Mereguk Kelezatan Spiritual Lewat Seni
Oleh Moeflich Hasbullah
Dalam sebuah kesempatan, seorang ulama bijak yang dikenal luas
yaitu Buya Hamka (alm.) konon dihadapkan pada pertanyaan
‘nakal’ seorang pemuda jama’ah pengajiannya: “Buya, bolehkan
seseorang memandang gambar atau foto tubuh wanita bugil,
semata-mata hanya untuk mentafakkuri kebesaran dan keagungan
Tuhan yang ada pada indahnya tubuh wanita tersebut?” Sambil
merenung sekilas, karena pertanyaannya diluar dugaan, Buya
berfikir. Tak lama ia menjawab: “Boleh.” “Tapi,” segera beliau menegaskan,
“semata-semata hanya untuk tujuan itu, tidak lain dari maksud itu. Awas, tidak lain
dari itu.”
Jawaban seperti Buya tak akan pernah keluar bila beliau tidak mempelajari
tasawuf. Apa hubungannya? Sebab dalam tasawuf tidak ada batasan, segala sesuatu
bisa menjadi obyek dzikir. Pertanyaan pemuda tersebut menuntut jawaban hakikat
bukan syariat (hukum, norma) dan hakikat adalah wilayah atau dunianya tasawuf.
Norma atau syariat akan tegas-tegas melarang perbuatan itu sebagai perbuatan
haram karena memandangi aurat. Norma tidak berurusan dengan sesuatu di luar
formalitas bahwa di luar norma ada jalan menuju Tuhan. Esensi bugilitas tubuh
wanita yang ditanyakan adalah keindahan. Nilai keindahan harus dibahas oleh
estetika bukan hukum. Tapi, tentu estetika tidak bisa lepas dari norma/hukum.
Norma harus meng-guide atau mengontrol estetika, tapi seringkali ini adalah
persoalan rumit yang tak kunjung usai karena hubungan dan batasan antara norma
dan estetika sering tidak sederhana. Norma atau hukum tidak bisa sederhana dalam
menerapkan definisi-definisi norma pada estetika karena aktifitas rasa bukan untuk
dihukumi tapi dirasakan. Norma/hukum berorientasi pada sah/valid tidaknya
sebuah tindakan, sedangkan rasa/estetika berorientasi pada enak/indah tidaknya
sesuatu. Jadi, memang wilayahnya berbeda. Ekspresi rasa/seni bisa menjadi wilayah
hukum hanya bila sudah menjadi tindakan yang merugikan pihak lain secara
material. Persoalan rumit ini pula yang telah menjadi kontroversi berabad-abad
antara tasawuf (hakikat) dengan syariat (hukum/fiqh) dalam sejarah Islam. Tulisan
ini bukan membahas kontroversi tersebut tapi akan menjelaskan bagaimana seni
(rasa/estetika) bisa menjadi media dzikir, media merasakan kelezatan spiritual atau
mempertebal keyakinan akan eksistensi Tuhan.
Tuhan Sumber Keindahan
Tuhan adalah Maha Indah dan Dia menyukai keindahan. Innallaha jamilun
yuhibbul jamal (hadits). Tuhan juga adalah sumber keindahan. Dunia dan segala
isinya termasuk alam semesta merupakan refleksi eksistensi Tuhan. Wujud
keindahan Tuhan harus dirasakan (diimani) maka merasakan keindahan alam
ciptaan Tuhan menjadi keharusan pula sebagai paradigma keberimanan
(keyakinan) terhadap keberadaan Tuhan. Prof. Rasyidi, dalam bukunya, Filsafat
1
Agama (1978) pernah berujar, “Kalau alam ini adalah ciptaan dari Dzat Yang Tidak
Terbatas (infinite mind), maka keindahan itu ada artinya. Dengan perkataan lain,
kalau Tuhan ada maka pengalaman keindahan alam adalah suatu hal yang harus
dirasakan.” Pengalaman estetis (keindahan) apapun bentuknya berasal dari Tuhan
karena Tuhan adalah “Seniman” Yang Maha Sempurna. Kita bisa memandang
keindahan dan merasakannya sebagai salah satu bukti adanya Tuhan. Rasa indah
hadir karena sense of art atau sense of beauty yang inhern dimiliki manusia. Sense of
beauty inilah yang melahirkan ekspresi rasa indah. Keindahan sumbernya adalah
Tuhan seperti terbaca dalam beberapa firman dalam Kitab Suci: “Shawwarakum fa
ahsana shuwarakum!” Dialah yang membentukmu kemudian mengindahkan rupamu
(QS, 40 : 64); “La qad khalaqnal insaana fi ahsani taqwim.” Sungguh Kami telah
menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya (seindah-indahnya) rupa. (QS, 95 : 4).
“Wa fi anfusikum afala tubshirun?” Dan dalam diri-diri kamu sendiri, apakah kamu
tidak memperhatikan? (QS, 51 : 21).
Setiap Muslim wajib memperhatikan alam semesta dalam segenap
dimensinya, termasuk keindahannya. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah
menciptakan semua ciptaan-Nya selain berguna secara utiliter –tidak sia-sia— juga
indah secara spiritual (Lihat diantaranya QS 40 : 64, 63 : 4, 3 : 191).
Keindahan harus ditangkap, dihayati dan dinikmati. Bila sudah sampai
pada kenikmatan –yaitu keindahan yang dirasakan dan dihayati— lalu dihubungkan
dengan penciptanya yaitu Tuhan yang Maha Indah, maka kenikmatan berganti
menjadi ekspresi rasa syukur. Dalam syukur itulah kita merasakan kelezatan
spiritual. Disitulah kita bercumbu dengan Tuhan. Melalui proses penghayatan
seperti ini kualitas ruhani akan terus meningkat mengimbangi dominasi rasio.
Secara teologis keberadaan Tuhan telah dibuktikan melalui pendekatan rasa
(intuisi), rasio (otak) dan pengetahuan keagamaan (ilmu).
Seni sebagai Materi Pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita, porsi pelajaran yang menekankan pada
fakultas rasa (afektif) tidak seimbang dibandingkan dengan banyaknya fokus pada
aspek rasio. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia kering
dan gersang dari nilai-nilai keindahan, kelembutan rasa dan kehalusan sikap.
Ketajaman afektif dan kedalaman rasa akan menghasilkan manusia yang peka,
toleran, bijaksana dan lurus perpedoman pada hati nuraninya (hanif). Kunci
pendidikan Islam, seperti tercantum dalam al-Qur’an, mendasarkan pada
keseimbangan tiga aspek: rasa (dzikir), rasio (fikir) dan keyakinan (iman). (QS 3 :
191 – 192). Dari ketiga aspek tersebut, Nabi Muhammad Saw memberikan
penekanan: “Dalam tubuh manusia ada segumpal daging, bila daging itu baik maka
baiklah seluruh tubuhnya, bila rusak maka rusak pulalah seluruh tubuhnya. Itulah
hati.”
Untuk mencapai tujuan pendidikan manusia Indonesia, aspek rasa (hati)
harus mendapat proporsi yang lebih dominan. Pendidikan seni dalam arti
menghidupkan aspek rasa pada diri manusia sudah selayaknya ditingkatkan.
Misalnya dalam bentuk pendidikan-pendidikan seni yang sudah ada selama ini
seperti pendidikan seni lukis, seni suara, seni tari, seni musik, sastra, puisi dan
seterusnya termasuk seni bergaul, seni bersahabat, seni bermasyarakat, seni
2
menghormati hak dan keyakinan orang lain, seni membangun harmonitas sosial
dan harmonitas antara pemeluk agama dan seni-seni lainnya. Sikap kasar, brutal,
nekad dan kekerasan yang akhir-akhir ini sering sekali mewarnai sikap para pelajar
kita juga diantaranya karena miskinnya pendidikan seni yang menghidupkan rasa.
Pendidikan selama ini adalah transfer pengetahuan guru pada murid, yang
fokusnya pada pengembangan otak semata-mata.
Seni sebagai Refleksi Teologis
Mengapa aspek rasa harus dihidupkan? Rasa harus dilatih dan diasah terus
kepekaannya agar responsif terhadap lingkungan. Respon estetis rasa akan muncul
manakala menangkap obyek karya seni yang kemudian menghadirkan suasana dan
nuansa keindahan. Rasa yang terlatih akan menjadi impulsif, kepekaan rasa akan
muncul setiap menangkap obyek karya seni atau keindahan. Kita akan berdesah,
“aaaaaakh…… indaaaahhh…..!!” ketika bolamata menangkap sang surya berwarna
kuning kemerah-merahan sedang menuju keperaduanya di sebuah pantai ketika
senja menjelang memasuki malam. Ekspresi rasa yang sama juga muncul saat sang
rembulan kuning keemasan tersenyum merekah di malam hari. Rasa yang peka
akan berdesah pula ketika mata menatap barisan bukit dan gunung kebiru-biruan
di kejauhan, hamparan sawah hijau dihembus semilir angin bak permadani, sungai
yang berkelok-kelok berujung di muara, taburan kerlap-kerlip gemintang berserakan
di malam hari menari-nari, jumlahnya miliaran tapi tak ada satupun yang saling
bersinggungan. Atau ketika kepekaan rasa menatap raut wajah tulus nan agung sang
ibunda, wajah gemes sang kekasih ketika sedang melemparkan senyum manisnya
khusus untuk kita, atau wajah bening sang bayi yang jerit tangisnya adalah suara
alam yang sejati. Ekspresi keindahan juga akan muncul saat telinga Anda
menangkap sayup dentingan jernih suara musik, atau ketika Anda sedang ekstase
mengalami puncak kenikmatan seksual (orgasme) dengan istri/suami yang Anda
cintai.
Kepekaan respon estetis yang dalam tersebut ketika dihubungkan dengan
Tuhan sebagai sumber segala keindahan akan berubah menjadi ekspresi relijius
yang menggiring orang pada kemampuan komunikasi transenden, komunikasi
ilahiyah. Desahan kekaguman akhirnya akan berganti menjadi eskpresi dzikir
pengakuan atas kesenimanan Tuhan yang Maha Indah: “Subhanallah… Allahu
akbar… Rabbana ma khalaqta hadza batila, subhanaka faqina ‘adzabannar.” (Maha Suci
Engkau Tuhan yang Maha Agung. Tuhan, tidaklah semua ini Engkau ciptakan
dengan sia-sia. (Atas kekagumanku pada keindahan-Mu ini) Peliharalah kami dari
adzab neraka).
Pengakuan bahwa keindahan dalam seluruh obyek di alam semesta sebagai
karya kesenimanan Tuhan yang Maha Sempurna adalah pengakuan atas
keberadaan Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, seni adalah sebuah refleksi
teologis. Tuhan menghadirkan diri-Nya dalam setiap obyek keindahan agar kita bisa
menangkapnya. Simaklah beberapa tantangan-Nya seperti tercantum dalam alQur’an: “Afala ta’qilun?”, “Afala tubshirun?”, ”Afala tadzakkarun?” Apakah kamu
tidak berfikir? Apakah kamu tidak memperhatikan? Apakah kamu tidak mengingat?
dan seterusnya. Penghadiran Tuhan lewat simbol-simbol keindahan di alam raya ini
hanya bisa ditangkap oleh kepekaan rasa yang memang dilatih, yang respon
3
estetisnya dinyalakan. Bila mendengar penjelasan seperti ini respon kita adalah:
“Aaakh… itu kan terlalu di dramatisir, di buat-buat, mana ada orang dalam puncak
kenikmatan atau puncak keindahan lalu ingat pada Tuhan. Bulshit.” Bila ini adalah
respon Anda, itu berarti indikasi jelas bahwa rasa Anda memang tidak hidup
apalagi menyala. Respon estetis Anda mati atau redup karena tidak pernah dilatih
dan diasah saat setiap obyek atau simbol keindahan hadir di depan mata. Jadilah
Anda manusia kering nan gersang. Hidup Anda menjadi tidak bernuansa dan tak
seimbang karena semua peristiwa di lingkungan sekitar direspon hanya oleh otak
dan fikiran semata. Kalau hidup sudah tidak seimbang atau kehilangan
keseimbangan maka sakit dan datangnya penyakit adalah konsekuensi logis yang
pasti terjadi.
Kelezatan Spiritual lewat Seni
Obyek apakah yang menarik respon estetis? Rasa keindahan Anda megapmegap tatkala menatap taburan warna warni yang dipancarkan oleh tenggelamnya
sang surya di sebuah pantai. Perasaan Anda akan berdesah hanyut ketika seorang
gadis cantik yang anda sukai melemparkan senyuman manisnya khusus buat Anda,
“aaakhh……”. Atau mungkin anda terbawa hanyut terbang mengawang-ngawang
ketika telinga Anda menangkap sayup-sayup alunan merdu Ritchie Blackmore
dalam lagu “Soldier of fortune”, “When I Fall in Love”-nya Nat King Cole,
“Fallen”-nya Roxette, teriakan saxophone-nya Kenny G, indahnya lagu dan suara
Broery Pesolima dalam “Autum Leaves”, “Hati yang Luka” atau “Pamit.” Banyak air
mata titik ketika meresapi alunan “Rindu Rasul”-nya Bimbo atau orkestra relijius
“Tombo Ati”-nya Emha Ainun Najib yang luar biasa. Bagaimana musik gamelan
Jawa berubah menjadi dentingan nada-nada qasidah yang menyentuh perasaan.
Ahmad terisak menangis membacakan sajak “Perempuan itu adalah Ibuku”-nya
Arifin C. Noor dan Siti khusyu menikmati kesejukan sukma menguping alunan
“Untuk Kita Renungkan”-nya Ebiet G. Ede.
Kelekatan seni dengan agama tidaklah bersifat artifisial melainkan alamiah.
Bila usaha mengungkapkan rasa estetis telah berpijak selaras dengan arah hakikat
kemanusiaan, maka seni yang dihasilkan pada gilirannya akan lekat dengan agama.
Penghayatan estetis, dalam dunia sufi, telah memainkan peranan penting dalam
usaha makrifat dengan Tuhan seperti bisa kita dari kisah-kisahnya Rabi’ah alAdawiyah. Penghayatan estetis pada puncaknya mempunyai kualitas religius dan
mistis karena menyentuh dunia yang transendental dan spiritual.
Dari penghayatan keindahan Ilahi kemudian menyuburkan penghayatan
estetis pada gunung yang berbaris, pada semilir angin yang meniup sejuk, pada
wajah bening ibunda, dan kenapa tidak, pada tubuh bugil seorang gadis yang halus
mulus. Bila penghayatan seni dan estetik seseorang sangat dalam, bukan tidak
mungkin ia menemukan puncak keindahan ciptaan Tuhan justru pada realitas
tubuh bugil seorang gadis. Dan itu sah tidak bisa disalahkan, karena penghayatan
sifatnya subyektif. Keindahan yang dihayati bisa berfungsi sebagai media untuk
mi’raj, naik sampai kepada penghayatan Tuhan. Bila penghayatan estetis berpadu
kemudian bergumul dengan kesadaran transenden disitulah kelezatan spiritual
akan sangat manis kita jilati, dan kelezatan inilah yang tak kan pernah mampu
terlukiskan dengan kata-kata karena itu adalah pengalaman subyektif.
4
Dari perspektif inilah, bagi seniman sejati, apalagi yang sudah sampai pada
tahap kenikmatan spiritual, mencipta dan terus mencipta karya tanpa henti selama
hayat dikandung badan adalah tuntutan dan kebutuhan yang tak mungkin
dihentikan. Bagi seniman sejati, tidak ada yang paling menyiksa batin di dunia ini
selain berhenti berkarya. Semakin hasil karya sampai pada titik kulminasi yang
puncak, semakin dalam ia merasakan kelezatan “iman.” Itulah yang terjadi pada
banyak maestro-maestro seniman di Indonesia seperti Affandi, Ahmad Sadali, Titik
Puspa, Taufiq Ismail, Rendra dan masih banyak lagi yang sampai usia uzurnya terus
berkarya sampai titik darah penghabisan.
Adalah menarik diamati mengapa di ujung sukses, para seniman kampiun
kelas dunia, terlihat kerinduan mereka untuk merengkuh Tuhan. Kelompok Musisi
legendaris The Beatles, di puncak-puncak supremasinya di belantara musik dunia,
mereka pergi ke India untuk berguru melakukan yoga dan ekstase sepanjang tahun.
Pada saat kembali lantas bersenandung tentang kasih Tuhan dalam “Let It Be”:
When I find myself in times of trouble
Mother Marry comes to me
Speaking words of wisdom: Let it be…. Let it be…..
Adalah sang legendaris, si raja Rock’n Roll, Elvis Presley, ternyata mempunyai guru
meditasi dans ering “uzlah” diluar hingar bingar panggung musik. Dengan ketika ia
menghimbau para penggemarnya sambil menangis dalam “Crying in the Chapel”:
You saw me crying in the Chapel
The tears I shatter tears of joy
I know the meaning of content went
Now I’m happy with the Lord ….
Di Indonesia, Bimbo, diantara grup musik paling senior yang masih aktif sampai
sekarang, setelah belasan tahun malang melintang dalam blantika musik pop dan
menuai sangat populer, akhirnya berusaha merengkuh Tuhan dengan kembali ke
irama kasidah yang tahun-tahun 1980an dan 1990an mencapai puncak
kejayaannya. Lewat Bimbo, musik kasidah naik citranya menjadi elitis. Dengarlah
kerinduannya yang tak tertahankan pada kekasihnya Muhammad sang Nabi yang
Agung:
Rindu kami ya Rasul, Rindu tiada terkira
Berabad jarak darimu ya Rasul…serasa dikau disini
Cinta ikhlasmu pada manusia bagai cahaya suarga
Dapatkan kami membalas cintamu secara bersahaja?
Wallahu a’lam!!
Lampung Pos, 22 Mei 1992
5