[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

KAJIAN KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2006-2017

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji permasalah kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam program penanggulangan kemiskinan. Penulisan menggunakan data sekunder yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Kepulauan Riau 2005-2018. Metode analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan rasio pengukuran indikator kemiskinan. Dari hasil dan pembahasan disimpulkan: (1) Penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau dilihat dari jumlah dan presentase penduduk miskin cenderung menurun; (2) Koefisien Gini penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau cenderung naik, sehingga adanya ketimpangan distribusi pendapatan; (3) Penurunan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan; (4) Dilihat perkembangan nilai P0, P1 dan P2, maka dapat dilihat bahwa pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan membutuhkan biaya, waktu dan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan; dan (5) Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat menurunkan jumlah dan presentase penduduk miskin. Maka direkomendasikan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat dilanjutkan. Kata Kunci: Kemiskinan, Distribusi pendapatan dan program pengentasan kemiskinan

kajian Kemiskinan di provinsi kepulauan riau TAHUN 2006-2017 Oleh: Ir. Hartoto, M.Si. (Ketua Jurusan Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Tanjungpinang) Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji permasalah kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam program penanggulangan kemiskinan. Penulisan menggunakan data sekunder yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Kepulauan Riau 2005-2018. Metode analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan rasio pengukuran indikator kemiskinan. Dari hasil dan pembahasan disimpulkan: (1) Penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau dilihat dari jumlah dan presentase penduduk miskin cenderung menurun; (2) Koefisien Gini penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau cenderung naik, sehingga adanya ketimpangan distribusi pendapatan; (3) Penurunan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan; (4) Dilihat perkembangan nilai P0, P1 dan P2, maka dapat dilihat bahwa pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan membutuhkan biaya, waktu dan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan; dan (5) Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat menurunkan jumlah dan presentase penduduk miskin. Maka direkomendasikan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat dilanjutkan. Kata Kunci: Kemiskinan, Distribusi pendapatan dan program pengentasan kemiskinan Pendahuluan Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Kemiskinan setidaknya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk dapat hidup dan bekerja. Nilai minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan, Sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Sedangkan kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan (Kuncoro, 2003:121). Distribusi pendapatan nasional menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara. Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan menurut Arsyad, (1999:226-227), adalah: (1). pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2). inflasi, (3). pembangunan daerah tidak merata, (4). penggangguran tinggi, (5). mobilitas sosial rendah, (6). memburuknya nilai tukar produk, dan (7). hancurnya industri kerajinan rakyat. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa. Setiap tahun jumlah penduduk cenderung meningkat dan diprediksi pada tahun 2035 akan menjadi sekitar 315 juta jiwa. Keadaan yang menunjukkan terus meningkatnya jumlah penduduk ini tentunya dapat menimbulkan beberapa masalah. Masalah perekonomian yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia adalah berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran dan inflasi. Salah satu masalah yang belum terselesaikan di Indonesia yaitu masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian Pemerintah Indonesia. Pemerintah telah melaksanakan berbagai kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan, namun hasilnya masih dirasakan belum optimal. Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya penanggulangan kemiskinan dari tahun ke tahun. Data yang dikeluarkan BPS menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin. Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, memberikan hantaman yang besar terhadap perekonomian nasional, termasuk meningkatnya jumlah penduduk miskin dari 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996 menjadi 49,50 Juta (24,23 %) pada tahun 1998. Untuk mengurangi angka kemiskinan akibat krisis ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Pelaksanaan program penanggulanan kemiskinan yang dilakukan sejak tahun 1998 sampai saat ini, secara umum mampu  menurunkan angka kemiskinan Indonesia yang berjumlah 47,97 Juta (23,43 %) pada tahun 1999 menjadi 30,02 Juta (12,49 %) pada tahun 2011. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Worldfactbook, BPS, dan World Bank, di tingkat dunia penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan negara lainnya. Tercatat pada rentang tahun 2005 sampai 2009 Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain seperti: Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun.  Kondisi kemiskinan di Indonesia pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 36,10 juta jiwa, namun karena terjadi krisis ekonomi pada tahun 2005 mengakibatkan jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi sebesar 39,30 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah penduduk miskin kembali berhasil diturunkan pada tahun 2007 menjadi sebesar 37,17 juta jiwa dan tahun 2012 menjadi sebesar 28,59 juta jiwa. Namun demikian, adanya penurunan jumlah penduduk miskin tersebut belum mencerminkan keadaan Indonesia semakin membaik. Pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan pembangunan dengan maksimal untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, meningkatkan pendidikan juga ditemukan menjadi faktor kunci pengentasan kemiskinan (Gokan, 2011). Namun kenyataanya sampai sekarang masalah kemiskinan tersebut belum berhasil diatasi seluruhnya. BPS pada bulan Maret 2015 mencatat, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 28,59 juta orang (11,22 %) atau naik 8,60 juta atau 0,86 persen dibanding bulan September 2014. Hal ini diakibatkan meningkatnya inflasi pada bulan Maret 2015 dibandingkan dengan bulan September 2014. Kenaikan BBM pada akhir tahun 2014 menyebabkan inflasi meningkat. Inflasi bulan September 2014 ke bulan Maret 2015 terjadi yang cukup tinggi yaitu sebesar 4,03 persen. Faktor lainnya yang mempengaruhi kenaikan kemiskinan adalah meningkatnya rata-rata harga beras nasional sebesar 14,48 persen dari harga Rp11.433 menjadi sebesar Rp13.089 per kg pada bulan Maret 2015. Sementara itu pada bulan Maret 2015, komoditi lainnya seperti cabai, gula pasir dan rokok kretek juga menyebabkan naiknya angka kemiskinan. "Rokok kretek tiap bulan terus naik tapi kita kadang tidak menyadari”. Kemudian, BPS melanjutkan, faktor meningkatnya jumlah penduduk miskin juga dipengaruhi dari penurunan secara riil rata-rata upah buruh tani sebesar 1,34 persen dibanding September 2014. Tingkat inflasi di pedesaan juga tinggi dari September 2014 ke Maret 2015 sebesar 4,40 persen. Sementara itu, untuk jumlah penduduk miskin menurut pulau pada Maret 2015, lanjutnya, Pulau Maluku dan Papua memegang posisi persentase penduduk miskin terbesar yaitu 22,04 persen. Kemudian, dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa sebesar 15,45 juta orang dan terendah berada di Pulau Kalimantan sebesar 0,98 juta orang. Pemerintah memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil. Program tersebut dijalankan secara terpadu oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan Kabinet Kerja mulai tahun 2018 melalui APBN memfokuskan anggaran untuk pengentasan kemiskinan. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), mengatakan untuk penerapan APBN Tahun 2018, lebih difokuskan untuk menangani pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jokowi berharap agar pelaksanaan program-program APBN tahun 2018 difokuskan pada upaya pengentasan kemiskinan.”Anggaran yang berkaitan dengan ini untuk betul-betul diperhatikan dan ditambah,” pinta Jokowi, dalam pidato dihadapan para menteri, senin (02/10/17) di Istana Negara Jakarta. Menurut Boediono, (1999: 1-2) pembangunan ekonomi mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan akhirnya memungkinkan terwujudnya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa negara melakukan strategi meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan output per kapita dalam jangka panjang. Kesejahteraan masyarakat tercermin pada peningkatan output per kapita yang sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa, serta diikuti oleh peningkatan daya beli masyarakat. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi diharapkan distribusi pendapatan kepada rumah tangga mengalami perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan gambaran terhadap tingkat kesejahteraan, dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan semakin tinggi produktivitas dan semakin tinggi upah yang diterima para pekerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi yang bagus menjadi tidak berarti jika tidak diikuti dengan penurunan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2004 hingga sekarang laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perkembangan yang positif. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi, namun yang perlu diperhatikan tidak hanya angka statistik, tetapi lebih kepada siapa yang menciptakan pertumbuhan ekonomi tersebut. Jika hanya segelintir orang yang menikmati maka pertumbuhan ekonomi tidak mampu mereduksi kemiskinan dan memperkecil ketimpangan, namun sebaliknya jika sebagian besar turut berpartisipasi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi maka kemiskinan dapat direduksi dan gap antara orang kaya dan orang miskin dapat diperkecil (Todaro, 1995: 231). Pemerintah tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun juga harus memperhatikan produktivitas kerja penduduk yang masih rendah. Rendahnya produktivitas kerja mengakibatkan meningkatnya tingkat pengangguran yang ada di Indonesia. Tingkat pengangguran merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Kenaikan pengangguran berdampak meningkatkan ketimpangan pendapatan (Cysne & Turchick, 2012). Pengangguran merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Menurut Sukirno (2006), semakin menurunnya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah kemiskinan. Tingkat pengangguran di Indonesia cenderung stabil, beberapa tahun terakhir mengalami penururunan. Tingkat pengangguran mengalami penurunan yang signifikan, namun perlu upaya lagi dari pemerintah agar kecenderungan tingkat pengangguran yang menurun tetap terjadi di masa mendatang. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran di Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif tinggi yang diikuti dengan tingkat pengangguran yang perkembangannya agak lambat namun selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Masalah lain yang menarik perhatian dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah pengeluaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan. Dari tahun ke tahun pemerintah telah mengeluarkan banyak anggaran untuk pengentasan kemiskinan dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa pengeluaran pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Usaha-usaha yang dirumuskan dan dijalankan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia harus didasarkan pada serangkaian penelitian yang mendalam terhadap aspek-aspek tersebut, karena implikasi dari kebijaksanaan yang tidak melalui penelitian mendalam, akan berakibat sia-sia. Berdasarkan data BPS (2012), perkembangan kemiskinan di Indonesia sejak bulan Maret 2011 hingga bulan Maret 2012 cenderung menurun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96%) yang berkurang 0,89 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta orang (12,49%). Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode Maret 2011-Maret 2012, penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan masing-masing turun 399,5 ribu orang (0,45%) dan 487 ribu orang (0,60%). Perkembangan jumlah dan presentase penduduk miskin menurut daerah tahun 2011-2012 terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Maret 2011-Maret 2012 Daerah Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Presentase Penduduk Miskin Perkotaan Maret 2011 11,05 9,23 Maret 2012 10,65 8,78 Pedesaan Maret 2011 18,97 15,72 Maret 2012 18,48 15,12 Kota+Desa Maret 2011 30,02 12,49 Maret 2012 29,13 11,96 Sumber data: BPS, 2012 (diolah) Berdasarkan data dari Susenas bulan Maret 2012, diketahui bahwa penduduk miskin terbesar berada di Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 24,77 persen, sementara presentase penduduk miskin terkecil di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 6,69 persen. Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut Pulau, Maret 2012 secara terinci terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut Pulau, Maret 2012 Pulau Jumlah Penduduk Miskin (000) Presentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa Sumatera 2.075,54 4.225,33 6.300,87 10,15 13,30 12,07 Jawa 7.209,94 8.897,26 16.107,20 8,84 15,46 11,57 Bali&Nusa Tenggara 640,23 1.393,71 2.033,94 12,13 17,03 15,11 Kalimantan 266,15 688,42 954,57 4,41 8,37 6,69 Sulawesi 341,04 1.756,20 2.097,24 5,70 14,86 11,78 Maluku& Papua 114,33 1.524,27 1.638,60 5,88 32,64 24,77 Indonesia 10.647,23 18.485,19 29.132,42 8,78 15,12 11,96 Sumber data: BPS, 2012 (diolah) Berdasarkan data pada Tabel 2, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2012 sebesar 29,13 juta jiwa, terdiri dari yang tinggal di perdesaan sebanyak 18,48 juta jiwa dan di perkotaan sebanyak 10,65 juta jiwa. Presentase penduduk miskin di desa sebesar 15,12%, sedangkan di perkotaan sebesar 8,78%. Bagaimana dengan data di Provinsi Kepulauan Riau? Berdasarkan uraian di atas untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan mengkaji kemiskinan yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau selama tahun 2007-2016. Pengkajian akan dikaitkan dengan analisis indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan, koefisien gini, dan distribusi pengeluaran menurut kriteria Bank Dunia. KAJIAN TEORITIS Kemiskinan adalah keadaan terjadinya penduduk ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan, pendidikan, dan kesehatan. Menurut Bappenas (1993), kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980), mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Molo (1994), menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ellis (1994), menyatakan kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan setidaknya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan untuk dapat hidup dan bekerja. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan (BPS, 2011:4-5). Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Negara miskin, menghadapi masalah klasik, yaitu: pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Bila pertumbuhan terutama disumbang oleh golongan kaya, maka golongan kaya yang paling mendapat manfaat dari pertumbuhan. Sementara kemiskinan dan distribusi pendapatan semakin memburuk. Namun, bila pertumbuhan disumbang oleh banyak orang, maka pertumbuhan ekonomi akan dirasakan semakin merata. Banyak negara dunia ketiga mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tetapi kurang memberikan manfaat bagi penduduk miskin (Kuncoro, 2003:121). Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal antara lain: (a). rendahnya kualitas hidup penduduk, (b). terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, (c). terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi anak, dan (d). rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja dan sebagainya. Menurut BPS (2017), metode yang sering digunakan untuk menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Secara matematik dapat ditulis: GK= GKM + GKNM. Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk masing-masing provinsi daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak, dll). GKNM adalah kebutuhan minimum untuk papan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perdesaan. Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas GK sementara. GK sementara yaitu GK periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung GKM dan GKNM. GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek untuk mengukur kemiskinan relatif. Karena data pendapatan sulit diperoleh, maka pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam hal ini, analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga. Dua ukuran untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini (Gini Ratio) dan ukuran Bank Dunia. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek yang terlihat dari kemiskinan. Untuk mengukur distribusi pendapatan dapat digunakan koefisien gini. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan distribusi yang dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 sampai1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan yang sempurna, di mana semua nilai sama sedangkan nilai 1 menunjukkan ketimpangan yang paling tinggi, yaitu satu orang menguasai semuanya pendapatan sedangkan yang lainnya pendapatanya tidak ada. Menurut definisinya, koefisien gini adalah perbandingan luas daerah antara kurva Lorenz dan garis lurus 45 derajat terhadap luas daerah di bawah garis 45 derajat tersebut. Kurva Lorenz memetakan kumulatif pendapatan pada sumbu vertikal dengan kumulatif penduduk pada sumbu horisontal. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal. Gambaran kurva Lorenz yang menghubungkan distribusi pendapatan dengan jumlah penduduk seperti pada Gambar 1. Gambar 1. Bentuk kurva Lorenz Sebagai contoh, 40 persen penduduk menguasai sekitar 20 persen total pendapatan. Koefisien gini diperoleh dengan membagi luas daerah A dengan (A+B). Jika setiap individu memiliki pendapatan yang sama, maka kurva distribusi pendapatan akan tepat jatuh pada garis lurus 45 derajat pada gambar, dan koefisien gini bernilai 0. Sebaliknya jika seorang individu menguasai seluruh pendapatan, dikatakan terjadi ketimpangan sempurna (maksimum) sehingga kurva distribusi pendapatan akan jatuh pada titik (0,0), (0,100) dan (100,100), dan angka koefisien gini bernilai 1. Menurut Daimon dan Thorbecke (1999), bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya kejadian kemiskinan, kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut, yaitu: Variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Menurut kriteria Bank Dunia, porsi ketidakmerataan pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk. Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut: (1). Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi; (2). Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang/menengah; dan (3). Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah. Penelitian yang Relevan Syawie (2011), dengan judul “Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial” menyatakan bahwa kadar kemiskinan tidak lagi sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi warga masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan dan ketiadaan makanan. Potret kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena sebagian warga masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian lagi hidup serba kekurangan. Kekayaan bagi sejumlah orang berarti kemiskinan bagi oarng lain. Tingkat kesenjangan luar biasa dan relatif cukup membahayakan. Substansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial. Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Dadang, dkk (2008), Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB dalam penelitian dengan judul “Analisis Diskriminan untuk Menentukan Indikator Garis Kemiskinan”. Penelitian dilaksanakan di Subang, Jawa Barat. Hasil penelitian menemukan gold standard garis kemiskinan sebesar Rp. 457.558 per kapita per bulan (US $ 1,61 per kapita per bulan) atau setara dengan 2,29 gram mas murni per kapita per bulan. GK Sajogyo, BKKBN, BPS, Bank Dunia $1 berada di bawah gold standard GK, sedangkan GK Bank Dunia $2 berada di atas gold standard GK. Fungsi diskriminan dengan indikator gabungan yang didasarkan pada gold standard hidup layak minimum memiliki akurasi sebesar 84,01% dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu rumah tangga apakah miskin atau tidak miskin. Fungsi ini lebih sederhana daripada metode yang digunakan BKKBN yang memiliki banyak indikator. Penelitian yang dilakukan oleh Ramdani (2015), Fakultas Ekonomi Universitas Semarang dengan judul “Determinan Kemiskinan di Indonesia Tahun 1982-2012”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apakah terdapat pengaruh antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pengeluaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan terhadap kemiskinan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis desktiptif dan analisis ekonometrika. Analisis ekonometrika dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Squre (OLS). Hasil penelitian menunjukan bahwa semua variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen dibuktikan dari nilai probabilitas (F-statistic) lebih kecil dari α 5%. Hasil Uji t menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran berpengaruh secara parsial terhadap kemiskinan dengan nilai probabilitas lebih kecil dari α 5%, sedangkan variabel pengeluaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan tidak berpengaruh secara parsial terhadap kemiskinan dengan nilai probabilitas lebih besar dari α 5%. Hasil uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 59% dan sisanya sebesar 41% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penelitian yang dilakukan oleh Setiowati (2016), Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau dengan judul “Faktor-Faktor Pendorong Keberhasilan Pemerintah Kabupaten Siak dalam Penanggulangan Kemiskinan di Kecamatan Mempura Kabupaten Siak (Tahun 2011-2015)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Siak serta Kecamatan Mempura telah melakukan kinerja yang sangat baik, dimana angka kemiskinan yang ada di Kecamatan Mempura dapat berkurang, serta masyarakat mendapatkan bantuan dari pemerintah yang dapat membantu kehidupan dan perekonomian masyarakatnya. Hal ini tidak lepas dengan adanya Sumber Daya Manusia yang baik dan juga adanya Koordinasi yang di lakukan untuk Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah, sehingga programprogram kemiskinan dapat berjalan sesuai yang diharapkan serta adanya komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kepulauan Riau. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang dipublikasi BPS Tahun 2005-2017. Sumber dan Analisis Data Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap fenomena yang telah terjadi. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data runtun waktu (time series) yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tahun 2005 hingga tahun 2017. Metode yang didasarkan pada analisis ini adalah dengan pendeskripsian faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud sebagai pendukung hasil dari analisis metode kuantitatif. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan, koefisien gini, dan distribusi pengeluaran menurut kriteria Bank Dunia. (1). Garis Kemiskinan GK merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. GK = GKM + GKNM  Dimana : GK      = Garis Kemiskinan  GKM   = Garis Kemiskinan Makanan  GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan Dimana : GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2.100 kilokalori). Pjk    = Harga komoditi k di daerah j. Qjk    = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.  Vjk    = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.  j        = Daerah (perkotaan atau pedesaan) Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2.100 kilokalori dengan mengalikan 2.100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga:  Dimana: Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j  HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j  Dimana: Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari.  Dimana: NFp = Pengeluaran minimun nonmakanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp). Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok nonmakanan daerah p. ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok nonmakanan menurut daerah . i = Jenis komoditi nonmakanan terpilih di daerah p. p = Daerah (perkotaan atau pedesaan). (2). Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase penduduk yang berada dibawah GK. Dimana :  α  = 0  z  = garis kemiskinan.  yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z  q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.  n  = jumlah penduduk.  (3). Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Dimana:  α  = 1 , z  = garis kemiskinan.  yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z  q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.  n  = jumlah penduduk.  (4). Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) \ Dimana:  α =2, z = garis kemiskinan.  yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, .., q), yi < z  q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.  n  = jumlah penduduk. (5). Kriteria Kemiskinan Bank Dunia Menurut kriteria Bank Dunia porsi ketidakmerataan pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk. Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut: (1). Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi; (2). Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang/menengah; dan (3). Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah. secara detail indikator ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Indikator ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia Distribusi Pendapatan Tingkat Ketimpangan Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya <12% dari keseluruhan pengeluaran Tinggi Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya 12% sampai 17% dari keseluruhan pengeluaran Sedang Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya >17% dari keseluruhan pengeluaran Rendah Sumber : Bank Dunia HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Dalam terminologi umum, hal tersebut didefinisikan sebagai kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut umumnya diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Gambaran garis kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2008-2016 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Garis Kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau, Tahun 2008-2016 Wilayah Garis Kemiskinan (Rupiah) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Sept Sept Sept Sept Maret Sept Kepulauan Riau 276,400 332,602 366,140 353,379 363,450 398,903 425,967 448,652 502,653 Karimun 236,708 237,250 254,789 269,423 274,080 288,856 299,538 309,558 - Bintan 251,976 260,143 274,721 286,007 290,994 298,916 301,829 313,277 - Natuna 172,104 205,825 217,359 253,491 258,596 264,855 267,150 276,828 - Lingga 282,552 289,115 310,489 326,239 331,881 338,049 342,359 354,916 - K. Anambas - - 245,079 255,867 260,523 268,570 271,539 313,042 - Batam 316,740 374,186 401,849 443,164 461,850 482,567 497,415 525,452 - Tanjungpinang 363,831 412,718 435,847 487,633 496,184 506,647 514,741 542,857 - Sumber data: BPS (2018) diolah Dari Tabel 4 juga terlihat GK di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2008 sebesar Rp. 276.005 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 448.652 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. Data hasil Susenas BPS tahun 2016, pada bulan Maret dan September 2016 di Provinsi Kepulauan Riau, maka didapatkan GK Provinsi Kepulauan Riau adalah Rp. 490.157,- per kapita per bulan untuk Maret 2016 dan naik sebesar RP. 12.496,- menjadi Rp.502.653,- per kapita per bulan pada bulan September 2016. GK di Kabupaten Karimun tahun 2008 sebesar Rp. 236.708 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 309.558 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. GK di Kabupaten Bintan tahun 2008 sebesar Rp. 251.976 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 313.277 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. GK di Kabupaten Lingga tahun 2008 sebesar Rp. 282.552 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 354.916 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. GK di Kota Batam tahun 2008 sebesar Rp. 316.740 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 525.452 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. GK di Kota Tanjungpinang tahun 2008 sebesar Rp. 363.831 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 542.857 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. GK di Kota Batam tahun 2008 sebesar Rp. 316.740 per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 525.452 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. Sedangkan GK di Kabupaten Anambas tahun 2010 sebesar Rp. 245.674  per kapita per bulan dan terus terjadi kenaikan menjadi Rp. 313.042 per kapita per bulan pada bulan Maret 2015. Terjadinya kenaikan GK sangat dipengaruhi oleh inflasi, oleh sebab itu nilainya menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dengan memperhatikan komponen GK, yang terdiri dari GKM dan GKBM, terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Secara umum garis kemiskinan makanan memberikan kontribusi sebesar 67,41 persen terhadap garis kemiskinan total di bulan Maret 2016. Demikian pula halnya pada bulan September 2016, peranan GKM terhadap GK adalah sebesar 67,63 persen. Namun jika dibandingkan antara perdesaan dan perkotaan, peranan GKM terhadap GK menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Di perdesaan GKM memiliki peranan sebesar 75,62 persen pada Maret 2016 dan 76,07 persen di September 2016, sedangkan di perkotaan peranan GKM terhadap GK berada pada angka 65,94 persen di Maret 2016 dan 66,13 persen pada bulan September 2016. Mengacu pada definisi GK pada sub bab sebelumnya, maka penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2016, dengan garis kemiskinan sebesar Rp 490.157,- per kapita per bulan, maka diperoleh jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau pada periode tersebut sebanyak 120.412 orang, atau sebesar 5,98 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan penduduk di Provinsi Kepulauan Riau cenderung mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase. Meskipun di bulan Maret 2016 mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,20 poin atau bertambah sebesar 5.578 orang jika dibandingkan dengan bulan September 2015. Diantara provinsi-provinsi di Sumatera, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi dengan persentase jumlah penduduk miskin yang terendah, diikuti Provinsi Kepulauan Riau di urutan kedua. Selama kurun waktu 2012-2016, rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 6,50 persen. Bila dilihat dari tingkat keberhasilan dalam percepatan penurunan persentase jumlah penduduk miskin di tahun 2016, maka provinsi yang memiliki lompatan terbesar adalah Provinsi Sumatera Selatan, berhasil menurunkan persentase jumlah penduduk miskin sebesar 71 basis poin atau sekitar 0,71 persen. Sementara itu, Provinsi Kepulauan Riau menempati urutan keenam dengan penurunan sebesar 26 basis poin atau sekitar 0,26 persen Namun demikian angka tersebut kembali turun pada bulan September 2016. Gambaran jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2007-2016 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel.5. Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Kepulauan Riau 2007-2016 Wilayah Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Sept Sept Sept Sept Maret Sept Kepulauan Riau 148.4 134.4 125.33 138.2 122.5 124.22 119.08 124.17 122.4 119.14 Karimun 19.4 - 15.54 15.4 13.65 13.95 14.81 15.38 14.82 - Bintan 14.7 - 9.24 10.47 9.31 9.29 9.32 9.27 9.25 - Natuna 8.4 - 4.39 3.36 3.01 3.05 2.75 3.05 3.23 - Lingga 26.9 - 15.36 13.65 12.05 12.39 12.34 13.1 13.22 - Kepulauan Anambas - - - 1.8 1.6 1.62 1.77 1.97 2.65 - Batam 55.3 - 54.78 69.75 61.78 62.43 57.52 61.4 59.94 - Tanjungpinang 23.7 - 26.03 23.75 21.1 21.48 20.57 20 19.3 - Sumber: BPS (2018, diolah) Dari Tabel 5 tersebut di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2007 sebesar 148,4 ribu jiwa, kemudian berhasil diturunkan jumlahnya menjadi sebesar 119,14 ribu jiwa pada tahun 2016. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karimun juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 19,4 ribu jiwa menjadi sebesar 14,82 ribu jiwa pada tahun 2015. Di Kabupaten Bintan jumlah penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 14,7 ribu jiwa menjadi sebesar 9,25 ribu jiwa pada tahun 2015. Demikian pula di Kabupaten Natuna jumlah penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 8,4 ribu jiwa menjadi sebesar 3,23 ribu jiwa pada tahun 2015. Di Kabupaten Lingga jumlah penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 26,9 ribu jiwa menjadi sebesar 13,22 ribu jiwa pada tahun 2015. Jumlah penduduk miskin di Kota Tanjungpinang juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 23,7 ribu jiwa menjadi sebesar 19,3 ribu jiwa pada tahun 2015. Sedangkan di Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kota Batam justru jumlah penduduk miskinnya semakin bertambah. Pada tahun 2007 penduduk miskin di Kota Batam sebesar 55,3 ribu jiwa meningkat menjadi sebesar 59,94 ribu jiwa pada tahun 2015. Di Kabupaten Kepulauan Anambas jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 berjumlah 1,8 ribu jiwa menjadi sebesar 2,65 ribu jiwa pada tahun 2015. Penurunan jumlah penduduk miskin ini tidak terlepas dari keberhasilan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Program penanggulangan kemiskinan pemerintah pusat seperti program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil. Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Kepulauan yang diikat dalam MOU pada tahun 2010. Dalam MOU tersebut Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau akan mendanai program penanggulangan kemiskinan sebesar dua kali lipat dari anggaran yang diusulkan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam MOU tersebut ada 14 kegiatan penanggulangan kemiskinan, seperti rehabilitasi Rumah Tidak layak Huni (RTLH), Beasiswa Siswa Miskin (BSM), bantuan listrik dan air bersih, bantuan makanan tambahan bagi anak, bantuan modal usaha, bantuan peralatan dan perlengkapan perikanan, bantuan hewan ternak, dan lain-lain. Terjadinya kenaikan penduduk miskin di Kota Batam diduga disebabkan oleh mobilitas penduduk miskin ke Kota Batam untuk mencari pekerjaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, banyaknya perusahaan yang berhenti berusaha sehingga banyak karyawan di PHK. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad, (1999:226-227), yang menyatakan jumlah penduduk miskin dipengaruhi adanya: (1). pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2). inflasi, (3). pembangunan daerah tidak merata, (4). penggangguran tinggi, (5). mobilitas sosial rendah, (6). memburuknya nilai tukar produk, dan (7). hancurnya industri kerajinan rakyat. Sedangkan terjadinya kenaikan penduduk miskin di Kabupaten Kepulauan Anambas kemungkinan masalah pendataan yang bermasalah karena hambatan geografi dan transportasi. Jika dilihat dari presentase penduduk miskin, persentase penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2008 sebesar 9,18 % berhasil diturunkan menjadi sebesar 5,84% pada bulan September 2016. Gambaran persentase penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2008-2016 secara rinci terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2016 Wilayah Persentase Penduduk Miskin (Persen) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Sept Sept Sept Sept Maret Sept Kepulauan Riau 9.18 8.27 8.05 6.79 6.83 6.35 6.4 6.24 5.84 Karimun 7.29 6.48 7.22 5.93 6.37 6.69 6.85 6.6 - Bintan 7.61 7.01 7.34 6.04 6.29 6.23 6.09 6.07 - Natuna 4.83 4.35 4.84 4.06 4.25 3.78 4.11 4.34 - Lingga 18.43 16.56 15.83 12.98 14.15 14.03 14.75 14.95 - Kepulauan Anambas - - 4.8 3.95 4.17 4.47 4.91 6.58 - Batam 7.22 6.76 7.26 6.11 5.89 5.2 5.3 5.08 - Tanjungpinang 11.56 13.42 12.6 10.52 11.03 10.4 9.94 9.56 - Sumber data: BPS, 2018 (diolah) Dari Tabel 6, presentase penduduk miskin di Kabupaten Karimun berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 7,29% turun menjadi sebesar 6,6% pada tahun 2015. Di Kabupaten Bintan presentase presentase penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 7,61% menjadi sebesar 6,07% pada tahun 2015. Demikian pula di Kabupaten Natuna presentase penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 4,83% menjadi sebesar 4,34% pada tahun 2015. Di Kabupaten Lingga presentase presentase penduduk miskin juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 18,43% menjadi sebesar 14,95% pada tahun 2015. Jumlah penduduk miskin di Kota Tanjungpinang juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 11,56% menjadi sebesar 9,56% pada tahun 2015. Jumlah penduduk miskin di Kota Batam juga berhasil diturunkan, pada tahun 2007 berjumlah 7,22% menjadi sebesar 5,08% pada tahun 2015. Sedangkan di Kabupaten Kepulauan Anambas justru persentase penduduk miskinnya semakin bertambah, pada tahun 2010 sebesar 4,8% menjadi sebesar 6,58% pada tahun 2015. Peningkatan maupun penurunan presentase angka kemiskinan sangat bergantung pada program-program pengentasan kemiskinan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Penduduk miskin adalah penduduk yang sangat rentan dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya, terutama dengan perubahan harga pada bahan makanan. Oleh karena itu, bantuan pemerintah berupa bahan makanan pokok mampu menekan angka kemiskinan, namun dengan bantuan untuk kesehatan dan pendidikan diharapkan mampu menanggulangi kemiskinan. Dalam jangka panjang, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dan dapat hidup mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Pengolahan dan Analisis Data Koefisien Gini Untuk melihat distribusi pengeluaran penduduk sekaligus melihat bagaimana pemerataannya, salah satu ukuran atau indikator yang dapat digunakan adalah koefisien gini. Dengan dihasilkannya angka koefisien gini, akan terdeteksi bagaimana tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di suatu daerah. Nilai koefisien gini selalu bekisar antara 0 dan 1. Jika nilai koefisien gini di bawah 0,3 dapat dikatakan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk di suatu daerah tersebut rendah. Pada interval 0,3-0,5 dalam skala nilai koefisien gini, ketimpangan pengeluaran penduduk di suatu daerah adalah sedang, sedangkan dikatakan ketimpangannya tinggi jika nilainya koefisien gini di atas 0,5. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005-2016, koefisien gini Indonesia antara 0,35 – 0,41 dan adanya kecenderungan naik sampai tahun 2015 menjadi 0,41 dan mulai turun pada 2016 menjadi sebesar 0,40. Sedangkan koefisien gini di Provinsi Kepulauan Riau antara 0,27 – 0,40 dan adanya kecenderungan naik sampai tahun 2014 menjadi 0,40 dan mulai turun pada 2016 menjadi sebesar 0,35. Gambaran koefisien Gini di Provinsi Kepulauan Riau dan Indonesia tahun 2005-2016 seperti pada tabel 7. Tabel 7. Koefisien Gini Provinsi Kepulauan Riau dan Indonesia, tahun 2005-2016 Provinsi Koefisien Gini 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 KEP. RIAU 0.27 0.3 0.3 0.29 0.29 0.32 0.35 0.36 0.4 0.36 0.35 INDONESIA 0.36 0.36 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.40 Sumber : BPS, 2016 (diolah) Dari Tabel 7 terlihat bahwa kondisi ketimpangan pendapatan di Indonesia dari tahun 2005-2016 cenderung tinggi sehingga kesenjangan sosial semakin tahun terlihat semakin melebar. Atau dengan kata lain, distribusi pendapatan masyarakat Indonesia cenderung timpang. Demikian juga untuk data Provinsi Kepulauan Riau kondisi ketimpangan distribusi pendapatan cenderung memburuk. Namun demikian, ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Kepulauan Riau masih lebih baik dibandingkan dengan ketimpangan distribusi pendapatan secara nasional. Pada September 2016, nilai koefisien gini Provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,35, lebih rendah 0,02 poin dibandingkan Maret 2016. Artinya ketimpangan pengeluaran penduduk Kepulauan Riau berada pada kategori sedang. Nilai tersebut mendekati ambang batas ketimpangan rendah (mendekati 0,3). Jika dibandingkan dengan koefisien gini Indonesia, maka koefisien gini Provinsi Kepulauan Riau lebih rendah. koefisien gini Indonesia berada pada angka 0,394 pada bulan September 2016 dan masuk pada kategori sedang. Apabila dibandingkan berdasarkan tipe daerah, perkotaan dan perdesaan, dapat dilihat bahwa koefisien gini di daerah perkotaan lebih tinggi dari pada perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan di daerah perkotaan lebih tinggi, dengan kata lain distribusi pengeluaran penduduk di perkotaan lebih tidak merata dibandingkan pedesaan. Provinsi-provinsi di Sumatera masuk dalam kelompok yang memiliki ketimpangan moderat atau sedang, kecuali Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang masuk dalam kelompok ketimpangan rendah, kecuali tahun 2013. Secara rata-rata gini ratio selama lima tahun, Provinsi Kepulauan Riau menempati urutan kedelapan se-Sumatera dalam hal tingkat kerataan distribusi pendapatan penduduknya. Ketimpangan pendapatan terendah ditempati oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan ketimpangan tertinggi ditempati oleh Sumatera Selatan. Bila dilihat dari keberhasilan pemerintah daerah dalam percepatan penurunan ketimpangan pendapatan penduduk pada tahun 2016, maka Provinsi Bengkulu berada pada posisi teratas dimana telah berhasil menurunkan angka koefisien gini sebesar 0,019 poin dari 0,376 di tahun 2015 menjadi 0,357 di tahun 2016. Sementara itu, Provinsi Kepulauan Riau menempati posisi kedelapan sebesar 0,010 poin, yaitu dari 0,364 di tahun 2015 menjadi 0,354 di tahun 2016. Apabila dibandingkan berdasarkan kabupaten/kota, dapat dilihat bahwa koefisien gini di Kota lebih tinggi dari pada di Kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan di Kota lebih tinggi dari pada di Kabupaten, dengan kata lain distribusi pengeluaran penduduk di Kota lebih tidak merata dibandingkan di Kabupaten. Gambaran koefisien Gini seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Riau tahun 2007-2017 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Koefisien Gini Seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, tahun 2007-2017 Wilayah Koefisien Gini 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Per Tahun Kepulauan Riau 0.3 0.3 0.29 0.29 0.32 0.35 0.36 0,40 0,36 0.35 0.35 Karimun 0.26 0.21 0.25 0.26 0.32 0.33 0.31 0.3 - - - Bintan 0.3 0.3 0.28 0.29 0.29 0.33 0.36 0.36 - - - Natuna 0.15 0.22 0.27 0.31 0.34 0.36 0.39 0.35 - - - Lingga 0.19 0.28 0.28 0.28 0.3 0.34 0.3 0.31 - - - Kepulauan Anambas - - - 0.31 0.3 0.39 0.36 0.33 - - - Batam 0.28 0.27 0.29 0.29 0.32 0.39 0.34 0.41 - - - Tanjungpinang 0.21 0.24 0.25 0.24 0.3 0.34 0.36 0.36 - - - Sumber data: BPS (2018) diolah Dari Tabel 8, terlihat bahwa koefisien Gini hampir seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau terjadi kenaikan, seperti di Kabupaten Karimun pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,26 menjadi sebesar 0,30 pada tahun 2014. Kabupaten Bintan pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,30 menjadi sebesar 0,36 pada tahun 2014. Kabupaten Natuna pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,15 menjadi sebesar 0,35 pada tahun 2014. Kabupaten Lingga pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,19 menjadi sebesar 0,31 pada tahun 2014. Kabupaten Kepulauan Anambas pada tahun 2010 koefisien Gini dari sebesar 0,31 menjadi sebesar 0,33 pada tahun 2014. Sedangkan di Kota Batam pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,28 menjadi sebesar 0,41 pada tahun 2014. Sedangkan di Kota Tanjungpinang pada tahun 2007 koefisien Gini dari sebesar 0,21 menjadi sebesar 0,36 pada tahun 2014. Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Upaya penanggulan kemiskinan tentu tidak hanya berfokus pada beberapa jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Lebih daripada itu, penanggulangan kemiskinan harus meliputi beberapa aspek, seperti seberapa jauh jurang pendapatan si miskin dari GK serta distribusi pengeluaran antara penduduk miskin. Ada tiga ukuran kemiskinan yang bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan di suatu daerah. Ukuran tersebut adalah poverty incidence (P0) merupakan ukuran yang menggambarkan prevalensi kemiskinan dalam suatu masyarakat. Angka ini memiliki kelemahan karena tidak menggambarkan seberapa parah kemiskinan yang terjadi di suatu daerah. Poverty Gap (P1), mengukur seberapa jauh jurang/gap pendapatan si miskin dari GK, akan tetapi tidak menggambarkan jumlah penduduk miskin serta tidak terdeteksi distribusi antar penduduk miskin yang timpang. Ukuran terakhir adalah poverty severity (P2), mengukur seberapa parah kemiskinan yang terjadi dengan mengukur ketimpangan pendapatan antar penduduk miskin. Kelemahan dari P2 adalah tidak menggambarkan jumlah penduduk miskin. Dalam analisis kemiskinan dan pengambilan kebijakan dalam hal penanggulangan kemiskinan, ketiga ukuran kemiskinan ini harus disertakan. Dengan mempertimbangkan ketiga ukuran tersebut, diharapkan kebijakan yang akan diambil dapat menyentuh seluruh aspek sehingga penanggulangan kemiskinan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Seperti halnya jumlah persentase penduduk miskin yang menunjukkan trend fluktuatif, nilai P1 dan P2 juga menunjukkan pola yang hampir sama. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2016 secara rinci pada Tabel 9. Tabel 9. Perkembangan P1 di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2016 Wilayah Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) (Persen) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Sept Sept Sept Sept Maret Sept Kepulauan Riau 1.87 1.44 1.31 1.17 0.85 1.02 0.74 0.96 0.71 Karimun 1.15 0.81 0.85 0.95 0.72 0.83 0.6 0.83 - Bintan 0.79 1.23 1.34 0.96 0.82 0.85 0.52 0.76 - Natuna 1.4 0.57 0.71 0.73 0.68 0.58 0.42 0.44 - Lingga 4.73 2.78 3.16 2.13 2.49 2.12 1.54 1.9 - Kepulauan Anambas - - 0.81 0.47 0.28 0.6 0.43 0.99 - Batam 1.42 1.55 1.06 0.72 0.82 0.75 0.55 0.7 - Tanjungpinang 4.14 2.56 2.56 2.03 1.45 1.21 0.92 1.2 - Sumber data: BPS (2018) diolah Apabila dilihat dari trend nya, nilai P1 untuk daerah perkotaan menunjukkan penurunan. Berbeda dengan daerah perdesaan yang terlihat naik dengan nilai P1 lebih dari 1. Artinya, penduduk miskin di perdesaan semakin jauh dari garis kemiskinan. Dengan kata lain nilai P1 yang cukup tinggi (lebih dari 1) di perdesaan menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi penduduk miskin di perdesaan sangat terpuruk. Penurunan nilai indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan, demikian pula halnya dengan kenaikan nilai indeks, yang mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan. Tingkat kedalaman kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau relatif lebih baik dibanding mayoritas provinsi di Sumatera lainnya. Provinsi Kepulauan Riau berada di urutan kedua sebagai provinsi yang memiliki tingkat kedalaman kemiskinan terendah se-Sumatera setelah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selama kurun waktu 2012-2016, rata-rata indeks kedalaman kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,90, sementara Provinsi Bangka Belitung memiliki rata-rata indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,62. Pada tahun 2012, Aceh menempati peringkat sembilan dan Bengkulu menempati peringkat terbuncit. Tetapi pada tahun 2016 Provinsi Aceh berhasil menyalip Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu berhasil menurunkan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,38 poin, sedangkan Aceh justru mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,38 poin. Peningkatan pada indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan bahwa kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin dengan garis kemiskinan semakin meningkat. Jika dilihat dari sisi capaian dalam menurunkan tingkat kedalaman kemiskinan, maka Provinsi Sumatera Selatan adalah provinsi yang paling berhasil dalam memperbaiki rata-rata kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, kemudian diikuti oleh Bengkulu dan Kepulauan Riau. Pada tahun 2016, Provinsi Kepulauan Riau berhasil menurunkan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,08 poin, yaitu dari 0,97 di tahun 2015 menjadi 0,89 di tahun 2016. Nilai P2 memberikan informasi tentang seberapa timpang pengeluaran antar penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Dari nilai P2 di perdesaan jauh lebih tinggi dari perkotaan, dan menunjukkan trend meningkat. Berbeda dengan nilai indeks P2 daerah perkotaan yang terlihat menurun setiap tahunnya. Artinya ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin lebih tinggi di perdesaan di bandingkan dengan di perkotaan. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2016 secara rinci pada Tabel 10. Tabel 10. Perkembangan P2 di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2016 Wilayah Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) (Persen) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Per Tahun Per Tahun Per Tahun Sept Sept Sept Sept Maret Sept Kepulauan Riau 0.55 0.59 0.36 0.3 0.19 0.26 0.18 0.24 0.15 Karimun 0.34 0.17 0.14 0.22 0.12 0.16 0.11 0.2 - Bintan 0.16 0.31 0.39 0.2 0.14 0.22 0.13 0.19 - Natuna 0.46 0.11 0.17 0.22 0.21 0.11 0.08 0.07 - Lingga 1.53 0.77 1 0.6 0.64 0.51 0.35 0.46 - Kepulauan Anambas - - 0.2 0.09 0.03 0.18 0.12 0.26 - Batam 0.36 0.52 0.25 0.17 0.18 0.16 0.11 0.14 - Tanjungpinang 1.31 0.75 0.92 0.61 0.3 0.29 0.21 0.27 - Sumber data: BPS (2018) diolah Apabila dilihat dari trendnya, nilai P1 untuk daerah perkotaan menunjukkan penurunan. Berbeda dengan daerah perdesaan yang terlihat naik dengan nilai P1 lebih dari 1. Artinya, penduduk miskin di perdesaan semakin jauh dari garis kemiskinan. Dengan kata lain nilai P1 yang cukup tinggi (lebih dari 1) di perdesaan menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi penduduk miskin di perdesaan sangat terpuruk. Nilai P2 memberikan informasi tentang seberapa timpang pengeluaran antar penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kepulauan Riau, Maret 2013–September 2016 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan P1 dan P2 di Perkotaan dan Perdesaan Kepulauan Riau, 2013–2016 Tahun Poverty Gap (P1) Poverty Severity (P2) Desa Kota K+D Desa Kota K+D (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Maret 2013  0.43  0.75 0.70 0.07 0.17 0.15 Sept 2013 0.93  1.04 1.02 0.21 0.26 0.26 Maret 2014   0.61  1.00 0.94 0.09 0.30 0.27 Sept 2014 0.67 1.09 0.74 0.17 0.24 0.18 Maret 2015 0.91  1.26 0.97 0.22 0.22 0.25 Sept 2015 0.80  1.2 0.86 0.23 0.23 0.23 Maret 2016  0.78  1.53 0.89 0.18 0.18 0.21 Sept 2016 0.62  1.23 1.23 0.13 0.13 0.15 Sumber: BPS, 2016 (diolah) Dari Tabel 11, dapat dilihat bahwa nilai P2 di perdesaan jauh lebih tinggi dari perkotaan, dan menunjukkan trend meningkat. Berbeda dengan nilai indeks P2 daerah perkotaan yang terlihat menurun setiap tahunnya. Artinya ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan. Dari sisi tingkat keparahan kemiskinan, Provinsi Kepulauan Riau juga menempati posisi kedua keparahan kemiskinan yang terendah setelah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Semakin rendah indeks keparahan kemiskinan menunjukkan sebaran pengeluaran penduduk miskin semakin merata. Selama kurun waktu 2012-2016, rata-rata indeks keparahan kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,22, sementara Provinsi Bangka Belitung memiliki rata-rata indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,13. Secara umum indeks keparahan kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau cenderung menurun dari 0,23 pada tahun 2012 menjadi 0,20 pada tahun 2016. Selama kurun waktu tersebut, indeks keparahan kemiskinan sempat meningkat dari 0,15 menjadi 0,27 pada tahun 2014. Bila dilihat dari sisi capaian dalam menurunkan tingkat keparahan kemiskinan, maka Provinsi Sumatera Selatan adalah provinsi yang paling berhasil dalam memperbaiki tingkat keparahan kemiskinan, kemudian diikuti oleh Bengkulu dan Kepulauan Riau. Pada tahun 2016, Provinsi Kepulauan Riau berhasil menurunkan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,05 poin, yaitu dari 0,25 di tahun 2015 menjadi 0,20 di tahun 2016. Pada tahun 2015 terdapat empat provinsi yang berhasil memperkecil indeks keparahan kemiskinan, yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Riau. Sementara enam provinsi lainnya; Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Aceh mengalami peningkatan keparahan kemiskinan. Dari uraian di atas mengenai perkembangan nilai P0, P1 dan P2, maka dapat dapat dilihat bahwa pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan membutuhkan biaya, waktu dan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan. Usaha pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan hendaknya dibarengi dengan pembangunan baik pembangunan fisik maupun manusianya. Dengan kondisi geografis di Provinsi Kepulauan Riau yang cenderung sulit dalam masalah transportasi, akses menjadi masalah utama dalam hal pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan. Distribusi Pengeluaran Kriteria Bank Dunia Indikator lain untuk melihat distribusi pendapatan antar kelompok penduduk adalah kriteria Bank Dunia. Kriteria Bank Dunia membagi kelompok penduduk menjadi tiga bagian besar, yaitu 20 persen penduduk berpendapatan tinggi, 40 persen penduduk berpendapatan menengah dan 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Kelompok pertama adalah bagian dari penduduk terkaya dan kelompok ketiga adalah bagian penduduk termiskin. Sedangkan kelompok kedua sering dikatakan sebagai masyarakat kelas menengah. Berdasarkan kriteria Bank Dunia indikator ketimpangan distribusi pendapatan seperti pada Tabel 12. Tabel 12. Indikator ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia Distribusi Pendapatan Tingkat Ketimpangan Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya <12% dari keseluruhan pengeluaran Tinggi Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya 12% sampai 17% dari keseluruhan pengeluaran Sedang Pengeluarannya >17% dari keseluruhan pengeluaran Rendah Sumber : Bank Dunia Berdasarkan data BPS (2011), perkembangan distribusi pendapatan 40% penduduk termiskin dari tahun 1999 sampai tahun 2010 sesuai dengan kriteria Tabel 5 dengan tingkat ketimpangan tinggi. Pada tahun 2011, terjadi penurunan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menjadi sedang (16,85%). Perkembangan pembagian distribusi pendapatan nasional sesuai kriteria Bank Dunia tahun 1999-2011 secara lengkap pada Tabel 13. Tabel 13. Persentase Pembagian Pendapatan Nasional di Antara 3 Lapisan Pendapatan 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 40% pendapatan terendah 21,66 20,92 20,57 20,80 18,81 19,75 19,10 19,56 21,22 18,05 16,85 40% pendapatan menengah 37,77 36,89 37,10 37,13 36,40 38,10 36,11 35,67 37,54 36,48 34,73 20% pendapatan tertinggi 40,57 42,19 42,33 42,07 44,78 42,15 44,79 44,77 41,24 45,47 48,42 Sumber : BPS, (2011) diolah Dari Tabel 13. bahwa secara umum, distribusi pendapatan di Indonesia pada kondisi tahun 1999 sampai tahun 2010 berada pada kategori ketimpangan rendah, karena kelompok penduduk berpenghasilan rendah menerima 21,66 persen (tahun 1999) dan 18,05 persen (tahun 2010) pendapatan nasional. Pada tahun 2011 ketimpangan naik menjadi kategori sedang. Tabel 14. Persentase Pembagian Pendapatan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2016 Mei 2016 September 2016 Desa Kota Desa+ Kota Desa Kota Desa+ Kota 40% pendapatan terendah 22.78 18.61 18.15 23.50 18.62 18.48 40% pendapatan menengah 39.23 38.87 38.32 40.60 39.37 38.88 20% pendapatan tertinggi 37.99 42.53 42,53 35.90 42.53 42.64 Sumber data : BPS, (2016) diolah Dari Tabel 14, terlihat bahwa daerah Kepulauan Riau pada kondisi Maret 2016 dan September 2016 berada pada kategori ketimpangan rendah, karena kelompok penduduk berpenghasilan rendah menerima 18,57 persen (Maret 2016) dan 18,48 persen (September 2016). Demikian pula halnya bila dilihat berdasarkan tipe daerah, maka baik daerah perdesaan maupun perkotaan berada pada kategori low inequality. Namun demikian ketimpangan lebih baik di perdesaan dibandingkan di perkotaan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari hasil dan pembahasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan: Penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau dilihat dari jumlah dan presentase penduduk miskin cenderung menurun. Koefisien Gini penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau cenderung naik, sehingga adanya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini juga sesuai dengan kriteria Bank Dunia bahwa distribusi pendapatan dengan tingkat ketimpangan rendah. Penurunan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan, demikian pula halnya dengan kenaikan nilai indeks, yang mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan. Dilihat perkembangan nilai P0, P1 dan P2, maka dapat dapat dilihat bahwa pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan membutuhkan biaya, waktu dan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan. Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat menurunkan jumlah dan presentase penduduk miskin. Dari kesimpulan di atas, bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks sehingga dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia untuk ikut berperan serta dalam meminimalkan jumlah kemiskinan agar negara kita bisa bangkit dari keterpurukan baik dari krisis ekonomi maupun kemiskinan yang semakin meningkat tiap tahunnya, agar negara kita bisa berkembang dan maju serta sejajar dengan negara maju yang sejahtera. Program penanggulangan kemiskinan yang dibuat MOU antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Pemerintah Kabupaten/Kota tahun 2010 sebaiknya dapat diprogramkan kembali agar jumlah dan presentase penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau dapat menurun, sehingga koefisin gini semakin mengecil dan distribusi pendapatan semakin merata. DAFTAR PUSTAKA Linconin Arsyad.1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Linconin Arsyad.1999. Ekonomi Pembangunan. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta. Boediono. 1999. Ekonomi Makro, Edisi Keempat. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. BPS Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2012. Hasil Susenas di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2012. BPS Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2012. Profil Kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011. Kerjasama BPS dengan Bappeda Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik 2013. BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2016. Data dan Informasi Kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016. BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Kepulauan Riau 2017. BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Kepulauan Riau Dalam Angka 2017. BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Badan Pusat Statistik. 2018. Berita Resmi Statistik 2018. BPS Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Bappenas. 2013. Laporan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pengentasan Kemiskinan. Bappenas, Jakarta. Cuong, N. V., 2011. Poverty projection using a small area estimation method: Evidence from Vietnam. Journal of Comparative Economics, 39(3), p. 368–382. Cysne, R. P. & Turchick, D., 2012. Equilibrium unemployment-inequality correlation. Journal of Macroeconomics, Volume 34, p. 454– 469. Dumairy. 1995. Evaluasi kebijakan pemerintah menanggulangi masalah kemiskinan dan kesenjangan pada PJP II. Bappenas, Jakarta. Awan Setya Dewanta (Eds.). Kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia. BPFE, Yogyakarta: Aditya Media Emma Aisbett, Harrison and Alix Zwane. 2006. Globalization and poverty: what is the evidence?. University of California. Berkeley. Gokan, Y., 2011. Poverty traps, the money growth rule, and the stage of financial development. Journal of Economic Dynamics and Control, 35(8), p. 1273–1287. I.A Septyana Mega Putri dan Ni Nyoman Yuliarmi. 2013. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bali. E-Jurnal EP Unud. Vol 2, No 10. Jonaidi, Airus. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi. Vol 1, No 1. Kemal A. Stamboel. 2012. Panggilan Keberpihakan (Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kemal Stamboel. 2013 Mampukah Anggaran Negara Mengentaskan Kemiskinan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mankiw, N.Gregory. 2006. Pengantar Ekonomi Mikro, Edisi Ketiga. Penerjemah: Chriswan Sungkono. Salemba Empat, Jakarta. Menteri Keuangan. 2013. Pokok-pokok Nota Keuangan dan RAPBN. Kementerian Keuangan, Jakarta. Molnar, Maria. 2009. Development and poverty in Romania. Institute of National Economy. Romania Academy. Mudrajad Kuncoro. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Mudrajad Kuncoro. 2007. Metode Kuantitatif. UPP AMP YKPN, Yogyarakta. Prasetyo, Eko P. 2009. Fundamental Makro Ekonomi. Beta Offset, Yogyakarta. Saliman. 2003. Menggugat Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Sukirno, Sadono. 2004. Makro Ekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan (Edisi Kedua). Kencana, Jakarta. Samuelson, Paul A. dan Nordhaus William D. 1996. Makroeknomi. Penerbit Erlangga, Jakarta. Todaro, Michael.P dan Smith, Stephen C. 1995. Pembangunan Ekonomi. (Edisi Kesembilan). Penerbit Erlangga, Jakarta. Widodo, Adi., Waridin, dan Johanna Maria K. 2011. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. Vol 1, No 1. World Bank. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. World Bank, Washington, USA. Yanti Nurfitri, 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Dan Tingkat Kesempatan Kerja Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1999-2009. Yogyakarta: UPN, Yogyakarta.