[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
APRESIASI BUDAYA PENGAMATAN UNSUR ARSITEKTUR TRADISIONAL DAN PAD BANGUNAN KAYU AGA VILA, BALI RILA PUTRI ANGGRAINI [27313704] SARAH AKHMANUR V [28313251] WIDIYA ANGGREANY [29313260] BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sekarang ini kata modern merupakan kata yang tidak asing lagi didengar, terutama dalam dunia arsitektur. Hal ini yang kemudian memunculkan sebuah arsitektur yang disebut arsitektur modern. Munculnya arsitektur modern disebabkan karena adanya usaha untuk mencari hal-hal yang baru yang lebih inovatif, kreatif, dan tidak lagi untuk mengulangi karya arsitektur masa lampau.Tetapi ada saatnya, dalam perkembangan arsitektur modern itu timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada arsitektur modern. Salah satu penyebabnya karena gaya arsitektur modern itu (international style) umumnya sama di setiap wilayah atau sama seperti kehilangan identitas budaya atau wilayahnya. Dari krisis identitas yang terjadi kemudian memunculkan pemikiran untuk menolak gaya internasional ini, dan menimbulkan beragam konsep arsitektur seperti tradisionalisme, regionalisme, dan postmodernisme. Menurut Charles Jencks dalam bukunya yang berjudul “The Language of Post Modern Architecture”, konsep regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar pada ciri kedaerahan. Ciri kedaerahan yang dimaksud menurut Suha Ozkan berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya. Namun, tradisionalisme secara prinsipnya timbul karena tidak adanya hubungan antara arsitektur yang lama dengan yang baru, sedangkan modernisme berusaha menghadirkan yang lama ke bentuk yang universal. Indonesia merupakan negara kepulauan memiliki beragam suku, ras dan budaya. Dari keragaman tersebut dapat dilihat secara langsung bahwa baik arsitektur maupun budaya masyarakat Indonesia terus 1 mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Salah satu faktor yang yang membawa nilai-nilai baru dengan cukup pesat berasal dari sektor pariwisata. Datangnya wisatawan dari berbagai negara secara tidak langsung membawa budaya dari negara asal masuk dan membawa pengaruh pada daerah yang dikunjunginya. Hal tersebut kemudian terjadi proses interaksi yang memunculkan suatu pola yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pada akhirnya, pola interaksi tersebut ikut mempengaruhi pola kehidupan dan budaya masyarakat daerah yang menjadi sektor pariwisata tersebut. Melihat banyaknya pengaruh luar yang terbawa oleh wisatawan, arsitektur Bali baru mulai tersentuh modernisasi pada tahun 60-an. Terjadinya proses modernisasi ini diawali oleh beberapa seniman asing yang melakukan pendekatan terhadap arsitektur tradisional Bali. Keunikan tradisi dan filosofi yang terdapat dalam tatanan masyarakat dan ruangnya coba dituangkan oleh para seniman tersebut ke dalam lukisan dan kediaman pribadi mereka. Sebagai contohnya Walter Spies mendirikan Walter Spies House di Campuhan, Ubud pada tahun 1927 yang kemudian berkembang menjadi Tjampuhan Hotel. Hal tersebut kemudian disusul pula oleh Donald Friend yang menggandeng arsitek Sri Lanka, Geofrey Bawa dalam mendesain Batu Jimbar Estate tahun 1968. Salah satu hal yang paling menonjol dan menjadi loncatan besar bagi perkembangan arsitektur modern Bali adalah dibangunnya kompleks hotel di Nusa Dua oleh Bali Tourism Development Center(BTDC) yang mengusung arus arsitektur modern ke Bali. Melihat semua perubahan modernisasi Bali tersebut, maka disadari bahwa perubahan yang terjadi terhadap arsitektur tradisional tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan secara fungsional pun sudah tidak sesuai lagi dengan masyarakat modern. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan hanya melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi dengan tetap memperhatikan budaya dan unsur-unsur lokal yang ada. Selain itu, isu ini juga dapat disebabkan karena manusia tidak dapat melawan zaman yang terus maju dan berkembang sehingga yang dapat dilakukan adalah dengan beradaptasi agar tidak tenggelam dalam 2 derasnya arus perubahan tersebut. Berdasarkan isu inilah Kayu Aga Vila dipilih untuk dijadikan objek studi kasus. Pemilihan Kayu Aga Vila sebagai bangunan yang dipilih karena merupakan bangunan modern dengan unsur tradisional di Bali. Selain itu, Kayu Aga Vila juga merupakan bangunan yang peletakan bangunannya menggunakan aturan peletakan arsitektur tradisional Bali. Kayu Aga Vila dipilih untuk dijadikan objek studi kasus. Pemilihan objek studi kasus ini dilihat dari perbedaan fungsi dari masing-masing bangunan sebagai fokus untuk melakukan proses analisa. Hal ini dipilih untuk melihat perbedaan dalam penerapan kembali prinsip regionalisme dalam kaitannya dengan unsurunsur lokal yang ada. 1.2. BATASAN MASALAH Batasan permasalahan pada apresiasi budaya ini yaitu seberapa jauh unsur arsitektur tradisional bali dan sejauh mana unsur modern yang diterapkan pada bangunan Kayu Aga Vila. 1.3. RUMUSAN MASALAH a. Apa saja unsur-unsur tradisional maupun modern yang diterapkan pada bangunan Kayu Aga Vila? b. Bagaimana penerapan unsur tradisional bali pada bangunan Kayu Aga Vila? c. Bagaimana perubahan bentuk (transformasi) pada bangunan Kayu aga vila dari tradisonal ke modern? 3 1.4. TUJUAN PENULISAN a. Mengetahui unsur-unsur yang diterapkan pada bangunan Kayu Aga Vila. b. Mengetahui bagaimana penerapan unsur yang diterapkan pada bangunan Kayu Aga Vila. 1.5. MANFAAT PENULISAN a. Dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran atau pandangan tentang dunia arsitektur. b. Sebagai bahan referensi dalam ilmu arsitektur terlebih dalam hal transformasi bentuk tradisional ke modern sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan terhadap budaya Indonesia. 4 BAB II OBYEK STUDI 2.1 BUDAYA BALI 2.1.1 Lokasi dan Tempat Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kota provinsi ini adalah Denpasar. Bali juga merupakan nama dari pulau utama di wilayah ini. Di awal kemerdekaan Indonesia, pulau ini termasuk dalam Provinsi Sunda Kecil. Yang beribu kota di Singaraja, dan kini terbagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan. Bali terletak 3,2 km sebelah timur pulau Jawa, sekitar depalan derajat selatan khatulistiwa, dengan lebar pulau sekitar 153 km dan panjang 112 km dari utara ke selatan. Bagian Barat Bali dari lahan rawa dengan tumbuhan mangrove di kawasan pantai utara yang semakin melandai di pantai selatan, makin ke timur makin bervariasi dengan lansekap deretan gunung api (G. Batur, G. Batukau, G. Agung) dari bagian tengah timur ke barat – jurang dalam dan alur sungai-sungai sampai daratan pantai yang landai dan yang curam, dihiasi pepohonan kelapa dan pisang. Luas area Bali kl. 5800 km2 dengan kepadatan penduduk sekitar 400 penduduk/km2. Di darat, teras-teras sawah menghiasi lereng gungung. Puncak gunung api utama, G. Agung (+ 3.142m), merupakan titik orientasi sakral dalam kepercayaan Hindu-Bali. Titik ini dipercaya sebagai sumber kehidupan, sumbu kosmis dan tempat berdiamnya para dewa. Bawnyak kawasan alami seperti gua-gua 5 menjadi tempat semadi, seperti Goa Gajah, Pura Gua Lawah (gua kelellawar) di Kusumba, Gua Sangeh dengan monyet-monyet. Iklim di Bali adalah tropik basak dan iklim muson (monsoon). Ditandai panas yang berlebihan dengan kadar uap air tinggi dan dua musim (kemarau dan hujan). 2.1.2 Demografi Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa lebih, dengan mayoritas 84,5% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Buddha (0,5%), Islam (13,3%), Protestan dan Katolik (1,7%). Agama Islam adalah agama minoritas terbesar di Bali dengan penganut kini mencapai 13,3% berdasarkan sensus terbaru pada Januari 2014. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan, yang paling dikenal dunia dari pertanian di Bali ialah sistem Subak. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah bahasa Indonesia, Bali dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata. Bahasa Bali dan bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Di beberapa tempat di Bali, ditemukan sejumlah pemakai bahasa Jawa. 6 Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, sering kali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai. Bahasa Jepang juga menjadi prioritas pendidikan di Bali. 2.1.3 Asal Muasal Sejarah Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Bahasa Sanskerta dari India pada 100 SM. Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. 7 Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekukuh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai titk darah penghabisan atau perang puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah. Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang. Pada 20 November 1945, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir. 8 Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah provinsi dari Republik Indonesia. Letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia. Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian pada masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum. Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini. 9 2.1.4 Sistem Kepercayaan dan Religi Agama mayoritas yang dipeluk orang bali adalah agama hindu Bali. Agama Hindu termasuk agama Polytheisme, karena menyembah banyak dewa. 3 dewa utama disebut trimurti. Yaitu dewa brahma, wisnu, dan siwa. Meskipun tidak seluruh penduduk Bali memeluk agama hindu, namun agama ini menjadi ikon pulau Bali karena 97% penduduknya beragama hindu. Tempat peribadatannya adalah Pura. Hari besarnya antara lain Galungan, Nyepi, Kuningan. Gambar 2.1 Kepercayaan Bali Sumber : http://www.slideshare.net/ 2.1.5 Sistem Kemasyarakatan Umumnya penduduk Bali beragama Hindu, dan penduduk asli Bali Aga hidup di kawasan puncak gunung dengan pola pemukiman dan batas-batasnya sendiri. Pembagian kasta: Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra. Tingkat Teknologi: Sistem subak pda sawah irigasi – padi ditanam di sawah dan dikerjakan dengan sistem irigasi atau teknik terasering sawah. Gambar 2.2 Sistem kemasyarakatan Sumber : http://www.slideshare.net/ 10 2.1.6 Bahasa Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa. Tabel 2.1 vokal di dalam bahasa bali Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Bali 11 Tabel 2.2 konsonan di dalam Bahasa Bali Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Bali 2.1.7 Sistem Pemerintahan Sebagaimana layaknya provinsi lain di Indonesia, Provinsi Bali juga memiliki struktur pemerintahan yang sama, dimulai dari gubernur hingga camat. Secara administratif, pemerintahan hampir sama dengan provinsi lain. Tetapi mulai dari kepala desa hingga struktur terbawah, agak berbeda dengan daerah lain. Kalau dalam struktur pemerintahan resmi, strukturnya adalah kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan, ketua RW kemudian ketua RT. Di Bali sedikit berbeda. Struktur administratifnya adalah kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan dan yang terbawah adalah Kelian Banjar. Banjar mirip dengan kampung, bisa terdiri dari 50-200 KK (kepala keluarga), keanggotaannya biasanya bersifat turun temurun. Untuk struktur pemerintahan adat, tiap desa di bali dipimpin oleh bendesa adat (kelian desa) yang kedudukan hampir setara dengan kepala desa/lurah, hanya saja bendesa adat adalah pemimpin adat yang bertugas untuk menjalankan awig-awig (undangundang adat) di desa bersangkutan. Di bawah bendesa adat, ada kelian adat/kelian banjar. Di beberapa banjar di Bali, jabatan antara kelian banjar dan kelian adat biasanya dirangkap oleh satu orang, namun ada juga yang membedakannya. 12 Dalam satu desa administratif bisa terdapat beberapa desa adat. Maksudnya adalah desa A bisa terdiri dari desa adat B, desa adat C dan desa adat D. Hal ini kaitannya dengan historis. Desa adat sudah ada sejak zaman kerajaan, setelah berakhirnya era kerajaan, maka pemerintah republik membentuk desa administratif. 2.1.8 Kesenian Dalam kehidupan masyarakat Bali kesenian adalah sebagian dari hidupnya, Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan, sebagaimana kebudayaan, kesenian juga lahir dari hubungan manusia dengan alamnya. Kesenian dengan cabang-cabang, yaitu; seni rupa, seni gerak (tari) dan seni suara (musik), perwujudannya mencerminkan hubungan manusia dan alam lingkungan. Senu rupa alam, manusia, alam dan manusia dalam berbagai macam bentuknya. Senu sura (music) disuarakan oleh manusia dengan suaranya atau alatnya mengambil pula suara-suaraalam atau isi isi alam. Seni gerak yang umumnya disajikan dalam bentuk seni tari pada dasarnya mengambil gerakan-gerakan alam atau isi alam. Gambar 2.3 Kesenian Sumber : Google Image 13 Seni dalam perwujudannya ada yang ditampilkan dalam bentuk cabangnya, ada juga yang merupakan gabungan. Pada seni tari terkandung unsure kesenirupaan pada ragam hiasnya, seni suara pada tembang atau dialog dan gamelan pengiring, seni gerak pada sikap gerak-gerik tarinya. Keseluruhann merupakan kesatuan bentuk penyajian yang harmonis, dinamis, dan artistic energic. Dari sebagian kehidupan masyarakat menyertai pula masyarakat dalam bentuk aktivitasnya. Ada seni sacral yang hanya untuk kepentingan keagamaan, ada seni provan untuk dimasyarakatkan atau dikomersilkan dalam batas-batas kewajaran. Berbagai seni tercerminkan dalam Arsitektur, Arsitektur akrab dengan berbagai bentuk seni (sumber:I Nyoman Gelebet,1986). 2.1.9 Peralatan dan Teknologi Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Di Bali terdapat sekitar 1.482 subak dan subak abian sekitar 698. Subak merupakan salah satu lembaga tradisional yang merupakan satu kesatuan para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan tertentu. Subak adalah satu kesatuan ekonomi, sosial, dan keagamaan. Ketentuan dan Tradisi Dalam Sistem Subak : 1. Petak-petak sawah dibuat dalam bentuk terasering mengikuti kontur. 2. Menggunakan benih padi pada varietas lokal. 3. Dewi Bhatari Sri tidak menyukai ( alergi ) bahan kimia sehingga pupuk kimiawi ( Urea, NPK, TSP )dan pestisida kimia ( DDT, Dieldrin, Endrin ) tidak digunakan. 4. Setiap tahapan kegiatan pertanin terlebih dahulu dilakukan upacara ritual untuk memohon izin kepada Dewi Bhatara Sri. 14 5. Dewi Bhatara Sri menyukai keindahan, sehingga jarak tanam padi harus teratur, rapih. 6. Mengistirahatkan padi dengan rotasi jenis tanaman palawija. 7. Upacara ritual di Pura Subak menyambut panen berhasil. Interprestasi/Jastifikasi : 1. Untuk kelancara air. Menghindari terjadinya erosi dan longsor. 2. Resisten terhadap hama Nilaparphata ligens. Memelihara plasma nutfah jenis tumbuhan lokal. 3. Menjamin sumber daya alam tidak terkontaminasi dan menjamin tidak terjadi pencemaran lingkungan karena limbah B3 ( Bahan Beracun dan Berbahaya ). 4. Kalender kegiatan Keseragaman pertanian dalam disesuaikan tahapan kegiatan dengan iklim. pertanian dapat memutuskan siklus hidup hama padi tertentu. 5. Efisien dalam penggunaan sumber daya alam. Memudahkan dalam pekerjaan penyiangan. 6. Memutuskan siklus hidup hama padi tertentu. Memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah 7. integritas budaya tradisional. Gambar 2.4 Subak Sumber : http://www.slideshare.net/ Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. 15 Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa. 2.1.10 Mata Pencaharian Mata pencarian penduduk beraneka ragam yang meliputi pekerjaan sebagai petani, pengrajin, pedagang, dan berbagai jasa khususnya bidang kepariwisataan. Pertanian merupakan mata pencarian pokok masyarakat dan sebagian besar masyarakat Bali adalah petani. Jenis pertanian meliputi pertanian sawah dan perkebunan. Sistem pertanian di Bali subak memegang peranan yang sangat Gambar 2.5 Mata Pencarian Sumber : http://www.slideshare.net/ 2.2 OBYEK ARSITEKTUR TRADISIONAL 2.2.1 Konsep Kosmologi Ruang Gunung agung adalah gunung api tertinggi di Bali (3.142m dpl, terakhir meletus tahun 1964), terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Gunung ini memiliki kawah yang sangan besar dan sangat dalam, kadang-kadang mengeluarkkan asap dn uap air. Dari Puri Beskih di lerengnya, gunung ini tampaj sebagai kerucut runcing sempurna, tetapi sebenarnya puncak gunung ini memanjang dan berakhir pada kawah yang melingkar dan lebar. Dari puncak gunung Agung dapat terlihat puncak gunung Rinjani di sebelah timut di P. Lombok. Di darat, teras-teras sawah 16 menghiasi lereng gunung. Puncak gunung api utama, G. Agung (tinggi, 3.142m), merupakan titik orientasi sakral dalam kepercayaan Hindu-Bali. Titik ini dipercaya sebagai sumber kehidupan, sumbu kosmis dan tempat berdiamnya para dewa. Banyak kawasan alami seperti gua-gua menjadi tempat semadi seperti: Goa Gajah, Pura Gua Lawah (gua kelelawar) di Kusamba, Gua Sangeh dengan monyet-monyet dan sebagainya. Pulau ini dikelilingi terumbu karang (coral reef) memanjang. 2.2.2 Citra Dasar Gunung Citra dasar gunung kita lihat kembali pada bangunan-bangunan pintu gerbang di Bali dan masjid-masjid serta watilan-watilan (balai sabung ayam) di Bali. Sabung ayam di Bali bukan hanya pertandingan hiburan ramai-ramai atau komersial belaka, tetap aslinya mengandung arti magi. Ayam jago yang di malam hari membuat orang takut, karena menurut kepercayaan: maut akan berkunjung. Inti arti adu ayam adalah labu getih atau tabuh getih, yakni korban darah. Citra gunung sangat tampak dalam bentuk pintu gerbang pura Bali (Pura sering disebut kahyangan = tempat para dewata) baik yang berbentuk segitiga utuh ataupun gerbang terbelah yang disebut candi bentar. Candi Bentar benar-benar diungkapkan sebagai belahan, sehingga sisi belahan (jadi sisi dalam) dibuat polos saja, tidak terukir dan sebagainya karena memang sengaja harus memberi kesan, seolah-olah pernah ada pisau raksasa yang sangat tajam membelah candi menjadi dua bagian. Candi Bentar merupakan lambang semesta raya. Masuk gerbang candi bentar ibarat masuk ke dalam cosmos. Begitu juga citra dasar gunung kita temukan dalam gunungan wayang, yang selalu mendahului dan mengakhiri kriteria. Pentacaban gunungan atau kekayon (pohon) berwarta : pada awal mula adalah semesta. Demikian juga pada akhir segala-gala, masih ada pula semesta. Seni ruang Bali berkonstruksi sangat ramping tetapi kuat, bukti kemampuan yang berhitung berkualitas tinggi. 17 Peta pulau bali posisi gunung-gunung yang ada dengan gunung agung di kawasan timur yang tertinggi dan diyakini sebagai pusat sakralatis kosmos Hindu-Bali Gambar 2.6 Diagram tripartit secara vertikal Sumber : http://image.slidesharecdn.com/ Penggambaran sembilan arah lokasi menurut kepercayaan Hindu-Bali dan tempatnya para dewa penjaga Gambar 2.7 Nawa sangah Sumber : http://kmhdintt.blogspot.co.id/ 18 2.2.3 Rumah Tradisional Bali Rumah adat Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya feng shui dalam budaya china). Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Pada umumnya, bangunan atau arsitektur tradisional rumah adat bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Rumah tradisional Bali yang utuh berwujud satu kompleks bangunan. Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain : 1. Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep catur lokapala,konsep dewata nawa sanga ), konsep ini juga harus menjadi panutan dalam membangun diberbagai tataran arsitektur termasuk keseimbangan dalam berbagai fungsi bangunan. konsep dewata nawa sanga ialah aplikasi dari purapura utama yang berada di delapan penjuru arah dibali yang yang dibangun menyeimbangkan pulau bali, pura-pura utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di delapan penjuru mata angin dan di tengah.Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang berwujud natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang ada disekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale Daje,Bale Dauh,Bale Delod,Bale Dangin, 19 2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana) Hulu Teben merupakan dua kutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben purusa(jantan) bernilai nista/ kotor. pradana(betina) merupakan Sedangkan embryo suatu kehidupan 3. Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur tri buana fisik alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala yang masing-masing bernilai nista, madya dan utama. 4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat. 2.2.4 Konsep Pendekatan Bangunan Tradisional Bali A. Pola Natah Pola natah yang juga merupakan pola yang membentuk core (pusat) secara bersama. Pola ini biasanya juga disebut sebagai “pola papan catur”. Dimana suatu pekarangan dibagi menjadi Sembilan bagian, dengan arah kajakangin (timur laut) sebagai arah tutama pada kesembilan bagian tersebut . Dan arah tengah merupakan pusat (poros) yang mengikat keseluruhan dari bangunan –bangunan yang ada pada satu unit hunian tersebut. Daerah tengah (poros) tersebut diberi nama natah sehinnga pola ini sering disebut sebagai pola natah. Adapun pembagian kesembilan arah dalam pekarangan Gambar 2.8 Pola Natah Sumber : perencanaanruang.co.cc 20 B. Tri Angga Bangunan tradisional diatur dalam upacara agama. Bangunan , alam semesta dipandang sebagai bhuwana agung hakekatnya. Bhuwana alit sama dengan bhuwa agung hanya dengan skala yang berbeda. Dalam bangunan seperti bale-bale seperti :bale meten, bale dangin, bale dauh, dan lain-lainya,dipandang sebgaia miniature dari bhuwana agung dengan menampilkan tiga unsure: atma, sarira, tri kaya. Unsur perumahan tersebut merupakan konsep tradisional.Bangunan perwujutan pemenjaraan bangunan (suci), dapat dipandang sebagai intinya atau atma perumahan. Pekarangan, pelembangan dan segala perwujudannya dapat dipandang sebagai sarira atau awak ,badan bangunan atau fisik. Pawongan (orangorang yang tinggal) dapat dipandang sebagai Tri Kaya. Kemanunggalan ketiga unsure : Pemerajaan atau tempat suci,Pelemahan dan Pawongan disebut sebagai “Tri Hita karana”. Dus Tri Hita karana menjadi konsep perwujutan bangunan tradisional yang dibagi atas tiga bagian: Gambar 2.9 Konsep Tri Angga pada Alam Lingkungan Sumber : Meganda (1990) dan Anindya (1991) 21 Gambar 2.10 Konsep Tri Angga dalam Wujud Fisik Rumah Tinggal Sumber : Budiarjo (1986) dan Sulistyawati (1989) Gambar 2.11 Konsep Tata Ruang Rumah Tinggal Sumber : Covarubias (1986) dan Rahardji (1989) Gambar 2.12 Konsep Tri Angga pada Rumah Tinggal Sumber : Covarubias (1986) dan Rahardji (1989) 22 Konsep utama,madya,nista: Tria angga ini merupakan konsep dasar perwujudtan bale-bale tradisional Bali (bangunan tradisional Bali). Masyarakat bali mempercayai bahwa “ketinggian” adalah untuk para dewa. Dunia tengah untuk manusia dan’ kedalaman’ (dunia bawah)untuk roh-roh jahat. Hal ini wajar bagi orang Bali yang hidup sangat dekat dengan alam untuk memandang’ alam dalam arti’magis dan spiritual. Sejak dulu masyarakat Bali senang beranggapan tentang alamsemesta yang tentram membentang dari surga ditas gunung menuju kekedalaman laut. Segala sesuatu dialam memiliki arah, kedudukan dan tempat. Segala dianggap suci atau sacral dihubungkan dengan ketinggian, gunung-gunung dan arah ke hulu melalui gunung Agung,gunung api atau vulkano paling sacral dan tertinngi di Bali. Semua ancaman dan bahaya berasal dari kekuatan “bawah dunia “ samudra yang tak terukur dan arah kehulu melalui laut. Kediaman manusia terlatak didunia penengah yaitu daratan subur antara gunung-gunung dan laut. Tugas manusia adalah mengupayakan keseimbangan dan harmoni antara dua kekuatan yang saling bertolak belakang tersebut. Roh-roh suci (para dewa dan leluhur )yang tinggal digunung-gunung dihormati melalui pemujaan dan ibadat sedangkan roh-roh jahat (iblis dan penyihir) yang berdiam dilaut ditentramkan melalui “pemurnian”. Berdasarkan kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar “Rwe-bhineda atau Semara Ratih” berarti perdamaian dari kutub-kutub yang berbeda, elemen-elemen, norma-norma atau nilai-nilai. Mereka selalu berusaha mencapai kesatuan anatar Bhuwana Alit ( manusia-manusia atau individu, mikro-kosmos), yang akan membawa kemoksa (kesempurnaan). Filosofi dasar lain yang tak kalah penting disebut “ Tri Hita Karana” yang berarti tiga unsure kebaikan. Dasar dari filosofi ini adalah bahwa segala sesuatu didunia mengandung tiga komponen 23 1.Atma ( jiwa) 2. sarira (badan fisik) 3. Tri Kaya (kekuatan atau kemampuan) Konsep dasar Tri Angga, yang berkaitan erat dengan desain dan perancanaan Arsitektur, berasal dari Tri Hita Karana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponenatau daerah yaitu: Nista (dasar<najis,kaki), madya (tengah, netral, badan), utama (atas,murni,kepala). Dunia fisik, kehidupan fisik kehidupan nyata dan waktu juga dianggap mengandung tiga komponen tersebut misalnya : Hidrosfir-Litosfir-Atmosfir, laut-daratan-gunung, roh jahat-manusiadewa, masa lalu-masa kini-masa depan, dan sebagainya. C. Pembuatan Rumah Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi :  • jaba untuk bagian paling luar bangunan jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah • Jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau 24 paling privacy bagi rumah tinggal dengan konsep dan teknik konstruksi Tri Angga dalam arsitektur, yang terdiri dari hirarki yang paling bawah sampai paling atas.yaitu nista, madya dan utama : • Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung. • Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia • Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Jika dilihat dari sisi geografis, ada dua jenis rumah di bali yaitu rumah adat yang berada di daerah dataran tinggi dan rumah adat di daerah dataran rendah. Rumah yang berada di daerah dataran tinggi pada umumnya berukuran kecil, dan memiliki jumlah ventilasi yang lebih sedikit, dan beratap rendah. Ini dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Selain itu pekarangan rumah juga lebih sempit disebabkan kontur tanah yang tidak rata. Aktivitas sehari-hari seperti memasak, tidur, hingga ritual keagamaan dilakukan didalam rumah. Rumah adat bali yang terletak di daerah dataran rendah pada umumnya memilki ciri sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka, beratap tinggi, dan berpekarangan luas. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, 25 dapur untuk memasak, njineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Rumah keturunan keluarga raja dan brahmana pekarangannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu njaba sisi (pekarangan depan), njaba tengah (pekarangan tengah) dan njero (pekarangan untuk tempat tinggal). Gambar 2.13 Denah berdasarkan Asta Kosala Kosali Sumber : Covarubias (1986) dan Rahardji (1989) 1. Tempat Suci (pemerajan) 2. Bale Dangin 3. Bale Delod 4. Bale Daja 5. Bale Dauh 6. Aling aling 7. Aling aling 8. Pawon 9. Jineng 10. Ternak 11. Angkul angkul Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran tanah yang biasa disebut dengan nyikut karang. Kemudian dilaksanakan caru pengerukan karang, adalah ritual persembahan kurban & mohon izin untuk mendirikan rumah hampir sama seperti meembangun rumah adat jawa. Upacara ritual dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin, bertujuan untuk memohon kekuatan pada bumi 26 pertiwi agar nanti bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh serta pekerja atau tukang dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika seluruh ritual sudah dijalankan barulah pembangunan dimulai. Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah yang akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya. 2.2.5 Tipe Bangunan Tradisional Bali Sakepat bangunan bertiang empat. Bangunan sakapat tergolong bangunan sederhana ukuran sekitar 3 m x 2,5 m. Konstruksi bertiang empat denah segi empat, satu balai balai mengikat tiang atau tanpa balai-balai. Atap dengan konstruksi pelana atau limasan. Bangunan sakenem tergolong sederhana berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kalilebar .Ukuran bangunan sekitar 6 m x 2m, mendekati dua kali ukuran sakepat, Konstruksi bangunan terdiri enam tiang berjajar, tiga tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh satu balai-balai atau empat tiang pada satu balai- balai dan dua tiang di teben pada satu balai balai dengan dua sakapandak. Hubungan balai-balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton,likah dan galar. Konstruksi atap dengan pelana atau limasan Sakutus, bangunan tergolong madia bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masingmasing balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang, senggawang tidak ada pada bangunan sakutus. Sistem konstruksi atap dengan pelana. 27 Tiangsang merupakan bangunan tergolong bangunan utama bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran sekitar 4 m x 5 m tiangnya sembilan. Konstruksi bangunan dengan satu balai - balai mengikat empat tiang di teben tiangnya tiga dengan senggawang sebagai stabilitas. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut,tengah-tengah keempat sisi dan ditengan dengan kencut sebagai kepala tiang , Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng, Sakaroras adalah Bangunan tergolong utama bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5 m x 5 m, Jumlah tiang dua belas buah, empat empat tiga deret dari luan keteben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masingmasing di sisi samping dan dua buah di tengah dengan kencut sebagai kepala tiang. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang dengan sunduk, waton/selimar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet diteben dengan senggawang sebagai stabilitas tiang. Bangunan tertutup dua sisi terbuka kearah natah, Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng A. Unit Bangunan Suci (Sanggah/Sanggar/Merajan) Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat suci atau pemujaan kepada Tuhan dan roh suci leluhur. Pada unit bangunan suci ini terdapat beberapa bangunan dengan fungsinya masing - masing serta jumlah bangunan-bangunan ini sangat bervariasi dan tergantung dari pemilik. Namun demikian, yang mutlak terdapat dalam satu unit bangunan suci terdiri dari: Penglurah, Kemulan, Padmasari, Peliangan, Taksu dan Piyasan. 28 Gambar 2.14 Sanggah Sumber : Google Image B. Bale Meten/Bale Daja Bale Meten terletak di bagian Utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat tempat suci/Sanggah. Bale Meten ini juga sering disebut dengan Bale Daja, karena tempatnya di zona utara (kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk bangunan Bale Meten adalah persegi panjang, dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Fungsi Bale Meten adalah untuk tempat tidur orang tua atau Kepala Keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat – alat upacara. Sebagaimana dengan bangunan Bali lainnya, bangunan Bale Meten adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman (±75-100 cm). Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi pada seluruh bale dalam satu pekarangan disamping untuk menghindari terjadinya resapan air tanah. Gambar 2.15 Bale Daja Sumber : Google Image 29 C. Bale Dangin/Bale Gede Bale Dangin terletak di bagian Timur atau dangin natah umah, sering pula disebut dengan Bale Gede apabila bertiang 12. Fungsi Bale Dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bisa difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan Bale Dangin ini menggunakan 1 bale – bale dan kalau Bale Gede menggunakan 2 buah bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan. Bentuk Bangunan Bale Dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/Bale Gede). Bangunan Bale Dangin adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman namun lebih rendah dari Bale Meten. Gambar 2.16 Bale Gede Sumber : Google Image D. Bale Dauh/Loji Bale Dauh ini terletak di bagian Barat (Dauh natah umah), dan sering pula disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem, bila 30 berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten. Gambar 2.17 Logi Sumber : Google Image E. Bale Delod Bale Delod sebagai Ruang menerima tamu atau ruang tamu. Di Bali bale delod difunngsikan untuk kegiatan adat, dan atau bale kematian dimana bila ada salah satu anggota keluarga yang meninggal akan disemayamkan disana sebelum prosesi ngaben dilaksanakan. Selain itu bale ini juga berfungsi sebagai tempat meletakan sesajen atau banten sebelum melaksanakan yadnya, sebagai tempat untuk melaksanakan manusa yadnya seperti otonan, potong gigi, dan upacara pemberkatan pernikahan. Lebih Umum bale delod bisa dikatakan sebagai bale yadnya. Gambar 2.18 Bale Delod Sumber : Google Image 31 F. Lumbung ( Jineng ) Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen yang berupa gabah di bagian atapnya. Dan dibawahnya dibentuk menyerupai bale untuk tempat bersantai dan bercengkrama bersama keluarga. Orang – orang yang memiliki jineng ini biasanya golongan petani yang memiliki hasil panen setiap tahun. Gambar 2.19 Lumbung Sumber : Google Image G. Dapur ( Paon ) Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang terpenting dari rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian – bagian rumah yang lain. Dapur biasanya ditempatkan disebelah barat bale delod berdekatan dengan pintu masuk rumah atau dalam bahasa bali biasa disebut lebuh. Fungsi dapur di bali memang sama dengan dapur – dapur pada umumnya akan tetapi bagian – bagian dapur tradisional bali harus memiliki tungku dalam bahasa bali disebut Bungut Paon. Tungku ini fungsinya sebagai pengganti kompor atau hanya symbol saja tetapi tidak digunakan. Tungku ini juga berfungsi sebagai tempat meletakan yadnya sesa atau banten jotan ( sesajen setelah 32 selesai memasak di pagi hari ). Diatas bungut paon itu biasa dibuatkan Langgatan ( sejenis rak tradisional ). Jika memasak menggunakan bungut paon langgatan berfungsi sebagai tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan siap digunakan. Gambar 2.20 Dapur Sumber : Google Image H. Pengaling – aling Aling – aling adalah bagian pintu gerbang yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. I. Candi Bentar / Angkul – angkul / Gapura Angkul – angkul yaitu Pintu Gerbang yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. 33 Gambar 2.21 Candi Bentar Sumber : Google Image 2.2.6 Elemen Pendiri Rumah pada Rumah Adat Bali A. Pondasi Bebaturan Bagian bawah atau kaki bangunan adalah bebaturan yang terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag, atau tangga untuk lintasan naik turun lantai ke halaman. Bahan bangunan yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya, dan utama. Jongkok asu sebagai pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya dipakai bahan-bahan local yang mudah didapat. Untuk desa Penglipuran kemungkinan bahan batu alam berasal dari batu lava karena terletak di daerah pegunungan. 34 Gambar 2.22 Pondasi Sumber : Google Image B. Dinding Dinding dan pilar-pilarnya pada rumah adat bali dibangun dengan pola kepala badan kaki, dihias dengan pepalihan dan ornamen bagianbagian tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangun. Tembok tidak terpengaruh bila terjadi goncangan pada konstruksi rangka atau konstruksi rangka tidak terpengaruh bila konstruksi tembok roboh. Dinding Untuk bangunan yang sederhana bidang-bidang pembatas sisi dipakai dinding gedeg anyaman bambu atau anyman daun kelapa yang disusun dengan rangka terampa uger-uger. Daun kelapa dapat dianyam pada kedua belah sisi pelepah dengan helai daun terbuka disebut teratub. Dilipat dari sebelah sisi untuk anyaman pada sisi sebelah sehingga mendapatkan anyaman yang lebih tebal dan lebih kokoh dari teratub yang disebut kelangsah. Pemasangan penutup dinding pada rangka dinding diikat dengan tali bambu atau tali ijuk dalam satu komposisi yang serasi. Untuk dinding bagian luar bias digunakan, dari pasangan batu bata, batu padas jenis-jenis batu alam yang sesuai bahan tembok. 35 Gambar 2.23 Dinding Sumber : Google Image C. Lantai Lantai bangunan umumnya masih tetap memakai bahan tanah, cadas dan bata, khususnya pada lantai bangunan tradisional. Sesuai dengan perkembangan jaman beberapa lantai bangunan rumah tinggal Bali Madya telah beralih pada pemakaian bahan-bahan modern seperti semen, marmer, teraso, tegel dan keramik. Umumnya lantai dibuat sederhana dan tidak banyak menggunakan permainan lantai. Lantai pada bangunan disebelah timur diusahakan lebih tinggi karena masyarakat bali menganggap bagian timur hulu (kepala) yang disucikan. Gambar 2.24 Lantai Sumber : Google Image 36 D. Kolom Bagian ini umumnya menggunakan kayu dari pohon jati. Jati (Tectona grandis L.f.) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumahrumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, rumahrumah adat Bali juga menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir. Kayu untuk bahan bangunan perumahan ditentukan raja kayu ketewel (kayu nangka), patih kayu jati. Penempatannya pada bagian konstruksi disesuaikan dengan kerajaan.Berfungsi kehormatan untuk menyangga kedudukan bangunan. perangkat Penyelesaian pengerjaan tiang dengan kekupakan lelengisan yang sederhana atau dengan ragam ukiran. Gambar 2.25 Kolom Sumber : Google Image E. Tangga Tangga pada rumah adat bali biasanya menggunakan bahan batu alam. Dan tangga digunakan untuk menghubungkan pada bale-bale yang ada di rumah tradisional bali. Karena bale dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah. 37 Gambar 2.26 Tangga Sumber : Google Image F. Atap Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal igaiga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan bingkai tepi luar atap. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut langit-langit untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang bukan limasan.Sebagian besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.Penutup atap tradisional disebut raab yang umumnya dibuat dari bahan-bahan alam, sebagian besar alang-alang. Di pegunungan ada pula yang dibuat dari sirap bambu seperti yang terdapat di desa penglipuran ini. Alang-alang dihasilkan sekali dalam setahun untuk bahan yang cukup tua. Disabit, dibersihkan, diolah dalam rangkaian ikatan yang merupakan bidang-bidang atap. Ikatan alang-alang dengan tali ijuk dan ke bidang rangka atap diikatkan dengan tali bambu pada iga-iga yang juga terdapat dari bambu pilihan. 38 Gambar 2.27 Atap Sumber : Google Image G. Pintu dan Jendela Pintu pada rumah-rumah di terbuat dari kayu jati yang tentunya tak pernah lepas dari unsur ukiran yang rumit dan simetris, baik pada bagian kusen maupun pada daun pintu. Meskipun pada beberapa pintu yang memiliki lebar standar (+/- 90cm), daun pintu akan tetap dibuat dua bagian sehingga daun pintu menjadi dua bagian panel yang membentuk daun pintu ganda. Masih-masing daun pintu akan berukuran kecil. Biasanya daun pintu dan kusen pintu berukir ini finish touch up nya dengan menggunakan cat gloss melamic (finish mengkilat). Untuk bagian jendela juga diperlakukan finishing yang serupa. Gambar 2.27 Atap Sumber : Google Image 39 2.2.7 Ragam Hias Ragam hias atau seni hias ( ornament = bahasa Inggris ) adalah salah satu bentuk seni rupa yang bertujuan menambah keindahan pada karya seni yang dirangkai menurut penggunanya, Ornamen dapat digunakan hampir sebagian besar seni rupa. umpamanya menghias sebagian interior dan eksterior bangunan, menghia benda – benda keramik, kerajinan. Ornamen terkadang memiliki makna simbolis, terkadang murni hanya untuk menambah kaya keindahan saja . 1. Flora  Keketusan Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan wangga melukiskan bunga- bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkunglengkung keindahan.  Kekarangan Karang simbar suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan pada bangunan bade wadah, bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya. 40 Gambar 2.28 Karang Simbar Sumber : Google Image Karang bunga suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang bidang. Gambar 2.29 Karang Bunga Sumber : Google Image Suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang diukir dalam-dalam, memungkinkankan karena tiang tugeh bebas beban. Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atau jenis fauna yang dikarang keindahannya.  Pepatran Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang disebut Patra atau Pepatraan. Pepatraan yang juga banyak didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora 41 menamai pepatraan Pepatraan yang kemungkinan dengan jenis memakai negara flora nama asalnya ada yang yang pula diwujudkan memungkinkan yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu. Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing pula Patra memiliki identitas yang kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman Sangging yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem identitasnya. Patra Warga meupakan Kembang mekar atau kuncup dengan daun - daun yang lebar divariasi lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang - batang bersulur di selas-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong kekerasan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian-bagian keindahannya. Gambar 2.30 Patra Warga Sumber : Google Image Patra Sari bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-linggar balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun daun dan bunga-bunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra sari dapat digunakan pada bidang- bidang lebar atas, daun umumnya untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas. 42 Gambar 2.31 Patra Sari Sumber : Google Image Patra sulur melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daundaun sulur bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang. Patra Punggel yaitu mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagianbagiannya ada yang disebut batu pohon kupil guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola patern patra punggel merupakan pengulangal dengan lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atap berguna. Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-bidang lebar atau bervariasi/ kombinasi dengan patra lainnya. Patra punggel merupakan patra yang paling banyak digunakan. Selain bentuknya yang murni sebagai Patra Punggeh Utuh. Patra punggel umumnya melengkapi segala jenis kekarangan (patra-patra dari jenis fauna) sebagai hiasan bagian (lidah naga patra punggel api-apian), ekor singa, dan hiasan-hiasan. Untuk patra tunggal puncak atap yang disebut Bantala pada atap yang bukan berpuncak satu. Untuk hiasan atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motif-motif Kusuma Tirta Amertha Murdha Bajra yang masing-masing juga dilengkapi dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha. 43 Gambar 2.32 Patra Tunggal Sumber : Google Image Patra sulur merupakan pelukisan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang. Gambar 2.33 Patra Salur Sumber : Google Image 2. Fauna • Karang Boma Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap dengan hiasan dan mahkota, diturunkan dari cerita Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan tang dari pergelangan ke arah jari dengan jari-jari mekar. Karang Boma umumnya dilengkapi dengan patra bun-bunan atau patra 44 punggel. Ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu dari Kori Agung. Gambar 2.34 Karang Boma Sumber : Google Image • Karang Asti Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni hias yang diexpresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi ke arah sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah. • Karang Goak Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai hiasan bagian pipi dan kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra punggel. Karang Goak umumnya disatukan dengan karang Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah Karang Goak. 45 Gambar 2.35 Karang Goak Sumber : Google Image • Patung Singa Wujudnya singa bersayap yang juga disebut Singa Ambara Raja. Dalam keadaan sebenarnya tidak bersayap. Patung Singa bersayap untuk keagungan keadaan sebenarnya tidak bersayap. Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas tugeh seperti patung Garuda. Bahannya dari kayu jenis kuat, keras dan awet. Patung singa digunakan pula untuk sendi alas tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan bahan dari batu padas keras, atau batu karang laut yang putih masif dan keras. Patung singa bersayap juga dibuat sebagai kerajinan seni ukur untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil untuk hiasan meja sampai ukuran besar untuk hiasan ruang. Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras yang awet, tanpa atau dengan pewarnaan. Patung-patung singa bersayap ada pula yangdisakralkan untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk petualangan sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam upacara ngaben selain patung lembu, patung singa juga dipakai dengan perwujudan dan hiasan sementara yang ikut terbakar bersama pembakaran mayat di badan Petualangan Patung Singan 46 Gambar 2.36 Patung Singa Sumber : Google Image • Patung Naga Perwujudan Ular Naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong leher anting-anting telingan rambut terurai, rahang terbuka taring gigi runcing lidah api bercabang. Patung Naga sikap tegak bertumpu pada dada, ekor menjulang ke atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan lekuklekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat tangga ke arah atas. Pemakaian patung Naga. Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis, Patung Naga yang membelit Bedawang kura-kura raksasa ditempatkan pada dasar Padmasana. Naga juga sebagai dasar Meru seperti tumpang 11 di Pura Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben bagi satria tinggi juga memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade wadah yang disebut Naga Badha. Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan untuk pratima sebagai simbol pemujaan yang disakralkan. Sebagai benda-benda souvenir kerajinan seni ukur juga membuat patung-patung Naga dalam ukuran kecil atau besar yang umumnya disatukan dengan patung Garuda atau Garuda Wisnu yang berpijak pada belitan Bedawang Naga. 47 2.3 Tinjauan Khusus Bangunan 2.3.1 Data teknis Villa Kayu Aga terletak di daerah Canggu, Bali, Indonesia. Dibangun pada tahun 2009 dan dirancang oleh Yoka Sara Internasional. 2.3.2 Site Plan Villa Kayu Aga Gambar 2.37 Site Plan Villa Kayu Aga Sumber : http://www.archdaily.com 48 2.3.3 Block Plan Villa Kayu Aga Gambar 2.38 Block Plan Villa Kayu Aga Sumber : http://www.archdaily.com 2.3.4 Potongan Villa Kayu Aga Gambar 2.39 Potongan Villa Kayu Aga Sumber : http://www.archdaily.com 49 BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1. KONSEP MASSA BANGUNAN KAYU AGA VILA 3.1.1. Penempatan Massa Bangunan Gambar 3.1 Denah Rumah Tradisional Bali Sumber : Buku Rumah Etnik Bali Arsitektur Bali diwujudkan pada bangunan tempat ibadah (pura), tempat musyawarah (Bale Banjar), dan tempat tinggal yang masing-masing dilengakapi tempat penyimpanan. Baik Pura, Bale Banjar, maupun tempat tinggal membentuk massa bangunan pada suatu pekarangan berdasarkan pedoman tata ruang Bali. Denah bangunan berukuran kecil dengan bentuk kecil dengan bentuk yang pasti, bujur sangkar atau persegi empat. Dikelilingi pagar tembok, Pagar masif (penyengker) yang dipadu candi bentar. 50 Gambar 3.2 Blok Plan Kayu Aga Vila Sumber: http://www.archdaily.com/ Pada bangunan Kayu Aga Vila ini, Komposisi denah bangunan merupakan transformasi bentuk dari bujur sangkar, sehingga terdapat penambahan dan pengurangan bentuk pada denah bangunan Kayu Aga Vila, untuk bagian denah yang melingkung merupakan bentuk respon dari site yang ada. Pemisahan massa bangunan pada Kayu Aga Vila ini merupakan penerapan dari konsep bali, pemisahan massa bangunan ini dipisah berdasarkan fungsi kegiatan. Untuk penempatan pada masing-masing massa bangunan ditempatkan berdasarkan penempatan filosofi bali yang disebut sanga mandala. Gambar 3.3 Tata Nilai Sumbu Bumi & Sumbu Matahari Sumber: http://www.archdaily.com/ 51 Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala, yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. . Gambar 3.4 Lokasi Kayu Aga Vila Sumber : Buku Rumah Etnik Bali Letak lokasi Kayu Aga Vila berada di bagian bawah pada peta pulau Bali, sehingga bagian atas dari letak lokasi nilai berdasarkan sumbu bumi adalah (kaja/gunung) yang berarti utama, dan bagian bawahnya adalah (kelod/laut) yang berarti nista, sedangkan tata nilai berdasarkan sumbu matahari, pada bagian kanan dari letak lokasi adalah timur yang berarti utama, karena timur adalah tempat matahari terbit, untuk bagian kiri adalah barat, yang berarti nista karena tempat matahari terbenam. Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Konsep Bali. 52 Gambar 3.5 Denah Rumah Berdasarkan Asta Kosala-Kosali Sumber : http://umaseeh.com Konsep tata ruang Sanga Mandala ini juga diterapkan pada Bangunan Kayu Aga Vila. Seperti perletakkan pintu masuk kedalam bangunan, Kayu Aga Vila ini terletak pada bagian Nista ning nista. Meskipun tidak seluruhnya persis berdasarkan asta kosala-kosali, tetapi bangunan ini tetap mengikuti aturan sanga mandala dapat dilihat dalam penzonaan ruangnya. Gambar 3.6 Site Plan Kayu Aga Vila Sumber : http://www.archdaily.com/ 53 Berikut ini adalah pengenalan massa ruang dan zonasi yang berada pada eksisting. B E F H D G A C F 5 Gambar 3.7 Massa Ruang dan Zonasi Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Buku Rumah Etnik Bali Merujuk pada gambar site plan, ada empat zona yang dirangkum dalam zona dasar kompleks bangunan ini. Keempat zona tersebut adalah sebagai berikut: 1. Barrier tapak dari bising dan area servis, gerbang utama tapak dan carport. Gambar 3.8 Potongan Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Buku Rumah Etnik Bali Seperti Konsepsi tata ruang Sanga Mandala pada bagian zona 1, pada massa ‘A’ dan ‘B’ merupakan area servis, sedangkan untuk massa ‘C’ adalah area dapur. Berdasarkan sumbu matahari area tersebut adalah area nista yang berarti zona untuk melakukan kegiatan yang kotor, sehingga penampatan fungsi kegiatan ruang ditempatkan pada area nista. 2. Courtyard Barat, merupakan barrier lapisan kedua sekaligus sirkulasi menuju paviliun utama. Gambar 3.9 Courtyard Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Buku Rumah Etnik Bali Jika berdasarkan pada Konsepsi tata ruang Sanga Mandala area ini merupakan aling-aling yang artinya area ini adalah pengalihan antara pintu masuk ke area yang lebih privat lagi. Pengalihan ini terbangun lewat suasana lanskap. Pergola diputus di sebuah titik dan segera ditemui sebuah area terbuka hijau dengan permainan lanskap dan jalur perkerasan. Pada zona 2 ini juga terdapat massa bangunan ‘E’ yaitu kamar tidur anak, Perletakan massa ini berada pada Madya ning Nista yang berarti masih ada interaksi antar manusia, sehingga penrletakkan ruangan tersebut sesuai dengan konsep tata ruang sanga mandala. 55 3. Fungsi publik (paviliun utama). Gambar 3.10 Paviliun Utama Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Buku Rumah Etnik Bali (2012) Zona ini merupakan zona klimaks. Pada zona ini ditemui ruang utama sebagai area publik yang berwujud sebuah paviliun dua lantai. Paviliun ini berfungsi sebagai ruang keluarga dan area makan. Sementara lantai di atasnya merupakan ruang studio dan roof Garden. Paviliun ini seperti sebuah shelter. Sebuah ruang yang dilindungi oleh atap dan hanya sedikit bagian yang dilindungi oleh dinding solid, seperti pada rumah adat Bali, bangunannya yang tidak memiliki dinding kecuali bangunan tersebut adalah area yang privat misalnya tempat tidur. Jika pada rumah adat bali dinding bangunan hanya kolom/tiang, maka Paviliun utama pada Kayu Aga Vila ini memakai kaca dan kolom-kolom yang diletakan berderet. Meskipun, memakai kaca dan kolom bangunan Kayu Aga Vila ini tetap bisa menikmati pemandangan baik yang ada diluar maupun didalam. Berdasarkan Konsep tata ruang sanga mandala, massa bangunan ‘D’ ini terletak pada Madya ning Madya, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia, sehingga ruang keluarga dan ruang makan ini sesuai ditempatkan pada area Madya ning Madya, karena kedua ruangan tersebut adalah kegiatan untuk mewadahi aktivitas interaksi antar manusia. 56 4. Area privat Gambar 3.11 Area Privat Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ Area privat ini terdapat pada massa ‘F’. Area privat ini berupa kamar tidur yang tersebar di dua sisi tapak. Kamar tidur ini memakain dinding solid dan jendela, karena memang yang sifatnya privat hanya saja, transformasi pintu dan jendela ini yang sudah menjadi ke bentuk modern, dengan pemakaian kaca yang lebar dan penggunaan alumunium pada list pintu dan jendelanya. Oleh karena itu, area rileksasi. Berdasarkan sumbu bumi, perletakan massa ‘F’ ini masih berada pada di area Madya, Sehingga masih sesuai dengan konsepsi tata ruang sanga mandala. karena kegiatan privat ini masih adanya hubungan antar manusia. Untuk menuju massa bangunan ‘F’ ini terdapat akses jalan yang telah dibuat untuk mempermudah pengguna saat berjalan, dan dilengkapi dengan tumbuhan dan rerumputan. Gambar 3.12 Akses Jalan Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ 57 5. Dominasi area hijau Gambar 3.13 Area terbuka Hijau Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ Zona ini terletak di massa bangunan ‘H’. Zona ini adalah ruang terbuka hijau yang terletak pada area utama berdasarkan sumbu matahari, sehingga baik untuk melakukan aktivitas saat pagi hari. Jika pada rumah adat tradisional bali area ini merupakan area suci seperi tempat sembahyang, maka penerapan dimasa modern ini lebih kepada sikap bersyukur manusia kepada tuhan sehingga bisa menikmati ruang terbuka yang langsung menghadapkan kepada kuasa tuhan, Pada zona ini terdapat Kolam renang, area hijau, sebuah bale sebagai area santai. Area ini bersifat meditatif. Gambar 3.14 Area terbuka Hijau Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ 58 3.1.2 Transformasi Bentuk Bale Pada Kayu Aga Vila Desain interior bale pada rumah adat bali dibuat sesuai dengan kegiatan aktivitas yang ada didalamnya. Tetapi untuk keseluruhan eksterior bentuk bangunan pada bale rumah adat bali mempunyai struktur elemen-elemen yang sama yaitu : 1. Pondasi 2. Tangga 3. Kolom dan Dinding 4. Lantai 5. Atap Gambar 3.15 Bale Pada Rumah Adat Bali Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ Karena dalam pembuatan rumah adat bali akan idibagi menjadi : 1. Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung. 2. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia 3. Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. 59 Gambar 3.16 Bale 1 Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ Susunan struktur elemen Bale 1 pada Kayu Aga Vila ini dominan terbuat dari kayu. Konsep bale ini masih sama dengan elemen struktur konsep rumah adat bali. masih terdapat elemen pondasi, tangga dan kolom. Karena fungsi bale ini adalah untuk area santai maka bentuk bale dibuat sesimpel mungkin. Lantai pada bale ini menggunakan busa agar nyaman saat bersantai dan atap dibuat transparan agar bisa menikmati kondisi alam yang tercipta. Gambar 3.17 Bale 2 Pada Bangunan Kayu Aga Vila Sumber : Sumber : http://www.archdaily.com/ Untuk bagian bale 2, konsep bale juga masih mengikuti konsep elemen pembentuk rumah adat bali. Terdapat Pondasi yang tertutup oleh air kolam, tangga untuk menuju bale 2, lantai, dan 3 kolom disisi kiri dan kanan. Juga transformasi dari atap limas/pelana menjadi atap miring. 60