[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

KAB 1

http://adiprakosa.blogspot.com/2008/10/komunikasi-verbal-dan-non-verbal.html Senin, 06 Oktober 2008 KOMUNIKASI VERBAL DAN NON VERBAL KOMUNIKASI VERBAL Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana, 2005). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Kalimat dalam bahasa Indonesia Yang berbunyi ”Di mana saya dapat menukar uang?” akan disusun dengan tatabahasa bahasa-bahasa yang lain sebagai berikut:  Inggris: Dimana dapat saya menukar beberapa uang? (Where can I change some money?).  Perancis: Di mana dapat saya menukar dari itu uang? (Ou puis-je change de l’argent?).  Jerman: Di mana dapat saya sesuatu uang menukar? (Wo kann ich etwasGeld wechseln?). Spanyol: Di mana dapat menukar uang? (Donde puedo cambiar dinero?). Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan kata-kata. Menurut Larry L. Barker (dalam Deddy Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles, Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu:  Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini.  Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita, dan atau mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.  Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Bahasa memungkinkan kita untuk lebih teratur, saling memahami mengenal diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita. Keterbatasan Bahasa:  Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek. Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi buka realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak. Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dsb.  Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda pula. Kata berat, yang mempunyai makna yang nuansanya beraneka ragam*. Misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat; ujian itu berat; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada mahasiswanya yang nyontek.  Kata-kata mengandung bias budaya. Bahasa terikat konteks budaya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketiaka mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk orang Minang adalah saya atau kita, sedangkan dalam bahasa Melayu (di Palembang dan Malaysia) berarti kamu. Komunikasi sering dihubungkan dengan kata Latin communis yang artinya sama. Komunikasi hanya terjadi bila kita memiliki makna yang sama. Pada gilirannya, makna yang sama hanya terbentuk bila kita memiliki pengalaman yang sama. Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama, ideologi yang sama; pendeknya mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total.  Percampuranadukkan fakta, penafsiran, dan penilaian. Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan dengan kekeliruan persepsi. Contoh: apa yang ada dalam pikiran kita ketika melihat seorang pria dewasa sedang membelah kayu pada hari kerja pukul 10.00 pagi? Kebanyakan dari kita akan menyebut orang itu sedang bekerja. Akan tetapi, jawaban sesungguhnya bergantung pada: Pertama, apa yang dimaksud bekerja? Kedua, apa pekerjaan tetap orang itu untuk mencari nafkah? .... Bila yang dimaksud bekerja adalah melakukan pekerjaan tetap untuk mencari nafkah, maka orang itu memang sedang bekerja. Akan tetapi, bila pekerjaan tetap orang itu adalah sebagai dosen, yang pekerjaannya adalah membaca, berbicara, menulis, maka membelah kayu bakar dapat kita anggap bersantai baginya, sebagai selingan di antara jam-jam kerjanya. Ketika kita berkomunikasi, kita menterjemahkan gagasan kita ke dalam bentuk lambang (verbal atau nonverbal). Proses ini lazim disebut penyandian (encoding). Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik (lihat keterbatasan bahasa di atas), untuk itu diperlukan kecermatan dalam berbicara, bagaimana mencocokkan kata dengan keadaan sebenarnya, bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang menyebabkan kerancuan dan kesalahpahaman. ___________________ * Makna dapat pula digolongkan ke dalam makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya (faktual), seperti yang kita temukan dalam kamus dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Makna konotatif adalah makna yang subyektif, mengandung penilaian tertentu atau emosional (lihat Onong Effendy, 1994, h. 12) Daftar Pustaka: Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya. Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya. Onong Effendy, 1994, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya. KOMUNIKASI NONVERBAL Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Secara teoritis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis komunikasi ini saling jalin menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari. Klasifikasi pesan nonverbal. Jalaludin Rakhmat (1994) mengelompokkan pesan-pesan nonverbal sebagai berikut: Pesan kinesik. Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti, terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai berikut: a. Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan taksenang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk; b. Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan; c. Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi situasi; d. Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataan sendiri; dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurang pengertian. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasi berbagai makna. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah: a. Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidak sukaan terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif; b. Power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah; c. Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional pada lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda. Pesan ini oleh Dedy Mulyana (2005) disebutnya sebagai parabahasa. Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat mengkomunikasikan: kasih sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa perhatian. Bau-bauan, terutama yang menyenangkan (wewangian) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan –menandai wilayah mereka, mengidentifikasikan keadaan emosional, pencitraan, dan menarik lawan jenis. Fungsi pesan nonverbal. Mark L. Knapp (dalam Jalaludin, 1994), menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal: Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan kepala. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.” Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul meja. Sementara itu, Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa pesan verbal sangat signifikan. Yaitu: a. Factor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal. b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal ketimbang pesan verbal. c. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar. d. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memeperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan verbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi. e. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi, ambiguity, dan abtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal. f. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat). Daftar pustaka: Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya. Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya. http://pramsky.blogspot.com/2009/12/kaitan-komunikasi-non-verbal-dengan.html Kamis, 24 Desember 2009 Kaitan Komunikasi Non Verbal dengan Kebudayaan PENTINGNYA KOMUNIKASI NON VERBAL Komunikasi nonverbal sebagai bentuk komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya, mempunyai persamaan komponen dengan komunikasi verbal, yakni sebagai berikut : 1.    Menggunakan sistem lambang atau simbol; 2.    Merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh individu manusia; 3.    Orang lain juga memberikan arti pada simbol yang dihasilkan tadi. Berarti di sini telah terjadi suatu proses saling memberikan arti pada simbol-simbol yang disampaikan antara individu-individu yang berhubungan. Komunikasi merupakan proses penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang mendatangkan makna bagi orang atau orang-orang lain. Dari pengertian komunikasi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : Kelangsungan komunikasi tergantung pada macam-macam sistem tanda dan lambang yang digunakan. Komunikasi dapat terjadi kalau makna simbol yang ada dalam diri seseorang juga mempunyai arti yang sama bagi orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam Komunikasi Antar Budaya adalah apabila terdapat perbedaan pemberian makna terhadap simbol. Tanda dan simbol merupakan alat dan materi yang digunakan dalam interaksi. Dalam komunikasi, pesan nonverbal yang berupa tanda dan simbol, memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita disadari. Baik secara sadar maupun tidak sadar, dengan maksud maupun tidak dengan maksud, seseorang mengirim dan menerima pesan nonverbal. Bahkan seseorang membuat penilaian dan keputusan berdasarkan pesan nonverbal tersebut.  Pesan atau perilaku nonverbal menyatakan pada seseorang bagaimana menginterprestasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya. Dalam komunikasi, pesan nonverbal yang berupa tanda dan simbol, memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita disadari. Baik secara sadar maupun tidak sadar, dengan maksud maupun tidak dengan maksud, seseorang mengirim dan menerima pesan nonverbal. Bahkan seseorang membuat penilaian dan keputusan berdasarkan pesan nonverbal tersebut.  Pesan atau perilaku nonverbal menyatakan pada seseorang bagaimana menginterprestasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya. Proses nonverbal yang ada dalam setiap negara di dunia dan di antara macam-macam kelompok dalam masing-masing negara. Pentingnya komunikasi nonverbal adalah sebagai berikut : 1. Menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Komunikasi nonverbal akan lebih mempertegas atau lebih memberikan makna mengenai komunikasi verbal yang terjadi. 2. Menyampaikan perasaan dan emosi lebih cermat. Dengan melakukan komunikasi nonverbal maka kita dapat mengekspresikan emosi kita sehinggga lawan bicara kita mengeathui bagaimana emosi dan perasaan kita saat terjadinya komunikasi tesebut, yang akhirnya terjadi komunikasi yang efektif. 3. Menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan 4. Berfungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi 5. Merupakan cara komunikasi yang lebih efisien. Maksudnya bukan berarti bahwa komunikasi nonverbal lebih efisien dibandingkan dengan komunikasi verbal. Dalam melihat point ini harus juga dikaitkan dnegan situasi dan kondisi saat komunikasi itu terjadi. Contoh : ketika di tengah kerumunan massa maka komunikasi nonverbal (dengan melambaikan tangan atau tepuk tangan) lebih efisien dibandingkan dnegan komunikasi verbal (missal teriak). Merupakan sarana sugesti yang paling tepat PENGERTIAN KOMUNIKASI NON VERBAL Komunikasi nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Komunikasi nonverbal menggunakan tanda-tanda melalui tubuh, meliputi gerak tubuh, ekspresi muka, nada suara. Contoh, ekspresi muka seseorang bisa membedakan apakah ia sedang marah, murung atau menghadapi ketakutan. Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang terjadi tidak harus hanya gerak tubuh saja tetapi bisa dilihat dari bentuk-bentuik komunikasi nonverbal yang lainnya seperti ekspresi muka atau nada suara. Sehingga dapat dikatakan bahwa apabila terjadi komunikasi maka bisa saja bentuk-bentuk komunikasi nonverbal terjadi, bisa 1 bentuk saja atau lebih dari 1 bentuk komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal akan menunjang komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Komunikasi nonverbal menggunakan tanda-tanda melalui tubuh, meliputi gerak tubuh, ekspresi muka, nada suara. Sebagai contoh, ekspresi muka seseorang bisa membedakan apakah ia sedang marah, murung atau menghadapi ketakutan. Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang terjadi tidak harus hanya gerak tubuh saja tetapi bisa dilihat dari bentuk-bentuik komunikasi nonverbal yang lainnya seperti ekspresi muka atau nada suara. Sehingga dapat dikatakan bahwa apabila terjadi komunikasi maka bisa saja bentuk-bentuk komunikasi nonverbal terjadi, bisa 1 bentuk saja atau lebih dari 1 bentuk komunikasi nonverbal. CIRI-CIRI KOMUNIKASI NONVERBAL 1. Komunikatif Perilaku nonverbal dalam suatu situasi interaksi selalu mengkomunikasikan sesuatu. Ini berlaku untuk semua bentuk komunikasi, khususnya untuk komunikasi nonverbal. Manusia tidak mungkin tidak bertingkah laku, dan karenanya, tidak mungkin tidak mengkomunikasikan sesuatu. Apa pun yang manusia lakukan atau tidak dilakukan, dan apakah tindak tanduknya disengaja atau tidak disengaja, perilaku nonverbal manusia mengkomunikasikan sesuatu. Selanjutnya, pesan-pesan ini bisa diterima secara sadar ataupun tak sadar. Duduk diam di sudut kelas dan membaca sebuah buku mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain sepasti verbalisasi. Memandang hampa ke luar jendela selama guru mengajar mengkomunikasikan isyarat kepada sang guru bahwa anda mengatakan “Saya jemu.” Tetapi, sadarilah perbedaan penting antara pernyataan nonverbal dan pernyataan verbal. Mahasiswa yang memandang keluar jendela ketika gurunya bertanya “Mengapa kamu jemu?” selalu dapat mengelak dengan mengatakan bahwa ia tiba-tiba tertarik oleh sesuatu di luar. 2. Kesamaan Perilaku Satu cara yang sering digunakan untuk menyimpulkan apakah dua orang saling menyukai adalah kesamaan perilaku (behavioral synchrony). Istilah ini mengacu pada kesamaan perilaku nonverbal dua orang, yang mungkin mempunyai banyak bentuk. Salah satu mungkin meniru yang lain, atau kedua orang ini secara spontan berperilaku sama. Kita dapat melihat kesamaan perilaku dalam gerak-gerik tubuh secara umum serta gerakan tangan selain juga sikap-sikap yang lain (misalnya, dua orang duduk atau berdiri dengan cara yang sama, atau merokok dengan gaya yang bermiripan) dan pada suara (misalnya, dua orang yang sangat mirip dalam pola bicara, kekerasan suara, atau cara diamnya). Pada umumnya, kesamaan perilaku merupakan indeks dari rasa saling menyukai. 3. Komunikasi Artifaktual Banyak pesan nonverbal dikomunikasikan melaui cara berpakaian dan artifak-artifak lain. Perhiasan, tata rias wajah, kancing, alat tulis yang digunakan, mobil yang dikendarai, rumah yang diami, perabot rumah yang dimiliki serta cara penataannya, besar dan lokasi kantor, dan nyatanya, hampir setiap benda yang berkaitan dengan manusia, juga mengkomunikasikan makna. Arloji Rolex dan Timex keduanya mungkin memberikan informasi tentang waktu yang sama dan benar, tetapi keduanya mengkomunikasikan hal yang berbeda tentang pemakainya. 4. Kontekstual Seperti halnya komunikasi verbal, komunikasi nonverbal terjadi dalam suatu konteks (situasi, lingkungan), dan konteks tersebut membantu untuk menentukan makna dari setiap perilaku nonverbal. Perilaku nonverbal yang sama mungkin mengkomunikasikan makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Mengedipkan mata kepada seorang wanita cantik dalam bis kota mempunyai makna yang berbeda dengan mengedipkan mata di mejo poker. Begitu pula, makna perilaku nonverbal tertentu akan berbeda bergantung pada perilaku verbal yang menyertainya. Memukul meja dalam suatu pidato untuk menekankan hal tertentu sangat berbeda dengan memukul meja ketika mendengar berita kematian seseorang. 5. Paket Perilaku nonverbal, apakah menggunakan tangan, mata, atau otot tubuh, biasanya terjadi dalam bentuk “paket”, atau tandan (cluster). Seringkali perilaku seperti ini saling memperkuat; masing-masing pada pokoknya mengkomunikasikan makna yang sama, Adakalanya, perilaku ini bertentangan satu sama lain. Paket Nonverbal. Semua bagian tubuh biasanya bekerja bersama untuk mengkomunikasikan makna tertentu. Seseorang tidak menyatakan rasa takut dengan matanya sementara bagian tubuh yang lain bersikap santai seperti tidur. Sebaliknyalah, keseluruhan tubuh mengekspresikan emosi ini. Sebelum dapat menerka sembarang perilaku nonverbal, adalah perlu melihat keseluruhan paket atau tandan (cluster) di mana perilaku tersebut merupakan bagiannya. Perlu kiranya melihat bagaimana paket ini berkaitan dengan konteks tertentu dan bagaimana setiap perilaku spesifik dengan paket itu. Seorang gadis cantik yang mengedipkan mata ke arah seseorang mungkin mengisyaratkan undangan bagi orang tersebut; tetapi, jangan abaikan kemungkinan bahwa lensa kontaknya tidak terpasang dengan baik. Pada umumnya kita tidak banyak menaruh perhatian pada sifat paket dari komunikasi nonverbal, yang kelihatan begitu wajar sehingga berlalu begitu saja tanpda disadari. Tetapi, bila ada inkonsistensi, barulah kita memperhatikannya. Paket Verbal dan Nonverbal Komunikasi nonverbal juga terpaket dengan pesan verbal yang menyertainya. Bila seseorang menunjukkan rasa marah secara verbal, tubuh dan wajahnya menegang, dahinya berkerut, dan mungkin menunjukkan sikap sial berkelahi. Sekali lagi, kita seringkali tidak memperhatikan hal ini karena ini sepertinya wajar saja. Tetapi bila pesan nonverbal dari sosok atau wajah seseorang bertentangan dengan pesan verbalnya, kita menaruh perhatian khusus. Ambillah contoh, misalnya, seorang yang mengatakan, “Saya sangat senang berjumpa denganmu,” tetapi menghindari kontak mata langsung dan melihat-lihat ke sekelilingnya seakan-akan mencari orang lain. Orang ini mengirimkan pesan yang bertentangan. 6. Dapat dipercaya (Believeable) Biasanya perilaku verbal dan nonverbal konsisten. Jadi, bila seseorang berdusta secara verbal, maka juga mencoba berdusta secara nonvebal. Namun demikian, baik perilaku verbal maupun nonverbal seseorang seringkali mengkhianati dirinya. Para periset perilaku nonverbal telah mengidentifikasi sejumlah perilaku yang seringkali menyertai penipuan (deception). Umumnya, seorang pembohong kurang banyak bergerak ketimbang orang yang mengatakan yang sebenarnya. Pembohong berbicara lebih lambat dan membuat lebih banyak kesalahan bicara. Indikator terbaik kebohongan. Jangan lupa bahwa baik perilaku nonverbal maupun verbal harus ditafsirkan sebagai bagian dari konteks tempat itu terjadi. Gunakanlah perilaku ini sebagai hipotesis mengenai kebohongan dan bukan sebagai kesimpulan yang kuat.Umumnya, seorang pembohong kurang banyak bergerak ketimbang orang yang mengatakan yang sebenarnya. Pembohong berbicara lebih lambat dan membuat lebih banyak kesalahan bicara. Indikator terbaik kebohongan. Jangan lupa bahwa baik perilaku nonverbal maupun verbal harus ditafsirkan sebagai bagian dari konteks tempat itu terjadi. Gunakanlah perilaku ini sebagai hipotesis mengenai kebohongan dan bukan sebagai kesimpulan yang kuat. 7. Dikendalikan oleh Aturan Komunikasi nonverbal, seperti halnya komunikasi verbal, dikendalikan oleh aturan (rule-goverbed). Sebagai anak-anak, seseorang belajar kaidah-kaidah kepatutan sebagian besar melalui pengataman perilaku orang dewasa. Sebagai contoh, seseorang mempelajari bagaimana mengutarakan simpati serta aturan-aturan budaya mengenai mengapa, di mana, dan kapan mengutarakan simpati. Seseorang belajar bahwa menyentuh seseorang dibolehkan pada situasi tertentu tetapi tidak dibolehkan dalam situasi yang lain, dan belajar macam sentuhan apa yang boleh dan mana yang tidak. Beberapa di antara aturan ini, yang dinyatakan lebih secara informal, mengatakan bahwa orang dari status yang lebih rendah tidak boleh mendahului menyentuh orang yang statusnya lebih tinggi, tetapi orang yang statusnya lebih tinggi boleh mendahului menyentuh orang yang statusnya lebih rendah. Aturan lain adalah bahwa kaum wanita boleh saling menyentuh sesamanya di depan umum. Sebagai contoh, mereka boleh saling memegang tangan, berjalan bergandengan tangan, saling berpelukan, dan bahkan berdansa bersama. Kaum pria tidak boleh melakukan ini, setidaktidaknya tanpa menghadapi kritik sosial.Seseorang belajar bahwa menyentuh seseorang dibolehkan pada situasi tertentu tetapi tidak dibolehkan dalam situasi yang lain, dan belajar macam sentuhan apa yang boleh dan mana yang tidak. Beberapa di antara aturan ini, yang dinyatakan lebih secara informal, mengatakan bahwa orang dari status yang lebih rendah tidak boleh mendahului menyentuh orang yang statusnya lebih tinggi, tetapi orang yang statusnya lebih tinggi boleh mendahului menyentuh orang yang statusnya lebih rendah. Aturan lain adalah bahwa kaum wanita boleh saling menyentuh sesamanya di depan umum. Sebagai contoh, mereka boleh saling memegang tangan, berjalan bergandengan tangan, saling berpelukan, dan bahkan berdansa bersama. Kaum pria tidak boleh melakukan ini, setidaktidaknya tanpa menghadapi kritik sosial. 8. Metakomunikasi Perilaku nonverbal seringkali bersifat metakomunikasi. Contoh yang jelas adalah menyilangkan jari di balik punggung bila berdusta. Bila membuat pernyataan dan mengedipkan mata, kedipan mata ini mengomentari pernyataan verbal itu. Pada hari pertama kuliah, dosen masuk ke kelas dan mengatakan sesuatu yang memberitahu bahwa ia adalah dosen untuk mata kuliah ini. la mulai menjelaskan bagaimana kuliah akan diselenggarakan, apa yang menjadi persyaratan, dan apa tujuannya. Tetapi, perhatikanlah bahwa banyak metakomunikasi juga berlangsung. Busana yang dikenakan dosen dan bagaimana ia mengenakannya, panjang dan gaya rambutnya, penampilan fisiknya secara umum, caranya berjalan, serta nada suaranya semua berkomunikasi tentang komunikasi, selain juga tentu saja, mengkomunikasikan dirinya sendiri. Berdasarkan petunjukpetunjuk ini, para mahasiswa akan sampai pada berbagai kesimpulan. Mereka mungkin menyimpulkan bahwa kelas ini akan menyenangkan, atau membosankan, atau terlalu tinggi, atau tidak relevan. FUNGSI KOMUNIKASI NONVERBAL Ada lima fungsi komunikasi non verbal : Mengulang (Repeating) Mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya : Saya menggelengkan kepala untuk mengulangi pesan verbal “Saya tidak mau.” Saya menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi.” Melengkapi (Complementing) Melengkapi pesan yang sudah dikomunikasikan secara verbal. Misalnya : Saya tersenyum ketika menceritakan kisah lucu. Saya menggelengkan kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang. Mengganti (Substituting) Menggantikan pesan verbal. Misalnya : Saya menggelengkan kepala untuk menggantikan kata “tidak”. Saya mengacungkan jempol untuk menggantikan kata “oke”. Mengatur (Regulating) Mengatur arus pesan verbal dengan menggunakan gerak-gerik nonverbal. Misalnya : Saya mengangkat tangan untuk memperlihatkan bahwa saya belum selesai bicara. Saya mengerutkan bibir untuk menunjukkan bahwa saya ingin mengatakan sesuatu. Menunjukkan kontradiksi (Contradicting) Mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal dengan sengaja. Misalnya : Saya mencibirkan bibir saat memuji prestasi teman sambil berkata, “Kamu memang hebat”. Saya menggaruk-garuk kepala saat menjawab pertanyaan guru mengapa saya tidak masuk sekolah, sambil berkata “Saya sakit, Bu.” KETERBATASAN DALAM KOMUNIKASI NONVERBAL Maksud dari keterbatasan adalah bahwa komunikasi nonverbal masih dapat dilakukan hanya saja dilakukannya tidak optimal karena adanya batasan-batasan atau kekurangan dari komunikasi nonverbal. KETERBATASAN KOMUNIKASI NON VERBAL 1. Sifat AMBIGUITAS Ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku nonverbal. Seseorang tidak bisa memastikan bahwa orang lain mengerti makna dari perilaku nonverbal yang disampaikannya. Hal ini bukan hanya disebabkan karena adanya perbedaan budaya tetapi karena komunikasi nonverbal itu sendiri juga kontekstual. Keambiguitasan ini terlihat dalam contoh sebagai berikut : Misalnya seseorang menyentuh paha samping anda di lift. Hal ini bisa berarti suatu ketidaksengajaan atau bisa juga berarti suatu tindakan pelecehan seksual. Dalam setiap melakukan komunikasi nonverbal, seseorang harus memperhatikan sifat ambiguitasnya dalam berinteraksi. Contoh : Kalau ada orang yang sakit parah dan dia tiba-tiba mengeluarkan air mata maka bisa saja terjadi diartikan ambigu yaitu di satu sisi dia sedih atau terharu. 2. Keterikatannya dalam suatu budaya tertentu Perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan budaya yang lain. Misalnya, dalam budaya Jawa, menatap mata orang yang lebih tua ketika sedang berbicara, dianggap tidak sopan. Padahal dalam budaya Barat, bila tidak menatap lawan bicara, maka dianggap tidak menghargai/tidak sopan. 3. Perbedaan pengertian/pemahaman Misalnya orang Batak sedang makan bersama kumpulan orang Jawa. Orang Batak terbiasa mengakhiri makannya dengan bersendawa kencang untuk menunjukkan bahwa dia puas dengan makanan yang dihidangkan oleh orang Jawa tersebut. Bagi orang Jawa, perilaku tersebut malah dianggap kurang sopan dan tidak menghargai mereka. Hal ini tentunya akan membuat orang Batak tersebut merasa bersalah atas perilakunya, yang ternyata memiliki perbedaan pengertian atau pemahaman bagi orang Jawa. 4. Komunikasi nonverbal tidak dapat dilakukan di ruangan yang terisolasi Bila seseorang terisolasi, maka orang lain tidak dapat menerima pesan nonverbal yang disampaikannya. Maksud disini ruangan yang terisolasi adalah bahwa ruangan tersebut tertutup rapat sama sekali, tidak bisa melakukan kontak face to face sama sekali, yang bisa dilakukan hanya kontak dengan menggunakan media misalnya kentungan, ketok-ketok, hp, dll. KOMUNIKASI NON VERBAL DAN KEBUDAYAAN Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan sangat erat karena keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari segi ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu : Kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator. Kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perasaan, keadaan internal. Jadi walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan kapan, oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan. Pengenalan dan pemahaman tentang pengaruh kebudayaan pada interaksi nonverbal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam Komunikasi Antar Budaya, karena: Dengan mengerti pola-pola dasar pengetahuan nonverbal dalam suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap-sikap dasar dari kebudayaan tersebut. Misalnya dengan memperhatikan tindak tanduk para pegawai pria Jepang dalam membuat pertemuan-pertemuan di restoran pada malam hari, seseorang dapat mempelajari sedikit tentang sikap mereka terhadap pekerjaan dan wanita. Pola-pola perilaku nonverbal dapat memberikan informasi tentang sistem nilai suatu kebudayaan. Misalnya : tentang konsep waktu kebudayaan dengan orientasi pada “doing” (aktif melakukan sesuatu) seperti Amerika Serikat akan cenderung untuk menganggap situasi tanpa kata-kata sebagai membuang-buang waktu. Bagi kebudayaan dengan orientasi pada “being” (keberadaan), suasana hening dalam pembicaraan mempunyai nilai positif, karena penting untuk pemahaman diri dan kesadaran akan keadaan. Pengetahuan tentang perilaku nonverbal dapat membantu untuk menekan rasa etnosentrisme. Misalnya : seseorang mungkin akan lebih memahami penggunaan jarak ruang oleh orang lain, jika orang tersebut sadar akan karakteristik-karakteristik kebudayaan yang mendasarinya, yang mencerminkan sesuatu tentang si pengguna dan kebudayaannya. KLASIFIKASI KOMUNIKASI NON VERBAL 1. Body Behavior (Perilaku Badan) General Appearance Untuk memutuskan apakah akan memulai pembicaraan dengan orang lain, tidak jarang kita dipengaruhi oleh penampilan. Kadang-kadang kesimpulan tentang kecerdasan, status sosial, pekerjaan seseorang ditarik dari bagaimana ia menampilkan dirinya. Misalnya : cara berpakaian. 2. Body Movement (Gerakan badaniah) : Kinesics Studi Kinesics mempelajari bagaimana isyarat-isyarat nonverbal baik yang sengaja maupun tidak, dapat mempengaruhi komunikasi. Misalnya : seseorang menunjukkan bahwa orang tersebut menyukai orang lain dengan menghadapkan badannya pada orang lain, bukan dengan mengelak. Juga mencondongkan badannya kepada orang lain menandakan sikap positif kepadanya atau bisa juga sikap agresif. Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Anak-anak menyerap nuansa-nuansanya bersama-sama bahasa ucap. Seorang Perancis berbicara dengan cara bahasa Perancis. Seorang Amerika menggerakkan tubuhnya dengan cara bahasa Amerika. Beberapa perbedaan kebudayaan mungkin dengan mudah dapat dikenali namun ada juga yang sukar. Laki-laki dan wanita menggunakan bahasa tubuh dengan cara-cara yang khas maskulin dan khas feminim. Latar belakang etnis, kelas sosial, gaya pribadi dan lain-lain, ini semua akan mempengaruhi bahasa tubuh kita. Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Anak-anak menyerap nuansa-nuansanya bersama-sama bahasa ucap. Seorang Perancis berbicara dengan cara bahasa Perancis. Seorang Amerika menggerakkan tubuhnya dengan cara bahasa Amerika. Beberapa perbedaan kebudayaan mungkin dengan mudah dapat dikenali namun ada juga yang sukar. Laki-laki dan wanita menggunakan bahasa tubuh dengan cara-cara yang khas maskulin dan khas feminim. Latar belakang etnis, kelas sosial, gaya pribadi dan lain-lain, ini semua akan mempengaruhi bahasa tubuh kita. 3. Facial Expressions (Ekspresi Wajah) Wajah seseorang bisa mengkomunikasi apa yang sebenarnya dirasakan atau dibutuhkan. Seseorang bisa mengkomunikasikan rasa cintanya, ketakutan, kegembiraan, kesedihan melalui wajahnya, apakah itu melalui mata, bibir, atau dahi. Wajah merupakan tempat utama dalam mengekspresikan emosi seseorang. Ini dapat terlihat dari jenis dan intensitas perubahan wajah seseorang. Mata seseorang terutama sangat efektif untuk mengindikasikan perhatian dan minat, mempengaruhi orang lain, mengatur interaksi dan membuat dominasi. Area wajah seseorang (mata, alis, muka, mulut dan pipi) mungkin lebih mampu mengkomunikasikan secara nonverbal daripada bagian badan lainnya. Seseorang bisa mengkomunikasikan rasa cintanya, ketakutan, kegembiraan, kesedihan melalui wajahnya, apakah itu melalui mata, bibir, atau dahi. Wajah merupakan tempat utama dalam mengekspresikan emosi seseorang. Ini dapat terlihat dari jenis dan intensitas perubahan wajah seseorang. Mata seseorang terutama sangat efektif untuk mengindikasikan perhatian dan minat, mempengaruhi orang lain, mengatur interaksi dan membuat dominasi. Area wajah seseorang (mata, alis, muka, mulut dan pipi) mungkin lebih mampu mengkomunikasikan secara nonverbal daripada bagian badan lainnya. 4. Eye Contact (Kontak Mata) and Gaze (Gerakan mata) Komunikasi seseorang dapat menggunakan tatapan matanya. Apakah ia marah, cinta, atau sedih dapat diketahui dari tatapan matanya. Seringkali tatapan mata tidak dapat membohongi. Orang dengan dapat mudah menangkap suasana hati lawan bicaranya dengan melihat tatapan matanya. Kontak mata sebagai simbol komunikasi nonverbal mempengaruhi perilaku, kepercayaan dalam berkomunikasi Empat fungsi utama gerakan mata menurut Mark Knapp : Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tiba nya waktu untuk bicara. Sebagai signal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan. Sebagai pengganti jarak fisik 5. Touch (Rabaan atau Sentuhan) Kebudayaan mengajarkan pada anggota-anggotanya sejak kecil tentang siapa yang dapat diraba, bilamana dan di mana seseorang bisa diraba atau disentuh. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajarkan bagaimana menafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Dalam hal berjabatan tangan juga ada variasi kebudayaannya. Di negara jerman orang berjabat tangan hampir pada setiap kali pertemuan, sehingga sedikit modifikasinya dari satu situasi ke situasi yang lain. Tetapi di AS, jabatan tangan lebih digunakan untuk menunjukkan perasaan, misalnya jabatan tangan yang kuat, lemah, atau sensual. Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh orang yang belum dikenal. Orang Arab sebaliknya, akan merasa sangat tersinggung bila bagian kedukannya dipegang, sedangkan kepala tidak apa-apa. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajarkan bagaimana menafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Di negara jerman orang berjabat tangan hampir pada setiap kali pertemuan, sehingga sedikit modifikasinya dari satu situasi ke situasi yang lain. Tetapi di AS, jabatan tangan lebih digunakan untuk menunjukkan perasaan, misalnya jabatan tangan yang kuat, lemah, atau sensual. Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh orang yang belum dikenal. Orang Arab sebaliknya, akan merasa sangat tersinggung bila bagian kedukannya dipegang, sedangkan kepala tidak apa-apa. 6. Smell (Penciuman) Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna. Contoh yang melukiskan peranan penciuman dalam berbagai kebudayaan adalah sebagai berikut : Di negara-negara yang penduduknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, ada anggapan bahwa orang-orang AS mengeluarkan bau yang tidak enak karena terlalu banyak makan daging. Persepsi mengenai bau memang berbeda antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Jika orang AS merupakan pencerminan dari kebudayaan yang anti bau, maka di beberapa negara Arab, prianya mengingingkan kaum wanitanya untuk mempunyai bau alam, yang dianggap sebagai perluasan dari pribadi individu. 7. Paralanguage Paralanguage sesungguhnya termasuk dalam unsur-unsur linguistik, yaitu bagaimana atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. “Paralanguage” memberikan informasi mengenai informasi. Dalam bahasa tertulis antara lain penggunaan tanda-tanda, pengejaan, coretan, spasi antara kata, struktur kalimat, gaya penulisan, tulisan tangan, warna tinta. Semua itu dapat mempengaruhi reaksi atau penafsiran terhadap pesan. Tingkat kerasnya suatu atau volume sering kali merupakan bagian dari gaya komunikasi suatu kebudayaan. Demikian juga dialek atau pola intonasi bahasa dapat menunjukkan karakteristik dari penduduk suatu daerah atau negara. Dalam Komunikasi Antar Budaya tidak sedikit terdapat kecenderungan untuk mengolok-olok pola-pola intonasi yang asing atau aneh. Bahkan sering terjadi bahwa dialek dapat menentukan sikap terhadap orang lain. Biasanya dialek yang lain dari apa yang dianggap sudah standar atau baku, akan memperoleh penilaian yang kurang. 8. Space and Distance (Ruang dan Jarak) Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan ruang jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing kebudayaan. Untuk ruang, tidak saja ruang dalam ari fisik tetapi juga beserta furnitirenya/perabotan di dalam ruangannya. Contoh penggunaan ruang jarak di kantor-kantor : Orang Amerika Serikat lebih suka ada meja yang membatasi dirinya dengan orang lain. Dalam kebudayaan lainnya seperti Amerika Latin atau Israel, meja dianggap membatasi komunikasi, sehingga orang berusaha untuk mendekati pihak yang diajak berbicara. Orang Amerika Serikat lebih suka membiarkan pintu kamar kerjanya terbuka dan kalau ditutup berarti ada suatu rahasia atau hal yang serius yang dibicarakan. Sedangkan orang Jerman biasa menutup pintu kamar kerjanya dan kalau ada yang membuka atau masuk tanpa permisi, dianggap sangat kurang ajar. Orang Indonesia belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam. Kebiasaan ini bagi orang Amerika Serikat dapat dianggap sebagai “silent treatment” yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan sedang marah. 9. Time (Waktu) Kebiasaan-kebiasaan bisa berbeda pada macam-macam kebudayaan dalam hal : Persiapan berkomunikasi Saat dimulainya komunikasi Saat proses komunikasi berlangsung Saat mengakhiri 10. Silence (Diam) Diam bisa berarti juga sedang melakukan komunikasi. Seseorang dengan diam bisa saja ia mengkomunikasikan tidak ingin diganggu, atau sedang marah, sebel, benci, dan sebagainya. Dalam komunikasi di budaya Timur, diam bisa diartikan dengan beragam arti. Tanda-tanda nonverbal lainnya dapat memperkuat atau menjelaskan arti kondisi diam seseorang yang sebenarnya. http://anekamakalahkita.blogspot.com/2013/01/makalah-konteks-komunikasi-antar-budaya.html Makalah Konteks Komunikasi Antar Budaya KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Komunikasi antarbudaya adalah salah satu konteks terbaru dalam komunikasi. Munculnya komunikasi antarbudaya ini disebabkan oleh perkembangan lingkungan internasional. Banyak perusahaan Amerika menjalin bisnis dalam pasar dunia. Banyak di antaranya yang menjadi perusahaan multinasional (memiliki pusat laba di negara lain). Faktor sosial lain yang menyebabkan tumbuhnya komunikasi antarbudaya adalah usaha pengembangan Amerika dalam merayakan perbedaan budaya di dalam negara tersebut, beberapa festival digelar di Chicago dan Boston dan dihadiri oleh orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, mereka berusaha untuk menimbulkn kesadaran dan sensitivitas terhadap berbagai budaya. Teori komunikasi antarbudaya dikembangkan oleh seorang antropolog, Edward Hall - yang mengemukakan teori dari kedekatan dan jarak sosial – adalah seorang antropolog budaya yang sangat berpengaruh di bidang komunikasi. Dibuatnya pasukan perdamaian oleh John F. Kennedy pada awal 60an juga memimpin sebuah peningkatan minat dan kebutuhan untuk pengetahuan tentang bagaimana orang-orang dari berbagai budaya dapat berkomunikasi dengan efektif. Sejak awal pekerjaan Hall dan awal penelitian dari pasukan perdamaian, teori dari komunikasi antar budaya meluas menjadi teori bahasa, media massa, dan konflik antar budaya. Gudykunst membagi studi komunikasi antar budaya menjadi sembilan area berbeda, beberapa di antaranya menjelaskan komunikasi antar budaya yang mengacu kepada komunikasi antar individu atau kelompok dari budaya yang berbeda atau subbudaya yang berbeda dari sistem budaya sosial yang sama. Penelitian komunikasi antarbudaya bisa saja menjelaskan bagaimana orang Amerika dan orang Jepang melakukan negosiasi bisnis. Komunikasi silang budaya membandingkan kebiasan komunikasi antarbudaya dari kombinasi orang yang berbeda, jadi taktik negosiasi orang Jepang dan Amerika akan dapat dibandingkan dan terlihat kontras dalam studi komunikasi silang budaya. Komunikasi internasional mengacu pada studi dari komunikasi media massa di dalam budaya yang berbeda. Misalnya, penelitian komunikasi internasional bisa saja menjelaskan peran sosial dari televisi di India. Teori-teori perbandingan komunikasi massa membandingkan sistem media dari budaya yang berbeda, misalnya India dengan Inggris. Komunikasi dan hubungan internasional adalah sebuah area dari bidang yang melibatkan studi dari komunikasi antarabangsa dengan pemimpin politik mereka. Hubungan antara komunikasi dengan perubahan pilitik sekarang tidak hanya dipelajai oleh ilmuan politik tetapi oleh sarjana komunikasi. Perkembangan komunikasi merentangkan perbatasan antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal. Ini adalah komunikasi dikaitkan dengan perubahan sosial, seringkali dalam perubahan negara-negara. Dua jenis perubahan, internal dan eksternal, mengarah pada perkembangan komunikasi (Fagen, 1966) dalam model eksternal, perubahan sosioekonomi merubah media, gaya hidup, dan kesempatan bagi anggota dari sebuah masyarakat. Kemudian, orang mulai melihat diri mereka dan tempat mereka di dunia ini secara berbeda. Akhirnya perbedaan pandangan ini menngarah pada sikap yang mempengaruhi sistem politik dari masyarakat. Model internal dimulai dengan pemilihan strategi politik yang merubah pola komunikasi. Selanjutnya pola komunikasi mengarah pada persepsi diri dan pandangan dunia, yang akhirnya mengarah pada perubahan dalam sistem politik, meskipun tidak memerlukan perubahan yang direncakan oleh pihak yang mengatur proses pergerakannya. Perkembangan komunikasi mengenali bahwa komunikasi dapat digunakan untuk memfasilitasi perubahan sosial. Konsep Kunci dalam Komunikasi Antar Budaya Lambang Verbal Komunikasi antarbudaya, sebuah studi dari komunikasi antara individu dan kelompok dengan budaya yang berbeda, melibatkan beberapa area penting dari eksplorasi. Sebagai anggota sebuah budaya tertentu, seseorang mempelajari pola tertentu dari memahami dunia melalui sistem lambang seperti bahasa dan perilaku nonverbal. Sementara seluruh anggota dari sebuah budaya dapat berbicara bahasa yang sama, anggota dari budaya yang tidak dominan dapat mengembangkan lambang mereka sendiri. Lambang-lambang ini mempersatukan mereka terhadap budaya dominan dan memperkuat identitas mereka sebagai anggota dari subbudaya tersebut. Saat budaya dominan mengadopsi lambang-lambang tersebut, mereka tidak lagi melayani maksud awal, jadi mereka mengubahnya. Sebagai contoh dari fenomena ini dapat dilihat dalam perubahan seorang remaja gaul saat mereka diadopsi oleh orang dewasa. Hipotesis Whorfrian Yang terpenting dari bahasa dalam mempengaruhi sebuah budaya adalah poin penting dari teori relativitas linguistik dari Edward Sapir (1958, 1964) dan muridnya Benjamin Lee Whoff (1956). Hipotesis Whorfian menunjukkan bahwa bahasa membentuk kebudayaan dan pola pikir individu. Sebagai contoh, di Inggris kita dapat mengatakan “brother” atau “sister” ketika berbicara dengan saudara kandung. Kita tidak perlu menspesifikasikan umur kecuali kalau kita ingin membedakan antara dua saudara perempuan atau untuk menekankan umur hubungan, seperti “older sister”. Akan tetapi, di Mandarin, Cina, tidak ada istilah umum untuk “brother,” “sister,” “uncle” atau “aunt.” Mungkin disebabkan oleh yang lebih penting dari hubungan keluarga tertentu dalam budaya cina. Satu-satunya kata yang belaku untuk kerabat yang menentukan hubungan yang tepat seperti “big (kakak tertua) /older sister”, “small (lahir setelah kakak pertama tetapi masih lebih tua dari yang mengatakan) older sister,” “younger brother” dan “uncle on my mother’s side.” Hipotesis Worfian mengindikasikan bahwa bahasa mempengaruhi cara komunikator melihat dunia. Karena orang Cina harus membuat perbedaan hubungan mental untuk berbicara bahasa Mandarin, mereka cenderung lebih peka terhadap perbedaan-perbedaan dalam hubungan keluarga tertentu daripada komunikator yang berbehasa Inggris. Namun, karena orang Inggris memiliki banyak kata untuk warna daripada Cina, Cina jadi lebih cenderung melihat nuansa warna dari komunikator Inggris.sebagai contoh, pikirkan seluruh kata yang merupakan sinonim dari merah atau merupakan jenis-jenis dari merah: pink, pale pink, salmon pink, dan lain-lain. Mandarin hanya memiliki satu kata untuk merah, dengan tambahan sebutan untuk nuansa terang atau gelap. Lambang Nonverbal Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk memulai interaksi nonverbal, memperjelas hubungan, percakapan langsung, ekspresi untuk menunjukan emosi, mengakhiri percakapan secara substansial dari budaya ke budaya. Contoh di bawah ini akan menjelaskan secara singkat beberapa area penting dari perbedaan komunikasi nonverbal yang bervariasi dengan budaya yang berbeda. Ekman dan Friesen (1969) mengatakan lima tipe gerakan tubuh adalah emblem, ilustrator, mempengaruhi tampilan, adaptor, dan regulaor. Emblem adalah gerakan yang memiliki tujuan atau arti yang sama dengan kata, dan dengan mudah terjadi kesalahpahaman (Ekman & Friesen, 1969). Sebagai contoh, saat orang Amerika ingin memanggil teman mereka, mereka melambaikan tangan (membuka dan menutup telapak tangannya). Sebagai tambahan orang Amerika selalu menggenggam tangan mereka diantara bahu dan pinggang ketika teman-teman memanggil, sementara orang Cina memegang tangan mereka dengan lurus sehingga tangan mereka berada dibawah pinggang. Ilustrator – isyarat yang menyertai kata-kata untuk penekanan – juga bervariasi dari busaya ke budaya. Jakobson (1972) mendiskusikan kesulitan tentara Rusia dan Bulgaria selama perang di Turkey pada 1877-78 dalam menyampaikan gerakan yang menandakan “iya”. Saat ilustrator digunakan sebagai emblem untuk menggantikan kata-kata, tentara Bulgaria tidak akan pernah yakin apakah saat tentara Rusia menggelengkan kepala berarti “iya” atau “tidak.” Perubah penampilan – gerakan tubuh yang mengekspresikan emosi - mungkin lebih mirip antara budaya dari jenis-jenis gerakan (Condon & Yosef, 1975), tetapi bahkan perubahan penampilan bisa mengindikasikan arti yang berbeda. Tersenyum dapat mengindikasikan bahwa orang Cina sedang mencoba menutupi malu. Morsbach (1982) mencatat bahwa orang Jepang juga menggunakan senyum dan tertawa untuk menutupi kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan. Kategori lain dari perilaku nonverbal yang juga sering dikategorikan adalah kontak mata. Di Amerika, orang yang menghindari kontak mata bisa diperkirakan malu atau bahkan menghindar dan tidak dapat dipercaya. Orang Jepang, mengajarkan anak-anak mereka untuk melihat atasan tidak pada mata karena memandang orang Jepang langsung di mata kemungkinan menghasilkan efek membuat mereka sangat tegang, karena kebudayaan tabu telah dilanggar (Morsbach, 1982). Elemen nonverbal dari bahasa termasuk nada, stres, dan kualitas suara yang menyediakan sumber tambahan dari perbedaan antar budaya. Sebuah bahasa adalah salah satu yang bergantung pada kombinasi nada, stres, dan pola suara untuk mengindikasikan antar suara. Sebagai contoh, di Mandarin Cina, mai dengan nada tinggi berarti “membeli” sedangkan mai dengan nada rendah berarti “menjual.” Bahasa nada seperti Mandarin, Taiwan, dan Kanton berbicara dengan variasi vokal dibandingkan dengan bukan bahasa nada seperti Inggris. Aturan dan Peranan Disamping lambang lisan dan tak lisan, kelompok anggota mempelajari kelakuan yang dianggap tugas dan peraturan untuk menggunakan simbol-simbol tersebut. Tugas seorang isteri atau suami di Amerika pastilah sekarang sangat-sangat berbeda sekarang jika dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu ketika sebagian besar wanita mengasuh anak di rumah dan sebagian besar pria menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga dalam sisi ekonomi. Budaya yang berbeda tentang bagaimana para anggota diharapkan dapat memnuhi perannya untuk mencapai harapan yang diinginkan.Beberapa kebudayaan dan tugas memperbolehkan kelonggaran dari pada yang lainnya. Walaupun peran isteri telah berubah di Amerika Serikat, peran ibu harus tetap sama dengan tiga puluh tahun yang lalu, menciptakan fenomena "Superwoman" atau ”Supermom," wanita berusaha untuk memenuhi kedua tersebut yaitu peran tradisional ibu dan peran perempuan baru dalam bisnis maupun eksekutif. Ketik peran berganti atau tidak jelas, hal ini menimblukan atau menciptakan stres bagi orang yang mencoba mengadopsi peran ini. Di dalam situasi komunikasi antar budaya, pribadi dari kebudayaan lain mungkin akan berpikiran jelek karena mereka tidak tahu perilaku yang ada dan berbeda dengan perilaku mereka. Kebudayaan Konteks Rendah dan Tinggi Peran dan peraturan untuk perilaku sosial sudah dapat dilihat di beberapa budaya dibandingkan dengan yang lain. Edward Hall (1966) membuat kontribusi yang sangat penting untuk komunikasi antar budaya ketika ia menghargai budaya konteks rendah dan tinggi sebagai dasar dari pola komunikasi mereka. Di dalam komunikasi konteks tinggi, kebanyakn informasi disampaikan melalui pesan yang dikodekan langsung fisik atau mental dari peran, peraturan, dan nilai. Di dalam komunikasi konteks rendah, kebanyakan informasi disampaikan melalui pesan secara eksplisit atau secara verbal. Kedua hal tersebut merupakan cara penyamapain pesan dari kebudayaan konteks rendah dan tinggi di semua budaya, Hall mempercayai salah satu dari itu untuk mendominasi. Contohnya, budaya Amerika adalah budaya konteks rendah: orang Amerika mengungkapkan konflik atau pendapat secra terbuka. Bangsa oriental misalnya Cina dan Jepang cenderung memiliki budaya konteks tinggi, di mana banyak interpretasi tergantung pada intuisi atau akal sehat, pemahaman tentang apa yang dimaksud, bukan pada kata-kata tertentu yang diucapkan (Ting Toomey, 1984). Di kebudayaan Cina dan Jepang, ketika ada yang tidak setuju dengan sebuah keputusan, maka akan diam. Tidak sopan juga mengutarakan ketidaksetujuan dengan terbuka. Dengan demikian di Cina diam merupakan ungkapan dari ketidaksetujuan terhadap sesuatu, di Amerika, diam berarti setuju. Penafsiran seperti ini pada dasarnya berbeda untuk perilaku yang sama (diam) menambahkan komplikasi ke proses negosiasi antarbudaya (Womack. 1983) Perbedaan-perbedaan Nilai Perbedaan sumber nilai dari tingkat lesulitan dan ambiguitas dalam komunikasi antar budaya. Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengidentifikasi lima masalah yang berbeda, di mana semua nilai-nilai masyarakat berkembang dan terpengaruh interaksi sehari-hari. (1) Pertama adalah masalah pembagian antara yang baik dan buruk di dalam kehidupan. Apakah manusia lebih banyak bersikap baik, buruk, atau percampuran dari keduanya. (2) Masalah kedua adalah hubungan manusia dengan alam. Apakah manusia hidup berdampingan dengan alam, bersinggungan dengan alam, atau hidup secara harmonis di anatara keduanya. (3) Waktu adalah hal penting yang di dalam sikap nonverbal, sebagaian budaya menruh waktu di tempat yang cukup tinggi di dalam tradisi sementara yang lain mengasosiasikan perubahan dan masa depan dengan kemajuan . Bisakah yang lain hidup di masa sekarang, memberikan sedikit perhatian untuk yang sudah lalu dan untuk masa depan. (4) Masalah yang keempat adalah menjadi,melakukan, dan cocok. Para penganut budaya yang bernilai “menjadi” percaya spontanitas dari individu adalah aktifitas yang paling penting. Mereka yang menganut nilai “melakukan” menekankan aktifitas di luar individu. Komunitas Amerika adalah contoh dari budaya “melakukan”. Hal pertama yang akan Anda tanyakan kepada sesorang yang baru sekali Anda temui dalam cocktail party adalah “Apa kabarmu?” Itu adalah tipe dari nilai budaya “menjadi cocok”, tipe budaya ini menekankan kepada siapa atau perubahan atau pertumbuhan seseorang, bukan aktivitas yang dilakukan orang yang bersangkutan. (5) Pertanyaan terakhir terkait dengan hubungan antara individu kepada masyarakat. Nilai-nilai budaya individualistis mengandung nilai otonomi individu. Budaya yang menekankan pada silsilah keluarga dan nenek moyang atau kelompok yang ajeg dari waktu ke waktu, mereka mengatakan nilai keturunan atau silsilah. Nilai-nilai keturunan budaya juga menghargai lebih dari individu, tetapi budaya berfokus pada kelompok-kelompok , seperti ras atau etnis atau kelompok agama. Etnosentrisme Stereotipe. Karena orang dari kebudayaan khusus membagi kode etik nilai dan verbal dan nonverbal . mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi etnosentris untuk menilai kelompok lain berdasarkan kategori dan nilai yang mereka anut daripada terbuka terhadap kebudayaan yang berbeda. Stereotipe adalah “ percaya pada kelompok individual atau objek” ( Ruhy. 1976, p. 27 ) didasari oleh opini yang dikeluarkan daripada informasi tentang sesuatu yang lebih spesifik. Stereotipe mengizinkan kita untuk mengatur informasi yang tidak jelas lebih cepat: dengan menggunakan stereotipe kita dapat merespon kepercayaan/profesor tanpa menjadi familiar terhadap setiap kepercayaan/profesor tersebut. Dengan menggunakan stereotipe kita dapat bertindak dengan dasar informasi yang sedikit: dalam hal ini kehendak orang tersebut.. Setelah kita mengetahui setiap profesor dan bagaimana peraturan yang dia buat untuk berinteraksi dengan muridnya dan untuk menyetujui tugas-tugas. Kita dapat membedakan tingkah laku kita. Bahaya dari stereotipe adalah kita tidak akan pernah mendekati mereka untuk mengetahui seseorang sebagai seorang induvidu. Dengan menyikapi anggota kelompok mengikui ide yang kita percaya adalah”tipe dari kelompok tersebut. Kita tidak akan pernah mengetahui bagaimana seseorang berbeda dengan anggota lainnya atau menyadari bahwa stereotipe kita tidak tepat. Prasangka. Jika kita menyangka. Kita menyangka setiap orang dengan stereotipe sebelum mengetahui orang tersebut. Prasangka menghasilkan penyingkapan selektif, persepsi, dan persepsi yang peka ( Ruhly, 1976 ). Penyingkapan secara selektif maksudnya adalah kita menyingkap diri kita sendiri kepada pesan yang kita percaya. Biasanya kita menghindari pesan yang kita sangka dan percaya bahwa “ tidak pantas untuk didengar” jika Anda mempunyai perasaan yang kuat kepada salah satu kandidat politikus Anda tidak akan mendengarkan politikus lain ( kecuali Anda akan berpidato untuk menjatuhkannya ), fenomena yang sama juga terjadi pada pemisah khusus antara komunikasi antar budaya. Karena kita biasanya mempunyai perbedaan kebudayaan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan lain atau subkebudayaan dari orang yang berasal dari kelompok sendiri. Kita biasanya akan menghindari memamerkan diri sendiri untuk pesan yang baru dan berbeda. Dengan memutuskan diri kita dari informasi yang baru kita memperkuat prasangka dan menghindari bahwa stereotipe merupakan hal yang salah. Perceptual Barriers. Perspektif yang selektif juga mempengerahui komunikasi dengan orang lain dari kebudayaan yang berbeda. Karena kebudayaan sendiri memberikan kita kategori mental dan karena stereotipe kita dan prasangka dapat “mengeras” kategori tersebut dan membuat mereka kebal kepada informasi yang baru, kita menerima informasi baru dalam keadaan cara pandang kita yang kuno dalam melihat dunia. Kita dapat mengabaikan aspek positif dari pertemuan perbedaan kebudayaan dan hanya memperhatikan hanya kepada informasi yang sesuai denga stereotipe/ prasangka kita. Kita biasanya suka menggunakan pertahanan dari perspektif yang selektif jika kita dijelaskan terhadap pesan yang berbeda dengan keinginan kita tidak ingin mendengarkannya. Kepekaan Persepsi merupakan perspeksi yang menghasilan saat seseorang menjelaskan pesan yang disampaikan cukup sering dengan seting sebagai musuh. Pesan yang pertama terdengar mengesalkan akan membuat kita semakin marah saat diucapkan berkali-kali. Itulah,yang menyebabkan julukan untuk suatu ras terkadang menyakitkan karena kepekaan perspeksi. Rich ( 1974 ) mengindifikasi lima tipe kategori dari pernyataan negatif yang merintangi komunikasi budaya yang berbeda antara kelompok ras di US. Dia menemukan anggota dari kelompok Chicano, Africa Amerika, dan Native Amerika biasanya tersinggung oleh pernyataan ini. (1) pernyataan stereotipe tentang kelompok ras. (2) pernyataan tentang refleksi dari kurangnya simpati kepada kelompk minoritas yang mengkomplain tentang “Pembuktian” (3)pernyataan yang merendahkan.(4) pernyataan tentang kondisi seperti “squaw” yang merupakan wanita yangberwarna, dan(5) pernyataan yang mereflesikan hal-hal yang dilakukan anggota dari kelompok majoritas untuk melewati pemisah etnik, seperti “ Pamanku karena pernikahan menjadi orang Chicano”. Pelatihan Antar Budaya Banyak teori yang mempelajari komunikasi antar budaya untuk membantu seseorang melewati penghalang agar komunikasinya menjadi efektif. Dua keahlian atau perilaku adalah hal yang penting di dalam komunikasi antar budaya: empati dan kemampuan untuk keluar dari kebudayaan sendiri untuk menyadari perbedaan di dalam situasi yang membingungkan (Ruhl, 1976). Empati adalah kemampuan untuk mengetahui dan merasakan perasaan orang lain. Tipe pertama, pelatihan kebudayaan yang spesifik, biasanya diberikan kepada seseorang yang akan tinggal atau bekerja di dalam kebudayaan yang berbeda dari diri mereka. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang aturan umum, peranan, nilai, dan pola interpretatif kepada orang-orang yang suka berpindah-pindah daerah. Di lain pihak, pelatihan budaya secara umum meliputi kepekaan individu untuk mengetahui aturan dan norma kebudayaan mereka sendiri dan mengidentifikasikan kategori umum dari perbedaan asimilasi budaya seperti perbedaan dalam kode-kode verbal ataupun nonverbal. Orang menjadi lebih baik di dalam komunikasi antar budaya ketika mereka lebih fleksibel dalam menduga motif atau arti dari perilaku orang lain. Mereka lebih peduli dengan kemungkinan yang berbeda interpretasi komunikasi. BEBERAPA TEORI REPRENSENTATIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Walaupun teori komunikasi yang mempelajari komunikasi antarbudaya masih terbilang baru, tapi teori dari komunikasi antarbudaya sudah berkembang dengan pesat. Ini sangat menarik untuk membuat tanda di beberapa teori pada bab-bab sebelumnya yang telah diadaptasi untuk membantu masalah atau untuk menjelaskan sesuatu di dalam komunikasi antarbudaya. Untuk mengingatkan di dalam bab ini akan dijelaskan lagi mengenai teori yang telah dipilih untuk mengilustrasikan perbedaan di dalam teori yang membangun antara hukum, aksi dari manusia, and sistem perspektif. Hukum yang Mendekati dan Berlaku Untuk Komunikasi Antar Budaya Teori Berger dan Calabrese (1975) Teori Pengurangan Ketidakpastian, mengasumsikan interaksi, tujuan yang penting dari komunikasi adalah untuk mengurangi ketidakpastian tentang teman bicara. Perilaku di dalam komunikasi pada permulaan adalah mengenai hubungan interpersonal adalah hal utama untuk menemukan informasi tentang yang orang lain dan memberikan informasi yang relefan tentang diri sendiri dengan tujuan untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengkontrol hubungan. Teori ini kelihantannya cocok untuk khusus menjelaskan tentang pertemuan pertama di dalam komunikasi antar budaya. Gudykunst dan Nishida (1984) memberikan alasan tentang teori ini, teori ini sangatlah umum untuk menjelaskan komunikasi antara budaya dan antara orang yang berbeda kebudayan. Beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya dan teori berasal dari teori ini yang mendukung secara penuh atau sebagian dari penelitian. Dari semuanya, penelitian menemukan perbedaan budaya yang menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian. Beberapa teori dari teori ini merupakan ketidakpastian dan tori ini sangat baik digunakan untuk interaksi awal, perubahan perilaku seseorang saat memulai suatu hbungan (Gudykunst, 1985) Gudykunst, Yang, dan Nishida (1985) mengembangkan penyelidikan sebelumnya dalam dua cara: (1) Mereka mempelajari anggota dari tiga budaya (Amerika Serikat, Jepang, dan Korea) dan (2) Membandingkan perilaku komunikasi kepada kenalan, teman, dan teman berkencan. Para penulis merasa ini penting karena Teori Pengurangan Ketidakpastian ini dikembangkan dari penelitian didasarkan pada peserta kulit putih hanya dalam satu negara, Amerika Serikat. Mereka ingin tahu apakah akan berlaku untuk teori budaya yang berbeda dan untuk lebih banyak jenis hubungan intim dari percakapan dengan orang asing, sehingga mereka menguji model asing ini, dalam sebuah percobaan yang melibatkan siswa dari tiga negara. Dengan menggunakan kuesioner, peserta menggambarkan komunikasi mereka dengan baik seorang kenalan dan seorang teman yang berjenis kelamin sama dan dengan pasangan kencan dari lawan jenis. Analisis statistik menunjukkan bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian itu dikonfirmasi oleh data untuk kenalan, teman, dan hubungan pacar dalam tiga budaya. Dengan demikian, percobaan menyediakan dukungan untuk memperluas model luar interaksi awal untuk lebih banyak jenis hubungan intim. Memperluas teori-teori dalam cara ini adalah salah satu metode penting bangunan atas penelitian sebelumnya. Namun, Gudykunst dan rekan-rekannya mencatat bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian tidak memungkinkan peneliti untuk memeriksa perubahan-perubahan dalam hubungan komunikasi sebagai berkembang dari waktu ke waktu, juga tidak mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas, misalnya bagaimana relasional mitra yang terlibat dalam setiap komunikasi lain jaringan. Para penulis merasa konteks sosial yang seharusnya sangat penting dalam konteks budaya tinggi (Hall, 1966) seperti Korea dan Jepang, di mana konteks ini sangat penting dalam memperkirakan perilaku orang lain. Individu-individu yang berbagi teman dan kenalan (yakni, yang sangat terlibat dalam satu sama lain dan jaringan komunikasi sosial) dapat lebih mampu meramalkan perilaku satu sama lain berdasarkan informasi seperti norma-norma dan nilai-nilai yang diperoleh dari jaringan teman daripada pengetahuan langsung tentang individu secara spesifik. Percobaan ini mengukuhkan Teori Pengurangan Ketidakpastian, diperluas ke budaya baru dan relasional konteks dan saran modifikasi, terutama untuk konteks budaya tinggi. Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) memutuskan untuk menyelidiki secara lebih rinci peran bahasa dalam pengurangan ketidakpastian. Menggunakan peserta dari universitas Jepang, para peneliti menyelidiki apakah bahasa yang percakapan terjadi dipengaruhi metode untuk mengurangi ketidakpastian. Seperti Gudykunst dan Nishida (1984), para peneliti meminta peserta untuk membayangkan bahwa mereka sedang diperkenalkan kepada mahasiswa baru di universitas mereka (again. The “bogus stranger” technique). Mahasiswa baru itu baik Jepang atau Amerika Utara dan pertemuan itu akan berlangsung baik di Jepang atau bahasa Inggris. Seperti dalam percobaan oleh Gudykunst, Yang, dan Nishida (1985), sedangkan hasilnya cenderung untuk mengkonfirmasi teori, mereka juga menunjukkan bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian mungkin harus diubah untuk konteks budaya tinggi di mana orang-orang asing mengetahui latar belakang dan berbagi jaringan komunikasi serta secara langsung berkomunikasi dengan orang asing, mungkin penting tentang cara tambahan untuk mengurangi ketidakpastian. Berdasarkan studi sebelumnya, Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) menyarankan lima hipotesis baru mengenai pengurangan ketidakpastian dalam pertemuan antara orang-orang asing dari budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. (1) ketidakpastian berbeda dalam tinggi dan rendah konteks budaya. Ketidakpastian pengurangan dalam konteks budaya tinggi melibatkan orang-orang asing memprediksi apakah akan mengikuti norma-norma kelompok atau budaya. Dalam konteks budaya rendah, pengurangan ketidakpastian memprediksi melibatkan perilaku individu. (2) Anggota konteks budaya tinggi meramalkan berfokus pada kepatuhan terhadap norma-norma ketika berbicara bahasa asli mereka: ketika berbicara dalam bahasa Inggris, mereka mencoba untuk memprediksi perilaku individu, seperti konteks rendah pembicara asli bahasa Inggris. (3) Mengetahui latar belakang seseorang atau mempunyai teman-teman dapat mengurangi ketidakpastian bagi anggota atau konteks budaya tinggi. Oleh karena itu, tidak memiliki kontak dengan jaringan komunikasi orang asing sebelum interaksi awal meningkatkan ketidakpastian bagi budaya konteks tinggi, tetapi tidak untuk budaya konteks rendah di mana norma-norma apalagi memberikan informasi. Alasan yang sama digunakan untuk menjelaskan hubungan dicatat dalam dua hipotesis yang mengikuti. (4) tidak mampu berempati dengan orang asing akan meningkatkan ketidakpastian dalam konteks budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah. (5) Kurangnya pengetahuan tentang latar belakang orang asing akan meningkatkan ketidakpastian dalam konteks budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah. Gudykunst, Chua, dan Gray (1987) menyelidiki lebih lanjut efek dari perbedaan budaya pada Teori Pengurangan Ketidakpastian dengan mempelajari orang-orang dari berbagai latar belakang budaya. Salah satu aspek penting adalah tingkat ketidaksamaan antara siswa latar belakang budaya, dan budaya dari negara-negara Amerika, dimana mereka tinggal dan belajar. Responden menyelesaikan kuesioner tentang komunikasi mereka dengan salah seorang teman atau kenalan dari Amerika Serikat. Semua kenalan atau teman-teman itu berjenis kelamin sama sebagai mahasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa ketidakmiripan budaya memiliki kurang berpengaruh pada hubungan komunikasi sebagaimana dikembangkan. Temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian sebelumnya Gudykunst, Nishida, dan Chua (1986), yang disajikan di atas. Gudykunst dan Hammer (1987) menyusun pengetahuan yang didapat dari penelitian terhadap pengurangan ketidakpastian dalam situasi antar untuk membentuk teori antar mereka beradaptasi. Mereka reformulasi dari teori ide menambah kecemasan dengan konsep pengurangan ketidakpastian untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda. Teori ini terdiri dari 24 aksioma dan 50 teorema yang hanya dirangkum di sini. Misalkan seorang asing memasuki budaya asing tuan rumah kepadanya.Orang asing akan merasa tidak aman (pengalaman kecemasan) dan tidak yakin tentang cara berperilaku dalam pengaturan baru (pengalaman ketidakpastian). Orang asing yang memiliki identifikasi lebih kuat dengan budaya asli mereka sendiri dan yang mengharapkan untuk tinggal lebih permanen dalam kebudayaan setempat akan mengalami lebih banyak kecemasan dari mereka yang lebih lemah identifikasi budaya atau mereka yang merencanakan kunjungan sementara. Dalam keadaan apa yang akan orang asing itu jatuh dalam kecemasan dan ketidakpastian? Tindakan atau peristiwa apa yang mungkin membuat dia bahkan lebih cemas dan tidak pasti? Menurut teori dan penelitian sebelumnya, beberapa kondisi yang akan membuat orang asing merasa lebih nyaman dan percaya diri. Jika orang-orang asing 'budaya asli serupa dengan kebudayaan setempat, orang-orang asing akan membuat prediksi yang lebih akurat dan mengurangi kecemasan lebih daripada jika budaya sangat berbeda. Orang asing juga akan merasa lebih nyaman jika budaya asli toleran terhadap berbagai perilaku (memiliki kecenderungan pluralis). Orang-orang asing akan dapat menjelaskan dan memprediksi secara lebih akurat orang dengan budaya asli 'perilaku ketika mereka: belajar tentang kebudayaan setempat, bentuk lebih akurat dan stereotip positif, menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian yang tepat, lebih baik kontak dengan orang-orang dari kebudayaan setempat, yang tertarik pada dan bentuk hubungan intim dengan tuan rumah, tanpa kata-kata mengungkapkan keinginan mereka untuk afiliasi, meningkatkan jumlah jaringan komunikasi bersama dengan tuan rumah, dan menjadi kompeten dalam bahasa tuan rumah. Jika orang-orang asing terus sikap prasangka atau etnosentrisme terhadap kebudayaan setempat, atau mendeteksi sikap seperti di tuan rumah, mereka akan mengalami lebih banyak kecemasan dan ketidakpastian. Gudykunts dan Hammer (1987) telah mengidentifikasi empat pola adaptasi antar budaya berdasarkan aksioma dan teorema. Orang asing dengan kecemasan yang tinggi dan ketidakpastian yang tinggi mungkin tidak disesuaikan dengan budaya tuan rumah, sementara mereka yang rendah dan rendah kecemasan ketidakpastian telah beradaptasi sepenuhnya. Orang asing yang menjaga diri mereka sendiri dan memiliki sedikit interaksi dengan anggota kebudayaan setempat memperlihatkan pola kecemasan rendah tetapi ketidakpastian tinggi.Mereka nyaman karena mereka bergaul dengan orang lain tentang budaya asli mereka, tetapi mereka memiliki kesulitan menjelaskan dan memperkirakan perilaku tuan rumah. Orang asing yang memiliki kecemasan tinggi tetapi rendah ketidakpastian dapat memprediksi dengan baik tapi masih tidak nyaman ─ mungkin karena mereka mengerti tapi tidak menyukai kebudayaan setempat. Gudykunst dan Hammer percaya bahwa beberapa pola-pola adaptasi antar memperkuat teori mereka dibandingkan dengan teori-teori yang hanya menyarankan sebuah kontinum mulai dari rendah ke tinggi tingkat adaptasi. Program penelitian dan rekan-rekannya Gudykunst menerapkan Teori Pengurangan Ketidakpastian untuk antarkomunikasi menawarkan contoh yang sangat baik dari bangunan teori. Pertama, studi yang dijelaskan di atas menggambarkan bagaimana para sarjana dalam satu konteks mungkin meminjam atau mengadaptasi teori yang menjanjikan untuk mempelajari konteks komunikasi yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh tim ini umumnya dikonfirmasi Teori Pengurangan Ketidakpastian tetapi juga menyarankan beberapa perubahan untuk budaya konteks tinggi dan hubungan yang lebih intim. Dengan demikian, Gudykunst dan rekan-rekannya telah memperluas Teori Pengurangan Ketidakpastian tidak hanya di luar konteks aslinya, tetapi juga di luar hubungan tahap awalnya bahwa teori menjelaskan. Hipotesis baru yang disarankan oleh Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) tak diragukan lagi akan diuji dalam percobaan yang dilakukan lebih lanjut oleh tim ini komunikasi para sarjana. Sebuah Aksi Manusia Pendekatan Teori Komunikasi Antarbudaya Menggunakan Teori Pengelolaan terkoordinasi Arti diuraikan dalam Bab 3, Barnett Perace dan murid-muridnya telah mengeksplorasi perbedaan dalam aturan penafsiran yang digunakan oleh anggota kebudayaan yang berbeda. Wolfson dan Norden (1982) tertarik untuk mengeksplorasi "makna dan implikasi dari konflik interpersonal dalam budaya Cina dan Amerika (p.1). Para peneliti menunjukkan antara keduanya Cina dan siswa Amerika salah satu dari dua segmen dari sebuah film yang disajikan rutinitas sehari-hari dan hubungan antara guru dan siswa di sekolah tinggi Amerika. Sebuah segmen yang menunjukkan pertengkaran antara murid dan guru adalah "konflik tinggi" episode. "Konflik-rendah" disajikan episode percakapan antara murid dan guru tentang rencana perguruan tinggi. Peserta dalam menyelesaikan percobaan kuesioner tentang tingkat konflik dalam film dan setuju atau tidak setuju dengan pernyataan seperti itu sebagai, "Ini adalah sebuah percakapan tegang." Kemudian mereka diminta untuk berpura-pura bahwa mereka adalah pelajar SMA ditampilkan dalam film. mereka menulis apa yang akan mereka katakan selanjutnya, kemudian menyelesaikan kuesioner tentang berapa banyak kebebasan mereka merasa mereka harus memilih jawaban. Sebagai contoh, kontras pernyataan-pernyataan seperti, "Situasi yang saya temukan diri dalam menuntut saya untuk menanggapi dengan pesan khusus ini," dan "Aku akan respon ini dengan cara agar yang akan mempunyai pola percakapan seperti yang saya inginkan," itu dimasukkan dalam kuesioner. Kuesioner tentang tanggapan kebebasan dimasukkan untuk mengukur kekuatan konsep logis. Anda mungkin ingat dari bab 3 bahwa dua jenis peraturan, aturan definisi dan aturan perilaku, sangat penting bagi Teori Pengelolaan Terkoordinasi Arti. Definisi aturan mengatakan kepada orang bagaimana kata atau frase harus ditafsirkan. Kirim aturan perilaku aktor apa yang harus mereka lakukan dalam suatu situasi tertentu. Misalnya, jika peserta di THS percobaan memiliki aturan perilaku yang mengatakan, "mahasiswa harus bersikap sopan kepada para guru," mungkin siswa ditunjukkan pada kuesioner di atas bahwa siswa akan bertindak dengan cara tertentu untuk "bersikap sopan." gaya logis mengacu pada kekuatan pengaruh yang menaing dan aturan terhadap perilaku. Jadi, misalnya, jika siswa aturan tentang bersikap sopan kepada guru yang relatif lemah kekuatan logis, siswa akan memiliki beberapa pilihan untuk memilih dari dalam memilih perilaku yang sesuai. Jika aturan itu logis kuat gaya ( "Siswa harus selalu bersikap sopan kepada guru apa pun yang terjadi"), siswa akan relatif sedikit kebebasan dalam memutuskan bagaimana harus bersikap. Analisis statistik menunjukkan perbedaan budaya yang kuat antara siswa Amerika dan Cina, baik dalam persepsi konflik dan dalam kekuatan logis aturan perilaku mereka. Cina (yang umumnya ekspresi menghindari konflik terbuka dan menunjukkan rasa hormat kepada pihak berwenang, terutama guru) dianggap episode konflik lebih harmonis, menyenangkan, dan ramah daripada orang Amerika itu. Kekuatan logis dalam situasi itu juga lebih kuat daripada Amerika, tanggapan Cina memilih berdasarkan efek diantisipasi guru sebuah percakapan ( "Aku akan menanggapi dengan cara ini untuk mendapatkan pola percakapan pergi seperti yang saya inginkan," misalnya ). Mahasiswa Cina merasa kurang bebas untuk memilih tanggapan.Temuan yang terkait adalah bahwa mahasiswa Cina merasa mereka harus bertindak dengan cara tertentu terlepas dari tindakan guru. Amerika, lebih dari Cina, merasa bahwa mereka harus mengelola percakapan untuk meningkatkan citra diri mereka. Dalam percobaan terkait, Wolfson dan Pearce (1983) meneliti perbedaan antara Cina dan Amerika aturan untuk pengungkapan diri. Hipotesis mereka bahwa anggota budaya Asia Timur Jauh berbeda dari Amerika dalam apa yang mereka anggap rahasia atau informasi publik. Barnlund (1975) menemukan bahwa orang Amerika lebih mungkin daripada Jepang mengungkapkan diri dalam berbagai konteks. Alexander, Cronen, Kang, Tsou, dan Banks (1980) menemukan bahwa lebih mengandalkan Cina (tak terucapkan) informasi demografis untuk mengenal orang lain, sedangkan orang Amerika lebih mengandalkan verbal pertukaran informasi pribadi. (Pengamatan ini mirip dengan perbedaan dalam pengurangan ketidakpastian tinggi dan konteks budaya rendah dicatat oleh Gudykunst dan rekan-rekannya.) Wolfson dan Pearce (1983) ingin menjelajahi perbedaan dalam persepsi Cina dan Amerika pengungkapan diri dan dalam pengaruh pengungkapan diri pada komunikasi selanjutnya. Para peneliti telah peserta membaca bagian-bagian dari percakapan yang ditulis dalam bahasa Inggris. Rendah percakapan pengungkapan sikap prihatin tentang musik: pengungkapan tinggi terlibat percakapan siswa mengungkapkan keraguan tentang kecukupan seksual sebagai akibat dari sebuah insiden yang terjadi pada musim semi. Seperti dalam percobaan yang dijelaskan di atas mahasiswa peserta mengisi kuesioner menggambarkan bagaimana mereka melihat percakapan, mendakwa apa yang akan mereka katakan sebagai tanggapan terhadap keterbukaan diri, dan mengungkapkan bagaimana mereka merasa bebas untuk memilih apa yang harus dikatakan selanjutnya. Peserta Cina dianggap baik dialog sebagai kurang harmonis daripada Amerika. Cina juga merasa lebih terkendala oleh kekuatan logis aturan mereka dalam percakapan pengungkapan tinggi daripada Amerika. Kedua eksperimen lagi dijelaskan di atas menunjukkan perbedaan antara tindakan manusia dan undang-undang meliputi pendekatan untuk membangun teori komunikasi. Ingat bahwa hukum meliputi eksperimen oleh Gudykunst dan rekan-rekannya yang terlibat responden memilih strategi untuk berinteraksi dengan orang asing, kenalan, atau teman. Dalam percobaan tindakan manusia, Wolfson dan rekan-rekannya meminta peserta untuk menulis kata-kata yang sebenarnya akan mereka katakan dan untuk menunjukkan bagaimana mereka merasa bebas untuk memilih respons mereka. Ini upaya untuk menjajaki kekuatan logis dari aturan aturan yang teori unik: ia menyiratkan bahwa, sementara pilihan terbatas, responden secara sadar menyadari keterbatasan mereka. Dalam Teori Pengurangan Ketidakpastian percobaan yang dijelaskan di atas, responden tidak diminta alasan untuk pilihan mereka, karena pilihan ini yang diduga akan erat dibatasi oleh hukum-hukum sosial (norma-norma) yang mengatur situasi.Sementara kedua undang-undang dan tindakan manusia peneliti yang mempelajari pola perilaku dipengaruhi oleh aturan-aturan sosial atau hukum, penelitian hukum memperlakukan hukum sebagai "diberikan" oleh masyarakat, sedangkan penelitian tindakan manusia dirancang untuk mengeksplorasi persepsi individu aturan. Suatu pendekatan sistem ke teori komunikasi antarbudaya Suatu kontras yang tiba-tiba dapat dilihat di dalam sistem teori komunikasi antarbudaya oleh Young Kim. Pekerjaan Kim memfokuskan kepada pola komunikasi imigran Korea di Amerika Serikat. Melalui serangkaian studi, ia telah menginvestigasi tipe-tipe yang berbeda dari jaringan komunikasi dan efek-efeknya dalam akulturasi. Karena Kim merupakan salah satu dari peneliti awal yang menyelidiki hubungan antara komunikasi dan akulturasi, usaha pertamanya adalah mendeskripsikan kebiasaan komunikasi. Penelitian deskriptifnya yang ditampilkan dalam studi awalnya diperlukan sebelum teori-teori dapat mulai memaparkan kebiasaan komunikasi yang terjadi selama proses akulturasi. Kim (1977a) menduga imigran yang berpartisipasi dalam jaringan-jaringan kenegaraan akan lebih berakulturasi dibandingkan dengan imigran yang hanya terlibat di dalam jaringan komunikasi imigran itu sendiri. Kim mengembangkan suatu model komunikasi untuk menjelaskan akulturasi imigran. Sebuah diagram yang mewakili modelnya adalah gambar di Figure 13.1. Model tersebut mengindikasikan akulturasi antarbudaya sangat bergantung pada persepsi; Kim memperkirakan imigran yang terakulturasi untuk mempunyai persepsi yang relatif lebih kompleks terhadap masyarakat lokal. Empat faktor yang berguna untuk membuat persepsi yang kompleks: (1) berpotensi untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lokal dan mengonsumsi medianya, (2) kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal (Bahasa Inggris), (3) motivasi atau keinginan kuat untuk mempelajari tentang dan berpartisipasi dalam kebudayaan lokal, dan (4) ketersediaan media massa (akses ke koran lokal, radio, dan televisi). Empat faktor ini mempengaruhi variabel hasil – kompleksitas persepsi – melalui pengaruh dua variabel mediasi atau intervensi. Variabel mediasi memodifikasi efek dari empat variabel kausal dalam kompleksitas persepsi. Dengan kata lain, model Figure 13.1 bisa dikatakan demikian: potensi interaksi, kompetensi berbahasa Inggris, motivasi berakulturasi, dan ketersediaan media massa menciptakan kompleksitas persepsi melalui pengaruh dari komunikasi interpersonal dan konsumsi media massa. Kim (1977a) mengetes model akulturasinya dengan cara melakukan survey menggunakan surat kepada empat ratus keluarga Korea di Chicago. Survey tersebut meliputi pertanyaan yang dirancang untuk mengungkapkan seberapa banyak teman Amerika yang dimiliki dan organisasi Amerika yang diikuti oleh imigran-imigran tersebut, seberapa tingkat kesulitan yang dihadapi imigran dalam berbicara dan memahami Bahasa Inggris, seberapa kuat keinginan mereka berteman dengan orang Amerika dan mempelajari tentang peristiwa terkini di Amerika, seberapa banyak mereka berhubungan dengan orang Amerika tiap harinya, dan media cetak dan elektronik yang mereka akses. Analisis statistik digunakan untuk membandingkan model Kim dengan hasil kuisioner. Tiga variabel kausal yang pertama terlihat pada model, (1) potensial berinteraksi dengan anggota masyarakat lokal dan mengonsumsi media, (2) kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal (Bahasa Inggris), (3) motivasi atau keinginan kuat untuk mempelajari tentang dan berpartisipasi dalam kebudayaan lokal, yang sangat terkait dengan kompleksitas persepsi (akulturasi). Hanya (4) ketersediaan media massa (akses ke surat kabar, radio, dan televisi lokal) yang tidak berhubungan dengan akulturasi, mungkin karena satu-satunya perbedaan di antara responden melibatkan akses ke media cetak. Lebih dari 95% responden memiliki radio dan televisi. Di mana kedua variabel mediasi (komunikasi interpersonal dan komunikasi massa) penting dalam akulturasi, pengaruh komunikasi interpersonal kuat. Secara keseluruhan, hasil studi tersebut mendukung model yang dibuat Kim. Dalam keadaan tertentu, penelitian ini mendukung pentingnya komunikasi dalan proses akulturasi. Dalam tindak lanjut pemeriksaan, Kim (1977) Kim mengeksplorasi sifat imigran Korea dalam berkomunikasi antarpribadi dengan sesama orang Korea dan dengan orang Amerika. Dengan menggunakan hasil survey yang dilaporkan di atas, Kim berusaha melacak perkembangan akulturasi imigran dari waktu ke waktu dengan membandingkan dengan berbagai kelompok orang yang telah berada di Amerika untuk periode yang berbeda-beda. Ia menganalisa empat tipe hubungan antarpribadi: kenalan biasa, teman biasa, teman akrab, dan keanggotaan dalam organisasi. Ia menemukan bahwa tingkat “kenalan Amerika biasa” meningkat selama sembilan tahun pertama, kemudian mencapai titik puncak. Pada sembilan tahun pertamanya di Amerika, para Korea rata-rata memiliki 11 kenalan Amerika. Saat para Korea telah tinggal di Amerika antara 7 sampai 9 tahun, mereka rata-rata memiliki 124 kenalan Amerika. Pola pertemanan dengan orang Amerika dan dengan sesama Korea berbeda. Untuk teman biasa dan teman akrab, angka teman sesama Korea lebih tinggi daripada teman Amerika dan meningkat untuk 5 – 7 tahun pertama. Pertemanan dengan orang Amerika mengikuti pola yang sama, kecuali para imigran mempunyai lebih banyak teman Korea. Setelah 5-7 tahun, bagaimanapun, banyaknya teman Amerika terus meningkat, ketika banyaknya teman biasa dan teman akrab Korea mengalami penurunan. Para imigran lebih banyak berpartisipasi dalam organisasi Korea dibandingkan dengan organisasi Amerika. Pola partisipasi mengikuti pertemanan, baik dengan anggota organisasi Amerika maupun Korea, meningkat untuk beberapa tahun pertama. Kemudian anggota organisasi Amerika terus meningkat, sementara anggota organisasi Korea mengalami penurunan. Pengeksplorasian lebih dalam dari komunikasi antarpribadi ini penting karena hal tersebut mengindikasikan bahwa para orang Korea mempertahankan keanggotaan aktif baik dalam masyarakat lokal dan juga dalam komunitas etnis mereka. Hal tersebut juga menarik, melihat bahwa teman-teman satu etnis lebih penting dalam membentuk sikap di beberapa tahun pertama para imigran berada di masyarakat lokal. Seiring berjalannya waktu, teman-teman dari kultur lokal menjadi yang lebih berpengaruh. Informasi ekstensif yang telah ia kumpulkan melalui kuisonernya memimpin Young Kim (1987) ke analisis lebih lanjut mengenai kecenderungan sikap imigran dan persepsi terhadap masyarakat Amerika. Setelah analisis statistik tambahan dari hasil kuisioner, Kim menemukan bahwa para imigran yang memiliki komunikasi antarpribadi lebih besar di dalam komunitas etnis juga cenderung memiliki banyak komunikasi dengan orang Amerika. Perilaku para imigran terhadap media massa mengikuti tren yang sama dengan pembangunan hubungan antarpribadi yang disebutkan sebelumnya. Konsumsi terhadap kedua media massa lokal dan etnis meningkat selama beberapa tahun pertama: selanjutnya, penggunaan media massa Korea menurun, ketika penggunaan media massa Amerika meningkat. Para imigran melihat perbedaan budaya antara Korea dan Amerika Serikat menjadi yang terpenting pada saat awal mereka tinggal. Mereka yang tinggal lebih lama di Amerika seperti lebih memahami kemiripan budaya. Sikap para imigran terhadap Amerika Serikat mengikuti pola yang mirip: mereka menjadi lebih positif ketika mereka menghabiskan waktu lebih lama di negara baru. Kesimpulan akhir dan paling penting dari penelitian ini adalah kontak komunikasi antarpribadi lebih memainkan peran penting dalam mempelajari tentang masyarakat lokal daripada yang dilakukan media massa. Temuan ini juga dikatakan dalam pemaparan pertama penelitian ini. Dalam penelitian selanjutnya, Kim (1987) menjelajahi jaringan antarpribadi pada para imigran dengan lebih detail. Penelitian ini mencoba membangun teori tentang hubungan antara komunikasi antarpribadi dan akulturasi berdasarkan temuan dari penelitian yang dipaparkan sebelumnya. Kim mengeksplorasi properti jaringan antarbudaya, yang sebagian di antaranya didiskusikan pada Bab 11. Keberagaman jaringan merujuk kepada proporsi dari hubungan komunikasi yang diselenggarakan dengan orang Amerika (penduduk yang heterogen untuk para Korea). Konsep jaringa lain yang juga penting yaitu pertimbangan Kim mengenai kekuatan ikatan antara dua individu, tingkat keintiman dari hubungan mereka. Jaringan komunikasi yang lebih beragam dari imigran dan hubungan yang lebih kuat dengan orang Amerika, lebih seperti para imigran ingin berkomunikasi secara kompeten dalam budaya lokal. Orang yang memiliki banyak kontak langsung dalam jaringan pusat cukup mempertimbangkan pada jaringan. Seseorang yang kurang penting mungkin harus mengirim pesan melalui orang lain untuk mencapai penerima utama. Sebagai contoh, mahasiswa biasanya tidak mengekspresikan pendapat mereka secara langsung kepada manajer asrama, mereka biasanya mengajukan pengaduan atau memberikan komentar melalui penasihat penduduk. Kim disarankan yang berfokus pada masa depan sentralitas penelitian sejak sentralitas dapat menunjukkan seberapa dekat masyarakat adat telah terintegrasi ke dalam perawatan imigran. Kim juga menyarankan dua area eksplorasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengembangkan teorinya: (1) mempelajari jumlah dan jenis hubungan komunikasi dengan lainnya, imigran bukan Korea; dan (2) mengamati perubahan dalam kegiatan komunikasi dan efeknya pada persepsi imigran dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan, Kim menyimpulkan bahwa berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi etnis tidak memfasilitasi dan mungkin benar-benar menghambat akulturasi ke dalam budaya lokal. Kim (1987) juga memodifikasi model yang ia perkenalkan pertama kali pada 1977. Model kedua ini tergambar pada Figure 13.2. Ketika moel tersebut cukup mirip dengan model pertama, itu berbeda dalam memperkenalkan konsep kompetensi komunikasi lokal. Figure 13.3 menggambarkan perluasan kompetensi komunikasi lokal yang diperkenalkan Kim dalam penelitiannya. Di model yang terbaru, konsumsi media massa sudah ditiadakan karena hal tersebut terbukti lebih tidak penting dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dalam mempengaruhi persepsi imigran Korea. Komunikasi antarpribadi sudah dianalisis untuk memasukkan kompetensi komunikasi dalam kebudayaan setempat dan pengembangan relasional. Faktor-faktor latar belakang (seperti usia dan kepribadian) sudah ditambahkan di model asli. Model Figur 13.2 lebih memperhatikan faktor internal dan disajikan sebagai model yang berjudul, “Faktor-faktor Latar Belakang Memfasilitasi Adaptasi” (1987, hlm. 200). Kim muncul untuk menggunakan adaptasi dan akulturasi dalam arti yang sama. Model dalam Figure 13.1 dan 13.2 mengilustrasikan perkembangan teori baik dari niat (pengembangan dan perluasan interal) dan perpanjangan (memperluas teori untuk memasukkan domain yang lebih besar, lihat Bab 2). Tambahan dari kompetensi komunikasi lokal adalah sebuah contoh dari perpanjangan teori tersebut untuk menutupi variabel yang tidak tersaji dalam model asli. Figure 13.3 menyajikan bukti yang lebih jauh dari pengembangan yang disengaja dari teori tersebut. Itu menggambarkan komponen-komponen yang membentuk kompetensi komunikasi dalam kebudayaan setempat. Kim dapat menambah variabel-variabel yang termasuk dalam afektif, kognitif, dan dimensi perilaku dalam bagian dengan membaca riset orang lain dan memikirkan dengan cermat tentang proses adaptasi dan dalam bagian dengan menganalisis maksud dari penelitiannya sendiri. Pada akhirnya, model komunikasi Kim mengenai adaptasi silang budaya selesai (1988, hlm. 79). Model akhir menggabungkan internal, komunikasi, dan faktor-faktor lingkungan yang hadir dalam model sebelumnya, disajikan pada Figure 13.4. Model Kim akulturasi imigran memberikan contoh yang baik tentang teori sistem karena mencakup variabel dari semua level sistem budaya: psikologis internal dan variabel linguistik, variabel jaringan komunikasi, dan variabel media massa. Model tersebutadalah contoh yang baik dari teori pembangunan karena kita dapat menelusuri revisi dan pembangunan melalui penelitian Kim yang telah dipublikasikan. RINGKASAN Bab ini menyajikan contoh-contoh dari teori pembangunan dalam satu konteks teori komunikasi yang paling menarik dan paling cepat- komunikasi antarbudaya. Studi antropologi memicu minat pada komunikasi antarbudaya. Perubahan pemerintahan, politik, komunikasi, dan bisnis, untuk menyebutkan hanya beberapa, telah menciptakan sebuah kebutuhan atau pemahaman yang lebih dalam mengenai proses dan kemampuan komunikasi antarbudaya. Bidang komunikasi telah menanggapi kebutuhan ini dengan pertumbuhan yang pesat penelitian dan teori pembangunan di daerah. Berbagai cabang studi budaya dan komunikasi yang melibatkan telah diidentifikasi. Perbedaan antara budaya dalam penggunaan kode verbal dan nonverbal, aturan, perilaku, dan peran dan nilai-nilai sosial telah diteliti dalam beberapa detail. Selain itu, kontribusi penting dari bidang-bidang lain seperti hipotesis Whorfian dan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah telah didiskusikan. Sarjana komunikasi antarbudaya telah berusaha ntuk mengatasi masalah budaya daerah seperti etnosentrisme dan praduga baik melalui latihan komunikasi budaya spesifik maupun budaya umum. Pada akhirnya, kami menyajikan contoh representatif dari teori pembangunan dalam konteks komunikasi antarbudaya dari segi hukum, tindakan manusia, dan sistem perspektif. Teori Pengurangan Ketidakpastian, yang dikembangkan dalam komunikasi antarpribadi, telah diterapkan pada konteks antar budaya. Teori Pengelolaan Terkoordinasi dari Arti telah mengeksplorasi perbedaan dalam aturan dan gaya dalam komunikasi interpretasi episode dalam kebudayaan yang berbeda. Akhirnya, sistem Kim model akulturasi telah dicadangkan sebagai contoh teori kedua bangunan dari waktu ke waktu dan perbedaan antara hukum, tindakan manusia, dan pendekatan sistem.