[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI Al-Risalah ISSN: 1412-436X Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan Vol. 16, No. 1, Juni 2016 (hlm. 57-70) PENEGAKAN HUKUM DAN FATWA HARAM MUI TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA Elita Rahmi Fakultas Hukum Universitas Jambi Jl. Lintas Jambi - Muara Bulian Km. , Kota Jambi, E-mail : elitarahmi @yahoo.co.id Naskah diterima tanggal April , revisi I tanggal Mei , dan revisi II tanggal Juni Abstract: Research purposes, first, and criticize enforcement of forest fire. Second, to analyze the position of the MUI fatwa about forest fires and land. The problem is How law enforcement on forest and land fires and how to position the fatwa burn the forest and land issued by MUI. Finally, from this study, it is understood that law enforcement on the issue of forest fires has not been seriously undertaken by the government, because of the limited efforts of the government, including regulations often overlap, yet one vision in uncovering the truth on the stage of the police, prosecutors, courts and Advocates, in thinking about sustainable development (forest for posterity), as well as legal awareness of society, and the business world is still low in the development of its business. On the one hand, the difficulty for judges to prove the involvement of legal entities (corporations) in the burning of forests, poor management of natural resources led to policy and law enforcement, not in accordance with the responsibility to the environment healthy and clean. On the other hand, the position of the MUI fatwa is a source of law, and became the basis of the philosophy of the various regulations in Indonesia in order to give birth and form a living law in Indonesian society, not been implemented by the public as a form of awareness of the law, to care for the environment healthy and clean. Keywords: Law enforcement, Fatwa Council of Ulamas (MUI), land and forest fires in Indonesia. Abstrak: Tujuan penelitian, pertama, untuk menganalisis dan mengkritisi penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan. Kedua, untuk menganalisis kedudukan fatwa Majelis Ulama tentang membakar hutan dan lahan. Permasalahannya adalah Bagaimana penegakan hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan serta bagaimana kedudukan fatwa haram membakar hutan dan lahan yang dikeluarkan MUI. Akhirnya, dari penelitian ini, dipahami bahwa penegakan hukum terhadap persoalan kebakaran hutan belum serius dilakukan oleh pemerintah, oleh karena masih terbatasnya upaya pemerintah, di antaranya peraturan yang sering kali tumpang tindih, belum satu visi dalam mengungkap kebenaran pada tahapan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan advokad, dalam memikirkan pembangunan berkelanjutan (hutan untuk anak cucu), serta kesadaran hukum masyarakat, dan dunia bisnis yang masih rendah dalam pengembangan usahanya. Di satu sisi, sulitnya bagi para hakim untuk membuktikan keterlibatan badan hukum (korporasi) dalam pembakaran hutan, lemahnya manajemen sumber daya alam menyebabkan kebijakan dan penegakan hukum, tidak sesuai dengan tanggungjawab terhadap lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Di sisi lain, kedudukan fatwa MUI merupakan sumber hokum, dan menjadi dasar filosofi berbagai peraturan di Indonesia dalam rangka Al-Risalah Vol. 6, No. , Juni 6 57 Elita Rahmi melahirkan dan membentuk hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, belum juga dilaksanakan oleh masyarakat sebagai wujud kesadaran hokum, untuk peduli pada lingkungan yang sehat dan bersih. Kata kunci: Penegakan hukum, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Pendahuluan Kebakaran hutan dan lahan adalah fakta hokum yang berakibat fatal bagi pembangunandan harus ditegakkan hukumnya oleh negara melalui perangkatnya, baik kepolisian, kejaksaaan maupun hakim selaku pemegang kekuasaana menegakkan hukum di Indonesia .Banyaknya kasus kebakaran hutan yang di hentikan menunjukkan bahwa penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan belum maksimal diterapkan oleh negara. Di sisi lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwa telah mengeluarkan fatwa1 bahwa pembakaran hutan dan lahan hukumnya haram. Dalam al Quran yang sejak 1400 tahun yang lalu menyampaikan peringatan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini, dan rahmad Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik. Semua ini mengandung makna bahwa pelestarian hutan mutlak diwujudkan Proses penegakkan hukum sebagai karya yuridik hukum adalah proses pengembanan hukum praktikal yang dapat mencakup aspek penerapan hukum dan penemuan hukum2dengan demikian semua norma hukum dan agama telah mengatur bahwa membakar hutan dan lahan tidak dibenarkan3. Pertayaannya 1 Bandingkan Eddy Asnawi, Islam dan Negara (Perbandingan Kedudukan Islam Dalam Konstitusi Negara Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia: Penerbit Fahma, 2013), hlm 126 2 H. P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, (Bandung: Alumni, 2014), hlm 24 3 Asy-Syuura (42): 30: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah me- 58 mengapa perbuatan pembakaran hutan dan lahan terus berlangsung?Apakah subjek hukum di Indonesia(manusia dan badan hukum) sudah tidak menghiraukan ancaman hukuman dan dosa yang telah ditetapkan dalam Alquran, hadis dan kaidah-kaidah fikih dan Ijtima’ Komisi-Komisi fatwa MUI. Apakah manusia sudah tidak takut dengan berbagai sanski administrasi, perdata dan tata negara, pidana yang diatur undang-undang, atau apakah ini bertanda bahwa kiamat sudah dekat?, sehingga banyak manusia yang murka. Sekalipun langit runtuh namun hukum harus tetap ditegakkan dan penegakan hukum lingkungan khusus kebakaran hutan dan lahan melalui jalur litigasi (pengadilan), masih menimbulkan persoalan mendasar dibanding dengan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara rutin setiap tahun, sehingga terkesan tanggung jawab negara yang telah diamanahkan konstitusi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat oleh negara diabaikan begitu saja!, beberapa gugatan yang diajukan oleh masyarakat maupun kelompok masyarakat sangat minim, bahkan beberapa gugatan yang diajukan oleh NGO, ditolak atau dihukum dengan sangat ringan oleh pengadilan, sehingga menimbulkan isu perlunya pengadilan khusus di bidang lingkungan hidup, karena pengadilan umum dipandang belum serius menemukan hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan. Secara global beberapa negara tetangga merasa sudah tidak nyaman dengan persoalan maafkan sebagiana besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia, bahkan negara tetangga mengugat Indonesia sebagai negara yang gagal menegakkan hukum lingkungan khususnya penangulangan kebakaran hutan. Sanksi pembakaran Hutan dan lahan dalam perundang-undangan Indonesia sudah sangat tegas melarang pembakaran hutan?. Sebagaimana diatur Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diantaranya Pasal 50 ayat (3) huruf d dan Pasal 78 yang mengatur bahwa “setiap orang dilarang membakar hutan”, selanjutnya Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kebakaran hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)4. Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) huruf a dan UU No. 41 Tahun 1999, mengatur setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Bahkan Pasal 88 UU No. 41 Tahun 1999, telah menjelaskan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan, namun ancaman kabut asap akibat kebakaran hutan terus berlangsung seiring dengan percepatan pembangunan itu sendiri. Kebakaran hutan dan lahan merupakan penyimpangan terhadap hukum yang berlaku dan adanya unsur sengaja maupun tidak sengaja (lalai) bagi pemegang izin Hak pengua4 Bandingkan Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, (Bandung: Aditama, 2008), hlm 29 Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI saan Hutan (HPH) atau pemegang izin eksploitasi lainnya.,sehingga penegakan hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan menjadi tugas dan tanggung jawab negara, khususnya dalam penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum5. Penulisan ini akan menganalisis persoalan penegakan hukum terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan bagaimana kedudukan Fatwa Majelis Ulama (MUI) dalam hukum Indonesia, meningat penduduk Indonesia sebagian besar (85 %) beragama Islam Metode yuridis normatif akan menjadi pisau analisis dalam melakukan pendekatan dalam melakukan penelitian dan isu hukum dengan mengunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier dan analisis hukum melalui penafsiran hukum, menganalogikan hukum dan mengembangkan hukum yang baik dan sehat sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan di bidang sumber daya alam. Tumpang Tindih Kewenangan dan Norma di Bidang Kehutanan Pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya pada UU No. 41 Tahun 1999 mengatur bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan 5 Lihat juga Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2012), hlm 1-10; dan Otong Rosadi, “Inkorporasi Prinsip Keadilan Sosial Dalam Pembentukan UU Tentang Kehutanan dan UU Tentang Pertambangan (Periode Tahun 1967-2009)”, Ringkasan Disertasi Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 1. Vol. 6, No. , Juni 6 59 Elita Rahmi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dipertegas lagi pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan melindungi wilayah negara kesatuan RI dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, demikian pula halnya UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran rakyat. Berdasarkan norma di atas, maka dapat dipastikan bahwa perlindungan terhadap sumber daya alam dari kerusakan dan pencemaran bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Pertayaannya adalah mengapa justru kehadiran hutan di Indonesia menimbulkan bencana asap, api, pencemaran dan kerusakan yang tidak kunjung selesai?6 Tentu ada hal lain, diantaranya kewenangan antar instansi, dalam manajemen hutan terdapat persoalan hutan dan di luar hutan, yang diantaranya terlibat kementerian kehutanan dan lingkungan hidup, Kementerian pertanian, Perkebunan, pertambangan, perairan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan sebagainya. Dari kewenangan ini lahir berbagai peraturan dan keputusan yang saling tumpang tindih, seperti izin tmbang dalam areal hutan lindung, izin perkebunan dalam areal hutan rakyat atau bahkan kepentingan umum desa (Contoh kasus permohonan Kepala Desa Gabut Jaya kepada Bupati Muaro Jambi-Nomor 130/22/SG-GJ/VIII/2016 tentang pembebasan lahan sarana air bersih), di mana lahan seluas 3 (tiga) hektar untuk sarana air bersih rakyat, kini dikuasai oleh PT Bahari Gembira. Melalui Hak Guna Usaha (HGU) Berdasarkan persoalan di atas, maka seungguhnya secara normatif perlindungan hu- kum terhadap sumber daya alam di Indonesia akibat tumpang tindih kewenangan ,maka otomatis peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah menimbulkan tumpang tindih juga, akibatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui kabut asap yang terjadi akibat kebakaraan hutan terus berlangsung Kebakaran hutan dan lahan bukan hanya menghambat pembangunan tetapi telah menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, karena terganggunya aspek ekonomi, aspek sosial aspek budaya dan aspek pertahanan dan keamanan. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Walaupun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat. Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang tidak bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan, harus 6 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam sistem dilihat secara kontektual dan konseptual yang Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, bertalian erat dengan dimensi-dimensi geo(Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hlm. 1-16 60 Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah politik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain putusan hakim diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, dan mengandung prinsip kesamaan hak. Setiap orang yang melakukan kejahatan harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang berbuat.Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri.Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut. Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu.Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat. efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang Vol. 6, No. , Juni 6 61 Elita Rahmi mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada hidup. peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana di- 2. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan, adacontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum lah bahwa setiap orang memikul kewaitu terlalu dipertahankan, maka ia akan mengjiban dan tanggung jawab terhadap gengeser nilai keadilan. erasi mendatang dan terhadap sesamanya Kalau kita bicara tentang nilai kepastian dalam satu generasi dengan melakukan hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adaupaya pelestarian daya dukung ekosistem lah semata-mata peraturan hukum positif atau dan memperbaiki kualitas lingkungan peraturan perundang-undangan.Pada umumhidup. nya bagi praktisi hanya melihat pada pera- 3. Asas Keserasian dan Keseimbangan, adaturan perundang-undangan saja atau melihat lah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup dari sumber hukum yang formil. harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekoNilai Pengelolaan Lingkungan Hidup Sesistem. bagai Asas Hukum 4. Asas Keterpaduan, adalah bahwa perlindUntuk Siapa Penegakan Hukum Kebakaran ungan dan pengelolaan lingkungan hidup hutan dan lahan ini kita wujudkan? Tiada lain dilakukan dengan memadukan berbagai untuk anak cucu kita semua (pembangunan unsur atau mensinergikan berbagai komberkelanjutan).7 Oleh karena itu prinsip dasar ponen terkait. Pengelolaan dalam Lingkungan hidup (Ke5. Asas Manfaat, adalah bahwa segala usabakaran hutan dan lahan) dalam pengelolaan ha dan/atau kegiatan pembangunan yang lingkungan hidup memiliki prinsip dasar, didilaksanakan disesuaikan dengan poantaranya: tensi sumber daya alam dan lingkungan 1. Asas Tanggung Jawab Negara adalah: hidup untuk peningkatan kesejahteraan a. negara menjamin pemanfaatan masyarakat dan harkat manusia selaras sumber daya alamakan memberikan dengan lingkungannya. manfaat yang sebesar-besarnya bagi 6. Asas Kehati-hatian, adalah bahwa kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, ketidakpastian mengenai dampak suatu baik generasi masa kini maupun usaha dan/atau kegiatan karena ketergenerasi masa depan. batasan penguasaan ilmu pengetahuan b. negara menjamin hak warga negara dan teknologi bukan merupakan alasan atas lingkungan hidup yang baik dan untuk menunda langkah-langkah memisehat. nimalisasi atau menghindari ancaman c. negara mencegah dilakukannya terhadap pencemaran dan/atau kerusakan kegiatan pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup. alam yang menimbulkan pencemaran 7. Asas Keadilan, adalah bahwa perlindundan/atau kerusakan lingkungan gan dan pengelolaan lingkungan hidup 7 Aditia Syaprillah Sapriani, Pengelolaan Hutan harus mencerminkan keadilan secara Lindung Kota Tarakan: Prespektif Pembangunan proporsional bagi setiap warga negara, Berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Hukum (journal of baik lintas daerah, lintas generasi, mauLaw),Vol. 1 No. 3 Desember 2014, Universitas pun lintas gender. Padjadjaran, Bandung, hlm. 605 62 Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah 8. Asas Ekoregion, adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. 9. Asas Keanekaragaman Hayati, adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. 10. Asas Pencemar Membayar, adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/ atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. 11. Asas Partisipatif, adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Asas Kearifan Lokal, adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. 13. Asas Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. 14. Asas Otonomi Daerah, adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas di atas menjadi dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk menjadi dasar dalam pertimbangan hakim memberikan putusan yang adil dalam masyarakat. yakni dikenal dengan istilah penemuan Hukum (Rechtsvinding). Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Di samping itu pula dapat dilihat Pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individu- Vol. 6, No. , Juni 6 63 Elita Rahmi alisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum”, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Lembaga penemuan hukum ini akan membawa kita kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan perundangundangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendirinya melalui konstruksi dengan cara Analogi, Rechtsverfijning dan Argumentum a contrario. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh. Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang per64 lu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya.Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya. Paham yang menyatakan bahwa hakim tidak lain dari pada sebagai pengucap undangundang atau corongnya undang-undang belaka (La bouchequi prononce les paroles de loi) telah ditinggalkan, atau tidak dianut lagi dan sudah lama ditinggalkan. Menurut van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat.Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada hakim Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”.Hakim menambah undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat. Undang-undang itu merupakan suatu “momentopname” saja, yaitu suatu “momentopname” dari keadaan di waktu pembuatannya.hakim pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding. Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang itu selalu “rechtsvinding”. Kemandirian hakim dalam menemukan Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, karena keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tidak berlaku sebagai peraturan umum. Namun keputusan hakim yang didasarkan oleh hukum yang ditemukannya itu, dalam keadaan dan waktu tertentu, dapat diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam hal perkara yang sama dan akhirnya menjadi suatu yurisprudensi yang tetap dan sekaligus menjadi sumber hukum yang formil. Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan “Preseden” sebagaimana yang terdapat di Inggris dan Amerika, seperti apa yang dikemukakan oleh Gray. Teori Gray dikenal dengan nama teori mengenai All the law is judge made law. Suatu peraturan barulah menjadi peraturan hukum apabila peraturan itu telah dimasukan dalam putusan hakim.Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan dilaksanakan di negeri Inggris, di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan dan disebut sebagai peradilan preseden (Presedenten rechts praak). Hakim wajib mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut hirarki pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu perkara semacam, bahkan wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih dahulu dalam perkara semacam (stare desicis). Hukum yang berasal dari pengadilan preseden disebut “judge made law” atau “judiciary law” . Terutama di negeri Inggris sering “judge made law” itu dianggap lebih Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI penting dari pada “Statute law” (hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu diperbesar oleh Gray dalam rumusannya “All the law is judge made law”. Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras.Dewasa ini di Indonesia telah berkembang faham untuk mengfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) terutama dalam bidang hukum privat adat menjadi hukum privat nasional. Berbekalkan konsep dan rancangan kebijakan seperti itu, tak pelak para pendukung hukum adat tak dapat bertindak lain selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan pendayagunaan hukum dalam masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi yang harus benarbenar kreatif. Sekalipun dalam era orde baru badan-badan kehakiman diidealkan akan menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah akan dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi harapanharapan kepada badan-badan ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat agaknya terlampau berkelebihan. Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat.Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum itu berasal.Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum men- Vol. 6, No. , Juni 6 65 Elita Rahmi jadi lembaga semakin formal.Dalam konteks perkembangan yang demikian itu, pertanyaan mengenai “sumber yang manakah yang dianggap sah?” menjadi penting. Tentang masalah dari mana hukum itu berasal atau bersumber yang dapat kita anggap sah, dalam ilmu hukum hal ini dapat ditinjau dari dalam arti kata formil dan dalam arti kata material. Sumber hukum dalam arti kata formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya hukum positif (ius constitutum) yang mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum tersebut. Sumber hukum dalam arti kata material, dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values waarden) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum bangsa Indonesia (ius contituendum). Kemampuan para hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan, terlebih lagi dalam era globalisasi ini.Kebutuhan hukum dalam masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim “diharapkan” dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri dan akhirnya dapat menjadi yurisrpudensi yang tetap dan berwibawa. Ketidakmampuan para hakim Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum nasional itu sesungguhnya tidak hanya bersebab pada status para hakim (sebagai Pegawai Negeri) yang sebenarnya kurang menjamin kemandiriannya, akan tetapi juga oleh sebab lain yang terikat pada doktrin dan tradisi, yang menentukan bahwa hakim tidak boleh meny66 impang dari undang-undang, tetapi sepenuhnya harus tunduk pada undang-undang atau sebagai corong undang-undang (La bouche qui pronounce les paroles de loi). Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws. Secara formil yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undangundang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina. Namun demikian hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan hakim untuk turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Menurut von Savigny hukum itu ber- Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah dasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup. Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup (logische Geschlos senheit), pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa, hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu terusmenerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada. Setiap undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undangundang hanya merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit, yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu. Hakim dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan undang-undang serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya. Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI Fungsi Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman serta Advokad dalam Penegakan hukum Kebakaran Hutan dan Lahan Kepolisian merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, karena esensi tugas kepolisian tiada lain menegakkan hukum dan memelihara keamanan dan ketertiban umum, dalam Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Polisi selaku penyelidik berfungsi menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti dan menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyaan serta memeriksa tanda pengenal diri, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.(Pasal 5 KUHAP). Dasar hukum terhadap hakikat dan rugas Polri tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Berdasarkan kewenangan kepolisian dalam melakukan penyelidikan, maka peran Kepolisian dalam melakukan penyelidikan sangat menentukan terutama dalam mencari alat bukti, sehingga pendapat Satjipto Raharjo yang menyatakan bahwa polisi adalah hokum yang hidup, melalui polisi janji-janji dan tujuan hokum untuk mengamankan dan melindungi masyarakat menjadi kenyataan 8 Tidak menutup kemungkinan, apabila tidak ditemui alat bukti, maka kasus kebakaran hutan dapat di SP3 (Menghentikan proses penyidikan), sebagaimana kasus yang terjadi di Riau Pekanbaru sebanyak 15 perusahaan yang telah diberikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Direktur Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL) perlu dilakukan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP), sehingga masyarakat dapat mengetahui sejauh mana bukti yang pernah 8 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 54. Vol. 6, No. , Juni 6 67 Elita Rahmi ditemukan. Kejaksaan, sebagai salah satu penegak hukum berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI atau sering juga disebut Jaksa yang sebutan ini berhubungan dengan aspek jabatannya sedangkan penuntut umum berhubungan dengan fungsinya, sehingga fungsi jaksa adalah sebagai penuntut umum dan melaksankaan penetapan hakim. Dalam mekanisme berperkara di pengadilan peran penuntut umum sangat penting dan strategis, karena lembaga ini yang harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum dan keadilan serta kebenaran yang berdasarkan hokum dan Ketuhanan Yang Maha Esa dan harus menjunjung tinggi penegakan hak azasi manusia. Hubungan antara kejaksaan dan perkara kebakaran hutan dan lahan sangat penting, diperlukan pemahaman jaksa yang baik di bidang lingkungan, sehingga dibutuhkan jaksa yang memahami aspek pencemaran dan kerusakan lingkungan yang komprehensif, karena kasus kebakaran hutan pasti menimbulkan kerugian besar bagi Negara baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Kehakiman adalah suatu lembaga penegak hokum (yudikatif) yang berfungsi untuk mengadili pelanggaran terhadap undang-undang., sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Bedasarkan ketentuan tersebut, maka tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila , sehingga putusannya mencermnkan rasa keadilan rakyat. Adapun peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, meliputi peradilan umum 68 (Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung), peradilan agama, peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Kehadiran Advokad dalam menangani perkara kebakaran hutan dan lahan sangat penting, agar suatu perkara dapat menjadi terang benderang, advokad dapat berfungsi membatu hakim dalam usaha menemukan kebenaran materiil, walaupun berbeda dalam sudut pandang subjektifnya, di mana advokad berpihak kepada tersangka atau terdakwa. Di samping itu fungsi advokad juga Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokad disebutkan bahwa fungsi advokad dalam suatu perkara adalah sebagai pendamping tersangka/terdakwa dalam perkara pidana atau sebagai pendamping penggugat/tergugat dalam perkara perdata. Berdasarkan beberapa aparat penegak hukum di atas, maka penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan tidak dapat dilepaskan dari fungsi penegak hukum kepolisian sebagai penyelidik yang melakukan pencarian alat bukti dan jaksa melakukan penntutan serta hakim memutus perkara dan advokad mendampingi tersangka dalam rangka melindungi hak azasi manusia, dan mewujudkan kedudukan yang sama di mata hokum, sehingga dalam proses penegakan hukum tidak terjadi kesewenang wenangan. Kedudukan Hukum Fatwa MUI Sebagai Asas Pembentukan Hukum Dalam perkembangan hukum Indonesia pengaruh hukum Islam demikian kental, sehingga perlu adanya pemikiran bagaimana hukum Islam ditempatkan dalam prespektif perundang-undangan9 di Indonesia, karena dalam 9 Bandingkan Eddy Asnawi, “Al-Quran: Prinsip Bernegara dalam Al-Quran”, dalam Potret Hukum, Kumpulan Pemikiran 70 Tahun Prof. Rozali Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah Penegakan Hukum dan Fatwa Haram MUI Fatwa MUI dapat dikategorikan dengan persoalan lingkungan hidup. Alquran telah mengatur secara jelas dan tegas dalam surat Ijtihad yang dapat diartikan usaha keras untuk menetapkan perintah Islam dan tujuannya Ar Rum (30) ayat 41-42, yang artinya: ”telah Nampak kerusakan di darat dan di laut melalu dalil-dalil dan prinsip fiqh, adapun disebabkan karena perbuatan tangan manu- fungsi ijtihad adalah sebagai salah satu sumber sia, supaya Allah meerasakan kepada mereka hukum yang dapat menghidupkan tidak hanya sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar hukum islam tetapi jua hokum nasional. mereka kembali ke jalan yang benar. Katakanlah “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orangorang terdahulu, kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun ulama Indonesia sejak tahun 1975 yang diwakili oleh ulama dari 26 propinsi dan 10 ulama merupakan ormas islam di Indonesia pada waktu itu bermusyawarah membentuk wadah ulama yang disebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertujuan untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia. Dalam perkembangannya MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas menangan masalah yang berhubungan dengan ekonomi dan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat Keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk memberikan pendapat hukum terhadap persoalan hukum sangat penting dan strategis, karena norma hukum lahir dari nilai dan asas hukum, sehingga dalam pembentukan hukum nilai dan asas adalah sumber pembentukan hokum yang akan melahirkan norma. Keputusan Majelis Ulama di Kalimantan yang memutuskan haram membakar hutan adalah nilai dan asas yang mempengaruhi hokum positif di Indonesia tentang larangan membakar hutan dan sekaligue memberikan sanski jera agar pelestarian hutan sebagaimana juga diatur dalam Alquran dapat terwujud. Abdullah, (Yogyakarta: Total Media, 2013), hlm. 290-291 Al-Risalah Penutup Paling tidak, ada dua hal yang dapat dipahami dari penelitian ini, yaitu: Pertama, penegakan Hukum Lingkungan khususnya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia belum serius diproses oleh kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, bahkan dari beberapa kasus yang berkembang menunjukkan adanya persekongkolan antara perusahaan dengan kepolisian dalam menangani penyelidikan perkara kebakaran hutan dan lahan, sebagaimana yang terjadi tahun 2016 baru-baru di mana sebanyak 15 Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) dikeluarkan oleh kepolisian Riau atas kasus kebakaran hutan dan lahan di tingkat penuntut umum, seringkali jaksa kurang memahami persoalan hukum lingkungan, demiian pula halnya pada tingkat pengdilan sebagai banteng terakhir mencari keadilan di mana hakim kurang memberikan kepastian hokum, dan keadilan terhadap negara yang mengemban amanah menyelamatkan anak cucu dari keerusakan dan pencemaran lingkungan.sehingga penegakan Hukum lingkungan kebakaran hutan belum bersinergi dengan pembangunan berkelanjutan.Penegakan hukum lingkungan terhadap kebakaran hutan dan lahan akan terus terjadi sepanjang penegakan hukum lingkungan belum dipandang sebagai hukum yang penting untuk generasi mendatang, karena kebakaran hutan dan lahan terkait dengan tanggung jawab negara dalam menciptakan lingkungan yang baik dan Vol. 6, No. , Juni 6 69 Elita Rahmi sehat, maka penegakan hukum kebakaran hutan harus dikembangkan ke arah pelanggaran HAM berat sehingga dapat memberi efek jera terhadap pelaku dalam wujud penghijauan (reboisasi),pidana berat dan denda yang tinggi. Kedua, kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa membakar hutan adalah haram, sebagai bentuk kesadaran hukum masyarakat yang banyak membentuk hukum baik di tingkat nasional melalui perundangundangan dan tingat daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/walikota. Fatwa MUI dimaksud merupakan ijtihad ulama Islam di Indonesia yang dengan sadar dibentuk untuk memberikan asas dan nilai pelestarian dan pemikiran untuk menjelamatkan pembangunan berkelanjutan hutan untuk anak cucu. Bibliography Aditia Syaprillah Sapriani, Pengelolaan Hutan Lindung Kota Tarakan: Prespektif Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Hukum (journal of Law),Vol. 1 No. 3 Desember 2014, Universitas Padjadjaran, Bandung. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam sistem Penegakan Hukum Lingkungan 70 Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 2001. Eddy Asnawi, Islam dan Negara (Perbandingan Kedudukan Islam Dalam Konstitusi Negara Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia: Penerbit Fahma, 2013. _____, “Al-Quran: Prinsip Bernegara dalam Al-Quran”, dalam Potret Hukum, Kumpulan Pemikiran 70 Tahun Prof. Rozali Abdullah, Yogyakarta: Total Media, 2013. H. P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, Bandung: Alumni, 2014. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Aditama, 2008. Otong Rosadi, “Inkorporasi Prinsip Keadilan Sosial Dalam Pembentukan UU Tentang Kehutanan dan UU Tentang Pertambangan (Periode Tahun 1967-2009)”, Ringkasan Disertasi Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2012. Vol. 6, No. , Juni 6 Al-Risalah