[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
MEMAHAMI TRADISI HARTA BUANG DALAM KONTEKS TEORI PERTUKARAN Ignasius S. S. Refo Abstrak Tulisan ini bertujuan menjelaskan tradisi harta buang yang berlaku di masyarakat pedesaan Tanimbar dan Kei di Maluku dalam konteks teori pertukaran sosial. Kata “memahami” dalam judul tulisan ini menunjuk pada suatu usaha untuk menemukan pengertian, konsep dan pemahaman. Usaha ini bukan sesuatu yang mudah karena diperlukan sebuah kerja keras untuk menelusuri dimensi kultural dari tradisi harta buang. Selain itu, usaha ini pun harus menjangkau pemahaman tentang teori pertukaran sosial dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Kata Kunci: Tradisi, harta buang dan pertukaran sosial. 1. Pendahuluan Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu masyarakat. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi dan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (seringkali) lisan. Di Kepulauan Tanim dan Kei, ada sebuah tradisi yang disebut tradisi harta buang. Secara singkat tradisi mengatur hubungan antara pria dan wanita dimana salah satu pihak merasa dirugikan dalam hubungan tersebut, karena tidak terjadi pernikahan atau pula bila terjadi perceraian. Tulisan ini hendak menjelaskan tradisi harta buang dalam hubungan dengan teori pertukaran sosial. Secara lebih jelas tulisan ini hendak menjelaskan secara mendalam sistim resiprositas yang terjadi dalam tradisi harta buang. Karena itu tulisan ini akan terbagi dalam tiga bagian. Pertama-tama akan dijelaskan tentang tradisi harta buang itu sendiri. Selanjutnya, akan dijelaskan pula teori pertukaran sosial dan sistim pertukaran yang terjadi dalam masyarakat Tanimbar dan Kei. Akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan beberapa kesimpulan tentang beberapa pemikiran tentang tradisi harta buang dalam hubungan dengan teori pertukaran sosial. 2. Memahami tradisi harta buang Masyarakat kepulauan Kei dan Tanimbar telah mempraktekkan sejak leluhur sebuah tradisi yang secara popular disebut harta buang. Tradisi ini berisi sanksi adat, yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan kesalahan terhadap pihak yang dirugikan dalam persoalan perceraian, perzinahan, perselingkuhan dan hubungan bebas di luar nikah yang berujung pada pemutusan hubungan atau tidak adanya perkawinan. Dalam hubungan dengan persoalan yang terakhir, jika sepasang pria dan wanita telah sampai pada hubungan seksual, tetapi hubungan itu tidak berlanjut pada perkawinan, maka pihak yang bersalah harus menyerahkan sejumlah harta kepada pihak lainnya. Secara umum, persoalan ini tidak hanya melibatkan dua pribadi itu atau keluarga mereka, tetapi persoalan ini biasanya dibawa ke sidang adat (duduk adat), yang dihadiri oleh keluarga besar dari dua pribadi yang berselisih beserta para pemangku adat setempat. Dalam masyarakat Kei, tradisi harta buang belum terlembaga dalam peraturan bersama para kepala ohoi (kepala desa), sehingga segala putusan menyangkut persoalan ini masih ditentukan oleh dinamika sidang adat di masingmasing desa. Demikian halnya realisasi pembayaran harta buang masih mengikuti kebiasan lama dengan menggunakan benda-benda adat dengan nilai nominal yang disesuaikan dengan keputusan sidang adat. Meskipun demikian, dewasa ini, sering terjadi bahwa pembayaran harta buang dibarengi pula dengan sejumlah uang, yang disesuaikan dengan putusan sidang adat. Berbeda dengan masyarakat Kei, di dalam masyarakat Tanimbar, sejak tahun 1991, telah dibuat keputusan bersama latupati (kepala desa) tentang berbagai persoalan seputar harta buang. Meskipun demikian, penerapan sanksi harta buang tidak berbeda jauh dengan apa yang di praktekkan dalam masyarakat Kei, yakni penerapan sanksi harta buang disesuaikan dengan adat istiadat masingmasing desa. Namun, semenjak Maluku Tenggara Barat menjadi kabupaten yang terpisah dari Maluku Tenggara, ada sejumlah kecamatan yang telah membuat penetapan baru terkait tradisi ini. Misalnya, di Kecamatan Selaru, telah diberlakukan Keputusan Latupati No 189/01/IV/LKS/ 2005 tentang “pelaksanaan peraturan-peraturan adat dalam perceraian, perzinahan dan lain-lain dengan sanksi hukum adat”. Dalam keputusan tersebut, tradisi harta buang mengalami perluasan pemaknaan. Misalnya, sebuah perkawinan yang dinyatakan cerai harus diputuskan, baik oleh sidang adat maupun oleh lembaga pengadilan pemerintah (pasal 16, ayat 1). Adapun alasan terjadinya perceraian harus didasarkan pada, antara lain: 1) salah satu pasangan meninggal; 2) perzinahan; 3) tidak adanya keturunan yang dibuktikan dengan visum dokter; 4) salah satu pihak pergi selama dua tahun berturut-turut tanpa ada surat menyurat dan jaminan; 5) salah satu pihak melakukan ancaman kekerasan; 6) penghinaan dan fitnah di depan umum atau publik; dan 7) pencurian. Sebagaimana dijelaskan di atas, tradisi harta buang tidak hanya mencakup perceraian, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan, yang menjadi relevan saat ini adalah hubungan seksual yang berakibat kehamilan, tetapi tidak berujung pada perkawinan. Artinya, jika terjadi kehamilan dan pihak laki-laki tidak mau mempertanggung-jawabkan perbuatannya dalam bentuk perkawinan, maka keluarganya harus memberikan harta buang kepada pihak keluarga perempuan. Dalam konteks ini harta buang sering disebut sebagai harta perempuan. Di dalam masyarakat Tanimbar, harta perempuan ini terdiri atas harta pakai (batbelin) dan harta buang. Harta pakai harus diberikan karena mereka telah melakukan hubungan seksual dan harta buang diberikan karena pihak laki-laki tidak mengambilnya sebagai istri atau seolah-olah membuangnya. Di dalam masyarakat Tanimbar, perkembangan yang terjadi membuat sehingga pembayaran harta buang ini tidak lagi menggunakan benda-benda adat, tetapi telah diganti dengan sejumlah uang. Misalnya, di Kecamatan Selaru, harta pakai yang harus dibayarkan berjumlah Rp. 1, 8 juta dan harta buang yang harus dibayar berjumlah Rp. 10 juta. Di Kecamatan lain di Tanimbar, harta pakai yang umum dibayar berjumlah Rp. 4 juta dan harta buang yang harus dibayar berjumlah Rp. 4 juta pula. Jumlah nominal ini adalah patokan umum, yang tentu saja perlu disesuaikan pula dengan hasil putusan sidang adat desa. Tradisi harta buang adalah warisan tradisi leluhur masyarakat Kei dan Tanimbar. Tradisi ini muncul dan dihidupi, karena sebuah nilai tertentu. Nilai ini mempengaruhi perilaku manusianya dan masyarakatnya, serta berfungsi sebagai ukuran dalam mengevaluasi masyarakat yang menganutnya. Nilai sosial kemudian terumuskan dalam norma yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi. Nilai tentang sopan-santun dalam pergaulan antara pemuda dan pemudi melahirkan norma yang melarang dan memberi sanksi terhadap hubungan seksual di luar pernikahan. Dengan demikian norma di balik tradisi harta buang sesungguhnya menjelaskan bahwa perzinahan tidak sesuai dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat dan sanksi harta buang adalah konsekwensi atas pelanggaran norma tersebut. Salah satu hal yang menarik dari penerapan sanksi harta buang adalah tanggung jawab laki-laki dan keluarganya. Jika hubungan seksual telah terjadi, maka adalah sebuah kewajiban kalau laki-laki mengambil perempuan yang dengannya ia melakukan hubungan seksual itu sebagai istri. Penolakan atas hubungan itu dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggungjawab. Pemulihan atas anggapan itu dilalui laki-laki dan keluargnya dengan membayar harta buang. Mungkinkah tindakan ini dilatarbelakangi anggapan superioritas pria atas subordinasi perempuan? Setidak-tidaknya, ada anggapan bahwa jika terjadi hubungan seksual maka perempuan dan keluarganya adalah pihak yang dirugikan. Di sini patut diduga bahwa ide tentang keperawanan dianggap penting oleh masyarakat Tanimbar dan Kei, sehingga laki-laki harus bertanggung-jawab atas hilangnya keperawanan seorang perempuan. Selain itu, ide yang yang dapat diangkat adalah hubungan seksual sebagai dasar dari sebuah perkawinan. Jika laki-laki dan perempuan telah mengadakan hubungan seksual, mereka secara informal telah menjadi suami–istri. Itulah sebabnya pihak pria harus bertanggungjawab dengan memberikan harta buang kepada pihak perempuan. Sampai di sini pembahasan akan berkembang ke arah harta buang sebagai sebuah pemberian. Masyarakat tradisional Tanimbar dan Kei hidup dalam sebuah sistim tukar-menukar, seturut penegasan Claude Levi-Strauss dalam bukunya Structural Antrophology (1987) bahwa resiprositas adalah hakikat dari hidup sosial. Resiprositas dapat diterangkan dengan pelbagai kata, seperti saling menukar, balas-membalas dan saling-memberi. Masyarakat Tanimbar dan Kei mendasari relasi dan solidaritas sosial mereka dengan pemberian yang ditukarkan. Bahan-bahan yang ditukarkan dapat berupa bahan makanan, benda-benda material dan juga dapat berupa perempuan dalam perkawinan. Dengan demikian, jika harta buang adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan, manakah pemberian balasan dari pihak perempuan agar pemberian timbal-balik ini menjadi seimbang sesuai dengan ideal sistim tukar-menukar dalam masyarakat? 3. Pertukaran Sosial Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang pertukaran social. Uraian akan dimulai dengan teori pertukaran sosial, sistim pertukaran dalam masyarakat Tanimbar dan Kei, dan akhirnya ditutup dengan penjelasan keberadaan perempuan dalam pertukaran sosial. 3.1. Teori Pertukaran Sosial Dalam antropologi, beberapa teori menjelaskan mengenai pengertian pemberian dan sistim tukar-menukar. Namun teori yang paling terkenal ditulis oleh Marcel Mauss dalam bukunya, Essai sur le don: forme et raison de l‟échange dans les sociétés archaïques (1924). yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul The Gift, form and functions of exchange in archaic societies (1992) dan dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Parsudi Suparlan, dengan judul « Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno » (1992). Dalam bukunya ini Marcel Mauss membangun teorinya mengenai pemberian melalui sebuah riset etnografis-antopologis terhadap kehidupan masyarakat kuno di Melanesia, Polynesia, Indian Amerika dan berbagai sumber kuno. Menurut Mauss, dalam hubungan dengan pemberian, tidak ada pemberian yang sifatnya cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu diikuti dengan sebuah pemberian balasan. Dalam arti ini sebuah pemberian tidak hanya berhenti pada saat seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain, tetapi ada suatu pemberian timbal-balik. Di dalam masyarakat kuno, pemberian dan saling memberi itu menghasilkan sebuah sistim tukar-menukar pemberian, yang melibatkan kelompk-kelompok dan masyarakat-masyarakat secara menyeluruh. Mauss meletakkan pemberian (gift) sebagai suatu sistem pelayanan total (system of total services).1 Disebut sebagai pelayanan total karena pelayanan ini tidak bersifat individual tetapi kolektif, yang menuntut kewajiban suatu pertukaran dan kontrak dengan yang lain. Yang menarik adalah, sebagai suatu kewajiban, tindakan pemberian tidak dapat berdiri sendiri, ia selalu menuntut kehadiran tindakan wajib lainnya, yaitu: menerima (accept) dan membalas (reciprocate).2 Dengan kata lain, tindakan memberi sebagai suatu kewajiban berada dalam relasi sirkular dengan kewajiban lainnya. Menurutnya, setiap orang wajib memberi sesuatu kepada pihak lain, tetapi pada saat yang sama ia secara sadar mempersiapkan diri untuk wajib menerima pemberian (sebagai balasan) dari orang lain, yang selanjutnya ia wajib membalas (reciprocate) pemberian itu. Menurut Mauss, setiap orang tidak memiliki hak untuk menolak suatu pemberian. Sebab, penolakkan atas pemberian dapat dianggap sebagai bentuk ketakutan untuk membalas. Menurut Mauss, pemberian itu harus dilihat sebagai prestasi, yakni nilai barang didasarkan pada sistim-sistim makna dari suatu masyarakat dan bukan nilai harafiah dari barang tersebut. Prestasi yang dipertukarkan ini adalah prestasi yang menyeluruh, karena sistim tukar-menukar melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Di sini pemberian mencakup berbagai aspek, seperti estetika, keagamaan, moral dan hukum. Sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal perdagangan, yang tertinggal hanya aspek ekonomi, yang terwujud dalam bentuk uang, benda dan jasa serta juga hanya berlaku di antara individu.3 Selain itu Mauss berpendapat bahwa suatu pemberian adalah sama dengan suatu pemberian mana atau sari kehidupan dari sang pemberi kepada penerima. 1 Marcel Mauss, The Gift: The Form anf Reason for Exchange in Archaic Societies, terj. W.D Halls, (London: W.W. Norton, 1990), hlm. 5 2 Ibid., hlm. 37. 3 Ibid., hlm. 8. Dengan diterimanya suatu hadiah dari sang pemberi, penerima telah menerima sari kehidupan dari pemberi atau dengan kata lain menerima sang pembari itu sendiri. Oleh karena itu sang penerima tidak bisa menolak pemberian, sebab dengan menolak pemberian itu ia telah menolak sang pemberi. Selain itu, penolakan tersebut telah mengantar si penerima lebih rendah kedudukan sosialnya dibanding sang pemberi.4 Marcel Mauss juga memperlihatkan pemberian yang tidak menuntut diberikan balasan oleh si penerima. Contoh yang dikemukakannya adalah sedekah. Sedekah adalah sebuah unsur dari suatu sistim yang lebih luas, yang memperlihatkan adanya hubungan antara sang pemberi dengan unsur yang ketiga, yani Tuhan. dalam hal ini Tuhan memiliki kedudukan lebih tinggi dari sang pemberi.5 Untuk memahami sirkulasi pemberian, ada tiga tindakan yang menyatukan dua kelompok atau masyarakat: memberikan, menerima dan mengembalikan. Ide ini kemudian direfleksikan lebih lanjut oleh Godbout Jacques dalam l‟Esprit du don. Baginya, « memberikan, menerima dan mengembalikan adalah saat-saat dari pemberian yang bersirkulasi dalam semua arti sekaligus. Memberikan, ini adalah menerima dan ini adalah mengembalikan »6. Akibatnya, dalam pergerakan sirkuler ini objek-objek yang diberikan bersirkulasi, berevolusi dan berubah untuk menjauh dan menurut urutan pemberian dan balasan pemberian. Bentuk naturalnya pada akhirnya bersifat sekunder, nilainya memiliki sesuatu yang lebih penting, dan nilai itu bersifat kultural dan sosiologis, yang terjalin di antara dua kelompok. Nilai dari objek-ebjek itu juga memperlihatkan kepentingan dari hubungan yang bermain di antara kelompok-kelompok seturut tradisi. Dalam bab tentang “Penyebaran Sistem: Kedermawanan, Kehormatan dan Uang”, Marcel Mauss, sebagaimana ditulis oleh Parsudi Suparlan dalam pengantar buku Pemberian, memperlihatkan adanya sebuah sistim kedermawanan yang semu, yang mendasari dan mendorong terwujudnya tindakan saling tukarmenukar pemberian yang menyeluruh dan berlaku terus-menerus secara berkala. 4 Ibid., hlm. 13-16. Ibid., hlm. 22-23. 6 Godbout, J.T., l‟Esprit du don (Paris: la Découverte, 1992), hlm. 298. 5 Menurutnya, Mauss memperlihatkan bahwa pada hakekatnya kedermawanan itu adalah ungkapan dari kehormatan, yang dituntut untuk diakui oleh pihak lainnya, melalui saling tukar-menukar pemberian. Yang tampak menonjol dari uraian bab ini adalah mengenai potlatch, yang berlaku dalam masyarakat-masyarakat Indian Amerika Barat Laut. Prinsip yang mendasari berlakunya potlatch adalah persaingan untuk kedudukan sosial dan kehormatan atau gengsi di antara kelompok-kelompok klen. Persaingan ini terpusat dalam individu-individu pada masing-masing kelompok klen. Persaiangan ini terbentuk dalam saling tukarmenukar prestasi, yang berupa “penghancuran” harta milik berharga masingmasing. Keunggulan dalam potlatch, yakni yang memperoleh segala kehormatan dan kedudukan social, adalah yang mampu menghancurkan segala harta miliknya, yang ketinggian nilainya tidak dapat disaingi atau dikalahkan dari pihak lawannya dalam potlatch yang berlangsung.7 Pandangan Mauss tentang pemberian ini kemudian dikritik oleh Derrida. Baginya, konsep Mauss mengenai pemberian mengandung kesalahan logis yang mendasar. Menurut Derrida, tradisi potlach yang diteliti oleh Mauss dan dipandang sebagai bentuk sistem pemberian adalah tidak tepat jika dimengerti sebagai pemberian, melainkan lebih tepat jika dimaknai sebagai sistem pertukaran biasa. Derrida menarik kesimpulan ini sambil merujuk pada pengertian pemberian yang yang diajukan oleh Mauss, yaitu bahwa kewajiban memberi senantiasa berada satu paket dengan kewajiban untuk menerima, begitu juga sebaliknya. Dari konsep tersebut, Derrida menangkap adanya sebuah proses sirkulatif dan ini tidak dapat diterima. Bagi Derrida pemberian bukan sebuah sirkulasi pertukaran. Mengapa? Sebab dari sisi konsep, logika pemberian senantiasa menginterupsi gerak sirkulasi pertukaran. Di samping itu, pengertian pemberian selalu menyangkal adanya gerak atau tindak balasan dari yang diberi.8 Dengan demikian, konsep potlatch, 7 Marcel Mauss, Pemberian: bentuk dan fungsi tukar-menukar di masyarajat kuno. Penerj. Parsudi Suparlan. (Jakarta: Yayasan Obor.1992), hlm. xxii. 8 Dalam pandangan Derrida: “ The claim of the gift is in fact that it interrupts the circular motion of exchange and negates all further giving or return. It exist under the presumption that it cannot be reciprocated, since any return is a new start of economic circularity”, dikutip dari Knut Rio, Denying the Gift: Aspect of ceremonial exchange and yang cara beroperasinya mendasarkan diri pada mekanisme saling berbalas, pada dasarnya telah menegasi logika yang dimaksudkan konsep pemberian itu sendiri. Di dalam konsep Mauss, Derrida seolah melihat semacam retakan antara pemberian sebagai konsep dengan fenomena yang dirujuknya, yaitu potlatch sebagai tindakan pemberian. Selain Derrida, kritik yang sama juga dilancarkan oleh Pierre Bourdieu kepada Mauss yang menanamkan logika pertukaran (ekonomi) kepada konsep pemberian. Bourdieu juga memandang bahwa setiap pemberian tidak mungkin terbalaskan. Bahkan, sekalipun memang akan terjadi tindakan pemberian balasan (counter-gift), sejatinya pemberian tersebut bukan sebagai pemberian dalam rangka balasan, melainkan sebuah tindak pemberian yang berbeda.9 Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Selalu ada “jeda” atau waktu interval antara pemberian (the gift) dengan balasannya (counter-gift). Sehingga, atas dasar jeda tersebut, setiap balasan (counter-gift) tidak serta-merta dipandang sebagai balasan atas suatu pemberian sebelumnya. Itu berarti bahwa karena adanya waktu interval inilah yang membuat pengamat seperti Mauss memaksakan pembacaannya seolah-olah ada hubungan antara gift dan counter-gift yang bersifat resiprokal. Dalam pandangan Bourdieu, Mauss telah melakukan reduksi pengertian pemberian sebagai logika praktis sehari-hari (logic of practice) ke dalam kerangka ilmiah (scientific practice), yang sudah mengendap di kepalanya sebagai pengamat. Hanya yang perlu kita kritisi pada konsep pemberian, baik itu dari Mauss, Derrida dan Bourdieu, semuanya cenderung menyematkan pengertian pemberian (gift) dalam perspektif material-ekonomi. Artinya, setiap pemberian selalu diandaikan sebagai pemberian sesuatu yang bersifat material dan bernilai ekonomi. Padahal bisa saja, pemberian yang dilakukan dalam wujudnya yang immaterial dan non-ekonomi, ini yang kemudian lazim dikenal dengan giving time dan giving care. Artinya, yang kita berikan bukan sumberdaya material, sacrifice on Anbrym Island, Vanuatu, dalam Anthropological Theory, 2007, 7, hlm. 450. http://ant.sagepub.com/cgi/content/abstract/7/4/449. Diakses tanggal 10 Oktober 2008. 9 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, California: Stanford University Press, 1990, hlm.105. melainkan kita meluangkan waktu dan peduli untuk melibatkan diri kegiatankegiatan sosial.10 3.2. Pertukaran dalam Masyarakat Kepulauan Tanimbar dan Kei Sama seperti banyak masyarakat tradisional lainnya, seperti telah disebutkan di atas, masyarakat Tanimbar dan Kei menyatakan kehidupan dan solidaritas sosial mereka atas dasar prinsip resiprositas atau saling memberi dan menerima. Di dalam masyarakat Tanimbar dan Kei, di antara berbagai aktor yang terlibat secara intens dalam tukar menukar, maka kelompok yang layak dikedepankan adalah kelompok-kelompok keluarga (fam dan marga), yang bersifat eksogami dan patrilineal. Eksogami berarti seorang pria Tanimbar dan Kei akan kawin dengan seorang perempuan yang bukan berasal dari kelompoknya. Patrilineal berarti semua anggota kelompok menggunkan satu nama diri (fam) yang berasal dari ayah. Dalam masyarakat Tanimbar dan Kei, setiap perkawinan menyatukan dua kelompok dalam suatu ikatan relasi. Pada waktu lampau, relasi ini pada prinsipnya terulang pada setiap generasi, yang mana dalam kosakata antropologi sosial, relasi ini disebut aliansi perkawinan. Dalam aliansi ini kelompok laki-laki atau suami diberinama lolat (Tanimbar) dan yan‟ur (Kei), sedangkan kelompok yang memberikan istri kepada pihak laki-laki disebut duan (Tanimbar) dan mang‟ohoi (Kei). Semenjak sebuah aliansi terbentuk, kelompok lolat/ yan‟ur dan kelompok duan/ mang‟ohoi akan terlibat pelbagai macam corak pemberian dan pertukaran. Pemberian-pemberian ini diberikan dan diterima dalam banyak kesempatan: pertama-tama dalam berbagai tahapan upacara perkawinan; kemudian dalam berbagai upacara seputar kematian, dan pada berbagai kesempatan lain. Dengan demikian, relasi antara dua kelompok dimanifestasikan dengan suatu pertukaran, pembagian dan saling bertukar pemberian. Ada dalam pertukaran yang mengantar pada kesatuan kelompok-kelompok, suatu aturan implisit yang dapat diterjemahkan sebagai: « apa yang untuk kami adalah untuk kamu; apa yang 10 Aafke E. Komter, Social Solidarity and the Gift (United Kingdom : Cambridge, 2005), hlm. 126-129. untuk kamu adalah untuk kami ». Dalam proses ini ada dua elemen: aktor-aktor dan objek-objek yang tersirkulasi, dimana aktor-aktor adalah kelompok-kelompok yang masuk dalam relasi; dan objek-objek adalah bahan dan barang yang sesuai dengan tradisi. Jika diamati dengan saksama pertukaran pemberian dalam masyarakat Tanimbar dan Kei, maka sistim pertukaran ini adalah sama seperti yang dijelaskan oleh Mauss. Setiap pemberian akan dibalas dengan pemberian balasan dalam peristiwa yang sama. Setiap masyarakat tahu bahan-bahan apa yang adalah objekobjek pemberian yang harus diberikan dan bahan-bahan apa yang diberikan sebagai balasan pada suatu peristiwa tertentu. Dalam hubungan dengan objek-objek pemberian, jika masyarakat Tanimbar dan Kei mengganggap bahwa banyak hal yang baik datang dari luar, objek-objek pemberian dalam berbagai upacara juga datang dari luar. Cécile Barraud telah mencoba untuk mengidentifikasi asal-asul bahan-bahan yang dipakai dalam berbagai upacara tersebut. Meriam-meriam berasal dari para penjajah Portugis dan Belanda. Gong datang dari Cina dan dari berbagai tempat di barat Indonesia (Sumatera, Jawa dan Bali). Kain-kain berasal dari pulau-pulau di Maluku dan bahkan dari berbagai tempat di Indonesia. Berbagai jenis dan bentuk piring datang petama-tama dari Cina dan selanjutnya dari Eropa. Mas (yakni emas dan perhiasan pada umumnya: kalung, cincin, anting dan lain-lain) dibawa oleh pada pedagang dari berbagai tempat di Indonesia. Dipahami dengan nama mas, kita menemukan juga berbagai uang logam yang berasal dari luar (Cina, Portugis dan Belanda).11 Di samping objek-objek tersebut, di Tanimbar dikenal juga gading gajah, yang menjadi objek pemberian pada saat perkawinan. Tetapi selain barang-barang yang datang dari luar, apa yang orang asosiasikan sebagai objek pemberian adalah juga bahan-bahan makanan, yang adalah produk desa. Hal ini ingin menjelaskan bahwa produk-produk ini adalah bagian dari pemberian. Dalam ritual kematian, kelompok yang berduka harus memberikan makanan yang disiapkan dengan berbagai jenis pemberian. 11 Cécile Barraud, Tanebar Evav une société de maisons tournée vers le large (Cambrige dan Paris: Cambrige University dan Editions de la Maison des Sciences de l’Homme: 1979), hlm. 207. Dalam masyarakat Tanimbar dan Kei, resiprositas yang dijalankan dapat pula disebut sebagai resiprositas yang beribang sebagaimana dikemukakan oleh Marshall Sahlin dalam artikelnya yang berjudul On the sociology of primitive exchange.12 Namun perimbangan ini bukan berarti dalam kesamaan objek yang diberikan, tetapi kesamaan dalam nilai yang diberikan oleh masyarakat. Sebagai contoh, jika sebuah kelompok menyerarahkan anak perempuan mereka untuk kelompok dalam suatu pernikahan, maka oleh masyarakat Kei tubuh perempuan itu dianggap bernilai setara dengan sebuah atau beberapa meriam dan bendabenda adat lain, sementara di Tanimbar tubuh perempuan itu dianggap setara dengan gading gajah dan benda-benda adat lain. Objek-objek pemberian ini cenderung tetap, karena orang menggunakan selalu objek yang sama. Bahkan setiap pemberian menggambarkan status kelompok (lolat/ yan‟ur) terhadap kelompok lain (duan/ mang‟ohoi) yang diberikan objek-objek pemberian. Kelompok lolat/ yan‟ur dan kelompok duan/ mang‟ohoi adalah kelompokkelompok formal yang secara intens terlibat dalam berbagai upacara adat. Di samping mereka, ada juga kelompok-kelompok lain yang juga melibatkan masyarakat yang masuk dalam kelompok-kelompok tersebut dalam saling memberi dan menerima. Semua ini memberi kesan umum bahwa masyarakat Tanimbar dan Kei hanya hidup untuk saling memberi dan menerima dalam berbagai upacara adat. 3.3. Keberadaan perempuan dalam pertukaran sosial Hampir pada semua kelompok masyarakat menggunakan jenis kelamin (seks) sebagai kriteria utama dalam pembagian kerja sosial individu-individu. Di Indonesia, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dapat menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang Marshal Sahlin, “On the sociology of primitive exchange” dalam The relevance of models for social anthropology. Ed. Michael Banton (London: Tavistock publication), hlm. 140-185. 12 terkait dengan fungsi reproduksi13. Dengan demikian, seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Dalam arti perbedaan jenis kelamin, seks mengandung pengertian bahwa ada keterpisahan secara biologis antara laki-laki dan perempuan, yang berarti perempuan memiliki hormon, postur tubuh dan alat reproduksi yang berbeda dengan laki-laki. Secara biologis alat-alat biologis tersebut melekat pada lelaki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau kodrati.14 Berbeda dengan seks, gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah-lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat itu dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilahpilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan.15 Dalam studi-studi antropologi klasik mengenai pemberian, berbeda dari laki-laki, perempuan sering digambarkan sebagai obyek pertukaran hadiah, bukan sebagai subjek atau aktor. Dalam arti ini perempuan masih dilihat dalam hubungan dengan seks dan bukan gender. Ketidakjelasan perempuan sebagai 13 Aida Votayala Hubeis Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa (Bogor: IPB Press, 2010), hlm. 145. 14 Handayani, Trisakti dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi Revisi, Cetakan Kedua (UMM Press, Malang, 2006), hlm. 4. 15 Ibid., hlm. 5. aktor otonom dalam pertukaran hadiah memperlihatkan tanda hirarki dominasi pria atas perempuan. Selain itu, dalam bukunya Les structures élémentaires de la parenté (Struktur-struktur Dasariah dari Kekerabatan), Lévi-Strauss menjelaskan bahwa alasan lain dalam hubungan dengan pemberian perempuan kepada kelompok lain dalam suatu perkawinan, yakni larangan incest. Ia menempatkan larangan tersebut dalam artikulasi natural dan kultural. Secara natural orang dapat membuat aliansi perkawinan tanpa henti dan dengan siapa saja, tetapi secara kultural hal ini diatur dengan ketentuan-ketentuan.16 Secara etimologis kata incest berasal dari kata latin incestus, yang berarti «tidak murni». Larangan incest, yang menolak relasi seksual antara individuindividu pada tingkat relasi kekeluargaan tertentu, dipraktekkan hampir di semua masyarakat manusia.17 Larangan ini telah membatasi seorang pria untuk menikah di dalam lingkup kelompoknya sendiri. Pertanyaannya, dimanakah seseorang harus mencari atau memperoleh pasangan untuk kawin? Koentjaraningrat, dengan mengutip Lévi-Strauss, menjelaskan : Pranata perkawinan pada dasarnya merupakan tukar menukar antara kelompok, yang adalah akibat dari konsepsinya mengenai asal-usul pantangan incest… Konsepsi ini berdasarkan pada pendirian kuno dalam ilmu antropologi yang mengatakan bahwa dalam proses evolusi sosial timbul suatu saat dimana ada orang dari suatu kelompok manusia mulai mencari wanita untuk dijadikan istrinya dari kelompok lain. Kelompok darimana wanita itu diambil tentu tidak tinggal diam, mereka mempertahankan diri, tetapi pada suatu saat, timbul gagasan pada salah satu kelompok itu untuk memberikan saja wanita kepada kelompok lain dengan syarat bahwa mereka juga memperoleh wanita dari kelompok lain lagi sebagai gantinya. Alasanya ialah bahwa dengan tukar menukar wanita itu kedua kelompok dapat bersekutu ke dalam lapangan kebutuhan yang sama, dan dengan demikian menjadi kelompok yang lebih besar dan lebih kuat bila menghadapi kelompok lain. Kelompok-kelompok lain itu terpaksa harus melakukan hal yang sama, sebab kalau tidak, sebagai kelompok tunggal yang kecil mereka akan selalu terancam oleh kelompok-kelompok gabungan yang lebih besar 16 Lévi-Strauss, Les structures élémentaires de la parenté (Berlin dan New York: Mouton de Gruyter, 1949), hlm. 522. 17 Christian Ghasarian, Introduction à la parenté. (Paris : Edition du Seuil, 1996), hlm. 137. tadi. Mereka juga melakukan tukar-menukar wanita dengan kelompok lain agar dapat membentuk persekutuan ang besar dan dengan demikian bisa menghadapi persekutuan-persekutuan kekerabatan yang telah bergabung terlebih dahulu dengan cara tukar-menukar wanita tadi.18 Bagi Lévi-Strauss, larangan incest ini memiliki aspek positif, yakni melarang menikah dengan perempuan-perempuan terdekat, artinya menciptakan kesatuan dengan perempuan-perempuan dalam hubungan yang lebih jauh. «Larangan incest adalah bukan hanya suatu aturan yang melarang untuk menikahi, melainkan saatu aturan yang mewajibkan untuk memberikan ibu, saudari dan anak perempuan kepada orang lain. Ini adalah aturan terbaik dari pemberian»19. Dalam pemberian ini, secara sosial dan kultural, perempuan terjebak dalam paradoks mendasar. Di satu sisi, perempuan dapat dianggap sebagai sarana yang kuat untuk menegaskan identitas sosial untuk menciptakan dan memelihara hubungan sosial. Di sisi lain, mengingat tidak setara kekuasaan sosial mereka dibandingkan dengan pria, perempuan menanggung risiko kehilangan identitas mereka sendiri dengan memberikan banyak kepada kelompoknya. Dalam tindakan memberi, perempuan secara bersamaan menciptakan kesempatan untuk memperoleh kekuasaan, dan membuat diri mereka rentan terhadap hilangnya kekuasaan dan otonomi. Ide ini terasa kuat dalam pandangan masyarakat Kei tentang vat marvutun. Cécile Barraud dalam artikelnya Kei society and person. An approach through childbirth and funerary menulis sebagai berikut: Perempuan-perempuan, sebelum dan setelah perkawinan mereka, disebut vat yan„ur atau vat marvotun. Vat berarti perempuan, jadi vat yan‟ur berarti «perempuan-anak-anak saudari», apa yang berarti bahwa perempuan dianggap sebagai anggota dari kelompok suaminya. Vat marvotun, di sisi lain, berarti «perempuan eksterieur», atau «yang berasal dari luar». Bahkan sebelum menikah, perempuan-perempuan telah dikenal sebagai yang berasal dari luar, dari rumah kelahirannya, sebagai yang telah menampakkan sebuah kelompok dari «anak-anak-saudari», atau yang berasal dari luar ke desa. […]. 18 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I. (Jakarta : UI Press, 1980). hlm. 218219. 19 Lévi-Strauss, Les structures élémentaires de la parenté, hlm. 552. Vat marvotun dapat dibandingkan dengan eri (iri) marvotun. Dalam masyarakat Kei, eri (iri) menggambarkan para pelayan atau yang tergantung pada yang lain, yang tidak memiliki rumah dan tanah sendiri dan menjadi milik Rumah dari seorang bangsawan yang menyebutnya sebagai «kemenakan». Sebagai marvotun «yang berasal dari luar», mereka dilawankan dengan dua susunan sosial yang lain «bangsawan» dan «orang-orang desa». Sebagaimana para perempuan dalam perkawinan, orang-orang eri (iri) diperuntukan untuk meninggalkan desa asal mereka, baik itu karena mereka ditukar dengan uang atau karena mereka mengikuti seorang istri bangsawan, ketika ia meninggalkan rumah kelahiran karena perkawinan. Penggunaan istilah vat marvotun memuat suatu referensi implisit tentang lokalitas.20 Perbedaan gender dalam pemberian hadiah menggambarkan peran penting perempuan dalam menciptakan benih sosial masyarakat. Walaupun emansipasi perempuan terus meningkat, perempuan masih diposisikan sebagai pangsa terbesar dalam konteks tukar-menukar di masyarakat pedesaan Tanimbar dan Kei. 4. Kesimpulan Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa tradisi harta buang dapat dipahami dalam konteks pertukaran social. Masyarakat Tanimbar dan Kei sejak lama hidup dalam suatu sistim pertukaran timbal-balik dalam hampir seluruh aspek hidup kemasyarakatan, seperti pada saat perkawinan dan kematian. Suatu tindakan pemberian akan serta-merta dibalas dengan pemberian balasan. Sistim pemberian timbal balik akan sangat menonjol pada saat perkawinan. Pihak pria (lolat/ yan’ur) akan memberikan sejumlah objek pemberian kepada pihak perempuan (duan/ mang’ohoi) karena telah memberikan anak perempuannya untuk dinikahi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di dalam masyarakat Kei, perempuan setara dengan “meriam” dan di dalam masyarakat Tanimbar perempuan setara dengan “gading gajah”. Inilah pemberian wajib dalam sebuah perkawinan, yang kemudian diikuti dengan sejumlah objek pemberian lain yang akan diberikan dan akan dibalas oleh pihak perempuan. Cécile Barraud, “Kei society and person. An approach through childbirth and funerary” dalam Ethnos 55: 3-4 1990, hlm. 201. 20 Dalam konteks pertukaran ini perempuan sering digambarkan sebagai ojek pemberian. Di satu sisi, ia memiliki status sosial yang lemah dibanding laki-laki, tetapi di sisi lain, di dalam perkawinan, ia mendatangakan keuntungan ekonomis dan meningkatkan status keluarga di hadapan keluarga pria. Dalam arti ini perempuan patut untuk dijaga dan dibela oleh saudara-saudara dan keluarganya. Dalam tradisi harta buang, dimana seorang laki-laki menolak menikah dengan perempuan, yang dengannya ia telah melakukan hubungan seksual, keperawanan dan seks mendapatkan nilai yang harus dibalas dengan pemberian dari pihak laki-laki. Di sini pemberian bukan berdasarkan pada benda material saja, tetapi sampai pada keperawanan dan hubungan seksual. Keperawanan dan hubungan seksual yang diberikan oleh perempuan harus dibalas dengan pemberian. Artinya, keperawanan dan hubungan seksual yang diterima oleh lakilaki secara tradisional tidaklah gratis, walaupun didasarkan pada faktor suka sama suka. Ketika tidak terjadi perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan sejumlah pemberian atas tindakan anak laki-laki mereka. Dewasa ini tradisi harta buang sering dipandang merendahkan perempuan, tetapi sejatinya tradisi harta buang justru hendak melindungi perempuan. Pergantian benda adat menjadi uang cukup mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap nilai dari tradisi harta buang. Jika nilai barang dari bendabenda adat didasarkan pada sistim-sistim makna dari suatu masyarakat dan bukan nilai harafiah dari barang tersebut, maka apakah uang bisa menggantikan fungsi benda-benda adat tersebut? Daftar Pustaka Barraud Cécile, (1990) “Kei society and person. An approach through childbirth and funerary” dalam Ethnos 55: 3-4. (1979) Tanebar Evav une société de maisons tournée vers le large. Cambrige dan Paris: Cambrige University dan Editions de la Maison des Sciences de l’Homme. Bourdieu Pierre, (1990) The Logic of Practice, California: Stanford University Press. Ghasarian Christian, (1996) Introduction à la parenté. Paris: Edition du Seuil. Godbout, J.T., (1992) l‟Esprit du don. Paris : la Découverte. Handayani, Trisakti dan Sugiarti, (2006) Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi Revisi, Cetakan Kedua. UMM Press, Malang. Hopf Christel, (2004) “Qualitative Interviews: An Overview”, dalam A Companion to Qualitative Research, Eds. by: Uwe Flick, dkk. London: Sage Publication. Hubeis Aida Votayala, (2010) Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press. Knut Rio, (2007) Denying the Gift: Aspect of ceremonial exchange and sacrifice on Anbrym Island, Vanuatu, dalam Anthropological Theory; http://ant.sagepub.com/cgi/content/abstract/ 7/4/449. Diakses tanggal 10 Oktober 2008. Koentjaraningrat Press. (1980) Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI Komter Aafke E., (2005) Social Solidarity and the Gift. United Kingdom: Cambridge. Lévi-Strauss, C., (1987) Structural Anthropology. Penguin books. (1949) Les structures élémentaires de la parenté (Berlin dan New York: Mouton de Gruyter. Mauss Marcel (1992) Pemberian: bentuk dan fungsi tukarmenukar di masyarajat kuno. Penerj. Parsudi Suparlan. Jakarta: Yayasan Obor. (1990) The Gift: The Form anf Reason for Exchange in Archaic Societies. Penerj. W.D Halls, London: W.W. Norton. Ralf Bohnsack, (2004) “Group Discussion and Focus Groups”, dalam A Companion to Qualitative Research, Eds. Uwe Flick, dkk., London: Sage Publication. Sahlin Marshal, (1965) “On the sociology of primitive exchange” dalam the relevance of models for social anthropology. Ed. Michael Banton. London: Tavistock publication. Spradley James P., (1997) Metode Etnografi. Penerj. Misbah Z. Elisabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana