[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
PENDAHULUAN Nama Ahlus-sunnah wa-l-jama’ah pasti sudah tidak lagi terdengar asing di telinga para muslim di dunia ini. Bagaimana tidak? Nama ini telah disebutkan di berbagai hadist Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadist, disebutkan bahwa pada saat hari kiamat nanti, umat islam akan terbagi dalam 73 golongan dan semuanya akan dimasukkan kedalam neraka kecuali satu golongan yaitu golongan Ahlu-s-sunnah wal jama’ah. Akan tetapi pada era sekarang ini, banyak sekali golongan-golongan yang menyebut dirinya adalah Ahiu-s-sunnah wa-l-jama’ah. Maka, apakah itu paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah? Dan siapa sajakah yang dapat disebut sebagai golongan Ahlu-s-sunnah wa-l-jama’ah? Dan untuk itu baiklah bagi semua orang untuk memahami tentang hakikat dari paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah ini. Islam sendiri merupakan agama yang menyeluruh. Dalam ruang lingkup makro, para ulama sepakan bahwa islam meliputi lingkup aqidah(kalam), ibadah(fiqh), dan akhlaq(tasawuf). Begitu juga dengan paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah yang membagi secara makro cakupan paham mereka menjadi aqidah, ibadah, dan tasawuf. Dalam lingkup aqidah(kalam), terdapat dua golongan yang sejalan dengan paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah, yaitu Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Paham Al-Maturidi ini memang tidak terlalu eksis dalam kalangan muslim Indonesia. Salah satu sebabnya adalah pebedaan madzhab, dimana Al-Maturidi berpegang pada madzhab Imam Hanafi sedangkan mayoritas umat Islam di Indonesia bermadzhabkan Imam Syafi’i. Akan tetapi bukan berarti paham Al-Maturidi ini tidak penting untuk dipelajari. Karena sesungguhnya, islam adalah agama yang global (menyeluruh) dan meskipun ada perbedaan perdapat antara para ulama’, sesungguhnya perbedaan masih berada dalam koridor ikhtilaf bi-r-rahmah atau perbedaan yang mendatangkan rahmat. Dan berangkat dari hal ini, penulis mencoba membahas lebih pada Ahlu-s-sunnah wal jama’ah Al-Maturidi. PEMBAHASAN MEMAHAMI AHLU-S-SUNAH WAL JAMA’AH Pengertian Ahlu-s-sunnah wal jama’ah Apabila dipahami secara artian bahasa, kata ahlun berarti keluarga atau pengikut, kata as-sunnah berarti segala tabiat dan perilaku Rasulullah SAW yang mencakup perbuatan, perkataan, dan ketetapan Rasulullah SAW, sedangkan kata al-jama’ah bermaksudkan para sahabat Rasulullah SAW. Maka, apabila diartikan secara etimologis, kata Ahlu-s-sunnah wal jama’ah berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan para sahabat (Nasir, 2010:187). Merupakan pengetahuan bersama bahwa Sunnah atau Hadist Rasulullah SAW merupakan perwujudan dari syariat-syariat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Bahkan dapat dikatakan bahwa Sunnah atau Hadist Rasulullah SAW merupakan penjelas atau penjabaran dari Al-Quran yang bersifat ijmali atau global. Sedangkan para sahabat, terutama khulafaur rasyidin, merupakan orang-orang yang hidup berdampingan dengan Rasulullah dan mengikuti apa-apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Sehingga secara praktis, jalan hidup para sahabat ini juga merupakan penjabaran dari petunjuk Al-Qur’an dan Hadist. Yang mana setiap langkah dalam hidupnya selalu dalam petunjuk dan kontrol langsung dari Rasulullah SAW (Nasir, 2010:188). Selain itu, dalam sebuah Hadist Rasulullah SAW disebutkan: ...وإنّ بني إسرائيل تفرّقت على اثنتين و سبعين ملّة و تفترق أمّتي على ثلاث و سبعين ملة. كلهم في النار إلّا ملّة واحدة. قالوا: ومن هي يارسول الله ؟ قال : ما أنا عليه و أصحابي (رواه الترميذى) “... dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan. Sementara umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja yang tidak masuk neraka. Para sahabat bertanya: Siapakah golongan itu wahai Rasulullah? Jawabnya: Itulah golongan yang senantiasa mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.” (HR. Tirmidzi) Golongan yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullah dan jejak sahabatnya inilah yang lalu dimaksudkan sebagai ahlu-s-sunnah wal jama’ah. Bahkan dalam suatu hadist lain disebutkan: والذي نفس محمد بيده, لتفترق أمتي على ثلاث و سبعين فرقة. فواحد في الجنة واثنتان و سبعون في النار. قيل من هم يا رسول الله ؟ قال : أهل السنّة و الجماعة (رواه الطبراني) “(Rasulullah SAW bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan. Maka yang satu golongan masuk surga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka. Seorang bertanya: Siapakah golongan yang masuk surga tersebut ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan Ahlu-s-sunnah wal jama’ah.” (HR. At-Tabrani) Dari kedua Hadist diatas telah jelas siapa yang dimaksud dengan ahlu-s-sunnah wal jama’ah. Yaitu golongan yang mengikuti jejak hidup Rasulullah dan para sahabat dan tentu saja berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sampai saat ini, paham ini telah diikuti oleh golongan terbanyak. Akan tetapi para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain: jumhur al-ummah al-islamiyah, jamaiyah, salaf as-shalih, ahlul haq, ahlul hadist, dan masih banyak lagi (Nasir, 2010:193). Substansi Dan Institusi Ahlu-S-Sunnah Wal Jama’ah Paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah adalah paham Islam yang menyeluruh. Apabila dilihat secara menyeluruh, ruang lingkup dari dari paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah meliputi aqidah, ibadah, dan akhlaq. Hal ini mengacu pada persetujuan para ulama yang menyatakan bahwa Islam meliputi didalamnya lingkup aqidah, ibadah, dan akhlaq (Nasir, 2010:194). Substansi paham Ahlus-s-sunnah wal jama’ah adalah mengikuti sunnah rasul dan tariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah (Hadist), maka setiap lembaga (madzhab) di lingkup fiqh tetap mengikuti Sunnah Rasul dan tariqah sahabat, serta senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah (Nasir, 2010:194). Adapun institusi atau lingkup aqidah (kalam) yang sejalan dengan paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah ialah akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan Al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidy. Meskipun pemikiran keduanya tidak sama persis, tetapi pemikirannya tetap berkomitmen dalam petunjuk naqli. Keduanya sama-sama memakai akal sebatas untuk memahami naqli, bukan untuk menjajarkan keduanya apalagi sampai memujanya (Nasir, 2010:194). Sementara itu, dalam masalah fiqh atau syariah, mencakup tuntunan formal bagi seorang muslim dalam melakukan ibadah kepada Allah dan muamalah terhadap sesama manusia. Dan institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial Ahlus-s-sunnah wal jama’ah ialah empat madzhab besar dalam fiqh yakni madzhab imam Abu Hanifah, madzhab imam Malik bin Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Keempat imam ini, sama-sama berkomitmen dalam petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, dan berpola pikir taqdim al-nash ‘ala al-aql. Meskipun porsi akal yang diberikan setiap imam berbeda. Seperti halnya madzhab Hanafi yang dianut oleh Abu Manshur al-Maturidy, yang memberi porsi akal lebih besar daripada madzhab imam Syafi’i yang dianut oleh Abu Hasan al-Asy’ari (Nasir, 2010:195). Sedangkan lingkup akhlak (tasawuf) Ahlus-s-sunnah wal jama’ah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Junaidi, dan tokoh-tokoh yang sepaham. Pemikiran mereka memang tidak melembaga menjadi firqoh. Namun wacana mereka sejalan dengan substansi Ahlus-s-sunnah wal jama’ah dan diterima serta diikuti mayoritas umat islam (Nasir, 2010:196). INSTITUSI AQIDAH (KALAM) AHLU-S-SUNNAH WAL JAMA’AH: AL-MATURIDY Pencetus teologi Al-Maturidy Seperti halnya Al-Asy’ari yang nama alirannya diambil dari nama pencetusnya, nama Al-Maturidy juga diambil dari nama tokoh pertama yang mengajukan pemikiran dari aliran ini. Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidy. Beliau lahir di sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah. Di sebuah daerah yang sekarang dikenal sebagi Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Hanya diperkirakan di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Sedangkan beliau wafat pada tahun 333H/944M. Oleh sebagian penulis, al-Maturidi dinyatakan sebagai keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di Madinah. Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa sebagian kaum kerabat al-Maturidi yang tinggal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Arab Madinah (Zuhri, 2010:105) Abu Mansur Al-Maturidy memiliki seorang guru dalam bidang ilmu fiqh dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Sedangkan karier pendidikannya lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh. Ia merupakan uasah memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang di masyakat dan dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’(Wijayani, 2013:175). Pemikiran-pemikiran Al-Maturidy telah banyak tertuang juga dalam karya tulis. Salah satu karya tulis yang terkenal adalah karyanya yang berjudul Kitab Tauhid yang merupakan salah satu buku pegangan bagi para pengikut aliran Al-Maturidy. Selain itu, terdapat juga karya tulis lainnya seperti Ta’wil Al-Qur’an, Ma’khaz Asy-Syara’i, Al-Jadi, Ushul Fi Ushul Ad-Din, Al-Jadl, dan banyak lagi. Ada pula karangan-karangan yang dikatakan dan diduga ditulis oleh Al-Maturidy, yaitu Risalah Fi Al-Aqaid, Dan Syarh Fiqh Al-Akbar (Rozak, 2014:151) Antara Al-Maturidy dan Al-Asy’ari Sebagiamana Al-Asy’ari, Al-Maturidy juga tampil sebagai reaksi bagi paham teologi Muktazilah. Namun bukan berarti jalan pikirannya sama persis dengan jalan pemikiran Al-Asy’ari. Karena seperti yang telah disebutkan bahwa Al-Maturidy sendiri adalah seorang pengikut Madzhad Abu Hanifah. Sebagai seorang pengikut Abu Hanifah, sudah sewajarnyalah apabila beliau memakai rasio dengan porsi yang lebih banyak dalam pandangan keagamaan. Dan inilah juga alasan yang membuat Al-Maturidy banyak menggunakan akal dalam pemikiran teologinya. Dari sinilah dapat kita lihat bersama bahwa meskipun Al-Asy’ari dan Al-Maturidy sama-sama tampil sebagai reaksi dari adanya paham Mu’tazilah, tapi pemikiran keduanya tidak seluruhnya sejalan. Sebagaimana yang diketahui sebelumnya bahwa pemikran teologi Asy’ari yang berlatar belakang madzhab Syafi’i sangat banyak menggunakan makna teks nash agama, maka Maturidiyah dengan latar belakang madzhab Hanafi menggunakan takwil dalam pemikiran teologinya. Dengan demikian, kendatipun Maturidy tampil sebagai penantang Mu’tazilah, pemikiran teologi yang dibawanya lebih dekat kepada Mu’tazilah. (Yusuf, 2014:100) Perbedaan lain, Al-Asy’ari berpendapat bahwa makrifat kepada Allah SWT adalah berdasarkan tuntunan syara’. Sehingga sesuatu itu baik jika diwajibkan syara’ dan buruk jika dilarang oleh syara’. Sedangkan al-Maturidy berpendapat bahwa baik atau buruknya sesuatu itu terdapat pada sesuatu itu sendiri. Akan tetapi akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga diperlukan wahyu untuk dijadikan sebagai pembimbing (Nasir, 2010:260). Dari hal-hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sisitem teologi atau kalam al-Maturidy terletak diantara al-Asyari dan Mu’tazilah. Dari sini juga dapat dikatakan bahwa selain al-Asy’ari yang ingin bersikap moderst diantara Jabariyah dan Qadariyah serataMu’tazilah dan Ahli Hadist, ternyata ada juga aliran al-Maturidy yang ingin menempatkan alirannya pada posisi yang lebih moderat lagi. Yaitu diantara Mu’tazilah dan al-Asy’ari (Wijayani, 2013:179) Pemikiran Kalam Al-Maturidy Setelah mengetahui dasar dari pemikiran Ahlu-s-sunnah wal Jama’ah Abu Manshur al-Maturidy, maka patutlah bagi kita untuk mengetahui pemikiran Kalam atau theologi dari al-Maturidy tersebut. Hal ini berguna untuk memperluas khazanah dan wawasan kita. Dan berikut penulis akan paparkan beberapa dari wujud pemikiran tersebut. Sifat-sifat Allah SWT Salah satu persoalan kalam yang menjadi perdebatan antaraaliran-aliran kalam adalah masalah tentang sifat-sifat Allah. Hal ini disebabkan adanya truth claim yang dibangun atas kerangka masing-masing aliran dan kliam menauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa pahamnya dapat menyucikan dan memelihara keesaan Allah SWT (Rozak, 2014:199) Dalam masalah ada atau tidaknya sifat-sifat Allah SWT, al-Maturidy sependapat dengan al-Asy’ari dengan mengatakan bahwa Tuhan memilki sifat-sifat seperi sama’, bashar dan lainnya. Hal ini juga berarti bahwa baik al-Maturidy maupun al-Asy’ari, keduanya menentang pendapat aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Akan tetapi Tuhan mangetahui, mendengar, dan lain sebagainya dengan esensi atau dzatnya itu sendiri (Rozak, 2014:200). Akan tetapi dalam pengertian sifat Tuhan, al-Maturidy berbeda pendapat dengan al-Asy’ari. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat Tuhan adalah sesuatu yang bukan dzat, akan tetapi melekat pada zat itu. Sedangkan menurut al-Maturidy, sifat tidak dikatakan sebagai esensiNya dan tidak pula lain dari esensiNya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazzamah atau ada bersama dzat tanpa terpisah. Menurutnya, menetapkan sifat bagi Allah SWT tidak harus membawa pengertian antromorpisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (Rozak, 2014:209). Lebih lanjut dari masalah sifat Allah ini, adalah masalah tentang tajassum yaitu menggambarkan Allah SWT seolah memiliki sifat jasmani. Masalah ini muncul dengan adanya ayat-ayat mutasyabbihat dalam Al-qur’an. Misalnya adalah ayat berikut: .... ...... ‘...tangan Allah di atas tangan mereka....’(QS.Al-Fath:10). Dalam mengartikan ayat mutasyabihat seperti diatas, al-Maturidy mentakwilkannya atau mengartikannya dengan makna majazi. Kata-kata seperti tangan, wajah, atau lainnya yang dinisbathkan kepada Allah dan Al-Qur’an maksudnya adalah kekuasaan, rahmat, dan penguasaan Allah SWT atas makhlukNya. Allah SWT tidak mempunyai badan sungguh pun tidak sama dengan jasmani manusia, karena jasmani tersusun dari substansi dan aksiden. Berbeda dari manusia yang tidak ada bila tanpa jasmani, Allah SWT tetap wujud tanpa anggota badan (Nasir, 2010:262). Kalamullah Masalah kalamullah ini masih berkaitan dengan masalah sifat Allah. Dalam masalah ini, al-Maturidy membedakan antara kalam (sabda) dan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Menurutnya kalam merupakan apa yang tersusun dari huruf dan suara. Dan kalam nafsi merupakan sifat qadim bagi Allah SWT, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru atau hadist (Wiyani, 2013:178) Dari sini dapat dilihat bahwa al-Maturidy menerima pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yang terdiri dari huruf dan suara adalah hadist. Akan tetapi, beliau juga sependapat dengan pemikiran al-Asy’ari yang mengatakan Al-Qur’an adalah apa yang dibalik huruf dan suara, sehingga bersifat kekal atau qadim (Wiyani, 2013:179) Rukyatullah Rukyah berasal dari kata ra a yang berarti melihat. Rukyatullah berarti melihat Allah. Adapun yang dimaksud dengan rukyatullah disini adalah permasalahan yang membahas tentang bisakah melihat Allah SWT besok pada hari kiamat. Golongan Mu’tazilah menolak bahwa Allah SWT dapat dilihat. Hal ini didasarkan pada logika mereka yang menyatakan bahwa melihat berarti menghendaki adanya tempat bagi yang melihat dan yang dilihat, maka karenanya Allah SWT pasti memiliki tempat. Sedangkan menurut Mu’tazilah, Allah SWT Maha Suci dari tempat dan peredaran waktu atau zaman. Pendapat ini tidak diterima oleh al-Maturidy. Menurutnya, rukyatullah di hari kiamat adalah bagian dari ahwal atau peristiwa di hari kiamat itu sendiri. Sedangkan ahwal di hari kiamat, tentang apa dan bagaimananya, hanya diketahui Allah SWT (Nasir, 2010:266). Jelasnya al-Maturidy sejalan dengan al-Asy’ari dengan meyakini bahwa Tuhan dapat dilihat, karena Ia mempunyai wujud. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak mempunyai bentuk, tidak diketahui caranya, tidak mengambil tempat serta tidak terbatas. Karena apabila terbatas berarti Ia bersifat materi atau jism (Nasir, 2010:267). Pelaku dosa besar Masalah berikut ini meliput tentang siapakah yang dikatakan kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam artian lain, siapa yang dianggap keluar dari agama islam dan siapa yang masih dalam islam. Hal ini bersangkutan dengan pandangan masing-masing aliran akan status orang-orang yang berdosa besar (Rozak, 2014:159). Menurut pembahasan yang lalu, diketahui bahwa kaum Khawarij menganggap setiap pelaku dosa besar adalah kafir dan keluar dari agama islam. Menurut Mu’tazilah, pelaku dosa besar akan berada pada posisi diantara dua posisi atau manzilah baina manzilataini. Maka menurut al-Maturidy, iman seseorang tidak akan hilang karena melakukan dosa besar. Karena antara iman dan perbuatan tidak saling mempengaruhi ataupun menghilangkan. Sebab pada hakikatnya, iman itu ada dalam qalb, sedang perbuatan letaknya ada pada gerakan anggota tubuh. Dikatakan juga bahwa kuat-lemahnya iman itu bergantung pada kuat-lemahnya akal dalam menemukan iman tersebut, sehingga perbuatan tidak berpengaruh terhadap tebal-tipisnya imam. Meski tentu saja secara logika, iman itu sendiri dapat mempengaruhi akhlak dan luhur seseorang (Nasir, 2010:270). Selanjutnya, dikarenakan pelaku dosa besar bukan berarti kafir, maka menurut al-Maturidy pelaku dosa besar juga tidak kekal di neraka sekalipun ia mati sebelum bertobat. Hal ini merujuk pada ayat Al-Qur’an: ...... 160. .....dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. Al-An’am:160) Ayat ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan jahat akan dibalas sepadan oleh Allah SWT. Sedangkan kekekalan di neraka hanya diperuntukkan bagi orang-orang syirik dan kufur kepada Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Suci dari menyalahi janjiNya (Nasir, 2010:270). Perbuatan manusia (af’alul ibad) Akar dari masalah ini adalah keyakinan bahwa Tuhan adaah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia. Selanjutnya, Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sinilah timbul pertanyaan, sampai manakah ketergantungan manusia pada kehendak Tuhan? Apakah manusia memiliki kemerdekaan untuk menentukan hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak Tuhan? (Rozak, 2014:188) Al-Maturidy mengartikan daya dan kehendak manusia dalam arti yang sebenarnya dan bukan kiasan. Yang berarti manusia memang memiliki daya dan kehandak tersendiri dalam melakukan suatu perbuatan. Hal ini mirip dengan pendapat yang dikemukakan Mu’tazilah, perbedaannya ada bahwa al-Maturidy menyatakan bahwa daya itu sendiri diciptakan bersama dengan perbuatan itu dan bukan sebelumnya. Oleh karena itu, manusia dalam paham al-Maturidy tidak sebebas dalam paham Mu’tazilah (Rozak, 2014:194) Dalam masalah ini, al-Maturidy menegaskan bahwa untuk terwujudnya suatu perbuatan diperlukan adanya kehendak dan daya untuk melaksanakannya. Lalu timbulllah pertanyaan apakah kehendak ini merupakan kehendak manusia atau kehendak Allah SWT? Dalam hal ini al-Maturidy berpendapat akan adanya dua perbuatan, yakni perbuatan Allah dan perbuatan manusia. Perbuatan itu sendiri membuat adanya daya dalam diri manusia. Maka bersama dengan perbuatan inilah tercipta adanya daya (Nasir, 2010:273). Adapun balasan dan hukuman Allah berdasarkan pada penggunaan daya yang telah diciptakanNya tersebut. Hal ini memberi pengertian bahwa kehendak dan kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik dalam kebaikan ataupun keburukan. Dan manusia diberi kebebasan memilih antara yang baik atau yang salah. Dalam masalah ini, al-Maturidy mengikuti pendapat Abu Hanifah tentang paham masyi’ah (kemauan) dan ridho (kerelaan) Allah SWT. Perbuatan manusia terjadi atas kehendak dan kemauanNya, tetapi tidak semua perbuatan itu atas kerelaanNya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaanNya, dan sebaliknya manusia berbuat buruk atas kehendakNya, tetapi tidak dengan kerelaanNya (Nasir, 2010:274). KESIMPULAN Ahlu-s-sunnah Wal Jama’ah merupakan golongan yang mengikuti jejak hidup Rasulullah dan para sahabat dan tentu saja berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sampai saat ini, paham ini telah diikuti oleh golongan terbanyak. Akan tetapi para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain: jumhur al-ummah al-islamiyah, jamaiyah, salaf as-shalih, ahlul haq, ahlul hadist, dan masih banyak lagi. Substansi paham Ahlus-s-sunnah wal jama’ah adalah mengikuti sunnah rasul dan tariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah (Hadist). Adapun institusi atau lingkup aqidah (kalam) yang sejalan dengan paham Ahlu-s-sunnah wal jama’ah ialah akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan Al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidy. Dan institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial Ahlus-s-sunnah wal jama’ah ialah empat madzhab besar dalam fiqh yakni madzhab imam Abu Hanifah, madzhab imam Malik bin Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan lingkup akhlak (tasawuf) Ahlus-s-sunnah wal jama’ah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Junaidi, dan tokoh-tokoh yang sepaham. Nama Al-Maturidy diambil dari nama tokoh pertama yang mengajukan pemikiran dari aliran ini. Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidy. Beliau lahir di sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah. Abu Mansur Al-Maturidy memiliki seorang guru dalam bidang ilmu fiqh dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Sedangkan karier pendidikannya lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh. Al-Asy’ari dan Al-Maturidy sama-sama tampil sebagai reaksi dari adanya paham Mu’tazilah, tapi pemikiran keduanya tidak seluruhnya sejalan. Sebagaimana yang diketahui sebelumnya bahwa pemikran teologi Asy’ari yang berlatar belakang madzhab Syafi’i sangat banyak menggunakan makna teks nash agama, maka Maturidiyah dengan latar belakang madzhab Hanafi menggunakan takwil dalam pemikiran teologinya. Dalam masalah ada atau tidaknya sifat-sifat Allah SWT, al-Maturidy sependapat dengan al-Asy’ari dengan mengatakan bahwa Tuhan memilki sifat-sifat seperi sama’, bashar dan lainnya. Akan tetapi dalam pengertian sifat Tuhan, menurut al-Maturidy, sifat tidak dikatakan sebagai esensiNya dan tidak pula lain dari esensiNya. Dan dalam mengartikan ayat mutasyabihat, al-Maturidy mentakwilkannya atau mengartikannya dengan makna majazi. Kata-kata seperti tangan, wajah, atau lainnya yang dinisbathkan kepada Allah dan Al-Qur’an maksudnya adalah kekuasaan, rahmat, dan penguasaan Allah SWT atas makhlukNya. Dalam masalah kalamullah, al-Maturidy membedakan antara kalam (sabda) dan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Dengan demikian, ia menerima pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yang terdiri dari huruf dan suara adalah hadist. Akan tetapi, beliau juga sependapat dengan pemikiran al-Asy’ari yang mengatakan Al-Qur’an adalah apa yang dibalik huruf dan suara, sehingga bersifat kekal atau qadim Al-Maturidy juga sejalan dengan al-Asy’ari dengan meyakini bahwa Tuhan dapat dilihat, karena Ia mempunyai wujud. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak mempunyai bentuk, tidak diketahui caranya, tidak mengambil tempat serta tidak terbatas. Karena apabila terbatas berarti Ia bersifat materi atau jism Menurut al-Maturidy, iman seseorang tidak akan hilang karena melakukan dosa besar. Karena antara iman dan perbuatan tidak saling mempengaruhi ataupun menghilangkan. Sebab pada hakikatnya, iman itu ada dalam qalb, sedang perbuatan letaknya ada pada gerakan anggota tubuh. Pada masalah perbuatan manusia, al-Maturidy menegaskan bahwa untuk terwujudnya suatu perbuatan diperlukan adanya kehendak dan daya untuk melaksanakannya. Perbuatan itu sendiri membuat adanya daya dalam diri manusia. Maka bersama dengan perbuatan inilah tercipta adanya daya. Adapun kehendak dan kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik dalam kebaikan ataupun keburukan. Dan balasan dan hukuman Allah SWT berdasarkan pada pemakaian dya tersebut. DAFTAR PUSTAKA Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta. Rajawali Press Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. 2014. Ilmu Kalam. Bandung. Pustaka Setia Wiyani, Novan Andy. 2013. Ilmu Kalam. Bumiayu. Teras Yusuf, Yunan. 2014. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi. Jakarta. Prenadamedia Group Zuhri, Amat. 2010. “Kecenderungan Teologi Maturidiyah Samarkand”. Regalia, 13(1):103-122 13