[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
A. Apakah Ilmu Ekonomi Islam Itu Suatu Ilmu Pengetahuan Yang Normatif, Positif, Atau Bersifat Kedua-duanya Menurut pengertian umum, ilmu ekonomi positif mempelajari problema-problema ekonomik seperti apa adanya. Ilmu ekonomi normatif mempersoalkan bagaimana seharusnya sesuatu itu. Sering dikemukakan bahwa penelitian ilmiah dalam ilmu ekonomi barat lebih banyak membatasi diri pada persoalan-persoalan positif daripada membatasi persoalan-persoalan normatif, yang tergantung pada penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Setidak-tidaknya pada tingkatan perumusan teoritik. Dalam pada itu beberapa ahli ekonomi islam juga telah berusaha untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif, sehingga dengan begitu mereka menuangkan analisa ilmu ekonomi islam dalam kerangka intelektual dunia barat. Dalam ilmu ekonomi islam, aspek-aspek yang normatif dan positif itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini berarti bahwa ilmu ekonomi islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang tidak dapat dibedakan sama sekali. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan positif atau normatif. Perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif merupakan hal yang tidak penting, baik pada tingkatan teori maupun kebijaksanaan. Karena nilai-nilai dapat dicerminkan baik dalam teori maupun dalam kebijakan. Karena teori memberikan kerangka bagi pilihan kebijakan, nilai-nilai tidak hanya dicerminkan dalam kebijakan dengan mengabaikan teori itu. Dipandang dari segi ini, pemisahan yang positif dan yang normatif tidak toleran dalam ilmu ekonomi islam, karena kedua-duanya terjalin erat dengan kehidupan islam, filsafat, lembaga kebudayaan serta agama islam. Setiap usaha untuk membedakan antara yang positif dan normatif akan berakibat buruk, dalam arti hal itu akhirnya akan menyebabkan lahir dan tumbuhnya “ sekularisme “ dalam ekonomi islam. Kecenderungan untuk menguji segala sesuatu dengan pengetahuan manusia yang terbatas dan prasangka akan merusak asas-asas dasar ekonomi islam. Setiap usaha untuk menggolongkan ekonomi islam sebagai ilmu yang positif dan normatif justru akan merusak tujuan untuk apa ilmu itu sebenarnya diciptakan. Ini sama halnya bila kita mencoba memisahkan badan manusia yang untuk delapan puluh persennya terdiri dari air; tak pelak lagi badan itu akan binasa. Jadi, masalah dalam ekonomi islam, harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkannya dalam kpmponen normatif dan positif. B. Apakah Teori Ekonomi Islam Diperlukan, Mengingat Tidak AdanyaSuatu Ekonomi Islam Yang Aktual Para positivis mengemukakan bahwa tidak perlu mengembangkan suatu teori ekonomi islam yang aktual untukmenguji ide terhadap masalah aktual. Dikatakannya bahwa pula teori harus menjelaskan fakta sebagaimana adanya. Dengan begitu, menurut mereka, tidak ada tempat untuk teori ekonomi islam, karena ia tidak dapat dijelaskan dan diramalkan dari realitas sosio-ekonomi dari masyarakat muslimkontemporer yang ada sekarang. Jadi, bagi mereka, ujian bagi suatu teori terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan dan menerangkan realitas, walaupun sebenarnya dengan menyederhanakannya setiap teori menyimpang dari realitas. Periode cepat dari inovasi yang terjadi setelah berkembangnya islam adalah suatu contoh spektakuler tentang bagaimanakah inovasi dalam agama dan nilai ekonomi membebaskan suatu masyarakat dari keseimbangan semula dan menghadapkannya pada segala konsekuensi dari dinamika kehidupan ekonomik. Jadi, larangan islam mengenai bunga diserta perintah mengeluarkan zakat berpengaruh besar terhadap perkembangan teori islam mengenai uang dan keuangan negara. Keberadaan suatu ekonomi aktual ( yaitu realitas ) di mana ide dapat diuji terhadap problema aktual, sesungguhnya tidak terlalu diperlukan untuk penyusunan suatu teori sosial dan ekonomi yang pengembangannya dibutuhkan untuk menjelaskan baik realitas sekarang maupun realitas yang diharapkan. Di masyarakat kontemporer, banyak teori ekonomi seperti konsep perbankan islami, zakat, dan sebagainya sedang dilaksanakan. Ada tiga alasan untuk mengembangkan teori ekonomi islam : 1. Untuk belajar dari pengalaman terdahulu dengan mengidentifikasikan alasan tentang kewajaran atau ketidakwajaran penjelasan perilaku dan praktek ekonomi yang lampau, dengan teori ekonomi islam. 2. Untuk menjelaskan keadaan ekonomi yang aktual betapapun berkeping-kepingnya ( fragmented )keadaan itu. 3. Untuk mengidentifikasi “ kesenjangan “ antara teori ekonomi islam yang ideal dan praktek-praktek masyarakat muslim kontemporer, sehingga usaha untuk mencapai suatu keadaan yang ideal dapat diadakan. C. Apakah Ilmu Ekonomi Islam Merupakan Suatu “ Sistem “ Atau Suatu “ Ilmu Pengetahuan “ ? Ada yang menganggap ekonomi islam sebagai suatu “ sistem “, dan ada pula yang menganggapnya sebagai suatu kekhususan dapat diperlakukan terhadapnyasebagai suatu “ ilmu”. Perkataan “ sistem “ diartikan sebagai suatu “ keseluruhan yang kompleks : suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan “, “ ilmu “ adalah “ pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis “. Demikain pula, perkataan “ ilmu “ didefinisikan sebagai “ suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa “. Sejalan dengan definisi tentang “ sistem “ ini dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa ekonomi islam itu sesungguhnya adalah bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu : “ pengetahuan yang diwahyukan “ ( yakni Al-Qur’an ), praktek-praktek yang berlaku pada waktu itu dalam masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan ucapan-ucapannya yang bernas ( yakni sunnah dan hadits ), deduksi analogik. Penafsiran berikutnya dan konsensus yang tercapai kemudian dalam masyarakat, atau oleh para ulama ( yaitu ijma’ )” sistem “ ini memuat suatu mekanisme yang built-in untuk pemikiran jernih ( yaitu ijtihad ) tentang persoalan dan masalah baru sehingga penyelesaian dapat dicapai. Ini dibolehkan selama tidak bertentangan dengan komponen dasar dari sistem itu, ( yaitu Al-Qur’an dan sunnah ). Dengan begitu terlihatlah bahwa suatu “ sistem “ memuat prinsip yang mengatur seluruh tata kehidupan.