdaya Guru pada SMK RSBI di DIY Oleh: Dr. Amat Jaedun (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ......................................... 71-84 iv Pengembangan Multimedia Berbasis Internet pada Matakuliah Pengujian Las Oleh: Heri Wibowo, M.T. (Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta) ................... 85-94 Pengembangan Modul Keterampilan Konseling bagi Guru Bimbingan dan Konseling Oleh: Rosita Endang K, M.Si. (FIP Universitas Negeri Yogyakarta) ................................ 95-104 Peningkatan Kreativitas Guru Seni Tari di Kabupaten Gunungkidul dalam Pembelajaran Tari melalui Koreografi Lingkungan Oleh: Trie Wahyuni, M.Hum.(FBS Universitas Negeri Yogyakarta) ............................... 105-114 Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis dalam Penulisan Fiksi pada Guru dan Siswa SMA se DIY Oleh: Prof. Dr. Suminto A Sayuti (FBS Universitas Negeri Yogyakarta) ..................... 115-134 Pembinaan Karakter Siswa SMP Berbasis Pendidikan Agama di DIY Oleh: Dr. Marzuki (FIS Universitas Negeri Yogyakarta) ............................................. 135-144 Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Berbasis Gender di SMP Kota Yogya Oleh: Giri Wiyono, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ...................................... 145-160 Karakteristik Perangkat Tes Seleksi Mandiri UNY Tahun 2010/2011 Oleh: Dr. Amat Jaedun (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ...................................... 161-172 Pengembangan Model Pembelajaran Akuatik Berbasis Permainan untuk Meningkatkan Keterampilan Gerak Renang Siswa Sekolah Dasar Oleh: Sismadiyanto, M.Pd. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) .................................. 173-186 Pengembangan Kultur Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan Oleh: Nuryadin Eko Raharjo, M.Pd. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ....................... 187-200 Pendidikan Soft Skill dan Hard Skill bagi Siswa SMK untuk Menyiapkan Tenaga Kerja Terampil Oleh: Widarto, M.Pd. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ........................................ 201-210 Peta Penguasaan Kompetensi Siswa SMA untuk Mata Pelajaran Ekonomi di Kabupaten Magelang dan Kota Magelang Jawa Tengah Oleh: Ali Muhson, M.Pd. (FE Universitas Negeri Yogyakarta) .................................... 211-220 Pengembangan Metode Pembelajaran Pendidikan Karakter melalui Kewirausahaan Sosial Oleh: Peni Rahmawaty, M.Si. (FE Universitas Negeri Yogyakarta) .............................. 221-232 v Model pembelajaran Pembuatan Karya Akhir Berbasis Wirausaha yang Bersinergi dengan Kebutuhan Industri melalui Kegiatan Modifikasi untuk Menghasilkan Produk Kreatif Oleh: Subiyono, M.P (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ........................................... 233-242 Uji Coba Permainan-Alat Main Keaksaraan Teks Pelangi, Geometri Huruf, Pola Suku Kata, dan Lukis Simbol-Tunggung Oleh: Dr. Tadkiroatun Musfiroh (FBS Universitas Negeri Yogyakarta) ........................ 243-254 Implementasi dan Diseminasi Model Penanganan Anak Berkesulitan Belajar Berbasis Akomodasi Pembelajaran Oleh: Sari Rudiyati, M.Pd. (FIP Universitas Negeri Yogyakarta) ................................... 255-266 Model pembelajaran Kewirausahaan untuk Pendidikan Formal dan Nonformal Potret Komitmen terhadap Konsep Pendidikan Oleh: Prof. Sukamto, Ph.D. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ................................. 267-270 Pengembangan Media Smart with Chemistry Berbasis WEB sebagai Sumber Belajar Mandiri Siswa SMA Oleh: Erfan Priyambodo, M.Si. (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta) ....................... 271-278 Pengembangan Model Pembelajaran Kursus Kewirausahaan melalui Kerjasama Dunia Usaha dan Dunia Industri dalam Mengatasi Pengangguran Oleh: Yuriani, M.Pd. dan Marwanti, M.Pd. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) ........... 279-288 Pengembangan Multimedia dan Media Kit Pendidikan Agama di Sekolah Dasar Oleh: Prof. Dr. C.Asri Budiningsih (FIP Universitas Negeri Yogyakarta) ......................... 289-298 Inovasi Media Pembelajaran Sains Teknologi di SMP Berbasis Mikrokomputer Oleh: Umi Rochayati, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta) .................................. 299-308 Pengintegrasian Aspek Multikultur dalam Buku Teks Bahasa Inggris Oleh: Sugirin, Ph.D. (FBS Universitas Negeri Yogyakarta) .......................................... 309-322 Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar melalui Penghitungan Unit Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Dasar Terjangkau di Provinsi DIY Oleh: Aula Ahmad Hafidh, M.Si. (FE Universitas Negeri Yogyakarta) ............................ 323-338 Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman Yogyakarta Oleh: A. Erlina Listyarini, M.Pd. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) ........................... 339-342 vi Pengembangan odel Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS di Sekolah Dasar Oleh: Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D. (FBS Universitas Negeri Yogyakarta) .................... 343-358 Efektivitas Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding pada Pembelajaran Permainan Bola Voli Oleh: Yuyun Ari Wibowo, M.Pd. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) ........................... 359-366 Konseling Krisis sebagai Upaya Penanganan Masalah Psikologis Remaja di Yogyakarta Oleh: Rosita Endang K, M.Psi. (FIP Universitas Negeri Yogyakarta) ............................ 367-378 Profil Kecerdasan Musik Anak Usia Dini Oleh: Rina Wulandari, M.Pd. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) ........................... 379-388 Pengaruh Latihan Interval Training terhadap Perubahan kemampuan Fisik Altlet Bola Voli Junior Oleh: CH. Fajar Sriwahyuni, M.Or. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta) ....................... 389-398 Karakter Gotong Royong Warga dalam Menghadapi Bencana Lahar Dingin Merapi Kota Yogyakarta Oleh: Gunardo RB, M.Si. (FIS Universitas Negeri Yogyakarta) .................................... 399-408 Faktor-faktor Pendorong Mahasiswa menggunakan Jasa Konsultan Skripsi di Yogyakarta Oleh: Kiromin Baroroh, M.Pd. (FE Universitas Negeri Yogyakarta) ............................ 409-420 Bentuk-bentuk Dominasi Barat Mutakhir di Indonesia: Kajian Poskolonial terhadap Buku Ajar Bahasa Jerman dan Perancis di Universitas Oleh: Iman Santosa, M.Hum. (FBS Universitas Negeri Yogyakarta) ............................ 421-430 Makalah Pendamping: Bidang Penelitian Sains dan Teknologi Peningkatan Laju Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum Tuberosun L) melalui Spesifikasi Variabel Fisis Gelombang Akustik Keras Lemah Bunyi pada Pemupukan Daun Oleh: Nur Kadarisman, M.Si. (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)........................... 431-442 Produksi Biohidrogen Sumber Energi Masa Depan dari Limbah Organik Kulit Pisang secara Fermentasi Anaerob Oleh: Setyawati Yani, Ph.D. (FIP Universitas Negeri Yogyakarta)................................ 443-448 vii Studi Gerusan Sekitar Pilar di Tikungan Berdasarkan Rumus Empiris terhadap Hasil Ukur dari Eksperimen dengan Metode Pengukuran Realtime Komparasi Hasil Ukur Kedalaman Oleh: Suyitno, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)............................................. 449-466 Aplikasi Platform Komputasi Software Defined Radio (SDR) untuk Digital Spectrum Analizer Oleh: Dr. Eko Marpanaji (FT Universitas Negeri Yogyakarta)..................................... 467-478 Potensi Wilayah Pesisir Pantai Kecamatan Wates untuk Pengembangan Kambing Peranakan Etawah di Kulonprogo Oleh: Nur Rasminati dan Setyo Utomo (Fak. Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta)...................................................................................................... 479-490 Pengembangan Robot Pemilih dan Penata BarangBerbasis Plc sebagai Sarana Praktik Otomasi di SMK Oleh: Sukir, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)................................................ 491-500 Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai Bioindikator Kualitas Perairan ”Telaga” di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta Oleh: Satino, M.Si. (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)........................................ 501-508 Aplikasi Interpretasi Citra Landsat untuk Mendeteksi Karakteristik Material Fluviomarine di Kecamatan Kretek dan Sanden Kabupaten Bantul Oleh: Sugiharyanto, Nurul Khotimah, Dyah Respati SS (FIS Universitas Negeri Yogyakarta).... 509-524 Rekayasa Model peningkat energi Hidraulik sebagai Energi Potensial Menggunakan Transmisi dan Roda Gila untuk Memutar Generator Oleh: Suyitno, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)............................................. 525-538 Traffic Light Control System Aaptif Berbasis Programmable Logic Controler sebagai Sumber Belajar Elektronika Industri Berdasarkan KKNI Oleh: Masduki Zakaria, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)................................ 539-548 Pengaruh pemberian Probiotik Bakteri Asam Laktat Streptococcus Thermophilus terhadap Kadar Lemak Daging dan Lemak Abdominal Ayam broiler Strain Lohman Oleh: Dr. Astuti (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)........................................... 549-556 Pengembangan Program Aplikasi Sistem Kearsipan untuk Sekolah Oleh: Sutirman, M.Pd. (FIS Universitas Negeri Yogyakarta)........................................... 557-570 Pengenalan Suara Vokal Berbasis Microcamera Oleh: Fatchul Arifin, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta).................................... 571-580 viii Mobile Internet Berbasis Telepon Seluler Multi Koneksi untuk Mendukung Layanan ELearning di Daerah Perdesaan Oleh: Herman Dwi Suryono, Ph.D. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)........................ 581-592 Identifikasi laju Penguapan Air pada Penggorengan Vakum Buah Nanas Oleh: Anang Lastriyanto, M.T. (FT Universitas Brawijaya, Malang)............................. 593-602 Pengembangan Model Pemanfaatan Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi sebagai Bahan Baku Pembuatan Keramik Oleh: Kasiyan, M.Hum. (FBS Universitas Negeri Yogyakarta)...................................... 603-614 Indikator Desain Pembelajaran e-Learning di SMK Oleh: Dr. M. Bruri Triyono, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)............................ 615-624 Makalah Pendamping: Bidang Pengabdian Masyarakat Pelatihan Penyusunan Model Sport Education sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Oleh: Ermawan S, M.Pd. (FIK Universitas Negeri Yogyakarta)..................................... 625-636 Pembinaan Kreativitas Relief Was sebagai Media Pembelajaran Oleh: Prof. Dr. Tri Hartiti R dan Suwarna (FBS Universitas Negeri Yogyakarta).............. 637-650 Penerapan Teknologi Mesin Penggoreng Vakum bagi Industri Kecil Perdesaan Oleh: Tiwan, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta).............................................. 651-660 Pengelolaan Tanaman Terpadu di Lahan Tadah Hujan: Praktik Pertanian Ramah Lingkungan Oleh: Samsuri Tarmadja, dkk. (Fak. Pertanian INSTIPER Yogyakarta)......................... 661-668 Pelatihan Pembuatan Media Digital Story Telling (DST) Berbasis Subject Spesific Pedagogy (SSP) bagi Guru SMK untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru sebagai Penunjang Program PPG Oleh: Dyah Purwaningsih, M.Si. (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)...................... 669-678 Pembangunan Jaringan Distribusi Air Bersih untuk Korban Erupsi Merapi di Dusun Mangunsoko, Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Magelang Oleh: Endaryanto, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)....................................... 679-690 ix Pelatihan Pembuatan ”Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” sebagai Upaya Peningkatan Kapasitas Guru Sekolah Bertaraf Internasional dalam Mengembangkan Media Pembelajaran Dwi Bahasa Berbasis LCT Oleh: Suyoso, M.Si. (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)....................................... 691-700 Pelatihan Respect Education (In-House Training) untuk Mencegah Bulying Oleh: Dr. Mami hajaroh (FIP Universitas Negeri Yogyakarta)...................................... 701-712 Pembuatan Bahan Bangunan Berbahan Pasir (BATAKO) dan teknik Pemasangannya untuk Bangunan Rumah Sederhana Oleh: Darmono, M.T. (FT Universitas Negeri Yogyakarta).......................................... 713-724 Perintisan Usaha Aneka makanan Ringan Berbahan Dasar Pangan Lokal sebagai bentuk Recovery Pasca Erupsi Merapi di Desa Argomulyo Oleh: Fitri Rahmawati, M.P. (FT Universitas Negeri Yogyakarta)................................. 725-736 Pelatihan bagi Guru dalam Menerapkan Layanan Bimbingan Kelompok (Group Activity) untuk Mengatasi Burnout Bersekolah pada Siswa Sekolah Dasar Oleh: Dr. Muh. Nurwangid (FIP Universitas Negeri Yogyakarta).................................. 737-744 Merintis kampung kelinci bagi penyandang Kisabilitas Intelektual Desa Karangpatihan Kabupaten Ponorogo Oleh: Yuni Nurfiana dan Essy Purwaningtyas (FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)... 745-754 Aplikasi Teknologi rerapan Inseminasi Buatan (IB) pada Kambing Peranakan Etawa (PE) di Wilayah Pantai Oleh: Setyo Utomo dan Nur Rasminati. (Fak. Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta)....................................................................................................... 755-764 Pengembangan UMKM di Lingkungan Kampus Oleh: HY. Agus Murdiyastomo, M.Hum. (FIS Universitas Negeri Yogyakarta)............... 765-772 Pelatihan Pengembangan Kurikulum Terintegrasi dengan Pendidikan Kewirausahaan bagi Guru-guru SMA Oleh: Isro’ah, M.Si. (FE Universitas Negeri Yogyakarta)............................................. 773-780 Pelatihan Penyusunan Rentra Sekolah sebagai Upaya Peningkatan Program Unggulan di Sekolah Menengah Kejuruan Bantul Oleh: Giri Wiyono, M.T (FT Universitas Negeri Yogyakarta)..................................... 781-792 x Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MAKALAH UTAMA Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PERAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN TERHADAP PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA Oleh: Paul Suparno Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Pendahuluan Setelah cukup lama, persoalan pembangunan karakter bangsa tidak mendapatkan perhatian, mendadak persoalan itu mencuat dan menjadi perhatian besar para pendidik, pencinta pendidikan, dan para pimpinan masyarakat/politik. Oleh karena itu tidak mengherankan saat ini dunia pendidikan di Indonesia dipanasi dengan pendidikan karakter bangsa. Dengan pendidikan karakter bangsa diharapkan terbangun karakter bangsa yang lebih kokoh. Nampak-nampaknya peristiwa akhir–akhir ini yang dapat mengkawatirkan kehidupan bangsa, telah menjadi penyebab mendesakkan dihidupkan kembali pembangunan karakter bangsa. Peristiwa itu antara lain: korupsi yang begitu meluas dan menggila; budaya kurang santun dalam mengungkapkan perbedaan pendapat seperti sering terlihat di DPR; tawuran dan kekerasan di lingkungan pendidikan menengah dan di PT; konflik horizontal di tengah masyarakat yang sering memakan korban banyak jiwa. Selain itu tantangan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, juga menuntut disikapi dengan karakter yang lebih kuat. Saat ini hampir di setiap sekolah formal SD, SM, dan PT mulai diusahakan berbagai program pendidikan karakter bangsa. Berbagai model pendidikan karakter bangsa dicoba, seperti pendidikan karakter lewat suatu mata pelajaran tersendiri, lewat semua mata pelajaran sekolah, lewat kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Banyak kegiatan outbound dan live in digunakan untuk membantu pendidikan karakter bangsa pada peserta didik (Suparno, P., 2010). Dalam artikel singkat ini akan dibahas apa peran pendidikan dan penelitian terhadap pembangunan karakter bangsa tersebut. Apakah pendidikan dan penelitian dapat sungguh-sungguh membantu agar pembangunan karakter bangsa semakin bermutu, efisien, dan efektif? Apa dampak positif dan negatif dari pendidikan dan penelitian terhadap pembangunan karakter bangsa? Nilai Karakter Bangsa Pembangunan karakter bangsa secara real dilakukan dengan membantu peserta didik berkarakter, sehingga kebanyakan program berintikan penyampaian nilai-nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dimiliki dan dikembangkan oleh peserta didik di dalam hidup selanjutnya. Oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), telah dirumuskan 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diharapkan untuk disampaikan kepada peserta didik dalam pendidikan formal. Nilai-nilai itu adalah: 1 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Tabel 1. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Menurut Kemdikbud Nilai Deskripsi Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang Religius dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang Jujur yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, Toleransi pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai Disiplin ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi Kerja keras berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau hasil baru Kreatif berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam Mandiri menyelesaikan tugas-tugas. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan Demokratis kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih Rasa ingin tahu mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepenkebangsaan tingan bangsa dan Negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, Cinta tanah air kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu Menghargai yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan prestasi orang lain. Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan komunikasi bekerjasama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa Cinta damai senang dan aman atas kehadiran dirinya. Gemar Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang membaca memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain Peduli sosial dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan Peduli alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki lingkungan kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibanTanggung nya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, jawab lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan yang Maha Esa. Nilai-nilai di atas dapat juga dikelompokkan dalam sikap kita kepada (1) Tuhan (religious, toleransi); (2) sikap terhadap sesama (toleransi, demokratis, bersahabat, cinta damai, peduli sosial); (3) sikap terhadap diri sendiri (jujur, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, menghargai 2 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta prestasi, gemar membaca, tanggungjawab); (4) sikap terhadap alam (peduli lingkungan); dan (5) sikap terhadap Negara (cinta tanah air, semangat kebangsaan). Dari 18 nilai yang dirumuskan oleh Depdikbud pada table 1, sangat jelas bahwa nilai karakter bangsa itu merupakan sikap dan tindakan, bukan hanya pengertian. Maka bila peserta didik sungguh mempunyai nilai itu berarti mereka mempunyai tindakan nyata yang bercirikan karakter bangsa tersebut. Mereka bukan hanya tahu (to know), tetapi mereka melakukannya (to do), dapat hidup dengan orang lain lebih baik (to live together), dan semakin menjadi pribadi yang utuh dan berkembang (to be) (bdk. Delors, J., 1996). Dengan demikian anak didik dibiasakan melakukan sesuatu nilai yang baik, yang menjadikan hidupnya makin sempurna. Dengan pembiasaan itu, mereka akan berkembang menjadi pribadi yang utuh, mencintai dan menghormati Tuhan, hidup damai dengan sesama, mengembangkan lingkungan, memajukan diri sendiri, dan gembira sebagai warga bangsa Indonesia (Suparno, 2012:5). A. Peran Pendidikan pada Pembangunan Karakter Bangsa 1. Peran Pendidikan dalam Pembangunan Karakter Bangsa Pendidikan adalah tanggungjawab banyak pihak, antara lain orang tua, sekolah, masyarakat, dan negara. Di beberapa negara yang berdasarkan agama, pendidikan menjadi tanggungjawab orang tua, sekolah, instansi agama, masyarakat, dan negara. Demikian juga dengan pendidikan karakter bangsa juga menjadi tanggungjawab beberapa pihak, seperti orang tua, sekolah, masyarakat, dan Negara (Ryan & Lickona, 1992). Pihak mana yang tanggung-jawabnya pada tahap pendidikan tertentu lebih besar tergantung pada sistem pendidikan, situasi, dan hukum suatu Negara, serta kedewasaan warga masyarakat. Dalam pengalaman hidup, pendidikan karakter pertama-tama menjadi tanggungjawab penuh orang tua. Orang tua yang mendidik secara penuh anak-anak mereka sejak lahir sampai mereka mulai masuk sekolah. Biasanya, anak yang mengalami pendidikan awal secara baik dalam keluarga, dapat berkembang kemudian secara baik, sedangkan yang pada masa umur dini tidak mengalami pendidikan secara baik dalam keluarga, sering mengalami banyak hambatan dalam perkembangan kemudian. Anak yang dididik nilai karakter baik oleh orang tua, biasanya lebih mudah menjadi pribai yang baik. Setelah anak masuk sekolah, maka kecuali orang tua, sekolah ikut andil dalam pendidikan karakter anak. Selain sekolah masyarakat juga sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter anak. Apa yang tiap hari terjadi dalam masyarakat ikut mempengaruhi anak menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Akhir-akhir ini kita mendeteksi ada banyak hal yang semakin mempengaruhi nilai karakter anak seperti kelompok bermain (peer group), media (TV, majalah, koran, video, games), internet, facebooks, dll. (Ryan & Lickona, 1992). Lewat proses pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah, peserta didik dapat dibantu untuk mengerti nilai karakter yang kita harapkan, dan pelan-pelan membantu mereka untuk melatih dan menjadikan nilai itu sebagai sikap hidup mereka. Disini dibutuhkan pembiasaan, sehingga nilai itu menjadi nilai yang spontan dijalankan anak. Sekolah formal mempunyai tanggungjawab besar terhadap pendidikan karakter ini, karena anak minimal berada di sekolah 6 jam/hari, dan mereka dipercayakan oleh orang tua kepada sekolah untuk dididik dan dibantu berkembang menjadi pribadi yang utuh. 3 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Dampak Positif Pendidikan pada Pembangunan Karakter Bangsa Pembangunan karakter bangsa memang dapat dilakukan lewat berbagai kegiatan, namun secara real akan dapat lebih lancar dan luas bila melalui pendidikan, dan terutama pendidikan formal sekolah. Maka peran sekolah sangat penting bagi pendidikan karakter bangsa. Beberapa alasan mengapa pendidikan karakter di sekolah lebih dapat membantu dan berjalan:  Jangkauannya lebih luas. Pendidikan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang begitu luas akan lebih cepat kena sasaran lewat pendidikan formal, yang memang tersedia di seluruh Indonesia. Setiap anak didik umur sekolah dapat terkenai program pendidikan karakter tersebut. Bila program diserahkan pada orang tua, maka hanya akan terjadi pada beberapa keluarga yang orangtuanya mempunyai perhatian dan mengerti mengenai pendidikan karakter. Maka dapat tidak merata.  Prosesnya dapat lebih cepat. Oleh karena hampir di seluruh Indoensia ada sekolah formal, maka bila program pendidikan karakter itu sudah direncanakan secara baik, dapat dengan cepat dieksekusi. Cara ini pasti lebih cepat dibandingkan dengan memberikan dan menyerahkan kepada orang tua masing-masing.  Sekolah mempunyai pendidik yang kompeten. Sekolah mempunyai guru yang relatif lebih kompeten untuk membantu peserta didik mendalami dan mempraktekkan karakter. Tentu beberapa orang tua dapat lebih hebat, tetapi tidak semuanya.  Diberikan sesuai dengan level perkembangan anak. Pendidikan karakter harus disampaikan sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, sehingga penyampaian kepada anak SD, SMP, SMA berbeda. Sekolah mempunyai kemampuan untuk membantu anak didik sesuai dengan umur dan perkembangannya. Dengan demikian pendidikan karakter di sekolah dapat lebih kena pada situasi anak. Sedangkan tidak semua orang tua mengerti level perkembangan psikologis anak.  Mengerti berbagai model pendekatan. Sekolah mempuyai berbagai metode dan model penyampaian pendidikan karakter, entah lewat kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler yang terencana secara sistematis. Hal ini pasti tidak akan terjadi bila hanya diserahkan kepada orang tua.  Banyak teman sebaya. Suasana sekolah formal, dimana peserta didik yang sebaya banyak; akan memungkinkan anak saling belajar dari teman-teman lain. Bahkan perjumpaan dengan temanteman yang beraneka dapat menjadi sarana mereka belajar karakter saling penghar-gaan satu dengan yang lain. Bila hanya di rumah, terutama di keluarga kecil, kemungkinan perjumpaan itu tidak besar.  Sekolah sudah biasa membuat evaluasi suatu program. Dengan demikian bila program pembangunan karakter ini tidak berjalan baik, sekolah dapat mengevaluasi dan akhirnya juga memperbaikinya.  Oleh karena beberapa nilai karakter bangsa ini lebih bersifat nasional, maka lewat pendidikan formal, pemerintah juga dapat memberikan dukungan lebih kuat.  Koordinasi lewat pendidikan dapat lebih baik dan lancar daripada koordinasi keluarga yang sangat bervariasi. 4 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Dampak Negatif Pendidikan pada Pembangunan Karakter Bangsa Bila program pendidikan karakter bangsa sungguh baik, kemudian program itu dilakukan di semua sekolah secara sungguh-sungguh, kiranya hasilnya akan baik. Diharapkan bahwa setelah sekian tahun akan nampak buah-buah generasi muda yang berkarakter. Bila jumlah ini semakin banyak, maka lama kelamaan banyak warga negara yang sungguh berkarakter, yaitu warga dari generasi muda tersebut. Namun pendidikan karakter bangsa lewat sekolah, dapat juga kurang berjalan dengan baik, mengalami beberapa kendala, sehingga dampaknya justru negatif bagi pendidikan karakter peserta didik. Di bawah ini disebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan dampak negatif, yang perlu dikritisi oleh para pendidik di lapangan.  Program yang dibuat sekolah tidak tepat bagi peserta didik. Ketidaktepatan bisa disebabkan tidak konteksual; metodenya tidak menggerakkan anak; waktunya tidak tepat; modelnya hanya ceramah dan tidak ada pengalaman melatih nilai; dll.  Pendidik/guru tidak kompeten. Pendidiknya sendiri tidak menguasai program dan metode-nya, serta pendekatan kepada anak didik tidak bagus.  Tidak ada teladan yang baik dari pendidik, bahkan yang ada teladan yang jelek. Misalnya, guru tidak disiplin, maka tidak membantu karakter anak untuk disiplin. Guru tidak jujur, menjadi halangan bagi peserta didik mengembangkan kejujuran.  Tidak ada komunikasi dan dukungan dari orang tua. Kadang pendidikan karakter tidak jalan baik, karena peserta didik di rumah dikacau oleh keluarga; sehingga apa yang diajarkan di sekolah dengan baik, dirusak. Misalnya, di sekolah dilatih daya juang mengerjakan tugas, tetapi di rumah dilarang mengerjakan tugas oleh orang tua. Dengan demikian komunikasi dengan orang tua sangat penting!  Sekolah tidak mengembangkan dan mengevalusi programnya, sehingga tidak pernah maju dan statis, bahkan peserta didik menjadi bosan. B. Peran Penelitian pada Pembangunan Karakter Bangsa 1. Peran Positif Penelitian pada Pendidikan Karakter Bangsa Pendidikan karakter bangsa perlu direncanakan dengan tepat, disusun secara baik, kontekstual dengan situasi anak, dan terus dievaluasi untuk dapat terus dikembangkan. Maka tidak mungkin pendidikan lepas dari penelitian. Penelitian akan membantu agar pendidikan menjadi dinamis, efektif, efisien, dan semakin maju. Demikian juga pendidikan karakter bangsa kalau mau terus maju tidak bisa dilepaskan dari penelitian. Beberapa contoh bagaimana penelitian membantu pendidikan dan pendidikan karakter peserta didik:  Ethnomathematics (Mayan mathematics) di AS. Waktu anak-anak keturunan Hispanik banyak mengeluh dalam belajar matematik dan sains, diadakan penelitian bahwa kelompok Mayan sudah menemukan bilangan nol, sebelum yang lain; demikian juga tentang orang-orang mereka yang ternyata sudah mengenal matematik dan sains. Penemuan itu ternyata memberikan semangat besar pada anak-anak bahwa mereka bisa belajar, dan karakter belajar mereka semakin maju (Ravitch, D., 1992). 5 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta  Penelitian soal gender dan pluralisme di AS, sangat membantu bagaimana pendidikan mengajarkan kesamaan gender dan pluralisme tanpa diskriminasi. Misalnya, contoh-contoh dalam buku-buku teks sudah lebih menyeluruh dan tidak bias gender lagi.  Penelitian sederhana tentang guru sains di BSD. Mereka menjadi sadar bahwa lewat sains dapat juga mengajarkan nilai karakter seperti kejujuran, kedisiplinan, kerjasama. Penemuan ini mengembangkan guru lain dan juga menambah semangat dalam mengembangkan karakter bagi anak didik (Suparno, P., 2005).  Penelitian Gardner tentang multiple intelligences, telah membantu banyak perkembangan pendidikan, termasuk pendidikan karakter dalam belajar.  Banyak penelitian pendidikan tentang teori konstruktisvisme, telah mengembangkan dan membantu semangat peserta didik dalam mempelajari bahan pelajaran. Ini berarti juga meningkatkan salah satu nilai karakter yang ingin kita kembangkan. Penelitian dapat sangat membantu pembangunan karakter bangsa dalam beberapa hal yaitu:  Pilihan nilai. Nilai karakter mana yang mau ditekankan di suatu sekolah, di suatu kelas, dan di tahap tertentu, agar lebih mendalam dan tepat perlu dilakukan penelitian. Jadi, bukan asalasalan.  Perencanaan program. Program pendidikan karakter agar sungguh tempat dan memajukan hanya mungkin bila didasarkan pada penelitian yang mendalam. Konteks anak, konteks masyarakat, sekolah, model-model yang digunakan, semuanya perlu didasarkan pada penelitian agar lebih tepat.  Pelatihan guru. Agar program pendidikan karakter berjalan baik, maka guru perlu juga dibantu agar kompeten. Di sini perlu juga diteliti apa yang kurang dari guru dan pelatihan apa yang dibutuhkan sehingga dapat semakin kompeten dalam membantu anak didik berkarakter.  Pembuatan alat ukur dan evaluasi. Alat ukur untuk mendeteksi apakah program pendidikan nilai itu sungguh mengembangkan peserta didik; dan juga alat evaluasi untuk melihat apakah program berjalan lancar atau tidak, diperlukan penelitian yang mendalam.  Di saat pendidikan macet atau banyak kendala; di situ diperlukan lagi penelitian tentang apa yang terjadi, penyebabnya dan bagaimana mengatasinya.  Penelitian tentang persoalan yang mempengaruhi pendidikan karakter. Pendidikan karakter dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan, nilai-nilai yang ada di masyarakat, situasi peserta didik, media, dll. Semua ini perlu diteliti secara mendalam, sehingga proses pendidikan karakter dapat berjalan dengan lancar. Beberapa persoalan yang dalam proses pendidikan karakter bangsa masih perlu diteliti lebih mendalam, antara lain (Ryan & Lickona, 1992):  Pengaruh lingkungan sekitar terhadap pendidikan karakter bangsa;  Pengaruh media modern seperti internet, facebooks, TV, Video, games terhadap pendidikan karakter bangsa;  Pengaruh peer group terhadap perkembangan karakter anak;  Model-model penyampaian yang tepat dengan situasi anak menurut level perkembangan psikologis anak; 6 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta  Pengaruh globalisasi terhadap pembangunan karakter bangsa, baik yang negatif maupun yang positif.  Studi banding dengan pendidikan karakter di Negara lain karena nilai karakter kerap kali lintas batas negara. 2. Dampak Negatif Penelitian pada Pembangunan Karakter Bangsa Meski penelitian dapat sangat membantu pendidikan karakter bangsa makin berkembang dan maju, namun penelitian dapat juga menyebabkan pendidikan karakter bangsa kurang baik, bila terjadi kendala-kendala dalam penelitian. Inilah yang harus diperhatikan oleh para penelii dalam konteks pendidikan karakter. Hal-hal itu antara lain:  Penelitiannya tidak objektif. Peneliti yang seharusnya mengungkap semua kendala yang ada dari proses pendidikan karakter dapat tidak obyektif. Misalnya, karena proyek bayaran, peneliti takut mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi; peneliti hanya menuruti pesanan yang tidak benar. Disini peneliti sendiri sudah tidak berkarakter karena menyalahi moral penelitian.  Peneliti tidak jujur. Peneliti menipu data yang ada, dengan alasan apapun. Bila ini terjadi maka pendidikan tidak akan lebih baik karena tidak akan diketahui situasi pendidikan yang sebenarnya. Jelas peneliti sendiri tidak berkarakter.  Peneliti main politik, demi memenangkan temannya. Beberapa peneliti demi memenangkan temannya dalam pendidikan, maka melakukan penelitian tidak obyektif.  Peneliti tidak kompeten, sehingga hasil penelitiannya sebenarnya tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan dalam pendidikan karakter. Oleh karena itu peneliti memang harus berkarakter sendiri, objektif, jujur, berani berkata apa adanya, dan menguasai bidangnya. Perlu dilakukan presentasi hasil penelitian untuk dikaji mana yang lebih tepat untuk mengembangkan pendidikan karakter. Penutup Pendidikan karakter bangsa demi pembangunan karakter bangsa yang lebih kuat akan lebih berhasil bila lewat pendidikan, terutama pendidikan formal. Namun pendidikan lewat pendidikan formal, tidak boleh dilepaskan dari pendidikan di keluarga dan masyarakat. Lewat pendidian formal, penyebaran pendidikan lebih cepat, lebih luas, dan peserta didik yang dibantu akan lebih banyak. Untuk merencanakan dan mengembangkan pendidikan karakter bangsa agar lebih kontekstual, sesuai dengan level perkembangan anak, dan model pendekatannya tepat dengan keadaan peserta didik, diperlukan penelitian yang mendalam. Penelitian akan membantu agar program pendidikan tepat, efektif, efisien, dan mengembangkan karakter peserta didik. Oleh karena program pembangunan karakter bangsa ini merupakan program baru, maka masih banyak persoalan yang perlu diteliti, sehingga langkah-langkah yang diambil sungguh positif. Oleh karena program dan pelaksanaan pendidikan karakter dan penelitian dapat menga-lami hambaan dan kendala yang berdampak negatif, maka kita perlu bersikap kritis dan reflektif. 7 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO Publishing. Ravitch, Diane. (1992). Multiculturalism: E Pluribus Plures. Dalam Kaleidoscope: Readings in Education. Edits. Kevin Ryan & James M. Cooper. Hal. 442-448. Boston: Houghton Mifflin Company. Ryan, K. & Lickona, T. (1992). Character Development in Schools and Beyond. Washington, D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy. Suparno, P. (2012). Sumbangan Pendidikan Fisika terhadap Pembangunan Karakter Bangsa. Pidato Pengukuan Guru Besar. Yogyakarta: USD. Suparno, Paul. (2010). Pendidikan Nilai di Sekolah dan Persoalannya. Dalam Buku Education for Change, Pendidikan untuk Perubahan, BPK Penabur, 2010, edits. Elika Dwi Murwani, dkk., hal 307-323. Suparno, P. (2005). Gagasan, Sikap, dan Praktek Guru IPA dan Matematika Yayasan Santa Ursula terhadap Pendidikan Nilai. Widya Dharma, Vol 16, no 1, Oktober 2005, terakreditasi; hal 1-13. 8 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SINERGITAS PERGURUAN TINGGI, UKM, PEMDA DAN MASYARAKAT DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Mochammad Yuwono Reviewer Ditlitabmas Dikti; Fakultas Farmasi Universitas Airlangga E-mail:yuwono05@yahoo.com Pendahuluan Pemberdayaan masyarakat merupakan tema yang sangat menarik untuk dibahas, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sebagai akibat dari krisis multi dimensi, masyarakat Indonesia kini masih berada dalam sebuah kondisi yang sangat perlu diberdayakan agar masyarakat hidup lebih mandiri dalam suasana yang damai dan sejahtera serta memiliki posisi tawar-menawar yang kuat. Peran berbagai pihak dalam satu kesatuan yang terpadu, konsisten, melalui pendekatan interdisipliner dan berkelanjutan sangat dinantikan. Terminologi pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata “daya” (power). Daya dapat diartikan sebagai kekuatan atau kekuasaan. Daya bersumber dari dalam (internal) dan dapat diperkuat oleh unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar (eksternal). Fokus pemberdayaan berpusat kepada manusia dan kemanusiaan yang dijadikan sebagai tolok ukur normatif, struktural dan substansial. Pemberdayaan merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan permasalahan, khususnya problem keterbelakangan dan kemiskinan akibat ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber “daya” tersebut. Oleh karena itu, pemberdayaan diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta sekaligus memperkuat posisi tawar-menawar (bargaining position) dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Kunci kegiatan pemberdayaan adalah membangun partisipasi masyarakat. Hal ini dapat ditempuh melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan individu/kelompok yang bersangkutan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-langkah mengatasinya. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat bersifat individu dan kolektif, karena individu/kelompok memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya, serta sekaligus untuk memperkuat kelembagaan masyarakat agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Potensi dan Peran Perguruan Tinggi, Pemda dan UKM Konsep pemberdayaan juga mencakup pengertian pembangunan atau pengembangan masyarakat (community development) yakni suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain sebagai aktor di luar sistem sosialnya. Pembangunan yang diarahkan untuk masyarakat desa dikenal dengan istilah rural community development. Substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Namun dalam praktiknya porsi keterlibatan masyarakat memang dapat berbeda-beda, sehingga pembangunan masyarakat dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu development for community, development with community, dan development of community. Pada development for community, peran aktor dari luar demikian besar karena insiatif, perencanaan dan pelaksanaannya diambil alih oleh aktor luar tersebut. Sebaliknya jika insiatif, perencanaan dan pelaksanaannya diperankan oleh masyarakat itu sendiri 9 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sedangkan pihak lain hanya bersifat pendukung maka hal ini dikategorikan dalam development of community. Pada bentuk development with community, aktor luar dan masyarakat yang bersangkutan memiliki pola kolaborasi yang sangat kuat. Aktor luar dalam pembangunan masyarakat dapat berupa Perguruan Tinggi, Pemda, UKM dan pihak-pihak lainnya. Potensi dan Peran Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi mempunyai potensi, kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena perguruan tinggi merupakan gudang para akademisi dengan kualifikasi yang handal untuk mendorong terciptanya transformasi IPTEKS kepada masyarakat. Tri dharma perguruan tinggi mencerminkan adanya pusat pengembangan dan penyebarluasan IPTEKS untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Melalui dharma pengabdian kepada masyarakat (PPM), perguruan tinggi secara jelas mengemban amanah untuk ikut mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Dalam pelaksanaan dharma pengabdian kepada masyarakat ini, baik langsung maupun tidak langsung, perguruan tinggi juga akan memperoleh umpan balik dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi IPTEKS yang dikembangkannya. Melalui dharma penelitian, perguruan tinggi diharapkan melakukan berbagai kajian fenomena-fenomena permasalahan masyarakat yang aktual, sehingga temuannya secara bermakna dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Dengan dharma pendidikan, perguruan tinggi diharapkan melakukan peran pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya selain mempersiapkan calon-calon lulusan dengan penguasaan IPTEKS yang memadai untuk pembangunan masyarakat. Dalam program pemberdayaan masyarakat, lulusan perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis sebagai tenaga-tenaga profesional yang seyogyanya terjun dan berkiprah secara langsung di masyarakat (baca: masyarakat pedesaan). Melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, para dosen di perguruan tinggi memiliki peluang yang besar untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Berbeda dengan penelitian, pengabdian kepada masyarakat bercirikan bahwa hasil programnya terkait langsung dengan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat adalah permasalahan dari masyarakat mitra atau sasaran. Hal ini berarti bahwa sebelum mengajukan proposal, tim pengusul perlu lebih dahulu berinteraksi dengan masyarakat untuk mengidentifikasi kondisi, potensi dan permasalahan masyarakat mitra tersebut. Dari permasalahan yang dirumuskan, tim Perguruan Tinggi dapat menawarkan berbagai solusi melalui metodologi pengabdian yang dapat berupa pelatihan, pendampingan, teknologi tepat guna, peningkatan kualitas produksi dan manajemen dan sebagainya. Potensi dan Peran Pemda dan UKM Tidak diragukan lagi bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki peran yang sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena Pemda adalah instansi pemerintah yang paling mengenal potensi daerah dan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam peraturan perundangundangan yang baru, peran Pemerintah Provinsi semakin dipertajam sebagai wakil Pemerintah Pusat dan sekaligus sebagai daerah otonom, sehingga diharapkan tidak akan terjadi disharmoni hubungan antara Pemprov dengan Pemkab/Pemkot di wilayahnya. Apabila dikaitkan dengan Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan millennium, Pemda juga memiliki fungsi dan peran utama terkait dengan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia. MDGs adalah hasil komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB (termasuk didalamnya Indonesia) untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan 10 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan. Dalam hal ini, Pemerintah baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan melaksanakan program dan kegiatan mencapai target MDGs. Paradigma peran Pemda dalam pemberdayaan masyarakat telah bergeser dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Pola top down telah mengakibatkan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi kepada pemerintah selain menurunnya kemampuan masyarakat untuk merumuskan kebutuhan dan mengartikulasikan aspirasinya dalam pembangunan. Masyarakat menjadi kurang berdaya dan terbiasa menerima begitu saja program-program dari atas meski tak sesuai kebutuhan mereka. Melalui pemberdayaan paradigma partisipatif, Pemda bertindak sebagai fasilitator. Model pemberdayaan seperti ini diharapkan akan lahir kelompok-kelompok komunitas atau masyarakat sebagai agen pembangunan yang menjadi motor penggerak, bukannya kelompok yang hanya penerima manfaat. Di sisi lain, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga memiliki potensi yang besar untuk pemberdayaan masyarakat. Sektor UKM terbukti tangguh menghadapi krisis ekonomi dan mampu memberikan pengaruh yang kuat dalam menegakkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Selain sebagai urat nadi perekonomian Indonesia, peran UKM dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat terbukti dapat menggerakkan pemberdayaan masyarakat sekitar. Namun demikian, tidak berarti saat ini UKM tidak menghadapi kendala dalam perkembangannya. UKM Indonesia yang sangat beragam, mulai dari UKM yang bergerak di bidang pertanian, perdagangan hingga industri rumah tangga (home industry) perlu diberdayakan. Hal ini karena unit usaha UKM masih banyak yang tidak berlandaskan pada mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang matang dalam berproduksi. Oleh karena itu, pemberdayaan sektor UKM dari segi produksi dan manajemen menjadi peluang dan tantangan Perguruan tinggi dan Pemda serta pihak-pihak lainnya. Akhir-akhir ini, keberlanjutan dan perkembangan usaha banyak dikaitkan dengan etika bisnis dan nilai-nilai spiritualitas yakni dengan munculnya CSR (Corporate Social Responsibility). CSR dapat dimaknai sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut menjalankan usahanya. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, dengan alasan bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitas produksinya semata-mata tidak didasarkan atas faktor keuntungan semata melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan, baik saat ini maupun mendatang. Dana CSR merupakan sebuah peluang untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam pemberdayaan masyarakat. Program Pengabdian kepada Masyarakat Pemberdayaan masyarakat banyak terkait dengan para akademisi di perguruan tinggi. Hal ini karena perguruan tinggi tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan masyarakat, yang berarti bahwa perguruan tinggi harus membumi, bukan berdiri dengan julukan “menara gading”. Oleh karena itu, Dit. Litabmas Dikti memfasilitasi berbagai jenis program PPM agar dapat mengimbangi perkembangan persoalan, kebutuhan ataupun tantangan yang dihadapi masyarakat. Program PPM ini merupakan peluang bagi dosen dan mahasiswa untuk mengimplementasikan hasil penelitiannya atau melaksanakan program PPM terkait pemberdayaan masyarakat. Program PPM yang ditawarkan 11 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta oleh Ditlibmas Dikti telah mengalami banyak perubahan sejak tahun 2009. Perubahan tersebut meliputi revisi nama dan macam skim PPM beserta ekspektasi luaran serta perubahan alokasi anggaran yang ditawarkan. Secara umum, nama skim program PPM selalu diawali dengan kata Ipteks yakni Ipteks bagi Masyarakat (IbM); Ipteks bagi Produk Ekspor (IbPE); Ipteks bagi Kewirausahaan (IbK); Ipteks bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus (IbIKK); dan Ipteks bagi Wilayah (IbW). Hal ini berarti bahwa kata “IPTEKS” menjadi kata kunci penting dalam program PPM saat ini. IPTEKS mencakup Ilmu Pengetahuan,Teknologi dan Seni. Program PPM Dikti tidak membedabedakan antara ilmu eksakta, non eksakta dan seni. Apa pun IPTEKS yang dimiliki oleh perguruan tinggi dapat diajukan untuk program PPM Dikti. Namun demikian, IPTEKS tersebut seyogyanya memiliki bobot dan kemaknaan yang memadai. Selain program IbM yang berjangka waktu satu tahun dengan dana maksimum Rp.50 juta, program-program lainnya yakni IbPE, IbK, IbIKK dan IBW dimasukkan dalam kategori multi tahun (3 tahun) dengan dana maksimum Rp. 100 juta per tahunnya. Dalam program PPM dikenal Mitra atau partner kerja. Jenis mitra ini berbeda-beda antara skim PPM yang satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti bahwa masyarakat dosen tidak bekerja sendiri dan menyerahkan hasil kerjanya langsung kepada masyarakat partnernya. Akan tetapi, dosen mengkonstruksikan solusi permasalahan melalui cara memotivasi, membimbing, memberi ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, melatihkannya kepada masyarakat, sehingga misi PPM tercapai. Partner PPM atau masyarakat sasaran dapat dikelompokkan menjadi Masyarakat Dunia Usaha, Masyarakat di Instansi Pemerintah, Perorangan atau Kelompok Masyarakat, Unit Layanan Masyarakat Profit dan Non Profit, Masyarakat Perguruan Tinggi Dalam Negeri, dan Masyarakat atau Institusi di Luar Negeri. Pada program IbM, mitra IbM dapat berupa masyarakat umum atau kelompok masyarakat baik yang produktif maupun tidak produktif secara ekonomi seperti kelompok petani, nelayan, posyandu dan lain-lain. Selain itu, mitra IbM dapat berupa kelompok usaha mikro seperti usaha krupuk, usaha tahu dan lain-lain. Jika mitra PPM berupa usaha kecil atau menengah yang siap ekspor, maka skim yang sesuai adalah Ipteks bagi Produk Ekspor (IbPE). Jika mitra berupa para mahasiswa dan alumni yang memiliki motivasi tinggi untuk berwirausaha maka skim program yang sesuai adalah Ipteks bagi Kewirausahaan (IbK). Pada program IbW, perguruan tinggi harus bermitra dengan perguruan tinggi lain serta Pemda sesuai RPJMDnya untuk memberdayakan masyarakat dan mengembangkan suatu wilayah di kecamatan tertentu. Jika para dosen di perguruan tinggi tertentu memiliki hasil penelitian atau sumber daya yang unik, maka hasil tersebut dapat diproposalkan dalam skim Ipteks bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus (IbIKK). Melalui program IbIKK, para dosen dapat memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi atau mengaplikasikan temuan Ipteksnya untuk mendirikan sebuah usaha di kampus yang menawarkan produk dan/atau jasa yang bersifat unik dan unggul. Hal yang penting diharapkan dalam program PPM ini adalah indikator kinerja yang terukur, solusi yang ditawarkan lebih bermakna, bersifat komprehensif dan berkelanjutan. Sinergitas dalam Pemberdayaan Masyarakat Sinergi berasal dari bahasa Yunani synergos yang berarti bekerja bersama-sama. Sinegitas dapat diartikan sebagai penggabungan dua atau lebih kekuatan atau potensi sehingga menimbulkan efek positif dengan hasil yang jauh melebihi dari kekuatan individualnya. Melalui sinergitas, satu ditambah satu menjadi lebih besar dari dua. Belajar dari pengalaman negara-negara maju, sinergitas merupakan kata kunci dalam keberhasilan mereka. Melalui kerjasama dan perpaduan potensi antara dan atar Perguruan Tinggi, Industri dan Pemerintah, para akademisi di Negara-negara maju menjadi penentu kesuksesan dalam penelitian dengan hasil yang sangat bermanfaat baik langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. 12 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, aspek permasalahan masyarakat umumnya bersifat kompleks, banyak faktor yang berpengaruh dan saling berkait sehingga solusi yang ditawarkan tidaklah dapat diperoleh hanya dari satu kekuatan saja. Dalam pemberdayaan masyarakat, sinergitas Perguruan Tinggi, Pemda, UKM dan Masyarakat sangat diperlukan. Hal ini karena pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan yang merangkum berbagai nilai sosial yang bersifat “people centered, participatory, empowering and sustaniable”. Dalam hal ini, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling); Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi (protecting). Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian yang bersifat charity, sedekah atau belas kasihan. Pola pemberian dana kepada masyarakat seyogyanya memunculkan snowball effect, efek bola salju yang dari waktu ke waktu semakin besar, bukan justru hanya melahirkan candy effect, efek kembang gula yang senantiasa menyusut hingga akhirnya habis tak bersisa. Program PPM yang ditawarkan oleh Dit.Litabmas Dikti lebih mengedepankan aplikasi IPTEKS sebagai kata kunci untuk pemberdayaan masyarakat. Fakta sejarah mencatat bahwa selalu ada korelasi yang amat kuat antara kemampuan IPTEKS suatu negara dengan tingkat pendapatannya per kapitanya. Negara-negara maju yang hanya memiliki 20% dari penduduk bumi, tetapi sangat tinggi kemampuan IPTEKS-nya, ternyata menguasai 80% dari pendapatan global. Dengan demikian, makin tinggi kemampuan IPTEKS suatu negara makin tinggi pula tingkat pendapatan per kapitanya. Program PPM Dikti akan menjadi sangat bermakna jika di dalamnya terjadi sinergitas dari berbagai kekuatan, baik antar dosen di suatu departemen dengan dosen di departemen/fakultas lainnya, baik di satu perguruan tinggi maupun dengan perguruan tinggi lainnya. Apalagi sinergitas itu terjadi antara Perguruan tinggi, Pemda dan UKM serta pihak-pihak lainnya. Sebagai contoh, program IbW didisain dengan melibatkan unsur-unsur dosen di suatu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya bersama-sama Pemda atau pihak lainnya misalnya melalui dana CSR. Saat ini program IbW dapat berupa sinergisme pendanaan dalam bentuk 1) IbW-DIT.LITABMAS-Pemkab/Pemko; 2) IbWDIT. LITABMAS-Pemkab/Pemko-CSR dan 3) IbW-DIT. LITABMAS-CSR. Adanya pola sinergistik pendanaan semacam ini akan memberi keleluasaan Perguruan Tinggi untuk memilih pola yang sesuai dengan situasi dan kondisi di wilayah masing-masing. Sinergisme pendanaan dengan CSR pada prinsipnya juga dapat dilakukan untuk program IbM dan IbPE. Sebab tidak seluruh CSR mampu berkontribusi senilai yang ditetapkan DIT. LITABMAS, khususnya untuk program yang berlangsung selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Penerapan sinergitas dalam pemberdayaan masyarakat bukanlah hal tanpa kendala dan tantangan. Dalam praktiknya, justru kendala teknis dan non teknis seringkali mewarnai perencanaan dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Indikator sinyalemen ini jelas terlihat karena efek multiplikatif dari sinergitas masih sangat kecil dirasakan oleh masyarakat. Para dosen di perguruan tinggi Indonesia tampaknya masih enggan satu sama lain untuk bersinergi memadukan potensi mereka dalam program pengabdian kepada masyarakat. Sebagai contoh sederhana: Dalam pengajuan proposal PPM masih jarang ditemukan adanya sinergitas potensi para dosen untuk mengusulkan kegiatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Kecenderungan yang ada bahwa tim pengusul seringkali berasal dari disiplin/sub disiplin ilmu yang sama. Padahal dalam permasalahan mitra umumnya bersifat kompleks. Contohnya, permasalahan PPM yang diangkat pada IbM diharuskan meliputui dua aspek permasalahan utama, misalnya produksi dan manajemen yang mestinya hal ini memerlukan beberapa disiplin ilmu yang berbeda. Kecenderungan lain bahwa 13 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tim pengusul di suatu perguruan tinggi seringkali mengajukan proposal dengan permasalahan yang serupa tetapi relatif sederhana dengan solusi kurang bermakna dibandingkan dengan ekspektasi misi PPM. Padahal jika tim-tim ini bergabung untuk mengajukan proposal yang melibatkan berbagai disiplin/sudisiplin ilmu tentu proposal tersebut menjadi lebih komprehensif dan lebih bermakna bagi masyarakat mitra. Pada program IbPE, sinergitas jelas akan terwujud sekurangnya antara tim perguruan tinggi dengan mitra IbPE yang berupa 2 UKM sejenis. Jika para tim dosen benar-benar mengaplikasikan IPTEKS yang dimilikinya, maka pemberdayaan masyarakat UKM akan benar-benar terwujud dengan baik. Tantangan lain adalah program IbIKK, yang mana dalam program ini seharusnya para dosen, pimpinan struktural dan unit-unit di perguruan tinggi bersinergi memadukan potensi dan fasilitas sumber dayanya untuk memunculkan suatu unit usaha di kampus sehingga dihasilkan produk atau jasa yang unik dan unggul sebagai hasil penelitian atau keunggulan mereka. Melalui sinergitas perguruan tinggi, Pemda, UKM dan masyarakat jelas menghasilkan solusi yang jauh lebih bermakna, dengan luaran kegiatan yang terukur dan berkelanjutan. Dari program pengabdian kepada masyarakat yang telah dilaksanakan tentunya akan diperoleh hasil pemberdayaan masyarakat yang dapat dilaporkan, ditulis secara ilmiah serta dipublikasikan baik di jurnal nasional maupun internasional. Penutup Setiap individu atau kelompok pasti mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia. Cita-cita ini tidak mungkin tercapai tanpa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia di kampus, Pemda, UKM, dan pihak-pihak lain bersama masyarakat untuk birsinergi memadukan potensi dan kekuatan yang dimilikinya. Pemberdayaan masyarakat adalah ciri khas program Pengabdian kepada Masyarakat. Sinergitas berbagai potensi dalam gerakan yang terpadu dan berkelanjutan akan diperoleh hasil yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Seperti layaknya molekul Glukosa dalam pelajaran Kimia. Glukosa yang memiliki rumus molekul C6H12O6, merupakan sinergi atara potensi unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Dengan sinergitras potensi unsur-unsur tersebut, glukosa menjadi berasa manis yang sangat bermanfaat sebagai sumber energi bagi manusia. Manfaat ini jauh melebihi dari manfaat unsur karbon, hidrogen atau oksigen secara individual. Daftar Rujukan: Cavaye, Jim, Understanding Community Development, http://www.communitydevelop ment.com.au (accessed on April 20, 2012 Dariah, A.R., Peran Perguruan Tinggi dalam Aplikasi Variasi Model Pemberdayaan Masyarakat Desa di Jawa Barat, MIMBAR, Vol. XXV, No. 2, 2009, 143-151 Ditlitbmas Dikti, Panduan Program Pengabdian kepada Mayarakat, 2012. Education: Toward Participatory and Sustainable Development, Bangkok, 12-14 December 2007 Purwadi, A., Tantra, D. K, The Role of Indonesian Universities in Community Development, Paper presented at the 11th Unesco-APEID Conference Reinventing Higher WHO, Millenium Development Goals (MDGs), http://www.who.int/topics/millennium development_goals/en/ (accessed on April 20, 2012) Zadeh B., Saheb, A.N, Participation and Community Development Current Research Journal of Social Sciences 2(1): 13-14, 2010 14 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MAKALAH BIDANG PENELITIAN PENDIDIKAN Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN CAMPUS BASED CIVIC EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH Tukiran FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Abstrak Penelitian yang berjudul Pengembangan Campus Based Civic Education di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah se Jawa Tengah untuk mengembangkan campus based civic education Penelitian dilaksanakan pada Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa Tengah, mulai bulan Maret 2009 sampai Nopember 2011. Populasi penelitian seluruh dosen PKn dan mahasiswa universitas Muhammadiyah di Jawa Tengah yang mengontrak mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Teknik pengambilan sampel dengan cara area random sampling Sebagai sampel penelitian adalah dosen PKn dan mahasiswa-mahasiswa pada perguruan tinggi : (1) Universitas Muhammadiyah Surakarta; (2) Universitas Muhammadiyah Semarang; (3) Universitas Muhammadiyah Magelang; (4) Universitas Muhammadiyah Purworejo; (5) Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Metode pengumpulan data dengan wawancara dan dokumenter. Data kualitatif dideskripsikan sehingga memiliki makna yang sistematis dan sistemik, dengan teknik reduksi data, display data dan konklusi. Hasil penelitian bahwa untuk mengembangkan campus based civic education antara lain diperlukan adanya: (1) upaya menciptakan suasana kampus yang demokratis baik dalam kegiatan intra maupun ekstra kurikulum; (2) menyelenggarakan perkuliahan yang berorientasi pada mahasiswa (3) mahasiswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang bersifat politik kenegaraan; (4) dibentuknya kelompok-kelompok studi mahasiswa, (5) diberikannya teori dan praktek-praktek kebebasan berpendapat, kesetaraan jender, dan rasa tanggung jawab; (6) memperbanyak diskusi dengan mahasiswa tentang realita kehidupan/kasus yang nyata, kemudian bagaimana upaya untuk memecahkan masalah tersebut; (7) memperbanyak lembagalembaga kemahasiswaan dan melatih mahasiswa untuk taat pada peraturan kampus yang sudah ada; (8) pada kegiatan tri dharma perguruan tinggi, baik pada pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat dosen diharapkan melibatkan mahasiswa dalam segala kegiatan; (9) kampus harus memberikan ruang gerak kepada mahasiswa guna berkembangnya potensi yang dimiliki mahasiswa; (10) memperbanyak metode diskusi kelompok maupun kelas dalam proses pembelajaran (11) sejak awal masuk pergurun tinggi mahasiswa hendaknya sudah diperkenalkan dengan nilai-nilai demokrasi. Kata kunci : campus based civic education, PKn, PTM. Pendahuluan Kegagalan dalam usaha sosialisasi dan diseminasi demokrasi, apalagi untuk pembentukan cara berpikir (world view) dan perilaku demokrasi di lingkungan pendidik dan masyarakat sekolah/universitas umumnya besumber dari tiga hal. Pertama, secara subtantif, PKn, Pancasila dan Kewiraan tidak secara terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan normatif, Kedua, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi Pendidikan Demokrasi dan PKn, potensi itu tidak berkembang, karena pendekatan dan pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek itu lebih teoritis daripada praktis. Akibatnya 15 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta terdapat diskrepansi yang jelas diantara teori dan wacana 45 yang dibahas dengan realitas sosial politik yang ada. Bahkan pada tingkat sekolah/universitas sekalipun, diskrepansi itu sering pula terlihat dalam bentuk otoritanisme bahkan feodalisme orang-orang sekolah dan universitas itu sendiri. Akibatnya bisa dipahami, kalau sekolah/universitas gagal untuk membawa peserta didik untuk “mengalami demokrasi”(Azra,2003:10). Terjadinya kegagalan seperti disebutkan di atas, kiranya sudah sangat mendesak diadakannya perubahan paradigma dalam PKn yang dikembangkan pada lembaga pendidikan. Di samping perubahan paradigma dalam bidang materi, tidak kalah pentingnya perubahan dalam bidang paradigma metodologis. Apabila perubahan pada paradigma yang pertama diarahkan secara sistematis pada pengembangan wacana demokrasi yang berkeadaban dalam dinamika perubahan sosial yang berkembang, maka perubahan paradigma metodologis diarahkan untuk mengembangkan daya nalar peserta didik dalam kelas-kelas yang partisipatif. Setelah digulirkannya reformasi, bangsa kita saat ini setidaknya menghadapi delapan fenomena patologi sosial yang tersisa dari proses transisi, yaitu (1) hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat; (2) memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas; (3) kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat; (4) memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan, dan rasa tolong-menolong; (5) melemahnya nilai-nilai dalam keluarga; (6) praktek korupsi, kolusi, nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan; (7) kerusakan sistem dan kehidupan ekonomi; dan (8) pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan ( Cipto et al, 2002:ii-v). Berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa negara menyimpulkan, bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan yang dilakukan di beberapa negara mengarahkan warga bangsa itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan bangsa bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianutnya. Oleh karenanya, apa pun bentuk pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan di beberapa negara, hendaknya nilai-nilai fundamental dari masyarakat itu perlu dikembangkan sesuai dengan dinamika perubahan sosial, agar nilai-nilai fundamental tersebut menemukan relevansinya untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemecahan problem suatu masyarakat ( Chamim et al, 2003 : xxxvii). Berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa negara di atas, maka Pendidikan Kewarganegaraan yang dikembangkan di Indonesia seharusnya juga mampu menemukan kembali relevansi nilai-nilai fundamental masyarakat dengan dinamika sosial yang berubah secara cepat. Dalam konteks Indonesia, sesungguhnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menurut Chamim et al (2003: xxxiv), lebih progresif dalam pengembangan civic education, karena mereka sudah cukup lama melakukan upaya pengembangan civic education dengan menggunakan separated approach melalui mata pelajaran atau matakuliah khusus, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Matakuliah Dasar Umum (MKDU) Pancasila dan Kewiraan, bahkan Penataran P4. Perguruan tinggi dari perspektif politik merupakan suatu lembaga yang di harapkan sebagai media rekruitmen, seleksi, dan pendidikan warga bangsa untuk memasuki kelompok elit politik. Cepat atau lambat elit politik masyarakat dan politisi Indonesia akan merupakan lulusan lembaga tinggi. Dalam tindakan yang rasional tersebut diharapkan keputusan yang diambil akan mendatangkan keuntungan tidak saja bagi diri dan keluarga tapi juga seluruh masyarakat dan bangsa. Dengan kalimat singkat, PKn di perguruan tinggi harus mampu menghasilkan mahasiswa 16 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta yang berpikir kritis dan bertindak demokratis. Menjadi bangsa yang “mudah dipimpin tetapi sulit untuk dikendalikan, mudah diperintah tetapi juga sulit untuk diperbudak “ (Zamroni, 2003 :10). Berdasarkan uraian di atas, permasalahan secara umum pada penelitian ini adalah bagaimanakah upaya untuk mengembangkan campus based civic education di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Jawa Tengah yang tepat. Sedangkan perumusan masalah secara khusus adalah : 1. Apa yang diupayakan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah untuk menegakkan tiga pilar yang meliputi anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat? 2. Bagaimanakah pelaksanaan ketiga pilar tersebut di perguruan Tinggi Muhammadiyah? 3. Bagaimana perwujudan dan dampaknya terhadap kehidupan di kampus? 4. Bagaimanakah praktek pelaksanaan proses pembelajaran PKn di kampus perguruan tinggi Muhammadiyah? 5. Bagaimanakah pelaksnaan kegiatan kuliah kerja nyata, pengabdian pada masyarakat, bakti sosial dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mewujudkan campus based civic education? 6. Bagaimanakah penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship) Dalam konteks Muhammadiyah yang sudah lama menekuni dunia pendidikn melalui jaringan nasional yang dimilikinya, penyemaian nilai-nilai demokrasi dan civic values melalui dunia pendidikan menjadi sebuah keniscayaan, karena Muhammadiyah merupakan salah satu elemen civil society organizations (CSOs) yang cukup besar di Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah memegang peran yang cukup signifikan dalam mendorong demokratisasi dalam perwujudan masyarakat madadni melalui sistem pendidikan yang dikelolanya. Agar Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) di perguruan tinggi lebih menemukan titik relevansi dengan kebutuhan demokrasi dan perubahan social, terutama di era menuju demokrasi dewasa ini, maka yang diperlukan adalah Campus Based Civic Education (Diktilitbang PP Muhammadiyah, 2003:x). Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis yang diupayakan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah untuk menegakkan tiga pilar yang meliputi anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat. 2. Mengetahui pelaksanaan ketiga pilar yang meliputi anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat. 3. Mengetahui perwujudan dan dampaknya terhadap kehidupan di kampus perguruan tinggi Muhammadiyah. 4. Menganalisis praktek pelaksanaan proses pembelajaran PKn di kampus perguruan tinggi Muhammadiyah. 5. Mengetahui pelaksnaan kegiatan kuliah kerja nyata, pengabdian pada masyarakat, bakti sosial dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mewujudkan campus based civic education. 17 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 6. Mengetahui penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship). Metode Penelitian Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kombinasi kuantitatif dan kualitatif Metode penelitian yang digunakan adalah survey, pada mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa Tengah, yang meliputi proses pembelajaran PKn, pengembangan nilai-nilai kewarganegaraan mahasiswa, pengembangan kampus sebagai laboratorium demokrasi dan penegembangan campus based civic education. Tempat dan waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakasanakan pada Perguruan tingi Muhammadiyah di Jawa Tengah. Dipilihnya wilayah Jawa Tengah, karena di Jawa Tengah terdapat Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang cukup banyak dan representatif, yakni terdapat 14 perguruan tingi Muhammadiyah. Di samping itu pada saat ini Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengembangkan Civic Education atau Pendidikan Kewarganegaraan di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah se- Indonesia. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hibah kompetensi yang berlangsung selama 3 tahun, yang dilaksanakan pada Maret 2009 sampai dengan Nopember 2011. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa universitas Muhammadiyah di Jawa Tengah yang mengontrak mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun akademik 20102011, yang terdiri dari 14 perguruan tinggi Muhammadiyah di Jawa tengah. Teknik penegembilan sampel dilaksanakan dengan cara kuota area random sampling. Dari 14 perguruan tinggi Muhammadiyah di Jawa Tengah diambil empat perguruan tinggi Muhammadiyah sebagai sampel berdasarkan area, yaitu berdasarkan eks karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta, Kedu, Semarang dan Banyumas. Sehingga sebagai sampel epenelitian adalah seluruh dosen PKn dan mahasiswa yang mengontrak mata kuliah PKn pada tahun akademik 20102011, yang meliputi perguruan tinggi: (1) Universitas Muhammadiyah Surakarta; (2) Universitas Muhammadiyah Semarang; Universitas Muhammadiyah Purworejo; (4) Universitas Muhammadiyah Magelang; dan (5) Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Sebagai informan pada penelitian ini, di samping dosen-dosen PKn ke-14 Perguruan Tinggi Muhammadiyah di jawa Tengah, juga beberapa Rektor dan Pembenatu Rektor III di PTM. Dipilihnya Rektor, karena yang paling bertanggung jawab dan paling mengetahui tentang PTM yang dekelolanya. Sedangkan PR III yang membidangi kemahasiswaan, sehingga yang paling tahu tentang mahasiswa di PTM di mana ia bertugas. 18 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengumpulan Data 1. Wawancara Wawancara terutama dengan dosen-dosen PKn terutama untuk memeperoleh data-data yang meliputi tiga ranah aktivitas kampus, yang meliputi tiga ranah : Pertama, ranah pengajaran, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan perkuliahan untuk menggantikan matakuliah Kewiraan (dengan matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan/PKn) yang selama ini banyak didominasi oleh doktrin militerisme. Proses pembelajaran hendaknya diselenggarakan secara interaktif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, dengan menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. Terutama model pembelajaran atau strategi pembelajaran yang bagaimanakah yang diterapkan pada matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua, Pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang didalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, berkarya nyata, dan untuk menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat. Ketiga, Bentuk aktifitas proses pembelajaran : kuliah tatap muka, ceramah, dialog (diskusi) interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, tugas baca, seminar kecil, dan kegiatan kokurikuler. Apa saja yang dilakukan sebagai bentuk aktivitas pembelajaran studi kasus, penugasan mandiri, tugas baca, seminar kecil dan kegiatan kokurikuler. Keempat, Motivasi menumbuhkan kesadaran bahwa pembelajaran pengembangan kepribadian merupakan kebutuhan hidup untuk dapat eksis dalam masyarakat global. Kelima, ranah pengabdian masyarakat, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah, baik yang dilakukan secara kelembagaan (officially), seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun yang dilakukan di luar aktivitas kelembagaan seperti pengajian dan bakti sosial. Keenam, ranah kemahasiswaan, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan Perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship). Model Campus based civic education akan menjadikan civic education/PKn tidak lagi hanya bersifat aktivitas perkuliahan semata, melainkan sudah bersinergi dengan kegiatan yang ada pada lembaga kemahasiswaan dan pengabdian pada masyarakat. Menurut Diktilitbang PP Muhammadiyah, program civic education di Perguruan Tinggi Muhammadiyah hendaknya dikembangkan dalam tiga ranah aktivitas kampus, yaitu: Pertama ranah pengajaran, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan perkuliahan untuk menggantikan matakuliah Kewiraan (dengan matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan/PKn) yang selama ini banyak didominasi oleh doktrin militerisme. Dalam hal ini prakteknya bagaimana. Kedua ranah pengabdian masyarakat, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah, baik yang dilakukan secara kelembagaan (officially), seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun yang 19 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dilakukan di luar aktivitas kelembagaan seperti pengajian dan bakti sosial. Bagaimana realisasasi pelaksanaannya selama ini di kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Ketiga ranah kemahasiswaan, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan Perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship).Bagaimana pandangan para dosen PKn, dan bagaimana pula realisasi pelaksanaannya selama ini di kampus perguruan tinggi Muhammadiyah. 2. Studi Dokumenter Studi dokumenter yang merupakan metode pengumpulan data pelengkap, untuk meperoleh data berupa kurikulum PKn, aturan-aturan yang ada kaitannya dengan PKn, sumber-sumber pembelajaran PKn, aspek-aspek perencanaan yang disusun oleh para dosen PKn. Analisis Data Data-data kualitatif dideskripsikan sehingga memiliki makna yang sistematis dan sistemik, dengan teknik reduksi data, display data dan konklusi. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Research and information collecting Research and information collecting, merupakan studi pendahuluan, yang meliputi: pengumpulan data awal di lapangan, observasi kelas, mempersiapkan rancangan atau desain kegiatan dan penelitian. Langkah ini merupakan langkah survey. Pelaksanaan Tiga Pilar Campus based civic education, yakni anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat. 1) Yang diupayakan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk menegakkan tiga pilar di atas : Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang dosen PKn di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ahmad Mutholiin, ( 25 Maret 2011) bahwa selama ini masih banyak pada tataran teoritis, belum menyentuh banyak ketataran yang praksis. Jika ada belum terkonsep secara sistematis. Misal dalam mata kuliah Hukum dan Konstitusi, belum sampai mengarahkan ke psikomotorik, bagaimana mahasiswa berperilaku konstitusional, meskipun disarankan ke sana tetapi evaluasi belum sampai ke sana. Diupayakan masuk dalam kurikulum, diusahakan dalam bentuk penguasaan, hanya pengasaan baru sampai kepada pengayaan kepada mahasiwa belum sampai pada bagaimana kontribusi mahasiswa dalam masyarakat, misal dalam hal anti kekerasan. PKn masih tetap ada, ada juga matakuliah Hak dan Kewajiban WN yang mendorong toleransi dan ati kekerasan. Kurikulum tiap jurusan ada PKn (Bambang Setyadi, wawancara 25 Maret 2011). Untuk mewujudkan kampus PTM yang anti kekerasan di UM Surakarta antara lain diselenggarakan (1) pembinaan Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Dibentuk halaqah-halaqah baik bagi dosen maupun mahasiswa. Diberikan mentoring kepada para mahasiswa dan dibina belajar sesuai dengan Muhammadiyah yang damai; (2) diupayakan atmosfir politik mengecil, 20 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta yang muncul atmosfir akademik, terutama penguatan akademik, sehingga orang tidak tertarik lagi pada jabatan struktural. Yang diperkuat adalah strategis bidang SDM, bukan pembangunan fisik. Sehingga kondisi UM Surakarta memiliki SDM yang kuat dan bagus, sehingga setiap ada tawaran studi lanjut ke luar negeri banyak yang lolos. Untuk penguatan bidang akademik di UM Surakarta, diprediksikan setiap prodi memiliki lima orang doktor dan minimal dua orang guru besar. Dalam hal seleksi dosen, benar-benar mengutamakan kualitas, terutama kemampuan berbahasa Inggris, dengan harapan setiap ada tawaran studi lanjut ke luar negeri dapat diterima (3) bagi dosen-dosen diberikan tawaran gaji minimal sama dengan dosen PNS. Untuk mengikat agar para dosen yang studi lanjut tidak melarikan diri, UM Surakarta mengadakan kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi lain (Wakil Rektor III, Wawancara, 25 Maret 2011). Khusus yang anti kekerasan, melalui pendidikan yang diharapakan mahasisiwa tidak hanya learning of knowledge tetapi mahasiswa dapat learning to do dan menyelesaikan suatu masalah tanpa adanya kekerasan dengan menggunakan cara yang baik dan benar yaitu antara lain musyarawarah, mufakat dan melakukan diskusi. Dalam pendidikan tidak hanya mendapat mata pelajaran umum tetapi juga diberi pengetahuan tentang moral dan keagamaan, tingkah laku, etika dan kepribadian, serta pendidikan karakter. Jika hak sudah terpenuhi,pendidikan pengetahuan pengalaman tinggi (sejajar) (Sigid Sriwanto, wawancara 13 Juni 2011). Pilar konstitusional, adanya ketentuan peraturan yang ada di kampus. Dengan adanya aturan yang mengikat serta adanya sanksi, maka mahasiswa akan berusaha mematuhi aturan-auran tersebut.Contohnya yaitu, sudah ada aturan contoh kehadiran perkuliahan minimal 75% dapat mengikuti ujian (Sigid Sriwanto, wawancara 13 Juni 2011). Khusus Pilar memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat, adanya pendidikan dalam perguruan tinggi merupakan salah satu upaya pengabdian pada masyarakat, baik dosen maupun mahasiswa harus dapat memberikan contoh yang baik pada masyarakat.Kampus sebagai tempat pendidikan untuk meneruskan pendidikan kejenjenjang yang lebih tinggi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. menggerakan perekonomian menjadi sampel atau contoh di masyarakat, santun dikampus (Sigid Sriwanto, wawancara 13 Juni 2011). Upaya yang telah dilakukan untuk menegakkan pilar anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat adalah harus ada di dalam mata kuliah PKn, yaitu pengembangan kepribadian dalam mewujudkannya dan ada kompetensi harapan. Kompetensi harapan itu adalah : (1) bagaimana mahasiswa menjadi pribadi yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab dalam kontak umum dan sesuai dengan profesinya, (2) menjadikan mahasiswa saling menghargai, yaitu mahasiswa menerima pendapat orang lain, memaklumi kekurangan orang lain, dan mengakui kelebihan orang lain(3) menjadikan mahasiswa yang bersikap santun, yaitu ketika mahasiswa memberikan kritikan, dia bisa menerima kritikan tersebut; (4) menghindari permusuhan yang terjadi antar mahasiswa; (5) menjadikan mahasiswa yang bersikap kompetentif, yaitu berani bersaing, beruaha menjadi lebih maju, dan memiliki keinginan untuk tahu (Muhamad Afandi, wawancara 18 Juni 2011). 21 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hal tersebut harus senantiasa ditanamkan pada mahasiswa sehingga mampu mewujudkan mahasiswa yang tahu hak dan kewajibannya dan mahasiswa dapat mengendalikan kekerasan serta korupsi. Sebagai dosen UMP, waib mengajar sesuai dengan kemampuan dan melakukan pembelajaran kooperatif. Dialog dengan tokoh masyarakat serta melakukan kegiatan penghijauan juga merupakan kegiatan yang akan dilakukan Bapak Afandi untuk menegakkan ketiga pilar tersebut (Muhamad Afandi, wawancara 18 Juni 2011). Upaya untuk menegakkan tiga pilar tersebut, jika berhubungan dengan mendekatinya bulan suci ramadhan maka saya memberikan pembelajaran pada mahasiswa tentang apa makna isro mi’roj dengan demokrasi dilingkungan kampus seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.di situ ada perintah demokrasi (Bunyamin Muhtasyar, wawancara, 23 Juli 2011). Yang diupayakan oleh perguruan tinggi UM Purwokerto untuk menegakkan tiga pilar tersebut adalah penegakkan tiga pilar itu berdasarkan pada keilmuan, kebenaran, dan norma atau wahyu agama. Serta dengan adanya kegiatan yang baik dapat didiskusikan dan juga dapat memberikan masukan ide yang baik untuk masyarakat (Cahyono Purbomartono, wawancara: 24 Juli 2011). 2) Pelaksanaan ketiga pilar di kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah Banyak yang menulis proposal akivitas mahasiswa. Nilai- nilai PKn banyak terpengaruh oleh pengajaran PKn, Budaya Jawa, Pendidikan Agama Islam versi Muhammadiyah yang mengedepankan perdamaian. Pelaksanaan atau realisasinya, anak-anak tidak keras, berbeda dengan kota-kota lain, yang ada pekelaian, ada tetapi sangat rendah.jadi interaksi 3 hal. Ada saling mengormati, jangan intervensi dengan Badan Pengurus Harian. (Rektor UM Surakarta, wawancara 25 Maret 2011) Menurut Wakil Rektor III UM Surakarta (Wawancara, 25 Maret 2011) mahasiswa demonstrasi dibolehkan, asal tidak anarkhis dan tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam hal ini UM Surakarta bermitra dengan polisi dan masyarakat, sehingga terbentuk polisi kampus, sehingga jika ada demonstrasi termasuk adanya tindakan kriminal mudah untuk menyelesaikannya. Pelaksanaan ketiga pilar tersebut menurut Sigid Sriwanto, dosen PKn UM Purwokerto (Wawancara, 13 Juni 2011) bahwa pada pilar anti kekerasan, dengan adanya aturan yang sudah dibuat dikampus mahasiswa sudah mematuhinya dengan baik, contohnya yaitu sudah dijalankan,indikatornya tidak pernah ada keributan seperti demontrasi. Pada pilar Konstitusional, aturan yang telah ditentukan sudah dijalankan dengan baik, contohnya sudah dijalankan, kliah mulai tepat waktu jam 07.00, mahasiswi sudah berpakaian rapi sejak diturunkannya aturan dan contoh gambar cara berpakaian yang rapi dan benar. Untuk dapat memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat, yakni dengan adanya kegiatan KKN ke desa di mana mahsiswa terjun langsung dalam masyarakat. Sudah dijalankan outputnya disiplin di mana-mana, adanya partisipasi mahasiswa dalam berorganisasi, contohnya ikut kegiatan kemasyarakatan Karang Taruna. Mahasiswa memberikan ketrampilan seperti yang dilaksanakan 22 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mahasiswa Fakultas Ekonomi yang memberi ketrampilan pada pemuda khusunya yang pengangguran, yakni teknik dan cara menyablon. Pelaksanan ketiga pilar tersebut di kampus UM Purwokerto adalah mata kuliah PKn telah dilaksanakan tetapi belum maksimal. Dalam pelaksanaannya masih membutuhkan kreatifitas dari masing-masing dosen dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Selain itu, masih sangat dibutuhkan penegakkan di tingkat kesadarannya yaitu melalui jalur konstitusi yang benar-benar ditegakkan (Muhamad Afandi, wawancara 18 Juni 2011). Pelaksanaan ketiga pilar tersebut, yaitu dengan memberikan suatu soal di dalam pembelajaran pada mahasiswa tentang pengkaitan Islam dengan PKn, bukan dari PKn ke Islam, karena sumber PKn adalah dari Islam. Contoh : bahwa keyakinan pada Pancasila, UUD 1945, penghormatan pada bendera merah putih bukanlah suatu hal yang syirik (Bunyamin Muhtasyar, wawancara, 23 Juli 2011). Pelaksanaannya ketiga pilar tersebut di lingkungan kampus UM Purwokerto mahasiswa harus dapat bersosialisasi di lingkungan dosen dengan baik serta dapat mengikuti organisasi yang ada di kampus (Cahyono Purbomartono, wawancara: 24 Juli 2011). 3) Perwujudan dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah Wujudnya nampak dalam kehidupan mahasiswa, dalam kegiatan mahasiswa, dalam perkuliahan, cukup saling menghargai, menghormati, tidak memaksakan kehendak, dan cukup kondusif (Ahmad Mutholiin, wawancara , 25 Maret 2011). Di samping itu menurut Rektor UM Surakarta (Bambang Setyadi), anak-anak menjadi toleran, tidak keras (Wawancara, 25 Maret 2011). Demokratis memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan aktivitas dalam berbagai kegiatan kampus baik kegiatan yang menyangkut fisik, intelektual dan Program kreativitas mahasiswa. Dampak dari perwujudan tiga pilar di atas yaitu berdampak bagus karena mahasiswa diberi kebebasan untuk bermusawarah dengan pemimpin dalam menggapi kebijakan yang diberikan oleh universitas tidak dengan jalan kekerasan atau anarkis ( Sutomo, wawancara, 15 Juni 2011). Tidak hanya melalui pendidikan formal tetapi dengan adanya penanaman moral dan spirit keagamaan serta aturan yang telah dibuat maka hal ini menjadi sesuatu yang dapat menjadi karkter pada mahsiswa khususnya. Hal ini dengan terwujudnya kehidupan yang aman, tentram dan damai, mengutamakan ramah tamah, saling sapa (Sigid Sriwanto, wawancara, 13 Juni 2011). Dosen memberikan pengarahan dan contoh. Kemudian sebelum mahasiswa bermusyawarah mahasiswa konsultasi terlebih dahulu kepada saya tentang musyawarah yang akan di laksanakan atau bisa dikatakan mahasiswa curhat kepada saya bagaimana agar dapat menjadi pemimpin yang baik, adil, dan bertanggung jawab. Misalnya memberikan program studi PKn 23 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta materi kewirausahaan. Karena saya telah berhasil membimbing mahasiswa menjadi juara tiga tingkat nasional dan satu kelompok menjadi wakil dari UM Purwokerto (Bunyamin Muhtasyar, wawancara, 23 Juli 2011). Perwujudan ketiga pilar tersebut terhadap kehidupan di kampus, mahasiswa harus beradab, pintar, ulet pada perkuliahan, dan mahasiswa harus bersikap sopan santun, etis, kreatif kepada dosen dan sesama mahasiswa serta mempunyai dasar dalam arti mempunyai ilmu. Dampaknya sangat baik terhadap lingkungan di kampus. (Cahyono Purbomartono, wawancara: 24 Juli 2011). c) Model Campus based civic education 1) Praktek Ranah Pengajaran di Kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah Pada Program Studi PPKn cukup banyak didukung oleh banyak matakuliah, seperti matakuliah Ideologi Negara, Pkn sendiri, HAM, Negara Hukum dan Demokrasi. PKn memang idealnya penyajiannya hanya ranah afektif jarang tersentuh, apalagi psikomotor, padahal entri point PKn adalah ranah kognitif. Kendalanya waktu, fasilitas, kemampan dosen . Evaluasi juga demikian. Apalagi mahswa banyak ujian dg objektif (Ahmad Mutholiin, wawancara , 25 Maret 2011). Dalam prakteknya itu menerapkan mata kuliah civic education, modelnya bukan hanya terpacu pada mahasiswa saja tetapi kepada dosen diberikan penalaran mengenai bela negara yang berkaitan moral ( Sutomo, wawancara, 15 Juni 2011). Pada ranah pengajaran, yakni penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan perkuliahan untuk menggantikan mata kuliah kewiraan ( Dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan/Pkn) yang selama ini banyak didominasi oleh doktrin militerisme. Dalam hal ini prakteknya pada kampus UM Purwokerto, dalam pengajaran PKn tidak hanya memahami mata kuliah tetapi mahasiswa diharapkan dapat menerapkan dari materi PKn yang terkandungnya didalamnya nilai moral. Tidak ada indoktrinasi, yang ada umpan balik dengan mahasiswa, diskusi, demokrasi, dll (Sigid Sriwanto, wawancara 13 Juni 2011). Selama ini banyak didominasi oleh doktrin militerisme. Di UM Purwokerto penyampaian konsep-konsep yang harus dipahami oleh mahasiswa kemudian mahasiswa mengeluarkan pendapat dan lain-lain sudah dilaksanakan. Begitu juga kegiatan-kegiatan dialog yang harus dimiliki mahasiswa juga sudah dilaksanakan (Muhamad Afandi, wawancara 18 Juni 2011). PKn itu bagus apabila ditanamkan pada mahasiswa, karena mengacu kepada kedisiplinan.maka saya pun menerapkan kedisiplinan pada mahasiswa. Sebagai contoh tugas yang di berikan pada mahasiswa tidak ada kata terlambat.kemudian pengumpulan tugas yaitu pada saat UTS sehingga mahasiswa tidak merasa terbebani. Kemudian materi-materi yang terlupakan pada PKn saat sekarang ini yaitu butir-butir pancasila, pancasila samasekali tidak terlihat pada buku manapun yang seharusnya setiap mahasiswa mengamalkannya, namun kenyataannya mahasiswa jauh dari hal tersebut. PKn hanya bersifat teoritis karena Nasionalismenya luntur maka pelaksanaan dikampus menjadi semu.Contoh: muhammadiyah 24 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. Namun masih banyak mahasiswa yang merokok di kampus, maka ke-Islaman dan ke-Muhamadiyahan tidak mewarnai kampus (Bunyamin Muhtasyar, wawancara, 23 Juli 2011). Dalam prakteknya, mahasiswa harus dapat menyadari bahwa contoh majunya suatu bangsa harus berbasis pada ilmu, tetapi dalam menerapkan suatu ilmu harus di dasari dengan seimbang dengan etika, norma. Tetapi jika tidak di dasari dengan hal tersebut, maka hasilnya tidak seimbang, dan menjadi mahasiswa yang bodoh karena mahasiswa tidak menyadari akan pentingnya siatu ilmu. Jadi, mahasiswa itu harus menyadari bahwa ilmu itu sangat penting bagi memajukan suatu bangsa, individu dengan cara semangat balajar (Cahyono Purbomartono, wawancara: 24 Juli 2011). 2). Ranah Pengabdian Masyarakat, pelaksnaan kegiatan KKN, pengabdian pada masyarakat, bakti sosial dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mewujudkan campus based civic education pada kampus-kampus perguruan Tinggi Muhammadiyah Menurut Rektor UM Surakarta (Bambang Setyadi, wawancara, 25 Maret 2011) KKN ada lagi, khusus yg berminat, tidak wajib, PPM ada anggaran, bakti sosial ada lazis, dipotong dari gaji karyawan dikelola khusus yg membidangi. Ada lembaga wakaf tunai mengeluarkan beras 400 bk, a 5 kg, penyaluran Solo dan Sukoharjo, utuk menyantuni guru-guru Muhammadiyah yang kekurangan. KKN ada lagi, khusus yg bermnat, tidak wajib, PPM ada anggaran, bakti sosial ada lazis, dipotong dari gaji karyaawan dikelola khusus yg membidangi. Ada lembaga wakaf tunai mengeluarkan beras 400 bk, a 5 kg, penyaluran Solo dan Sukoharjo, untuk menyantuni guruguru pada seolah Muhammadiyah. Yang kekurangan. Pengabdian punya focus pada ranah ini tidak dilakukan. Jika dilakukan pada sendiri-sendiri yang dilakukan oleh dosen, KKN tidak ada. Kegiatan bersama kemahasiswaan, bakti sosial, kepramukaan dikaitkan dengan pengabdian.ada perkemahan, yang biasanya pada hari terakhir digunakan untuk bahti sosial (Mutholi’in, wawancara, 25 Maret 2011). Tetapi untuk KKn tematik / KKN PPM yang berupa hibah dan bermitra dengan UGM, yang tujuan utamanaya adalah untuk pemberdayaan masyarakat masih tetap ada (Wakil Rektor III UM Surakarta, wawancara, 25 Maret 2011). Khusus bakti sosial, memang lebih banyak dilaksanakan oleh BEM, yang sifat bakti sosial inni sangat bervariasi. Di UM Surakarta terdapat 42 UKM. Mahasiswa mempunyai desa binaan. Bakti sosial yang sudah sering dilakukan seperti donor darah massal, penjualan sembako murah, mengadakan kekaryaan di desa semacam pendampingan usaha masyarakat seperti beternak lele dumbo, usaha jamur, dan pembinaan dalam hal motif batik (Wakil Rektor III UM Surakarta, wawancara, 25 Maret 2011). 3). Ranah Kemahasiswaan Penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan Perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan 25 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship), dan realisasi pelaksanaannya di kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah Contoh memberi keleluasaan mahasiswa untuk berorganisasi, kegiatan kemahasiswaan, bahkan jika ada benturan dengan kuliah , dosen agar memberikan dispensasi mahasiswa. Salah satu syarat untuk mendapatkan bea siswa mahasiswa harus mencantumkan kegiatan mahasiswa. Kewirausahaan, dulu pernah, ada proposal yang diterima untuk kain rajut. Maksudnya juga mendorong mahasiswa untuk berwirausaha agar tdak saja ingin jadi PNS (Wawancara, Mutholi’in, 25 Maret 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Surakarta ( 25 Maret 20110), menyatakan bahwa di UM Surakarta terdapat lembaga kewirausahaan mahasiswa yang telah bergerak dalam beberapa bidang, misalnya (1) menangani masalah hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; (2) menggulirkan dana kewirausahaan internal; (3) dengan cara dikompetisikan, yaknni mahasiswa membuat proposal, diseleksi kelayakannya, jika diterima maka akan diberikan pendanaan, atau sebaliknya yang ditolak tidak didanai; (4) pembinaan kemitraan antara mahasiswa dengan Bank Mandiri. Dengan cara dosen-dosen UM Surakarta ditraining oleh Bank Mandiri, kemudian membentuk kelompokkelompok usaha yang melibatkan mahasiswa. Sifatnya berupa hibah, karena yang kita utamakan pada mahasiswa adalah mental, bukan produk; ( 5) mengadakan kerja sama dengan beberapa lembaga yang telah sukses dalam pelatihan-pelatihan bidang kewirausahaan seperti Djarum, Pramita Utama, Lembaga Medik, yang semuanya untuk membangun jiwa kewirausahaan. Khusus dalam hal student goverment, menurut Wakil Rektor III (wawancara, 25 Maret 2011) adalah sebagai berikut: (1) payungnya adalah BEM yang bekerja sama dengan pihak pemerintah; (2) dewan perwakilan mahasiswa, yang dipilih dalam pemilu raya oleh mahasiswa; (3) Majelis Permusyawaratan Mahasiswa yang merupakan perwakilan dari masing-masing fakultas; dan (4) BEM Fakultas yang dipilih melalui pemilu. Mahasiswa diberi peluang untuk membentuk lembaga kemahasiswaan untuk mahasiswa berlatih bernegara misal dengan BEM tetapi diberikan batasanya dari pihak universitas tetap mengontrol dan mengawasi dari kegiatan BEM tersebut ( Sutomo, wawancara, 15 Juni 2011). Student goverment merupakan suatu lembaga yang dikelola oleh mahasiswa di lingkungan kampus. Seperti misalnya dulu pernah ada pengelolaan kewirausahaan iptek, namun dalam pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik, karena dulu pernah ada mahasiswa yang tidak jujur sehingga sempat tertidur atau hancur sementara.kemudian program iptek di bangun kembali dengan pihak kampus yang memberikan fasilitas dan modal. Namun kemudian dari curhat para mahasiswa yaitu konflik dari mahasiswa cukup tinggi sehingga untuk masuk atau mengarah kesiyu masih cukup sulit (Bunyamin Muhtasyar, wawancara, 23 Juli 2011). Pada dasarnya itu semua tentang konsep kemandirian untuk kemajuan anak bangsa indonesia. Membentuk kepribadian yang baik, lingkungan yang baik pula. Dalam rangka pengajaran yang baik itu, dalan pemenuhan kwalitas kebutuhan mahasiswa itu harus lengkap, dan mahasiswa mendapat fasilitas belajar yang baik agar mahasiswa tidak binging untuk 26 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta belajarnya sebagai tambahan ilmu, serta mahasiswa dapat semangat dalam belajar (Cahyono Purbomartono, wawancara: 24 Juli 2011). Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan temuan-temuan penelitian, dapat disimpulkan: 1. Perguruan Tinggi Muhammadiyah bertekad untuk menegakkan tiga pilar yang meliputi anti kekerasan, konstitusional, dan memberikan sesuatu yang riil bagi kemajuan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketiga pilar tersebut di perguruan Tinggi Muhammadiyah lebih mengedepankan perdamain, tidak saling intervensi, mematuhi dan melaksanakan aturan yang sudah ada. 3. Perwujudan dan dampaknya terhadap kehidupan di kampus, nampak dalam kehidupan mahasiswa, dalam kegiatan mahasiswa, dalam perkuliahan, cukup saling menghargai, menghormati, tidak memaksakan kehendak, dan cukup kondusif. Di samping itu mahasiswa menjadi toleran, suasana kampus damai, tidak ada kekerasan. 4. Praktek pelaksanaan proses pembelajaran PKn di kampus perguruan tinggi Muhammadiyah, mahasiswa tidak hanya memahami materi mata kuliah tetapi mahasiswa ditekankan dapat menerapkan materi PKn yang di dalamnya terkandung sarat dengan nilai-nilai moral. Tidak ada indoktrinasi, yang ada umpan balik dengan mahasiswa, diskusi, pembelajaran yang demokratis. 5. Pelaksanaan kegiatan kuliah kerja nyata, pengabdian pada masyarakat, bakti sosial dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mewujudkan campus based civic education 6. Penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui kegiatan kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah, seperti pengembangan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship) Saran Berdasarkan simpulan di atas, saran yang diajukan adalah : 1. Lembaga, Perguruan tinggi Muhammadiyah hendaknya terus berupaya untuk meningkatkan dan memantapkan campus based civic educatian yang anti kekerasan, konstitusional dan memberikan manfaat riil bagi kemajuan masyarakat. 2. Dosen PKn di Perguruan Tingi Muhammadiyah hendaknya: a. senantiasa mengembangkan proses pembelajaran PKn secara interaktif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian b. menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara c. pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang di dalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori. 27 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Mahasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah hendaknya mengembangkan model student goverment dan penguatan etos kewirausahaan (enterpreneurship). Daftar Pustaka Azra, A.(2002). Pendidikan Kewargaan untuk Demokrasi Indonesia. Warta PTM, Edisi (2) Th. XV, 8-10. Basrie, C.,(2002). Modul Acuan Proses Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Best W. (1977). Research In Education. Englewood Cliffs : Prentice-Hall. Borg,W.R & Hall,M.D.,( 1989). Educational Research, Longman Group, London. Brodjonegoro, S.S.(2000). Prospek Pendidikan Tinggi di Indonesia, Makalah dalam Pengarahan pada Penataran Dosen Pancasila di Jakarta, Nopember,2000. Buchori, M. (2000). Reformasi Pendidikan, Jakarta : Analisis CSIS Tahun XXIX/2000, No.(3), 242-255. Chamim, A.I., et al. (2003), Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta : Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, LP3M UMY, The Asia Foundation. Cipto, B.,(2002). Pendidikan Kewarganegaraan(Civic Education) . Yogyakarta : LP3 UMY. Creswell, W. (994). Research Desigh Qualitative & Quantitative Approaches, : Sage Publications, New Delhi. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional (2003).Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,(2000). Penyempurnaan (GBPP) (MKPK) Pendidikan Kewarganegaraan Pada Perguruan Tinggi di Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Djohar, (1999). Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia Sebuah Rekonstruksi Pemikiran. Yogyakarta:IKIP Negeri Yogyakarta. International Commission of Jurist, (2003). PKn Kita Gagal. Tersedia on line : www.aksara.org/jurnaldetail.asp. item – id = 3D275 (10 September 2003) Kerlinger N, (1986). Foundation of Behavioral Reserarch Third Edition,Eugene. Oregon:Winston Inc.All. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Solo: PT Pabelan. 28 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah (2004), Direktori Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Yogyakarta : Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah. Muhaimin,Y.(2002). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Warta PTM, Edisi Khusus (1) Th.XIV, 10-11. Riyanto, M. (2002). Pendekatan dan Metode Pembelajaran. Malang : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan Pusat Pengembangan Penataran Guru IPS dan PMP. Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokrasi Sebuah model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Prenada Kencana. Rosyada, D.(2003). Menciptakan Experimental Democracy Melalui Pembelajaran CE. Warta PTM, Edisi (7) Tahun XV,8-18. Ruseffendi,H.E.T, dan Ahmad Sanusi, (1998). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang NonEksata Lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press. Sulaiman, W. (2002). Jalan Pintas Menguasai SPSS 10. Yogyakarta : Penerbit Andi Tukiran, (2005) Efektivitas Implementasi Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Portofolio. Disertasi pada Program Pascasarjana UPI: tidak diterbitkan. Tukiran, (2006). Pengembangan Model pembelajaran Berbasis Portofolio pada Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mengembangkan Nilai-nilai Demokrasi Mahasiswa. Hasil Penelitian Universitas Muhammadiyah Purwokerto : tidak diterbitkan. Ubaidillah,A. (2000). Pendidikan Kewargaan(Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press. Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Ditjen Dikdasmen Departemen pendidikan Nasional. Unesco, (1998). Learning to Live Together in Peace and Harmony. Bangkok : Unesco Proap. Unesco, (1999). Learning: The Treasure Within. ( Terjemahan Napitupulu) Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Winataputra, (2003). Pendidikan Kewarganegaraan, Tersedia on line: www. kompas. com/kompas. cetak/0101/24/ dikbud/pkn do9.htm. (10 September 2003) Winataputra, U.S. (2000). Kata Pengantar, dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Jakarta: IAIN Jakarta Press. Zamroni, (2001), Pendidikan untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society.Yogyakarta : Bigraf Publishing. Zamroni, (2003b), Peran pendidikan Tinggi dalam Menuju Kehidupan Masyarakat yang Demokratis, Makalah di sampaikan pada Seminar Nasional Civic Education di Perguruan Tinggi di Yogyakarta, 8-9 Maret 2003. 29 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Zamroni, (2003c). Pendidikan Kewarganegaraan: Tradisi dalam memelihara Kehidupan Majemuk, Warta PTM Edisi7 Th.XV, 10-11. Zamroni,(2003a). Civic Education di Perguruan Tinggi: Urgensi dan Metodologi, Warta PTM Edisi (1) Tahun XV, 8-11. Lampiran 1 Informan Penelitian No Nama 1. Prof Dr. Bambang Setyaji 2. Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum 3. D. Sigid Sriwano, M.Si. 4. Drs. Ahmad Mutholi’in, M.Si. 5. Muhammad ffandi, S.Pd., M.Pd. 6. Drs. H. Sutomo, M.Si 7. Bunyamin Muhtasjar, S.T. M.T. 8 Eko Priyanto, S.Pd. 9 Drh. Cahyono Purbomartono, M.Sc. Kedudukan dan Asal PTM Rektor UM Surakarta PR III/Dosen PKn UM Surakarta Dosen PKn UM Purwokerto Desen PKn UM Surakarta Dosen PKn UM Purwokerto Dosen PKn UM Purwokerto Dosen PKn UM Purworejo Dosen PKn UM Purwokerto Dosen PKn UM Purwokerto 30 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MONITORING DAN EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM SERTIFIKASI GURU KOTA SALATIGA Slameto FKIP UKSW Salatiga ABSTRAK Sertifkasi Guru dalam Jabatan merupakan proses pemberian sertifkat pendidik yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan. Program ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Sertifikasi guru merupakan hal yang sangat penting jika dilihat dari upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Akan tetapi, sertifikasi bukan masalah sederhana. Sertifikasi guru dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain anggaran, pelaksana, materi sertifikasi, penentuan lembaga pelaksana sertifikasi, data keadaan guru, koordinasi dan evaluasi pelaksanaan. Monev ini dilakukan untuk mengidentifikasi kesenjangan implementasi dan hasil program sertifikasi guru dengan gap analysis; Gap analisis program sertifikasi gurtu ini mendasarkan hasil pengisian kuestioner dan Focus Group Discustion dengan 24 orang stakeholder; Monev ini bermanfaat untuk: menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu ideal yang diharapkan; sehingga dapat diketahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan, dan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan dan manfaat sertifikasi guru yang telah ditetapkan. Sebagai kebijakan yang sangat strategis, sertifikasi guru telah melangkah kearah tujuan untuk meningkatkan kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan, bangsa ini akan mempunyai guru-guru yang lebih berkualitas dan berdedikasi untuk menjadi guru profesional. Masih terdapat gap yang bernilai negatif terkait dengan persyaratan, rekruitmen dan proses sertifikasi guru; sehingga wajar jika hasil/dampaknya belum maksimal, terutama terkait dengan peningkatan martabat dan profesionalitas guru, Sertifikasi guru belum memuaskan, belum mampu menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan; belum sepenuhnya mampu melahirkan guru yang profesional. Keberhasilan program sertifikasi guru dipengaruhi oleh banyak faktor maupun aktor baik yang terlibat langsung maupun tidak secara langsung; Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sertifikasi guru, yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi implementor, struktur birokrasi dan lingkungan sosial ekonomi. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan evaluasi pelaksanaan sertifikasi guru, apakah sudah sesuai dengan tujuan UU yaitu menciptakan guru yang berkualitas dan profesional. Jikalau program ini bisa berkesinambungan, kualitas guru-guru di Indonesia pasti akan meningkat. Kata Kunci: Monitoring dan Evaluasi, Program Sertifikasi Guru, Gap Analisis, Faktor yang mempengaruhi. Pendahuluan UUD 1945 mengamanatkan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dalam rangka memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk 31 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu, pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan, layanan pendidikan terus ditingkatkan agar sesuai dengan standar nasional pendidikan dengan merujuk pada standar pelayanan minimal (SPM), yang sejauh ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Oleh karena itu sasaran kebijakan dalam hal kualitas pendidikan, sangat perlu untuk terus ditingkatkan karena lembaga pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk melahirkan lulusan-lulusan yang berkompeten. Peningkatan kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan di atas, sejalan dengan penerapan prinsip good governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya pendidikan. Sejalan dengan itu adalah peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan pendidikan baik dalam penyelenggaraan maupun pembiayaan pendidikan, termasuk yang diwadahi dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kementerian Pendidikan Nasional menyadari benar tentang perlunya pemantapan terobosan kebijakan di bidang pendidikan seperti di atas maka dipandang perlu evaluasi capaian kinerja pembangunan pendidikan, pemantapan pelaksanaan kebijakan pendidikan, dan peningkatan pemahaman terhadap 5 pokok kebijakan pendidikan yang salah satunya adalah Program Sertifikasi Guru. Agar terwujud kesepahaman berbagai pihak yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan pendidikan dalam rangka meningkatkan pemerataan dan perluasan akses, meningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta meningkatkan tata kelola (good governance), akuntabilitas, dan citra publik, maka perlu adanya monitoring dan evaluasi (monev). Hasil monitoring dan evaluasi yang mengukur kinerja program sertifikasi guru ini akan menjadi landasan bagi perencanaan pembangunan lebih lanjut. Untuk kepentingan itu, dilakukan monitoring dan evaluasi implementasi program nasional yang dilaksanakan di Kota Salatiga khususnya pada jenjang pendidikan Dasar yaitu SD/MI dan SMP/MTs. Sebagai bagian dari siklus kebijakan (pendidikan) yang menganut model deskriptif, monev ini memiliki peran strategis; Betapa tidak? Dalam pendekatan yang positif, dikehendaki adanya data atau keadaan masyarakat apa adanya dari suatu gejala yang terjadi dalam proses implementasi dan perlu diketahui oleh para pemakai; Tujuannya adalah untuk memantau hasil-hasil dari aksi-aksi serta memprediksi atau menjelaskan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi pilihan-pilihan kebijakan. Pada akhirnya monev ini bertujuan untuk menjelaskan kinerja dan prospek program Sertifikasi Guru. Sertifikasi guru adalah bagian dari upaya peningkatan mutu dan peningkatan kesejahteraan guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifkasi Guru dalam Jabatan merupakan proses pemberian sertifkat pendidik yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan. Program ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Sertifikat yang dimaksud adalah bukti formal sebagai pengakuan kepada guru tentang profesionalismenya.Tujuan sertifikasi adalah menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selain itu, sertifikasi juga untuk meningkatkan proses dan mutu pendidikan, serta profesionalisme guru. Sertifikasi guru merupakan hal yang sangat penting jika dilihat dari upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Akan tetapi, sertifikasi bukan masalah sederhana. Sertifikasi 32 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta guru dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain anggaran, pelaksana, materi sertifikasi, penentuan lembaga pelaksana sertifikasi, data keadaan guru, koordinasi dan evaluasi pelaksanaan. Monitoring dan evaluasi program sertifikasi guru ini bertujuan untuk menidentifikasi unsurunsur program yang telah terlaksana dengan baik karena sesuai dengan panduan operasional standar, dan yang belum terlaksana; serta menemukan unsur program sebagai dampak keberhasilan dan kesenjangan yaitu dampak implementasi yang bernilai negatif karena belum sesuai; Selain itu juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program sertifikasi guru di kota Salatiga. Program Sertifikasi Guru: Konsep, Prinsip dan Perlunya Monev Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan komitmen pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, untuk mengimplementasikan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keberhasilan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara nasional, juga menjadi harapan nyata bagi pembangunan pendidikan, dan pembangunan guru yang profesional menuju pembangunan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”. Program sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidik dan kesejahteraannya yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan. Keberhasilan pelaksanaan sertifikasi guru sangat bergantung pada asumsi-asumsi yang menyertainya antara lain: adanya pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguhsungguh dari segenap unsur pelaksana program. Untuk itu sangat diharapkan keterlibatan secara langsung dan sungguh-sungguh dari, Kepala Sekolah dan semua Guru dalam mensuksekan program tersebut dengan penuh kejujuran. Sertifikasi guru adalah bagian dari upaya peningkatan mutu dan peningkatan kesejahteraan guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikat yang dimaksud adalah bukti formal sebagai pengakuan kepada guru tentang profesionalismenya.Tujuan sertifikasi adalah menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selain itu, sertifikasi juga untuk meningkatkan proses dan mutu pendidikan, serta profesionalisme guru. Manfaat sertifikasi adalah untuk melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi guru. Sertifikasi juga bermanfaat dalam melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional. Bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sertifikasi bermanfaat dalam menjaga LPTK dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pada prinsipnya program sertifikasi guru harus berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraannya. Pelaksanaan program sertifikasi harus sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Program sertifikasi menerapkan pendekatan sistem. Inputnya adalah semua guru yang telah diangkat sebagai PNS atau pegawai yayasan berpendidikan minimal S1 dan D4, dan telah memenuhi syarat secara administratif. Dalam pelaksanaan program sertifikasi guru minimal terdapat 6 prinsip seperti berikut ini. 1. Dilaksanakan secara Objektif,Transparan, dan Akuntabel 33 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehansertifikat pendidik yang impartial, tidak diskriminatif, danmemenuhi standar pendidikan nasional. Transparanyaitu mengacu kepada proses sertifikasi yangmemberikan peluang kepada para pemangkukepentingan pendidikan untuk memperoleh aksesinformasi tentang pengelolaan pendidikan, yang sebagaisuatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasilsertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentinganpendidikan secara administratif, finansial, dan akademik. 2. Berujung pada peningkatanmutu pendidikan nasional melalui peningkatanmutu guru dan kesejahteraan guru Sertifikasi guru merupakan upaya Pemerintah dalammeningkatkan mutu guru yang dibarengi denganpeningkatan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulusuji sertifikasi guru akan diberi tunjangan profesi sebesarsatu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya Pemerintahdalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangantersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawainegeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non PNS/swasta). Denganpeningkatan mutu dan kesejahteraan guru makadiharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran danmutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. 3. Dilaksanakan sesuai denganperaturan dan perundang-undangan Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PeraturanPemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang StandarNasional Pendidikan. Implementasinya disesuaikan dengan panduan yang diterbitkan dalam bentuk Buku. 4. Dilaksanakan secara terencana dan sistematis Agar pelaksanaan program sertifikasi dapat berjalan dengan efektif dan efesien harus direncanakan secara matang dan sistematis. Sertifikasi mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru.Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, sedangkan standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang kemudian dikembangkan menjadi kompetensi guru TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran.Untuk memberikan sertifikat pendidik kepada guru, perlu dilakukan penilaian terhadap unjuk kerjanya, sebagai bukti penguasaan seperangkat kompetensi yang dipersyaratkan. Instrumen penilaian kompetensi tersebut dapat berupa tes dan non tes. Pengembangan instrumen penilaian kompetensi guru dilakukan oleh LPTK tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah dengan standar yang sama untuk seluruh Indonesia. 5. Menghargai pengalaman kerja guru Pengalaman kerja guru disamping lamanya guru mengajar juga termasuk pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti, karya yang pernah dihasilkan baik dalam bentuk tulisan maupun media pembelajaran, serta aktifitas lain yang menunjang profesionalitas guru. Hal ini diyakini bahwa pengalaman kerja guru dapat memberikan tambahan kompetensi guru dalam mengajar. Dalam beberapa hal, guru yang mempunyai masa kerja lebih lama akan lebih berpengalaman dalam melakukan pembelajaran dibanding dengan guru yang masih relatif baru. Oleh karena itu, pengalaman kerja guru perlu mendapat penghargaan sebagai salah satu komponen yang diperhitungkan dalam sertifikasi guru. 34 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 6. Jumlah Peserta Sertifikasi Guru Ditetapkan oleh Pemerintah Untuk alasan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan sertifikasi guru serta penjaminan kualitas hasil sertifikasi, jumlah peserta pendidikan profesi dan uji kompetensi setiap tahunnya ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan jumlah yang ditetapkan pemerintah tersebut, maka disusunlah kuota guru peserta sertifikasi untuk masing-masing Propinsi dan Kabupaten/Kota. Penyusunan dan penetapan kuota tersebut didasarkan atas jumlah data individu guru per Kabupaten/Kota yang masuk di pusat data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Semula kegiatan pemantauan hanya diatur secara umum dalam buku pedoman sertifkasi dan hanya dikhususkan untuk memantau penetapan calon peserta. Pemantauan tersebut dilakukan oleh unsur-unsur yang ada di tingkat pusat dan menggunakan dana dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Pusat.Pemantauan dilakukan oleh tim pemantau yang ditunjuk Pemerintah Pusat. Hal-hal yang dipantau mencakup pelaksanaan penilaian portofolio, pelaksanaan PLPG, dan penggunaan anggaran yang dialokasikan di LPTK. Sementara itu, Dinas Pendidikan dan kanwil Depag, Dinas Pendidikan dan Kandepag kabupaten/kota, serta sekolah dan guru belum pernah menerima pemantauan. Beberapa di sekolah pernah ditanya-tanya oleh pengawas, tetapi kegiatan tersebut tidak dilakukan secara khusus, hanya sebagai bagian dari pengawasan rutin. Pada pedoman sertifkasi 2008 dituliskan perlunya kegiatan monev yang lebih luas untuk pengendalian program secara menyeluruh. Monev dapat dilakukan oleh seluruh lembaga di jajaran Dinas Pendidikan, mulai dari Ditjen PMPTK, LPMP, Dinas Pendidikan provinsi, dan Dinas Pendidikan kabupaten/kota, secara terpadu sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pedoman tersebut terkesan hanya sebagai anjuran yang tidak bersifat mengikat, sangat umum, dan tidak mengatur tentang cara kerja dan sumber pembiayaannya sehingga pelaksanaannya diragukan. Pada pedoman tahun 2008 juga diatur tentang sistem pengawasan bagi guru peserta penerima tunjangan profesi. Untuk menerima tunjangan profesi, peserta harus melengkapi beberapa dokumen termasuk berkas kewajiban jam mengajar yang dilegalisasi oleh kepala sekolah. Kepala sekolah harus meneliti kebenaran seluruh berkas persyaratan. Selanjutnya, berkas tersebut akan diteliti atau jika dianggap perlu diverifkasi oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, kepala sekolah juga harus melakukan pengawasan dan pelaporan atas perubahan status atau kondisi guru setiap bulan dan Dinas Pendidikan kabupaten/kota memeriksa ulang data guru setiap tiga bulan berdasarkan laporan kepala sekolah. Pengaturan sistem pengawasan terhadap peserta penerima tunjangan tersebut hanya untuk data terkait SK kepegawaian dan pemenuhan jam mengajar, sedangkan data kualitas atau kompetensi guru yang merupakan unsur yang dinilai dalam sertifkasi, yakni kemampuan pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial, tidak dinilai. Padahal kegiatan monev terhadap keempat kompetensi tersebut untuk lebih menjamin tercapainya tujuan sertifkasi guru dalam meningkatkan kualitas guru dan pendidikan secara umum jauh lebih penting. Persyaratan tentang jam mengajar juga tetap penting untuk dipantau karena sangat mudah untuk dimanipulasi sepanjang ada kerja sama dengan kepala sekolah. 35 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Analisis Kesenjangan Secara harafiah kata kesenjangan atau “gap” mengindikasikan adanya suatu perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Analisis kesenjangan atau gap analysis sering digunakan di bidang manajemen dan menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan (quality of services). Bahkan, pendekatan ini paling sering digunakan di Amerika Serikat untuk memonitor kualitas pelayanan. Gap analysis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja penyedia layanan. Hasil analisis tersebut dapat menjadi input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa yang akan datang. Selain itu, gap analysis atau analisis kesenjangan juga merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja. Metode ini merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam pengelolaan manajemen internal suatu lembaga. Analisis Gap (jarak) adalah suatu metode/alat membantu suatu lembaga membandingkan performansi actual dengan performansi potensi. Operasionalnya dapat diungkapkan dengan dua pertanyaan berikut: “Dimana kita sekarang?” dan “Dimana kita inginkan?” Model yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) salah satu dari lima gap (kesenjangan), yaitu: kesenjangan antara standar pelayanan lembaga dan pelayanan yang diberikan; lembaga dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional yang menerapkan Kebijakan Sertifikasi Guru. Kesenjangan model ini menempatkan potensi kegagalan di pihak penyedia jasa, bukan di pihak konsumen. Dengan menggunakan gap analysis dapat diketahui semakin kecil kesenjangan tersebut, semakin baik kualitas pelayanan. Gap akan bernilai (+) positif bila nilai aktual lebih besar dari nilai target, sebaliknya bernilai () negatif apabila nilai target lebih besar dari nilai aktual. Apabila nilai target semakin besar dan nilai aktual semakin kecil maka akan diperoleh gap yang semakin melebar. Tujuan analisis gap untuk mengidentifikasi gap antara alokasi optimis dan integrasi input, serta ketercapaian sekarang. Analisis gap membantu organisasi/lembaga dalam mengungkapkan yang mana harus diperbaiki. Proses analisis gap mencakup penetapan, dokumentasi, dan sisi positif keragaman keinginan dan kapabilitas (sekarang). Tujuan dilakukan gap analisis adalah untuk melihat sejauh mana kesesuaian system yang sedang dijalankan dengan standar terkait yang harus dipenuhi. Gap analysis bermanfaat untuk mengetahui kondisi terkini dan tindakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Hubungan antara perusahaan sebagai supplier barang dan jasa dengan konsumen yang menggunakan barang dan jasa tersebut dapat membantu dalam memahami konsep gap analysis. Secara singkat, gap analysis bermanfaat untuk: menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu standar kinerja yang diharapkan; mengetahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut, dan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. Untuk terlaksananya suatu program, maka instansi menetapkan kegiatan-kegiatan yang merupakan penuangan dari program. Untuk menilai berhasil tidaknya suatu kegiatan maka penilaian dilakukan terhadap indikator kinerja kegiatan. Langkah analisis kesenjangan (gap analysis) pada level indikator kinerja kegiatan sama dengan langkah yang dilakukan pada analisis indikator kinerja program. Analisis kesenjangan (gap analisys) bertumpu pada evaluasi diri dan observasi sekolah 36 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta untuk mendapatkan gambaran bagaimana kondisi dan kenyataan di lapangan (dalam hal ini implementasi Program Sertifikasi Guru). Langkah-Langkah Analisis Kesenjangan Dalam melakukan gap analysis, terdapat beberapa langkah utama yang dilakukan sebagai berikut. 1. Identifikasi komponen pelayanan yang akan dianalisis Pelayanan yang akan dianalisis dapat berupa pelayanan secara umum ataupun pelayanan tertentu, misalnya pelayanan di bidang pendidikan atau kesehatan, atau pelayanan yang lebih spesifik. 2. Penentuan standar pelayanan Standar pelayanan dapat berupa standar pelayanan formal maupun informal. Standar pelayanan formal adalah standar pelayanan yang tertulis, jelas, dan dikomunikasikan kepada seluruh staf pemberi layanan. Sementara itu, standar pelayanan informal adalah standar pelayanan tidak tertulis dan diasumsikan telah dimengerti oleh seluruh stake holder. 3. Penyebaran kuesioner atau wawancara terfokus Isi kuesioner dan wawancara disesuaikan dengan desain gap analysis yang akan dilakukan. Pertanyaan kuesioner dan wawancara mencakup aspek dan dimensi yang akan diukur. Dimensi pelayanan misalnya adalah dimensi: fisik, dimensi keterlibatan, dimensi ketepatan, dimensi keterjaminan, dan dimensi empati. Untuk memudahkan pengukuran secara kuantitatif, maka setiap dimensi yang dinilai diberi skala atau skor. Peserta FFGD adalah guru dan kepala sekolah serta komite sekolah SD pelaksana MBS dari 16 SD, pengawas sekolah yag bersangkutan, Ka UPTD, serta Dewan Pendidikan yang semuanya berjumlah 24 orang. 4. Analisis Data Dengan menggunakan statistik deskriptif dapat diketahui: rata-rata skor untuk setiap pasangan faktor yang sedang dikalkulasi kesenjangannya. Selain itu juga untuk perhitungan kesenjangan untuk masing-masing dimensi. 5. Follow Up Dengan berdasarkan hasil analisis tersebut, kita dapat mengetahui kinerja pelayanan yang diberikannya. Selanjutnya lembaga yang bersangkutran dapat menyusun kebijakan yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan tersebut. Guna kepentingan monev yang dapat dipertanggung-jawabkan, sumber informasi diusahakan merata dan seimbang dari semua stake-holder, baik birokrat/dinas pendidikan, pelaksana lapang (Kepala Sekolah, guru, komite sekolah dan pengawas), dan masyarakat yang terepresentasikan Dalam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang semuanya 24 orang. Bentuk kegiatan ini ditempuh melalui penjaringan informasi dengan kuestioner yang dilanjutkan dengan wawancara/diskusi terfokus atau yang lebih dikenal FGD dengan stake holder terpilih. Standar yang digali melalui kuestioner diambil dari Buku Panduan Sertifikasi Guru; Garis besar hasil kuestioner dibahas dalam FGD dikaitkan dengan faktor yang mempengaruhinya. 37 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Analisis Kesenjangan (Monev) Program Sertifikasi Guru Setelah pengisian kuestionaer dan FGD dengan melibatkan 24 orang kunci, dianalisis yang hasilnya dapatlah dirangkum dalam 4 pokok monev seperti berikut ini. Proses Implementasi Sertifikasi Guru Yang Sesuai Standar Gap bernilai positif nilai aktual dengan Ideal atau yang seharusnya dalam implementasi program sertifikasi guru dapat disampaikan seperti berikut ini. 1. Dasar utama pelaksanaan sertifikasi menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional 2. 3. Seleksi calon peserta, lebih transparan dan objektif apalagi melalui system online atau website Tidak-ada pemotongan oleh (atau upeti untuk) oknum tertentu atas tunjangan sertifikasi yang diterima guru selama ini. Kesenjangan Proses Implementasi Program Sertifikasi Guru Gap hasil monev program sertifikasi guru bernilai (-) negatif karena nilai aktual lebih kecil dari nilai target, terkait dengan proses implementasi seperti berikut ini. 1. Syarat sertifikasi guru diperketat, dengan menyelenggarakan uji kompetensi; ada guru yang takut diuji kompetensi, guru yang bersangkutan dinilai tidak profesional 2. Calon peserta sertifikasi guru harus memenuhi berbagai persyaratan. Diantaranya, pada 1 Januari 2012 sudah mencapai usian 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai golongan IV/A atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/A 3. Sertifikasi guru belum menjamin peningkatan kualitas guru; kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan/ seharusnya untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. 4. Sertifikasi guru belum dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel; Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan guru dan kesejahteraan guru; Terkesan belum dilaksanakan secara terencana dan sistematis. 5. LPTK Penyelenggara sertifikasi guru belum berupaya melaksanakan proses PLPG sebagaimana mestinya. Keberhasilan Program Sertifikasi Guru Sesuai Dengan Standar Gap bernilai positif nilai aktual dengan standar atau yang seharusnya dalam implementasi program sertifikasi guru dapat disampaikan seperti berikut ini. 1. Guru profesional (bersertifikat) merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas 2. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14/2005, sertifikasi guru akan terus dilaksanakan sampai Undang-Undang tidak mengamanatkan pelaksanaan sertifikasi guru 38 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia 4. Manfaat Sertifikasi Guru: a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini. c. Memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru 5. Sikap yang harus dibangun para guru adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya Banyak faktor yang ikut menentukan keberhasilan sertifikasi guru yaitu: komunikasi, sumber daya, sikap para pelaksana, stuktur birokrasi, organisasi pelaksana, lingkungan. Kesenjangan Dampak Implementasi Program Sertifikasi Guru Gap hasil monev dampak program sertifikasi guru bernilai (-) negatif karena nilai aktual yang dicapai lebih kecil dari nilai target, terkait dengan hasil/dampak implementasi seperti berikut ini. 1. Sertifikasi guru bertujuan untuk: a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan c. Meningkatkan martabat guru d. Meningkatkan profesionalitas guru 2. Sertifikasi seharusnya dimanfaatkan juga untuk memetakan kondisi guru. Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan guru tidak pukul rata, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan guru untuk meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik profesional. 3. Sertifikasi guru harusnya memuaskan, mampu menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan 4. Sesuai tujuan, sertifikasi guru belum mampu melahirkan guru yang profesional 5. Sertifikai guru baru sekadar menambah pendapatan guru 6. Penerimaan tunjangan profesi (sebesar satu kali gaji pokok) belum tepat waktu, ada yang setiap tiga bulan, enam bulan, atau per tahun yang kepastiannya kurang jelas. Pembahasan Uraian berikut ini memaparkan pembahasan hasil monev ditinjau dari tiga sisi, keberhasilan program, kekurang-berhasilan program sertifikasi guru dan faktor yang mempengaruhinya. 39 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sisi Keberhasilan Program Sertifikasi Guru Pada awalnya banyak fihak mempertanyakan keberhasilan program Sertifikasi Guru. Dalam perbincangasn awal, dalam portofolio ditemukan dokumen yang aspal dan meragukan. Setelah itu ada PLPG untuk memenuhi syarat sertifikasi juga dirasa tidak begitu efektif. Fenomena-fenomena tadi menghantar kepada kesan bahwa program sertifikasi tidak banyak membantu meningkatkan kualitas guru, dan program itu salah sasaran (Kompas, 13 November 2009). Di tengah sisnisme pelaksanaan sertifikasi yg terkesan formalistik, ada dua fenomena yang harus dilihat sebagai keberhasilan implementasi program Sertifikasi Guru. Yang pertama, terkait dengan dimensi proses dan yang kedua terkait dengan hasil atau dampak program. Berdasarkan hasil monev, keberhasilan implementasi Program sertifikasi guru menyangkut: Seleksi calon peserta yang lebih transparan dan objektif apalagi melalui system online atau website dan tidak-adanya pemotongan oleh (atau upeti untuk) oknum tertentu atas tunjangan sertifikasi yang diterima guru selama ini. Selain itu sesuai dasar utama pelaksanaan sertifikasi yang menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional benar-benar terpenuhi. Keberhasilan Program sertifikasi guru dapat dipaparkan sesuai hasil monev ini adalah terpenuhinya syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas (Guru profesional adalah guru yang bersertifikat); Oleh karena itu, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14/2005, sertifikasi guru akan terus dilaksanakan. Selanjutnya sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai, selain itu yang jauh lebih penting adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sertifikasi guru telah terbukti memberi manfaat: Memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru, melindungi profesi guru dari praktik-praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten (yang dapat merusak citra profesi guru itu sendiri) dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini. Sikap yang harus dibangun para guru adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya Banyak faktor yang ikut menentukan keberhasilan sertifikasi guru yaitu: komunikasi, sumber daya, sikap para pelaksana, stuktur birokrasi, organisasi pelaksana, lingkungan. Semua faktor tersebut perlu mendapat perhatian agar dapat diantisipasi agar memberi pengaruh positif atas keberlanjutan program sertifikasi guru. Sisi Kekurang-berhasilan Program Sertifikasi Guru Pada sisi ini juga dapat dipilah menjadi 2 segi yaitu segi proses implementasi dan segi hasil atau dampak program sertifikasi guru. Proses yang kurang sesuai (terdapat kesenjangan yang tinggi dengan Ideal atau yang seharusnya) dalam implementasi terkait dengan persyaratan sertifikasi guru yang makin diperketat, dengan menyelenggarakan uji kompetensi; ada guru yang takut diuji kompetensi, guru yang bersangkutan dinilai tak profesional. Selain itu, calon peserta harus 40 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memenuhi berbagai persyaratan: usia, pengalaman kerja, golongan atau angka kredit kumulatif. Hal yang masih memprihatinkan terkait dengan jaminan peningkatan kualitas guru; kalau guru mengikuti sertifikasi, (tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi), melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud belum terwujud. Sertifikasi guru terkesan belum dilaksanakan secara objektif, transparan, terencana dan sistematis serta akuntabel; Dengan demikian disangsikan kalau akan berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional (melalui peningkatan guru dan kesejahteraan guru). ; Dilaksanakan secara. LPTK Penyelenggara sertifikasi guru belum berupaya melaksanakan proses PLPG sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pemerintah perlu menyiapkan lembaga penjaminan mutu untuk memantau keberlanjutan profesionalisme kinerja guru yang sertified agar mutu pendidikan nasional dapat meningkat. Kekurang-berhasilan (kesenjangan) dampak Program Sertifikasi guru dalam implementasinya terkait dengan penentuan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, peningkatan martabat dan profesionalitas guru; Sertifikasi seharusnya dimanfaatkan juga untuk memetakan kondisi guru. Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan guru tidak pukul rata, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan guru untuk meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik profesional. Sertifikasi guru belum memuaskan, belum mampu menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan; Sesuai tujuan, sertifikasi guru belum sepenuhnya mampu melahirkan guru yang profesional; Yang terjadi, sertifikai guru baru sekadar menambah pendapatan guru; Penerimaan tunjangan profesi (sebesar satu kali gaji pokok) belum selalu tepat waktu, ada yang setiap tiga bulan, enam bulan, atau per tahun. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pembenahan sambil melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi guru, apakah sudah sesuai dengan tujuan UU yaitu menciptakan guru yang berkualitas dan profesional.sosial dan ekonomi?. Faktor yang Mempengaruhi Sehubungan dengan implementasi kebijakan/program sertifikasi guru yang hasil monevnya seperti di atas, keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor: (1) The policy design. (2) Strategy. (3) The commitment and capacity of the bureaucratic system; (4) Particularly the degree of support of opposition encountered in the community, and the ability of those likely to benefit to be able to build effective coalitions of on-going support and political pressure. Kebijakan Program sertifikasi guru akan berhasil-guna jika dalam implementasinya berlangsung dengan baik. Baik-buruknya implementasi tersebut yang oleh Alexander, R. (1992) dapat dianalisis dari (1) praktek yang terobservasi dan (2) ide, nilai dan kepercayaan dengan berbagai aspeknya yang bisa dipakai sebagai kerangka kerja/berpikir tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan sertifikasi guru, menarik untuk memperhatikan pendapat Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) seperti berikut ini. “To appreciate more fully why key policy problems have been tackled in particular ways; It is helpful to 41 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta have some understanding of the main policy actors involved and of the characteristic ways in which education policy is developed and applied. Within any community, divergent and often conflicting views are held about where the real power lies in terms of education policy decisions”. Aktor yang dimaksud terutama menyangkut konsern mereka yang lebih lanjut terdapat lima tipe seperti diungkapkan oleh Rein Van der Vegt, Leo F. Smyth, Roland Vandenberg (2001): 1. the identityinclusion concern, 2. investment of effort, 3. professional competence, 4. influence, dan 4. fairness. Akhirnya Winarsih, 2008. Telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Sekolah Dasar (Studi Kasus Di Kabupaten Semarang), yaitu: 1). Komunikasi, yang meliputi transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Informasi tentang pelaksanaan sertifikasi guru SD telah dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Dalam pelaksanaannya, para pelaksana sudah mampu menyampaikan informasi dengan baik. Kejelasan merupakan aspek yang menjadi permasalahan dalam komunikasi informasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang. Ketidakjelasan informasi ini antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format (portofolio dan RPP). 2). Sumber daya yang meliputi staf, informasi, wewenang dan fasilitas. Terkait dengan Informasi implementasi kebijakan sertifikasi guru sudah memadai namun bagi guru yang ingin memiliki buku panduan harus menggandakan sendiri. Dalam pelaksanaan sertifikasi Guru, Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang mampu menjalankan wewenang secara efektif . komponen fasilitas, di Kabupaten Semarang termasuk tidak memadai baik sarana dan prasarana maupun anggaran khusus untuk pelaksanaan sertifikasi tidak ada. 3). Disposisi Implementor, Secara umum kecenderungan pelaksana dalam implementasi kebijakan guru adalah baik. Para pelaksana kebijakan sertifikasi ini memiliki sikap atau perspektif yang mendukung kebijakan sehingga proses implementasi kebijakan berjalan efektif. 4). Struktur Birokrasi, dalam pelaksanaan sertifikasi guru termasuk baik. SOP yang digunakan mengacu pada buku pedoman. Dan 5). Kondisi Sosial Ekonomi mendukung pelaksanaan sertifikasi guru; Kesadaran para guru bahwa kalau sudah tersertifikasi maka diakui profesionalismenya serta mendapatkan tunjangan profesi menjadi faktor pendukung. Penutup Secara singkat, gap analysis program sertifikasi gurtu ini bermanfaat untuk: menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu ideal yang diharapkan; sehingga dapat diketahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan, dan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan dan manfaat pelayanan sertifikasi guru yang telah ditetapkan. Keberhasilan implementasi Program sertifikasi guru menyangkut: proses seleksi calon peserta yang lebih transparan dan objektif apalagi melalui system online; Telah dihasilkan guru yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.Telah terpenuhinya syarat untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas (yang mampu mengangkat harkat dan wibawa guru) untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sertifikasi guru telah terbukti memberi manfaat: guru memperoleh tunjangan profesi (tidak ada pemotongan) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru, melindungi profesi guru dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan atau tidak profesional. 42 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Masih terdapat gap yang bernilai negatif terkait dengan persyaratan, rekruitmen dan proses sertifikasi guru; sehingga wajar jika hasil/dampaknya belum maksimal, terutama terkait dengan peningkatan martabat dan profesionalitas guru, Sertifikasi guru belum memuaskan, belum mampu menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan; belum sepenuhnya mampu melahirkan guru yang profesional. Sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia. Dengan demikian guru akan bisa menikmati tunjangan sertifikasi dan mereka akan selalu terdorong untuk menjadi lebih profesional. Sehubungan dengan implementasi kebijakan/program sertifikasi guru yang hasil monevnya seperti di atas, keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor maupun aktor baik yang terlibat langsung dengan program sertifikasi maupun tidak secara langsung: Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi guru, apakah sudah sesuai dengan tujuan UU yaitu menciptakan guru yang berkualitas dan profesional. Jikalau program ini bisa berkesinambungan, kualitas guruguru di Indonesia pasti akan meningkat. Kerberhasilan ini memang akan dirasakan bangsa ini untuk jangka waktu yang panjang. Dalam beberapa tahun ke depan, bangsa ini akan mempunyai guru-guru yang lebih berkualitas dan berdedikasi untuk menjadi guru. Pustaka Ali Rahmat, 2011. Kontroversi Pendidikan Profesi Guru. http://alirahmat.multiply.com/ journal/item/40?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. 2007. Panduan Monitoring dan Evaluasi Program Sertifikasi Guru Agama/Bidang Studi Agama Dalam Jabatan. Jakarta: Departemen Agama RI Dunn, William. (1981). Public Policy Analysis. An Introduction. New Jersey: Prentce-Hall. Hough, J. R. (1984). Educational Policy. An International Survey. New York: St. Martin's. Harian Kompas 2009. Sertifikasi Guru Tidak Tepat Sasaran. http://edukasi.kompas.com/ read/2009/11/13/07473414/Sertifikasi.Guru.Tidak.Tepat.Sasaran MacRae. Duncan dan Wilde, James A. (1985). Policy Analysis For Public Decisions. New York: University Press of America. Presiden RI. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen. Ripley, R.B., and Franklin, G.A. 1986. Policy Implementation and Bureaucracy (2nd ed.) Dorsey Press. Semeru, 2010. Pelaksanaan Sertifkasi Guru dalam Jabatan 2007: Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU Sutjipto (1987). Analisis Kebijaksanaan Pendidikan (Satu Pengantar). Jakarta: Dirjen Dikti. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional 2000-2004. Jakarta. 43 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Vegt, R.V.D., Smyth, L.F., Vandenberghe, R. 2001. Implementing educational policy at the shool level – Organization dynamics and teacher concerns. Journal of Educational Administration. Vol. 39.Iss. 1 Vidovich, L. 2001. A Conceptual framework for Analysis of Education Policy and Practices. Paper Proposed for presentation at the Australian Association for Research in Education, Fremantle December. Wibawa, Samodra dkk (1994). Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: P.T, Raja Grafindo Persada. Winarsih, 2008. Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Sekolah Dasar (Studi Kasus Di Kabupaten Semarang), Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro 44 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN BUKU PEDOMAN LATIHAN PENCAK SILAT BAGI PEMULA (The develoment of pencak silat Instructional Books for Begeinner Training, 2010) Nur Rohmah Muktiani, Erwin Setyo Kriswanto, Ali Satya Graha Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT This study aim to reveals the stages of enhance and developt a guidance book for practicing Pencak Silat at beginner level. Research and development was used as the ground framework. The development of the product as follows: former study, material design, issued the book guidance, contents evaluation, and revision. Pencak Silat former book guidance has been validated by the media and contents experts with severals stages. Students, teachers, and public citizen used as testing subjects. Data collected through questionnaire and observation. Data analyzed with statistical descriptive and qualitative. Suggestions from experts and testing subjects become main concern to revised the product. Contents experts validation judged ”good” (mean score 3.83) while media experts judged as well as contents experts with mean score 4.10. Assessment of the product quality shows good with the mean score displayed as follows: 1) mean score of one on one field testing 4.07 in good category, 2) mean score of small group has 4.29 in good crategory, 3) mean score of field testing 4.17 in good category. It can be concluded that product, Pencak Silat guidance book, qualified and eligible as learning resources for practicing Pencak Silat at beginning stage. Keywords: development, guidance book, Pencak Silat, beginner Pendahuluan Pencak Silat merupakan sistem beladiri yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Pencak silat merupakan budaya bangsa yang harus dilestarikan, dan senantiasa dikembangkan. Pencak silat perlu dikenalkan dan dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa. Berbagai cara hendaknya dilakukan, salah satunya dengan memudahkan pencarian sumber belajar. Baik dengan berdirinya aliran/perguruan, organisasi, informasi, ketersediaan sarana prasarana, sumber belajar dsb. Karakteristik pencak silat sangat kaya dengan vareasi gerak sehingga banyak sekali istilah ataupun nama gerakan pencak silat apalagi di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 800 aliran/perguruan. Untuk itulah perlu penyatuan pemahaman tentang nama dan jenis gerak pencak silat yang kemudian ditindaklanjuti dengan publikasi dan sosialisasi. Dengan memanfaatkan sumber yang tepat akan sangat membantu memperjelas dan memudahkan seseorang untuk mempelajarinya. Kenyataan yang ada yang terjadi bahwa keingintahuan masyarakat mendorong mereka untuk mencari sumber belajar tentang pencak silat baik cetak maupun non cetak namun ternyata sangat sulit. Hal ini tentu saja sangat ironis, disatu sisi menginginkan masyarakat memahami dan mencintai sementara disisi lain kurang dalam ketersediaan sumber dan informasi. Sumber belajar pencak silat memang sangat terbatas. Dari kenyataan yang ada itulah merupakan hal terbesar yang mendorong bagi peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang nantinya dapat menghasilkan produk berupa buku 45 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta panduan latihan pencak silat bagi pemula. Buku panduan yang berkualitas diyakini dapat membantu menyampaikan pesan dengan benar, efektif, efisien, dapat menciptakan & memperkaya pengalaman belajar, mampu menghadirkan gambaran kejadian yang dimaksud, serta mampu meningkatkan keaktifkan dan keterampilan pengguna. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana proses mengembangkan buku panduan berlatih/belajar pencak silat bagi pemula yang tervalidasi?. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tahapan–tahapan dalam mengembangkan buku panduan berlatih/belajar pencak silat bagi pemula yang layak dipergunakan bagi masyarakat. Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan kontribusi pengembangan bahan sumber belajar sehingga menambah khasanah ilmu dan secara praktis, penelitian ini akan berkontribusi bagi mahasiswa, dosen, pelatih, lembaga, guru pendidikan jasmani, dan seluruh masyarakat pada umumnya. Pencak silat Pencak silat adalah olahraga bela diri asli Indonesia yang dalam perkembangannya banyak di pengaruhi budaya Cina, agama hindu, dan budha.menurut Agung Nugroho(2008:21) Pencak silat merupakan sistem beladiri yang mempunyai empat nilai sebagai satu kesatuan, yakni nilai etis, teknis, estetis, dan aspek atletis. Pencak silat berkembang pesat di dalam negeri dan luar negeri seperti di Australia, Belanda, Jerman, dan Amerika. Di tingkat nasional olahraga melalui permainan dan olahraga, pencak silat menjadi salah satu alat pemersatu bangsa, bahkan untuk pengharum nama bangsa, dan menjadi identitas bangsa. Sudah diketahui bersama bahwa olahraga pencak silat sudah dipertandingkan di skala internasional, artinya Indonesia dikenal salah satunya adalah melalui olahraga dan permainan pencak silat. Teori Belajar Pemahaman mengenai teori belajar yang melandasi pembelajaran merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki. Menurut Bower (1981: V), bahwa ada ratusan teori belajar ditinjau dari berbagai sudut pandang atau prespektif baru, gagasan, fenomena, eksperimen, dan investigasi secara langsung dengan berbagai metode. Belajar erat kaitannya dengan perubahan tingkah laku. Heinich, et al (1996: 15-18) menjelaskan bahwa psikologi belajar yang melandasi pemakaian media dan teknologi dalam belajar dapat ditinjau dari empat perspektif yaitu: behaviorist perspective, cognitivist perspective, constructivist perspective, and social-psychological perspective. Untuk lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut: Behaviorist perspective, memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Hal yang dapat mempengaruhi stimulus dan respon adalah penguatan (reinforcement) yaitu apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Menurut Simonson & Thompson (1994:28) behaviorism is based on the principle that instruction should be designed to produce observable and quantifiable behaviors in the learner. Menurut Bower 1981: 173; Heinich, 1985: 13; Criswell, 1989:7; Asri, 2003: 24 dapat disimpulkan bahwa dari semua pendukung teori tingkah laku, teori Skinerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti teaching machine dan pembelajaran berprogram (merupakan cikal bakal pembelajaran berbasis multimedia), dan program-program lain yang 46 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menggunakan konsep Stimulus-Respon serta faktor-faktor penguat adalah merupakan contohcontoh program yang memanfaatkan teori Skiner. Cognitivist perspective, memandang hasil belajar bukan hanya melibatkan stimulus dan respon, namun mementingkan pula proses belajar dari pada hasil belajar. Teori ini memandang belajar merupakan proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang kompleks. Menurut peaget ( Asri, 2003:36) bahwa proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Diantara teori-teori belajar kognitif yang sering dijadikan landasan teori dalam penggunaan media pembelajaran adalah teori kognitif mengenai tahap-tahap perkembangan yang diungkapkan oleh J. Peaget. Menurut peaget ( Asri,2003:36) bahwa proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi(penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau menyatukan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal senada diungkapkan oleh Heinich (1996:17) bahwa dengan teori belajar kognitif dari Peaget, akan ada proses bertahap dalam penerimaan materi ke otak sesuai dengan kemampuan siswa. Teori kognitif lain yang berpengaruh adalah Teori Belajar Bermakna Ausubel karena struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsut terpisah kedalam suatu unit konseptual. Constructivist Perspective merupakan teori belajar yang menekankan pada pengalaman siswa, tidak semata pengetahuan kognitif (Heinich, 1996:17). Pandangan konstruktivistik, bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia Teori belajar konstruktivis Menurut Muhammad N. (2004: 2), bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. Social-Psychological Prespective, yaitu teori belajar psikologi sosial yang kemudian dianggap menjadi penengah bagi teori behavioristik dan kognitivistik. Vigotsky dalam Mukminan (1998:35) berpendapat bahwa proses pembentukan pengetahuan itu terjadi melalui interaksi sosial. Oleh karena itu didalam proses belajar hendaknya ada proses interaksi. Sumber belajar Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat membantu memahamkan seseorang terhadap sesuatu materi belajar. Belajar dapat dilakukan melalui berbagai cara, apakah itu melalui media sederhana, cetak, audio, audio-visual, televisi, video compact disc (VCD), atau melalui komputer dan lain-lain. Di samping itu informasi dapat pula di peroleh melalui kegiatan membaca, yang bersumber dari buku, jurnal, majalah, surat kabar, tabloid, buletin, dan sebagainya. Informasi dapat berasal dari berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik, dan dapat bersifat ilmiah, atau bersifat umum. Sebenarnya, belajar bukan hanya bersumber dari media cetak dan elektronik saja, melainkan dapat pula diperoleh dari hasil kerja praktek, mengadakan eksperimen di laboratorium, atau bahkan di lingkungan alam sekitar. 47 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Belajar adalah proses internal dalam diri manusia maka guru/pelatih bukanlah merupakan satu-satunya sumber belajar, namun merupakan salah satu komponen dari sumber belajar yang disebut orang. AECT (Associationfor Educational Communication and Technology) membedakan enam jenis sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yaitu: 1. Pesan; didalamnya mencakup kurikulum (GBPP) dan mata pelajaran. 2. Orang; didalamnya mencakup guru, orang tua, tenaga ahli, dan sebagainya. 3. Bahan; merupakan suatu format yang digunakan untuk menyimpan pesan pembelajaran,seperti buku paket, diktat, buku teks, modul, program video, film, OHT (over head transparency), program slide,alat peraga dan sebagainya. 4. Alat; yang dimaksud di sini adalah sarana (piranti) untuk menyajikan bahan pada butir 3 di atas. Di dalamnya mencakup proyektor OHP, slide, film tape recorder, dan sebagainya. 5. Teknik; yang dimaksud adalah cara (prosedur) yang digunakan orang dalam membeikan pembelajaran guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalamnya mencakup ceramah,permainan/simulasi, tanya jawab, sosiodrama (roleplay), dan sebagainya. 6. Latar (setting) atau lingkungan; termasuk didalamnya adalah pengaturan ruang, pencahayaan, dan sebagainya. Buku pedoman latihan Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula istilah e-book atau buku_e (buku elektronik), yang mengandalkan komputer dan internet (jika aksesnya online). Seperti yang diungkapkan (Kemp,J. E.& Deane K.D.,1985) bahwa bahan ajar cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas, yang dapat berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi. Menulis buku merupakan salah satu bentuk kegiatan pengembangan mutu profesi. Dapat berupa buku pelajaran, modul/buku pedoman, diktat dll. Sebagai karya ilmiah, buku harus mempunyai kebenaran ilmiah, dan disusun dengan landasan teori tertentu agar buku tersebut dapat mencapai tujuannya dengan baik. Dalam keadaaan sehari-hari, buku merupakan salah satu sumber utama dalam pelaksanaan kegiatan belajar. Dengan kata lain, banyak yang menganggap bahwa buku begitu penting untuk mengarahkan dan menentukan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan serta sikap yang seharusnya dimiliki oleh pengguna. Buku panduan latihan berisi materi yang disusun dan disajikan secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya diharapkan dapat menyerap sendiri materi tersebut yang dirancang sebagi bahan belajar mandiri. Buku panduan latihan merupakan sumber belajar/bahan ajar cetak yang terdiri dari bermacam-macam bahan tertulis yang digunakan untuk belajar/berlatih secara mandiri. Banyak keuntungan dalam penggunaan buku cetak tersebut antara lain : mudah didapat dan digunakan, dapat dipelajari dimana saja, dalam pemanfaatannya tidak membutuhkan peralatan khusus dll. Namun berbagai keterbatasannyapun ada, misalnya tidak mampu mempresentasikan 48 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta gerakan, sifat linier, tidak dapat mempresentasikan kejadian secara berurutan, sulit memberikan feed back dll. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D). Model pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah model diskriptif prosedural di mana dalam pengembangan produk multimedia pembelajaran menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan sebuah produk. Langkah-langkah penelitian dan pengembangan secara garis besar dapat diringkas menjadi empat langkah utama. Pertama, studi pendahuluan, Kedua, mengembangkan produk, Ketiga, validasi produk Keempat, uji coba produk, dan Kelima, melakukan sosialisasi dan diseminasi produk. Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif yang akan diubah menjadi data kualitatif. Data kuantitatif mengenai kualitas produk yang diperoleh dari para responden melalui kuesioner dengan Skala Likert dianalisis secara statistik deskriptif. Penilaian kualitas produk didasarkan pada hasil perhitungan konversi nilai dengan skala lima sebagai berikut (Sukardjo, 2005: 53): Tabel 1 Kriteria Penilaian Kategori Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Sangat Kurang Baik Interval Skor x > Xi + 1,80SBi Xi + 0,60SBi < x ≤ Xi + 1,80SBi Xi - 0,60SBi < x ≤ Xi + 0,60SBi Xi - 1,80SBi < x ≤ Xi - 0,60SBi x ≤ Xi - 1,80SBi Keterangan: Xi : Rerata ideal = ½ (skor maksimal ideal + skor minimal ideal) SBi : Simpangan baku ideal = 1/6 (skor maksimal ideal - skor minimal ideal) Kriteria penilaian diperoleh dari hasil konversi data kuantitatif ke data kualitatif dengan skala lima sebagai berikut: Tabel 2 Hasil Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif Interval skor Kriteria X > 4,21 Sangat baik 3,40 < X ≤ 4,21 Baik 2,60 < X ≤ 3,40 Cukup baik 1,79 < X ≤ 2,60 Kurang baik X ≤ 1,79 Sangat kurang baik 49 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Subjek uji coba atau responden untuk ujicoba produk adalah pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta yang belum pernah berlatih pencak silat. Pada ujicoba satu lawan satu terdiri dari 4 orang, uji coba kelompok kecil 10 orang, dan uji coba lapangan 40 orang. Karakteristik Subjek ujicoba adalah belum pernah berlatih/belajar pencak silat serta subyek ujicoba berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang proporsional. Validasi Ahli Materi: Ahli materi yang menjadi validator dalam penelitian ini adalah Dr. Siswantoyo M.Kes, Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta. Peneliti memilih beliau sebagai ahli materi karena kompetensi beliau dalam bidang keprofesionalan kepelatihan Pencak Silat sangat memadai. Data diperoleh pada tanggal 25 September 2010 merupakan hasil penilaian ahli materi terhadap produk yang dikembangkan dan saran untuk perbaikan produk awal. Skor aspek kualitas meteri hasil validasi ahli materi adalah baik dengan jumlah rerata skor 3,83. Data yang diperoleh dari validasi ahli materi, kemudian dianalisis dan dijadikan dasar untuk mengadakan revisi produk. Data dari validasi ahli materi terdiri dari dua aspek yaitu aspek kualitas materi, yang hasil penilaiannya pada tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Skor Aspek Kualitas materi Pembelajaran dari Ahli Materi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. 15 16. 17. 18. Aspek yang dinilai 1 Kejelasan materi Ketepatan memilih materi Judul/topik sesuai Kebenaran isi / konsep Kedalaman materi Kejelasan materi / konsep Ketepatan pemilihan bahasa dalam menguraikan materi Aktualitas materi Sistematika penyajian logis Ketepatan pemilihan gambar dikaitkan dengan materi Kejelasan contoh Kemudahan pemakaian Pemberian cara latihan Keruntutan dalam penjelasan Kesesuaian materi dan gambar Adanya gambar penjelas Daftar isi Daftar pustaka Jumlah Jumlah skor Rerata skor Skala Penilaian 2 3 4 √ 5 Kriteria Baik √ √ √ √ √ √ Baik √ √ Baik Cukup baik √ √ √ √ √ √ √ 12 69 3,83 50 Cukup baik Baik Cukup Baik Sangat Baik √ √ 32 Sangat Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Sangat Sangat Baik Baik 25 Baik Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa oleh ahli materi dari 18 butir instrumen 50 % butir instrumen termasuk pada kategori baik, 22,2 % pada kategori cukup baik, dan 27,8 % pada kategori sangat baik. Sedangkan secara keseluruhan pada aspek kualitas materi termasuk kategori “Baik” dengan rerata skor 3,83. Selanjutnya dapat dilanjutkan untuk ujicoba produk. Selain penilaian diatas, ahli materi juga memberikan masukan, saran, komentar untuk perbaikan kualitas produk. Hasil kesimpulan : Layak untuk digunakan / uji coba lapangan dengan revisi sesuai masukan. Berikut saran perbaikan dari ahli materi berikut ini: No 1 2 Tabel 4 Saran perbaikan dari ahli materi, dan revisi Saran Revisi Angka 1+, diganti +1 Dilaksanakan Tanggal yang tertera pada foto Dilaksanakan dihilangkan. Validasi Ahli Media: Ahli media yang menjadi validator dalam produk penelitian ini yaitu Saryono SPd Jas.M.Or. Alasan peneliti memilih beliau sebagai ahli media adalah kompetensi dan pengalaman beliau dalam bidang media dan multimedia pembelajaran tidak diragukan lagi. Data dari ahli media diperoleh pada tanggal 29 September 2010 disertai dengan produk yang sedang dikembangkan. Penilaian aspek penampilan oleh ahli media dinilai “Baik” dengan rerata skor 4,10. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Skor Aspek Tampilan dari Ahli Media No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Skala Penilaian 1 2 3 4 5 √ √ Aspek yang dinilai Ketepatan pemilihan warna Kejelasan warna gambar Keserasian warna tulisan dengan background Ketepatan pemilihan warna teks Ketepatan pemilihan jenis huruf Ketepatan ukuran huruf Kejelasan gambar Ketepatan ukuran gambar Tampilan desain tiap lembar Pemanfaatan teknologi Jumlah 0 Jumlah skor Rerata skor 51 Sangat baik √ Sangat baik Baik Cukup baik Cukup baik Baik Baik Baik √ 0 3 41 4,10 Baik Baik √ √ √ √ √ √ 28 Kriteria 10 Baik Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari tabel 6 dapat dibaca bahwa frekuensi paling banyak penilaian dari ahli media tentang tampilan produk adalah 70% termasuk kategori “Baik”, 20% pada kategori Sangat baik, dan 10 % pada kategori cukup baik. Sehingga kesimpulannya produk dalam kategori baik. Selanjutnya bisa dilanjutkan untuk ujicoba produk. Selain penilaian diatas, ahli media juga memberikan masukan, saran, komentar untuk perbaikan kualitas produk. Saran-saran revisi dari Ahli Media pada validasi adalah sebagai berikut Tabel 6 Tabel 6 Saran Perbaikan dari ahli media tahap I dan revisi No 1 Saran Sudah layak sebagai buku pedoman belajar pencak silat hanya pemanfaatan slide bias lebih dimaksimalkan Revisi dilaksanakan Kesimpulan dari saran ahli media bahwa produk yang dikembangkan peneliti layak untuk digunakan dalam uji coba lapangan dengan revisi sesuai saran. Setelah proses revisi selesai kemudian produk diujicobakan ke calon pengguna. Uji Coba Satu lawan Satu: Setelah produk multimedia divalidasi oleh ahli materi dan ahli media, kemudian produk diujicobakan kepada calon penguna. Uji coba tahap pertama adalah uji coba satu lawan satu. Pelaksanaan uji coba satu lawan satu pada tanggal 1 Oktober 2010. Responden pada uji coba ini terdiri dari 4 orang calon pengguna. Berikut data yang diperoleh pada pelaksanaan uji satu lawan satu. Tabel 7 Skor Uji Coba Satu lawan Satu No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Indikator Tulisan terbaca dengan jelas Penampilan materi Kejelasan gambar Kejelasan warna gambar Ukuran huruf Kejelasan materi Kejelasan bahasa Gambar memperjelas materi Hubungan gambar dan materi Materi mudah dipelajari Materi menantang/menarik Jumlah rerata skor Rerata 52 Rerata Skor Kriteria 3,50 4,50 4,25 4,25 3,75 3,50 4,00 4,25 4,25 4,25 4,25 179 4,07 Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik Baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 8 Skor Hasil Uji Coba Satu lawan Satu No Nama 1 A 2 B 3 C 4 D Jumlah Rerata Skala Kriteria Aspek Item 1 4 3 4 3 14 2 4 4 5 5 18 3 4 4 4 5 17 4 5 4 4 4 17 5 4 4 3 4 15 6 3 4 3 4 14 7 3 4 4 5 16 8 5 3 5 4 17 9 4 4 4 5 17 10 4 4 4 5 17 11 4 4 4 5 17 3,5 4,5 4,25 4,25 3,75 3,5 4 4,25 4,25 4,25 4,25 44 42 44 49 179 44,75 4,07 B B SB B B B B SB SB SB SB B Jumlah Tabel 9 Distribusi Frekuensi Penilaian Ujicoba satu lawan satu Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Sangat Kurang Baik Jumlah Frekuensi 5 6 0 0 0 11 % 45.45 54,55 0 0 0 100% Selain penilaian diatas, siswa uji coba satu lawan satu juga memberikan masukan, saran, komentar untuk perbaikan kualitas produk. Revisi telah dilakukan sesuai saran-saran yang relevan. Berikut saran dari responden. Tabel 10 Saran Uji Coba satu lawan satu No 1 2 Saran Belajar jadi menarik Menantang untuk mengenal pencak silat Revisi Diterima Diterima Secara keseluruhan jumlah rerata skor menurut calon pengguna saat uji coba satu lawan satu adalah 179 Kemudian rerata skor sebesar 4,07 dikonversikan pada skala 5, termasuk dalam kriteria Baik. Uji Coba Kelompok Kecil: Uji coba kelompok kecil dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2010. Responden pada uji coba ini terdiri dari 10 orang. 53 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 11 Skor dari Uji Coba Kelompok Kecil No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Indikator Rerata Skor Kriteria 3,90 3,90 4,60 4,10 4,20 4,30 4,20 4,10 4,60 4,50 4,80 47,20 4,29 Baik Baik Sangat baik Baik Baik Sangat baik Baik Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat baik Tulisan terbaca dengan jelas Penampilan materi Kejelasan gambar Kejelasan warna gambar Ukuran huruf Kejelasan materi Kejelasan bahasa Gambar memperjelas materi Hubungan gambar dan materi Materi mudah dipelajari Materi menantang/menarik Jumlah rerata skor Rerata Baik Tabel 12 Skor Hasil Uji Coba Kelompok Kecil No Nama 1 E 2 F 3 G 4 H 5 I 6 J 7 K 8 L 9 M 10 N Jumlah Rerata Skala Kriteria Aspek Item 1 3 4 4 4 4 3 4 5 4 4 39 3,9 2 4 3 3 4 4 4 4 5 4 4 39 3,9 3 5 4 5 5 5 4 5 4 5 4 46 4,6 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 41 4,1 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 5 42 4,2 6 3 4 5 5 4 5 4 4 4 5 43 4,3 7 5 4 5 4 4 4 4 5 3 4 42 4,2 8 3 4 5 3 4 4 4 4 5 5 41 4,1 9 5 5 4 5 5 5 4 5 4 4 46 4,6 10 5 5 4 5 4 4 5 5 4 4 45 4,5 11 5 5 5 5 5 4 5 4 5 5 48 4,8 47 46 49 48 47 45 47 49 46 48 472 4,2909091 B B SB B B B B B SB SB SB SB Tabel 13 Distribusi Frekuensi Penilaian Kelompok Kecil Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Sangat Kurang Baik Jumlah Frekuensi 4 7 4 0 0 11 54 % 36,4 63,6 0 0 0 100% Jumlah Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Item-item yang dinilai termasuk dalam kriteria baik dan sangat baik. Secara keseluruhan jumlah rerata adalah 47,20. Rerata skor keseluruhan sebesar 4,09 dan setelah dikonversikan pada skala 5, maka termasuk dalam kriteria Baik. Selain itu, dalam uji coba kelompok kecil mendapatkan saran: Tabel 14 Saran Perbaikan dari ujicoba Kelompok kecil No 1 2 3 Saran Penelitian ini/informasi ini sangat menarik untuk menambah pengetahuan dan wawasan Bisa membantu mahasiswa FIK dalam perkuliahan Jadi mengenal pencak silat dengan menyenangkan Revisi Diterima Diterima Diterima Uji Coba Lapangan: Proses ujicoba lapangan dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2010. Terhadap 35 orang. Berikut distribusi hasil penilaian uji lapangan. Secara keseluruhan jumlah rerata adalah 1604. Rerata skor keseluruhan sebesar 4,17 dan setelah dikonversikan pada skala 5, maka termasuk dalam kriteria Baik. Tabel 15 Skor Uji Coba Lapangan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Indikator Tulisan terbaca dengan jelas Penampilan materi Kejelasan gambar Kejelasan warna gambar Ukuran huruf Kejelasan materi Kejelasan bahasa Gambar memperjelas materi Hubungan gambar dan materi Materi mudah dipelajari Materi menantang/menarik Jumlah rerata skor Rerata 55 Rerata Skor Kriteria 3,91 3,94 4,54 4,20 3,91 3,86 4,23 3,91 4,46 4,49 4,37 1604 4,17 Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik Baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 16 Distribusi Frekuensi Penilaian Ujicoba Lapangan Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Sangat Kurang Baik Jumlah Frekuensi 7 4 4 0 0 18 % 36,4 63,6 0 0 0 100% Selain penilaian diatas, siswa uji coba lapangan juga memberikan masukan, saran, komentar untuk perbaikan kualitas produk. Dengan melakukan perbaikan atau revisi produk diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas produk yang sedang dikembangkan. Revisi telah dilakukan sesuai saransaran yang relevan. Tabel 17 Saran Uji Coba No Saran Revisi 1 Sudah baik dan menyenangkan Diterima 2 Bisa untuk belajar mandiri dan Diterima diperbanyak 3 Pencak silat menyenangkan Diterima 4 Jika di perbanyak dibuat berwarna Diterima ya… Kajian Produk Akhir Pada tahap awal pengembangan produk ini didesain dan diproduksi menjadi sebuah produk awal. Proses pengembangannya produk dengan bantuan program Adobe photoshop CS 3, dan kamera digital untuk pengambilan gambar. Setelah produk awal dihasilkan, maka dievaluasikan kepada para ahli melalui validasi dan diujicobakan dengan melalui berbagai tahap. Tahap validasi dilakukan oleh ahli materi dan ahli media. Sedangkan tahap penelitian dilakukan serangkaian kegiatan uji coba produk yang terdiri dari uji coba satu lawan satu, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan. Proses validasi ke ahli materi menghasilkan data yang dapat dipergunakan untuk merevisi produk awal. Setelah produk awal direvisi segera dilakukan validasi media ke ahli media. Dari ahli media didapatkan data, dijadikan dasar untuk merevisi produk yang ke-dua. Setelah selesai revisi kedua dihasilkan produk yang siap dipergunakan untuk ujicoba. Uji coba dilakukan melalui tiga tahap yaitu ujicoba satu lawan satu, kelompok kecil, dan uji coba lapangan. Kualitas produk ini termasuk dalam kriteria baik dan sangat baik. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dari hasil analisis penilaian: “ baik” oleh ahli materi, “baik” oleh ahli media, serta “baik” pada saat ujicoba terhadap produk ini. Ada beberapa hal yang menurut pengguna menjadi kelebihan dari produk ini. Di antaranya adalah tampilan yang menarik dan gambar-gambar penjelas menjadikan belajar pencaksilat lebih menyenangkan. Sajian tersebut membuat program menjadi menarik dan disenangi. Ketertarikan 56 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pengguna terhadap sumber belajar merupakan gejala yang sangat baik untuk menuju peningkatan belajar. Selain kelebihan-kelebihan di atas, menurut peneliti produk ini tentu saja juga memiliki beberapa kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah masih ada keterbatasan pada validasi materi dan ahli yang perlu ditambahkan jumlah validatornya. Dengan adanya beberapa kelemahan-kelemahan tersebut, perhatian dan upaya pengembangan–pengembangan selanjutnya dapat dilakukan. Kenyataan ini akan semakin membuka peluang untuk senantiasa diadakannya pembenahan lebih lanjut misalnya, pengembangan dengan teknologi cetak maupun e-book. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan produk buku pedoman berlatih pencak silat bagi pemula, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Proses penelitian dan pengembangan produk ini dilakukan melalui tahap pertama pendahuluan, ke-dua adalah pengembangan desain materi, ke-tiga pengembangan desain produk, dan ke-empat evaluasi produk. 2. Kualitas produk yang dikembangkan menurut penilaian dari ahli materi dan ahli media adalah ” baik”, serta penilaian dari ujicoba secara keseluruhan adalah ”baik”. 3. Produk yang dikembangkan layak digunakan sebagai pedoman dalam berlatih/belajar pencak silat. Daftar Pustaka _____________.(2004). Comparasi, Implementasi, dan Manajemen. Yogyakarta: FIK-UNY Asri Budiningsih,C. (2003). Belajar dan pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY. Borg, W.R. and Meredith Damien Gall.1983. Educational reasearch. an introduction. Fourth Edition. New York: longman. Bower,G.H. and Ernest R.H. (1981). Theories of learning. New York: Prentice Hall, inc. Draeger. Donn F.(1992). Weapon and fighting arts of Indonesia. Tokyo: Charles E Tuttle Publishing Co. Inc. Depdiknas.(2005). Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta : Depdiknas-Dirjend Dikti-Dirjend Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Gay, L.R. (1990). Educational research: Competencies analysis and application (3rd ed.). Singapore: Macmillan Publishing Company. Gagné, R. M., Briggs, L. J., & Wager, W. W. (1992). Principles of Instructional Design (4th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers Heinich, R., Molenda, M., Russel JD. & Smalindo, S.E. (1996). Instructional media and technologies for learning. Engelword Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Hisbullah Rahman. (1989). Sejarah Perkembangan pencak silat di indonesia. Jakarta : PB IPSI Johansyah Lubis.(2002). Pencak silat panduan praktis.Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset Kemp,J. E.& Deane K.D. (1985). Planning and producing instructional media, New York: Harper & Row Publishers Cambridge , Inc. 57 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kotot Slamet Hariyadi. (2003). Teknik Dasar Pencak Silat Tanding. Jakarta : PT Dian Rakyat Muhammad Nur dan Prima R.W. (2004). Pengajaran berpusat kepada siswa dan pendekatan konstruktivis dalam pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya M. Atok Iskandar. (1992). Pencak Silat. Jakarta : Departemen pendidikan dan Kebudayaan Moch. Saleh. (1986). Pembentukan Sikap dan gerak pencak silat. Jakarta : Karunika Universitas Terbuka Mukminan. (2006). Desain pembelajaran. Yogyakarta: PPs UNY Rusli Lutan, Sudrajat P, dan Ucup Y. ( 2000). Dasar-Dasar Kepelatihan. Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Simonson, M. R. & Thompson, Ann. (1994). Educational computing foundations. Colombus: Merril Sudarsono Sudirdjo dan Evelin Siregar. (2004) Media pembelajaran sebagai pilihan dalam strategi pembelajaran. Dimuat dalam Mozaik Teknologi Pendidikan, diedit oleh Dewi Salma P. & Eveline S. Jakarta : Prenada Media Sukardjo. (2005). Kumpulan materi evaluasi pembelajaran. Prodi Teknologi Pembelajaran, Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. 58 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMETAAN KOMPETENSI SISWA PADA UJIAN NASIONAL MATA PELAJARAN EKONOMI DI SMA KABUPATEN BANTUL DAN GUNUNGKIDUL Sri Sumardiningsih Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk 1) memetakan kompetensi siswa SMA pada UN Ekonomi di Kab Bantul dan Gunungkidul, (2) Mencari faktor penyebab rendahnya kompetensi siswa, (3) menemukan solusi pemecahan masalah rendahnya kompetensi. Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan dengan pendekatan survey. Data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya dokumen hasil ujian nasional, data terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Pengumpulan data dilakukan dengan: 1.Angket 2.Focus Group Discussion.4. Wawancara 5. Dokumentasi. Data dianalisis dengan teknik statistik deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian, (1) Di Kabupaten Bantul KD Ekonomi yang belum dikuasai ada 27, sedang di Kabupaten Gunungkidul ada 35 KD (2) Faktor penyebab tidak dikuasainya KD-KD tertentu menurut Guru ekonomi melalui angket adalah sbb (a) di Kabupaten Bantul, faktor penghambat yang ditemui adalah aspek: kesiapan siswa, waktu assesment terbatas, kelas besar, target kurikulum. (b) Adapun untuk Kabupaten Gunungkidul tidak ditemukan faktor penghambat. Dari FGD ditemukan faktor penyebab tidak dikuasainya KD adalah: (a) keterbatasan waktu baik untuk pelaksanaan KBM sampai tingkat ketuntasan yang ditargetkan, untuk pelaksanaan asesmen yang baik, maupun untuk menindaklanjuti hasil asesmen, (b) pemadatan materi di kelas XII, (c) beban tambahan lain, yakni muatan pendidikan karakter yang harus diintegrasikan. (3) Rekomendasi solusi pemecahan masalah: (a) Untuk guru perlu peningkatan kompetensi guru, manajemen waktu, asesmen tersistem, pemanfaatan MGMP, (b) untuk sekolah, MKKS dihidupkan dan diefektifkan, (c) Dinas Pendidikan perlu menampilkan proses kebijakan mutu yang jelas dan konsisten, (d) fungsi pengawasan akademik dan manajerial ditingkatkan profesionalitasnya, (e) Pusat perlu meninjau kurikulum, pengharmonisan agenda pendidikan antar kepentingan siswa dan guru, perguruan tinggi, pengurangan sikap spekulatif sekolah terhadap rambu-rambu soal UN tiap tahun; dengan menerapkan kebijakan yang konsisten antar tahun. Kata kunci: pemetaan, kompetensi, ujian nasional, ekonomi Pendahuluan Di akhir tahun pelajaran di SMA, siswa menempuh Ujian Nasional (UN). Ujian nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas nomor 75 tahun 2009 pasal 1) Ujian nasional sebenarnya adalah salah satu instrumen manajemen mutu, yakni menerapkan seperangkat standar yang berlaku secara nasional, untuk menghasilkan informasi yang dapat dipakai dalam pembuatan keputusan, mengenai seberapa pendidikan sudah memenuhi standar, termasuk seberapa para peserta didik memenuhi standar mutu yang berlaku pada jenjang/jenis pendidikan yang ditempuh. Hasil ujian nasional sering dikaitkan dengan indikator mutu pendidikan. Mutu merupakan bahan kajian yang penting sekaligus digunakan sebagai pendekatan di dunia pendidikan. Mutu mengandung makna keunggulan suatu produk baik berupa hasil kerja atau upaya, berupa barang ataupun jasa (Umedi, 2004) Untuk menentukan apakah pendidikan yang telah dilakukan di satuan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, perlu dilakukan penjaminan mutu. Penjaminan mutu (Quality Assurance) adalah proses penetapan dan pemenuhan standar 59 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan (Depdiknas, 2003, Suminarsih, 2010), menyatakan bahwa penjaminan mutu merupakan aktivitas yang mencakup system perencanaan pemantauan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlibat secara langsung pada proses pengembangan/ pelaksanaan suatu penemuan/program. Ujian nasional tahun pelajaran 2009/2010, pada jenjang SMA mata pelajaran yang di-UNkan meliputi: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris untuk semua jurusan, ditambah Fisika, Kimia, dan Biologi untuk jurusan IPA, Ekonomi, Geografi, Sejarah untuk jurusan IPS, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, Bahasa Asing lain untuk jurusan Bahasa. Berdasarkan keputusan tersebut siswa SMA dinyatakan lulus UN jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan Hasil ujian nasional sering dikaitkan dengan indikator mutu pendidikan. Mutu merupakan bahan kajian yang penting sekaligus digunakan sebagai pendekatan di dunia pendidikan. Mutu mengandung makna keunggulan suatu produk baik berupa hasil kerja atau upaya, berupa barang ataupun jasa (Umaedi, 1999).nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya (Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0024/SK-Pos/BSNP/XII/2009 Tentang Prosedur Operasi Standar). Hasil ujian nasional beberapa tahun terakhir ini menarik untuk dicermati, beberapa anomali terjadi. DIY yang biasanya bagus, di tahun 2010 yang lalu jatuh terpuruk menduduki kelompok teburuk. Berbagai argumentasi populis dibesar-besarkan, dan diulang-ulang, banyak anak stres, sekolah tiga tahun hanya ditentukan hasilnya dalam waktu ujian nasional tiga hari, mengebiri hak profesi guru untuk menilai siswa-siswinya sendiri. Berbagai argumentasi tersebut hanya berada di tingkat permukaan, tidak menyentuh hal-hal yang lebih mendasar (Sumarno,2010) Gambar 1. berikut ini menyajikan data ujian nasional dari DI. Yogyakarta dan delapan kabupaten/kota di Jawa Tengah bagian selatan; khusus ditampilkan dalam garis batang yang mencerminkan persentase soal yang jawaban benarnya masih kurang dari 65%. Semakin tinggi batang diagram berarti semakin buruk kondisinya. Perkembangan dari tahun 2008 ke tahun 2010 dapat dilihat dari ketinggian batang diagram tersebut; kalau turun berarti membaik, sebaliknya kalau naik berarti memburuk. Gambar 1. Data hasil ujian Nasional tahun 2008, 2009, dan 2010 di DIY 60 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Oleh karena pelaku utama KBM adalah guru bersama peserta didiknya di kelas, sangat mendesak untuk diteliti lebih mendalam agar dapat diperoleh penjelasan yang lebih tuntas mengenai pencapaian hasil ujian nasional; untuk kemudian dapat dilakukan langkah-langkah nyata memecahkan masalah-masalah dan akar masalah terkait dengan ujian nasional. Permasalahan kinerja anak-anak dalam dalam menghadapi ujian nasional itu sendiri perlu dipetakan untuk mengetahui kompetensi mana saja bermasalah. Cara Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan yang direncanakan memiliki 2 tahap, tahap pertama dan tahap kedua. Penelitian tahap I merupakan tahap perumusan identifikasi faktor penyebab masih kurangnya penguasaan kompetensi di SMU dan merumuskan alternative pemecahannya, dan tahap II merupakan tahap implementasi alternatif pemecahan dan mengukur efektivitasnya. Gambar 2 manyajikan tahapan penelitian Tahap I (Penelitian) Peta penguasaan Kompetensi, Faktor Penyebab masih kurangnya penguasaan kompetensi di SMU dan Alternatif Pemecahan Pemetaan penguasaan kompetensi, Identifikasi faktor penyebab masih kurangnya penguasaan kompetensi di SMU dan merumuskan alternatif pemecahannya Tahap II (PPM)  Implementasi Alternatif Pemecahan Masalah  Mengukur Efektivitas Pemecahan Masalah Implementasi dan Efektivitas Pemecahan Masalh Gambar 3 Tahap Kegiatan Penelitian 1. Langkah Penelitian Tahap I (Tahun 2011) merupakan tahap untuk memetakan kompetensi, mengidentifikasi faktor penyebab kesulitan penguasaan kompetensi, dan menemukan alternative pemecahan masalah. Tahap II (Tahun 2012) merupakan tahap implementasi dan mengukur efektivitas implementasi alternatif pemecahan masalah. Kegiatan tiap tahap disajikan pada Tabel 1.Dalam artikel ini hanya mengambil topik sebatas Tahap 1 saja 61 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tahun Tabel 1. Langkah – Langkah Penelitian Kegiatan Hasil yang Diperoleh 2011 Pemetaan Kompetensi 2011 Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Menguasai Kompetensi Identifikasi Alternatif Pemecahan 2011 Peta Kompetensi Siswa SMA tiap Pokok Bahasan Faktor Penyebab Kesulitan Menguasai Pokok Bahasan Alternatif dan Model Pemecahan Metode yang Digunakan Studi Dokumentasi, Analisis Kuantitatif Hasil UN Survey FGD Indepth Interview FGD Sementara itu, langkah-langkah operasinal analisis untuk menemukan peta kompetensi yang tidak dikuasai siswa pada materi UN, dilakukan sebagai berikut. a. Melakukan identifikasi KD yang relevan berdasarkan data hasil UN dan kompetensi yang diujikan. b. Melakukan identifikasi materi sulit atau yang tidak dikuasai siswa berdasarkan data hasil UN tiap mata pelajaran yang di-UN-kan selama 3 tahun, yaitu tahun 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 dengan kriteria daya serap minimal atau jumlah peserta yang menjawab benar pada butir tersebut < 60%. c. Kompilasi hasil identifikasi materi sulit UN selama tiga tahun, dengan memberikan urutan rangking kesulitan yang tinggi untuk materi (KD) yang selalu muncul dalam tiga tahun, diikuti yang muncul dalam dua tahun, dan yang terendah adalah KD yang muncul hanya satu tahun. d. Hasil urutan KD yang sulit (daya serapnya < 60%) dan muncul paling sering selama tiga tahun, dijadikan poin-poin untuk menyusun instrumen angket guru, yang akan digunakan untuk menjaring data mengenai faktor-faktor penyebab kekurangberhasilan penguasaan kompetensi siswa dalam UN. e. Mengembangkan angket untuk kepala sekolah, untuk menjaring informasi mengenai praktik-praktik manajemen mutu yang dilakukan oleh sekolah, terutama untuk meningkatkan hasil capaian UN siswanya. f. Verifikasi/validasi data yang diperoleh dari kedua angket tersebut berdasarkan data hasil FGD, yang dilakukan dengan peserta guru mata pelajaran, kepala sekolah, dan pejabat dari Dinas Pendidikan setempat. g. Melakukan FGD dengan kepala sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan, untuk menjaring data mengenai praktik-praktik manajemen mutu yang telah dilakukan oleh kepala sekolah dan Dinas Pendidikan, serta menjaring solusi pemecahan masalah pada level manajemen dan kebijakan. 2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Bantul dan Gunung Kidul. Penelitian ini berlangsung selama empat bulan, mulai bulan Juli-Oktober 2011. 62 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Populasi dan Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara purposive and cluster sampling yakni dengan memperhatikan keterwakilan antar wilayah kabupaten dan kota, perimbangan jumlah sekolah negeri dan swasta, serta tingkat keberhasilan UN untuk masing-masing sekolah di dua kabupaten tersebut. Dengan cara tersebut diharapkan sampel yang terambil cukup representatif untuk menjelaskan gejala yang terjadi. Tingkat keberhasilan diketahui untuk melihat penguasaan kompetensi hasil UN. Guna melihat peta penguasaan kompetensi berdasarkan hasil UN dan perkembangannya, penelitian ini menggunakan data tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 Sampel dalam penelitian ini a. Kabupaten Bantul: 1) SMA N 1 Sewon 2) SMA Stella Duce Bantul 3) SMA Muhammadiyah Pleret b. Kabupaten Gunung Kidul: 1) SMA N 1 Wonosari 2) SMA N 1 Karangmojo 3) SMA Pembangunan 4 Playen 4. Objek Penelitian Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian mencakup: a. Peta penguasaan kompetensi siswa SMA berdasarkan ujian nasional yang dicapai masing-masing daerah. b. Faktor-faktor penyebab rendahnya penguasaan komptensi c. Alternatif penyelesaian agar penguasaan kompetensi dapat ditingkatkan 5. Metode Pengumpulan data Secara garis besar metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan 5 metode yang saling melengkapi yaitu : a. Angket dipakai untuk survei menemukan faktor penyebab kekurangberhasilan penguasaan kompetensi dalam UN b. Focus Group Discussion merupakan teknik untuk menjaring pendapat dari kelompok yang anggotanya dibatasi oleh kriteria tertentu yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan pencapaian kompetensi dan menemukan alternatif pemecahan masalahnya. c. Wawancara dilakukan pada beberapa orang pada tiap kelompok guru untuk melengkapi data dari angket. Wawancara mendalam (Indept Interview) dilakukan pada responden kunci yaitu orang-orang yang punya pengaruh dan peranan besar dalam pelaksanaan pendidikan khususnya pencapaian kompetensi meliputi petugas dari DIKNAS, kepala Sekolah, Guru ataupun Komite sekolah/orangtua siswa. d. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan hasil ujian nasional. 63 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 6. Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan survei dan pendekatan deskriptif eksploratif. Terkait dengan pendekatan ini, data yang terkumpul secara serempak dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif dan kualitatif untuk mengidentifikasi kompetensi yang belum dikuasai siswa berdasarkan hasil UN, mengetahui faktor penyebabnya, dan menemukan alternatif pemecahan masalahnya. Hasil Penelitian dan Pembahasan Peta Kompetensi yang Belum Dikuasai oleh Peserta Didik dalam Matapelajaran Ekonomi pada Ujian Nasional 1.Kabupaten Bantul 1) 1.5 Menyusun laporan keuangan perusahaan dagang 2) 1.3 Menghitung harga pokok penjualan 3) 1.4 Membuat ikhtisar siklus akuntansi perusahaan dagang 4) 1.5 Mengidentifikasi sistem ekonomi untuk memecahkan masalah ekonomi 5) 3.4 Mendeskripsikan berbagai bentuk pasar barang 6) 4.2 Mengidentifikasi kurs tukar valuta asing, dan neraca pembayaran 7) 5.3 Mencatat transaksi berdasarkan mekanisme debit dan kredit 8) 1.1 Mencatat transaksi/dokumen ke dalam jurnal khusus 9) 1.2 Melakukan posting dari jurnal khusus ke buku besar 10) 1.2 Mendiskripsikan berbagai sumber ekonomi yang langka dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas 11) 1.3 Mendeskripsikan proses pertumbuhan ekonomi 12) 1.3 Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang diproduksi 13) 1.5 Menyusun laporan keuangan perusahaan dagang 14) 2.3 Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dibidang fiskal 15) 3.1 Mengenal jenis produk dalam bursa efek 16) 3.2 Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya 17) 3.3 Mendeskripsikan pengertian harga dan jumlah keseimbangan 18) 3.3 Mendeskripsikan peran badan usaha dalam perekonomian Indonesia 19) 4.1 Mendeskripsikan cara pengembangan koperasi dan koperasi sekolah 20) 4.1 Mengidentifikasi manfaat, keuntungan dan faktor-faktor pendorong perdagangan internasional 21) 4.3 Mendeskripsikan peran dan jiwa kewirausahaan 22) 4.3Menjelaskan konsep tarif, kuota, larangan ekspor, larangan imppor, subsidi, premi, diskriminasi harga dan dumping 23) 5.1 Menjelaskan konsep PDB, PDRB, PNB, PN 24) 5.2 Menafsirkan persamaan akuntansi 25) 6.1 Mendeskripsikan fungsi konsumsi dan fungsi tabungan 26) 7.2 Membedakan peran bank umum dan bank sentral 27) 7.3 Mendeskripsikan kebijakan pemerintah di bidang moneter 64 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2.Kabupaten Gunung Kidul 1) 1.2 Melakukan posting dari jurnal khusus ke buku besar 2) 1.5 Mengidentifikasi sistem ekonomi untuk memecahkan masalah ekonomi 3) 1.5 Menyusun laporan keuangan perusahaan dagang 4) 3.3 Mendeskripsikan pengertian harga dan jumlah keseimbangan 5) 3.3 Mendeskripsikan peran badan usaha dalam perekonomian Indonesia 6) 4.2 Mengidentifikasi kurs tukar valuta asing, dan neraca pembayaran 7) 5.1 Menjelaskan konsep PDB, PDRB, PNB, PN 8) 1.2 Mendiskripsikan berbagai sumber ekonomi yang langka dan kebutuhan 9) manusia yang tidak terbatas 10) 1.3 Menghitung harga pokok penjualan 11) 1.3 Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana 12) dan untuk siapa barang diproduksi 13) 1.4 Membuat ikhtisar siklus akuntansi perusahaan dagang 14) 2.1 Membuat jurnal penutupan 15) 2.2 Mengidentifikasi sumber-sumber penerimaan pemerintah pusat dan 16) pemerintah daerah 17) 3.2 Mendeskripsikan mekanisme kerja bursa efek 18) 3.2 Menjelaskan fungsi manajemen dalam pengelolaan badan usaha 19) 3.4 Mendeskripsikan berbagai bentuk pasar barang 20) 5.3 Mencatat transaksi berdasarkan mekanisme debit dan kredit 21) 5.4 Mendeskripsikan indeks harga dan inflasi 22) 7.2 Membedakan peran bank umum dan bank sentral 23) 1.1 Mencatat transaksi/dokumen ke dalam jurnal khusus 24) 1.3 Mendeskripsikan proses pertumbuhan ekonomi 25) 1.4 Mendeskripsikan pengangguran beserta dampaknya terhadap 26) pembangunan nasional 27) 2.1 Mendeskripsikan pola perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan 28) ekonomi 29) 2.3 Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dibidang fiskal 30) 3.1 Mengenal jenis produk dalam bursa efek 31) 3.2 Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya 32) 3.5 Mendeskripsikan pasar input 33) 4.1 Mendeskripsikan cara pengembangan koperasi dan koperasi sekolah 34) 4.1 Mengidentifikasi manfaat, keuntungan dan faktor-faktor pendorong 35) perdagangan internasional 36) 4.3 Mendeskripsikan peran dan jiwa kewirausahaan 37) 4.3 Menjelaskan konsep tarif, kuota, larangan ekspor, larangan impor, subsidi, premi, diskriminasi harga dan dumping 38) 5.2 Menafsirkan persamaan akuntansi 39) 5.6 Membuat ikhtisar siklus akuntansi perusahaan jasa 65 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 40) 41) 6.1 Mendeskripsikan fungsi konsumsi dan fungsi tabungan 7.3 Mendeskripsikan kebijakan pemerintah di bidang moneter Faktor-Faktor Penyebab Peserta Didik Kurang Menguasai Kemampuan dalam Matapelajaran yang Diujikan pada Ujian Nasional Untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab peserta didik kurang menguasai kemampuan dalam matapelajaran yang diujikan pada UN maka disusunlah angket guru dan didistribusikan ke sekolah (guru matapelajaran) yang dipilih sebagai sampel dalam satu kabupaten/kota. Angket ini menyajikan KD-KD dalam matapelajaran yang belum dikuasai oleh siswa dan penyebabnya ditinjau dari aspek kesiapan/persiapan (guru, siswa dan sarana), pelaksanaan KBM (waktu kurang, metode dan pemanfaatan sarana), asesmen (waktu terbatas, alat/tes baku dan analisis hasil), dan tindak lanjut asesmen (kelas besar, target kurikulum, dan waktu kurang). Hasil jawaban angket guru matapelajaran dianalisis dan dilanjutkan dengan FGD (Focus Group Discussion) bersama guru-guru matapelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional untuk mengungkap akar pemasalahan lebih mendalam dan menemukan upaya pemecahan permasalahan tersebut. Kriteria penskoran dalam angket adalah sebagai berikut: 0 = TIDAK menjadi sumber kesulitan 1 = YA tetapi kurang dominan sebagai sumber kesulitan 2 = YA dan cukup dominan sebagai sumber kesulitan 3 = YA dan sangat dominan sebagai sumber kesulitan Berdasarkan pedoman penskoran tersebut komponen itu akan dianggap sebagai penghambat jika skornya lebih dari atau sama dengan 1. Adapun akar permasalahan yang ditemukan berdasarkan hasil analisis angket guru adalah sebagai berikut: Untuk mata pelajaran ekonomi di Kabupaten Bantul, faktor penghambat yang ditemui adalah aspek: kesiapan siswa, waktu assesment terbatas, kelas besar, target kurikulum. Adapun untuk Kabupaten Gunungkidul tidak ditemukan faktor penghambat. 66 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMBAHASAN Kalau kita persandingkan temuan dari hasil analisis data ujian nasional, angket guru, dan hasil diskusi guru matapelajaran diperoleh beberapa hal yang menarik sebagai berikut. Ekonomi dan ilmu-ilmu sosial Menurut para guru ekonomi sumber kesulitan yang dipandang menonjol adalah kesiapan siswa dan sarana; dari komponen proses kesulitannya adalah kekurangan waku dan pemanfaatan sarana; dari unsur asesmen juga terbentur pada keterbatasan waktu, kemudian untuk tindak lanjut asesmen misalnya remidi, terkendala dengan kelas besar. Kemudian dari FGD diketemukan bahwa muatan akuntansi dan ekonomi sangat tidak proporsional dibandingkan dengan muatannya di dalam UN. Ketidak sesuaian antara muatan kuriklum dengan komposisi soal UN juga ditemukan di geografi. Kegemaran dan kecakapan membaca tentunya hal yang sangat diperlukan di dalam belajar ilmu-ilmu sosial; dan penelitian ini menemukan bahwa hal tersebut masih belum menggembirakan. Di samping itu diperoleh informasi bahwa dalam pelajaran sosiologi, buku juga menjadi salah satu sumber kesulitan; di antaranya: tidak semuanya menjelaskan materi dan konsep secara lengkap; contohcontoh kurang aktual, kurang kontekstual, dan kurang mutakhir; sehingga sulit difahami. Proses pembelajaran dalam sosiologi juga menjadi sumber kesulitan, yakni di samping jadwal dianggap kurang kondusif, media pembelajaran kurang variatif, tidak ada laboratorium. Sementara itu evaluasi dirasa belum efektif, padahal diketahui bahwa kebiasaan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh cara guru melakukan evaluasi kemajuan belajar para siswanya. Sebenarnya ada materi metode penelitian sosial, namun kompetensi penelitian tersebut belum dapat terselenggarakan secara optimal, kesulitan tema, kesulitan waktu, dan guru tidak selalu menguasai. Akhir-akhir ini masih ada beban tambahan lain, yakni muatan pendidikan karakter yang harus diintegrasikan; dan hal ini juga dilaporkan sebagai tambahan sumber kesulitan. Di samping data yang diperoleh dari angket untuk guru, data juga dikumpulkan melalui FGD dengan guru, Kepala Sekolah, dan Kepala Dinas pendidikan Kabupaten. Data yang diperoleh dari FGD dapat memberikan beberapa informasi yang menambah penjelasan atas kesulitan siswa dalam menghadapi ujian nasional. Beberapa di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Kesulitan penguasaan bidangstudi nampaknya berkorelasi dengan capaian kelulusan UN. Sekolah yang kebetulan terpilih sebagai sampel untuk kluster Bantul-Gunung Kidul kebetulan terdiri atas sekolah yang berkategori RSBI dan sekolah standar. Untuk sekolah RSBI konsisten dapat mencapai lulusan 100%, sementara sekolah standar bervariasi; ada yang konsisten 80an%, ada pernah 100% tetapi tidak selalu dapat mempertahankannya. 2. Keberanian sekolah menetapkan KKM, di sekolah yang baik menetapkan 70 atau lebih; bahkan ada SMA yang berani 80, bahkan lebih. KKM kalau dilaksanakan secara konsisten merupakan semacam kontrak diri, atau kontrak antara guru dengan sekolah bahwa mereka akan mengajar dan mengejar target yang sudah ditetapkan. Tentu saja harus dilandasi dengan integritas profesional dan personal, sehingga berusaha menampilkan data secara objektif dan menindaklanjutinya secara optimal. Hal ini diperlemah dengan tingkat kehadiran pendidik dan tenaga kependidikan yang juga masih kurang baik. 3. Keefektifan penggunaan waktu yang sudah diagendakan dilaporkan sudah cukup tinggi (9599%) meskipun tidak ada yang dilaporkan 100%. Hal ini berarti bahwa sebenarnya memang 67 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 4. 5. 6. masih terjadi jam kosong, atau bahkan hari-hari tidak ada pelajaran, meskipun hari efektif, bukan hari libur. Indikator manajemen yang lemah diketahui di antaranya sebagai berikut: a. Dari 8 standar, yang paling lemah adalah standar pembiayaan. b. Sekolah pada umumnya tidak memiliki sistem informasi kinerja c. Tidak banyak menerapkan metoda pembelajaran inkuiri d. Kurang berorientasi target kualitas unggul seperti: diterima di PT favorit, lomba internasional, tak sekedar memenuhi standar nasional, lulusan dapat berkomunikasi dlm bahasa Inggris, penyediaan sarana yang memungkinkan moving class. Sekolah pada umumnya belum mengembangkan sistem penilaian, belum memiliki sistem penilaian berkelanjutan, dokumentasi perkembangan hasil penilaian. Usulan Guru Untuk Pemecahan Masalah Pembelajaran a. Perlu pengembangan CD simulasi pasar modal yang dapat dimanfaatkan guru dalam membelajarkan siswa tentang pasar modal b. Perlu penyeimbangan materi ekonomi di kelas X XI dan XII karena dirasa sangat timpang. Di kelas X materi sangat padat, sementara di kelas XII materi sedikit c. BSE perlu lebih diberdayakan dengan cara merevisi buku-buku yang tersedia di sana d. Untuk materi akuntansi perlu ditambah jam latihan dan dibuatkan form-form khusus yang diperlukan untuk praktik perhitungan Kesimpulan Berdasarkan temuan lapangan dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut. 1. Peta kesulitan penguasaan kompetensi berdasarkan hasil ujian nasional Nampak sekali bahwa penguasaan kompetensi akuntansi lebih menonjol dibandingkan dengan kompetensi ekonomi; pada akuntansi kesulitannya pada aspek prosedural, sedangkan pada ekonomi pada penguasaan konseptual. Di Kabupaten Bantul ada 27 KD yang belum dikuasai siswa. Adapun di Kabupaten Gunungkidul ada 35 KD 1. Penjelasan sumber kesulitan Pada umumnya para guru mengeluhkan keterbatasan waktu sebagai sumber kesulitan; baik untuk pelaksanaan KBM sampai tingkat ketuntasan yang ditargetkan, untuk pelaksanaan asesmen yang baik, maupun untuk menindaklanjuti hasil asesmen, karena untuk menghabiskan target kurikulumpun kekurangan waktu. 2. Di samping alokasi materi di kelas XI yang terlalu padat, dan pemadatan materi di kelas XII, para siswa lebih tertarik untuk belajar ekonomi dibandingkan dengan akuntansi; hal ini menjadi sumber penjelasan kesulitan yang dialami siswa menghadapi ujian nasional. 3. Akhir-akhir ini masih ada beban tambahan lain, yakni muatan pendidikan karakter yang harus diintegrasikan; dan hal ini juga dilaporkan sebagai tambahan sumber kesulitan Rekomendasi Kebijakan Isi rekomendasi berikut baru didasarkan pada temuan, pendalaman, dan pembahasan; serta ide yang muncul di dalam FGD dengan para guru, kepala sekolah, dan unsur Dinas Pendidikan kabupaten/ kota; dan belum didasarkan pada pengujian emperis di lapangan. 68 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 1. Untuk guru a. Peningkatan kompetensi guru sangat diperlukan terutama untuk menghadapi pesertadidik yang mengalami kesulitan belajar; tidak cukup hanya dijadikan alasan pembenaran mengapa sekolah tertentu tidak mencapai prestasi tinggi. Penguasaan bahan ajar tentu saja merupakan prasyarat untuk dapat mengajar dengan kualitas tinggi dan membantu setiap anak mencapai prestasi terbaik. b. Manajemen waktu sebagai bagian dari manajemen kelas, perlu dikuasai dengan baik oleh para guru; sehingga KBM mencapai tingkat ketuntasan yang ditargetkan KKM; melalui fungsi asesmen tersistem, sehingga perkembangan setiap anak terpantau dan terlayani secara optimal. c. Pemanfaatan MGMP antar sekolah dan intern sekolah, benar-benar sebagai forum untuk pengembangan profesionalitas guru. Hasil kajian yang memetakan kesulitan yang dihadapi siswa, dan sumber-sumber kesulitannya, terutama di level kelas, perlu diagendakan di MGMP, sebagai bahan diskusi, mencari solusi, dan berbagi pengalaman dalam menerapkan solusi di kelas/ sekolah masing-masing. 2. Untuk sekolah a. Pengalaman sekolah yang berhasil melakukan pengembangan dengan ukuran keberhasilan yang nyata, seperti kelulusan UN, perlu menjadi bahan pelajaran pembanding bagi sekolah lain; bukan untuk sekedar ditiru, akan tetapi sebagai sumber inspirasi dan gagasan operasional untuk memperbaiki sekolah masing-masing. b. Mengingat sekolah yang berhasil pada umumnya bukan hanya karena memiliki visi untuk menjadi sekolah yang unggul, dengan ukuran nyata dan terukur; serta komitmen manajemen sekolah untuk secara kompak mewujudkannya; maka budaya sekolah yang demikian perlu dibudayakan dan dilembagakan di semua sekolah. c. MKKS atau yang sejenis, sebagai forum pengembangan sekolah, atau jaringan kerjasama (aliansi) sekolah perlu dihidupkan dan diefektifkan secara optimal. Hasil kajian mengenai sumber-sumber masalah atau sumber kesulitan pada level sekolah, diagendakan untuk didiskusikan, dicarikan solusi, dan pada kesempatan yang tepat saling berbagi pengalaman memecahkan masalah di sekolah masing-masing. 3. Untuk dinas a. Dinas Pendidikan perlu menampilkan proses kebijakan mutu yang jelas dan konsisten, sesuai dengan kewenangannya untuk menerjemahkan kebijakan dasar nasional, disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing daerah. Misalnya, agar kalender pendidikan terlaksana 100 persen, dalam pengendalian waktu sekolah yang efektif; agenda kegiatan dinas yang melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, diusahakan untuk tidak mengurangi hari efektif, dan jam efektif sekolah, sesuai dengan kalender akademik yang ditetapkan. Di samping itu perlu dibuat sistem untuk memantau dan mengendalikan keefektifan pelaksanaan sekolah. b. Fungsi pengawasan, akademik dan manajerial, perlu ditingkatkan profesionalitasnya; sehingga kehadiran pengawas di sekolah merupakan hal yang dinantikan oleh sekolah, bukan sebagai hal yang tidak terlalu diharapkan. Pembinaan dan pemberdayaan 69 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pengawas sangat diperlukan, sebelum para pengawas ini mampu menunaikan fungsi dan perannya di sekolah 4. Untuk pusat a. Peninjauan kembali kurikulum perlu dilakukan mengingat temuan dan keluhan lapangan bahwa ada beberapa hal yang menjadi sumber kesulitan, misalnya penataan kembali: 1) Kepadatan bahan yang kurang proporsional antar kelas (10, 11, 12), sehingga tidak memberatkan di kelas 12. 2) Urutan materi agar sinkron dengan kebutuhan antar matapelajaran, misalnya ada konsep matematika yang diperlukan untuk menguasai konsep dalam sains. 3) SK/KD hendaknya memfasilitas pencapaian hasil belajar tingkat tinggi sampai pada kompetensi evaluasi sintesis pada ranah kognitif; kompetensi mempribadi pada ranah afektif; dan kompetensi psikomotorik tingkat tinggi, secara harmonis sesuai dengan karakteristik masing-masing matapelajaran, dan SKL SMA. Misalnya dalam kompetensi kebahasaan mesti lebih utuh, reseptif maupun ekspresif, bukan hanya melalui matapelajaran bahasa, melainkan juga melalui matapelajaran lain; sebagaimana pendidikan karakter. b. Pengharmonisan agenda pendidikan antar kepentingan siswa dan guru, serta kepentingan perguruan tinggi, sehingga tidak saling mengganggu. Misalnya: guru/ sekolah diminta mengikuti kegiatan nasional pada saat menjelang UN atau sedang konsentrasi menyiapkan siswa untuk UN; kegiatan rekrutmen mahasiswa baru yang membuat siswa bingung, antara konsentrasi UN atau mencari PT. c. Pengurangan kebergantungan dan atau sikap spekulatif sekolah terhadap rambu-rambu soal UN yang dikeluarkan setiap tahun; dengan menerapkan kebijakan yang konsisten antar tahun. Sekolah dikondisikan untuk tertantang, dan dapat mengantisipasi, bagaimana mempersiapkan siswa agar dapat menyelesaikan pendidikan SMA dengan sebaik-baiknya. Daftar Pustaka Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0024/SK-Pos/BSNP/XII/2009 Tentang Prosedur Operasi Standar dalahttp://www.scribd.com/doc/22275004/Salinan-Permendiknas-Nomor-75-Tahun2009-2010 Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) Nomor 75 tahun 2009 Tentang Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK Tahun Pelajaran 2009/2010 dalam http://www.scribd.com/doc/22275004/Salinan-Permendiknas-Nomor7Tahun-2009-2010 Sumarno, dkk.(2010). Determinan Keberhasilan Ujian Nasional di DKI Jakarta dan D.I.Yogyakarta. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta Sumiarsih,M.Si. (2010). Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, dalam http://www.slideshare.net /NASuprawoto/sistem-penjaminan-mutu-pendidikan, Jan 30, 2010 Umedi, Dr. (2010). Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan 70 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MANAJEMEN SUMBER DAYA GURU PADA SMK RSBI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Amat Jaedun Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui gambaran umum mengenai praktik pelaksanaan manajemen peningkatan mutu sumber daya guru pada SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta; dan (2) mengidentifikasi kendala-kendala yang dialami oleh SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pelaksanaan program peningkatan mutu sumber daya guru. Penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang dilakukan melalui studi kasus pada lima SMK negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah menyelenggarakan program pendidikan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), maupun yang dikembangkan menjadi SBI Invest. Sumber data (responden) penelitian ini adalah para guru dan kepala bidang pengembangan SDM pada SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode angket, dan wawancara tak terstruktur. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket (kuesioner), dalam bentuk semi tertutup. Uji validitas instrumen didasarkan pada validitas isi, yang didasarkan pada expert judgment. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) secara umum, pelaksanaan manajemen peningkatan mutu sumber daya guru pada SMK RSBI dan SBI Invest di Daerah Istimewa Yogyakarta belum dapat berjalan dengan baik; dan (2) secara garis besar, kendala yang dialami pihak sekolah dalam melaksanakan manajemen peningkatan mutu sumber daya guru secara baik, adalah berkaitan dengan dua hal, yaitu: (a) tidak adanya kewenangan pihak sekolah untuk melakukan proses rekrutmen dan seleksi sendiri calon-calon guru yang dibutuhkan oleh sekolah, dan (b) pihak sekolah belum mampu mengoptimalkan proses manajemen peningkatan mutu sumber daya guru yang menjadi kewenangannya, yang disebabkan karena kurangnya kemampuan manajerial kepala sekolah, belum dikuasainya teknis penilaian kinerja guru, dan kendala klasik seperti minimnya anggaran dan kurang respeknya guru terhadap program pengembangan karir mereka. Kata Kunci : Manajemen Peningkatan Mutu Guru, SMK RSBI Pendahuluan Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan amanat undang-undang, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50, ayat (3), yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, juga ditegaskan kembali perlunya sekolah bertaraf internasional. PP Nomor 19 Tahun 2005, pasal 61, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. 71 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Ada beberapa strategi pokok dalam penyelenggaraan rintisan SBI, baik yang berkaitan dengan peningkatan mutu input, proses maupun output. Strategi yang berkaitan dengan peningkatan mutu input, antara lain diimplementasikan dalam penyiapan input yang memadai untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang bertaraf internasional, baik seleksi raw input, penyiapan instrumental input maupun penyiapan input manajemen yang bertaraf internasional. Beberapa strategi pokok yang berkaitan dengan aspek proses antara lain: (1) adanya upaya peningkatan kualitas pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran matematika, IPA, bahasa Inggris dan TIK; (2) pembelajaran dengan menggunakan pengantar bahasa Inggris, khususnya untuk mata pelajaran matematika, IPA, bahasa Inggris dan TIK; dan (3) pembelajaran yang berbasis TIK. Sementara itu, beberapa strategi peningkatan mutu output diarahkan untuk menghasilkan output yang memenuhi standar nasional, sekaligus bertaraf internasional, yang antara lain didasarkan: (1) kualitas lulusan berdasarkan kurikulum nasional; (2) kompetensi lulusan dalam bahasa Inggris; (3) kemampuan lulusan yang berkaitan dengan TIK; dan (4) pengakuan lulusan oleh dunia kerja atau lembaga pendidikan di luar negeri. Salah satu komponen yang sangat strategis dalam penyelenggaraan SBI atau RSBI adalah penyiapan sumber daya guru (pendidik). Guru memiliki peran yang strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, bahkan sumber pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak didukung oleh keberadaan guru yang berkualitas. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Singkatnya, guru merupakan kunci utama dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Guru adalah jabatan profesional sehingga seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugas dengan selalu berpegang teguh pada etika profesi, independen, produktif, efektif, efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat, dan kode etik yang regulatif (Sulipan, http://www.ktiguru.org/index.php/profesiguru). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang guru, dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Bagi guru-guru pada sekolah-sekolah RSBI, selain keempat kompetensi tersebut harus ditambah dengan kompetensi-kompetensi lain sesuai yang dipersyaratkan untuk guru SBI atau RSBI, antara lain: (1) mampu melaksanakan pembelajaran dengan pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, sekolah harus berupaya peningkatan mutu sumber daya pendidiknya. Berkaitan dengan peran guru yang sangat strategis tersebut, maka penyelenggaraan SMK RSBI akan dapat berjalan sebagaimana standar yang telah ditetapkan jika sekolah tersebut mampu menyiapkan sumber daya guru secara baik. Untuk mewujudkan kondisi tersebut diperlukan pengelolaan (manajemen) sumber daya guru secara sungguh-sungguh dan dapat diimplementasikan secara efektif. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan/ implementasi program peningkatan mutu sumber daya guru pada SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Kemendiknas. 72 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran umum mengenai manajemen peningkatan mutu sumber daya guru pada SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Apa sajakah kendala-kendala yang dialami oleh SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pelaksanaan program peningkatan mutu sumber daya guru? Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional Menurut Depdiknas (2006:3), SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan sekaligus bertaraf internasional, sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, dinyatakan bahwa sekolah/ madarasah internasional adalah sekolah/madarasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan dari salah satu negara anggota OECD dan /atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing internasional (Kir Haryana, 2007). Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang guru, dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Bagi guru-guru pada sekolah-sekolah RSBI, selain keempat kompetensi tersebut harus ditambah dengan kompetensi-kompetensi lain sesuai yang dipersyaratkan untuk guru SBI atau RSBI, antara lain: (1) guru sains, matematika, dan TIK harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan pengantar bahasa Inggris, (2) semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK, dan (3) minimal 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan yang terakreditasi (Depdiknas, 2006; Kir Haryana, 2007; dan Joko Sutrisno, 2007). Karakteristik SBI sebagaimana dijelaskan di atas merupakan karakteristik SBI untuk sekolahsekolah non kejuruan, seperti: SD, SMP maupun SMA. Sementara itu, bagi SMK RSBI selain harus memiliki karakteristik di atas masih ditambah dengan karakteristik yang khusus sesuai bidang kejuruan yang diajarkan, yaitu: (1) SMK tersebut mengembangkan teaching factory; dan (2) SMK tersebut tersebut mengimplementasikan self access study atau program SAS (Djemari Mardapi, 2007). Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana yang sesungguhnya, sehingga diharapkan dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara yang dibekalkan di sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. (http://www. smk1kedungwuni.sch.id). Dalam pengertian lain, teaching factory merupakan pembelajaran berbasis produksi yaitu suatu proses pembelajaran keahlian atau ketrampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar kerja yang sesungguhnya (the real job) untuk menghasilkan barang atau jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen (http://www.disdik.jambiprov.go.id/informasi/lembaga-pendidikan/ 107.html Dengan kata lain barang yang diproduksi harus berupa hasil produksi yang dapat dijual atau yang dapat digunakan oleh masyarakat, sekolah atau konsumen. Sementara itu, Self Access Study (SAS) merupakan program atau kegiatan belajar secara mandiri melalui pembelajaran berbasis TIK (http://www.seamolec.org/ pages.php?). Ide awal dari 73 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SAS adalah untuk menciptakan lingkungan pembelajaran secara mandiri yang dapat diakses baik oleh siswa maupun elemen sekolah yang lain. Dengan adanya SAS ini diharapkan siswa dan guru akan dapat belajar menggunakan media berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti intranet maupun internet. Pembelajaran SAS ini terutama banyak diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris secara mandiri, dengan memanfaatkan lingkungan pembelajaran yang telah disetting secara khusus. Berdasarkan karakteristik SMK RSBI sebagaimana diuraikan di atas, maka kualitas penyelenggaraan SMK Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dapat dinilai berdasarkan tingkat pemenuhan sekolah terhadap indikator kinerja kunci minimal (IKKM) yaitu 8 (delapan) standar nasional pendidikan, ditambah kemampuan sekolah untuk memenuhi indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), yang men-cerminkan ciri keinternasionalan. Manajemen Sumber Daya Guru Hasibuan (2003), menyatakan bahwa manajemen sumber daya adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan Nawawi (2005), menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah proses pendayagunaan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Sementara itu, Donald seperti dikutip oleh Jay (2008), menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses di mana suatu organisasi bisa memastikan bahwa organisasi tersebut memiliki sejumlah karyawan yang tepat, tipe yang tepat, dan pada saat yang tepat, untuk melakukan tugas-tugas secara ekonomis. Lebih lanjut, Jay (2008) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia meliputi beberapa tahapan/proses sebagai berikut: (1) proses penjaringan (rekrutmen), (2) proses seleksi, (3) proses penempatan, (4) penilaian kinerja, dan (5) pengembangan karir guru. 1. Penjaringan (Rekrutmen) Penjaringan atau rekrutmen, adalah sebuah usaha aktif dalam mencari calon potensial dengan mempengaruhi mereka agar bersedia mengisi posisi-posisi yang ada dalam sebuah lembaga operasional sekolah (Gordon dalam Jay, 2008). Sementara itu, menurut Jones dan Walters, rekrutmen adalah aktivitas-aktivitas yang terencana dalam menarik sejumlah individu yang berkualitas yang dibutuhkan untuk mengemban tugas-tugas yang ada di sebuah lembaga operasional sekolah (Jay, 2008). Dengan adanya proses rekrutmen guru yang kompeten maka diharapkan akan mampu memberikan warna baru di dalam ruang kelas, sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan adanya guru-guru yang berkualitas maka akan sangat berperan dalam menentukan efisien tidaknya suatu sekolah. Oleh karena itu, merekrut guru-guru yang terbaik merupakan tugas yang paling penting dari sebuah lembaga operasional sekolah. 74 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Penyaringan (Seleksi) Tujuan dari proses seleksi adalah untuk mendapatkan tenaga kerja (calon-calon guru) yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang sesuai dengan deskripsi jabatan yang tersedia atau sesuai dengan kebutuhan organisasi (Susilo Martoyo, 2007). Dalam proses seleksi dibutuhkan sejumlah calon guru yang memiliki kompetensi yang tinggi, yang jelas sesuai dengan tugas-tugas yang harus dilakukan, dan posisi lowongan perkerjaan yang tersedia. Agar dapat melakukan seleksi secara fair dan obyektif, maka harus ditetapkan suatu kriteria seleksi. Meskipun kriteria seleksi tidak ada yang sempurna, maka tetap perlu adanya rangkaian kriteria dalam proses seleksi, seperti: pihak-pihak mana saja yang harus dilibatkan, kriteriakriteria apa saja yang relevan, kompetensi apa yang dibutuhkan, kualitas personal seperti apa yang diharapkan, dan kebijakan-kebijakan tertulis seperti apa yang dibutuhkan dalam pengangkatan karyawan. 3. Penempatan (Penugasan) Tahap penempatan kerja (job placement) bertujuan untuk menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat pula. Menurut Jones (Jay, 2008), beberapa faktor yang mempengaruhi penempatan guru baru adalah: (1) posisi-posisi kerja yang tersedia, (2) kekosongan jabatan, (3) perubahan kualifikasi para guru, (4) perubahan program pendidikan, (5) perubahan jumlah siswa, (6) perubahan teknologi, dan (7) perubahan struktur organisasi. 4. Penilaian (Evaluasi) Kinerja Penilaian prestasi kerja atau penilaian kinerja adalah suatu proses evaluasi atau penilaian prestasi kerja atau kinerja yang dilakukan oleh suatu organisasi terhadap karyawannya (Susilo Martoyo, 2007). Dengan adanya penilaian kinerja, diharapkan akan menjadi motivasi bagi semua karyawan yang bekerja di sebuah organisasi, yaitu untuk selalu meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, karena apa yang dikerjakan oleh semua karyawan akan selalu dilakukan penilaian oleh atasannya. Menurut Hani Handoko (Susilo Martoyo, 2007), penilaian kinerja yang dilakukan terhadap prestasi kerja atau kinerja karyawan memiliki beberapa manfaat, antara lain untuk kepentingan: perbaikan prestasi kerja, penyesuaian-penyesuaian kompensasi, membuat keputusan-keputusan kompensasi, kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir karyawan, kesalahan-kesalahan proses staffing, ketidak-akuratan informasi, kesalahan-kesalahan penempatan, kesalahan penugasan, dan karena adanya tantangantantangan eksternal. 5. Pengembangan Karir Guru Menurut Hunter (1986), para siswa akan mampu belajar lebih baik dari guru-guru dan stafstaf manajemen yang mereka sendiri juga belajar, berpikir dan berkembang. Untuk mewujudkan kondisi tersebut perlu sebuah langkah yang tepat untuk merancang dan melaksanakan program peningkatan mutu guru. 75 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tujuan dari pengembangan karir karyawan (guru) adalah untuk membantu guru agar mampu berprestasi yang lebih baik di dalam pekerjaannya, dan untuk memberikan tanggung jawab serta tugas-tugas baru kepada mereka (Jay, 2008). Dalam sebuah penelitian yang didukung oleh American Association of School Administrators, ditemukan adanya empat alasan perlunya dilakukan pengembangan karir atau potensi seorang guru, yaitu: 1) Tuntutan kurikulum yang telah berubah, sedang berubah dan akan terus berubah. 2) Tantangan demografis, yaitu untuk lebih mampu memahami peserta didik baik di masa sekarang maupun yang akan datang. 3) Tuntutan metodologis, yaitu agar pembelajaran lebh menarik, dan agar dapat melayani keberagaman perkembangan peserta didik. 4) Tekanan kerja, dengan pengembangan potensi kerja maka karyawan (guru) akan dapat menanggulangi adanya stress akibat tekanan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amat Jaedun dan V. Lilik Hariyanto (2009), menunjukkan bahwa secara umum penyelenggaraan pendidikan pada SMK RSBI di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah belum sesuai dengan standar penyelenggaraan SMK RSBI yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kelemahan-kelemahan yang masih dijumpai terutama dalam pemenuhan indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), yang meliputi semua aspek. Demikian pula, hasil penelitian Ali Akbar (2009), menunjukkan bahwa sebagian besar SMK di D.I. Yogyakarta adalah belum cukup siap untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai standar RSBI. Ketidak-siapan sekolah untuk mengimplementasikan program sebagai RSBI tersebut terutama disebabkan oleh ketidak-siapan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain yang dimiliki sekolah untuk menyelenggarakan proses pendidikan sesuai standar RSBI. Salah satu komponen yang sangat strategis dalam penyelenggaraan SBI atau RSBI adalah penyiapan sumber daya guru (pendidik). Guru memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk dalam penyelenggaraan pembelajaran sesuai standar RSBI. Bahkan, sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak didukung oleh keberadaan guru yang berkualitas. Oleh karena itu, keberhasilan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, yang utamanya adalah guru. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi (Evaluation Research), yang dilakukan melalui studi kasus pada lima SMK negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang saat ini menyelenggarakan program pendidikan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yaitu SMKN 2 Wonosari, SMKN 2 Pengasih, dan SMKN 1 Bantul, maupun yang dikembangkan sebagai SBI Invest (Indonesia Vocational Education Strengthening), yaitu SMKN 2 Depok, dan SMKN 2 Yogyakarta. Disain evaluasi yang diacu adalah model kesenjangan atau Discrepancy model, yang dikembangkan oleh Malcolm Provus (Suharsimi Arikunto, 2009: 48). Model ini merupakan model yang menekankan pada analisis kesenjangan dalam implementasi program peningkatan mutu sumber daya guru, yaitu kesenjangan antara kondisi yang seharusnya menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (yang meliputi lima tahapan manajemen sumber daya guru) dengan kondisi riil implementasi program tersebut pada masing-masing SMK yang menjadi obyek penelitian. 76 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sebagai sumber data (responden) adalah pihak yang menjadi sasaran atau berkaitan langsung dengan implementasi program pengembangan SDM, khususnya manajemen sumber daya guru, yaitu para guru pada SMK yang bersangkutan. Jumlah responden adalah sebanyak 86 orang guru, yang terdiri atas: 43 orang guru dari SMK RSBI, dan 43 orang guru lainnya berasal dari SMK SBI Invest. Untuk validasi data dilakukan wawancara dengan penanggung jawab atau ketua bidang pengembangan SDM dari masing-masing SMK yang menjadi objek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode angket, dan wawancara tak terstruktur. Instrumen yang digunakan adalah berupa angket (kuesioner), dalam bentuk angket semi tertutup. Angket ini lebih bersifat inventory yang digunakan untuk mengungkap fakta-fakta yang berkaitan dengan implementasi dan efektivitas program peningkatan mutu sumber daya guru pada SMK RSBI di D.I. Yogyakarta. Uji validitas instrumen (angket) dilakukan berdasarkan pada validitas isi, yang dilakukan melalui pertimbangan logis, yaitu melalui rational judgment. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif kuantitatif, dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian yang dilakukan pada lima SMK negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terdiri dari: tiga SMK yang berstatus sebagai SMK Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan dua SMK yang saat ini dikembangkan sebagai SBI Invest, dengan melibatkan responden sebanyak 86 orang guru (43 orang guru dari SMK RSBI, dan 43 orang guru berasal dari SMK SBI Invest) dapat dideskripsikan sebagai berikut. 1. Penjaringan (Rekrutmen) Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah tidak melakukan rekrutmen calon guru sendiri, dikarenakan sekolah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rekrutmen calon guru sendiri, khususnya guru yang berstatus PNS, dan kewenangan tersebut telah dijalankan oleh Pemkab/Pemkot. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru yang terkait dengan rekrutmen calon-calon guru yang dibutuhkan, sekolah tidak dapat melaksanakan dengan baik, karena tidak adanya kewenangan bagi sekolah yang bersangkutan untuk merekrut sendiri calon-calon guru yang dibutuhkan. Dalam hal ini, peran/kewenangan sekolah hanyalah mengusulkan kebutuhan calon guru yang disertai dengan persyaratan mengenai kualifikasi dan bidang keahlian calon guru yang dibutuhkan. 2. Penyaringan (Seleksi) Terkait dengan realitas pelaksanaan rekrutmen calon guru di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sekolah tidak melakukan seleksi calon guru sendiri, khususnya guru yang berstatus sebagai PNS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru yang terkait dengan seleksi atau penyaringan calon-calon guru yang dibutuhkan, sekolah belum dapat melaksanakan dengan baik, karena tidak adanya kewenangan bagi sekolah yang bersangkutan untuk merekrut dan menyeleksi sendiri calon-calon guru yang dibutuhkan. 77 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Selama ini, sekolah hanya menerima calon guru yang telah direkrut dan diseleksi oleh Pemkab/Pemkot, yang telah ditentukan berdasarkan usulan kebutuhan maupun kriteria (kualifikasi dan bidang keahlian) calon guru yang diajukan oleh sekolah yang bersangkutan. 3. Penempatan (Penugasan) Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua (91%) responden menyatakan bahwa sekolah telah melakukan penugasan/penempatan, sedangkan 9% sisanya menyatakan bahwa sekolah tidak melakukan penempatan atau penugasan guru karena penugasan/penempatan telah dilakukan oleh Pemkab/Pemkot. Deskripsi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru yang terkait dengan penempatan atau penugasan guru, sekolah telah dapat melaksanakannya dengan baik, meskipun penugasan guru oleh sekolah masih bersifat pembagian beban tugas mengajar, ataupun penugasan guru untuk mengampu mata pelajaran. Adapun yang menjadi dasar bagi sekolah dalam penugasan guru berturut-turut adalah: kesesuaian d engan kompetensi/keahliannya (50,51%), pemenuhan terhadap kewajiban mengajar minimal 24 jam/minggu sebesar 44,44%, dan yang terakhir adalah berdasarkan pemerataan beban kerja, yaitu sebesar 5,05%. 4. Penilaian (Evaluasi) Kinerja Hasil penelitian menunjukkan 90% responden menyatakan bahwa sekolah telah memiliki program penilaian/evaluasi kinerja guru, sedangkan 10% sisanya menyatakan sekolah belum memiliki program penilaian/evaluasi kinerja guru. Adapun alasannya adalah bahwa pelaksanaan penilaian kinerja guru masih bersifat wacana, dan baru akan benar-benar dilaksanakan mulai tahun 2013. Hal ini adalah sejalan dengan hasil wawancara dengan ketua bidang pengembangan SDM, yang menyatakan bahwa saat ini para kepala sekolah sedang diberikan pelatihan untuk melakukan penilaian kinerja guru. Mengenai siapa atau pihak yang melakukan penilaian/evaluasi kinerja guru, sebanyak 57,48% responden menyatakan bahwa penilaian/evaluasi kinerja terutama masih dilakukan oleh pihak internal sekolah, dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota (sebanyak 16,54%), oleh pemerintah provinsi (sebanyak 13,39%), dan yang terakhir adalah dilakukan oleh pengawas sekolah bersama-sama dengan kepala sekolah, yaitu sebanyak 12,60%. Mekanisme atau prosedur pelaksanaan penilaian/evaluasi kinerja guru terutama banyak dilakukan pada saat guru yang bersangkutan mengajukan kenaikan pangkat atau jabatan, yaitu melalui pemeriksaan dokumen atau penilaian terhadap bukti fisik yang berkaitan dengan kinerja guru, yaitu sebanyak 77,97%, dilakukan melalui pengamatan langsung kinerja guru ketika mengajar di kelas (sebanyak 19,77%), dan yang dilakukan melalui prosedur analitis adalah sangat sedikit, yaitu sebanyak 2,26%. Mengenai jenis instrumen yang digunakan untuk melakukan penilaian kinerja guru adalah sesuai dengan mekanisme/ prosedur yang digunakan yaitu berturut-turut adalah berbentuk: daftar 78 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta cocok atau check list, yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap bukti fisik atau dokumen (sebanyak 56,41%), pedoman pengamatan atau lembar observasi (sebanyak 35,04%), dengan tes dan insiden kritikal (masing-masing sebanyak 3,42%), dan hanya sebanyak 1,71% responden yang menyatakan bahwa penilaian kinerja guru dilakukan dengan instrument berbentuk skala bertingkat (rating scale). Adapun kendala dalam implementasi program penilaian kinerja guru, terutama berkaitan dengan: penilaian yang masih cenderung subyektif (sebanyak 25,28%), kendala yang berkaitan dengan minimnya anggaran (sebanyak 21,35%), teknik penilaian dan interpretasi hasil yang masih bervariasi (sebanyak 19,10%), hasil penilaian yang belum terdokumentasikan dengan baik (sebanyak 19,10%), dan kendala teknis, yaitu sebanyak 2,81%. Sementara itu, pemanfaatan atau tindak lanjut hasil penilaian kinerja guru terutama dimanfaatkan sebagai dasar dalam pembinaan guru yang bersangkutan (sebanyak 42,94%), untuk dasar merumuskan kebutuhan pelatihan/pengembangan karir guru (sebanyak 32,52%), untuk data sekolah, sebanyak 14,11% dan belum banyak digunakan untuk dasar dalam pemberian sanksi, kompensasi ataupun reward bagi guru yang bersangkutan, yaitu sebanyak 10,43%. Deskripsi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru yang terkait dengan penilaian/evaluasi kinerja guru, sebagian besar sekolah telah dapat melaksanakannya dengan baik, meskipun penilaian/evaluasi kinerja guru tersebut belum dilaksanakan secara terencana/ terprogram dan rutin, tetapi masih banyak dilakukan secara insidental pada saat guru yang bersangkutan mengajukan kenaikan pangkat atau jabatan, yaitu melalui pemeriksaan dokumen atau bukti fisik yang berkaitan dengan kinerja guru, dan sedikit yang dilakukan melalui pengamatan langsung kinerja guru ketika mengajar di kelas. 5. Pengembangan Karir Guru Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua (93%) responden menyatakan bahwa sekolah telah memiliki program pengembangan karir guru, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 7% menyatakan bahwa sekolah belum memiliki program pengembangan karir guru. Alasan yang menyatakan bahwa sekolah belum memiliki program pengembangan karir adalah karena para guru yang akan mengembangkan diri harus melakukan inisiatif sendiri, baik dalam pengusulan pangkat maupun menentukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan diri dan profesionalitasnya. Mengenai program pengembangan karir yang dilaksanakan oleh sekolah, sebagian besar (42,26%) responden menyatakan berupa program pengiriman guru untuk mengikuti diklat, selanjutnya diikuti oleh program pengembangan profesionalisme guru yang berupa diklat/workshop pembelajaran (sebanyak 25,60%), program pengembangan diri yang berupa seminar, lokakarya, workshop bidang pendidikan (sebanyak 25,60%), dan hanya sebanyak 6,55% responden yang menyatakan bahwa program pengembangan karir guru yang telah dilaksanakan sekolah berupa program peningkatan kinerja guru. 79 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan program pengembangan karir guru, terutama didasarkan pada: (1) kebutuhan sekolah (kompetensi yang dibutuhkan oleh sekolah), yaitu sebanyak 27,43%; (2) minat/keinginan guru yang bersangkutan, sebanyak 22,57%; (3) ketersediaan dana dan peruntukannya, sebanyak 19,03%; (4) karena pertimbangan usia guru yang masih muda, sebanyak 18,14%; dan (5) yang didasarkan pada hasil penilaian/ evaluasi kinerja guru yang bersangkutan, adalah sebanyak 12,83%. Sementara itu, kendala dalam pelaksanaan/implementasi program pengembangan karir guru, terutama berkaitan dengan: (a) kendala teknis, yaitu terbenturnya jadual waktu mengajar dengan program pelatihan atau seminar yang harus diikuti oleh guru, sebanyak 27,85%; (b) minimnya anggaran untuk program tersebut, sebanyak 25,11%; (c) kendala non-teknis, yaitu rendahnya tingkat antusiasme atau keinginan para guru untuk mengikuti program pengembangan karir, sebanyak 17,81%; (d) keterbatasan masa kerja guru, terutama bagi guru yang mendekati usia pensiun, sebanyak 11,87%; (e) masih adanya anggapan bahwa pengembangan karir merupakan urusan pribadi guru yang bersangkutan, yaitu sebanyak 11,42%; dan (f) banyak program diklat yang kurang sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan guru yang bersangkutan maupun kebutuhan sekolah, yaitu sebanyak 5,94%. Mengenai efektivitas program pengembangan karir guru, sebagian besar responden menyatakan cukup efektif untuk mengembangkan karir guru sesuai tujuan atau jenis program pengembangan karir yang dilaksanakan. Secara berturut-turut, para responden menyatakan bahwa program pengembangan karir guru dapat mendorong peningkatan profesionalisme guru, dapat memberikan informasi mengenai para guru yang pantas/layak untuk dipromosikan, dapat menumbuhkan loyalitas dan komitmen organisasi, dan yang terakhir adalah dapat mengurangi hambatan pengembangan karir guru. Deskripsi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru yang terkait dengan pengembangan karir guru, sekolah telah dapat melaksanakannya dengan baik, meskipun program pengembangan karir yang dilaksanakan oleh sekolah, sebagian besar masih berupa program pengiriman guru untuk mengikuti diklat, pengiriman guru untuk mengikuti diklat/workshop pembelajaran, pengiriman guru untuk mengikuti seminar, lokakarya, workshop bidang pendidikan, dan sangat sedikit yang berupa program peningkatan kinerja guru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal melakukan manajemen sumber daya guru, khususnya yang terkait dengan proses rekrutmen dan seleksi calon-calon guru yang dibutuhkan, terutama guru yang berstatus PNS, sekolah tidak dapat melaksanakan dengan baik, karena tidak adanya kewenangan bagi sekolah yang bersangkutan untuk merekrut dan menyeleksi sendiri calon-calon guru yang dibutuhkan. Dalam hal ini, peran/kewenangan sekolah hanyalah mengusulkan kebutuhan calon guru yang disertai dengan persyaratan mengenai kualifikasi dan bidang keahlian calon guru yang dibutuhkan. Demikian pula, implementasi manajemen sumber daya guru pada tiga aspek yang lain, yaitu: proses penempatan/penugasan, penilaian/evaluasi kinerja, dan pengembang-an karir guru, juga belum dapat diimplementasikan dengan baik oleh SMK. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa 80 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penilaian kinerja guru yang telah dilaksanakan selama ini belum direncanakan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Penilaian yang telah dilakukan oleh sekolah maupun Dinas Pendidikan selama ini lebih bersifat normatif, atau dilakukan secara insidental ketika guru mengajukan kenaikan pangkat/jabatan, dan belum memiliki implikasi atau dampak apapun dalam peningkatan kinerja atau pengembangan karir guru di masa-masa yang akan datang. Temuan penelitian ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah ditekankan selama ini, yang mendorong terwujudnya otonomi/kemandirian sekolah. Dengan prinsip MBS, sekolah didorong dan diberikan kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program sekolahnya sendiri, termasuk dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu sumber daya guru di sekolah yang bersangkutan. Perubahan paradigma pendidikan dari yang sentralistik ke arah desentralistik, dengan harapan dapat memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dalam hal mengatur sekolahnya, ternyata belum berdampak pada praktik-praktik manajemen sekolah. Pada sekolahsekolah negeri, prinsip MBS yang telah dicanangkan lebih dari 10 tahun yang lalu, dan sampai saat inipun tetap didorong perwujudannya, ternyata tidak dapat mewarnai praktik-praktik manajemen sumber daya manusia, termasuk manajemen sumber daya guru. Hasil penelitian ini tentu saja berbeda dengan praktik manajemen sekolah, termasuk manajemen sumber daya manusia, pada sekolah-sekolah swasta, di mana sekolah benar-benar memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen tersebut di atas, mulai dari proses rekrutmen, seleksi, penempatan/ penugasan, penilaian/evaluasi kinerja, dan pengembangan karir para guru. Hasil penelitian Upik Lailatur Rohmah (2010) mengenai efektivitas manajemen peningkatan mutu guru pada SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, menunjukkan bahwa sekolah benar-benar memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pengelolaan sumber daya guru, mulai dari proses rekrutmen, melakukan seleksi, penempatan/penugasan, penilaian atau evaluasi kinerja maupun dalam pengembangan karir atau profesionalisme guru. Kontradiksi semacam ini nampaknya telah lama mewarnai praktik-praktik manajemen sumber daya manusia antara karyawan/pegawai negeri dengan pegawai swasta. Pada instansi swasta, mulai dari rekrutmen, seleksi, penempatan, penilaian kinerja dan pengembangan karir pegawai mutlak dapat dilaksanakan secara baik. Bahkan, penilaian atau evaluasi kinerja karyawan/pegawai merupakan instrumen yang sangat penting dalam menentukan keberlangsungan jabatan atau status kepegawaian karyawan swasta. Sehingga melalui penilaian kinerja ini instansi swasta dapat sepenuhnya mengatur karyawan, karena berdasarkan hasil penilaian prestasi kerja atau kinerja ini, status kepegawaian dan keberlangsungan jabatan pegawai swasta ditentukan. Namun sebaliknya, praktik manajemen sumber daya manusia untuk karyawan yang berstatus sebagai pegawai negeri (PNS) justru berjalan sebaliknya. Proses rekrutmen dan seleksi calon guru yang berstatus sebagai CPNS jelas bukan merupakan kewenangan sekolah, karena hal ini sepenuhnya merupakan kewenangan Pemkab/ Pemkot. Selama ini, sekolah hanya menerima calon guru yang telah direkrut dan diseleksi oleh Pemkab/Pemkot, yang telah ditentukan berdasarkan usulan kebutuhan guru yang diajukan oleh sekolah yang bersangkutan. Oleh karena itu, 81 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta peran/kewenangan sekolah hanyalah mengusulkan kebutuhan calon guru yang disertai dengan persyaratan mengenai kualifikasi dan bidang keahlian calon guru yang dibutuhkan. Selain itu, proses penilaian kinerja atau prestasi kerja karyawan yang di instansi swasta merupakan instrumen yang sangat vital untuk menentukan keberlangsungan status kepegawaian dan jabatan karyawan, pada instansi atau sekolah negeri justru belum dilaksanakan secara baik. Penilaian atau evaluasi kinerja yang dilaksanakan lebih bersifat formal melalui penilaian DP-3, atau penilaian kinerja berdasarkan bukti fisik atau dokumen yang diajukan oleh guru ketika mengajukan kenaikan pangkat/ jabatan. Demikian pula, hasil penilaian kinerja bagi guru yang berstatus PNS sama sekali tidak berpengaruh terhadap status maupun keberlangsungan jabatan mereka. Hal ini dikarenakan bahwa status kepegawaian PNS tidak dapat diganggu gugat, selama pegawai yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran yang serius yang menyebabkan hilangnya hak mereka sebagai pegawai negeri. Sementara itu, promosi atau kenaikan jabatan bagi PNS juga banyak tidak terkait dengan kinerjanya, tetapi lebih banyak didasarkan pada senioritas dan kualifikasi pendidikan, dan bukannya prestasi ataupun kinerjanya. Namun demikian, pihak-pihak yang berkompeten, terutama kepala sekolah sebenarnya dapat melaksanakan manajemen sumber daya guru pada tiga aspek yang lain yang menjadi kewenangan sekolah, yaitu: proses penempatan/penugasan, penilaian atau evaluasi kinerja dan pengembangan karir guru. Proses manajemen sumber daya guru pada ketiga aspek ini sepenuhnya menjadi kewenangan sekolah. Namun sangat disayangkan bahwa para manajer di sekolah (kepala sekolah) umumnya tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk mengoptimalkan peran-peran yang menjadi kewenangannya tersebut. Alasan klasik yang selalu muncul adalah karena minimnya anggaran untuk dapat mengimplementasikan ketiga proses manajemen tersebut. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum, pelaksanaan manajemen sumber daya guru pada SMK RSBI dan SBI Invest di Daerah Istimewa Yogyakarta belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini terutama disebabkan karena di satu sisi sekolah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rekrutmen dan seleksi sendiri calon-calon guru yang berstatus CPNS, sementara di sisi yang lain pihak sekolah kurang mengoptimalkan proses manajemen sumber daya guru yang menjadi kewenangannya, yaitu dalam proses penugasan, penilaian atau evaluasi kinerja dan pengembangan karir guru. 2. Secara garis besar, kendala yang dialami pihak sekolah dalam melaksanakan manajemen sumber daya guru secara baik, khususnya untuk guru yang berstatus sebagai PNS atau CPNS, adalah berkaitan dengan dua hal pokok, yaitu: (1) tidak adanya kewenangan pihak sekolah untuk melakukan proses rekrutmen dan seleksi calon-calon guru yang dibutuhkan oleh sekolah, karena hal ini merupakan kewenangan Pemkab/Pemkot; dan (2) pihak sekolah belum mampu mengoptimalkan proses manajemen sumber daya guru yang menjadi kewenangan-nya, yang disebabkan kurangnya kemampuan manajerial kepala sekolah, belum dikuasainya teknis 82 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penilaian kinerja guru, dan kendala klasik seperti minimnya anggaran dan kurang respeknya guru terhadap program pengembangan karir mereka. Daftar Pustaka Amat Jaedun & V. Lilik Hariyanto (2009). Evaluasi Kesiapan SMK di Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lemlit UNY. Depdiknas (2006). Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. “Depdiknas Kembangkan Teaching Factory di SMK. “Diakses dari http://disdik.jambiprov.go.id/informasi/lembaga-pendidikan/107. html, tanggal 10 Juni 2009. Djemari Mardapi (2007). Sekolah Menengah Kejuruan Berstandar Internasional. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional “Kebijakan Pengembangan SMK dan Sertifikasi Guru SMK, “tanggal 1 Desember 2007. Joko Sutrisno (2007). Menuju SMK Bertaraf Internasional (SMK SBI). Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional “Kebijakan Pengembangan SMK dan Sertifikasi Guru SMK, “tanggal 1 Desember 2007. Kir Haryana (2007). Konsep Sekolah Bertaraf Internasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Hasibuan, Malayu, S.P. (2003). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Nawawi, Hadari (2005). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Setjen Depdiknas. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194). Ros, Jay (2008). Berpikir cepat: Wawancara Seleksi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Seamolec (2008). “Self Access Study. “Diakses dari http://www.seamolec.org/ pages.php?page=sas, tanggal 10 Juni 2009. SMKN 1 Kedungwuni. (2008). “Teaching Factory (TEFA). “Diakses tanggal 10 Juni 2010 dari http://www.smk1kedungwuni.sch.id/index.php?option=com_content &view=article&id=19&Itemid=22&lang=in. Suharsimi Arikunto & Abdul Jabar (2009). Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sulipan. (2007). Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. ktiguru.org/index.php/profesiguru, tanggal 1 Maret 2008. Diakses dari http://www. Susilo Martoyo (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi V. Yogyakarta: BPFE. Tri Rijanto dkk. (2008). “Good Practices Pada Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional. “Diakses dari http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/ makalahpeserta/16_Tri%20 Rijanto_Best%20Practices%20SMK%20SBI.pdf, tanggal 3 Juni 2009. 83 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Setjen Depdiknas. Upik Lailatur Rohmah (2010). Efektivitas Manajemen Peningkatan Mutu Guru pada SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FT UNY. 84 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS INTERNET PADA MATA KULIAH PENGUJIAN LAS Heri Wibowo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Pada pembelajaran Pengujian Las menghadapi kendala peralatan yang ada sangat terbatas, sehingga sulit untuk menyampaikan kompetensi pengujian las. Selain itu pembelajaran teori menggunakan referensi buku yang kurang ter-update, dan belum menggunakan perangkat multimedia dalam menyampaikan materi, sehingga kurang menarik dimata mahasiswa. Tujuan pengembangan media pembelajaran ini adalah menghasilkan multimedia dari sumber internet yang layak diterapkan pada pembelajaran Pengujian Las sehingga tercipta kondisi pembelajaran yang Aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM) bagi mahasiswa. Metode yang digunakan dalam pengembangan media pembelajaran ini menggunakan pendekatan penelitian pengembangan (research and development). Pengembangan produk multimedia dilakukan dengan menelusuri video tentang proses pengujian las dan inspeksi pengujian las yang ada di internet (direncanakan 9 video pengujian las). Penelusuran tentang hand book pengujian las juga dilakukan untuk mendapat materi pengujian las. Hasil download video dan handbook dikemas dalam multimedia pembelajaran dalam software powerpoint dengan link video tersebut. Produk kemudian divalidasi oleh 1 orang dosen ahli bidang multimedia dan 1 orang dosen ahli materi Pengujian Las. Pengujian terbatas produk juga dilakukan kepada mahasiswa dengan sistem angket. Hasil pengembangan multimedia Pengujian Las berupa power point yang dilengkapi video dengan materi : a) prosedur pengelasan mengacu WPS (Welding Prosedure Spesification) , b) Heat Input dan distorsi pengelasan, c) pengujian destruktif yang meliputi uji tarik, uji lengkung, uji impact (kejut), uji kekerasan dan uji struktur mikro, d) pengujian non destruktif yang meliputi uji visual las, uji dye penetrant, uji serbuk magnet, uji radiografi, uji ultrasonik dan uji arus Eddy. Uji kelayakan multimedia dari ahli materi “Pengujian Las” dan ahli media pembelajaran menyatakan multimedia layak diterapkan untuk pembelajaran, namun dengan beberapa perbaikan. Hasil uji terbatas mahasiswa menyatakan multimedia dapat diterima untuk pembelajaran mata kuliah “Pengujian Las”. Kata kunci : multimedia, internet, pengujian las Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang yang sedang berusaha mengejar ketertinggalannya di segala bidang kehidupan, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, pendidikan, maupun dalam bidang teknologi. Teknologi adalah aplikasi praktis suatu pengetahuan, khususnya dalam suatu bidang tertentu. Teknologi berkembang semakin cepat dari waktu ke waktu karena penemuan satu teknologi baru dapat mempercepat penemuan teknologi berikutnya. Oleh karena itu pengenalan teknologi bagi proses pembelajaran merupakan langkah awal dan penting untuk dilakukan di dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan perkembangan teknologi yang selalu berkembang. Teknologi juga dipakai untuk mengatasi permasalahan dan mengefisienkan proses, waktu, tenaga secara optimal. Pengembangan teknologi pada pembelajaran untuk menghasilkan media pembelajaran yang berkualitas dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi seperti pada internet dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan. Salah satu 85 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kegiatan pokok yang dilakukan adalah pengembangan program media radio, audio, televisi, video, multimedia dan internet untuk pembelajaran (Sujana, 2005). Secara umum manfaat yang dapat diperoleh dari multimedia adalah proses pembelajaran lebih menarik, lebih interaktif, jumlah waktu mengajar dapat dikurangi, kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan dan proses belajar mengajar dapat dilakukan di mana dan kapan saja, serta sikap belajar siswa dapat ditingkatkan. Selain manfaat di atas, terdapat keunggulan dari sebuah multimedia pembelajaran, yaitu: a) Memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak tampak oleh mata, seperti kuman, bakteri, elektron dll, b) Memperkecil benda yang sangat besar yang tidak mungkin dihadirkan ke sekolah, seperti mesin-mesin pabrik, rumah, gunung, dll, c) Menyajikan benda atau peristiwa yang kompleks, rumit dan berlangsung cepat atau lambat, seperti sistem tubuh manusia, bekerjanya suatu mesin, beredarnya planet Mars, berkembangnya bunga dll, d) Menyajikan benda atau peristiwa yang jauh, seperti bulan, salju, dll, dan e) Menyajikan benda atau peristiwa yang berbahaya, seperti letusan gunung berapi, harimau, racun, dll. Untuk tujuan-tujuan praktis beberapa jenis media untuk tujuan pembelajaran yang sering digunakan di Indonesia (Usman, 2003), diantaranya: a) Media pembelajaran 2 dimensi tidak transparan, yang termasuk dalam jenis media ini adalah: gambar, foto poster, peta, grafik, sketsa, papan tulis, flipchart, dan sebagainya, b) Media pembelajaran visual 2 dimensi yang transparan yang mempunyai sifat tembus cahaya karena terbuat dari bahan-bahan plastik atau dari film, seperti jenis media film slide, film strip, dan sebagainya, c) Media pembelajaran visual 3 dimensi yang mempunyai isi atau volume seperti benda sesungguhnya, jenis media ini adalah: benda sesungguhnya, speciment, dan sebagainya, d) Media pembelajaran audio yang berkaitan dengan alat pendengaran seperti misalnya: radio, kaset, laboratorium bahasa, telepon dan sebagainya, dan e) Media pemebelajaran audio visual yang dapat menampilkan gambar dan suara dalam waktu yang bersamaan, seperti: film, Compact Disc (CD), TV, Video dan lain sebagainya. Salah satu yang banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori penggunaan media dalam proses belajar mengajar adalah Dale’s Cone of Experience (Kerucut Pengalaman Dale). Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampaian pesan itu (Arsyad Azhar, 2005). Kerucut pengalaman Dale ditampilkan pada gambar 1. Abstrak Kongkret Gambar 1. Kerucut Pengalaman Edgar Dale 86 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mata kuliah Pengujian Las merupakan mata kuliah keahlian yang diajarkan dalam kurikulum 2009 di jurusan PT Mesin FT UNY. Mata kuliah ini terdiri dari 1 sks teori dan 1 sks praktik, yang dalam pelaksanaan praktik membutuhkan peralatan praktik yang cukup beragam dan berteknologi tinggi, mengingat jenis pengujian yang dilakukan pada mata kuliah ini cukup banyak. Kendala yang dihadapi di pembelajaran Pengujian Las ini adalah peralatan yang ada sangat terbatas, sehingga sulit untuk menyampaikan kompetensi pengujian las bila peralatan tidak tersedia. Selain itu pembelajaran teori menggunakan referensi buku yang kurang ter-update, dan belum menggunakan perangkat multimedia dalam menyampaikan materi, sehingga kurang menarik dimata mahasiswa. Untuk menjembatani keterbatasan peralatan praktik dan referensi materi pengujian las tersebut, perlu dilakukan pengembangan materi dan media pembelajaran khususnya Pengujian Las dengan memanfaatkan teknologi internet. Beberapa dampak positif penerapan teknologi Internet yang diharapkan pada pembelajaran antara lain (Budi Sutedjo, 2010) : a) kemampuan dan kecepatan dalam komunikasi, b) ketersediaan informasi yang up to date baik berupa dokumen, artikel, buku, gambar dan video, c) adanya fasilitas untuk membentuk dan melangsungkan diskusi kelompok (news group), d) melalui web pendidikan, proses belajar mengajar dapat dilakukan secara dinamis sehingga dapat menekan biaya pendidikan serendah mungkin, dan e) melalui e-mail, konsultasi dapat dilakukan secara pribadi antar peserta didik Pengembangan media pembelajaran Pengujian Las dilakukan dengan cara men-download video tentang penggunaan alat/mesin uji pada las dan video analisis benda uji setelah pengujian Dengan video tersebut mahasiswa dapat melihat langsung proses pengujian sehingga mampu memahami materi pengujian las tanpa harus mempraktekkan langsung dengan alat (mengingat peralatan praktik yang tidak tersedia). Pengembangan materi ajar juga dilakukan dengan mendownload beberapa handbook tentang pengujian las yang sesuai standar international, sehingga mahasiswa mengetahui standar pengujian dengan peralatan/ mesin uji yang terbaru. Multimedia tersebut dikemas dalam power point sehingga lebih menarik dan mudah dipahami mahasiswa. Pengembangan materi dan multi media pada mata kuliah Pengujian Las ini memungkinkan terciptanya kondisi pembelajaran yang Aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM) bagi mahasiswa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Pengujian Las. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian pengembangan (research and development). Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan untuk dapat menghasilkan produk tersebut digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan (Sugiyono, 2006). Model penelitian dan pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model penelitian yang dikembangkan oleh Borg & Gall (Sadiman, 2005:101), dengan melaksanakan langkah penelitian dan pengembangan, antara lain : 1) Pengumpulan data (information collecting), 2) Melakukan perencanaan penelitian (planning), 3) Mengembangkan draf produk awal (preliminary field testing), 4) Melakukan uji lapangan awal (preliminary field testing), 5) Merevisi hasil uji coba (main product revision), 6) Melakukan uji lapangan (main field testing), dan 7) Penyempurnaan produk akhir (final product revision). 87 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Penelitian ini diawali dengan research tentang materi ajar mata kuliah Pengujian Las yang terdapat dalam kurikulum 2009 Jurusan Mesin FT UNY. Research juga dilakukan pada kurikulum pelatihan Las di B4T Bandung dan kurikulum pelatihan Las di BLK Serpong untuk mendapat perbandingan kompetensi dan bahan pertimbangan dalam mengembangkan bahan ajar mata kuliah ini. Dengan adanya kompetensi hasil penelusuran beberapa kurikulum ini, dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan materi pembelajaran sekaligus materi untuk membuat multimedia. Pengembangan produk multimedia diawali dengan menelusuri video tentang proses pengujian las dengan peralatan modern dan video inspeksi pengujian las yang ada di internet terutama situs youtube.com dan 4shared.com. Video yang di download tersebut direncanakan terdiri dari 9 macam video yang memiliki fungsi antara lain : 1) Video proses pengujian las dengan bending test (Uji lengkung) dan inspeksi hasil uji bending, untuk menjelaskan proses pengujian lengkung dan prosedur kelolosan uji lengkung pada las, 2) Video proses pengujian las dengan strength test (uji tarik) dan inspeksi hasil uji tarik pada benda hasil las, 3) Video proses pengujian las dengan uji kekerasan, untuk menjelaskan proses pengujian kekerasan pada las, 4) Video proses pengujian las untuk mendeteksi distorsi setelah pengelasan, untuk menjelaskan proses pengukuran distorsi setelah pengelasan, 5) Video proses pengujian las NDT (non destructive test) dye penetrant, untuk menjelaskan proses pengujian NDT jenis dye penetrant pada benda hasil las, 6) Video proses pengujian NDT serbuk magnet, untuk menjelaskan proses pengujian NDT jenis serbuk magnet pada benda hasil las dan inspeksi hasil pengujian serbuk magnet, 7) Video proses pengujian NDT radiografi, untuk menjelaskan proses pengujian NDT jenis radiografi dan inspeksi hasil pengujian radiografi pada benda hasil las, 8) Video slide interpretasi hasil radiografi dengan menerapkan ilmu defectologi(pengetahuan cacat las), dan 9) Video proses pengujian NDT ultrasonik, untuk menjelaskan proses pengujian NDT jenis ultrasonik pada benda hasil las, beserta inspeksi hasil ujinya. Penelusuran tentang buku hand book pengujian las juga dilakukan untuk mendapat materi tentang standar pengujian las dan inspeksi hasil uji pengelasan. Materi pengujian pengelasan dari handbook yang dicari dari penelusuran internet antara lain : 1) Standar pengujian bending dan standar kelolosan uji lengkung pada benda las, 2) Standar pengujian tarik dan karakteristik bentuk patahan pada uji tarik benda las, 3) Fungsi dan metode pengujian kekerasan pada benda las, 4) Metode dan standar pengukuran distorsi pada benda las, 5) Standar pengujian dye penetrant dan inspeksi hasil uji dye penetrant, 6) Standar pengujian serbuk magnet dan inspeksi hasil uji serbuk magnet, 7) Standar pengujian radiografi dan inspeksi hasil uji radiografi, 8) Standar pengujian ultrasonik dan inspeksi hasil uji ultrasonik, dan 9) Defectologi pada las. Hasil download video dan buku handbook kemudian dikemas dalam multimedia pembelajaran dalam software powerpoint dengan link-link video tersebut, sehingga selain lebih menarik juga materi lebih mudah dipahami oleh mahasiswa. Produk multimedia kemudian divalidasi oleh 1 orang dosen ahli bidang multimedia, untuk mendapatkan masukan-masukan tentang produk multimedia yang telah dibuat, dan 1 orang dosen ahli materi mata kuliah Pengujian Las untuk mendapatkan masukan tentang isi materi yang diajarkan. Pengujian terbatas produk juga dilakukan kepada mahasiswa dengan sistem angket untuk mendapatkan masukan dari mahasiswa tentang produk multimedia yang telah dipakai dan kemanfaatan produk. 88 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sedangkan Sistematika penelitian Pengembangan multimedia pada Pengujian Las dapat ditampilkan pada gambar 2. PERSIAPAN : Pengumpulan data, Merumuskan tujuan, desain atau langkah-langkah penelitian, kemungkinan pengujian. PENELITIAN AWAL (RESEARCH) : mendalami materi ajar dalam silabus mata kuliah Pengujian Las di Jurusan Mesin FT UNY. PEMBUATAN PRODUK AWAL MULTIMEDIA : Produk Multimedia berupa media pembelajaran dalam power point dengan link video-video yang bersumber dari internet. Revisi VALIDASI PRODUK MULTI-MEDIA : oleh 2 dosen ahli UJI COBA TERBATAS PRODUK KEPADA MAHASISWA: Di uji terbatas pada mahasiswa untuk mendapat masukan. REVISI AKHIR PRODUK MULTIMEDIA PRODUK JADI MULTIMEDIA Gambar 2. Sistematika Penelitian Hasil dan Pembahasan Perubahan kurikulum tahun 2009 merubah mata kuliah “Metalurgi Las” dengan mata kuliah baru yaitu “Pengujian Las” yang memiliki beban 1 sks teori dan 1 sks praktik. Dengan perubahan kurikulum tersebut, tim pengajar melakukan penyesuaian materi dari “Metalurgi Las” ke “Pengujian Las” dengan kompetensi yang dikembangkan pada mata kuliah Pengujian Las ini yaitu : a) prosedur pengelasan yang mengacu pada stándar prosedur las international yaitu WPS (Welding Prosedure Spesification) , b) Heat Input dan distorsi pengelasan, c) pengujian destruktif yang meliputi uji tarik, uji lengkung, uji impact (kejut), uji kekerasan dan uji struktur mikro, d) pengujian non destruktif yang meliputi uji visual las, uji dye penetrant, uji serbuk magnet, uji radiografi, uji ultrasonik dan uji arus Eddy. Pada penerapan di perkuliahan, materi Pengujian las tersebut di rancang untuk 14 kali pertemuan selama satu semester. Materi teori disampaikan dengan panduan multimedia power 89 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta point dilanjutkan materi praktik pengujian las dengan panduan jobsheet. Khusus materi pengujian las yang belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan peralatan pengujian, diberikan dengan menambah materi pengujian lebih detail terutama proses pengujian dan analisa uji melalui multimedia bersumber dari internet. Multimedia untuk mata kuliah ”Pengujian Las” di desain dalam bentuk file power point yang disusun sistematis sesuai dengan urutan materi dan kompetensi yang akan dicapai mahasiswa. Di dalam power point tersebut juga dilengkapi dengan gambar-gambar aktual tentang pengujian las di industri yang diambil dari beberapa situs internet melalui alat searching google.com. Power point juga didukung oleh video-video tentang pengujian las yang di download dari situs internet seperti youtube.com dan 4shared.com. Multimedia ini terdiri dari 5 power point yang memuat seluruh materi ”Pengujian Las” yang sudah disampaikan sebelumnya. Power point yang disampaikan dibuat dengan animasi power point sehingga tampilan lebih menarik, serta menampilkan gambar-gambar aktual tentang peralatan, proses pengujian dan analisa hasil pengujian las, sehingga materi lebih mudah diterima oleh mahasiswa. Dalam multimedia power point tersebut dibuat link video untuk langsung memuatar video yang sudah di download. Video yang telah di download untuk melengkapi power point ini antara lain : a) video WPS, b) video heat input, c) video distortion, d ) video SEM, d) video tensile test, e)video bend test, f) video impact test, g) video hardness test, h) video dye penetrant, i) video magnetic inspection1, j) video magnetic inspection2, k) video radiography, l) video ultrasonic inspection. Dengan pertimbangan tersebut, materi yang dibahas setiap tatap muka perkuliahan ditampilkan dalam tabel 1. Gambar 3. Bagian power point yang menampilkan link ke video. Gambar 4. Cuplikan video multimedia dengan software windows media player. 90 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Materi yang di ajarkan melalui multimedia pada Pengujian Las Pertemuan ke 1 dan 2 (Power point : Pertemuan 1-2 Revisi2 OK) 3 sampai 5 (Power point : Pertemuan 3-5 Revisi2 OK) 6 sampai 8 (Power point : Pertemuan 6-8 Revisi2 OK) 9 sampai 12 (Power point : Pertemuan 9-12 Revisi2 OK) 13 dan 14 (Power point : Pertemuan 13-14 Revisi2 OK) Materi Prosedur Pengelasan dengan WPS Stándar Penulisan WPS Contoh-contoh WPS Video : WPS Heat input Prosedur pengujian heat input Video : Pengukuran Heat input Pengujian merusak (destructive test) pada Las Pengujian Tarik pada Las Video Pengujian Tarik Pengujian Lengkung (Bend test) pada Las Video Pengujian Lengkung Pengujian Kejut (impact test) pada Las Video pengujian impact Pengujian kekerasan pada Las Video pengujian kekerasan Pengujian struktur makro dan mikro pada las Video pengujian struktur mikro Pengujian Tidak Merusak (NDT) pada las Pengujian visual las Pengujian dye penetrant pada las Video pengujian dye penetrant Pengujian serbuk magnet Video pengujian serbuk magnet Pengujian radiografi Video pengujian radiografi Pengujian Ultrasonic Video pengujian ultrasonic Pengujian dengan arus eddy Pemakaian NDT untuk inspeksi bahan baku Pemakaian NDT untuk inspeksi proses produksi Pemakaian NDT untuk inspeksi kerusakan Interpretasi film hasil radiografi Gambar-gambar negatif film hasil uji radiografi Defectologi pada hasil uji radiografi Video tersebut kemudian dibuat link didalam power point sesuai pokok bahasan. Bagian power point yang menampilkan link ke video di perlihatkan dalam gambar 3. Dengan link video tersebut, video yang diharapkan akan langsung diputar dengan software lain (seperti windows media player) sesuai durasi dan resolusi video hasil download. Tampilan cuplikan gambar yang ada dalam video multimedia dan diputar dengan windows media player dapat dilihat dalam gambar 4. 91 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Validasi produk Multimedia dilakukan oleh 2 orang ahli yang dipilih berdasarkan kompetensi yang ditekuni validator. Dalam penelitian ini, validasi produk multimedia dilakukan oleh 2 orang ahli. Satu ahli menilai kelayakan produk multimedia dari sisi materi yang disampaikan, dan 1 ahli lainnya menilai kelayakan produk multimedia dari sisi media pembelajaran. Validasi ini bertujuan untuk mengevaluasi produk multimedia yang sudah dibuat, sekaligus mendapat masukan agar produk lebih baik dan berkualitas dari segi materi maupun tampilan. Hasil Evaluasi oleh Validator ahli kedua bidang tersebut disajikan pada tabel 2 dan 3. Tabel 2. Hasil evaluasi ahli bidang materi “Pengujian Las”. No Aspek 1. Kualitas materi 2. Kemanfaatan materi Indikator - Ketepatan isi materi (Relevansi silabus) Relevansi materi dengan tujuan Ketepatan kompetensi Kebenaran materi Kelengkapan materi Keruntutan materi Kedalaman materi Kemudahan aplikasi Relevansi tugas dengan tujuan Membantu pemahaman materi Kuliah Memberikan semangat belajar kepada mahasiswa Memberikan fokus perhatian Nilai rata-rata - Nilai (1-4) 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 3,7 Keterangan nilai : 4 = sangat layak, 3=layak, 2=kurang layak, 1= sangat tidak layak. No 1. 2. Tabel 3. Hasil evaluasi ahli bidang media pembelajaran. Nilai Nilai Aspek Indikator awal (1- Setelah 4) revisi Keefektifan - Ukuran huruf 3 4 layar - Kualitas gambar 3 4 - Komposisi warna 3 4 - Komposisi warna tulisan terhadap latar 3 4 - Kejelasan suara (video) 3 3 Kemudahan - Kemudahan pengopeasian 4 4 Pengoperasian - Sistematika penyajian 3 4 3. Konsistensi 4. Organisasi 5. Kemanfaatan - - Konsistensi kata dan istilah Konsistensi tata letak Konsistensi simbol dan icon Bab/sub bab Latihan Mempermudah PBM Memberikan fokus perhatian Nilai rata-rata 3 3 2 3 2 3 3 2,9 4 4 4 3 4 4 4 3,8 Keterangan nilai : 4 = sangat layak, 3=layak, 2=kurang layak, 1= sangat tidak layak. 92 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan tabel 2 hasil evaluasi ahli bidang materi “Pengujian Las”, dari 12 item indikator yang dinilai oleh validator, menyatakan bahwa item indikator bidang materi “Pengujian Las” memiliki nilai rata-rata 3,70, sedangkan standar nilai layak adalah 3. Dengan demikian disimpulkan materi yang tertuang dalam multimedia (berbentuk powerpoint dengan link video) telah layak untuk digunakan untuk pembelajaran dalam mata kuliah Pengujian Las. Sedang pada tabel 3 hasil evaluasi ahli bidang media pembelajaran menyatakan dari 14 item indikator yang dinilai, penilaian awal menyatakan bahwa item indikator bidang media pembelajaran memiliki nilai rata-rata 2,9, sehingga multimedia belum mendapatkan nilai layak (standar nilai layak adalah 3). Dengan demikian perlu dilakukan perubahan yang cukup mendasar baik pada kefektifan layar, kemudahan operasi, konsistensi dan organisasi dalam multimedia power point ini. Setelah dilakukan revisi pada semua slide power point, didapatkan nilai indikator bidang media pembelajaran dengan rata-rata 3,8, sehingga multimedia dikatakan layak untuk pembelajaran. Disimpulkan bahwa multimedia yang telah direvisi telah layak untuk digunakan untuk pembelajaran dalam mata kuliah Pengujian Las. Sesuai dengan alur penelitian, produk multimedia perlu dilakukan uji coba terbatas oleh mahasiswa, dengan mengambil 20 mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah “Pengujian Las”. Uji coba oleh mahasiswa ini bertujuan mendapatkan masukan dan evaluasi produk video multimedia langsung oleh pengguna yaitu mahasiswa. Hasil instrumen tanggapan mahasiswa tersebut disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Hasil tanggapan mahasiswa terhadap multimedia. Nilai No Aspek Indikator (1-4) 1. Isi materi - Pemilihan jenis huruf, warna huruf dan ukuran huruf 3,55 mudah terbaca oleh mahasiswa - Komposisi dan kombinasi warna back ground dengan 3,30 teks dan gambar cukup baik dan bervariasi - Ukuran, bentuk dan tampilan foto,diagram maupun 3,20 grafik sudah sesuai dengan tampilan power point - Video yang di link ke power point sudah cukup 3,40 menarik dan suara cukup jelas - Pengoperasian multimedia power point cukup mudah 3,45 dalam operasional. - Interaksi power point dengan link video mudah 3,30 dilakukan 2. Kemanfaatan - Isi materi cukup membantu proses pembelajaran di 3,40 materi mata kuliah Pengujian Las - Multimedia ini mempermudah belajar mahasiswa 3,45 dalam memahami materi - Multimedia ini mampu meningkatkan motivasi dan 3,25 perhatian dalam kuliah Pengujian Las. - Multimedia ini dapat menjadi media dalam 3,30 memperkenalkan peralatan pengujian las yang ada di industri. - Nilai rata-rata 3,36 Keterangan nilai : 4 = sangat setuju, 3=setuju, 2=tidak setuju, 1= sangat tidak setuju. 93 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan tabel 4 hasil tanggapan mahasiswa terhadap video multimedia dapat diketahui bahwa nilai rata-rata tanggapan semua indikator adalah 3,36 yang berarti nilai tersebut menyatakan mahasiswa menilai layak bila multimedia diterapkan untuk mendukung proses pembelajaran terutama mata kuliah Pengujian Las. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengembangan multimedia Pengujian Las dengan power point dilengkapi video dengan materi : a) prosedur pengelasan mengacu WPS (Welding Prosedure Spesification) , b) Heat Input dan distorsi pengelasan, c) pengujian destruktif yang meliputi uji tarik, uji lengkung, uji impact (kejut), uji kekerasan dan uji struktur mikro, d) pengujian non destruktif yang meliputi uji visual las, uji dye penetrant, uji serbuk magnet, uji radiografi, uji ultrasonik dan uji arus Eddy. 2. Kelayakan multimedia (power point dan video) dilakukan validasi produk oleh ahli materi “Pengujian Las” dan ahli media pembelajaran, yang keduanya menyatakan video multimedia layak diterapkan untuk pembelajaran, namun dengan beberapa perbaikan. Hasil uji terbatas mahasiswa menyatakan multimedia layak diterapkan untuk membantu mahasiswa dalam pembelajaran mata kuliah “Pengujian Las”. Daftar Pustaka Arsyad, Ashar. (2005). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Budi Sutedjo Dharma Oetomo, (2010), Aplikasi Internet Pendidikan, Yogyakarta : Penerbit Andi Offset Nurita Putranti. (2007). Komputer Sebagai Alat Bantu Pembelajaran. http://nuritaputranti. wordpress.com/2007/08/23/komputer-sebagai-alat-bantu-pembelajaran Sadiman, Arief S dkk. (2005). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Bandung: CV. Alfabeta. Sujana, N dan Rivai, Ahmad. (2005). Media Pengajaran (Penggunaan dan Pembuatannya). Bandung: Sinar Baru Algesindo Tim ICT UNY, (2010), Panduan dan Materi “Information and communication Technology”, Yogyakarta : UNY Press. Usman, Uzer & Setiawati, Lilis. (2003). Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. …………… (2008). Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 94 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MODUL KETERAMPILAN KONSELING BAGI GURU BIMBINGAN DAN KONSELING Rosita Endang Kusmaryani, Rita Eka Izzaty, Agus Triyanto Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan modul keterampilan konseling sesuai dengan kebutuhan guru Bimbingan dan Konseling. Validasi modul ini melalui prosedur uji ahli dan uji pengguna. Dalam uji ahli, subjek penelitian terdiri dari ahli materi konseling dan ahli media pembelajaran dengan pengambilan subjek penelitian menggunakan teknik purposive. Sementara dalam uji pengguna, subjek penelitian terdiri dari 42 orang guru BK (3 orang untuk lapangan permulaan, 9 orang untuk lapangan utama dan 30 orang subjek untuk lapangan operasional). Adapun pengambilan subjek menggunakan metode random dengan teknik purposive. Instrumen yang digunakan dalam rangka validasi modul menggunakan angket penilaian modul dan tes keterbacaan. Sementara instrumen yang digunakan untuk mengetahui pemahaman dan penguasaan keterampilan konseling digunakan tes pemahaman dan angket penguasaan keterampilan konseling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) modul keterampilan konseling valid dan layak digunakan sebagai media pembelajaran keterampilan konseling bagi guru BK, 2) Modul keterampilan konseling dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan penguasaan keterampilan konseling bagi guru BK. Kata kunci : modul, keterampilan konseling Pendahuluan Profesi guru Bimbingan dan Konseling yang sangat lekat dengan upaya pelayanan konseling tampaknya memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan profesi yang lain. Pemberian pelayanan bantuan ini merupakan tugas profesi yang esensial bagi profesi Bimbingan dan Konseling. Pelayanan profesi konseling merupakan usaha membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan serta mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, perencanaan dan pengembangan karir, kehidupan berkeluarga serta kehidupan keberagamaan (LPTK, 2004). Pelayanan pemberian bantuan konseling yang dilakukan, khususnya di sekolah diharapkan akan memberikan dampak yang positif terhadap optimalisasi potensi peserta didik. Tujuan konseling adalah menumbuhkan, mengembangkan dan membantu individu yang membutuhkannya. Untuk itu, tugas pemberian bantuan bukanlah tugas yang ringan. Kinerja dalam proses konseling memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan individu tersebut. Konsep dasar konseling adalah mengerti atau memahami setiap individu yang berbeda dengan pandangan yang berbeda pula. Peranan sebagai guru Bimbingan dan Konseling telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi masyarakat modern. Pelaksanaan hubungan konseling (helping relationship) bukan semata-mata terjadi di laboratorium bimbingan dan konseling dan di sekolah saja (Willis, 2007). Sejak pertengahan abad kedua puluh, organisasi profesional dan kursus pelatihan telah mulai tumbuh memberikan kualifikasi guna menjadikan seorang individu sebagai guru Bimbingan dan Konseling yang seutuhnya di berbagai lapangan, seperti pendidikan, kesehatan dan bisnis. Sehingga konseling terlihat menjadi seperti aktivitas yang telah mendarah daging, baik itu 95 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta untuk segala jenis pekerjaan pelayanan masyarakat dan juga untuk menyiapkan tenaga spesialis yang berstatus profesi mandiri. Dalam profesionalitas guru Bimbingan dan Konseling, selain adanya latar belakang pendidikan yang mendukung, ada beberapa syarat penting yang hendaknya juga dipenuhi. Syarat tersebut yaitu karakteristik guru Bimbingan dan Konseling, pengetahuan dan wawasan yang berkaitan dengan konseling dan penguasaan keterampilan konseling. Saat ini keterampilan konseling telah menjadi fokus pengembangan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah. Hal ini mengingat, layanan konseling menjadi ciri khas bagi profesi guru Bimbingan dan Konseling. Selain itu, keberhasilan layanan konseling menjadi tolok ukur kinerja guru Bimbingan dan Konseling. Siswa yang termasuk kategori remaja dan pentingnya peranan guru dalam mengarahkan dan membimbing aktualisasi siswa tersebut, menjadikan guru Bimbingan dan Konseling seyogyanya memahami ilmu konseling yang sesuai dengan tahapan perkembangan remaja. Seperti diketahui bahwa masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun (Hurlock, 1998). Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metode coba-coba. Masa remaja merupakan suatu periode dalam rentang kehidupan manusia, mau tidak mau setiap orang pasti akan mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Saat ini, remaja dihadapkan pada persoalan-persoalan yang semakin kompleks. Adanya berbagai persoalan yang dihadapi remaja tersebut tentu saja memberikan konsekuensi kepada guru Bimbingan dan Konseling (yang untuk selanjutnya disebut guru BK) untuk melaksanakan layanan pemberian bantuan semaksimal mungkin. Salah satu di antaranya adalah layanan konseling. Proses konseling merupakan proses bantuan yang diberikan oleh seseorang yang berperan sebagai konselor kepada individu yang memiliki kesulitan, sehingga individu yang mendapatkan bantuan tersebut mendapatkan kebahagiaan. Proses konseling seringkali dilakukan dengan face to face. Pemberian bantuan dengan face to face dalam proses konseling tentu saja membutuhkan teknik dan keterampilan tertentu yang harus dikuasai, yaitu keterampilan konseling. Menurut Tan (2004) ada 12 tugas inti keterampilan konseling yang berkaitan dengan tahaptahap konseling serta dapat mempengaruhi proses konseling, yaitu : 1) contacting , 2) connecting, 3) relating, 4) assessing, 5) profiling, 6) conceptualizing, 7) planning, 8) intervening, 9) monitoring, 10) evaluating, 11) terminating, dan 12) following. Selanjutnya, Tan menambahkan ada empat tipe keterampilan konseling : keterampilan dasar konseling, keterampilan intermediate konseling, keterampilan advance konseling dan metaskill konseling. Keempat tipe keterampilan tersebut akan mewarnai masing-masing tahap konseling. Capuzzy (1997) membagi keterampilan menjadi dua yaitu keterampilan dasar dan keterampilan lanjutan. Keterampilan dasar terdiri dari : 1) Keterampilan penampilan, meliputi kontak mata, bahasa tubuh, jarak, tekanan suara, dan alur verbal (verbal tracking); 2) Keterampilan mendengar dasar, meliputi pengamatan terhadap konseli, perilaku verbal, dorongan, parafrase dan membuat kesimpulan, refleksi perasaan dan mengajukan pertanyaan; 3) Self attending skills, 96 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta meliputi kesadaran diri, humor, sikap nonjudgmental terhadap diri, sikap nonjudgmental terhadap orang lain, genuine dan concreteness. Sementara keterampilan lanjutan terdiri dari : 1) Keterampilan memahami dan menolak (understanding & challenging), meliputi advanced empaty, keterbukaan diri (self disclosure, konfrontasi dan immediacy; 2) Keterampilan perilaku, dan 3) Keterampilan terminasi (pengakhiran). Teknis pembagian keterampilan konseling sesuai pendapat Tan (2004) dan Capuzzy (1997) tersebut menentukan jenis keterampilan konseling yang dibutuhkan dalam masing-masing tahap proses konseling. Dalam melakukan proses konseling tersebut, sangat diperlukan pemahaman dan penguasaan keterampilan konseling. Berdasarkan hasil tes pemahaman pada penelitian tahun I ditemukan bahwa pemahaman guru BK mengenai keterampilan konseling masih belum optimal. Hal ini ditunjukkan dengan ratarata skor pencapaian 19,36 atau sekitar 52,18%. Skor ini mengindikasikan bahwa keterampilan konseling belum dipahami secara konseptual. Tujuan, makna dan contoh-contoh penggunaan masing-masing keterampilan belum betul-betul dikuasai dengan baik. Beberapa keterampilan bahkan ditafsirkan berbeda-beda, sehingga dalam prakteknya pun tidak sesuai antara satu dengan yang lain. Pemahaman guru BK terhadap beberapa konsep keterampilan konseling ini tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana penguasaan terhadap keterampilan itu sendiri. Guru BK akan kesulitan dalam menerapkan keterampilan tersebut dalam proses layanan konseling. Kesulitan dapat juga terjadi ketika dalam proses konseling berjalan. Guru BK tidak tahu bagaimana merespon pernyataan, pertanyaan bahkan sinyal-sinyal yang ditunjukkan siswa. Sementara berdasarkan hasil need assesment menunjukkan bahwa semua subjek (guru Bimbingan dan Konseling ) menganggap perlu untuk menguasai keterampilan konseling. Ada kesadaran guru BK bahwa keterampilan konseling merupakan keterampilan yang penting bagi profesi mereka. Penguasaan keterampilan bagi guru Bimbingan dan Konseling akan dapat meningkatkan kinerja layanan konseling. Dan pada akhirnya akan berdampak positif bagi perkembangan diri siswa sebagai orang yang menerima layanan tersebut. Siswa yang sedang memiliki masalah akan merasa diterima dan dihargai, kemudian akan mudah untuk membuka diri. Selanjutnya guru BK dapat membantu menyelesaikan masalah siswa tersebut yang sangat berpengaruh dalam perkembangan diri siswa. Ada beberapa sumber untuk mendapatkan materi keterampilan konseling. Data dari hasil need assesment juga menunjukkan bahwa sumber belajar yang banyak digunakan oleh guru Bimbingan dan Konseling selama ini untuk mendapatkan materi keterampilan konseling antara lain : buku/modul/makalah (49%), mengikuti seminar (17%) dan mengikuti Diklat/pelatihan (19%). Berdasakan data tersebut dapat disimpulkan bahwa media berupa modul/buku panduan/makalah merupakan media yang selama ini menjadi sumber bagi guru Bimbingan dan Konseling untuk meningkatkan penguasaan keterampilan konseling. Selain itu juga dapat memberikan gambaran bahwa sebagian besar guru Bimbingan dan Konseling mempunyai minat baca untuk mengetahui sesuatu hal, terutama yang berkaitan dengan profesi mereka. Modul yang diharapkan guru Bimbingan dan Konseling adalah modul yang memiliki kriteria mudah dipahami, mudah dipraktekkan, tidak terlalu teoritis dan disertai contoh-contoh penggunaan. Mudah dipahami artinya materi-materi keterampilan konseling di dalam modul mudah dicerna dan mudah ditangkap inti materi yang disampaikan. Mudah dipraktekkan mengandung tujuan bahwa keterampilan konseling yang ada di dalam modul hendaknya merupakan keterampilan yang 97 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memang sering digunakan. Tidak terlalu teoritis dimaksudkan supaya materi modul tidak menggunakan bahasa formil dan menyertakan bahasa teori. Kriteria berikutnya adalah perlunya menyertakan contoh-contoh penggunaan keterampilan konseling dalam bentuk respon-respon yang ditunjukkan pada pernyataan, pertanyaan maupun perilaku konselor (guru Bimbingan dan Konseling). Oleh karena itu, modul keterampilan konseling perlu diupayakan dapat memenuhi kebutuhan guru Bimbingan dan Konseling tersebut. Goldschmid & Goldschmid menyatakan bahwa modul adalah ”A self-contained, independent unit of planned series of learning activities designed to lep the student accomplished certain well defined objectives” (Goldschmid dalam Wirasti. 2003). Disini Goldschmid tidak memerinci apa ujud proses learning itu sehingga dapat berujud bahan ajar cetak atau atau bahan audio, audio-visual atau kombinasi kedua-duanya. Selanjutnya Russell menyebutkan bahwa “A module is an instructional package dealing with a single conceptual unit of subject matter. It is an attempt to individual learning by enabling the student to master one unit of content before moving to another. A multi media learning experiences are often presented in a self-instructional format. The students controles the rate and intensity of his study… The student can take it to the library, to a study carrel or take it home. The length may vary from only a few minutes of student time to several hours. The module can be used individually or combined in a variety of different se quence (Russell dalam Wirasti , 2003). Dengan demikian modul adalah paket belajar yang berkenaan dengan suatu unit materi belajar.Perwujudan modul dapat berupa bahan cetak untuk dibaca subyek belajar dan bahan cetak ditambah tugas mengamati suatu media. Suatu modul cetak akan memuat tujuan instruksional khusus sehingga pembaca tahu pasti ia akan menguasai apa saja setelah selesai membaca modul. Selanjutnya disajikan materi dari bahan ajar. Mengikuti selesainya sajian materi adalah pertanyaan latihan untuk mencek apakah penangkapan subyek didik telah memadai. Berikutnya disajikan tes untuk mengetahui sendiri apakah si pembaca telah menguasai seluruh materi dan yang terakhir disajikan kunci jawaban tes. Modul dipilih untuk mewujudkan proses konseling yang benar bagi guru Bimbingan dan Konseling, sehingga proses pemberian bantuan dapat berjalan lancar. Adapun pertimbangan memilih bentuk modul karena modul sebagai bahan ajar cetak bersifat self contained sehingga pembaca (pendidik & masyarakat pelaksana kebijakan pendidikan di daerah) terutama guru Bimbingan dan Konseling dapat lebih menguasai isi bahan ajar secara mandiri. Setelah melewati serangkaian proses validasi, bahan ajar ini dapat menjadi bahan ajar kelompok yang lebih luas. Berdasarkan kebutuhan tersebut, pada penelitian tahun I menghasilkan produk berupa draft modul keterampilan konseling. Draft modul keterampilan konseling terdiri dari 11 keterampilan konseling seperti keterampilan attending, mendengarkan, bertanya, empati, klarifikasi, pemfokusan, memberikan dukungan, memberikan dorongan, membuka diri, pemecahan masalah dan menutup. Kesebelas keterampilan konseling tersebut ditentukan berdasarkan hasil survey kebutuhan guru Bimbingan dan Konseling mengenai keterampilan konseling yang sering mereka gunakan dan menurut mereka penting untuk mereka kuasai. Adapun penjelasan dari 11 keterampilan dapat dlihat pada tabel 1. 98 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Keterampilan Konseling No 1. Keterampilan Konseling Attending 2. Mendengarkan 3. 4. 5. Bertanya Empati Klarifikasi 6. Pemfokusan 7. Memberikan dukungan Memberikan dorongan Membuka diri 8. 9. 10. 11. Pemecahan Masalah Menutup Pengertian keterampilan berupa pemberian perhatian baik melalui kontak mata, sikap, bahasa tubuh, mendengarkan dan ungkapan-ungkapan kecil yang menunjukkan adanya perhatian keterampilan menangkap inti dan makna pembicaraan, tanpa prasangka atau penilaian keterampilan mengajukan pertanyaan untuk menggali informasi keterampilan memahami perasaan dan pikiran konseli keterampilan memperjelas informasi konseli yang sebelumnya samar-samar atau tidak jelas keterampilan mengarahkan arus pembicaraan ke arah topik yang diinginkan keterampilan untuk mengurangi kecemasan konseli sehingga konseli merasa menjadi lebih berharga keterampilan memberikan stimulasi kepada konseli supaya konseli dapat terus berbicara dan lebih terarah keterampilan untuk mengungkapkan pikiram, perasaan dan pengalaman yang dimiliki terkait dengan masalah yang dihadapi konseli keterampilan untuk membantu konseli menyelesaikan masalah mengakhiri sesi konseling dengan memberikan penekanan pada inti pembicaraan dan menunjukkan attending yag relevan Modul yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya masih berupa draft, sehingga masih perlu dilakukan validasi modul, baik dari sisi isi materi maupun dari sisi media. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan prosedur validasi dengan tujuan supaya modul ini dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan prosedur validasi modul keterampilan konseling. Modul keterampilan konseling, secara sistematis akan memberikan pemahaman sekaligus penguasaan keterampilan di lapangan. Media tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan dalam meningkatkan kinerja guru Bimbingan dan Konseling . Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian multi years, yang mana penelitian ini sudah berada pada tahun kedua. Penelitian menggunakan pendekatan Research and Development (R & D) yaitu suatu rangkaian kegiatan penelitian yang ditindaklanjuti dengan pengembangan produk. Model pengembangan dalam penelitian ini mengacu pada rancangan model Borg and Gall (1983). Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan modul keterampilan konseling sesuai kebutuhan guru BK di lapangan, bersama pakar terkait dan guru Bimbingan dan Konseling. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa modul keterampilan konseling. Subjek penelitian terdiri dari konselor ahli yang menguasai keterampilan konseling, ahli media sebagai ahli yang berkompeten di bidang penyusunan media belajar, dan para guru Bimbingan dan Konseling yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan subjek penelitian untuk uji 99 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ahli dengan menggunakan teknik purposive. Adapun kriteria ahli konseling adalah memiliki pendidikan S1 Bimbingan dan Konseling, pendidikan terakhir minimal S2 dan kompeten di bidang layanan konseling. Kriteria ahli media adalah berpendidikan S1 Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, pendidikan terakhir minimal S2 dan kompeten di bidang media pembelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling dilibatkan dalam uji keterbacaan dan uji pengguna di lapangan permulaan, utama serta operasional. Pengambilan subjek pada uji keterbacaan dan uji pengguna menggunakan metode random dengan teknik purposive. Kriteria yang digunakan sesuai dengan tujuan uji keterbacaan dan uji pengguna adalah berpendidikan S1 Bimbingan dan Konseling dan berkonsentrasi melakukan layanan konseling. Variabel penelitian yang menjadi fokus pada penelitian tahun kedua ini adalah kelayakan modul, pemahaman dan penguasaan subjek terhadap materi modul keterampilan konseling. Kelayakan modul adalah kemampuan dan performansi modul sebagai media pembelajaran. Kelayakan modul dapat dilihat dari hasil penilaian modul, baik dari uji ahli maupun uji pengguna. Pemahaman keterampilan konseling merupakan kemampuan seseorang menangkap sebuah konsep keterampilan konseling secara teoritis. Pemahaman ini dapat dilihat dari skor tes pemahaman keterampilan konseling. Skor tinggi menunjukkan bahwa tingkat pemahaman yang baik, sebaliknya skor rendah menunjukkan tingkat pemahaman yang kurang baik. Penguasaan keterampilan konseling merupakan kemampuan seseorang menerapkan keterampilan konseling secara aplikatif. Penguasaan keterampilan konseling dapat dilihat dari hasil observasi mengenai beberapa bahan amatan yang terkait dengan masing-masing keterampilan. Penilaian terhadap seberapa jauh penguasaan ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu baik, sedang dan buruk. Adapun kriteria penilaian tersebut adalah sebagai berikut :1) Penilaian baik, apabila subjek sudah dapat melakukan keterampilan konseling disertai reaksi perilaku/ekspresi raut muka/nonverbal atau ungkapan verbal yang tepat, 2) Penilaian sedang, apabila subjek sudah dapat melakukan keterampilan konseling namun reaksi perilaku/ekspresi raut muka/nonverbal atau ungkapan verbal tidak tepat , 3) Penilaian buruk, apabila subjek belum mampu melakukan keterampilan konseling disertai adanya reaksi perilaku/ekspresi raut muka/nonverbal atau ungkapan verbal yang tidak tepat Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan angket penilaian modul, tes keterbacaan (readability), tes pemahaman dan angket penguasaan keterampilan konseling. Berdasarkan angket penilaian modul akan diperoleh data mengenai penilaian subjek terhadap modul keterampilan konseling sebagai media pembelajaran. Penilaian tersebut dilakukan terhadap beberapa aspek yang terdiri : 1) tampilan modul, 2) desain cover, 3) tata letak (lay out), 4) tampilan huruf, 5) penggunaan ilustrasi gambar, 6) kemudahan memahami cara penggunaan modul, 7) kemudahan memahami isi materi modul, 8) nilai kemanfaatan modul dan 9) perasaan saat mempelajari modul. Instrumen keterbacaan akan memberikan data berupa seberapa besar kemudahan subjek dalam memahami materi modul, yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang digunakan dalam modul. Kajian teoritis yang digunakan dalam uji keterbacaan ini mengacu pada teknik cloze. Teknik cloze merupakan teknik menghilangkan kata-kata secara sistematis dari sebuah wacana atau bacaan. Pembaca diharapkan dapat menggantikan kata-kata yang dihilangkan tersebut. Pada tes pemahaman dapat diketahui seberapa besar pemahaman subjek mengenai beberapa keterampilan konseling yang ada dalam modul. Tes pemahaman disusun berupa soal-soal mengenai keterampilan konseling yang terdiri dari 38 soal. Tes ini merupakan power test di mana hanya ada 100 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta satu jawaban yang benar. Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman subjek mengenai keterampilan konseling Data mengenai penguasaan keterampilan konseling dapat diketahui dari hasil observasi yang menggunakan instrumen angket penguasaan keterampilan konseling. Dalam hal ini, dilakukan sesi praktik konseling dengan fokus amatan 11 keterampilan konseling yang terdapat di dalam modul. Oleh karena itu, subjek penelitian secara bergilir diminta untuk berperan sebagai konselor dan konseli, sebagian yang lain berperan sebagai pengamat. Hasil Penelitian dan Pembahasan Modul keterampilan konseling yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan modul yang dikonsep sebagai media pembelajaran bagi guru BK dalam memahami dan menguasai keterampilan konseling. Serangkaian prosedur dilakukan untuk dapat menghasilkan modul yang memang benarbenar layak sebagai media pembelajaran. Selain itu juga sesuai dengan kebutuhan guru BK di lapangan. Hal ini terkait dengan temuan pada tahun I bahwa sebagia besar guru BK membutuhkan sumber belajar yang dapat mereka manfaatkan sebagai sarana pembelajaran keterampilan konseling. Salah satu langkah dalam penelitian pengembangan modul keterampilan konseling adalah melakukan uji ahli. Uji ahli bertujuan untuk memberikan penilaian secara teoritis kelayakan modul sesuai dengan isi materi modul dan kelayakan modul sebagai media pembelajaran bagi guru BK. Dalam penelitian ini, uji ahli dilakukan oleh ahli konseling dan ahli media pembelajaran. Beberapa masukan dari ahli konseling lebih banyak memberikan kontribusi pada pembenahan isi materi konseling, terutama berkaitan dengan esensi beberapa keterampilan, isi dan format evaluasi pemahaman serta penguasaan keterampilan konseling. Ahli media memberikan penilaian dan masukan pada tampilan dan format modul baik secara kuantitatif maupun kualitatif dari sisi media pembelajaran. Hasil penilaian ahlli media dari aspek tampilan modul menunjukkan skor rerata sebesar 3,38, yang masuk dalam kriteria baik. Ini berarti bahwa modul keterampilan konseling dinilai sebagai media pembelajaran yang menarik, jelas dan mudah dipahami dan dapat memberikan manfaat bagi guru BK. Pada uji pengguna lapangan permulaan yang melibatkan 3 orang subjek menunjukkan hasil penilaian dengan rerata skor 3,11. Uji pengguna utama yang melibatkan 9 orang menghasilkan penilaian dengan rerata skor 3,17, sementara hasil uji coba pengguna operasional menghasilkan rerata skor 3,46 dari 30 orang subjek. Ketiga skor hasil uji pengguna, baik uji pengguna permulaan, utama maupun operasional mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil penilaian pengguna tersebut menunjukkan bahwa modul keterampilan konseling dapat diterima oleh subjek pengguna. Data tersebut dapat dilihat ada tabel 2. 101 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 2. Penilaian Modul pada Uji Coba Pengguna Aspek Hasil Pengguna Lapangan Permulaan Utama Operasional Tampilan Modul Secara Umum 3.00 3.00 3.33 Desain Cover 2.33 2.89 3.00 Tata Letak (Lay-out) 3.00 3.00 3.30 Tampilan Huruf 3.67 3.33 3.50 Penggunaan Ilustrasi Gambar 3.00 3.33 3.40 Kemudahan memahami cara penggunaan 3.00 3.00 3.57 modul Kemudahan memahami isi materi modul 3.00 3.00 3.57 Nilai Kemanfaatan Modul 4.00 3.78 3.90 Perasaan Saat Mempelajari Modul 3.00 3.22 3.57 Rerata 3.11 3.17 3.46 Uji keterbacaan dikenakan pada 36 subjek yang terdiri dari 21 guru Bimbingan dan Konseling dan 15 sarjana BK. Berdasarkan teknik cloze, yang dijadikan acuan teoritis penilaian uji keterbacaan, modul keterampilan konseling termasuk dalam kategori instruksional dengan rata-rata 45,9%. Kategori ini berarti bahwa materi modul tersebut dapat dipahami pengguna dengan adanya pendampingan, terutama dalam menjelaskan inti sari masing-masing keterampilan, instruksi atau petunjuk untuk menggunakannya. Namun bila dicermati pada tabel 2 mengenai hasil uji keterbacaa, pada setiap keterampilan ada tiga wacana bacaan yang di bawah standar kategori sedang, yaitu pada wacana keterampilan klarifikasi (32,4%) , membuka diri (40,2%), serta keterampilan pemecahan masalah (37,4%). Ketiga wacana pada keterampilan-keterampilan tersebut termasuk kategori yang sulit dipahami. Berdasarkan hasil uji keterbacaan ini serta masukan ahli, wacana ketiga keterampilan tersebut diperbaiki. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Keterampilan Konseling Attending Mendengarkan Bertanya Empati Pemusatan Klarifikasi Membuka Diri Memberi Dukungan Memberi Dorongan Pemecahan Masalah Menutup Percakapan Tabel 3. Hasil Uji Keterbacaan B SOAL B SOAL 674 3276 932 3276 608 2916 889 2916 304 1188 376 1188 578 3168 799 3168 275 1512 408 1512 334 2340 423 2340 139 756 165 756 428 2232 578 2232 326 1440 393 1440 405 2484 525 2484 111 432 121 432 102 B SOAL % 1606 3276 49 1497 2916 51,3 680 1188 57,2 1377 3168 43,5 683 1512 45,2 757 2340 32,4 304 756 40,2 1006 2232 45,1 719 1440 49,9 930 2484 37,4 232 432 53,7 Mean (rata-rata) 45,9% Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Meskipun demikian, berdasarkan hasil tes pemahaman menunjukkan bahwa modul ini dapat meningkatkan pemahaman para pengguna. Hal ini dapat dikatakan bahwa modul keterampilan konseling dapat memberikan dampak positif bagi pemahaman para peserta mengenai pengetahuan mengenai keterampilan konseling. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pretest dan posttest pada tes pemahaman pada grafik 1. Hasil tes pemahaman ini mengindikasikan bahwa modul keterampilan konseling telah membantu subjek dalam memahami keterampilan konseling. Prosentase Grafik Analisis Perbandingan antara Pre-Test dan Post-Test 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Sangat Baik sekali Baik Cukup Kurang Buruk Series1 1 0.00 2 6.67 3 40.00 4 40.00 5 13.33 Series2 0.00 23.33 56.67 16.67 3.33 Adapun data penguasaan keterampilan konseling pada tabel 6 menunjukkan bahwa penguasaan subjek dalam menggunakan modul ini tergolong baik dengan rata-rata 2,79. Penguasaan keterampilan konseling tampaknya tidak dipengaruhi oleh pengalaman kerja. Keterampilan konseling dalam modul ini dapat dikuasai dengan baik oleh guru Bimbingan dan Konseling yang mayoritas masih memiliki pengalaman kerja 0-5 tahun. Selain itu, komposisi subjek penelitian yang mayoritas sarjana BK (83,33%) memudahkan penguasaan keterampilan konseling. Hasil uji penguasaan keterampilan konseling ini memang tidak dapat mencapai skor maksimal (sangat baik). Hal ini karena penguasaan keterampilan konseling ini membutuhkan proses waktu dan pembiasaan, sementara dalam penelitian ini karena keterbatasan waktu, uji penguasaan dilakukan hanya dalam beberapa hari untuk mempelajari dan mempraktekkan beberapa keterampilan tersebut. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa 1) Modul keterampilan konseling yang dihasilkan dalam penelitian ini dinyatakan sudah valid dan layak digunakan sebagai media pembelajaran keterampilan konseling bagi guru Bimbingan dan Konseling , 2) Modul keterampilan konseling dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan penguasaan keterampilan konseling bagi guru Bimbingan dan Konseling Tabel 6. Analisis Praktek Penguasaan Keterampilan Konseling 103 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 KETERAMPILAN RERATA 2,92 2,68 2,76 2,94 2,94 2,60 2,92 2,58 2,67 2,83 2,87 2,79 Attending Mendengarkan Bertanya Empati Pemusatan Klarifikasi Membuka Diri Memberi Dukungan Memberi Dorongan Pemecahan Masalah Menutup Percakapan Rata – Rata KATEGORISASI BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK BAIK Daftar Pustaka Borg, W.R.. & Galll, M. D. 1983. Educational Research, An Introduction , Fourth Edition, New York : Longman Capuzzy, D & Gross, D.R. 1997. Introduction to the Counseling Profession. Second Edition. Boston : Allyn & Bacon Carkhuff. 1983. The Art of Helping. Massachusetts: Human Resources Press, Inc.. Carkhuff. 1987. The Skills of Helping. Massachusetts: Bernice R. Carkhuff. Haney, J.H & Leibsohn, J. 1999. Basic Counseling Responses : Multimedia Learning System for the Helping Professions. Belmont : Brooks/Cole Publishing Company. Ivey, A.E. (2005). Intentional Interviewing and Counseling Facilitating Client Development. Belmont : Brooks/Cole Publishing Company. McLeod, J. 2006. Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus. Edisi Ketiga. Jakarta : Kencana. McLeod, J. (2007). Counseling Skill. Berkshire : McGraw Hill Education. Neukrug, Ed. 2007. The World of The Counselor (edisi ke tiga). PB-ABKIN, 2007. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas. Rahadi, A. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan. Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., dan Rahardjito. 2010. Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : Rajawali Pers. Sayekti. 1993. Petunjuk Praktis Pelaksanaan Konseling. Yogyakarta : Menara Emas Tan, Esther. 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes and Techniques. Singapore: McGrawHill. Wilis, S.S. 2007. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Alfabeta. Wirasti, dkk. 2003. Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. 104 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENINGKATAN KREATIVITAS GURU SENI TARI DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PEMBELAJARAN TARI MELALUI KOREOGRAFI LINGKUNGAN Trie Wahyuni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta trie_tari@yahoo.com Abstrak Kegiatan untuk meningkatkan kualitas kemampuan guru dalam kreativitas tari dapat dilakukan dengan kegiatan berekspresi seni melalui lingkungan sekitar sekolah. Dari penjelajahan terhadap lingkungan sekitar dapat dihasilkan banyak tema, objek amatan, pengembangan imajinasi, yang dapat memberikan pembelajaran kreatif estetis dan berekspresi. Upaya memberi motivasi Guru seni tari di Kabupaten Gunungkidul dan meningkatkan pengalaman estetis, serta kemampuan mengapresiasi seni tari dalam proses penciptaan tari yang dapat dilakukan melalui penjelajahan gerak dengan berbagai amatan dari benda dan kehidupan lingkungan sekitar sekolah, lingkungan perbukitan gunung kapur, pepohonan, dan seterusnya. Melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (PTK) dapat memberikan hasil meningkatnya semangat berproses kreatif menjelajahi gerak dalam eksplorasi, menerapkan hasil eksplorasi dan improvisasi, serta merangkainya dalam bentuk komposisi kelompok. Memahami pengembangan kreatif seni tari melalui lingkungan sekitar sekolah yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran tari, mulai proses awal eksplorasi sampai akhir komposisi. Meningkatnya kemampuan guru seni tari dalam menentukan desain atas, memunculkan sepuluh desain lantai terpadu dengan variasi arah hadap dan level, yang diselaraskan dengan iringannya. Meningkatnya kemampuan guru seni tari mengolah materi pembelajaran lingkungan sekitar yang disusun menjadi sebuah pergelaran tari (koreografi lingkungan) dengan iringan musik lingkungan yang sesuai untuk siswa SMP. Kata kunci: kreativitas, pembelajaran tari, koreografi lingkungan Pendahuluan Pendidikan Seni Tari yang merupakan salah satu bidang pelajaran seni budaya di dalam pelaksanaannya di sekolah diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yang para gurunya dituntut untuk mengembangkan pembelajarannya secara lebih profesional. Standar kompetensi dalam kurikulum kesenian khususnya seni tari di lingkungan sekolah SMP adalah mengapresiasi karya seni tari, dan mengekspresikan diri melalui karya seni tari. Ketika siswa mengapresiasi karya seni tari guru tidak terlibat secara aktif memberikan penjelasan akan amatan siswanya, yang dilakukan tidak hanya sekedar memberi sekilas pengantar mengenai amatan yang sedang dicermati siswa. Demikian pula ketika siswa melaksanakan kegiatan mengekspresikan karya seni tari, tidak hanya melihat secara sepintas, tetapi mencermati setiap gerak tari yang dilakukan siswanya. Bukan sekedar memberi tugas tanpa memotivasi dan kurang memberi penjelasan dan contoh-contoh kepada siswanya. Akibatnya, siswa hanya melakukan imitasi terhadap gerak-gerak yang pernah dipelajarinya, tanpa memberi variasi dan pengembangan gerak yang pernah dipelajarinya. Guru kesenian khususnya seni tari di Kabupaten Gunungkidul dalam melaksanakan pembelajaran tari masih sedikit yang memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sekolah, atau 105 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta membuat karya tari dari hasil amatan alam dan lingkungan sekitarnya dengan mengajak para siswanya untuk mengamati fenomena lingkungan alam yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal siswa yang dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kreativitas siswa. Pembelajaran tari yang dilakukannya masih bersifat imitatif dari karya tari seniman/orang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan sebagai upaya peningkatan kreativitas guru seni tari SMP di Kabupaten Gunungkidul DIY dalam proses belajar mengajar seni tari di sekolah. Dengan terlibatnya guru seni tari SMP Kabupaten Gunungkidul dalam pembelajaran tari secara langsung melalui penjelajahan terhadap lingkungan sekitar sekolah, kemungkinannya dapat meningkatkan keterampilan mengolah dan mengekspresikan gerak tari dalam koreografi lingkungan. Pengertian kreativitas, pembelajaran tari, koreografi lingkungan, motivasi Salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia adalah perwujudan diri dengan berkreasi, hal tersebut juga ditekankan oleh Maslow 1968 (melalui Munandar 1987: 45-46) bahwa kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya, berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat dan kemampuannya. Secara operasional kreativitas sebagai kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan. Ciri afektif yang menentukan seseorang kreatif antara lain: rasa ingin tahu, tertarik terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan sebagai tantangan, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, ingin mencari pengalamanpengalaman baru, dapat menghargai diri sendiri maupun orang lain. Menurut Alma M Hawkins (Hadi, 2003: 23-24) pengalaman-pengalaman tari yang memberikan kesempatan bagi aktivitas yang diarahkan sendiri, serta memberi sumbangan bagi pengembangan kreatif, dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu eksplorasi, improvisasi dan komposisi. Proses penemuan pola, penemuan bentuk, dan ide baru adalah salah satu wujud kreativitas (Bagong Kussudiardja dalam Murti, 1993: 178). Dalam penilaian kreativitas, keberhasilan dilihat dari kemampuan untuk menampilkan hasil kerja kreatif, menggabungkan dan mengombinasikan berbagai elemen secara unik, sehingga melahirkan berbagai karya alternatif, secara individu maupun kelompok (Suyanto, 2000: 162). Pembelajaran tari merupakan proses yang dilakukan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa ketika pembelajaran tari berlangsung. Sebagai alat untuk menciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar. Model yang dipilih diarahkan untuk dapat merangsang siswa berpartisipasi secara aktif di dalam kelas dan belajar mandiri. Pengajar dapat berperan menempatkan tari sebagai kegiatan yang menarik, menghibur, menyenangkan, dan mendidik siswa (Widyastutieningrum, 2003: 23). Pembelajaran (Ahmadi dkk, 1991: 64) adalah suatu aktivitas atau proses belajar-mengajar yang di dalamnya terdapat dua subjek, yaitu pengajar dan peserta didik, yang merupakan totalitas aktivitas belajar-mengajar yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan evaluasi guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang terencana, terarah, yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan. Suatu proses informasi yang ditemukan peserta didik dalam peningkatan kemampuan melalui kegiatan belajar-mengajar (Gulo, 2002: 71-75). 106 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tari sebagai salah satu bentuk kesenian memiliki medium ekspresi yang unik, yaitu gerak, merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh yang telah mengalami pengolahan, stilirisasi, atau distorsi (perombakan) yang telah dipindahkan dari yang wantah diubah bentuknya menjadi seni, yang terwujud menjadi ungkapan estetis alami. Sebagai sebuah seni komunikatif (Hawkins melalui Hadi, 2003: 3). Keunikan yang lain adalah kekuatannya untuk menggugah emosi melalui perbendaharaan geraknya, membangkitkan rasa kinestetik, dan kemampuannya untuk mengungkapkan kelembutan jiwa dan raga. Namun, bahasa tari juga mempunyai keterbatasan, sehingga tidak dipaksakan untuk berkomunikasi di luar jangkauannya Humphrey (1987: 34). Dalam menggarap sebuah koreografi, penata tari (koreografer) melakukan cara dengan mempergunakan perbendaharaan pola-pola gerak tradisi yang telah ada sebelumnya (Murgiyanto, 1981:4). Sedangkan yang dilakukan pencipta tari dalam pencarian nilai gerak baru adalah berdasarkan pencarian dan pengembangan gerak yang belum terpola sebelumnya, yang di antaranya dapat dilakukan dengan pencarian dari sumber gerak yang terdapat di alam sekitar dari kehidupan sosial manusia. Dalam proses garapan tari (Hawkins, 1999: 15-16) karya yang terwujud akan mengalami beberapa tahapan kerja yang meliputi: eksplorasi atau penjelajahan, sebagai pengalaman untuk menanggapi beberapa objek dari luar, termasuk juga berpikir, berimajinasi, merasakan, merespon, Improvisasi, memberikan kesempatan yang lebih besar untuk berimajinasi, seleksi, dan penciptaan dari eksplorasi. Komposisi, merupakan tahap penggabungan elemen gerak, musik, busana, dan elemen estetis lainnya yang saling mendukung untuk dikemas menjadi satu sajian koreografi yang utuh. Pencarian gagasan dalam tari (Kusumo, 2004) dapat dilakukan dengan terjun langsung ke masyarakat. Pengalaman empiris atau yang dialami sendiri merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi koreografer. Pencarian tema terjadi di ruang-ruang di masyarakat yang terbagi atas beberapa kategori, yaitu: ruang publik (pasar, lapangan, jalan raya, pertokoan, dan seterusnya), ruang komunitas (tempat pembuatan batik/seni kriya/patung/genteng/batu bata/pasir, pembuangan sampah dan lain-lain), ruang pribadi (rumah, halaman rumah yang masih ditempati, dan setrusnya), ruang khusus (sumber air, sungai, telaga, tebing, sawah, dan lain-lain), ruang arsitektural (candi, bangunan kuna, istana raja, rumah adat, pura). Koreografi lingkungan (Richard Schechner dalam Yudiaryani, 2002: 320-331) memanfaatkan alam lingkungan sebagai penunjang estetis pertunjukan, ruang eksperimentasinya di ruang masyarakat. Misalnya eksplorasinya di lingkungan sekolah, lapangan, taman, pasar. Latihan dan pertunjukannya dapat digelar di tempat itu atau di sekitarnya yang tidak mengganggu aktivitas orang lain. Dalam pembentukan komposisi tari diperlukan motivasi yang merupakan dorongan untuk bergerak (Humphrey dalam sal Murgiyanto, 2000: 13), dan merupakan latar belakang pendorong seseorang untuk berbuat. Dorongan itu merupakan alasan yang berhubungan dengan kebutuhan maupun keinginan untuk mencapai tujuan (Sastrapradja, 1978: 330), dan kemauan yang lebih besar untuk bertindak orisinal menemukan hal-hal baru (Chandra 1994:102). 107 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Upaya Peningkatan Kreativitas Guru Seni Tari dalam Pembelajaran Tari melalui Koreografi lingkungan. Metode pembelajaran tari yang selama ini dilakukan guru seni tari adalah metode ceramah dan demonstrasi. Dalam pembelajaran tari yang mengarah pada kompetensi apresiasi dan ekspresi, sebagian kecil guru seni tari belum memberikan variasi dan pengembangan dalam proses berkreasi seni tari, sebagian besar melakukan pembelajaran tari secara imitasi, interaksi terbatas dua arah, tanpa dilanjutkan dengan diskusi. Sekedar membuat pola lantai, kurang memberikan penjelasan dan pemahaman akan pengembangan geraknya kepada siswa. Tindakan yang dilakukan melalui PTK dengan memberikan latihan atau praktik dengan mencermati tahap penggarapan tari dan eksplorasi terhadap lingkungan sekitar sekolah, yang diekspresikan melalui gerak yang dihasilkan dari pengembangan imajinasi guru melalui visual dan pengalaman pribadi, diharapkan akan menghasilkan ciptaan tari yang kreatif dan inovatif. Pelaksanaan PTK dilakukan untuk meningkatkan motivasi, aktivitas dan kreativitas dalam pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar sekolah. Langkah yang telah diterapkan dalam perencanaan meliputi apersepsi, penyampaian materi, pelatihan dan evaluasi dalam pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar sekolah. Maksud dan tujuan apersepsi ini adalah menjelaskan koreografi lingkungan dan tahap penggarapannya dengan menayangkan beberapa karya tari dalam vcd melalui video player dan Lcd sebagai bahan rangsang awal untuk memotivasi subjek penelitian, tema lingkungan yang dapat dieksplor beserta langkah-langkah metodenya dan mengulang hasil pengamatan yang dipraktikkan secara berkelanjutan. Apesrepsi dilakukan dengan cara interaksi dua arah dengan pendekatan individual dan melibatkan peserta di dalam aktivitas dan dorongan membuat respon. Pelaksanaan pembelajaran koreografi ini dilakukan melalui 2 Siklus, untuk Siklus I dilakukan 6 kali pertemuan, sedangkan Siklus II dilakukan sebanyak 6 kali pertemuan, pertemuan terakhir merupakan penyajian hasil proses kreatif dalam pembelajaran tari melalui lingkungan dan presentasi hasil karya tari kelompok. Pada siklus I materi yang disampaikan tentang koreografi lingkungan, menentukan tema, kerja eksplorasi mencari kemungkinan gerak dari pengamatannya terhadap lingkungan sekolah (terutama di wilayah SMPN 3 Playen Gunungkidul) dan improvisasi dalam proses kreatif seni tari, untuk memudahkan guru seni tari mencari perbendaharaan gerak dan mengembangkan imajinasinya kedalam ekspresi tarinya. Kolaborasi antar peserta kedalam kelompok dalam memadukan desain atas dan iringan tari. Pada Siklus II materi yang disampaikan berupa tugas praktik kolaborasi merangkai dan menyusun hasil eksplorasi, improvisasi, evaluasi, menyelaraskan dengan iringan tari yang disusun kelompok guru musik, menerapkan hasil amatan yang disusun secara kelompok dalam sebuah penyajian tari berdasarkan lingkungan sekitar sekolah dengan iringan dan perlengkapan busana yang bernuansa lingkungan sekitar sekolah. Tindakan Siklus I Tindakan Siklus I dilakukan dengan diawali pengisian angket oleh peserta tentang pengalaman keterlibatannya dalam pembelajaran tari melalui koreografi lingkungan. Pada penyampaian materi pertemuan ke satu sampai pertemuan ketiga Siklus I, tentang penjelasan koreografi lingkungan alam, penyajian materi tentang musik tari bernuansa alam, praktik 108 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mendesain perlengkapan busana pada perlengkapan dan asesoris yang dibutuhkan untuk situasi di lingkungan sekitar sekolah. Subjek penelitian terlihat aktif dan semangat mengikuti, dengan beberapa pertanyaan yang dilontarkan dari subjek penelitian yang disampaikan kepada kolaborator dan pemateri. Para guru mempunyai motivasi tinggi untuk mengikuti semua kegiatan dengan tertib, akrab diselingi dengan canda dan tawa, sehingga tidak membosankan. Gambar 1: Kegiatan PTK Siklus I pada eksplorasi dan proses penemuan dari pengamatan pohon di lingkungan sekolah (Foto: Novarini, 2011) Gambar 2: Pengembangan desain lantai (Foto: Novarini, 2011) Pertemuan keempat pada Siklus I praktik menjajaki kemungkinan gerak dari beberapa pengamatan beberapa pohon yang terdapat di sekitar lapangan basket. Subjek penelitian memperlihatkan keaktifannya dalam menyelesaikan tugas dari tahap eksplorasi. Masing-masing peserta mempraktikkan geraknya berdasarkan tahap penggarapan improvisasi. Masing-masing anggota kelompok penyajian tari latihan berlatih di bawah pohon yang dipilih kelompoknya, dan kelompok pengiring tari latihan di lokasi yang dipilihnya, selang satu jam kemudian mempresentasikan garapan geraknya, mulai dari adegan mengeksplor pohon, batu, serangga, sampai dengan mengeksplor cabang-cabang dari pohon di sekitar sekolah. Kelompok pengiring memperhatikan dan mengamati sambil sesekali memukul alat yang dipegangnya untuk memberi penekanan pada gerak yang dilakukan kelompok penyaji tari. 109 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 3: Penyelarasan koreografi yang disusun pada penghayatan situasi dari lingkungan sekolah (Foto: Trie, 2011) Tindakan Siklus II Tindakan Siklus II merupakan kelanjutan dari tindakan Siklus I, diawali dengan mengulang kembali kegiatan kolaborasi antar peserta dalam pengembangan desain atas dengan melihat tayangan hasil rekaman video yang diambil pada kegiatan keenam Siklus I. Pertemuan kedua (Siklus II) memadukan gerak antar bagian dari tema masing-masing dengan desain atas, desain lantai, dan kelompok pemusik menyelaraskan irama dan ritme dari instrumen yang dipilihnya untuk mengiringi tari. Pertemuan ketiga (Siklus II) subjek penelitian memadukan iringan tari yang ditata oleh kelompok guru seni musik berdasarkan tema yang diangkat dalam penyajian tari sambil mengharmonisasikan gerak dari anggota badan, dan suasana yang dihadirkan dalam cerita. Pada tindakan Siklus II dalam pertemuan keempat praktik menyelaraskan musik iringannya, dan memadukan desain atas dan desain lantai dengan kelompoknya. Pada pertemuan kelima (Siklus II) memantapkan hasil desain atas dengan desain lantai, dengan menyelaraskan musik iringannya terutama pada pergantian setiap bagian dari rangkaian gerak. Pertemuan keenam Siklus II bemenyajikan hasil desain atas dan desain lantai beserta perlengkapan busana tari, dengan musik pengiring tarinya. Gambar 4: Kegiatan evaluasi penyelarasan penekanan gerak dan perpindahannya pada iringan tari (Foto: Novarini, 2011) Pada kegiatan menata musik dan mendesain perlengkapan busana tari yang bernuansa lingkungan sekitar, subjek penelitian terlihat antusias mengikuti sambil mencoba memainkan alat 110 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta musiknya. Demikian pula dalam mendesain perlengkapan asesoris yang akan digunakan dalam penyajian akhir hasil tindakan kelas dipraktikkan dengan menyusun daun dan akar pohon beringin sebagai pelengkap busananya, dan sebagai penjelas/identitas dari peran yang dibawakan peserta. Penerapan proses kreatif dalam pembelajaran tari dilakukan secara kelompok, masingmasing membuat gerak hasil pengamatan lingkungan sekitar dan merangkainya menjadi sajian tari yang bertema tentang lingkungan sekitar sekolah yang berhubungan dengan situasi belajar mengajar di sekolah. Ketika telah terbentuk kelompok kendala yang dihadapi adalah penyatuan ide garapan, masing-masing individu mempunyai konsep. Untuk mengatasi kendala yang dihadapi tersebut, peserta diberi kesempatan berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyatukan ide garapan, tema, dan tipe tarinya, tim peneliti memberikan masukan yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan. Pada pertemuan berikutnya kendala yang dihadapi sudah dapat diselesaikan, masing-masing individu menyampaikan gagasannya, yang dibahas pada kelompoknya dan anggota lainnya memberikan komentar, masukan, dan pertimbangan, yang akhirnya dapat ditampung dalam satu ide garapan tari. Pada pelaksanaan tindakan Siklus I dan II pemahaman guru seni tari dalam kegiatan pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar cukup baik. Pada awal kegiatan pencarian gerak, dilakukan secara individu selanjutnya disatukan/dipadukan dalam satu kesatuan kelompoknya. Pada pertemuan berikutnya secara kelompok mempresentasikan gerak hasil eksplorasi dan improvisasi untuk diberi masukan dan evaluasi dari tim pelaksana PTK fasilitator dan kolaborator tentang pengembangan gerak dan desain lantainya. Evaluasi dilakukan peneliti dan kolaborator pada pengamatan eksplorasi, improvisasi, dan hasil olahan geraknya yang tersusun dalam beberapa adegan. Memberikan penilaian kesesuaian antar objek amatan dan hasil temuan geraknya, dan penerapan elemen estetis dalam desain atas, dengan memberi komentar dan masukan. Misalnya objek amatannya pohon ketapang yang mempunyai daun lebar dengan cabang yang kuat, yang dilakukan subjek membuat gerakan melengkung lembut, setelah diberi masukan tentang mengeksplor karakter kokoh dengan gerakkan yang serba tegas, kuat/kokoh, akhirnya dapat menghasilkan gerakan tegas penuh semangat. Demikian pula ketika mengeksplor pohon cemara dan akar pohon beringin, gerakan yang dibuat subjek tidak teratur asal bergerak memutari pohon beringin dan bergelayut memegang akar pohon beringin. Setelah dievaluasi hasilnya cukup meningkat, pohon cemara dieksplor dari bentuk dan sifatnya, menghasilkan desain atas vertikal dengan gerakan tangan ke atas, gerakan seperti kecemasan dipadukan dengan gerak peserta seolah terjadi konflik, dan dieksplor pula keteduhan pohonnya sebagai keteduhan hati dengan mengekspresikan canda dengan keakraban kepada teman. Merespon kebersamaan dengan berkumpul, kolaborator memberikan masukan dengan saling bernyanyi, menggerakkan kaki dan tangan dengan desain bersudut. Mengeksplor serangga tidak harus berjalan jinjit kecil-kecil tetapi dapat dicari kemungkinannya dengan membentuk desain atas kontras, simetris dan asimetris, tangan kiri nekuk sebatas pinggang, tangan kanan menthang ke samping kanan dilanjutkan nekuk siku ke atas, dan seterusnya. Pemilihan alat instrumen yang terbuat dari kayu, yang dipilih para pemusik berupa alat bunyia-bunyian yang menimbulkan suara kecil, dari tong ember bekas cat yang dipukul terbalik pada bagian dasarnya memberikan suara besar, dipakai untuk mengatur setiap tekanan gerak tari dan tanda perpindahannya. Musik iringannya memadukan suara dari instrumen kecrik, icrik-icrik dengan alat makan (piring, mangkok yang dipukul dengan sendok), ember plastik, ketipung, rebana kecil. Evaluasi berikutnya pada desain lantai yang tidak hanya berupa garis lurus berjajar saja, tetapi bisa dikombinasikan dengan duet dalam bentuk diagonal. Pada bagian akhir tidak sekedar ngumpul saja, tetapi diberi variasi desain lantai lengkungan sambil bergerak menuju focus di bawah 111 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pohon yang dipilihnya. Untuk pemilihan perlengkapan busana tari diperjelas pada lingkungan pepohonan dengan menambahkan daun dan ranting yang dikenakan di bagian kepala, dan daundaun yang melilit tubuh sebagai penyatuan lingkungan sekitar pohon. Gambar 5: Hasil kegiatan akhir penyajian tari adegan Introduksi penghayatan situasi di sekitar sekolah (Foto: Trie, 2011) Dari hasil pengamatan dan analisis data dari tindakan Siklus I dan II dapat dikemukakan bahwa terjadi peningkatan kreativitas guru seni tari dalam pembelajaran tari melalui lingkungan. Para peserta guru dapat memahami materi yang disampaikan peneliti, dan menerapkan pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar sekolah dengan proses kreatif mewujudkan karya tari yang disusun secara kelompok menjadi tiga bagian. Pada bagian awal introduksi yang digambarkan dengan dialog guru dengan murid yang mendapatkan tugas pengamatan pepohonan di sekitar sekolah yang dituangkan dalam gerak estetis, bagian dua penggambaran respon dari belajar eksplorasi terhadap lingkungan sekitar sekolah (pohon, dan serangga). untuk memberikan dinamika pada koreografi kelompok, dihadirkan konflik antar teman karena terganggu dengan adanya lemparan bola yang dimainkan oleh kelompok siswa lainnya. Bagian ketiga (ending) menggambarkan kerjasama dan bersatu dalam keteduhan yang diekspresikan dengan gerak rampak, lincah, sambil mengungkapkan kegembiraan yang divisualisasikan dengan bernyanyi bersama. Gambar 6: Hasil kegiatan akhir penyajian tari adegan akhir pada bagian tiga, penggambaran kerjasama dengan suasana gembira dalam kebersamaan, desain atas yang dihasilkan banyak yang bersudut (Foto: Trie, 2011) Sebelum melaksanakan tindakan kelas, subjek penelitian mengisi angket tentang pengetahuan koreografi lingkungan, dari 27 orang peserta 7 orang menyatakan tahu tentang 112 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta koreografi lingkungan (6 orang menyatakan pernah melaksanakannya di sekolah), 20 orang menyatakan tidak tahu. Untuk mengetahui keterlibatan peserta dalam kegiatan pembelajaran tari melalui lingkungan sekolah, pada akhir kegiatan peserta menjawab angket yang diberikan peneliti. Hasil yang diperoleh sebagai berikut. a) Para guru yang terlibat 98% menyatakan pembelajaran tari melalui koreografi lingkungan menyenangkan; b) Peserta 99% menyatakan bahwa pembelajaran tari melalui koreografi lingkungan tidak membosankan; c) Pembelajaran koreografi lingkungan akan dikenalkan para peserta kepada siswa di sekolah masing-masing, yang menyatakan tersebut sebanyak 98%. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data dari tindakan Siklus I dan II terdapat peningkatan aktivitas pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar sekolah yang berdampak pula pada peningkatan kreativitas, yang dapat dilihat dari hasil jawaban responden yang rata-rata pada tiap indikator pada angket proses pembelajaran tari melalui lingkungan sekitar menjawab sangat setuju. Faktor lain, ketika pembelajaran berlangsung para peserta dengan senang hati tanpa beban dan keluhan, serta penuh semangat yang dapat dilihat dari ekspresi kegembiraan yang terpancar ketika berlangsungnya tindakan, selalu mengikuti pada setiap sesi yang diberikan baik oleh peneliti, kolaborator, maupun fasilitator. Mereka merasa sangat senang terhadap materi pembelajaran koreografi lingkungan. Penilaiain kreativitas dalam kegiatan PTK ini menggunakan penilaian proses, yang terdiri dari beberapa komponen dan indikator yang dijabarkan dalam bentuk evaluasi proses yang terdiri dari pengembangan gerak tari (desain atas), pengungkapan teba gerak, tema amatan, mengekspresikan karakter gerak, kemampuan mengembangkan desain lantai, kemampuan memunculkan ide kreatif (mengharmonisasikan antara gerak/desain atas, desain lantai, dan musik iringan tari). Penilaian proses untuk memberikan penilaian atas kerja kreatif yang dilakukan peserta didalam memadukan unsur-unsur pembelajaran seni tari dan kemampuan merefleksikan hasil karya tarinya. Hasil yang diperoleh rata-rata skornya 5. Kesimpulan Penelitian tindakan yang telah dilakukan ini untuk meningkatkan kreativitas guru seni tari di SMP Kabupaten Gunungkidul dalam pembelajaran tari melalui pengamatan terhadap lingkungan sekitar sekolah. Penerapan dan pemanfaatan lingkungan sekitar sekolah sebagai objek amatan dalam mengembangkan imajinasi estetis gerak tari merupakan salah satu alternatif dalam mengembangkan ekspresi kreatif guru dan siswa, yang mampumeningkatkan kreativitas dalam pembelajaran tari. Dapat dilihat dari hasil PTK yang dilakukan sebagai berikut. a) Meningkatnya aktivitas guru seni tari dalam mengikuti pembelajaran tari melalui koreografi lingkungan yang terlihat dengan siratan semangat di dalam proses kreatif dalam menjelajahi gerak dalam eksplorasi. Guru selalu ingin mencoba kemungkinan geraknya yang dapat dilakukannya dengan amatan lingkungan sekitar sekolah, menerapkan hasil eksplorasi dalam improvisasi dengan menekankan pada tema dan objek amatan yang diserapnya, yang kemudian merangkainya dengan peserta lain dalam bentuk koreografi lingkungan yang disesuaikan dengan karakteristik siswa usia SMP; b) Meningkatnya kemampuan guru dalam menentukan desain atas, memunculkan sepuluh desain lantai, yang terpadu dengan variasi arah hadap dan level, yang diselaraskan dengan iringannya; c) Meningkatnya pemahaman guru dalam pengembangan kreatif seni tari yang terpadu dengan seni musik melalui lingkungan sekitar sekolah. Guru seni musik dapat mengembangkan materi yang diberikan pemateri dengan memberi tugas siswa untuk mengaransir musik bernuansa lingkungan secara sederhana, yang dapat berkolaborasi dengan irama gerak tarinya. Guru seni tari dan musik dapat memberikan motivasi dan pengalaman beraktivitas bagi pengembangan kreatif yang 113 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ditunjukkan dalam proses awal eksplorasi sampai akhir komposisi; d) Meningkatnya kemampuan guru seni tari dan musik dalam penguasaan materi pembelajaran seni budaya khususnya dalam menciptakan karya tari dan musik berbasis lingkungan, yang diwujudkan dengan penampilan hasil karya tari kelompok dengan variasi gerak/desain atas, irama, penjiwaan, desain lantai, perlengkapan busana tari, dan memadukan musik iringan tari hasil tatanan peserta guru seni musik, serta mengharmonisasikan dalam koreografi kelompok yang bernuansa lingkungan sekitar sekolah. Daftar Pustaka Ahmadi, & A Rohani. 1991. Pengelolaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Aqib, Zainal. (2007). Penelitian tindakan kelas. Bandung: Yrama Widya. Arikunto, Suharsimi dkk., 2007, Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: BumiAksara. Chandra, Julius. 1994. Kreativitas: Bagaimana Menenam, Membangun dan Mengembangkannya. Yogyakarta: Kanisius. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kurikulum SLTP Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Gulo, W.2002. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Hadi, Sumandiyo. 2003. Aspek-aspek Dasar: Koreografi Kelompok. Yogyakarta: eLKAPHI. Sri Rochana Widyastutieningrum, Achmad Sumiyadi, Bambang Murtiyoso., et al. (2003). Metode pengajaran tari di sanggar tari. Gelar Jurnal Ilmu dan Seni STSI Surakarta, Vol 1 No.2, 14109700. Hawkins, Alma M. 1999. Moving from Within, A New Method for Dance Making. Chicago: A Cappella Books. Humphrey, Doris. 1987. The Art of Making Dances. New Jersey: A Dance Horizons Book Princeton Book Company. Kunandar. (2008). Langkah mudah: Penelitian tindakan kelas, sebagai guru. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. pengembangan profesi Kusumo, Sardono W. (2004). Sardono w kusumo: Hanuman, tarzan, homo erectus. Jakarta: ku/bu/ku. Murgiyanto, Sal. 2000. “Garap Isi dan Improvisasi dalam Koreografi” Makalah Seminar Tari Nusantara Program Due-Like di STSI Surakarta19 September 2000. Murti, Heru Kesawa. 1993. Bagong Kussudiardja sebuah autobiografi. Padepokan Press. Yogyakarta:Bentang Sukardi. (2008). Metodologi penelitian pendidikan: Kompetensi dan praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Suryabroto, Sumadi. 1993. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press. Wahyuni, Trie dan P Wulansari. 2010. Laporan Hasil Penelitian: Upaya Meningkatkan Kreativitas Guru Seni Tari Dalam Pembelajaran Tari di SMP Kabupaten Sleman Melalui Alam Sekitar. Yogyakarta: Lemlit UNY. Yudiaryani, (2002). Panggung Teater Dunia: Perkembangan dan Perubahan Konvensi. Pustaka Gondho Suli: Yogyakarta. 114 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta RESEPSI KESADARAN BERBAHASA SECARA KRITIS (CRITICAL LANGUAGE AWARENESS) DALAM PENULISAN FIKSI PADA GURU DAN SISWA SMA SE-DIY Suminto A. Sayuti, Esti Swatika Sari, Beniati Lestyarini Fakultas Bahasa dan Seni Universita Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awarenes s(CLA) pada karya fiksi guru dan siswa SMA se-DIY. Paradigma Kesadaran Berbahasa (Language Awareness) yang dipakai untuk mengelaborasi elemen-elemen dalam kehidupan manusia sebagai makhluk lokal, nasional, dan global yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultur masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian analisis konten yang didukung dengan data kualitatif dengan model Focus Group Discussion (FGD). Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa SMA seDIY serta karyanya. Analisis data secara deskriptif kualitatif interpretif yang dilakukan dalam proses pemaknaan karya guru dan siswa yang berdasar pada unsur-unsur CLA. Validitas penelitian dicapai dengan cek anggota (member check) dan cek orang luar (outsider check). Telaah pakar (expert judgment) juga dilakukan terutama untuk melihat dan menelaah hasil produk karya guru dan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dan siswa dalam menulis fiksi masih mengalami banyak kendala baik dari guru maupun siswa. Kendala tersebut dapat berasal dari guru yang memiliki keterbatasan dalam mengembangkan metode pembelajaran yang umumnya masih monoton. Sementara itu, kemampuan siswa masih terkendala dengan lemahnya motivasi menulis dan minat baca siswa yang berdampak pada kualitas karya siswa yang kurang optimal. Resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru dan siswa dalam menulis fiksi tercermin baik dalam proses maupun hasil. Dari kajian proses dan hasil pihak guru, dasar kritis pengembangan metode, pemanfaatan media, dan pemilihan sistem penilaian masih kurang optimal. Pada proses dan karya siswa, secara umum karya siswa sudah baik, namun jika ditinjau dari aspek kesadaran berbahasa secara kritis, sebagian besar karya siswa belum menampakkan kesadaran pentingnya kekuatan bahasa dan posisi diri siswa sebagai penulis. Materi dan modul penulisan karya fiksi dengan kesadaran berbahasa secara kritis harus dirancang dengan sederhana, praktis, komunikatif, dan inspiratif sehingga dapat dengan mudah diaplikasikan oleh guru dan siswa. Key words: Kesadaran Berbahasa secara Kritis, penulisan, fiksi (cerpen) PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan semakin melaju tanpa titik henti. Pusaran globalisasi juga memberikan tantangan pada manusia untuk merespon segala perubahan secara cepat dan tepat. Perubahan akan selesai ketika paradigma berhenti (Fuller dalam Yood, 2005: 4). Bidang pendidikan yang berperan sebagai wadah sekaligus pencipta agen perubahan (agent of change) menjadi sebuah keniscayaan untuk terus mengembangkan dan memperkuat kekuatannya dalam menyokong kehidupan manusia. Tantangan sekaligus kesempatan sebagai pemaknaan positif untuk menjawab perubahan dalam uraian di atas tidak akan bisa terlaksana tanpa adanya jalinan komunikasi yang kuat. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan strategisnya sebagai alat untuk berkomunikasi. Berbagai teori interpretasi wacana berkembang bahkan saling tumpang tindih. Paradigma baru dalam pendidikan bahasa muncul sebagai jawaban dari beberapa hasil penelitian para ahli bahwa kondisi sosiokultur menjadi poin penting bagi perkembangan paradigma, pendekatan, metode, dan sekaligus tujuan pendidikan bahasa. Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) yang 115 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dikemukakan oleh Fairclaugh (1995: 219) menjadi referensi pendidikan bahasa terkini. Banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan Language Awareness dan Critical Language Awareness dalam 10 tahun terakhir ini seperti di Kanada, Amerika, Australia, Inggris, dan Afrika yang juga didukung dengan proyek pengembangan tentang Language Awarenss seperti The European Awareness and Intercomprehension (EU + I) Project di Eropa (Svalberg, Agneta M-L, 2007: 301). Iklim akademis di sekolah senantiasa disiapkan sekaligus dikondisikan untuk memperkuat identitas siswa agar mampu aktif dan progresif. Dalam segala aktivitas sekolah, respons terhadap fenomena sosial, budaya, dan politik baik dalam diskusi ringan, diskusi formal akademis, telaah pustaka (buku dan media massa) maupun kegiatan penulisan diarahkan untuk dilakukan secara komprehensif dan holistik. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa manusia memang tidak dapat terlepas dari lingkungannya sebagai representasi dari karya manusia itu sendiri. Dalam hal ini, sastra menjadi salah satu media tulis untuk menyampaikan respons dari berbagai pengalaman hidup siswa. Dari sastra pula, siswa dapat mempelajari berbagai karakter manusia lengkap dengan gaya dan pilihan hidupnya masing-masing. Melalui kegiatan membaca dan menulis sastra, siswa diharapkan dapat menjadi pribadi yang memiliki karakter kuat dan senantiasa melakukan refleksi dalam hidupnya. Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi. Pertama, komitmen pemerintah terlihat kurang serius. Kedua, secara teknis guru-guru bahasa pada umumnya tidak selalu mampu menjadi guru sastra. Ketiga, ada kesenjangan antara karya sastra dan daya pemahaman siswa, bahkan juga guru nonsastrawan. Keempat, implikasi lebih jauh dari kondisi di atas adalah siswa cenderung mejauhi karya-karya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang dianggap “aneh’. Tidak heran jika siswa lebih menyukai sastra populer seperti karya Mira W, Ashadi Siregar, bahkan karya Fredy S. Berdasarkan paradigma baru pembelajaran bahasa serta permasalahan pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi, penelitian untuk melihat sekaligus menganalisis Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) dalam kegiatan penulisan fiksi siswa sangat penting untuk dilakukan. Penelitian tahun pertama dari rancangan penelitian multitahun yang ditujukan untuk guru dan siswa SMA se-DIY ini diharapkan akan dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran khususnya sastra di samping pendekatan kontekstual yang sudah diaplikasikan pada pembelajaran sastra saat ini dan pendekatan lain yang sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran. Dengan mempertimbangkan konteks pendidikan di Indonesia dan kebutuhan solutif atas banyaknya masalah yang muncul, penelitian ini terfokus untuk melihat bagaimana model pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi yang sesuai untuk guru dan siswa tingkat SMA. Tingkat SMA dipilih dengan pertimbangan bahwa pada level pendidikan ini, siswa sudah dituntut untuk aktif, mandiri, serta mengembangkan kesadaran dan respons mereka terhadap segala fenomena sosial kehidupan sebagai bekal hidup untuk menghadapi tantangan dunia kerja, dunia pergulatan ideologi di kampus, serta dunia masyarakat global dimana persaingan menjadi cara dalam mencapai sesuatu. Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena 116 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kondisi multikultur masyarakat Yogyakarta disamping kemudahan koordinasi dan akses peneliti dengan pihak sekolah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) dalam penulisan karya fiksi guru dan siswa SMA se-DIY? Penelitian ini pada dasarnya ingin mengetahui Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) yang terefleksikan melalui karya fiksi guru dan siswa SMA se-DIY. Pada tahun pertama, tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1. mengidentifikasi kemampuan menulis karya fiksi pada guru dan siswa, 2. mengidentifikasi materi dan model penulisan fiksi yang dikaitkan dengan hasil kajian penelitian yang relevan, 3. mengidentifikasi dan merumuskan hasil resepsi kesadaran berbahasa secara kritis (CLA) pada karya fiksi guru dan siswa. Penelitian ini mencoba untuk memberikan salah satu alternatif jawaban terhadap tantangan bagaimana menciptakan pembelajaran sastra terutama penulisan karya fiksi yang kolaboratif baik dari guru maupun siswa. Identifikasi awal terhadap resepsi siswa dan guru mengenai pembelajaran sastra dan cipta karya fiksi menjadi sumber utama rancangan proses penelitian yang akan dilakukan. Kemudian pemahaman dan pemaknaan terhadap proses pembelajaran dan bagaimana mencipta karya fiksi dikaitkan dengan pentingnya studi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (CLA). Dalam hal ini, diharapkan studi dan pemaknaan pembelajaran sastra sebagai proses kreatif produktif menemukan eksistensinya. Bagi siswa dan guru, penelitian ini disamping untuk meningkatkan kemampuan menulis fiksi, juga untuk meningkatkan kepekaan sosial dan kemampuan berpikir analitis dan kritis mereka. Selain itu, pembaca dan masyarakat luas juga dapat menjadikan penelitian ini sebagai salah satu bahan referensi pengetahuan dalam upaya mewujudkan harmonisasi hubungan masyarakat yang multikultur. Globalisasi membawa dampak yang cukup hebat dalam dunia pendidikan. Manusia harus bisa hidup tidak hanya dengan lingkungan kecil di sekitarnya tapi juga harus hidup sebagai masyarakat dunia. Hal ini menjadi sebuah tuntutan bagi dunia pendidikan untuk memberikan sumbangsih dalam penciptaan kultur masyarakat global. Dampak positif globalisasi dapat dilihat terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang teknologi yang sangat pesat. Namun hal-hal negatif sangat mungkin terjadi dan bahkan sudah terjadi. Etnosentris, superior, hegemonik, kesenjangan, dan menilai kelompok lain lebih rendah menjadi hal yang sering terjadi yang merupakan kelemahan dari model cawan lebur (Suyata, 2006: 217). Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan rasisme seperti di Africa, Amerika (perjuangan orang berkulit hitam) atau bahkan di Indonesia sendiri seperti konflik di Ambon, Kalimantan, Papua juga sampai sekarang masih sering terjadi. Namun, perjuangan kelas-kelas yang terdeskriminasi terutama di Eropa telah membawa keberhasilan gemilang dengan menggunakan sarana literasi (kebahasaan) sebagai alat perjuangan kelas seperti dari beberapa hasil penelitian dalam buku Making Race Visible: Literary Research for Cultural Understanding (Greene dan Perkins, 2003(ed)). Diskusi tentang kaitan antara bahasa, kekuatan, dan komunitas sebenarya sudah diawali dari sekitar tahun 1970. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (via Yood, 2005: 5) mengatakan bahwa perubahan intelektual dibangun dalam komunitas. Namun Kuhn tidak bisa 117 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memberikan penjelasan mengenai hubungan rekursif bahwa komunitas akan berperan untuk umum dan untuk dirinya sendiri juga dengan perjuangan yang terus menenrus untuk menemukan makna dan relevansi dalam disiplim akademis. Fuller dalam sumber yang sama mengemukakan konsep “pergerakan sosial” (social movement) sebagai alternatif paradigma. Dalam konsep ini, pengetahuan baru dimaknai dalam konteks perubahan intelektual dan politik dan dalam respon terhadap citra profesi yang diciptakannya sendiri. Di Indonesia sebenarnya sosok Ki Hajar Dewantara sangat patut menjadi panutan. Dalam bukunya, Menuju Manusia Merdeka (2009: 43) dia menyatakan bahwa pendidikan yang terdapat dalam hidup segala makhluk disebut sebagai laku kodrat (instinct), maka hidup manusia yang beradab bersifat usaha kebudayaan, yaitu: 1. Sebagai laku kodrat, pendidikan bersifat laku atau kejadian yang masih sederhana. 2. Pendidikan yang berlaku sebagai insting berupa pemeliharaan terhadap anak-anak serta latihan-latihan. 3. Pendidikan bertujuan untuk member tuntunan pekembangan jiwa anak untuk menuju adab kemanusiaan. 4. Mengenal sifat kodrat dan sifat kebudayaan merupakan hal penting. Konsep dari uraian di atas sesuai untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Kondisi sosiologis dan geografis Indonesia dengan beragam suku dan budaya mestinya harus disikapi secara arif, artinya harus dirancang satu sistem pendidikan yang dapat mengelaborasi kekayaan-kekayaan dan sumber yang ada dan menghindari praktik-praktik diskriminasi kesukuan. Fairlaugh dalam bukunya Critical Language Awareness (1992: 14-15) menyatakan bahwa “CLA is an awareness of the ways in which ideas become naturalized or taken for granted as thruth about the natural and social world and how these truths are tied up with language in use (CLA adalah kesadaran dimana gagasan menjadi netral atau diakui sebagai kebenaran alam dan sosial dan kebenaran ini terikat pada penggunaan bahasa. Tujuan dari CLA adalah untuk mendorong siswa membuka pikiran bahwa bahasa dalam teks adalah sebuah konstruksi sosial dan memberikan pemahaman bahwa bahasa mungkin akan memberikan posisi negative dan positif baik disengaja maupun tidak disengaja. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Global Capitalism and Critical Awareness of Language, Fairclaugh menguraikan mengapa CLA sangat penting untuk dikaji seperti uraian berikut. “….. several key features of late modern society which help make the case for critical awareness of discourse: the relationship between discourse, knowledge, and social change in our ‘information’ or ‘knowledge-based’ society; what Smith(1990) has called the ‘textuallymediated’ nature of contemporary social life; the relationship between discourse and social difference; the commodification of discourse; discourse and democracy (1999, 71). Alasan pentingnya CLA untuk dari uraian di atas yaitu andanya hubungan antara wacana, pengetahuan, dan perubahan sosial dalam masyarakat yang berdasar pada informasi dan pengetahuan, konsep dari Smith tentang mediasi tekstual dalam kehidupan social sekarang ini, hubungan antara wacana dan perbedaan social, komodifikasi wacana, serta wacana dan demokrasi. Dalam laporan Higher Education in the Learning Society dari National Committee of Inquiry into Higher Education, 1997 (Fairclaugh, 1999: 80) pendidikan diarahkan pada kemampuan (skill) untuk pembelajaran seumur hidup (lifelong learning). Kemampuan yang dimaksud adalah komunikasi, 118 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta numerasi, teknologi informasi, dan belajar untuk belajar. Dalam tulisan ini, komunikasi yang diwujudkan dalam bahasa menjadi poin khusus pembahasan yang dikaitkan dengan Critical Language Awareness (CLA). Fairclaugh (1992: 226) menguraikan bahwa kesadaran berbahasa didasarkan pada kemampuan berbahasa yang didasarkan pada pengalaman. Tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dan kesadaran berbahasa akan menjadikan kapabilitas kemampuan berbahasa yang potensial. Dalam pemahaman tentang Kesadaran Berbahasa secara Kritis, siswa diarahkan untuk menjadi etnografer bahasa dan budaya. Siswa tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi menjadi kreator pengetahuan (Egan dan Bloome via Menacker, 1998: 2). Bahasa dan pemikiran tidak akan pernah bisa dipisahkan. “learn a new language and get a new soul” (belajar bahasa baru akan mendapatkan jiwa baru) merupakan semboyan yang dinyatakan oleh Czeh (via Halpern, 2003: 106). Diskusi tentang telaah kuasa bahasa juga menjadi kegiatan yang sering dilakukan untuk mengkaji dan memaknai teks. Beberapa penelitian tentang CLA juga dilakukan yang dapat dilihat dari beberapa buku seperti “The Language of Africa and The Diaspora:Educating for language Awareness” yang menguaraikan tentang pengajaran Language Awareness di Guadaloupe (Kleifgen dan Bond: 2009) serta Linguistic Awareness in Multilinguals oleh Ulrike Jessner (2006) yang mengkaji metalinguistics awareness atau kesadaran metalinguistik. Menulis merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan respon terhadap kemampuan Kesadaran Berbahasa Kritis. Hal ini dikarenakan dalam menulis, penulis akan memunculkan identitasnya dengan mengaitkan pandangan, gagasan, dan posisinya dalam konteks sosiokultural yang ada di sekitarnya. Sebelumnya keterampilan menulis hanya diarahkan pada kemampuan menulis dasar. Melalui pendekatan CLA, kegiatan menulis dipandang sebagai kegiatan menyeluruh yang meliputi dimensi sosial, budaya, politik, termasuk respon terhadap kebijakan strategis dan birokratik. Dari pemahaman ini dan juga teori tentang kuasa bahasa, serta penelitianpenelitian yang terkait dengan kesadaran berbahasa penelitian tentang CLA menjadi penting untuk dilakukan. Dalam praktiknya, CLA dalam keterampilan seperti yang telah dilakukan oleh Clarks dan Fairclaugh (dalam Fairclaugh, 1992) siswa diarahkan untuk meningkatkan kesadaran tentang proses menulis sesudah itu dilanjutkan dengan kegiatan diskusi. Tulisan siswa dianalisis dengan melihat penggunaan kata ganti persona, diksi yang menunjukkan komitmen kuat untuk proposisi, kata dengan intonasi dan bunyi kuat. Dalam penelitian ini, instrumen untuk menilai karya fiksi disusun berdasarkan elemen-elemen tersebut dengan mengkolaborasikan konteks sosiokultur dan politik yang ada dalam masyarakat Indonesia. Sebuah karya sastra ditampakkan oleh satuan-satuan lingual yang menyatu dan menjalin membentuk wacana yang indah-estetis. Meskipun demikian, karya sastra dibangun oleh unsur-unsur intrinsik yang luas. Antara bahasa dan unsur-unsur intrinsik karya sastra terjadi jalinan yang padu, tak teisahkan. Wujud kebahasaan dalam karya sastra merefleksikan keberadaan unsur intrinsiknya. Sebaliknya, keberadaan unsur karya sastra akan menentukan wujud kebahasaan karya sastra. Karya sastra ditulis melalui proses menyinergikan unsur kesastraan dan kebahasaan, dan itu bukanlah hal yang mudah. Ada lima tahap dalam penulisan fiksi yang harus diperhatikan, antara lain: tahap persiapan dan usaha, tahap inkubasi, tahap iluminasi, tahap verifikasi, tahap publikasi. Dalam proses penulisan fiksi, penulis juga akan menemui berbagai kendala. Kendala tersebut dapat dilihat 119 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dari wujud karya, aktivitas pada saat berkarya, dan pengakuan dari penulis, baik lisan maupun tulisan. Metode Penelitian Subjek Penelitian 1. Karya sastra guru dan siswa 2. Pendidik atau guru Bahasa Indonesia SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Siswa yang mengikuti pendidikan di SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan kolaborasi metode analisis konten dan penelitian survey berjenjang dengan penyusunan prototipe berdasarkan pendekatan CLA . Data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan untuk menganalisis karya fiksi siswa dan guru yang berkaitan dengan frekuensi kata-kata tertentu yang muncul yang merupakan unsur konsep Kesadaran Berbahasa secara Kritis (CLA) berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fairclaugh. Analisis data kualitatif dilakukan untuk menginterpretasi teks atau karya fiksi siswa dan guru secara mendalam, cermat, dan sesuai dengan unsur konsep CLA dengan analisis konten (Borg dan Gall, 1983: 514-517). Tahap awal yang dilakukan pada tahun pertama adalah mengidentifikasi kemampuan menulis fiksi. Untuk guru, kemampuan ini diwujudkan dalam mendesain bentuk pembelajaran yang dilakukan di kelas melalui penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang berkaitan dengan penulisan karya fiksi. Desain pembelajaran yang sudah disusun oleh guru kemudian dilaksanakan di kelas yang kemudian dihasilkan produk karya fiksi siswa berupa cerpen. Sebelumnya, pengembangan melakukan supervisi dan koordinasi pada bulan Juni 2011 yang dilakukan dengan guru-guru SMA baik negeri maupun swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya, forum diskusi ilmiah diselenggarakan dalam rangka membangun konsep bersama dengan para guru mengenai bagaimana mengajarkan pembelajaran menulis fiksi di sekolah dengan mengenalkan konsep kesadaran berbahasa secara kritis. Selain itu, upaya untuk menggali permasalahan yang dialami guru maka kuesiioner mengenai pembelajran sastra khususnya menulis fiksi diberikan. Telaah pakar untuk melakukan penilaian terhadap RPP guru yang diserta dengan uraian dasar penyusunan RPP dilakukan untuk melihat kesadaran kritis guru mendesain pembelajaran. Kemudian, analisis terhadap karya siswa juga dilakukan untuk melihat kompetensi siswa dalam menulis cerpen dengan berdasar kesadaran berbahasa secara kritis. Sesudah itu, forum evaluasi dilakukan untuk melihat bagaimana hasil pemetaan kemampuan menulis fiksi guru dan siswa sekaligus sebagai upaya reflektif terhadap seluruh rangkaian kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini diagendakan akan dilaksanakan pada awal bulan oktober. Sebagai side product tahun pertama penelitian ini, buku mengenai bagaimana motivasi menulis fiksi menjadi pilihan. Buku ini akan dilengkapi dengan contoh-contoh aplikatif penulisan karya fiksi yang dilakukan oleh guru dan siswa. Harapannya, karya guru dan siswa disini memiliki tempat dan dapat dipublikasikan. 120 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk identifikasi masalah dan kebutuhan adalah observasi, wawancara mendalam, pengedaran angket, dokumentasi hasil penelitian, dan diskusi. Selain itu, data diperoleh melalui umbar-saran dari ahli sastra dan calon pengguna, baik dalam bentuk lisan (masukan dalam pertemuan) dan kuesioner (masukan tertulis). Metode diskusi ini dicatat dan diimplementasikan dalam draf modul. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan berbagai metode. Pertama, analisis konten akan dilakukan untuk mengetahui resepsi kritis kesadaran berbahasa pada karya fiksi guru dan siswa. Kedua, setelah hasil resepsi diketahui analisis selanjutnya akan dilakukan dengan membandingkan data sebelum dan sesudah modul dengan panduan kriteria kesastraan dengan menggunakan pendekatan CLA. Selain itu, untuk data hasil wawancara, diskusi, dan catatan lapangan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil analisis kualitatif mendasari revisi dan penyempurnaan modul. Validitas dan Reliabilitas Penelitian Untuk mencapai validitas dan reliabilitas penelitian khususnya pada rancangan desain tahun pertama digunakan cek anggota (member check) dan cek orang luar (outsider check). Telaah pakar (expert judgment) juga dilakukan terutama untuk melihat dan menelaah hasil produk karya guru dan siswa. Pakar yang dilibatkan tentu saja yang memiliki keahlian di bidang sastra dan pembelajaran sastra. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian ini merupakan pemetaan kemampuan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru dan siswa SMA se-DIY baik ditinjau dari proses maupun produk. Kemampuan guru tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran penulisan fiksi yang disusun dengan dilandasi alasan penyusunan serta refleksi terhadap proses pembimbingan penulisan karya fiksi cerpen pada para siswa. Sementara itu, kemampuan siswa tercermin dari kualitas karya yang dihasilkan yakni cerpen. 1. Pemetaan Awal Kondisi Pembelajaran Menulis Fiksi di Sekolah Kondisi awal pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi yang dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah tergambar dari respons terhadap kuesioner guru serta hasil diskusi pada tahap satu. Kuesioner yang diberikan oleh guru disusun berdasarkan empat aspek, yakni sebagai berikut. a. Relevansi kurikulum pembelajaran menulis fiksi dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan b. Metode pembelajaran menulis fiksi c. Pelaksanaan dan hasil karya pembelajaran menulis fiksi d. Respons terhadap kesadaran berbahasa secara kritis dalam pembelajaran menulis fiksi Keempat aspek ini terurai dalam 28 pertanyaan kuesioner dengan skala likert. Kemudian ada tambahan 2 pertanyaan kuesioner terbuka dengan alasan untuk menggali respons guru secara lebih luas dan mendalam mengenai kendala proses pembelajaran menulis fiksi serta harapan yang diinginkan guru dalam pelaksanaan kegiatan diskusi. 121 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari hasil rekapitulasi kuesioner guru untuk, aspek relevansi kurikulum dengan kebutuhan pembelajaran sudah baik, dengan skor rerata 4.26. Dari respons guru ini, dapat diartikan bahwa kurikulum pembelajaran menulis fiksi tidak memerlukan perubahan yang berarti karena sudah sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan perkembangan pengetahuan. Pada aspek metode pembelajaran, skor rerata pembelajaran menulis fiksi khususnya cerpen menunjukkan hasil yang cukup baik yakni 3.31. Dalam hal ini, metode yang digunakan guru sudah beragam dan menuntun keaktifan siswa, tidak lagi pada teacher-centered. Aspek pelaksanaan pembelajaran dan hasil karya menulis fiksi masih menunjukkan hasil yang minim, yakni dengan skor rerata 1.93. Hasil ini kontras dengan aspek metode pembelajaran. Banyak karya siswa yang belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Dari hal ini pula dapat dimaknai bahwa pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi masih mengalami banyak kendala yang kemudian berimbas pada hasil karya fiksi siswa. Sementara itu, skor rerata untuk respons terhadap aspek-aspek kesadaran berbahasa secara kritis juga masih minim, yakni dengan skor rerata 2.15. dari hasil ini, dasar mengapa resepsi kesadaran berbahasa secara kritis perlu mendapat perhatian bagi para praktisi pembelajaran sastra dan kegiatan penyusunan model dan modul penulisan karya fiksi dengan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis penting untuk dilakukan. Berikut tabel rekapitulasi skor rerata untuk masing-masing aspek dalam kuesioner guru. Tabel 1. Skor Rerata Respons Awal Guru dalam Pembelajaran Menulis Fiksi Aspek Skor rerata Relevansi kurikulum pembelajaran menulis fiksi dengan kebutuhan dan 4.26 perkembangan ilmu pengetahuan Metode pembelajaran menulis fiksi 3.31 Pelaksanaan dan hasil karya 1.93 pembelajaran menulis fiksi Respons terhadap kesadaran berbahasa secara kritis dalam 2.15 pembelajaran menulis fiksi Berdasarkan tanggapan tertulis guru dalam kuesioner, pembelajaran menulis fiksi di sekolah juga masih mengalami banyak masalah. Pada umumnya siswa kurang memiliki motivasi kuat dalam mengenal beragam cerpen serta menulis cerpen. Hasil karya-karya cerpen siswa pun juga belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Respons guru menunjukkan bahwa pembelajaran menulis fiksi masih mengalami banyak kekurangan, baik ditinjau dari lemahnya metode yang digunakan, kurangnya pemanfaatan media, rendahnya budaya baca siswa, kesulitas siswa menuangkan ide, dan lain-lain. Hal ini menjadi bahan kajian dan dasar untuk memperbaiki kualitas pembelajaran khususya menulis fiksi. 2. Pemetaan Proses Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Fiksi Guru dan Siswa Pemetaan proses pelaksanaan penulisan fiksi khususnya cerpen dapat dilihat dari tiga hal, yakni pemahaman guru terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis yang merupakan hasil dari ToT yang sudah dilakukan, proses pembuatan RPP, serta pembimbingan terhadap siswa dalam menulis 122 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta cerpen. Ketiga hal ini terekam dalam Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun oleh guru serta uraian guru sebagai hasil dari Forum diskusi kedua yang telah dilaksanakan. RPP menunjukkan proses kegiatan yang akan dilaksanaan dalam pembelajaran di kelas. Dalam menyusun rancangan kegiatan, guru semestinya memiliki dasar yang kuat berkaitan dengan kompetensi dasar yang akan diajarkan, tujuan pembelajaran yang kemudian secara teknis terlihat pada susunan kegiatan awal, inti, dan penutup. Proses pelaksanaan pembelajaran tercermin dalam ketiga rancangan kegiatan ini. Secara umum, proses pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi, dalam hal ini cerpen, yang dilakukan oleh guru sudah memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat secara aktif. Siswa diposisikan sebagai centre dari pembelajaran. Namun, perlu disadari bahwa menulis fiksi bukan merupakan kegiatan yang dapat dilakukan dalam waktu sekejap dan secara spontan. Guru semestinya membimbing siswa mulai dari menggali ide-ide yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan siswa dan masyarakat sekitar kemudian menuangkan ide-ide tersebut yang dipadukan dengan sarana-sarana sastra agar menarik. Pada sebagian RPP yang dirancang guru, guru sudah terlihat menyusun proses kegiatan pembelajaran dengan runtut meskipun ada beberapa yang kurang memberikan arahan kepada siswa khususnya dalam mencari inspirasi sebanyak-banyaknya dan menuntun siswa pada proses berpikir yang kritis. Media yang dipakai guru dalam proses belajar mengajar beragam. Ada yang menggunakan buku teks, koran, contoh cerpen internet, alam sekitar, dan sebagainya. Namun beberapa RPP menunjukkan bahwa media yang digunakan masih sangat terbatas, yakni hanya menggunakan satu cerpen saja, dari koran atau buku. Padahal untuk mengembangkan inspirasi dan motivasi siswa, banyak hal yang bisa dihadirkan, termasuk menggunakan beberapa cerpen karya-karya terkenal di Indonesia maupun cerpen-cerpen dunia. Pada umumnya, siswa diarahkan untuk membaca satu cerpen, baik dari buku, koran, maupun internet. Lalu secara individual maupun berkelompok siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam cerpen. Sesudah itu, guru meminta siswa untuk membuat cerpen. Proses pembelajaran seperti ini kurang memberikan ruang bagi siswa untuk mencari inspirasi sebanyak-banyaknya menurut proses berpikir kritis dan kreatif mereka. Unsur-unsur cerpen masih menjadi andalan bagi guru untuk dianalisis misalnya saja watak tokoh, alur, setting, diksi, dan sebagainya. Namun, bagaimana penulis menghadirkan cerita itu, mengapa penulis muncul inspirasi untuk membuat cerpen tersebut, bagaimana fenomena yang terjadi diramu oleh penulis, serta proses-proses kreatif penulis lainnya kurang diperhatikan oleh guru. Hal ini mengakibatkan kurangnya kesadaran bagi siswa untuk memahami proses kreatif penulis yang akhirnya mempengaruhi proses kreatif menulis siswa atau dapat dikatakan proses berpikir siswa menjadi terlalu sederhana. Forum diskusi yang dilakasanakan, guru dapat berbagi dan bertukar pengalaman bagaimana pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa kritis. Kesadaran terhadap pemanfaatan potensi-potensi dan metode pembelajaran yang berbeda-beda dari masing-masing guru menjadi inti dari uraian tersebut. Pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis juga menjadikan guru dapat menggali persoalan-persoalan tentang ketimpangan yang ada di sekitar siswa yang dapat menjadi sumber inspirasi penulisan karya cerpen. Dasar kritis proses penyusunan RPP menjadi poin dalam melihat pemetaan terhadap proses pelaksanaan penulisan fiksi yang ditinjau dari guru. RPP yang dirancang semestinya dilandasi dengan 123 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta alasan dan daya kritis mengapa merancang pembelajaran seperti yang tertuang dalam RPP. guru menyusun RPP dengan dilandasi kesadaran terhadap kondisi siswa, sarana multiliterasi yang tersedia, serta proses penulisan cerpen yang membutuhkan waktu agal lama. Hal ini menunjukkan bahwa guru sudah berpikir kritis dan sadar terhadap kondisi yang dihadapi yang kemudian menjadi dasar terhadap penyusunan kegiatan pembelajaran yang dilakukan (sesuai konteks). 3. Pemetaan Hasil Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Fiksi Guru dan Siswa Hasil pelaksanaan penulisan fiksi dalam penelitian ini merupakan produk yang dapat ditinjau dari dua hal, yakni produk dari guru dan produk dari siswa. Produk dari guru berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) terkait kompetensi penulisan fiksi berupa cerpen. Sementara itu, produk dari siswa merupakan karya cerpen hasil pembelajaran menulis fiksi cerpen. Berikut uraian untuk masng-masing produk hasil penelitian. Hasil pelaksanaan juga akan dilihat dari respons guru pada forum diskusi kedua. Berikut uraiannya selengkapnya. a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Guru untuk Kompetensi Penulisan Fiksi (Cerpen) Melalui validasi pakar, pemetaan terhadap produk RPP guru dapat dilakukan. Beberapa aspek yang divalidasi merupakan komponen pokok RPP yang kemudian disesuaikan dengan dasar pemikiran kritis dalam menyusun RPP. Hal ini merupakan wujud praktis kesadaran kritis dari guru sehingga RPP yang dirancang bukan hanya sekedar pemenuhan aspek formalitas saja, namun guru hendaknya memiliki kesadaran mengapa merancang pembelajaran sebagaimana yang dituangkan dalam RPP tersebut. Oleh karena itu, para guru diharapkan menulis alasan atau dasar penyusunan RPP. Aspek-aspek validasi RPP berikut penjelasannya adalah sebagai berikut. 1) Kesesuaian RPP dengan Kurikulum Selama ini banyak guru yang mengkhawatirkan format RPP yang mereka susun. RPP memang memiliki format khusus yang telah diatur dalam standar penyusunan RPP. Format ini sebenarnya untuk membantu agar susunan RPP runtut dan poin-poin substansial dalam RPP tidak terlewatkan. Namun dalam kenyataannya, banyak guru yang justru meributkan aspek formalitas RPP dan tidak jarang ditemui perbedaan paham mengenai susunan RPP. Lebih buruknya lagi, hal itu berimbas pada aspek substansial RPP yang sering terlewatkan karena aspek formalitas menyita lebih banyak perhatian. Tentu saja, hal ini dapat memberikan efek kurang baik bagi terciptanya rencana pembelajaran yang benar-benar berorientasi pada siswa karena aspek substantif materi kurang diperhatikan. RPP merupakan wadah bagi guru sebagai bentuk otonomi sekolah dalam memanfaatkan sumber daya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru sebagai pengampu mata pelajaran dapat mengembangkan materi berdasarkan hasil kerja pikir pengembangan ilmu serta pemanfaatan segala sumber daya sekitar termasuk kualitas diri dari guru tersebut. Dari pemahaman ini, maka implikasi yang seharusnya timbul yakni RPP suatu sekolah pasti berbeda dengan sekolah lain karena guru berbeda dan sumber daya yang dimanfaatkan pun juga berbeda. Namun, dari hasil evaluasi yang dilakukan, banyak diantara guru yang hanya asal copy paste RPP sekolah lain untuk kepentingan praktis. Maka tidak heran jika RPP di Papua dijumpai ternyata sama dengan RPP di Jogjakarta. Hal ini menjadi bahan diskusi juga pada forum diskusi ilmiah dengan guru. 124 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Forum ToT yang dilaksanakan pada 12 Juli 2011 mengajak para guru untuk menyusun dasar rancangan kerja RPP yang dilandasi dengan kesadaran akan kebutuhan para guru dalam memecahkan masalah yang sering terjadi sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya dalam penulisan fiksi. Karena jenis karya fiksi bermacam-macam, ada satu jenis fiksi yang dipilih untuk dijadikan orientasi produk yakni cerpen, sebagaimana yang sudah termuat dalam judul penelitian ini. Disamping karena ada Kompetensi Dasar yang dituntut dalam kurikulum terkait penulisan cerpen, karya fiksi berbentuk cerpen memberikan ruang bagi siswa untuk berimajinasi dan mencipta karya sastra yang erat dengan kehidupan mereka sehari-hari, bahasanya ringan, tidak terlalu panjang (dalam hal kuantitas tulisan), serta dapat menjadi media yang sesuai untuk menunjukkan kemampuan siswa. Hasil validasi pakar menunjukkan bahwa hampir semua RPP yang disusun oleh guru sudah memenuhi kesesuaiannya dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar berdasarkan kurikulum. hal ini dapat dipahami karena memang di tingkat SMA ada beberapa KD terkait dengan menulis cerpen yang dapat menjadi pilihan guru untuk dikembangkan dengan menyesuaikan tema penelitian ini. hal ini dapat ditunjukkan dalam lampiran mengenai validasi pakar khususnya untuk kesesuaian RPP dengan kurikulum. 2) Dasar Kritis Pengembangan Metode/strategi Pembelajaran Menulis Cerpen Dalam RPP baik secara eksplisit maupun implisit tertuang strategi atau metode pembelajaran yang dilakukan. Komponan ini memiliki andil besar dalam menentukan apakah proses pembelajaran yang dilakukan sesuai, inovatif, berkualitas, dan berfokus pada siswa. Metode-metode pembelajaran dapat dipelajari dari berbagai literatur. Sebagai guru, sudah menjadi keharusan untuk mempelajari berbagai metode pembelajaran agar kelas yang dirancang menyenangkan, Siswa dapat mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki dan yang tidak dapat terlewatkan adalah materi pembelajaran dapat disampaikan dengan tepat. Dalam pembelajaran menulis fiksi, berbagai referensi metode pembelajaran dapat diacu. Metode apa atau metode yang bagaimana yang paling tepat bagi siswa? Tentu saja, metode yang paling tepat adalah yang sesuai dengan tujuan, situasi, kondisi siswa, sarana prasarana serta menginspirasi siswa untuk mampu menulis fiksi khususnya cerpen dengan baik. Alam, lingkungan, kebiasaan sehari-hari, peristiwa yang dilihat, berita, dan sebagainya dapat menjadi inspirasi dalam menulis cerpen. Bahkan mimpi pun dapat menjadi media dalam menyampaikan materi yang kemudian menjadi inspirasi menulis cerpen. Metode kontekstual dapat menjadi pilihan bagi guru untuk mengembangkan RPP. Namun dari hasil validasi ahli, dasar kritis pengembangan metode atau strategi pembelajaran belum tampak baik. Dalam uraian validasi, ternyata “Strategi PBM terlalu global, belum tampak aktivitas nyata langkah-langkah PBM, (metode informasi terlalu umum)”. Hal ini dapat diamati pada contoh validasi RPP. Juga dapat dilihat pada contoh validasi lain terkait pengembangan metode pembelajaran menulis fiksi yang dilakukan guru bahwa “Pada aktivitas, masih ada lompatan aktivitas, belum secara runtut. Contoh: siswa diskusi tentang cerpen langsung diminta membuat cerpen”. 125 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3) Dasar Kritis Pemanfaatan Media Pembelajaran Menulis Cerpen Dalam pembelajaran menulis cerpen, media pembelajaran yang dipakai sangat penting terutama untuk memunculkan daya imajinasi siswa. Dari imajinasi itulah siswa dapat memunculkan karya kreatif fiksi karena sebuah karya cipta tidak akan dapat terwujud tanpa adanya imajinasi. Segala yang ada di sekitar siswa, kelas, atau sekolah dapat menjadi media. Di era sekarang, media internet memberi ruang yang lebih luas bagi siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan mengenai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memunculkan daya imajinasi menciptakan cerpen. Sesuai dengan pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis, alasam mengapa guru memakai media tertentu merupakan aspek penting dalam mengkaji daya kritis guru. Dari hasil validasi RPP yang telah dilakukan, sebagian besar menunjukkan bahwa “antara media dengan tugas pada siswa tidak relevan”. Misalnya, ada RPP yang minta siswa untuk membaca cerpen “Katurangan” KARYA Slamet Nurzaini untuk tugas tatap muka, namun kegiatan yang dilakukan adalah mencari informasi dari siswa tentang cerpen dari internet. Beberapa RPP guru menunjukkan pula bahwa media yang digunakan masih konvensional, yakni dengan buku dan koran. Resepsi kesadaran berbahasa secara kritis memberikan pemahaman terhadap guru dan siswa bahwa fenomena atau segala sesuatu yang ada di sekitar adalah media yang penting dan bermanfaat untuk mengembangkan imajinasi siswa. Kejadian yang dijumpai siswa ketika berangkat sekolah, mimpi yang dialami siswa malam sebelum berangkat sekolah, acara-acara televisi yang ditonton siswa, berbagai gambar yang dapat diunduh dari internet, foto-foto siswa ketka mereka pergi bermain dengan keluarga atau teman sebenarnya merupakan media menarik yang sesuai dengan konteks siswa. Dari media-media ini, siswa akan lebih dapat merasakan apa yang etrjadi dan cerita rekaan apa yang akan mereka ciptakan karena siswa mengalami sendiri hal-hal tersebut. guru tampak belum mengekslporasi potensi-potensi yang merupakan pengalaman siswa itu sendiri. Meskipun ada juga guru yang sudah mengajak siswa untuk benar-benar berpikir dengan dilandasi kesadaran kritis untuk menciptakan cerpen. Uraian guru mengenai pembelajaran yang dilakukan sudah menunjukkan proses yang sesuai dengan konsep kesadaran kritis (hal ini akan dibahas pada bagian selanjutnya). Namun dalam RPP, proses yang menunjukkan hal ini kurang tampak sehingga sebagian besar hasil validasi RPP menunjukkan bahwa guru belum dapat memanfaatka media dengan optimal. 4) Dasar Kritis Penilaian Kompetensi Siswa dalam Menulis Cerpen Penilaian merupakan bagian penting yang harus dilakukan guru dalam menilai kompetensi siswa yang didasarkan pada tujuan dan indikator keberhasilan pembelajaran. Melalui sistem penilaian yang dilakukan, guru dapat menyimpulkan apakah proses pembelajaran yang dilakukan berhasil atau belum berhasil sehingga harus dilakukan pengulangan maupun pengayaan untuk siswa. Refleksi dari hasil penilaian yang dilakukan guru juga penting untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya yang menuntun guru untuk terus berinovasi mengembangkan pembelajaran yang berkualitas. Dari hasil validasi RPP, dasar kritis peilaian kompetensi siswa dalam menulis cerpen masih menunjukkan beberapa kelemahan, bahkan ada beberapa RPP yang tidak mencantumkan cara penilaian atau biasa disebut dalam poin evaluasi pembelajaran. Sebagian besar RPP menunjukkan sistem penilaian yang dilakukan masih terlalu general, hanya melihat pada aspek isi dan bahasa saja. 126 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Penilaian yang dilakukan guru dapat tercermin juga dalam latihan-latihan yang diberikan. Tugas individu maupun kelompok dapat digunakan guru, namun seharusya perlu diuraikan lebih lanjut macam tugas apa yang diminta sebagai tagihan dari siswa. Pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis menuntun guru untuk memahami kesadaran kritis terhadap keseluruhan aspek pembelajaran. Kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran menjadi kunci penting dalam menentukan bagaimana sistem penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru karena penilaian sendiri harus didasarkan pada indikator pencapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa serta apa tujuan pembelajaran yang dilakukan. Hal ini tampaknya belum disadari sepenuhnya oleh guru. b. Produk Cerpen Karya Siswa Cerpen karya siswa menjadi bahan kajian penting dalam melihat keberhasilan guru dan resepsi siswa dalam penulisan karya fiksi cerpen. Guru melakukan pembimbingan pada siswa untuk menulis karya fiksi dengan dilandasi kesadaran berbahasa secara kritis dan siswa memberikan respons dengan menuliskan daya kreativitasnya dalam menulis cerpen. Ada 70 cerpen siswa yang terkumpul sebagai produk pembelajaran menulis fiksi cerpen. Validasi cerpen dilakukan oleh ahli pembelajaran sastra terhadap beberapa aspek kesadaran berbahasa secara kritis. namun begitu, penilaian terhadap cerpen secara umum juga dilakukan. Aspek penilaian cerpen dengan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis didasarkan pada dimensi kesadaran kritis yang disesuaikan dengan kompetensi penulisan karya fiksi. Aspek yang dinilai meliputi: 1) Penggunaan sarana bahasa untuk kekuatan cerita 2) Kepekaan terhadap pergeseran bahasa 3) Komitmen penulis pada proposisi 4) Pemetaan diri terhadap lingkungan sosial, budaya, politik 5) Pemetaan masyarakt sebagai bagian dari diri penulis, kesadaran terhadap emansipasi dan demokrasi 6) Kesadaran terhadap relevansi cerita dengan kehidupan. Aspek-aspek di atas memang sangat kompleks dan tentunya membutuhkan kecrematan dalam melakukan penilaian. Oleh karena itu, hal ini menjadi kerja besar bagi validator untuk melihat kualitas cerpen siswa yang disesuaikan dengan konsep resepsi kesadaran berbahasa secara kritis. Hasil validasi menunjukkan bahwa ada beberapa cerpen siswa yang sudah menunjukkan kekuatan bahasa dan pemetaan diri siswa di tengah lingkungan sosialnya, misalnya saja pada cerpen Bintang yang Jatuh, Diary depresiku, Hanya Kisah Hanya Suara, Arti Persahabatan. Cerpen-cerpen tersebut berisikan ekspresi siswa terhadap segala perasaan yang mereka miliki maupun respons terhadap fenomena sosial di sekitar mereka dengan memanfaatkan unsur budaya yakni budaya jawa. Dari hasil validasi ahli, sebagian besar cerpen mengangkat tema-tema yang sudah biasa diangkat dalam cerita. Konflik yang dihaditkan pun kurang tajam sehingga kemenarikan cerita menjadi kurang. Hal ini dapat menjadi refleksi bagi guru untuk melakukan refleksi dan perbaikan proses pembelajaran. Dari Forum diskusi kedua yang dilaksanakan, kesadaran guru terhadap kekurangan inipun juga muncul. Hal ini dapat dilhat pada uraian hasil diskusi berikut. 127 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Vignet 1. Tanggapan Guru terhadap Kemampuan Siswa Menulis Cerpen Tanggapan pada vignet di atas merupakan tanggapan dari Bu Indri, salah satu peserta diskusi. Kemudian oleh peserta lain yang mendasarkan masalah pada kurangnya minat baca siswa sehingga mereka belum memiliki referensi untuk mengembangkan cerita agar menarik dan mencapai konflik yang tajam. c. Respons Guru terhadap Pembelajaran Menulis Fiksi dengan Kesadaran Berbahasa secara Kritis Dari diskusi kedua yang diselenggarakan, kesadaran dan respons guru terhadap pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi dengan kesadaran berbahasa secara kritis terlihat dari uraian mereka mengenai bagaimana proses pelaksanaan penulisan cerpen yang harus dilaksanakan dengan konsep kesadaran berbahasa secara kritis. Dari uraian guru pemanfaatan media seperti musik, video klip dapat digunakan oleh guru untuk merangsang daya imajinasi siswa dalam menulis cerpen. Proses pembimbingan pun semestinya dilakukan dengan menyesuaikan kondisi siswa serta kelas harus dirancang agar menyenangkan. Namun ada pula hasil refleksi guru yang perlu dipertimbangkan yakni mengenai kebutuhan terhadap waktu. Proses pembimbingan dari mulai penyampaian materi sampai pada penciptaan produk dan penilaian membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Menumbuhkan kepekaan dan siswa tentunya tidak dapat dilakukan secara instan. Kesadaran harus berasal dari refleksi dan kerja pikir yang didasarkan pada pengalaman hidup siswa sendiri. Forum diskusi memberikan ruang bagi para guru sekaligus peneliti untuk saling berbagi. Beberapa masukan, referensi yang kemudian menuntun pada refleksi dari masing-masing guru sekaligus peneliti muncul dalam diskusi. Hal ini memberikan manfaat yang begitu besar khususnya sebaai bahan kajian utuk mengembangkan lebih lajut pembelajaran menulis fiksi khususnya cerpen agar lebih berkualitas. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan pada data penelitian yang diperoleh dan disesuaikan dengan tujuan penelitian pada bab I Pendahuluan. Uraian pembahasan akan disajikan dalam tiga bagian, yakni pembahasan mengenai kemampuan guru dan siswa dalam penulisan karya fiksi, pembahasan mengenai pemetaan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis karya fiksi guru dan siswa, serta rancangan materi dan modul penulisan fiksi untuk guru dan siswa. 4. Kemampuan Guru dan Siswa dalam Penulisan Karya Fiksi Permasalahan pembelajaran bahasa dan sastra memang tidak pernah ada akhirnya. Hal ini dapat dipahami karena bahasa dan sastra selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Bahasa merupakan media komunikasi sosial masyarakat dalam menyampaikan ide, 128 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta gagasa, pemikiran kepada sesama. Sementara itu, sastra dapat dipandang sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri. Tidak berlebihan jika sastra dianggap sebagai salah satu artefak masyarakat yang juga merupakan bagian dari hasil budidaya manusia. Melalui sastra, pola kehidupan, pandangan, pola pikir, dan perkembangan keilmuan masyarakat dapat diketahui. Ekspresi, luapan perasaan, ataupun tanggapan seorang penulis terhadap fenomena sekitar akan tercermin dalam karya sastra. Dari sinilah, identifikasi terhadap era, semangat zaman, maupun realitas sosial masyarakat dapat dilakukan. Dalam bidang pendidikan pun khususnya pembelajaran sastra, siswa sebagai penulis sastra harus mampu menghadirkan gambaran-gambaran realitas sosial dan ekspresi diri mereka. Tentu saja ekspresi ini akan terkait dengan perkembangan psikologis siswa yang sudah kaya dengan pengalaman-pengalaman sejak kecil. Sumber inspirasi menulis cerita dapat berasal dari mana saja. Melalui berbagai sarana-prasarana yang tersedia sekarang, pengetahuan dunia dapat diperoleh dari manapun. Internet misalnya, telah menjadi alat untuk membuka pintu-pintu wawasan atas segala yang terjadi di seluruh tempat di dunia. Semuanya dapat diperoleh dengan lengkap. Maka, dengan tersedianya fasilitas ini, tidak ada alasan bagi para siswa maupun praktisi pendidikan untuk tidak mengetahui berita-berita atau kejadian yang berkaitan dengan realitas sosial masyarakat dunia. Guru pun dapat memanfaatkan berbagai media yang telah tersedia. Materi dari koran, internet, buku, dan sumber-sumber lain dapat menjadi pegangan dalam membimbing siswa bagaimana berproses kreatif sastra yang baik, artinya pemahaman dan dasar kritis penyusunan karya sastra lebih dikedepankan daripada hanya sekedar berorientasi pada produk akhir saja. Dari data hasil penelitian yang diperoleh, kemampuan guru dan siswa dalam penulisan karya fiksi ditinjau baik secara proses maupun produk. Secara proses, guru melakukan studi, mengkaji, ilmi penulisan sastra atau karya fiksi, dalam hal ini cerpen melalui berbagai sumber. Guru juga melakukan diskusi ilmiah untuk berbagi dan melakukan brainstorming pembelajaran menulis fiksi yang mereka laksanakan maupun yang ideal untuk diaplikasikan dalam kelas. Dari telaah ahli dan kajian yang komprehensif yang dilakukan, proses yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan keterampilan menulis cerpen memang masih menemui banyak kendala. Umumnya, kendala ini terkait dengan motivasi siswa untuk menulis yang kurang serta minat baca siswa yang terlalu rendah. Membangkitkan motivasi menulis cerpen memang bukan sesuatu hal yang mudah. Guru harus melakukan identifikasi terhadap pribadi siswa, apa yang membuat siswa tidak tertarik menulis cerpen, dan kemudian merancang metode yang tepat dan menarik minat siswa dengan memanfaatkan berbagai media pembelajaran yang ada. Hal ini tercermin dari dasar penyusunan RPP guru serta kegiatan yang dirancang dalam RPP dengan memanfaatkan berbagai media yang digunakan. Permasalahan lain juga terkait dengan kemampuan guru meramu dan merancang pembelajaran. Mengenal karakter siswa, mengakses pengetahuan yang sesuai dengan minat siswa dan perkembangan psikologis siswa juga membutuhkan ilmu yang tentunya harus dikuasai oleh guru. Pembelajaran yang monoton, terlalu banyak ceramah tentu saja tidak sesuai dengan kebutuhan pembalajaran menulis fiksi. 129 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Namun dari kajian terhadap refleksi diri para guru, proses yang dilakukan guru dalam membimbing proses kreatif siswa setelah mengikuti workshop sudah lebih baik. Berikut contoh kutipan refleksi guru yang dapat dicermati. - Siswa (kemampuan menulis cerpen) sebenarnya setiap siswa itu berbedabeda, bagi yang belum bisa atau tidak ada minat kami selaku guru selalu memberi motovasi dan selalu menunukkan hasilnya, kemudian anak itu akan termotivasi untuk menulis karena pendekatan guru dan bimbingan yang tidak pernah bosan-bosan Proses pembuatan RPP sebenarnya sudah kewajiban kita sebagai guru dan itu pasti ada, Cuma kita harus selalu mengembangkan RPP itu, baik materi Vignet 2. Contoh Refleksi Proses oleh Guru maupun contoh-contohnya. - Dari vignet kutipan refleksi guru di atas terlihat bahwa guru sudah melakukan identifikasi dan refleksi terhadap kebutuhan pembelajaran menulis cerpen. Ada beberapa hal yang semestinya menjadi kemampuan dasar yang harus dikuasai guru, selain juga kemampuan-kemampuan lain yang harus dikembangkan. Kesadaran guru terhadap pengembangan RPP juga sudah tampak. Hal ini mengindikasikan dampak yang positif dari pengalaman mengajar guru dan hasil sharing bersama dalam diskusi. Respons lain dari perbaikan secara proses yang dilakukan oleh guru dapat dicermati pula dalam contoh vignet berikut. - - Ternyata setelah mendengarkan pengalaman guru-guru, saya dapat menyimpulkan bahwa masing-masing guru punya cara yang unik. Tujuannya sama, siswa dapat membuat produk. Dengan cara pemodelan, tunjukkan beberapa cerpen. Kiteria cerpen dan unsur-unsurnya. Beri semangat, beri kemungkinan memunculkan gagasan baik pengalaman pribadi atau orang lain. Vignet 3. Contoh Refleksi Proses oleh Guru Pengetahuan guru terhadap berbagai cara membelajarkan sastra dapat menjadi modal yang sangat besar untuk menyusun metode dan memanfaatkan media pembelajaran yang tepat. Dengan referensi yang beragam ini, guru menjadi lebih inovatif mengembangan model-model pembalajaran menulis sastra atau fiksi yang harapannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran baik secara proses maupun produk. Bagi siswa, proses menulis fiksi cerpen mungkin menjadi mudah, namun banyak juga yang beranggapan kegiatan ini sulit dilakukan. dari respons dan jawaban guru, kendala terbesar dari siswa adalah kurangnya minat baca. Dari membaca berbagai jenis karya sastra, sebenarnya siswa akan mengetahui bagaimana seorang penulis menghadirkan kejuta, menonjolkan karakter tokoh, membuat alur yang mengalir dan selalu menimbulkan rasa ingin tahu pembaca. Dengan membaca dan memplejarai cerpen-cerpen yang berkualitas, siswa dapat mengenal bagaimana cerpen yang baik dapat dihasilkan oleh seorang penulis. Ketika minat baca renda, atau bahkan siswa belum 130 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pernah membaca cerpen proses dan pengetahuan berpikir tersebut tidak terlibat dalam tahap proses kreatif menulis cerpen. Akibatnya, karya siswa menjadi sangat biasa, tidak mampu menghadirkan sesuatu yang unik dan menarik hati pembaca, bahkan cerita hanya dangkal saja. Dari tinjauan produk, karya siswa banyak yang sudah menggambarkan ekspresi jiwa dan respons terhadap fenomena sekitar. Kriteria yang dipakai memang diperuntukkan bagi siswa SMA. Dari hasil validasi ahli, cerpen-cerpen karya siswa banyak yang masih terkesan dangkal. Namun beberapa karya cerpen sudah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. 5. Pemetaan Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis Karya Fiksi Guru dan Siswa Melalui pemahaman bahwa sastra merupakan representasi respons manusia terhadap lingkungan pribadi, sosial, masyarakat, maupun dunia global inilah kesadaran berbahasa secara kritis menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan dalam proses penyusunan karya fiksi. Seperti yang telah dinyatakan di bagian sebelumnya bahwa pemetaan terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis untuk guru tercermin terutama dari produk RPP yang disusun. RPP ini dikaji dengan mempertimbangkan beberapa aspek konsep teoretis kesadaran berbahasa secara kritis yang disesuaikan dengan komponen-komponen dalam RPP. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam RPP yakni sebagai berikut. a. Kesesuaian RPP dengan kurikulum b. Dasar kritis pengembangan metode/strategi pembelajaran c. Dasar kritis pemanfaatan media pembelajaran d. Dasar kritis penilaian karya siswa Penentuan keempat aspek di atas didasarkan pada kajian komprehensif RPP yanag bertolak dari landasan konseptual dan prosedural, khususnya pada aspek kesesuaian RPP dengan kurikulum. kemudian, aspek selanjutnya yakni dasar kritis pengembangan strategi dan metode pembelajaran berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru semestinya memiliki landasan kuat dalam memilih metode atau strategi pemebelajaran yang tepat. Banyak sekali strategi maupun metode pembelajaran menulis fiksi. Satu hal yang harus dipahami bahwa tidak ada metode yang paling bagus baik. Namun, metode yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan tersediaya saranalah yang paling tepat untuk dipilih, tentu saja dengan mempertimbangkan jenis atau topik materi yang disampakan. Oleh karena itu, dasar kritis mengapa guru memilih strategi atau metode pembelajaran semestinya menjadi bagian dari resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru juga. Dari data yang diperoleh, masing-masing guru memang memiliki keunikan dan cara sendiri dalam membelajarkan menulis cerpen. Ada yang dengan mengajak siswa keluar kelas/ruangan kemudian meminta siswa untukmencari inspirasi dan menuliskan inspirasinya ke dalam sebuah cerpen. Ada guru yang memilih metode modelling yakni dengan mengajak siswa membaca cerpen kemudian menganalisis unsur-unsur yang ada dalam cerpen. Sesudah itu siswa diminta untuk menulis cerpen mereka. ada pula guru yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memiliih cerpen dari internet, buku, atau koran kemudian menganalisis unsur-unsurnya. Sejauh metode ini memang dapat diikuti siswa dan menjadikan kelas menyenangkan sehingga dapat menarik minat siswa, guru dapat mengembangkan lebih lanjut penerapan strategi tersebut. Tentu saja, guru juga harus senantiasa melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan, apakah sudah tepat atau belum, atau masih perlu perbaikan. Di era multiliterasi ini, paradigma yang berkembang dalam pembelajaran baca-tulis (literasi) yakni adanya sarana literasi yang beragam (multi) yang dapat dimanfaatkan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Sarana literlahasi yang dimaksud dapat dijadikan media dalam 131 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pembelajaran. Pemanfaatan media memang sangat penting dalam menciptakan suasan belajar yang menyenangkan, innovatif, dan inspiratif. Apalagi dalam pembelajaran menulis kreatif fiksi, media yang dipakai harus mampu membangkitkan inspirasi dan motivasi siswa dalam menemukan ide dan mengembangkan cerita. Dari hasil telaah dasar kritis penggunaan media, banyak guru yang belum memanfaatkan media dengan maksimaal. Dalam pembelajaran menulis cerpen, media yang dipakai tidak hanya terbatas pada contoh cerpen saja. Hal ini dikarenakan akan berdampak kurang baik pada siswa yang memang tidak menyukai cerpen. Guru dapat memakai media yang erat dengan kehidupan siswa, misalnya saja kartu mimpi, kartu ucapan ulang tahum, pengalaman ketika beragkat ke sekolah, diary, foto, facebook, dan sebagainya. Tampaknya pemnafaatan media pembelajaran masih menjadi kelemahan dari sebagian besar para guru sehingga siswa menjadi kurang tertarik dengan membaca dan menulis cerpen. Menentukan aspek-aspek penilaian kualitas baik proses maupun produk dalam pembelajaran menulis memang bukan merupakan hal yang mudah. Guru hatus memiliki landasan konseptual dna teoretis yang jelas mengenai materi serta bagaimana sistem penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi yang disampaikan. Hal ini menjadi kelemahan sebagian besar guru yang kurang menguasai sistem penilaian dengan baik. Jika kualitas cerpen siswa hanya ditentukan dari unsur-unsur pembangun cerita seperti alur, penokohan, setting, dan lain-lain maka nantinya karya siswa hanya akan menjadi karya yang biasa tanpa didasari pada pemahaman kritis terhadap fenomena yang terjadi di kehidupannya. Oleh karena itu, penilaian terhadap karya siswa untuk mengkaji kualitas cerpen didasarkan pada penilaian cerbeberapa elemepen secara umum dan penilaian menurut elemen kesadaran berbahasa secara kritis. Adapun rincian aspek-aspek penilaian cerpen antara lain sebagai berikut. a. Penilaian cerpen secara umum, terdiri dari: 1) Kemenarikan judul 2) Penggunaan bahasa figuratif 3) Penciptaan alur cerita 4) Penggunaan setting 5) Penggambaran tokoh 6) Kedalaman makna b. Penilaian cerpen dengan kesadaran berbahasa secara kritis, terdiri dari: 1) Penggunaan sarana bahasa untuk kekuatan cerita 2) Kepekaan terhadap pergeseran bahasa 3) Komitmen penulis pada proposisi 4) Pemetaan diri terhadap lingkungan sosial,budaya, politik 5) Pemetaan masyarakat sebagai bagian dari diri penulis 6) Kesadaran terhadap emansipasi dan demokrasi 7) Kesadaran terhadap relevansi cerita dengan kehidupan Dari hasil telaah produk cerpen karya siswa, untuk penilaian cerpen secara umum pada dasarnya hampir semua karya siswa sudah memenuhi aspek-aspek tersebut. namun, aspek-aspek dalam kesadaran berbahasa secara kritis belum tampak jelas pada sebagian besar karya siswa. Dalam proses kreatif menulis, siswa berdiri dan berposisi sebagai penulis yang kaya akan berbagai pengalaman, pengamat yang memiliki referensi pengetahuan yang berbeda setiap hari, serta pengarang cerita yang memiliki kekuatn untuk mengajak pembaca dan mempengaruhi pembaca masuk ke alam dunia pikiran penulis. Oleh karena itu, sarana-sarana pembangun kekuatan yang dihadirkan dalam cerita harus dapat menjadi alat yang tepat untuk membangun kekuatan 132 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penulis. Dengan kata lain, proposisi yang dimunculkan harus didukung oleh sarana kebahasaan yang kuat. Siswa sebagai penulis harus dengan sadar mengerti dan memahami fenomena di sekitar mereka. Oleh karena itu, posisi penulis dalam lingkungan sosial, budaya, dan politik harus jelas juga. Dengan kepekaan pengamatan siswa, cerita pendek yang dibangun tidak akan “berada di atas awan”, namun cerita tersbeut hidup dalam lingkungn penulis dan pembaca sehingga cerita akan lebih mudah diterima, mudah dicerna, menimbulkan ketertarikan untuk terus menerus membaca, dan tentu saja sarat akan nilai-nilai kehidupan. 3. Rancangan Materi dan Modul Menulis Fiksi untuk Guru dan Siswa Pembahasan mengenai racangan materu dan modul menulis fiksi merupakan bagian dari tujuan penelitian. Gambaran awal bagaimana materi dan modul yang akan disusun sebenarnya bertolak dari hasil pemetaan terhadap proses dan produk penelitian baik dari proses yang dilakukan guru dan peneliti dalam diskusi, proses guru dalam pembelajaran dan pembimbigan siswa, proses siswa dalam menulis cerpen, produk RPP guru, maupun produk karya cerpen siswa. Dari hasil penelitian yang diperoleh, satu kesimpulan yang dapat ditarik sebagai dasar pengembangan materi dan modul menulis fiksi adalah bahwa perlu adanya petunjuk praktis dan sederhana bagi guru dan siswa sehingga materi dan modul tersebut dapat diaplikasikan secara mandiri oleh guru dan siswa di sekolah. Modul yang disusun secara komunikatif dan inspiratif sehingga kesadaran kritis guru dan siswa akan terbangun. Kesimpulan dan Saran Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Kemampuan guru dan siswa dalam menulis fiksi masih mengalami banyak kendala. Kendala tersebut dapat berasal dati guru yang memiliki keterbatasan dalam mengembangkan metode pembelajaran yang umumnya masih monoton. Namun dari diskusi yang dilakukan, pemahaman terhadap beragam metode dapat menginspirasi guru untuk merancang pembelajaran yang lebih inovatif. Sementara itu, kemampuan siswa masih terkendala dengan lemahnya motivasi menulis dan minat baca siswa yang berdampak pada kualitas karya siswa yang kurang optimal. 2. Resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru dan siswa dalam menulis fiksi tercermin baik dalam proses maupun hasil. Dari kajian proses dan hasil pihak guru, dasar kritis pengembangan metode, pemanfaatan media, dan pemilihan sistem penilaian masih kurang optimal. Pada proses dan karya siswa, secara umum karya siswa sudah baik, namun jika ditinjau dari aspek kesadaran berbahasa secara kritis, sebagian besar karya siswa belum menampakkan kesadaran pentingnya kekuatan bahasa dan posisi diri siswa sebagai penulis. 3. Materi dan modul penulisan karya fiksi dengan kesadaran berbahasa secara kritis harus dirancang dengan sederhana, praktis, komunikatif, dan inspiratif sehingga dapat dengan mudah diaplikasikan oleh guru dan siswa. Saran untuk dapat diberikan dari hasil kajian penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perlu diadakan forum-forum diskusi sejenis sebagai tindak lanjut dari diskusi pembelajaran sastra. 2. Guru diharapkan senantiasa aktif dalam berbagai kegiatan training yang berguna untuk pengembangan keilmuan. 3. Pelu dirancang sebuah program yang mampu membangkitkan minat baca siswa sehingga mereka tidak terbelenggu inspirasi proses kreatif menulis hanya karena kekurangan bahan literatur. 133 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Ardianto. 2007. Pembelajaran Sastra sebagai Manusia,Iqra,volume 3 Januari-Juni.Manado Sarana Pengembangan Daya Nalar Borg, Walter R. & Meredith D. Gall. 1983. Educational Research: An Introduction. New York: Longman. Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika. Fairclaugh, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. USA: Longman. . 1999. “Global Capitalism and Critical Awareness of Language” dalam jurnal Language Awareness volume 8. www.scribd.co/doc/274032/critical-awareness-of-language. Greene dan Perkins, 2003. Making Race Visible: Literary Research for Cultural Understanding. New York: Teacher College, Columbia University. Halpern, Diana F. Thought & Knowledge: An Introduction to Critical Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Jessner, Ulrike. 2006. Linguistic Awareness in Multilinguals. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd. Kleifgen, Jo Anne and George C. Bond. 2009. The Language of Africa and The Diaspora:Educating for language Awareness. Great Britain: MPG Books Ltd. Marahimin, Ismail. 2001. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya Menacker, Terri. 1998. Active Critical Language Awareness: An Innovative Approach to Language Pedagogy. Department of Hawai, University of Hawai. Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Tamadun. Sanchez, Deborah. 2008. “Critical Language Awareness and Learners in College Transition English”. Urbana: National Council of English Teacher. www.proquest.umi.pqd/web. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta : Gama Media Sayuti, Suminto A. dkk. 2007. “Pengembangan Model Pembinaan Menulis Karya Sastra Anak dan Remaja”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Pertama. Suryaman, Maman. 2003. “Kemampuan Baca Siswa SLTP di Kabupaten dan Kota Bandung” Riset dijurnalkan dalam Litera Volume II, Nomor 1, Januari 2003. Suyata dalam Ma’arif, Ahmad Syafi’I, dkk. 2006. Kearifan Sang Profesor: Bersuku-suku untuk Kenalmengenal. Yogyakarta: UNY Press. Svalberg, Agneta, M-L. 2007. “Language Awareness and Language Learning” dalam Language Teaching volume 40. www.proquest.umi.pqd/web. Yood, Jessica. 2005. “Present-Process: The Composition of Change”. Journal of Basic Writing Fall Volume 24. www.proquest.umi.pqd/web 134 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMBINAAN KARAKTER SISWA SMP BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Marzuki, Samsuri, dan Mukhamad Murdiono Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta marzukiwafi@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan menemukan model pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama melalui ujicoba di beberapa SMP di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian tahap dua dari dua tahap penelitian R & D (Research and Development) yang sudah dilakukan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan pengamatan, wawancara, FGD, dan dokumentasi. Untuk analisis data digunakan teknik analisis induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembinaan karakter yang sudah dikembangkan belum sepenuhnya diimplementasikan di sekolah-sekolah yang dijadikan sampel. Ada SMP yang cukup komprehensif mengimplementasikan model pembinaan karakter di sekolah dan didukung oleh semua warga sekolah serta kurikulum dan kultur sekolah yang cukup memadai. Penelitian ini juga telah menghasilkan model pembinaan karakter yang lebih komprehensif yang bisa diimplementasikan di SMP di Yogyakarta maupun di sekolah-sekolah dan tempat-tempat di luar Yogyakarta. Kata Kunci: Pembinaan karakter, siswa SMP, Pendidikan Agama, Yogyakarta. Pendahuluan Sudah dua tahun lebih (sejak tahun 2010) pemerintah Indonesia mencanangkan pembangunan budaya dan karakter bangsa yang diawali dengan dideklarasikannya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” sebagai gerakan nasional awal Januari 2010. Pencanangan ini ditegaskan kembali dalam pidato presiden pada peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei 2010. Sejak inilah pendidikan karakter menjadi perbincangan di tingkat nasional hingga saat ini, terutama bagi yang peduli dengan masalah pendidikan. Deklarasi nasional tersebut harus jujur diakui oleh sebab kondisi bangsa ini yang semakin menunjukkan perilaku antibudaya dan antikarakter. Perilaku antibudaya bangsa ini di antaranya ditunjukkan oleh semakin memudarnya sikap kebhinnekaan dan kegotong-royongan kita, di samping begitu kuatnya pengaruh budaya asing di tengah-tengah masyarakat kita. Adapun perilaku antikarakter bangsa ini di antaranya ditunjukkan oleh hilangnya nilai-nilai luhur yang melekat pada bangsa Indonesia, seperti kejujuran, kesantunan, dan kebersamaan. Kita harus berjuang untuk menjadikan nilai-nilai luhur itu kembali menjadi karakter yang kita banggakan di hadapan bangsa lain. Salah satu upaya ke arah itu adalah memperbaiki sistem pendidikan nasional dengan menitikberatkan pada pendidikan karakter. Karakter tidak bisa dibentuk dan dibangun dalam waktu yang singkat. Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa Indonesia akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses panjang. Negara kita memberikan perhatian yang besar akan pentingnya pendidikan akhlak mulia (pendidikan karakter) di sekolah dalam membantu membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh 135 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta peserta didik. Hal ini ditegaskan melalui arah dan tujuan pendidikan nasional seperti diamanatkan oleh UUD 1945, yakni peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia. Keluarnya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003, menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita. Pada Pasal 3 UU ini ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Upaya yang bisa dilakukan untuk pembinaan karakter siswa di sekolah di antaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dapat dijadikan basis untuk pembinaan karakter siswa tersebut. Guru pendidikan agama (guru agama) bersama-sama para guru yang lain dapat merancang berbagai aktivitas sehari-hari bagi siswa di sekolah yang diwarnai nilai-nilai ajaran agama. Dengan cara ini, siswa diharapkan terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan yang pada akhirnya dapat membentuk karakternya. Konsep tentang Karakter dan Pendidikan Karakter Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80). Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya ia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can 136 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Pembudayaan karakter (akhlak) mulia perlu dilakukan dan terwujudnya karakter (akhlak) mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan sangat didambakan oleh setiap lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan penting dalam membangun akhlak mulia di kalangan sivitas akademika dan para karyawannya. Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan akhlak (pendidikan moral) bagi para peserta didik dan juga membangun kultur akhlak mulia bagi masyarakatnya. Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter. Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama (PA) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kedua mata pelajaran ini nampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan bahwa setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP No. 19 tahun 2005 Pasal 6 ayat 4). Pada Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Hal yang sama juga dilakukan untuk kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian (PP No. 19 tahun 2005 Pasal 7 ayat 2). Kebijakan ini juga terjadi untuk pembelajaran di Perguruan Tinggi. Dua mata kuliah (Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) yang termasuk mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) diarahkan untuk pembentukan karakter para mahasiswa sehingga melahirkan para sarjana yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan menjadi para pemimpin bangsa yang juga memiliki karakter mulia. Penelitian sekarang ini lebih difokuskan pada pembinaan karakter melalui pendidikan agama dengan berbagai aktivitas keagamaan yang ada di satuan pendidikan dasar (SD dan SMP). Hal ini didasari banyaknya sekolah yang mengupayakan pembinaan karakter melalui pendidikan agama, terutama sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan agama Islam, Kristen, atau Protestan, meskipun tidak menutup kemungkinan sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan agama yang lain. 137 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan sekolah, sekarang sedang digalakkan pembentukan kultur sekolah. Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah. Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi manusia yang berakhlak mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup panjang. Pembentukan ini dimulai dari membangun aqidah mereka selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi melanjutkan pembentukan akhlak mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah mereka sehari-hari. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilaku Nabi, masyarakat madani (yang berakhlak mulia) berhasil dibangun Nabi yang kemudian terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi. Michele Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlak mulia. Michele Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Dia menulis sebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Michele Borba (2008: 4), adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga negara yang baik. Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuhkan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun. Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya. Dalam salah satu bukunya, 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara atau strategi untuk dapat meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah. 100 cara ini oleh Kirschenbaum dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu: 1) inculcating values and morality (penanaman nilainilai dan moralitas); 2) modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas); 4) skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai). Dari pendapat Kirschenbaum ini maka guru pendidikan agama termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan agama. Guru 138 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta agama bersama guru-guru mata pelajaran lain perlu merancang pembelajaran agama di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia. Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial (Darmiyati Zuchdi, 2008: 46-50). Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut (Darmiyati Zuchdi, 2008: 55). Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional telah mengembangkan Grand Design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Grand Design ini dapat dijadikan sebagai rujukan konseptual dan operasional terkait dengan pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pendidikan karakter pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di Indonesia. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural dapat dikelompokkan dalam empat konsep dasar, yaitu olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, dan olah rasa dan karsa (Masnur Muslich, 2011: 85). Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah (jalur formal) tidak bisa dilepaskan dari pendidikan karakter dalam keluarga (jalur informal) dan pendidikan karakter di masyarakat (jalur nonformal). Karena itu, pendidikan karakter harus dilakukan secara terpadu dengan memadukan dan mengoptimalkan aktivitas pendidikan formal, informal, dan nonformal, serta mengupayakan terwujudnya media informasi dan komunikasi yang berkarakter. Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah harus ditopang oleh manajemen sekolah yang berkarakter pula. Manajemen yang dimaksud di sini adalah bagaimana sekolah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan karakter dengan benar melalui berbagai aktivitas yang ada di sekolah. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan model riset dan pengembangan (Research and Development atau sering disingkat R&D). Terkait dengan model R&D, Borg & Gall menegaskan, “Educational Research and Development (R&D) is an industry-based development model in which the findings of research used to design new products and procedures, which then systematically fieldtested, evaluated, and refined until they meet specified criteria of effectiveness, quality, or similar standard” (Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R., 2003: 569). Penelitian model R&D merupakan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh suatu sistem pengembangan pengetahuan di suatu tempat yang kemudian divalidasi dan dikembangkan untuk diterapkan pada tempat-tempat yang lain. Penelitian ini dirancang untuk tiga tahap. Pada tahap pertama (2010) penelitian ini berupa penelitian survey untuk menemukan model-model pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama yang dikembangkan di beberapa SD dan SMP di DIY. Pada tahap dua ini (2011) penelitian diarahkan untuk uji coba model dalam rangka memperoleh model yang lebih baik. Subjek penelitian ini adalah para kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa di sembilan SMP di DIY. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah, Focus Group Discussion (FGD), observasi, wawancara, dan dokumentasi. Untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka data-data yang telah terkumpul terlebih dahulu 139 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta diperiksa keabsahannya dengan teknik cross check. Adapun teknik analisis datanya adalah teknik analisis induktif, yaitu analisis yang bertolak dari data dan bermuara pada simpulan-simpulan umum. Kesimpulan umum itu bisa berupa kategorisasi maupun proposisi (Burhan Bungin, 2001: 209). Hasil Penelitian dan Pembahasan Implementasi Model Pembinaan Karakter Siswa Berbasis Pendidikan Agama Pengembangan karakter siswa SMP berbasis pendidikan agama dalam penelitian ini mencakup sejumlah kegiatan kurikuler dan pengembangan kultur sekolah. Kegiatan kurikuler terdiri atas pembelajaran intrakurikuler dan kokurikuler serta kegiatan ekstrakurikuler. Sedang pengembangan kultur sekolah meliputi kawasan partisipasi dan pelibatan segenap unsur sekolah, mulai dari pimpinan, karyawan, guru, siswa, orangtua siswa, dan masyarakat sekitar dalam mendukung program pendidikan karakter sekolah. SMP yang menjadi sampel dalam pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama terdiri atas sepuluh sekolah (SMP). Kesepuluh SMP tersebut tersebar sebagai berikut: SMP Negeri 2 Wonosari dan SMP Al-Hikmah Karangmojo di Kabupaten Gunung Kidul, SMP Negeri 1 Sewon dan SMP Muhammadiyah Imogiri di Kabupaten Bantul, SMP Negeri 1 Galur dan SMP Muhammadiyah 1 Wates di Kabupaten Kulon Progo, SMP Negeri 9 Yogyakarta dan SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta di Kota Yogyakarta, serta SMP Negeri 4 Depok dan SMP Muhammadiyah 1 Godean di Kabupaten Sleman. Dari kesepuluh SMP tersebut, SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta tidak dapat terlibat dalam penelitian ini tanpa penjelasan rinci, sehingga di Kota Yogyakarta hanya ada satu SMP yang menjadi sampel, yaitu SMP Negeri 9 Yogyakarta. Model pembinaan karakter siswa SMP berbasis pendidikan agama yang sudah dibuat oleh tim peneliti diimplementasikan secara variatif di sejumlah sekolah sampel. Variasi itu dapat dilihat dari dua model: Model Kurikuler dan Model Pengembangan Kultur Sekolah. Model Kurikuler meliputi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pembinaan karakter siswa dengan model intrakurikuler ditekankan dalam proses-proses pembelajaran Pendidikan Agama baik di dalam ruang kelas maupun di luar ruang kelas. Model ini sangat umum diikuti oleh masing-masing sekolah. Namun, yang penting untuk dicermati ialah bahwa program intrakurikuler untuk pembinaan karakter siswa dirancang sedemikian rupa dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter tertentu ke dalam dokumen silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam dokumen silabus Pendidikan Agama Islam, seperti nilai-nilai karakter: ingin tahu, religius, cinta ilmu, santun, jujur (SMP N 1 Sewon). Pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam dokumen silabus mata pelajaran keagamaan dalam mata pelajaran Pendidikan Al-Qur’an/Hadits, seperti nilai-nilai karakter: tekun, teliti, menghargai orang lain, religius, tertib, menghargai pendapat orang lain. Ada pula yang mengeksplisitkan nilai-nilai karakter melalui RPP mata pelajaran Al-Islam (Aqidah), seperti nilai-nilai karakter: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, tekun, tanggung jawab, berani, ketulusan, integritas, peduli, jujur, dan kewarganegaraan (SMP Muhammadiyah 1 Godean; SMP Negeri 2 Wonosari), dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, tekun, tanggung jawab, kecintaan, kemanusiaan, kebangsaan, kerjasama, integritas, ketulusan, (SMP N 1 Galur); religius, cinta ilmu, sehat, jujur, disiplin, sosial, dan bertanggung jawab (SMP Muhammadiyah 1 Wates). Di bagian lain, pengintegrasian nilai-nilai karakter yang terdapat dalam silabus Pendidikan Agama Islam dirancang 140 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta melalui kegiatan pembiasaan/pengamalan nilai-nilai keagamaan yang disusun secara sistematis dan terukur ke dalam satu buku panduan yang dipakai selama satu tahun ajaran (dua semester) (SMP N 9 Yogyakarta). Pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama melalui model kokurikuler dilakukan melalui sejumlah kegiatan ibadah atau perbuatan-perbuatan yang mencerminkan karakter terpuji. Kegiatan-kegiatan peribadatan yang merupakan bagian kokurikuler mata pelajaran Pendidikan Agama Islam misalnya: shalat dluha (Kelas VII SMP Negeri 1 Sewon; SMP Negeri 1 Galur); shalat tahajjud, tugas melakukan adzan di masjid/mushala bagi siswa putra (minimal 10 kali dalam satu semester), shalat berjamaah di masjid/mushala (minimal 40 kali dalam satu semester), puasa sunat Senin dan Kamis serta puasa sunat lainnya, membaca al-Qur’an di rumah, tugas melihat/mendampingi/memandikan jenazah (minimal satu kali per semester), tugas menyalatkan jenazah (minimal dua kali per semester) (SMP Negeri 9 Yogyakarta); Shalat Zhuhur berjamaah dan tadarus al-Qur’an selama bulan Ramadlan 1432 H dan sesudahnya tiap hari kecuali hari Senin (SMP Muhammadiyah 1 Imogiri). Kegiatan ekstrakurikuler yang memuat aspek pembinaan karakter berbasis pendidikan agama di SMP-SMP yang diteliti, antara lain diselenggarakan oleh OSIS atau Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Dengan bimbingan guru pembimbing dan guru agama yang bersangkutan, kegiatan ekstrakurikuler tersebut antara lain dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat yang melibatkan siswa menjadi pengurus/takmir masjid atau mushala pengurus remaja masjid, kepemudaan (SMP Negeri 9 Yogyakarta). Di bagian lain, kegiatan latihan Manasik Haji bagi satu sekolah (SMP Muhammadiyah 1 Imogiri) juga merupakan kegiatan ekstrakurikuler untuk membentuk karakter siswa. Pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama melalui pengembangan kultur sekolah antara lain dengan penciptaan budaya sekolah yang mencerminkan nilai-nilai karakter yang dibentuk oleh segenap elemen sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, tenaga administrasi, siswa, dan orang tua siswa. Implementasi model pengembangan kultur atau budaya sekolah yang mencerminkan karakter terpuji berbasis pendidikan agama juga bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Untuk SMP-SMP Negeri kultur sekolah untuk membentuk karakter terpuji tidaklah monolitik kepada satu agama, karena sifatnya sebagai sekolah publik (milik negara) sehingga para siswanya cenderung plural dari keyakinan agamanya. Meskipun demikian, untuk kasus tertentu seperti di SMP Negeri 9 Yogyakarta justru pembentukan karakter siswa berbasis pendidikan agama cenderung dominan nilai-nilai karakter dari ajaran Islam. Di SMP Negeri 9 Yogyakarta ini selain tersedia guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, juga ada guru mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen (Protestan), Katholik, dan Hindu. Selain dalam bentuk kegiatan ibadah dan keagamaan, pembentukan kultur sekolah untuk membentuk karakter siswa antara lain dengan pemberian sanksi atas pelanggaran terhadap larangan-larangan yang ditetapkan sekolah, dan pemberian penghargaan atas prestasi siswa. Sanksisanksi atas tiap pelanggaran larangan dikenakan butir-butir bobot sanksi mulai yang terberat hingga yang paling ringan. Sanksi paling ringan berupa peringatan lisan, sedangkan sanksi paling berat berupa dikembalikannya siswa kepada orang tuanya. 141 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada bagian lain, penghargaan diberikan sekolah kepada siswa berupa penghargaan akademik maupun nonakademik. Penghargaan akademik berkaitan dengan prestasi-prestasi belajar siswa dalam sejumlah ajang kompetisi dan kejuaraan. Penghargaan nonakademik antara lain diberikan kepada siswa yang aktif sebagai pengurus organisasi kesiswaan di sekolah dalam bentuk pemberian bobot poin. Tata tertib SMP Negeri 9 Yogyakarta juga memberikan pedoman nilai terhadap penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib siswa. Komponen pedoman penilaian meliputi unsur jenis pelanggaran (1) Kelakuan, (2) Kegiatan Belajar Mengajar, (3) Keagamaan, (4) Asesoris, (5) Rokok/Narkoba/BarangTerlarang/Tindakan Asusila, (6) Ancaman/Perkelahian/Penganiayaan/Senjata Tajam, (7) Kerajinan, (8) Kerapian, dan penggunaan, dan (9) Alat Transportasi. Segala jenis pelanggaran oleh siswa diikuti dengan pembinaan-pembinaan dan sanksi-sanksi berdasarkan jenis dan tingkat poin (skor) pelanggarannya. Sanksi-sanksi berupa (1) peringatan lisan, (2) skorsing selama satu hari, (3) skorsing selama dua hari, dan (4) skorsing selama enam hari. Pembinaan dilakukan secara bertingkat terhadap semua jenis pelanggaran sesuai jumlah poin pelanggaran. Para pembina dari pihak sekolah mulai dari pendidik (guru), wali kelas, guru Bimbingan Konseling (BK), Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan, Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum, Kepala Sekolah, hingga orang tua siswa sendiri (SMP Negeri 9 Yogyakarta, 2011). Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah meliputi: (1) Ketaatan untuk beribadah kepada Tuhan, (2) Kepatuhan pada aturan yang bersumber pada kitab suci, (3) Selalu menerima apa yang ada, (4) Selalu bersyukur kepada Tuhan, (5) Keadilan dalam segala hal, (6) Rasa hormat/respek kepada orang lain, (7) Empati kepada orang lain, (8) Kedisiplinan, (9) Kejujuran, (10) Keikhlasan/ ketulusan dalam berbuat, (11) Suka memaafkan orang lain, (12) Kesabaran, (13) Keberanian dalam membela kebenaran, (14) Tanggung jawab, (15) Sopan santun, (16) Toleransi antar umat beragama, (17) Kepedulian pada sesama, (18) Persatuan, dan (19) Menjauhi perilaku-perilaku tercela. Kendala-Kendala dalam Implementasi Model Secara umum tidak dijumpai kendala pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama. Namun, kendala umum cukup menonjol dalam hal penilaian kegiatan kurikuler mata pelajaran pendidikan agama sebagai upaya pembinaan karakter siswa. Pembinaan karakter berbasis pendidikan agama ialah ukuran keberhasilan pembinaan karakter siswa. Kendala juga muncul terkait dengan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN), ujian tengah semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Problematika yang menonjol ialah bahwa UASBN yang telah diujicobakan pada tahun ajaran 2010/2011 turut mengundang kekhawatiran peran pendidikan agama terjebak pada pencapaian aspek kognitif. Dalam kasus tertentu, di SMP Negeri 1 Galur, kendala yang pernah terjadi yakni perbedaan pemahaman antara guru PKn dengan guru Pendidikan Agama Islam tentang penggunaan busana Muslim bagi siswa putri yang menjadi petugas pengibar bendera merah putih. Guru PKn menilai bahwa siswa putri tidak boleh menutup kepalanya dengan jilbab/busana Muslim, karena tidak sesuai dengan misi pengibaran bendera kebangsaan yang tidak perlu menonjolkan identitas primordial keagamannya. Di bagian lain, guru Pendidikan Agama Islam merasa ada kewajiban untuk membela keyakinan siswa untuk menjalankan ajaran agamanya dengan cara menutup bagian anggota badannya sebagai cara menunjukkan ketaatan beragama (FGD, 27 Juli 2011). 142 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Seluruh sekolah yang terlibat dalam penelitian ini sepakat bahwa pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama sangat penting manfaatnya. Namun, tidak semua sekolah memiliki kekuatan dan kesempatan untuk menerapkan model-model pembinaan karakter siswa seperti dalam Buku Panduan yang menjadi model penelitian ini, sebagaimana disampaikan dalam FGD. Kendala menonjol yang dihadapi terutama di SMP-SMP Negeri yang heterogen dalam agama dan keyakinan yang dianut siswa. Meskipun mayoritas siswa beragama Islam, tetapi tidak semua SMP Negeri memiliki pengalaman yang sama seperti di SMP Negeri 9 Yogyakarta. Efektivitas pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama tampaknya tidak cukup bertumpu kepada kemampuan guru pendidikan agama saja, tetapi sebagaimana rumusan Character Education Partnership (2003) tentang 11 syarat pendidikan karakter yang efektif, maka perlu dukungan semua unsur di sekolah dan pemangku kepentingan terkait. Kendala yang dihadapi dalam pengujicobaan model pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama di SMP seluruhnya menampilkan pengalaman keagamaan berdasar nilai-nilai Islam. Dari temuan uji coba model tersebut, hasilnya cenderung mengikuti model pembentukan karakter siswa yang sama antara satu SMP dengan SMP lainnya, baik negeri maupun swasta. Meskipun untuk SMP swasta ada satu yang bukan dari yayasan Muhammadiyah, namun corak pengajaran dan pembentukan karakter berbasis pendidikan agama relatif tidak berbeda jauh. Ada kecenderungan penekanan pembinaan kepada karakter mulia menonjol pada karakter mulia yang bersifat personal dibandingkan karakter mulia yang bersifat sosial dalam sejumlah pembiasaan berbasis pendidikan agama. Dengan demikian, perlu tinjauan ulang atas penggunaan model pembinaan karakter siswa berbasis pendidikan agama yang dapat diterapkan dan melibatkan segenap komponen siswa dari pendidikan agama yang berbeda-beda. Kendala lain selain kendala tersebut adalah: (1) keteladanan (guru) lemah, (2) Pendanaan yang terbatas untuk menyokong kegiatan ekstrakurikuler berbasis pendidikan agama dan padatnya kegiatan sekolah di luar kegiatan berbasis pendidikan agama, (3) Kekompakan guru, guru malas memikirkan pengembangan pendidikan karakter, beberapa guru kurang memperhatikan, (4) Pengaruh penggunaan teknologi informasi, (5) Adanya tempat penitipan di luar sekolah oleh masyarakat sekitar sekolah, (6) Tempat istirahat di luar sekolah yang memungkinkan untuk merokok, (7) Kehadiran KMS yang jarang masuk sekolah. Kendala-kendala tersebut oleh setiap sekolah dan guru-guru agama bersama guru mata pelajaran lainnya secara bertahap diupayakan langkah dampak buruknya bagi pembinaan karakter siswa terutama berbasis pendidikan agama. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah diuraikan di atas beserta pembahasannya ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Semua sekolah (SMP) yang dijadikan sampel telah mengembangkan pendidikan karakter berbasis pendidikan agama, meskipun terdapat perbedaan dalam implementasinya. Ada satu sekolah yang cukup komprehensif dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolahnya, yakni SMP Negeri 9 Yogyakarta dan selebihnya belum sepenuhnya melaksanakannya secara komprehensif; (2) Panduan pembinaan karakter siswa berbasis agama di SMP yang sudah dihasilkan dari penelitian tahap pertama ternyata belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh sekolah dengan maksimal. Dengan sedikit penyempurnaan, panduan yang ada bisa diterapkan tidak hanya di SMP di Yogyakarta, tetapi juga di luar Yogyakarta. 143 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Terj. oleh Lina Jusuf. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008. Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. 2003. Educational Research An Introduction. Seventh Edition. Boston, New York, San Francisco: Allyn & Bacon. Burhan Bungin. 2001. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Darmiyati Zuchdi. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Depdiknas RI. 2004. Pengembangan Karakter Sekolah. Jakarta: Depdiknas RI. Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. Echols, M. John dan Hassan Shadily. 1995. Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI. Hamzah Ya’qub. 1988. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV. I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W. 2000. Wajah Baru Etika & Agama. Yogyakarta: Kanisius. Kirschenbaum, Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Massachusetts: Allyn & Bacon. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books. Masnur Muslich. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 144 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH BERBASIS GENDER DI SMP KODYA YOGYAKARTA Giri Wiyono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Seberapa besar kepemimpinan transformasional kepala sekolah di SMP Kodya Yogyakarta, (2) Seberapa besar ketidakadilan gender yang terjadi dalam kepemimpinan transformasional kepala sekolah di SMP Kodya Yogyakarta, (3) Apa saja yang dilakukan oleh kepala sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP Kodya Yogyakarta, (4) Faktor-faktor pendukung dalam mewujudkan kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP Kodya Yogyakarta, dan (5) Faktor-faktor penghambat dalam mewujudkan kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP Kodya Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Untuk mengkaji ketidakadilan gender pola kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan menggunakan analisis gender model Harvard, yang mengungkap: kegiatan, akses, kontrol, dan manfaat, yang terkandung dalam pola kepemimpinan transformasional kepala sekolah pria dan wanita. Penelitian ini dilakukan pada SMP Negeri yang ada di Kodya Yogyakarta. Sumber data dalam penelitian ini adalah 17 orang kepala sekolah SMP Negeri di Kodya Yogyakarta. Data dikumpulkan melalui angket dan wawancara mendalam (in-depth interview). Instrumen dalam penelitian ini berupa angket dan panduan wawancara. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif yang meliputi reduksi data, unitisasi dan kategorisasi, display data, verifikasi dan pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kepemimpinan transformasional kepala sekolah SMP Negeri di Kodya Yogyakarta memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal menyelesaikan masalah dan membangun komitmen guru untuk perubahan. Sedangkan kemampuan kepala sekolah dalam mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi dan kemampuan menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru masih tergolong sedang. Sementara itu kemampuan kepala sekolah dalam membantu mengembangkan kepemimpinan guru, dan kemampuan untuk memelihara keseimbangan emosi mempunyai tingkat yang rendah; (2) Beberapa aspek yang sangat kuat dalam dimensi kepemimpinan transformasional, antara lain: memahami perbedaan karakter guru dan karyawan, menanggapi masalah yang dialami guru dan karyawan, menanggapi perbedaan tindakan guru dan karyawan, mendapatkan manfaat perlakuan yang dilakukan kepada guru dan karyawan, memiliki persepsi yang baik terhadap pengembangan kepemimpinan guru, menunjukkan harapan kinerja yang tinggi, memotivasi guru dan karyawan, mengarahkan guru dan karyawan untuk pembelajaran organisasi, menciptakan suasana kerja bagi guru dan karyawan, mengarahkan guru dan karyawan, menjaga keharmonisan guru dan karyawan, mencegah ketidakharmonisan dengan guru dan karyawan; (3) Tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam keenam dimensi kemampuan kepemimpinan tranformasional kepala sekolah pria dan wanita SMP di Kodya Yogyakarta yang meliputi: (a) Kemampuan menyelesaikan masalah, (b) Kemampuan membantu mengembangkan kepemimpinan guru, (c) Kemampuan membangun komitmen guru untuk perubahan, (d) Kemampuan menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru, (e) Kemampuan mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi, dan (f) Kemampuan memelihara keseimbangan emosi; (4) Terdapat perbedaan yang signifikan pada dua dimensi kemampuan kepemimpinan tranformasional kepala sekolah SMP di Kodya Yogyakarta antara kepala sekolah dengan tingkat pendidikan S1 dan S2, yaitu: kemampuan menyelesaikan masalah, dan kemampuan memelihara keseimbangan emosi; (5) Faktor-faktor pendukung dalam pembentukan kepemimpinan transformasional kepala sekolah berbasis gender di SMP Negeri Kodya Yogyakarta, yaitu: dukungan keluarga, fasilitas sekolah yang memadai, kebersamaan warga sekolah, lokasi sekolah yang strategis, kerjasama yang baik antar kepala 145 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sekolah, guru, dan karyawan; dan (6) Faktor-faktor penghambat dalam pembentukan kepemimpinan transformasional kepala sekolah berbasis gender di SMP Negeri Kodya Yogyakarta, yaitu: kesibukan sebagai ibu rumah tangga, anak-anak yang masih butuh perhatian, sumber daya manusia sekolah sudah berusia lanjut, karakter sumber daya manusia di sekolah yang berbeda-beda, guru yang sudah berusia lanjut. Kata kunci: Kepemimpinan transformasional; Kepala sekolah; Gender. Pendahuluan Seiring dengan meningkatnya jumlah wanita yang mengenyam pendidikan tinggi, maka semakin lama semakin banyak wanita yang bekerja di luar rumah (berkarir), dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Bidang kerja yang banyak dimasuki oleh perempuan adalah bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan, pemerintah berupaya untuk mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai wujud desentralisasi pendidikan. Pada dasarnya penerapan MBS di sekolah ini sangat terkait dengan kepemimpinan kepala sekolah. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan kepala sekolah merupakan suatu hal yang perlu diketahui agar kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya. Salah satu gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Seorang kepala sekolah perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Disamping aspek kompetensi, permasalahan kepala sekolah juga dapat dilihat dari aspek gender. Proses karir bagi kepala sekolah perempuan yang berkeluarga lebih kompleks dari pada kepala sekolah laki-laki karena perbedaan dalam sosialisasi dan kombinasi dari sikap, peran yang diharapkan (role expectations), perilaku, dan sangsi yang berkaitan dengan proses karir kepala sekolah perempuan yang berkeluarga. Berbagai peran (multiple role) bagi kepala sekolah perempuan menjadi faktor yang dapat mempengaruhi karir perempuan, terutama ibu. Di satu sisi sebagai ibu kepala sekolah terus harus bekerja dan berkarir, sementara di sisi lain kepala sekolah perempuan tidak bisa melepaskan perannya sebagai ibu dan istri dalam keluarga. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka penelitian tentang kepemimpinan transformasional kepala sekolah yang berbasis gender pada tingkat satuan pendidikan SMP di Kodya Yogyakarta perlu dilakukan. Penelitian ini dirasa sangat strategis dan penting untuk dilakukan guna mengungkap bagaimana kepemimpinan transformasional dan faktor-faktor pendukung dan penghambat apa saja yang menyebabkan terbentuknya kepemimpinan transformasional kepala sekolah di SMP. Apa yang dilakukan oleh kepala sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan transformasional dalam menerapkan manajemen berbasis sekolah di SMP. Dengan demikian diperlukan adanya penelitian tentang kepemimpinan transformasional kepala sekolah yang berbasis gender pada tingkat satuan pendidikan SMP di Kodya Yogyakarta. Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur. Sehingga, semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi 146 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah. Bentuk kepemimpinan yang diperkenalkan oleh Burn pada tahun 1978 (Robbins dan Judge: 2009, 452) mengemuka kembali seiring dengan perubahan-perubahan yang cepat, kompleks, dan canggih dalam kehidupan manusia. Menurut Leithwood et.all (Gunter, 2002, 71) bahwa pengembangan kepemimpinan transformasional telah dilakukan dalam dimensi dan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Aspek-aspek dalam kepemimpinan transformasional telah dikembangkan sehingga dapat diukur dari beberapa dimensi, yaitu: (1) Penyelesaian masalah: memahami masalah dan menyelesaikan suatu masalah, (2) Membantu perkembangan kepemimpinan guru: sifat dasar dan persepsi kepemimpinan guru, (3) Membangun komitmen guru untuk perubahan: tujuan pribadi, keyakinan kecakapan, keyakinan konteks, dan proses menggerakkan emosi, (4) Menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan dalam pengetahuan dan ketrampilan profesional guru: pengembangan kecakapan guru secara individual, (5) Kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi: pembelajaran tim/kelompok dan pembelajaran sekolah secara keseluruhan, dan (6) Memelihara keseimbangan emosi: mencegah stres dan kematian guru. Tabel 1. Pengembangan Kepemimpinan Transformasional Dimensi Penyelesaian masalah:  Memahami masalah  Menyelesaikan suatu masalah. Membantu perkembangan kepemimpinan guru:  Sifat dasar dan persepsi kepemimpinan guru. Membangun komitmen guru untuk perubahan:  Tujuan pribadi  Keyakinan kecakapan  Keyakinan konteks  Proses menggerakkan emosi. Menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan dalam pengetahuan dan ketrampilan profesional guru:  Pengembangan kecakapan guru secara individual. Kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi:  Pembelajaran tim/kelompok  Pembelajaran sekolah secara keseluruhan. Memelihara keseimbangan emosi:  Mencegah stres dan kematian guru. Hasil Yang berikut adalah efektif:  Petunjuk praktis dalam penyelesaian masalah.  Menghadapi masalah kompleks secara progresif.  Perolehan pengetahuan tentang masalah umum.  Pemikiran yang dipedomani pada proses penyelesaian masalah.  Kepemimpinan kepala sekolah lebih berpengaruh daripada kepemimpinan yang dijalankan oleh guru secara keseluruhan.  Kepemimpinan kepala sekolah paling besar pada perencanaan peningkatan sekolah, organisasi dan struktur sekolah,  Kepala sekolah dan guru diharapkan untuk memimpin dengan cara yang berbeda dan mempunyai perbedaan jenis pengaruh pada sekolah. Yang berikut adalah pengaruh kuat pada komitmen guru:  Penentuan arah dimensi kepemimpinan  Membangun visi bersama  Menciptakan kesepakatan tentang tujuan sekolah  Mempertunjukan harapan kinerja yang tinggi.  Ciri-ciri simbolik kepemimpinan transformasional tidak membuat kontribusi langsung ke perbaikan sekolah dan dapat dilihat oleh guru sebagai hal sepele.  Tugas-tugas transaksi atau penolong dapat digunakan untuk tujuan perubahan.  Kepemimpinan membuat suatu perbedaan untuk pembelajaran kelompok atau pembelajaran sekolah secara keseluruhan.  Pemimpin dapat mengendalikan kesempatan dan cara yang mana pembelajaran berlangsung, misalnya: misi, budaya, struktur, dan sumberdaya.  Kepemimpinan adalah suatu faktor dalam menciptakan atau memperbaiki kematian guru  Kepemimpinan mempunyai pengaruh kuat yang tidak langsung pada kematian guru melalui pengaruf faktor-faktor organisasi. 147 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajarmengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkannya secara berkelanjutan. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan. Ciri-ciri Kepemimpinan Transformasional Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 358) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan. Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspekaspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. John Hall, et.al. (2002, 138) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut: (1) Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi, (2) Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi, (3) Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama, (4) Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi, (5) Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan, dan (6) Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi. Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan Robbins dan Judge menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat menginspirasi bawahannya lebih meningkatkan kemampuan dirinya dan memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap bawahannya (2009: 453). Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menampilkan dirinya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan menerapkannya dalam pengelolaan pendidikan di sekolahnya. Perspektif Gender Hasil penelitian Moya, dkk (2000) menunjukan bahwa career salieence laki-laki cenderung tidak dipengaruhi oleh karakteristik personal dan karakteristik relationship pasangan mereka. 148 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Nampaknya laki-laki karir merupakan sesuatu yang wajar (take career for granted), bahwa semua laki-laki dapat berkarir dalam berbagai pekerjaan sehingga tidak menjadi suatu permasalahan. Berbeda dengan perempuan, karir merupakan sesuatu yang baru sehingga hal ini berkaitan dengan karakteristik personal dan karakteristik relationship pasangan. Banyaknya beban yang harus ditanggung oleh ibu yang berkarir antara peran sebagai pekerja, ibu rumah tangga, istri, anggota masyarakat, menjadikan wanita berkarir multi peran. Peran produksi, peran reproduksi, peran sosial menjadi satu harus dilakukan oleh seorang wanita karir secara maksimal. Dalam menjalankan multiple role, wanita karir akan lebih memfokuskan pada salah satu prioritas, karena tidak mungkin semua peran tersebut dapat dilakukan secara seimbang. Wanita karir beranggapan bahwa ketika pekerjaan mempengaruhi keluarga dianggap kurang sesuai (Less appropriate) kurang dapat ditoleransi bahkan dianggap sebagai konflik. Selain itu , ibu di tempat kerja biasanya juga mendapatkan perlakuan yang berbeda dari pada rekan kerja yang laki-laki. Mereka sering dianggap akan sulit memanfaatkan kesempatan yang berkaitan dengan mutasi kerja (geographic mobility) karena adanya asumsi bahwa mereka tidak ingin dipindahkan (relocate), karena pertimbangan keluarga. Adanya asumsi tersebut dapat menjadi penghambat ibu yang bekerja untuk kemajuan diri mereka (Lyness dan Thompson, 2000) Penelitian Alfadiomi dan Fathul (2005) tentang ibu dan karir menunjukan bahwa ibu yang bekerja (berkarir) mengalami dilema. Penyebab dan dampak dilema pada tiap orang yang tidak sama, tetapi semuanya bersumber pada keinginan untuk menyeimbangkan karir dan keluarga, sehingga yang muncul dipermukaan kesadaran adalah bahwa karir adalah dilema bagi perempuan. Di satu sisi, karir merupakan implementasi keinginan ibu sebagai perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja. Aktualisasi diri ini diperlukan untuk mempertegas eksistensinya sebagai manusia, bahwa ia tidak hanya seorang perempuan yang menjadi ibu tetapi juga dapat melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai lebih dari sekedar ibu rumah tangga biasa. Di sisi yang lain, perempuan yang bekerja tidak bisa melepaskan perannya sebagai ibu. Akibatnya yang nampak adalah karir tidak maksimal. Menjadi ibupun juga tidak maksimal karena harus membagi dua waktu, perhatian, dan segala sumber yang dimiliki. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif kualitatif dengan paradigma phenomenologi dan menggunakan model kepemimpinan transformasional dengan pendekatan perilaku organisasi (organization behavior). Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri dan Swasta di Kodya Yogyakarta. Data dikumpulkan melalui FGD (Focus Group Discussion) dan kuesioner pada berbagai aspek dalam kepemimpinan transformasional yaitu: (1) penyelesaian masalah; (2) membantu perkembangan kepemimpinan guru; (3) membangun komitmen guru untuk perubahan; (4) menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan dalam pengetahuan dan ketrampilan profesional guru; (5) kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi; dan (6) memelihara keseimbangan emosi. Untuk mengkaji ketidakadilan gender dalam pola kepemimpinan transformasional kepala sekolah pria dan wanita digunakan analisis gender dari Harvard University, yang meliputi 4 hal, yaitu: (1) kegiatan: apa yang dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki dan perempuan; (2) akses: apa yang 149 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dapat diperoleh dari kepala sekolah laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan informasi, dana; (3) kontrol: apa yang bisa dikendalikan dan diawasi oleh kepala sekolah laki-laki dan perempuan; dan (4) manfaat: hal apa yang dapat diperoleh berkaitan dengan yang dilakukan oleh kepala sekolah lakilaki dan perempuan. Disamping itu dalam pengumpulan data juga digunakan wawancara (interview) yang mendalam dan dokumentasi dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) Menempatkan kepala sekolah yang diteliti sebagai subyek; (2) Penggalian data tentang kepemimpinan kepala sekolah dan pengelolaan sekolahnya berdasarkan gaya kepemimpinan transformasional; (3) Menempatkan riwayat hidup kepala sekolah sebagai sumber data; dan (4) Ada kesadaran yang tinggi bahwa metodologi yang dipakai tidak bias laki-laki (seksis). Dengan demikian instrumen penelitian ini disusun berdasarkan analisis gender pada aspekaspek kepemimpinan transformasional yang ditunjukkan pada Tabel 2. berikut ini: Tabel 2. Analisis Gender pada Aspek Kepemimpinan Transformasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. Aspek-Aspek dalam Kepemimpinan Tranformasional Menyelesaikan masalah Membantu mengembangkan kepemimpinan guru: Membangun komitmen guru untuk perubahan: Menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan dalam pengetahuan dan ketrampilan profesional guru Mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi Memelihara keseimbangan emosi Kegiatan A E Analisis Gender Akses Kontrol B C F G Manfaat D H I J K L M N O P Q R S T U V W X Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian ini dapat disusun. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan analisis struktural fungsional-diferensiasi struktural dari Talcott Parsons (Robert, 1977: 107). Sedangkan untuk melihat ketidakdilan gender maka digunakan teknik analisis gender model Harvard, dengan empat kategori kajian, yakni (1) kegiatan, (2) akses, (3) kontrol, dan (4) manfaat yang diperoleh dari kepala sekolah laki-laki maupun perempuan dalam kepemimpinan transformasional di sekolah. . Analisis dilakukan melalui penyaringan data, penggolongan, penyimpulan, dan uji ulang. Data yang terkumpul disaring, disusun dalam kategori-kategori, dan saling dihubungkan satu sama lain. Melalui proses inilah penyimpulan dibuat. Pengujian dilakukan terhadap interpretasi penjelasan sebelumnya di dalam uraian logis dan kausal untuk memperoleh bukti penguatan kesimpulan dari berbagai sumber. Validitas penelitian juga dilakukan dengan intersubjective validity (Creswell, 1998) , yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman partisipan (informan) melalui interaksi sosial yang timbal balik. 150 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Kepemimpinan transformasional kepala sekolah berbasis gender meliputi 4 hal, yaitu: (1) kegiatan, (2) akses, (3) kontrol, dan (4) manfaat. Keempat hal ini diterapkan oleh kepala sekolah SMP dalam melakukan berbagai aspek dalam kepemimpinan transformasional, antara lain: (1) menyelesaikan masalah, (2) membantu mengembangkan kepemimpinan guru, (3) membangun komitmen guru untuk perubahan, (4) menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru, (5) mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi, dan (6) memelihara keseimbangan emosi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka analisis gender dalam berbagai aspek dalam kepemimpinan transformasional kepala sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Aspek dalam menyelesaikan masalah sekolah Dalam pelaksanaan tugas sekolah, kepala sekolah berusaha memahami masalah yang dihadapi oleh guru dan karyawannya. Hal ini dilakukan dengan selalu menyediakan waktu untuk mengamati langsung, baik pada guru maupun karyawan di setiap harinya. Bila ada yang tampak tidak biasa pada sikap/perilaku guru dan karyawan biasanya langsung diajak bicara dan ditanya: “Ada masalah apa kok kelihatannya beda dengan biasanya?”. Kemudian diajak bicara untuk memecahan masalah yang dihadapi, meskipun masalahnya sangat pelik dan jarang terjadi. Kepala sekolah selalu berusaha dengan pendekatan secara kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan waktu pada saat rapat atau briefing dan juga menerima keluhan melalui facebook. Kepala sekolah merasakan manfaatnya dengan memecahkan masalah secara cepat, sehigga tugas-tugas sekolah dapat berjalan dengan lancar. Dalam memahami suatu masalah, kepala sekolah selalu menyediakan waktu untuk mengamati secara langsung, baik pada guru maupun karyawan pada setiap harinya. Bila ada yang tampak tidak biasa pada sikap/perilaku guru maupun karyawan langsung saya ajak bicara empat mata atau secara pribadi barangkali ada hal-hal lain yang berpengaruh terhadap tugas yang harus diselesaikan. Hal ini dilakukan kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan komunikasi dua arah. Kepala sekolah selalu memanfaatkan waktu saat rapat atau briefing Manfaat yang diperoleh dengan melakukan pemecahan masalah dengan cepat adalah tidak mengganggu tugas-tugas sekolah. Sebagai educator, kepala sekolah harus dapat menyadari bahwa masing-masing mempunyai masalah dan menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru dan karyawan di sekolah. Hal ini dikendalikan dengan melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber belajar untuk dapat memberikan kemudahan bagi guru dan karyawan dalam melaksanakan tugas. Kepala sekolah menciptakan iklim yang kondusif agar setiap guru dan karyawan dapat melaksanakan tugas dengan baik secara proporsional dan professional. Kepala sekolah merasakan manfaatnya karena dapat membimbing guru dan karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Kepala sekolah menyadari bahwa semua orang hidup pasti punya masalah. Jika ada masalah akan dibicarakan secara empat mata sampai masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik. Dalam pengendaliannya, kepala sekolah selalu berusaha untuk dapat berkomunikasi 151 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dua arah. ilakukan Hal ini dilakukan dengan menciptakan iklim yang kondusif agar setiap guru dan karyawan dapat melaksanakan tugas dengan baik, secara baik. Manfaat yang dirasakan yaitu terjalinya kerjasama yang sinergis, berkembangnya sikap loyal dan kekeluargaan yang baik. Dalam memahami perbedaan karakter guru dan karyawan di sekolah, kepala sekolah selalu mengamati kinerjanya, cara bicaranya, dan cara pegendalian dirinya serta cara mereka meyampakan pendapat. Hal ini dapat diatasi dengan memberi tugas, menanggapi usulan, dan memberi nasehat sesuai dengan karakter masing-masing. Namun demikian kepala sekolah selalu meyesuaikan dengan keadaan mereka karena ada diantara mereka yang cepat tanggap atau agak lamban. Oleh karena itu, hal ini dilakukan dengan berbicara secara langsung, atau melalui telepon, atau pada saat rapat dinas. Manfaat yang diperoleh dari hal ini dirasakan oleh kepala sekolah bahwa pelaksanaan tugas-tugas di sekolah menjadi nyaman dan lancar. Kepala sekolah menyadari bahwa guru dan karyawan mempunyai kesibukan yang berbeda, khususnya di rumah. Namun demikian untuk tugas-tugas di sekolah, kepala sekolah tidak pernah membeda-bedakan.Kepala sekolah mengendalikan hal ini dengan memberi tugas, menanggapi usulan, memberi nasehat sesuai dengan karakter masing-masing. Kepala sekolah melakukannya dengan berbicara secara langsung atau melalui telpon atau pada saat rapat dinas. Manfaat yang diperoleh yaitu guru dapat mengembangkan potensi sesuai dengan bidangnya secara optimal. Kepala sekolah menyadari bahwa masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga kepala sekolah harus berbeda dalam mensikapi setiap perbedaan yang ada secara bijaksana. Pengendaliannya dilakukan dengan tidak membedakan gender dalam memberikan tugas atau pekerjaan. Kepala sekolah dapat memberikan tugas sesuai dengan posisi dan kemampuan yang dimiliki. Manfaat yang diperoleh, yaitu semua potensi sekolah dapat berkembang secara optimal. Dalam memahami perbedaan karakter guru dan karyawan di sekolah, kepala sekolah menyadari masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sesuai dengan kodrat dan tanggung jawab yang harus diemban. Pengendaliannya dilakukan melalui implementasi sesuai dengan pembagian tugas dan tanggung jawab. Akses yang dapat diperoleh yaitu pemahaman secara kodrati antara laki-laki dan perempuan. Pemberian fasilitas sekolah secara terpisah antara laki-laki dan perempuan. Manfaatnya yaitu terjadi pelayanan yang sudah mengacu pada gender dan terkondisinya pemanfaatan fasilitas yang sensitif gender. Dalam menanggapi perbedaan pendapat yang dilakukan oleh guru dan karyawan, kepala sekolah menganggap bahwa perbedaan pendapat itu pasti ada dan merupakan sesuatu hal yang wajar. Namun demikian dalam pelaksanaannya, kepala sekolah selalu mengembalikan segala sesuatunya pada aturan-aturan yang berlaku dan kesepakatan yang dibuat bersama. Disamping itu kepala sekolah akan menampung dulu semua pendapat dan kemudian dipilih sesuai dengan aturan yang ada. Kepala sekolah juga mengendalikan perbedaan pendapat tersebut sesuai dengan aturan yang ada dan kesepakatan bersama. Kepala sekolah juga selalu memanfaatkan kesempatan saat rapat dinas atau brefing sekola untuk mensosialisasikan peraturan-peraturan yang harus ditaati sampai terjadi kesepakatan. Perbedaan pendapat ini akan memberikan manfaat karena pada akhirnya semua pihak dapat menerima sehingga pengelolaan pendidikan menjadi lebih mapan. Disamping itu semua pihak merasakan adanya kerjasama yang baik dalam mewujudkan visi dan misi sekolah. 152 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Perbedaan pendapat yang dilakukan oleh guru dan karyawan dianggap oleh kepala sekolah sebagai sesuatu yang pasti ada dan merupakan hal yang wajar, tetapi dalam pelaksanaannya selalu dikembalikan pada aturan-aturan yang berlaku dan kesepakatan yang dibuat bersama. Kepala sekolah juga menampung semua pendapat dan memilih pendapat tersebut sesuai dengan aturan. Dalam pengendaliannya dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dan kesepakatan bersama. Kepala sekolah selalu memanfaatkan rapat dinas dan briefing sekolah untuk mensosialisasikan peratuan yang harus ditaati. Manfaat yang dapat diperoleh yaitu perbedaan pendapat akhirnya dapat diterima dengan melakukan kerjasama yang baik dalam mewujudkan visi dan misi sekolah. Kepala sekolah selalu berusaha membuat keputusan berdasarkan mufakat yang telah dibicarakan secara bersama-sama. Pengendaliannya dilakukan dengan menghimpun gagasan bersama dan membangkitkannya untuk berfikir kreatif dalam melaksanakan tugas. Hal ini dilakukan dengan mengingatkan untuk melaksanakan tugas dan mencapai tujuan sesuai visi dan misi sekolah. Manfaat yang dapat dirasakan yaitu terjalinnya keakraban dan integritas seluruh warga sekolah. Dalam menanggapi perbedaan pendapat, kepala sekolah selalu berusaha memusyawarahkan perbedaan untuk mencapai suatu kesepakatan. Pengendaliannya dilakukan dengan mendiskusikannya bersama staf dan berkomunikasi dua arah. Akses yang dapat diperoleh yaitu melakukan briefing dengan kepala sekolah dan staf. Manfaat yang diperoleh yaitu keputusan didasarkan pada kesepakatan dan tidak sepihak. b. Aspek dalam membantu mengembangkan kepemimpinan guru Dalam mengembangkan kepemimpinan guru di sekolah, kepala sekolah menganggap bahwa kepemimpinan guru akan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi kelas masingmasing. Guru-guru harus mengembangkan kepemimpinannya melalui perubahan dari guru itu sendiri dan juga interaksi antara guru dan siswa. Kepala sekolah juga memberikan kesempatan kepada guru untuk megikuti pendidikan dan pelatihan (diklat), seminar, workshop dan penataran. Hal ini diperoleh guru melalui pembinaan dengan bentuk kegiatan pelatihan untuk pengembangan metode pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan pendidikan saat ini yaitu PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan). Kepala sekolah dapat membantunya dengan selalu memperhatikan kondisi guru-guru, mengamati dan melakukan supervisi. Disamping itu juga memberikan ijin untuk mengikuti kegiatan-kegiatan. Guru-guru juga diminta untuk menentukan mana yang lebih dibutuhkan bagi pengembangan kepemimpinannya di sekolah. Hal ini akan memberikan manfaat untuk kemajuan sekolah karena adanya perubahanperubahan yang dilakukan untuk berbagai pihak yang berkepentinga (stakeholders). Kepala sekolah menganggap guru harus mempunyai jiwa kepemimpinan yang jelas dan harus mengembangkan kepemimpinan melalui perubahan dari sesuatu yang terpusat ke guru menjadi suatu interaksi antara guru dan siswa. Kepala sekolah juga memberi kesempatan kepada guru untuk mengikuti diklat, seminar, workshop dan penataran. Kepala sekolah dapat memberikan tugas secara merata sehingga tugas tersebut dapat dilakukan dengan baik. Dalam pengendaliannya 153 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta diberikan tanggung jawab masing-masing. Hal ini akan memberikan manfaat untuk kemajuan sekolah dengan perubahan-perubahan yang dilakukan stakeholders. Kepala sekolah mempunyai persepsi bahwa seorang guru harus mempunyai jiwa pemimpin. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada semua guru untuk selalu berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan masing-masing guru diberi tanggung jawab. Untuk mengendalikannya dengan memberikan deskripsi tugas (job description) yang jelas untuk menghindari kerja yang tidak optimal. Hal ini akan memberikan manfaat karena merasakan bahwa tugas sebagai motivator dan teladan (contoh sebagai leader) dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kepala sekolah sangat mendukung dan berusaha untuk memfasilitasinya pengembangan kepemimpinan guru di sekolah. Hal ini dilakukan dengan mengikutsertakan guru pada kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), seminar dan meminta laporan pelaksanaan kegiatan tersebut. Akses yang dapat dilakukan yaitu mengikuti studi lanjut, kegiatan workshop, kegiatan MGMP. Manfaat yang dapat dirasakan yaitu guru bertambah wawasannya, dapat bersosialisasi dengan teman sejawat di sekolah lain. c. Aspek dalam membangun komitmen guru untuk perubahan sekolah Dalam membangun komitmen guru untuk perubahan sekolah, kepala sekolah mengarahkan guru dan karyawannya untuk melakukan perubahan demi masa depan sekolah yang lebih baik. Kepala sekolah juga selalu mensosialisasikan perubahan-perubahan yang ada dan mulai mengimplementasikan perubahan tersebut pada dirinya sendiri. Kepala sekolah juga memberikan suatu keteladanan tentang kepemimpinannya di sekolah. Disamping itu juga memberikan berbagai kegiatan, antara lain: workshop, pemasangan slogan di sekolah dan briefing. Kepala sekolah dapat mengendalikan komitmen guru ini dengan cara memberikan catatan secara terus menerus atas berjalannya kegiatan-kegiatan guru di sekolah. Hal ini akan memberikan manfaat bagi sekolah, yaitu kinerja guru dan karyawan menjadi lebih baik. Kepala sekolah memberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan, workshop, seminar dalam upaya melakukan perubahan demi masa depan sekolah yang lebih baik. Hal ini dilakukan oleh kepala sekolah dengan bimbingan secara berkelanjutan. Kepala sekolah mengendalikannya dengan meminta guru untuk melakukan kegiatan yang menjadi prioritasya agar semuanya dapat berjalan dengan baik. Hal ini bermanfaat bagi peningkatan kinerja sekolah. Kepala sekolah mengarahkan guru dan karyawan untuk melakukan perubahan demi masa depan sekolah yang lebih baik dengan mengirimkan secara bergiliran untuk mengikuti penataran atau workshop. Hal ini dilkendalikan dengan memberikan evaluasi kinerja secara periodik dan berkesinambungan untuk semua guru dan karyawan tanpa membedakan jenis kelamin. Kepala sekolah memperoleh akses melalui bimbingan kepada mereka untuk mencapai peningkatan kualitas kerja secara kontinu. Manfaatnya yang dapat diperoleh yaitu dapat membangkitkan jiwa inovasi artinya, sebagai kepala sekolah harus selalu tanggap terhadap perubahan untuk mencapai kemajuan. 154 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kepala sekolah mengarahkan guru dan karyawan untuk melakukan perubahan demi masa depan sekolah yang lebih baik dengan cara mengikuti studi lanjut sampai persyaratan minimal, mengikuti seminar, workshop, MGMP. Pengendaliannya dilakukan melalui pelaporan dan evaluasi dari kegiatan yang dilakukan. Akses yang dapat diperoleh yaitu program peningkatan mutu sumber daya manusia. Manfaatnya yaitu kemajuan dan peningkatan kualitas sumber daya guru. Dalam membangun visi bersama, seluruh guru dan karyawan menetapkan dan merumuskan visi sekolah bersama dengan stakeholders. Visi sekolah ini dipasang di dinding sekolah agar mudah dibaca untuk kemajuan sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah dapat melakukan sosialisasi visi sekolah dengan cara meng-upload visi itu di website sekolah, dan memajang visi itu di tempat-tempat yang strategis. Kepala sekolah dapat mengontrolnya dengan cara mengamati perubahan-perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh stakeholders sekolah. Manfaat yang diperolehnya yaitu memudahkan langkah untuk mencapai kemajuan sekolah. Dalam membangun visi bersama, kepala sekolah menetapkan dan merumuskan visi sekolah bersama warga sekolah dan sekaligus membahas kekurangan dan kelemahan secara bersama-sama. Hal ini dilakukan melalui komunikasi dua arah. Dalam mengendalikannya dilakukan evaluasi pada laporan dari setiap kegiatan. Manfaat yang diperoleh yaitu semua kegiatan berjalan sesuai dengan rencana dan semua guru dapat bekerjasama dengan baik. Dalam membangun visi bersama, kepala sekolah selalu mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan untuk terlibat dalam setiap kegiatan di sekolah secara partisipatif. Kepala sekolah mengendalikan hal ini dengan selalu mengingatkan pada visi dan misi sekolah yang harus dicapai. Akses yang dapat diraih yaitu memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama/kooperatif untuk meningkatkan profesionalisme. Hal ini bermanfaat untuk tercapainya visi dan misi sekolah yang sudah ditetapkan. Dalam membangun visi bersama, kepala sekolah melakukan dalam forum guru dengan menyampaikan visi dan misi sekolah, dan merumuskan kelemahan dan kekuatan yang ada di sekolah ini. Pengendaliannya dilakukan dengan evaluasi kegiatan dan laporan pelaksanaan kegiatan tersebut. Akses dapat diperoleh melalui rapat dinas dan komunikasi dua arah. Hal ini bermanfaat untuk mengembangkan sekolah secara bersama-sama sesuai program yang sudah ditetapkan. Kesepakatan antara kepala sekolah dengan guru dan karyawan untuk mencapai kinerja yang lebih baik mengacu pada aturan yang ada, dan mengajak semua guru dan karyawan untuk memahaminya secara bersama-sama. Hal ini dapat dilakukan kepala sekolah melalui sosialisasi, dengan bantuan internet (website), dan kegiatan workshop. Kepala sekolah dapat mengontrolnya dengan cara memberikan evaluasi setelah melakukan supervisi dan pengamatan di sekolah. Hal ini akan memberikan kemudahan dalam menyamakan persepsi. Dalam membuat kesepakatan dengan guru dan karyawan, kepala sekolah mengacu pada aturan yang ada dan mengajak guru dan karyawan bersama-sama untuk memahaminya. Hal ini dilakukan oleh kepala sekolah melalui rapat dinas, rapat staf, dan briefing. Pengendaliannya dilakukan dengan membuat catatan jalannya kegiatan di sekolah secara terus menerus. Dengan 155 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memberikan evaluasi melalui catatan kegiatan tersebu akan memberikan manfaat dalam peningkatan kinerja guru dan karyawan. Kepala sekolah mengembangkan budaya kerja dengan membuat kesepakatan bersama guru dan karyawan untuk mencapai kinerja. Dalam pengendaliannya, kepala sekolah mampu bertindak berdasarkan atas nilai dan prestasi para tenaga kependidikan. Akses yang dapat dilakukan dengan mensosialisasikan aturan yang ada dan meminta mereka untuk melaksanakannya dengan memberikan contoh melalui tindakan. Manfaat yang dirasakan yaitu selalu berusaha meningkatkan semangat dalam bekerja. Dalam membuat kesepakatan dengan guru dan karyawan untuk mencapai kinerja yang lebih baik dilakukan dengan mendiskusikan pada saat rapat dinas penyusunan program sekolah. Pengendaliannya dilakukan dengan membuat catatan secara berkesinambungan tentang penyelesaian tugas dan tanggung jawab. Akses dapat diperoleh melalui rapat dinas, rapat staf dan briefing. Manfaat yang dapat diperoleh yaitu kinerja guru dan karyawan meningkat. d. Aspek dalam menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru Dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru, kepala sekolah memberikan memotivasi untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesinya. Kepala sekolah menganggap bahwa “professional itu tidak mengenal jenis kelamin atau jabatan. Siapa saja dapat melakukannya, yang penting merka memiliki kompetensi sesuai dengan tugas yang diembannya” Untuk mewujudkan hal tersebut, kepala sekolah selalu mengadakan pembinaan dan sosialisasi. Kepala sekolah dapat mengontrolnya dengan cara memberikan supervisi, pengamatan, dan evaluasi di sekolah. Dengan demikian hal ini akan memberikan manfaat, yaitu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kepala sekolah mengatakan bahwa professional itu tidak mengenal jenis kelamin. Oleh karena itu guru dan karyawan, baik laki-laki maupun perempuan perlu mengikuti workshop,diklat dan seminar. Hal ini dilakukan melalui latihan di sekolah. Pengendaliannya dilakukan dengan mengikutsertakan bagi yang belum pernah ikut sama sekali. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di sekolah dengan baik, antara lain penggunaan LCD. Kepala sekolah mengikutsertakan guru dan karyawan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesinya melalui penataran untuk menambah wawasan dan ketrampilan. Pengendaliannya dilakukan dengan tidak menggangu jalannya kegiatan pembelajaran. Akses yang dilakukan yaitu mendorong belajar ke pendidikan yang lebih tinggi, dan mencarikan informasi kegiatan seminar, lokakarya dan lain lain. Manfaat yang dapat dirasakan yaitu selalu berusaha mengupdate pengetahuan dan keterampilan. Dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesinya, kepala sekolah mengikutsertakan guru dan karyawan dalam forum ilmiah sesuai bidangnya sehingga dapat menambah wawasan dan keterampilan. Disamping itu kepala sekolah mendorong guru dan karyawan untuk mengikuti kemajuan Ipteks melalui pemanfaatan teknologi informasi. 156 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengendaliannya dilakukan dengan melihat dari keberesan penyelesaian tugas yang dibebankan dan kegiatan harian. Akses yang dapat dilakukan yaitu mendorong belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mencarikan informasi dalam berbagai kegiatan yang bisa diikuti, seperti seminar, lokakarya dan sebagainya. Manfaat yang dapat diperoleh yaitu peningkatan kompetensi professional guru. e. Aspek dalam mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi Kepala sekolah selalu merasakan mempunyai kewajiban untuk memberikan contoh dalam pembelajaran yang tepat waktu dengan menggunakan pendekatan PAIKEM. Disamping itu kepala sekolah menganjurkan dan memberikan dorongan kepada guru dan karyawan untuk melakukan pembelajaran dalam kelompok atau organisasi sekolah demi kemajuan sekolah. Hal ini dilakukan dengan membentuk MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) di sekolah dan mengatur tempat duduk guru sesuai dengan mata pelajarannya (Mapel) agar supaya dapat berdiskusi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pembelajaran pada mata pelajarannya. Kepala sekolah dapat mengontrolnya dengan cara memberikan evaluasi, supervisi, dan pengamatan di sekolah. Hal ini akan memberikan manfaat, berupa terbangunnya komitmen pembelajaran kelompok yang dinamis di sekolah. Kepala sekolah selalu merasa punya kewajiban untuk memberi contoh dalam pembelajaran tepat waktu, memberikan dorongan kepada guru untuk melakukan pembelajaran dalam kelompok Kepala sekolah mengikutsertakan mereka dalam kegiatan yang diprogramkan sekolah untuk memotivasi guru dan kayawan dalam melakukan pembelajaran kelompok maupun organisasi sekolah. Pengendaliannya dilakukan dengan melakukan evaluasi kerja. Akses yang dapat diperoleh yaitu melakukan pengkoordinasian tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tugas. Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan peran sebagai motivator. Kepala sekolah memberikan motivasi kepada guru dan kayawan untuk melakukan pembelajaran kelompok maupun organisasi sekolah melalui pemberian tugas secara bergantian pada pelaksanaan kegiatan yang diprogramkam oleh sekolah dan dalam pelaksanaannya dilakukan team teaching. Pengendaliannya dilakukan melalui evaluasi pelaksanaan tugas secara rutin, laporan dari setiap guru dan karyawan tentang tugas yang dibebankan. Akses dapat dilakukan melalui kegiatan sekolah selama satu tahun. Hal ini memberikan manfaat karena pembelajaran berkelompok dapat terkembangkan. Disamping itu guru dan karyawan juga memperoleh pengalaman berorganisasi. f. Aspek dalam memelihara keseimbangan emosi Kepala sekolah menciptakan suasana kerja bagi guru dan karyawan sehingga terjadi keharmonisan dalam organisasi sekolah melalui berbagai kegiatan, yaitu: pembinaan keagamaan secara rutin, pembinaan keprofesionalan, pelatihan outbound. Kepala sekolah memberikan hal ini melalui ceramah keagamaan untuk dapat saling mengingatkan akan kejujuran, saling menghormati. dan melalui pembinaan keprofesionalan untuk meningkatkan komitmen dalam bekerja, serta 157 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta melalui pelatihan outbound untuk meningkatkan dan membangun kerjasama. Kepala sekolah dapat mengontrolnya dengan selalu melakukan pengawasan, dan melakukan supervisi dan evaluasi untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Hal ini akan bermanfaat dalam menjadikan kondisi lembaga sekolah yang semakin harmonis. Kepala sekolah memperlakukan dan memberi tugas kepada guru atau karyawan sesuai dengan porsinya, sehingga mereka tidak merasa ada yang dilebihkan atau dianaktirikan. Kepala sekolah melakukannya dengan menumbuhkan sikap kebersamaan, peduli kepada sesama dan tanggap terhadap lingkungan sekolah. Pengendaliannya dilakukan dengan berusaha menciptakan suasana yang kondusif di lingkungan kerja. Dengan demikian kepala sekolah merasakan manfaat dengan apa yang sudah dilakukan sehingga kondisi lembaga sekolah menjadi kondusif dan terasa nyaman. Kepala sekolah dapat mengendalikan konflik yang ada dan dapat memanfaatkannya untuk kemajuan organisasi sekolah. Pengendaliannya dilakukan dengan menciptakan suasana yang kondusif dengan menggunakan moto “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Akses yang diperoleh bahwa sebagai kepala sekolah memang harus jujur, berwibawa dan transparan. Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan person sebagai leader. Dalam menciptakan keharmonisan organisasi sekolah, kepala sekolah senantisa selalu menanamkan sikap loyal, kebersamaan, kekeluargaan dan peduli sesama dan peduli pada lingkungan. Pengendaliannya dilakukan dengan pemberian tugas secara teamwork dan perilaku sehari hari. Akses dilakukan melalui rapat-rapat dan briefing. Manfaat yang diperoleh yaitu organisasi sekolah terkodisikan secara kondusif, nyaman, tenteram dan damai. Berdasarkan hasil analisis data juga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam keenam dimensi kemampuan kepemimpinan tranformasional kepala sekolah pria dan wanita SMP di Kodya Yogyakarta yang meliputi: (1) Kemampuan menyelesaikan masalah, (2) Kemampuan membantu mengembangkan kepemimpinan guru, (3) Kemampuan membangun komitmen guru untuk perubahan, (4) Kemampuan menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru, (5) Kemampuan mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi, dan (6) Kemampuan memelihara keseimbangan emosi. Disamping itu hasil analisis data lainnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dua dimensi kemampuan kepemimpinan tranformasional kepala sekolah SMP di Kodya Yogyakarta antara kepala sekolah dengan tingkat pendidikan S1 dan S2, yang meliputi: Kemampuan menyelesaikan masalah, dan Kemampuan memelihara keseimbangan emosi. Sementara itu dalam kemampuan membantu mengembangkan kepemimpinan guru; kemampuan membangun komitmen guru untuk perubahan; kemampuan menciptakan suatu kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan ketrampilan profesional guru, dan kemampuan mengembangkan kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi tidak terdapat perbedaan yang berarti antara kepala sekolah SMP di Kodya Yogyakarta yang berpendidikan S1 maupun kepala sekolah yang berpendidikan S2. 158 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Faktor-Faktor Pendukung Dalam pembentukan kepemimpinan transformasional kepala sekolah berbasis gender dapat diidentifikasi faktor faktor pendukungnya, yaitu: (1) Dukungan keluarga, khususnya suami sebagai seorang guru, (2) Fasilitas sekolah yang memadai, (3) Kebersamaan sumber daya manusia, (4) Lokasi sekolah yang strategis, dan (5) Kerjasama yang baik antar kepala sekolah, guru, dan karyawan. 3. Faktor-Faktor Penghambat Dalam pembentukan kepemimpinan transformasional kepala sekolah berbasis gender dapat diidentifikasi faktor faktor penghambatnya, yaitu: (1) Kesibukan sebagai ibu rumah tangga, namun pembantu yang sudah lama ikut cukup bisa membereskan pekerjaan rumah tangga, (2) Harus betul-betul bisa mengatur waktu karena anak-anak masih butuh perhatian, (3) Sumber daya manusia yang sudah berusia agak susah mengikuti kemajuan, (4) Karakter sumber daya manusia yang berbeda-beda, (4) Guru yang sudah usia agak sulit mengikuti kemajuan teknologi. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP meliputi strategi dalam menyelesaikan masalah, membantu perkembangan guru, mengembangkan komitmen guru untuk perubahan, menciptakan kondisi untuk pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan professional, kepemimpinan untuk pembelajaran organisasi dan memelihara keseimbangan emosi yang ditinjau dari kegiatan yang dilakukan, akses yang bisa ditempuh, cara mengendalikan dan manfaat yang dirasakan. Faktor–faktor pendukung kepala sekolah laki-laki dalam mewujudkan kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP adalah fasilitas sekolah yang memadai, letak sekolah yang stategis, komitmen yang tinggi dari guru dan karyawan dan cara memanfaatkannya dengan mengoptimalkan kelebihan yang ada dan memberi dorongan untuk maju pada guru dan karyawan, dukungan keluarga, komitmen guru dan karyawan dalam melaksanakan tugas sekolah. Faktor-faktor penghambat kepala sekolah laki-laki dalam mewujudkan Kepemimpinan transformasional berbasis gender di SMP adalah adanya perbedaan karakter antar guru dan karyawan dan cara mengatasinya dengan memahami adanya perbedaan tersebut dan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, adanya perbedaan karakter baik guru dan karyawan. DAFTAR PUSTAKA Alfadioni dan Fathul, (2005), Ibu dan Karir: Kajian Fenomenologi terhadap Dual-Career Family, Jurnal Psikologi, Vol 32, No1, Yogyakarta: UGM Bhatnagar,D, (2001), Attitudes Towards Work and Family Roles and Their Implication for Career Growth of Women: A.Report from India. 159 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Crawford M., Kydd, L., dan Riches C., 2005. Leadership and Teams in Educational Management. Terjemahan: Kepemimpinan dan Kerjasama Tim di dalam Manajemen Kependidikan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Creswell,J.W., (1998), Qualitative Inquiry and Research Design; Chosing among five traditions. Thousand Oaks, Sage Publications. Fakih, M., (1996), Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Gunter, Helen M. 2002. Leaders and Leadership in Education. London, A SAGE Publications Company. John Hall, et.al. 2002. Transformational Leadership: The Transformation of Managers and Associates. on line : www.edis.ifas.ufl.edu. Robbins, Stephen P. dan Judge, Timothy A. 2009. Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education Inc. Sudrajat, Akhmad, Tujuh Puluh Persen Kepala Sekolah Tidak Kompeten, http://www. tempointeraktif.com/hg/pendidikan/ 2008/08/12/ brk, 20080812-130482,id.html, 1(12 Agustus 2008). ------------------------, Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah,http://www.Tempointeraktif. com/hg/pendidikan/ 2008/08/12/ brk, 20080812-130548,id.html, 1(15 April 2008). 160 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KARAKTERISTIK PERANGKAT TES SELEKSI MANDIRI UNY TAHUN 2010/2011 Amat Jaedun, Heri Retnowati dan Badrun Kartowagiran Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui karakteristik perangkat tes yang digunakan dalam seleksi masuk UNY yang ditinjau berdasarkan pada teori respons butir, yang meliputi: daya pembeda, tingkat kesukaran, dan fungsi informasi) butir-butir penyusunnya; dan (2) mengetahui besarnya kesalahan pengukuran perangkat tes yang digunakan dalam seleksi masuk UNY berdasarkan teori respons butir. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan perangkat tes seleksi yang berkualitas, sehingga obyektif dan adil. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatifdeskriptif eksploratif dengan metode penelitian kasus, karena mendeskripsikan karakteristik perangkat tes seleksi mandiri masuk UNY dan tidak digeneralisasikan. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa jawaban/respons calon mahasiswa baru yang mengikuti seleksi masuk UNY melalui jalur seleksi mandiri (SM) UNY tahun akademik 2010/2011. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, dengan cara mengutip respons calon mahasiswa terhadap perangkat tes seleksi masuk UNY, melalui jalur seleksi mandiri. Analisis untuk menentukan karakteristik butir perangkat tes seleksi mandiri UNY dilakukan dengan pendekatan teori respons butir model logistik tiga parameter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Karakteristik perangkat tes seleksi masuk UNY ditinjau berdasarkan pada teori respons butir (yang meliputi: daya pembeda, tingkat kesukaran, dan fungsi informasi) butir-butir penyusunnya berada pada kategori baik, untuk perangkat tes bakat akademik (TBA), tes bahasa Inggris, tes IPA dan tes IPS, dan (2) Kesalahan pengukuran perangkat tes yang digunakan dalam seleksi masuk UNYuntuk perangkat tes bakat akademik (TBA), tes bahasa Inggris, tes IPA dan tes IPS cukup kecil, sehingga tepat digunakan untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa baru UNY. Kata Kunci : Karakteristik Tes SM UNY Pendahuluan Terkait dengan keterbatasan kuota peserta didik yang dapat dibina di Universitas Negeri Yogyakarta, maka perlu dilaksanakan seleksi bagi calon mahasiswa yang berminat menimba ilmu di UNY. Agar pelaksanaan seleksi tetap berasaskan objektivitas, transparansi, akuntabilitas dan tidak diskriminatif, maka diperlukan suatu perangkat tes seleksi yang baik. Tes seleksi masuk menentukan nasib calon peserta didik, yaitu diterima tidaknya seorang siswa pada suatu lembaga pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, ma ka perangkat tes seleksi, yang berupa butir-butir soal seleksi, harus berkualitas, harus memiliki daya beda yang besar untuk membedakan siswa yang berpotensi dan siswa yang kurang berpotensi. Selain itu, tes seleksi juga harus memiliki daya prediksi, sehingga dapat memprediksikan keberhasilan mahasiswa di masa yang akan datang. Kualitas tes ini juga berkaitan dengan kemampuan tes untuk mengestimasi potensi yang dimiliki siswa, karena tes seleksi ini diharapkan dapat digunakan untuk memilih siswa-siswa yang berkualitas. Dengan dipilihnya siswa yang berkualitas, maka diharapkan akan dapat dicapai kualitas pendidikan yang baik 161 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dalam suatu lembaga pendidikan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Begle (1979), bahwa kualitas calon siswa merupakan unsur yang menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Sistem seleksi masuk bagi calon mahasiswa UNY dilakukan baik melalui jalur SNMPTN maupun jalur mandiri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan informasi tentang pelaksanaan program seleksi masuk UNY, khususnya jalur mandiri, sehingga dapat melakukan perbaikan kebijakan dalam pelaksanan seleksi yang berkualitas. Selain itu, dengan adanya informasi tentang kualitas perangkat tes, akan membantu pengembang perangkat tes untuk dapat memperbaiki soal-soal tes, sehingga diperoleh perangkat tes yang berkualitas. Dengan adanya perangkat tes yang berkualitas tersebut, maka akan diperoleh calon-calon mahasiswa sebagai hasil seleksi yang memenuhi kriteria seperti yang diharapkan. Terkait dengan pelaksanaan seleksi yang harus tetap berasaskan objektivitas, transparansi, akuntabilitas dan tidak diskriminatif, diperlukan suatu perangkat tes seleksi yang adil, yang tidak memihak pada suatu kelompok siswa tertentu. Berkaitan dengan hal di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik perangkat tes seleksi masuk UNY melalui jalur mandiri untuk menjamin diperolehnya calon mahasiswa yang berkualitas dan yang berhak menimba ilmu di UNY. Permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik perangkat tes yang digunakan dalam program seleksi mandiri masuk Universitas Negeri Yogyakarta yang didasarkan pada teori respons butir (yang meliputi: daya pembeda, tingkat kesukaran, dan fungsi informasi) butir-butir penyusunnya? 2. Seberapa besar kesalahan pengukuran perangkat tes yang digunakan dalam program seleksi masuk UNY yang didasarkan pada teori respons butir? Teori Respons Butir Pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu tes selain menggunakan teori tes klasik juga dapat dilakukan dengan pendekatan teori respons butir. Pendekatan teori respon butir ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan pendekatan klasik. Pendekatan teori tes klasik memiliki beberapa kelemahan. Keterbatasan pada teori tes klasik adalah adanya sifat group dependent dan item dependent (Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 2-5), juga indeks daya pembeda, koefisien validitas, koefisien reliabilitas skor tes juga tergantung kepada peserta tes yang mengerjakan tes tersebut. Group dependent artinya hasil pengukuran tergantung pada kemampuan kelompok peserta yang mengerjakan tes. Jika tes diujikan kepada kelompok peserta dengan kemampuan tinggi, tingkat kesulitan butir soal akan rendah. Sebaliknya jika tes diujikan kepada kelompok peserta dengan kemampuan rendah, tingkat kesulitan butir soal akan tinggi. Item dependent artinya hasil pengukuran tergantung pada tes mana yang diujikan. Jika tes yang diujikan mempunyai tingkat kesulitan tinggi, estimasi kemampuan peserta tes akan rendah. Sebaliknya jika tes yang diujikan mempunyai tingkat kesulitan rendah, estimasi kemampuan peserta tes akan tinggi. 162 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Asumsi-asumsi teori respons butir Dalam teori respons butir, model matematisnya mempunyai makna bahwa probabilitas subjek untuk menjawab butir dengan benar tergantung pada kemampuan subjek dan karakteristik butir. Ini berarti bahwa peserta tes dengan kemampuan tinggi akan mempunyai probabilitas menjawab benar lebih besar jika dibandingkan dengan peserta yang mempunyai kemampuan rendah. Hambleton & Swaminathan (1985: 16) dan Hambleton, Swaminathan, & Rogers (1991: 9) menyatakan bahwa ada tiga asumsi yang mendasari teori respon butir, yaitu unidimensi, independensi lokal dan invariansi parameter. Unidimensi, artinya setiap butir tes hanya mengukur satu kemampuan. Contohnya, pada tes prestasi belajar bidang studi matematika, butir-butir yang termuat di dalamnya hanya mengukur kemampuan siswa dalam bidang studi matematika saja, bukan bidang yang lainnya. Pada praktiknya, asumsi unidimensi tidak dapat dipenuhi secara ketat karena adanya faktor-faktor kognitif, kepribadian dan faktor-faktor pelaksanaan tes, seperti kecemasan, motivasi, dan tendensi untuk menebak. Oleh karena itu, asumsi unidimensi dapat ditunjukkan hanya jika tes mengandung satu saja komponen dominan yang mengukur prestasi subjek. Pada teori respons butir, hubungan antara kemampuan peserta dan skor tes yang dicapai dinyatakan dengan kurva yang tidak linear. Jika faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi konstan, maka respons subjek terhadap pasangan butir yang manapun akan independen secara statistik satu sama lain. Kondisi ini disebut dengan independensi lokal. Asumsi independensi lokal ini akan terpenuhi apabila jawaban peserta terhadap suatu butir soal tidak mempengaruhi jawaban peserta terhadap terhadap butir soal yang lain. Tes untuk memenuhi asumsi independensi lokal dapat dilakukan dengan membuktikan bahwa peluang dari pola jawaban setiap peserta tes sama dengan hasil kali peluang jawaban peserta tes pada setiap butir soal. Invariansi parameter artinya bahwa karakteristik butir soal tidak tergantung pada distribusi parameter kemampuan peserta tes dan parameter yang menjadi ciri peserta tes tidak bergantung dari ciri butir soal. Kemampuan seseorang tidak akan berubah hanya karena mengerjakan tes yang berbeda tingkat kesulitannya dan parameter butir tes tidak akan berubah hanya karena diujikan pada kelompok peserta tes yang berbeda tingkat kemampuannya. Model Logistik Tiga Parameter Ada tiga model logistik dalam teori respons butir, yaitu model logistik satu parameter, model logistik dua parameter, dan model logistik tiga parameter. Perbedaan dari ketiga model tersebut terletak pada banyaknya parameter yang digunakan dalam menggambarkan karakteristik butir dalam model yang digunakan. Parameter-parameter yang digunakan tersebut adalah indeks kesukaran, indeks daya beda butir dan indeks tebakan semu (pseudoguessing). Dengan adanya indeks tebakan semu pada model logistik tiga parameter, memungkinkan subjek yang memiliki kemampuan rendah mempunyai peluang untuk menjawab butir soal dengan benar. Secara matematis, model logistik tiga parameter dinyatakan sebagai berikut (Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 17). P i ( ) = ci + (1-ci) e Da i (  b i ) 1 e Da i (  b i ) 163 …….………… (14) Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Keterangan :  : tingkat kemampuan peserta tes P i ( ) : probabilitas peserta tes yang memiliki kemampuan  dapat menjawab butir i dengan benar ai bi ci : indeks daya pembeda : indeks kesukaran butir ke-i : indeks tebakan semu butir ke-i n : bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718 : banyaknya butir dalam tes D : faktor penskalaan yang harganya 1,7. e Nilai kemampuan peserta () terletak di antara –3 dan +3, sesuai dengan daerah asal distribusi normal. Pernyataan ini merupakan asumsi yang mendasari besar nilai bi. Secara teoretis, nilai bi terletak di   dan +  . Suatu butir dikatakan baik jika nilai ini berkisar antara – 2 dan +2 (Hambleton & Swaminathan, 1985: 107). Jika nilai bi mendekati –2, maka indeks kesukaran butir sangat rendah, sedangkan jika nilai bi mendekati +2 maka indeks kesukaran butir sangat tinggi untuk suatu kelompok peserta tes. Peluang menjawab benar pada saat kemampuan peserta tes sangat rendah dilambangkan dengan ci, yang disebut dengan tebakan semu (pseudoguessing). Parameter ini merupakan suatu kemungkinan asimtot bawah yang tidak nol (nonzero lower asymtote) pada kurva karakteristik butir (ICC). Parameter ini menggambarkan probabilitas peserta dengan kemampu-an rendah menjawab dengan benar pada suatu butir yang mempunyai indeks kesukaran yang tidak sesuai dengan kemampuan peserta tersebut. Besarnya harga ci diasumsikan lebih kecil daripada nilai yang akan dihasilkan jika peserta tes menebak secara acak jawaban pada suatu butir. Fungsi Informasi Butir dan Tes Fungsi informasi butir (item information functions) merupakan suatu metode untuk menjelaskan kekuatan suatu butir pada perangkat soal dan menyatakan kekuatan atau sumbangan butir soal dalam mengungkap kemampuan laten (latent trait) yang diukur dengan tes tersebut. Dengan fungsi informasi butir diketahui butir mana yang cocok dengan model sehingga membantu dalam seleksi butir soal. Secara matematis, fungsi informasi butir didefinisikan sebagai berikut. Ii () = P ' i ( )  2 Pi ( ) Q i ( ) …………………………………………… (15) keterangan : i : 1,2,3,…,n Ii () : fungsi informasi butir ke-i P i ( ) : peluang peserta dengan kemampuan  menjawab benar butir i P'i () : turunan fungsi Pi () terhadap  Qi () : peluang peserta dengan kemampuan  menjawab salah butir i 164 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Fungsi informasi butir untuk model logistik tiga parameter dinyatakan oleh Birnbaum (Hambleton & Swaminathan, 1985: 107) dalam persamaan berikut. 2 2 , 89 a i (1  c i ) Ii () =  ( c i  exp( Da i (   b i ))  1 exp(  Da i (   b i )  2 ….….(16) Keterangan : Ii () : fungsi informasi butir i  : tingkat kemampuan subjek : parameter daya beda dari butir ke-i : parameter indeks kesukaran butir ke-i : indeks tebakan semu (pseudoguessing) butir ke-i : bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718 ai bi ci e Berdasarkan persamaan fungsi informasi di atas, maka fungsi informasi memenuhi sifat: (1) pada respons butir model logistik, fungsi informasi butir mendekati maksimal ketika nilai bi mendekati . Pada model logistik tiga parameter nilai maksimal dicapai ketika  terletak sedikit di atas bi dan indeks tebakan semu butir menurun; (2) fungsi informasi secara keseluruhan meningkat jika parameter daya beda meningkat. Fungsi informasi tes merupakan jumlah dari fungsi informasi butir-butir tes tersebut (Hambleton & Swaminathan, 1985: 94). Berkaitan dengan hal ini, nilai fungsi informasi perangkat tes akan tinggi jika butir-butir penyusun tes mempunyai fungsi informasi yang tinggi pula. Fungsi informasi perangkat tes (I()) secara matematis dapat didefinisikan sebagai berikut. I ( ) = n  I i ( ) ……………………………………………….. (17) i 1 Nilai-nilai indeks parameter butir dan kemampuan peserta merupakan hasil estimasi. Karena merupakan hasil estimasi, maka kebenarannya bersifat probabilistik dan tidak terlepaskan dengan kesalahan pengukuran. Dalam teori respons butir, kesalahan pengukuran standar (Standard Error of Measurement, SEM) berkaitan erat dengan fungsi informasi. Fungsi informasi dengan SEM mempunyai hubungan yang berbanding terbalik kuadratik, semakin besar fungsi informasi maka SEM semakin kecil atau sebaliknya (Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991, 94). Jika nilai fungsi informasi dinyatakan dengan Ii(  ) dan nilai estimasi SEM  dinyatakan dengan SEM (  ), maka hubungan keduanya, menurut Hambleton, Swaminathan, & Rogers (1991 : 94) dinyatakan dengan ^ SEM ( )  1 I ( ) …………………………………………… (18) Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif-deskriptif eksploratif dengan metode penelitian kasus, karena mendeskripsikan karakteristik perangkat tes seleksi mandiri masuk UNY dan tidak untuk digeneralisasikan. Data utama yang digunakan dalam 165 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penelitian ini berupa jawaban/respons calon mahasiswa baru yang mengikuti seleksi masuk UNY melalui jalur seleksi mandiri (SM) UNY tahun akademik 2010/2011. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, dengan cara mengutip respons calon mahasiswa terhadap perangkat tes seleksi masuk UNY melalui jalur seleksi mandiri. Analisis untuk menentukan karakteristik butir perangkat tes seleksi mandiri UNY dilakukan dengan pendekatan teori respons butir model logistik tiga parameter. Hasil Penelitian dan Pembahasan Ujian masuk UNY tahun akademik 2011/2012 melalui jalur seleksi mandiri (SM-UNY), meliputi: tes bakat akademik (TBA), tes bahasa Inggris, tes kemampuan IPA, dan atau tes kemampuan IPS. Tes bakat akademik (TBA), dan tes bahasa Inggris, merupakan tes kemampuan dasar yang wajib ditempuh baik oleh mahasiswa yang memilih program studi kelompok IPA maupun IPS. Tes kemampuan IPA, wajib ditempuh oleh calon mahasiswa yang memilih program studi kelompok IPA, sedangkan tes kemampuan IPS wajib ditempuh oleh calon mahasiswa yang memilih program studi kelompok IPS. Untuk mengetahui kualitas butir masing-masing perangkat tes tersebut, maka perlu dilakukan analisis. Analisis butir tes yang dilakukan meliputi analisis tingkat kesukaran dan daya beda dengan pendekatan teori respon butir. Analisis tingkat kesukaran dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaran butir soal tertentu. Analisis daya beda dilakukan untuk mengetahui keberfungsian butir soal dalam membedakan kelompok dalam aspek yang diukur sesuai dengan perbedaan pada kelompok tersebut. Dengan kata lain, analisis daya beda bertujuan untuk melihat kemampuan butir soal membedakan peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah. Menurut Hambleton & Swaminathan (1985:36), suatu butir soal dikatakan baik jika nilai daya beda berada pada interval (0, dan 2) dan dengan tingkat kesukaran butir berada pada interval (+2, dan -2). Jika tingkat kesukaran butir berada di bawah - 2, maka butir soal tersebut dikategorikan sukar dan jika tingkat kesukarannya berada di atas +2 butir soal tersebut dikategorikan soal yang mudah. Tingkat kesukaran butir soal berkaitan erat dengan indeks daya bedanya. Butir-butir soal yang terlalu mudah atau terlalu sukar, akan memiliki daya beda yang rendah, sedangkan butir-butir soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang, akan memiliki daya beda yang baik (tinggi). 1. Tes Bakat Akademik a. Tingkat Kesukaran Butir Perangkat tes bakat akademik Seleksi Mandiri masuk UNY tahun 2011 terdiri atas 130 butir soal. Berdasar hasil analisis dengan program Bilog fase I, butir nomor 112 dan 126 dinyatakan didrop. Hal ini dikarenakan kedua butir tersebut memiliki korelasi biserial kurang dari - 0,15. Hasil analisis dengan pendekatan teori respon butir dengan menggunakan program Bilog fase II terhadap 128 butir soal tersisa menunjukkan bahwa dari 128 butir yang dianalisis dengan program BILOG pada fase dua, terdapat 10 butir yang terkategori sukar, 75 butir yang terkategori sedang, dan 43 butir yang terkategori mudah. Secara rata-rata, tingkat kesukaran perangkat tes bakat akademik seleksi mandiri masuk UNY tahun 2011 adalah sebesar 2,303 (soal terkategori mudah), karena memiliki tingkat kesukaran rata-rata > +2), dengan standar deviasi sebesar 5,375. 166 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Daya pembeda Hasil analisis daya pembeda dengan pendekatan teori respon butir dengan menggunakan program Bilog fase kedua menunjukkan bahwa dari 128 butir yang dianalisis, seluruhnya terkategori baik, yaitu memiliki indeks daya beda antara 0 dan +2. Hal ini berarti bahwa semua butir tes bakat akademik tersebut mampu membedakan testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang berkemampuan rendah. Adapun rata-rata daya beda butir soal tes bakat akademik adalah sebesar 0,396 dengan standar deviasi sebesar 0,277. Berdasarkan hasil analisis butir terhadap perangkat tes bakat akademik, dapat disimpulkan bahwa perangkat tes bakat akademik yang telah disusun memiliki kualitas yang baik, karena memiliki indeks kesukaran butir yang sedang, dengan indeks daya beda yang baik. 2. Tes Kemampuan Bahasa Inggris a. Tingkat kesukaran butir Perangkat tes kemampuan bahasa Inggris Seleksi Mandiri masuk UNY tahun 2011 terdiri atas 35 butir. Hasil analisis mengenai tingkat kesukaran butir soal menunjukkan bahwa dari 35 butir tes kemampuan bahasa Inggris yang dianalisis dengan program Bilog fase dua, terdapat 19 butir yang terkategori mudah, 16 butir terkategori sedang, dan tidak ada butir soal yang terkategori sukar. Secara rata-rata tingkat kesukaran perangkat tes bahasa Inggris seleksi mandiri Masuk UNY tahun 2011 adalah sebesar 4,715 (soal terkategori mudah, karena memiliki indeks kesukaran > +2), dengan standar deviasi sebesar 5,393. b. Daya Pembeda Hasil analisis daya pembeda butir soal pada perangkat tes kemampuan bahasa Inggris Seleksi Mandiri Masuk UNY tahun 2011 dengan pendekatan teori respon butir program Bilog fase kedua menunjukkan bahwa dari 35 butir soal tes kemampuan bahasa Inggris yang telah disusun seluruhnya terkategori baik, karena memiliki indeks daya pembeda antara 0 dan +2. Hal ini berarti bahwa seluruh butir tes kemampuan bahasa Inggris mampu membedakan antara testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang berkemampuan rendah. Rata-rata daya beda butir soal adalah sebesar 0,326 dengan standar deviasi sebesar 0,235. Berdasarkan hasil analisis butir terhadap perangkat tes kemampuan bahasa Inggris di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat tes kemampuan bahasa Inggris yang telah disusun memiliki kualitas yang baik, karena memiliki indeks kesukaran butir yang sedang, dengan indeks daya beda yang baik pula. 3. Tes Kemampuan IPA a. Tingkat kesukaran butir Perangkat tes kemampuan IPA Ujian Masuk UNY melalui jalur Seleksi Mandiri tahun 2011 terdiri atas 40 butir. Informasi mengenai tingkat kesukaran butir soal menunjukkan bahwa dari 40 butir soal tes kemampuan IPA yang dianalisis, 1 butir (yaitu butir nomor 21) terkategori sukar, 19 butir terkategori sedang, dan 20 butir terkategori mudah. Rata-rata tingkat kesukaran perangkat tes kemampuan IPA Ujian Masuk UNY melalui jalur Seleksi Mandiri tahun 2011 adalah sebesar 2,076 167 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta (soal terkategori mudah, karena memiliki tingkat kesukaran > +2) dengan standar deviasi sebesar 1,829. b. Daya pembeda Hasil analisis daya pembeda butir soal terhadap perangkat tes kemampuan IPA Ujian Masuk UNY tahun 2011 melalui jalur Seleksi Mandiri dengan pendekatan teori respon butir program Bilog fase kedua menunjukkan bahwa dari 40 butir tes kemampuan IPA Ujian masuk UNY melalui jalur Seleksi Mandiri, seluruhnya terkategori baik, karena memiliki indeks daya beda antara 0 dan +2. Hal ini berarti bahwa semua butir soal tes kemampuan IPA tersebut mampu membedakan testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang berkemampuan rendah. Adapun rata-rata daya beda butir soal kemampuan IPA adalah sebesar 0,312 dengan standar deviasi sebesar 0,180. Berdasarkan hasil analisis butir terhadap perangkat tes kemampuan IPA di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat tes kemampuan IPA yang telah disusun memiliki kualitas yang baik, karena memiliki indeks kesukaran butir yang sedang, dengan indeks daya beda yang baik pula. 4. a. Tes Kemampuan IPS Tingkat kesukaran butir Perangkat tes kemampuan IPS Ujian Masuk UNY tahun 2011 melalui jalur Seleksi Mandiri terdiri atas 38 butir soal. Berdasar hasil analisis dengan program Bilog fase I, terdapat 6 butir (butir no 5,9,17,22,25,27) yang di-drop. Hal ini dikarenakan keenam butir tersebut memiliki korelasi biserial kurang dari - 0,15. Dari sebanyak 32 butir yang tersisa selanjutnya dianalisis dengan program Bilog fase II. Informasi mengenai tingkat kesukaran butir soal menunjukkan bahwa dari 32 butir soal kemampuan IPS yang dianalisis dengan program Bilog fase II, terdapat 2 butir (butir nomor 7, 36) yang terkategori sukar, 17 butir terkategori sedang, dan 13 butir yang terkategori mudah. Rata-rata tingkat kesukaran perangkat butir tes kemampuan IPS Ujian masuk UNY 2011 melalui jalur Seleksi mandiri adalah sebesar 1,699 (terkategori sedang), dengan standar deviasi sebesar 3,037. b. Daya pembeda Hasil analisis daya pembeda butir soal terhadap perangkat tes kemampuan IPS Ujian Masuk UNY tahun 2011 melalui jalur Seleksi Mandiri dengan pendekatan teori respon butir program Bilog fase kedua menunjukkan bahwa dari 32 butir tes kemampuan IPS Ujian masuk UNY tahun 2011, seluruhnya terkategori baik, karena memiliki indeks daya beda antara 0 dan +2. Hal ini berarti bahwa semua butir soal kemampuan IPS tersebut mampu membedakan testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang berkemampuan rendah. Adapun rata-rata daya beda butir soal adalah sebesar 0,284 dengan standar deviasi sebesar 0,110. Berdasarkan hasil analisis butir terhadap perangkat tes kemampuan IPS di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat tes kemampuan IPS yang telah disusun memiliki kualitas yang baik, karena memiliki indeks kesukaran butir yang sedang, dengan indeks daya beda yang baik pula. 5. Fungsi Informasi Butir Fungsi informasi butir (item information functions) merupakan suatu metode untuk menjelaskan kekuatan suatu butir pada perangkat tes, dan menyatakan kekuatan atau sumbangan 168 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta butir tes dalam mengungkap kemampuan laten (latent trait) yang diukur dengan tes tersebut. Dengan fungsi informasi butir akan diketahui butir mana yang cocok dengan model sehingga membantu dalam seleksi butir soal. Fungsi informasi tes merupakan jumlah dari fungsi informasi butir-butir tes tersebut (Hambleton & Swaminathan, 1985: 94). Berkaitan dengan hal tersebut, maka nilai fungsi informasi perangkat tes akan tinggi jika butir-butir penyusun tes mempunyai fungsi informasi yang tinggi pula. Berdasarkan analisis data, diperoleh bahwa nilai fungsi informasi tes kemampuan Bahasa Inggris adalah sebesar 23,11 yang nilainya akan maksimum pada skala kemampuan sekitar 0 dengan kesalahan pengukuran sebesar 0,208. Berdasarkan grafik di halaman berikut dapat diperoleh pula bahwa perpotongan antara kurva nilai fungsi informasi (NFI) dan kesalahan pengukuran (SEM) pada skala kemampuan adalah berkisar antara - 3,0 dan 3,0. Hal ini menunjukkan bahwa tes kemampuan Bahasa Inggris yang digunakan pada seleksi mandiri UNY dapat dipergunakan untuk untuk mengukur calon dengan rentang kemampuan (-3,0 ; 3,0), sehingga cukup layak untuk digunakan. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 4.1. Bahasa Inggris 25 20 Nilai 15 NFI 10 SEM 5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0 0.5 -0.5 -1 -1.5 -2 -3 -2.5 -3.5 -4 0 Gambar 4.1. Nilai Fungsi Informasi Tes Kemampuan Bahasa Inggris Hal yang hampir sama terjadi untuk tes bakat akademik (TBA). Berdasarkan analisis data, diperoleh bahwa nilai maksimum fungsi informasi tes bakat akademik (TBA) adalah sebesar 70,611 pada skala kemampuan sekitar 0 dengan kesalahan pengukuran sebesar 0,119. Berdasarkan grafik dapat diperoleh pula bahwa perpotongan antara kurva nilai fungsi informasi (NFI) dan kesalahan pengukuran (SEM) pada skala kemampuan berkisar antara - 3,9 dan 3,8. Hal ini menunjukkan bahwa tes bakat akademik dapat dipergunakan untuk untuk mengukur calon dengan rentang kemampuan (-3,9 ; 3,8), sehingga cukup layak untuk digunakan untuk mengukur semua kemampuan. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 4.2. Untuk tes kemampuan IPA, nilai informasi maksimum adalah sebesar 26,171 pada skala kemampuan sekitar 0 dan kesalahan pengukuran sebesar 0,195. Berdasarkan grafik dapat diperoleh pula bahwa perpotongan antara kurva nilai fungsi informasi (NFI) dan kesalahan pengukuran (SEM) pada skala kemampuan berkisar antara -2,75 dan 2,75. Hal ini menunjukkan bahwa tes kemampuan 169 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta IPA dapat dipergunakan untuk mengukur calon dengan rentang kemampuan sekitar (-2,75, 2,75). Hasil analisis untuk tes kemampuan IPA disajikan pada Gambar 4.3. Tes Bakat Akademik 80 70 Axis Title 60 50 40 SEM 30 NFI 20 10 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0 0.5 -0.5 -1 -1.5 -2 -3 -2.5 -3.5 -4 0 Gambar 4.2. Nilai Fungsi Informasi Tes Bakat Akademik IPA 30 25 Nilai 20 NFI 15 SEM 10 5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0 0.5 -0.5 -1 -1.5 -2 -3 -2.5 -3.5 -4 0 Gambar 4.3. Nilai Fungsi Informasi Tes Kemampuan IPA Namun, hal yang berbeda terjadi pada perangkat tes kemampuan IPS. Nilai informasi maksimum IPS adalah sebesar 16,033 pada skala kemampuan sekitar 1,75. Kesalahan pengukuran perangkat tes kemampuan IPS ini adalah sebesar 0,250. Perangkat tes kemampuan IPS akan berfungsi dengan baik untuk mengukur calon mahasiswa dengan kemampuan lebih dari -1,5. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 4.4. 170 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta IPS 18 16 14 Nilai 12 10 NFI 8 SEM 6 4 2 -4 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 Gambar 4.4. Nilai Fungsi Informasi Tes Kemampuan IPS Mencermati tingkat kesulitan dan daya pembeda butir dalam perangkat tes sebagaimana dipaparkan di atas, maka semua butir dikategorikan sebagai butir tes seleksi mandiri UNY termasuk butir-butir tes yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa butir-butir tersebut dapat membedakan calon mahasiswa yang kemampuannya tinggi dan mahasiswa yang kemampuannya rendah. Kenyataan ini membawa implikasi bahwa calon mahasiswa yang terpilih merupakan calon mahasiswa yang memang benar-benar berhak dan layak untuk diterima di Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan melihat hasil nilai fungsi infomasi di atas, maka baik untuk Tes Bakat Akademik, Tes kemampuan Bahasa Inggris, dan tes kemampuan IPA, dapat diperoleh bahwa perangkat tes yang digunakan untuk seleksi masuk UNY dapat digunakan untuk mengukur potensi kemampuan calon mahasiswa dalam belajar di perguruan tinggi untuk calon mahasiswa dengan kemampuan sedang. Hal ini sesuai dengan karakteristik mahasiswa UNY. Untuk perangkat tes IPS terjadi hal yang sedikit berbeda. Dalam hal ini, perangkat tes kemampuan IPS dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan calon dengan kategori kemampuan menengah ke atas. Ditinjau dari kesalahan pengukurannya, maka perangkat tes masuk UNY melalui jalur seleksi mandiri merupakan perangkat tes dengan kesalahan pengukuran standar yang cukup kecil, baik untuk Tes Bakat Akademik, tes kemampuan Bahasa Inggris, tes kemampuan IPA maupun tes kemampuan IPS. Hal ini mengindikasikan bahwa perangkat tes yang telah dikembangkan dapat secara tepat digunakan untuk mengestimasi kemampuan calon mahasiswa, dan dapat memilih calon-calon mahasiswa yang benar-benar berhak dan layak diterima di UNY. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik perangkat tes seleksi masuk UNY ditinjau berdasarkan pada teori respons butir (yang meliputi: daya pembeda, tingkat kesukaran, dan fungsi informasi) butir-butir penyusunnya berada pada kategori baik, baik untuk perangkat tes bakat akademik (TBA), tes kemampuan Bahasa Inggris, tes kemampuan IPA maupun tes kemampuan IPS. 171 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Kesalahan pengukuran pada perangkat tes yang digunakan dalam seleksi masuk UNY melalui jalur seleksi mandiri untuk perangkat tes bakat akademik (TBA), tes kemampuan Bahasa Inggris, tes kemampuan IPA dan tes kemampuan IPS adalah cukup kecil, sehingga tepat digunakan untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa baru UNY. Daftar Pustaka Allen, M. J. & Yen, W. M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, CA: Brooks/Cole Publishing Company. American Educational Research Association, American Psychological Association, and National Council on Measurement in Education. (1999). Standards for educational and psychological testing. Washington, DC: American Psychological Association. Baker, F.B. (2001) The basic of item response theory. Diambil dari http://webs.ono.com/ usr021/Jose.L.Melia/Papers/Baker2001.pdf pada tanggal 4 September 2005. Cizek, G.J., Rosenberg, S.L. & Koons, H.H. (2008). Source of validity evidence for educational and psychological test. Educational and Psychological Measurement, Vol. 68, pp. 397-412. Frisbie, D. A. (2005). Measurement 101: Some fundamentals revisited. Educational Measurement: Issues and Practice, Vol. 24(3), 21-28. Hambleton, R.K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. (1991). Fundamental of item response theory. Newbury Park, CA: Sage Publication Inc. Hambleton, R.K. & Swaminathan, H. (1985). Item response theory. Boston, MA: Kluwer Inc. Hulin, C.L., Drasgow, F. & Parsons, C.K. (1983). Item response theory : Application to psychological measurement. Homewood, IL: Dow Jones-Irwin. Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. (1973). Measurement and evaluation in education and psychology. New York: Hold, Rinehart and Wiston, Inc. Messick, S. (1989). Validity. Dalam R. L. Linn (Ed.), Educational measurement (3rd ed., pp. 13-103). New York: Macmillan. Walpole, R.E., Mers, R.H., Myers, S.L. et al. 2002. Probability and statistics for engineers and scientists. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. 172 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKUATIK BERBASIS PERMAINAN (AQUATIC TEACHING BASED ON GAMES) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN GERAK RENANG SISWA SEKOLAH DASAR Sismadiyanto Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model Pembelajaran Akuatik Berbasis Permainan (aquatic teaching based on games) bagi siswa Sekolah Dasar. Tujuan khusus yang ingin dicapai: (1) Mengidentifikasi dan memperoleh data kebutuhan pembelajaran akuatik berbasis permainan, (2) Mengembangkan model pembelajaran akuatik berbasis permainan dan melakukan uji coba produk, (3) Menguji tingkat keefektifan, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran akuatik berbasis permainan. Rancangan penelitian pada tahun pertama ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menjawab tiga rumusan masalah. Pertama, populasi sebanyak 60 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Teknik sampling Cluster Random Sampling. Jumlah sampel 40 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Instrumen penelitian menggunakan lembar observasi dengan teknik analisis dokumen (RPP). Kedua, populasi 24 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Teknik sampling Purposive Random Sampling. Instrumen penelitian pedoman wawancara dan observasi sit in class. Teknik wawancara terstruktur. Jumlah sampel 5 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Ketiga, populasi draft buku ajar pembelajaran akuatik berbasis permainan. Instrumen penelitian berupa Draft Permainan Air. Metodologi Research and Development. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kompetensi pedagogik guru Penjas dalam menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) akuatik belum terencana dengan baik. Hal ini tercermin dalam kemampuan guru menyusun RPP yang masih kurang mengajarkan pembelajaran akuatik berbasis permainan ke dalam tiga tahap pembelajaran pendidikan jasmani yaitu, tahap Persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, dan Indikator Keberhasilan), tahap Pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup), dan tahap Evaluasi (Penilaian Hasil Belajar); (2) Pemahaman guru Penjasorkes terkait dengan pembelajaran akuatik berbasis permainan masih kurang. Indikator tersebut nampak pada pengetahuan dan pemahaman guru akan konsep pembelajaran akuatik berbasis permainan yang masih kurang; (3) Terdapat berbagai macam bentuk-bentuk permainan air untuk pembelajaran akuatik siswa sekolah dasar. Kata kunci: pembelajaran akuatik, permainan, pendidikan jasmani, sekolah dasar. Pendahuluan Ruang lingkup materi pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar (SD) terdiri dari enam unsur utama, antara lain: Permainan dan Olahraga, Aktivitas Pengembangan, Uji diri/Senam, Aktivitas Ritmik, Akuatik (Aktivitas Air), dan Pendidikan Luar Kelas (Outdoor Education). Materi akuatik tersebut berisi tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan di kolam renang, seperti; permainan air, gaya-gaya renang, keselamatan di air, dan pengembangan aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Standar Kompetensi Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar, 2004: 12-15). Di dalam intensifikasi penyelengaraan pendidikan dasar, peranan Pendidikan Jasmani adalah sangat penting, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam 173 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga. Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi sekaligus merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan dan kesehatan siswa sepanjang hayat (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and Laraine, 1994; Stran and Ruder 1996; CDC, 2000). Namun demikian fakta menunjukkan bahwa proses pembelajaran akuatik yang dilakukan di tingkat Sekolah Dasar belum optimal. Rencana program pembelajaran akuatik pada umumnya tidak ada. Tugas pengajaran renang, dibebankan kepada guru kelas bukan guru dengan keahlian renang. Di sisi lain pembelajaran akuatik yang dilakukan di Sekolah Dasar masih dilakukan untuk tujuan rekreatif semata. Hal ini terjadi karena program yang dilaksanakan mengacu pada program latihan renang untuk orang dewasa yang menekankan pada penguasaan keterampilan gerakan renang lengkap. Keadaan ini tidak sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang telah digariskan dalam kurikulum yang menitikberatkan pada permainan air (wet games). Secara umum, pembelajaran di SD/MI sebagian besar dikemas dalam bentuk permainan dan tidak diarahkan untuk menguasai cabang olahraga dan permainan tertentu, namun lebih mengutamakan proses perkembangan motorik siswa dari waktu ke waktu. Program Pendidikan Jasmani lebih berorientasi kepada kebutuhan siswa, sebagai subyek didik, dan bukan sebagai obyek didik. Oleh karena itu, metode yang digunakan menekankan pada aktivitas fisik yang memungkinkan siswa dalam suasana gembira, bereksplorasi, dan menemukan sesuatu yang baik. Pada klasifikasi usia untuk mulai memperkenalkan olahraga pada anak-anak, diketahui bahwa olahraga akuatik (renang) dapat mulai diajarkan pada usia dini. Menurut Bompa (1990: 35) belajar renang idealnya sudah dimulai antara usia 3-7 tahun, pada usia 10-12 tahun merupakan usia untuk spesialisasi, sedangkan usia prestasi puncak berkisar antara 16-18 tahun. Di negara maju program akuatik Sekolah Dasar lebih terfokus pada pengenalan aspek motorik di air sebagai dasar keterampilan berenang. Anak tidak diajarkan untuk menjadi perenang melainkan untuk tetap survive di air secara independen dan menyenangi aktivitas yang dilakukan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia belum ada yang meneliti secara komprehensif tentang pembelajaran akuatik siswa Sekolah Dasar, demikian pula penelitianuntuk mengembangkan model pembelajaran akuatik berbasis permainan. Pembelajaran akuatik pada dasarnya merupakan salah satu proses latihan dalam ruang lingkup Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar untuk meningkatkan kompetensi jasmani seperti yang digariskan dalam Standar Kompetensi Sekolah Dasar. Permasalahan mendasar dalam pembelajaran akuatik di Sekolah Dasar ialah tidak tersedianya prasarana yang memadai dan pembiayaan yang cukup besar untuk operasional pembelajaran. Kini keadaan yang dilematis dihadapi oleh pihak Sekolah Dasar. Di satu sisi, materi kurikulum Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar menggariskan bahwa aktivitas akuatik merupakan salah satu ruang lingkup pembelajaran yang baik untuk dilaksanakan. Namun di sisi lain seperti strata sekolah, penyediaan dana, ketersediaan tenaga ahli, dan berbagai macam alasan menjadi faktor penghambat bagi terlaksananya pembelajaran. Bermain merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia Sekolah Dasar. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, 174 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta metode, materi dan media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Permainan bagi anak merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi, dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pendidikan Jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional (Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar). Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan,bertujuan mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, tindakan moral melalui aktivitas jasmani olahraga. Di dalam penyelengaraan pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, peranan Pendidikan Jasmani adalah sangat penting, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Pendidikan Jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai sikap-mental- mosional-spiritual-sosial (Schmith, 1983; Brophy & Good, 1986; Rosenshill & Stevens, 1986; Evertson, 1989). Juga memberikan kesempatan anak untuk meningkatkan kepekaan sosial yang kooperatif, memiliki rasa hormat menghormati dan apresiasi terhadap perbedaan (Hamied, 2003: 9). Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olahraga, internalisasi nilai-nilai (sportifitas, jujur, kerjasama, dan lain-lain) serta pembiasaan pola hidup sehat. Aktivitas yang diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik-metodik, sehingga aktivitas yang dilakukan mencapai tujuan pengajaran. Tidak ada pendidikan yang tidak mempunyai sasaran paedagogis, dan tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya Pendidikan Jasmani, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alamiah berkembang searah dengan perkembangan zaman (Rink, 1993; Gallahue, 1998, Gabbard, 1997). Tujuan Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar Terdapat sembilan tujuan Pendidikan Jasmani yang digariskan dalam Standar Kompetensi Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar: 1. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan Jasmani. 2. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks kemajemukan budaya, etnis, dan agama. 3. Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui pelaksanaan tugas ajar Penjas. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri 175 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 4. 5. 6. 7. dan demokratis melalui aktivitas jasmani. Mengembangkan keterampilan gerak berbagai macam permainan dan olahraga. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui aktivitas jasmani. Mengembangkan keterampilan menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. Mengetahui dan mamahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran, dan pola hidup sehat. Hakekat Pembelajaran Akuatik Sekolah Dasar Program akuatik adalah segala aktivitas yang dilakukan di dalam air yang bertujuan untuk melatih anak memperoleh kemajuan potensi motorik, kognisi, afeksi, dan sosial. Menurut Sismadiyanto (2006: 11), aktivitas akuatik ialah segala macam bentuk aktivitas air yang dapat dilakukan di sungai, danau, laut, pantai, maupun kolam renang. Proses pembelajaran akuatik Sekolah Dasar tidak terlepas dari pengembangan potensi anak melalui tiga ranah yaitu motorik dasar (basic psychomotor skill), sikap (basic attitude), dan pemahaman (basic understanding) (Langendorfer & Bruya, 1995; Dougherty, 1990; Graver, 2003). Indikator keberhasilan pembelajaran akuatik siswa sekolah bukan terletak pada seberapa jauh anak menempuh jarak renang atau seberapa banyak gaya renang yang dikuasai, tetapi berapa banyak indikator keterampilan yang dikuasai. Program akuatik Sekolah Dasar terdapat sembilan indikator keberhasilan, masing-masing indikator terdapat 1-5 level. Siswa yang menguasai sembilan indikator dengan level tertinggi maka siswa tersebut dikatakan berhasil mengusai gerakan renang. Indikator tersebut antara lain: Tabel 1. Indikator Keberhasilan Pembelajaran Akuatik Sekolah Dasar Indikator Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Level 5 Pengenalan air (water orientation) Masuk kolam renang (water entry) Kontrol nafas (breath control) Mengapung (buoyancy) Posisi badan (body position) Dorongan lengan (arm propulsion) Istirahat lengan (arm recovery) Gerakan tungkai (leg action) Renang lengkap (combined movement) (Langendorfer & Bruya, 1995: 38) Pembelajaran Akuatik Berbasis Permainan (aquatic teaching based on games) Pendekatan pembelajaran pada tingkat Sekolah Dasar dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya (Spengler, 2001; Clement A, 1997). Bermain merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia Sekolah Dasar. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh 176 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, metode, materi dan media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek- objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Permainan bagi anak merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi, dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Hakikat permainan adalah aktivitas jasmani yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, sukarela, dan menyenangkan. Seperti yang dikemukakan oleh Sukintaka (1998: 24) bermain merupakan aktivitas jasmani yang dilakukan dengan sukarela dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh rasa senang dari aktivitas tersebut. Pembelajaran akuatik juga melibatkan aktivitas jasmani yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Melalui pendekatan bermain tujuan pembelajaran akan mudah dicapai karena siswa akan melakukan aktivitas jasmani dengan sukarela, sungguhsungguh, dan dalam suasana yang menyenangkan. Metode Penelitian Penelitian pada tahun pertama menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif diharapkan dapat memberikan gambaran tentang persepsi guru Pendidikan Jasmani selaku pengelola atau pengajar program akuatik di Sekolah Dasar, tentang tingkat kebutuhan pelaksanaan pembelajaran akuatik serta arah pengembangan program pembelajaran yang mereka harapkan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan variabel tingkat pemahaman guru penjas tentang pembelajaran akuatik berbasis permainan. Adapun pendekatan kualitatif dilakukan untuk mengungkap variabel implementasi pembelajaran akuatik di sekolah dasar. Subjek penelitian dibagi menurut rumusan masalah. Pertama, populasi sebanyak 60 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Teknik sampling Cluster Random Sampling. Jumlah sampel 40 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Instrumen penelitian menggunakan lembar observasi dengan teknik analisis dokumen (RPP). Kedua, populasi 24 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Teknik sampling Purposive Random Sampling. Instrumen penelitian pedoman wawancara. Teknik wawancara terstruktur. Jumlah sampel 3 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Ketiga, populasi 3 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Teknik sampling Purposive Random Sampling. Instrumen penelitian lembar observasi. Teknik observasi sit in class. Jumlah sampel 3 orang guru Penjas sekolah dasar di DIY. Hasil Penelitian Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Jasmani Pada penelitian ini ingin diketahui kompetensi pedagogik guru penjas sekolah dasar dalam menyusun RPP pemeblajaran akuatik berbasis permainan. Dari 60 orang guru yang dijadikan populasi, peneliti melakukan teknik undian untuk mengambil sampel penelitian sejumlah 40 guru penjas sekolah dasar. Kriteria kemampuan guru dilihat dari bagaimana menyusun kerangka RPP akuatik antara lain: a) Persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, Indikator Keberhasilan), b) Pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup), dan c) Evaluasi (Penilaian Hasil Belajar). 177 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta a) Persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, dan Indikator Keberhasilan). Dalam penelitian ini ingin diketahui kompetensi pedagogik guru penjas sekolah dasar dalam menyusun Persiapan Pembelajaran yang di dalamnya terdapat unsur tujuan pembelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator keberhasilan, yang berisi pembelajaran akuatik. Salah satu kompetensi pedagogik yang coba diungkap antara lain kemampuan guru Penjas dalam menyusun Persiapan pembelajaran yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembelajaran yaitu: tujuan pembelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator keberhasilan. Unsur-unsur tersebut akan dilihat sekaligus dimaknai apakah sudah sesuai dengan kebutuhan pembelajaran akuatik sekolah dasar atau belum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi guru dalam menyusun RPP pembelajaran akuatik, diketahui terdapat 60% atau 24 orang guru yang belum melaksanakan pembelajaran akuatik dan terdapat 40% atau 16 orang guru yang sudah mampu menyusun RPP pembelajaran akuatik pada tahap Persiapan. Hal ini merupakan indikator sehingga kategori Kurang. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani dalam menyusun RPP akuatik pada tahap Persiapan termasuk kategori Kurang. Dengan kata lain bahwa sekolahsekolah sangat jarang melakukan perencanaan pembelajaran akuatik. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa hanya ada beberapa sekolah yang melaksanakan pembelajaran akuatik secara rutin. b) Pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup) Dalam penelitian ini ingin diketahui kompetensi pedagogik guru penjas sekolah dasar dalam menyusun RPP akuatik. Kompetensi pedagogik guru Penjas sekolah dasar dalam menyusun RPP akuatik yang kedua adalah Pelaksanaan pembelajaran yang di dalamnya terdiri dari tiga langkah pembelajaran yaitu Pendahuluan, Latihan Inti, dan Penutup. Pada tahap ini akan diukur apakah sudah sesuai dengan kebutuhan pembelajaran akuatik sekolah dasar atau belum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi guru dalam menyusun RPP pembelajaran akuatik, diketahui terdapat 80% atau 19 orang guru yang belum melaksanakan pembelajaran akuatik khususnya melalui pendekatan bermain pada tahap Pelaksanaan. Terdapat 20% atau 5 orang guru yang sudah melaksanakan pembelajaran akuatik berbasis permainan. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani dalam menyusun RPP pada tahap Pelaksanaan termasuk kategori Kurang. Apabila dianalisis mengapa guru memiliki kemampuan yang kurang dalam menyusun RPP pada tahap Pelaksanaan dikarenakan guru lebih banyak menjelaskan urutan gerak atau motor learning dalam sistematika pedagogi pembelajaran. Hal ini sesuai dengan karakter pendidika jasmani yang cenderung dominan menggunakan ranah psikomotorik dan bukan dengan permainan dalam pelaksanaannya. Analisis lain adalah guru belum menerapkan pendekatan permainan. Padahal dengan pendekatan bermain siswa akan dibawa pada proses pembelajaran namun tetap dalam 178 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kondisi senang. Permainan air merupakan pengenalan peserta didik terhadap air dengan tanpa disadari. Pada materi bermain peserta didik akan berjalan, berlari, meloncat baik ke depan ke belakang maupun ke samping dan kadang-kadang jatuh ke air. Permainan ini akan dilakukan oleh siswa dengan gembira tanpa disadari siswa telah mengenal sifat air, diantaranya: dingin, benda air, memberikan hambatan ke atas atau kedepan yang cukup besar. Proses pembelajaran akuatik sekolah dasar tidak terlepas dari pengembangan potensi anak melalui tiga ranah yaitu motorik dasar (basic psychomotor skill), sikap (basic attitude), dan pemahaman (basic understanding). Indikator keberhasilan akuatik siswa sekolah bukan terletak pada seberapa jauh anak menempuh jarak renang atau seberapa banyak gaya renang yang dikuasai tetapi berapa banyak indikator keterampilan yang dikuasai. Pada program akuatik sekolah dasar terdapat sembilan indikator keberhasilan, masing-masing indikator terdapat 1-5 level keberhasilan. Siswa yang mampu menguasai sembilan indikator dengan level tertinggi maka siswa tersebut dikatakan berhasil mengusai gerakan renang. Namun demikian untuk menyatakan bahwa kompetensi pedagogik guru dalam menyusun RPP sudah baik atau belum, harus dilihat dulu satu unsur yang lain yaitu pada tahap Evaluasi Pembelajaran. c) Evaluasi (Penilaian Hasil Belajar) Kompetensi pedagogik guru Penjas sekolah dasar dalam menyusun RPP Akuatik yang ketiga adalah Evaluasi Pembelajaran atau penilaian hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi guru dalam menyusun RPP Akuatik, diketahui terdapat 75% atau 18 orang guru yang belum melaksanakan pembelajaran akuatik berbasis permainan pada tahap Evaluasi. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani dalam menyusun RPP pada tahap Evaluasi termasuk kategori Kurang. Apabila dianalisis mengapa guru memiliki kemampuan yang kurang dalam menyusun RPP Akuatik pada tahap Evaluasi dikarenakan guru lebih banyak mengevaluasi urutan gerak atau motor learning guna memperoleh nilai jasmani. Dengan demikian dari ketiga tahapan pembelajaran: Persiapan, Pelaksanaan, dan Evaluasi, diketahui bahwa pada ketiga tahap guru belum mampu menyusun RPP pembelajaran akuatik berbasis permainan. Analisis yang bisa diuraikan adalah karena guru masih belum mengerti bagaimana menyampaikan materi pembelajaran akuatik dalam ranah pendidikan jasmani melalui permainan. Dari ketiga ranah pendidikan jasmani ternyata ranah psikomotorik sangat dominan. Dengan kata lain, proses pembelajaran akuatik di sekolah dasar belum optimal. Pemahaman Guru Pendidikan Jasmani Terhadap Pembelajaran Akuatik Pemahaman guru terhadap pembelajaran akuatik berbasis permainan (aquatic teaching based on games) diungkap melalui wawancara terstruktur kepada guru dan observasi sit in class dalam pembelajaran akuatik. Terdapat sembilan pertanyaan pokok yang dilakukan dalam 179 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta wawancara. Seperti tertuang dalam kurikulum, pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. Permasalahan mendasar dalam pembelajaran akuatik di Sekolah Dasar ialah tidak tersedianya prasarana yang memadai dan pembiayaan yang cukup besar untuk operasional pembelajaran. Kini keadaan yang dilematis dihadapi oleh pihak Sekolah Dasar. Di satu sisi, materi kurikulum Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar menggariskan bahwa aktivitas akuatik merupakan salah satu ruang lingkup pembelajaran yang baik untuk dilaksanakan. Namun di sisi lain seperti strata sekolah, penyediaan dana, ketersediaan tenaga ahli, dan berbagai macam alasan menjadi faktor penghambat bagi terlaksananya pembelajaran. Bentuk-bentuk Permainan Air yang Tepat Diterapkan dalam Pembelajaran Akuatik Sekolah Dasar. Terdapat beberapa bentuk permainan air yang bisa diidentifikasi sebagai bagian pembelajaran akuatik sekolah dasar. Berikut ini beberapa contoh permainan air yang bisa diberikan pada siswa Sekolah Dasar: KARTU ALFABET Tujuan Level Perlengkapan Kedalaman air Jumlah Partisipan Pengaturan Cara Bermain : Untuk mengasah kemampuan masuk dan keluar, serta kecepatan respon. : Pemula/Menengah/Lanjutan. : Kartu alphabet plastik berukuran besar, masing-masing satu set untuk tiap tim; daftar kata- kata yang telah ditentukan. : Dari dangkal ke dalam, sesuai ukuran masing-masing pemain. : Dimulai dari grup kecil ke seluruh kelas. : Tim berbaris di sepanjang tepian, dengan kartu yang dibagi diantara pemain. : Guru menyebutkan sebuah kata (sebagai contoh ‘renang’ atau ‘lomba’),dan pemain yang memegang kartu huruf yang ada berlomba menyeberangi kolam, memanjat kolam dan membentuk susunan kata tersebut. Tim pertama yang berhasil mengeja huruf dalam barisan akan menang. Metode masuk kolam, keluar, dan gerakan menuju air bisa bervariasi untuk menyesuaikan standar para pemain dan untuk menambah variasi permainan. 180 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta BOLA, SIMPAI BESI DAN BALOK Tujuan Level Perlengkapan Kedalam Air Jumlah Partisipan Pengaturan Cara Bermain : Untuk mengasah penyelaman bagi pemula dan mengapung bagi perenang lanjutan. : Pemula/Menengah/Lanjutan : Bola berukuran besar, satu simpai besi berat untuk masing-masing tim, satu balok berat untuk masing-masing pemain. : Dangkal menuju Dalam, sesuai standar masing-masing pemain : Dimulai dari grup kecil ke seluruh kelas. : Satu tim yang terdiri dari enam sampai delapan orang, menyeberangi kolam. : Para pemain dalam satu tim berbaris di pinggir kolam, pemain pertama memegang bola. Pada saat dimulai pemain pertama masuk ke dalam kolam dengan cara yang sesuai dengan kedalaman kolam (atau cara masuk yang telah ditentukan oleh guru), lari atau berenang dengan memegang bola menuju ke simpai, menyelam, melewati tengah simpai, kemudian berbalik dan melemparkan bola ke pemain kedua. Pemain kedua mengulangi gerakan, sementara pemain pertama berenang menuju balok, menyelam, mengambil satu balok, membawanya sampai sisi lain kolam, kemudian naik ke atas. Pemain keenam mengulangi gerakan dari membawa bola dan balok sampai finish. Tim pertama yang selesai akan menang. Pembahasan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Jasmani Kompetensi pedagogik berkaitan dengan kemampuan guru dalam melaksanakan tahapan proses pembelajaran pendidikan jasmani. Kriteria kemampuan guru dilihat dari bagaimana menuangkan unsur permainan dalam kerangka RPP antara lain : (a) Persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, dan Indikator Keberhasilan), (b) Pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup), dan (c) Evaluasi (Penilaian Hasil Belajar). a) Persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, dan Indikator Keberhasilan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi guru dalam menyusun RPP pembelajaran akuatik, diketahui guru yang sudah mampu menyusun RPP pembelajaran akuatik pada tahap Persiapan. Hal ini merupakan indikator sehingga kategori Kurang. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani dalam menyusun RPP akuatik pada tahap Persiapan termasuk kategori Kurang. Apabila dianalisis mengapa guru memiliki kemampuan yang kurang bagus dalam menyusun RPP pembelajaran akuatik pada tahap Persiapan dikarenakan sarana prasarana pembelajaran khusunya kolam renang yang tidak lengkap bahkan tidak ada. Demikian juga karena sekolah terbatas pada masalah biaya untuk 181 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta melaksanakan pembelajaran akuatik. Pada umumnya sekolah yang melaksanakan pembelajaran akuatik lebih bersifat rekreatif dan dilaksanakan secara insidental. b) Pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup) Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru belum melaksanakan pembelajaran akuatik khususnya melalui pendekatan bermain pada tahap Pelaksanaan. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani dalam menyusun RPP pada tahap Pelaksanaan termasuk kategori Kurang. Apabila dianalisis mengapa guru memiliki kemampuan yang kurang dalam menyusun RPP pada tahap Pelaksanaan dikarenakan guru lebih banyak menjelaskan urutan gerak atau motor learning dalam sistematika pedagogi pembelajaran. Analisis lain adalah guru belum menerapkan pendekatan permainan. Padahal dengan pendekatan bermain siswa akan dibawa pada proses pembelajaran namun tetap dalam kondisi senang. Hal ini terjadi karena program yang dilaksanakan mengacu pada program latihan renang untuk orang dewasa yang menekankan pada penguasaan keterampilan gerakan renang lengkap. Keadaan ini tidak sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang telah digariskan dalam kurikulum yang menitikberatkan pada permainan air (wet games). Secara umum, pembelajaran di SD/MI sebagian besar dikemas dalam bentuk permainan dan tidak diarahkan untuk menguasai cabang olahraga dan permainan tertentu, namun lebih mengutamakan proses perkembangan motorik siswa dari waktu ke waktu. Program pendidikan jasmani lebih berorientasi kepada kebutuhan siswa, sebagai subyek didik, dan bukan sebagai obyek didik. Oleh karena itu, metode yang digunakan menekankan pada aktivitas fisik yang memungkinkan siswa dalam suasana gembira, bereksplorasi, dan menemukan sesuatu yang baik. c) Evaluasi (Penilaian Hasil Belajar) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi guru dalam menyusun RPP Akuatik, diketahui guru yang belum melaksanakan pembelajaran akuatik berbasis permainan pada tahap Evaluasi. Apabila dianalisis mengapa guru memiliki kemampuan yang kurang dalam menyusun RPP Akuatik pada tahap Evaluasi dikarenakan guru lebih banyak mengevaluasi urutan gerak atau motor learning guna memperoleh nilai jasmani. Dilihat dari fungsi pembelajaran, ada lima jenis rancangan pembelajaran akuatik yang penting untuk diberikan, yaitu: (1) developmental aquatic motor sequence, (2) water competence, (3) drill and practice, (4) wet games, dan (5) self assessment. Lembar penilaian berisi tentang umpan balik kegiatan yang telah dilakukan. Lembar penilaian ini kelak berfungsi sebagai rapor anak dalam keikutsertaannya di program akuatik yang berisi tahapan-tahapan perkembangan keterampilan akuatik dari tingkat rendah (water adjustment) ke tingkat tinggi/mahir (combined movement). Pembelajaran akuatik yang dilaksa-nakan di sekolah-sekolah umumnya belum memberikan fungsi self assessment tersebut. Tingkatan keterampilan tersebut antara lain: (1) pengenalan air (water adjustment), (2) masuk kolam (water entry), (3) kontrol nafas (breath control), (4) mengapung (buoyancy), (5) posisi badan (body position), (6) dorongan lengan (arm 182 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta propulsion), (7) istirahat lengan (arm recovery), (8) gerakan tungkai (leg action) dan (9) renang lengkap (combined movement). Pemahaman Guru Pendidikan Jasmani Terhadap Pembelajaran Karakter Pemahaman guru terhadap pembelajaran akuatik berbasis permainan (aquatic teaching based on games) diungkap melalui wawancara terstruktur kepada guru dan observasi sit in class dalam pembelajaran akuatik. Terdapat sembilan pertanyaan pokok yang dilakukan dalam wawancara. Seperti tertuang dalam kurikulum, pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. Bentuk-bentuk Permainan Air yang Tepat Diterapkan dalam Pembelajaran Akuatik Sekolah Dasar. Bentuk-bentuk permainan air dalam pembelajaran akuatik di sekolah dasar tercermin dari observasi sit in class yang peneliti lakukan. Dari hasil observasi peneliti membuat rancangan permainan air yang bisa diberikan dalam pembelajaran akuatik. Terdapat beberapa bentuk permainan air yang bisa diidentifikasi sebagai bagian pembelajaran akuatik sekolah dasar. Permainan air tersebut dapat diberikan dalam proses pembelajaran baik saat pendahuluan, latihan inti, dan penutup. Pendekatan pembelajaran pada tingkat Sekolah Dasar dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya (Spengler, 2001; Clement A, 1997). Bermain merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia Sekolah Dasar. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, metode, materi dan media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek- objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Permainan merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi, dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dan menjawab rumusan masalah yang ada maka dapat disimpulkan : 1. Kompetensi pedagogik guru Penjas dalam menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) akuatik belum terencana dengan baik. Hal ini tercermin dalam kemampuan 183 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta guru menyusun RPP yang minim memasukkan unsur permainan ke dalam tiga tahap pembelajaran akuatik yaitu, tahap persiapan (Tujuan Pembelajaran, SK, KD, dan Indikator Keberhasilan), tahap pelaksanaan (Pendahuluan, Latihan Inti, Penutup), dan tahap evaluasi (Penilaian Hasil Belajar). Dengan demikian dari ketiga tahapan pembelajaran diketahui bahwa guru belum mampu menyusun RPP yang bermuatan permainan air (aquatic teaching based on games). 2. Pemahaman guru Penjas terkait dengan pembelajaran akuatik berbasis permainan kepada peserta didik belum baik. Indikator tersebut nampak pada pemahaman guru yang belum baik akan konsep pembelajaran akuatik berbasis permainan antara lain definisi nilai permainan, integrasi unsur permainan ke dalam pembelajaran akuatik, peran guru terhadap aplikasi permainan air, dan mendiskusikan unsur permainan kepada peserta didik. 2. Tersusunnya 25 macam permainan air yang dapat diaplikasikan ke dalam proses pembelajaran akuatik sekolah dasar. Berbagai macam permainan air tersebut merupakan draft pembuatan buku ajar permainan air bagi sekolah dasar. Saran-saran 1. Perlu dilakukan penyegaran kompetensi pedagogik, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran akuatik, khususnya dengan pendekatan model yang baru. 2. Perlu adanya peningkatan aksesabilitas bagi para guru yang sudah mengajar untuk meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesionalnya. Akses bisa diperluas melalui bentuk pelatihan, seminar, lokakarya, sampai pada peningkatan tingkat kesarjanaan. 3. Perlu disusun buku ajar atau modul pembelajaran akuatik berbasis permainan (aquatic teaching based on games). Daftar Pustaka Bompa, Tudor, O. (2000). Theory and Methodology of Training. Dubuque Iowa: Kendal/Hut Publishing Company Borg, W. R., dan Meredith, D.G. (1989). Educational Research: An Introduction. Fifth Edition. New York: Longman. Centers for Disease Control and Prevention. (2000). Guidelines for School and Community Programs to Promote Lifelong Physical Activity among Young People. [Online]. Tersedia: http://www.cdc.gov. [12 Maret 2003]. Cesari, Judy et al. (2001). Teaching Infant and Preschool Aquatics: Water Experiences the Australian Way. AUSTSWIM Inc Clement A. (1997). Legal Responsibility in Aquatics. Aurora, OH: Sport and Law. Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar. Jakarta. Dougherty, Neil. J. (1990). Risk Management in Aquatic. Journal of Physical Education, Recreation & Dance; May 1990; 61, 5; ProQuest Education Journals pg. 46. Gabbard, Carl. LeBlance, Elizabeth. Lowy, Susan. (1997). Physical Education for Children. 184 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Building Foundation. Englewood Cliffs: Prentice-Hall Inc. Gallahue, Vannier. (1998). Teaching Physical Education and Sport. New York: Mosby-Year Publicing. Gay, L.R. (1990) Educational Research: Competencies Analysis and Aplication. Third ed. Singapore: Mac Millan Publishing Company. Graver K, Dennis. (2003). Aquatic Rescue and Safety. How to recognize, respond to, and prevent water-related injuries. United States: Human Kinetics Publisher Inc. Hamied, Fuad Abdul. (2003). Sport Engagement from the Perspective Islamic Values. Makalah disampaikan dalam International Conference on Sport and Sustainable Development, Yogyakarta 10-13 September 2003. Langendorfer J. Stephen & Bruya D. Lawrence. (1995). Aquatic Readinesss. Developing Water Competence in Young Children. United States: Human Kinetics Publisher Inc. Langendorfer J., Hicks-Hughes D. (1995). Aquatics for the Young Child: a survey of Selected Program. National Aquatics Journal, pg 12-17. Lees, Terri. (2007). Water Fun: 116 Fitness and Swimming for All Ages. United States: Human Kinetics Publisher Inc. Meaney, Peter & Culka, Sarie. (2005). Wet Games: a fun approach to teaching swimming and water safety. 433 Wellington St Clifton Hill, Victoria Australia 3068. Ratliffe, T. dan Ratliffe, L. M. (1994). Teaching Children Fitness: Becoming A MasterTeacher. Illinois: Human Kinetics. Rink, J. E. (1993). Teaching Physical Education for Learning. Second Edition. Toronto: Mosby. Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning. Fourth Edition. New York: Mc Graw Hill. Schmidt, R. A. dan Wrisberg, C. A. (2000). Motor Learning and Performance: A Problem Based Learning Approach. (2nd Ed.). Champaign,Illinois: Human Kinetics. Siedentop, D. (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. California: Mayfield Publishing Company. Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. California: Mayfield Publishing Company. Sismadiyanto & Ermawan Susanto. (2006). Dasar Gerak Renang. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY Spengler, J.O. (2001). Planning for Emergencies in Aquatics. Journal of Physical Education, Recreation & Dance; Mar 2001; 72, 3; ProQuest Education Journals pg. 12. Sukardi. (2009). Metode Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Sukintaka. (1993). Teori Bermain. Jakarta: Depdikbud. Thomas dan Laraine (1994). Teaching Children Fitness: Becoming a Master Teacher. 185 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Illinois: Human Kinetics. Thomas, David G. (2006). Step to Success. Renang Tingkat Pemula. Edisi Kedua. Divisi Buku Sport, PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Bucher, C.A., Wuest, D.A. (1995). Foundations of physical education & sport. London, New York, Tokyo: Mosby Year Book Inc. 186 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MODEL PENGEMBANGAN KULTUR KEWIRAUSAHAAN DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Nuryadin Eko Raharjo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Kultur kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sangat vital peranannya dalam rangka peningkatan mutu sekolah. Kultur kewirausahaan dihasilkan dari proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam kultur sekolah. Melalui kultur kewirausahaan, SMK akan dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan ke semua warga sekolah, sehingga menunjang tujuannya untuk menghasilkan lulusan yang mampu untuk berwirausaha. Kegiatan pengembangan kultur kewirausahaan ini dilakukan melalui tahapan berikut: (1) studi pustaka, untuk melakukan kajian terhadap kultur sekolah yang telah ada (existing models), dalam rangka mengembangkan model perbaikan secara teoretis (model hipotetis); dan (2) pembuatan prototype model pengembangan kultur kewirausahaan, (3) validasi dan revisi prototype model dengan menggunakan FGD, (3) implementasi model. Model pengembangan kultur kewirausahaan di SMK dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) pengembangan kultur kewirausahaan di SMK dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai/karakter kewirausahaan kedalam kultur sekolah, (2) karakter kewirausahaan yang perlu diinternalisasikan meliputi: (a) mindset yang terdiri dari : kreatif, inovatif dan visi jauh ke depan, motivasi kuat untuk sukses; (b) heartset yang terdiri dari: berani mengambil resiko, jujur, tanggung jawab, pantang menyerah, (c) actionset yang terdiri dari: kerja keras, berorientasi pada tindakan,komunikatif, kerjasama, (3) pendekatan yang dapat digunakan dalam internalisasi tersebut meliputi: pendekatan figur, pendekatan kultur dan pendekatan struktur, (4) kultur sekolah sebagai sasaran internalisasi terdiri dari tiga lapisan yaitu: (a) lapisan artifak yang meliputi dimensi verbal, dimensi perilaku, dan dimensi material, (b) lapisan nilai-nilai dan keyakinan, (c) lapisan asumsi. Kata Kunci: kultur sekolah, nilai-nilai kewirausahaan, SMK Pendahuluan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi pengangguran sebab lulusan sekolah menengah yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi maksimal hanya 17%, sisanya mencari pekerjaan dengan ijasah sekolah menengahnya meski tanpa keterampilan yang memadai (Suyanto, 2007). Jumlah angkatan kerja pada Februari 2010 tercatat 116 juta orang, tetapi yang sudah bekerja baru mencapai 107,41 juta orang, sehingga terdapat pengangguran sebanyak 8,59 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 7,41 persen (Rusman Heriawan, 2010:2). Karena itu, SMK sebagai sekolah yang memberikan berbagai jenis keterampilan kerja, menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan pengangguran yang merupakan masalah pelik di Indonesia. Untuk mencapai tujuan pengembangan SMK guna mencetak tenaga kerja yang siap terjun ke dunia kerja maupun mampu menjadi wirausaha maka SMK perlu mengembangkan kultur kewirausahaan disekolahnya. Dalam hal pengembangan kultur kewirausahaan di SMK, Muhammad Nuh (2009) mengatakan bahwa perlu dikembangkan berbagai faktor penting. Pertama, pola pikir terbuka dimana kewirausahaan harus mampu melihat keluar. Maka orang yang ingin memiliki jiwa 187 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta wirausaha harus berpikir terbuka. Namun, berpikir terbuka belum cukup, harus dilengkapi dengan flexibility skill, yaitu memiliki kemampuan berpikir secara fleksibel dengan mengembangkan entrepreneur approach. Kedua, akan lebih sempurna jika para kepala sekolah dan guru, dalam mempersiapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan berwirausaha, mempunyai technical skill, kemampuan teknis. Intinya ada minimum technical skill yang terkait dengan lingkup yang mau dikembangkan kewirausahaannya. Ketiga, wirausaha berinteraksi dengan masyarakat luas dan dunia disiplin yang berbeda. Sebab wirausaha bukan semata untuk diri sendiri. Dari pengamatan dalam rangka studi pendahuluan di SMK, terlihat bahwa kultur kewirausahaan masih belum terbentuk secara integral. Implementasi nilai-nilai kewirausahaan masih dilakukan secara parsial sebatas di unit produksi dan mata pelajaran kewirausahaan. Padahal kultur kewirausahaan mencakup implementasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam perilaku warga sekolah dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai pada pewarnaan kultur sekolah dengan nuansa kewirausahaan. Pentingnya kultur sekolah telah diingatkan oleh Seymour Sarason seperti dikutip John Goodlad yang mengatakan bahwa sekolah-sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami dan harus dilibatkan jika suatu usaha mengadakan perubahan terhadapnya tidak sekedar kosmetik. Kultur sekolah akan dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal yang terjadi. Ambiensi kultur sekolah merupakan ciri unik suatu sekolah yang sering ditandai oleh keadaan kritis, dalam keadaan itu kultur siswa dan perilaku sehari-hari sekolah posisinya berlawanan. Sekolah meminta para siswa belajar secara teratur tetapi para siswa justru menginginkan sebaliknya (Depdiknas, 2003). Sesuai dengan diberlakukannnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMK maka sekolah dalam posisinya sebagai bagian dari kultur nasional diperlukan untuk menghidupkan kultur nasional dan memadukannya dengan kultur setempat. Para siswa masuk ke sekolah dengan bekal kultur yang mereka miliki, sebagian sejalan dengan kultur nasional, sebagian yang lain tidak sejalan. Kondisi ini membawa akibat terjadinya konflik kultural yang akan mempengaruhi perilaku belajar para siswa di sekolah. Setiap sekolah yang ingin memperbaiki kineja sekolah perlu memperhitungkan kondisi kultural yang saat ini ada di sekolah yang bersangkutan dengan mengidentifikasi aneka kultur yang ada dan posisi kultur tersebut dalam kaitannya dengan belajar-mengajar. Berdasarkan pemahaman kultur yang ada, perlu dipetakan dan dipahami baik kultur yang mendukung atau positif terhadap kegiatan belajar-mengajar maupun kultur yang menghambat atau negatif terhadap belajarmengajar. Pemahaman ini dijadikan titik tolak dalam upaya mengembangkan kultur sekolah yang pro atau mendukung peningkatan mutu belajar mengajar. Penelitian tentang kultur sekolah yang dilakukan oleh Tim Pascasarjana UNY tahun 2003 di beberapa Sekolah Menengah Umum (SMU) menyimpulkan bahwa kultur yang birokratik masih terlihat dominan. Disiplin yang dilakukan oleh siswa hanya sebatas eksternal saja sehingga apabila pengawasan diperlonggar maka akan menjadi tidak tertib. Kemitraan sekolah dengan pihak luar juga masih terbatas. Selain itu Sistem informasi belum dimanfaatkan dengan optimal untuk dasar pengambilan kebijakan. 188 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Jumadi (2006) melanjutkan penelitian dalam bidang kultur sekolah di tingkat SD dan SMP dan membuktikan bahwa kultur sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan sekolah. Dari penelitiannya diketahui bahwa Kultur sekolah memberikan peranan terhadap kinerja guru, sedangkan untuk kultur non akademik tidak berkorelasi secara signifikan dengan kinerja guru. Kultur sekolah juga memberikan peranan terhadap motivasi berprestasi siswa sedangkan untuk kultur non akademik tidak berkorelasi secara signifikan dengan motivasi berprestasi siswa. Ini artinya kultur akademik berperanan terhadap motivasi berprestasi. Dalam kaitannya dengan penguasaan konsep kewirausahaan oleh warga SMK, penelitian yang dilakukan oleh Agung (2007) menyimpulkan bahwa pada umunya nilai-nilai kewirausahaan dari input (siswa) di SMK masih bersifat abstrak (bersifat laten), yang bersumber dari pembelajaran di keluarga dengan tahapan pembiasaan melalui proses penginderaan, yang diikuti oleh perubahan sikap yang lebih potisitp dan berujung pada tahap keyakinan yang masih labil, dan belum sampai pada tingkatan kesadaran. Dalam tataran ini pemahaman siswa tentang wirausaha lebih kepada kecenderungan-kecenderungan keinginan yang tumbuh dari pengetahuan yang terbatas, kemudian memunculkan kecenderungan keyakinan yang merupakan potensi nilai kepercayaan diri dan motivasi namun belum belum terdapat kemapanan keyakinan sebagai prasarat awal tumbuhnya kesadaran. Pemahaman atas nilai-nilai Kewirausahaan para pengelola yang lebih kepada masalah kebisnisan yang terbatas, yang kemudian diimplimentasikan dalam muatan kurikulum serta pemilihan strategi pembelajaran, maka omzet penjualan menjadi tolok ukur utama untuk menilai tingkat keberhasilan siswa dan mengabaikan evaluasi atas proses pencapaian serta kompetensi wirausaha yang sesungguhnya. Dari berbagai penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah masih sangat perlu untuk dikembangkan guna meningkatkan mutu sekolah-sekolah termasuk SMK. Kultur sekolah sangatlah berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya juga mempengaruhi kualitas lulusannya. Pengusaan nilai-nilai kewirausahaan di SMK selama ini juga diketahui masih bersifat parsial, oleh karena itu perlu dikembangkan internalisasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam SMK melalui wahana yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya jiwa kewirausahaan siswa SMK yaitu melalui kultur sekolah. Permasalahannya adalah seperti apa model pengembangan kultur kewirausahaan yang sesuai untuk diimplementasikan di SMK? Pembahasan 1. Karakter / nilai-nilai Kewirausahaan Menurut Hisrich, Peters & Shepherd (2008:10) kewirausahaan diartikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung resiko keuangan, fisik serta resiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan serta kepuasan dan kebebasan pribadi. Kuratko & Hodgetts (2009:5) mendefiniskan kewirausahaan sebagai berikut: “Entrepreneurship is a dynamic process of vision, change and creation. It requires an application of energy and 189 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta passion toward the creation and implementation of new ideas and creative solutions. Essential engredients include the willingness to take calculate risk”. Kewirausahaan merupakan kemampuan seseorang, baik yang berkerja di bidang bisnis maupun non bisnis dalam menciptakan sesuatu yang baru secara kreatif, inovatif, disertai dengan keberanian untuk mengambil resiko, serta melaksanakannya dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang ada melalui kemampuan managerial. Adapun wirausaha adalah pelaku atau orang yang memiliki kemampuan kewirausahaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Dendy Sugono, dkk., 2008:682) dijelaskan bahwa karakter merupakan kata benda yang diartikan sebagai tabiat atau sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain Karakteristik wirausaha menurut Bygrave (2003: 6) dikenal dengan istilah 10D, yang terdiri dari: (1) Dream (impian), seorang wirausaha mempunyai visi masa depan pribadi dan bisnisnya serta mampu untuk mewujudkan impiannya, (2) Decisiveness (tegas/yakin), seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Mereka membuat keputusan secara cepat penuh perhitungan, (3) Doers (pelaku), seorang wirausaha dalam membuat keputusan akan langsung menindaklanjutinya. Mereka melaksanakan kegiatannya secepat mungkin dan tidak menunda-nunda waktu, (4) Determination (kebulatan tekad), seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian dengan penuh tanggung jawab, (5) Dedication (pengabdian), dedikasi terhadap bisnisnya sangat tinggi, kadang-kadang mengorbankan kepentingan keluarga, (6) Devotion (ketaatan), tidak mengenal lelah dan fokus terhadap usahanya, (7) Details (rinci), sangat memperhatikan faktor-faktor kritis secara rinci dan teliti, (8) Destiny (nasib), bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yang hendak dicapai, tidak tergantung pada orang lain, (9) Dollars (uang), tidak mengutamakan mencapai kekayaan. Motivasinya bukan semata mata karena uang. Uang dianggap sebagai ukuran atau hasil dari kesuksesan bisnisnya, dan (10) Distribute (distribusi), bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya kepada orang kepercayaannya yang mempunyai tujuan yang sama. International Training Centre ILO (2005b:17) mengidentifikasi karakteristik wirausaha sebagai berikut: (1) percaya diri, (2) mandiri, (3) optimis, (4) dinamis, (5) kreatif dan inovatif, (6) mandiri, (7) cerdik, (8) komitmen tinggi, (9) mau belajar setiap saat, (10) fleksibel, (11) responsif terhadap umpan balik, (12) berorientasi pada tujuan, (13) berorientasi ke depan, (14) motivasi tinggi, (15) berorientasi pada keuntungan, (16) teguh, (17) terbuka terhadap kritik dan saran, (18) pekerja keras, (19) energik dan berkemauan keras, (20) berani mengambil resiko yang diperhitungkan, (21) menerima tantangan, (22) komunikasi efektif, (23) pembuat keputusan, (24) memiliki standar kinerja, (25) melihar gambaran luas, (26) memiliki kestabilan mental, (27) mengenali potensi diri, (28) mengelola organisasi, (29) memiliki integritas, (30) mampu menangani situasi ketidakpastian. Dari hasil kajian literatur dan kajian model yang sudah ada dan dari validasi melalui FGD maka diperoleh karakter/nilai-nilai kewirausahaan yang perlu dikembangkan di SMK yang terdiri dari 12 nilai/karakter sebagai berikut: 190 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Karakteristik kewirausahaan No Karakteristik Deskripsi Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atauhasil berbeda dari produk/jasa yang telah ada Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangkamemecahkan persoalan-persoalan dan peluang untukmeningkatkan dan memperkaya kehidupan 1 Kreatif 2 Inovatif 3 Motivasi kuat untuk sukses/ berprestasi 4 Kerja keras 5 Berani mengambil resiko 6 Berorientasi pada tindakan 7 Visi jauh ke depan 8 Jujur 9 Kerja sama 10 Tanggung jawab 11 Pantang menyerah 12 Komunikatif Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai habatan Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yangmenantang, berani dan mampu mengambil risiko yang diperhitungkan Mengambil inisiatif untuk bertindak, dan bukan menunggu,sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi. Tindakan tidak selalu berorientasi pada uang. Tindakan yang dilakukan selalu didasarkan atas tujuan jangka panjang Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinyasebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinyamampu menjalin hubungan dengan orang lain dalammelaksanakan tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan perilaku seseorang yang mau dan mampumelaksanakan tugas dan kewajibannya Sikap dan perilaku seseorang yang tidak mudah menyerah untukmencapai suatu tujuan dengan berbagai alternative Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul,dan bekerjasama dengan orang lain Surya Dharma (2009:14) dan International Training Centre ILO (2005:7) secara lebih komprehensif menjelaskan bahwa seorang wirausaha yang sukses harus memiliki tiga kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sifat kewirausahaan. Ketiga kompetensi tersebut saling berkaitan. Dengan demikian karakter-karakter kewirausahaan di atas dapat dikelompokkan kedalam dimensi mindset, heartset dan actionset. Heartset 1. Berani Mindset mengambil resiko 2. Jujur 3. Tanggung jawab 4. Pantang menyerah 5. Motivasi kuat untuk 1. Kreatif 2. Inovatif 3. Visi Jauh ke depan sukses Actionset 1. 2. 3. 4. Gambar 1. Karakter Kkewirausahaan 191 Kerja keras Berorientasi pada tindakan Komunikatif Kerjasama Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Kultur Sekolah Menengah Kejuruan Banyak definisi kultur sekolah yang telah diajukan oleh para ahli. Deal dan Kennedy (Depdiknas, 2003: 3) mendefinisikan kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga masyarakat (sekolah). Sedangkan menurut Schein (Depdiknas, 2003: 3), kultur sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan, atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalahmasalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. Menurut Stolp dan Smith dalam Depdiknas (2003:9), kultur sekolah merupakan hal-hal yang sifatnya historis dari berbagai tata hubungan yang ada, dan hal-hal tersebut telah diinternalisasikan oleh warga sekolah. Deal & Peterson (2009) mendifinisikan kultur mencakup pola yang mendalam terhadap suatu nilai, kepercayaan, dan tradisi yang telah dibentuk melebihi dari sejarah sekolah. Menurut Heckman dalam Stolp (2003) kultur sekolah dinyatakan sebagai kepercayaan umum dari guru dan siswa. Dengan demikian dari berbagai pendapat di atas, kultur sekolah dapat didefinisikan sebagai pola transmisi historis tentang arti norma, nilai, kepercayaan, seremoinial, ritual, tradisi, bahkan sampai pemahaman mitos yang dirasakan oleh seluruh warga sekolah. Adapun arti dan nilai diartikan sebagai hal yang difikirkan dan bagaimana setiap warga sekolah itu bertindak. Stolp dan Smith membagi kultur sekolah dalam tiga lapisan yakni artifak di permukaan (lapisan luar), nilai-nilai dan keyakinan di lapisan tengah, dan asumsi-asumsi di lapisan paling dalam seperti gambar berikut (Depdiknas, 2003:9). Artifak Nilai dan keyakinan Asumsi Gambar 2. Lapisan-lapisan kultur sekolah Artifak adalah lapisan kultur sekolah yang segera dan paling mudah diamati seperti aneka ha1 ritual sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-benda simbolik di sekolah, dan aneka ragam kebiasaav yang berlangsung di sekolah. Keberadaan kultur ini dengan cepat dapat dirasakan ketika orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah. Lapisan kultur sekolah yang lebih dalam berupa nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang ada di sekolah. Ini menjadi ciri utama suatu sekolah. Sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, dan berbagai penggambaran nilai dan keyakinan lainnya. Lapisan paling dalam kultur sekolah adalah asumsi-asumsi yaitu simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan- 192 No Kreatif 2 Inovatif 3 Motivasi kuat untuk sukses/ berprestasi 4 Kerja keras 5 Berani mengambil resiko 6 Berorientasi pada tindakan 7 Visi jauh ke depan 8 Jujur 9 Kerja sama 10 Tanggung jawab 11 Pantang menyerah 12 Komunikatif Lapisan Asumsi (1) Hubungan dengan lingkungan, (2) Hakikat realita dan kebenaran, (3) Hakikat ruang dan waktu, (4) Hakikat sifat, aktivitas dan hubungan manusia 1 Lapisan Artifak Lapisan Nilainilai dan Keyakinan (1) Interaksi antar siswa, (2) Interaksi siswa-guru, (3) interaksi siswa-kepala sekolah, (4) interaksi antar guru, (5) interaksi guru-kepala sekolah, (6) interaksi siswa, guru, kasek dengan tenaga non kependidikan Karakter / Nilai-nilai Kewirausahaan (1) Dimensi Verbal: visi misi, kurikulum, bahasa/komunikasi, metafora, sejarah organisasi, tokoh-tokoh organisasi, struktur organisasi, (2) Dimensi Non Verbal: kegiatan ritual, upacara, KBM, prosedur operasional, peraturan sekolah, dukungan psikologis, dukungan sosial, interaksi dengan orangtua, interaksi dengan masyarakat (3) Dimensi Fisik/material: peralatan, fasilitas, layout/bentuk bangunan, motto/slogan, hiasan-iasan/seni, cara berpakaian Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta keyakinan yang tidak dapat dikenali tetapi terus menerus berdampak terhadap perilaku warga sekolah. 3. Model Pengembangan Kultur Kewirausahaan di SMK Model pengembangan didesain berdasarkan integrasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam kultur sekolah seperti tabel berikut. Tabel 2. Integrasi Nilai-nilai Kewirausahaan ke dalam Kultur Sekolah di SMK Internalisasi ke dalam Kultur Sekolah 193 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Model pengembangan kultur kewirausahaan di SMK tersebut secara lebih jelas dapat digambarkan berikut ini. Karakter Wirausaha Pendekatan Figur 1. 2. 3. 4. Lapisan Artifak Heartset Mindset 1. Berani mengambil resiko 2. Jujur 3. Tanggung jawab 4. Pantang menyerah Kreatif Inovatif Visi Jauh ke depan Realistik Kultur Sekolah Dimensi Verbal Pendekatan Dimensi Perilaku Kultur Lapisan Nilai-Nilai dan Keyakinan Actionset 1. 2. 3. 4. Kerja keras Berorientasi pada tindakan Komunikatif Kerjasama Dimensi Material Pendekatan Struktur TERCIPTANYA KULTUR KEWIRAUSAHAAN DI SMK Gambar 3. Model Pengembangan Kultur Kewirausahaan di SMK 194 Lapisan Asumsi Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari observasi ke beberapa SMK di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah diperoleh keadaan kultur sekolah dalam hubungannya dengan pengembangan nilai-nilai kewirausahaan sebagai berikut. Keterangan: Kriteria nilai diatas adalah Upacara Kegiatan Belajar Mengajar Prosedur Operasional Peraturan sekolah Dukungan Psikologis Dukungan Sosial Interaksi dengan orang tua Interaksi dengan masyarakat RERATA Peralatan Fasilitas Layout / bentuk bangunan Motto/slogan Hiasan-hiasan/seni Cara berpakaian RERATA Interaksi antar siswa Interaksi antara siswa dengan guru RERATA Hubungan dengan lingkungan Hakikat realita dan kebenaran Hakikat ruang dan waktu Hakikat sifat, aktivitas dan hubungan manusia 2,1 2,2 2,0 2,1 1,9 2,1 2,5 2,1 2,6 1,9 2,4 1,9 2,3 2,0 2,5 2,2 1,9 2,1 1,7 2,3 2,1 1,7 2,0 2,0 1,9 1,7 2,0 2,0 2,4 2,0 2,3 2,0 1,7 2,1 2,0 2,4 2,0 2,2 2,0 2,0 2,1 2,2 2,0 1,7 2,4 2,4 2,3 2,3 1,8 2,4 2,2 2,2 1,9 2,1 1,7 2,0 2,3 1,6 1,9 2,0 2,3 1,7 2,3 2,3 2,4 2,2 2,0 1,9 2,1 2,1 2,0 2,7 2,3 2,6 2,4 2,2 2,3 2,6 2,4 2,3 2,4 2,4 2,1 5,6 2,3 2,5 2,1 1,8 2,6 2,0 2,3 1,7 2,1 2,1 2,4 2,1 2,3 2,1 2,1 2,4 2,4 2,1 2,3 2,0 2,0 2,1 2,0 2,0 2,6 2,4 2,3 2,4 2,2 2,1 2,4 2,3 2,7 2,7 2,4 2,7 2,9 2,4 2,0 2,4 2,5 2,5 2,6 2,4 2,0 2,0 2,3 2,0 2,2 2,6 2,6 1,7 2,4 2,6 2,6 2,4 2,1 1,9 1,9 2,1 2,0 2,1 1,9 2,0 2,0 1,7 2,0 2,0 2,0 2,3 2,3 2,6 1,7 2,7 2,0 1,7 2,0 1,8 2,1 2,1 2,1 1,8 2,1 1,6 1,9 1,9 2,1 2,3 1,9 1,9 1,9 2,4 2,1 2,0 1,9 2,3 1,9 2,0 2,4 2,3 2,0 2,2 2,3 2,3 2,6 2,3 2,5 2,7 2,6 2,3 2,9 2,1 2,3 2,4 2,3 2,5 2,4 2,3 1,8 2,1 2,3 2,0 2,2 2,1 2,3 1,9 2,4 2,4 2,6 2,3 2,1 1,9 2,3 1,9 2,0 2,6 2,3 2,4 2,4 2,7 2,3 2,4 2,4 1,8 1,9 2,3 2,0 2,7 2,1 2,5 1,9 1,5 2,1 1,9 2,3 1,8 2,3 2,0 2,3 2,1 2,1 2,1 2,0 2,3 2,1 2,1 2,1 1,9 1,9 2,0 1,9 1,9 2,4 2,3 2,4 2,4 2,2 2,3 2,4 2,3 2,7 2,4 2,4 2,4 2,7 2,4 2,0 2,3 2,3 2,4 2,6 2,4 2,2 2,1 2,4 1,9 2,3 2,4 2,6 1,6 2,6 2,6 2,4 2,4 2,1 2,0 2,1 2,0 2,1 2,7 2,4 2,6 2,4 2,5 2,6 2,6 2,5 2,7 2,7 2,7 2,7 2,4 2,3 2,5 2,4 2,5 2,6 2,6 2,4 2,2 2,1 2,4 2,3 2,3 2,7 2,1 1,7 2,6 2,4 2,3 2,3 2,1 2,1 2,3 2,3 2,2 2,7 2,6 2,6 2,4 2,5 2,6 2,6 2,6 2,5 2,7 2,6 2,7 2,7 2,6 2,0 2,4 2,3 2,5 2,6 2,4 2,0 2,1 2,3 2,6 2,3 2,6 2,6 2,0 2,4 2,6 2,4 2,4 2,3 2,1 2,3 2,3 2,3 2,6 2,3 2,4 2,4 2,3 2,4 2,4 2,4 2,3 2,3 2,7 2,4 2,4 2,3 2,0 1,9 2,2 2,3 2,4 2,6 2,2 2,0 2,3 1,6 2,2 2,1 2,3 1,9 2,3 2,1 2,3 2,2 2,3 2,0 2,3 2,3 2,2 2,6 2,3 2,4 2,4 2,2 2,3 2,6 2,4 2,5 2,6 2,7 2,4 2,7 2,4 2,3 2,3 2,5 2,5 1,9 2,0 1,7 2,3 2,1 1,7 1,9 2,6 2,3 2,1 2,6 2,4 2,3 2,4 2,1 2,0 1,9 1,7 1,9 2,5 2,3 2,3 2,3 2,2 2,3 2,4 2,4 2,4 2,5 2,3 2,9 2,3 2,2 2,2 2,2 2,2 2,3 1,9 2,1 2,2 2,0 2,3 2,3 1,9 2,3 2,3 2,4 2,1 2,0 2,1 2,0 3 : Sudah terinternalisasi dan berjalan dengan baik 2 : Sudah terinternalisasi, tetapi belum berjalan dengan baik 1 : belum terinternalisasi 195 RERATA Kegiatan ritual 1,9 2,6 Interaksi antar guru RERATA Interaksi antara guru dengan kepala sekolah Interaksi antara siswa, guru dan kep sek dengan tenaga non kependidikan Struktur organisasi 2,3 Interaksi antara siswa dengan kepala sekolah Sejarah organisasi Tokoh-tokoh organisasi Internalisasi ke dalam Lapisan Asumsi Metafora Kreatif Inovatif Motivasi kuat untuk sukses Kerja keras Berani mengambil resiko Berorientasi pada tindakan Visi jauh ke depan Jujur Kerja sama Tanggung jawab Pantang menyerah Komunikatif Rerata Internalisasi ke dalam lapisan Nilai-nilai dan keyakinan Bahasa dalam komunikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nilai-nilai / Karakter Kewirausahaan Internalisasi kedlm Lapisan Artifak pada Dimensi Material Visi misi No Internalisasi ke dalam lapisan Artifak pada Dimensi Perilaku Kurikulum Internalisasi ke dalam lapisan Artifak pada Dimensi Verbal Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari tabel diatas terlihat bahwa rerata internalisasinya berada pada kisaran nilai 2 yang berarti bahwa di SMK sebenarnya sudah terjadi proses internalisasi, tetapi belum dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu melalui penelitian ini yang akan ditindak lanjuti dengan implementasi model dalam skala luas pada penelitian tahap 2, diharapkan dapat mengembangkan kultur kewirausahaan di SMK dengan cara menginternalisasikan kesepuluh nilai-nilai/karakter kewirausahaan kedalam masing-masing lapisan kultur sekolah. Pendekatan yang digunakan untuk menginternalisasi nilai-nilai/karakter kewirausahaan ke dalam kultur sekolah dapat menggunakan berbagai macam, antara lain pendekatan struktural dan pendekatan kultural maupun pendekatan figur. Gambar 4. Pendekatan dalam Internalisasi Kultur Kewirausahaan Seperti yang disampaikan oleh Sarason (1982: 28) menyatakan dalam bukunya The Culture of The School and The problem of Chance yang dikutip oleh Moerdiyanto (2007) yang menyatakan bahwa kultur sekolah dapat dikembangkan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Perbaikan sistem persekolahan pada intinya adalah membangun sekolah persekolah melalui kekuatan utama di sekolah yang bersangkutan. Upaya perbaikan mutu sekolah perlu memahami budaya/kultur sekolah sebagai modal dasarnya. Melalui pemahaman kultur sekolah, maka berfungsinya sekolah dapat dipahami, aneka permasalahan dapat dimengerti, dan pengalaman-pengalaman dapat direfleksikan. Setiap sekolah memiliki keunikan berdasarkan pola interaksi komponen warga sekolah secara internal dan eksternal. Oleh sebab itu dengan memahami ciri-ciri kultur sekolah akan dapat dilakukan tindakan nyata dalam perbaikan mutu sekolah. Jika pencapaian mutu sekolah memerlukan usaha mengubah kondisi dan perilaku sekolah, warga sekolah dan pendukung sekolah maka pengembangan kultur dengan pendekatan struktural akan gagal. Tetapi pengembangan mutu sekolah dengan pendekatan kultural (budaya) diyakini dapat menggerakkan usaha perbaikan jangka panjang. . Kotter (1996:98-99) menyatakan bahwa pendekakatan struktural melalui seperangkat peraturan dan komando-komando formal hanya akan mampu merestrukturisasi perilaku dalam jangka pendek. Intervensi yang lebih tepat untuk membangun budaya mutu sekolah adalah melalui pendekatan kultural yang dalam jangka panjang akan mampu menggerakkan perubahan secara 196 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mantap. Pengembangan model kultural lebih pada memperbaiki mindset, motivasi dan perilaku budaya seluruh warga sekolah. Untuk megembangkan kultur sekolah guna mendukung pengembagan kultur kewirausahaan maka perlu diperhatikan berbagai hal yang dapat mempengaruhi kultur sekolah. Menurut Mondy & Noe (1990:315) faktor·faktor yang mempengaruhi budaya organisasi meliputi: (1) Komunikasi Komunikasi yang efektif dalam organisasi mempunyai dampak positif terhadap budaya organisasi. Dengan komunikasi efektif tersebut, manajemen dapat melakukan sosialisasi misi dan tujuan organisasi, menyampaikan peraturan dan kebijakan organisasi. (2) Motivasi Upaya memotivasi anggota organisasi membentuk budaya tersendiri dalam organisasi. (3) Karakteristik Organisasi Karakteristik organisasi, seperti ukuran dan kompleksitas akan menentukan tingkat spesialisasi dan hubungan personal dan selanjutnya mempengaruhl otoritas tingkat keputusan, tanggung jawab, dan proses komunikasi yang terjadi. (4) Proses Administratif Proses administratif yang dimaksud meliputi proses pemberian penghargaan kepada yang berprestasi, toleransi kepada konflik dan kelompok kerja yang terjadi. Proses ini akan mempengaruhi budaya, sebab akan menunjukkan individu yang bagaimana yang dipandang, berhasil dalam perusahaan. (5) Struktur Organisasi Dalam perusahaan mungkin terjadi sentralisasi atau formalisasi yang tinggi atau rendah, dan juga mungkin struktur organisasi bersifat kaku atau fleksibel. Dalam struktur kaku dan formalisasi tinggi akan berlaku kebiasaan untuk menghindari sesuatu yang tidak pasti dan segala sesuatu harus dibuat aturan tertulisnya. Sedangkan kebalikannya, struktur fleksibel dan formalisasi tidak tinggi, mungkin anggota akan terbiasa menghadapi ketidakpaslian secara kreatif dan mandiri. (6) Gaya Manajemen Gaya manajemen berkaitan dengan kepemimpinan sangat mempengaruhi budaya organisasi. Jadi bagaimana proses. perencanaan, perngorganisasian, kegiatan memimpin serta pengendalian yang dilakukan akan mencerminkan gaya manajemen yang berlaku yang tentunya mempengaruhi budaya organisasi. Dari teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kultur organisasi dan teori tentang proses pembentukan kultur sekolah di depan dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kultur sekolah terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. 197 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Faktor-faktor internal yang mempengaruhi kultur sekolah terdiri dari : (1) filsafat pendiri sekolah, (2) visi dan misi sekolah, (3) nilai-nilai pemilik sekolah, (4) gaya manajemen kepala sekolah, (5) karakteristik sekolah, (6) komunikasi antar warga sekolah, (7) struktur organisasi, (8) best practice warga sekolah, (8) dan (9) kultur sekolah yang sudah berjalan. Adapun faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kultur sekolah meliputi: (1) peraturan perundang-undangan, (2) kebijakan pemerintah pusat, (3) kebijakan pemerintah daerah, (4) kultur masyarakat di sekitar sekolah, dan (5) kultur keluarga dari peserta didik. Kesimpulan 1. Pengembangan kultur kewirausahaan di SMK dapat dilakukan melalui internalisasi nilainilai/karakter kewirausahaan kedalam kultur sekolah, 2. Karakter kewirausahaan yang perlu diinternalisasikan meliputi: (a) mindset yang terdiri dari : kreatif, inovatif dan visi jauh ke depan; (b) heartset yang terdiri dari: berani mengambil resiko, jujur, tanggung jawab, pantang menyerah dan motivasi kuat untuk sukses; (c) actionset yang terdiri dari: kerja keras, berorientasi pada tindakan,komunikatif, dan kerjasama 3. Pendekatan yang dapat digunakan dalam internalisasi tersebut meliputi: pendekatan figur, pendekatan kultur dan pendekatan struktur, 4. Kultur sekolah sebagai sasaran internalisasi terdiri dari tiga lapisan yaitu: a. Lapisan artifak yang meliputi : (1) dimensi verbal yaitu ungkapan lisan/tertulis dalam bentuk kalimat atau kata-kata yang mencakup: visi misi, kurikulum, bahasa/komunikasi, metafora, sejarah organisasi, tokoh-tokoh organisasi, struktur organisasi, (2) dimensi perilaku yang mencakup: kegiatan ritual, upacara, KBM, prosedur operasional, peraturan sekolah, dukungan psikologis, dukungan sosial, interaksi dengan orangtua, interaksi dengan masyarakat, dan (3) dimensi material mencakup: peralatan, fasilitas, layout/bentuk bangunan, motto/slogan, hiasan-hiasan/seni, cara berpakaian, b. Lapisan nilai-nilai dan keyakinan merupakan nilai-nilai bersama yang dianut oleh warga sekolah yang berkaitan dengan apa yang penting, apa yang baik dan apa yang benar, c. Lapisan asumsi merupakan nilai-nilai yang telah diyakini kebenarannya dan dijadikan petunjuk yang harus dipatuhi oleh warga sekolah. Daftar Pustaka Deal & Peterson (2009a). The Shaping School Culture: Pitfalls, Paradoxes & Promises. Second Edition. San Fransisco : Jossey-Bass Deal & Peterson (2009b). The Shaping School Culture: Field Book. Second Edition. San Fransisco : Jossey-Bass Depdiknas. (2003). Pedoman Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 198 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Endang Mulyani, dkk (2010). Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Joko Sutrisno, (2005). Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kunci Keberhasilan SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK. Kuratko, Donald F., & Hodgetts, R.M. (2009). Entrepreneurship : Theory, Process, Practice. Mason: South-Western Cengage Learning. Meredith, Geoffrey G. (2002). Kewirausahaan Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Muhammad Nuh, (2009). Kebijakan Pendidikan Nasional Dorong Kewirausahaan Diakses dari http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/ beritaumum/336.html pada tanggal 4 Januari 2011. Muhammad Nuh. (2010). Peraturan Menteri Nomor 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai kepala Sekolah. Jakarta: Kementrian Pendidikan. Ojat darojat. (2010). Pendidikan Kewirausahaan. Diakses dari http://pustaka.ut.ac.id /website/index.php?option=com_content &view=article&id=133:pkop4206-pendidikankewirausahaan& Itemid=75&catid=30:fkip pada tanggal 15 Oktober 2010 Pascasarjana UNY. (2003). Studi Efektifitas Pemberian Beasiswa Bakat dan Prestasi, Pengembangan Kultur Sekolah dan Analisis Studi Kebijakan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Rahman, dkk. (2006). Peran Strategis Kapala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jatinangor: Alqaprint. Rusman Heriawan. (2011). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 10 Maret 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Schein, Edgard H. (2010). Organizational Culture and Leadership. 4rd Edition. San Fransisco : JoseyBass. Suyanto. (2007). SMK Solusi yang Tepat Mengatasi Pengangguran Terdidik. Diakses pada tanggal 15 Oktober 201 dari http://www.bipnewsroom.info/index.php?&newsid =24658&_link= loadnews.php Suyanto. (2009). Pemerintah Tingkatkan Pendirian SMK untuk Atasi Pengangguran. Jakarta: Tempo interaktif. Surya Dharma. (2009). Bahan Belajar Fleksible : Kewirausahaan. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen PMPTK. Surya Dharma. (2010). Kewirausahaan : Materi Pelatihan Penguatan Kepala Sekolah. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen PMPTK. Yuyus Suryana & Kartib Bayu. (2010). Kewirausahaan: Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses. Jakarta: Kencana. Wardoyo. (2010). Kewirausahaan. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2010 dari http://wardoyo. staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/5053/Kewirausah. 199 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Wartanto. (2010). Membangun Jiwa Kewirausahaan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal, Kementerian Pendidikan Nasional. Winarno. (2011). Pengembangan Sikap Entrepreneurship dan Intrapreneurship. Jakartta: PT. Indeks. Zimmerer, T.W & Scarborough, N.M. (2008) Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management (terjemahan). Jakarta: Salemba Empat. 200 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENDIDIKAN SOFT SKILLS DAN HARD SKILLS BAGI SISWA SMK UNTUK MENYIAPKAN TENAGA KERJA TERAMPIL Widarto Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Era global di abad ke 21 saat ini nampak sekali adanya perkembangan dan perubahan yang begitu pesat dalam berbagai hal di masyarakat, mulai dari kebutuhan infrastruktur, sosial budaya, teknologi, dan lain-lain yang semuanya itu akan berdampak pada tuntutan Sumber Daya Manusia (SDM). Kebutuhan SDM saat ini menuntut mereka yang memiliki semangat daya saing, adaptif dan antisipatif, terbuka terhadap perubahan, mampu belajar, terampil, mudah beradaptasi dengan teknologi baru, serta memiliki dasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang. Artikel ini ingin membahas bagaimanakah menyiapkan siswa SMK Kelompok Teknologi & Industri yang memiliki ciri-ciri seperti telah di atas melalui pembelajaran yang efektif dan efisien. Prosedur penelitian menggunakan Research and Development (R&D) versi Borg & Gall (2003). Pelaksanaan penelitian dibuat dalam beberapa tahap yakni: mencari data dasar permasalahan, menggali needs assessment, membuat metode pembelajaran, membuat perangkat pembelajaran, dan menentukan lima SMK untuk uji coba metode pembelajaran. Tahap pertama penelitian dilakukan dengan studi literatur dan survei ke beberapa sekolah dan industri. Tahap kedua melaksanakan Focused Group Discussion (FGD) untuk klarifikasi dengan para praktisi industri, guru dan Kepala SMK. Hasil masukan dari guru, Kepala Sekolah dan para praktisi industri digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran. Tahap ketiga penelitian adalah menerapkan metode pembelajaran. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa profil tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja saat ini adalah yang kuat pada aspek soft skills (disiplin, kejujuran, komitmen, tanggungjawab) tanpa meninggalkan aspek hard skills (kompetensi teknis). Terdapat tiga alternatif Model Pendidikan yang dapat mengembangkan soft skills dan hard skills secara seimbang, yakni: (1) Sekolah Kejuruan, (2) Sistem Kerja Sama, dan (3) Kombinasi Pendidikan dan Latihan. Untuk melaksanakan model pendidikan seperti itu, kurikulum SMK tetap mengacu Kurikulum Nasional, dengan struktur disederhanakan, sedangkan aspek soft skills dapat diintegrasikan di dalam RPP yang disusun. Metode pembelajaran yang diterapkan sangat tergantung di mana tempat pendidikan berlangsung. Jika tempat pendidikan di sekolah, maka metode pembelajaran aktif relevan untuk diterapkan. Namun, pada saat tempat pendidikan di DUDI atau teaching factory, maka metode yang paling tepat adalah learning by doing. Untuk mewujudkan kompetensi lulusan sebagaimana dituliskan di bagian sebelumnya, karakteristik guru yang diperlukan adalah: (1) The Adaptor, (2) The Visionary, (3) The Collaborator, (4) The Risk Taker, (5) The Leaner, (6) The Communicator, (7) The Model, dan (8) The Leader. Kata kunci : Soft skills, Siswa SMK, Tenaga kerja terampil Pendahuluan Tatanan dunia baru di abad ke 21 banyak mengalami perubahan. Salah satu contohnya, saat ini dunia sudah mulai memasuki tatanan perdagangan bebas. Tatanan yang seperti ini semakin membuka peluang kerjasama antarnegara. Namun di sisi lain, perubahan tersebut membawa konsekwensi persaingan yang makin ketat dalam hal barang, jasa, modal maupun tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk dapat berkiprah dalam era tersebut diperlukan SDM yang mempunyai daya saing dengan negara lain, adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan kondisi baru, terbuka terhadap perubahan, mampu belajar bagaimana belajar (learning how to 201 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta learn), memiliki berbagai keterampilan, mudah dilatih ulang, serta memiliki dasar-dasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang di masa yang akan dating (Depdikbud, 1997). Untuk dapat beradaptasi dengan tatanan dunia baru tersebut Wagner (2008), dalam buku The Global Achievement Gap menuliskan tujuh keterampilan agar mampu bertahan dalam tata dunia baru, yakni: (1) Critical thinking and problem solving, (2) Collaboration across networks and leading by influence, (3) Agility and adaptability, (4) Initiative and entrepreneurialism, (5) Effective oral and written communication, (6) Accessing and analyzing information, dan (7) Curiosity and imagination. Dengan demikian kualitas SDM merupakan salah satu faktor penentu terpenting untuk dapat berkiprah dalam era tersebut. SDM yang berkualitas akan mampu meraih peluang kerjasama dengan negara lain. Oleh karena itu, kualitas SDM harus mendapatkan prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan guna mendapatkan kualitas tenaga kerja yang baik. Tenaga kerja yang berkualitas dan memiliki etos kerja yang tinggi akan memperkuat posisi industri yang pada akhirnya akan mempekuat perekonomian negara. Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda calon tenaga kerja merupakan tanggung jawab dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh dan terampil. Dengan kata lain, melalui pendidikan akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas sehingga lebih produktif dan mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain. Senada dengan pendapat Wagner, I Nyoman Sucipta (2009) menyebutkan bahwa di abad 21 ini, siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut memiliki Delapan Kompetensi Lulusan, yakni: (1) Communication skills, (2) Critical and creative thinking, (3) Information/digital literacy, (4) Inquiry/reasoning skills, (5) Interpersonal skills, (6) Multicultural/multilingual literacy, (7) Problem solving, dan (8) Technological/vocational skills.Dari delapan kompetensi siswa SMK tersebut, kompetensi 1 s.d. 7 merupakan soft skills, sementara kompetensi 8 merupakan hard skills. Kualitas SDM di dunia kerja, khususnya pada sektor industri dapat dilihat dari kualitas produk yang dihasilkan. Banyak aspek yang ikut menentukan kualitas produk hasil kerja karyawan. Berikut ini disampaikan hasil survei ke industri manufaktur dalam rangka ingin mengetahui aspekaspek apakah yang berpengaruh dalam menghasilkan produk yang berkualitas. Pimpinan perusahaan memberikan pendapat bahwa kontribusi pengetahuan, keterampilan, sikap dan kondisi fisik karyawan untuk menghasilkan produk yang berkualitas seperti tampak pada Gambar 1. 30 25 20 15 10 5 0 Sikap 28.33% Kondisi Fisik 26.33% Pengetahuan 23.00% Keterampilan 22.33% Gambar 1. Pendapat pimpinan perusahaan 202 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Karyawan memberikan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan pendapat pimpinan terkait berapa besar kontribusi pengetahuan, keterampilan, sikap dan kondisi fisik karyawan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Pendapat karyawan tampak seperti pada Gambar 2. 35 30 25 20 15 10 5 0 Sikap 30% Kondisi Fisik 27% Pengetahuan 23% Keterampilan 20% Gambar 2. Pendapat karyawan Dari kedua gambar di atas tampak bahwa aspek sikap merupakan aspek yang memiliki kontribusi terbesar untuk menghasilkan produk yang berkualitas selanjutnya secara berturut-turut adalah kondisi fisik, pengetahuan dan keterampilan. Hal ini menjadi menarik, mengingat selama ini SMK mendidik siswa sebagai calon tenaga kerja industri lebih menekankan kepada aspek keterampilan dan pengetahuan. Fakta inilah yang merupakan suatu kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia industri. Oleh karena itulah, untuk mengatasi kesenjangan yang ada, perusahaan biasanya melakukan strategi sebagai berikut: a. Dalam memilih karyawan baru lebih menekankan pada aspek kompetensi sikap/watak. b. Basic skills yang diutamakan bagi karyawan baru meliputi dua hal saja, yakni membaca gambar kerja dan menggunakan alat ukur c. Karyawan baru perlu pelatihan khusus d. Pelatihan dilakukan di dalam perusahaan e. Materi pelatihan : Peraturan Perusahaan K3, Motivasi, Wawasan ISO 9000 Berdasarkan hal-hal di atas, yang menjadi pekerjaan besar kita adalah bagaimana menyiapkan SDM yang mempunyai sikap kerja yang baik agar mampu meningkatkan daya saing dengan negara lain, adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan kondisi baru, terbuka terhadap perubahan, mampu belajar bagaimana belajar (learning how to learn), memiliki berbagai keterampilan, mudah dilatih ulang, serta memiliki dasar-dasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang di masa yang akan dating. Makalah ini ingin membahas bagaimana model pendidikan dan perencanaan pembelajaran sikap atau soft skills agar mampu menyiapkan kebutuhan tenaga kerja yang memiliki ciri-ciri seperti telah disebutkan di atas secara efektif dan efisien. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka artikel ini ingin membahas : a. Profil tenaga kerja seperti apakah yang dibutuhkan dunia kerja? b. Bagaimanakah model pendidikan soft skills dan hard skills untuk menyiapkan tenaga kerja terampil? 203 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta c. Bagaimanakah struktur kurikulum untuk pendidikan soft skills dan hard skills untuk menyiapkan tenaga kerja terampil? d. Bagaimanakah metode pembelajaran soft skills dan hard skills untuk menyiapkan tenaga kerja terampil? e. Karakteristik guru seperti apakah yang diperlukan untuk pembelajaran soft skills dan hard skills untuk menyiapkan tenaga kerja terampil? Metode penelitian Prosedur penelitian menggunakan Research and Development (R&D) yang menurut Borg & Gall (2003) terdiri atas 10 langkah, yaitu: (1) penelitian dan pengumpulan informasi, (2) perencanaan, (3) pengembangan produk awal, (4) uji coba pendahuluan, (5) revisi produk, (6) uji coba di lapangan, (7) revisi produk, (8) uji operasional di lapangan, (9) revisi produk akhir, dan (10) desiminasi dan implementasi. Pelaksanaan penelitian dibuat dalam beberapa tahap yakni: mencari data dasar permasalahan, menggali needs assessment, membuat metode pembelajaran, membuat perangkat pembelajaran, menentukan lima SMK untuk uji coba metode pembelajaran. Tahap pertama penelitian dilaksanakan dengan mencari data dasar permasalahan, menggali needs assessment dari dunia industri, membuat metode pembelajaran, dan menyusun perangkat pembelajaran. Data penelitian dikumpulkan dari studi literatur dan survei ke sekolah dan industri. Survei dilakukan di SMA Taruna Nusantara Magelang, SMK PIKA Semarang, SMK St. Mikael Surakarta, SMK Tunas Harapan Pati, CV Karya Hidup Sentosa Yogyakarta, dan PT MAK Kalasan. Tahap kedua adalah melaksanakan work shop untuk melakukan klarifikasi dengan para praktisi industri, guru SMK, dan Kepala Sekolah, yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan Focused Group Discussion (FGD). Hasil masukan dari praktisi, guru, dan Kepala Sekolah digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran. Tahap ketiga penelitian adalah menerapkan metode pembelajaran hasil pengembangan. Metode pembelajaran diterapkan pada lima SMK, yakni: (1) SMKN 2 kota Yogyakarta, (2) SMK, Muhammadiyah Prambanan, (3) SMKN 2 Wonosari (4) SMKN 1 Seyegan dan (5) SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Di dalam penerapan metode pembelajaran ini melibatkan mahasiswa S1 untuk menyelesaikan skripsi dan guru SMK sebagai kolaborator dalam rangka membuat karya ilmiah. Hasil dan Pembahasan 1. Profil sikap (soft skills) tenaga kerja yang dibutuhkan pasar Hasil needs assessment ke Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) bidang Pemesinan di wilayah Yogyakarta diperoleh hasil seperti tampak pada Gambar 3 berikut: 204 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Gambar 3. Aspek soft skills tuntutan dunia kerja Dari hasil needs assessment di atas tampak bahwa aspek-aspek soft skills (disiplin, jujur, komitmen, dan tanggung jawab) menduduki ranking atas sebagai persyaratan yang diperlukan dunia kerja. 2. Model pendidikan hard skills dan soft skills di SMK untuk menyiapkan tenaga kerja terampil Kompetensi yang dituntut kepada siswa SMK adalah Delapan Kompetensi Lulusan, sepeti telah diuraikan di atas. Untuk menghasilkan calon tenaga kerja yang memiliki Delapan Kompetensi Lulusan seperti itu, penyelenggaraan pendidikan di SMK perlu menerapkan model pendidikan yang cocok agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal. SMK dapat menerapkan model pendidikan sesuai dengan program studinya dan karakteristik siswa. Simanjutak dalam Heru Subroto (2004) mengemukakan tiga model pendidikan kejuruan untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil, yaitu: (1) Sekolah Kejuruan, (2) Sistem Kerja Sama, dan (3) Kombinasi Pendidikan dan Latihan. Yang dimaksud model pendidikan Sekolah Kejuruan adalah pendidikan yang tempat penyelenggaraannya di sekolah dan bersifat formal. Model ini banyak diterapkan di berbagai negara. Di Indonesia, pada jenjang pendidikan menengah diberi nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Secara garis besar, materi pembelajaran di SMK dibagi menjadi dua bagian, yaitu: teori yang disampaikan di dalam kelas, dan praktik yang dilaksanakan di laboratorium/bengkel. Seluruh kegiatan pembelajaran teori dan praktik dilaksanakan di sekolah, dengan menitik beratkan pada bentuk-bentuk pembelajaran keterampilan dasar. Model pendidikan Sistem Kerja Sama adalah pola penyelenggaraan pendidikan kerja sama antara sekolah dengan dunia kerja atau DUDI. Impelementasinya, sebagian penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan di sekolah, dan sebagian dilaksanakan di DUDI. Kegiatan pendidikan teori dan praktik dasar diselenggarakan di sekolah, sedangkan praktik lanjut dilaksanakan di DUDI dengan real job. Salah satu negera pelopor sistem ini adalah Jerman. Indonesia mengadopsinya dengan nama Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Di Negara Jerman model ini dapat berjalan dengan baik, karena jumlah industri di negara ini sangat mendukung, sedangkan PSG di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. 205 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Model Kombinasi Pendidikan dan Latihan, merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang memadukan sekolah dan latihan kerja. Meskipun model ini belum banyak diterapkan di Indonesia, beberapa sekolah telah merintisnya dalam bentuk Unit Produksi. Sekolah produksi diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu: (1) Sekolah produksi sederhana, (2) Sekolah produksi yang berkembang, dan (3) Sekolah produksi yang berkembang dalam bentuk pabrik sebagai tempat belajar. Model pertama yaitu sekolah produksi sederhana dalam pelaksanaannya mempunyai bentuk sederhana yang mempunyai sifat mendasar. Ciri khas model ini mengacu pada ciri-ciri organisasi pada suatu sekolah. Antara sekolah produksi dan kegiatan pendidikan tercakup dalam lembaga dan bentuk organisasinya ditentukan oleh peraturan tentang persekolahan yang birokratis. Sekolah semacam ini dilengkapi dengan bengkel atau suatu bangunan gedung untuk kegiatannya. Dilihat dari simulasi realitas perusahaan, setaraf dengan perusahaan pekerjaan tangan. Gerak ke luar yang dilakukan sekolah ini terbatas. Struktur prestasi dan struktur personalia pada umumnya tunduk pada norma-norma organisasi sekolah. Model kedua, yaitu sekolah produksi yang berkembang (training and production), pelaksanaannya merupakan gabungan antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan produksi. Bentuk organisasi ini ditandai kombinasi antara bagian pendidikan dengan bagian produksi. Sekolah semacam ini dilengkapi bengkel untuk pendidikan dan bengkel untuk produksi. Taraf simulasinya setingkat dengan perusahaan manufaktur. Sekolah ini tidak terikat dengan peraturan persekolahan yang birokratis, sehingga cenderung lebih bebas. Model ketiga, yaitu sekolah produksi yang berkembang dalam bentuk pabrik sebagai tempat belajar. Model ini disebut pula dengan nama Teaching Factory. Penyelenggaraan model ini memadukan sepenuhnya antara belajar dan bekerja, setidaknya dalam bidang pokok atau inti. Bentuk organisasi sudah menunjukkan sifat perusahaan, sedangkan jenis pekerjaannya setingkat dengan pembuatan barang jadi yang modern. Tenaga pengajarnya terdiri dari para praktisi yang telah diberi bekal ilmu pendidikan dan para guru yang berpengalaman kerja di industri. Teaching Factory merupakan salah satu inovasi dalam upaya pemberdayaan SMK agar lebih bermutu. Prinsip ini menempatkan SMK selain sebagai penghasil lulusan yang merupakan calon tenaga kerja yang handal dan kompeten juga berperan sebagai penghasil produk maupun jasa yang layak jual. Dengan prinsip ini SMK dapat mengembangkan unit usaha baik penghasil produk maupun jasa yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Model ini telah dilaksanakan dengan baik oleh SMIK PIKA Semarang dan SMK Mikhael Surakarta. Pada kedua SMK itu telah menggabungkan antara kegiatan produksi dengan kegiatan praktik sekolah. Kegiatan praktik siswa di bengkel sekolah tidak hanya merupakan latihan dasar saja, tetapi memproduksi barang yang layak jual. Secara ekonomis, Teaching Factory mampu mendukung pembiayaan pendidikan di SMK sehingga proses pendidikan dapat lebih bermutu. 3. Struktur Kurikulum Berdasarkan tuntutan kompetensi yang seperti dituliskan di atas, maka untuk mencapainya, kurikulum perlu disusun yang sesederhana mungkin. Jenis mata pelajaran yang diajarkan meliputi: Mata pelajaran wajib berdasar Kurikulum Nasional, Dasar-dasar Komunikasi, Matematika Terapan, Komputer, Metoda Ilmiah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Project Work 206 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta and Enterpreneurship, dan Praktik Kejuruan. Pada Tabel 1, penulis mencoba menggambarkan usulan proporsi tiap-tiap mata pelajaran yang penting bagi siswa SMK. Tabel 1. Struktur kurikulum dan tempat pendidikan No. Mata Pelajaran Proporsi 1 2 3 4 5 Kurikulum Nasional Dasar-dasar Komunikasi Matematika Terapan Komputer Metoda Ilmiah 10% 5% 5% 5% 5% 6 7 Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Project Work and Enterpreneurship Praktik Kejuruan 5% 5% 8 9 Tempat Pendidikan Model 1 Model 2 Model 3 SMK SMK SMK 10% DUDI 50% Teaching Factory Nama-nama mata pelajaran di atas sifatnya tidak mengikat. Yang penting adalah esensi silabus yang tercermin dari nama mata pelajaran tersebut. 4. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran produktif yang perlu diterapkan dalam model Sekolah Kejuruan, di mana tempat pendidikan berlangsung di sekolah adalah pembelajaran aktif (learning by doing) dengan diikuti metode evaluasi berupa performance test. Strategi pembelajaran yang disarankan oleh Hisyam Z., Bermawy M., & Sekar Ayu A., (2004) bisas meliputi: a. Pengelompokkan (grouping) Metode pembelajaran ini dipilih dengan keyakinan bahwa di dalam kerja kelompok pasti akan terjadi interaksi sosial antarsiswa secara intensif. Dengan adanya interaksi sosial dan diskusi itu, diharapkan akan membiasakan sikap toleransi, membangun kerja sama yang kompak, dan secara alamiah akan memunculkan pemimpin di antara anggota kelompok itu. Tugas kerja yang harus diselesaikan secara berkelompok yang diberikan relevan dengan kegiatan praktik di bengkel, yakni merancang langkah kerja untuk mengerjakan benda kerja (job sheet). Agar rancangan kerja yang dibuat terarah, perlu diberikan contoh formatnya. Format yang diberikan dapat berbentuk Work-Preparation (WP) seperti pada Tabel berikut ini. Tabel 2. Contoh Format Work Preparation No Gambar Kerja Langkah Kerja Parameter Pemotongan Cutting Feeding n a Speed 207 Estimasi Waktu Keselamatan Kerja Mesin & Alat Tool Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kegiatan merancang WP ini diharapkan dapat merangsang kreativitas siswa dan membiasakan mereka berinisiatif. Mengingat di dalam kegiatan tersebut siswa memperoleh kebebasan untuk mengekspresikan gagasannya atau menuangkan rancangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya. b. Presentasi dan diskusi Melalui dua metode pembelajaran ini diharapkan semakin memperkuat sikap toleransi, melahirkan pemimpin di antara mereka, dan semakin membiasakan mereka untuk berinisiatif. c. Praktik kerja Hal yang tidak boleh dilupakan di dalam kegiatan praktik adalah setiap siswa wajib melaksanakan praktik secara mandiri. Oleh karena itu, porsi waktu yang paling banyak perlu diberikan kepada setiap siswa pada kegiatan ini adalah kegiatan praktik secara mandiri. Yang mendasari pemikiran ini adalah, hard skills itu sifatnya individu, sehingga harus dikembangkan oleh yang bersangkutan sendiri secara mandiri. Cara yang paling efektif mengembangkan hard skills tentu saja belajar dengan melakukan langsung (learning by doing). Kegiatan ini perlu dikondisikan atau dikontrol dengan ketat agar mampu membangun etos kerja yang handal. Etos kerja yang handal akan tercipta dalam suasana kerja yang penuh tanggung jawab. d. Review Kegiatan review dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja yang telah dicapai sebelumnya. Metode ini dipilih sesuai dengan karakteristik siswa dan mata kuliah yang diajarkan. Metode ini meliputi kegiatan Eksplorasi, Elaborasi, dan Klarifikasi (EEK). Dalam kegiatan eksplorasi, guru: (a) memfasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa, antara siswa guru dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lain yang tersedia; dan (b) melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan elaborasi guru: (a) memberikan kesempatan siswa untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; (b) memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; (c) memfasilitasi siswa membuat eksplorasi yang dilakukan secara lisan maupun tulisan, secara individu maupun kelompok; dan (d) memfasilitasi siswa menunjukkan produk yang dihasilkan. Kegiatan konfirmasi guru: (a) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan dan tulisan terhadap keberhasilan siswa; (b) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi siswa; dan (c) memfasilitasi siswa melakukan refleksi dalam memperoleh pengalaman yang bermakna. Pada proses ini guru banyak berperan: (a) sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan; (b) membantu menyelesaikan masalah; (c) memberi acuan agar siswa dapat melakukan hasil eksplorasi; (d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan (e) memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. (Ratna W.D., 2011). 5. Karakteristik Guru yang Diperlukan Untuk mewujudkan kompetensi lulusan sebagaimana dituliskan di bagian sebelumnya, karakteristik guru yang diperlukan adalah: (1) The Adaptor, (2) The Visionary, (3) The Collaborator, (4) The Risk Taker, (5) The Learner, (6) The Communicator, (7) The Model, dan (8) The Leader. Rincian masing-masing karakteristik tersebut adalah: 1. The Adaptor 208 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Guru harus mampu melakukan adaptasi kurikulum dan model pengajaran yang relevan; mampu mengadaptasi soft ware dan hard ware; dan mampu mengadaptasi teknologi. The Visionary Guru harus memiliki visi dan berwawasan luas; mampu melihat berbagai macam model pembelajaran di luar bidang yang diasuhnya; dan selalu memperbaiki serta memperkuat mata palajaran yang diasuhnya. The Collaborator Guru perlu berkolaborasi dengan sesama guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, tenaga perpustakaan, dan tenaga kependidikan lainnya. Berkolaborasi untuk menciptakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, bermakna, dan menyenangkan. Di sini peran guru sebagai mediator dan fasilitator. The Risk Taker Keberanian mengambil keputusan yang terbaik sesuai dengan tugasnya dalam melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah. The Learner Guru tidak hanya mengkreasi pengetahuan, tetapi juga mengadaptasi, memperluas, dan memperdalam pengetahuan. The Communicator Guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi agar bisa menyampaikan secara jelas substansi yang akan diberikan kepada siswanya. The Model Guru sebagai teladan nilai-nilai dan nilai-nilai itu harus diinternalisasikan di dalam kehidupan nyata baik oleh guru maupun siswanya. The Leader Guru sebagai pemimpin harus mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan siswa untuk belajar secara baik dan memahami materi pembelajaran yang disampaikan. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang dibutuhkan lulusan SMK secara garis besar meliputi soft skills dan hard skills seperti yang dirumuskan dalam Delapan Kompetensi Lulusan. Untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi tersebut dapat ditempuh melalui tiga Model Pendidikan, yakni: (1) Sekolah Kejuruan, (2) Sistem Kerja Sama, dan (3) Kombinasi Pendidikan dan Latihan. Salah satu model tersebut jika dilaksanakan dengan struktur kurikulum yang sederhana dan strategi pembelajaran yang produktif yang tepat, serta didukung oleh guru yang kreatif dan beretos kerja tinggi diyakini akan mampu menghasilkan lulusan SMK yang memiliki kompetensi sebagai kerja tenaga kerja terampil. Daftar Pustaka Abbas Ghozali, 2004. Studi Peranan Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Akhmad Sudrajat, 2011. Kurikulum & Pembelajaran dalam Paradigma Baru. Yogyakarta: Paramitra Publishing. 209 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Basuki Wibawa, 2005. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Manajemen dan Implementasinya di Era Otonomi. Surabaya: Kertajaya Duta Media. Borg, W.R. & Gall, M.D., (2003). Educational Research: An Introduction(7th Ed.) Boston: Pearson Education Inc. Darmiyati Zuchdi, dkk., 2009. Pendidikan Karakter. Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press. Depdikbud, 1997. Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global. Jakarta. Depdiknas, 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Kidup (Life Skills) melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas. Jakarta. Elfindri, et al., 2010. Soft Skills untuk Pendidik. Padang: Baduose Media. Heru Subroto, 2004. Kinerja Unit Produksi SMK Negeri kelompok Teknologi dan Industri di Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Hamzah B. Uno, 2007. Model Pembelajaran. Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, & Sekar Ayu Aryani, 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD IAIN Sunan Kalijaga. I Nyoman Sucipta, 2009. Holistik Soft Skill. Denpasar: Udayana University Press. Johnson, D.W. Johnson, R.T. & Holubec, E.J., 2010. Colaborative Learning. Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama. Penerjemah: Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media. Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rosda. Mudrajad Kuncoro, 2007. Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030. Yogyakarta: Andi Offset. Paula Panen, Dina Mustafa, & Mestika Sekar Winahyu, 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Dikti Depdiknas. Ratna Wilis Dahar, 2011. Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Wagner, T., 2008. The Global Achievement Gap. New York: Basic Books. 210 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PETA PENGUASAAN KOMPETENSI SISWA SMA UNTUK MATA PELAJARAN EKONOMI DI KABUPATEN MAGELANG DAN KOTA MAGELANG JAWA TENGAH Ali Muhson Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Hasil ujian nasional beberapa tahun terakhir ini menarik untuk dicermati. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kompetensi yang cenderung kurang berhasil dikuasai peserta didik khususnya untuk mata pelajaran ekonomi sebagaimana tercermin dalam hasil ujian nasional siswa SMA sehingga dapat diungkap faktor penyebab dan menemukan penjelasan bagaimana peserta didik tidak menguasai kemampuan tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Magelang dan Kota Magelang dengan mengambil sampel sebanyak 6 SMA. Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi hasil UN tahun 2008, 2009 dan 2010, angket, wawancara dan FGD. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa masih banyak kompetensi yang belum terkuasai siswa. Penguasaan kompetensi akuntansi lebih menonjol dibandingkan dengan kompetensi ekonomi. Hal ini terjadi karena alokasi materi di kelas XI yang terlalu padat dan para siswa lebih tertarik untuk belajar ekonomi dibandingkan dengan akuntansi. Untuk itu pemanfaatan MGMP antar sekolah dan intern sekolah, benarbenar sebagai forum untuk pengembangan profesionalitas guru. Kata kunci: Kompetensi ekonomi, Ujian Nasional Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peningkatan kualitas pendidikan mutlak perlu terus dilakukan guna memenuhi tuntutan di atas. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan di antaranya adalah guru, kondisi siswa, pengelola sekolah, lingkungan, dan kurikulum. Hasil penelitian Mardapi, dkk (2010) juga menemukan bahwa faktor determinan yang menentukan kualitas pembelajaran yakni faktor pendidik, kepala sekolah, dan manajemen. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidik memiliki peran yang sangat sentral dalam meningkatkan kualitas pendidikan. 211 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Menurut Irawan sebagaimana dikutip Setiaji (2010) dalam kegiatan pembelajaran, perlu ditempuh strategi-strategi pokok yaitu 1) menciptakan iklim pembelajaran kondusif, 2) diagnosis kebutuhan belajar, 3) perencanaan, 4) formulasi tujuan, 5) mengembangkan model umum, 6) menetapkan materi dan teknik pembelajaran, dan 7) peranan evaluasi. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran akan berjalan dengan baik jika pendidiknya juga kompetensi yang mamadai baik dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi hasil belajar. Hal senada juga disampaikan oleh Mardapi bahwa usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi siswa untuk belajar yang lebih baik (Widoyoko, 2009). Dengan demikian salah satu faktor penting untuk efektivitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran. Ujian nasional sebenarnya adalah salah satu instrumen manajemen mutu, yakni menerapkan seperangkat standar yang berlaku secara nasional, untuk menghasilkan informasi yang dapat dipakai dalam pembuatan keputusan, mengenai seberapa pendidikan sudah memenuhi standar, termasuk seberapa para peserta didik memenuhi standar mutu yang berlaku pada jenjang/jenis pendidikan yang ditempuh. Polemik publik sekitar ujian nasional dapat dipahami sebagai dinamika dalam mencapai kesepahaman dan kesepakatan antar berbagai pihak stakeholder pendidikan, mengenai cara dan instrumen yang tepat untuk menilai mutu pendidikan. Hasil ujian nasional beberapa tahun terakhir ini menarik untuk dicermati, beberapa anomali terjadi. DIY yang biasanya bagus, di tahun 2010 yang lalu jatuh terpuruk menduduki kelompok teburuk; meskipun kemudian mendapatkan hibah untuk peningkatan mutu, tentunya tidak harus bangga dengan hibah tersebut, karena menyimbulkan keterpurukan. Kemudian publik tertarik untuk mengangkat nilai kejujuran, misalnya: “meskipun tingkat kelulusan rendah, tetapi jujur”; “yang tingkat kelulusannya tinggi belum tentu jujur”. Sementara itu diketahui bahwa memang terjadi bentuk praktik ketidak-jujuran, penyimpangan prosedur, dan pelanggaran peraturan. Bahkan akhirnya muncul indek kejujuran dalam pelaksanaan ujian nasional, dan berdasarkan indek ini diidentifikasi ada wilayah putih artinya jujur, dan ada wilayah abu-abu artinya tidak jujur. Berbagai argumentasi populis dibesar-besarkan, dan diulang-ulang, banyak anak stres, sekolah tiga tahun hanya ditentukan hasilnya dalam waktu ujian nasional tiga hari, mengebiri hak profesi guru untuk menilai siswa-siswinya sendiri. Berbagai argumentasi tersebut hanya berada di tingkat permukaan, tidak menyentuh hal-hal yang lebih mendasar. 1. Hasil UN yang fluktuatif menunjukkan bahwa ada kelemahan dan kesalahan dalam pelaksanaan pendidikan SMA, termasuk proses pengujiannya; sehingga hasil UN tidak sertamerta dipercaya sebagai satu-satunya alat seleksi masuk ke perguruan tinggi. Namun kelemahan atau kesalahan tersebut belum selalu terdeteksi, terpetakan, dan dipahami dengan baik; bagian mana ada pada murid, guru, pelaksanaan KBM, manajemen sekolah, manajemen pendidikan di daerah. 212 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Evaluasi pendidikan termasuk UN seharusnya menghasilkan informasi yang menjadi dasar pembuatan keputusan dan pelaksanaan tindakan untuk memperbaiki. Namun, belum ada tindak lanjut yang tepat dan terencana serta memiliki nilai inovatif dan strategis yang mampu menyentuh akar permasalahan, dan berdampak pervasif terhadap kinerja keseluruhan sistem, untuk mengatasi permasalahan pada murid, guru, sekolah, dan daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut kajian ini bertujuan untuk memetakan kompetensi yang cenderung kurang berhasil dikuasai peserta didik khususnya untuk mata pelajaran ekonomi sebagaimana tercemin dalam hasil ujian nasional siswa SMA pada tiap pokok bahasan (KD/indikator2-nya) sehingga dapat diungkap faktor penyebab dan menemukan penjelasan bagaimana peserta didik tidak menguasai kemampuan tersebut. Kemajuan teknologi informasi dan kemajuan bisnis dewasa ini, di masyarakat telah menimbulkan tuntutan baru. Tuntutan yang didasarkan kepada kebutuhan untuk mengetahui atau menentukan potensi seorang manusia memerlukan adanya assesmen atau evaluasi kompetensi. Di dunia usaha, perusahaan menginginkan potensi para buruh yang direkrutnya. Badan usaha milik swasta maupun milik Negara ingin mengetahui potensi para pegawainya. Di dunia pendidikan, perguruan tinggi ingin mengetahui para lulusan di jenjang di bawahnya (SMA/MA/SMK) yang melanjutkan di universitas yang diinginkannya. Para penyelenggara sekolah, menginginkan agar para lulusan jenjang sebelumnya agar memilih melanjutkan studi di sekolahnya; Ini semua bisa dilakukan dengan baik jika mereka melakukan atau memperoleh data dengan melakukan asesmen. Media asesmen ini bisa bervariasi namanya termasuk di antaranya tes, ulangan, ujian, dan evaluasi. Jika tindakan untuk mengetahui potensi para siswa dilakukan secara nasional sama, atau dengan standar yang sama, maka kegiatan tersebut bisa disebut ujian nasional; sebaliknya jika kegiatan untuk mengetahui potensi seseorang tersebut dilakukan oleh masing-masing daerah misal propinsi/kabupaten, maka disebut kegiatan asesmen daerah. Demikian juga jika kegiatan asesmen dilakukan oleh unit sekolah, maka bisa disebut tes/ ujian /ulangan sekolah. Evaluasi mempunyai arti yang berbeda untuk guru yang berbeda. Berikut merupakan beberapa arti yang telah secara luas dapat diterima oleh para guru di lapangan. Gronlund (1985) berpendapat evaluaasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan program telah tercapai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang mengemukakan bahwa evaluasi pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa ke arah tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam kurikulum (Djaali & Pudji Muljono, 2007). Sedangkan Purwanti (2008: 6) berpendapat bahwa evaluasi adalah proses pemberian makna atau penetapan kualitas hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam evaluasi harus sudah bisa menilai kemajuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan tentang status siswa dalam kelompoknya, bahkan hasil evaluasi tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. 213 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Menurut Sukardi (2011) idealnya, evaluasi harus dilakukan secara sistematik dan kontinyu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi di antara para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat-saat tertentu seperti, pada akhir unit, pertengahan dan atau akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah minimnya informasi tentang para siswa, sehingga menyebabkan banyaknya perlakuan prediksi guru menjadi bias dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya. Dalam pengembangan instruksional evaluasi hendaknya dilakukan semaksimalnya dalam suatu kegiatan. Ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang kegiatan siswa dikelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat keterlaksanaan program seperti yang direncanakan. Evaluasi merupakan proses penilaian pertumbuhan siswa dalam proses belajar mengajar. Pencapaian perkembangan siswa perlu diukur, baik posisi siswa sebagai individu maupun posisi dia di dalam kegiatan kelompok. Hal yang demikian perlu disadari oleh seorang guru, karena pada umumnya siswa masuk kelas dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang cepat menangkap materi pelajaran, tetapi ada pula yang tergolong memiliki kecepatan biasa dan ada pula yang tergolong lambat. Guru dapat mengevaluasi pertumbuhan kemampuan siswa tersebut dengan mengetahui apa yang mereka kerjakan pada awal sampai pada akhir belajar. Kegiatan evaluasi dapat mencakup deskripsi tingkah laku baik secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan pengukuran, yang digunakan untuk menentukan perkembangan dan pertumbuhan siswa. Di samping itu evaluasi kuantitatif juga diperlukan untuk menempatkan posisi seorang siswa dalam kelompok atau kelasnya. Di akhir tahun pelajaran di SMA, siswa menempuh Ujian Nasional (UN). Ujian ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 75 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa ujian nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dilihat dari pelaksanaannya, UN dapat dianggap sebagai evaluasi sumatif karena dilaksanakan di akhir program satuan pendidikan dan berorientasi kepada produk, yaitu pencapaian kompetensi lulusan. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 2 dari Permendiknas tersebut, yaitu ujian nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Permendiknas nomor 75 tahun 2009 pasal 3 hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Pasal ini menunjukkan bahwa selain dapat dikategorikan sebagai evaluasi sumatif, UN juga dapat dikategorikan sebagai diagnostik, selektif, dan penempatan. UN dianggap sebagai evaluasi diagnostik karena hasil UN digunakan untuk mengetahui satuan dan/atau program pendidikan yang kurang bermutu dan kompetensi apa saja dari standar kompetensi yang daya serapnya kurang. UN dianggap sebagai evaluasi selektif dan penempatan karena hasil UN dapat digunakan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, misalnya dari SD ke 214 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SMP/MTs, dari SMK ke SMA/MA/SMK. Selain itu berdasarkan rata-rata hasil UN pada tingkat satuan pendidikan dapat ditentukan satuan pendidikan mana yang harus dibantu dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena manfaat dan dampak positif penyelenggaraan UN, maka pemerintah terus melaksanakan UN setiap tahu. Pelaksanaan UN seperti ini tidak lepas dari usaha pemerintah untuk mencapai standar isi, proses, kompetensi lulusan seperti yang diamanatkan dalam pasal 35 UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Dengan cara ini maka kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin baik dari waktu ke waktu. Berdasarkan keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan nomor 0024/SK- Pos/BSNP/XII/2009 tentang prosedur operasi standar (POS) ujian nasional tahun pelajaran 2009/2010, pada jenjang SMA mata pelajaran yang di-UN-kan meliputi: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris untuk semua jurusan, ditambah Fisika, Kimia, dan Biologi untuk jurusan IPA, Ekonomi, Geografi, Sejarah untuk jurusan IPS, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, Bahasa Asing lain untuk jurusan Bahasa. Berdasarkan keputusan tersebut siswa SMA dinyatakan lulus UN jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Hasil ujian nasional sering dikaitkan dengan indikator mutu pendidikan. Mutu merupakan bahan kajian yang penting sekaligus digunakan sebagai pendekatan di dunia pendidikan. Mutu mengandung makna keunggulan suatu produk baik berupa hasil kerja atau upaya, berupa barang ataupun jasa (Umaedi, 1999). Mutu merupakan sejumlah akibat dari keunggulan proses, produk atau layanan dalam mencapai kinerja, atau dapat pula dikatakan dengan persepsi pelanggan terhadap kinerja (Tofighi, tanpa tahun). Untuk dapat menggunakan pendekatan mutu ini, proses difokuskan pada (1) identifikasi dan pemenuhan kebutuhan pelanggan, (2) pengembangan dan pemberian kesempatan kepada staf yang memiliki potensi yang optimal, (3) perbaikan sebagai proses kunci. Hal senada juga dikemukakan oleh Juran, bahwa mutu dikaitkan dengan (1) proses yang tanpa akhir, (2) perbaikan mutu merupakan proses yang berkesinambungan, (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota sekolah dan administrator, (4) pelatihan bersama komponen-komponen yang terlibat dalam pencapaian mutu (Arcaro, 1995). Mencermati ketiga hal tersebut di atas, mutu dapat didefinisikan sebagai tingkat kepuasan pelanggan yang dicapai melalui hasil kerja dan perbaikan secara terus menerus oleh keseluruhan komponen yang terlibat di satuan pendidikan. Dalam pendidikan, banyak hal yang menjadi factor yang menentukan mutu pendidikan. Mutu dalam pendidikan ditentukan oleh factor input dan faktor proses. Faktor input di antaranya siswa, kurikulum bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, sarana sekolah, dukungan administrasi dan prasarana sekolah. Faktor proses di antaranya penciptaan suasana yang kondusif, koordinasi proses pembelajaran, dan juga interaksi antar unsur-unsur di sekolah, baik guru dengan guru, siswa dengan siswa, maupun guru dan staf administrasi sekolah, dalam konteks akademis maupun nonakademis, kurikuler maupun non kurikuler. 215 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Konteks mutu dapat pula dilihat dari prestasi yang dicapai sekolah pada tiap kurun waktu tertentu (semester, akhir tahun, 2 tahun, 5 tahun dan seterusnya). Prestasi ini dapat dilihat dari student achievement atau prestasi di bidang lain, misalnya olah raga, kesenian, dan keterampilan. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan misalnya kedisiplinan, tanggung jawab, saling menghormati, dan kenyamanan sekolah. Di Indonesia, prestasi yang menjadi salah satu indicator mutu sekolah yaitu prestasi siswa dalam Ujian Nasional (UN). Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Magelang dan Kota Magelang. Penelitian ini berlangsung selama empat bulan, mulai bulan Juli-Oktober 2011. Guna melihat peta penguasaan kompetensi berdasarkan hasil UN dan perkembangannya, penelitian ini menggunakan data tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2008, 2009 dan 2010. Adapun sampel dalam penelitian ini mengambil wilayah di Kabupaten dan Kota Magelang Jawa Tengah dengan sampel sekolah meliputi 3 SMA di Kabupaten Magelang dan 3 SMA di Kota Magelang. Pemilihan sampel sekolah didasarkan pada pertimbangan nilai UN sekolah, sehingga diharapkan ada keterwakilan dari kelompok sekolah yang hasil UN-nya masuk dalam kategori tinggi, sedang dan rendah. Pemilihan sampel sekolah juga memperhatikan status sekolah sehingga ada keterwakilan dari sekolah negeri dan swasta. Secara garis besar metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket, Focus Group Discussion (FGD), wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil dan Pembahasan Secara garis besar sebagian besar kompetensi sudah terkuasai oleh siswa berdasarkan hasil UN tahun 2008,2009 dan 2010. Namun demikian masih ada beberapa kompetensi yang tingkat penguasaannya tergolong rendah. Secara keseluruhan materi yang banyak belum dikuasai adalah materi yang berkaitan dengan hitung-hitungan (akuntansi), konseptual dan penerapannya. Berikut ini beberapa kompetensi yang belum dikuasai siswa yang sudah diurutkan menurut yang paling rendah tingkat penguasaannya: 1. Melakukan posting dari jurnal khusus ke buku besar 2. Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang diproduksi 3. Membuat ikhtisar siklus akuntansi perusahaan dagang 4. Mendiskripsikan berbagai sumber ekonomi yang langka dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas 5. Menyusun laporan keuangan perusahaan dagang 6. Mendeskripsikan pengangguran beserta dampaknya terhadap pembangunan nasional 7. Membuat jurnal penutupan 8. Mendeskripsikan pola perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi 9. Mengenal jenis produk dalam bursa efek 10. Menjelaskan fungsi manajemen dalam pengelolaan badan usaha 11. Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya 216 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 12. 13. 14. 15. Mendeskripsikan peran badan usaha dalam perekonomian Indonesia Mendeskripsikan pasar input Mendeskripsikan cara pengembangan koperasi dan koperasi sekolah Menjelaskan konsep tarif, kuota, larangan ekspor, larangan imppor, subsidi, premi, diskriminasi harga dan dumping 16. Mendeskripsikan indeks harga dan inflasi 17. Menyusun laporan keuangan perusahaan jasa 18. Mendeskripsikan fungsi konsumsi dan fungsi tabungan 19. Membedakan peran bank umum dan bank sentral 20. Mencatat transaksi/dokumen ke dalam jurnal khusus 21. Mendeskripsikan berbagai bentuk pasar barang 22. Mendeskripsikan pengertian harga dan jumlah keseimbangan 23. Menjelaskan konsep PDB, PDRB, PNB, PN 24. Mendeskripsikan kebijakan pemerintah di bidang moneter 25. Mengidentifikasi manfaat, keuntungan dan faktor-faktor pendorong perdagangan internasional 26. Mengidentifikasi sumber-sumber penerimaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah 27. Mendeskripsikan mekanisme kerja bursa efek 28. Mendeskripsikan peran dan jiwa kewirausahaan 29. Mencatat transaksi/dokumen ke dalam jurnal umum 30. Membuat ikhtisar siklus akuntansi perusahaan jasa 31. Menjelaskan konsep permintaan dan penawaran uang Masih banyaknya kompetensi yang belum terkuasai tersebut tentu tidak muncul begitu saja melainkan ada beberapa faktor penyebab rendahnya penguasaan siswa. Berikut ini disajikan faktor penyebabnya seperti terlihat pada gambar berikut ini: Gambar 1. Data Hasil Analisis Angket Guru Matapelajaran Ekonomi Wilayah Kota Magelang dan Kabupaten Magelang 217 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar di atas menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan sebagai penyebab rendahnya penguasaan siswa adalah karena faktor siswa dan metode pembelajaran. Sedangkan faktor kelas besar juga menjadi penghambat untuk Kabupaten Magelang tetapi untuk Kota Magelang tidak menjadi masalah. Sedangkan faktor guru bukanlah menjadi penghambat utama bagi penguasaan siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi siswa dan metode pembelajaran perlu mendapatkan perhatian yang lebih agar siswa mampu memahami materi ekonomi secara memadai. Di samping faktor-faktor di atas, secara spesifik berdasarkan hasil kajian melalui FGD terungkap hal-hal sebagai berikut sebagai penghambat penguasaan kompetensi siswa, yaitu: 1. Masalah bursa efek banyak kurang dikuasai siswa karena guru belum memiliki pengalaman tentang bagaimana tata cara praktik di pasar bursa sehingga yang dijelaskan kepada siswa masih bersifat abstrak 2. Masalah pokok ekonomi kurang banyak dikuasai karena permasalahan yang diangkat dalam soal UN lebih bersifat kedaerahan sehingga banyak siswa yang kurang memahami kasus tersebut. Mestinya dalam soal UN itu mengangkat masalah erupsi merapi yang memang pada saat itu baru hangat 3. Materi yang muncul di UN lebih banyak dari materi kelas X sehingga kurang proporsional. Sementara itu ada kelas X materi terlalu padat tidak seperti di kelas XI dan XII. Karena itu perlu ada pengkajian tentang distribusi materi di setiap kelasnya 4. Untuk mengatasi kekurangan jam tersebut, guru memanfaatkan tambahan maksimal 4 jam yang diberikan Dinas untuk keperluan itu 5. Dalam soal UN juga banyak yang multi tafsir sehingga di antara guru sendiri mengalami kesulitan untuk menentukan kata kunci dari soal tersebut. Akibatnya banyak siswa yang tidak menjawab soal tersebut 6. Penguasaan materi akuntansi juga kurang karena faktor siswa yang kurang telaten dalam mengerjakannya. Bahkan menghadapi soal akuntansi yang sering memakan tempat yang banyak (satu halaman penuh, bahkan lebih), siswa agak malas membaca soalnya, malah sering sudah stress dahulu, akibatnya dalam mengerjakan soal juga tidak akurat 7. Dalam menjawab soal akuntansi juga terlalu ribet karena harus membuat coretan sendiri, membuat kolom buku besar, dan sebagainya, sehingga siswa di kelas sering malas untuk latihan akuntansi 8. Sinkronisasi dengan mapel lain seperti matematika juga perlu dilakukan agar bisa saling mendukung dalam penguasaan materi ekonomi. Misalnya jika persamaan linier sudah dipelajari dulu di matematika maka dalam menjelaskan materi pasar akan lebih mudah. Untuk itu perlu ada kompromi antara kedua mapel tersebut 9. Materi pengangguran juga sulit ditangkap siswa karena tidak ada keseragaman dalam buku teks, terutama yang menjelaskan tentang cara mengatasi pengangguran. 10. Materi ekonomi yang tidak ter update juga menjadi salah satu faktor. Lihat saja buku BSE yang sudah lama itu tidak pernah direvisi lagi sehingga materinya mungkin sudah usang 218 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan temuan dari faktor penyebab di atas perlu ditemukan solusi pemecahan terhadap permasalahan tersebut. Beberapa temuan pemecahan masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pengembangan lab, seperti lab bursa, lab IT. Kalau perlu ada kegiatan semacam simulasi pasar modal yang diberikan kepada guru-guru agar mereka dapat mendapatkan gambaran nyata tentang praktik pasar modal. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan lab bursa di daerah atau mengundang guru untuk dibawa ke perguruan tinggi yang memiliki lab bursa sehingga bisa praktik langsung 2. Perlu pengembangan CD simulasi pasar modal yang dapat dimanfaatkan guru dalam membelajarkan siswa tentang pasar modal 3. Try out tetap diperbanyak karena ini sangat membantu siswa dalam menyiapkan diri menghadapi UN. Strateginya adalah dengan menggandeng bimbel, mengembangkan smart solution, pemetaan materi yang keluar di UN melalui MGMP, dan sebagainya 4. Perlu penyeimbangan materi ekonomi di kelas X XI dan XII karena dirasa sangat timpang. Di kelas X materi sangat padat, sementara di kelas XII materi sedikit 5. BSE perlu lebih diberdayakan dengan cara merevisi buku-buku yang tersedia di sana 6. Untuk materi akuntansi perlu ditambah jam latihan dan dibuatkan form-form khusus yang diperlukan untuk praktik perhitungan Kesimpulan 1. Penguasaan kompetensi akuntansi lebih menonjol dibandingkan dengan kompetensi ekonomi; pada akuntansi kesulitannya pada aspek prosedural, sedangkan pada ekonomi pada penguasaan konseptual dan penerapan. 2. Di samping alokasi materi di kelas XI yang terlalu padat, dan pemadatan materi di kelas XII, para siswa lebih tertarik untuk belajar ekonomi dibandingkan dengan akuntansi; hal ini menjadi sumber penjelasan kesulitan yang dialami siswa menghadapi ujian nasional. 3. Pemanfaatan MGMP antar sekolah dan intern sekolah, benar-benar sebagai forum untuk pengembangan profesionalitas guru. Hasil kajian yang memetakan kesulitan yang dihadapi siswa, dan sumber-sumber kesulitannya, terutama di level kelas, perlu diagendakan di MGMP, sebagai bahan diskusi, mencari solusi, dan berbagi pengalaman dalam menerapkan solusi di kelas/ sekolah masing-masing. Daftar Pustaka Djaali & Mulyono, Pudji. (2007). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo Purwanti, Endang. (2008). Asesmen Pembelajaran SD. Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Gronlund, N.E. (1976). Measurement and evaluation in teaching. New York: Macmillan Publishing Co. Mardapi, Djemari, dkk (2010). “Pengembangan Model Penjaminan Mutu Perbaikan Hasil Ujian Nasional SMP”. Laporan Penelitian. Jakarta: Balitbang Diknas 219 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Setiaji, Khasan (2010) “Model Implementasi Kuliah Kerja Nyata Tematik Penuntasan Butaaksara Universitas Negeri Semarang Tahun 2008 di Kecamatan Bandar Kabupaten Batang” Lembaran Ilmu Kependidikan. (39) 1. Hal 10-14 Sukardi (2011) Evaluasi Pendidikan: Prinsip & Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara Widoyoko, Eko Putro (2009) Evaluasi Program Pembelajaran. Diambil dari http://www.umpwr.ac.id/ web/download/publikasi-ilmiah pada tanggal 22 Maret 2012 220 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL (SOCIOPRENEURSHIP) Penny Rahmawaty, M.Si Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran pendidikan karakter dalam pembelajaran kewirausahaan sosial melalui implementasi nilai-nilai karakter yaitu ketaatan beribadah, kejujuran baik akademik maupun non akademik, disiplin dan tanggungjawab, hormat dan peduli dan kerjasama. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian tindakan kelas dengan mendasarkan pada pembelajaran berdasarkan proyek (Project Based Learning). Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Manajemen FE UNY yang menempuh mata kuliah kewirausahaan sebanyak 45 orang. Sedangkan obyek penelitian adalah nilai-nilai karakter yang dikembangkan di Universitas Negeri Yogyakarta yaitu ketaatan beribadah, kejujuran, kedisiplinan dan tanggungjawab, hormat dan peduli serta kerjasama Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ketaatan beribadah masih perlu ditingkatkan terutama pada nilai berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Untuk nilai kedisiplinan dan tanggung jawab menghasilkan nilai yang cukup tinggi dengan kata lain mahasiswa sudah memahami pentingnya kedisiplinan baik dalam hal ketepatan waktu untuk mengikuti perkuliahan, menyerahkan tugas yang diberikan dosen serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Nilai karakter kejujuran masih perlu ditingkatkan terutama dalam hal menuliskan sumber referensi yang benar ketika membuat karya tulis dan menulis tandatangan palsu dalam daftar hadir (presensi) atau format yang lain. Nilai hormat dan peduli sudah baik yang tercermin pada kebiasaan untuk bersikap sopan dan santun kepada teman, dosen, karyawan dan pimpinan fakultas. Sedangkan pembentukan karakter kerjasama telah berkembang dengan baik, karena metode pembelajaran yang dilakukan adalah metode berbasis proyek yang memang membutuhkan kerjasama dari semua anggota kelompok. Kata kunci: Pendidikan karakter, kewirausahaan sosial Pendahuluan Perkembangan dunia yang semakin mengglobal mengakibatkan begitu mudahnya nilai-nilai asing masuk ke dalam budaya dan kehidupan Bangsa Indonesia. Untuk menjaga dan memperkuat jati diri bangsa dibutuhkan suatu kemauan, tekad dan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat agar identitas dan kepribadian bangsa tidak luntur dilekang jaman tetapi tetap kuat, kokoh dan tak tergoyahkan. Pada awal tahun 2010 Presiden RI telah mencanangkan suatu gerakan nasional yaitu “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”. Tentu ini bukan slogan belaka tanpa tujuan tetapi merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap perkembangan dan dinamika masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. Generasi muda diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, kokoh dan mandiri yang diperhitungkan dalam kancah kehidupan dunia internasional. Kesiapan mahasiswa sebagai generasi muda dalam memecahkan persoalan bangsa ini harus didukung oleh sistem pembelajaran yang ada. Selama ini penyelenggaraan pendidikan lebih menekankan pada penguasaan materi dan melatih kecerdasan intelektual sehingga cenderung bersifat intelektualistik. Pendidikan kita belum mampu membangun interaksi yang paradigmatik 221 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta antara aspek kehambaan dan kekhalifahan. Akibatnya pendidikan kita kurang bermakna bagi kehidupan manusia yang utuh dan asasi. Pendidikan yang demikian ini cenderung kurang memperhatikan pendidikan karakter. Universitas Negeri Yogyakarta sebagai salah satu perguruan tinggi negeri melalui visinya menjadikan insan yang bertakwa, mandiri, dan cendekia memiliki kepedulian terhadap pembentukan karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan karakter, Fakultas Ekonomi yang dulunya Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi telah mengambil langkah yang tepat dengan menetapkan visinya, menjadikan insan yang cerdas, arif, dan bermoral yang berdimensi religius, insan yang cendekia, mandiri dan bernurani. Artinya, lulusan FE UNY dituntut tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki akhlak mulia dan berkarakter yang baik. Untuk itu perlu terus dikembangkan program pendidikan dan pelatihan tidak hanya kecerdasan intelektual dan hard skill, tetapi yang penting pengembangan soft skill secara terencana, sinergis, sistematis, dan berkesinambungan. Program pembelajaran dibuat dalam suatu model yang unik yang terintegrasi baik dalam bentuk mata kuliah pendidikan karakter itu sendiri maupun dalam mata kuliah yang ada di masing-masing program studi. Dalam kesempatan ini dikembangkan suatu model pembelajaran pendidikan karakter dalam mata kuliah kewirausahaan khususnya mengenai kewirausahaan sosial. Pembelajaran dalam mata kuliah kewirausahaan dan bisnis pada umumnya masih menggunakan metode lama yaitu perkuliahan klasikal/konvensional sehingga mahasiswa kurang memiliki daya tanggap (respon) terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di dunia bisnis secara nyata terutama yang terkait dengan kewirausahaan sosial (sociopreneurship). Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005:1). Disini sangat kental dengan muatan kepedulian sosial, tanggung jawab sosial, kejujuran dan kedisplinan yang kesemuanya itu terangkum dalam pendidikan karakter. Oleh karenanya untuk menghasilkan seorang sociopreneuer diperlukan suatu metode pembelajaran yang inovatif yang memadukan antara penanaman nilai-nilai moral yang menyangkut baik dan buruk dan pemahaman kewirausahaan sosial. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana model pembelajaran pendidikan karakter melalui implementasi nilai-nilai karakter yang dikembangkan yaitu ketaatan beribadah, kejujuran, disiplin dan tanggung jawab, hormat dan peduli serta kerjasama pada praktik sehari-hari dalam kerangka kewirausahaan sosial? 2. Sejauh mana peningkatan ketaatan beribadah, kejujuran, disiplin dan tanggung jawab, hormat dan peduli serta kerjasama dalam kerangka kewirausahaan sosial setelah diintegrasikannya pendidikan karakter dalam mata kuliah kewirausahaan? Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan model pembelajaran pendidikan karakter melalui pembelajaran kewirausahaan sosial melalui implementasi nilai-nilai karakter yaitu ketaatan beribadah, kejujuran baik akademik maupun non akademik, disiplin dan tanggungjawab, hormat dan peduli dan kerjasama. 222 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Mengetahui peningkatan nilai-nilai karakter ketaatan beribadah, kejujuran, disiplin dan tanggungjawab, hormat dan peduli serta kerjasama setelah mahasiswa mendapatkan materi pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata kuliah kewirausahaan. Kewirausahaan Sosial Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005:1). Beberapa definisi wirausaha sosial yang bisa digunakan untuk memahami aktivitas ini adalah: (S.Dev Appanah & Brooke Estin, 2009 ) a. Definisi yang dikemukakan oleh J. Gregory Dees, Professor of Sosial Entrepreneurship at Duke University yang mengatakan bahwa wirausaha sosial adalah pelaku reformasi atau revolusi sektor sosial (pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan, seni dan sebagainya). Mereka berusaha mengatasi akar masalah, bukan sekedar menanggulangi ujung masalah dengan cara sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk organisasi non profit, hybrid (gabungan antara profit dan non profit), bank rakyat, balai latihan kerja. Inovasi yang diciptakan adalah mengatasi akar masalah, sedangkan misi sosial yang dikembangkan adalah pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan lingkungan seni. Model bisnis yang sesuai meliputi bisnis bertujuan sosial, bank rakyat, organisasi hybrid dan balai latihan kerja. Dampak yang dimunculkan dengan wirausaha sosial ini adalah menciptakan nilai sosial /lingkungan, bertindak lokal untuk mengatasi masalah global, skala bisa diperluas, perubahan sistemik, dan pengembangan berkelanjutan. Bentuk organisasi yang sesuai adalah organisasi non profit, bisnis bertujuan sosial dan organisasi hybrid b. Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka Wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Awalnya ia bertindak dalam skala lokal kemudian dapat diperluas. Inovasi yang dikembangkan adalah solusi inovatif dan menciptakan kesempatan baru. Misi sosialnya mengatasi masalah sosial yang paling menekan. Dampak dari adanya wirausaha sosial ini adalah perubahan skala luas, mengubah sistem dan menyebar luaskan solusi. c. Muhamad Yunus, Founder of Grameen Bank Wirausaha sosial adalah inisiatif (ekonomi atau non ekonomi, bertujuan profit atau non profit) inovatif untuk membantu masyarakat. Bisnis sosial bisa jadi salah satu bentuk wirausaha sosial tetapi tidak semua wirausaha sosial berbentuk bisnis sosial. Bisnis sosial bukan berbasis deviden. Keuntungan bisnis tidak dibagikan kepada investor tetapi diinvestasikan kembali untuk mendukung tujuan jangka panjang perusahaan yaitu membantu masyarakat yang kurang beruntung dan mengatasi masalah lingkungan. Inisiatif inovatif merupakan bentuk inovasi yang dikembangkan. Sedangkan misi sosial menurut Yunus melayani kelompok masalah masyarakat atau lingkungan. Model bisnis yang sesuai adalah bisnis sosial, tidak ada kerugian, tidak berbasis deviden, keuntungan diinvestasikan kembali untuk tujuan jangka panjang. Dampak dari adanya wirausaha sosial ini adalah tujuan 223 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sosial jangka panjang, sedangkan struktur organisasi yang sesuai berbentuk profit dan non profit 1. Bentuk Wirausaha Sosial Ada beberapa bentuk wirausaha sosial (Tan, 2005) a. Organisasi berbasis komunitas Organisasi semacam ini biasanya dibuat untuk mengatasi masalah tertentu dalam komunitas (kelompok masyarakat), misalnya menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak miskin, panti sosial untuk anak terlantar dsb. Biasanya dukungan finansial didapatkan dari sedekah, amal jariyah, sumbangan donatur. Untuk menjalankan organisasi, tenaga sukarelawan (tenaga profesional, remaja, masyarakat umum) direkrut untuk memberikan pelayanan. Terkadang organisasi keagamaan melakukan wirausaha sosial semacam ini. Organisasi ini sangat tergantung pada dukungan masyarakat lokal. Contoh: Panti Asuhan Sayap Ibu (Yogyakarta), Sekolah Darurat Kartini (Jakarta) dan sebagainya. b. Socially responsible enterprises Wirausaha sosial ini berbentuk perusahaan yang melakukan usaha komersial untuk mendukung/membiayai usaha sosialnya. Wirausaha mendirikan dua organisasi sekaligus. Satu organisasi berwatak profit sedangkan satu lagi berwatak non-profit. Sebagian keuntungan yang didapatkan dari organisasi profit ditujukan untuk mendukung/membiayai usaha sosialnya. Contoh: Kedai Kebun dan Kedai Kebun Forum (Yogyakarta), Banyan Tree Holiday Resorts dan Banyan Tree Gallery (Singapura) c. Socio-economic atau dualistic enterprises. Wirausaha sosial ini berbentuk perusahaan komersial yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip sosial. Misalnya perusahaan yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga, organisasi yang mempekerjakan orang cacat, kredit mikro untuk masyarakat pedesaaan. Contoh: Lunar Media Kreasi (Yogyakarta), Grameen Bank (Bangladesh). 2. Perbedaan wirausaha sosial dan wirausaha bisnis. Selama ini istilah wirausaha diidentikkan dengan wirausaha bisnis yang tujuannya melakukan inovasi untuk kekayaan individu. Oleh karena itu perlu membedakan wirausaha bisnis dengan wirausaha sosial (Boschee and McClurg, 2003): a. Biasanya wirausaha bisnis juga melakukan tindakan tanggungjawab sosial seperti: menyumbangkan uang untuk organisasi nirlaba, menolak untuk terlibat dalam jenis usaha tertentu; menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan praktek; mereka memperlakukan karyawannya baik dan layak. Wirausaha sosial bekerja lebih dari itu, berusaha mengatasi akar masalah sosial, pengahasilannya didapatkan dari menjalankan misinya tersebut misalnya: mempekerjakan orang cacat fisik atau mental, miskin atau penyandang masalah sosial tertentu (PSK, anak jalanan, tuna wisma); menjual produk atau jasa untuk mengatasi masalah sosial (memproduksi alat bantu untuk orang cacat, bank masyarakat miskin, panti sosial, balai latihan kerja, pendidikan untuk kelompok marjinal). b. Ukuran keberhasilan wirausaha bisnis adalah kinerja keuangan (nilai perusahaan, 224 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta keuntungan bagi pemegang saham/pemilik). Ukuran keberhasilan wirausaha sosial adalah hasil keuangan dan sosial. Ukuran keuangannya adalah pendanaan yang terus menerus sehingga menjamin keberlangsungan organisasi. Keuntungan finansial diarahkan untuk meningkatkan skala kegiatan bukan dibagikan pada pemegang saham. Sedangkan hasil sosial yang diharapkan adalah masalah sosial teratasi atau setidaknya berkurang. c. 3. Sifat Wirausaha Sosial (Dees, 2001) a. Berfungsi sebagai agen perubahan sosial:  Mengadopsi misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial (bukan nilai hanya pribadi)  Mengenali dan mengejar peluang baru untuk mewujudkan misi tersebut,  Melakukan proses inovasi yang berkelanjutan, adaptasi, dan belajar  Bertindak berani tanpa dibatasi oleh sumber daya yang dimiliki, dan  Meningkatkan akuntabilitas pada konstituen yang dilayani dan hasil kerja b. Kreatif dan inovatif Kreativitas merujuk kepada pembentukan ide-ide baru, sementara inovasi adalah upaya untuk menghasilkan mengatasi masalah dengan menggunakan ide-ide baru tersebut. Dengan demikian, kreativitas merupakan titik permulaan dari setiap inovasi. Inovasi adalah kerja keras yang mengikuti pembentukan ide dan biasanya melibatkan usaha banyak orang dengan keahlian yang bervariasi tetapi saling melengkapi. c. Disiplin dan Bekerja keras Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian. Rasa tanggung jawabnya tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada rintangan yang mustahil diatasi. Menjalankan organisasi sosial bukan hal yang mudah. Ada banyak hambatan akan dihadapi seperti mengidentifikasi akar masalah sosial,mendapatkan modal, pendanaan, mengelola program, membangkitkan partisipasi masyarakat, mengkomunikasikan ide/gagasan pada pihak lain dsb. Seluruh masalah itu hanya dapat diatasi dengan mental disiplin dan bekerja keras. d. Altruis Sikap moral yang memegang prinsip bahwa setiap individu memiliki kewajiban membantu, melayani dan menolong orang lain yang membutuhkan. Tujuan tindakannya adalah kesejahteraan masyarakat secara umum. Wirausaha sosial harus memiliki sifat altruis ini karena seluruh tindakannya didorong oleh keinginan mengatasi masalah sosial. Tentu saja karena bekerja, ia mendapatkan imbalan material namun imbalan ini bukan menjadi pendorong utama. 4. Pendidikan karakter Pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991). Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai 225 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pembentukan karakter harus disertai dengan pembiasaan-pembiasaan (habituation). Pembiasan dimaksud dapat dilakukan di kampus dengan berbagai cara dan menyangkut banyak hal seperti disiplin waktu, etika berpakaian, etika pergaulan, perlakuan mahasiswa kepada karyawan, dosen, dan pimpinan fakultas, dan sebaliknya. Untuk pembentukan karakter diperlukan pula lingkungan yang sehat dan kondusif. Nilai-nilai karakter utama yang akan dikembangkan dalam pembelajaran ini adalah: (1) ketaatan beribadah; (2) kejujuran; (3) disiplin dan tanggung jawab, (4) rasa hormat dan peduli serta (5) kerjasama. 5. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) Project based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek) merupakan metoda belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan mahasiswa dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Berikut pengertian PBL menurut beberapa ahli a. PBL adalah metoda pengajaran sistematik yang mengikutsertakan mahasiswa ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas (University of Nottingham, 2003) b. PBL adalah pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya [Barron, B. 1998, Wikipedia]. c. PBL adalah pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar mahasiswa melakukan riset terhadap permasalahan nyata. [Blumenfeld et Al. 1991]. d. PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktifitas mahasiswa. [Boud & Felleti, 1991]. Model pembelajaran proyek adalah langkah-langkah pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, yang dilakukan melalui suatu proyek dalam jangka waktu tertentu dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) persiapan/perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pembuatan laporan; dan (4) mengkomunikasikan hasil kegiatan serta evaluasi. Proyek membantu mahasiswa untuk melibatkan keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera termasuk kecakapan sosial dengan melakukan banyak hal sekaligus. Pembelajaran proyek ini merupakan salah satu bentuk pendekatan Contextual Teaching and Learning/CTL). Kontekstual dalam proyek ini adalah menghubungkan antara materi teori dengan kenyataan di lapangan serta dapat mempraktikkan hal-hal yang terkait dengan teori kewirausahaan sosial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mahasiswa tidak hanya sekedar tahu teori kewirausahaan sosial tetapi juga melihat dari dekat bagaimana usaha yang dijalankan dengan prinsip sosial tersebut. 226 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Penelitian Penelitian mengenai metode pembelajaran pendidikan karakter melalui kewirausahaan sosial ini dirancang dalam bentuk Penelitian Tindakan kelas (Classroom Action Research) dengan mengadaptasi model Kemmis & Taggart. Metode penelitian ini terdiri dari beberapa siklus seperti yang digambarkan pada gambar berikut ini (Kemmis & McTaggart, 1990:14). : Model pembelajaran yang dijadikan sebagai bahan penelitian tindakan kelas adalah model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Mahasiswa diberi tugas untuk mengamati beberapa bisnis yang berwawasan sosial di sekitar mereka dan membandingkan dengan bisnis yang berorientasi keuntungan (profit). Setelah melalui pembelajaran di kelas untuk memberikan pemahaman mengenai kewirausahaan sosial maka mahasiswa yang dibagi kedalam kelompokkelompok tugas/proyek diajak untuk melakukan studi lapangan melihat dari dekat usaha yang berbentuk social entrepreneurship. Setelah kunjungan lapangan tersebut kelompok diberi waktu untuk membuat laporan dan mempresentasikan di depan kelas hasil kunjungan lapangan dan dikaitkan dengan teori yang telah mereka peroleh. Penelitian ini dilaksanakan di semester gasal tahun akademik 2010/2011. Subjek penelitian adalah mahasiswa semester tiga Program Studi Manajemen yang mengambil mata kuliah Kewirausahaan kelas regular (bersubsidi) yang berjumlah 45 orang mahasiswa. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif yaitu analisis yang didasarkan pada hasil pengolahan data Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan pada mata kuliah Kewirausahaan dengan mengambil topik bahasan Kewirausahaan Sosial. Nilai-nilai karakter yang dikembangkan adalah ketaatan beribadah, kejujuran, disiplin dan tanggung jawab, hormat dan peduli serta kerjasama. Pelaksanaannya dilakukan dalam dua siklus yaitu siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan yang meliputi materi pengertian kewirausahaan dan kewirausahaan sosial dan pembagian kelompok tugas dalam bentuk proyek kegiatan kewirausahaan sosial. Siklus II dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan meliputi kajian secara teoritis dan studi lapangan dengan mengunjungi sebuah usaha yang melakukan prinsip kewirausahaan sosial (sociopreneurship) yaitu Sanggar Anak Alam (Salam) 227 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta yang berlokasi di Nitiprayan, Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Penjabaran nilai-nilai karakter yang diamati adalah selama melakukan kunjungan lapangan dan presentasi kelompok di kelas. Metode pembelajaran dalam topik kewirausahaan sosial ini menggunakan pendekatan/metode project based learning dimana masing-masing kelompok membuat suatu proyek yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan sosial masyarakat. 1. Data Responden Dari jumlah mahasiswa yang mengikuti perkuliahan kewirausahaan yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam topik kewirausahaan sosial sebanyak 45 orang dengan rincian laki-laki sebanyak 23 orang (51,1%) dan perempuan 22 orang (48,9%) 2. Analisis Deskriptif Penelitian ini menggunakan lima data yang digunakan untuk mengukur indikator nilai-nilai karakter yang dikembangkan yaitu ketaatan beribadah, kejujuran, disiplin dan tanggung jawab, hormat dan peduli serta kerjasama. Selain itu juga digunakan data mengenai kesiapan mahasiswa menerima pelajaran/materi dan proses belajar mengajar. Deskripsi data yang disajikan meliputi Mean (M), Median (Me), Modus (Mo), dan standar deviasi (SD). Perhitungan kelas mengacu pada rumus Sturgess yaitu nilai k = 1 + 3,332 Log n, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian kecenderungan variabel dan memperhitungkan empat kategori berikut: M + 1,5 SD ke atas = tinggi M s/d M + 1,5 SD = sedang M – 1,5 SD s/d M = cukup M – 1,5 SD ke bawah = kurang Mean Ideal (Mi) dan Standar Deviasi Ideal (SDi) diperoleh berdasarkan norma sebagai berikut: M = ½ (skor tertinggi – skor terendah) SD = 1/6 (skor tertinggi – skor terendah) a) Nilai karakter Ketaatan Beribadah Data nilai karakter ketaatan beribadah menunjukkan skor tertinggi yang dicapai adalah 25 dan skor terendah yang dicapai adalah 3. Hasil analisis yang diperoleh adalah nilai mean sebesar 24 dan standar deviasi sebesar 5,33. Pengkategorian penilaian terhadap nilai ketaatan beribadah dapat dilihat pada tabel: Tabel 1. Kategori Nilai Ketaatan Beribadah Interval ≥ 32 24 – 31 16 – 23 ≤ 15 Keterangan Tinggi Sedang Cukup Kurang Jumlah Jumlah Prosentase 0 1 29 15 45 0 2,22 64,44 33,34 100,00 Nilai karakter ketaatan beribadah berdasarkan pengkategorian yang dibuat menunjukkan skor cukup taat beribadah sebesar 64,44% dan kurang taat beribadah masih cukup tinggi yaitu sebesar 33,34%. Hal ini terutama pada jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan kebiasaan berdoa ketika 228 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memulai suatu kegiatan dan selesai melakukan kegiatan. Mahasiswa belum terbiasa untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk itu dalam setiap kali pertemuan atau memulai kegiatan perkuliahan selalu diawali dengan berdoa yang dipimpin oleh salah seorang mahasiswa dan menutup kegiatan perkuliahan juga dengan berdoa. Hal ini untuk menjadikan pembiasaan (habit) bagi pembentukan karakter mahasiswa. b) Nilai karakter Disiplin Dan Tanggung Jawab Nilai karakter disiplin dan tanggung jawab menunjukkan skor tertinggi yang dicapai adalah 24 dan skor terendah yang dicapai adalah 11. Hasil analisis yang diperoleh adalah nilai mean sebesar 15 dan standar deviasi sebesar 3,67. Pengkategorian penilaian terhadap disiplin dan tanggung jawab dapat dilihat pada tabel: Tabel 2. Kategori Nilai Disiplin Dan Tanggung Jawab Interval ≥ 20 15 – 19 10 – 14 ≤9 Keterangan Tinggi Sedang Cukup Kurang Jumlah Jumlah Prosentase 29 14 2 0 45 64,45 31,11 4,44 0 100,00 Nilai karakter disiplin dan tanggung jawab berdasarkan pengkategorian menunjukkan skor tinggi sebesar 64,45% dan cukup berdisiplin hanya sebesar 4,44%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa sudah mulai memperhatikan aspek kedisiplinan dan tanggung jawab terutama dalam hal datang tepat waktu, selalu mengikuti kegiatan perkuliahan dan berusaha menyerahkan tugas tepat waktu. Nilai kedisiplinan dan tanggung jawab tersebut terlihat dalam hal ketepatan waktu kelompok untuk mengumpulkan proyek yang telah mereka buat dan kegiatan presentasi yang dilaksanakan oleh semua anggota kelompok. c) Nilai Karakter Kejujuran Nilai karakter kejujuran menunjukkan skor tertinggi yang dicapai adalah 24 dan skor terendah yang dicapai adalah 14. Hasil analisis yang diperoleh adalah nilai mean sebesar 18 dan standar deviasi sebesar 4. Pengkategorian penilaian terhadap kejujuran dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Kategori Nilai Kejujuran Interval ≥ 24 18– 23 12 – 17 ≤ 11 Keterangan Tinggi Sedang Cukup Kurang Jumlah Jumlah Prosentase 2 31 12 0 45 229 4,44 68,89 26,67 0 100 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Nilai karakter kejujuran berdasarkan pengkategorian menunjukkan skor yang sedang sebesar 68,89% dan cukup jujur sebesar 26,67%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih perlu ditingkatkan kejujurannya terutama dalam menuliskan sumber referensi yang benar ketika membuat karya tulis. d) Nilai Karakter Hormat dan Peduli Data nilai hormat dan peduli menunjukkan skor tertinggi yang dicapai adalah 33 dan skor terendah yang dicapai adalah 17. Hasil analisis yang diperoleh adalah nilai mean sebesar 21 dan standar deviasi sebesar 4,67. Pengkategorian penilaian terhadap hormat dan peduli dapat dilihat pada tabel: Interval ≥ 28 21 – 27 14 – 20 ≤ 13 Tabel 4. Kategori Nilai Hormat dan Peduli Keterangan Jumlah Prosentase Tinggi 22 Sedang 21 Cukup 2 Kurang 0 Jumlah 45 48,89 46,67 4,44 0 100 Nilai karakter hormat dan peduli berdasarkan pengkategorian menunjukkan skor tinggi sebesar 48,89% dan sedang sebesar 46,67%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa sudah memperhatikan aspek saling menghormati dengan sesama teman, dosen, karyawan dan pimpinan fakultas. e) Nilai Karakter Kerjasama Data nilai kerjasama menunjukkan skor tertinggi yang dicapai adalah 34 dan skor terendah yang dicapai adalah 16. Hasil analisis yang diperoleh adalah nilai mean sebesar 21 dan standar deviasi sebesar 4,67. Pengkategorian penilaian terhadap kerjasama dapat dilihat pada tabel: Interval ≥ 28 21 – 27 14 – 20 ≤ 13 Tabel 5. Kategori nilai Kerjasama Keterangan Jumlah Prosentase Tinggi 31 Sedang 12 Cukup 2 Kurang 0 Jumlah 45 68,89 26,67 4,44 0 100 Nilai karakter kerjasama berdasarkan pengkategorian menunjukkan skor tinggi sebesar 68,89%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa sangat memperhatikan aspek kerjasama dalam kelompok. Terlihat dari jawaban mereka yang sangat baik untuk pertanyaan menghargai pendapat teman dalam kelompok, mendorong anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam diskusi dan dapat berperan sesuai yang telah disepakati. Pengembangan nilai karakter kerjasama ini sangat penting dalam model pembelajaran berbasis proyek, karena masing-masing anggota kelompok dapat berperan dan saling membantu diantara mereka untuk mencapai tujuan. 230 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kewirausahaan sosial merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang bertujuan untuk membantu masyarakat. Bisnis sosial bisa jadi salah satu bentuk wirausaha sosial tetapi tidak semua wirausaha sosial berbentuk bisnis sosial. Wirausaha sosial adalah inisiatif (ekonomi atau non ekonomi, bertujuan profit atau non profit) yang inovatif. Penanaman nilai-nilai karakter yang baik menjadi sangat penting ketika perkembangan dan dinamika masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. cenderung berdampak pada hal-hal yang kurang positif, misalnya perilaku tidak tertib dan tidak disiplin, tidak peduli terhadap 231eligi dan lingkungannya, perilaku amoral dan lunturnya budi pekerti, melemahnya nilai 231eligious dan ketaatan beribadah, dan kurang kerjasama diantara anggota masyarakat umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Nilai karakter yang dikembangkan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah ketaatan beribadah, disiplin dan tanggung jawab, kejujuran, hormat dan peduli serta aspek kerjasama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ketaatan beribadah masih perlu ditingkatkan terutama pada nilai berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Untuk nilai kedisiplinan dan tanggung jawab menghasilkan nilai yang cukup tinggi dengan kata lain mahasiswa sudah memahami pentingnya kedisiplinan baik dalam hal ketepatan waktu untuk mengikuti perkuliahan, menyerahkan tugas yang diberikan dosen serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Nilai karakter kejujuran masih perlu ditingkatkan terutama dalam hal menuliskan sumber referensi yang benar ketika membuat karya tulis dan menulis tandatangan palsu dalam daftar hadir (presensi) atau format yang lain. Nilai hormat dan peduli sudah baik yang tercermin pada kebiasaan untuk bersikap sopan dan santun kepada teman, dosen, karyawan dan pimpinan fakultas. Sedangkan pembentukan karakter kerjasama telah berkembang dengan baik, karena metode pembelajaran yang dilakukan adalah metode berbasis proyek yang memang membutuhkan kerjasama dari semua anggota kelompok. Saran Pelaksanaan implementasi pendidikan karakter dalam bentuk pengembangan metode pembelajaran yang terintegrasi sebaiknya direncanakan secara matang dan mendalam sehingga hasil yang dicapai dapat sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pengukuran nilai-nilai karakter yang diintegrasikan dalam model pembelajaran belum memiliki bentuk standar sehingga dimungkinkan memperoleh hasil yang berbeda jika dilakukan oleh orang yang berbeda. Oleh karenanya diharapkan dengan penelitian ini dapat diperoleh suatu bentuk standar mengenai implementasi pendidikan karakter di universitas. Daftar Pustaka Appanah, S. Dev., dan Estin, Brooke. (2009). ‘Social Entreprenuership Definition Matrix’. Artikel diunduh dari www.changefusion.com, 17-08-2009. Boschee,Jerr., dan McClurg, Jim. (2003).‘Toward a Better Understanding of Social Entreprenuership’.Artikel diunduh dari http://www.se-lliance.org/better_understanding.pdf, 17-08-2009 231 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sidney, Auckland: Bantam Books. Purworini, Stevani Endah (2006) Pembelajaran Berbasis Proyek Sebagai Upaya Mengembangkan Habits of Mind Studi Kasus Di SMP KPS Nasional Balikpapan, Jurnal Pendidikan Inovatif, Volume 1, Nomor 2. Tan, Wee-Ling., Williams, John., dan Tan, Teck-Meng. (2005). ‘Defining the ‘Sosial’ in ‘Sosial Entrepreneurship’: Altruism and Entrepreneurship’. International Entrepreneurship and Management Journal 1, pp 353-365 232 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MODEL PEMBELAJARAN PEMBUATAN KARYA AKHIR BERBASIS WIRAUSAHA YANG BERSINERGI DENGAN KEBUTUHAN INDUSTRI MELALUI KEGIATAN MODIFIKASI UNTUK MENGHASILKAN PRODUK KREATIF Subiyono, Jarwo Puspito, Slamet Karyono, dan Isroah Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Produk Karya Akhir Perguruan Tinggi adalah merupakan muara penerapan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, pengalaman – pengalaman yang diperoleh sebelumnya dalam wujud alat peralatan dan mesin atau produk.. Produk dikatakan kualitas apabila produk tersebut langsung (dapat) dimanfaatkan oleh masyarakat, membantu industri kecil atau laku di pasaran Namun bila dicermati, sampai saat ini Karya Akhir mahasiswa dari Perguruan Tinggi yang berupa produk alat peralatan dan mesin, banyak yang ( gagal ) belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, ataupun belum banyak berperan pada pengembangan industri kecil dengan berbagai macam alasan. Sementara dilain pihak, industri kecil yang sedang tumbuh, industri kecil yang sedang berkembang, maupun benih – benih pertumbuhan industri kecil sangat mendambakan bantuan produk, alat peralatan dan mesin. Bantuan produk , alat peralatan dan mesin kepada industri kecil saat ini dilakukan melalui program – program DIKTI seperti vucer , Ipteks, Ibm ,Ibk, Ibw, namun jumlahnya sangat terbatas pertahunnya. . Dan bila dikalkulasi secara matematis , jumlah produk, alat peralatan dan mesin yang dapat dimanfaatkan oleh industri Kecil akan lebih banyak bila dilakukan dengan model pembelajaran pembuatan Karya Akhir yang langsung bersinergi dengan kebutuhan / langsung dapat dimanfaatkan oleh industri kecil , karena jumlah produk alat peralatan dan mesin yang dapat dihasilkan berdasarkan jumlah mahasiswa yang mengambil karya akhir dikalikan dengan jumlah perguruan tingginya. Jadi tidak hanya berdasarkan jumlah kelo,pok pengabdi yang mendapat bantuan dana dari DIKTI. Dengan demikian untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan model pembelajaran pembuatan Karya Akhir yang berbasis wirausaha dan bersinergi dengan kebutuhan Industri Kecil . Kata kunci : Berbasis wirausaha dan bersinergi dengan kebutuhan industri Pendahuluan Produk suatu Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Teknik adalah alumni yang berkualitas, jasa ( konsultan ), karya akhir dan produk unit produksi perguruan tinggi yang bersangkutan. Kualitas produk yang berupa produk, alat peralatan dan mesin karya dari perguruan tinggi secara tidak langsung juga akan menunjukkan kualitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Produk disebut berkualitas apabila produk tersebut laku di pasaran atau dapat ( banyak ) membantu pertumbuhan / pengembangan atau bersinergi dengan industri kecil . Namun bila dicermati lebih dalam , sampai saat ini karya akhir mahasiswa dari perguruan tinggi yang berupa produk , alat peralatan dan mesin, banyak yang tidak dapat, atau belum layak dimanfaatkan oleh industri kecil atau masyarakat dengan berbagai macam alasan. Sementara dilain pihak, industri kecil yang sedang tumbuh, industri kecil yang sedang berkembang, maupun benih-benih pertumbuhan industri kecil sangat mendambakan bantuan produk , alat peralatan dan mesin. Bantuan produk, alat peralatan dan mesin kepada industri kecil saat ini dilakukan melalui program – program Pengabdian pada masyarakat ( PPM ) yang ditawarkan 233 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi ( Dirjen DIKTI ), namun bila dikalkulasi secara matematika , jumlah program PPM yang diberikan ke industri kecil masih sangat terbatas mengingat bahwa rata – rata untuk setiap perguruan tinggi hanya mendapatkan program PPM yang didanai sekitar 4 kelompok pengabdi per tahun . Kecuali itu, mengingat keterbatasan dana bantuan PPM Dirjen Dikti , maka belum pasti semua perguruan tinggi mendapat bantuan dana dari Dirjen Dikti .,. Namun apabila bantuan produk , alat peralatan dan mesin dilakukan melalui produk hasil karya akhir mahasiswa perguruan tinggi maka jumlah bantuannya akan lebih banyak karena jumlah bantuan produk alat peralatan dan mesin per tahun untuk pertumbuhan/pengembangan industri kecil dihitung berdasarkan jumlah mahasiswa yang mengambil karya akhir dikalikan jumlah perguruan tingginya. Dengan demikian jumlah bantuan produk alat peralatan dan mesin tidak hanya tergantung dari jumlah kelompok yang mendapatkan bantuan dana PPM dari Dirjen Dikti . Penelitian ini bertujuan mewujudkan model pembelajaran pembuatan karya akhir yang menghasilkan produk alat peralatan dan mesin yang langsung (dapat) dipakai oleh industri kecil , untuk membantu industri kecil yang sedang berkembang, industri kecil yang sedang tumbuh, dan memotivasi tumbuhnya industri kecil. Sedangkan secara khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk 1. Mengidentifikasi dan menganalisis masukan-masukan dari pihak perindustrian, pihak industri kecil, dan BPPT untuk membentuk sistem model yang menghasilkan produk-produk kreatif melalui kegiatan modifikasi khususnya yang terkait dengan produk, alat peralatan dan mesin yang dibutuhkan/dikembangkan di industri. 2. Membentuk dan Meningkatkan kualitas profil jiwa wirausaha mahasiswa 3. Membentuk mahasiswa berpikir kreatif dan inovatif. 4. Menerapkan dan mengevaluasi model baik dari segi proses, hasil maupun pengembangannya. Bagi Depdiknas, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan kebijakan pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi di bidang teknologi, sehingga selalu dan terus terdapat kesesuaian dan kesepadanan yang berkesinambungan antara Program Pendidikan Tinggi dengan kebutuhan industri kecil , khususnya pembuatan dan pengembangan produk, alat peralatan dan mesin untuk keperluan industri, khusunya industri kecil. Bagi Perguruan Tinggi yang memiliki fakultas teknik , hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan untuk menyempurnakan model pembelajaran pembuatan karya akhir yang berupa produk , alat peralatan dan mesin yang berwawasan wirausaha dan yang bersinergi dengan kebutuhan industri untuk menghasilkan produk-produk kreatif. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat dijadikan model pembelajaran yang memberikan pengalaman mahasiswa untuk belajar berpikir, bersikap, bertindak, bekerjasama dengan berwawasan wirausaha untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kebutuhan lingkungan, yang selanjutnya diharapkan pula bahwa para mahasiswa mampu mengakomodasi perubahan- perubahan masa kini maupun mendatang dibidang inovasi dan kreativitas terapan untuk pemenuhan kebutuhan industri dan lingkungan. Bagi Industri, hasil penelitian ini dapat menjadi harapan dan jawaban nyata dalam mendapatkan bantuan alat peralatan dan mesin untuk menumbuhkan dan mengembangkan usahanya. Bagi perindustrian, 234 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta program ini atau program kerjasama ini akan dapat membantu mengembangkan industri – industri kecil yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi Pemerintah daerah setempat dimana perguruan tinggi – perguruan tinggi yang bersangktan bernaung, program ini diharapkan secara bertahap akan menaikkan laju pertumbuhan industri kecil dan laju Pendaoatan daerah. Sedangkan bagi masyarakat, program ini akan memotivasi warga untuk melakukan usaha melalui industri kecil. Metode Penelitian Subyek dan Obyek Penelitian ( Tahun I ) 1. Subyek : Desperindag. , Industri Kecil DIY Pakar Desain Perguruan Tinggi, Pakar KWU 2. Obyek : Masukan – masukan Sistem pembelajaran , sistem kerjasama, permasalahan peralatan industri, gambaran peralatan yang diperlukan, saran, komentar dan krttik. Pengambilan Data Metode pengambilan data yang dilakukan : 1. Angket untuk dosen dan BPPT (sistem pembelajaran dan sistem kerjasama ) 2. Interview untuk pihak industri kecil dan disperindag (permasalahan peralatan di industri ) 3. Diskusi untuk dosen (sistem pembelajaran dan sistem kerjasama) 4. Kunjungan ke Industri (gambaran peralatan yang diperlukan 5. Melihat Pameran (gambaran peralatan yang diperlukan) Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Masukan Data No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Masukan – Masukan Proses belajar mengajar Karya akhir Jiwa wirausaha Modifikasi Industri kecil Kerjasama Aspek Akademik Lain - lain Jumlah Jumlah Masukan 26 11 3 5 8 8 7 8 76 235 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Penjabaran Masukan No. 1 Masukan – Masukan Proses belajar mengajar 2 Karya akhir 3 Jiwa wirausaha 4 Modifikasi 5 Industri kecil 6 Aspek Akademik 7 Lain - lain Penjabaran Bimbingan masal, materi, pengelompokan mahasiswa, fase kegiatan, proposal, seminar, survey, prosedur, laporan, ujian, control dan evaluasi, revisi jadwal, pembimbing, kesiapan, control pelaksanaan di bengkel Kualitas, pengujian, revisis produk, porsi karya akhir untuk industri kecil Profil jiwa wirausaha yang perlu ditanamkan , profil jiwa wirausaha pelaku industri kecil terkait. Tuntutan industri kecil terkait, tuntutan pasar, inovatif dan kreatif mahasiswa. Perjanjian kerjasama, keterlibatan, prosentase biaya Persyaratan , prosedur, penjadwalan , aturan dan tata tertib, kemudahan, kelancaran Bank data, konsultasi ahli Kerjasama dengan ( pemerintah daerah, Disperindag, Himpunan Pengusaha Menengah Indonesia, Lembaga Sosial masyarakat , dan industri kerkait ) 1. Tahap persiapan. Pada tahap persiapan, mahasiswa konsentrasi perancangan diberi bimbingan masal untuk mengingat kembali ilmu pengetahuan desain, gambar teknik, kewirausahaan, dan pengetahuan bengkel. Selanjutnya mahasiswa diberi wewenang untuk membentuk kelompok sendiri dengan memilih teman–temannya yang memiliki konsenttrasi keahlian lain ( konsentrasi fabrikasi, dan konsentrasi mesin pengepasan ) , yang setiap kelompoknya terdiri dari 4 sampai dengan 6 mahasiswa sesuai jenis alat peralatan mesinnya , yang dianggap cocok untuk bekerjasama dalam mewujudkan karya akhirnya baik dari sisi kemauan, kemampuan, karakter, maupun biaya. . Kemandirian dalam pemilihan kelompok ini bertujuan mendidik mahasiswa untuk mencari teman yang dapat bekerjasama dan memiliki kemampuan yang diperlukan, selain itu cara pengelompokan seperti ini , mendorong semua mahasiswa untuk senantiasa bergaul dengan baik dengan semua teman, memiliki komitmen dan kemampuan, sehingga mahasiswa yang bersangkutan mudah untuk mencari kelompok. Dan dengan cara ini ternyata selama proses pengerjaan di bengkel, tidak ada keluhan mahasiswa yang terkait dengan kinerja teman kelompoknya 2. Tahap pelaksanaan saat perancangan, Kegiatan awal pada tahap perancangan adalah survey alat peralatan dan mesin di industri bersama kelompoknya. Pencarian ide alat peralatan dan mesin di industri kecil memakan waktu 7 hari, hal ini karena kesibukan kegiatan akademik mahasiswa, dan tuntutan alat peralatan mesin yang harus terjangkau dari segi biaya, terjangkau dari segi ilmu pengetahuan dan terjangkau dari segi teknologi. 236 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil survey dari mahasiswa dapat dilihat pada table dibawah ini : Tabel 3. Peran Industri Kecil Dalam Uji Coba No. Jenis alat peralatan mesin Biaya yang ditanggung industri kecil 1 Pengering kayu 100 % 2 Vaccum fryer 50 % 3 Mesin pembangkit bio gas 75 % 4 Elevator pemindah sawit 100 % 5 Pellet ikan 50 % 6 Perajang tembakau 100 % Perlakuan Bimbingan konsep alat Bimbingan perancangan gambar Bimbingan pengetahuan Bimbingan proses - sama dengan atas Bimbingan pengetahuan terkait. Bimbingan proposal Bimbingan pengetahuan Bimbingan permasalahan yang muncul Bimbingan pengetahuan terkait. Gambaran spesifikasi . Bimbingan pengetahuan Bmbingan contoh – contoh peralatan . Motivasi tawaran pesanan Tempat Klaten Prambanan Dinas lingkungan hidup Klaten Jambi Kulonprogo Klaten Setelah mendapat ide, mahasiswa berbagi tugas dalam mewujudkan proposalnya untuk persiapan presentasi, selama presentasi, pasca presentasi, dan persiapan-persiapan sebelum proses pembuatan, terutama gambar kerja dan langkah kerja proses pembuatan. Pembimbingan baru dimulai setelah kelompok mahasiswa mempresentasikan proposalnya, walaupun pada saat presentasi mahasiswa wajib hadir. Hal ini dilakukan agar pada saat survey dan saat membuat proposal mahasiswa mampu mandiri, kerjasama, memiliki keberanian, mampu mengelola masukan, mampu mengambil inisiatif, mampu kreatif, dan percaya diri. Setelah presentasi, mahasiswa mampu dengan mudah menyempunakan idenya karena saat membuat proposal mereka berkonsultasi dengan pihak pemakai yakni industri kecil yang lebih tahu tentang masalah lapangan. Kesiapan gambar kerjapun bagus karena mahasiswa kecuali telah konsultasi dengan calon pemakai, ternyata mahasiswa juga telah diberi tugas merancang alat yang diperlukan industri kecil saat kuliah perancangan, sehingga gambar kerjapun telah siap saat kuliah perancangan sebelum mengambil karya akhir. Pada kuliah kewirausahaanoun , mahasiswa terlatih mencari ide dan dibentuk jiwa wirausahanya, sehingga hal inii akan memperlancar perolehan ide dan mendorong keberanian mahasiswa untuk survey lapangan. 237 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Tahap Pelaksanaan Pada Proses Pengerjaan di Bengkel Kemampuan mahasiswa dalam bekerja di bengkel tidak diragukan, namun demikian mahasiswa memang belum memiliki pengalaman dalam mewujudkan barang sehingga bimbingan dari dosen pembimbing dalam pembuatan langkah kerja, pengujian, memanage waktu, pembagian tugas , dan menghasilkan produk yang berkualitas masih perlu banyak bimbingan. Pada tahap ini peran calon pemakai alat peralatan dan mesin tampak, karena calon pemakai wajib hadir pada saat proses pembuatan dan proses pengujian. Pada proses pengujianpun mahasiswa mendapatkan masukan – masukan dari dosen pembimbing, calon pemakai, dan dari dosen – dosen lain , sehingga produk yang dibuat pasti dapat berfungsi dan tampil dengan baik. Dengan adanya tuntutan bahwa alat akan langsung dipakai di industri kecil maka secara tidak langsung juga melatih mental dan tanggung jawab mahasiswa dalam mewujudkan karya akhirnya. Pada minggu pertama kegiatan proses bengkel, kegiatan mahasiswa adalah melakukan pemotongan bahan, sehingga antrian terlihat pada mesin pemotongan bahan, selanjutnya pada minggu ke 2 sampai ke 5 kegiatan mahasiswa banyak yang berada di bengkel mesin dan pengepasan , sehingga juga terjadi antrian penggunaan mesin – mesin tertentu. Selanjutnya pada minggu – minggu terakhir kegiatan mahasiswa sibuk di bengkel fabrikasi untuk melakukan kegiatan perakitan dan pengujian. Dengan demikian antrian penggunaan alat peralatan dan mesin tetap ada, meskipun jenis kartya akhir yang dibuat mahasiswa berlainan, hal ini karena keterbatasan alat peralatan dan mesin, dan penjadwalan yang harus mengikuti kalender akademik. Selanjutnya untuk proses pengujian tidak ada masalah, karena dari pembuatan proposal sampai saat masuk bengkel mahasiswa selalu berkonsultasi, sehingga revisinya pun dalam katagori revisi yang ringan – ringan. Revisi Revisi yang dilakukan setelah pelaksanaan uji model , adalah sebagai berikut : 1. Setelah proses pengelompokan mahasiswa terlaksana , hamper pasti ada beberapa mahasiswa yang tidak terpilih oleh temannya, maka dari itu bagi mahasiswa yang belum memiliki kelompok digabungkan pada kelompok yang sudah terbentuk secara menyebar atau mereka dikelompokkan sendiri bila jumlah nya memenuhi kreteria oleh koordinator karya akhir jurusan yang bersangkutan. 2. Judul alat peralatan dan mesin karya akhir memang dihasilkan oleh mahasiswa yang memiliki konsentrasi atau option perancangan, namun demikian peluang terbuka untuk judul alat perlatan dan mesin yang dihasilkan oleh mahasiswa konsentrasi non perancangan dalam rangka mendapatkan judul karya akhir yang lebih baik. Kecuali itu hal ini memamng harus dilakukan bila jumlah mahasiswa yang memiliki konsentrasi perancangan kurang disbanding dengan judul dan jumlah mahasiswa yang memiliki konsentrasi non perancangan. 3. Pada saat ujian karya akhir, yang diujikan adalah laporan yang dibuat oleh mahasiswa sesuai dengan bagian yang digarapnya. Ujian karya akhir merupakan ujian terakhir bagi mahasiswa D3 dana ujian terakhir menjelang ujian Skripsi bagi mahasiswa S1, dengan demikian pelaksanaan ujian karya akhir seiap mahasiswa hampir pasti tidak bersamaan dan 238 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta justru kadang memiliki selisih waktu sampai 12 bulan atau lebih. Untuk menghindari penjiplakan pada bagian bab atau seluruh bab., maka setelah produk karya akhir diuji, semua mahasiswa wajib membuat laporannya dulu dan dikumpulkan bersama. Pada saat mahasiswa yang bersangkutan akan menempuh ujian akhir mahasiswa tinggal menggandakan laporan yang telah dibuat sebelumnya. 4. Bagi perguruan tinggi yang alat peralatan dan mesinnya terbatas maka perguruan tinggi yang bersangkutan dapat bekerjasama dengan bengkel - bengkel kecil , sedang atau besar untuk mewujudkan alat peralatan dan mesin hasil karya akhir.. 5. Bimbingan klasikal tidak hanya diberikan pada mahasiswa konsentrasi perancangan saja namun juga dilakukan untuk semua mahasiswa yang mengambil karya akhir. Pembahasan 1. Tahap persiapan. Pada tahap persiapan ini , hanya mahasiswa konsentrasi perancangan saja yang mendapatkan bimbingan masal, dengan demikian dosen pembimbing perlu bekerja keras untuk memberikan bimbingan awal pada kelompok mahasiswa karya akhir yang dibimbingnya meliputi pengingatan kembali tentang desain, gambar teknik, dan pengetahuan bengkel. Untuk ini materi-materi bimbingan masal karya akhir perlu dititipkan juga pada pengajar mata kuliah-mata kuliah perancangan, gambar teknik, dan kewirausahaan, yang intinya dosen terkait perlu memberi penekanan pada saat memberikan bab tersebut pada saat kuliahnya, atau dosen tekait merancang judul materi kesiapan karya akhir dalam satuan acara perluliahan . Dengan demikian bimbingan masal dapat dirasakan oleh semua mahasiswa. Pengelompokan mahasiswa diserahkan sepenuhnya pada mahasiswa dengan tujuan mendidik mahasiswa dalam memilih rekan kerja dan mendidik mahasiswa harus pandai – pandai bersosialisasi dengan teman-temannya saat dibangku kuliah. Pengelompokan ini hanya menjumpai masalah kecil , yakni ada mahasiswa yang tidak mendapat kelompok karena tidak dipilih oleh temannya, sehingga koordinator karya akhir yang menentukan mahsiswa yang bersangkutan masuk pada kelompok yang mana. 2. Tahap perancangan Pada tahap ini , mahasiswa tidak kesulitan mencari industri kecil dalam kegiatan surveynya, karena minimal salah satu dari anggota kelompoknya telah mengenal industri kecil yang ada di daerahnya. Pada tahap pembuatan proposa mahasiswa aktif berkonsultasi dengan induistri kecil baik melalui kunjungan , telpon atau SMS bagi yang lokasi industri kecilnya jauh. Industri kecil yang lokasinya dekat dengan kampus atau dekat dengan rumah salah satu mahasiswa akan lebih berperan dalam pembuatan karya akhir, dengan demikianhal ini memamg perlu menjadi salah satu kreteria untuk memilih industri kecil. Pada tahap sebelum presentasi dosen pembimbing belum diperankan, karena tujuan pendidikan adalah mendidik jiwa wirausaha mahasiswa dalam hal mandiri, kerjasama, keberanian, memiliki komitmen, mampu berkomunikasi, mampu berkonsultasi, kreatif dab iovatif, mampu mencari masukan, mampu memanage masukan, mampu berinisiatf.dan 239 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta percaya diri. Namun demikian pada saat presentasi dosen pembimbing wajib hadir karena dosen pembimbing perlu mengetahui masukan – masukan untuk bahan bimbingan. Untuk itu proses presentasi perlu dijadwalkan hari luang dosen tidak mengajar. Waktu pasca presentasi adalah waktu yang pendek bagi mahasiswa untuk melakukan penyempurnaan proposal, pembuatan gambar kerja, dan pembuatan langkah kerja proses pembuatan di bengkel, dengan demikian gambar kerja dan pembuatan langkah kerja harus dibuat sebelum seminar, walaupun pada kahirnya ada kemungkinan ada tuntutan penyempurnaan. 3. Proses pengerjaan di bengkel. Pada proses pengerjaan di bengkel memang tidak bisa dihindarkan dari antrian alat peralatan dan mesin , hal ini karena kecuali penjadwalan harus sesuai kalender akademik juga karena keterbatasan alat peralatan dan mesin yang dimiliki oleh jurusan mesin. Terlebih dari itu , saat minggu pertama semua kelompok konsentrasi pada kegiatan penyiapan pemotongan bahan, minggu ke 2 sampai minggu ke 5 , kegiatan karya akhir memusat pada bengkel mesin dan pengepasan , selanjutnya pada saat perakitan dan pengujian kegiatan karya akhir memusat pada bengkel fabrikasi. Hasil pengujian menunjukkan tidak banyak revisi, karena mahasiswa banyak berkonsultasi dari saat memperoleh ide sampai pada awal masuk kegiatan bengkel. Dalam proses pembuatan di bengkel, ada petugas piket yang menunggu bengkel , yakni dosen piket dan teknisi. Dosen piket adalah dosen pembimbing proyek akhir, namum jadwal piketnya hanya kurang dari 5x untuk proses pengerjaan pembuatan proyek akhir di bengkel yang berjalan 12 x.. Dengan demikian pada saat mahasiswa menjumpai masalah yang perlu bimbingan dosen pembimbing , ada kemungkinan dosen pembimbing kebetulan jadwal tidak piket.. Hal ini memang perlu diambil jalan keluarnya, yakni dosen pembimbing yang kebetulan tidak piket , perlu menengok mahasiswanya setiap hari walaupun hanya 20 menit untuk menanyakan permasalahan atau kemajuan yang dijumpainya, atau . selain itu dosen piket juga siap untuk membantu walaupun bukan bimbingannya. Kesimpulan Saran dan Implikasi Kesimpulan 1. Pada tahap persiapan perlu bimbingan masal untuk keseluruhan mahasiswa, melalui kegiatan kuliah perancangan, gambar teknik, kewirausahaan oleh dosen terkait. 2. Pengelompokan mahasiswa kecuali berbasis kerjasama, karekter, kemampuan, konsentrasi keahlian dan kemauan, juga disarankan memilih rekannya yang berasal dari daerah yang menyebar yang memiliki kemungkinan daerah yang ditempati mahasiswa ada industri kecil. 3. Industri kecil terpilih disarankan lokasinya dekat sehingga mahasiswa selama membuat proposal dapat lebih rutin berkonsultasi. Kecuali itu pihak industri yang bersangkutan tidak kehilangan waktu banyak saat yang bersangkutan diundang ke jurusan untui keperluan pendampingan presentasi, control kegiatan, dan pengujian karya akhir. 4. Proposal wajib dilampiri gambar kerja sehingga pada saat setelah presentasi proposal karya akhir, mahasiswa memiliki cukup waktu untuk menyempurnakan proposal dan mempersiapkan langkah kerja proses pengerjaan . 240 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 5. Dosen pembimbing selain diberi jadwal piket perlu memantau mahasiswanya setiap hari. 6. Semua mahasiswa wajib membuat laporan pendahuluan tentang apa yang dikerjakan, permasalahan dan solusinya. Sedangkan laporan akhir dibuat setelah itu untuk persiapkan ujian akhir. Dengan demikian mahasiswa yang akan membuat laporan akhir untuk jian telah memiliki memori pada laporan pendahuluan, hal ini untu menhhindari penyontekan. Saran 1. Jurusan menyediakan bank judul karya akhir. 2. Jurusan memiliki bank data industri kecil ( garapan dan alamatnya ) 3. Dosen-dosen yang mendapatkan hibah proyek pembuatan alat untuk program pengabdian pada masyarakat wajib melibatkan mahasiswa mesin. 3. Perlu adanya sinergi mata kuliah perancangan, kewirausahaan, dan karja akhir. 4. Semua dosen melakukan pantauan persiapan pada hari pertama bekerja di bengkel terutama kesiapan gambar kerja dan persiapan langkah kerja. Implikasi 1. Pada mata kuliah perancangan , kegiatan karya akhir sudah dimulai. Kegiatan tersebut adalah kegiatan mencari ide, survey, merancang , membuat gambar kerja. Dengan adanya sinergi antara mata kuliah karya akhir dan kuliah perancangan , produk karya akhir akan lebih berkualitas dan cepat dalam jadwal pembuatan. 2. Pada mata kuliah kewirausahaan, kegiatan karya akhir sudah dimulai. Kegiatan tersebut adalah kegiatan menanamkan kemandiran , kerjasama, keberanian, memiliki komitmen, mampu berkomunikasi, mampu berkonsultasi, kreatif dan inovatif, mampu mencari masukan, mampu memanage masukan, mampu berinisiatf.dan percaya diri. Dengan adanya sinergi antara mata kuliah karya akhir dan kuliah kewirausahaan, mahasiswa telah memiliki bekal jiwa wirausaha saat mengambil mata kuliah karya akhir. Penanaman jiwa wirausaha tadi kecuali diperlukan pada mata kualiah karya akhir juga diperlukan untuk membekali kegiatan survey pada mata kulah perancangan. 3. Jurusan perlu menjalin kerjasama dengan Pemerintah daerah dan atau Disperindag untuk mendapatkan data tentang macam industri kecil , alamat dan permasalahannya. 4. Dosen yang mendapat proyek dari Program Pengabdian Pada Masyarakat tentang pembuatan alat, dijadkan pembimbing proyek akhir. 5. Bekerja sama dengan bengkel – bengkel kecil terutama bagi perguruan tinggi yang jumlah dan kondisinya alat peralatan dan mesinnya kurang memenuhi syarat. Daftar Pustaka Antono, 1996, Pengenalan Jig dan Fixture, Bandung : Politeknik Manufakture Black.,P.H.., and Adam., O.,E.,1986, Machine Design, Tokyo : Mc. Graw Hill, Inc. Beam, 1990, System Engineering, New York : Mc. Graw Hill, Inc. Early.,J.H., 1991, Drafting Technology, New York : Addison Wedley Publishing . 241 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Espito and Thrower.,R.J., 1991, Machine Design, New York : Delmar Publisher, Inc. Gupta.,V., and Murthy.,P.N., tanpa tahun, An Introduction to Engineering Design Method, New Delhi : tata Mc Graw Hill Piblishing Company Limited. Harsokusumo.D., 1999, Pengantar Perancangan Teknik, Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas. Juvinall and Marshek,1991, Fundamentals of Machine Componen Design, New York : John Wiley and Sons. Krutz.G., Thomson . L.,and Claar.P., 1984, Design of Agricultural Machinery, New York : John Wiley and Sons. Kepner.,R.A., Bainer.R.,R., and Barger.E.L,1980, Principles of Farm Machinery, New York : AVI Publishing Company, Inc. Rochim.,T., 1989, Kegiatan Pembuatan Dalam rekayasa : Bandung ITB Subiyono, 1999, Masukan dari Pihak Pemakai Alat Mesin Buatan FT UNY, Yk : : UNY Subiyono, 2005, Kualitas Produk Proyek Akhir, Yogyakarta : UNY Subiyono, 2008, Model Pembelajaran Perancangan Alat Mesin , Yogyakarta : UNY Subiyono, 2006, Penelusuran Alumni FT Jurusan Mesin , Yogyakarta : FT Pres. Subiyono, 2006, Gaya Kognitif mahasiswa Teknik Mesin FT UNY, Yogyakarta: Lemlit Subiyono, 2006, Profil Jiwa Wirausaha Pelaku Industri Kecil di Bantul DIY, Yogyakarta : Lemlit Pres. Subiyono, 2009, Profil Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa Teknik Mesin FT UNY, Yogyakarta : FT Pres. Subiyono, 2010, Alat Ukur Power Pukulan dan Tendangan Atlit Beladiri Berbasis Komputer, Yogyakarta, Lemlit Pres 242 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta UJI-COBA PERMAINAN - ALAT MAIN KEAKSARAAN TEKS PELANGI, GEOMETRI HURUF, POLA SUKU KATA, DAN LUKIS SIMBOL-TUNGGUNG Tadkiroatun Musfiroh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Kelayakan alat main diketahui dari dimensi bentuk, fungsi, pemenuhan standar alat main, dan ketersediaan alat. Berdasarkan uji-coba selama 2 bulan di 4 TK diketahui bahwa alat main keaksaraan yang dihasilkan oleh penelitian ini dinilai layak. Kelayakan tersebut diperoleh melalui angket, wawancara guru setelah mereka melakukan observasi melekat pada anak selama proses bermain. Guru mengamati bagaimana alat main disentuh, digunakan, dan direspon oleh anak setiap hari. Adapun uji-coba alat-permainan terhadap 274 anak di 14 KB-TK selama 2 bulan dengan quasi eksperimen one-sample pretest and posttest designterbuktibahwa permainan keaksaraan berbasis teks, geometri huruf, dan pola suku kata dapat meningkatkan minat keaksaraan, keaksaraan main, dan tahap keaksaraan reseptif anak. Sementara permainan lukis simbol-tunggung (light table) mampu meningkatkan minat, keaksaraan main, dan tahap keaksaraan produktif anak. Kata kunci: uji-coba permainan, alat main keaksaraan. Pendahuluan Permasalahan utama keaksaraan anak yang dihadapi para pendidik dan orang tua saat ini adalah: (a) bagaimana membuat kegiatan main keaksaraan yang tepat dan disukai anak, (2) bagaimana memilih alat permainan keaksaraan integratif (minimal untuk pengembangan koordinasi visual-motorik), (3) dan bagaimana mendeteksi perkembangan keaksaraan anak secara tepat (Musfiroh, 2009). Sejak tahun 2006, berbagai metode pengenalan baca tulis di KB dan TK mulai bermunculan. Metode Glenn Doman (2006) yang mengacu pada perspektif “whole to part” pesat dikembangkan dalam versi Indonesia (IDI, 2007; Toysworld.multiply.com, 2009). Pada tahun yang sama, Direktorat PAUD mengadopsi metode BCCT dari Florida oleh Direktorat PAUD yang dalam metode tersebut terdapat “Main Keaksaraan” (Direktorat PAUD, 2006). Pengenalan baca-tulis untuk anak dalam perspektif pemerolehan pun sudah dibuat dan menunjukkan hasil yang relatif memuaskan. Tahaptahap pemerolehan keaksaraan produktif dan reseptif pun sudah ditemukan oleh Musfiroh (2009). Meskipun demikian, fakta riil di lapangan, khususnya di luar Jawa, menunjukkan, pembelajaran bacatulis secara formal masih terus dilakukan walaupun secara resmi telah dilarang. Permasalahan yang masih ditemukan melalui survey 2009 lalu di DIY meliputi, sekurangkurangnya, empat hal, yaitu: (1) pengenalan baca-tulis yang ada masih menyisakan masalah membaca dan menulis terbalik-balik, (2) pendidik masih sulit mengembangkan permainan sendiri, (3) pendidik mengalami kesulitan menemukan alat main keaksaraan, dan (4) pendidik belum mampu membuat deteksi pencapaian keaksaraan anak (Musfiroh, 2009). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya, yakni (1) “Pengembangan Model Pengenalan Bahasa Tulis Anak Usia Dini” (Musfiroh, 2006; Musfiroh, 2007; 243 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Musfiroh, 2008) lalu penelitian (2) “Pemerolehan Bahasa Tulis Anak KB dan TK (Musfiroh, 2009), lalu dipertajam dengan (3) penelitian Musfiroh (2009) yang berjudul “Penanganan Bentuk Terbalik-balik dalam Proses Pemerolehan Bahasa Tulis Produktif Anak Usia Dini”. Pada penelitian Hibah Bersaing (2006-2008) berupa model pengenalan baca-tulis AUD yang disebut Model Akuisisi Literasi. Penelitian ini merupakan pendalaman dari penelitian-penelitian terdahulu. Pendalaman permasalahan tersebut menjawab kebutuhan bagaimana seharusnya “membelajarkan” bahasa tulis sebagai perluasan dari belajar bahasa, sebagaimana dinyatakan oleh Sulzby dan Teale (1991) bahwa anak belajar bahasa secara alamiah. Membaca dan menulis merupakan perluasan alami dari pemerolehan bahasa. Selain itu, membimbing bahasa tulis anak haruslan peka melihat aspek perkembangan anak. Riset yang dilakukan Kutiper dan Wilson (1993) menunjukkan bahwa anak akan mudah diperkenalkan kepada tulisan seperti puisi yang mengandung ritme, rima, humor, langsung, dan struktur naratifnya sudah dikenal. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan tiga produk. Produk pertama adalah modul yang dapat diaplikasikan di KB-TK untuk mengenalkan dan mengembangkan kemampuan keaksaraan anak usia 2 hingga 6 tahun melalui cara bermain. Produk kedua adalah suplemen modul yang digunakan untuk menilai kemampuan keaksaraan anak selama bermain. Produk ketiga adalah prototype alat main yang digunakan selama proses bermain keaksaraan. Secara khusus artikel ini bertujuan mendeskripsikan kelayakan alat main pola suku kata, geometri huruf, tunggung, dan media teks pelangi, serta mendeskripsikan apakah permainan keaksaraan meningkatkan minat keaksaraan, tahap keaksaraan, dan keaksaraan main. Pengenalan bahasa tulis difokuskan pada mendorong minat baca, menyediakan lingkungan literat yang siap dieksplorasi oleh anak, menumbuhkan kesadaran fonemik, mendorong munculnya kesadaran grafemis, dan kesadaran grafofonemis. Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan Adam (1990); Goswani and Bryant (1990), bahwa anak yang berusia 3 – 5 tahun yang memiliki kesadaran rima, grafem awal, bunyi grafem, nama huruf yang menyusun kata-kata memiliki kemajuan membaca yang lebih baik daripada yang tidak. Pengenalan bersifat individual dan fungsional. Artinya, fitur apa yang menarik minat anak dan bagaimana fitur itu difungsikan, sangat ditentukan oleh anak. Selain itu, pengenalan harus semakna dengan pemfungsian bahasa tulis, yang pada anak dapat dilihat anak melalui aktivitas literasi di sekitarnya, seperti jual beli (bon atau nota), menabung di bank (slip tabungan dan tulisan cetak di buku tabungan, tiket pesawat, dan sebagainya (Brewer, 1995). Guru dan orang tua dapat memberikan dukungan dan bantuan, tepat pada saat anak membutuhkan. Fungsi bahasa muncul melalui interaksi anak dan orang tua. Melalui pemberian pertanyaan atau penunjukan kata dan ilustrasi, orang tua dan guru menghubungkan buku dan kehidupan seharihari anak (Beals & Snow,1994 melalui Rosenquest, 2002). Selain itu, berbahasa tulis merupakan bagian dari kecakapan hidup anak. Dalam wujudnya yang spesifik, yakni membaca dan menulis, bahasa tulis (Sulzby dan Teale, 1991) bahasa tulis muncul secara alamiah, dipengaruhi orang dewasa, dipengaruhi oleh interaksi anak dengan lingkungannya, pembelajaran harus berada pada masa peka anak, dan skemata dibangun sendiri oleh anak. Langkah terbaik pengenalan bahasa tulis anak adalah dengan cara menstimulasi anak agar mereka tertarik membaca, senang terhadap tulisan, dan memiliki kesadaran fonem dan leksikal. Kesadaran akan fonem sendiri dapat dibangkitkan melalui pembelajaran terpadu antara membaca 244 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dan menulis (Ukrainetz (2000). Hal ini sejalan dengan pendapat Jalongo dan kawan-kawan, bahwa buku-buku yang penuh gambar dengan sedikit tulisan justru efektif untuk mendorong anak senang membaca (Jalongo, et al. 2002).Menurut penelitian Kraayenoord & Paris (1996), kegiatan mengkonstruksi cerita dari buku bergambar dapat membangkitkan bahasa tulis anak, terutama karena berkaitan dengan aktivitas memaknai dan mengkonstruksi pemahaman. Kegiatan ini dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan anak mendekoding makna teks. Perkembangan bahasa tulis mengikuti prinsip tertentu. Menurut Marie Clay (Brewer, 1995) perkembangan menulis anak mengikuti prinsip mengkopi, prinsip tanda-tanda, fleksibel, inventori, keberulangan, dan pembangkitan. Prinsip-prinsip tersebut dapat tegak dalam suasana yang menyenangkan, bukan secara formal. Belajar keaksaraan secara informal mencapai hasil yang lebih baik, terutama kesadaran fonemik selama belajar membaca (Richgels, 1995). Anak-anak belajar dari keaksaraan inkonvensional ke keaksaraan konvensional. Anak-anak juga mengkonstruksi sendiri pengetahuan keaksaraan, dan kemunculan keaksaraan itu terjadi dalam situasi informal (Teale, 1978). Hal ini sejalan dengan pendapat Kutz (1997) bahwa keaksaraan memiliki karakteristik proses yang unsubconsiousness dan terjadi tanpa pengajaran yang formal. Belajar keaksaraan berarti belajar informal. Artinya anak belajar melalui bermain dengan media atau alat yang harus memenuhi persyaratan alat atau materi main. Menurut Bronson (Bronson, 1995), syarat alat main adalah: memiliki daya tarik dan menarik bagi anak, sesuai dengan kapasitas fisik anak, sesuai dengan mental anak dan perkembangan sosial anak, sesuai digunakan secara individu maupun kelompok, dikonstruksi dengan baik, tahan lama, dan aman untuk anakanak Metode Penelitian keseluruhan menggunakan pendekatan research and development. Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini menganut prosedur R & D Borg & Gall (2003). Meskipun demikian, dilakukan modifikasi terhadap langkah-langkah tersebut sebagaimana dilakukan Sukmadinata (2005). Adapun desain penelitian ini (tahun ke-2) menggunakan quasi eksperimen dengan desain one-sample pretest and posttest design, yang digunakan demi menghimpun data tentang apakah permainan keaksaraan berbasis teks, geometri huruf, pola suku kata, dan tunggung dapat meningkatkan minat keaksaraan, tahap keaksaraan, dan main keaksaraan. Lokasi dan subjek untuk tahun II sebanyak 4 TK untuk uji-coba terbatas alat main, dan 14 TK untuk uji coba permainan dengan alat main yang telah lolos pada uji-coba terbatas, Adapun jumlah subjek terdiri dari 80 anak untuk uji-coba terbatas alat main, 274 anak untuk uji-coba keefektifan permainan dengan alat mainnya. Di 14 lokasi penelitian tersebut, guru juga ikut melakukan penelitian untuk mereka sendiri dengan jenis penelitian tindakan kelas. Hal ini memungkinkan peneliti melakukan sinergi terus menerus untuk memeroleh data penelitian dan diskusi bersama pendidik. Teknik pengumpulan data disesuaikan dengan tujuan penelitian tiap tahun. Pada tahun kedua, teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara, isian angket, dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan mengamati perilaku anak-anak pada saat bermain dengan alat main yang disediakan, saat menerima ajakan guru untuk berinteraksi dengan teks permainan “Memburu 245 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta jejak”, “Mencari Jejak”, dan “Detektif Simbol” membelajarkan keaksaraan pada anak serta reaksi anak-anak pada saat proses pembelajaran terjadi. Observasi juga dilakukan terhadap perilaku keaksaraan anak, baik yang masuk dalam kategori capaian keaksaraan maupun dalam kategori minat keaksaraan. Observasi juga dilakukan terhadap guru pada tiga waktu, yakni sebelum, pada saat, dan sesudah kegiatan permainan keaksaraan terjadi. Observasi juga dilakukan terhadap alat-alat main keaksaraan yang ada, terutama sesudah alat tersebut digunakan anak. Observasi difokuskan pada dimensi bentuk, fungsi, standar alat main, dan ketersediaan. Wawancara dilakukan terhadap guru dengan memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan kesulitan, kemudahan, atau hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan permainan keaksaraan ini. Wawancara dilakukan juga terhadap anak tentang apa yang mereka lakukan, mereka terima, serta bagaimana tanggapan mereka terhadap permainan dan alat main yang diberikan. Dokumentasi dilakukan terhadap hasil-hasil aktivitas keaksaraan yang dibuat anak. Analisis data dilakukan dengan metodedeskriptif kuantitatif. Analisis ini digunakan untuk mengetahui kelayakan alat main dan mengetahui peningkatan minat keaksaraan, keaksaraan permainan, serta tahap keaksaraan anak sebelum dan sesudah tindakan melalui empat permainan. Validitas data diperoleh melalui berbagai metode, yakni (1) pengumpulan data ganda, meliputi metode observasi, wawancara, FGD, dokumentasi, angket ; (2) sumber data ganda, yakni sumber data lisan, sumber data tertulis, dan sumber data gerak-visual-lisan; (3) ketekunan pengamatan; dan (4) interreter reliability. Penelitian dilakukan menurut desain R & D, berorientasi produk, berproses dan dilaksanakan secara bertahap selama tiga tahun. Kegiatan dalam setiap tahapan dibuat untuk mewujudkan tujuan penelitian. Pembahasan 1. Kelayakan Alat Main Alat main keaksaraan meliputi alat main berbasis teks, geometri huruf, pola suku kata, serta alat main lukis huruf dan tunggung. Kelayakan alat main diketahui dari dimensi bentuk, fungsi, pemenuhan standar alat main, dan ketersediaan alat. Dimensi bentuk meliputi kesesuaian ukuran, kemudahan bentuk untuk dipegang anak, dan warna serta font yang menarik bagi anak. Alat main juga harus mudah digunakan, dapat mencapai tujuan serta merangsang minat keaksaraan anak. Alat main tetap harus memenuhi standar alat main, yakni tidak melukai, tidak meracuni, dan tidak mudah rusah. Alat main juga mudah dibuat, terjangkau, dan bahan tersedia sehingga tidak discontinue. Berdasarkan uji-coba diketahui bahwa alat main keaksaraan yang dihasilkan oleh penelitian ini berkategori layak. Kelayakan tersebut diperoleh dari hasil angket, wawancara kepada guru melalui observasi melekat pada anak selama dua bulan uji-coba. Guru mengamati bagaimana alat main disentuh, digunakan, dan direspon oleh anak setiap hari. Berikut merupakan tabel kelayakan alat main. 246 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1: Hasil Uji Kelayakan Alat Main ALAT MAIN IDENTITAS ALAT Berbasis Teks Ukuran kwarto 80 gr HVS 80 gr 19 X 23cm Asturo Geometri Huruf Gabus MDF I NDF II MDF III Ivory Pola Suku Kata MDF I Plastic semi acrylic Lukis Simbol dan Karton Tunggung Gabus MDF Plus SKOR KELAYAKAN 47,00 43,50 33,67 37,33 41,00 44,17 46,67 41,67 48,00 42,67 43,67 44,67 49,00 STATUS Layak Layak Kurang Layak Kurang Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak a. Kelayakan Alat Main Berbasis Teks Alat main teks memiliki skor kelayakan yang relatif baik. Alat main ini dibuat oleh guru sebagai pengguna dan dibuat oleh peneliti. Alat main teks dibuat dalam dua versi, yakni versi kwarto (yang dibuat guru) dan versi khusus (seukuran buku besar, 19 X 23 cm). Alat main buatan guru lebih tinggi dalam skor kelayakan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses pembelajaran informal di KB dan TK teks ukuran kwarto lebih baik digunakan. Meskipun demikian, teks standar penelitian ini pun dapat digunakan. Adapun ciri-ciri dari keduanya sama, yakni: (1) Dua per tiga berisi gambar tunggal dan gambar tematik (2) Sepertiga bagian berisi teks dengan ukuran font 20, 22, atau 24 (3) Teks dibuat dalam huruf kecil (bukan kapital) (4) Teks untuk permainan “memburu jejak” dibuat berwarna sesuai petunjuk, teks “mencari jejak” dibuat hitam putih, dan permainan “detektif simbol atau huruf” dibuat dalam warnawarni. b. Kelayakan Alat Main Geometri Huruf Alat main geometri huruf dibuat dalam tiga bahan dengan lima jenis ukuran. Bahan pertama adalah kertas dengan ukuran huruf 400 dengan warna-warni asturo, bahan kedua adalah gabus ukuran 1 cm dengan warna seadanya, bahan ketiga adalah papan MDF dengan bentuk huruf tebal 1 cm dengan papan MDF 1 cm dengan warna stiker warna-warni, keempat adalah geometri huruf dengan bahan MDF 4 mm dengan lebar tulang huruf 1,3 cm dengan warna stiker warna-warni, dan kelima adalah papan MDF 4 mm dengan lebar tulang 1,3 cm dicat. Warna papan MDF dicat dengan dua warna yang berbeda. Hasil ujicoba mengindikasikan bahwa papan MDF paling diminati dan bahwa ukuran 1 cm X 1 cm sebagai berwujudan balok geometri ideal tidaklah ideal bagi anak. Balok yang lebih tipis tetap sedikit lebih lebar justru memiliki daya tarik yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa ideal dalam bentuk stansar ilmiah orang dewasa tidak berlaku bagi anak-anak. Anak masih melihat satu dimensi saja, sementara orang dewasa telah mampu melihat beberapa dimensi sekaligus. 247 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Keberminatan anak terhadap alat main geometri yang baru juga didasarkan pada bentuk balok sendiri. (1) Geometri huruf kecil yang semula memiliki 19 jenis balok dan berjumlah 51 keping, telah dipersingkat menjadi 17 jenis balok. (2) Geometri huruf besar memiliki 19 jenis balok dan berjumlah 57 keping. Berikut contoh keping geometri yang disukai oleh anak. c. Kelayakan Alat Main Pola Suku Kata Alat main pola suku kata dibuat dalam beberapa versi. Versi pertama dibuat dari kertas ivori yang diprint dengan ukuran 4,5 X 5 cm, papan MDF 4 mm ukuran 4,5 X 4,5 cm dengan warna standar warna keaksaraan, dan plastik semi acrylic ukuran 4,5 X 4,5 setebal 1,1 mm. Semua warna dibuat sesuai dengan temuan warna tahun pertama yang disebut standar warna aksara (SWA). Hasil uji-coba bahan papan MDF dan plastik acrylic yang semua diramalkan dapat diproduksi secara massal ternyata tidak sesuai kenyataan. Anak-anak lebih menyukai papan MDF daripada plastik acrylic. Anak-anak mau bermain dengan plastik acrylic, tetapi ketika disodori kartu kata MDF, anak segera beralih ke papan MDF dan menolak kembali ke plastic-acrylic. Beberapa hasil wawancara mengerucutkan alasan bahwa tingginya kelayakanan papan MDF sebagai media pola suku kata karena faktor ketebalan, kenyamanan dipegang, dan tekstur yang halus tetapi kuat. Skor yang tinggi pada alat main ini tidak terlepas dari pola-pola yang dimunculkan. Anak senang bermain warna dan lebih senanga lagi karena ternyata mereka tertantang untuk mengeksplorasinya dan mengeksploitasinya. Masa-masa eksplorasi anak dalam permainan ini relatif panjang sebelum akhirnya mereka menyadari bahwa pola-pola itu memiliki bentuk yang dapat dimaknai. d. Kelayakan Alat Main Lukis Simbol dan Tunggung Alat main lukis simbol dan tunggung, yang merupakan permainan di light table plus dibuat dalam tiga versi. Versi 1 adalah alat main yang dibuat dari kertas karton ukuran 13 X 14, versi kedua dibuat dari gabus ukuran 11 X 14, dan versi ketiga dibuat dari papan MDF 6mm ukuran 12 X 14 cm dengan tebal huruf 2 cm. Semua warna dibuat sesuai dengan SWA. Di antara alat main yang lain, alat main ini merupakan alat main yang paling berhasil. Alat main ini melayani 3-5 permainan sekaligus, yakni kopi tindas, lukis simbol, tulis punggung, puzzle huruf, dan balok kata. Alat main ini juga dipandang unggul karena dilapisi cat yang tahap air, tahan gores, dan aman bagi anak. Keberhasilan alat main ini lebih didasarkan pada fakta dan kebutuhan riil anak untuk memperoleh model menulis yang bebas dari masalah deiksis. Satu muka (bukan berhadapan muka) yang merupakan konsep dasar dari alat lukis simbol mengadopsi utuh kebutuhan tersebut. Dengan demikian, bahan apa pun yang digunakan, kebutuhan anak akan kebebasan masalah deiksis akan teratasi. Hanya saja, papan MDF memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan lain karena (1) lebih menarik, (2) lebih masif sehingga tidak berubah letaknya, dan (3) lebih standardalam penggunaan huruf. Hal inilah yang menyebabkan alat main lukis simbol-tunggung dari bahan MDF memiliki nilai kelayakan yang berkategori layak. 248 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Uji Permainan Keaksaraan Permainan keaksaraan terdiri dari empat permainan, yakni permainan keaksaraan berbasis teks, permainan geometri huruf, permainan pola suku kata, dan permainan light table. Uji permainan keaksaraan menunjukkan bahwa permainan keaksaraan meningkat tahap keaksaraan anak melalui minat keaksaraan anak dan keaksaraan main. Berikut ini hasil uji permainan keaksaraan yang dimaksud. Tabel 2: Hasil Uji Permainan Keaksaraan dan Peningkatan Rerata No. Permainan Keaksaraan Peningkatan Rerata Minat Keaksaraan pre post t Keaksaraan Main pre post t Tahap Keaksaraan pre post t 1. Berbasis Teks 30,18 34,16 26,456 14,02 15,77 17,856 4,08 5,98 15,742 2. Geometri Huruf 30,30 32,77 16,838 10,23 11,10 13,167 4,07 4,94 13,167 3. Pola Suku Kata 30,11 34,84 27,048 17,74 20,33 20,509 4,68 6,81 15,597 4. Light Table 30,05 32,11 14,964 22,87 24,07 11,801 6,26 7,44 16,514 Permainan keaksaraan yang ditemukan melalui riset ini memiliki tiga kekuatan sekaligus. Pertama, permainan ini menarik minat keaksaraan anak melalui sepuluh dimensi, yakni rasa ingin tahu, keterlibatan, kepentingan, pengakuan, kesadaran akan nilai, kompetisi, efikasi diri, tantangan, ketiadaan penghindaran, dan pemenuhan kebutuhan. Kenaikan minat keaksaraan pada keempat permainan memang hanya ditunjukkan dengan angka 1-3 selama 2 bulan, tetapi hal ini sudah menunjukkan bahwa permainan keaksaraan memiliki prospek cerah untuk memelihara minat keaksaraan anak. (Catatan: Pemeliharaan minat keaksaraan inilah yang sulit dicapai oleh kegiatan pembelajaran keaksaraan yang konvensional). Permainan keaksaraan juga membantu tahap keaksaraan anak melalui peningkataan keaksaraan main. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kualitas bermain anak selama mereka mendapat tindakan permainan. Pada awal, hampir semua anak berada pada tahap eksplorasi. Mereka menjajar, menumpuk, dan mengobservasi alat main dan belum dapat bermain dengan baik. Meskipun demikian, pada akhir bulan kedua, anak-anak telah meningkat 1-3 tingkat keaksaraan main. Hanya sedikit anak yang tidak mengalami kenaikan. Permainan keaksaraan, karena ditopang oleh minat dan keaksaraan main, secara telak mampu meningkatkan tahap keaksaraan anak 1-3 tahap. Anak-anak yang semula berada pada tahap mirip simbol, misalnya, mampu meningkatkan dirinya ke tahap menulis semi acak. Demikian halnya anak-anak yang semula berada pada tahap diskursif, melalui tindak permainan ini, mampu meningkatkan dirinya ke tahap mengenal kata dalam simbol yang sama. Anak-anak dengan cepat 249 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mengenali huruf demi huruf, suku kata, dan kata-kata. Kemampuan permainan ini, bahkan, mengundang permintaan guru untuk pembuatan permainan keaksaraan lanjut. Selain itu, temuan tentang standar warna aksara SWA (Musfiroh, 2010), mengerangkai cara pikir anak bahwa huruf-huruf hanya dibagi menjadi 2, yakni terang dan gelap. Yang gelap dibagi menjadi merah, hijau, ungu, dan biru. Penjlimetan terhadap huruf-huruf akan terjadi selama proses bermain. Dengan demikian, sistem tradisional dengan menjajar huruf a-z yang menyita memori anak, ditiadakan melalui sistem SWA. Hal ini dikuatkan dengan sistem integrasi permainan yang menerapkan SWA ke dalam tiga permainan, dari permainan berbasis teks, pola suku kata, dan light table. Temuan lain yang cukup menggembirakan dari permainan ini adalah “keajaiban light table”. Permainan di light table ternyata mampu menarik fokus anak-anak yang mengalami masalah perhatian. Anak dengan kebutuhan kinestetik tinggi, teredam melalui kegiatan yang menyita fokus mereka. Anak yang semula hanya bertahan 2-5 menit di meja biasa, bertahan hingga permainan selesai (kira-kira 30 menit) di light table. Belum diketahui dengan pasti penjelasan mengenai hal ini. 1. Permainan Keaksaraan Berbasis Teks Anak KB dan TK memerlukan permainan untuk pengenalan membaca teks yang sesuai dengan tahap perkembangan bahasa tulis mereka. Pemfokusan merupakan permainan “membaca” yang memberi peluang pada anak untuk memfokuskan pandangan mereka (visual-spasial) ke simbol, baik huruf, silabel, maupun kata, sehingga memiliki kebertahanan konsentrasi pada saat memerhatikan aspek keaksaraan tersebut Selama kegiatan permainan ini, anak-anak sibuk mencari simbol-simbol yang sama dengan alat pembesar, lalu melingkarinya. Permainan ini menantang bagi anak-anak, menimbulkan rasa ingin tahu, dan sekaligus menguatkan memori anak melalui pengulangan yang mengasyikkan. Pemfokusan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni dengan teropong atau lokalisasi objek langsung dari mata ke objek, melalui kaca pembesar, dan melalui cahaya. Pemfokusan dengan kaca pembesar adalah permainan pemfokusan dengan alat bantu kaca pembesar ukuran kecil. Objeknya adalah huruf, silabel, atau kata yang tercetak dalam buku. Buku yang dimaksud berisi gambar baik gambar tunggal maupun gambar tematik. Di bawah gambar terdapat teks. Pemfokusan dengan cahaya adalah permainan pemfokusan di ruang gelap dengan cahaya senter atau lampu yang menyoroti tulisan dalam buku atau media di dinding. LCD juga dapat dimanfaatkan sebagai ganti lampu. Meskipun demikian, LCD memerlukan program yang berisi kata-kata yang atraktif sehingga menimbulkan rasa tertarik anak. Keunggulan permainan keaksaraan berbasis teks adalah karena permainan ini: (1) mengundang rasa ingin tahu anak, (2) memfokuskan perhatian anak, (3) sesuai dengan tingkat perkembangan membaca anak, (4) bertujuan untuk persiapan membaca teks. 2. Permainan Keaksaraan Bertumpu Keruangan Anak KB dan TK memerlukan permainan yang mendukung imajinasi mereka melalui pengaktifan keruangan, visuo-spasial mereka, menyerupai permainan konstruksi. Anak KB dan TK sangat menyukai permainan konstruksi, seperti lego, bricks, dan balok BCCT. Permainan konstruksi membuat anak dapat berimajinasi dengan bebas. 250 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Aksara atau huruf, sebenarnya berasal dari bentuk-bentuk tertentu yang tersusun. Sebuah bentuk sering kali menjadi unsure dari beberapa huruf yang berbeda. Balok persegi panjang, misalnya, terdapat pada 24 huruf (kecil dan capital). Demikian juga dengan bentuk sedikit lengkung terdapat pada 6 huruf. Anak bermain konstruksi melalui beberapa tahap. Menurut teori perkembangan balok BCCT, anak mengalami beberapa perkembangan dari acak hingga konstruksi kompleks. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman bagaimana anak bermain dengan balok nonBCCT. Hal ini berrarti, anak tidak serta merta dapat memanfaatkan balok-balok pembentuk huruf. Selama kegiatan permainan ini, anak-anak dapat membuat satu set konstruksi huruf dari keping geometri yang berjumlah 20 untuk huruf kapital dan 21 jenis keping geometri untuk huruf kecil. Setiap jenis memiliki 1 hingga 17 keping. Keping tersebut ditata hingga membentuk huruf tertentu. Permainan geometri huruf dapat digunakan untuk mendeteksi kemampuan konstruksi anak terhadap huruf de Cngan memanfaatkan daya imajinasi dan visuo-spasial. Anak yang sudah mengenal huruf relatif mudah menyusun dalam geometri huruf. Selain itu, permainan geometri huruf juga memiliki kelebihan berikut. (1) Menantang anak untuk memanfaatkan kemampuan konstruksi dan imajinasi. (2) Merangsang anak untuk memerhatikan unsur huruf berdasarkan keping-keping pembangunnya. (3) Sesuai dengan tingkat perkembangan membaca anak (4) dapat dimanfaatkan untuk persiapan anak membaca dan mengenali fitur huruf. 3. Permainan Keaksaraan Bertumpu Pola Anak KB dan TK memerlukan permainan yang menstimulasi kemampuan membuat pola keaksaraan, yang melibatkan indera visual, sensorik-motor, indera perabaan, dan meminimalkan kasus menulis terbalik-balik. Bermain keaksaraan pada hakikatnya adalah bermain pola, hanya saja pola itu ditetapkan atau konvensional. Oleh karena itu, sebelum masuk ke wilayah simbol, pola perlu diberikan terlebih dahulu. Pola berdasarkan warna inilah yang akan memberikan stimulasi pada anak untuk memerhatikan bentuk huruf yang memiliki warna-warna tertentu. Huruf yang memiliki warna tertentu akan menunjukkan pola apabila ditata. Pola warna mendorong anak untuk melihat kepada bentuk. Pada saat pola warna ditata, anak sekaligus belajar tentang bentuk. Pada saatnya, huruf menjadi fokus utama anak, dan pada saat itulah warna tidak lagi dibutuhkan. Permainan pola huruf merupakan permainan yang mengandalkan kemampuan mengenal peta dan pola. Di Barat permainan pola diberikan sejak dini dalam bentuk manik-manik. Di Indonesia, pola dikenalkan melalui ronce. Huruf-huruf yang ditata seperti pola, baik pola manik-manik dan ronce dapat dimanfaatkan sebagai latihan membaca secara terbimbing. Anak-anak yang belum bisa membaca justru akan menata huruf sesuai dengan warnanya dan meminta orang dewasa untuk membacakan. Merahkuning merah-kuning merah kuning, misalnya merupakan contoh pola dari ba-da-ka atau la-ma-na. Anak-anak akan menukarkan huruf dan menjadikannya kata-kata yang bermakna di bawah bimbingan guru. 251 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Warna huruf dalam permainan ini sudah ditentukan. Anak hanya perlu membuat pola, nanti guru yang akan mengajak mereka membunyikan pola-pola tersebut. Bagi anak-anak yang belum mengenal huruf, permainan cukup mengasyikkan dan memacu minat baca mereka. Permainan ini akan mencapai hasil optimal apabila dipadukan dengan permainan pemfokusan. 4. Permainan Keaksaraan Tunggung Bertumpu Sensor Motorik Anak KB dan TK memerlukan permainan yang mengoptimalkan sensor motorik. Permainan ini mengerahkan memori yang terkait dengan sensor dari ujung-ujung jari dan koordinasi mata-tangan. Penggunaan light table bukan sebagai latihan instruktif tetapi sebagai meja permainan. Penguatan motorik halus juga perlu diarahkan ke kegiatan yang mengeksplorasi kegiatan manipulasi benda, seperti bermain playdough, menyobek dan meremas kertas, memegang dengan satu tangan, menggunting, menempel, memungut, dan memilin. Penguatan motorik halus juga mengacu pada aktivitas sensorik, menuang, mengoles, dan memungut benda kecil. http://kirkwoodschools.org Anak-anak memerlukan permainan yang mengoptimalkan peran meja putih atau light table. Semua permainan yang bertumpu pada sensor motorik dapat dilakukan di light table, kecuali yang langsung terkait dengan sensor punggung.Permainan di light table merupakan permainan yang dilakukan di meja putih. Permainan yang dimaksud adalah mozaik, kopi tindas, amplas huruf, painting huruf, dan tulis punggung. Alat yang dibutuhkan adalah huruf-huruf kerangka yang dibuat dalam busa tipis, lem, guntingan kertas (untuk mozaik), huruf kerangka, mika atau kertas, spidol (kopi tindas), huruf kerangka dan amplas (amplas huruf), kerangka huruf, pewarna atau finger painting (painting huruf). Dalam permainan di light table, anak-anak dapat mencermati bentuk huruf dengan menggunakan jari jemari dan alat tulis. Pengayaan melalui visuo-spasial, melalui sensorik-motorik, dan melalui permainan sensorik-warna ini menguatkan memori anak tentang bentuk huruf dan cara penulisannya. Permainan di light table memiliki fungsi terapi bagi anak-anak yang mengalami kesulitan mengenali fitur huruf dan cara penulisan huruf. Permainan ini juga meminimalkan resiko terbalik-balik. Apalagi jika dilanjutkan dengan permainan menulis di punggung atau tunggung. Permainan di light table memainkan peranan yang penting dalam menguatkan latihan motorik halus secara menyenangkan, mengatasi kesulitan deiksis, menguatkan koordinasi mata tangan, dan dan diduga menguatkan fokus anak selama tugas permainan. Permainan light table ini merupakan pengembangan dari upaya mengatasi fenomena menulis terbalik pada anak-anak. Melalui riset ini terjawablah permasalahan keterbalikan tersebut bahwa terbalik-balik menulis harus diatasi melalui tiga upaya dalam satu fokus, yakni kopi tindas (penguatan motorik), lukis simbol dengan pelangi (penguatan fitur huruf), dan tulis punggung (mengatasi deiksis). Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. (1) Alat main yang dibuat dalam penelitian ini, yakni alat main berbasis teks, alat main geometri, alat main pola suku kata, dan alat main lukis simbol-tunggung telah memenuhi syarat kelayakan “layak” Belum ada 1 alat pun yang memenuhi syarat “sangat layak”. 252 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta (2) Permainan keaksaraan telah diuji coba dan diperoleh hasil bahwa permainan keaksaraan berbasis teks, permainan geometri huruf, dan permainan pola suku kata mampu meningkatkan minat, keaksaraan main, dan tahap keaksaraan reseptif anak. Adapun permainan lukis simbol-tunggung mampu meningkatkan minat, keaksaraan main, dan tahap keaksaraan produktif anak. Daftar Pustaka Baker, Linda and Wigfield, Allan. 1999. “Dimension of Children for Reading and Their Relation to Reading Activity and Reading Achievement” in Reading Research Quarterly 34.452-477. International Reading Association. Beaty, Janice J. 1996. Skills for Preschool Teachers. New Jersey : Merrill an imprint of Prentice Hall. Berk, L.E. 1994. Child Development. Boston : Allyn & Bacon. Bodrova, Elena & Leong, Deborah. 1996. Tools of The Mind : The Vygotskian Approach to Early Childhood Education. New Jersey : Merill Prentice Hall. Bredekamp, Sue & Copple, Carol. 1999. Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs. Washington, D.C. : NAEYC. Brewer, J.A. 1995. Introduction to Early Childhood Education : Preschool throough Primary Grades. Boston : Allyn and Bacon. Bronson, M. B. 1999. The Right Stuff : Selecting Play Materials to Support Development. Washington, D.C. : National Assosiation for the Education of young Children. (hal. 83-152). Bruner, J.S. 1983. Child’s talk : Learning to Use Language. New York : Norton. Cox. Carole. 1999. Teaching Language Arts : A Stident- and Response- Centered Classroom. Boston : Allyn and Bacon. Direktorat PAUD. 2006. Pedoman Penerapan Pendekatan “Beyond Centre anda Circle Time (BCCT) (Pendekatan Sentra and Lingkungan dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas, PLS, Direktorat PAUD. Doman, J. Glenn and Janet Doman. 2006. How Smart Is Your Baby?: Develop And Nurture Your Newborn's Full Potential. Square One Publishers. Garvey, 1990. Play : Developing Child. (enlarged edition). Massachusetts : Harvard University Press. Hoorn, et/el. 1999. Play at the Centre of the Curriculum. New Jersey : Merill, Prentice. Isenberg, J.P. & Jalongo, M.R. 1993. Creative Expression and Play in The Early Childhood Curriculum. New York :Merrill, Macmillan Publising Company. Musfiroh, T. & Kusmiatun A. 2006. “Pengembangan Model Pengenalan Bahasa Tulis untuk Anak Usia Dini.” Yogyakarta: laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I Musfiroh, T. & Kusmiatun, A. 2007. “Pengembangan Model Pengenalan Bahasa Tulis untuk Anak Usia Dini.” Yogyakarta: laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II Musfiroh, T. & Kusmiatun, A. 2008. “Pengembangan Model Pengenalan Bahasa Tulis untuk Anak Usia Dini.” Yogyakarta: laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun III. 253 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Musfiroh, T. 2008. Cerdas Melalui Bermain : Cara Pengasah Multiple Intelligences pada Anak Sejak Usia Dini. Jakarta : Grasindo. Musfiroh, T. 2009. “Pemerolehan Bahasa Tulis Anak Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Disertasi Musfiroh, T. 2009. “Menumbuhkembangkan Baca-Tulis Anak Usia Dini”. Jakarta: Grasindo. Musfiroh, T. 2009. “Penanganan Bentuk Terbalik-balik dalam Proses Pemerolehan Bahasa Tulis Produktif Anak Usia Dini”. Yogyakarta : Laporan Penelitian Hibah Doktor Universitas Gadjah Mada. Musfiroh, T, dkk. 2010. “Modul Permainan Keaksaraan, Alat Main, dan Suplemen Deteksinya untuk Anak Usia Dini”. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi. Yogyakarta: Lemlit UNY Team Edu. “The Role of Child Development and Social Interaction in the Selection of Children's Literature to Promote Literacy Acquisition” Resume Jurnal 1 ECRP Vol. 5 No. 2 Fall 2003.. http://abc-edu.blogspot.com/2009 Vygotsky, L. (1978). Interaction between Learning and Development (pp. 79-91). In Mind in Society. (Trans. M. Cole). Cambridge, MA: Harvard University Press. Ziniewicz, Gordon L. 1999. “John Dewey : Experience and Nature : Individuality and Association”. http://www.fred.net/tzaka/deweynew.html 254 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta IMPLEMENTASI DAN DISEMINASI MODELPENANGANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR BERBASIS AKOMODASI PEMBELAJARAN Sari Rudiyati, Pujaningsih, dan Unik Ambar Wati Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta sarirudiyati@yahoo.com ABSTRAK Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model dan buku panduan penanganan anak berkesulitan belajar berbasis akomodasi pembelajaran.Tujuan khusus penelitian adalah implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian dan pengembangan (buku panduan penanganan Anak Berkesulitan Belajar berbasis akomodasi pembelajaran) dan peningkatan kemampuan guru dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar Penelitian ini secara keseluruhan menggunakan pendekatan research and development diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Borg and Gall (2003). Subjek penelitian ini adalah guru sekolah dasar inklusif di DIY; Teknik pengumpulan data digunakan : tes, angket, observasi, wawancara dan analisis dokumentasi. Analisis data dengan teknik analisis deskriptif. Temuan hasil penelitian ini adalah : bahwa pada tahun ketiga telah dilaksanakan implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian dan pengembangan model penanganan anak berkesulitan belajar berbasis akomodasi pembelajaran: (1) Melalui sosialisasi di kantor-kantor Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah dasar inklusif; serta pelatihan dan workshop 63 guru Sekolah Dasar dan Guru Pembimbing Khusus dari 21 SD di DIY tentang penerapan model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB yang sebelumnya telah diadakan pre-tes dan diakhiri dengan post-test; (2) Ada peningkatan kemampuan guru dalam dalam menangani anak berkesulitan belajar berbasis akomodasi pembelajaran. Hal ini ditunjukkan antara lain dari hasil pre-tes ke post-tes, yaitu dari 63 orang guru, 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; menjadi 12 orang atau 19,05% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Namun demikian hal ini belum memenuhi standar skor yang telah ditentukan yaitu 76 atau baik; (3) Monitoring dan pendampingan kegiatan implementasi & diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB dilaksanakan para peneliti dibantu oleh 10 orang mahasiwa PLB FIP UNY. Hasil monitoring menunjukkan bahwa para guru masih memerlukan pendampingan dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB, maka telah dilakukan pendampingan bagi para guru; (4) Evaluasi hasil implementasi dan diseminasi menunjukkan bahwa pendampingan dapat meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan akomodasi pembelajaran bagi ABB; (5) Model akomodasi pembelajaran efektif meningkatkan kemampuan guru dalam penanganan Anak Berkesulitan Belajar melalui pelatihan dan pendampingan.Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan adanya peningkatan kemampuan dari 63 orang guru yang dalam pre-tes hasilnya 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; setelah pelatihan dan workshop diadakan pos-tes hasilnya menjadi 12 orang atau 19,05% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Kemudian setelah diberi pendampingan menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Kata-kata kunci: Anak Berkesulitan Belajar/ABB; akomodasi pembelajaran Pendahuluan Latar belakang pendidikan yang tidak memberi bekal tentang anak berkesulitan belajar (ABB) kepada calon guru, menyebabkan hampir semua guru reguler di SD menghadapi permasalahan dalam menangani ABB. Selain itu, sumber-sumber informasi yang dapat membantu guru menangani ABB masih terbatas, sehingga banyak berujung kepada pengabaian kebutuhan ABB. 255 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Guru sebagai aktor utama dan yang paling menentukan situasi kelas menjadi fokus dalam penelitian ini. Guru diharapkan mampu menerima, menyesuaikan diri dan mengembangkan strategi yang sesuai dengan kondisi maupun kebutuhan anak dalam belajar. Hal tersebut menjadi landasan kuat dalam upaya awal pengembangan model akomodasi pembelajaran ini. Model ini berupaya membantu guru dalam memenuhi kebutuhan ABB tanpa mengorbankan anak-anak yang lain dengan banyak mengkaji permasalahan yang terkait dengan individual diversity di kelas. Model penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran yang sudah tersusun pada penelitian sebelumnya masih memerlukan penyempurnaan. Fleksibilitas dan modifikasi pembelajaran dalam 4 ranah sudah terangkum namun masih memerlukan informasi operasional sehingga mudah dipahami oleh guru dalam penerapannya. Diharapkan dalam penelitian ini pengembangan model penanganan ABB dapat diwujudkan dalam buku panduan yang berisi berbagai alternatif fleksibilitas maupun modifikasi pembelajaran disertai dengan langkah-langkah penerapan yang jelas. Penerapan langsung oleh guru dalam proses belajar mengajar akan memberikan informasi-informasi pendukung tersebut sehingga kerjasama antara kaum akademisi dan praktisi di lapangan, kental mewarnai penelitian ini. Selain itu, tujuan besar yang ingin diangkat dari penelitian ini tidak menyimpang dari pendapat Glaser (1977: v) tentang pendidikan yang berkualitas yang dapat tercermin dari pemberian program yang menjangkau semua anak supaya mereka dapat berkembang secara intelektual dan sosial secara maksimal, dan bukan pemberian program yang sama untuk semua anak. Melalui model akomodasi pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini maka diharapkan salah satu keberagaman siswa dapat terjangkau. Penelitian ini merupakan salah satu solusi dalam upaya penyediaan informasi yang diperlukan guru-guru Sekolah Dasar (SD) berupa model penanganan ABB dan secara tidak langsung sebagai bentuk peningkatan kualitas pembelajaran di kelas. Melalui buku panduan penanganan ABB maka guru dapat memberikan layanan pedagogik pada salah satu keberagaman siswa di SD. Oleh karena itu masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian dapat meningkatkan kemampuan guru dalam penanganan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) dengan berbasis akomodasi pembelajaran?” Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model dan buku panduan penanganan anak berkesulitan belajar berbasis akomodasi pembelajaran. Tujuan khusus penelitian adalah implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian dan pengembangan (buku panduan penanganan Anak Berkesulitan Belajar berbasis akomodasi pembelajaran) dan peningkatan kemampuan guru dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar. Kesulitan belajar dialami seorang anak ketika ia tidak mampu mencapai tujuan dan atau pembelajaran yang telah ditentukan dalam waktu tertentu, hal ini dikemukakan oleh Endang Supartini (2001). Burton dalam Endang Supartini (2001) juga menunjuk pada hal yang sama, bahwa anak yang diindikasikan mengalami kesulitan belajar apabila ia menunjukkan kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Kegagalan yang dialami anak dijabarkan sebagai berikut: (1) Siswa dikatakan gagal apabila tidak mencapai tingkat penguasaan minimal dalam pembelajaran tertentu, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh guru. Dalam kenyataan sehari-hari siswa mendapat nilai kurang dari enam; (2) Siswa tidak mampu mencapai prestasi sesuai potensi yang ia miliki; (3) Siswa tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan, karena mengalami gangguan 256 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta perkembangan; (4) Siswa tidak mampu mencapai persyaratan minimal yang dijadikan prasyarat untuk belajar di tingkat berikutnya. Kesulitan belajar tersebut muncul dari berbagai hambatan belajar pada anak. Beberapa hasil penelitian berikut menggambarkan keragaman anak yang mengalami kesulitan belajar. Penelitian Pujaningsih dkk., pada tahun 2002 di kecamatan Berbah menemukan ABB sebesar 36% dengan rincian 12% diantaranya slow learner, 16% berkesulitan belajar spesifik (LD/learning disability) dan 17% tunagrahita (mentally retarded). Marlina (2006) menemukan 155 anak berkesulitan belajar spesifik (LD) di 8 SD di Padang. Jumlah tersebut hanya sebagian gambaran dari jumlah ABB secara keseluruhan karena anak LD hanya merupakan bagian dari ABB. Secara spesifik, kesulitan membaca ditemukan sekitar 10% - 20 % dialami oleh anak usia sekolah dasar (Gorman C dalam Majalah Time tertanggal 31 Agustus 2003). Pengertian akomodasi dalam kamus (Lerner & Kline, 2006) adalah penyesuaian dan modifikasi program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan anak dengan kebutuhan khusus. Torey (2004) memaknai akomodasi sebagai perubahan yang dilakukan supaya siswa berkebutuhan khusus dapat belajar di ruang kelas biasa. Torey (2004) mengemukakan tentang cakupan akomodasi yang dilaksanakan pada saat proses belajar mengajar (pbm). Cakupan akomodasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Materi dan cara pengajaran; (2) Tugas dan penilaian di kelas; (3) Tuntutan waktu dan penjadwalan; (4) Lingkungan belajar; dan (5) Penggunaan sistem komunikasi khusus, ABB dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar melalui bahasa yang tidak mempunyai spesifikasi tertentu sehingga penggunaan komunikasi khusus tidak dibahas dalam penelitian ini. Pemberian akomodasi pembelajaran tidak lepas dari profesionalitas seorang guru, salah satu diantaranya adalah harapan (expectation). Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa guru mengajarkan apa yang mereka pikirkan (Edwards et al. 2006). Hal-hal yang dipikirkan guru tentunya terkait dengan apa yang mereka ketahui sehingga pemberian akomodasi pembelajaran oleh guru juga dipengaruhi oleh pengetahuan guru mengenai ABB. Pengetahuan ini akan membentuk harapan terhadap anak dan termanivestasi dari interaksi guru dan anak dalam PBM di kelas yang berupa penerimaan maupun penolakan. Rancangan model penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran sudah diperoleh pada penelitian Pujaningsih (2007). Model ini merupakan panduan yang berisikan pengelolaan situasi kelas, fleksibilitas proses dan evaluasi pembelajaran. Fleksibilitas dilakukan dalam 4 hal yaitu: a) pemberian materi dan cara pengajaran, b) pemberian tugas dan penilaian, c) tuntutan waktu dan jadwal, dan d) lingkungan belajar. Temuan hasil penelitian penanganan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) berbasis akomodasi pembelajaran antara lain adalah : (1) Pada tahun pertama: (a) Penanganan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) masih belum dilaksanakan secara memadai, artinya belum memberikan solusi yang baik untuk melakukan akomodasi pembelajaran bagi ABB secara spesifik.; (b) Persepsi dan harapan guru terhadap permasalahan belajar pada Anak Berkesulitan Belajar(ABB) masih kurang positif(c) Model hipotetik dan draft produk penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran yang telah diujicoba pendahuluan, hasilnya dapat dikembangkan lebih lanjut; (2) Pada tahun kedua model dan produk telah divalidasi dalam uji utama dan uji operasional dan dinyatakan fit dan efektif sebagai model dan panduan para guru sekolah dasar. Keefektifan model dan produk penanganan Anak 257 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berkesulitan Belajar (ABB) dapat dibuktikan dengan adanya indikator bahwa para guru sekolah dasar telah menerapkan model dan produk yang berupa buku panduan dalam fleksibilitas pembelajaran ABB, dan hasilnya ternyata dapat meningkatkan movivasi, interaksi sosial dan prestasi akademik ABB. Selain itu telah diirekomendasikan bahwa model dan produk pengembangan dapat diimplementasikan dan dan didesiminasikan ke sekolah-sekolah dasar yang lebih luas. (3) Sesuai dengan hasil dan temuan tahun pertama dan kedua, maka target penelitian tahun ketiga ini adalah implementasi dan diseminasi model dan produk pengembangan model penanganan Anak Berkesulitan Belajar berbasis akomodasi pembelajaran. Metode Penelitian Penelitian ini secara keseluruhan menggunakan pendekatan research and development dengan pokok-pokok kegiatan yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Borg and Gall (2003). Variabel penelitian penanganan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) berbasis akomodasi pembelajaran adalah: (1) variabel terikat: peningkatan kemampuan guru dalam akomodasi pembelajaran ABB; dan (2) variabel bebas: implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian. Subjek penelitian ini adalah para guru reguler dan guru khusus di Sekolah Dasar. Objek penelitian ini adalah penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran. Penelitian ini dilakukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di sepuluh sekolah dasar (1) SD Tumbuh Yogyakarta ; (2) SDN Tamansari I Yogyakarta; (3) SDN Giwangan, Yogyakarta; (4) SD Muh Miliran, Yogyakarta; (5) SDN Karanganyar, Yogyakarta; (6) SD Taman Muda Yogyakarta; (7) SDN Pojok, Sleman; (8) SDN Gejayan, Sleman; (9) SDN Bangunrejo, Sleman (10) SDIT Jabalnur, Sleman; (11). SDN Cangkringan I Sleman ; (12) SDIT Baitulsalam, Prambanan, (13) SDN Kadipiro I, Bantul; (14) SDN I Jambidan, Bantul; (15) SD Muh Banguntapan, Bantul; Bantul; (16) SDN Gedangan, Karangmojo, Gunung Kidul; (17) SD Karangmojo III, Gunung Kidul; (18) SD Muh Sumberrejo, Karangmojo, Gunung Kidul; (19) SDN I Giri Purwo, Kulon Progo; (20)SDN Pergi Watu, Kulon Progo; (21) SDN Tanjung Harjo, Kulon Progo. Deskripsi Model Model penanganan Anak Berkesulitan Belajar berbasis akomodasi pembelajaran dapat divisualisasikan dan dideskripsikan sebagai berkut: Gambar 1: Visualisasi Model Penanganan ABB Berbasis Akomodasi Pembelajaran 258 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Prototipe model diperoleh dari hasil studi lapangan, kajian pustaka dan kajian hasil penelitian, sebelum ujicoba dilakukan. Akomodasi sebagai perubahan yang dilakukan guru supaya ABB dapat belajar di ruang kelas reguler, dapat diartikan sebagai perubahan berupa penyesuaian dan modifikasi yang diberikan untuk ABB sesuai dengan kebutuhannya. Model akomodasi pembelajaran yang dikembangkan meliputi 4 ranah, yaitu: Pemberian materi dan cara pengajaran, Pemberian tugas dan penilaian, Tuntutan waktu dan jadwal, dan lingkungan belajar. Akomodasi pembelajaran bagi ABB dilaksanakan oleh guru baik sendiri dengan persiapan maupun tanpa persiapan; dan atau bekerjasama dengan pihak lain yaitu orangtua/keluarga ABB atau dengan para ahli. Teknik pengumpulan data penelitian dalam pengembangan model penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran adalah: observasi, kuesioner, wawancara; studi dokumentasi; studi kepustakaan. Data penelitian dan pengembangan model penanganan ABB berbasis pembelajaran yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil Implementasi dan Diseminasi Model dan Produk Hasil implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian pada tahun ketiga dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Sosialisasi Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran ABB telah dilaksanakan di kantor-kantor Dinas Pendidikan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekolah-Sekolah Dasar yang terlibat dalam penelitian ini. Hasil dari sosialisasi tersebut antara lain adalah bahwa baik Pihak kantor-kantor Dinas Pendidikan maupun Sekolah-sekolah Dasar tersebut sangat mendukung kegiatan diseminasi dan implementasi penerapan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar (ABB) 2. Pelatihan dan workshop 63 guru Sekolah Dasar dan Guru Pembimbing Khusus dari 21 SD tentang Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB telah dilaksanakan di Fakultas Ilmu Pendidikan UNY Sebelumnya telah diadakan pre-tes dan diakhiri dengan post-test. Hasil pre-tes rata-rata masih sangat kurang, yaitu 60 orang atau 95, 24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang. Hal itu dapat diamati pada tabel dan grafik berikut: Tabel 1 Rekapitulasi Data Hasil Pre-tes 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB Skor Pretes Predikat Frekuensi 0 -55 Sangat kurang 60 56 – 65 Kurang 3 66-75 Cukup 0 76 – 85 Baik 0 86 -100 Sangat baik 0 63 Total Hasil Pre-tes 3/63 x 100% = 88,8 60/63 x 100% = 21,2 4,76% (kurang) 95,24% (sangat kurang) 259 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Skor pretest 70 60 50 40 Frekuensi 30 20 10 0 0 -55 56 - 65 66-75 76 - 85 86 -100 Gambar 2: Grafik Rekapitulasi Data Hasil Pre-tes 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB 3. Setelah diadakan pelatihan dan workshop mengenai penerapan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar, kemudian diadakan pos-tes. Hasil pos-tes membuktikan adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan antara lain dari hasil pre-tes ke post-tes, yaitu dari 63 orang guru, 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; menjadi 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Namun demikian hal ini belum memenuhi standar skor yang telah ditentukan yaitu 76 atau baik. Hasil tersebut dapat diamati pada tabel dan grafik berikut ini Tabel 2 Rekapitulasi Data Hasil Pos-tes 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB Skor postes Predikat Frekuensi 0 -55 Sangat kurang 0 56 – 65 Kurang 12 66-75 Cukup 51 76 – 85 Baik 0 86 -100 Sangat baik 0 Total Hasil Pos-tes 51/63 x 100% = 80,95 12/63 x 100% = 19,05 63 80,95% (cukup) 19,05% (kurang) 260 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Skor Postest 60 50 40 30 Frekuensi 20 10 0 0 -55 56 - 65 66-75 76 - 85 86 -100 Gambar 3: Grafik Rekapitulasi Data Hasil Pos-tes 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB 4. 5. Implementasi & diseminasi Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB dilaksanakan mulai tanggal 2 Agustus sd. 20 September 2011. Guru Kelas berkolaborasi dengan Guru Pembimbing Khusus menerapkan Akomodasi Pembelajaran di kelas maupun di ruang bimbingan khusus Monitoring dan pendampingan kegiatan implementasi & diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB telah dilaksanakan. Dalam kegiatan ini peneliti dibantu oleh 10 orang mahasiwa PLB FIP UNY. Hasil monitoring menunjukkan bahwa para guru masih memerlukan pendampingan dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB, maka dilakukan pendampingan bagi para guru. Hasil dari pendampingan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru melakukan penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan anak berkesulitan belajar, yaitu dari 63 orang guru 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup, menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Hal ini dapat diamati dalam tabel dan grafik berikut ini. Tabel 3 Rekapitulasi data hasil pendampingan 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB Skor pendampingan Predikat Frekuensi 0 -55 Sangat kurang 0 56 – 65 Kurang 0 66-75 Cukup 0 76 – 85 Baik 7 86 -100 Sangat baik 56 Total Hasil Pendampingan: 56/63 x 100% = 88,89 7/63 x 100% = 11,11 63 88,89% (sangat baik) 11,11% (baik) 261 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Skor Pendampingan 60 50 40 30 Frekuensi 20 10 0 0 -55 56 - 65 66-75 76 - 85 86 -100 Gambar: 4 Grafik rekapitulasi data hasil pendampingan 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB 86-100 76-85 66-75 56-65 0-55 Gambar 5: Grafik rekapitulasi data peningkatan hasil pendampingan 63 Guru tentang penerapan akomodasi pembelajaran dalam penanganan ABB 6. Evaluasi hasil implementasi dan diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB menunjukkan bahwa pendampingan dapat meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan akomodasi pembelajaran bagi ABB. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan peningkatan kemampuan dari 63 orang guru yang tadinya 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup, menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Dengan demikian model akomodasi pembelajaran efektif meningkatkan kemampuan guru dalam penanganan Anak Berkesulitan Belajar melalui pelatihan dan pendampingan Temuan dan Diskusi Hasil Mencermati hasil penelitian tahun ketiga, dapat dikemukakan beberapa temuan penting, antara lain sebagai berikut: 262 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 1. Implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian memerlukan beberapa langkah kegiatan sebagai berikut: a. Sosialisasi tentang penerapan model dan buku panduan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar di Kantor-kantor Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah dasar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil dari sosialisasi tersebut antara lain adalah bahwa baik Pihak kantor-kantor Dinas Pendidikan maupun Sekolah-sekolah Dasar tersebut sangat mendukung kegiatan diseminasi dan implementasi penerapan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar (ABB). b. Pelatihan dan workshop 63 guru Sekolah Dasar dan Guru Pembimbing Khusus dari 21 SD tentang Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB telah dilaksanakan di Fakultas Ilmu Pendidikan UNY Sebelumnya telah diadakan pre-tes dan diakhiri dengan post-test. Para guru peserta pelatihan dan workshop sangat senang dan antusias berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan dan workshop. Sebagian besar dari mereka menyatakan sangat bermanfaat dan ingin mengikuti lagi pelatihan dan workshop serupa. 2. Ada peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan antara lain dari hasil pre-tes ke post-tes, yaitu dari 63 orang guru, 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; menjadi 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Namun demikian peningkatan ini belum memenuhi standar skor yang telah ditentukan yaitu 76 atau baik. Walaupun hasil pre-tes dan post-test telah meningkat, tetapi mereka masih memerlukan pendampingan dalam menerapkan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. 3. Dari hasil implementasi & diseminasi Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB yang dilaksanakan; Guru Kelas berkolaborasi masih sebatas dengan Guru Pembimbing Khusus dalam menerapkan Akomodasi Pembelajaran di kelas maupun di ruang bimbingan khusus, belum dengan profesi lain. 4. Kegiatan monitoring dan pendampingan dalam implementasi & diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB, peneliti dibantu oleh 10 orang mahasiwa PLB FIP UNY. Hasil monitoring menunjukkan bahwa para guru masih memerlukan pendampingan dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB, maka telah dilakukan pendampingan bagi para guru. Mahasiswa telah mengambil banyak manfaat dalam membantu peneliti, terutama dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. 7. Evaluasi hasil implementasi dan diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran menunjukkan bahwa pendampingan dapat meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan akomodasi pembelajaran bagi ABB. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan peningkatan kemampuan dari 63 orang guru yang tadinya 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup, menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Dalam pendampingan ini telah juga didemonstrasikan bagaimana melakukan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. 5. Model akomodasi pembelajaran efektif meningkatkan kemampuan guru dalam penanganan Anak Berkesulitan Belajar melalui pelatihan dan pendampingan. Hal dapat ditunjukkan dalam tampilan guru melakukan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar dan telah menerapkan 263 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta model dan produk yang berupa buku panduan dalam fleksibilitas pembelajaran ABB, dan hasilnya ternyata dapat meningkatkan movivasi, interaksi sosial dan prestasi akademik ABB. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disajikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Keefektifan model dan produk penanganan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) dapat dibuktikan dengan adanya indikator bahwa para guru sekolah dasar telah menerapkan model dan produk yang berupa buku panduan dalam fleksibilitas pembelajaran ABB. Fleksibilitas dilakukan dalam 4 hal yaitu: (a) pemberian materi dan cara pengajaran, (b) pemberian tugas dan penilaian, (c) tuntutan waktu dan jadwal, dan (d) lingkungan belajar. Empat hal tersebut didukung oleh pengelolaan situasi iklim akademik yang kondusif. Selain itu ternyata penerapan akomodasi pembelajaran dapat meningkatkan ABB dalam hal: (a ) Motivasi belajar; (b) Interaksi social; dan (b) Prestasi akademik 2. Pada tahun ketiga telah dilaksanakan implementasi dan diseminasi model dan produk penelitian dan pengembangan model penanganan anak berkesulitan belajar berbasis akomodasi pembelajaran: a. Melalui pelatihan dan workshop tentang penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB yang sebelumnya telah diadakan pre-tes dan diakhiri dengan post-test; ada peningkatan kemampuan 63 guru Sekolah Dasar dan Guru Pembimbing Khusus dari 21 SD di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menerapkan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan antara lain dari hasil pre-tes ke post-tes, yaitu dari 63 orang guru, 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; menjadi 12 orang atau 19,05% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Namun demikian hal ini belum memenuhi standar skor yang telah ditentukan yaitu 76 atau baik. b. Implementasi & diseminasi Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB dilaksanakan Guru Kelas berkolaborasi dengan Guru Pembimbing Khusus menerapkan akomodasi pembelajaran di kelas maupun di ruang bimbingan khusus c. Monitoring dan pendampingan kegiatan implementasi & diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB dilaksanakan peneliti dibantu oleh 10 orang mahasiwa PLB FIP UNY. Hasil monitoring menunjukkan bahwa para guru masih memerlukan pendampingan dalam penerapan akomodasi pembelajaran bagi ABB, maka dilakukan pendampingan bagi para guru. 2. Evaluasi hasil implementasi dan diseminasi model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar menunjukkan bahwa pendampingan dapat meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan akomodasi pembelajaran bagi ABB. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan peningkatan kemampuan dari 63 orang guru yang tadinya 12 orang atau 19,5% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup, menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Dalam pendampingan ini telah juga didemonstrasikan bagaimana melakukan akomodasi pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar. 264 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Model dan buku panduan penerapan akomodasi pembelajaran ABB efektif meningkatkan kemampuan guru dalam penanganan Anak Berkesulitan Belajar. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan adanya peningkatan kemampuan dari 63 orang guru yang dalam pre-tes hasilnya 60 orang atau 95,24% sangat kurang dan 3 orang atau 4,76% kurang; setelah pelatihan dan workshop diadakan pos-tes hasilnya menjadi 12 orang atau 19,05% kurang dan 51 orang atau 80,95% cukup. Kemudian setelah diberi pendampingan menjadi 7 orang atau 11,11% baik, dan 56 orang atau 88,89% sangat baik. Selain itu adanya indikator bahwa para guru sekolah dasar telah menerapkan model dan produk yang berupa buku panduan dalam fleksibilitas pembelajaran ABB, dan hasilnya ternyata dapat meningkatkan movivasi, interaksi sosial dan prestasi akademik ABB. Saran 1. Agar para guru sekolah dasar dapat menerapkan model dan buku panduan dalam penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran dalam fleksibilitas pembelajaran ABB. Fleksibilitas dilakukan dalam 4 hal yaitu: (a) pemberian materi dan cara pengajaran, (b) pemberian tugas dan penilaian, (c) tuntutan waktu dan jadwal, dan (d) lingkungan belajar. Empat hal tersebut didukung oleh pengelolaan situasi iklim akademik yang kondusif; dan hasilnya dapat direkam dalam buku harian “logbooks” 2. Agar diperoleh model yang lebih efektif, maka model penanganan ABB berbasis akomodasi pembelajaran perlu dikembangkan lebih lanjut melalui implementasi dan diseminasi yang lebih luas. 3. Model dapat dilakukan secara berkelanjutan oleh guru reguler berkolaborasi dengan guru khusus/guru pembimbing khusus bekerjasama dengan profesi lain dan orangtua ABB; 4. Dinas Pendidikan perlu menindaklanjuti penerapan model penanganan ABB dengan pelatihan dan pendampingan dengan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY. Daftar Pustaka Borg & Gall (2003). Educational Research. 7nd-Ed. USA: Pearson Education.Inc Cook B.G, et al. (2000) “Teacher’s Attitudes Toward their Included Students with Disabilities”. Exceptional Children. Fall 2000;67, 1; ProQuest Education Journals pg. 115 Endang Supartini, (2001). Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remidial. Diktat kuliah.Universitas Negeri Yogyakarta. Glaser, R. (1977). Adaptive Education: Individual Diversity and Learning. Newyork, Chicago, San Fransisco, Atlanta, Montreal, Toronto, London, Sydney, Dallas: Holt Rinehart and Winston Gorman, C. (2003). “The New Science of Dyslexia”. Time magazine [Online]. (31 Agustus 2003) Tersedia: http://www.time.com/time/europe/html/030908/stor y4.html. [25 April 2006] Grossman, J. (2001). Family Matters : The Impact of Learning Disabilities [Online]. Tersedia: http://www.ldonline.org/article/6057 [22 september 2006] 265 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Harwell, J. M. (2001). Complete Learning Disabilities Handbook: Ready-to-Use Strategies & Activities for Teaching Students with Learning Disabilities. New (2nd ed.).USA: A Wiley Imprint Hayden, Torey,. (2004). “Mengakomodasi Murid Berkebutuhan Khusus. Makalah workshop Kelas Pelangi: Pengalaman Torey Hayden Mendidik Anak-Anak Berkebutuhan Khusus”. Makalah seminar di Gedung Depdiknas di Jakarta pada tanggal 7 & 8 September 2004 Lerner, J & Kline, F. (2006). Learning Disabilities and Related Disorders: Characteristics and Learning Strategies(10 ed.). USA: Houghton Mifflin Company. Miles, BM., & Huberman, AM. (1994) Qualitative data analysis, Beverly Hills: SAGE Publication. Marlina. (2006). “Tingkat Penerimaan Teman Sebaya Pada Siswa Berkesulitan Belajar di SD Inklusi”. Jurnal Pendidikan Khusus Vol.2 No.1 Mei 2006. Pujaningsih., dkk. (2002). Bimbingan ‘Smart Plus’ untuk menangani anak berkesulitan belajar spesifik di Kecamatan Berbah Sleman, Laporan penelitian Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Jakarta: Dikti ____, (2007) Layanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar Melalui Model Akomodasi Akomodasi Pembelajaran.Tesis.Bandung: UPI 266 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MODEL PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN UNTUK PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL POTRET KOMITMEN TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN Sukamto Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian yang direncanakan berlangsung selama 3 tahun ini sekarang telah menginjak tahun kedua. Di tahun pertama telah dirumuskan 4 masalah penelitian, yaitu tentang essential skills untuk tumbuhnya sikap dan perilaku berwirausaha, performance indicators yang merupakan hasil pendidikan berwirausaha, upaya-upaya guru untuk mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum dan contoh-contoh program yang dikembangkan baik oleh pendidikan formal maupun non formal. Secara metodologis, penelitian ini termasuk penelitian pengembangan yang mengambil setting di 4 kabupaten dan 1 kota madya di DIY,Karena jumlah populasi yang sulit ditetapkan, maka penelitian ini menerapkan quota sampling untuk tahun pertama dan kedua; di tahun pertama tim peneliti menerapkan pra survei untuk mencari bahan sebanyak-banyaknya yang berkenaan dengan pertanyaan penelitian. Instrumen penelitian yang terdiri dari angket, pedoman wawancara dan pedoman FGD (foccused group disccusion) diharapkan bisa secara tuntas mengcover semua pertanyaan penelitian dan hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian tahun kedua ini. Adapun focus penelitian di tahun kedua ini adalah: (1) verifikasi empiric model hipotetik pengembangan pembelajaran berwirausaha, (2) identifikasi essential skills dengan verifikasi data empiric, dan (3) pembimbingan intensif 3 orang anggota tim peneliti yang mengambil program S3 dan kebetulan mengambil disertasi program yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian Tahun kedua ini bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi essential skills yang menjadi factor utama tumbuhnya motivasi dan perilaku berwirausaha, (b) menyusun performance indicators yang mengarah ke terwujudnya wirausaha muda yang memiliki sifat-sifat, sikap dan perilaku sebagai wirausahawan, (c) mendeskripsikan upaya guru-guru dalam mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum, dan (d) memperoleh validasi empiric model-model pembelajaran KWU di kampus universitas dan sekolah menengah (jalur pendidikan formal) maupun yang diselenggarakan oleh PKBM (jalur pendidikan non formal). Di tahun ketiga diharapkan nantinya sudah akan terdeteksi model pembelajaran untuk pendidikan formal dan non formal ini beserta dengan data empiric yang menyertainya, sehingga jelaslah pola yang akan diambil sebagai kebijakan dalam pendidikan berwirausaha yang amat krusial bagi kehidupan bangsa dan Negara ini. Kata kunci: model-model empiric kewirausahaan, pendidikan kewirausahaan, setting formal dan non formal untuk pengembangan pendidikan Pendahuluan Permasalahan Dan Temuan Penelitian Di Tahun Pertama Pada awalnya, penelitian yang direncanakan untuk dilangsungkan selama 3 tahun ini mengang-kat permasalahan yang terkait dengan pendidikan kewirausahaan. Untuk tahun pertama, diang-kat sebagai permasalahan utama adalah pencarian essential performance indicators untukmen- deteksi adanya motivasi seseorang untuk bersikap sebagai wirausahawan, usaha para guru untuk mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum, profile Kepala Sekolah SMK yang bias mendukung pendidikan kewirausahaan di sekolahnya, serta model-model pendidikan kewirausahaan untuk sekolah dan perguruan tinggi (pendidikan formal) maupun pe-nyelenggaraan 267 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pendidikan kewirausahaan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pendidikan nonformal. Pada tahun pertama, peneliti secepatnya melakukan pra-survei ke beberapa SMK, perguruan tinggi dan juga melakukan kunjungan ke PKBM. Di samping itu juga perlu dicatat di sini data temuan para peneliti yang telah lulus sebagai mahasiswa S2 dengan topik thesis yang sangat relevan dengan penelitian payung ini. Dari kunjungan ke sekolah dan Perguruan tingi serta ke PKBM, telah berhasil ditemukan beberapa jawaban atas permasalahan di atas. Selain itu telah berhasil pula dalam mengidentifikasi beberapa indikator kunci motivasi berwirausaha, dan sebuah model hipotetik yang masih memerlukan verifikasi melalui validasi empirik. Ini sudah barang tentu akan dilanjutkan di tahun kedua. Tujuan Khusus Penelitian Tahun Kedua Pada tahun pertama melalui kegiatan pra-survei serta dari temuan penelitian tesis S2 telah berhasil dijawab beberapa rumusan permasalahan penelitian, dan sekaligus berfungsi sebagai penajaman permasalahan dalam hibah penelitian tim pascasarjana (HPTP) ini. Hasil-hasil ini juga telah berhasil mengubah atau merevisi asumsi yang mewarnai penelitian ini, sehingga di tahun kedua ini dapat lebih diperjelas permasalahan yang akan diteliti. Adapun tujuan khusus penelitian di tahun kedua ini adalah sebagai berikut: (1) Melakukan verifikasi/validasi secara empirik model hipotetik penelitian pengem-bangan pendidikan kewirausahaan ini dengan mengumpulkan data verifikasi tersebut melalui seperangkat instrument dan pertanyaan wawancara, dan jika diperlukan dapat dikembangkan suatu forum diskusi terfokus (focused group discussion) terdiri para ahli dalam bidang yang berkaitan dengan topik tersebut ; (2) Mengungkapkan indikator utama (essential performance indicators) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi/mendeteksi adanya motivasi untuk bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan; (3) Mendeskripsikan upaya guru-guru dalam mengintegrasikan pendidikan kewirau-sahaan ke dalam kurikulum pendidikan fomal maupun non-formal; dan (4) Melaksanakan pembimbingan disertasi secara efektif dan berkelanjutan sehingga capaian indikator kinerja (CIK) dapat selalu tepenuhi sesuai dengan target yang telah direncanakan. Kewirausahaan Sebagai Kompetensi Masa Depan Dewasa ini pengembangan pendidikan kewirausahaan memang sedang menjadi salah satu topic diskusi, thema seminar nasional, obyek penelitian, serta ladang pengabdian kepada masyarakat yang populer, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan pengangguran. Diharapkan pendidikan kewirausahaan menjadi salah satu program remedial bagi peserta didik di sekolah, perguruan tinggi dan masyarakat. Dengan pendidikan kewirausahaan, peserta didik diharapkan bisa belajar mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau orang lain dalam mencari pekerjaan pertama setelah lulus sekolah. Karena itu maka pendidikan kewirausahaan harusnya ditempatkan dalam konteks Pendidikan Ekonomi. Hendaknya para peserta didik bukan sekedar tahu konsep dan prinsp-prinsip kewirausahaan tetapi diharapkan mereka dapat meraih peluang untuk mengembangkan dirinya 268 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta melalui pengalaman riel bagaimana menggunakan prinsip independen untuk dapat menjadi selfemployee, bahkan nantinya dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi orang lain. Berdasarkan harapan tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya jika Asri L.Riyanti (2005) menyatakan pentingnya pengembangan kewirausahaan bagi semua, karena pengembangan kewirausahaan menempatkan manusia untuk berperan sebagai pendukung lajunya pemba-ngunan bangsa, baik secara fisik maupun non-fisik. Di samping itu, pengembangan kewirau-sahaan di lingkungan perguruan tinggi akan mampu menghasilkan insan berpendidikan yang akan mampu berperan sebagai penggerak atau motivator. Tentunya tanpa pernyataan eksplisitpun sudah dapat diketahui bahwa di kalangan wirausahawan yang kebanyakan berpendidikan rendah, maka kehadiran seorang wirausahawan berpendidikan tinggi yang berusia muda ini seolah-olah merupakan hembusan angin segar bagi penciptaan lapangan kerja di tengah-tengah maraknya pengangguran terdidik. Identifikasi dan Pembatasan Masalah Beberapa permasalahan yang kemudian muncul dari hasil temuan pra-survai dan tesis S2 yang sudah diolah oleh tim peneliti masih dapat diidentifikasi dari berbagai segi, misalnya ekonomi,kependidikan dan aspek sosial. Dari aspek ekonomi dapat dimunculkan permasalahan apakah model hipotetik yang akan diverifikasi di tahun kedua ini memiliki kebermaknaan baik dari tinjauan ekonomis maupun kependidikan? Aspek-aspek ekonomi apa sajakah yang ikut menentukan kegagalan atau keberhasilan pendidikan kewirausahaan? Dari aspek kependidikan dapat muncul permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pandangan masyarakat tentang pendidikan kewirausahaan? Apakah upaya integrasi pendidikan kewirausahaan ke dalam mata pelajaran/ kurikulum sudah berjalan mulus? Apakah problema yang dihadapi dan apakah sudah ditemukan solusi untuk mengatasi problem2 tersebut? Apakah ada seperangkat indicator kunci yang dapat mengindikasikan motivasi seseorang untuk bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan baru? Sedangkan dari tinjauan sosial akan muncul masalah-masalah seperti: Apakah ada dampak social dari keberhasilan atau kegagalan pendidikan kewirausahaan, dan jika ada bagaimana mensiasati agar dampak tersebut tidak mendorong generasi muda ke arah yang tidak dikehendaki? Apakah ada lulusan program pendidkan kewirausahaan yang meng-alami persoalan penyesuaian sosial (social adjustment) setelah lulus mengikuti program pendidikan kewirausahaan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat dimunculkan. Dengan berbagai keterbatasan, terutama waktu, tenaga serta dana, maka penelitian tahun kedua ini akan dibatasi seperti pada butir B. Kemudian apabila penelitian ini dapat dibiayai lebih lanjut, diharapkan pada tahun ketiga nanti sudah dapat dideteksi model pendidikan formal dan nonformal ini beserta data empiric yang menyertainya, sehingga akan nampak pola yang jelas untuk menjadi dasar kebijakan pendidikan kewirausahaan yang seperti diketahui merupakan hal yang amat krusial bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Signifikansi Penelitian Kewirausahaan Penelitian tentang kewirausahaan ini diharapkan membawa manfaat besar bagi para pengambil kebijak-an mengenai ketenagakerjaan, para pendidik dan juga para wirausahawan muda. Bagi pengambil kebi-jakan ketenagakerjaan, penelitian ini tidak menawarkan sesuatu yng samasekali 269 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta baru, tetapi diyakini dapat mengubah orientasi ketenagakerjaan, misalnya sekarang udah relative lebih mudah melaksanakan rekrutmen berbasis kompetensi melalui indikator kinerja (performance essential indicators) yang disusun secara empiric. Bagi para pendidik, penelitian ini dapat mengubah persepsi mereka tentang pendidikan dunia kerja (education for work) dan pendidikan berbasis dunia kerja(work-based education) sehingga mampu menumbuhkan tanggungjawab tentang usaha dan perlaku mengajar mereka. Dan bagi wirausahawan muda, temuan penelitian ini dapat memberikan pencerahan baru tentang penyesuaian sifat, sikap dan perilaku mereka sesuai dengan temuan penelitian empirik untuk persiapan ke arah yang lebih maju. 270 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MEDIA SMART WITH CHEMISTRY (SWC) BERBASIS WEB SEBAGAI SUMBER BELAJAR MANDIRI SISWA SMA Erfan Priyambodo dan Antuni Wiyarsi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah menghasilkan media pembelajaran Smart with Chemistry (SwC) untuk materi pokok kimia SMA serta mengetahui kualitas media SwC menurut penilaian reviewer. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan. Tahap pengembangan mengikuti model prosedural dengan 4 prosedur pengembangan. Tahap perencanaan berupa penentuan konsep dan kisi-kisi soal serta pembuatan instrumen penilaian media disertai rubrik. Tahap pengorganisasian meliputi pembuatan dan penyusunan soal, pembuatan skenario untuk setting web interaktif. Tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan yaitu pembuatan web offline. Tahap berikutnya adalah tahap penilaian produk oleh peer reviewer (teman sejawat) yang dilanjutkan dengan revisi awal dan pembuatan web online. Tahap terakhir adalah penilaian produk oleh reviewer (guru kimia SMA) yang dilanjutkan revisi akhir. Kualitas media ditinjau dari aspek substansi materi, perangkat soal, desain pembelajaran dan estetika. Analisis kualitas media SwC dilakukan dengan analisis deskriptif. Hasil pengembangan ini adalah produk berupa media pembelajaran SwC sebagai sumber belajar mandiri siswa SMA/MA/SMK yang dapat diakses dari http://www.kimiakita.org. Media SwC berisi soal-soal dan pembahasannya yang dikembangkan berdasarkan analisis terhadap pola soal yang umum dalam ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Kualitas media SwC yang dikembangkan menurut reviewer (5 guru kimia) dikategorikan dalam kualitas baik dengan skor rata-rata 111,8 dari skor ideal 140. Kata Kunci : swc, smart with chemistry Pendahuluan Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, internet menjadi sebuah kebutuhan bagi siapa saja yang ingin maju dan berwawasan luas. Internet dapat menjadi sumber informasi yang terbuka bagi setiap siswa. Namun demikian, keterbukaan dan kemudahan akses internet tidak menjadikan internet selalu menjadi sumber yang baik dalam pembelajaran. Pemanfaatan internet untuk menjawab permasalahan dalam pembelajaran, terutama kimia, menjadi suatu hal yang wajib. Seperti telah diuraikan sebelumnya, internet dapat digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa dengan menyediakan sarana berlatih menyelesaikan permasalahan kimia. Karim (2004), Nouri (2005), Ackay (2006), dan Krishnasamy (2007) menyatakan pentingnya pemanfaatan TI dalam pembelajaran, khususnya ilmu kimia. Sementara itu, di Indonesia masih sedikit aplikasi media pembelajaran kimia berbasis TI (komputer maupun website) yang mengulas kimia secara mendalam yang diawali dari sebuah permasalahan, misal soal. Media pembelajaran berbasis web merupakan sebuah solusi pemanfaatan yang positif dari keberadaan internet. Saat ini sudah banyak ditemui web pribadi atau blog yang meng-upload materimateri kimia. Namun semua itu sebatas penyampaian materi dan jarang yang menyertakan soal dan pembahasan. Demikian juga dengan kualitasnya, sangat tergantung kemampuan pemilik web. Ketersediaan soal latihan dan pembahasan yang dapat diakses dengan mudah oleh siswa sangat diperlukan untuk membantu siswa lebih memahami materi kimia yang telah diajarkan guru. Hal 271 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tersebut mengingat banyaknya materi yang harus disampaikan guru sehingga siswa kurang banyak berlatih dalam menyelesaikan masalah-masalah kimia. Pengembangan media berbasis web yang berisi soal dan pembahasannya tentunya akan lebih menarik jika dikemas dengan baik. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan program WX-5 dan Wondershare Quiz Creator. Aplikasi sebagai web juga memungkinkan siswa berkomunikasi dengan narasumber. Tersusunnya media Smart with Chemistry (SwC) yang berbasis web diharapkan akan meningkatkan motivasi belajar siswa yang berakhir pada peningkatan pemahaman siswa tentang materi kimia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan suatu web (website) yang berisikan soal-soal kimia yang umum muncul di ujian nasional maupun seleksi masuk perguruan tinggi. Aspek kualitas media pembelajaran ini ditentukan berdasarkan penilaian oleh reviewer, yaitu 5 guru kimia SMA/MA. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian pengembangan yang mengikuti model prosedural. Prosedur pengembangan yang dilakukan adalah 1. Tahap perencanaan Pada tahap ini dilakukan penyusunan kisi-kisi soal dan instrumen penilaian media. Dasar pengembagan kisi-kisi soal dalam penelitian ini adalah hasil analisis terhadap pola-pola soal yang sering muncul dalam soal ujian nasional dan soal seleksi masuk perguruan tinggi. Hasil analisis berupa rata-rata proporsi masing-masing Kompetensi Dasar dari soal yang dianalisis Selanjutnya, disusun soal dengan jumlah ditetapkan sama untuk setiap semester baik untuk materi kelas X, XI dan XII 2. Tahap pengorganisasian Pada tahap ini dilakukan penyusunan soal dan membuat skenario untuk setting website. 3. Tahap pelaksanaan Pada tahap ini dilakukan pembuatan website offline dengan menggunakan aplikasi Website X5 dan Wondershare Quiz Creator. 4. Tahap penilaian Penilaian media pembelajaran dilakukan 2 tahap yaitu validasi soal dan media oleh reviewer dan dilanjutkan dengan penilaian oleh 5 guru kimia SMA/MA. Pada penelitian ini, data yang diperoleh adalah data tentang pengembangan produk dan data kualitatif hasil penilaian produk. Data pengembangan berupa deskripsi saran dan masukan yang diperoleh dari lembar masukan peer reviewer dan reviewer. Data hasil penilaian produk diperoleh dengan instrumen penilaian kualitas media Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar penilaian kualitas media dengan 4 aspek penilaian, yaitu substansi materi, perangkat soal, desain pembelajaran dan estetika. Aspek-aspek ini kemudian dijabarkan menjadi kriteria. Aspek substansi materi menjadi 5 kriteria, aspek perangkat soal menjadi 12 kriteria, aspek desain pembelajarn menjadi 7 kriteria dan aspek estetika menjadi 4 kriteria. Instrumen dikembangkan berdasarkan acuan penilaian multimedia 272 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pembelajaran yang dikeluarkan oleh Dikmenum yang diadaptasi dan dikompilasi dengan acuan penulisan butir soal pilihan ganda yang dikeluarkan oleh Dikdasmen. Analisis kualitas media SwC berbasis web dilakukan dengan analisis deskriptif, dengan langkahlangkah sebagai berikut : 1. mengubah nilai kualitatif hasil penilaian reviewer menjadi nilai kuantitatif 2. Menghitung skor rerata untuk tiap indikator penilaian media 3. Menentukan rentang kriteria nilai kualitatif dari media SwC yang dihasilkan Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil pengembangan ini berupa media Smart with Chemistry (SwC) yang sebagai sumber belajar mandiri siswa SMA/MA. Media SwC bisa diakses melalui www.kimiakita.org. Media SwC berupa website berisi soal-soal dan pembahasannya untuk pada materi kimia di SMA. Produk dari penelitian pengembangan ini divalidasi oleh 3 peer reviewer (teman sejawat dosen Jurusan Pendidikan Kimia), serta dinilai oleh 5 reviewer yaitu 5 guru kimia. Data kualitas produk berupa skor dengan rentang 1-5. Jumlah kriteria untuk keseluruhan adalah sebanyak 28 sehingga skor maksimal ideal adalah 140 dengan skor terendah ideal adalah 5. Adapun untuk tiap aspek jumlah kriteria bervariasi, yaitu 5 kriteria untuk aspek substansi materi, 12 kriteria untuk aspek perangkat soal, 7 kriteria untuk aspek desain pembelajaran dan 4 kriteria untuk aspek estetika. Tabel 1. Kualitas media pembelajaran kimia SwC Aspek Substansi materi Perangkat soal Desain pembelajaran Estetika Keseluruhan Skor maksimal ideal 25 60 35 20 140 Skor rata-rata 20,6 48,4 27,4 15,4 111,8 Kualitas Baik (B) Baik (B) Baik (B) Baik (B) Baik (B) Website SwC berisi 6 menu utama, yaitu (1) Home; (2) Kelas X (memuat rangkuman, soal dan pembahasan semester 1 dan semester 2); (3) Kelas XI (memuat rangkuman, soal dan pembahasan semester 1 dan semester 2); (4) Kelas XII (memuat rangkuman, soal dan pembahasan semester 1 dan semester 2); (5) suplemen (berisi tabel periodik unsur dan glosari); dan (6) profil pengembang. Beberapa tampilan website dapat dilihat pada Gambar 1 – 4. 273 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 1. Tampilan awal media yang berisi halaman pengantar, menu, background musik, serta kolom untuk berinteraksi dengan penyusun via email. Gambar 2. Tampilan menu Rangkuman Materi Gambar 3. Tampilan awal soal SwC yang berisikan jumlah soal beserta passing rate. 274 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 4. Contoh tampilan soal pada media SwC. Selama tahap pengembangan, terdapat beberapa kesulitan yang dialami peneliti, diantaranya: 1. Kesulitan dalam memberikan alternatif jawaban yang salah karena harus ada feedback, sehingga pilihan option jawaban harus benar-benar selektif dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipikirkan oleh siswa SMA. 2. Kesulitan dalam program pembuat website yang efisien. Untuk pembuat soalnya, peneliti menggunakan software Wondershare Quiz Creator, karena selain mudah dalam penggunaan, juga dimungkinkan mengacak jawaban dan soal. Untuk pembuat websitenya, peneliti menggunakan Website X5 karena pilihan template yang banyak serta mudah dalam pendesainan websitenya 3. Akun email peneliti yang digunakan untuk menampung email dari pengguna media di-hack orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga tidak bisa digunakan. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti mengganti akun email yang ada di media dengan yang baru. Konsekuensinya adalah semua comment pengguna media tidak bisa digunakan untuk perbaikan media karena hilang. Berdasarkan tahap-tahap pengembangan tersebut, dapat diperoleh produk media pembelajaran SwC dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. Media SwC berisi soal-soal kimia dan pembahasannya masing-masing 100 soal untuk materi kelas X, XI dan XII. 2. Sebaran dan jenis soal disesuaikan dengan soal-soal yang umum ditemukan pada soal ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi 3. Media dikembangkan dengan program Website X5 serta Wondershare Quiz Creator. Selain itu juga didukung beberapa program tambahan, seperti Quickscreen Capture, dan lainnya. 4. Media SwC bisa diakses melalui alamat http://www.kimiakita.org 5. Website ini bisa diakses via browser internet apapun, misalnya Internet Explorer, Mozzila Firefox, Opera, dan lainnya. Hanya saja komputer yang digunakan harus terinstall Flash Player minimal versi 7. 275 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta skor penilaian Desain dan isi website ini disesuaikan dengan karakteristik siswa SMA. Selain itu, jumlah soalnya cukup banyak, yaitu 50 soal setiap semester, atau 300 soal dalam media ini. Pada setiap soal dilengkapi dengan pembahasan singkat, sehingga siswa dapat langsung mengecek kebenaran jawabannya. Karena kurikulum yang digunakan adalah kurikulum SMA, website ini lebih cocok digunakan oleh siswa SMA/MA. Tidak menutup kemungkinan siswa SMK menggunakannya, akan tertapi ada beberapa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tidak muncul pada website ini. Produk akhir telah dinilai oleh 5 guru kimia SMA/K dan MA dengan kualitas baik. Gambar 5 menunjukkan kualitas media secara keseluruhan maupun tiap aspek. 135 125 115 105 95 85 75 65 55 45 35 25 15 5 baik rata-rata baik A ideal baik baik baik B C D aspek penilaian E Gambar 5. Grafik kualitas media SwC berdasarkan penilaian reviewer Keterangan: A= aspek substansi materi B= aspek perangkat soal C= aspek desain pembelajaran D= aspek estetika E= keseluruhan aspek penilaian Secara terperinci, masing-masing aspek penilaian media SwC dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Aspek Substansi Materi Hasil penilaian pada aspek materi memberikan skor rata-rata sebesar 20,6 dari skor ideal 25. Hal ini berarti bahwa kualitas media dilihat dari aspek substansi materi termasuk baik. Adapun kriteria yang digunakan sebagai penilaian adalah kesesuaian soal dengan materi pembelajaran, urgensi materi yang dipilih dalam pembuatan soal, ketepatan penggunaan istilah, kebenaran pembahasan soal dan kedalaman pembahasan soal. Skor tertinggi diperoleh untuk kriteria kesesuaian soal dengan materi pembelajaran, yaitu sebesar 22 dari skor maksimal 25 (5 x 5 reviewer). Hal ini menunjukkan bahwa soal-soal yang disusun dalam media SwC sesuai dengan materi yang disampaikan di SMA, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif sumber belajar siswa. Kriteria kedalaman pembahasan soal mendapat skor yang terendah (19). Hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan peneliti dalam mengupload jawaban yang terlalu banyak, apalagi soal hitungan yang memerlukan waktu banyak dan ketelitian yang lebih tinggi. 276 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. 3. 4. Aspek Perangkat Soal Kualitas media ditinjau dari aspek perangkat soal termasuk dalam kategori baik. Skor ratarata yang diperoleh sebesar 48,4 dari skor ideal 60. Kriteria yang dinilai dalam aspek ini meliputi 12 kriteria seperti ; sebaran tingkat kesulitan soal, kreativitas pengembangan soal, ketepatan pemilihan item jawaban soal, fungsi pengecoh dalam soal, serta kejelasan dan efektivitas pokok soal. Kriteria dengan skor tertinggi sebesar 22 dari skor maksimal 25 terdapat pada kriteria panjang rumusan pilihan jawaban relatif sama. Adapun kriteria dengan skor terendah (17) adalah urutan pilihan jawaban yang berupa angka. Hal ini terjadi karena ada miskomunikasi antara peneliti dan reviewer, karena reviewer tidak melihat print out soal tapi menilai softfile dan peneliti tidak memberitahu bahwa pada soal yang diupload, pilihan jawaban didesain agar muncul secara acak. Misalkan siswa mengerjakan soal sampai nomor 5 kemudian menutup aplikasi. Ketika siswa membuka aplikasi lagi, tidak akan ditemukan urutan soal yang sama atau pilihan jawaban yang sama. Hal ini bertujuan agar siswa tidak menghafal jawaban. Dengan demikian dapat dipahami bila guru menilai urutan jawaban yang berupa angka tidak urut. Aspek Desain Pembelajaran Penilaian pada aspek ini termasuk dalam kategori baik dengan skor rata-rata 27,4 dari skor ideal 35. Kriteria yang dinilai meliputi; urutan soal sesuai dengan silabi, kemampuan media dalam menumbuhkan motivasi belajar, tingkat interaktivitas, penggunaan bahasa sesuai kaidah yang benar, penggunaan bahasa yang komunikatif, petunjuk penggunaan media dan kelengkapan menu dalam media secara keseluruhan. Skor tertinggi diperoleh untuk kriteria petunjuk penggunaan, yaitu dengan skor 21 dari skor maksimal 25. Hal ini menunjukkan bahwa petunjuk penggunaan media jelas sehingga dapat diakses dan digunakan oleh guru maupun siswa dengan mudah. Adapun kriteria tingkat interaktivitas memperoleh skor terendah yaitu 18. Hal ini dimungkinkan karena interaktivitas baru muncul pada feedback dan hasil yang diperoleh atau pada navigasi media. Walaupun dalam webblog ada fasilitas comment, tapi harus terkoneksi dengan internet terlebih dahulu, sehingga dapat berkomunikasi dengan peneliti. Aspek Estetika Aspek terakhir yang ditinjau dalam penilaian media SwC ini adalah aspek estetika. Hasil penilaian menunjukkan skor rata-rata yang diperoleh pada aspek ini adalah sebesar 15,4 dari skor ideal 20. Konversi skor menjadi kategori menyimpulkan bahwa kualitas media ditinjau dari aspek estetika termasuk dalam kategori baik. Kriteria yang dinilai meliputi kemenarikan penyajian, pemilihan warna, tipografi dan tata letak (layout). Kriteria dengan skor tertinggi sebesar 20 dari skor maksimal 25 adalah tata letak. Selain penilaian dari reviewer, peneliti juga menggali data berdasarkan email yang masuk melalui fasilitas yang disediakan oleh media. Tampilan email yang masuk dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini. 277 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 6. Beberapa comment pengguna yang masuk ke akun email peneliti Dari beberapa comment yang masuk ke email peneliti, sebagaian besar menyatakan bahwa media SwC sangat bagus bahkan ada yang berkehendak untuk diberi tahu bagaimana cara mengembangkannya. Kesimpulan Hasil pengembangan ini adalah produk berupa media pembelajaran SwC sebagai sumber belajar mandiri siswa SMA/MA yang dapat diakses dari http://www.kimiakita.org. Media SwC berisi soal-soal dan pembahasannya yang dikembangkan berdasarkan analisis terhadap pola soal yang umum dalam ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Kualitas media SwC yang dikembangkan menurut reviewer (5 guru kimia) dikategorikan dalam kualitas baik dengan skor ratarata 111,8 dari skor ideal 140. Daftar Pustaka Anonim. (2006). Panduan Penulisan Butir Tes. www.dikdasmen.org. diakses tanggal 21 September 2011 . (2006). Kriteria Penilaian Multimedia Pembelajaran. www.dikmenum.org. diakses tanggal 25 Septeember 2011 Akcay, Hussamettin, Asli Durmaz, Cengis Tuysuz, and Burak Feizioglu. 2006. “Effects of Computer Based Learning on Students’ Attitudes and Achievements Toward Analytical Chemistry”. The Turkish Online Journal of Educational Technology. I (5) : 44 – 48. Karim, Muhammad Rais Abdul. 2004. “The Experience of The E-Learning Implementation at the Universiti Pendidikan Sultan Idris”. Malaysian Online Journal of Instructional Technology. I (1) : 50 – 59. Krishnasamy, Vickneasvari. 2007. “The Effects of Multimedia Constructivist Environtment on Students’ Achievement and Motivation in the Learning of Chemical Formulae and Equation”. Thesis. Lee, Willian W. and Owen, Diana L. 2004. Multimedia Based Instruktional Design. San Fransisco : Pfeiffer Nouri, Hossein and Abdus Shahid. 2005. “The Effects of Powerpoint Presentations on Students’ Learning and Attitudes”. Global Perspective on Accounting Education. II : 53 – 73. 278 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KURSUS KEWIRAUSAHAAN MELALUI KERJASAMA DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI DALAM MENGATASI PENGANGGURAN Yuriani, Marwanti, Kokom Komariah, Prihastuti Ekawatiningsih Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mendapatkan masukkan dari industri tentang komponen-komponen yang harus ada dalam pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga, 2) mengetahui validitas model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga menurut pengguna, 3) mengetahui validitas perangkat pelaksanaan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga menurut pengguna dan 4) mengetahui efektifitas model pembelajaran kursus kewirausahaan di bidang boga melalui kerjasama dunia usaha dunia industri bagi pendidikan non formal. Penelitian ini menggunakan prosedur Research and Development yang pokok-pokok kegiatannya diambil dari Borg dan Gall (1998) yang dimodifikasi dan disederhanakan. Kegiatan pengembangan model kewirausahaan bagi pendidikan non formal melalui dunia usaha dan dunia industri terdiri atas dua kegiatan utama yakni; tahap pra-pengembangan (research) dan kegiatan pengembangan (development). Kegiatan pra-pengembangan meliputi: (1) studi literatur, tahap penelitian awal dan mencari informasi, (2) perencanaan model, kegiatan pokok tahap pengembangan sampai pada validasi model dan penerapan perangkat pembelajaran. Hasil penelitian diperoleh masukkan dari industri tentang komponen-komponen yang harus ada dalam pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga yaitu : Komponen pengetahuan kerja, Keterampilan kerja dan Sikap kerja. Hasil penilaian para pakar dan praktisi kewirausahaan serta validasi umum terhadap model pembelajaran kewirausahaan melalui kerjasama dunia usaha dunia industri dikatakan baik atau valid dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Hasil validasi perangkat pembelajaran dikatakan baik dengan masukan dari validator yaitu agar kisah sukses berbagai pengusaha makanan dibuat power point ataupun dibuat materi yang di CD kan. Hasil analisis keefektifan model yang dilihat dari respons siswa terhadap penerapan pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri memenuhi kriteria sangat efektif untuk mengentaskan pengangguran. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pembelajaran yang sangat baik memotivasi peserta untuk dapat berwirausaha dibidang makanan dan program pembelajaran membawa perubahan karir untuk masa depan peserta dengan sangat baik. Kata kunci: Model Pembelajaran,Kewirausahaan,pengangguran PENDAHULUAN Hasil penelitian tahun pertama yang terkait dengan kegiatan pembelajaran KWD dan KWU merekomendasikan: (1) Program kewirausahaan perlu memperbesar porsi aspek-aspek afektif dalam kewirausahaan, misalnya menumbuhkan semangat jiwa wirausaha, kemampuan mencari peluang, kemampuan mengambil keputusan. (2) Dunia Usaha dan Dunia Industri dapat membantu sebagai bapak angkat dalam mengembangkan kelompok-kelompok wirausaha baru, terutama dalam standarisasi produk dan pemasaran. (3) Perlu ada standar ketercapaian kompetensi setelah siswa mengikuti program. (4) Perlu ada himbauan bagi tenaga-tenaga professional untuk peduli dalam mengembangkan masyarakatnya melalui pengentasan kemiskinan dan pengangguran, (5) Program penempatan lulusan di DUDI yang relevan, pembuatan kelompok usaha perlu pertahankan dan 279 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta disosialisasikan. (6) Perlu ada perbaikan metode dan strategi pembelajaran untuk pembelajaran orang dewasa. Berdasarkan beberapa rekomendasi tersebut maka perlu upaya untuk mengimplementasikan tujuan pendidikan tersebut melalui proses pembelajaran yang menyediakan stimulus berupa pengalaman belajar yang dapat membantu peserta didiknya mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin, dengan kurikulum yang berorientasi pada dunia kerja, sehingga semua siswa dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karateristik pribadi yang dimiliki. Pendidikan yang menghasilkan lulusan yang siap kerja dan mandiri sementara ini belum dijabarkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang riil, bagaimana melatih peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan sikap yang dihadapkan pada dunia kerja yang sesungguhnya. Pembelajaran saat ini dalam kenyataannya sedikit sekali yang secara langsung berkaitan dengan pembelajaran yang berbasis kerja. Erat kaitannya dengan mahalnya penyelenggaraan pendidikan dan tingginya tuntutan relevansi dengan dunia industri, maka informasi-informasi yang ada dalam dunia kerja merupakan bahan yang harus dijabarkan ke dalam perencanaan dan implementasi program untuk mewujudkan lulusan yang profesional. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan adalah pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan melalui kerjasama industri, sehingga pada saatnya masalah pengangguran dapat teratasi. Untuk mengarahkan fokus penelitian, permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimana masukkan dari industri boga tentang komponen-komponen yang harus ada dalam pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan melalui kerjasama dunia usaha dan dunia industri; (2) Apakah model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga yang dikembangkan memenuhi kriteria perangkat valid menurut pengguna; (3) Apakah perangkat pembelajaran yang disiapkan untuk pelaksanaan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga memenuhi kriteria valid; (4) Bagaimana efektifitas model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga melalui kerjasama dunia usaha dunia industri bagi pendidikan non formal. Berbagai masalah dan tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan mengharuskan pendidikan non formal pun seperti halnya pendidikan kejuruan harus membuat berbagai kebijakan pengembangan pada program-program pendidikan antara lain: (1) harus berorientasi pada kebutuhan pasar kerja; (2) berorientasi pada pembekalan kompetensi; (3 ) berorientasi pada sistem yang secara tegas mengakui kompetensi peserta didik di manapun dan bagaimanapun cara memperolehnya; dan (4) mengacu pada profesi dan keterampilan kejuruan yang baku. Pengembangan model pembelajaran kewirausahaan bertujuan untuk 1) Mendapatkan masukkan dari industri berupa komponen-komponen apa yang harus ada dalam pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga, 2) Menghasilkan rancangan pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga, 3) Menghasilkan perangkat yang dibutuhkan untuk pelaksanaan model pembelajaran kursus kewirausahaan bidang boga, 4) Menghasilkan model pembelajaran kursus kewirausahaan melalui kerjasama dunia usaha dunia industri bagi pendidikan non formal yang efektif untuk digunakan. 280 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan hal tersebut, diperlukan sekali kegiatan pengembangan model pembelajaran yang yang mengarah pada upaya perbaikan, melalui pengembangan model pembelajaran kursus kewirausahaan, sehingga peserta didik dapat mengaplikasikan pengetahuan (knowledge) , keterampilan (skill), sikap-sikap dan perilaku bekerja (employability). Pelatihan/Diklat atau kursus adalah suatu proses yang sistematis untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dari sikap yang diperlukan dalam melaksanakan tugas seseorang serta diharapkan akan dapat mempengaruhi penampilan kerja baik orang yang bersangkutan maupun organisasi tempat bekerja. Cara berpikir yang sistematis dianggap sebagai pendekatan yang cukup bagus dalam proses pelatihan. Cara berpikir systematis dapat dijelaskan sebagai berikut: Gambar 1: Cara Berpikir Sistematis Setiap kegiatan di bidang pendidikan dan pelatihan pada dasarnya adalah usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, agar menghasilkan kinerja yang berhasil guna dan berdayaguna. Kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) dilaksanakan sebagai upaya untuk menanggulangi kesenjangan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan yang disebabkan karena kekurang mampuan manusiawi (humanistic skill), kurangnya kemampuan teknis (technical skill), atau kurangnya kemampuan manajerial (managerial skill), ( Maryono, 2009:5). Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan pengangguran di Indonesia, antara lain: 1) jumlah pencari kerja lebih besar dari jumlah peluang kerja yang tersedia (kesenjangan antara supply and demand). 2) kesenjangan antara kompetensi pencari kerja dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja (mis-match), 3) masih adanya anak putus sekolah dan lulus tidak melanjutkan yang tidak terserap dunia kerja/berusaha mandiri karena tidak memiliki keterampilan yang memadai (unskill labour), 4) terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena krisis global, dan 5) terbatasnya sumber daya alam di kota yang tidak memungkinkan lagi warga masyarakat untuk mengolah sumber daya alam menjadi mata pencaharian. (Panduan kewirausahaan pemuda, 2009: 1). wirausaha adalah usaha yang dilakukan oleh orang yang berani mengambil resiko dan berani berdiri sendiri untuk lapangan pekerjaaan atau nafkah untuk hidupnya sendiri serta orang lain yang dapat ditampungnya. Kewirausahaan adalah semangat, perilaku dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen. Definisi tersebut mengandung asumsi bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. 281 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berwirausaha melibatkan dua unsur pokok (1) peluang dan, (2) kemampuan menanggapi peluang. Berdasarkan hal tersebut maka definisi kewirausahaan adalah “tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif dan inovatif.” (Pekerti, 1997). Paradigma baru sistem pendidikan bermutu yang mengacu pada sistem broad based education yang berorientasi pada peningkatan life skill masyarakat dengan mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi, diubah menjadi sistem focused based education (Suranto, 2006) yang berorientasi pada peningkatan life skill dari potensi diri dengan mengakomodasi kebutuhan dunia usaha dunia industri dan kewirausahaan, sudah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan dan perlu menjadi skala prioritas untuk mengurangi pengangguran intelektual. Beberapa manfaat yang dapat di capai adalah keluaran yang dihasilkan siap pakai, siap kerja dan siap latih, artinya setiap lulusan yang di hasilkan lembaga pendidikan dapat terserap dan mampu diterima di pasar kerja, serta mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri menjadi kreator dan inovator. Pendidikan siap pakai tersebut harus dibekali materi enterpreneur dan penggalian potensi diri dengan perpaduan pendidikan vokasi yang di dasari kurikulum berbasis life skill. Salah satu kondisi pembelajaran yang dapat mendukung pencapaian kompetensi adalah mengembangkan proses pembelajaran berbasis aktivitas siswa dengan latar kegiatan dunia kerja. Pembelajaran yang perlu dikembangkan dalam rangka pembentukan kompetensi adalah interaksi yang memungkinkan para siswa mampu membangun pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya melalui berbagai modus transformasi pengalaman belajar. Karena itu, pengembangan kurikulum program studi pendidikan kejuruan perlu berorientasi pada dunia kerja, sedangkan pembelajarannya berorientasi pada siswa atau belajar mahasiswa aktif. (Depdiknas, 2004) Pembentukan kompetensi merupakan proses pendidikan yang memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak terkait di luar lembaga, seperti sekolah latihan, dunia kerja/industri, pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan setempat, dan berbagai asosiasi profesi. Untuk itu diperlukan terpeliharanya jaringan kerjasama/kemitraan antara lembaga pendidikan dengan semua unsur tersebut. Mitra industri sangat diperlukan sebagai wahana pengenalan terhadap dunia kerja, standar kerja, dan perkembangan teknologi mutakhir. Jaringan kerja dengan industri atau dunia kerja perlu dikembangkan untuk membantu kelancaran dan keuntungan akademik yang optimum. Sedangkan aspek kerjasama ini meliputi: resources sharing, problem solving dan consortium. Proses pembelajaran yang dilakukan pada pengembangan model pembelajaran ini melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning). Dalam arti bagaimana memaknakan sebuah pengalaman sehingga bisa menjadi pembelajaran. Experiential learning adalah proses belajar, proses perubahan yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran” Melalui experiential learning budaya industri atau dunia usaha akan mewarnai aspek hard skill dan soft skill. Aspek hard skill terkait dengan kompetensi teknis dan aspek soft skill akan terkait dengan sistem nilai dan sikap. 282 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan prosedur Research and Development yang pokok-pokok kegiatannya diambil dari Borg dan Gall, (1998). Tahapan tersebut dimodifikasi dan disederhanakan. Tahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Research and information collecting, termasuk dalam langkah ini adalah studi literature, review literature, studi pendahuluan, termasuk persiapan untuk memulai penelitian. Melalui research dan pengumpulan data awal dapat dirancang suatu pengembangan model untuk membantu mengatasi permasalahan dalam praktik industri mahasiswa pendidikan vocasi bidang boga. 2. Planning, termasuk mendefinisikan kemampuan yang berkaitan dengan objek permasalahan, menentukan tujuan yang ingin dicapai pada setiap tahapan, dan menentukan bagian-bagian pengujian. 3. Develop preliminary form of produck, termasuk mengembangkan bentuk permulaan dari produk awal (produk dasar) yang akan dihasilkan, termasuk dalam tahap ini adalah persiapan bahan, perangkat pembelajaran, pedoman pelaksanaan, lembar validasi dan lembar evaluasi. 4. Preliminary field testing, yaitu melakukan uji coba lapangan awal secara terbatas dengan menggunakan satu tempat penyelenggaraan kursus kewirausahaan dan satu dunia industry. 5. Main product revision, yaitu melakukan revisi terhadap produk utama, yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. 6. Main fiel testing, Uji coba utama yang melibatkan khalayak yang lebih luas, yaitu 3 - 4 tempat kursus. 7. Final product revision, yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir. Ketujuh langkah tersebut digambarkan sebagai berikut: Research and information collecting, Main fiel testing, (Uji Coba Luas) Planning,. Main product revision, (Revisi Produk Utama) Develop preliminary form of produck, Preliminary field testing, (uji coba lapangan) Final product revision, (Perbaikan Akhir) Gambar 2. Langkah – langkah penelitian Secara operasional langkah pengembangan model kewirausahaan bagi pendidikan non formal yang berkolaborasi dengan industri dapat digambarkan sebagai berikut: 283 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Studi Pendahuluan, Pra Survey, Observasi, Studi Literatur Need Assesment Merancang Model Membuat Perangkat Model Uji Coba Model Revisi Model Fix Model Gambar 3 : Langkah pengembangan model kewirausahaan Obyek penelitian adalah dunia usaha dunia industri boga yang terdiri ; Kareting, rumah sakit, hotel, restoran dengan informan kunci kepala bagian dapur pengolahan ataupun pimpinan perusahaan. Pengumpulan data selain melalui kajian dokumen yang berupa beberapa modul kewirausahaan yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 juga beberapa buku tentang kewirausahaan. Untuk menyaring informasi tentang kompetensi kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha, maka diperlukan keterlibatan langsung pelaku usaha (wirausaha bidang boga). Identifikasi kompetensi kerja kewirausahaan diperoleh dari analisis Data di atas menunjukkan bahwa peserta FGD terdiri dari 7 instansi dengan 12 orang peserta dari berbagai industri bidang boga sebagai pemberi masukan tentang kebutuhan kompetensi serta dapat digunakan sebagai tempat untuk mendapatkan pengalaman industri. Industri tersebut mewakili institusi restoran, catering, wisma /gedung pertemuan, perhotelan, biro perjalanan, kapal pesiar dan rumah sakit. Hasil penetapan dan indikator pencapaian kompetensi dari hasil FGD akan menjadi salah satu dasar dalam mengembangkan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang meliputi; kurikulum, silabi, RPP, beberapa modul pembelajaran serta sukses story usaha dalam bidang boga. Needs assessment sebagai studi pendahuluan dilakukan dengan cara; wawancara secara mendalam, observasi lapangan dan penyebaran angket. Wawancara dilakukan terhadap pimpinan lembaga penyelenggara kursus dan pelatihan bidang boga, tutor kursus dan pelatihan bidang boga dan FGD dilakukan terhadap 12 orang yang 284 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mewakili institusi restoran, catering, wisma /gedung pertemuan, perhotelan, biro perjalanan, kapal pesiar dan rumah sakit. Adapun subyek yang berasal dari dunia usaha dunia industri boga yang dapat dipaparkan sebagai berikut: Hasil dan Pembahasan Pengembangan model Langkah-langkah pengembangan model mencakup tahap penelitian dan pengumpulan informasi (research and information collecting); yang bertujuan untuk menjaring berbagai masalah termasuk persiapan untuk memulai penelitian. Dari hasil FGD diperoleh informasi beberapa komponen penting yang harus diterapkan dalam industri Komponen yang dapat dipelajari dalam melakukan praktik kerja industri dalam bidang Boga yang meliputi 1) Komponen pengetahuan kerja yang dapat dipelajari sesuai dengan standar kerja industri boga. 2) Keterampilan dan, 3) sikap kerja. Tabel 1. Pengetahuan yang Dapat Dipelajari dalam Bidang Boga di Industri NO 1. 2. ASPEK PENGETAHUAN Pengetahuan tentang produksi Pengetahuan tentang hotel knowledge dan hospitality Teori-teori dasar (basic cooking) Mise en place, mise en scene Standar Operation Prosedur (SOP) Sanitasi dan hygiene Service cooking method Service sequence, handling complain Grooming-general house roles. Time of cooking and menu Keadaan perusahaan (sistem manajemen yang berlaku di produksi, struktur organisasi, sejarah berdirinya perusahaan, system pemasaran pembelanjaan, penjualan, sistem administrasi keuangan dll). Hasil hasil produk 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10 11 12 Tabel 2. Keterampilan Kerja yang Dapat Dipelajari Sesuai dengan Standar Kerja Industri Boga NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ASPEK KETERAMPILAN Kecepatan kerja Keterampilan kerja Kebersihan dan kesehatan kerja Mise en place Cooking table orders Table setting Serving food, drink, wine Clearing the table Handling guest check Pengelolaan menu 285 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta N0 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Tabel 3. Sikap Kerja yang Dapat Dipelajari Saat Bekerja Di Industri Aspek Sikap Kesopanan (Courtesy) Keramahan Kesediaan untuk melayani (willingness to serve) Keriangan (Cheerfulness) Selalu tepat waktu dan benar (Always punctuality, correctly) Loyality Dedikasi terhadap pekerjaan Bisa bekerjasama Berani mencoba segala jenis pekerjaan Etika Grooming Tidak cengeng Mandiri Kreatif Inovatif Mematuhi aturan kerja di industri Tidak menggurui Ramah, sopan Proaktif, berani menyampaikan ide kepada perusahaan Berdasarkan masukkan dari para praktisi kegiatan pembelajaran di industri dapat dikelompokkan pada 3 tahap, yaitu orientasi dan observasi, pelaksanaan serta evaluasi. Lebih jelas tahapan tersebut ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4. Tahap-tahap yang Harus Dilalui oleh Peserta Pelatihan dalam Mendapatkan Pengalaman Industri TAHAPAN Tahap 1 Orientasi dan Observasi Tahap 2 Pelaksanaan Tahap 3 Evaluasi AKTIVITAS 1. Menyusun agenda praktik. 2. Melakukan orientasi terhadap tempat atau area kerja, 3. Observasi dan orientasi terhadap pelaksanaan kerja, dan sistem kerja 4. Mempelajari struktur departemen. 5. Mendalami/memahami standar restoran. 1. Melaksanakan scheduling 2. Melaksanakan tugas sesuai dengan tahapan. 3. Mulai menggali pengetahuan keadaaan industri 4. Kebiasaan atau prosedur yang sesuai dengan SOP, 5. Melaksanakan prepare sesuai standarisasi perusahaan 6. Mendalami standar produk restoran 7. Mengamati hasil akhir (sppsedy). Evaluasi : 1. Kecepatan kerja 2. Kualitas hasil kerja 3. Tingkah laku /kinerja 286 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil produk Akhir berupa Model Pembelajaran kursus Kewirausahaan, yang digambarkan sebagai berikut : Kesiapan Berwirausaha Need Analisis Job Shadowing Latihan Pendampingan Tutor: - Instruktur dari Evaluasi Respon lembaga - Instruktur dari industri Evaluasi Implementasi Lulusan yang siap berwirausaha dan berwawasan industri Pembelajaran berbasis Kerjasama Pedoman model Perangkat model (RPP, Stimulation Learning, Pedoman Observasi) Brain storming - Berpikir Kreatif Mempunyai gagasan usaha - Berorientasi pada tindakan - Pengetahuan tentang pemasaran - Siap memulai usaha baru Berwawasan industri - Kecepatan Kerja - Ketepatan Kerja - Berorientasi Mutu Gambar 5 : Model Pembelajaran kursus kewirausahaan Simpulan Berdasarkan hasil pengembangan dan kajian produk akhir yang telah diuraikan pada bab IV serta merujuk pada pertanyaan penelitian, maka simpulan yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah: 1. Model pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri yang dikembangkan untuk dapat digunakan menumbuhkan jiwa entrepreneur masyarakat pada bidang boga, dikembangkan melalui tiga tahap yakni; (a) tahap pra pengembangan dan (b) tahap pengembangan dan (c) tahap implementasi model. 2. Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan adalah membuat perangkat pembelajaran yang mencakup: 1) Rencana Program Pembelajaran (RPP), 2) Hand Out beberapa materi pembelajaran dan 3) Stimulation Learning. 3. Hasil analisis kevalidan menunjukkan bahwa semua validator menyatakan bahwa model pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri serta perangkat pembelajaran yang dibangun atas landasan berpikir logis, dengan teori pendukung yang relevan, maka model dan perangkat pembelajaran dapat digunakan dalam pembelajaran kewirausahaan di masyarakat. 4. Hasil analisis keefektifan model yang dilihat dari respons siswa terhadap penerapan pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri memenuhi kriteria sangat efektif. Tingkat keefektifan model terlihat dari respons peserta terhadap pembelajaran yang diterpakan mencakup: (a) kejelasan skenario pembelajaran, (b) minat peserta kursus, (c) kesesuaian metode pembelajaran dengan usia peserta kursus, (d) kemampuan metode memotivasi peserta pelatihan untuk berwirausaha, (e) kemampuan membawa perubahan karir masa depan peserta, (f) penilaian umum terhadap metode pembelajaran. 287 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Saran Berdasarkan simpulan yang dikemukakan di atas, maka beberapa saran berikut ini perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kewirausahaan di masyarakat. 1. Model pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri yang dikembangkan untuk dapat digunakan menumbuhkan jiwa entrepreneur pada bidang boga pada masyarakat, baru sampai pada uji coba terbatas. Oleh karena itu disarankan kepada pengelola atau lembaga kursus bidang boga untuk mengimplementasikan ataupun turut mensosialisasikan penggunaan program ini. 2. Penerapan model pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri efektif memberikan motivasi dan semangat berwirausaha pada peserta pelatihan. Oleh karena itu disarankan, kepada lembaga pendidikan non formal yang menyelenggarakan program kewirausahaan boga agar menggunakan model ini sebagai pendukung terori kewirausahaan dari Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI). 3. Penerapan model pembelajaran kewirausahaan kerjasama dunia usaha dan dunia industri mendpat respons positif dari para pserta pelatihan, oleh karena itu disarankan kepada para pengelola lembaga kursus dan pelatihan agar mempertimbangkan model pembelajran ini sebagai model pembelajaran kewirausahaan di bidang boga untuk dimplementasikan pada lembaganya. Daftar Pustaka Abdul Ghafur .(2009). Model Dan Desain Pembelajaran. Hand Out. Magelang :Diklat Departemen Perhubungan dan MSTT Universitas Gajah Mada. Benny A Pribadi. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Fadel Muhamad ( 1999) Industrialisasi dan Wiraswasta; Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’ . Jakarta : PT Warta Global Indonesia. Gill, Fluitman, Dar (2000) Vocational Education and Training Reform: Matching Skills to Markets and Budgets,.USA : Published for the World Bank, Oxford University Press, 2000. Greenberg.(1995). Behavior in Organization.New Jersey : Prentice-Hall, Inc Kokom Komariah, dkk (2007). Pembudayaan Kewirausahaan yang Terintegrasi untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dalam Mata Kuliah Restoran dan Produksi Busana Perorangan pada Program Studi S 1 PendidikanTeknik Boga dan Busana. Laporan penelitian. Yogyakarta: Hibah kompetisi A3 Jurusan PKK-FT UNY Maryono.( 2009). Pengembangan Model Model Pendidikan Untuk Tenaga Kerja. Makalah, Yogyakarta: Pascasarjana UNY Meredith. Geoffrey (1992). ( Terjemahan Andre Asparsayogi) Kewiraswastaan Teori dan Praktek, Seri Manajemen No 97. Jakarta : PT Karya Unipress. Muijs Daniel & Reynolds. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi. London: Sage Publication Noe. Raymond. (2008) Employee Training and Development.USA: McGraw Hill Slavin. (1994). Education Psychology Theory and Practice. Boston USA: By Allyn and Bacon. Soesarsono. W. (2004). Pengantar Kewirastaan. Bandung. Sinar Baru Algensindo. Suryana.( 2003). Kewirausahaan Pedoman Praktik, Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta :Salemba Empat. 288 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MULTIMEDIA DAN MEDIA KIT PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH DASAR C. Asri Budiningsih, Dkk. Fakultas Ilmu Pendidikan- Universitas Negeri Yogyakarta Abstract Learning sources and learning media are important references in selecting appropriate learning messages and determining student’s activities. Goal achievements on religious education in elementary school have a strong relationship with our latest curriculum, provision of learning sources, learning media, and applied learning approaches. Previous research conducted by Budiningsih et.al. (2009) showed that text books of religious education for elementary school have not been written based on cognitive-structural dialogical-communicative approaches involving interaction of faith. Its contents are lack of creativity and spontaneity, lack of developing student’s sympathy and reverence to the others, lack of building student’s awareness in managing and loving the environment, lack of giving comprehension that religion was never about laws and rules but heartiness and grace. This research and development utilizes Borg and Gall (1983), C. M. Reigeluth (1987), and Arief S. Sadiman (2007) procedures, which are combined with E. L. Criswell & Luther model. Research was conducted at several painting and sculpture studios, also at public and private elementary schools in Yogyakarta. Information was collected from related substance experts, media experts, religion teachers dan elementary students. Data collection was done by documentations, interviewings, questionnaires, conferences, and observations. Gathered data are learning aspects, substances, and medias. Research credibility was conducted by observations and coupled interviews, focused discussions and reflections, and peer briefings. All data then were analyzed with quantitative and qualitative description technique. This research produces learning multimedia (2010) and media Kit (2011) of Elementary School’s Religious Education themed ”I love my environment”, ”We all can do it”, ”We all are friends”, ”I feel peaceful”, as supplement of learning messages which were not delivered in text books. Media development utilizes cognitive-structural dialogical-communicative involving faith interaction, hence student’s faith is developing gradually into autonomous faith. In addition to assisst teachers in delivering complicated and abstract substances, the medias are designed particularly to fulfill real objectives of elementary school’s religious education. The result shows that multimedia and media Kit is performed well hence categorized as satisfactory and very satisfactory. Production process of media kit is relatively simple. The product is lightweight, shock resistant and hardly being broken. It has good elasticity, faster paint drying, maximum reduction of dried paint layers (resulted on thinner layers) hence its contours and details are not affected. It also possesses longer lifetime and resistance to chemical corrosion, possess bright colors, but the molding process is harder and more expensive. In the third year (2012) the research will be focused on measuring the effectivity of religious education learning multimedia and media Kit which have been developed by quasi experiments. It will be disseminated later to several districts along with the registration of product’s copyright. Keywords: multimedia, media Kit, religious education for elementary school Pendahuluan Buku teks, media pendidikan dan sumber-sumber belajar amat penting sebagai acuan dalam pemilihan pesan pembelajaran serta menentukan aktivitas belajar siswa. Tercapainya misi pendidikan erat kaitannya dengan kurikulum, penyediaan buku-buku teks dan media, serta pendekatan pembelajaran yang digunakan. Interaksi pembelajaran sebagai kurikulum eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang dikerjakan siswa, dan bagaimana interaksi keduanya. Proses keterbentukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang tersurat 289 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dan tersirat sebagai tujuan utuh pendidikan akan tercapai jika komponen-komponen pembelajaran dikembangkan dan dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan siswa serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik (Raka Joni, 2005). Pengembangan sarana belajar harus berorientasi pada misi dan tujuan pendidikan, kurikulum, kebutuhan belajar dan taraf perkembangan siswa, serta berpijak pada pendekatan induktifkonstruktivistik. Kajian terhadap buku-buku teks dan media pendidikan agama di SD merupakan salah satu upaya mencari solusi atas permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta sebagai langkah awal perbaikan kualitas pembelajaran. Hasil penelitian (Asri Budiningsih, dkk. 2009) menunjukkan bahwa buku-buku teks pendidikan Agama di SD belum berpijak pada pendekatan kognitif-struktural dialogal-komunikatif dalam interaksi iman. Kurang mengembangkan kreatifitas dan spontanitas anak, sikap mengasihi dan menghormati orang-orang yang berbeda kurang diajarkan, kemampuan mengolah serta memelihara alam juga kurang ditumbuhkan. Pemahaman terhadap bukan hukum atau peraturan tetapi keiklasan dan suka rela juga belum dikembangkan secara memadai. Penanaman iman yang selama ini dilakukan melalui pendidikan agama dengan pendekatan teologis-dogmatis yang sering kali tidak sampai pada aspek penalaran atau penilaian, sehingga terbentuklah iman yang heteronom. Pendidikan iman menyangkut upaya mental melalui pendekatan psikososial dan teori kognitifstruktural, sehingga iman berkembang secara bertahap mengarah terbentuknya iman yang otonom. Pengembangan multimedia dan media Kit pendidikan Agama di SD dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai suplementasi pesan-pesan pembelajaran yang kurang dikembangkan di dalam buku-buku teks. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, melakukan reorientasi dan reorganisasi pendidikan agama agar terbentuk generasi yang memiliki kekuatan iman otonom, memiliki sikap juang demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, terbuka terhadap umat lain, mau bekerjasama dan menghargai satu sama lain demi terwujudnya perdamaian dan masa depan bangsa yang lebih baik. Hasil studi penjajagan ke SD-SD di wilayah kota Yogyakarta serta hasil wawancara terhadap beberapa guru agama di SD diperoleh informasi bahwa selama ini para guru dalam melaksanakan pembelajaran agama hanya mengandalkan pada sumber-sumber informasi dari buku-buku teks. Guru juga meminta siswa untuk membawa kitab suci dari rumah. Kegiatan pembelajaran ada yang menggunakan gambar-gambar cerita dan kaset audio, namun pembelajaran belum memanfaatkan multimedia dan media tiga dimensi. Pembelajaran belum menggunakan multimedia dan media tiga dimensi dengan pendekatan kognitif-struktural yang bersifat dialogal-komunikatif dalam interaksi iman. Anak belum mampu mengembangkan kreativitas serta spontanitasnya yang mengarah pada perkembangan iman menuju terbentuknya iman otonom. Multimedia dan media Kit pendidikan agama SD belum tersedia di sekolah-sekolah maupun di pasaran. Untuk kepentingan tersebut, dalam penelitian ini media didesain dan dikembangkan berpijak pada pendekatan kognitif-struktural dialogal-komunikatif dalam interaksi iman yang mengacu nilai-nilai universal, sehingga media dapat dipergunakan bagi pembelajaran agama apapun. Memang, untuk keperluan pendidikan iman telah dikembangkan media dua dimensi seperti poster dan kartu-kartu bergambar, namun hanya disediakan bagi agama-agama tertentu saja. Media tersebut juga tidak dirancang sesuai dengan misi dan tujuan kurikulum pendidikan agama di SD. Dengan ungkapan lain, media hanya diperuntukkan bagi pendidikan agama tertentu dan bersifat non 290 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta formal. Ada keterbatasan media poster dan kartu-kartu bergambar dibandingkan dengan multimedia dan media tiga dimensi (Kit). Media kit dapat diperankan secara dialogal-komunikatif dalam interaksi iman sebagai sarana belajar, bermain, dan berkreasi. Tahun pertama (2010) telah dikembangkan multimedia pembelajaran bagi pendidikan Agama di SD. Multimedia dikemas dalam bentuk gabungan antara teks, gambar, suara, animasi dan video, berisi cerita-cerita yang menggambarkan konteks kehidupan anak. Tema-tema dipilih sesuai minat dan logika anak yang tersaji ke dalam empat keping CD masing-masing memuat satu topik. Sebagai paket-paket program mandiri, program ini terhubung oleh satu kepentingan yaitu pembentukan karakter anak yang riang gembira, bersahabat, mampu bersikap dan bertindak sesuai imannya. Keempat topik tersebut disarikan dari keprihatinan bangsa Indonesia yang multidimensi, agar tercipta kondisi yang memungkinkan dapat menumbuhkan pemahaman, penghayatan, penyikapan, dan tindakan generasi muda yang dapat menumbuhkan nilai-nilai persatuan, pluralisme, demokrasi, keadilan, kepedulian terhadap lingkungan, kebersamaan dan toleransi. Tahun kedua (2011) menghasilkan media Kit (kotak unit pelajaran) pendidikan Agama SD berbentuk boneka-boneka tiga dimensi dan benda-benda pendukungnya, dikemas ke dalam tematema cerita terpilih, dilengkapi poster, kartu-kartu bergambar, kartu-kartu kata dan kalimat serta buku panduan bagi guru atau orang tua. Media sebagai bahan suplementasi berkenaan dengan pesan-pesan pembelajaran yang kurang dikembangkan di dalam buku-buku teks. Multimedia dan media Kit ini untuk mengatasi kekurangan media yang ada di sekolah di samping untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta melakukan reorientasi dan reorganisasi pendidikan agama agar terbentuk generasi yang memiliki kekuatan iman yang otonom. Multimedia dan media Kit dapat membantu guru mengajarkan materi-materi berat, sulit dan abstrak, mengembangkan struktur-kognitif keimanan anak secara bertahap mengarah pada terbentuknya iman yang otonom dalam mencapai misi dan tujuan pendidikan. Media dapat didesiminasikan melalui program-program PPM dosen dan KKN-PPL mahasiswa, serta ditawarkan ke pengusaha bidang media dan alat-alat pelajaran. 1. Teori belajar kognitif-konstruktivistik. Belajar adalah proses aktivitas mental melalui interaksi aktif individu dengan lingkungannya untuk menghasilkan perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai. Belajar juga merupakan upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya yang mengarah kepada pengembangan struktur kognitifnya dan dilakukan baik secara mandiri maupun sosial (Brooks & Brooks, 1993, Light and Cox, 2001). Untuk itu pembelajaran diupayakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan struktur tersebut secara optimal pada diri siswa. Multimedia dan media Kit dikembangkan dan dikemas dengan menggunakan pendekatan kognitif-struktural dialogal-komunikatif dalam interaksi iman, berisi cerita-cerita yang menggambarkan konteks kehidupan anak sehari-hari. Media dapat menjadi sarana belajar, bermain dan berkreasi, sehingga mampu membentuk perkembangan iman anak yang otonom. 291 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Teori perkembangan iman. Fowler (1976) membedakan iman dari agama. Ia mengikuti konsepsi Smith, yang memandang agama sebagai tradisi komulatif, yakni kumpulan bentuk-bentuk ungkapan iman yang diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu di masa lalu. Tradisi ini dapat berupa teks-teks kitab suci, atau hukum-hukum, termasuk ajaran, mitos-mitos, ramalan-ramalan, kisah-kisah pewahyuan, dan juga meliputi aneka simbol, tradisi lisan, musik, tari, ajaran moral, teologi, aneka kepercayaan, aneka ritus, liturgi, arsitektur, dan sebagainya. Iman juga dibedakan dari kepercayaan. Ia memandang kepercayaan sebagai pemilihan atau pemelukan atas ide-ide tertentu. Cremers (dalam Supratiknya, 1995) mengatakan bahwa dalam konteks agama, pemelukan atas ide-ide ini muncul dari usaha manusia menerjemahkan aneka pengalaman dan relasinya dengan yang transenden ke dalam bentuk konsep-konsep atau pengertian-pengertian dan proposisiproposisi atau dalil-dalil. Kepercayaan bisa merupakan salah satu bentuk ungkapan iman. Menurut Fowler iman adalah suatu cara manusia bersandar atau berserah diri serta menemukan atau memberikan makna terhadap berbagai kondisi atau keadaan hidupnya dan sadar akan suatu lingkungan akhir. Iman mengalami perkembangan secara bertahap. Setiap tahap perkembangan yang baru merupakan integrasi dan pemekaran dari seluruh aspek operasi tahap-tahap perkembangan sebelumnya dalam sejenis gerak spiral. Fowler (1988) membagi perkembangan iman menjadi 6 tahap yaitu, (1) iman dihayati sebagai kegiatan meniru, (2) iman dihayati sebagai usaha pemenuhan terhadap perintah-perintah, (3) iman dihayati sebagai usaha menjaga warisan nilai-nilai kelompok (jemaat), (4) iman dihayati sebagai usaha mengikuti hati nuraninya, (5) iman dihayati sebagai usaha mewujudkan nilai-nilai universal, seperti perdamaian dan keadilan tanpa memandang latar belakang manusianya, dan (6) iman dihayati sebagai usaha mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kerjasama antara kesetiaan aktif manusiawi dan rahmat Ilahi. Pengembangan multimedia dan media Kit bertujuan untuk melakukan reorientasi dan reorganisasi pendidikan agama agar dapat mewujudkan tujuan terbentuknya generasi yang memiliki kekuatan iman otonom, memiliki sikap juang demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, semakin terbuka terhadap umat lain, mau bekerjasama dan menghargai satu sama lain demi terwujudnya perdamaian dan masa depan bangsa yang lebih baik. 3. Teori perkembangan anak usia SD. Menurut Piaget, umur 7/8–11/12 tahun (usia SD) berada pada tahap operasional konkrit. Ciri-cirinya, anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, ditandai adanya reversible dan kekekalan. Ia memiliki kecakapan berpikir logis, tetapi hanya dengan benda-benda konkrit. Operation adalah tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya, sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemung-kinan”. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya, mampu menangani sistem klasifikasi. Namun ia tidak sepenuhnya menyadari 292 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif (Paul Suparno, 2001). Untuk menghindari keterbatasan berpikirnya perlu diberi gambaran melalui benda-benda konkrit agar anak mampu menelaah persoalan kehidupan sehari-hari secara konkrit, karena anak masih memiliki permasalahan berpikir abstrak. Pengembangan multimedia dan media Kit memungkinkan anak mampu menelaah persoalan kehidupan sehari-hari. 4. Teori media dan prinsip-prinsip pengembangan media. Seels & Richey (1994) merumuskan sumber belajar meliputi semua sumber (data, orang, alat dan barang) yang dapat digunakan oleh siswa baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan untuk memberikan fasilitas belajar. Media pembelajaran adalah semua sumber yang digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat mendorong untuk belajar. Media dan sumber belajar sebagai komponen sistem pembelajaran adalah sumber-sumber belajar yang disusun terlebih dahulu dalam proses desain atau pemilihan dan pemanfaatan, kemudian disatukan ke dalam sistem pembelajaran yang lengkap, untuk mewujudkan proses belajar yang terkontrol dan berarah tujuan. Multimedia mengubah hakekat belajar melalui membaca menjadi kegiatan belajar yang dinamis dan lebih jelas. Multimedia dapat dijadikan sumber belajar yang dapat digunakan untuk memperluas cakupan teks dalam topik-topik bahasan tertentu. Pengembangan multimedia tidak hanya menyediakan lebih banyak teks tetapi juga menghidupkan dan memodifikasi teks dengan menyertakan bunyi, gambar, musik, animasi dan video. Multimedia digunakan sebagai literatur awal yang lebih jelas. Penggunaan animasi dan warna dapat berperan penting karena dapat menarik perhatian pengguna (Suyanto, 2005:25). Media dan sumber-sumber belajar dikatakan berkualitas jika: a) dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, b) mampu memfasilitasi proses interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa, serta siswa dengan ahli bidang ilmu yang relevan serta lingkungan sekitarnya, c) dapat memperkaya pengalaman belajar siswa, d) mampu mengubah suasana belajar dari siswa pasif dan guru sebagai sumber ilmu satu-satunya, menjadi siswa aktif berdiskusi dan bereksplorasi mencari informasi, pengalaman melalui berbagai sumber dan benda-benda. Multimedia dan media kit mampu menyediakan kondisi tersebut. Metode Penelitian Kegiatan tahun pertama (2010) melakukan penelitian pengembangan multimedia pembelajaran pendidikan agama bagi siswa SD yang memuat teks, narasi, bunyi, gambar, musik, animasi dan video. Multimedia berisi kmponen-komponen pembelajaran seperti, tujuan atau kompetensi yang harus dikuasai siswa, materi, strategi dan evaluasi pembelajaran. Karakteristik lain adalah; (1) memiliki lebih dari satu media yang tergabung secara terpadu, (2) bersifat interaktif, pengguna dapat mengontrol atau mengendalikannya sesuai dengan keinginannya, (3) bersifat mandiri, memberi kemudahan dan kelengkapan isi serta petunjuk, sehingga pengguna dengan leluasa dapat menggunakannya tanpa harus memperoleh bimbingan orang lain. 293 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tahun kedua (2011) mengembangkan media Kit (Kotak Unit Pelajaran) Pendidikan Agama SD berbentuk boneka-boneka tiga dimensi dengan benda-benda pendukungnya, dikemas dalam tematema terpilih yaitu ”Kucinta Lingkunganku”, ”Aku dan Kamu Bisa”, “Kita Semua Bersahabat”, “Aku Merasa Damai”. Media Kit dilengkapi dengan poster, gambar-gambar kilas, kartu-kartu gambar dan kartu-kartu kata atau kalimat, serta buku panduan bagi guru dan/atau orang tua. Media ini diperankan secara dialogal-komunikatif dalam interaksi iman sebagai sarana belajar, bermain dan berkreasi. Media kit yang dikembangkan dapat membantu guru mengajarkan materi-materi berat, sulit dan abstrak guna mencapai misi dan tujuan pendidikan agama di SD. Penelitian (research and development) ini menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh Borg dan Gall (1983), model pengembangan pembelajaran oleh C. M. Reigeluth (1987), dan model pengembangan media oleh Arief S. Sadiman (2007) yang dikombinasikan dengan model E. L. Criswell dan Luther. Target yang dihasilkan adalah terciptanya multimedia dan media Kit sebagai bahan suplementasi pesan-pesan pembelajaran agama SD yang kurang dikembangkan di dalam buku-buku teks. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah; a) melakukan penelitian pendahuluan, b) mengadakan perencanaan (pendefinisian kemampuan, perumusan tujuan, penentuan bahan/isi dan urutan pembelajaran, serta uji coba skala kecil), c) mengembangkan prototipe multimedia dan media Kit, d) uji ahli materi (3 orang mewakili agama Islam, Kristen dan Katolik), uji terhadap 2 orang ahli media, serta uji terhadap guru dari 3 agama yaitu Islam, Kristen dan Katolik. e) uji lapangan permulaan (siswa-siswa dengan kemampuan rendah, sedang dan tinggi) diikuti dengan revisi, f) uji lapangan utama dan revisi, g) uji lapangan operasional ke kelas-kelas yang sedang melaksanakan pembelajaran agama, kemudian dilakukan revisi akhir. h) desiminasi/implementasi ke sasaran pengguna produk yaitu guru-guru agama dan siswa-siswa SD, melalui program KKN/PPL mahasiswa dan/atau PPM dosen. Penelitian dilakukan di SD-SD Negeri dan Swasta di Wilayah kota Yogyakarta. Sebagai unit analisisnya adalah sekolah. Informasi digali dari ahli materi (Islam, Kristen, Katolik), ahli media, guru agama (Islam, Kristen, Katolik) serta siswa. Metode pengumpulan data menggunakan dokumentasi, wawancara, angket, seminar dan observasi. Angket dan wawancara digunakan sebagai need assignment dan validasi keefektifan, efisiensi dan kemenarikan media bagi pengguna. Pengamatan dan wawancara untuk mengetahui tingkat komprehensi literal siswa yang diperoleh melalui penggunaan media. Observasi untuk melihat seluruh proses yang dilakukan siswa dan guru dalam menggunakan media. Seminar untuk mengetahui kebermaknaan seluruh rangkaian proses penelitian bagi siswa dan guru serta kemungkinan dapat didesiminasikan dan diimplementasikan ke SD-SD di wilayah lain. Kredibilitas penelitian dengan cara: 1) pengamatan dan wawancara dilakukan oleh peneliti secara berpasangan (antar rater), 2) trianggulasi diungkap melalui proses refleksi dan diskusi terfokus melibatkan representasi siswa, expert team, dan guru. 3) tanya jawab dengan teman sejawat (peer briefeing) dan expert team serta pengguna produk. Seluruh data dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif dan kualitatif, melalui langkahlangkah a) abrupt data, b) coding data, c) data selection, d) data recording dan organisasi data, e) 294 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta analisis kuantitatif, f) analisis kualitatif dan g) interpretasi hasil. Analisis dilakukan pada setiap tahapan implementasi participatory. Sistem coding terbuka dimana kategori yang muncul tetap dicatat untuk membantu analisis. Pengkodean/pengkategorian dilakukan berdasarkan kondisi, interaksi, strategi, dan konsekuensi (Strauss, 1989: 27-28). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tahun pertama (2010) meliputi: 1. Hasil uji ahli materi terhadap 15 indikator dengan rincian 10 indikator aspek materi dan 5 indikator aspek pembelajaran, hasil perhitungan rata-rata skor diperoleh nilai 4.02 artinya, multimedia yang dikembangkan dengan kategori sangat baik. Hasil uji ahli media mengenai tampilan, layout, navigasi, animasi, narasi, kesesuaian bentuk dan besaran huruf, gambar, dan warna, menunjukkan perhitungan rata-rata skor diperoleh nilai 4.09 artinya, multimedia dalam kategori sangat baik. 2. Sebagai pendamping siswa dan selaku pengguna multimedia dalam kegiatan pembelajaran di kelas, maka guru-guru agama dari tiga agama (Islam, Kristen, Katolik) diminta untuk memvalidasi produk yang sudah dikembangkan. Penilaian memuat 4 aspek yaitu, a) tampilan, b) navigasi, c) pengoperasian program, dan d) pembelajaran. Keempat aspek tersebut dijabarkan ke dalam 20 indikator. Hasil perhitungan rata-rata skor diperoleh nilai rata-rata 4.63 artinya, multimedia dalam kategori sangat baik. 3. Multimedia diujicobakan kepada siswa-siswa secara perorangan yang mewakili siswa pandai, sedang dan kurang, dilanjutkan uji kelompok kecil. Ada enam kelompok yang mewakili agama Islam, Kristen dan Katolik. Uji coba terhadap siswa dilakukan dengan memberikan produk multimedia untuk digunakan, kemudian dilakukan pengamatan dan wawancara. Ada 9 aspek yang diamati dan ada 7 pertanyaan yang diberikan kepada siswa. Hasil uji coba secara umum terhadap kelayakan multimedia pembelajaran dalam kriteria baik, yaitu dengan skor rerata 3,96. 4. Uji terakhir yaitu validasi produk media pada kelas-kelas sesungguhnya. Produk diujicobakan kepada siswa secara klasikal dalam tiga kelas pelajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik dengan jumlah siswa perkelas antara 40-50 anak. Teknik validasi dilakukan melalui pengamatan dan wawancara ketika siswa menyaksikan produk multimedia yang ditayangkan. Perhitungan rata-rata skor tanggapan siswa diperoleh 4.06 artinya, multimedia dalam kategori sangat baik. Hasil penelitian tahun kedua (2011) meliputi: 1. Uji ahli materi terhadap aspek materi atau pesan pembelajaran meliputi kebenaran materi atau isi, keluasan dan kedalaman materi, kemudahan materi dipelajari anak. Data tersebut diperoleh dari tiga ahli/tokoh-tokoh agama (Islam, Kristen, Katolik). 295 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Uji ahli media terhadap aspek media meliputi tampilan, kesesuaian bentuk, kemenarikan dan keawetan, keamanan, besaran benda, huruf, gambar, dan warna. Data ini diperoleh dari ahli media atau Teknologi Pendidikan yaitu pakar Teknologi Pendidikan. 3. Data aspek pembelajaran meliputi kelengkapan dan konsistensi komponen-komponen pembelajaran, kesesuaian dengan karakteristik siswa dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Data tersebut diperoleh dari para guru agama (Islam, Kristen, Katolik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa media Kit pembelajaran pendidikan Agama SD yang dikembangkan dapat dikategorikan sebagai baik dan sangat baik. Hal ini dibuktikan dari beberapa dukungan antara lain dari para ahli materi, ahli media, guru-guru agama dan siswa. Hasil perhitungan rata-rata menunjukkan skor 4,01 untuk ahli materi, 3,91 untuk ahli, 4,02 untuk guru-guru agama, 3,96 untuk siswa secara peroragan, 3,98 untuk siswa secara kelompok, dan 3,92 untuk siswa secara klasikal. Sedangkan hasil revisi terakhir menunjukkan bahwa dalam mengembangkan media Kit lebih mudah, bobot media lebih ringan, model lebih tahan benturan dan tidak mudah patah, elastisitas lebih baik, pengeringan cat warna lebih cepat, penyusutan lapisan cat setelah kering lebih maksimal (tipis), sehingga tidak mempengaruhi vontur dan detailnya, cat lebih kuat dan lebih tahan terhadap kerusakan kimiawi, warna lebih cemerlang namun proses pencetakan lebih sulit dan biaya lebih besar. Saran Saran pemanfaatan, (1) agar multimedia dan media kit pendidikan agama di SD ini dapat digunakan secara maksimal baik oleh siswa maupun guru mata pelajaran pendidikan agama di SD sebagai sumber belajar. (2) Berdasarkan hasil validasi, media dapat meningkatkan pemahaman dan memudahkan belajar siswa. Untuk itu diperlukan fasilitas dan biaya tambahan dalam menggunakan multimedia, serta pemanfaatan media kit perlu upaya fasilitasi anak baik dalam penyediaan media maupun penggunaan waktu dan tenaga. Perlu dikembangkan media pembelajaran serupa untuk siswa-siswa pada jenjang pendidikan TK, SMP, bahkan setingkat SMA. Diseminasi pemanfaatan media ini secara luas dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada guruguru melalui sekolah atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan siswa-siswa SD untuk dapat dipakai sebagai salah satu sumber belajar. Keterbatasan pengembangan produk media lebih lanjut, bahwa media pembelajaran hasil pengembangan ini belum dapat menyediakan alat ukur untuk mengukur kemampuan siswa yang terintegrasi di dalam program yang hasilnya dapat dilihat secara langsung. Untuk itu, perlu dikembangkan alat ukur yang terintegrasi di dalam program yang hasilnya langsung dapat diketahui. Media hasil pengembangan ini terbatas pada topik-topik terentu, sehingga untuk pengembangan lebih lanjut perlu topik-topik lain yang dianggap sangat urgen. Guru perlu dibekali kemampuan mengembangkan media pembelajaran di bidangnya. 296 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) serta tim Redaktur dan Staf Artikel Ilmiah DP2M, juga kepada Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk menghasilkan publikasi artikel ini. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca akan pentingnya penyediaan sumber-sumber belajar pendidikan agama SD, agar sejak dini anak dapat mengungkapkan dan mewujudkan imannya yang otonom sekaligus mengembangkan programprogram pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Daftar Pustaka Arief S. Sadiman, 2007. Media pendidikan. Jakarta: Pustekom Dikbud. Asri Budiningsih, dkk., 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta ----------------------, 2004.Karakteristik siswa:sebagai pijakan pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY ----------------------, 2009. Desain pesan buku-buku teks pendidikan agama SD di wilayah kota Yogyakarta. Yogyakarta: Lemlit UNY Azyumardi Azra, 2007. Merawat kemajemukan merawat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Belen, S., 2007. Pelayanan kehidupan beragama yang inklusif. Majalah Ilmiah “Kuwera-14”. Yogyakarta: DED Borg, W. R. & Gall, M. D. 1983. Educational research: An introduction, Fourth edition. New York: Longman Brooks, J.G., & Brooks, M., 1993. The case for constructivist classrooms. Association for supervision and curriculum development. Alexandria, Virginia. Corley,J. 2000. The need for character education. Dalam The urgent need for character education. Yogyakarta: International Seminar Procceding. Degeng, N. S., 1990. Desain pembelajaran teori ke terapan. Malang: Penyelenggaraan pendidikan Pascasarjana P3T: IKIP Malang. Fowler, J.W. 1988. Stages in Faith: The structural-developmental approach. Dalam T.C. Hennessy (ed). Values and moral development. New York: Paulist Press. Gay, L. R. 1990. Educational research: Competencies analysis and application.3rd.ed. Singapore: Macmillan Publishing Company. Gazda, G.M.; Asbury, F.R.; Balzer, F.J.; Childers, W.C.; Walters, R.P.1991.Human relations development: a manual for educators (4th ed.) Boston: Allyn & Bacon. Heinich, R. Molenda, M. & Russell, J.D. 1982. Instructional media: and the new technologies of instruction. John Wiley & Sons, Inc. Light, G. and Cox, R. 2001. Learning & teaching in higher education. London: Paul Chapman Publishing. Marzano, R. J., 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria: ASCD Paul Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Reigeluth, C.M. 1983. Instructional design: what is it and why is it? Dalam C.M. Reigeluth (ed) Instructional design theories and models: an overview of their current status. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates. 297 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Seels, B.B. & Richey, R.C. 1994. Instructional technology: the definition and domains of the field. AECT. Supratiknya, A. 1995a. Tahap-tahap perkembangan kepercayaan menurut James. W. Fowler: sebuah gagasan baru dalam psikologi agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Supratiknya, A. 1995b. Teori perkembangan kepercayaan, karya-karya penting James W. Fowler. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tim PKP, 2004. Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti P2TK & KPT 298 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta INOVASI MEDIA PEMBELAJARAN SAIN TEKNOLOGI DI SMP BERBASIS MIKROKONTROLER Umi Rochayati, Sri Waluyanti, Djoko Santoso, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan proses pembelajaran, salah satunya adalah dengan pengembangan media pembelajaran. Mata pelajaran Muatan Lokal Ketrampilan Elektronika di SMP merupakan mata pelajaran yang memberikan ketrampilan kepada siswa tentang terapan sain teknologi. Untuk meningkatkan mutu proses pembelajarannya diperlukan suatu media pembelajaran dengan sentuhan inovasi agar siswa dapat lebih tertarik, lebih berkreasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kreatifitas mereka. Penelitian ini bertujuan menghasilkan inovasi media pembelajaran sain teknologi di SMP berbasis mikrokontroler yang memenuhi kriteria sebagai media pembelajaran sain teknologi di SMP. Pelaksanaan penelitian dimulai dari mengidentifikasi kebutuhan ,merancang sistem yang akan dibuat, implementasi sistem, serta uji produk dalam skala laboratorium dan uji validitas. Metode penelitian yang digunakan metode Research and Development , dimana untuk setiap tahapan dari sub sistem akan diuji coba dan di evaluasi sampai dihasilkan produk yang sesuai dengan rancangan. Penelitian telah berhasil mewujudkan media pembelajaran sain teknologi di SMP berbasis mikrokontroler yang dapat digunakan peserta didik untuk belajar tentang teknologi yang ada dilingkungan sekitar yang berhubungan dengan sensor suhu, sensor cahaya, sensor gas, level air , photo diode dan inframerah. Perangkat keras (hardware) media pembelajaran dibuat dengan pengendali utama mikrokontroler AT89S51. Dilengkapi dengan 5 buah input yaitu sensor suhu, sensor cahaya, pasangan infra merah dan photodioda, sensor gas, sensor air serta 5 buah output yaitu seven segment, motor dc, buzzer, fan dan indikator lampu. Hasil unjuk sistem secara keseluruhan sudah sesuai dengan spesifikasi rancangan. Berdasarkan uji validitas dari ahli materi diperoleh persentase sebesar 77,08% dan dari ahli media sebesar 83,82% sehingga media dinyatakan layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran sain teknologi di SMP. Kata Kunci : Inovasi, Media Pembelajaran, Mikrokontroler Pendahuluan Tuntutan akan kualitas pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai tingkat lanjut senantiasa selalu menjadi suatu keharusan yang harus ditingkatkan. Oleh karena itu berbagai cara akan terus dilakukan dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran. Salah satu hal mendasar yang sedang dan akan terus dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah dengan melakukan perbaikan strategi pembelajaran dan penyediaan media pembelajaran yang efektif. Materi belajar bidang sain merupakan salah satu materi ajar yang ada di SMP, dengan materi ini diharapkan siswa SMP mempunyai gambaran yang jelas bagaimana suatu teknologi dapat diterapkan dilingkungan sekitarnya. Semua aplikasi teknologi terapan tersebut akan lebih jelas dipelajari dan diamati apabila ada suatu media pembelajaran yang inovativ yang dapat mensimulasikan fungsi dari masing-masing teknologi terapan tersebut. Mikrokontroler merupakan salah satu komponen elektronika yang dapat diprogram untuk dapat difungsikan sebagai kontrol kerja dari suatu system. Mikrokontroler ini perlu dilengkapi dengan beberapa sensor untuk masukan dan piranti untuk keluaran. Piranti keluaran ini dapat 299 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta berupa motor DC , display 7-segment ataupun indicator lampu tergantung system yang akan dibuat. Semua komponen-komponen tersebut nantinya dikemas menjadi modul-modul pembelajaran untuk dijadikan media pembelajaran sain. Pada tingkatan SMP, media pembelajaran tersebut ditekankan pada bagaimana system dapat berfungsi dan siswa dapat berkreasi dengan cara melakukannya secara langsung, sehingga akan timbul kreatifitas dan keingintahuan mereka dalam bidang sain teknologi. Penelitian ini bertujuan menghasilkan inovasi media pembelajaran sain teknologi di SMP berbasis mikrokontroler yang memenuhi kriteria sebagai media pembelajaran sain teknologi di SMP. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika Fakultas Teknik UNY dan SMP Muhammadiyah 3 Depok Kabupaten Sleman. Objek Penelitian Objek penelitian berupa inovasi media pembelajaran sain teknologi berbasis mikrokontroler yang tidak lain adalah media pembelajaran simulasi teknologi terapan sebagai gambaran implikasi mikrokontroler dalam kehidupan riil. Alur Penelitian Alur penelitian menggunakan urutan seperti ditunjukkan pada gambar 1 berikut : hasil Identifikasi kebutuhan Disain Implementasi Testing e o Gambar 1. Tata Urutan Perancangan dan Implementasi Sistem Kegiatan penelitian dilakukan dengan langkah-langkah berikut : 1. Melakukan analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi komponen-komponen yang diperlukan untuk menciptakan media pembelajaran 2. Melakukan desain rancangan media pembelajaran yang terdiri dari modul-modul sistem elektronik yang mempunyai fungsi spesifik. 3. Melakukan implementasi desain ke dalam rangkaian nyata. 4. Melakukan pengujian unjuk kerja dari setiap modul. 5. Produk divalidasi oleh validator yang kompeten dibidang media pembelajaran dan mikrokontroller. 6. Memperbaiki produk berdasarkan masukan validator. 7. Produk siap diuji cobakan di sekolah. 300 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Identifikasi kebutuhan Dalam penelitian ini media dirancang untuk pembelajaran Sain di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan tujuan dapat menumbuhkan apresiasi tentang teknologi terapan berbasis mikrokontroler yang diharapkan dapat dikembangkan seiring dengan peningkatan kemampuan bernalarnya. Berdasarkan kajian kurikulum dan masukan dari sekolah, maka dapat diidentifikasi kebutuhan akan teknologi yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang ditampilkan pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Identifikasi terapan teknologi di SMP No 1 Aplikasi Teknologi Kendali lampu otomatis Sensor Sensor cahaya Tampilan/Output Lampu 2 Pengatur suhu ruangan Sensor suhu - Display - Buzzer - Fan 3 4 Pencacah mobil ke area parkir Alarm anti pencuri Sensor cahaya Sensor cahaya Display Buzzer 5 6 Pendeteksi gas Level air otomatis Sensor gas Sensor air Buzzer Saklar Berdasarkan identifikasi terapan teknologi tersebut diatas, maka diperlukan komponenkomponen elektronik sebagai penyusun suatu sistem agar dapat berfungsi dengan benar. Adapun yang diperlukan dalam perancangan Media Pembelajaran Sain Teknologi berbasis Mikrokontroler antara lain : 1. Perlunya sistem pengendali utama yaitu berupa sistem minimum mikrokontroler 2. Perlunya sensor-sensor untuk mendeteksi inputan 3. Perlunya komponen untuk mengubah inputan analog menjadi digital agar dapat diolah oleh mikrokontroler 4. Perlunya rangkaian pembanding, untuk membandingkan antara tegangan referensi dengan tegangan input 5. Perlunya komponen-komponen yang akan menampilkan output. Dari identifikasi kebutuhan di atas diperoleh suatu modul alat yang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. Pengendali utama alat ini menggunakan mikrokontroler AT89S51 sebagai unit pengolah pusat yang digunakan untuk melakukan pemrosesan data input, pengolahan data dan pusat pengendali sistem. 2. Menggunakan IC LM35 sebagai sensor suhu 3. LDR sebagai sensor cahaya 4. Menggunakan photodiode dan infra merah untuk sensor cahaya 5. Menggunakan sensor gas untuk mendeteksi adanya gas 6. Menggunakan anoda sebagai sensor air 7. IC ADC 0804 sebagai IC Analog to Digital Converter 301 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 8. 9. 10. 11. 12. 13. Display seven segment untuk menampilkan output Buzzer sebagai sumber bunyi yang dapat difungsikan sebagai alarm Lampu sebagai indikator Relay dan motor DC sebagai penggerak Switch sebagai pemindah Power supply dengan regulator sebesar +5 Volt dan +12 Volt Pengumpulan data dilakukan dengan melalui dua tahapan yaitu : 1. Pengujian dan Pengamatan Pengujian dan pengamatan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil unjuk kerja dari produk media pembelajaran sain teknologi untuk SMP. Pengujian dilakukan untuk masing-masing blok rangkaian dan pengujian untuk keseluruhan sistem. Pengujian dilakukan di Laboratorium Elektronika Dasar Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Angket Dalam penelitian ini angket digunakan untuk menilai kesesuaian media pembelajaran yang digunakan untuk pembelajaran sain di SMP. Untuk mengetahui kelayakan media pembelajaran maka dilakukan uji validasi. Uji validasi yang digunakan meliputi uji validasi isi (Content Validity) dan validasi konstrak (Construct Validity). Pengujian validasi isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi yang telah diajarkan (Sugiyono, 2006: 182). Uji validasi isi dikonsultasikan dengan ahli materi dalam hal ini adalah guru di sekolah yang sesuai dengan mata pelajaran teknologi sebagai respondennya. Untuk menguji validasi konstrak, dapat digunakan pendapat ahli (judgment experts). Dalam hal ini setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli (Sugiyono, 177: 2006). Aspek yang diukur ditinjau dari desain pada media pembelajaran aplikasi mikrokontroler AT89S51 dan user guide media pembelajaran aplikasi mikrokontroler AT89S51. Sehingga data pengujian berasal dari angket penelitian yang diberikan kepada dosen ahli media pembelajaran Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika sebagai respondennya. Hasil penelitian kemudian diuji dan dianalisis. Analisis Data Media pembelajaran sebelum diuji cobakan disekolah dikonsultasikan terlebih dahulu pada ahli materi dan ahli media pembelajaran untuk divalidasi tingkat kesesuaiannya. Uji Validitas Dalam pengembangan model pengajaran uji validitas dimaksudkan untuk menguji sejauh mana model yang dikembangkan dapat digunakan sebagai salah satu model media pembelajaran, sehingga dapat diketahui tingkat kebenaran dan ketepatan penggunaan media. 302 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Untuk mendapatkan kelayakan media pembelajaran sebelum diujicobakan kepada siswa maka dilakukan validasi. Skala dalam pengukuran kelayakan media ini adalah skala ordinal. Untuk data yang mempunyai skala ordinal dapat digunakan skala Likert, dengan bobot nilai 4,3,2,1 . Selanjutnya data yang bersifat komunikatif diproses dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase (Arikunto, 1996: 245), atau dapat di tulis dengan rumus sebagai berikut : Persentase kelayakan (%) = Skor yang diobservas Skor yang diharapkan i x 100 % Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif yang diungkapkan dalam distribusi skor dan persentase terhadap kategori skala penilaian yang telah ditentukan. Setelah penyajian dalam bentuk persentase, langkah selanjutnya mendeskriptifkan dan mengambil kesimpulan tentang masing-masing indikator. Kesesuaian aspek dalam media pembelajaran menggunakan tabel berikut: Tabel 2. Tabel Skala Persentase Menurut Arikunto (1996: 244) Persentase Pencapaian 76 - 100 % 56 - 75 % 41 - 55 % 0 - 40 % Skala nilai 4 3 2 1 Interprestasi sangat layak layak cukup kurang layak Hasil Penelitian dan Pembahasan Rancangan Perangkat Keras Blok diagram dari media pembelajaran inovativ dapat digambarkan sebagai berikut : LM 35 LDR IC LM358 Infra merah + Photodiode Seven segment IC ADC0804 Mikrokontroler AT89S51 Motor DC Buzzer Sensor Gas Relay Sensor Air Power Supply Gambar 2. Blok Diagram Sistem 303 Lampu Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Rancangan Perangkat Lunak Perancangan perangkat lunak diawali dengan penulisan algoritma. Berdasarkan algoritma tersebut dibuatlah flowchart dan terakhir diimplementasikan dengan bahasa pemrograman. Berikut algoritma dan flowchart dari program utama : a. Algoritma Step 1 : Start. Step 2 : Inisialisasi port dan alamat. Step 3 : Matikan semua output. Step 4 : Isi variabel hasil dengan ’0’. Step 5 : isi variabel jumlah dengan ’0’. Step 6 : Jika saklar 1=1 lompat ke step 9, jika tidak lanjut ke step 7. Step 7 : Panggil sub routin fungsi ADC. Step 8 : Kembali ke start. Step 9 : Jika saklar 2=1 lompat ke step 12, jika tidak lanjut ke step 10. Step 10 : Panggil sub routin fungsi LDR_IR. Step 11 : Kembali ke start. Step 12 : Jika saklar 3=1 lompat ke step 14, jika tidak lanjut ke step 13. Step 13 : Panggil sub routin fungsi IR Step 14 : Stop. b. Flowchart program utama Start Deklarasi Pin IC Deklarasi Variabel Matikan Output Variabel hasil ← 0 Variabel jumlah ← 0 ya Saklar 1=0 Fungsi ADC tidak Saklar 2=0 ya Fungsi LDR_IR tidak Saklar 3=0 Fungsi IR ya tidak Stop Gambar 4. Flowchart Program Utama 304 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Uji unjuk kerja Pengujian unjuk kerja dilakukan dengan cara melihat unjuk kerja alat secara keseluruhan. Rangkaian sensor suhu dapat mendeteksi suhu 100C sampai 600C saat suhu terdeteksi sebesar 350C maka motor DC, buzzer dan lampu akan aktif. Rangkaian sensor cahaya dengan menggunakan LDR dapat bekerja dengan intensitas cahaya tertentu yang bisa datur kepekaannya untuk dapat menghidupkan dan mematikan lampu, agar LDR benar-benar tidak terkena sinar saat tertutup maka harus di desain penutupnya yang bebar-benar rapat. Pasangan IR-ptodioda difungsikan menjadi 2 aplikasi yaitu aplikasi sebagai counter yang dapat menghitung sebanyak 255 cacahan dan aplikasi sebagai detector pencuri. Pengujian Validitas dan Kelayakan Sebagai validator dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran ketrampilan elektronika di SMP Muhammadiyah 3 Depok Sleman selaku ahli materi, sedangkan sebagai ahli media dari dosen di jurusan pendidikan teknik elektronika FT UNY. Persentase data penilaian ahli media pembelajaran disajikan pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Pengujian Ahli Media Pembelajaran No 1 2 3 Aspek Desain Media Pembelajaran Teknis Kemanfaatan Total Skor yang diobservasi 23 20 14 57 Skor yang diharapkan 28 24 16 68 Persentase (%) 82,14% 83,33% 87,5 % 83,82% Data penilaian ahli media dosen Pendidikan Teknik Elektronika FT ditinjau dari aspek (1) Disain mendapatkan persentase sebesar 82,14 % , (2) Teknis mendapat prosentase sebesar 83,33% ,dan (3) kemanfaatan materi mendapatkan persentase sebesar 87,5 %. Secara keseluruhan tingkat validasi media pembelajaran simulator aplikasi mikrokontroler AT89S51 dari penilaian ahli media memperoleh persentase sebesar 83,82 %. Maka media pembelajaran dinyatakan dapat digunakan. Persentase data penilaian ahli materi disajikan pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Pengujian Ahli Materi No 1 2 Aspek Kualitas Materi Kemanfaatan Total Skor yang diobservasi 23 14 37 305 Skor yang diharapkan 32 16 48 Persentase (%) 71,88% 87,5% 77,08% Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Data penilaian ahli materi dari Guru SMP Muhammadiyah 3 Depok ditinjau dari aspek (1) kualitas materi mendapatkan persentase sebesar 71,88 % dan (2) kemanfaatan materi mendapatkan persentase sebesar 87,5%. Secara keseluruhan tingkat validasi media pembelajaran dari penilaian ahli materi memperoleh persentase sebesar 77,08 %. Maka media pembelajaran dinyatakan dapat digunakan. Pembahasan Dari pengujian secara hardware dan software diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap bagian dari alat dapat berfungsi dengan baik. Terdapat sedikit perbedaan antara pengujian di setiap bagian alat dengan yang ada di datasheet. Perbedaan tidak mempengaruhi kinerja secara keseluruhan. Ketidak cocokan data pengujian dengan datasheet dikarenakan ada beberapa sebab, diantaranya adalah perbedaan toleransi alat ukur, perbedaan toleransi komponen, dan kesalahan saat pembacaan alat ukur. Dari pengujian Validitas didapatkan masukan-masukan dari sekolah yaitu (1) bentuk saklar program dan jumper terlalu kecil, (2) sebaiknya masing-masing aplikasi diwakili 1 saklar program dan (3) dilakukan cek masing-masing aplikasi. Sedangkan masukan dari ahli media yaitu (1) pemberian nama pada media pembelajaran, (2) pemberian penjelasan tentang mikrokontroler sesuai dengan tingkat berfikir dan pengetahuan siswa SMP. Secara keseluruhan tingkat validasi media pembelajaran dari penilaian ahli media memperoleh persentase sebesar 83,82 %. Maka media pembelajaran simulator aplikasi mikrokontroler AT89S51 dinyatakan dapat digunakan. Secara keseluruhan tingkat validasi media pembelajaran dari penilaian ahli materi memperoleh persentase sebesar 77,08 %. Maka media pembelajaran sain teknologi berbasis mikrokontroler dinyatakan dapat digunakan. Masukanmasukan dari ahli media dan ahli materi dipergunakan sebagai langkah perbaikan pada pengembangan media pembelajaran ini. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Kebutuhan yang diperlukan untuk menciptakan suatu inovasi media pembelajaran sain teknologi di SMP yaitu meliputi aplikasi-aplikasi teknologi yang ada disekitar siswa yang dapat diamati. Berdasarkan kajian dapat diidentifikasi antara lain (1) kendali lampu otomatis, (2) pengatur suhu ruangan, (3) pencacah mobil ke area parkir, (4) alarm anti pencuri, (5) pendeteksi gas, (6) level air otomatis. 2. Berdasarkan identifikasi terapan teknologi tersebut diatas, maka diperlukan komponenkomponen elektronik sebagai penyusun suatu sistem agar dapat berfungsi dengan benar. Adapun yang diperlukan dalam perancangan Media Pembelajaran Sain Teknologi berbasis 306 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mikrokontroler antara lain : (1) sistem pengendali utama yaitu berupa sistem minimum mikrokontroler AT89S51, (2) Perlunya sensor-sensor untuk mendeteksi inputan yaitu sensor suhu, sensor cahaya, sensor gas dan sensor air, (3) Perlunya komponen untuk mengubah inputan analog menjadi digital agar dapat diolah oleh mikrokontroler , (4) Perlunya komponen-komponen yang akan menampilkan output yaitu seven segment, buzzer, lampu, motor DC. 3. Perancangan simulator sebagai media pembelajaran sain teknologi yang meliputi rancangan hardware dan software sudah berfungsi dengan baik sesuai dengan rancangan. 4. Berdasarkan uji validasi untuk aspek materi dan media dinyatakan simulator terapan teknologi berbasis mikrokontroler layak dan dapat digunakan sebagai media pembelajaran sain teknologi di SMP berbasis mikrokontroler. Penilaian ahli media memperoleh persentase sebesar 83,82 % dan penilaian dari ahli materi memperoleh persentase sebesar 77,08 %. Maka media pembelajaran sain teknologi berbasis mikrokontroler dinyatakan dapat digunakan. Saran 1. Media pembelajaran yang telah dirancang ini dapat diperluas fungsinya dengan menambah berbagai macam variasi input dan output. 2. Masing-masing blok dari rangkaian sebaiknya dibuat terpisah, agar siswa lebih mudah untuk berkreasi dengan cara menghubungkan masing-masing terminal dengan jumper untuk menciptakan kreasi-kreasi mereka. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2005). Analog to Digital Converter (ADC). www.national.com Arief S. Sadiman,dkk. (2003). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta : Rineka Cipta Atmel. 2005 : 8-bit Microcontroller with 4K Bytes In-System Programmable Flash AT89S51. www.atmel.com/literature Azhar`Arsyad, (2003), Media Pengajaran, Jakarta : Raja Grafindo Persada Eko Putra, Agfianto. 2004. Belajar Mikrokontroler. Yogyakarta: Gava Media. Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika. 2003. Pedoman Proyek Akhir. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta. Miftah Yulianto, (2009), Mikrokontroler At89s51 Sebagai Media Pembelajaran Mikrokontroler, Laporan Proyek Akhir, Universitas Negeri Yogyakarta Simulator Aplikasi Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, (1991), Media Pengajaran, Bandung: Sinar baru Algesindo National Semiconductor. 1994. LM35/LM35A/LM35C/LM35CA/LM35D Temperature Sensors. www.national.com 307 Precision Centigrade Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Purwo Nugroho, (2006), Pengembangan Kurikulum Elektronika, Yogya Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta Tan Say Hong dan Fong Chiew Min, 2002. Using Micocontroller PIC 16F877 For Teaching Mechatronics Modules. http://edit.ite.edu.sg/ite.conf/teaching/tc02ts11. ---------. (2000) LM 78XX, http://www.alldatasheet.com --------- http:// tutorial-elektronika --------- http://www.sayelectric.com --------- http:// electroshematic.com 308 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGINTEGRASIAN ASPEK MULTIKULTUR DALAM BUKU TEKS BAHASA INGGRIS Sugirin, Siti Sudartini, Suciati, Lusi Nurhayati Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: sugirin@uny.ac.id Abstrak Tahap pertama dari penelitian dua tahun ini bertujuan mendeskripsikan aspek-aspek budaya apa saja yang terkandung di dalam buku-buku teks pelajaran bahasa Inggris yang digunakan di beberapa sekolah di Provinsi DIY dan bagaimana pola insersi unsur budaya dilakukan. Data penelitian diperoleh melalui diskusi (FGD) dengan 20 orang guru dari 5 kabupaten/kota di DIY dan dari 7 buku teks pelajaran Bahasa Inggris yang digunakan para guru tersebut. Data FGD dianalisis dengan analisis data kualitatif, sementara buku dicermati dengan model analisis konten. Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) para guru telah memasukkan unsur budaya di dalam pembelajaran, mengikuti pola insersi eksplisit dan implicit, seperti yang ada dalam buku teks; (2) unsur budaya di dalam buku teks meliputi aspek knowledge, behavior, dan artifact; (3) ditemukan 409 unsur budaya Barat dan 739 unsur budaya Indonesia, namun belum disertai penjelasan yang cukup untuk menghindari kekacauan dan salah paham. Kata kunci: aspek budaya, buku teks pelajaran bahasa Inggris, pengintegrasian budaya Pendahuluan Karena bahasa selalu lekat dengan budaya penggunanya (Colson, 2008; Dobrovol’skij & Piirainen, 2006; Williams, 2010), pembelajaran bahasa tidak mungkin terpisahkan dari pengenalan budayanya. Hanya melalui pengenalan dan pengembangan pemahaman budaya bahasa target pebelajar bahasa akan dapat melakukan fungsinya dengan baik dalam bahasa yang sedang dipelajari. Kondisi semacam ini sering menimbulkan masalah yang pelik bagi guru bahasa Inggris di Indonesia. Di satu sisi mereka berkewajiban mempertahankan dan mengembangkan pemahaman dan penguasaan budaya lokal, nilai-nilai lokal, dan identitas nasional, di sisi lain mereka harus mengembangkan pemahaman budaya penutur asli bahasa Inggris agar mereka memiliki pemahaman bahasa Inggris secara menyeluruh. Williams (2010) lebih lanjut menyatakan bahwa sementara bahasa dan budaya saling terkait, bahasa bukan sekedar kata-kata penyampai makna, karena semua budaya memiliki unsur bias, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan tradisi yang tidak terpisahkan dari bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi. Di samping itu, Indonesia yang terdiri lebih dari 13000 pulau memiliki beratusratus kelompok etnis dan beratus-ratus budaya yang berbeda. Kiranya tidak mungkin menemukan kota, kabupaten, atau kecamatan dengan budaya tunggal. Semua kawasan ini mewadahi dan mempraktikkan multikultur. Implikasinya, agar pembelajaran bahasa Inggris berhasil, guru bahasa Inggris tidak cukup hanya memahami satu budaya tetapi harus memiliki pemahaman yang baik tentang multikultur yang merupakan bagian dari masyarakat bangsa Indonesia dan juga budaya 309 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta masyarakat penutur bahasa Inggris. Dengan kata lain, guru bahasa Inggris harus memahami dan dapat menerapkan pendidikan multikultur. Konsep Pendidikan Multikultur Sinagatullin (2003: 83) mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai ‘an idea stating that all students, regardless of their gender, ethnicity, race, culture, social class, religion, or exceptionality, should have an equal opportunity to learn at school.’ Sinagatullin (2003: 114) memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa salah satu tujuan pendidikan multikultur adalah ‘to help students acquire attitudes, knowledge, and skills needed to successfully function within their own microculture, mainstream culture, and the global community’. Definisi ini mirip dengan konsep pendidikan nasional, yakni pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, budaya nasional Indonesia, yang tanggap terhadap tuntutan zaman (Pasal 1 Ayat 2 UU Sisdiknas tahun 2003). Pendidikan yang berbasis multikultur ini merupakan sarana untuk meningkatkan kesadaran atau kepekaan budaya dalam praktik pembelajaran bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tanaka (2006: 37) menegaskan bahwa konsep ‘cultural awareness’ - pemahaman terhadap keragaman budaya – perlu ditekankan sebagai bagian penting dari pembelajaran bahasa Inggris. Prinsip utama pendidikan berbasis multikultur adalah hadirnya perbedaan budaya, yang juga menjadi permasalahan mendasar dalam pembelajaran bahasa asing. Brown (melalui Richards & Renandya, 2002: 13) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa juga sekaligus pembelajaran sistem yang kompleks tentang tradisi kebudayaan, nilai, cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Oleh karena itu tidak mungkin menerapkan konsep pendidikan multikultur secara efektif tanpa melibatkan semua komponen yang terkait dengan proses pembelajaran, termasuk kurikulum, guru, siswa, dan aspek lain seperti metode dan materi pembelajaran. Karena buku teks biasanya masih dianggap sebagai sumber utama materi pembelajaran, buku teks berperan penting dalam penyebaran budaya atau unsur-unsur budaya melalui proses pembelajaran. Tiwari (2008) juga menganggap buku teks sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran, membantu guru dalam mempersiapkan pembelajaran, dalam menyiapkan tugastugas, dalam pengelolaan kelas, dalam membimbing belajar siswa baik di sekolah maupun di rumah. Sementara itu Richards & Schmidt (2002: 339) menyatakan bahwa penggunaan modul memungkinkan pengorganisasian pelajaran yang luwes dan memberikan kepada siswa rasa mencapai atau memperoleh sesuatu karena tujuan pembelajaran menjadi lebih langsung tampak dan lebih khusus. Begitu pula Kaiser (2005: 223) menganggap buku teks digunakan secara peaktis sebagai ‘a didactic instrument’ (instrumen pembelajaran) pada lembaga-lembaga pendidikan. Menurut Tiwari (2008), pada prinsipnya buku teks adalah buku yang ditulis untuk guru dan siswa di kelas atau di sekolah, yang menyajikan serangkaian bahan pembelajaran dalam satu mata pelajaran atau mata pelajaran-mata pelajaran yang berhubungan erat. Buku teks dapat berupa bahan cetak untuk dibaca siswa atau bahan cetak dan tugas yang harus dilakukan siswa. Sementara itu Pusat Perbukuan Balitbang Depdiknas (2006: 1) menyatakan buku teks adalah (1) buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya, (2) dijadikan pegangan siswa pada jenjang tertentu sebagai media pembelajaran (instruksional) pada bidang studi tertentu. 310 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sejalan dengan fungsinya sebagai pegangan (Richards & Schmidt, 2002: 550), Choudhury (1998: 154) menegaskan bahwa buku teks juga merupakan pengikat semua proses pembelajaran yang menjadikannya sebagai sistem yang memungkinkan dilakukakan pemeriksaan apakah ada unsur yang terlewatkan atau mungkin terjadi pengulangan yang tidak perlu. Hal ini menguatkan salah satu syarat bagi buku teks yang baik, yakni kelengkapan isi berdasarkan standar kompetensi seperti yang ditunjukkan oleh kompetensi dasar yang tercakup dalam buku teks tersebut (BSNP, 2007-2011). Pedoman Penulisan Buku Teks Pelajaran (BSNP, 2007-2011) secara eksplisit menyebutkan Butir ke-8 dari 14 butir persyaratan bagi Kelayakan Isi buku teks adalah pengembangan wawasan kebinekaan. Buku teks pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia harus mencerminkan penghargaan dan penghormatan terhadap multikultur dan kemajemukan masyarakat, yang meliputi berbagai nilai budaya dan kearifan lokal, nasional dan global. Terkait dengan keprihatinan atas kemungkinan erosi komitmen kepada budaya lokal seperti disebutkan sebelumnya, perhatian khusus harus diberikan kepada pemahaman para siswa terhadap budaya lokal. Konsep Bahasa dan Budaya Lokal Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahasa tidak mungkin terlepas dari budaya (Colson, 2008; Dobrovol’skij & Piirainen, 2006; Williams, 2010). Foley (2001: 19) menyatakan bahwa bahasa sering diperlakukan secara teoretis sebagai sub-sistem budaya dalam antropologi kognitif tetapi dalam praktiknya, struktur bahasa seperti yang diungkap oleh linguistik modern secara umum berfungsi sebagai paradigma untuk menganalisis aspek-aspek lain dalam budaya. Sementara itu, Linton (melalui Mesthrie, dkk., 2009: 28) mendefinisikan budaya sebagai ‘the way of life of its members; the collection of ideas and habits which they learn, share and transmit from generation to generation.’ Ini berarti bahwa budaya juga berfungsi sebagai ‘design for living’ (yang memberi arti kepada cara dan bentuk kebiasaan yang dianggap pantas dan berterima di dalam suatu kelompok masyarakat), sementara bahasa ditafsirkan sebagai ‘a cultural activity and, at the same time, an instrument for organizing other cultural domains’ (Sharifian & Palmer, 2007: 1). Dalam konteks ini, Taylor (melalui Peoples & Bailey, 2009: 22) mendefinisikan budaya sebagai ‘a complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society’ (keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh seseorang selaku warga masyarakat). Dengan kata lain, pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan semua kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakatnya, merupakan komponen kebudayaan. Peoples & Bailey (2009) menyimpulkan bahwa budaya dipelajari, ditularkan, dan dimiliki bersama. Budaya membuat seseorang menjadi lengkap dan sekaligus menyebabkan suatu perbedaan pada tingkat kelompok. Dari sinilah budaya membedakan satu kelompok masyarakat dari kelompok-kelompok lainnya. Selain mencakup sistem keagaamaan dan upacara-upacara tradisional, sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, seni, sistem ekonomi dan mata pencaharian, dan sistem sarana dan teknologi, bahasa merupakan komponen budaya yang mencerminkan budaya masyarakat, yang membedakannya dari masyarakat yang lain. Ketujuh unsur ini selalu akan 311 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ditemukan di dalam setiap masyarakat dengan berbagai variasinya (Koentjaraningrat, 1996, dalam Simanjuntak, 2011). Perbedaan budaya merupakan permasalahan utama di dalam pendidikan lintas budaya. Grant & Lei (2001: 10-11) menyebutkan empat komponen utama pendidikan yang perlu mempertimbangkan perbedaan bahasa dan budaya masyarakat, yakni: (1) dukungan subjektif dan objektif terhadap identitas siswa minoritas dari aspek bahasa dan sosial budaya; (2) penyusunan isi kurikulum yang menyiratkan dan mencerminkan nilai positif pluralitas budaya dan bahasa; (3) pembinaan keterampilan berkomunikasi yang berorientasi tindakan; dan (4) penerimaan kebinekaan sosial budaya dan pluralitas gagasan sebagai tantangan bagi demokrasi. Kebanyakan guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terlatih menyadari sepenuhnya bahwa pembelajaran bahasa Inggris tidak dapat dilakanakan secara efektif tanpa pemahaman budaya masyarakat penutur aslinya. Sebagai konsekuensinya, guru bahasa Inggris dituntut bukan sekedar mengajar bahasa melainkan juga harus memberikan konteks budaya di mana bahasa itu digunakan. Dengan demikian pebelajar bahasa Inggris juga harus belajar budaya penutur asli bahasa Inggris, karena untuk dapat berkomunikasi secara efektif dalam bahasa Inggris pembicara bahasa Inggris harus memiliki kompetensi bahasa Inggris dan sekaligus budaya penutur asli bahasa Inggris. Sementara itu UU RI tahun 2003 tentang Sisdiknas menuntut tanggung jawab guru untuk mempertahankan budaya nasional Indonesia, yang berakar pada nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Apabila guru tidak menyadari hal ini dari awal, belajar dan penguasaan budaya asing atau budaya bahasa yang dipelajari akan menyebabkan lunturnya pemahaman budaya mereka sendiri. Apabila proses semacam ini terus berlangsung tanpa adanya langkah-langkah yang secara sengaja diupayakan untuk mempertahankan budaya lokal, pembelajaran bahasa Inggris akan mengakibatkan perubahan tingkah laku sebagai akibat penghayatan nilai-nilai budaya yang telah mereka pelajari, yang pada gilirannya akan melunturkan dan bahkan menghapuskan pemahaman mereka terhadap budaya lokal yang sangat berharga dan dihargai. Proses yang terus-menerus semacam itu akan merusak keberlanjutan budaya lokal. Oleh karena itu, pemahaman budaya lokal dan kepekaan terhadap isi budaya asing diperlukan di dalam konteks pembelajaran bahasa asing, terutama pembelajaran bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa asing yang diajarkan dari TK sampai perguruan tinggi. Kenyataan ini menuntut pengenalan dan pemahaman yang lebih awal tentang budaya lokal. Istilah ‘budaya lokal’ sering dihubungkan dengan istilah ‘tradisi’ yang secara tekstual berarti ‘adat-istiadat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya yang masih terus dipraktikkan di masyarakat, berdasarkan penilaian dan pertimbangan bahwa praktik yang berlaku merupakan yang terbaik’ (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 1208). Walaupun Linton (dalam Mesthrie, dkk., 2009: 28) hanya menggunakan istilah ‘culture’ namun definisi yang diberikan ‘cara hidup anggota/warga masyarakatnya, kumpulan gagasan dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, yang mereka miliki dan mereka wariskan dari generasi ke generasi’ sama-sama mengandung makna ‘tradisi’ sebagaimana budaya lokal. Dari istilah ‘tradisi’ ini muncul istilah ‘tradisional’ yang memiliki makna serupa, yakni ‘sikap atau cara berpikir dan bertingkah laku atau bertindak secara konsisten mengikuti norma-norma atau 312 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta adat-istiadat yang dipelajari dan menjadi milik bersama dari generasi ke generasi.’ Dengan demikian makna konsep tradisi terkait erat dengan makna konsep dan area lokalitas/kelokalan. Konsep kelokalan yang dianggap merupakan praktik/kebiasaan terbaik pada saat ini adalah apa yang disebut oleh Wales (Nyoman Sri Subawa, 2008: 351) sebagai ‘local genius.’ Geriya (2003: 2 dalam Nyoman Sri Subawa, 2008: 351) menganggap ‘local genius’ sebagai bagian ‘local wisdom’ (kearifan lokal) yang telah dipilih, diuji coba, dan unggul dalam kualitas, baik secara lokal maupun global, sehingga ia memainkan peran penting bukan saja pada pembentukan identitas dan kebanggaan tetapi juga dalam pengembangan kompetensi dan potensi untuk dapat bersaing lintas kawasan geografis dan budaya. Anderson (2002: 6) menyebut ‘local genius’ ini sebagai ‘cultural artefacts of a particular kind’ (benda budaya dari jenis khusus). Ini menunjukkan bahwa istilah ‘local genius’ juga mengacu kepada objek yang tampak/kasat mata. Dalam dunia medis, ‘local genius’ juga berarti penggunaan potensi lokal seperti kekayaan flora sebagai obat, yakni obat herbal. Inilah ciri khas pada masing-nasing budaya yang oleh Wales (Nyoman Sri Subawa, 2008: 351) disebut ‘local genius.’ Sementara itu, wilayah tempat ‘local genius’ berada adalah seluas pemberian makna budaya manusia itu sendiri yang, secara substantive, seperti yang diusulkan oleh antropolog Honingmann (dalam Koentjaraningrat, 1990:186-187), meliputi tiga aspek utama, yakni ideas, activities, dan artifacts. Koentjaraningrat (2005, dalam Bhaswara, 2008) lebih lanjut mengklasifikasikan aspek budaya menjadi empat bentuk: (1) ideological values (nilai ideologis), (2) system of ideas (sistem ide/gagasan), (3) system of behaviors and patterned actions (sistem tingkah laku dan tindakan yang terpolakan), dan (4) physical objects (artifact atau objek fisik). Hubungan antara kategori aspek budaya Honingmann dan Koentjaraningrat dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Concentric Frame of Culture (Koentjaraningrat 2005, dalam Bhaswara, 2008) Koentjaraningrat (2005) mengelompokkan ranah budaya tentang ide menjadi dua kategori terpisah, yakni sistem budaya dan nilai budaya. Namun dua kategori ini bersifat abstrak. Kategorisasi 313 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Honningmann dan Kuncaraningrat sebenarnya keduanya mengacu kepada tiga aspek inti: (1) ideas, (2) activities/behaviors, dan (3) artifacts (physical objects). Demi tujuan kepraktisan, makalah ini mengadaptasi tiga aspek ini dan menggunakan representasi budaya dengan tiga bentuk dan menyebutnya: knowledge, behaviors, dan artifacts. Metode Penelitian Makalah ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dari penelitian yang berjudul “Pemgembangan Buku Ajar Bahasa Inggris SMP Berbasis Multikultural sebagai Upaya Pemertahanan Budaya Lokal.” Penelitian ini sendiri merupakan tahap awal (analisis kebutuhan) dari penelitian pengembangan (R & D) yang lebih panjang. Tujuan penelitian tahap pertama ini adalah: (1) mendeskripsikan kesadaran guru untuk memasukkan unsur budaya di dalam proses pembelajaran, (2) mengidentifikasikan aspek-aspek budaya apa saja yang telah dimasukkan ke dalam buku-buku teks bahasa Inggris yang pada saat ini digunakan oleh guru-guru bahasa Inggris SMP di DIY, dan (3) mengidentifikasikan pola-pola insersi aspek-aspek budaya di dalam buku-buku teks bahasa Inggris yang digunakan. Untuk mencapai tujuan pertama, peneliti menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh 20 guru bahasa Inggris yang mewakili SMP negeri dan swasta dari empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul) dan Kota Yogyakarta, Provinsi DIY. Selain itu hadir pula 10 mahasiswa Program Pascasarjana UNY Prodi Linguistik Terapan (LT). Sebelum FGD dilaksanakan, para peserta diminta mengisi kuis tentang buku-buku bahasa Inggris yang pada saat ini digunakan di sekolah mereka masing-masing. Selanjutnya, FGD dipusatkan pada kesadaran peserta tentang adanya insersi budaya di dalam buku-buku teks bahasa Inggris dan apa saja yang telah mereka lakukan untuk memasukkan aspek budaya dalam proses pembelajaran yang telah mereka lakukan. Wawancara juga dilakukan terhadap guru-guru bahasa Inggris di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman untuk mengetahui aspek-aspek budaya apa saja yang mereka harapkan dapat dimasukkan ke dalam buku teks pelajaran bahasa Inggris atau di dalam proses pembelajarannya. Untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga, data dikumpulkan dengan menelusuri aspek-aspek budaya dan pola insersinya, baik yang berupa ide, tingkah laku, maupun objek fisik yang mewakili aspek budaya, baik budaya lokal Indonesia maupun budaya Barat yang ada pada 7 buku teks bahasa Inggris yang paling banyak digunakan di SMP di DIY. Data dari FGD dan wawancara yang berupa pendapat guru tentang insersi budaya dalam buku teks dan dalam proses pembelajaran dianalisis menggunakan model analisis data kualitatif Miles & Hubermann (1994) yang terdiri dari data reduction, data presentation, dan inference making. Berdasarkan jawaban pada kuis, buku-buku teks bahasa Inggris yang digunakan oleh sebagian besar sekolah yang diwakili oleh peserta FGD dipilih. Selanjutnya tujuh buku terpilih dicermati untuk menemukan unsur-unsur budaya yang terkandung di dalamnya dengan 314 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menggunakan content analysis (Krippendorff, 2004). Unsur-unsur budaya ini kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategorisasi aspek budaya yang disebutkan sebelumnya, yakni aspekaspek knowledge, behavior, dan artifact. Setelah diklasifikasikan, data dianalisis lebih lanjut untuk melihat dimensi-dimensi lain dari unsur budaya, seperti asal-usul, proporsi, media yang digunakan, kejelasan pesan, dan penafsiran serta salah tafsir yang mungkin terjadi. Dalam kajian ini validitas data diperoleh melalui (1) sumber data, yakni buku-buku teks yang dipilih memang buku-buku teks yang benar-benar digunakan oleh para guru yang berpartisipasi dalam penelitian ini, sementara para guru peserta memang benar-benar mewakili lima kabupaten/kota di DIY, dan (2) proses pengumpulan data dilakukan secara cermat (yakni dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan selama FGD, dalam mencermati buku-buku teks untuk menyusun daftar dan menganalisis unsur-unsur budaya). Reliabilitas data diperoleh melalui (1) triangulasi sumber (data tulisan/buku teks, lisan/informasi guru, dan data audiovisual; (2) triangulasi metode (kuis, FGD, dokumentasi); dan (3) diskusi antar-peneliti (keempat peneliti semua menganalisis 7 buku dan kemudian membandingkan dan mendiskusikan hasil pencermatannya untuk merumuskan temuannya. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil FGD menunjukkan bahwa, dalam proses pembelajaran, para guru bahasa Inggris di DIY yang berpartisipasi dalam penelitian ini mengajarkan bahasa dan juga budayanya. Aspek-aspek budaya yang diajarkan meliputi budaya Barat dan budaya Indonesia, yang biasanya didasarkan pada unsur-unsur budaya dan cara insersinya yang terkandung dalam buku teks yang mereka gunakan. Setelah mencermati buku-buku teks yang digunakan oleh sebagian besar guru-guru ini, gambaran secara umum dapat diperoleh tentang aspek-aspek budaya yang terkandung dalam buku, cara-cara insersi budaya, dan media yang digunakan. Unsur budaya yang ditemukan terkait dengan gender, ethnicity, dan race. Aspek gender ditunjukkan dengan penggunaan model sebagai ilustrasi atau penggunaan nama-nama orang di dalam teks bacaan yang mewakili kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Aspek race dan ethnicity ditunjukkan, misalnya, dengan penggunaan: (1) nama-nama yang bervariasi yang mengacu pada nama dari kelompok etnis yang berbeda-beda, baik dari kebangsaan yang sama atau berbeda, seperti misalnya orang-orang dari Indonesia, India, Jepang, Jerman, USA, dsb. (Butet, Made, Hans, Alice, dsb.); dan (2) berbagai teks dan gambar yang terkait dengan makanan khusus yang negeri asalnya berbeda-beda (pasta, pizza, nasi goreng, dsb.). Telah disebutkan sebelumnya bahwa aspek-aspek budaya yang dimasukkan ke dalam buku teks secara umum dapat diklasifikasikan menjadi knowledge, behavior, dan artifact. Terkait dengan cara insersi budaya dilakukan, di sebagian besar bagian buku penulis cenderung memasukkan aspekaspek budaya secara tersirat (implisit), yakni dengan mengintegrasikannya di dalam materi 315 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kebahasaan. Pada beberapa bagian lainnya, insersi budaya dilakukan secara eksplisit dengan menampilkan aspek budaya sebagai topik bacaan atau sebagai bagian dari satuan materi kebahasaan dengan catatan kebudayaan terkait dengan aspek budaya yang dimasukkan/disisipkan. Media yang paling sering digunakan oleh para penulis adalah gambar dan tulisan. Ketujuh buku teks bahasa Inggris SMP yang paling banyak digunakan di Provinsi DIY adalah: (1) Real Time: An Intreractive English Course for Junior High School Students Year VII (Bates, N., 2007); (2) English on Sky1 for Junior High School Year VII (Mukarto, et al., 2007); (3) The Bridge to English Competence for SMP Grade VII (Kistono, et al., 2006); (4) Interactive English Junior High School Grade VII (Iragilia S, et al., 2009); (5) English in Focus1 for Grade VII Junior High School (Wardiman, A., Jahur, M.B., and Djusma, M.S., 2008); (6) Passport to the World I (Djatmika, Priyanto A.G, and Dewi I.K., 2009); dan (7) Scaffolding: English for Junior High School Students Grade VII (Joko Priyana, Riandi and Anita Mumpuni. (2008). Tabel berikut menunjukkan angka-angka tentang aspek-aspek budaya yang dimasukkan ke dalam ketujuh buku teks tersebut di atas. Tabel 1. Insersi tentang Aspek-aspek Budaya Barat Judul buku Real Time … English on Sky … The Bridge to English Competence … Interactive English … English in Focus … Passport to the World … Scaffolding Bentuk insersi Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Total = 409 Knowl 2 4 0 2 11 56 2 5 7 5 0 11 0 3 108 Aspek budaya Behav 12 17 10 27 21 6 24 24 2 0 1 0 20 1 165 Artifact 10 12 4 19 32 23 21 13 0 0 0 0 2 0 136 Tampak dari Tabel 1 bahwa jumlah unsur yang mewakili aspek budaya Barat terdistribusikan secara hampir seimbang, yakni knowledge, behavior, dan artifacts diwakili masing-masing oleh 108, 165, dan 136 unsur. The Bridge to English Competence for SMP Grade VII tampak mendominasi jumlah unsur budaya yang dimasukkan (149 atau 36,4% dari 409 unsur budaya yang ada). 316 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Insersi tentang Aspek Budaya Indonesia Judul buku Real Time … English on Sky … The Bridge to English Competence … Interactive English … English in Focus … Passport to the World … Scaffolding Bentuk insersi Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Gambar Tulisan Total = 739 Aspek budaya Knowl Behav Artifact 0 3 0 0 2 13 0 14 5 2 57 46 0 13 109 0 41 233 0 12 79 6 1 0 1 18 0 6 2 0 0 54 4 6 0 0 0 8 3 1 0 0 22 225 492 Sebaliknya, Tabel 2 menunjukkan bahwa unsur-unsur budaya Indonesia yang ada tidak terdistribusikan secara seimbang, dengan masing-masing knowledge, behavior, dan artifacts diwakili oleh 22, 225, dan 492 unsur budaya. The Bridge to English Competence for SMP Grade VII tetap dominan dalam hal jumlah unsur budaya yang dimasukkan (396 atau 54% dari 739 unsur budaya yang ada); ketidakseimbangan distribusi unsur budaya ini bahkan tampak lebih jelas dengan angka 0, 54, dan 342 unsur budaya yang masing-masing mewakili knowledge, behavior, dan artifact. Tidak adanya aspek knowledge pada buku tersebut mungkin karena anggapan pengguna buku adalah kebanyakan orang Indonesia, maka tidak perlu lagi penjelasan atau knowledge tentang budaya sendiri. Namun dugaan ini perlu konfirmasi lebih lanjut dari para penulis. Perbandingan aspek-aspek budaya pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah unsur-unsur budaya Indonesia melebihi unsur-unsur budaya Barat (409 Barat dan 739 Indonesia). Ini memberi kesan bahwa buku-buku teks telah cukup mewadahi budaya lokal sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan terjadinya kemerosotan budaya lokal melalui persinggungan siswa dengan budaya Barat. Walaupun demikian, pengamatan secara cermat terhadap bagaimana unsur-unsur budaya disajikan, ada fenomena yang mungkin mengacaukan norma-norma lokal atau merendahkan posisi budaya lokal. Gambar-gambar berikut ini adalah dua dari contoh-contoh yang ada dalam buku-buku teks ini. 317 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 1 Seorang siswa mengangkat tangan kirinya untuk minta ijin berbicara (Bates, 2007: 34) Gambar 2 Pocong vs Robotics (Bates, 2007: 59) Gambar 1 menunjukkan keadaan yang umum terjadi di ruang kelas atau ruang pertemuan khas model Barat. Di dunia Barat, mengangkat tangan kiri atau kanan sebagai tanda untuk menyela atau bertanya, dan memberi atau menerima sesuatu dengan tangan kiri atau kanan sama-sama sopan dan berterima. Pajanan tingkah laku seperti itu kepada siswa secara berulang-ulang tanpa penjelasan yang benar tentang perbedaan antara norma Barat dan norma Indonesia akan memberikan kesan kepada siswa bahwa mereka juga boleh memberikan buku kepada guru dengan tangan kiri. Ini sudah barang tentu bertentangan dengan norma setempat atau norma Indonesia. Pada Gambar 2 ada kontras antara film Indonesia dan film Barat, yang mungkin mencerminkan kontras budaya antara kedua bangsa. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Linton (dalam Mesthrie, dkk., 2009: 28) mendefinisikan budaya sebagai ‘cara hidup warga/anggota masyarakat; kumpulan ide dan kebiasaan yang mereka pelajari ….’ Apa artinya? Penggambaran dalam cerita film ini juga menunjukkan pikiran-pikiran yang disukai sutradara dan penontonnya. Sementara orang Indonesia masih asyik dengan misteri pocong, orang Barat terus-menerus mengembangkan teknologi yang sudah maju (ilmu tentang robot, kehidupan di planet, dsb.). Kontras 318 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ini dapat ditafsirkan sebagai cerminan bahwa bangsa Indonesia masih suka bermimpi tentang masa lampau daripada memikirkan yang sebaiknya dilakukan untuk masa yang akan datang. Sementara orang Amerika tampaknya berpikir sebaliknya. Perbedaan yang mencolok semacam ini memberi kesan atau bahkan membangun citra tentang rendahnya cara berpikir bangsa Indonesia di kancah percaturan teknologi dunia. Tentu ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Pada salah satu buku tampak ada upaya untuk memperkenalkan aspek budaya Inggris yang dicampur dengan aspek budaya Jawa atau Indonesia. Tampaknya cocok dengan konteksnya, tetapi contoh yang diberikan membingungkan dan dapat menyesatkan. Di dalam bahasa Inggris penggunaan Mr., Mrs., atau Miss biasanya diikuti oleh nama terakhir atau nama keluarga. Misalnya, nama Bill Clinton menjadi Mr. Clinton, Kathy McKown menjadi Miss McKown, dsb. Di dalam bahasa Jawa atau Indonesia untuk sebutan semacam itu biasanya digunakan kata Bapak/Pak, Ibu/Bu, dan Nona/Mbak. Untuk orang-orang seperti Sinton Panjaitan dan Uci Karondeng, memanggil mereka Mr. Panjaitan dan Miss Karondeng merupakan sebutan yang tepat karena nama-nama kedua mereka memang nama keluarga. Di sekolah di Jawa, siswa biasa memanggil gurunya Pak Joko (untuk guru yang bernama Joko Putranto). Di dalam kelas bahasa Inggris, hampir pasti para siswa akan memanggil guru tersebut Mr. Joko. Inilah yang benar-benar muncul di salah satu buku teks yang dikaji dalam penelitian ini. Sebagai akibatnya, sering terdengar guru atau dosen tamu penutur asli dipanggil Miss Catherine (namanya Catherine Foster). Di negeri asalnya, para siswa/mahasiswanya biasa memanggilnya Miss Foster atau Catherine saja. Tanpa penjelasan yang tepat, kebiasaan yang salah semacam ini akan terus berlanjut dan semakin mengakar. Contoh-contoh ini sekedar merupakan gambaran sekilas tentang bagaimana insersi budaya di dalam buku teks bahasa Inggris dapat berdampak terhadap persepsi dan tanggapan pembaca/pengguna buku tersebut. Penafsiran ini bisa saja bias, namun ini dapat berfungsi sebagai ‘peringatan’ bagi guru dan penulis buku teks bahasa Inggris atau bahasa asing bahwa kehati-hatian harus dilakukan ketika memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam buku teks dan di dalam proses pembelajaran. Telah disebutkan bahwa unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam buku-buku teks yang dikaji dikategorisasikan menjadi tiga aspek: knowledge, behavior, dan artifacts. Sebagai contoh, aspek knowledge muncul dalam bentuk salam terkait dengan konsep waktu dalam bahasa Inggris, seperti: good morning, good afternoon, good evening, dan good night, dsb.; konsep kesantunan dengan penggunaan ungkapan seperti: thanks, please, would you …, dsb. Aspek behavior dapat dilihat dari kebiasaan orang Amerika yang suka dining out dan taking an annual leave or vacation, the way of introducing oneself or others, farmers’ activities in Indonesia, shaking hands in both western and local cultures, dsb. Sementara itu artifacts direpresentasikan dengan gambar bangunan, 319 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kendaraan, alat-alat rumah tangga, perkakas dapur, seni dan kerajinan, serta pakaian, perhiasan, dsb. Secara keseluruhan, kehadiran unsur-unsur budaya pada masing-masing buku tampaknya belum didasarkan pada rencana yang menyeluruh untuk memasukkan semua aspek knowledge, behaviors, dan artifacts yang tepat untuk masing-masing tingkat atau jenjang pendidikan. Terkait dengan konsep multikultur, ketujuh buku yang dikaji belum menunjukkan indikator yang jelas tentang proporsi yang imbang antara budaya local, mainstream dan global yang, menurut pandangan Sinagatullin (2003: 114), akan membantu siswa memperoleh attitudes, knowledge, dan skills yang diperlukan untuk keberhasilannya melakukan fungsinya di masyarakat (pengguna bahasa Inggris) pada masa yang akan datang. Di samping itu, pada era global ini, bangsa Indonesia akan berkomunikasi dalam bahasa Inggris bukan hanya dengan penutur asli bahasa Inggris (orang Inggris, Amerika, Australia dan New Zealand), tetapi mereka akan lebih sering berkomunikasi dengan non-penutur asli yang juga pengguna bahasa Inggris (orang China, India, Pakistan, Vietnam, Korea, Jepang, Jerman, Belanda, dsb.). Oleh sebab itu, para siswa juga perlu membiasakan diri mereka dengan berbagai budaya bangsa-bangsa ini. Sebagaimana disebutkan Grant & Lei (2001: 10-11), perbedaan budaya merupakan permasalahan utama di dalam pendidikan lintas budaya atau pendidikan multikultur. Pemahaman perbedaan budaya merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik di dalam komunikasi multikultur. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa, pada tingkat yang berbeda-beda, ketujuh buku teks yang dikaji telah memasukkan unsur-unsur budaya yang diklasifikasikan ke dalam aspek knowledge, behaviors, dan artifacts, baik dalam konteks budaya Barat maupun budaya Indonesia. Pada tingkat tertentu, tiga dari ketujuh buku tersebut juga telah menunjukkan kesadaran penulis akan perlunya mewadahi perbedaan-perbedaan lintas budaya terkait dengan penutur asli maupun penutur non-asli bahasa Inggris. Sekalipun demikian, kehatihatian belum sepenuhnya dilakukan untuk mengantisipasi kepekaan budaya seperti terlihat dari unsur-unsur budaya yang mungkin bias terhadap budaya tertentu. Walaupun persentase unsur budaya lokal yang terkandung dalam buku sudah cukup, masing-masing buku belum mendistribusikan unsur-unsur budaya untuk mewakili lokalitas atau kedaerahan secara proporsional. Sebagai tanggapan terhadap pernyataan Grant & Lei (2001: 10-11) bahwa perbedaan budaya merupakan permasalahan utama dalam pendidikan lintas budaya, dalam makalah ini diusulkan agar, dalam upaya insersi unsur budaya, buku teks pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia seyogyanya: (1) mewadahi unsur-unsur budaya lokal, mainstream (Indonesia), Asia dan global; (2) fokus pada aspek-aspek budaya yang mungkin menimbulkan salah paham atau 320 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta membingungkan, dan dilengkapi dengan penjelasan dan ilustrasi secukupnya; (3) disajikan secara eksplisit (dengan dua atau tiga topik secara eksplisit membahas aspek-aspek budaya) dan secara implisit (dengan memasukkan unsur budaya, yang merangsang keingintahuan siswa dan kesadaran guru tentang perlunya membahas unsur-unsur budaya tadi di dalam proses pembelajaran. Daftar Pustaka Anderson, B. 2002. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Bahan Sosialisasi Penilaian Buku Teks Pelajaran Bahasa Inggris SMP/MTs, SMA/MA dan SMK. Jakarta: BSNP Bates, Nina. (2007). Real Time: An Intreractive English Course for Junior High School Students Year VII. Jakarta: Erlangga. Bhaswara, R. 2008. Ideologi, gagasan, tindakan, artefak: proses berarsitektur dalam telaah antropologis. Jurnal Teori dan Desain Arsitektur Vol. 2 No. 2 Choudhury, N.R. 1998. Teaching English in Indian Schools. New Delhi: S. B. Nangia APH Publishing Corporation. Colson, J. P. (2008). Cross-linguistic phraseological studies. In S. Granger, S. and F. Meunier, F. (eds.) Phraseology: An Interdisciplinary Perspective (pp. 191-206). Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Third edition. Jakarta: Balai Pustaka. Djatmika, Priyanto A.G, and Dewi I.K. (2009). Passport to the World I. Solo: Platinum/Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Dobrovol’skij, D. and E. Piirainen. (2006). Cultural knowledge and idioms. International Journal of English Studies, 6 (1), 27-41. Foley, W. A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Inc. Iragilia S, Emalia, Iswahyuni, Farida Ulfa, Maria Anunsiata, and Fitri Hariana O. (2009). Interactive English Junior High School Grade VII. Bogor: Yudhistira. Kaiser, D. 2005. Pedagogy and the Practice of Science: Historical and Contemporary Perspectives. Massachusetts: MIT Kistono, Ismukoco, Albert Tupan and Esti Tri Andayani. (2006). The Bridge to English Competence for SMP Grade VII. Bogor: Yudhistira. Krippendorff, K. 2004. Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. Second Edition. Thousand Oaks: Sage Publications. Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis. Beverly Hills: Sage Publications. Mukarto, Sujatmiko B.S., Josephine Sri Murwani, and Widya Kiswara. (2007). English on Sky1 for Junior High School Year VII. Jakarta: Erlangga. Nyoman Sri Subawa. 2008. ‘Tantangan Local Genius dalam Kapitalisme Pariwisata Bali.’ Serathi. Vol. 15, No. 3, October 2008. 321 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Peoples, J., & Bailey, G. 2009. Humanity: an Introduction to Cultural Anthropology. Wadsworth: Wadsworth, Cengage Learning. Priyana, Joko, Riandi and Anita Mumpuni. (2008). SCAFFOLDING: English for Junior High School Students Grade VII. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Richard, J. C. & Renandya, W. A. (Eds). 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Richard, J. C. & Schmidt, R. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics 3rd Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited. Sharifian, F. & Palmer, G. B. 2007. Applied Cultural Linguistics Implications for Second Language Learning and Intercultural Communication. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Simanjuntak, H.A. 2011. “Budaya Politik Masyarakat Perkebunan” (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi). Accessed on 23/10/2011 from http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/23973. Sinagatullin, I. M. 2003. Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. London: The Scarecrow Press, Inc. Tanudirjo, D. A. 2003. Warisan Budaya untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah pada Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi. Tiwari, S.R. 2008. Teaching of English. New Delhi: S. B. Nangia APH Publishing Corporation. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/Naskah asli/Penjelasan Pasal 32. Wardiman, A., Jahur M.B., and Djusma, M.S. (2008). English in Focus1 for Grade VII Junior High School. Jakarta: Pusat Perbukuan, Depdiknas. Wiendu Nuryanti. 2011. Kebudayaan akan masuk kurikulum pendidikan. SitinjauNews – Independent Online News. 6 Desember 2011. Williams, G. 2010. ESL Teaching: How Language and Culture are Interdependent. Language Study. November 2010. 322 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ESTIMASI ANGGARAN PENDIDIKAN DASAR MELALUI PENGHITUNGAN BIAYA SATUAN DI PROVINSI DIY Aula Ahmad Hafidh Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian empiris kuantitatif yang bertujuan untuk mengestimasi unit cost (biaya satuan) pendidikan dasar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Unit cost pendidikan dasar 9 tahun yang meliputi SD dan SMP adalah Rp. 273.000,- per siswa per bulan. Hasil tersebut berdasarkan analisis regresi data panel yang terdiri dari 4 variabel independen yaitu biaya gaji guru (WT), biaya gaji pegawai (WNT), biaya material dan operasional (AMO) dan biaya administrasi (ADM). Masing-masing variabel mempunyai koefisien positif yaitu 1,927647WT, 6,864255WNT, 3,393476AMO dan 1,896533ADM. Unit cost paling banyak dipengaruhi oleh biaya gaji pegawai dan material dan operasional. Semua tanda positif artinya apabila biaya-biaya variabel independen naik, pasti akan menambah unit cost. Pengeluaran pendidikan orangtua/masyarakat rata-rata sebesar Rp. 339.887,- per bulan yang meliputi seluruh komponen biaya pendidikan baik langsung, tidak langsung maupun penunjang. Komponen biaya tidak langsung mempunyai persentase paling besar mencapai 43,61 persen. Apabila beban anggaran pendidikan dasar SD dan SMP ditanggung masing-masing pemerintah daerah, maka diluar program BOS anggaran pendidikan yang harus dialokasikan pada APBD tahun 2011 adalah kabupaten Bantul sebesar 31, 98 persen, Gunungkidul sebesar 32,58 persen, Kulonprogo sebesar 23, 38 persen, Sleman sebesar 33,07 persen dan kota Yogyakarta sebesar 25, 69 persen. Kata Kunci: Biaya Pendidikan, Unit Cost, Anggaran Pendidikan Pendahuluan Penelitian mengenai seberapa besar sebenarnya biaya per siswa yang ideal sehingga beban masyarakat tidak terlalu berat sebaliknya pemerintah dapat mengoptimalkan anggarannya. Selain itu juga dapat digunakan untuk perumusan anggaran pemerintah dalam sektor pendidikan dengan melihat biaya per siswa (unit cost) sehingga tidak hanya diukur dari besarnya nominal anggaran yang naik tapi sebenarnya secara riil malah turun sebagai akibat variabel ekonomi yang tidak diperhatikan dalam perumusannya. Konsep pendidikan terjangkau kiranya lebih cocok diaplikasikan di negara kita. Dalam konsep ini, semua anggota masyarakat dapat menjangkau pelayanan pendidikan menurut kemampuan masing-masing. Keluarga kaya menjangkau dengan kekuatan besar atau iuran yang banyak; dan sebaliknya, keluarga miskin menjangkau dengan kekuatan kecil atau iuran yang sedikit. Kalau perlu, yang tidak berkemampuan sama sekali menjangkau pendidikan tanpa membayar iuran. Jadi konsep pendidikan terjangkau ada subsidi silang, yang kaya membantu yang miskin tanpa masyarakat miskin tersinggung perasaannya. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai penyandang predikat kota pelajar seharusnya bisa menjadi proyek percontohan dalam bidang pendidikan, baik dari sisi manajemennya maupun pengelolaan anggarannya. Angka partisipasi sekolah kasar (APS) penduduk usia SD (7-12 tahun) di Provinsi DIY selama periode 2003-2006 senantiasa mengalami peningkatan walaupun dengan persentase yang cukup kecil. Pada Tahun 2003 APS penduduk usia SD (7-12 tahun) mencapai 98,7 323 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta persen dan secara berangsur-angsur mengalami peningkatan sampai 99,35 persen pada tahun 2006. (BPS,SUSENAS) Dari beberapa deskripsi yang telah dijabarkan diatas, pemerintah sebenarnya sudah berusaha meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun ke tahun. Akan tetapi permasalahan klasik tetap muncul seperti belum meratanya pendidikan, ketimpangan antara daerah, belum maksimalnya angka melek huruf, masih tingginya beban yang masih harus ditanggung masyarakat dan sebagainya. Dari uraian di atas, estimasi anggaran pendidikan dasar sangat diperlukan. Hal ini akan dapat dilakukan apabila dilakukan penghitungan unit cost per siswa maupun per lembaga (sekolah) selaras dengan kondisi yang ada di setiap sekolah (jumlah siswa, jumlah kelas, sarana prasarana, SDM, dan fasilitas lain yang dimiliki). Besarnya unit cost tersebut kemudian dibandingkan dengan unit cost yang seharusnya (sesuai SPM) sehingga diperoleh gap unit cost. Gap tersebut akan membawa pengaruh pada beban APBN dan APBD masing-masing kabupaten dan kota. Berdasarkan kondisi ini, maka akan dihasilkan estimasi anggaran yang dibutuhkan. Dari data tersebut juga dapat diperoleh biaya yang masih harus ditanggung oleh masyarakat. Dari hasil penelitian ini bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam merealisasi pendidikan terjangkau di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, berapa estimasi anggaran pendidikan dasar menurut penghitungan unit cost yang tepat bagi penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga pemerintah yang dapat merumuskan besaran anggaran yang harus disediakan dalam APBD mesti dicari perhitungannya dengan menggunakan analisis kuantitaif ekonometrika. Biaya pendidikan dalam perspektif ekonomi Pengetahuan tentang faktor yang menentukan biaya pendidikan merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang untuk meningkatkan tingkat pendidikan dalam masyarakat. Biaya yang dikeluarkan biasanya dalam bentuk total cost, semua biaya dan pengorbanan untuk meraih derajat pendidikan tertentu. Untuk tujuan mengevaluasi kinerja maka yang lebih tepat adalah unit cost. Unit cost adalah biaya per unit pendidikan seperti biaya per siswa, biaya per sekolah, biaya per guru dan sebagainya. Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 kelompok: a) biaya yang berkaitan dengan siswa b) biaya yang berkaitan dengan guru c) biaya yang berkaitan dengan gedung dan peralatan Unit cost biasanya naik karena perubahan harga (inflasi), jumlah penduduk, standar pendidikan, permintaan pendidikan dengan adanya wajib belajar. Untuk keperluan perkiraan (forecasting) pertama diperhatikan adalah kenaikan jumlah siswa, guru dan sekolah, baru naiknya biaya per unit. Besarnya biaya tergantung pada jumlah dan struktur gaji guru, rasio rata-rata gurusiswa pada masing-masing kelas, biaya non-gaji dan biaya gedung dan peralatan lainnya. Masing masing tersebut juga ditentukan oleh sendirinya dengan faktor lain seperti ketersediaan dana, guru, tingkat partisipasi siswa dan sebagainya. Hal itu akan berbeda untuk setiap daerah tergantung prioritas daerah. Sehingga dijumpai ada daerah yang bebas biaya pendidikan dan yang lainnya masih mahal. 324 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Klasifikasi Biaya pendidikan Sekolah tidak bebas dari biaya, karena pendidikan mempunyai nilai moneter baik biaya langsung (direct cost) maupun tidak langsung (indirect cost). Keseluruhan biaya pendidikan yang digunakan peserta didik untuk membiayai proses belajar mengajar di sekolah selama satu periode anggaran disebut Total Student Education Cost. Keseluruhan biaya pendidikan yang digunakan seorang peserta didik di sekolah dapat dikelompokkan atas beberapa jenis biaya pendidikan. Teknik Analisis Data Untuk menghitung biaya operasional program wajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berbasis kurikulum per siswa maupun per lembaga, Cara perhitungannya dengan menentukan fungsi biaya operasional per siswa untuk tingkat SD dan SMP yang diformulasikan sebagai berikut: (Samarrai,2002) Di mana, ci adalah biaya operasional per siswa setiap sekolah i yang dinyatakan dalam satuan rupiah dan I adalah indeks pendidikan setiap sekolah i. Biaya operasional diperoleh dari data primer masingi masing sekolah i. c merupakan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing sekolah i selama satu i tahun (C ) dibagi dengan jumlah murid masing-masing sekolah (N). Dengan demikian, formula biaya i operasional per siswa adalah: Menentukan indeks pendidikan masing masing sekolah (Ii) berdasarkan indikator keberhasilan setiap sekolah dalam melaksanakan kurikulum nasional maupun kurikulum lokal. Indikator-indikator yang dihitung dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator yang ada di dalam Keputusan .Mendiknas, dengan mengeluarkan indikator-indikator yang tidak mempunyai besaran dengan skala interval. Kriteria penentuan nilai maksimal Ii adalah 100. Dengan mengacu ketentuan tersebut diatas maka indeks pendidikan berdasarkan SPM (ISPM) dihitung dengan formula sebagai berikut: Di mana: ISPM Σ ISPMi = Indeks pendidikan SPM berdasarkan ketentuan; = Jumlah masing masing nilai indikator ketercapaian minimal berdasarkan ketentuan; ΣI = Jumlah indikator dalam ketentuan. Catatan: Bila indikator dalam ketentuan tidak mempunyai besaran dengan skala interval maka dikeluarkan dari perhitungan. Dengan melakukan regresi variabel c dengan I maka akan diperoleh i i fungsi biaya operasional per siswa ci = f (Ii). Dengan memasukkan nilai ISPM ke dalam fungsi biaya tersebut maka akan diperoleh biaya operasional per siswa sesuai dengan ketentuan SPM (cSPM). Ada 325 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta beberapa model fungsi biaya pendidikan operasional per siswa yang akan disimulasikan dalam penelitian ini. Memilih satu fungsi biaya pendidikan operasional per siswa yang dianggap paling tepat dengan menggunakan beberapa pertimbangan statistik (t test, white test dan Ramsey’s RESET test) maupun non-statistik. Dari model fungsi biaya pendidikan yang dipilih tersebut dapat digunakan untuk memprediksi biaya pendidikan operasional per siswa sesuai dengan ketentuan SPM di DIY. Menghitung biaya operasional per lembaga. Untuk menghitung biaya operasional per lembaga perlu diketahui rata-rata jumlah siswa di setiap sekolah. Rata-rata jumlah siswa di setiap sekolah dapat diperoleh dengan persamaan berikut: Di mana: Σ sw = jumlah siswa di DIY Σsk = jumlah sekolah di DIY Dengan mengetahui biaya operasional per siswa sesuai dengan ketentuan SPM (c SPM ) dan rata- rata jumlah siswa di setiap sekolah maka akan dapat ditentukan biaya operasional per lembaga sesuai dengan ketentuan SPM (c ). Adapun caranya sebagai berikut: LBG e. Menghitung unit cost pendidikan dengan formula sebagaimana dikemukakan Woroutami (2004) B = WT + WNT + AMO + ADM B = AVT * NT + AVNT * NNT + AMO + ADM UC = B/NSTU = (AVT * NT)/NSTU + (AVNT * NNT)/NSTU + AMO/NSTU + ADM/NSTU Persamaan terakhir akan menghasilkan: UC = AVTSTU + AVNTSTU + AMOSTU + ADMSTU. Dimana: B = Jumlah Anggaran, WT = Gaji Guru WNT = Gaji pegawai (bukan guru), AMO = Pengeluaran agregat untuk material dan operasi ADM = Pengeluaran agregate untuk administrasi AVT = Rata-Rata Gaji Guru, NT = Jumlah Guru AVNT = Rata-rata Gaji pegawai (bukan guru) NNT = Jumlah pegawai UC = Unit Cost Pendidikan NSTU = Jumlah Siswa ,AVTSTU = Rasio guru terhadap siswa AVNTSTU = Rasio pegawai terhadap siswa AMOSTU = Total Pengeluaran untuk bahan ajar (materials) siswa ADMSTU = Rata-Rata pengeluaran administrasi per siswa. Jika unit cost pendidikan sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah mengestimasi anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah sebagai penanggungjawab terselesaikannya program wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP). Asumsi yang mendasari jumlah anggaran adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi dan kenaikan jumlah anak yang masuk SD (usia 6-7 tahun). Jika mengacu pada alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBD, maka kekurangan dan kelebihan menyesuaikan asumsi asumsi tersebut. Spesifikasi model 326 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari persamaan diatas, maka dapat diturunkan spesifikasi model ekonometrika untuk kepentingan estimasi unit cost (satuan pendidikan) anggaran pendidikan sebagai berikut: UCit = α1+ α2WTit + α3WNTit + α4AMOit + α5 ΑDMit + εt Dimana i merupakan data cross section (kota/kabupaten) dan t merupakan waktu (tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009. 2009/2010) dan e merupakan disturbance term. Model tersebut merupakan model regresi data panel (pooled regression). Hasil dan Pembahasan Angket yang disebar sebanyak 75 buah berdasarkan purposive random sampling yang terbagi merata di setiap daerah sebayak 15 buah dengan target 10 SD dan 5 SMP. Dengan berbagai sebab angket yang berhasil dijadikan sampel penelitian sebanyak 70 sekolah yang terdiri dari 46 SD dan 24 SMP, masing-masing SD swasta 11 sekolah dan SD negeri 35 sekolah. SMP negeri 15 sekolah dan SMP swasta 9 sekolah. Untuk masing-masing sekolah diambil 2 orang tua siswa sebagai dasar untuk mengetahui pengeluaran pendidikan orangtua. Kabupaten/Kota Bantul Gunungkidul Kulonprogo Sleman Yogyakarta Jumlah Ruang Kelas Guru Kantor Laboratorium Perpustakaan Serbaguna Olahraga Lainnya Tabel 1. Jumlah SD dan SMP SD SMP Negeri Swasta Negeri Swasta 5 0 2 2 8 2 3 2 9 2 4 1 6 4 3 1 7 3 3 3 35 11 15 9 Jumlah 9 15 16 14 16 70 Tabel 2. Sarana dan Prasarana Ukuran Kuantitas Luas (m2) Rata-rata Kondisi Baik (%) 745 42721 57,34 90 62 4602 63,92 90 81 1058 13,06 95 65 4800 73,85 75 66 1872 28,36 75 26 4199 161,50 60 58 34252 590,55 85 99 6733 68,01 80 Tabel 3. Sumber Daya Manusia SDM 2007/2008 2008/2009 Siswa 22969 23201 Guru tetap 1104 1113 Guru tidak tetap 390 392 Tenaga administrasi (PNS) 139 140 Tenaga administrasi (non-PNS) 168 173 Teknisi 16 16 Sumber Pendanaan 327 2009/2010 22752 1138 385 145 176 16 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sumber pendanaan merupakan informasi penting dalam penelitian ini. Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui proporsi masing-masing stakeholder dalam pembiayaan pendidikan. Dari proporsi tersebut dapat dianalisis siapa yang harus ditambahkan dan siapa yang harus dikurangi. Mengingat pendidikan merupakan kewajiban negara dan hak warga negara. Untuk tabel pertama diberikan data mengenai pendanaan bagi seluruh pendidikan dasar secara menyeluruh SD dan SMP. Tabel berikutnya dibagi menjadi data SD dan SMP. Tabel 4. Sumber Pendanaan Jumlah Sumber dana 2007/2008 Pemerintah 23.656.542.809 Yayasan 1.041.784.016 SPP 9.198.166.732 Masyarakat 2.447.257.227 Lainnya 485.086.700 (Dunia usaha) Jumlah 36.828.837.484 Sumber: Data primer diolah Persentase 2008/20 2009/20 09 10 67,77 71,80 2,87 3,42 21,85 19,66 5,33 3,51 2008/2009 2009/2010 33.997.686.857 1.440.155.418 10.960.675.000 2.671.878.042 38.346.317.145 1.825.541.616 10.500.873.400 1.874.047.000 2007/2 008 64,23 2,83 24,98 6,64 1.095.162.291 863.958.085 1,32 2,18 1,62 50.165.557.608 53.410.737.246 100 100 100 Apabila dilihat dari sumber pendanaan, responden sebagian besar menggantungkan sumber pendanaan dari pemerintah, yaitu lebih dari 50 persen dalam 3 tahun terakhir. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar responden adalah sekolah negeri. Sumber pendanaan terbesar kedua berasal dari SPP yang besarnya sekitar 20an persen. Data pada tabel 4 merupakan data keseluruhan sekolah responden yang terdiri dari SD dan SMP. Data tersebut diperlukan guna menganalisis unit cost pendidikan dasar 9 tahun. Sebagaimana kebijakan pemerintah untuk terus meningkatkan alokasi anggaran pada sektor pendidikan, baik untuk sekolah swasta dan negeri, pada perkembangannya peran pemerintah dalam hal pembiayaan pendidikan selalu meningkat dari waktu ke waktu. Dalam tabel 4 peran pemerintah sangat menonjol dan dominan berturut turut 64,23 persen, 67,77 persen dan 71, 80 persen. Kedepan peran pembiayaan pemerintah ini seharusnya terus ditingkatkan sehingga mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu wajib belajar 9 tahun dan pendidikan grtais bagi sekolah negeri maupun swasta. Sumber pendanaan berikutnya yang dominan adalah SPP, beberapa sekolah menjadikan SPP menjadi sumber utama pendanaan. Kedua sumber pendanaan mendominasi yaitu pemerintah dan SPP, artinya pemerintah dan masyarakat merupakan sumber utama pendanaan. Apabila dijumlahkan mencapai 67,06 persen, 70,62 persen dan 75,22 persen masing masing untuk tahun pelajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2008/2009. Peran masyarakat dalam pembiayaan pendidikan ini adalah berupa sumbangan situasional ketika sekolah membutuhkan, pengenaan biaya berbeda dengan SPP, contohnya ketika sekolah membangun masjid, maka orangtua siswa diminta sumbangannya. Jumlahnya cukup besar mencapai 14,48 persen dalam 3 tahun terakhir. Data Pengeluaran Sekolah 328 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Jenis Pengeluaran Tabel 5.Jumlah Pengeluaran Sekolah Jumlah Jumlah Jumlah Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran % % % (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) 2007/2008 2008/2009 2009/2010 29.395.643.324 68,48 34.591.291.728 66,03 38.652.176.278 67,93 1.618.168.771 4,58 2.217.826.427 4,23 2.585.293.708 3,74 121.430.000 0,58 125.850.000 0,24 326.365.000 0,28 Gaji Guru Gaji Pegawai Gaji Teknisi Belanja 4.241.632.267 10,78 5.040.205.217 Barang Belanja Buku 786.885.754 2,52 1.361.325.720 Belanja Alat 1.612.112.750 0,21 2.625.884.866 Laboratorium Belanja Pembangunan 2.242.043.100 4,43 2.242.720.914 Gedung Biaya 1.466.983.400 3,80 1.627.300.800 Pemeliharaan Belanja Lain1.787.053.200 4,62 2.558.606.150 Lain Jumlah 43.271.952.566 52.391.011.822 Sumber: Data primer diolah 9,62 6.085.414.547 9,80 2,60 1.423.078.239 1,82 5,01 118.018.215 3,73 4,28 2.498.786.500 5,18 3,10 2.147.084.188 3,39 4,88 2.608.809.989 4,13 56.445.026.664 Biaya pendidikan pada umumnya difokuskan pada biaya operasional pendidikan yaitu semua jenis pengeluaran yang mendukung tercapainya kegiatan belajar mengajar dengan baik sesuai dengan target kurikulum. Penelitian ini mencoba mengungkapkan biaya lainnya yang bersifat material dan tetap seperti biaya pembangunan dan pemeliharaan yang tidak termasuk dalam penghitungan BOS. Dari tabel 5 biaya pendidikan atau pengeluaran sekolah yang terbesar proporsinya untuk gaji guru yang mencapai lebih dari separuh pengeluaran sekolah yaitu sebesar 67, 93 persen. Apabila angka tersebut dijumlahkan dengan seluruh biaya gaji dan honorarium untuk pegawai dan teknisi jumlahnya mencapai 71,95 persen. Sementara itu pengeluaran berikutnya yang cukup besar adalah belanja barang sebesar 9,80 persen. Pengeluaran untuk belanja barang sifatnya rutin sehingga alokasinya juga akan tetap dan stabil. Angka yang cukup signifikan juga ditunjukkan oleh kelompok pengeluaran untuk belanja pembangunan gedung. Untuk sekolah swasta pada umumya belanja pembangunan gedung dibebankan pada masyarakat, meskipun beberapa sekolah sudah dapat berkerja sama dengan pihak swasta, tetapi nilainya masih sangat kecil. Standar Pelayanan Pendidikan Standar pelayanan mengacu pada pelayanan minimal yang diberikan oleh sekolah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Mendiknas Nomor 053/U/2001 Tanggal 19 April 2001. Apabila nilai yang diperoleh lebih dari standar yang ditentukan dalam kriteria penilaian dalam penelitian ini maka dikatakan sudah sesuai dengan SPM. Adapun nilai standar atau minimalnya dari angket yang diberikan adalah 39. Dalam olah data hasil penelitian diperoleh nilai atau indeks ratarata pelayanan minimal adalah sebesar 50,03. Dapat dikatakan bahwa sekolah yang menjadi sampel 329 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penelitian telah memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan ketentuan SPM dalam Kepmendiknas. Nilai untuk setiap komponen yang nilai dalam SPM adalah sebagai berikut: Tabel 6. Standar Pelayanan Minimal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 I. Kurikulum dan SDM: Pencapaian target kurikulum Guru mengajar sesuai Silabus dan RPP Media pembelajaran lengkap Guru mengajar sesuai dengan kompetensinya II. Sarana-prasarana pendidikan: Sekolah memiliki gedung yang representatif atau layak guna proses belajar mengajar Sekolah memiliki ruang guru sendiri Jumlah buku di perpustakaan III. Organisasi dan Anggaran: Peran komite sekolah dlm pengelolaan sekolah MKKS dan MGMP Penyusunan RAPBS Bantuan dari dunia usaha dan industri Subsidi dari pemerintah (untuk sekolah swasta) Beasiswa bagi murid tidak mampu Total Skor 4,043 4,2 3,7 4 4,057 4,114 3,757 4,129 3,871 4,014 2,629 3,614 3,886 50,03 Dari tabel 6, disebutkan nilai atau skor rata-rata yang diperoleh lebih besar dari rata-rata yang diharapkan sebesar 3, kecuali untuk komponen bantuan dari dunia usaha dan industri yang hanya 2,629. Sebagaimana diketahui, peran dunia usaha atau swasta dalam pembiayaan pendidikan dasar masih sangat terbatas. Biaya Pendidikan Masyarakat/Orangtua Data mengenai status ekonomi orang tua yang dinyatakan dalam rata rata penghasilan orangtua perbulan dari data yang dimiliki sekolah dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan orangtua untuk membiayai sekolah. No 1 2 3 4 5 Tabel 7 Rata rata Penghasilan Orangtua Penghasilan Persentase < 500.000 29,5 500.001 – 1.000.000 31,5 1.000.001 – 2.000.000 23,11 2.000.001 – 5.000.000 15,09 > 5.000.001 2 Dari tabel diatas, dapat kita lihat strata penghasilan orangtua. Penghasilan orangtua siswa berada pada posisi menengah ke bawah yang berpenghasilan antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 yaitu sebesar 31,5 persen. Selanjutnya golongan berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000 sebesar 29,5 persen dan berpenghasilan Rp.1.000.000 hingga Rp. 2.000.000 sebesar 23,11 persen. Dapat disimpulkan masyarakat yang menyekolahkan anaknya di tingkat pendidikan dasar berada 330 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pada kategori golongan menengah ke bawah. Hanya 15, 09 persen yang berpenghasilan Rp.2.000.000 hingga Rp. 5.000.000 dan 2 persen yang berpenghasilan diatas Rp. 5.000.000 per bulan. Hasil tersebut membuat pengeluaran pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar jika dibandingkan dengan tingkat penghasilan orangtua. Akan tetapi hasil itu juga dapat menggambarkan kondisi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berstatus negeri. Untuk memperoleh hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang tepat, penelitian berusaha memberikan perbandingan antara biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh sekolah untuk operasional pendidikan dengan pengeluaran riil masyarakat atau orangtua dalam bidang pendidikan. Berikut ini adalah tabel pengeluaran pendidikan yang ditanggung masyarakat yang terdiri dari komponen komponen biaya baik yang langsung maupun tidak langsung serta biaya penunjang untuk meningkatkan kualitas pendidikan anaknya. Tabel 8. Pengeluaran Pendidikan Masyarakat/Orangtua Rata-Rata Jumlah Pengeluaran Komponen Biaya Persentase Pengeluaran Orangtua Per Tahun Uang sumbangan gedung 31.135.000 546.228 13,39 Iuran bulanan (SPP) 33.685.000 590.965 14,49 Biaya ujian 1.878.000 32.947 0,81 Buku dan alat tulis 9.662.000 169.509 4,16 Sepatu yang dibeli 6.074.800 106.575 2,61 Seragam yang dibeli 10.105.000 177.281 4,35 Tas yang dibeli 3.629.000 63.667 1,56 Kegiatan ekstrakurilkuler 4.128.000 72.421 1,78 Les tambahan 39.191.000 687.561 16,86 Praktikum 265.000 4.650 0,11 Buku teks dan LKS 7.524.000 132.000 3,24 Perlengkapan olahraga 1.758.000 30.842 0,76 Biaya Transportasi 48.530.000 851.404 20,88 Biaya kos 130.000 2.281 0,06 Uang saku 15.090.000 264.737 6,49 Sumbangan sosial 2.440.000 42.807 1,05 Study tour/tematik 7.501.000 131.596 3,23 Kesehatan 8.955.000 157.105 3,85 Pengeluaran lainnya 795.000 13.316 0,34 Jumlah 232.475.800 4.078.523 100 Dari jumlah pengeluaran masyarakat diatas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu pengeluaran langsung, pengeluaran tidak langsung dan biaya penunjang. Dilihat dari kategori tersebut nampak biaya tidak langsung merupakan pengeluaran masyarakat yang paling besar. Salah satu komponen biaya yang terbesar adalah les tambahan. Dari data tersebut dapat diolah rata rata pengeluaran rumah tangga atau masyarakat untuk keperluan pendidikan anaknya pada pendidikan dasar sebesar Rp. 4.078.523 per tahun. Jika disebutkan kedalam bulanan maka pengeluaran pendidikan masyarakat adalah sebesar Rp. 339.887 per bulan. Jika dibandingkan dengan unit cost pada tingkat sekolah yang sebesar Rp. Maka terdapat selisih sebesar yang merupakan pengeluaran 331 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tambahan atau penunjang diluar biaya opersaional pendidikan di tingkat sekolah. Apabila data tersebut dikaitkan dengan BOS yang diberikan pemerintah masih dirasa kurang. Kategori biaya Biaya langsung Biaya tidak langsung Biaya penunjang Tabel 9. Kategori Biaya Jumlah Rp. 96.168.800 Rp. 101.396.000 Rp. 34.911.000 Rp. 232.475.800 Persentase 41,37 43,61 15,02 100 Apabila masyarakat dilibatkan dalam pembiayaan pendidikan, seharusnya hanya yang berkaitan dengan biaya yang bersifat tidak langsung atau penunjang. Besarnya biaya tersebut akan sangat tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat atau tua masing-masing. Akan tetapi peran pemerintah terhadap biaya pendidikan secara langsung harus dioptimalkan, karena berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan program pendidikan dasar. Untuk itu dalam penelitian ini biaya langsung yang berkaitan dengan aksesabilitas pendidikan minimal adalah Rp. 96.168.800. maka dihasilkan unit cost biaya langsung Rp. 1.687.172 per tahun atau Rp. 140.598 per bulan. Estimasi Regresi dengan Data Panel Estimasi dengan menggunakan regresi data panel dimaksudkan untuk memperoleh gambaran prakiraan biaya satuan pendidikan (unit cost) dasar di provinsi DIY. Dari hasil tersebut dapat dilakukan beberapa langkah kebijakan dan tindakan bagi pemerintah dan orangtua dalam menyiapkan anggaran pendidikan. Regresi data panel dalam penelitian ini adalah terdiri dari 3 series yaitu tahun pelajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2009/2010 serta 70 sekolah SD dan SMP. Sehingga diperoleh data guna kepentingan estimasi sebesar 210 buah, sebuah angka yang cukup baik untuk estimasi regresi. Variabel terdiri dari 5 yaitu unit cost (UC), biaya gaji guru (WT), biaya gaji pegawai (WNT), biaya material dan opersional (AMO) serta biaya administrasi (ADM). Kelima variabel tersebut sudah melalui proses pengolahan data mentah sehingga dapat dijadikan bahan estimasi regresi. Dalam penelitian ini tidak dipisahkan secara tersendiri antara SD dan SMP, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk mengetahui unit cost pendidikan dasar di DIY yang meliputi SD dan SMP, swasta maupu negeri sebagai satu kesatuan. Dalam penelitian ini digunakan Fixed effect regression untuk mengetahui kondisi masingmasing sekolah jika diperlukan. Kondisi tiap sekolah berbeda, bahkan kondisi sekolah pada suatu waktu tertentu akan berbeda dengan kondisi sekolah tersebut pada waktu yang lain. Oleh karena itu diperlukan model yang dapat menunjukkan perbedaan konstan antar sekolah, meskipun dengan koefisien regresor yang sama. Model inilah yang disebut model fixed effect. Program yang digunakan untuk mengolah data yaitu Eviews4. Uji Stasioneritas Data Tabel 10. Uji Stasioneritas Data 332 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Nama Variabel Nilai ADF Nilai Kritis WT -4,775295* Stasioner WNT -5.012277* Stasioner AMO -6.566058* ADM -4.921690* UC -5.319062* 1% = -3,4636 5% = -2,8757 10% = -2,5742 Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Dari kelima variabel penelitian WT, WNT, AMO, ADM dan UC semuanya sudah stasioner pada tingkat aras/level sehingga variabel dapat dijadikan model regresi. Baik WT, WNT, AMO, ADM dan UC stasioner pada nilai kritis 1%. Karena data sudah stasioner pada tingkat aras, maka tidak diperlukan uji pada derajat integrasi. Hasil Analisis Regresi Tabel 11. Koefisien Regresi Data Panel Keterangan Fixed effect t-statistics Variabel dependen UC C 2,73E+05 17.29199 WT 1,927647 0.802524 WNT 6,864255 1.110327 AMO 3,393476 1.261503 ADM 1,896533 -1.043703 F-Stat 74,38152 2 R 0,062322 DW-Stat 2,90816 N 210 Untuk lebih jelas dapat dituliskan dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: UC = 273000+1,927647WT +6,864255WNT + 3,393476AMO + 1,896533ADM (17,29199)( 0,802524) ( 1,110327) ( 1,261503) ( -1,043703) Dari persamaan regresi data panel diatas dapat dianalisis beberapa hal berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Variabel dependen yaitu UC, artinya biaya satuan pendidikan (unit cost) dipengaruhi oleh biaya gaji guru (WT), gaji pegawai (WNT), biaya material dan operasional (AMO) dan biaya administrasi (ADM). Konstanta yang dihasilkan sebesar 273000 yang berarti apabila tidak perubahan pada time series maupun cross section pada data maka unit cost pendidikan dasar di provinsi DIY adalah sebesar Rp. 273.000,- per bulan. Adapun empat variabel independen mempengaruhi unit cost apabila ada perubahan padanya. Varibael biaya gaji guru (WT) akan mempengaruhi kenaikan biaya satuan pendidikan sebesar 1, 93 persen, biaya gaji pegawai (WNT) sebesar 6,86 persen, biaya opersional dan material sebesar 3,39 persen dan biaya administrasi sebesar 1,90 persen. Dari keempat variabel independen atau komponen yang mempengaruhi biaya pendidikan masing-masing mempunyai nilai koefisien yang berbeda tetapi tidak jauh perbedaannya. Apabila kita 333 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta akan mengurutkan dari koefisien variabel yang terbesar adalah berturut-turut biaya gaji pegawai (WNT), biaya material dan operasional (AMO), biaya gaji guru (WT) dan biaya administrasi (ADM). Semua koefisien variabel mempunyai nilai positif artinya masing-masing mempengaruhi biaya satuan pendidikan. Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan biaya aktual yang terjadi di sekolah sampel baik SD maupun SMP sebagai berikut: Tabel 13. Biaya Aktual Tahun ajaran 2009/2010 Total Biaya per siswa per tahun Rp. 2.480.881,974 Rata-rata biaya per bulan Rp. 206.740 2008/2009 Rp. 2.258.135,935 Rp. 188.178 2007/2009 Rp. 1.883.928,000 Rp. 156.994 Biaya aktual merupakan hasil dari perhitungan berdasarkan data yang diberikan oleh sekolah seperti tertuang dalam angket/kuesioner. Besarnya unit cost per siswa per bulan mencapai Rp. 156.994, Rp. 188.178 dan Rp. 206.740 untuk tiga tahun terakhir. Apabila dirata-rata dalam tiga tahun tersebut menghasilkan unit cost sebesar Rp. 183.971,- per siswa per bulan. Untuk estimasi sebagai bahan inferensi (generalisasi) unit cost pendidikan dasar di DIY, biaya aktual tidak mewakili apabila dijadikan patokan. Data hasil yang dipakai adalah hasil estimasi menggunakan data panel sebagai bahan membuat generalisasi. Unit cost pendidikan dasar di Provinsi DIY adalah Rp. 273.000,- per siswa per bulan. Sehingga terdapat selisih sebesar Rp. 89.029,- per siswa per bulan. Education Cost Gap Dari beberapa kajian dan analisis diatas, dapat disimpulkan beberapa hal secara berkaitan. Keterkaitan itu akan menghasilkan perbedaan biaya pendidikan yang ditanggung oleh, sekolah, masyarakat (orangtua) dan pemerintah. Dari perbedaan biaya pendidikan (education cost gap) atau unit cost gap tersebut dapat diketahui peta pembiayaan pendidikan dasar di provinsi DIY sehingga pemerintah dan masyarakat memperoleh gambaran yang utuh dan kesiapan seberapa rasio pembiayaan yang paling ideal. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, ketika anggaran pemerintah belum dapat menutupi semua biaya pendidikan kita dapat menghitung seberapa ideal atau besaran yang masih dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum. Dalam tabel dibawah ini diberikan simulasi biaya pendidikan berdasarkan perhitungan aktual dan perhitungan estimasi. Tabel 14. Simulasi Biaya Pendidikan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jenis Biaya Biaya total Biaya langsung 334 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Rp. 4.078.523,- per Rp. 1.687.172,- per tahun tahun Orangtua Rp. 339.887,- per Rp. 140.598,- per bulan bulan Hasil Estimasi Data Panel Pendidikan Dasar Rp. 273.000,- per bulan SD Rp. 246.000,- per bulan SMP Rp. 322.000,- per bulan Selisih yang ditanggung Pemerintah Rp. 132.402,- per bulan SD Kota Rp. 400.000,- SD Kab Rp. 397.000,- SMP Kota Rp. 575.000,- Rp. 33.209,per bulan Rp.570.000,- SD SMP Dana BOS Pendidikan Dasar Dana BOS SMP Kab Selisih yang masih harus ditanggung pemerintah Rp. 47.709,per bulan Rp. 80.918,- Rp. 132.402,- – Rp. 80.918,- = Rp. 51.484,- per siswa per bulan Apabila pemerintah meningkatkan anggaran BOS 2 lebih kali lipat maka dapat dikatakan pendidikan dasar gratis tercapai. Biaya pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat adalah biaya penunjang yang tingkatnya tergantung pada kemampuan dan kemauan masyarakat itu sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Untuk mengetahui besaran biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi pendidikan gratis/terjangkau pada sekolah sampel, berikut ini: 22.752 siswa x Rp. 51.484 = Rp. 1.171.363.968 per bulan = Rp. 14.056.367.620 setahun Pada tahun 2009/2010 dana BOS yang disalurkan pemerintah ke sekolah sampel responden berjumlah Rp. 10.515.923.750, apabila pemerintah menambah dana bantuan ke sekolah sebesar Rp. 1.171.363.968 per bulan atau Rp. 14.056.367.620 setahun pada tahun depan dengan asumsi jumlah siswa sekolah responden sama, maka dapat dikatakan program pemerintah dengan pendidikan terjangkau adalah benar. Tabel 15. Perkiraan Tambahan Kebutuhan Anggaran Pendidikan di DIY Jumlah siswa di DIY Tambahan subsidi pemerintah Tambahan anggaran pendidikan oleh pemerintah diluar BOS Rp. 21.808.416.464,- per bulan 423.592 Rp. 51.484 Rp. 261.698.526.300,- setahun Apabila pemerintah Provinsi DIY ingin wilayahnya menjadi daerah yang memberikan pendidikan dasar gratis, maka diluar dana BOS pemerintah harus menambahkan dana dalam APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 261.698.526.300,- (dua ratus enam puluh satu miliar enam ratus sembilan puluh delapan lima ratus dua pulun enam ribu tiga ratus rupiah). Kebutuhan dana tersebut dapat 335 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta didesentralisasikan atau dibagi terhadap ke 5 wilayah kabupaten/kota di DIY karena pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam sektor pendidikan. Apabila hasil tersebut akan disimulasikan ke wilayah kabupaten/kota maka diperoleh hasil sebagai berikut, unit cost SD yang diperhitungkan adalah unit cost hasil estimasi dikurangi dengan BOS sehingga Rp. 246.000,- – Rp. 33.209,- = Rp.212.791,-. Sedangkan unit cost SMP adalah Rp. 322.000,- - Rp. 47.709,- = Rp. 274.291,-. Secara detail disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 16. Kebutuhan Tambahan Anggaran Pendidikan Kabupaten/Kota di DIY Yogyakarta 71.688 29.507 57.519 27.592 35.324 17.225 86.705 32.828 46.452 22.498 Total anggaran pendidikan per bulan yang dibutuhkan diluar BOS pada APBD 2011 15.254.561.210 8.093.504.537 12.239.525.529 7.568.237.272 7.516.629.284 4.724.662.475 18.450.043.655 9.004.424.948 9.884.567.532 6.170.998.918 Provinsi DIY 427.338 98.907.155.360 Jumlah siswa SD dan SMP per Juni 2010 Bantul Gunungkidul Kulonprogo Sleman Pendapatan Asli Daerah (realisasi 2009 dalam jutaan) APBD (dalam jutaan) 90.239 876.204 39.756 729.519 44.416 628.310 157.231 996.183 161.474 749.989 596.850 1.221.593 Rasio terhadap APBD Per bulan Per tahun 1,74 0,92 1,68 1,03 1,20 0,75 1,85 0,90 1,32 0,82 20,89 11,08 20,13 12,45 14,36 9,02 22,22 10,85 15,82 9,87 Rasio anggaran pendidikan dasar terhadap APBD 31,98 32,58 23,38 33,07 25,69 97,16 Apabila pemerintah akan membebaskan seluruh biaya pendidikan pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun, maka masing-masing pemerintah kabupaten/kota harus mengalokasikan rata-rata 30an persen pada APBD tahun 2011. Kabupaten Sleman paling tinggi rasionya mencapai 33,07 terhadap APBD dan paling rendah Kabupaten Kulonprogo rasio terhadap APBD sebesar 23,38 persen. Dan apabila biaya pendidikan akan ditanggung pemerintah provinsi maka akan menyedot APBD provinsi hingga 97,16 persen. Apabila UU mewajibkan APBD harus mengalokasikan 20 persen untuk anggaran pendidikan maka masyarakat atau orangtua masih harus menanggung sebesar selisih masing-masing daerah. Dari data tersebut maka dapat diurutkan biaya pendidikan termahal mulai dari Sleman, Gunungkidul, Bantul, Kota Yogyakarta dan Kulonprogo. Tingginya biaya pendidikan diukur dari biaya yang masih harus ditanggung oleh masyarakat seandainya pemerintah daerah mengalokasikan 20 persen dalam APBD untuk anggaran pendidikan. Apabila alokasi anggaran kurang dari 20 persen, maka semakin mahal pula biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat. Kesimpulan Beberapa hal yang menjadi kesimpulan meliputi besaran biaya satuan (unit cost) sekolah, sehingga diketahui unit cost per siswa, pengeluaran rata-rata masyarakat untuk pendidikan dan anggaran ideal yang dibutuhkan. Unit cost pendidikan dasar 9 tahun yang meliputi SD dan SMP adalah Rp. 273.000,-. Unit cost paling banyak dipengaruhi oleh biaya gaji pegawai dan material dan 336 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta operasional. Semua tanda positif artinya apabila biaya-biaya variabel independen naik, pasti akan menambah unit cost. Pengeluaran pendidikan orangtua/masyarakat rata-rata sebesar Rp. 339.887,per bulan yang meliputi seluruh komponen biaya pendidikan baik langsung, tidak langsung maupun penunjang. Dalam simulasi berdasarkan hasil penelitian, apabila masyarakat ikut berbagi dengan menanggung biaya langsung saja maka biaya pendidikannya adalah Rp. 140. 598,- per bulan. Apabila pemerintah hendak mewujudkan pendidikan terjangkau maka pemerintah harus menanggung selisih unit cost pendidikan dasar yaitu sebesar Rp. 273.000,- - Rp. 140.598,- = Rp. 132. 402,- per bulan. Apabila program BOS selama ini diperhitungkan yaitu Rp. 80. 918,- maka sisa biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah menjadi Rp. 51. 484,- per bulan per siswa.Apabila beban anggaran pendidikan dasar SD dan SMP ditanggung masing-masing pemerintah daerah maka diluar program BOS anggaran pendidikan yang harus dialokasikan pada APBD tahun 2011 adalah kabupaten Bantul sebesar 31, 98 persen, Gunungkidul sebesar 32,58 persen, Kulonprogo sebesar 23, 38 persen, Sleman sebesar 33,07 persen dan kota Yogyakarta sebesar 25, 69 persen. Apabila pemerintah daerah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBD maka sisanya adalah tanggungan masyarakat di daerah tersebut. Daftar Pustaka Al-Samarrai, Samer dan Zaman, Hassan. 2002. The Changing Distribution of Public Education Expenditure in Malawi, Africa Region Working Paper Series no. 29, World Bank. Benedict Clement, 1999, The Efficiency of Education Expenditure in Portugal, Working Paper, International Monetary Fund Biro Pusat Statistik, beberapa edisi Ditjend Mandikdasmen, 2010, Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu, Hanushek, E. “The Economics of Schooling: Production and Efficiency in Public Schools.” Journal of Economic Literature, 1986, 24(3) Harsono, 2007, Pengelolaan Pembiayaan Pendidikan. Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Hong-Sang Jung dan Erick Thorbecke, 2001, The Impact of Public Expenditure on Human Capital, Growth and Poverty in Tanzania and Zambia, A General Equilibrium Approach, Working Paper, International Monetary Fund Fatah, Nanang. 2002. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung Mandala Harefa , 2004, Kebijakan dan Pengelolaan Anggaran Pendidikan: Antara Keinginan dan Keterbatasan, Sekretariat Jenderal DPR, Jakarta Nina Toyamah dan Syaikhu Usman, 2004, Alokasi Anggaran Di Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Sanjeev Gupta, Maijn Verhoeven, dan Erwin Tiongson, 1999, Does Higher Government Spending Buy Better Result in Education and Health Care?, Working Paper, International Monetary Fund. Supriyadi, Dedi, 2006. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Remaja Rosdakarya, Bandung. www.unesco.org 337 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta www.worldbank.org www.undp.org www.diknas.go.id Woroutami, Arti Dyah, 2004, Dampak Sosial, Ekonomi dan Evaluasi Belanja Daerah dan Proyek Pembangunan (Studi Kasus: Bidang Pendidikan dan Kesehatan Di Propinsi Sumatera Utara), Kajian Ekonomi dan Keuangan, BKF, Depkeu, Jakarta. 338 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta TINGKAT KESEGARAN JASMANI SISWA KELAS IV, V, DAN VI SD NEGERI SAMIRONO – DEPOK-SLEMAN-YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 A.Erlina Listyarini Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta ASBTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesegaran jasmani siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta, Tahun ajaran 2010/2011, yang berjumlah 132 siswa dengan rincian, kelas IV berjumlah 54 siswa, kelas V berjumlah 46 siswa dan kelas VI berjumlah 32 siswa. Dari keseluruhan jumlah tersebut siswa putra 70 siswa, siswa putri 62 siswa, tetapi saat pelaksanaan tes kesegaran jasmani ada 4 siswa tidak hadir dan 3 siswa tidak memenuhi syarat usia 10-12 tahun, sehingga jumlah peserta tes kesegaran jasmani 125 siswa. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survey dengan teknik tes dan pengukuran untuk pengumpulan datanya. Instrumen yang digunakan adalah Tes Kesegaran Jasmani Indonesia tahun 2010 dari Depdiknas untuk usia 10-12 tahun. Teknik analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan prosentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat Kesegaran Jasmani siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011 yang termasuk kategori bai sekali tidak ada, kategori baik 9 siswa (7,2 %), ketegori sedang 44 siswa (34,2%), kategori kurang 61 siswa (48,8%), kategori kurang sekali 11 siswa (8,8%). Dari hasil penelitian tersebut diatas disimpulkan bahwa, pada umumnya siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011 dalam kategori kurang (48,8%)/61 siswa), namun cenderung jug ke kategori sedang (34,2%/44 siswa) Pendahuluan Menurut observasi di lapangan, pendidikan jasmani di Sekolah Dasar Samirono dilakukan hanya sekali dalam seminggu untuk setiap kelas dengan jam efektif sekitar 70 menit (2 jam pelajaran) padahal untuk meningkatkan kesegaran jasmani harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu : (1) intensitas latihan harus cukup, (2) takaran lamanya latihan, (3) frekuensi latihan, (4) lamanya program latihan. Untuk mensiasati hal tersebut, SD Samirono memberikan kegiatan / aktivitas yang lain berupa ekstrakulikuler, namun demikian apakah kegiatan tersebut bisa menunjang untuk meningkatkan kesegaran jasmani siswa?. Hal ini belum pernah dibuktikan. Karena selama ini siswa kelas IV, V, VI di Sekolah Dasar Samirono belum pernah di test kesegaran jasmaninya. Untuk itu peneliti berkeinginan sekali untuk meneliti Tingkat Kesegaran Jasmani siswa kelas IV, V, VI Sekolah Dasar Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta. Dengan kesegaran jasmani yang baik siswa dapat melaksanakan tugas-tugas sekolah dengan baik pula tanpa adanya rasa lesu atau malas baik didalam kelas maupun di luar kelas sampai akhir pembelajaran. Tetapi pada kenyataannya, informasai dari guru Penjas SD Negeri Samirono, masih terlihat adanya siswa yang malas mengikuti pembelajaran Penjas, mengantuk, kurang bersemangat, dan sebagainya, yang menandakan kesegaran jasmani siswa masih rendah. Salah satu faktor yang penting dalam peningkatan kualitas fisik adalah melalui pembinaan kesegaran jasmani. Oleh karena itu, pembinaan kesegaran jasmani merupakan hal yang perlu diperhatikan pada tingkat Sekolah Dasar karena kesegaran jasmani mempunyai peranan penting dalam pencapaian prestasi akademik siswa. Untuk itu, guru penjas lah yang memiliki tanggung jawab 339 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta moral yang tidak ringan, harus melakasanakan tugas dengan baik agar kondisi kesegaran jasmani anak didiknya menjadi lebih baik. Memang kurangnya jam pelajaran penjas di sekolah dasar, kurangnya sarana prasarana Penjas yang mengakibatkan siswa kurang berminat mengikuti olah raga disebabkan faktor menunggu alat dalam pembelajaran Penjas. (di dalam pembelajaran Penjas, faktor menunggu atau giliran harus dihilangkan) apabila prasarana penjas mencukupi maka diharapkan siswa akan lebih aktif bergerak, sehingga kondisi fisik siswa akan lebih baik. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Berapa besar Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode yang digunakan adalah metode survey tentang Tingkat Kesegaran Jasmani siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011 dengan teknik tes dan pengukuran dari Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) tahun 2010 untuk usia 10-12 tahun. Variabel penelitian ini mengunakan variabel tunggal yaitu variabel kesegaran jasmani. Kesegaran jasmani adalah kemampuan atau kesanggupan siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta untuk melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti setelah melakukan aktivitas tersebut, dan masih adanya sisa tenaga untuk melakukan aktivitas yang lain. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011. Adapun jumlah siswa kelas IV berjumlah 54 siswa, kelas V berjumlah 46 siswa, dan kelas VI berjumlah 32 siswa. Jadi jumlah subjek penelitian seluruhnya adalah 132 siswa dengan rincian siswa putra 70 siswa, siswa putri 62 siswa. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) tahun 2010 untuk usia 10-12 tahun. Urutan pelaksanaannnya sebagai berikut : 1. Lari 40 meter, yang bertujuan untuk mengukur kecepatan. 2. Gantung siku tekuk, yang bertujuan untuk mengukur kekuatan dan ketahanan otot lengan dan otot bahu. 3. Baring duduk 30 detik, yang bertujuan untuk mengukur kekuatan dan ketahanan otot perut. 4. Loncat tegak (vertical jump) yang bertujuan untuk mengukur tenaga eksplosif. 5. Lari 600 meter yang bertujuan untuk mengukur daya tahan jantung, peredaran darah dan pernafasan/paru-paru. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) tahun 2010 untuk usia 10-12 tahun, dengan alat bantu berupa lembar pengumpul data dan item Tes Kesegaran Jasmani. Urutan pelaksanaan tes tidak bisa diruah (harus urut). Tes satu ke berikutnya tidak boleh lebih dari 3 (tiga) menit. Adapun urutan pelaksanaan Tes Kesegaran Jasmani adalah sebagai berikut : 1. Lari 40 meter menggunakan satuan ukuran waktu dalam satuan detik. 340 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. 3. 4. 5. Gantung siku tekuk menggunakan satuan ukuran waktu dalam satuan detik. Baring duduk 30 detik, menggunakan satuan ukuran jumlah ulangan gerak (kali). Loncat tegak (vertical jump) menggunakan satuan ukuran sentimeter. Lari 600 meter menggunakan satuan ukuran waktu dalam satuan menit dan detik. Teknik Analisis Data Analisis data atau pengolahan data merupakan suatu langkah yang penting dalam penelitian. Data yang terkumpul tidak akan berarti apabila tidak diolah, sehingga suatu kesimpulan bisa diambil dari hasil pengolahan data tersebut. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka teknik analisis data menggunakan metode statistik deskriptif kuantitatif dengan persentase. Setelah diketahui tingkat kesegaran jasmani masing-masing peserta tes, maka dapat dihitung berapa besar persentase untuk masing-masing kategori dengan menggunakan rumus persentase yaitu : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Lokasi pelaksanaan tes untuk mengetahui tingkat Kesegaran Jasmani Siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta dilaksanakan di lapangan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Timur Yogyakarta, yang memiliki fasilitas lengkap, memadai dan berstandar untuk keperluan pelaksanaan Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta tahun pelajaran 2010/2011. Adapun jumlah siswa kelas IV berjumlah 54 siswa, kelas V berjumlah 46 siswa, kelas VI berjumlah 32 siswa, jadi jumlah subjek penelitian berjumlah 132 siswa dengan rincian siswa putra 70 siswa, siswa putri 62 siswa. Penelitian ini dilaksanakan satu hari, pada hari Sabtu tanggal 17 September 2011 dari pukul 07.30 s/d pukul 10.30 WIB. Dalam pelaksanaan pengambilan data, peneliti dibantu oleh mahasiswa PGSD angkatan 2009 yang telah lulus mata kuliah Pendidikan Kesegaran Jasmani (PKJ). Pengambilan data untuk mengetahui tingkat Kesegaran Jasmani Siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta, yang berjumlah 132 siswa, dengan rincian siswa putra 70 siswa, siswa putri 62 siswa, tidak seluruh siswa memenuhi syarat usia 10-12 tahun, karena siswa yang usianya 9 tahun 6 bulan, berjumlah 3 siswa, sehingga tidak memenuhi syarat usia 10 tahun. Untuk siswa yang usianya lebih dari 12 tahun tidak ada, sehingga siswa yang memenuhi persyaratan usia 10-12 tahun saja yang dihitung (dites TKJI). Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Tingkat Kesegaran Jasmani siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011, pada kategori Baik Sekali (BS) tidak ada (0 %), kategori Baik (B) 9 siswa (7,2 %), kategori Sedang (S) 44 siswa (34,2 %), kategori Kurang (K) 61 siswa (48,8 %), kategori Kurang Sekali (KS) 11 siswa (8,8 %). Jadi dapat disimpulkan bahwa Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Kelas IV, V, dan VI SD Negeri Samirono Depok Sleman 341 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta tahun ajaran 2010/2011 pada kategori Kurang (K) (48,8 %), namun cenderung juga ke kategori Sedang (S) (34,2 %). Saran Setelah melihat permasalahan yang ada, dan hasil penelitian, maka peneliti memberi saransaran sebagai berikut : 1. Bagi siswa hendaknya berusaha agar dapat memiliki Kesegaran Jasmani yang baik atau baik sekali dengan cara melakukan aktivitas latihan fisik, pemenuhan gizi makanan yang cukup dan istirahat yang teratur. Kesegaran Jasmani yang baik menunjang pencapaian prestasi belajar dan kelancaran tugas/pekerjaan sehari-hari. 2. Bagi guru Pendidikan Jasmani di SD Negeri Samirono Depok Sleman Yogyakarta khususnya, hendaknya dapat mengoptimalkan proses belajar, sehingga dapat lebih bermakna terhadap Kesegaran Jasmani siswanya. 3. Bagi orang tua siswa dan masyarakat, hendaknya peduli terhadap Kesegaran Jasmani putraputrinya. 4. Bagi peneliti lain, perlu diadakan penelitian yang sejenis dengan mempertimbangkan subjek yang berbeda. Daftar Pustaka Arma Abdoellah dan Agus Manadji. (2004). Dasar-Dasar Pendidikan Jasmani. Jakarta : Depdikbud. Depenas (2003). Kurikulum 2004 : Standard Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta : Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Depenas (2010). TKJI. Jakarta : Pusat Kesegaran Jasmani dan Rekreasi. Djoko Pekik Irianto (2005). Diktat Kuliah gisi Olahraga. Yogyakarta : FIK UNY. Dudi Pamungkas (2009). “Pendidikan Jasmani”.http://www.sman1-ciamis.com/smansa/ 20090623204/kurikulum/penjaskor/PENDIDIKANJASMANI/menu-id-939.html (9 Juni 2009) Hlm.1. Muslichatun. (2005). Perbandingan pengaruh frekuensi latihan senam kesegaran jasmani usia sekolah dasar antara tiga kali sampai empat kali terhadap tingkat kesegaran jasmani siswa putrid kelas IV SD Negri Gunung Pati 4 dan nongko sawit tahun ajaran 2004/2005. (laporan penelitian) Surakarta : UNS. Perdhana. (2008). Kebugaran Jasmani. http://perdhana.wordpress.com/2008/12/12/03/ kebugaranjasmani-2/.(9 Juni 2009) Hlm 1-3. Roji. (2006). Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan kelas VII. Jakarta : Erlangga. Sofa. (2008) “Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar”. http://pakdesofa.wordpress.com/2008/01/25/ karakteristik-anak-usia-sekolah dasar/. (9 Juni 2009). Hlm 1-3. Siti Safariatun. (2008). Asas dan falsafah pendidikan jasmani. Jakarta : Utama. 342 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN PENDEKATAN KOMPREHENSIF TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA, IPA, DAN IPS DI SEKOLAH DASAR Darmiyati Zuchdi, dkk. Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan model pendidikan karakter komprehensif (meliputi domain kognitif, afektif, dan perilaku, dengan metode inkulkasi, keteladanan, fasilitasi nilai, dan pengembangan hketerampilan hidup atau soft skills), yang terintegrasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS yang disertai pengembangan kultur sekolah yang kondusif. Penelitian payung berupa penelitian pengembangan, dengan tahapan: Tahun I: Pembuatan desain penelitian dan ujicoba terbatas, Tahun II: Pilot project, Tahun III: Diseminasi. Penelitian oleh tim dosen peneliti berupa pengembangan kultur sekolah selama periode penelitian (3tahun), sedangkan penelitian mahasiswa berupa pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Pada tahun pertama (uji coba terbatas) dilakukan penelitian eksperimen di 4 SD/MI di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta di Provinsi DIY, oleh 4 mahasiswa S 2. Pada tahun kedua (pilot project), model yang telah direvisi diuji dengan penelitian tindakan dengan subyek uji model yang lebih luas dan bervariasi karakteristiknya, di 6 sekolah di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Produk penelitian tahun kedua adalah draf awal buku Model Pendidikan Karakter. Pada tahun ketiga (diseminasi), dilakukan eksperimen di 12 SD/MI (6 sekolah untuk eksperimen dan 6 sekolah sebagai kelompok kontrol) di semua kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, guna memantapkan hasil uji model pada tahun kedua. Artikel ini disusun berdasar hasil penelitian tahun ketiga. Hasil penelitian tahun ketiga (2011) menunjukkan bahwa model pendidikan karakter yang efektif adalah yang menggunakan pendekatan komprehensif, terintegrasi dalam pembelajaran berbagai bidang studi, disertai pengembangan kultur sekolah. Metode dan strategi yang digunakan bervariasi, meliputi inkulkasi nilai, keteladanan, fasilitasi nilai, dan pengembangan soft skills. Aktor pendidik meliputi pimpinan sekolah, semua guru, dan orang tua murid. Tempatnya di dalam dan di luar kelas, termasuk di lingkungan keluarga dan masyarakat. Produk penelitian tahun ketiga ini adalah dua buku, yakni (1) Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah dan (2) Panduan Implementasi Model Pendidikan Karakter. Berdasar temuan ini, telah diajukan usulan kebijakan implementasi model pendidikan karakter kepada Dinas Dikpora Provinsi DIY dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kata kunci: pendidikan karakter, pendekatan komprehensif, pembelajaran terintegrasi, kultur sekolah Pendahuluan Pendidikan karakter di sekolah merupakan kebutuhan vital agar generasi penerus dapat dibekali dengan kemampuan-kemampuan dasar yang tidak saja mampu menjadikannya life-long learners sebagai salah satu karakter penting untuk hidup di era informasi yang bersifat global, tetapi juga mampu berfungsi dengan peran serta yang positif baik sebagai pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai warga negara, maupun warga dunia. Untuk itu harus dilakukan upaya-upaya instrumental untuk meningkatkan keefektifan proses pembelajarannya disertai pengembangan kultur yang positif. 343 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Lickona (1991:346) menyatakan bahwa dalam rangka mengembangkan kultur, kepala sekolah harus memiliki kepemimpinan moral dengan: (1) memperkenalkan seluruh staf sekolah dengan tujuan dan strategi pendidikan karakter, (2) mengusahakan dukungan dan partisipasi dari orang tua, (3) menjadi pelaku nilai-nilai karakter dalam interaksi yang dilakukan dengan staf sekolah, anak didik, dan orang tua. Guru memiliki peran sebagai pengasuh (caregiver), mentor, dan teladan (model). Oleh karena itu dalam mendidik karakter, seorang guru harus memiliki perilaku yang mencerminkan karakter baik yang dimilikinya dan menerapkan pendekatan dan metode yang dapat mendorong anak untuk mengembangkan karakter Sekolah dasar menjadi basis pengembangan karakter pada jenjang pendidikan formal. Oleh karena itu sangat diperlukan model pendidikan yang efektif. Penelitian Hibah Pasca terdahulu (Zuchdi, dkk: 2005-2006) pada jenjang pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hasil antara lain sebagai berikut: 1) Konteks institusonal sekolah masih belum secara optimal mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Strategi indoktrinasi masih digunakan meskipun porsinya tidak terlalu besar; kadar pemberian teladan masih perlu ditambah; fasilitasi nilai yang sangat sesuai untuk melatih kemampuan membuat keputusan justru tidak banyak digunakan; pengembangan keterampilan hidup yang terkait dengan nilai dan moralitas, antara lain berpikir kritis dan kreatif, menolak ajakan untuk berbuat tidak baik, dan mengatasi konflik, juga belum digunakan secara maksimal. 2) Iklim pendidikan karakter pada umumnya tergolong kategori sedang, artinya belum sepenuhnya kondusif. Kriteria yang dijadikan dasar penilaian meliputi perhatian guru terhadap pembedaan individual, dorongan untuk menumbuhkan jiwa dan keterampilan kepemimpinan, pengutamaan kerja sama, kepatuhan pada norma kejujuran, pengembangan kemampuan mengatasi pertentangan, dan pengembangan keterampilan berkomunikasi. 3) Output (luaran) pendididkan karakter pada jenjang sekolah dasar: keterampilan pribadi (personal) sebagian besar siswa SD tergolong kategori sedang, demikian juga keterampilan sosialnya. Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa sangat urgen upaya pengembangan model pendidikan karakter pada jenjang sekolah dasar yang terintegrasi dalam bidang-bidang studi, dengan pendekatan komprehensif, yang disertai pengembangan kultur sekolah (dalam penelitian sebelumnya disebut konteks institusional sekolah) yang kondusif. Bidang studi Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial dipilih untuk pengintegrasian pendidikan karakter karena ketiga bidang ini memungkinkan sekali untuk diajarkan secara tematis, dengan pilihan tema yang sama lintas ketiga bidang studi tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dirumuskan yaitu: Model pendidikan karakter yang bagaimanakah yang efektif untuk sekolah dasar? Produk yang diharapkan dari penelitian ini ialah model pendidikan karakter yang terpadu dalam pembelajaran bidang studi, yang disertai dengan pengembangan kultur sekolah, yang dapat meningkatkan baik hasil belajar 344 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta murid-murid dalam bidang studi maupun perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai target yang diintegrasikan. Landasan Teori a. Pendekatan komprehensif Kondisi masa kini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu. Pendekatan pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk membangun generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi masa lalu, pendidikan karakter yang bersifat indoktrinatif sudah cukup memadai untuk membendung terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma kemasyarakatan, meskipun hal itu tidak mungkin dapat membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian. Sebagai gantinya, diperlukan pendekatan pendidikan karakter yang memungkinkan subjek didik mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang saling bertentangan, seperti yang terjadi dalam kehidupan pada saat ini. Strategi tunggal tampaknya sudah tidak cocok lagi, apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan saja juga kurang efektif, karena sulitnya menentukan yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Dengan kata lain, diperlukan multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) disebut pendekatan komprehensif. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek. Pertama, isinya harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum. Kedua, metodenya harus komprehensif. Termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab, dan berbagai keterampilan hidup (soft skills) . Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, pendidik, dan pemuka masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya, dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Ketiga, pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal ini misalnya kegiatan belajar kelompok, penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai ”kebaikan”, pemberian teladan ”tidak merokok”, ”tidak korup”, ”tidak munafik”, ”dermawan”, ”menyayangi sesama makhluk Allah”, dan sebagainya. Yang terakhir, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan karakter. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan karakter/pendidikan nilai mempengaruhi karakter generasi muda (Kirschenbaum, 1995: 9-10). 345 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Metode Komprehensif Metode komprehensif meliputi dua metode tradisinal, yaitu inkulkasi (penanaman) nilai dan pemberian teladan dan dua metode kontemporer, yaitu fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini. (1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, (2) memperlakukan orang lain secara adil, (3) menghargai pandangan orang lain, (4) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat, (5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilainilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, (6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki, tidak secara ekstrem, (7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan, (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah. Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi, seperti tersebut di atas. Dalam pendidikan karakter, pemberian teladan merupakan metode yang biasa digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, pendidik atau orang tua harus berperan sebagai model atau pemberi teladan yang baik bagi peserta didik atau anak-anak. Kedua, anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama Nabi Muhammad saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain bagi yang nonmuslim. Cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, menghargai pendapat anak, mengritik orang lain secara santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan teladan oleh anak-anak. Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya, anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak. Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan menyimak. Kedua, keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain. Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (lewat Zuchdi, 1999: 14) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam berkomunikasi. Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi nilai melatih subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam metode fasilitasi ini adalah pemberian 346 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kesempatan kepada subjek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode fasilitasi nilai membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian (Kirschenbaum, 1995: 41). Metode yang terakhir, pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Ada berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. c. Evaluasi Komprehensif Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter. Secara lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi tiga ranah, yakni pemikiran/penalaran, perasaan, dan perilaku. Supaya tujuan pendidikan karakter yang berujud perilaku yang baik dapat tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan dalam situasi yang dilematis.. Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap-tahap perkembangan penalaran moral tersebut, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari keputusan moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang mana seseorang berada. Namun diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran moral seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan moral. Oleh karena itu, evaluasi yang dapat menggambarkan tingkat dan tahap penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan evaluasi terhadap tingkat perkembangan afektif yang terkait dengan permasalahan nilai/moral. Sebagai halnya Kohlberg yang telah menghasilkan temuan tentang perkembangan moral dalam ranah kognitif, Dupon (1980) telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut. (1) Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya. (2) Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal. (3) Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral. (4) Psychological-Personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen pada sesuatu yang ideal. (5) Antonomous: didominasi oleh sifat otonomi. (6) Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar. Untuk menentukan seseorang berada pada tahap perkembangan afektif yang mana, Dupon menggunakan instrumen yang menuntut adanya respons yang melibatkan perasaan. Di samping cara tersebut, dapat juga dilakukan pengukuran dengan menggunakan ”skala sikap” seperti yang dikembangkan oleh Likert atau Guttman, semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, atau cara yang lain. Meskipun namanya ”skala sikap” karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan nilai. 347 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Perilaku moral atau tindakan moral (moral action) hanya mungkin dievaluasi secara akurat dengan melakukan pengamatan dalam jangka waktu yang relatif lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter atau kualitas akhlak yang akan dievaluasi, misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil, disiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diamatii agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah. d. Pembelajaran Terintegrasi Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik, karena mereka memahami konsep-konsep, keterampilan-keterampilan dan nilai-nilai yang mereka pelajari dengan menghubungkannya dengan konsep dan keterampilan lain yang sudah mereka pahami. Konsep, dan keterampilan tersebut dapat berasal dari satu bidang studi (intrabidang studi), dapat pula dari beberapa bidang studi (antarbidang studi). Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan, mengingat masalah yang kita hadapi hanya mungkin dapat diatasi secara tuntas dengan memanfaatkan berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau multidisipliner. 1) Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia Salah satu tujuan belajar bahasa Indonesia ialah untuk mempelajari bidang-bidang yang lain. Dengan kata lain, belajar bahasa hendaknya fungsional, di samping menguasai kaidah bahasa, peserta didik harus menggunakannya untuk berbagai keperluan, termasuk untuk mengembangkan karakter yang baik, budi pekerti yang luhur, atau akhlak yang mulia. Misalnya supaya subjek didik berperilaku jujur, pembelajaran bahasa dapat diberi muatan nilai-nilai kejujuran. Kegiatan berbahasa yang meliputi menyimak, membaca, berbicara, dan menulis, serta bentuk-bentuk linguistik yang dipelajari, kalau mungkin juga kegiatan apresiasi sastra, dilaksanakan secara terpadu dengan dipayungi oleh tema-tema yang sekaligus juga merupakan nilai-nilai target yang hendak dikembangkan. Hal ini sesuai dengan saran Hasley (1993: 364) bahwa dalam memilih tema-tema untuk pendidikan karakter harus dengan kriteria ”an emotionally charged concern”, yang dapat memotivasi atau sangat mempengaruhi tingkah laku. 2) Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Pentingnya sains, bagi pengembangan karakter warga masyarakat dan negara telah menjadi perhatian para pengembang pendidikan sains di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat dan negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui PISA (Rustaman, 2007: 24). Sains diyakini berperan penting dalam pengembangan karakter warga masyarakat dan negara, karena kemajuan produk sains yang amat pesat, keampuhan proses sains yang dapat ditransfer pada berbagai bidang lain, dan kekentalan muatan nilai, sikap, dan moral di dalam sains (Rutherford & Ahlgren, 1990). Pembelajaran sains, sewajarnya dilaksanakan dengan cara khusus, sehingga mampu menampilkan pembelajaran yang efektif. Selama ini, sebagian besar dari berbagai pembelajaran termasuk sains didasarkan pada tiga ranah Taksonomi Bloom, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik dan telah diusahakan berorientasi baik pada materi maupun proses. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran berbasis ranah Bloom pun tidak seimbang dan tidak holistik yaitu umumnya hanya 348 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menitikberatkan pada tujuan ranah kognitif dan menghindari tujuan ranah afektif (Collete-Chiapetta, 1994:441), sehingga pembelajaran berlangsung: (1) tidak menyenangkan, menimbulkan sikap negatif terhadap mata pelajaran sains; (2) pasif, didominasi ceramah guru;.(3) monoton, tidak memberi peluang pengembangan kreatifitas; dan (4) tidak efektif, jumlah waktu yang disediakan belum maksimal termanfaatkan bagi pencapaian kompetensi peserta didik. Allan J. MacCormack dan Robert E. Yager (Prasetyo, 1998: 146-151) sejak tahun 1989 mengembangkan a new “Taxonomy for Science Education”:. Lima ranah dalam taksonomi untuk pendidikan sains ini lebih luas dan mendalam daripada contents and process, serta, dipandang merupakan perluasan, pengembangan dan pendalaman tiga ranah Bloom, yang mampu meningkatkan aktivitas pembelajaran sain di kelas dan mengembangkan sikap positif terhadap mata pelajaran itu (Loucks-Horsley, dkk. 1990). Ranah I – Knowing and Understanding (knowledge domain). Ranah ini termasuk: fakta, konsep, hukum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis dan teori yang digunakan para saintis, dan masalah-masalah sains dalam kehidupan sosial. Ranah II – Exploring and Discovering (process of science domain) adalah penggunaan beberapa proses sains untuk belajar, yang terdiri dari (1) proses sains dasar: observasi, komunikasi, klasifikasi, pengukuran, inferensi, dan prediksi dan (2) proses sains terpadu: identifikasi variabel, penyusunan tabel data, pembuatan grafik, diskripsi hubungan antar variabel, penyediaan dan pemrosesan data, analisis investigasi, penyusunan hipotesis, definisi operasional variabel, desain investigasi, dan eksperimen.Ranah III – Imagining and Creating (creativity domain). Terdapat beberapa kemampuan penting manusia dalam domain ini, yaitu: mengkombinasikan beberapa objek dan ide melalui cara-cara baru; menghasilkan alternatif atau menggunakan objek yang tidak biasa digunakan; mengimajinasikan; memimpikan; dan menghasilkan ide-ide yang luar biasa.Ranah IV – Feeling and Valuing (attitudinal domain). Ranah ini mencakup: pengembangan sikap positif terhadap sains secara umum, sains di sekolah, dan para guru sains; pengembangan sikap positif terhadap diri sendiri, misalnya ungkapan yang mencerminkan rasa percaya diri ”I can do it!”; pengembangan kepekaan, dan penghargaan, terhadap perasaan orang lain; dan pengambilan keputusan tentang masalah-masalah sosial dan lingkungan. Ranah V – Using and Applying (application and connection domain). Beberapa ukuran domain koneksi dan penerapan adalah: mengamati contoh konsep-konsep sains dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains yang telah dipelajari untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari; mengambil keputusan untuk diri sendiri yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan gaya hidup berdasarkan pengetahuan sains daripada berdasarkan apa yang ”didengar” dan yang ”dikatakan” atau emosi; serta memadukan sains dengan subjek-subjek lain. 3) Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Dalam kurikulum Pendidikan Nasional, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggungjawab, serta warga dunia yang cinta damai. Oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan 349 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat yang kompleks dan selalu berubah (BSNP, 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa IPS pada jenjang SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki: 1. kemampuan mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya, 2. kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial, 3. komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan 4. kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global. Tujuan utama tersebut kemudian dijabarkan menjadi sejumlah tujuan yang masing-masing mencerminkan aspek-aspek hasil belajar yang harus diwujudkan. Dengan mempelajari IPS diharapkan para peserta didik pada jenjang sekolah dasar: 1. memiliki kesadaran diri yang tinggi, mampu mengklarifikasi nilai-nilai, dan memiliki jati-diri yang mantap; 2. memiliki pemahaman tentang fenomena-fenomena pada masa lalu, tokoh-tokohnya dan perannya dalam mengukir kehidupan masa kini; 3. memahami dan dapat bekerjasama dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai dan gaya hidup yang berbeda; 4. memahami sistem kehidupan dalam kaitannya dengan wilayah geografis, ekonomi, pemerintahan dan kebudayaan tertentu; 5. mampu secara mandiri melakukan penyelidikan terhadap suatu masalah, dan memberikan solusinya secara kritis; 6. memiliki kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dan peran apa yang dapat disumbangkan; 7. menghargai usaha orang lain dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama; 8. memahami prosedur pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat dan mampu melakukannya; 9. mampu menggunakan pendekatan kooperatif maupun kompetitif untuk mencapai tujuan; 10. menyadari potensi yang ada pada dirinya dan orang-orang yang terkait dengan dirinya; dan 11. menghormati warisan budaya dan lembaga adat, serta memiliki wawasan untuk melestarikannya (Ellis, 1998:3-4). Tujuan-tujuan tersebut mengharuskan pembelajaran IPS mengintegrasikan nilai-nilai untuk mengembangkan karakter warganegara yang baik. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengem-bangkan keterampilan menilai (valuing) dan moral reasoning antara lain cognitivedevelopmental approach, character development, values clarification , and values analysis (Skeel, 1995:196). Namun pendekatan yang dipandang efektif adalah pendekatan komprehensif seperti yang telah disajikan pada bagian depan. 350 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Penelitian a.Tahapan Pengembangan Model Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian yang relevan, dirancang model pendidikan karakter komprehensif yang terintegrasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS di MI/SD dan pengembangan kultur sekolah yang kondusif. Tahap Ujicoba Terbatas (Tahun 2009): Pada tahap ini dilakukan ujicoba model di empat MI/SD di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, dalam bentuk penelitian eksperimen oleh tim dosen peneliti (pengembangan kultur sekolah) dan oleh empat orang mahasiswa S-2 (2 orang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, 1 orang dalam IPA, dan 1 orang dalam IPS). Data hasil ujicoba dianalisis untuk mengetahui keefektifan model. Kriteria yang digunakan adalah peningkatan secara signifikan dalam kebiasaan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai: kejujuran, kedisiplinan, kesabaran, kerja sama, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan ketaatan beribadah pada siswa, guru, pimpinan sekolah, dan pegawai administrasi. Model yang sudah direvisi oleh mahasiswa peneliti tahun kedua, diuji ulang terhadap subjek uji yang lebih luas dan bervariasi karakteristiknya. Tahap Pilot project (Tahun 2010): Model yang sudah direvisi diuji ulang lagi oleh 6 orang mahasiswa S-2 dalam bentuk penelitian replikasi. Populasi dan sampel penelitian pada tahap pilot project ini adalah MI/SD di Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta. Karakteristik sekolah meliputi kategori kurang, sedang, dan baik. Lokasi sekolah meliputi desa/pinggiran kota dan kota. Apabila hasil ujicoba pada tahap pilot project ini masih ditemukan beberapa kelemahan, dilakukan revisi lagi, kemudian diimplementasikan pada tahap desiminasi. Tahap Implementasi (Tahun 2011): Pada tahap ini model pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif, yang terintegrasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS, yang didukung oleh kultur sekolah yang kondusif, diimplementasikan di dua belas MI/SD di seluruh Provensi DIY. Hasil implementasi ini dijadikan dasar penyempurnaan buku Model Pendidikan Karakter dan pembuatan usulan kebijakan implementasi model pendidikan karakter. Artikel ini disusun berdasar penelitian tahap implementasi, yang berbentuk penelitian eksperimen. Subjek uji model pada tahap ini adalah dua belas SD/MI (enam sekolah sebagai kelompok eksperimen dan enam sekolah sebagai kelompok kontrol) di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Gunung Kidul. 351 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Data hasil belajar Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS dikumpulkan dengan tes, sedangkan data aktualisasi nilai-nilai target oleh peserta didik dikumpulkan dengan angket dan observasi. Data pengembangan kultur sekolah, yang berupa persepsi mengenai suasana sekolah dikumpulkan dengan angket, aktualisasi nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kerjasama, tanggung jawab, kepedulian, dan ketaatan beribadah, dan kepemimpinan kepala sekolah dikumpulkan dengan instrumen evaluasi diri (laporan mingguan oleh ketua kelas), observasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif inferensial dengan teknik MANOVA untuk data yang dikumpulkan dengan angket dan analisis kualitatif untuk data yang dikumpulkan dengan evaluasi diri, observasi dan wawancara. Hasil Penelitian a. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran (1) Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Penelitian berjudul “Keefektifan Media Pembelajaran Cerita Binatang untuk Pendidikan Nilai dan Keterampilan Menyimak dalam Mata Pelajaran Bahasa Indoesia” (Siti Salamah, 2011) bertujuan untuk mengetahui keefektifan cerita binatang dan boneka tangan untuk pendidikan nilai dan keterampilan menyimak. Penelitian ini merupakakan penelitian eksperimen semu dengan pretest-postest control group design. Populasi penelitian ini semua siswa kelas III di SDN Panjatan Gunungkidul (sebagai kelompok ekspereimen) dan di SDN Bunder II Gunung Kidul (sebagai kelas kontrol). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar dan lembar observasi dan pedoman wawancara. Data hasil belajar yang diperoleh melalui instrumen tes hasil belajar dianalisis secara kuantitatif dengan teknik MANOVA. Data implementasi nilai yang diperoleh melalui instrumen lembar observasi dan pedoman wawancara dianalisis secara kualitatif. Hasil peelitian menunjukkan bahwa, bahwa baik dalam hasil relajar berupa keterampilan menyimak maupun aktualisasi nilai-nilai ketaatan beribadah, kejujuran, kerendahan hati, dan kepedulian, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kelompok kontrol lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media belajar cerita binatang dan boneta tangan efektif untuk pendidikan nilai yang diintegrasikan dalam pelajaran menyimak. (2) Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPA Salah satu penelitian dilakukakn oleh Imelda Paulina Soko berjudul “Pengaruh Pemanfaatan Media Flash Berbasis Karakter terhadap Keefektifan Pembelajaran IPA SD. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui perbedaan nilai karakter terkait nilai Ketaatan Beribadah, Tanggung Jawab, dan Peduli Lingkungan antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang 352 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media PowerPoint, pada mata pelajaran IPA SD; (2) mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Power Point, pada mata pelajaran IPA SD; (3) mengetahui perbedaan aktivitas belajar antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media PowerPoint pada mata pelajaran IPA SD. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu dengan desain randomized pretest-posttest control group. Populasi penelitian adalah semua siswa kelas IV SD Negeri Jetisharjo dan SD Negeri Bangirejo. Sampel dipilih dengan teknik restricted random sampling untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data diperoleh dengan: (1) Tes, untuk mengukur hasil belajar siswa, (2) Non Tes, berupa: angket (kuisioner) dengan skala Likert, dan lembar observasi. Pengukuran didasarkan pada skor yang diperoleh siswa berdasarkan hasil tes, pengisian angket tentang nilai karakter, dan hasil pengamatan. Data dianalisis menggunakan teknik: (1) statistik deskriptif dan (2) statistik inferensial dengan Multivariate Analysis of Variance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan nilai karakter terkait nilai Ketaatan Beribadah, Tanggung Jawab, dan Peduli Lingkungan antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media PowerPoint, pada mata pelajaran IPA SD; (2) terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media PowerPoint pada mata pelajaran IPA SD; (3) terdapat perbedaan aktivitas belajar antara siswa pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media Flash Berbasis Karakter dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan Media PowerPoint pada mata pelajaran IPA SD. (3) Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS Salah satu penelitian dilakukan oleh Chairiyah berjudul “Keefektifan Metode Membaca Cerita Untuk Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar”. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji keefektifan metode membaca cerita untuk pendidikan karakter yang difokuskan pada nilai ketaatan beribadah, kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian, (2) menguji keefektifan metode membaca cerita untuk meningkatkan hasil belajar kognitif. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan pre-test dan post-test control group design. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yakni SDN Nanggulan I sebagai kelompok eksperimen dan SDN Jatisarono sebagai kelompok kontrol. Subjek penelitian ini adalah semua siswa 353 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kelas V (lima) dari SDN Nanggulan I dan SDN Jatisarono. Data diperoleh dengan tes dan nontes. Tes untuk mengukur hasil belajar dan nontes untuk nilai-nilai karakter yang berupa ketaatan beribadah, kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian. Data dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial dengan teknik MANOVA pada taraf signifikansi 95% (p=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar kognitif dan nilai-nilai karakter siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis MANOVA bahwa F= 45,230 dengan p = 0,000 untuk hasil belajar kognitif, F = 1,037 dengan p = 0,313 untuk nilai ketaatan beribadah, F = 0,177 dengan p = 0,676 untuk nilai kejujuran, F = 19,672 dengan p = 0,000 untuk nilai tanggung jawab, dan F =8,839 dengan p = 0,004 untuk nilai kepedulian. Kenaikan semua skor dalam kelompok eksperimen lebih tinggi daripada dalam kelompok kontrol. b. Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Kultur Sekolah Model pendidikan karakter melalui pengembangan kultur sekolah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1) menentukan nilai-nilai target yang dikembangkan, 2) menyusun rancangan langkah-langkah pengembangan kultur sekolah, 3) melaksanakan pengembangan kultur sekolah, 4) mengevaluasi hasil pengembangan kultur sekolah, dan 5) merancang kembali pengembangan kultur sekolah. 1) Menentukan nilai-nilai target yang dikembangkan Berdasarkan analisis terhadap nilai yang perlu ditanamkan pada setiap sekolah, ditentukan nilai-nilai target. Pada implementasi pendidikan karakter melalui pengembangan kultur sekolah yang dilakukan dalam penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk. (2009-20011), nilai-nilai target diintegrasikan dalam pengembangan profil suasana sekolah, perilaku murid, dan kepemimpinan kepala sekolah. Dalam aspek profil suasana sekolah diintegrasikan nilai nilai: kesabaran, kerjasama, kepedulian, kejujuran, ketaatan beribadah, tanggung jawab, dan kenyaman sekolah. Dalam aspek perilaku murid diintegrasikan nilai nilai: kedisiplinan, kejujuran, persaudaraan, dan ketaatan beribadah. Dalam aspek kepemimpinan kepala sekolah diintegrasikan nilai nilai: keteladanan, tanggung jawab, kedisiplinan, rasa kekeluargaan, tindakan demokratis, komunikasi dengan warga sekolah, perhatian terhadap masalah moral, dan ketaatan beribadah. 2) Menyusun rancangan langkah-langkah pengembangan kultur sekolah Guna menciptakan kultur yang bermoral, di sekolah perlu diciptakan lingkungan sosial yang mendorong peserta didik memiliki moralitas yang baik/karakter yang terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu sekolah memiliki suasana yang nyaman, para peserta didik berusaha untuk memelihara dan menjaga kenyamanan itu. Sebaliknya apabila suatu sekolah tidak memiliki 354 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta suasana yang nyaman, sulit bagi peserta didik untuk dididik mempertahankan kenyamanan di sekolah tersebut. 3) Melaksanakan pengembangan kultur sekolah Pengembangan kultur sekolah yang mendukung pendidikan karakter di sekolah dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan peserta didik, serta dengan bantuan orang tua. Prosedur pelaksanaan pengembangan kultur sekolah dalam siklus-siklus, yang seharusnya dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Dalam setiap siklus dilakukan: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan disertai pengamatan, (3) refleksi (merenungkan kelebihan dan kekurangan tindakan), dan (4) perencanaan kembali tindakan untuk siklus berikutnya. Dalam penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk. (2009-2011), tindakan yang dilakukan berupa: (1) kantin kejujuran (hanya pada tahun pertama, karena ada berbagai kendala), (2) penyediaan tempat pengembalian barang temuan, (3) laporan ketua kelas seminggu sekali mengenai berbagai masalah yang muncul (antara lain mencontek, berkelahi/bertengkar, tidak mengerjakan PR/dikerjakan oleh orang lain, kehilangan barang tidak kembali, meminjam barang tanpa izin, dn datang terlambat), (4) pemberian balikan kepada kepala sekolah mengenai kepemimpinan moral, dan (5) pemantauan ketaatan beribadah oleh orang tua dan sekolah. 4) Mengevaluasi hasil pengembangan kultur sekolah Evaluasi terhadap hasil pengembangan kultur sekolah untuk memperoleh informasi tentang keberhasilan maupun kendala pelaksanaan pengembangan kultur sekolah. Informasi tentang hal tersebut digali melalui tiga aspek, yaitu: persepsi mengenai suasana sekolah, perilaku murid, dan kepemimpinan kepala sekolah. Persepsi mengenai suasana sekolah diungkap dari kepala sekolah, guru, dan siswa melalui angket. Perilaku murid diungkap dari hasil pengamatan dan laporan ketua kelas. Persepsi mengenai kepemimpinan kepala sekolah diungkap melalui wawancara dengan guru di tiap sekolah, misalnya guru kelas, guru agama, dan guru olah raga. 5) Merancang kembali pengembangan kultur sekolah Program pengembangan kultur sekolah perlu dirancang kembali apabila dalam pelaksanaannya banyak menemui kendala. Ada tidaknya kendala dalam pelaksanaan pengembangan kultur sekolah diperoleh melalui penilaian dari tiga aspek seperti disebutkan di atas. Perencanaan kembali pengembangan kultur sekolah dilakukan untuk melaksanakan tindakan (pengembangan kultur sekolah) pada siklus selanjutnya, setelah memperoleh informasi dari berbagai sumber dan cara dalam pelaksanaan pengembangan kultur sekolah yang telah dilaksanakan pada siklus sebelumnya. 355 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil pengembangan kultur sekolah menunjukkan bahwa profil suasana sekolah, nenurut persepsi warga sekolah tergolong baik untuk aspek kesabaran, kerjasama, kepedulian, kejujuran, ketaatan beribadah, dan tanggung jawab, sedangkan untuk kenyamanan masih ada beberapa sekolah yang kurang nyaman karena kapasitas kelas tidak sebanding dengan jumlah peserta didik. Perilaku peserta didik meningkat baik dalam kedisiplinan (terjadi penurunan jumlah anak yang tidak mengerjakan PR dan yang datang terlambat); kejujuran (jumlah anak yang menyontek berkurang), dan persaudaraan (terjadi peningkatan kesediaan menjenguk teman yang sakit dan meminjamkan barang kepada teman). Mengenai kepemimpinan kepala sekolah, dari enam sekolah partisipan penelitian ini, semua kepala sekolah termasuk kategori baik dalam aspek tanggung jawab, rasa kekeluargaan, tindakan demokratis, dan perhatian terhadap masalah moral; sedangkan untuk keteladanan, kedisiplinan, atau komunikasi dengan warga sekolah masingmasing masih ada satu kepala sekolah yang termasuk kategori kurang. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif yang terintegrasi dalam pembelajara Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS ternyata dapat meningkatkan nilai-nilai target yang dipilih. Temuan penelitian ini mendukung pendapat Krischenbaum bahwa inovasi pendidikan nilai dan moralitas secara parsial tidak dapat mengatasi masalah moral yang smakin rumit. Penggunaan metode pendidikan karakter yang bersifat tradisioanal, yaitu inkulkasi (penanaman) nilai dan keteladanan harus dilengkapi dengan metode yang bersifat kontemporer, yaitu fasilitasi nilai dan pengembangan soft skills (1995: 8 dan 32). Dalam pengembangan kultur sekolah, temuan penelitian ini selaras dengan anjuran Lickona (1991:325), yang meletakkan kepemimpinan kepala sekolah sebagai elemen nomor satu dari enam elemen yang harus dikembangkan. Kepala sekolah yang memiliki jiwa keteladanan dalam hal tanggung jawab, kedisiplinan, kekeluargaan, tindakan demokratis, komunikasi dengan warga sekolah, perhatian terhadap masalah moral, dan ketaatan beribadah, diapresiasi oleh para guru. Hal ini berarti bahwa sekolah yang mendambakan kemajuan harus dipimpin oleh kepala sekolah yang dapat dijadikan teladan dalam pemikiran, sikap, dan perilakunya sehari-hari. Peranan kepala sekolah dalam pengembangan kultur dapat dilihat pada gambar 5. Peranan sentral kepala sekolah dalam pengembangan kultur yang positif dapat divisualkan dalam gambar di bawah ini. Kepala sekolah seharusnya yang berjiwa kepemimpinan moral, yakni merupakan pribadi yang di dalam dirinya tertanam nilai-nilai kemanusiaan, baik yang bersifat personal seperti kedisiplinan dan ketaatan beribadah, maupun nilai-nilai sosial seperti kekeluargaan, demokrasi, komunikasi efektif, dan kepedulian terhadap masalah moral siswa dan guru. Dalam rangka membudayakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sekolah, seorang kepala sekolah perlu bekerja secara kolabortif dengan guru-guru yang dipimpinnya untuk menjalin 356 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kemitraan dengan orang tua murid, pemuka masyarakat, pimpinan media massa, bahkan dengan ulama, pimpinan kepolisian, serta selebritis dan olahragawan yang berkarakter terpuji atau berakhlak mulia. Dengan prakarsa sekolah, mereka perlu disatulangkahkan dalam Komite Pendidikan Karakter (KPK) seperti yang disarankan oleh Kirschenbaum (1995: 241-242). KPK inilah yang mengembangkan program pendidikan karakter, mulai dari penentuan nilai-nilai target, pembuatan rancangan, pemantauan pelak--sanaan, sampai dengan evaluasi hasil pendidikan karater beserta tindak lanjutnya. Paling tidak sekolah melibatkan KPK meski hanya dalam bentuk memberikan persetujuan dan turut mengawal pelaksanaan program. Dalam penelitian ini, orang tua baru dilibatkan dalam memantau ketaatan beribadah anakanak di lingkungan keluarga. Apabila KPK dapat dibentuk, keterlibatan tersebut dapat diperluas. Pemuka masyarakat dan selebritis serta olahragawan berkarakter terpuji juga dapat dilibatkan dalam pendidikan karakter. Mereka diharapkan dapat menjadi tokoh-tokoh idola, yang dapat menjadi teladan bagi anak-anak dalam berperilaku sehari-hari dan menginspirasi mereka dalam mengukir jalan hidup. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karákter dengan pendekatan komprehensif, yang terintegrasi dalam pembelajaran bidang studi, disertai dengan pengembangan kultur sekolah, dapat meningkatkan karakter peserta didik. Strategi pembelajaran dapat bervariasi, yang termasuk dalam metode inkulkasi nilai, keteladanan, fasilitasi nilai, dan pengembangan soft skills. Diperlukan keterlibatan orang tua bahkan public figure dalam pengembangan karakter peserta didik. Hal ini dapat dijembatani dengan pembentukan KPK (Komite Pendidikan Karakter) atau pembentukan Divisi Pendidikan Karakter dalam Komite Sekolah yang sudah ada. Model Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Pembelajaran Bidang Studi dan Pengembangan Kultur ini terbukti efektif untuk meningkatkan hasil studi dan aktualisasi nilai-nilai target yang dikembangkan. Oleh karena itu, diajukan rekomendasi kepada Dinas Pendidikan Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk membuat kebijakan implementasi model pendidikan karakter ini di Provinsi DIY. Demikian juga kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia diajukan rekomendasi untuk membuat kebijakan implementasi model ini di Indonesia. Semoga Allah swt meridhoi upaya kita bersama untuk membangun karakter bangsa Indonesia. Amin. 357 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Collette, Alfred T., dan Eugene L. Chiappetta. 1994. Science Instruction In the Middle and Secondary Schools. 2nd Edition. New York: Macmillan Pub. Co. Damon, William, Ed. (2002). Bringing a new era in character education. Stanford, California: Hoover Institution Press. Halstead, M.J. & Taylor, M.J. (2000). Research review learning and teaching About valuees: a review of recent research. Cambridge Journal of Education. 30, 2, 68-84. Kirschenbaum, H. (1995). Enhance values and morality in schools and youth. Settings. Boston: Allyn and Bacon. Kyle, R.M. J. (1985). Reaching for excellence. Washington D.C.: US Government Printing Office. Llickona, T. (1992). Educating for character, how our schools can teach respect. Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Loucks-Horsley, S., et al. 1990. Elementary School Science for the ’90’s. Andover, MA: Network. Prasetyo, Zuhdan K. Taksonomi untuk Pendidikan Fisika (Sains) Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan Majalah Ilmiah Kependidikan. Edisi Khusus Dies, Mei 1998, 146-151. Rezba, Richard J., dkk.1995. Learning and Assessing Science Process Skills. 3rd Edition. Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt Pub. Co. Rustaman, Nuryani Y. 2007. Basic Scientific Inquiry in Science Education and Its Assessment. Keynote Speaker in the First International Seminar of Science Education on “Science Education Facing Againt the Challenges of the 21st Century”. Indonesia University of Education, Bandung: 27 October 2007. Skeel, Dorothy J. (1995), Elmentary Social Studies: Challenges for Tomorrow’s World, Orlando, Florida: Harcourt Brace & Company. Zuchdi, Darmiyati. (2010). Humanisasi pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. Zuchdi, Darmiyati, dkk. (2011). Model Pendidikan Karakter Terin-tegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta: UNY Press. ____________________ (2011). Panduan Implementasi Model Pendi-dikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta: UNY Press. 358 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TEACHING GAME FOR UNDERSTANDING PADA PEMBELAJARAN PERMAINAN BOLAVOLI Yuyun Ari Wibowo Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih efektif mana antara pendekatan pembelajaran Teaching Game For Understanding (TGFU) dan pendekatan pembelajaran teknik dalam meningkatkan keterampilan bermain bolavoli siswa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Teknik pengumpulan data menggunakan tes dan pengukuran. Instrumen yang digunakan adalah Game Performance Assessment Instrument (GPAI). Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 2 Pandak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran TGFU lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan bermain bolavoli siswa, dibandingkan dengan model pendekatan teknik. Pendahuluan Pendidikan diartikan sebagai proses mendewasakan peserta didik, mentranfer ilmu kepada peserta didik. Pendidikan biasanya melalui sebuah pembelajaran dimana di dalamnya akan memuat tentang interaksi antar guru dan siswa, mempelajari sesuatu, transfer ilmu. Proses pembelajaran didalamnya akan memuat tentang belajar. Paradikma pembelajaran pendidikan jasmani yang sekarang berkembang, berorientasi pada ranah fisik dan psikomotor. Peserta didik cenderung hanya mengikuti atau meniru dari apa yang disampaikan oleh guru. Pendekatan pembelajarannya masih pada teknik, sehingga guru terkesan dan terlihat kurang kreatif dan inovatif. Sementara dilain sisi kita bisa melihat bahwa tujuan dari pada pembelajaran pendidikan jasmani secara garis besar ialah meningkatkan aspek afektif, kognitif, fisik, dan psikomotor. Pembelajaran dengan pendekatan teknik yang sekarang dikembangkan diharapkan mampu membuat siswa dapat bermain cabang olahraga tertentu dengan baik, tapi kenyataan dilapangan berkata lain. Permasalahannya adalah mengapa mereka yang telah menguasai teknik dengn baik, namun dalam bermain tidak bisa bagus. Mengapa permasalahan itu bisa terjadi?. Bila kita semua melihat kenyataannya dilapangan taktik itu sangat dibutuhkan dalam sebuah permainan apapun. Pergeseran paradikma dalam pembelajaran pendidikan jasmani, membuat banyak orang mulai meninggalkan behavioristik. Pendekatan yang lebih menekankan pada memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar ini kini semakin banyak ditinggalkan. Proses pembelajaran pendidikan jasmani yang lebih berorientasi pada teknik kini mulai banyak ditinggalkan. Penilain kini tidak lagi berbasis pada hasil semata. SMP N 2 Pandak Bantul merupakan salah satu sekolah yang olahraganya tergolong bagus. Sekolah ini memiliki banyak medali dari beberapa cabang olahraga yang diikuti olah siswa-siswinya. SMP N 2 Pandak secara fasilitas olahraga tergolong cukup memadai di samping sekolah terdapat lapangan sepakbola, di dalam sekolah ada lapangan bulutangkis, bolavoli dan bolabasket meskipun tempatnya jadi satu, tapi penggunaannya dapat bervariasi sesuai dengan yang diinginkan. 359 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pendidikan jasmani merupakan sebuah pendidikan yang menggunakan aktivitas jasmani sebagai alat dalam pencapaian tujuan pendidikan. Gerak aktif dari peserta didik merupakan esensi dari pembelajaran pendidikan jasmani. Menurut Nixon dan Jewett dalam Arma Abdoelah (1996: 2) pendidikan jasmani ialah suatu aspek dari proses pendidikan keseluruhan yang berkenaan dengan perkembangan dan penggunaan kemampuan gerak individu yang sukarela dan berguna serta berhubungan langsung dengan respons mental, emosional dan sosial. Pembelajaran pendidikan jasmani memungkinkan disampaikan dengan olahraga kecabangan serta aktivitas fisik. Olahraga kecabangan misalnya sepakbola, bolavoli, bolabasket dan lain-lain. Pembelajaran pendidikan jasmani yang disampaikan melalui aktivitas fisik misalnya melalui aktivitas luar kelas seperti out-bound. Pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Menengah Pertama mengajarkan mengenai permainan bola besar dan permainan kecil. Pembelajaran permainan bolavoli termasuk dalam permainan bola besar bersama sepakbola dan bolabasket. Keterampilan Bermain Bolavoli Permainan bolavoli secara hakikat adalah permainan memvoli bola dengan menggunakan bagian dari anggota badan untuk diseberangkan melewati atas net dan jatuh di lapangan lawan. Permaian bolavoli termasuk permaian beregu dengan jumlah pemain enam orang untuk satu timnya, permainan ini bertujuan memenangkan poin dengan jalan melewatkan bola melewati atas net dan jatuh dilapangan lawan dan mencegah bola agar tidak jatuh ke lapangan permainan sendiri. Permaianan bolavoli membolehkan dalam satu regu memvoli bola sebanyak tiga kali, namun tidak diperkenankan memvoli bola dua kali berturut kecuali pada saat melakukan block. Menurut Yunyun Yudiono dan Toto Subroto (2010: 39) terdapat tiga keterampilan dasar memainkan bola, yaitu (1) keterampilan dasar memantulkan bola dan mengoperkan bola, (2) keterampilan dasar memukul bola, dan (3) keterampilan dasar membendung bola. Pembelajaran Model TGFU Pembelajaran pendidikan jasmani dapat disampaikan melalui beberapa model pembelajaran, salah satunya ialah model Teaching Game for Understanding. Linda L. Griffin (2005: 1) menyatakan bahwa model Teaching Game for Understanding (TGFU) adalah pembelajaran yang berpusat pada permainan dan siswa untuk mempelajari permainan yang berkaitan dengan olahraga menggunakan pendekatan konstruktif. Menurut Mitchell, Oslin, and Griffin (1997: 4) A Tactical games approach is the first text that provides both the rationale for rethingking games teaching and the materials that teachers can use in schools. Menurut Metzler (2005: 403) Game with the same classification share many common features that students can be tought to recognize and carry over to other games is that category. Dari pendapatnya metzler maka games dalam teaching game for understanding (TGFU) dapat diklasifikasi menjadi empat ,ke empat permainan atau games itu adalah: 1. Permainan Net (Net/wall games) Permainan net adalah olahraga permainan yang menggunakan net sebagai pembatas, dan membagi lapangan menjadi dua. Olahraga permainan net bisa berupa permainan team maupun individu. Skor atau poin dalam permainan net didapat apabila 360 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mampu memberikan bola atau proyektil jatuh di lapangan lawan, atau lawan tidak mampu mengembalikan bola melewati atas net dengan ketinggian tertentu. Olahraga permainannya misalnya: bolavoli, tenis meja, tenis lapangan, bulutangkis dan sepak takraw. 2. Permainan Target (Target games) Permainan target adalah bentuk permainan melempar atau memukul bola atau proyektil dan sejenisnya, diarahkan pada sasaran tertentu. Skor diperoleh apabila mampu mengenai sasaran. Contoh dari permainan target adalah panahan, biliar, bowling, golf, dll. 3. Permainan pukul-tangkap-lari (Fielding Games /Striking) Permainan pukul-tangkap-lari merupakan permainan tim yang cara bermainnya dengan cara memukul, berlari dan menangkap. Cara memperoleh nilai dalam permainan ini dengan memukul bola atau proyektil untuk ditempatkan pada tempat tertentu agar pemukul dapat bebas berlari ketempat yang aman. Permainan ini pukul-tangkap-lari ini contohnya adalah baseball, softball, kriket, kasti, dll 4. Permainan Invasi/Teritorial (Invasion Games) Permainan invasi adalah permainan penguasaan daerah. Skor dalam permainan ini diperoleh apabila satu regu mampu memasukkan bola atau proyektil kegawang lawan atau kedaerah tertentu. Pemenangnya adalah regu yang paling banyak memasukkan bola kegawang lawan dan mampu mempertahankan gawangnya. Permainan invasi contohnya ialah: sepak bola, hoki, bola basket, rugby, polo air. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 2 Pandak. Sampel dipilih secara random kelas, sehingga terpilih kelas VIIA dan VIIC sebagai sampel. Kelas VIIC diberi perlakuan dengan model pendekatan TGFU, sementara kelas VIIA dengan pendekatan teknik sebagi kelompok kontrol. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan GPAI. Teknik analisis data Hasil Penelitian Keterampilan bermain bolavoli pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol siswa kelas VII SMP N 2 Pandak. Berikut ini akan disajikan hasil (pretest) pada table 1 di bawah ini. Tabel 1. Keterampilan Bermain Bolavoli Sebelum Perlakuan (Pretest) No. 1. 2. 3. 4. 5. Keterampilan Bermain Bolavoli Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Total Kelompok Eksperimen f % 0 0,0 0 0,0 0 0,0 10 27,8 26 72,2 36 100,0 361 Kontrol f % 0 0 0 11 25 36 0,0 0,0 0,0 30,6 69,4 100,0 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Keterampilan bermain bolavoli pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol siswa kelas VII SMP N 2 Pandak. Hasil pretest secara visual dapat disajikan pada gambar berikut ini. 0.8 Frekuensi (%) 0.7 0.6 0.5 0.4 Eksperimen Kontrol 0.3 0.2 0.1 0 Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Tinggi Keterampilan Bermain Bolavoli (Pre-test) Berdasarkan analisis deskriptif, diperoleh mean untuk keterampilan bermain bolavoli sebelum perlakuan (pretest) pada kelompok eksperimen sebesar 7,72; median 7,50; mode 7; dan standart deviasi 1,846. Rerata tersebut berada pada interval kelas 5-8 kategori sangat rendah. Adapun mean untuk keterampilan bermain bolavoli sebelum perlakuan (pretest) pada kelompok kontrol sebesar 7,78; median 8,00; mode 7; dan standart deviasi 1,623. Rerata tersebut berada pada interval kelas 58 kategori sangat rendah. Berikut ini akan disajikan data sesudah perlakuan (posttest) pada tabel 2 ini. Tabel 2. Keterampilan Bermain Bolavoli Sesudah Perlakuan (Posttest) No. Keterampilan Bermain Bolavoli 1. 2. 3. 4. 5. Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Total Kelompok Eksperimen f % f 0 0,0 0 0,0 5 13,9 21 58,3 10 27,8 36 100,0 Kontrol % 0 0 1 15 20 36 0,0 0,0 2,8 41,7 55,6 100,0 Keterampilan bermain bolavoli pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol siswa kelas VII SMP N 2 Pandak. Secara visual data posttest dapat disajikan pada gambar berikut ini. 362 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 0.6 Frekuensi (%) 0.5 0.4 0.3 Eksperimen 0.2 Kontrol 0.1 0 Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Keterampilan Bermain Bolavoli (Pre-test) Berdasarkan analisis deskriptif, diperoleh nilai rata-rata atau mean untuk keterampilan bermain bolavoli sesudah perlakuan (posttest) pada kelompok eksperimen sebesar 9,64; median 10,00; mode 10; dan standart deviasi 1,930. Rerata tersebut berada pada interval kelas 9-12 kategori rendah. Nilai rata-rata atau mean untuk keterampilan bermain bolavoli sesudah perlakuan (posttest) pada kelompok kontrol sebesar 8,44; median 8,00; mode 7; dan standart deviasi 1,664. Rerata tersebut berada pada interval kelas 5-8 kategori sangat rendah. Uji Normalitas Data Pengujian normalitas data pada penelitian ini dipergunakan uji Kolmogorov Smirnov Z. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bantuan software komputer, dan hasil pengujian normalitas sebaran secara ringkas disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Sebaran Distribusi Data Variabel Pre-test Post-test Peningkatan (%) Kolmogorov Smirnov Z p (sig.) 1,306 1,071 1,131 0,065 0,202 0,155 Kesimpulan Normal Normal Normal Berdasarkan tabel tersebut di atas, diketahui bahwa semua hasil pengujian dengan Kolmogorov-Smirnov Z Test tidak signifikan pada taraf signifikansi 5% (p>0,05); yang berarti bahwa semua data pada penelitian ini berdistribusi normal. Dengan demikian prasyarat normalitas data terlah terpenuhi. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas varians dimaksudkan untuk me-ngetahui apakah sampel yang diambil dari populasi berasal dari varians yang sama dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan satu sama lain. Tes statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji F (Levene’s Test for Equality of Variances). Hasil analisis secara ringkas disajikan pada tabel berikut ini. 363 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians Antar Kelompok Data yang Diuji Pre-test Post-test Peningkatan (%) F Hitung 0,393 0,531 0,652 p (sig.) 0,533 0,469 0,422 Kesimpulan Homogen Homogen Homogen Berdasarkan ringkasan uji homogenitas tersebut di atas, diketahui bahwa semua Fhitung tidak signifikan pada taraf signifikansi 5%; hal ini ditunjukkan dengan p>0,05. Karena p > 0,05 maka disimpulkan tidak ada perbedaan antara varians semua data (keterampilan bermain bolavoli pretest, posttest dan peningkatan) homogen. Dengan demikian prasyarat homogenitas varians telah terpenuhi. Uji Hipotesis Hipotesis yang akan dibuktikan pada bagian ini adalah: (1) Ada pembelajaran bolavoli menggunakan pendekatan TGFU terhadap keterampilan bermain bolavoli siswa; (2) Ada pengaruh pembelajaran bolavoli menggunakan pendekatan teknik terhadap keterampilan bermain bolavoli siswa; dan (2) Ada model pembelajaran yang lebih efektif antar pembelajaran TGFU dan pembelajaran teknik terhadap keterampilan bermain bolavoli. Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan uji-t amatan ulangan (pairs t-test); sedangkan hipotesis ketiga dibuktikan dengan uji-t antar kelompok (independent t-test). 1. Pengaruh Pembelajaran Bolavoli Menggunakan Pendekatan TGFU Pengaruh pembelajaran bolavoli menggunakan pendekatan TGFU terhadap keterampilan bermain bolavoli siswa kelas VII SMP N 2 Pandak, dengan analisis statistik, secara ringkas disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 5. Uji-t Amatan Ulangan pada Pembelajaran dengan Pendekatan TGFU t Data Mean SD p Keterangan hitung Keterampilan 7,72 1,846 (Pre-test) -14,936 0,000 Signifikan Keterampilan 9,64 1,930 (Post-test) Berdasarkan hasil perhitungan seperti tercantum pada tabel 5 tersebut di atas, diperoleh hasil thitung sebesar -14,936 (dilihat angka mutlak) dengan p=0,000. Ternyata p<0,05; maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli antara pretest dengan posttest pada kelompok siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan TGFU. 2. Pengaruh Pembelajaran Bolavoli Menggunakan Pendekatan Teknik Pengaruh pembelajaran bolavoli menggunakan pendekatan teknik terhadap keterampilan bermain bolavoli siswa kelas VII SMP N 2 Pandak, dengan analisis statistik, secara ringkas disajikan pada tabel berikut ini. 364 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 6. Uji-t Amatan Ulangan pada Pembelajaran dengan Pendekatan Teknik t Data Mean SD p Keterangan hitung Keterampilan 7,78 1,623 (Pre-test) -5,292 0,000 Signifikan Keterampilan 8,44 1,664 (Post-test) Berdasarkan hasil perhitungan seperti tercantum pada tabel 6 tersebut di atas, diperoleh hasil thitung sebesar -5,292 (dilihat angka mutlak) dengan p=0,000. Ternyata p<0,05; maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli antara pretest dengan posttest pada kelompok siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan teknik. 3. Efektivitas Model Pembelajaran Hipotesis yang diuji pada bagian ini adalah: ”ada model pembelajaran yang lebih efektif antar pembelajaran TGFU dan pembelajaran teknik terhadap keterampilan bermain bolavoli”. Hipotesis ini diuji dengan uji-t antar kelompok (independent t-test) Hasil analisis statistik secara ringkas disajikan pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Uji-t Antar Kelompok (Eksperimen dan Kontrol) Data Kelp. Mean SD Pretest Eksp. Kontrol Eksp. Kontrol Eksp. Kontrol 7,72 7,78 9,64 8,44 26,20 9,38 1,846 1,623 1,930 1,664 11,769 10,810 Posttest Peningkatan (%) thitung pvalue Keteranga n Tidak Signifikan -0,136 0,893 2,813 0,006 Signifikan 6,316 0,000 Signifikan Berdasarkan hasil perhitungan seperti tercantum pada tabel tersebut di atas, dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) Keterampilan Awal Bermain Bolavoli (Pretest) Dari hasil analisis pada data keterampilan bolavoli pretest diperoleh hasil thitung sebesar 0,136 dengan p=0,893. Ternyata p>0,05; maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli pre-test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebelum diberi perlakuan. b) Keterampilan Akhir Bermain Bolavoli (Posttest) Dari hasil analisis pada data keterampilan bolavoli posttest diperoleh hasil thitung sebesar 2,813 dengan p=0,006. Ternyata p<0,05; maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli posttest antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan 365 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta keterampilan bermain bolavoli antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sesudah diberi perlakuan. c) Efektifivitas Peningkatan Keterampilan Bermain Bolavoli Dari hasil analisis pada data pengikatan dalam skor skala 100 (persentase) atau efektivitas keterampilan bolavoli, diperoleh hasil thitung sebesar 6,316 dengan p=0,000. Ternyata p<0,05; maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan efektivitas peningkatan keterampilan bermain bolavoli antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada perbedaan efektivitas peningkatan yang signifikan keterampilan bermain bolavoli antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sesudah diberi perlakuan. Pembahasan Berdasarkan analisis data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pembelajaran dengan model pendekatan TGFU lebih efektif bila dibandingkan dengan model pendekatan teknik yang biasa diterapkan oleh kebanyakan guru. Efektivitas peningkatan keterampilan bermain bolavoli siswa yang diberi pembelajaeran dengan model TGFU sebesar 26,20%; sedangkan dengan model pendekatan teknik hanya sebesar 9,38%. Pembelajaran TGFU lebih meningkat mengenai keterampilan bermain bolavolinya sebab pada saat pembelajaran siswa bersemangat melakukan. Kondisi itu terlihat pada siswa yang terlihat cenderung lebih tertantang saat dikompetisikan. Rasa senang yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran membuat siswa nyaman dalam menikuti pembelajaran, bahkan justru menambah siswa semakin banyak melakukan kegiatan bermain. Akibatnya wajar kalau model TGFU lebih efektif bila dibandingkan dengan model pendekatan teknik. Proses pembelajaran yang menyenangkan hanyalah salah satu faktor yang memberikan sumbangan positif pada model TGFU, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pemahaman mengenai permainan itu sendiri. Dengan siswa memahami akan untuk apa dia melakukan gerakan, maka dengan sendirinya siswa juga memahami akan permainan bolavoli. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran TGFU memberikan pengaruh yang lebih positif terhadap keterampilan bermain bolavoli siswa sekolah menengah pertama, dibandingkan dengan model pembelajaran dengan pendekatan teknik yang biasa diberikan. Berdasarkan temuan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran TGFU lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan bermain bolavoli siswa sekolah menengah pertama. Daftar Pustaka Arma Abdoellah. (1996). Pendidikan jasmani adaptif. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Griffin, L., & Patton, K. (2005). Two decades of teaching game for understanding: Looking at the past, present, and future. In L. Griffin & J. Butler (Eds.). Teaching game for understanding: Theory, research, and practice (pp. 1- 18). Windsor: Human Kinetics. Mitchell, Oslin, & Griffin. (1997) Teaching sport concepts and skills. United States of America: Human Kinetics. Metzler. Michel W. (2005). Instructional models. Arizona: United States of America. Slade, D. (2009) Transforming play teaching tactics and game sense. United States of America : Human Kinetics. Yunyun Yudiana dan Toto Subroto. (2010). Permainan Bola Voli. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia 366 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KONSELING KRISIS SEBAGAI UPAYA PENANGANAN MASALAH PSIKOLOGIS REMAJA DI YOGYAKARTA Rosita Endang Kusmaryani, Kartika Nur Fathiyah, Sugiyanto Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian multitahun yang memiliki tujuan khusus penelitian tahun pertama adalah : 1) Mengidentifikasi pemahaman guru bimbingan konseling tentang masalah dan konseling krisis; 2) Mengidentifikasi kebutuhan guru terhadap penguasaan konseling krisis dalam menangani krisis psikologis siswa; 3) Mengidentifikasi masalah krisis siswa dari persepsi guru BK dan siswa dan 4) Mengembangkan model pelaksanaan konseling krisis di sekolah Penelitian ini melibatkan 48 orang guru BK dan 84 orang siswa. Pengambilan subjek dengan teknik proporsional area random sampling. Variabel penelitian terdiri dari : 1) pemahaman masalah dan konseling krisis; 2) kebutuhan penguasaan konseling krisis; 3) persepsi guru terhadap permasalahan siswa; dan 4) persepsi siswa terhadap permasalahan yang dialami. Metode pengumpulan data menggunakan angket. Adapun instrumen untuk mengungkap data penelitian ini adalah : 1) Tes pemahaman masalah dan konseling krisis; 2) Angket kebutuhan guru terhadap penguasaan konseling krisis; 3) Angket identifikasi permasalahan penanganan krisis siswa; dan 4) Angket problem siswa. Data penelitian yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif melalui teknik prosentase dan analisis deskriptif kualitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Pemahaman guru BK mengenai masalah dan konseling krisis cukup baik serta memiliki persepsi bahwa mereka memahami masalah krisis siswa; 2) Namun demikian, guru BK menilai diri mereka kurang menguasai konseling krisis dan sangat membutuhkan keterampilan untuk menguasai beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan konseling krisis, seperti : a) cara mengembangkan hubungan baik dengan konseli ketika sedang mengalami krisis, b) cara mengidentifikasi masalah krisis dan c) cara mengatasi masalah tersebut; 3) Masalah krisis sudah mulai meningkat di sekolah dan masalah bullying di sekolah menjadi masalah yang potensial menjadi masalah krisis siswa di sekolah; dan 4) Adanya keterbatasan bahan belajar mengenai konseling krisis, sehingga sumber acuan pelaksanaan konseling krisis sangat dibutuhkan guru BK. Sumber acuan yang dikembangkan berdasarkan asesmen kebutuhan tersebut adalah model pelaksanaan konseling krisis dan buku panduannya. Draf isi buku panduan yang dikembangkan berisi : pendahuluan, perkembangan remaja dan berbagai problem krisisnya, konseling krisis model ABC dan implemetasi konseling krisis di sekolah. Kata kunci : model, konseling krisis, problem psikologis remaja Pendahuluan Masalah remaja sering kali menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisinya yang rentan memungkinkan remaja menghadapi suatu ketidakberdayaan dan ketidakseimbangan. Akibatnya remaja-remaja Indonesia saat ini dihadapkan pada suatu situasi yang memungkinkan untuk tergelincir ke arah krisis perkembangan, bahkan tindak kriminal. Masa Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Masa remaja merupakan suatu periode dalam rentang 367 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kehidupan manusia, mau tidak mau setiap orang pasti akan mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Masa remaja merupakan masa krisis. Masa remaja adalah masa di mana ia tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkat yang sama. Masa remaja merupakan masa bermasalah, mencari identitas diri, yang menimbulkan ketakutan, dan ambang kedewasaan. Masa remaja adalah masa yang sangat tepat untuk membangun masa depannya. Kegagalan membangun masa depan pada masa remaja akan berakibat fatal dalam mengarungi masa dewasanya. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja a. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah. b. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja. c. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa. d. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa. e. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut. Berdasarkan temuan-temuan di media, saat ini banyak sekali kasus yang melibatkan remaja sebagai pelaku tindak kriminal. Kasus-kasus tersebut misalnya kasus seperti Geng Nero di kota Pati beberapa tahun yang lalu, yang melibatkan beberapa remaja putri melakukan tindakan kekerasan antar teman sesama putri. Selain itu, kasus-kasus perilaku seksual remaja tidak kalah memprihatinkan. Temuan dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya 368 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta peningkatan aktifitas seksual di kalangan kaum remaja. Berbagai kasus menunjukkan kepada para pelaku pendidikan bahwa remaja saat ini memang sudah sampai pada titik kritis. Krisis muncul berkaitan dengan perubahan yang timbul menyertai perkembangan masa remaja. Oleh karena itu, krisis pada remaja ini seringkali disebut dengan krisis perkembangan Untuk menghindari ancaman krisis yang lebih besar lagi bagi remaja, tentu saja dibutuhkan layanan pemberian bantuan bagi mereka. Remaja tidak akan lepas dari masa krisis tersebut dengan mudah tanpa bantuan dari orang dewasa lainnya. Hal ini karena ketika seseorang berada pada situasi krisis, muncul ketidakberdayaan dan ketidakseimbangan psikologis. Oleh karena itu, layanan konseling merupakan salah satu layanan pemberian bantuan nyata yang sangat dibutuhkan oleh remaja saat ini. Menurut McLeod (2006), konseling mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah. Ada beberapa jenis layanan konseling. Mengingat kondisi remaja pada masa krisis perkembangan, maka layanan konseling krisis menjadi alternatif yang sesuai. Sedangkan krisis merupakan suatu tekanan yang dialami seseorang yang berpengaruh negatif terhadap kemampuan individu untuk berfikir, merencanakan, dan mengatasi masalah secara efektif. Konseling krisis merupakan proses yang dilakukan oleh profesional terlatih dalam hubungan saling percaya terhadap individu yang mengalami tekanan sehingga berpengaruh negatif terhadap kemampuan individu untuk berfikir, merencanakan, dan mengatasi masalah secara efektif. Yang membedakan konseling krisis dengan konseling yang lain adalah adanya situasi krisis yang menjadi penyebab munculnya ketidakseimbangan psikologis individu maupun kelompok masyarakat. Situasi krisis secara umum berciri adanya perubahan yang mendadak, bersifat tiba-tiba, dan tidak menentu. Oleh karena itu, konseling krisis memang sesuai diberikan untuk situasi-situasi tertentu yang menyebabkan ketidakseimbangan psikologis. Individu yang mengalami krisis melalui proses yang penuh ketidakpastian secara bertahap, yaitu: 1) mengalami specific precipitating event (peristiwa spesifik yang datang secara tiba-tiba), 2) individu menghadapi peristiwa spesifik yang datang secara tiba-tiba tersebut dengan perasaan terancam dan senantiasa diliputi kecemasan tinggi, 3) respon yang ditunjukkan individu cenderung tidak terorganisasi dan tidak efektif, dan 4) individu mengembangkan strategi koping yang disebabkan oleh stres. Terhadap situasi krisis yang dialami, individu umumnya menunjukkan reaksi negatif seperti : a) Kebingungan (bewilderment). Manifestasi dari reaksi ini biasanya dalam bentuk kesulitan untuk memahami apa yang sedang dialami atau terjadi serta mengalami kesulitan untuk mendapatkan gambaran penyelesaian terhadap stres yang dihadapi. b) Bahaya (Danger). Dalam konteks ini Individu memandang kondisi krisis sebagai bahaya yang mengancam, merasa terancam, bahkan seolah-olah tidak dapat menahan datangnya malapetaka yang luarbiasa. Pada akhirnya individu mengalami luka fisik maupun psikis yang sulit untuk diatasi c) Bingung (confusion). Terhadap krisis yang dialami umumnya individu memiliki kesulitan untuk mengajukan alasan dan memformulasikan rencana penyelesaian krisis untuk mengatasi tekanan negatif yang dialami, d) Kebuntuan (impasse). Pada kondisi ini individu mengalami perasaan ‘tertikam’ dan tidak dapat menerapkan strategi penyelesaian masalah. Terdapat keyakinan pada individu ini bahwa mereka selalu gagal dan tidak berdaya. e) Putus asa (desperation). Kondisi putus asa ini menjadikan individu yang mengalami krisis 369 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta biasanya tidak mampu menghadapi masalah secara logis bahkan cenderung membuang solusi yang dipandang memungkinkan untuk mengatasi masalah. f) Acuh tak acuh (apathy). Tekanan yang dialami individu selanjutnya menjadikan individu berhenti berusaha dan menolak berbagai upaya untuk menyelesaikan krisis yang dihadapinya. g) Tidak berdaya (Helplesness). Individu yang dihadapkan pada situasi krisis cenderung mempercayai bahwa mereka tidak mungkin mampu menolong dirinya sendiri dan mengharapkan orang lain membantu. h) Menganggap penting pertolongan (urgency). Oleh karena itu, biasanya individu cenderung membutuhkan solusi problem baik dengan berusaha maupun dengan mencari pertolongan orang lain. i) Merasa tidak nyaman (discomfort). Adanya reaksi yang yang tidak menyenangkan akibat krisis menjadikan individu merasa tidak tenang. Mereka mengalami kesulitan untuk berfikir secara efektif untuk mengatasi masalah. Hal ini menimbulkan kecemasan yang berakibat ketidakmampuan untuk tenang dan berkonsentrasi. Konseling krisis sesungguhnya merupakan kumpulan dari berbagai bentuk konseling maupun terapi psikologis yang dipandang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi. Yang membedakan konseling krisis dengan konseling yang lain adalah adanya situasi krisis yang menjadi penyebab munculnya ketidakseimbangan psikologis individu maupun kelompok masyarakat. Situasi krisis secara umum berciri adanya perubahan yang mendadak, bersifat tiba-tiba, dan tidak menentu. Ditinjau dari jumlah individu yang ditangani, konseling krisis dapat berbentuk konseling individu maupun kelompok. Dikatakan konseling individual jika jumlah yang ditangani hanya 1 orang dan bersifat individual, sedangkan konseling berbentuk kelompok jika yang ditangani melibatkan kelompok individu dengan sumber permasalahan yang sama. Menurut Muro dan Kottman (1995) konseling krisis bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu yang mengalami krisis sehingga memiliki pemahaman positif terhadap masalah dan memiliki kemampuan mengatasinya. Proses yang dilalui selama konseling meliputi: a) Pemahaman terhadap perasaan dan pikiran individu yang mengalami krisis. b) Konselor menunjukkan sejumlah alternatif solusi beserta konsekwensinya disertai dengan kesepakatan mengenai solusi yang dipilih. c) Melakukan evaluasi terhadap pilihan solusi yang dilakukan individu yang mengalami krisis. Dalam penerapan konseling krisis, ada beberapa model yang seringkali digunakan untuk menangani krisis yang dialami klien atau konseli. Salah satunya adalah model ABC dari Kristi Kanel. Kanel menunjuk ABC model meliputi : “A”; Mengembangkan dan mempertahankan hubungan baik, termasuk di dalamnya penggunaan keterampilan attending, paraphrasing dan refleksi; “B”: Mengidentifikasi sifat krisis dan mengubah kognisi; dan “C”: Mengatasi krisis yang meliputi resolusi, referal dan dukungan kelompok. Model ABC ini merupakan sebuah model yang merupakan model konseling krisis yang efektif. Hal ini karena model ABC ini meliputi tiga hal penanganan yaitu dari sisi penanganan emosi dengan penekanan pada keterampilan konseling, karakteristik problem dan penanganan problem. Konseling krisis perlu dikembangkan. Hal ini mengingat saat ini semakin banyaknya kasus-kasus tindak kriminal yang dilakukan remaja. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Guru bimbingan konseling merupakan guru yang memiliki tugas memberikan layanan kepada siswa. Guru bimbingan konseling memiliki peran besar dalam pemulihan kondisi psikologis siswa remaja. Oleh karena itu, peran guru bimbingan konseling ini perlu diberdayakan dalam mengembangkan konseling krisis. 370 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dalam penelitian ini, maka penelitian ini mengajukan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : 1) Bagaimana pemahaman guru mengenai masalah krisis yang dialami siswa dan konseling krisis?; 2) Bagaimana kebutuhan guru terhadap penguasaan konseling krisis ?; 3) Bagaimana guru mengidentifikasi permasalahan krisis siswa ?; dan 4) Bagaimana siswa mengidentifikasi masalah krisis yang dialaminya ? Cara Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan Research and Development (R & D) yaitu suatu rangkaian kegiatan penelitian yang ditindaklanjuti dengan pengembangan produk. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa model konseling krisis. Model pengembangan dalam penelitian ini mengacu pada rancangan model Borg and Gall Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling krisis dalam upaya menangani masalah psikologis pada remaja di Yogyakarta. Adapun tujuan peneitian tahun pertama adalah : 1) Mengidentifikasi pemahaman guru bimbingan konseling tentang masalah dan konseling krisis; 2) Mengidentifikasi kebutuhan guru terhadap penguasaan konseling krisis dalam menangani krisis psikologis siswa; 3) Mengidentifikasi masalah krisis siswa dari persepsi guru BK dan siswa; dan 4) Mengembangkan model pelaksanaan konseling krisis di sekolah Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yang direncanakan akan diselesaikan dalam dua tahun. Langkah pertama sampai ketiga akan dilakukan pada tahun pertama, langkah keempat sampai sebelas dilakukan pada tahun kedua. Adapun sistematika dalam penelitian ini dapat digambarkan pada Skema 1. Tahap pendahuluan Kajian literature & survey lapangan (pendefinisian konsep, menentukan materi model konseling krisis dengan pendekatan ABC) Perencanaan Tahap pengembangan Pengembangan produk awal Validasi model Penyempurnaan Model Model koseling krisis dengan pendekatan ABC yang sudah tervalidasi Sosialisasi Model Skema 1. Sistematika penelitian 371 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Rancangan Penelitian Pada penelitian tahun I ini kegiatan berupa survey literature pendukung dan survey lapangan. Survey lapangan bertujuan untuk memperoleh data mengenai model konseling krisis dengan pendekatan ABC yang sesuai dan dibutuhkan di lapangan. Data tersebut berupa data yang diperoleh dari subjek penelitian guru BK dan siswa. Data yang diperoleh dari guru BK antara lain : a) pemahaman guru-guru bimbingan konseling terhadap masalah dan layanan konseling krisis, b) identifikasi kebutuhan penguasaan konseling krisis, c) permasalahan krisis psikologis yang dialami remaja dan strategi penanganan yang dilakukan guru BK selama ini . Sementara data yang diperoleh dari siswa antara lain : a) permasalahan krisis siswa yang dialami , b) koping masalah yang dilakukan siswa dan c) keterlibatan guru BK dalam penanganan masalah menurut persepsi siswa. Pada penelitian tahun I ini juga dilakukan perencanaan dan pengembangan produk awal, sehingga dihasilkan draft model konseling krisis dengan pendekatan ABC. Selanjutnya draft model ini akan dikembangkan pada tahun berikutnya dengan melalui serangkaian uji lapangan. Subjek Penelitian Berkaitan dengan tujuan penelitian pada tahun pertama ini yaitu melakukan asesmen kebutuhan, subjek penelitian pada tahun pertama ini ada 2, yaitu guru BK sebanyak 48 orang dan siswa sebanyak 84 orang. Subjek diambil secara proporsional area random sampling, yaitu pada setiap SMP di kabupaten/Kota dipilih secara proporsional dan berimbang dari negeri maupun swasta sesuai dengan jumlah SMP secara keseluruhan. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini meliputi : 1) Pemahamanan masalah dan konseling krisis, merupakan kemampuan seorang guru BK dalam menangkap sebuah konsep yang berkaitan dengan masalah dan konseling krisis secara teoritis. 2) Kebutuhan penguasaan konseling krisis, yaitu harapan kepemilikan kemampuan seseorang untuk melaksanakan konseling krisis secara aplikatif. 3) Persepsi guru terhadap permasalahan siswa, yaitu penilaian guru mengenai hal-hal yang menimbulkan ketidakstabilan psikologis siswa, yang meliputi jenis dan penanganannya; dan 4) Persepsi siswa terhadap permasalahan yang dialami, merupakan penilaian siswa mengenai hal-hal yang menimbulkan ketidakstabilan psikologis siswa, yang meliputi jenis, koping masalah dan keterlibatan guru Instrumen Penelitian Data penelitian dikumpulkan melalui metode tes dan angket yang ditujukan kepada subjek penelitian. Tes pemahaman ditujukan pada subjek guru untuk mengungkap pemahaman guru BK mengenai masalah dan konseling krisis. Sedangkan angket diberikan pada guru dan siswa. Pada guru, angket digunakan untuk mengidentiifikasi kebutuhan guru pada penguasaan konseling krisis, mengidentifikasi permasalahan krisis siswa menurut persepsi guru, serta angket penanganan guru terhadap permasalahan krisis siswa. Pada siswa, angket digunakan untuk untuk mengungkap 372 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta permasalahan atau krisis psikologis yang sering dialami dan paling sulit diatasi , strategi kopingnya, serta persepsi siswa sendiri terhadap upaya guru BK dalam penanganan krisis siswa. Analisis Data Data penelitian yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif melalui teknik prosentase dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan data penelitian, pemahaman guru BK mengenai masalah krisis siswa dan konseling krisis cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase skor pemahaman 65%. Skor pencapaian ini sangat didukung dengan latar belakang guru BK yang mayoritas sudah bekerja di atas 10 tahun. Selain itu, ditemukan sebesar 93,8% subjek penelitian memililki latar belakang pendidikan BK. Latar belakang pendidikan ini, secara teoritis sangat mendukung pemahaman guru BK mengenai berbagai permasalahan psikologis siswa ketika masih di bangku perguruan tinggi. Skor pemahaman ini juga relevan dengan persepsi mereka mengenai tingkat pemahaman mereka mengenai masalah dan penanganan krisis siswa. Ada 58,5% guru BK yang merasa memahami dan sangat memahami masalah dan konseling krisis, dan sisanya merasa kurang dan tidak memahami masalah dan konseling krisis. Data persepsi pemahaman ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Data Persepsi Guru terhadap Masalah Krisis Siswa Persepsi pemahaman Sangat memahami krisis yang dialami siswa Memahami krisis yang dialami siswa Kurang memahami krisis yang dialami siswa Tidak memahami krisis yang dialami siswa Total Jumlah 3 25 18 2 48 Prosentase 6,3% 52,1% 37,5% 2,1% 100% Meskipun pemahaman konseling krisis pada guru BK sudah cukup baik, namun. mereka mengakui bahwa penguasaannya akan konseling krisis masih terbatas. Mereka menyadari pentingnya penanganan bagi siswa yang mengalami krisis Data penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa 85,42% responden guru BK menilai diri mereka kurang menguasai konseling krisis. Tabel 2. Data Persepsi Guru Terhadap Penguasaan Konseling Krisis No Persepsi Penguasaan Jumlah 1 Sangat menguasai penanganan konseling krisis 0 2 Menguasai konseling krisis 3 3 Kurang menguasai konseling krisis 41 4 Tidak menguasai konseling krisis 4 Total 48 373 Prosentase 0 6,25% 85,42% 8,33% 100% Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Data berikutnya yaitu tabel 3 menunjukkan bahwa 75% guru BK sangat membutuhkan keterampilan untuk menguasai beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan konseling krisis, seperti : a) cara mengembangkan hubungan baik dengan konseli ketika sedang mengalami krisis, b) cara mengidentifikasi masalah krisis dan c) cara mengatasi masalah tersebut. Ketiga cara tersebut merupakan konsep konseling krisis model ABC yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Kristi Kannel. Namun berdasarkan persepsi mereka, 66,67% respoden guru BK berpendapat bahwa sumber acuan mengenai konseling krisis masih sangat kurang/terbatas. Hal itu tentu saja menjadi salah satu penyebab kurangnya penguasaan konseling krisis karena keterbatasan bahan belajar, sementara masalah yang dihadapi siswa saat ini sudah semakin kompleks seiring dengan kemajuan jaman. Tabel 3. Data Kebutuhan Model No Kebutuhan Model yang perlu Dikembangkan 1 Cara mengembangkan hubungan baik dengan konseli 2 Cara mengidentifikasi krisis 3 Cara mengatasi masalah 4 Semua cara 1,2, dan 3 Total Jml 1 9 2 36 48 Prosentase 2,08% 18,75% 4,17% 75,00% 100,00% Berdasarkan hasil eksplorasi masalah, masalah-masalah krisis siswa sebagai hasil persepsi guru BK adalah : a) perilaku kriminal, seperti mencuri, memalak dan berkelahi (19,7%) ; b) bullying, seperti takut dipalak, diancam, dimusuhi, diejek dsb (17,2%)., c) masalah yang berkaitan dengan perkembangan seksual seperti pergaulan bebas, nonton VCD atau film porno (16,7%), d) membangkang aturan-aturan sekolah seperti membolos dan tidak masuk sekolah (12,7%), e) masalah yang berkaitan dengan pribadi sosial (12,5%); f) dampak masalah keluarga (9,1%), g) merokok (5,4%), h) masalah belajar (4,6%), dan i) masalah ekonomi (2,3%). Sementara hasil eksplorasi mengenai masalah siswa menurut persepsi siswa sendiri adalah : a) problem bullying, kekerasan teman sebaya (42,8 %), b) pemberontakan pada aturan sekolah (22,6%), c) problem pribadi (7,2 %) serta keluarga (7,2%), d) problem belajar (6%), e) merokok (4,8%), f) kriminal (4,8 %), serta g) problem terkait dengan perkembangan seksual (3,6%), Berdasarkan analisis jawaban hasil eksplorasi data guru dan siswa mengenai masalah siswa ditemukan bahwa : a) Kurangnya penguasaan guru BK dalam konseling krisis tampak pada keterbatasan guru BK dalam mengeksplorasi masalah-masalah krisis yang dihadapi siswa. Ada beberapa masalah krisis yang seharusnya dikemukakan baru berupa gejala masalah, belum merupakan masalah krisis; b) Masalah bullying di sekolah menjadi masalah yang potensial menjadi masalah krisis siswa di sekolah. Data persepsi siswa mengenai masalah yang mereka hadapi juga menunjukkan bahwa dari 84 permasalahan yang dikemukakan siswa, ada 53 (63,1%) kasus yang bersifat kasus krisis, dan ada 31 (369%) kasus yang belum menunjukkan indikasi adanya krisis. Adanya krisis ditunjukkan oleh respon siswa yang tidak berdaya, muncul ketakutan, dan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan 374 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta masalah; c) Selain guru BK juga mengalami kesulitan dalam membedakan antara masalah dan gejala masalah, juga mengalami kesulitan dalam menentukan masalah yang tergolong krisis. Tabel 4. Hasil Angket Eksplorasi Masalah Siswa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Permasalahan Membangkang aturan sekolah Masalah perkembangan seksual Kriminal Keluarga Bullying Masalah prisos Masalah belajar Ekonomi Merokok Total Jumlah 72 95 112 52 98 70 26 13 31 569 Prosentase 12,7 % 16,7 % 19,7 % 9,1 % 17,2 % 12,3 % 4,6 % 2,3 % 5,4 % 100,0 % Berdasarkan temuan tersebut, tentu saja berimbas pada bagaimana guru BK dalam menangani masalah tersebut. Data penanganan yang sering dilakukan oleh guru BK antara lain : a) pemanggilan siswa dan orang tua serta melakukan bimbingan dan pembinaan (38,25%); b) pemanggilan siswa dan orang tua serta melakukan konseling (20,6%); c) bekerjasama dengan berbagai pihak (13,9%), d) referal (10,3%); e) homevisit (7,9%); f) pemanggilan siswa-orangtua dan pemberian sanksi (9%); g) merazia (5%); dan h) siswa datang sendiri ke konselor (0,6%). Berbagai penanganan tersebut tampak belum ada prosedur penanganan masalah krisis dan pelaksanaan konseling krisis. Prosedur yang sering dilakukan adalah dengan pemanggilan siswa dan orang tua, yang mana hal ini lebih sesuai untuk siswa yang tidak mengalami krisis. Untuk siswa yang mengalami krisis, prosedur ini justru akan menyulitkan proses pengungkapan masalah krisis siswa. Siswa merasa terancam dan akhinya memutuskan untuk tidak melibatkan guru BK dalam masalah yang dihadapi. Tabel 9. Tabel Penanganan Masalah oleh Guru BK No Jenis Penanganan Jml Posentase 1 Pemanggilan siswa-orang tua dan bimbingan/pembinaan 63 38,2 % 2 Pemanggilan siswa-orang tua dan pemberian sanksi 3 Pemanggilan siswa-orang tua dan konseling 9 34 5,5 % 20,6 % 4 Merazia 5 Siswa datang sendiri ke konselor 5 1 3,0 % 0,6 % 6 Kerjasama berbagai pihak 7 Referal 23 17 13,9 % 10,3 % 8 Home visit 13 7,9 % 165 100 % Total Data menunjukkan bahwa ada 54% siswa tidak melibatkan guru BK dalam masalah yang mereka hadapi. Beberapa alasan siswa tidak mellibatkan guru BK, antara lain : a) ketakutan siswa jika 375 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dimarahi guru, b) merasa malu, c) takut dilaporkan orangtua, d) tidak mau merepotkan, e) tidak enak dengan teman jika melapor ke guru BK, f) sering diejek guru pembimbing, g) merasa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan h) merasa masalahnya adalah masalah pribadi yang tidak membutuhkan campur tangan orang lain terutama guru BK. Dari problem tersebut umummnya siswa tidak melibakan guru pembimbing karena merasa masalahnya adalah masalah pribadi yang tidak dapat dibagi dengan pihak lain Berdasarkan hasil temuan-temuan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa sumber acuan konseling krisis sangat dibutuhkan guru pembimbing. Hal ini mengingat bahwa masalah krisis saat ini sudah cukup banyak di kalangan siswa dan bahkan akan semakin meningkat, sedangkan penguasaan guru untuk menanganinya masih terbatas. Oleh karena itu, dalam peneltian ini berupaya mengembangkan sumber acuan tersebut. Sumber acuan yang dikembangkan adalah model pelaksanaan konseling krisis dan buku panduannya. Buku panduan konseling krisis berisi tentang : a) ketrampilan untuk mengembangkan hubungan baik dengan konseli, b) cara mengidentifikasi krisis, dan c) cara mengatasi masalah. Model Pelaksanaan Konseling Krisis Guru Teman Org Tua Pihak luar Studi kasus Gejala masalah (membolos, tdk masuk,nilai turun, dst) Anecdotal record Identifikasi Masalah Tak teridentifikasi krisis Teridentifikasi krisis KONSELING KRISIS MODEL ABC Lanjutkan konseling individual Model A Model B Mengembangkan rapport Menggunakan ketrampilan Konseling (attending, paraphrasing, reflextion of feeling) Mengajukan pertanyaan terkait problem (behavioral, affective, somatic, interpersonal, cognitif, spiritual) Model C Menentukan cara mengatasi masalah (koping) (resolusi, referal, rujukan) Skema 2. Model Pelaksanaan Konseling Krisis ABC Model pelaksanaan konseling krisis di sekolah diawali oleh adanya informasi dari berbagai pihak. Informasi dapat bersumber dari guru, teman sebaya, orang tua, pihak lain atau catatan kejadian yang dianggap luarbiasa (anecdotal record) yang dimiliki guru BK. Informasi yang diperoleh berupa gambaran gejala masalah yang dialami siswa, misalnya membolos, tidak masuk, nilai turun, dan sebagainya. Informasi yang masuk tersebut selanjutnya ditelusuri oleh guru BK dengan cara melakukan cross check pada berbagai pihak yang mengetahui perkembangan maupun keadaan konseli melalui 376 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta studi kasus. Studi kasus menggunakan berbagai metode, baik wawancara mendalam, observasi, maupun analisis dokumentasi. Dari berbagai upaya tersebut akhirnya ditemukan identifikasi masalah siswa yang sesungguhnya mulai dari gejala sampai pada faktor penyebabnya. Indentifikasi masalah juga menghasilkan gambaran mengenai krisis tidaknya kasus. Kasus siswa dapat diidentifikasi sebagai krisis jika siswa menunjukkan keadaan tidak berdaya menghadapi masalahnya dan respon yang ditunjukkan tidak efektif. Sedangkan kasus siswa tidak diidentifikasi sebagai kasus krisis jika siswa masih dapat dilibatkan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalahnya.Kasus yang tidak teridentifikasi krisis selanjutya ditindaklanjuti dengan konseling individual. Sedangkan kasus yang teridentifikasi krisis ditindaklanjuti dengan pelaksanaan konseling krisis ABC. Konseling krisis model ABC diawali oleh model A, yaitu konselor mengembangkan rapport (hubungan baik) dengan konseli melalui berbagai kerampilan konseling antara lain ketrampilan attending atau menunjukkan penghargaan kepada konseli secara verbal maupun nonverbal. pharaprasing atau mengulangi pernyataan konseli dengan kata-kata konselor, serta reflexion of feeling atau merefleksikan perasaan konseli dengan kata-kata konselor sendiri. Setelah rapport (hubungan baik) terbangun, selanjutnya konselor pada konseling krisis menerapkan model B, yaitu mengidentifikasi problem untuk mendapatkan informasi tentang pemicu masalah, eksplorasi pemaknaan konseli terhadap kasus, kemampuan kognisi konseli dan persepsi konseli, serta ketidakberfungsian konseli dari sisi perilaku, perasaan, fisik, hubungan dengan orang lain, kemampuan berfikir, dan spriritualnya. Pertanyaan-pertanyaan terkait problem ini juga diiringi dengan upaya konselor untuk menciptakan kondisi yang terapeutik (menyembuhkan) antara lain dengan cara menyampaikan komentar yang mendidik, memberikan pernyataan yang memberdayakan konseli, member dukungan pada onseli, dan memberikan penilaian pada konseli secara positif. Setelah model B, konselor krisis selanjutnya melaksanakan model C yaitu menetapkan alternatif penyelesaian masalah yang didasari oleh upaya-upaya konseli sebelumnya serta mendorong konseli untuk memikirkan strategi koping lainnya disertai dengan pengajuan alternatif pemecahan masalah lain serta tindak lanjutnya, misalnya referal atau rekomendasi. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa kesimpulan : 1) Pemahaman guru BK mengenai masalah dan konseling krisis cukup baik serta memiliki persepsi bahwa mereka memahami masalah krisis siswa; 2) Namun demikian, guru BK menilai diri mereka kurang menguasai konseling krisis dan sangat membutuhkan keterampilan untuk menguasai beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan konseling krisis, 3) Masalah krisis sudah mulai meningkat di sekolah dan masalah bullying di sekolah menjadi masalah yang potensial menjadi masalah krisis siswa di sekolah; dan 4) Adanya keterbatasan bahan belajar mengenai konseling krisis, sehingga sumber acuan pelaksanaan konseling krisis sangat dibutuhkan guru BK berupa model pelaksanaan konseling krisis dan buku panduannya. Saran-saran 377 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Saran dalam penelitian adalah : 1) Dengan semakin meningkatnya masalah krisis siswa, diharapkan guru BK dapat lebih memahami dan menguasai konseling krisis; 2) Model pelaksanaan konseling krisis dan buku panduannya masih berupa draft, sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan prosedur validasi; 3) Model dan buku panduan konseling krisis ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi bahan belajar alternatif dalam menguasai konseling krisis; dan 4) Model pelaksanaan dan buku panduan ini saling melengkapi, sehingga dalam prosedur validasi dan penggunaannya kelak menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Daftar Pustaka Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi: Satu Uraian Singkat dan Contoh Berbagai Tipe Penelitian. Yoyakarta Pustaka Pelajar Offset ---- (2006). Rasa Ingin Diakui Picu Kenakalan Remaja. Suara Merdeka. 19 Mei 2006 ----. (2008). Empat Anggota Geng Nero Ditangkap. Suara Merdeka. 14 Juni 2008. Echterling, L.G., Presbury, J dan McKee, J.E. (2005). Crisis Intervention: Promoting Resilience and Resolution in Troubled Times. New Jersey: Pearson Education, Inc. Nevid, JS. Rathus, SA, dan Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal (terjemahan Alih bahasa tim Fakultas Psikologi UI). Jakarta: Penerbit Erlangga. Heaven P.C.L. 1996. Adolescence Health: The Role of Individual Differences. London: Routledge. Haney, J.H & Leibsohn, J. (1999). Basic Counseling Responses: A Multimedia Learning System for the Helping Professions. Belmont: An International Thomson Publishing Company. Irwin,C and Millstein,S.1991. Risk Taking Behavior during Adolescence, in R Lerner, A. Peterson and J Brooks-Gunn (Eds). Ecyclopedia of Adolescence, Vol 2. New York: Garland Press. Jessor,R. 1984. Adolescence Development and Behavioral Health, in Matarazzo, S. Wiss, J.Herd,N. Miller and S.Weiss (Eds) Behavioral Health: A Handbook of Health Enhancement and Disease Prevention. New York: John Willey and Sons. Kadir I. 2004. Dampak Penyalahgunaan narkoba dan Upaya Penanggulangannya. Dalam Buku saku Mahasiswa: Narkoba dan Permasalahannya. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Pemda DIY. Kanel, Kristi. 2009. Crisis Couseling: ABC’s Model. California State University, Fullerton. http://www.emicrotraining.com/product_info.php?products_id=337, diakses tanggal 17 Mei 2010. Mardiya. (2008). Membangun Remaja Masa Depan. http://.prov.bkkbn.go.id McLeod, J. (2006). Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus. Edisi Ketiga. Jakarta : Kencana. Muro & Koffman. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle School : A Practical Approach. Aiowa: Brown and Benchmark. Inc. Nelson-Jones, Richard. (2005). Practical Counseling and Helping Skills. Fifth Edition. London : SAGE Publications. Sandoval, J. (2002). Handbook of Crisis Counseling Intervention, Intervention and Prevention in Schools. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Sugiono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta Yustince. (2006). Konseling Pemberdayaan Para Korban Kekerasan Sosial. http://www.oaseonline.org/artikel/yustincekonseling.htm. PROFIL KECERDASAN MUSIK ANAK USIA DINI 378 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Amir Syamsudin, Cipto Budi H, Rina Wulandari, Arum Safitri Fatimaningrum Universitas Negeri Yogyakarta muliaadhi_dharma@yahoo.co.id Abstrak Latar belakang masalah penelitian ini adalah perlunya narasi tentang profil kecerdasan musik anak usia dini. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Sleman, Yogkayakarta, KulonProgo, Bantul, dan Gunungkidul. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara mendalam. Berdasarkan olah data didapatkan hasil yaitu 53,6% subjek menguasai seluruh tingkat capaian perkembangan sedangkan 10% subjek kurang mempunyai kecerdasan musik yang tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mayoritas subjek memiliki kecerdasan musik yang tinggi. Saran: 1) perluasan subjek penelitian pada wilayah lain dan 2) perlu penelitian lebih lanjut pada tahun berikutnya untuk mengetahui pergeseran tingkat pencapaian kecerdasan musik pada anak. Kata kunci: profil, pencapaian perkembangan musik, usia 4-6 tahun. Pendahuluan Seiring globalisasi maka stimulasi musik pada anak menjadi semakin mudah didapatkan. Bukan tidak mungkin pada jaman sekarang ini telah banyak produk-produk multimedia yang kaya akan stimulasi untuk anak, termasuk musik. Pada jaman dahulu, orang akan berbondong-bondong mendatangi sebuah tempat pementasan seni musik yang dilakukan secara langsung (menonton konser musik secara langsung). Seiring dengan perkembangan teknologi maka pertunjukan musik yang pada awalnya hanya dapat dinikmati dengan cara mendatangi tempat konser musik dapat dikemas dalam bentuk tertentu sehingga dapat didengarkan melalui perantara alat komunikasi (TV, HP, radio, Internet). Anak dengan sangat mudah mendengarkan musik melalui media hasil perkembangan teknologi. Hal ini juga menjadi salahsatu unsur stimultan terhadap anak. Hal di atas merupakan salahsatu contoh nyata peran lingkungan dalam proses stimulasi terhadap anak. Kuatnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak didukung Vygotsky dalam Sujiono (2009: 115) yaitu: “...Vygotsky percaya bahwa kognitif tertinggi yang berkembang saat anak berada di sekolah yaitu saat terjadi interaksi antara anak dan guru. Pengetahuan yang diberikan secara bermakna bagi anak akan memberikan dampak yang berharga bagi anak…Vygotsky mengemukakan konsep Zone of Proximal Development (ZPD) sebagai kapasitas potensial belajar anak yang dapat terwujud melalui bantuan orang dewasa atau orang yang lebih terampil”. Dalam kutipan di atas nampak sekali bahwa lingkungan merupakan faktor penting dalam perkembangan anak itu sendiri, termasuk sang ibu sebagai stimultor musikal pertama. Melalui detak jantung sang ibu sebagai bunyi dari unsure irama dalam musik didapatkan anak selama 9 bulan 10 hari. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan dilakukan pada anak-anak usia 4-6 tahun yang telah mendapatkan stimulasi musik. Hal ini karena alasan di atas mengenai globalisasi yang terjadi dan stimulasi musik dari ibu saat anak dalam kandungan. Kassner (2006: 69) menyatakan perkembangan anak dalam seni musik yaitu: 379 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dalam usia 1 sampai 2 tahun perkembangan anak dalam musik menunjukkan perilaku yaitu menirukan bentuk potongan melodi lagu namun belum mencirikan tinggi-rendah nadanya. Dalam usia 3 tahun anak dapat menemukan secara spontan lagu beserta karakter tinggirendah nadanya serta mengulang ritme dan melodi sebuah lagu...menghasilkan sajak dan nyanyian. Usia 4 tahun...menemukan perbedaan antara berbicara dan menyanyi...mengubah kualitas lagu...menyanyi spontan dalam dua oktaf...menyanyikan 5 nada yaitu d sampai a ... Dari kutipan di atas maka seringkali perilaku anak seperti yang telah disebutkan kadang kurang diperhatikan lingkungan pembelajaran anak sehingga kurang maksimal dalam pengamatan perkembangan musik pada anak. Kaitannya dengan kecerdasan jamak pada anak usia dini maka berikut akan disampaikan pernyataan Jamaris (2005:145) tentang kecerdasan musikal-ryhtmic pada anak terdapat 10 ciri , yaitu: 1). Senang memainkan alat musik, 2). Senantiasa ingat irama suatu melodi, 3). Berprestasi baik dalam seni musik di sekolah, 4). Senang belajar bila ada iringan musik, 5). Mengoleksi lagu-lagu di buku, CD, dan kaset, 6). Senang menyanyi untuk diri sendiri maupun orang lain, 7). Mudah mengikuti irama lagu/ musik, 8). Memiliki suara yang bagus untuk bernyanyi, 9). Peka terhadap suara-suara di lingkungan sekitar, dan 10). Memberikan reaksi yang kuat terhadap berbagai jenis musik. Dari kutipan ini seringkali pula lingkungan pembelajaran anak juga kurang memahami atau bahkan kurang menerapkan indikator dalam perkembangan kecerdasan musikal ritmik untuk mengamati perkembangan anak dalam bidang musik itu sendiri. Oleh karena itu hal ini sekaligus akan digunakan sebagai indikator dalam angket terbuka yang akan digunakan untuk observasi. Penelitian ini berjudul “Profil Kecerdasan Musik Anak Usia Dini” yang menggunakan pendekatan penelitian jenis kualitatif-deskriptif. Data yang diambil menggunakan metode observasi partisipatif secara mendalam terhadap beberapa anak di wilayah DIY berdasarkan data dari checklist yang disebarkan. Penelitian ini akan dibatasi pada profil kecerdasan musik anak usia dini dalam rentang usia 46 tahun. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakah profil kecerdasan musik anak usia dini dalam rentang usia 4-6 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kecerdasan musik anak usia dini dalam rentang usia 4-6 tahun. Pembahasan Safriena (1999:1) menyatakan tentang pengertian musik yaitu: ”Seni musik, sebagai salah satu cabang dari kesenian, adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu: irama, melodi, harmoni, bentuk lagu/ struktur lagu, dan ekspresi”. Berdasarkan pendapat tersebut maka musik adalah salah satu cabang kesenian, sebuah karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang susunan tinggi-rendah nada dalam satu waktu. Musik mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya yang berupa susunan tinggi rendah nada yang tercipta melalui unsur-unsur musik, yaitu: irama, melodi, harmoni, bentuk lagu/ struktur lagu, dan ekspresi. Dalam penelitian ini maka ketiga unsur dasar musik tersebut perlu untuk dikaitkan dengan kutipan-kutipan yang menyatakan tentang pencapaian perkembangan musik pada anak usia 4-6 tahun. Peneliti memastikan bahwa tingkat pengalaman musik antara anak dan orang dewasa adalah berbeda. Oleh karena itu dalam menyusun lagu untuk anak, penting untuk diperhatikan mengenai indikator pencapaian perkembangan musik pada anak. Irama dan Pencapaian Perkembangan Musik Anak Rentang Usia 4-6 tahun 380 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Safriena (1999:1) menyebutkan bahwa irama merupakan bagian dari unsur musik. Unsur musik sendiri terdiri atas: irama/ ritme itu sendiri, melodi, harmoni, bentuk lagu, dan ekspresi. Irama merupakan unsur yang dianggap paling mendasar dalam musik dimana irama dalam musik terbentuk dari perpaduan sekelompok bunyi dan diam dengan bermacam-macam lama waktu atau panjang pendeknya (Safriena:1999:168-169). Gerak irama ini berkaitan dengan kecepatan atau tempo. Irama mencakup: pulsa/ ketukan, birama, dan pola irama. Berdasarkan kutipan tersebut maka pengertian irama/ ritme adalah salah satu unsur musik dimana irama/ ritme merupakan unsur paling dasar dalam musik. Irama terbentuk dari perpaduan sekelompok bunyi dan diam dengan bermacam-macam lama waktu dan panjang pendek (tempo) serta adanya aksen dalam ketukan/ pulsa yang ditunjukkan. Irama mencakup pulsa/ ketukan, birama, dan pola irama. Ketentuan pola ritmenya dinyatakan dengan nama seperti: wals, mars, bossanova, dan lainnya. Berdasarkan kesimpulan pengertian irama tersebut masih diuraikan lagi mengenai istilahistilah seperti: tempo, aksen, pulsa/ ketukan, birama, dan pola irama. Berikut uraian selengkapnya. Pendapat pertama mengenai tempo adalah Miller (TT :24) yang menyatakan bahwa ”tempo, sebuah istilah dari bahasa Itali yang secara harafiah berarti waktu, di dalam musik menunjukkan pada kecepatan. Musik dapat bergerak pada kecepatan yang sangat cepat, sedang, atau lambat, serta dalam berbagai tingkatan diantara semua itu”. Pendapat kedua tentang tempo adalah Safriena (1999:169) yang menyebutkan bahwa: ”tempo adalah kecepatan gerak ketukan dalam lagu; lambat seperti ayunan bandulan yang panjang dari sebuah jam besar, atau cepat seperti ayunan bandulan jam dinding”. Berdasarkan dua pendapat mengenai tempo tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tempo adalah istilah dari bahasa Itali yang secara harafiah berarti waktu, di dalam musik menunjukkan pada kecepatan dalam karya musik, yang terdapat dalam ukuran langkah tertentu. Tempo yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tempo jenis sedang. Penggunaan tempo sedang dalam penelitian ini diperkuat dalam pernyataan Pica (2000:48) yang menyatakan bahwa “By the time children are 2 years old, they can learn-and often sing-short, simple songs...” (anak pada usia 2 tahun dapat mendengar dan sering menyanyikan lagu pendek, lagu sederhana). Selanjutnya Pica (2000:31) juga menambahkan bahwa:” … 2/4─two quarter-notes in each measure (or you count to two before beginning again). A quarter─note can be likened to a walking step ─it take approximately the same time to complete. So you can simply clap and count 1─2, 1─2, and so on, at a moderate tempo”. Sukat 2/4 yaitu dua not seperempatan dalam tiap bar (atau anda menghitung dua ketukan sebelum memulai bermusik). Not seperempat dapat dicontohkan dengan langkah kaki ketika berjalan (dilakukan kira-kira dengan waktu yang sama sampai selesai). Kemudian anda dapat bertepuktangan dan menghitung 1-2, 1-2, dan seterusnya dalam kecepatan sedang. Mengenai pengertian moderato sebagai tempo sedang, Safriena (1999:273) menyatakan bahwa: ”Istilah-istilah ini menggunakan bahasa Itali, tetapi sekarang sudah menjadi istilah musik yang resmi dipakai secara umum”. Selanjutnya Safriena (1999:273) menyatakan bahwa tempo Moderato berarti sedang. Miller (TT: 24) menyatakan bahwa tempo Moderato berarti kecepatan sedang. 381 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kaitannya dengan Metronom, penelitian ini Istilah kedua setelah tempo adalah ”aksen”. (Miller, TT:28) menyatakan: ” tekanan atau penekanan atas sebuah nada untuk membuatnya berbunyi lebih keras disebut aksen. Aksen dapat bersesuaian dengan pola metrik yang diletakkan pada ketukan pertama dari setiap birama. Aksen juga dapat muncul pada ketukan-ketukan lainnya dari sebuah birama. Muncul pada nada yang mana saja dalam suatu rangkaian ketukan-ketukan yang berulang-ulang secara teratur, ia menghasilkan ritme”. Berdasarkan kutipan pengertian aksen tersebut dapat disimpulkan bahwa aksen adalah tekanan kuat/ keras atas sebuah nada yang bersesuaian dengan pola metrik yang diletakkan pada ketukan pertama dari tiap birama dan menghasilkan ritme. Berdasarkan diskusi dengan ahli musik (Heni Kusumawati, dosen Jurusan Pendidikan Seni Musik FBS UNY), maka aksen pertama disarankan berkualitas nada bunyi tiap ruas birama. Menurut beliau, kualitas nada bunyi pada tiap ketukan pertama pada tiap ruas birama akan cenderung dimainkan oleh anak. Artinya bahwa, kualitas nada diam pada ketukan pertama pada suatu ruas birama akan terasa sulit dimainkan oleh anak. Istilah berikutnya adalah pulsa/ ketukan. Safriena (1999:168) sebagai cakupan unsur irama adalah rangkaian denyutan berulang-ulang yang berlangsung secara teratur yang dapat dirasakan dan dihayati dalam musik. Miller (TT:25) menyatakan bahwa ketika mendengarkan musik yang terasa adalah denyutan-denyutan yang apabila dalam tempo cepat akan menghasilkan denyutan yang banyak dan sebaliknya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pulsa/ ketukan adalah denyutan yang berulang-ulang dan teratur dalam cepat-lambatnya masing-masing. Istilah berikutnya adalah birama yang artinya ayunan gerak kelompok beberapa pulsa dimana pulsa pertama mendapatkan aksen (tekanan) kuat dibandingkan yang lainnya, berlangsung secara teratur dan berulang-ulang serta mempunyai jenis yaitu: birama dua, birama tiga, birama empat yang disebut birama sederhana (Safriena, 1999:169). Berdasarkan kutipan ini maka dapat disimpulkan bahwa birama adalah ayunan gerak kelompok beberapa pulsa (bisa dua pulsa, tiga pulsa, dan seterusnya) dimana pulsa pertama mendapatkan tekanan kuat dibanding yang lainnya. Ayunan gerak pulsa ini berlangsung secara teratur dan berulang-ulang. Jenis birama ini bermacammacam berkaitan dengan namanya yaitu: birama dua, birama tiga, birama empat dimana ketiga birama ini disebut birama sederhana. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Heni Kusumawati, M.Pd selaku validator musik, beliau menyatakan bahwa birama jenis apapun dapat digunakan dalam penciptaan lagu untuk anak. Kualitas tempo, aksen, ketukan, dan birama yang sesuai untuk anak akan tercermin pada lagu yang dihasilkan. Lagu yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sistem tangganada diatonis (musik Barat). Hal ini dikarenakan sistem tangganada yang sering digunakan anak sangat dominan pada musik diatonis. Tangganada yang digunakan kesehariannya adalah jenis mayor. Penjelasan istilah terakhir yaitu pola irama. Safriena (1999:177) menyatakan bahwa pola irama mempunyai padanan kata yaitu ostinato irama yang artinya pola irama yang dibunyikan atau didengar berulang-ulang. Safriena menambahkan bahwa jika pola irama yang berulang-ulang lebih dari satu macam maka disebut ostinati irama (irama jamak). Berdasarkan pendapat ini maka dapat disimpulkan bahwa pola irama mempunyai padanan kata yaitu ostinato irama yang artinya pola ritme yang dibunyikan atau didengar berulang-ulang dan berlangsung secara teratur sepanjang lagu sehingga membentuk satuan irama dengan nama tertentu. Irama terkait dengan tingkat pencapaian perkembangan anak salah satunya dapat dilihat pada Gestwicki (2007:8) yang menguraikan bahwa 1) usia 4 tahun anak sangat senang menyanyi berkelompok serta telah dapat memasangkan dan mengelompokkan sumber bunyi, volume bunyi, pitch dan durasi, 2) usia 5-6 tahun anak dapat menunjukkan pengertian kontras dari suara seperti keras/ lembut dan tinggi/ rendah, 3) usia 5 tahun anak dapat menggunakan suatu pukulan akurat 382 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mantap, nyanyian, dan pengulangan irama di (dalam) bernyanyi mereka, dan 4) usia 6 tahun anak dapat mengenal pasangan dari paduan suara sebagai persamaan atau perbedaan. Kassner (2006:69) menyatakan perkembangan anak dalam seni musik yaitu: Dalam usia 1 sampai 2 tahun perkembangan anak dalam musik menunjukkan perilaku yaitu menirukan bentuk potongan melodi lagu namun belum mencirikan tinggi-rendah nadanya. Dalam usia 3 tahun anak dapat menemukan secara spontan lagu beserta karakter tinggi-rendah nadanya serta mengulang ritme dan melodi sebuah lagu...menghasilkan sajak dan nyanyian. Usia 4 tahun...menemukan perbedaan antara berbicara dan menyanyi...mengubah kualitas lagu...menyanyi spontan dalam dua oktaf...menyanyikan 5 nada yaitu d sampai a ... Berdasarkan Kassner dan Gestwicki maka berikut tabel yang menyajikan ciri khas pencapaian perkembangan musik khususnya unsur irama: Indikator Pencapaian Perkembangan Musik Anak dalam Rentang Usia 4-6 tahun berdasarkan Kassner dan Gestwicki      Indikator perkembangan kecerdasan musik Menunjukkan pengertian kontras suara keras dan lembut. Dapat menyanyi dalam wilayah tessitura (dari nada d sampai nada a). memasangkan dan mengelompokkan sumber bunyi, volume bunyi, pitch dan durasi. anak dapat menggunakan suatu pukulan akurat mantap, nyanyian, dan pengulangan irama di (dalam) bernyanyi mereka. anak dapat mengenal pasangan dari paduan suara sebagai persamaan atau perbedaan Melodi dan Pencapaian Perkembangan Musik Anak pada Rentang Usia 4-6 tahun. Melodi adalah bagian dari unsur pokok musik. Pengertian dari kata melodi adalah sebagai berikut, Miller (TT:37) menyatakan bahwa: ”Melodi adalah suatu rangkaian nada-nada yang terkait biasanya bervariasi dalam tinggi-rendah dan panjang-pendeknya nada-nada”. Safriena (1999:196) menyatakan bahwa: ”Melodi adalah susunan rangkaian nada (bunyi dengan rangkaian teratur) yang terdengar berurutan serta berirama, dan mengungkapkan suatu gagasan pikiran dan perasaan”. Berdasarkan dua pendapat tersebut maka melodi dapat disimpulkan sebagai rangkaian nadanada yang teratur, berirama, mempunyai ragam tinggi-rendah ataupun panjang-pendek, serta mengandung ungkapan suatu gagasan pikiran dan perasaan penciptanya. Dalam bukunya Safriena juga menyebutkan beberapa sistem notasi melodi yang merupakan lambang yang menunjukkan tinggi-rendahnya nada. Notasi melodi yang digunakan seperti notasi balok, huruf, dan angka (Safriena, 1999:196). Pada dasarnya pembuatan lagu ini menggunakan prinsip yang ada pada notasi balok. Miller (TT: 40) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis gerakan dalam melodi yaitu gerakan melangkah dan melompat. Melangkah adalah gerakan dari satu nada ke nada yang terdekat dari tangganada yang digunakan (Miller, TT: 40). Berdasarkan uraian sebelumnya maka melodi dalam lagu akan menggunakan kedua jenis gerakan tersebut yaitu melangkah dan 383 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta melompat. Gerakan melangkah akan sangat diajurkan mengingat sifat sederhana dalam diri anak. Untuk gerakan melompat dalam penelitian ini melodi yang digunakan tidak terlalu banyak lompatan. Penting juga untuk ditambahkan bahwa ambitus atau wilayah jangkauan nada dalam menyanyi untuk anak mempunyai perbedaan dengan ambitus dewasa. Ambitus suara anak jenis tinggi antara nada c’ – f ”, ambitus suara anak jenis rendah antara nada a – d ”, dan ambitus suara anak jenis tesitura antara nada d – b’. Berdasarkan kajian teori diatas maka didapatkan indikator pengamatan perkembangan kecerdasan musik anak usia 4-6 tahun yaitu: 1) menunjukkan pengertian kontras suara keras dan lembut, 2) menyanyi sesuai irama lagu, 3) senang memainkan alat musik, dan 4) senang “belajar” bila ada iringan musik. Berikut rubrik pengamatannya: 1. Menunjukkan pengertian kontras suara keras dan lembut. Jika 2. Menyanyi sesuai irama lagu. Jika 3. Senang memainkan alat musik Jika 4. Senang “belajar” bila ada iringan musik Mengernyitkan dahi, menggeleng-gelengkan kepala, menganggukkan kepala berkali-kali ketika mendengar lagu yang keras. Memejamkan mata secara rileks sambil melenggangkan tubuhnya serta tersenyum ketika mendengar lagu yang lembut. Anak menyanyikan lagu kesukaannya sesuai dengan ketukan lagu yang seharusnya terdengar (bisa juga sesuai dengan iringan lagu yang diperdengarkan). 1. Anak berwajah ceria saat menyanyi dan sukarela melakukan kegiatan menyanyi tersebut. 2. Anak berwajah ceria saat menirukan/ mengulangi ketukan lagu menggunakan gerakan tubuhnya. Misalkan: ketukan jari, hentakan kaki, gelengan kepala, anggukan kepala, gerakan bahu, berjalan, dan semacamnya Anak berwajah ceria dan tidak menolak ketika terdengar musik saat anak tersebut beraktivitas. Chart 1. Perolehan Data Indikator 1 Skor 1 Series2 Fa ta ya M ar ia So fit a Se lsa Ad el ia Ra m a Su si Am ir Di a m a Ke s sy a Lu fie Ra sy id Za hr a W id hi Am r La an th if a Ra h yh an An isa Ad ity Ch a in t Li ya nt an Fa g rd an M Ab uh i a m ta m Sh ad ah na Ri z na Ka ya yy isa M ul ia 0 Nama Anak 384 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan Chart 1 dapat diuraikan sebagai berikut: dari 28 anak usia 4-6 tahun sebagai subjek penelitian, indikator 1 mendapatkan 0=7 dan 1=21. Artinya bahwa terdapat 7 anak yang belum mampu menunjukkan pengertian kontras suara keras dengan catatan yaitu: 1) anak tidak memejamkan mata secara rileks, 2) anak tidak melenggangkan tubuhnya ketika mendengar lagu yang lembut, 3) anak tidak menganggukkan kepala maupun berlenggang ketika mendengar lagu yang lembut, 4) anak menutup telinga dan memejamkan mata ketika mendengar lagu yang keras, dan 5) anak berwajah wajar lagi ketika mendengar lagu lembut. Sejumlah 21 subjek telah mampu menunjukkan pengertian kontras suara keras dan lembut. Adapun karakter yang muncul pada anak yaitu adalah 1) menyanyi sambil tersenyum, 2) menyanyi dengan wajah ceria, 3) anak melenggangkan tubuh ketika menyanyi, 4) spontan menyanyikan lagu, 5) anak menyanyi sambil menggeleng-gelengkan kepala, 6) bila mendengar lagu keras anak mengeskpresikan dengan cara: mengangguk-angguk, melompat-lompat, berjingkat-jingkat, menutup telinga sebagai wujud tidak mau mendengar lagu keras, 7) bila mendengar lagu yang mengalun pelan maka anak mengekspresikan dengan cara tersenyum, menggoyang badan ke kiri dan kanan, menggeleng pelan, memejamkan mata, tepuk tangan, 8) anak menyanyikan lagu sesuai keras-lembutnya suara, 9) anak memejamkan mata secara rileks ketika mendengar musik, 10) melenggangkan tubuh sambil tersenyum, 11) anak mampu menunjukkan kontras suara, 12) anak menggerakkan kepala ke kiri dan kanan, 13) anak menari saat mendengar lagu anak-anak, 14) anak mampu berekspresi dengan berjinjit ataupun mengerutkan dahi ketika menyanyikan lagu yang bernada tinggi, 15) anak tersenyum ketika mendengar lagu kesukaannya diperdengarkan, 16) anak meminta mengganti lagu yang keras dengan lagu yang lembut sambil merebahkan badan, 17) anak merasa ketakutan ketika mendengar lagu yang bersuara keras. Anak akan minta ganti lagu, 18) anak tersenyum ketika mendengar lagu yang lembut dan berusaha menirukannya. Chart 2. Perolehan Data Indikator 2 Skor 1 Series2 K es ya Za hr a A m ir D a im as Lu f R ie as yi Fa d ta ya M ar ia W id h A i m r La an th if a R h ay ha n S of ita A ni sa A di ty C a hi nt ya S el sa A de Li lia nt an Fa g rd an A bi ta R M uh a m am a m S ad ha hn a R z in ay a S us K ay i yi sa M ul ia 0 Nama Anak Berdasarkan Chart 2 di atas dapat diberikan uraian lebih lanjut yaitu: indikator 2 mendapatkan 0=2 dan 1=26. Artinya bahwa terdapat 2 anak yang belum mampu menyanyi sesuai irama lagu dengan catatan anak belum mampu menyanyi sesuai irama lagu dan mengikuti ketukan lagu. Terdapat 26 anak yang telah mampu untuk menyanyi sesuai irama lagu dengan karakter yaitu: 1) menyanyikan lagu sesuai dengan ketukan, 2) menirukan lagu yang baru saja didengarkan, 3) menyanyi sesuai irama lagu, meski kadang terputus, 4) jika lupa, syair lagu diganti dengan “na...na...na...”, 5) hafal beberapa syair lagu grup band, 6) mennyanyi sesuai irama lagu, meski tidak ada iringan lagu, 7) anak mampu menyanyikan lagu sesuai irama pada lagu yang anak hafal dan sukai, 8) anak mampu menirukan lagu sesuai tinggi-rendah nada bahkan lagu dewasa karena anak 385 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sering menonton TV, 9) anak menyanyikan lagu kesukaannya namun tinggi-rendah nadanya belum tepat. Chart 3. Perolehan Data Indikator 3 Skor 1 Series2 Ke s La ya th if a h Ab ita Ra Sh ma ah na z Am ir a Di m as Lu f Ra ie sy i Fa d ta ya M ar ia Za hr a W id h Am i r Ra an yh an So fit a An isa Ad it Ch ya in ty a Se lsa Ad el Li ia nt an F g M ar uh da am n m a Ri d na ya Su Ka si yy isa M ul ia 0 Nama Anak Berdasarkan Chart 3 dapat diuraikan sebagai berikut: Indikator 3 mendapatkan 0=5 dan 1=23. Artinya bahwa terdapat 5 anak yang tidak senang memainkan alat musik, dengan beberapa catatan yaitu: anak kurang tertarik untuk memainkan alat musik, anak berekspresi muka biasa saja ketika diminta untuk menyanyikan dan mengulangi ketukan lagu sambil berlenggang, dan anak tidak mempunyai alat musik di rumah. Jumlah 23 anak senang memainkan alat musik dengan beberapa catatan sebagai ciri khas yang nampak yaitu: 1) wajah ceria, 2) menghentakkan kaki, tangan, dan kepala, 3) meniru iringan tepuk tangan saat bernyanyi, 4) bernyanyi sambil memainkan atau memukul benda di dekatnya, 5) saat mendengar lagu yang disukai, anak memukul-mukulkan tongkat sesuai irama lagu, 6) Senang menyanyikan lagu, sambil menggoyangkan badan dan tangan, 7) Menunjukkan raut muka centil/ kemayu sambil menggoyang-goyangkan pinggul dan tangan, 8) dapat meniup-niup seruling, 9) sukarela melakukan kegiatan tersebut, 10) mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan kepala, 11) anak bersedia menirukan lagu sambil bergerak, 12) anak senang diminta menyanyikan lagu yang ia senangi sambil bergerak, 13) anak menghentakkan kaki dan berwajah ceria ketika menyanyikan lagu yang disenangi, 14) anak senang saat menyanyikan lagu yang disukai sambil membawa gitar mainan. Anak kelihatan senang sambil menggerakkan tubuhnya, dan 15) menggerakkan bahu. Chart 4. Perolehan Data Indikator 4 Skor 1 Series2 Lu fie A bi t A a m ir a D im a K s es ya R as y Fa id ta y M a ar ia Za hr W a id A hi m La ran th i R fah ay ha S n of it A a ni sa A di C tya hi nt y S a el s A a de Li lia nt a Fa n g rd a M R n uh a m am a S ma ha d hn R az in ay a S K us ay i yi sa M ul ia 0 Nama Anak Berdasarkan Chart 4, dapat diuraikan keterangan sebagai berikut: indikator 4 mendapatkan 0=2 dan 1=26. Artinya bahwa terdapat 2 anak yang tidak senang memainkan alat musik. Anak kurang dapat berkonsentrasi ketika belajar sambil mendengarkan musik yang anak kenal. Anak cenderung 386 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta untuk menyanyikan lagu tersebut dan lupa belajar dan anak tidak peduli walau mendengar irama musik. Jumlah 26 anak senang memainkan alat musik dengan karakter yaitu: 1) menggunakan lagu untuk belajar berhitung, 2) bernyanyi bersama kakaknya, 3) berwajah ceria, 4) tidak menolak ketika terdengar musik, 5) saat bermain bersama teman-temannya, anak bersenandung atau menirukan lagu yang didengarkan, 6) senang saat mendengarkan musik, 7) anak spontan ikut bernyanyi, 8) ikut bernyanyi dan berjoged, 9) tidak marah dan terus melanjutkan belajar, 10) Terus bermain dan merasa enjoy sambil sesekali bernyanyi, 11) spontan menirukan lagu yang disukai, 12) anak ikut menyanyikan lagu yang diperdengarkan sambil melanjutkan kegiatan menggambar dan mewarnai, 13) anak minta diperdengarkan lagu kesukaannya ketika sedang belajar. Orangtua memperdengarkan lagu tersebut dengan volume pelan, 14) anak senang mendengar musik saat beraktivitas dan segera menuju arah datangnya suara musik, dan 15) anak senang mendengarkan musik sambil mewarnai. Chart 5. Perolehan Data Indikator 1-4 4 Indikator 1-4 3 Series1 Series2 Series3 Series4 Series5 2 Ke sy a Ab ita Ra m a Lu fi Fa e ta ya M ar ia Za h La r a th if a h So fit a Se lsa Ad e S h lia ah na z Su si Am ir a Di m a Ra s sy id W id h Am i ra Ra n yh an An isa Ad ity Ch a in ty Li a nt an F g M ar d uh a am n m ad Ri na Ka ya yy isa M ul ia 1 Nama Anak Dari Chart 5 di atas dapat diuraikan sebagai berikut: chart di atas merupakan perolehan data dari 28 anak yang telah diamati menggunakan 4 indikator. Terdapat 3 subjek mendapatkan skor 2, kemudian ada 10 subjek mendapatkan skor 3, dan 15 subjek mendapatkan skor 15. Hal ini menunjukkan bahwa 53,6% subjek menguasai seluruh tingkat capaian perkembangan. Hanya 10% (3 orang) subjek yang mendapat skor dibawah 2, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mayoritas subjek memiliki kecerdasan musik yang tinggi. Kesimpulan Hasil penelitian berisi tentang jawaban atas masalah dalam penelitian. Masalah penelitian ini adalah profil kecerdasan musik anak usia 4-6 tahun di beberapa wilayah kabupaten di DIY. Berdasarkan uraian dalam pembahasan didapatkan kesimpulan bahwa dari 28 anak yang diobservasi mempunyai tingkat kecerdasan musik yang tinggi dengan karakter dalam indikator berikut: 1. Anak mampu menunjukkan pengertian kontras suara keras dan lembut. 387 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Anak mampu menyanyi sesuai irama lagu. 3. Anak senang memainkan alat musik. 4. Anak senang “belajar” bila ada iringan musik Berdasarkan kesimpulan yang ada maka terdapat beberapa saran yang mungkin akan menjadikan penelitian ini lebih bermanfaat, yaitu: 1. Perlu penelitian pada tiap tahun yang berbeda untuk mengetahui pergeseran tingkat ketercapaian kecedasan musik pada anak terkait perkembangan sosial budaya yang terjadi. 2. Perlu diteliti lagi beberapa wilayah kabupaten yang berbeda sehingga mungkin akan nampak ada perbedaan hasil yang kemudian hal ini dapat dikaji lebih dalam lagi mengenai faktor apa yang mempengaruhinya. Daftar Pustaka Armstrong, Thomas. 2000. Multipleintelligences In The Classroom. E-Book. USA. Gestwicki, Carol. 2007. Developmentally Appropriate Practice Curriculum and Development in Early Education. Third edition. Delmar US.Goodkin, Doug. 2001. Hurlock, Elizabeth B.1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Tjandrasa & Zarkasih. Erlangga. Jamaris, Martini. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta. Grasindo. Kassner, dkk. 2006. Musik in Childhood from Preschool throught the elementary Grades. Schirmer. Canada. Kelas 2A dan 2B PG-PAUD, 2011. Observasi Pengamatan Pencapaian Perkembangan Musik pada Anak Usia Dini. Laporan Observasi. TT Latief, Muhammad Adnan. 2009. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Makalan. Universitas Negeri Malang. 2009. TT Miller, Hugh M. (Tanpa Tahun). Pengantar Apresiasi Musik (Introduction to Musik a Guide to Good Listening). Terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Triyono Bramantyo PS. Patmonodewo, Soemiarti. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah Cetakan Kedua. Rineka Cipta. Pica, Rae. 2000. Experiences in Movement with Musik, Activities, and Theory 2nd Edition. Delmar. Canada. New York. Safriena, Rien. 1999. Pendidikan Seni Musik. Jakarta. TT Santrock, John W. 2002. Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima Jilid 1. Terjemahan dari bahasa Inggris oleh Juda Damanik & Achmad Chusairi. Erlangga. 388 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGARUH LATIHAN INTERVAL TRAINING TERHADAP PERUBAHAN KEMAMPUAN FISIK ATLIT BOLAVOLI YUNIOR C.Fajar Sriwahyuniati, Guntur, Siswantoyo Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengaruh latihan interval training terhadap perubahan kemampuan fisik atlit yunior usia 16-19 tahun pada cabang olahraga bolavoli. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain pretest-postest group design. Populasi yang digunakan adalah atlit yunior bolavoli di kabupaten sleman yogyakarta. Sampel dipilih secara purposive dengan ciri-ciri usia 16-19 tahun, aktif berlatih, jenis kelamin putra, bersedia menjadi sampel. Frekuensi latihan 3 kali per minggu, dilakukan selama 24 sesi. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel penelitian yang diukur berdisribusi normal dan homogen. Analisis varian menunjukkan bahwa variabel yang memperoleh hasil signifikan adalah pada unsur kemampuan fisik kekuatan otot tungkai sebesar 0,000<0,05 dan unsur kelincahan sebesar 0,000< 0,05. Sedangkan variabel unsur fissik yang lainnya memperoleh hasil probabilitasnya diatas 0,05. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa latihan interval mampu mempengaruhi adanya perubahan kemampuan fisik (daya tahan aerobik/VO2 Max = 0,589 kg bb m/dtk, power tungkai=1,313 cm, kecepatan reaksi=0,001 detik, keseimbangan =2,401detik, kelentukan togok=2,341cm, kekuatan tangan=3,934kg, kekuatan kaki=19,171kg, kekuatan punggung/togok=10,609kg dan kelincahan=4,812). Penelitian Ini dapat disimpulkan bahwa latihan interval training dapat meningkatkan kemampuan fisik atlit bolavoli yunior. Kata kunci: Pengaruh, interval training, atlit, yunior Pendahuluan Fenomena yang terjadi saat ini adalah meningkatnya animo masyarakat terhadap permainan bolavoli, hal ini merupakan dampak dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya berolahraga. Penampilan atlet bolavoli junior putra Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Kejurnas tahun 2009 di Bali menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Tim DIY hanya menempati rangking IV, lebih memprihatinkan lagi pada Kejurnas tahun 2010 di Jakarta, tim bolavoli junior putra DIY gugur di babak penyisihan. Pada pertandingan yang sangat menentukan tim DIY dipermalukan tim junior Sumatera Selatan. Menurut pengamatan pelatih, tim DIY begitu kelelahan dan drop dalam hal kondisi fisik. Hal ini menunjukkan kemampuan dan kondisi fisik atlet DIY masih di bawah kemampuan atlet dari daerah lain dan kondisi ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa prestasi bolavoli di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya junior dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kurang mampu berprestasi secara maksimal. Pertandingan bolavoli memerlukan persiapan-persiapan yang matang. Seorang pemain selain harus matang dalam teknik, harus mengerti taktik dan strategi, dapat membaca kekuatan lawan, dan di mana letak kelemahannya, tetapi harus tahu seberapa besar kesegaran jasmani yang dimiliki. Salah satu komponen terpenting dari komponen kesegaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan adalah daya tahan kardiorespirasi. Menurut Djoko (2000) daya tahan paru dan jantung 389 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta atau disebut juga cardio respiratory endurance adalah kemampuan fungsional paru dan jantung mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama. Guna mendukung peningkatan prestasi khususnya cabang olahraga bolavoli tidak lepas dari proses pembinaan seorang atlet terutama dalam hal kesegaran jasmani pemain bolavoli. Sementara pembinaan olahraga bolavoli belum terprogram secara khusus, latihan hanya mengandalkan ketrampilan bermain saja dan tidak mempertimbangkan kesegaran jasmani para atlet. Seorang atlet bolavoli sangat penting memiliki derajat kesegaran jasmani yang prima, sebab peningkatan kesegaran jasmani bertujuan menunjang aktifitas olahraga dalam rangka mencapai prestasi prima (Suharno, 1984: 8). Melalui proses pelatihan fisik yang terprogram baik, pemain bolavoli harus memiliki kualitas kebugaran jasmani yang berdampak positif pada kebugaran mental, psikis, yang akhirnya berpengaruh langsung pada penampilan teknik bermain. Menurut Birch, McLaren & George (2005: 32) latihan daya tahan adalah jenis latihan untuk meningkatkan pengembangan aerobik serat otot dan biasanya dilakukan dalam waktu yang lama, dengan intensitas yang relatif rendah. Latihan daya tahan dapat dilakukan secara terus-menerus atau terputus-putus. Menurut Rushall (1990: 195) baik latihan kontinyu maupun interval dapat  meningkatkan V O 2 max./kapasitas aerobik maksimal. Namun dalam beberapa laporan penelitian efektifitas kedua metode latihan tersebut belum banyak ditemukan, juga dari hasil pengamatan di  lapangan, para pelatih dalam memilih metode latihan untuk meningkatkan V O 2 max. biasanya kurang memperhatikan kapasitas vital paru yang dimiliki oleh atlet. Dalam proses latihan, perlakuan biasanya disamakan antara yang mempunyai kapasitas vital paru tinggi dan rendah. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sehingga metode latihan yang dipilih kurang sesuai. Oleh karena itu peneliti bermaksud akan mengadakan penelitian pengaruh latihan interval training terhadap perubahan kemampuan fisik atlit bolavoli yunior. Kemampuan fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan daya tahan aerobik/Vo2Max, Power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah latihan interval training berpengaruh terhadap perubahan kemampuan fisik (daya tahan aerobik/Vo2Max, Power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan) atlit bolavoli yunior ? Metode Penelitian Metode yang akan digunakan untuk melaksanakan penelitian ini adalah eksperimen. Dalam bentuk yang sederhana penelitian eksperimen mempunyai tiga ciri, yaitu: (1) suatu variabel bebas yang dimanipulasi, (2) semua variabel lainnya, kecuali variabel bebas yang dipertahankan tetap, dan (3) pengaruh manipulasi variabel bebas terhadap variabel terikat Donald Ary, Jacobs, & Razavieh (Sukadiyanto, 2004: 138). Untuk itu dalam penelitian ini memiliki variabel terikat, yaitu kemampuan fisik (daya tahan aerobik/VO2Max, ower tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan), sedang sebagai variabel bebasnya 390 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta adalah perlakuan yang berupa latihan interval training. Adapun rancangan eksperimen yang diterapkan pretest postest group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet bolavoli junior yang tergabung dalam klub bolavoli yuso Sleman. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Kriteria: atlet junior usia 16-19 tahun laki-laki, aktif dan sanggup menjadi sampel. Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel bebas yang berupa perlakuan dalam penelitian ini adalah latihan aerobik, dengan metode interval. Adapun variabel terikatnya adalah kemampuan fisik yang terdiri dari unsur daya tahan aerobik/Vo2Max, Power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan. Latihan interval adalah latihan dengan selang-seling, yaitu kombinasi antar sprint dan joging/lari-lari kecil yang diukur dengan kecepatan maksimal atlet yang ditunjuk sebagai sampel perlakuan, kemudian dalam pelaksanaannya diambil dosis sesuai dengan intensitas yang telah ditentukan. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Berdasarkan variabel yang diteliti, data yang dikumpulkan meliputi daya tahan aerobik/Vo2Max, Power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan. Instrumen penelitian ini adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Adapun alat yang dipakai dalam mengumpulkan data adalah sebagai berikut. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ITEM YANG DI TES Vo2 Max Kekuatan otot tungkai/togok Kekuatan otot Punggung Kekuatan tangan Power Tungkai Kecepatan reaksi Keseimbangan kelentukan togok Kelincahan ALAT TES Cosmed Pro 900 Leg dinamometer TKK Back D back dinamometer TKK Back D Pull and push dinamometer Jump DF TKK 5114 WBR TKK 1264-II Balance -1 TKK 5407 sit and reach Side step agility Teknik Analisis Data Teknik analisis data sebagai uji prasyarat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data mempunyai sebaran yang berdistribusi normal. Uji yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov. Uji homogenitas varians dilakukan untuk menguji kesamaan varians data kelompok eksperimen. Uji homogenitas menggunakan uji Levene’s Test. Analisis Variansi (ANAVA) untuk menguji hipotesis penelitian. 391 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil tes kemampuan fisik (daya tahan aerobik/VO2 Max, power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan) atlet bolavoli junior yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur kemampuan fisik menunjukkan distribusi normal p>0,05 (signifikan) dan hail uji homogenitas diperoleh nilai p>0,05 (homogen). Hasil analisis varian menunjukkan bahwa hanya pada unsur kemampuan fisik kekuatan otot tungkai 0,000<0,05 dan unsur kelincahan 0,000<0,05 (signifikan). Berikut ini disajikan hasil peningkatan atau selisih dari pretest dan postest. Secara rinci hasil perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut. Tabel. Rata-rata Hasil Keseluruhan Kemampuan Fisik Komponen Fisik Pre-Test Post-Test Daya Tahan Aerobik/VO2 Max 41,858 42,447 0,589 Power Tungkai 64,719 63,406 -1,313 Kecepatan Reaksi 0,271 0,27 -0,001 Keseimbangan 64,88 67,281 2,401 Kelentukan Togok 42,359 44,7 2,341 Pull 30,203 32,234 2,031 Push 22,3 26,234 3,934 Kekuatan Kaki 146,563 165,734 19,171 Kekuatan Punggung/Togok 109,375 119,984 10,609 Kelincahan 16,656 21,468 4,812 Kekuatan Tangan SELISIH Tabel di atas menunjukkan bahwa: 1. Adanya peningkatan daya tahan aerobik/VO2 Max, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pretest atau tes awal sebesar 41,858 menjadi sebesar 42,447 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 0,589 daya tahan aerobik/VO2 Max. 2. Adanya penurunan power tungkai, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 64,719 menjadi sebesar 63,406 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar -1,313 power tungkai. 3. Adanya peningkatan kecepatan reaksi, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 0,271 menjadi sebesar 0,270 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar -0,001 kecepatan reaksi. 4. Adanya peningkatan keseimbangan, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 64,88 menjadi sebesar 67,281 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 2,401 keseimbangan. 5. Adanya peningkatan kelentukan togok, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 42,359 menjadi sebesar 44,7 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 2,341 kelentukan togok. 6. Adanya peningkatan kekuatan tangan (Pull), terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 30,203 menjadi sebesar 32,234 pada post-test atau tes akhir, berarti 392 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 7. 8. 9. terdapat selisih sebesar 2,031 kekuatan tangan (Pull), dan adanya peningkatan kekuatan tangan (Push), terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 41,858 menjadi sebesar 42,447 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 3,93 4kekuatan tangan (Push). Adanya peningkatan kekuatan kaki, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 41,858 menjadi sebesar 42,447 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 19,171 kekuatan kaki. Adanya peningkatan kekuatan punggung/togok, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pretest atau tes awal sebesar 109,375 menjadi sebesar 119,984 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 10,609 kekuatan punggung/togok. Adanya peningkatan kelincahan, terlihat pada perubahan hasil rata-rata pre-test atau tes awal sebesar 16,656 menjadi sebesar 21,468 pada post-test atau tes akhir, berarti terdapat selisih sebesar 4,812 kelincahan. Pembahasan Hasil statistik menunjukkan bahwa kemampuan fisik atlet bolavoli junior putra Yuso Sleman yang diberikan latihan interval selama 24 kali pertemuan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat pada penambahan hasil tes dan benar-benar merupakan hasil dari latihan interval. Dari hasil tes komponen fisik menunjukkan bahwa adanya peningkatan setelah mendapatkan latihan interval pada sampel penelitian. Peningkatan tersebut terlihat pada peningkatan rata-rata dari pre-test ke post-test. Pada tabel berikut disajikan nilai kemampuan fisik yang diperoleh dari tes awal. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 165.734 119.984 67.281 44.7 32.234 26.234 0.27 63.406 42.447 21.468 Pre-Test Post-Test 393 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 -20 19.171 10.609 -1.313 2.401 2.341 0.589 3.934 4.812 2.031 -0.001 Pre-Test Post-Test SELISIH Tabel diatas menunjukkan hasil pengukuran yang dilakukan pada saat akhir penelitian sebagai data postest. Dan selanjutnya pada tabel dibawah ini dipaparkan hasil selisih kemampuan fisik antara pretest dan postest. 19.171 20 15 10.609 10 5 0.589 0 3.934 2.4012.3412.031 -1.313 -0.001 4.812 Selisih -5 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa peningkatan yang paling tinggi terjadi pada komponen kemampuan fisik kekuatan otot tungkai, selanjutnya kekuatan punggung. Peningkatan ini terjadi karena pemberian perlakuan berupa latihan interval yang dilakukan dalam waktu lebih dari 6 minggu frekuensi 3 kali per minggu. Berdasarkan kajian teori dijelaskan bahwa latihan yang dilakukan lebih dari 4 minggu telah dapat memberikan respons peningkatan kemampuan atau adaptasi yang cukup 394 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta baik. Fox (2003) menjelaskan bahwa adaptasi fisiologis akan terjadi peningkatan setelah berlatih lebih kurang pada minggu ke 4 – ke 6, dan setelah minggu tersebut akan terjadi peningkatan adaptasi yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Peningkatan yang terjadi pada unsur kemampuan fisik kekuatan tungkai dan togok ini disebabkan oleh adanya stresor latihan lari interval yang lebih banyak atau lebih dominan menggunakan otot tungkai dan punggung. Disisi lain unsur kelincahan juga mengalami peningkatan sebesar 4,812 detik. Peningkatan ini juga dikarenakan salah satunya otot telah mampu menghadapi stresor untuk melakukan gerakan dengan maksimal dan merubah arah dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangan. Dengan latihan interval tersebut ternyata juga mampu memberikan kontribusi terhadap kelincahan. Peningkatan yang lain juga terjadi pada kekuatan remas tangan. Namun kekuatan remas tangan antara tangan yang kanan dan kiri bila dilihat dari kemampuan rata-rata lebbih tinggi terjadi peningkatan pada remasan tangan sebelah kanan sebesar 3,934 dan kiri 2,031 kg. Peningkatan kekuatan remas kanan disebabkan antara lain pada atlet yang mengikuti tes ini semua tidak ada yang memiliki kebiasaan kidal. Sehingga karena tangan kanan merupakan tangan yang lebih banyak digunakan maka sudah merupakan hal wajar dan alpami apabila tangan yang sering digunakan memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Disamping unsur kemampuan yang telah diuraikan tersebut diatas, juga masih terdapat beberapa peningkatan kemampuan fisik dengan berlatih interval training. Peningkatan dari masing-masing unsur fisik dapat dilihat pada tabel selisih peningkatan diatas. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa latihan interval mampu mempengaruhi adanya perubahan kemampuan fisik (daya tahan aerobik/VO2 Max = 0,589 kg bb m/dtk, power tungkai=1,313 cm, kecepatan reaksi=0,001 detik, keseimbangan =2,401detik, kelentukan togok=2,341cm, kekuatan tangan=3,934kg, kekuatan kaki=19,171kg, kekuatan punggung/togok=10,609kg dan kelincahan=4,812). Implikasi Berdasarkan hasil penelitian, model latihan interval dapat dimanfaatkan oleh para pelatih untuk meningkatkan beberapa unsur kemampuan fisik agar lebih baik lagi. Keterbatasan Penelitian Meskipun penelitian ini telah dilaksanakan dengan seksama dan berhasil mengetahui bahwa latihan interval mempunyai pengaruh perubahan kemampuan fisik (daya tahan aerobik/VO2Max, power tungkai, kecepatan reaksi, keseimbangan, kelentukan togok, kekuatan tangan, kekuatan kaki, kekuatan punggung/togok dan kelincahan) atlet bolavoli junior, namun hal ini tidak terlepas dari keterbatasan dan kelemahan. Kelemahan yang ada disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut: 1. Peneliti mengalami kesulitan untuk mengontrol aktivitas peserta di luar penelitian, karena peserta tes tidak diasramakan, sehingga peneliti hanya mengarahkan agar peserta mengatur pola makan dan istirahat. 395 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Pada saat melakukan penelitian ada beberapa peserta yang melakukan latihan kurang sungguh-sungguh. Oleh karena itu peneliti memberikan pengarahan dan pengertian kepada peserta tes untuk dapat latihan dengan sungguh-sungguh agar penelitian ini dapat mencapai hasil yang maksimal, karena mengingat pentingnya penelitian ini. 3. Keadaan fasilitas lapangan terbuka sehingga faktor dari luar seperti angin, cuaca, hujan dan panas dapat mempengaruhi penelitian ini, sehingga harus selalu diberikan motivasi kepada peserta tes agar dapat latihan dengan optimal meskipun terkendala faktor tersebut. 4. Terbatasnya jumlah sampel penelitian dan faktor-faktor lain di luar kemampuan untuk mengatasi. Saran Atas dasar hasil penelitian ini, maka saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: Untuk meneliti lebih lanjut tentang pengaruh latihan interval terhadap perubahan kemampuan fisik atlet bolavoli, disarankan agar melibatkan sampel yang lebih besar dan usia yang bervariasi. Disamping hal tersebut juga pelru dilakukan kombinasi dengan kemampuan unjuk kerja. Daftar Pustaka Astrand, P. O., & Rodahl, K. (1986). Textbook of work physiology: physiological bases of exercise. United States: McGraw-Hill Book Company. Birch, K., MacLaren, D., & George, K. (2005). Instant notes sport & exercise physiology. New York: Garland Science/BIOS Scientific Publishers. Bompa, T. O. (1994). Theory and methodology of training: the key to athletic performance (3rd ed.) Toronto, Ontorio Canada: Kendall/Hunt Publishing Company. Brearley, M. B. (September 2001). Mitochondrial DNA and maximum oxygen consumption. Journal Sport Science, 5, 1-4. Diambil pada tanggal 20 Desember 2010, dari http://www.sportsci.org/jour/0102/mbb.pdf Corbin, C. B., & Lindsey, R. (1997). Concepts of fitness and wellness. Dubuque: Brown & Benchmark. Department of the Army. (1999). Physical fitness training. Washington DC: I. L. Holdridge. Djoko, P. I. (2000). Panduan latihan kebugaran (yang efektif dan aman). Yogyakarta: Lukman Offset. Giam, C. K., & Teh, K. C. (1993). Sport medicine exercise and fitness. Singapore: PG Publishing Pte Ltd. Guyton, A. C. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran. (Terjemahan Irawati, S.). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Helgerud, J., Hoydal, K., Wang, E., et al. (2007). High intensity intervals improve aerobic power more than moderate aerobic training. Journal Medicine Science Sports Exercise, 39, 665-671. Diambil pada tanggal 20 Desember 2010, dari http://www.nscalift.org/Perform/articles/070205.pdf Janssen, Peter G. J. M. (1993). Latihan laktat denyut-nadi. (Terjemahan M. M. Pringgoatmojo & M. Abdullah). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. (Buku asli diterbitkan tahun 1987) Janssen, Peter G. J. M. (1987). Training lactate pulse rate. Findlandia: Polar Electro Oy. Junusul, H. (1989). Fisiologi jilid I. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. 396 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Leger, L. A., & Lambert, J. (1982). “A maximal multistage 20 m shuttle run test to predict VO2 max (Versi elektronik). European Journal of Applied Physiology, Vol. 49, p 1-5. Diambil pada tanggal 8 desember 2009, dari http:/www.brianmac.co.uk/beep.htm M. Sajoto. (1998). Peningkatan dan pembinaan kekuatan kondisi fisik dalam olahraga. Semarang: Dahar Prize. Muhammad Zainudin .(2000). Metodologi penelitian. Surabaya: Universitas Airlangga. Margaret J. Safrit. (1986). Intodution to measurement in physical education and exercise science. Wisconsin: University of Wisconsin. Nossek, J. (1982). General theory of training. Lagos: Pan African Press Ltd. Pate RR. Mc, Clengham B., & Rotella R. (1984). Scientific foundation of coaching. United States: CBS. College Publishing. ---------------------. (1994). Dasar-dasar ilmiah kepelatihan. (Terjemahan Kasiyo Dwijowinoto). Semarang: IKIP Semarang Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1984) Pearce, E. C. (2002). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rushall, BS., & Frank S. Pyke. (1990). Training for sport fitness. South Melbourne: The Macmillan Company of Australia PTY LTD. Reeser, J. C., & Bahr, R. (2003). Handbook of sports medicine and science volleyball. UK (United Kingdom): Blackwell Science. Sadoso Sumosardjuno. (1992). Kesehatan olahraga. Jakarta: Grafidian Jaya. Sharkey, B. J. (2003). Kebugaran dan kesehatan. (Terjemahan Nasution). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sigit Nugroho. (2009). Pengaruh latihan sirkuit (circuit training) terhadap VO2 Max dan keterampilan bulutangkis mahasiswa PKO FIK UNY. Tesis magister. tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Siswantoyo. (2008). Pengaruh olahraga pernafasan satria nusantara tingkat pradasar terhadap modulasi imunitas. Ringkasan Disertasi, Surabaya: Universitas Airlangga. Sugiarto & Nanang Indardi. (2007). Korelasi antara VO2 max dan vital capacity dengan ketahanan menyelam pada mahasiswa IKORA angkatan 2006. Proceeding Seminar Nasional PORPERTI, Yogyakarta, Kemahasiswaan UNY Desember 2007. Suhardi. (2007). Pengaruh bentuk latihan fisik dan denyut nadi defleksi terhadap perubahan VO2 maksimal (Eksperimen di FIK UNNES). Proceeding Seminar Nasional PORPERTI, Yogyakarta, Kemahasiswaan UNY Desember 2007. Suharjana. (2007). Latihan Beban: Sebuah Metode Latihan Kekuatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga, MEDIKORA, Vol. III, No.1, 80-101. Suharno HP. (1984). Dasar-dasar permainan bolavoli. Yogyakarta: FPOK IKIP Yogyakarta. Sukadiyanto. (2004). Keterampilan groundstrokes petenis pemula, studi eksperimen pada siswa SD di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Sukadiyanto. (2005). Pengantar teori dan metodologi melatih fisik. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY. Sutrisno Hadi. (1981). Metodologi research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. 397 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Whyte, G. (2006). Advanced in sport and exercise science series: the physiology of training. UK (United Kingdom): Elsevier’s Health Sciences Right Department. Wilmore, J. H., Costill, D. L., & Kenney, W. L. (2004). Physiological of sport and exercise (4rt ed.). United States: Human Kinetics. Wilmore, J. H., & Costill, D. L. (1988). Training for sport activity: the physiological basis of conditioning process. Philadelphia: WB Sounders Publishing. 398 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KARAKTER GOTONG ROYONG WARGA DALAM MENGHADAPI BENCANA LAHAR DINGIN MERAPI KOTA YOGYAKARTA Gunardo RB Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Aspek kegotongroyongan warga menghadapi kedatangan banjir lahar dingin dan usaha warga menanggulangi masalah-masalah paska banjir lahar dingin sangat menarik untuk dikaji, mengingat karakter gotong royong warga yang diduga menipis akibat gempuran individualistis, ternyata sebagian warga masih memegang kuat nilai-nilai gotong royong. Kajian ini merupakan hasil penelitian berjudul Dampak Sosial Ekonomi Banjir Lahar Dingin Merapi di bantaran Sungai Code Kota Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut dikaji aspek kesehatan, aspek budaya gotong royong dan aspek ekonomi. Aspek kesehatan meliputi penyakit-penyakit yang muncul akibat banjir dan bagaimana menanggulanginya. Aspek budaya menyoroti karakter gotong royong warga dalam menghadapi bencana lahar dingin sesuai dengan judul tulisan ini. Sedangkan aspek ekonomi meliputi kerusakan permukiman warga miskin dan pemanfaatan potensi sumber daya alam berupa batu dan pasir. Metode penelitian deskriptif kuantitatif menggunakan dokumentasi dari lembaga pemerintah yang menangani bencana alam, wawancara dengan warga yang terkena bencana dengan kuisioner untuk mengumpulkan data kesehatan dan kegotongroyongan warga. Juga dilakukan observasi menggunakan kamera untuk mengambil data kerusakan permukiman dan potensi sumber daya alam. Lokasi penelitian memilih Kelurahan Tegalpanggung, Kelurahan Jetis dan Kelurahan Suryatmajan dengan alasan setiap aspek yang diteliti cukup banyak muncul di ketiga kelurahan dan letaknya berdekatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang muncul setelah banjir lahar dingin adalah penyakit batuk-batuk, diare, sakit kepala, kulit gatal dan demam. Hampir di semua wilayah bencana penyakit itu muncul. Puskesmas ketiga wilayah mendekatkan pelayanannya dengan mendirikan posko di dekat lokasi bencana. Kegotongroyongan warga terjadi pada saat banjir datang dan paska banjir lahar dingin. Sementara warga lain menunggu bantuan pemerintah,warga Kelurahan Tegalpanggung menunjukkan kegotongroyongan dengan kerja bakti memasang karung pasir saat banjir dan meninggikan talud secara swadaya. Kerusakan permukiman berupa rusaknya bangunan rumah, sumur yang kotor dan , fasilitas olahraga dan balai pertemuan tertimbun pasir. Warga belum memanfaatkan potensi sumber daya alam berupa pasir,kerikil dan batu secara ekonomis, baru sebatas untuk keperluan sendiri. Kata kunci : dampak social ekonomi, lahar dingin, bantaran sungai Pendahuluan Menurut Badan Geologi dan Vulkanologi DIY erupsi Merapi tanggal 26 Oktober 2010 telah memuntahkan material vulkanik sebesar 140 juta meter kubik (Kompas,20 November 2010, hal.15). Meskipun bahaya primer berupa lahar panas dan wedus gembel sudah berlalu, tetapi ancaman lebih serius muncul dari gelontoran lahar dingin yang akan dibawa sejumlah sungai yang masuk kekawasan perkotaan dan permukiman. Tidak ketinggalan hal demikian sudah dialami Kota Yogyakarta melalui sungai Code. Banjir lahar dingin pada tanggal 27 November 2010 tergolong besar karena berhasil melewati talud sungai dan merendam sebagian rumah penduduk dengan lumpur, pasir dan batu.Kemudian banjir bulan Desember juga cukup menimbulkan trauma penduduk yang tinggal di bantaran sungai Code. Kerugian material dialami penduduk cukup besar mencapai ratusan 399 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta juta rupiah ( Kedaulatan Rakyat, 28 November 2010).Bahkan Bappeda Kota Yogyakarta melaporkan seluruh potensi kerugian yang meliputi rusaknya rumah, fasilitas umum, sumur, jembatan, talud, sanitasi mencapai milyaran rupiah. Bukan hanya kerusakan permukiman penduduk tetapi bahaya timbulnya penyakit akibat banjir lahar dingin juga mengancam penduduk. Sangat menarik bila aspek kesehatan ini dapat diketahui secara lebih lengkap, sehingga perlu kajian aspek kesehatan berkaitan dengan akibat banjir lahar dingin untuk menjawab penyakit-penyakit apa saja yang berpotensi menjadi wabah, daerah-daerah mana saja yang terkena dan bagaimana mengantisipasi hal tersebut agar tidak merugikan penduduk. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatan masyarakat, baik saat bencana dan paska bencana, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dalam hal ini Pusat Kesehatan Masyarakat di masing-masing Kecamatan sangat berperanan. Menarik juga untuk mengetahui bagaimana kegotongroyongan penduduk sebagai modal sosial menghadapi bencana banjir lahar dingin pada saat terjadi dan sesudahnya itu. Konon ada perbedaan penerapan kegotongroyongan itu sehingga mengakibatkan perbedaan besar kerusakan yang dialami. Oleh karena itu kerusakan permukiman yang dialami perlu dikaji, baik di daerah yang masih kental rasa gotong royongnya maupun di daerah yang sudah mulai pudar kegotongroyongannya. Kerusakan permukiman meliputi lantai, dinding dan genting serta kemungkinan kerusakan harta benda lainnya. Banjir lahar dingin tidak hanya merusak tetapi juga memberikan berkah berupa potensi sumber daya alam berupa pasir,kerikil dan batu. Bagaimana penduduk menyikapi berkah tersebut perlu dikaji agar potensi sumber daya alam menjadi riil menaikkan kesejahteraan penduduk. Sungai Code adalah sungai yang berhulu di Sungai Boyong di lereng Gunung Merapi, mengalir melalui Kabupaten Sleman, masuk ke kota Yogyakarta sepanjang 6 km melalui 8 Kecamatan dan 14 Kelurahan. Sungai Code mengalami pendangkalan berkisar 70 cm hingga satu meter akibat banjir lahar dingin (Kedaulatan Rakyat 4 Desember 2010). Banjir lahar dingin yang terjadi tanggal 27 November 2010 telah merusak permukiman penduduk dan mengancam 13.000 jiwa yang bermukim di bantaran Sungai Code ( Kedaulatan Rakyat 9 November 2010). Lahar dingin berpotensi merusak bangunan perumahan seperti yang terjadi di Shimabara Jepang ketika Gunung Unzen meletus tahun 1991 ( Edward A.Keller dan Robert H.Blodgett, 2006). Akan tetapi menurut Sutikno dkk,peristiwa erupsi yang banyak terjadi disamping menyebabkan timbulnya bahaya juga menghasilkan potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung dinamika kehidupan di dalamnya. Salah satu sumber daya yang potensial adalah sedimen baik dari aliran lava, aliran debu dan gas, maupun aliran piroklastik ( Sutikno dkk,2007,hal.6). Bahkan warga Kelurahan Prawirodirjan telah menjual pasir dari Sungai Code per karung Rp.2.000,- dan Kelurahan Kotabaru menerima fee sebesar Rp.60.000,- per rit truk dari pengusaha yang menambang di Sungai Code wilayah Kelurahan Kotabaru Kecamatan Gondokusuman ( Kedaulatan Rakyat 10 Januari 2011 hal.7). Pengusaha telah bersepakat dengan warga sekitar sungai yang ditambang dengan pertimbangan pasir yang dikeruk dengan alat berat (backhoe) akan mengurangi pasir yang masuk ke rumah dan lingkungan sekitar. Tentu hal ini akan mengurangi kecemasan warga. Banjir lahar dingin akan mengkontaminasi air bersih (sumur), saluran pembuangan air limbah rumah tangga mampet, saluran air hujan juga mampet (Kedaulatan Rakyat 26 November 2010). Kontaminasi air sumur berupa kandungan logam berat yang meengendap di dasar sumur. Menurut Junun, pengurasan merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan logam berat dalam sumur ( Kompas, 16 November 2010,hal.1).Logam berat itu 400 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kadmium dan tembaga yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Untuk mengatasi berbagai masalahmasalah itu warga perlu bergotong royong sebagai konsteks pemberdayaan. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan kaidah tentang langkah ataupun cara dalam mengumpulkan, menganalisis, serta mengolah suatu data secara sistematis serta terarah agar dalam pelaksana annya dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai sehingga pada akhirnya dapat menjadi pedoman bagi peneliti itu sendiri ( Pabundu Tika, 2005 :12). Langkah-langkah penelitian yang akan dilaksanakan meliputi : Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada proyek penelitian (Pabundu Tika, 2005: 44). Metode ini digunakan untuk mencari data awal tentang daerah penelitian, untuk mendapatkan gambaran umum daerah penelitian dengan memperhatikan keadaan riil atau fenomena yang ada di lapangan. Peneliti telah mengamati 14 kelurahan, hasilnya 3 kelurahan yaitu Kelurahan Gowongan, Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Suryatmajan dijadikan sampel. Ketiga kelurahan tersebut yang paling banyak mengalami kerusakan akibat banjir lahar dingin dan mempunyai dampak social ekonomi lebih lengkap. Secara teknis lebih mudah dijangkau karena ketiga kelurahan letaknya berdekatan. Pengumpulan data kerusakan pemukiman dan lingkungan menggunakan kamera untuk merekam kondisi terakhir akibat banjir lahar dingin. Sedangkan data kesehatan dan kegotongroyongan warga dikumpulkan dengan daftar kuisioner dn melakukan wawancara dengan Kepala Puskesmas terdekat dan warga setempat serta beberapa tokoh masyarakat yang terlibat langsung penanganan saat terjadi banjir lahar dingin dan sesudahnya. Setelah data terkumpul akan dilakukan analisa data dengan menggunakan tabulasi dan persentase sehingga tingkat kerusakan permukiman, kuantitas penyakit maupun kecenderungan gotong royong serta potensi ekonomi sumber daya alam dapat terukur. Hasil dan Pembahasan Sungai Code mengalir ke dalam Kota Yogyakarta dari arah Utara mulai dari Kelurahan Karangwaru Kecamatan Tegalrejo, Kelurahan Cokrodiningratan dan Kelurahan Gowongan Kecamatan Jetis, Kelurahan Terban dan Kelurahan Kotabaru Kecamatan Gondokusuman, Kelurahan Suryatmajan dan Kelurahan Tegalpanggung di Kecamatan Danurejan, Kelurahan Ngupasan dan Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan, Kelurahan Purwokinanti Kecamatan Pakualaman, Kelurahan Keparakan, Kelurahan Wirogunan dan kelurahan Brontokusuman Kecamatan Mergangsan, Kelurahan Sorosutan Kecamatan Umbulharjo. Secara ringkas Sungai Code mengaliri 8 Kecamatan dari 14 Kecamatan, 14 Kelurahan dari 45 Kelurahan di seluruh Kota Yogyakarta. Dengan demikian 57% Kecamatan dan 31% Kelurahan menderita akibat banjir lahar dingin Merapi paska erupsi bulan Oktober 2010, hanya Kelurahan Karangwaru Kecamatan Tegalrejo mempunyai kerusakan terkecil yaitu hanya 3 rumah rusak akibat banjir lahar dingin karena merupakan tebing sebelah Barat Code dan panjangnya kuranglebih 200 meter saja dari panjang sungai Code kurang lebih 6 km di Kota Yogyakarta. Observasi ke daerah penelitian menemukan tingkat kerusakan yang dialami Kelurahan Keparakan, Wirogunan dan Sorosutan hanya 5, 15 dan 7 rumah rusak ringan, bahkan Kelurahan Cokrodininratan tidak mempunyai catatan kerusakan rumah,kecuali talud yang rusak di RW 07 dan RW 05. Kelurahan lainnya tingkat kerusakannya bervariasi mulai dari 25 rumah sampai 161 rumah. 401 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kondisi cukup parah dialami RW 10 Kelurahan Gowongan yang lebih dikenal dengan nama kampong Jogoyudan, seluruh 51 rumah mengalami rusak parah. Demikian juga di Kelurahan Tegalpanggung dan kelurahan Suryatmajan cukup parah tingkat kerusakan permukimannya.Oleh karena itu peneliti memfokuskan ke tiga kelurahan tersebut untuk memperoleh data tentang dampak social ekonomi banjir lahar dingin Merapi, terutama data kerusakan permukiman, lingkungan, penyakit dan persebarannya, kegotongroyongan warga dan potensi sumber daya alam. Gambar 1. Warga mengamati datangnya banjir lahar dingin. Nampak tinggi talud hanya sebetis orang dewasa, sehingga kondisi ini dapat membahayakan warga bila banjir lahar dingin datang secara tiba-tiba. Kerusakan permukiman. Di wilayah kampung Jogoyudan Kelurahan Gowongan Kecamatan Jetis Kota Yogyakarta, terutama RW 10 hampir seluruh rumah sebanyak 51 mengalami rusak berat : Banjir sekitar jam 5 sore hingga jam 9 malam sungguh mengerikan karena datang dari arah Barat dan Timur sekaligus. Air bah yang menghantam tebing Timur di bagian utara kampung berbelok arah dengan cepat melompati talud yang tingginya cuma 1,5 meter menyusuri tebing di arah Barat permukiman dan mengalir deras dari arah Barat menyapu seluruh rumah yang ada di RW 10. Apalagi dari arah timur air juga semakin tinggi melewati talud membawa lumpur pasir dan kotoran merendam rumah kami. Air bah tadi membawa material batu dan kayu yang menghancurkan genting, jendela dan pintu rumah-rumah disini. Tidak ada satupun rumah yang utuh, pintu dan jendela lepas dari engselnya. Warga tidak sempat menyelamatkan harta benda, semua lari ke wilayah RW 06 dan 07 yang relative tinggi dan tidak terkena air bah. Ada pos ronda, balai kampung yang dipakai untuk mengungsi atau ke saudara dan tetangga yang menyediakan ruang di rumahnya untuk kami tempati. Di Kelurahan Tegalpanggung yang terletak di sebelah timur Sungai Code, sebelah Selatan kampung Jogoyudan, banjir telah masuk ke RW 01, RW 02, RW 03, RW 13, RW 14 atau 5 RW dari 16 402 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta RW yang ada. Kondisi yang paling parah di alami RW 02 dan RW 03 karena letaknya relative lebih rendah. Banjir melanda 88 rumah di RW-RW (33 rumah di RW 02 dan RW 03) yang terletak di pinggir Sungai Code. Tingkat kerusakan bangunan rumah yang dialami, 33 rusak berat, 30 rusak sedang dan 25 rusak ringan.Banjir pertama, saat talud masih setinggi 2,5 meter dari dasar sungai, tingginya sampai 3meter sehingga meluap sampai berjarak 60 meter dari talud. Setelah banjir surut, ternyata dasar sungai telah naik setinggi rata-rata 1,5 meter sehingga tinggi talud tinggal 1 meter. Warga kemudian memasang kantong-kantong berisi pasir diatas talud hingga setinggi 1 meter. Namun banjir kedua dan seterusnya air tetap meluap dan menghancur kan kantong-kantong pasir. Walaupun hanya semalam, tetapi kecemasan nampak di wajah-wajah mereka, terutama anak-anak kecil. Air banjir bercampur lumpur masuk ke rumah sampai setinggi pinggang orang dewasa. Meskipun demikian tidak ada rumah yang rusak karena banjir. Genangan air yang menyurut menyisakan pasir dan lumpur yang cukup tebal antara 10 cm sampai 30 cm. Lumpurnya berbau belerang dan menyebabkan batuk-batuk bagi beberapa orang. Adapun banjir di kelurahan Suryatmajan, hanya menimpa 35 rumah di RT 07,08,dan 10. Kriteria rusak berat menimpa 3 rumah dan rusak sedang 32 rumah dan rusak ringan tidak ada. Rumah yang terendam lumpur hingga 2 meter ada 15 rumah, ditinggal penghuninya karena sudah tidak layak huni. Apalagi banyak genting yang hancur, jendela dan pintu rusak. Mereka belum mempunyai biaya untuk memperbaikinya. Adapun rumah yang hanya terendam kurang dari 50 cm, segera mereka bersihkan dan sudah di huni kembali. Kerusakan Lingkungan Baik di Kelurahan Tegalpanggung, Suryatmajan maupun Gowongan banyak sanitasi rusak dan halaman yang terendam lumpur serta pasir menggenang air disana sini, bahkan seperti ada mata air baru. Halaman menjadi becek dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Di Kelurahan Gowongan tepatnya di kampong Jogoyudan balai RW terendam dua meter sehingga tidak dapat digunakan untuk kegiatan warga. Lapangan voley dan badminton rusak parah. Seluruh wilayah yang terendam banjir bercampur pasir dan lumpur mengalami ketinggian permukaan tanah antara 1 sampai 2 meter,sehingga permukaan tanah di wilayah Jogoyudan relative menjadi datar. Usaha untuk mengeruk lumpur yang sudah mengeras setinggi 2 meter nampaknya terlalu berat untuk warga, sehingga sebagian besar menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, artinya ada yang meninggikan rumahnya atau sekedar membongkar langit-langit untuk memberi kesan luas. Balai RW diratakan saja tanahnya, hingga tangga lama sudah tidak berguna lagi. Demikian pula lapang an voley dan badminton tingginya menyeuaikan dengan keadaan, tiang jaring dinaikkan sesuai dengan peraturan olahraga tersebut. Sumur-sumur terpaksa diadakan pengurasan terlebih dahulu sebelum dapat di pergunakan. Di Tegalpanggung, warga bantaran Code (RW 01,02,03,13 dan 14) menerima bantuan pompa air untuk menyedot dan membersihkan sumur yang tercemar oleh banjir. Bantuan dari dana pemerintah melalui LPMK. Pihak Kelurahan menyalurkan bantuan sekop, serok dan alat-alat lain dari para dermawan. LPMK juga memberi bantuan semen bagi warga yang ingin meninggi kan lantainya agar tidak terendam banjir lagi. Kerusakan lingkungan dialami RW 03 yaitu lapangan badminton terendam lumpur setinggi 50 cm dan mengeras, sehingga warga enggan mengeruknya. 403 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kelurahan Suryatmajan, tepatnya di kampung Gemblakan Bawah yang terkena bencana banjir, tidak terlalu banyak fasilitas lingkungan yang rusak. Sumur-sumur yang tadinya tercemar, segera dibersihkan dan sudah dapat dipergunakan lagi. Dibanding Tegalpanggung dan Gowongan, wilayah yang terkena banjir di Suryatmajan relative lebih sempit, sehingga kerusakannya relative sedikit pula. Balai RW hanya terendam air banjir selama 6 jam, setelah dibersihkan bersama-sama segera dapat digunakan untuk rapat-rapat dan pertemuan yang lain Penyakit dan Persebarannya Puskesmas Danurejan I yang wilayah kerjanya meliputi Kelurahan Tegalpanggung memberi data tentang penyakit-penyakit yang muncul paska banjir dan penanganannya. Menurut Puskesmas, penyakit yang muncul sebagian besar ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) yaitu batuk-batuk , kemudian diare , demam, sakit kepala dan penyakit kulit semacam rangen yang terasa panas dan gatal. Sebagian besar penderita adalah wanita usia tua dan anak-anak balita. Air banjir memang terasa bau belerang yang mengganggu kesehatan warga. Puskesmas DN I membuka Pos di dekat Jembatan Jambu untuk beberapa hari. Mobil ambulance siaga 24 jam, dokter dan perawat siaga bergantian. Puskesmas DN II membuka Pos dibalai RW Gemblakan Atas Kelurahan Suryatmajan. Penyakit batuk-batuk menduduki rangking teratas dari jumlah penderita yang berobat ke Posko, yaitu 60 orang dari 146 penderita atau 41%. Penyakit diare diderita 36 orang atau 24,6%, mayoritas orang dewasa, karena kelelahan waktu menanggulangi banjir dan kegiatan bersih-bersih setelah air surut. Perlu diketahui bahwa letak Puskesmas II berada di Kelurahan Bausasran paling Utara, berjarak kurang lebih 2 km dari wilayah yang terkena banjir lahar dingin. Jadi sudah sangat tepat ketika Puskesmas DN II memutuskan membangun Posko Kesehatan dibalai RW Gemblakan Atas yang sangat dekat dengan daerah banjir, tetapi lokasinya di tempat yang tinggi sehingga aman dari banjir dan dapat memberi pengobatan secepat mungkin kepada penduduk. Penduduk juga cukup berjalan kaki tidak lebih 10 menit untuk sampai di Posko Kesehatan. Puskesmas Jetis membuka Pos di kampung Jogoyudan Kelurahan Gowongan di RW 7 yang terletak di bagian atas yang bebas dari banjir. Mobil ambulance selalu siaga ketika banjir datang. Nampaknya Puskesmas Jetis cukup tanggap dan mendekatkan pelayanannya kepada masyarakat. Persediaan obat-obatan cukup tersedia setelah mendapat tambahan dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Warga cukup berobat ke Posko karena jarak ke Puskesmas Jetis cukup jauh, kurang lebih 1,5 km. Setiap hari dokter dan perawat praktek di Posko dari pagi hingga sore paska banjir.. Persediaan obat mencukupi karena Dinas Kesehatan Kota selalu memenuhi permintaan kebutuhan dari Puskesmas saat dan paska banjir. Kesigapan staf Puskesmas dalam melayani masyarakat langsung kelokasi banjir dan tidak menunggu di kantor patut di apresiasi dan merupakan bukti besarnya tanggung jawab terhadap warga yang menderita sakit akibat banjir. Tanggung jawab merupakan salah satu karakter yang patut dipertahankan dan dikembangkan untuk mengatasi berbagai masalah. Kegotongroyongan Warga Peristiwa banjir lahar dingin telah mengembalikan lagi sifat gotong royong warga Yogyakarta. Sebagai contoh di kampung Ledok Tukangan pada banjir yang terjadi tanggal 27 November 2010, seluruh warga bergotong royong mencoba menahan luapan air bah dengan mengisi karung dengan 404 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pasir. Karung diperoleh dari pihak Kecamatan dan Kelurahan yang selalu menyediakan karung dan beberapa warga sendiri menyumbangkan karung berasnya yang sudah tidak terpakai. Hampir seratus orang kerja bakti, mulai dari orang tua, dewasa, pemuda pemudi,anak-anak terlibat semua. Tanpa dikomando,mereka secara sukarela mengeruk pasir dengan alat seadanya, yang lain menampung dengan karung terbuka. Setelah penuh sudah orang yang mengangkatnya dan memberikan kepada warga yang siap menghadang banjir itu dengan karung berisi pasir. Tumpukan pasir makin tinggi, meskipun kadang karung itu terpental karena derasnya air sungai, tapi warga tetap memasang kembali, berulang-ulang sehingga tumpukan karung berhasil menahan luapan banjirdan warga terlihat ceria melihat hasil yang menggembirakan. Sementara warga berjuang menahan luapan banjir, tanpa dikomando pula kemudian ibuibu berinsiatif mengumpulkan beras , sayur , bumbu , lauk pauk, membuka dapur umum darurat dan segera memasak dan membungkusnya sebagai nasi nuk dan air teh pun di masak. Tidak peduli ibuibu muda atau tua, kaya atau miskin, suku apa saja ( di kampung LedokTukangan tinggal suku Batak, Cina, Sunda, Padang, Madura dan tentu saja suku Jawa), dan agama yang dianut, serentak menunjukkan karakter asli bangsa Indonesia : gotong royong. Inilah modal dasar pembangunan yang telah dilupakan bangsa Indonesia sehingga Negara kita masih terbelit korupsi ,kemiskinan dan keterbelakangan. Sekitar dua jam, setelah warga berjuang menahan air dengan menanggul talud dengan tumpukan karung berisi pasir, warga dapat menikmati nasi hangat dan teh panas. Orangorang tua mengingatnya itu seperti zaman perang kemerdekaan. Ketika pejuang kita lari ke desa desa karena dikejar Belanda, warga desa menyediakan nuk nasi dengan airkendi yang segar, tanpa menyodorkan kwitansi. Warga rela menyumbang untuk kepentingan bangsanya. Terasa kegotongroyongan warga masih kental. Inilah modal sosial warga kampung Ledok Tukangan terutama RW 01, karena warga RW 02 tidak terlihat usaha menahan banjir, mereka mengungsi ke Balai Serba Guna. Di Ledok Tukangan warga selalu resah manakala mendung gelap menyelimuti lereng Merapi karena bahaya banjir yang kemungkinan besar terjadi mengingat potensi material yang masih menumpuk di lereng Merapi konon mencapai 130 juta m3. RW 02 memilih menunggu bantuan pemerintah, karena menurut mereka bencana ini tanggung jawab pemerintah. Barangkali ini imbas dari pemerintah sendiri yang selalu memberikan bantuan gratis kepada warga sehingga insiatif warga menjadi lemah. Salah satu tokoh masyarakat memang mengatakan sudah begitu lama warga di nina bobokkasn dengan berbagai bantuan : Mau makan ada beras miskin (raskin),mau sekolah ada BOS (bantuan operasional sekolah), mau sakit ada jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan yang paling parah BLT (Bantuan Langsung Tunai) Mereka tidak pernah ditanya tiba-tiba diberi uang Rp.100.000 perbulan. Karena tidak semua dapat,maka timbul kecemburuan sosial, biarlah yang kerja bakti yang dapat uang saja.Warga RW 02 mungkin berpikiran semua tanggung jawab pemerintah. Sedangkan RW 01 berinsiatif mengumpulkan seluruh warga untuk bermusyawarah menanggulangi bencana. Rapat warga di mesjid cukup ramai dengan berbagai pendapat. Dari alternative meninggikan lantai rumah, pindah tempat atau meninggikan talud warga memilih meninggikan talud. Atas dasar kesepakatan bersama di bentuklah Panitia Penanggulangan Banjir RW 01 untuk peninggian talud sepanjang 50 meter. Dana yang diperlukan Rp.12.000.000,- Dari seluruh warga RW 01 terkumpul dana Rp.4.000.000,- yang segera di terapkan membeli semen, batako, besi dan secara gotong royong dikerjakan peninggian talud. Kebetulan ada warga yang menjadi tukang batu sehingga 405 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mereka melaksanakan pemasangan besi sebagai tulang, dan mengaduk semen dan pasir sebagai betonnya. Saat hasil kerja mencapai sepanjang 5 meter, dibuatkan proposal permohonan bantuan kepada para dermawan disertai dengan foto-foto hasil gotong royong warga. Hasilnya luar biasa karena dana yang diperoleh melebihi kebutuhan, mencapai sekitar Rp.25.000.000,-. Akhirnya RW 01 berhasil meninggikan talud sesuai dengan rencana dan bahkan membantu RW lain dalam bentuk uang dan material untuk meningggikan talud. Jalan di pinggir taludpun diperbaiki dengan dana bantuan donatur. Kantor Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta membantu tanaman-tanaman dalam pot yang secara asri di letakkan pada pinggir talud. Ternyata semangat gotong royong warga dapat menyelesaikan masalah bersama. Sekarang warga RW 01 tidak was-was meskipun mendung di lereng Merapi. Kegotong-royongan warga di Kampung Gemblakan ikut terlibat langsung dalam penanganan pengungsi karena rumah mereka terendam banjir. Ada 15 Kepala keluarga yang harus mengungsi ke bagian atas dari kampung Gemblakan karena rumah mereka terendam sekitar 2 meter. Dari kantor Kecamatan dibagikan beras, kecap dan mie ke kantor Kelurahan, diteruskan ke RW-RW yang mengalami banjir lahar dingin. Ada RW yang lalu membuka Dapur Umum, tetapi ada pula yang langsung membagi ke keluarga yang menjadi korban banjir. Lumpur didalam rumah sudah mengeras dan sulit dibersihkan. Akan tetapi penanganan rumah warga yang terkena banjir dilakukan sendirisendiri. Belum ada insiatif dari warga, ketua RT atau ketua RW untuk mengerahkan warganya bergotong royong. Di kampung Jogoyudan Kelurahan Gowongan Kecamatan Jetis warga sepenuhnya menunggu bantuan dari dermawan dan pemerintah untuk menyambung hidup. Pemerintah menyalurkan bantuan beras, mie instan , kecap, minyak goreng dan lain-lain secara cukup ke seluruh warga. Akan tetapi untuk perumahan nampaknya baru di data, sehingga belum ada bantuan riil pembangunan rumah, kecuali sekop dan cangkul untuk membersihkan halaman dan mengeluarkan lumpur dari dalam rumah. Setiap minggu warga sepakat bergotong royong membersihkan lingkungannya. Mulai dari Balai RW, lapangan olah raga volley dan badminton serta jalan-jalan kampong dibersihkan dan dirapikan untuk mempermudah lalu lintas setempat. Gambar 2. Kampung Ledok Tukangan dan Kampung Gemblakan Paska Banjir 406 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Nampak kampung Ledok Tukangan di sebelah kiri telah berhasil meninggikan talud berkat sifat gotong royong warganya, sedangkan talud di Gemblakan Suryatmajan sebelah kanan belum ditinggikan dan masih nampak karung-karung berisi pasir. Potensi Sumber Daya Alam Erupsi Merapi akhir bulan Oktober hingga bulan November 2010, diikuti banjir lahar dingin telah menimbulkan bencana, tetapi sekaligus berkah kekayaan sumber daya alam yang luar biasa besarnya. Para ahli memperkirakan selama proses erupsinya Merapi mengeluarkan material berupa piroklastik sebanyak 140 juta meter kubik.Material piroklastik terdiri dari debu, pasir, kerikil, krakal, batu hingga bongkahan besar. Sampai banjir bulan Februari 2011 baru 15 juta meter kubik yang berhasil turun melalui sungai-sungai yang berhulu di lereng Merapi. Berarti masih ada 125 juta meter kubik siap turun. Di samping potensi bahaya , material piroklastik adalah sumber daya alam yang banyak gunanya. Ketika warga Code meninggikan talud, maka material pasir tinggal ambil saja, tidak usah mengeluarkan uang. Sesungguhnya bermodal gotong royong pasir dan material di sungai dapat dijadikan batako konblok atau pot tanaman dan industry berbahan baku pasir/batu, sehingga dapat meningkatkan pendapatan warga pinggir sungai. Kesimpulan dan Saran Setelah pengumpulan data, analisa data dan penafsiran hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Penyakit yang muncul akibat banjir lahar dingin adalah penyakit ispa (infeksi saluran pernapasan atas), batuk,diare, demam dan kulit gatal. Puskesmas mengantisipasinya dengan membuka Pos Kesehatan langsung ke dekat lokasi yang terkena bencana banjir dengan persediaan obat yang cukup. Tanggung jawab petugas Puskesmas adalah karakter yang harus terus dikembangkan. 2. Kerusakan rumah penduduk terutama akibat derasnya air banjir lahar dingin diikuti batu dan kayu yang menghantam rumah sehingga genting-genting pecah, pintu dan jendela terlepas dan terendam lumpur yang mengeras. Sampai kini masih ada yang belum kembali ke rumahnya karena belum merehabilitasi rumahnya. Pemimpin lokal (Ketua RTdan RW) dapat memobilisir warganya dengan sifat gotong royong merehabilitir bangunan yang rusak. 3. Lingkungan yang rusak antara lain fasilitas Balai RW yang terendam, lapangan volley-badminton yang ketinggiannya naik hampir 2 meter, air sumur yang menjadi kotor dan bau belerang.Beberapa tempat muncul mata air yang menggenang sehingga terasa becek dan kotor. Kiranya kerusakan ini dapat diperbaiki dengan semangat gotong royong 4. Sikap masyarakat menghadapi banjir ditunjukkan oleh warga Ledok Tukangan RW 01 dengan meninggikan talud menggunakan karung diisi pasir oleh seluruh warga (bapak, pemuda,anakanak) sedang ibu-ibu membuka dapur umum darurat memasak (bahannya sumbangan warga sendiri) dan sesudahnya banjir kedua tanggul pasir itu jebol tidak kuat menahan derasnya air bercampur lumpur dan batu, warga sepakat meninggikan talud dengan cara urunan dan mengajukan bantuan ke berbagai pihak di luar kampung (wujud kegotongroyongan). Karakter gotong royong warga ternyata berhasil menghadapi benjana banjir. 407 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 5. Sikap masyarakat terhadap potensi sumber daya alam berupa pasir dan batu belum maksimal. Ada beberapa yang mengumpulkan pasir dan dijual per karung, tetapi itu hanya insidental. Saran Dalam rangka antisipasi datangnya banjir lahar dingin periode berikutnya, mengingat potensi rusaknya cukup besar dengan adanya 125 juta meter kubik material yang menumpuk di lereng Merapi perlu dipersiapkan beberapa hal, baik oleh pemerintah maupun msyarakat. Saran-saran yang disampaikan : 1. Pemerintah menyiapkan dana untuk untuk kondisi darurat terutama kebutuhan pangan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan pokok korban banjir. 2. Masyarakat perlu dilatih dalam bentuk simulasi bencana banjir dan langkah-langkah mengatasinya secara cepat dan tepat. 3. Menumbuhkan kembali semangat gotong royong masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat, khususnya pada saat terjadi banjir lahar dingin. 4. Disiapkan papan petunjuk jalur evakuasi dan tempat-tempat penampungan yang mudah di baca oleh seluruh masyarakat. 5. Perlu disiapkan kader-kader masyarakat yang siap menjadi relawan di wilayahnya masingmasing. Daftar Pustaka Dharmawan,ed.2004.Lembaga Swadaya Masyarakat Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Edward A.Keller dan Robert H.Blodgett. 2006.Natural Hazards.New York : Pearson Prentice Hall. Pabundu Tika. 2005. Metodologi Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara. Sriyono. 2006. Geologi Umum. Semarang : J urusan Geografi FIS UNNES Sutikno dkk, 2007.Potensi Sumber Daya Alam Gunung Api Merapi dan Pengelolaannya Untuk mendukung Kehidupan Masyarakat Sekitar. Laporan Penelitian. Fak.Geografi UGM Suharsimi Arikunto.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta , tanggal 9 November 2010, 26 November2010, 28 November 2010, 4 Desember 2010, 10 januari 2011. Harian Nasional KOMPAS. Jakarta, tanggal 16 November 2010, 20 November 2010 www.jogjakarta.go.id detiknews.com 408 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta FAKTOR-FAKTOR PENDORONG MAHASISWA MENGGUNAKAN JASA KONSULTAN SKRIPSI DI YOGYAKARTA Kiromim Baroroh Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) profil konsumen jasa konsultan skripsi, 2) faktor-faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mengambil kasus biro jasa konsultan X,Y, dan Z. Pengumpulan data melibatkan pemilik perusahaan, konsultan, konsumen, dan karyawan biro konsultan skripsi dengan teknik wawancara, pengamatan, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman, yang digunakan selama pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; 1) Konsumen terdiri dari berbagai bidang keilmuan baik eksakta maupun non eksakta yang berusia 22 sampai 70an tahun. Konsumen adalah mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta. Status mereka sudah menikah/belum menikah 2) Faktor-faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi antara lain: a) kurangnya rasa percaya diri dalam menghadapi proses bimbingan skripsi, b) kurangnya komunikasi antara dosen dan mahasiswa, c) kebiasaan manja yang dipelihara sehingga berimbas pada ketidakmandirian dalam mengerjakan skripsi, d) kurangnya minat pada mata kuliah di program studi karena tidak adanya informasi yang cukup memadai tentang hal tersebut, e) rasa putus asa karena sudah sering judul ditolak oleh dosen, dan f) Ketidakmampuan membuat prioritas antara berkuliah dan bekerja yang berdampak pada terlambatnya proses penyusunan skripsi. Kata kunci: konsultan skripsi, konsumen Pendahuluan Mahasiswa merupakan agent of change yang diharapkan dapat menjalankan transformasi dalam segala perikehidupan bagi dirinya sendiri, maupun bagi orang sekelilingnya. Pada saat ini tingkat pengangguran sarjana dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Penyebab pengangguran tersebut salah satunya karena tidak siapnya mahasiswa untuk terjun dalam masyarakat. Ketika berada di dalam masyarakat, mahasiswa diharapkan dapat menjadi pribadi yang mandiri dan tidak tergantung pada ornag lain. Untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi pribadi yang mandiri ini sebenarnya universitas sudah memberikan berbagai model pembelajaran yang menuntut mahasiswa dapat bekerja secara mandiri, dan tidak tergantung pada dosen/orang lain. Salah satu tugas mandiri mahasiswa adalah pada saat pembuatan tugas akhir/skripsi. Mandiri merupakan karakter yang perlu dikembangkan. Namun rendahnya mental mandiri ini menyebabkan mereka melakukan jalan pintas untuk mencapai tujuan pendidikan. Diantara mereka ada yang menggunakan jasa konsultan skripsi sebagai solusi dalam menyelesaikan tugas akhir. Skripsi merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah dalam bidang penelitian. Pada jenjang diploma satu sampai tiga dikenal dengan pembuatan Tugas Akhir berupa karya tulis ilmiah. Pada 409 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mahasiswa S1 membuat skripsi. Tesis merupakan tugas akhir bagi mahasiswa yang mengambil jenjang S2, sedangkan mahasiswa S3 wajib membuat desertasi. Pada pembuatan tugas akhir ini terkadang mahasiswa megalami kesulitan misalnya dalam masalah metodologi penelitian. Kesulitan mahasiswa dalam mengerjakan tugas akhir ini membawa dampak pada panjang masa studi mahasiswa. Kini isu yang sudah menjadi rahasia umum adalah adanya usaha jasa konsultan skripsi yang dianggap sebagai lembaga tempat terjadinya perselingkuhan intelektual dalam dunia pendidikan (Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2005). Konsultan skripsi juga sering dituduh sebagai plagiator. Adanya kasus plagiator bukan tanpa sebab, salah satu hal yang menyebabkan adanya plagiator adalah adanya peraturan di lembaga pemerintah yang mengharuskan seseorang melakukan penelitian jika ingin naik pangkat (Kompas, Rabu 18 Desember 2002). Jasa usaha skripsi ini juga dianggap sebagai joki. Jasa konsultan ini memberikan pelayanan kepada konsumen dalam menyelesaikan skripsi. Pada saat ini perkembangan jasa konsultan skripsi cukup banyak dijumpai baik di sekitar kampus maupun di lokasi yang cukup jauh dari kampus. Keberadaan lembaga bimbingan konsultan skripsi masih mengalami pro kontra. Mochtar (2002) mengemukakan fenomena konsultan skripsi, baik di kalangan internal kampus maupun di luar kampus yang selama ini sudah menjadi rahasia umum, sudah mejadi salah kaprah dan cenderung disikapi dengan permisif, bahkan oleh kalangan akademik sendiri (29 April 2002.www. Kompas.com). Nugroho (Suara Merdeka, 21 April 2005) menganggap mahasiswa yang menggunakan jasa konsultan skripsi sebagai orang yang memandang gelar sebagai “Raden Mas”, sesuatu yang dipandang masih diagung-agungkan walaupun menggunakan segala cara. Pada sisi bisnis menurut Anggoro B.N (2005), konsultan skripsi dipandang sebagai bisnis yang core competence yang sangat berpijak pada soft capital (manusia). Bisnis ini dipandang sebagai bisnis yang banyak menggunakan sumber daya manusia sebagai komponen utama. Kemunculan lembaga konsultan skripsi ini di satu sisi dapat membantu mahasiswa menyelesaikan studinya, namun di sisi yang lain dianggap sebagai sampah akademik di Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dalam liputan khusus harian Kedaulatan Rakyat yang menyebutkan telah terjadi perselingkuhan intelektual dan joki (Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2005). Namun di satu sisi keberadaan lembaga ini terus berkembang, yang ditunjukkan dengan jumlah lembaga jasa konsultan skripsi yang mengiklankan diri di harian Kedaulatan Rakyat yang melebihi lima lembaga perharinya pada saat hari kerja. Bagaimanapun keberadaan jasa konsultan ini merupakan satu bentuk usaha jasa yang perlu dipandang dan berbagai sudut keilmuan. Tidak hanya dari pihak akademik sendiri, namun juga pihak lembaga konsultan skripsi, dan mahasiswa selaku konsumen. Dalam upaya melihat lembaga ini secara obyektif perlu adanya penelitian mendalam tentang konsumen jasa konsultan ini. Ini penting, mengingat jasa konsultan skripsi ini, apabila di tahun 90an, orang masih ”malu-malu” untuk membuka jasa konsultan skripsi, namun saat ini mereka sudah berani terang-terangan. Ini terlihat 410 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pada acara Mata Najwa di Metro pada tanggal 7 Maret 2012, konsultan skripsi mengatakan mantap dengan jasa konsultan ini, dan merasa tidak melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Jasa konsultan tidak dapat berkembang tanpa adanya konsumen yang membutuhkan. Melihat kenyataan ini peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana sebenarnya profil konsumen jasa konsultan skripsi di Yogyakarta serta faktor yang mendorong konsumen memanfaatkan jasa konsultan skripsi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui; 1. Profil konsumen konsultan skripsi di Yogyakarta 2. Faktor-faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi. Kajian Pustaka 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar di Perguruan Tinggi Pada hekekatnya mengerjakan skripsi merupakan rangkaian tugas kegiatan belajar di perguruan tinggi untuk mendidik mahasiswa agar memiliki kompetensi akademik, profesional dan intelektual. (Idoochi Anwar, 2004). Dalam mengerjakan skripsi banyak faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan penelitian Mulyadi (1999: 178), sejumlah kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah rendahnya kemampuan memahami buku kepustakaan berbahasa Inggris, keterbatasan kemampuan dan waktu untuk menulis makalah dan laporan PPL/KKN, kesulitan melasanakan diskusi kelompok secara efektif, kekurangmampuan membeli buku kepustakaan di toko, kekurangan biaya untuk membeli peralatan kuliah, foto kopi, ongkos ketik,atau sewa komputer dan pembiayaan penulisan skripsi, menyesuaikan diri dengan kondisi tempat tinggal atau tempat kos, gangguan kesehatan, mengikuti irama diskusi terbimbing dikelas, memilih dan mengikuti mata kuliah paket khusus, kekuarangmampuan memahami isi dari kuliah dosen-dosen tertentu, menentukan jadwal waktu diskusi kelompok diluar kelas, menepati jadwal mata kuliah, kekurangintensifan konsultasi dengan dosen Pembimbing Akademik, kekurangcermatan membuat rencana studi (KRS) kurang memahami kepustakaan berbahasa Indonesia, membayar SPP/Hotma/KKN, hadir dalam tiap kuliah secara penuh, mencatat dan merekam hasil kuliah dari dosen, pengambilan KRS/KHS ke Puskom, dan kekurangmampuan mengatasi hambatan dalam pribadi dan cinta. Faktor-faktor tersebut turut pula mempengaruhi mahasiswa dalam mengerjakan tugas akhir (skripsi)nya. Sebagai contoh keterbatasan kemampuan dan waktu untuk menulis makalah dan laporan PPL/KKN pada mahasiswa S1 secara langsung/ tidak langsung dapat mempengaruhi mahasiswa tersebut kesulitan untuk mengerjakan skripsi. 2. Konsultan Skripsi dan langkah-langkah penelitian skripsi Kegiatan konsultasi diakui sangat penting (Penny &Robert, 2004: 2). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2002: 590), konsultan adalah ahli yang tugasnya memberi petunjuk, pertimbangan, atau nasehat dalam suatu penelitian, dagang dan sebagainya. Jadi konsultan skripsi 411 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta adalah ahli yang tugasnya member petunjuk, pertimbangan, atau nasehat dalam suatu kegiatan penelitian skripsi. Selama mengerjakan skripsi pembimbing pada hakekatnya berfungsi untuk membimbing, mendampingi, dan mengarahkan mahasiswa agar pelaksanaan skripsi yang dilakukan berdasarkan sebagaimana mestinya (Jong Jek Siang, 2003: 29). Sampai saat ini konsultan skripsi masih mengalmi pro kontra. Konsultan skripsi yang dianggap sebagai lembaga tempat terjadinya perselingkuhan intelektual dalam dunia pendidikan Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2005). Konsultan skripsi juga dituduh sebagai plagiator.adanya kasus plagiator bukan tanpa sebab, salah hal yang menyebabkan adanya plagiator adanya peraturan di lembaga pemerintah yang mengharuskan seseorang melakukan penelitian jika ingin naik pangkat (kompas, Rabu 18 Desember 2002). Jasa usaha skripsi ini juga dianggap sebagai joki. Jasa konsultan ini memberikan pelayanan kepada konsumen dalam menyelesaikan skripsi. Ketika di kampus, terdapat dosen pembimbing yang akan membimbing mahasiswa. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dosen pembimbing tidak bertugas mengajari/mendikte apa yang harus dikerjakan mahasiswa. Dosen pembimbing adalah tempat untuk meminta pedaat, dan bukan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan mahasiswa. Pembimbing bertugas untuk mengarahkan serta mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya topic atau pelaksanaan penelitian terlalu meluas atau sebaliknya terlalu sempit karena mahasiswa mengurangi isi skripsi secara signifikan , mahasiswa tidak mempunyai kemajuan dalam penyelesaian skripsinya (Jong Jek Siang, 2003: 31). Metode Penelitian Pendekatan Penelitian dan Kedudukan Peneliti Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif di mana peneliti menekankan pada manusia serta melihat secara langsung keadaan yang ada tanpa mengubah peristiwa yang terjadi di lapangan, dan setelah di rumah peneliti membuat catatan lapangan, seperti yang dikatakan Lincoln dan Guba (1985 : 40) bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk dapat menjelaskan atau mengungkapkan secara langsung atau alamiah apa yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu peneliti dapat secara langsung menginventarisasi data dari konsultan, mahasiswa sebagai konsumen, dan proses konsultasi lembaga yang dijadikan tempat penelitian. Studi kasus merupakan studi yang mendalam tentang individu dan berjangka waktu relatif lama (Noeng Muhadjir,1996: 39). Karena pembahasan penelitian ini membahas tiga kasus lembaga maka penelitian ini merupakan penelitian yang mengambil kasus ganda. Hal yang sangat penting untuk memperoleh kualitas dan kredibilitas data penelitian yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Marshall & Rossman (1995 : 51) menyatakan tempat ideal untuk penelitian adalah (1) tempat masuk memungkinkan; (2) ada kemungkinan perpaduan yang baik dalam proses-proses, manusia, program-program, interaksi-interaksi, juga ada jalinanjalinan daya tangkap (3) peneliti dimungkinkan mampu untuk membuat hubungan yang 412 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memungkinkan ia dapat dipercaya oleh partisipan di dalam penelitian; (4) kualitas dan kredibilitas data penelitian dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Waktu penelitian ini dilakukan dari tahun 2005-2007. Sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Narasumber (informan) yaitu individu atau kelompok orang yang memiliki informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Kelompok individu yang menjadi informan adalah pelaku yang terlibat dalam kegiatan konsultan skripsi yang terdiri dari biro jasa konsultan X,Y,dan Z.. Informasi dalam penelitian ini diperoleh dari konsultan, mahasiswa sebagai konsumen dan pemilik lembaga konsultan. Narasumber pemilik perusahaan X, adalah PH (29), PW(34), dan PG (31). Konsultan terdiri dari Za (29), So (45), To(25), Id(25), Ty (25), Ni (30), dan Ii(30). Konsumen terdiri dari Fa (25), In(24), KT (25), Ek(22), Dy(21),Tk(40), Wr(23), D(23),S (40),Mrd (70) dan B (26). Karyawan hanya seorang yaitu FO(22). 2. Dokumentasi yaitu suatu bahan tertulis yang berisi data tertentu. Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daftar tamu yang datang ke lembaga konsultasi skripsi ini, surat perjanjian, kwitansi pembayaran, dan daftar konsultan. 3. Aktivitas konsultan, pimpinan lembaga, karyawan, konsumen dan calon konsumen. Aktivitas saat di kantor maupun diluar kantor yang masih dapat diamati oleh peneliti. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah salah satu aspek yang dilakukan untuk mendapatkan makna dari kumpulan data. Dalam penelitian kualitatif ada tiga langkah dalam menganalisis data, yaitu (1) reduksi data; (2) sajian data; dan (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1994: 10-12). Ketiga komponen dalam analisis data tersebut selalu berkaitan antara satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis selama pengumpulan data. Berdasar analisis interaktif terlihat jelas bahwa reduksi data telah dilakukan sejak penelitian di lapangan, kemudian dilanjutkan sajian data yang berupa deskripsi yang sistematis dan yang terakhir adalah penarikan simpulan. Peneliti telah melakukan reduksi data sejak peneliti terjun ke perusahaan jasa konsultan skripsi, kemudian dilanjutkan sajian data yang berupa deskripsi yang sistematis tentang jasa konsultan skripsi dan yang terakhir adalah penarikan simpulan. 413 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian a. Profil Konsumen Yang Menggunakan Jasa Lembaga Konsultan Skripsi Tabel. Profil Konsumen Usaha Jasa Skripsi Konsultan Umur Pendidikan JK Fa 25 S1 PTN, agama L Pekerjaan utama mahasiswa Status perkawinan Belum Kesulitan awal In 24 S1 PTN, pendidikan P mahasiswa Kawin Proposal banyak yang revisi Tidak bisa olah data Belum ada judul Proposal ditolak dosen Judul ditolak dosen Tidak dapat melakukan penelitian Belum ada judul, tidak ada waktu Tidak bisa metodologi, tidak ada waktu, tidak bisa statistika Proposal banyak yang revisi Proposal sudah ACC, tidak ada waktu KT Ek Dy Tk Wr 25 22 21 40 23 S1 PTN, keperawatan S1 PTS, Hukum S1 PTS, HI S2 PTN,Hukum S1 Teknik mesin P P P P L perawat mahasiswa mahasiswa Ibu RT mahasiswa Kawin Belum Belum kawin belum D 23 S1 Teknik industri P mahasiswa kawin S 40 S2 PTN, ilmu menghitung L Pengajar Kawin B 26 S1 PTS, Ilmu jiwa L mahasiswa Belum Mrd 70 S2 PTS, ilmu non eksakta L PNS Kawin Belum ada judul, sudah semester 14 Konsumen terdiri dari berbagai bidang keilmuan baik eksakta maupun non eksakta usianyapun bervariasi, dari yang 20an sampai 50an. Berbagai kesulitan yang ada antara lain tidak ada waktu, proposal banyak revisi, dan kesulitan metodologi penelitian. Pendidikan klien adalah S1 PTN, agama, S1 PTN, pendidikan, S1 PTN, keperawatan, S1 PTS, Hukum, S1 PTS, HI, S2 PTN,Hukum, S1 Teknik mesin, S1 Teknik industri, S2 PTN, ilmu menghitung, S1 PTS, Ilmu jiwa, S3 PTN, ilmu non eksakta. Dari 11 klien terdiri 5 laki-laki dan 6 perempuan. Pekerjaan klien adalah murni mahasiswa, PNS, perawat dan ibu rumah tangga. Status perkawinan 5 klien belum kawin, dan 6 klien sudah kawin. Klien berasal daari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta 2. Faktor-Faktor Yang Mendorong Mahasiswa Menggunakan Jasa Konsultan Skripsi So seorang konsultan di X mengatakan, “mahasiswa yang mengerjakan skripsi ke biro konsultan skripsi karena menganggap skripsi ini menakutkan. Pada hari yang lainpun So mengatakan, “mahasiswa datang ke konsultan skripsi karena kalau dosennya baik gak kayak polisi, mahasiswa tidak akan ke sini karena mahasiswa takut” Mahasiswa yang mempunyai masalah dengan dosen ini salah satunya adalah B, Dosen tidak memberikan petunjuk yang jelas pada mahasiswa, malah membentak pada mahasiswa dan mengatakan seharusnya mahasiswa menanyakan pada temannya, sementara B tidak mempunyai teman yang dapat diajak diskusi mengenai skripsinya. Dalam kesempatan wawancara, B 414 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan, “Dosennya sulit, saya pernah berganti dosen karena dosen pertama ACC, dosen kedua belum ACC, nah saya lama di dosen kedua ini, makanya saya minta ke jurusan dosennya satu saja. Masa Dosen pertama sudah sampai Bab 3, tapi dosen kedua masih di Bab 1 terus”. Sementara orang tua meragukan kemampuan anak, sehingga anak terbiasa manja/tidak mandiri. Alasan berbeda diungkapkan oleh Seorang klien Hubungan Internasional Universitas swasta di Yogyakarta. Meskipun mempunyai IP 3,4 tapi mengaku tidak menyukai politik, Dy mengungkapkan, “Saya tidak tahu dulu ketika masuk kalau HI itu banyak politiknya padahal saya tidak suka”. Dy juga wanti-wanti kepada konsultannya, agar tidak membahas skripsi yang berkaitan dengan politik karena salah masuk jurusan, sebab informasi yang didapat tentang jurusan itu tidak dipahami ketika akan masuk dalam jurusan tersebut. Hal lain yang membuat mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi ini adalah karena sibuk dengan pekerjaan dan memerlukan orang untuk membantu. Ini terjadi pada S. Walaupun S sedang S2 namun dia tetap mempunyai tugas yang sama dengan guru yang lain, bahkan tetap menduduki jabatan struktural. Manurut PW(pemilik biro konsultan Y, kalau pagi S mempunyai waktu bimbingan sebelum pukul 7.00, kalau malam sehabis maghrib. Bahkan karena kesibukannya untuk mengambil sampel di lapangan S tidak keberatan jika harus membayar orang ke lapangan untuk mengambil sampel. Bahkan menurut PW sering S tidak bisa datang bimbingan ke PW karena harus mengerjakan tugas ke luar kota yang mendadak. Pada kasus pak S, selain S2 dapat digunakan untuk kenaikan pangkat juga dapat digunakan sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan ilmunya, karena dia adalah mengajar matematika, namun berasal dari sastra sehingga tesis yang ada hubungannya dengan statistik dapat menambah pengetahuannya. Hal ini berbeda dengan Tk, seorang ibu rumah tangga yang anaknya sudah SMP, sehingga mempunyai banyak waktu luang. Tk, klien So, alasan Tk menggunakan jasa konsultan skripsi sudah tiga kali mengajukan judul, namun belum diterima dosen. Pada klien mempunyai ada beragam motivasi, namun rata-rata mereka menginginkan lancar dalam mengerjakan skripsi sehingga mudah lulus. Fa menginginkan cepat lulus karena sudah terancam DO (Droup Out). Mahasiswa dari universitas negeri ini sudah semester 14. Berbeda dengan Ek yang menginginkan cepat lulus karena akan segera menikah. Menurut FO yang dibenarkan So, Ek memang mempunyai pacar seorang anggota ABRI yang segera mengajaknya menikah. Mrd yang sudah berusia lanjut motivasi mengerjakan skripsi karena kebutuhan akan penghargaan. Dengan menyelesaikan tesis berarti selesai pula S2nya yang nantinya akan dapat dijadikan contoh bagi anak cucunya.Meskipun setelah proposal jasi Mrd tidak pernah datang lagi karena ternyata sudah meninggal. Melihat berbagai masalah pada klien, dapat diketahui bahwa kebanyakan klien mempunyai kesulitan dalam hal metodologi. Mulai dari rumusan masalah, metode penelitian, pengolahan data sampai pada kesimpulan. 415 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pembahasan a. Profil Konsumen Yang Menggunakan Jasa Lembaga Konsultan Skrips Konsumen yang menggunakan jasa konsultan skripsi ini bervariasi dari kampus, tempat tinggal, dan pekerjaan. Konsumen yang datang dapat berasal dari PTS, namun tidak sedikit yang berasal dari PTN. Biro jasa X walaupun berada di belakang kampus S, namun klien jarang yang berasal dari kampus ini. Pada jasa konsultan Z klien yang datang malah berasal dari daerah kampus selatan, padahal letak biro konsultan ini tidak jauh dari kampus bagian utara. Jadi faktor lokasi yang dekat dengan kampus bukan jaminan jasa konsultan ini memperoleh klien dari kampus terdekat tersebut. Profil klien diketahui bahwa In adalah ibu rumah tangga yang mempunyai anak berumur 1 tahun, sehingga tidak sempat mengerjakan skripsi sendiri, sementara suami sudah sibuk bekerja (Pengamatan, 6-7- 2005). In tinggal dengan orang tua yang dekat kampus, walaupun mempunyai rumah di G. Hal ini agar ketika mengerjakan skripsi dapat dekat dengan kampus dan X, tempat bimbingannya. Dy, seorang mahasiswa semester 8 jurusan HI UP, ketika ke kampus memakai motor. IPK nya adalah 3,4. dia adalah anak yang tertutup. Dia tidak mau diketahui oleh temantemannya kalau dia dibantu mengerjakan skripsi di biro konsultan skripsi. Fa, mahasiswa semester 14 pada UI, pernah membuka usaha warung lesehan. Dia mengaku terlambat mengerjakan skripsi karena malas. Klien yang mengaku malas karena judul tidak diterima Tk merupakan orang yang tidak sibuk karena seorang ibu rumah tangga dengan seorang anak yang sudah SMP.( Pengamatan, 30 Juni 2006). Klien yang berhasil peneliti datangi adalah B.Rumah B adalah rumah kuno, di ruang depan terdapat lukisan berukuran 1X1,5m. Rumahnya berbentuk joglo. B hanya tinggal dengan ibunya. Di dinding sebelah barat terdapat lukisan ayahnya sudah meninggal. Di dinding sebelah selatan terdapat gambar logo brimob, Ayah B dahulu adalah seorang anggota Brimob, maka tidak heran bila saat ini dia mengambil skripsi dengan populasi anggota Brimob.Menurut ibunya B sebenarnya anak pungut. walaupun anak pungut ibu ini cukup memanjakan anaknya, karena kalau ke X, bila B tidak yang menemani maka ibunya yang akan menemani. Demikian pula semua berkas-berkas skripsinya ibunya yang menyimpan. Melihat profil klien di atas dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang yang mampu, karena mampu untuk membayar jasa konsultan yang berkisar antara Rp. 1.500.0003.000.000. Merekapun bila ke tempat konsultan selalu menggunakan motor keluaran terbaru, padahal letak kantor ini dapat dijangkau dengan menggunakan bis, Ek apalagi selalu menggunakan mobil bila ke tempat ini. Dilihat dari latar belakang ekonomunyapun mereka termasuk orang yang mampu, Ek adalah anak anggota DPR, B anak tunggal pensiunan Brimob, sementara In sang suami sudah bekerja dengan penghasilan cukup. Profil klien konsultan skripsi ini mulai dari tua sampai muda. Klien yang paling tua adalah Mrd yang berusia 70 tahun, dan yang paling muda adalah Ek, berumur 22 tahun. 416 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Faktor-Faktor yang Mendorong Mahasiswa Menggunakan Jasa Konsultan Skripsi. Pada dasarnya dorongan yang menyebabkan siswa menggunakan jasa konsultan ini adalah dorongan dari dalam mahasiswa sendiri yang merasa takut dan cemas .So mengatakan, “mahasiswa yang mengerjakan skripsi ke biro konsultan skripsi karena menganggap skripsi ini menakutkan (Pengamatan, 12-2- 2005)“. Selain dorongan dari dalam juga ada dorongan dari luar dirinya, karena dosennya yang galak dan tidak memberikan penjelasan yang cukup yang dibutuhkan mahasiswa. Hal ini sebagaimana ungkapan dari So, “mahasiswa datang ke konsultan skripsi karena kalau dosennya baik gak kayak polisi, mahasiswa tidak akan kesini karena mahasiswa takut“ (Pengamatan, 9-3- 2005). Hal ini sebagaimana yang terjadi pada B. Menurut B, dosen tidak memberikan petunjuk yang jelas pada mahasiswa, malah membentak pada mahasiswa dan mengatakan seharusnya mahasiswa menanyakan pada temannya, sementara B tidak mempunyai teman yang dapat diajak diskusi mengenai skripsinya. Walaupun B seorang aktivis mahasiswa, namun temannya yang seangkatan telah banyak yang lulus. Adapun B mempunyai kelemahan secara fisik, matanya mengalami kesulitan penglihatan ketika harus melihat tulisan B harus dari jarak kurang dari 20 cm. Situasi dosen yang menekan cenderung mempengaruhi mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (1995: 185), Selain mempengaruhi tingkat aspirasi, situasi belajar yang menekan juga cenderung menimbulkan kecemasan pada diri siswa (Slameto, 1995: 185). Selain faktor kecemasan, orang tua B juga meragukan kemampuan anak, sehingga anak terbiasa manja/tidak mandiri (Pengamatan, 5-6- 2006). Anak yang terbiasa dimanja akan mengakibatkan anak tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini akan terbawa pula ketika anak menghadapi masalah yang lain. Alasan yang lain karena tidak adanya informasi yang cukup memadai mengenai program studi yang didapatkan sehingga ketika harus mengerjakan skripsi merasa kesulitan. Alasan ini diungkapkan oleh Seorang klien Hubungan Internasional Universitas Swasta yang berIP 3,4 tapi mengaku tidak menyukai politik. Wanti-wanti kepada konsultannya, agar tidak membahas skripsi yang berkaitan dengan politik karena salah masuk jurusan, sebab informasi yang didapat tentang jurusan itu tidak dipahami ketika akan masuk dalam jurusan tersebut (Pengamatan, 3-10- 2005). Pada mahasiswa yang sudah bekerja alasan pekerjaan menjadi alasan utama mereka menggunakan jasa konsultan skripsi ini. Hal yang membuat mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi ini adalah karena sibuk dengan pekerjaan dan memerlukan orang untuk membantu. Ini terjadi pada S. Walaupun S sekolah S2 namun dia tetap mempunyai tugas yang sama dengan guru yang lain, bahkan tetap menduduki jabatan struktural. Manurut PW, yang dibenarkan S, kalau pagi S bisa datang sebelum pukul 7.00, kalau malam sehabis maghrib. Bahkan karena kesibukannya untuk mengambil sampel di lapangan S tidak keberatan jika harus membayar orang ke lapangan untuk mengambil sampel. (Pengamatan dan wawancara, 22-112005). Bahkan menurut PW sering S tidak bisa datang bimbingan ke PW karena harus mengerjakan tugas ke luar kota yang mendadak. 417 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada klien mempunyai ada beragam motivasi, namun rata-rata mereka menginginkan lancar dalam mengerjakan skripsi sehingga mudah lulus. Fa menginginkan cepat lulus karena sudah terancam DO (droup Out). Mahasiswa dari universitas keislaman ini sudah semester terakhir. Berbeda dengan Ek yang menginginkan cepat lulus karena kan segera menikah. Menurut FO, Ek memang mempunyai pacar seorang anggota ABRI yang segera mengajaknya menikah. Mrd yang udah berusia lanjut motivasi mengerjakan skripsi karena kebutuhan akan penghargaan. Dengan menyelesaikan tesis berarti selesai pula S2nya yang nantinya akan dapat dijadikan contoh bagi anak cucunya (Pengamatan, 2 Januari 2006). Pada kasus pak S, selain S2 dapat digunakan untuk kenaikan pangkat juga dapat digunakan sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan ilmunya, karena dia adalah mengajar matematika, namun berasal dari sastra sehingga tesis yang ada hubungannya dengan statistik dapat menambah pengetahuannya. Namun Bapak S tidak mempunyai waktu yang banyak untuk mengerjakan tesisnya. Kesibukannya sebagai guru di SD sekaligus kepala sekolah serta tokoh masyarakat menyebabkan S tidak dapat konsentrasi dalam mengerjakan tesis. Halangan ini semakin bertambah ketika dia sebenarnya kurang menguasai tesis yang penuh dengan statistik yang tidak didapatkan ketika masih kuliah. Padahal dahulu dia memilih jurusan sekarang karena dia mengagap tidak terlalu banyak materi kuliah yang menggunakan statistik. Rasa putus asa karena sudah sering ditolak judulnya juga membuat mahasiswa menggunakan jasa konsultan ini. Hal ini dialami Tk, seorang ibu rumah tangga yang anaknya sudah SMP. Tk, klien So, sudah tiga kali maju judul, namun belum diterima dosen (Pengamatan, 20 Maret 2006). Iw, klien So, seorang pegawai kantor pemerintahan. mengaku malas memikirkan tentang kuliahnya, lebih baik digunakan untuk berfikir tentang pekerjan di kantor (Pengamatan, 28 April 2006). Pada pengerjaan tugas-tugas papernyapun juga dikerjakan oleh X. Jadi dapat disimpulkan bahwa Faktor-faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi: 1) Dorongan dari dalam mahasiswa sendiri yang merasa takut mengerjakan skripsi/tesis. 2) kurangnya komunikasi antara dosen dan mahasiswa sehingga mahasiswa ada yang mempunyai anggapan dosennya galak dan tidak memberikan penjelasan yang cukup yang dibutuhkan mahasiswa. 3) Orang tua meragukan kemampuan anak, sehingga anak terbiasa manja/tidak mandiri. 4) Program studi yang tidak sesuai dengan minat mahasiswa karena adanya informasi yang kurang memadai sewaktu akan mendaftar, sehingga ketika harus mengerjakan skripsi merasa kesulitan. 5) Pada mahasiswa yang sudah bekerja alasan pekerjaan menjadi alasan utama mereka menggunakan jasa konsultan skripsi ini. 6) Rasa putus asa karena sudah sering ditolak judul oleh dosen. 418 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Penutup Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1 Konsumen terdiri dari berbagai bidang keilmuan baik eksakta maupun non eksakta usianyapun bervariasi, dari yang 22 sampai 70an tahun. Berbagai kesulitan yang ada antara lain tidak ada waktu, proposal banyak revisi, dan kesulitan metodologi penelitian. 2 Faktor-faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa konsultan skripsi antara lain: a) kurangnya rasa percaya diri dalam menghadapi proses bimbingan skripsi, b) kurangnya komunikasi antara dosen dan mahasiswa, c) kebiasaan manja yang dipelihara sehingga berimbas pada ketidakmandirian dalam mengerjakan skripsi, d) kurangnya minat pada mata kuliah di program studi karena tidak adanya informasi yang cukup memadai tentang hal tersebut, e) rasa putus asa karena sudah sering judul ditolak oleh dosen, dan f) berkuliah sambil bekerja yang berdampak pada terlambatnya proses penyusunan skripsi. Saran a). Bagi dosen dan mahasiswa, perlu adanya komunikasi yang intensif antara pembimbing dan mahasiswa serta perlu adanya koordinasi antara pembimbing I dan II mengenai skripsi yang dibimbingnya. b). Bagi mahasiswa, hendaknya memikirkan secara matang ketika akan mengambil keputusan untuk menggunakan jasa konsultan skripsi, karena hal ini akan berakibat pada ketergantungan mahasiswa. Hal-hal yang sebenarnya dapat dilakukan konsumen sendiri diserahkan pada konsultan, yang pada akhirnya akan membuat mahasiswa kurang mandiri. Mahasiswa juga harus memliki skala prioritas ketika harus menjadi mahasiswa, tetapi juga memilki pekerjaan lain. c). Bagi universitas, (1)hendaknya memberikan informasi secara terbuka kurikulum Program studi kepada calon mahasiswa sehingga mereka tidak salah mengambil jurusan sesuai minat dan kemampuannya. (2).karena mayoritas konsumen belum memilki pengetahuan yang memadai tentang metodologi penelitian, maka perlu adanya perbaikan kurikulum, ataupun mengadakan workshop/kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa. Daftar Pustaka Anggoro Budi Nugroho. (24 Desember 2004). Bubble atau fundamental economy? Diambil pada tanggal 9 Juni 2005, dari http://66. 102.7.104. konsultan skripsi. Honors in the major 2003-2004, Thesis advisor fact sheet. Diambil pada tanggal 16 Juli 2006, dari http://pegasus.cc. edu. Idoochi Anwar. (2004). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Bandung: Alfabeta Jok Jek Siang (2003). Kiat Jitu Sukses Menyusun Skripsi. Yogyakarta: Andi Lincoln, Y.S & Guba. (1985). Naturalistic inquiry. London: Sage Publication Marshall, C. & Rossman, G.C.B. (1984). Designing qualitative research. London : Sage Publication 419 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mulyadi G,W. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam studi di program studi sarjana. Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori dan Praktik Pendidikan . Tahun 26, nomor 2, Juli 1999 hal.187. Malang: FIP UM Miles, M.B. & Huberman. A.M. (1994). Qualitative data analysis. London: SAGE Publication Moctar W. O. (Senin, 29 April 2002). Nyinyir mafia skripsi di Jawa Timur.Diambil 29 Juni 2005, dari http/: Senin, 29 April 2002.www. Kompas.com. Noeng Muhadjir. (1996). Metodologi penelitian kualitatif pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik telaah studi teks dan telaah agama. Yogyakarta: Rake Sarasin Nugroho. (21 April 2005). Biro jasa skripsi, konsultan atau joki. Gelar sarjana dianggap Raden Mas. Diambil tanggal 10 September 2005, dari http:www.Suara Merdeka.com Penny, A.R. & Coe, R. (2004). Effectiveness of consultation on student ratings feedback: a metaanalysis. Journal of Review of Educational Research, 74, 215. Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Terima pesanan skripsi sampai desertasi (12 Desember 2005). Kedaulatan Rakyat, p.15 Tim penyusun kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 420 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta BENTUK-BENTUK DOMINASI BARAT MUTAKHIR DI INDONESIA: KAJIAN POSKOLONIAL TERHADAP BUKU AJAR BAHASA JERMAN DAN PRANCIS DI UNIVERSITAS Iman Santoso, Nurhadi, Dian Swandayani, Ari Nurhayati Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini memiliki tujuan menemukan: (1) bentuk-bentuk poskolonial pada buku ajar bahasa Jerman dan Prancis untuk universitas di Indonesia pada akhir dasawarsa, dan (2) pola-pola poskolonialisme budaya Barat di Indonesia yang ada di buku ajar bahasa Jerman dan Prancis untuk universitas pada akhir dasawarsa. Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka. Objek penellitiannya adalah buku ajar bahasa Jerman dan Prancis yang dipergunakan di sejumlah universitas di empat kota sebagai sampel: (1) UNY, Yogyakarta, (2) UNJ, Jakarta, (3) UPI, Bandung, dan (4) Unesa, Surabaya. Sedang subyek penelitianya adalah bentuk-bentuk poskolonialitas yaitu superioritas Barat, subordinasi Timur, praktik penjajahan, mimikri, hibriditas, diaspora, nasionalitas serta abrogasi dan apropiasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan secara mendalam terhadap buku ajar bahasa Jerman dan Prancis. Teknik analisis datanya yaitu dengan analisis konten, deskriptif kuantitatif, dan deskriptif kualitatif. Analisis konten dilakukan dalam menganalisis isi buku ajar bahasa Jerman. Validitas data dicapai dengan cara (1) ketekunan pengamatan, (2)) diskusi antarpeneliti. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) bentuk poskolonialitas yang muncul dalam buku ajar bahasa Jerman di perguruan tinggi adalah superioritas Barat, subordinasi Timur, mimikri, hibriditas, diaspora, dan nasionalitas (2) Pola kemunculan poskoloniallitas dalam buku ajar bahasa Jerman dan Prancis tersamar dan sering tidak disadari keberadaannya baik oleh pengajar maupun pembelajar bahasa Jerman. Kata kunci: bentuk poskolonialitas, buku ajar, bahasa Jerman, universitas Pendahuluan Banyak perguruan tinggi di Indonesia memiliki program studi bahasa asing, selain bahasa Inggris seperti bahasa Perancis, Jerman, Belanda, Rusia, ataupun Italia. Pembelajaran bahasa asing di perguruan tinggi atau universitas seringkali menjadi kepanjangan tangan kepentingan negara Barat. Para dosen ataupun mahasiswa seringkali berperilaku ataupun mengidentikan diri dengan budaya Barat. Mahasiswa dan dosen bahasa Jerman atau Prancis seringkali menandai identitas kulinernya dengan memilih makanan bercita rasa Eropa. Yang lebih berbahaya apabila para mahasiswa (agen perubahan setiap bangsa) Indonesia terlena dengan selalu beranggapan jika Indonesia selalu berada dalam posisi subordinat dibandingkan dengan negara asal bahasa yang tengah dipelajarinya, misal negara Jerman dan Prancis. Mereka tidak lagi menyadari kalau bahasa Jerman dan Prancis yang dipelajarinya hanya sebatas media untuk menyerap berbagai kemajuan bidang IPTEKS negara asal untuk kepentingan Indonesia, bukan kepanjangan tangan poskolonial. Inilah sindrom poskolonial. Meskipun Indonesia secara de fakto telah merdeka, ada berbagai aspek yang menunjukkan pengukuhan (pengakuan atau legitimasi) dan peniruan (mimikri) terhadap aspek-aspek yang berasal dari Barat sebagai bekas penjajah. Hal inilah yang harus disadari secara kritis. 421 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Oleh karena itu, perlu adanya penelitian terhadap aspek-aspek poskolonial dalam pembelajaran bahasa Jerman dan Prancis di Indonesia. Untuk mengetahui hal tersebut perlu pengkajian terhadap pemakaian buku ajar yang dipergunakan dalam pembelajaran bahasa Jerman tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut; (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk poskolonial pada buku ajar bahasa Jerman dan Prancis untuk universitas di Indonesia pada akhir dasawarsa, dan (2) Bagaimanakah pola-pola poskolonialisme budaya Barat di Indonesia yang ada di buku ajar bahasa Jerman dan Prancis untuk universitas pada akhir dasawarsa? Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Teori poskolonial itu sendiri merupakan seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Poskolonial merupakan kajian yang mencakup bidang humaniora yang lebih luas. Dalam dunia kajian sastra, poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Jangkauan luar biasa imperialisme Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik. Said (1994:259) menunjukkan bagaimana kebudayaan dan politik bekerja sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas dominasi (senjata) dan hegemoni (kebudayaan). Menurut Said (2002:ix) kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Dalam dunia poskolonial sekarang ini, Said (1995:28) mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitasentitas yang tunggal dan murni. Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik dan kebudayaan Barat. Sebagaimana dikemukakan oleh Raymond Williams (1988:88—93), karya sastra, filsafat, buku ajar (pelajaran), karya seni, sekolah, dan institusi budaya lainnya merupakan situs hegemoni, yakni tempat pertarungan ideologi berlangsung. Sebagaimana dipahami oleh pandangan Gramscian, karya sastra, buku filsafat, ataupun buku-buku pegangan di universitas (sebagai objek kajian 422 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta penelitian ini) merupakan tempat refleksi pandangan dunia masyarakat pendukungnya, tetapi sekaligus juga sebagai medium untuk mengkonstruksi masyarakat Dalam buku The Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin (yang diindonesiakan Penerbit Qalam menjadi Menelanjangi Kuasa Bahasa, 2003) terdapat sejumlah tema-tema terkait dengan kajian poskolonial ini. Dalam The Empire Writes Back setidaknya dua hal yang dilakukan dalam buku ini yaitu: (1) mengindentifikasi cakupan dan sifat-sifat dasar teks-teks poskolonial; (2) mendeskripsikan beragam teori yang hingga kini telah banyak muncul untuk menjelaskannya. Secara keseluruhan, kelima bab buku ini terdiri atas: (1) “Mengurai Dasar-Dasar Pijakan: Model-Model Kritis Kajian Kesusastraan Poskolonial” (menguraikan perkembangan model-model deskriptif yang ada dalam kajian karya-karya poskolonial); (2) “Menempatkan Kembali Bahasa: Strategi-Strategi Tekstual Tulisan Poskolonial” (membahas proses bagaimana bahasa sengaja diserap untuk menciptakan suatu praktik diskursif yang baru dan berbeda); (3) Menempatkan Kembali Teks: Pembebasan Tulisan Poskolonial” (membahas pembacaan simptomatik terhadap teks-teks poskolonial, tulisan poskolonial berkaitan erat dengan praktik-praktik sosial dan material kolonialisme); (4) “Teori di Persimpangan Jalan: Teori-Teori Pribumi dan Pembacaan Poskolonial” (menguraikan persoalan-persoalan dalam perkembangan teori-teori poskolonial pribumi); dan (5) “Menempatkan Kembali Teori: Tulisan Poskolonial dan Teori Kesusastraan” (membicarakan implikasi-implikasi lebih luas poskolonial terhadap teori sastra dan analisis sosial politik). Aschroft dalam buku ini banyak memberikan analisa poskolonial berbasis pada karya sastra poskolonial. Pada buku ini dijelaskan bahwa kontrol kolonial sebenarnya terjadi melalui kontrol atas sarana-sarana komunikasi, ketimbang melalui penguasaan terhadap hak hidup, hak milik, maupun bahasa itu sendiri. Rahasia kesuksesan tentara Cortez menaklukkan bangsa Aztec di Amerika Tengah terletak pada keberhasilan orang-orang Spanyol itu menguasai sarana komunikasi bangsa Aztec sejak awal. Sebuah pandangan dunia, ideologi ataupun gaya hidup masyarakat seringkali dikonstruksi oleh situs-situs hegemoni yang disebarkan melalui sejumlah institusi hegemoni seperti sekolah, media massa, gereja, dakwah-dakwah keagamaan, dan lain sebagainya. Dalam proses pertarungan ideologis inilah, bentuk-bentuk poskolonialisme di Indonesia akan dianalisis lewat sejumlah buku ajar bahasa Jerman dan Prancis yang digunakan di berbagai universitas di Indonesia. Hal ini penting untuk dikritisi mengingat proses akulturasi budaya Barat (Eropa) seringkali tanpa disadari akan masuk dalam perangkap poskolonial yang melanggengkan dominasi nilai-nilai Eropa atas nasionalisme Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Benedict Anderson (2002:1—15), nasionalisme merupakan komunitas imajiner yang harus dikonstruksi dan dipertahankan oleh para pendukungnya. Dalam konstelasi nasionalisme Indonesia tersebut, bentuk-bentuk poskolonialisme Barat (sebagai negara dominan) - sekali lagi harus dicermati secara kritis sehingga tidak terperangkap praktik imperialisme Barat model baru. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Di dalamnya dilakukan studi atas sejumlah buku ajar bahasa Jerman untuk universitas di Indonesia. Adapun objek penelitian yaitu buku-buku 423 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ajar bahasa Jerman dan Prancis yang dipergunakan di sejumlah universitas di empat kota sebagai sampel: (1) UNY, Yogyakarta, (2) UNJ, Jakarta, (3) UPI, Bandung, dan (4) Unesa, Surabaya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan secara mendalam terhadap buku ajar bahasa Jerman. Teknik analisis datanya yaitu dengan analisis konten, deskriptif kuantitatif, dan deskriptif kualitatif. Analisis konten dilakukan dalam menganalisis isi buku ajar bahasa Jerman. Validitas data dicapai dengan cara (1) ketekunan pengamatan, (2)) diskusi antarpeneliti. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tabel berikut ini menggambarkan sejumlah temuan yang bersifat kuantitatif dari bentukbentuk poskolonialitas pada sejumlah buku ajar bahasa Jerman dan Prancis untuk universitas di Indonesia. Sementara temuan secara kualitatif akan diuraikan pada bagian pembahasan. No 1 2 3 4 Tabel 1. Jumlah Bentuk-bentuk Poskolonialitas pada Buku Ajar Bahasa Prancis untuk Perguruan Tinggi di Indonesia Judul Buku Bentuk-Bentuk Poskolonial Jumlah Campus 1 Campus 2 Echo 1 Echo 2 Jumlah A 10 17 12 8 47 B 5 1 5 11 C D 15 6 9 3 33 1 1 E 1 3 4 F - G - H - 26 29 25 16 96 Tabel 2. Jumlah Bentuk-bentuk Poskolonialitas pada Buku Ajar Bahasa Jerman untuk Perguruan Tinggi di Indonesia Bentuk-Bentuk Poskolonialitas No 1 2 3 4 5 6 Judul Buku A B Studio D A1, Kursbuch Studio D A1, Srachtraining 63 1 11 6 1 2 Studio D A2, Kursbuch Studio D A2, Srachtraining 82 17 1 3 103 13 6 1 1 21 Studio D B1, Kursbuch Studio D B1, Srachtraining 24 2 5 1 14 46 11 6 3 2 9 199 10 44 5 29 Jumlah Catatan Kode Poskolonialitas: A. Superioritas Barat B. Subordinasi Timur C. Praktik Penjajahan C 0 0 D D. Mimikri (Budaya) E. Hibriditas F. Diaspora 424 E F G 2 1 H Jumlah 78 9 1 1 32 1 289 G. Politik Tubuh H. Nasionalitas Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Jika kedua data dalam tabel 1 dan 2 dikompilasikan maka akan diperoleh histogram sebagai berikut: 250 200 150 Bahasa Jerman 100 Bahasa Prancis 50 0 A B C D E F G H Gambar 1. Histogram Aspek Poskolonialitas dalam Buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis a. Bentuk-bentuk Poskolonialitas pada Buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Bahasa Jerman dan Prancis merupakan bahasa Asing yang diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri di pulau Jawa antara lain adalah UNJ Jakarta, UPI Bandung, UNESA Surabaya, dan UNY Yogyakarta. Di PTN tersebut pembelajaran bahasa Jerman dilaksanakan dengan menggunakan buku ajar yang diterbitkan oleh Conelsen Verlag dan penerbit Katalis Jakarta. Buku tersebut adalah Studio D A1, A2 dan B1: Kursbuch, dan buku latihan yaitu Studio D A1, A2 und B1: Sprachtraining. Keenam buku itu digunakan sebagai buku ajar pokok di semester awal di keempat PTN tersebut. Sedangkan buku ajar bahasa Perancis yang digunakan di berbagai universitas di pulau Jawa tersebut antara lain Campus 1 dan Campus 2 ditulis oleh J. Girardet dan J. Pécheur dan diterbitkan oleh CLE International. Demikian pula Echo 1 dan Echo 2 yang kebetulan ditulis oleh pengarang dan penerbit yang sama dengan buku ajar Campus 1 dan Campus 2. Keempat buku ajar tersebut merupakan buku ajar pokok yang digunakan mahasiswa mulai semester 1 sampai dengan semester 5 di beberapa perguruan tinggi yang menjadi fokus penelitian ini. Berikut ini akan disampaikan bentukbentuk poskolonial yang berhasil ditemukan dalam buku ajar bahasa Jerman dan Prancis tersebut. 1) Aspek Poskolonialitas Superioritas Barat yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Secara kuantitas – seperti yang terlihat dalam tabel dan grafik, aspek superiorotas barat paling banyak ditemukan di buku ajar bahasa Jerman dan Prancis. Aspek superioritas Barat banyak muncul dalam bentuk gambar yang menunjukan bahwa Barat (Jerman dan Prancis) memiliki aspekaspek keunggulan dan modernitas dibanding Timur. Superioritas Barat dapat diartikan sebagai suatu visi subjek kolektif intelektual Barat dalam memarginalisasikan masyarakat timur. Di halaman 206 425 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta buku Studio D A1 terdapat slogan “Made in Germany”. Slogan ini sudah cukup lama dikenalkan yang mengisyaratkan bahwa produk Jerman memiliki kualitas baik. Pada situs www.germanoriganilty.com disebutkan“.."Made in Germany" is recognized around the world as a label for products of high quality, standards and value…”. Tak heran kepemilkan mobil mewah dari Jerman seperti BMW dan Mercedes-Benz kemudian menjadi simbol prestige dari pemilikinya. Penanda bahwa ia masuk dalam kelas menengah atas. Pada halaman 119 dalam buku ajar bahasa Prancis Campus 1 tampak nama-nama perusahaan di Perancis dan Eropa yang sudah mendunia, seperti Danone, Carrefour, Nestlé, Philips dan Siemens. Superioritas Barat tampak jelas dengan hadirnya industri-industri Perancis dan Eropa tersebut di Indonesia. Tingginya antusiasme masyarakat dalam mengkonsumsi produk air mineral seperti Aqua yang merupakan lisensi dari Danone sudah sangat jelas. Bahkan adakalanya sebutan Aqua kerap menggantikan sebutan untuk air mineral. Pesatnya pertumbuhan pasar swalayan Carrefour di berbagai kota besar di Indonesia rasanya juga sulit untuk dibantah bahwa mereka telah menancapkan kukunya di sini. Perusahaan-perusahaan Eropa (Jerman dan Perancis) yang disebutkan di atas terbukti makin mengukuhkan bentuk superioritas Barat di Indonesia. Pada buku Studio D B1: Sprachtraining bentuk superioritas Barat juga ditunjukan dalam penggalan sebuah teks tentang uni Eropa. Dalam teks tersebut disebutkan bahwa orang Turki berusaha terus untuk bergabung dengan uni Eropa. Usaha ini sampai kini belum berhasil. Belum diterimanya Turki menjadi anggota Uni Eropa sering menimbulkan pertanyaan, apakah semata karena faktor ekonomi? faktor sosial budaya? Atau karena penduduk Turki yang mayoritas muslim? 2) Aspek Poskolonialitas Subordinasi Timur yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Bentuk poskolonial berupa Subordinasi Timur ditemukan dalam buku ajar bahasa Prancis Campus 2 meskipun tidak terlalu dominan. Bentuk Subordinasi Timur ini pada dasarnya menempatkan masyarakat Timur sebagai tempat yang marginal dari sudut pandang masyarakat Barat. Hal tersebut tampak pada contoh berikut ini. Peta dunia menunjukkan letak benua Eropa sebagai pusat (central), sementara Amerika di sebelah kiri dan Asia-Afrika di sebelah kanan. Dari model peta dunia yang berpusat pada Eropa inilah kemudian dikenal istilah Timur Dekat (seperti Turki), Timur Tengah (seperti negara-negara Arab dan Iran), dan Timur Jauh (seperti Cina, Jepang, hingga Indonesia). Bandingkan dengan model peta yang biasa dipakai di Indonesia yang menempatkan Indonesia berada di tengah, Asia-Afrika-Eropa ada di sebelah kiri sementara di sebelah kanannya Amerika. Peta adalah sebuah representasi sudut pandang, yang menempatkan sesuatu yang penting berada di tengah. Perhatikan gambar peta berikut ini. 426 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 2. Peta Efek Negatif Pemanasan Global terhadap Planet Bumi Pada Buku Ajar Bahasa Prancis Campus 1 Aspek poskolonial subordinasi timur juga ditemukan di buku ajar bahasa Jerman. Seperti dalam buku ajar bahasa Prancis, aspek ini juga tersamar. Salah satunya ditemukan pada sebuah latihan menyusun dialog yang terjadi antara petugas di kantor Penempatan tenaga kerja dengan Aghdam dari Kamerun. Dialog ini memberikan sedikit gambaran mengenai para pencari kerja yang berasal dari negara Afrika atau Asia. Contoh dalam buku mengenai para pencari kerja sangat jarang menampilkan para pencari kerja di era abad 20 atau 21 yang berasal dari negara-negara Eropa (Eropa Timur). 3) Aspek Poskolonialitas Mimikri yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Bentuk poskolonialitas berikutnya adalah mimikri. Sesuai dengan pendapat Kutha Ratna (2008, 452) mimikri dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori ideal Eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal. Sebagai contoh di halaman 112 pada buku ajar bahasa Jerman Studio D A1 terlihat seorang koki dengan seragam putihnya. Koki berseragam putih seperti ini kemudian ditiru oleh Timur (Indonesia). Sejalan dengan itu di buku Studio D A2 juga ditemukan sebuah gambar yang menunjukan susunan peralatan makan di meja makan, serta gambar suasana makan malam menggunakan liin dan gelas anggur. Tata cara makan atau yang sering disebut table manner seperti ini ditiru bahkan kemudian menjadi standar baku di hotel atau restaurant besar. Hal serupa juga ditemukan di buku ajar bahasa Prancis berupa gambar foto yang menunjukkan penataan meja makan yang dianggap berskala internasional, berupa susunan piranti makan dalam meja makan. Kegiatan budaya tersebut kini banyak dijumpai di Indonesia, khususnya di kalangan modern terpelajar. Table manner sesungguhnya mengacu pada tata cara makan internasional yang belum tentu cocok dengan budaya di Indonesia yang kebanyakan makan dengan sendok atau tangan. Beberapa dekade terakhir ini, aktivitas table manner dianggap sebagai suatu simbol modernitas. Tujuan utama Mimikri (budaya) pada dasarnya adalah dengan menyerap dan mengadopsi budaya yang ditawarkan. Pada bagian awal buku ajar Campus 1 halaman 14 tampak gambar foto berupa pertemuan antara teman pria dan wanita. Pertemuan tersebut diiringi gestik sebagai bagian dari ungkapan salam saat berjumpa dengan mencium pipi kiri kanan antarmereka. Hal tersebut tampak pada 427 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta gambar berikut ini. Cara memberi salam seperti ini kemudian perlahan merambah Indonesia terutama di kalangan selebritis dan kalangan urban kelas menengah atas. Gambar 3. Bentuk Salam Saat Berjumpa dengan Cium Pipi dan Penataan Meja Makan ala Barat 4) Aspek Poskolonialitas Hibriditas yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Bentuk hibriditas relatif sedikit ditemukan di buku ajar bahasa Jerman dan Prancis Hibriditas yang merupakan hubungan dua kebudayaan dengan identitas yang berbeda. Dalam buku ajar bahasa Jerman terdapat sebuah teks yang menceritakan seorang penyanyi keturunan Turki di Jerman. Ia merupakan orang Turki yang dilahirkan di Jerman. Orang tuanya dulu melakukan migrasi ke Jerman. Dalam teks diceritakan bahwa penyanyi tersebut menciptakan lagu yang kental dengan warna budaya Turki namun dinyanyikan dalam bahasa Jerman. Penyanyi tersebut seolah berusaha menghubungkan antara tradisi orang tuanya (dalam hal ini budaya Turki) dengan bahasa Jerman, bahasa yang dipakai sehari-hari di Jerman - tanah air ke duanya. Ia yang lebih populer dikalangan anak muda Turki, seolah ingin menjadi jembatan antara dua budaya, yaitu Jerman dan Turki. Dalam buku ajar bahasa Prancis Echo 1 ditemukan bentuk hibriditas. Hal tersebut tampak dalam teks “Bon Voyage” yang menampilkan kehidupan di negara-negara, seperti Maroko, Mesir, Thailand dan Meksiko. Pada bagian lain foto perayaan tahun baru Cina (perayaan Imlek) di Paris, Perancis dalam Campus 1 halaman 35. Hal tersebut menunjukkan budaya Cina dan budaya Perancis (Eropa) yang hidup berdampingan dengan warna kebudayaannya masing-masing. 5) Aspek Poskolonialitas Diaspora yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Diaspora merupakan salah satu bentuk poskolonial yang dapat dipahami sebagai komunitas minoritas yang hidup dalam pengasingan. Diaspora sering dikaitkan dengan pengusiran. Bentuk diaspora tidak ditemukan dalam buku ajar bahasa Prancis, namun ditemukan di buku ajar bahasa Jerman walaupun secara kuantitas jumlahnya sedikit. Contoh bentuk diaspora ditemukan dalam sebuah teks yang menceritakan tentang keluarga pendatang dari Turki di halaman 16 buku Studio D A2, Kursbuch Ayse Demir ist aus der Türkei. Sie ist vor 25 Jahren mit ihrem Mann nach Deutschland gekommen, weil ihr Mann hier Arbeit in einer Fabrik gefunden hat. Ihre beiden Kinder sind in Deutschland geboren. Machmal fahren sie in den Ferien zusammen in die Turkei. Potongan teks di atas menunjukan bahwa Ayse Demir datang ke Jerman bersama suaminya 25 tahun yang lalu. Kedua anaknya lahir di Jerman. Pada diri anak-anak mereka seringkali muncul ambiguitas dalam menentukan identitas mereka. Mereka lahir dan besar di Jerman, dan tentu saja 428 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta banyak menyerap budaya Jerman. Namun, Ayse dan suaminya tetap berusaha menghubungkan kedua anak mereka dengan identitas leluhurnya. Upaya itu ia lakukan dengan cara kalau berlibur mereka sering bepergian ke Turki. Orang-orang Turki hingga saat ini seolah berdiri di “dua tempat” yang berbeda.. Di halaman 163 pada buku ajar bahasa Jerman Studio D B1 ditampilkan sebuah teks yang menceritakan sebuah pameran yang bertemakan Jerman sebagai negara tujuan para migran. Pameran tersebut menampilkan buku harian dari seorang wanita Iran yang terpaksa pergi ke Jerman karena ayahnya mencari suaka politik di Jerman. Selain Zarah, juga ditampilkan perjalanan hidup Cheb Azis dari Lebanon. Dari buku harian yang ditulis Zarah, diketahui betapa sulit masa-masa awal kehidupannya di Jerman. Dia mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dan mempelajari bahasa Jerman. Para imigran seperti dia kerapkali memiliki masalah untuk bisa berintegrasi dengan bangsa Jerman. Persoalan para migran ini kemudian sering dijadikan tema dalam beberapa film di Jerman. 6) Aspek Poskolonialitas Politik Tubuh yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Aspek poskolonial politik tubuh dapat dipahami sebagai bentuk perilaku untuk mengubah identitas tubuh seseorang dengan meniru identitas tubuh Barat. Dalam buku ajar bahasa Jerman aspek ini sangat tersamar dan terkait dengan salah satu produk Jerman yang sudah mendunia yaitu Nivea. Nivea adalah krim yang diproduksi untuk memelihara kejernihan kulit baik wanita maupun pria. Produk ini juga sudah dikenal lama di Indonesia. Produk kosmetik yang dianggap bisa membuat kulit lebih bening atau lebih putih ini banyak diminati oleh wanita Indonesia. Motiv seseorang untuk mengkonsumsinya, sering kali karena merasa kulit coklat tidaklah cantik sehingga perlu kosmetik tertentu yang dapat membuat kulitnya menjadi lebih bening / putih. Selama ini memang lebih banyak berlaku anggapan bahwa cantik itu identik dengan kulit bening / putih, hidung mancung dan bermata biru. Simaklah bintang sinetron yang memiliki wajah seperti itu cukup laris, mereka adalah artis-artis yang umumnya memiliki darah campuran (Indo). Fenomena ini dapat dikatakan sebagai politik tubuh. 7) Aspek Poskolonialitas Nasionalitas yang terdapat dalam buku Ajar Bahasa Jerman dan Prancis Pada buku Studio D B1: Sprachtraining terdapat sebuah teks tentang perjalanan karier seorang wanita mesir bernama Wafaa dalam bidang Egyptology. Wafaa - yang memiliki karir bagus di museum Berlin - akhirnya memutuskan kembali ke Mesir, karena Mesir adalah “rumahnya”. Bagian ini menunjukan adanya nasionalitas pada diri Wafaa. Di Mesir ia menjadi direktor sebuah museum yang terkenal di dunia dan memimpin anak buahnya dengan mentalitas Jerman dan Mesir. Pada sisi ini, Wafaa melakukan proses mimikri dengan meniru mentalitas Jerman saat bekerja. Ia dikatakan mampu mempresentasikan Harta karun mesir dengan kecintaan terhadap mesir yang dikombinasikan dengan ketelitian (kesempurnaan) ala Jerman. Teks ini seolah ingin menunjukan bahwa meski sudah kembali ke Mesir, Wafaa masih memiliki mentalitas orang Jerman. b. Pola-pola Poskolonialitas Penelitian ini mengkaji keberadaan bentuk poskolinialitas dalam buku ajar bahasa Jerman dan Prancis di perguruan tinggi di Indonesia. Berikut ini akan disampaikan pola poskolonialitas yang berhasil ditemukan. Bahasa dan budaya adalah dua aspek yang berkaitan erat. Perkembangan sebuah budaya akan mempengaruhi perkembangan bahasa, sebaliknya bahasa dimanfaatkan oleh manusia untuk menyampaikan isi sebuah budaya secara turun temurun atau untuk disebarkan pada komunitas lain. 429 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Terkait dengan pembelajaran bahasa Jerman dan Prancis, bisa dipahami bahwa segala unsur atau bagian dari kebudayaan Jerman dan Prancis yang menjadi tempat berkembangnya bahasa Jerman dan Prancis akan disampaikan secara tidak sengaja ataupun sengaja pada pembelajar bahasa asing. Jika ditinjau dari sudut didaktik pengajaran bahasa asing, tujuan penyampaian aspek kebudayaan adalah agar para pembelajar bahasa asing mampu berkomunikasi dalam bahasa yang dipelajarinya tersebut secara baik dan benar karena ia juga mengenal latar belakang budaya bahasa tersebut. Di dalam usaha penyampaian aspek kebudayaan itulah kemudian secara tidak disadari terselip bentuk-bentuk poskolinialisme dalam buku ajar bahasa asing. Pola-pola keberadaan bentuk poskolonialisme acap kali tidak disadari oleh penyusun buku ajar tersebut. Penulis buku yang berasal dari Barat, tentu saja pola pemikiran dan pandangan hidupnya sudah terbentuk sesuai dengan kebudayaan Barat. Oleh karena itu ia akan berusaha merepresentasikan aspek kebudayaan Barat tersebut dalam buku ajar yang ia tulis. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pada buku ajar bahasa bahasa Jerman dan Prancis ditemukan beberapa bentuk poskolonialitas. Bentuk poskolonialitas yang muncul dalam buku ajar bahasa Jerman tersebut adalah superioritas Barat, subordinasi Timur, mimikri, hibriditas, diaspora, dan nasionalitas. Kedua, pola-pola poskolonialitas pada buku ajar bahasa Jermandan Prancis dapat dikatakan tersamar dan seringkali keberadaannya tidak disadari baik oleh penulis buku maupun oleh pembelajar bahasa asing tersebut. Oleh karena itu, perlu pengkajian secara kritis terhadap aspekaspek yang terkait dengan isu poskolonialitas sehingga tidak secara penuh larut dalam pengaruh pembelajaran bahasa Jerman dalam buku-buku tersebut. Saran yang dapat diajukan adalah kepada pihak pengajar yang menggunakan buku-buku ajar bahasa Jerman dan Prancis diharapkan untuk mengembangkan kesadaran akan keberadaan bentuk poskolonialitas di balik materi pembelajaran yang ada dalam buku dan meningkatkan pemahaman terhadap bentuk poskolonialitas agar tidak terjebak pada sikap penghargaan yang berlebihan terhadap budaya Barat (Eropa). Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar Anonim. Discover German Origanilty, dalam http://germanoriginality.com/madein/ index.php diakses pada tanggal 29 Oktober 2010, pukul 07.00 WIB Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Hellen Tiffin. 1989. The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature. London dan New York: Routledge. Foucault, Michel. 2002a. Power/Knowledge, Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said, Edward W. 2003. Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Surabaya: Pustaka Promethea. ___________. 2002. Covering Islam: Bias Liputan Barat atas Dunia Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera. ___________. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkas Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan. ___________. 1994. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka. Williams, Raymond. 1988. “Dominant, Residual, and Emergent,” dalam K.M. Newton, Twentieth Century Literary Theory. London: MacMillan Education Ltd. 430 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MAKALAH BIDANG PENELITIAN SAINS DAN TEKNOLOGI Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN KENTANG (Solanum Tuberosum L.) MELALUI SPESIFIKASI VARIABEL FISIS GELOMBANG AKUSTIK KERAS LEMAH BUNYI PADA PEMUPUKAN DAUN Nur Kadarisman, Agus Purwanto, Dadan Rosana FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta nurkadarisman@gmail.com Abstrak Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu hasil penelitian dalam bidang rekayasa dan modifikasi teknologi teknologi terpadu antara pemupukan daun (foliar) dengan optimasi variabel frekuensi dan intensitas audio pada frekuensi 3000 Hz.. Spesifikasi frekuensi resonansi dan Taraf intensitas bunyi binatang khas indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan. Berdasarkan tujuan umum tersebut maka secara khusus tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat teknologi gelombang akustik variabel frekuensi dan taraf intensitas bunyi yang memiliki karekteristik khusus untuk tanaman kentang yang dapat meningkatkan produktivitas kentang yang dilihat dari indikator hasil panen yang mengalami peningkatan serta indikator lainnya berupa laju pertumbuhan tanaman kentang dilihat dari aspek morfologinya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah mengkaji efek frekuensi audio (f) 3000 Hz dan Taraf intensitas bunyi yang sesuai untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman kentang. Untuk merekam dan menganalisis frekuensi akustik digunakan program Sound Forge 6.0. dan untuk mengukur Taraf Intensitas bunyi digunakan Sound Level meter. MATLAB 7.0. Program Origin 6.1. digunakan untuk menganalisis secara grafik data-data yang diperoleh dari pengukuran variabel fisis (morfologis) tanaman objek penelitian. Pengukuran lebar bukaan stomata daun kentang dilakukan pemotretan stomata dengan mikroskop dilengkapi optilab dan Image Raster. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas tanaman kentang yang paling bagus adalah perlakuan dengan menggunakan frekuensi audio 3000 Hz dengan peningkatan produktivitas sebesar 171,9 %. Taraf Intensitas Bunyi untuk Pertumbuhan tanaman kentang terbaik terukur 55 s/d 86 dB sedangkan produktivitas tanaman kentang terbaik terukur 65 s/d 81 dB. Kata Kunci : Keras Lemah Bunyi ( Taraf Intensitas Bunyi), Pertumbuhan, Produktivitas. PENDAHULUAN Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) menghasilkan umbi sebagai komoditas sayuran yang diprioritaskan untuk dikembangkan dan berpotensi untuk dipasarkan di dalam negeri dan diekspor. Tanaman kentang merupakan salah satu tanaman penunjang program diversifikasi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Sebagai bahan makanan, kandungan nutrisi umbi kentang dinilai cukup baik, yaitu mengandung protein berkualitas tinggi, asam amino esensial, mineral, dan elemen-elemen mikro, di samping juga merupakan sumber vitamin C (asam askorbat), beberapa vitamin B (tiamin, niasin, vitamin B6), dan mineral P, Mg, dan K (“International Potato Center”, 1984). Salah satu usaha untuk menngkatakan produktivitas tanaman kentang adalah teknologi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini yaitu teknik untuk menyuburkan tanaman 431 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi antara 3.500 Hz-5.000 Hz dan dipadu nutrisi organik melalui daun. Teknologi ini pada dasarnya merupakan cara pemupukan daun (foliar) dengan pengabutan larutan pupuk yang mengandung trace mineral yang digabungkan serentak bersama gelombang suara frekuensi tinggi. Mulut daun hanya membuka dan menutup oleh perintah satu organ yang disebut guard cell. Perintah ini muncul sebagai respons terhadap kelembaban, suhu, dan atau cahaya. Gelombang suara merupakan gerakan mekanis yang mampu menggetarkan semua materi yang dilaluinya dengan frekuensi yang sama, peristiwa ini disebut resonansi. Resonansi yang terjadi ini akan menggetarkan molekul nutrisi di permukaan daun, sehingga mengintensifkan penetrasinya melalui stomata atau mulut daun. Di setiap daun ada ribuan pori-pori kecil ini. Setiap stomata yang lebarnya kurang dari 1/1.000 inchi memungkinkan oksigen dan air memasuki daun (transpirasi), sementara gas-gas lainnya, terutama CO2, juga melalui jalan ini untuk berlangsungnya proses fotosintesis menghasilkan zat makanan bagi tumbuhan. Selama kondisi kering, stomata ini akan tertutup untuk mencegah layunya tumbuhan akibat kekeringan. Hasil yang tampak secara visual, yaitu sebagai efek pemberian energi suara akustik, berfrekuensi kompleks, serta dengan tingkat energi yang bervariasi. Jika pemakaiannya tepat, maka rangsangan suara ini mampu menstimulir metabolisma sel-sel tanaman. Akibatnya terjadi peningkatan penyerapan nutrisi dan uap air lewat daun. Efek yang paling menakjubkan adalah pertumbuhan serta produksi tanaman yang luar biasa. Nutrisi pupuk daun terbuat dari bahan dasar rumput laut, dan mengandung asam giberelat (gibberelic acid) yang mempercepat pertumbuhan tanaman, serta asam amino dan berbagai trace mineral seperti Ca, K, Mg, Zn, sehingga bersifat total organik. Secara umum penelitian tentang efek frekuensi audio terhadap produktivitas dan kualitas hasil tanaman kentang memang masih belum biasa dilakukan. Namun demikian secara empirik riset yang berkaitan dengan ini telah dilakukan oleh melalui program payung Labratorium Fisika Akustik FMIPA UNY melalui hibah bersaing tahap-1. Penelitian ini melibatkan tanaman eksperimen dan tanaman kontrol itu, didapatkan suatu hasil yang cukup signifikan tentang pengaruh gelombang akustik terhadap karakteristik morfologis dan laju pertumbuhan tanaman kentang (Solanum Tuberosum, L). Karakteristik morfologi dan laju pertumbuhan tanaman yang diteliti meliputi; tinggi tanaman, diameter batang, jumlah ranting, panjang dan lebar daun. Analisis hasil panen juga menunjukkan bahwa pada frekuensi 3000 Hz hasil panen umbi kentang pada kelompok eksperimen ada peningkatan sebesar 171,9 % dibandingkan dengan tanaman kontrol atau tanaman petani kentang pada umumnya (tanpa pemaparan bunyi) sebagaimana terlihat dalam tabel-1. Hasil panen untuk tanaman eksperimen sebesar (74,44 ± 0.1) kg per 86 tanaman sedangkan kelompok kontrol adalah (14,0 ± 0.1) kg per 44 tanaman. Hasil uji perbedaan rata-rata tanaman kontrol dan tanaman eksperimen menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai sig.(2-tailled) lebih kecil dari 0,05. 432 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel-1 Data hasil penelitian tahap-1 pertumbuhan dan produktivitas tanaman kentang perlakuan variasi frekuensi bunyi. Kntrl data rata-rata pertumbuhan tanaman (cm) d jml jml pjg lbr t (cm) (cm) rntg daun daun daun 44,38 0,99 11,86 84,43 8,03 5,21 2000 28,95 0,89 10,08 69,36 7,11 4,52 91 38,24 0,42 3000 51,15 1,23 14,19 125,65 9,74 5,68 86 74,44 0,87 3500 22,3 0,89 6 29 6,1 3,8 57 9,2 0,16 4000 25,1 0,94 10 59 7.99 4.78 97 52,72 0,54 4500 44,76 1,18 13,69 108,66 9,85 5,77 100 81,2 0,81 5000 26,8 1,07 11 73 8,3 6,5 60 15,5 0,26 7,01 4,25 99 63,05 0,64 frek (Hz) 6000 37,45 0,94 11,55 93,57 knt : tanaman tanpa diberi perlakuan , t : tinggi tanaman, d : diameter batang jml yg hdp total Prod rata2 prod/tnm 44 14 0,32 Pada penelitian Hibah Bersaing tahap-1 di atas, ada satu aspek mendasar yang belum terukur yaitu pengaruh keras lemah bunyi yang diterima tanaman kentang pada setiap bedeng. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa produktivitas tanaman kentang pada bedeng tertentu yang lebih jauh dari sumber bunyi lebih bagus. Data itu diperkuat oleh respon petani kentang yang secara tidak sengaja lahannya terimbas oleh paparan suara penelitian ini yang menginformasikan bahwa hasil panennya lebih besar dan lebih banyak. Hasil analisis data penelitian tahap-1 lebih lanjut ditemukan bahwa pada daerah tertentu yang lebih jauh dari sumber bunyi produktivitas tanaman kentang lebih bagus sebagaimana terlihat pada tabel-2 Tabel-2 Penyebaran produktivitas tanaman kentang disetiap bedeng karena pengaruh keras lemah bunyi data hasil panen berat bedeng 1 berat bedeng 2 berat bedeng 3 berat bedeng 4 berat bedeng 5 berat bedeng 6 total berat 17.12 14.68 7.38 10.93 8.22 16.11 74.44 Dari tabel-2 sumber bunyi diletakkan didepan antara bedeng 3 dan 4, produktivitas tanaman pada bedeng yang semakin jauh dari sumber bunyi yaitu bedeng 1 dan 6 hasilnya semakin baik. sehingga dapat diduga bahwa faktor keras lemah bunyi perpengaruh terhadap produktivitas. Penelitian lebih lanjut tahap ke-2 ini melibatkan teknologi terpadu (penggunaan gelombang akustik hasil penelitian tahap-1 yaitu frekuensi 3000 Hz dengan perlakuan pengukuran keras-lemahnya 433 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sumber bunyi dalam besaran Taraf Intensitas Bunyi yang dipaparkan pada lahan pertanian) untuk mendapatkan hasil yang lebih optimalData yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan tanaman kentang melalui perhitungan berbagai karakteristika tumbuh tanaman kentang adalah data periodik bobot kering total tanaman, luas daun, dan bobot kering umbi, di samping satuan luas yang dipakai (Djajasukanta, 1987). Berdasarkan indikasi awal yang sangat menjanjikan untuk dapat diaplikasikan tersebut, maka akan dikembangkan suatu teknologi terpadu yang didasarkan pada hasil penelitian intensif tentang karakteristik fisis gelombang akustik yang akan digunakan, meliputi optimasi spesifikasi frekuensi resonansi dan keras lemahnya bunyi binatang khas Indonesia yaitu suara Garengpong (Cicasar). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu hasil penelitian dalam bidang rekayasa dan modifikasi teknologi teknologi terpadu antara pemupukan daun (foliar) dengan optimasi spesifikasi frekuensi resonansi binatang khas indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman kentang (Solanum Tuberosum, L). Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan yang sekaligus sesuai dengan tujuan Program Sinergi Penelitian dan Pengembangan Bidang Pertanian (SINTA), serta berupaya merealisasikan kemitraan penelitian antara Badan Litbang Pertanian, Perguruan Tinggi. Berdasarkan tujuan umum tersebut maka secara khusus tujuan penelitian ini dalam jangka waktu satu tahun penelitian adalah: Tujuan ini dapat dicapai melalui tahapan sebagai berikut: 1. Melakukan rancang bangun teknologi terpadu antara pemupukan daun (foliar) dengan optimasi frekuensi resonansi dan Taraf Intensitas Bunyi binatang khas indonesia disesuaikan dengan karakteristik tanaman tanaman kentang (Solanum Tuberosum, L). 2. Melakukan spesifikasi frekuensi gelombang bunyi agar benar-benar didapatkan frekuensi dan Taraf Intensitas Bunyi (TI) yang tepat dan khas untuk tanaman kentang (Solanum Tuberosum). 434 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Penelitian 1. Rancangan Percobaan RANCANGAN PEMECAHAN MASALAH PENINGKATAN KUALITAS DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PANGAN Teknologi gelombang suara (sonic bloom) 3000 Hz Pemaparan pada tanaman kentang (Solanum Tuberosum, L) Pengukuran sebaran Taraf Intensitas bunyi pada setiap bedeng tanaman Pemupukan bersama dengan pemaparan suara (sonic bloom) Peningkatan Kualitas dan produktivitas Gambar 1. Diagram alir proses penelitian 2. Peralakuan Dengan Variabel Drive frekuensi dan pengukuran sebaran Taraf Intensitas Bunyi tiap bedeng a. Membuat denah penelitian sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan digunakan b. Merangkai alat percobaan sebagai berikut: c. Drive frekuensi akustik dilakukan setiap hari untuk setiap jenis tanaman. d. Mengukur Taraf Intensitas Bunyi dengan Sound Level Meter di setiap perubahan jarak menjauh dari sumber bunyi. Gambar-2 : drive frekuensi akustik pada tanaman kentang. 435 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta e. Penyiraman dan kadang-kadang disertai pemupukan daun dilakukan secara berkala. 3. Pengambilan Sampel Tanaman (Panen) a. Panen dilakukan sesuai dengan masa panen yaitu 100 hari b. Pemanenan dilakukan dengan mengambil seluruh bagian tanaman c. Dilakukan pengukuran morfologi dan produksi tanaman kentang baik yang termasuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. 4. Waktu dan Tempat Penelitian a. Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 8 Mei 2011 sampai 8 Agustus 2011. b. Tempat Penelitian 1) Lahan pertanian tanaman kentang di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 2) pengambilan gambar stomata dilaksanakan di laboratorium Mikroskopi Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY. 3) Sintesa bunyi suara binatang di Laboratorium Fisika Akustik, Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY. 5. Variabel Penelitian Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Variabel Bebas Taraf Intensitas Bunyi dengan jarak menjauh dari sumber bunyi b. Variabel Terikat Variabel fisis buah yang dihasilkan kentang , meliputi: 1). Lebar bukaan stomata masing-masing daun 2). Diameter rata-rata batang 3). Tinggi rata-rata kentang 4). Jumlah rata-rata ranting 5). Berat kentang c. Variabel kontrol: Frekuensi Bunyi 3000 Hz, Waktu perlakuan, lokasi penanaman, pemupukan dasar tanaman kentang, pemberian obat-obatan hama dan penyakit kentang, pemberian air. 1. Pengaruh Frekuensi Akustik Terhadap Tanaman Gelombang bunyi merupakan vibrasi/getaran molekul-molekul zat yang saling beradu satu sama lain. Namun demikian, zat tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi tetapi tidak pernah terjadi perpindahan partikel (Resnick dan Halliday, 1992: 166). Gelombang adalah suatu getaran yang merambat, yang membawa energi dari satu tempat ke tempat lainnya (Sutrisno, 1979: 140). Dengan kata lain bunyi mempunyai energi, karena bunyi merupakan salah satu bentuk gelombang yang memiliki kemampuan untuk menggetarkan partikel-partikel yang dilaluinya. Energi atau getaran yang dihasilkan oleh sumber bunyi tersebut mempunyai efek terhadap suatu tanaman, yaitu mampu untuk membuka stomata 436 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta daun. Getaran dari suara akan memindahkan energi ke permukaan daun dan akan menstimulasi stomata daun untuk membuka lebih lebar. Sumardi et.al (2002) dalam (Supriaty Ningsih, 2007: 25) menyatakan bahwa pada dasarnya frekuensi akustik dapat memperpanjang periode pembukaan stomata yang dapat mengakibatkan proses transpirasi terus berlangsung, sehingga memperpanjang pula masa penyerapan unsur hara sebagai penyeimbang transpirasi. Pembukaan stomata karena pengaruh frekuensi akustik mampu meningkatkan tekanan osmotik pada protoplosma sel penjaga, di mana sel penjaga merupakan salah satu bagian yang terdapat dalam stomata sehingga sel penjaga akan menggembung karena banyak menyerap air. Salisbury dan Ross (1995: 85) menyatakan bahwa yang mendorong sel penjaga menyerap air dan menggembung adalah tekanan osmotik protoplasma sel penjaga lebih kecil daripada sel di sekitarnya, yang menyebabkan air mengalir ke dalam sel penjaga. Selanjutnya mengakibatkan naiknya tekanan osmotik dan sel menggembung sehingga stomata membuka. Dengan membukanya stomata yang lebih lebar berarti penyerapan unsur hara dan bahan-bahan lain di daun menjadi lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan frekuensi akustik. Membukanya stomata menyebabkan gas oksigen O2 terdifusi keluar dan gas karbondioksida CO2 masuk ke dalam sel sebagai bahan untuk melakukan proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari (Salisbury dan Ross, 1995: 89). Dari proses fotosintesis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap proses respirasi, karena bahan utama proses respirasi adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis. Proses respirasi inilah yang akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Phospate). 2. Teknologi Gelombang Suara a. Pengertian Sonic Bloom Sonic Bloom adalah cara pemupukan daun dengan pengabutan larutan pupuk yang mengandung trace mineral yang digabungkan serentak bersama gelombang suara berfrekuensi tinggi (Purwadaria, 1998) Konsep kerja teknologi ini adalah penyemprotan nurisi yang berupa pupuk daun dengan memakai bantuan pemasangan generator penghasil gelombang suara. Keduanya digabungkan sehingga menjadi 2 aktivitas yang bekerja sinergis, harmonis dan saling mendukung sehingga mampu meningkatkan efisiensi fotosintesis. Berdasarkan hasil pengujian USDA ( United Satates Departement of Agriculture ) di Amerika menyatakan bahwa baik nutrisi maupoun gelombang suara yang ditemukan tidak berakibat buruk atau merusak lingkungan ( Tim penyusun PT. Interform 73, 1998) . Sonic Bloom dapat mempercepat pertumbuhan tanaman baik tinggi maupun diameter batang. Dari pengamatan seorang tani kayu Black Walnut di Minnesota Amerika serikat dengan kebun seluas 15 ha, pertumbuhan diameter kayu yang dikenai Sonic Bloom adalah 2,12 cm per tahun, sedangkan pertumbuhan tanpa Sonic Bloom berkisar 0,51- 1,02 cm per tahun. Pertumbuhan tinggi batang dengan Sonic Bloom adalah sekitar 2 sampai 3 kali dibandingkan tanpa Sonic Bloom. Dengan menggunakan Sonic Bloom dapat mempercepat panen tiba dan memperpanjang rentang masa panen. Seperti diuraikan di atas, petani Black Walnut telah menanam kayu selama lima tahun dan memperkriakan mulai panen 3 tahun lagi, sedangkan umur panen yang normal adalah 15 tahun. 437 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Nutrisi Sonic Bloom Larutan yang disebut dengan nutrisi Sonic Bloom merupakan pasangan kerja teknologi ini. Larutan ini berisi bahan organik murni yang diracik dalam formula khusus, yaitu mengandung ekstrak ganggang laut yang kaya asam amino yang dilengkapi hormon perangsang pertumbuhan dan mengandung lebih dari 100 jenis mineral yang dibutuhkan pertumbuhan tanaman (Tim penyususn PT. Interform, 1998). Sasaran penyemprotan diarahkan langsung ke daun. Laruran ini sudah diformulasikan dengan tepat untuk dapat bekerja sama dengan unit suara Sonic Bloom sehingga mampu diserap oleh stomata yang telah membuka maksimal danfungsi larutan ini sama sekali tidak dapat digantikan oleh bahan kimia atau pupuk jenis lain. c. Unit Suara Sonic Bloom Unit Suara Sonic Bloom merupakan unit generator penghasil suara akustik dengan frekuensi bolak balik yang merupakan frekuensi tinggi dengan satuan nilai frekuensi sebesar 3500-5000 KHz. Berdasarkan hasil pengujian USDA (United States Departement of Agriculture) frekuensi yang dihasilkan unit suara ini akan memancarkan gelombang suara yang bertujuan untuk mempengaruhi metabolisme sel dalam daun sehingga stomata dapat membuka hingga 125%. d.Taraf Intensitas Bunyi  Intensitas Bunyi Besamya energi gelombang yang melewati suatu permukaan disebut dengan intensitas gelombang. Intensitas gelombang didefinisikan sebagai jumlah energi gelombang per satuan waktu (daya) per satuan luas yang tegak lurus terhadap arah rambat gelombang. Hubungan antara daya, luas, dan intensitas memenuhi persamaan I= P/A Keterangan: P = daya atau energi gelombang per satuan waktu (Watt) A = luas bidang (m2) I = intensitas gelombang (Wm-2) Jika sumber gelombang berupa sebuah titik yang memancarkan gelombang serba sama ke segala arah dan dalam medium homogen, luas bidang yang sama akan memiliki intensitas gelombang sama. Intensitas gelombang pada bidang permukaan bola yang memiliki jari-jari R memenuhi persamaan berikut. I= P/A= P/(4πR2 ) Dari persamaan diatas, dapat dilihat bahwa gelombang berupa bunyi. Pada dasarnya gelombang bunyi adalah rambatan energi yang berasal dari sumber bunyi yang merambat ke segala arah, sehingga muka gelombangnya berbentuk bola. Energi gelombang bunyi yang menembus permukaan bidang tiap satu satuan luas tiap detiknya disebut intensitas bunyi atau intensitas bunyi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak sumber bunyi tersebut ke bidang pendengaran. Batas intensitas bunyi yang bisa didengar telinga manusia normal antara lain sebagai berikut: 438 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 1) 2) Intensitas terkecil yang masih dapat menimbulkan rangsangan pendengaran pada telinga manusia adalah sebesar 10-12Wm-2 pada frekuensi 1.000 Hz dan disebut intensitas ambang pendengaran. Intensitas terbesar yang masih dapat diterima telinga manusia tanpa rasa sakit adalah sebesar 1 Wm-2. Jadi, batasan pendengaran terendah pada manusia adalah 10 -12 Wm2 dan batasan pendengaran tertinggi pada manusia adalah 1 Wm-2.  Taraf Intensitas Bunyi Kepekaan telinga manusia normal terhadap intensitas bunyi memiliki dua ambang, yaitu ambang pendengaran dan ambang perasaan. Intensitas ambang pendengaran (Io) yaitu intensitas bunyi terkecil yang masih mampu didengar oleh telinga, sedangkan intensitas ambang perasaan yaitu intensitas bunyi yang terbesar yang masih dapat didengar telinga tanpa menimbulkan rasa sakit. Besarnya ambang pendengaran berkisar pada 10-12 watt/m2 dan besarnya ambang perasaan berkisar pada 1 watt/m2. Frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia normal adalah antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz. Di luar batas frekuensi tersebut, anda tidak dapat mendengarnya. Berdasarkan hasil penelitian para ahli ternyata bahwa daya pendengaran telinga manusia terhadap gelombang bunyi bersifat logaritmis, sehingga para ilmuwan menyatakan mengukur intensitas bunyi tidak dalam watt/m2 melainkan dalam satuan dB (desi bell) yang menyatakan Taraf Intensitas bunyi (TI). Taraf intensitas bunyi merupakan perbandingan nilai logaritma antara intensitas bunyi yang diukur dengan intensitas ambang pendengaran (Io). Dapat dinyatakan dengan persamaan: TI = 10 log I/I0 Keterangan: I0 = ambang intensitas pendengaran (10-12 Wm-2) I = intensitas bunyi (Wm-2) TI = taraf intensitas (dB) Hasil dan Pembahasan Spektrum sumber bunyi yang dipaparkan pada lahan pertanian telah diuji peak frekuensinya 3000 Hz dengan menggunakan Sound Forge-10 dengan spectrum peak frekuensi terlihat pada gambar-3. Gambar-3 spektrum peak frekuensi sumber bunyi yang digunakan mendekati 3000 Hz 439 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Validasi spectrum bunyi dianalisis menunjukkan bahwa peak frekuensi sumber bunyi yang dipaparkan pada lahan pertanian tepat atau mendekati dengan frekuensi yang diharapkan 3000 Hz. Selanjutnya hasil penelitian untuk pertumbuhan tanaman kentang setelah melalui perlakuan paparan bunyi meliputi pengukuran diameter batang, jumlah daun, jumlah ranting dan tinggi tanaman dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa perlakuan bunyi diperoleh hasil seperti terlihat pada gambar-4. 7 ,2 L a h a n K o n tr o l L a h a n K o n tr o l 7 ,0 L a h a n P e r la k u a n H o r iz o n ta l L a h a n P e r la k u a n V e r tik a l 1 ,1 6 ,6 D ia m e te r B a ta n g ( c m ) 6 ,4 L e b a r D a u n (c m ) L a h a n P e r la k u a n H o r iz o n ta l 1 ,2 L a h a n P e r la k u a n V e r tik a l 6 ,8 6 ,2 6 ,0 5 ,8 5 ,6 5 ,4 5 ,2 1 ,0 0 ,9 0 ,8 0 ,7 0 ,6 5 ,0 0 ,5 4 ,8 30 40 50 60 70 80 30 40 50 U m u r ta n a m a n ( H a r i) 60 70 80 U m u r T a n a m a n ( H a r i) L a h a n K o n tr o l L a h a n P e r la k u a n H o r iz o n ta l L a h a n K o n tr o l 100 45 L a h a n P e r la k u a n V e r tik a l L a h a n P e r la k u a n H o r iz o n ta l 90 L a h a n P e r la k u a n V e r tik a l 40 70 J u m la h D a u n T in g g i T a n a m a n ( c m ) 80 35 30 25 60 50 40 20 30 15 20 10 10 30 40 50 60 70 80 30 40 U m u r T a n a m a n ( H a r i) 50 60 70 80 U m u r T a n a m a n ( H a r i) Gambar-4 pertumbuhan tanaman kentang meliputi lebar daun, diameter daun, tinggi tanaman, dan jumlah daun. Secara umum pertumbuhan tanaman kentang dengan perlakuan paparan bunyi frekuensi 3000 Hz lebih bagus dibandingkan dengan tanaman control yang tanpa perlakuan bunyi. Pada umur tertentu pertumbuhan tanaman perlakuan lebih bagus dibandingkan dengan tanaman kontrol namun setelah mendekati usia panen tanaman kontrol justru menunjukkan pertumbuhan yang lebih bagus dan ini yang mengindikasikan bahwa tanaman perlakuan lebih cepat panen dibandingkan tanaman kontrol. Pada usia menjelang panen tanaman kontrol masih menujukkan tahap pertumbuhan sedangkan tanaman perlakuan sudah matang untuk siap dipanen. Hasil Penelitian pengukuran sebaran Taraf Intensitas Bunyi menunjukkan hasil panen yang berbeda-beda tiap bedeng. Gambar-5 berupa diagram batang dengan pertumbuhan tanaman tiap bedeng ditunjukkan oleh tinggi batang dan sumbu y merupakan taraf intensitas bunyi yang terukur. 440 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 0 -5 L a h a n k o n tr o l -1 0 L a h a n p e r la k u a n -1 5 600 -2 5 550 -3 0 500 -3 5 m a s s a k e n ta n g ( g r a m ) T a r a f In te n s ita s ( d B ) -2 0 -4 0 -4 5 -5 0 -5 5 -6 0 -6 5 -7 0 -7 5 450 400 350 300 250 200 150 100 -8 0 50 10 20 30 40 -5 0 5 10 15 B edeng ke- 20 25 30 35 40 45 50 bedeng ke- Gambar-5 Taraf Intensitas Bunyi yang diterima tanaman setiap bedeng untuk pertumbuhan Diperoleh kesimpulan bahwa untuk Pertumbuhan tanaman kentang terbaik terdapat pada taraf intensitas bunyi dengan range interval antara 55 s/d 86 dB. Sedang untuk produktivitas tanaman setiap bedeng dapat dilihat dalam gambar-6 dengan hasil optimal pada range interval 65 s/d 81 dB. 0 -1 0 -2 0 L a h a n k o n tr o l L a h a n p e r la k u a n -4 0 600 550 -5 0 500 -6 0 m a s s a k e n ta n g ( g r a m ) T a r a f In te n s ita s ( d B ) -3 0 -7 0 -8 0 -9 0 -1 0 0 450 400 350 300 250 200 150 100 -1 1 0 50 5 10 15 20 25 30 35 -5 B edeng ke- 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 bedeng ke- Gambar-6 Penyebaran Taraf Intensitas bunyi untuk produktivitas tanaman tiap bedeng Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh taraf intensitas bunyi dengan frekuensi 3000 Hz terhadap pertumbuhan dan produktivitas pada tanaman kentang dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Pertumbuhan tanaman kentang terbaik terdapat pada taraf intensitas bunyi dengan range interval antara -55 s/d -86 dB 2. Produktivitas tanaman kentang terbaik terdapat pada taraf intensitas bunyi dengan range interval antara -65 s/d -81 dB. Penutup 1. Diperlukan perhitungan kecepatan dan arah angin saat pemaparan sumber bunyi sehingga ketepatan pengukuran Taraf Intensitas Bunyi pada setiap bedeng lebih akurat 2. Sebaiknya digunakan lahan dengan space lebih terbuka sehingga tidak ada pantulan bunyi dari bukit atau lereng pegunungan yang kemudian menghasilkan interferensi bunyi sehingga mempengaruhi akurasi pengukuran Taraf Intesitas Bunyi setiap bedeng. 441 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Hasil penelitian ini oleh peneliti akan digunakan untuk penelitian lanjutan yaitu menentukan desain teknologi sumber bunyi sehingga parameter besaran fisis baik frekuensi maupun Taraf Intensitas bunyi dapat terpapar pada lahan pertanian dalam distribusi lingkaran sehingga produksi tanaman lebih bagus. Daftar Pustaka Collins, Mark R. (2001). ‘Spawning aggregations of recreationally important Sciaenid Species in the Savannah Harbour : Spotted Seatrout Cynoscion Nebulosus, Red Drum Sciaenops Ocellatus, Weakfish Cynoscion Regalis, and Black Drum Pogonias cromis’, Callahan Bridget M., and Post William C., Final Report to Georgia Port Authority, South Carolina Department of Natural Resources, Marined Resources Research Institute. Coghlan A. (1994). Good vibrations give plants excitations; New Scientist. 28 May. p10. Iriani E. (2004), Verifikasi dan pemantapan teknologi sonic bloom pada cabai di Temanggung dan padi gogo di Blora, BPTP Jawa Tengah, dan lain-lain. Institute in Basic Life Principles, (Aug_ 2000, Vol) XV71; TLC for Plants, Canada's leading gardening magazine, Spring 1991, Super Memory, The Revolution, 1991, World Watch, May-June 1993, Windstar Foundation, Llewellyn's Lunar Gardening Guides, 1993-1994 "Sonic Bloom Creation Up Close", Acres U.S.A., A voice for Eco-Agriculture, 1985 - 1998, Oliver, Paul .(2002). Sonic Bloom: Music to plants ‘stomata’? Countryside and Small Stock Journal,. Vol. 86, no. 4 July/Aug, pp.72-74 Haskell, P. T. (1964). ‘Sound Production’, The Physiology of Insecta, Vol. 1, Academic Press, Inc., New York, pp. 563-608. Haskell, P. T. (1966). ‘Flight Behavior’, Insect Behaviour, Roy, Entomol, Soc., London Symposium 3, pp. 29-45. Hirose, A. & Lonngren, K.E. (1985). Introduction to Wave Phenomena. NewYork: John Willey & Sons. Jones, J. C. (1968). ‘The Sexual Life of a Mosquito’, T. Eisner and E. O. Wilson, The Insect Scientific American, 1977, W. H. Freeman and Company, Publisher, San Francisco, pp. 71-78. Kaminski, P (1995). ‘The Five Flower Formula’, Flower Essence Services, Nevada City, CA Kartasaputra, A.G. (1998). Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan, tentang sel dan jaringan. Bina Aksara. Jakarta. Hal : 144 – 149 Lakitan, B. (1993). Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal : 58 – 60 Loveless, A.R. (1991). Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah tropik dari Principles of Plant Biology For The Tropics oleh Kuswara Kartawinata. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal : 118 – 160 Myrberg, A. A. (1981). 'Sound Communication and Interception in Fishes’, W. Tavolga, A. N. Popper and R.R. Fay, Hearing and Sound Communication in Fishes, Spring-Verlag, New York, pp. 395452 Mankin, W. Richard (1998), ‘Method of Acoustic Detection of Insect Pests in Soil’, McCoy, W. Clayton,Flanders, L. Kathy, Proceedings of Soil Science Society of America Conference on Agroacoustics, Third Symposium, Nov. 3-6, Buoyoucos, MS Mossop, Diana 1994, ‘ Look to the Vibration of Flowers for Peace of Mind, Happiness and Harmony’, Energy Harmoniser International, NY. Moulton, J. M. 1960. ‘Swimming Sounds and the Schooling of Fishes’, Biological Bulletin, 119, pp. 210-230. 442 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PRODUKSI BIOHIDROGEN, SUMBER ENERGI MASA DEPAN, DARI LIMBAH ORGANIK KULIT PISANG SECARA FERMENTASI ANAEROB Setyawati Yani, Takdir Syarif, Rismawati Rasyid Fakultas Teknologi Industri, Universitas Muslim Indonesia Makassar Abstrak Limbah organik yang berasal dari rumah tangga, industri dan pertanian bisa diolah untuk menghasilkan gas biohidrogen. Pada penelitian ini dipilih limbah kulit pisang yang mengandung karbohidrat untuk diproses secara fermentasi anaerob menjadi biohidrogen. Sebagai media bakteri hidrogenase dipilih lumpur selokan buntu dari perumahan Pampang Makassar Sulawesi Selatan. Fermentasi dilakukan dalam fermentor dengan berbagai variasi rasio massa limbah kulit pisang : lumpur : air dan variasi pH awal campuran. Gas yang terbentuk diukur volumenya dengan menggunakan flowmeter dan diukur komposisinya menggunakan gas analyser. Pada produksi biohidrogen dari substrat kulit pisang dan media bakteri lumpur selokan kondisi optimum dicapai pada rasio limbah : lumpur : air yaitu 2:1:2 dan pada pH 5. Limbah lumpur sisa fermentasi memiliki BOD,COD, dan TSS diatas ambang baku mutu lingkungan, sehingga perlu diolah lagi menjadi bahan lain yang bermanfaat, misalnya pupuk kompos. Kata kunci : bakteri hidrogenase, biohidrogen, fermentasi anaerob, limbah organik Pendahuluan Pengelolaan sampah, baik itu sampah yang berasal dari bahan-bahan anorganik maupun bahan organik yang dihasilkan dari rumah tangga, industri maupun pertanian, masih menjadi masalah nasional. Pengelolaan sampah dengan cara penumpukan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah bukanlah penyelesaian yang baik dari permasalahan sampah. Hal ini disebabkan dampak pencemaran sampah tersebut terhadap lingkungan sekitar TPA. Sudah saatnya sampah atau limbah dikelola sebagai sumber daya secara terintegrasi. Krisis energi sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Terobosan baru perlu dilakukan untuk menghasilkan energi yang tidak hanya tergantung dari energi fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam. Sekitar 80% kebutuhan energi di dunia tergantung dari bahan bakar fosil yang tak terbarukan sehingga akan habis pada masa yang akan datang. Kenaikan harga minyak bumi dunia yang semakin melambung juga sangat dirasakan membebani sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil, misalnya minyak bumi dan batubara, juga berpengaruh terhadap perubahan iklim secara global akibat emisi gas-gas seperti COx, SOx, NOx dan berbagai komponen organik yang dihasilkan selama proses pembakaran (Zhang and Yani 2011). Hidrogen dapat dipandang sebagai salah satu sumber energi masa depan terbarukan, karena dapat diperoleh dari sumber terbarukan seperti bahan organik, memiliki nilai kalor yang tinggi yaitu sekitar 122 kJ/g dan pada proses pembakaran tidak menghasilkan gas-gas yang berbahaya bagi lingkungan (Ming, Youcai and al 2008). Hidrogen umumnya dihasilkan dari proses perengkahan gas alam (steam reforming), gasifikasi batubara dan elektrolisa air. Namun pembuatan hidrogen dengan cara tersebut sangat 443 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tidak ekonomis karena memerlukan energi yang tinggi serta pada proses pembuatannya terkadang tidak ramah lingkungan (Das and Veziroglu 2001). Hidrogen bisa diproduksi dari limbah organik secara kimia, elektrokimia maupun biologi. Gas hidrogen yang dihasilkan dari bahan organik tersebut dikenal dengan istilah biohidrogen. Proses biologi memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses yang lain karena bisa dioperasikan pada suhu ambien dan tekanan atmosferis. Produksi biohidrogen dari bahan organik bisa dilakukan dengan proses fotolisis dengan bantuan bakteri fotosintetis maupun secara fermentasi dengan bantuan bakteri non-aerob. Proses pembuatan hidrogen secara fermentasi nonaerob masih kurang mendapat perhatian padahal proses fermentasi ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses fotolisis, misalnya bakteri-bakteri fermentasi dapat menghasilkan hidrogen di sepanjang waktu tanpa tergantung cahaya, tingkat produksi hidrogen yang cukup tinggi serta bakteri fermentasi memiliki tingkat perkembangbiakan yang cukup tinggi sehingga pasokan mikroorganisma dalam proses produksi bisa terpenuhi (Das and Veziroglu 2001). Jenis-jenis bakteri yang bisa digunakan untuk menghasilkan biohidrogen dari sampah organik secara fermentasi non-aerob antara lain : Enterobacter aeogenes, Enterobacter cloacae, Clostridium butyricum, Clostridium pasteurianum, Desulfovibrio vulgaris, Magashaera elsdenii, Citrobacter intermedius dan Escheria coli (Lay, Lee et al. 1999; Das and Veziroglu 2001; Vijayaraghavan, Ahmad et al. 2006). Pada proses fermentasi non-aerob untuk menghasilkan biohidrogen, bisa menggunakan mikroorganisma dalam keadaan kultur murni (pure culture) maupun bisa menggunakan media yang bisa menghasilkan mikroorganisma tersebut. Lumpur aktif dan tanah adalah media yang baik sebagai tempat tumbuh bakteri hidrogenase. Lay et al (Lay, Lee et al. 1999) melakukan studi kelayakan untuk produksi biohidrogen dari sampah kota organik secara fermentasi. Dua macam sumber mikroorganisma penghasil hidrogen digunakan dalam penelitian ini, yaitu lumpur yang dihasilkan dari proses pemeraman limbah padat secara non-aerob dan bakteri penghasil hidrogen dari silo penampung kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampah kota memungkinkan untuk diolah menjadi biohidrogen dan gas metana tidak diperoleh dalam jumlah yang signifikan. Limbah organik yang cukup melimpah di Indonesia adalah kulit pisang. Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya, yaitu kira-kira 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas. Pada umumnya kulit pisang ini belum dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai sampah (Munadjim, 1983). Pada penelitian ini dipelajari kondisi optimum untuk proses produksi gas biohidrogen dari limbah kulit pisang dengan bakteri hidrogenase yang terdapat pada lumpur selokan buntu dari kampung Pampang Makassar. Metode Penelitian Bahan Limbah organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang yang dikumpulkan dari pasar tradisional Tammamaung yang berada di dekat kampus Universitas Muslim Indonesia Makassar. Sebagai media bakteri penghasil hidrogen digunakan lumpur yang diperoleh dari selokan yang tidak mengalir (buntu) dari kampung Pampang, Makassar. Selain bahan utama tersebut digunakan aquades sebagai pelarut, Asam khlorida dan Natrium hidroksida sebagai bahan pengatur pH. 444 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Alat Rangkaian alat utama yang digunakan dalam penelitian pembuatan biohidrogen dari sampah organik secara fermentasi non-aerob dapat dilihat pada gambar 3. 1 2 Keterangan: 1 = Fermentor 2 = Flow meter Gambar 1. Rangkaian alat produksi biohidrogen dari sampah organik secara fermentasi anaerob Cara Kerja dan Analisis Sampah organik dipersiapkan dengan melakukan pengecilan ukuran. Kemudian sampah tersebut dicampur dengan lumpur dan aquades dengan perbandingan tertentu (Rasio limbah organik : lumpur : air). Campuran tersebut dimasukkan kedalam fermentor. pH awal dari campuran diatur sesuai kondisi yang diinginkan. Fermentasi anaerob dijalankan untuk waktu tertentu. Gas yang terbentuk diamati melalui flowmeter dan komposisi gas hidrogen diukur menggunakan gas analyser. Bakteri yang terdapat di dalam lumpur selokan yang digunakan dianalisis. Lumpur sisa proses biohidrogenasi juga dianalisis kadar chemical oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), dan total suspended solid (TSS). Hasil dan Pembahasan Analisis kulit pisang dan lumpur got Kandungan karbohidrat pada kulit pisang cukup tinggi, yaitu sebesar 18,5% (Munadjim 1983). Analisis bakteri yang dilakukan terhadap lumpur Pampang menunjukkan bahwa dua jenis bakteri hidrogenase positif terdapat pada sampel yang dianalisis yaitu bakteri Escherichia coli dan Enterobacter sp. Peneliti terdahulu melaporkan bahwa gas biohidrogen tergenerasi dari proses fermentasi anaerob dari bahan organik yang mengandung selulosa dan karbohidrat dengan menggunakan media bakteri dari genus Enterobacter dan Escherichia coli (Das and Veziroglu 2001) Oleh karena itu, proses fermentasi anaerob antara limbah kulit pisang dengan bakteri yang terdapat dalam lumpur Pampang bisa menghasikan gas biohidrogen. Pengaruh rasio bahan baku pada produksi gas biohidrogen Proses fermentasi anaerob bahan organik untuk menghasilkan gas biohidrogen bisa terjadi jika bakteri hidrogenase dapat merombak sumber hidrogen yang terdapat dalam bahan organik dengan perbandingan yang tepat. Mula-mula, karbohidrat di dalam bahan organik akan mengalami 445 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta hidrolisis menjadi glukosa. Pada proses hidrolisis ini, bahan organik memerlukan adanya air. Setelah terhidrolisis, selanjutnya glukosa akan didegradasi oleh bakteri hidrogenase melalui reaksi sebagai berikut (Ren, et al. 2007): C6H 12 O 6  2 H 2 O  Bakteri   2 C 2 H 4 O 2  4 H 2  2 CO 2 ( R 1) Pada penelitian ini, dipelajari pengaruh rasio massa kulit pisang : lumpur : air yang menghasilkan gas biohidrogen yang paling baik. Hasil pengamatan generasi gas hidrogen sampai hari ke-5 fermentasi ditampilkan pada table 1. Dari table 1, terlihat bahwa generasi gas biohidrogen kurang optimum pada rasio 1:1:1, 1:1:2, dan 1:2:2. Kondisi yang paling baik tercapai pada rasio 2:1:2. Tabel 1. Produksi gas hidrogen maksimum untuk berbagai rasio kulit pisang : lumpur : air Rasio massa kulit pisang : lumpur : air Volum molar H2, l/mol 1:1:1 1:1:2 1:2:2 2:1:2 2648,2 3678,04 5092,68 33102,4 Pada penelitian ini, kondisi yang paling baik untuk menghasilkan biohidrogen dari limbah kulit pisang tercapai pada rasio 2:1:2. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Desvaux (2001), dilaporkan bahwa yield H2 dan tingkat degradasi bahan organik akan tergantung dari jumlah bahan organik yang mula-mula tersedia. Sumber hidrogen berasal dari karbohidrat dalam kulit pisang, sehingga hidrogen tergenerasi paling banyak ketika kulit pisang cukup tersedia untuk didegradasi. Air yang cukup diperlukan untuk melakukan degradasi karbohidrat menjadi asam asetat dan hidrogen. Dari persamaan reaksi R1 dapat dilihat bahwa secara teoritis untuk setiap 1 mol heksosa akan dihasilkan 4 mol biohidrogen, serta akan dihasilkan pula asetat dan karbon dioksida. Namun hasil stoikiometris teoritis ini sulit dicapai dalam penelitian diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya adalah bakteri yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari strain yang berbeda-beda (mixed culture). H2 yang terjadi bisa dipakai kembali oleh bakteri yang lain yang ada dalam system tersebut, sehingga produksi H2 tidak maksimal (Hallenbeck and Benemann 2002). Pengaruh pH pada produksi gas biohidrogen Tabel 2 Pengaruh pH awal terhadap produksi gas hidrogen maksimum pH awal Volum molar H2, l/mol 3 4 5 6 565,9 649,1 33102,4 22068,3 Dari Tabel 2 terlihat bahwa pembentukan gas H2 dipengaruhi oleh kondisi pH. Penelitian terdahulu juga melaporkan pengaruh pH terhadap optimalisasi produksi biohidrogen. Ferchichi 446 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mongi et al (2005) melaporkan bahwa pada fermentasi whey keju dengan menggunakan Clostridium saccharoperbutylacetonicum dengan variasi pH 5-10 mencapai hasil maksimum pada pH 6 sebesar 47,07 ml/jam/87,5% v/v kemudian produksi hidrogen menurun dengan meningkatnya pH. Pada penelitian mengenai fermentasi bonggol jagung dengan bantuan bakteri yang berasal dari kotoran panda kondisi optimum dicapai pada pH 5.5 dan suhu 36oC (Fan et al, 2008). Berdasarkan penelitian dari Vijayaraghavan et al (2006) pada proses fermentasi karbohidrat menjadi hidrogen, kondisi optimum diperoleh pada pH 5 – 6. Pada penelitian, hasil yang terbaik pada proses produksi biohidrogen tercapai pada pH 5. Pada pH 6, produksi biohidrogen masih cukup baik, tetapi pada pH 3 dan pH 4, produksi biohidrogen tidak signifikan. Dari pengamatan terhadap pH larutan, pH larutan untuk pH awal 5 dan 6 akan relatif konstan dari hari ke-1 hingga hari ke-5. pH larutan akan mengalami kenaikan pada hari ke-5, ketika pH naik generasi gas H2 mengalami penurunan. Jika pH diatas 7, maka proses hidrogenasi sudah tidak terjadi lagi, tetapi proses akan bergeser ke proses metanasi atau terbentuknya gas metana (Rao, et al. 2008). Jika pH terlalu rendah (3 dan 4), generasi gas hidrogen sangat kecil, hal ini kemungkinan karena pH yang sangat rendah adalah bukan suasana yang baik untuk tempat hidup bakteri hidrogenase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam pembentukan gas biohidrogen adalah kondisi pH. pH yang tepat untuk perkembangan bakteri hidrogenase dalam menghasilkan gas hidrogen harus dicapai, pada penelitian ini kondisi optimum tercapai pada pH 5. BOD, COD dan TSS lumpur sisa proses biohidrogenasi Hasil analisis nilai BOD, COD dan TSS ditampilkan dalam Tabel 3. Nilai ambang batas BOD yang diperkenankan sesuai dengan SK Gubernur Sulawesi Selatan no.14 tahun 2003 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industry maksimal 150 mg/l. Tingginya BOD yang terdapat dalam limbah cair proses biohidrogenasi tersebut mengakibatkan limbah sisa proses biohidrogenasi tidak dapat dibuang secara langsung ke lingkungan. Tabel 3 BOD,COD dan TSS lumpur sisa proses biohidrogenasi Material BOD, mg/l COD, mg/l TSS, mg/l Lumpur sisa proses 10940 27344 82900 Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini sedang dilakukan pengolahan limbah sisa proses biohidrogenasi menjadi pupuk kompos. Dengan demikian, diharapkan dapat dilakukan proses pengolahan limbah organik secara terintegrasi. Limbah organik diproses secara ferementasi anaerob menjadi biohidrogen, bahan bakar ramah lingkungan masa depan, sedangkan limbah sisanya diproses lebih lanjut menjadi pupuk kompos organik yang juga ramah lingkungan. Kesimpulan 1. Bakteri hidrogenase Enterobacter sp dan Escherichia coli positif terdapat di dalam lumpur selokan dari kampung Pampang, Makassar, Sulawesi Selatan. 447 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Kondisi optimum produksi biohidrogen secara fermentasi anaerob dari limbah kulit pisang sebagai substrat dan lumpur selokan sebagai media bakteri optimum pada pH 5 dan rasio kulit pisang : lumpur : air yaitu 2 : 1 : 2. Volume gas hidrogen mencapai 33102,4 l/mol. 3. Lumpur sisa proses biohidrogenasi diolah lebih lanjut menjadi pupuk kompos. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditlitabmas DIKTI yang telah membiayai penilitian ini melalui skim Hibah Bersaing tahun anggaran 2011-2012. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sukmawati dan Padiana Munir, mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Muslim Indonesia yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian ini. Daftar Pustaka Das, D., and T. N. Veziroglu. “Hydrogen production by biological processes : a survey of literatur.” International Journal of Hydrogen Energy, 2001: 13-28. Desvaux, M., E. Guedon, and H. Petitdemange. “Metabolic flux in cellulose batch and cellulose-fed continous cultures of Clostridium cellulotyticum in response to acidic environment.” Microbiology, 2001: 1461-1471. Fan, Y.-T, and Y Xing. “Enhanced cellulose-hydrogen production from corn stalk by lesser panda manure.” International Journal of Hydrogen Energy 33 (2008): 6058-6065. Fang, H. and H. Liu. “Effect of pH on hydrogen production from glucose by a mixed culture.” Bioresourc Technol, 2002: 87-93. Ferchichi Mongi, et al. “Influence Of Initial pH on Hydrogen Production From Cheese Whey.” Journal of Biotechnology, 2005: 402-409. Hallenbeck, P.C., and J.R. Benemann. “Biological hydrogen production: fundamentals and limiting processes.” Int J Hydrogen Energy, 2002: 1185-1193. Lay, J.-J., Y.-J. Lee, et al. “Feasibility of biological hydrogen production organic fraction of municipal waste.” Wat.Res, 1999: 2579-2586. Ming, L., Z Youcai, and et al. “Bio-hydrogen production from food waste and sewage sludge in the presence of aged refuse excavated from refuse landfill.” Renewable Energy, 2008: 25732579. Munadjim. Teknologi Pengolahan Pisang, Gramedia, Jakarta. Jakarta: PT Gramedia, 1983. Rao, A.G., et al. “Biomethanation of poultry litter leachate in UASB reactor coupled with ammonia stripper for enhancement of overall performance.” Bioresource Technology, 2008: 86798684. Ren, Z., T.E. Ward, B.E. Logan, and J.M. Regan. “Characterization of the cellulotic and hydrogenproducing activities of six mesophilic Clostridium species.” Journal of Applied Microbiology, 2007: 2258-2266. Vijayaraghavan, K., D. Ahmad, et al. “ Biohydrogen generation from jackfruit peel using anaerobic contact filter.” International Journal of Hydrogen Energy, 2006: 569-579. Zhang, Dongke, and Setyawati Yani. “Sulphur Transformation during Pyrolysis of An Australian Lignite.” Proc.Comb.Inst., 2011. 448 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta STUDI KOMPARASI HASIL UKUR KEDALAMAN GERUSAN SEKITAR PILAR DI TIKUNGAN BERDASARKAN RUMUS EMPIRIS TERHADAP HASIL UKUR DARI EKSPERIMEN DENGAN METODE PENGUKURAN REALTIME Suyitno Hadi Putro Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Rumus empiris yang digunakan untuk memprediksi gerusan lokal di sekitar pilar umumnya menggunakan rumus empiris di daerah aliran lurus. Tujuan utama studi ini adalah untuk mengkaji kebenaran rumus empiris yang selama ini dipakai untuk memprediksi gerusan lokal di sekitar pilar di tikungan. Apabila rumus tersebut hasilnya tidak sesuai dengan hasil eksperimen, maka rumus tersebut akan dilakukan perubahan sesuai hasil eksperimen. Metode penelitian menggunakan modek fisisk/ eksperimen dan research and development o (R&D). Pilar dipasang di titik 2 pada sudut 22,5 tikungan, dengan menggunakan debit aliran Q = 43,620 lt/detik. Kedalaman aliran di flum dibatasi 2,9 < b/D < 6,06, karena keterbatasan lebar flume. Flume yang dipakai lebar 0,780 m dan tinggi 0,60 m menggunakan fiber glas. Persyaratan agar terjadi transport sedimen, maka kecepatan aliran U* > U* kritis dan butiran mulai bergerak. Sifat aliran dengan debit rancangan adalah turbulent yang ditandai dengan besaran bilangan Froude Number (Fr) lebih dari 1 dan bilangan Reynold Number (Re) > 600. Pilar yang digunakan pilar segi empat, dimensi 100mm/51.25mm dan L/b =1.95. Dasar saluran digunakan material 3 pasir K. Progo yang mempunyai berat jenis rata-rata 2,65 t/m , d rerata = 0,43 mm, dan landai saluran I = 0,012. Alat ukur gerusan lokal digunakan KOOREFHIDSU TIPE 231109 Nomor Paten P00201000474 dan elevasi air Nomor Paten P00201100159 yang dirancang khusus untuk pengukuran saat air mengalir. Rumus empiris yang akan dibandingkan adalah rumus (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). Hasil studi didapatkan bahwa gerusan terdalam didapatkan pada titik 2 ( lokasi di sudut o 22,5 ) untuk pilar segi empat. Pilar segi empat adalah pilar bentuk segi empat diameter =51,25/100 mm, L/b=1.95. Pada variasi Q-I besarnya laju perkembangan gerusan lokal sebesar 0.782 mm/detik dengan kedalaman total (ys) sebesar 93.1 mm dan terjadi pada running ke 6. Kejadian ini lebih memberikan pemantapan bahwa selama 1:59 jam (119 menit ) telah terjadi proses penggerusan yang cukup. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruse W. Melville (1999) bahwa kedalaman gerusan lokal adalah fungsi waktu. Besarnya kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar jembatan hasil eksperimen adalah 0,119 m. Hasil analisis secara teori seperti berdasarkan rumus (a) A.J Raudkivi (1991) hasil empiris berdasarkan rumus 0.146 m, mendapatkan koefisien sebesar 0,82, (b) Graf (1998) hasil empiris berdasarkan rumus 0.142 m, mendapatkan koefisien sebesar 0,84, (c) Maynard (1996) hasil empiris berdasarkan rumus 0.1006 m, mendapatkan koefisien sebesar 1,183, (d) Thorne (1988) hasil empiris berdasarkan rumus 0.186 m, mendapatkan koefisien sebesar 0,64, dan (e) Melville (1997)dan Coleman (2000) hasil empiris berdasarkan rumus 0.211 m, mendapatkan koefisien sebesar 0,56. Sehingga persamaan / rumus (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000) berubah seperti dalam Tabel 2. Hasil pengukuran kedalaman gerusan lokal berdasarkan teori lebih dalam dibanding dengan hasil pengukuran gerusan lokal hasil eksperimen kecuali untuk persamaan Maynard (1996). Koefisien rerata 0,8086 yang berarti kedalaman gerusan lokal hasil eksperimen (± 80,86%) dari hasil prediksi berdasarkan rumus empiris /teori. Hasil ini sesuai dengan pendapat Lu, dkk (2008) bahwa persamaan gerusan menunjukkan bahwa kebanyakan persamaan empiris untuk memprediksi kedalaman gerusan lokal sekitar pilar terlalu tinggi. Rekomendasi hasil penelitian ini masih perlu dikaji lebih mendalam baik parameter dan posisi titik lainnya untuk studi kedalaman gerusan sekitar pilar lainnya. 449 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pendahuluan Proses gerusan lokal sekitar pilar di aliran sungai merupakan permasalahan yang komplek. Perencanaan kedalaman pondasi jembatan biasanya lebih ditekankan pada peletakan pondasi pada tanah yang daya dukungnya sesuai yang diinginkan, serta memperhatikan pengaruh pilar ( bentuk, dimensi dan peletakan), pengaruh aliran (kecepatan, kedalaman, dan sudut datang), pengaruh butiran material dasar. Perencana umumnya tidak memperhatikan perubahan pola aliran yang terjadi secara pereodik. Perubahan morfologi sungai biasanya diikuti dengan perubahan karakteristik sungai,, termasuk pola aliran secara dinamis interaksi antara struktur dan aliran sungai serta mempengaruhi angkutan sedimen di sekitar pilar jembatan yang merupakan gerusan lokal (local scouring). Gerusan lokal sekitar pilar jembatan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang akan membahayakan konstruksi bangunan keairan. Analisis gerusan lokal di sekitar pilar jembatan masih menekankan pada prediksi kedalaman maksimum yang mungkin terjadi dari gerusan lokal. Proses gerusan lokal ini perlu dikaji secara terus menerus dari waktu ke waktu selama pengaliran. Dalam penelitian ini akan mengungkap permasalahan gerusan lokal di sekitar pilar jembatan dengan berbagai variasi yang mungkin terjadi dilapangan. Persamaan gerusan lokal yang ada sekarang digunakan adalah persamaan empirik berdasarkan dari hasil eksperimen laboratorium. Hasil kedalaman gerusan maksimum diukur pada kondisi setelah eksperimen selesai (final condition). Proses gerusan lokal adalah proses dinamik interaksi antara arus, turbulensi akibat pilar, gerusan, material dasar sungai, sorting dan sedimen, yang kompleks. Kondisi yang demikian, kedalaman gerusan dari waktu ke waktu (time to time ) selama proses aliran banjir sangat urgent untuk di deteksi lebih detail. Proses penggerusan sangat dimungkinkan adalah kedalaman gerusan lokal yang maksimum tidak tercapai pada akhir proses, tetapi justru terjadi pada suatu waktu tertentu selama proses gerusan. Untuk itu diperlukan penelitian dinamika /proses gerusan lokal di sekitar pilar jembatan, sehingga proses gerusan lokal dapat diketahui dan dipelajari dengan baik. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dikembangkan suatu sistem alat ukur yang mampu memonitor ( automatic recording ) kedalaman dasar sungai secara progressive selama proses penggerusan. Kebutuhan alat ukur dalam penelitian gerusan lokal di tikungan, maka dikembangkan ( dibuat alat ) yaitu alat pengukur gerusan dasar sungai (model flume) yang pengukurannya saat air mengalir. Alat ukur perubahan dasar sungai (model flume) ini dinamakan KOOREFHIDSU TIPE 231109 ( Koordinat Referensi Hidraulik Sungai ) yaitu robot untuk memonitor perubahan elevasi dasar flume pada koordinat titik pengaruh hidrolik sungai. Sedangkan alat ukur perubahan elevasi muka air menyatu dengan KOOREFHIDSU TIPE 231109 yaitu koordinat titik elevasi muka air hidrolik sungai. Kedua sensor alat ukur ini telah di daftarkan hak paten No. P00201000474 tanggal 30 Juli 2010 yang berisikan koordinat titik dasar sungai dan koordinat titik elevasi muka air secara otomatis real time. Pengambilan data elevasi perubahan dasar di flume dan juga pengambilan data elevasi muka air mengalir pada koordinat tertentu untuk keduanya dan dikirimkan ke data storage untuk dicatat dan disimpan bersamaan. Selain alat di atas masih satu alat lagi yang dibuat, yaitu alat ukur kecepatan aliran diberi nama CURMETBAL TIPE 15 ( current meter baling-baling ) yang dapat mengukur kecepatan aliran cukup rendah sampai 15 cm/detik pada ketinggian yang cukup rendah dengan menggunakan penggerak baling-baling. Model alat masih menggunakan sistem kontak, digital dan masih diperlukan pendataan langsung ( manual) belum tersimpan otomatis. Alat ukur 450 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kecepatan aliran CURMETBAL TIPE 15 ( current meter baling-baling ) juga telah terdaftar di HKI dengan No. P00201000476 tanggal 30 Juli 2010 . Alat ini untuk jangka panjang akan menyatu dengan KOOREFHIDSU TIPE 231109 dan secara otomatis realtime diletakan pada koordinat yang sama. Penelitian gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan selama ini menggunakan persamaan gerusan lokal di bagian aliran lurus. Untuk kepentingan penelitian ini akan ditemukan besarnya koefisien kedalaman gerusan lukal untuk tikungan. Didasarkan atas uraian di atas, timbul pemikiran untuk mencari alternatif pemacahan masalah. Masalah yang ada dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa besar kedalaman gerusan lokal ( local scouring ) dasar sungai yang terjadi di sekitar pilar jembatan pada alur sungai/ saluran/ flume yang berbelok /tikungan menggunakan alat ukur KOOREFHIDSU TIPE 231109 dan Alat ukur kecepatan aliran CURMETBAL TIPE 15 untuk mengukur gerusan lokal disekitar pilar jembatan, dan proses terjadinya gerusan lokal untuk pilar segi empat, dimensi 120mm/50mm dan L/b =2,4 pada aliran turbulen? 2. Berapa koefisien kedalaman gerusan berdasarkan rumus empiris : (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). Berdasarkan latar belakang, rumusan, dan batasan masalah , maka penelitian ini mempunyai bertujuan: 1. Menganalisis kedalaman gerusan lokal maksimum sekitar pilar jembatan di tikungan terhadap gerusan lokal berdasarkan rumus empiris yang digunakan di tikungan, yaitu: (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). 2. Mengetahui besarnya koefisien pengukuran hasil eksperimen terhadap rumus empiris yang disebut di atas (1). Penelitian yang dilakukan ini suatu kajian tentang gerusan lokal di sekitar pilar jembatan dengan bentuk segi empat yang dipengaruhi fenomena hidraulik akan memberikan manfaat yang cukup besar antara lain adalah : 1. Dapat menemukan besarnya kedalaman gerusan lokal maksimum riil sekitar pilar jembatan di tikungan secara realtime saat air mengalir. 2. Memberi besaran koefisien pada rumus empiris : (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). Dasar teori Beberapa review hasil penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan relevansi penelitian yaitu PROSES GERUSAN LOKAL DASAR SUNGAI SEKITAR PILAR JEMBATAN DI TIKUNGAN ini antara lain: Melville, Coleman, dan Priestley (2006) dalam penelitiannya Local Scour at Complex Piers, Proceeding ASCE menyatakan bahwa : Sebuah metodologi untuk memprediksi kedalaman gerusan lokal sangatlah rumit, banyak parameter relatif dari komponen-komponen yang kompleks dan proses transisi yang terjadi untuk berbagai perubahan kedalaman (pengendapan- erosi). Untuk tujuan desain, masing-masing metode menyoroti pengendapan dan erosi untuk menghindari bahaya gerusan lokal adalah dengan meminimalkan turbulensi di pilar jembatan. 451 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Subbash C.,Jain M. and Edward E., Fischer, A. M.(1980) dalam penelitiannya Scour Around Bridge Piers at High Flow Velocities, menyatakan bahwa parameter utama dalam mengkaji gerusan lokal adalah bentuk pilar bundar, material dasar menggunakan d50 , variasi pada kecepatan aliran. Hasil yang didapatkan adalah seperti berikut : bahwa jika terjadi pengangkutan sedimen di dalam aliran tidak akan terjadi lagi penambahan kedalaman gerusan karena telah terjadi keseimbangan dinamis dan kedalaman adalah maksimum. Bertambahanya kedalaman gerusan sejalan dengan bertambahnya kecepatan yaitu bilangan Froude (Fr) >1 aliran sampai dimulainya pergerakan sedimen. Lu Deng and C. S. Cai (2009), dalam penelitiannya Bridge Scour: Prediction, Modeling, Monitoring, and Countermeasures, menyatakan bahwa : Scour (gerusan ) adalah salah satu penyebab utama kegagalan jembatan. di Amerika Serikat, kegagalan cenderung terjadi tiba-tiba tanpa peringatan sebelumnya dan sangat sulit untuk memantau selama kejadian banjir. Model Numerik dan model laboratorium digunakan untuk penelitian jembatan. Selain itu, eksperimen laboratorium dan uji lapangan perlu dilakukan untuk penelitian jembatan. Beatrice E. Hunt (2005) memperkuat pernyataan Lu Deng and C. S. Cai (2009) dalam penelitiannya Establishing a Scour Monitoring menyatakan bahwa : salah satu penyebab paling umum bencana kegagalan jembatan disebabkan suatu fenomena streambed yang mendukung substruktur jembatan yang terkikis oleh aliran sungai. Kegagalan jembatan disebabkan oleh aliran sungai. Fokus dari penelitian ini adalah memastikan keselamatan jembatan dengan model program monitoring. Program ini terdiri dari pengumpulan data, analisis data, dan menetapkan sebuah prosedur yang harus diikuti. Kasus penelitian adalah kejadian kerusakan jembatan yang lalu/ yang telah terjadi bersifat evaluasi. Tahapan program monitoring terdiri dari analisis teoritis kerentanan jembatan, analisis stabilitas suatu substruktur, penentuan kedalaman kritis, analisis berbagai alternatif penanggulangan, desain dan rencana tindakan. Biasanya survei terjadi pada interval waktu hingga lima tahun, dan program monitoring ini sepanjang dua puluh empat jam untuk memonitor streambed (aliran /angkutan sedimen material dasar sungai), dan mengirimkan data real-time guna menilai keamanan struktur jembatan. Sampel penelitian tiga jembatan di South Shore of Long Island, New York, dan Woodrow Wilson Jembatan di atas Sungai Potomac di Washington, DC. Subhasish Dey dan Rajkumar V. Raikar (2007), yang berjudul Characteristics of Horseshoe Vortex in Developing Scour Holes at Piers dalam eksperimenya tentang perkembangan terjadinya keseimbangan gerusan lokal untuk aliran turbulen di pilar silinder diukur dengan Doppler Akustik Velocimeter (ADV). Dalam eksperimen menggunakan pilar bulat diameter 0,12 m, kedalaman aliran bervariasi. Tujuan utama penelitiannya adalah untuk menganalisis evolusi karakteristik aliran turbulen pada terjadinya gerusan lokal. Percobaan dilakukan untuk aliran yang tak terganggu memiliki kedalaman aliran = 0,25 m, kecepatan aliran 0,357 m/s, butiran material dasar sungai seragam. Sebagai pembanding digunakan pilar segi empat dengan tebal yang sama 0,12m menghadap aliran. Hasil yang didapatkan adalah pada saat terjadinya keseimbangan yang didasarkan pada kecepatan kritis bentuk kontur kecepatan dan lubang gerusan lokal dari waktu ke waktu hampir sama. Pada kondisi ini diameter material dasar rata-rata 0,81mm. Evolusi karakteristik dari aliran pada vortek hubungannya dengan downflow ke kondisi ekuilibrium lubang gerusan,dan tegangan geser yang terjadi ditentukan dari stres Reynolds distribusi. 452 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta B. Ataie-Ashtiani dan A. A. Beheshti (2006), dalam penelitiannya berjudul Experimental Investigation of Clear-Water Local Scour at Pile Groups menyatakan bahwa data dari penelitian ini dan beberapa percobaan laboratorium dari karya-karya sebelumnya digunakan untuk menurunkan faktor koreksi untuk memprediksi kedalaman gerusan lokal maksimum untuk kelompok pilar. Dua persamaan terkenal yang digunakan untuk analisis gerusan lokal, yaitu: Federal Highway Administration, Hydraulic Teknik Edaran No 18, HEC-18 oleh Richardson dan Davis pada (2001) dan persamaan oleh Melville dan Coleman (2000). Prediksi lubang gerusan lokal berdasarkan koreksi menggunakan kedua persamaan tersebut, untuk sekarang B. Ataie-Ashtiani dan A. A. Beheshti (2006) setuju / memilih metode dengan pengamatan langsung. Pengamatan langsung terpilih karena parameter yang tak diperhitungkan, secara langsung telah masuk dalam perhitungan hasil yang dilakukan. Lu, dkk (2008), dalam penelitiannya Field Measurements and Simulation of Bridge Scour Depth Variations during Floods menyatakan bahwa : Mekanisme selama banjir di sungai fluvial sangat penting bagi jembatan. Data gerusan lokal yang dapat diandalkan untuk jembatan pada saat peristiwa banjir sangat terbatas. Dalam studi ini, percobaan lapangan dilakukan di Si-Lo Jembatan di hilir Sungai Cho-Shui, sungai terpanjang di Taiwan, untuk mengumpulkan data gerusan menggunakan sliding magnetic collar, a steel rod, and a numbered-brick column. Metodologi menggunakan model simulasi temporal dari total kedalaman gerusan yang terdiri tiga komponen yang diteliti, yaitu : gerusan umum, kontraksi, dan gerusan lokal berdasarkan aliran puncak selama banjir dan aliran unsteady, perbandingan kedalaman gerusan lokal dihitung menggunakan beberapa ekuilibrium umum yang digunakan dan hasilnya adalah : bahwa persamaan gerusan menunjukkan bahwa kebanyakan persamaan menaksir terlalu tinggi untuk kedalaman gerusan lokal dan perlu dikaji lebih mendalam. Giuseppe Oliveto and Willi H. Hager (2005), Further Results to Time-Dependent Local Scour at Bridge Elements, menyatakan : penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan keterbatasan persamaan gerusan lokal, berdasarkan data yang dikumpulkan diperluas laboratorium di VAW, Zurich, Swiss. Penelitian yang sekarang berkaitan dengan hal- hal seperti : (1) dimensi laboratorium minimum yang diperlukan untuk menerapkan Froude ; (2) efek miring; (3) efek aliran dan terutama dari sudut pandang eksperimen dan pendekatan hidrolik. Hasil penelitian yang dilakukan diketemukan adalah perlu ditetapkan keterbatasan seperti partikel material dasar sungai, bilangan Froude, dan ambang batas bilangan Froude, serta parameter penting lainnya yang mempengaruhi laju kedalaman gerusan local. Xibing S. Dou, and J. Sterling Jones (2004) dalam penelitiannya A New Sediment Transport Formula for Local Scour Prediction, Proceeding ASCE menyatakan bahwa: Model numerik telah dikembangkan untuk mensimulasikan aliran tiga dimensi di sekitar penghalang, seperti tiang-tiang pilar jembatan. Untuk memprediksi hasil penelitian gerusan sekitar pilar/ tiang dikembangkan berdasarkan persamaan transportasi sedimen yang telah tersedia. Kemampuan model numerik untuk memprediksi gerusan daerah sekitar pilar jembatan itu sangat terbatas oleh rumus-rumus angkutan sedimen. Penelitian ini menggambarkan efektifitas, baru taraf Kapasitas Transportasi Endapan (Sediment Transport Capacity) rumus yang menjelaskan faktor-faktor yang mendominasi arus diving (factors-diving currents), pusaran kuat dan turbulensi tinggi yang mencirikan proses gerusan lokal. Koefisien untuk tambahan berasal dari data eksperimen laboratorium fisik dan 453 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menjadi nol saat tidak ada obstruksi aliran. Artinya bahwa persamaan baru dapat digunakan untuk gerusan umum dan gerusan lokal ketika dimasukkan ke dalam aliran numerik yang dapat diandalkan sebagai model. Persamaan baru telah diuji terhadap hasil model fisik yang independen dan diterapkan pada sebuah studi skala penuh. Hasil dari studi ini menyajikan suatu analogi antara Kapasitas Transportasi Endapan (Sediment Transport Capacity) dan Stream Power dan menunjukkan bahwa mereka secara langsung berhubungan. Efektifitas dan Kapasitas Angkutan Sedimen diperlukan untuk memprediksi gerusan lokal dengan model numerik, Power Stream yang efektif diperlukan untuk menganalisis gerusan lokal dengan metode empiris. Mengkaji hasil penelitian di atas, maka dapat diringkas seperti berikut : 1. Kedalaman gerusan lokal sulit diprediksi karena sangat rumit, banyak parameter dan proses transisi yang terjadi untuk berbagai perubahan baik pengendapan maupun erosi dasar. Harus dihindari proses pengendapan dan erosi sehingga dapat meminimalkan gerusan lokal di jembatan. 2. Gerusan dasar sekitar pilar jembatan salah satu penyebab utama kegagalan jembatan. 3. Kegagalan cenderung terjadi tiba-tiba tanpa peringatan sebelumnya dan sangat sulit untuk memantau selama kejadian banjir. 4. Model Numerik dan model laboratorium digunakan untuk penelitian gerusan sekitar pilar jembatan, namun hasil model numerik sangat terbatas dan hanya digunakan untuk simulasi berbagai parameter saja. 5. Perlu monitoring di sekitar pilar jembatan yang meliputi pengembangan dan pelaksanaan program pemantauan. 6. Mekanisme gerusan selama banjir di sungai fluvial sangat penting bagi jembatan. Jembatan yang datanya dapat diandalkan untuk penanganan gerusan lokal pada saat peristiwa banjir sangat terbatas. 7. Metodologi untuk simulasi variasi temporal untuk total kedalaman gerusan ada tiga komponen yang diteliti, yaitu gerusan umum, kontraksi, dan gerusan lokal ada kondisi aliran puncak selama banjir, perbandingan kedalaman gerusan lokal dihitung menggunakan beberapa ekuilibrium umum digunakan formula gerusan menunjukkan bahwa kebanyakan persamaan memprediksi terlalu tinggi untuk kedalaman gerusan lokal dan perlu dikaji lebih mendalam. 8. Persamaan gerusan lokal ditikungan sangat terbatas. Data yang dapat dikumpulkan diperluas di laboratorium. Penelitian umumnya berkaitan dengan empat hal: (a) dimensi laboratorium minimum yang diperlukan untuk menerapkan Froude ; (b) efek miring; (c) efek aliran. Item (a, b, c ) diteliti terutama dari sudut pandang eksperimen dan pendekatan hidrolik, (d) partikel densimetric, dan (e) parameter penting lainnya yang mempengaruhi laju kedalaman gerusan lokal. 9. Penelitian tiga dimensi gerusan lokal dieksplorasi dalam penelitian eksperimental ini untuk kondisi aliran tunak, termasuk kedalaman gerusan maksimum, yang streamwise geometri, dan lebar maksimum, kedalaman saluran maksimum , di dalam rencana bentuk tampilan, dan profil. Parameter yang disajikan dalam penelitian sebagai variabel, termasuk pendekatan bilangan Froude aliran densimetric, sudut datang, diameter pilar dan ketinggian di atas tailwater awalnya sedimen horisontal. 454 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 10. Ada satu model penelitian tiga dimensi yaitu menggunakan Model numerik telah dikembangkan untuk mensimulasikan aliran tiga dimensi di sekitar penghalang, seperti tiang-tiang pilar jembatan. Sebelumnya rumus – rumus transportasi sedimen yang tersedia digunakan untuk memprediksi gerusan umum di aliran yang terhalang. Kemampuan model numerik untuk memprediksi gerusan daerah sekitar pilar jembatan itu sangat terbatas. 11. Persamaan gerusan lokal sangat sedikit dan pada umumnya yang ada sekarang ini adalah persamaan gerusan lokal di bagian sungai yang lurus. Pemilihan letak jembatan umumnya didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan efektivitas, maka letak jembatan dipilih tegak lurus arah aliran sungai. Perubahan morfologi sungai dan pertimbangan khusus seperti arah jalan agar lurus sehingga di sekitar jembatan tidak tukungan, maka sudut arah jembatan tidak tegak lurus arah aliran sungai. Selain hal tersebut dapat juga terjadi bahwa arah jembatan tegak lurus arah aliran sungai namun hulu jembatan terjadi aliran belok artinya letak jembatan di tikungan. Banyak hal yang berkaitan dengan adanya jembatan yang terletak di tikungan alur sungai antara lain pengaruh radius tikungan, adanya kecepatan sekunder aliran, dan sudut dating aliran. Penelitian gerusan lokal di sekitar pilar jembatan ini menggunakan saluran tahan erosi (nonerodible), faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kecepatan maksimum, gaya tarik (tractive force), ukuran penampang (terbaik, efisien dan praktis) efisiensi hidrolika, jenis bahan, menentukan kekasaran ( koefisien kekasaran ), kemiringan dasar saluran, akan tetapi juga menyesuaikan kondisi dan kemampuan flume yang ada. Dalam penelitian gerusan lokal bilangan Froude perlu diperhitungkan. Hal ini terdapat hubungan antara diameter butir ( gradasi butir ) dengan Froude number. Untuk melakukan uji model fisik gerusan lokal di laboratorium secara umum masih kesulitan alat ukur yang dapat mengukur perkembangan gerusan dari waktu ke waktu. Penelitian gerusan disekitar pilar jembatan pada umumnya dilakukan dengan mengukur kedalaman maksimum gerusan lokal yang terjadi pada akhir eksperimen. Mekanisme terjadinya gerusan lokal di sekitar pilar jembatan dipengaruhi banyak parameter. Jika aliran dari debit kecil menjadi besar jelas karakteristik aliran sudah berpengaruh pada terjadinya gerusan lokal disekitar pilar jembatan, dan apabila debit dikecilkan sampai aliran betul-betul tidak ada maka proses gerusan dan kedalaman gerusan sudah tidak dapat dikatakan yang berpengaruh adalah debit yang besar tadi. Pengukuran semacam ini tidak menunjukan hasil ukur seperti yang diharapkan. Kondisi ini disebabkan belum dikembangkan alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kedalaman gerusan secara langsung sepanjang waktu/ sewaktu air mengalir. Perubahan dari aliran besar ke kecil sampai aliran mati atau sebaliknya dari debit aliran kecil ke debit aliran besar, terdapat perubahan perilaku aliran dan gerusan lokal yang dinamis mengakibatkan hasil ukur gerusan tidak sesuai dengan yang terjadi. Dari hasil telusur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah dilakukan melalui situs paten antara lain: (1) http: //www.delphion.com pemilik (Thomson Group), (2) http://ep.espacenet.com pemilik European Patent office, (3) http://www.uspto.gov/patft/index.html pemilik US Patent office, (4) http://www.cambiaip.org pemilik Cambia-Biotech (Austria), (5) http://www.wipo.int/ipdl/en 455 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta /search/pct pemilik World intellectual property organization (WIPO), (6) http://www.dgip.go.id pemilik Direktorat Jendral HaKI Depkum dan HAM, (7) http://www.ipdl.ncipi.go.jp/homepg.ipdl.com pemilik Japan Patent office, semua alat ukur yang digunakan dalam eksperimen belum pernah di daftarkan klaim paten di alamat situs tersebut. Kedua alat yang dibuat ini telah di klaim oleh penulis dan didaftarkan Paten HKI di Direktorat Jendral HaKI Kementerian Hukum dan HAM Indonesia. Penelitian gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan ini dapat ditemukan alat baru yang dapat mengukur secara langsung saat air mengalir dan diduga akan terjadi perubahan koefisien pada rumus-rumus empiris yang sekarang telah ada. Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian jenis model fisik dan dikontrol dengan teori yang ada, baik secara eksperimen maupun model research and development ( R & D). Sedangkan untuk analisis data dapat digunakan program yang telah dibuat seperti program SMS 8.1 dan SMS 10 dan penggambarannya dapat pula mengunakan program SMS 8.1 dan SMS 10, Surfer, juga fasilitas program Excel tahun 2010. Bentuk pilar ada 1 bentuk segi empat besar seperti disebut dalam metode penelitian. Kontrol hasil percobaan laboratorium dengan teori : (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). Selain persamaan disebut di atas, dalam penelitian ini dapat ditemukan alat ukur perubahan dasar, perubahan elevasi muka air di setiap titik terukur, dan alat ukur kecepatan aliran yang relatif rendah. Metode Penelitian Prediksi untuk kedalaman gerusan lokal secara kuantitatif merupakan pengaruh dari dalamnya aliran secara kumulatif menyebabkan penurunan dasar sungai/ flume. Persamaan yang dipakai untuk analisis gerusan lokal pada penelitian ini merupakan sintesa dari persamaan- persamaan yang terpilih dan yang terbaru seperti yang dikembangkan dalam HEC 18 seperti rumus : : (a) A.J. Raudkivi (1991), (b) Graf (1998), (c) Maynard (1996) , (d) Thorne (1988), (e) Melville (1997) dan Coleman (2000). Subyek penelitian Penelitian yang dilakukan adalah : proses gerusan lokal pada pilar tunggal ( single pile) berbentuk segi empat lebar 50mm dan panjang 100 mm, dipasang di tikungan pada posisi di titik 2 disudut 22,50o menggunakan flume Gambar 3.1. Subjek penelitiannya adalah besarnya nilai koefisien gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan untuk digunakan kalibrasi rumus yang terpilih Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen dan research and development (R & D). Eksperimen dengan pendekatan model fisik yang cocok diterapkan dalam studi ini untuk menentukan besaran koefisien Manning pada daerah tikungan. 456 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Analisis data Penelitian Unit analisis penelitian adalah kedalaman gerusan lokal (local scouring) sekitar pilar jembatan yang terjadi yang dipengaruhi berbagai parameter seperti debit aliran, kemiringan dasar flume, kedalaman aliran, gradasi butir material. Pengaruh bentuk pilar dan penempatan pilar akan mempunyai dampak pada dalamnya gerusan lokal , untuk kepentingan ini juga ikut menjadi parameter penelitiaan. Rumus yang dipilih di coba disesuaikan dengan hasil yang didapatkan dari eksperimen, sehingga hasil temuan sesuai dengan kondisi dilapangan khususnya terbatas pada parameter yang digunakan dalam penelitian. Hal ini mengingatkan pada pernyataan Lu, dkk (2008) bahwa gerusan lokal berdasarkan aliran puncak selama banjir dan aliran unsteady, dan persamaan gerusan menunjukkan bahwa kebanyakan persamaan kedalaman gerusan lokal menaksir terlalu tinggi dan perlu dikaji lebih mendalam. Sedangkan kemampuan model numerik untuk memprediksi gerusan daerah sekitar pilar jembatan itu sangat terbatas. 1. Alat Penelitian Alat yang digunakan adalah alat ukur KOOREFHIDSU TIPE 231109, dan CURMETBAL TIPE 15 yang telah didaftarkan hak patennya. Bilangan Froude (Fr) >1 aliran sampai dimulainya pergerakan sedimen untuk membuat aliran turbulen. Flume yang dimaksud yaitu : penampang flume, kemiringan, kekasaran dasar flume, dan kekasaran dinding flume. Flume yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai bentuk segi empat. Dasar flume terbuat dari pasangan batu diplester halus. Dinding/ tebing flume terbuat dari pasangan batu bata dilapisi bahan tidak tergerus yang dibuat dari bahan plaxisglass ( fiberglas).Gambar 1. Gambar 1. Moedel alat ukur elevasi muka air dan elevasi dasar flume otomatis Rasio kedalaman aliran dibatasi 2,9 < b/D < 6,06, karena keterbatasan lebar flume. Flume yang ada umumnya mempunyai lebar 0,780 m dan tinggi 0,60 m, namun dimensi flume akan dipertimbangkan agar posisi pilar yang terpasang bukan menyebabkan penyempitan dan menyesuaikan hasil analisis model fisiknya. Flum yang terbuat dari pasangan batu bata, dilapisi pluxiglas (fiberglas) untuk mencegah terjadinya gesekan pada tebing flume. Untuk flume akan dibuat terlebih dahulu di bengkel Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta yang sesuai tuntutan/ tujuan penelitian. 457 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Bahan Penelitian Material dasar flume yang diambil dari Kali Progo yang tidak terlalu banyak mengandung bahan-bahan kohesif seperti lempung (clay), lumpur/ lanau (silt). Untuk menghindari kandungan bahan-bahan kohesi, maka pasir sebagai material dasar flume dicuci terlebih dahulu. Butir pasir yang dicuci terbebas dari kandungan bahan yang kohesif agar tidak mengganggu pergerakan butiran. Material dasar flume ini sebelum digunakan diayak terlebih dahulu agar batu kerikil terpisah dan mendekati seragam. Standar Deviasi Butir Pasir Kali Progo (SD) = 8,72 dan berat jenis reratanya adalah 2,65. Data debit aliran dalam flume dihitung dengan rumus Thomson Q = 0.73bh 3/2 sebesar Q3 = 43,620 lt/detik. Persyaratan agar terjadi transport sedimen, dalam hal ini U* > U* kritis dan butiran mulai bergerak. Sifat aliran dengan debit tersebut di atas adalah turbulent yang ditunjukan dengan bilangan Froude Number (Fr) lebih dari 1 dan bilangan Reynold Number (Re) > 600 untuk aliran turbulent. Pelaksanaan penelitian Penelitian ini bertujuan menentukan gerusan lokal di sekitar pilar jembatan di belokan sungai dengan posisi pilar tegak lurus jembatan. Penelitian ini dilakukan dengan Metode eksperimen (model fisik), yaitu dengan melakukan pengukuran langsung terhadap fenomena gerusan dasar sungai di sekitar pilar jembatan pada Flume di laboratorium Hidrologi dan Hidrolika. Adapun bagan alir model tahapan penelitian adalah seperti pada Gambar 2. Langkah awal dalam kajian adalah penetapan domain model, yaitu kawasan perairan proyek dimana pola arus akan disimulasikan. Domain model ini akan direpresentasikan ke dalam jaring elemen (mesh) diskrit. Langkah selanjutnya adalah kalibrasi model untuk mendapatkan besaran parameter model, antara lain koefisien kekasaran dasar sungai atau saluran (koefisien manning), koefisien difusi koefisien konsentrasi sediment, C. Apabila nilai besaran parameter model telah diperoleh, selanjutnya dilakukan simulasi aliran (pola arus). Kondisi eksisting, yaitu kondisi aliran saat ini sesuai dengan debit yang dimodelkan. Untuk simulasi kondisi batas hulu model berupa debit saluran yang berada di flume, sedang kondisi batas hilir berupa muka air di flume. Domain model dimana pola arus akan disimulasikan dengan model matematik SMS mencakup batas hilir adalah muka air di bagian hilir flume ( akhir tikungan ) dan batas hulu adalah muka air masuk tikungan. Pada domain model tersebut, dibuat jaring elemen (mesh) yang merupakan representasi domain fisik kedalam domain matematik. Simulasi dilakukan dengan membuat kombinasi dengan berbagai kondisi debit yaitu Q3I3, Dengan menggunakan variasi tersebut, maka batas hulu dan hilir akan berubah. Hasil running dari simulasi akan dicocokan dengan pola kuntur kecepatan hasil eksperimen. 458 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mulai Kajian Teori Kosultasi Tidak baik Rancangan Alat Ukur Rancangan Model Fisik Pembuatan Alat Ukur Pembuatan Model Fisik Tidak baik Uji fungsi alat Perbaikan Model Uji fungsi Model Baik Baik Baik Kalibrasi alat Pelaksanaan Penelitian/ Pengambilan data Penulisan dan Pembahasan Hasil Penelitian Tabulasi dan Analisis data Selesai Gambar 2. Bagan alir tahapan penelitian Koefisien Manning diambil berdasarkan pada penggal sungai dan disesuaikan dengan hasil running program SMS 8.1 dan dapat pula menggunakan SMS 10. Dalam mengakses program SMS untuk membuat kontur kecepatan aliran, kontur dasar flume maupun running, perlu suatu titik koordinat sesuai dengan sumbu orthogonal (x,y dan z). Saluran / flume perlu di tentukan koordinat-koordinat arah x dan arah y yang dibuat menggunakan program Microsoft Office excel ataupun program AutoCad. Agar dapat diakses dengan program SMS, koordinat tersebut harus disusun berurutan x,y kemudian z dan selanjutnya akan dijelaskan dalam tahapan untuk running data dengan program SMS sehingga diperoleh angka kekasaran Manning pada saluran. Adapun tahapan untuk menentukan nilai Manning (n) sebelum dipasang pilar dengan menggunakan program SMS 8.1 maupun SMS 10. Tahapan untuk menentukan nilai Maning seperti dalam Gambar 4. 459 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b 6 7 a 2 c 1 11 3 8 12 13 e f 14 4 9 d g 10 5 Keterangan : a: kekasaran dasar b, c, d, e, f, g : Kekasaran dinding 15 Gambar 3. Skema pembagian daerah penentuan nilai Manning Kemiringan dasar material flume yang digunakan untuk melakukan penelitian ini pada bagian dasarnya ( lantai pasangan batu bata diplester rata dan halus), horizontal dari hulu sampai ke hilir flume. Kemiringan dasar material pada flume yang diperlakukan bervariasi sesuai dengan karakteristik aliran dan sifat perlakuan. Untuk menentukan kemiringan material dasar flume ini terlebih dahulu diperlukan analisis berkaitan dengan debit aliran dan diameter material agar terjadi transport sedimen. Didasarkan atas tujuan penelitian yang intinya adalah pada proses dinamika gerusan lokal, maka pasir yang digunakan di dalam eksperimen ini harus dapat bergerak. Kajian pendahuluan pada fenomena ini adalah terjadinya tegeangan geser yang terjadi harus melampui tegangan geser kritis, atau sebagai persyaratan agar terjadi transport sedimen dalam hal ini U* > U* kritis. Data kemiringan material dasar flume setelah melalui kajian pendahuluan, maka ditetapkan yaitu : I3 = 0,012 460 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mulai Pengumpulan data : Tinggi air hulu dan hilir , kecepatan aliran, debit dan jenis material dasar Pembuatan jaring elemen kondisi eksisting Input kondisi batas : Hulu : debit hasil pengukuran Hilir : elevasi muka air hasil pengukuran Penempatan gage pengamatan untuk cecking hasil simulasi dengan hasil pengukuran di lapangan Input parameter aliran : Angka kekasaran Manning (cobacoba) viscosity (coba-coba) Angka Manning dasar Alternarif 1 Angka Manning tebing Alternarif 2 Batas yo hulu dan hilir Alternarif dst Running simulasi Pembacaan data hasil simulasi Cecking hasil simulasi pola terbaik dengan hasil pengukuran di lapangan (eksperimen) tidak ok Parameter aliran terkalibrasi dan besaran nilai koefisen Manning Selesai Gambar 4. Bagan alir pekerjaan pemodelan dan simulasi model matematik dengan SMS 8.1. program RMA2 Generalisasi Hasil penelitian ini agar dapat dipakai secara umum artinya kesimpulan yang diambil dapat diterapkan khususnya gerusan lokal sekitar pilar di tikungan, maka perlu suatu rekayasa model matematis yang didasarkan pada bilangan tak berdemensi. Model ini 461 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta diharapkan dapat mewujudkan suatu rumusan yang tepat sesuai dengan karakteristik pemodelannya, yaitu pelaksanaan pengukuran gerusan lokal sekitar pilar jembatan saat air mengalir. Semacam ini juga dapat disebut model monitoring perubahan elevasi dasar flume di sekitar pilar jembatan. Selain hal tersebut juga dapat digunakan untuk koreksi rumus empiris yang telah ada yang didasarkan angka Manningnya. Hasil Penelitian Sungai mengalir pada umumnya terdapat berbagai permasalahan yaitu erosi dan sedimentasi. Hal ini akibat dari berbagai aktivitas bagian hulu sehingga respon yang ditimbulkan akibat beban hidrologi telah menyebabkan timbulnya pergerakan meander sungai yang semakin intensif. Peningkatan intensitas pertumbuhan meander telah menyebabkan adanya fenomena erosi dan sedimentasi di sungai. Erosi dan sedimentasi ini kemungkinan akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan sarana prasarana jalan yaitu jembatan di tikungan sungai. Perpindahan aliran dari yang seharusnya (yang direncanakan) dapat menyebabkan terancamnya sarana transportasi darat (jembatan) yang bagian bawah (sedimen dasar) terkikis. Kemunginan lain dapat menimbulkan tanah tumbuh yang menimbulkan berubahnya aliran. Semua yang disebut di atas akan menimbulkan permasalahan pada kedudukan pilar jembatan karena gerusan lokal. Berbagai usaha telah dilakukan dalam menanggulangi erosi dan sedimentasi di sungai, namun hasilnya belum memadai. Hal ini disebabkan karena belum optimalnya sistem penanganan yang dilakukan, di mana masalah beban aliran, pola aliran sungai, kondisi tanah baik tanah dasar maupun tebing sungai, serta pola pemanfaatan sungai, perlu dipertimbangkan. Untuk itu suatu penelitian yang terkait dengan rencana penanganan masalah erosi khususnya gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan perlu dilakukan. Namun penelitian yang berkaitan dengan air mengalir sangat sulit dilakukan, maka diperlukan rekayasa alat untuk memonitor mekanisme gerusan lokal secara otomatis realtime. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk (1) Menganalisis mekanisme proses terjadinya gerusan lokal di sekitar pilar jembatan di tikungan sungai, (2) Menganalisis kedalaman maksimum gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan, (3) Menentukan besaran koefisien Manning pada daerah tikungan, (4) Membandingkan rumusan empiris yang telah ada untuk gerusan lokal sekitar pilar jembatan setelah menggunakan alat ukur KOOREFHIDSU TIPE 231109, dan CURRENT METER TYPE 18P22010, dan (5) secara langsung dapat menemukan model alat ukur yang tepat untuk mengukur proses gerusan lokal disekitar pilar jembatan model laboratorium. Eksperimen ini telah dilakukan di Laboratorium Hidrolika Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Hasil yang diperoleh dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu alat ukur, gerusan dan dampak yang dapat diuraikan secara singkat seperti berikut : 462 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Aliran balik 6 7 1 2 11 3 8 12 Thompson Secondary Storage tank 14 4 9 13 Flume 10 5 Valve Ø4” (V1, V2, V3) 15 Switch batas (balok blok) Aliran balik Water pump 100lt/det Main storage tank 0.00 mm 400 mm 800 mm 1200 m m Model gride bacaan sensor koordinat titik di flume dan di alat (40mm setiap jarak hitamhitam) Gambar 5. Bentuk flume untuk eksperimen Hasil penelitian yang didapat dari analisis secara teoritis dan hasil eksperimen seperti dalam Tabel 1. Perbedaan persamaan A.J Raudkivi (1991), Graf (1998) dan Thorne (1988) serta Melville (1997) dan Coleman (2000) hanya pada parameter jari-jari tikungan, lebar flume, termasuk koefisien geometric saluran dan koefisien waktu pada persamaan Melville (1997). Maynard (1996) memasukan nilai keamanan (Fs) yang besarnya = 1,19. Rumus ini valid jika W/(yms)< 125 dan rc/W < 10, dan syarat berikutnya W/((yms) =20, rc/W < 20 dan (yms) diambil dari Richardson dan Davis (2001). Syarat tersebut telah terpenuhi, namun hasilnya belum dapat mendekati hasil eksperimen. Tabel 1. Besarnya koefisien untuk persamaan secara teoritis. Hasil Eksperimen Koef. empiris No. Nama 1 A.J Raudkivi (1991) yse = 2,3 Kb Ksd Kdt Kda b 0.146 0.119 0.82 2 Graf (1998) yse = 2,0 K Kb K 0.142 0.119 0.84 0.1006 0.119 1.183 0.186 0.119 0.64 0.211 0.119 0.56 3 4 5 Persamaan/ Rumus b   W  rc    0 , 0084  W    y ms Maynard (1996) y se  F s ( y ms ) c 1 , 8  0 , 05   Thorne (1988) y se   y ms  c 2 , 07  0 ,19 ln  r c / W   2  Melville (1997)dan Coleman (2000) y se  K yb K lK d KbK sd K G K 463 t c      Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dalam hal ini : Kb = Koefisien bentuk pilar Ksd = Koefisien sudut datang Kda = Koefisien ukuran pilar dan ukuran butir material dasar b = lebar penampang pilar Kσ = Koefisien simpangan baku Ki = Koefisien intensitas aliran =v/vc Kd = Koefisien ukuran butir material KG = Koefisien geometri saluran=1 Kt = Koefisien waktu = 1 W = lebar flume rc = jari-jari tikungan luar Dari hasil temuan diatas maka persamaan /rumus di atas berubah dan menjadi seperti Tabel 2 di bawah ini. Kelima persamaan / rumus yang mempunyai nilai tinggi melebihi hasil eksperimen adalah persamaan / rumus A.J Raudkivi (1991), Graf (1998),Maynard (1996), Thorne (1988), Melville (1997) dan Coleman (2000). Sedangkan hasil eksperimen kenyataannya lebih kecil dari hasil secara teori. Persamaan A.J Raudkivi (1991) dan Graf (1998) relative mempunyai besaran yang hampir sama . Sedangkan rumus Maynard (1996) mempunyai nilai relative lebih kecil dari hasil eksperimen. Persyaratan rumus telah terpenuhi, akan tetapi hasilnya belum mampu mendekati hasil eksperimen yang dilakukan. Rumus ini perlu dikaji lagi parameter apa yang perlu diikutkan dalam analisis gerusan local sekitar pilar jembatan di tikungan. Thorne (1988) telah memasukan parameter radius lengkungan dari flume termasuk koefisien geometric saluran hasil lebih besar dari teori. Untuk persamaan / rumus Melville (1997) dan Coleman (2000) telah memasukan parameter lebih seperti parameter waktu. Peranan parameter jari-jari tikungan, lebar flume, termasuk koefisien geometric saluran dan koefisien waktu pada persamaan Melville (1997) dan Coleman (2000) memberi pengaruh pada nilai kedalaman gerusan lokal cukup besar. Hasil ini menunjukan bahwa parameter jari-jari tikungan, lebar flume, termasuk koefisien geometric saluran dan koefisien waktu pada persamaan Melville (1997) perlu dipertimbangkan dalam kajian gerusan lokal sekitar pilar jembatan. Perubahan persamaan/ rumus A.J Raudkivi (1991), Graf (1998) Maynard (1996), Thorne (1988) serta Melville (1997) seperti dalam Table 2. 464 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Persamaan setelah di kalibrasi. No. Nama Hasil Eksperimen Koef. empiris Persamaan/ Rumus 1 A.J Raudkivi yse = 2,804.(Kb Ksd Kdt Kda b) (1991) 0.146 0.119 0.82 2 Graf (1998) yse = 2,380.K Kb K 0.142 0.119 0.84 0,1006 0,119 1,183 3 Maynard (1996) b   W  rc  y se  1 ,183 . F s ( y ms ) c 1 , 8  0 , 05    0 , 0084   W    y ms c      4 Thorne (1988) y se  0 ,1, 563 . y ms  c 2 , 07  0 ,19 ln  rc / W   2  0.186 0.119 0.64 5 Melville (1997) danColeman (2000) 0.211 0.119 0.56 y se  1 , 786 . K yb K lK d KbK sd K G K t Kesimpulan Dari hasil di atas yang merupakan analisis secara teori dan eksperimen, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Kedalaman gerusan lokal yang diprediksi berdasarkan persamaan / rumus A.J Raudkivi (1991), Graf (1998), Thorne (1988), Melville (1997) dan Coleman (2000) hasilprediksi kedalaman gerusan lokal di tikungan lebih besar dari hasil eksperimen. 2. Kedalaman gerusan lokal sekitar pilar jembatan berdasarkan Persamaan Maynard (1996) hasilnya lebih kecil dari hasil eksperimen. Dalam analisis semua persyaratan telah terpenuhi, namun hasilnya tetap masih dibawah hasil eksperimen. Untuk kepentingan prediksi kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar ditikungan perlu dikaji parameter yang perlu diperhitungkan lebih mendalam. 3. Perubahan persamaan /rumus A.J Raudkivi (1991), Graf (1998), Maynard (1996), Thorne (1988), Melville (1997) dan Coleman (2000) dapat digunakan untuk memprediksi kedalaman gerusan local disekitar pilar jembatan di tikungan karena telah dikoreksi/ kalibrasi. Saran/ Rekomendasi Satu persamaan yang masih perlu di kaji ulang, yaitu persamaan/ rumus Maynard (1996) belum menunjukan akurasi hasil prediksinya untuk kedalaman gerusan lokal sekitar pilar jembatan di tikungan. Dalam rumusan banyak persyaratan yang harus dipenuhi antara lain : nilai keamanan (Fs) yang besarnya = 1,19. Rumus ini valid jika W/(yms)< 125 dan rc/W < 10, dan syarat berikutnya W/((yms) =20, rc/W < 20 dan (yms) diambil dari Richardson dan Davis (2001). Daftar Pustaka Bambang Suciroso, Suprapto, Suyitno Hadi Putro, 2010, Rancang Bangun Alat Ukur Kecepatan Aliran (Current Meter) Pada Aliran Rendah, Yogyakarta, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, Rekayasa Bidang Teknologi. B. Ataie-Ashtiani dan A. A. Beheshti (2006), Experimental Investigation of Clear-Water Local Scour at Pile Groups 465 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Beatrice E. Hunt, 2005, Establishing a Scour Monitoring, Proceedings of the Sessions of the GeoFrontiers 2005 Congress, ASCE, http://dx.doi.org/10.1061/40781(160)3 Breusers, H.N.C. dan Raudkivi, A.J. 1991. ,Scouring, IAHR Hydraulics Structure Design Manual, Rotterdam, A.A. Balkema. Bruce Melville, Stephen Coleman, and Stephen Priestley, 2006, Local Scour at Complex Piers , Proceeding ASCE , http://dx.doi.org/10.1061/40856(200)176 Bruce W. Melville and Yee Meng Chiew, 2000, Time Scale for Local Scour at Brigde Piers, Journal of Hydraulic Engineering Volume 126 No.10 October 2001, ASGE, Virginia. P. 793 Bruce W. Melville and Yee-Meng Chiew, 1999, Time Scale for Local Scour at Bridge Pier's, Journal of Hydraulic Engineering Volume 125 No.1 January 1999, ASCE, Virginia. P. 59 Giuseppe Oliveto and W. H. Hager, 2002, Temporal Evolution of Clear-Water Pier and Abutment Scour, Journal of Hydraulic Engineering Volume 127 No.9 July 2002, ASCE,Virginia. P. 811 Giuseppe Oliveto and Willi H. Hager, 2005, Further Results to Time-Dependent Local Scour at Bridge Elements, Journal ASCE volume 131, Februari 2005, http://dx.doi.org/10.1061/(ASCE)07339429(2005)131:2(97) Graf W.H., 1995. Pier Scour A. Review, Lausanne, Switzerland, Rapport Annuel 1995, Laboratoire de Recherches Hydraulics, Ecole Polytechniques Federale. Graf, W. H., 1998, Fluvial Hydraulics, England, Joh Wiley & Sons Ltd. Hubert Chanson, 1999, Turbulen Open Channel Flow, Journal of Hydraulic Engineering Volume 125 No.6 June 1999, ASCE, Virginia. P. 668 Lu Deng and C. S. Cai, 2009, Bridge Scour: Prediction, Modeling, Monitoring, and Countermeasures, A-Review , ASCE, http://dx.doi.org/10.1061/(ASCE)SC.1943-5576.0000041 Lu, dkk (2008), Field Measurements and Simulation of Bridge Scour Depth Variations during Floods Shen H.W.V.R., Schneider and Karaki. S., 1966a, Mechanics of Local Scour, Colorado State University, Stepen E. Coleman and Bruce W Melvile, 2001, Case Study New Zealand Bridge Sour Experiences, Journal of Hydraulic Engineering Volume 127 No.7 July 2001, ASCE, Virginia. P. 535 Subbash C., Jain M. and Edward E., Fischer, A. M., 1980; Scour Around Bridge Piers at High Flow Velocities, Journal of Hydraulics Devision, ASCE Vol.106 No. HY11 November 1980 Subhasish Dey dan Rajkumar V. Raikar (2007), Characteristics of Horseshoe Vortex in Developing Scour Holes at Piers Suprapto, Suyitno, 2008; Aplikasi Robot Penentu Koordinat pada Perubahan Permukaan Dasar Sungai sebagai Media Pembelajaran Mata Kuliah Hidrolika. Laporan Penelitian Fakultas No.953e/H34.15/PL/2008.,. Suprapto, Suyitno, 2008; Robot Pentu Koordinat Titik Elevasi Muka Air di Flume ( Pecahan dari Paten HKI P00201000474), Jakarta, Paten HKI P00201100162. Suprapto, Suyitno, 2008; Robot Penentu Koordinat Titik Material Dasar Sungai Model Flume (Koorefhidsu Type 231109), Jakarta, Paten HKI P00201000474 Suprapto, Suyitno, 2008; Alat Ukur Kecepatan Aliran Arus Air (Current Meter Type 180210), Jakarta, Paten HKI P00201000475. Xibing S. Dou, and J. Sterling Jones (2004) ; A New Sediment Transport Formula for Local Scour Prediction, Proceeding ASCE 466 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta APLIKASI PLATFORM KOMPUTASI SOFTWARE-DEFINED RADIO (SDR) UNTUK DIGITAL SPECTRUM ANALIZER Eko Marpanaji Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta eko@uny.ac.id ABSTRAK Spektrum analiser merupakan alat ukur sinyal frekuensi tinggi yang sangat diperlukan di bidang elektronika telekomunikasi. Contohnya untuk pengukuran spektrum frekuensi Wifi untuk komunikasi data Internet. Meskipun spektrum analiser telah diketahui banyak manfaatnya, tidak semua orang atau instansi mampu memiliki alat tersebut termasuk Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika Fakultas Teknik Yogyakarta. Hal ini disebabkan harga spektrum analiser yang memiliki frekuensi kerja dengan orde Giga Hertz (GHz) harganya sangat mahal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan aplikasi platform yang digunakan dalam pengembangan Software-Defined Radio (SDR) yaitu Universal Software Radio Peripheral (USRP) dan komputer PC untuk sebuah aplikasi yaitu spektrum analiser. USRP telah terbukti dapat digunakan untuk proses digitasi sinyal RF (Radio Frequency) analog khususnya dalam pengembangan sistem berbasis SDR. Dengan menerapkan pengolahan sinyal digital yang dijalankan pada komputer PC, apakah platform komputasi SDR tersebut dapat dikembangkan untuk pengukuran spektrum frekuensi dan daya spektrum sinyal RF analog atau sering disebut dengan spektrum analiser. Kegiatan penelitian tahap I (tahun I) telah berhasil mengembangkan prototip arsitektur perangkat keras dan perangkat lunak dari spekgtrum analiser digital berbasis SDR. Kegiatan penelitian tahap II (tahun II) lebih menekankan pada pengujian unjuk kerja sehingga menghasilkan sebuah spesifikasi alat ukur dari prototip yang telah dihasilkan pada kegiatan penelitian tahap I. Hasil penelitian ini adalah sebuah prototip spektrum analiser digital berbasis SDR dan artikel jurnal nasional atau makalah seminar nasional. Kata kunci: digital, fft, komputer, pengolahan sinyal digital, spektrum analiser, software-defined radio, usrp. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi telekomunikasi begitu cepat baik sistem komunikasi dengan media kabel ataupun tanpa kabel (wireless). Apalagi dengan kehadiran teknologi digital maka peralatan komunikasi tidak hanya digunakan untuk komunikasi percakapan atau video saja, tetapi juga komunikasi data digital yang sampai saat ini sudah dapat mencakup data teks, suara, gambar dan gambar bergerak (movie), atau multimedia seperti yang disajikan dalam layanan sistem telekomunikasi melalui Internet. Untuk itu, tugas bidang telekomunikasi menjadi semakin banyak dan semakin canggih teknologi yang diperlukan, serta frekuensi kerja sistem telekomunikasi juga semakin tinggi untuk mengejar besarnya bit rate data digital yang dikirimkan. Frekuensi kerja sistem telekomunikasi saat ini dapat mencapai orde Giga Hertz (GHz). Spektrum analiser adalah sebuah alat ukur yang sangat diperlukan dalam pengembangan perangkat telekomunikasi. Manfaat spektrum analiser sangat banyak baik untuk keperluan pabrikasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan. Fungsi spektrum analiser antara lain untuk pengujian alat telekomunikasi baik pengujian hasil produksi maupun proses perawatan dan 467 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta perbaikan. Misalnya pengujian perangkat telekomunikasi nirkabel (pengukuran frekuensi kerja dan daya pancar), survey lokasi pemancar (mencari alokasi frekuensi yang belum digunakan untuk daerah yang digunakan), atau mengatasi gangguan sistem telekomunikasi (melacak interferensi frekuensi yang mengganggu), dan masih banyak lagi terkait dengan pengukuran spektrum frekuensi dan daya sinyal RF. Meskipun spektrum analiser memiliki banyak kegunaan dan sangat diperlukan di dalam bidang elektronika telekomunikasi seperti Internet, tidak semua orang bahkan instansi pendidikan dapat memiliki spektrum analiser karena harga sebuah spektrum analiser sangat mahal. Apalagi untuk spektrum analiser digital dengan frekuensi kerja dalam orde GHz dengan fasilitas dapat menyimpan data dan dapat disambungkan dengan komputer atau jaringan komunikasi harganya dapat mencapai ratusan juta rupiah. Untuk itu, perlu pemikiran dalam rangka mencari alternatif lain dalam mewujudkan fungsi spektrum analiser dengan harga yang lebih terjangkau. Penelitian ini mengkaji alternatif lain dalam mewujudkan sebuah spektrum analiser dengan mengembangkan fungsi sebuah platform yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan Software-Defined Radio (SDR). Perangkat keras yang digunakan adalah Universal Software-Radio Peripheral (USRP) sebagai perangkat ujung depan yang berfungsi melakukan digitasi sinyal RF analog dan komputer sebagai pengolah sinyal dan menampilkan hasil pengolahan sinyal secara grafik. USRP ini telah terbukti dapat digunakan untuk proses digitasi sinyal RF analog sampai orde GHz menjadi sinyal IF digital sehingga hasilnya dapat diproses oleh komputer PC biasa dengan menerapkan pengolahan sinyal digital. Perangkat ini digunakan untuk keperluan pengembangan software radio seperti yang sedang dilakukan oleh para peneliti dari kelompok GNU Radio, dengan menggunakan sistem operasi Linux. Seluruh fungsi radio termasuk modulasi, pemilihan saluran, demodulasi, dan channel coding diimplementasikan dalam bentuk perangkat lunak yang dijalankan pada sebuah komputer PC. Jenis modulasi yang diuji coba juga beragam, mulai dari modulasi AM (Amplitude Modulation) dan modulasi FM (Frequency Modulation) untuk radio konvensional, sampai dengan modulasi Gaussian Minimum Shift Keying (GMSK) yang digunakan untuk telepon seluler GSM (Marpanaji, 2007), serta modulasi digital lainnya seperti Binary Phase Shift Keying (BPSK) dan Differential Binary Phase Shift Keying (DBPSK) (Marpanaji, 2008), Quartenary Phase Shift Keying (QPSK) dan Differential Quartenary Phase Shift Keying (DQPSK) (Marpanaji, 2008) serta beberapa jenis modulasi digital lainnya. Permasalahan utama dalam pengembangan aplikasi platform SDR untuk spektrum analiser yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mewujudkan sebuah spektrum analiser digital ditinjau dari segi perangkat keras maupun perangkat lunak yang diperlukan, dengan menggunakan perangkat USRP dan PC. Selain itu, bagaimana pula hasil unjuk kerja spektrum analiser dilihat dari frekuensi maksimum yang dapat tangani, resolusi frekuensi, serta fasilitas-fasilitas lain yang dapat dihasilkan dari spektrum analiser digital tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijawab dalam penelitian dengan mengikuti peta jalan pengembangan aplikasi SDR seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini. 468 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kuliah Teori dan Praktek di Jur. PTE FT UNY: Pengolahan Sinyal Digital dan Sistem Telekomunikasi Masyarakat Umum dan Industri Pasar Lab. Telkom Jur. PTE FT UNY Komunikasi Data Digital Nirkabel berbasis SDR Produk Stand Alone Platfotm SDR (USRP dan PC) Teknologi Pengembangan: Aplikasi lain berbasis SDR Instrumen digital sinyal RF berbasis SDR Networked Platfotm SDR (USRP dan PC) Implementasi (Coding) Penelitian dan Pengembangan Simulasi Algoritma menggunakan Matlab Algoritma pengolahan sinyal digital spektrum analiser Algoritma pengolahan sinyal digital SDR Analisis dan desain: Arsitektur spektrum analiser digital Konsep SDR, Arsitektur HW dan SW < 2009 Kalibrasi dan Pengujian Unjuk kerja 2010 Aplikasi lain 2011 > 2012 Gambar 1. Peta jalan (Road Map) Penelitian Penelitian tentang SDR sudah dimulai sejak tahun 2006, dan sampai dengan tahun 2009 telah menghasilkan beberapa artikel seminar nasional/internasional dalam negeri serta jurnal nasional. Penelitian tentang SDR dimulai dari arsitektur perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan dalam membangun sebuah sistem komunikasi berbasis SDR, sampai dengan beberapa contoh aplikasinya dengan beberapa jenis modulasi yang digunakan (AM, FM, GMSK, DBPSK, dan DQPSK), serta penelitian tentang masalah komputasi yang diperlukan dalam pengolahan sinyal dalam SDR. Penelitian tersebut menggunakan USRP dan komputer PC sebagai platform komputasi pengolahan sinyal untuk SDR. Penelitian yang dilakukan untuk tahun 2010 s.d. 2011 ini akan melanjutkan penelitianpenelitian sebelumnya untuk jenis aplikasi yang berbeda yaitu mengkaji aplikasi platform SDR menggunakan USRP dan PC untuk membangun sebuah alat ukur berupa spektrum analiser yang biasa digunakan dalam pengukuran frekuensi dan daya sinyal frekuensi tinggi (sinyal RF). Alat ukur ini biasa digunakan di bidang telekomunikasi, baik dalam rangka pengujian produk atau proses pembelajaran sistem telekomunikasi. 469 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SOFTWARE-DEFINED RADIO (SDR) Software-Defined Radio (SDR), ada yang menyebut juga Software Radio (SWR), diperkenalkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Joseph Mitola (Reed, 2002; Steinheider, 2003). Istilah SDR ini digunakan untuk menunjuk sebuah kelas radio yang dapat dikonfigurasi ulang atau diprogram ulang[6], sehingga menghasilkan sebuah jenis perangkat komunikasi nirkabel dengan mode dan band frekuensi ditentukan oleh fungsi perangkat lunak. SDR memiliki keuntungan karena sifat fleksibilitas (flexibility), lengkap dan dapat dikonfigurasi ulang secara mudah (complete and easy reconfigurability), dapat diskala (scalability), dapat diprogram ulang (reprogrammability), serta dapat diperluas (expandability) (Reed, 2002; Christensen, 2004). Arsitektur SDR ideal akan menempatkan ADC/DAC sedekat mungkin dengan antena untuk melakukan konversi analog ke dijital atau dijital ke analog, sehingga membutuhkan wideband ADC/DAC. Fungsi radio akan dilakukan oleh perangkat lunak yang dijalankan oleh prosesor, sehingga lebih fleksibel (Reed, 200; Mitola, 2000; Lehr, 2002; Guttag, 2003). Namun demikian, keterbatasan teknologi dan mahalnya wideband ADC/DAC mendorong untuk sedikit mengubah arsitektur SDR dalam menempatkan ADC/DAC sehingga menjadi realistis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Wideband Antenna Wideband Analog IF Signal RF Front End (Up/Down Converter, RF Power Amp) Wideband ADC/DAC ADC DAC Data Out Processor and Memory Data In Gambar 2. Arsitektur SDR Realistis Arsitektur SDR yang lebih realistis menempatkan wideband ADC/DAC setelah Down/Up Converter, sehingga konversi analog ke dijital atau sebaliknya dilakukan terhadap sinyal Intermediate Frequency (IF) dengan frekuensi yang lebih rendah dibanding sinyal Radio Frequency (RF). Arsitektur SDR dilihat dari segi perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan dengan mengacu pada arsitektur SDR realistis ditunjukkan pada Gambar 3. 470 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Receiver (Rx) Software Wideband Antenna Channelization and Digital Down Converter Wideband RF Front End (RF Amp. and Up/ Down Conv.) Analog Domain IF Signal Processing (Gain, AGC) Demodulation ADC and DAC Processor and Memory Baseband Signal Processing Digital Data (bitstream) Digital Domain Hardware IF Digital Signal Processing Modulation Baseband Signal Processing Software Transmitter (Tx) Gambar 3. Arsitektur SDR untuk Transmitter dan Receiver Arsitektur tersebut saat ini banyak digunakan para peneliti dalam rangka mengembangkan teknologi SDR untuk berbagai keperluan, termasuk peneliti-peneliti SDR yang tergabung dalam kelompok GNU Radio dengan menggunakan ujung depan (front end) yang mereka sebut Universal Software Radio Peripheral atau USRP. Istilah Software Radio (SWR) digunakan sebagai alternatif istilah Software-Defined Radio yang menggunakan komputer pribadi (PC) atau General Purpose Processor (GP) sebagai prosesornya. UNIVERSAL SOFTWARE RADIO PERIPHERAL (USRP) USRP (Universal Software Radio Peripheral) merupakan sebuah perangkat ujung depan (front end) dalam sebuah arsitektur SDR yang sekarang banyak digunakan oleh para peneliti SDR dari kelompok GNU Radio. Ujung depan ini melakukan beberapa fungsi antara lain: (1) mengubah frekuensi sinyal RF (Radio Frequency) menjadi sinyal IF (Intermediate Frequency) atau sering disebut sebagai down-conveter dan proses sebaliknya yang sering disebut dengan up-converter; (2) melakukan konversi dari sinyal IF analog menjadi sinyal IF dijital menggunakan A/D converter dan proses sebaliknya menggunakan D/A converter; (3) melakukan proses digital down converter (DDC) dan desimasi untuk menurunkan laju data dijital yang akan dikirimkan melalui port USB. Proses ini dilakukan dengan menggunakan sebuah chip FPGA; (4) melakukan komunikasi dengan komputer (mengirim dan menerima sinyal dijital) menggunakan antarmuka port USB 2.0. USRP terdiri dari sebuah main board untuk menjalankan proses (2), (3), dan (4), serta beberapa daughterboard untuk melakukan proses (1). USRP mendukung 4 buah daughterboard yaitu dua buah daughterboard untuk pemancar (Tx) dan dua buah daughterboard untuk penerima (Rx). Spesifikasi main board USRP yang digunakan dalam penelitian ini adalah: port USB 2.0 untuk koneksi dengan komputer, ADC 12-bit dengan kecepatan sampling 64 MSPS sehingga dengan prinsip 471 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta aliasing dapat melakukan proses dijitasi dengan jangkauan frekuensi aliasing -32 MHz s.d. 32 MHz, DAC 14 bit dengan frekuensi clock 128 MSPS sehingga memiliki frekuensi Nyquist sebesar 64 MHz dan sinyal analog yang dihasilkan terbatas 10 mWatt. Sedangkan untuk daughterboard yang digunakan adalah Basic Tx dan Basic Rx sehingga belum ada proses down/up converter dan frekuensi pemancar terbatas maksimum 50 MHz. Metode Penelitian Kegiatan penelitian tahap II (Tahun II) lebih menekankan pada pengujian unjuk kerja dan kalibrasi dari spektrum analiser berbasis SDR beserta perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan unjuk kerjanya serta mengkaji tindak lanjut sebagai topik penelitian untuk pengembangan selanjutnya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini akan mengkaji aplikasi platform komputasi SDR menjadi sebuah alat ukur spektrum frekuensi dan daya sinyal atau sering disebut dengan spektrum analiser. Prototipe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebuah alat ukur spektrum analiser digital berbasis SDR dengan mengimplementasikan FFT untuk komputasi DFT. Sistem SDR yang digunakan adalah platform SDR dengan menggunakan USRP sebagai ujung depan dan komputer PC sebagai prosesor pengolah sinyal digital. Platform jenis ini telah banyak digunakan untuk pengembangan komunikasi data digital (sistem komunikasi) tanpa kabel berbasis SDR. Penelitian tentang arsitektur perangkat keras dan perangkat lunak SDR beserta beberapa contoh aplikasi sistem SDR untuk berbagai jenis modulasi telah dilakukan sebelumnya (Marpanaji, 2007; Marpanaji, 2008; Marpanaji, 2008). Penelitian ini akan menekankan aplikasi lain platform SDR tersebut untuk pengukuran spektrum frekuensi dan daya sinyal sehingga aplikasi yang diteliti adalah pemanfaatan platform SDR sebagai spektrum analiser digital. Spektrum analiser adalah sebuah alat ukur atau alat instrumentasi, sehingga metoda penelitian tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang ada di bidang instrumentasi. Platform komputasi SDR pada prinsipnya adalah kumpulan perangkat keras yang disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan fungsi radio dapat diimplementasikan dalam bentuk perangkat lunak. SDR mengimplementasikan fungsi radio dengan menggunakan perangkat lunak, sehingga syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa sinyal yang diproses harus berupa sinyal digital. Oleh karena itu, penelitian tentang spektrum analiser digital dengan menggunakan USRP dan komputer PC ini pada prinsipnya adalah pengembangan perangkat lunak yang berfungsi untuk menjalankan fungsi spektrum analiser dalam hal ini adalah komputasi DFT dan dalam pengolahan sinyal digital algoritma yang digunakan adalah algoritma FFT. Blok diagram spektrum analiser digital yang akan diteliti berdasarkan arsitektur platform komputasi SDR menggunakan USRP dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, maka antena berfungsi sebagai pengindera (sensor) dari spektrum analiser, RF amplifier dan down converter berfungsi sebagai pengkondisi sinyal (signal conditioning) termasuk ADC, perangkat lunak (software) untuk menjalankan fungsi spektrum analiser dan fungsi radio penerima adalah wujud dari pengolahan sinyal (signal processing), serta layar monitor atau speaker adalah sebagai wujud dari tampilan (display) dalam sistem instrumentasi. 472 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Software Fast Fourier Transform (FFT) Wide Band Antenna Graphics User Interface Demodulasi Data Hardware Wide Band RF Front End (RF Amplifier and Down Converter) High Speed ADC Analog Domain Processor and Memory Display (Monitor dan Speaker) Digital Domain Gambar 4. Blok diagram spektrum analiser digital menggunakan platform SDR Arsitektur perangkat keras SDR yang digunakan dalam penelitian ini pada prinsipnya sama dengan arsitektur SDR untuk komunikasi data digital, perbedaannya terletak pada fungsi yang dijalankan pada perangkat lunak yang dijalankan pada prosesor. Hal ini sekaligus membuktikan sifat fleksibilitas sistem SDR sebagai salah satu sifat unggulan dibangunnya sistem SDR. Dengan demikian, pengalaman dalam membangun arstitektur SDR dapat digunakan juga mengembangkan sebuah spektrum analiser berbasis SDR, dan penelitian ini tinggal menekankan pada pengembangan perangkat lunak yang menjalankan fungsi pengolahan sinyal digital untuk mengukur dan menampilkan spektrum frekuensi dan daya sinyal RF yang diproses. Prototype spektrum analiser digital dengan menggunakan platform komputasi SDR diperoleh dari beberapa proses, dimulai dari analisis kebutuhan, penentuan spesifikasi, desain blok diagram fungsi yang akan menghasilkan sebuah model dari sebuah algoritma, dan dilanjutkan dengan implementasi atau coding (pemrograman), dan terakhir adalah pengujian. Proses perbaikan dilakukan berdasarkan hasil pengujian dan evaluasi dan kemungkinan dapat mengarah pada model, implementasi, atau kedua-duanya. Rancangan pengujian unjuk kerja dari spektrum analiser digital yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini. Sebagai sinyal gelombang input yang akan diamati spektrumnya dapat menggunakan pembangkit sinyal atau pemancar perangkat komunikasi radio. Beradasarkan tampilan yang nampak pada layar monitor dalam menggambarkan spektrumnya maka dapat diamati unjuk kerja model spektrum analiser digital menggunakan platform komputasi SDR dengan USRP dan komputer PC. Kesimpulan hasil pengujian berdasarkan kriteria unjuk kerja yang telah ditentukan sebelumnya. 473 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Signal Generator Digital Spectrum Analyzer Under Tested (Model) Result Radio Communication Equipment (Tx) Performance Criteria Gambar 5. Pengujian unjuk kerja Hasil dan Pembahasan Kegiatan penelitian Tahap II telah menghasilkan perangkat lunak aplikasi pengolahan sinyal digital untuk keperluan spektrum analiser digital dengan menggunakan bahasa pemrograman Python. Perangkat lunak tersebut merupakan integrasi beberapa perangkat lunak open source dari GNU Radio dan menambah beberapa algoritma dalam rangka menintegrasikan dan menambah fungsi perangkat lunak aplikasi tersebut. Uji coba perangkat lunak spektrum analiser dengan menggunakan platform SDR dalam menjalankan fungsi spektrum analiser telah dilakukan dengan hasil sebagai berikut. Tampilan Spektrum Analiser Fungsi spektrum analiser digital berbasis SDR dapat diperoleh dengan menjalankan driver mainboard USRP dan menjalankan file program Phyton berjudul usrp_fft.py. Tampilan spektrum analiser berbasis SDR adalah sebagai berikut ini. Gambar 6. Tampilan spektrum analiser digital berbasis SDR 474 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengukuran spektrum frekuensi sinyal RF Skala divisi horisontal tampilan spektrum analiser adalah 0,5 MHz dengan batas minimal adalah – 2 MHz dan batas maksimal adalah + 2 MHz. Uji coba unjuk kerja spektrum analiser digital berbasis SDR dimulai dengan pengukuran sinyal RF VHF radio komunikasi 144 MHz menggunakan sebuah perangkat kominikasi HT dengan daya kurang lebih 1 watt. Hasil pengukuran spektrum tersebut ditunjukkan pada Gambar 7. Saluran (frekuensi) yang digunakan dalam percobaan tersebut adalah 144,270 MHz atau sering disebut dengan dial 427. Berdasarkan percobaan tersebut nampak bahwa dengan melakukan pengaturan frekuensi tengah spektrum analiser pada frekuensi 144 MHz, maka sinyal RF dari HT terletak pada posisi antara 0 – 0,5 yang artinya menunjukkan posisi spektrum sinyal berada pada frekuensi 144,270 MHz. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembacaan spektrum frekuensi dari prototipe spektrum analiser digital berbasis SDR telah menunjukkan hasil yang sebenarnya. Berdasarkan skala divisi tampilan spektrum analiser tersebut maka ketelitian frekuensi spektrum yang ditampilkan adalah 0,25 MHz. Hasil percobaan ini juga dapat digunakan sebagai tahap awal dalam kalibrasi prototipe spektrum analiser digital berbasis SDR. Dengan demikian, kesimpulan sementara dari hasil percobaan ini adalah prototipe spektrum analiser digital berbasis SDR dapat berfungsi dengan baik. Namun demikian, perlu diuji lagi untuk frekuensi-frekuensi lain dalam band frekuensi VHF tersebut dan juga untuk band frekuensi yang lain misalnya band HF (High Frequency) atau UHF (Ultra High Frequency). Gambar 7. Tampilan spektrum analiser digital berbasis SDR untuk sinyal RF VHF dari HT dengan frekuensi 144,270 MHz 475 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengamatan terhadap beberapa frekuensi pada daerah band VHF dari frekuensi 140,000 MHz s.d. 140,100 MHz dapat dilihat pada gambar berikut ini, dengan frekuensi pusat (center) adalah 140,000 MHz. Pengamatan Frekuensi 140.1 140.09 140.08 Frekuensi (MHz) 140.07 140.06 140.05 140.04 140.03 140.02 140.01 140 0 2 4 6 8 10 data ke-n 12 14 16 18 20 Gambar 8. Pengamatan frekuensi band VHF dengan frekuensi 140 s.d. 140,1 MHz Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa resolusi spektrum adalah 0,25 MHz, sehingga perubahan frekuensi kurang dari 0,25 MHz tidak dapat diukur secara pasti oleh spektrum analiser tersebut. Tindak Lanjut Cara lain dalam menguji unjuk kerja sebuah alat ukur spektrum adalah dengan menggunakan nilai distorsi spektrum, dimana nilai ini menunjukkan selisih spektrum antara spektrum yang dihasilkan oleh alat ukur yang diuji dengan spektrum yang dihasilkan oleh alat ukur refereni. Perbedaan nilai biasanya dinyatakan dalam dB dan perbedaan yang baik tidak boleh lebih dari 1 - 2 dB. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai distorsi spektrum adalah sebagai berikut: D 2  1 fs Fs  10 log 10  P ( f )   10 log 10   P( f ) 0 476  2 df (1) Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dimana F s adalah frekuensi sampling, P( f ) adalah spektrum yang dihasilkan oleh alat ukur  referensi, dan P ( f ) adalah spektrum yang dihasilkan oleh alat ukur yang sedang diuji. Pengukuran unjuk kerja ini memerlukan data digital tentang hasil pengukuran spektrum baik untuk alat ukur yang sedang diuji maupun alat ukur referensi. Sedangkan kondisi alat yang digunakan dalam penelitian ini belum sepenuhnya mendukung untuk pengujian sistem tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa: 1. Prototipe spektrum analiser digital berbasis SDR dapat dibangun dengan menggunakan menggunakan USRP dan PC sebagai platform perangkat keras, serta integrasi perangkat lunak pengolahan sinyal digital untuk menjalankan fungsi sepktrum analiser 2. Arisektur perangkat lunak spektrum analiser digital menggunakan platform komputasi SDR menggunakan algoritma FFT sebagai tulang punggung dalam pengolahan sinyal digital khususnya dalam ekstraksi komponen frekuensi sinyal. 3. Pengujian unjuk kerja prototipe spektrum analiser digital berbasis SDR menunjukkan hasil yang baik dalam pengukuran spektrum daya RF terutama daerah frekuensi band VHF dengan ketelitian 0,25 MHz untuk skala divisi horisontal dengan batas kiri (minimum adalah) – 2 MHz dan batas kanan + 2 MHz dari frekuensi tengah (center) sinyal RF yang diamati. DAFTAR PUSTAKA E. Marpanaji, dkk., “Experimental Study of DQPSK Modulation on SDR Platform.” ITB Journal of Information and Communication Technology, Vol. 1 No. 2 November 2008, pp. 84 – 98. E. Marpanaji, dkk., “Studi Eksperimen Unjuk-Kerja Modulasi DBPSK pada Platform Software-Defined Radio (SDR).” Jurnal Technoscientia, Vol. 1 No. 1 Agustus 2008, pp. 14 – 22. E. Marpanaji, dkk., Pengukuran Unjuk Kerja Modulasi GMSK pada Software-Defined Radio Platform, Jurnal Telkomnika, Vol. 5, No. 2 Agustus 2007, pp. 73 – 84. F. Christensen, “A scalable Software-Defined Radio Development System”. [On-line] http://www.xilinx.com/ publications/xcellonline/ xcell_51/xc_pdf/xc_es-sundance51.pdf, 2004. H. Harada, R. Prasad, “Simulation and Software Radio for Mobile Communications.“ London: Artech House, 2002. J. Guttag, “Software Radio for Adaptive Networking”, [Online] http://web.mit.edu/ deshpande center/downloads/presos/ ideastream2003_ wireless.pdf, 2003. 477 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta J. H. Reed, “Software Radio: A Modern Approach to Radio Engineering.” New Jersey, Prentice Hall, 2002. J. Mitola III, “Software Radio Architecture. Object-Oriented Approaches to Wireless Systems Engineering”, Canada: John Eiley & Sons, Inc, 2000. M. E. Angoletta, “From Analog to Digital Domain.” [Online]. http://humanresources.web.cern.ch/humanre-sources/ external/training/special/DISP2003/DISP-2003_L01A_20Feb03.pdf, 20 Feb 2003. Available: Steinheider, J., “Software-defined Radio Comes of Age”, Mobile Radio Technology, Feb 1st, [Online] http://www.vanu.com/ resources/ intro/software-defined_radio_comes_of_ age.html, 2003. W. Lehr, “Software Radio:Implication for Wireless Services, Industry Structure, and Public Policy”, [Online] http:// itc.mit.edu/itel/docs/2002/Software_Radio_Lehr_Fuencis.pdf, 2002. 478 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta POTENSI WILAYAH PESISIR PANTAI KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KULON PROGO Nur Rasminati dan Setyo Utomo Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta nurrasminati@yahoo.co.id ABSTRACT These research was aim to determine the potency of coastal areas for Etawah crossbreed development in Kulon Progo. Twenty farmers who live in coastal areas were used as a respondents, the number of goats ownership ranged from 3-15 individuals. Survey methods used in research, with a sampling of respondents in the census. The results showed that the land in the coastal area covering 325 hectares that have been worked on by the community 80%, with the types of agricultural crops were maize, cassava, peanuts, chili peppers and watermelon. Legume crop of trees planted as a fodder crop as well as wind breaker were gliriside, hibiscus, moringa and Mindi. Gliriside was the main feed for livestock goat in coastal areas, with an average leaf production 40ton/Ha/year. Capacities of the region for goat was 3458.59 head. Goat productivity levels in the coastal areas has been fairly well with the average buck weight was 45 kg and 39.2 kg for doe. The average age of first mating 12.4 months with the littersize 2.1 and S / C = 2. Productivity level was almost the same as the productivity of goat in the mountains. It could be concluded that the coastal areas have the potential for the development of goat based on human resources, natural resources and genetic resources. Key words: Forage, Etawah crossbreed , Coastal areas, Carrying capacity Pendahuluan Kawasan lahan pasir pantai selatan Propinsi D.I.Yogyakarta membentang dari pantai Glagah Kulon Progo sampai Parangtritis Bantul membentuk suatu hamparan lahan pasir. Beberapa sifat fisik dan kimia tanah pasir antara lain dicirikan oleh tekstur tanah pasir, struktur tanah berbutir, konsistensi lepas, sangat porous sehingga daya sangga air dan pupuk sangat rendah yang menjadikan kawasan lahan pasir tersebut tergolong marginal (Notohadiprawiro, 1978; Puslittanak 1994). Keadaan iklim dikawasan pantai selatan D.I.Yogyakarta dicirikan oleh curah hujan antara 1.580-2.300 mm/th, suhu udara harian 26°C-28°C, zone agroklimat C3–D2 dan rejim kelembaban tanah tergolong ustik (Idjudin, et al. 1995). Tanaman pemecah angin biasanya tanaman perdu, berpohon dan kuat untuk menahan angin yang menghasilkan dedaunan yang sangat disukai ternak khususnya ternak kambing. Masyarakat wilayah pantai telah mengembangkan beberapa usaha disamping sebagai nelayan, diantaranya adalah memelihara kambing PE. Kambing PE mempunyai prospek ekonomis yang sangat bagus, selain memiliki daya eksotik tinggi juga memiliki harga jual yang sangat tinggi jika mempunyai criteria eksotik yang bagus. Pengembangan ternak kambing di wilayah pantai akan sangat mungkin berhasil jika didukung dengan metode pengembangan pertanian terpadu (integrated farming) sehingga akan saling mendukung keberhasilan usaha.. Ternak kambing khususnya kambing Peranakan Etawah (PE) banyak dipelihara oleh masyarakat Kulon Progo, terutama di daerah dataran tinggi Girimulyo, Samigaluh dan Kokap. Namun 479 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta saat ini masyarakat yang tinggal di dataran rendah juga mulai mengembangkan budidaya ternak kambing, karena melihat prospek dan potensi yang sangat menjanjikan. Banyak masyarakat di pesisir pantai yang memelihara kambing, baik kambing lokal (kacangan), bligon maupun kambing Peranakan Ettawa (PE). Selama ini, seperti halnya ternak sapi perah yang berkembang di dataran tinggi, ternak kambing perah juga lebih banyak dikembangkan di dataran tinggi. Namun bukan berarti kambing ras ini tidak bisa berkembang dan berproduksi di dataran rendah seperti wilayah pesisir pantai. Pada kenyataannya kambing PE dapat dikembangkan di wilayah pantai dengan penampilan/performans yang relatif sama dengan PE yang dipelihara di wilayah pegunungan. Berkembangnya wilayah pesisir pantai sebagai lahan pertanian akan sangat mendukung usaha peternakan khususnya kambing PE untuk menghasilkan pupuk organic yang banyak dibutuhkan di wilayah pesisir. Masyarakat wilayah pantai telah mengembangkan beberapa usaha disamping sebagai nelayan. Pada saat ini areal lahan pasir pantai sudah banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Tanaman yang dibudidayakan sesuai dengan pola curah hujan tahunan dengan tanaman hortikultura (kacang tanah, semangka, melon, bawang merah, cabe merah) dan tanaman tahunan berupa kelapa. Tanaman hortikultura yang dibudidayakan dikawasan pantai merupakan tanaman bernilai ekonomi tinggi sehingga dalam budidaya membutuhkan modal dan teknologi yang tinggi. Orientasi kambing PE sebagai komoditas untuk dikembangkan di wilayah pantai dikarenakan kambing PE memiliki produk dengan harga jual sangat tinggi seperti susu dan anak kambing (cempe) yang apabila termasuk dalam criteria eksotik berharga antara Rp. 1-3 jutaan/ekor (anakan umur 3 bulan). Penelitian bertujuan; mengetahui kondisi lingkungan pantai dan potensi pakan, mengetahui produksi dan daya tampung pakan (carrying capacity) yang mendukung usaha peternakan kambing PE. Materi dan Metoda Penelitian dilaksanakan di desa Karangwuni Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini menggunakan materi peternak kambing PE di desa Karangwuni sejumlah 20 orang (kepemilikan 3-15 ekor/orang), tanaman makanan ternak yang terdapat di sekitar pesisir pantai, limbah pertanian dari usaha pertanian di wilayah pesisir, limbah kotoran ternak kambing. Metoda yang digunakan dalam penelitian adalah metoda survey, dengan pengambilan sampel responden secara sensus terhadap 20 orang peternak yang digunakan sebagai responden. Data yang diamati meliputi identitas peternak, bangsa kambing, jumlah dan fase kambing, kuantitas pakan dan jenis rambanannya, serta potensi wilayah daya dukung (jenis rambanan, produksi, Carrying Capacity). Data identitas peternak responden diperoleh dari wawancara dengan responden dengan alat bantu kuesioner. Data daya dukung wilayah meliputi jenis-jenis tanaman hijauan pakan, produksi hijauan pakan, dan kapasitas tampung pakan. Kapasitas tampung pakan diperoleh dengan cara menghitung produksi pakan (ton/Ha/th) dibandingkan dengan kebutuhan pakan selama waktu tertentu (ton/UT/th). Data hasil penelitian ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif. 480 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum Peternak Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peternak berada pada kisaran umur 42 – 55 tahun; dengan umur rata-rata 49 tahun. Faktor umur biasanya lebih diidentikkan dengan produktivitas kerja, dan jika seseorang masih tergolong usia produktif ada kecenderungan produktivitasnya juga tinggi. Semakin muda usia peternak (usia produktif 20 – 45 tahun) umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan daya adopsi teknologi semakin tinggi (Chamdi, 2003). Ditinjau dari tingkat pendidikan formal terdapat variasi dari yang terendah tamat sekolah dasar dan tertinggi Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan peternak didominasi oleh tamat SLTA (37,50%), selebihnya tamat sekolah dasar dan lanjutan pertama, sedangkan yang tamat Perguruan Tinggi masih sangat kecil persentasenya. Dengan tingkat pendidikan yang demikian dapat diasumsikan bahwa kemampuan peternak untuk mengetahui dan mengadopsi suatu keterampilan dalam rangka pengembangan usaha ternak akan lebih mudah. Chamdi (2003) dan Syafaat, et al. (1995) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan akan menentukan keberhasilan usaha ternak, tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kualitas sdm, akan menyebabkan produktivitas kerja semakin tinggi. Berdasarkan mata pencahariaan; sebagian besar petani yaitu 75% sedangkan 25% PNS/Swasta, dan 80% responden memelihara ternak sebagai usaha sambilan disamping pekerjaan mereka sebagai petani, sedangkan 20% sebagai tabungan. Munier (2003) Soedjana (1993) dan Priyanti, et al. (1989) menyatakan, umumnya usaha utama peternak adalah sebagai petani dengan bertanam padi, palawija, sayuran dan lainnya, tetapi kenyataannya ditingkat peternak bahwa hasil penjualan ternak cukup memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian untuk kebutuhan konsumsi. Rata-rata pengalaman beternak kambing PE adalah 2,94 tahun. Walaupun pengalaman beternak masih rendah namun pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan kambing PE sudah cukup baik. Pengalaman beternak yang cukup lama, belum menjamin tingkat produktivitas ternak kambing PE yang tinggi, karena produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor selain dari pengalaman beternak. Rata-rata kepemilikan kambing PE adalah 1,46 UT/responden dan milik sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pakan, hampir seluruh peternak memiliki lahan dan atau memanfaatkan lahan baik sawah maupun tegalan untuk penanaman hijauan makanan ternak maupun tanaman pertanian yang limbahnya sebagai pakan. Lahan di wilayah pesisir pantai seluas sekitar 325 Ha, dan yang sudah digarap oleh peternak seluas 80% nya, dengan jenis tanaman yang diusahakan adalah jagung, ketela pohon, kacang tanah, cabai dan semangka. Lahan yang cukup luas belum menjamin tingkat produktivitas ternak kambing PE yang tinggi. Hal ini terjadi karena tidak semua bagian lahan yang dimiliki oleh peternak ditanami rumput sebagai sumber pakan hijauan. Disamping itu pengelolaan lahan yang kurang optimal akan mempengaruhi produksi hijauan pakan. 481 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pakan Ternak Kambing PE Pakan yang diberikan pada ternak kambing umumnya berupa pakan hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan berasal dari rumput lapangan dan rumput unggul (rumput Gajah dan rumput Raja) yang ditanam diareal kebun rumput milik peternak dan lahan marginal seperti pematang sawah, maupun berasal dari lahan pertanian di pesisir pantai. Hijauan yang diberikan oleh peternak sebanyak 4–6 kg/ekor/hari, pemberian dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore hari). Selain rumput peternak juga memberikan sisa hasil pertanian berupa batang jagung, jerami kacang tanah, daun ketela pohon sebagai pengganti sebagian hijauan (pada musim panen) dan tanaman lain seperti daun gliriside, daun waru, daun kelor dan daun mindi. Seluruh peternak memberikan konsentrat pada ternaknya, konsentrat yang diberikan berupa dedak, ampas tahu, dan kleci jumlah pemberian berkisar antara 0,3-0,5 kg/ekor/hari. Pemberian meneral juga dilakukan oleh peternak dalam bentuk pemberian garam dapur yang dilarutkan dalam air minum, dan melalui pemberian hijauan untuk menambah nafsu makan. Ternak kambing dipelihara secara intensif dalam kandang yang dibuat secara sederhana, memanfaatkan bahan lokal yang ada. Kandang umumnya sudah menggunakan atap genting, tipe kandnag panggung, dinding terbuat dari kayu dengan ukuran kandang 1,25 x 1 m2 per ekor. Jenis tanaman yang diusahakan untuk HMT adalah rumput kolonjono, setaria dan rumput gajah, sedangkan untuk tanaman lain yaitu kacang tanah, jagung, ketela pohon dan kacang kedelai. Responden menanam padi pada waktu musim penghujan, sedangkan ketika musim kemarau responden mengusahakan tanaman polowijo. Tanaman lain yang juga digunakan sebagai pakan ternak kambing adalah gliricidea, kelor, mindi dan daun waru. Melihat beragamnya jenis tanaman pertanian yang tumbuh di Kecamatan Wates, apabila dikelola secara intensif, akan dapat dihasilkan tanaman pakan ternak kambing yang juga beragam baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ketika musim penghujan, peternak dapat memperoleh hijauan yang cukup melimpah, sementara apabila musim kemarau peternak juga masih dapat memperoleh pakan dari limbah pertanian yang dibudidayakan peternak. Produksi pertanian dan limbah pertanian hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi limbah pertanian untuk pakan kambing Jenis tanaman pangan Jagung Kacang tanah Ketela pohon Produksi tanaman (Kw/Ha) 62,26 9,66 163, 94 Produksi limbah (Kw/Ha) 87,16 13,52 229,52 Dari tabel 1 terlihat bahwa limbah pertanian mempunyai potensi sebagai pakan ternak kambing, khususnya untuk jerami kacang tanah, daun ketela pohon dan jerami jagung. Menurut Kim dan Dale (2004) dalam Isroi (2009), potensi jerami padi kurang lebih 1,4 kali dari hasil panen (gabah). Jerami dari limbah pertanian ini merupakan sumber pakan yang sangat besar di kecamatan Wates. Hasil jerami yang cukup besar ini merupakan potensi bagi ternak, karena limbah pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak. 482 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dilihat dari aspek produktivitas tanaman, ketela pohon merupakan tanaman yang memiliki produktivitas tertinggi, kemudian diikuti oleh jagung, dan kacang tanah. Produksi limbah pertanian yang berupa jerami ini sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak. Produksi daun gliriside di lokasi penelitian berkisar antara 1,3-2,6 kg/potong/pohon, dengan interval waktu pemotongan rata-rata 3 bulan diperoleh produksi daun sekitar 40 ton/ha/tahun. Tanaman gliriside merupakan salah satu pakan utama bagi ternak kambing di daerah pesisir pantai. Hampir seluruh wilayah pesisir ditanami gliriside, baik sebagai tanaman pagar maupun ditanam khusus sebagai tanaman pakan. Produksi tahunan daun mencapai 5-16 ton/hektar bahan kering, atau mencapai 43 ton/hektar daun segar(http://indonesia.tropicalforages.info/key/Forages /Media /Html/Guidelines_indo.htm) Populasi ternak kambing di lokasi penelitian 1.622 ekor, namun khusus untuk kambing PE jumlahnya relatif kecil (66 ekor). Jika diprediksikan dalam UT maka produksi limbah pertanian ini dapat memenuhi 100% pakan ternak kambing yang berasal dari limbah pertanian, sedangkan kekurangannya diambil dari tegalan dan kebun hijauan makanan ternak. Sehingga diprediksikan hanya dengan pengelolaan integrated farming, kebutuhan pakan untuk kambing dapat terpenuhi dari dalam. Pola Pemeliharaan Ternak Hasil penelitian mengenai pemeliharaan ternak menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh peternak kambing PE 100% dengan cara semi intensif. Masyarakat memelihara ternak dengan cara mengandangkan ternak sepanjang hari, hal itu dikerjakan dengan alasan supaya mempermudah dalam pemberian pakan dan perawatan sehingga pertumbuhan ternak akan lebih baik. Hal ini sangat terkait dengan sistem pemberian pakan. Peternak memberikan pakan bagi ternaknya dengan cara memberikan pakan di kandang. Rumput diperoleh dengan cara mencari di sepanjang pematang maupun pada lahan–lahan rumput yang mereka miliki. Hal di atas menunjukkan bahwa lahan garapan yaitu sawah dan kebun menjadi basis ekologis bagi ternak sebagai penyedia hijauan dan tempat pemeliharaan ternak. Terdapat kecenderungan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembaalan sangat terbatas dan keberadaannya di pedesaan jauh dari pemukiman penduduk (Setiadi, et al. 1995). Pada pola pemeliharaan seperti yang dilakukan oleh para responden, berakibat pada tingkat produktivitas ternak kambing yang masih rendah. Hal ini juga ditunjang oleh tujuan pemeliharaan yang belum berorientasi ke bisnis murni, tetapi masih sebagai usaha sambilan. Pemberian pakan Berdasarkan hasil pengamatan, responden memberikan pakan ternak baik sapi, kambing maupun domba berupa hijauan segar, jerami dan konsentrat. Hijauan yang diberikan pada musim 483 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta hujan berupa rumput gajah, kolonjono dan setaria, daun ketela pohon, daun waru, gliriside, daun kelor dan daun mindi. Daun kelor dan daun mindi termasuk pakan yang sering diberikan kepada kambing, walaupun dalam jumlah yang kecil. Sedangkan pada musim kemarau, ternak sapi diberi jerami padi (100%), untuk kambing diberi pakan jerami kacang tanah maupun kedelai dan sebagian kecil rumput (7,69%). Seluruh responden (100 %) memberikan pakan 2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari. Hijauan yang diberikan berasal dari tegalan yang mereka miliki (48,50%), pematang (30,50%) dan lahan rumput (21,00%) sedangkan jerami berasal dari lahan sendiri (83 %) maupun membeli dari luar daerah (17 %). Pemberian pakan jerami pada waktu musim kemarau ini merupakan salah satu cara para peternak dalam mencukupi kebutuhan pakan ternaknya. Walaupun begitu, peternak merasa kesulitan mencari pakan ketika musim kemarau tiba. Jerami untuk pakan ternak diperoleh dari sawah-sawah yang telah dipanen dan apabila sudah tidak mencukupi lagi maka petani akan mencari jerami ke lain daerah. Tegalan yang ada juga ditanami rumput untuk mencukupi kebutuhan pakan ternaknya. Hal itu disebabkan karena mahalnya harga rumput yang digunakan untuk pakan. Dalam memberikan pakan yang berupa jerami, peternak belum melakukan pengolahan pakan untuk meningkatkan kualitas jerami. Jumlah pemberian pakan hijauan rata-rata 5,15 kg/ekor/hari, diberikan 2 kali pada pagi dan sore hari, sedangkan untuk pakan penguat sebanyak 0,47 kg/ekor/hari. Pakan penguat yang diberikan berupa bekatul, pollard, dan sisa dapur dengan frekuensi pemberian rata-rata 2,1 kali/hari. Jumlah pemberian pakan hijauan secara kuantitas sudah cukup baik, mengingat bobot badan ratarata kambing PE di lokasi adalah 35,34 kg, sedangkan pemberian pakan hijauan biasanya sebanyak 10% dari bobot badannya. Pemberian pakan penguat secara kuantitas juga sudah cukup, karena standar pemberiannya adalah 1% BB. Ketersediaan hijauan pakan menurut peternak adalah tidak tetap atau fluktuatif. Namun demikian seluruh responden (100%) menyatakan ketersediaan pakan cukup. Ketersediaan pakan sangat dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim penghujan atau panen komoditi tanaman pangan jumlahnya melimpah, sementara saat musim kemarau/paceklik ketersediaannya berkurang. Di daerah pesisir pantai, ketika musim kemarau pakan diperoleh dari tanaman pekarangan dan pemecah angin seperti gliriside, waru, kelor dan mindi. Selain itu berasal dari lahan pertanian di sekitar pesisir yang menghasilkan limbah pertanian. Produktivitas Ternak Kambing Rata-rata berat badan kambing dewasa pada saat penelitian di daerah pesisir pantai untuk pejantan produktif rata-rata adalah 35,7 kg, induk produktif 37,2 kg, dengan tinggi gumba untuk indukan betina 68,2 cm dan jantan produktif 69,5 cm, umumnya kambing PE berbadan besar, berat badan betina kurang lebih 25 kg dan jantan kurang lebih 35 kg, tinggi gumba yang betina kurang 484 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta lebih 60 cm dan yang jantan kurang lebih 70 cm (http://duniaveteriner.com/2009/09/ternakkambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print). Berat badan cempe kurang dari 1 bulan adalah 2,5 kg, cempe umur 1–2 bulan adalah 6,5 kg, berat cempe saat disapih umur 3 bulan adalah 10,45 kg sedangkan umumnya kambing PE disapih pada umur 6 – 8 bulan, berat cempe lepas sapih sampai dengan umur 6 bulan adalah 19,3 kg dan berat cempe umur 6–8 bulan menjelang pubertas adalah 32,6 kg. Sebagai calon induk, bobot badan ini sudah melebihi, sebagaimana dinyatakan bahwa calon induk dan pejantan dipilih berdasarkan catatan produksi. Calon induk yaitu: bobot lahir antara 1,8–2 kg; berat sapih antara 6-8 kg; berat umur satu tahun (yearling) antara 20–25 kg; (http://duniaveteriner.com/2009/09/ternak-kambingpe-sebagai-penghasil-susu /print ). Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60%. Walaupun jumlah rata-rata pemberian pakan kambing di daerah pesisir cukup (5,15 kg/ekor/hari), tetapi belum mampu memberikan tingkat produksi kambing PE yang tinggi. Hal ini diduga karena berkait dengan kontinyuitas kecukupan pakan sepanjang tahun dan kualitas genetiknya. Rendahnya tingkat produktivitas ternak kambing di daerah pesisir menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Di samping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60 – 80% dari keseluruhan biaya produksi. Berdasarkan data reproduksi diketahui bahwa umur pertama kawin untuk kambing PE yang ada di wilayah pantai adalah 12,4 bulan, ini menunjukkan bahwa kinerja reproduksi untuk parameter tersebut umumnya berkisar antara 10-12 bulan sudah dikategorikan baik, sehingga umur beranak pertama dicapai pada umur 15–17 bulan. Litersize kambing PE di wilayah pantai adalah 2,1 ekor, umumnya kambing PE memiliki litersize antara 1,5–1,8 ekor/induk (Devendra dan Burn, 1994). Kondisi yang relative sama antara kambing PE umumnya dengan PE daerah pantai disebabkan karena potensi pakan yang melimpah sehingga ketersediaan pakan tidak menjadi kendala karena produksi hormone reproduksi tidak terkendala (Partodihardjo, 1987), disamping itu efek temperature pantai terhadap kinerja produksi kambing PE yang dipelihara di wilayah pantai ternyata tidak berpengaruh. Berdasarkan capaian S/C, umumnya kambing PE memiliki S/C = 1, sedangkan di daerah pantai memiliki S/C = 2, hal ini disebabkan karena pejantan yang baik tidak selalu tersedia di lapangan, sehingga menyebabkan terjadinya keterlambatan mengawinkan. S/C juga dipengaruhi oleh kondisi pejantan (Utomo, 2004). 485 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kapasitas Tampung Wilayah Daya dukung wilayah untuk ternak adalah kemampuan wilayah dalam menampung populasi ternak secara optimal. Pemanfaatan lahan untuk peternakan didasarkan pada; a) lahan sebagai sumber pakan untuk ternak, b) semua jenis lahan cocok untuk sumber pakan, c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian, d) hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). Kapasitas penambahan Populasi Ternak Ruminansia dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, luas panen dan populasi ternak ruminansia. Produksi limbah pertanian di daerah pantai yang cukup besar (Tabel 7) serta produksi daun gliriside yang juga cukup banyak (40 ton/ha/th) apabila digunakan sebagai pakan ternak kambing, dengan populasi ternak kambing (1.622 ekor) masih memungkinkan untuk pengembangan ternak kambing PE di daerah pesisir pantai sebesar. Lahan di pesisir pantai seluas 325 ha, apabila ditanami gliriside, akan mempunyai kapasitas tampung ternak kambing sebanyak 3.458,59 ekor. Potensi ini belum termasuk limbah pertanian yang produksinya juga cukup melimpah. Ditinjau dari ketersediaan pakan, daerah pesisir pantai mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan ternak kambing. Kesesuaian Wilayah Pengembangan Usaha Ternak Kambing PE Untuk menentukan tingkat kesesuaian wilayah dalam pengembangan ternak kambing digunakan analisis tipe wilayah. Daerah persawahan, perladangan dan perkebunan memiliki daya dukung yang tinggi untuk pengembangan ternak kambing, oleh karena usaha ternak kambing sangat erat kaitannya dengan sistem usahatani, khususnya dalam penyediaan pakan berupa limbah pertanian. Hasil analisis tipe wilayah, wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk pengembangan usaha ternak kambing PE dimasa datang. Potensi dan Kendala Pengembangan Usaha Ternak Kambing PE Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu wilayah di DIY yang menjadi salah satu sentra produksi kambing PE. Kondisi ini membuat wilayah pesisir pantai menjadi sangat strategis dalam berbagai hal termasuk pengembangan usaha kambing PE. Disamping posisinya yang strategis juga terdapat kendala dalam pengembangan usaha kambing PE ke depan. Potensi dan kendala yang ada dikelompokan ke dalam dua faktor utama yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor ini meliputi: sumberdaya alam, sumberdaya manusia, fasilitas pendukung, manajemen usaha dan faktor luar lainnya yang ikut mempengaruhi upaya pengembangan ternak kambing. Disamping potensi yang dimiliki, terdapat beberapa kendala yang perlu disikapi dalam pengembangan usaha ternak kambing PE ke depan yaitu kualitas sumberdaya manusia, belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang ada ditingkat peternak, usaha yang dijalankan bersifat 486 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sambilan. Menurut Mosher (1983), pendidikan secara individu penting dan berpengaruh dalam menyerap inovasi dan cara-cara baru dibidang pertanian atau usaha peternakan. Upaya pemeliharaan kambing PE di daerah pesisir belum optimal. Saat ini wilayah yang sudah mengarah pada usaha pembibitan dengan program pemerintah adalah daerah pegunungan Menoreh. Namun demikian wilayah pesisir pantai ternyata juga mempunyai potensi untuk pengembangan kambing PE. Faktor luar yang juga mempengaruhi pengembangan usaha kambing PE seperti: tingginya permintaan terhadap produk baik cempe maupun indukan, tersedianya fasilitas dan kelembagaan pendukung, dan program bantuan pengembangan dari pemerintah. Disamping peluang terdapat juga ancaman yang perlu diwaspadai seperti terbatasnya pejantan kualitas unggul yang ada di daerah pesisir dan masih belum bagusnya kualitas genetik kambing PE di daerah pantai. Peternak selama ini harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk mengawinkan kambing betina dengan pejantan unggul. Selain itu lokasi keberadaan pejantan unggul yang berada di daerah pegunungan Menoreh juga menjadi kendala bagi peternak. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan program kawin suntik / Inseminasi Buatan (IB) kambing. Integrasi Ternak dengan Usaha Pertanian Perkembangan usaha peternakan perlu didukung oleh berbagai sarana produksi, yang salah satunya adalah pakan. Dalam sistem ini, tanaman pangan berperan dalam penyediaan pakan ternak yang berupa limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, jerami kedelai dan daun singkong. Seterusnya ternak akan menghasilkan kotoran yang dapat berguna sebagai pupuk organik bagi tanaman (Diwyanto, et al., 2005). Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di tingkat peternak sangat tinggi. Hal ini terlihat semua peternak (100%) yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Alasan peternak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan adalah pada saat panen ketersediaanya melimpah, sehingga dapat diberikan dalam bentuk segar; mengatasi kesulitan pakan pada saat musim kemarau. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Wates adalah petani sekaligus pemilik ternak. Usaha tani merupakan satu kesatuan yang banyak dilakukan masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena apabila petani menggarap sawah maka akan lebih efisien apabila sepulang dari sawah sambil membawa hijauan untuk pakan ternak. Sehingga ada petani yang memiliki ternak walaupun hanya sebagai penggaduh saja. Pemanfaatan limbah hasil usaha tani yang berupa jerami, digunakan oleh para petani untuk pakan ternaknya. Seluruh responden memanfaatkan jerami sebagai pakan ternaknya. Demikian juga sebaliknya pemanfaatan limbah dari usaha ternak yang berupa kotoran digunakan oleh petani untuk memupuk sawah / lahannya. Berdasarkan hasil penelitian, responden telah melakukan pola 487 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pertanian terpadu antara tanaman pertanian dengan peternakan dengan tingkat efektivitas yang tinggi (Rasminati, 2010). Pengembangan sistem integrasi tanaman – ternak bertujuan untuk: 1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak, dan 4) meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak (Suharto 2004; Kariyasa 2005; Utomo dan Widjaja 2006). Kesimpulan Wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk pengembangan kambing PE berdasarkan sumber daya alam, sumber daya genetik dan sumber daya manusianya. Tingkat produktivitas kambing PE di daerah pesisir hampir sama dengan di daerah pegunungan. Daftar Pustaka Chamdi A.N., 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di kecamatan Kradenan kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 312-317. Devendra, C. dan M. Burns, 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB Bandung. Diwyanto, K., A. Priyanti dan R.A. Saptati, 2005. Prospek Pengembangan Integrasi Usaha Peternakan di Indonesia. Buku Panduan. Seminar Nasional Prospek Pengembangan Peternakan Tanpa Limbah. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hang, Du Thanh., 1998. Ensiled cassava leaves and duckweed as protein sources for fattening pigs on farm in Central Vietnam. Livestock Research for Rural Development 10(3): http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd10/3/hang2.htm http://duniaveteriner.com/2009/09/ternak-kambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print http://caricadieng.wordpress.com/2008/11/27/budidaya-kambing-peranakan-etawah/ http://kandangbambu.wordpress.com/2010/05/29/pemahaman-dasar-pola-pemberian-pakan-padaternak-kambing-perah/ http://cianjurkab.go.id/content/static/pdf/kambing.pdf. Idjudin, A.A., E. Masbulan dan A.S Karama. 1995. Perspektif penelitian terapan sistim DAS kawasan perbukitan kritis Provinsi D.I.Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistim Usahatani Konservasi dan Alat mesin Pertanian Yogyakarta, 17 – 19 Januari 1995. Puslittanak Badan Litbang Pertanian. 488 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Indra, 2009. Panjang Garis Pantai Indonesia Terbaru http://seputarberita.blogspot.com /2009/03/panjang-garis-pantai-indonesia-terbaru.html. (diambil tanggal 24-01-2011). Isroi, 2009. Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik in-situ untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan subsidi pupuk. http://isroi.wordpress.com/2009/05/14/pemanfaatanjerami-padi-sebagai-pupuk-organik-in-situ-untuk-mengurangi-penggunaan-pup.14 Nopember 2010) Juniar Sirait dan K. Simanihuruk, 2010. Potensi dan pemanfaatan daun ubikayu dan ubijalar sebagai sumber pakan ternak ruminansia kecil. Wartazoa Vol 20 No 2 Tahun 2010. Kavana P Y, Kizima J B and Msanga Y N 2005 Evaluation of grazing pattern and sustainability of feed resources in pastoral areas of eastern zone of Tanzania. Livestock Research for Rural Development. Volume 17, Article # 5. Retrieved July 3, 2008, from http://www.lrrd.org/lrrd17/1/kava17005.htm Khang, Duong Nguyen., Ngo Van Man and Wiktorsson H, 2000. Substitution of cotton seed meal with cassava leaf meal in Napier grass (Pennisetum purpureum) diets for dairy cows. In: Proceedings Seminar-Workshop “Making better use local feed resources” (Editors: T R Preston and R B Ogle). SAREC-UAF, Ho Chi Minh City, January 2000. Liem, Duong Thanh., Ngo van Man, and Nguyen van Hao, 2000. Cotton seed meal and cassava leaf meal as protein supplements for lactating goats. Workshop-Seminar on Making Better Use of Local Feed Resources. SAREC-UAF, January 2000. University of Agriculture and Forestry, Ho Chí Minh city. Marhaeniyanto, E., 2010. Daun Kelor dan Molasses Block sebagai Sumber Protein untuk Kambing. http://mrhaen03.blogspot.com/2010/08/daun-kelor-dan-molasses-block-sebagai.html (diakses tanggal 16 Desember 2011). Mosher, A.T. 1983. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Cetakan ke-8. Jakarta: CV. Yasaguna. Munier, F.F. 2003. Karakteristik system pemeliharaan ternak ruminansia kecil di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 2930 Sepetember 2003. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 327-332. Muzani, A dan Tanda S. Panjaitan, 2011. Nilai Nutrisi Kelor sebagai Pakan Ternak Sapi. BPTP Nusa Tenggara Barat. http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=376:nilainutrisi-kelor-sebagai-pakan-ternak-sapi&catid=53:artikel&Itemid=49 (diakses tanggal 16 Desember 2011). M. Tok, 2010. Mari Menanam Mangrove di Daerah Pesisir. http://www.pendidikandiy.go.id/?view=baca_berita&id_sub=2173 (diambil tanggal 24-01-2011) Nitis, I.M., K. Lana., M. Suama., W. Sukanten and S. Putra., 1991. Gliricidea provenance evaluation in dry land farming area in Bali. Supplementary Report ti IDRC, Canada 112p. 489 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Nguyen Thi Hong Nhan, 1998. Utilization of some forages as a protein source for growing goats by smallholder farmers. Livestock Research for Rural Development Volume 10, Number 3, 1998 Notohadiprawiro, T. 1978. Lahan Sumberdaya Alam Serba Gatra dan Lingkungan Hidup Manusia. Jurusan Ilmu Tanah, F. Pertanian UGM. Yogyakarta Partadihardja,S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Bandung. Priyanti, A., T.D.Soejana., S.W.Handayani., P.J. Ludgate. 1989. Karakteristik peternak berpenampilan tatalaksana tinggi dan rendah dalam usaha ternak domba/kambing di kabupaten Bogor Jawa Barat. Bogor: Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Puslit Tanah dan Agroklimat. 1994. Survei Tanah Detail di Sebagian Wilayah D.I.Yogyakarta (skala 1 : 50.000). Proyek LREP II Part C. Puslittanak. Bogor Rasminati, N., 2010. Evaluasi Potensi Wilayah Kecamatan Wates untuk Pengembangan Ternak Sapi Potong dengan Pola Integrated Farming. Laporan Penelitian. Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Ravindran V., 1991. Preparation of cassava leaf products and their use as animal feeds. Proceedings of the FAO Expert Consultation, CIAT, Cali, Colombia 21-25 January 1991, pp81-95 Setiadi, B., Subandrio., L.C.Iniguez. 1995. Reproductive performance in small ruminant on outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1: 73-80. Suharto, 2004. Integrasi Ternak Pada Usaha Pertanian dan Perkebunan. Seminar Nasional, Lustrum Fapet UGM, Yogyakarta. Sunarlim, R. , Triyantini, Bambang, S. dan Hadi, S, 1992. Upaya Mempopulerkan dan Meningkatkan Penerimaan Susu Kambing dan Domba. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. ISPI dan PDHI. Bogor. Simon P. Ginting, 2009. Prospek penggunaan pakan komplit pada kambing: tinjauan manfaat dan aspek bentuk fisik pakan serta respon ternak. Wartazoa Vol 19 No 2 Tahun 2009. Syafaat, N., A.Agustian ., T.Pranadji., M.Ariani., I.Setiadjie., Wirawan. 1995. Studi Kajian SDM dalam Menunjang Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu di KTI. Bogor: Puslit Sosial Ekonomi Pertanian Utomo, S.,2004. Capaian Tingkat Reproduksi Kambing dan Domba Lokal di tingkat petani di Kabupaten Bantul. Laporan penelitian, Prodi Peternakan, Fak. Pertanian, UNWAMA, Yogyakarta. 490 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN ROBOT PEMILIH DAN PENATA BARANG BERBASIS PLC SEBAGAI SARANA PRAKTIK OTOMASI DI SMK Sukir dan Sigit Yatmono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan penelitian ini antara lain: (1) Menghasilkan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK; dan (2) Mendapatkan uji kinerja yang baik dari robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK. Penelitian ini termasuk jenis penelitian dan pengembangan dengan mengacu pada Sugiyono (2006) yang secara garis besar terdiri atas analisis kebutuhan, perancangan, pembuatan atau implementasi, pengujian dan validasi, perbaikan dan perapihan. Untuk memperoleh data dilakukan dengan observasi. Data dianalisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Telah dihasilkan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK berupa lengan robot yang terbentuk oleh link 0, link 1, link 2, link 3, link 4 dan end efector, yang bekerjanya dikendalikan oleh PLC; dan (2) Diperoleh kinerja robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK antara lain sebagai berikut: (a) Berdasarkan hasil pengujian deskripsi kerja dan lokasi penempatan barang menunjukkan bahwa prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat otomasi di SMK mempunyai kinerja yang baik yang ditunjukkan oleh deskripsi kerja yang sesuai dengan perencanaan dan penempatan barang pada lokasi yang tepat; dan (b) Berdasarkan pengamatan oleh ahli materi dan ahli media terhadap kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK, diperoleh skor rata-rata total sebesar 2,95 yang masuk dalam kategori baik. Kata kunci: robot, PLC, dan sarana praktik. Pendahuluan Sistem otomasi berperan penting dalam proses produksi di industri. Hal ini tidak terlepas dari sumbangan implementasi sistem otomasi terhadap efisiensi pembiayaan proses produksi yang dapat mencapai 60 % sampai 80 % (Kumar, 2001). Aplikasi sistem otomasi di industri salah satu diantaranya adalah penggunaan robot untuk melakukan pekerjaan proses produksi, yang salah satu contohnya adalah robot pemilih dan penata barang hasil produksi. Namun demikian penggunaan robot di industri ternyata memiliki pula kendala yaitu harganya mahal serta jika mengalami kerusakan, tidak jarang harus diperbaiki oleh tenaga ahli atau pihak perusahaan pembuat robot. Hal demikian tentu saja menjadi tantangan tersendiri terutama bagi tenaga kerja di industri untuk menguasai teknologi robot. SMK bidang keahlian elektronika industri yang merupakan lembaga pendidikan yang mendidik siswanya terjun ke dunia industri nantinya, dituntut untuk membekali siswanya tentang kompetensi robot. Hal tersebut sebenarnya telah diupayakan melalui pengalokasian mata diklat Otomasi pada kurikulum (KTSP) yang saat ini berlaku. Mata diklat Otomasi ditempuh oleh siswa kelas II yang berisi dua kompetensi yaitu otomasi berbasis PLC dan mikrokontroler. Namun demikian berkaitan dengan hal tersebut penelitian Irfan Indarto (2009) menemukan beberapa fakta antara 491 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta lain : (1) Dari sejumlah SMKN bidang keahlian Elektronika Industri di Yogyakarta belum ada satupun yang memiliki robot sebagai sarana praktik; (2) Alasan ketiadaan robot sebagai sarana praktik umumnya SMK menyatakan materi robot sulit bagi siswa karena idealnya perlu didukung kemampuan siswa SMK tentang matematika, kinematika, dinamika dan kontrol yang cukup tinggi serta harganya mahal dan (3) materi yang diberikan mata diklat otomasi kepada siswa masih dasar PLC dan mikrokontroler sehingga belum sampai aplikasi robot. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penelitian pengembangan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC dan mikrokontroler sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi yang relatif murah, praktis, mudah dipahami dan menyenangkan namun tetap dapat memberikan kompetensi yang memadai bagi siswa. Tujuan penelitian ini antara lain: (1) Menghasilkan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK; dan (2) Mendapatkan uji kinerja yang baik dari robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK. Menurut Kumar (2001) robot adalah sebuah manipulator multifungsi yang dapat diprogram dan dibuat dengan tujuan mendapatkan manfaat kerja tertentu. Elemen dasar yang terdapat pada sistem robot antara lain sebagai berikut: (1) Sistem mekanis, sistem ini merupakan sistem yang secara fisik terlihat langsung yang umumnya terdiri dari pe-level, badan, engsel, dan bearing (laker); (2) Sistem penggerak, terdiri dari motor-motor dan aktuator yang mengubah energi listrik menjadi gerakan sistem mekanis; (3) Sistem kendali yang berfungsi mirip dengan sistem perasa manusia, yang memberikan umpan balik dalam bentuk sinyal digital maupun analog kepada sistem komputer tentang status sistem robot; (4) Sistem komputer dan software yaitu elemen pemrosesan yang berfungsi mengatur aktifitas sistem robot untuk merespon kerja yang diinginkan. Kerja sistem software yang mengatur aktifitas sistem komputer diibaratkan sebagai otak manusia dan (5) Sistem interface (antarmuka), merupakan jaringan komunikasi yang membolehkan robot untuk dihubungkan dengan dunia luar. Lain lagi pendapat Endra Pitowarno (2006) yang menyatakan bahwa sistem robot dibangun berdasarkan fungsi yang akan dijalankan dan diinginkan. Robot hendaknya mempunyai sebuah fungsi tertentu atau berorientasi fungsi sehingga dapat diharapkan kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia. Rancang bangun robot diharapkan dapat bekerja secara cepat, tepat, efisien, bermanfaat dan mudah dipelajari serta dapat diaplikasikan dalam dunia nyata. Menurut Festo (2004) Programmable Logic Controller (PLC) merupakan piranti elektronika digital yang menggunakan memori yang bisa diprogram sebagai penyimpan internal dari sekumpulan instruksi dengan mengimplementasikan fungsi-fungsi tertentu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: logika, sekuensial, pewaktuan, perhitungan, dan aritmetika. PLC dimanfaatkan untuk mengendalikan berbagai jenis mesin ataupun proses melalui modul I/O digital dan atau analog. Menurut Dwi Diar Estelita (2008) menyatakan bahwa strategi Sekolah Menegah Kejuruan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang terdidik dan trampil, salah satu upaya diantaranya adalah melengkapi dan mengembangkan sarana praktik. Pengembangan saran praktik merupakan unsur yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka menciptakan iklim belajar kondusif sebagai upaya menghasilkan lulusan yang trampil dan berkualitas. Ketersediaan sarana praktik yang memadai dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan tuntutan kompetensi merupakan hal yang 492 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sangat mendasar untuk dipenuhi. Tanpa adanya sarana praktik yang memadai tidak akan dapat menghasilkan lulusan yang trampil dan kompeten. Berkaitan dengan robot sebagai sarana praktik di SMK, lebih lanjut Endra Pitowarno (2006) menganjurkan perlu dicari cara yang menarik tentang inovasi dalam pengenalan dan pembelajaran ketrampilan robotik kepada siswa. Siswa SMK tidak memerlukan materi robotika seperti sistem matematis, dinamis dan mekanis yang rumit. Pendekatan yang dilakukan pada sistem pembelajaran yang terbaik di SMK adalah menyodorkan beberapa sistem aplikasi robot yang dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar robotika. Dengan demikian sarana praktik robot pada mata diklat Otomasi di SMK perlu dibuat yang praktis, model sederhana dan mudah di fahami oleh siswa. Dukungan bahan ajar dalam bentuk lembar kerja siswa dapat menjadi pendorong bagi para siswa yang sedang menempuh mata diklat tersebut untuk mempelajari dasar-dasar pembuatan robot yang praktis dan menyenangkan. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian dan pengembangan dengan mengacu pada Sugiyono (2006) yang secara garis besar terdiri atas analisis kebutuhan, perancangan, pembuatan atau implementasi, pengujian dan validasi, perbaikan dan perapihan. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka fokus penelitian ini antara lain: (1) Melakukan perancangan dan pembuatan struktur mekanik robot pemilih dan penata barang sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK; (2) Melakukan perancangan dan pembuatan basis kendali PLC untuk mengendalikan robot pemilih dan penata barang sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK dan (3) Melakukan uji kinerja robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK. Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Data tersebut berupa hasil pengamatan terhadap pengujian prototipe robot berbasis PLC meliputi deskripsi dan kemampuan kerja prototipe robot. Disamping itu akan diperoleh pula data tanggapan ahli materi dan ahli media terhadap kualitas produk robot berbasis PLC. Data berupa komentar dan saran perbaikan terhadap kinerja prototipe robot dianalisis secara deskriptif kualitatif dan digunakan sebagai masukan untuk merevisi produk yang dikembangkan. Data yang berupa skor tanggapan ahli materi dan ahli media yang dikumpulkan melalui angket, dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian a. Hasil Pembuatan Prototipe Robot Pemilih dan Penata Barang Sebagai Sarana Praktik Otomasi di SMK. Konsep robot pemilih dan penata barang yang akan dirancang dalam penelitian ini adalah lengan robot. Lengan robot tersebut memiliki beberapa link dan joint. Setiap link diberi nomor dimulai dari bagian basement yang tidak bergerak. Basement disebut sebagai link 0. Batang robot yang bergerak dan berhubungan dengan basement disebut link 1. Batang bergerak yang berhubungan dengan link 1 disebut link 2 dan seterusnya. Lengan robot terbentuk oleh link 0, link 1, link 2, link 3, link 4 dan end efector. Lengan robot memliki empat buah joint yang masing-masing memiliki satu derajat kebebasan kecuali joint yang 493 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menghubungkan link 3 dengan end efector yang memiliki dua derajat kebebasan. Joint penghubung link 3 dengan end efector dianggap terdiri atas dua buah joint yaitu joint 4 dan joint 5. Disamping itu peletakan joint 1 adalah berhimpitan dengan peletakan joint 2 dengan tujuan untuk mendapatkan parameter standar yang tepat. Selanjutnya berdasarkan konsep dasar perancangan prototipe robot seperti tersebut di atas maka dilakukan perancangan struktur mekanik robot. Apabila setiap komponen mekanik robot dirakit satu sama lainnya maka akan diperoleh struktur mekanik robot pemilih dan penata barang yang secara gambar dua dimensi ditunjukkan seperti pada Gambar 1. Keterangan: (A) kotak dasar; (B) sebagian roda penggerak dan (C) sebagian lengan Gambar 1. Gambar dua dimensi rancangan mekanik robot pemilih dan penata barang Adapun rancangan pengendalian berbasis PLC pada robot pemilih dan penata barang sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK secara blok diagram seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Limited swich Sensor-sensor 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 Programmable Logic Controller (PLC) Driver Motor Arus Searah M1, M2, M3, M4, M5, M6 Gambar 2. Blok diagram pengendalian berbasis PLC pada robot pemilih dan penata barang. 494 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Robot pemilih dan penata barang digerakkan oleh enam buah motor arus searah. Sebagai penggerak motor, dirancang rangkaian driver yang tersusun atas IC L293D serta driver yang tersusun atas transistor darlington TIP 120 dan TIP 125. Gerakan motor-motor tersebut dikendalikan oleh output PLC yang mendapatkan input dari limited swich dan sensor-sensor. PLC yang digunakan dalam penelitian ini adalah PLC Festo. Mengacu pada perancangan konstruksi mekanik dan pengendalian berbasis PLC, maka dilakukan proses pembuatan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC, yang hasilnya seperti ditunjukkan pada Gambar 3. (a) (b) (c) (d) Gambar 3.(a),( b),(c), (d) Aneka posisi robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK. b. Pengujian Kinerja Robot Pemilih dan Penata Barang Berbasis PLC. Pengujian kinerja prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK meliputi pengujian deskripsi kerja prototype robot, pengujian penempatan barang yang dilakukan oleh prototype robot, dan pengamatan kelayakan robot sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK. Adapun hasil pengujian deskripsi kerja prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK disajikan pada Tabel 1. 495 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Hasil pengujian deskripsi kerja robot pemilih dan penata barang berbasis PLC No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Diskripsi kerja Pada mode otomatis robot pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang logam ke posisinya dengan tepat ? Pada mode otomatis robot pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang warna merah, ke posisinya dengan tepat ? Pada mode otomatis prototipe pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang warna hitam ke posisinya dengan tepat ? Pada mode otomatis robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang logam telah mencapai 2 buah maka barang logam berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Pada mode otomatis robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang berwarna merah telah mencapai 2 buah maka barang berwarna merah berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Pada mode otomatis robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang berwarna hitam telah mencapai 2 buah maka barang hitam berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Pada mode manual robot pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang logam ke posisinya dengan tepat ? Pada mode manual robot pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang warna merah, ke posisinya dengan tepat ? Pada mode manual prototipe pemilih dan penata barang yang dibuat bisa memindahkan dan menata barang warna hitam ke posisinya dengan tepat ? Pada mode manual robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang logam telah mencapai 2 buah maka barang logam berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Pada mode manual robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang berwarna merah telah mencapai 2 buah maka barang berwarna merah berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Pada mode manual robot pemilih dan penata barang yang dibuat, jika penataan barang berwarna hitam telah mencapai 2 buah maka barang hitam berikutnya ditempatkan pada posisi berikutnya yang telah ditentukan dengan tepat? Operasi stop dapat menghentikan pada saat siklus selesai? Sistem emergency dapat menghentikan proses seketika? Operasi reset dapat mengembalikan sistem pada posisi stand by? Uji I Ya/Tdk Uji II Ya/Tdk Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Selanjutnya dilakukan pengujian lokasi penempatan barang oleh prototype robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi, dengan diambil bahwa tumpuan robot pada koordinat (X,Y) = (0,0) dengan jangkauan lengan maksimal 700 mm dan titik awal barang pada koordinat (X,Y)= (0,25). Adapun data pengujian lokasi penempatan barang oleh prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat otomasi disajikan pada Tabel 2. 496 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Hasil pengujian lokasi penempatan barang robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi No Item 1 Lokasi penempatan barang logam Lokasi penempatan barang warna merah Lokasi penempatan barang warna hitam 2 3 Setting X1 Y1 Cm Cm Setting X2 Y2 Cm Cm X1 Cm Uji I Y1 X2 Cm Cm 20 10 25 25 5 30 2 X1 Cm Uji II Y1 X2 Cm Cm Y2 Cm Y2 Cm 10 20 10 25 10 20 10 25 10 30 5 25 5 30 5 25 5 30 5 35 2 30 2 35 2 30 2 35 2 Kemudian dilakukan pengamatan terhadap kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana Praktik Otomasi di SMK. Pengamatan kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK dilakukan oleh 2 orang dosen ahli materi dan 2 orang guru SMK ahli materi. Adapun hasil pengamatan kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik oleh ahli materi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengamatan dosen ahli materi dan guru ahli materi terhadap kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik Otomasi di SMK No Aspek 1 Aspek kemanfaatan 2 Aspek teknis dan unjuk kerja sarana praktik robot Indikator Kesesuaian prototipe robot dengan silabus Kesesuaian prototipe robot dengan materi pembelajaran Kesesuaian prototipe robot untuk meningkatkan kompetensi otomasi bagi siswa. Kesesuaian prototipe robot untuk memudahkan pemahaman siswa dalam penguasaan kompetensi otomasi. Kesesuaian prototipe robot untuk pengembangan materi otomasi Kelengkapan komponen input/output Kualitas perancangan Kemudahan pengoperasian Mutu bahan Tata letak komponen Keberfungsian komponen Kualitas prototipe robot Kesesuaian deskripsi kerja Ketepatan penempatan barang Kecepatan penempatan barang Kekokohan prototipe Skor rata-rata total 497 Skor ratarata 3,00 3,00 Kategori 3,25 Baik 2,75 Baik 3,25 Baik 3,00 Baik 2,75 3,00 3,00 2,75 3,00 3,00 3,00 3,00 2,75 3,00 2,97 Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Selanjutnya kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat otomasi di SMK diamati oleh 2 orang dosen ahli media dengan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengamatan dosen ahli media terhadap kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK No 1 2 Aspek Aspek relevansi materi Aspek teknis unjuk kerja sarana praktik Indikator Kesesuaian prototype robot terhadap materi pembelajaran Kesesuaian prototipe robot untuk memberikan dorongan belajar Kerelevanan prototipe robot untuk meningkatkan perhatian Kegunaan prototipe robot untuk membantu tugas mengajar bagi guru Kesesuaian prototipe robot untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa Kesesuaian prototipe robot untuk meningkatkan kemenarikan belajar siswa. Kesesuaian prototipe robot untuk memotivasi belajar siswa Kelengkapan komponen input/output Kualitas perancangan Kemudahan pengoperasian Mutu bahan Tata letak komponen Keberfungsian komponen Kualitas prototipe Kesesuaian deskripsi kerja Ketepatan penempatan barang Kecepatan penempatan barang Kekokohan prototipe Skor rata-rata total Skor ratarata 3,00 Kategori 3,00 Baik 3,00 Baik 3,00 Baik 3,5 Baik 3,00 Baik 3,00 Baik 3,00 Baik 2,50 3,00 2,50 2,50 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 2,94 Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Apabila dicari skor rata-rata total antara hasil pegamatan kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK oleh ahli materi dan ahli media maka diperoleh hasil rata-rata total sebesar 2,95 yang masuk dalam kategori baik. Pembahasan Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa telah dihasilkan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK. Robot yang dihasilkan mempunyai jangkauan pemindahan benda uji pada radius 700 mm sesuai jangkauan lengan robot. Pencekaman benda dilakukan dengan prinsip gripping atau menjepit. Putaran motor pada bagian atas atau struktur penjepit menyebabkan gerakan maju atau mundur pada penarik, yang mengakibatkan gerakan menjepit atau meregang pada gripper. Dengan menggunakan motor sebagai penggerak utama, gerakan yang dihasilkan meliputi base rotation, gerakan berayun lengan tengah dan lengan ujung, gerakan berputar dan berayun penjepit, dan gerakan gripping. Gerakan robot dikendalikan oleh Programmable Logic Controller (PLC). 498 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Secara garis besar proses kerja robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK adalah seperti berikut ini. Sebagai contoh pada mode pengendalian otomatis, sebelum program dijalankan, pada tempat pengambilan barang terdapat barang berwarna merah dengan posisi pada (X,Y) = (0,25) serta lengan robot pada kondisi stand by. Selanjutnya tombol start ditekan sehingga robot akan bekerja secara otomatis. Oleh karena sensor warna barang menangkap adanya warna barang merah maka sensor tersebut bekerja untuk memberikan inputan kepada PLC, selanjutnya sesuai dengan pemrograman PLC maka out put PLC akan menjalankan beberapa driver guna menggerakkan motor-mator DC antara lain M4, M3 dan M2 berputar ke kanan sehingga gripper bergerak turun menuju benda merah tersebut. Setelah gripper hampir menyentuh benda merah tersebut maka motor M6 berputar ke kiri sebentar untuk membuka griper. Apabila griper telah menyentuh benda merah tersebut maka motor M4, M3 dan M2 berhenti dan dilanjutkan motor M6 berputar ke kanan sebentar untuk menggerakkan griper agar menjepit barang merah tersebut. Selanjutnya motor M4, M3 dan M2 ke arah kiri yang menyebabkan lengan robot mengangkat lengan dan gripper ke atas sampai pada batas tertentu dan pergerakan motor M4, M3 dan M2 berhenti yang dilanjutkan dengan motor M1 berputar ke kanan untuk menggerakkan keseluruhan lengan robot ke kanan sampai batas tertentu. Setelah pergerakan lengan robot tersebut mencapai posisi tertentu sesuai dengan yang diprogramkan, maka motor M1 berhenti dan dilanjutkan motor M4, M3 dan M2 bergerak kekanan sehingga lengan dan gripper bergerak turun sampai menyentuh lokasi yang ditentukan yaitu (X,Y)= (25,5) dan motor M4, M3 dan M2 kembali berhenti yang kemudian dilanjutkan motor M6 berputar ke kiri untuk membuka gripper sehingga benda merah tersebut terlepas dari cengkeraman gripper dan bertempat pada lokasi (X,Y) = (30,0) seperti yang telah ditentukan. Selanjutnya motor M4, M3 dan M2 berputar ke kiri sehingga lengan robot dan gripper bergerak ke atas sampai pada batas yang telah ditentukan yang kemudian motor M4, M3 dan M2 tersebut kembali berhenti dan dilanjutkan motor M1 berputar ke kiri sehingga menggerakkan keseluruhan lengan robot ke kiri sampai pada posisi lengan robot menyentuh posisi stand by dan motor M1 kembali berhenti. Jika diinginkan robot berhenti bekerja pada posisi ini maka tombol stop ditekan sehingga program berhenti. Namun jika robot diinginkan untuk tetap bekerja, maka proses bekerjanya robot berulang seperti tersebut di atas namun dengan pengaturan penempatan barang logam dan hitam pada posisi yang berbeda dengan posisi benda merah. Demikian pula jika benda warna hitam atau merah atau logam telah tertata pada masing-masing lokasi sebanyak 2 buah maka benda lain yang berwarna sama akan ditempatkan disebelah tatanan benda yang berwaqrna sama tersebut. Apabila selama proses penataan benda, sistem kerja robot mengalami gangguan, maka segera tombol emergency ditekan, sehingga program berhenti dan robot akan berhenti bekerja. Setelah gangguan selesai diatasi maka tombol reset ditekan sehingga sistem akan kembali pada posisi awal (stand by) dan siap untuk dijalankan kembali. Pada mode pengendalian manual, proses kerja pemilihan dan penataan benda berwarna merah, hitam dan logam, prinsipnya sama dengan pemilihan dan penataan benda pada mode pengendalian otomatis seperti tersebut di atas, namun pada mode manual untuk mengerjakan beberapa step kerja masih diperlukan penekanan tombol start setiap stepnya. Dengan memperhatikan data pengujian deskripsi kerja prototipe robot dan lokasi penempatan barang seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK mempunyai kinerja yang baik yang ditunjukkan oleh deskripsi kerja yang sesuai dengan perencanaan dan penempatan barang pada lokasi yang tepat. Hal ini terjadi disamping karena kebenaran pemrograman basis 499 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pengendalian PLC juga disebabkan oleh komponen-komponen yang digunakan dapat bekerja sebagaimana fungsinya. Hasil pengamatan kelayakan robot oleh ahli materi terhadap prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK memperoleh skor rata-rata total sebesar 2,97 yang berarti bahwa sarana praktik berupa prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC ini memiliki materi yang layak dan baik untuk digunakan dalam pembelajaran praktik Otomasi di SMK. Dari data hasil angket yang diberikan kepada ahli materi ada beberapa hal penting yang menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukan revisi yaitu menyangkut kesesuaian prototipe robot untuk memudahkan pemahaman siswa dalam penguasaan kompetensi otomasi, kualitas perancangan, tata letak komponen dan kecepatan penempatan barang Sedangkan indikator lainnya termasuk sudah baik. Pengamatan kelayakan robot oleh ahli media terhadap prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK diperoleh skor rata-rata total sebesar 2,94 yang termasuk dalam kategori baik. Hal ini berarti bahwa ditinjau dari media, maka prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK mempunyai unjuk kerja yang baik untuk digunakan dalam pembelajaran di kelas. Namun indikator lain yang masih perlu diperbaiki antara lain kualitas perancangan, mutu bahan dan tata letak komponen. Jika dicari skor rata-rata total antara hasil pegamatan kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK oleh ahli materi dan ahli media maka diperoleh hasil rata-rata total sebesar 2,95 yang masuk dalam kategori baik. Kesimpulan 1. Telah dihasilkan prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK berupa lengan robot yang terbentuk oleh link 0, link 1, link 2, link 3, link 4 dan end efector, yang bekerjanya dikendalikan oleh PLC. 2. Diperoleh kinerja robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK sebagai berikut: a. Berdasarkan hasil pengujian deskripsi kerja dan lokasi penempatan barang menunjukkan bahwa prototipe robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat otomasi di SMK mempunyai kinerja yang baik yang ditunjukkan oleh deskripsi kerja yang sesuai dengan perencanaan dan penempatan barang pada lokasi yang tepat. b. Berdasarkan pengamatan oleh ahli materi dan ahli media terhadap kelayakan robot pemilih dan penata barang berbasis PLC sebagai sarana praktik mata diklat Otomasi di SMK, diperoleh skor rata-rata total sebesar 2,95 yang masuk dalam kategori baik. Daftar Pustaka Dwi Diar Estellita. (2008). Strategi Perguruan Tinggi Bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Dalam Menyiapkan Sumber Daya Manusia Yang Terdidik dan Trampil. Prosiding Seminar Internasional Revitalisasi Pendidikan Kejuruan Dalam Pengembangan SDM Nasional. Padang : Universitas Negeri Padang. Festo. (2004). Programmable Logic Controller. Jakarta : Festo Didaktic. Irfan Indarto. (2009). Pengembangan media pembelajaran dan bahan ajar otomasi pada SMK bidang keahlian Elektronika Industri. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. Kumar, S.. (2001). Robotics Engineering. New Delhi : Smt. Sumitra Handa. Pitowarno, E.. (2006). Desain, Kontrol dan Kecerdasan Buatan. Yogyakarta : CV. Andi Offset. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. 500 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN″TELAGA″ DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA Satino, Sudarsono, dan Wita Setyaningsih FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta gsatino@yahoo.com Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas plankton sebagai indikator kualitas perairan telaga di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2010. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Telaga Bembem Kecamatan Purwosari dan Telaga Jongge Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidil. Sampel diambil sebanyak 3 kali dengan rentang masing-masing selama satu bulan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menarik planktonet Wisconsin no 25 di perairan telaga bagian tepi dan bagian tengah. Air sampel dalam botol penampung kemudian dipindahkan dalam botol sampel. Pengamatan dan identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA UNY. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kualitas fisik dan kimiawi perairan sebagai rujukan dalam penentuan kualitas perairan telaga. Hasil penelitian ditemukan plankton sebanyak 46 jenis yang terdiri dari 4 divisi yaitu divisi Cyanophyta 2 jenis divisi Chlorophyta 12 jenis, divisi Crysophyta 13 jenis, divisi Euglenophyta 2 jenis, 8 jenis dari kelas rotifer, dan 9 jenis dari crustacean.. Densitas plankton tertinggi yaitu dari divisi Cyanophyta sebesar 43.824 ind/l dan densitas terendah yaitu dari divisi Euglenophyta sebesar 570 ind/l. Indeks dominansi berkisar antara 0,05 – 0,354, indeks diversitas Fitoplankton sebesar 3,684 dan zooplankton sebesar 2,027 dengan koefisien saprobik fitoplankton sebesar +1,55. Berdasarkan koefisien saprobik dan indeks keanekaragaman secara terpisah antara fitoplankton dan zooplankton menunjukkan bahwa kualitas air di telaga Bembem dan telaga Jongge Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta berada dalam kategori tidak tercemar. Kata kunci: Struktur komunitas, plankton, bioindiktor, Telaga Pendahuluan Perairan merupakan ekosistem terbuka yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik eksternal maupun internal. Keberadaan ekosistem perairan di suatu tempat akan sangat berhubungan dengan peristiwa geologis, letak geografis, topografi dan juga iklim, sehingga ekosistem perairan antara satu tempat dan tempat lainnya memiliki karakter spesifik yang berbeda. Secara kualitas ekosistem perairan juga dipengaruhi oleh faktor pemanfaatan, perubahan lingkungan, dan pengelolaan (eksternal). Dalam perkembangannya ekosistem perairan juga akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor internal, misalnya karena meningkatnya kandungan bahan organik, dinamika populasi organisme yang akan berakibat terhadap berubahnya kualitas perairan baik secara fisik, kimiawi maupun biologis. Kabupaten Gunungkidul sebagian besar wilayahnya merupakan bentangan karst Gunung Sewu yang sangat unik. Wilayah karst ini secara alami merupakan daerah yang tandus dan kering karena minimnya sumber air tanah dan air permukaan, sehingga bentukan cekungan yang secara alami terbentuk di wilayah ini menjadi sangat berarti bagi kehidupan disekitarnya. Cekungan pada daerah karst pada saat musim penghujan akan terisi air dan kemudian dikenal sebagai Telaga. Telaga oleh masyarakat Gunungkidul difungsikan sebagai sumber air minum baik bagi dirinya maupun hewan ternak, MCK, pertanian, perikanan, wisata, dan ritual budaya. 501 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Banyaknya intensitas pemanfaatan perairan telaga dan lingkungan sekitarnya oleh masyarakat, menyebabkan perairan ini mendapat tekanan yang sangat besar baik kuantitas maupun kualitasnya. Ada indikasi kualitas perairan telaga saat ini sudah tidak layak untuk peruntukan air minum. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyu Santoso, dkk (2006) (Kompas, 2008) dari 282 telaga di wilayah perbukitan karst di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 110 telaga mengalami pencemaran biologis (bakteri coli). Pencemaran terus terjadi terutama karena kebiasaan masyarakat untuk mencuci, mandi, memandikan ternak di satu telaga yang tidak dilengkapi saluran pembuangan limbah. Penelitian yang pernah dilakukan tersebut baru pada studi kelayakan perairan telaga sebagai sumber air minum bagi masyarakat. Pada saat ini kebiasaan masyarakat mulai cenderung berubah, tidak lagi memanfaatkan air telaga untuk kebutuhan air minum, tetapi memanfaatkannya untuk mandi, membersihkan ternak, mencuci, wisata, dan perikanan (mina telaga). (Kedaulatan Rakyat, 24 Juni 2008). Perubahan tersebut hasil dari penyuluhan yang dilakukan secara intensif baik oleh pemerintah maupun LSM tentang pola hidup sehat, sehingga pengetahuan masyarakat tentang air bersih juga semakin baik. Hal tersebut juga ditunjang oleh penyediaan air bersih oleh pemerintah daerah melalui pemanfaatan sumber air bawah tanah yang didistribusikan ke beberapa daerah di Kabupaten Gunungkidul Perubahan pemanfaatan perairan telaga oleh masyarakat yang tidak lagi menjadi sumber air minum, perlu mendapat perhatian serius agar kualitas air tidak mengalami penurunan terusmenerus akibat pemanfaatan yang tidak terkendali.. Sebagai contoh adalah munculnya fenomena yang terjadi saat ini, yaitu adanya kecenderungan masyarakat memanfaatkan perairan telaga untuk budidaya perikanan (mina telaga). Budidaya mina telaga tanpa pengetahuan ekologis yang memadai dalam jangka panjang justru akan merusak perairan telaga, untuk itu diperlukan sumber data yang akurat untuk menunjang keberhasilan usaha tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk usaha monitoring kualitas perairan telaga, yang hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan perairan telaga yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetaui kualitas perairan telaga berdasarkan baku mutu perairan melalui indikator struktur komunitas plankton. Plankton adalah jasad-jasad renik yang hidup melayang dalam air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus (Sachlan, 1982). Selanjutnya Sumich (1999) mengatakan bahwa plankton dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani). Menurut Thurman (1984), dalam perairan fitoplankton merupakan produsen primer (produsen utama dan pertama) sehingga keberadaan fitoplankton dalam perairan mutlak adanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Sachlan (1982), Meadows and Campbell (1993), dan Sumich (1999) bahwa fitoplankton merupakan organisme berklorofil yang pertama ada di dunia dan merupakan sumber makanan bagi zooplankton sebagai konsumen primer, maupun organisme aquatik lainnya, sehingga populasi zooplankton maupun populasi konsumer dengan tingkat tropik yang lebih tinggi secara umum mengikuti dinamika populasi fitoplankton. Menurut Sachlan (1982), fitoplankton dikelompokan ke dalam 5 divisi yaitu: Cyanophyta, Crysophyta, Pyrrophyta, Chlorophyta dan Euglenophyta (hanya hidup di air tawar). Kecuali Euglenophyta semua kelompok fitoplankton ini dapat hidup di air tawar dan air laut. Zooplankton terdiri dari holoplankton (zooplankton sejati) dan meroplankton (zooplankton sementara). 502 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Holoplankton adalah hewan yang selamanya hidup sebagai plankton seperti Protozoa dan Entomostraca. Meroplankton yaitu hewan yang hidup sebagai plankton hanya pada stadia-stadia tertentu, seperti larva atau juvenil dari Crustacea, Coelenterata, Molusca Annelida dan Echinodermata. Salah satu species zooplankton yang mempunyai peranan sangat penting dalam ekosistem perairan adalah Crustacea. Crustacea terdiri dari dua golongan besar yaitu Entomostraca (udang-udangan tingkat rendah) dan Malacostrca (udang-udangan tingkat tinggi). Semua stadia larva dari Malacostraca seperti Nauplius, zoea, mysis dan juvenil merupakan meroplankton. Sedangkan Entomostraca merupakan zooplankton sejati baik di perairan tawar maupun di laut. Termasuk dalam kelompok ini adalah Cladocera, Ostracode, Copepoda dan Cirripedia. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi ekosistem perairan, dengan populasi dapat mencapai 70 – 90%. Copepoda juga bersifat selektif dalam konsumenan (Meadows and Campbell (1993). Zooplankton mempunyai arti yang sangat penting dalam ekosistem perairan karena merupakan makanan utama dan sangat digemari oleh ikan dan organisme perairan dengan tingkat tropik lebih tinggi. Plankton secara ekologis dalam ekosistem perairan dapat digunakan sebagai penanda (bioindikator) untuk menilai kualitas perairan. Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya atau perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Barus, 2002). Plankton dapat digunakan dalam pemantauan kualitas air karena memenuhi beberapa kriteria dibawah ini : 1. Sifat hidupnya yang relatif menetap/tidak berpindah-pindah 2. Dapat dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik, dengan berbagai kondisi kualitas air 3. Masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya 4. Terdiri atas beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap kualitas air 5. Mudah dalam pengumpulan/pengambilannya, karean hanya dibuthkan alat yang sederhana Sebagai bioindikator, plankton dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang hakiki, yaitu : (1). Dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air, (2). Dapat mengukur efektivitas tindakan penanggunalangan pencemaran, dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Rasanya belum terlambat bila kini kita mulai ikut mengamati telaga-telaga di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka mengembangkan self purification. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2010, di telaga Jongge dan Telaga Bembem di Kabupaten Gunungkidul. Populasi penelitian meliputi seluruh komunitas plankton yang hidup di perairan telaga Jongge dan Bembem Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan sampel penelitian meliputi komunitas plankton yang diambil secara purposif. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: planktonet Wisconsin no. 25, pH meter merk Ucida type KT-1A, termometer air raksa, turbidimeter merk TOA type TB-25A, botol sampel, 503 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pipet tetes, secchi disk, lemari pendingin, biuret dan statip, botol winkler, labu Erlenmeyer, tali dan logam pemberat, mikroskop binokuler dan buku identifikasi plankton dari Edmonson (1959), Needham (1962), Shirota (1966), Hutabarat (1986), Sachlan (1982), dan Jomas (1997). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel plankton dari perairan telaga, formalin 4% untuk mengawetkan sampel, kemikalia untuk mengukur DO, BOD, COD, Fosfat, dan nitrat Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan planktonet Wisconsin no. 25 yang dilengkapi dengan botol penampung dengan volume 10 ml. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menarik planktonet secara vertikal dari dasar perairan sampai ke permukaan atau dengan menggunakan ember dengan volume air tersaring minimal 50 lt (Sachlan, 1982; Kramer et al, 1994). Air sampel dalam botol penampung (10 ml) kemudian dipindahkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan formalin 4% serta diberi label. Pengamatan plankton dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan pembesaran 60 – 1500X. Prosedur pengamatan dan identifikasi plankton dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Sampel plankton dikocok pelan-pelan hingga homogen, kemudian Sampel plankton diambil dengan menggunakan pipet tetes yang telah ditera (1cc = 20 tets) 2. Air sampel sebanyak 0,04 ml (1 tetes) diletakan diatas objek glass dan ditutup dengan cover glas ukuran 18 x 18 mm. 3. Pengamatan plankton dilakukan mulai dari sisi kiri atas cover glass ke arah bawah, kemudian digeser kekanan terus ke atas sampai batas akhir cover glass, selanjutnya digeser ke kanan dan terus ke bawah sampai batas bawah cover glas, demikian seterusnya sampai semua teramati dan tidak ada yang teramati dua kali. 4. Species plankton yang ditemukan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi dan dihitung jumlahnya. 5. Pengamatan dilakukan sebanyak 50% untuk tiap botol sample atau sampai tidak ditemukan species baru Data hasil penelitian yang meliputi struktur komunitas plankton dihitung dan dianalisis dengan cara sebagai berikut: 1. Densitas Plankton (a X c) n = L a = Cacah individu plankton yang diamati c = Volume sampel air dalam botol flakon L = Volume sampel air yang disaring (Welch, 1953) 2. Penentuan harga indeks beberapa variabel a. Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman plankton dihititung dengan menggunakan rumus dari Shannon dan Wiener (1963) dalam Odum 1994) dengan rumus: Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman 504 H' = - (  pi ln pi) Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pi = Probabilitas penting untuk tiap species = ni/N Ni = Jumlah individu dari masing-masing species N = Jumlah seluruh individu b. Indeks dominansi Indeks dominansi menggambarkan komposisi species dalam komunitas. Indeks dominansi dihitung menurut indeks Simpson ni C=( ) N C = Indeks dominansi N = Total individu komunitas (Krebs, 1978) c. Koefisien Saprobik Sistem saprobitas ini digunakan hanya untuk melihat organisme yang dominan saja dan banyak digunakan untuk menentukan tingkatpencenaran dengan persamaan Dresscher dan Van Der Mark: Keterangan: X = Koefisien Saprobik A, B, C, D… = Jumlah organisme yang berbeda pada dalam masing-masing kelompok. Jika nilai X diatas telah diperoleh, maka cara interprestasi terhadap tingkat pencemaran adalah dengan membaca indeks saprobik yang sudah tersedia. Hasil dan Pembahasan Plankton yang ditemukan di perairan telaga Jongge dan telaga Bembem Gunung Kidul sebanyak 46 jenis (29 jenis fitoplankton dan 17 jenis zooplankton) yang terdiri atas 2 jenis dari divisi Cyanophyta, 12 jenis dari divisi Chlorophyta, 13 jenis dari divisi Crysophyta, 2 jenis dari divisi Euglenophyta, 8 jenis dari kelas Rotifera dan 9 jenis dari kelas Crustacea. Berdasarkan komposisi jenis dan densitasnya, fitoplankton yang ditemukan perairan kedua telaga tersebut didominasi oleh Chlorophyta dan Crysophyta hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik dan kimiawi perairan tersebut masih cukup baik. Sachlan (1982), mengatakan bahwa Chlorophyta merupakan kelompok fitoplankton yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi perairan tidak tercemar, demikian juga dengan Crysophyta. Cyanophyta dan Euglenophyta ditemukan masingmasing 2 jenis. Kedua kelompok fitoplankton ini menurut Sachlan (1982), akan ditemukan melimpah dan kehadirannya mendominasi baik jenis maupun densitasnya pada perairan yang cenderung tercemar. Kehadiran Euglenophyta dan Cyanophyta dengan jenis dan densitas yang melimpah dapat digunakan sebagai indikator terjadinya pencemaran bahan organik pada suatu perairan. Sedangkan dilihat dari kehadiran zooplankton di kedua perairan telaga tersebut hanya ditemukan kelompok rotifera dan crustacea dengan jumlah jenis dan densitas yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua perairan tersebut masih dalam kategori belum tercemar. Menurut Sachlan (1982), Nybakken (1992), perairan yang tercemar bahan organik dapat dilihat dari banyaknya species 505 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta zooplankton dari kelompok protozoa. Pada penelitian di kedua telaga ini spesies tersebut tidak ditemukan sama sekali. Berdasarkan data penelitian menunjukkan bahwa angka Indeks dominansi tergolong rendah yaitu 0 – 0,354 yang berarti tidak terdapat jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lain. Kondisi ini mengarah pada komunitas yang stabil dan tidak terjadi tekanan ekologis (stress) pada habitat tersebut atau dapat dikatakan perairan dalam kondisi tidak tercemar (Anonim, 2005:31). Tabel 2. Komposis Jenis, Densitas, Diversitas, Indeks Kesamaan Jenis, Indeks Dominansi dan Frekuensi Kehadiran Fitoplankton No Komposisi Jenis Cyanophyta Agmenellum quadrupheatum Oscillatoria sp 1. 2. Jumlah Chlorophyta Closteridium lunula Closternopsis longissima Coccomyxa dispar Dimorphococcua lunatus Dispora crucigenoinides Gleocapsa sp Gonatogyzon monotaenium Scenedesmus dimorphus Scenedesmus obliges Scenedesmus quadricauda Spirogyra ionia Tetradesmus wisconsinensis 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Jumlah Crysophyta Asterionella sp Asterionella javanica Cyclotella sp Cymbella acustiuscula Cymbella naviculiformis Cymbella tumida Derepyxis amphora Gremonosthopora angulosa Mastlogia danseii Melosira granulata Naviculla cancellata Neidium affine Nitzschia vitrea 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Jumlah Densitas 3 (x10 ind/l) Diversitas Dominansi Frekuensi Kehadiran (%) 43,812 0,012 43,824 0,244 0 0,244 0,112 0 100 20 0,118 0,276 1,652 6,45 26,53 0,184 0,342 0,266 0,319 1,556 0,038 0,158 37,889 0,146 0,292 0,361 0,249 0,242 0,219 0,219 0,271 0,249 0,323 0,073 0,277 2,921 0,134 0,264 0,33 0,118 0,11 0,198 0,19 0,214 0,324 0,196 0,066 0,23 40 80 100 100 100 60 80 80 100 100 40 60 0,240 0,586 0,026 0,292 0,238 0,184 1,25 0,092 0,878 0,04 0,05 0,17 0,53 4,576 0,198 0,099 0,073 0,259 0,199 0,131 0,352 0,146 0,332 0,073 0,073 0,146 0,292 2,373 0,104 0,148 0,066 0,302 0,198 0,226 0,354 0,132 0,258 0,066 0,066 0,132 0,264 100 40 20 100 100 100 100 40 100 20 60 100 100 0,04 0,53 0,57 86,859 +1,55 0,073 0,073 0,146 3,684 0,066 0,05 0,116 20 20 Euglenophyta 28. 29. Astacia sp Phacus pleurectus Jumlah Jumlah Total Indeks Saprobik Tabel 3. Data Komposisi Jenis, Densitas, Indeks Dominasi, Indeks Diversitas, dan Frekuensi Kehadiran Zooplankton 506 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Komposisi Jenis Rotifera Brachionus pala Brachionus havanaensis Brachionus falcatus Brachionus quadridentalus Keratella valga Keratella earlinae Notholca acuminata Filinia terminalis Jumlah Crustacea Halicyclops sp Mesocyclops leucranti Eociaptomue japonicus Diaptomus pygmacus Eucyclops agilis Diaptomus kerai Nauplius diaptomus Eucyclops parasinus Diaphanosom brachyurum Koina rectirostris Jumlah Jumlah total Densitas 3 (x10 ind/l) Diversitas Dominansi Frekuensi Kehadiran (%) 1.173,33 173,33 674,66 1.307,00 586,66 53,33 186,66 40,00 4.194,97 0.090 0.050 0.277 0.141 0.108 0 0.075 0 0,741 0.027 0.104 0.185 0.256 0.186 0 0.128 0 100 100 100 100 100 40 60 40 8.893,00 3.706,67 5.667,00 2.346,67 186,66 4.840,00 2.226,67 1.133,33 1.600,00 213,33 30.813,33 35.008,30 0.127 0.165 0.173 0.166 0 0.113 0.132 0.171 0.175 0.064 1,286 2,027 0.322 0.242 0.269 0.282 0 0.351 0.285 0.209 0.237 0.081 100 100 100 100 60 100 100 100 100 80 Berdasarkan nilai Indeks diversitasnya data penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan indeks diversitas fitoplanktonnya kedua telaga tersebut masih dalam kondisi belum tercemar, tetapi kalau melihat dari nilai indeks zooplanktonnya kedua perairan telaga tersebut termasuk dalam kategori tercemar sedang (table 2 dan table 3). Menurut Mason, (1996) kualitas perairan tercemar berat apabila H’ < 1, apabila 1 < H’ < 3 berarti perairan tercemar sedang, dan jika H’ > 3 berarti perairan tidak tercemar. Nilai indeks diversitas yang tinggi menggambarkan hampir meratanya jumlah individu pada setiap spesies sebaliknya jika indeks diversitas yang rendah menunjukkan suatu komunitas didominasi oleh satu atau sejumlah kecil spesies dengan kelimpahan tinggi. Berdasarkan data penelitian, apabila struktur komunitas plankton dikonsultasikan dengan kualitas fisik-kimiawinya maka struktur komunitas plankton dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan. Hal tersebut karena adanya kesesuaian antara keduanya untuk digunakan dalam menilai kualitas suatu perairan khususnya dalam pemanfaatan perairan untuk kehidupan biota (Bakumutu kualitas perairan umum golongan III). Simpulan Berdasarkan indikator struktur komunitas planktonnya telaga Jongge di Kecamatan Semanu dan telaga Bembem di Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, dapat dikategorikan dalam keadaan tidak tercemar untuk pemanfaatan perairan berdasarkan standar bakumutu perairan umum golongan III. 507 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Anonim. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Jurnal. Diakses dari: www.google.com. Tanggal 24 Maret 2010 Jam 16.35 WIB ______2006. Keragaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Sungai di kota Surakarta. Jurnal. Diakses dari www.google.com Tanggal 24 Maret 2010 Jam 16.40 WIB Barus,T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatra Utara Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. USA: Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. Eaton, A. D., Clesceri, L. S., dan Greenberg, A. E. 1995. APHA (American Public Health Association): Standard Method for The Examination of Water and Wastewater 19th ed., AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D. C. Edmondson, W.T. 1959. Freshwater Biology. Washington: John wiley and Sons, Inc. Goldman, C.R and Alexander, J.H. 1983. Limnology. Japan: McGraw-Hill Book Company. Haslam, S.M. 1986. River Pollutions And Ecological Perspectif. UK: John Wileyand Sons, Chichester. 253 p. Herwati, U. S. 1990. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perubahan Plankton. Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian. Malang: Fakultas Perikanan. Unibraw Hal 22 -25 Hutabarat, S dan Evans, M., 1985. Pengantar Oseanografi. VC Press, Jakarta. pp: 99 – 101 Krebs, J,C. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. London: Harper and Row Publisher. Pp: 395 – 399 Mason, C. F. 1981. Biology Freshwater Polution. 2nd edition. Longman Scientific and Technical. New York. Meadows, P.S., and J.I. Campbell.1993. An Introduction to Marine Science. 2 nd Edition, Halsted Press, USA. pp: 68 – 85; 165 – 175 Needham, J.G and P.R. Needham. 1972. A Guide to The Study of Fresh Water Biology. 5 th ed. Holden-Day, Inc. San Fransisco Odum, E.P., 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke tiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: pp 174 – 200 Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Perairan. Sekretaris Negara Republik Indonesia: Jakarta. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Semarang: Fakultas Peternakan dan Perikanan UNDIP: pp 1 – 101 Salmin. 2003. Oksigen Terlarut dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Peraoran. Prosiding Oseana. LIPI, Jakarta Shirota, A. 1966. Plankton of SouthVietnam. Overseas Technical Co. Agency. Japan Sumich, J. L. 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed. McGraw-Hill. New York. pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 – 329 508 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta APLIKASI INTERPRETASI CITRA LANDSAT UNTUK MENDETEKSI KARAKTERISTIK MATERIAL FLUVIO MARINE DI KECAMATAN KRETEK DAN SANDEN KABUPATEN BANTUL Sugiharyanto, Dyah Respati Suryo S, Nurul Khotimah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT The landform study is emphasizing at landform of the earth surface configuration compiler. Process that happened on the earth always experiences of the change from times as geomorphology process. Along with the progress of spatial information technology makes easy detecting of region. Using of remote sensing in information extraction about spatially and regionally can used for totally study of surface resources. Landsat TM image is censor of remote sensing often used at the moment. Identify the landform is easily by using image that is by correlating various parameters on the surface. Target in this research is identifying of landform between Opak River and Progo River having erudite potency in learning earth sciences by using satellite image. The method is used temporal analysis of processing vector from contour line and visual interpretation analyze of remote sensing Landsat TM 7. The Result is landform between Opak River and Progo River have 4 (four) type of landform, that is landform made by marine process (beach, coastal); landform made by fluvial process (river sandbank, braided channel, meandering, flood plain, alluvial plain, point bar, pothole); land form made by aeolian process (sand dunes), and landform made by fluviomarine process (sandbar/bura, laguna). Key word: Application Remote Sensing, Landsat TM 7, Landform (material, shape, process) Pendahuluan Letak Kepulauan Indonesia yang berada di daerah sekitar katulistiwa menjadikan Indonesia beriklim tropis. Iklim tropis tersebut dipengaruhi oleh gerak semu matahari yang senantiasa bergerak dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan, dan sebaliknya. Gerak semu matahari tersebut akan mempengaruhi perubahan temperatur udara di benua Asia dan Australia yang mengapit Kepulauan Indonesia. Perubahan tersebut selalu berulang sepanjang tahun. Ketika sinar matahari diterima bumi di belahan selatan, daratan di benua Australia lebih panas temperaturnya daripada daratan di benua Asia, sehingga terjadi gerakan udara dari benua Asia ke benua Australia. Di kawasan Kepulauan Indonesia secara umum pada saat itu terjadi musim yang dikenal sebagai musim angin barat, sebaliknya ketika sinar matahari diterima oleh bumi di belahan utara, daratan benua Asia lebih panas daripada daratan benua Australia, sehingga terjadi gerakan angin dari benua Australia ke benua Asia. Di kawasan Kepulauan Indonesia secara umum pada saat itu terjadi musim angin timur. Pada saat musim angin barat, di Kepulauan Indonesia terjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Sebaliknya, pada saat musim angin timur di Kepulauan Indonesia terjadi musim kering atau kemarau. Selain kondisi yang berulang tahunan, ada kondisi yang berulang bulanan, yaitu kondisi pergantian antara bulan purnama dan bulan mati. Hal ini berakibat pada kondisi fisik Indonesia. 509 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Karena Indonesia merupakan negara kelautan/maritim yang mempunyai jumlah pantai cukup banyak, menyebabkan proses geomorfologi yang berlangsung akan dipengaruhi oleh perubahan arah gerak semu matahari tersebut, terutama proses marine dan eolin. Proses ini berlangsung di seluruh kawasan pantai di Indonesia terutama pesisir selatan pantai Jawa dikarenakan menghadap ke laut bebas, yaitu Samudra Hindia. Bagian pantai selatan Pulau Jawa mempunyai berbagai fenomena bentuk lahan yang tidak terdapat di wilayah lain, misalnya sand dune di Parangtritis, laguna, swall, dan kenampakan yang lain. Berbagai istilah berkaitan dengan penyebutan pantai sering digunakan secara rancu, secara uraian berikut ini akan memperjelas terminologi tentang pantai. Suatu pantai memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Pantai berhubungan langsung dengan laut. 2. Pantai berkedudukan di antara garis air tinggi dan garis air rendah. 3. Pantai dapat terjadi dari material padu, lepas atau lembek. 4. Pantai yang bermaterial lepas dengan ukuran kerikil atau pasir disebut sebagai gisik (beach). 5. Pantai dapat berelief rendah (datar, berombak, atau bergelombang), namun dapat pula berelief tinggi (berbukit atau bergunung). 6. Pantai secara genetik dapat berasal dari bentukan marine, organik, vulkanik, tektonik, fluviomarine, denudasional, atau solusional (Sunarto, 2002). Pesisir merupakan daerah yang membentang di pedalaman dari laut, umumnya sejauh perubahan topografi pertama di permukaan daratan. Pesisir merupakan sebidang lahan tidak lebar, tidak tentu, yang membentang dari garis pantai ke arah pedalaman hingga perubahan besar pertama kali pada kenampakan lapangan. Pesisir merupakan mintakat fisiografis yang relatif luas, membentang sejauh ratusan kilometer di sepanjang garis pantai dan seringkali beberapa kilometer ke arah pedalaman dari pantai. Pengertian lain menyebutkan pesisir merupakan sebidang lahan yang membentang di pedalaman dari garis pesisir sejauh pengaruh laut, yang dibuktikan pada bentuk lahannya (Sunarto, 2002). Garis pesisir adalah garis yang membentuk batas antara pesisir dan pantai. Garis pesisir membatasi pesisir dan pantai yang kedudukannya relatif tetap, garis pesisir akan berimpit dengan garis pantai saat terjadi pasang tertinggi atau gelombang yang relatif besar. Untuk mengidentifikasi pesisir harus terlebih dahulu disamakan cara pandang atau pendekatan yang digunakan. Secara geomorfologis, pesisir dapat diidentifikasi dari bentuk lahannya yang secara genetik berasal dari proses marine, fluviomarine, organik, atau aeiomarin. Secara biologi, karakteristik pesisir dapat diketahui dari persebaran ke arah darat biota pantai, baik persebaran vegetasi maupun persebaran hewan pantai. Secara klimatologi, karakteristik pesisir ditentukan berdasarkan pengaruh angin laut. Secara hidrologi, karakteristik pesisir ditentukan seberapa jauh pengaruh pasang air laut yang masuk ke darat. Daerah kepesisiran adalah suatu jalur yang kering dan ruang lautan di sekitarnya yang pada jalur itu proses-proses daratan dan penggunaan lahan secara langsung mempengaruhi proses-proses dan pemanfaatan lautan, dan sebaliknya. Ciri pokok daerah kepesisiran, antara lain: 1. Mencakup komponen-komponen darat dan laut. 510 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat. 3. Memiliki lebar, kedalaman dan ketinggian yang tidak selalu seragam (Sunarto, 2002). Batas ke arah laut bagi daerah kepesisiran adalah pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut terendah. Daerah kepesisiran mencakup wilayah pesisir, pantai dan perairan laut dekat pantai. Secara skematis wilayah pantai, pesisir dan daerah kepesisiran nampak pada gambar berikut: Gambar 1. Skema wilayah pantai, pesisir, dan daerah kepesisiran Muara Sungai Opak dan muara Sungai Progo yang berada di wilayah pantai selatan Jawa, yakni di Pantai Parangtritis mempunyai karakteristik yang dipengaruhi oleh beberapa proses geomorfologi yang sampai saat ini masih berlangsung, diantaranya adalah proses marine, fluvial, eolin, ataupun gabungan dari fluviomarine. Hal ini merupakan permasalahan tersendiri bagi dinamika masyarakat sekitar, sehingga perlu adanya pengetahuan dalam hal ini. Aktivitas masyarakat dalam bidang pertanian, pariwisata, perikanan/ kelautan maupun kehidupan keseharinnya perlu memahami tentang proses geomorfologi yang berlangsung. Disamping itu, pertahanan kelestarian bentuk lahan, dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan lahan yang ada sebagai lahan pertanian, misalnya bentuk lahan fluviomarine yang mempunyai karakteristik air, drainase, maupun permeabilitas sistem tanah yang berbeda perlu dikelola secara spesifik misalnya dengan sistem surjan. Kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang lingkungan yang ada juga berpengaruh terhadap kelestarian bentuk lahan yang ada, misalnya gumuk pasir yang sudah dijadikan laboratorium alam dapat dijaga dan dijadikan aset bagi mereka untuk kegiatan dan kelangsungan hidup tanpa merusak bahkan melestarikan kondisi alam yang ada. Masyarakat seharusnya memiliki pemahaman yang memadai terhadap wilayah pesisir yang memiliki potensi ekonomi sehingga sudah seharusnya menjadi prioritas untuk dijaga keberadaannya. Pemanfaatan wilayah pesisir dapat dilaksanakan dalam banyak hal. Pembangunan yang berkelanjutan dan merata juga seharusnya menjadi prioritas untuk menghindari kesenjangan yang berpotensi menimbulkan konflik. Sementara itu, fakta yang ada menunjukkan, masyarakat tidak mendapat informasi yang memadai. Kurangnya pemahaman ini memicu berbagai kesalahan dalam 511 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mengelola dan memperlakukan wilayah. Salah satu problem solver yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan ini adalah dengan aplikasi interpretasi Citra Landsat untuk mendeteksi karakteristik fluviomarine di Kecamatan Kretek dan Sanden Kabupaten Bantul. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Proses geomorfologi apakah yang berlangsung di daerah penelitian? 2. Karakteristik material apakah yang mendominasi masing-masing bentuk lahan yang ada di daerah penelitian? Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi proses geomorfologi yang berlangsung di daerah penelitian melalui interpretasi Citra Landsat. 2. Mengenali dan mengidentifikasi berbagai variasi karakteristik material yang mendominasi masing-masing bentuk lahan di daerah penelitian. Pantai-pantai di Indonesia merupakan pantai yang dinamis karena mendapat pengaruh langsung dari beberapa samudra, sungai-sungai perenial yang selalu membawa material hasil erosi daerah hinterland, dan pengaruh aktivitas angin. Perkembangan pantai lebih jauh akan berakibat pada semakin menyempit dan atau melebarnya batas laut teritorial secara periodik. Dalam jangka waktu yang lama, perkembangan ini akan berpengaruh terhadap pergeseran pola dan dimensi garis pangkal yang lebih lanjut berarti perubahan terhadap garis batas laut. Dari sisi ekologi, karakteristik ekosistem pantai akan mengalami kerusakan akibat berbagai pemanfaatan yang ”keliru” dalam menerjemahkan ”kesesuaian alam” ekosistem pantai, yang sekaligus memicu kerawanan konflik antar daerah. Dalam mengkaji dinamika pantai, kawasan pantai dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipologi pantai secara geologis dan ekologi, yang pemanfaatannya diatur dalam kerangka politis sesuai dengan kebijakan otonomi daerah dan batas wilayah. Untuk menghindari berbagai konflik kepentingan dan kerusakan lingkungan pantai, perlu dilakukan pemetaan karakteristik pantai melalui berbagai wahana dan disiplin ilmu, melalui survei/pemetaan penginderaan jauh dan analisis geomorfologi pragmatis. Pola dari beting pantai adalah sejajar dengan pantai dan betingnya menunjukkan lebar yang bervariasi. Material pada lokasi ini terdiri dari pasir, tetapi dengan tekstur yang lebih halus dibandingkan dengan beting dekat pantai, karena kuatnya pelapukan. Gumuk pasir (sand dunes) adalah bentuk lahan asal proses aktivitas angin (aeolin depositional landform), lahan ini terbentuk jika ada material klastik dan lepas-lepas seperti pasir dan tenaga angin yang memindahkan material tersebut. Proses ini juga dikenal dengan deflation processes (Zuidam, 1986). Pasir hitam yang terendapkan di muka muara sungai dan oleh kombinasi ombak yang kuat dari selatan dan arus laut terpapar di sepanjang pantai dan membentuk gisik tepi laut. Suatu gisik tepi laut terdiri dari beberapa sub zone. Daerah yang dinamakan backshore dapat terendam pada waktu pasang laut yang tinggi dan ombak besar. Apabila angin cukup kuat, pasir dari backshore akan terbawa secara saltasi (meloncat), yaitu butir-butir pasir yang berganti-ganti terbang dan jatuh ke arah darat. Penghalang kecil seperti vegetasi dapat memaksakan pengendapan butir pasir di tepi yang teduh terhadap kekuatan angin. Dengan proses ini suatu gumuk pasir kecil akan terbentuk dan menyebabkan pengendapan butir pasir di bagian teduh dari angin (side of the sand leap). 512 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Menurut Zuidam (1986), karakteristik gumuk pasir antara lain relief morfologi pendek, permukaan dengan lereng curam dan topografi irreguler, terjadi pengangkutan pasir oleh angin, material utama berupa pasir, tanah belum terbentuk secara nyata, air permukaan sedikit atau cenderung tidak ada, air tanah kemungkinan ada, drainase sangat baik, vegetasi atau penggunaan lahan pada dasarnya tidak ada, tetapi di kaki gumuk yang tinggi beberapa vegetasi dimungkinkan ada. Deflasi pasir merupakan proses geomorlogis utama di daerah gumuk pasir yang memiliki angin yang bertiup dengan kuat. Deflasi adalah perpindahan material pasir atau debu karena aktifitas angin. Pada dasarnya deflasi melibatkan beberapa aspek yang berupa angin yang bertiup di permukaan medan, material permukaan medan, dan kondisi permukaan medan. Kemampuan angin untuk mengangkut partikel pada tahap awal adalah angin yang bersifat turbulen. Parameter angin yang mempengaruhi deflasi adalah kepadatan, kecepatan dan arah angin bertiup. Penginderaan jauh merupakan pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Colwell 1983). Selanjutnya Wolf (1993) mengungkapkan bahwa teknologi penginderaan jauh meliputi pengukuran dan analisa pantulan radiasi gelombang objek dengan sistem pasif maupun aktif. Respon radiasi dari masing-masing spektrum gelombang elektro-magnetik menunjukkan tipe atau jenis material obyek dan respon masing-masing spektrum gelombang elektromagnetik dikumpulkan dalam bentuk citra multispektral. Pada saat ini penyiaman multispektral telah dikembangkan 3 sampai 12 spektral band, seperti Landsat Thematic Mapper (TM), memasukkan pola ke dalam suatu kelas pola yang belum dikenal, prosesnya disebut clustering atau klasifikasi tidak terawasi, dan mengindentifikasi pola sebagai anggota dari kelas yang sudah dikenal, prosesnya disebut klasifikasi terawasi. Fungsi biaya menjadi sangat penting pada teknik penginderaan jauh jika areal sangat luas dan jumlah pengenalan obyek banyak apalagi jumlah sensor yang digunakan juga banyak. Dalam hal ini diupayakan jumlah latihan sampel (training sample) yang diteliti diekstraksi menjadi seminimum mungkin, namun tingkat keakuratan klasifikasinya masih tinggi. Secara umum tingkat keakuratan klasifikasi tergantung pada, 1) Class Separability (pemisahan kelas), 2) ukuran training sample (sampel latihan), 3) jumlah spektral band, dan 4) jenis klasifikasi atau fungsi pemisah (Hsieh, 1998). Tingkat keakuratan klasifikasi akan semakin tinggi jika penggunaan nilai parameter kelas semakin tepat, penggunaan class separability semakin bertambah, perbandingan antara ukuran training sample dengan jumlah spektral band semakin besar dan pemilihan jenis klasifikasi yang tepat. Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh seperti: radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda terhadap cahaya matahari, sehingga material-material tersebut akan mempunyai resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang. Berikut ini adalah gambaran reflektansi obyek pada berbagai panjang gelombang seperti tersaji pada gambar 2. di bawah ini. 513 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 2. Reflektansi Obyek Pada Berbagai Panjang Gelombang Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah 256 shade grayscale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam dan nilai 256 putih. Untuk citra muktispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Citra sebagai data set bisa dimanipulasi menggunakan algorithm (persamaan matematis). Manipulasi bisa merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan composite dari beberapa data set. secara matematis untuk membuat Produk data ini, disebut derived products, dapat dihasilkan dengan beberapa penghitungan matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo, dkk, 2003). Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumber daya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah Landsat 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari Landsat 6 yang gagal mengorbit. Landsat 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, saat ini masih beroperasi pada 514 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang, 1999 dalam Ratnasari, 2000). Program Landsat merupakan tertua dalam program observasi bumi. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Setelah tahun 1982, Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Selain untuk pemetaan objek dasar perairan dangkal, citra landsat juga dapat digunakan untuk pemetaan batimetri. Keterbatasan yang paling utama adalah resolusi spasial yang tidak memadai dan rendahnya akurasi. Spektrum inframerah dekat dikombinasikan dengan spektrum merah yang direkam dalam mode multispektral beresolusi 4 meter menunjukkan daya diskriminatif dan deteksi yang tinggi dalam mengidentifikasi berbagai kondisi. Tidak semua kondisi fisik yang relevan dapat diidentifikasi dengan baik dengan menggunakan informasi spektral saja. Namun citra resolusi 1 meter dalam mode pankromatik memperlihatkan setiap pohon kelapa sawit secara individual dengan jelas. Dengan demikian pemanfaatan kedua mode itu akan memberikan hasil terbaik untuk kenampakan fisik. Berbagai informasi kenampakan fisik yang nampak dengan jelas dari konfigurasi geometrisnya seperti misalnya gumuk pasir, sungai, sawah dan adanya areal rendahan yang sering tergenang dapat diperoleh dari citra landsat yang akan sangat membantu dalam identifikasi material dan proses yang berlangsung di daerah penelitian. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh berupa Citra Landsat untuk gidentifikasi proses geomorfologi yang berlangsung di kawasan paesisir pantai di wilayah Kecamatan Kretek dan Kecamatan Sanden. Penelitian dilaksanakan di daerah pesisir antara sungai Opak dan sungai Progo yang berada di wilayah Kecamatan Kretek dan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun waktu untuk kegiatan penelitian ini adalah selama 5 (lima) bulan, yakni dari bulan Juli hingga November 2009. Populasi penelitian ini adalah wilayah pesisir di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara sampel dalam penelitian ini adalah wilayah pesisir Kecamatan Kretek dan Sanden yang terbagi menjadi 3 kategori yaitu: 1. Daerah yang berlangsung proses fluvial 2. Daerah yang berlangsung proses marine 3. Daerah yang berlangsung proses fluviomarine 515 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Masing-masing kategori sampel diambil 3 (tiga) sampel tanah untuk dianalisis karakteristik materialnya. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan proporsional sampling. Teknik pengambilan sampel ini digunakan agar populasi yang terdiri dari 3 kategori dapat terwakili secara proporsional. Untuk keperluan pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan kombinasi dua teknik, yakni interpretasi citra landsat dan observasi. Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) tidak hanya sebagai alat bantu semata, tetapi cukup mendominasi dalam pengumpulan data aktual dan mutakhir serta dalam prosedur pengolahan data. Salah satu unggulan yang dapat dipakai sebagai andalan dalam pemanfaatan PJ dan SIG adalah kemampuannya dalam meninjau secara spasial/keruangan (space of land). Model integrasi regional yang mengkoordinasikan antara satuan lahan dan satuan administrasi digunakan untuk mengidentifikasi daerah proses geomorfologi yang berlangsung, identifikasi karakteritik material, dan hubungan kenampakan fisik pada citra landsat dengan karakteristik material dan proses geomorfologi yang berlangsung (Totok Gunawan, 2001). Sistem pada Landsat 7 dirancang untuk mengumpulkan energi pantulan yang dilakukan oleh saluran 1 – 5, 7, 8 (7 saluran) dan energi pancaran yang dilakukan oleh saluran 6 (1 saluran). Sensor Landsat akan mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi satuan radiansi. Radiansi adalah flux energi per satu satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan, pada arah tertentu. Radiansi ini terkait erat dengan kecerahan pada arah tertentu terhadap sensor. Radiansi adalah sesuatu yang diukur oleh sensor dan agak terkait dengan pantulan. Nilai radiansi kemudian dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan (brightness value) citra yang tersimpan dalam format digital. Dari beberapa metode klasifikasi multispektral, dalam kegiatan ini digunakan metode kemiripan maksimum. Hal ini disebabkan karena, data-data statistik daerah contoh digunakan untuk menentukan bentuk distribusi keanggotaan (distribution of membership) tiap kelas, pada dimensi feature spacenya sehingga metode ini lebih teliti dibanding metode yang lain. Setelah dilakukan proses klasifikasi maka akan diperoleh kelas-kelas penutup lahan. Asumsi yang digunakan metode kemiripan maksimum ini ialah bahwa obyek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal (Bayesian). Gugus-gugus nilai kecerahan tiap daerah contoh dapat dipandang sebagai suatu elips yang tertutup. Oleh karena itu, dalam algoritma ini, piksel diklaskan sebagai obyek tertentu tidak berdasarkan jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space yang berupa elipsoida. 516 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 3 Bagan Alir Interpretasi Citra Teknik observasi diperlukan untuk menggali data secara terestrial, meliputi data: 1. Pengambilan sampel tanah 2. Pengecekan hasil interpretasi 3. Identifikasi proses geomorfologi 4. Hubungan kenampakan fisik dengan karakteristik material dan proses geomorfologi secara langsung. Setelah melakukan interpretasi citra landsat, data yang telah terkumpul ditabulasikan, diklasifikasikan, dan dianalisis secara deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer antara lain jenis tanah, morfologi, bentuk lahan, relief, tektur, struktur tanah, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan antara lain kemiringan tanah. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interpretasi peta, observasi lapangan, dan pengambilan data monografi kecamatan. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Hasil dan Pembahasan Identifikasi Bentuk Lahan Identifikasi bentuk lahan dapat dilakukan melalui ciri spektral dari citra Landsat yang dicocokkan dengan peta Geologi, dapat digambarkan sebagai berikut: 517 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Peta Geologi DIY Identifikasi bentuk lahan dapat dilakukan dengan penggunaan ciri spektral, seperti gambar di bawah ini: Bentuk lahan marine Bentuk lahan fluvial Bentuk lahan fluviomarine Bentuk lahan eolin Gambar 4. Citra Landsat 7 diolah dengan penajaman unsur spektral Berikut ini adalah hasil identifikasi bentuk lahan di daerah penelitian dari citra landsat seperti tersaji dalam Tabel 1 Dari tabel 1, terlihat bahwa ada 7 (tujuh) bentuk lahan di daerah penelitian, antara lain bentuk lahan gisik, gumuk pasir, laguna, sandbar, gosong sungai, meander, dan oxbow lake serta dijumpai 4 (empat) proses geomorfologi yang berlangsung di daerah penelitian, yaitu proses marine, eolin, fluvial, dan fluviomarine. 518 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Identifikasi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian dari Citra Landsat No Bentuklahan Proses 1. Gisik/beach Marine 2. Gumuk pasir Eolin 3. Laguna Fluviomarine 4. Sandbar Fluviomarine 5. Gosong sungai Fluvial 6. Meander Fluvial 7. Oxbow lake Fluvial Kenampakan Terletak persis di tepi laut atau berbatasan langsung dengan air laut Terlihat bentukan memanjang, sejajar dengan garis pantai, gundukan, barchans, longitudinal maupun transversal, nampak ripplemark atau alur sedimentasi material yang kasar sampai dengan yang halus Genangan, terletak dekat dengan muara, dengan laut dibatasi oleh sandbar dan nampak gelap, cek lapangan rasa air payau/asin. Gundukan material/pasir, terletak menutupi muara, berbatasan dengan laut secara langsung, dengan bentuk memanjang sejajar dengan garis pantai. Berada di tengah sungai, merupakan gundukan material/pasir, akibat sedimentasi di tengah alur sungai. Alur sungai berkelok-kelok, akibatnya arus sungai semakin lambat, karena relief yang datar dan dikontrol oleh material/pasir di wilayah pesisir. Seperti tapal kuda, dekat dengan sungai opak, karena pelurusan meander Karakteristik dari masing-masing proses geomorfologi di daerah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Marine Bentukan asal marine pada citra terinterpretasi dengan bentuk lahan datar dengan tekstur halus, rona sedang-gelap dan warna kebiruan, serta situs terletak dekat pantai hingga pesisir. Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa bentukan asal marine ini berupa pesisir dan di sana dapat dilihat juga hamparan pasir besi dan ditumbuhi banyak pohon-pohan pandan sulam. Bentukan asal marine ini terutama berada di daerah pesisir sepanjang pantai selatan antara Muara Opak dan Muara Progo. Perubahan garis pantai yang mudah nampak adalah bertambahnya areal tanah akibat sedimentasi. Perubahan – perubahan garis pantai yang sudah terjadi dan baru terjadi dapat diinterpretasi dan dipetakan dari Citra Landsat. Penambahan dan pengurangan areal pantai setiap tahunnya dapat dihitung dan dipantau dari rekaman satelit yang berupa citra. Kenampakan pantai seperti shore, fore shore, back shore, shore line, near shore, offshore, breaker line, dan beach juga dapat dipantau secara seksama dari hasil rekaman satelit. Bentuk lahan tekstur datar halus, warna biru muda – biru gelap, situs dekat pesisir dan ditemukan pasir-pasir besi merupakan bentukan marine. Ciri areal, yakni bertambahnya areal pantai penyebab utamanya adalah proses sedimentasi. Kecepatan sedimentasi daerah pantai tergantung dari banyaknya muara sungai yang ada di pantai. 519 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Muara sungai Progo dan sungai Opak merupakan salah satu penyebabnya. Berkurangnya areal pantai penyebab utamanya adalah arus dan gelombang. Pada daerah-daerah yang menghadap langsung dengan arah pukulan gelombang dan arus pantai, abrasi berlangsung kuat dibandingkan pada garis pantai yang sejajar atau searah dengan datangnya gelombang. Menurut Bird (1970), garis pantai dibedakan menjadi dua yaitu, garis tepi naik dan garis tepi turun. Menurut Efendi, et. al. (1981), perubahan garis pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan manusiawi. Faktor alami terdiri dari sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen pantai, dan kondisi geologi. Faktor manusiawi meliputi penanggulan pantai, pembuatan kanal banjir, dan pengaturan pola air sungai. Proses sedimentasi dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang dan arus. Arus dan gelombang sepanjang pantai menyebarkan sedimen ke sepanjang pantai pada daerah gelombang dan arus tersebut. Kecepatan bertambahnya daratan atau akresi akibat sedimentasi dipercepat dengan terdapatnya karang-karang dan tumbuhan pantai. Material-material sedimen terhalang oleh karang – karang dan tumbuhan pantai,jika pantai tersebut mempunyai deretan karang di pantai. Karena karakteristik pantai di Selatan Jawa terutama antara sungai Opak dan Sungai Progo mempunyai karakteristik pantai berpasir/sandy beach sehingga pasir yang terbawa oleh arus dan gelombang akan terhempas ke daratan dengan pecahnya gelombang di tepi pantai. Akibatnya garis pantai yang biasanya akan semakin mundur akan mengalami kemajuan ke arah daratan karena di wilayah pantai selatan Pulau Jawa mempunyai tipe gelombang breaker yang mempunyai kecepatan arus dan tinggi gelombang yang besar. Hal ini mengakibatkan perubahan garis pantai di selatan Pulau Jawa terutama antara muara sungai Opak dan muara sungai Progo sulit diprediksi. Besarnya abrasi dan penurunan suplai material dari kedua sungai juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan daratan baru atau beting baru sebagai embrio dari garis pantai yang maju. Berkurangnya suplai material ini juga diakibatkan dibendungnya sungai Opak maupun sungai Progo di bagian hulu, aktivitas penambangan bahan galian C di wilayah hulu,dan menurunnya aktivitas Gunung Merapi sebagai produsen dari material pasir. 2. Eolin Bentuk lahan eolin di antara dua sungai yaitu sungai Opak dan sungai Progo merupakan bentuk lahan dominan, hal ini dapat terlihat pada citra Landsat. Ciri-ciri bentuk lahan eolin dari hasil pengamatan citra berdasarkan rona adalah warna terang, tekstur sangat halus dengan pantulan cahaya matahari yang besar sehingga berwarna terang. Material pasir yang mendominasi bentuk lahan eolin sangat jelas terlihat dalam citra karena mempunyai warna yang terang dan tekstur halus. Hal ini juga dibantu dengan kekontrasan warna yang ada di laut yaitu dengan warna gelap. Dari segi bentuk yang memanjang sepanjang garis pantai sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi bentuk lahan eolin ini. Tidak hanya memanjang dan sejajar garis pantai, tetapi adanya gundukan atau gumuk – gumuk juga merupakan ciri sebuah bentukan eolin. Dari aspek proses yaitu adanya alur-alur pergerakan pasir yang terbawa oleh angin atau ripplemark sangat jelas kelihatan karena terbentuk garis-garis yang tegak lurus dengan garis pantai. Proses eolin juga dicirikan dengan banyaknya tanaman atau tumbuhan yang sengaja ditanam oleh masyarakat yang berfungsi sebagai windbreaker di sepanjang garis pantai dan ke arah dalam daratan. Dengan adanya tumbuhan mengakibatkan material yang dibawa terlihat membentuk gundukan di belakang tumbuhan tersebut. Jika diperhatikan dari teksturnya maka akan terlihat 520 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta material kasar sampai dengan yang halus dengan semakin menjauhi garis pantai. Material yang kasar akan terendapkan dahulu daripada yang lebih halus dimana lebih jauh terbawa oleh angin. Identifikasi proses eolin sangat mudah dilihat dengan adanya pembentukan gumuk pasir pantai sepanjang pantai selatan antara muara Opak dan muara Progo. 3. Fluvial Bentukan asal fluvial pada citra ditunjukkan dengan bentuk lahan datar, tekstur halus sampai sedang, rona cerah, warna putih (kebiruan) sampai kecoklatan, dan situsnya dekat dengan aliran sungai. Bentukan asal fluvial ini digunakan oleh penduduk sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk, hal tersebut dikarenakan tanahnya merupakan tanah aluvial yang subur. Dari hasil pengamatan citra juga dapat ditunjukkan unit-unit geomorfologinya, seperti dataran aluvial, meander, dan dataran banjir, dimana semuanya terinterpretasi di citra dengan tekstur halus, warna cerah kekuningan hingga kecoklatan, serta situsnya dekat sungai. Bentukan asal fluvial ini terutama berada di daerah Sanden, Kretek, dan Srandakan. 4. Fluviomarine Bentukan sandbar yaitu pasir penghalang yang terbentuk di muara sungai Opak dan sungai Progo merupakan salah satu bentukan fluviomarine yang ada. Bentukan memanjang yang menutupi kedua muara terjadi ketika musim kemarau, dengan semakin turunnya debit kedua sungai dan arus laut mampu sampai ke kedua muara. Hal ini dibantu oleh kecepatan angin, maka air yang kering akan dikembalikan ke arah muara dan diendapkan di sekitar muara. Akibatnya yang terjadi adalah muara tertutup oleh pasir tersebut. Bentukan yang kedua adalah adanya laguna yang terbentuk di sekitar kedua muara sungai. Dari hasil pengamatan citra dapat terlihat genangan yang terpisah dari sungai maupun laut yang berwarna gelap dan terletak disamping kanan maupun kiri dari muara. Apabila di cek di lapangan maka airnya akan bersifat payau. Bentukan ini akan terbentuk apabila laut mengalami pasang sehingga air masuk ke daratan, akan tetapi tidak dapat kembali ke laut karena terhalang oleh sandbar yang ada. Identifikasi proses yang terjadi adalah adanya garis-garis / alur yang nampak pada citra dengan kondisi agak cekung yang merupakan alur untuk air mengalir yang dihempaskan oleh gelombang laut. Bentukan yang ketiga adalah adanya delta yang terbentuk di dasar muara yang berbatasan langsung dengan muara, yaitu kenampakan seperti kaki burung/bebek. Karena kedua sungai didominasi oleh material pasir, maka delta yang terbentuk sebesar delta-delta sungai yang terbentuk di Kalimantan. Hal ini disebabkan oleh besarnya gelombang dan kecepatan arus laut yang tinggi di samudera Indonesia. Identifikasi Penggunaan lahan Berdasarkan interpretasi dan cek lapangan yang dilakukan ada beberapa tipe penggunaan lahan di daerah penelitian seperti tersaji pada Tabel 2. di bawah ini. 521 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian No. Kenampakan Penggunaan Lahan Lahan basah 1. Lahan Pertanian Lahan kering/tegalan Lahan sistem surjan 2. Lahan Permukiman Perkampungan Ciri - ciri Gelap, luas, tekstur agak kasar, terlihat tanaman padi, bentuk persawahan Kering, lebih terang, tanaman campuran, tanaman keras, tekstur agak halus, dengan ciri khas pola tanaman tidak teratur Kenampakan pola bergaris, dengan ketingian berbeda, warna gelap terang sejajar membentuk formasi lurus, tanaman terlihat bertekstur halus Terlihat bergerombol, rumah dengan ciri khas genting, dan pola perumahan ataupun kios di tempat wisata Karakteristik dari masing-masing penggunaan lahan di daerah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Lahan pertanian Lahan pertanian merupakan penggunaan lahan dominan di daerah penelitian dengan beberapa tipe lahan pertanian, yaitu: a. Lahan pertanian lahan basah Pertanian lahan basah yang ada adalah sawah dengan irigasi teknik dengan dicirikan saluran irigasi yang telah ditata dengan baik dan permanen. Tanaman utama adalah padi dengan periode padi-padi-palawija. Letaknya hampir di seluruh kecamatan di antara muara sungai Opak dan Progo, yaitu Kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan. Lahan pertanian dengan sistem lahan basah merupakan bentuk lahan fluvial. b. Lahan pertanian lahan kering Pertanian lahan kering dapat dijumpai di sepanjang pantai dengan memanfaatkan beberapa sumur interface yang ada. Tanaman yang mendominasi lahan kering atau sering disebut dengan lahan pasir adalah semangka, melon, nanas, buah naga, cemara udang, pandan wangi dan beberapa tanaman keras misalnya kelapa, jambu mete, dan akasia. c. Lahan pertanian sistem surjan Lahan pertanian sistem surjan diterapkan untuk mengatasi persoalan permeabilitas tanah yang jelek di sekitar sungai Opak dan Progo yang merupakan backswamp yang telah mengering sehingga dijadikan lahan pertanian. Lahan pertanian sistem surjan juga untuk mengantisipasi luapan air kedua sungai di musim penghujan yang mengakibatkan tanaman bawang merah yang mendominasi kawasan tersebut menjadi busuk. 2. Lahan permukiman Lahan permukiman dapat dilihat di sekitar area wisata pantai Parangtritis, Depok, Parangkusumo, Samas, Pandansimo dan di utara lahan pertanian pesisir. 522 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Ada 4 (empat) proses geomorfologi yang berlangsung di daerah penelitian, yaitu proses marine, eolin, fluvial, dan fluviomarine. 2. Karakteristik material yang mendominasi masing-masing bentuk lahan yang ada di daerah penelitian sebagai berikut: a. Marine: bentuk lahan datar dengan tekstur halus, rona sedang-gelap dan warna kebiruan, serta situs terletak dekat pantai hingga pesisir. b. Eolin: warna terang, tekstur sangat halus dengan pantulan cahaya matahari yang besar sehingga berwarna terang. c. Fluvial: bentuk lahan datar, tekstur halus sampai sedang, rona cerah, warna putih (kebiruan) sampai kecoklatan, dan situsnya dekat dengan aliran sungai. d. Fluviomarine: bentukan sand bar, laguna, dan delta. Identifikasi merupakan garis- garis / alur yang nampak pada citra dengan kondisi agak cekung yang merupakan alur untuk air mengalir yang dihempaskan oleh gelombang laut, berupa genangan, terletak dekat dengan muara dan laut dibatasi oleh sandbar dan nampak gelap, cek lapangan rasa air payau/asin. Saran 1. 2. 3. 4. 5. 6. Beberapa saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: Data spasial yang berkaitan dengan wilayah penelitian perlu adanya pembaharuan kembali, karena perubahan fungsi lahan yang terjadi di daerah penelitian mengalami peubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan kenampakan yang ada di citra landsat tahun 2004. Keberadaan bentuk lahan marine, eolin, fluvial atau gabungan dari fluviomarine perlu dijaga kelestariannya dengan pertimbangan bahwa kebutuhan akan lahan pertanian dan permukiman terutama fasilitas penunjang di sekitar objek wisata mengancam keberadaannya. Bentuk lahan – bentuk lahan yang ada di daerah penelitian memiliki potensi secara sosial, ekonomi, maupun budaya sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah dalam penataan, pengelolaan, maupun pengolahannya. Penataan ruang sesuai dengan peruntukkannya dalam wilayah penelitian perlu segera dibenahi dengan acuan bahwa kelestarian lingkungan terutama gumuk pasir yang semakin terancam keberadaannya. Sebagai wilayah yang didominasi oleh lahan berpasir, maka hendaknya pola penggunaan lahan yang dilakukan terutama lahan pertanian berpasir perlu dilakukan inovasi dan kreasi dalam pemberdayaan masyarakatnya yang cenderung bertani dengan sistem tradisional. Lahan pertanian dengan sistem surjan yang dilakukan untuk pertanian bawang merah merupakan salah satu solusi untuk mensiasati kondisi tanah yang ada. 523 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Danoedoro, Projo. 2004. Satelit Mata-mata untuk Lingkungan. Kompas online: http://www. kompas.com/kompas-cetak/0305/13/inspirasi/ 307922.htm [ 20-11-2004]. Jaya. I.N.S. 2002. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan. Laboratorium Inventarisasi Hutan. Jurusan Manjemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Janssen, L.F.L dan Huurneman C.G. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC Educational Texbooks Series. ITC. Enshede. Netherlands. Lillesand dan Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mustafa, A.J. 2004. MODIS, Mengamati Lingkungan Global dari Angkasa. Kompas online: http://www.beritaiptek.com/messages/artikel/ 719062004em.shtml [ 20-11-2004]. Ratnasari, E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat-TM. Skripsi Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sunarto. 2002. Hand Out Kuliah Ekosistem Pantai. Laboratorium Geomorfologi Terapan. Jurusan Geografi Fisik. Fakultas Geografi UGM.Yogyakarta. Totok Gunawan. 2001. Membangun Sistem Monitoring dan Evaluasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. Makalah Seminar. BRLKT Surakarta. Zuidam, Van. 1986. Aerial Photo: Interpretation in Terrain Analysis in Geomorphologic Mapping. Smith Publisher. The Hague Netherland. 524 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta REKAYASA MODEL PENINGKAT ENERGI HIDRAULIK SEBAGAI ENERGI POTENSIAL MENGGUNAKAN TRANSMISI DAN RODA GILA UNTUK MEMUTAR GENERATOR Suyitno Hadi Putro Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Prinsip perencanaan PLTMH ini merupakan teknologi baru dan terbarukan yang telah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia No. Paten P00200800261. Keunggulan sistem teknologi baru dan terbarukan ini pada power input yang kecil dan menghasilkan power output yang lebih besar, karena terdapat rekayasa teknologi pada transfer energi potensial dari energi kinetik menjadi energi mekanik dan selaanjutnya menjadi energi potensial. Apabia di kemudian hari akan ditingkatkan dayanya, sistem ini telah didesain tidak mengubah sistem yang terlalu besar dan cukup mengganti generator kapasitas lebih besar dan roda gila yang sesuai selama power input mencukupi. Tujuan secara riil adalah peningkatan energy hidraulik menjadi energi potensial yang mampu memutar generator kapasitas lebih besar dari kapasitas energy hidraulik sumber. Rekayasa menggunakan model eksperimen dan research and development (R&D). Model eksperimen dilkakukan pada sistem transmisi dan roda gila, yang meliputi diameter gear, jumlah gigi-gigi gear, tebal gear dan karakteristik gear. Sedangkan pada roda gila adalah diameter roda gila, berat roda gila dan momen roda gila. Parameter rekayasa pada transmisi adalah diameter gear (dg), jumlah gigi (z), dan susunan transmisi untuk mencapai putaran tertentu. Parameter roda gila adalah diameter roda gila (drg), berat roda gila (w) dan momen putar roda gila (M tr). Input dari eksperimen dalam model adalah besar debit aliran sebagai energi hidraulik dengan batas hulu adalah debit aliran (Q), elevasi muka air hulu, dan besar pipa media ali (d p). Batas hilir pada input adalah diameter pipa (dp), elevasi muka air dan panjang pipa (L). Eksperimen dilakukan pada susunan gear agar putaran (rpm) yang didapatkan pada generator 1500 rpm, dan diameter gear. Untuk roda gila yang dilakukan dalam eksperimen secara matematis untuk mendapatkan momen yang mampu memutar generator sesuai kapasitas yang direncanakan. Selain itu roda gila juga untuk mengurangi kehilangan energy dalam putaran mesin sehingga mendapatkan efisiensi yang cukup besar. Hasil studi didapatkan bahwa skema mesin peningkat energi hidraulik ini digunakan turbin jenis Kincir yang diproduksi secara lokal sebagai penggerak transmisi. Input ke kincir dari debit 3 3 aliran sebesar 1,22 m /detik. Energi hidraulik yang dihasilkan debit sebesar 1,22 m /detik adalah sebesar 9.980,48 watt atau 9,98 kW. Kincir yang digunakan memiliki diameter 1500 mm, dengan lebar runner 400, kecepatan poros 483 rpm dan daya poros kincir dengan pendekatan torsi sebesar 109.379,2142 Nm tanpa roda gila dan di transmisikan ke generator. Sedangkan generator mempunyai torsi sebesar 497,9556 Nm untuk output sebesar 150 kW. Jika menggunakan roda gila, torsi yang terjadi sebesar 597.625,00 Nm > torsi generator 497,9556 Nm, sehingga output riil 942.116,35 joule/detik (watt) = 942,116 kW. Kincir jenis ini memiliki efisiensi mencapai 98% (max). Turbin/ kincir ini terdiri dari : rangka dasar ( Base frame ), bilah turbin /kincir, bantalan (bearing), dan pada penenang dilengkapi dengan pintu spilway dan pintu intake untuk mengatur debit aliran ke penstok. Pendahuluan Kebutuhan listrik semakin meningkat dan belum mencapai daerah yang jauh dari layanan PLN. Peningkatan kebutuhan listrik untuk masyarakat belum diimbangi dengan kapasitas yang dimiliki oleh PLN. Kebutuhan listrik untuk operasional sampai pedesaan belum dapat dipenuhi. Kapasitas listrik yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan untuk masyarakat desa khususnya pedalaman dan perbatasan, sehingga belum dapat suplai listrik sampai perbatasan dan pedesaan. Permohonan 525 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta masyarakat untuk pemasangan listrik sampai saat ini belum di penuhi. Untuk kepentingan tersebut, maka perlu dicari alternatif sumber energi selain PLN. Hambatan yang ada dalam pengadaan PLTMH adalah sumber daya manusia di daerah pedesaan yang kemampuannya masih terbatas. Potensi energi hidraulik yang dimiliki daerah tidak sama, dan tidak semuanya berpotensi. Jika suatu daerah tidak mempunyai potensi air yang cukup untuk menggerakan generator, maka selamanya tidak akan mendapatkan aliran listrik. Untuk itu perlu diciptakan teknologi tepat guna yang sangat sederhana, sistem operasional dan maintenancenya mudah dilakukan, tanpa tuntutan alat dan skill yang tinggi. Teknologi baru terbarukan hasil temuan ini akan membantu mengatasi masalah listrik di daerah yang jauh dari layanan PLN akan dapat teratasi. Didasarkan atas uraian di atas, timbul pemikiran untuk mencari alternatif pemacahan masalah. Membangun Model transmisi mampu meningkatkan energi hidraulik yang dihasilkan dari debit aliran untuk memutar generator. Energi hidraulik ditingkatkan melalui mesin transmisi dilengkapi dengan roda gila yang dapat menjadi energi potensial untuk menggerakan generator dari input yang kecil mepunyai output yang besar sesuai yang direncanakan. Masalah yang ada dalam rekayasa ini adalah bentuk/ model seperti apa yang dapat digunakan untuk meningkatkan energi hdraulik. Berdasarkan latar belakang, rumusan, dan batasan masalah , makarekayasa ini mempunyai bertujuan: 1. Membuat rancang bangun model transmisi yang mampu meningkatkan energi hidraulik yang kecil sebagai input dan mendapatkan energi potensial yang besar sebagai output. 2. Membantu pengadaan listrik didaerah yang kurang potensi sumber energi hidraulik sebagai pembangkit listrik di pedesaan (PLTMH). Rekayasa yang dilakukan ini suatu kajian tentang peningkatan energi hidraulik untuk memutar generator. Adapun rekayasa ini dipengaruhi fenomena hidraulik dan system transmisi serta roda gila akan memberikan manfaat yang cukup besar antara lain adalah : 1. Dapat memberikan solusi pengadaan PLTMH didaerah yang tidak berpotensi . 2. Sistem yang dikembangkan ini sangat fleksibel, karena dapat ditingkatkan energi potensial yang ada dengan menggunakan mesin peningkat daya. Dasar teori Rumus umum biasa digunakan oleh perancang yang mendasari perhitungan potensi daya hidraulik di atas adalah : ...........................................................................................................(1) Ph  Q d xH g xg Dalam hal ini : Ph = Potensi daya hidrolik, kW Qd = Debit disain, m3 Hg = Gross head, m g = Konstanta gravitasi bumi, 9,81 m/dtk2 Net head (Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan dan turbulensi dalam penstock (Hlos )terhadap gross head (Hg). Estimasi efisiensi turbin, efisiensi generator dan efisiensi 526 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta transmisi mekanik merupakan efisiensi karena proses produksi. Namun dalam perkembangan teknologi, maka rumus di atas sementara disingkirkan dan digunakan sistem yang terbaru. Sistem terbaru yang ditemukan menggunakan teknologi terbarukan No. Paten P00200800261untuk PLTMH dan No. P00200800260 untuk Peningkat Daya Listrik. Sistem ini menggunakan teori mengubah masa benda menjadi energi kinetik. Transmisi yang rasionya sepadan dapat digunakan sebagai energi penyalur energi kinetik menjadi energi potensial untuk menggerakan generator. Sistem mekanik yang dibuat didasarkan atas analisis berbagai disiplin ilmu sehingga tercipta suatu teknologi transmisi yang relatif lebih kuat untuk menggerakan generator yang cukup berat. 1. Daya Daya yang mampu menggerakan transmisi dan difungsikan untuk menggerakan generator adalah : ..........................................................................................................(2) .......................................................................................................(3) ..........................................................................................................(4) ...............................................................................................(5) Notasi : W : Objek (kg) L : Panjang (m) T : awktu ( detik ) F : Gaya P : daya Jika dalam satuan MKS 1(kgm ) = g. (J) = 9,8 (J) ….. (Joule) 1(kgm/detik) = 9,8 (J/detik) = 9,8 Watt P = 9,8 W.V ( watt) .........................................................................................(7) ......................................................................(8) 527 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Cairan Berat air 1000 kg, Q = (m3/detik), H = meter jarak vertikal ...............................................................................................(9) Dalam hal ini --- K = 1,1 – 1,2 3. Putaran Motor/ Generator Generator 2 Kutub : Perputaran Sinkron (No) = = .......................................................(10) Generator 4 Kutub : Perputaran Sinkron (No) = .....................................................(11) Diameter generator puli d = diameter puli generator D = diameter puli mesin beban Motor 3 phse ====> 1pk = 746 watt≈ 750 watt 1kVA = 750 watt = 0,75 kwatt Generator = 1000 watt …….> 1 : 8 - motor = 125 pk 1 KN = 1000 N 1 N/mm2 = 1 MPa = 10 kg/cm2 4. Roda Gila a. Putaran roda gila ω = 2‫ח‬N --- N = putaran roda gila (rpm) ...........................................................................(12) ‫ח‬ - P = output generator ................................................................................(13) 528 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 5,5 hp = 4125 watt (1pk) = 1hp = 4125/5,5 = 750 watt b. Tenaga yang tersimpan di roda gila . .............................................................................. ......................................(14) ----δ = koefisien fluktuasi = (V1-V2)/ V = untuk generator besarnya =0,002 Io = Momen kelembaman roda gila terhadap sumbu putarnya dan δω -..........................................................................................................................(15) Dalam hal ini : g : gravitasi E : Perubahan tenaga kinetic roda gila k = r : radius roda gila terhadap sumbuputarnya W : berat roda gila V : kecepatan rata-rata Sedangkan Bila Roda Gila bentuk DISK : ............................................................................................................................(16) dan = ------- diambil 90% ...........................................................................................(17) V material baja = 40 m/det Vmaterial besi tuang = 30 m/det Jika .................................................................................................................(18) Dalam hal ini : d = diameter lubang t = tebal plat = tegangan geser maksimum Mtr = momen (lb.ft) atau (kg.cm) …… ..........................................................(19) Jika dalam system transmisi tanpa roda gila dan dengan roda gila, maka akan terjadi perbedaan output daya yang besarnya daya seperti contoh berikut : a. Tanpa roda gila 1 kali kerja = 1/3 detik Dalam 1 detik --- --- ( lb.ft)/detik 529 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Jika Mtr = 3340 lb.ft  b. Dengan Roda Gila 1 kali kerja Motor = 2 detik Dalam 1 detik --- --- ( lb.ft)/detik Jika Mtr = 3340 lb.ft  droda gila = 2,5 ft ----- n = 210 rpm V2 = 0,9 V1 = 0,9 x 27,5 = 24,8 ft/detik c. Berat roda gila Berat aktual yang diperlukan : W’ = 0,9 W = 0,9 1370 = 1230 lb Metode Rekayasa Rekayasa transmisi peningkatan energy hidraulik ini adalah eksperimen dan eksperimen dan research and development (R & D). Aplikasi dari rekayasa ini untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bagi daerah yang potensi hidrauliknya kecil. 1. Subyek rekayasa Rekayasa yang dilakukan adalah peningkatan energi dari input energi hidraulik relatif kecil setelah melalui mesin rekayasa mendapatkan ouput energi yang lebih besar dan dapat digunakan untuk memutar generator. Subjek rekayasa ini berupa mesin yang terdiri dari komponen transmisi dan roda gila. Transmisi difungsikan untuk membuat putaran (rpm) yang relatif rendah menjadi putaran lebih tinggi.Sedangkan roda gila difungsikan untuk mengurangi kehilangan energi karena gesekan metal serta menambah daya potensial yang dapat menggerakan generator. Parameter rekayasa pada transmisi adalah diameter gear (dg), jumlah gigi pada gear (z), ketebalan gear (tg) , susunan gear dan karakteristik metal gear. Parameter untuk roga gila adalah diameter roda gila (drg), kecepatan putar (v), berat roda gila (w), momen roda gila (Mtr), dan posisi penempatan roda gila. 2. Jenis Rekayasa Jenis rekayasa ini adalah eksperimen dan research and development (R & D). Eksperimen dengan pendekatan model fisik yang cocok diterapkan dalam rekayasa ini untuk menentukan sistem transmisi dan roda gila yang sesuai dengan rancangan. Eksperimen untuk transmisi yang terdiri dari susunan gear disimulasikan sedemikian rupa sehingga mendapatkan rpm yang diharapkan ( 1500 rpm untuk memutar generator/ motor listrik). Sedangkan eksperimen untuk roda gila adalah posisi roda gila dan berat roda gila untuk mendapatkan momen putar yang lebih besar mampu memutar generator/ motor. Jika keduanya (transmisi dan roda gila) masih belum sesuai rancangan maka diubah didasarka atas pendekatan matematik. 3. Analisis data rekayasa Unit analisis rekayasa adalah pada peningkatan energi hidraulik yang dipengaruhi berbagai parameter seperti debit aliran, kemiringan pipa penstok, perbedaan elevasi hulu dan hilir, transmisi dan roda gila. Pengaruh elevasi muka air di hulu pipa penstok dan elevasi muka air di hilir penstok akan mempunyai dampak pada energi hidraulik sebagai input pada mesin ( transmisi). Rumus yang 530 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dipilih di coba disesuaikan dengan hasil yang didapatkan dari eksperimen, sehingga hasil temuan sesuai dengan kondisi dilapangan khususnya terbatas pada parameter yang digunakan dalam rekayasa. Analisis yang digunakan dalam rekayasa menggunakan rumus empiris untuk aliran dan rumus yang telah disebut di atas. 4. Pelaksanaan rekayasa Rekayasa ini bertujuan meningkatkan energi hidraulik sebagai input PLTMH yang mampu memutar generator dengan kapasitas lebih besar dari input. Rekayasa ini dilakukan dengan Metode eksperimen (model fisik) untuk transmisi dan roda gila. Sedangkan input yang akan ditingkatkan merupakan parameter konstan yang sudah tidak diubah sesuai kondisi yang ada. Adapun bagan alir model tahapan penelitian adalah seperti pada Gambar 1. Alat dan bahan yang digunakan untuk rekayasa adalah sebagai berikut : sofware yang telah disebut di atas dan alat produksi untuk permesinan serta alat tes putaran. Sedangkan bahan untuk gear dan roda gila menggunakan material baja 8210 yang karakteristiknya keras di bagian luar dan liat di bagian dalam. Langkah awal dalam rekayasa adalah penetapan domain model, yaitu susunan transmisi, diameter gear, jumlah gigi gear dan diameter roda gila, berat roda gila, momen roda gila akan disimulasikan. Domain model ini akan direpresentasikan ke dalam susunan setiap komponen pada transmisi. Langkah selanjutnya ujicoba model untuk mendapatkan rpm transmisi dan momen roda gila yang dapat menggerakan generator. Mulai Kajian Teori Kosultasi Tidak baik Rancangan transmisi dan roda gila Rancangan Model Fisik Susunan transmisi dan posisi roda gila Pembuatan Model Fisik Tidak baik Uji fungsi mesin matematik Perbaikan Model Uji fungsi Model Baik Baik Baik Kalibrasi alat  Energi Input < energi output  rpm output ±1500 rpm Pelaksanaan Rekayasa Penerapan Penulisan dan Pendaftaran Paten HKI Model maintenance Selesai Gambar 1. Bagan alir tahapan rekayasa 531 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Apabila nilai besaran parameter model telah diperoleh, selanjutnya dilakukan simulasi aliran (debit aliran, kemiringan pipa, diameter pipa) sebagai input untuk spesifikasi generator yang akan digunakan dalam model. Kondisi eksisting, yaitu kondisi aliran saat ini sesuai dengan debit yang dimodelkan. Untuk simulasi kondisi batas hulu model berupa debit sungai, kecepatan aliran, elevasi muka air hulu, diameter pipa penstock. Sedang kondisi batas hilir berupa muka air di ujung pipa, kecepatan aliran, diameter pipa. Domain model dimana debit aliran akan disimulasikan dengan model matematik mencakup batas hulu dan hilir. Pada domain model tersebut, dibuat yang merupakan representasi domain fisik kedalam domain matematik. Simulasi dilakukan dengan membuat kombinasi dengan berbagai kondisi susunan transmisi dan posisi roda gila. Dengan menggunakan variasi tersebut, maka susunan transmisi dan roda gila akan berubah. Hasil running dari simulasi akan dicocokan dengan model matematik. Mulai Pengumpulan data : Tinggi air hulu dan hilir , kecepatan aliran, debit dan jenis material dasar pipa Pembuatan jaringan elemen kondisi eksisting hidraulik Input kondisi batas : Hulu : debit aliran, el.M.A, kecepatan aliran, diameter pipa Hilir : el. M.A, diameter pipa, kecepatan aliran Analisis energy hidraulik sebagai input mesin Input parameter aliran : Angka kekasaran Manning (coba-coba) viscosity (coba-coba) Angka Manning dasar Running simulasi Batas yo hulu dan hilir Alternarif dst Pembacaan hasil simulasi Cecking hasil simulasi energi hidraulik terbaik dengan hasil pengukuran di eksperimen tidak ok Gambar 2. Bagan alir pekerjaan pemodelan dan simulasi model matematik menggunakan rumus empiris Parameter aliran terkalibrasi dan nilai besaran energi Selesai 532 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Koefisien Manning diambil berdasarkan pada penggal pipa penstock dan disesuaikan dengan hasil running program SMS 8.1 dan dapat pula menggunakan SMS 10. Dalam mengakses program SMS untuk menentukan besarnya kecepatan aliran perlu suatu titik koordinat sesuai dengan sumbu orthogonal (x,y dan z) pada hulu dan hilir pipa penstok. Saluran pipa perlu di tentukan koordinatkoordinat arah x dan arah y yang dibuat menggunakan program Microsoft Office excel ataupun program AutoCad. Dengan menggunakan program tersebut dapat diakses dengan program SMS, koordinat tersebut harus disusun berurutan x,y kemudian z dan selanjutnya akan dijelaskan dalam tahapan untuk running data dengan program SMS sehingga diperoleh angka kekasaran Manning pada saluran pipa penstok. Adapun tahapan untuk menentukan nilai Manning (n) sebelum dipasang pipa dengan menggunakan program SMS 8.1 maupun SMS 10. Tahapan untuk menentukan nilai Maning seperti dalam Gambar 2 di atas. Kemiringan pipa penstok yang digunakan untuk melakukan rekayasa ini pada bagian dasarnya (halus), dengan kemiringan dari hulu sampai ke hilir sesuai dengan kasus ( kondis eksisting). Kemiringan pipa penstock yang diperlakukan bervariasi sesuai dengan karakteristik aliran dan sifat perlakuan. Untuk menentukan kemiringan pipa penstok ini terlebih dahulu diperlukan analisis berkaitan dengan debit aliran serta elevasi muka air hulu dan hilir. Didasarkan atas tujuan rekayasa yang intinya adalah pada peningkatan energi hidraulik, maka debit aliran, kecepatan aliran, elevasi muka air hulu dan hilir sesuai dengan kondisi eksisting. Hasil rekayasa pada fenomena ini adalah terjadinya perubahan energi potensial yang lebih besar dari energi hidraulik input yang dapat digunakan untuk memutar generator. 5. Generalisasi Hasil rekayasa ini agar dapat dipakai secara umum artinya kesimpulan yang diambil dapat diterapkan khususnya transmisi untuk PLTMH. Rekayasa model dikelompokan dalam besaran energi input dan energi output (energi potensial). Model ini diharapkan dapat mewujudkan suatu bentuk model yang tepat sesuai dengan karakteristik pemodelannya, yaitu pengelompokan untuk debit input, beda tinggi elevasi muka air hulu dan hilir, kapasitas generator dibuat dalam grafik hubungan antar parameter. Hasil rekayasa Transmisi untuk meningkatkan energi hidraulik yang dirancang untuk memutar generator PLTMH sebagai usaha dalam pengadaan listrik daerah yangkurang berpotensi dan yang tidak terjangkau layanan listrik PLN. 1. Potensi hidraulik input dan output Rekayasa mesin peningkat daya hidraulik ini menggunakan input daya hidraulik seperti dalam Tabel 1. Tabel1. Nilai parameter hidraulik ( debit aliran ) d pipa(meter) (1) 0.2032 g(m/det2) (2) 9.8 h (meter) (3) 72 533 V(m/det) (4) 37.57 Apipa(m2) (5) 0.032413 Q (m3/detik) (6) 1.22 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Turbin dan transmisi mekanik              Turbin Tipe : Free Water Jet ( Kincir model Pelton ) lihat contoh diatas yang telah terpasang. Diameter Runner : 1500 mm Lebar Runner (bo): 40 mm Head Gross/ Net : 74 m Debit Air Maksimum: 650 liter/ detik Daya Poros Turbin: 150 kVA Kecepatan Turbin: 483,33 rpm Efisiensi : 95% - 98% Transmisi Mekanik Diameter Pulley Ttransmisi : 129,4 mm Diameter Pulley Generator : 129,4 mm Rasio transmisi secara keseluruhan : 1 : 3 Jenis Belt / Type: Vbelt Rumus umum biasa digunakan oleh perancang yang mendasari perhitungan potensi daya hidraulik di atas adalah : Ph  Q d xH g xg .........................................................................................................(20) Dalam hal ini : Ph = Potensi daya hidrolik, kW Qd = Debit disain, m3 Hg = Gross head, m g = Konstanta gravitasi bumi, 9,81 m/dtk2 Dengan menggunakan rumus diatas potensi hidraulik output ( energi potensial ) yang didapat tanpa menggunakan transmisi adalah sebesar 115,75 kW: . Jika menggunakan transmisi hasil rekayasa dan telah dipatenkan dengan nomor paten P00200800261untuk PLTMH, maka potensi hidraulik seperti dalam Tabel 3. Tabel 3. Potensi daya hidraulik hasil rekayasa Elevasi Altimeter Geodetic Head Debit Terukur Head Disain Debit Disain Daya Listrik Desain Jarak Transmisi Kecepatan Aliran di penstok Estimasi net head Estimasi efisiensi turbin (Kincir) Estimasi efisiensi generator Estimasi transmisi mekanik Petensi Daya Hidraulik yang dihasilkan Daya listrik cadangan (Pe11-Pexp) El.M.A Hg Qm Hd Qd L Vp Hnet T G M Ph 142 ( sumber air ) dan 68 (lokasi mesin pembangkit) 74 meter pada jarak 1.000m 1.344 lt/detik 72 meter 3 1,22 m /detik =1220 lt/detik 150 watt 9.000,00 m = 9,00 km 37, 57m/detk 72,00 m 0,95 – 0,98 0,70 – 0,80 0,95 – 0,98 942166,35 Watt = 942,16635 kW =102.73 PK Pres 942,116 kW – 115,75 kW = 826,366 kW 534 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Net head ( Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan dan turbulensi dalam penstock ( Hlos )terhadap gross head (Hg). Estimasi efisiensi turbin, estimasi efisiensi generator dan estimasi efisiensi transmisi mekanik di atas masing-masing merupakan efisiensi untuk turbin KIncir yang diproduksi lokal, generator sinkron dan flat belt pada umumnya. Sedangkan rugi-rugi jalur transmisi diperkirakan sekitar 5% dari daya listrik yang dibangkitkan pada rumah pembangkit (P ell). Namun dalam perkembangan teknologi, maka rumus di atas (20) sementara disingkirkan dan digunakan sistem yang terbaru. Sistem terbaru menggunakan teknologi terbarukan No. Paten P00200800261untuk PLTMH. Jika diinginkan potensi energi lebih besar lagi, maka dapat dipasang satu peningkat daya No. P00200800260. Sistem ini menggunakan teori mengubah masa benda menjadi tenaga kinetik. Transmisi yang rasionya sepadan dapat digunakan sebagai tenaga penyalur tenaga kinetik menjadi potensial untuk menggerakan generator. Sistem mekanik yang dibuat didasarkan atas analisis berbagai disiplin ilmu sehingga tercipta suatu teknologi transmisi yang relative lebih kuat untuk menggerakan generator yang cukup berat. Batas hulu adalah bak pengendap dan penenang mempunyai kedalaman 2,00 m (dasar +142,00). Bak pengendap dan penenang juga sering kali dikenal dengan istilah head tank, sebagai reservoir air yang terletak dekat dengan bendung untuk dialirkan ke turbin/ kincir melalui penstock. Struktur bak penenang berupa pasangan batu kali 1PC: 4 Pasir. Komponen bak penenang terdiri dari bak penenang yang berfungsi juga sebagai bak pengendap ( settling basin ), dilengkapi saluran pelimpah (spillway) dan trashack. Beda tinggi jatuh air ini dikenal sebagai head direncanakan 74 m dari +68,00 ( batas hilir) s/d +142,00 (batas hulu). Letak bak pengendap dan penenang di bawah intake, dibuat dari pasangan batu kali 1PC : 4 Pasir yang diplester dengan campuran 1 PC : 3 Pasir dilengkapi dengan saluran pelimpah dan pintu air terbuat dari besi. Saringan dipasang di antara bak pengendap dan penenang dengan tujuan agar tidak terjadi aliran turbulen dan menghanyutkan lumpur yang ditransport oleh aliran air. Konstruksi bak penenang dan pengendap ini terbuat dari pasangan batu tebal 0,3 m yang diplester, diberi saringan dari bahan besi, strip atau besi beton dan dipasangkan pada pintu air di depan mulut pipa penstock. Fungsi bangunan ini untuk menenangkan aliran air sebelum masuk kedalam pipa pesat ( penstock ). Pada bagian bawah pipa penstock, diberi dudukan baja siku 7.70.70 dengan menggunakan dudukan baja siku 7.70.70. Siku yang tertanam di tanah diberi bungkus beton tidak bertulang K-225yang menyatu dengan baja sikunya. Komponen mesin peningkat daya hidraulik terdiri dari komponen pokok yang terdiri dari unit :  Unit kincir + Base frame sebagai penggerak transmisi.  Sistem transmisi mekanik (Sistem terbaru menggunakan teknologi terbarukan No. Paten P00200800261 di Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia)  Generator sinkron dipasang untuk kontrol kapasitas energi potensial yang dihasilkan dari rekayasa. 535 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Kincir penggerak transmisi. Sekema mesin peningkat energi hidraulik ini digunakan turbin jenis Kincir yang diproduksi secara lokal sebagai penggerak transmisi. Kincir yang digunakan memiliki diameter 1500 mm, dengan lebar runner 400, kecepatan poros 483 rpm dan daya poros kincir dengan pendekatan torsi sebesar 109.379,2142 Nm tanpa roda gila dan di transmisikan ke generator yang di rencanakan mengeluarkan sedangkan generator torsi 497,9556 Nm untuk output sebesar 150 kW. Jika menggunakan roda gila, torsi yang terjadi sebesar 597.625,00 Nm > torsi generator 497,9556 Nm, sehingga output riil 942.116,35 joule/detik (watt) = 942,116 kW. Kincir jenis ini memiliki efisiensi mencapai 98% (max). Turbin/ kincir ini terdiri dari : rangka dasar ( Base frame ), bilah turbin /kincir, bantalan (bearing), dan pada penenang dilengkapi dengan pintu spilway dan pintu intake untuk mengatur debit aliran ke penstok. 1) Base Frame Bahan yang digunakan untuk Base Frame adalah Mild Steel, besi beton eizer dengan diameter tertentu agar turbin konstruksinya kokoh. 2) Kincir Bahan yang digunakan untuk Kincir adalah Mild Steel, enam buah bilah piringan (disk) di las pada poros dan pada piringan tersebut dipasang sudu-sudu ( Blade ). Diameter kincir dan lebar berubah berdasarkan debit dan head air. Turbin/ kincir yang dipasang harus di cat anti karat dan dicat warna sesuai kebutuhan. Selain itu juga dipasang Intermedite disk yang jumlahnya tergantung lebar kincir. Pada poros sisi kiri kanan kincir diletakan bearing yang melekat pada poros yang dibaut ke base frame kincir. Karakteristik kincir untuk rancang bangun ini adalah Free Water Jet melewati sudu kincir. Air mengalir melalui sudu kincir dari tepi lingkaran kincir ke arah poros, kemudian kearah bawah dan terbuang. Air buangan kembali ke sungai dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya. 3. Transmisi dengan roda gila Enegi mekanik putaran poros turbin /kincir ke generator melalui sistem transmisi yang dilengkapi roda gila. Roda gila difungsikan untuk menambah daya gerak mekanik yang didasarkan atas berat roda gila mampu menggerakan generator. Transmisi ini mengubah dan meneruskan gerak putar poros sekaligus menaikan putaran sesuai spesifikasi generator ( 1.450 rpm atau 1500 rpm ). Disain transmisi mekanik PLTMH rancang bangun ini menggunakan flat belt dan sistem model gear. Roda gila model disk yang diberi bandul untuk memperbesar momen torsi, sehingga dapat menggerakan generator. Peningkatan daya listrik bobot roda gila dapat menyesuaikan dan tidak mengubah diameter roda gila. Disain transmisi mekanik meliputi komponen seperti berikut : a. Pulley turbin/ kincir 536 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Bahan yang digunakan untuk Base Frame adalah Mild Steel, yaitu besi plat dengan ketebalan tertentu, ketebalan besi plat perlu diperhitungkan agar konstruksi turbin /kincir kokoh dan kuat. b. Pulley Generator Bahan yang digunakan untuk Pulley Generator adalah Cor (Cash iron), yang telah dihitung/ analisis yang berdiameter sesuai dengan kebutuhan. c. Gear box bahan yang digunakan Cor (Cash iron), berfungsi untuk meringankan putaran pada sistem transmisi. Rasio gear adalah sebesar 3 sehingga untuk memutar generator yang beratnya 530 kg sangat ringan. d. Bearing (Plummer Block ) Bahan yang digunakan untuk Bearing (Plummer Block )adalah berfungsi sebagai bantalan untuk menyangga pulley generator, BALL. 6315-2RS (ISO) untuk bearing drive end, BALL. 6310-2RS (ISO) untuk BEARING NON-DRIVE END. Selain untuk digunakan seperti di atas juga digunakan untuk bantalan poros. e. Belt Belt ini adalah aksesoris penghubung poros pulley turbin kincir dengan pulley generator. Model yang dipakai adalah flat belt/ vee belt. Semua komponen pulley menggunakan flat belt/ vee belt. Pengaman Belt terbuat dari besi siku dengan diberi kawat ram, digunakan sebagai pengaman terhadap putaran pulley- pulley dan belt. f. Flexible coupling Flexible coupling digunakan untuk menghubungkan poros generator dan poros unit transmisi. Komponen ini untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 3 dan 4. Gambar kerja yang dibuat memuat pengerjaan bahan untuk tiap komponen, baik untuk mekanik unit utama dan pelengkap. Kesimpulan Hasil rekayasa model peningkat daya hidraulik yang dikembangkan menggunakan sistem transmisi dan roda gila yang disusun sedemikian rupa dapat disimpulkan seperti berikut : 1. Energi hidraulik yang akan ditingkatkan sebesar 115,75 kW hasil dari debit air yang melalui pipa sebesar 30 cm dengan beda tinggi sebesar 74 m. 2. Energi potensial yang yang dihasilkan melalui rekayasa teknologi menggunakan transmisi dan roda gila adalah sebesar 942,116 kW dari energi hraulik sebesar 115,75 kW. 3. Sistem transmisi yang dibangun dapat berfungsi meningkatkan energi hidraulik sebagai energi potensial menggunakan transmisi dan roda gila untuk memutar generator 537 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Niemann, Anton Budiman, Bambang Priambodo,1999, Elemen Mesin Jilid 1 Desain dan Kalkulasi dari Sambungan, Bantalan dan Poros, Jakarta, Erlangga Stamford Power Generation, 2010, Specification & Options, Technical Data Sheet Suyitno Hadi Putro, 2008, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Paten HKI Nomor P00200800261, Jakarta, Kementerian Hukum dan Ham Suyitno Hadi Putro, 2008, Peningkat Daya Listrik SUNSUY Tipe 2007 Paten HKI P00200800260, Jakarta, Kementerian Hukum dan Ham Nomor Suyitno Hadi Putro, 2011, Kegiatan Perencanaan Studi Kelayakan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ( PLTMH ) di Desa Setarap, Kec. Mentarang, Kab. Malinau, Provinsi Kalimantan Timur Kapasitas 150KVA, Yogyakarta, UNY Suyitno Hadi Putro, 2011, Kegiatan Perencanaan Studi Kelayakan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ( PLTMH ) di Desa Paking, Kec. Mentarang, Kab. Malinau, Provinsi Kalimantan Timur Kapasitas 500KVA x 4 KVA, Malinau, Kalimantan Timur Suyitno Hadi Putro, 2011, Kegiatan Perencanaan Studi Kelayakan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ( PLTMH ) Model Tangki di Kebun Dr. Yansen TP, MSi, Kec. Malinau, Kab. Malinau, Provinsi Kalimantan Timur Kapasitas 40KVA, Malinau, Kalimantan Timur 538 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta TRAFFIC LIGHT CONTROL SYSTEM ADAPTIF BERBASIS PROGRAMMABLE LOGIC CONTROLLER SEBAGAI SUMBER BELAJAR ELEKTRONIKA INDUSTRI BERDASARKAN SKKNI Masduki Zakaria, Ratna Wardani. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk : (a) merancang dan mengimplementasikan traffic light control system adaptif berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, (b) membuat media dan modul pembelajaran traffic light control system adaptif yang mampu merespon panjang antrian pada masing-masing ruas jalan. Penelitian dimulai dari mengindentifikasi Analisis kebutuhan, desain sistem yang akan mengahasilkan cetak biru penelitian, simulasi, dan implementasi sistem sampai menghasilkan prototipe media pembelajaran, serta uji mutu dari sistem yang dihasilkan melalui serangkaian pengujian pada skala laboratorium. Deteksi, Integrasi, dan sinkronisasi antar komponen dalam traffic light control system adaptif dilakukan dengan mempertimbangkan panjang antrian pada masing-masing ruas jalan. Prosesor yang digunakan adalah Programmable Logic Controller. Metode penelitian menggunakan Research and Development, dimana setiap tahapan sub sistem akan diuji coba serta dilakukan evaluasi dan perbaikan sistem sampai didapatkan sistem yang sesuai dengan cetak biru disain penelitian, dan pengembangannya untuk media pembelajaran. Hasil penelitian didapatkan disain sistem lampu lalulintas dengan mempertimbangkan panjang antrian yang meliputi : (a) prototipe perangkat keras traffic light control system adaptif yang dapat mendeteksi antrian pada masing-masing ruas jalan, (b) media pembelajaran traffic light control system adaptif, (c) analisis kesesuaian antara kompetensi matakuliah dengan kompetensi yang dipersyaratkan dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang Otomasi Industri. Kata Kunci : traffic light control system adaptif, Media pembelajaran, SKKNI Pendahuluan Infrastruktur jalan yang mempunyai peran dan fungsi strategis dalam mengatur laju kendaraan di persimpangan atau ruas jalan adalah Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas atau lazim disebut dengan traffic light. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, traffic light merupakan perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur lalu lintas orang dan / atau kendaraan di persimpangan atau ruas jalan. Volume kendaraan mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, hal ini berkontribusi secara langsung terhadap kepadatan arus lalu lintas, terutama di persimpangan jalan. Pada waktu-waktu tertentu terjadi antrian yang cukup panjang pada masing-masing ruas jalan. Hal ini akan berdampak pada kemacetan pada masing-masing ruas jalan. Penggunaan traffic light di Indonesia belum mempertimbangkan panjang antrian pada masing-masing ruas jalan, sehingga berdampak pada ketidak-sinkronan antara panjang antrian dengan lama waktu traffic light memberi isyarat untuk berjalan. Penelitian tentang sinkronisasi antara panjang antrian dengan lama waktu traffic light memberi isyarat untuk berjalan telah dilakukan (Masduki Zakaria dan Ratna, 2011), hasilnya menunjukkan bahwa lama waktu traffic light memberi isyarat untuk berjalan dapat dikendalikan secara adaptif dengan menggunakan programmable logic controller yang dapat mendeteksi panjang antrian pada masing-masing ruas jalan. Sehingga jika dalam satu ruas jalan terjadi antrian yang 539 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta cukup panjang, traffic light secara responsif mampu memberi isyarat bagi pengguna jalan untuk berjalan dengan waktu lebih lama. Hasil penelitian ini telah didaftarkan di Direktorat Paten Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM atas nama Masduki Zakaria dan Ratna Wardani dengan bukti Nomor Permohonan P0020100907 tanggal penerimaan dokumen 22 Desember 2010. Terlepas dari sistem teknik yang terkandung dalam traffic light adaptif, maka masingmasing sub komponen traffic light adaptif mengandung beberapa kompetensi dasar yang diperlukan untuk memahami dan membangun traffic light adaptif dengan beberapa tahapan penguasaan kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang No 14 Th 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1). Indikator ketercapaian kompetensi didasarkan atas standar ketercapaian kompetensi yang tertuang dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang Otomasi Industri. Sesuai dengan tugas keprofesionalan dosen sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundangan, mempunyai peran dan fungsi sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat, dalam rangka ikut berkontribusi meningkatkan mutu pendidikan. Tugas keprofesionalan tersebut tergantung pada aspek kompetensi, yang mencakup kompetensi : paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Amanat pada standar proses dalam meningkatkan mutu pembelajaran adalah proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisiologis dan psikologis peserta didik (PP 19 th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 ayat 1). Salah satu aspek yang ikut berkontribusi dalam meningkatkan proses dan hasil belajar adalah tersedianya sumber belajar, yang mampu merekonstruksi isi pembelajaran sehingga tercapai kebulatan kompetensi sebagaimana dipersyaratkan dalam SKKNI. Uraian beberapa alenia di atas, menunjukkan bahwa peran sumber belajar yang qualified berdasarkan standar yang telah dipersyaratkan, mempunyai peran yang strategis. Sehingga penelitian ini berusaha untuk merencanakan, mengimplementasikan, menguji kinerja traffic light adaptif pada skala laboratorium, dan digunakan dalam proses pembelajaran yang disertai dengan perangkat pembelajaran lain yang berupa modul pembelajaran yang disesuaikan dengan ketercapaian kebulatan kompetensi yang didasarkan atas SKKNI. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah : (a) menganalisis kompetensi berdasarkan kebutuhan yang diperlukan untuk membangun prototipe Traffic Light adaptif yang dapat mendeteksi panjang antrian dengan menggunakan prosesor Programmable Logic Controller, (b) merencanakan prototipe Traffic Light adaptif yang dapat mendeteksi panjang antrian dengan menggunakan prosesor Programmable Logic Controller pada skala laboratorium yang akan dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan prototipe sistem yang berpedoman pada blue print yang dibuat, (c) membangun prototipe Traffic Light adaptif yang dapat mendeteksi panjang antrian dengan menggunakan prosessor Programmable Logic Controller pada skala laboratorium, (d) membuat modul pembelajaran dan media pembelajaran dari sistem yang dibangun. 540 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Beberapa jurnal, prosiding, dan HKI yang telah dipublikasikan oleh para peneliti dan mempunyai relavansi yang cukup signifikan dengan penelitian ini, antara lain : (a) Fuzzy logic based traffic light controller (Ms. Girija H Kulkami dan Ms Poorva G Waingankar, 2007) menghasilkan simulasi traffic light berbasis logika fuzzy dengan menggunakan Matlab sebagai tool-nya, (b) A Hardware based approach in designing infrared Traffic Light System (Mohd Azwan Azim Rosli, dkk., 2008) menghasilkan perangkat keras traffic light berbasis PIC Mikrokontroller, (c) Research A New Type of City Intelligent Traffic Light (Haihong Fan', dkk., 2006) menghasilkan perangkat keras traffic light cerdas berbasis mikrokontroller AT89C52, (d) Hardware Implementation of Traffic Controller using Fuzzy Expert System (Islam M.S., Bhuyan M.S., Azim M.A., Teng L.K., Othman M. : 2006) menghasilkan perangkat traffic light berbasis FPGA (Field Programmable Gate Arrays) dengan menggunakan VHDL (Very High Speed Description Language) sebagai media dalam prosess pemrograman, (e) Algoritma Sistem Cerdas untuk Inovasi Traffic Light Control System (Masduki Zakaria dan Ratna Wardani, 2010) hasilnya berupa algoritma dan pemrograman system cerdas yang dapat mendeteksi panjang antrian pada sistem kendali lampu traffic menggunakan prosesor programmable logic controller, (f) Prototipe Perangkat Lunak Sistem Kendali Adaptif Menggunakan Algoritma Pembelajaran Perceptron (Masduki Zakaria, 2010) menghasilkan perangkat lunak adaptif yang dapat merespon setiap perubahan masukan dengan studi kasus variasi masukan digital, (g) Peningkatan kualitas pembelajaran teknik digital melalui pembelajaran berbasis lesson study (Umi Rochayati dan Masduki Zakaria, 2010) hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan lesson study dalam pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar mahasiswa, (h) E-learning as Independent Learning Model with Cooperative Approach to Improve Higher Education Graduate Competition (Masduki Zakaria, Herman Dwi Surjono, Nur Khamid, 2009) hasil yang diperoleh yaitu tersedianya learning management system menggunakan perangkat lunak open source “moodle” beserta strategi implementasi pembelajaran mandiri dengan pendekatan kooperatif. Berdasarkan basis data paten hasil penelitian sejenis yang dikeluarkan oleh United Stated Patent and Trade Mark Office yang telah memperoleh hak paten antara lain : (a) Secondary Media Return System And Method, Aplikasi paten 20120046786 dan Kind Code A1, oleh Inventor Kuehnrich, Franz, et al., tanggal 23 Pebruari 2012. Klaim yang diajukan sehubungan dengan judul paten tersebut mempunyai 12 macam klaim. Secara prinsip klaim yang diajukan berkaitan dengan media dan metode transformasi informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain. (b) Smart Traffic Signal System, Aplikasi patent 20050134478 dan Kind Code A1, oleh inventor John Cari Mese, Nathan J. Peterson, Rod David Waltermann, dan Arnold S Weksler, tanggal 23 Juni 2005. Klaim yang diajukan sehubungan dengan judul patent tersebut meliputi 24 macam klaim. Secara prinsip smart traffic signal system menggunakan tranmisi udara sebagai lalulintas data dalam proses kendali traffic signal. Traffic Light Control System Teknologi Traffic light yang dikembangkan di Indonesia bervariasi, akan tetapi salah satu prosessor yang digunakan dalam teknologi Traffic light terletak pada prosesor yang digunakan untuk mengendalikan mekanisme kerja Traffic light. Penggunaan Programmable Logic Controller sebagai prosesor utama Traffic light mengandung konsekuensi logis pada tataran perencanaan, implementasi, dan aplikasi di lapangan, serta penguasaan kompetensi yang dipersyaratkan untuk 541 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta merealisasikan Traffic light, terutama untuk Traffic light adaptif. Blok diagram sistem kendali Traffic light adaptif secara umum diperlihatkan pada gambar 1. Setting PROSESOR Sensor Out Pengembangan Programmable Logic I/O Controller Gambar 1. Blok diagram Prosessor pada Traffic Light Mekanisme kerja Traffic light adaptif menggunakan prosesor Programmable Logic Controller akan bekerja sesuai dengan setting keluaran yang dikehendaki dengan berpedoman pada lama waktu menyala pada masing-masing lampu dalam beberapa ruas jalan. Khusus penyalaan lampu dengan warna Hijau, mode penyalaannya berdasarkan atas panjang antrian yang dideteksi oleh sensor pada masing-masing ruas jalan. Secara umum tata urutan mode penyalaan traffic light Simulasi rancangan akan mengikuti pola dan tata urutan penyalaan lampu dengan mode dan tata urutan penyalaan traffic light adaptif yang ditunjukkan pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Tata urutan penyalaan traffic light adaptif untuk 4 jalur Langkah Durasi (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 (2) 2’ Variabel 4’ 2’ Variabel 4’ 2’ Variabel 4’ 2’ Variabel 4’ Ruas 1 M1 K1 H1 (3) (4) (5) 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 Ruas 2 M2 K2 H2 (6) (7) (8) 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 Kembali ke Langkah 1 Ruas 3 M3 K3 H3 (9) (10) (11) 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 Ruas 4 M4 K4 (12) (13) 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 H3 (14) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 Keterangan : Logika 1 : Lampu traffic light menyala Logika 0 : Lampu traffic light padam Variabel : Durasi penyalaan lampu traffic light hijau tergantung panjang antrian 542 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) Kompetensi merupakan seperangkat kemampuan tenaga kerja yang terukur yang terdiri atas pengetahuan kerja yang berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian kerja, serta sikap dan perilaku pekerja terhadap pekerjaannya sehingga diperoleh hasil kerja yang berkualitas. SKKNI merupakan standar kompetensi kerja yang ditetapkan oleh Badan Nasional Standarisasi Profesi (BNSP). Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa pelatihan kerja didasarkan atas program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pasal 3 (b) menyatakan bahwa sistem pelatihan kerja berbasis pada kompetensi kerja. Peta pengembangan kompetensi dijabarkan dari : (1) bidang keahlian, (2) unit-unit kompetensi, (3) elemen kompetensi, (4) kreteria unjuk kerja, (5) batasan variabel, dan (6) panduan penilaian. Secara rinci ditunjukkan pada gambar 2. Pemetaan unit-unit kompetensi didasarkan pada jenis dan kompleksitas pekerjaan yang diperlukan, mulai dari tahapan perencanaan, pembangunan, operasional, dan pengembangan sistem. Gambar 2. Skema Pengembangan Kompetensi (Anonimous, 2009 : 6) Kompetensi bidang otomasi elektronika dikembangkan dengan berpedoman pada tiga bagian kompetensi, yaitu : (1) kompetensi umum, (2) kompetensi inti, dan (3) kompetensi pilihan. Secara lengkap ketiga bagian kompetensi bidang otomasi elektronika ditunjukkan pada tabel 2. 543 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Klasifikasi Kompetensi Bidang Otomasi Elektronika Kompetensi Umum Kompetensi Inti  Melaksanakan Keselamatan  Memonitor kinerja operasional dan Kesehatan Kerja (K3). sistem otomasi elektronika.  Merakit dan  Mengoperasikan sistem otomasi mengoperasikan komputer elektronika. menggunakan system  Mengoperasikan sistem PLC / operasi DOS dan Windows. Mikrokontroller.  Mengukur Besaran Listrik  Memelihara peralatan elektronik dengan alat ukur analog dan sistem otomasi elektronika. digital.  Memelihara peralatan elektronik  Menggambar teknik robot produksi. elektronika. menggunakan  Merakit peralatan dan perangkat komputer sistem elektronika.  Mengerjakan dasar-dasar  Menginstal peralatan dan pekerjaan bengkel perangkat serta jaringan sistem elektronika. otomasi elektronika.  Mengawas pekerjaan instalasi sistem otomasi elektronika.  Memprogram dan memonitor PLC, robot, dan peralatan berbasis komputer         Kompetensi Pilihan Mengevaluasi pekerjaan instalasi sistem otomasi elektronika. Menulis dan menguji program. Merancang diagram alir program. Memeriksa dan menguji peralatan dan perangkat otomasi elektronika. Mengevaluasi sistem otomasi elektronika. Merencanakan dan mengembangkan peralatan dan perangkat otomasi elektronika. Merencanakan dan merancang sistem instalasi otomasi elektronika. Komisioning sistem otomasi elektronika. Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan pendekatan research and development, langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian ini ditunjukkan dalam diagram blok pada gambar 3. hasil Analisis Kebutuhan e o Disain Implementasi Testing Gambar 3. Blok diagram urutan perancangan Analisis kebutuhan melakukan aktivitas antara lain persyaratan yang diperlukan pada sistem Traffic light adaptif, algoritma yang digunakan, keterpaduan antara sistem dengan algoritma, serta karakteristik media pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan dalam SKKNI; produk dari aktivitas analisis kebutuhan adalah spesifikasi media pembelajaran Traffic light adaptif menggunakan prosesor programable logic controller. Disain melakukan aktivitas yang membuat cetak biru sistem berdasarkan spesifikasi yang telah ditentukan, produk yang dihasilkan berupa disain media pembelajaran Traffic light adaptif menggunakan prosesor programable logic controller. 544 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tahap implementasi, aktivitas yang dikerjakan adalah merealisasikan cetak biru menjadi produk media pembelajaran Traffic light adaptif menggunakan prosesor programable logic controller sesuai dengan analisis kebutuhan. Tahapan akhir dari serangkaian proses pada gambar di atas adalah testing, dalam mana media pembelajaran yang telah diimplementasikan dicocokkan dengan spesifikasi yang dikehendaki, keluaran dari langkah ini merupakan koreksi dari media yang telah dibuat. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diperoleh adalah rancangan unit sensor dan perangkat elektronik yang menyertai yang berkaitan jarak antara sensor dengan media yang akan disensor. Hal ini penting oleh karena unit sensor dan perangkatnya merupakan unit yang menentukan seberapa peka respon deteksi panjang antrian pada masing-masing ruas jalan. Semakin valid unit sensor yang diimplementasikan, maka semakin valid pula data deteksi panjang antrian pada masing-masing ruas jalur jalan. Sensor deteksi panjang antrian pada Media Pembelajaran Traffic Light adaptif, harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (a) valid dalam mendeteksi adanya masukan yang berupa kendaraan yang melanggar di sepanjang ruas jalan yang mengenai sensor, (b) mampu menjangkau jarak sensing yang cukup jauh, hal ini dilandasi bahwa lebar jalan protokol untuk satu jalur berkisar antara 20 sampai dengan 30 meter atau bahkan lebih, (c) reliabel dalam memberikan informasi yang akurat tentang panjang antrian yang terjadi di masing-masing ruas jalan. Hasil penelitian ini representatif untuk digunakan sebagai modul pembelajaran dan media pembelajaran dalam proses pembelajaran yang membutuhkan kegiatan praktikum sebagai bagian dalam pencapaian kompetensi, sehingga dilakukan proses internalisasi hasil penelitian kedalam silabus mata kuliah elektronika industri. Secara visual media pembelajaran Traffic light adaptif ditunjukkan gambar 4. Gambar 4. Prototipe Traffic light adaptif tampak atas 545 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sistem perangkat lunak dirancang untuk memberikan arahan yang harus dilakukan unit pemroses pada PLC, oleh karena itu diperlukan beberapa tahapan dalam penyusunan pemrograman PLC. Untuk keperluan rancangan tersebut, diperlukan : algoritma pemrograman, diagram alir, ladder diagram, statemen list. Pembahasan Penelitian ini menitikberatkan pada aspek inovasi, prototipe, dan rancang bangun traffic light adaptif menggunakan prosesor mikrokontroller dan komputer personal sebagai media pembelajaran. Inovasi media pembelajaran traffic light terletak pada aspek : (a) Media Pembelajaran traffic light adaptif dapat merespons panjang antrian yang terjadi pada masing-masing ruas jalan, (b) Media Pembelajaran traffic light adaptif dapat memberi keputusan tentang lama waktu penyalaan lampu traffic light berdasarkan masukan dari panjang antrian kendaraan yang terdeteksi oleh sensor, dan (c) Reprogrammable, artinya Media Pembelajaran traffic light adaptif dapat diprogram ulang dengan fleksibel sesuai dengan ambang batas pada kriteria yang dipersyaratkan dengan menggunakan prosesor Programmable Logic Controller. Terdapat dua keadaan model penyalaan traffic light adaptif yang telah dibuat. Pertama, suatu kondisi semua persimpangan empat jalur sama padat, akan tetapi tingkat kepadatannya tidak sampai melebihi batas antrian pada masing-masing ruas jalan, sehingga sensor belum mendeteksi adanya antrian kendaraan pada masing-masing ruas jalan, kalau hal ini terjadi, maka lama waktu penyalaan lampu hijau masing-masing H1, H2, H3, dan H4 mempunyai lama waktu hidup selama 20 detik. Kondisi kedua, merupakan suatu kondisi dimana sebagian dan atau seluruh ruas jalan pada empat jalur berkategori padat, kategori padat merupakan kategori dimana terdapat kendaraan yang berhenti di depan sensor setidak-tidaknya selama 10 detik. Jika kondisi ini terjadi, maka sebagian dan atau seluruh ruas jalan dikategorikan padat, sehingga konsekuensinya lampu hijau akan menyala lebih lama, yaitu selama 30 detik. Kompetensi elektronika industri yang dikembangkan berdasarkan penelitian ini terletak pada aspek : (a) konsep elektronika yang digunakan dalam proses kontrol di industri, (b) komponen utama dalam elektronika industri, termasuk didalamnya penggunaan programmable logic controller sebagai prosessor utama dalam sistem kontrol, beserta prosedur pemrogramannya, (c) komponen pendukung dalam elektronika industri, dan (d) keselamatan dan kesehatan kerja di industri. Terdapat tiga aspek dalam Indikator pencapaian kompetensi, yaitu (a) aspek kognitif dan kecakapan berpikir, yang menyangkut kemampuan untuk memprogram traffic light adaptif yang dilandasi dengan kemampuan untuk menggunakan logika kobinasional, sekuensial, dan fungsi-fungsi khusus dalam struktur dasar pemrograman programmable logic controller, (b) aspek psikomotorik, berkaitan dengan kemampuan mengimplementasikan pada studi kasus dalam traffic light adaptif, dan (c) aspek affektif, kecakapan sosial, dan personal; hal ini berkaitan dengan perilaku mahasiswa yang mengikuti kegiatan praktikum dengan tertib dan mampu berinteraksi dengan sesama mahasiswa dan dosen dalam lingkup pembelajaran Elektronika Industri. 546 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Simpulan Perancangan dan pembuatan perangkat keras traffic light adaptif berdasarkan kepadatan jalur pada masing-masing ruas jalan dengan menggunakan PLC sebagai kendali utama dapat diimplementasikan sesuai dengan analisis kebutuhan. Unjuk kerja sistem kontrol pada traffic light adaptif berdasarkan kepadatan jalan menggunakan prosessor programmable logic controller telah bekerja sesuai dengan model penyalaan yang telah dirancang dengan pola urutan mulai jalur 1 sampai dengan jalur 4 secara kontinyu. Ketercapaian kompetensi dapat diindikasikan dalam tiga aspek, yaitu : aspek kognitif, psikomotirik, dan aspek afektif dalam melaksanakan pembelajaran elektronika industry menggunakan media pembelajaran traffic light adaptif menggunakan prosessor programmable logic controller. Daftar Pustaka ______, 2003, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 39 ______, 2005, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 157. ______, 2005, Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 41. ______, 2006, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No. 67. ______, 2009, Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 96. ______, 2009, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Otomasi Elekronika, Jakarta : Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Haihong Fan’, Jiang Peng’, Shuijin Shen, Anke Xue, 2006, Research on a New Type of City Intelligent Traffic Lights, IEEE Conference Proceeding : Control Conference, 2006. CCC 2006. Chinese 711 Aug. 2006 Page(s):1733 – 1736 Islam M.S., Bhuyan M.S., Azim M.A., Teng L.K., Othman M., 2006, Hardware Implementation of Traffic Controller using Fuzzy Expert System, IEEE Conference Proceeding : International Symposium on Evolving Fuzzy Systems, 2006 7-9 Sept. 2006 Page(s):325 – 330 Masduki Zakaria, 2005, Disain dan Implementasi Prosessor Sel Syaraf Tiruan Berbasis Fields Programmable Gate Arrays (FPGA), Yogyakarta : Laporan Penelitian DP2M Dikti. Masduki Zakaria, Herman Dwi Surjono, Nur Khamid, 2009, E-Learning Sebagai Model Pembelajaran Mandiri Dengan Pendekatan Kooperatif dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Lulusan Perguruan Tinggi, Prosiding Seminar Internasional TIK untuk Pendidikan di Program Pasca Sarjana UNY 13-14 Pebruari 2009 hal. : 72-83 Masduki Zakaria, 2010, Prototipe Perangkat Lunak Sistem Kendali Adaptif Menggunakan Algoritma Pembelajaran Perceptron, Jurnal Penelitian Saintek Lembaga Penelitian UNY Vol. 15 No. 1 April 2010. 547 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Masduki Zakaria, Ratna Wardani, 2010, Algoritma Sistem Cerdas untuk Inovasi traffic light control system, Prosiding Seminar Diseminasi Hasil Penelitian Teknologi, MIPA, dan Pendidikan Vokasi, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, 4 Desember 2010, hal. : 407-420. Mohd Azwan Azim Ros H, Mohd Helmy Abd Wahab, Rahmat Sanudin, Mohd Zainizan Sahdan, 2008, A Hardware based approach in designing Infrared Traffic Light System, IEEE Conference Proceeding : International Symposium on Information Technology, 2008. ITSim 2008. Volume 4, 26-28 Aug. 2008 Page(s):1 – 5 Ms. Girija H Kulkarni, Ms. , Poorva G Waingankar, 2007, Fuzzy Logic Based Traffic Light Controller, IEEE Conference Proceeding : Second International Conference on Industrial and Information Systems, ICIIS 2007, 8 – 11 August 2007, Sri Lanka Sidney Siegel, 1992, Statistik Non Parametric, Jakarta : Gramedia. Umi Rochayati, Masduki Zakaria, 2010, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Teknik Digital Melalui Pembelajaran Berbasis Lesson Study, Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Vol. 19 No. 1 Mei 2010. 548 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT Streptococcus thermophilus TERHADAP KADAR LEMAK DAGING DAN LEMAK ABDOMINAL AYAM BROILER strain lohman Astuti*, Zaenal Bachruddin**, Supadmo** *FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik bakteri asam laktat Streptococcus thermophilus terhadap lemak daging , lemak abdominal ayam broiler. 40 ekor ayam broiler strain Lohmann umur 1 minggu dikelompokkan ke dalam 4 perlakuan 6 7 8 probiotik yaitu R-0 (tanpa BAL), R-1 (BAL 10 CFU/ml), R-2 (BAL 10 CFU/ml), R-3 (BAL 10 CFU/ml) masing-masing dengan 10 replikasi . Pakan dan air minum diberikan dua kali sehari secara adlibitum. Penelitian berlangsung selama 28 hari. Data yang diambil adalah kandungan lemak abdominal, daging dan subkutan. Data dianalisis dengan analisis variansi menggunakan rancangan acak lengkap pola searah, dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan, kandungan lemak abdominal, daging dan subkutan menunjukkkan perbedaan yang nyata. Rerata kandungan lemak abdominal adalah 1,93; 1,78; 2,07 dan 1,61%. Rerata kandungan lemak daging adalah 1,94; 1,84; 1,45 dan 1,36%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian probiotik bakteri asam laktat Streptococcus thermophilus dapat menurunkan kandungan lemak abdominal ,lemak daging ayam broiler. kata kunci: Ayam broiler, Probiotik BAL Streptococcus thermophilus, Lemak lemak abdominal lemak daging Pendahuluan Dewasa ini ada kecenderungan bahwa masyarakat di negara maju lebih mengutamakan makanan yang bebas dari pencemaran bahan-bahan kimia sintetik dan residu antibiotik. Disamping beracun, bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan timbulnya kanker, oleh karena itu tidak heran apabila terjadi kasus ekspor broiler Indonesia ditolak oleh negara tujuan, karena adanya residu antibiotik di dalam karkas. Selain hal tersebut kandungan lemak karkas yang tinggi juga menjadi salah satu perhatian dari konsumen. Melihat banyaknya efek samping dari penggunaan antibiotik maka kini mulai dikembangkan penggunaan probiotik dan salah satunya adalah bakteri asam laktat (BAL). Pertumbuhan yang cepat pada ayam pedaging sering diikuti oleh perlemakan yang tinggi terutama untuk ayam fase akhir Hal itu menjadi masalah bagi konsumen yang menginginkan daging kualitas baik (rendah lemak) karena kandungan lemak yang tinggi identik dengan kolesterol yang tinggi pula. Hal ini dapat memicu timbulnya penyakit jantung koroner dan penyumbatan pembuluh darah. Untuk meningkatkan kualitas daging yang ideal seyogyanya diturunkan seminimal mungkin. 549 lemak ayam broiler harus Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Bakteri asam laktat (BAL) mempunyai kemampuan untuk menyeimbangkan populasi mikrobia di dalam saluran pencernaan dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen, sehingga pemberian BAL sebagai probiotik mampu meningkatkan efisiensi pakan dan memperbaiki performan ternak. Selain itu BAL juga mampu menghasilkan enzim bile salt hydrolase yang berfungsi untuk mendekonjugasi garam empedu yang berperanan dalam pengemulsian lemak yang akan diabsorbsi tubuh sehingga diharapkan dengan pemberian probiotik bakteri asam laktat pada ayam broiler dapat menurunkan kandungan lemak karkas broiler. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik pada ayam broiler terhadap kadar lemak karkas ayam broiler yang meliputi lemak abdominal dan lemak daging. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi kaitannya dengan pengaruh pemberian probiotik pada ayam broiler untuk menurunkan kandungan lemak karkas ayam broiler. Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di kandang ternak unggas Laboratorium Biokimia Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta mulai dari Oktober sampai dengan Desember 2005. Analisis lemak dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayam yang digunakan adalah ayam broiler jantan strain Lohmann produksi PT Multi Breeder Adirama sebanyak 40 ekor umur 1 minggu. Kandang yang digunakan adalah kandang battery individu dengan ukuran 30 x 50 x 25 cm sebanyak 40 unit. Masing-masing kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum dari plastik. Peralatan lain yang digunakan adalah lampu penghangat, tempat untuk mencampur pakan, timbangan merk Daema berkapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 gram dan merk airlux berkapasitas 3 kg dengan kepekaan 10 gram. Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri Streptococcus thermopillus dalam bentuk freeze drying yang berasal dari Laboratorium Biokimia Nutrisi, Fakultas Peternakan, UGM. Pakan perlakuan yaitu R-0 (tanpa BAL), R-1 (BAL 106 CFU/ml), R2 (BAL 107 CFU/ml), R-3 (BAL 108 CFU/ml). Bahan penyusun pakan penelitian yang digunakan adalah jagung kuning giling, bekatul, bungkil kedelai, tepung ikan dan garam. 550 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Kandungan nutrien bahan pakan Bahan pakan BK % PK % ME kcal/kg Jagung giling Bekatul Bungkil kedelai Tepung ikan Garam 88,70 90,59 90,00 89,34 100,00 8,74 11,44 49,83 61,73 0,00 Ca % 3.350 3.020 2.230 2.219 0,000 0,04 0,05 0,28 2,32 0,00 P av % Met % 0,26 1,48 0,20 1,89 0,00 0,21 0,22 0,60 2,67 0,00 Lys % 0,34 0,58 2,67 6,45 0,00 NRC (1994) BK = Bahan kering PK = Protein kasar ME = Metabolizable energy Ca = Calcium P av = Phospor available Met = Methionine Lys = Lysine Tabel 2. Kandungan nutrien pakan perlakuan Bahan pakan (%) Jagung giling Bekatul Bungkil kedelai Tepung ikan NaCl BAL(CFU) Jumlah Protein Kasar Metabolizable energy (kcal/kg) Calcium Phospor available Methionine Lysine R-0 R-1 R-2 R-3 60,75 12,00 18,00 9,00 0,25 0 60,75 12,00 18,00 9,00 0,25 6 10 60,75 12,00 18,00 9,00 0,25 7 10 60,75 12,00 18,00 9,00 0,25 8 10 100,00 100,00 100,00 100,00 21,08 3.000,64 21,08 3.000,64 21,08 3.000,64 21,08 3.000,64 0,28 0,55 0,50 1,32 0,28 0,55 0,50 1,32 0,28 0,55 0,50 1,32 0,28 0,55 0,50 1,32 1) Perhitungan berdasar tabel komposisi bahan pakan NRC (1994). Metode Penelitian Kandang dan peralatannya sebelum digunakan untuk penelitian terlebih dahulu disucihamakan dengan menggunakan biochid. Vaksinasi dilakukan 2 kali yaitu vaksinasi ND-1 pada umur 3 hari dan ND-2 pada umur 20 hari. Pakan disusun berdasarkan hasil perhitungan dari tabel komposisi bahan pakan menurut NRC (1994) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Pakan dan air minum diberikan 2 kali sehari yaitu pada pukul 07.00 dan pukul 15.30 WIB. Probiotik diberikan setiap 551 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sore hari melalui air minum dengan cara diminumkan menggunakan spet dengan jumlah 1,5 ml per oral. Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola searah. Ayam broiler sebanyak 40 ekor di bagi menjadi 4 kelompok perlakuan setiap perlakuan diulang 10 kali dan setiap ulangan menggunakan 1 ekor ayam. Pencatatan data untuk performan dilakukan setiap minggu meliputi pertambahan berat badan dan konsumsi pakan. Pengambilan data untuk lemak abdominal dan lemak daging dilakukan pada akhir penelitian. Sampel lemak daging. Sampel untuk analisis diperoleh dengan memblender daging dada sebelah kanan, kemudian diambil cuplikan 1 g untuk dilakukan analisis ekstrak eter dengan metode Soxhlet Extraction (Sudarmaji et al., 1989). Persentase lemak abdominal. Data persentase lemak abdominal diperoleh dengan membagi berat lemak abdominal karkas dengan berat hidup sebelum dipotong dikalikan 100%. Persentase lemak daging. Data persentase lemak daging diperoleh dengan metode Soxhlet Extraction (Sudarmaji et al., 1989). Penentuan kadar lemak daging dengan ekstraksi soxhlet Sampel daging ditimbang dengan berat kurang lebih 1 gram dan dibungkus dengan kertas saring yang bebas lemak, kemudian dioven pada suhu 105 0 C selam 12 jam. Sampel yang telah dikeringkan tersebut ditimbang dalam keadaan panas selanjutnya. Dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet dan ditambahkan pelarut methanol dan khloroform dengan perbandingan 1:2. ekstraksi dilakukan selama 8 jam sampai larutan methanol khloroform dalam ekstraksi berwarna jernih. Setelah itu bahan yang telah terekstraksi lemaknya, dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 105 0 C. Sampel yang telah kering ditimbang beratnya dalam keadaan masih panas. % kadar lemak = X 100% X= berat sampel Y= berat sampel setelah oven Z= berat sampel setelah ekstraksi dan oven Analisisis Data Data yang diperoleh dianalisis variansi yaitu dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah dan apabila ada perbedaan di antara rerata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Gomez dan Gomez ,1984). 552 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Dan Pembahasan. Setelah 28 hari seluruh ayam disembelih untuk diambil lemak abdominalnya dan sampel lemak daging. Hasil analisis statistik diketahui pengaruh probiotik BAL terhadap kandungan lemak abdominal, lemak daging, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata kandungan lemak abdominal ayam broiler (%) ab Ulangan R-0 R-1 R-2 R-3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2.16 2.02 1.92 1.71 1.65 1.62 2.17 2.21 1.94 1.90 1.45 1.69 2.42 1.55 2.07 1.66 1.88 2.19 1.39 1.52 2.48 1.97 1.94 1.71 2.25 2.43 1.40 2.60 1.72 2.18 1.61 1.99 1.80 1.78 1.98 1.91 1.31 1.38 0.72 1.66 Rerata 1.93ab 1.78ab 2.07b 1.61a superskrip pada rerata yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian probiotik BAL berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap kandungan lemak abdominal ayam broiler menyebabkan turunnya kandungan lemak abdominal dibandingkan kontrol kecuali pada R-2 (107 CFU/ml). Hal ini menunjukkan bahwa BAL sudah mampu melakukan dekonjugasi garam empedu sehingga absorbsi lemak pada usus halus dapat dihambat yang mengakibatkan kandungan lemak abdominal juga akan turun. Semakin banyak jumlah BAL dapat menurunkan kandungan lemak abdominal ini terbukti pada R3 yang mengandung jumlah BAL paling banyak (108 CFU/ml) kandungan lemaknya juga rendah (1,61 %). Pada R-2 terjadi kenaikan kandungan lemak abdominal kemungkinan disebabkan kondisi higienis untuk BAL agar bisa tumbuh seperti pH dan temperatur pada saluran pencernaan ayam pada R-2 tidak tercapai sehingga BAL tidak mampu bekerja optimal untuk menghambat absorpsi lemak sehingga kandungan lemak abdominalnya tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Safalaoh (2006) yang menyatakan bahwa pemberian probiotik BAL dengan level 0,1 % yang setara dengan 108 CFU/ml pada air minum dengan pemberian secara adlibitum berpengaruh secara signifikan terhadap kandungan lemak abdominal. Lemak daging 553 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa pemberian probiotik berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap kandungan lemak daging ayam broiler. Kandungan lemak daging menunjukkan penurunan dengan meningkatnya penggunaan BAL. Hal ini disebabkan karena BAL melakukan dekonjugasi garam empedu yang menyebabkan proses absosrbsi lemak dalam usus halus terhambat sehingga lemak yang diproduksi menjadi sedikit. Tabel 2. Rerata kandungan lemak daging ayam broiler (%) ab Ulangan R-0 R-1 R-2 R-3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rerata 1.87 1.56 1.62 2.14 1.82 1.58 2.52 1.70 2.04 2.62 c 1.95 2.26 2.18 2.28 0.98 2.56 1.15 2.29 1.06 1.87 2.01 ab 1.85 1.26 1.56 1.37 1.42 1.37 1.69 1.14 1.76 1.75 1.22 b 1.45 1.29 1.04 1.15 1.81 1.96 1.17 1.95 0.87 0.98 1.45 a 1.37 superskrip pada rerata yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Dari data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah bakterinya maka kandungan lemaknya juga turun. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan R3 menunjukkan kandungan lemak yang paling sedikit ini disebabkan jumlah bakteri pada R3 paling banyak yaitu 108 CFU/ml. Hal ini sesuai dengan penelitian Safalaoh (2005) yang menyatakan bahwa pemberian probiotik bakteri asam laktat mampu menurunkan kandungan lemak daging hingga 0,06 %. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian probiotik BAL k berpengaruh terhadap terhadap lemak abdominal dan lemak daging ayam broiler 2. Level BAL yang terbaik adalah pada level 108 CFU/ml (R3). Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan BAL sebagai probiotik pada ayam dalam menurunkan kandungan LDL serta kandungan kolesterol dengan level yang berbeda dan dengan metode yang lebih praktis dan efisien. 554 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Arslan, C. 2003. Effect of dietary probiotics suplementation on growth performance in Rock partridge (Allectoris graeca). http://journals.tubitak.gov.tr/veterinary/issues/vet-04-285/vet-28-5-16-0303-21.pdf. accesion date Dec 28th 2005. Abdollahi, M.R., A. Kamyab, A. Bazzazadekah, A. Nikh-Khah and A.Z. Shahneh. 2003. Effect of Different Levels of Bacterial Probiotic on Broiler Performance. Diakses Dari www. bsas.org.uk/download/annlproc/pdf2003/185.pdf. accession date dec 20th 2005. Ahmad, R.A. 2002. Probiotik dan prebiotik untuk kesehatan. http://www.kompas.com. Accesion date feb 6th 2006 Anggorodi. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Anonimous. 1994. National Organic Standards Board Final Recommendation. Diakses dari situs Http:/www.Rafiusa.org/organic/livestock.html. accesion date feb 6th 2006. Bahlevi, T., U.S.U. An, B.Co. Vkun, V. Kurto and E.S. Etingul. 2001. Effect of Dietary Probiotics on Performance and Humorial Immune Response. British. Poult. Sci. 42: 456-461. Djoemantoro., Widyantoro dan Supadmo. 1982. Pengaruh Kadar Protein Terhadap kandungan Lemak Subkutan Pada Ayam pedaging. Proseeding Seminar Penelitian Peternakan. DEPTAN, Bogor. Djouvinov, D., S. Boicheva., T. Simeonova., and T. Vlaikova. 2005. Effect of Feeding lactina probiotic on performance, some blood parameters, and caecal microflora of mule ducklings. Trakia. Jour. Of Sci. Vol 3(2):22-28. Fuller, R. 1989. Probiotics in Man and Animals. J. Appl. Bacteriology. 83:365-378. Fuller, R. 1992. Probiotics of the Scientific Basis. Chapman and Hall. London. UK. Gomez, K.A. and A.A. Gomez.1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Ed II. John Willey and Sons, Inc.Canada. Hajjaj, H., P. Duboc, L.B. Fay, I. Zbinden, K. Mace and P. Niederberger. 2005. Aspergillus oryzae Produces Compounds Inhibiting Cholesterol Biosynthesis Downstream of Dihydrolanosterol. FEMS Microbiol. Letters, 242: 155-159. Hunton, P. 1995. Poultry Production environmental Factor involved in growth and development. Elsevier. Amsterdamme. Jin, L.Z., N. Abdullah and S. Jalaludin. 1997. Probiotics in Poultry Nutrition. J. World. Poult. Sci. 53:351-368. Kalavathy, R., N. Abdullah., S. Jalaludin., M.C.V.L. Wong., and Y.W. Ho. 2006. Effects of Lactobacillus feed supplementation on cholesterol, fat content and fatty acid composition of the liver, muscle and carcass of broiler chickens. Abstract. Anim. Res. 55(2006) 77-82. Kim, S.H., S.Y. Park, D.J. Yu, S.J. Lee, K.S. Ryu and D.G. Lee. 2003. Effects of Feeding Aspergillus oryzae ferments on Perfomance, Intestinal Microflora, Blood Serum Components and Environmental factors In Broiler. Kor. J. Poult. Sci. , 30:151-159. Klaver, F.A.M. and R, Van der Meer. 1997. The Assumed Assimilation of Cholesterol by Lactobacilli and Bifidobacterium Bifidum is Due to Their Bile Salt Deconjugating Activity. J. Appl. Environ. Microbiol. 59(4). Lee, K.W., S. K. Lee and B. D. Lee. Aspergillus oryzae as Probiotic in Poultry - A Review. http://www.pjbs.org/ijps/fin495.pdf. Accesion date July 12th, 2006 555 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Leeson, S. and J.D. Summers. 1980. Influence of Dietary Protein and Energy Level on Broiler Performance and Carcass Composition. J. Nutr. Rep. 29: 757-767. Oh, S., S.H. Kim and R.W. Wirobo. 2000. Characterization and Purification of Bacteriocin Produced by a Potential Probiotics Culture Lactobacillus Acidophillus 305C. J. Dairy. Sci. 83:2747-2752. Page, D.S. 1985. Prinsip – Prinsip Biokimia. Penerbit Erlangga. Jakarta. Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke 10. Penebar Swadaya. Jakarta. Safalaoh, A.C.L. 2006. Body weight gain, Dressing percentage,abdominal fat and serum choesterol of broilers supplemented with a microbial preparation. Department of animal science. University of Malawi. Samuel. R. 1995. Performance of Single Comb White Leghorn Fed a Diet Supplemented With a Live Microbial During the Growth and Egg Laying Phases. Anim. Feed. Sci. Tech. 57: 25-38. Santosa, U. 1999. Mikrobia efektif meningkatkan produksi dan mutu karkas ayam broiler. Poultry Indonesia No 200:38-39. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging . UGM Press. Yogyakarta. Sudarmaji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi UGM. Wahju. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wibowo, S. 1992. Struktur dan Komposisi Daging. Ayam dan Telur, No, 28: 17-20. Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press. Yogyakarta. 556 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN PROGRAM APLIKASI SISTEM KEARSIPAN UNTUK SEKOLAH Saliman dan Sutirman Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan program aplikasi sistem kearsipan untuk sekolah berbasis komputer untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen sekolah. Penelitian ini menggunakan model Research & Development (R & D). Tahapan yang dilakukan meliputi: analisis kebutuhan, desain produk, pengembangan produk, validasi ahli, uji coba, revisi, dan implementasi produk. Tahap analisis kebutuhan, desain produk, dan pengembangan produk dilakukan pada tahu pertama. Tahap validasi ahli, uji coba, revisi, dan implementasi akan dilakukan pada tahun kedua. Berdasarkan penelitian tahap analisis keutuhan diketahui bahwa terdapat permasalahan yang dihadapi oleh sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen sekolah. Masalah tersebut meliputi: 1) Fasilitas penyimpanan arsip dan dokumen tidak sebanding dengan jumlah arsip dan dokumen yang banyak dan selalu bertambah; 2) Belum ada sistem khusus yang diberlakukan dalam mengelola arsip dan dokumen sekolah; 3) Penataan dan penyimpanan arsip dan dokumen sekolah belum dikelola dengan profesional; 4) Tidak ada petugas memiliki keahlian khusus dalam bidang pengeloaan arsip dan dokumen. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi tersebut berhasil dibuat desain dan produk awal program aplikasi sistem kearsipan sekolah. Program aplikasi sistem kearsipan sekolah yang dibuat diberi nama Sistem Informasi Pengelolaan Surat dan Dokumen (SIPSDOK). Kata kunci: arsip, dokumen, sekolah Pendahuluan Manajemen modern di berbagai bentuk organisasi senantiasa menempatkan informasi sebagai sumber daya yang penting setara dengan sumber daya manusia, uang, mesin, dan material. Informasi yang tersimpan dalam bentuk arsip dan atau dokumen menjadi bahan bagi pimpinan organisasi untuk pengambilan keputusan. Arsip atau rekaman kegiatan dalam suatu organisasi sangat penting untuk dipelihara dan dikelola. Pengelolaan arsip yang kurang baik dalam suatu lembaga akan berdampak buruk terhadap kinerja lembaga tersebut. Kecepatan dan ketepatan mendapatkan informasi yang terdapat pada arsip akan berpengaruh terhadap kualitas pengambilan keputusan pimpinan. Sekolah sebagai lembaga yang mengelola sumber daya manusia dalam bidang akademik sangat erat kepentingannya dengan administrasi kearsipan. Semakin banyak siswa di suatu sekolah, maka semakin banyak arsip yang harus dikelola. Demikian pula informasi informasi penting yang berhubungan dengan personalia guru dan pegawai sekolah semakin lama semakin bertambah. Permasalahan yang sering muncul di sekolah antara lain sulitnya menemukan kembali arsip dan dokumen yang diperlukan. Penanganan sistem kearsipan yang buruk menyebabkan sulitnya menemukan kembali surat-surat masukyang penting. Selain itu sering terjadi kesulitan menemukan kembali salinan surat keluar, berkas-berkas siswa, guru maupun pegawai, bahkan sampai hilangnya dokumen-dokumen sekolah yang sangat penting. 557 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Keadaan yang demikian tersebut, harus mendapat perhatian serius dengan mencarikan solusi untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang layak dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan keterampilan para guru dan pegawai administrasi di sekolah dalam menangani arsip. Pembenahan sistem administrasi kearsipan juga penting dilakukan agar pengelolaan arsip di sekolah dapat dilakukan dengan sistematis. Upaya lain yang diduga dapat mengatasi masalah sulitnya penanganan arsip di sekolah pada era teknologi komputer sekarang ini adalah dengan mengembangkan program (software) aplikasi database administrasi kearsipan berbasis komputer. Program aplikasi database yang dimaksud diharapkan dapat meningkatkan keamanan, kecepatan dan keakuratan penyimpanan maupun penemuan kembali arsip di sekolah. Melalui aplikasi database administrasi kearsipan akan mempercepat akses informasi yang tersimpan secara cepat dan tepat sehingga dapat menghasilkan pengambilan keputusan yang baik. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dalam bidang administrasi kearsipan sekolah. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang sama dengan rencana penelitian ini sebelumnya. Penelitian ini diduga merupakan penelitian awal tentang pengembangan aplikasi database administrasi kearsipan sekolah. Oleh karena itu, untuk kepentingan yang lebih besar ke depan, masih diperlukan penelitian lanjutan dalam bidang ini, khususnya untuk mengukur efektivitas program aplikasi database administrasi kearsipan yang dikembangkan melalui penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan program aplikasi sistem kearsipan untuk sekolah berbasis komputer untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen sekolah. Landasan Teori 1. Komputer Sampai saat ini berbagai pengertian komputer banyak disajikan oleh banyak orang. Donald H. Sanders dalam bukunya Computers Today (1988: 13) menyebutkan komputer sebagai sebuah kalkulator besar yang cepat, mampu melakukan tugas utama seperti pemilihan, penduplikasian, pemindahan, perbandingan, dan melakukan beberapa operasi non aritmatika pada sejumlah huruf, angka, dan sejumlah simbol yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu. Senada dengan pendapat Sanders, Marilyn Meyer & Roberta Baber (1995: 7) mendefinisikan komputer sebagai mesin elektronik yang fleksibel dan dapat melakukan berbagai macam pekerjaan baik secara aritmatika maupun non aritmatika. Pendapat lain dikemukakan oleh Robert C. Nickerson, yang mengartikan komputer sebagai sebuah alat elektronik yang menyimpan data dan program serta memproses data dengan mengikuti instruksi instruksi dalam sebuah program sehingga diperoleh output data (1992: 25). Sedangkan William & Sawyer memberikan pengertian komputer sebagai mesin yang dapat diprogram dan memiliki beragam fungsi untuk menerima data, baik data mentah maupun angka, dan memproses atau mengubahnya ke dalm bentuk informasi yang bisa kita manfaatkan (2007: 5). B.S. Dharma Oetomo mendefinisikan komputer sebagai perangkat elektronika yang bekerja secara otomatis, 558 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta terintegrasi dan terkoneksi sehingga dengan prosedur tertentu, mengingat dan menampilkan hasil proses tersebut (2006: 42). Berdasarkan beberapa pendapat tentang definisi komputer di atas dapat disimpulkan bahwa komputer merupakan hasil rekayasa teknologi berupa alat elektronika yang dapat menyimpan data dan program serta mengolah data sesuai dengan instruksi sehingga menghasilkan out put yang diharapkan. Kemampuan operasi komputer sangat tergantung pada program yang dimasukan. 2. Program Program komputer atau sering disebut sebagai program saja merupakan suatu aplikasi yang dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman tertentu dan telah terinstall dalam komputer (http://id.wikipedia.org/wiki/ ProgramKomputer). Program komputer merupakan salah satu bentuk perangkat lunak komputer yang menuliskan aksi komputasi yang akan dijalankan oleh komputer. Komputasi tersebut dijalankan berdasarkan suatu algoritma atau urutan perintah tertentu. Urutan perintah atau algoritma merupakan suatu perangkat yang sudah termasuk dalam program komputer. Program komputer yang tidak disertai dengan algoritma tidak dapat berjalan dengan baik (Wahana Komputer, 2007: 15). Menegaskan tentang konsep komputer, Donald H. Sanders menyebutkan bahwa komputer memanipulasi simbol simbol dengan mengikuti suatu kumpulan perintah perintah yang disebut dengan program (1988: 13). Sedangkan menurut Marilyn Meyer & Roberta Baber (1995: 7) program komputer adalah suatu daftar instruksi instruksi yang memberitahukan apa yang harus dikerjakan oleh komputer. Berdasarkan pendapat pendapat di atas, maka program dapat dinyatakan sebagai instruksiinstruksi bahasa pemrograman yang menyebabkan komputer dapat bekerja. Database Database atau sering disebut juga dengan basis data adalah kumpulan dari informasi yang disimpan dalam komputer dan saling berhubungan satu sama lain secara sistematik (Wahana Komputer, 2007: 14). Abdul Kadir dalam bukunya yang berjudul “Penuntun Praktis Belajar Databse Menggunakan Microsoft Acess” mendefinisikan database sebagai suatu pengorganisasian data dengan bantuan komputer yang memungkinkan data dapat diakses dengan mudah dan cepat (2002: 2). Konsep dasar dari basis data adalah kumpulan dari catatan catatan atau potongan dari pengetahuan. Sebuah basis data memiliki penjelasan terstruktur dari jenis fakta yang tersimpan di dalamnya. Penjelasan terstruktur dari jenis fakta yang terdapat dalam basis data disebut sebagai skema. Skema menggambarkan obyek yang diwakili suatu basis data dan hubungan di antara obyek tersebut. Skema dapat diorganisasikan melalui beberapa cara yang disebut dengan model basis data atau model data. Model data yang lazim digunakan sekarang adalah model relasional. Model relasional ini mewakili semua informasi dalam bentuk tabel tabel yang saling berhubungan, dimana pada setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (http://id.wikipedia.org/wiki/ BasisData). 559 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Wikipedia (diunduh 15 Maret 2010) mendeskripsikan database atau basis data sebagai kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi dari database tersebut. Sedangkan Zane K. Quible mengartikan database sebagai kumpulan informasi berupa angka dan huruf yang disimpan secara terorganisasi (2005: 463) Tingakatan database meliputi charácter, field, record, file dan database. Karakter merupakan bagian data terkecil yang berjenis numerik, huruf, maupun karakter karakter khusus yang membentuk suatu item data. Field menggambarkan suatu atribut dari record yang menunjukkan suatu item dari data, seperti nama, alamat, dan lainnya. Record merupakan suatu unit data individu tertentu, yang merupakan kumpulan dari field. Sedangkan file merupakan gabungan record -record yang menggambarkan satu kesatuan data yang sejenis (Abdul Kadir, 2002: 2). Sebuah database memiliki beberapa karakteristik: a. Membantu menemukan kembali informasi secara cepat dan tepat b. Mampu menyimpan data secara aman sehingga arsip tidak dapat diakses oleh pihak yang tidak berhak c. Memungkinkan update data secara mudah, baik menambah, mengupdate maupun menghapus. d. Menghindari terjadinya informasi ganda, sehingga informasi dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan e. Memiliki fitur validasi data sehingga setiap kesalahan input data dapat diketahui dengan cepat (Zane K. Quible, 2005: 463). Secara teknis, database digunakan untuk menyimpan data dan informasi sebagai hasil dari pengolahan data tersebut. Aplikasi database akan memudahkan proses pengelolaan data seperti mengatur penyimpanan, menampilkan , dan mengedit data. Bonnie Soeherman & Marion Pinonton (2008: 186) mengidentifikasi beberapa manfaat dari database, yaitu: a. Menciptakan integrasi data antarkomputer atau bahkan antardivisi. b. Mempermudah proses sharing atau bertukar data dengan pengguna lain yang memiliki otoritas. c. Database memungkinkan pengolahan data untuk menghasilkan berbagai format informasi dalam bentuk laporan yang mudah dimodifikasi. d. Mengurangi resiko data yang tidak konsisten e. Data terpusat sehingga mudah dikelola dan dikendalikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa database merupakan kumpulan dari data yang saling berhubungan satu sama lain. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengelola dan memanggil query basis data disebut sistem manajemen basis data (database management system). Database dapat dintegrasikan dengan berbagai aplikasi untuk meningkatkan kinerja Database Management System (DBMS) dalam sebuah organisasi. 560 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Administrasi Kearsipan 1. Arsip Pemahaman tentang administrasi kearsipan perlu diawali dengan konsep arsip. Dalam konteks organisasi, arsip memiliki peranan yang cukup penting sebagai sumber informasi yang dibutuhkan dalam ppengambilan keputusan. Banyak definisi tentang arsip, baik pendapat ahli maupun definisi menurut undang undang. A.W. Widjaja (1993: 2) mendefinisikan arsip sebagai lembaran lembaran warkat yang disimpan karena mempunyai nilai kegunaan sejarah, hukum, dan pertanggungjawaban organisasi. Faisal Afiff melihat arsip dari aspek dokumentasi. Dari aspek dokumentasi arsip dapat dikatakan sebagai dokumen dokumen dalam berbagai bentuk dan sifatnya yang diciptakan atau diterima oleh organisasi karena kegiatan kegiatannya yang disimpan, baik sebagai bukti tindakan, keputusan, metode kerja, ataupun pelaksanaan (1994: 99). Menurut The Liang Gie, arsip adalah suatu kumpulan warkat yang disimpan secara sistematis karena mempunyai suatu kegunaan agar setiap kali diperlukan dapat secara cepat ditemukan kembali (1992: 118). Dalam UU No.7 tahun 1971 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kearsipan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan arsip adalah naskah naskah yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara dan badan badan pemerintah dalam bentuk dan corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah (A.W. Widjaja, 1993: 101). Read Ginn dalam bukunya “Records Management” menuliskan pengertian arsip menurut standar ISO 15489 sebagai informasi yang diciptakan, diterima, dan dipelihara sebagai bukti dan informasi bagi organisasi atau perorangan dalam bidang hukum maupun transaksi bisnis (2007: 5). Berdasarkan peranannya, arsip dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu a. Arsip aktif, yaitu arsip yang masih dipergunakan secara langsung dalam proses administrasi sehari hari. b. Arsip inaktif, adalah arsip yang nilai kegunaannya dalam kegiatan sehari hari sudah menurun. c. Arsip statis, yang tidak secara langsung digunakan dalam proses penyelenggaraan administrasi suatu organisasi (Wursanto, 1992: 11). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arsip merupakan informasi yang dibuat atau diterima oleh suatu lembaga atau perorangan sebagai bukti dan informasi yang berguna untuk bahan pengambilan keputusan. 2. Administrasi Kearsipan Menurut Faisal Afiff, administrasi kearsipan atau pengurusan arsip merupakan keseluruhan tindakan yang berhubungan dengan proses mengerjakan administrasi dokumen dokumen, dan cara penyimpanan akhirnya dalam arsip (1994: 99). Administrasi kearsipan merupakan penyelenggaraan penatalaksanaan kearsipan yang memperlancar lalu lintas suratmenyurat keluar dan masuk. Administrasi kearsipan diartikan pula sebagai kegiatan yang berkenaan dengan pengurusan arsip 561 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta arsip, baik arsip dinamis maupun arsip statis.Kearsipan adalah tata cara pengurusan penyimpanan warkat menurut aturan dan prosedur yang berlaku dengan mengingat tiga unsur pokok, yaitu penyimpanan, penempatan, dan penemuan kembali. Menurut Read Ginn (2007: 4) administrasi kearsipan adalah pengendalian secara sistematis terhadap arsip mulai dari penciptaan atau penerimaan, yang meliputi pemrosesan, distribusi, pengorganisasian, penyimpanan, dan penemuan kembali, untuk mencapai hasil yang terbaik. Sedangkan pendapat dari Zane K. Quible mengartikan administrasi kearsipan rangkaian aktivitas pengendalian siklus hidup arsip mulai penciptaan sampai penemuan kembali untuk digunakan secara optimal (2005: 475). Berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka administrasi kearsipan adalah rangkaian aktivitas pengelolaan arsip mulai dari membuat atau menerima sampai dengan menemukan kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan. Dalam administrasi kearsipan tedapat unsur penciptaan atau penerimaan, distribusi, penggunaan, penyimpanan, penemuan kembali dan disposisi. Pentingnya arsip dalam suatu organisasi pemerintah maupun swasta telah disadari sejak lama oleh pemerintah maupun oleh organisasi swasta. Hal tersebut dapat dilihat dengan ditetapkannya undang undang dan berbagai peraturan dalam bidang kearsipan. Landasan hukum yang mengatur tentang kearsipan adalah UU No.7 tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan dan UU No.43 tahun 2009 tentang Kearsipan. Selain produk hukum berupa undang undang ada juga beberapa keputusan. Keputusan Presiden RI nomor 105 tahun 2004 mengatur tentang pengelolaan arsip statis, dan Keputusan Kepala Arsip Nasional RI nomor 07 tahun 2001 mengatur tentang pedoman penilaian arsip bagi instansi pemerintah, badan usaha, dan swasta. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan (Research and Development). Orientasi dari penelitian dan pengembangan ini adalah produk perangkat lunak (software) aplikasi sistem kearsipan sekolah berbasis komputer. Penelitian dan pengembangan program aplikasi sistem kearsipan sekolah berbasis komputer ini akan mengadopsi model yang dikembangkan oleh Willian Lee. Berdasarkan model pengembangan tersebut, maka prosedur penelitian dan pengembangan program aplikasi sistem kearsipan sekolah berbasis komputer akan dilaksanakan dengan tahaptahap sebagai berikut : 562 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Analisis Kebutuhan Tahun Pertama (Observasi ke sekolah) Brainstorming tentang hasil analisis kebutuhan dengan pihak sekolah Merancang Program (Software) Aplikasi Sistem Adminstrasi Kearsipan Sekolah Berbasis Komputer Brainstorming tentang rancangan program (software) dengan pihak sekolah Mengembangkan Program (Software) Validasi Ahli Sistem Administrasi Kearsipan dan Ahli Pemrograman Revisi berdasarkan hasil validasi Ahli Tahun Kedua Uji coba implementasi terbatas Revisi berdasarkan uji coba implementasi terbatas Uji coba implementasi lapangan Revisi berdasarkan uji coba implementasi lapangan Diseminasi dan Implementasi Program Gambar 1. Prosedur penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh SMK yang memiliki Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel dipilih secara proporsional dan bertujuan (proporsional purposive sampling). Maksudnya sampel diambil secara proporsional dari setiap kabupaten, tetapi penentuan SMK yang dijadikan subyek mempertimbangkan kebutuhan di lapangan. Sampel yang dipilih sebanyak 2 sekolah dari setiap kabupaten dan kota, seluruhnya berjumlah 10 sekolah. Penelitian tahun pertama ini baru sampai tahap pengembangan produk awal, sehingga belum sampai pada tahap evaluasi. Hasil penelitian tahun pertama ini hanya menghasilkan data kualitatif berupa hasil analisis kebutuhan, desain sistem, dan produk awal. 563 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Teknik dan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah : 1. Teknik Wawancara dengan instrumen berupa pedoman wawancara. Teknik wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pihak sekolah dalam menangani arsip. 2. Teknik Observasi dengan instrumen berupa daftar pengamatan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan administrasi kearsipan di sekolah. 3. Teknik Angket dengan instrumen berupa angket. Teknik ini digunakan untuk menghimpun pendapat ahli dan pengguna tentang kualitas program aplikasi database administrasi kearsipan berbasis komputer. Analisis terhadap data hasil penelitian pada tahun pertama ini dilakukan dengan analisis deskriptif. Analisis dilakukan terhadap hasil dari setiap tahap penelitian, mulai dari hasil analisis kebutuhan, desain, dan pengembangan produk awal. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian 1. Hasil Analisis Kebutuhan Hasil dari penelitian tahap pertama ini adalah berupa data dari analisis masalah dan analisis sistem kearsipan yang ada di sekolah. Analisis masalah dilakukan dengan investigasi terhadap persoalan yang dihadapi sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen. Investigasi dilakukan dengan cara wawancara terhadap Kepala Tata Usaha sekolah. Kepala Tata Usaha sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam pengelolaan arsip dan dokumen sekolah. Analisis terhadap sistem kearsipan sekolah dilakukan dengan menganalisis struktur organisasi sekolah dan brainstorming dengan Kepala Tata Usaha sekolah tentang alur sistem pengelolaan surat dan arsip yang dilaksanakan di sekolah. Brainstorming dengan para Kepala Tata Usaha dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 bertempat di Laboratorium Simulasi Kantor program studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. a. Analisis Masalah Proses investigasi masalah yang dihadapi sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen dilakukan dengan wawancara terhadap 10 orang Kepala Tata Usaha SMK. Kepala Tata Usaha yang diwawancarai berasal dari SMK Negeri sebanyak 5 orang dan SMK Swasta sebanyak 5 orang. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa terdapat permasalahan yang dihadapi sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen. Permasalahan yang dihadapi tersebut adalah: 1) Fasilitas penyimpanan arsip dan dokumen tidak sebanding dengan jumlah arsip dan dokumen yang banyak dan selalu bertambah. 2) Belum ada sistem khusus yang diberlakukan dalam mengelola arsip dan dokumen sekolah. 3) Penataan dan penyimpanan arsip dan dokumen sekolah belum dikelola dengan profesional. 4) Tidak ada petugas memiliki keahlian khusus dalam bidang pengeloaan arsip dan dokumen. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi sekolah, maka dirumuskan alternatif solusi yang diharapkan dapat mengatasi masalah dalam mengelola arsip dan dokumen. Alternatif 564 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. solusi yang dirumuskan adalah: 1) perlu dikembangkan sistem kearsipan sekolah yang dapat menghemat tempat penyimpanan, 2) perlu dikembangkan sistem keasipan sekolah yang dapat diaplikasikan dengan mudah dan aman, 3) perlu dikembangkan sistem kearsipan sekolah yang terpadu dan mudah diakses oleh pengguna di sekolah. Analisis Sistem Kearsipan Analisis terhadap sistem kearsipan sekolah dilakukan dengan mengamati dan menganalisis struktur organisasi sekolah serta proses aliran informasi yang terjadi di sekolah. Analisis struktur organisasi sekolah dilakukan dengan mengamati bagan struktur organisasi sekolah dan menganalisis peran setiap bagian dalam proses aliran arsip dan dokumen sekolah. Dari 10 sekolah yang menjadi sampel subjek penelitian memiliki struktur organisasi yang berbeda-beda. Perbedaan terlihat pada jumlah dan nama unit kerja atau bagian yang ada. Perbedaan mencolok terlihat antara struktur organisasi sekolah swasta dan negeri. Namun demikian, berdasarkan wawancara dan brainstorming dengan para Kepala Tata Usaha sekolah, meskipun struktur organisasinya berbeda, tetapi pola aliran arsip dan dokumen yang masuk maupun yang keluar memiliki kesamaan. Aliran sistem kearsipan sekolah yang dihasilkan berdasarkan brainstroming dengan pihak sekolah adalah sebagai berikut: Bagian Surat (Input Data Surat Masuk pada Form Agenda Masuk) Kasubag Tata Usaha (Mengecek Data Surat Masuk dan Meneruskan kepada Kepala Sekolah) Kepala Sekolah (Mendisposisi Surat dengan mengisi Form Lembar Disposisi) Pengolah (Membaca Lembar Disposisi, memproses surat, dan memberi keterangan “sudah diproses atau dalam proses”, pada Form Lembar Disposisi) Bagian Arsip (Menerima surat dari Pengolah dan menyimpan surat dalam folder sesuai dengan Klasifikasi Arsip pada Form Daftar Induk Arsip) Gambar 2. Alur surat masuk 565 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KEPALA SEKOLAH Mendisposisi, Menandatangani surat ok diperiksa tidak PENGOLAH (K TU/WKS) Membuat konsep surat Menyerahkan konsep surat kepada BAGIAN SURAT ok diperiksa tidak BAGIAN SURAT Mengetik naskah kemudian minta tanda tangan pimpinan Mengagenda surat KURIR Mengirim surat Gambar 3. Alur surat keluar 2. Hasil Desain Setelah dilakukan analisis terhadap beberapa permasalahan, menentukan alternatif solusi, dan analisis alur sistem kearsipan di sekolah, selanjutnya dilakukan tahap desain. Pada tahap desain ini dibuat kerangka struktur program dan storyboard. Struktur program aplikasi sistem kearsipan sekolah adalah sebagai berikut: 566 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta START LOGIN USER LEVEL 1 (ADMINISTRATOR) USER LEVEL 2 (KEPALA SEKOLAH) USER LEVEL 3 (TATA USAHA) USER LEVEL 4 (WAKA/GURU) SURAT MASUK Tambah Edit Hapus Detail Tambah Edit Hapus Detail Tambah Edit Hapus Detail Tambah Edit Hapus Detail Tambah Edit Hapus Detail SURAT KELUAR DOKUMEN INTERNAL JENIS DOKUMEN USER LIST LOG OUT Gambar 4. Struktur Program Aplikasi Sistem Kearsipan Sekolah Berdasarkan Struktur Program Aplikasi Sistem Kearsipan Sekolah dibuat Storyboard sebagai berikut: CONECT DISCONECT Login: Gambar 5. Storyboard tampilan halaman login LOGIN 567 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SURAT MASUK SURAT KELUAR USER LIST DOK INTERNAL LOG OUT SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN SURAT DAN DOKUMEN (SIPSDOK) JAM Surat Masuk Tambah Jenis Surat Surat Keluar Edit Dok Internal Hapus No. Surat Tgl. Surat Detail Asal Surat Kontak Person Gambar 6. Tampilan halaman isi 3. Hasil Pengembangan Produk Pada tahap pengembangan produk ini dilakukan pembuatan progam aplikasi sistem kearsipan sekolah dengan nama Sistem Informasi Pengelolaan Surat dan Dokumen disingkat menjadi SIPSDOK. Pembuatan program aplikasi ini melibatkan programmer yang menguasai bahasa pemrograman menggunakan program Deplhi 7. Programmer membuat program berdasarkan desain yang telah dibuat. Program Aplikasi Sistem Kearsipan Sekolah ini dikembangkan dengan sistem database yang diinstal dalam format jaringan. Untuk memulai menjalankan program, user harus login terlebih dahulu dengan cara menekan tombol conect, mengisi ID dan password. Data user yang dapat menggunakan program dikelola oleh administrator. Program ini menyediakan 4 tingkatan pengguna. Tingkatan pertama adalah administrator yang dapat mengelola database, menambah dan menghapus user. Tingkatan kedua adalah kepala sekolah yang dapat menambah data, mengedit data, dan memberikan disposisi. Tingkatan ketiga adalah tata usaha atau sekretariat yang dapat menambah data, membuka disposisi, dan mendownload file. Tingkatan keempat adalah wakil kepala sekolah atau guru yang dapat membuka disposisi dan mendownload file.Untuk mengakhiri program, pengguna harus logout dan memutus koneksi jaringan dengan menekan tombol disconect. Gambar 7. Interface halaman login 568 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 8. Interface Menu Surat Masuk Pembahasan Penelitian pengembangan program aplikasi sistem kearsipan untuk sekolah tahun pertama dilakukan melalui tahap analisis kebutuhan, desain, dan pengembangan produk. Pada tahap analisis kebutuhan dilakukan analisis masalah dan analisis sistem kearsipan. Tahap desain menghasilkan rancangan program aplikasi yang berupa struktur dan storyboard program aplikasi sistem kearsipan untuk sekolah. Tahap pengembangan produk menghasilkan produk awal program aplikasi sistem kearsipan sekolah. Analisis kebutuhan menghasilkan identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen di sekolah. Permasalahan yang dihadapi oleh sekolah dalam mengelola arsip dan dokumen meliputi: 1) Fasilitas penyimpanan arsip dan dokumen tidak sebanding dengan jumlah arsip dan dokumen yang banyak dan selalu bertambah; 2) Belum ada sistem khusus yang diberlakukan dalam mengelola arsip dan dokumen sekolah; 3) Penataan dan penyimpanan arsip dan dokumen sekolah belum dikelola dengan profesional; 4) Tidak ada petugas memiliki keahlian khusus dalam bidang pengeloaan arsip dan dokumen. Berdasarkan analisis terhadap sistem kearsipan yang selama ini dilakukan di sekolah, diketahui bahwa dalam mengelola arsip dan dokumen sekolah menggunakan sistem buku agenda. Alur proses arsip dan dokumen dibedakan menjadi alur masuk dan alur keluar. Proses arsip dan dokumen masuk mulai dari input data oleh bagian surat, pengecekan data oleh Kasubag Tata Usaha, disposisi oleh Kepala Sekolah, pemrosesan tindak lanjut oleh unit pengolah, dan penyimpanan arsip oleh bagian arsip. Sedangkan proses dokumen keluar mulai dari disposisi oleh Kepala Sekolah, pembuatan konsep oleh unit pengolah, pemrosesan surat oleh bagian surat, dan pengirima oleh kurir. Berdasarkan analisis terhadap sistem kearsipan yang ada di sekolah selanjutnya dibuat struktur program dan storyboard untuk program aplikasi sistem kearsipan sekolah berbasis komputer. Struktur program aplikasi sistem kearsipan sekolah dirancang mulai dari tahap login pengguna. Tingkatan pengguna dibuat menjadi 4 tingkatan yang masing-masing memiliki hak akses yang berbeda. Setelah pengguna melakukan login, akan masuk ke halaman menu yang berisi menu surat masuk, surat keluar, dokumen internal, jenis dokumen, user list, dan logout. Pada masingmasing menu berisi sub menu yang terdiri dari tambah, edit, hapus, dan detail. Berdasarkan struktur program tersebut dihasilkan storyboard untuk halaman login dan halaman menu. Produk awal program aplikasi sistem kearsipan sekolah dikembangkan berdasarkan struktur program dan storyboard yang telah didesain. Produk awal yang dihasilkan diberi nama Sistem Informasi 569 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengelolaan Surat dan Dokumen (SIPSDOK). Produk awal yang dihasilkan belum dilakukan evaluasi, baik evaluasi beta maupun alfa. Evaluasi produk akan dilakukan pada tahap pengembangan tahun kedua. Penutup Berdasarkan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan pada tahun pertama dapat disimpulkan bahwa: 1. Penelitian dan pengembangan tahun pertama dilakukan tahap analisis kebutuhan, desain, dan pengembangan produk awal. 2. Tahap analisis kebutuhan telah menghasilkan bagan alir sistem kearsipan sekolah, berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang dihadapi sekolah dalam mengelola sistem kearsipan dan menganalisis alur sistem kearsipan sekolah. 3. Tahap desain menghasilkan struktur program dan storyboard program aplikasi sistem kearsipan sekolah. 4. Tahap pengembangan produk awal menghasilkan program aplikasi sistem kearsipan sekolah dengan nama Sistem Informasi Pengelolaan Surat dan Dokumen disingkat SIPSDOK. Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan tahun pertama yang telah dilakukan sampai tahap pengembangan produk awal, ada beberapa saran untuk menjadi perhatian: 1. Sekolah diharapkan menyiapkan sarana pendukung untuk menjalankan program SIPSDOK berupa komputer dengan sistem jaringan. 2. Sekolah diharapkan menyiapkan seorang petugas yang bertindak sebagai administrator program SIPSDOK. 3. Pihak sekolah diharapkan melakukan uji coba SIPSDOK dengan teliti dan kritis untuk memperbaiki kesalahan dan ketidaksesuaian sistem. Daftar Pustaka Abdul Kadir. 2002. Penuntun Praktis Belajar Database Menggunakan Microsoft Acess. Penerbit Andi: Yogyakarta A.W. Widjaja. 1993. Administrasi Kearsipan Suatu Pengantar. Raja Grafindo Perkasa: Jakarta. Bonnie Soeherman & Marion Pinontoan. 2002. Designing Information System Concept & Cases with Visio. Elex Media Komputindo: Jakarta. B.S Oetomo. 2006. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Penerbit Andi: Yogyakarta. Faisal Afiff. 1994. Seluk Beluk Organisasi Perusahaan Modern. Eresco: Bandung. Quible, Zane K. 2005. Administrative Office Management: an introduction. Eighth Edition. Pearson Education, Inc.: Upper Saddle River, New Jersey, 07458. Read Ginn. 2007. Records Management. Eighth Edition. Thomson SouthWestern: Mason, Ohio 45040. The Liang Gie. 1992. Administrasi Perkantoran Modern. Liberty: Yogyakarta. Wahana Komputer. 2007. Pengembangan Aplikasi Database dengan Microsoft Office Acess 2007. Penerbit Andi: Yogyakarta. Wursanto. 2001. Kearsipan 2. Penerbit Kanisius: Yogyakarta Williams, Brian K. & Sawyer, Stacey C. 2007. Using Information Technology: pengenalan praktis dunia komputer dan komunikasi. Penerbit Andi: Yogyakarta. 570 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGENALAN SUARA VOCAL BERBASIS MICROCAMERA Fatchul Arifin*, Sigit Yatmono*, Tri Arief Sardjono** *Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta **Fakultas Teknik Elektro ITS SUrabaya fatchul@uny.ac.id, s_yatmono@yahoo.com sardjono@elect-eng.its.ac.id, hery@ee.its.ac.id, ABSTRAK Suara merupakan salah satu alat komunikasi manusia yang utama. Tanpa suara, manusia tidak akan dapat lagi berkomunikasi, menyampaikan kemauannya kepada orang lain secara bebas. Berbagai usaha agar para penderita tuna laring (laringnya diambil, karena menderita kanker stadium tinggi) dapat kembali berbicara telah banyak dilakukan. Diantaranya melalui suara perut esophagus dan menggunakan alat electrolarynx. Berbicara dengan suara perut bukanlah hal yang mudah. Untuk dapat melakukanya para pasien harus belajar ekstra keras. Sedangkan berbicara menggunakan alat elektrolarynx, disamping harga alatnya yang sangat maha,l suara yang dihasilkannya pun sangat datar, tidak ada intonasi sama sekali. Suara yang dihasilkan nya “mirip robot”. Oleh karena itu perlu ada inovasi lain bagaimana mendesain alat bantú wicara bagi pasien tunalaring. Dalam paper ini akan disajikan bagaimana dapat mengenali suara vocal berbasis microcamera. Microcamera digunakan untuk merekam bentuk mulut ketika mengucapkan vocal tertentu. Selanjutnya citra hasil perekaman diolah untuk dikenali. Pengenalan dilakukan dengan menggunakan algoritma Jaringan syaraf tiruan. Hasil pengujian menunjukkan sistem yang dibangun mempunyai validitas 78,3 %. Hasil yang disajikan dalam paper ini diharapkan akan dapat menjadi dasar pengembangan alat bantú wicara bagi pasien tunalaring. Key words: Tuna laring, Alat bantu bicara, Microcamera, Jaringan syaraf tiruan Pendahuluan Keganasan kanker laring di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo menempati urutan ketiga setelah keganasan penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Jumlah rata-rata keganasan laring di RSCM 25 orang per tahun.[1]. Di luar negeri, keganasan laring menepati urutan petama. Di US diprediksi 8900 orang per tahun menderita kanker laring baru. [2] Penyebab pasti kanker laring sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu: rokok, alkohol, sinar radioaktif, polusi udara radiasi leher dan asbestosis. Ostomy adalah suatu jenis tindakan operasi yang diperlukan dengan membuat lubang (stoma) pada bagian tubuh tertentu. Salah satu macam ostomy adalah Laryngectomy, yakni operasi yang dilakukan terhadap pasien penderita kanker laring (tenggorokan). Operasi ini akan mengambil bagian tenggorokan yang terkena kanker sampai bersih. Dampak dari operasi ini akan menjadikan 571 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta trachea (saluran yang menghubungkan antara rongga mulut-hidung dengan paru) terpisah dengan eshopagus dan pasien tidak dapat lagi bernapas dengan hidung, melainkan melalui stoma (sebuah lubang di leher pasien). (a) (b) Gambar 1, (a). Gambar pasien sebelum operasi larynx, (b). Gambar pasien setelah operasi larynx Pengangkatan laring, otomatis akan mengangkat perangkat suara manusia, sehingga pasca operasi laring, pasien tidak dapat lagi berbicara (bersuara) sebagaimana sebelumnya. Hal inilah yang menjadikan pukulan berat bagi pasien. Suara merupakan salah satu alat komunikasi utama manusia. Tanpa suara manusia tidak dapat berbicara yang pada akhirnya, tidak akan dapat lagi menyampaikan kemauannya kepada orang lain secara bebas. Bahasa tubuh atau tulis yang dapat dilakukan manusia, tentu tetap akan membatasasi komunikasi. Karena kecepatan tulis atau bahasa tubuh tidak secepat dan sejelas bahasa suara. Dari uraian di atas, jelaslah diperlukan suatu terobosan agar para penyandang tuna laring bisa berbicara kembali secara mudah dan murah serta dengan hasil suara yang natural. Dalam paper ini akan disajikan bagaimana dapat mengenali suara vocal berbasis microcamera. Microcamera digunakan untuk merekam bentuk mulut ketika mengucapkan vocal tertentu. Hasil yang disajikan dalam paper ini diharapkan akan dapat menjadi dasar pengembangan alat bantú wicara bagi pasien tunalaring berbasis microcamera. Pengolahan Citra Citra adalah gambar pada bidang dua dimensi. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang banyak melibatkan persepsi visual. Proses ini mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segienam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam 572 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak dipakai adalah Citra Biner (monokrom), Citra Skala Keabuan (gray scale), Citra Warna (true color), dan Citra Warna Berindeks. Citra dikelompokkan jadi dua: a. Citra diam (still Image) Citra tunggal yang tidak bergerak b. Citra bergerak (Moving Image) Merupakan rangkaian citra diam yang ditampilkan secara berurutan, sehingga memberikan kesan bergerak ktk ditangkap oleh mata. Setiap citra yang tergabung dalam rangkaian disebut frame. Satu frame bisa terdapat ratusan bahkan ribuan citra diam. Tujuan utama dari pengolahan citra adalah: mengambil bagian penting dari citra, memperbaiki kualitas gambar, mengolah informasi yang terdapat pada gambar, registrasi citra, pemampatan data citra, dan pemilahan citra. i. Pemotongan (Cropping) Citra Pemotongan atau cropping citra adalah suatu proses pengambilan sebagian citra . Citra dapat dipotong sesuai dengan kebutuhanya. ii. Interpolasi Dan Pengubahan Penskalaan Ukuran Citra Interpolasi adalah suatu proses yang dikrjakan oleh perangkat lunak untuk melaukan pembuatan ulang (Resample) dari citra asli untuk menentukan nilai antara pixel pixe yang ditetapkan. Disamping itu interpolasi juga dapat digunakan untuk mengubah ukuran citra. Terdapat tiga metode interpolasi yaitu:  Interpolasi tetangga (nearest neighbor interpolation)  Interpolasi “bilinier”  Interpolasi “bicubic” iii. Peningkatan Kualitas Citra Peningkatan kualitas citra (Citra enhancement) bertujuan untuk menghasilkan citra dengan kualitas yang baik dibandingkan dengan citra semula dengan cara membuat fitur fitur agar mudah untuk mengubah warna ataupun intensitasnya dan memperbaiki rasio sinyal terhadap derau (signal to noise ratio). iv. Deteksi Tepi Tepi (Edge) adalah tempat tempat dimana tingkat perubahan intensitas terjadi paling tinggi. Tempat perubahan intensitas dan sekitarnya dikonversi menjadi nilai nol atau satu sehingga akan mengubah citra menjadi citra biner. Pendfeteksi tepi akan menghasilkan nilai satu apabila tepi ditemukan dan akan menghasilkan nilai nol bila tepi tidak ditemukan. Pendeteksian tepi merupakan langkah pertama untuk melingkupi informasi di dalam citra . Tepi mencirikan batas batas objeck dan berguna untuk proses segmentasi dan identifikasi object di dalam citra Tujuan Pendeteksian tepi:  Untuk meningkatkatkan penampakan garis batassuatu daerah atau object di dalm citra 573 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta  Untuk menandai bagian detail dari suatu citra  Untuk memudahkan perhitungan parameter parameter penting dalam sebuah citra Beberapa macam metode pendeteksian tepi:  Metode Canny  Metode Sobel  Metode Robert  Metode Log  Metode Prewitt  Metode ZeroCross Jaringan Syaraf Tiruan Sebagaimana dengan namanya jaringan syraf tiruan (artificial neural network) mengadopsi pola kerja otak manusia yang mempunyai ribuan sel syaraf, yang disebut neuron. System ini bisa dikatakan memiliki processor yang sangat banyak dan terdistribusi secara paralel (mewakili neuron). Masing-masing processor (neuron) dapat menyimpan ”pengetahuan” sebagai hasil belajarnya, yang akan dapat dimanfaakan untuk mengambil keputusan pada masa-masa datang. Perbandingan sel syaraf otak manusia dengan arsitektur jaringan syaraf tiruan dapat dilihat pada gambar 2 dan 3a. Lebih detail, gambaran satu buah neoron dalam perancangan jaringan syaraf tiruan dapat dilihat pada gambar 3b, dimana : P = pola input W = pola bobot F = Fungsi aktifasi dari sistem A = F [W*p + b] Som a S y n a p tic T e r m in a ls A xon D e n d r ite s Gambar 2. Neuron sel syaraf manusia W e ig h ts O u tp u t I n p u ts P r o c e s s in g U n it Gambar 3a. Neuron jaringan syaraf tiruan 574 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Input p(1) Weights Output w(1) w(2) p(2) . . p(n) Sum F() a=F(w*p+b) w(n) b Bias Gambar 3b. Gambar detail satu buah neuron dalam JST Output dari neuron diperoleh dari mengalikan input dengan bobot ditambah dengan bias, selanjutnya dimasukkan ke dalam fungsi aktifasi. Bobot dan bias diperoleh proses pembelajaran. Sedangkan fungsi aktifasi menyesuaikan dengan model neuron yang dipilih. Gambar 4. Single layer feed fordward Sel syaraf otak manusia, terdapat ribuan neoron. Begitu pula dalam perancangan jaringan syaraf tiruan, bisa terdiri dari banyak neoron. Neuron-neoron tersebut bisa berada dalam satu layer maupun multi layer. Hubungan satu neoron dengan neouron yang lainya, bisa semuanya terhubung maju (feed ford ward), tapi ada juga yang terhubung balik ke belakang (return/back warad). Lebih jelas akan hal ini dapat dilihat pada gambar 4 dan 5. Gambar 5. Multi layer feed forward 575 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sebagaimana telah di singung di atas, jaringan syaraf tiruan mengadopsi pola kerja sel syaraf otak manusia. System ini punya kemampuan bisa belajar dan beradaptasi dari lingkungan yang ada. Proses belajar pada JST pada hakikatnya adalah proses menjari nilai bobot (W) dan bias (b) yang tepat bagi system. Secara umum proses tersebut dipeoleh dari: w b kj kj ( n  1)  w ( n  1)  b kj kj (n)   w (n)   b kj kj (n) (n) Bobot dan bias setelah belajar, diperoleh dari bobot dan bias sebelum belajar ditambahkan dengan delta hasil pembelajaran. Dalam perancangan JST, secara umum ada empat macam algoritma pembelajaran: Hebbian learing, error correction, competitive learning, dan Boltzma learning. Salah satu algoritma error correction yang sangat terkeal adalah Back Propogation, yakni melakukan perhitungan bobot dan bias melalui koreksi kesalahan. Koreksi ini berjalan mundur berawal dari menghitung kesalahan pada output, lalu mundur ke layer-layer sebelumnya sampai dengan layer input. Sementara itu paradigma pembelajaran bisa berbentuk : Supervised learning (belajar dengan guru/supervisi), unsupervised learning (tanpa guru/supervIsi), dan reinforcement. Material dan Metode Bahan dasar penelitian ini berasal dari citra mulut ketika berbicara. Ada 4 orang relawan, dan masing masing diminta melafalkan A, I, O, U, E. Setiap lafal diulang 3 kali. Sehingga total citra ada 60 buah. Sedangkan alat pendukung penelitian terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang dibutuhkan adalah PC, dan dua buah camera (camera external dan oral camera). Dari hasil survey dan kondisi yang ada, dalam penelitian ini digunakan perangkat keras: - Laptop DEL Inspiron mini 10, Processor N270 160GHZ - PC camera Dengan spesifikasi: Video format 1224 bit RGB, Resolution max 1280x1024. Gambar camera yang digunakan dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6, PC Web Camera Sedangkan perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian: - Sistem operasi Windows XP. - Software pemrograman MATLAB - Photo shop Gambaran sistem yang akan dikembangkan dapat dilihat pada gambar 7. Pergerakan/perubahan bentuk mulut ketika mengucapkan suatu kata-kata tertentu direkam melalui microcamera. Hasil perekaman sekian banyak jenis vocal dari sejumlah relawan disimpan dalam data 576 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta base. Kemudian signal image hasil perekanman diekstrak feature khas nya. Selanjutnya akan dibangun sistem image recognition untuk mengenali suatu gambar berkorelasi dengan suatu ucapan vocal tertentu. Microcamera Signal Conditioning Signal/image Extraction Image Recognition Gambar 7, Rancangan sistem secara global Gambar 8, Model Penempatan camera untuk pengambilan data Gambar 9, Contoh data dari PC Camera Mulai Pengambilan data citra Cropping /Pemotongan Citra Pengubahan citra RGB menjadi Gray Peningkatan kualitas citra Penyesuaian ukuran citra/matriks Deteksi tepi / Feature Extraction Pengenalan pola / JST Output hasil deteksi Selesai Gambar 10, Flow chart sistem 577 Preproce ssing Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Setelah data direkam, selanjutnya akan dilakukan pengolahan citra. Langkah langkah yang dilakukan dalam pengolahan citra dapat digambarkan sebagai flow chart pada gambar 10. Microcamera ditempatkan di depan mulut, tepatnya di depan bibir, diifungsikan untuk mendeteksi bentuk perubahan bibir/mulut dari luar. Sebagaimana telah disinggung di atas ada empat orang relawan, yang melafalkan E, A, O, U, dan I. Masing masing diulang sebanyak 3 kali. Contoh gambar hasil pengambilan data pelafalan E, A, O dari PC Camera dapat dilihat pada gambar 10. Tahap Pre Processing dan feature Extraction Tahap Pre-processing merupakan suatu tahapan pengolahan citra yang terdiri dari cropping, pengubahan citra warna RGB menjadi gray, penyesuaian ukuran matriks/citra, dan peningkatan kualialitas dari citra. Tahap selanjutnya citra akan di extract feature nya menggunakan metode deteksi tepi. Contoh citra hasil pengolahan pre-processing dan feature extraction nya, per tahap dapat dilihat pada gambar 11. Citra asli Hasil Cropping Hasil RGB ke Gray Hasil Peningkatan kualitas citra Hasil Re-scaling of Image Matriks Gambar 11, Flow chart sistem Hasil Deteksi tepi Tahapan dimulai dari citra asli yang didapatkan dari camera dipotong agar focus pada bentuk bibir/mulut. Setelah dipotong citra yang didapatkan diubah ke bentuk gray scale. Selanjutnya pada 578 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta citra tersebut dilakukan perbaikan kualitas dengan peningkatan intensitasnya. Agar memudahkan dalam pengolahan MATLAB, pada tahap berikutnya ukuran citra / matriks diseragamkan. Tahap Pengenalan Pola (Pattern Recognition) Setelah citra diambil feature khasnya, selanjutnya data data ini akan diolah dalam pattern recognition. Tahap ini akan mengenali pola citra yang bersesuaian dengan lafal vocal tertentu. Pada paper ini metode yang digunakan untuk pengenalan adalah Artificial Neural Network-ANN (Jaringan Syaraf tiruan-JST). Sebelum system digunakan untuk mengenali pola, pada JST harus dilakukan pembelajaran terlebih dulu. Setelah sistem memahami pola dari citra barulah system akan digunakan untuk pengenalan pola yang sesungguhnya. Oleh karena itu data citra yang telah direkam dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni satu kelompok sebagai media pembelajaran (training set), dan kelompok yang lain akan digunakan untuk test/uji unjuk kerja system. Di dalam paper ini disajikan dua macam pengenalan, yakni pengenalan lafal A terhadap lafal lain dari ke empat relawan, dan pengenalan ke lima lafal A,I,E,O,U dari ke-empat relawan. Untuk pengenalan lafal A terhadap lafal lain dari keempat relawan dirancang JST empat layer yakni: input layer, dua buah hidden layer serta outpu layer. Jumlah neuron pada masing masing layer: - Inpu layer = jumlah pixel dari citra (250 x 350) - Hidden layer 1 = 8 neuron - Hidden Layer 2 = 4 neuron - Output layer = 1 neuron Sedangkan fungsi atktifasi yang digunakan - Hidden layer 1 = tansig - Hidden layer 2 = logsig - Output layer = purelin Sedangkan parameter yang digunakan untuk training set adalah: net.trainParam.goal = 0.0001; % Sum-squared error goal. net.trainParam.epochs = 2000; % Maximum number of epochs to train. net.trainParam.Ir = 0.01; % Momentum constant. Sementara itu perancangan JST untuk pengenalan lafal A,I,E,O,U sedikit berbeda dari pengenalan lafal A. Perbedaanya terletak pada jumlah neuron pada output. Neuron pada out layer berjumlah 5. Hal ini karena menyesuaikan jumlah keluaran yakni 5 (A,I,E,O,U). Sedangkan fungsi aktifasi yang digunakan sama dengan sebelumnya. Setelah menyelesaikan pembelajaran, selanjutnya JST digunakan untuk mengenali pola yang sesungguhnya. Dari hasil diatas Nampak ada 13 ketidakbenaran pengenalan dari total 60 citra. Dengan demikian validitas dari system = (47/60) x 100 % = 78,33 %. Sementara itu dengan cara yang sama, pengenalan terhadap lafal AIEOU dari ke empat relawan juga telah dilakukan. Akan tetapi hasil validitas pengenalanya menurun dibandingkan dengan pengenalan sebelumnya, yakni 46,6 %. Hal ini sangat mungkin diakibatakan dari kualitas gambar 579 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta perekaman. Perbedaan pencahayaan, sudut pengambilan gambar, jarak obyek dari camera sangat besar pengaruhnya terhadap validitas hasil pengenalan. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan ekstraksi feature, citra yang didapat perlu diolah dalam tahap pre processingterlebih dahulu (cropping, pengubahan RGB ke Gray, peningkatan kwalitas, dan pengaturan ukuran matriks). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan feature dari masing masing citra. Pengenalan telah dilakukan, dari hasil pengujian menunjukkan saat pengenalan lafal A dari seluruh relawan mempunyai validitas kebenaran 78,33% . Sementara itu pengenalan untuk kelima lafal AIEOU dari seluruh relawan mempunyai validitas 46,6 %. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh factor perekaman citra. Baik pencahayaan yang tidak sama antara data yang satu dengan data yang lain, jarak antara kamera dengan obyek, focus camera, maupun sudut ketika pengambilan gambar. Daftar Pustaka American Cancer Society. -2002 Cancer facts and figures Andy Noortjahja, Tri Arief, Hery Mauridhy. 2010, Filtering of normal and laryngectomies patiens using ANFIS, International Confernce on Green Computing-AUN/SEED-Net Fatchul Arifin, Tri Arief, Hery Mauridhy, 2010, Electro Laring, Esophagus, and Normal Speech Classification, International Confernce on Green Computing-AUN/SEED-Net Fellbaum, K, 1999, Human-Human Communication and Human-Computer, Interaction by Voice. Lecture on the Seminar "Human Aspects of Telecommunications for Disabled and Older People". Donostia (Spain), 11 June Http://dribrook.blogspot.com/p/urgent-care-and-cpr-of-laryngectomees.html , Jan 2012 http://id.shvoong.com/exact-sciences/physics/1803946-pengolahan-citra-image-processing/ (17 april 2010) Nury Nusdwinuringtyas, 2009, Tanpi pita suara: bicara kembali, Blog spot, Februari, Tantra, Tri arief sardjono, 2009, Design of low cost electro larynx, Tugas Akhir Electro ITS Tri Arief Sardjono, 2009, Voice spectrum analyzes of laryngectomies patients 580 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MOBILE INTERNET BERBASIS TELEPON SELULER MULTI KONEKSI UNTUK MENDUKUNG LAYANAN E-LEARNING DI DAERAH PEDESAAN Eko Marpanaji, Herman Dwi Surjono, Suprapto, Kadarisman Tejo Yuwono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta eko@uny.ac.id, hermansurjono@uny.ac.id, suprapto@uny.ac.id, arispra@uny.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengkaji teknologi alternatif dalam mengembangkan sistem layanan akses Internet bergerak (Mobile Internet) yang sangat diperlukan di daerah pedesaan terutama untuk mendukung delivery e-learning dan ICT Literacy ke pedesaan. Sistem yang akan diteliti adalah sistem Mobile Internet Berbasis Telepon Seluler Multikoneksi (MIBTSM) menggunakan modem GSM/CDMA, dengan mengimplementasikan penyeimbangan beban (load balancing) sehingga dapat mengatasi permasalahan Quality of Service (QoS) terutama masalah besarnya laju bit yang ditawarkan. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana cara melakukan penyeimbangan beban tersebut, dan bagaimana unjuk kerja yang dihasilkan, serta content web seperti apa yang masih bisa dilayani oleh sistem secara layak. Penelitian ini akan menguji metoda tersebut dan mengkaji sejauhmana unjuk kerja sistem jika sistem tersebut diterapkan untuk akses e-learning dan pengenalan teknologi informasi dan komunikasi di daerah pedesaan. Penelitian Tahap I telah menghasilkan sebuah prototype MIBTSM meskipun dalam skala labolatorium. Sedangkan Tahap II (Tahun 2011) lebih menitikberatkan implementasi prototipe tersebut untuk layanan akses Internet di daerah pedesaan. Penelitian ini akan menguji unjuk kerja prototipe sistem MIBTSM yang telah dihasilkan pada tahun pertama. Selain itu, penelitian ini akan menghasilkan content e-learning yang sesuai dengan QoS dari akses Internet menggunakan MIBTSM. Pengujian sistem MIBTSM dilakukan dengan melibatkan beberapa sekolah SMP di daerah pedesaan di lingkungan Propinsi DIY (8 sekolah SMP). Pengujian sistem MIBTSM diamati dari besar laju bit yang dapat disediakan serta diamati tentang keberhasilan 12 pengguna dalam mengakses portal e-learning terbuka untuk tiap-tiap sekolah yang digunakan sebagai tempat pengambilan data penelitian. Bedasarkan hasil penelitian, sistem MIBTSM dengan menggunakan 2 buah modem GSM dapat menyediakan laju bit rata-rata paling rendah 188 Kbps dan paling tinggi 1.460 Kbps (1,46 Mbps). Berdasarkan pengamatan langsung, keberhasilan akses Internet untuk 12 s.d.15 pengguna dapat dicapai jika laju bit minimal adalah 96 Kbps. Dengan demikian, jumlah modem dapat ditambah agar laju bit minimal dapat tercapai terutama untuk daerah-daerah yang memiliki jangkauan sinyal seluler serta teknologi akses data Internet masih rendah. Kelancaran akses Internet sangat dipengaruhi oleh teknologi akses data, dan disarankan sistem MIBTSM dapat berfungsi dengan baik jika standar akses data menggunakan HSDPA (untuk GSM) dan EV-DO (untuk CDMA). Tindak lanjut penelitian ini adalah mengembangkan sebuah produk sistem MIBTSM dengan rancangan khusus sehingga siap digunakan. Kata Kunci: mobile internet, modem GSM/CDMA, e-learning, teknologi informasi dan komunikasi atau ICT, penyeimbangan beban (load balancing). Pendahuluan Sebagian besar penduduk Indonesia terletak di daerah pedesaan dan aliran informasi masih sangat lambat. Jaringan Internet dapat dijadikan tumpuan dalam meningkatkan arus informasi sehingga dapat meningkatkan kemajuan bangsa. Namun demikian, sampai saat ini sarana akses Internet di daerah pedesaan masih sangat jarang dan bahkan tidak ada sama sekali. Untuk itu, perlu 581 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta solusi dalam menyediakan layanan akses Internet yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat pedesaan menjadi lebih cepat maju. Akses Internet menggunakan VSAT merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan sistem layanan akses Internet Bergerak (Mobile Internet). Namun demikian, sistem ini memiliki biaya investasi dan operasional yang cukup mahal sehingga tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di daerah pedesaan. Kemungkinan lain dalam akses Internet adalah menggunakan telepon seluler, karena sampai saat ini sebagian besar daerah pedesaan termasuk daerah pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah terpasang Base Transceiver Station (BTS) dari berbagai penyedia layanan (provider) telepon seluler. Saat ini perangkat telepon genggam (HP) sudah banyak dikenal dan digunakan di masyarakat pedesaan. Namun demikian, perangkat ini belum banyak digunakan untuk akses Internet secara luas mengingat biaya pulsa masih cukup mahal dan laju bit yang diberikan juga masih terbatas. Selain itu, perangkat telepon genggam dengan fitur-fitur yang mendukung untuk akses Internet (3G) belum dapat dimiliki masyarakat pedesaan secara luas, serta akses Internet menggunakan telepon genggam memiliki keterbatasan karena ukuran layar terlalu kecil sehingga kurang nyaman. Dengan demikian, perlu adanya teknologi alternatif untuk membantu masyarakat pedesaan mengenal dan menggunakan Internet. Urgensi lain dari topik penelitian ini adalah kemampuan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasti terutama akses Internet masih sangat rendah, sehingga masih perlu pembinaan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi khususnya dalam hal akses Internet. Jasa layanan MIBTSM yang diteliti ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi sehingga meningkatkan kesiapan masyarakat pedesaan dalam persaingan global. Sistem MIBTSM ini dapat juga membantu mewujudkan masyarakat terhubung (connected-society), sehingga arus informasi menjadi lebih lancar dan kesejahteraan masyarakat pedesaan menjadi lebih baik. Teknologi akses Internet dalam penelitian ini diarahkan untuk masyarakat pedesaan, mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah pedesaan dan masih banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah terpencil atau masih terpisah dari dunia informasi. Dengan demikian, sistem yang dikembangkan dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kemampuan menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi masyarakat bahkan untuk masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Penelitian tentang Sistem MIBTSM ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah teknologi alternatif dalam membangun sebuah sistem akses Internet tanpa kabel dan bergerak berbasis telepon seluler multikoneksi dengan menggunakan penyeimbangan beban (load balancing). Sistem ini dapat juga dikembangkan untuk sarana pembelajaran bagi siswa sekolah di pedesaan atau daerah terpencil yang belum memiliki akses Internet khususnya dalam mengemban tugas pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi, baik untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang lebih tinggi. Penelitian ini di batasi untuk daerah pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Makalah ini membahas tentang kegiatan penelitian tahap II (tahun II) yaitu pengembangan e-learning terbuka dan uji unjuk kerja prototipe sistem MIBTSM yang telah dihasilkan pada tahap I (tahun I) untuk akses e-learning tersebuka tersebut. Pengujian sistem dilakukan di 8 sekolah 582 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menengah pertama (SMP) yang terletak di daerah pedesaan seputar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Metode Penelitian Sistem yang diteliti adalah sistem Mobile Internet Berbasis Telepon Seluler Multikoneksi menggunakan modem GSM/CDMA, dengan mengimplementasikan penyeimbangan beban (load balancing) sehingga dapat mengatasi permasalahan Quality of Service (QoS) terutama masalah besarnya laju bit yang ditawarkan. Permasalahannya adalah bagaimana arsitektur perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan, bagaimana cara melakukan penyeimbangan beban, dan bagaimana unjuk kerja sistem yang dihasilkan, serta content web seperti apa yang masih bisa dilayani oleh sistem tersebut secara layak. Penelitian ini akan menguji metoda tersebut dan mengkaji sejauhmana unjuk kerja sistem yang dihasilkan, dan bagaimana jika sistem tersebut diterapkan untuk akses e-learning dan pengenalan teknologi informasi dan komunikasi di daerah pedesaan. Kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu: (1) survei ketersediaan layanan akses Internet di beberapa daerah pedesaan di DIY sehingga diperoleh informasi jenis perangkat keras (modem) yang dapat digunakan atau peta layanan; (2) pengujian arsitektur MIBTSM serta kajiaan sejauhmana unjuk kerja sistem yang dihasilkan; dan (3) bagaimana jika sistem tersebut diterapkan untuk akses e-learning dan pengenalan teknologi informasi dan komunikasi di daerah pedesaan. Kegiatan (1), dan (2) dilaksanakan pada Tahun I, sedangkan kegiatan (3) akan dilaksanakan pada Tahun II. Makalah ini membahas kegiatan Tahun II yaitu: (3a) pengembangan elearning terbuka, dan (3b) pengujian unjuk kerja prototipe MIBTSM untuk akses e-learning terbuka. Kegiatan penelitian tahap kedua (Tahun II) mengikuti alur seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini. Gambar 1. Kegiatan penelitian tahun kedua Berdasarkan gambar tersebut, kegiatan penelitian pada tahun kedua dimulai dari analisis kebutuhan, desain portal elearning dan desain content pembelajaran, pembuatan portal elearning (dengan melakukan hosting sehingga diperoleh URL di Internet) dan pembuatan content pembelajaran, evaluasi dan ujicoba, implementasi MIBTSM “warung internet bergerak”, dan kesimpulan hasil penelitian. 583 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sedangkan rincian kegiatan Tahap kedua (Tahun II) beserta hasil luaran yang ditargetkan dapat dijelaskan sebagai berikut. Kegiatan penelitian pada tahun kedua lebih menekankan pengembangan aplikasi sistem MIBTSM untuk mendukung e-learning delivery dan ICT literacy ke pedesaan beserta pengujian unjuk kerja prototipe sistem tersebut. Studi kasus yang akan digunakan adalah layanan ICT literacy untuk siswa sekolah SMP di pedesaan dan rural digital learning atau rural e-learning. Dengan demikian, kegiatan penelitian tahap kedua lebih banyak menguji keberhasilan rural e-learning dan rural digital learning serta pengembangan content web yang cocok terkait dengan sistem koneksi Internet yang diperoleh pada tahun pertama. Tahap ini menghasilkan prototipe rural e-learning dan rural digital learning serta data unjuk kerja sistem MIBTSM. Arsitektur Sistem MIBTSM Arsitektur perangkat keras yang digunakan untuk membangun sebuah sistem Mobile Internet Berbasis Telepon Seluler Multikoneksi ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini. Gambar 2. Arsitektur perangkat keras Mobile Internet Berbasis Telepon Seluler Multikoneksi Tempat Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika FT UNY sebagai tempat utama kegiatan penelitian, yaitu sebagai tempat diskusi dalam melakukan analisis kebutuhan, desain portal e-learning, dan desain content pembelajaran untuk keperluan pengujian unjuk kerja sistem MIBTSM di sekolah, serta pembuatan laporan. Sedangkan lokasi pengambilan data penelitian adalah beberapa sekolah SMP di lingkungan Propinsi DIY (kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo). Kriteri pemilihan sekolah SMP yang digunakan sebagai tempat pengambilan data unjuk kerja sistem adalah sekolah SMP yang sudah memiliki laboratorium komputer dan telah memiliki jaringan Local Area Network (LAN), sekolah tersebut terletak di daerah pedesaan, dan lokasi sekolah terjangkau oleh sinyal telepon seluler GSM atau CDMA. 584 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dalam penelitian ini, sekolah yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah: 1. SMP Negeri 1 Cangkringan, Kabupaten Sleman 2. SMP Negeri 2 Cangkringan, Kabupaten Sleman 3. SMP Taman Dewasa Cangkringan, Kabupaten Sleman 4. SMP Negeri 1 Jetis, Kabupaten Bantul 5. SMP Negeri 1 Sewon, Kabupaten Bantul 6. SMP Negeri 1 Panjatan, Kabupaten Kulon Progo 7. SMP Negeri 2 Wates, Kabupaten Kulon Progo 8. SMP Negeri 3 Wates, Kabupaten Kulon Progo Kriteria Unjuk Kerja Unjuk kerja sistem MIBTSM diamati dalam bentuk nilai Quality of Service (QoS) khususnya besarnya laju bit (bps) yang dapat disediakan pada saat pengguna melakukan akses Internet, termasuk pada saat pengguna mengakses website yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu elearning untuk daerah pedesaan untuk keperluan rural e-learning dan rural digital learning. Hasil dan Pembahasan Hasil kegiatan tahap II dari penelitian ini adalah portal e-learning terbuka serta data hasil pengujian unjuk kerja. Portal E-Learning Terbuka Pengembangan portal e-learning yang akan digunakan sebagai sarana pengujian unjuk kerja sistem MIBTSM dimulai dengan analisis kebutuhan sehingga sasaran dan isi pembelajaran dapat ditentukan dengan jelas serta kebutuhan sistem portal e-learning dapat ditentukan. Kegiatan yang dilakukan dalam mengembangkan portal e-learning ini adalah: 1. Hosting ke Internet sehingga diperoleh URL http://www.uny.or.id selama 2 tahun. 2. Instalasi dan konfigurasi Moodle untuk membuat portal e-learning daerah pedesaan dengan judul “E-Learning Terbuka” dengan sasaran dan isi pembelajaran untuk siswa sekolah SMP kelas VII, VIII, dan IX. 3. Upload materi pembelajaran masing-masing kelas untuk siswa SMP. Portal e-learning dapat diakses dengan alamat http://www.uny.or.id, dengan tampilan portal e-learning adalah sebagai berikut. 585 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 3. Halaman depan portal e-learning Gambar 4. Halaman Course untuk kelas VII SMP Validasi E-Learning Terbuka Validasi e-learning terbuka ini bertujuan untuk mengetahui apakah konten pembelajaran serta akses portal e-learning dapat diterima oleh pengguna atau tidak. Validasi dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan terkait dengan tampilan, isi, serta fungsi link antar halaman kepada pengguna dalam mengakses portal e-learning menggunakan MIBTSM. Responden validasi adalah 12 siswa masing-masing dari SMP Negeri 1 Cangkringan Sleman, SMP Negeri 2 Cangkringan Sleman, SMP Taman Dewasa Cangkringan Sleman, SMP Negeri 1 Jetis Bantul, SMP Negeri 1 Sewon Bantul, SMP Negeri 1 Panjatan Kulon Progo, SMP Negeri 2 Wates Kulon Progo, dan SMP Negeri 3 Wates Kulon Progo. Berdasarkan data pada tabel tersebut pernyataan tentang fungsi link antar halaman mendapatkan persentase pendapat paling rendah (83%). Hal ini disebabkan karena variasi lajubit yang diperoleh di setiap sekolah terutama sekolah yang memiliki koneksi paling rendah sehingga akses portal e-learning terjadi kegagalan. Namun demikian, secara keseluruhan berdasarkan data hasil validasi portal e-learning dapat dinyatakan bahwa akses portal e-learning 586 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta terbuka menggunakan sistem MIBTSM dapat berjalan dengan baik dengan konten yang sesuai dengan mata pelajaran TIK untuk siswa SMP. Unjuk Kerja Sistem MIBTSM Pengujian unjuk kerja dilakukan dengan mengamati besarnya laju bit yang dapat disediakan oleh sistem MIBTSM pada saat pengguna (siswa) melakukan akses Internet khususnya ke alamat http://www.uny.or.id serta akses kedalam materi pembelajaran. Sistem MIBTSM yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 buah modem GSM masing-masing dengan sewa bandwidth maksimal 512 Kbps, dengan menggunakan notebook sebagai gateway yang menjalankan Zerrocell dalam melakukan penyeimbangan beban. Akses Internet tiap-tiap sekolah SMP dilakukan oleh 12 siswa SMP (4 siswa kelas VII, 4 siswa kelas VIII, dan 4 siswa kelas IX) secara bersamaan di laboratorium komputer. Hasil pengamatan laju bit adalah sebagai berikut: Pengambilan data pengujian sistem MIBTSM di Kabupaten Sleman dilaksanakan di SMP Negeri 1 Cangkringan, SMP Negeri 2 Cangkringan, dan SMP Taman Dewasa Cangkringan. Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 1 Cangkringan Kabupaten Sleman adalah 74,08 Kbps untuk Upload dan 1.800 Kbps (1,80 Mbps) untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 64,07 Kbps untuk upload dan 1.460 Kbps (1,46 Mbps) untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 35,36 Kbps untul upload dan 610 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut sangat lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 1. Laju bit di SMP N 1 Cangkringan Sleman SMP N 1 Cangkringan Sleman Laju Bit (Kbps) Tanggal Upload Download Max Avg Max Avg 17 Oktober 2011 74,08 36,98 1.800,00 762,41 18 Oktober 2011 67,61 37,70 1.460,00 616,64 19 Oktober 2011 50,52 31,40 1.120,00 453,47 Rata-rata 64,07 35,36 1.460,00 610,84 Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 2 Cangkringan Kabupaten Sleman adalah 22,61 Kbps untuk Upload dan 191,10 Kbps untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 19,59 Kbps untuk upload dan 188,15 Kbps untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 8,92 Kbps untul upload dan 76,46 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut tidak lancar dan sering putus sehingga sistem MIBTSM gagal dalam melayani akses pengguna. 587 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Laju bit di SMP N 2 Cangkringan Sleman SMP N 2 Cangkringan Sleman Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 17 Oktober 2011 17,65 10,52 185,74 93,56 18 Oktober 2011 22,61 7,56 191,10 65,71 19 Oktober 2011 18,50 8,67 187,60 70,10 Rata-rata 19,59 8,92 188,15 76,46 Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Taman Dewasa Cangkringan Kabupaten Sleman adalah 42,48 Kbps untuk Upload dan 482,00 Kbps untuk proses download. Laju bit maksimum ratarata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 32,5 Kbps untuk upload dan 347,65 Kbps untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 14,10 Kbps untul upload dan 127,19 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut cukup lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 3. Laju bit di SMP Taman Dewasa Cangkringan Sleman SMP Taman Dewasa Cangkringan Sleman Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 17 Oktober 2011 42,48 19,62 482,00 153,54 18 Oktober 2011 34,62 11,60 320,08 116,38 19 Oktober 2011 20,39 11,07 240,86 111,66 Rata-rata 32,50 14,10 347,65 127,19 Pengambilan data pengujian sistem MIBTSM di Kabupaten Bantul dilaksanakan di SMP Negeri 1 Jetis dan SMP Negeri 1 Sewon. Hasil pengujian adalah sebagai berikut. Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 1 Jetis Kabupaten Bantul adalah 160,32 Kbps untuk Upload dan 1.320,00 Kbps (1,32 Mbps) untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 84,73 Kbps untuk upload dan 1.115,77 Kbps (1,11 Mbps) untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 40,67 Kbps untul upload dan 634,79 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut sangat lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 4. Laju bit di SMP Negeri 1 Jetis Bantul SMP Negeri 1 Jetis Bantul Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max 21 Oktober 2011 35,46 20,43 767,32 22 Oktober 2011 58,40 28,05 1.320,00 24 Oktober 2011 160,32 73,54 1.260,00 Rata-rata 84,73 40,67 1.115,77 588 Avg 411,52 552,55 940,29 634,79 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 1 Jetis Kabupaten Bantul adalah 89,98 Kbps untuk Upload dan 1.710,00 Kbps (1,71 Mbps) untuk proses download. Laju bit maksimum ratarata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 63,51 Kbps untuk upload dan 1.319,98 Kbps (1,32 Mbps) untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 42,17 Kbps untul upload dan 951,72 Kbps untuk download. Akses elearning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut sangat lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 5. Laju bit di SMP Negeri 1 Sewon Bantul SMP Negeri 1 Sewon Bantul Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 21 Oktober 2011 44,43 25,27 929,95 485,15 22 Oktober 2011 89,98 60,97 1.710,00 1.160,00 24 Oktober 2011 56,12 40,27 1.320,00 1.210,00 Rata-rata 63,51 42,17 1.319,98 951,72 Pengambilan data pengujian sistem MIBTSM di Kabupaten Kulon Progo dilaksanakan di SMP Negeri 1 Panjatan, SMP Negeri 2 Wates, dan SMP Negeri 3 Wates. Hasil pengujian adalah sebagai berikut. Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 1 Panjatan Kabupaten Kulon Progo adalah 25,07 Kbps untuk Upload dan 454,96 Kbps untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 23,34 Kbps untuk upload dan 224,75 Kbps untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 13,81 Kbps untul upload dan 123,31 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut cukup lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 6. Laju bit di SMP Negeri 1 Panjatan Kulon Progo SMP Negeri 1 Panjatan Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 25 Oktober 2011 25,07 15,86 454,96 204,43 26 Oktober 2011 24,91 10,21 117,13 72,23 28 Oktober 2011 20,03 15,36 102,16 93,26 Rata-rata 23,34 13,81 224,75 123,31 Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 2 Wates Kabupaten Kulon Progo adalah 24,63 Kbps untuk Upload dan 551,10 Kbps untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 19,48 Kbps untuk upload dan 262,84 Kbps untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 13,05 Kbps untul upload dan 115,62 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut sangat lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. 589 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 7. Laju bit di SMP Negeri 2 Wates Kulon Progo SMP Negeri 2 Wates Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 25 Oktober 2011 24,63 13,45 551,10 144,37 26 Oktober 2011 15,67 10,50 118,50 94,56 27 Oktober 2011 18,13 15,19 118,93 107,92 Rata-rata 19,48 13,05 262,84 115,62 Laju bit maksimum yang diperoleh di SMP Negeri 3 Wates Kabupaten Kulon Progo adalah 47,91 Kbps untuk Upload dan 1.160,00 Kbps (1,16 Mbps) untuk proses download. Laju bit maksimum rata-rata yang diperloleh selama 3 kali pengambilan data adalah 27,89 Kbps untuk upload dan 466,68 Kbps untuk download, dengan laju bit rata-rata yang diperoleh selama 3 kali pengambilan data adalah 17,66 Kbps untul upload dan 227,29 Kbps untuk download. Akses e-learning terbuka dengan kondisi laju bit tersebut sangat lancar dan tidak mengalami masalah dalam melakukan akses Internet. Tabel 8. Laju bit di SMP Negeri 3 Wates Kulon Progo SMP Negeri 3 Wates Laju Bit (Kbps) Tanggal Up Link Down Link Max Avg Max Avg 24 Oktober 2011 47,91 25,72 1.160,00 485,39 27 Oktober 2011 18,04 14,75 120,61 108,50 28 Oktober 2011 17,71 12,50 119,42 87,97 Rata-rata 27,89 17,66 466,68 227,29 Berdasarkan data pengamatan dari 8 (delapan) sekolah menengah pertama (SMP) tersebut nampak bahwa laju bit maksimum rata-rata selama 3 kali pengambilan data yang paling rendah adalah 188 Kbps yaitu di SMP Negeri 2 Cangkringan Sleman, dan laju bit maksimum rata-rata selama 3 kali pengambilan data yang paling besar adalah 1.460 kbps (1,46 Mbps) yaitu di SMP Negeri 1 Cangkringan. Selain itu, berdasarkan pengamatan secara langsung saat pengambilan data, laju bit yang layak untuk akses Internet dengan jumlah pengguna sekitar 12 siswa adalah laju bit rata-rata minimal yang diperlukan 96 Kbps. Berdasarkan Tabel 2 nampak bahwa laju bit rata-rata (avg) sistem MIBTSM di SMP Negeri 2 Cangkringan adalah 76,46 Kbps (kurang dari 96 Kbps) sehingga akses Internet lebih sering mengalami kegagalan. Dengan demikian, jika laju bit rata-rata dengan menggunakan 2 buah modem GSM/CDMA masih dibawah 96 Kbps, maka perlu ditambah 1 modem lagi sehingga laju bit rata-rata minimal yaitu 96 Kbps dapat dicapai. 590 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 1 Tabel 9. Rekap Pengujian Laju bit Sistem MIBTSM Laju bit (Kbps) Sekolah Max Avg SMP N 1 Cangkringan Sleman 1.460,00 610,84 2 SMP N 2 Cangkringan Sleman 188,15 76,46 3 4 5 6 7 8 SMP Taman Dewasa Cangkringan Sleman SMP N 1 Jetis Bantul SMP N 1 Sewon Bantul SMP N 1 Panjatan Kulon Progo SMP N 2 Wates Kulon Progo SMP N 3 Wates Kulon Progo 347,65 1.115,77 1.319,98 224,75 262,84 466,68 127,19 634,79 951,72 123,31 115,62 227,29 No Status Akses Internet Sangat lancar Sering putus/gagal Cukup lancar Sangat lancar Sangat lancar Cukup lancar Cukup lancar Sangat lancar Kesimpulan dan Saran Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara umum sistem MIBTSM yang dibuat dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai terminal gateway akses Internet untuk membantu proses pembelajaran. Laju bit minimal yang dibutuhkan untuk akses Internet dengan jumlah pengguna 12 s.d 15 orang adalah 96 Kbps, sehingga jumlah modem dapat disesuaikan agar laju bit minimal dapat dicapai. 2. Secara umum sebagian besar wilayah pedesaan yang terletak di daerah kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta telah memiliki fasilitas akses Internet menggunakan layanan akses data dari provider telepon seluler meskipun akses data dengan kecepatan tinggi (3G) terbatas untuk daerah di sekitar kota kecamatan. Akses data Internet dengan teknologi 3G yang paling luas cakupan daerahnya adalah layanan akses data HSDPA dari provider yang bergerak di bdang layanan telepon seluler GSM. Dengan menggunakan 2 buah modem GSM dan layanan akses data menggunakan EDGE atau HSDPA, laju bit maksimum ratarata yang diperoleh dari sistem MIBTSM paling rendah adalah 188 Kbps dan paling besar adalah 1.460 Kbps (1,46 Mbps). 3. Portal E-Learning dengan content pembelajaran TIK dapat diakses dengan baik oleh 12 s.d. 15 siswa dengan menggunakan sistem MIBTSM, dengan laju bit maksimum rata-rata yang disarankan adalah berkisar 96 Kbps. Penelitian ini masih menggunakan notebook sebagai gateway yang menjalankan proses penyeimbangan beban, dan modem terletak satu lokasi dengan notebook (terpasang langsung pada port USB). Tindak lanjut penelitian ini adalah membuat sebuah produk yang siap digunakan (dengan rancangan yang lebih khusus) sehingga sistem MIBTSM dapat dipasang di luar (outdoor) atau paling tidak dapat mengatasi masalah sinyal seluler yang terlalu kecil untuk daerah-daerah tertentu di daerah pedesaan misalnya dengan menggunakan antena luar. 591 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Hidayat, A., Prabantoro, G., 2005. Mobile Internet Center Berbasis Wireless Connection Sebagai Solusi Efektif Media Pendukung Pembelajaran Aplikasi Teknologi Internet Di Daerah Terpencil. Prosiding: Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005 (SNATI 2005), Yogyakarta, 18 Juni 2005. Lee, William W and Owens, Diana L., 2004. Multimedia-Based Instructional Design: Computer-Based Training, Web-Based training, Distance Broadcast Training, Performance-Based Solutions, 2nd ed. San Francisco, CA: John Wiley & Sons, Inc. Rappaport, T. S., 1996, Wireless Communication. New Jersey: Prentice Hall. Smith, C., Collins, D., 2002, 3G Wireless Networks. New York: McGraw-Hill. 592 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta IDENTIFIKASI LAJU PENGUAPAN AIR PADA PENGGORENGAN VAKUM BUAH NANAS Anang Lastriyanto1, Sudjito Soeparman2, Rudy Soenoko3, Sumardi HS4. 1.2.3 Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Fakultas Teknologi Pertanian Universita Brawijaya anang.lastriyanto@yahoo.co.id 4 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas menggunakan metode Eksponential Decay. Irisan buah nanas berukuran 40mm x 20mm x 4mm digoreng pada suhu 85 ± 3 oC dan tekanan maksimal 10 kPa abs dengan perlakuan jumlah isian yakni 50, 75, dan 100 % skala penuh. Proses tersebut dilakukan pada mesin penggoreng vakum kapasitas maksimal 6 kg/proses. Selama proses diamati laju produksi kondensat pada instrumen pengukuran kondensat. Perubahan kadar air selama proses dihitung berdasar perubahan laju kondensat. Berdasar persamaan didapatkan nilai yang diselesaikan dengan metode Eksponential Decay. Nilai untuk kapasitas isian 50, 75, dan 100% skala penuh masing-masing sebesar 0,078; 0,068 dan 0,065 (1/menit) dengan koefisien regresi masing-masing 0,9677; 0,9668 dan 0,9749. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa i) Metode eksponential decay dapat dipergunakan untuk menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas. ii) Semakin besar jumlah bahan yang di proses konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas nilainya semakin kecil. Kata Kunci: Konstanta laju penguapan air, pengorengan vakum, Eksponesial Decay, Moisture Ratio Pendahuluan Penggorengan merupakan proses pindah panas dan pindah massa secara simultan yang mempergunakan minyak makan sebagai media pindah panas. Pendapat lain menyatakan bahwa penggorengan adalah proses pemasakan dan pengeringan melalui kontak dengan minyak (Vassiliski et al., 2006). Tujuan penggorengan: i) meningkatkan daya cerna, ii) membentuk karakteristik cita rasa, warna, dan aroma, iii) mengawetkan produk, karena dengan adanya panas akan menginaktifkan enzim mikroorganisme, dan menurunkan aktivitas air (aw). Penggorengan konvensional (tekanan atmosfir) umumnya mempergunakan suhu 160-190 oC (Moreira et al., 1999), kadang-kadang mencapai suhu yang lebih tinggi yakni 205 oC. Semakin tinggi suhu, lama proses semakin pendek. Hasil penggorengan mengandung minyak 8-25%. Suhu yang rendah menghasilkan warna pucat, flavour yang kurang dan penyerapan minyak semakin tinggi. Pada penggorengan tipe curah, terjadi penurunan suhu 30-40 oC, penurunan bias lebih besar pada penggorengan produk beku (Anonymousa, 2011). Berbeda dengan penggorengan pada tekanan atmosfir, proses penggorengan vakum dengan pompa vakum sistem jet air untuk buah dan sayur (peka terhadap panas) dilakukan pada tekanan maksimal 10 kPa abs., suhu 85 – 90o C, dan lama penggorengan 60 – 100 menit, (Lastriyanto, 1996, 1998). Menurut Garayo and Moreira, (2002) tekanan pada penggorengan vakum sebaiknya dibawah 6,65 kPa (-710 Torr gage), pada kondisi ini 593 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta akan memberikan keuntungan: menekan kadar minyak pada produk, mempertahankan warna dan aroma, serta menekan kerusakan minyak. Model perpindahan panas pada penggorengan merupakan kombinasi dari konveksi di dalam minyak dan konduksi di dalam bahan, karena seluruh permukaan menerima jumlah panas yang sama, maka dihasilkan warna yang seragam. Pindah panas permukaan sebelum terjadi penguapan 250 – 300 Watt/ m2K, waktu terjadi turbulensi mencapai 800 – 1000 Watt/ m2K, (Halstron, 1980 di dalam Fellows, 1992). Agar dapat dilakukan penggorengan pada komoditi peka panas, suhu penggorengan diturunkan dengan menurunkan tekanan atau penggorengan dilakukan pada tekanan vakum. Kelebihan dari proses ini adalah didapatkan cita rasa seperti kondisi aslinya karena kerusakan akibat suhu tinggi dapat ditekan, tanpa mempergunakan bahan pengawet dan yang lebih penting lagi penurunan mutu minyak goreng dapat diminimumkan sehingga resiko akibat minyak dapat dikurangi. Analogi persamaan kinetika pada proses penggorengan berdasarkan Hukum Newton tentang pendinginan padatan, secara sederhana diturunkan sebagai berikut:∞ .............................. [1] Dimana, T = suhu, Ѳ = waktu, T∞ = suhu keseimbangan Bila suhu T dinyatakan dalam kadar air basis kering M (%bk), persamaan tersebut dapat dinyatakan: ........................... [2] Dimana: M = Kadar air (%bk), Me= Kadar air keseimbangan (% bk), dan K= Konstanta penguapan air (1/menit). Bentuk lain dari persamaan di atas adalah: .................................. [3] Integrasi persamaan 3 dengan kondisi batas awal ( dan akhir ( .......................... [4] ............................... [5] Dimana adalah: . (Moisture Ratio) Berdasarkan konstanta K yang bernilai negatif, maka model tersebut diaebut exponential decay. Dalam kaitannya dengan lama pemanasan () , kerusakan komponen menurut kinetika reaksi mengikuti persamaan: .................................... Ln C   k [6] Co Dalam sistem kimia dan biologi hubungan antara laju reaksi (k) dengan suhu (T) dinyatakan dengan istilah Q10 sebagai berikut: 594 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ......................... k1 k2  [ Q 10 ] ( T 2  T 1 ) / 10 [7] Berdasarkan persamaan 6 dan 7 perubahan gizi selama pemanasan dalam durasi waktu tertentu () pada suatu suhu (T1) dibandingkan suhu yang ada pada umumnya (T2) dapat diprediksi. Sedangkan pengaruh tekanan P terhadap titik didih air (T) murni menurut persamaan ClausiusClapeyron dinyatakan: ............... Ln P2 P1  H R v ( T 2  T1 T 1T 2 ) [8] Konstanta laju penguapan air (K) merupakan indikator kinerja dari mesin yang menggunakan prinsip penguapan, seperti: evaporator, penggoreng, dan pengering. Penelitian mengenai nilai K selama ini banyak terpusat pada pengeringan. Untuk penggorengan, terutama penggoreng vakum hingga saat ini belum ada. Berdasarkan hal tersebut, melalui penelitian ini dilakukan percobaan penggorengan vakum buah nanas berdasarkan suhu dan kapasitas yang direkomendasikan untuk menganalisis nilai K.Muzakkir, (1998) menyatakan bahwa penggorengan vakum buah nanas untuk menghasilkan keripik nanas dilakukan pada suhu 85oC untuk mesin berkapasitas 5 kg/proses. Tujuan Penelitian adalah: menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas menggunakan metode Eksponential Decay. Metodologi Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buah nanas Blitar dengan tingkat kematangan di atas 85 - 95% diperoleh dari pasar induk Gadang, kota Malang. Buah tersebut kemudian dikondisikan di dalam ruang pendingin suhu 10oC untuk meminimalkan variasi sifat fisik pada waktu diproses. Buah nanas dikupas, kemudian dicuci. Bagian yang dapat dimakan (edible portion) dari buah nanas diambil, kemudian diiris dengan pisau stainless steel, sehingga menjadi irisan (chip) berukuran 3 x 5 cm, tebal 4 mm. Dimensi irisan buah nanas diukur dengan jangka sorong merk Mitutoyo Thickness Gage, Japan. Kemudian sampel digoreng dengan mesin penggoreng vakum pada tekanan maksimal -66 cmHg dan suhu 85 + 3oC dengan jumlah isian: 50%, 75%, dan 100% dari kapasitas rencana. Catatan: jarak waktu (jeda) antara pengirisan yang terakhir dengan proses penggorengan vakum tidak boleh lebih dari 4 jam. Alat yang dipergunakan untuk percobaan berupa mesin penggoreng vakum sistem jet air berkapasitas 5 – 7 kg masukan/proses, secara skematis mesin penggoreng tersebut dan bagianbagiannya ditunjukkan pada Gambar 1. Adapun luas permukaan bidang penguapan adalah diameter (0,45m) dikalikan panjang (0,8m) yakni 0,36 m2, perbandingan volume minyak: berat bahan 7,5 – 15. Untuk menentukan laju penggorengan, mesin penggoreng dilengkapi dengan penampung kondensat yang dapat diambil sampel kondensatnya sesuai dengan interval waktu yang dikehendaki (Gambar 2). Perubahan kadar air ditentukan berdasarkan kadar air awal dan jumlah air yang menguap berdasarkan keseimbangan massa pada proses penguapan. 595 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 1. Gambar Skematis Mesin Penggoreng Vakum (Lastriyanto, 1996) Gambar 2. Penampung Kondensat untuk Pendugaan Kadar Air Pelaksanaan proses penggorengan vakum di workshop dan Laboratorium Lastrindo Engineering, Jl. Rajekwesi No. 11, Malang. Untuk mengetahui konstanta laju penguapan air percobaan dilakukan pada suhu yang direkomendasikan pada penelitian sebelumnya (Muzakkir, 1998). Laju pengumpanan dilakukan pada tiga tingkat, yakni: 50, 75, dan 100% terhadap skala yang direkomendasikan (kapasitas rata-rata 6 kg/proses). Cara menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum dianalogikan dengan metode penentuan konstanta pada pengeringan menurut Geankoplis, (2003) dengan langkah sebagai berikut: 1. Mencari data berat setiap waktu tertentu tanpa mengganggu proses. 2. Mengubah data berat ke data kadar air basis kering. 3. Berdasar kondisi penggorengan pada suhu yang bersangkutan dapat ditentukan kadar air keseimbangan Me. 4. Menghitung ratio kadar (MR) air bebas yakni perbandingan kadar air bebas pada waktu ke t terhadap kadar air bebas pada waktu ke 0 yang dinyatakan . 5. Ploting data pada kurva semi log berdasarkan persamaan exponential decay, selanjutnya menentukan K berdasarkan kemiringan kurva tersebut. Hasil dan Pembahasan Penentuan konstanta laju penguapan air selama proses penggorengan vakum buah nanas dengan metode eksponential decay telah diaplikasikan pada berbagai beban (kapasitas). Bahan 596 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta baku buah nanas segar kadar air 83,87% bb tepatnya 520% bk setelah diproses menghasilkan keripik nanas pada kadar air keseimbangan 4,76%. Rendemen keripik 18,98% terhadap bahan yang diproses. Dari pengujian terhadap kinerja mesin penggoreng vakum sistem jet air berkapasitas 5 – 7 kg / proses pada suhu 85+ 3oC dan tekanan maksimum 10 kPa abs. Volume total dan minyak goreng masing-masing 115 dan 45 liter, didapatkan hasil sebagai berikut: Perubahan Tekanan dan Kadar Air Selama proses penggorengan vakum berlangsung, tekanan di dalam tabung mengalami penurunan. Pola penurunan tekanan mengikuti model eksponensial (Gambar 3), dimana semakin kecil jumlah isian penurunanya semakin cepat. Waktu yang diperlukan untuk mencapai 90% beda tekanan yang ditimbulkan oleh pompa vakum (dalam hal ini 700 Torr, 83 kPa) , dimana dalam kasus ini 15 menit, merupakan periode kritis. Dapat dijadikan indikator kondisi kelembaban di dalam ruang penggoreng. Keadaan tersebut ditandai pada kaca pengintai mulai terang, dimana sebelumnya penuh dengan uap air. Penomena ini masih perlu dikaji lebih mendalam, terutama tentang kelembaban dan kadar air bahan. Pada periode penurunan tekanan berikutnya, laju penurunan tekanan tidak begitu tajam, kemungkinan air yang ada di dalam bahan merupakan air yang terikat dengan ikatan yang lebih kuat. Proses penguapan berlangsung pada kondisi jauh di atas titik didih air pada tekanan yang bersangkutan. Periode ini ditandai dengan suhu minyak sudah mencapai titik setel. Proses penguapan berlangsung pada temperatur tetap, jadi mengandalkan proses pemvakuman, agar transport uap air berlangsung lebih cepat. Akhirnya tercapai periode tekanan keseimbangan, antara laju penguapan dengan laju pemompaan pada kondisi tekanan yang bersangkutan. Periode ini kondisi air di dalam bahan sulit diuapkan. Proses penguapan hanya mengandalkan beda tekanan partial uap air di dalam bahan dan di atas minyak. Keberhasilan dari proses ini tergantung dari kekuatan pompa. Terutama daya dan sistem kerja pompa vakum. Pola perubahan tekanan merupakan indikator terhadap parameter penggorengan vakum lainnya, seperti: laju penguapan, penurunan kadar air, dan konstanta laju penguapan. Berikut ini kemiripan pola perubahan kadar air selama proses penggorengan vakum (Gambar 4). Gambar 3. Pola Perubahan Tekanan Pada Penggorengan Vakum 597 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 4. Pola Perubahan Kadar Air Selama Penggorengan Vakum Laju Penguapan Laju penguapan air pada penggorengan vakum secara spesifik disini dinyatakan jumlah air yang diuapkan tiap satuan: kg bahan kering, jam, dan luasan bidang pindah panas dengan satuan kg H2O/(kg bk.jam.m2). Luas permukaan penguapan yang dimaksud disini adalah luas permukaan minyak di dalam tabung, hasil kali diameter (0,45m) x panjang tabung (0,8m). Dengan satuan tersebut diharapkan bisa menjadi acuan dalam mengevaluasi kinerja mesin penggoreng vakum terhadap bahan yang diproses, tanpa memandang dimensi mesin maupun karakteristik bahan yang digoreng. Gambar 5 dan 6 menunjukkan pola laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas. Dimana pada Gambar 5 laju penguapan berdasarkan kadar air basis kering dan Gambar 6 laju penguapan berdasarkan waktu. Berdasarkan gambar tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin kecil jumlah isian yang seharusnya direkomendasikan, laju penguapan semakin tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh suplai panas dan kevakuman melebihi dari yang seharusnya dibebankan, selain itu ada ruang penguapan yang lebih besar di dalam minyak. Laju maksimum dicapai pada awal proses sebesar 33,3 kg H2O/(kg bk.jam.m2), nilai ini cukup besar, karena koefisien konfeksi air yang mendidih cukup besar (Halstron, 1980 di dalam Fellows, 1992). Gambar 5. Laju Penguapan Air pada Penggorengan Vakum Buah Nanas Berdasarkan Kadar Air % bk. 598 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 6. Laju Penguapan Air pada Penggorengan Vakum Buah Nanas Berdasarkan Waktu Konstanta Laju Penguapan Berdasarkan persamaan laju penguapan yang diturunkan dari hukum Newton tentang pendinginan padatan didapatkan model eksponensial: . . Linierisasi persamaan tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik semi log di pada masing-masing perlakuan jumlah isian ditunjukkan pada Gambar 7, 8, dan 9. Gambar 7. Grafik Penentuan Konstanta Laju Penguapan Pada Penggorengan Vakum Buah Nanas pada jumlah isian 50% kapasitas penuh (6 kg/proses) 599 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 8. Grafik Penentuan Konstanta Laju Penguapan Pada Penggorengan Vakum Buah Nanas pada jumlah isian 75% kapasitas penuh (6 kg/proses) Gambar 9. Grafik Penentuan Konstanta Laju Penguapan Pada Penggorengan Vakum Buah Nanas pada jumlah isian 100% kapasitas penuh (6 kg/proses) Berdasarkan Gambar 7, 8, dan 9 nilai konstanta laju penguapan dan koefisien determinasi pada penggorengan vakum buah nanas disusun dalam Tabel 1 berikut 600 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Konstanta laju penguapan pada berbagai kapasitas. Perlakuan 50% kapasitas penuh (6 kg / proses) 75% kapasitas penuh (6 kg / proses) 100% kapasitas penuh (6 kg / proses) menit 0,078 0,068 0,065 R2 0,9677 0,9668 0,9749 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Metode eksponensial decay untuk menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum (K) buah nanas pada berbagai kapasitas, memerlukan data perubahan kadar air dan waktu. Kadar air selama penggorengan vakum ditentukan berdasarkan data jumlah kondensat. Selanjutnya berdasarkan persamaan dapat ditentukan nilai K. Nilai konstanta laju penguapan semakin besar pada kapasitas isian semakin kecil dari kapasitas yang direkomendasikan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa i) Metode eksponential decay dapat dipergunakan untuk menentukan konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas. ii) Semakin besar jumlah bahan yang di proses konstanta laju penguapan air pada penggorengan vakum buah nanas nilainya semakin kecil. Saran Perlu rancangan khusus displai proses penggorengan vakum yang memungkinkan pengambilan sampel untuk dianalisis tanpa mengganggu proses (non disturbance). Sementara proses berlangsung, pengambilan sampel dapat dilakukan sesuai dengan interval waktu yang dikehendaki. Ucapan Terima Kasih Terlaksananya penelitian ini tidak terlepas dari peranan promotor dan pemerintah, dalam hal ini yang telah memberi beasiswa BPPs tahun 2008 – 2011 selama belajar di Program Doktor Teknik Mesin (PDTM) Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya. Secara khusus topik riset ini terlaksana atas bantuan dana penelitian Hibah Doktor Tahun Anggaran 2011 yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Melalui DIPA Universitas Brawijaya Rev.1 No. 0636/023-04.2.16/15/2011R. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, semoga tulisan ini memberi sumbangan ilmiah pada dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Daftar Pustaka Akhilesh Pandey 2009. Design and Optimization of Centrifuge and Condenser Unit to Enhance the Batch Vacuum Frying System Performance. A Thesis. Anonymousa. 2011. Deep-Fat Frying Basic Food Services “Fryer, Oil and Frying Temperature Selection. Oklahoma State University. Food and Agriculture Product Research & Technology Center. Anonymous, Vacuum Systems in The Edible Oil Industries. Korting Hannover AG. HannoverGermany. 601 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Christie John Geankoplis. 2003. Transport Process & Separation Process Principle: 4th ed. Prentice Hall. USA. PP 576-780 Franco Pedreschi, Pamela Hernandez, & Clara Figueroa. 2005. Modelling Water Loss During Frying of Potato Slices. Departement of Food Scince and Technology, Faculty of Technology, Universidad de Santiago de Chile. International Journal of Food Properties. Santiago Chile. Halder, A., A. Dhall, A.K. Datta. 2006. Modelling of Frying and Relatted Processes Involving Strong Evaporation: A Porous Media Approach. Biological and Enviromental Engineering, Camel University. Ithaca, NY: Proceeding of the COSMOL Users Conference, Boston. Garayo, J., Moreira, R.G., 2002. Vacuum frying of potato chips.Journal of Food Engineering 55 (2), 181-191. Lastriyanto, Anang. 1996. Penggorengan buah secara vakum (Vacuum frying) dengan menerapkan pemvakum “water-jet”. Makalah pada Seminar Nasional Pangan dan Gizi Kongres PATPI 1996 di Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, tanggal 10 – 11 Juli 1996. Lastriyanto, Anang. 1997. Booklet Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Buahdan Sayur Skala Rumah Tangga Dalam Upaya Meningkatkan Nilai Tambah Produk Hortikultura. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Edisi II. Lastriyanto, Anang. 1999. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Kripik Buah dengan Mesin Penggoreng Hampa (Vacuum Fryer) Sistem “Water-jet”, Jurnal PERTETA Volume 9 No. 1. Halaman 320 Lastriyanto. 1999. Peralatan Pasca Panen dan Industri Hortikultura. Seminar Nasional sehari Tanggal 15 April 1999 di BPPT Jakarta Liu-Ping Fan, Min Zhang, Gong-Nian Xiao, Jin-Cai Sun, & Qian Tao. 2005. The Optimization of Vacuum Frying to Dehydrate Carrot Chips. International Journal of Food Science and Technology, Sothern Yangtze University. Wuxi – China. Moreira, R.G., Castell-Perez, M.E., & Barrufet, M.A. 1999. Deep-Fat Frying: Fundamentals and Applications. Gaithersburg, MD: Aspen Publisher Muzakkir, Anang L, dan Kohar Irwanto. 1998. Uji Karakteristik Mesin Penggoreng Hampa Sistem Jet Air Pada Buah Nanas (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Perkins, E.G. and M.D.Erickson. 1996. “Deep Frying, Chemistry, Nutrition , and Applications”. AOCS Press. Champaign, IL. Practical Vasiliski Oreopoulou, Magdalini Krokidia, and Dimitris Marinos-Kouris. 2006. Frying of Foods. Taylor and Francis Groups. 602 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN MODEL PEMANFAATAN LUMPUR LAPINDO DAN ABU GUNUNG MERAPI SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN KERAMIK SENI EARTHENWARE DAN STONEWARE Kasiyan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta kasiyan1@yahoo.com; Hp: 08122753970 Abstract This particular study aims at developing model of Lapindo mud and Merapi ash utilization as raw materials of the making of multitechnical ceramic on the basis of earthenware and stoneware. The main underlying appoach applied within this study, is the Research Development model proposed by Gall, Gall and Borg (2003) which was carried out by combining the quantitative and the qualitative techniques. This study was conducted through various steps, namely: 1) introductionary study (define), 2) panning (design), 3) development, 4)validation, and 5) dessimination of the the results. The results of the first year study are as the followings. 1) the mixture of Lapindo mud and Merapi ash can be used as the raw materials for making ceramic with the minimum mixture of 70% Lapindo Sidoarjo mud and 30% of Merapi ash. And the ideal mixture for making the earthenware category is 60% of lapindo mud and 405 of Merapi ash, while for the ategory of stoneware needs a mixture consisting of 50% Lapindo mud and 50% merapi ash. Keywords: lapindo mud, merapi ash, raw materials, ceramics. Pendahuluan Sebagaimana diketahui, jutaan meter kubik luapan lumpur Lapindo Sidoarjo sebagai akibat bencana sejak 27 Mei 2006 yang lalu, telah terjadi bencana alam berupa banjir lumpur panas Lapindo Sidoarjo, yang telah mengakibatkan kerugian luar biasa dan lintas bidang sifatnya, baik ekonomi maupun sosial budaya yang kompleks. Bencana ini telah mengakibatkan adanya luapan lumpur yang volumenya telah mencapai jutaan meter kubik, dan sampai saat ini masih terus menyembur dan sangat sulit untuk diatasi. Berbagai studi tentang penanganan lumpur tersebut, selama ini lebih banyak terkait dengan dimensi persoalan medis dan ekologis, di samping beberapa penelitian yang sudah mengarah pada pemanfaatannya secara praktis. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan lumpur Lapindo secara praktis-fungsional sudah dilakukan, namun yang cukup mengedepan selama ini adalah, sebatas untuk kepentingan mendukung sebagai bahan bangunan, misalnya batu-bata, semen, batako, paving block, dan genteng. Demikian juga halnya dengan kasus abu Gunung Merapi yang berada di Yogyakarta, yang volumenya juga mencapai jutaan meter kubik, hasil dari erupsi tahun 2006 dan 2010 yang lalu. Selama ini pemanfaatannya juga tak lebih sebagai bahan campuran untuk bahan bangunan, dan belum ada penelitian yang mengarah pada nilai lebih, terutama secara ekonomis. Padahal dari studi-studi kecil pendahuluan yang pernah ada dan dilakukan, ada semacam dugaan kuat tentang potensi kedua material tersebut, yakni lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri keramik seni. Pemanfaatan untuk 603 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kategori ini akan mempunyai nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pemanfaatan yang ada selama ini. Berdasarkan analisis tersebut, maka penelitian tentang pemanfaatan lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi sebagai bahan baku keramik seni multiteknik berbasis earthenware maupun stoneware, yang diharapkan berdampak positif yang signifikan baik secara ekonomi, medis, maupun ekologis. Terkait dengan hal itulah, maka kajian ini hendak menyajikan hasil penelitian berupa pengembangan model atau prototype pemanfaatan lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi sebagai bahan baku pembuatan keramik seni multiteknik berbasis earthenware maupun stoneware. Landasan Teori Pengertian Tanah Liat Dikemukakan oleh Astuti (1997:13), bahwa tanah liat dalam istilah Jawa disebut lempung adalah suatu zat yang terbentuk dari kristal-kristal kecil yang terbentuk dari mineral-mineral yang disebut kaolinit. Wujudnya seperti lempengan-Iempengan kecil berbentuk segi enam dengan permukaan datar. Bila dicampur dengan air mempunyai sifat plastis, mudah dibentuk, dengan kristal-kristal meluncur di atas satu dengan yang lain dengan air sebagai pelumasnya. Dilihat dari sudut ilmu kimia, tanah liat termasuk hidrosilikat alumina dan dalam keadaan murni mempunyai rumus: Al2O3 2SiO2 2H2O, dengan perbandingan berat dari unsur-unsurnya: 47 % Oksida Silica (SiO2), 39 % Oksida Alumina (Al2O3), dan 14% Air (H2O). Sementara itu, menurut Ensiklopedia Indonesia yang ditulis oleh Mulia dan Hidding (tanpa tahun: 1315), terkait dengan tanah liat disebutkan sebagai bahwa tanah liat terjadi dari bahan-bahan yang mengandung feldspard karena batuanbatuan tersebut dimakan hari. Kalau tanah liat banyak ferry oxida dan pasirnya, maka tanah tersebut dinamakan lempung. Jenis Tanah Liat Berdasarkan proses pembentukannya secara umum tanah liat dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1. Tanah liat residu (tanah liat primer), yaitu tanah liat yang terdapat pada tempat di mana tanah liat tersebut terjadi, dengan kata lain tanah liat tersebut belum berpindah tempat sejak terbentuknya. Sebagian merupakan hassil pelapukan dari batuan keras seperti basalt/andesit akan memberikan lempung merah, sedangkan granit akan memberikan lempung putih. Tanah liat residu ini mempunyaisifat-sifat: a. Berbutir kasar bercampur batuan asal yang belum lapuk. b. Berentuk bongkahan/batuan. c. Warna putih, putih kusam. d. Suhu bakar tinggi (1300°C-1450°C atau lebih). e. Tidak plastis (rapuh) contoh: feldspar, kaolin, dan kwarsa. 2. Tanah liat endapan (tanah liat sekunder), yaitu tanah liat yang dipindahkan oleh air, angin, gletser dan sebagainya dari tempat batuan induk. Tanah liat ini juga disebut batuan sedimen, karena pada umumnya setelah terbentuk dari batuan keras tanah liat akan diangkut oleh air, angin dan diendapkan di suatu tempat yang lebih rendah, seperti lembah sungai, tanah rawa, tanah danau. Sifat tanah liat ini adalah: 604 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta a. Kurang murni, karena tercampur oleh unsur-unsur lain pada waktu perpindahan dari tempat asal. b. Berbutir lebih halus. c. Lebih plastis. d. Warna kuning muda, kuning kecoklatan, coklat tua, abu-abu, dan kehitam-hitaman. e. Suhu bakar rendah (800°C-11OO°C). Sifat Fisis Tanah Liat Sifat-sifat Fisis tanah liat (lempung) dalam keadaan mentah, menentukan kegunaan, kenyataan bahwa lempung yang basah dapat di bentuk bila di keringkan bentuk tidak berubah, dan bila dibakar pada temperatur cukup tinggi lebih kurang 900°C-1000°C, akan membentuk benda yang padat dan keras. Sifat-sifat phisis tanah liat lempung yang penting untuk diperhatikan atau diuji sebelum difungsikan sebagai bahan baku pembuatan keramik seni adalah, terkait dengan persoalan keplastisan, penyusutan baik kering maupun bakar, vitrifikasi (kematangan suhu bakar), dan porositasnya. Plastisitas adalah sifat yang memungkinkan lempung basah dapat dibentuk tanpa retak-retak dan bentuk tersebut tetap konsisten, setelah gaya pembentuknya dihilangkan. Sifat ini memungkinkan lempung dapat diberi bentuk menurut keinginan. maka keplastisan juga berarti workability. Terkait dengan plastisitas tanah liat ini, sebenarnya identik dengan variasi jumlah air yang diperlukan untuk menimbulkan keplastisannya. Makin tinggi keplastisan suatu tanah liat, makin banyak air terabsorbsi, serta air selaput makin tebal, maka akan semakin besar pula susut keringnya. Pada waktu proses pengeringan tanah akan terjadi pengeluaran air, yakni air yang menyelimuti butir-butir tanah liat secara berangsur menyingkir, dan hal ini memungkinkan butir-butir tersebut mendekat satu sama lain. Setelah air selaput tersebut habis, maka jenis air tersebut yang menimbulkan susut kering. Jenis air yang masih tersisa dinamakan air pori, dan sifatnya tidak menimbulkan susut. Sisa air yang masih terikat secara mekanis ini, hanya dapat dihilangkan setelah dipanaskan hingga 110°C (Sugiyono dan Sukirman, 1979:16). Selain susut kering, jenis penyusutan lain yang perlu juga diukur adalah susut bakar. Penyusutan bakar suatu tanah liat adalah suatu besaran yang dapat diukur tentang menyusutnya (ukuran) benda, setelah dilakukan pembakaran. Hal itu bukan karena menguapnya air bebas, tetapi karena adanya perubahan sifat-sifat kimia dan fisika tanah liat menjadi keramik secara permanen. Seperti diketahui, tanah liat lunak bila tercampur air mudah terurai dan plastis, tetapi setelah dibakar menjadi keras membatu dan kedap air serta ukurannya menyusut, dibandingkan dengan ukuran pada waktu sebelum dibakar. Seberapa besar penyusutan setiap jenis tanah liat bervariasi, seperti yang dikemukakan oleh McKee (1984:5), bahwa penyusutan bakar suatu tanah liat paling sedikit 8% sampai yang paling ekstrem 25%, tetapi untuk penyusutan bakar tanah liat (earthenware) yang baik, tidak lebih darl 12%. Kemudian yang dimaksud dengan vitrifikasi (suhu kematangan) ialah, suhu di mana benda yang dibakar mengalami proses vitrifikasi, sehingga kandungan silika bebas yang ada di dalam massa tanah liat mulai melebur/menggelas, dan hasil leburan mengisi sebagian atau seluruh rongga poripori. Pada proses pendinginan, massa yang telah mengalami vitrifikasi menjadi keras, padat, dan kedap air. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Astuti (1997: 17), yakni bahwa yang dinamakan penggelasan sebenarnya adalah suatu proses pencairan, di mana bagian-bagian tertentu dari tanah 605 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta liat mulai mencair menjadi gelas. Jika waktu dan suhu pembakaran bertambah, maka bagian-bagian yang mencair tadi sedikit demi sedikit melarutkan sisa komposisi tanah liat itu. Penggelasan dan ikatan-ikatan unsur inilah, yang memberikan sifat keras bagaikan batu kepada tanah liat yang di bakar itu. Tingkat kematangan yang menyangkut kekerasan, kepadatan, daya serap air atau keporian dan susut bakar untuk setiap jenis tanah liat baik gerabah (earthenware), stoneware berbeda-beda. Untuk kategori earthenware biasanya suhu tertingginya maksimal sampai 1100°C, sementara itu untuk stoneware titik matangnya mulai 1200°C. Terakhir, terkait dengan porositas adalah kemampuan badan tanah liat yang telah dibakar untuk menyerap air melalui pori-pori. Kadar porositas dapat dihitung melalui proses perebusan dan perendaman benda uji di waktu tertentu. Sifat porous karena tanah liat mengandung partikelpartikel pembentuk tanah yang terdiri dari partikel halus dan partikel kasar. Perbandingan dan besar butir dalam tanah sangat mempengaruhi sifat tanah tersebut (Charles, 1984:6). Perbedaan Keramik Seni Earthenware dan Stoneware Keramik seni yang berbasis earthenware adalah kategori keramik yang pembuatannya menggunakan pembakaran dengan suhu berkategori rendah, yakni sekitar 10000C-12000C (Amber, 2008:9; Reason, 2010:9). Suhu rendah ini untuk menghindari badan keramik menjadi bengkok atau meleleh. Sifat-sifat keramik seni kategori ini di antaranya adalah: kerapatan badannya rendah dan peresapan airnya tinggi, kira-kira 10% (Alexander, 2000:40). Istilah earthenware itu sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang arti sederhananya disamakan dengan tembikar. Sementara itu, keramik seni yang berbasis stoneware merupakan keramik seni yang dibuat dengan menggunakan pembakaran dengan suhu tinggi, yakni sekitar 12000C-13000C atau 12000C ke atas. Sifat bahan yang dikandung dalam keramik seni stoneware memiliki titik lebur yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan yang earthenware, sehingga sifat-sifat badan atau bodinya kuat sekali, kerapatannya juga tinggi, serta peresapan airnya rendah, yakni 1%-2% (Rawson, 1984:25; 48; 49; Cosentino, 1990; Christy & Pearch. 1991; De Weal, 1999; Alexander, 2000:81-82; Astuti, 2008). Tipologi keramik berbasis stoneware ini, karenanya sejak sangat lama populer di masyarakat difungsikan sebagai benda-benda atau perabotan pecah belah untuk perlengkapan rumah tangga, misalnya untuk perabotan makan dan minum (Triplett, 2000:22; 25; Harper, 2001:20; Bengisu, 2001:450;); yang cara membuatnya terutama dengan menggunakan finishing teknik glassir (Burleson, 2003:45). Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam ketegori jenis penelitian pengembangan (research and development) yang diadaptasi dari modelnya Gall, Gall, & Borg (2003). Penerapan model R&D-nya Gall, Gall, & Borg ini dengan cara mengkombinasikan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan sifanya ‘longitudinal’. Dikatakan ‘longitudinal’, karena penelitian ini sifanya berkelanjutan, untuk jangka waktu yang relatif panjang (Muhadjir, 2002:34), yang dalam konteks ini direncanakan selama dua tahun. Tahun pertama penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011, dan tahun keduanya direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2012. Pendekatan R&D ini digunakan untuk mengembangkan sistem teknologi pemanfaatan lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, sebagai bahan baku keramik seni multiteknik berbasis earthenware dan stoneware. 606 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Studi pendahuluan (define) tentang kualitas material lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi; 2) Perancangan (design), yakni merancang produk dan proses pengembangan; 3) Pengembangan (development), yakni mengembangkan sistem teknologi proses pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan baku keramik seni multiteknik berbasis earthenware dan stoneware; 4) Validasi; dan 5) desiminasi. Ada beberapa jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, dan sekaligus metode pengumpulan datanya sebagai berikut. 1. Data tentang kandungan atau komposisi kimiawi material lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, akan diungkap dengan metode uji coba laboratorium kimia. 2. Data tentang komposisi campuran antara lumpur Lapindo dengan abu Gunung Merapi, yang dilakukan dengan metode uji laboratorium keramik seni. 3. Data tentang pengembangan produk keramik seni multiteknik, berbasis earthenware dan stoneware, yang didapatkan melalui uji praktik di laboratorium keramik seni. Instrumen penelitian ini disesuaikan dengan karakter jenis data yang hendak dikumpulkan dalam pengembangan model keramik seni yang akan dilakukan, yang secara mendasar dibedakan antara data-data kuantitatif dan kualitatif. Untuk data-data yang sifanya kuantitatif, yakni terkait dengan berbagai data yang didapatkan dari hasil uji coba laboratorium, digunakan instrumen seperangkat alat uji atau tes laboratorium kimia dan laboratorium keramik yang sesuai dengan substansi kualitas material yang hendak dicari. Sementara itu, untuk data-data kualitatif, yakni terutama terkait dengan serangkaian data-data pengujian tanah liat, yang akan dilakukan untuk mendapatkan kualitas komposisi material yang terbaik, untuk pengembangan model keramik seni multiteknik berbasis earthenware dan stoneware, dengan menggunakan instrumen pedoman observasi. Penelitian ini bersifat uji coba pengembangan model, oleh karena itu data yang terkumpul secara simultan dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang terkait dengan analisis kandungan kimiawi, akan dianalisis secara ‘Spektrofotometri Serapan Atom’. Sementara itu, untuk data kuantitatif terkait dengan pembuatan model dan prototype keramik seni, yang terkait dengan kualitas dan kuantitas campuran, akan dilakukan dengan analisis presentase deskriptif. Kemudian, untuk analisis data kualitatif secara keseluruhan, akan digunakan teknik analisis deskriptif modelnya Miles dan Huberman, yang dalam penerapannya dilakukan secara simultan, berlanjut, berulang, dan terus-menerus selama kegiatan penelitian berlangsung. Proses analisis deskriptif ini, di dalamnya tercakup tiga hal pokok, yakni, reduksi data, display (penyajian) data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21). Untuk uji validasi atas proses dan produk hasil pengembangan ini, terutama terkait dengan pengolahan bahan baku dan pengembangan produk keramik seni, melibatkan expert judgment (pakar/ahli), yakni dari laboratorium keramik dari lembaga Pusat Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni dan Budaya Yogyakarta. Pembahasan Kandungan Kimiawi Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi Berdasarkan hasil observasi atau pengamatan secara fisik, lumpur Lapindo itu berwarna hitam keabu-abuan, kemudian sifatnya licin, plastis, yang disebabkan kemungkinan terdapat 607 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kandungan ‘kotoran’ (impurity) lain, misalnya minyak. Sementara itu, untuk abu pasir Gunung Merapi berwarna hitam. Kemudian, berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, ditemukan kandungan beberapa logam dalam satuan ‘ppm’ artinya part per million atau bagian per juta, mg/liter larutan. Untuk lumpur Lapindo, kandungan terbanyak adalah besi (Fe), yakni 77,3760, kemudian disusul alumunium (Al) sebesar 42,969, timbal sebesar 14,1600, silikon sebesar 11,423, mangan (Mn) sebesar 1,8715, dan tembaga sebesar 0,1181. Seementara itu untuk kandungan logam pada abu Gunung Merapi, terbanyak juga besi, yakni sebesar 21,4850, kemudian silikon sebesar 10,848, Alumunium sebesar 7,187, timbal sebesar 0,9720, mangan sebesar 0,3673, dan tembaga sebesar 0,1060. Secara keseluruhan, baik lumpur Lapindo maupun abu Gunung Merapi, tidak mengandung zat yang berbahaya, yang artinya adalah cukup aman untuk dimanfaatkan. Pengujian Plastisitas Berdasarkan hasil pengujian terhadap plastisitas tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, ditemukan formula ideal (yang paling plastis), yakni campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, 40% dan 60%. Hasil uji coba keplastisan terhadap tanah liat hasil campuran dengan komposisi tersebut, menunjukkan tidak ditemukannya retak-retak, sehingga dapat dikatakan jenis tanah ini cukup plastis, dan dimungkinkan dapat dibuat sebagai bahan baku benda keramik. Pengujian Penyusutan Kering dan Bakar Berdasarkan data hasil pengukuran susut kering, dapat diungkapkan bahwa susut kering yang paling baik adalah pada formula perbandingan lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi 40% dibanding 60%, yakni sebesar 4,88%. Kondisi susut kering tersebut, bahkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kebanyakan susut kering tanah pada umumnya, yakni paling sedikit 8% -12 %. Terkait dengan pengujian susut kering ini perlu disampaikan juga bahwa proses pengeringan sampel lumpur Lapindo memerlukan waktu yang cukup lama (lebih dari 5 hari) pada suhu kamar. Hal ini kemungkinan disebabkan kotoran kandungan minyak pada sampel dan mineral pemlastis dengan kandungan tinggi. Sementara itu, untuk hasil pengukuran susut bakar untuk formula perbandingan campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi 40% dan 60%, masing-masing suhu dan ukuran penyusutannya, adalah: 900°C (5,8%); 1000°C (6,96%); 1100°C (8,28%); dan 1200°C (11,4%). Sebagaimana diketahui secara teoretis, bahwa ambang batas penyusutan tanah liat untuk bisa dibuat keramik seni adalah 13% sampai dengan 24%. Pengujian Vitrifikasi Dari hasil penelitian dapat diungkapkan bahwa suhu kematangan tanah liat hasil campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi, jika hendak dibuat keramik seni jenis earthenware tanpa glasir sebaiknya dibakar pada suhu 900°C, sementara untuk yang memakai glasir bakaran rendah, idealnya dibakar dengan suhu 1100°C. Kemudian, jika hendak dibuat formula keramik seni jenis stoneware, sebaiknya dibakar pada suhu sekitar 1200°C. 608 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pengujian Porositas Berdasarkan data hasil pengukuran porositas tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi masing-masing pada suhu 900°C, 1000°C, 1100°C, dan 1200°C, dapat diungkapkan bahwa penyusutannya sebesar: 10,66%, 8,99%, 6,00%, dan 2,89%; yang artinya keseluruhan penyusutan tanah tersebut, masih termasuk dalam kategori ambang batas porositas ideal yang dipersyaratkan. Berdasarkan hasil analisis dan ujin coba pengolahan bahan baku lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut. 1. Campuran pada berbagai komposisi mempunyai kecenderungan plastis, sehingga mampu dibentuk produk. 2. Benda yang dibuat dengan lumpur Lapindo murni cenderung pecah dan rusak, baik saat pengeringan maupun pembakaran hingga 1000°C. 3. Penambahan abu atau pasir Gunung Merapi mulai 30%, menjadikan benda lebih tahan terhadap suhu tinggi dan tidak rusak. 4. Penambahan abu atau pasir Gunung Merapi sampai 60% menjadikan benda lebih tahan pada suhu tinggi dan menghindarkan kerusakan (penggelembungan) benda uji pada suhu tinggi. 5. Tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi dapat dibuat produk dengan metode teknik putar, cetak padat, dan handbuilding, tetapi tidak dapat dibuat dengan dengan teknik cetak tuang (casting), dengan penyebab yang belum dapat ditemukan. 6. Sifat lumpur lapindo sangat plastis, menyebabkan penambahan unsur pengikat (binder) dari tanah liat yang lain kurang diperlukan. 7. Komposisi ideal dari campuran adalah lumpur Lapindo dengan abu Gunung Merapi dalam formula 50-60%. 8. Benda dengan campuran abu Gunung Merapi lebih dari 30%, mampu dibakar biskuit, diglasir, dan diglasir, menghasilkan produk keramik berglasir. 9. Pembakaran biskuti kategori bakaran rendah, idealnya adalah 800-900°C. Pada pembakaran 900°C, benda sudah cenderung padata (dense), sehingga glasir tipe bakaran rendah tidak maksimal terserap. Sementara itu untuk suhu bakar tinggi yang ideal adalah 1200°C. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, baik yang sifatnya analisis data kuantitatif maunpun kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi dapat difungsikan sebagai bahan baku untuk pembuatan keramik seni dengan kompisisi minimal 70% lumpur Lapindo dan 30% abu Gunung Merapi. Namun campuran yang ideal adalah formula lumpur Lapindo 60% dan abu Gunung Merapi 40%). Tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi tersebut, dapat dibuat keramik seni multiteknik, baik yang berbasis earthenware maupun stoneware, dengan kualitas yang sama baiknya, bahkan sangat mungkin potensial untuk dibuat menjadi porselin. Hal ini terutama jika didasarkan pada salah satu item penting hasil dari pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian ini, yakni terkait dengan kadar porositasnya. Sebagaimana diketahui, porositas untuk jenis tanah liat earthenware memiliki penyerapan air sebesar 4 persen sampai 10 persen, 609 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sementara hasil temuan penelitian ini, kadar porositas dari suhu pembakaran antara 900°C-1100°C, ditemukan porositasnya sebesar antara 6-11%. Sementara itu, untuk kategori stoneware porositas idealnya adalah antara 1-6%, serta porselin maksimal 3%; sementara itu hasil temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dengan abu Gunung Merapi ini, mempunyai kadar porositas untuk suhu 1200°C, dapat dikatakan sangat rendah, yakni 2-4%. Untuk menghasilkan kategori keramik earthenware dengan kualitas yang baik, bahan baku hasil pengembangan campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi ini, bisa dibakar mulai dari 900°C sampai maksimal 1100°C. Sementara itu, untuk dibuat keramik dengan suhu bakaran tinggi (stoneware) bahan baku ini, akan berhasil dengan baik, jika dibakar mulai dari 1200°C sampai dengan sekitar 1300-an derajat Celcius. Bahan baku tanah liat hasil pengolahan antara campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi ini, secara prinsip dapat dibuat benda keramik seni dengan berbagai teknik, yakni: putar, handbuilding, dan cetak padat. Hanya satu keteknikan yang tidak bisa dibuat dari bahan baku ini, yakni teknik cetak tuang (casting), yang dalam hal ini faktror penyebabnya belum ditemukan secara pasti dan spesifik. Tanah liat hasil campuran lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi ini, jika hendak dibuat keramik seni jenis earthenware tanpa glasir sebaiknya dibakar antara suhu 800°C-900°C, sementara untuk yang memakai glasir bakaran rendah, idealnya dibakar dengan suhu 1100°C. Kemudian jika hendak dibuat formula keramik seni jenis stoneware, sebaiknya dibakar pada suhu sekitar 1200°C-1300°C, yang tentunya juga memakai glasir tertentu untuk dipakai khas jenis bakaran tinggi. Tanah liat hasil campuran antara lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi ini, belum diketahui sampai berapa titik kekuatan suhu bakar tertingginya. Lampiran Proses dan Produk Pengembangan (Dokumentasi Kasiyan, April-September 2011) Gambar 1. Proses Pengeringan Lumpur Lapindo. Gambar 2. Proses Penumbukan Lumpur Lapindo. 610 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 3. Proses Penyaringan Lumpur Lapindo Gambar 4. Proses Penimbangan Komposisi Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi. Gambar 5. Proses Pembuatan Adonan Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi. Gambar 6. Proses Pembuatan Tile Uji Campuran Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi. Gambar 7. Contoh Tile Uji Campuran Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi yang Siap Dikeringkan. Gambar 8. Contoh Tile Uji Campuran Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi yang Selesai Dibakar. 611 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 9. Hasil Pengulian Adonan Lumpur Lapindo dan Abu Gunung Merapi Yang Siap untuk Dibuat Prototype Produk. Gambar 10. Proses Pembuatan Prototype Produk Gambar 11. Prototype Produk yang Siap Dikeringkan. Gambar 12. Prototype Produk yang sudah Selesai Dibakar. Gambar 13. Contoh Prototype Produk Bakaran Rendah Selesai Dibakar. Gambar 14. Proses Pengglasiran Prototype Produk. 612 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 15. Contoh Prototype Produk Bakaran Tinggi dengan Diglasir. Gambar 16. Contoh Prototype Produk Bakaran Tinggi dengan Diglasir. Daftar Pustaka Alexander, Brian. 2001. Kamus Keramik. Jakarta: Milenia Populer. Amber, Shay. 2008. Ceramics for Beginners: Hand Building. New York: Sterling Publishing Company, Inc. Astuti, Ambar. 2008a. Keramik: Ilmu dan Proses Pembuatannya. Yogyakarta: Arindo Nusa Media. __________. 2008b. Keramik: Bahan Cara Pngerjaan Gelasir. Yogyakarta: Arindo Nusa Media. Bengisu, Murat. 2001. Engineering ceramics. Verlag, Berlin Heidelberg: Springer. Burleson, Mark. 2003. The Ceramic Glaze Handbook: Materials, Techniques, Formulas. New York: Lark Books. McKee, Charles. 1984. Ceramic Handbook: A Guide to Glaze Calculation Material. California: Star Publishing Company. Conrad, John W. 1980. Contemporary Ceramic Formulas. New York: Macmillian Publishing, Co., Inc. Christy, Geraldine & Sara Pearch. 1991. Step by Step Arts School Ceramics. Hongkong: Mandarain Offset. Cosentino, Peter. 1993. The Encyclopedia of Pottery Techniques. London: Hedline Book Publishing PLC. De Wall, Edmund. 1999. New Ceramic Design. London: New Holland Publisher, Ltd. Gall, Meredith D., Joyce P. Gall, and Walter R. Borg. 2003. Educational Research: An Introduction. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc. Harper, Charles A. 2001. Handbook of Ceramics, Glasses, and Diamonds. United Stated of America: McGraw-Hill Professional. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohindi Rohidi. Jakarta: Indonesia University Press. 613 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Cetakan Keduapuluh Satu. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Rawson, Philip S. 1984. Ceramics. London: Oxord University Press. Reason, Emily. 2010. Ceramics for Beginners: Wheel Throwing. New York: Sterling Publishing Company, Inc. Sugiyono dan Sukirman DS. 1980. Penuntun Praktek Kerajinan Keramik. Jakarta: Bagian Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Teknologi Kerumahtanggan dan Kejuruan Masyarakat. Triplett, Kathy. 2000. Handbuilt Ceramics: Pinching, Coiling, Extruding, Molding, Slip Casting, Slab Work. New York: Lark Books. 614 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta KRITERIA DESAIN PEMBELAJARAN E-LEARNING SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Moch. Bruri Triyono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penerapan desain pembelajaran pada pembelajaran e learning di Sekolah Menengah Kejuruan masih jarang dilaksanakan. Berbagai kendala termasuk pemahaman yang kurang terhadap pentingnya suatu desain sebelum mengembangkan RPP menyebabkan tujuan pembelajaran dengan e learning kurang memuaskan. Pemilihan kriteria desain pembelajaran dari berbagai model yang ada menjadi hal yang pertama sebagai rangkaian penerapan desain pembelajaran itu sendiri. Kesesuaian kriteria terhadap karakteristik pembelajaran dengan e learning akan memudahkan penentuan indikator yang dibutuhkan untuk melengkapi desain pembelajaran tersebut. Untuk hal tersebut perlu diteliti model kriteria desain pembelajaran seperti apa yang sesuai dengan pembelajaran e learning di SMK. Penelitian ini termasuk penelitian riset dan pengembangan (R & D), yang mengkaji dan mengembangkan kriteria model pembelajaran e-learning di SMK beserta indikatornya. Responden yang dilibatkan dalam FGD adalah 5 pakar media pembelajaran dari perguruan tinggi dan 5 pakar dari profesi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sementara itu, responden uji coba adalah 20 guru SMK dan 165 siswa SMK. Hasil penelitian merupakan kriteria model pembelajaran e learning adaptasi dari System Instractional Design dari Leslin Polock, dengan empat aspek utama yaitu; 1)analisis kebutuhan, 2)seleksi dan urutan kompetensi, 3)pengembangan pembelajaran, dan 4)evaluasi pembelajaran. Penentuan kriteria yang mencakup isi setiap aspek memudahkan para guru untuk memandu membuat desain pembelajaran e learning. Kata Kunci : Desain Pembelajaran E Learning SMK Pendahuluan Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan terutama perkembangan dunia pendidikan. Pengaruh perkembangan dalam dunia pendidikan terlihat jelas dalam upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan melalui kualitas pembelajaran. Salah satu upaya peningkatan kualitas pembelajaran adalah pemanfaatan media pembelajaran. Berlangsungnya proses pembelajaran tidak lagi mutlak bergantung pada tersedianya narasumber, tempat, dan waktu belajar, akan tetapi tersedianya berbagai macam media, baik berupa perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) telah memungkinkan proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan kebutuhan siswa menggunakan media komunikasi seperti telepon, komputer dengan jaringan internet, chat, e-mail, dan sebagainya. Melalui pembelajaran berbasis web atau e-learning memungkinkan terwujudnya edutainment. E-learning sudah menjadi trend bagi lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan pada era teknologi informasi sekarang ini. Hal ini dibuktikan oleh Pulichio (2006:3) dalam penelitian tentang e-learning bertajuk Directions in learning research learning 2006 yang menyatakan, bahwa mayoritas responden (55%) pengguna e-learning adalah lembaga pelatihan atau pendidikan. Berdasarkan pengamatan dari berbagai e-learning yang ada di internet, implementasi sistem e-learning bervariasi dari; (1) sekedar kumpulan bahan pembelajaran yang ditaruh di web server, (2) 615 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sekedar hanya memasukan materi (upload) yang dapat diambil (di-download) oleh peserta didik, (3) ada juga yang hanya sebagai forum chat/milis dengan topik-topik diskusi, (4) tetapi beberapa yang lebih baik yaitu dengan diperkaya dengan multimedia serta dipadukan dengan sistem informasi akademik, dan (5) ada yang lebih lengkap dengan sistem informasi akademik, evaluasi, komunikasi, diskusi dan berbagai educational tools lainnya. Berdasarkan hasil observasi awal tentang penggunaan jaringan internet untuk pembelajaran di beberapa SMK, secara umum kondisi jaringan internet untuk pembelajaran masih kurang terutama dalam hal pemanfaatan e learning, desain pembelajaran, kepemilikan web, update web, bandwidth, dan ketertarikan siswa pada penggunaan computer pembelajaran. Untuk meningkatkan dan memudahkan pemanfaatan jaringan internet, diperlukan suatu model desain pembelajaran e learning yang dapat digunakan untuk pembelajaran berbagai mata diklat di SMK. Desain pembelajaran e learning tersebut berupa panduan merencanakan pembelajaran dengan memanfaatkan e learning. Membuat panduan desain pembelajaran e learning memerlukan penentuan kriteria model beserta indikator yang akan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran e learning di SMK. Pemanfaatan Teknologi Informasi Layanan informasi diberbagai aspek sangat tergantung pada pemanfatan teknologi informasi (IT). Dukungan teknologi tersebut berpengaruh terhadap pesatnya perkembangan Teknologi Informasi (TI) khususnya internet untuk pembelajaran di dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, pemanfaatan IT diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut Electronic Learning (E-learning). Pengembangan E-learning bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga sekolah dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada warga sekolah secara langsung selama yang bersangkutan ada di dalam maupun di luar sekolah melalui jaringan internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu dengan menyediakan materi pelajaran secara online dan materi pelajaran tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan. Teknologi Informasi dan Komunikasi mempunyai pengertian luas yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses komunikasi informasi, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi dan pengolahan informasi (Pustekkom, 2006). Dalam dunia pendidikan, keberadaan sistem informasi dan komunikasi merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan. Beberapa komponen yang diperlukan untuk menjalankan operasional pendidikan antara lain; siswa, sarana dan prasarana, struktur organisasi, proses, tenaga pendidik, dan biaya operasi. Produk informasi dari suatu sistem komunikasi dan informasi digunakan untuk mengetahui kendala maupun keberhasilan suatu kegiatan, hal ini sesuai dengan Pustekom (2006), Sistem komunikasi dan informasi terdiri dari komponen–komponen pendukung lembaga pendidikan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan saat melakukan aktivitas pendidikan. Selain itu, pemanfatan internet di bidang pendidikan khususnya untuk pembelajaran tidak lepas dari beberapa kendala yang sulit untuk dihindari, akan tetapi harus dipertimbangkan dalam pengembangannya. Beberapa kendala tersebut adalah: a. Proses pendidikan memerlukan waktu tenggang yang cukup lama. Setidak-tidaknya seseorang dituntut untuk mengikuti pendidikan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 616 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Dalam pendidikan itu berlaku prinsip “irreversibilitas” c. Tantangan yang kita hadapi di masa depan cenderung berkembang semakin kompleks, yang ditandai dengan semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai akibat dari arus globalisasi yang semakin terbuka. Pemanfaatan teknologi informasi di bidang pendidikan dikenal dengan istilah informasi pendidikan. Andrew dan Haythornthwaite (2007:29) menyatakan bahwa informasi pendidikan merupakan penerapan teknologi digital yang digunakan untuk komunikasi informasi di pembelajaran dan pendidikan. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemanfatan teknologi informasi di dunia pendidikan tidak mungkin lepas dari perkembangan teknologi digital. Kecepatan perkembangan teknologi digital sudah seharusnya diikuti dengan penguasaan pengguna dalam hal ini tenaga pendidik untuk memahami dan memanfatakan berbagai sistem maupun software yang dibuat untuk memudahkan interaksi dalam pembelajaran. Kriteria Desain Pembelajaran E-learning Menerapkan e learning sebagai model pembelajaran memerlukan pemahaman tentang memilih dan menentukan desain pembelajaran yang sesuai. Agar pilihan dan penentuan sesuai dengan tujuan pembelajaran, diperlukan suatu kriteria. Kriteria merupakan batasan suatu kegiatan atau sistem yang dapat menjadi pedoman dan memudahkan pengguna untuk mengetahui sejauh mana kegiatan tersebut telah tercapai. Kriteria desain pembelajaran e learning tidak lepas dari model pengembangan pembelajaran yang umum digunakan. 1. Model pengembangan desain pembelajaran Dick and Carrey Pengembangan pembelajaran menurut AECT (1977:56) merupakan suatu pendekatan yang sistematik dalam merancang, memproduksi, mengevaluasi, dan menggunakan sistem pembelajaran yang lengkap, termasuk semua komponen yang sesuai dan suatu pola pengelolaan untuk pemanfaatan ke semuanya itu. Dick dan Carrey (1986:1) menggambarkan model pengembangan pembelajaran dengan pendekatan sistem untuk desain instruksional sebagaimana diagram berikut ini: Gambar 2: model pengembangan pembelajaran dengan pendekatan sistem untuk desain instruksional menurut Dick and Carrey (1986) Dari model pengembangan pembelajaran menurut Dick dan Carrey, kegiatan pengembangan pembelajaran yang menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain: mengidentifikasi sasasan, 617 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menentukan tujuan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran, pengembangan materi, dan menentukan evaluasi pembelajaran. 2. Pengembangan desain pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan vokasi pada umumnya mengarah pada pembelajaran praktik di pendidikan vokasi, sedangkan pembelajaran yang bersifat teori dapat menggunakan desain instruksional pada sekolah umum. Pendekatan tersebut diusahakan berdasarkan informasi terbaru hasil observasi dan wawancara dengan pakar bidang pendidikan kejuruan dan media pembelajaran, pakar bidang keahlian di industri baik yang bersifat teknologi maupun jasa dan sebidang dengan kualifikasi pada bidang keahlian pendidikan vokasi. Tujuh kegiatan proses sistem desain instruksional dari Leshin C.B, Pollock J, dan Reigeluth CM (1994). Dari ketujuh sub kegiatan ini, selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi empat kegiatan, yaitu; analisis kebutuhan, seleksi dan urutan isi pelajaran, pengembangan pelajaran, dan evaluasi instruksional. Masing-masing kegiatan akan membahas tentang sub kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan Gambar 3. 3. Step 1 Step 3 Step 5 Step 7 Analyze Problem Analyze & Sequence Task Step 4 Specify Learning Events & Activities Step 6 Evaluate Instruction Step 2 Analyze Domains Analyze & Sequence Supporting Conent Perform Interactive Message Design Gambar 3: Model desain pembelajaran berdasarkan konsep Leshin, Cynthia B: 1999 4. Model pengembangan desain produk multimedia Model-model pengembangan produk multimedia interaktif antara lain model pengembangan menurut Rob Philips (1997:38) meliputi proses desain, produksi, evaluasi, dan implementasi serta perawatan. Gambar 4. model pengembangan desain produk multimedia menurut Rob Philips (1997) Model pengembangan produk multimedia lainnya dikemukakan oleh W. Lee dan Owens (2004:161) meliputi lima tahapan yaitu: tahap analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. 618 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 5: Model pengembangan produk multimedia menurut W.Lee & Owens (2004) 5. Model Desain dan Pengembangan Pembelajaran Trollip dan Alesi (2001:410) Desain pembelajaran ini mempunyai tiga aspek, standards, ongoing evaluation, dan project management. Isi dari ketiga aspek tersebut berupa tiga sub aspek yaitu planning, design, dan development. Indikator yang melingkupi ketiga sub aspek tersebut antara lain; indentifikasi karakteristik siswa, menentukan kendala yang mungkin terjadi, biaya pelaksanaan, produk dokumen pembelajaran, kompetensi setelah belajar, pengembangan ide produk, penyiapan model atau produk, ujicoba, revisi, desiminasi. Berdasarkan kajian berbagai model desain tersebut, kondisi yang memungkinkan untuk penerapan di mata diklat atau mata pelajaran khusunya produktif merupakan kombinasi antara desain Leslin J Polock dan Trolip. Bentuk desain pembelajaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Analisis Kebutuhan Seleksi dan Urutan Kompetensi Pengembangan Pelajaran Evaluasi Instruksional Bidang Keahlian Analisis Kompetensi Strategi Instruksional Kinerja Instruksional Peserta Didik Menentukan Indikator Kompetensi Bahan Formatif Sumatif Ajar Gambar 6. Kriteria Model yang Dikembangkan Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian Research & Development (R&D) yang dilakukan selama tiga (3) tahun. Tahun pertama, mengkaji dan mengembangkan kriteria model pembelajaran elearning di SMK, menyelenggarakan FGD untuk membahas hasil draf kriteria, melakukan uji coba, merevisi draf kriteria. Tahun kedua, mengembangkan panduan model pembelajaran e-learning di 619 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta SMK yang telah dikembangkan, menyelenggarakan FGD untuk membahas draf panduan, melakukan uji coba, dan merevisi draf panduan. Tahun ketiga, diseminasi draf model pembelajaran e-learning di SMK. Metode pengumpulan data tahun pertama penelitian ini adalah diskusi wawancara, pengisian angket, dan penjawaban instrumen. Pada saat Focus Group Discussion (FGD), para pakar diberi draf kriteria dan instrumen, kemudian diminta untuk mendiskusikan. sedangkan peneliti menjadi moderatornya. Peserta FGD ini adalah 5 para pakar ahli media pembelajaran dari perguruan tinggi dan 5 pakar ahli teknologi informasi dan komunikasi. Hasil Penelitian Merencanakan suatu pembelajaran memerlukan berbagai pertimbangan baik tinjauan secara internal maupun eksternal. Perencanaan memerlukan konsep yang dapat diikuti dan dilaksanakan sesuai tujuannya. Konsep sebagai acuan yang akan dikembangkan mengacu pada salah satu model desain yang mendekati pembelajaran untuk pendidikan vokasi. Salah satu yang mendekati kesesuaian dengan pembelajaran di SMK khususnya tentang pemanfaatan e learning adalah konsep dari Leshin C.B, Pollock J, dan Reigeluth CM (1994). Berdasarkan observasi, diskusi dan studi literatur ditentukan empat aspek yang mendasari desain pembelajaran. Analisis Kebutuhan Seleksi dan Urutan Kompetensi Pengembangan Pembelajaran Evaluasi Pembelajaran Gambar 6 : Kriteria desain pembelajaran Berdasarkan empat aspek yang dikembangkan dalam model desain pembelajaran e learning, ditentukan sub aspek yang diperlukan untuk memenuhi kriteria keempat aspek tersebut, sehingga tampak kelengkapannya. Kriteria desain pembelajaran lengkap memerlukan indikator yang dapat memudahkan penerapan di lapangan atau digunakan. Indikator di setiap sub aspek ditentukan melalui kelompok diskusi peneliti, mahasiswa pascasarjana Pendidikan Teknologi Kejuruan konsentrasi ICT dan kajian referensi tentang pembelajaran e learning. Melalui Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh 5 pakar/dosen ICT dan 5 guru SMK dibidang pembelajaran e learning, dihasilkan indikator yang yang lebih mendekati kebutuhan setiap aspek utama dalam kriteria model desain pembelajaran e learning SMK. 1. Aspek Utama Analisis Kebutuhan No Indikator Bidang Keahlian No Indikator Peserta Didik 1. Kebutuhan dunia industry 1. Latar belakang (eksosbud) 2. Perkembangan ICT 2. Ketersediaan sarpras ICT di rumah 3. Kurikulum 3. Kemudahan akses internet 4. Fasilitas sekolah 4. Kemampuan dasar penggunaan ICT 5. Prospek pembelajaran ICT 5. Minat belajar menggunakan ICT 6. Efisiensi pembelajaran 6. Motivasi belajar menggunakan ICT 620 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Aspek Utama Seleksi Dan Urutan Kompetensi No Analisis Kompetensi No Kompetensi keahlian 1 1 2 3 4 5 6 7 8 Standar kompetensi Kompetensi dasar Standar kelulusan nasional Tujuan pembelajaran Pengelompokan berdasarkan kategori 2 3 4 5 Pembagian sub kompetensi Kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik 7 6 3. Aspek Utama Pengembangan Pembelajaran No Indikator Strategi Instruksional 1 Insfrastruktur yang memadai 2 Akses intranet / internet di dalam lingkungan belajar 3 Model pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa 4 Menerapkan pembelajaran interaktif 5 6 7 8 9 10 11 No 1 2 Menentukan Kompetensi Indikator Mampu mengidentifikasi suatu masalah atau gejala Dapat mendefinisikan suatu proses Pemahaman terhadap materi kompetensi Dapat menggunakan peralatan Kesesuaian indikator dengan kompetensi Pelaksanaan sesuai Standar Operasional Prosedur Identifikasi permasalahan Indikator Bahan Ajar Materi mudah diakses Materi mudah diperbaharui/ up to date 3 Relevan dengan tujuan pembelajaran 4 Tersedia materi dari internet yang di download tiap waktu Tersedia hand book dan glossary dalam pembelajaran e-learning Ketepatan pemilihan bahan ajar terhadap peserta didik Bahan ajar yang efektif sesuai tuntutan indikator kompetensi Bahan ajar yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi Bahan ajar dikelompokan berdasarkan kategori Media yang menumbuhkan motivasi belajar dan kreatifitas siswa Bahan ajar mendorong siswa aktif belajar Rancangan interaksi antar siswa, guru, dan materi pembelajaran Tahapan kegiatan belajar mengajar elearning Perencanaan Program Pembelajaran 5 Kesesuaian perancangan, materi, dan karakteristik pembelajaran e-learning Tersedianya perangkat lunak dan keras dalam e-learning Penggunaan waktu pembelajaran yang fleksibel (akses kapanpun) Penugasan mandiri (tugas terstruktur) berbasis web 8 6 7 9 10 11 12 13 621 Materi disusun secara sistematis, tercipta lingkungan siswa belajar. Disusun berdasarkan pola belajar fleksibel Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 4. Aspek Utama Evaluasi Pembelajaran No Indikator Kinerja Instruksional 1 Penggunaan waktu sesuai RPP 2 Mengembangkan kompetensi sesuai dengan tuntutan dunia industri 3 Menyampaikan materi sesuai dengan waktu dalam RPP 4 Melakukan Kedisiplinan dalam segala bidang kompetensi keahlian 5 Bertanggungjawab dalam proses pembelajaran 6 Bersikap baik dalam melaksanakan tugas 7 Keaktifan peserta bertanya dan mengemukakan pendapat 8 Menggunakan bahan ajar yang sesuai dengan KD 9 Melaksanakan model pembelajaran sesuai KD 10 Mencapai tujuan pembelajaran sesuai KD 11 Menilai kompetensi peserta didik sesuai KKM No 1 2 3 4 5 6 Indikator Formatif Sumatif Ujian TS memenuhi KKM Remedial bagi yang belum memenuhi standar KKM Melaksanakan UAS untuk menilai kemampuan peserta didik secara umum Ketuntasan minimal (KKM) mengacu ketercapaian kompetensi Tugas terstruktur dan tugas mandiri tidak terstruktur setiap KD Melaksanakan uji kompetensi setiap SK Pembahasan Hasil penentuan indikator untuk sub aspek bidang keahlian pada aspek utama Analisis Kebutuhan menunjukkan bahwa bidang keahlian membuthkan fasilitassekolah, melalui fasilitas sekolah yang baik dan lengkap menghasilkan pembelajaran yang baik sesuai dengan bidang keahliannya. Fasilitas tentunya harus sesuai dengan lingkup bidang keahliannya, termasuk ketersediaan fasilitas pendukung operasional e learning. Indikator perkembangan ICT merupakan kebutuhan kedua setelah fasilitas. Pembelajaran e learning tidak mungkin berhasil dengan baik apabila perkembangan ICT yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer dan jaringan internet tidak mendukung bahkan tidak tersedia. Kebutuhan bidang keahlian dikaitkan dengan kebutuhan peserta didik merupakan dua kepentingan yang berbeda akan tetapi menjadi dasar suatu kegiatan belajar mengajar, maka minat belajar ICT merupakan kebutuhan utama. Minat menurut teori belajar merupakan salah satu variabel instrinsik yang diperlukan untuk keberhasilan belajar peserta didik. Sebaik apapun suatu desain pembelajaran bahkan ketersediaan saran prasarana yang lengkap apabila minat peserta didik kurang bahkan tidak berminat maka proses belajar mengajar tidak akan berhasil. Aspek utama seleksi dan urutan kompetensi menunjukkan bahwa indikator tujuan pembelajaran merupakan dasar utama untuk menganalisis kompetensi bidang keahlian yang menggunakan e learning sebagai media pembelajarannya. Melalui tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur akan memudahkan peserta didik mengetahui dan menguasai kompetensi bidang keahlian yang diajarkan. Bila dihubungkan dengan indikator kompetensi maka indikator dapat menggunakan peralatan merupakan indikator paling penting. Kompetensi pada pendidikan vokasi 622 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sebagian besar selalu dikaitkan dengan ranah keterampilan phisik. Keterampilan phisik berkaitan dengan penggunaan peralatan. Bagaimana menggunakan peralatan dengan baik dan benar merupakan ukuran utama dalam penilaian kinerja, hal ini menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran harus dapat dijabarkan dalam penilaian kinerjanya. Kepentingan indikator akses intranet/internet sebagai hal utama yang dibutuhkan dalam aspek utama pengembangan pembelajaran sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan e learning dalam pembelajaran. Kemudahan akses tersebut akan memudahkan perencanaan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didik dan kompetensi yang dipersyaratkan untuk dikuasai. Kunci utama pembelajaran dengan e learning adalah jaringan intranet/internet yang mencukupi baik kualitas jaringannnaya maupun kapasitas memorinya. Secanggih apapun perangkat lunak maupun keras yang tersedia tidak akan berhasil untuk pembelajaran e learning apabila tidak tersedia jaringan internet. Bahan ajar sebagai kelengkapan e learning harus dipilih yang dapat meningkatkan aktifitas interaktif pendidik dan peserta didik. Bahan ajar yang bersifat informasi tanpa melibatkan aktifitas peserta didik akan membosankan dan kurang menarik. Interaktifiti bahan ajar dan mudah untuk diperbaharui sesuai dengan tingkat perkembangan teknologi akan mudah diserap oleh peserta didik. Cepatnya perubahan informasi di dunia maya akan cepat pula diserap oleh peserta didik apabila bahan ajar yang diberikan memberi peluang peserta didik untuk memberi respon dan beraktifitas langsung. Indikator yang tercermin dalam aspek utama ini adalah pembelajaran interaktif yang didukung oleh kemudahan peserta didik untuk akses internet tanpa ada batasan ruang dan waktu. Evaluasi kinerja instruksional bertujuan untuk menjaga arah desain pembelajaran e learning sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Seluruh aktifitas yang direncanakan dalam desain pembelajaran harus dapat dipertangungjawabkan dan dilaksanakan dengan disiplin. Selain itu, dalam evaluasi ini dibutuhkan informasi keterkaitan sekolah dengan industri / jasa. Sedangkan untuk evaluasi formatif/sumatif indikator utama yang paling dipentngkan adalah melaksanakan remidial bagi peserta didik yang belum memenuhi standar KKM. Simpulan - Desain pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran di SMK adalah model desain pembelajaran yang mempunyai empat aspek utama yaitu aspek analisis kebutuhan, seleksi dan urutan kompetensi, pengembangan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. - Indikator yang berkaitan dengan sub aspek desain pembelajaran ditentukan berdasarkan urutan kepentingan hasil dari eksplorasi, observasi, FGD dan ujicoba untuk menentukan indikator yang paling dibutuhkan. Indikator yang telah ditentukan sebagai dasar untuk mengembangkan panduan desain pembelajaran e learning SMK yang akan dilaksanakan pada tahun kedua rangkaian penelitian ini. - 623 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka AECT. (1977). The Definition Of Educational Technology. Washington D.C. Association for Educational Communication and Technology. Alessi, Stephen M. & Trollip, Stanley R. (2001). Multimedia for Learning, methods and development (3rd Ed.). Massachusetts: Allyn & Bacon Borg, Walter. R. & Gall, M., D. (1983). Educational Research: An Introduction (4th ed.). New York & London: Logman. Criswell, E. L. (1989). The Design Of Computer-Based Instruction. New York: Macmillan Publishing Compani. Dick, W. & Carey, L. (1990). The Systematic Design Of Instruction (3rd ed.). Glecview, Illinois: Scott, Foresman and Company. Hannafin, Michael J. 1988. The Design, Development and Evaluation of Instructional Software. New York: Macmillan Publishing Company Heinich, R. (et al.), (1996). Instructional Media And Technologies For Learning (5td ed.). Englewood cliffs, NJ: A Simon & Schuster Company. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. 2006. Penelitian Pengembangan dan Penerapan IPTEK Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Tahun 2005-2025. Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Lee, W.W. & Owen, D.L. (2004). Multimedia-Based Instructional Design. San Fransisco: Pfeiffer. Malcolm S. Knowles. The Modern Practise of Adult Education (From Pedagogy to Andragogy). 1980. Ed.Cambridge. New York: The adult education company Philips, Rob. 1997. The Developers Handbook to Interactive Multimedia (Practcal Guide for Educational Aplication) London: Kogan Page Richard Andrews and Caroline Haythornthwaite. 2007. The SAGE Handbook of E Learning Reseach. London: Sage Seel, B. B. & Rickey, R. C. (1994). Instructionl Technology The Definition And Domain Of The Field, Washington, D.C: Association for Education Communication and Technology. Seels, Barbara, & Richey, Rita, C. Tanpa tahun. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasanya. Terjemahan oleh Dewi S. Prawiradilaga, Raphael Rahardjo, Yusufhadi Miarso. 1994. Jakarta: Unit Percetakan Universitas Negeri Jakarta. Stephen M Alesi dan Stanley R Trollip. 2001. Multimedia for Learning. London: Allyn and Bacon Sulistyo. Dkk. 2001. Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pusat Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (P3TIE-BPPT). Diambil tanggal; 26 Maret 2008 dari http://www.dtie.bppt.go.id 624 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MAKALAH BIDANG PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN PENYUSUNAN MODEL SPORT EDUCATION SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI DI SEKOLAH Ermawan Susanto Fakultas Ilmu keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT This training aims at giving preview in the arrangement of sport education model for teachers to increase the quality of education. There are two approaches for activities method. First is theoretical approach which consists of material presentation, discussion, and question answer. Second one is practical approach which consists of the management of sport education model and the practical of sport competition. Each of approaches then was evaluated using learning program. The material presentation focuses on: theoretical and practical material about sport education model, model implementation, and model evaluation. The indication of training successfulness could be seen from (1) the high motivation of participants in following it, also from (2) the new science and skill about sport education model, (3) the high number of participants who could make sport education model for physical education. The program of people service was going well and followed by 38 of participants in Pakem Region. This program was executed on Saturday, October 15, 2011 until Thursday, October 20, 2011, located in Teacher Job Group (KKG) Physical Education, Pakem, Sleman. Total time was 20 hours, consists of training time (10 hours) and monitoring (10 hours). Based on result discussion that was presented then there are some high light points: (1) there are 5 groups or 30 participants that success to make sport education model, and (2) there are 1 group or 5 participants that fails to make sport education model. Key Words: Sport education model, physical education, school. Pendahuluan Analisis Situasi Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan salah satu mata pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMA. Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC, 2000; Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998). Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan dan kesehatan siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and Laraine, 1994; Stran and Ruder 1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan, peningkatan kualitas dan efektivitas proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani selalu menjadi fokus perhatian semua pihak yang peduli terhadap pendidikan. Sejauh ini proses pembelajaran pendidikan jasmani masih berlangsung secara konservatif. Artinya pola pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered) dengan penyampaian 625 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta teknik-teknik dasar cabang olahraga yang terpisah dari permainan cabang olahraga tertentu. Sebaliknya model sport education berorientasi pada keterlibatan siswa secara langsung (student centered) dimana program pembelajarannya dikemas dalam bentuk kompetisi olahraga. Metode ini dipercaya mampu mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral yang baik, pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani. Berdasarkan observasi lapangan tentang pembelajaran pendidikan jasmani di beberapa sekolah baik SD, SMP maupun SMA, pembelajaran masih disampaikan secara terpisah antara teknik dasar olahraga dengan suasana permainan sebenarnya. Apabila melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan siswa serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Terlebih proses pembelajaran tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada siswa dalam berolahraga. Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif. Dengan kata lain bahwa kompetensi dasar dan standar kompetensi pendidikan jasmani di sekolah berorientasi pada pembelajaran gerak semata (motor learning). Berikut ini adalah ciri-ciri pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah yang selama ini diterapkan oleh guru, yang pengusul ambil selama survey awal di sekolah-sekolah di wilayah D.I. Yogyakarta selama tahun 2008-2009, antara lain: 1. Metode pembelajaran berorientasi pada Teacher Centered bukan Student Centered. 2. Menggunakan unit pembelajaran yang biasanya pendek. 3. Sangat sedikit menggunakan sistem kompetisi olahraga. 4. Minimnya unsur-unsur permainan dalam proses pembelajaran. 5. Nilai-nilai olahraga seperti nilai kompetisi, fair play, kerjasama kurang tampak. 6. Proses pembelajaran kurang menyenangkan bagi siswa dan cenderung monoton. Berdasarkan survey awal tentang tanggapan implementasi model sport education di sekolah, diketahui bahwa 60% guru mengatakan perlu, 20% guru mengatakan tidak perlu, dan 10% guru mengatakan ragu-ragu. Dalam sebuah penelitian tentang implementasi model sport education yang pernah pengusul lakukan pada matakuliah permainan bolatangan, diketahui bahwa partisipasi dan antusias mahasiswa dalam proses pembelajaran dalam kategori tinggi. Selain itu juga telah dihasilkan sebuah buku panduan tentang implementasi model sport education bagi mahasiswa. Model sport education memiliki tujuan untuk mendidik siswa menjadi pemain dalam arti sesungguhnya serta membantu mereka berkembang untuk menjadi olahragawan yang kompeten, bijaksana dan berpengetahuan, serta antusias. Model sport education menawarkan metode pembelajaran yang lebih lengkap dengan apa yang selama ini dilakukan oleh guru-guru pendidikan jasmani. Sebelumnya model sport education sudah dulu eksis di negara Amerika Serikat, yang diperkenalkan oleh Daryl Siedentop sejak tahun 1994. Salah satu bentuk model sport education di sekolah yang sukses dan telah mendapatkan apresiasi luar biasa dari pemerintah Indonesia adalah bergulirnya Kompetisi Bola Basket SMA seIndonesia (Honda DBL Jawa Pos Competition) yang terselenggara di seluruh daerah di Indonesia. Model sport education memiliki tujuan khusus antara lain untuk: 626 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Mengembangkan keterampilan dan kebugaran. Menghargai dan dapat melakukan permainan strategis dalam olahraga. Berperan serta secara layak sesuai dengan tahap perkembangannya. Berbagi peran dalam perencanaan dan administrasi program olahraga. Memberikan dan mengembangkan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Bekerja secara efektif dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Menghargai ritual dan konvensi keunikan makna dari setiap cabang olahraga. Mengembangkan dan menerapkan pengetahuan tentang perwasitan, penilaian dan pelatihan. Menurut Siedentop proses pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya tidak berlangsung secara lengkap, sehingga ketiga aspek pendidikan jasmani tidak tercapai dengan baik. Siswa cenderung memperoleh keterampilan olahraga melalui pengetahuan guru semata, sedangkan guru mengajarkan materi pendidikan jasmani berdasarkan silabus yang sudah ada. Oleh karena itu, Tim Pengabdian kepada Masyarakat Program Unggulan Berbasis Penelitian dari FIK UNY bermaksud untuk melaksanakan pelatihan penyusunan model sport education bagi guru pendidikan jasmani baik di tingkat SD, SMP dan SMA. PPM unggulan ini sesuai dengan hasil penelitian pendidikan yang pernah dilakukan pengusul dengan judul Pengembangan Model Sport Education pada Matakuliah Dasar Gerak Bolatangan, tahun 2009. 1. Model Sport Education Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain, 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Inspirasi yang melandasi adalah kenyataan bahwa pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran yang digunakan oleh guru dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain terlihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks pendidikan jasmani tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Pembelajaran pendidikan jasmani lebih sering diajarkan melalui teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya atau jika pun melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan siswa serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya dan yang lebih penting, tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada siswa dalam berolahraga. Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru. Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi. Berikut ini dijelaskan karakteristik tersebut: 627 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta a) b) c) d) e) f) Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua mahasiswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-seling dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak awal perkuliahan sehingga mahasiswa mengetahui waktunya secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri. Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pembelajaran permainan pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap mahasiswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang lepas dari konteksnya. Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun team. Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa. Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa proses pembelajaran pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga. 2. Perbedaan Sport Education dengan Sport Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles). a) Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua mahasiswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jumlah team dan anggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Sistem gugur sedapat mungkin dihindari. (2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didominasi oleh siswa yang sudah terampil. (3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa 628 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tidak hanya untuk mahasiswa atau team yang paling baik. (4) Semua siswa (tidak hanya yang berbakat) mendapat kesempatan yang sama pada semua peran baik sebagai pemain, wasit, pemimpin, dan anggota team. b) Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement). Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada keenam karakteristik sport education tersebut di atas. Modifikasi dapat dilakukan dari jumlah anggota team misal 1 lawan 1 hingga pada jumlah yang sesuai dengan kemampuan siswa, dari alat yang digunakan, demikian juga peraturannya dari mulai bisa mengatakan masuk atau keluar hingga pada peraturan yang sesuai dengan kemampuan siswa untuk dapat diterapkannya. c) Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa dapat belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. 3. Implementasi Model Sport Education Menurut Siedentop (1995) seperti model-model pembelajaran lain, model sport education dapat diimplementasikan secara baik atau sebaliknya. Keberhasilan dan kegagalan model ini bergantung kepada bagaimana para guru, implementasinya. Menurut Siedento et al (2004) terdapat beberapa petunjuk dan saran untuk membantu para guru memulai implementasi model sport education kemudian membangun keberhasilan pada pelaksanaannya. Jika para guru mencoba model sport education, maka mulailah dengan kemauan untuk berhasil melaksanakannya. Hal tersebut akan membuat perencanaan menjadi penting. Perencanaan pada percobaan awal harus memasukkan pertimbangan tentang olahraga yang dipilih, tingkat keterlibatan siswa, materi yang diperlukan untuk melaksanakannya secara mulus, serta strategi untuk menghasilkan atmosfir festival yang memotivasi siswa. Model sport education memerlukan partisipasi penuh dari para siswa. Sedangkan permasalahannya tetap klasik, yaitu bahwa waktu untuk pembelajaran sangat terbatas, padahal mahasiswa harus tetap memiliki pengalaman berhasil sebanyak mungkin. Oleh karena itu, cabang olahraga formal yang dilaksanakan dengan format sebenarnya harus dipertimbangkan akibatnya. Hampir semua cabang olahraga dapat dimodifikasi untuk membuatnya lebih bersifat tepat sesuai perkembangan (developmentally appropriate) serta memastikan adanya keterlibatan penuh dari siswa. Partisipasi di sini berarti benar-benar melaksanakan keterampilan dan terlibat dalam permainan strategis sebagai seorang anggota regu. Sudah bukan rahasia bahwa permainan yang dilakukan secara formal akan menyebabkan siswa yang terlibat dalam permainan tidak benar-benar berpartisipasi. Meskipun hakikat khusus dari setiap peran berbeda dari situasi ke situasi, berikut adalah tugas yang harus dijalankan oleh setiap peran tersebut: a) Pelatih atau kapten regu bertugas memimpin pemanasan, mengarahkan latihan keterampilan dan strategi, membantu membuat keputusan tentang susunan pemain, menyerahkan susunan 629 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b) c) d) e) f) g) h) i) pemain tadi kepada pengajar atau manajer, dan umumnya memberikan pengarahan untuk regunya sendiri. Asisten Pelatih atau kapten membantu kapten dan mengambil alih peranan mereka jika mereka tidak hadir. Wasit bertugas memimpin pertandingan, membuat keputusan tentang peraturan, dan secara umum menjaga agar pertandingan berlangsung tanpa gangguan. Pencatat nilai mencatat skor penampilan ketika hal itu terjadi, menjaga penghitungan yang masih berubah dari kompetisi yang masih berlangsung, mengumpulkan skor, dan menyerahkan hasil akhir kepada personel yang tepat (guru, manajer, atau statistisian). Statistisian mencatat data penampilan yang menojol, menggabungkannya ketika sudah tuntas, menyimpulkan keseluruhan kompetisi, dan menyerahkan data tersebut kepada pihak yang berwenang (guru, reporter, atau manajer). Reporter mengambil catatan dan statistik yang terkumpul dan mempublikasikannya. Publikasi ini diterbitkan melalui lembaran mingguan olahraga, koran sekolah, poster, atau newsletter khusus model sport education. Manajer sering digunakan untuk membedakan peran kepemimpinan dari pelatih dari tugas administratif suatu regu. Manajer bertugas menyerahkan formulir yang diperlukan, membantu menetapkan peranan yang tepat sebagai atlet, wasit, pencatat nilai, atau sejenisnya, dan secara umum menetapkan fungsi-fungsi administratif tentang tanggung jawab regu. Trainer bertanggung jawab untuk mengetahui cedera umum yang terkait dengan olahraga, mendapatkan akses pada tindakan pertolongan pertama, dan untuk melapor kepada pengajar tentang setiap masalah cedera selama latihan atau pertandingan. Meskipun mereka tidak harus memberikan pertolongan pertama tanpa pengawasan pengajar, mereka dapat membantu pengajar dalam pengadministrasian pertolongan pertama dalam dalam rehabilitasi berikutnya. Penyiar dapat memperkenalkan para pemain dan menjelaskan jalannya permainan yang sedang berlangsung selama pertandingan. 4. Program Evaluasi Contoh-contoh penilaian di bawah ini menggambarkan bagaimana sport education dinilai. Pengajar menggunakan daftar periksa (checklist) keterampilan untuk menetapkan tingkat kemampuan siswa dalam pertandingan. Daftar periksa tersebut dapat juga digunakan untuk tujuan penilaian. Daftar tersebut menunjukkan kemajuan dan penyelesaian yang berhasil dalam keterampilan yang relevan. Rangkaian itu merupakan jenis penampilan yang relevan untuk dinilai dalam sport education. Dalam beberapa model, tes tertulis tentang bagaimana memainkan dan mewasiti suatu cabang olahraga dapat juga digunakan. Dalam pembelajaran voli, siswa melakukan satu paket keterampilan setiap hari dengan dicatat oleh kapten regu penampilannya. Penampilan harian ini dikumpulkan dan disajikan sebagai sebuah penampilan semusim pertandingan. Kumpulan catatan juga memberikan informasi penilaian yang berguna. 630 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dalam model sport education yang memilih program peningkatan kebugaran (kekuatan), terdapat tantangan harian dan mingguan di samping catatan angkatan dalam seluruh musim. Data tersebut tentu akan dapat digunakan untuk tujuan penilaian. Catatan tersebut dapat digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan dan juga tingkat penampilan absolut siswa. Dalam model sport education, tujuan dari pembelajaran atau musim kompetisi dalam cabang olahraga tertentu disajikan bersama-sama dengan cara penilaiannya. Data dari hasil penilaian tersebut dikumpulkan sebagai satu bagian teratur dari siswa selama musim sport education. Metode Kegiatan PPM Khalayak Sasaran Kegiatan PPM Khalayak sasaran utama dari kegiatan ini diantaranya adalah guru pendidikan jasmani mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Jasmani atau Kelompok Kerja Guru (KKG) Pendidikan Jasmani di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Justifikasi pemilihan khalayak sasaran adalah lokasi pasca bencana alam erupsi gunung Merapi. Berikut daftar peserta : Tabel 1. Khalayak Sasaran Berdasarkan Tingkat Sekolah No Khalayak Jumlah Persentase 1 Guru Penjas SD/MI/sederajat 18 47% 2 Guru Penjas SMP/MTs/sederajat 12 31% 3 4 Guru Penjas SMA/MA/sederajat Mahasiswa 5 3 14% 8% Jumlah 38 100% Metode Kegiatan PPM Metode kegiatan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan teoritis yang terdiri dari pemaparan materi, diskusi, dan tanya jawab. Kedua, pendekatan praktik terdiri dari penyusunan model sport education dan praktek kompetisi olahraga. Masing-masing pendekatan di akhiri dengan evaluasi program pembelajaran. Materi yang disampaikan meliputi: penyampaian materi ceramah dan praktik tentang model sport education, implementasi model, dan penilaian model. Indikator keberhasilan ditandai dengan (1) tingginya motivasi peserta dalam mengikuti kegiatan, (2) dimilikinya pengetahuan dan keterampilan baru tentang model sport education pada pembelajaran pendidikan jasmani, dan (3) banyaknya jumlah peserta yang mampu membuat model sport education untuk dilaksanakan pada matapelajaran pendidikan jasmani di masing-masing sekolah. Langkah-langkah Kegiatan PPM Program kegiatan PPM ini akan berhasil jika semua pihak yang terkait mendukung dan mau bekerja sama dengan baik. Pihak yang mendukung program kegiatan ini adalah: 1) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Yogyakarta selaku pihak yang memberi mandat untuk melaksanakan tugas Program Pengabdian kepada Masyarakat. 2) Tim pelaksana kegiatan pengabdian kepada masyarakat program Unggulan Berbasis Penelitian yang mempunyai keahlian di bidang sport education pendidikan jasmani sebagai instruktur pelatihan. 631 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3) Kelompok Kerja Guru (KKG) Pendidikan Jasmani di Kecamatan Pakem selaku peserta pelatihan dan tuan rumah kegiatan. Faktor Pendukung dan Penghambat Faktor pendukung kegiatan PPM ini meliputi : a) Besarnya animo peserta yang mengikuti pelatihan yaitu terdapat 38 peserta. b) Adanya iklim pelatihan yang kondusif sehingga memungkinkan pelaksanaan PPM dapat berjalan dengan lancar, dan pemateri yang expert tentang sport education. c) Kerjasama dengan MGMP/KKG Penjas se Kecamatan Pakem yang harmonis sehingga memungkinkan pelatihan berjalan lancar dan sukses. Adapun faktor penghambat antara lain: a) Pengetahuan dan keterampilan mengelola pembelajaran pendidikan jasmani yang masih heterogen antara satu peserta dengan peserta yang lain. b) Belum optimalnya sosialisasi model sport education untuk pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. c) Belum terjalin kerjasama dengan lembaga tinggi dalam proses penataran kompetensi kependidikan bagi guru pendidikan jasmani. Pelaksanaan Kegiatan PPM 1. Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Secara umum pelaksanaan pelatihan ini berjalan lancar dan sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Sempat tertunda pelaksanaannya karena berbagai kegiatan akademis lain, akhirnya program PPM unggulan ini dapat terlaksana mulai hari Sabtu, 15 Oktober 2011 sampai dengan Kamis, 20 Oktober 2011. Lokasi Pengabdian di SDN Paraksari Pakembinangun Pakem Kab. Sleman. Total lama pengabdian 20 jam, terdiri dari pelatihan selama 8 jam dan monitoring/tugas mandiri selama 12 jam. Dari jumlah peserta yang kami undang sebanyak 35 peserta, ternyata mendapat respon positif dari masyarakat dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 38 orang. Meningkatnya jumlah peserta pelatihan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) adanya keingintahuan yang tinggi tentang model pembelajaran sport education yang ditandai banyaknya diskusi dalam proses pelatihan, (2) adanya program sertifikasi guru yang sangat memerlukan partisipasi pengabdian masyarakat dalam bentuk pelatihan-pelatihan, (3) guru pendidikan jasmani yang tidak banyak kegiatan pembelajaran di sekolah sehingga dapat meluangkan waktunya untuk mengikuti pelatihan, dan (4) optimalnya sosialisasi program PPM ini baik melalui leaflet, informasi lisan dan melalui situs jejaring sosial. Adapun perincian peserta adalah sebagai berikut: (1) guru pendidikan jasmani SD/MI sejumlah : 18 orang, (2) guru pendidikan jasmani SMP/MTS sejumlah 12 orang, (3) guru pendidikan jasmani SMA/MA sejumlah 5 orang, dan (4) mahasiswa prodi pendidikan jasmani : 3 orang. Berikut ini adalah rekapitulasi peserta kegiatan PPM unggulan sport education. Tabel 2. Rekapitulasi Peserta Berdasarkan Tingkat Sekolah No 1 2 3 4 Sekolah SD/MI SLTP SLTA/SMK Mahasiswa Jumlah Jumlah 18 12 5 3 38 632 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pemateri yang menyampaikan pelatihan terdiri dari 1 orang pakar di bidang sport education dan 3 orang ahli pembelajaran pendidikan jasmani, yaitu : 1. Dr. Dimyati, M.Si. (ahli sport education dan dosen Prodi PJKR UNY) Topik: Implementasi Model Sport Education di Sekolah 2. Drs. AM. Bandi Utama, M.Pd. (Dosen Prodi PJKR FIK UNY) Topik: Model-model Pembelajaran Pendidikan Jasmani 3. Ermawan Susanto, S.Pd., M.Pd. (Dosen Prodi PJKR FIK UNY) Topik: Penyusunan Silabi dan RPP Model Sport Education 4. Yudanto, S.Pd.Jas., M.Pd. (Dosen Prodi PJKR FIK UNY) Topik: Evaluasi dan Penilaian Sport Education Berdasarkan hasil diskusi dalam pelatihan yang disampaikan dapat ditarik beberapa catatan penting antara lain: a) Banyak peserta pelatihan yang antusias menerapkan pendekatan model sport education dengan bentuk kompetisi olahraga dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. b) Walaupun model ini masih baru namun sudah ada beberapa sekolah yang tanpa sengaja menggunakan model sport education secara sederhana. c) Keterbatasan prasarana dan sarana pendidikan jasmani di sekolah merupakan masalah umum sebagimana disampaikan oleh peserta pelatihan. d) Perangkat pembelajaran model sport education berupa silabus, RPP, dan format evaluasi dapat dikerjakan dengan baik oleh peserta pelatihan. Kegiatan berikutnya adalah kegiatan pelatihan penyusunan silabi, RPP, model pembelajaran sport education, dan penyusunan evaluasi hasil pembelajaran yang dikemas dalam bentuk tugas mandiri. Dalam proses pelatihan dilakukan pre-test untuk mengetahui kemampuan awal peserta terhadap pemahaman model sport education. Pre-test dilakukan dengan menjawab pertanyaan tertulis tentang model sport education. Berdasarkan hasil pretest diketahui terdapat 30 atau (85%) peserta yang belum mengetahui model sport education dan 8 atau (15%) peserta yang sudah mengetahui model sport education. Dalam proses penyusunan model sport education, panitia kegiatan PPM bersama-sama dengan peserta menyusun kelompok pelatihan. Pengelompokan ini dilakukan karena jumlah peserta yang heterogen terhadap pemahaman model sport education dan jumlah peserta yang banyak. Untuk itu dibuat menjadi 7 (tujuh) kelompok dan masing-masing kelompok berisi 5 orang peserta. Peserta dikelompokkan berdasarkan tingkat sekolah, untuk peserta dari guru penjas sekolah dasar maka dikelompokkan dengan peserta dari sekolah dasar pula. Berdasarkan hasil pelatihan penyusunan model sport education yang terdiri dari pembuatan silabus, RPP, dan model sport education, diperoleh hasil sebagai berikut: (1) terdapat 5 kelompok atau 30 orang peserta yang berhasil membuat model sport education, dan (2) terdapat 1 kelompok atau 5 orang peserta yang belum berhasil membuat model sport education. Dari ke-5 kelompok yang berhasil membuat model sport education, diperoleh hasil sebagai berikut: (1) terdapat 1 kelompok yang membuat model sport education cabang olahraga bola basket, (2) terdapat 1 kelompok yang membuat model sport education cabang olahraga bola voli, (3) terdapat 1 kelompok yang membuat model sport education cabang olahraga futsal, (4) terdapat 1 kelompok yang membuat model sport education cabang olahraga 633 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta atletik, (5) terdapat 1 kelompok yang membuat model sport education cabang olahraga senam. Berikut ini kelompok pelatihan penyusunan model sport education berdasarkan cabang olahraga yang dipilih: Tabel 4. Rekapitulasi Kelompok Berdasarkan Cabang Olahraga yang Dipilih No 1 2 3 4 5 6 Kelompok Kelompok 5 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 4 Kelompok 6 Cabang Olahraga Pilihan Bola Basket Futsal Bola Voli Senam Atletik Permainan & Kebugaran Keterangan Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Belum Berhasil 2. Pembahasan Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Pelaksanaan pelatihan penyusunan model sport education pada pembelajaran pendidikan jasmani memiliki arti yang strategis bagi banyak pihak seperti pihak peserta, pihak tim pengabdi, dan perguruan tinggi. Dikatakan demikian karena proses pembelajaran demikian memberi kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh pembelajaran pendidikan jasmani seperti dalam kompetisi olahraga. Sejauh ini proses pembelajaran pendidikan jasmani masih berlangsung secara konservatif. Artinya pola pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered) dengan penyampaian teknik-teknik dasar cabang olahraga yang terpisah dari permainan cabang olahraga tertentu. Sebaliknya model sport education berorientasi pada keterlibatan siswa secara langsung (student centered) dimana program pembelajarannya dikemas dalam bentuk kompetisi olahraga. Metode ini dipercaya mampu mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, stabilitas emosional melalui aktivitas jasmani terpilih. Berikut ini adalah ciri-ciri pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah yang selama ini diterapkan oleh guru, sebelum peserta mengikuti pelatihan sport education : a. Metode pembelajaran berorientasi pada Teacher Centered. b. Pelaksanaan pembelajaran mengajarkan teknik dan gerak dasar (basic movement) c. Mengembangkan ranah motorik, tetapi ranah afektif, kognitif, sosial terabaikan. d. Menggunakan unit pembelajaran yang biasanya pendek. e. Sangat sedikit menggunakan sistem kompetisi olahraga. f. Minimnya unsur-unsur permainan dalam proses pembelajaran. g. Nilai-nilai olahraga seperti nilai kompetisi, fair play, & kerjasama kurang tampak. h. Proses pembelajaran kurang menyenangkan bagi siswa dan cenderung monoton. Siedentop (1995) seperti model-model pembelajaran lain, model sport education dapat diimplementasikan secara baik atau sebaliknya. Keberhasilan dan kegagalan model ini bergantung kepada bagaimana para guru, mengimplementasikannya. Menurut Siedentop et al (2004) terdapat beberapa petunjuk dan saran untuk membantu para guru memulai implementasi model sport education kemudian membangun keberhasilan pada pelaksanaannya. 634 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Model sport education memerlukan partisipasi penuh dari para siswa. Sedangkan permasalahannya tetap klasik, yaitu bahwa waktu untuk pembelajaran sangat terbatas, padahal mahasiswa harus tetap memiliki pengalaman berhasil sebanyak mungkin. Oleh karena itu, cabang olahraga formal yang dilaksanakan dengan format sebenarnya harus dipertimbangkan akibatnya. Hampir semua cabang olahraga dapat dimodifikasi untuk membuatnya lebih bersifat tepat sesuai perkembangan (developmentally appropriate) serta memastikan adanya keterlibatan penuh dari siswa. Partisipasi di sini berarti benar-benar melaksanakan keterampilan dan terlibat dalam permainan strategis sebagai seorang anggota regu. Tabel 6. Ciri-ciri Pembelajaran Pendidikan Jasmani Model Sport Education Ciri-ciri Metode Pembelajaran Pelaksanaan Pembelajaran Persyaratan Partisipasi Tujuan Pembelajaran Penilaian Silabi dan RPP Peran siswa Peran guru Nilai-nilai olahraga (gembira, sedih, fair play) Waktu Pembelajaran Sarana Prasarana Penyampaian Teknik Model Pembelajaran Penjas Teacher Centered Mengajarkan teknik dasar Peran sama untuk siswa Ilmu dasar Penilaian dasar gerak Model pembelajaran dasar Sedikit Banyak Muncul sedikit nilai-nilai olahraga Unit pembelajaran pendek Menyesuaikan Terpisah dari permainan Model Sport Education Student Centered Kompetisi olahraga Sesuai dengan perkembangan Sifat olahragawan Penilaian otentik Model Sport Education Banyak Sedikit Banyak muncul nilai-nilai olahraga Musim kompetisi panjang Menyesuaikan Menjadi satu permainan Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kegiatan pelatihan tentang pelatihan penyusunan model sport education sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah, secara nyata mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Baik dari segi jumlah peserta yang melebihi kuota maupun dari antusiasme dalam mengikuti tahapan pelatihan. Model pelatihan seperti ini akan membawa suasana inovatif dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Model sport education merupakan terobosan baru dalam pembelajaran pendidikan jasmani dengan pendekatan kompetisi olahraga yang disukai peserta didik. Pelatihan sejenis yang berkelanjutan merupakan harapan banyak pihak terutama menyangkut aspek pembelajaran yang beroriantasi pada tujuan kebugaran jasmani siswa. Saran-saran 1. Perlunya proses pembelajaran pendidikan jasmani model sport education di sekolah-sekolah yang menitikberatkan pada penguasaan tiga ranah psikomotorik, kognisi dan afeksi melalui kompetisi olahraga. 635 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Perlunya optimalisasi kerjasama antara fakultas dengan instansi terkait (sekolah-sekolah) untuk mendukung kelancaran program pembelajaran pendidikan jasmani melalui model sport education. 3. Perlunya kerjasama dengan lembaga tinggi dalam proses penataran/penyetaraan. Ucapan Terima Kasih 1. Kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pengabdian pada masyarakat. 2. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Pemberi Bantuan Dana Dibiayai oleh Dana DIPA UNY Kode Kegiatan 2014.09 AKUN 521119 Tahun Anggaran 2011 Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Program Kegiatan Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PPM) UNGGULAN Nomor: 235/UN.34.22/PM/2011, tanggal 15 april 201, Universitas Negeri Yogyakarta, Kementerian Pendidikan Nasional. Daftar Pustaka Centers for Disease Control and Prevention. (2000). Guidelines for School and Community Programs to Promote Lifelong Physical Activity among Young People. [Online]. Tersedia: http://www.cdc.gov. [12 Maret 2003]. Siedentop, D. (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. California: Mayfield Publishing Company. Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. California: Mayfield Publishing Company. Siedentop, D. (1994). Quality PE through Positive Sport Experiences: Sport Education. Illinois: Human Kinetics. Disman, R. K. (1990). Determinants of Participation in Physical Activity in Exercise, Fitness, and Health, edited by Claude Bouchard, et al. Champaign, IL: Human Kinetics. Pate, R. R. dan Trost, S. G. (1998). “How to Create a Physically Active Future for American Kids”. American College of Sport Medicine, Health & Fitness. 2 (6). Thomas dan Laraine (1994). Teaching Children Fitness: Becoming a Master Teacher. Illinois: Human Kinetics. Stran, B. dan Ruder, S. (1996). “Increasing Physical Activity through Fitness Integration”. Journal of Physical Education, Recreation, and Dance. 67 (3). Schmidt, R. A. dan Wrisberg, C. A. (2000). Motor Learning and Performance: A Problem-Based Learning Approach. (2nd Ed.). Champaign,Illinois: Human Kinetics. Borg, W.R. & Gall, M.D. (1983). Educational research: An introduction, Fourth edition. New york: Longman Roblyer, M.D. (1988). Fundamental problem and principles of design effective courseware. Instructional design for microcomputer courseware. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associate Wright, Lesley J.M. (2004). Preserving the Value of Happiness in Primary School Physical Education. Journal of Physical Education and Sport Pedagogy. Volume 9, No. 2, November 2004, hal 149-163. 636 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMBINAAN KREATIVITAS RELIEF WAS SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN Trie Hartiti Retnowati, Suwarna, A. Ariadi Warsito, Pujiriyanto Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT The purpose of this public service is to produce ”was” relief as a learning media in the Kindergarten and the simulation of the way to used it in the Kindergarten B grade. The target is all of the Kindergarten teachers in Tempel, Sleman, and DIY district. The other purpose is to increase the art apresiation of the Kindergarten teachers concerning of the ”was” relief as a learning media. The activities was due to on 26, 27, 28 July, 2011 in Ngestirini Kindergarten, Kadisono, Tempel, Sleman, DIY. The method of this public service is to applied human approach, speech, discuss and assessment method. The results of this service are: (1) The realization of ”was’ relief has 33 amount, sized 60 cm x 40 cm, this sized has been qualified as the learning media in the Kindergarten, which aestetic, educative, and the authority technique, (2) The simulation to four teacher in Ngestirini Kindergarten for B2 and B3 grade have been done. Pendahuluan Kecamatan Tempel Kabupaten Sleman termasuk daerah pasca bencana gunung Merapi pada tahun 2010 yang lalu. Namun semangat untuk maju tidak tergoyahkan. Keberadaan Kecamatan Tempel apabila diamati dari segi pendikan anak usia dini, sangat eksis, karena terdapat 29 TK semuanya swasta, dengan guru sejumlah 129 orang. Guru negeri dibawah kementerian Pendidikan Nasional sejumlah 54, dan 4 guru dibawah kementerian Agama. Sedangkan 71 guru masih berstatus guru yayasan (swasta). Kualifikasi guru- guru TK tersebut adalah sarjana pendidikan sejumlah 35 orang, telah endapat sertifikasi sejumlah 18 orang. Sedang kuliah S1 secara mandiri sejumlah 84 orang. Hal ini menunjukkan betapa besar semangat untuk memajukan pendidikan di TK. Para guru TK ini sangat berperan di dalam usaha untuk menyiapkan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa Indonesia agar maju, cerdas, terampil, dan taqwa. Di TK, memang telah tersedia banyak berbagai media pembelajaran yang berujud dua dan tiga demensional. Media pembelajaran di TK, sangat diperlukan sebagai wahana penyampai pesan agar terjadi perubahan perilaku pada anak TK. Kenyataan menunjukkan bahwa guru-guru TK di Kecamatan Tempel sangat memerlukan adanya media pembelajaran yang inovatif, komunikatif, praktis, mudah didapat. Guru-guru TK telah lama mengenal was untuk bermain-main anak melatih motorik halus, dalam bentuk tiga demensional sebagai media pembelajaran anak TK. Namun bentuk-bentuk yang dibuatnya sangat sederhana, seperti bola kecil, pilin-pilin, berbagai bentuk buah berwarna - warni. Bentuk- bentuk itu berdiri sendiri-sendiri. Berbagai bentuk tersebut belum disusun menjadi sebuah relief was. Padahal sangat potensial berbagai bentuk itu disusun berdasarkan suatu tema tertentu menjadi sebuah relief was yang sangat artistik, imajinatif, innovatif, dan komunikatif sebagai media pembelajaran di TK. Guru-guru TK Kecamatan Tempel belum mengetahui teknik pembuatan relief was. Dalam 637 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pembelajaran para guru TK di Kecamatan Tempel belum memanfaatkan relief was sebagai media pemebelajaran. Guru TK berusaha untuk mencari dan menemukan berbagai cara (kreativitas) untuk memecahkan masalah di dalam pembelajaran. Salah satu usaha adalah pembinaan kreativitas pada guru TK yang akan mentransfer ilmunya ke anak TK. Sebagaimana diungkapkan oleh Utami Munandar (2009:18) bahwa kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dengan orang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa menurut Carl Rogers (19021987) tiga kondisi dari pribadi yang kreatif ialah: (a) keterbukaan terhadap pengalaman, (b) kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang, dan (c) kemampuan untuk bereksperimen, untuk bermain dengan konsep-konsep. Usaha – usaha yang dilakukannya adalah peningkatan kompetensi. Salah satu usahanya adalah melengkapi media pendidikan di TK. Media pendidikan sangat penting keberadaannya, karena menurut Yudhi Munadhi (2008: 37) menyatakan bahwa: media pembelajaran berfungsi sebagi sumber belajar. Dalam kalimat sumber belajar belajar ini tersirat makna keaktifan, yakni sebagai penyalur, penyampai, penghubung dan lain-lain. Namun was sebagai media berekspresi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Padahal was banyak dijual di toko-toko alat tulis, sedangkan harganya terjangkau oleh orang tua anak TK. Untuk mengatisipasi hal ini maka, sesuai dengan usaha pemerintah Republik Indonesi adalah meningkatkan mutu pendidikan. Usaha tersebut dilaksanakan sejak pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Dasar hukum terkait dengan pendidikan di Taman Kanak - Kanak (TK), tertera di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I: Ketentuan Umum, pasal 1, butir 14: Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan kutipan tersebut, anak-anak TK berusia antara empat sampai dengan enam tahun, termasuk pendidikan anak usia dini. Mereka mengeyam pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yaitu akan masuk sekolah dasar. Menurut Hajar Pamadhi (2008: i) ”dalam masa perkembangan anak usia dini adalah masa yang paling tepat untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki anak”. Salah satu potensi yang perlu dikembangkan adalah tentang wawasan dan rasa seni anak. Wawasan dan rasa seni anak ini terkait dengan pembinaan fungsi - fungsi jiwa yaitu: fantasi, sensitivitas, kreativitas dan ekspresi. Kegiatan yang dilakukan anak seperti melukis dan membuat sesuatu bentuk yang selalu berbeda, dapat disebut seni. Anak tersebut dikatakan kreatif. Agar anak TK selalu kreatif maka diperlukan adanya stimulasi pembinaan kreativitas. Hal ini berdasarkan Kurikulum TK dan RA (2004: 4) berbasis kompetensi, seni, tertera pada butir ke enam, dalam ruang lingkup aspek perkembangan dikemukakan: “Pengembangan ini bertujuan agar anak dapat dan mampu menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya, mengembangkan kepekaan, dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif.” Pengembangan 638 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kreativitas anak perlu dilakukan sejak dini, hal tersebut sangat penting agar anak menjadi terbiasa dengan berbagai keterampilan motorik yang sangat menunjang perkembangan fisik maupun non fisiknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Hajar Pamadhi (2008: 1.6) bahwa “kesenian difungsikan oleh anak sebagai media ungkapan perasaan, ide, gagasan dan pikiran anak. Karyanya sebagai alat bermain imajinasi, mengutarakan ide dan juga sebagai media komunikasi”. Agar anak TK kreatif, maka diperlukan adanya pembinaan kreativias pada guru-gurunya terlebih dahulu. Di TK memang telah tersedia banyak berbagai media pembelajaran yang berujud dua dan tiga demensional. Media pembelajaran di TK, sangat diperlukan sebagai wahana penyampai pesan agar terjadi perubahan perilaku pada anak TK. Kenyataan menunjukkan bahwa guru- guru TK di Kecamatan Tempel sangat memerlukan adanya media pembelajaran yang inovatif, komunikatif, praktis, mudah didapat. Guru-guru TK telah lama mengenal was untuk bermain-main bentuk tiga demensi sebagai media pembelajaran anak TK. Bentuk- bentuk yang dibuatnya sangat sederhana, seperti bola kecil, pilin-pilin, berbagai bentuk buah berwarna - warni. Bentuk bentuk itu berdiri sendiri-sendiri, belum disusun menjadi satu kesatuan berbentuk sebuah relief was (lukisan timbul). Padahal keberadaannya sangat potensial, dari berbagai bentuk itu dapat disusun dan ditempelkan pada suatu alas, dengan suatu tema tertentu menjadi sebuah relief was yang sangat artistik, imajinatif, innovatif, dan komunikatif sebagai media pembelajaran di TK. Dengan demikian relief was dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang efektif, inovatif, kreatif dan mudah didapat. Metode Kegiatan PPM Khalayak Sasaran Di Kecamatan Tempel Kabupaten Sleman DIY merupakan daerah pasca erupsi gunung Merapi tahun 2010 yang lalu, terdapat 29 TK berstatus swasta semuanya dengan guru sejumlah 129 orang. Guru-guru tersebut terorganisir di dalam Ikatan GuruTaman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI) Kecamatan Tempel Sleman DIY. Dari 29 TK dengan 129 guru secara merata akan ditentukan oleh Kepala IGTKI Kecamatan Tempel sejumlah 35 orang, sebagai peserta pelatihan relief was dalam PPM ini. Hal ini telah disepakati mitra dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai Rp 6. 000,-. Penyebarluasan relief was sebagai media pembelajaran di TK melalui para peserta pelatihan dari sejumlah 35 guru TK dengan distribusi merata. Dengan demikian berarti telah mencapai target yang ditentukan yaitu minimal 30 peserta. Metode Kegiatan Metode kegiatan yang pertama adalah human approach (pendekatan manusiawi). Tim pengabdi bersilaturahmi ke ketua IGTKI Kecamatan Tempel Ibu Isti Ambarini, kebetulan juga menjabat Kepala TK Ngestirini, Kadisono, Margorejo, Tempel. Dalam pertemuan tersebut TIM PPM UNY menyatakan betapa pentingnya media pembelajaran di TK, khusus relief was untuk menyampaikan pesan pedagogis kepada anak TK. Hal ini dilakukan pada tahap awal untuk mencari data guna menganalisis situasi mitra. Telah dilakukan pada hari Jum’at tanggal 11 Maret 2011, wawancara dan observasi di TK Ngestirini, Templel Kab. Sleman DIY. 639 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode ceramah dan diskusi dalam penyampaian materi pelatihan relief was disampaikan secara panel. Peserta ditentukan sejumlah 35 orang guru TK, dengan mempertimbangkan asas pemerataan dari 29 TK. Tempat penyelenggaraan pelatihan di TK Ngestirini, Tempel Kabupaten Sleman, DIY, mempunyai pendapa representatif luas. Pemakalah dari Tim pengabdi: Teknik pembuatan relief was dan dua contoh, oleh Suwarna dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS UNY. Pemakalah Pujirianto dari FIP UNY menyampaikan pengembangan alat permainnan edukatif. Bermain pada anak usia dini disampaikan oleh A. Ariadi Warsito, M. Pd. dari FIP UNY. Sedangkan sistem penilaian hasil belajar pembuatan relief was disampaikan oleh Trie Hartiti Retnowati. Metode pemberian tugas dan pendekatan klasikal maupun individual diterapkan untuk berekspresi pembuatan relief was. Setelah selesai relief was dievaluasi, dipajang di sekeliling pendapa dan empat karya relief was dipakai untuk simulasi di kelompok B2 dan B3 di TK Ngestirini, oleh empat guru TK terpilih. Langkah-langkah Kegiatan PPM 1. Analisis situasi Analisis situasi telah dilakukan oleh Tim pengabdi sejak bulan Maret sampai dengan April 2011, di TK Ngesti Rini, Tempel menemui Kepala IGTKI Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, DIY. Telah mendapatkan data jumlah TK dan Guru, kegiatan pelatihan dan prestasi guru maupun anak TK. 2. Perijinan dan koordinasi Perijinan untuk PPM ini cukup lancar, berkoordinasi dengan Kepala IGTKI Kecamatan Tempel, maka dengan terbuka dan sangat senang akan adanya PPM relief was ini. Akan dibantu masalah teknis penyelenggaraannya. 3. Persiapan Persiapan penyusunan proposal, administrasi, segala kebutuhan bahan dan alat diadakan pada bulan April 2011. Pengadaan contoh relief was, dua buah ukuran 40 Cm x 60 Cm, pada bulan Mei sampai Juni 2011. 4. Pelatihan Pelatihan Pembinaan kreativitas relief was sebagai media pembelajaran di TK melibatkan 35 guru TK se Kecamata Tempel, bertempat di pendapa TK Ngesti Rini, Kadisono, Tempel, Kabupaten Sleman DIY, sesuai dengan jadwal pada tanggal 26, 27, 28 Juli 2011, lancar tanpa hambatan. Kemudian simulasi menggunakan relief was oleh 4 guru TK, dua guru TK di kelompok B2 dan B3 TK Ngestirini, sebagai bentuk aplikatif dari aspek afektif. 5. Evaluasi Evaluasi seluruh kegiatan pengabdian ini sejak awal sampai akhir guna menentukan tingkat kebermaknaan dan keberhasilan kegitan, oleh Tim pengabdi dilakukan pada tanggal 28 Juli 2011. 640 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hal ini akan sangat berguna sebagai masukan UNY dan mitra, guna peningkatan pengabdian yang akan datang. Pemantauan seluruh kegiatan pengabdian ini dilakukan sejak bulan Juli sampai dengan November 2011, di kampus maupun di mitra oleh Tim pengabdi, hal ini sangat berguna untuk memonitor segala kegiatan dan menindak lanjuti jika timbul permasalahan sejak pelatihan sampai selesai penyusunan laporan. 6. Laporan Laporan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat ini, disusun oleh Tim pengabdi pada bulan Oktober 2011, berdasakan format yang telah ditentukan oleh LPMP UNY, sebagai pertanggungjawaban akademik. Pelaksanaan Kegiatan PPM Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM 1. Relief was Pelaksanaan PPM pada hari Selasa, Rabu, Kamis tanggal 26, 27, 28 Juli 2011 di TK Ngestirini, Kadisono, Tempel, DIY. Sebelum membuat relief was para peserta pelatihan telah mengkaji berbagai kompetensi yang terdapat pada Kurikulum TK 2004, kemudian dipilih dan dirumuskan dalam deskripsi singkat lengkap dengan judulnya. Deskripsi singkat ini akan mengarahkan langkah-langkah teknik pembuatan relief was. Teknik pembuatan relief was dengan langkah-langkah sebagai berikut: penentuan judul, pembuatan skets langsung di tripleks dengan pensil, kemudian ditempel was tipistipis terlebih dahulu untuk latar belakangnya tanpa lem. Kemudian menggarap objek-objek didepan latar belakang secara bertahap semakin kedepan sehingga seluruh permukaan tripleks telah dipenuhi objek dengan tempelan was. Untuk memberikan kesan detail suatu objek, rumput misalnya, maka dapat dicocok-cocok dengan sudip sehingga membentuk tekstur rumput. Sedangkan untuk bagian-bagian mata dari objek dapat dipasang mata yang telah jadi tersedia di toko-toko asesoris. Bahkan dapat ditambahkan dengan payet untuk menambah indahnya relief was tersebut. Jika dinginkan perpaduan warna, dapat mencampur was dua warna, sehingga menjadi warna baru. Untuk mengamankan relief was dari debu dan gangguan hewan, relief was dapat ditutup dengan plastik atau kaca oleh tukang pigur agar rapi. PPM ini selama 20 jam, dengan hasil berupa 33 relief was berukuran 40 cm x 60 cm. Dasar relief was adalah tripleks dan dibingkai setebal 2 cm. Bingkai relief was berfungsi sebagai pengaman, dan dianjurkan diberi lapisan plastik atau kaca (bawa ke tukang pigura). Contoh relief was sebagai peraga dalam pelatihan telah berumur 2,5 tahun (pada tahun 2011), warna dan bentuk tetap baik dan tidak menjamur. Keuntungan relief was adalah: (1) berwarna cerah-menarik perhatian, (2) mudah dibentuk dengan tangan atau sudip, (3) jika ada bentuk yang kurang tepat, maka dapat diubah sesuai dengan keinginan sehingga tepat, (4) relatif tahan lama, (5) aman untuk anak-anak. Untuk menjaga agar relief was tidak rusak bentuknya, maka reief was disimpan ditempat yang tidak lembab, dan jangan kena sengatan matahari secara langsung, sebab akan melembek. Relief was tersebut telah dinilai oleh tiga anggota TIM PPM dengan rerata nilai terrendah 80,00 dan tertinggi 86,60. Dengan demikian hasilnya dapat dikategorikan berhasil dengan indikator sangat baik. 641 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan pengakuan dari peserta pelatihan relief was (35 guru TK), mereka belum pernah membuat relief was sebagai media pembelajaran. Memang mereka telah mengenal was cukup lama di TK, dipakai untuk membentuk tiga demensional, misalnya bola, buah belimbing, untir-untir dan lain – lain, sebatas benda tunggal, bertujuan melatih motorik halus. Dengan adanya pelatihan relief was sebagai media pembelajaran ini, para guru TK mendapatkan: (1) pengalaman estetik kreatif yang artistik berupa hasil ekspresi yang berupa relief was. (2) terbuka dan berkembang wawasannya akan adanya media pembelajaran yang berupa relief was, (3) ternbina apresiasi seni dengan dipajang dan dibahasnya sejumlah 33 relief was oleh TIM PPM maupun oleh peserta pelatihan. 2. Simulasi Simulasi oleh 4 guru di TK Ngestirini menggunakan relief was sebagai media pembelajaran pada hari ketiga Kamis 28 Juli 2011, pada kelompok B2 dab B3, berdasarkan pertimbangan teknis oleh ibu Kepala TK Ngestirini. Simulasi berjalan lancar, anak tampak antusias. Pembahasan hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Pembahasan hasil pelaksanaan kegiatan PPM adalah sebagai berikut: 1. Relief was sebagai media pembelajaran Relief was sebagai media pembelajaran di TK, adalah merupakan salah satu usaha sebagai terobosan melengkapi berbagai media pembelajaran yang telah ada di TK. Sebagaimana diungkapkan oleh Pujirianto (2011) bahwa suatu media pembelajaran di TK hendaknya memenuhi syarat edukatif, estetis dan teknis. Relief was hasil para guru TK tersebut juga telah memenuhi syarat tersebut, yaitu edukatif, estetis dan teknis. Berbagai tema yang diangkat oleh guru TK adalah: agamis – ke masjid, lingkungan-gunung merapi meletus, dunia binatang- jerapah-buaya, petani, memberi makan kelinci, selamat datang, lambaian tangan, berburu, dan lain-lain. Tema-tema tersebut mengandung nilai edukatif, yaitu mengenalkan pada anak agar meningkatkan taqwa dengan selalu berjamaah shalat di masjid. Gunung Merapi meletus, mengenalkan anak bahwa kekuasaan Allah Maha Besar, apa yang dikehendaki terjadilah. Dari 33 jumlah relief yang dihasilkan oleh guru-guru TK se Kecamatan Tempel, telah memenuhi syarat sebagai media pembelajaran di TK. Tidak kalah menariknya adalah relief was bertemakan binatang, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Berbagai dunia binatang, binatang juga ciptaan Allah, maka kita harus dapat memanfaatkan binatang tersebut dan menjaga kelestariannya. Berikut adalah contoh – contoh relief was. Gambar 1. ”Pergi ke masjid”, Mamik Agustin 642 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tampak dalam gambar 1, empat orang berangkat ke masjid untuk berjamaah shalat. Relief was ini mengandung nilai estetis, hal ini dapat dilihat dari prinsip seni adanya kesatuan, berbagai unsur-objek saling mendukung sehingga mencapai suatu keharmonisan, keseimbangan juga tercapai dengan adanya komposisi yang cukup dinamis. Jelas adanya irama yang tidak monoton, yaitu adanya deretan bentuk bunga di sebelah kiri jalan tidak sama dengan deretan bunga di sebelah kanan jalan. Irama yang dinamis juga tampak pada bentuk kubah kecil dan besar, sehingga sangat menarik. Di tengah-tengah tertera tulisan Arab ”Allah”, menanamkan nilai kepada anak bahwa kita hendaknya selalu ingat kepad Allah dimana saja kita berada. Pewarnaan yang cerah-ceria sangat menarik bagi anak untuk memperhatikannya, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dicerap oleh anak TK, agar mereka menjadi generasi penerus yang cerdas, terampil dan taqwa. Dari sisi teknis, relief was tersebut dibuat dengan cermat, cukup melekat kuat pada tripleks, walaupun tanpa lem. Dengan demikian secara teknis telah memenuhi syarat sebagai media pembelajaran di TK. Contoh relief was yang lain adalah sebagai berikut. Gambar 2. ”Merapi meletus”, Sumarsih Gambar 3. ”Dunia binatang”, Sulastri 643 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 4. ”Main bola”, Suwanti Gambar 5. ”Buah”, Novidha Gambar 6. ”Pak Tani”, Purwani Siwi 644 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 7. ” Ayam dan ular”, Nur miyati Gambar 8. ”Memberi makan”, Supatmi Pada gambar 2, ” Merapi meletus”, karya Sumarsih, tampak gunung Merapi menjulang tinggi dengan tumpukan lahar dingin keputih-putihan. Suasana sepi, tidak ada aktivitas manusia seorangpun karena mengungsi. Namun masih ada beberapa pohon yang tampak kehijauan dan rumah yang masih berdiri, karena tidak kena langsung ”wedus gembel”(awan panas), dan dalam posisi yang cukup jauh dari puncak merapi, namun masih tergolong area berbahaya. Hal inipun tetap memenuhi indikator edukatif, estetis dan tampak adanya penguasaan teknis. Pada gambar 3, ”Dunia binatang” karya Sulastri, menanamkan nilai peri kehewanan, hewan ciptaan Allah: gajah, kupu-kupu, burung, ikan dan berbagai tumbuhan tampak menyertainya. Hal ini mendidik anak agar mengenal berbagai jenis binatang dan ikut melestarikan hewan-hewan tersebut jangan sampai punah. Jika dilihat bentuk gajah terasa naif (kekanak-kanakan), namub ciri khas gajah dengan belalai dan berwarna abu-abu cukup mewakilinya, bahawa itu yang dimaksud gajah. Begitu juga dengan bentuk kupu-kupu yang tampak besar naif ( kurang proporsional jika dibandingkan dengan bentuk gajah yang besar) berada di depan gajah dan di belakangnya. Hal serupa disebut gejala ”finanitas”, yaitu memperbesar sesuatu yang dianggap penting atau aktif. Gejala ini sering 645 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta muncul pada lukisan anak-anak. Relief was ini sebagai media pembelajaran, tetap masih edukatif, estetis bahkan artistik (mengandung nilai seni), dan memenuhi standar teknis. Pada gambar 4, Main bola”, karya Suwanti. Bermain dan belajar adalah merupakan kesatuan jiwa dan raga anak TK. Maka relief was ini sangat sesuai untuk media pembelajaran di TK. Jika ditinjau dari kaidah seni rupa, maka tampak adanya komposisi yang sangat dinamis. Tampak empat anak yang asyik bermain bola di lapangan, tampak di kejauhan ada sebuah gawang. Nilai edukatif, agar anak-anak senang berolahraga, agar badan sehat. Di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Irama tampak dari berbagai gerak anak yang dinamis, berlatar belakang hamparan padang rumput yang luas. Keseimbanganpun terjaga dengan baik, begitujuga aspek keharmonisan dengan adanya perpaduan warna-warni dan dikunci dengan warna hitam pada konturnya, menjadikan relief was ini tampil dengan bagusnya. Pada gambar 5, ”Buah” karya Novidha, sangat artistik dan estetis. Nilai edukatif yang terkandung adalah menanamkan rasa senang pada anak-anak untuk mengkonsumsi buah, karena mengandung vitamin C yang dibutuhkan tubuh anak-anak agar sehat tidak terkena penyakit ”lumpangen” (sari awan). Karya relief was ini dipercantik dengan bintang-bintang dari payet berwarna keemasan ditempel pada keranjang buah dan pada talinya. Tampak ada buah pisang, pepaya, nanas, salak, anggur dan semangka di luar keranjang. Secara teknis menurut pengakuannya, relief was ini lebih mudah pembuatannya dari pada melukis dengan cat air. Karena was sudah berwarna, tinggal menempel sesuai dengan sifat dari buah tersebut. Pada gambar 6, ” Pak tani”, karya Purwani Siwi, hal ini sesuai dengan alam lingkunga di daerah Tempel, adalah daerah pertanian, mengolah sawah/kebun ditanami jagung. Biji jagung merupakan tanaman mengandung karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, agar dapat diolah menjadi sumber tenaga yang sangat dibutuhkan untuk aktifitas manusia. Tampak seorang petani memanggul cangkul yang siap untuk bekerja di sawahnya. Di sebelah kiri tampak kebun jagung yang tengah berbuah besar-besar. Di kanan-kiri petani tampak berbagai bunga sehingga menambah indah suasana sawahnya. Prinsip seni: keseimbangan, keharmonisan, irama, dan kesatuan juga telah dipenuhinya, sehingga relief was ini layak sebagai media pembelajaran di TK. Pada gambar 7, ” Ayam dan ular”, karya Nurmiyati, tampak adegan dramatis antara seekor ayam berada di dekat telurnya, berhadapan dengan seekor ular hijau besar. Ular telah biasa memakan ayam maupun telurnya. Hal ini juga mengandung nilai edukatif bahwa makhluk hidup memerlukan makanan agar bisa hidup dan menurunkan keturunan. Tampak suasana di alam terbuka luas, dengan adanya pepohonan yang melengkapi sebagai pemersatu keseimbangan, keharmonisan, maupun irama dan kesatuan guna memenuhi prinsup seni, sehingga menjadi suatu karya yang baik untuk media pembelajaran di TK. Pada gambar 8, ” Memberi makan”, karya Supatmi, tampak adegan yang sangat familier yaitu seorang anak sedang memberi makan kelinci dengan dedaunan. Dalam hal ini juga mengandung nilai edukatif bahwa kita hidup harus saling memenuhi kabutuhannya. Kelinci butuh makan, diberi makan oleh manusia, setelah besar dan gemuk kemungkinan akan disate oleh manusia sebagai santapan yang lezat, penuh gizi. Makanan kelinci cukup banyak tersedia di alam bebas, tampak matahari, gunung, pepohonan, kesemuanya itu merupakan keseimbangan alam ciptaan Allah, sehingga manusia dapat hidup dengan enak. 646 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sedangkan relief was yang lain ” Hewan Qurban,” karya Sumiyati, ”Bunga dan kupu-kupu” karya Atik Subandiyah, ”Grobag dorong”, karya Kristiyanti dan lain – lain dapat dilihat di lampiran, kesemuanya mengandung nilai edukatif, estetis dan secara teknis memenuhi syarat sebagai media pembelajaran di TK. 2. Simulasi di TK kelompok B2 dan B3 Simulasi 4 pserta pelatihan di TK Ngestirini kelompok B2 dan B3, berjalan lancar, dievaluasi oleh TIM PPM dan sejumlah 31 guru TK peserta pelatihan yang lain. Berikut adalah foto simulasi di TK Ngestirini. Gambar 9. Simulasi di TK Ngestirini kelompok B2. Dalam ruang tersebut tampak seorang guru TK (peserta pelatihan) sedang simulasi menggunakan relief was sebagai media pembelajaran. Tampak juga tiga orang guru TK yang lain sedang menilai proses simulasi tersebut. Anak – anak TK puta tampak berkopiah dan yang putri berjilbab, serta berseragam batik yang sangat ceria warnanya. Anak-anak TK sangat antusias memperhatikan ibu guru yang sedang simulasi di kelasnya. Tampak juga relief was dipajang di papan tulis hitam. Proses simulasi, dimulai dengan salam dan perkenalan guru TK tersebut, kemudian anakanak ditanya tentang ceritera relief was tersebut, ternyata anak kelompok B2 dapat menelaah isi dari relief was tersebut. Kemudian baru guru menjelaskan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah foto simulasi di kelompok B3. Gambar 10. Simulasi di TK Ngestirini kelompok B3 647 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tampak relief was dipajang di papan tulis dan seorang guru TK menjelaskan nilai-nilaiyang terkandung di dalam relief was tersebut. Karya Rini Pujiningsih, ”Binatang laut”: kepiting, ikan, bintang laut dan lain-lain semua halal dan penuh protein, sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Empat guru TK yang melakukan simulasi adalah: (1) Sulianti dari TK Durensawit, (2) Murniyati dari TK ABA Uragan, (3) Rini Pujiningsih dari TK Among Putra, (4) Yuliastuti dari TK Ngabean Tempel, Sleman, DIY. Adapun indikator lembar pengamatan simulasi adalah: indikator media terdiri tiga butir, (1) komunikatif, (2) kemenarikan, (3) artistik. Sedangkan indikator penampilan guru terdiri tiga butir: (1) interaksi, (2) penampilan guru, (3) penguasaan kelas. Angket penilaian simulasi menggunakan skala 4, berarti 1= sangat kurang baik , 2 = kurang baik, 3 = baik, 4 = sangat baik. Skor terrendah 3 dan skor tertinggi adalah 4. Mean = (3 +4) : 2 = 7:2 = 3,5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa simulasi 4 guru TK tersebut dalam kategori di atas baik, atau mendekati sangat baik. Faktor pendukung dan Penghambat Kegiatan 1. Faktor pendukung kegiatan PPM a. Adanya semangat yang tinggi segenap guru TK se Kecamatan Tempel untuk maju bersama yang terwadahi dalam IGTKI Kecamatan Tempel. b. Adanya kerjasama yang baik antara TIM PPM dengan mitra IGTKI Kecamatan Tempel. c. Rasa ingin tahu terhadap relief was besar, untuk media pembelajaran di TK. d. Aspek psikomotor, para guru telah mempunyai berbagai keterampilan sebagai modal dasar dalam membuat relief was. e. Aspek afektif, para guru TK telah berpengalaman mengajar antara 4 sampai dengan 20 tahun. f. Antusian tinggi, terbukti dari jumlah peserta 35 orang guru TK sejak awal sampai akhir tetap jumlahnya. 2. Faktor penghambat kegiatan PPM Faktor penghambat kegiatan PPM ini adalah adanya dua guru TK yang harus mengurus kepentingan dinas ke Kabupaten Sleman, sehingga dari 35 pserta dapat menyelesaikan 33 relief was. Hal ini masih di atas standar PPM Unggulan yang ditentukan peserta minimal 30 orang. Jadi ketentuan jumlah peserta minimal 30 orang, terpenuhi dan jumlah 20 jam pelatihan juga terpenuhi. Penghambat yang lain adalah untuk mencari was warna hitam di peredaran sangat sulit, dan tidak ditemukan di berbagai toko alat tulis. Namun dapat diatasi dengan campuran tinta spidol white board warna ghitam dicampur dengan was warna putih, maka dapat teratasi kebutuhan warna hitam untuk, rambut, manik mata dan lain-lain. Teknik menempelkan was pada tahap awal dirasa sulit, karena belum merekat sempurna, namun setelah dijelaskan was ditekan dan ditarik-tarik dengan tangan, maka teratasilah masalah penempelan was tersebut, sehingga dapat menghasilkan relief was yang estetis artistik. 648 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Penutup Kesimpulan PPM berjudul Pembinaan Kreativitas Relief Was Sebagai Media Pembelajaran dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Relief was memenuhi syarat edukatif, estetis dan memenuhi standar teknis dapat terwujud sejumlah 33 buah dari sejumlah 35 peserta dan telah memenuhi standar PPM Unggulan minimal 30 peserta, waktu 3 hari (20 jam). Teknik pembuatannya adalah dengan merunut kompetensi dalam kurikulum TK 2004, dituangkan berupa ide dan diskets pada dasar tripleks. Kemudian dibentuk bertahap dari latar belakang semakin kedepan menebal sehingga membentuk relief. 2. Simulasi menggunakan relief was dapat berjalan lancar di TK Ngestirini pada kelompok B2 dan B3 oleh peserta pelatihan empat guru TK, hasil evaluasi dengan mean = 3,5 berarti di atas baik, mendekati sangat baik. B. Saran 1. Para guru TK di Kecamatan Tempel dapat mengembangkan relief was sebagai media pembelajarandengan membuat relief was dengan judul yang lain, sehingga akan memperkaya media pembelajaran di TK. 2. Disarankan Para guru TK di Kecamatan Tempel, dapat menyimpan relief was ditempat yang kering, cukup ada sirkulasi udara dan tidak lembab. Daftar Pustaka Mary Mayesky. 2011. Aktivitas Seni Kreatif-Melukis. Mexico: Indeks. Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Munadi, Yudhi. 2008. Media Pembelajaran. Cipayung-Ciputat: Gaung Persada (GP) Press. Pamadhi, Hajar dan Sukardi, Evan. 2008. Seni Ketrampilan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka. Sumanto. 2006. Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Suwarna. 2005. Menggambar Untuk PGTK. Yogyakarta: FIP UNY. _______ 2008. Pembinaan Kreativitas Melukis di TK. Yogyakarta: FBS UNY. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I: Ketentuan Umum, pasal 1, butir 14 649 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta LAMPIRAN B : FOTO KEGIATAN PPM Panel penyampaian materi PPM oleh empat pemakalah 650 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENERAPAN TEKNOLOGI MESIN PENGGORENG VAKUM (VACUUM FRYING MACHINE) BAGI INDUSTRI KECIL PEDESAAN Tiwan, Joko Sumiyanto, RetnaHidayah Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Masalah yang sering timbul di Pedesaan yaitu murahnya harga jual buah-buahan pada saat musim buah, karena jumlahnya yang melimpah. Untuk itu perlu dilakukan penerapan pengolahan buah agar nilai ekonomis tetap tinggi, dengan menggnakan teknologi mesin penggoreng vakum. Tujuan program ini untuk membantu mitra kerja dalam usaha meningkatkan produktivitas home industri oleh-oleh makanan yang berupa keripik buah.. Motode dalam pembuatan mesin penggoreng vakum ini diawali dengan proses perencanaan, pembuatan, uji coba, dan pelatihan penggunaan mesin bagi karyawan mitra kerja. Tahap perencanaan mesin, meliputi: (1) mendisain gambar rencana, (2) perhitungan kebutuhan bahan, dan (3) perhitungan anggaran biaya pelaksanaan, (4) pembuatan mesin, dan (5) uji unjuk kerja mesin untuk mengetahui unjuk kerjanya. Sedangkan, pelatihan bagi anggota KUB mitra kerja, mencakup: (1) penyampaian teori penggunaan mesin dengan metode ceramah, (3) demonstarasi penggunaan mesin, dan (3) praktek penggunaan mesin oleh para anggota mitra kerja. Hasil program ini dapat mewujudkan penerapan mesin penggoreng vakum dengan kapasitas 5-6 kg per proses, bahan bakar LPG dengan kontrol suhu otomatis, pendingin sirkulai air, volume minyak goreng :40 liter , kebutuhan daya : 0,75 - 1 HP (600-750 watt) , dimensi bak air :180 x 120 x 60 cm, dimensi total :180 x 120 x 120 cm. Mesin penggoreng vakum dapat berfungsi dengan baik, pada kapasitas penggorengan 5 kg dengan temperatur penggorengan 80 – 100 ⁰C, lama penggorengan maksimal 98 menit. Mesin penggoreng vakum menghasilkan produk keripik buah dan sayur yang berkualitas baik dengan beberapa keunggulan yaitu: warna tidak berubah dan tidak gosong, penggorengan alami tanpa penambahan zat pewarna dan perasa, renyah dan nikmat. Pengoperasian mesin penggoreng vakum tidak terlalu sulit. Konstruksi mesin ini cukup sederhana terdiri dari tabung penggoreng, tungku pemanas, bak air, pompa vakum, control suhu dan tekanan. Cara menghidupkan dan mematikan mesin cukup dengan menekan saklar ON/OFF pada control box. Produktivitas mesin penggoreng vakum ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penggorengan tradisional. Kata kunci: rancang bangun mesin, penggoreng vakum, keripik buah. Pendahuluan Analisis Situasi Permasalahan yang timbul pada saat musim buah produksinya melimpah dan murahnya harga jualnya. Permasalahan tersebut ditangkap oleh sekelompok warga desa yang bernaung dalam kelompok usaha KUB Dharma Makmur sebagai upaya untuk meningkatkan nilai jual hasil pertanian buah dan sayuran tersebut dengan mendirikan suatu usaha pembuatan keripik buah dan sayuran. Usaha di bidang kewirausahaan ini bermula dari Program Tabungan Simpati (Simpanan Akhir Tahun) yang pada akhirnya mampu mengembangkan usaha simpan pinjam yang dapat mendatangkan keuntungan sehingga dapat dijadikan modal awal untuk mendirikan kelompok kerja usaha tersebut. Produk yang dihasilkan oleh kelompok usaha di bidang kewirausahaan tersebut yang telah berjalan pada saat ini yaitu berupa keripik buah dan sayur. 651 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Permasalahan selanjutnya yang saat ini masih dialami oleh kelompok industri kecil ini yaitu masih menerapkan teknologi sederhana dalam proses penggorengan keripik. Upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produk yang dimaksud yaitu agar dapat dihasilkan keripik buah yang lebih berkualitas dengan tingkat homogenitas, rasa, dan aroma yang lebih baik dan merata sesuai dengan buah aslinya. Oleh sebab itu, program PPM Unggulan Berbasis Teknologi Tepat Guna (TTG) ini dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan sebagaimana yang diuraikan di atas dengan menciptakan TTG yang sesuai dan tepat sasaran. Teknologi tepat guna yang dimaksud adalah berupa “Penerapan mesin penggoreng vakum untuk menunjang proses pegolahan keripik buah yang berupa mesin vacuum frying serta penerapan teknologi pengolahannya untuk dapat menghasilkan keripik buah yang berkualitas”. Permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha kecil dan menengah termasuk di dalamnya adalah industri kecil rumah tangga di pedesaan antara lain adalah kurangnya pengalaman, pendidikan yang rendah, modal terbatas, pemilihan lokasi yang tidak tepat, kemampuan bersaing yang rendah, peralatan dan produk yang ketinggalan, kurang mengikuti informasi dan perkembangan, serta kekeliruan pengelolaan (Cahyono dan Adi, 2003: 8). Dengan demikian, perlu adanya suatu langkah terobosan dalam membantu para pengusaha kecil dan menengah khususnya home industry di pedesaan dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka. Perguruan tinggi melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) sangat potensial dalam usaha mengatasi permasalahan ini yaitu dengan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang telah diteliti, dikembangkan, diujicobakan, dan dimiliki di kampus. Perkembangan ipteks di perguruan tinggi sangat berperan dalam menunjang aktivitas kehidupan manusia di sekitarnya. Kemajuan ipteks menuntut manusia untuk melakukan perkembangan dalam banyak hal. Pola pikir yang semakin maju didukung oleh keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri-sendiri maupun orang lain, manusia dituntut untuk dapat menciptakan sesuatu yang dulunya tidak ada menjadi ada atau suatu inovasi baru dan pengembangan dari yang sudah ada menjadi lebih baik serta efisien (Daryanto, 2003). Pengembangan ini dapat berupa penciptaan alat (mesin teknologi tepat guna) yang tepat guna dan dapat diterapkan secara mudah di masyarakat sehingga masyarakat sasaran tersebut menjadi berkembang. Menurut M. Fadhil (2009) terdapat lima prinsip dasar yang sangat penting dalam usaha pengembangan masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Penekanan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat dan hal yang terkait dengan hal tersebut, (2) perlu adanya pendekatan antar tim pemgembangan masyarakat, dimana tidak hanya menekankan pada pendekatan multi profesi, tetapi juga multi lapisan profesi (multi vacational), (3) kebutuhan akan adanya community worker serba bisa (multi purpose) pada wilayah pedesaan, (4) pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal, dan (5) adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam pengembangan masyarakat. Perancangan dan pembuatan alat yang berupa mesin TTG harus memperhatikan pertimbangan desain. Pertanyaan terkait dengan desain berteknologi tepat guna yang perlu dilontarkan sebelum melakukan rancang bangun dan membuat produk sebagaimana disampaikan oleh Espito dan Thrower (1991), yaitu: (1) Apakah produk memenuhi kebutuhan manusia?, (2) Apakah produk mampu bersaing di pasaran?, (3) Apakah produk ekonomis untuk diproduksi?, (4) 652 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Apakah produk akan menguntungkan bila dijual?. Sedangkan ahli lain berpendapat, bahwa beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pembuatan alat tepat guna yaitu bagi pemakai, meliputi: penampilan, efisiensi, kemudahan dioperasikan, dan dipelihara, berat dan ukuran produk, daya tahan, kemanfaatan, biaya operasi, biaya perawatan dan pemeliharaan, dan kemudahan mendapatkan suku cadang (Beam, 1990: 130). Penciptaan alat bantu TTG ini memang memerlukan desain, pemikiran, dan pertimbangan yang matang. Terdapat beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam membuat (rancang bangun) suatu alat, diantaranya yaitu: (1) segi fungsi, alat berfungsi untuk membantu mempermudah cara kerja manusia, (2) segi efisien, pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat, penggunaan tenaga lebih sedikit sehingga efisien dari segi waktu dan tenaga, (3) segi ekonomi, dengan ditekannya waktu dan tenaga yang digunakan akan mengurangi biaya operasional suatu pekerjaan, dan (4) segi keselamatan kerja, tidak membahayakan bagi pemakai alat, serta lingkungan atau tempat kerja (Harahap, Tt). Metode Kegiatan PPM 1. Metode Pelaksanaan Untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri kecil rumah tangga dalam usaha memproduksi keripik buah sebagai produk unggulan mitra kerja dalam program ini dipilih beberapa metode pendekatan yaitu sebagai berikut. a. Desain dan Pembuatan Mesin Proses desain merupakan langkah awal dalam pekerjaan pembuatan mesin penggoreng vakum untuk penerapan PPM berbasis TTG. Berdasarkan hasil desain tersebut akan dapat diketahui dimensi mesin, jumlah kebutuhan bahan, rencana kekuatan mesin, rencana produktivitas mesin, dan permasalahan lain terkait dengan rencana pembuatan mesin tersebut. b. Teori dan Ceramah Pendekatan teori dan ceramah dipilih untuk menyampaikan beberapa teori pendukung yang erat kaitannya dengan masalah penggunaan mesin penggoreng vakum dan proses penggorengan tersebut. Permasalahan yang disampaikan dalam metode ini, seperti: (1) menentukan ukuran mesin penggoreng vakum yang sesuai untuk industri kecil rumah tangga, (2) teknik pengoperasian mesin penggoreng vakum, dan (3) cara menjaga keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam menggunakan mesin penggoreng vakum tersebut. c. Demonstrasi Demonstrasi diperlukan untuk memberi pengetahuan, pengalaman, pemahaman, dan contoh kepada para karyawan/anggota industri kecil. Penggunaan metode demonstrasi ini, khususnya dalam memberikan contoh praktis dalam hal teknik mengoperasikan mesin penggoreng vakum dan cara menjaga keselamatan dan kesehatan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja dapat ditinjau dari keamanan mesin yang digunakan, orang yang bekerja, maupun rencana barang/produk yang akan dihasilkan. 653 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta d. Pelatihan Pelatihan bertujuan untuk membekali keterampilan para karyawan/ anggota industri rumah tangga selaku industri kecil pasangan (mitra kerja) dalam pelaksanaan program ini. Latihan dan praktek dalam program ini dikhususkan dalam hal teknik pengoperasian mesin penggoreng vakum, cara menjaga keselamatan dan kesehatan kerja dalam menggunakan mesin tersebut, serta teknik penggorengan tersebut. 2. Langkah-langkah Kegiatan PPM Langkah-angkah yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas keripik buah bagi industri kecil tersebut adalah sebagai berikut. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Pembuatan desain mesin. Penyiapan bahan dan peralatan Pembuatan komponen mesin. Perakitan (assembling) antar komponen pembentuk mesin penggoreng vakum keripik buah. Uji coba mesin penggoreng vakum di laboratorium. Perbaikan mesin sesuai temuan kelemahan berdasar hasil uji coba di laboratorium. Finishing dan pengecatan. Ujicoba lapangan sesuai dengan kondisi riil bahan baku keripik buah yang digoreng. Penyerahan mesin kepada mitra kerja. Pelatihan penggunaan mesin penggoreng vakum bagi anggota/karyawan industri keripik buah. Pemantauan dan pendampingan lapangan sesuai dengan permasalahan yang dialami oleh mitra kerja selama penggunaan mesin penggoreng vakum tersebut. Hasil Dan Pembahasan Setelah melalui beberapa tahapan mulai dari mendesain , penyiapan bahan dan perlengkapan, pembuatan dan perakitan serta perbaikan maka diperoleh mesin penggoreng vakum seperti terlihat pada gambar 2, dengan spesifikasi sebagai berikut. 7 1 8 6 2 3 4 5 Gambar 1. Mesin Penggoreng Vakum Kapasitas 5 Kg 654  Kapasitas (kg masukan / proses) : 5-6 kg  Bahan bakar LPG dengan kontrol suhu otomatis ,  Pendingin sirkulai air  Volume minyak goreng :40 liter ,  Kebutuhan daya : 0,75 - 1 HP (600-750 watt)  Dimensi bak air :180 x 120 x 60 cm .  Dimensi total :180 x 120 x 120 cm Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Adapun nama-nama bagian dari penggoreng vakum dan fungsinya adalah sebagai berikut : 1. Tabung Penggoreng, berfungsi untuk mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang diinginkan. Di dalam tabung dilengkapi keranjang buah setengah lingkaran 2. Bagian Pengaduk Penggorengan, berfungsi untuk mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan. 3. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG. 4. Bak air, sebagai tempat sumber dan penyediaan air bagi pompa water jet untuk menciptakan kevakuman. 5. Kotak control sebagai unit pengendali operasi , berfungsi untuk mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas. 6. Pompa Vakum Water jet, berfungsi untuk menghisap udara di dalam ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah, serta untuk menghisap uap air bahan. 7. Kondensor, berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin. 8. Manometer kevakuman, untuk melihat tekanan kevakuman dalam tabung penggoreng. Langkah-langkah pengoperasian mesin penggoreng vakum adalah sebagai berikut : 1. Mengisi bak air hingga memenuhi batas permukaan bak sirkulasi. 2. Memasukkan minyak goreng ke dalam tabung sampai dasar keranjang buah. 3. Menyetel kedudukan jarum penyetel suhu pada temeperatur yang diinginkan, kemudian hubungkan steker boks pengendali suhu dengan listrik 220 volt, minimal 1300 watt. 4. Menekan tombol pengendali suhu pada posisi on dan nyalakan kompor gas. 5. Setelah tercapai suhu yang diset (ditandai nyala kompor mengecil), masukkan bahan maksimum sebanyak 5 kg ke dalam keranjang penggoreng kemudian tutup tabung penggoreng dan kunci rapat-rapat 6. Menutup kran pelepas vakum, nyalakan pompa dengan menekan tombol besar dalam posisi on pada kotak kontrol sambil membuka kran sirkulasi air di atas tabung jet, tunggu hingga air keluar dari selang bagian atas kondensor. 7. Setelah vakum meter menunjukkan angka 700 mmHg, turunkan keranjang ke dalam minyak dengan memutar tuas pengaduk setengah putaran (180°). Goyanglah tuas setiap 5 menit untuk meratakan pemanasan. 8. Setelah matang, buih pada tabung penggorengan akan hilang (lihat dari kaca pengintai dengan menekan tombol lampu ke posisi on) angkat bahan ke atas minyak dengan memutar tuas pengaduk 180° dan kunci. 9. Mematikan pompa, kompor, dan kran sirkulasi air, kemudian buka kran pelepas vakum (di atas tutup), pelanpelan hingga vakum meter menunjuk angka 0. 10. Membuka tutup tabung dan keranjang penggoreng, angkat keripik buah dan tiriskan pada mesin pengering. Pada saat uj coba lapangan mesin penggoreng ini digunakan untuk penggorengan salak. Tahapan proses yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 2. Uji coba ini dipilih salak kelas tiga yang harganya murah. Proses penggorengan dicoba sebanyak tiga kali. Sebelumnya salak disiapkan kemudian dikupas dan dibersihkan dari kulit dan isinya. Selanjutnya dilakukan penyiapan peralatan mesin penggoreng vakum dan minyak goreng. Mesin penggoreng vakum diseting pada temperature 655 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 80 – 100 ⁰C, kemudian kompor gas dihidupkan. Setelah temperature minyak telah mencapai 80⁰C, salak yang telah kupas dimasukkan, dan menutup rapat tutup silender penggoreng. Salak yang dimasukkan sebanyak 5 kg. Selanjutnya penggorengan dilakukan selama 80 – 100 menit. Setelah waktu waktu penggorengan dicapai kemudian tutup dibuka dan keripik salak diambil dan ditiriskan. 1. Pemilihan Salak 6. Pemasukan Salak 2. Pengupasan 3. Pencucian 5. Pemanasan Minyak hingga 80⁰C 7. Pengentasan 8. Penirisan Minyak 4. Penyiapan minyak goreng 9. Keripik salak siap dikemas Gambar 2. Urutan Proses Pembuatan Keripik Salak Pada saat ujicoba dilakukan pengambilan data penggorengan yang berkaitan dengan kapasitas salak, temperature dan lamanya penggorengan. Data hasil uji coba proses penggorengan dapat dilihat pada table 1. Tabel 1. Karakteristik mesin penggoreng vakum pada pembuatan keripik salak Berat Salak Temperatur Lama Berat Kriteria No awal penggorengan Penggorengan Keripik Keripik 1 5 kg 80 ⁰C 98 menit 1,7 kg Baik, renyah 2 3 5 kg 5 kg 85⁰C 90 ⁰C 96 menit 94 menit 1,6 kg 1,6 kg Baik, renyah Baik, renyah 4 5 kg 95 ⁰C 90 menit 1,5 kg Baik, renyah 5 5 kg 100 ⁰C 86 menit 1,5 kg Baik, renyah 656 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan dapat dilihat bila mesin penggoreng vakum dapat digunakan dan berfungsi dengan baik. Untuk penggorengan keripik salak dengan kapasitas 5 kg dengan temperatur pemanasan 80 – 100 ⁰C, lama penggorengan lebih kurang 86 - 98 menit, dengan hasil keripik seberat 1,5 -1,7 kg. Keripik salak yang dihasilkan warnanya bersih, renyah dan aroma rasa salak masih ada. Penggorengan vakum tidak hanya diperuntukkan untuk membuat keripik salak tetapi dapat digunakan untuk membuat keripik dari berbaga macam buah-buahan diantaranya, nangka, rambutan, apel, belimbing, papaya, mangga, nanas dan lainnya. Dengan teknologi ini buah-buahan yang melimpah dan terbuang pada saat musim buah, dapat dimanfaatkan sehingga tetap memiliki harga jual tinggi. Menggoreng dengan menggunakan penggoreng vakum, akan menghasilkan keripik dengan warna dan aroma buah asli serta rasa lebih renyah. Kerenyahan tersebut diperoleh karena proses penggorengan dilakukan pada temperatur yang rendah sehingga penurunan kadar air dalam buah terjadi secara berangsur-angsur. Penggorengan dengan sistim vakum ini memiliki beberapa keunggulan yaitu : 1). Aman digunakan , karena penggorengan dilakukan dalam keadaan tertutup rapat, sehingga mencegah minyak goreng panas dari cipratan pada saat proses penggorengan, 2) Kebersihan terjamin, tumpahan minyak minimal dan tidak ada cipratan minyak selama proses penggorengan. 3). Dapat melakukan penggorengan dengan akurat, denganpengaturan temperature secara otomatis proses penggorengan dapat berjalan sesuai dengan temperature yang diinginkan, sehingga terhindar dari panas yang berlebihan. 4) Menghasilkan gorengan yang masak merata dari luar sampai dalam. 5) Dapat menggoreng dengan proses yang cepat dan kapasitas yang besar. Mesin penggoreng vakum merupakan mesin penggoreng dalam keadaan hampa. Mesin ini dirancang dapat menggoreng bahan yang kadar airnya tinggi menjadi bahan gorengan yang kadar airnya rendah dengan memanfaatkan kevakuman. Oleh karena itu mesin ini dapat digunakan untuk membuat keripik dari macam-mavam buah dan sayur (fruits and vegetable chips). Mesin penggoreng vakum ini adalah tergolong teknologi tepat guna yang baru dikembangkan. Aneka keripik buah dan sayuran yang dapat dihasil dari mesin ini antara lain : mangga, melon, nanas, nangka, pepaya, salak, jamur tiram, bayam, dan lain-lain. Sistem kerja mesin penggoreng vakum (vacuum frying) sebagai berikut. Buah digoreng pada mesin vacuum fryer dengan media minyak goreng. Pemanasan minyak goreng disetting pada suhu rendah (80 – 100oC). Pemanasan ini menggunakan bahan bakar LPG. Untuk mempercepat penggorengan, maka dilakukan penyedotan kandungan air pada buah dengan cara pemvakuman. Proses pemvakuman ini menggunakan pompa khusus, dengan tenaga listrik. Suhu penggorengan dapat terkontrol secara otomatis (80 – 100oC). Suhu yang terjaga rendah ini, menjadikan produk yang digoreng tidak gosong, sehingga warnanya masih sesuai dengan aslinya. Suhu juga dapat diatur sesuai keinginan, baik diturunkan atau dinaikkan, misalnya saja, jika diinginkan menggoreng bahan lain, yang suhunya butuh lebih rendah ataupun lebih tinggi. Untuk menggoreng buah-buahan yang akan dijadikan sebagai produk olahan terlebih keripik, memang harus memiliki mesin penggoreng vakum. Tanpa alat ini tidak mungkin menghasilkan produk buah olahan berupa keripik yang berkualitas baik bila menggunakan alat penggoreng biasa. Kelebihan buah dan sayur yang digoreng dengan mesin penggoreng vakum yaitu: 657 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta a) Nutrisi tidak hilang, karena digoreng pada suhu rendah (80 - 100oC), disertai dengan pemvakuman. b) Warna tidak berubah dan tidak gosong. c) Penggorengan alami, tanpa penambahan zat pewarna dan perasa. d) Keripik renyah dan nikmat. Ditinjau dari teknik pengoperasiannya, mesin penggoreng vakum tersebut tidak terlalu sulit. Sebab konstruksi mesin ini cukup sederhana yaitu hanya berupa tabung penggoreng, tunggku pemanas, bak air, pompa vakum, control suhu dan tekanan. Cara menghidupkan dan mematikan mesin cukup dengan menekan saklar ke posisi ON/OFF pada kontrol box. Temperatur penggorengan dapat diseting dengan tepat melalui pengaturan saklar pada control box. Pemanas menggunakan kompor LPG, sehingga cukup mudah dihidupkan. Proses penggorengan menggunakan tabung tertutup rapat secara vakum dan pengadukan selama proses penggorengan cukup dengan mengayun enggkol penggerak keranjang penggoreng. Pemakuman dapat dikontrol dengan mudah dengan melihat manometer yang terpasanga pada tabung penggoreng. Penggorengan dapat berlangsung dengan temperaur yang akurat, sehingga tidak mungkin terjadi gosong. Untuk melihat cukup tidaknya lama proses penggorengan dilhat melalui kaca pada tabung penggoreng. Produktivitas mesin penggoreng vakum ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penggorengan tradisional. Selain itu penggorengan tradisional tidak memungkinkan menggoreng bahan yang kadar airnya tinggi menjadi kering seperti keripik. Efisiensi waktu ini berhubngan dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk proses penggorengan menjadikan bahan buah menjadi keripik. Mesin penggoreng vakum yang dibuat dapat menggoreng bahan buah menjadi kripik dengan temperatur penggorengan yang konstan 80⁰C – 100⁰C dalam waktu kurang lebih 90 menit. Hal ini tidak mungkin dicapai dengan penggoreng tradisional. Keselamatan kerja merupakan hal penting dalam setiap melakukan pekerjaan. Demikian halnya, dalam penggunaan mesin penggoreng vakum. Untuk menjaga keselamatan kerja dalam menggunakan mesin penggoreng vakum ini pekerja harus melakukan kontrol temperatur, tekanan, api kompor dan penutupan tutup silinder penggorengan. Selama pengorengan alat ini aman karena penggorengan dilakukan dalam selinder yang tertutup dalam tekanan vakum dibawah 1 atm. Dengan tekanan vakum maka kemungkinan ledakan pada tabung silinder tidak akan terjadi. Karena penggorengan dilakukan pada ruang tertutup rapat maka selama penggorengan minyak panas tidak akan tumpah atau meletik keluar. Sehingga pekerja aman dari cipratan minyak panas. Selain itu tempat kerja akan tetap bersih dan nyaman. Apabila terjadi konslet pada alran listrik maka alat akan mati secara otomatis. Keripik hasil penggorengan vakum memiliki kualitas yang baik ditinjau dari rasa, warna dan kebersihan. Tabung penggoreng mesin ini menggunakan bahan stainless steel yang merupakan bahan yang tidak mengkontaminasi makanan selama proses penggorengan. Adanya pemvakuman maka minyak goreng terjaga kebersihannya, karena uap air dan bahan-bahan lai yang terjadi selama proses penggorengan dapat tersedot keluar oleh sistem vakum yang dibuat. Nilai gizi pada keripik tetap terjaga karena digoreng pada temperatur yang relatif rendah dengan panas yang konstan. Pemanfaatan teknologi mesin penggoreng vakum dapat digunakan sebagai pengembangan peluang usaha. Alasan yang dapat dikemukan dalam pengembangan peluang usaha keripik buah dan sayur layak dilakukan adalah: 658 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta a) Bahan baku mudah diperoleh. b) Keuntungan bisa mencapai 100%. Harga jual keripik buah dengan kualitas sangat baik (standart pasar supermarket) dapat mencapai Rp 65.000,00 sampai dengan Rp 110.000,00/kg. c) d) e) f) Balik modal (break even point/BEP) cepat antara 4 – 6 bulan. Pasar terbuka lebar, bahkan peluang eksport sangat besar. Mesin bisa untuk menggoreng aneka ragam buah dan bahan lain. Proses produksi dan pengelolaan usaha sangat gampang (http://www. mesinproduksi.com/Peluang_Usaha_Baru_Peluang_Usaha_Terbaru.htm. diunduh). Seperti diketahui bersama, untuk komoditi buah-buahan hampir semuanya memiliki kandungan glukosa (gula) yang cukup tinggi. Karenanya, bila mengolahnya dengan cara menggoreng menggunakan alat penggoreng biasa, keinginan untuk bisa berubah menjadi keripik tidak akan kesampaian, justru buah yang digoreng malah meleleh seperti jelly atau kalau tidak demikian malah membuat buah menjadi gosong dan tidak layak untuk dijual maupun dikonsumsi. Beberapa kelebihan jika buah digoreng dengan mesin penggoreng vakum (vacuum frying machine) adalah sebagai berikut: (1) Tidak gosong (sebab siapa yang mau makan keripik gosong), (2) Kandungan nutrisi tidak hilang (tetap menyehatkan), (3) Rasa dan aroma sesuai bahan aslinya, (4) Renyah, (5) Tidak perlu bahan pengawet atau bahan kimia, (6) Tidak perlu penambah rasa buatan, dan (7) Makanan yang memiliki nilai gizi dan serat tinggi. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Bedasarkan hasil yang pengabdian yang telah dipaparkan di atas maka dapat diambil kesimpulan kegiatan PPM ini dapat mewujudkan penerapan mesin penggoreng vakum dengan kapasitas 5-6 kg per proses, bahan bakar LPG dengan kontrol suhu otomatis, pendingin sirkulai air, volume minyak goreng :40 liter , kebutuhan daya : 0,75 - 1 HP (600-750 watt) , dimensi bak air :180 x 120 x 60 cm, dimensi total :180 x 120 x 120 cm. Mesin penggoreng vakum dapat berfungsi dengan baik, pada kapasitas penggorengan 5 kg dengan temperatur penggorengan 80 – 100 ⁰C, lama penggorengan maksimal 98 menit. Mesin penggoreng vakum menghasilkan produk keripik buah dan sayur yang berkualitas baik dengan beberapa keunggulan yaitu: nutrisi tidak hilang, warna tidak berubah dan tidak gosong, penggorengan alami tanpa penambahan zat pewarna dan perasa, renyah dan nikmat. Pengoperasian mesin penggoreng vakum tidak terlalu sulit. Konstruksi mesin ini cukup sederhana terdiri dari tabung penggoreng, tungku pemanas, bak air, pompa vakum, control suhu dan tekanan. Cara menghidupkan dan mematikan mesin cukup dengan menekan saklar ON/OFF pada control box. Produktivitas mesin penggoreng vakum ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penggorengan tradisional Saran Dalam pengoperasian mesin ini sebaiknya dilakukan sesuai dengan prosedur dan memperhatikan keselamatan dalam bekerja. Saat mesin beroperasi sebaiknya dilakukan pengontrolan dengan baik pada temperature penggorengan, tekanan vakum dan sirkulasi air pada pompa dan bak air. Tutup silinder penggoreng betul-betul dalam keadaan tertutup rapat. Pastikan 659 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta baut pengikat mengikat dengan kuat. Perhatikan dan awasi dengan baik nyala kompor gas, dan amati dengan baik kaca pengintip untuk memastikan penggorengan sudah betul-betul matang. Ucapan Terimakasih Program ini terwujud berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada : 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta beserta jajarannya. 2. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Yogyakarta beserta staf-stafnya. 3. Pimpinan ketua dan para anggota KUB ”DHARMA MAKMUR” yang berlokasi di Dusun Ringinlarik RT 14 RW 03, Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Boyolali, Jawa Tengah 4. Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta beserta jajarannya. 5. Ketua Jurusan Diknik Mesin Fakultas Teknik Uneversitas Negeri Yogyakarta 6. Teman-teman Dosen peserta seminar dilingkungan LPPM Universitas Negeri Yogyakarta 7. Badan Pertimbangan LPPM Universitas Negeri Yogyakarta, 8. Tenaga Administrasi LPPM Universitas Negeri Yogyakarta 9. Mahasiswa jurusan Teknik Mesin dan teknisi yang membantu dalam pembuatan mesin ini. Atas bantuan dan perannya selama penyelesaian program PPM ini Tim mengucapkan terima kasih dan semoga mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT Daftar Pustaka Anang Lastriyanto. 1997. Penggorengan Buah Secara Vakum (Vacuum Frying) dengan Meneapkan Pemvakum “Water Jet”. Temu Ilmiah dan Ekspose Alat dan Mesin Pertanian. Cisarua-Bogor, 27 Februari 1997. Hadi Prayitno. (1985). Perencanaan Ekonomi Pedesaan. Yogyakarta: Liber-ty. Anwir, B.S. (1982). Merakit dan Membongkar Jilid 1. Jakarta: Bharata Kar-ya Aksara. Beam. (1990). System Engineering. New York: Mc. Graw Hill, Inc. Cahyono, T.B. dan Adi, S. (2003). Manajemen Industri Kecil. Yogyakarta: Liberty Pres. Daryanto. (2003). Dasar-dasar Teknik Mesin. Jakarta: PT. Bhineka Cipta Jakarta. Dawan Raharjo. (1984). Transparansi Pertanian, Industralisasi, dan Ke-sempatan Kerja. Jakarta: UI Press. Espito dan Thrower, R.J., (1991), Machine Design, New York: Delmar Publi-sher, Inc. Hadi Prayitno. (1985). Perencanaan Ekonomi Pedesaan. Yogyakarta: Liber-ty. Harahap, G. (Tt). Perencanaan Teknik Mesin Jilid 1 Edisi 4. Jakarta: Er-langga. Hendarsih dan Rohman, A.A. (1984). Elemen Mesin (Elemen Konstruksi dari Sipil dan Perencanaan Mesin). Jakarta: Erlangga. http://www.mesinproduksi.com/Peluang_Usaha_Baru_Peluang_Usaha_Terbaru.htm. diunduh tanggal 21 Maret 2010. Irsan Ashari. (1986). Industri Kecil Sebuah Tinjauan dan Perbandingan. Jakarta: LP3ES. M. Fadhil. (2009). Strategi Pengamanan Bersama Masyarakat. Bandung: Unpad Press. Sularso. (1991). Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin Ce-takan 7. Jakarta: Pradnya Paramita Jakarta. 660 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI LAHAN TADAH HUJAN: PRAKTEK PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN Samsuri Tarmadja, Tri Endar Suswatiningsih, dan Eny Rahayu. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta Samsuri.tarmadja@gmail.com Abstrak Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengungkapkan daya guna komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu dilahan tadah hujan yang diterapkan oleh para petani di Semanu. Lahan tadah hujan di wilayah ini meliputi 7.315,41 hektar. Kegiatan produksi pertanian tergantung sepenuhnya pada jumlah curah hujan dan sebaran hujan yang hanya terjadi dalam enam bulan pada setiap tahunnya. Tanahnya berkapur yang bersifat basa dan pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Pengelolaan tanaman terpadu telah disosialisasikan kepada para petani di wilayah ini sejak tahun 2008 melalui kegiatan Sekolah Lapang. Pengelolaan tanaman terpadu merupakan pendekatan yang menyeluruh dalam pengelolaan agroekosistem yang meliputi pengelolaan sumberdaya alam dan tanaman secara terpadu. Komponen yang diterapkan meliputi pemilihan varietas tanaman yang dibudidayakan, sistem penanaman, peningkatan penggunaan pupuk organik untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia, penerapan pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu, dan pemanenan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan responden. Hasilnya menunjukkan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu padi telah dilaksanakan di seluruh dusun di semua desa desa di Semanu, terjadi peningkatan produksi antara 5- 16 persen, peningkatan penggunaan pupuk organik diikuti pengurangan konsumsi pupuk dan pestisida kimia, sistem tumpang sari dan pergiliran tanaman menjadikan keanekaragaman tanaman dalam agroekosistem bertambah Keberdayaan petani mengalami peningkatan yang terukur berdasarkan kinerja dan prestasi atau produktivitas. Kata kunci: Pengelolaan tanaman terpadu, tadah hujan, ramah lingkungan Pendahuluan Semanu merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah 108,39 km2 atau sekitar 7,30 persen dari luas wilayah Kabupaten Gunungkidul. Kecamatan Semanu meliputi 5 Desa yang terdiri atas 106 Dusun. Desa desa tersebut adalah Pacarejo, Candirejo, Dadapayu, Ngeposari, dan Semanu. Infrastruktur berupa jalan beraspal dan jaringan listrik PLN telah menjangkau semua desa. Keadaan topografi yang berbukit meliputi dua desa, yaitu Desa Candirejo dan Dadapayu, sedang ketiga desa yang lainnya didominasi oleh dataran. Potensi lahan pertanian seluruhnya berupa lahan tegalan seluas 7.315,41 hektar yang sepenuhnya sebagai lahan tadah hujan. Rata-rata curah hujan 1387 mm per tahun, Kisaran curah hujan 109 – 350mm per bulan, rata rata jumlah bulan basah enam bulan (Desember s.d. Mei) dan bulan lembap 1 bulan, rata rata bulan kering lima bulan, kisaran jumlah hari hujan per bulan pada bulan basah adalah 8 – 14 hari. Tanahnya berkapur yang bersifat basa. Dalam rangka pencapaian target produksi pangan nasional telah diprogramkan penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi pada semua ekosistem termasuk lahan tadah hujan. Pada prinsipnya PTT adalah model atau pendekatan dalam budidaya yang mengutamakan pengelolaan tanaman, lahan, air, dan organism pengganggu tumbuhan secara terpadu. PTT adalah kombinasi 661 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta teknologi pilihan yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi dan potensi setempat. Tujuan penerapan. PTT adalah untuk meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan teknologi yang cocok untuk kondisi setempat sehingga dapat meningkatkan hasil gabah dan mutu beras serta menjaga kelestarian lingkungan (Suyamto et al., 2008). Ada beberapa definisi dari sistem pengelolaan tanaman terpadu, namun pada umumnya memberikan pengertian sebagai “good agricultural practice”, pendekatan yang menyeluruh dalam pengelolaan agroekosistem, untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dan produk lain dengan cara cara yang efisien, meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tak terbarukan, untuk menjaga kualitas tanah, air dan udara dan mendukung peningkatan keanekaragaman hayati pada lahan pertanian. Bradley, (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan tanaman terpadu meliputi suatu komitmen untuk pengelolaan tanah yang efisien dan teknik teknik budidaya yang cocok, pergiliran tanaman, sekecil mungkin menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk mengungkapkan daya guna komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu dilahan tadah hujan yang diterapkan oleh para petani di Semanu. Metode Sosialisasi sistem pengelolaan tanaman terpadu dilakukan dengan penyelenggaraan Sekolah Lapang, meliputi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, dan SL-PTT Kedelai. Penyelenggaraan dilaksanakan dan diikuti oleh para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani. Setiap Kelompok Tani beranggotakan kurang lebih 25 orang dari satu dusun yang sama dan memiliki lahan dalam satu kelompok hamparan. Setiap kelompok mendapat bantuan penyelenggaraan berupa dana, bibit dan pupuk untuk membuat Laboratorium Lapangan sebagai media belajar. Fasilitator bersama anggota kelompok tani menyusun jadwal untuk mengatur waktu pertemuan antara kelompok tani peserta SL dengan Fasilitator. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bersifat menggali potensi dan permasalahan yang ditujukan untuk menemukan fakta berdasarkan gejala-gejala faktual tentang dayaguna teknologi pengelolaan tanaman terpadu yang diterapkan oleh para petani di Kecamatan Semanu. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei melalui wawancara dengan responden dan wawancara mendalam dengan informan untuk menggali masalah dan hal-hal yang tidak dapat dikuantifikasi. Data produktivitas dikumpulkan dengan mengadakan pengukuran produktivitas di Laboratorium Lapangan (LL) yang mewakili produktivitas SL dan produktivitas di luar L L mewakili petani bukan peserta SL. Hasil dan Pembahasan Pada umumnya para petani di Semanu telah melaksanakan sistem usahatani yang menggabungkan usaha ternak dan pertanian tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan, bahkan pepohonan, meskipun masih dalam skala kecil. Masyarakat lokal juga memiliki kearifan dan kemampuan mengelola sumber daya ekologi antara lain dengan membuat teras pada lahan berlereng, sistem penanaman campuran ataupun tumpanggilir. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu adalah tempat pendidikan non formal bagi petani dari petani, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menggali potensi, menyusun rencana usaha tani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan 662 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usaha taninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan, dengan pendampingan dari penyuluh pertanian, maupun nara sumber yang lain. Dengan pendekatan seperti ini, teknologi hasil penelitian lebih cepat sampai dan diadopsi petani, karena kelebihan paket tersebut sudah teruji langsung di lapangan, lebih bersifat lokal spesifik, dinamis dan partisipatif yakni petani terlibat langsung sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengembangannya. Petani dapat mengadopsi secara parsial atau paket spesifik tergantung kemampuan petani. Komponen pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu yang diterapkan di Semanu meliputi pengolahan tanah minimal dan menjaga tingkat kesuburan tanah, penggunaan varietas unggul dan benih yang berkualitas, perbaikan baris tanaman, pergiliran tanaman, peningkatan penggunaan pupuk organik dan pengurangan pupuk an organik, pengelolaan hama dan penyakit tanaman dengan menerapkan pengelolaan hama terpadu. Keterpaduan komponen tersebut diilustrasikan seperti Gambar 1. menjaga tingkat kesuburan tanah, pengolaha n tanah minimal varietas unggul dan benih yang berkualitas, Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan hama terpadu. perbaikan baris tanaman, pergiliran tanaman, pengurangan pupuk an organik, peningkatan pupuk organik Gambar1. Keterpaduan komponen pengelolaan sumberdaya dan tanaman yang dipadukan Pengelolaan kesuburan tanah Tidak terdapat perbedaan cara pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani peserta SL dan bukan SL. Dalam satu tahun pengolahan tanah hanya dilakukan satu kali dalam 2 tahap pekerjaan, pertama pembajakan dengan traktor yang dilakukan pada musim kemarau, kemudian dibiarkan beberapa minggu (diklantang) kemudian dihancurkan dan diratakan dengan garu. Setelah turun hujan pertama, saat menjelang tanam tanaman pertama tanah tanah ditugal atau dengan dibuat paliran. Untuk tanaman giliran berikutnya tidak perlu dibajak lagi. Penggunaan alat pada pengolahan tanah tergantung tebal tipisnya solum tanah. Pada lahan yang bersolum tipis cukup digunakan cangkul saja. Teknologi yang demikian telah sesuai dengan teknologi yang dianjurkan 663 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pada sistem pertanian berkelanjutan yang juga dianjurkan pada pertanian lahan kering di India (Vittal et al., 2002). Kebiasaan negatif yang masih dilakukan sebagian petani adalah membakar sampah-sampah tersebut di lahan. Pembakaran sisa sisa tanaman di lahan dapat mempercepat penurunan kesuburan dan menambah emisi gas buang. Perubahan sikap petani yang tidak menggunakan ternaknya sebagai sumber tenaga kerja, dan menggantikannya dengan traktor menyebabkan tambahan masukan BBM ke dalam agroekosistem. Tim IbW Semanu telah membuat demplot instalasi biogas yang diharapkan dapat ditiru untuk menggantikan sebagian bahan bakar minyak. Petani juga telah memiliki kearifan lokal dalam mencegah kerusakan lahan dengan pembuatan teras teras pada lahan yang miring. Fungsi pematang juga diperluas sebagai tempat untuk menanam tanaman sumber pakan ternak. Pada kondisi lahan berlereng sampai bergelombang, setelah pengolahan tanah pertama dilakukan pembuatan teras gulud atau perbaikan teras yang rusak, Pada pematang atau bibir teras ada tanaman berupa rumput unggul dan ada pula yang dikombinasikan dengan tanaman legume pohon. Tanaman tersebut berfungsi sebagai penguat teras, dan secara periodik dipangkas untuk pakan ternak Pembuatan drainase dibuat setiap pada jarak 5 meter untuk mencegah genangan yang dapat terjadi bila hujan deras turun berulang ulang dalam jangka pendek. Dengan diterapkannya konservasi sistem vegetatif pada lahan tegalan sangat bermanfaat bagi petani dalam hal: (a). lahan usaha mereka dapat dikelola secara berkelanjutan karena kesuburan lahan dapat dipertahankan; (b). produktivitas tanaman dapat dipertahankan atau ditingkatkan; (c). menambah ketersediaan hijauan untuk pakan ternak; (d). pendapatan rumah tangga petani meningkat (e) Kelestarian lingkungan pada lahan miring dapat dipertahankan. Penggunaan varietas unggul dan benih bersertifikat Selama tiga tahun terakhir, pemerintah daerah memberikan bantuan benih bersertifikat kepada petani. Varietas yang disediakan adalah IR 64 dan Ciherang. Varietas lokal Mandel dan Segreng hanya sebagian kecil yang memilihnya, karena selain berumur lebih panjang, juga resiko roboh lebih besar, karena kadang kadang terjadi angin kencang. Pola tanam dan cara tanam Tanaman padi hanya dapat ditanam sekali pada awal musim hujan, berikutnya ditanami tanaman palawija 1, dan palawija 2. Sistem tanam tumpang sari lebih banyak dipraktekkan daripada monokultur, seperti padi dengan jagung, padi dengan ketela pohon, jagung dengan kedelai. Selain tanaman pangan, sering kali diselipkan pula tanaman dan pepohonan sumber pakan ternak. Sistem tanam tumpangsari dan pergiliran tanaman yang tidak sejenis berarti telah meningkatkan keanekaragaman flora, hal tersebut juga akan diikuti peningkatan keanekaragaman fauna, baik sebagai penyerbuk, musuh alami hama, maupun fauna berguna lainnya (Untung, 2002). Dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan seperti padi, ubi kayu, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan. Dibidang ekonomi mampu memberikan kesinambungan pendapatan selama satu tahun kepada petani. 664 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Sebelum mengikuti SL-PTT pada umumnya padi ditanam dengan disebar, bahkan penyebaran benih dilakukan sebelum musim hujan tiba, Cara tersebut disebut :ngawu-awu” dengan maksud untuk menghemat waktu. Namun cara tersebut mengandung resiko kegagalan yang tinggi, yakni ketika datangnya hujan tidak sinambung. Pada musim tanam 2009/2010, petani bukan peserta SL yang melaksanakan “ngawu-awu” mengalami satu sampai dua kali gagal tanam. Benih yang telah disebar segera berkecambah setelah hujan pertama turun, namun kemudian mati kekeringan karena hujan tidak segera turun lagi. Petani harus mengulangi penanaman sehingga penggunaan benih dua sampai tiga kali lebih banyak daripada peserta SL. Lagi pula tanaman yang barisannya tidak teratur mempersulit tindakan pengendalian gulma secara mekanis. Petani peserta SL mulai melaksanakan kegiatan tanam ketika curah hujan sudah cukup stabil atau curah hujan mencapai 60 mm per sepuluh hari yang biasanya dicapai pada akhir bulan Oktober sampai akhir Nopember. Penanaman benih padi gogo menggunakan alat bantu tugal, Benih ditanam dengan kedalaman sekitar 5 cm (cukup dalam untuk menghindari gangguan semut, dll), kemudian ditutup dengan tanah, Penanaman dianjurkan menggunakan sistem tanam jejer wayang, tegel, ataupun jajar legowo (2:1 atau 4:1) dengan jarak tanam 30 x 20 x 10 cm. Pada keadaan lahan tidak datar atau berlereng, sebaiknya pengaturan barisan tanaman harus memotong lereng, agar bila terjadi hujan yang tinggi dapat mengurangi terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan erosi, benih ditanam sebanyak 4-5 butir per lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Anjuran penanam dalam barisan teratur seperti jejer wayang, tegel, dan jajar legowo pada mulanya dianggap merepotkan. Dengan mengikuti SL-PTT petani mengalami sendiri kelebihan penanaman dengan barisan teratur, seperti penghematan benih dua sampai tiga kali, persentase “paren” (tanaman tak membentuk malai) kecil karena persaingan antar rumpun lebih kecil, serta lebih memudahkan pemeliharaan, Pengelolaan organisme pengganggu tanaman Penyiangan dilakukan 2 – 3 minggu setelah tanam Penyiangan dapat dilakukan dengan menggunakan kored, atau dengan manual menggunakan tangan. Sebaiknya ada atau tidak ada gulma tanah tetap dikored, agar sedikit dapat memotong akar tanaman padi yang diharapkan akan menstimulasi pertumbuhan akar baru. Pengendalian gulma pada pertanaman padi gogo dilakukan lebih awal, yaitu pada umur 10-15 hari setelah tanaman tumbuh, menjelang pemupukan pertama. Penyiangan kedua dilakaukan pada umur 30-45 hari atau menjelang pemupukan susulan. Untuk mengurangi kerugian akibat dari gangguan hama dan penyakit, perlu dilakukan strategi pengendalian yang terencana, dengan menerapkan konsep pengendalian secara terpadu (PHT), Monitoring secara terjadwal harus dilakukan agar keberadaan hama dan penyakit diketahui sejak awal, Pada umumnya para petani telah dapat membedakan jenis jenis hama dengan binatang atau serangga yang bukan hama. Untuk mendukung pengendalian hama dan penyakit secara hayati maka telah dirintis Laboratorium Hayati Sederhana di komplek Balai Penyuluhan Pertanian Semanu. Diharapkan laboratorium dapat dijadikan sarana penyediaan agen agen pengendalian secara hayati, seperti jamur Beauveria bassianan, Spicaria sp., Metarrhizium anisopliae, Cordycep militaris, dan Trichoderma harzianum. Pelatihan pembiakan masal agen hayati tersebut juga telah dilaksanakan oleh Tim IbW Semanu. 665 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tindakan aksi pengendalian penyakit menggunakan fungisida jarang dilakukan. Insiden penyakit pada tanaman padi yang kadang dihadapi petani adalah penyakit blast. Namun dengan sistem tanam tumpang sari sistem baris (strip cropping) padi dengan ketela dan padi dengan jagung ternyata dapat menghambat penyebaran penyakit tersebut. Sistem tanam demikian dimungkinkan juga meningkatkan keanekaragaman musuh alami sehingga mampu menekan perkembangan populasi hama. Dengan penerapan sistem PHT dalam model pengelolaan tanaman terpadu diperoleh keuntungan berupa: (a) berubahnya wawasan petani dalam hal penggunaan pestisida yaitu dari aplikasi untuk pencegahan ke aplikasi berdasarkan hasil pengamatan; (b) berkurangnya frekuensi aplikasi pestisida kimiawi dari rata rata tiga kali menjadi satu kali setiap periode tanam; (c) berkurangnya biaya pengendalian organism pengganggu tanaman. Pemupukan Pemberian pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Aplikasi pupuk organik dilakukan sekitar dua minggu sebelum tanam dengan dosis dua sampai tiga ton per hektar. Pemberian pupuk an organik yang pertama dilakukan sekitar sepuluh hingga lima belas hari setelah tanam dengan dosis 150 sampai 200 kg Phonska. Waktu pemupukan menunggu sampai kondisi lahan dalam keadaan lembab untuk mencegah kematian tanaman karena terjadinya plasmolisis. Pemupukan susulan dengan pupuk urea diberikan pada saat tanaman menjelang bunting, kira kira 45 – 50 hari setelah tanam benih, dengan dosis 75 kg per hektar. Pengurangan penggunaan pupuk kimia dilakukan dengan anjuran peningkatan penggunaan pupuk organik. Petani telah menyadari dari pengalamannya bahwa tanah yang bantat (lebih sulit diolah) diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Dengan menambah dosis pupuk organik juga akan meningkatkan kesuburan fisik dan hayati tanah. Pengembalian residu tanaman ke lahan akan memperbaiki struktur tanah, menambah pori pori yang memperbaiki aerasi dan menahan kelembapan tanah (Vittal et al., 2002). Namun seringkali petani menggunakan pupuk kandang yang belum terdekomposisi sempurna. Tim IbW Semanu terus mendampingi kelompok tani Ngudi Boga yang mengembangkan usaha pupuk organik (PUSPO). Panen dan pasca panen Panen dilakukan ketika sudah melebihi umur masak fisiologis atau lebih dari 95 % gabah telah mengunig, Panen dilakukan pada umur 110 – 130 hari tergantung pada varietas yang di tanam, Pemanenan dilakukan dengan sistem babat bawah, kemudian digebot seperti panen pada padi sawah, Hasil panen dapat langsung dibawa kerumah, dan diproses dengan dilakukan penjemuran, Setelah gabah kering (Kadar air 14 %), gabah dimasukkan pada karung, kemudian disimpan atau dijual. Data pada tahun 2007, sebelum diterapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu, produktivitas padi rata rata 3, 9 ton per hektar. Produktivitas lahan cenderung mengalami peningkatan setelah diselenggarakan SL-PTT. Data produktivitas padi yang dicapai petani disajikan pada Tabel 1. 666 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 1. Produktivitas padi yang dicapai petani peserta dan bukan peserta SL 2010/2011 Nomor Desa SL-PTT Bukan SL-PTT Ton / hektar Ton / hektar 1. Pacarejo 7.57 6,39 2. Candirejo 4,75 4,20 3. Dadapayu 6,34 6,08 4. Semanu 7,93 5,13 5 Ngeposari 7,34 7,2 Rerata 6,79 5,83 Sumber: kompilasi hasil ubinan dengan koreksi 10 % Simpulan dan Saran Simpulan 1. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu padi telah dilaksanakan di seluruh dusun di semua desa desa di Semanu. 2. Peningkatan produksi padi dan produksi tanaman lainnya dengan cara yang lebih efisien. 3. Peningkatan penggunaan pupuk organik diikuti dengan pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida kimia. 4. Sistem tumpang sari dan pergiliran tanaman menjadikan keanekaragaman tanaman dan fauna dalam agroekosistem bertambah 5. Keberdayaan petani peserta SL mengalami peningkatan yang terukur berdasarkan kinerja dan prestasi atau produktivitas. Saran 1. Penyediaan benih yang berproduksi tinggi, umur pemdek, tahan kekeringan dan hama/penyakit. 2. Mempromosikan produksi dan konsumsi aneka-ragam pangan berbasis sumberdaya lokal. 3. Menghimpun “best-practices” pendampingan yang dilakukan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan ketahanan pangan masyarakat. 4. Adanya kolaborasi baru antara pihak Pemerintah Kabupaten Gunumgkidul dengan badan atau lembaga-lembaga penyandang dana lainnya dalam konteks pembangunan pedesaan terpadu. 5. Mempererat kolaborasi yang sudah ada baik dalam bentuk bantuan dana, ekpertis, maupun penelitian dengan penekanan pada upaya mendukung pembangunan pertanian dalam rangka menciptakan usaha pertanian yang efisien, berorientasi pasar, agribisnis dan agroindustri di daerah pedesaan. 667 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 6. Bidang lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya kerjasama untuk mengkaji upaya konservasi tanah dan air termasuk teknologi penampungan air, teknologi pasca panen Ucapan Terimakasih Program Ipteks bagi Wilayah, Semanu Gunungkidul, dibiayai oleh: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Hibah Kompetitif Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Riset Nomor: 21/SP-3PM/V/2011 tanggal 11 Mei 2011, untuk itu diucapkan terima kasih. Daftar Pustaka Bradley, D; M. Christodoulou; C. Caspari; and,P. Di Luca. (2002), Integrated Crop Managemant System in The EU, Amended Final Report for European Commission DG Environment Submitted by Agra CEAS Consulting. www.ceas.com/ 1882/BDB/May 2002. IFAD, 2000. Sustainable Livelihoods in The Drylands. A Discussion Paper for The Eight Session of The Commission on Sustainable Developmen. United Nations, NEW YORK ;25 April–5 May 2000 Suyamto, H. M. Toha, H. Pane, Y. Samaullah, T.S. Kadir, dan A. Guswara (2008), Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Tadah Hujan. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Departeman Pertanian. Jakarta. Vittal, K.P.R., G.R. Maruthi Sankar, H.P. Singh, and J.S. Samra (2002). Sustainability of Practices of Dryland Agriculture, Methodology and Assessment, All India Coordinated Research Project for Dryland Agriculture Central ResearchInstitute for Dryland Agriculture. Santoshnagar, Hyderabad 500 059 668 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN PEMBUATAN MEDIA DIGITAL STORY TELLING (DST) BERBASIS SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY (SSP) BAGI GURU SMK UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU SEBAGAI PENUNJANG PROGRAM PPG Dyah Purwaningsih, Pujianto dan Sugi Rahayu Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Program pengabdian ini bertujuan untuk : 1) Meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan tentang konsep dasar, teori dan prinsip mengenai cara mengembangkan media pembelajaran berbasis Subject Specific Pedagogy (SSP) di kelas; 2) Meningkatkan keterampilan peserta pelatihan dalam mengembangkan media pembelajaran di kelas; dan 3) Meningkatkan motivasi peserta pelatihan untuk mengembangkan media pembelajaran di kelas. Adapun media pembelajaran difokuskan pada media Digital Story Telling (DST). Sasaran program ini adalah guru-guru SMK kelompok bisnis dan manajemen di lingkungan sekitar Fakultas Ilmu Sosial UNY. Program diselenggarakan dengan metode ceramah, diskusi-informasi, workshop, dan disseminasi terbatas. Sebanyak 34 guru SMK terlibat dalam program ini dengan pemilihan peserta menggunakan proporsional random sampling. Setiap SMK diwakili oleh 2 sampai 3 guru dalam satu rumpun bidang ilmu. Hasil pelaksanaan program menunjukkan bahwa pengetahuan peserta mengenai pengembangan media pembelajaran meningkat. Hal ini terlihat dari hasil analisis ketika dilakukan diskusi antar peserta. Program juga telah berhasil meningkatkan keterampilan peserta dalam mengembangkan media pembelajaran DST. Sebanyak 3 buah media berhasil dikembangkan oleh peserta. Respon dan motivasi para peserta untuk mengembangkan media DST juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kata kunci: media pembelajaran, guru SMK, DST Pendahuluan Guru merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Untuk itu, kualitas guru perlu senantiasa ditingkatkan sejalan dengan mutu pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Peningkatan kualitas tersebut diwujudkan dalam suatu program sertifikasi bagi guru. Salah satu tujuan digulirkannya program sertifikasi bagi guru oleh pemerintah adalah untuk membuat suatu standar terkait profesionalisme seorang guru. Hal ini berarti pemerintah menghendaki adanya suatu ukuran atau kriteria khusus untuk mengelompokkan seorang guru ke dalam kategori professional. Kriteria professional dilihat dari beberapa unsur penunjang profesi guru yaitu professional dalam merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran, mengembangkan model pembelajaran, menyusun dan mengembangkan media/peraga pembelajaran dan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang diselenggarakannya. Mekanisme untuk seleksi pemberian sertifikat pendidik bagi guru dari tahun ke tahun mengalami perubahan dalam rangka perbaikan menuju kualitas system seleksi. Salah satu perubahan tersebut adalah dirubahnya sistem seleksi portofolio ke sistem Pendidikan Profesi Guru 669 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta (PPG). Program PPG ini dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan yang memadai sebagai seorang guru professional. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan dalam mengembangkan perangkat pembelajaran berlandaskan Subject Specific Pedagogy (SSP). Perangkat pembelajaran SSP harus dilengkapi dengan media pembelajaran yang sesuai dan mendukung karakteristik materi ajar. Pengalaman Tim pengabdi sebagai pendamping dan pembina guru-guru SMK menunjukkan bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam memilih media yang sesuai untuk membantunya mengajarkan materi dalam kelas. Media yang ada di pasaran kebanyakan berupa media text book dan masih sedikit media yang menggunakan aspek audio dan visual. Hal ini menyebabkan kurang optimalnya keterampilan berbicara maupun keterampilan mendengarkan (listening) yang dimiliki para peserta didik. Apabila kondisi ini tidak segera diatasi maka dapat berakibat kurang efektifnya pembelajaran di kelas. Tersedianya fasilitas internet di sekolah merupakan salah satu komponen yang secara tidak langsung dapat membantu guru. Guru dengan mudah mengakses bahan-bahan ajar, contoh penerapan konsep dan aspek-aspek lain yang dapat digunakannya dalam pembelajaran di kelas. DST ( Digital Story Telling) merupakan salah satu media pembelajaran yang mencoba menggabungkan beberapa keterampilan yaitu keterampilan berbicara, keterampilan menulis, keterampilan mendengarkan dan keterampilan mengoperasikan program yang memanfaatkan perkembangan ICT. Guru dapat menuangkan materi ke dalam media di atas sesuai indikator pembelajaran yang akan dikembangkannya. Hal ini yang menguatkan DST untuk dapat diterapkan sebagai media pembelajaran dalam kelas. Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelompok Bisnis dan Manajemen adalah kelompok guru yang menghadapi anak didik yang berada pada usia remaja yang tentunya sangat tidak mudah dalam mendidiknya. Dalam mengajar Guru SMK harus memiliki kiat yang jitu agar konsentrasi dan perhatian anak didiknya terfokus kepada pelajaran. Berdasarkan wawancara dengan pengurus MGMP SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen Bidang Administrasi Perkantoran Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Bapak Drs. Supriyadi diperoleh informasi bahwa mereka kurang tersentuh oleh kegiatan yang dilakukan oleh Universitas Negeri Yogyakarta yang juga merupakan almamater dari sebagian besar guru SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen Bidang Administrasi Perkantoran yang ada di Propinsi Daerah Intimewa Yogyakarta, terlebih untuk sekolah swasta. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi bagian yang ikut andil dalam meningkatkan kemajuan dan kualitas pendidikan pada umumnya dan berusaha ikut aktif dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di bidang kependidikan. UNY melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PPM) baik di tingkat Fakultas maupun Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) berusaha menjalin kerjasama dan 670 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memberikan pelayanan kepada lembaga lain dalam upaya memecahkan masalah pendidikan yang ada di sekolah. Salah satu masalah pendidikan di SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran terjadi karena guru belum memiliki cukup kecakapan dalam membuat dan menggunakan media pembelajaran yang berupa media audio visual. Guru-guru selalu berusaha menyusun media tersebut akan tetapi masih menemui banyak kendala. Besarnya kendala inilah yang mendorong Tim pengabdi berusaha membantu para guru SMK untuk mengatasinya kesulitan tersebut melalui kegiatan pengabdian ini. Hal lain yang memperkuat diselenggarakannya kegiatan pengabdian ini adalah tim pengabdi pernah mendapatkan materi mengenai bagaimana mengembangkan media audio visual berbasis ICT selain adanya permintaan para guru untuk diberikan bekal dalam memulai mengembangkan media pembelajaran dalam kelas.. Oleh karena didorong oleh keinginan untuk membantu para guru dalam mengembangkan media pembelajaran audio visual untuk pembelajaran di kelas, maka pelatihan pembuatan media DST (Digital Story Telling) untuk membantu proses pembelajaran di kelas bagi guru-guru SMK ini dilaksanakan. Karakteristik Media Digital Story Telling (DST) Media Digital Story Telling (DST) merupakan salah satu jenis media pembelajaran yang menggabungkan aspek visualisasi gambar dengan efek suara. Adapun penggabungan dua aspek ini memanfaatkan program Audacity dan mengoperasikannya dengan Windows Movie Maker. Visualisasi gambar dapat dibuat secara bebas oleh si perancang dan pembuat media tersebut. Untuk keperluan pendidikan, gambar dapat berupa fenomena alam yang berkaitan dengan konsep ilmu tentang materi yang akan diajarkan ke peserta didik. Pembelajaran di dalam kelas RSBI/SBI selain menekankan pada peningkatan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajarinya juga berusaha mengoptimalkan kemampuan siswa berbicara dalam bahasa asing (bahasa Inggris). Guru harus dapat membantu para siswa mengembangkan keterampilan tersebut. Keadaan inilah yang menyebabkan ketersediaan media audio visual untuk kelas RSBI/SBI sangat diperlukan demi kelancaran proses pembelajaran. DST memiliki salah satu keuntungan yaitu suara yang diisikan dapat suara asli seorang native speaker ataupun suara guru. Jika guru ingin menyampaikan suara asli seorang native speaker maka suara tersebut dapat diambil di beberapa web yang menyediakannya secara gratis. Nilai plus (added value) inilah yang membuat DST sebagai salah satu jenis media pembelajaran yang cukup ’luwes’. Artinya, keluwesannya terletak pada jenis materi dapat dipilih sendiri oleh si penyusun media dan gambar maupun suaranya pun demikian. 671 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pentingnya Media dan Kriteria Media yang Baik dalam Proses Pembelajaran Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Ujung akhir dari pemilihan media adalah penggunaaan media tersebut dalam kegiatan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berinteraksi dengan media yang kita pilih. Apabila telah ditentukan media alternatif yang akan digunakan dalam pembelajaran, maka pertanyaan berikutnya yaitu sudah tersediakah media tersebut di sekolah atau di pasaran? Jika tersedia, maka kita tinggal meminjam atau membelinya saja. Itupun jika media yang ada memang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah kita rencanakan, dan terjangkau harganya. Jika media yang kita butuhkan ternyata belum tersedia, mau tak mau kita harus membuat sendiri program media sesuai keperluan tersebut. Jadi, pemilihan media itu perlu kita lakukan agar dapat menentukan media yang terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran peserta didik. Untuk itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar, karena begitu banyak jenis media dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Secara umum, kriteria yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan media pembelajaran diuraikan sebagai berikut. a) Tujuan Apa tujuan pembelajaran (TPU dan TPK ) atau kompetensi yang ingin dicapai? Apakah tujuan itu masuk kawasan kognitif, afektif , psikomotor atau kombinasinya? Jenis rangsangan indera apa yang ditekankan: apakah penglihatan, pendengaran, atau kombinasinya? Jika visual, apakah perlu gerakan atau cukup visual diam? Jawaban atas pertanyaan itu akan mengarahkan kita pada jenis media tertentu, apakah media realia, audio, visual diam, visual gerak, audio visual gerak dan seterusnya. b) Sasaran didik Siapakah sasaran didik yang akan menggunakan media? bagaimana karakteristik mereka, berapa jumlahnya, bagaimana latar belakang sosialnya, apakah ada yang berkelainan, bagaimana motivasi dan minat belajarnya? dan seterusnya. Apabila kita mengabaikan kriteria ini, maka media yang kita pilih atau kita buat tentu tak akan banyak gunanya. Mengapa? Karena pada akhirnya sasaran inilah yang akan mengambil manfaat dari media pilihan kita itu. Oleh karena itu, media harus sesuai benar dengan kondisi mereka. c) Karateristik media yang bersangkutan Bagaimana karakteristik media tersebut? Apa kelebihan dan kelemahannya, sesuaikah media yang akan kita pilih itu dengan tujuan yang akan dicapai? Kita tidak akan dapat memilih media 672 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dengan baik jika kita tidak mengenal dengan baik karakteristik masing-masing media. Karena kegiatan memilih pada dasarnya adalah kegiatan membandingkan satu sama lain, mana yang lebih baik dan lebih sesuai dibanding yang lain. Oleh karena itu, sebelum menentukan jenis media tertentu, pahami dengan baik bagaimana karaktristik media tersebut. d) Waktu Yang dimaksud waktu di sini adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengadakan atau membuat media yang akan kita pilih, serta berapa lama waktu yang tersedia/yang kita memiliki. Pertanyaan lain adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyajikan media tersebut dan berapa lama alokasi waktu yang tersedia dalam proses pembelajaran? Tak ada gunanya kita memilih media yang baik, tetapi kita tidak cukup waktu untuk mengadakannya. Jangan sampai pula terjadi, media yang telah kita buat dengan menyita banyak waktu, tetapi pada saat digunakan dalam pembelajran ternyata kita kekurangan waktu. e) Biaya Faktor biaya juga merupakan pertanyaan penentu dalam memilih media. Bukankah penggunaan media pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran. Apalah artinya kita menggunakan media, jika akibatnya justru pemborosan. Oleh sebab itu, faktor biaya menjadi kriteria yang harus kita pertimbangkan. Berapa biaya yang kita perlukan untuk membuat, membeli atau meyewa media tersebut? Bisakah kita mengusahakan beaya tersebut/ apakah besarnya biaya seimbang dengan tujuan belajar yang hendak dicapai? Tidak mungkinkan tujuan belajar itu tetap dapat dicapai tanpa menggunakan media itu, adakah alternatif media lain yang lebih murah namun tetap dapat mencapai tujuan belajar? Media yang mahal, belum tentu lebih efektif untuk mencapai tujuan belajar, dibanding media sederhana yang murah. f) Ketersediaan Kemudahan dalam memperoleh media juga menjadi pertimbangan kita. Adakah media yang kita butuhkan itu di sekitar kita, di sekolah atau di pasaran ? Kalau kita harus membuatnya sendiri, adakah kemampuan, waktu tenaga dan sarana untuk membuatnya? Kalau semua itu ada, petanyaan berikutnya tersediakah sarana yang diperlukan untuk menyajikannya di kelas? Misalnya, untuk menjelaskan tentang proses tejadinya gerhana matahari memang akan lebih efektif jika disajikan melalui media video. Namun karena di sekolah tidak ada aliran listrik atau tidak punya video player, maka sudah cukup bila digunakan alat peraga gerhana matahari. 673 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta g) Konteks penggunaan Konteks penggunaan maksudnya adalah dalam kondisi dan strategi bagaimana media tersebut akan digunakan. Misalnya: apakah untuk belajar individual, kelompok kecil, kelompok besar atau masal ? Dalam hal ini kita perlu merencanakan strategi pembelajaran secara keseluruhan yang akan kita gunakan dalam proses pembelajaran, sehingga tergambar kapan dan bagaimana konteks penggunaaan media tersebut dalam pembelajaran. h) Mutu Teknis Kriteria ini terutama untuk memilih/membeli media siap pakai yang telah ada, misalnya program audio, video, garafis atau media cetak lain. Bagaimana mutu teknis media tersebut, apakah visualnya jelas, menarik dan cocok ? Apakah suaranya jelas dan enak didengar ? Jangan sampai hanya karena keinginan kita untuk menggunakan media saja, lantas media yang kurang bermutu kita paksakan penggunaannya. Perlu diinggat bahwa jika program media itu hanya menjanjikan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan oleh guru dengan lebih baik, maka media itu tidak perlu lagi kita gunakan. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, termasuk menerbitkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, dan berbagai peraturan perundangan lainnya, yang menegaskan peranan strategis guru dan dosen dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi. Menurut UU No 20/2003 tentang SPN pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S-1Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru, agar mereka dapat menjadi guru yang profesional sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik. 674 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Adapun tujuan diselenggarakannya kegiatan pelatihan pembuatan media DST (Digital Story Telling) untuk pembelajaran di kelas adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan tentang konsep dasar, teori dan prinsip mengenai cara mengembangkan media pembelajaran berbasis Subject Specific Pedagogy (SSP) di kelas 2. Meningkatkan keterampilan peserta pelatihan dalam mengembangkan media pembelajaran di kelas 3. Meningkatkan motivasi peserta pelatihan untuk mengembangkan media pembelajaran di kelas Beberapa manfaat yang dapat diperoleh setelah berlangsungnya kegiatan pelatihan adalah: 1. Bagi para peserta pelatihan, sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan maupun keterampilannya dalam mengembangkan media pembelajaran audio visual di dalam kelas 2. Bagi sekolah, sebagai sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia. 3. Terjalinnya kerja sama yang saling menguntungkan antara sekolah dengan Universitas Negeri Yogyakarta dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran di SMK. 4. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta, sebagai sarana untuk memperkenalkan kepada masyarakat tentang potensi dan layanan yang dapat diberikan. Metode Pelaksanaan Kegiatan PPM Metode kegiatan ini meliputi ceramah, diskusi-informasi, workshop, dan disseminasi terbatas. Secara lebih rinci metode yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menjelaskan kepada peserta pelatihan mengenai berbagai macam cara mengembangkan media pembelajaran berbasis Subject Specific Pedagogy (SSP). 2. Diskusi-informasi membahas cara mengatasi kesulitan dalam memulai mengembangkan media pembelajaran serta menjelaskan cara menuangkan materi ajar ke media tersebut. 3. Para peserta diberi kesempatan untuk mencoba menyusun dan mengembangkan media DST ke dalam draft awal. 4. Hasil uji coba selanjutnya dipresentasikan untuk bahan diskusi dan selanjutnya siap didisseminasikan di sekolah. Hasil Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan Program ini diawali dengan analisis kebutuhan yang dilakukan dengan pengamatan dan diskusi informasi antara Tim pengabdi dengan para guru SMK di sekitar kampus UNY. Hasil analisis ini selanjutnya digunakan sebagai dasar dan bahan pertimbangan mengenai kebutuhan apa sajakah yang diperlukan oleh guru SMK untuk membantu kelancaran pembelajaran di kelas. Berdasarkan 675 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta diskusi dengan beberapa guru SMK tersebut dapat diketahui bahwa masih diperlukannya suatu program pelatihan mengenai pengembangan media pembelajaran yang berbasis ICT dan bermuatan Subject Specific Pedagogy (SSP) mengingat adanya program pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru di sekolah. Sebagai tindak lanjut dari tahap analisis kebutuhan dirancanglah suatu program untuk memfasilitasi kebutuhan guru-guru di SMK seperti diuraikan di atas, Bentuk program tersebut berupa pelatihan pembuatan media Digital Story Telling (DST) berbasis Subject Specific Pedagogy (SSP). Pemilihan DST sebagai landasan pengembangan media dikarenakan media pembelajaran ini melibatkan peran ICT dan kreativitas guru dalam penyusunan dan pengembangan muatan media pembelajaran yang akan dibuat oleh guru. Implementasi dari rancangan program pelatihan adalah dengan mengundang sejumlah guru SMK di sekitar kampus UNY yang sebagian besar merupakan guru mitra ketika diselenggarakan program KKN-PPL bagi mahasiswa program studi kependidikan. Realisasi pelaksanaan program menunjukkan adanya respon positif dari guru-guru SMK. Hal ini dapat dilihat dari jumlah guru yang memenuhi undangan Tim pengabdi yaitu 34 guru SMK dari 35 guru SMK yang ditargetkan pada tahap perencanaan. Kegiatan juga melibatkan mahasiswa sebanyak 3 orang yang membantu proses perancangan maupun penyusunan media DST. Indikator-indikator tersebut telah menunjukkan bahwa program pengabdian yang dilaksanakan telah memenuhi target yang direncanakan oleh Tim Pengabdi. Namun demikian, dari 5 buah media dengan 5 tema pembelajaran yang ditargetkan hanya dapat dibuat 3 media dengan 3 tema pembelajaran. Hal ini dikarenakan tema-tema inilah yang dianggap oleh para peserta sebagai tema yang mendesak untuk segera dibuatkan media pembelajarannya. Pertimbangan ini didasarkan dari ketersediaan media pembelajaran berbasis ICT untuk tema-tema tersebut sangat jarang ditemukan di sekolah. Adapun pelaksanaan program ini secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut: a). Pembuatan Media DST sesi I diikuti oleh 34 orang guru SMK dan dibantu 3 orang mahasiswa serta 1 orang laboran (dilaksanakan tanggal 23 Juli 2011 di Laboratorium Komputer Jurusan ADP FISE UNY). Pada akhir pertemuan sesi I disepakati bahwa penyempurnaan media dilakukan di rumah sebagai tugas mandiri per kelompok b). Pembuatan Media DST sesi II diikuti oleh 34 orang guru SMK dan dibantu 3 orang mahasiswa serta 1 orang laboran (dilaksanakan tanggal 30 Juli 2011 di Laboratorium Komputer Jurusan ADP FISE UNY). Pada kegiatan ini dipresentasikan hasil atau produk berupa media DST oleh setiap kelompok. Sesi III dari pelaksanaan program ini adalah implementasi penggunaan media DST di sekolah. Guru-guru SMK memanfaatkan media DST yang telah dikembangkannya sebagai salah satu media pembelajaran di kelas. Hasil pengamatan dan diskusi dengan guru mengenai implementasi media ini di sekolah menunjukkan bahwa media yang dikembangkan sangat membantu guru dalam 676 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta meningkatkan keterampilan profesionalisme seorang guru serta memudahkan siswa dalam memahami suatu konsep materi pembelajaran. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis terhadap keterlaksanaan program dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengetahuan peserta pelatihan tentang konsep dasar, teori dan prinsip mengenai cara mengembangkan media pembelajaran berbasis Subject Specific Pedagogy (SSP) di kelas mengalami peningkatan setelah mengikuti program pelatihan. 2. Keterampilan peserta pelatihan (guru-guru SMK) dalam mengembangkan media pembelajaran di kelas meningkat. 3. Motivasi peserta pelatihan untuk mengembangkan media pembelajaran di kelas meningkat. Peningkatan ini dapat dilihat dari adanya antusiasme dari peserta pelatihan selama pelaksanaan program. Program pengabdian mengenai pelatihan pembuatan media pembelajaran DST sebagai penunjang Program Profesi Guru (PPG) ini hendaknya dikembangkan lebih lanjut dengan menambah materi atau topik yang dibuat media DST-nya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui respon pengguna (dalam hal ini sekolah, guru dan siswa) untuk setiap materi yang dikembangkan. Daftar Pustaka Breen & Candlin. 1980. The Essentials of a Communicative Curriculum in Language Teachin., Applied Linguistics, 1(2) pp 89-112 Chang,W. 2001. Perceptions of Teaching and Learning in Year One University Physics in Taiwan: Students' and Prof essors' Perspectives . Institute of Optical Physics Feng Chia University Taiwan. http://www2.physics.umd.edu/ Cohran, W.G. 1963. Sampling Techniques. New York : John Willey & Sons.Inc. Copi, Irving. 1986. Informal Logic. New York : Mc Millan Publishing Company. Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga Glasersfeld, Ernst Von. 1989. An Exposition of Constructivist Why Some Like it Radical. Scientific Reasoning Research Institute. University of Massachusetts. ------------, Constructivist Learning Theory. 2002,. http://www.stemnet. nf.ca. Guilford, J.P. 1973. Fundamental Statistic in Psychology and Education. New York : Mc Graw-Hill Book Company. Harlen, W. 1992. The Teaching of Science. London : David Fulton Publisher. 677 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Honebein. 1996. Characteristics of Constructivist Learning and Teaching. ,. http://www.stemnet. nf.ca. Howe, Ann. 1996. Development of Science Concept within Vygotskian Framework. Science Education. John Willey and Son. Johnson, David & Roger Johnson. 2000. Cooperative Learning Methods : A Meta Analysis. Minessota University Jonassen. 1994. Characteristics of Constructivist Learning and Teaching. http://www. Stemnet.nf.ca Klapper, Joseph. 1990. The Effects of Mass Communication. New York : The Free Press. Kerlinger. F.N. 2002. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Terjemahan Landung R Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo Lonning, R. A. 1993. Effect Cooperative Learning Strategis on Student Verbal Interaction and Achievement During Conceptual Change Instruction in th Grade General Science. Journal of Research in Science Teaching. Vol.30 No. 9 pp 1087-1101. Pigay,N.(2004). TKI dan Tuntutan globalisasi. Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004 Piaget. J.1969. The Child’s Conception of Physical Causality. New Jersey : Little Field, Adams & Co. Sadia. 1996. Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Perkuliahan IPA di SMP. (Suatu Studi Eksperimental dalam Perkuliahan Konsep Energi Usaha dan Suhu di SMPN I Singaraja). Disertasi (tidak diterbitkan). IKIP Bandung. Semiawan, Conny. R. Kontribusi Perdosenan Tinggi di Indonesia dalam Transformasi Pendidikan Menengah Menghadapi Era Global. Stadium General IKIP Singaraja. 2001. Shaffer, David. R. 1996. Development Psychology Childhood and Adolescend. Georgia : Brooks / Cole Publishing Company 678 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMBANGUNAN JARINGAN DISTRIBUSI AIR BERSIH UNTUK KORBAN ERUPSI MERAPI DI DUSUN MANGUNSOKO, DESA KALIBENING, KECAMATAN DUKUN, KABUPATEN MAGELANG Endaryanta, Bambang Sugestiyadi, Sunaryo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Telah terjadi letusan dahsyat gunung Merapi pada Oktober 2010. Bahaya yang ditimbulkan tidak hanya saat meletusnya saja (material vulkanik panas), tetapi pasca letusan (berupa lahar dingin & material vulkanik lainnya) juga sangat berbahaya karena meruntuhkan apa saja yang diterjangnya. Aliran material vulkanik bisa menghancurkan sarana prasarana : jalan raya, jembatan, rumah, lahan pertanian, saluran air, dan sebagainya. Dusun Mangunsoko, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang adalah salah satu dusun yang terkena dampak erupsi Merapi ini. Rumah, lahan pertanian dan saluran air di dusun itu rusak diterjang material vulkanik. Aktivitas dan kegiatan ekonomi warga lumpuh atau terganggu. Team PPM UNY bertekad untuk berkiprah dengan memperbaiki / membangun kembali jaringan distribusi air bersih di dusun Mangunsoko itu. Team PPM UNY berusaha membantu warga dengan berkarya : membuat desain system jaringan air bersih, melakukan pengawasan (supervise) proses pembangunan jaringan, dan membantu sebagian material pembangunan ( semen PC, pipa PVC / pralon, dan lain lain). Jaringan saluran distribusi air ini mengandalkan system gravitasi. Hasil yang diperoleh dari kerja keras team PPM UNY bergotong royong dengan warga kini telah terwujud. Ujudnya ialah sebuah desain dan bangunan system jaringan distribusi air bersih, mulai dari bak tangkap air, reservoir primer & sekunder, pipa-pipa distribusi ke rumah warga. Kini jaringan itu sudah berfungsi dengan baik mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga dusun Mangunsoko, desa Kalibening, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang. Warga bisa minum, bertani, beternak ikan menggunakan air tersebut. Kata Kunci : erupsi Merapi, distribusi, gravitasi. Pendahuluan Telah terjadi letusan Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010. Letusan gunung Merapi tahun 2010 ini lebih besar dibanding dengan letusan gunung tersebut lebih dari 100 tahun lalu /tahun 1872 ( menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Subandriyo). Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan besar indeks letusan adalah dari jumlah material vulkanik yang telah dilontarkan. Pada letusan 1872, jumlah material vulkanik yang dilontarkan oleh Gunung Merapi selama proses erupsi mencapai 100 juta meter kubik. Sementara itu, hingga kini jumlah material vulkanik yang telah dimuntahkan Gunung Merapi sejak erupsi pada 26 Oktober 2010 hingga sekarang telah mencapai sekitar 140 juta meter kubik dan aktivitas seismik gunung tersebut belum berhenti. Sebagian besar material vulkanik itu mengarah ke Kali Gendol. Berdasarkan hasil pemantauan, masih terjadi gempa tremor secara beruntun yang mengindikasikan adanya aktivitas magma di dalam tubuh gunung. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono mengatakan ada beberapa ahli vulkanologi dan geologi dari negara asing (Jepang, USA, Perancis) yang ingin membantu melakukan pemantauan terhadap 679 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta aktivitas Merapi. Merapi adalah sebuah laboratorium dunia sehingga siapa pun bisa melakukan penyelidikan, apalagi letusan Merapi terjadi tidak satu tahun sekali. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif mengimbau agar masyarakat tetap mengikuti instruksi pemerintah untuk berada di radius aman, yaitu 20 km dari puncak Gunung Merapi. Masyarakat juga diminta untuk tidak beraktivitas di jarak 500 meter dari tiap sisi sungai, khususnya sungai yang berhulu di Gunung Merapi, untuk menghindari bahaya lahar dingin. Berdasarkan data dari BNPB, jumlah korban yang meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi sejak 26 Oktober2010 telah mencapai 151 orang yang terdiri atas 135 orang di DIY dan 16 orang di Jawa Tengah dan total pengungsi mencapai 320.090 jiwa. Letusan Gunung Merapi tersebut juga merusak 291 rumah. Satu tanggul jebol di Desa Ngepos akibat luapan lahar dingin. (Sumber: Yogyakarta, KOMPAS.com, 2010) Selanjutnya data penduduk yang terkena dampak erupsi Merapi di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 1. Komposisi Penduduk Terdampak MAGELANG BOYOLALI KLATEN Kepala Keluarga Σ L 15,758 733 1,845 393 0 0 SLEMAN TOTAL 3,218 20,821 Wilayah P 504 0 0 1,438 2,564 209 713 Jumlah Jiwa Σ L 58,076 14,899 6,498 3,445 0 0 P 15,413 3,244 0 10,650 75,224 4,940 23,516 5,172 23,597 Pasca erupsi Merapi tahun 2010 ini memang banyak menimbulkan kerusakan infrastruktur yang berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk sekitar merapi. Sebagai contoh adalah desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Warga yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani sangat merasakan dampaknya. Salah satu dampaknya adalah saluran irigasi yang biasanya mengairi tanaman mereka dan distribusi jaringan air bersih sekarang rusak akibat erupsi Merapi. Serta yang paling utama dan mendesak adalah distribusi air minum untuk keluarga sekarang rusak akibat erupsi merapi Dan untuk meneruskan aktivitas mereka seperti sebelum erupsi Merapi, mereka harus memperbaiki saluran irigasi dan jaringan distribusi air minum yang rusak tersebut. Namun sumberdaya yang ada bisa dikatakan terbatas sehingga perbaikan irigasi dan air minum tersebut membutuhkan bantuan, baik secara material maupun non material. Keterbatasan sumberdaya ini memang di rasakan hampir di semua wilayah. Dari hasil survey di lapangan, material batu dan pasir sudah tersedia melimpah di sekitar lokasi, sehingga yang di butuhkan untuk memperbaiki saluran irigasi dan infrastruktur lainnya diantaranya : paralon ukuran 2 dim, 1 dim dan ¾ dim untuk distribusi air minum ke rumah keluarga, Semen, dll. Untuk itu warga setempat sangat membutuhkan bantuan tersebut agar bisa membangun infrastruktur dan lekas bisa kembali mandiri tanpa mengandalkan bantuan lagi. Target dari Program Pengabdian Masyarakat (PPM) yang akan dilakukan oleh dosen / Team 680 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PPM Fakultas Teknik UNY adalah menyumbangkan pemikiran rancangan distribusi air bersih dan pembangunannnya yang akan dikerjakan secara gotong royong. Sumber air bersih diperoleh dari sumber mata air dari gunung merapi sejauh 2,3 km. Jumlah kepala keluarga yang akan memperoleh distribusi air bersih sekitar 97 KK (kepala keluarga), apabila ada dana, dapat diperluas lagi. Landasan Teori 1. Manajemen Bencana Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar di Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, maupun daerah lainnya di Indonesia, telah membuka mata kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktu-waktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagi Siklus Manajemen Bencana bertujuan untuk: (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Secara umum kegiatan manajemen bencana dibagi dalam 3 kegiatan utama yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi kesiapsiagaan, serta peringatan dini; 2. Kegiatan saat terjadi bencana, mencakup : kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian; 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 4. Yang paling utama dan mendesak adalah distribusi air minum untuk keluarga yang sekarang rusak akibat erupsi merapi. 2. Mitigasi Bencana Kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan mitigasi bencana yang merupakan upaya meminimalkan dampak akibat bencana. Mitigasi bencana mencakup perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat berbentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan / infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain dan konstruksi untuk menahan & memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Mitigasi juga dapat berbentuk non struktural, misalnya : menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. 681 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya (hazard assestment), peringatan (warning) dan persiapan (preparedness). Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, (FEMA, 2000) ialah : 1. Kebijakan yang mengatur tentang usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana; 2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak akibat bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan preventif kebencanaan; 3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar terwujud koordinasi kerja yang baik; 4. Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan; 5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana. 3. Aspek hidrolika aliran air dalam pipa Pada aliran air dalam pipa, berlaku hukum hukum hidrolika, misalnya hukum Bernoulli, hukum kontinyuitas (Bambang Triatmojo, 2003). Sepanjang perjalanan air dalam pipa akan terjadi kehilangan energi/tenaga akibat gesekan/friction (disebut kehilangan tenaga primer) dan kehilangan tenaga akibat perubahan diameter pipa, belokan (disebut kehilangan tenaga sekunder). Kehilangan tenaga akibat gesekan ( hf ) ialah sebesar (Eisenhauer, dkk, 2003): (disebut persamaan Darcy-Weisbach)(Bambang Triatmojo,2003). Pada aliran air dalam pipa berlaku pula hukum Kontinyuitas, yaitu Debit aliran (Q) sepanjang pipa adalah selalu konstant, dituliskan dalam : Q = A1.V1 = A2.V2 = .... konstant, dengan notasi : hf = kehilangan energi/tenaga karena gesekan, f = koefisien gesekan, L , D, A = panjang pipa, diameter pipa, luas tampang pipa. V, Q = kecepatan aliran , debit aliran air, g = percepatan gravitasi bumi, Nilai koefisien f untuk aliran laminer ialah (Ranald V.Giles,1984 :102), dengan Re = bilangan Reynold, dengan nilai maksimum Re = 2000. Formula nilai Re ialah (Ranald V. Giles,1984:7; Eisenhauer dkk,2003:13) : , dengan : V = kecepatan rerata (m/s), = kekentalan kinematik fluida (m2/s). Untuk fluida air pada 20 o C, nilai = 1,01. 10 -6 m2/s. 682 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada saluran pipa air yang sangat panjang, nilai kehilangan energi akibat gesekan (primer) adalah besar (dominan), sehingga energi hilang sekundernya diabaikan (karena kecil) (Bambang Triatmojo,2003:58). Alternatif lain untuk hitungan aliran dalam pipa ialah bisa menggunakan Nomogram HazenWilliams dalam Handbook of applied hidrauliscs, oleh C.V. Davis yang dimodifikasi (Fajar Hadi, Nasroen Riva’i, 1980) seperti gambar berikut ini. Gambar 1. Nomogram Hazen Williams Modified. 683 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Pelaksanaan PPM Khalayak sasaran program PPM ini adalah warga dusun Mangunsoko, desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang sebanyak 97 KK. Program ini akan dilaksanakan dengan model sinergi ( gotong royong) dalam bentuk tenaga dan material antara warga desa dan pengelola PPM ini. Metode kegiatan PPM ini yakni penerapan Iptek untuk merancang & membangun system distribusi air bersih, menggunakan skema berikut : Bak Penampung dari sumber mata air Pipa Induk 2-- 2½ inci Bak 2 Penampung di lokasi Pipa ¾, ½ inci Rumah Distribusi di rumah penduduk Gambar 2. Skema Penerapan IPTEK Bantuan dari PPM Fakultas Teknik UNY untuk distribusi air bersih adalah sebanyak = 150 batang pipa pralon (PVC) beragam ukuran ( diameter 2½ inci, 2 inci, ¾ inci dan ½ inci), lem pralon, sok, siku, T knee, dan semen (PC) sebanyak 20 zak. Metodologi kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: (1) Metode Ceramah /presentasi : presentasi desain rancangan distribusi air bersih kepada warga dusun Mangunsoko, (2) Metode Demonstrasi dan Metode implementasi di lapangan, untuk : a) Menjelaskan metode dan tahapan pelaksanaan pembangunan jaringan distribusi air bersih, b) Membagi kelompok kerja dalam model gotong royong, c) Melaksanakan dan mengawasi proses pembangunan jaringan distribusi air bersih. Adapun Langkah langkah kegiatan yang ditempuh ialah sebagai berikut. 1. Survey lokasi. Tujuannya ialah untuk : a) menentukan titik sumber mata air, b) menentukan elevasi sumber air dan elevasi tempat rencana reservoir primer. c) menentukan lokasi bak tandon air (reservoir) primer, d) menentukan lokasi bak tandon air (reservoir) sekunder, e) menentukan jarak reservoir primer sampai ke reservoir sekunder, f) mengetahui jumlah warga yang dilayani reservoir sekunder. 2. Mendesain jaringan distribusi air bersih. Maksudnya ialah : menghitung diameter pipa, 684 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. 4. 5. 6. 7. 8. panjang pipa, dan dimensi reservoir berdasarkan debit rencana sesuai jumlah warga pengguna air bersih itu. Menggandeng mitra kerja yaitu kelompok warga masyarakat di dusun sasaran (dusun Mangunsoko) untuk mengimplementasikan desain jaringan distribusi air bersih tersebut. Menyediakan bahan/ material yang dibutuhkan demi terwujudnya jaringan distribusi itu, yang berupa : semen, pasir, pipa pralon diameter 2½, 2, ¾ inci sesuai desain / rancangan. Memberi penjelasan teknis tentang pelaksanaan pekerjaan, misalnya : membuat bak reservoir, teknik menyambung pralon, memasang knee, T, L, sok, dan kran. Melaksanakan pekerjaan (instalasi) pembuatan jaringan pipa air bersih. Tenaga yang terlibat yaitu : team PPM UNY, warga yang sudah terlatih, dan mahasiswa yang kebetulan KKN di dusun itu. Uji coba pengaliran air di jaringan distribusi itu, dan ditinjau lagi (evaluasi) sesudah 1 bulan pengoperasian. Membentuk kelompok kerja untuk keperluan maintenance dan pengembangan jaringan distribusi air bersih pada tahap berikutnya. Hasil Pelaksanaan PPM dan Pembahasan Hasil Pelaksanaan PPM Kegiatan PPM program unggulan UNY ini telah membuahkan hasil. Wujud hasilnya ialah telah tercipta system jaringan air bersih (berdasar metode gravitasi) di dusun Mangunsoko, desa Kalibening, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang. Reservoir induk di jaringan ini mampu mensuplai air bersih untuk warga dusun Mangunsoko sebanyak 47 KK dan warga dusun berikutnya sekitar 50 KK. Pada jaringan pipa distribusi ini tersusun dari : a) bak penangkap air di hulu / mata air, b) reservoir induk (primer) penampung air, c) pipa induk (pralon diameter 2½ - 2 inci), d) reservoir sekunder, dan d) pipa-pipa distribusi ( pralon diameter ¾, ½ inci ) untuk distribusi ke rumah warga. Selain itu dibentuk pokja yang punya tugas maintenance dan kemungkinan pengembangan perluasan jaringan distribusi air bersih. Contoh sebagian gambar foto hasil PPM tersaji di gambar-gambar berikut ini. Gambar 3. Bak Penangkap Air di hulu 685 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 4. Proses Pembuatan Bak Reservoir Gambar 5. Bak Reservoir dan Instalasi Pipa Distribusi Pembahasan Hasil Pelaksanaan PPM 1. Aspek Sosial Ekonomi. Sumber air di dusun Mangunsoko ini debit air-nya melimpah, baik di musim hujan maupun kemarau. Oleh karena itu seringkali warga punya bak mandi dengan tanpa kran ( on terus). Kualitas air di sumber mata air di dusun Mangunsoko ini juga bagus, jernih, tidak berbau, belum tercemar limbah, debit stabil dan debit cukup besar. Warga dusun ini bermata pencaharian bertani dan juga beternak ikan di kolam dapat menggunakan air dari jaringan pipa ini. Hasil pertanian berupa : cabai, kol, terung, tomat, dan sebagainya. Dampak positif dengan adanya jaringan pipa distribusi air bersih ini warga bisa hidup senang, menjadi lebih sejahtera karena bisa mengefektifkan lahan pertanian yang ada untuk bertani maupun untuk budidaya beternak ikan. 2. Aspek Hidrolika. Sistem jaringan pipa distribusi air bersih di dusun Mangunsoko ini berdasarkan sistem Gravitasi. Ini bisa terlaksana dengan mengandalkan gaya gravitasi untuk mengalirkan air dari sumber mata air (yang berada di hulu, dengan elevasi muka tanah tinggi) menuju Reservoir primer, lalu dialirkan ke reservoir sekunder (elevasinya lebih rendah), kemudian dialirkan ke bak tampung di rumah warga pemakai air (elevasinya lebih rendah lagi). Kronologis urutan alirannya ialah : mata air sumber (di hulu) airnya ditangkap menggunakan pipa-pipa dan ditampung di Bak Penangkap air (berupa buis beton – buis beton), lalu dialirkan dengan pipa pralon ke bak tampung primer (Reservoir Primer), kemudian disalurkan dengan pipa pralon diameter 2-2½ inci ke Reservoir Sekunder. 686 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Dilanjutkan dialirkan dengan pipa pralon ke Reservoir Sekunder berikutnya. Dari reservoir sekunder inilah air didistribusikan ke rumah warga. Warga biasanya menampungnya lebih dulu ke dalam bak-bak penampung (reservoir) pribadi. Tujuan reservoir pribadi ini ialah agar debit yang digunakan dalam rumah itu stabil dan bisa dikembangkan lebih lanjut untuk kemungkinan pengembangan internal di rumah warga itu tanpa mengganggu distribusi milik warga lainnya. Gambar skema system jaringan pipa distribusi air ini ialah seperti gambar berikut ini. Bak-bak Penangkap Air A Bak Kolektor (+15,5 m) D=2½ in, (+13,5)m L=900 m B Reservoir -1 D=2½ in, Reservoir-2 L=600 m 110 orang C (+11,5)m D=2 in, L=400 m 125 orang (+10,0)m Reservoir -3 D 250 orang. Gambar 6. Skema Jaringan Distribusi Air Bersih di Dusun Mangunsoko 687 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Analisis Hidrolika pengaliran air di jaringan distribusi air di Mangunsoko untuk menghitung dimensi bak dan pipa adalah seperti berikut ini. a. Mendimensi Ukuran Pipa Kebutuhan air bersih setiap 1000 orang ialah dengan debit 1 liter perdetik. Jadi, Pipa AB mengalir air dengan debit minimal Q = 0,485 lt/det. Pipa BC mengalir air dengan debit minimal Q = 0,375 lt/det. Pipa CD mengalir air dengan debit minimal Q = 0,250 lt/det. Besar debit puncak ialah 2,5 kali debit minimum. Trayek AB. Debit puncak Q peak (AB) = 2,5. 0,485 Lt/det = 1,213 lt/det. Gradient hidrolik (i) yaitu i = Δh / L = (15,5 – 13,5) / 900 = 0,0022. Berdasrkan Q peak dan i , dan bantuan Nomogram Hazen William (modifikasi), didapat : diameter pipa, d = 60 – 70 mm. Dipakai d = 2,5 inci = 65 mm, Q = 1,213 lt/det. Diperoleh v = 37 cm/det, dan i = 0,0032. sehingga : kehilangan tinggi akibat gesekan = H’ = i. L = 0,0032. 900 m = 2,88 m. Kesimpulan : trayek AB memakai pipa diameter d = 2,5 inci . Trayek BC. Debit puncak Q peak (BC) = 2,5. 0,375 = 0,938 lt/det. Gradient hidrolik (i) yaitu i = Δh / L = (13,5 – 11,5) / 600 = 0,0033. Berdasrkan Q peak dan i , buka Nomogram Hazen William (modifikasi), didapat : diameter pipa, d = 50 – 60 mm. Dipakai d = 2,5 inci = 65,0 mm, Q = 0,938 lt/det. Diperoleh v = 32 cm/det, dan i = 0,0022. sehingga : kehilangan tinggi akibat gesekan = H’ = i. L = 0,0022. 600 m = 1,32 m. Kesimpulan : trayek BC memakai pipa diameter d = 2,5 inci . Trayek CD. Dengan cara yang sama, didapat : d = 2,0 inci = 51 mm kehilangan tinggi akibat gesekan = H’ = i. L = 0,0030. 400 m = 1,20 m. Trayek CD memakai pipa diameter d = 2,0 inci . b. Mendimensi Bak Reservoir Ukuran volume bak reservoir didasarkan atas 50% .Q.satu hari. Reservoir R-1, melayani : 110 + 125 + 250 = 485 orang, didapat Q = 0,485 liter/detik. V = 50%. 0,485. (24. 60. 60 ) = 20952 liter = 20,95 m3. Jika alas bak = 3 m . 3m = 9 m2. Maka tinggi bak = 20,95 : 9 = 2,33 m. Jadi, ukuran bak R1 = p x L x t = 3 m x 3 m x 2,5 m. 688 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Reservoir R-2, melayani : 125 + 250 = 375 orang, didapat Q = 0,375 liter/detik. V = 50%. 0,375. (24. 60. 60 ) = 16200 liter = 16,20 m3. Jika alas bak = 3 m . 2,5m = 7,5 m2. Maka tinggi bak = 16,20 : 7,5 = 2,2 m. Jadi, ukuran bak R2 = p x L x t = 3 m x 2,5 m x 2,3 m. Dengan dimensi pipa bak seperti hasil hitungan di atas, distribusi air bersih akan lancar dengan debit yang cukup untuk mensuply kebutuhan air warga masyarakat dusun Mangunsoko, desa Kalibening, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Pelaksanaan PPM program Unggulan ini telah berhasil mendesain sebuah system jaringan distribusi air bersih dengan metode gravitasi di dusun Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. 2. Team PPM UNY telah memberikan bantuan material (semen, pipa pralon (pvc), dan kelengkapannya, dan melalui kerjasama gotong royong bersama warga berusaha membangun sebuah jaringan distribusi air bersih di dusun Mangunsoko, Dukun, Magelang. 3. Team PPM UNY telah memandu dan mengawasi proses pembangunan jaringan air bersih ini dan secara gotong royong dengan warga, telah berhasil dibangun sebuah jaringan distribusi air bersih untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi dusun Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Saat ini jaringan ini sudah berfungsi dengan baik. SARAN 1. Jaringan Distribusi air bersih system gravitasi ini bisa diperluas untuk dusun lainnya yang masih belum ada jaringan seperti ini dengan syarat sumber air harus tinggi agar system ini bisa berjalan dan jika ada dana PPM tahap berikutnya. Ucapan Terimakasih PPM di Mangunsoko ini terlaksana dengan baik karena kerjasama yang baik antara beberapa fihak. Oleh karena itu diucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Kepala LPPM UNY, 2. Ketua-ketua Bidang di LPPM UNY, 3. Dekan FT UNY, 4. Pamong desa, dusun Mangunsoko, desa Kalibening, Kec. Dukun, Kab. Magelang, 5. Warga dusun Mangunsoko, desa Kalibening, 6. Rekan-rekan dosen dan mahasiswa peserta team PPM UNY, dan mahasiswa KKN di Kalibening, 7. Semua fihak yang telah membantu terlaksanakannya PPM ini. 689 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Bambang Triatmojo,2003. Hidraulika-2. Yogyakarta : Beta Offset. Eisenhauer, W. Muth, Agus Maryono, 2003. Hidraulika Terapan. Jakarta : Pradnya Paramita. Fajar Hadi, M. Nasroen Riva’I, 1980. Ilmu Teknik Penyehatan-2. Jakarta : Dept. P & K, Dikmenjur, 1980. Federal Emergency Management Agency (FEMA), What Is Mitigation?, Mitigation: ReductionRisk through Mitigation, Washington, 2000; Nur Yuwono, 1981. Hidrolika-1. Yogyakarta : Hanindita. Ranald V Giles, (terjemah: Herman W.S),1984. Mekanika Fluida & Hidraulika. Jakarta : Erlangga. UNDP, Program Pelatihan Managemen Bencana, Mitigasi Bencana, Edisi 2,Cambridge Architectural Research Limited, 1994. GOOGLE maps, 2010. KOMPAS.com, 2010. Yogyakarta. 690 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN PEMBUATAN “SITUS PEMBELAJARAN DWI BAHASA” SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KAPASITAS GURU SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL DALAM MENGEMBANGKAN MEDIA PEMBELAJARAN DWI BAHASA BERBASIS ICT Suyoso, Sabar Nurohman, Pujianto, Vinta Angela Tiarani Universitas negeri Yogyakarta ABSTRAK Keberadaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI/RSBI) sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Sisdiknas tahun 2003, menuntut praktisi dunia pendidikan untuk melakukan berbagai pembenahan terutama dalam standar proses pembelajarannya. Berdasarkan Permendiknas No 78 Tahun 2009 Pasal 5 ayat 2 dan 3 paling tidak terdapat tiga keunggulan yang harus dimiliki oleh SBI dalam hal proses pembelajaran, yaitu: 1) Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), 2) Mengembangkan proses pembelajaran yang berbasis pada Student-Centered Learning, dan 3) Menggunakan dwi bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Internasional (salah satunya bahasa Inggris) dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu, para guru SBI/RSBI perlu dibekali keterampilan pengembangan media pembelajaran dalam dua bahasa (dwi bahasa/bilingual) dan berbasis pada TIK. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat ini diselenggarakan dengan tujuan untuk: 1) meningkatkan keterampilan guru pada Sekolah SBI/RSBI di DIY dalam mengembangkan ”Situs Pembelajaran Dwi Bahasa”, dan 2) meningkatkan ketersediaan sumber belajar dwi bahasa (bilingual) yang bersifat online bagi para siswa program SBI/RSBI. Kegiatan Pengabdian ini dilaksanakan dengan metode pelatihan dan pendampingan. Pelatihan dilaksanakan hingga tiga hari, berisi materi di seputar : 1) Teknik Pengembangan Bahan Ajar, 2) Teknik Pengembangan Bahan Ajar Dwi Bahasa, dan 3) Teknik Pengelolaan Weblog menggunakan wordpress sebagai Situs Pembelajaran Dwi Bahasa. Pendampingan dilakukan paska pelatihan untuk memberikan solusi kepada para peserta jika menghadapi masalah baru di lapangan yang belum dibicarakan pada saat pelatihan. Pendampingan dilakukan secara online, bisa melalui email maupun melalui fasilitas ”Coment” pada weblog. Melalui kegiatan Pengabdian ini diperoleh hasil bahwa: 1) Peserta pelatihan secara umum telah memiliki kemampuan yang cukup memadai dalam hal menyusun Situs Pembelajaran Dwi Bahasa menggunakan blogware wordpress, 2) Ketersediaan sumber belajar berbasis TIK dalam dua bahasa semakin bertambah dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh siswa SBI/RSBI di DIY bahkan di seluruh Indonesia. Kata Kunci : Pelatihan, Situs Pembelajaran Dwi Bahasa Pendahuluan Pemerintah Republik Indonesia bersama DPR RI telah mengesahkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Salah satu pasal pada UU tersebut, yaitu pasal 50 ayat 3 menyatakan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Amanat Pasal 50 ayat 3 tersebut telah dibuat aturan pelaksanaannya dalam Permendiknas No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar proses pembelajaran pada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 Permendiknas No 78 Tahun 2009 adalah: Proses pembelajaran menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, 691 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta efektif, menyenangkan, dan kontekstual. Proses pembelajaran pada SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional. Berdasarkan peraturan tersebut, paling tidak terdapat tiga keunggulan yang harus dimiliki oleh SBI dalam hal proses pembelajaran, yaitu: 1) Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), 2) Mengembangkan proses pembelajaran yang berbasis pada Student-Centered Learning, dan 3) Menggunakan dwi bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Internasional (salah satunya bahasa Inggris) dalam proses pembelajarannya. Pemanfaatan TIK secara optimal memungkinkan siswa dapat belajar dari sumber-sumber belajar berkelas internasional dari sumber tak terbatas di internet. Penerapan Student-Centered Leraning memungkinkan siswa untuk mampu mengeksplorasi pengetahuan secara lebih optimal. Sedangkan penggunaan bilingual dimaksudkan agar siswa terbiasa memahami referensi asing dan mengkomunikasikan pengetahuannya pada masyarakat global. Pada praktiknya, keunggulan SBI tersebut membutuhkan media pembelajaran yang kompatibel sehingga akan diperoleh hasil yang diharapkan. Oleh karena itu diperlukan suatu Reseach and Development untuk mengembangkan suatu media pembelajaran yang menggabungkan pemanfaatan TIK, penerapan Student-Centered Leraning dan penggunaan konsep Dwi Bahasa/Bilingual dalam pembelajaran. Pada konteks ini, diusulkan pengembangan suatu media pembelajaran berbasis web yang dikembangkan dalam dua bahasa yang selanjutnya disebut sebagai “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” atau “Bilingual Web-Based Learning”. “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” merupakan media pembelajaran yang mencoba menggabungkan aspek ICT dan bilingual dalam satu wadah yang memungkinkan bagi tumbuhnya proses pembelajaran yang berbasis pada Student-Centered Learning (SCL). Hal ini karena melalui media tersebut, siswa dapat belajar secara mandiri, mengatur kecepatan belajar sendiri, menguji level kemampuan melalui tes online secara mandiri, mengetahui hasil tes online secara langsung dan siswa juga dapat melakukan pengayaan materi dengan berselancar ke link terkait yang sudah disediakan. Sejauh pengamatan pengabdi dengan bantuan mesin pencari google, belum ada guru yang telah mengembangkan media pembelajaran berbasis internet (Web-Based Learning) dalam format dwi bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan Pendidikan-Pelatihan dan Pendampingan kepada para guru SBI/RSBI agar mampu mengembangkan suatu media pembelajaran yang dapat mewadahi tuntutan kelas SBI/RSBI yaitu pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan penggunaan dwi bahasa (Bilingual) sebagai pengantar pembelajarannya. Berdasarkan uraian dimuka, maka disulkan Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) dengan judul: Pelatihan Pembuatan “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” sebagai Upaya Peningkatan Kapasitas Guru Sekolah Bertaraf Internasional dalam Mengembangkan Media Pembelajaran Dwi Bahasa Berbasis ICT. Landasan Teori a. Sekolah Bertaraf Internasional Pemerintah Indonesia saat ini sudah banyak mengembangkan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini merupakan 692 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta amanat konstitusi, seperti yang disebutkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat 3 yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” (UU Sisdiknas, 2003). European Council of International School (ECIS), sebuah konsul sekolah bertaraf internasional di eropa, memberikan definisi Sekolah Internasional sebagai sekolah yang menawarkan kurikulum yang dapat mengakomodasi budaya dan sistem pendidikan dari dua atau lebih negara;menawarkan kurikulum khas dari satu negara, tetapi berlokasi di negara lain dan secara aktif mengejar pertukaran budaya dengan negara tuan rumah; dan memiliki siswa/mahasiswa dari beragam negara. (ECIS, 2009). Kementrian Pendidikan Nasional dalam Permendiknas No 78 Tahun 2009 mendefinisikan Sekolah bertaraf internasional (SBI) sebagai sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD)atau negara maju lainnya. OECD merupakan organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi ekonomi (Permendiknas no 78 Tahun 2009). Secara lebih sederhana, Sekolah Bertaraf Internasional dapat dinyatakan SBI = SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan dan X adalah: (1) penguatan untuk berdirinya SBI seperti sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, (2) Penggunaan ICT, (3) Penggunaan bahasa asing (bilingual = Inggris & Indonesia), dan (4) Budaya Lintas bangsa. Sedangkan SNP memiliki 8 standar, yakni, (1) Standar kompetensi lulusan, (2) Standar isi, (3) Standar proses,(4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) Standar sarpras, (6) Standar dana, (7) Standar pengelolaan dan (8) Standar penilaian. (Nanok Triyono, 2009: 1). Standar proses pembelajaran pada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 Permendiknas No 78 Tahun 2009 adalah: Proses pembelajaran menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. Proses pembelajaran pada SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional. SBI dengan demikian membutuhkan kapasitas guru yang tidak hanya menguasai materi ajar, melainkan juga menguasai ICT dan bahasa internasional (bahasa Inggris). Penguasaan ICT dimaksudkan agar guru dapat dengan mudah mengakses berbagai perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri melalui internet. Selain itu, penguasaan ICT bagi guru juga dimaksudkan agar guru mampu mengembangkan kegiatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi (internet/CD interaktif) yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Sedangkan penguasaan terhadap bahasa Inggris dimaksudkan agar guru dapat memahami berbagai referensi pembelajaran bertaraf 693 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta internasional yang rata-rata menggunakan bahasa Inggris sekaligus sebagai bahasa pengantar ketika mengajar tatap muka di depan kelas. Hal ini menjadi tantangan bagi LPTK untuk mampu menyiapkan calon guru yang memiliki kompetensi materi, ICT dan bahasa Inggris. b. Media Pembelajaran Berbasis ICT Media pembelajaran merupakan hal yang sangat esensial untuk menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas. Media didefinisikan sebagai “carriers of information between a source and receiver” (Smaldino at all via Newby at All, 2006: 119). Termasuk media pembelajaran adalah slide PowerPoint, videotapes, diagrams, printer materials, software komputer hingga web-based learning. Secara prinsip, tujuan media pembelajaran adalah untuk menfasilitasi terjadinya proses komunikasi dan untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi/ Information and Comunication Technology (ICT) juga dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Bahkan hadirnya media pembelajaran berbasis ICT menurut Mills (2006: 3) memungkinkan proses pembelajaran dapat memperoleh capain berupa “complex skills” yang dibutuhkan di era global sekaligus memungkinkan adanya Student-centered leraning. Weimer (dalam Mills, 2006: 3) menyebutkan “in student-centered classrooms the goal of education is create independent, outonomous learners who assume the responsibility for their own learning”. Fullik (2004: 72) menyebutkan beberapa potensi yang dapat dikembangkan dari ICT oses pembelajaran, yaitu 1) drawing on web-based material to be used by students both within andoutside lesson time;2) teachers modifying and adapting web-based resources for use with theirstudents; 3) teachers using the Internet to support their professional needs. Secara lebih terperinci, Mills (2006: 3-4) menyebutkan bahwa ICT dapat berperan sebagai Cognitive Tools melalui beberapa cara: 1) Student-Centered Learning, proses pembelajaran berbasis ICT mampu menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan adanya Student-Centered Learning 2) Collaboratif Learning, berbagai fitur dalam ICT memungkinkan siswa untuk mengalami proses belajar bermakna dari dan atau dengan orang lain, 3) Student engagement, fitur dalam ICT (internet) dapat memotivasi siswa untuk bekerja dengan informasi dan isi materi, melakukan refleksi terhadap informasi yang diperoleh dan mampu mengartikulasikan pengetahuan dan pemahaman mereka, Penelitian yang dilakukan oleh Alomari (2009) menunjukan bahwa pembelajaran berbasis ICT dapat mendukung kemampuan siswa dalam mengumpulkan sumber informasi sebagai bahan belajar. Penggunaan media pembelajaran berbasis ICT dengan demikian tidak hanya menguntungkan karena interaktivitas dan aksesibilitasnya saja, namun juga dapat meningkatkan kemandirian aktif mahasiswa dalam belajar. 694 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta c. Situs Pembelajaran Dwi Bahasa ”Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” menggunakan blogware WordPress merupakan istilah yang mengacu pada media pembelajaran berbasis web (Web-Based Learning) yang dibuat dalam dua versi bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Blogware WordPress merupakan salah satu software yang dapat digunakan untuk mengembangkan weblog di internet yang dapat dikelola dan dimanfaatkan secara bebas (gratis). Artinya, pengelola Situs Pembelajaran Dwi Bahasa (guru/dosen/sekolah/perguruan tinggi) tidak perlu membayar tagihan kepada penyedia jasa hosting dalam memasang situs web di internet, dan pengguna (siswa/mahasiswa) juga dapat memanfaatkan situs tersebut sebagai media pembelajaran secara bebas. Situs belajar dan mengajar dengan menggunakan web dan internet dalam wacana pendidikan di berbagai negara maju, sebenarnya bukanlah barangbaru, dan juga bukan teori maupun pemikiran baru. Konsepsi dan jargon yang bernama WBL (webbased learning), eLearning, web based teaching and learning, web based distance education, dan sebagainyatelah bertebaran sejak era 15 tahun yang lalu (Romi Satrio Wahono: 2003). Dengan kata lain, pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran telah banyak digunakan terutama di luar negeri. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, maka dunia pendidikan di Indonesia juga telah mulai memanfaatkan web sebagai media pembelajaran. Meskipun banyak penelitian menunjukan bahwa efektivitas pembelajaran menggunakan internet (e-learning) cenderung sama bila dibanding dengan pembelajaran konvensional atau klasikal, tetapi keuntungan yang bisa diperoleh adalah dalam hal fleksibilitasnya (Herman D.S, 2008: 1). Melalui media pembelajaran berbasis web materi pembelajaran dapat diakses kapan saja dan dari mana saja, di samping itu materi juga dapat diperkaya dengan berbagai sumber belajar termasuk multimedia. Penelitian yang dilakukan oleh Arlinah Imam Raharjo (2008) menunjukan bahwa pembelajaran berbasis web mampu meningkatkan motivasi intrinsik dan sekaligus dapat melayani proses evaluasi. Media pembelajaran berbasis web dapat dikembangkan dari yang sangat sederhana sampai yang kompleks. Sebagian media pembelajarn berbasis web hanya dibangun untuk menampilkan kumpulan materi, sementara forum diskusi atau tanya jawab dilakukan melalui e-mail atau milist. Selain itu ada juga media pembelajaran berbasis web yang terpadu, berupa portal e-learning yang berisi berbagai obyek pembelajaran yang diperkaya dengan multimedia serta dipadukan dengan sistem informasi akademik, evaluasi, komunikasi, diskusi, dan berbagai educatioanal tools lainnya (Herman D.S, 2008: 1). 695 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode Kegiatan 1. Khalayak Sasaran Kalayak antara kegiatan ini adalah perwakilan guru-guru rumpun IPA pada sekolah SBI/RSBI di DIY. Undangan diberikan kepada 30 Sekolah Menengah (SMP/SMA) SBI/RSBI di DIY. Masing-masing sekolah diharapkan mengirimkan satu utusan guru rumpun IPA. Syarat menjadi peserta adalah mereka yang bersedia untuk menyampaikan hasil pelatihan kepada koleganya yang lain. Melalui cara seperti ini diharapkan, kalayak sasaran antara ini dapat menjadi penggerak bagi dibangunnya berbagai Situs Pembelajaran Dwi Bahasaoleh para guru rumpun IPA pada sekolah SBI/RSBI di DIY. 2. Metode Kegiatan Kegiatan Pelatihan Pembuatan “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” Sebagai Upaya Peningkatan Kapasitas Guru Sekolah Bertaraf Internasional dalam Mengembangkan Media Pembelajaran Dwi Bahasa Berbasis ICT dilaksanakan dengan tiga tahap pelaksanaan, yaitu: a) Tahap Persiapan, tahap persiapan berisi dengan berbagai aktivitas penyiapan modul, instrumen evaluasi, dan koordinasi dengan calon peserta. b) Tahap Pelatihan, tahap pelatihan berisi kegiatan diklat selama tiga hari untuk membimbing peserta dalam membuat Situs Pembelajaran Dwi Bahasa menggunakan blogware WordPress. c) Tahap Pendampingan. Tahap pendampingan berisi kegiatan pendampingan baik secara tatap muka maupun on line untuk menjawab berbagai kendala yang mungkin akan dihadapi oleh para peserta. Hasil Pelaksanaan PPM dan Pembahasan 1. Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Tahap perencanaan dilaksanakan sebelum kegiatan inti (pelatihan dilakukan). Pada tahap ini telah disusun Modul Pelatihan yang berisi: 1) Landasan Filosofis Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis ICT, 2) Teknik pengembangan Bahan Ajar Dwi Bahasa, 3) Teknik pembuatan Akun keanggotaan di WordPress.com, 3) Teknik Pengelolaan weblog di Wordpress.com, dan 4) Teknik pemanfaatan Weblog sebagai Situs Pembelajaran Dwi Bahasa. Selain Modul pelatihan, pada tahap ini tim PPM juga telah menyelesaikan pembuatan instrumen evaluasi kegiatan, penentuan syarat peserta, dan koordinasi dengan mitra kerja, yaitu Guru rumpun IPA pada Sekolah SBI/RSBI. Berdasarkan saran-saran pada seminar proposal, maka perlu adanya syarat-syarat bagi peserta yang hendak mengikuti kegiatan pelatihan. Syarat-syarat tersebut adalah: 1) Guru rumpun pelajaran IPA, 2) Mengetahui dasar-dasar aplikasi komputer, dan 3) Literal terhadap dunia internet (misalnya memiliki e-mail). Syarat tersebut diajukan dengan maksud agar 696 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pelatihan dapat berjalan lebih lancar karena kemampuan peserta dalam bidang ICT telah dibuat relatif setara. Secara ringkas, kegiatan yang dilakukan pada tahap Persiapan ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar Kegiatan Pada Tahap Perencanaan No 1 2 3 4 5 Kegiatan Pembuatan Modul Pelatihan Pembuatan instrumen evaluasi Penyiapan Tempat dan Perlengkapan Pelatihan Koordinasi dengan Calon Peserta Sosialisasi ke Sekolah Tempat Laboratorium TIK Prodi Pend. IPA Laboratorium TIK Prodi Pend. IPA Laboratorium TIK Prodi Pend. IPA Sekolah Sekolah Tahap pelatihan dilaksanakan dalam waktu tiga hari, yaitu: Jum’at, Sabtu: 24, 25 Juni 2011 dan Sabtu, 2 Juli 2011. Tiap kegiatan berlangsung sejak pukul 08.00 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Secara umum kegiatan dapat berjalan dengan lancar, meskipun ada beberapa peserta yang tidak dapat mengikuti secara penuh keseluruhan kegiatan. Di samping itu, pada hari terakhir kegiatan ada sedikit gangguan pada jaringan internet, namun hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan modem. 2. Pembahasan Standar kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta setelah mengikuti kegiatan ini adalah: peserta mampu mengelola weblog di wordpress.com sebagai situs pembelajaran dwi bahasa. Berdasarkan standar kompetensi tersebut, maka kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta adalah sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h) i) mampu membuat akun di wordpress.com mampu melakukan pengaturan tampilan weblog yang relefan sebagai situs pembelajaran mampu membuat post pada bagian Home mampu membuat halaman mata pelajaran mampu membuat sub halaman pokok bahasan mampu membuat link antara halaman dengan sub halaman mampu mengupload gambar ke dalam tulisan mampu menyisipkan modul/teks dalam format PDF ke dalam tulisan mampu menyisipkan video ke dalam tulisan Berdasarkan SK-KD di atas, maka disusunlah kegiatan pelatihan dengan runtutan acara seperti yang ditunjukan pada Lampiran 1. 697 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pendampingan dilakukan secara online, beberapa peserta menghubungi tim PPM baik melalui e-mail maupun fasilitas komentar pada weblog. Setelah kegiatan dilaksanakan, tahap terakhir PPM ini adalah melakukan evaluasi. Evaluasi kegiatan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yakni evaluasi proses dan evaluasi hasil. a) Evaluasi Proses Evaluasi proses digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan proses pelatihan. Beberapa indikator yang dijadikan tolok ukur keberhasilan proses adalah: 1) Jumlah Peserta: pelatihan dianggap berhasil jika diikuti oleh setidaknya 90% peserta yang diundang, 2) Kemampuan peserta dalam mengikuti setiap tahap pelatihan: melalui suatu lembar observasi (lampiran 2) diamati sejauh mana para peserta mampu melaksanakan tahaptahap pembuatan “situs pembelajaran dwi bahasa”. Pada praktiknya, pelatihan diikuti oleh 35 peserta dari 38 peserta yang diundang. Jumlah peserta ini sudah memenuhi standar minimal yang diminta oleh LPPM UNY. Meskipun demikian, karena kesibukan peserta di sekolah masing-masing, ada beberapa peserta yang tidak bisa mengikuti kegiatan secara full tiap hari. Karena sebagian peserta pada jam tertentu harus datang ke sekolah karena ada tugas sekolah berupa penerimaan siswa baru. Adapun hasil observasi kegiatan pelatihan, sebagai penilaian kinerja ditunjukan oleh Lampiran 2. Berdasarkan observasi, peserta telah menunjukan kemampuan proses pada taraf rata-rata kelas 88,8. Berdasarkan penilaian proses, maka kegiatan PPM ini dapat dikatakan telah mencapai target yang diharapkan. b) Evaluasi Hasil Evaluasi hasil dilakukan dengan menilai output pelatihan. Hasil pelatihan yang diharapkan adalah bahwa para peserta telah mampu mengembangkan “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” menggunakan blogware WordPress. Pelatihan dianggap memiliki hasil yang baik jika 75% peserta dapat mengembangkan “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” menggunakan blogware WordPress. Pada praktiknya, seluruh peserta (100%) telah berhasil membuat situs pembelajaran menggunakan blogware wordpress dengan beberapa gradasi kualitas. Untuk menilai output hasil pelatihan, dikembangkan indikator penilaian output seperti yang ditunjukan Tabel 2. 698 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Indikator Penilaian Output No Indikator Skor 1 Situs menggunakan theme yang elegan (relefan untuk Skor Maks: 10 sebuah situs pembelajaran) 2 Situs menggunakan header yang telah dikastumisasi Skor Maks: 20 sedemikian hingga relefan dengan tujuan pembuatannya, yaitu sebagai situs pembelajaran, 3 Situs telah terisi setidaknya tiga post 4 Situs telah memiliki setidaknya satu halaman mata Skor Maks: 30 pelajaran dan tiga sub halaman pokok bahasan 5 Tulisan/halaman diberi gambar, video, dan insert teks Skor Maks: 20 pdf Skor Maks: 20 Hasil penilaian output selengkapnya ditunjukan oleh Lampiran 3. Peserta secara umum telah mampu membuat “Situs Pembelajaran Dwi Bahasa” menggunanakan Blogware WordPress. Hal ini ditunjukan oleh nilai rata-rata kelas sebesar 87,23. Setelah seluruh kegiatan dilaksanakan, tim melakukan evaluasi atas pelaksanaan program ini. Hasil evaluasi tersebut diantaranya: a) pemilihan jadwal agak kurang tepat, sehingga sebagian peserta tidak dapat mengikuti kegiatan secara penuh karena di sekolah sedang banyak kegiatan (Penerimaan Siswa Baru), b) Perlu koordinasi dengan PUSKOM untuk memastikan bahwa jaringan internet berfungsi dengan baik. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Melalui kegiatan Pelatihan Pembuatan Situs Pembelajaran Dwi Bahasa telah mampu meningkatkan keterampilan guru pada SBI/RSBI dalam menyusun bahan ajar dwi bahasa secara online. b. Melalui kegiatan Pelatihan Pembuatan Situs Pembelajaran Dwi Bahasa telah menambah ketersediaan sumber belajar dwi bahasa bagi siswa SBI/RSBI. 2. Saran Pada waktu yang akan datang dapat dilanjutkan pelatihan pengembangan web-Based Assessment untuk melengkapi produk situs pembelajaran dwi bahasa yang sudah disusun melalui pelatihan ini. Sehingga dapat diwujudkan suatu paket media pembelajaran on line dalam dua bahasa lengkap dengan sistem penilainnya. 699 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka: Alomari, Akram (2009). Investigating online learning environments in a web-based math course in Jordan. International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), 2009, Vol. 5, Issue 3, pp. 19-36 Arlinah Imam Raharjo (2008). Using PCU-CAMEL, A Web-Based Learning Environment, In Evaluating Teaching-Learning Process [Versi Elektronik].Jurnal Informatika Vol. 9, No. 1, Mei 2008: 51 – 56 ECIS. (2009). Membership Overview. Diakses http://www.ecis.org/page.cfm?p=364 pada tanggal 1 Maret 2010 dari Fullick, Patrick. (2004). Teaching Secondary Science With ICT. New York: McGraw-Hill Education Herman D.S .(2008). Pelatihan e-learning UNY. Yogyakarta: UNY Mills, C Steven. (2006). Using the Internet for Active Teaching and Learning. Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall. Nanok Triyono. (2009). Sekolah Bertaraf Internasional, untuk Apa dan Siapa? diakses pada tanggal 1 Februari 2010 dari: kabarindonesia.com Newby, J Timothy at all. (2006). Educational Technology for Teaching and Learning. Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall. Permendiknas No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Romi Satrio Wahono: 2003. Toward A New Strategy to Develop A Free Web Based Learning and Teaching Environment [Versi Elektronik].Prosiding seminar: The-12th Indonesian Scientific Meeting, Osaka University, September 6-7, 2003 TIM ICT UNY. (2007). Pembekalan Information and Comunication Technology (ICT) Mahasiswa Baru. Yogyakarta:UNY Tingen, Jennifer et al.(2011). Developing Classroom Web Sites for 21st Century Learning [versi elektronik]. Kappa Delta Pi Record. Indianapolis: Winter 2011. Vol. 47, Iss. 2; pg. 88, 3 pgs Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yahya Kurniawan. (2008). Membuat Blog dengan WordPress. Jakarta: Elex Media Komputindo 700 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN RESPECT EDUCATION (IN-HOUSE TRAINING) UNTUK MENCEGAH BULLYING DI SEKOLAH DASAR KAWASAN BERESIKO Mami Hajaroh, L. Andriani P., Rukiyati, Ariefa Efianingrum. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak PPM bertujuan untuk memberikan wawasan kepada guru tentang fenomena kekerasan (bullying), dampaknya bagi anak, dan upaya pencegahan melalui pelatihan respect education (inhouse training). Metode PPM yang digunakan adalah pelatihan melalui kegiatan: ceramah, diskusi, role play, game, pemberian tugas, action plan, observasi lapangan, tindakan lapangan dan focus grup discussion terhadap action plan yang disusun. Pelatihan dilakukan dalam setting sekolah, sehingga semua warga sekolah secara serentak mendapatkan wacana perubahan agar dapat melakukan perubahan bersama-sama..Dengan In house training memungkinkan perubahan pada level sekolah secara signifikan. Pelatihan ini melibatkan SD Muhammadiyah Bausasran ! dan 2, serta SDN Tegal Panggung, SDN Widoro, SDN Lempuyangan dan pengawas sekolah Yogyakarta Utara. Hasil analisis selama pelatihan menunjukkan:a) Bullying terjadi di sekolah, baik di kelas saat pelajaran berlangsung maupun di luar jam pelajaran. Bullying terjadi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru; b) Kekerasan (bullying terjadi di sekolah baik verbal maupun psikologi, misalnya: memanggil nama teman dengan nama panggilan orangtua. Setelah pelatihan peserta menunjukkan adanya: a) meningkatnya kesadaran akan pentingnya respect bagi diri sendiri dan orang lain; b) menyadari diri masih memiliki kekurangan dalam hal komitmen untuk berubah lebih baik, guru menyadari bahwa meskipun anak melakukan bullying tidak boleh diperlakukan dengan kekerasan pul; c)menyadari bahwa bullying memang masih banyak terjadi baik dilakukan guru, siswa dan orang tua. Ironinya korban bullying masih belum menyadari bahwa dirinya menjadi korban bullying; d) Lingkungan sosial yang kurang mendukung, guru kurang sabar sementara anak memilki kelemahan (lambat belajar, perilaku yang over). Kesemua hal itu sangat dipengaruhi latar belakang sosial anak. Keinginan peserta diantaranya yaitu menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif untuk saling menghargai dan terhindar dari bentuk-bentuk kekerasan (bullying). Sedangkan cara yang akan dilakukan peserta : guru melatih diri untuk menghargai siswa dan menghindari tindakan bullying, tidak diskriminatif, serta guru harus menjadi teladan. Kata Kunci: bullying, respect, education, Kawasan Beresiko, Sekolah Dasar, Pendahuluan Saat ini pembangunan pendidikan nasional belum mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini, Indonesia belum dapat melepaskan diri dari berbagai persoalan dekadensi moral yang membelenggu, berupa merosotnya komitmen masyarakat dalam berbagai lapisan terhadap etika kehidupan masyarakat dan berbangsa serta bernegara Indonesia. Fenomena lain yang mengemuka adalah perilaku yang tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan menurunnya penghormatan terhadap orang lain. Dalam berbagai level kehidupan bermasyarakat, konflik dan kekerasan masih terus berlangsung. Letupan kerusuhan beruntun yang melanda masyarakat tersebut, semakin mencuatkan sisi keprihatinan. Pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil 701 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta manusia yang mudah tersinggung, toleransi yang tipis, kurang menghargai orang lain, dan menganut budaya kekerasan. Pusat-pusat pendidikan seperti keluarga, masyarakat, sekolah bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan (missing) antara lain (Suyata, 2000): sense of identity, sense of humanity, sense of community, sense of culture (values), dan sense of respect. Pendidikan selama ini mencerminkan adanya fragmentasi kehidupan dan kurikuler, kompetisi individual, berkembangnya materialisme, ketidakpedulian pada orang lain, terhambatnya kreativitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi, dan keberanian mengambil resiko. Kebebasan individual seakan terpasung oleh tujuan pendidikan yang cenderung intelektualis (kognitif sentris), sehingga pengembangan aspek afektif seperti moral dan budi pekerti menjadi terpinggirkan. Sebagai sarana utama dalam pembangunan bangsa dan watak, pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan nilai-nilai respect dalam keseluruhan dimensinya. Dengan cara ini, diyakini bahwa pendidikan akan memberi kontribusi yang nyata dan bermakna dalam mendukung strategi pencegahan kekerasan (prevention strategy) yang diagendakan oleh negara. Upaya tersebut mendukung pendewasaan anak usia sekolah dan yang harus mampu menunjukkan bahwa dirinya bukan hanya cerdas secara rasional, tetapi juga cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Pelatihan respect merupakan salah satu alternatif yang mungkin dan dapat ditawarkan untuk menjawab permasalahan bullying/kekerasan di sekolah. Pelatihan respect bagi guru di Sekolah Dasar telah dilaksanakan pada tahun 2010 dengan khalayak sasaran guru-guru SD Muhammadiyah se-DIY. Setiap sekolah mitra mengirimkan 2 orang guru. Kegiatan PPM tahun ini lebih difokuskan untuk mengatasi bullying/kekerasan di Sekolah Dasar berpotensi bullying/kekerasan di kawasan beresiko sehingga metode pelatihan respect inhouse training (pelatihan untuk satu sekolah dengan melibatkan seluruh komponen dalam sekolah) menjadi relevan untuk dilakukan. 1. Konsep Bullying/Kekerasan Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih ‘rendah’ atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Sementara child abuse menurut organisasi kesehatan dunia (World Health Organization), adalah seluruh bentuk perlakuan buruk, baik secara fisik, emosional dan/atau seksual, penelantaran atau perlakuan lalai maupun eksploitasi terhadap anak http://ompundaru.wordpress.com/2009/02/17/ bullying-di-sekolah-kita/ Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni: (1) kekerasan fisik, (2) kekerasan mental, dan (3) kekerasan seksual. Sebagai gejala sosial 702 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi-kondisi budaya tertentu dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan, nilai dan norma sosial, yang memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan tersebut (Ahimsa-Putra dalam Sumijati, 2001:38-39). Tanda-tanda bullying: 1) Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban). 2) Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan bullying yang terjadi pada anak. Bully biasanya muncul di usia sekolah. Pelaku Bully memiliki karakteristik tertentu. Umumnya mereka adalah anak-anak yang berani, tidak mudah takut, dan memiliki motif dasar tertentu. Motif utama yang biasanya ditenggarai terdapat pada pelaku Bully adalah adanya agresifitas. Padahal, ada motif lain yang juga bisa dimiliki pelaku Bully, yaitu rasa rendah diri dan kecemasan. Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defence mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi perasaan rendah diri dan kecemasannya tersebut. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully bukan tak mungkin berlanjut ke bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis. Bullying dapat terjadi karena salah paham, tindakan semacam ini kadang dianggap sesuatu yang wajar, tanpa ada yang menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkan baik pada korban juga pelaku bullying. Bullying biasanya dilakukan oleh anak untuk menyakiti temannya dan umumnya terjadi berulang kali. Praktek ini bukan merupakan suatu yang kebetulan terjadi. Biasanya dilakukan oleh anak yang merasa lebih kuat, lebih berkuasa atau bahkan merasa lebih terhormat untuk menindas anak lain untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan tertentu. 2. Respect dan Pelatihan Respect sebagai Strategi Pencegahan Kekerasan Menurut Lickona (1991:53), secara umum, nilai-nilai moral yang ditanamkan bisa meliputi banyak hal, yaitu: 1) jawab); 2) Sikap respect (menghargai) dan responsibility (tanggung Kerjasama, suka menolong; Keteguhan hati, komitmen; 3) Kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong; 4) Kejujuran, integritas; 5) Berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi; 6) Rasa bangga, ketekunan ; 7) Toleransi, kepedulian Respect artinya menghargai. Penghargaan sangatlah luas dan terbuka nilai-nilainya. Menghargai diri sendiri dan orang lain adalah nilai yang dapat menyatukan manusia dengan keragaman kepercayaan, budaya, seksual, dan pendekatan politik. Nilai-nilai tentang penghargaan menentang semua bentuk eksploitasi dalam hubungan personal, antara lakilaki dan perempuan, maupun orang tua dengan anak-anak. Setiap orang memiliki hak untuk hidup bebas dari rasa takut kekerasan, diskriminasi tanpa memperhitungkan usia, ras, seksual, gender, kemampuan dan agama. Semua bentuk kekerasan tidak dapat diterima 703 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dalam hubungan personal. Kekerasan dan siksaan dapat dicegah dan tak dapat dihindari. Pencegahan terhadap kekerasan membutuhkan dukungan dengan perlindungan dan perlengkapan kualitas pelayanan. Anak dan remaja memiliki hak untuk informasi, pemahaman, keterampilan untuk melengkapi mereka dalam membangun dan menjaga hubungan yang sehat dan saling menghargai. Dalam konteks Indonesia, kiranya elemen yang tepat dan efektif untuk mengeliminasi kekerasan secara progresif adalah: Pendidikan (Education) dan Pelatihan (Training). Pendidikan penting dilakukan di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan merupakan mekanisme primer yang representatif di masyarakat efektif dan penting bagi generasi yang akan datang. Mengubah sikap tentu membutuhkan skala waktu yang cukup panjang. Strategi pencegahan terhadap kekerasan akan terkait dengan prioritas nasional untuk pendidikan, yakni: 1) Dalam hal tujuan pendidikan nasional, yaitu “promote respect for self and other” sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk meningkatkan nilai-nilai positif generasi muda, 2) Prioritas nasional untuk pendidikan juga mensyaratkan peningkatan “equality and inclution” atau kesetaraan dan inklusivitas yang bertujuan untuk mengcounter tindak kekerasan yang ditolerir; 3) Pendekatan yang inklusif untuk ‘raising achievement and attainment” atau meningkatkan dan mencapai prestasi. Tindakan pencegahan kekerasan terhadap anak-anak di sekolah tidak hanya mengubah sikap dan perilaku, melainkan juga menyediakan ruang yang kondusif untuk menyemaikan benih-benih perdamaian. Pelatihan respect membicarakan bahwa perubahan sikap sama baiknya dengan memberikan informasi tentang respon-respon yang tepat dan peran dari semua pihak dalam pencegahan kekerasan. Untuk upaya tersebut, dalam konteks sekolah, dibutuhkan guru yang memiliki kompetensi dan komitmen yang tinggi dalam memahami, menyadari, mempromosikan, dan mengembangkan respect di sekolah. Pencegahan kekerasan dapat dilakukan melalui pelatihanr respect bagi guru tentang bagaimana mengajarkan kesetaraan pada anak. Para guru, pengelola, dan pemerhati pendidikan, perlu terlibat dalam kegiatan ini. Para pendidik berperan mendorong anak-anak untuk ikut mencegah dan mengubah perilaku kekerasan, menuju perilaku yang lebih damai. Menciptakan lingkungan yang memberikan suasana aman dan kesetaraan merupakan prasyarat suksesnya program ini. Ketika hukum berusaha untuk memberikan punishment untuk mengurangi kekerasan maka seiring dengan itu pendidikan dapat memberikan tindakan pencegahan dini. Melatih dan membiasakan anak memiliki perilaku menghargai dimulai dalam keluarga dan lembaga pendidikan formal pada usia dini dapat dilakukan. Orang tua dapat membiasakan anak-anak kita untuk: 1) Belajar menghargai hak dan kewajiban orang lain; 2) Terampil mendengarkan orang lain sebagai bentuk penghargaan; 3) Belajar menghargai perbedaan.; 4) Belajar tentang kekuatan, siapa yang memiliki kekuatan dan mengapa memiliki kekuatan serta untuk apa kekuatan digunakan, apakah normal, menyalahgunakan, atau melakukan kekerasan? 5) Belajar dari kekerasan yang telah terjadi 704 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta di lingkungan untuk dapat berperan tepat sebagai anak, sebagai teman, sebagai korban, sebagai saudara dan sebagai anggota masyarakat dan berusaha merubah hidup yang penuh kekerasan menjadi perdamaian. Pengembangkan toleransi dan kemampuan mencegah konflik telah dipelopori oleh banyak negara. Peran pendidikan sangat penting dalam mengembangkan kemampuan mempromosikan perdamaian. Pelatihan adalah media vital yang efektif, untuk menumbuhkan kesadaran dan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tindakan yang lebih adil (Francis, 2006:38). Pelatihan terhadap guru tentang respect diberikan untuk meningkatkan ”sense of respect” yang tercermin dalam setiap perilaku guru baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Terhadap anak-anak guru dapat melatih dan membiasakan perilaku anak untuk memiliki ”sense of respect” terhadap teman-teman dan lingkungan sehingga mereka kelak menjadi generasi yang sanggup mengubah kekerasan menjadi perdamaian. Dengan melatihkan respect sejak dini harapannya perilaku kekerasan dalam bentuk apapun dapat dicegah, meskipun hasil baru akan terlihat setelah satu, dua atau tiga generasi setelahnya. Metode Pelaksanaan PPM Khalayak Sasaran Kegiatan PPM Kegiatan PPM yang berupa pelatihan dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, role play, game, pemberian tugas, action plan, observasi lapangan, tindakan lapangan dan focus grup discussion terhadap action plan yang disusun. PPM ini merupakan tindak lanjut dari PPM sebelumnya. Pada tahun 2010, telah dilaksanakan pelatihan respect education bagi SD Muhammadiyah se DIY bekerjasama dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY. Salah satu masukan dari evaluasi yang dilakukan bersama peserta adalah bahwa pelatihan akan lebih efektif apabila pelaksanaan dilakukan dalam setting sekolah, sehingga semua warga sekolah secara serentak mendapatkan wacana perubahan sehingga dapat melakukan perubahan bersama-sama. Oleh karena itu pada tahun pada tahun 2011 tim PPM kerjasama dengan SD Muhammadiyah Bausasran 1 dan 2 yang salah satu gurunya telah mengikuti pelatihan sebelumnya. Dengan In house training memungkinkan perubahan pada level sekolah secara signifikan. Namun demikian pelatihan juga melibatkan peserta dari SD sekitar yakni SDN Tegal Panggung, SDN Widoro, SDN Lempuyangan dan pengawas sekolah Yogyakarta Utara. Menanamkan sikap respect pada diri sendiri dan orang lain merupakan masalah utama, untuk itu pemecahan masalah dilakukan dengan pelatihan. Pelatihan mengenai Respect Education pada guru-guru Sekolah Dasar Muhammadiyah dapat meningkatkan wawasan, sensitivitas-resposivitas terhadap issu-issu kekerasan dan bullying di sekolah. Diharapkan dengan pelatihan ini terbentuk sikap dan perilaku respect pada diri sendiri dan orang lain di kalangan guru Sekolah Dasar Muhammadiyah Bausasaran 1 dan 2 serta mereka mampu memberikan penanganan jika terjadi bullying di sekolah. Adapun materi dalam pelatihan meliputi: Mencairkan Kebekuan; Membangun Komitmen; Diferensiasi Sosial; Identitas Diri, Konsep Diri, 705 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dan Konsep Gender; Kekuasaan; Kekerasan/Bullying; Respect; Respect, Upaya Dini Mencegah Kekerasan; Strategi Penanganan Kekerasan/Bullying; Tokoh-tokoh Inspiratif dari Masa ke Masa; Tokoh-tokoh Inspiratif dari Masa ke Masa; Who am I ?/ Siapa saya?; Menggali Ide-ide Perubahan Observasi; Lapangan kasus bullying di sekolah. Hasil Pelaksanaan PPM Aktivitas pelatihan dalam rangKa PPM UNY diawali dengan acara pembukaan. Dalam pembukaan dihadiri oleh Kepala UPT Yogyakarta Utara. Pelatihan dimulai dengan aktivitas mencairkan kebekuan antar peserta dengan peserta dan antara peserta dengan tim pengabdi dan fasilitator pelatihan. Kegiatan dilakukan dengan game dan nyanyian sehingga kecanggungan antar peserta yang belum saling kenal serta tim menjadi cair dan suasana menjadi kondusif untuk memberikan materi selanjutnya. Ada pun materi dan metode pada hari pertama ini meliputi: Tabel 1. Materi dan Metode Pelatihan Hari I Materi Membangun Komitmen, Diferensiasi Sosial, Identitas Diri, Konsep Diri, dan Konsep Gender Kekuasaan Kekerasan/Bullying Metode Brain Storming Penugasan, diskusi, presentasi Penugasan, Brain storming Diskusi Media Pelatihan Plano, Spidol Bunga, Vas Bermain peran, penugasan , refleksi Properti bermain peran Kartu, Spidol Plano, spidol Membangun komitmen diawali dengan menggali faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dan kesuksesan yang selama ini dirasakan oleh peserta. Setiap peserta menyampaikan pengalamanya dan dari data peserta diperoleh bahwa keberhasilan dan kesuksesan seseorang ditentukan 68 % oleh faktor internal dan 28% faktor eksternal. Dari hasil ini didiskusikan dan diambil satu kesepakatan bahwa penentu keberhasilan pelatihan sebenarnya dari faktor internal peserta. Setelah itu antara peserta dan fasilitator pelatihan membuat komitment bersama selama pelatihan dalam bentuk kontrak belajar dalam pelatihan. Isi kontrak antara lain, yaitu: Tim Pengabdi dan peserta datang tepat waktu, Tim pengabdi memberikan materi dengan metode yang bervariasi dan banyak menggunakan permainan agar pelatihan tidak membosankan, sedangkan peserta wajib mengikuti dengan aktif-partisipatif, dan penuh dengan tanggung-jawab melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Tim Pengabdi. Differensiasi sosial disampaikan dengan memberikan tugas merangkai bunga dari lima warna. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok pertama merangkai bunga dengan satu warna, kelompok 2 dengan dua warna seterusnya sampai kelompok 5 dengan lima warna. Learning poin yang dapat diambil oleh peserta adalah semakin banyak warna dalam satu rangkaian bunga maka akan terlihat dan terasakan lebih indah dari pada rangkaian itu hanya dalam satu warna saja. Oleh karena itu pluralitas dan perbedaan sebenarnya menunjukan 706 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta keindahan. Jika selama ini berbagai macam perbedaan dan keragaman masih sering menimbulkan konflik hanya karena belum bisa merangkaikan keragaman itu dalam sebuah harmoni. Materi selanjutnya membahas tentang konsep diri yang dimililiki oleh setiap individu, konsep gender dan perbedaan-perbedaan yang muncul karena perbedaan peran gender. Materi mengenai kekuasaan dan dalan kekuasaan itu yang dimiliki oleh individu sering menimbulkan perilaku kekerasan/bullying. Bullying atau kekerasan yang muncul oleh karena individu yang memiliki kekuasaan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik verbal, psikologis maupun kekerasan fisik. Bullying terjadi juga di sekolah dasar baik bullying antara anak dengan anak, antara guru ke anak atau bahkan dari guru ke guru juga kepala sekolah ke guru. Dalam refleksi yang dilakukan peserta merasakan kasus bullying selama ini terjadi di sekolah namun mereka terkadang masih menganggap sebagai kejadian yang biasa. Mereka selama ini belum mengetahui dan memahami bahwa bullying pun dapat terjadi dalam bentuk verbal dan psikologis. Pelatihan hari kedua diawali dengan aktivitas bermain peran dari tugas yang diberikan hari sebelumnya. Dari permainan peran yang dilakukan tanpa disadari beberapa adegan masih menunjukkan adanya tindakan bullying terutama dalam bentuk verbal dan psikologis terhadap orang tua wali dan anak yang akan disekolahkan. Keseluruhan materi yang diberikan di hari kedua meliputi: Tabel 2. Materi dan Metode Pelatihan Hari II Materi Respect Respect, Upaya Dini Mencegah Kekerasan Strategi Penanganan Kekerasan/Bullying Tokoh-tokoh Inspiratif dari Masa ke Masa Who am I ?/ Siapa saya? Menggali Ide-ide Perubahan Metode Diskusi kelompok, presentasi Diskusi, presentasi Bermain peran, penugasan, refleksi Diskusi kelompok, presentasi diskusi Brain stoming, Media Pelatihan Kartu, gambar pohon respect Video kasus bullying di sekolah Properti bermain peran Poto tokoh perubaan Kartu, gambar Plano, spidol Refleksi terhadap permainan peran yang dilakukan memberikan pemahaman dan kesadaran baru bahwa di sekolah masih sering terjadi bullying. Respect/menghargai diri dan orang lain, baik dalam sikap maupun perilaku sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah. Diskusi berlanjut dengan upaya-upaya yang mesti dilakukan oleh guru jika terjadi kasus bullying di sekolah. Tokoh inspiratif yang diangkat dalam diskusi selanjutnya adalah Ahmad Dahlan, Amin Rais, Kak Seto, RA Kartini, Bu Muslimah (tokoh film Laskar Pelangi) dan Arifin Ilham. Peserta dibagi dalam 5 kelompok setiap kelompok diberikan poto tokoh dan diberikan tugas. Isi tugas 707 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta untuk mendiskusikan apa sajakah yang mereka ketahui tentang foto yang mereka pegang, apa yang dilakukan oleh tokoh tersebut selama ini dan inspirasi apakah yang dapat diambil setelah mendiskusikan tokoh tersebut. Inspirasi yang dimaksudkan adalah inspirasi untuk memberikan perubahan-perubahan di sekolah masing-masing. Apa yang akan dilakukan oleh peserta selesai pelatihan. Pelatihan hari ketiga dilaksanakan dua minggu setelah pelatihan hari kedua. Aktivitas hari ketiga berupa Focus Group Discussion, peserta dibagi dalam kelompok kecil, masing-masing kelompok mendiskusikan rencana tindakan yang akan peserta lakukan selama 6 bulan. Masingmasing guru mempresentasikan hasil tugasnya, kemudian mendapatkan masukan dari tim pengabdi maupun sesama guru. Dalam diskusi banyak mengangkat persoalan-persoalan bullying dan upaya mengatasinya. Terjadi sharing antar guru, peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan, menciptakan komunikasi yang saling menghargai antar peserta, dan antar peserta dengan TIM pengabdi. Pelatihan hari ketiga diakhiri dengan evalusi tertulis dari Tim pengabdi. Reaksi/reaction dengan mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan terhadap program pelatihan respect yang telah diikuti. Berdasar dari kuisioner yang diberikan Tim Pengabdi peserta puas terhadap pelatihan. Dari hasil evaluasi, peserta menyatakan merasakan kebutuhannya terpenuhi dengan mengikuti pelatihan respect, serta merasa diberdayakan. Peserta juga memberikan sikap yang posistif terhadap pelatihan ini. Bahkan guru-guru dari sekolah terdekat menginginkan pelatihan yang sama dilakukan di sekolah mereka agar temanteman mereka juga mendapatkan informasi yang sama dari tim pengabdi sehingga mereka dapat melakukan perubahan secara simultan dari seluruh warga sekolah. Pembelajaran/Learning dengan cara mengukur tingkat pembelajaran yang dialami oleh peserta pelatihan respect.. Pengetahuan mengenai bullying dan berbagi bentuknya penting untuk disampaikan kepada para guru. Kenyataannya masih ada guru yang belum memahami bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak didik dan juga guru lain masuk dalam kategori bullying. Beberapa guru mengakui masih melakukan bullying baik terhadap anak didik maupun terhadap guru lain. Pendapat umum para guru perilaku bullying yang mereka lakukan masih dalam batas-batas ”untuk mendisiplinkan” anak ketika anak melakukan tindakan yang dinilai oleh guru melanggar. Padahal bullying dalam bentuk apapun dan alasan apapun tidak dapat ditolelir. Sekecil apapun bullying akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap anak didik terutama berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma relasi yang saling menghargai. Demikian juga sikap dan perilaku respect terhadap diri dan orang lain termasuk anak didik disadari oleh guru bahwa penting untuk ditanamkan dan ditumbuhkan agar tercipta budaya sekolah yang saling menghargai antar warganya. Pelatihan respect masih dipandang relative baru mengingat belum banyak kalangan yang mengangakat issu ini ke dalam wacana yang lebih luas terutama di dunia pendidikan. Beberapa guru mengatakan baru pertama kali mendengar kata bullying bahkan kepala UPT sendiri waktu memberikan sambutan dalam pembukaan mengatakan kedua kali mendengar kata bullying dalam peletihan ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih membutuhkan banyak waktu dan ruang untuk mengenalan bullying 708 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta di sekolah agar bullying di sekolah dapat dicegah terjadinya untuk menciptakan budaya sekolah yang lebih respect. Juga penting untuk membangun iklim sekolah dengan membentuk sikap dan perilaku respect sehingga sekolah dapat menjadi tempat bagi pembentukan karakter anak didik maupun guru. Antusiasme peserta selama pelatihan terhadap materi, metode dan keseluruhan pelatihan memberikan gambaran bahwa sesungguhnya guru-guru sangat membutuhkan layanan in service training setelah mereka masuk dalam dunia kerja. Kehausan akan pengetahuan, wacana dan wawasan baru sedikit mendapatkan jawaban setelah mereka mengikuti pelatihan ini. Tokoh inspiratif yang dibahas dalam pelatihan dinyatakan memberikan kesadaran pentingnya melakukan sesuatu tindakan sedikit-demi sedikit namun tetap istiqomah. Seseorang yang ditokohkan tidak merasakan melakukan sesuatu yang besar akan tetapi generasi pengikutnyalah yang melihat bahwa sesuatu telah dilakukan dan memberikan manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu penting bagi guru melakukan sedikit demi sedikit perubahan di sekolah. Jika perubahan dilakukan dengan istiqomah maka pada saatnya akan menjadi suatu perubahan yang besar. Dari rencana tindak lanjut yang akan dilakukan menunjukkan adanya semangat dari guru-guru untuk melakukan beberapa perubahan (action plan dilampirkan). Pemahaman guru terhadap berbagai bentuk bullying masih kurang, dan peserta mendapatkan pencerahan mengenai pengetahuan ini. Disadari pula bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain lebih sering melakukan bullying tanpa disadari, karena perilaku bullying selama ini dianggap sesuatu yang lumrah. Memanggil nama dengan sebutan yang buruk (seperti si Gendut, si Item) oleh guru terhadap siswa dianggap sebagai lumrah dan wajar padahal hal ini merupakan tindakan bullying secara psikologis. Menyatakan anak bodoh, nakal ataupun pemalas oleh guru menjadi label bagi siswa merupakan bullying secara verbal yang dapat berdampak negatif bagi siswa. Hal-hal semacam ini kurang diperhatikan guru sebagai salah satu bentuk tidak adanya sikap dan perilaku respect kepada orang lain. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang bullying, maka peserta dapat dengan mudah mengenali, mengidentifikasi dan mengklasifikasi jenis-jenis bullying yang sering terjadi di sekolah pada waktu melakukan pengamatan di sekolah. Tingkah Laku/behavior dengan mengukur implementasi hasil pelatihan di tempat kerja. Berdasarkan kajian dari Action Plan dan Focus Group Discussion Action Plan maka dapat diuraikan hasilnya sebagai berikut: tingkah laku/behavior peserta pelatihan positif. Peserta yang sering melakukan bullying di dalam kelas dengan penuh kesadaran dan komitmen yang tinggi akan berhenti melakukan hal itu lagi. Perilaku respect menjadi sesuatu yang semestinya dilakukan oleh seluruh komponen sekolah, baik kepada siswa, sesama guru, guru dengan kepala sekolah atau sebaliknya, dan bahkan sampai oleh penjaga sekolah kepada siswa dan sebaliknya siswa kepada semua komponen dalam sekolah. Jika terjadi bullying, maka tidak boleh dibalas dengan bullying pula. Walupun memang ironis korban bullying masih belum menyadari bahwa dirinya menjadi korban bullying. 709 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan uraian di atas dapat dilakukan refleksi untuk menemukan hal-hal yang essensial dari respect education (in house trainning) sebagai berikut: Realitas menunjukkan bahwa: a. Bullying terjadi di sekolah, baik di kelas saat pelajaran berlangsung maupun di luar jam pelajaran. Bullying terjadi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru b. Masih sering terjadi bullying guru terhadap anak didik c. Kekerasan (bullying terjadi di sekolah baik verbal maupun psikologi) d. Bentuk bullying yang terjadi di sekolah: memanggil nama teman dengan nama panggilan orangtua. Melakukan bullying karena ikut-ikutan teman lain Setelah pelatihan: a. meningkatnya kesadaran akan pentingnya respect bagi diri sendiri dan orang lain. b. menyadari diri masih memiliki kekurangan dalam hal komitmen untuk berubah lebih baik, guru menyadari bahwa meskipun anak melakukan bullying tidak boleh diperlakukan dengan kekerasan pula. c. menyadari bahwa bullying memang masih banyak terjadi baik dilakukan guru, siswa dan orang tua. Ironinya korban bullying masih belum menyadari bahwa dirinya menjadi korban bullying. d. Lingkungan sosial yang kurang mendukung, guru kurang sabar sementara anak memilki kelemahan (lambat belajar, perilaku yang over). Kesemua hal itu sangat dipengaruhi latar belakang sosial anak. Keinginan peserta diantaranya yaitu menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif untuk saling menghargai dan terhindar dari bentuk-bentuk kekerasan (bullying). Sedangkan cara yang akan dilakukan peserta : guru melatih diri untuk menghargai siswa dan menghindari tindakan bullying, tidak diskriminatif, serta guru harus menjadi teladan. Program perbaikan yang dilakukan adalah secara internal dan eksternal sebagai berikut : Perbaikan diri guru: a. Lebih menghargai orang lain, dengan yang lebih tua maupun muda dengan mau mendengarkan, memperhatikan dan merespon mereka. b. Bersedia menerima masukan, baik saran maupun kritik tentang dirinya. c. Tidak melakukan bullying pada siswa, sesama guru, bahkan pada kepala sekolah, harus bisa mengendalikan diri. Perbaikan ke orang lain (eksternal): a. Melakukan observasi kelas dan sekolah untuk mengidentifikasi apakah terjadi bulllying, bentuk-bentuknya, dan upaya mengatasinya b. Memberikan pemahaman tentang bullying dan akibatnya kepada orang lain. c. Lebih menghargai anak didik dengan mau mendengarkan keluh kesah mereka, membantu bila mengalami masalah dengan lebih sabar dan menghargai anak d. Membuat komitmen antar guru untuk saling mengingatkan jika mereka tanpa sadar melakukan bullying terhadap sesama. 710 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta e. Memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang bullying, bahaya dan akibatnya. f. Menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman. g. Mengajak guru lain untuk tidak melakukan bullying h. .Menangani kasus bullying di sekolah dan mencatatnya, memberikan bantuan dan dukungan terhadap korban bullying i. Melakukan pembelajaran yang respect (menghargai) dan berusaha menghilangkan tindakantindakan bullying yang sebelumnya kadang dilakukan oleh guru j. Menyelenggarakan seminar tentang bullying untuk teman-teman di sekolahnya. k. Meningkatkan komunikasi antar siswa, guru, orang tua dan masyarakat. l. Melakukan classroom action research untuk memberantas bullying di sekolah. m. Tidak melakukan bullying pada siswa sesama maupun bahkan pada kepala sekolah, harus bisa mengendalikan diri. Kesimpulan dan Saran Respect education in house training yang dilaksanakan bagi guru-guru Sekolah Dasar Muhammadiyah Bausasran 1 dan 2, dan SDN di sekitarnya dapat menanamkan sikap dan perilaku respect pada peserta pelatihan. Mengenalkan berbagai bentuk bullying dan implementasi di lapangan dalam bentuk melakukan pengamatan terjadinya bullying di sekolah mengasah sensitivitas guru pada masih terjadinya kekerasan/bullying di sekolah. Respect pada diri dan orang lain bentuk sikap dan perilaku yang dapat mengeliminir dan mencegah terjadinya kekerasan di sekolah dasar. Pelatihan perlu didifusikan kepada guru-guru lain agar semakin banyak guru yang memahami tentang bullying dan pentingnya respect pada diri dan orang lain akan tercipta budaya sekolah yang aman dan nyaman bagi anak. Penting pula dikembangkan pelatihan respect ini untuk siswa sekolah dasar dengan melibatkan guru sekolah dasar. Hal ini bisa dilakukan melalui riset pengembangan sebagaimana model pelatihan sebelumnya. Pelatihan respect untuk anak-anak akan lebih memberikan kesadaran dini akan pentingnya rasa menghargai pada diri dan orang lain sehingga kekerasan dapat lebih dini dicegah. Daftar Pustaka Assegaf, Abd. Rahman. 2002. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Laporan Penelitian: UIN. ------------------------------. 2003. Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi, Kasus, dan Konsep. Yogyakarta : Tiara Wacana. Burhan Bungin. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. Camara, Dom Helder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Insist Press. Farida Hanum. 2006. Fenomena Tindak Kekerasan yang dialami Anak di Rumah dan di Sekolah. Laporan Penelitian FIP UNY. 711 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial: Analisis Konflik Sosial, Dialog, Negosiasi, dan Pencegahan Kekerasan, Membangun Gerakan Perdamaian, Resolusi dan Transformasi Konflik, Peranan Kebudayaan dalam Transformasi Konflik, serta Merencanakan Pelatihan dan Workshop. Yogyakarta: Quils. Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2001. Latar Budaya Tindak Kekerasan terhadap Anak-anak di Indonesia. Laporan Penelitian:UGM. Helmi, Syafrizal. 2003. Mendesain Sebuah Pelatihan. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis. Vol. 03 No. 02 Okober 2003. Jamil Salmi. 2005. Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Sieber, Sam D. & Wilder, David E. 1973. The School in Society: Studies in the Sociology of Education. New York: The Free Press. Sudarsono, FX. 2004. Aplikasi Penelitian Tindakan Kelas di Dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Makalah Pelatihan Tindakan Kelas. FIP UNY. Sumjati As (ed). 2001. Manusia dan Dinamika Budaya, dari Kekerasan sampai Baratayuda. Yogyakarta : BIGRAF Publishing. Thomas Santoso. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. 712 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PEMANFAATAN PASIR ERUPSI MERAPI UNTUK PEMBUATAN BAHAN BANGUNAN DAN TEKNIK PEMASANGANNYA PADA BANGUNAN SEDERHANA Darmono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan dan manfaat penerapan teknologi di bidang bahan bangunan ini, agar khalayak sasaran: (1) dapat memenuhi kebutuhan bahan bangunan khususnya batako dalam rangka rekonstruksi akibat erupsi Merapi, (2) memiliki bekal keterampilan hidup dalam aspek vocational skill dalam bidang produksi bahan bangunan berbahan pasir dengan baik, (3) memiliki keterampilan dalam pemasangan batako pada bangunan sederhana, dan (4) memiliki minat terhadap kegiataan kewirausahaan dalam bidang produksi dan penjualan bahan bangunan berbahan pasir Bahan untuk mendukung kegiatan berupa pasir hasil erupsi Merapi, semen portland (SP), air pencampur, kayu, papan cor, bambu, besi beton, dan lain-lain. Peralatan yang diguanakan yaitu: cetakan batako, penumbuk, cangkul, sekop, ember, alat penggali, waterpas, unting-unting, benang nilon, roskam, linggis, palu besi, palu batu, sendok spesi berbagai bentuk dan ukuran, dan lain-lain. Materi penerapan teknologi ini berisi pelatihan keterampilan produksi batako dan teknik pemasangannya pada bangunan rumah makam dan bak distribusi air bersih. Metode kegiatannya, berupa: ceramah, diskusi, (3) demonstrasi, dan praktik lapangan. Proses pembuatan batako mengacu pada Modul Pelatihan Pembuatan Ubin atau Paving Block dan Batako yang dikembangkan oleh Claudia, dkk. (2006). Hasil kegiatan diawali dengan penyerahan alat dan bahan berupa: cetakan batako berukuran 40x20x10 cm sebanyak tiga buah, pasir sebanyak 1 rit truk; SP sebanyak 10 zak; penyampaian materi tentang teknik penyiapan bahan baku; ceramah dan demonstrasi teknik pembuatan batako; teknik memproduksi batako; dan teknik pemasangan pada bangunan sederhana berupa rumah makam serta bak penampung dan distribusi air bersih. Proses pembuatan batako diawali dengan pencampuran bahan baku (pasir dan SP) dalam kondisi kering, pengadukan bahan baku dengan air sampai mencapai kondisi lengas tanah, pencetakkan, perawatan dan pengeringan, serta pemasangan pada bangunan sederhana. Teknik pemasangan batako diawali dengan pemasangan dan penyetelah pedoman pengatur kedataran dan ketegakkan, pemberian spesi yang cukup secara merata dan mendatar, peletakkan dan pemasangan batako, pengisian siar tegak dengan spesi, dan pemlesteran tembok bilamana diperlukan. Semua pemasangan tembok dari bahan batako ini diperkuat dengan struktur bangunan yang memadai, seperti. pondasi batu kali, sloof, kolom beton, dan ring balk yang masing-masing manggunakan besi beton 4 Ø 12 mm dan begel Ø 8 – 10 cm (kolom) begel Ø 8 – 15 cm (sloof dan ring balk) dan dengan campuran 1 SP : 2 Ps : 3 Kr. Bangunan sederhana yang dapat diselesaikan yaitu berupa sebuah rumah makam (cungkup) berukuran 4 x 6 m serta dua buah bangunan bak penampung dan distribusi air bersih bagi warga Desa Kalibening. Kata kunci: pasir, erupsi Merapi, bahan bangunan, dan batako. Pendahuluan Dampak adanya erupsi Gunung Merapi pada akhir Oktober 2010 tidak hanya memporakporandakan wilayah Kabupaten Sleman, Klaten, dan Boyolali, akan tetapi juga sebagian wilayah di Kabupaten Magelang. Pada kenyataannya sebagian wilayah Kabupaten Magelang khususnya wilayah Kecamatan Salam, Muntilan, dan Dukun khususnya desa-desa yang beada di 713 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sepanjang alur Sungai Putih tidak kalah parahnya bila dibandingkan dengan tiga wilayah kabupaten lain, apalagi adanya aliran lahar dingin pasca erupsi Gunung Merapi tersebut. Kerusakan akibat lahar dingin erupsi Gunung Merapi tersebut mengakibatkan banyak tempat tinggal, jembatan, jalan, saluran irigasi, jaringan air bersih, dan bangunan lainnya di beberapa desa di wilayah Kabupaten Magelang tersebut rusak berat sehingga menarik perhatian dari semua pihak. Di pihak lain bila ditinjau dari sisi positifnya, adanya banjir lahar dingin di sepanjang Sungai Putih meninggalkan bahan galian C khususnya pasir. Pasir di sepanjang Sungai Putih sangat baik kualitasnya dan sangat mudah untuk didapatkan dengan harga yang relatif murah karena ketersediannya yang melimpah. Pasir yang melimpah dengan kualitas yang baik tersebut bila dikelola dan dimanfaatkan oleh tenaga terampil akan dapat menghasilkan bahan bangunan yang berkualitas baik dan layak jual ke masyarakat apalagi kebutuhan bahan bangunan khususnya untuk pembuatan dinding dan struktur bangunan pasca erupsi Merapi sangat banyak jumlahnya. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan pasir erupsi Merapi bagi masyarakat sekitar gunung tersebut perlu diadopsi konsep peningkatan nilai tambah. Pasir erupsi merapi tersebut seharusnya tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah (raw material), akan tetapi perlu adanya pengolahan lebih lanjut. Competitive advantage yang dimiliki oleh material erupsi Merapi ini, misalnya pasir diolah menjadi batako, batuan dipotong/dipecah menjadi batu kali untuk pondasi atau sebagai bahan patung, arca, ataupun batu hias (http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4390mengoptimalkanblessing-in-disguise-dalam-peristiwa-erupsi-merapi-2010). Melihat kondisi yang demikian itu, tim program pengabdian kepada masyarakat (PPM) dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta (LPPM UNY) telah berpartisipasi secara aktif untuk membantu memecahkan sebagian kecil permasalahan akibat dampak erupsi Merapi di Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Program PPM yang telah dilaksanakan berjudul “Pembuatan Bahan Bangunan Berbahan Pasir dan Batu”. Hasil kegiatan PPM yang menitikberatkan pada pemanfaatan pasir hasil erupsi Merapi untuk pembuatan bahan bangunan khususnya batako ini diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan warga masyarakat sekitar dan memberikan bekal keterampilan baik dalam teknologi produksinya maupun dalam pemasangannya pada bangunan sederhana. Tujuan dan Manfaat Tujuan dan manfaat dari kegiatan PPM pada dasarnya adalah untuk membantu masyarakat Desa Kalibening, agar: (1) dapat memenuhi kebutuhan bahan bangunan khususnya batako dalam rangka rekonstruksi bangunan yang rusak akibat erupsi Merapi, (2) memiliki bekal keterampilan hidup dalam aspek vocational skill dalam bidang produksi bahan bangunan berbahan pasir dengan baik, (3) memiliki keterampilan dalam pemasangan batako pada bangunan sederhana, dan (4) memiliki minat terhadap kegiataan kewirausahaan dalam bidang produksi dan penjualan bahan bangunan berbahan pasir 714 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tinjuan Pustaka Telah banyak para ahli bahan bangunan dan lembaga terkait yang mendefinisikan tentang batako. Batako atau ada yang menyebutnya batako pres terbuat dari campuran semen portland (PC) dan pasir atau abu batu (http://mujijayaganesha.blogspot.com). Definisi sebelumnya mengatakan bahwa batako adalah bata yang dibuat dari campuran bahan perekat hidrolis ditambah dengan agregat halus dan air dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya dan mempunyai luas penampang lubang lebih dari 25% penampang batanya dan isi lubang lebih dari 25% isi batanya (PUBI, 1982: 26). Ahli lain mengatakan bahwa batako adalah bata cetak yang dibuat dengan memelihara dalam suasana lembab dengan campuran tras, kapur dan air, dengan atau tanpa bahan tambah lainnya (Sunaryo Suratman, 1995: 62). Lebih lanjut Sunaryo Suratman (1995: 5) menambahkan bahwa batako atau batu cetak beton adalah elemen bahan bangunan yang terbuat dari campuran SP atau sejenisnya, pasir, air dengan atau tanpa bahan tambah lainnya (additive), dicetak sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding. Sedangkan Heinz Frick (2001) menjelaskan, terdapat enam kelebihan batako jika dibandingkan dengan bata merah per m2 dinding/tembok, yaitu: (1) lebih sedikit jumlah batako yang digunakan, (2) terjadi penghematan mortar 70%, (3) berat pasangan 50% lebih ringan sehingga tidak diperlukan pondasi bangnan yang tidak terlalu dalam, (4) bentuk cetakan yang beraneka ragam, memungkinan untuk membuat batako dengan variasi-variasi yang menarik, (5) jikalau kualitas batako mengizinkan, dinding/tembok tidak perlu diplester karena sudah cukup menarik, dan (6) tidak perlu dibakar. Pendapat di atas diperkuat oleh Mujijayaganesha (2012) yang menga-takan bahwa kelebihan dinding batako atau batako pres, adalah: (1) kedap air sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya rembesan air, (2) pemasangan lebih cepat, dan (3) penggunaan rangka beton pengakunya lebih luas antara 9 - 12 m2 (http://mujijayaganesha.blogspot.com/2012/01/manakah-pilihan-andabata-merah-batako.html) a. Bahan Pembentuk Batako 1) Pasir Bambang Hendroyo (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa, pasir dalam bangunan dipakai untuk bahan adukan (spesi) maupun sebagai bahan beton yang fungsinya adalah sebagai bahan pengisi. Sebagai bahan adukan, pasir biasanya dapat langsung dipakai, tetapi untuk pekerjaan beton lebih-lebih untuk beton mutu tinggi pasir harus mempunyai persyaratan tertentu. Syarat-syarat pasir menurut ASTM C33-86 (Departemen Pekerjaan Umum, 1999: 203) secara ringkas adalah sebagai berikut. a) Kadar lumpur maksimum 5% menyebabkan hampir semua sungai mendapat bagian material. b) Kadar gumpalan tanah liat yang mudah dirapihkan maksimum 3% . c) Kadar zat organik, bila direndam dengan larutan NaOH 3%, warnanya tidak lebih tua dari warna standar. 715 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta d) Agregat halus yang akan dipergunakan untuk beton yang akan mengalami basah dan lembab secara terus-menerus tidak boleh mengandung bahan yang bersifat reaktif terhadap alkali. e) Bersifat kekal, artinya tidak hancur karena pengaruh cuaca yang bila diuji memakai natrium sulfat, bagian yang hancur kurang dari 10%. f) Harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam, yang bila dilakukan pengujian ayakan, modulus kehalusannya antara 2,3 - 3,1. Selain syarat-syarat tersebut, ada beberapa variabel yang perlu diketahui dan sering dipakai dalam perencanaan campuran beton, yaitu: (1) bobot isi, dan (2) kadar zat kimia yang terkandung dalam pasir tersebut. Untuk mengetahui nilai dari variabel tersebut dalam praktiknya harus diadakan pengujian laboratorium. Kekekalan pasir dapat diuji dengan merendam pasir selama 24 jam di dalam larutan magnesium sufat. Setelah ditimbang lagi, bagian yang hancur harus tidak lebih dari 10% (Departemen Pekerjaan Umum, 1989). Susunan butir (gradasi) pasir dapat diuji dengan analisis ayakan. Pasir sampel diayak sehingga melewati serangkaian susunan ayakan dari yang paling kasar sampai ayakan yang halus. Pasir yang tertinggal di masing-masing ayakan tersebut ditimbang. Dengan rumus tertentu akhirnya dapat dihitung nilai modulus kehalusan batir (MKB) dari pasir tersebut. Besar MKB pasir harus di antara 2,3 - 3,1 (Departemen Pekerjaan Umum, 1989). Kadar lumpur pasir dapat diuji dengan mencuci pasir tersebut sehingga bagian yang kecil (< dari 70 mikron) akan terbawa aliran air. Pencucian harus sesuai dengan urutan dan langkah-langkah yang telah ditentukan. Setelah itu, pasir ditimbang kembali sehingga dapat diketahui bagian yang hilang yang nilainya harus tidak lebih dari 5% (Departemen Pekerjaan Umum, 1989). 2) Semen Portland (SP) Semen portland (SP) merupakan jenis bahan yang paling umum digunakan dalam dunia konstruksi. Bahan bangunan ini adalah bahan dasar pembuatan beton, mortar, plasteran, acian, batako, con block, bis beton, roster, dan lain-lain. Semen portland atau sering disebtu juga dengan istilah portland cement diperkenalkan dan dipatenkan oleh Joseph Aspdin pada tahun 1824. Semen portland terdiri dari campuran kalsium karbonat, silika, alumina, dan oksida besi. Semen portland dibuat dengan pemanasan kapur (sumber kalsium karbonat) dengan tanah liat (sumber silika, aluminat dan oksida besi), di mana selanjutnya bahan pembentuk semen ini digiling sehingga terjadi klinker dan selanjutnya dicampur dengan sulfat (gipsum). Proses hidrasi yang terjadi pada semen portland yang telah dicampur air dapat dinyatakan dalam persamaan kimia sebagai berikut: 2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2 2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + Ca(OH)2 Sedangkan Misbaclul Minir (2008), menuliskan bahwa apabila semen bercampur dengan air maka akan terjadi reaksi kikia hidrasi dan akan melepaskan panas (eksotermis), yang reaksi kimianya adalah sebagai berikut: Ca3Al2.O6 + H2O Ca3 Al2(OH)12 Ca2SiO4 + x H2O Ca2SiO4. x H2O 716 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Ca3SiO5 + (x + 1) H2O Ca2SiO4. x H2O + Ca(OH)12 b. Sifat dan Jenis Batako Randing (1975: 15) mengklasifikasikan bahwa batako dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu: (1) Bata cetak beton, dibuat dari campuran SP dan pasir atau kerikil. (2) Batu cetak tras kapur, dibuat dengan campuran kapur padam dan tras. (3) Batu cetak tanah stabilisasi terdiri dari batu cetak semen + tanah (solid cement) dan batu cetak kapur + tanah (line stabilized soil). (4) Batu cetak kapur pasir (sand line brick), yaitu batu cetak kapur pasir dibuat dari campuran kapur padam + pasir kwarsa, dimanpatkan dan dikeraskan dengan tekanan uap tinggi. (5) Batu cetak beton ringan, yang dapat berupa: (a) batu cetak beton gas atau beton busa yang dibuat dari campuran kapur atau SP + digiling dengan pasir kwarsa + bubuk aluminium (bahan pembusa lain) dan dikeraskan seperti batu kapur, dan (b) batu cetak beton dan beton apung dibuat dari SP, pasir alami, kerikil, dan batu apung. 1) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Batako Agar didapat mutu batako yang memenuhi syarat SII banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi mutu batako tergantung pada: (1) faktor air semen (f.a.s), (2) umur batako, (3) kepadatan batako, (4) bentuk dan tekstur batuan, (5) ukuran agregat dan lain-lain (Pusoko Prapto, 1997: 15). Faktor air semen adalah perbandingan antara berat air dan berat semen dalam campuran adukan. Kekuatan dan kemudahan pengerjaan (workability) campuran adukan batako sangat dipengaruhi oleh jumlah air campuran yang dipakai. Untuk suatu perbandingan campuran batako tertentu diperlukan jumlah air yang tertentu pula. Pada dasarnya semen memerlukan jumlah air sebesar 32% berat semen untuk bereaksi secara sempurna, akan tetapi apabila kurang dari 40 % berat semen maka reaksi kimia tidak selesai dengan sempurna (A. Manap, 1987: 25). Apabila kondisi seperti ini dipaksakan akan mengakibatkan kekuatan batako berkurang. Jadi air yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan semen dan untuk memudahkan pembuatan batako, maka nilai f.a.s. pada pembuatan dibuat pada batas kondisi adukan lengas tanah, karena dalam kondisi ini adukan dapat dipadatkan secara optimal. Disini tidak dipakai patokan angka sebab nilai f.a.s. sangat tergantung dengan campuran penyusunnya. Nilai f.a.s. diasumsikan berkisar antara 0,3 sampai 0,6 atau disesuaikan dengan kondisi adukan agar mudah dikerjakan. Mutu batako (kuat tekan) bertambah tinggi dengan bertambahnya umur batako. Oleh karena itu, sebagai standar kekuatan batako dipakai kekuatan pada umur batako 28 hari. Bila karena sesuatu hal diinginkan untuk mengetahui kekuatan batako pada umur 28 hari, maka dapat dilakukan dengan menguji kuat tekan batako pada umur 3 atau 7 hari dan hasilnya dikalikan dengan faktor tertentu untuk mendapatkan prakiraan kuat tekan batako pada umur 28 hari. Kekuatan batako juga dipengaruhi oleh tingkat kepadatannya, sehingga dalam pembuatan batako diusahakan campuran dibuat sepadat mungkin. Hal ini, memungkinkan untuk menjadikan 717 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta bahan semakin mengikat keras dengan adanya kepadatan yang lebih, serta untuk membantu merekatnya bahan pembuat batako dengan semen yang dibantu oleh air. 2) Persyaratan dan Mutu Batako Berdasarkan PUBI 1982, disebutkan tentang syarat dan mutu batako serta klasifikasinya sebagai bahan bangunan. Dalam penggunaan batako harus memenuhi syarat fisik maupun syarat ukuran standard dan toleransi sebagai berikut. a) Syarat fisik Secara fisik batako harus memenuhi syarat sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Persyaratan Fisik Batako Kekuatan Tekan Bruto Minimum*) (Kgf/cm²) Batako Mutu Rata-rata dari benda uji Masing-masing benda uji A1 20 17 A2 35 30 B1 50 45 B2 70 65 Sumber: PUBI 1982: 27. Penyerapan Maksimum (% Berat) 35 25 *) Kuat tekan brutto adalah baban keseluruhan pada waktu benda uji pecah dibagi dengan luas ukuran nominal batako, termasuk luas lubang serta cekung tepi. b) Syarat ukuran standar dan toleransi Ukuran batako sebagaimanan yang disyarakatkan dalam Standar Industri Indonesia (SII) yaitu sebagai berikut (lihat Tabel 2). Tabel 2. Ukuran Standar dan Toleransi Jenis Panjang Tipis 400  3 Sedang 400  3 Tebal 400  3 Sumber: PUBI, 1982: 28. Ukuran Nominal *) ( mm ) Lebar 200  3 200  3 200  3 Tebal 100  2 150  2 200  2 Tebal Kelopak (Dinding Rongga) Minimum (mm) Luar Dalam 20 15 20 15 25 20 *) Ukuran nominal sama dengan ukuran batako sesungguhnya ditambah 10 mm, tebal siar/adukan. (3) Syarat untuk pandangan luar dan kesikuan rusuk, meliputi: (1) bidang permukaannya harus tidak cacat, (2) bentuk permukaan lain yang didesain diperbolehkan, (3) rusuk-rusuknya siku satu sama lain, dan (4) sudut rusuknya tidak mudah dirapikan dengan kekuatan jari tangan. 718 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3) Klasifikasi Batako Sesuai dengan pemakaiannya batako diklasifikasikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut: (1) Batako dengan mutu A1, adalah batako yang digunakan hanya untuk konstruksi yang tidaak memikul beban, dinding penyekat serta konstruksi lainnya yang selalu terlindung dari cuaca luar; (2) Batako dengan mutu A2, adalah batako yang digunakan hanya untu hal-hal seperti tersebut dalam jenis A1, hanya permukaan dinding/ konstruksi dari batako tersebut boleh tidak diplester; (3) Batako dengan mutu B1, adalah batako yang digunakan untuk konstruksi yang memikul beban, tetapi penggunaannya hanya untuk konstruksi yang terlindung dari cuaca luar (untuk konstruksi di bawah atap); dan (4) Batako dengan mutu B2, adalah batako untuk konstruksi yang memikul beban dan dapat digunakan pula untuk konstruksi yang tidak terlindung. Metode Pelaksanaan 1. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam kegiatan PPM ini yaitu pasir dari hasil erupsi Gunung Merapi yang diambil dari Sungai Putih di wilayah Muntilan, semen portland (SP) merk Holcim, air pencampur, kayu berbagai ukuran, papan cor, bambu, besi beton, dan lain-lain. Sedangkan peralatan yang diguanakan yaitu: (1) cetakan batako, (2) penumbuk, (3) cangkul, (4) sekop, (5) ember, (6) alat gali, (7) waterpas, (8) unting-unting, (9) benang nilon, (10) roskam, (11) linggis, (12) palu besi (martil), (13) palu batu (bodhem), (14) sendok spesi (cethok) berbagai bentuk dan ukuran, dan lainlain. 2. Metode Penerapan Teknologi Materi penerapan teknologi ini berisi pelatihan keterampilan produksi bahan bangunan berbahan pasir khususnya pembuatan batako dan teknik pemasangannya pada bangunan sederhana yang berupa rumah makam (cungkup) dan bak penampung air bersih. Metode penerapan teknologi yang digunakan untuk menyampaikan materi kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: (1) ceramah, (2) diskusi, (3) demonstrasi, dan (4) praktik langsung di lapangan. Metode ceramah dan diskusi digunakan untuk menyampaikan materi tentang pengetahuan mengenai teknologi pembuatan batako dan teknik pemasangannya Sedangkan, metode demonstrasi dan praktik lapangan digunakan untuk menyampaikan materi tentang keterampilan produksi bahan bangunan berbahan pasir khususnya dalam pembuatan batako yang berkualitas dan praktik pembuatan rumah makam (cungkup) dan bak penampung dan distribusi air bersih bagi masyarakat Desa Kalibening. Pedoman untuk proses pembuatan batako mengacu pada Modul Pelatihan Pembuatan Ubin atau Paving Block dan Batako yang dikembangkan oleh Claudia, dkk. (2006). Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penerapan Teknologi Hasil penerapan teknologi ini diawali penyerahan alat dan bahan ke khalayak sasaran yang berupa: (1) cetakan batako berukuran 40x20x10 cm sebanyak tiga buah, (2) pasir sebanyak 1 rit truk, 719 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta (3) SP merk Holcim sebanyak 10 zak, (3) pemberian materi tentang teknik penyiapan bahan pembentuk batako, (4) ceramah dan demonstrasi teknik pembuatan batako, (5) teknik produksi batako melalui praktik lapangan, dan (6) teknik pemasangan bahan bangunan tersebut dalam pembangunan rumah makam (cungkup) serta bak penampung dan distribusi air bersih bagi warga masyarakat Desa Kalibening. Secara skematis aplikasi teknologi produksi bahan bangunan berbahan apsir (batako) dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Semen Portland (SP) Pasir Pencampuran Baku Batako dalam Kondisi Kering Hingga Merata Air Pengaduk Pengadukan Bahan Hingga Homogen Kondisi Lengas Tanah Pencetakan Perawatan Pengeringan Pemasangan pada Bangunan Gambar 2. Skema Aplikasi Teknologi Produksi Batako 2. Teknik Pemasangan Batako pada Bangunan Sederhana Dalam kegiatan penerapan teknologi ini teknik pemasangan batako pada bangunan sederhana, dikhususnya untuk pembuatan dinding baik itu untuk bangunan rumah makam (cungkup) maupun dalam pembuatan bak penampung dan distribusi air bersih. Untuk dapat memasang batako yang berfungsi sebagai dinding bangunan terlebih dahulu bangunan tersebut harus disiapkan berbagai bagian (komponen) penyusun dari bangunan tersebut. 720 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berbagai bagian pekerjaan pendukung sebelum dilakukan pekerjaan pemasangan dinding dari bahan batako, yaitu meliputi pekerjaan: (1) pembuatan papan duga (bouwplank), (2) galian pondasi, (3) pemasangan pondasi batu kali, (4) pemasangan, pembesian, dan pengecoran sloof, dan (5) pemasangan, pembesian, dan pengecoran kolom beton. Setelah kelima pekerjaan tersebut dilakukan baru dilakukan pemasangan dinding bangunan yang dalam hal ini menggunakan bahan batako dari hasil kegiatan pelatihan. Selain pekerjaan tersebut di atas untuk bangunan rumah makam (cungkup) masih terdapat pekerjaan yang dilakukan yaitu pembuatan rangka atap dan pemasangan penutup atap dari bahan genting. Secara teknik pekerjaan pemasangan batako dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pemasangan dan penyetelan pedoman untuk mengatur kedataran dan kerataan susunan batako yang akan dipasang dengan menggunakan waterpas dan tarikan benang. (2) Spesi (adukan) diletakkan di atas sloof dengan prakiraan jumlah yang cukup untuk satu buah batako (kira-kira setebal 1,5 cm). (3) Batako diletakkan dan dipasang dengan cara seolah-olah seperti pesawat udara yang sedang mendarat. Dengan cara yang demikian itu, teknis meletakkannya batako pada posisi yang dituju dan sekaligus ujungnya mendorong sedikit adukan (spesi) yang ada di bawahnya. untuk penyesuaikan posisinya batako yang sedang dipasang cukup dengan cara digeser ke depan atau belakang secara mendatar sehingga mendapatkan posisi yang diharapkan. (4) Pasangan batako harus diusahakan tetap mendatar dan tegak lurus (vertikal), oleh karenanya pada saat pemasangan batako tersebut berlangsung harus selalu diusahakan mengikuti benang pelurus yang telah dipasang sebelumnya. (5) Semua siar vertikal antara batako satu dengan lainnya, siar antara dinding batako dengan kolom beton maupun antara batako dengan balok beton harus diisi dengan adukan (spesi) dengan penuh dan dipadatkan serta diratakan permukaannya dengan sendok spesi, tebal siar mendatar dan tegak diusahakan berkisar 1 sampai dengan 1,5 cm. (6) Pasangan batako yang baru selesai dikerjakan dan pekerjaan tersebut akan dihentikan untuk sementara waktu perlu dilindungi dari hujan dan terik sinar matahari secara langsung dengan cara ditutup dengan lembaran plastik, zak semen, daun pisang, atau jenis bahan lembaran lainnya dan bilamana diperlukan pasangan batako yang baru selesai dikerjakan tersebut diperciki air secukupnya setiap hari selama 1 – 2 minggu, atau cara perlindungan lainnya. (7) Sebagai penutup, pasangan tembok dapat diberi plesteran yang gunanya untuk melindungi tembok tersebut dari pengaruh cuaca, pengaruh mekanik, dan untuk meratakan permukaan pasangan tembok bangunan yang bersangkutan. 3. Keterampilan Pekerja dan Perkuatan Konstruksi Pasangan Batako Terkait dengan masalah pemasangan bahan bangunan berbahan pasir khususnya batako untuk dinding bangunan, Mujijayaganesha (2012) menjelaskan bahwa keterampilan kerja atau kecakapan tukang yang melaksanakan pekerjaan pasangan adalah sangat penting karena merupakan penentu terhadap kualitas pekerjaan pasangan. Apabila tukang yang mengerjakan pekerjaan pemasangan dinding mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sifat-sifat bahan dan memiliki pengalaman dan keterampilan yang baik, maka biarpun bahan jelek akan menghasilkan pasangan yang relatif baik (http://mujijayaganesha.blogspot.com/2012/01). Oleh karena itu, dalalam 721 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pemasangan batako untuk dinding bangunan keterampilan dan penbgalaman tukang sangat menetukan hasil akhir dari pekerjaan tersebut terutama bila dinding abngunan tersebut tidak akan diplester. Bangunan dinding tembok bangunan lebih-lebih yang terbuat dari bahan batako, perkuatan dinding sangat dianjurkan terutama untuk daerah yang rawan gempa. Perkuatan pada dinding tembok batako dapat berupa kolom praktis, sloof, balok pengikat (ring balk) yang biasa disebut struktur rangka bangunan yang dapat dibuat dari beton bertulang. Mutu campuran beton yang dianjurkan minimum dengan perbandingan 1 PS : 2 Ps : 3 Kr. Bahan baku beton khususnya pasir dan kerikil harus bersih dari lumpur, kadar lumpur maksimum 5% untuk pasir dan 1% untuk kerikil. Pencampuran bahan tersebut menggunakan air kira-kira setenga bagian. Tulangan utama untuk struktur penguat tembok berbahan batako tersebut minimum untuk kolom 4 Ø 12 mm dengan sengkang (begel) Ø 8 - 10 cm, sedangkan tulangan memanjang balok menggunakan minimum Ø 12 mm, dan tulangan sengkang (begel) Ø 8 - 15 cm Hubungan antara balok dan kolom, dengan panjang penyaluran minimum 50 cm. Pada pertemuan antar dinding dipasang kolom praktis dengan tulangan utama 4 Ø 12 mm dan tulangan sengkang (begel) Ø 8 - 10 cm. Semua kolom harus dilengkapi angkur dengan Ø 8 mm panjang 30 cm, maksimum setiap 3 lapis batako Mujijayaganesha (2012). Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pelaksanaan program kegiatan dan pembahasan di atas selanjutnya dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut. a. Program kegiatan diawali dengan penyerahan alat dan bahan berupa: cetakan batako berukuran 40x20x10 cm sebanyak tiga buah, pasir sebanyak 1 rit truk; SP sebanyak 10 zak; penyampaian materi tentang teknik penyiapan bahan baku pembentuk batako; ceramah dan demonstrasi teknik pembuatan batako di lapangan; teknik memproduksi batako secara masal; dan teknik pemasangan pada bangunan sederhana berupa rumah makam (cungkup) serta bak penampung dan distribusi air bersih untuk keperluan sehari-hari warga setempat. b. Proses pembuatan batako diawali dengan pencampuran bahan baku yaitu berupa pasir dan SP dalam kondisi kering secara merata, pengadukan bahan baku pembentuk batako dengan air secukupnya sampai mencapai kondisi lengas tanah, pencetakkan, perawatan dan pengeringan, serta pemasangan pada bangunan sederhana yang dalam hal ini bangunna rumah makan dan serta bak penampung dan distribusi air bersih. c. Teknik pemasangan batako diawali dengan pemasangan dan penyetelah pedoman untuk pengatur kedataran dan ketegakkan pasangan, pemberian spesi yang cukup secara merata dan mendatar, peletakkan dan pemasangan batako dengan mengikuti benang, pengisian siar tegak dengan spesi secara cukup, dan pemlesteran tembok dari pasangan batako tersebut bilamana diperlukan. 722 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta d. Untuk menjaga kekuatan tembok semua pemasangan dinding tembok dari bahan batako ini diperkuat dengan struktur bangunan yang memadai, seperti: pondasi dari bahan batu kali dengan spesi yang cukup, sloof, kolom beton, dan ring balk yang masing-masing manggunakan besi beton berukuran 4 Ø 12 mm dan sengkang (begel) Ø 8 – 10 cm untuk pekerjaan kolom dan Ø 8 – 15 cm untuk pekerjaan sloof dan ring balk) dengan campuran beton 1 SP : 2 Ps : 3 Kr. e. Bangunan sederhana yang dapat diselesaikan dalam kegiatan pengabdian ini yaitu berupa sebuah rumah makam (cungkup) berukuran 4 x 6 m serta dua buah bangunan bak penampung dan distribusi air bersih yang diperuntukan bagi warga Desa Kalibening. 2. Saran-saran Dalam rangka untuk memperindah dan memberikan fungsi yang optimal terhadap bangunan sederhana yang dihasilkan dari kegiatan ini, beberapa saran yang dapat disampaikan yaitu sebagai berikut. a. Untuk tembok bangunan rumah makam, bilamana diplester akan jauh lebih baik sebab dapat menghindari lumut pada tembok tersebut. b. Untuk tembok bangunan bak penampung dan distribusi air bersih mutlak harus diplester dengan campuran yang kedap air (1 SP : 3 Ps) agar bangunan tersebut tidak rembes ataupun bocor. c. Perawatan secara berkala untuk bangunan tersebut terutama untuk bak penampung dan distribusi air bersih mutlak diperlukan terutama untuk bagian dalam bak untuk menjaga kebersihan dan kejernihan air yang ditampung dan didistribusikan ke rumah-rumah penduduk. d. Air buangan rumah tangga dari warga dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar, sebab air dari bak penampung tidak pernah berhenti sehingga buangan dari rumah tanggapun tidak pernah berhenti juga setiap harinya. Daftar Pustaka A. Manap, dkk. (1987). Analisis Batako dan Genteng Semen sebagai Bahan Murah di DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Bambang Hendroyo. (2007). Kualitas Pasir Muntilan (Jawa Tengah) Ditinjau dari Tempat Pengambilan dan Musim Pengambilan. Jurnal Wahana Teknik Sipil Vol. 12 No. 1 April 2007: 1 - 8. Butje Alfonsius Lauk Fanggi. (2007). Klasifikasi Batako Berbahan Dasar Tanah Putih di Kota Kupang dan Sekitarnya. Kajian tehadap Kuat Tekan Batako. Jurnal Mitra Tahun VIII, Nomor 3, Desember 2007. Caludia Muller, Eva F., dan Halimah. (2006). Modul Pelatihan Pembuatan Ubin atau Paving Block dan Batako. International Labour Organization. Departemen Pekerjaan Umum. (1982). Peraturan Umum Bahan Bangunan Indonesia (PUBI). Bandung: Departemen Pekerjaan Umum Departemen PU. (1989). Pedoman Beton 1989. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum. 723 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Heinz Frick. (2001). Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4390-mengoptimalkan-blessing-in-disguise-dalamperistiwa-erupsi-merapi2010.html?tmpl=component &print= 1&page. Diakses tanggal 13 Januari 2012. http://mujijayaganesha.blogspot.com/2012/01/manakah-pilihan-anda-bata merah-batako.html, Manakah Pilihan Anda: Bata Merah, Batako, atau Bata Ringan (Hebel/Celcon), Diakses tanggal 4 Mei 2012. http://mujijayaganesha.blogspot.com/2012/01/pemasangan-dinding-batabatako.html. Pemasangan Dinding Bata/Batako, Diakses Tanggal 4 Mei 2012. Misbachul Minir. (2008). Pemanfaatan Abu batu Bara (Fly Ash) untuk Hallow Black yang Bermutu dan Aman bagi Lingkungan. Tesis. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Pusoko Prapto. (1997). Pemanfaatan Pasir Laut untuk Keperluan Bahan Bangunan (Pembuatan Batako). Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Sunaryo. (1992). Batako: Terobosan Teknologi dalam Pembuatan Dinding. Jurnal Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Sunaryo Suratman, dkk. (1995). Pemanfaatan Limbah Industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Abu Terbang) untuk Bata Beton. Laporan Penelitian. Bandung: Puslitbang Pemukiman Depertemen pekerjaan Umum. 724 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PERINTISAN USAHA ANEKA MAKANAN RINGAN BERBAHAN DASAR PANGAN LOKAL SEBAGAI BENTUK RECOVERY PASCA ERUPSI MERAPI DI DESA ARGOMULYO Fitri Rahmawati, Siti Hamidah, Kokom Komariah,Rizqie Auliana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Tujuan kegiatan ini adalah agar masyarakat di Desa Argomulyo: 1) Mengetahui dan mempraktekkan pengembangan produk makanan ringan dari singkong, jagung, kacang, pisang, ubi jalar sehingga dapat diterima oleh masyarakat secara luas. 2) Mengetahui dan mempraktekan penggunaan teknologi mesin peniris minyak dalam meningkatkan kualitas produksi. 3) Mengetahui dan mempraktekan penggunaan kemasan yang cocok digunakan agar lebih menarik konsumen. 4) Mengetahui dan menerapkan cara perhitungan harga jual dan titik impas produksi olahan pangan lokal. 5) Mampu memproduksi dan memasarkan aneka produk makanan ringan berbahan pangan lokal setempat. Kegiatan perintisan usaha ini dimulai dengan Pelatihan ketrampilan mengolah pangan lokal yang telah berhasil dilaksanakan dengan baik selama 3 kali tatap muka berupa penyelenggaraan pelatihan secara singkat, yaitu tahap teori, praktek, evaluasi dan motivasi. Materi teori yang diberikan adalah a) Pengetahuan bahan, b) Pengemasan dan pelabelan, c) Perhitungan harga jual dan BEP, dan d) Cara produksi pangan yang baik. Materi teori diberikan selama 90 menit. Materi praktek yang diberikan yaitu: tepung cassava, tepung pisang, tepung jagung, onde-onde pecah cassava, cheese stick cassava, widaran cassava, ceriping pisang madu, ceriping pisang coklat, kacang disco, kacang atom, peyek kacang, tortila jagung, dan snack ubi jalar. Materi ini diberikan selama 360 menit dengan cara membagi peserta dalam 5 kelompok. Dalam pelatihan praktek dijuga diajarkan cara penggunaan mesin penisris minyak. Setelah kegiatan pelatihan selesai dilakukan peserta mendapatkan pendampingan hingga mampu menjalankan usaha. Setelah kegiatan dilaksanakan masyarakat Desa Argomulyo: 1) Mengetahui dan mampu mempraktekkan pengembangan produk olahan makanan ringan dari bahan pangan lokal sehingga dapat diterima oleh masyarakat secara luas. 2) Mampu mempraktekkan penggunaan mesin peniris minyak untuk olahan makanan ringan berbahan dasar pangan lokal. 3) Mampu mempraktekan penggunaan kemasan yang cocok digunakan agar lebih menarik konsumen. 4) Mengetahui dan menerapkan cara perhitungan harga jual dan titik impas produksi olahan makanan ringan berbahan dasar pangan lokal. 5) Mampu melakukan perintisan usaha aneka produk makanan ringan berbahan dasar pangan lokal secara berkelompok. Kata kunci: makanan ringan, diversifikasi, pangan lokal Pendahuluan Pasca erupsi merapi 2010 lalu memberikan pengaruh yang luar biasa pada kondisi sosial kemasyarakatan penduduk lereng merapi secara khusus dan kehidupan masyarakat Yogyakarta secara umum. Bencana merapi memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan terutama pada aspek psikologis, mental, kesehatan, pendidikan dan aspek perekonomian keluarga. Salah satu daerah yang mengalami kerusakan akibat erupsi merapi adalah Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman, kerusakan yang terjadi akibat letusan merapi sedikitnya terdapat 2.271 rumah warga yang rusak, 239 infrastruktur masyarakat seperti sekolah, puskesmas, dan pasar juga rusak. (www.slemankab.go.id, 2010). Kerusakan dan keterpurukan masyarakat tidak 725 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta hanya sebatas ketika bencana erupsi merapi berlangsung. Hingga hari ini dampak bencana erupsi merapi masih dirasakan sebagai musibah di Desa Argomulyo tetapi juga mengakibatkan hilangnya mata pencaharian masayarakat. Hampir setiap turun hujan terjadi banjir lahar dingin di sungai Gendol dan Opak, namun kejadian pada Sabtu (19/3 2011) malam merupakan yang paling parah dan mengakibatkan 41 rumah warga di Dusun Jaranan, Guling dan Banaran di Desa Argomulyo, Cangkringan dan Dusun Tambakan dan Jambon di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak hancur diterjang lahar dingin Merapi melalui Sungai Gendol. (Kompas.com) Hasil pertanian berupa padi, jagung, kacang, singkong, pisang, buah-buahan dan saruran merupakan potensi Desa Argomulyo dibidang pertanian. Selain potensi tersebut sebelum terjadinya erupsi merapi desa ini telah memiliki 6 kelompok perintisan usaha pengolahan makanan yang dilakukan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok. Rintisan usaha pengolahan makanan yang dilakukan selama ini mampu menambah pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Akibat bencana merapi kelompok perintisan usaha ini hingga saat ini belum mampu bangkit kembali dikarenakan beberapa peralatan produksi yang tidak dapat dipakai lagi dan juga karena harga bahan baku yang makin meningkat. Selain alasan tersebut, perintisan tersebut pasca bencana ini belum dapat peroperasi lagi karena pengetahun dan ketrampilan anggota yang terbatas dalam hal mengolah potensi pangan lokal yang ada disekitar mereka. Dari beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Desa Argomulyo pasca erupsi merapi faktor ekonomi terutama dalam bidang produksi, industry, dan perdagangan menjadi hal penting dalam akselerasi pemulihan aktivitas warga Desa Argomulyo maupun masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Dalam konteks pengembangan usaha ekonomi masyarakat, perlu dilakukan identifikasi masalah/kebutuhan dan potensi masyarakat secara matang. Program-program pemberian sarana produksi maupun kegiatan-kegiatan pelatihan harus berorientasi pada kebutuhan dan akses-akses sumber daya produksi yang mendukung keberlanjutan kegiatan yang dilakukan. Sumber daya produksi antara lain mencakup ketersediaan sumber bahan baku, potensi kemampuan sumber daya manusia yang tersedia, jaringan pasar yang dapat diakses dari hasil produksi masyarakat.(Achmad Suryana, 2002). Usaha-usaha ekonomi yang dikembangkan diharapkan dapat menjadi peluang usaha yang dapat dikembangkan lebih besar pasca bencana. Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya wilayah dan budaya setempat. Pangan lokal merupakan pangan yang sudah dikenal, mudah diperoleh, beragam jenisnya, bukan diimpor dan dapat diusahakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau dijual. Setiap daerah memiliki keunggulan pangan lokal yang berbeda sesuai tingkat produksi dan konsumsi. Pangan lokal paling banyak jenisnya adalah umbi-umbian, dimana 726 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sentra produksinya terpusat di Pulau Jawa. Tingkat konsumsi umbi-umbian di Propinsi DIY mencapai 189,4 % (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2004). Pengembangan rintisan usaha pengolahan makanan dapat memanfaatkan bahan lokal setempat dan pemilihan teknologi tepat guna yang dapat membantu pelaksanaan produksi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Jagung, singkong, kacang, pisang, dan ubi jalar serta umbiumbian lain dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan yang mempunyai masa simpan yang lebih panjang sehingga dimungkinkan dapat diproduksi dalam skala kecil maupun skala besar. Ketersediaan makanan pokok bagi seluruh masyarakat dalam sebuah negara sangat berpengaruh terhadap kualitas SDM negara tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan akan makanan pokok menjadi penting. (Gatot Ibnusantosa,1998). menyebutkan bahwa kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Untuk mencukupi kebutuhan makanan pokok, perlu dilakukan diversifikasi pangan khususnya makanan pokok. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap makanan pokok tunggal beras yaitu beralih ke jagung. Jagung memiliki potensi besar sebagai alternatif makanan pokok selain beras. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumberdaya terutama lahan irigasi yang menjadi permasalahan pada produksi beras, relatif tidak terjadi pada jagung. Disisi lain secara kandungan gizi jagung memiliki komposisi zat-zat makanan yang lebih komplet daripada beras. Selain sebagai sumber utama karbohidrat, juga mengandung zat gizi lain seperti: Energi (150,00kal), Protein (1,600g), Lemak (0,60g), Karbohidrat (11,40g), Kalsium (2,00mg), Fosfor (47,00mg), Serat (0,40g), Besi (0,30mg), Vit A (30,00 RE), Vit B1 (0.07mg), Vit B2 (0,04mg), Vit C (3,00mg), Niacin (60mg), dengan kandungan karbohidrat 74,26 g per 100g porsi edible menghasilkan total energi 365 Kcal (USDA, 2008 dalam Erlisa Hambali dkk, 2009) yang sangat berpotensi sebagai alternatif makanan pokok. Kacang tanah (Arachis hypogaea L,) diduga berasal dari benua Amerika, yakni Brasilia (Amerika Selatan). Produk utama tanaman kacang adalah biji buahnya yang rasanya gurih dan merupakan makanan sehat. Biji kacang tanah memiliki kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi. Kandungan mineralnya, terutama kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Kadar kalorinyapun tinggi (452 kal), setara dengan biscuit (458 kal), dan lebih dari beras (360 kal). (Haryoto,2009). Pisang (Musa paradisiaca) sebagai salah satu tanaman buah-buahan mempunyai potensi besar diolah menjadi tepung sebagai substitusi tepung terigu. Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat (17,2-38%). Produksi tepung pisang nasional mencapai 4.384.384 ton (BPS, 2003) dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6,5 triliun. Produksi tersebut sebagian besar dipanen dari pertanaman kebun rakyat 727 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta seluas 269.000 ha. Namun, terkadang karena keterbatasan teknologi yang dimiliki, hasil panen hanya dapat dipasarkan dalam bentuk tandan buah segar. Selain keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar, terkadang petani juga menghadapi kendala dalam penanganan pasca panen buah pisang terutama selama masa penyimpanan dan pengangkutan. Sehingga tidak sedikit dari hasil panen tersebut mengalami cacat fisiologis Ubi jalar sendiri termasuk tanaman semusim (annual) yang hampir setiap jenis tanah cocok untuk ditanami ubi jalar, namun demikian kondisi tanah yang paling ideal bagi pertumbuhan ubi jalar adalah tanah pasir berlempung gembur, dan memiliki derajat keasamaan (Ph) 5,5 – 7,5.( Rahmat rukmana.1997 ) Ubi jalar biasanya dikonsumsi hanya dengan pengolahan sederhana yaitu digoreng, direbus, dikukus, dibakar atau diolah menjadi makanan tradisional yang kurang menarik. Melalui proses yang sederhana ubi jalar dapat diubah menjadi makanan yang menarik dan berkelas, bahkan diketahui bahwa ubi jalar dapat menggantikan fungsi tepung terigu, karena apabila ubi jalar tersebut difermentasi oleh ragi atau bakteri sacchraromyes cerevisiae, maka akan menghasilkan gas CO2 yang dibutuhkan dalam pembentukan dan memperbesar volume roti, hal ini memungkinkan hasil olahan dari ubi jalar dapat dijadikan berbagai hidangan atau aneka kue yang baik dan mengundang selera ( Lies Suprapti,2003). Dengan adanya kondisi, potensi, dan juga kendala yang dihadapi oleh masyarakat Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman perlu adanya pembinaan dan pelatihan untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan dan diversifikasi olahan pangan lokal setempat dengan memanfaatkan penggunaan teknologi tepat guna melalui pemberdayaan masyarakat di Desa Argomulyo, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menuju kemandirian lokal. Tujuan pokok dari kegiatan ini adalah agar anggota masyarakat di Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman mengetahui dan menguasai tentang bahan pembuatan aneka produk makanan ringan dari bahan pangan lokal, teknik olah, kemasan, cara produksi yang baik, penggunaan teknologi tepat guna, perhitungan ekonomi dan mampu merintis usaha dengan memanfaatkan pangan lokal. Rumusan dari tujuan pokok pelatihan tersebut secara rinci dapat dioperasionalkan yakni agar masyarakat di Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman diharapkan dapat : 1. Mengetahui dan mempraktekkan pengembangan produk makanan ringan dari singkong, jagung, kacang, pisang, ubi jalar sehingga dapat diterima oleh masyarakat secara luas. 2. Mengetahui dan mempraktekan penggunaan teknologi mesin peniris minyak dalam meningkatkan kualitas produksi 3. Mengetahui dan mempraktekan penggunaan kemasan yang cocok digunakan agar lebih menarik konsumen. 728 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 4. Mengetahui dan menerapkan cara perhitungan harga jual dan titik impas produksi olahan pangan lokal. 5. Mampu memproduksi dan memasarkan aneka produk makanan ringan berbahan pangan lokal setempat. Metode Pelaksanaan Kegiatan Sasaran kegiatan ini adalah 35 orang perwakilan masyarakat Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman perwakilan dari tiap Dusun di wilayah Desa Argomulyo yang mempunyai kemauan untuk berkembang dan mau untuk dibina. Pemilihan dan penentuan/penetapan sasaran pelatihan ini mempunyai pertimbangan rasional-strategis, dalam kaitannya dengan upaya adopsi inovasi tentang pengembangan usaha untuk skala besar dan luas di masyarakat Desa Argomulyo pada masa mendatang. Kegiatan pelatihan ini diharapkan sebagai langkah awal guna mendapatkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terampil dan terlatih dalam industri pengolahan pangan lokal. Karena kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa sumber daya yang menguasai pengembangan usaha masih sangat terbatas, dan seringkali kemampuan yang dimiliki sifatnya sangat privat dan tidak boleh diketahui atau disebarluaskan ke pihak lain. Oleh karena itu harapan lebih jauh kegiatan pelatihan ini merupakan wacana strategis bagi upaya penyebarluasan dari pengembangan usaha di masyarakat secara terbuka, diharapkan pula untuk masing-masing anggota kelompok mampu mengembangkan usaha masing-masing terutama pengembangan kreativitas dan pemanfaatan teknologi yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas produk, diharapkan pula kepada masyarakat lainnya pada masa yang akan datang. Berdasarkan permasalahan yang diangkat dalam kegiatan ini, yaitu masih terbatasnya pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat tentang potensi pangan lokal baik gizi maupun manfaatnya bagi peningkatan ekonomi, maka kepada mereka diajarkan cara pemanfaatan pangan lokal dalam pengolahan makanan sehingga menjadi berbagai produk makanan ringan yang layak jual. Berbagai metode juga digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebagai berikut: a. Penyelenggaraan pelatihan teori untuk meningkatkan pengetahuan para peserta dengan materi: 1. Diversifikasi olahan makanan ringan dari bahan pangan lokal 2. Pengetahuan Bahan 3. Pengemasan dan Pelabelan 4. Perhitungan Harga Jual dan BEP 5. Sanitasi higiene dalam usaha penerapan CPPB 729 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Metode pembelajaran dalam pelatihan teori menggunakan metode ceramah dan demonstrasi. Metode ceramah dipilih untuk menyampaikan teori dan konsep-konsep substansi yang sangat prinsip dan penting, yang harus dikuasai oleh peserta pelatihan. Substansi tersebut berupa materi pokok yaitu berkaitan dengan pengetahuan tentang bahan, perhitungan harga jual dan CPPB. Sedangkan metode demonstrasi sangat penting keberadaanya dalam kegiatan pelatihan ini, karena dalam pelatihan suatu proses kerja akan lebih mudah diikuti oleh peserta pelatihan manakala ketrampilan yang akan ditransformasikan bisa dieksplisitkan secara konkrit melalui demonstrasi. Adapun materi yang menggunakan pendekatan metode demonstrasi pada pelatihan teori adalah penggunaan mesin peniris minyak dan cara pengemasan. b. Penyelenggaraan pelatihan praktek pengolahan pangan lokal menjadi aneka makanan ringan. Praktek dilakukan mulai dari cara mempersiapkan berbagai bahan pangan lokal sebagai bahan makanan dan pengolahannya menjadi : tepung cassava, tepung pisang, tepung jagung, ondeonde pecah cassava, cheese stick cassava, widaran cassava, ceriping pisang madu, ceriping pisang coklat, kacang disco, kacang atom, peyek kacang, tortila jagung, dan snack ubi jalar. Metode pembelajaran yang digunakan untuk kelancaran pelatihan adalah demonstrasi dan metode latihan. Metode demonstrasi diberikan agar peserta melihat prosedur praktek dengan baik dan kemudian dapat mengikuti melalui latihan. Metode latihan atau praktek ini diberikan kepada para peserta pelatihan dengan harapan peserta pelatihan akan mempunyai pengalaman langsung dengan melakukan sendiri atau mempraktekan materi pelatihan tentang prosedur atau langkah kerja dalam pengolahan pangan lokal. c. Penyelenggaraan display aneka makanan ringan dari bahan pangan lokal untuk memotivasi pemanfaatan pangan lokal sebagai bahan makanan bernilai jual tinggi. Metode yang digunakan adalah latihan (praktek) oleh peserta dan pengamatan ketika penilaian. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan perintisan usaha makanan ringan berbahan dasar pangan lokal ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: a. Tahap pelatihan teori. Tahap ini dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan untuk pengetahuan yang menitik beratkan pada kemampuan kognitif mengenai : 1. Diversifikasi olahan makanan ringan dari bahan pangan lokal 2. Pengetahuan Bahan 3. Pengemasan dan Pelabelan 4. Perhitungan Harga Jual dan BEP 5. Sanitasi higiene dalam usaha penerapan CPPB 730 meningkatkan Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta b. Tahap pelatihan praktek. Tahap ini dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan ketrampilan mengolah pangan lokal yang menitik beratkan pada kemampuan mengolah singkong, jagung, pisang, kacang, dan ubi jalar menjadi berbagai produk makanan ringan, materi pelatihan yang diberikan adalah: 1) Praktek diversifikasi pengolahan ubi jalar menjadi: tepung cassava, tepung pisang, tepung jagung, onde-onde pecah cassava, cheese stick cassava, widaran cassava, ceriping pisang madu, ceriping pisang coklat, kacang disco, kacang atom, peyek kacang, tortila jagung, dan snack ubi jalar. 2) Penggunaan mesin peniris minyak 3) Pengemasan dan pelabelan aneka olahan ubi jalar. 4) Perhitungan harga jual dan BEP. c. Tahap evaluasi dan motivasi. Tahap evaluasi dan motivasi bertujuan mengetahui apakah peserta telah menguasai materi yang diberikan dan membangkitkan keinginan untuk mengolah berbagai pangan lokal menjadi berbagai produk makanan ringan yang layak jual. Tahap ini dilakukan dengan cara ”Display aneka makanan ringan berbahan pangan lokal”. Kegiatan ini dilakukan pada acara penutupan kegiatan yaitu setelah pelatihan teori dan praktek dengan harapan telah memahami cara mengembangkan olahan pangan lokal. Pada kegiatan ini diharapkan diperoleh kreativitas peserta serta ditemukan berbagai resep baru dan berbagai produk makanan ringan berbahan baku pangan lokal. Prosedur yang dilakukan adalah: 1) Membagi peserta pelatihan atau ibu-ibu peserta sejumlah 35 orang dalam 5 kelompok (tim) sehingga perkelompok terdiri dari 7 orang. 2) Setiap kelompok ditugaskan untuk membuat 1 produk yang telah diajarkan dan 1 produk kreasi bebas untuk membuat atau menciptakan makanan ringan dari bahan pangan lokal dan diolah dirumah. 3) Kepada setiap kelompok (tim) diberi bantuan biaya Rp. 25.000 dan bantuan biaya tersebut sekaligus sebagai batas maksimal biaya belanja. 4) Hasil olahan makanan ringan tersebut dibawa dan ditata di hari pertemuan terakhir untuk dievaluasi d. Tahap evaluasi Evaluasi kegiatan dilakukan selama proses pelatihan berlangsung, baik pada saat penyajian materi teori maupun pada saat praktek. Evaluasi pada tahap teori dilakukan dengan model tanya jawab dengan peserta pelatihan. 731 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta e. Hasil Kriteria keberhasilan pelatihan dilihat dari dua segi yaitu segi teori (pengetahuan) dan segi ketrampilan. Dari segi teori kriteria keberhasilannya adalah peserta pelatihan mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan minimal 80%. Sedangkan kriteria keberhasilan dari aspek ketrampilan yakni peserta mampu mempraktekkan berbagai materi yang telah diberikan minimal dengan bahan yang telah disediakan oleh pelatih dalam program pelatihan. Hasil dan Pembahasan Pelatihan ketrampilan perintisan usaha aneka makanan ringan telah berhasil dilaksanakan dengan baik selama 3 kali tatap muka berupa penyelenggaraan pelatihan secara singkat. Pelatihan dimulai dari teori, praktek dan diakhiri dengan display sebagai bentuk motivasi kepada peserta. Materi pelatihan telah disusun sesuai kebutuhan dan berdasarkan survei pada ibu-ibu PKK Desa Argomulyo yang masih mempunyai pengetahuan yang minim akan olahan makanan ringan berbahan dasar pangan lokal yang layak jual. Survei juga melihat kemudahan dalam memperoleh bahan serta kemudahan dalam mempersiapkannya. Pemilihan materi juga menyesuaikan dengan kemampuan ibu-ibu peserta serta lama proses pengolahan dan jenis makanan. Materi yang diberikan terdiri dari dua bagian yaitu teori dan praktek. Materi ini kemudian disusun menjadi sebuah modul yang akan memudahkan peserta dalam mempelajarinya. Materi pelatihan diberikan pada tahap teori dan tahap praktek. Tahap teori untuk meningkatkan pengetahuan yang menitik beratkan pada kemampuan kognitif. Pelatihan dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab serta didukung oleh metode demonstrasi. Materi yang diberikan adalah a) Diversifikasi olahan pangan lokal, b) Pengetahuan tentang bahan, c) Pengemasan dan Pelabelan, d) Perhitungan harga jual dan BEP, dan e) Sanitasi hygiene sebagai usaha cara produksi pangan yang baik. Materi teori diberikan selama 90 menit. Materi praktek diberikan pada tahap pelatihan praktek. Tahap ini dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan ketrampilan mengolah pangan lokal yang menitik beratkan pada kemampuan mengolah pangan lokal menjadi makanan ringan, yaitu: onde-onde pecah cassava, cheese stick cassava, widaran cassava, ceriping pisang madu, ceriping pisang coklat, kacang disco, kacang atom, peyek kacang, tortila jagung, dan snack ubi jalar. Materi ini diberikan selama 360 menit dengan cara membagi peserta dalam 5 kelompok. Pemberian materi diawali dengan penjelasan dan demosntrasi cara pembuatan produk, kemudian kepada peserta dipersilahkan untuk melakukan sendiri cara membuat produk mulai dari persiapan sampai produk jadi dan siap dikonsumsi. Hasil produk yang sudah jadi kemudian dievaluasi bersama-sama sehingga peserta menjadi tahu kekurangan dan kelebihan produk yang sudah dibuat. Dengan demikian mereka juga memperoleh pengetahuan tentang karakteristik masing-masing produk. Setelah produk jadi 732 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dilanjutkan dengan pengemasan dan pelabelan serta perhitungan harga jual sehingga peserta mengetahui dan mampu menghitung harga jual produk yang dibuat. Evaluasi pelatihan teori dilakukan untuk mengetahui pemahaman peserta akan manfaat olahan pangan lokal, jenis-jenis olahan pangan lokal maupun potensinya sebagai bahan makanan layak jual. Evaluasi dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada peserta pelatihan setelah materi teori diberikan. Dari segi teori kriteria keberhasilannya adalah peserta pelatihan mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan minimal 80%. Hasil secara lengkap terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Evaluasi Terhadap Pengetahuan Peserta Pelatihan Kriteria Nilai N 0 9 26 35 Rendah (< 60) Sedang (60 – 80) Tinggi (> 80) Total % 0 26 74 100 Evaluasi pelatihan praktek dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta dalam mengolah pangan lokal menjadi aneka produk makanan ringan. Evaluasi dilakukan pada saat proses atau praktek membuat onde-onde pecah cassava, cheese stick cassava, widaran cassava, ceriping pisang madu, ceriping pisang coklat, kacang disco, kacang atom, peyek kacang, tortila jagung, dan snack ubi jalar Peserta diamati dengan lembar pengamatan yang terdiri dari 3 kriteria, yaitu: persiapan, proses pengolahan dan hasil. Evaluasi praktek juga dilihat dengan dukungan ketika display di akhir pertemuan. Hasil secara lengkap tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil Evaluasi Praktek Peserta Pelatihan Nilai Rendah (< 60) Sedang (60 – 80) Tinggi (> 80) Total Persiapan Proses Pengolahan Hasil 40% 60% 100% 20% 80% 100% 40% 60% 100% Evaluasi sikap peserta terhadap kegiatan pelatihan pemanfaatan dan diversifikasi olahan makanan ringan untuk peningkatan harga jual pangan lokal dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Evaluasi Sikap Terhadap Kegiatan Kriteria Kurang bermanfaat Bermanfaat Sangat bermanfaat Total 733 N % 10 25 35 29 71 100 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Display Aneka Olahan Makanan Ringan Berbahan Dasar Pangan Lokal Kegiatan display hasil pelatihan diadakan sebagai bentuk tahap evaluasi dan motivasi kepada peserta bahwa pangan lokal dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan aneka produk makanan ringan. Display ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kreativitas dalam memanfaatkan pangan lokal dalam makanan sehingga akan diperoleh berbagai aneka olahan. Diharapkan setelah mencoba berbagai olahan pangan lokal pada saat pelatihan praktek dan telah mengetahui bahwa produk tersebut layak jual pada saat pelatihan teori maka peserta dapat menciptakan aneka olahan dan kemudian mau memanfaatkannya dalam rintisan usaha olahan makanan ringan berbahan dasar pangan lokal. Display dilakukan pada hari terakhir pelatihan yaitu pada acara penutupan kegiatan, yaitu setelah pelatihan teori dan praktek dengan harapan telah memahami cara mengembangkan olahan pangan lokal. Produk hasil makanan ringan berbahan dasar pangan lokal yang telah dibuat kemudian dievaluasi secara bersama-sama baik dari sisi rasa, warna, tekstur, aroma, kemasan maupun penyajiannya. Hasil pelaksanaan kegiatan menunjukkan bahwa ibu-ibu peserta pelatihan memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baik dalam memahami potensi dan pemanfaatan pangan lokal sebagai bahan makanan bergizi dan layak jual. Hasil ini ditunjukkan dari tes pengetahuan dan lembar pengamatan praktek. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan telah memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman untuk memanfaatkan ubi jalar menjadi produk makanan yang layak jual. Berdasarkan hasil evaluasi respon atau sikap diketahui bahwa menurut peserta adanya pelatihan ini sangat berguna dan bermanfaat. Pelatihan ini dikatakan berhasil karena telah sesuai dengan Indikator keberhasilan yang ditetapkan, yaitu pelatihan dinyatakan berhasil apabila 80% peserta mengikuti pelatihan sampai selesai dan dibuktikan dari presensi kehadiran, dan 80% peserta memiliki nilai cukup dalam tes pengetahuan serta ketrampilan sehingga dinyatakan kreatif dan dapat mengolah pangan lokal menjadi aneka produk makanan pada saat display. Hasil penilaian kehadiran menunjukkan hasil 99% peserta datang untuk mengikuti pelatihan sampai selesai. Sedangkan evaluasi praktek (ketrampilan) sudah terlihat lebih dari 70% telah memiliki kemampuan baik dalam persiapan, proses dan penyajian. Sementara dari sikap atau respon terhadap kegiatan pelatihan ini 71% menyatakan sangat bermanfaat dan 29% menyatakan bermanfaat. Output yang diharapkan dalam kegiatan pelatihan perintisan usaha makanan ringan berbahan dasar pangan lokal adalah peserta memiliki kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor dalam memanfaatkan pangan lokal menjadi berbagai olahan makanan yang layak jual. Selain itu, peserta juga diharapkan memiliki motivasi untuk mensosialisasikan manfaat pangan lokal dan pengolahan pangan local menjadi aneka makanan ringan kepada warga yang lainnya pada berbagai kegiatan. Sedangkan outcome sebagai kelanjutannya mengharapkan agar kegiatan pemanfaatan 734 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pangan lokal sebagai bahan makanan yang mempunyai nilai jual dan jangka panjangnya dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarga melalui rintisan usaha makanan ringan berbahan dasar pangan lokal. Simpulan dan Saran Simpulan Setelah mengikuti kegiatan masyarakat Desa Argomulyo: 1. Mengetahui dan mampu mempraktekkan pengembangan produk olahan makanan ringan dari bahan pangan lokal sehingga dapat diterima oleh masyarakat secara luas. 2. Mampu mempraktekkan penggunaan mesin peniris minyak untuk olahan makanan ringan berbahan dasar pangan local 3. Mampu mempraktekan penggunaan kemasan yang cocok digunakan agar lebih menarik konsumen. 4. Mengetahui dan menerapkan cara perhitungan harga jual dan titik impas produksi olahan makanan ringan berbahan dasar pangan lokal. 5. Mampu melakukan perintisan usaha aneka produk makanan ringan berbahan dasar pangan lokal secara berkelompok. Saran 1. Keberlanjutan perintisan usaha yang telah terbentuk perlu adanya pendampingan dari pihak terkait seperti kelurahan sehingga sosialisasinya semakin luas. 2. Perlu pengembangan produk terus menerus agar diperoleh olahan produk makanan ringan berbahan pangan lokal yang lebih bervariasi untuk kemajuan rintisan usaha yang telah ada. Daftar Pustaka Achmad Suryana. 2002. Pembangunan Ketahanan Pangan dalam Kerangka Desentralisasi. Departemen Pertanian. Jakarta Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta Erliza Hambali, Ani Suryani, M.Ihsanur. 2009. Membuat Aneka Olahan Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta Fitri Rahmawati, 2005. Pelatihan Aneka Olahan Umbi-Umbian untuk Meningkatkan Pendapatan Kelompok Petani Guyup Rukun di Desa Argodadi Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul. Laporan Pengabdian Masyarakat. UNY Gatot Ibnusantosa. 2002. Strategi Pengembangan Agroindustri Pangan. Makalah dalam Pangan dan Gizi di Era Desentralisasi : Masalah dan Strategi Pemecahannya. DPP Pergizi Pangan Indonesia. 735 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Haryoto.2009. Membuat Aneka Olahan Kacang Tanah. Kanisius. Yogyakarta Ika Erni Kusmawati dan Fitri Rahmawati. 2005. Aneka Olahan Kudapan dari Tepung Ubi Jalar. Tugas Akhir D3. Jurusan PKK FT UNY Kartono Wirosuhardjo.1995. Pengembangan Sikap Pengusaha Makanan Tradisional melalui Pendidikan Manajemen. Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional Lies Suprapti. 2003. Tepung Ubi Jalar. Kanisius. Yogyakarta Marliyati, S.A., Ahmad Sulaeman dan Faizal Anwar. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. PAU Pangan dan Gizi. Bogor. Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU. IPB. Bogor Rahmat Rukmana. 1997. Budidaya dan Pascapanen Ubi Jalar. Kanisius. Yogyakarta. Tri Susanto dan Budi Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT Bina Ilmu. Surabaya Winarno, F.G. dkk. 1999. Kumpulan Makanan Tradisional I. PKMT. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 736 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN BAGI GURU DALAM MENERAPKAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK (GROUP ACTIVITY) UNTUK MENGATASI BURNOUT BERSEKOLAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR Muhammad Nur Wangid Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT The purposes of the trainning was to improve the comprehension of school burnout and group guidance services, as well as to improve the skills of teachers in applying group guidance in order to reduce school burnout on students. There were three approachs of the public service activities, first trainning, simulation, and practices with student by escorting. The trainning to improve the comprehension of participants about school burnout and group guidance services, whereas the simulation and practices were intended to improve the participants skills in implementing group guidance in class. The main public objective was primary school teachers in Prambanan District, Klaten Regency and Central of Java Provinces that amounted to 64 teachers. The yields of this public survices was occurred improvement in comprehension about school burnout and group guidance services. It was proved by 57 participants (89%) increasing his comprehension scores, and 7 participants (10%) did not happen alteration. Likewise, the teachers skills in implementing group guidance to reduce school burnout also increase, it could be seen from the result of qualitative assesment during proceses of simulation and escorting that showed 60 participants (93,75%) his skills increase. Key words: Group Guidance; School Burnout. Pendahuluan Sekolah merupakan tempat yang menyenangkan bagi anak-anak yang sudah masuk sekolah. Anak dapat bersosialisasi dengan teman, belajar dari aturanaturan yang berlaku di sekolah maupun dalam bermain, serta memperoleh ilmu dari pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh guru. Proses belajar seperti tersebut tidak ditemukan anak di rumah, sehingga pada umumnya anak selalu bersemangat dan menyukai kegiatan bersekolah. Pada perkembangan lebih lanjut, pada sebagian anak mulai timbul rasa jenuh (burnout) untuk bersekolah. Burnout oleh Fith dan Britton (1989) digambarkan sebagai keadaan internal negatif yang berupa kelelahan atau kehabisan tenaga dan hilangnya motivasi untuk melakukan sesuatu. Lebih jauh Maslach (1993) menegaskan bahwa burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu 1) kelelahan emosional ditunjukkan dengan adanya kejenuhan, sering merasa lelah, frustasi, mudah tersinggung, sedih, putus asa, tidak berdaya, tertekan dan perasaan tidak nyaman dalam melakukan tugas-tugas yang diberikan, 2) depersonalisasi yaitu menjauhnya individu dari lingkungan sekitar, tidak peduli dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, serta 3) low personal accomplishment atau perasaan rendah diri yang merupakan ketidakpuasan dan menilai rendah diri sendiri. Dengan demikian perilaku yang dimunculkan ketika anak sudah mulai burnout adalah mulai malas-malasan untuk bersekolah, tidak mau mengerjakan tugas-tugas sekolah, prestasi belajar yang menurun, tidak mau bergabung dengan teman-teman, mudah marah, emosi labil, dan merasa tidak percaya diri.. Alasan yang sering disampaikan adalah sakit, tidak diberi uang 737 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta saku oleh orangtua, sepatunya kotor, dan masih banyak lagi alasan. siswa yang mengalami kejenuhan (bosan) bersekolah. Ada dua faktor yang menyebabkan munculnya burnout, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri anak tersebut, yaitu kondisi fisik dan psikis yang lelah, tidak adanya motivasi untuk berprestasi, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh adanya pengaruh dari pihak luar anak, misal bosan dengan metode mengajar guru dalam kelas, ketidakcocokan dengan teman, atau orangtua yang selalu menuntut lebih pada anak. Burnout bersekolah pada anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah dapat dibantu dengan kerjasama berbagai pihak. Namun, pihak yang terlibat paling utama untuk di sekolah dasar adalah orang tua dan guru. Hal itu dilakukan melalui guru memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu dalam mencapai tugas-tugas perkembangan sehingga individu tersebut dapat mengembangkan bakat, potensi, minat yang dimiliki dan pada akhirnya dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Bimbingan dan konseling memiliki beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membantu individu mengatasi permasalahan yang dialami, salah satunya adalah bimbingan kelompok (Prayitno dan Erman Amti, 1999). Bimbingan menurut Natawijaya (1987) diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan pada individu yang dilakukan secara berkesinambungan agar individu tersebut dapat memahami dirinya dan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pengertian dari bimbingan kelompok adalah mencegah berkembangnya masalah atau hambatan dalam diri individu dengan strategi kelompok. Bimbingan kelompok dalam bentuk group activity sangat tepat digunakan dalam mengatasi burnout bersekolah pada siswa sekolah dasar mengingat karakteristik anak usia sekolah dasar memiliki kecenderungan untuk menyukai atau berminat pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara berkelompok (Marat dan Siregar, 2001). Hasil penelitian yang telah dilakukan di SDIT Salsabila Baiturrahman Prambanan menunjukkan bahwa penerapan bimbingan kelompok (group activity) dapat mengurangi burnout bersekolah pada siswa kelas rendah. Siswa yang menunjukkan gejala-gejala burnout bersekolah setelah diberi layanan bimbingan kelompok (group activity) ternyata berkurang burnout bersekolahnya (Muhammad Nur Wangid, dkk., 2010). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan di tempat yang berbeda (Isti Yuni Purwanti, 2009). Bentuk-bentuk aktivitas kelompok sangat bermanfaat bagi anak-anak (siswa sekolah dasar) untuk menyegarkan kembali dan menambah tenaga baru untuk tetap bersemangat, serta dapat memfokuskan pada tujuan atau tugas yang harus dikerjakan. Bentuk aktivitas kelompok (group activity) yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah berupa permainan (Bartl, 2008; Harpine, 2008). Bahkan menurut Jacob dkk. (2006) dan Ringer (2002) bagi anak-anak permainan yang dilakukan secara berkelompok ini akan mampu menjadi media untuk menyembuhkan berbagai gangguan psikologis yang membuat dirinya merasa tertekan (stress). Hasil kajian kepustakaan dan penelitian ini mendorong tim pengabdian masyarakat untuk melakukan pelatihan kepada guru-guru di wilayah Prambanan Klaten, Jawa Tengah tentang penerapan bimbingan kelompok (group activity) dalam mengurangi burnout bersekolah. Menurut informasi salah satu pengurus Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan wilayah Prambanan 738 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Klaten Jawa Tengah banyak ditemukan siswa yang mengalami burnout. Selama ini guru masih mengalami kesulitan untuk mengatasinya dan membutuhkan suatu upaya sehingga mampu mengurangi perilaku burnout bersekolah. Adapun tujuan dari kegiatan dari tim pengabdian masyarakat pada guru-guru di wilayah Prambanan Klaten, Jawa Tengah adalah memberikan pengenalan tentang burnout bersekolah, memberikan pengenalan tentang layanan bimbingan kelompok sehingga pada akhirnya meningkat pula keterampilan guru dalam menerapkan bimbingan kelompok untuk mengurangi burnout bersekolah. Manfaat yang diharapkan dari kegitan pengabdian ini secara umum adalah dapat meningkatkan keterampilan guru dalam memberikan bimbingan kelompok terhadap siswa yang mengalami burnout bersekolah. Secara khusus dapat mengenalkan pada para guru tentang burnout bersekolah dan bimbingan kelompok serta dapat memberikan gambaran tentang penerapannya dalam mengurangi burnout bersekolah. Metode Pelaksanaan Kegiatan Khalayak sasaran pada kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah guru-guru sekolah dasar yang berada di wilayah Prambanan Klaten, Jawa Tengah. Jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini ditargetkan sebanyak 50 orang. Untuk dapat mencapai target peserta tersebut tim pengabdi kegiatan ini bekerjasama dengan UPTD dan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) setempat. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah : 1). Curah pendapat untuk menggali masalah-masalah yang dihadapi guru terkait perilaku burnout siswa di sekolah, 2) ceramah berupa penyampaian materi tentang karakteristik siswa SD, burnout bersekolah, layanan bimbingan kelompok (group activity) dan penerapan layanan bimbingan kelompok dalam mengurangi burnout bersekolah, 3) diskusi dan tanya jawab untuk mengetahui penguasaan materi tentang layanan bimbingan kelompok (group activity) dalam mengurangi perilaku burnout bersekolah pada siswa, 4). pemberian tugas dengan model simulasi untuk praktek penerapan layanan bimbingan kelompok (group activity) untuk mengurangi perilaku burnout bersekolah, serta 5). pendampingan untuk mengetahui penerapan layanan bimbingan kelompok dalam mengurangi burnout bersekolah pada siswa yang sesungguhnya. Setelah kegiatan PPM dilakukan selanjutnya diadakan evaluasi kegiatan dalam bentuk pemantauan kemampuan guru peserta pelatihan dengan melihat ada tidaknya peningkatan pemahaman guru tentang burnout dan bimbingan kelompok serta melihat ada tidaknya peningkatan keterampilan guru dalam mempraktikan bimbingan kelompok untuk mengatasi siswa yang burnout bersekolah. Adapun indikator keberhasilan pelatihan ini adalah apabila : a) lebih dari 75% guru peserta pelatihan meningkat pemahamannya tentang burnout dan bimbingan kelompok serta b) lebih dari 75% guru peserta pelatihan meningkat keterampilannya dalam menerapkan bimbingan kelompok untuk mengatasi siswa yang burnout bersekolah. 739 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Hasil Kegiatan dan Pembahasan 1. Hasil Kegiatan Pelaksanaan pelatihan berlangsung selama 4 hari yaitu pada tanggal 30 Juni 2011 serta tanggal 1-3 Juli 2011. Jumlah peserta yang mengikuti pelatihan yang semula ditargetkan 50 peserta bertambah menjadi 64 peserta. Tempat pelaksanaan di SDN Prambanan 2 dengan alasan sekolah tersebut merupakan sekolah yang paling representatif serta sering digunakan kegiatan UPTD dan dapat menampung peserta sekitar 65 orang. Pelatihan hari pertama yang dilaksanakan Kamis, 30 Juni 2011 diawali pretes bagi peserta dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta mengenai burnout dan bimbingan kelompok pada umumnya yang dilanjutkan dengan pemberian berbagai materi. Materi pertama tentang Karateristik Siswa Sekolah Dasar yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pengenalan tentang karakteristik siswa SD. Materi kedua tentang Burnout Bersekolah, berisi tentang pengenalan dan pemahaman gejala-gejala burnout pada siswa. Dalam pemberian materi ini, para peserta diminta mengidentifikasi siswasiswa yang diampu di sekolah yang diduga mengalami burnout bersekolah. Materi ketiga tentang layanan bimbingan kelompok yang menyajikan tentang berbagai teknik dalam layanan bimbingan kelompok serta contoh penerapannya dalam membantu siswa. Selain diberikan dengan ceramah dan diskusi juga diberikan salah satu contoh hasil penelitian tentang penerapan bimbingan kelompok untuk mengatasi burnout bersekolah. Pelatihan hari kedua, dilaksanakan pada hari Jumat 1 Juli 2011 berupa lanjutan materi hari pertama. Materi yang diberikan tentang permainan sebagai salah satu teknik bimbingan kelompok. Selain dalam bentuk ceramah, penyampaian materi dilengkapi contoh-contoh permainan yang sesuai untuk siswa SD. Materi selanjutnya adalah materi tentang Pelaksanaan Bimbingan Kelompok yang disampaikan secara kolaborasi oleh tim PPM berupa materi tentang strategi untuk menentukan siswa yang layak diberi bantuan, pemberian bantuan yang sesuai dengan taraf perkembangan anak, dan memilih model layanan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan. Materi ini merupakan bentuk aplikasi dari semua materi yang sudah diberikan sebelumnya. Melalui materi ini diharapkan peserta memperoleh gambaran yang lebih konkrit dan jelas tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar dengan menggunakan format bimbingan kelompok. Pada keseluruhan penyampaian materi, selalu diikuti dengan aktivitas diskusi dan tanya jawab agar peserta betul-betul paham terhadap seluruh isi materi. Pelatihan hari ketiga dilaksanakan pada Hari Sabtu 2 Juli 2011. Kegiatan berupa simulasi penerapan bimbingan kelompok untuk mengatasi atau mengurangi burnout siswa. Tujuan simulasi adalah agar peserta semakin memahami dan dapat menerapkan layanan bimbingan kelompok dalam mengatasi burnout bersekolah Dalam simulasi dibentuk 6 kelompok dan setiap kelompok diwajibkan untuk menampilkan rancangan bimbingan kelompok yang telah didiskusikan Dalam kelompok, salah seorang berperan sebagai guru dan anggota yang lain berperan sebagai siswa yang mengalami burnout bersekolah. Untuk memberikan dorongan semangat dan penghargaan pada peserta, tim pengabdi memberikan motivasi berupa hadiah bagi kelompok yang dapat mensimulasikan penerapan layanan bimbingan kelompok tersebut dengan baik. Kriteria penilaian antara lain ketepatan dalam mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami burnout bersekolah, teknik yang diberikan dalam penerapan layanan bimbingan kelompok, serta kreativitas guru dalam menciptakan kondisi yang kondusif dalam bimbingan kelompok. 740 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada hari ketiga pelatihan ini ada 3 kelompok yang tampil. Setiap kelompok diberi kebebasan untuk menerapkan layanan bimbingan kelompok dengan berbagai teknik permainan. Setelah 3 kelompok bersimulasi, dilanjutkan diskusi dan pembahasan terhadap tampilan masingmasing kelompok dikaitkan dengan materi-materi yang telah diberikan. Pelatihan hari keempat dilaksanakan pada hari Minggu 3 Juli 2011. Kegiatan hari keempat ini merupakan lanjutan kegiatan simulasi di hari ketiga. Pada kegiatan ini juga tampil 3 kelompok yang bersimulasi dilanjutkan diskusi dan pembahasan terhadap tampilan masing-masing kelompok dikaitkan dengan materimateri yang telah diberikan. Setelah pemberian materi dan simulasi, kegiatan pengabdian masyarakat selanjutnya adalah pemberian postes. Postes dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan pemahaman peserta terhadap materi yang disampaikan. Hasil dari postes menunjukkan bahwa ada 57 peserta yang mengalami peningkatan, sedangkan 7 peserta tidak ada perubahan nilai (tetap). Hal ini menunjukkan bahwa materi yang disampaikan dalam pelatihan ini dapat dipahami oleh peserta. Jika di prosentase maka peningkatan yang ditunjukkan peserta adalah 89% dan hanya 10% peserta yang tidak mengalami perubahan. Target awal pelatihan ini adalah 75% peserta mengalami peningkatan tetapi pada kenyataannya justru melebihi target yaitu 89% peserta yang dapat meningkat pemahamannya mengenai materi yang disampaikan. Dengan demikian, indikator keberhasilan yang pertama berupa peningkatan pemahaman guru tentang bunoout bersekolah dan bimbingan kelompok dalam bentuk group activity telah terpenuhi. Antusiasme peserta pada saat mengikuti pelatihan cukup tinggi ditunjukkan dengan banyaknya peserta yang sering mengajukan pertanyaan, semangat dan kesungguhan peserta dalam mempersiapkan simulasi dalam kelompok, serta menarik dan kemeriahan simulasi yang ditampilkan peserta. Kegiatan simulai nampak dihayati betul oleh para peserta sehingga suasana terkesan menjadi sangat dinamis. Setelah kegiatan berlangsung selanjutnya dilakukan pendampingan sebagai bentuk tindak lanjut kegiatan pelatihan. Pendampingan ke sekolah-sekolah dilaksanakan pada tanggal 16 dan 23 Juli 2011 pendampingan dilakukan untuk memonitor sejauh mana guru menerapkan bimbingan kelompok dalam mengatasi bunrout siswa di sekolahnya. Hasil pendampingan menunjukkan bahwa guru dapat menerapkan layanan bimbingan kelompok sebagai salah satu upaya membantu siswa yang mengalami burnout bersekolah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penilaian dalam bentuk proses penguasaan ketrampilan menerapkan bimbingan kelompok yang menunjukkan bahwa dari 64 peserta sudah 60 peserta dapat dikatakan terampil merancang dan melaksanakan pembelajaran yang yang bermuatan bimbingan kelompok untuk mengatasi burnout bersekolah. Artinya sudah 93,75% peserta pelatihan yang meningkat ketrampilannya dalam menerapkan bimbingan kelompok untuk mengatasi burnout bersekolah. Berdasarkan hal tesebut maka dapat dikatakan bahwa tim pengabdi UNY berhasil meningkatkan ketrampilan dalam membantu siswa-siswanya sehingga bersemangat dan memperoleh prestasi akademik yang bagus. 2. Pembahasan Peningkatan peserta dalam menerapkan bimbingan kelompok dalam mengatasi burnout bersekolah pada siswa dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan kegiatan ini. Hal ini dikarenakan 741 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta peserta (guru) sebelum mengikuti kegiatan telah melakukan berbagai upaya untuk membantu para siswanya yang mengalami hambatan terutatama hambatan di sekolah. Sehingga ketika diberikan materi dan kemudian dilanjutkan dengan simulasi dan pendampingan peserta menunjukkan peningkatan. Bimbingan dan konseling di sekolah dasar terintegrasi pada tugas guru kelas. Salah satu bentuk layanan bimbingan dan konseling dapat diberikan dalam bentuk format bimbingan kelompok. Menurut Romlah (2006) kegiatan bimbingan kelompok di sekolah dasar merupakan bagian dari pendidikan dalam upaya pembentukan sikap dan diajarkan dalam mata pelajaran di kelas. Hal ini bertujuan untuk membentuk sikap dan kebiasaan siswa yang positif sehingga dapat mengembangkan potensi dirinya. Berdasarkan pendapat tersebut, maka kegiatan pelatihan ini merupakan salah satu upaya untuk membantu guru dalam membentuk sikap dan kebiasaan siswa yang positif dalam hal bersekolah. Kebiasaan tersebut antara lain berupa selalu berangkat sekolah tanpa adanya paksaan dari manapun, tidak malas mengerjakan tugas-tugas sekolah, menunjukkan prestasi yang baik, dan dapat bekerjasama ataupun dapat bersosialisasi dengan teman dan dengan lingkungan sekitar. Namun tidak selamanya usaha membentuk sikap dan kebiasaan bersekolah yang baik berjalan mulus, kenyataan masih ada saja beberapa siswa yang mengalami hambatan. Untuk itu perlu kemampuan pemahaman dan keterampilan yang efektif dalam memberikan layanan bantuan kepada siswa. Pada dasarnya para guru sudah mulai memahami tentang kondisi siswa. Demikian pula, berbagai upaya sudah mulai dilakukan untuk mengatasi kondisi terbut oleh guru. Upaya memberikan bantuan bagi siswa kaitannya dengan membelajarkan sikap dan kebiasaan yang positif merupakan tugas dan wewenang guru. Oleh sebab itu guru sudah selayaknya membekali diri dengan berbagai teknik layanan bimbingan sehingga dapat membantu siswa memperoleh tujuan yang diharapkan. Motivasi untuk dapat membantu para siswa menjadi pendorong yang kuat, sehingga pelaksanaan kegiatan ini sangat diharapkan oleh guru, hal ini dibuktikan dengan semangatnya para guru mengikuti pelatihan selama 4 hari dan tidak ada satupun peserta yang meminta ijin untuk tidak mengikuti. Melihat kenyataan tersebut, jelas membuktikan bahwa sebenarnya para guru menginginkan hal-hal baru yang dapat membantu dirinya dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru ingin memberikan yang terbaik dan dapat dengan segera membantu siswa-siswanya untuk memperoleh kebahagiaan hidup, mandiri, dan sejahtera serta dapat memperoleh prestasi akademik yang baik. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari adanya layanan bimbingan dan konseling. Dari sisi ini pula, nampak adanya korelasi meningkatnya jumlah peserta dibandingkan dengan target awal. Kaitannya dengan hal tersebut maka pelatihan ini dilaksanakan untuk membekali para guru agar dalam kesehariannya terutama di lingkungan sekolah dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan para siswanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan kelompok yang diberikan dalam pelatihan ini dapat membantu siswa yang diduga mengalami burnout bersekolah. Selain itu, kegiatan pelatihan ini dapat menjadi salah satu upaya guru untuk memperkaya diri sendiri dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat meningkatkan dan menerapkannya pada tugas profesinya. Di samping itu, keberhasilan kegiatan pelatihan ini tidak bisa lepas dari adanya berbagai faktor pendukung. Faktor pendukung keberhasilan 742 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kegiatan PPM ini adalah adanya antusiasme para peserta pelatihan untuk mengembangkan potensi diri. Keingintahuan akan perkembangan ilmu pengetahuan mendorong para peserta untuk mengikuti kegiatan pengabdian pada masyarakat baik pada peserta yang masa kerjanya masih sangat sedikit sampai dengan peserta yang sudah hampir pensiun. Di samping itu dibuktikan juga dengan kesungguhan dan keaktifan peserta mengikuti seluruh sesi pelatihan. Faktor pendukung lain adalah tingginya motivasi para peserta pelatihan untuk meningkatkan prestasi akademik siswa. Kesadaran akan arti penting pendidikan mendorong para guru (peserta pelatihan) untuk senantiasa berusaha membantu para peserta didiknya mencapai hasil yang terbaik. Kondisi lokasi sekolah yang agak di pinggiran bukanlah dianggap beban sebagai hambatan namun sebaliknya kondisi kenyataan seperti itu dianggap para guru sebagai tantangan seingga selalu bisa menjadi lebih baik, menurut para peserta pelatihan (guru) kekurangan itu dapat diimbangi dengan prestasi yang membanggakan. Faktor pendukung selanjutnya adalah desain PPM yang sesuai dengan kebutuhan peserta, dimulai dengan pelatihan yang lokasinya dekat dan ditindaklanjuti dengan pendampingan. Banyak kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang hanya memberikan pengetahuan semata tanpa bentuk praktek nyata yang berdampak pada kurangnya kemampuan peserta pelatihan untuk menerapkannya dalam tugas sehari-hari. Desain kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini yang diawali dengan pemberian pengetahuan, dilanjutkan dengan pendampingan dalam praktek yang nyata di dalam kelas merupakan suatu bentuk pelatihan yang diharapkan oleh para guru. Dukungan dari UPTD dalam menyelenggarakan pelatihan bagi guru-guru di wilayah Kecamatan Prambanan juga menjadi faktor penunjang keberhasilan kegiatan ini. Dengan adanya dukungan dari UPTD, maka guru-guru yang mengikuti pelatihan kegiatan ini semakin antusias. Apalagi pihak UPTD memfasilitasi kegiatan dengan cara mengundang guru-guru yang berada di wilayahnya sehingga target jumlah peserta terpenuhi bahkan melebihi target. Selain daripada itu, terdapat pula hal-hal yang tidak dikehendaki sehingga menjadi faktor penghambat pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat ini. Faktor penghambat kegiatan pengabdian ini adalah kesibukan peserta pelatihan dan tim pengabdi yang cukup tinggi sehingga ada kesulitan dalam menentukan kesepakatan waktu pelaksanaan. Kesepakatan awal kedua belah pihak kegiatan pelatihan dilaksanakan tanggal 21 Mei 2011, namun karena kesibukan kedua belah pihak tertunda dan baru bisa dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2011 dan tanggal 1 sampai 3 Juli 2011. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil pengabdian ini maka dapat disimpulan bahwa kegiatan pengabdian pada masyarakat ini telah berhasil meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru-guru sekolah dasar (peserta pelatihan) dalam memberikan layanan bimbingan kelompok untuk mengatasi burnout bersekolah pada siswa sekolah dasar. Beberapa saran atas hasil-hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah: 1. Guru hendaknya peka dan tanggap terhadap berbagai gejala yang dinampakkan oleh para siswanya. Perhatian terhadap siswa merupakan suatu langkah awal bantuan yang sangat baik. 2. Guru hendaknya peduli terhadap berbagai kondisi siswa yang sangat mungkin akan dapat memicu terjadinya burnout. Kewaspadaan guru terhadap berbagai kejadian di kelas khususnya dan sekolah pada umumnya dapat membantu mencegah terjadinya burnout pada siswa. 743 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 3. Kepala Sekolah hendaknya dapat memfasilitasi berbagai kebutuhan atau kondisi siswa sehingga merasa kerasan di sekolah. Ada sisi-sisi tertentu yang hanya dapat dijangkau dengan kebijakan dari kepala sekolah untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman dan aman untuk bersekolah. Daftar Pustaka Bartl, A. (2008). 101 Pep-up Games for Children : Refreshing, Recharging,Refocusing. Alameda: Hunter House Inc., Publishers Firth, H. and Britton, P. (1989). Burnout, absence and turnover among British nursing staff. Journal of Occupational Psychology 62: 55-59. Harpine, E.C. (2008). Group Interventions in Schools. New York: Springer. Isti Yuni Purwanti. (2009). Efektivitas Program Layanan Bimbingan Kelompok Melalui Permainan untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas 4 SDIT Salsabila Purworejo JawaTengah dan SDIT Salsabila Klaseman Yogyakarta). Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Jacobs, Ed E., Masson, R.L, & Harvill, R.L. (2006). Group Counseling : Strategies & Skills, Fifth Edition. USA: Thomson Brooks/Cole. Latipun. (2006). Psikologi Konseling. Malang : UMM Press Makmun, Abin S. (2007). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung : Remaja Rosdakarya. Marat, S. & Siregar, J.R.(2001). Pengantar Psikologi Perkembangan. Bandung: Universitas Padjajaran. Maslach, C. (1993). Burnout: A multidimensional perspective. In W. B. Schaufeli, C.Maslach, & T. Marek (Eds.), Professional burnout: Recent developments in theory and research. Washington DC: Taylor & Francis. Muhammad Nur Wangid, Isti Yuni Purwanti, dan Kartika Nur Fathiyah. (2010). Penerapan Bimbingan Kelompok Untuk Mengatasi Burnout Bersekolah Pada Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UNY. Tidak Diterbitkan. Nurihsan, A. Juntika. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama. Prayitno, & Anti, Erman. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta. Rochman Natawidjaya. (1987). Pendekatan-pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok I. Bandung : CV. Diponegoro. Ringer, M. (2002). Group Action: The Dynamics of Groups in Therapeutic, Educational and Corporate Settings. London: Jessica Kingsley Publishers Ltd Romlah, Tatiek. (2006). Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang. Yusuf, Syamsu LN, dan Juntika, A. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya. 744 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta MERINTIS KAMPUNG KELINCI BAGI PENYANDANG DISABILITAS INTELEKTUAL DESA KARANGPATIHAN KABUPATEN PONOROGO Essy Purwaningtyas, Yuni Nurfiana, Dwi Ayu Novita, Nur Hera Utami dan Maria Wulandari Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Yuni.nurfiana@gmail.com Abstrak Penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan mencapai 64 jiwa dengan beragam tingkatan. Pembangunan harus dilakukan secara berkeadilan termasuk keberpihakan pada penderita disabilitas intelektual. Tujuan dari Program Kreativitas Mahasiswapengabdian Masyarakat ini yaitu untuk merintis kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan kabupaten Ponorogo. Adapun manfaat pengabdian ini adalah dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan para penyandang disabilitas intelektual dalam beternak kelinci. Pengabdian pada masyarakat ini telah dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 dengan pertemuan kepada warga setiap akhir pekan. Sasaran PPM adalah para penyandang disabilitas intelektual pada tingkatan ringan sebanyak 25 orang dan model dari masyarakat normal 25 orang. Metode yang dipergunakan dalam merintis kampung kelinci adalah melalui tahapan advokasi, pembentukan struktur organisasi, pemilihan lokasi, sosialisasi, pelatihan, penyiapan fasilitas, pembinaan, dan evaluasi. Hasil yang diperoleh yaitu 25 warga penyandang disabilitas intelektual dan 25 warga normal sebagai kader pelatih dan pendamping dapat merintis kampung kelinci di desa Karangpatihan. Pengabdian pada masyarakat ini dapat berhasil karena peserta memiliki motivasi yang tinggi, peralatan berupa kandang dan pakan kelinci yang tersedia di lingkungan dengan didukung adanya model dari nondisabiltas intelektual yang berperan membimbing dan mendidik penyandang disabilitas intelektual dalam beternak kelinci. Kata kunci : Kampung Kelinci, Disabilitas Intelektual, Karangpatihan Pendahuluan WHO memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 15% dari total populasi penduduk Indonesia atau sebanyak 36.841.956 jiwa (http://www.cia.gov). Terlepas dari permasalahan kemiskinan, Indonesia kembali menjadi sorotan dunia dalam aspek kesehatan. Pasalnya telah merebak isu nasional terkait disabilitas intelektual fenomena Kampung Idiot yaitu daerah di kabupaten Ponorogo yang sebagian besar warganya merupakan penyandang disabilitas intelektual. Mengutip dari data Kementerian Kesehatan (2011) penyandang disabilitas intelektual di kabupaten Ponorogo berjumlah 813 orang yang tersebar di sejumlah desa yaitu desa Krebet sebanyak 137 orang, desa Sidoharjo 323 orang, desa Pandak 54 orang, desa Dayakan 157 orang, dan desa Karangpatihan 142 orang. Rata-rata usia dari penyandang disabilitas intelektual di Ponorogo ini adalah usia produktif 35-45 tahun. Pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkeadilan termasuk keberpihakan kepada penyandang disabilitas intelektual. Penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan perlu dilakukan upaya pemberdayaan dalam rangka membentuk kemandirian mereka. Hal itu dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal. 745 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Penyandang disabilitas intelektual memiliki tingkat intelegensia yang kurang dari intelegensia normal atau IQ kurang dari 70. Sebagian besar penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan merupakan disabilitas intelektual tingkat moderat. Penyandang disabilitas intelektual tingkat moderat dapat melakukan pekerjaan namun perlu dilatih dan dibimbing serta diawasi. Karena tingkat intelegensia penyandang disabilitas intelektual berada di bawah dari tingkat intelegensia pada tingkatan umur sebenarnya maka pemberian pelatihan kepada penyandang disabilitas intelektual juga perlu disesuaikan dengan kemampuan yang dicapai penyandang disabilitas intelektual. Desa Karangpatihan terdiri dari 401,1 Ha hutan dan 355 Ha ladang. Sebagian besar dari hutan dan ladang ditumbuhi rumput. Hal ini turut mendukung ketersediaan pakan untuk ternak. Selain itu klimatologi desa Karangpatihan adalah cocok untuk berternak. Selama ini peternakan kambing telah dilakukan oleh masyarakat desa Karangpatihan khususnya masyarakat normal. Peternakan kambing difokuskan untuk membangkitkan ekonomi penduduk selain bertani di ladang. Bagi penyandang disabilitas intelektual, beternak merupakan salah satu kegiatan yang dapat melatih mereka untuk kemandirian. Namun demikian pemilihan jenis ternak perlu disesuaikan dengan kemampuan penyandang disabilitas intelektual. Kelinci merupakan hewan ruminansia yang memiliki kemampuan berkembang biak paling cepat dibanding ruminansia lain. Pada dasarnya pakan kelinci adalah rerumputan yang mudah didapatkan di lahan seperti desa Karangpatihan. Perawatan terhadap kelinci juga mudah dilakukan. Dengan demikian beternak kelinci berpotensi dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas intelektual yang notabene memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat yang bertujuan untuk merintis kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat bahwa penyandang disabilitas intelektual yang selama ini dianggap sebagai beban masyarakat sebenarnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hanya saja mereka perlu diberikan kesempatan. Metode Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat Sasaran dari perintisan kampung kelinci di desa Karangpatihan yaitu penyandang disabilitas intelektual pada tingkatan moderat sebanyak 25 orang dan penduduk normal sebagai model juga sebanyak 25 orang. Kegiatan perintisan kampung kelinci ini juga melibatkan perangkat desa Karangpatihan yang turut bertanggungjawab terhadap keberlangsungan program. Berdasarkan observasi di lapangan diperoleh gambaran bahwa penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan yang jumlahnya mencapai 64 orang dianggap sebagai beban bagi masyarakat. Selama ini penyandang disabilitas intelektual belum diberikan kesempatan untuk menunjukkan potensinya bahwa mereka juga mampu melakukan kegiatan apabila diberikan pelatihan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, keterampilan dari masyarakat setempat dan belum adanya upaya-upaya mengoptimalkan sumber daya yang ada. Kondisi ini apabila tidak segera diatasi maka mindset masyarakat tentang penyandang disabilitas intelektual sebagai beban masyarakat semakin kuat. 746 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Berdasarkan uraian di atas maka metode yang dilakukan dalam kegiatan perintisan kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan adalah melalui tahapan sebagai berikut: 1. Advokasi Untuk keberhasilan program perintisan Kampoeng Kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual, tim berupaya mendorong melalui pelaksanaan advokasi yang terprogram yang meliputi pengarahan sumber daya manusia (SDM) yang ada, sosialisasi kegiatan serta dukungan kebijakan yang perlu dilakukan secara terus menerus dan berjenjang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pada tahapan ini tim mulai membangun komunikasi dan kerjasama diantaranya dengan lembaga desa Karangpatihan, Peternakan ‘543’ Kelinci, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Mandiri Kota Ponorogo, dan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung yang berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2. Pembentukan Struktur Organisasi Masyarakat melalui musyawarah mufakat menentukan pengurus-pengurus Kampoeng Kelinci dari penduduk normal yang juga berperan sebagai model pendampingan beternak bagi penyandang disabilitas intelektual. Hal ini dikarenakan penyandang disabilitas intelektual membutuhkan model untuk ditiru dalam beternak kelinci. 3. Pemilihan Lokasi Tim pelaksana bersama dengan lembaga desa Karangpatihan melakukan survey penyandang disabilitas intektual yang berpotensi untuk dilatih sebagai peternak kelinci. Kemudian diseleksi nama-nama penyandang disabilitas intelektual tersebut yang mempunyai agroekosistem sesuai dengan kriteria peternakan kelinci. 4. Sosialisasi a. Sosialisasi kepada stakeholder Sosialisasi dilakukan secara bertahap dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk pemerintah daerah setempat. Tahap sosialisasi diawali dengan pemberitahuan kepada Kepala Desa mengenai program PKM-M dan berdiskusi dengan Kepala Desa dan perangkatnya mengenai rencana pelaksanaan program yang akan melibatkan masyarakat Desa Karangpatihan. Sosialisasi tersebut sekaligus menjelaskan kepada para stakeholder mengenai pendekatan yang akan dilakukan kepada masyarakat dalam mengembangkan rintisan Kampoeng Kelinci. Pendekatan tersebut adalah melalui upaya kaderisasi dimana dalam program rintisan Kampoeng Kelinci ini bibit kelinci tidak mungkin diberikan secara langsung kepada warga masyarakat penyandang disabilitas intelektual sehingga akan diberikan kepada masyarakat normal (non disabilitas intelektual) yang nantinya diharapkan setiap masyarakat normal tersebut minimal akan membimbing dan mendampingi satu orang disabilitas intelektual 747 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta di desa tersebut sehingga mereka pun nantinya akan terampil dalam berternak kelinci sebagaimana mereka yang normal. b. Sosialisasi kepada masyarakat Setelah sosialisasi kepada stakeholder dilakukan, selanjutnya dengan bantuan para stakeholder, tim melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat secara langsung. Di samping sosialisasi tersebut, tim juga memberikan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat untuk membangkitkan keinginan masyarakat berternak kelinci. Adapun materi sosialisasi dan penyuluhan adalah sebagai berikut: 1) Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual 2) Motivasi dan Prospek Usaha Ternak Kelinci 3) Pedoman Budi Daya Kelinci yang Baik (Good Farming Practice/GFP) 4) Materi Pembuatan Kandang Kelinci 5) Prinsip Dasar Kegiatan Kampoeng Kelinci 6) Manfaat pengembangan pola Kampoeng Kelinci bagi masyarakat. 5. Pelatihan Setelah pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan dalam rangka memberikan motivasi kepada masyarakat, tim juga melakukan pelatihan beternak dalam rangka meningkatan pengetahuan dan keterampilan beternak bagi kelompok rintisan Kampoeng Kelinci baik yang normal maupun penyandang disabilitas intelektual. 6. Penyiapan Fasilitas Penyiapan fasilitas terutama kandang kelinci dilakukan secara swadaya oleh masyarakat mengingat bahan-bahan pembuatan kandang seperti kayu dan bambu juga mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal masyarakat desa Karangpatihan. Dalam penyiapan fasilitas ini, tim memberikan waktu sekitar 2 minggu kepada warga yang terpilih menjadi model dalam beternak kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual. Setelah kandang dari warga yang menjadi model diperiksa oleh tim dan telah memenuhi syarat kandang yang baik maka mereka dapat memberikan bimbingan kepada penyandang disabilitas intelektual dalam pembuatan kandang. 7. Pembinaan Pada prinsipnya agar pengembangan kampoeng kelinci terlaksana dengan baik, maka membutuhkan pembinaan yang intensif. Pembinaan merupakan tugas dan tanggungjawab bersama antara pemerintah, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, tim PKMM, peternak kelinci, serta masyarakat yang harus dilakukan secara terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga nantinya kelompok mampu mengembangkan usahanya secara mandiri. 748 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 8. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan setiap usai tahapan kegiatan dengan meminta pendapat dari pihak masyarakat maupun anggota PKM-M. Setiap permasalahan yang muncul tim mengkonsultasikan kepada pembimbing PKM-M kemudian secara bersama-sama tim dan pembimbing berupaya memperbaiki dengan alternatif solusi yang ada. Pembimbing dalam hal ini berperan aktif dalam memberikan masukan, arahan serta saran konstruktif baik terhadap permasalahan teknis yang ditemui tim dalam pelaksanaan kegiatan maupun terhadap evaluasi kegiatan PKM-M. Hasil Pelaksanaan Program dan Pembahasan Luaran yang diharapkan dari PKM-M ini adalah rintisan kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan kabupaten Ponorogo. Indikator ketercapaian dari target luaran dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Meningkatnya pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk beternak kelinci Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan beternak kelinci diberikan setelah tahap persiapan, advokasi, dan pemilihan personil kelompok Kampung Kelinci yang memenuhi kriteria telah selesai dilaksanakan. Tim PKM-M memberikan penyuluhan dan sosialisasi terkait kampung kelinci di desa Karangpatihan. Materi dalam kegiatan penyuluhan adalah meliputi: a. Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual b. Motivasi dan Prospek Usaha Ternak Kelinci c. Pedoman Budi Daya Kelinci yang Baik (Good Farming Practice/GFP) d. Materi Pembuatan Kandang Kelinci e. Prinsip Dasar Kegiatan Kampoeng Kelinci Penyuluhan dan sosialisasi ini diberikan kepada pemuda karang taruna desa Karangpatihan. Pemuda karang taruna ini dilatih dan dididik untuk menjadi model yang memberikan bimbingan dan pelatihan beternak bagi penyandang disabilitas intelektual. Setiap satu pemuda bertanggungjawab sebagai model yang membimbing dan melatih beternak untuk satu penyandang disabilitas intelektual. Pemuda karang taruna yang mengikuti terlihat antusias. Hal tersebut ditunjukkan dengan keaktifan pemuda mengikuti kegiatan penyuluhan seperti bertanya hal-hal yang kurang dimengerti dan berdiskusi dengan pemateri. Secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan adanya motivasi dari pemuda desa Karangpatihan untuk mengetahui lebih jauh tentang berternak kelinci. Materi ini disampaikan oleh tim PKM-M dengan dibantu instruktur dari “543 Kelinci” yang telah berpengalaman beternak kelinci dan memberikan motivasi serta pelatihan beternak kelinci. Setelah tahap penyuluhan dan sosialisasi dilaksanakan, maka tahapan selanjutnya adalah pelatihan pembuatan kandang. Dalam pelatihan pembuatan kandang kelinci masyarakat juga sangat antusias memperhatikan dan mengikuti dengan baik. Antusiasme dan motivasi masyarakat untuk berternak kelinci semakin nampak ketika masyarakat dapat mempraktekkan langsung di rumah masing-masing membuat kandang kelinci sesuai dengan aturan. Alat dan bahan pembuatan kandang dipersiapkan secara swadaya dari setiap anggota. Dalam waktu satu minggu sebagian besar telah berhasil membuat kandang. Sehingga pada minggu berikutnya didistribusikan bibit kelinci terbaik yang sebelumnya telah disiapkan oleh tim PKM-M bekerjasama dengan Peternakan ‘543’ Kelinci. Bibit kelinci yang diberikan kepada masyarakat merupakan bibit kelinci yang unggul dan siap dibudidayakan oleh masyarakat. Dilihat dari segi pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam berternak kelinci, masyarakat rata-rata sudah bisa berternak kelinci dengan baik. Sampai pada bulan April 2012, 749 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta beberapa kelinci yang sudah melahirkan. Pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam beternak kelinci telah ditunjukkan melalui observasi yang dilakukan tim PKMM. Model dari masyarakat nondisabilitas intelektual yang notabene sudah mengenal dekat penyandang disabilitas intelektual dapat dengan mudah memberikan bimbingan sehingga dapat diterima dan diikuti oleh penyandang disabilitas intelektual. Selain itu penyandang disabilitas intelektual juga diberikan pedoman beternak melalui gambar poster yang diletakkan dekat dengan kandang kelinci. Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Workshop pembuatan kandang Gambar 3. Penyerahan Kelinci kepada Ketua Gambar 2. Pelatihan Beternak Kelinci Gambar 4. Penyerahan Kelinci kepada Warga Kelompok Kampung Kelinci 2. Perintisan Kampung Kelinci bagi Penyandang Disabilitas Intelektual di desa Karangpatihan Kampung Kelinci bagi Penyandang Disabilitas Intelektual di desa Karangpatihan telah berhasil dirintis. Rintisan kampung kelinci di desa Karangpatihan ini telah berhasil membentuk 50 kader dengan perincian 25 penyandang disabilitas intelektual dan 25 nondisabilitas intelektual. Masyarakat nondisabilitas intelektual yang menjadi kader untuk berternak kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual tersebut juga sudah dapat dikatakan mampu membimbing seperti pembuatan kandang, perawatan kelinci dan pemilihan pakan kelinci yang baik. Masyarakat nondisabilitas intelektual ini bertanggungjawab langsung atas kelangsungan dan keberlanjutan program. 750 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Ketercapaian target dalam upaya perintisan Kampoeng Kelinci ini juga sudah dapat dilihat dengan terbentuknya struktur organisasi kelompok Kampoeng Kelinci di Desa Karangpatihan. Struktur organisasi tersebut akan berperan penting dalam mengkoordinasikan segala hal serta sebagai sarana komunikasi dengan stakeholder serta berbagai pihak yang akan mendukung serta bekerjasama dalam pengembangan rintisan Kampoeng Kelinci tersebut. Kegiatan dalam upaya perintisan kampung kelinci di desa Karangpatihan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kegiatan Perintisan Kampung Kelinci No Kegiatan Sasaran 1. Penyuluhan Warga Desa materi kampung Karangpatihan kelinci yang berpotensi menjadi peternak kelinci 2. Workshop Warga pembuatan nondisabilitas kandang kelinci intelektual dan disabilitas intelektual 3. Pemeriksaan Warga Kandang Tahap I nondisabilitas intelektual dan disabilitas intelektual 4. Penyerahan Bibit Warga yang telah Kelinci Tahap 1 siap kandang 5. Pemantauan Bibit Kelinci 6. Pemeriksaan Kandang Tahap II Warga yang telah diserahi bibit kelinci Warga yang siap kandang tahap 2 7. Penyuluhan lanjutan (pembinaan) 8. Penyerahan Bibit Kelinci Tahap II Semua anggota kelompok kampung kelinci Warga yang siap kandang tahap 2 Pelaksana Tim PKMM Tempat Lahan Pertanian Pokmas Tanggungrejo Waktu 31 Maret 2012 Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci” Lahan Pertanian Pokmas Tanggungrejo 1 April 2012 Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci” Rumah warga 6 April 2012 Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci” Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci” Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci Tim PKMM dan LPM Mandiri Kota Ponorogo Tim PKMM bersama instruktur dari “543 Kelinci” dan LPM Mandiri Ponorogo Rumah Kepala Desa Karangpatihan Rumah Warga 7 April 2012 Rumah Warga 12 April 2012 Rumah Ketua Kampoeng Kelinci Rumah Ketua Kampoeng Kelinci 22 April 2012 12 April 2012 22 April 2012 Terkait persiapan keberlanjutan program PKM-M ini, target yang sudah dicapai yakni pada tahap pembinaan. Untuk memfasilitasi pembinaan terhadap para kader khususnya dan masyarakat Desa Karangpatihan pada umumnya, tim PKM-M telah membantu melalui pembentukan jejaring 751 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kerjasama untuk pengembangan Kampoeng Kelinci yakni antara Desa Karangpatihan, Kelompok Kampoeng Kelinci dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Mandiri Kota Ponorogo, Peternakan “543 Kelinci” yang melayani bibit dan pemasaran lokal, nasional, dan internasional, Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung yang memberi pendidikan dan pelatihan dalam membina dan melatih penyandang disabilitas intelektual, serta Kementerian Sosial Republik Indonesia. Jejaring kerjasama dalam hal pendampingan dan pembinaan Kampoeng Kelinci kepada masyarakat disabilitas intelektual ini sudah terbentuk dan pada tahap selanjutnya akan dilaksanakan pembinaan secara terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan. Perintisan kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual ini berhasil dilaksanakan tidak semata-mata disebabkan karena kelompok desa Karangpatihan memiliki pengetahuan dan motivasi tinggi saja, akan tetapi juga disebabkan oleh adanya kerja sama yang baik diantara anggota Tim Pengabdi, instruktur dari Peternakan “543 Kelinci”, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kabupaten Ponorogo, Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung, kepercayaan pihak Dikti dan Universitas Negeri Yogyakarta maupun Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie. Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 5. Tim PKMM, instruktur “543 Kelinci”, Ketua LPM Mandiri Ponorogo, dan Ketua Kampung Kelinci di desa Karangpatihan Gambar 6. Kunjungan Kerja Menteri Sosial dalam upaya mendukung kegiatan kemandirian penyandang disabilitas intelektual 752 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Gambar 7. Model nondisabilitas intelektual dan penyandang disabilitas intelektual mengikuti penyuluhan damn pembinaan Gambar 8. Tim PKMM, Kelompok Kampung Kelinci, dan Tim dari BBRSBG Temanggung melatih dan membimbing kemandirian disabilitas intelektual salah satunya dengan kegiatan beternak Melalui dirintisnya Kampung Kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan ini dapat membuka wawasan masyarakat yang semula ber-mindset bahwa penyandang disabilitas intelektual selama masih hidup adalah beban masyarakat kini telah beralih bahwa ternyata mereka dapat menunjukkan potensinya dalam beternak kelinci. Penyandang disabilitas intelektual membutuhkan kesempatan untuk menunjukkan potensinya melalui pembimbingan dan pembinaan yang sesuai dengan kemampuan mereka.. Oleh karena itu peran model dari masyarakat nondisabilitas intelektual yang memadai dapat memperlancar pelaksanaan program. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengabdian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengetahuan dan keinginan masyarakat desa Karangpatihan dalam beternak kelinci meningkat setelah adanya penyuluhan. 2. Telah berhasil dirintis kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Pemerintah dan masyarakat sebaiknya mengoptimalkan pelatihan kemandirian bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan melalui peningkatan fasilitas dan modal. 2. Program pengabdian masyarakat rintisan kampung kelinci bagi penyandang disabilitas intelektual di desa Karangpatihan perlu didukung dan terus ditingkatkan untuk tahun-tahun mendatang. 753 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka CIA – The World Fact Book di https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/, diakses pada tanggal 18 January 2012. Kasih Sayang bagi Penyandang Disabilitas Intelektual Kab. Ponorogo di http://www.depsos.go.id/, diakses pada tanggal 24 April 2012. b World Report on Disability, WHO, 2011 754 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta APLIKASAI TEKNOLOGI TERAPAN INSEMINASI BUATAN (IB) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) DI WILAYAH PANTAI Setyo Utomo dan Nur Rasminati Universitas Mercu Buana Yogyakarta, esutama_set@yahoo.com Abstract Goat development in coastal areas in the village of Karangwuni was very appropriate because the area has an abundant forage. Goats were generally developed for two purposes at once that was as exotic livestock (prices well above the normal price) and for the purpose of milk production. The performance of the goat productivity was based on the census of data collection. For the applied technology AI used experimental design towards 16 unpregnant doe. The research finding showed that the average weight males was 35.7 kg, doe was 37.2 kg, with the gumba height for doe 68.2 cm and 69.5 cm for doe. It also showed that a doe body weight was approximately 25 kg and the doe was about 35 kg. The weight of kids were less than 1 month of 2.5 kg, kids aged 1-2 months 6.5 kg, weight of kids at weaning age of 3 months 10.45 kg while the goat generally weaned at the age of 6-8 kg, post-weaning kids were at the age of 6 months had 19.3 kg weight. The 6-8 months aged of pre-puberty kids were 32.6 kg. Based on these data was known that the age of first reproduction for goat’s breeding in coastal areas was 12.4 months, reached the age of first birth at the age of 15-17 months, with the litersize of 2.1. AI achievements on NR up to 30 was 100 %. It means that the goat productivity in coastal areas have the same performance with PE developed in other areas of Indonesia. Key words: coastal areas, productivity, Ettawa crossbreed, artificial insemination Pendahuluan Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh tanah pasir. Materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan lebar ± 1.8 km, terbagi dalam 4 kecamatan dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan kedalaman air tanah antara hingga 12 meter, dengan fluktuasi suhu antara siang dan malam sangat tinggi (http://blog.beswandjarum.com/satriawahyuanggita /2010/09/14/pemanfaatan-lahan-pasir- pantai-kulon-progo-untuk-pertanian-atau-pertambangan/). Lahan pasir yang tidak dapat ditumbuhi tanaman juga berpengaruh pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Tipe masyarakat pedesaan umumnya tergantung pada kemurahan alam dan lingkungannya untuk diolah. Tetapi karena sifat dan karakter lahan pasir yang ada di pesisir Kulon Progo membuatnya sulit dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia di daerah, terlebih lagi ketika musim kemarau tiba, membuat masyarakat yang berusia produktif pergi keluar kota. Lahan pasir besi di pantai selatan Kulon Progo ternyata dapat dipakai sebagai lahan pertanian. Pengalaman bertahun-tahun penduduk setempat membuktikan bahwa lahan pasir pasir ini dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang menguntungkan. Penduduk setempat telah memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatasi kekurangan lahan marginal pantai ini dengan cara 755 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta memperbaiki faktor pembatas yang ada. Salah satunya adalah memperbaiki sifat fisik tanahnya yang tidak membentuk gumpal dan kesuburannya yang rendah. Rendahnya kualitas lahan pasir pantai dapat diatasi dengan pemberian bahan organik. Bahan organik adalah bahan yang berasal dari sisasisa tanaman dan ternak. Bahan ini dapat berupa kotoran ternak, jerami padi dan bagian morfologi tanaman lain yang dapat dipakai sebagai pupuk hijau. Areal pantai yang digunakan sebagai lahan pertanian, maka kendala kecepatan angin menjadi prioritas yang harus diatasi selain air tawar untuk perairan tanaman. Tanaman pemecah penghalang angin biasanya tanaman perdu, berpohon dan kuat untuk menahan angin yang menghasilkan dedaunan yang sangat disukai ternak khususnya ternak kambing. Masyarakat wilayah pantai telah mengembangkan beberapa usaha disamping sebagai nelayan. Pada saat ini areal lahan pasir pantai sudah banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Tanaman yang dibudidayakan sesuai dengan pola curah hujan tahunan dengan tanaman hortikultura (kacang tanah, semangka, melon, bawang merah, cabe merah) dan tanaman tahunan berupa kelapa. Tanaman hortikultura yang dibudidayakan dikawasan pantai merupakan tanaman bernilai ekonomi tinggi sehingga dalam budidaya membutuhkan modal dan teknologi yang tinggi. Pekerjaan pokok sebagai nelayan sekarang menjadi bukan satu-satunya usaha untuk menghidupi keluarganya. Kendala utama pekerjaan nelayan adalah ketika terjadi perubahan cuaca seperti gelombang air yang tinggi sehingga tidak bisa melaut. Pengalaman bertahun-tahun penduduk setempat membuktikan bahwa lahan pasir pasir ini dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang menguntungkan. Penduduk setempat telah memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatasi kekurangan lahan marginal pantai ini dengan cara memperbaiki faktor pembatas yang ada. Salah satunya adalah memperbaiki sifat fisik tanahnya yang tidak membentuk gumpal dan kesuburannya yang rendah. Rendahnya kualitas lahan pasir pantai dapat diatasi dengan pemberian bahan organik. Bahan organik adalah bahan yang berasal dari sisasisa tanaman dan ternak. Bahan ini dapat berupa kotoran ternak, jerami padi dan bagian morfologi tanaman lain yang dapat dipakai sebagai pupuk hijau. Masuknya komoditas ternak yang berpotensi memiliki kualitas pupuk paling tinggi adalah ternak kambing. Ternak kambing yang mempunyai prospek ekonomis sangat bagus adalah kambing Peranakan Etawah, selain memiliki daya eksotik tinggi kambing ini juga memiliki harga jual yang sangat tinggi jika mempunyai criteria eksotik yang bagus. Pengembangan ternak kambing di wilayah pesisir akan sangat mungkin berhasil jika didukung dengan metode pengembangan pertanian terpadu (integrated farming) sehingga akan saling mendukung keberhasilan usaha dan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir pantai. Ternak kambing merupakan komoditas ternak yang semakin menjanjikan. Tidak sedikit peternak yang mengembangkan peternakan ini. Baik yang tersebar di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Khususnya ternak kambing PE (Peranakan Ettawa) sebagai penghasil susu. Pengembangan ternak kambing PE sebagai penghasil susu untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitasnya akan dapat membantu mengatasi masalah penyediaan susu dalam negeri, memenuhi kebutuhan nasional melalui program pemerintah. Bahkan akan meningkatkan asupan 756 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta protein masyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (http://duniaveteriner.com /2009/09/ ternak-kambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print). Ternak kambing khususnya kambing Peranakan Etawah (PE) banyak dipelihara oleh masyarakat Kulon Progo, khususnya di daerah dataran tinggi Girimulyo, Samigaluh dan Kokap. Namun saat ini masyarakat yang tinggal di dataran rendah juga mulai mengembangkan budidaya ternak kambing, karena melihat prospek dan potensi ternak kambing PE yang sangat menjanjikan. Banyak masyarakat di pesisir pantai yang memelihara kambing, baik kambing local (kacangan) maupun kambing Peranakan Ettawa (PE). Oleh karena kambing memiliki sifat memanjat, maka umumnya pengembangan lebih ke wilayah dataran tinggi. Pengembangan di daerah pesisir merupakan alternative yang perlu dikaji baik produksi maupun reproduksinya. Oleh karena daerah pesisir memang menyimpan banyak sekali potensi alam yang bisa digunakan untuk pengembangan kambing (pakan rambanan). Pelaksanaan kegiatan IbW di kecamatan Wates selama kurun waktu 3 tahun telah membantu berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Permasalahan tersebut khususnya berkaitan dengan kesiapan masyarakat kecamatan Wates dalam menghadapi datangnya industri maupun lembaga berskala Nasional. Diharapkan masyarakat mampu memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan munculnya berbagai kegiatan yang menyangkut banyak kebutuhan hidup terutama masalah kebutuhan pangan, baik bagi pendatang maupun masyarakat local. Pengembangan kambing PE di wilayah pantai dalam program IbW Kecamatan Wates didemonstrasikan plot (demplot) di desa Karangwuni yang memiliki potensi pakan ternak kambing berlimpah terutama pada saat musim penghujan. Kambing PE umumnya dikembangkan untuk dua tujuan sekaligus yaitu sebagai ternak eksotik dan untuk tujuan produksi susu. Kambing PE yang memiliki nilai eksotik tinggi mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi, sebagai gambaran untuk kondisi sekarang (2011) harga seekor cempe umur 1 – 2 bulan mencapai kisaran 3 – 4 juta rupiah. Hal yang sama juga untuk produksi susunya, harga per liter susu kambing PE mencapai Rp. 25.000,/liter. Kambing PE dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging juga susu. Produksi daging kambing PE lebih tinggi dibandingkan dengan kambing kacang. Bobot badan Kambing PE jantan dewasa antara 65 – 90 kg dan yang betina antara 45 – 70 kg. Produksi susu bisa mencapai 1 – 3 liter/hari. Kambing PE juga sangat prospektif untuk usaha pembibitan. Harga anak kambing PE bisa 3 – 5 kali lipat harga anak kambing lokal. Kambing PE beranak pertama kali pada umur 16 – 18 bulan dan dalam waktu 2 tahun bisa beranak 3 kali jika diusahakan secara intensif dengan hasil anak kembar 2 – 3 ekor/induk. (http://duniaveteriner.com/2009/09/ternak -kambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print). Pengembangan kambing PE di wilayah pantai sangat tepat karena ketersediaan pakan rambanan cukup melimpah. Namun kondisi lingkungan yang relative panas dan kecepatan angin cukup tinggi menjadi kendala pengembangan ternak kambing PE. Wilayah pantai merupakan habitat yang berbeda dengan habitat asal kambing PE yaitu daerah sejuk dengan kondisi temperatur rendah dan wilayah berbukit. Ketersediaan bibit PE yang berkualitas yang sangat kurang dan tingkat 757 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta produktivitas kambing PE yang masih rendah di wilayah pantai menjadi masalah utama bagi peternak. Penerapan IB kambing PE dengan mengambil pejantan unggul menjadi kebutuhan utama masyarakat peternak PE di wilayah pantai. Umumnya mereka mengawinkan induk dengan membawa secara langsung ke wilayah pegunungan Menoreh dengan biaya sebesar Rp 1 juta/kawin. Mengkaji tingkat produktivitas kambing PE yang ada di wilayah pantai akan menjadikan pedoman pengembangan dan manipulasi lingkungan yang dibutuhkan untuk pengembangan PE di wilayah pantai Berkembangnya kambing PE di wilayah pegunungan Menoreh didukung oleh potensi pakan rambanan yang produksinya tinggi, sehingga kebutuhan pakan tercukupi dengan baik. Disamping itu juga tersedianya segmen pasar khusus untuk penggemar kambing PE, yaitu eksistensi pasar PE di Pendem, Kaligesing, Purworejo. PE ras Kaligesing, Kokap, Girimulyo sudah merambah tidak saja secara nasional namun sudah sampai ke manca negara, yaitu di Brunai dan Malaysia. Adanya perkembangan kondisi ini, masyarakat di pegunungan Menoreh memiliki kemampuan ekonomi yang jauh di atas rata-rata masyarakat Kulon Progo pada umumnya. Wilayah pantai memiliki potensi pakan ternak yang luar biasa, terutama pantai yang telah dikelola sebagai areal pertanian, yaitu keberadaan tanaman pemecah angin yang umumnya berasal dari tanaman rambanan. Rambanan sangat cocok untuk pakan kambing. Sebagian masyarakat telah memanfaatkan potensi pakan ini dengan memelihara berbagai jenis ternak ruminansia, diantaranya sebagian kecil memelihara kambing bligon (keturunan kambing PE). Produktivitas kambing PE (bligon) yang dipelihara di wilayah pantai telah dikaji oleh tim IbW Kecamatan Wates untuk dapat dijadikan sebagai pedoman pengembangan oleh karena ada perbedaan habitat aslinya yaitu di daerah pegunungan yang bersuhu dingin. Permasalahan utama yang dialami oleh peternak kambing PE di wilayah pantai adalah pada bibit PE yang berkualitas. Sementara pejantan yang berkualitas berada di wilayah pegunungan (Menoreh), dan untuk dapat memperoleh keturunan kambing PE berkualitas per sekali kawin umumnya peternak yang mampu akan membayar sampai Rp 1 juta rupiah/sekali kawin. Tingginya biaya mengawinkan ternak ini, dijembatani oleh tim IbW untuk menerapkan teknologi Inseminasi Buatan (IB=kawin suntik) guna membantu masyarakat pantai yang memelihara kambing PE agar mempunyai keturunan kambing PE yang berkualitas sehingga mampu menghasilkan kambingkambing yang berkualitas dan pada akhirnya mampu mendapatkan keuntungan usaha yang jauh lebih tinggi sebgaiamana peternak di pegunungan Menoreh. Inseminasi Buatan (selanjutnya disingkat= IB) merupakan metoda perkawinan yang dilakukan dengan alat dan bantuan manusia, memiliki keuntungan dalam efisiensi penggunaan pejantan unggul (Djanuar, 1985; Hafez, 1989; Partodihardjo, 1992). Melalui IB pejantan yang biasanya sekali kawin hanya menghasilkan 1 – 2 ekor/kebuntingan, dengan IB pejantan sekali kawin mampu mengawini ternak sampai 100 ekor bahkan lebih. 758 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan program village breeding center kambing PE di wilayah pantai adalah meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam membudidayakan kambing PE melalui teknologi Inseminasi Buatan, sehingga peternak mampu melakukan IB secara mandiri yang pada akhirnya akan menjadikan wilayah pantai menjadi pusat bibit kambing PE yang berkualitas. Disamping itu diharapkan masyarakat mampu melakukan pemeliharaan kambing PE dengan manajemen yang baik dan berorientasi bisnis. Metode Penerapan IPTEKS Kegiatan ini dilaksanakan di desa Karangwuni yang berada di pesisir pantai kecamatan Wates, Kulon Progo. Spesifikasi khalayak sasaran adalah peternak yang memiliki kambing PE induk yang dipelihara sebagai penghasil bibit (anakan) maupun untuk tujuan kambing eksotik (kesenangan). Terdapat 10 peternak kambing PE di desa Karangwuni dengan rata-rata kepemilikan ternak 5 ekor dengan berbagai fase. Metoda pelaksanaan penerapan ipteks adalah penyuluhan / penyadaran, pendidikan dan pelatihan (aplikasi) langsung penggunaan teknologi, demplot dan pendampingan. Pelaksanaan pendidikan dan latihan ini diikuti oleh seluruh peternak kambing PE di desa Karangwuni. Peserta mendapat pelatihan penerapan ipteks dengan topik teknologi budidaya kambing PE, teknologi sinkronisasi berahi dan teknologi inseminasi buatan. Demplot pembibitan dilakukan dengan teknologi IB menggunakan sinkronisasi birahi melalui penyuntikan preparat PGF 2α dengan dosis 0,5 ml/ekor secara IM pada daerah paha. Penyuntikan PGF 2α dimaksudkan untuk menyamakan waktu birahi agar pelaksanakan IB praktis dan efisien. Sinkronisasi dilakukan 2 kali dengan selang pelaksanaan selama 10 hari dari sinkronisasi pertama. Sekitar 72 jam pasca sinkronisasi kambing akan birahi dan dilaksanakan IB menggunakan metoda vaginal. Pendampingan intensif penerapan teknologi produksi dan pembibitan dilakukan terhadap seluruh peternak, baik mengenai teknik manajemen pemeliharaan secara keseluruhan, manajemen pemeliharaan sebelum IB, pemeliharaan pasca IB dan perawatan kebuntingan serta kelahiran. Evaluasi hasil IB dilakukan minimal 2 kali pengamatan terhadap timbulnya birahi pada siklus birahi yang seharusnya terjadi. Jika dalam 18 hari setelah IB tidak menunjukan birahi maka dapat diindikasikan IB berhasil (bunting), kondisi ini disebut Non-Return (NR)-30. Evaluasi ke dua dilaksanakan 18 hari setelah evaluasi pertama atau disebut NR-60. Kajian Produktivitas Kambing PE di wilayah Pantai Pendataan produktivitas kambing PE dilakukan secara sensus terhadap seluruh kambing PE yang ada di Karangwuni. Pendataan dilakukan terhadap 10 peternak kambing PE yang mempunyai 63 ekor kambing PE dan bligon dalam berbagai fase. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengukuran dan penimbangan guna dibandingkan tingkat produktivitasnya dengan umumnya kambing PE yang dipelihara di wilayah pegunungan. Kajian dilakukan terhadap parameter terukur seperti berat badan dan tinggi gumba (induk dan pejantan dewasa) dalam berbagai fase (induk, 759 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pejantan, anakan 1 bulan, anakan 3 bulan, anakan 6 -8 bulan). Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasilnya adalah berupa pertimbangan kemungkinan dikembangkan secara besar-besaran kambing PE di wilayah pantai. Penerapan teknologi IB Tahapan pelaksanaan alih teknologi dan penerapan IB di masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan calon induk yang akan dikawinkan (IB) dengan syarat umur sudah di atas 10 bulan dan tidak sedang bunting (an-estrus), sudah dewasa tubuh dan birahi pertama sudah/belum terjadi, waktunya untuk beranak pertama, terpilih sebanyak 18 ekor 2. Pelaksanaan penyerentakan birahi (sinkronisasi birahi), dilakukan dengan penyuntikan secara IM di daerah paha atas kaki belakang, menggunakan hormon Prostaglandin (PGF2α) dengan dosis 0,5 ml/ekor, dilakukan agar pelaksanaan IB dapat berhasil baik karena semen yang digunakan adalah semen segar/cair, sehingga dalam tempo selama 120 menit semen harus sudah habis digunakan untuk IB. 3. Penampungan semen pejantan PE terpilih, menggunakan metoda vagina buatan (VB). 4. Pelaksanaan Inseminasi, menggunakan metoda Vaginal Methode. 5. Penentuan kebuntingan, berdasarkan kembali/tidaknya birahi pada siklus birahi yang seharusnya, ditentukan berdasarkan NR-30 dan NR-60. Pemilihan calon induk Pemilihan calon induk dilakukan dengan bantuan kelompok untuk mendata semua pemilik kambing PE yang ada di desa Karangwuni dengan jarak lokasi kandang ke tepi pantai kurang dari 2 km. Dari sejumlah kambing betina yang ada terpilih 18 ekor kambing yang siap dilakukan sinkronisasi birahi. Calon induk dipilih berdasarkan kondisi ternak sudah dewasa tubuh (umur sekitar 10 bulan), sudah pernah birahi dan dalam keadaan tidak bunting. Sinkronisasi berahi Sinkronisasi dilakukan menggunakan suntikan hormone luteolisis PGF 2 dengan dosis 0,5 ml/ekor secara IM di daerah paha belakang. Penyuntikan dilakukan sekali dan pada 72 jam kemudian diamati tanda-tandanya yaitu vulva merah dan bengkak, keluar lendir dan ternyata dari 18 ekor mengalami birahi semua dengan angka intensitas bitrahi yang berbeda-beda tergantung kondisi masing-masing ternaknya. Penampungan semen Penampungan semen dilakukan dengan cara seperti kawin alam yaitu menggunakan metoda vagina buatan (VB). Pejantan PE ditampung semennya menggunakan teaser yang dipersiapkan secara khusus, yaitu ,menggunakan betina birahi. Teaser ditempatkan pada posisi siap kawin yang digunakan sebagai pemancing (pengusik). Setelah semua perlengkapan disiapkan, setidaknya dibutuhkan tiga personel, yaitu sebagai pengendali teaser, pejantan dan penampung (pemegang 760 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta VB). Penampungan dilakukan dengan mengekang pejantan (restraining) dan melepaskan (teasing) pejantan selama 3 kali, baru pada teasing yang ke tiga, pejantan dilepas untuk aktifitas perkawinan. Penampung mengarahkan VB dengan membelokan penis menuju liang VB. Penampungan berhasil jika si p[ejantan melakukan “nachstoss” (dorongan spontan ke depan pada saat ejakulasi). Penampungan semen dilakukan di daerah Kokap menggunakan pejantan unggul dari daerah pegunungan Menoreh, karena di desa Karangwuni belum ada pejantan unggul yang mempunyai grade B/A. Kemudian semen langsung diencerkan di lokasi penampungan, untuk selanjutnya dibawa ke daerah pantai Karangwuni. Pelaksanaan penampungan semen Pemeriksaan dan pengenceran semen Pemeriksaan secara makroskopis semen yang diperoleh dilakukan terhadap warna semen, konsistensi, dan volume semen. Kemudian semen yang diperoleh segera dilakukan pengenceran menggunakan Citrate kuning telur dengan perbandingan 7 bagian Na-sitrat dengan 1 bagian kuning telur, bersamaan dengan pengenceran sebagian sisa semen yang tertinggal di tabung penampung digunakan sebagai sampel pemeriksaan terhadap progressivitas spermatozoa / gerak massa dan pemeriksaan jarak antar spermatozoa untuk memprediksikan konsentrasi sel per ml. Pengenceran dilakukan sebanyak induk/calon induk yang akan di IB, yaitu 20 kali oleh karena induk yang tersedia sebanyak 16 ekor yang berhasil birahi. Semen kambing PE Pelaksanaan IB kambing PE 761 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pelaksanaan Inseminasi Buatan IB dilakukan terhadap 16 ekor induk atau calon induk yang birahi setelah dilakukan sinkronisasi birahi. IB dilaksanakan 72 jam setelah penyuntikan secara IM sebanyak 0,5 ml/ekor PGF 2 yang menunjukan tanda-tanda birahi seperti vulva bengkak, nafsu makan menurun, jika pada vestibulum dibuka nampak memerah dan berlendir. IB menggunakan vaginal methode, yaitu menggunakan deposisi semen pada bagian portio vaginalis cervicis pada sisi atas (cranial) dengan alat bantu berupa spuit 5 ml. Konsentrasi semen segar yang digunakan sekitar 100 juta /IB/ekor dengan volume semen sebanyak 1 ml. Hasil dan Pembahasan Kegiatan penerapan IPTEK ini bermitra dengan kelompok masyarakat, berjumlah 10 peternak kambing PE dari desa Karangwuni kecamatan Wates, dengan tingkat pendidikan bervariasi dari SD hingga SLTA. Status sosial mitra adalah peternak yang tergabung dalam kelompok ternak kambing PE desa Karangwuni, dengan persoalan utamanya bidang teknologi. a. Kajian Produktivitas Kambing PE di wilayah Pantai Penelitian dilakukan terhadap 63 ekor kambing PE dalam berbagai fase yaitu jumlah induk produktif sebanyak 19 ekor, ternak jantan produktif sebanyak 12 ekor, jumlah anakan jantan ≤ 3 bulan sebanyak 17 ekor, jumlah anakan betina ≤ 3 bulan 9 ekor, anakan jantan umur 3 – 6 bulan sebanyak 1 ekor, anakan jantan umur 6 – 8 bulan sebanyak 4 ekor, anakan betina umur 6 – 8 bulan sebanyak 9 ekor, jumlah induk bunting sebanyak 2 ekor. Induk produktif sebanyak 19 ekor dalam satu desa sebenarnya sudah cukup sebagai modal pengembangan kambing PE di suatu wilayah/desa. Dalam tempo 5 tahun dengan rata-rata beranak 4 kali dengan littersize 2 ekor maka akan dihasilkan induk kambing PE produktif sebanyak 125 ekor dengan anakan sampai dengan umur 1 tahunan sekitar 240 ekor jantan betina. Perhitungan ini belum termasuk sejumlah anakan betina yang jumlahnya 18 ekor. Metoda pengambilan sampel dilakukan secara sensus terhadap semua pemilik kambing PE yang berjumlah 10 orang. Kajian yang diawali dengan pendataan produksi dan reproduksi, diperoleh sebaran data produksi sebagai berikut : berat badan untuk pejantan produktif rata-rata adalah 35,7 kg, induk produktif 37,2 kg, dengan tinggi gumba untuk indukan betina 68,2 cm dan jantan produktif 69,5 cm. Pada umumnya kambing PE berbadan besar, berat badan betina kurang lebih 25 kg dan jantan kurang lebih 35 kg, tinggi gumba yang betina kurang lebih 60 cm dan yang jantan kurang lebih 70 cm (http://duniaveteriner.com/2009/09/ternak-kambing-pe-sebagai-penghasilsusu/print). Berdasarkan hal tersebut performans kambing PE khususnya indukan dan jantan produktif memiliki prestasi produksi yang sama dengan kambing PE pada umumnya. Berat badan anakan kurang dari 1 bulan 2,5 kg, anakan umur 1 – 2 bulan 6,5 kg, berat anakan saat disapih umur 3 bulan 10,45 kg sedangkan umumnya kambing PE disapih pada umur 6 – 8 kg, anakan lepas sapih sampai dengan umur 6 bulan 19,3 kg dan anakan 6 – 8 bulan menjelang pubertas adalah 32,6 kg. Sebagai calon induk, bobot badan ini sudah melebihi, sebagaimana 762 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta dinyatakan bahwa calon induk dan pejantan dipilih berdasarkan catatan produksi. Calon induk yaitu: bobot lahir antara 1,8 – 2 kg; berat sapih antara 6-8 kg; berat umur satu tahun (yearling) antara 20 – 25 kg; (http://duniaveteriner.com /2009 /09/ ternak-kambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print). Berdasarkan data-data reproduksi (Tabel 1) diketahui bahwa umur pertama kawin untuk kambing PE yang ada di wilayah pantai adalah 12,4 bulan, ini menunjukkan bahwa kinerja reproduksi untuk parameter tersebut umumnya berkisar antara 10 – 12 bulan sudah dikategorikan baik, sehingga umur beranak pertama dicapai pada umur 15 – 17 bulan. Litersize kambing PE di wilayah pantai adalah 2,1 ekor, umumnya kambing PE memiliki litersize antara 1,5 – 1,8 ekor/induk. Kondisi yang relative sama antara kambing PE umumnya dengan PE daerah pantai disebabkan karena potensi pakan yang melimpah sehingga ketersediaan pakan tidak menjadi kendala karena produksi hormone reproduksi tidak terkendala (Partodihardjo, 1987), disamping itu efek temperature pantai terhadap kinerja produksi kambing PE yang dipelihara di wilayah pantai ternyata tidak berpengaruh. Tabel 1. Data reproduksi kambing PE wilayah pantai Kinerja Reproduksi Umur pertama kawin Umur pertama beranak EPP PPM Littersize S/C Jarak beranak Ras kambing PE : Bligon Waktu 12,4 bulan 17,5 bulan 3,5 bulan 3,5 bulan 2,1 ekor 2 kali 9,5 bulan 30:70% Berdasarkan capaian S/C, umumnya kambing PE memiliki S/C 1, sedangkan di daerah pantai memiliki S/C 2, hal ini disebabkan karena pejantan yang baik tidak selalu tersedia di lapangan, sehingga menyebabkan terjadinya keterlambatan mengawinkan. S/C juga dipengaruhi oleh kondisi pejantan (Utomo, 2004). b. Capaian Terapan Inseminasi Buatan (IB) Berdasarkan penerapan IB terhadap kambing PE di wilayah pantai diketahui bahwa dari 18 ekor calon induk yang disinkronisasi estrusnya, terdapat 2 ekor yang mengalami keguguran karena pada saat dilakukan sinkronisasi, induk dalam kondisi bunting sekitar 2 bulan. Sampai dengan Non Return 30 dari 16 ekor yang di IB belum menunjukkan datangnya birahi, hal tersebut diasumsikan sementara induk bunting ( NR 30 = 100%), walaupun hasil ini belum menjamin kambing yang di IB akan berhasil bunting 100% karena pada kambing PE pada 2 bulan setelah dikawinkan masih sering menunjukkan gejala berahi lagi. Sehingga angka NR di atas 30 hari akan mengalami penurunan. Masyarakat sangat berharap penguasaan teknologi IB untuk perkawinan kambing PE, karena jika mengawinkan ternak menggunakan pejantan unggul yang berada di daerah pegunungan Menoreh umumnya peternak harus mengeluarkan biaya per kawin antara Rp 500.000,- Rp1.000.000,-. Tetapi dengan IB biaya per ekor induk sekali kawin hanya sekitar Rp 50.000,-. 763 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Evaluasi Kegiatan Evaluasi kegiatan ini dilaksanakan dengan melihat minat masyarakat peternak dalam mengikuti dan melihat hasil serta manfaat dari teknologi IB sehingga menarik minat peternak lain untuk menerapkan teknologi IB secara swadaya. Evaluasi kegiatan yang meliputi evaluasi proses, produk dan kemanfaatan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Evaluasi proses Selama proses pelaksanaan pengabdian ini, menunjukkan motivasi yang tinggi dari mitra kerja yang nampak dari banyaknya pertanyaan yang diajukan dan mau mengundang peternak yang lain untuk melaksanakan terapan teknologi IB 2. Evaluasi produk Teknologi IB dapat diterapkan secara swadaya oleh peternak dan hasil IB bisa meningkatkan kualitas genetik kambing PE di wilayah pantai, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan peternak dan masyarakat pantai. 3. Evaluasi kemanfaatan Terapan teknologi IB ini diharapkan dapat meningkatkan populasi ternak kambing PE secara lebih cepat dengan kualitas bibit yang lebih unggul sehingga wilayah pantai akan menjadi daerah sumber bibit kambing PE. Simpulan Pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai, terutama pantai di kecamatan Wates sebagai wilayah IbW dapat dilakukan dengan pemeliharaan kambing PE yang berorientasikan ke usaha profit. Oleh karena rasio PE : Bligon masih cukup tinggi, persilangan dengan pejantan unggul menggunakan teknologi IB dirasakan sangat tepat dan efisien. Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Direktur DP2M Dikti Kemendiknas dan Bupati Kulon Progo sebagai penyandang dana program, BPP kecamatan Wates dan Ketua LPPM UMB Yogya yang telah memberikan dukungan secara penuh dalam pelaksanaan program IbW ini. Daftar Pustaka Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hafez, E.S.E. 1989. The Behaviour of Domestic Animals. The Williams and Wilking Company. http://duniaveteriner.com/2009/09/ternak-kambing-pe-sebagai-penghasil-susu/print http://caricadieng.wordpress.com/2008/11/27/budidaya-kambing-peranakan-etawah/ Partadihardja,S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Bandung. Utomo, S.,2004. Capaian Tingkat Reproduksi Kambing dan Domba Lokal di tingkat petani di Kabupaten Bantul. Laporan Penelitian, Prodi Peternakan, Fak. Pertanian, UNWAMA, Yogyakarta. 764 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PENGEMBANGAN UMKM LINGKUNGAN KAMPUS HY. Agus Murdiyastomo Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Keberadaan kampus di suatu tempat merupakan potensi bagi pengembangan wilayah, mengingat di mana kampus berada maka perekonomian di sekitarnya akan tumbuh. Masyarakat sekitar kampus membuka usaha pemondokan bagi mahasiswa, membuka warung makan, warung kelontong, laundry dll. Demikian pula dengan masyarakat di sekitar kampus UNY di Pengasih, Kulon Progo, banyak warga Sekitar kampus berwirausaha, tetapi usaha mereka tidak berkembang, karena kurangnya pegetahuan kewirausahaan. Akibatnya mereka kurang kreatif, wawasannyapun terbatas, sehingga kurang berani melakukan ekspansi pasar. Di sisi lain wilayah kelurahan ini terletak di pinggiran kota yang sedang berkembang, dan terdapat berbagai potensi yang belum tergarap. Sementara angka putus sekolah penduduk di Kelurahan Pengasih cukup tinggi, sehingga berdampak pada meningkatnya angka pengangguran yang harus segera diatasi. Sehubungan dengan itu pembinaan UMKM lingkungan kampus dimaksudkan untuk mendorong para wirausahawan di Pengasih untuk mengembangkan usahanya, sehingga mengurangi angka pengangguran. Selain itu adanya kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan kepedulian Kampus terhadap masyarakat disekitarnya, sehingga masyarakatpun diharapkan akan merasa turut memiliki, dan bangga terhadap keberadaan kampus di wilayahnya. Agar maksud itu tercapai, maka dilakukan pembinaan terhadap para wirausahawan di Pengasih dengan cara sebagai berikut. Pertama dilakukan pencarian data di Kelurahan Pengasih, sekaligus untuk memperoleh ijin melakukan kegiatan pembinaan UMKM di lingkungan kampus, Setelah diperoleh sasaran kegiatan maka disusun strategi pembinan, yaitu dengan pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan. Hasil pembinaan cukup menggembirakan, mengingat pelatihan diikuti oleh 24 orang, yang terdiri dari ibu-ibu tampak sangat antusias dalam mengikuti pelatihan, dan 18 orang peserta membuat rencana pengembangan usaha, dan aktif mengkonsultasikan rencana pengembangan usaha mereka. Akan tetapi karena adanya keterbatasan maka pendampingan hanya dapat dilakukan selama 2 bulan, sehingga belum cukup untuk melihat keberhasilan pengembangan usaha mereka. Sehubungan dengan hal itu, mereka menyampaikan harapan, agar diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan lanjutan di masa yang akan datang. Kata Kunci : Pengasih, Kewirausahaan, UMKM Pendahuluan Tingkat kesejahtaraan masyarakat yang masih rendah, merupakan tanggungjawab Negara seperti diamanatkan undang-undang, tetapi kenyataannya masih banyak penduduk negeri ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu kunci dalam meningkatkan kesejahteraan adalah tersedianya lapangan pekerjaan. Antara lapangan pekerjaan, pengangguran dan tingkat kesejahteraan merupakan lingkaran yang harus diselesaikan secara terpadu. Sayangnya pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk semua angkatan kerja yang ada, kemudian seringkali langkanya lapangan pekerjaan dijadikan kambing hitam atas rendahnya kesejahteraan, dan membengkaknya jumlah pengangguran. yang pada puncaknya mengakibatkan turunnya 765 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tingkat kesejahteraan. Permasalahan utama yang tengah dihadapi oleh negara kita adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang begitu cepat. Salah satu dampak semakin besarnya angka jumlah penduduk adalah semakin banyaknya pengangguran. Hal tersebut terjadi karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung tenaga kerja yang ada, dan jikapun ada seringkali kwalifikasi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Pengangguran terjadi tidak hanya di kota yang padat penduduknya, tetapi juga di berbagai daerah yang penduduknya belum terlalu padat, seperti di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di wilayah ini bahkan banyak siswa terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah atau Droup Out (D.O) dari sekolah tempat mereka menimba ilmu karena ketiadaan biaya. Menurut laporan kependudukan Kelurahan Pengasih 2009-2010, jumlah penduduk 2.748, Tercatat warga yang mengalami D.O dari sekolah berjumlah 65 orang dengan berbagai tingkat pendidikan. Angka 65 ini tentu menambah besar jumlah angkatan kerja yang belum tertampung, dan hal tersebut merupakan masalah sosial yang perlu segera mendapatkan solusi. Matapencaharian penduduk Kelurahan Pengasih cukup variatif Selain menjadi pegawai negeri dan swasta, sebagian besar penduduk berkerja sebagai petani. Sebagian lain di antara warga Kelurahan Pengasih bekerja di sektor informal, seperti membuka usaha warungan, jual bensin eceran, dan sebagian lain kelompok ibu-ibu membuka usaha di bidang jasa, seperti membuka salon, dan ada pula kelompok ibu-ibu yang memproduksi makanan kecil seperti kue kering. Di antara sekian banyak warga yang berwirausaha, sebagian diantaranya telah menunjukan perkembangan yang menggembirakan seperti usaha memproduksi makanan kecil yang biasa disebut “wingko”. Berwirausaha seperti yang dilakukan oleh sebagian warga kelurahan Pengasih ini, sesungguhnya merupakan solusi untuk mengatasi masalah sosial sebagai akibat langkanya lapangan pekerjaan. Hal ini dimungkinkan karena berwirausaha artinya menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri, dan juga bahkan untuk orang lain. Sehubungan dengan itu, maka kewirausahaan perlu ditumbuhkembangkan di kalangan masyarakat, khususnya di daerah kantungkantung angkatan kerja. Sayangnya tidak semua usaha di bidang produksi makanan kecil di kalangan masyarakat pengasih dapat berkembang seperti usaha wingko, seperti kelompok ibu-ibu yang memproduksi makanan kecil. Usaha mereka dari tahun-ketahun tidak berubah, alias stagnan, sehingga tenaga kerja yang terserap juga sangat kecil, sebatas dari lingkungan keluarga. Dari hasil wawancara tim pengabdi ditemukan beberapa sebab yang membuat usaha berkembang. Pertama kurangnya variasi kue-kue yang diproduksi, ibu-ibu tidak kedua tidak dilakukannya pengemasan dengan baik yang mencantumkan bahan yang digunakan, ketiga makanan kecil ini hanya dipasarkan dengan cara dititipkan ke warung-warung yang ada di Pengasih. Dari keadaan tersebut, maka usaha yang telah dilakukan oleh kelompok ibu-ibu memproduksi makanan kecil perlu didorong terus agar berkembang. Oleh sebab itu perlu 766 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan agar usaha yang telah dibuka berkembang, sehingga dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja yang ada, dengan harapan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelurahan Pengasih. Pengabdian kepada masyarakat, merupakan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi, yang mengamanatkan setiap insan perguruan tinggi harus mengabdikan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat. Dengan demikian perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat strategis dalam membangun masyarakat, terutama melalui program pengabdian kepada masyarakat, sehingga keberadaan perguruan tinggi bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama di lingkungan di mana perguruan tinggi itu berada. Kepedulian insan perguruan tinggi, dan keikutsertaannya membangun masyarakat akan menjadikan perguruan tinggi sebagai menara air yang mampu memberi pencerahan dan pemberdayaan bagi masyarakat. Salah satu cara untuk menggerakan atau memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri, adalah mencoba mengubah cara berfikir masyarakat pada cara berfikir wirausaha. Dengan demikian masyarakat akan memiliki semangat sebagaimana seorang wirusahawan, yaitu mampu membaca peluang, kreatif, jujur, dan tidak mudah patah semangat. Mereka tidak takut atau malu untuk memulai sebuah usaha baru, dengan penuh perhitungan mereka meyakini bahwa usahanya aan dapat berkembang. Keberhasilan sebuah usaha, terutama ditentukan oleh keberanian seorang pengusaha dalam membaca situasi dan menciptakan peluang. Kemudian secara cepat mengambil keputusan dengan perhitungan yang cermat. Making money without money, atau menghasilkan uang tanpa modal adalah sebuh ungkapan yang dapat direalisasikan. Hal ini sungguh terjadi, keberhasilan sangat tergantung pada kreatifitas masing-masing individu (Ciputra, 2008 : 19). Ketakutan akan terjadinya kegagalan usaha sebelum memulai usaha itu sendiri merupakan penghambat terbesar bagi seseorang unuk meraih keberhasilan. Kebranian melakukan inovasi secara terus menerus, memacu kreatifitas, untuk memperoleh produk-produk baru yang unik, inovasi tidak mengikuti trend yang ada, tetapi terus menerus melakukan pengubahan sehingga produk yang dihasilkan selalu berbeda (Kompas, 12 Juli 2007). Selain itu, agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing yang kuat, maka perlu diperhatikan kualitas, kwantitas, kontinuitas, dan akses pasar. Penguasaan pasar merupakan hal penting, mengingat kini pasar bersifat terbuka dan kompetitif (Bibit Waluyo, Kedaulatan Rakyat, 26 November 2011) hanya produk yang memenuhi syarat di ataslah yang akan dapat bertahan di Pasar. Usaha yang langgeng biasanya adalah usaha yang dibangun dengan kejujuran yang meliputi seluruh aspek usaha sejak bahan, produksi, hingga pemasarannya. Semua aspek tersebut tidak membahayakan nuntuk orang lain (konsumen), dan tidak melanggar hukum. Selain itu juga usaha yang mentaati tata nilai, walaupun hal ini sering tidak tertulis dalam kitab hukum, tetapi prinsip saling menghormati, mencegah kerugian pihak lain, terbuka, adil, dan santun dalam melayani. Satu 767 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kunci yang lain adalah konsistensi antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan (Rhenald Kasali dkk., 2010 : 102). Kewirausahaan merupakan bidang yang sangat strategis untuk melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, mengingat bidang kewirausahaan dapat terkait dengan bidang-bidang lain. Persoalan yang timbul adalah adanya anggapan bahwa wirausaha pasti berjualan, sehingga bagi sebagian masyarakat yang bermental priyayi tentu malas untuk mengikuti pelatihan. Tidak dipungkiri bahwa pelatihan kewirausahaan pasti diberi materi berjualan, tetapi bukan berjualannya yang perlu ditanamkan, namun semangatnya, semangat wirausahawan yang pantang menyerah. Sehubungan dengan agar tidak terjadi salah persepsi, maka sebelum melaksanakan kegiatan perlu adanya pengumpulan data secara cermat, hingga diketahui kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Kemudian berdasarkan pada data tersebut dapat diidentifikasi serta dirumuskan permasalahan yang dihadapi, dan dapat ditentukan alternative pemecahannya. Pada kasus PPM Pengembangan UMKM di sekitar kampus, langkah awal berupa pendekatan dan pencarian data di Kelurahan Pengasih, melibatkan seluruh tim pengabdi termasuk mahasiswa. Selain data-data tertulis di Kelurahan, dilakukan pula pengamatan secara langsung pada beberapa calon sasaran pengabdian, sehingga dapat diketahui apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Dari data yang terkumpul dapat ditentukan beberapa permasalahan seperti: a. Banyaknya warga yang putus sekolah, meningkatkan jumlah angka pengangguran. b. Perlunya pemberdayaan warga kelurahan Pengasih c. Perlu adanya usaha peningkatan kesejahteraan d. Perlu adanya pelatihan kewirausahaan e. Perlu adanya pendampingan usaha f. Perlu adanya pengarahan variasi produksi g. Perlu adanya penyuluhan etika bisnis h. Perlunya penyuluhan hiegienitas dalam produksi makanan Metode Kegiatan PPM Dalam rangka mencapai tujuan, mengingat Kelurahan Pengasih menyimpan potensi terutama tersedianya tenaga kerja dan waktu luang, maka warga pengasih perlu didorong untuk mengembangkan usaha yang telah mereka kelola. Untuk itu dilakukan pelatihan kewirausahaan agar mereka mempunyai bekal pengetahuan tentang seluk beluk berwirausaha yang baik, serta strategi pengembangannya. 1. Khalayak Sasaran a. Khalayak sasaran dalam kegiatan ini adalah 30 orang ibu-ibu rumah tangga, warga Kelurahan Pengasih, di mana Kampus UNY Wates berada. b. Kriteria peserta adalah ibu-ibu yang telah mempunyai usaha produksi makanan kecil. 768 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 2. Metode Kegiatan Menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan dengan materi: 3. a. Merubah Mindset dalam Berusaha b. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah c. Motivasi dan Pengembangan Usaha d. Pendampingan Membuat Rencana Pengembangan Usaha. e. Pemberian bantuan alat untuk kelompok. Langkah-Langkah Kegiatan PPM. a. Dilakukan pendekatan kepada pemerintah setempat, dalam hal ini adalah pihak Kelurahan Pengasih, di mana UNY Kampus Wates berada, untuk memperoleh ijin kegiatan, dan dukungan berupa fasilitas ruang di kelurahan untuk ajang pelatihan. b. Mencari data-data pendahuluan agar kegiatan tidak salah sasaran. Dlam hal ini tim pengabdi dipertemukan dengan kelompok ibu-ibu produsen makanan kecil. Dari pertemuan tersebut maka dapat diketahui permasalahan yang mereka hadapi, sehingga tim pengabdi dapat menentukan format yang tepat untuk mencari solusi bagi kelompok produsen makanan kecil di Kelurahan Pengasih. c. Pelatihan kewirausahaan dengan materi seperti telah disebut dalam metode kegiatan, yang dilakukan pada tanggal 15 dan 22 Oktober 2011. 4. d. Kunjungan pada kelompok ibu-ibu produsen. e. Konsultasi lansung maupun melalui telepon. Faktor Penghambat dan Pendukung a. Faktor Penghambat 1) Padatnya kegiatan yang dihadapi oleh tim pengabdi maupun perangkat desa Kelurahan Pengasih, sehingga sulit untuk menetapkan jadwal kegiatan, Hal ini mengakibatkan pelaksanaan kegiatan PPM mundur hingga saat-saat terakhir kontrak. 2) Tingkat pendidikan Ibu-Ibu produsen makanan, sangat berfariasi, bahkan ada di antara mereka yang hanya lulus sekolah dasar, sehingga mereka harus dimotivasi secara lebih khusus, agar tidak merasa rendah disbanding yang lain. b. Faktor Pendukung 1) Ketersediaan dana melalui kegiatan PPM Prioritas Bidang. 2) Kerjasama Lurah Pengasih dan semua stafnya, yang begitu terbuka menerima kehadiran tim pengabdi. 3) Tersedianya tempat untuk menyelenggarakan pertemuan dengan warga. 769 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan pelatihan dilaksanakan di Pendhapa Kelurahan Pengasih Tanggal 15 dan 22 Oktober 2011. Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM a. Setelah melalui negosiasi dengan pihak mitra, maka disepakati materi pelatihan terdiri dari teori dan pendampingan. Teori tentang kewirausahaan dan konsultasi langsung ditangani oleh tim pengabdi dari LPPM UNY, sementara pendampingan selanjutnya akan ditangani oleh pihak Kelurahan b. Mengingat para peserta seluruhnya berasal dari Kelurahan Pengasih, maka atas permintaan Bapak Lurah diputuskan pelatihan dilaksanakan di Pendhapa (Ruang Serbaguna) Kalurahan Pengasih, tanggal 15 dan 22 Oktober 2011. c. Peserta yang direncanakan sebanyak 30 orang, tetapi pada pelaksanaan hanya hadir sejumlah 24 orang yang mengikuti pelatihan hingga selesai. Ketidakhadiran 6 orang peserta yang telah diundang disebabkan oleh adanya kegiatan melayat, karena kebetulan pada waktu yang telah ditentukan ada warga yang meninggal dunia. d. Kegiatan Pelatihan Kewirausahaan ini secara kwalitatif dapat dikatakan berhasil, mengingat antusiasme peserta dalam mengikuti pelatihan, dan kesediaan mereka untuk membuat rencana pengembangan usaha. Ditinjau dari sisi kwantitatif kegiatan ini juga cukup berhasil, mengingat peserta yang hadir mencapai 24 orang dari 30 undangan yang diedarkan. Pembahasan Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa pelatihan kewirausahaan ini mengalami keterlambatan dari jadwal semula, walau demikian jika didasarkan atas indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, boleh dikata kegiatan berhasil baik. Agar lebih jelas perlu disampaikan Indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu, a. 75% peserta yang diundang hadir. b. Terbentuk kelompok usaha bersama c. Sebagian besar peserta menyatakan bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi mereka dan bagi peningkatan kualitas pelayanan. Indikator pertama menetapkan 75% peserta yang diundang hadir, jumlah undangan 30 orang, dan hadir 24 orang artinya lebih dari 75%. Indikator kedua juga telah terpenuhi karena setelah pelatihan telah terbentuk dua kelompok Usaha Bersama, yaitu kelompok kue kering, dan jajanan pasar. Para peserta menyatakan puas dengan pelatihan ini, dan bahkan mengharapkan agar di tahun berikutnya dilanjutkan dengan kegiatan sejenis lainnya, Dengan demikian indikator ketiga 770 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta juga telah terpenuhi, sehingga kami berani menyatakan bahwa kegiatan pelatihan ini berhasil mencapai target. Namun demikian mengenai keberhasilan usaha kelompok ibu-ibu produsen makanan kecil dalam pelatihan sangat tergantung kepada perjuangan mereka sendiri. Akan tetapi kami selaku tim pengabdi merasa optimis bahwa dua kelompok Usaha Bersama yang telah terbentuk akan berhasil, mengingat masing-masing anggotanya sudah sering saling bantu jauh sebelum pelatihan dilakukan. Sesuai rencana yang tercantum dalam proposal, bahwa indicator keberhasilan adalah 70% peserta yang diundang hadir, dan 20% dari yang hadir membuat rencana pengembangan usaha. Dalam hal ini diundang 30 orang, dan hadir 24 orang, dan 18 di antaranya membuat rencana pengembangan usaha, sehingga dari kehadiran peserta, dan pembuatan rencana pengembangan usaha, maka kegiatan ini dapat dianggap berhasil. Penutup 1. Kesimpulan Kelurahan Pengasih, di mana UNY Kampus Wates berada, merupakan kelurahan yang letaknya di daerah yang sedang berkembang, terutama dengan kehadiran kampus. Di sisi lain Kelurahan ini mempunyai potensi yang luarbiasa, baik alam maupun sumberdaya manusianya. Apabila potensi yang ada ditangani secara benar, maka perekonomian di kelurahan ini akan menjadi berkembang dengan pesat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan warganya. UNY sebagai perguruan tinggi telah turut mengambil bagian untuk mengembangkan wilayah kelurahan ini, melalui program PPM. Kegiatan PPM di bidang kewirausahaan telah berhasil melatih 24 orang ibu-ibu dari berbagai pedukuhan sekelurahan Pengasih. Dengan pelatihan ini ibu-ibu kelompok usaha makanan kecil memperoleh pengetahuan tentang kewirausahaan, termasuk kemauan untuk mengembangkan usaha mereka. Kemauan itu tampak dari adanya rencana pengembangan usaha yang hendak dilakukan. Rencana pengembangan usaha juga menunjukan meningkatnya pengetahuan dalam bidang manajemen, yang tercermin dalam memperhitungkan kost dan penentuan harga jual. 2. Saran Agar tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelurahan Pengasih segera tercapai, diperlukan pelatihan kewirausahaan lanjutan. Kiranya pelatihan serupa perlu dilakukan untuk kelompok-kelompok usaha yang lain, mengingat di Kelurahan Pengasih masih banyak potensi yang belum terasah. Bahkan secara khusus Bapak Lurah meminta 771 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta agar dilakukan pelatihan “Pranatacara” mengingat pranatacara disamping mempunyai fungsi social juga dapat dikembangkan sebagai sebuah profesi. Daftar Pustaka Ciputra, Quantum Leap : Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008 Meredith G, Geofrey, Kewirausahaan Teori dan Praktik, Jakarta : Pustaka Binaan Presindo, 1996. Rhenald Kasali dkk, Modul Kewirausahaan, Jakarta : Hikmah, 2010 Suryana, Praktik, Kiat dan Proses Menuju Sukses (Edisi Revisi), Jakarta : Salemba Empat, 2001. Zimmerer, W. Thomas, Norman M, Scarborough, Entrepreneurship and the New Venture Formation. New Jersey.Prentise Hall International, 1996. 772 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN PENGEMBANGAN KURIKULUM TERINTEGRASI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN BAGI GURU-GURU SMA Isroah Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan kegiatan ini adalah (1) Meningkatkan pemahaman tentang wawasan kewirausahaan bagi guru SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta (2). Mengembangkan Kurikulum terintegrasi Pendidikan Kewirausahaan bagi Guru-guru SMA di Daerah. Istimewa Yogyakarta Metode yang dirancang dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dalam PPM ini adalah (1) Ceramah bervariasi yakni untuk menyampaikan materi tentang kewirausahaan, penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (2) Penyusunan Silabus dan RPP terintegrasi dengan kewirausahaan. (3) Praktik mengajar berdasarkan silabus dan RPP terintegrasi dengan kewirausahaan. Berdasarkan diskusi/dialog antara tim dengan peserta dapat disimpulkan (1) Terdapat peningkatan pemahaman tentang kewirausahaan (2) Indikator pencapaian tujuan pengabdian adalah tersusunnya silabus dan RPP pada pelajaran Ekonomi/Akuntansi terintegrasi dengan kewirausahaan Pendahuluan Perubahan lingkungan eksternal yang sangat pesat mempengaruhi di bidang politik, sosial, ekonomi dan juga budaya pendidikan. Persaingan yang sangat ketat di bidang ekonomi sangat menentukan inovasi dan kreativitas yang tinggi karena akan berdampak pada kualitas produk dan jasa yang dihasilkan oleh sebuah industri. Bidang pendidikan harus segera berbenah diri karena akan mempengaruhi pada sektor perekonomian. Kualitas lulusan yang masih rendah akan berdampak buruk pada sektor perekonomian nasional. Lulusan yang ada tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja dapat mengakibatkan terjadinya biaya tinggi dalam pendidikan, karena lulusan yang kurang memenuhi syarat perlu dilakukan pendidikan ulang di dunia kerja. Rendahnya kualitas lulusan akan mempengaruhi lama masa tunggu dalam memperoleh pekerjaan serta posisi tempat kerja juga berdampak pada kualitas angkatan kerja secara nasional. Sebagaimana data di lapangan menunjukkan bahwa ”sebanyak 106 juta angkatan kerja terbagi dalam 56 juta sebagai pekerja/buruh dan 50 juta angkatan kerja sebagai pencari pekerjaan dan orang yang bekerja sendiri”. Sedangkan komposisi peluang kerja terdiri dari 29% peluang kerja formal (kerja di instansi pemerintah, swasta dan buruh) dan 71% peluang kerja informal (pedagang asongan, petani, nelayan, home industry)”. (Sony Teguh Tri Laksono: 2006). Hal tersebut dapat diantisipasi dengan menambahkan pendidikan kewirausahaan bagi siswa sehingga memiliki kemandirian dan watak kewirausahaan (entrepreneureship). Selain itu dapat pula dengan pilihan lain yakni mengintegrasikan pendiidkan kewirausahaan dalam kurikulum (silabus dan RPP) di sekolahsekolah. Berdasarkan data tersebut tercermin bahwa sebagian besar peluang kerja ada di sektor informal dan hal ini merupakan salah satu bidang bidikan/sasaran dalam bidang kewirausahaan. Selain itu jiwa kewirausahaan (jujur, disiplin, semangat tinggi, dapat dipercaya dll) sebagai salah satu faktor yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu seseorang (siswa) 773 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta yang memiliki jiwa kewirausahaan akan mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan lebih baik. Yakni seseorang akan bersemangat dan gigih dalam mencapai tujuan, bersemangat dalam mencari peluang usaha serta mampu menyiapkan mentalnya dalam menghadapi perubahan lingkungan dengan kompetisi yang sangat ketat. Para siswa di sekolah perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan melalui pembelajaran ekonomi yang terintegrasi dengan kewirausahaan dengan maksud agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan ilmunya dalam praktik di masyarakat. Dalam upaya menerapkan pembelajaran yang terintegrasi dengan pendidikan kewirauahaan tersebut, maka sebagai langakah awal yang dipersiapkan adalah pembenahan perangkat pembelajarannya. Yakni penyusunan Silabus dan RPP yang terintegrasi dengan pendidikan kewirausahaan. Pada kesempatan ini dilakukan pelatihan kepada guru-guru SMA se Daerah Istimewa Yogyakarta Landasan Teori/Kajian Pustaka a. Kewirausahaan Kewirausahaan muncul pada abad 18 diawali dengan penemuan-penemuan baru sseperti mesin uap, mesin pintal dan lain-lain, dengan tujuan utama untuk pertumbuhan dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Jadi bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan kekayaan. Kewirausahaaan adalah sebagai suatu proses kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha). Norman M Scarborough dan Thomas W Zimmerer (1993:5) mendefiniskan bahwa “an entrepreneure is one who create a new busuness in the fase of risk an uncertenty for achieving profit and growth by identifying opportunities an assembling the nescessary resourses to capitalize on those opportunities” Kewirausahaan didefinisikan sebagi suatu sikap mental, pandangan, wawasan dan pola pikir serta pola tindak seseorang terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan selalu berorientasi pada pelanggan/mitra. Artinya kewirausahaan sebagai sikap mental yang terkandung dalam jiwa seseorang/siswa sehingga mereka mampu bertindak secara kreatif dan inovatif dalam kehidupannya. Suryana (2003) menyebutkan ada enam hakekat penting dalam kewirusahaan yakni: a. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis. b. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. c. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan. d. Kewirausahaan adalah nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha dan perkembangan usaha. e. Kewirausahaan adalah suatu peoses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan sesuatu yang berbeda serta memberikan nilai lebih. 774 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta f. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah taersebut dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru untuk menghasilkan barang dan jasa baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Dari berbagai pengertian tentang kewirausahaan, maka dapat diambil suatu kesimpualan tentang ciri-ciri dan watak kewirausahaan berikut ini. No Ciri Watak 1 Percaya diri Keyakinan, ketidaktergantungan, individualistis dan optimisme 2 Berorientasi pada Kebutuhan untuk berprestassi, berorientasi laba, ketekunan dan tugas dan hasil ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik dan inisiatif. 3 Pengambilan Kemampuan untuk mengambil risiko yang wajar dan suka risiko tantangan 4 Kepemimpinan Perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, menanggapi saran dan kritik 5 Keorisinilan Inovatif, kreatif dan fleksibel 6 Berorientasi ke Pendangan ke depan, perspektif masa depan Kewirausahaan, saat ini mulai diajarkan sebagai mata kuliah di universitas di seluruh Indonesia. Hampir semua negara termasuk juga Cina menganggap betapa penting kewirausahaan untuk kemajuan suatu bangsa, masyarakat dan individu sendiri. Sebenarnya kita ditakdirkan berbekal kewirausahaan. Semua manusia dibekali sifat-sifat kewirausahaan sejak lahir. Sejak lahir sudah dibekali keberanian, kreatifitas dan inisiatif. Anak belajar berjalan tanpa harus masuk di kelas berjalan. Setiap kali tersandung ia bangkit lagi. Ia belajar bicara dengan penuh ketekunan, ia belajar dari sekelilingnya. Namun setelah tumbuh tidak semua anak dibekali dengan prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif, padahal posisi dan peran sekolah khususnya guru sebagai pendidikan yang meletakkan pondasi terpenting bagi pertumbuhan personalitas serta kematangan berpikir anak. Di era 1980 an banyak yang memandang sebelah mata tentang kewirausahaan ini, karena masih banyak yang salah dalam menafsirkannya. Masyarakat menganggap bahwa berwirausaha itu identik dengan berjualan/berdagang, di sisi lain masyarakat berkeinginan bahwa generasinya nanti dapat diterima di dunia kerja bahkan bisa menjadi PNS/TNI/POLRI. Anak-anak disekolahkan agar bisa menjadi pegawai negeri. Kurikulum di sekolah dirancang sedemikian rupa agar lulusannya kelak bisa menjadi pegawai ataupun bisa diterima di dunia kerja. Oleh karena itu dalam menjabarkan kurikulum dan mengembangkannya dalam sialabus dan RPP pun bersifat monoton yang penting tercapai target materi yang tertera dalam kurikulum. Saat ini sudah waktunya untuk mengembangkan kurikulum dengan mengintegrasikan antara Silabus dan RPP dengan materi kewirausahaan bagi guru-guru, dan 775 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta mengimplementasikannya di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar para siswa memiliki jiwa kewirausahaan sehingga mampu mengatasi permasalahan hidupnya nanti. b. Pembelajaran Ekonomi-Akuntansi yang Kreatif Mari kita tengok kembali pada dokumen Kurikulum yang menyajikan proporsi mata pelajaran Ekonomi, bahwa pelajaran Ekonomi termasuk di dalamnya adalah pelajaran Akuntansi sehingga pembagian jam pelajaran Ekonomi sebagai berikut: Kelas X : 2 jam terbagi untuk Ekonomi : 2 jam Akuntansi: tidak ada Kelas XI : 5 jam terbagi untuk Ekonomi : 3 jam Akuntansi : 2 jam Kelas XII : 5 jam terbagi untuk Ekonomi : 3 jam Akuntansi : 2 jam Pembelajaran Ekonomi-Akuntansi tidak terlepas dari silabus dan sistem penilaian sebagai perangkatnya. Demikian pula dengan penyusunan rencana pembelajaran sangatlah penting artinya sebagai pedoman yang digunakan oleh guru dalam menjalankan tugasnya di dalam kelas. Perencanaan pembelajaran merupakan catatan-catatan hasil pemikiran awal seorang guru sebelum mengelola proses pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencanaa pembelajaran: 1) Berdasarkan standar kompetensi dan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa serta materi atau sub materi pelajaran, pengalaman belajar yang telah dikembangkan dalam silabus. 2) Digunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan materi yang memberikan kecakapan hidup sesuai dengan permasalahan dan lingkungan sehari-hari (pendekatan kontekstual) 3) Digunakan metode dan media yang sesuai dengan pengalaman langsung. 4) Penilaian dengan sistem pengujian yang menyeluruh dan berkelanjutan didasarkan pada sistem pengujian yang dikembangkan selaras dengan pengembangan silabus. Berikut ini adalah salah satu contoh Rencana Pembelajaran untuk mata pelajaran Akuntansi Mata Pelajaran Kelas/Semester Pertemuan Alokasi waktu A. Standar Kompetensi B. Kompetensi Dasar C. Materi Pokok C. Media : Akuntansi : XI/1 : 1-2 : 4 jam pelajaran : Menerapkan siklus akuntansi Jasa : Menerapkan tahapan siklus akuntansi Jasa : Pencatatan bukti transaksi/transaksi keuangan ke jurnal : Transaksi keuangan untuk satu periode bulanan 776 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta D. Skenario : 1. Guru menginformasikan topik pembelajaran yakni tentang tahap pencatatan bukti transaksi/transaksi keuangan ke jurnal 2. Guru menjelaskan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran ini yakni siswa diminta untuk mengidentifikasi transaksi keuangan secara berkelompok. 3. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5-6 siswa). Masing-masing kelompok diberi nama atau nomor, misalnya nomor 1, 2 dan seterusnya atau diberi nama misalnya kelompok Debitur, kelompok Kreditur, kelompok Modal dan seterusnya. Selanjutnya masing-masing anggota kelompok berkumpul di kelompoknya masing-masing. 4. Guru membagikan data transaksi keuangan 5. Guru memberi tugas tiap-tiap kelompok untuk mengidentifikasi transaksi dan mendiskusikan dalam kelompoknya. Hasil kerja kelompok berupa jurnal atas transaksi keuangan diperbanyak (foto kopi) sesuai dengan jumlah kelompok di kelas dan diberikan ke guru. 6. Pada tatap muka yang telah ditentukan hasil kerja kelompok dipresentasikan dalam didiskusikan di kelas dengan cara bergiliran. Masing-masing kelompok harus memberikan pekerjaannya (foto kopi) kepada kelompok lain maupun kepada guru. 7. Guru memandu, memberikan komentar, dan menyimpulkan 8. Evaluasi, dapat dilakukan secara langsung saat diskusi baik secara individu maupun kelompok untuk mengetahui keaktifan dan kreatifitas siswa. Individu atau kelompok yang berprestasi diberikan hadiah/penghargaan (reward) E. Penilaian : Penilaian terhadap pelaksanaan pembelajaran adalah harus bersifat autentik, obyektif dan komprehensif. Autentuik artinya, bagaimana melaksanakan penilaian yang sebenarnya harus dilakukan sebagai upaya untuk menguji kompetensi siswa. Obyektif yaitu lebih menekankan pada bagaimana memberikan evaluasi yang benar-benar dapat memotret kompetensi siswa, siswa yang memenuhi kompetensi maka dikatakan berkompeten, dan yang kurang kompeten dikatakan kurang atau bahkan tidak kompeten . Dalam hal ini bukan terkait dengan bentuk soal atau tergantung semata-mata pada hasil tes tertulis saja, tetapi akan mengukur sungguh-sungguh bagaimana kemampuan atau kompetensi siswa secara benar. Komprehensif, maksudnya akan mengukur kompetensi siswa secara total/menyeluruh. Sesuai dengan taksonomi Bloom maka penilaian ini harus menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Terkait dengan hal tersebut, maka penilaian tidak cukup hanya mengandalkan hasil tes sumatif saja yang lebih cenderung menyangkut aspek kognitif saja. Karena itu berbagai bentuk penilaian baik dalam bentuk tes maupun non tes harus dikembangkan oleh guru, agar guru benar-benar dapat memotret secara utuh tentang kompetensi dan kepribadian yang dimiliki siswa. Dalam kaitan tersebut tes/ulangan harian dan aktivitas di kelas pada stiap mata pelajaran (tiap hari) menjadi kegiatan evaluasi yang sangat penting. Demikian juga tugas-tugas dan 777 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta portofolio menjadi alternatif penilaian yang tepat untuk dilakukan dalam upaya mengetahui kompetensi siswa. Misalnya, siswa diberi tugas untuk mengamati dan mengidentifikasi aktivitas koperasi di sekolah atau koperasi yang lain, mencari data keuangan dan data transaksi keuangan koperasi. Berdasarkan data yang diperolehnya, siswa diminta untuk membukukan sesuai dengan prosedur akuntansi koperasi dan dapat menyusun laporan keuangan koperasi, hal ini merupakan tugas portofolio. Disamping itu dapat ditingkatkan dengan model presentasi dan penilaian antar teman di kelas. Presentasi dalam hal ini juga dapat dijadikan model pembelajaran, Dengan model presentasi ini siswa dapat dinilai dari berbagai aspek. Aspek kognitif dapat dilihat dari pemahaman terhadap materi yang sedang dipresentasikan. Melalui presentasi (tampil di depan kelas), maka siswa dituntut untuk menjelaskan materi kepada teman-teman yang lain, hal ini secara tidak langsung akan teruji sikap mentalnya. Sementara untuk melihat i keterampilan siswa dalam menyampaikan informasi (menjelaskan materi pelajaran). Sedangkan penilaian teman sejawat akan membantu guru untuk memberikan nilai yang lebih obyektif. Selanjutnya guru perlu memperhatikan hal-hal praktis yang dapat membantu dalam memberikan penilaian terhadap prestasi dan kompetensi siswa. Hal-hal praktis yang dimaksud adalah: 1) Guru harus mengenal setiap siswa secara komprehensif baik yang menyangkut kemampuan intelektual, sikap, watak dan kepribadiannya. Dengan mengenal siswa dengan baik, maka guru tidak akan bias dalam memberikan nilai juga tidak akan keliru. Sebagai contoh siswa yang pandai tetapi mendapatkan nilai jelek dan sebaliknya siswa yang tidak pandai nilainya baik. Hal ini bisa terjadi karena guru tidak mengenal siswanya secara baik dan tidak mempunyai catatan tentang siswa tersebut dengan baik. 2) Supaya guru dapat secara tepat mengenal siswa secara baik, dapat dilakukan dengan membagi siswa dalam kelas ke dalam kelompok-kelompok kecil. Mengenal anggota kelompok kecil-kecil akan lebih mudah jika dibandingkan dengan mengenal secara klasikal. Atau dapat juga dilakukan dengan memberi tanda pada mejanya atau tempat duduknya dengan nama siswa yang bersangkutan. 3) Tidak menunda koreksi atas pekerjaan siswa, atau paling tidak dicicil agar pekerjaan koreksi tidak menumpuk. 4) Gunakan penilaian antar teman sejawat, juga sering dilakukan komparasi dengan penilaian antar guru sejawat. 5) Berikan reward kepada siswa-siswa yang berprestasi untuk tiap-tiap mata pelajaran. Reword ini dapat berupa piagam misalnya nilai tertinggi diberi piagam Emas kemudian Perak dan Perungga, atau agar lebih menarik reward ini dapat dikembangkan voucher belanja dengan nilai uang, misalnya voucher Rp 300.000, Rp 200.000 dan Rp 100.000. Bagi siswa yang sudah dapat mengumpulkan nilai vouvher tertentu maka dapat ditukarkan dengan nilai tertentu pula. Misalnya nilai voucher Rp 1.000.000 dapat ditukar/dikonversi dengan nilai 0.5 (setengah) atau tergantung pada kesepakatan yang dibuat dalam kelas. Nilai yang dikumpulkan kemudian ditambahkan pad nilai rapor siswa yang bersangkutan. Hal ini adalah salah satu model penilaian yang dapat menambah daya tarik dalam proses pembelajaran. 778 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta 6) Untuk mengetahui apakah siswa itu tertarik dan berminat pad mata pelajaran yang disampaiakn oleh guru maka dapat diketahui melalui beberapa hal: a). Siswa tersebut selalu masuk pada saat mata pelajaran diajarkan. b). Siswa tersebut sering bertanya atau terlihat antusia dan sering usul kalau sedang mendiskusikan mata pelajaran. c). Pada waktu-waktu tertentu misalnya satu bulan atau dua minggu sekali periksalah catatan siswa mengenai pelajaran tertentu. Jika siswa tertarik dan berminat maka catatannya biasanya rapi dan ada memberika tanda-tanda tertentu pada buku yang dipelajari. Metode Pelaksanaan PPM Khalayak sasaran dari program pengabdian kepada masyarakat ini adalah guru-guru Ekonomi/Akuntansi SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan pada guru SMA ini dikarenakan di SMA tidak diajarkan mata pelajaran Kewirausahaan. Oleh karena itu sangat tepat bila watak kewirausahaan disampaikan kepada siswa secara terintegrasi dengan mata pelajaran Ekonomi/Akuntansi. 1. Metode Kegiatan Metode yang dirancang dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dalam PPM ini adalah: a. Ceramah bervariasi yakni untuk menyampaikan materi tentang kewirausahaa, penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.. b. Penyusunan Silabus dan RPP terintegrasi dengan kewirausahaan. c. Praktik mengajar berdasarkan sialbus dan RPP terintegrasi dengan kewirausahaan. 2. Langkah-Langkah Kegiatan PPM Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan PPM ini adalah: a. Mengidentifikasi Guru Ekonomi/Akuntansi yang akan diundang b. Mengirim/mengedarkan undangan. c. Melakukan pelatihan dan diskusi tentang kewirausahaan, silabus dan RPP yang disampaikan oleh Pujiriyanto, M.Pd. dan Isroah, M.Si. d. Tugas untuk menyusun silabus dan RPP yang terintegrasi dengan kewirausahaan. e. Praktik mengajar berdasarka silabus dan RPP yang sudah disusun peserta. Hasil Pelaksanaan PPM dan Pembahasan Kegiatan Pengabdian ini dilaksanakan pada hari Selasa, 23 Agustus 2011 dan Rabu, 24 Agustus 2011 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY mulai jam 08.00 – 15.00 . Adapun materi yang disampaikan dan disikusikan adalah tentang: 1. Kewirausahaan 2. Strategi pengembangan Silabus dan RPP pelajaran Ekonomi/Akuntansi terintegrasi dengan kewirausahaan 3. Selanjutnya untuk penyusunan silabus dan RPP dikerjakan di rumah masing-masing dan dilanjutkan pada pertemuan hari kedua. 779 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada hari Rabu, 24 Agustus 2011 dilakukan praktik mengajar berdasarkan silabus dan RPP yang sudah disusun. Pembahasan Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM Kegiatan PPM ini diikuti oleh 38 peserta dan didukung oleh 4 mahasiswa pada hari pertama, para peserta sangat antusias dan aktif berdiskusi tentang materi serta bersimulasi tentang praktik berwirausaha. ada beberapa indikator tentang efektifitas dari kegiatan ini yakni: 1. Keberhasilan target jumlah peserta 2. Ketercapaian tujuan pelatihan 3. Ketercapaian target materi yang telah direncanakan 4. Kemampuan peserta dalam penguasaan materi. 5. Terlaksana praktik mengajar sesuai dengan silabus dan RPP yang dirancang Tim pengabdi optimis bila selabus dan RPP diterapkan di sekolah masing-masing, maka akan tertanam dan terbentuk watak kewirausahaan diantaranya adalah kebutuhan untuk berprestassi, kejujuran, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik dan inisiatif. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan dan hasil kegiatan dapat diidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan kegiatan ini. 1. Faktor pendukung a. Peserta sangat antusias dibuktikan dengan semangat dan kehadiran pada hari pertama dan kedua. b. Para peserta aktif berdiskusi dan mengerjakan tugas c. Semua peserta mampu menyusun silabus dan RPP terintegrasi dengan pendidikan kewirausahaan pada mata pelajaran ekonomi/akuntansi. Namun ada satu penghambat dalam kegiatan ini yakni tidak semua peserta diberikan kesempatan untuk praktik mengajar karena keterbatasan waktu pelaksanaan. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Penguasaan materi pelatihan berupa peningkatan pemahaman tentang kewirausahaan b. Indikator pencapaian tujuan pengabdian adalah tersusunnya silabus dan RPP pada pelajaran Ekonomi/Akuntansi terintegrasi dengan kewirausahaan 2. Saran Berdasaran pengamatan yang dilakuakan oleh tim maka dapat disarankan bahwa silabus dab RPP yang telah disusun dengan baik dan benar perlu diterapkan di sekolah masing-masing untuk menanamkan watak kewirausahaan bagi siswa Daftar Pustaka Bambang Suharno, Modul Kewirusahaan: Departemen Tenaga Kerja RI bekerjasama dengan Institut Maanajemen Prasetya Mulya Jakarta, 2008 Gugup Kismono, Bisnis Pengantar, BPFE, 2001 Sony Teguh Laksono, (2006), Makalah Pelatihan Kewirausahaan, Bogor, Unplublied 780 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PELATIHAN PENYUSUNAN RENSTRA SEKOLAH SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROGRAM UNGGULAN DI SMK KEJURUAN BANTUL Giri Wiyono Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Pelatihan ini membantu memecahkan berbagai masalah yang ada di sekolah, kaitannya dengan upaya peningkatan program unggulan sekolah sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memiliki Kompetensi life skill dengan melaksanakan kegiatan pelatihan dan pendampingan. Tujuan umum dari pelatihan ini adalah untuk memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknik dan seni dalam menyusun perencanaan strategis (Renstra) sekolah, sehingga dapat mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusannya sesuai dengan kebutuhan di sekolahnya masing-masing. Sedangkan tujuan khusus dari pelatihan ini adalah untuk memberikan ketrampilan kepada kepala sekolah-kepala sekolah SMK yang ada di Kabupaten Bantul dalam hal : (1) Teknik menganalisis kebutuhan SMK secara optimal dalam mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (2) Teknik merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran SMK secara jelas dalam mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (3) Teknik merumuskan struktur program unggulan SMK yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (4) Teknik melakukan analisis SWOT atas kemampuan yang dimiliki oleh SMK dalam mengembangkan program unggulan sekolahnya yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (5) Teknik menyusun proposal block grant berdasarkan perencanaan strategik SMK. Hasil pelatihan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Peserta memiliki wawasan global di bidang teknologi dan isu-isu strategis dalam bidang pendidikan sebagai proses penyusunan dan pengembangan program sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya masing-masing; (2) Peserta mampu menyusun dan mengembangkan program sekolah berdasarkan perencanaan strategik yang berorientasi pada ketrampilan untuk hidup (life skills) berdasarkan pengembangan program Broad-Based Education sesuai dengan kebutuhan sekolahnya masing-masing; dan (3) Peserta mampu mengembangkan potensi dirinya sebagai seorang pemimpin yang transformatif agar dapat melakukan koordinasi dalam pencapaian program sekolah secara sinergis dan terpadu. Pendahuluan Indonesia bersama-sama negara-negara APEC lainnya telah menyepakati liberalisasi perdagangan dalam waktu 25 tahun yang akan datang. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan industri-industri di Indonesia. Beberapa industri harus melakukan perubahan dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Upaya melakukan peningkatan mutu, efisiensi, produktivitas, dan fleksibilitas tenaga kerja menjadi fokus perubahan industri dalam menghadapi era perdagangan bebas tersebut. Hal ini tentunya juga mempengaruhi keberadaan dunia pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja di industri. Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan sangat penting untuk pengembangan industri-industri produksi. Perbaikan ketrampilan harus disesuaikan dengan inovasi, upaya-upaya kewirausahaan, pengelolaan menyeluruh terhadap kinerja (Total Performance Management = TPM). Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang baik akan memberikan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan tenaga 781 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta kerja. Hal ini juga memberikan dasar-dasar pengetahuan yang diperlukan dalam pengembangan ketrampilan, sikap kerja, dan kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan yang akan terjadi di masa depan, termasuk perkembangan teknologi baru. Pendidikan kejuruan harus dikembangkan ke arah pendidikan yang mampu menyiapkan peserta didik menjadi pekerja yang profesional dan juga mampu mengembangkan kepribadian yang tangguh serta kemampuan berfikir yang tinggi. Oleh karena pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup (life skill) merupakan prasyarat yang harus dimiliki peserta didik sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Dengan demikian diperlukan program pendidikan kejuruan dengan pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education) yang dirancang untuk membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill) secara luas dan mendasar yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan di era globalisasi. Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education) merupakan pendidikan yang mempunyai misi utama melatih peserta didik untuk menguasai keahlian kejuruan, memiliki daya adaptasi, mempunyai komitmen moral yang tinggi, dan mamapu berkembang secara mandiri serta mau hidup berdampingan dengan baik dalam masyarakat yang multikultur, multireligi, dan multietnis. Sedangkan kecakapan hidup (life skill) adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam hidup dan menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia, yang meliputi kecakapan untuk mencari kehidupan, kecakapan mengenal dan mengembangkan diri, kecakapan berfikir dan akademik, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional (generik). Sebagai bagian dari pendidikan nasional, SMK harus dikembangkan ke arah pendidikan yang mampu menyiapkan peserta diklat untuk menguasai keahlian kejuruan, memiliki daya adaptasi, mempunyai komitmen moral yang tinggi, dan mampu berkembang secara mandiri serta mau hidup berdampingan dengan baik dalam masyarakat yang multikultur, multireligi, dan multietnis. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi contoh pengelolaan broad based education untuk Pendidikan Menengah Kejuruan. Berbagai program kegiatan sedang direncanakan untuk mewujudkan pelaksanaan broad based education tersebut dalam program pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Namun demikian ada beberapa kendala dalam mengembangkan program pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup di Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain meliputi: dalam melakukan analisis kebutuhan sekolah-sekolah; (1) Kurangnya informasi (2) Masih terbatasnya pengembangan struktur program kegiatan; (3) Belum sesuai antara penyusunan visi dan misi sekolah dengan kemampuan dan kemauan sekolah; (4) Masih rendahnya kemampuan manajemen kepala sekolah; (5) Masih lemahnya bimbingan dalam penyusunan program kegiatan; dan (6) Belum efektifnya kerja tim dalam pelaksanaan program kegiatan sekolah. Guna mengatasi kendala-kendala yang dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan dalam menyiapkan program pendidikannya yang mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup, perlu dilakukan penyusunan perencanaan strategik sekolah di masa depan. Perencanaan strategik ini diharapkan mampu merumuskan strategi yang mampu menyesuaikan (match) kekuatan dan kelemahan organisasi sekolah dengan kesempatan dan 782 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta ancaman dari lingkungan eksternal sekolah dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas tersebut yang berorientasi pada kecakapan hidup. Sebagai upaya membantu memecahkan berbagai masalah yang ada di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), kaitannya dengan upaya peningkatan program unggulan sekolah sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memiliki Kompetensi life skill, maka perlu dilakukan kegiatan "Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan Renstra Sekolah Sebagai Upaya Peningkatan Program Unggulan Sekolah dan Kompetensi Life Skill Lulusan" Pelatihan ini diberikan kepada Kepala Sekolah SMK karena pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan dalam melaksanakan dan mengembangkan program pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan lebih disebabkan kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang manajemen pendidikan dan juga lemahnya manajemen kepemimpinan dalam melakukan penyusunan program pendidikan sekolah yang berorientasi untuk masa depan. Kepala Sekolah belum merencanakan dan merumuskan strategi yang mampu menyesuaikan (match) antara kekuatan dan kelemahan organisasi sekolah dengan kesempatan dan ancaman dari lingkungan eksternal sekolah dalam mengembangkan program pendidikan di sekolahnya. Pelatihan ini dilakukan dalam bentuk workshop penyusunan perencanaan strategik (Renstra) sekolah berdasarkan analisis kebutuhan melalui SWOT analysis. Tujuan umum dari pelatihan ini adalah untuk memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknik dan seni dalam menyusun perencanaan strategis (Renstra) sekolah, sehingga dapat mengembangkan program unggulan SMK yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusannya sesuai dengan kebutuhan di sekolahnya masing-masing. Sedangkan tujuan khusus dari pelatihan ini adalah untuk memberikan ketrampilan kepada kepala sekolah-kepala sekolah SMK yang ada di Kabupaten Bantul dalam hal : (1) Teknik menganalisis kebutuhan SMK secara optimal dalam mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (2) Teknik merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran SMK secara jelas dalam mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (3) Teknik merumuskan struktur program unggulan SMK yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (4) Teknik melakukan analisis SWOT atas kemampuan yang dimiliki oleh SMK dalam mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada kompetensi life skill lulusan; (5) Teknik menyusun proposal block grant berdasarkan perencanaan strategik SMK. Pelatihan ini memberikan manfaat yang besar bagi Kepala Sekolah SMK yang ada di Kabupaten Bantul. Manfaat teoritis dari kegiatan ini untuk jangka panjangnya adalah meningkatkan mutu pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ketrampilan hidup siswa-siswa SMK di Kabupaten Bantul. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh adalah SMK dapat melakukan perumusan, pengorganisasian dan pelaksanaan serta pengendalian program pendidikannya dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup siswa-siswanya sehingga SMK dapat berperan dalam hal : (1) Analisis kebutuhan SMK secara optimal dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup; (2) Perumusan visi, misi, tujuan, dan sasaran SMK secara jelas dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas 783 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta yang berorientasi pada kecakapan hidup; (3) Perumusan struktur program pendidikan SMK yang menarik dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup; (4) Analisis SWOT atas kemampuan yang dimiliki oleh SMK secara profesional dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup; (5) Pelaksanaan koordinasi kerja secara tim di SMK dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup; dan (6) Pengkoordinasian pencapaian program pendidikan SMK secara terpadu dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup. Metode Pelaksanaan Metode yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi: (1) ceramah; (2) tanya jawab; (3) demonstrasi; (4) pemberian tugas; (5) seminar; (6) pendampingan dan bimbingan penyusunan program sekolah; Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini yaitu edukatif dan praktis sehingga suasana kegiatan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bukan merupakan suatu pemaksaan konsepkonsep materi. Para peserta belajar dari pengalamannya dalam mengelola pendidikan di SMKnya masing-masing sehingga suasana kelas menjadi lebih hidup. Para peserta juga mengembangkan ketrampilan praktis dalam menggunakan teknik-teknik perencanaan strategis untuk penyusunan program kerja sekolahnya. Hasil Pelaksanaan dan Pembahasan Kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama diberikan materi perencanaan strategik secara teoritis dan praktis, dan tahap kedua menyusun program pengembangan sekolah, dan tugas lapangan untuk penyusunan project proposal sebagai usulan program kerja dan rencana strategis (renstra) pengembangan sekolahnya yang berorientasi pada ketrampilan hidup (life skills). Materi tentang perencanaan strategik (Strategic Planning) merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi (kekuatan), peluang dan kelemahan dan kendala yang ada dalam organisasi sekolah. Proses perencanaan strategik merupakan proses menentukan strategi untuk mencapai sasaran tersebut dan mengembangkan rencana untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan. Gambar 1. berikut ini adalah proses perencanaan strategik. 784 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta PIHAK - PIHAK BERKEPENTINGAN MISI / VISI ANALISIS KONDISI INTERNAL ANALISIS KONDISI EKSTERNAL KEKUATAN DAN KELEMAHAN PELUANG DAN ANCAMAN SASARAN ASUMSI KEBIJAKAN STRATEGI PROGRAM IMPLEMENTASI PENGENDALIAN umpan balik Gambar 1. Proses Perencanaan Strategik Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa proses perencanaan strategik (Renstra) sekolah hendaknya diawali dengan memperhatikan individu atau kelompok individu yang mempunyai kepentingan terhadap sekolah. Pihak-pihak yang berkepentingan ini atau disebut stakeholders perlu diperhatikan mengingat suatu organisasi sekolah adalah suatu sistem terbuka. Dalam sistem terbuka, apa yang terjadi pada lingkungan organisasi sekolah, termasuk stakeholders, akan mempengaruhi jalannya orgsanisasi. Proses selanjutnya yaitu perumusan visi dan misi sekolah. Visi merupakan harapan tentang masa depan sekolah yang realistik, bisa dicapai dan menarik. Visi ini mempunyai manfaat yang sangat besar bagi sekolah. Dengan visi yang benar dapat menarik dan menumbuhkan komitmen guru, karyawan dan siswa untuk bekerja dan belajar dengan kualitas yang lebih baik. Sedangkan misi merupakan pernyataan untuk apa sekolah dibangun. Misi merupakan batasan tentang hal-hal yang 785 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta akan dilakukan oleh sekolah. Sesuatu yang harus dilaksanakan oleh sekolah sesuai dengan visi yang ditetapkan agar tujuannya dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Untuk memahami apa yang terjadi pada kondisi eksternal sekolah, maka dilakukan analisis eksternal. Tujuan analisis ini untuk mengetahui peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh sekolah di masa mendatang. Hal ini dilakukan dengan mengkaji kecenderungan (trend) yang terjadi pada berbagai bidang: politik, ekonomi, teknologi, sosial budaya yang saat ini terjadi secara global dan nasional dan implikasinya terhadap dunia pendidikan, sekolah, guru, murid dan implikasinya terhadap kita semua. Disamping itu juga dilakukan analisis internal sekolah. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sekolah dalam menjalankan dan mencapai kinerjanya (masa lalu dan proyeksi masa depan). sehingga memungkinkan untuk menggerakkan semua faktorfaktor pendukung keberhasilan pencapaian visi/misi sekolah. Dalam merumuskan sasaran dan cara mencapainya perlu ditentukan atau diperhatikan terlebih dahulu mengenai dua hal yaitu asumsi dan kebijakan. Asumsi merupakan dasar-dasar perhitungan yang digunakan untuk membuat perencanaan, sedangkan kebijakan merupakan patokan atau batasan dalam pengambilan keputusan. Pada umumnya mencakup hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Sasaean dirumuskan sebagai suatu deskripsi yang khas dari suatu hasil akhir yang harus dicapai (mencakup apa dan kapan dicapainya). Setelah merumuskan sasaran, maka dilakukan suatu strategi berupa arah tindakan/rumusan cara pokok untuk mencapai sasaran tersebut. Rumusan strategi yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah disempurnakan, sehingga hasil analisis SWOT dapat diharapkan maksimal. Analisis SWOT ini memanfaatkan kesempatan dan kekuatan sehingga membuahkan rencana jangka panjang dan mengatasi atau mengurangi ancaman dan kelemahan sehingga menghasilkan rencana jangka pendek yaitu rencana perbaikan (short-term improvement plan). Penjelasan lebih terinci mengenai apa yang harus dilakukan dalam mencapai sasaran dimuat dalam suatu program kerja atau rencana kerja (action plan). Program kerja ini mencakup antara lain: pokok-pokok tindakan, hasil-hasil yang diharapkan, pihak-pihak yang akan melaksanakan, jenis dan jumlah sumber daya yang diperlukan, jadwal waktu, dan informasi yang diperlukan untuk pengendalian. Implementasi merupakan penjabaran keputusan strategis ke keputusan operasional. Hal-hal yang menghambat keberhasilan implementasi suatu program kerja yaitu: kurangnya kepemimpinan, tidak tepatnya struktur organisasi, kurangnya kemampuan sumber daya manusia, dan tidak berjalannya sistem operasional utama pendukung strategi. Materi tersebut di atas yang dijadikan sebagai bahan utama dalam pelatihan ini dan ditambah pemberian wawasan tentang SMK bertaraf Internasional. Adapun materi pokok yang diberikan dalam pelatihan ini yaitu: (1) Peningkatan Mutu Menuju SMK Bertaraf Internasional; (2) Isu-isu strategis dalam pengembangan pendidikan di SMK; (3) Penerapan Perencanaan strategik di SMK; (3) Pernyusunan pihak-pihak yang berkepentingan (Stakeholder); (4) Perumusan visi dan misi SMK; (5) Penyusunan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) SMK; (6) Perumusan 786 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta sasaran dan strategi; (7) Penyusunan program unggulan SMK berdasarkan analisis SWOT (action plan); dan (8) Penyusunan dan implementasi program unggulan SMK. Pada akhir kegiatan pelatihan, peserta diberi tugas individual untuk melakukan praktek kerja penyusunan project proposal sebagai usulan program kerja dan rencana strategis (renstra) pengembangan sekolahnya yang berorientasi pada ketrampilan hidup (life skills) sesuai dengan pengembangan program Broad-Based Education di sekolahnya masing-masing selama 2 minggu. Seluruh kegiatan pelatihan ini telah dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi kegiatan yang dilakukan oleh para peserta. Evaluasi kegiatan ini dilakukan terhadap empat aspek yaitu: (1) evaluasi terhadap materi pelatihan; (2) evaluasi terhadap instruktur dan fasilitator; (3) evaluasi terhadap kegiatan pelatihan; dan (4) evaluasi terhadap peserta pelatihan. Hasil yang diterima secara langsung bagi peserta yaitu memiliki kemampuan teknis dalam melakukan perencanaan strategik pengembangan program sekolah yang berorientasi pada ketrampilan untuk hidup (life skills) sesuai dengan kebutuhan sekolah berdasarkan kemampuan dan kemauannya. Disamping itu tersedianya panduan materi dan modul pelatihan perencanaan strategis serta transparansi yang sangat membantu peserta dalam memahami materi yang disampaikan. Evaluasi terhadap materi pelatihan oleh peserta dilakukan pada akhir kegiatan pelatihan. Dalam evaluasi ini ingin melihat kesesuaian antara pokok bahasan dengan peningkatan kinerja sekolah dan perluasan wawasan dan pengetahuan peserta. Disamping itu juga kemutakhiran bahan materi pokok bahasan serta kemungkinan penerapan pokok bahasan yang disampaikan di tempat kerja. Berdasarkan hasil evaluasi peserta terhadap materi pelatihan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Evaluasi Terhadap Materi Pelatihan Materi Pelatihan Kesesuaian pokok bahasan bagi peningkatan kinerja sekolah Kesesuaian pokok bahasan bagi perluasanwawasan &pengetahuan Materi Pelatihan Kemutakhiran bahan materi pokok bahasan Materi Pelatihan Penerapan pokok bahasan di tempat kerja anda Sangat bermanfaat 58% 46 % Bermanfaat 42 % Cukup bermanfaat 0% Kurang bermanfaat 0% 49 % 5% 0% Cukup mutakhir 26 % Kurang mutakhir 0% Cukup mungkin 16 % Tidak mungkin 0% Sangat mutakhir 14 % mutakhir Sangat mungkin 33 % mungkin 60 % 51 % Dalam evaluasi terhadap instruktur dan fasilitator pelatihan dilihat dari berbagai aspek antara lain: peran sebagai penyaji, peran sebagai narasumber, peran sebagai pemimpin diskusi, bahasa yang digunakan, penggunaan alat bantu (flipchart, overhead projector). Berdasarkan hasil evaluasi peserta terhadap instruktur dan fasilitator pelatihan diperoleh hasil sebagai berikut: 787 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Tabel 2. Hasil Evaluasi Terhadap Instruktur dan Fasilitator Pelatihan Instruktur dan Fasilitator Pelatihan Peran instruktur dan fasilitator sebagai penyaji. Peran instruktur dan fasilitator sebagai narasumber Peran instruktur dan fasilitator sebagai pemimpin diskusi Instruktur dan Fasilitator Pelatihan Bahasa yang digunakan Instruktur dan Fasilitator Pelatihan Penggunaan alat bantu (flipchart, overhead projector) Sangat baik 51 % 49 % Cukup baik 0% Tidak baik 0% 39 % 56 % 5% 0% 21 % 60 % 19 % 0% Cukup mudah 2% Cukup membantu 12 % Tidak mudah 0% Kurang membantu 2% Sangat mudah 51 % Sangat membantu 21 % Baik mudah 47 % Membantu 65 % Evaluasi terhadap kegiatan pelatihan oleh peserta dilakukan dengan menggunakan angket terbuka. Para peserta dipersilahkan menyampaikan saran dan komentar yang berkaitan dengan kegiatan pelatihan. Berdasarkan hasil evaluasi peserta diperoleh saran dan komentar seperti yang terdapat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil Evaluasi Terhadap Kegiatan Pelatihan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Saran dan Komentar Pelatihan ini sangat baik. Pelatihan membantu dalam mengembangkan manajemen sekolah. Kegiatan pelatihan ini cukup baik dan komunikatif. Kegiatan pelatihan ini sangat bermanfaat. Waktu kegiatan pelatihan perlu ditambah. Tempatnya yang kondusif dan tenang. Perlu disosialisasikan dan diperluas lagi kepada wakil kepala sekolah dan staf sekolah, minimal 3 orang. Perlunya diadakan kegiatan pelatihan lagi sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan. Perlunya diadakan tindaklanjut dari kegiatan pelatihan ini sehingga hasilnya lebih maksimal. Metode dan cara penyampaian sudah sangat tepat. Materi sangat menarik dan bermanfaat untuk memperbaiki Renstra yang telah dibuat oleh sekolah. Penyaji menguasai materi. Pelatihan Renstra ini positif dan perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan Jumlah pesertanya terlalu banyak sehingga metode diskusi kurang berlangsung dengan lancar dan baik. Jumlah pesertanya dibatasi maksimum 20 orang. Perlunya contoh dan format Renstra dari suatu sekolah yang sudah pernah dilakukan. 788 Prosentase 10 % 65 % 10 % 15 % 50 % 80 % 25 % 15 % 55 % 10 % 15 % 10 % 20 % 50 % 25 % 20 % Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Pada akhir pelatihan dilakukan evaluasi terhadap tugas kelompok yang telah disusun oleh peserta pelatihan. Berdasarkan hasil evaluasi berupa tahapan-tahapan dalam penyusunan perencanaan strategik program sekolah diperoleh hasil bahwa seluruh kelompok telah menyusun tahapan-tahapan dalam proses perencanaan strategik sekolah. Hasil tugas kelompok ini diharapkan dapat membantu seluruh peserta dalam menyusun project proposal sebagai usulan program kerja dan rencana strategis (renstra) sekolah untuk pengembangan pendidikan berbasis luas (Broad-Based Education) yang berorientasi pada ketrampilan hidup (life skills) di sekolahnya masing-masing. Hasil evaluasi terhadap materi pelatihan menunjukkan bahwa semua pokok bahasan bermanfaat bagi peningkatan kinerja sekolah, karena adanya kesesuaian dalam penyusunan program sekolah secara strategik, dan memberikan wawasan dan pengetahuan yang luas bagi peserta. Materi yang dibahas dianggap mutakhir sesuai kondisi saat ini serta memungkinkan untuk diterapkan dalam pengembangan dan penyusunan program kerja di sekolah. Dengan demikian setelah kegiatan pelatihan ini peserta dapat menerapkan sendiri prinsip-prinsip perencanaan strategik dalam penyusunan program kerja sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini dirasakan cukup memadai yaitu 23 orang, sehingga suasana kelas dalam keadaan kondusif untuk pemberian tugas dan diskusi. Dengan demikian diskusi menjadi lebih intens dan para peserta dapat mengambil peran secara maksimal sesuai dengan kemampuannya. Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pelatihan yaitu edukatif dan praktis sehingga suasana kegiatan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bukan merupakan suatu pemaksaan konsep-konsep materi. Para peserta belajar dari pengalamannya dalam mengelola pendidikan di sekolahnya sehingga suasana kelas menjadi lebih hidup. Kondisi ini mampu mengatasi jarak psikologis antara instruktur dan fasilitator dengan peserta pelatihan, sehingga peserta memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapatnya, menanyakan sesuatu yang belum dimengerti. Para peserta juga mengembangkan ketrampilan praktis dalam menggunakan teknik-teknik perencanaan strategis untuk penyusunan program unggulan sekolahnya masing-masing. Hasil evaluasi terhadap instruktur dan fasilitator pelatihan menunjukkan bahwa peran instruktur dan fasilitator sebagai penyaji, narasumber, dan pemimpin diskusi sudah baik. Bahasa yang digunakan mudah dipahami peserta sehingga tidak ada kesulitan dalam menerima materimateri kegiatan. Disamping itu banyaknya metode yang dikembangkan dalam kegiatan ini menjadikan kegiatan pelatihan tidak menjemukan. Variasi metode ini mampu menjaga suasana hati peserta untuk terlibat secara mendalam, mengembangkan rasa ingin tahunya terhadap materi perencanaan strategik. Hal ini juga didukung oleh penggunaan alat bantu berupa flipchart, overhead projector dan komputer sangat membantu peserta dalam memahami materi yang disampaikan sehingga materi menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti. Berhubung keterbatasan waktu dan kondisi internal sekolah yang cukup banyak kegiatan sehingga tugas individual berupa praktek kerja penyusunan project proposal tidak dapat berlangsung secara optimal. Hanya 10 sekolah yang dapat menyelesaikan penyusunan usulan program kerja dan rencana strategis (renstra) pengembangan sekolahnya yang berorientasi pada ketrampilan hidup 789 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta (life skills) sesuai dengan pengembangan program Broad-Based Education di sekolahnya masingmasing. Namun secara umum para peserta berharap perlunya diadakan tindaklanjut dari kegiatan pelatihan ini pada saat-saat liburan sekolah sehingga penyusunan program sekolah dapat dilakukan secara lebih intensif. Kegiatan pelatihan ini juga memiliki keterkaitan dengan kebijakan Direktorat Dikmenjur Departemen Pendidikan Nasional yang sedang mengembangkan tentang Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education) dan Kecakapan Hidup (Life Skill). Disamping itu SMK-SMK Negeri dan Swasta Se Propinsi DIY dibantu dan dibimbing dalam menyusun program kerja sekolah sebagai upaya mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup. Dengan demikian mereka memberikan kepercayaan dan dukungan dalam kegiatan pelatihan ini. Evaluasi kegiatan pelatihan ini dilakukan terhadap tiga aspek yaitu (1) Evaluasi terhadap peserta kegiatan Pelatihan; (2) Evaluasi terhadap proposal sekolah yang telah disusun, dan (3) Evaluasi terhadap pelaksanaan/implementasi program tersebut di SMKnya masing-masing. Keberhasilan kegiatan ini ditentukan dari indikator ketiga aspek tersebut yang meliputi : (1) Tanggapan yang baik dari peserta kegiatan pelatihan; (2) Hasil penyusunan proposal sekolah dalam bentuk program unggulan SMK dalam mengembangkan pendidikan berbasis luas yang berorientasi pada kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan sekolahnya masing-masing; dan (3) Keterlaksanaan program pendidikan sekolah sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai sekolah. Keberhasilan kegiatan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya faktor pendukung yang ada. Meskipun ada juga faktor penghambat yang perlu diatasi pada saat pelaksanaan kegiatan pelatihan ini berlangsung. Adapun faktor-faktor pendukung kegiatan pelatihan ini antara lain: (1) Tim pemberi pelatihan (instruktur dan fasilitator) memiliki kemampuan yang memadai dalam menjelaskan tentang proses perencanaan strategik secara teoritis dan praktis; (2) Pada awalnya telah dilakukan brain storming dengan Kepala Sekolah SMK yang diundang untuk mengikuti kegiatan pelatihan guna membawa program kerja masing-masing sekolahnya; (3) Materi pelatihan sangat menarik dan praktis sehingga mudah dipahami dan sangat sesuai dengan kebutuhan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya; (4) Peserta merasa senang dan tidak merasa bosan karena materinya disampaikan tidak dalam bentuk ceramah tetapi diskusi kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada di dalam modul-modul tersebut; (5) Semangat yang tinggi dari peserta pelatihan untuk menerapkan materi yang disampaikan dalam penyusunan program kerja sekolahnya. Sedangkan faktor-faktor penghambat kegiatan pelatihan ini antara lain: (1) Waktu pelatihan yang sangat terbatas sehingga pembahasan tugas-tugas kelompok tidak dapat dilakukan secara mendalam dan tuntas; (2) Kesibukan peserta sehingga tidak dapat mengikuti pelatihan ini sampai selesai; (3) Beban tugas kepala sekolah yang cukup banyak sehingga ada beberapa kepala sekolah SMK di Kabupaten Bantul yang tidak dapat mengikuti pelatihan ini. Hal ini tentunya mempengaruhi tugas-tugas dalam penyusunan project proposal program kerja sekolahnya. Berhubung tidak adanya faktor penghambat yang cukup berarti terhadap pelaksanaan kegiatan ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan perencanaan program yang telah disusun. Berkaitan dengan keterbatasan waktu kegiatan 790 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta pelatihan ini, maka tim PPM berkenan untuk mengadakan kegiatan tindaklanjutnya. Hal ini juga didukung dari saran para peserta yang mengharapkan perlunya diadakan kegiatan pelatihan seperti ini, bahkan mereka mengharapkan waktu kegiatannya ditambah agar materi yang disampaikan dapat langsung diterapkan di sekolahnya masing-masing seusai kegiatan tersebut. Disamping itu besarnya nilai manfaat yang diperoleh dari kegiatan pelatihan ini memberikan suatu keinginan agar kegiatan tersebut dapat disosialisasikan dan diperluas kepada Kepala Sekolah SMK Negeri/Swasta yang lainnya di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kegiatan ini mendapat tanggapan yang sangat baik dan positif, sehingga kegiatan seperti ini dapat diadakan lagi untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana teknik penyusunan rencana strategis program sekolah. Dengan demikian diharapkan peserta dapat mensosialisasikan pentingnya perencanaan strategik dalam penyusunan program kerja sekolah yang berorientasi pada ketrampilan hidup (life skills) sesuai dengan pengembangan program Broad-Based Education. Hasil evaluasi dalam penyusunan program kerja sekolah menunjukkan bahwa sebagian besar peserta dapat menerapkan pentingnya proses perencanaan strategik dalam mengembangkan dan menyusun program kerja sekolah. Hal ini didukung oleh pengetahuan dasar yang sebagian besar peserta pernah mengikuti kegiatan dalam penyusunan program sekolah yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta. Namun dalam kegiatan workshop ini materi tentang proses perencanaan strategik lebih banyak disampaikan secara praktis dalam bentuk diskusi kelompok sehingga para peserta mendapatkan pengalamanan sendiri dalam menyusun tahapantahapan dalam proses perencanaan strategik yang diterapkan di sekolahnya (SMK). Disamping itu para peserta juga dapat melakukan analisis SWOT terhadap sekolahnya dan menyusun strategi terhadap hasil analisis SWOT tersebut. Semua materi tersebut disampaikan secara tutorial dan para peserta dibimbing dengan penuh perhatian, sehingga mereka merasa faham terhadap proses perencanaan strategik dalam penyusunan program sekolah. Hal ini yang menjadikan kegiatan ini memiliki nilai lebih bagi kepala sekolah-kepala sekolah yang sudah kenyang pengalaman dalam mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesimpulan Berdasarkan pelaksanaan kegiatan pelatihan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Peserta memiliki wawasan global di bidang teknologi dan isu-isu strategis dalam bidang pendidikan sebagai proses penyusunan dan pengembangan program sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya masing-masing; (2) Peserta mampu menyusun dan mengembangkan program sekolah berdasarkan perencanaan strategik yang berorientasi pada ketrampilan untuk hidup (life skills) berdasarkan pengembangan program Broad-Based Education sesuai dengan kebutuhan sekolahnya masing-masing; (3) Peserta mampu mengembangkan manajemen strategik dalam kapasitasnya sebagai seorang pimpinan di sekolahnya dalam melakukan implementasi dan pengendalian program kerja sekolah secara sinergis dan terpadu. 791 Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta Daftar Pustaka Agustinus Sri Wahyudi. 1996. Manajemen Strategik, Pengantar Proses Berfikir Strategik. Jakarta: Binarupa Aksara. Arcaro, J.S. 1995. Quality in Education. Delray Beach Florida: St. Lucie Press. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. 2002. Pedoman Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat oleh Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat PPPM Dirjen Dikti Depdiknas. Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Sumarno. 2000. Implementasi Otonomi Pendidikan: Peningkatan Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta. Tim Lembaga Pengabdian Kepada Masyaraklat UNY. 2002. Pedoman Pengelolaan Broad Based Untuk Pendidikan Menengah Kejuruan (Pola Dasar Pengelolaan Sekolah Menengah Kejuruan. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat UNY. 792