[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Gejolak Fitnah Sebuah fragmen kelam dalam kehidupan Rasulullah. Sebuah pembuktian, bahwa cinta dan ketaatan bisa meredam gejolak fitnah. Penulis : URIP WIDODO 0852-2385-2832 Bagian 1 Dimanakah Aisyah ? Malam telah melewati dua pertiganya ketika Rasulullah menginstruksikan pasukan kaum muslimin untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah. Semalam beristirahat dirasa cukup menghilangkan lelah setelah berperang melawan Bani Musthaliq. Perjalanan ke Madinah membutuhkan waktu sehari untuk sampai, sehingga Rasulullah memutuskan untuk berangkat subuh. Mendengar instruksi sang pemimpin, pasukan kaum muslimin pun berbenah membereskan barang masing-masing. Tidak terkecuali Aisyah, istri Rasulullah, yang saat itu ikut dalam perjalanan bersama Rasulullah. Segera Aisyah pun membereskan barang-barangnya dan memasukannya ke tandu tempat duduknya selama dalam perjalanan. Berbeda dengan yang lain, karena seorang perempuan, apalagi istri Rasulullah, maka untuk kenyamanan selama perjalanan serta untuk menjaganya dari panas dan angin, Aisyah pun menggunakan tandu yang diletakkan di atas unta. Malam itu, mendengar aba-aba untuk segera berangkat, Aisyah pun segera berbenah. Tapi karena merasa perutnya mulas dan merasa perlu buang hajat, maka Ummul Mu’minin Aisyah segera ke belakang untuk memenuhi keinginannya. Sementara itu, walaupun rasa lelah dan kantuk setelah berperang melawan Bani Musthaliq belum hilang, pasukan kaum muslimin segera menaati instruksi Rasulullah, selain juga memang mereka sudah ingin segera bertemu anak dan istri setelah berhari-hari mereka tinggalkan. Begitu juga petugas yang menuntun unta yang dinaiki Aisyah, setelah menaikkan tandu ke atas unta, mereka pun menuntun untanya mendekati Rasulullah, di depan pasukan. Menjelang fajar, pasukan kaum muslimin pun bergerak menuju Madinah. Wajah-wajah sumringah menghiasi muka pasukan kaum muslimin, untuk kesekian kalinya mereka berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang akan dilakukan kaum kufar. Mereka berbahagia, untuk kesekian kalinya bisa terlibat langsung jihad fi sabilillah, apalagi peperangan kali ini dipimpin langsung oleh Rasulullah. Kemenangan menggagalkan rencana pemberontakan Bani Musthaliq tidak terlepas dari kecerdikan Rasulullah mengatur strategi. Kemenangan di bulan Sya’ban tahun kelima setelah hijrah itu menambah keyakinan kaum muslimin bahwa Allah selalu menyertai mereka. Namun di sisi lain kemenangan tersebut menambah kedengkian kaum munafiqin, yang sebagian nya ikut dalam peperangan itu. Sejak kedatangan Rasulullah dan Muhajirin ke Madinah, kaum munafiqun yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubayy bin Salul merasa tersisihkan, mereka merasa keberadaan kaum muslimin dari Mekkah dan masuk Islamnya orang-orang Madinah, menghalangi eksistensi mereka di Madinah. Walaupun mereka turut pula masuk Islam, tapi itu hanya sekedar pura-pura untuk menyelamatkan diri saja. Hakikat dalam hati mereka, mereka tetap ingin Islam dan kaum muslimin tidak ada di Madinah, sehingga berbagai upaya selalu mereka lakukan untuk itu. Karena menjelang dzuhur dan matahari sangat terik, Rasulullah kemudian memerintahkan pasukannya untuk beristirahat. Merekapun kemudian menambatkan unta-unta mereka dan membuka perbekalan masing-masing. Rasulullah kemudian memanggil penuntun unta Aisyah dan memerintahkan untuk menurunkan Aisyah dari tandunya. Setelah dekat, Rasulullah pun memanggil Aisyah, “Ya humaira, istriku, kesini lah, kita bersantap bersama, tentu engkau lapar setelah perjalanan jauh ini.” Tidak ada sahutan dari dalam tandu. Begitupun, tidak ada yang keluar dari tandu. Setelah beberapa saat tidak ada yang keluar, Rasulullah bertanya kembali, “Aisyah, apakah engkau sakit?” Tetap tidak ada jawaban. “Ya Rasulullah, mungkin Ummul Mu’minin tertidur, sehingga tidak mendengar panggilan tuan,” kata penuntun unta yang memang masih di sana menunggu Aisyah keluar tandu. “Baiklah,” Rasulullah beranjak mendekati tandu, dan kemudian membuka tirai penutup tandu. Dan … Kalau saja di siang terik itu ada petir menggelegar, tentu akan membuat kaget Rasulullah. Tapi kekagetannya melihat tandu itu kosong, Aisyah tidak ada di tempat, melebihi kagetnya jika beliau mendengar petir di siang hari. Ya, tandu itu kosong, Aisyah entah ada dimana. “Innalillahi … Aisyah tidak ada di dalam tandu,” Rasulullah berkata ke penuntun unta. “Tidak ada bagaimana ya Rasulullah?” Tanya si penuntun unta keheranan. “Tandunya kosong, Aisyah tidak ada,” Rasulullah menegaskan “Masya Allah … lalu dimanakah Ummul Mu’minin? Padahal selama perjalanan sejak berangkat tadi malam kita tidak berhenti ya Rasulullah.” Ketegangan mewarnai roman muka mereka berdua. Heran, khawatir, dan takut menambah kekalutan mereka. Karena tempat beristirahat Rasulullah berada di tengah-tengah pasukan, maka kabar hilangnya Aisyah pun segera diketahui oleh seluruh pasukan kaum muslimin, termasuk kaum munafiqun yang ada di antara pasukan. Si penuntun unta tentu jadi pusat perhatian, berbagai pertanyaan dilontarkan kepadanya, tapi apa yang mau dijawab, dia sendiri merasa heran, karena sejak pasukan bergerak sampai ke tempat istirahat itu dia merasa tidak pernah berhenti sebentarpun. Kehebohan pun melanda pasukan kaum muslimin, hilangnya Aisyah tentu bukan sesuatu yang kecil. Aisyah adalah Ummul Mu’minin, ibunya orang-orang beriman. Walaupun bukan satu-satunya istri Rasulullah, tapi karena usianya yang paling muda dan yang dinikahi paling terakhir, tentu Aisyah punya tempat khusus di hati Rasulullah. Desas-desuspun tidak bisa dihindari mewarnai kabar hilangnya Aisyah. Terutama dikipasi oleh orang-orang munafiq yang selalu mencari celah untuk menggembosi kaum muslimin. Manusiawi kalau Rasulullah kaget sekaligus sedih mengetahui Aisyah tidak ada. Di mata Rasulullah terbayang kembali ketika Aisyah merajuk kepadanya untuk ikut dalam perjalanan itu, begitu juga istri-istri yang lain, semua berebut ingin ikut. Sehingga, demi keadilan, Rasulullah pun membuat undian, siapa yang menang maka dia yang akan diajak Rasulullah. dan ternyata Aisyah lah yang memenangi undian. Masih terbayang di mata Rasulullah, bagaimana senangnya Aisyah, mukanya yang kemerah-merahan semakin memerah karena girangnya. Dan sekarang, Aisyah istri yang paling dicintainya itu tidak ada dan tidak diketahui keberadaannya. Tapi bukan Rasulullah kalau kemudian terlarut dengan rasa kaget dan sedih itu. Beliaupun kemudian memerintahkan pasukan meneruskan istirahatnya, sambil menunggu mungkin ada informasi tentang keberadaan Aisyah. Setelah melaksanakan sholat dzuhur, Rasulullah pun melakukan musyawaran dengan beberapa sahabat. Dan keputusannya, mereka tetap menunggu sebelum meneruskan perjalanan pulang ke Madinah. Lalu, dimanakah Aisyah? ++ Bagian 2 Shafwan bin Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani Malam itu, saat Rasulullah menginstruksikan untuk melanjutkan perjalanan dan pasukan kaum muslimin berbenah, Aisyah pun yang tertidur di tandu, terbangun dan segera mempersiapkan diri. Tiba-tiba perutnya terasa mulas dan merasa ingin buang hajat. Aisyah pun keluar tandu dan berlari menuju tempat yang agak jauh, untuk buang hajat. Seusai melaksanakan hajat, Aisyah hendak kembali ke tandunya, namun saat meraba dadanya, ternyata kalungnya yang terbuat dari mutiara Zhafar tidak ada. Aisyah pun kembali untuk mencari kalungnya yang hilang, sehingga Aisyah kemudian tertahan karena pencarian itu. Sementara itu, orang-orang yang bertugas membawanya, mereka telah mengangkat tandu itu dan meletakkannya ke atas punggung unta karena mereka mengira Aisyah telah berada di dalamnya. Aisyah memang berperawakan kecil, apalagi seorang perempuan yang masih belia, mereka tidak merasakan beratnya tandu ketika mereka mengangkatnya ke atas unta, sehingga saat malam itu mereka menaikkan tandu ke atas unta, mereka tidak bisa membedakan tandu itu kosong atau berisi. Mereka tidak menyadari kalau Aisyah tidak ada di dalam tandu. Aisyah baru menemukan kalung itu setelah pasukan kaum muslimin berlalu. Ia mendatangi tempat unta dan tandu yang dinaikinya, namun sudah tidak ada seorang pun di sana. Aisyah segera berlari berusaha menyusul rombongan, namun jangankan menyusul, pandangannya pun sudah tidak bisa melihat pasukan kaum muslimin. Rasulullah dan pasukan sudah jauh meninggalkan Aisyah. Apa daya, langkah kecil seorang wanita belia dengan pakaian yang melilit tubuhnya, tidak mungkin dapat berlari kencang. Merasa tidak akan mampu berlari terus dan mustahil kalau dapat menyusul rombongan, Aisyah pun terduduk lemas, pandangannya kosong ke arah jalan yang dilalui Rasulullah. “Ya Allah … kenapa mereka meninggalkannku?” rintih Aisyah Aisyah pun kemudian kembali ke tempat semula beristirahat, dia bertekad akan menunggu dengan harapan mereka akan menyadari telah kehilangan dirinya dan kembali menjemputnya. Dinginnya udara saat itu ditambah kesepian yang mengelilinginya, akhirnya Aisyah pun tertidur. Di saat yang bersamaan, ternyata bukan hanya Aisyah yang tertinggal rombongan. Adalah Shafwan bin Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani yang karena satu keperluan dia harus berangkat paling akhir, dan menjelang fajar saat dia mau meneruskan perjalanan ketika melewati tempat Aisyah tertidur, dia melihat bayangan di balik pohon, yang setelah didekati, kaget tidak kepalang, ternyata bayangan hitam itu Aisyah, Ummul Mu’minin yang sedang tidur. “Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raji’uun,” reflek Shafwan mengucapkan kalimat istirja’ Mendengar itu, Aisyah pun terbangun. Ada rasa kaget sekaligus senang ada orang lain di sana, dan ternyata orang yang dikenalnya. Shafwan beberapa kali pernah berkunjung ke rumah Rasulullah, sehingga Aisyah sudah tidak asing dengannya. Aisyah pun menceritakan keadaannya sampai tertidur di sana. Melihat Aisyah menangis sambal bercerita, Shafwan tidak berkata apa-apa hanya terus mengucapkan kalimat istirja’. Mendengar cerita Aisyah dan merasa kasihan melihat kondisi Aisyah, Shafwan segera menuntun untanya dan menurunkannya dan meminta Aisyah untuk menaikinya. Kemudian mereka segera berangkat dan berharap bisa menyusul pasukan kaum muslimin. Selama perjalanan mereka tidak berkata-kata, Shafwan hanya menuntun untanya dengan segera, begitupun dengan Aisyah, kondisi yang belum pulih dari rasa takut selama menunggu sampai Shafwan tiba, membuatnya hanya bisa duduk termenung di atas unta, apalagi cuaca siang di bulan Sya’ban itu, teriknya sangat menyengat. Tak terbayangkan tersiksanya Aisyah, melakukan perjalanan jarak jauh di siang terik dengan tiada teman bicara. Sementara Shafwan menyadari etika Islam yang mengharuskannya menjaga jarak dengan perempuan yang bukan muhrim, apalagi ini Aisyah, istri Rasulullah, Ummul Mu’minin. Hening menyertai perjalanan mereka berdua. ++ Bagian 3 Haruskah Menceraikan Aisyah? Beberapa saat setelah matahari tergelincir melewati batas siang hari, mereka tiba di tempat pasukan beristirahat. Alangkah gembiranya Shafwan, upayanya tidak sia-sia ditambah kekhawatiran dan rasa kasihannya kepada Aisyah hilang. Shafwan segera membawa untanya ke tempat Rasulullah beristirahat. Sementara itu pasukan kaum muslimin masih memperbincangkan kabar hilangnya Ummul Mu’minin, seolah kabar ini hanya satu-satunya tema pembicaraan mereka, baik yang sedang menyiapkan makanan, yang sedang berjaga di pos, yang sedang duduk-duduk beristirahat, dimanapun. Segala kemungkinan penyebab hilangnya Aisyah menambah bunga cerita dalam pembicaraan mereka. Sehingga mereka bertambah kaget ketika melihat Shafwan tiba dengan menuntun unta yang dinaiki Aisyah. Mereka pun terdiam dan memperhatikan Shafwan ketika melewati mereka. Pandangan mereka seolah bertanya, apa yang terjadi dengan Shafwan dan Aisyah. Shafwan yang tidak sadar menjadi pusat perhatian terus berjalan mendekati Rasulullah. Sesampainya di tempat istirahat Rasulullah, Shafwan menurunkan untanya dan segera menghadap Rasulullah. Sementara Aisyah yang merasa lelah dan sakit karena selama perjalanan tidak bertandu, langsung masuk ke tandunya tanpa berbicara sepatah katapun pada Rasulullah. Rasulullah pun memahami kondisi Aisyah, beliau hanya memanggil Shafwan dan minta keterangan apa yang telah terjadi. Shafwan pun menceritakan apa yang dialaminya, sejak menemukan Aisyah tertidur di bawah pohon sampai tiba di tempat beristirahat pasukan. “Apakah Aisyah tidak menceritakan kepadamu, kenapa sampai tertinggal pasukan?” Tanya Rasulullah kepada Shafwan “Tidak ya Rasulullah, Ummul Mu’minin hanya berkata bahwa dia ketinggalan rombongan, hambapun tidak berani bertanya, Ummul Mu’minin kelihatan sakit dan lelah sekali, sehingga hamba tidak tega untuk bertanya kepadanya.” Jawab Shafwan. Mendengar keterangan dari Shafwan, Rasulullah hanya terdiam. Karena khawatir Aisyah sakit dan bertambah parah sakitnya, Rasulullah pun menginstruksikan pasukan untuk segera bergerak melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah. Selama perjalanan tidak terdengar Aisyah bersuara, sehingga Rasulullah pun tidak mengajaknya berbicara. Rasulullah memaklumi sikap Aisyah seperti itu, tertinggal sendirian selama setengah hari, tentu membuat kondisi fisik dan mental terganggu. Apalagi selama perjalanan menyusul pasukan, Aisyah tidak bertandu padahal cuaca hari itu sangat terik. Rasulullah mempercepat perjalanan, seolah tidak sabar untuk segera sampai di Madinah. Menjelang maghrib, Rasulullah dan pasukan sampai di Madinah. Setelah memberikan arahan dan membubarkan pasukan, Rasulullah pun menggandeng Aisyah untuk membawanya ke rumah, dan Aisyah tetap diam membisu seolah bibir Aisyah terkunci. Sejak memasuki rumah, Aisyah menjadi pendiam dan tidak pernah keluar rumah karena sakit. Ternyata sampainya Ummul Mu’minin ke rumah bukan akhir dari penderitaannya. Tanpa sepengetahuan Rasulullah dan dirinya. Di luar sana telah berhembus dengan deras dan menyebar ke seantero kota, kabar bohong bahwa telah terjadi sesuatu yang memalukan antara Shafwan dan Aisyah. Kaum munafiqun yang selama ini selalu mencari cara untuk menjatuhkan Islam dan Rasulullah, seolah mendapat peluang emas. Merekapun, dipimpin dedengkot mereka Abdullah bin Ubay bin Salul, tidak menyia-nyiakan peristiwa Shafwan dengan Aisyah ini. “Berduaannya seorang wanita muda yang cantik dengan seorang pemuda tampan, dalam waktu yang lama, sangat memungkinkan terjadi sesuatu. Momen ini harus kita manfaatkan,” Abdullah bin Ubay bin Salul memulai pembicaraan. “Bagaimana kita harus memanfaatkannya ya Ibnu Ubay?” Tanya Misthah bin Utsatsah minta penjelasan. “Kita buat cerita. Pertemuan seorang wanita dengan seorang lelaki yang sama-sama muda, tidak ada lagi alasan selain asmara,” Abdullah bin Ubay menambahkan. “Asmara bagaimana maksudmu?” sekarang Hasan bin Tsabit yang penasaran. “Ya asmara. Cinta. Kita buat cerita, bahwa mereka berdua memang sengaja bertemu karena mereka saling mencinta,” Abdullah bin Ubay lebih detail lagi. “Anggap saja mereka melakukan perselingkuhan, maksudmu?” Hamnah binti Jahsy kali ini menimpali. “Naaahh ... itu. Kamu sepertinya lebih cerdas dari dua kawanmu itu.” Hamnah binti Jahsy hanya tersenyum mendengarnya, sementara Hasan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah hanya melirikkan matanya, kelihatan tidak suka dengan komentar Abdullah bin Ubay. Abdullah bin Ubay pun melanjutkan rencana busuknya. “Kita buat cerita, bahwa Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan. Tugas kalian bertiga adalah menyebarkan cerita ini ke semua orang yang ada di Madinah. Kalian harus membuat semua orang mempercayai cerita ini. Kalian bertiga harus menjadikan cerita ini jadi berita” Misthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy pun mengangguk tanda setuju dan mereka berpikir, ide pimpinan mereka sangat tepat. Cerita pun beredar, bahwa telah terjadi perselingkuhan antara Aisyah dengan Shafwan. Angin fitnah pun menerobos masuk ke rumah-rumah penduduk Madinah. Sampai kemudian sampai juga ke telinga Rasulullah. Dan Rasulullah yang belum mendapat penjelasan dari Aisyah, mendengar isu yang berhembus itu hanya terdiam, antara percaya dan tidak percaya. Percaya, karena kenyataannya memang Aisyah hanya berdua dengan Shafwan untuk waktu yang tidak sebentar. Tidak percaya, karena beliau kenal betul siapa itu Shafwan, apalagi terhadap Aisyah, istri sendiri, merasa tidak mungkin apa yang diisukan itu terjadi. Untuk beberapa hari beliaupun selalu menyendiri, menunggu wahyu dari Allah swt yang akan memberikan penjelasan yang sebenarnya. Suatu malam, karena merasa harus buang hajat, Aisyah meminta Ummu Misthah menemaninya ke tempat buang hajat. Saat itu masyarkat Madinah belum membuat tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga kalau seseorang ingin buang hajat, ia harus berjalan ke Al-Manash, yaitu tempat buang hajat di padang pasir, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Saat Aisyah selesai buang hajat dan kembali ke rumah, tiba-tiba Ummu Misthah mencela dari balik kerudungnya. Ia berkata, “Celakalah Misthah!” Mendengar celaan itu sontak Aisyah pun memperingatinya, “Sungguh buruk perkataanmu, apakah engkau mencela seorang lelaki yang telah mengikuti peperangan Badar?” Ummu Misthah menjawab, “Wahai Ummul Mu’minin, apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakannya tentang dirimu?”. “Memang apa yang dikatakannya?” Selidik Aisyah. Kemudian Ummu Misthah menceritakan fitnah yang beredar tentang Aisyah dengan Shafwan, mendengar cerita itu Aisyah pun kaget. “Betulkah itu Ummu Misthah?” Tanya Aisyah tidak percaya. “Betul ya Ummul Mu’minin, kabar itu menjadi pembicaraan orang setiap hari.” Seketika bergejolak hati Aisyah mendengarnya. Rasa sedih, marah, malu bercampur bergelora dalam dirinya. Sakit Aisyah yang dialami sejak kepulangannya menjadi semakin parah. Dalam keadaan sakit yang bertambah parah, Aisyah hanya bisa menangis sepanjang hari. Semakin membenamkan diri dalam selimut kesedihan. Semakin menambah enggan nya untuk keluar rumah. Sebenarnya sejak beberapa hari dari kepulangannya, Aisyah memang sudah merasakan sesuatu yang aneh, terutama dari sikap Rasulullah, suaminya. Aisyah tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah ketika menemuinya, tidak seperti biasa. Beberapa kali Rasulullah menemuinya hanya mengatakan, “Bagaimana kabarmu?” tidak lebih, itupun dengan roman muka yang dingin. Padahal, jangankan sedang sakit, kalau Rasulullah berkunjung ke rumah Aisyah, Rasulullah menemuinya dengan wajah ceria, selalu keluar pujian akan kecantikan wajah Aisyah, seperti ‘ya humaira’. Tidak jarang Rasulullah mengajaknya bercanda, seperti mengajaknya balap lari. “Aku telah merasakan kecuriagaan saat aku sakit, aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah yang biasa kuterima saat aku sakit,” demikian curhat Aisyah kepada Ummu Misthah. “Inilah yang membuatku curiga.” Di tempat lain, semenjak tuduhan terhadap Aisyah tersiar, kegalauan melanda Rasulullah, beliaupun merasa enggan untuk menemui Aisyah. Hanya sesekali beliau menemui Aisyah. Dan sudah sebulan lamanya wahyu tentang peristiwa yang menimpa istrinya itu tidak turun. Karena wahyu tak kunjung turun Rasulullah pun bimbang dalam mengambil keputusan untuk masalah ini, apakah harus mempercayai kabar yang beredar atau tidak. Kalau kabar itu benar, haruskah dia menceraikan Aisyah? ++ Bagian 4 Abu Bakar Marah Di hari berikutnya ketika Rasulullah menemui Aisyah, Aisyah pun berkata, “Ya Rasulullah, suamiku, telah sampai kepadaku kabar apa yang orang-orang perbincangkan. Akupun merasakan adanya perubahan sikapmu kepadaku. Oleh karenanya, ijinkan aku pulang menemui kedua orang tuaku. Aku ingin beristirahat di sana sekaligus ingin mendengar berita yang sebenarnya dari kedua orang tuaku.” Tidak ingin menambah sedih Aisyah dan berharap sakit Aisyah terobati, Rasulullah pun mengijinkan Aisyah pulang ke rumah orang tuanya. Setelah Rasulullah mengijinkan, Aisyah pun kemudian pergi ke rumah orang tuanya, Aisyah langsung menemui ibunya ketika sampai. “Ya … ibunda, telah hancur hatiku, terbakar telingaku, mendengar orang-orang membicarakan sesuatu yang memalukan,” bersimpuh Aisyah sambil mencurahkan isi hatinya. Airmata Aisyah tumpah di pangkuan ibunya. “Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah jarang sekali wanita cantik yang dicintai suaminya dan dimadu melainkan madu-madunya itu pasti banyak menggunjing dirinya.” hibur ibunya Aisyah sambil memeluk kepala Aisyah yang bersimpuh di pangkuannya. Malam itu juga Aisyah menangis hingga pagi hari. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Aisyah tidak bisa tidur dan terus menagis hingga pagi, seolah ingin menghabiskan stok air matanya. Abu Bakar, ayah Aisyah tak kalah sedih melihat keadaan anaknya yang sangat menderita. Abu Bakar adalah sahabat karib Rasulullah, sebelum menjadi mertua Rasulullah. Abu Bakar lah yang menemani Rasulullah ketika dikejar-kejar kafirin Quraisy saat hijrah ke Madinah. Tapi dalam kondisi seperti ini, Abu Bakar pun tak berdaya menghadapi fitnah keji yang melanda anaknya. Kemarahannya muncul kepada orang-orang yang telah menghembuskan api fitnah itu. Maka, tatkala mengetahui salah satu penyebar berita bohong itu adalah Misthah bin Utsatsah, kemarahannya meninggi. Abu Bakar terkenal orang yang berhati lembut, dia tidak bisa melihat orang lain menderita, oleh karenanya di masa awal-awal dakwah Rasulullah Abu Bakar banyak membebaskan budak yang disiksa majikannya karena masuk Islam. Sebutlah Bilal bin Rabbah, Yasir sekaligus istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar. Tapi kali ini, mengetahui Misthah bin Utsatsah jadi salah satu penghembus angin fitnah, kemarahannya muncul. Bagaimana tidak, Misthah adalah sepupu jauhnya yang terbilang miskin, sehingga setiap bulannya dibantu secara ekonomi oleh Abu Bakar. Mendengar orang yang selalu dibantunya itu justru turut andil menyebarkan fitnah, hati siapa yang tidak akan marah? Abu Bakar kemudian bersumpah, bahwa dia tidak akan membantu Misthah lagi. Abu Bakar bersumpah akan menghentikan bantuan ekonominya kepada Misthah. Walau Allah kemudian menegur Abu Bakar karena keputusannya itu. ++ Bagian 5 Jawaban Aisyah Dalam kegalauannya menyikapi permasalahan istrinya, Rasulullah pun kemudian memanggil beberapa sahabatnya untuk dimintai pendapat tentang masalah perceraiannya dengan Aisyah. Haruskah dia menceraikan Aisyah atau tidak. Usamah bin Zaid mengsulkan agar Rasulullah menangguhkan keinginannya untuk bercerai, karena menurutnya Aisyah bersih dari tuduhan keji semacam itu serta begitu besarnya cinta Aisyah kepada Rasulullah. Usamah bin Zaid mengemukakan pendapatnya, “Wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui dari keluarga engkau, melainkan kebaikan.” Sedangkan Ali bin Abi Thalib ketika dimintai pendapatnya ia berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau dibuat sempit karenanya, masih banyak wanita-wanita lain selain dia. Tanyakan saja kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.” Rasulullah pun memanggil Barirah, beliau bertanya, “Wahai Barirah! Apakah engkau melihat ada sesuatu yang meragukan pada diri Aisyah?” “Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melihat pada diri Ummul Mu’minin sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan roti milik keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.” Jawab Barirah. Setelah meminta pendapat dari dua orang sahabatnya tadi serta keterangan dari Barirah budaknya Aisyah, Rasulullah memanggil kaum muslimin kemudian berdiri di atas mimbar dan menyeru kepada mereka, meminta pembelaan dari tuduhan orang-orang munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay bin Salul, “Wahai kaum muslimin, siapakah yang akan memberiku pengakuan dari seorang lelaki (maksudnya Abdullah bin Ubay bin Salul) yang telah menyakiti keluargaku. Sungguh demi Allah, aku tidaklah mengetahui sesuatu pun dari keluargaku kecuali kebaikan. Mereka telah menceritakan tentang seorang lelaki (maksudnya Shafwan bin Mu’atthal Assulami) yang aku tidak mengetahui dari dirinya kecuali kebaikan. Dan tidaklah ada orang yang menemui isteriku kecuali dia bersamaku.” Mendengar penjelasan Rasulullah tersebut, kaum muslimin mulai sadar bahwa kabar tentang perselingkuhan Aisyah itu hanya buah akal busuk dari kaum munafiq. Dari kerumunan kaum muslimin yang mendengarkan penjelasan Rasulullah, berdirilah Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari dan berkata, “Aku akan membelamu wahai Rasulullah, jika orang yang menyebarkan fitnah itu berasal dari Bani Aus, maka akan kami penggal kepalanya, jika orang itu berasal dari Bani Khazraj, maka silahkan perintahkan kami untuk melakukan tindakan terhadapnya.” Mendengar perkataan Sa’ad itu, terjadi keributan di tengah kerumunan kaum muslimin. Tiba-tiba Sa’ad bin Ubadah berkata setengah berteriak ditujukan kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya Sa’ad, dan tidak akan mampu untuk membunuhnya.” Sa’ad bin Ubadah adalah pimpinan dari Bani Khazraj, merasa tidak enak kalau nama baninya disebut-sebut oleh Sa’ad bin Mu’adz. Karakter Mu’adz memang keras, walau Islam telah memolesnya menjadi seorang yang sholeh, tapi kepanatikan terhadap baninya masih kuat. Melihat Sa’ad bin Ubadah membentak Sa’ad bin Mu’adz, yang merupakan pamannya, Usaid bin Hudhair berkata tak kalah keras, “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya karena kau seorang munafik yangmemperdebatkan orang-orang munafik.” Keadaan pun semakin memanas antara Bani Aus dan Khazraj, hampir terjadi baku hantam di antara kedua bani tersebut, mereka seperti ingin saling bunuh-membunuh. Rasulullah yang masih berada di atas mimbar kemudian menenangkan mereka, sampai akhirnya mereka pun terdiam dan suasana tenang kembali. Setelah memberi penjelasan kepada kaum muslimin, kegalauan masih menyelimuti Rasulullah. Bagaimanapun, wahyu yang dinantikannya belum juga turun. Dan firman Allah adalah sumber kebenaran mutlak, termasuk untuk masalah yang sedang dihadapinya sekarang. Upaya terakhir untuk mencari kebenaran sebelum wahyu turun, Rasulullah menemui Aisyah di rumah Abu Bakar. Sementara itu Aisyah yang berada di rumah orang tuanya belum berhenti dari tangis kesedihannya. Kesedihan yang berganda, setelah dituduh berbuat yang memalukan sekarang suaminya pun, Rasulullah bersikap dingin seolah mempercayai tuduhan itu. Malam itu, saat Rasulullah menemuinya, tangisnya semakin menjadi, seolah ingin menghabiskan stok airmatanya, sampai-sampai Abu Bakar dan istrinya mengira Aisyah telah hancur hatinya. Merekapun terus menghibur Aisyah. Rasulullah kemudian masuk menemui mereka. Setelah mengucapkan salam lantas Rasulullah pun duduk di samping Aisyah, padahal selama satu bulan Rasulullah tidak pernah duduk di samping Aisyah. Setelah mengucapkan tasyahud, Rasulullah bersabda, “Ammaa Ba’du, wahai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita begini dan begini, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah Ta’ala menjauhkanmu dari tuduhan itu. Tapi, bika kamu melakukan dosa tersebut, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena, seorang hamba yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.” Mendengar Rasulullah mengatakan itu, tangis Aisyah semakin menjadi, bertambah deras, air mata semakin banyak yang tumpah. Aisyah pun berkata kepada ayahnya, “ya … ayahanda, tolonglah anakmu ini, jawablah apa yang sudah dikatakan Rasulullah itu.” “Aku tidak tahu, demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada Rasulullah,” Abu Bakar hanya berkata singkat. Aisyah kemudian berpaling pada ibunya. “Ya ibunda, jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah,” pinta Aisyah pada ibunya. “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah.” jawab ibunya. Mengetahui kedua orang tuanya tidak dapat menjawab pertanyaan Rasulullah, Aisyah kemudian berkata ditujukan kepada Rasulullah dan kepada orang tuanya dengan mengutip ayat 18 surat Yusuf, “Aku adalah seorang gadis yang masih kecil usianya, aku tidak banyak hafal ayat Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga engkau merasa mantap dan percaya terhadap hal itu. Dan bila aku bicara kepada kalian, ‘Sesungguhnya aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui bila aku jauh dari perbuatan tersebut, maka kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika aku mengaku kepada kalian dengan suatu perkara, sedang Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian pasti akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf (maksudnya Nabi Ayub): “Sabar itu adalah baik dan Allah adalah tempat meminta pertolongan terhadap apa yang kalian tuduhkan”.” Aisyah kemudian berbaring di atas ranjangnya, Aisyah yakin Allah akan segera memberinya pertolongan karena menyadari bahwa dia memang tidak melakukan apa yang orang-orang tuduhkan. Seperti yang diucapkan Rasulullah, Aisyah yakin Allah akan menjauhkannya karena memang dia jauh dari perbuatan tersebut. Setelah memberikan jawaban kepada Rasulullah, hati Aisyah menjadi tenang. ++ Bagian 6 Kabar Gembira Setelah sebulan Aisyah menderita, menanggung kesedihan dan rasa malu. Akhirnya, Allah Ta’ala menurunkan sepuluh ayat dari surat An-Nuur, yaitu ayat 11 sampai ayat 20, perihal berita dusta ini, selain untuk mengklarifikasi tuduhan terhadap Aisyah, ayat inipun menginformasikan bahwa penyebar fitnah tersebut adalah orang-orang di sekitar mereka, yang bergaul setiap hari dengan mereka. Dengan turunnya ayat ini, maka permasalahan ini pun menjadi jelas. Rasulullah dan Aisyah pun merasa lega. Begitu juga yang dirasakan oleh kaum Muslimin, namun mereka merasa marah terhadap orang-orang yang ikut andil dalam mencoreng nama baik Aisyah. Salah satunya Abu Bakar yang marah kepada keponakannya sendiri Misthah yang turut menyebarkan fitnah terhadap Aisyah, padahal Abu Bakar lah yang menanggung biaya hidup Misthah, sampai-sampai Abu Bakar bersumpah untuk menghentikan bantuannya, tetapi kemudian ditegur oleh Allah Ta’ala melalui surat An-Nuur ayat 22. Mendapatkan berita gembiran melalui wahyu Allah Ta’ala, Rasulullah pun tersenyum dan kalimat yang pertama kali beliau ucapkan ketika itu adalah, “Kabar gembira wahai Aisyah! Allah Ta’ala telah menjauhkanmu dari perbuatan tersebut. Allah Ta’ala telah mengampunimu” Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, ibunya Aisyah berkata, “Berdirilah anakku, hampiri suamimu, berbahagialah, semua kebohongan tentangmu telah terjawab”. “Demi Allah, aku tidak akan berdiri dan menghampirinya dan aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah Ta’ala. Karena Dia-lah yang telah menurunkan wahyu yang menjelaskan akan jauhnya diriku dari hal itu,” Jawab Aisyah. “Allah telah memberi penjelasan bahwa aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan.” Lanjut Aisyah. Aisyah tidak mengira kalau Allah menurunkan wahyu, khusus untuk menyelesaikan permasalahan dirinya. Menerima firman Allah tersebut yang disampaikan suaminya, Rasulullah, Aisyah merasa lepas dari semua beban. Wajahnya kembali berseri kemerah-merahan. Begitu juga Abu Bakar dan seluruh kaum muslimin, merasa berbahagia mendapat kabar gembira tersebut. --== ++ T A M A T ++ ==-- Cerita di atas terinspirasi oleh Hadits yang diriwayatkan Bukhari, sbb Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Hushain dari Abu Wa'il ia berkata; telah menceritakan kepadaku Masruq bin Al Ajda' ia berkata; telah menceritakan kepadaku Ummu Ruman ibunya 'Aisyah radliallahu 'anhuma, ia berkata; "Saat aku dan 'Aisyah duduk, tiba-tiba datang seorang wanita Anshar seraya berkata; "Semoga Allah berbuat terhadap fulan dan pasti berbuat." Maka Ummu Ruman bertanya; "Ada apa sebenarnya?". Wanita itu berkata; "Putraku termasuk orang yang menyebarkan berita ini." 'Aisyah bertanya; "Berita apa itu?". Wanita itu menjawab; "Begini dan begini". 'Aisyah bertanya; "Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mendengarnya?". Dia menjawab; "Ya". 'Aisyah bertanya lagi; "Dan Abu Bakr?". Dia menjawab; "Ya". Maka 'Aisyah jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri melainkan setelah menderita demam yang sangat tinggi. Aku lalu menyelimutinya dengan pakainnya dan menutupinya hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang dan bertanya: "Ada apa dengannya?". Aku jawab; "Wahai Rasulullah, dia terserang demam." Beliau bersabda: "Ini pasti karena berita bohong yang engkau ceritakan." Ummu Ruman berkata; "Ya benar." Kemudian 'Aisyah duduk dan berkata; "Demi Allah, seandainya aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku dan seandainya aku katakan tidak, maka kalian akan menuduhku, permisalanku dengan kalian seperti Ya'qub 'alaihis salam dengan anak-anaknya ketika dia berkata: "Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." QS Yusuf; 18. Ummu Ruman berkata; "Lalu beliau berlalu tnpa mengucapkan sepatah katapun. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan bukti sucinya diri 'Aisyah dari segala tuduhan. Saat itu 'Aisyah berkata; "(Segala puji bagi Allah) dan ini karena Allah Yang Maha Terpuji dan seseorang tidak layak mendapat pujian dan tidak pula engkau." --- Berikut Surat An-Nuur ayat 11 sampai dengan ayat 20, yang menjelaskan permasalahan yang sebenarnya dari fitnah yang menimpa Aisyah. 11. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” 12. “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu 'minin dan mu 'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." 13. “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” 14. “Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.” 15. “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” 16. “Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." 17. “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” 18. “dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 19. “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” 20. “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” Sementar teguran kepada Abu Bakar, Allah sampaikan dalam ayat 22, 22. “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema 'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” eBook ini boleh disebarluaskan lagi tanpa mengubah isinya. Yang mau diskusi ttg buku dan kepenulisan, silahkan bisa chat di WA atau Telegram dgn nomor 0852-2385-2832