[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

ETIKA PROFESI DAN SPIRITUALITAS

Etika adalah sebuah kedisiplinan yang berkaitan dengan pertimbangan moral, baik atau buruknya suatu tingkah laku, dan benar atau tidaknya sebuah tindakan.

ETIKA PROFESI DAN SPIRITUALITAS Oleh: Ajeng Pipit Model Infrastuktural Yang Diajukan Untuk Pembentukan Sistim Etika Pada Organisasi Oleh Lois P. White dan Long W. Lan Peneliti mengelompokkan infrastruktur sistem sebagai hasil dari penggabungan tiga faktor besar yaitu: means atau cara, motivations atau motivasi, dan opportunity atau kesempatan. Etika menurut Ferrel and Fraedrich (1994), MacKinnon(1995), Shaw ( 1991) dalam Lois P. White dan Long W. Lan adalah sebuah kedisiplinan yang berkaitan dengan pertimbangan moral, baik atau buruknya suatu tingkah laku, dan benar atau tidaknya sebuah tindakan. Menurut Holloman (1991) dalam Lois P. White dan Long W. Lan Pertimbangan disini dilakukan oleh seorang individual yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku dari individu tersebut. Sebuah kelompok atau organisasi tidak “mempertimbangkan” atau “berlaku” , sebaliknya sebuah kelompok atau organisasi terdiri dari individual-individul yang membawa niai moral mereka masing-masing yang digunakan ketika mereka akan melakukan sebuah pertimbangan moral. Sistim nilai individual yang sering kita temukan sebenarnya adalah hasil dari pegaruh ingkungan yang secara eksplisit maupun implisit telah menyebar. Literature Review Lois P. White dan Long W. Lan menggunakan literatur yang menjelaskan tipe dari sistim yang dimiliki oleh suatu organisasi dalam penerapan sistim etika dan kode etik didalam organisasinya dan juga hasil penerapannya adalah bermacam-macam. Pada survey 1987, 85% dari 2000 perusahaan US memiliki kode etik tertulis. Pada survey tahun 1997, tiga dari empat perusahaan memiiki kode etik tertulis. Survey-survey ini membuktikan bahwa adanya kode etik tertulis merupakan pendekatan yang sangat umum dalam usaha menyuntikkan sistim etika dalam suatu organisasi, walaupun demikian penerapannya adalah persoalan lain. Bohren (1992) dalam Lois P. White dan Long W. Lan menyatakan bahwa keberadaan kode etik merupakan suatu hal penting namun bukanlah kondisi ideal untuk membangun sebuah iklim organisasi etis daam sebuah organisasi. Bohren menyarankan kode etik harus digabungkan dengan pelatihan dan pendidikan managemen serta karyawan yang efektif. Namun demikian hanya 28% perusahaan yang merespon survey yang dilakukan Borhen yang memang menyediakan pelatihan bagi karyawannya walaupun pelatihan dan pendidikan karyawan disetujui sebagai salah satu cara untuk membangun iklim etis didalam organisasi. Selain itu, pendekatan dan metode dalam melakukan pelatihan terhadap karyawan juga berbeda-beda dan tentunya akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Bukti empiris dari kesuksesan berbagai macam metode pelatihan ini juga sangat jarng ada karena dalam melakuka pelatihan perusahaan hanya fokus padda penyampaiannya daripada keefektifan program tersebut. survey yang dilakukan Working Women membuktikan bahwa 11% pembaca telah mendapatkan pelatihan semacam itu, namun hanya 1% yang percaya bahwa pelatihan tersebut akan benar-benar membuahkan hasil dan membawa perbedaan. Model Ethical Behaviour Model Ethical Behaviour memiliki komponen level makro dari faktor yang membawa ethical behaviour di lingkungan kerja. Dalam faktor ini terdapat means, motivation, dan opportunity dalam kaitannya dengan keterlibatan dalam perilaku tidak etis. Means Means disini dimaksudkan dengan suatu peraturan, prosedur, dalam perusahaan yang tidak terbatas hanya dalam etika-nya saja, namun lebih condong kepada apakah suatu organisasi telah menyediakan suatu peraturan yang jelas untuk menghindarkan dari perilaku tidak etis. Lois P. White dan Long W. Lan juga berpendapat bahwa iklim didalam suatu organisasilah yang menentukan apakah peraturan etika dan prosedur berkaitan dengan etika akan dibuat dan dilaksanakan. Motivation Setiap individu yang masuk ke dalam suatu organisasi membawa tujuan dan motivasinya sendiri-sendiri, keinginan untuk mendapatkan atau mencapai sesuatu, bahkan keinginan akan dominasi dan kekuasaan. Motivasi dapat menjadi sebuah cermin dari sistim nilai yang kita miliki, dan lingkungan sosial dapat mempengaruhi sistim nilai tersebut. lingkungan sosial juga dapat di pengaruhi oleh individu-individu yang ada dalam suatu organisasi dan dapat menyebarkan perlakuan tidak etis yang dilakukan oleh orang lain. Opportunity Menurut Lois P. White dan Long W. Lan pelatihan yang menanamkan nilai-nilai etika harusnya dibedakan tergantung pada klasifikasi masing-masing posisi atau jabatan. Menurut Cyriac (1992) dalam Lois P. White dan Long W. Lanetika harus diintegrasikan pada spesialisasi fungsional dan teknikal dari management. Setiap fungsi dari manajemen dan pada setiap area dari pendidikan bisnis harus mendiskusikan secara ekstensif dan mendebatkan dengan serius tentang masalah etika. Lois P. White dan Long W. Lan menyarakan bahwa sebuah ethical dilemma adalah hasil dari interaksi means, motivation, dan opportunity. Institusionalisasi Etika dalam Organisasi Lois P. White dan Long W. Lan menemukan bahwa analisis mereka sejauh ini berfokus pada komponen yang membentuk infrastruktur dari dilema etis tersebut, jadi untuk mewujudkan sebuah sistem etika pada suatu organisasi, sistim etika di organisasi tersebut harus berakar dari infrastruktur tersebut. Lois P. White dan Long W. Lan telah mendefinisikan means sebagai ketentuan, syarat, dan prosedur yang ada dalam sebuah perusahaan. Menurut Paine (1994) dalam Lois P. White dan Long W. Lan, manajemen memiliki tanggung jawab atas tindakan etis dan melalui strategi yang berintegritas, kurangnya etika dapat teratasi. Motivation disini berfokus pada suatu tingkah laku yang diakibatkkan oleh proses interaksi antara nilai individu dan nilai organisasi yang merupakan manivestasi dari budaya atau iklim dari suatu organisasi tersebut. Opportunity disini dilihat sebagai lingkungan dimana tingkah laku tidak etis tersebut terjadi. Setiap posisi memiliki dilemma etis sendiri dan berbeda-beda dalam setiap posisinya. Kesimpulan Lois P. White dan Long W. Lan menganjurkan model yang menyediakan alat untuk menembus pembatas dari beberapa perisai terhadap infusi etika dalam organisasi. Dengan model ini diharapkan manajer yang menganggap etika adalah sebuah hal yang personal akan menyadari bahwa ada hubungan antara lingkungan ethic dalam suatu perusahaan dengan penilaian etika dari masing-masing individu. Di samping itu Lois P. White dan Long W. Lan juga menganjurkan adanya “ethical audit” yatu berupa audit sosial dan moral dalam suatu organisasi. Tujuannya adalah untuk menginformasikan kepada publik dimana keterlibatan mereka dalam sebuah atau beberapa masalah sosial yang terjadi, dan untuk menjelaskan bagaimana peraturan mereka dan akibat tindakan mereka terhadap lingkungan sosial. Lois P. White dan Long W. Lan juga menekankan pentingnya dilakukan training yang disesuaikan dan dikhususkan pada masing-masing kelas jabatan setiap individu. Mengembangkan Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good Governance PENDAHULUAN Terungkapnya skandal Enron yang melibatkan salah satu the big five accounting firm, yaitu Arthur Anderson dan kemudian disusul oleh skandal Merck, Qwest, Xerox, dan Worldcom, dampak yang dirasakan dalam dunia bisnis tak hanya berupa krisis ekonomi, namun juga krisis moral. Dampak Skandal tersebut juga merembet ke negara-negara lainnya. Sehingga, kalangan pemerintah dan legislatif di Amerika Serikat mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act of 2002 untuk mengatur perusahaan dan Public Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002 untuk mengatur praktik akuntan publik, (Purba, 2002). Berbagai skandal akuntansi yang terjadi menunjukan bahwa kurangnya independensi yang dimiliki oleh seorang akuntan, khususnya dalam menaati kode etik profesi akuntansi. Berbagai kasus pelanggaran etika berdampak pada rapuhnya integritas akuntan, bahkan akan menimbulkan krisis terhadap profesi akuntan itu sendiri. Maka dibutuhkanlah suatu reformasi profesi akuntan dengan menerapkan dan memantapkan regulasi diri, menghentikan jasa konsultasi untuk klien audit, melakukan rotasi tugas auditor pada klien, membatasi infiltrasi auditor ke perusahaan, dan membersihkan standar akuntansi keuangan dan aturan yang memungkinkan creative accounting. Etika sebagai Basis Profesionalisme Akuntan Menurut Brooks (1989), kualitas jasa akuntansi merupakan fungsi dari kompetensi teknis dan pertimbangan (judgment), dimana pertimbangan ini tergantung pada integritas akuntan yang membuat keputusan. Seorang akuntan harus bebas secara moral dari konflik kepentingan (independen). Dengan kompetensi dan independensi, akuntan akan dapat membuat pertimbangan dan keputusan yang tepat menyangkut obyek auditnya. Acuan normatif dan muatan moral akuntan antara lain kode etik profesi akuntan, standar profesional akuntan publik, dan standar akuntansi keuangan yang telah dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik perilaku akuntan seharusnya memberikan pedoman yang cukup bagi akuntan untuk menjalankan perannya sebagai profesional, dan menginformasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti investor, manajemen atau agensi pemerintah bagaimana akuntan seharusnya bertindak (Brooks, 1989). Pengembangan Etika di Organisasi White & Lam (2000) menyatakan bahwa sistem etika banyak diterapkan di organisasi karena kode etik merupakan pendekatan yang tipikal untuk infusi sistem etis. Hal ini didudkung oleh survei yang dilakukan oleh Ethics Resource Centre pada tahun 1997 yang menunjukkan bahwa tiga dari empat perusahaan yang disurvei telah mempunyai standar tertulis tentang perilaku etis dalam bisnis. Selain itu, hasil survei Ireland (1991) menunjukkan bahwa 85% dari 2000 perusahaan di Amerika Serikat dilaporkan telah mempunyai kode etik tertulis. Hal ini menujukan bahwa adanya kemauan positif bagi kebanyakan perusahaan untuk lebih mengedepankan etika di dalam bisnisnya. Pengembangan Etika di Organisasi Menurut White & Lam (2000) ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan untuk menuju suatu sistem organisasi yang etis dengan institusionalisasi etika. Adanya kode etik perlu dikombinasikan dengan manajemen yang efektif dan pendidikan kepada karyawan. Fungsi kode etik adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang tinggi dalam bisnis (Kavali dkk., 2001), atau secara prinsip sebagai petunjuk atau mengingatkan untuk berperilaku terhormat dalam situasi-situasi tertentu (Lozano, 2001). Ludigdo (2005) menyatakan bahwa individu-individu lebih suka menghadapi dilema etis jika (1) organisasi tidak memberikan "means" untuk mencegah perilaku tidak etis, (2) individu-individu mempunyai personal "motivation" yang didapatkan dari perilaku tidak etis, dan (3) posisi kerja memberikan "opportunity" untuk mendorong praktik tidak etis. Murphy (1989) menjelaskan pengertian Corporate credos adalah pernyataan ringkas tentang nilai-nilai yang diserap oleh perusahaan dan melukiskan tanggungjawab etis perusahaan kepada stakeholders-nya. Tujuan dari credo adalah menunjukkan seperangkat prinsip dan keyakinan yang dapat memberikan pedoman dan arahan dalam bekerja. Ethics program yang dikemukakan oleh Murphy (1989) memberikan arahan yang lebih spesifik daripada credo yang berhubungan dengan masalah-masalah etis yang spesifik. Jose & Thibodiaux (1999) menemukan bentuk institusionalisasi eksplisit meliputi adanya kode etik, pelatihan etika, ethics newsletter, ethics hotline, ethics officer, dan komite audit. Sementara itu bentuk implisit dalam institusionalisasi etika meliputi reward system. Bentuk institusionalisasi implisit ini yang popular meliputi dukungan manajemen puncak, kepemimpinan etis, dibukanya saluran komunikasi, dan budaya organisasi. Sebaliknya upaya yang paling tidak populer meliputi ethics officers dan ethics hotline. Pengembangan Etika dalam Konteks Organisasi KAP Ludigdo (2005) menyatakan bahwa Pembauran nilai (etika) individu pada budaya organisasi dan penyediaan pengalaman dan pembelajaran etika terjadi melalui suatu proses tertentu, yang dapat berlangsung secara sistematis dengan pola pengembangan tertentu pula. Giddens (2003) menyatakan bahwa Dalam perspektif strukturasi suatu tindakan (atau dalam hal ini praktik etika) merupakan interaksi antara individu dengan struktur sosial yang melingkupinya. Berger & Luckmann (1966; 33) menyatakan bahwa dunia hidup sehari-hari tidak hanya taken for granted sebagai realitas yang diciptakan oleh anggota-anggota masyarakat dalam makna perilaku hidupnya yang subyektif, tetapi lebih pada sebuah dunia yang berawal dalam pemikiran dan tindakan, dan kemudian dipelihara sebagai sesuatu yang riil. Pengembangan praktik etika di KAP dilakukan sekaligus baik secara eksplisit maupun implisit, sehingga di dalamnya harus pula selalu memperhatikan means, motivation dan opportunity. Berdasar kepada pendapat Cooper & Sawaf, Agustian (2001; 289) maka perhatian pada EQ akan dapat mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan empati. Selain itu peningkatan SQ diperlukan dalam pengembangan praktik etika di KAP, sehingga perilaku akuntan dan staf professional lainnya tidak terperosok lebih dalam pada situasi yang jauh dari perilaku etis. SQ memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain (Zohar & Marshall, 2001; 12). Simpulan Model pengembangan etika yang komprehenship, termasuk di dalamnya penguatan personalitas individu-individu anggota KAP, maka profesi akuntan publik akan dapat berperan lebih baik dalam penciptaan good governance di Indonesia. Pengembangan secara komprehenship ini dapat dilakukan dengan menggabungkan pelatihan IQ, EQ, dan SQ dari seorang akuntan publik. Upaya lain yang dilakukan antara lain dengan adanya kode etik, pelatihan etika, ethics newsletter, ethics hotline, ethics officer, dan komite etika. Sementara itu upaya dalam bentuk implisit meliputi reward system, sistem evaluasi kinerja, sistem promosi, budaya organisasi, kepemimpinan etis, dukungan dari manajemen puncak, dan saluran komunikasi yang terbuka. Point Pembahasan dan Komentar Berdasarkan dua jurnal di atas, dan beberapa contoh kasus yang terjadi kaitannya dengan profesi akuntan, terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita ambil yaitu yang pertama seharusnya menjadi seorang akuntan harus mampu berlaku jujur dalam menjalankan profesinya, menghindari berbagai tindak kecurangan yang bisa merugikan diri sendiri maupun pihak yang lain. Dalam berorganisasi juga sering terjadi berbagai tindakan yang tidak beretika, hal ini bukan hanya terjadi karena ada cara, motivasi, dan juga kesempatan yang dimiliki oleh seorang individu. Namun ada hal lain yang juga menjadi salah satu point penting yang mempengaruhi tindakan seseorang yaitu perilaku atasan. Jika perilaku seorang atasan sering tidak etis, maka secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi orang-orang yang berada di lingkungan organisasi tersebut untuk melakukan hal yang sama yaitu perilaku tidak etis. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial berorganisasi seringkali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan orang atasan atau pimpinan kita maka akan menjadi contoh bagi anak buah atau karyawan di bawahnya. Relevansi jurnal dengan mata kuliah Etika Profesi dan Spiritualitas adalah dari jurnal tersebut bisa kita lihat, bagaimana pentingnya menanamkan etika dalam setiap tindakan yang kita lakukan, terlebih apabila melibatkan kepentingan banyak pihak. Selain itu etika membuat kita mampu menjadi lebih bertanggung jawab, adil dan responsif. Etika bukan hanya sekedar konsep untuk dipahami namun sebenarnya etika haruslah benar-benar kita miliki dan kita terapkan dalam diri kita masing-masing, sebagai modal utama moralitas kita pada kehidupan yang mengharuskan kita untuk berbuat baik. Etika berkaitan dengan perilaku manusia, bagaimana kita bisa menjalankan kehidupan sosial maka sudah seharusnya kita harus mengikuti kesepakatan, pemahaman, prinsip dan ketentuan lain yang menyangkut pada kehidupan perilaku. Sebuah profesi adalah pekerjaan yang kita jalankan untuk mencari nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang kita miliki sesuai dengan tuntutan organisasi dan persyaratan organisasi. Namun di luar itu, etika dari dalam diri lah yang paling banyak menentukan berbagai keputusan yang akan kita ambil dalam menjalankan sebuah profesi. 8