Media Litbang Sulteng IX (1) : 1-10, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENGGUNAAN MEDIA FOTO KELUARGA UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN MENULIS NARASI PADA MATA
PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS VII SMP 1 BETELEME
Oleh :
Ferlin Selviani Kalaena1)
ABSTRAK
Adapun latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya temuan peneliti di SMP 1 Beteleme bahwa banyak siswa yang
belum mampu menulis dengan baik dan benar, sehingga mengindikasikan bahwa pembelajaran keterampilan menulis kurang
berhasil. Pada umumnya, siswa di sekolah tersebut kurang terampil dalam hal menulis narasi pada pembelajaran Bahasa Indonesia
yang berdampak pada kurangnya keaktifan siswa dalam pembelajaran menulis. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu media
pembelajaran yang efektif dan dapat menunjang kegiatan pembelajaran. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme adalah dengan
menggunakan media Foto Keluarga. Dengan media Foto Keluarga, siswa dapat lebih mudah dalam mengungkapkan apa yang ada
dalam pikirannya, sehingga menjadi sebuah tulisan yang berbentuk narasi. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme?. Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan menulis narasi
pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme melalui media Foto Keluarga. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan di SMP 1 Beteleme. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dengan
jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, tes hasil belajar, dan
jurnal refleksi diri. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasi pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti dari hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yang
terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada prasiklus, dari 22 siswa didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa yang
tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Selanjutnya, hasil belajar pada siklus I mengalami peningkatan
yakni diperoleh nilai rata-rata 75,86, siswa yang tuntas naik menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada siklus I, nilai rata-rata 92,22 dan
siswa yang tuntas meningkat menjadi 22 siswa atau dalam artian bahwa 100 % memperoleh nilai dengan tuntas.
Kata Kunci: Media Foto Keluarga, Hasil Belajar, Menulis Narasi.
ABSTRACT
The background of this study is the finding of researchers at SMP 1 Beteleme that many students who have not been able
to write well and correctly, thus indicating that less successful learning writing skills. In general, students in these schools are less
skilled in terms of narrative writing in learning Indonesian impacting on the lack of involvement of the student in learning to write.
Therefore, it is necessary to apply an effective learning media and can support learning activities. One medium that can be used to
improve writing narratives on subjects Indonesian students of class VII SMP 1 Beteleme is to use the media family photos. Family
Photos with media, students can more easily express what he had in mind, so that it becomes a literary narrative. The main problem
in this study is whether the use of family photos media can improve student learning outcomes in narrative writing on Indonesian
subjects in class VII SMP 1 Beteleme ?. The purpose of this research is to improve the skills of writing narrative in class VII SMP 1
Beteleme through the medium of family photos. The study design used is a Class Action Research (PTK). This study was conducted in
SMP 1 Beteleme. Subjects in this study were students of class VII with the number of students as many as 22 students. The instrument
used in this study was the observation sheets, test results of learning and self-reflection journal. The type of data in this study is
qualitative data and quantitative data. Based on the research that has been conducted, use of family photos media can improve
student learning outcomes in learning to write narratives on subjects Indonesian students of class VII SMP 1 Beteleme. This is
evident from the results of learning obtained by students who continue to increase in each cycle. At prasiklus, of 22 students found
the average value of 64.86, the number of students who completed 2 (9.09%) who have not completed 20 students or 90.90%.
Furthermore, the study in the first cycle has increased the average values obtained 75.86, students who completed rose to 12
students or 54.54%. In the first cycle, the average value of 92.22 and students who pass increased to 22 students or in the sense that
the 100% gain value completely.
Keywords: Media Family Photos, Results Learning, Writing Narrative.
1
I.
bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia
adalah mata pelajaran yang sangat
membosankan, khususnya dalam aspek
menulis.
Menulis
pada
hakikatnya
merupakan kegiatan menyampaikan ide atau
gagasan dengan menggunakan bahasa tulis.
Kegiatan menulis merupakan salah satu
kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap
orang baik menulis pada tingkat rendah
maupun pada tingkat yang lebih tinggi.
Keterampilan
menulis
merupakan
keterampilan yang paling tinggi dan paling
kompleks tingkatannya dari keterampilan
berbahasa yang lain. Keterampilan menulis
hanya dapat dicapai melalui latihan yang
lama dan intensif. Hal ini juga harus
didukung oleh media yang digunakan
dalam mengajarkan keterampilan menulis.
Berdasarkan
hasil
observasi
langsung di SMP 1 Beteleme, menunjukkan
bahwa banyak siswa yang belum mampu
menulis dengan baik dan benar, sehingga
mengindikasikan bahwa pembelajaran
keterampilan menulis kurang berhasil. Hal
ini dikarenakan banyak factor yang
mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
keterampilan menulis, antara lain, faktor
dari guru dan faktor dari siswa. Faktor dari
guru ada kecenderungan guru dalam proses
belajar mengajar (PBM) hanya memberikan
pembelajaran keterampilan menulis secara
teoretis, kurang pada praktik. Kalaupun
memberikan kegiatan praktik menulis, guru
hanya mengevaluasi hasil ketrampilan
menulis
siswa
tetapi
tidak
pada
pembahasan kesalahan yang dilakukan
siswa dalam menulis.
Pada umumnya siswa di sekolah
tersebut kurang terampil dalam hal menulis
narasi pada pembelajaran Bahasa Indonesia,
disamping itu siswa yang mengikuti
pembelajaran kurang bersemangat karena
guru kurang melibatkan siswa dalam PBM,
hal ini ditemukan peneliti dari hasil
observasi yang dilakukan pada siswa kelas
VII SMP 1 Beteleme yang berdampak pada
kurangnya
keaktifan
siswa
dalam
pembelajaran menulis, sehingga temuan
peneliti secara umum dapat diuraikan
sebagai berikut: (1) guru hanya menyuruh
siswa
menulis
cerita
tentang
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya,
pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia diajarkan di
sekolah bertujuan untuk mengembangkan
kepribadian,
memperluas
wawasan
kehidupan, dan meningkatkan keterampilan
berbahasa. Keterampilan berbahasa meliputi
empat aspek keterampilan yang saling
mendukung, yaitu keterampilan menyimak,
keterampilan
berbicara,
keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis.
Menulis sebagai suatu keterampilan
berbahasa tidak akan dimiliki seseorang
secara otomatis, melainkan perlunya latihan
dan praktik secara teratur serta adanya
potensi yang mendukung. Potensi tersebut
dapat dicapai dengan sering berlatih dengan
sungguh‐sungguh.
Pembelajaran menulis tidak lepas
dari pembelajaran bahasa. Bahasa memiliki
peran
sentral
dalam
perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional peserta
didik. Bahasa juga merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua
bidang studi (BSNP, 2006). Untuk
berbahasa dengan baik dan benar
diperlukan pendidikan dan pembelajaran
Bahasa
Indonesia.
Pendidikan dan
pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan
salah satu aspek penting yang perlu
diajarkan kepada siswa di sekolah.
Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan
suatu tantangan tersendiri bagi seorang
guru, mengingat bahasa ini bagi sebagian
sekolah merupakan bahasa pengantar untuk
menyampaikan materi pelajaran yang lain.
Pembelajaran Bahasa Indonesia membantu
peserta didik untuk mengemukakan gagasan
dan perasaan, berpartisipaasi dalam
masyarakat dengan menggunakan bahasa
tersebut,
dan
menemukan,
serta
menggunakan kemampuan analitis dan
imajinatif (Depdiknas, 2006). Berdasarkan
kenyataan yang terjadi saat ini, mata
pelajaran Bahasa Indonesia terkadang
sangat diremehkan oleh sebagian besar
siswa maupun guru yang tidak mengajar
Bahasa Indonesia. Hal yang
lebih
memprihatinkan adalah adanya anggapan
1)
Guru SMP 1 Beteleme
2
mengungkapkan apa yang ada dalam
pikirannya, sehingga menjadi sebuah tulisan
yang berbentuk narasi. Sebagaimana
diketahui
bahwa
narasi
merupakan
pengisahan suatu cerita atau kejadian.
Dalam hal ini, siswa akan diminta untuk
membuat sebuah tulisan dalam bentuk
narasi
atau
mengisahkan
sesuatu
berdasarkan apa yang tampak pada foto
keluarga yang ditampilkannya.
Penggunaan media foto keluarga
pada pembelajaran menulis cerita dapat
mempermudah siswa menerima pelajaran,
karena siswa dapat memahami lewat apa
yang dilihatnya dalam media foto itu.
Guru dapat menggunakan media foto
keluarga untuk memberikan gambaran
tentang sesuatu sehingga penjelasannya
lebih konkret bila diuraikan melalui katakata. Melalui media foto ini, guru dapat
menerjemahkan ide-ide abstrak dalam
bentuk yang lebih realistik dengan
menggunakan keterampilan menulis.
Menurut Amir (2007: 25), media
pembelajaran dapat: (1) Memperjelas
materi, (2) Membangkitkan motivasi, (3)
Meningkatkan pemahaman. Dari ketiga hal
tersebut, tentunya akan berdampak pada
hasil belajar yang akan diperoleh oleh
siswa. Jika siswa telah merasa senang dalam
mengikuti pembelajaran, maka hasil belajar
siswa pun dalam pembelajaran menulis
narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia tentu akan meningkat.
Diharapkan
dengan
adanya
penggunaan media Foto Keluarga, maka
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP 1 Beteleme. Dalam hal ini,
peneliti mengangkat sebuah judul penelitian
yakni “Penggunaan Media Foto Keluarga
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
dalam Pembelajaran Menulis Narasi pada
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada
Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme”.
Berdasarkan pada latar belakang
masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka pokok permasalahan dalam penelitian
ini adalah apakah penggunaan media Foto
Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar
siswa dalam menulis narasi pada mata
pengalamannya tanpa ada konsep awal
yang jelas, tentang menulis cerita (2)
apabila guru mengajar kurang melibatkan
siswa secara langsung dalam KBM yang
dilaksanakan dalam kegiatan menulis cerita,
baik secara perseorangan maupun secara
kelompok, (3) jika siswa menulis sebuah
cerita berdasarkan pengetahuannya atau
hasil dari pengalamannya, guru kurang
memberi bimbingan pada siswa, kearah
perbaikan yang lebih baik, (4) kurangnya
motivasi yang diberikan guru kepada siswa
agar keterampilan menulisnya dapat
berkembang,
(5)
guru
kurang
menggunakan media yang sifatnya inovatif
dan kreatif yang melibatkan aktivitas
mental, fisik maupun emosional.
Faktor penyebab utama yang harus
segera dicari jalan keluarnya adalah faktor
media yang digunakan guru masih belum
inovatif dan kurang bervariasi. Hal
tersebut, sangat berpengaruh terhadap
kemampuan menulis narasi siswa dan
dikhawatirkan
dapat
menyebabkan
menurunnya kualitas menulis siswa jika
tidak segera diatasi. Untuk itu, perlu adanya
upaya meningkatkan keterampilan menulis
siswa.
Oleh karena itu, perlu diterapkan
suatu media pembelajaran yang efektif dan
dapat menunjang kegiatan pembelajaran.
Media pembelajaran yang bermacam‐
macam menyebabkan guru harus selektif
dalam memilih media pembelajaran yang
akan digunakan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi
penentuan
media
pembelajaran adalah materi pembelajaran.
Setiap materi mempunyai karakteristik yang
turut menentukan pula media yang
digunakan untuk menyiapkan materi
tersebut. Begitu pula dalam pembelajaran
menulis, seorang guru harus memilih dan
menggunakan media yang sesuai, sebagai
penunjang kegiatan pembelajaran agar
mampu mencapai tujuan pembelajaran.
Salah satu media yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan
menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1
Beteleme adalah dengan menggunakan
media Foto Keluarga. Dengan media Foto
Keluarga, siswa dapat lebih mudah dalam
3
tetapi dirasakan oleh yang bersangkutan
sendiri.
b. Perubahan Perilaku
Hasil belajar akan Nampak pada
perubahan perilaku individu belajar.
Seseorang yang belajar akan mengalami
perubahan perilaku sebagai akibat kegiatan
belajarnya.
Pengetahuan
dan
keterampilannya bertambah dan penguasaan
nilai-nilaidan sikapnya bertambah pula.
Perubahan perilaku sebagai hasil belajar
diklasifikasikan menjadi tiga domain yaitu
kognitif, afektif, dan psikomototik.
c. Pengalaman
Belajar adalah mengalami dalam
arti bahwa dalam belajar terjadi karena
individu berinteraksi dengan lingkungannya
baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial. Lingkungan pembelajran yang baik
ialah lingkungan yang merangsang dan
menantang siswa untuk belajar. Guru yang
mengajar tanpa menggunakan alat peraga
kurang merangsang dan menantang siswa
untuk belajar.
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP 1 Beteleme?. Tujuan
penelitian ini, yaitu untuk meningkatkan
keterampilan menulis narasi pada siswa
kelas VII SMP 1 Beteleme melalui media
Foto Keluarga. Hasil penelitian tindakan
kelas ini akan memberikan manfaat yang
berarti diantaranya: (1) Bagi siswa, hasil
penelitian ini akan memberikan sumbangsih
yang baik bagi siswa untuk meningkatkan
hasil belajarnya sehingga mereka lebih
aktif. (2) Bagi Guru, memiliki pengetahuan
dan wawasan tentang penggunaan media
Foto Keluarga dalam meningkatkan
keterampilan menulis narasi sebagai salah
satu bentuk inovasi pembelajaran di
Sekolah (3) Bagi Sekolah, penelitian ini
dijadikan bahan masukan bagi pihak
sekolah dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. (4) Bagi Peneliti,
diharapkan dapat dijadikan acuan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia khususnya pembelajaran Bahasa
Indonesia dengan penggunaan media Foto
Keluarga
dalam
meningkatkan
keterampilan menulis narasi.
II.
2.2
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan tingkat
keberhasilan yang dicapai oleh seseorang
setelah melakukan tes hasil belajar. Hasil
belajar yang diperoleh oleh seseorang dapat
dijadikan
sebagai
indikator
tentang
kemampuan, kesanggupan, penguasaan
seseorang
tentang
pengetahuan,
keterampilan dan sikap atau nilai yang
dimiliki oleh orang itu dalam kegiatan
belajar (Haling, 2007).
Hasil belajar seringkali diasumsikan
sebagai cermin kualitas suatu sekolah.
Dengan hasil belajar yang diperoleh, guru
akan mengetahui apakah metode serta
media yang digunakan sudah tepat atau
belum. Jika sebagian besar siswa
memperoleh angka jelek pada penelitian
yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan
oleh pendekatan atau metode dan media
yang digunakan kurang tepat. Apabila hal
ini terjadi, maka guru harus mawas diri dan
mencoba mencari metode dan media lain
dalam mengajar. (Arikunto, 2005).
Pada pelaksanaan pembelajaran,
pengukuran hasil belajar bertujuan untuk
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas yang
disengaja dilakukan oleh individu agar
terjadi perubahan kemampuan diri, dengan
belajar anak yang tadinya tidak mampu
melakukan sesuatu menjadi mampu
melakukan sesuatu itu, atau anak yang
tadinya tidak terampil menjadi terampil.
Menurut Gagne (1984) bahwa belajar
adalah suatu proses dimana suatu
oraganisme berubah perilakunya sebagai
akibat pengalaman.
Dari pengertian
tersebut terdapat tiga unsure pokok dalam
belajar, yaitu proses, perubahan perilaku
dan pengalaman.
a. Proses
Belajar adalah proses mental dan
emosional atau proses berpikir dan
merasakan. Seorang dikatakan belajar
apabila pikiran dan perasaannya aktif.
Aktifitas pikiran dan perasaan itu sendiri
tidak dapat diamati oleh orang lain akan
4
270) keterampilan menulis merupakan
keterampilan yang palig sulit dikuasai siswa
disbandingkan keterampilan membaca,
berbicara, dan menyimak. Agar tulisan
dipahami oleh pembaca, maka penulis harus
mampu menyajikan tulisan yang baik.
Tulisan yang merupakan komunikasi
komunikasi pikiran dan perasaan yang
efektif.
Menurut
C.
Morris,
semua
komunikasi tulis efektif dan tepat guna
jika sang penulis mengetahui (1) pokok
persoalan,
(2) cara memberi struktur
gagasannya, dan (3) cara mengekspresikan
dirinya dengan baik (Tarigan 1998:7).
Menulis pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan yang produktif dan dan ekspretif.
Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis
harus terampil memanfaatkan grafologi,
struktur bahasa, dan kosakata.
Menulis
merupakan
aktifitas
seluruh otak yang mengunakan belahan
otak kanan (emosional) dan otak belahan
kiri (logika). Proses berpikir otak kiri
bersifal logis, sekuensial, linear, rasional
dan sangat teratur. Proses berpikir tersebut
cocok untuk tugas-simbolik. Proses berpikir
otak kanan bersifat acak, tidak teratur
intuitif dan holistic. Cara berpikir ini
cocok untuk hal-hal yang berhubungan
dengan perasaan, emosi, music, kreatifitas
dab visualisasi karena itu keterampilan
menilis membutuhkan kedua belahan otak.
mengetahui seberapa jauh perubahan
tingkah laku pebelajar setelah selesai
mengikuti suatu kegiatan belajar. Kegiatan
pengukuran umumnya guru menggunakan
tes sebagai alat ukur. Hasil pengukuran itu
berbentuk angka yang dapat memberikan
gambaran tentang tingkat penguasaan
pebelajar terhadap materi pembelajaran.
Angka atau skor sebagai hasil pengukuran
mempunyai makna jika dibandingkan
dengan patokan sebagai batas yang
menyatakan
bahwa
pebelajar
telah
menguasai secara tuntas materi pelajaran
tersebut (Haling, 2007).
Menurut Bloom, dkk (Sudjana,
2004). Mengklasifikasikan hasil belajar tiga
domain atau ranah yaitu ranah kognitf,
psikomotor dan sikap. Ranah kognitif
menaruh perhatian pada pengembangan
kapabilitas dan keterampilan intelektual,
ranah psikomotor berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan
manipulatif
atau
keterampilan motorik, ranah sikap berkaitan
dengan pengembangan perasaan, sikap,
nilai dan emosi. Dapat diasumsikan bahwa
untuk menghasilkan ketiga ranah hasil
belajar tersebut sedikit banyak ditentukan
atau dipengaruhi factor internal seperti
pengetahuan. Prasyarat atau kemampuan
awal dari masing-masing kategori hasil
belajar yang telah dimiliki oleh siswa yang
berkaitan
dengan
kapabilitas
atau
keterampilan yang sedang dipelajari.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah ukuran yang menyatakan taraf
kemampuan, berupa penguasaan ilmu,
kecakapan yang diperoleh oleh seseorang
sebagai hasil dari sesuatu yang dipelajarinya
dalam jangka waktu tertentu, dan hasil
tersebut dipengaruhi oleh intelegensi dan
kemampuan awal siswa. Sehingga hasil
belajar yang dicapai oleh siswa merupakan
ukuran berhasil tidaknya kegiatan belajar
mengajar.
2.4
Narasi
Menurut Widjono (2007: 175),
Pengertian Narasi adalah uraian yang
menceritakan sesuatu atau serangakaian
kejadian,
tindakan,
keadaan
secara
berurutan dari permulaan sampai akhir
sehingga terlihat rangkaian hubungan satu
sama lain. Bahasanya berupa paparan yang
gayanya bersifat naratif. Contoh jenis
karangan ini biografi, kisah, roman, novel,
dan cerpen. Menurut Keraf (2001: 137)
Narasi merupakan suatu bentuk wacana
yang berusaha mengisahkan suatu kejadian
seolah-olah
pembaca
melihat
atau
mengalami sendiri peristiwa itu. Oleh sebab
itu, unsur yang paling penting pada sebuah
narasi adalah unsur perbuatan atau tindakan.
Apa yang terjadi tidak lain tindak tanduk
2.3
Keterampilan Menulis
Keterampilan
menulis
adalah
kesanggupan dan kecakapan seseorang
didalam mempergunakan bahasa secara
cermat, tepat, dan cepat dalam bentuk
ekspresi menulis. Menurut Tarigan (1998:
5
visual, auditori dan kinestetiknya.
Memberi rangsangan yang sama,
pengalaman
dan
memperamakan
menimbulkan persepsi yang sama.
Jadi media pembelajaran adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan
menyalurkan
pesan
(bahan
untuk
pembelajaran),
sehingga
dapat
merangsang perhatian, minat, pikiran, dan
perasaan siswa dalam kegiatan belajar
untuk mencapai tujuan belajar.
yang dilakukan orang-orang dalam suatu
rangkaian waktu. Narasi lebih mengisahkan
suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu
rangkaian waktu. Marahimin (1994: 93)
dalam bukunya yang berjudul Menulis
secara populer mendefinisikan narasi adalah
cerita. Cerita ini berdasarkan pada uruturutan suatu (atau rangkaian) kejadian atau
peristiwa. Di dalam kejadian ini ada tokoh
(beberapa tokoh) dan tokoh ini mengalami
dengan menghadapi suatu (serangkaian)
konflik dengan tikaian. Kejadian, tokoh,
dan konflik ini merupakan alur. Dengan
demikian, narasi adalah cerita berdasarkan
alur.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas antara pendapat satu dengan pendapat
yang lain berbeda. Namun, dari semua
pendapat tersebut di atas mengarah pada
satu pengertian karangan narasi yaitu bahwa
dalam karangan narasi terdapat adanya
peristiwa yang disusun berdasarkan urutan
waktu.
Disimpulkan
bahwa
bahwa
pengertian karangan narasi adalah karangan
yang menceritakan suatu kejadian atau
peristiwa secara runtut.
2.6
Media Foto
Media foto merupakan jenis media
visual,
yang
memanfaatkan
indera
penglihatan dalam penggunaannya. Foto
sebagai
media
pembelajaran
dapat
membantu siswa mengungkapkan ide ke
dalam suatu tulisan. Hal ini disebabkan
media foto menghadirkan ilustrasi melalui
gambar yang hampir menyamai kenyataan
dari sesuatu objek atau situasi (Arsyad
2004:106).
Menurut Arsyad (2004:127) foto
sebagai halnya bentuk fisual lainnya dapat
ditemukan dari beberapa sumber, seperti
surat kabar, majalah, brosur, dan buku‐
buku. Dengan demikian, foto dapat
diperoleh dengan mudah untuk digunakan
secara efektif sebagai media pembelajaran.
Sebagai media pembelajaran, foto haruslah
dipilih dan digunakan sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Foto
fungsinya
untuk
dapat
memenuhi
membangkitkan motivasi dan minat siswa,
mengembangkan
kemampuan
siswa
berbahasa,
dan
membantu
siswa
menafsirkan serta mengingat isi pelajaran
yang berkenaan dengan foto‐foto tersebut.
Foto merupakan salah satu media
pengajaran yang amat dikenal di dalam
setiap kegiatan pengajaran. Hal itu
disebabkan
kesederhanaannya,
tanpa
memerlukan perlengkapan, dan tidak perlu
diproyeksikan untuk mengamatinya.
Media foto yang terdiri atas
gambar saja dan mudah dimanfaatkan
dalam proses belajar mengajar pada
berbagai jenjang pengajaran dan berbagai
disiplin ilmu, mulai dari Taman Kanak‐
kanak sampai dengan Perguruan Tinggi,
dari ilmu sosial sampai ilmu eksakta.
2.5
Pengertian
Media
Pembelajaran
Kata media merupakan bentuk
jamak dari kata medium. Medium dapat
didefinisikan sebagai perantara atau
pengantar terjadinya komunikasi dari
pengirim menuju penerima (Heinich
et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim
et.al.,2001). Media merupakan salah satu
komponen komunikasi, yaitu sebagai
pembawa pesan dari komunikator menuju
komunikan (Criticos, 1996). Berdasarkan
definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa
proses pembelajaran merupakan proses
komunikasi. Secara umum dapat dikatakan
media mempunyai kegunaan, antara lain:
Memperjelas pesan agar tidak terlalu
verbalitas.
Mengatasi keterbatasan ruang, waktu,
tenaga dan daya indra.
Menimbulkan gairah belajar, interaksi
lebih langsung antara murid dengan
sumber belajar.
Memungkinkan anak belajar mandiri
sesuai dengan bakat dan kemampuan
6
kronologis sesuai dengan urutan waktu
kejadian.
Penggunaan media foto dalam
proses pembelajaran menulis pengalaman
pribadi diharapkan dapat mempermudah
proses pembelajaran dan mempertinggi
hasil pembelajaran sehingga kompetensi ini
benar‐benar dikuasai oleh siswa. Selain itu,
penggunaan media foto dapat menjadikan
proses pembelajaran lebih menarik dan
bervariasi.
Menurut Sujdana dan Rivai dalam Arsyad
(2004:128)
mengemukakan
beberapa
kriteria pemilihan foto untuk tujuan
pembelajaran, kualitas artistik, kejelasan
dan ukuran yang memadai, validasi dan
menarik. Foto benar‐benar melukiskan
konsep atau pesan isi pembelajaran yang
ingin
disampaikan
sehingga
dapat
memperlancar pencapaian tujuan.
Dengan demikian, media foto dapat
memenuhi fungsinya sebagai media
pembelajaran, yaitu membantu siswa dalam
menemukan ide dan membantu siswa
mengungkapkan ide‐ide dalam tulisan atau
karangan. Media foto juga
dapat
membangkitkan motivasi dan minat siswa
dalam pembelajaran.
Pada penelitian ini, peneliti
mengungkapkan foto sebagai media
pembelajaran. Adapun foto yang digunakan
adalah foto siswa itu sendiri. Alasan
pada
pemilihan
foto
mengingat
pembelajaran sebelumnya mereka belum
pernah menggunakan foto sebagai media
pembelajaran. Selain dapat meningkatkan
rasa
ketertarikan
siswa,
alasan
digunakannya media foto pada penelitian ini
adalah untuk memberi penguatan (bukti)
bahwa cerita yang mereka tulis memang
benar‐benar terjadi (bukan rekaan). Selain
itu, penggunaan media ini akan dapat
membantu siswa untuk mengingat kembali
peristiwa yang telah terjadi.
Media foto merupakan media yang
berupa
gambar
(visual)
yang
menggambarkan
(mendokumentasikan)
aktivitas‐aktivitas tertentu yang dikerjakan
oleh siswa yang kemudian dibukukan
menjadi satu dalam sebuah buku khusus
yang disebut foto. Pada dasarnya media foto
dapat mendorong para siswa dan
membangkitkan minatnya dalam mengikuti
pelajaran. Media foto juga dapat membantu
siswa dalam mengembangkan keterampilan
berbahasa, terutama keterampilan menulis
pengalaman pribadi. Foto digunakan
sebagai stimulus bagi siswa dalam menulis
pengalaman pribadi. Melalui media ini,
siswa
akan
dapat
menceritakan
pengalaman‐pengalaman yang pernaah
dialaminya
melalui
tulisan
secara
2.7
Media Foto Keluarga
Dalam proses pembelajaran peran
media sangatdibutuhkan untuk menunjang
tercapainya tujuan pembelajaran. Menurut
Arsyad
(2011:3),
mediamerupakan
perantara atau pengantar pesan dari
pengirimkepada penerima pesan. Adapun
menurut Sudjana(2010:7), media adalah
suatu alat bantu yang membantumenunjang
saat guru melakukan pengajaran.Menurut
Asyhar
(2012:145),
foto
adalah
hasil pemotretan atau photografi yang
menggunakan
kamera.Sementara
itu,
menurut
Musfiqon
(2012:73),
foto
adalahmedia yang paling umum dan sering
dipakai karena fotomerupakan bahasa yang
umum dapat dimengerti dandinikmati
dimana saja. Jadi dapat disimpulkan
bahwafoto adalah jenis media visual yang
mampumenvisualisasikan objek dengan
lebih konkret. Darihasil potretan yang
dihasilkan, foto juga mampumengatasi
ruang
dan
waktu.Sedangkan
untuk
pengertian foto keluargaadalah foto hasil
pemotretan bersama-sama dengananggota
keluarga. Seperti ayah, ibu, dan anak, atau
bisa juga dengan keluarga besar dari ayah
dan ibu. Fotokeluarga merupakan salah satu
jenis media visual,dimana pemanfaatannya
menggunakan indra pengelihatan yaitu
mata.Ada beberapa macam kelebihan media
fotomenurut Asyhar (2012:145) sebagai
berikut:
Media Foto dapat memvisualisasi objek
lebih realistis dankonkret,
Media Foto dapat mengatasi ruang
danwaktu,
Melalui foto, seseorang mampu melihat
sesuatu yang terjadi di tempat lain,
namun dapat dilihatoleh seseorang yang
7
Prosedur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas (PTK) dengan tahapansebagai berikut
(1)
perencanaan
(2)
perlakuan
dan pengamatan (3) refleksi (Kemmis dan
Mc Taggart dalam Arikunto, 2010:132).
Adapun tahapan-tahapan dalam setiap
siklus penelitian tindakan kelas dalam
keterampilan
menulis
narasi
dengan
menggunakan media foto keluarga dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) tahap
perencanaan, Perencanaan merupakan tahap
awal
yang
dilasanakandalam
PTK
(Penelitian Tindakan Kelas).
berada jauh dari tempat kejadiandalam
bentuk foto setelah kejadian itu berlalu.
Sedangkan Musfiqon (2012:73)
menyebutkan kelebihanmedia foto sebagai
berikut:
Melalui media foto seseorang dapat
melihat suatu kejadian yang sudah
lamaterjadi atau baru saja terjadi,
karena sebuah foto dapat berbicara
lebih
banyak
daripada
seribu
bahasa.Ada beberapa kelemahan media
foto
Menurut
Musfiqon
(2012:75)
sebagai berikut:
Media foto hanya menekankan pada
persepsi indera mata, yangdapat
menimbulkan kejenuhan,
Foto yang terlalu padat atau kompleks
obyeknya, akan berubah kurangefektif
untuk kegiatan pembelajaran,
Ukuran besar sebuah foto sangat
terbatas untuk kelompok besar.
III.
IV.
HASIL PENELITIAN
Dari
hasil
observasi
yang
dikumpulkan ternyata hasil belajar siswa
mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang
menulis narasi, masih jauh dari yang
diharapkan. Nilai siswa sebagian besar
belum tuntas atau masih di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah
ditentukan yakni 75. Daftar nilai siswa
prasiklus adalah:
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan
peneliti adalah jenis penelitian yang
menggunakan data kualitatif yaitu data yang
bersifat deskripsif atau lebih pada
mendeskripsikan
mengenai
gambaran
kemampuan siswa dalam menulis narasi
yang meliputi beberapa aspek penilaian
yang telah ditentukan. Sedangkan data yang
kedua adalah data kuantitatif yaitu berupa
angka-angkaatau
nilai
siswa
untuk
memudahkan peneliti dalam menarik suatu
kesimpulan. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah penelitian tindakan kelas
(PTK). Penelitian ini dilaksanakan di SMP
1 Beteleme. Subjek dalam penelitian ini
adalah siswa kelas VII. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
Lembar observasi, Tes hasil belajar, dan
Jurnal refleksi diri. Sumber data: sumber
data dalam penelitian ini adalah personil
penelitian yang terdiri dari siswa dan guru.
Jenis data: jenis data dalam penelitian ini
adalah data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif diperoleh dengan alat
evaluasi lembar observasi, jurnal refleksi
diri dan data kuantitatif diperoleh dengan
alat evaluasi hasil belajar.
Tabel 4.1 Daftar Nilai Siswa Pra Siklus
No
Nilai
(%)
1
70
70
2
68
68
3
72
72
4
56
56
5
78
78
6
59
59
7
60
60
8
63
63
Ketuntasan
T
8
9
67
67
10
70
70
11
68
68
12
58
58
13
71
71
14
66
66
15
79
79
16
62
62
17
55
55
18
51
51
TT
19
70
70
20
64
64
21
61
61
22
59
59
Rata-Rata
64,86%
64 %
V.
Tabel 4.1 adalah hasil belajar siswa
sebelum diadakan penelitian dari 22 siswa
didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa
yang tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum
tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Hal ini
disebabkan oleh cara mengajar yang masih
didominasi oleh guru, guru yang berperan
dalam KBM. Tabel 4.2 menunjukkan
bahwa diadakan tindakan dengan media
Foto Keluarga hasil belajar siswa dalam
menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia meningkat menjadi nilai rata-rata
75,86 pada siklus I, siswa yang tuntas naik
menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada tabel
4.3, hasil refleksi siklus I dijadikan
perbaikan pembelajaran pada siklus II
dengan hasil : nilai rata-rata 92,22 dan
siswa yang tuntas meningkat menjadi 22
siswa atau dalam artian bahwa 100 %
memperoleh nilai dengan tuntas.
2
(9,09 %)
20
(90,90 %)
Tabel 4.2 Daftar Nilai Siklus I
No
Nilai
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
81
79
83
67
89
70
71
74
78
81
79
69
82
77
90
73
66
62
81
75
72
70
81
79
83
67
89
70
71
74
78
81
79
69
82
77
90
73
66
62
81
75
72
70
Rata-Rata
75,86
75 %
Ketuntasan
T
TT
VI.
10
(45,45 %)
Tabel 4.3 Daftar Nilai Siklus II
No
Nilai
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
97
95
99
83
98
86
87
90
94
97
95
85
98
93
99
89
82
78
97
91
88
86
97
95
99
83
98
86
87
90
94
97
95
85
98
93
99
89
82
78
97
91
88
86
Rata-Rata
91,22
91 %
Ketuntasan
T
TT
22
(100 %)
SIMPULAN
Penggunaan media Foto Keluarga
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti
dari hasil belajar yang diperoleh oleh siswa
yang terus mengalami peningkatan di setiap
siklusnya. Pada prasiklus, dari 22 siswa
didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa
yang tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum
tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Selanjutnya,
hasil belajar pada siklus I diperoleh nilai
rata-rata 75,86, siswa yang tuntas naik
menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada siklus I,
nilai rata-rata 92,22 dan siswa yang tuntas
meningkat menjadi 22 siswa atau dalam
artian bahwa 100 % memperoleh nilai
dengan tuntas.
12
(54,54 %)
PEMBAHASAN
VII.
SARAN
Berdasarkan simpulan di atas, maka
dapat disarankan sebagai berikut:
1. Bagi guru
Kiranya
dapat
mencoba
media
pembelajaran Foto Kelaurga pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia guna
0
(0 %)
9
meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menulis narasai, baik
secara individual maupun klasikal.
Media yang digunakan hendaknya
sesuai dengan materi pembelajaran
yang akan dipelajari.
Media yang digunakan hendaknya
mampu menarik minat belajar siswa.
Media
yang digunakan hendaknya
disesuaikan dengan kemampuan guru
dan siswa dalam penggunaannya.
Media yang digunakan hendaknya
disesuaikan dengan waktu yang
tersedia.
Media yang digunakan hendaknya
efektiif bagi kegiatan pembelajaran.
Media yang digunakan hendaknya
mampu melibatkan siswa secara aktif
dalam pemanfaatannya.
2. Bagi Sekolah
Hasil
penelitian
agar
dapat
dijadikan acuan dalam strategi merancang
satuan pembelajaran. Pembelajaran dengan
menggunakan
Foto
Keluarga
dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam
meningkatkan keterampilan menulis narasi
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Acep Yoni, dkk.2010.Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Familia.
Arikunto, Suharsini. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar.1994. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Mandar Maju.
Nurhadi. 2004. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: Ikip Semarang Press.
Nursisto. 1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adi Cipta Karya.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf. 2001. Komposisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lie. 2002. Strategi Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rahadi, Aristo. (2004). Media Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Tarigan, Djago. 2000. Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Siddiq, Djauhar dkk. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Jakata: Departemen Pendidikan Nasional.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. PT Intan Pariwara.
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sunarti, Subana. 2006. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.Bandung: PT Pustaka Setia.
Suprijono. 2010. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.
Suriamiharja, Agus et al. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Debdikbud.
Tarigan, Henri Guntur. 1994. Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Usman, Basyiruddin. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers.
Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.
10
Media Litbang Sulteng IX (1) : 11-22, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA DALAM
PEMBELAJARAN MENULIS DESKRIPSI PADA MATA PELAJARAN BAHASA
INDONESIA MELALUI PENERAPAN PERMAINAN TEBAK MISTERI PADA SISWA
KELAS VII SMP 1 BETELEME
Oleh :
John Budzer Poko1)
ABSTRAK
Judul penelitian ini yaitu Peningkatan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa dalam Pembelajaran Menulis Deskripsi pada
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Permainan Tebak Misteri pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh pembelajaran menulis deskripsi pada siswa SMP Negeri 1 Beteleme kelas VII yang masih mengalami
berbagai masalah, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang belum maksimal. Sampai saat ini, masih banyak
guru yang menggunakan pembelajaran konvensional, sehingga pembelajaran terkesan monoton dan siswa kurang aktif dalam
mengikuti pembelajaran. Salah satu yang dapat dilakukan guru adalah dengan menerapkan permainan tebak misteri dalam
pembelajaran menulis deskripsi. Dengan penerapan permainan tebak misteri, maka akan membangkitkan semangat dan kesenangan
siswa yang pada dasarnya menyukai segala sesuatu yang bersentuhan dengan nuansa bermain. Dalam hal ini, pembelajaran
dilakukan sambil bermain, sehingga meningkatkan semangat dan keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme? (2) Bagaimana peningkatan
aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP
1 Beteleme?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Urutan penelitian tindakan
kelas terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan observasi. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Penelitian ini dilakukan pada
siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan permainan tebak misteri dalam menulis deskripsi
dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini
terbukti dari hasil post tes siswa selama siklus I dan II mengalami peningkatan. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I
mencapai 69,84 meningkat pada siklus II menjadi 94,37, terjadi peningkatan sebesar 24,53. Aktivitas siswa dalam pembelajaran
menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan menerapkan permainan tebak misteri mengalami peningkatan setiap
siklusnya. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus I mencapai 65,77% dan siklus II meningkat menjadi 77,5%. Peningkatan aktivitas
siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 11,73%.
Kata Kunci : Hasil dan Aktivitas Belajar, Menulis Deskripsi, Permainan Tebak Misteri.
ABSTRACT
The title of this research, namely Improvement of Results and Activities Learning Students in Learning Writing Lesson
description on Indonesian Through Application Games Guess the Mystery in Class VII SMP 1 Beteleme. This research is motivated
by learning to write a description of the students of SMP Negeri 1 Beteleme class VII are still experiencing a variety of problems, so
the effect on student learning outcomes are not maximized. Until now, there are still many teachers who use conventional learning,
so that students' learning seem monotonous and less active in the following study. One of the teachers can do is to adopt a guessing
game of mystery in learning to write the descriptions. With the implementation of mystery guessing game, it will excite and pleasure
of students who basically love everything that is in contact with the nuances of playing. In this case, the learning done while playing,
thus increasing vigor and seriousness of the students in the following study. The formulation of the problem in this study are (1)
How to improving student learning outcomes in a written description on Indonesian subjects through the application of mystery
guessing game in class VII SMP 1 Beteleme? (2) How to increase students' learning activities on Indonesian subjects through the
application of mystery guessing game in class VII SMP 1 Beteleme ?. The approach used in this study is a qualitative descriptive
approach. The sequence consists of a classroom action research, planning, implementation, and observation. The research was
conducted in two cycles. This research was conducted in class VII SMP 1 Beteleme. The results showed that the application of the
game of guessing the mystery of writing descriptions can improve outcomes and learning activities of students learning Indonesian
students of class VII SMP 1 Beteleme. This is evident from the results of post test of students during the cycle I and II have
increased. The average student learning outcomes in the first cycle reached 69.84 increased in the second cycle into 94.37, an
increase of 24.53. Student activity in learning to write the description on Indonesian subjects by applying a mystery guessing game
has increased every cycle. The average activity of students in the first cycle reached 65.77% and the second cycle increased to
77.5%. Increased activity of the students from the first cycle to the second cycle of 11.73%.
Keywords : Results and Activities Learning, Writing Descriptions, Games Guess the Mystery.
11
I.
sungguh‐sungguh.
Dalam hal ini pengajaran Bahasa
Indonesia tidak akan lepas dari kegiatan
menulis. Dalam kehidupan modern,
keterampilan menulis sangat dibutuhkan.
Komunikasi lebih banyak berlangsung
secara tertulis. Keterampilan menulis harus
dipelajari secara serius dan perlu pelatihan
yang efektif. Masih banyak siswa yang
menganggap
keterampilan
menulis
karangan adalah suatu keterampilan
berbahasa yang paling sulit. Hal ini
menyebabkan kurangnya minat siswa
dalam mempelajari keterampilan berbahasa
khususnya keterampilan menulis. Anggapan
tersebut tidak tepat karena keterampilan
berbahasa merupakan hasil pengalaman dan
latihan. Dengan kemauan dan minat
siswa, penggunaan metode yang tepat,
serta media yang menunjang, siswa akan
dapat menulis sebuah karangan dengan baik
dan benar.
Menulis merupakan kegiatan untuk
mengungkapkan pokok pikiran, ide,
gagasan secara tertulis. Keterampilan
menulis perlu diberikan sejak duduk di
sekolah dasar hingga perguruan tinggi agar
bahasa yang digunakan dalam menulis
mudah dipahami oleh pembaca. Oleh
karena itu, keterampilan menulis perlu
dibina dengan latihan-latihan yang intensif.
Pengajaran menulis itu sendiri
dibagi menjadi menjadi empat jenis yaitu
narasi,
diskripsi,
eksposisi,
dan
argumentasi. Deskripsi merupakan suatu
bentuk tulisan yang berhuhubungan
dengan panca indera dan seolah-olah
melihat sendiri kejadian tersebut.
Berdasarkan pengamatan peneliti
sebelum melaksanakan penelitian tindakan
kelas, kenyataannya hasil menulis deskripsi
yang ditemukan masih rendah. Oleh karena
itu, masih perlu teknik, model, dan media
yang efektif yang mendukung untuk
keterampilan siswa dalam menulis karangan
deskripsi.
Pembelajaran menulis deskripsi
yang sekarang ini dipakai masih sangat
dominan yaitu dengan menggunakan caracara konvensional, sehingga orientasi
belajar masih berpusat pada guru dan
bukan pada siswa. Permasalahan yang
PENDAHULUAN
Pendidikan memegang peranan
yang sangat penting untuk menjamin
kelangsungan hidup suatu negara dan
bangsa. Hal ini disebabkan karena
pendidikan merupakan wahana untuk
meningkatkan
dan
mengembangkan
kualitas sumber daya manusia, dan guna
mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan
usaha yang keras dari masyarakat maupun
pemerintah.
Guru sebagai tenaga profesional
harus memiliki sejumlah kemampuan
mengaplikasikan berbagai teori belajar
dalam bidang pengajaran dan menerapkan
metode pengajaran yang efektif dan
efisien, kemampuan melibatkan siswa
berpartisipasi aktif dan, kemampuan
membuat suasana belajar dapat menunjang
tercapainya tujuan pendidikan.
Selain proses belajar, bahan ajar
atau mata pelajaran juga sangat penting
dalam pelaksanaan program pendidikan.
Terdapat
bermacam-macam
mata
pelajaran di sekolah, salah satunya adalah
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia merupakan salah satu mata
pelajaran yang mempunyai peranan
penting
dalam
dunia
pendidikan.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
diajarkan di sekolah bertujuan untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, dan meningkatkan
keterampilan berbahasa. Pada prinsipnya
tujuan pengajaran bahasa adalah agar
siswa terampil dalam berbahasa yang
meliputi: terampil menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis.
Keterampilan berbahasa meliputi
empat aspek keterampilan yang saling
mendukung, yaitu keterampilan menyimak,
keterampilan
berbicara,
keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis.
Menulis sebagai suatu keterampilan
berbahasa tidak akan dimiliki seseorang
secara otomatis melainkan perlunya latihan
dan praktik secara teratur serta adanya
potensi yang mendukung. Potensi tersebut
dapat dicapai dengan sering berlatih dengan
1)
Guru SMP 1 Beteleme
12
materi tersebut. Begitu pula dalam
pembelajaran menulis, seorang guru harus
memilih dan menggunakan media yang
sesuai,
sebagai
penunjang
kegiatan
pembelajaran agar mampu mencapai tujuan
pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan peneliti
selama ini alokasi waktu pembelajaran
menulis di sekolah‐sekolah yang salah
satunya di SMP, relatif lebih kecil. Hal
ini berdampak pada keterampilan menulis
yang mereka belum maksimal sehingga
setelah para siswa menamatkan jenjang
sekolah yang lebih tinggi, dikhawatirkan
belum mampu menggunakan keterampilan
berbahasa secara baik dan benar.
Sampai saat ini masih banyak
guru yang menggunakan teknik yang
tradisional dalam pembelajaran di kelas,
antara lain, guru berceramah di depan
kelas lalu memberikan tugas dan setelah
selesai, tugas tersebut dibahas bersamasama di depan kelas dipandu guru
tersebut.
Belum
adanya
model
pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia membuat
pelajaran ini serasa monoton sehingga
siswa kurang aktif dalam mengikuti
pelajaran ini. Hal ini berhubungan dengan
belum adanya metode yang memadukan
keaktifan siswa dengan materi yang
diajarkan.
Salah satu yang dapat dilakukan
guru adalah dengan menerapkan permainan
tebak misteri dalam pembelajaran menulis
deskripsi. Dengan penerapan permainan
tebak misteri, maka akan membangkitkan
semangat dan kesenangan siswa yang pada
dasarnya menyukai segala sesuatu yang
bersentuhan dengan nuansa bermain. Dalam
hal ini, pembelajaran dilakukan sambil
bermain, sehingga meningkatkan semangat
dan keseriusan siswa dalam mengikuti
pembelajaran.
Oleh karena itu, penulis berinisiatif
untuk mengangkat judul penelitian yakni
“Peningkatan Hasil dan Aktivitas Belajar
Siswa dalam Menulis Deskripsi pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui
Penerapan Permainan Tebak Misteri pada
Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme”.
Adapun rumusan masalah dalam
masih ada di sebagian sekolah adalah
kurangnya keterlibatan siswa di kelas
karena gurulah yang paling banyak
berperan dalam pembelajaran menulis.
Selain itu, guru kurang bervariasi dalam
pembelajaran menulis deskripsi sehingga
siswa tampak bosan dan enggan belajar.
Dengan adanya pembaharuan dan
pengembangan strategi pembelajaran
diharapkan dapat membantu siswa
meningkatkan pencapaian hasil belajar
Bahasa Indonesia sekaligus siswa lebih
aktif dalam belajar.
Demikian
pula
dengan
pembelajaran menulis deskripsi pada
siswa SMP Negeri 1 Beteleme kelas VII
masih mengalami berbagai masalah. Hal
itu dibuktikan dengan siswa masih
mengalami kesulitan menuangkan idenya
ke dalam bentuk tulisan dengan
menggunakan Bahasa Indonesia yang
baik dan benar, misalnya dapat dilihat
dari tugas karangan siswa. Pada
umumnya
siswa
belum
maksimal
menceritakan secara runtut mengenai
rangkaian peristiwa yang tejadi.
Faktor penyebab utama yang harus
segera dicari jalan keluarnya adalah faktor
pendekatan yang digunakan guru masih
tradisional dan kurang bervariasi. Hal
tersebut, sangat berpengaruh terhadap
kemampuan menulis deskripsi siswa dan
dikhawatirkan
dapat
menyebabkan
menurunnya kualitas menulis siswa jika
tidak segera diatasi. Untuk itu, perlu adanya
upaya meningkatkan keterampilan menulis
siswa. Keberhasilan pembelajaran menulis,
memerlukan keterampilan guru dalam
mengajar.
Berkaitan
dengan
tujuan
pembelajaran menulis tersebut, perlu
diterapkan suatu media pembelajaran yang
efektif dan dapat menunjang kegiatan
pembelajaran. Media pembelajaran yang
bermacam‐macam menyebabkan
guru
harus selektif dalam memilih media
pembelajaran yang akan digunakan. Salah
satu faktor yang mempengaruhi penentuan
media
pembelajaran
adalah
materi
pembelajaran. Setiap materi mempunyai
karakteristik yang turut menentukan pula
media yang digunakan untuk menyiapkan
13
deskripsi dengan penggunaan teknik yang
lebih bervariasi. Penelitian ini juga dapat
dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya.
penelitian ini yaitu (1) Bagaimana
peningkatan hasil belajar siswa dalam
menulis deskripsi pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia melalui penerapan
permainan tebak misteri pada siswa kelas
VII SMP 1 Beteleme? (2) Bagaimana
peningkatan aktivitas belajar siswa pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui
penerapan permainan tebak misteri pada
siswa kelas VII SMP 1 Beteleme?
Tujuan dari penelitian ini yaitu (1)
untuk mendeskripsikan peningkatan hasil
belajar siswa dalam menulis deskripsi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui
penerapan permainan tebak misteri pada
siswa kelas VII SMP 1 Beteleme (2) untuk
mendeskripsikan peningkatan aktivitas
belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia melalui penerapan permainan
tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1
Beteleme.
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yaitu manfaat teoretis
dan praktis. (1) Manfaat Teoretis, penelitian
ini bermanfaat bagi pengembangan teori
pembelajaran bahasa pada umumnya,
penggunaan media dan metode, pada
khususnya. (2) Manfaat Praktis. Bagi siswa,
pembelajaran menulis deskripsi menjadi
lebih menyenangkan dan bermakna,
mengembangkan daya pikir dan kreatifitas
siswa dalam menulis, membiasakan diri
siswa dalam menulis deskripsi, dan
meningkatkan keterampilan dan minat
siswa dalam menulis. Bagi guru, penelitian
ini dapat memberikan umpan balik bagi
guru untuk mengadakan perbaikan dalam
pembelajaran kompetensi menulis deskripsi.
Selain itu, penelitian ini dapat memberikan
masukan pada guru mengenai penerapan
permainan tebak misteri dalam kegiatan
menulis deskripsi pada siswa kelas VII.
Bagi sekolah, penelitian ini dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran di
sekolah dan meningkatkan prestasi siswa
dalam hal menulis. Penelitian ini juga
memberikan
sebuah
teknik
dalam
pembelajaran
kompetensi
menulis
deskripsi. Bagi peneliti yang lain, hasil
penelitian ini daat dijadikan pelengkap
terutama dalam hal bagaimana cara
meningkatkan
kemampuan
menulis
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola
perbuatan,
nilai-nilai,
pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan
keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne,
hasil belajar berupa:
Informasi verbal yaitu kapabilitas
mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun
tertulis. Kemampuan merespon secara
spesifik terhadap rangsangan spesifik.
Kemampuan tersebut tidak memerlukan
manipulasi,
simbol,
pemecahan
masalah, maupun penerapan aturan.
Penerapan intelektual yaitu kemampuan
mempresentasikan konsep dan lambang.
Keterampilan intelektual terdiri dari
kemampuan
mengategorisasi,
kemampuan analitis-sintesis faktakonsep dan mengembangkan prinsipprinsip
keilmuan.
Keterampilan
intelektual merupakan kemampuan
melakukan aktivitas kognitif bersifat
khas.
Strategi kognitif yaitu kecakapan
menyalurkan
dan
mengarahkan
aktivitas
kognitifnya
sendiri.
Kemampuan ini meliputi penggunaan
konsep dan kaidah dalam memecahkan
masalah.
Keterampilan
motorik
yaitu
kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani dalam urusan dan
koordinasi,
sehingga
terwujud
otomatisme gerak jasmani.
Sikap adalah kemampuan menerima
atau menolak objek berdasarkan
penilaian objek tersebut.
Menurut Bloom hasil belajar
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Domain kognitif adalah
knowledge
(pengetahuan,
ingatan),
comprehension (pemahaman, menjelaskan,
meringkas,
contoh),
application
(menerapkan), analysis (menguraikan,
menentukan
hubungan),
synthesis
14
mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi
data, menyajikan data dalam bentuk grafik,
menggambarkan hubungan antar variabel,
mengumpulkan dan mengolah data,
menganalisis
penelitian,
menyusun
hipotesis, mendefinisikan variabel secara
operasional, merancang penelitian dan
melaksanakan eksperimen.
“Pada prinsipnya belajar adalah
berbuat, tidak ada belajar jika tidak ada
aktivitas.
Itulah
mengapa
aktivitas
merupakan prinsip yang sangat penting
dalam
interaksi
belajar
mengajar”(Sardiman, 2001:93). Dalam
aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang
berorientasi pada pandangan ilmu jiwa,
yaitu pandangan ilmu jiwa lama dan
modern.Menurut pandangan ilmu jiwa
lama, aktivitas didominasi oleh guru
sedangkan menurut pandangan ilmu jiwa
modern, aktivitas didominasi oleh siswa.
“Kegiatan belajar / aktivitas belajar
sebagi proses terdiri atas enam unsur yaitu
tujuan belajar, peserta didik yang
termotivasi, tingkat kesulitan belajar,
stimulus dari lingkungan, pesrta didik yang
memahami situasi, dan pola respons peserta
didik ”(Sudjana,2005:105). Banyak macammacam kegiatan (aktivitas belajar) yang
dapat dilakukan anak- anak di kelas, tidak
hanya mendengarkan atau mencatat. Paul B.
Diedrich(dalam
Nasution,
2004:9), Membuat suatu daftar yang berisi
177 macam kegiatan (aktifitas siswa),
antara lain:
Visual activities seperti membaca,
memperhatikan:gambar, demonstrasi,
percobaab, pekerjaan orang lain dan
sebagainya.
Oral activities seperti: menyatakan,
merumuskan, bertanya, member saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan
interviu,
diskusi,
interupsi
dan
sebagainya.
Listening
activities
seperti
mendengarkan uraian, percakapan,
diskusi, music, pidato dan sebagainya.
Writing activities seperti menulis cerita,
karangan,
laporan,
tes,
angket,
menyalin, dan sebagainya.
Drawing activities seperti menggambar,
membuat grafik, peta diagram, pola,
(mengorganisasikan,
merencanakan,
membentuk bangunan baru), dan evaluation
(menilai). Domain efektif adalah receiving
(sikap menerima), responding (memberikan
respons), valuing (nilai), organization
(organisasi),
characterization
(karakterisasi).
Domain
psikomotorik
meliputi initiatory, pre-routine, dan
rountinized. Psikomotor juga mencakup
keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial,
manajerial, dan intelektual. Sementara,
menurut Lindgren hasil pembelajaran
meliputi kecakapan, informasi, pengertian,
dan sikap.
Menurut Oemar Hamalik hasil
belajar adalah bila seseorang telah belajar
akan terjadi perubahan tingkah laku pada
orang tersebut, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu, dan dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Sedangkan Menurut
Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar
merupakan hal yang dapat dipandang dari
dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru.
Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
tingkat perkembangan mental yang lebih
baik bila dibandingkan pada saat sebelum
belajar.
Berdasarkan pengertian di atas
maka dapat disintesiskan bahwa hasil
belajar adalah suatu penilaian akhir dari
proses dan pengenalan yang telah dilakukan
berulang-ulang. Serta akan tersimpan dalam
jangka waktu lama atau bahkan tidak akan
hilang selama-lamanya karena hasil belajar
turut serta dalam membentuk pribadi
individu yang selalu ingin mencapai hasil
yang lebih baik lagi sehingga akan merubah
cara berpikir serta menghasilkan perilaku
yang lebih baik.
2.2
Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar adalah seluruh
aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai
dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis.
Kegiatan
fisik
berupa
ketrampilanketrampilan dasar sedangkan kegiatan
psikis
berupa
ketrampilan
terintegrasi.Ketrampilan
dasar
yaitu
mengobservasi,
mengklasifikasi,
memprediksi, mengukur, menyimpulkan
dan
mengkomunikasikan.
Sedangkan
ketrampilan
terintegrasi
terdiri
dari
15
memperparah keengganan orang untuk
menulis.
Menulis
sebagai
salah
satu
keterampilan
berbahasa
tak
dapat
dilepaskan dari aspek-aspek keterampilan
berbahasa lainnya. Ia mempengaruhi dan
dipengaruhi. Pengalaman dan masukan
yang diperoleh dari menyimak, berbicara,
dan membaca, akan memberikan kontribusi
berharga dalam menulis. Begitu pula
sebaliknya, apa yang diperoleh dari menulis
akan berpengaruh pula terhadap ketiga
corak kemampuan berbahasa lainnya.
Namun demikian, menulis memiliki
karakter khas yang membedakannya dari
yang lainnya. Sifat aktif, produktif, dan tulis
dalam menulis, memberikannya ciri khusus
dalam hal kecaraan, medium, dan ragam
bahasa yang digunakannya.
dan sebagainya.
Motor activities seperti melakukan
percobaan, membuat konstruksi, model,
mereparasi,
bermain,
berkebun,
memelihara binatang, dan sebagainya.
Mental activities seperti menanggap,
mengingat,
memecahkan
soal,
menganalisis,
melihat
hubungan,
mengambil keputusan, dan sebagainya.
Emotional activities seperti menaruh
minat, merasa bosan, gembira, berani,
tenang, gugup, dan sebagainya.
2.3
Menulis
Sebagai
Suatu
Keterampilan Berbahasa
2.3.1 Konsep Menulis
Menulis
adalah
kegiatan
penyampaian pesan (gagasan, perasaan,
atau informasi) secara tertulis kepada pihak
lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis
melibatkan empat unsur, yaitu penulis
sebagai penyampai pesan, pesan atau isi
tulisan, medium tulisan, serta pembaca
sebagai penerima pesan. Kegiatan menulis
sebagai sebuah perilaku berbahasa memiliki
fungsi dan tujuan: personal, interaksional,
informatif, instrumental, heuristik, dan
estetis.
Sebagai salah satu aspek dari
keterampilan berbahasa, menulis atau
mengarang merupakan kegiatan yang
kompleks. Kompleksitas menulis terletak
pada tuntutan kemampuan untuk menata
dan mengorganisasikan ide secara runtut
dan logis, serta menyajikannya dalam
ragam bahasa tulis dan kaidah penulisan
lainnya. Akan tetapi, di balik kerumitannya,
menulis menjanjikan manfaat yang begitu
besar dalam membantu pengembangan daya
inisiatif dan kreativitas, kepercayaan diri
dan keberanian, serta kebiasaan dan
kemampuan
dalam
menemukan,
mengumpulkan, mengolah, dan menata
informasi. Sayangnya, tidak banyak orang
yang suka menulis. Di antara penyebabnya
ialah karena orang merasa tidak berbakat
serta tidak tahu bagaimana dan untuk apa
menulis. Alasan itu sebenarnya tak terlepas
dari pengalaman belajar yang dialaminya di
sekolah. Lemahnya guru, kurangnya model,
dan kekeliruan dalam belajar menulis yang
melahirkan mitos-mitos tentang menulis,
2.3.2
Menulis sebagai Proses
Banyak pendapat yang berkaitan
dengan belajar-mengajar menulis atau
mengarang, seperti yang diungkapkan oleh
pendekatan formal, pendekatan gramatikal,
pendekatan frekuensi, dan pendekatan
koreksi. Pendekatan-pendekatan itu tidak
sepenuhnya salah, tetapi sayangnya tidak
menyentuh proses menulisnya itu sendiri.
Sebagai proses, menulis melibatkan
serangkaian kegiatan yang terdiri atas tahap
prapenulisan,
penulisan,
dan
pascapenulisan.
Fase
prapenulisan
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mempersiapkan
sebuah
tulisan.
Di
dalamnya terdiri dari kegiatan memilih
topik, tujuan, dan sasaran karangan,
mengumpulkan bahan, serta menyusun
kerangka karangan. Berdasarkan kerangka
karangan
kemudian
dilakukan
pengembangan butir demi butir atau ide
demi ide ke dalam sebuah tulisan yang
runtut, logis, dan enak dibaca. Itulah fase
penulisan. Selanjutnya, ketika buram (draf)
karangan selesai, dilakukan penyuntingan
dan perbaikan. Itulah fase pascapenulisan,
yang mungkin dilakukan berkali-kali untuk
memperoleh sebuah karangan yang sesuai
dengan harapan penulisnya.
2.3.3
16
Hakikat Pembelajaran Menulis
Tarigan
(1982:9)
berpendapat
bahwa pembelajaran menulis adalah (1)
membantu
siswa
memahami
cara
mengekspresikan bahasa dalam bentuk
tulis;
(2)
mendorong
siswa
mengekspresikan diri secara bebas dalam
bahasa tulis; (3) membantu siswa
menggunakan bentuk bahasa yang tepat dan
serasi dalam ekspresi tulis.
Soenardji (1998:102) berpendapat
bahwa pembelajaran menulis jika dikaitkan
dengan proses pendidikan secara makro
termasuk salah satu komponen yang sengaja
disiapkan dan dilaksanakan oleh pendidik
untuk menghasilkan perubahan tingkah laku
sesudah
kegiatan
pembelajaran
dilaksanakan. Perubahan tingkah laku
dalam pembelajaran menulis merupakan
hasil pengaruh kemampuan berpikir,
berbuat, dan merasakan perihal apa yang
disampaikan sebagai bahan pembelajaran
menulis.
Bertumpu pada pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
menulis adalah upaya membantu dan
mendorong siswa mengekspresikan bahasa
dalam bentuk tulis, atau komponen yang
disiapkan pendidik untuk menghasilkan
perubahan tingkah laku dalam pembelajaran
menulis.
dapat mengetahui sampai di mana
pengetahuannya tentang suatu topik. Untuk
mengembangkan topik itu, penulis harus
berpikir untuk memperoleh pengetahuan
dan pengalamannya.
Kedua, melalui kegiatan menulis,
penulis dapat mengembangkan berbagai
gagasan. Dengan menulis, penulis terpaksa
bernalar, menghubung-hubungkan, serta
membandingkan
fakta-fakta
untuk
mengembangkan berbagai gagasannya.
keuntungan ketiga, penulis lebih banyak
menyerap, mencari, serta menguasai
informasi yang berhubungan dengan topik
yang ditulis. Kegiatan menulis dapat
memperluas wawasan penulisan secara
teoretis
mengenai
fakta-fakta
yang
berhubungan.
Keempat, penulis dapat terlatih
dalam mengorganisasikan gagasan secara
sistematik serta mengungkapkannya secara
tersurat. Dengan demikian, penulis dapat
menjelaskan permasalahan yang semula
masih samar. Keuntungan kelima, melalui
tulisan,penulis dapat meninjau serta menilai
gagasannya secara lebih objektif.
Keenam,
dengan
menuliskan
sesuatu di kertas, penulis akan mudah
memecahkan permasalahan, yaitu dengan
menganalisis secara tersurat dalam konteks
yang lebih konkret. Ketujuh, dengan
menulis mengenai suatu topik, penulis
terdorong untuk belajar secara aktif. Penulis
menjadi penemu sekaligus pemecah
masalah, bukan sekadar menjadi penyadap
informasi dari orang lain. Keuntungan
kedelapan, kegiatan menulis yang terencana
akan membiasakan penulis berpikir serta
berbahasa secara tertib.
Dari kedua pendapat di atas dapat
disimpulkan
bahwa menulis
sangat
bermanfaat dalam kehidupan. Menulis dapat
meningkatkan
penalaran
untuk
mengembangkan berbagai gagasan yang
dapat
memperluas
wawasan
dan
pengetahuan.
2.3.4
Manfaat Menulis
Menulis merupakan salah satu
keterampilan berbahasa yang mempunyai
peranan penting di dalam kehidupan
manusia. Dengan menulis, seseorang dapat
mengutarakan pikiran dan gagasan untuk
mencapai maksud dan tujuan. Menurut
Tarigan (1986:22), menulis sangat penting
bagi pendidikan karena memudahkan para
pelajar berpikir. Menulis juga dapat
mendorong kita untuk berpikir secara kritis,
memudahkan penulis memahami hubungan
gagasan dalam tulisan, memperdalam daya
tanggap atau persepsi, memecahkan
masalah yang dihadapi, dan mampu
menambah pengalaman menulis.
Menurut pendapat Akhadiah, dkk.
(1988:1),
banyak
keuntungan
yang
diperoleh
dari
kegiatan
menulis.
Keuntungan yang pertama adalah dengan
menulis seseorang dapat mengenali
kemampuan dan potensi dirinya. Penulis
2.4 Menulis Deskripsi
2.4.1 Pengertian Deskripsi
Kata deskripsi berasal dari bahasa
inggris “description” yang berkaitan
dengan kata kerja “to describe”yang berarti
17
dituangkan dalam tulisan dengan alat yang
tersedia (kemampuan berbahasa tulis, diksi,
penguraian, komposisi tulisan dan lainlain). Jadi kegiatan seorang penulis
deskripsi sama seperti kegiatan seorang
pelukis. Mereka sama- sama menangkap
objek yang diamati, diresapi, diimajinasikan
dalam pikirannya dan dituangkan dalam
bentuk lukisan atau tulisan (Nurudin,
2007:59-60). Dari beberapa pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa deskripsi
adalah bentuk tulisan yang bertujuan
memperluas pengetahuan dan pengalaman
pembaca dengan jalan melukiskan hakikat
objek yang sebenarnya. Dalam tulisan
deskripsi,
penulis
tidak
boleh
mencampuradukkan
keadaan
yang
sebenarnya dengan interpretasinya sendiri
(Finoza, 2006:60).
Tulisan deskripsi dimaksudkan
untuk menciptakan sebuah pengalaman
pada diri pembaca dan memberi identitas,
atau informasi mengenai objek tertentu
sehingga pembaca dapat mengenalinya bila
bertemu atau berhadapan dengan obyek
tadi. Penulis perlu mengambil sikap tertentu
untuk dapat memperoleh gambaran tentang
suatu obyek penulisan. Oleh karena itu,
penulis perlu menggunakan pendekatan
dalam menulis deskripsi.
melukiskan dengan bahasa. Dari uraian
tersebut mengandung pengertian bahwa
deskripsi merupakan karangan yang lebih
menonjolkan aspek pelukisan sebuah benda
sebagai mana adanya (Finoza, 2002:190).
Misalnya saja seorang guru anatomi tubuh
manusia kepada murid-muridnya sehingga
dalam benak pikiran muridnya bagian tubuh
itu
terekspresikan
seperti
keadaan
sebenarnya. Menurut (Semi, 1990:32)
deskripsi adalah suatu tulisan atau karangan
yang bertalian dengan usaha menulis untuk
memberikan rincian- rincian mengenai
suatu objek yang sedang dibicarakan.
Menurut Marahimin (1994:33) deskripsi
merupakan pemaparan atau penggambaran
dengan kata- kata suatu benda, tempat,
suasana atau keadaan.
Dari uraian tersebut bahwa yang
dimaksud deskripsi adalah bentuk tulisan
yang bertujuan memperluas pengetahuan
dan pengalaman pembaca dengan jalan
melukiskan hakikat objek yang sebenarnya
(Finoza, 2002:190). Seorang penulis
deskripsi harus memiliki kata yang tepat
sesuai dengan gambaran objek yang
sebenarnya
sehingga
menumbuhkan
imajinasi yang hidup dan segar tentang ciriciri, sifat- sifat atau hakikat dari objek yang
dideskripsikan itu. Tulisan deskripsi dapat
dimaksudkan untuk menciptakan sebuah
pengalaman pada diri pembaca dan
memberi identitas atau informasi mengenai
objek tertentu sehingga pembaca dapat
mengenalinya bila bertemu atau berhadapan
dengan objek tadi. Oleh karena itu penulis
perlu mengambil sikap tertentu untuk dapat
memperoleh gambaran tentang suatu objek
penulisan.
Dari pendapat tentang deskripsi
dapat disimpulkan bahwa deskripsi
merupakan hasil observasi melalui panca
indra yang disampaikan dengan kata- kata
atau kalimat. Coba amati ketika seseorang
sedang melukis. Ketika seorang pelukis
menggambarkan sebuah objek, ia akan
terlibat pengamatan secara detail objek
tersebut lalu meresapkannya dalam kertas
dengan alat yang tersedia.
Menulis deskripsi tidak jauh
berbeda. Penulis tentu akan dilibatkan untuk
mengamati sebuah objek tertentu yang akan
2.4.2
Jenis-Jenis Deskripsi
Berdasarkan tujuannya, Keraf,
1982:94) membedakan deskripsi terdiri atas
dua macam yaitu deskripsi sugestif dan
deskripsi ekspositoris (teknik).
1) Deskripsi Sugestif
Deskripsi
sugestif
adalah
penggambaran suatu objek dengan tujuan
menciptakan suatu penghayatan terhadap
objek
tersebut
melalui
imajinasi
pembaca.Dalam deskripsi sugestif, penulis
bermaksud
menciptakan
sebuah
pengalaman
pada
diri
pembaca,
pengalaman, karena berkenalan langsung
dengan objeknya. Pengalaman dari objek itu
harus menciptakan sebuah kesan. Sasaran
deskripsi sugestif adalah perantaraan
tentang rangkaian kata- kata yang dipilih
oleh penulis untuk menggambarkan diri,
sifat, watak dari objek tersebut. Dapat
diciptakan sugestif tertentu pada pembaca.
18
yang telah ditetapkan pada langkah
pertama. Pada siklus pertama siswa
menguraikan objek pemandangan alam
yang diberikan oleh guru, kemudian
siswa berusaha untuk mendata objek
yang terdapat dalam pemandangan
alam.
c. Mengumpulkan bahan tulisan
Bahan- bahan tulisan dapat diperoleh
dengan cara mengadakan pengamatan
peninjauan langsung terhadap objek
yang akan ditulis. Dalam kegiatan
pembelajaran, siswa mengumpulkan
bahan tulisan dengan mengamati
gambar yang tersedia dengan teliti dan
biasa juga menggabungkan dengan
pengalaman pribadi setiap anggota
kelompok
d. Menyiapkan kerangka tulisan
Kerangka tulisan merupakan pokokpokok isi atau garis besar tulisan.
Kemudian disusun atau ditata secara
kronologis dengan memperhatikan
kesatuan dan kebulatan gagasan.
e. Mengembangkan kerangka tulisan
Setelah menetukan tema, tujuan,
pengumpulan bahan, menyusun kerangka,
penulis mengembangkan menjadi sebuah
tulisan atau kerangka dengan menggunakan
ejaan, tanda baca, dan pilihan kata yang
tepat dan susunan kalimat yang menarik,
bervariasi, dan efektif.
Dengan kata lain, Deskripsi sugestif
berusaha menciptakan suatu penghayatan
terhadap objek tersebut memulai imajinasi
pembaca.
2) Deskripsi Ekspossitoris
Deskripsi ini hanya bertujuan untuk
memberikan identifikasi atau informasi
mengenai objeknya, sehingga pembaca
dapat mengenalnya bila bertemu atau
berhadapan dengan objek tersebut. Penulis
tidak berusaha untuk menciptakan kesan
atau imajinasi pada diri pembaca. Dalam
tulisan deskripsi ini, penulis memindahkan
kesan- kesannya, memindahkan hasil
pengamatan, pengalaman dan perasaannya
pada pembaca. Deskripsi ini menyampaikan
sifat dan semua perincian wujud yang dapat
ditemukan pada objek tersebut sehingga
nada tulisan deskripsi bersifat informatif
yang
bersifat
melukiskan
atau
menggambarakan tentang sesuatu.
Tujuan
penulisan
deskripsi
ekspositoris ialah mengajak para pembaca
bersama- sama menikmati, merasakan
aktivitas orang yang telah diamati penulis.
Dengan tulisan deskripsi ini, penulis
bermaksud menjelaskan, menerangkan, dan
menarik minat pembaca yang baik
bergantung pada tanggapan yang jeli,
persepsi yang tajam, dan kosakata yang
memadai dalam penyampaian .
2.4.3
Langkah Menulis Deskripsi
Beberapa langkah dalam menulis
deskripsi (Asrom, 1997:16-17), antara lain
sebagai berikut:
a. Menetapkan tema tulisan
Menetapkan tema berarti menetapkan
pokok pikiran, ide atau gagasan tertentu
yang akan disampaikan penulis. Dalam
proses belajar mengajar, siswa diminta
menetukan tema menulis deskripsi
setelah mengamati gambar yang ada di
papan tulis tentang pemandangan alam
seperti ada gunung, hamparan sawah,
padi yang menghijau, aliran air sungai
yang deras, dan masih banyak objek
lain yang dapat dideskripsikan.
b. Menetapkan tujuan
Penetapan tujuan tulisan merupakan
pernyataan singkat tujuan yang ingin
dicapai, yaitu penulis menjelaskan tema
2.5
Permainan Tebak Misteri
Salah satu bentuk permaianan yang
dapat diterapkan dalam pembelajaran
menulis, khususnya menulis deskripsi
adalah permaianan tebak misteri. Tebak
misteri merupakan sebuah permainan yang
menggunakan media kartu gambar, kartu
kosakata, atau pun benda-benda dan siswa
diminta untuk mendeskripsikan benda
tersebut secara lisan sehingga teman yang
lain dapat menebak dengan tepat benda apa
yang dimaksud.
III.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan deskriptif
kualitatif. Penelitian tindakan (action
research) merupakan upaya pemecahan
19
mencapai 94,37. Peningkatan rata-rata hasil
belajar siswa pada siklus I dan II sebesar
24,53%.
masalah atau suatu perbaikan yang bersifat
reflektif dan kolaboratif. Arikunto (2009: 23) mengemukakan bahwa, penelitian
tindakan kelas (classroom action research)
yaitu sebuah kegiatan penelitian yang
dilakukan di dalam kelas.
Secara garis besar di dalam suatu
penelitian tindakan kelas terdapat empat
tahapan yang lazim dilalui tahapan-tahapan
yang harus di lewati yaitu adalah,
1. Tahap Perencanaan.
2. Tahap Pelaksanaan.
3. Tahap Pengamatan.
4. Tahap Refleksi.
Siklus tindakan dalam penelitian ini
diadaptasi dari rancangan penelitian
tindakan kelas oleh Arikunto, (2009: 74).
Urutan penelitian tindakan kelas terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, dan observasi.
Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus.
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas
VII SMP 1 Beteleme.
4.2
Aktivitas Siswa
Pembelajaran
4.1
Hasil Observasi (%)
No. Aspek yang diamati
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa pada Siklus I
dan Siklus II
Siklus I
Siklus II
Frekuensi Frekuensi
1.
86 – 100
Sangat Tinggi
10
30
2.
71 – 85
Tinggi
11
2
3.
56 – 70
Sedang
11
0
4.
41 – 55
Rendah
0
0
5.
≤ 40
Sangat Rendah
0
0
Jumlah
32
32
Rata-rata
69,84
94,37
Peningkatan
Siklus II
Partisipasi
69,53
79,68
B
Sikap
67,96
77,34
C
Minat
68,75
78,90
D
Perhatian
71,87
79,68
E
Presentasi
50,78
73,43
65,77%
77,5%
11,73%
Pembelajaran menulis deskripsi
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
melalui penerapan permainan tebak misteri
lebih menekankan pada aktivitas siswa
dalam belajar. Siswa dituntut untuk terlibat
secara langsung baik dari sikap, perhatian,
pikiran, minat, partisipasi siswa. Misalnya
aktivitas siswa
saat memperhatikan
penjelasan yang diberikan oleh guru,
sikap siswa dan kerja sama dalam
kelompok belajar, menumbuhkan sikap
berani saat melakukan presentasi dan
mengajukan pendapat atau memberikan
sanggahan dan mengerjakan tes formatif.
Hal ini sesuai pendapat Kunandar (2010:
277) bahwa aktivitas belajar adalah
keterlibatan siswa dalam bentuk sikap,
pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam
kegiatan.
Pada siklus I rata-rata h a s i l
aktivitas siswa dalam menulis deskripsi
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
melalui penerapan permainan tebak misteri
pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme
sebesar 65,77% meningkat pada siklus II
menjadi 77,5%. Peningkatan aktivitas siswa
dari siklus I ke siklus II sebesar 11,73%.
Hasil aktivitas siswa pada siklus II 77,5%
Hasil Belajar Siswa dalam Proses
Pembelajaran Per Siklus
Kategori
Siklus I
A
Rata-rata
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
No. Rentang Nilai
Proses
Tabel 4.2 Rekapitulasi Aktivitas Siswa pada Siklus I dan
Siklus II
Peningkatan
IV.
Dalam
24,53
Dalam setiap siklus dapat diketahui
bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa
dalam menulis deskripsi pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia melalui
penerapan permainan tebak misteri pada
siswa kelas VII SMP 1 Beteleme pada
siklus I sebesar 69,84 dan pada siklus II
20
dengan kategori ”Baik”.
V.
yang diberikan oleh guru sehingga
siswa
dapat
mencapai
hasil
pembelajaran yang maksimal.
Kepada guru, peneliti mengimbau
kepada guru untuk menerapkan
permainan tebak misteri sebagai salah
satu alternatif pembelajaran terutama
pembelajaran Bahasa Indonesia materi
menulis deskripsi karena pembelajaran
dengan menerapkan permainan tebak
misteri sangat cocok untuk menangani
aktivitas siswa yang rendah. Dalam
permainan tebak misteri, siswa merasa
terlibat secara langsung dan sangat
menyenangkan bagi siswa. Guru juga
dihimbau untuk menggunakan variasi
dalam belajar dengan menggunakan
pembelajaran yang menarik dan
inovatif.
Kepada
sekolah,
agar
dapat
memfasilitasi
guru
dalam
pengembangan model pembelajaran di
kelas dengan harapan dapat tercipta
pembelajaran yang aktif, kreatif,
inovatif, dan menyenangkan.
Kepada
peneliti
selanjutnya,
penerapan permainan tebak
misteri
sebaiknya meningkatkan materi yang akan
diajarkan,
lebih
fokus
terhadap
pembelajaran, dan mengelola waktu
dengan sebaik-baiknya.
SIMPULAN
Penerapan permainan tebak misteri
dalam
menulis
deskripsi
dapat
meningkatkan hasil dan aktivitas belajar
siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia
siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini
terbukti dari hasil post tes siswa selama
siklus I dan II mengalami peningkatan.
Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I
mencapai 69,84 meningkat pada siklus II
menjadi 94,37, terjadi peningkatan sebesar
24,53. Aktivitas siswa dalam pembelajaran
menulis deskripsi pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia dengan menerapkan
permainan tebak misteri mengalami
peningkatan setiap siklusnya. Rata-rata
aktivitas siswa pada siklus I mencapai
65,77% dan siklus II meningkat menjadi
77,5%. Peningkatan aktivitas siswa dari
siklus I ke siklus II sebesar 11,73%.
VI.
SARAN
Kepada siswa, peneliti menyarankan
kepada siswa agar meningkatkan
budaya
membaca
sekaligus
meningkatkan aktivitas belajar guna
menambah wawasan selain itu peneliti
berharap siswa mampu mengikuti
berbagai jenis model pembelajaran
21
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti. 1997. Pembinaan Kemampuan Menulis. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara, Jakarta.
Asrori, Muhammad. 2009. Psikologi Pembelajaran. CV Wacana Prima, Bandung.
Depdiknas. 2004. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdikbud.
Djamarah, Saiful Bahri dan Aswan Zein. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Isjoni, 2007. Cooperative Learning, Alfabeta. Bandung.
Kunandar.2010. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kushartanti, 2007. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mulyati, Yeti. 2007. Keterampilan Berbahasa Indonesia SD, Universitas Terbuka. Jakarta.
Nurhadi. 2004. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: Ikip Semarang Press.
Nursisto. 1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adi Cipta Karya.
Resmini, Novi, 2007. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Di Kelas Tinggi. Sisdiknas. 2011. Undang-Undang Sisdiknas. Sinar
Grafika. Malang.
Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Nusa Media. Bandung.
Sntrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. PT Intan Pariwara.
Solihatin, Etin dan Raharjo. 2008. Cooperative Learning (Analisis Model Pembelajaran IPS). Bumi Aksara. Jakarta.
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Rosda Karya.
Suriamiharja, Agus et al. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Debdikbud.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Masmedia Buana Pustaka, Siduarjo.
Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa.
W. S. Winkel, 2005. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media abadi.
22
Media Litbang Sulteng IX (1) : 23-34, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR KETERAMPILAN
BERBICARA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SNOWBALL THROWING PADA SISWA
KELAS VII SMP NEGERI 8 SIGI
Oleh :
Doriana Taiso1)
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini yaitu berawal dari ditemukannya beberapa permasalahan dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia pada aspek keterampilan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Permasalahan tersebut diantaranya kemampuan
berbicara siswa masih cukup rendah. Rendahnya kemampuan tersebut terlihat saat siswa ditugaskan untuk berbicara di depan kelas.
Siswa masih cenderung malu-malu, berbicaranya tidak lancar, tidak adanya keberanian untuk berbicara, suaranya pelan tidak
mengarah kepada teman-temannya, intonasi kurang tepat. Oleh karena itu, salah satu model pembelajaran yang dikembangkan
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu
dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Snowball Throwing. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research (CAR). Subjek dalam penelitian ini yaitu
siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah
sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ada di SMP Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75.
Standar persentase ketuntasan klasikal yang ditentukan yakni 80%. Hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan model
pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Pada prasiklus, hasil observasi keaktifan adalah 22,15% dengan kriteria rendah.
Pada siklus I, persentase keaktifan meningkat 39,21% dari prasiklus, sehingga persentase keaktifan menjadi 61,36% dengan kriteria
tinggi. Pada siklus II, persentase keaktifan kembali meningkat 35,79% dari siklus I menjadi 97,15% dengan kriteria sangat tinggi.
Peningkatan dalam hasil belajar siswa ditunjukkan bahwa pada siklus I, dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau 72,72% siswa yang
sudah mencapai nilai ketuntasan, sedangkan 6 siswa atau 27,27% belum mencapai ketuntasan. Adapun nilai rata-rata siswa kelas
VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I ini adalah sebesar 76,39. Pada siklus II, semua kekurangan-kekurangan yang ada pada siklus I
telah diperbaiki, sehingga proses pembelajarannnya menjadi lebih baik dan hasilnya terjadi peningkatan. Hal ini terlihat dari 22
siswa terdapat 22 siswa pula yang memperoleh nilai tuntas belajar atau dengan kata lain 100% siswa memperoleh hasil belajar tuntas
dengan nilai rata-rata sebesar 90,02. Pada siklus II ini telah mencapai indikator keberhasilan.
Kata Kunci : Keaktifan dan Hasil Belajar, Keterampilan Berbicara, Bahasa Indonesia, Model Pembelajaran Snowball Throwing.
ABSTRACT
The background of this research that originated from the discovery of several problems in learning Indonesian at the
conversational skills aspect of the seventh grade students of SMP Negeri 8 Sigi. Those problems include their speaking ability is still
quite low. Low ability is evident when students are assigned to speak to the class. Students still tend to be shy, speech is not smooth,
lack the courage to speak, his voice was low did not lead to his friends, less precise intonation. Therefore, one of the learning model
that was developed in an effort to improve the quality of learning speaking skills in subjects Indonesian is by using model study of
Cooperative Learning type Throwing Snowball. This study was conducted using a model Action Research (PTK) or Classroom
Action Research (CAR). Subjects in this study is the seventh grade students of SMP Negeri 8 Sigi with the number of students as
many as 22 students. Indicators of success in this study is in accordance with the minimum completeness criteria (KKM) in SMPN 8
Sigi on Indonesian subjects, namely 75. Standards specified percentage of the classical completeness 80%. The research proves that
the application of learning models Throwing Snowball can improve learning activeness speaking skills in subjects Indonesian in
class VII SMP Negeri 8 Sigi. At prasiklus, the observation of the activity is 22.15% with low criteria. In the first cycle, the
percentage of the activity increased 39.21% from prasiklus, so the percentage of 61.36% with a liveliness into high criteria. In the
second cycle, the percentage increased to reactivation of 35.79% from the first cycle to 97.15% with a very high criteria. Increases
in student learning outcomes indicated that in the first cycle, of 22 students, there are 16 students or 72.72% of students who have
reached a value of completeness, while 6 students or 27.27% has not been reached completeness. The average value of seventh
grade students of SMPN 8 Sigi in the first cycle is set at 76.39. In the second cycle, all the deficiencies that exist in the first cycle has
been improved, so that the process becomes better pembelajarannnya and the result is an increase. This can be seen from the 22
students there are 22 students who received grades are also thoroughly studied or in other words 100% of students gain mastery
learning outcomes with an average value of 90.02. In the second cycle has reached an indicator of success.
Keywords: Motivation and Learning Outcomes, Speaking Skills, Indonesian, Learning Model Throwing Snowball.
23
I.
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
merupakan salah satu dari proses
pembelajaran bahasa di sekolah, karena
dengan pembelajaran berbicara siswa dapat
berkomunikasi di dalam maupun di luar
kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya.
Tujuan pembelajaran berbicara adalah
melatih siswa dapat berbicara dalam bahasa
Indonesia
yang
baik
dan
benar.
Kemampuan berbicara dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia harus menguasai standar
kompetensi
mengungkapkan
pikiran,
pendapat, perasaan, fakta, secara lisan
dengan menanggapi suatu persoalan,
menceritakan hasil pengamatan, atau
berwawancara dan kompetensi dasar
menanggapi suatu persoalan atau peristiwa
serta memberikan saran pemecahannya
dengan memperhatikan pilihan kata serta
santun berbahasa. Pada standar kompetensi
dan kompetensi dasar siswa harus mampu
menguasai kemampuan berbicara untuk
memenuhi standar kelulusan tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka guru dapat menggunakan bahan
pembelajaran membaca atau menulis,
kosakata dan sastra sebagai bahan
pembelajaran
berbicara.
Misalnya
menceritakan
pengalaman
yang
mengesankan, menceritakan kembali cerita
yang
pernah
didengar
ataupun
menyampaikan tanggapan dan komentar
terhadap persoalan faktual yang dilihat,
didengar dan dibacanya. Berdasarkan hasil
observasi awal di lapangan ditemukan
beberapa permasalahan dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan
berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 8
Sigi. Permasalahan tersebut diantaranya
kemampuan berbicara siswa masih cukup
rendah. Rendahnya kemampuan tersebut
terlihat saat siswa ditugaskan untuk
berbicara di depan kelas. Siswa masih
cenderung malu-malu, berbicaranya tidak
lancar, tidak adanya keberanian untuk
berbicara, suaranya pelan tidak mengarah
kepada teman-temannya, intonasi kurang
tepat. Selain itu, siswa hanya diminta untuk
maju di depan kelas untuk memberikan
komentar tentang suatu persoalan dan siswa
cenderung pasif, tidak ada umpan balik
kepada siswa.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan wahana
untuk meningkatkan dan mengembangkan
kualitas sumber daya manusia. Melalui
penyelenggaraan pendidikan, diharapkan
dapat
mencetak
manusia-manusia
berkualitas
yang
akan
mendukung
tercapainya sasaran pembangunan nasional.
Dalam pendidikan, proses pembelajaran
adalah kegiatan paling pokok. Oleh karena
itu, dalam proses pembelajaran seorang
guru dituntut untuk bisa memotivasi
siswanya agar siswa aktif terlibat di dalam
pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna
akan membawa siswa pada pengalaman
belajar yang mengesankan. Pengalaman
yang diperoleh siswa akan semakin
berkesan apabila proses pembelajaran yang
diperolehnya
merupakan
hasil
dari
pemahaman dan penemuannya sendiri.
Dalam konteks ini siswa mengalami dan
melakukannya sendiri. Proses pembelajaran
yang berlangsung melibatkan siswa
sepenuhnya untuk merumuskan sendiri
suatu konsep. Keterlibatan guru hanya
sebagai fasilitator dan moderator dalam
proses pembelajaran tersebut.
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia
dituntut untuk mempunyai kemampuan
berbahasa
yang
baik.
Pembinaan
keterampilan berbahasa berorientasi pada
empat jenis keterampilan berbahasa, yaitu
keterampilan menyimak, keterampilan
berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan
menulis.
Salah
satu
keterampilan berbahasa yang cukup penting
dalam kehidupan sehari-hari adalah
keterampilan berbicara sebagai media
komunikasi lisan yang efektif. Berbicara
sebagai suatu keterampilan berbahasa
diperlukan untuk berbagai keperluan dalam
kehidupan. Berbicara merupakan kegiatan
yang
dilakukan
seseorang
untuk
menyampaikan gagasan, pikiran atau
perasaan, sehingga orang lain dapat
memahami apa yang sedang dirasakan dan
dipikirkan (Tarigan, 1998:15).
Kemampuan berbicara di tingkat
1)
Guru SMP Negeri 8 Sigi
24
Saat pembelajaran berlangsung,
sangat jarang terlihat siswa aktif dalam
pembelajaran.
Untuk
berbicara
menyampaikan pendapat, ide, mengajukan
pertanyaan, dan menjawab pun mereka
tidak berani. Selain itu, peneliti melihat
bahwa siswa kurang fokus dalam belajar
dan siswa sering mengobrol pada saat
pembelajaran berlangsung. Siswa hanya
“menuntut” untuk bertindak sebagai objek
pembelajaran saja. Peran siswa tidak lebih
sebagai pendengar setia. Dengan kata lain,
pembelajaran terjadi lebih mengarah kepada
teacher oriented (berpusat kepada guru).
Penyebab masalah pembelajaran berbicara
di kelas VII SMP Negeri 8 Sigi juga
dipengaruhi oleh rendahnya motivasi
belajar siswa, metode pembelajaran yang
kurang variatif, dan minimnya penggunaan
alat peraga. Ironisnya lagi, hal tersebut bisa
mempengaruhi hasil belajar siswa.
Bagaimana
mengoptimalkan
motivasi dan hasil belajar siswa dalam
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia menjadi tugas seorang
pendidik. Untuk itulah dalam proses
pembelajaran dibutuhkan suatu paradigma
baru yang diyakini mampu memecahkan
masalah tersebut. Paradigma itu ditandai
oleh pembelajaran dengan inovasi-inovasi
yang berangkat dari hasil refleksi terhadap
eksisitensi paradigma lama yang mengalami
masa suram menuju paradigma baru.
Paradigma lama tersebut tampaknya sudah
tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini
yang ditandai oleh perubahan di segala
aspek. Pada proses pembelajaran dengan
paradigma lama masih kurangnya variasi
model pembelajaran yang digunakan
sehingga proses pembelajaran menjadi
monoton. Pembelajaran harus turut berubah
seiring dengan perubahan aspek lainnya,
sehingga
terjadi
keseimbangan
dan
kesesuaian yang pada akhirnya berimbas
pada peningkatan kualitas dan hasil belajar
siswa.
Agar mencapai hasil belajar yang
maksimal dalam pembelajaran, maka perlu
dirancang proses pelaksanaan pembelajaran
yang dapat memberikan keasyikan dan
kesenangan baik bagi siswa maupun
pendidik, karena pada praktek pendidikan
perlu
memperhitungkan
kebutuhan
emosional berupa rasa puas, senang, dan
menggembirakan. Jika
materi
yang
disampaikan dengan menggunakan metode
atau model pembelajaran yang sering
digunakan atau monoton, tentu membuat
siswa
merasa
bosan
dan
jenuh
mendengarkan guru dalam menyampaikan
materi tersebut, maka siswa pun sulit
menerima pelajaran yang akan disampaikan.
Salah satu model pembelajaran
yang dikembangkan sebagai upaya untuk
meningkatkan
kualitas
pembelajaran
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa
Indonesia
yaitu
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
Cooperative Learning. Model pembelajaran
Cooperative Learning adalah suatu model
pembelajaran yang dapat memungkinkan
terjadinya
aktivitas
belajar,
saling
berinteraksi dengan sesama secara aktif, dan
efektif. Dengan Cooperative Learning,
diharapkan siswa dapat lebih intensif
belajar, sehingga akan menguasai materi
pelajaran dengan mudah. Pada dasarnya,
siswa lebih mudah memahami penjelasan
dari kawannya dibanding penjelasan guru
karena taraf pengetahuan serta pemikiran
mereka lebih sejalan dan sepadan. Selain
itu, penelitian juga menunjukkan bahwa
Cooperative Learning memiliki dampak
positif terhadap siswa yang rendah hasil
belajarnya. Salah satu model pembelajaran
yang digunakan adalah Cooperative
Learning tipe Snowball Throwing. Metode
Pembelajaran
Snowball
Throwing
merupakan salah satu metode Cooperative
Learning. Menurut Saminanto (2010:37)
“Metode Pembelajaran Snowball Throwing
disebut
juga
metode
pembelajaran
gelundungan
bola
salju.
Lemparan
pertanyaan tidak menggunakan tongkat
seperti metode pembelajaran Talking Stick
akan tetapi menggunakan kertas berisi
pertanyaan yang diremas menjadi sebuah
bola kertas lalu dilempar-lemparkan kepada
siswa lain. Siswa yang mendapat bola kertas
lalu
membuka
dan
menjawab
pertanyaannya.
Model pembelajaran ini melatih
siswa untuk lebih tanggap menerima pesan
dari siswa lain dalam bentuk bola salju
25
yang dihadapinya, berusaha mencari
berbagai informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, melaksanakan diskusi
kelompok
sesuai
dengan
petunjuk
guru,menilai kemampuan dirinya dan hasilhasil yang diperolehnya, melatih diri dalam
memecahkan soal atau masalah sejenis,
kesempatan menggunakan atau menerapkan
apa yang telah diperolehnya dalam
menyelesaikan tugas atau persoalan yang
dihadapinya. Dengan lebih aktifnya siswa
diharapan akan meningkatkan hasil belajar
siswa pada aspek keterampilan berbicara
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Berdasarkan
uraian tersebut,
peneliti
tertarik
melakukan
sebuah
penelitian dengan judul “Peningkatan
Keaktifan dan Hasil Belajar Keterampilan
Berbicara pada Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia Melalui Penerapan Model
Pembelajaran Snowball Throwing pada
Siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Sigi”.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu (1) apakah penerapan model
pembelajaran Snowball Throwing dapat
meningkatkan
keaktifan
belajar
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII
SMP Negeri 8 Sigi? (2) apakah penerapan
model pembelajaran Snowball Throwing
dapat
meningkatkan
hasil
belajar
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII
SMP Negeri 8 Sigi?.
Tujuan penelitian ini yaitu (1) untuk
mengetahui apakah penerapan model
pembelajaran Snowball Throwing dapat
meningkatkan
keaktifan
belajar
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII
SMP Negeri 8 Sigi. (2) untuk mengetahui
penerapan model pembelajaran Snowball
Throwing dapat meningkatkan hasil belajar
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII
SMP Negeri 8 Sigi.
yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan
pesan tersebut kepada temannya dalam satu
kelompok (Saminanto,2010:37). Menurut
Huda (2014:226-228) model pembelajaran
Snowball Throwing atau yang juga sering
dikenal dengan Snowball Fight merupakan
pembelajaran yang diadopsi pertama kali
dari game fisik dengan melemparkan bola
salju kepada orang lain. Model ini
digunakan untuk memberikan konsep
pemahaman materi yang sulit kepada siswa
serta dapat juga digunakan untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan dan
kemampuan siswa dalam materi tersebut.
Pada
pembelajaran
Snowball
Throwing, siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok diwakili seorang ketua kelompok
untuk mendapatkan tugas dari guru.
Kemudian
setiap
siswa
membuat
pertanyaan diselembar kertas yang dibentuk
seperti bola (kertas pertanyaan) lalu
dilemparkan ke siswa lain. Siswa yang
mendapatkan lemparan kertas harus
menjawab pertanyaan dalam kertas yang
diperoleh. Dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Snowball
Throwing dapat meningkatkan kepercayaan
diri siswa dalam menyampaikan pendapat.
Model pembelajaran kooperatif tipe
Snowball Throwing sesuai untuk siswa
kelas VII SMP Negeri 8 Sigi yang kurang
berani dalam berbicara, karena model ini
dapat menstimulus siswa untuk aktif dan
berani dalam proses pembelajaran.
Penggunaan model Cooperative
Learning
tipe
Snowball
Throwing
diharapkan akan menjadi solusi dan dapat
menarik perhatian siswa, sehingga siswa
akan lebih aktif dalam pembelajaran dan
akan menciptakan suasana lebih segar serta
mengurangi kejenuhan dalam kelas. Selain
itu, pembelajaran aktif dimaksudkan untuk
menjaga perhatian siswa agar tetap tertuju
pada proses pembelajaran (Hartono, 2008:
20).
Menurut Sudjana (1991) keaktifan
belajar siswa dapat dilihat berdasarkan
indikator keaktifan siswa yaitu turutserta
dalam melaksanakan tugas belajarnya,
terlibat dalam pemecahan permasalahan,
bertanya kepada siswa lain atau kepada
guru apabila tidak memahami persoalan
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Keaktifan Belajar
Secara harfiah keaktifan berasal
dari kata aktif yang berarti sibuk, giat
26
(Kamus Besar Bahasa Indonesia: 17). Aktif
mendapat awalan ke- dan –an, sehingga
menjadi keaktifan yang mempunyai arti
kegiatan atau kesibukan. Jadi, keaktifan
belajar adalah kegiatan atau kesibukan
peserta didik dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah maupun di luar sekolah
yang menunjang keberhasilan belajar siswa.
Keaktifan tersebut tidak hanya
keaktifan jasmani saja, melainkan juga
keaktifan rohani. Menurut Sriyono, dkk
(1992: 75) keaktifan jasmani dan rohani
yang dilakukan peserta didika dalam
kegiatan belajar mengajar adalah sebagai
berikut:
Keaktifan
indera;
pendengaran,
penglihatan, peraba, dan sebagainya.
Peserta didik harus dirangsang agar
dapat menggunakan alat inderanya
sebaik mungkin.
Mendikte
dan
menyuru mereka menulis sepanjang jam
pelajaran akan menjemukan. Demikian
pula dengan menerangkan terus tanpa
menulis sesuatu di papan tulis. Maka
pergantian dari membaca ke menulis,
menulis ke menerangkan dan seterunya
akan lebih menarik dan menyenangkan.
Keaktifan akal; akal peserta didik harus
aktif atau dikatifkan untuk memecahkan
masalah,
menimbang,
menyusun
pendapat dan mengambil keputusan.
Keaktifan ingatan; pada saat proses
belajar mengajar peserta didik harus
aktif menerima bahan pelajaran yang
disampaikan
oleh
guru,
dan
menyimpannya dalam otak. Kemudian
pada suatu saat ia siap dan mampu
mengutarakan kembali.
Keaktifan emosi dalam hal ini peserta
didik hendaklah senantiasa berusaha
mencintai pelajarannya, karena dengan
mencintai pelajarannya akan menambah
hasil belajar peserta didik itu sendiri.
Sebenarnya semua proses belajar
mengajar peserta didik mengandung unsur
keaktifan, tetapi antara peserta didik yang
satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh
karena itu, peserta didik harus berpartisipasi
aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan
belajar mengajar. Keaktifan peserta didik
dalam proses belajar merupakan upaya
peserta
didik
dalam
memperoleh
pengalaman belajar, yang mana keaktifan
belajar peserta didik dapat ditempuh dengan
upaya kegaiatan belajar kelompok maupun
belajar secara perseorangan.
2.2
Hasil Belajar
Secara formal belajar dapat di
definisikan sebagai tingkah laku yang
dikaitkan dengan kegiatan sekolah. Belajar
merupakan fisik atau badaniah yang
hasilnya
berupa
perubahan-perubahan
dalam fisik itu, misalnya, dapat berlari,
mengendarai, berjalan, dan sebagainya.
Belajar selain merupakan aktivitas fisik juga
merupakan kegiatan rohani atau psikis.
Belajar tidak hanya mengenai
bidang intelektual, akan tetapi mengenai
seluruh pribadi anak. Perubahan kelakuan
karena mabuk bukanlah hasil belajar.
Pendapat lain mengatakan bahwa belajar
merupakan bentuk pertumbuhan dan
perkembangan dalam diri seorang yang
dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku
yang baru berkat pengalaman dan latihan.
Seorang dikatan belajar apabila di
asumsikan dalam diri seorang tersebut
mengalami suatu proses kegiatan belajar
yang mengakibatkan suatu perubahan
tingkah laku. Dijelaskan pula bahwa belajar
adalah suatu kegiatan dimana seseorang
menghasilkan
atau
membuat
suatu
perubahan tingkah laku yang ada dalam
dirinya dalam pengetahuan, sikap dan
ketrampilan, sudah barang tentu tingkah
laku tersebut adalah tingkah laku yang
positif artinya mencari kesempurnaan
hidup. Belajar itu sendiri terdiri dari
berbagai tipe yaitu: (1) menghafal dalam
pelajaran dengan sedikit tanpa memahami
artinya, misalnya rumus-rumus matematika;
(2) memperoleh pengertian-pengertian yang
sederhana, seperti kenyataan empat di
tambah lima semua berjumlah sembilan; (3)
menemukan dan memahami hubungan yang
menghendaki respon-respon logis dan
benar-benar
psikologis.
Memahami
beberapa konsep yang dikemukakan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
bahwa belajar merupakan kegiatan fisik dan
badaniah yang akan mengubah tingkah laku
seseorang yang di dapat dari hasil
pengalaman dan latihan yang bersifat
27
positif.
komunikasi antara penutur dan mitra tutur.
Memang setiap orang dikodratkan untuk
bisa berbicara atau berkomunikasi secara
lisan, tetapi tidak semua memiliki
keterampilan untuk berbicara secara baik
dan benar. Oleh karena itu, pelajaran
berbicara seharusnya mendapat perhatian
dalam pengajaran keterampilan berbahasa.
Berbicara
diartikan
sebagai
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi
atau
kata-kata
untuk
mengekspresikan,
menyatakan
dan
menyampaikan pikiran, gagasan, serta
perasaan (Tarigan, 1983:14). Dapat
dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu
sistem
tanda-tanda
yang
dapat
didengar (audible) dan
yang
kelihatan (visible) yang
memanfaatkan
sejumlah otot tubuh manusia demi maksud
dan tujuan gagasan atau ide-ide yang
dikombinasikan. Berbicara merupakan
suatu bentuk perilaku manusia yang
memanfaatkan
faktor-faktor
fisik,
psikologis,
neurologis,semantik,
dan
linguistik.
Setiap kegiatan berbicara yang
dilakukan manusia selalu mempunyai
maksud dan tujuan. Menurut Tarigan
(1983:15) tujuan utama berbicara adalah
untuk
berkomunikasi.
Agar
dapat
menyampaikan pikiran secara efektif, maka
sebaiknya sang pembicara memahami
makna segala sesuatu yang ingin
dikombinasikan,
dia
harus
mampu
mengevaluasi efek komunikasi terhadap
pendengarnya, dan dia harus mengetahui
prinsip-prinsip yang mendasari segala
sesuatu situasi pembicaraan, baik secara
umum maupun perorangan. Menurut Djago,
dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya
dapat dibedakan atas lima golongan yaitu
(1) menghibur, (2) menginformasikan, (3)
menstimulasi, (4) meyakinkan, dan 5)
menggerakkan.
Pentingnya keterampilan berbicara
atau bercerita dalam komunikasi juga
diungkapkan oleh Supriyadi (2005:178)
bahwa
apabila
seseorang
memiliki
keterampilan berbicara yang baik, dia akan
memperoleh keuntungan sosial maupun
profesional. Keuntungan sosial berkaitan
dengan
kegiatan
interaksi
sosial
Hasil belajar pada dasarnya adalah
hasil yang dicapai dalam usaha penguasaan
materi dan ilmu penegetahuan yang
merupakan suatu kegiatan yang menuju
terbentuknya
kepribadian
seutuhnya.
Melalui belajar dapat diperoleh hasil yang
lebih
baik.
Belajar berarti mengubah tingkah laku. Hal
ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Suhardiman (1988) bahwa belajar adalah
mengubah tingkah laku. Belajar akan
membantu terjadinya suatu perubahan pada
diri individu yang belajar. Perubahan itu
tidak hanya dikaitkan dengan perubahan
ilmu
pengetahuan,
melainkan
juga
berbentuk percakapan, ketrampilan, sikap,
pengertian, harga diri, minat, watak dan
penyesuaian diri. Belajar menyangkut
segala aspek organisme dan tingkah laku
pribadi seseorang, prestasi belajar pada
hakekatnya merupakan hasil dari belajar
sebagai rangkaian jiwa raga. Psikofisik
untuk menuju perkembangan pribadi
manusia
seutuhnya,
yang
berarti
menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa,
ranah kognitif, efektif dan prestasi motorik.
2.3
Berbicara
Sebagai
Suatu
Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa terdiri dari
empat aspek, yaitu menyimak atau
mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Peserta didik harus menguasai
keempat aspek tersebut agar terampil
berbahasa. Dengan demikian, pembelajaran
keterampilan berbahasa di sekolah tidak
hanya menekankan pada teori saja, tetapi
peserta didik dituntut untuk mampu
menggunakan
bahasa
sebagaimana
fungsinya, yaitu sebagai alat untuk
berkomunikasi.
Berbicara merupakan salah satu
aspek keterampilan berbahasa yang bersifat
produktif, artinya suatu kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk menyampaikan
gagasan, pikiran atau perasaan sehingga
gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran
pembicara dapat dipahami orang lain.
Berbicara berarti mengemukakan ide atau
pesan lisan secara aktif melalui lambanglambang bunyi agar terjadi kegiatan
28
antarindividu. Sedangkan, keuntungan
profesional
diperoleh
sewaktu
menggunakan bahasa untuk membuat
pertanyaa-pertanyaan, menyampaikan faktafakta dan pengetahuan, menjelaskan dan
mendeskripsikan. Keterampilan berbahasa
lisan tersebut memudahkan peserta didik
berkomunikasi dan mengungkapkan ide
atau gagasan kepada orang lain
1. Pra Siklus
Tahap ini peneliti melakukan
observasi mengenai aktivitas siswa dalam
menerima pelajaran serta rendahnya
keaktifan dan hasil belajar Bahasa Indonesia
siswa dalam aspek keterampilan berbicara.
Kemudian menetapkan dan merumuskan
rencana tindakan yaitu menyusun strategi
pembelajaran dengan menyusun skenario
pembelajaran.
2.4
Model Pembelajaran Snowball
Throwing
Snowball Throwing adalah salah
satu model pembelajaran kooperatif. Model
pembelajaran ini dapat digunakan untuk
memberikan konsep pemahaman materi
yang sulit kepada siswa. Metode Snowball
Throwing juga untuk mengetahui sejauh
mana pengetahuan dan kemampuan siswa
dalam menguasai materi tersebut.
Pada model pembelajaran Snowball
Throwing siswa dibentuk menjadi beberapa
kelompok. Dipilih ketua kelompok yang
akan mewakili untuk menerima tugas dari
guru. Masing-masing siswa membuat
pertanyaan yang dibentuk seperti bola
(kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa
lain kemudian siswa menjawab pertanyaan
dari bola yang didapatkan. Snowball
Throwing melatih siswa untuk lebih tanggap
menerima pesan dari orang lain, dan
menyampaikan pesan tersebut kepada
temannya dalam satu kelompok. Lemparan
pertanyaan menggunakan kertas berisi
pertanyaan yang diremas menjadi sebuah
bola kertas kemudian dilemparkan kepada
siswa lain. Siswa yang menerima bola
kertas lalu membuka dan menjawab
pertanyaannya.
III.
2. Siklus I
Pembelajaran Bahasa Indonesia
dalam aspek keterampilan berbicara siklus 1
dilakukan dalam dua kali pertemuan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Perencanaan (Planning)
Kegiatan perencanaan antara lain:
identifikasi masalah, perumusan masalah
dan analisis penyebab masalah, dan
pengembangan intervensi. Dalam tahap ini,
peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa,
dimana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan
tersebut dilakukan. Tindakan perencanaan
yang peneliti lakukan antara lain adalah
merencanakan identifikasi masalah yang
dihadapi guru dan siswa selama proses
pembelajaran,
rencana
penyusunan
perangkat
pembelajaran,
rencana
penyusunan alat perekam data, dan
merencanakan pelaksanaan pembelajaranm
kooperatif Snowball Throwing.
Pelaksanaan (Acting)
Pelaksanaan dilaksanakan peneliti
untuk memperbaiki masalah. Di sini,
langkah-langkah praktis tindakan diuraikan
dengan jelas. Pelaksanaan merupakan
implementasi atau penerapan isi rancangan,
yaitu mengenakan tindakan di kelas. Di sini
peneliti melakukan analisis dan refleksi
terhadap permasalahan temuan observasi
awal dan melaksanakan apa yang sudah
direncanakan pada kegiatan planning.
Langkah-langkah
pembelajaran
yang ditempuh dalam melaksanakan Model
Snowball
Throwing
sebagaimana
dikemukakan Suprijono (2010: 128) adalah
sebagai berikut (1) Guru menyampaikan
materi yang akan disajikan, Guru
membentuk
kelompok-kelompok
dan
memanggilmasingmasingketuakelompokuntuk memberikan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan model Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) atau Classroom Action
Research (CAR). Subjek dalam penelitian
ini yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi
dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa.
Secara rinci prosedur pelaksanaan menurut
Kemmis & M. Taggart (Arikunto, 2008:16)
penelitian tindakan kelas dapat diuraikan
sebagai berikut:
29
Langkah - langkah tersebut
dituangkan dalam rencana terevisi untuk
melakukan tindakan pada siklus II hingga
hasil belajar siswa meningkat.
penjelasan tentang materi pem- belajaran
(2) Masing-masing ketua kelompok kembali
ke kelompoknya masing-masing, kemudian
menjelaskan materi yangdisampaikan oleh
guru kepada teman kelompoknya (3)
Kemudian masing-masing murid diberi satu
lembar kerja untuk menuliskan pertanyaan
apa saja yang menyangkut materi yang
sudah dijelaskan oleh ketua kelompok,
Kemudian kertas tersebut dibuat seperti
bola dan dilempar dari satu murid ke murid
yang lain selama kurang lebih 5 menit (4)
Setelah tiap murid mendapat satubola/satu
pertanyaan (5) diberikan kesempatan
kepada
murid
untuk
menjawabpertanyaanyangtertulisdalamkertasberb
en- tuk bola tersebut secara bergantian (6)
Guru bersama dengan murid memberikan
kesimpulan atas meteri pembelajaran yang
diberikan (7) Guru memberikan evaluasi
sebagai bahan penilaian pemahaman
muridakan materi pembelajaran (8) Guru
menutup pembelajaran dengan memberikan
pesan-pesan moral dan tugas di rumah.
Pengamatan (Observing)
Pengamatan merupakan kegiatan
pengambilan data untuk memotret seberapa
jauh efek tindakan telah mencapai sasaran.
Efek dari suatu intervensi terus dimonitor
secara reflektif. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap pengamatan ini yaitu:
pengumpulan data, mencari sumber data,
dan analisis data. Pada langkah ini, peneliti
selaku pelaku tindakan atau sebagai
pengajar sekaligus observer bersama
observer lain melakukan pengamatan
terhadap proses belajar mengajar yang
dilakukan sendiri dan aktivitas siswa secara
berkelanjutan.
Refleksi (Reflecting)
Refleksi adalah kegiatan mengulas
secara kritis tentang perubahan yang terjadi
pada siswa, suasana kelas, dan guru. Pada
tahap ini, peneliti menjawab pertanyaan
mengapa (why) dilakukan penelitian,
bagaimana (how) melakukan penelitian, dan
seberapa jauh (to what extent) intervensi
telah menghasilkan perubahan secara
signifikan. Di sini peneliti melakukan
analisis dan refleksi terhadap permasalahan
dan kendala-kendala yang dihadapi di
lapangan.
3. Siklus II
Pelaksanaan siklus II ini didasari
dari hasil refleksi pada silkus I. Masalahmasalah yang timbul pada siklus I
ditetapkan alternatif pemecahan masalahnya
dengan harapan tidak terulang pada siklus II
nantinya. Apabila hasil refleksi pada siklus
II
menunjukkan
belum
tercapainya
indikator ketercapaian pembelajaran maka
siklus akan dilanjutkan, dan sebaliknya
apabila refleksi pada siklus II telah
menunjukkan
tercapaianya
indikator
ketercapaian pembelajaran maka siklus
akan dihentikan.
Data observasi dianalisis dengan
mendeskripsikan keaktifan siswa dalam
kegiatan pembelajaran kelompok yaitu
dengan menggunakan lembar observasi
keaktifan siswa. Penelitian keaktifan siswa
selama proses pembelajaran berlangsung
dapat dilihat dari skor pada lembar
observasi keaktifan siswa. Persentase
perolehan skor pada lembar observasi
dikualifikasi untuk mengukur keaktifan
siswa
dalam
mengikuti
proses
pembelajaran.
Cara
menghitung
persentase
keaktifan siswa berdasarkan lembar
observasi untuk setiap siklus adalah sebagai
berikut:
P = F x 100%
A
Keterangan:
P = Persentase keaktifan siswa.
F = Banyak siswa yangmelakukan
indikator lembarobservasi.
A = Banyak siswa keseluruhan.
Indikator:
A Mendengarkan
B
C
D
E
30
dan memperhatikan
presentasi / penjelasan guru
Mencatat penjelasan guru
Merespon pertanyaan atau perintah dari
guru
Mengajukan pertanyaan kepada guru jika
menemukan masalah
Berpartisipasi dalam diskusi kelompok
X = ∑�
N
F Mengemukakan pendapat dalam kelompok
G Mengerjakan soal dan lembar kegiatan
H Mempresentasikan hasil kerjakelompok
Keterangan :
X= rata-rata kelas(mean)
∑ � = jumlah nilai siswa
N = banyaknyasiswa
Hasil
data
observasi
dikualifikasikan dengan pedoman berikut:
Indikator
keberhasilan
dalam
penelitian ini adalah sesuai dengan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ada di
SMP Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia yaitu 75. Standar persentase
ketuntasan klasikal yang ditentukan yakni
80%.
Tabel Kualifikasi Persentase Keaktifan Siswa
Persentase
Kriteria
75% <P< 100% Sangat Tinggi
50% <P< 75%
Tinggi
25% <P< 50%
Sedang
0% <P< 25%
Rendah
IV.
Sedang
untuk
mengetahui
keberhasilan tindakan yang dilaksanakan guru
dalam
meningkatkan
hasil
belajar
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia melalui penerapan model
pembelajaran Snowball Throwing digunakan
persentase nilai yang diperoleh secara
keseluruhan siswa setelah dilaksanakan
tindakan. Untuk mengetahui persentase nilai
yang diperoleh siswa dengan perhitungan
sebagai berikut:
P = Skor yang diperoleh siswa
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas
ini dilaksanakan sebanyak dua siklus dengan
setiap siklusnya dua kali pertemuan.
Berdasarkan data hasil penelitian yangtelah
diuraikan sebelumnya diketahui bahwa:
4.1
Keaktifan Belajar Siswa
Keaktifan adalah kondisi siswa yang
aktif dalam pembelajaran, baik secara fisik,
mental, dan pikiran. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran merupakan salah satu kriteria
yang dapat digunakan untuk menilai
keefektifan proses pembelajaran. Proses
pembelajaran yang efektif adalah proses
pembelajaran
yang
menyediakan
kesempatan belajar dengan melakukan
kegiatan mandiri.
Pada prasiklus, peneliti mengamati
keaktifan
siswa
dalam pembelajaran
keterampilan berbicara pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Pada prasiklus, hasil
observasi keaktifan adalah 22,15% dengan
kriteria rendah. Pada siklus I, persentase
keaktifan meningkat 39,21% dari prasiklus,
sehingga persentase keaktifan menjadi
61,36% dengan kriteria tinggi. Pada siklus II,
persentase keaktifan kembali meningkat
35,79% dari siklus I menjadi 97,15% dengan
kriteria sangat tinggi. Perbandingan pelaksanaan
tindakan antar siklus keaktifan belajar dapat
dilihat pada tabel berikut :
x 100%
Skor total
Hasil presentase yang didapat
kemudian dikualifikasikan menggunakan tabel
kriteria berikut:
Tabel Persentase Nilai Siswa
Persentase (P)
Kualifikasi
80% < P ≤ 100% Sangat Tinggi
60% < P ≤ 80%
Tinggi
40% < P ≤ 60%
Sedang
20% < P ≤ 40%
Rendah
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
0% < P ≤ 20% Sangat Rendah
Sedangkan
untuk
mencari
perhitungan rata-rata secara klasikal dari
sekumpulan nilai yang telah diperoleh siswa
tersebut dapat menggunakan rumus mean
(Arikunto, 2010: 264).
31
Tabel Hasil Perbandingan Pelaksanaan Tindakan Antar Siklus
Keaktifan Siswa
cenderung menggunakan metode ceramah,
belum menggunakan model pembelajaran
yang lebih variatif untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dalam pembelajaran
aspek keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia, sehingga siswa
juga kurang antusias untuk mengikuti
pembelajaran dan nilai siswa kurang
memuaskan.
Setelah
penerapan
model
pembelajaran Snowball Throwing, terjadi
peningkatan hasil belajar siswa. Perbandingan
hasil prasiklus, siklus I, dan siklus II dapat
dilihat pada tabel berikut:
Prasiklus
Siklus I
Siklus II
N Indik
Persent
Perse
Persent
o ator
Kriteria
Kriteria
Kriteria
ase
ntase
ase
1
A
31,81% Sedang
68,18
%
Tinggi
100%
Sangat
Tinggi
2
B
22,72% Rendah
63,63
%
Tinggi
86,36%
Sangat
Tinggi
3
C
18,18% Rendah
59.09
%
Tinggi
100%
Sangat
Tinggi
4
D
13,63% Rendah
54,54
%
Tinggi
90,90%
Sangat
Tinggi
5
E
18,18% Rendah
59,09
%
Tinggi
100%
Sangat
Tinggi
6
F
13,63% Rendah
45,45
Sedang
%
100%
Sangat
Tinggi
7
G
27,27% Sedang
68,18
%
Tinggi
100%
Sangat
Tinggi
72,72
%
Tinggi
8
H
31,81% Sedang
Rata61,36
22,15% Rendah
Rata
%
Tinggi
100%
Tabel Perbandingan Hasil Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II
Sangat
Tinggi
Sangat
97,15%
Tinggi
Keterangan:
A
Mendengarkan
dan
memperhatikan
presentasi/
penjelasanguru
B
Mencatat penjelasanguru
C
Merespon pertanyaan atauperintah dari guru
D
Mengajukan
pertanyaan
kepada
guru
jika
menemukanmasalah
E
Berpartisipasi dalam diskusi kelompok
F
Mengemukakan pendapat dalam kelompok
G
Mengerjakan soal dan lembar kegiatan
H
Mempresentasikan hasil kerjakelompok
79
45
Siklus
I
87
68
Siklus
II
98
79
5
16
22
17
6
-
22,72%
72,72%
100%
77,27%
27,27%
-
67,28
76,39
90,02
Keterangan
Prasiklus
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Banyak siswa yang
tuntas
Banyak siswa yang
belum tuntas
Persentase siswa yang
tuntas
Persentase siswa yang
belum tuntas
Nilai rata-rata siswa
Hal tersebut ditunjukkan dari hasil
prasiklus, terlihat dari 22 siswa hanya 5
siswa yang memperoleh ketuntasan belajar
atau telah mencapai nilai KKM yang telah
ditentukan (75) atau dengan persentase
22,72% dan 17 lainnya belum tuntas belajar
dengan persentase 77,27%. Nilai rata-rata
siswa
pada
prasiklus
yaitu
67,28.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada
prasiklus tersebut hasil belajar siswa perlu
ditingkatkan.
Setelah diberi tindakan dengan
menerapkan model pembelajaran Snowball
Throwing dalam pembelajaran keterampilan
berbicara pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi
pada siklus I terlihat bahwaterjadipeningkatan
yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan
dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau 72,72%
siswa yang sudah mencapai nilai ketuntasan,
sedangkan 6 siswa atau 27,27% belum
mencapai ketuntasan. Adapun nilai rata-rata
siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus
I ini adalah sebesar 76,39.
Pada siklus II semua kekurangan-
Berdasarkan data di atas dapat
dinyatakan
bahwa
penerapan
model
pembelajaran Snowball Throwing dapat
meningkatkan keaktifan belajar siswa dalam
aspek keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP Negeri 8 Sigi.
4.2
Hasil Belajar Siswa
Pada prasiklus, peneliti melakukan
observasi terkait hasil belajar siswa. Dalam
observasi diketahui bahwa hasil belajar
siswa dalam aspek keterampilan berbicara
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
masih tergolong rendah. Keadaan tersebut
terjadi karena saat pembelajaran guru
32
77,27%. Nilai rata-rata siswa pada
prasiklus yaitu 67,28. Berdasarkan hasil
yang diperoleh pada prasiklus tersebut
hasil belajar siswa perlu ditingkatkan.
Setelah
diberi
tindakan
dengan
menerapkan
model
pembelajaran
Snowball Throwing dalam pembelajaran
keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas
VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I
terlihat bahwaterjadipeningkatan yang
cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan
dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau
72,72% siswa yang sudah mencapai
nilai ketuntasan, sedangkan 6 siswa atau
27,27% belum mencapai ketuntasan.
Adapun nilai rata-rata siswa kelas VII
SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I ini adalah
sebesar 76,39. Pada siklus II semua
kekurangan-kekurangan yang ada pada
siklus I telah diperbaiki, sehingga
proses pembelajarannnya menjadi lebih
baik dan hasilnya terjadi peningkatan.
Hal ini terlihat dari 22 siswa terdapat 22
siswa pula yang memperoleh nilai
tuntas belajar atau dengan kata lain
100% siswa memperoleh hasil belajar
tuntas dengan nilai rata-rata sebesar
90,02. Pada siklus II ini telah mencapai
indikator keberhasilan.
kekurangan yang ada pada siklus I telah
diperbaiki, sehingga proses pembelajarannnya
menjadi lebih baik dan hasilnya terjadi
peningkatan. Hal ini terlihat dari 22 siswa
terdapat 22 siswa pula yang memperoleh
nilai tuntas belajar atau dengan kata lain
100% siswa memperoleh hasil belajar tuntas
dengan nilai rata-rata sebesar 90,02. Pada siklus II
ini telah mencapai indikator keberhasilan.
Berdasarkan data di atas dapat
dinyatakan
bahwa
penerapan
model
pembelajaran Snowball Throwing dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam
aspek keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP Negeri 8 Sigi.
V.
SIMPULAN
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
Penerapan
model
pembelajaran
Snowball
Throwing
dapat
meningkatkan
keaktifan
belajar
keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Hal ini
terbukti dari keaktifan belajar siswa
yang terus mengalami peningkatan di
setiap siklusnya. Pada prasiklus, hasil
observasi keaktifan adalah 22,15%
dengan kriteria rendah. Pada siklus I,
persentase keaktifan meningkat 39,21%
dari prasiklus, sehingga persentase
keaktifan menjadi 61,36% dengan
kriteria tinggi. Pada siklus II, persentase
keaktifan kembali meningkat 35,79% dari
siklus I menjadi 97,15% dengan kriteria
sangat tinggi.
Penerapan
model
pembelajaran
Snowball
Throwing
dapat
meningkatkan
hasil
belajar
keterampilan berbicara pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Hal
tersebut ditunjukkan dari hasil prasiklus,
terlihat dari 22 siswa hanya 5 siswa
yang memperoleh ketuntasan belajar
atau telah mencapai nilai KKM yang
telah ditentukan (75) atau dengan
persentase 22,72% dan 17 lainnya
belum tuntas belajar dengan persentase
VI.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang
dalam penerapan model pembelajaran
Snowball Throwing terhadap peningkatan
kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP
Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia, maka saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut : a) bagi guru,
hendaknya dapat menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Snowball
Throwing dalam proses pembelajaran untuk
dapat meningkatkan kemampuan berbicara
siswa. Peran guru sangat diperlukan
untuk meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar siswa dalam proses pembelajaran.
Guru
mempertimbangkan
untuk
menerapkan model pembelajaran yangdapat
membantu
siswa
mengembangkan
kompetensi dan kemampuannya serta
membangun pengetahuan secara aktif. b) Bagi
33
siswa, hendaknya lebih aktif dalam
peroses pembelajaran dan mencari
bahan-bahan pelajaran lain yang
mendukung, sehingga dalam belajar
siswa tidak hanya menunggu materi yang
diberikan oleh guru, dan lebih cepat
dalam memahami materi pelajaran yang
diberikan. (c) Bagi kepala sekolah, agar
menyarankan kepada guru-guru untuk
dapat
menerapkan
model-model
pembelajaran yang bervariasi guna
meningkatkan efektifitas belajar mengajar
dalam pencapaian hasil belajar yang baik.
(d) Bagi peneliti, dalam kegiatan
pembelajaran peneliti diharapkan lebih
meningkatkan lagi dalam menerapkan
model pembelajaran yang digunakan untuk
meningkatkan
kemampuan
berbicara
siswa. c) Bagi peneliti lain, penelitian ini
dapat dijadikan acuan atau referensi
terhadap penelitian yang serupa terutama
pada penelitian di bidang bahasa untuk
kemampuan berbicara.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2005. SBM (Strategi Belajar Mengajar). Bandung: Pustaka Setia.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: BumiAksara.
Dimyati, dkk, (2002), Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
Dwitagama,Wijayah Kusumah,2009. Penelitian Tindakan Kelas , Jakarta :Malta Printindo.
Hamalik, Oemar., (2006), Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Bandung.
Hartono. 2008. Metode PembelajaranAktif. Yogyakarta: Workshop Pengembangan Profesi Guru.
Huda, M. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Munif Chatib. 2012. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa.
Silberman, Melvin L. 2009.Active Learning. Bandung: Nusamedia.
Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Tarigan, H. G. 1998. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
34
Media Litbang Sulteng IX (1) : 35-43, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENERAPAN PENDEKATAN MULTIPLE INTELEGENCE LINGUISTIC
INTELEGENCE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS SISWA
KELAS V SDN I BETELEME
Oleh :
Helnice Talingkau1)
ABSTRAK
Kemampuan menulis menjadi salah satu kesulitan yang dialami oleh setiap siswa, karena kurangnya penguasaan kosa
kata, rendahnya keberanian siswa untuk bertanya pada guru, pola komunikasi guru-siswa searah, dan budaya belajar yang masih
senang menerima, sehingga kemampuan menulis siswa masih tergolong rendah. Untuk itu, peneliti termotivasi untuk melakukan
penelitian tindakan kelas dan berkolaborasi dengan guru kelas V untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang melibatkan
siswa secara aktif sehingga siswa memahami materi tersebut secara keseluruhan. Tujuan Penelitian ini yaitu untuk mengetahui
bagaimana penerapan pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas
V SDN 1 Beteleme. Rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model alur Kemmis dan Mc. Taggart yang dilakukan dalam
dua siklus, dengan setiap siklus melalui 4 tahap, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi.
Penelitian ini dilakukan di kelas V SDN 1 Beteleme pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan subjek penelitian
adalah siswa kelas V SDN 1 Beteleme berjumlah 21 siswa. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar siswa kelas V SDN 1
Beteleme pada tes awal nilai rata-rata ketuntasan belajar klasikal hanya sebesar 28,58%. Setelah menerapkan pendekatan multiple
intelegence : linguistic intelegence, mengalami peningkatan hasil belajar siswa dengan ketuntasan belajar siswa 52,38%. Dari hasil
wawancara, observasi, dan hasil belajar siswa pada siklus I, disimpulkan bahwa penelitian tindakan belum berhasil dan dilanjutkan
pada siklus II untuk melihat kemajuan belajar siswa dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I. Pada
Siklus II hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu untuk rata-rata ketuntasan belajar mencapai 85,71%.
Kata Kunci: Multiple Intelegence, Linguistic Intelegence, Keterampilan, Menulis, Menulis puisi.
pembelajaran yang ada di kelas V Sekolah
Dasar mata pelajaran bahasa Indonesia
yaitu aspek menulis.
Menulis
merupakan
suatu
keterampilan berbahasa secara produktif
yang dipergunakan secara tidak langsung,
tidak secara tatap muka dengan orang lain.
Kemampuan
menulis
menjadi
satu
kesulitan yang dialami oleh setiap siswa.
Pandangan yang mengatakan bahwa
menulis sulit karena rasa kepercayaan yang
kurang. Padahal, salah satu tujuan
pembelajaran umum mata pelajaran Bahasa
Indonesia
adalah,
“Siswa
mampu
mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan,
pendapat dan perasaaan melalui menulis
dari pikiran.
Kondisi
di
lapangan,
pada
umumnya siswa kelas V SDN 1 Beteleme
kurang termotivasi terhadap materi menulis.
Siswa merasa kesulitan dalam menulis
karangan karena kurangnya penguasaan
kosa kata, rendahnya keberanian siswa
untuk bertanya pada guru, pola komunikasi
guru-siswa searah, dan budaya belajar yang
masih senang menerima maka alternatif
yang
diambil
dengan
menerapkan
pendekatan multi intelegence.
I. PENDAHULUAN
Kualitas
pembelajaran
harus
ditingkatkan, untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan
strategi atau pendekatan pembelajaran yang
efektif di kelas yang dapat memberdayakan
potensi siswa.
Guru dituntut untuk merancang
kegiatan pembelajaran yang mampu
mengembangkan kompetensi, baik dalam
ranah kognitif, ranah afektif maupun
psikomotorik siswa. Guru harus mampu
merancang pembelajaran sesuai dengan
karakteristik dan kondisi siswa. Setiap
siswa mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda di dalam bidang tertentu.
Setiap siswa memiliki keunikan, dan
kecerdasan mereka berkembang dalam
bentuk yang berbeda-beda. Untuk itu,
seorang guru harus mampu mengenal
kemampuan anak didiknya. Dengan begitu,
potensi yang dimiliki seorang siswa dapat
berkembang sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Beberapa aspek
1)
Guru SDN 1 Beteleme
35
kecerdasan ini
berbeda - beda.
Pendekatan multiple intelligence
pada dasarnya menekankan hal terbaik yang
dapat dilakukan guru di kelas selain
menggunakan buku teks dan papan tulis
guna membangkitkan pikiran anak. Selain
itu, pendekatan ini memberikan pedoman
kepada guru dalam memilih metode
mengajar yang terbaik disertai prosedur
pengembangannya yang melibatkan unsur
metode, materi dan tekhnik mengajar.
Penerapan strategi pembelajaran
multiple intelegence yang berkenaan
dengan linguistic intelegence ini diharapkan
dapat meningkatkan hasil pembelajaran
bahasa Indonesia aspek keterampilan
menulis pada siswa kelas V SDN 1
Beteleme.
Dari
hasil
observasi, dapat
diidentifikasi masalah yang menyebabkan
rendahnya hasil belajar siswa dalam aspek
menulis, antara lain :
Metode yang digunakan tidak sesuai
dengan kebutuhan siswa.
Budaya belajar yang masih senang
menerima.
Kurangnya penguasaan kosa kata
Rendahnya keberanian siswa untuk
bertanya pada guru
Kurangnya pengetahuan dan informasi
materi tentang menulis karangan,
ungkapan dan pengembangan kata yang
minim membuat para siswa kesulitan
dalam mengungkapkan gagasannya.
Dari identifikasi masalah tersebut
di atas, peneliti termotivasi untuk
melakukan penelitian tindakan kelas
dengan menerapkan pendekatan multiple
intelegence: linguistic intelegence dengan
harapan dapat meningkatkan keterampilan
menulis karangan pada siswa kelas V SDN
1 Beteleme.
2.2
dengan proporsi
yang
Pembelajaran Berbasis Linguistic
Intelegence
Kecerdasan
Linguistik
didefinisikan oleh Linda Campbell, sebagai
kemampuan untuk berfikir dalam bentuk
kata-kata dan menggunakannya untuk
mengekspresikan dan menghargai makna
yang kompleks. Kemampuan peserta didik
yang
suka
berbicara
dalam
mengekspresikan gagasan, memahami atau
menghafal pelajaran. Biasanya yang terjadi
dalam kenyataan bila peserta didik selalu
ribut di dalam kelas, selalu membuat gaduh
maka pendidik akan marah, bahkan sampai
menghukum. Padahal peserta didik ini
mempunyai kecerdasan linguistik, pendidik
tersebut tidak memahami kemampuan
peserta didiknya. Maka pendidik harus
pandai mengaplikasikannya dalam sebuah
pembelajaran dengan kecerdasan linguistik
yang dimiliki siswa. Contoh, secara
bergantian siswa membacakan sebuah
cerita.
Pembelajaran berbasis linguistic
intelegence sangat efektif sebab mampu
meningkatkan aktivitas dan kreativitas
siswa dalam bentuk interaksi baik antara
siswa dengan guru maupun antara siswa
dengan siswa lainnya dalampembelajaran
bahasa Indonesia. Bahkan interaksi ini lebih
didominasi oleh interaksi antara siswa
dengan siswa sedangkan guru hanya
bersifat sebagai moderator dan fasilitator
saja.Tanya jawab antarsiswa berjalan
dengan sangat baik dan setiap penilaian
yang diberikan oleh guru maupun siswa
lainnya mampu memacu dirinya untuk lebih
menggali konsep-konsep materi yang
diajarkan, sehingga menghasilkan rasa
keingintahuan dan percaya diri yang tinggi.
Menurut Gardner (Hoerr, 2007: 18)
mengatakan kecerdasan bahasa dapat
ditumbuhkembangkan dengan menulis
cerita dan esai; menceritakan lelucon,
cerita, plesetan, menggunakan kosakata
yang luas, menggunakan kosakata luas;
bermain word game, menggunakan kata
untuk menggambarkan sebuah cerita.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Multiple Intelegences
Multiple intelegences mengacu
pada sebuah teori kecerdasan yang
dikembangkan pertengahan tahun 1980-an
oleh Howard Gardner, seorang profesor
dalam bidang pendidikan di Universitas
Harvard. Setiap orang memiliki ke semua
36
dasarnya tidak terlepas dari tiga
keterampilan berbahasa lainnya, yaitu
menyimak, berbicara, dan membaca
(Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman,
1986; Weafer, 1992, dalam Santosa, 2004).
Menulis didorong oleh kegiatan berbicara,
membaca, dan menyimak. Menulis
membawa ide-ide dari seseorang dengan
tujuan dan makna yang berbeda. Siswa
melalui bermacam kegiatan menulis, dapat
mengembangkan perasaan audiens dan
merasakan kegiatan menulis sebagai
tindakan yang relevan yang terjadi di antara
diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Berdasarkan pendapat Gardner
(Sandjaja,2011: 8) ada beberapa langkah
untuk menyusun rencana pembelajaran
terpadu dengan intelegensi linguistik, yaitu:
Menentukan topik yang akan dibahas.
Rumuskan topik berdasar masalah atau
kebutuhan siswa secara riil dan sesuai.
Hal ini sesuai dengan teori aplikasi
teknologi Gestalt dalam pendidikan,
bahwa mengajar yang efektif adalah
berfokus pada masalah dan kebutuhan
riil murid. Pada gilirannya, hasil
pembelajaran
di
sekolah
dapat
digunakan untuk hidup sehari-hari.
Membuat
skema
pembelajaran
kecerdasan linguistik yang berisi
alternatif kegiatan belajar mengajar, isi
pembelajaran, alat peraga dan fasilitas
(peralatan) yang dibutuhkan serta alat
evaluasinya.
Memilih dan mengurutkan kegiatan
belajar mengajar sesuai dengan alokasi
waktu
dan
langkah-langkah
pembelajaran
eksperensial
yang
digunakan.
III.
METODE PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas, maka peneliti menggunakan
model penelitian mengikuti model yang
dikembangkan oleh Kemmis dan Mc.
Taggart (dalam Depdikbud, 1999), yang
terdiri dari empat komponen, yaitu: (1)
perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi,
dan (4) refleksi.
2.3
Peningkatan
Keterampilan
Menulis Melalui Strategi Multiple
Intelegence
2.3.1 Pengertian Keterampilan
Keterampilan dapat menunjukkan
pada aksi khusus yang ditampilkan atau
pada sifat dimana keterampilan itu
dilaksanakan. Banyak kegiatan dianggap
sebagai suatu keterampilan, terdiri dari
beberapa
keterampilan
dan
derajat
penguasaan yang dicapai oleh seseorang
menggambarkan tingkat keterampilannya.
Hal ini terjadi karena kebiasaan yang sudah
diterima umum untuk menyatakan bahwa
satu atau beberapa pola gerak atau perilaku
yang diperluas bisa disebut keterampilan,
misalnya menulis, memainkan gitar atau
piano, menyetel mesin, berjalan, berlari,
melompat dan sebagainya. Jika ini yang
digunakan, maka kata “keterampilan” yang
dimaksud adalah kata benda (Fauzi, 2010: 7
dalam artikelbagus. com)
2.3.2
Pengertian Menulis
Keterampilan menulis
3.1.1
Setting dan Subjek Penelitian
Penelitian ini bertempat di SDN 1
Beteleme dan dilaksanakan pada semester
ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan
subjek penelitian adalah kelas V SDN 1
Beteleme berjumlah 21 orang.
A. Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian
tindakan kelas ini terdiri dari dua siklus.
Masing-masing siklus dilaksanakan sesuai
dengan perubahan yang dicapai, seperti
yang telah didesain dalam faktor-faktor
yang diselidiki.
B. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini
adalah data kualitatif dan kuantitatif yang
diperoleh dari hasil observasi, wawancara,
catatan lapangan, angket, dan data tentang
hasil belajar siswa setelah dilakukan
tindakan yang diperoleh melalui tes.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan metode :
Tes, adalah alat penilaian dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
pada
37
guru telah berada dalam kategori baik atau
sangat baik. Suatu pembelajaran dikatakan
sangat baik jika semua aspek kegiatan
terlaksana secara optimal, dikatakan kurang
baik jika ada salah satu aspek kegiatan yang
tidak terlaksana, dikatakan kurang jika
hanya ada satu aspek kegiatan saja yang
terlaksana sedangkan aspek yang lain tidak
terlaksana. Kriteria taraf keberhasilan
tindakan dapat ditentukan (Hadi, 2003 :
107) yaitu :
85 % ≤ NR < 100 %: sangat baik
75% ≤ NR < 84% : baik
65% ≤ NR < 74% : cukup baik
55% ≤ NR < 64% : kurang baik
≤ 54%
:sangat kurang baik
kepada seseorang dengan jawaban
tertentu baik dalam bentuk lisan, tulisan
maupun perbuatan (tindakan).
Observasi, Observasi memungkinkan
untuk mengetahui kesesuaian antara
harapan dan kenyataan dari penelitian
tindakan kelas dan dilakukan untuk
melihat langsung aktifitas guru dan
siswa selama proses pembelajaran.
Wawancara,
dimaksudkan
untuk
menelusuri kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh siswa selama mengikuti
pembelajaran.
Catatan lapangan, bertujuan untuk
memperoleh data yang akurat dan
objektif apa adanya, sehingga hal-hal
yang tidak terekam dalam observasi
dapat dilakukan dengan catatan
lapangan.
Angket adalah sebuah daftar pertanyaan
yang harus dijawab oleh responden.
IV.
4.1
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua
siklus dengan dua kali tindakan, dan terbagi
dalam dua bagian, yaitu :
4.1.1 Kegiatan Pra Tindakan
Sebelum dilaksanakan penelitian,
peneliti melakukan observasi awal terhadap
kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di
kelas V, khususnya menulis karangan. Dari
hasil observasi, dapat diidentifikasi masalah
yang menyebabkan siswa kesulitan di
dalam menulis karangan. Salah satunya
adalah budaya belajar yang masih senang
menerima. Hal ini menyebabkan kurangnya
kosa kata sehingga dalam menuangkan ideide ke dalam tulisan dirasakan sulit oleh
siswa. Peneliti berkolaborasi dengan guru
kelas V SDN 1 Beteleme dalam
melaksanakan penelitian tindakan kelas.
Pada pertengahan bulan Agustus 2013,
peneliti memberikan tes awal dalam bentuk
memperlihatkan sebuah gambar sebagai
stimulus dan meminta setiap siswa menulis
berdasarkan gambar yang diperlihatkan
tersebut. Tes ini lebih dimaksudkan sebagai
upaya pengenalan kemampuan siswa dalam
menulis.
Dari hasil analisis tes awal, dapat
diketahui bahwa kemampuan siswa dalam
menulis karangan masih sangat rendah, ini
dibuktikan dari 21 siswa yang mengikuti tes
D. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian
tindakan kelas ini menggunakan analisis
kuantitatif
dan
kualitatif
(Supardi,
2006:131). Terhadap perolehan hasil belajar
siswa dianalisis secara kuantitatif dengan
memberikan nilai pada hasil belajar siswa.
Sedangkan terhadap perolehan
data
observasi aktivitas guru dan siswa dalam
proses pembelajaran dianalisis secara
kualitatif. Perolehan data melalui observasi
tersebut dikonsultasikan dengan kriteria
deskriptif kualitatif, yang dikelompokkan
dalam 5 kategori, yaitu baik sekali, baik,
cukup, kurang, dan sangat kurang sebagai
berikut:
1. Indikator Keberhasilan Ketuntasan
a. Indikator Kuantitatif Pembelajaran
Indikator
yang
menunjukkan
keberhasilan
pembelajaran
atau
peningkatan hasil belajar siswa yaitu jika
daya serap individu memperoleh nilai
minimal 75% dari skor ideal dan ketuntasan
klasikal minimal 80%. (Depdiknas, 2007).
b. Indikator Kualitatif Pembelajaran
Indikator Kualitatif pembelajaran
dapat dilihat dari aktifitas siswa dan guru,
selama pembelajaran. Penelitian ini
dinyatakan berhasil jika aktifitas siswa dan
38
masih banyak siswa yang belum bisa untuk
menyampaikan hasil diskusinya dengan
baik
dikarenakan
kurangnya
perbendaharaan kosa kata/berbicara secara
sistematis.
yang tuntas belajar hanya 6 orang atau
hanya sebesar 28,58%.
Maka,
peneliti
bersama
kolaborator mencari solusi dan menetapkan
pendekatan multiple linguistic : linguistic
intelegence yang akan diterapkan dalan
penelitian tindakan kelas, dengan tujuan
untuk meningkatkan keterampilan menulis
pada siswa kelas V SDN 1 Beteleme.
4.1.4
Data Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara, dapat
diketahui bahwa 1) siswa senang dengan
model pembelajaran yang diterapkan guru,
walau siswa masih merasa kesulitan untuk
menulis karangan dengan kalimat yang
runtut, 2) siswa belum terbiasa untuk
mempresentasikan jawaban di depan kelas
atau berbicara secara sistematis.
4.1.2
Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus
I
Tes ini dilakukan untuk menilai
keterampilan menulis siswa dalam menulis
karangan. Tes dilaksanakan secara klasikal
dan dikerjakan mandiri. prosentase
ketuntasan klasikal hanya 52,38. Indikator
keberhasilan ketuntasan yang ditetapkan
adalah 80%. Ini menandakan bahwa
ketuntasan belajar klasikal belum tercapai.
4.1.5
Refleksi Tindakan Siklus I
Peneliti
bersama
kolaborator
melakukan refleksi terhadap pelaksanaan
siklus I. Dari hasil analisis tes akhir, siswa
belum tuntas secara klasikal karena hanya
mencapai 52,38% atau dari 21 siswa, yang
tuntas belajar hanya 11 orang. Hal ini
disebabkan belum optimalnya pembelajaran
yang dilakukan guru dan siswa dan strategi
yang diterapkan guru masih dirasakan baru
oleh siswa.
Dari hasil observasi terhadap guru,
masih banyak kekurangan yang dilakukan
guru pada pembelajaran siklus I, untuk itu
dilakukan refisi agar pembelajaran pada
siklus berikutnya bisa berlangsung dengan
baik.
Hasil observasi terhadap aktivitas
siswa menunjukkan bahwa masih banyak
aspek yang dinilai kurang oleh observer.
Untuk itu, diperlukan bimbingan bagi siswa
yang masih merasa kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran, sehingga pada
pembelajaran berikutnya siswa sudah siap
dengan metode yang diterapkan guru.
Pembentukan
kelompok
yang
beranggotakan 3 orang siswa dirasa kurang
efektif, karena siswa yang lain tidak
mengerjakan tugas secara tuntas/masih ada
yang tidak aktif di dalam kelompoknya.
Untuk itu, strategi akan dirancang ulang
agar semua siswa aktif dalam belajar.
Dari hasil wawancara, observasi,
dan hasil belajar siswa, dapat disimpulkan
bahwa penelitian tindakan siklus I belum
berhasil dan dilanjutkan pada siklus II
4.1.3
Data Hasil Observasi
Dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa
dalam aktivitas yang dilakukan guru
dikategorikan baik oleh observer, meskipun
ada beberapa aspek yang dinilai kurang,
seperti
1). guru kurang mengontrol kegiatan
pembelajaran yang dilakukan siswa saat
kerja
kelompok sehingga masih ada
siswa yang tidak mengerjakan tugas
secara keseluruhan,
2). guru kurang memberikan penghargaan
bagi
kelompok
yang
telah
mempresentasikan jawabannya,
3). guru kurang optimal dalam pengelolaan
waktu sehingga tidak sesuai dengan
rencana yang telah dibuat.
Dari
pengamatan
yang
dilakukan terhadap aktivitas siswa,
diperoleh informasi bahwa siswa sangat
antusias dalam mengikuti pembelajaran,
apalagi dengan adanya teka-teki kata yang
dibuat guru dalam LKS, walau dalam
beberapa aspek masih dinilai kurang oleh
observer, seperti: 1) siswa kurang
berpartisipasi dalam pembelajaran, 2) tidak
semua siswa aktif dalam pembelajaran
kelompok, saat diberi kesempatan untuk
bertanya, masih banyak siswa yang belum
berani,3)dalam mempresentasikan jawaban,
39
untuk melihat kemajuan belajar siswa
dengan
memperbaiki
kekurangankekurangan yang terjadi pada siklus I.
siswa terhadap pembelajaran bahasa
Indonesia
dengan
menggunakan
pendekatan multiple intelegence : linguistic
intelegence diperoleh hasil bahwa untuk
ketiga
kategori
tersebut
di
atas
menunjukkan respon yang positif dari
hampir seluruh siswa.
4.1.6
Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus
II
Tes siklus II ini juga dilaksanakan
secara klasikal dan siswa tidak diizinkan
untuk bekerjasama. Tes ini dilaksanakan
untuk menilai hasil keterampilan menulis
karangan siswa. Siswa juga diberi
kesempatan untuk mengisi angket respon
siswa terhadap model pembelajaran yang
diterapkan.
Dari hasil analisis data, dapat
dilihat bahwa ketuntasan klasikal mencapai
85,71% atau yang tuntas belajar ada 18
siswa dari 21 siswa. Indikator keberhasilan
telah tercapai bahkan lebih dari yang
diharapkan.
4.1.8
Data Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara, diperoleh
informasi bahwa, 1) siswa senang bekerja
kelompok karena dapat saling membantu,
2) siswa senang dengan strategi guru yang
bervariasi, 3) siswa senang dengan metode
yang diterapkan karena membantu siswa
memperbanyak perbendaharaan kata, 4)
siswa senang dalam kegiatan diskusi
maupun mempresentasikannya karena dapat
melatih siswa berbicara dengan sistematis.
4.1.9
Refleksi Hasil Tindakan Siklus II
Dari hasil analisis tes akhir
tindakan siklus II, diperoleh informasi
untuk ketuntasan belajar klasikal telah
tercapai, yaitu sebesar 85,71% atau ada 18
siswa yang tuntas belajar. Rata-rata siswa
memperoleh nilai ≥75. Ini membuktikan
bahwa pendekatan multiple intelegence :
intelegence linguistic dapat meningkatkan
keterampilan menulis karangan siswa.
Dari hasil observasi terhadap
aktivitas guru (peneliti) dan siswa (subjek),
pada siklus II ini menunjukkan peningkatan
dalam semua aspek sehingga berdampak
pada hasil belajar siswa yang mengalami
peningkatan. Guru sudah mengoptimalkan
kinerja dan potensinya dalam pembelajaran
sehingga siswapun terlibat secara aktif dan
dapat berpartisipasi dengan baik dalam
pembelajaran. Siswa sudah menunjukkan
hasil belajar yang optimal.
4.1.7
Data Hasil Observasi
Dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa
peneliti sudah melaksanakan pembelajaran
dengan baik. Kekurangan-kekurangan yang
terjadi pada siklus I sudah diperbaiki
sehingga peneliti sudah mengoptimalkan
kinerjanya pada siklus II ini. Guru dapat
mengelola waktu pembelajaran dengan
baik, guru dapat mengontrol setiap kegiatan
yang dilakukan siswa baik secara mandiri
maupun kelompok, memotivasi siswa lewat
tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan
pada setiap kelompok.
Dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa, diketahui bahwa seluruh
siswa
terlibat secara aktif dalam
pembelajaran. Siswa terlihat antusias saat
mengerjakan LKS. Setiap kelompok ingin
menjadi yang terbaik. Ini menandakan
adanya persaingan positif dalam belajar.
Siswa dapat bekerjasama dengan baik
dalam kelompoknya. Secara keseluruhan,
seluruh siswa berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran.
Dari hasil analisis angket yang
diisi oleh seluruh siswa, diperoleh
informasi sebagai berikut. diperoleh hasil
respon sikap siswa 85,71%, keterampilan
90,48%, dan pemahaman materi 85,71%.
Berdasarkan kategori penilaian respon
4.1.10 Temuan Penelitian
a. Pendekatan multiple intelegence :
linguistic intelegence dapat membantu
siswa untuk mengembangkan daya
imajinasinya
lewat
cerita
yang
dibacakan dan hal itu membantu siswa
dalam menulis karangan.
b. Pendekatan multiple intelegence :
linguistic
intelegence
dapat
40
kelompok. Guru terlalu banyak duduk di
depan kelas dan tidak membimbing siswa
sehingga kurang berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran. Kurangnya perbendaharaan
kata menyebabkan siswa kesulitan dalam
menulis juga saat mempresentasikan
jawaban, siswa berbicara dengan susunan
kata yang tidak sistematis. Oleh sebab itu,
untuk
memperbaiki
kekurangankekurangan dalam pembelajaran dan untuk
melihat progress atau kemajuan belajar
siswa dalam menulis karangan, maka
penelitian ini dilanjutkan pada siklus II.
Pada pelaksanaan pembelajaran
berbasis intelegence linguistic pada siklus II
diberikan pengalaman belajar yang berbeda
dari siklus I. Untuk pengembangan kosa
kata, strategi pada siklus II divariasikan
dengan bentuk yang berbeda dari siklus I.
Pada sikul II ini, guru membacakan sebuah
cerita rakyat yang dekat dengan lingkungan
siswa. Siswa diminta menuliskan tema,
penokohan, alur cerita, dan amanat dari
cerita rakyat yang dibacakan guru tadi.
Bentuk tulisan yang diharapkan dihasilkan
oleh siswa adalah tulisan yang dijalin dalam
bentuk paragraf naratif. Siswa diminta
berimajinasi menulis ulang cerita dengan
mengemukakan tema cerita, penokohan,
alur cerita, dan amanat cerita. Hal ini
dilakukan
untuk
menstimulus
dan
merangsang otak siswa untuk berpikir dan
menuangkan ide-idenya ke dalam bentuk
tulisan.
Pembelajaran pelaksanaan berbasis
intelegence linguistic pada siklus II sudah
dilaksanakan dengan baik. Hal ini
terindikasi dari hasil belajar, hasil observer,
dan respon siswa melalui nilai tulisan
siswa. Dari hasil tes akhir tang dilakukan,
siswa sudah dapat menulis tentang
pengalaman pribadi dengan leluasa dan
lancar. Pilihan kata yang digunakan siswa
sudah bervariasi, hal ini terjadi karena
siswa memiliki referensi kosa kata yang
banyak, yang diperoleh dari pengalaman
belajar yang bervariasi. Siswa mengalami
progres
atau
peningkatan
dalam
pengembangan
bahasa
terlihat
dari
pengembangan cerita pengalaman pribadi
siswa yang ditulis dengan lancar dan sesuai
dengan tema yang dipilih. Dari hasil
memperbanyak perbendaharaan kosa
kata lewat teka-teki kata.
c. Pendekatan multiple intelegence :
linguistic intelegence dapat membantu
guru untuk melihat potensi yang
dimiliki oleh setiap siswa sehingga
dapat
menciptakan
strategi
pembelajaran yang pas untuk masingmasing kecerdasan anak.
V.
PEMBAHASAN
Dari hasil observasi awal, dapat
diidentifikasi masalah yang menyebabkan
siswa kesulitan di dalam menulis karangan.
Salah satunya adalah budaya belajar yang
masih senang menerima. Hal ini
menyebabkan kurangnya kosa kata
sehingga dalam menuangkan ide-ide ke
dalam tulisan dirasakan sulit oleh siswa.
Peneliti berkolaborasi dengan guru
kelas V SDN 1 Beteleme dalam
melaksanakan penelitian tindakan kelas.
Peneliti melakukan tes awal sebagai materi
prasyarat untuk mengetahui kemampuan
siswa dalam menulis karangan. Dari hasil
yang didapatkan, hanya 28,5% siswa yang
memperoleh nilai ≥ 75. Peneliti bersama
kolabotor menyusun strategi dan dengan
menerapkan
pendekatan
multiple
intelegence : intelegence inguistic dengan
tujuan untuk meningkatkan keterampilan
menulis karangan pada siswa kelas V SDN
1 Beteleme.
Pelaksanaan pembelajaran berbasis
intelegence linguistic pada siklus 1
mengindikasi pembelajaran kurang efektif,
parameternya terlihat dari tulisan siswa. Hal
ini disebabkan siswa belum membuka
cakrawala berpikir untuk menulis cerita.,
walaupun peneliti telah memberikan
pengalaman belajar untuk menstimulus otak
siswa lewat teka-teki kata. Dari hasil
analisis data tes akhir siklus I, menunjukkan
siswa belum tuntas secara klasikal karena
hanya mencapai 52,38% atau dari 21 siswa,
yang tuntas belajar hanya 11 orang. Dalam
pembagian kelompok yang terdiri dari 3
siswa dalam satu kelompok tidak efektif
karena siswa tidak mengerjakan tugas
secara keseluruhan disebabkan guru kurang
mengontrol pembelajaran saat kerja
41
Dengan demikian, dapat diindikasi
bahwa dengan menerapkan pendekatan
multiple intelegence : intelegence linguistic
dalam pembelajaran bahasa Indonesia
khususnya materi menulis karangan dapat
meningkatakan keterampilan menulis siswa
kelas V SDN 1 Beteleme.
Dengan
menerapkan
model
pembelajaran tersebut, dapat memotivasi
dan meningkatkan keterampilan menulis
siswa kelas V SDN 1 Beteleme.
analisis tes akhir siklus II, ketuntasan
belajar klasikal mencapai 85,71% atau
siswa yang memperoleh nilai ≥ 75 ada 18
siswa. Dari hasil observasi yang dilakukan
terhadap guru (peneliti) dan siswa (subjek)
menunjukkan peningkatan di semua aspek
dan dikategorikan sangat baik oleh
observer. Dari hasil angket yang diisi siswa,
menunjukkan bahwa siswa memberi respon
yang
positif
terhadap
pendekatan
pembelajaran yang diterapkan, dengan
melihat dari 3 kategori yang ada, semua
dalam kriteria penilaian baik.
VI.
6.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan peneliti menyarankan beberapa
hal yang terkait dengan peningkatan
kemampuan siswa dalam menulis. Pada
hakikatnya
pembelajaran
menulis
merupakan keterampilan yang urgency
yang harus dikuasai oleh siswa, namun
tujuan pembelajaran menulis bukan sematamata hasil akhir pembelajaran yang harus
diperhatikan, tetapi bagaimana proses
menulis itu dilakukan oleh siswa. Di
samping itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat menciptakan konsep kerja sama
dengan berbagai pihak dan menumbuhkan
kecintaan siswa untuk belajar.
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pelaksanaan
tindakan siklus I dan II, menunjukkan
kemajuan yang sangat signifikan dari siklus
I ke siklus II. Prosentase ketuntasan siklus I
52,38% dan meningkat pada siklus II
menjadi 85,71%. Begitu juga dengan
aktivitas guru dan siswa meningkat pada
setiap siklus. Guru maupun siswa sudah
dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan
yang dilakukan pada siklus I sehingga pada
siklus II kegiatan pembelajaran yang
dilakukan sudah optimal.
42
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, T. 1994. Multiple Intellegence In the Class Room. Alexandria :
Development.
Association fo Supervision and Curriculum
Campbell, Linda. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Depdikbud, 1999. Penelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2007. Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta.
Gardner, Howard, Multiple Intelligence : The Theory in Practice, USA : Basic Books, 1993.
Hadi. Amirul. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Pustaka Setia. Bandung.
Hari, Cecep Syamsul. 2011. Pengantar Praktik Menulis. Jakarta: Kementeriaan Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar.
Hoerr, Thomas R. 2007. Buku Kerja Multiple Intelligences.Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sandjaja SS. 2011. Lokakarya Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelegences. Jakarta: Fakultas Psikologi Ukrida.
Tarigan, Henry Guntur. 1992. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
www. artikelbagus. com. Definisi Keterampilan. Diakses tanggal 20 September 2013.
43
Media Litbang Sulteng IX (1) : 44-54, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA
INDONESIA ASPEK KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN DESKRIPSI
DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BROSUR PERJALANAN WISATA PADA SISWA
KELAS X SMA NEGERI 1 SINDUE
Oleh :
Zusje Marie Deetje Kumenit1)
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini berawal dari ditemukannya beberapa kendala dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti. Hal tersebut yakni (1) motivasi belajar siswa di kelas rendah,
khususnya minat dalam pembelajaran menulis, (2) siswa masih kurang memiliki motivasi yang kuat untuk berlatih menulis, sehingga
mengalami kesulitan dalam penemuan serta pemunculan ide di dalam proses awal penuangan ide. Selain itu, penggunaan metode
dan media pembelajaran yang dipergunakan guru belum optimal. (3) belum digunakannya media pembelajaran yang sesuai dengan
aspek keterampilan yang diajarkan yakni menulis karangan deskripsi. Dari adanya permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu
inovasi baru dalam pembelajaran di kelas. Guru dapat mengupayakannya dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik
minat siswa. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis karangan deskripsi pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah media brosur perjalanan wisata. Media brosur perjalanan wisata merupakan sebuah media
pendidikan berupa gambar yang berisi informasi tentang suatu daerah, lokasi atau objek wisata disertai dengan panduan lengkap
akses menuju lokasi dan hal-hal lain yang merupakan nilai tambah dari objek yang ditulis. Brosur wisata merupakan media gambar
yang dapat digunakan peserta didik untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai media gambar, media ini tepat digunakan dalam
pembelajaran menulis karangan deskripsi, karena akan membantu siswa dalam bervisualisasi dan selanjutnya menuangkan ide-ide
dan gagasannya ke dalam paragraf deskripsi. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah dengan menggunakan media
brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis
karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue?. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada
siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sindue pada siswa kelas X dengan jumlah siswa
sebanyak 23 siswa. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Prosedur penelitian yang digunakan yang meliputi
observasi awal, perencanan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan (observasi), refleksi dan evaluasi. Teknik pengumpulan data
yang digunakan meliputi metode observasi, metode dokumentasi dan metode tes. Untuk menganalisis data, teknik yang digunakan
adalah analisis kualitatif yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat diambil simpulan bahwa dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri
1 Sindue. Hasil belajar pada aspek kognitif untuk siklus I sebesar 80 dengan presentase ketuntasan 78,26%, pada siklus II meningkat
menjadi 90 dengan presentase ketuntasan sebesar 100%. Hasil belajar pada aspek afektif untuk siklus I dengan rata-rata 59,775
dengan kriteria cukup berminat, pada siklus II mengalami peningkatan, sehingga menjadi 100 dimana masuk dalam kriteria
berminat.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Bahasa Indonesia, Karangan Deskripsi, Media Brosur Perjalanan Wisata.
ABSTRACT
The background of this research came from the discovery of several obstacles in learning Indonesian is based on the
results of preliminary observations made by researchers. It is namely (1) The students' motivation in the lower classes, especially
interest in learning writing, (2) students still lack a strong motivation to practice writing, so that difficulties in the discovery and
appearance of the idea in the beginning of the process of casting ideas. In addition, the use of methods and media that the teacher
has not been optimally utilized. (3) has not been used in accordance with the learning media skills that are taught aspects o f the
writing essay description. Of the existence of these problems, we need a new innovation in the classroom. Teachers can be working
on using media that attract students. One of the media that can be used in teaching essay writing descriptions on Indonesian subjects
are media and travel brochures. Media brochures and travel is an education media is an image containing information about an
area, location or attraction accompanied by a complete guide access to the location and other things that the added value of the
object is written. A tourist brochure image of media that can be used to describe something learners. As media images, the media is
properly applied in writing class essay description, because it will help students to visualize and further expressing ideas and ideas
into paragraphs description. The problems of this study is whether the use of media and travel brochures can improve student
learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X SMA Negeri 1 Sindue ?. Based on the
formulation of the problem, the objectives to be achieved in this research is to determine and describe whether using the media and
travel brochures can improve student learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X
SMA Negeri 1 Sindue. This research was conducted at SMAN 1 Sindue in class X with the number of students as many as 23
students. This research is a classroom action research (PTK). The research procedure that includes the initial observation, action
planning, action, observation (observation), reflection and evaluation. Data collection techniques used include observation, methods
of documentation and test methods. To analyze the data, the technique used is qualitative analysis includes data reduction, data
presentation and conclusion. Based on research that has been done, it can be concluded that by using the media and travel
brochures can improve student learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X SMA
Negeri 1 Sindue. Results of study on cognitive aspects to the first cycle of 80 with a percentage of 78.26% completeness, on the
second cycle increased to 90 with a percentage of 100% completeness. Results of study on the affective aspects to the first cycle with
an average of 59.775 with the criteria of sufficient interest, on the second cycle increased, thus becoming 100 which entered into
interest criteria.
Keywords: Learning Outcomes, Indonesian, Authorship Description, Media Brochure Travel.
44
I.
Menurut Keraf (2001:135) kelima bentuk
karangan tersebut meliputi : narasi,
deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan
persuasi. Dari kelima bentuk karangan
tersebut, karangan deskripsi merupakan
salah satu jenis karangan yang sering
disampaikan pada tahap awal menulis.
Menulis
deskripsi
merupakan
bagian dari keterampilan menulis yang juga
harus mendapatkan perhatian. Kemampuan
menulis karangan deskripsi merupakan
kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa
baik itu di SD, SMP maupun di SMA. Oleh
sebab itu seorang guru diharapkan tidak
memandang aktivitas menulis karangan
deskripsi sebagai suatu pekerjaan yang
selesai dalam waktu satu kali duduk, tetapi
dapat dipandang sebagai suatu proses
secara bertahap dalam waktu tertentu untuk
menyelesaikan tulisan yang baik. Dengan
memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang baik tentang menulis, maka guru dan
siswa dapat melaksanakan kegiatan
pembelajaran menulis karangan deskripsi
dengan baik tanpa mengalami kesulitan.
Dalam menulis karangan deskripsi
tidak dapat sekali jadi, perlu pembinaan
dari guru. Untuk melakukan pembinaan
menulis
karangan
deskripsi,
maka
diperlukan model pembelajaran yang tepat
dalam mengajarkan menulis karangan
deskripsi agar siswa pembelajaran menjadi
menyenangkan dan dapat dengan mudah
dipahami oleh peserta didik. Latihan
menulis karangan deskripsi dimulai dengan
menjelaskan langkah-langkah tentang cara
menulis karangan deskripsi, kemudian
menyuruh siswa memilih topik dan
membuat kerangka karangan, berdasarkan
kerangka karangan siswa ditugaskan untuk
mengembangkan menjadi sebuah karangan
deskripsi yang baik.
Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan khususnya pada siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue, pembelajaran
menulis deskripsi masih mengalami
kendala. Hal tersebut menjadikan hasil
keterampilan menulis deskripsi siswa masih
belum maksimal. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal yakni (1) motivasi belajar
siswa di kelas rendah, khususnya minat
dalam pembelajaran menulis, (2) siswa
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya,
pembelajaran
Bahasa Indonesia mencakup empat aspek
keterampilan berbahasa yakni menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Menulis
merupakan salah satu keterampilan
berbahasa. Keterampilan menulis memiliki
peranan penting dalam dunia pendidikan.
Keberhasilan siswa dalam mengikuti
pelajaran di sekolah banyak ditentukan oleh
keterampilan menulis. Selain dapat
memudahkan siswa berpikir secara kritis,
menulis juga dapat digunakan siswa untuk
mengomunikasikan perasaan, pendapat, dan
pengalaman kepada orang lain. Untuk itu
harus dilakukan pembinaan yang intensif
terhadap kemampuan menulis dengan tidak
mengabaikan aspek berbahasa lainnya. Hal
itu sesuai dengan yang dikatakan Tarigan
(1982:1), bahwa keterampilan menulis
bersifat fungsional terhadap pengembangan
diri siswa, baik untuk studi maupun untuk
bermasyarakat.
Menulis adalah aktivitas seluruh
otak kanan (emosional) dan belahan otak
kiri (logika) sehingga ketika kita menulis,
seluruh belahan otak bekerja maksimal
(DePorter, 2003:179). Oleh karena itu,
dalam aktivitas menulis sangat diperlukan
konsentrasi untuk mendapatkan ide atau
gagasan yang akan dituangkan dalam
bentuk tulisan. Dengan demikian, agar
kemampuan
siswa
dalam
menulis
meningkat, diperlukan upaya guru untuk
menciptakan
suatu
kondisi belajarmengajar menulis yang dapat memberi
peluang
munculnya
aktivitas
dan
kreativitas siswa yang tinggi dalam bentuk
pelatihan-pelatihan menulis yang efektif
dan sistematis. Peningkatan keterampilan
menulis diyakini dapat mengantarkan siswa
mencapai tujuan kurikuler dan pada
akhirnya bisa mencapai tujuan pendidikan
nasional yang telah ditetapkan (Sudiana,
2009:4).
Pada umumnya, di sekolah-sekolah
pembelajaran menulis diarahkan untuk
menguasai lima bentuk karangan.
1)
Guru SMA Negeri 1 Sindue
45
masih kurang memiliki motivasi yang kuat
untuk
berlatih
menulis,
sehingga
mengalami
kesulitan dalam penemuan
serta pemunculan ide di dalam proses awal
penuangan ide. Selain itu, penggunaan
metode dan media pembelajaran yang
dipergunakan guru belum optimal. (3)
belum digunakannya media pembelajaran
yang sesuai dengan aspek keterampilan
yang diajarkan yakni menulis karangan
deskripsi. Minimnya penggunaan media
oleh guru selama ini perlu diatasi perlahan.
Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya
tinggi kualitas teoretisnya, tetapi juga tinggi
kualitas praktisnya. Selama ini siswa hanya
dijejali teori tentang menulis, cara menulis,
ketentuan-ketentuan menulis, sementara
teori
tersebut
jarang
dipraktikkan.
Pembelajaran yang konvensional ini tentu
saja jarang atau bahkan tidak menggunakan
media, padahal pemanfaatan media
memiliki
peran
penting
terhadap
pencapaian kualitas pembelajaran.
Dari adanya permasalahan tersebut,
maka diperlukan suatu inovasi baru dalam
pembelajaran di kelas. Guru bahasa
Indonesia harus mampu menciptakan
suasana belajar yang dapat meningkatkan
keterampilan menulis pada siswa yang
sedang berada dalam tataran masa remaja
pertengahan (15-18 tahun) ini. Guru dapat
mengupayakannya dengan menggunakan
media pembelajaran yang menarik minat
siswa. Salah satu media pembelajaran yang
dapat digunakan dalam pembelajaran
menulis karangan deskripsi pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah media
brosur perjalanan wisata.
Media brosur perjalanan wisata
merupakan sebuah media pendidikan
berupa gambar yang berisi informasi
tentang suatu daerah, lokasi atau objek
wisata disertai dengan panduan lengkap
akses menuju lokasi dan hal-hal lain yang
merupakan nilai tambah dari objek yang
ditulis. Brosur wisata merupakan media
gambar yang bisa digunakan peserta didik
untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai
media gambar, media ini tepat digunakan
dalam pembelajaran menulis paragraf
deskripsi, karena akan membantu siswa
dalam bervisualisasi dan selanjutnya
menuangkan ide-ide dan gagasannya ke
dalam paragraf deskripsi.
Penggunaan
media
brosur
perjalanan wisata sangatlah tepat untuk
membantu siswa dalam meningkatkan hasil
belajar dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia
khususnya
pada
aspek
keterampilan menulis karangan deskripsi.
Penggunaan media ini sangat penting
kehadirannya dalam pembelajaran. Dengan
melihat brosur, siswa dapat menarik
kesimpulan dari brosur tersebut, kemudian
dapat menguraikan dalam bentuk tulisan.
Dari brosur yang diberikan, siswa akan
menjadi
tertarik,
sehingga
dapat
menimbulkan imajinasi siswa. Imajinasi
yang muncul dari pikiran siswa dapat
dituangkan dalam sebuah karangan dengan
pembendaharaan kata yang tidak monoton
serta bervariasi.
Oleh karena itu, berdasarakan
permasalahan yang telah dikemukakan
berkaitan
dengan
kegiatan
menulis
karangan pada siswa kelas X SMA Negeri 1
Sindue dan alternatif pemecahan masalah
yang ditawarkan, maka peneliti mengangkat
judul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa
pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Aspek Keterampilan Menulis Karangan
Deskripsi dengan Menggunakan Media
Brosur Perjalanan Wisata pada Siswa Kelas
X SMA Negeri 1 Sindue”.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu apakah dengan menggunakan
media brosur perjalanan wisata dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek
keterampilan menulis karangan deskripsi
pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue?.
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini
yaitu
untuk
mengetahui
dan
mendeskripsikan
apakah
dengan
menggunakan media brosur perjalanan
wisata dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia aspek keterampilan menulis
karangan deskripsi pada siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue. Manfaat dari
penelitian ini yaitu terdiri dari manfaat
teoretis dan manfaat praktis. (1) Manfaat
teoretis, hasil penelitian ini dapat
46
bermanfaat untuk memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan, khususnya dalam
pembelajaran menulis karangan deskripsi.
(2) Manfaat praktis, (a) Bagi siswa,
penelitian
ini
dapat
memberikan
pengalaman proses pembelajaran menulis
karangan deskripsi dengan menggunakan
media pembelajran brosur perjalanan wisata
(b) Bagi guru, dapat memperoleh
pengalaman profesional dalam menyusun
dan melaksanakan rancangan pembelajaran
yang inovatif dan kreatif salah satunya
adalah dengan menerapkan penggunaan
media brosur perjalanan wisata pada mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek
keterampilan menulis karangan deskripsi.
II.
berhasil. Bloom di dalam Sudjana(2006),
terdapat 3 komponen dari hasil belajar
tersebut, diantaranya adalah:
2.2
Ranah Afektif
Ranah afektif bisa dijelaskan
sebagai aspek yang berhubungan dengan
beberapa komponen kehidupan, yakni
perasaan,
sikap,
cara
seseorang
menunjukkan emosi, derajat penerimaan
atau derajat penolakan kepada suatu objek
tertentu. Ranah ini lebih banyak
mencerminkan sisi psikologis seseorang.
Bila dikaitkan dengan hasil belajar maka
ranah afektif bisa dipahami dengan 2 cara,
cara yang pertama ketika seseorang berada
dalam kondisi psikologis yang baik disaat
orang tersebut melakukan kegiatan
pembelajaran maka hasil belajar yang akan
diperoleh jauh lebih baik karena konsentrasi
orang tersebut sedang berada dalam kondisi
terbaik. Sedangkan siswa yang berada
disaat kondisi psikologis buruk akan lebih
mudah kehilangan konsentrasi sehingga
hasil belajar yang didapat akan jauh lebih
buruk dari sebelumnya.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang
didapat seseorang setelah ia melakukan
kegiatan atau proses pembelajaran. Hasil
belajar ini adalah penilaian yang akan
dicapai oleh seorang siswa untuk mengenal
dan mengetahui sebesar mana materi
pelajaran yang diberikan dapat dipahami
oleh semua siswa. Hasil belajar yang baik
dapat diperoleh ketika proses pembelajaran
yang telah diberikan dapat dipahami dan
dikerjakan dengan baik oleh siswa. Hasil
belajar nampak sebagai proses terjadinya
perubahan perilaku pada siswa yang dapat
dilihat, diamati maupun diukur dalam
wujud perubahan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Perubahan yang
terjadi bisa dikarenakan peningkatan
maupun pengembangan ke sisi lebih baik
dibandingkan dengan sisi sebelumnya,
seperti dari tidak tahu menjadi lebih tahu,
dari bersikap buruk menjadi bersikap lebih
baik dan masih banyak lagi.
Hasil belajar yakni hal penting di
dalam
proses
maupun
kegiatan
pembelajaran karena sebuah petunjuk untuk
mengenal maupun mengetahui sebesar apa
keberhasilan yabg dimiliki oleh siswa
ketika menjalani kegiatan pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Jikalau pencapaian
yang diperoleh oleh siswa itu tinggi artinya
kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru ke siswa berjalan dengan baik dan
2.3
Ranah Psikomotor
Jika ranah afektif lebih banyak
berhubungan dengan kondisi psikologis
siswa, lain halnya dengan ranah psikomotor
yang lebih banyak berkaitan dengan
kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan
dengan melibatkan anggota tubuhnya atau
bisa juga disebut dengan kemampuan yang
berhubungan dengan olah tubuh. Mengapa
berkaitan erat dengan hasil belajar? Karena
kondisi fisik yang tidak prima akan
membuat siswa kehilangan konsentrasi
belajar dan akan memengaruhi hasil belajar
ketika sedang mengerjakan latihan soal atau
melaksanakan ujian sekolah. Pemeliharaan
kesehatan
harus
dilakukan
dengan
maksimal oleh siswa oleh karena itu
dibutuhkan pelajaran olahraga sebagai mata
pelajaran yang dapat mengembalikan
kebugaran fisik siswa.
2.4
Ranah Kognitif
Aspek ini berkaitan erat dengan
kemampuan otak siswa, kemampuan siswa
disaat ia sedang berpikir, kemampuan siswa
47
(Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan
kurikulum 2004 bahwa kompetensi
pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat
subaspek, yaitu membaca, berbicara,
menyimak, dan mendengarkan.
Sedangkan tujuan pembelajaran
bahasa, menurut Basiran (1999) adalah
keterampilan komunikasi dalam berbagai
konteks komunikasi. Kemampuan yang
dikembangkan adalah daya tangkap makna,
peran,
daya
tafsir,
menilai,
dan
mengekspresikan diri dengan berbahasa.
Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi
kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk
SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan
pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
secara umum meliputi (1) siswa
menghargai dan membanggakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan
(nasional) dan bahasa negara, (2) siswa
memahami Bahasa Indonesia dari segi
bentuk,
makna,
dan
fungsi,serta
menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk bermacam-macam tujuan, keperluan,
dan keadaan, (3) siswa memiliki
kemampuan
menggunakan
Bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, kematangan emosional,dan
kematangan sosial, (4) siswa memiliki
disiplin dalam berpikir dan berbahasa
(berbicara dan menulis), (5) siswa mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk
mengembangkan
kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan berbahasa, dan (6) siswa
menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
Untuk mencapai tujuan di atas,
pembelajaran bahasa harus mengetahui
prinsip-prinsip belajar bahasa yang
kemudian diwujudkan dalam kegiatan
pembelajarannya, serta menjadikan aspekaspek tersebut sebagai petunjuk dalam
kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip
belajar bahasa dapat disarikan sebagai
berikut. Pebelajar akan belajar bahasa
dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai
individu yang memiliki kebutuhan dan
minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi
untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan,
pengenalan, konseptualisasi, pemahaman,
penalaran sekaligus penentuan. Pengertian
hasil belajar harus dipahami sejak dini
sehingga dalam pelaksanaannya guru dapat
mengoptimalkan
penyampaian
materi
pelajaran.
2.5
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Untuk mendapatkan pemahaman
yang komprehensif tentang strategi
pembelajaran Bahasa Indonesia dan
efektivitasnya terhadap pencapaian tujuan
belajar, kajian pustaka penelitian ini akan
difokuskan pada (1) pembelajaran bahasa,
(2) strategi pembelajaran Bahasa Indonesia,
meliputi metode dan teknik pembelajaran
Bahasa
Indonesia,
dan
(3)
hasil
pembelajaran
2.6
Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran merupakan upaya
membelajarkan siswa Degeng (1989).
Kegiatan
pengupayaan
ini
akan
mengakibatkan siswa dapat mempelajari
sesuatu dengan cara efektif dan efisien.
Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa
analisis tujuan dan karakteristik studi dan
siswa, analisis sumber belajar, menetapkan
strategi pengorganisasian, isi pembelajaran,
menetapkan
strategi
penyampaian
pembelajaran,
menetapkan
strategi
pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan
prosedur pengukuran hasil pembelajaran.
Oleh karena itu, setiap pengajar harus
memiliki keterampilan dalam memilih
strategi pembelajaran untuk setiap jenis
kegiatan pembelajaran. Dengan demikian,
dengan memilih strategi pembelajaran yang
tepat dalam setiap jenis kegiatan
pembelajaran,
diharapkan
pencapaian
tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan
Martin (1975) juga menyatakan bahwa
peran pengajar lebih erat kaitannya dengan
keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan
dengan kemampuan pengajar dalam
menetapkan strategi pembelajaran.
Belajar bahasa pada hakikatnya
adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan pebelajar dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tulis
48
kegaiatan membaca dan kekayaan kosakata
yang dimilikinya.
Suatu tulisan pada dasarnya terdiri
atas dua hal. Pertama, isi suatu tulisan
menyampaikan sesuatu yang inggin
diungkapkan penulisnya. Kedua, bentuk
yang merupakan unsur mekanik karangan
seperti ejaan, pungtuasi, kata, kalimat, dan
alenia Akhadiah, (1997:13). Sementara itu,
WJS Poerwodarminto (1987:105) secara
leksi-kal mengartikan bahwa menulis
adalah melahirkan pikiran atau ide. Setiap
tulisan harus mengandung makna sesuai
dengan pikiran, perasaan, ide, dan emosi
penulis yang disampaikan kepada pembaca
untuk dipahami tepat seperti yang dimaksud
pe-nulis.
Pendapat lainnya menyatakan
bahwa menulis adalah keseluruhan
rangkaian kegiatan seseorang dalam
mengungkapkan
gagasan
dan
menyampaikannya melalui bahasa tulis
kepada pembaca seperti yang dimaksud
oleh pengarang. Agar komunikasi lewat
lambang tulis dapat tercapai seperti yang
diharapkan, penulis hendaklah menuangkan
ide atau gagasannya kedalam bahasa yang
tepat, teratur, dan lengkap. Dengan
demikian, bahasa yang dipergunakan dalam
menulis dapat menggambarkan suasana hati
atai pikiran penulis. Sehingga dengan bahsa
tulis seseorang akan dapat menuang-kan isi
hati dan pikiran.
Kata
keterampilan
berbahasa
mengandung
dua
asosiasi,
yakni
kompetensi dan performansi. Kompetensi
mengacu pada pengetahuan konseptual
tentang sistem dan kaidah kebahasan,
sedangkan performansi merujuk pada
kecakapan menggunakan sistem kaidah
kebahasaan yang telah diketahui untuk
berbagai tujuan penggunaan komunikasi.
Seseorang dikatakan terampil menulis
apabila ia memahami dan mengaplikasikan
proses pegungkapan ide, gagasan, dan
perasaan dalam bahasa Indonesia tulis
dengan mempertimbangkan faktor-faktor
antara lain ejaan dan tata bahasa,
organisasi/ susunan tulisan, keutuhan
(koherensi), kepaduan (kohesi), tujuan, dan
sasaran tulisan.
dalam
penggunaan
bahasa
secara
komunikatif dalam berbagai macam
aktivitas, (3) bila ia secara sengaja
memfokuskan pembelajarannya kepada
bentuk, keterampilan, dan strategi untuk
mendukung proses pemerolehan bahasa, (4)
ia disebarkan dalam data sosiokultural dan
pengalaman langsung dengan budaya
menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika
menyadari akan peran dan hakikat bahasa
dan budaya, (6) jika diberi umpan balik
yang tepat menyangkut kemajuan mereka,
dan (7) jika diberi kesempatan untuk
mengatur pembelajaran mereka sendiri
(Aminuddin, 1994).
2.7
Keterampilan Menulis
Menulis merupakan salah satu
aspek keterampilan berbahasa. Untuk
memiliki kemampuan menulis yang baik
diperlukan pengetahuan mengenai konsep
menulis. Menulis seperti halnya kegiatan
berbahasa
lainnya,
merupakan
keterampilan. Setiap keterampilan hanya
akan
diperoleh
melalui
berlatih.
keterampilan menulis adalah keterampilan
menuangkan ide, gagasan, perasaan dalam
bentuk bahasa tulis sehingga orang lain
yang membaca dapat memahami isi
tulisan tersebut dengan baik.
Menulis pada hakikatnya adalah
suatu proses berpikir yang teratur, sehingga
apa yang ditulis mudah dipahami pembaca.
Sebuah tulisan dikatakan baik apabila
memiliki ciri-ciri, antara lain bermakna,
jelas, bulat dan utuh, ekonomis, dan memenuhi kaidah gramatika. Kemampuan
menulis adalah kemampuan seseorang
untuk menuangkan buah pikiran, ide,
gagasan,
dengan
mempergunakan
rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar.
Kemampuan menulis seseorang akan
menjadi baik apabila dia juga memiliki: (a)
kemampuan untuk menemukan masalah
yang akan ditulis, (b) kepekaan terhadap
kondisi
pembaca,
(c)
kemampuan
menyusun perencanaan penelitian, (d)
kemampuan
menggunakan
bahasa
indonesia, (e) kemampuan memuali
menulis, dan (f) kemam-puan memeriksa
karangan sendiri. Kemampuan tersebut
akan berkembang apabila ditunjang dengan
49
kepada pembaca atau pendengar sehingga
pendengar atau pembaca seolah-oleh
melihat, merasakan, mendengar, mencicipi,
mencium
langsung
objek
yang
digambarkan
oleh
penulis
melalui
tulisannya itu, dengan demikian antara
pembaca atau pendengar dengan penulis
memiliki kesimpulan yang sama tentang
objek tersebut. Maka dapat disimpulkan
bahwa kemampuan menulis karangan
deskripsi itu adalah kecakapan seseorang
untuk mengungkapakan ide, pengetahuan
dan perasaan secara rasional dengan
menggunakan
bahasa
tulis
dalam
menggambarkan atau menyajikan suatu
objek sedemikian rupa secara detail kepada
pembaca
atau
pendengar
sehingga
pendengar atau pembaca seolah - oleh
melihat, merasakan, mendengar, mencicipi,
mencium
langsung
objek
yang
digambarkan
oleh
penulis
melalui
tulisannya itu.
Karangan deskripsi adalah suatu
tulisan atau karangan yang menggambarkan
atau memaparkan suatu objek, lokasi,
keadaan atau benda dengan kata-kata.
Biasanya apa yang kita gambarkan dalam
karangan kita merupakan hasil pengamatan
panca indra kita.
Secara garis besar ada 2 macam
bentuk karangan deskripsi:
1. Deskripsi Ekspositori
Merupakann karangan yang sangat
logis, biasanya merupakan daftar rincian
atau hal yang penting-penting saja yang
disusun menurut sistem dan urutan-urutan
logis objek yang diamati.
2. Deskripsi Impresionatis
Merupakan
karangan
yang
menggambarkan impresi penulisnya, atau
untuk menetralisir pembacanya. Deskripsi
impresionistis ini lebih menekankan
impresi atau kesan penulisnya ketika
melakukan observasi atau ketika melakukan
impresi tersebut.
Karangan deskripsi memiliki ciriciri seperti:
menggambarkan
atau
melukiskan
sesuatu,
penggambaran
tersebut
dilakukan
sejelas-jelasnya dengan melibatkan
kesan indera,
2.8
Karangan Deskripsi
Deskripsi berasal dari bahasa
Inggris yaitu description yang artinya
melukiskan dengan bahasa. Karangan
deskripsi adalah karangan atau tulisan yang
bertujuan menggambarkan suatu objek
secara terperinci kepada pembaca. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:258)
menyatakan; “ deskripsi adalah pemaparan
atau menggambarkan dengan kata-kata
secara jelas dan terperinci.”
Deskripsi adalah pemaparan atau
penggambaran dengan kata-kata tentang
suatu benda, tempat, suasana atau kejadian.
Tujuan deskripsi ini agar seolah-olah
pembaca “melihat” hal yang dilihatnya,
dapat “mendengar” apa yang didengarnya,
dapat “mencium bau” hal yang diciumnya,
dapat
“mencicipi”
sesuatu
yang
dimakannya, dapat “merasakan” hal yang
dirasakannya sehingga pembaca memiliki
kesimpulan
yang
sama
dengan
penulis. Dilihat dari defenisi pemaparan
atau penggambaran di atas maka seorang
pengarang deskripsi harus menggunakan
semua pancainderanya untuk mengamati
objek yang akan digambarkannya itu.
Selain itu karangan deskripsi harus
didukung oleh gaya penyampaian yang
artistik dan memikat sehingga pembaca
atau pendengar menjadi tergugah dan dapat
mengimajinasikan secara lebih jelas hal
yang sedang dibaca atau didengarnya.
Deskripsi adalah tulisan yang
tujuannya memberikan perincian atau detail
tentang objek sehingga yang tujuannya
memberikan perincian atau detail tentang
objek sehingga dapat memberi pengaruh
pada imajinasi pembaca atau pendengar
bagaikan
ikut
mendengar,
melihat,
merasakan atau mengalami langsung objek
tersebut. Deskrpsi adalah semacam bentuk
wacana yang berusaha menyajikan suatu
objek atau suatu hal sedemikian rupa
sehingga objek itu seolah-olah berada di
depan pembaca, seolah-olah pembaca
melihat sendiri objek itu.”
Dari beberapa pendapat di atas
maka dapat disimpulkan bahwa karangan
deskripsi adalah karangan atau tulisan yang
bertujuan menggambarkan atau menyajikan
suatu objek sedemikian rupa secara detail
50
membuat pembaca atau pendengar
merasakan sendiri atau mengalami
sendiri.
Contoh
karangan
deskripsi
“Hampir semua pelosok Mentawai indah.
Di empat kecamatan masih terdapat hutan
yang masih perawan. Hutan ini menyimpan
ratusan jenisflora dan fauna. Hutan
Mentawai juga menyimpan anggrek aneka
jenis dan fauna yang hanya terdapat di
Mentawai.
Siamang
kerdil,
lutung
Mentawai dan beruk Simakobu adalah
contoh primata yang menarik untuk bahan
penelitian dan objek wisata”.
Contoh deskripsi berupa fiksi
“Salju tipis melapis rumput, putih berkilau
diseling warna jingga; bayang matahari
senja yang memantul. Angin awal musim
dingin
bertiup
menggigilkan,
mempermainkan daun-daun sisa musim
gugur dan menderaikan bulu-bulu burung
berwarna kuning kecoklatan yang sedang
meloncat-loncat dari satu ranting ke
ranting yang lain”.
pengamatan (observasi), refleksi dan
evaluasi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan meliputi metode observasi,
metode dokumentasi dan metode tes. Untuk
menganalisis data, teknik yang digunakan
adalah analisis kualitatif yang meliputi
reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil penelitian dari siklus I sampai
siklus II menunjukkan adanya perubahan
dan peningkatan hasil belajar siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue pada aspek kognitif
maupun aspek afektif. Peningkatan dari
hasil belajar pada aspek kognitif dan aspek
afektif dapat dilihat pada tabel 1 dan 2
sebagai berikut:
Tabel 1. Tingkat Presentase Peningkatan Hasil Belajar
Kognitif Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan
Menggunakan Media Brosur Perjalanan Wisata pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Menulis
Karangan Deskripsi
2.9
Media Brosur Perjalanan Wisata
Brosur wisata merupakan sebuah
media pendidikan berupa gambar yang
berisi informasi tentang suatu daerah, lokasi
atau objek wisata disertai dengan panduan
lengkap akses menuju lokasi dan hal-hal
lain yang merupakan nilai tambah dari
objek yang ditulis. Brosur wisata
merupakan media gambar yang bisa
digunakan peserta didik untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai media gambar,
media ini tepat digunakan dalam pembelajaran menulis paragraf deskripsi karena
akan membantu siswa dalam bervisualisasi dan selanjutnya menuangkan ide-ide
dan gagasannya ke dalam paragraf deskripsi
(Sadiman, 2008: 29).
III.
Keterangan
Nilai Siklus Siklus
Awal
I
II
Nilai Terendah
60
70
78
Nilai Tertinggi
79
88
97
Rata-Rata
71
80
90
18
23
Jumlah siswa
8
yang mencapai
Siswa
ketuntasan
Presentase
35,78% 78,26% 100%
Ketuntasan
Hasil belajar siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue pada siklus I pada aspek
kognitif dengan rata-rata kelas yaitu 80.
Pada siklus I ini terdapat 18 atau sebesar
78,26% siswa yang mendapat nilai diatas
KKM 75. Untuk siswa yang belum
mendapat nilai diatas KKM 75 yaitu
sebanyak 5 siswa atau dengan persentase
21,73% dari total 23 siswa. Pada siklus I
nilai terendah yaitu 70 dan nilai tertinggi
yaitu 88. Pada siklus I ini terdapat
peningkatan hasil belajar pada aspek
kognitif dengan rata-rata kelas 80 dibanding
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Negeri 1 Sindue pada siswa kelas X dengan
jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian
ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Prosedur penelitian yang digunakan
yang meliputi observasi awal, perencanan
tindakan,
pelaksanaan
tindakan,
51
(26,08%) siswa yang mencapai ketuntasan,
(4) Pada indikator Penuh Perhatian, dimana
siswa merespon dan memperhatikan saat
guru menjelaskan materi terdapat 5
(21,73%) yang mencapai ketuntasan. Dari
hasil penilaian pada aspek afektif untuk
setiap indikator, maka diperoleh rata-rata
nilai kelas pada aspek afektif sebesar 28,25
dengan kriteria kurang berminat.
Pada siklus I, diperoleh hasil
belajar pada aspek afektif yaitu: (1) Pada
indikator Aktif terdapat 15 (65,21%) siswa
yang mencapai ketuntasan. (2) Pada
indikator Kerja Sama terdapat 14 (60,86%)
siswa yang mencapai ketuntasan. (3) Pada
indikator Tanggung Jawab terdapat 12
(52,17%) siswa yang mencapai ketuntasan,
(4) Pada indikator Penuh Perhatian, dimana
siswa merespon dan memperhatikan saat
guru menjelaskan materi terdapat 14
(60,86%) yang mencapai ketuntasan. Dari
hasil penilaian pada aspek afektif untuk
setiap indikator, maka diperoleh rata-rata
nilai kelas pada aspek afektif sebesar
59,775 dengan kriteria cukup berminat.
Untuk hasil belajar siklus II pada
aspek afektif diperoleh hasil yaitu: (1) Pada
indikator Aktif terdapat 23 (100%) siswa
yang mencapai ketuntasan, 2) Pada
indikator Kerja Sama terdapat 23 (100%)
siswa yang mencapai ketuntasan, 3) Pada
indikator Tanggung Jawab terdapat 23
(100%) yang mencapai ketuntasan, 4) Pada
indikator Penuh Perhatian terdapat 23
(100%) siswa yang mencapai ketuntasan.
Dari hasil penilaian aspek afektif untuk
setiap indikator diperoleh hasil rata-rata
nilai afektif kelas X SMA Negeri 1 Sindue
yaitu sebesar 100 dimana masuk dalam
kriteria berminat.
Penggunaan
media
brosur
perjalanan wisata bertujuan untuk dapat
meningkatkan kemampuan dan pemahaman
siswa dalam aspek keterampilan menulis
karangan deskripsi pada mata pelajaran
Bahasa
Indonesia,
mengembangkan
kemampuan
kerjasama
siswa,
dan
membangkitkan kemampuan berpikir kritis
siswa. Selain itu, media brosur perjalanan
wisata memiliki beberapa kelebihan yaitu
pembelajaran menjadi menarik karena tidak
berlangsung satu arah, sehingga siswa tidak
rata-rata nilai kelas pada kondisi awal yaitu
71 yang pada dasarnya belum mencapai
nilai KKM (75).
Untuk rata-rata nilai hasil belajar
kognitif pada siklus II kelas X SMA Negeri
1 Sindue mengalami kenaikan yaitu sebesar
10 dibandingkan siklus I yaitu 80 dan pada
siklus II menjadi 90. Jumlah siswa yang
sudah tuntas KKM sebanyak 23 siswa
(100%) atau dengan kata lain secara
keseluruhan siswa kelas X SMA negeri 1
Sindue telah memperoleh ketuntasan
belajar setelah menggunakan media brosur
perjalanan wisata dalam pembelajaran
aspek keterampilan menulis karangan
deskripsi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Nilai tertinggi pada siklus II
yaitu 97 nilai terendah yaitu 78 namun tetap
telah memenuhi standar nilai KKM yang
telah ditentukan (75). Hasil belajar aspek
kognitif pada siklus II telah menunjukkan
bahwa penelitian tindakan siklus II telah
berhasil, karena telah mencapai target 80%
siswa sudah tuntas KKM.
Tabel 2. Kondisi Aspek Afektif Siswa Kelas X SMA Negeri
1 Sindue dengan Menggunakan Media Brosur Perjalanan
Wisata pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek
Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi
No.
Indikator
Kondisi
Awal
Siklus I Siklus II
1.
Aktif
7 Siswa
30,43%
15 Siswa 23 Siswa
65,21%
100%
2.
Kerja
Sama
5 Siswa
21,73%
14 Siswa 23 Siswa
60,86%
100%
3.
Tanggung
Jawab
6 Siswa
26,08%
12 Siswa 23 Siswa
52,17%
100%
4.
Penuh
Perhatian
5 Siswa
21,73%
14Siswa 23 Siswa
60,86%
100%
Pada kondisi awal, diperoleh hasil
belajar pada aspek afektif yaitu: (1) Pada
indikator Aktif terdapat 7 (30,43%) siswa
yang mencapai ketuntasan. (2) Pada
indikator Kerja Sama terdapat 5 (21,73%)
siswa yang mencapai ketuntasan. (3) Pada
indikator Tanggung Jawab terdapat 6
52
bosan, membuat siswa lebih aktif dalam
proses pembelajaran, dan materi akan lebih
mudah
dipahami
siswa
dengan
penyampaian materi yang unik dengan
adanya inovasi dari media yang digunakan.
Berdasarkan tujuan penelitian,
maka terbukti bahwa penggunaan media
brosur
perjalanan
wisata
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek
keterampilan menulis karangan deskripsi
pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue.
Hasil penelitian yang menunjukkan
berhasilnya penggunaan media brosur
perjalanan wisata untuk meningkatkan hasil
belajar aspek kognitif dan aspek afektif
siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue juga
menjadi bukti bahwa penelitian ini relevan
dengan
penelitian-penelitian
yang
terdahulu.
V.
Hasil belajar pada aspek kognitif untuk
siklus I sebesar 80 dengan presentase
ketuntasan 78,26%, pada siklus II
meningkat menjadi 90 dengan presentase
ketuntasan sebesar 100%. Hasil belajar
pada aspek afektif untuk siklus I dengan
rata-rata 59,775 dengan kriteria cukup
berminat, pada siklus II mengalami
peningkatan, sehingga menjadi 100 dimana
masuk dalam kriteria berminat.
VI.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka
adapun beberapa saran yang dapat
disampaikan oleh peneliti yaitu (1) Bagi
guru mata pelajaran Bahasa Indonesia,
hendaknya
lebih
bervariasi
dalam
menggunakan media pembelajaran agar
siswa tidak merasa bosan dan bisa
meningkatkan minat belajar dan keaktifan
siswa. Salah satunya adalah dengan
menggunakan media brosur perjalanan
wisata dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia aspek keterampilan menulis
karangan deskripsi (2) Bagi peneliti
berikutnya, hendaknya dapat menggunakan
media brosur perjalanan wisata pada mata
pelajaran ataupun subjek penelitian lainnya
untuk dapat mengetahui apakah terjadi
peningkatan hasil belajar, seperti jika
diterapkan dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat diambil simpulan
bahwa dengan menggunakan media brosur
perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia aspek keterampilan menulis
karangan deskripsi pada siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue.
53
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti, dkk. 2004. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Arsyad, Azhar, 1997. Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
DePorter, Bobby dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung:
Penerbit Kaifa.
Djibran, Fahd. 2008. Writing is Amazing. Yogyakarta: Juxtapose.
Enre, Fachruddin Ambo. 1988. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Jakarta: Depdikbud.
Hamalik, Oemar. 1989. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya.
Johnson, David W., dkk. 2010. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
Keraf, Gorys. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo.
Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research). Bandung: ALFABETA.
Mccafferty, Steven G., dkk. 2006. Cooperative Learning dan Second Languange Teaching. New York: Cambridge University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2010. Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Sanjaya, Wina. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenada Media Group.
Semi, M. Atar. 1993. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.
Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Indah.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudiati, Vero, dkk. 2005. Kiat Menulis Deskripsi dan Narasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. ALFABET.
Sukardi.
2007.
Metodologi
AKSARA.
Penelitian
Pendidikan
Kompetensi
dan Praktiknya. Yogyakarta: PT. BUMI
Sumarlam. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suriamiharja, Agus, dkk. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
54
Media Litbang Sulteng IX (1) : 55-63, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA MELALUI BIMBINGAN
KONSELING DENGAN PENERAPAN METODE SOSIODRAMA PADA SISWA
KELAS XI SMA NEGERI 1 SINDUE
Oleh :
Samsi1)
ABSTRAK
Pada masa remaja, individu mengalami proses peningkatan fluktuasi emosi yang ditandai dengan keadaan emosi yang
tidak stabil. Emosi dalam hal ini adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau
suatu interaksi yang dianggap penting olehnya. Melihat kenyataan bahwa remaja pada dasarnya memiliki masalah dalam hal
ketidakstabilan emosi, maka pada jenjang pendidikan diperlukan suatu usaha khususnya dari seorang guru Bimbingan Konseling
(BK) agar dapat memberikan bimbingan kepada para siswanya untuk dapat dengan bijak mengatur emosi yang dimilikinya. Dalam
hal ini disebut kecerdasan emosional. Satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakstabilan emosi
menggunakan bimbingan konseling adalah melalui penerapan metode sosiodrama. Sosiodrama merupakan salah satu metode
pembelajaran yang dapat dikembangkan secara menarik untuk diterapkan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Metode sosiodrama adalah salah satu bentuk bimbingan kelompok yang dipergunakan untuk memecahkan masalah sosial yaitu
menggunakan kegiatan bermain peran. Metode sosiodrama merupakan suatu metode bimbingan konseling kelompok dengan cara
bermain peran, subjek memerankan suatu peranan tertentu tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial yang dialami.
Melalui sosiodrama diharapkan peserta didik mampu menghayati dan menghargai perasaan orang lain, berbagi tanggung jawab,
mampu mengambil keputusan dan melatih siswa untuk berpikir dan memecahkan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan dengan judul “Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Bimbingan
Konseling dengan Penerapan Metode Sosiodrama pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue”. Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) dengan rangkaian siklus berupa perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek
penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue yang berjumlah 22 orang siswa. Dalam penelitian ini, pengumpulan data
dilakukan melalui angket dan observasi. Adapun alat pengumpul data yang digunakan yaitu angket kecerdasan emosi dan pedoman
observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian tindakan ini yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik analisis
data kualitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa melalui bimbingan konseling dengan
penerapan metode sosiodrama, maka dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue. Hal ini
terbukti dari perolehan hasil dari 3 indikator kecerdasan emosional siswa yang terdiri dari empati, keterampilan interaksi sosial, dan
koordinasi sosial terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. (1) Empati, pada prasiklus sebesar 69,28% dengan kriteria cukup,
siklus I sebesar 81,22% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 90,01% dengan kriteria tinggi, (2) Keterampilan interaksi sosial,
pada prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26%
dengan kriteria tinggi, (3) Koordinasi sosial, pada prasiklus sebesar 66,72% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 78,21% dengan
kriteria sedang, siklus II sebesar 89,13% dengan kriteria tinggi.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosional Siswa, Bimbingan Konseling, Metode Sosiodrama.
ABSTRACT
In adolescence, individuals undergo an increase in fluctuation of emotions are characterized by an unstable emotional state.
Emotion in this case is a feeling or affection that arise when a person is in a state or an interaction that is important to him. Noting
the fact that teenagers basically have problems in terms of emotional instability, then the levels of education required an effort,
especially from a teacher Counseling (BK) in order to provide guidance to the students to wisely regulate its emotions. In this case
the so-called emotional intelligence, One effort that can be done to overcome the problem of emotional instability using counseling
is through the application of methods sociodrama. Sociodramas is one method of learning that can be developed is interesting to be
applied in the implementation of guidance and counseling services. Sociodramas method is a form of group counseling used to solve
social problems is to use role play activities. Sociodramas method is a method of counseling group by playing a role, the subject
plays a certain role on matters relating to the social problems experienced. Through sociodramas expected that learners are able to
live and appreciate the feelings of others, share responsibility, to make decisions and to train students to think and solve problems.
Based on this, the researchers interested in conducting action research with the title "Increasing Emotional Intelligence Student
Counseling Through the Implementation Method Sociodramas in Class XI SMAN 1 Sindue". This study is an action research
Counseling (PTBK) with a series of cycles of planning, action, observation, and reflection. The subjects were students of class XI
SMA Negeri 1 Sindue totaling 22 students. In this study, data collection was conducted through questionnaires and observation. The
data collection tool used is a questionnaire of emotional intelligence and observation guidelines. The data analysis technique used in
the study of this action, namely quantitative data analysis techniques and qualitative data analysis technique. Based on research that
has been done, it can be concluded that through counseling with the application of methods sociodrama, it can improve emotional
intelligence class XI student of SMAN 1 Sindue. This is evident from the acquisition of the results of the three indicators of emotional
intelligence of students consisting of empathy, social interaction skills, and social coordination continued to increase in each cycle.
(1) Empathy, on prasiklus amounted to 69.28% with sufficient criteria, the first cycle of 81.22% with moderate criteria, the second
cycle of 90.01% with a high criteria, (2) social interaction skills, in prasiklus by 67, 96% with sufficient criteria, the first cycle of
82.98% with moderate criteria, the second cycle of 91.26% with a high criteria, (3) social coordination, in prasiklus amounted
to 66.72% with sufficient criteria, the first cycle of 78, 21% with moderate criteria, the second cycle of 89.13% with high criteria.
Keywords: Emotional Intelligence Students, Counseling, Sociodramas method.
55
I.
emosinya
dapat
disebut
memiliki
keterampilan mengelola emosi, maka akan
lebih produktif dari pada siswa yang kurang
memiliki
keterampilan
mengelola
emosinya.
Ia
akan
lebih
mudah
berkonsentrasi, berpikir logis, mampu
memotivasi dirinya untuk fokus pada
aktivitas yang konstruktif dan membina
hubungan
yang
harmonis
dengan
lingkungan
sekitar.
Keterampilan
pengelolaan emosi disebut juga sebagai
salah satu kebutuhan siswa di tingkat
Sekolah
Menengah
Atas
(SMA).
Keterampilan mengelola emosi termasuk
pada kebutuhan yang harus segera
dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan ini
dirancang dalam kerangka empat bidang
bimbingan yang disusun dalam program
bimbingan dan konseling sebagai acuan
pelaksanaan
layanan
dan
kegiatan
pendukungnya.
Bimbingan dan konseling di
sekolah merupakan suatu program yang
bertujuan untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang sedang dihadapi oleh
peserta didik. Bimbingan konseling adalah
pelayanan bantuan psiko pendidikan dalam
bingkai budaya untuk siswa baik secara
perorangan atua kelompok agar mandiri dan
berkembang secara optimal. Mengingat
bahwa siswa usia SMA adalah masa remaja
di mana ciri utama dari masa remaja adalah
meningginya emosi (Hurlock, 1980: 207).
Masa remaja merupakan masa transisi atau
peralihan dari masa anak-anak menuju
masa dewasa. Selama masa transisi ini
remaja diperhadapkan dengan berbagai
problematik yang dapat menimbulkan krisis
identitas dan ketidakstabilan emosi.
Oleh karena itu, salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah
ketidakstabilan
emosi
menggunakan bimbingan konseling adalah
melalui penerapan metode sosiodrama.
Sosiodrama merupakan salah satu metode
pembelajaran yang dapat dikembangkan
secara menarik untuk diterapkan dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling. Metode sosiodrama adalah salah
satu bentuk bimbingan kelompok yang
dipergunakan untuk memecahkan masalah
sosial yaitu menggunakan kegiatan bermain
PENDAHULUAN
Secara hakiki, masa remaja
merupakan masa peralihan dari masa anakanak menuju masa dewasa. Pada masa
tersebut individu banyak mengalami
perkembangan
untuk
mencapai
kematangan, baik secara fisik, psikis, dan
sosial, sehingga berpengaruh terhadap
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap remaja memiliki kehidupan pribadi
yang berbeda-beda antara orang yang satu
dengan yang lainnya. Kehidupan pribadi
seseorang meliputi berbagai aspek, antara
lain aspek emosional, sosial psikologis,
sosial budaya, dan kemampuan intelektual
yang terpadu dengan faktor lingkungan
dalam kehidupannya.
Pada masa remaja, individu
mengalami proses peningkatan fluktuasi
emosi yang ditandai dengan keadaan emosi
yang tidak stabil, yaitu pada satu saat
merasa gembira tetapi satu saat kemudian
kelihatan murung. Pada umumnya usia
remaja mengalami gejolak emosi yang
mengebu-gebu, sehingga diperlukannya
perhatian secara khusus. Emosi dalam hal
ini adalah perasaan atau afeksi yang timbul
ketika seseorang sedang berada dalam
suatu keadaan atau suatu interaksi yang
dianggap penting olehnya. Emosi diwakili
oleh
perilaku
yang
mewakili
(mengekspresikan)
kenyamanan
atau
ketidaknyamanan dari keadaan atau
interaksi yang sedang dialami.
Melihat kenyataan bahwa remaja
pada dasarnya memiliki masalah dalam hal
ketidakstabilan emosi, maka pada jenjang
pendidikan
diperlukan
suatu
usaha
khususnya dari seorang guru Bimbingan
Konseling (BK) agar dapat memberikan
bimbingan kepada para siswanya untuk
dapat dengan bijak mengatur emosi yang
dimilikinya. Dalam hal ini disebut
kecerdasan
emosional.
Kecerdasan
emosional terlihat dari siswa yang mampu
mengelola emosinya secara tepat dan dapat
menampilkan ekspresi yang tepat, sehingga
dapat disebut dengan emosi yang stabil.
Siswa yang dapat mengatur
1)
Guru SMA Negeri 1 Sindue
56
peran. Sosiodrama adalah permainan
peranan yang ditujukan untuk memecahkan
suatu masalah sosial yang timbul dalam
hubungan antarmanusia.
Metode sosiodrama merupakan
suatu metode bimbingan kelompok dengan
cara bermain peran, subjek memerankan
suatu peranan tertentu tentang hal-hal yang
berkaitan dengan masalah sosial yang
dialami. Melalui sosiodrama diharapkan
peserta didik mampu menghayati dan
menghargai perasaan orang lain, berbagi
tanggung jawab, mampu mengambil
keputusan dan melatih siswa untuk berpikir
dan memecahkan masalah. Metode
sosiodrama dapat digunakan untuk melatih
keterampilan-keterampilan hidup, salah
satunya adalah keterampilan berkomunikasi
menyampaikan sesuatu yang dipikirkan dan
dirasakan dengan cara membimbing siswa
untuk mempraktikkan peristiwa-peristiwa
dalam hubungan sosial yang dikemas dalam
bentuk naskah sosiodrama. Melalui metode
sosiodrama ini guru dapat mengajarkan
cara-cara bertingkah laku yang berkualitas
khususnya berkaitan dengan masalah sosial
dan hubungan antarsebaya, sehingga
melalui metode sosiodrama, peserta didik
memerankan suatu peran yang sesuai
dengan naskah yang telah disusun.
Berdasarkan suatu peranan tersebut
diharapkan
peserta
didik
berani
memunculkan keputusan, mengungkapkan
perasaan dan isi hati apa adanya.
Bimbingan
konseling
melalui
penerapan metode sosiodrama merupakan
salah satu layanan yang dapat diberikan
kepada peserta didik yang bermanfaat untuk
meningkatkan prilaku asertif siswa, karena
dengan adanya permainan peran dalam
sosiodrama
peserta
didik
mampu
mengungkapkan perasaan serta isi hatinya
secara langsung, jujur, dan terbuka tanpa
merasa cemas dan takut, melihat dan
mengetahui keadaan dirinya melalui
permainan peran yang diperankan sesuai
dengan keadaan dirinya. Peserta didik
leluasa mengungkapkan segala yang ada
dalam dirinya. Setelah peran diberikan
refleksi dan masukan dari siswa lain yang
menyaksikan peran, sehingga menjadi
gambaran tentang keadaan dirinya.
Melalui
bimbingan
konseling
metode sosiodrama diharapkan individu
mampu memahami dan mengetahui
keadaan emosi dirinya. Sosiodrama
merupakan metode permainan peran (role
playing) yang ditujukan untuk memecahkan
masalah sosial yang timbul dalam
hubungan antarmanusia. Metode ini dapat
digunakan
konselor
untuk
melatih
keterampilan-keterampilan hidup, salah
satunya adalah keterampilan mengelola
emosi kepada siswa dengan cara
membimbing siswa untuk mempraktekan
peristiwa-peristiwa dalam hubungan sosial
yang dikemas dalam bentuk pelaksanaan
sosiodrama.
Dengan
mempraktekan
peristiwa-peristiwa dalam hubungan sosial
secara langsung, diharapkan siswa dapat
meningkatakn keterampilan mengelola
emosi dan dapat mengubah perilakunya
menjadi lebih baik seperti: siswa dapat
memahami berbagai jenis emosi, serta
mampu
mengendalikan
dan
mengekspresikan emosi menjadi tingkah
laku yang efektif untuk diri sendiri dan
orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian
tindakan
dengan
judul
“Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa
Melalui Bimbingan Konseling dengan
Penerapan Metode Sosiodrama pada Siswa
Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue”.
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosional
Emosi adalah perasaan tertentu
yang bergejolak dan dialami seseorang serta
berpengaruh pada kehidupan manusia.
Emosi memang sering dikonotasikan
sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada
beberapa budaya emosi dikaitkan dengan
sifat marah seseorang. Menurut Aisah
Indiati (2006), sebenarnya terdapat banyak
macam ragam emosi, antara lain sedih,
takut, kecewa, dan sebagainya yang
semuanya berkonotasi negatif. Emosi lain
seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain,
semuanya berkonotasi positif.
Kecerdasan emosional atau yang
biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris:
57
memanifestasikan dirinya semata-mata
sebagai sedikit langkah mundur dari
pengalaman.
emotional quotient) adalah kemampuan
seseorang untuk menerima, menilai,
mengelola, serta mengontrol emosi dirinya
dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini,
emosi mengacu pada perasaan terhadap
informasi akan suatu hubungan. Sedangkan,
kecerdasan (intelijen) mengacu pada
kapasitas untuk memberikan alasan yang
valid akan suatu hubungan.
Kecerdasan
emosional
(EQ)
belakangan ini dinilai tidak kalah penting
dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah
penelitian
mengungkapkan
bahwa
kecerdasan emosional dua kali lebih
penting daripada kecerdasan intelektual
dalam memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan seseorang.
2. Mengelola emosi
Kemampuan untuk mengatur emosi
diri sendiri, tujuannya adalah keseimbangan
emosi, bukan menekan emosi, setiap
perasaan mempunyai nilai dan makna.
Kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang
pasir
netralitas
yang
datar
dan
membosankan, terputus dan terkucil dari
kekayaan hidup itu sendiri. Tetapi,
sebagaimana diamati Aristoteles yang
dikehendaki adalah emosi yang wajar,
keselarasan antara perasaan dan lingkungan
(Goleman 1995). Apabila emosi terlampau
ditekan, terciptalah kebosanan dan jarak,
bila emosi tidak dikendalikan, terlampau
ekstrim dan terus menerus,emosi akan
menjadi sumber penyakit, seperti kecewa
marah deppresi. Menjaga agar emosi yang
merisaukan tetap terkendali merupakan
kunci menuju kesejahteraan emosi, emosi
yang berlebihan yang meningkat dengan
insentitas terlampau tinggi untuk waktu
yang terlalu lama akan mengoyak
kestabilan kita.
2.2
Wilayah Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional terbagi
dalam beberapa wilayah kemampuan yang
membentuknya.
Wilayah-wilayah
kemampuan yang membentuk kecerdasan
emosional tidak seragam untuk setiap ahli,
tergantung dari sudut pandang dan
pemahaman, selain itu juga antara wilayah
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Wilayah-wilayah
yang
membentuk kecerdasan emosional ini
dicetuskan oleh Petter Salovey (Goleman
1999 : 65) secara terpisah memaparkan
lima wilayah kecerdsan emosional yang
meliputi :
3. Motivasi
Motivasi adalah kecenderungan
emosi yang mengantar atau memudahkan
peraihan sasaran. Robbins mengemukakan
motivasi merupakan suatu konstruk yang
menjelaskan awal arah, intensitas dan
kehadiran perilaku individu yang bertujuan.
Selain itu Oemar Hamalik (Syaifu Bahri
2002:114)
mendefinisikan
motivasi
‘sebagai suatu perubahan energi di dalam
pribadi seseorang yang ditandai dengan
timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi
untuk mencapai tujuan. Perubahan energi
dalam diri seseorang itu berbentuk suatu
aktivitas nyata berupa kegiatan fisik.
Karena seseorang mempunyai tujuan
tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang
mempunyai motivasi yang kuat untuk
mencapainya dengan segala upaya yang
dapat dia lakukan untuk mencapainya.
Motivasi
mencakup
konsep-konsep
kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan
1. Kesadaran diri
Mengenal emosi diri adalah berarti
kesadaran diri untuk mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu diatas. Kesadaran ini
menurut Mayer berarti waspada terhadap
suasana hati, waspada ini berarti kita berada
diatas emosi bukan hanyut dalam aliran
emosi tersebut. Kesadaran diri bukanlah
perhatian yang larut ke dalam emosi,
bereaksi secara berlebihan dan melebihlebihkan apa yang diserap, kesadaran diri
lebih merupakan modus netral yang
mempertahankan refleksi diri bahkan
ditengah badai emosi. Dalam kondisi
terbaik, pengamatan diri memungkinkan
adanya semacam kesadaran yang mantap
terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak.
Pada titik terendah, kesadaran diri
58
untuk
bekerja
sama,
kebiasaan,
ketidakcocokan dan keingintahuan.
kemampuan dirinya sendiri dan mandiri
dengan memanfaatkan kekuatan individu
dan sarana yang ada dan dapat
dikembangkan berdasarkan norma-norma
yang berlaku. Bimbingan merupakan
bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
kepada individu atau beberapa orang
dengan memberikan pengetahuan tambahan
untuk
memahami
dan
mengatasi
permalahan yang dialami oleh individu atau
seseorang tersebut, dengan cara terus
menerus dan sitematis.
4. Mengenali Emosi Orang Lain Atau
Empati
Menurut Titchener (Goleman 1995)
bahwa ‘empati berasal dari semacam
peniruan secara fisik atas beban orang lain,
yang kemudian menimbulkan perasaan
yang serupa dalam diri seseorang.
Kemampuan berempati adalah kemampuan
untuk mengetahui bagaimana perasaan
orang lain ikut berperan dalam kehidupan.
Empati dibangun berdasarkan kesadaran
diri, semakin terbuka kita kepada emosi diri
sendiri, semakin terampil kita membaca
perasaan. Emosi jarang diungkapkan
dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering
diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk
memahami perasaan orang lain adalah
mampu membaca pesan non verbal.
2.4
Pengertian Konseling
Konseling adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang sedang
mengalami sesuatu masalah (disebut klien)
yang bermuara pada teratasinya masalah
yang dihadapi klien. Konseling merupakan
suatu
proses
dengan
adanya
seseorang
yang dipersiapkan secara
profesional untuk membantu orang lain
dalam
pemahaman
diri
pembuatan
keputusan dan pemecahan masalah dari hati
kehati antar manusia dan hasilnya
tergantung pada kualitas hubungan.
5. Membina hubungan
Kemampuan membina hubungan
merupakan
kecakapan
sosial
yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan
dengan orang lain, tidak dimilikinya
kecakapan ini akan membawa pada
ketidakcakapan dalam dunia sosial.
Kemampuan ini memungkinkan seseorang
membentuk hubungan, untuk menggerakan
dan mengilhami orang-orang lain, membina
kedekatan hubungan, meyakinkan dan
mempengaruhi, membuat orang-orang lain
merasa nyaman.
2.5
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Secara
garis
besar,
tujuan
bimbingan dan konseling dibagi menjadi
dua, yaitu tujuan umun dan tujuan khusus.
Guna memperjelas apa yang menjadi tujuan
umum dan khusus, akan disampaikan
penjelasannya sebagai berikut:
2.3
Pengertian Bimbingan
Secara etimologis kata bimbingan
merupakan
terjemahan
dari
kata
“Guidance” berasal dari kata kerja “to
guide” yang mempunyai arti “menunjukan,
membimbing,
menuntun,
ataupun
membantu”. Sesuai dengan istilahnya,
maka secara umum bimbingan dapat
diartikan sebagai suatu bantuan atau
tuntunan.
Bimbingan
adalah
proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh
orang yang ahli kepada seorang atau
beberapa orang individu, baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa; agar orang yang
dibimbing
dapat
mengembangkan
2.6
Tujuan Umum
Ditinjau
dari
perkembangan
konsepsi
bimbingan
dan
konseling
senantiasa mengalami perubahan, dari yang
sederhana
sampai
yang
komprehensif.Tujuan
bimbingan
dan
konseling
dengan
mengikuti
pada
perkemangan konsepsi bimbingan dan
konseling pada dasarnya adalah untuk
membantu individu memperkembangkan
diri secara optimal sesuai dengan tahap
perkembangan dan predisposisi yang
dimilikinya, berbagai latar belakang yang
ada, serta sesuai dengan tuntutan positif
59
lingkungannya.
dengan cara mendramatisasikan bentuk
tingkah laku dalam hubungan sosial.
Sosiodrama merupakan dramatisasai dari
persoalan-persoalan yang dapat timbul
dalam pergaulan dengan orang lain, tingkat
konflik-konflik yang dialami dalam
pergaulan sosial (Winkel, 2004 : 470). Jadi
metode sosiodrama adalah metode untuk
memecahkan masalah yang dihadapi oleh
seorang individu yang dilakukan dalam
format kelompok dengan memerankan
suatu peranan tertentu dari suatu situasi
masalah sosial.
2.7
Tujuan Khusus
Tujuan khusus bimbingan dan
konseling merupakan penjabaran tujuan
umum tersebut yang dikaitkan secara
langsung dengan permasalahan yang
dialami individu yang bersangkutan, sesuai
dengan kompleksitas permasalahanya.
Dengan demikian maka tujuan khusus
bimbingan dan konseling untuk tiap-tiap
individu bersifat unik pula, artinya tujuan
bimbingan dan konseling untuk individu
yang satu dengan individu yang yang lain
tidak boleh disamakan.
2.10 Tujuan Sosiodrama
Sosiodrama biasanya digunakan
untuk menangani masalah yang berkaitan
dengan masalah social seperti krisis
kepercayaan diri jika dhadapan kelompok,
menumbuhkan rasa kesetaikawanaan social
dan rasa tanggung jawab serta untuk
mengembangkan ketrampilan tertentu.
Selain itu dapat dikatakan bahwa teknik
sosiodrama lebih tepat digunakan untuk
mencapai tujuan yang mengarah pada :
Aspek afektif motorik dibandingkan
pada aspek kognitif, terkait dengan
kehidupan
hubungan
sosial.
Sehubungan dengan itu maka materi
yang disampaikan melalui teknik
sosiodrama bukan materi yang bersifat
konsep- konsep yang harus dimengerti
dan dipahami, tetapi berupa fakta, nilai,
mungkin juga konflik-konflik yang
terjadi di lingkungan kehidupannya.
Melalui permainan sosiodrama, konseli
diajak untuk mengenali, merasakan
suatu situasi tertentu sehingga mereka
dapat menemukan sikap dan tindakan
yang tepat seandainya menghadapi
situasi yang sama. Diharapkan akhirnya
mereka
memiliki
sikap
dan
keterampilan yang diperlukan dalam
mengadakan penyesuaian sosial.
2.8
Hubungan
Bimbingan
dan
Konseling
Menurut Mohamad Surya (1988),
ada tiga pandangan mengenai hubungan
antara bimbingan dan konseling. Pandangan
pertama berpendapat bahwa bimbingan
sama dengan konseling. Kedua istilah tidak
mempunyai perbedaan yang mendasar.
Pandangan kedua berpendapat bahwa
bimbingan berbeda dengan konseling, baik
dasar maupun cara kerja. Menurut
pandangan kedua, bimbingan merupakan
pendidikan
sedangkan
konseling
merupakan psikoterapi yaitu usaha untuk
menolong individu yang mengalami
masalah
serius.
Pandangan
ketiga
berpendapat bahwa bimbingan dan
konseling merupakan kegiatan yang
terpadu, keduanya tidak saling terpisah.
Berkaitan dengan pandangan ketiga ini,
Downing (1998); Hansen, Stefic, dan
Warner (1977) dalam Prayitno (1978),
menyatakan bahwa bimbingan adalah suatu
pelayanan khusus yang terorganisasi dan
terintegrasi ke dalam program sekolah
untuk menunjang kegiatan perkembangan
siswa secara optimal, sedangkan konseling
adalah usaha pemberian bantuan kepada
murid
secara
perorangan
dalam
mempelajari
cara-cara
baru
guna
penyesuaian diri.
2.11 Langkah-Langkah Sosiodrama
Langkah-langkah
pelaksanaan
metode sosiodrama, meliputi:
1. Persiapan, dari mulai mempersiapkan
konselor, tokoh-tokoh, topik yang akan
dibawakan, tujuan dari topik yang
dibawakan pada sosiodrama itu, babak-
2.9
Pengertian Metode Sosiodrama
Sosiodrama merupakan salah satu
metode dalam bimbingan kelompok yaitu
role playing atau metode bermain peran
60
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
babak yang akan dimainkan, konselor
membagi tugas. Satu babak cerita
menjadi tugas satu kelompok anak
untuk mendramakannya.
Membuat skenario
Menentukan kelompok sesuai naskah
Menentukan kelompok penonton untuk
observasi
Konselor memberi kesempatan kepada
setiap kelompok untuk berlatih sesuai
dengan babak yang harus mereka
mainkan. Berikan kebebasan bagi
mereka untuk menentukan pembagian
peran, dialog, dan sebagainya.
Pelaksanaan drama.
Pada akhir sosiodrama, konselor
memberi komentar/kesimpulan atas
tujuan cerita.
Evaluasi dan diskusi, evaluasi dapat
dilakukan dengan refleksi atau dengan
cara laiseg (layanan segera), laijapan
(layanan jangka panjang).
Ulangan permainan (rehersal), jika
masih ada waktu permainan dapat
diulang kembali dengan pertukaran
peran pemain.
III.
pelaksanaan bimbingan konseling.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Bimbingan
konseling
melalui
penerapan metode sosiodrama dinyatakan
efektif untuk meningkatkan kecerdasan
emosional siswa. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya peningkatan
kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Sindue dari setiap siklusnya.
Tabel Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa
Indikator
Prasiklus
Empati
Keterampilan
Interaksi Sosial
Koordinasi Sosial
69,28%
Siklus
Siklus I Siklus II
81,22%
90,01%
67,96%
82.98%
91,26%
66,72%
78,21%
89,13%
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan,
menunjukkan
adanya
peningkatan kecerdasan emosional siswa
setelah
dilakukan
tindakan
berupa
bimbingan konseling dengan penerapan
metode Sosiodrama. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya peningkatan persentase hasil
angket kecerdasan emosional siswa dalam
interaksi sosial di kelas yang meliputi: (a)
Empati, pada prasiklus sebesar 69,28%
dengan kriteria cukup, siklus I sebesar
81,22% dengan kriteria sedang, siklus II
sebesar 90,01% dengan kriteria tinggi, (b)
Keterampilan interaksi sosial, pada
prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria
cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan
kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26%
dengan kriteria tinggi, (c) Koordinasi sosial,
pada prasiklus sebesar 66,72% dengan
kriteria cukup, siklus I sebesar 78,21%
dengan kriteria sedang, siklus II sebesar
89,13% dengan kriteria tinggi. Data hasil
angket tersebut juga didukung oleh data
hasil observasi, hasil wawancara, serta
catatan lapangan, dimana kecerdasan
emosional siswa dalam interaksi sosial di
kelas mengalami peningkatan setelah
dilakukan bimbingan konseling dengan
menerapkan metode Sosiodrama pada siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Sindue.
Berdasarkan hasil analisis klinis
subjek mengalami perubahan tingkah laku
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Bimbingan dan Konseling
(PTBK) dengan rangkaian siklus berupa
perencanaan, tindakan, observasi, dan
refleksi. Subjek penelitian adalah siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Sindue yang
berjumlah 22 orang siswa. Setiap penelitian
ilmiah memerlukan pengumpulan data yang
ditunjukkan untuk mendapat data dari
responden.
Pengumpulan
data
ini
dimaksudkan untuk memperoleh bahanbahan yang akurat, relevan, dan reliabel.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data
dilakukan melalui angket dan observasi.
Adapun alat pengumpul data yang
digunakan yaitu angket kecerdasan emosi
dan pedoman observasi. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian
tindakan ini yaitu teknik analisis data
kuantitatif dan teknik analisis data
kualitatif. Data kuantitatif digunakan untuk
menguji hipotesis dan data kualitatif
digunakan untuk mengetahui proses
61
yang ditunjukkan dengan 3 hal pokok yang
meliputi (1) Empati (2) Keterampilan
Interaksi Sosial (3) Koordinasi Sosial.
Dalam hal ini dapat diuraikan secara lebih
rinci bahwa setelah diadakan bimbingan
konseling dengan penerapan metode
sosiodrama pada siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Sindue, maka diperoleh hasil
bahwa siswa tidak mudah tersinggung, mau
menerima kritik dan saran, tidak mudah
terpengaruh
ajakan
teman,
mudah
tersenyum, tidak mudah murung, mantap
dalam mengambil keputusan, mudah
bergaul dengan teman-teman, percaya diri
ketika menjawab pertanyaan, dapat
menghargai orang lain, meminimalisir
berbicara kotor, semangat dalam belajar.
Berdasarkan hal tersebut
maka dapat
disimpulkan subjek dapat mencapai
kestabilan
emosi
atau
memperoleh
peningkatan hasil kecerdasan emosional
siswa.
V.
VI.
SARAN
Berdasarkan
simpulan
dari
penelitian ini, maka peneliti menyampaikan
beberapa saran yakni (1) Bagi Kepala
Sekolah, hendaknya memberi fasilitas
untuk guru BK dalam melaksanakan
seluruh kegiatan BK. Selain itu, kepala
sekolah
dapat
mendorong
sekolah
mengambil kebijakan bahwa guru BK perlu
melaksanakan
kegiatan
bimbingan
konseling melalui penerapan metode
sosiodrama secara terprogram. (2) Bagi
Guru BK, hendaknya menyelenggarakan
bimbingan konseling melalui penerapan
metode sosiodrama untuk meningkatkan
kecerdasan
emosional
siswa.
Guru
Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat
menggunakan metode sosiodrama untuk
mengatasi permasalahan siswa. Guru
Bimbingan dan Konseling diharapkan
memiliki keterampilan serta cara-cara yang
efektif dan bervariasi dalam menggunakan
teknik bimbingan dan konseling untuk
membantu siswa utamanya membentuk
perilaku yang sehat. (3) Bagi Wali Kelas,
diharapkan meningkatkan kerjasamanya
dengan guru BK dalam memberikan
informasi tentang keadaan peserta didik
yang
mengalami
permasalahan
ketidakstabilan emosi. Guru BK membantu
peserta didik yang mengalami masalah
emosi dengan menggunakan konseling
melalui penerapan metode sosiodrama. (4)
Bagi Siswa, disarankan untuk mengikuti
setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh guru
BK, karena kegiatan tersebut akan berguna
bagi kehidupan baik di masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Siswa
dapat
meningkatkan
kecerdasan
emosionalnya
setelah
diterapkannya
bimbingan konseling melalui metode
sosiodrama seperti memiliki sifat empati,
keterampilan
interaksi
sosial,
dan
koordinasi sosial. Peserta didik diharapkan
dapat membiasakan diri untuk melakukan
konsultasi dengan guru BK jika memiliki
masalah. (5) Bagi Penelitian Lain,
diharapkan dapat melakukan bimbingan
konseling melalui metode sosiodrama
dengan menerapkannya pada subjek yang
berbeda, sehingga mendapatkan hasil yang
lebih bervariasi.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
melalui bimbingan konseling dengan
penerapan metode sosiodrama, maka dapat
meningkatkan kecerdasan emosional siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Sindue. Hal ini
terbukti dari perolehan hasil dari 3 indikator
kecerdasan emosional siswa yang terdiri
dari empati, keterampilan interaksi sosial,
dan koordinasi sosial terus mengalami
peningkatan di setiap siklusnya. (1) Empati,
pada prasiklus sebesar 69,28% dengan
kriteria cukup, siklus I sebesar 81,22%
dengan kriteria sedang, siklus II sebesar
90,01% dengan kriteria tinggi, (2)
Keterampilan interaksi sosial, pada
prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria
cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan
kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26%
dengan kriteria tinggi, (3) Koordinasi
sosial, pada prasiklus sebesar 66,72%
dengan kriteria cukup, siklus I sebesar
78,21% dengan kriteria sedang, siklus II
sebesar 89,13% dengan kriteria tinggi.
62
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Adelia, Winda. 2011. Kehebatan Berfikir Positif. Yogyakarta : Sinar Kejora.
Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Burn, R.B. 1993. Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. (Alih Bahasa: Eddy) Jakarta: Arcan.
Centi, J. Paul. 1993. Mengapa Rendah Diri. (Alih Bahasa: A.M. Hardjana) Yogyakarta: Kanisius.
Enung, Fatimah. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Gerungan. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Hartinah, Sitti. 2009. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok. Bandung: PT Refika Aditama.
Hilgard, E.R.dkk. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. 1990. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rakhmat, Jalaludin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Romlah, Tatiek. 2006. Bimbingan Kelompok. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.
Santrock, Jhon.W. 2007. Remaja Edisi 11 jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, W Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Semium, Y. 2006. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyono. 2012. Metode Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Edisi Revisi. Bandung: Alfabeta.
Sukardi, Dewa Ketut. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Syamsudin. 1980. Bimbingan dan Konseling Kelompok. Yogyakarta : Kartika.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Radja Grafindo.
Winkel, WS. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widia Asmara Indonesia.
Yusuf, Syamsu LN. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
63
Media Litbang Sulteng IX (1) : 64-73, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL BELAJAR BIOLOGI PADA MATERI GERAK TUMBUHAN
MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INSIDE OUTSIDE CIRCLE
PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 MORI ATAS
Oleh :
Yulinus Mowendu1)
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan model pembelajaran Inside
Outside Circle dalam pembelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Mori Atas. Hal ini dilakukan karena dalam pembelajaran Biologi ditemukan fakta bahwa masih terdapat siswa di kelas VIII
SMP Negeri 1 Mori Atas yang kurang termotivasi dan tidak aktif dalam belajar. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian siswa
dalam mengikuti pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang rendah pula. Siswa tidak belajar mandiri, siswa
keluar masuk kelas dan siswa kurang serius dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan kondisi tersebut perlu
adanya penerapan model pembelajaran yang dapat membuat siswa termotivasi dan ikut aktif dalam proses pembelajaran, sehingga
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Gerak Tumbuhan dalam mata pelajaran Biologi. Oleh karena itu, peneliti
mencoba menerapkan model pembelajaran Inside Outside Circle. Pembelajaran dengan model kooperatif tipe Inside Outside Circle
menjadi salah satu cara untuk mewujudkan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, serta menyenangkan. Model Pembelajaran Inside
Outside Circle merupakan salah satu model pembelajaran yang menerapkan banyak diskusi/sharing. Pembelajaran ini menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan serta dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa yaitu melatih siswa untuk bekerja sama dalam
mendapatkan informasi yang berbeda pada saat yang bersamaan. Jenis penelitian yaitu penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan
dalam 2 siklus. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas yang berjumlah 23 siswa. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi dan tes tertulis. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan instrumen tes
siklus dan lembar observasi keaktifan siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan model
pembelajaran Inside Outside Circle pada pembelajaran Biologi materi Gerak Tumbuhan, maka dapat meningkatkan keaktifan dan
hasil belajar siswa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya persentase rata-rata keaktifan belajar siswa pada siklus I yaitu 63,51% dan
pada sikus II mengalami peningkatan, sehingga menjadi 77,91%. Hasil belajar Biologi materi Herak Tumbuhan melalui model
pembelajaran Inside Outside Circle juga mengalami peningkatan yaitu tampak saat prasiklus rata-rata nilai siswa hanya 57,25 dan
ketuntasan belajar klasikal 36,66%, akan tetapi saat siklus I nilai rata-rata siswa meningkat sehingga menjadi 66,77 dan ketuntasan
belajar klasikalnya juga meningkat menjadi 64,51% pada siklus II rata-rata nilai siswa meningkat sehingga menjadi 79,03 serta
ketuntasan belajar klasikal mencapai 80,64%.
Kata Kunci : Hasil Belajar, Biologi, Gerak Tumbuhan, Model Pembelajaran Inside Outside Circle
ABSTRACT
The purpose of this study is to identify and describe whether the application Inside Outside Circle learning model in
teaching Biology in Motion Plant material can improve the learning outcomes of students of class VIII SMP Negeri 1 Mori Atas.
This is done because in the learning of Biology discovered the fact that there are students in class VIII SMP Negeri 1 Mori Atas are
less motivated and active in learning. It can be seen from the lack of attention to the students to follow the lesson, so the effect on
student learning outcomes are low. Students do not learn independently, the student out of the classroom and students are less
serious about the task. In connection with the conditions necessary for application of learning models that can make students
motivated and actively participate in the learning process, so as to improve student learning outcomes in Motion Plant material in
the subjects of Biology. Therefore, researchers try to apply the learning model Inside Outside Circle. Type of cooperative learning
model with Inside Outside Circle be one way to achieve active learning, innovative, creative, and fun. Learning Model Inside
Outside Circle is one of the learning models that apply a lot of discussion / sharing. This learning creates a learning environment
that is fun and can develop a scientific attitude of students is to train students to work together in getting different information at the
same time. This type of research is a classroom action research conducted in two cycles. Subjects in this study were students of class
VIII SMP Negeri 1 Mori Atas totaling 23 students. Data collection techniques in this study is observational and written tests. This
classroom action research using instruments test cycles and student activity observation sheet. Based on the results of research and
discussion, it can be concluded that the learning model Inside Outside Circle on learning Motion Plant Biology material, it can
enhance the activity and student learning outcomes. It is characterized by increasing the average percentage of the activity of
students in the first cycle is 63.51% and the sikus II increased, so that it becomes 77.91%. Learning outcomes Plant Biology Herak
material through learning model Inside Outside Circle also increased which is visible when the average value prasiklus students
only 57.25 and 36.66% completeness of classical learning, but when the first cycle students' average score increased so that it
becomes 66.77 and mastery learning klasikalnya also increased to 64.51% in the second cycle the average student scores increased
so that it becomes 79.03 and classical learning completeness reached 80.64%.
Keywords : Results Learning, Biology, Motion Plant, Inside Outside Circle Learning Model
64
I.
pembelajaran.
Tujuannya
agar
pembelajaran menjadi lebih efektif dan
menyenangkan, sehingga tujuan utama
untuk meningkatkan mutu pembelajaran
dapat tercapai secara optimal.
Di dalam dunia pendidikan, salah
satu mata pelajaran yang diajarkan oleh
seorang guru adalah mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA). Pendidikan IPA
merupakan salah satu kompetensi yang
harus dimiliki siswa yang berperan penting
dalam peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia. Peran penting tersebut mengacu
pada luaran siswa yang berkualitas, yaitu
manusia yang mampu berpikir kritis,
kreatif, logis, dan berinisiatif dalam
menanggapi isu di masyarakat sebagai
dampak perkembangan IPA dan teknologi.
Biologi merupakan salah satu
cabang IPA yang memberikan peranan
dalam usaha menciptakan manusia yang
berkualitas. Untuk itu, diharapkan agar
lulusannya memiliki keterampilan dan pola
pikir kritis dalam memecahkan masalah
kehidupan dan sosial. Dengan menyadari
pentingnya peranan Biologi dalam dunia
pendidikan, dibutuhkan peranan guru dalam
memilih model dalam proses belajar
mengajar, sehingga siswa dapat belajar
secara efektif dan efisien serta mampu
memahami konsep- konsep yang terdapat
dalam pelajaran
Biologi
tersebut.
Pembelajaran IPA hendaknya menyediakan
peluang kepada siswa untuk belajar tentang
fakta-fakta dan teori-teori, mengembangkan
sikap ilmiah, dan keterampilan melakukan
metode ilmiah. Berkaitan dengan hal itu,
para guru hendaknya memfasilitasi
tercapainya tujuan tersebut dengan berbagai
cara, seperti menciptakan pembelajaran
yang inovatif di kelas.
Hal ini dilakukan karena dalam
pembelajaran Biologi ditemukan fakta
bahwa masih terdapat siswa di kelas VIII
SMP Negeri 1 Mori Atas yang kurang
termotivasi dan tidak aktif dalam belajar.
Hal ini dapat dilihat dari kurangnya
perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran,
sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa yang rendah pula. Siswa tidak belajar
mandiri, siswa keluar masuk kelas dan
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan proses
interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada satu
lingkungan
belajar.
Berdasarkan
pernyataan ini kita dapat menarik
kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur
utama dalam proses pembelajaran yaitu
peserta didik, pendidik, dan media
Dalam
proses
sumber
belajar.
pembelajaran diharapkan siswa dapat
menyerap ilmu sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Selain itu, siswa juga
diharapkan dapat mengikuti proses
pembelajaran dengan baik, senang, aktif
dan mandiri, seperti siswa semangat
mengerjakan
tugas,
siswa
mampu
bekerjasama dengan kelompoknya dan
siswa dapat memahami konsep, sehingga
dapat menciptakan suatu proses belajar
yang bermakna.
Belajar merupakan sebuah usaha
yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengembangkan potensi yang ada pada
dirinya guna menggapai impian yang ingin
dicapainya. Melalui belajar seseorang dapat
mengetahui sesuatu hal yang belum
diketahuinya dan dapat memahami suatu
gejala-gejala yang timbul di segala aspek
kehidupan. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produk atau hasil pendidikan
yang
berkualitas
adalah
dengan
memperbaiki cara belajar mengajar yang
dilakukan oleh seorang guru.
Dalam bidang pendidikan di
sekolah, peranan seorang guru sangat
penting untuk mencapai keberhasilan dalam
pembelajaran. Guru merupakan pribadi
yang berhubungan dengan subjek didik
yaitu siswa. Kualitas kinerja guru dapat
mempengaruhi proses pembelajaran dan
mutu pendidikan. Salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah
adalah
dengan
perbaikan
proses
pembelajaran di sekolah. Banyak cara yang
sudah dilakukan, akan tetapi dalam
kenyataannya mutu pembelajaran masih
kurang memuaskan. Untuk itu diperlukan
adanya inovasi berbagai macam model
1)
Guru SMP Negeri 1 Mori Atas
65
memahami, mengingat pengetahuan yang
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil
belajar.
Model pembelajaran ini memiliki
keunggulan dimana siswa diajak untuk
berperan serta dalam setiap proses
pembelajaran. Pada proses pembelajaran ini
siswa diberi kesempatan untuk berbagi
informasi secara singkat dan teratur dalam
bentuk diskusi kelompok. Siswa dapat
berbagi pada pasangan yang berbeda
dengan singkat dan teratur. Selain itu,
siswa juga bekerja dengan siswa lain dalam
suasana gotong-royong dan mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi. Pada model pembelajaran
ini siswa akan berkelompok di dalam
lingkaran besar dan lingkaran kecil, dimana
nanti siswa akan saling berhadapan dan
bertukar
pengetahuan
yang
telah
didapatkannya.
Metode
ini
sangat
bermanfaat bagi siswa yang kesulitan dalam
memahami
materi
Biologi
yang
membutuhkan konsentrasi dan sikap kritis.
Selain
itu,
siswa
juga
dapat
mengembangkan kemampuan interaksi
sosialnya terhadap teman-teman yang lain.
Pembelajaran ini menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan serta
dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa
yaitu melatih siswa untuk bekerja sama
dalam mendapatkan informasi yang
berbeda pada saat yang bersamaan. Model
pembelajaran ini memungkinkan siswa
untuk melatih kemampuan komunikasi
siswa. Para siswa akan lebih mengerti
apabila berkomunikasi dengan teman
sejawatnya. Hal ini dikarenakan apabila
siswa berkomunikasi dengan siswa lain
maka bahasa yang digunakan akan lebih
mudah di tangkap dan dipahami. Dengan
cara ini, setiap siswa dapat memperoleh
informasi sehingga dapat memecahkan
suatu masalah, membantu siswa untuk
membangun sendiri pengetahuannya yang
pada akhirnya dapat lebih meningkatkan
hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka
peneliti mengangkat suatu judul penelitian
yakni “Peningkatan Hasil Belajar Biologi
pada Materi Gerak Tumbuhan Melalui
siswa kurang serius dalam mengerjakan
tugas yang diberikan.
Sehubungan
dengan
kondisi
tersebut perlu adanya penerapan model
pembelajaran yang dapat membuat siswa
termotivasi dan ikut aktif dalam proses
pembelajaran,
sehingga
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi Gerak Tumbuhan dalam mata
pelajaran Biologi. Model pembelajaran
merupakan
landasan
praktik
pembelajaran hasil penurunan teori
psikologi pendidikan dan teori belajar
yang dirancang berdasarkan analisis
terhadap implementasi kurikulum dan
implikasinya pada tingkat operasional di
kelas.
Model
pembelajaran
dapat
diartikan pula sebagai pola yang
digunakan untuk penyusunan kurikulum,
mengatur materi, dan memberi petunjuk
pada guru di kelas.
Oleh karena itu, salah satu
alternatif model pembelajaran yang dapat
melibatkan siswa secara aktif, sehingga
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran Biologi pada materi
Gerak
Tumbuhan
adalah
model
pembelajaran Inside Outside Circle.
Pembelajaran dengan model kooperatif tipe
Inside Outside Circle menjadi salah satu
cara mewujudkan pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, serta menyenangkan.
Model Pembelajaran Inside Outside Circle
merupakan salah satu model pembelajaran
yang menerapkan banyak diskusi/sharing.
Teknik mengajar
Lingkaran
KecilLingkaran Besar (Inside-Outside Circle) ini
dikembangkan oleh Spencer Kagan untuk
memberikan kesempatan pada anak didik
agar saling berbagi informasi pada saat
yang
bersamaan.
Penerapan
model
pembelajaran Inside Outside Circle melatih
siswa untuk berfikir, berkomunikasi, dan
mengungkapkan ide-ide bersama dengan
pasangan
kelompoknya
dalam
menyelesaikan soal atau permasalahan.
Dalam diskusi ini siswa terlibat langsung
membangun pengetahuan
dan
pemahamannya sendiri dalam bentuk
memecahkan masalah, dengan adanya
keterlibatan siswa dalam memecahkan
masalah akan mempermudah siswa dalam
66
ranah tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
Ranah
kognitif,
adalah
tujuan
pendidikan yang berhubungan dengan
kemampuan
intelektual
atau
kemampuan
berpikir,
seperti
kemampuan
mengingat
dan
kemampuan memecahkan masalah.
Domain kognitif menurut Bloom terdiri
dari enam tingkatan yaitu pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi.
Ranah afektif, berkenaan dengan sikap,
nilai-nilai, dan apresiasi. Ada lima
tingkatan dalam ranah afektif ini yaitu
penerimaan, merespons, menghargai,
organisasi, dan pola hidup.
Ranah psikomotor, meliputi semua
tingkah laku yang menggunakan syaraf
dan otot badan. Ada lima tingkatan
dalam ranah ini, yaitu imitasi,
manipulasi, presisi, artikulasi, dan
naturalisasi (Sanjaya, 2009:127-128).
Penerapan Model Pembelajaran Inside
Outside Circle pada Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 1 Mori Atas”.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu apakah penerapan model
pembelajaran Inside Outside Circle dalam
pembelajaran Biologi pada materi Gerak
Tumbuhan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori
Atas?.
Berdasarkan rumusan masalah,
maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui dan mendeskripsikan apakah
penerapan model pembelajaran Inside
Outside Circle dalam pembelajaran Biologi
pada materi Gerak Tumbuhan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Mori Atas.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tujuan
akhir
dilaksanakannya
kegiatan
pembelajaran di sekolah. Hasil belajar
dapat ditingkatkan melalui usaha sadar
yang dilakukan secara sistematis mengarah
kepada perubahan yang positif yang
kemudian disebut dengan proses belajar.
Akhir dari proses belajar adalah perolehan
suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar
siswa di kelas terkumpul dalam himpunan
hasil belajar kelas. Semua hasil belajar
tersebut merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak
mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di
akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar,
sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya puncak proses
belajar.
Hasil pembelajaran adalah semua
efek yang dapat dijadikan sebagai indikator
tentang nilai dari penggunaan suatu model
pembelajaran. Penilaian hasil belajar
bertujuan melihat kemajuan hasil belajar
peserta didik dalam hal penguasaan materi
pengajaran yang telah dipelajarinya dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Pada umumnya hasil belajar dapat
dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga
2.2
Hakikat Biologi
Hakikat
Biologi
berhubungan
dengan cara pandang sesorang mengenai
apa sebenarnya Biologi. Cara pandang ini
terkait dengan bagaimana seseorang
menanggapi dan menghayati masalahmasalah dalam Biologi. Saptono (2003)
menjelaskan hakikat Biologi yang dapat
digunakan guru sebagai pertimbangan
untuk
mengembangkan
pembelajaran
biologi. Hakikat Biologi yang dimaksudkan
antara lain sebagai berikut.
1. Biologi
Sebagai
Kumpulan
Pengetahuan.
Biologi adalah bagian dari IPA
(Ilmu Pengetahuan Alam) dan mencakup
ilmu-ilmu
atau
pengetahuan
yang
berhubungan dengan kehidupan di alam
semesta ini. Pengetahuan tersebut dapat
berupa fakta, konsep, teori, maupun
generalisasi yang menjelaskan tentang
gejala kehidupan.
2. Biologi
Sebagai
Suatu
Proses
Investigasi.
Pemahaman bahwa Biologi dapat
juga dikatakan sebagai suatu proses
67
mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Objek yang dipelajari dalam Biologi
adalah makhluk hidup dan makhluk tak
hidup. Makhluk hidup selalu erat kaitannya
dengan lingkungan. Lingkungan tersebut
terbagi menjadi lingkungan biotik dan
lingkungan abiotik. Lingkungan biotik
meliputi semua makhluk hidup yang terbagi
atas mikroorganisme, tumbuhan, hewan,
dan manusia. Lingkungan abiotik meliputi
faktor fisika dan kimia yang penting bagi
makhluk hidup, seperti air, temperatur,
sinar matahari, dan tanah.
investigasi
(penelusuran/penyelidikan)
banyak diartikan dengan hal-hal yang selalu
berhubungan dengan laboratorium beserta
perangkatnya. Proses pengamatan gejala
alam, merumuskan hipotesis, melakukan
pengujian, serta membuat generalisasi
merupakan serangkaian yang seharusnya
diperhatikan oleh guru pada saat melakukan
aktivitas pembelajaran Biologi.
3. Hakikat Pembelajaran Biologi
Pendidikan Biologi menekankan
pada pemberian pengalaman secara
langsung. Oleh karena itu, siswa perlu
dibantu untuk mengembangkan sejumlah
keterampilan proses agar mereka mampu
menjelajahi dan memahami alam sekitar.
Keterampilan
proses
ini
meliputi
keterampilan mengamati dengan seluruh
indera,
mengajukan
hipotesis,
menggunakan alat dan bahan secara benar
dengan
selalu
mempertimbangkan
keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan,
menggolongkan, menafsirkan data, dan
mengkomunikasikan hasil temuan secara
beragam, menggali dan memilah informasi
faktual yang relevan untuk menguji
gagasan-gagasan
atau
memecahkan
masalah sehari-hari (Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas, 2001).
Jika Biologi hanya diajarkan
dengan hafalan, maka siswa yang memiliki
pengetahuan awal tentang berbagai
fenomena
Biologi
tidak
dapat
menggunakan pengetahuan mereka selama
proses pembelajaran yang dikembangkan
oleh guru. Belajar Biologi seharusnya dapat
mengakomodir kesenangan dan kepuasan
intelektual bagi siswa dalam usahanya
membongkar dan memperbaiki berbagai
konsep yang mungkin masih keliru.
Pembelajaran Biologi akan lebih bermakna
jika memungkinkan siswa menjalani
perubahan konsepsi (Saptono, 2003).
2.4
Gerak Tumbuhan
Tumbuhan
dapat
bergerak
meskipun tidak memiliki sistem sarf karena
memiliki kekampuan untuk menanggapi
rangsang yang disebut iritabilitas. Gerak
tumbuhan terjadi karena pengaruh adanya
rangsangan dari luar yang disebut gerak
etinom. Ada 3 macam gerak etinom, yakni
tropisme, nasti, dan taksis. Berikut adalah
penjelasan mengenai Macam macam gerak
pada tumbuhan.
2.5
Macam Macam Gerak pada
Tumbuhan
Berikut adalah macam macam
Gerak Tumbuhan, ada 3 macam Gerak
Tumbuhan yakni tropisme, nasti, dan taksis.
1. Gerak Tropisme
Tropisme adalah gerak bagian
tumbuhan yang arahnya dipengaruhi oleh
arah datangnya rangsangan. ika arah
geraknya mendekati rangsan disebut
tropisme positif, sedangkan bila menjauhi
rangsangan
disebut
tropisme
negatif. Tropisme dibagi menjadi beberapa
bagian mengenai rangsangannya yaitu:
Fototropisme
Fototropisme yaitu gerak tropisme
karena
rangsangan
cahaya.
Fototropisme positif contohnya gerak
tumbuh batang ke arah cahaya
matahari.
Fototropisme
negatif
contohnya gerak tumbuh akar menjauhi
cahaya matahari.
Geotropisme
Geotropisme adalah gerak tropisme
karena pengaruh gravitasi bumi.
Geotropisme positif contohnya gerak
2.3
Biologi Sebagai Bagian dari Ilmu
Pengetahuan Alama (IPA)
Ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari tentang makhluk hidup beserta
lingkungannya disebut Biologi atau ilmu
hayat. Biologi berasal dari kata bios, artinya
hidup dan logos, artinya ilmu. Biologi
68
daun polong polongan pada malam
hari.
Hidronasti
Adalah gerak nasti karena pengaruh
kandungan air. Contohnya gerak
menggulungnya daun padi jika
kekurangan air.
Nasti Kompleks
Adalah gerak nasti karena pengaruh
beberapa faktor. Contohnya gerak
membuka dan menutupnya stomata.
3. Gerak Taksis
Taksis adalah gerak pindah tempat
sebagian atau seluruh tubuh tumbuhan
karena adanya rangsnagan. Gerak taksis
dibedakan menjadi 2 bagian yakni
Kemotaksis dan Fototaksis.
Kemotaksis.
Adalah gerak taksis karena rangsangan
zat kimia.Contohnya gerak sel gamet
lumut jantang menuju sel gamet lumut
betina yang mengandung zat kimia
tertentu
Fototaksis
Adalah gerak taksis karena rangsang
zahaya.
Contohnya
gerak
alga
Chlamydomonas menuju cahaya.
tumbuh akar ke arah tanah, sedangkan
negatif contohnya gerak tumbuh batang
menjauhi tanah.
Hidrotropisme
Hidrotropisme adalah gerak tropisme
karena
pengaruh
rangsang
air.
Hidrotropisme positif contohnya gerak
tumbuh akar ke arah sumber air di
tanah, sedangkan negatifcontohnya
gerak tumbuh batang menjauhi sumber
air di tanah.
Kemotropisme
Kemotropisme adalah gerak tropisme
karena
rangsangan
zat
kimia.
Kemotropisme positif contohnya adalah
Gerak Tumbuhan akar menuju zat hara
di dalam tanah, sedangkan negatif
contohnya Gerak Tumbuhan akar
menjauhi racun.
Tigmotropisme
Tigmotropisme adalah gerak tropisme
karena rangsang sentuhan. Contohnya
gerak sulur tanaman anggur melilit di
pagar.
2. Gerak Nasti
Nasti
adalah
gerak
bagian
tumbuha yang arahnya tidak dipengaruhi
oleh arah datangnya rangsangan. Berikut
adalah bagian bagian dari gerak nasti.
Tigmonasti
Seperti tadi di atas arti tigmo adalah
sentuhan,
sedangkan
tigmonasti.
Tigmonasti (seismonasti) adalah gerak
nasti karena rangsang sentuhan.
Contohnya gerak menutupnya daun
putri malu jika disentuh.
Fotonasti
Foto berarti cahaya, sedangkan
fotonasti adalah gerak nasti karena
rangsang cahaya. COntohnya gerak
mekarnya bunga pukul empat pada sore
hari karena disebabkan rangsang
cahaya matahari.
Termonasit
Termonasti adalah gerak nasti karena
rangsang suhu. Contohnya gerak
mekarnya bunga tulipa pada musim
semi yang hangat.
Niktinasti
Adalah gerak nasti karena rangsang
gelap. Contohnya gerak menutupnya
2.6
Model Pembelajaran Inside Outside
Circle
Model Pembelajaran Lingkaran
dalam dan Luar atau Inside Outside Circle
(IOC) adalah model pembelajaran dengan
sistem lingkaran kecil dan lingkaran besar
(Spencer Kagan, 1993), dimana siswa
saling membagi informasi pada saat yang
bersamaan dengan pasangan yang berbeda
dengan singkat dan teratur. Sintaknya
adalah separuh dari jumlah siswa
membentuk lingkaran kecil menghadap
keluar, separuhnya lagi membentuk
lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa
yang berhadapan berbagi informasi secara
bersamaan, siswa yang berada di lingkaran
luar berputar kemudian berbagi informasi
kepada teman (baru) di depannya, dan
seterusnya.
Model pembelajaran Inside Outside
Circle adalah model pembelajaran yang
dikembangkan oleh Spencer Kagan untuk
memberikan kesempatan kepada siswa agar
saling berbagi informasi pada saat yang
69
2008:66), siswa dalam kelas dibagi menjadi
dua lingkaran, yaitu lingkaran individu dan
lingkaran kelompok. Penjelasannya sebagai
berikut :
bersamaan. Pendekatan ini bisa digunakan
dalam beberapa mata pelajaran, seperti:
Ilmu
Pengetahuan
Sosial,
Agama,
Matematika, dan Bahasa. Bahan pelajaran
yang paling cocok digunakan dengan model
Inside Outside Circle ini adalah bahan yang
membutuhkan pertukaran pikiran dan
informasi antar siswa.
Keunggulan
dari
model
pembelajaran Inside Outside Circle adalah
adanya
struktur
yang
jelas
dan
memungkinkan siswa
untuk
berbagi dengan pasangan yang berbeda
dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa
bekerja dengan sesama siswa dalam
suasana gotong-royong dan mempunyai
banyak
kesempatan
untuk
mengolah informasi dan meningkatkan
keterampilan berkomunikasi. Model Inside
Outside Circle ini bisa digunakan untuk
semua tingkat usia anak didik.
Langkah-langkah
model
pembelajaran Inside Outside Circle
menurut Spencer Kagan, ada lima langk
ah utama dalam penerapan model Inside
Outside Circle ini, yaitu:
Langkah pertama, separuh kelas berdiri
membentuk lingkaran kecil dan
menghadap keluar.
Langkah kedua, separuh kelas lainnya
membentuk lingkaran di luar lingkaran
pertama dan menghadap ke dalam.
Langkah ketiga, kemudian dua siswa
yang berpasangan dari lingkaran kecil
dan besar berbagi informasi. Pertukaran
informasi ini bisa dilakukan oleh semua
pasangan
dalam
waktu
yang
bersamaan.
Langkah keempat, siswa yang berada di
lingkaran kecil diam di tempat,
sementara siswa yang berada di
lingkaran besar bergeser satu atau dua
langkah searah jarum jam, sehingga
masing-masing siswa mendapatkan
pasangan baru.
Langkah terakhir, giliran siswa yang
berada di lingkaran besar yang
membagi
informasi.
Demikian
seterusnya.
Anita
Lie
mengembangkan
langkah-langkah yang dirumuskan Kagan.
Dalam
pengembangan
(Anita
Lie,
1. Lingkaran Individu
Separuh
kelas (atau seperempat
jika jumlah siswa terlalu banyak)
berdiri membentuk lingkaran kecil.
Mereka
berdiri
melingkar
dan
menghadap keluar.
Separuh kelas lainnya membentuk
lingkaran di luar lingkaran yang
pertama. Dengan kata lain, mereka
berdiri menghadap ke dalam dan
berpasangan dengan siswa yang berada
di lingkaran dalam.
Dua siswa yang berpasangan dari
lingkaran kecil dan lingkaran besar
berbagi informasi. Siswa yang berada
di lingkaran kecil yang memulai.
Pertukaran informasi ini bisa dilakukan
oleh semua pasangan dalam waktu
yang bersamaan.
Kemudian, siswa yang berada di
lingkaran kecil diam di tempat,
sementara siswa yang berada di
lingkaran besar bergeser satu atau dua
langkah searah perputaran jarum jam.
Dengan cara ini, masing-masing siswa
mendapatkan pasangan baru untuk
berbagi informasi.
Sekarang giliran siswa yang berada di
lingkaran besar yang membagikan
informasi. Demikian seterusnya.
2. Lingkaran Kelompok
Satu kelompok berdiri di lingkaran
kecil menghadap keluar. Kelompok
yang lain berdiri di lingkaran besar.
Kelompok berputar seperti prosedur
lingkaran individu yang dijelaskan di
atas dan saling berbagi.
III.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yaitu penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2
siklus. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas
yang berjumlah 23 siswa.
Teknik pengumpulan data pada
70
penelitian ini yaitu: (1) Observasi yang
digunakan untuk mengamati kegiatan siswa
selama proses pembelajaran; (2) Tes tertulis
yang digunakan untuk mengetahui dan
mengukur seberapa besar prestasi belajar
Biologi siswa pada materi Gerak
Tumbuhan, mengukur keberhasilan dan
efisiensi pembelajaran yang dilakukan serta
seberapa jauh siswa menyerap materi
pelajaran
yang
telah
disampaikan.
Instrumen penelitian adalah alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian. Penelitian tindakan kelas ini
menggunakan instrumen tes siklus dan
lembar observasi keaktifan siswa. Data
dianalisis sejak penelitian dimulai dan
dikembangkan selama proses refleksi.
Analisis dilakukan dengan membandingkan
hasil sebelum tindakan dengan hasil setelah
tindakan. Data yang dianalisis adalah
semua data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu data keaktifan belajar
dan hasil belajar siswa selama proses
pembelajaran.
IV.
cenderung mengandalkan temannya untuk
menyelesaiakan
permasalahan
yang
diberikan dari guru. Prasiklus hasil belajar
siswa diperoleh dari nilai ulangan harian.
Data hasil ulangan harian menunjukkan
rata-rata hasil belajar siswa sebesar 57,25
dengan
ketuntasan
belajar
klasikal
mencapai 38,70% dengan masuk ke dalam
kategori kurang. Kelemahan pada siklus I
diperbaiki pada siklus II agar keaktifan
belajar siswa dapat meningkat dan
mendapatkan
prestasi
belajar
yang
maksimal sesuai target. Pada siklus II
peneliti menjelaskan secara terperinci
tentang model pembelajaran Inside Outside
Circle. Peneliti juga menekankan kembali
kepada siswa untuk belajar berinteraksi
dengan baik, mengungkapkan ide-ide
bersama dengan pasangan kelompoknya
dalam
menyelesaikan
soal
atau
permasalahan.
Rata-rata keaktifan belajar siswa
dengan model pembelajaran Inside Outside
Circle pada siklus II mengalami
peningkatan menjadi sebesar 77,91 dengan
masuk ke dalam kategori baik. Sedangkan
rata-rata hasil belajar siswa juga mengalami
peningkatan menjadi sebesar 79,03 dengan
ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar
80,64% dengan masuk ke dalam kategori
baik.
Pada siklus II siswa lebih aktif,
sehingga terjadi peningkatan yang cukup
signifikan pada jumlah siswa yang dapat
mempertahankan pendapatnya. Siswa mulai
percaya diri dalam mengerjakan soal di
depan kelas. Siswa mulai optimis dalam
mempresentasikan
dan
mempertanggungjawabkan
hasil
diskusinya. Siswa dapat berinteraksi dengan
baik
serta
dapat
menyelesaikan
permasalahan yang diberikan oleh peneliti.
Kemampuan siswa dalam menyelesaikan
suatu permasalahan sudah cukup baik,
sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
penelitian pada siklus I dan siklus II
menunjukkan bahwa model Inside Outside
Circle dapat meningkatkan keaktifan dan
hasil belajar siswa. Secara keseluruhan
hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan baik dari observasi keaktifan
belajar siswa maupun hasil belajar siswa
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa penerapan model pembelajaran
Inside Outside Circle dapat meningkatkan
keaktifan dan hasil belajar siswa dalam
mata pelajaran Biologi pada materi Gerak
Tumbuhan pada siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Mori Atas. Hal ini dapat dilihat
dari rata-rata keaktifan belajar siswa dengan
model pembelajaran Inside Outside Circle
pada siklus I sebesar 63,51 dengan masuk
ke dalam kategori cukup. Keaktifan belajar
siswa juga mempengaruhi prestasi belajar
siswa pada siklus I. Hal ini dapat dilihat
dengan perolehan nilai rata-rata prestasi
belajar sebesar 66,77 dengan ketuntasan
belajar klasikal sebesar 64,51% dengan
masuk ke dalam kategori cukup.
Pembelajaran pada siklus I belum berjalan
dengan baik, siswa belum memahami
pembelajaran Inside Outside Circle.
Pada saat proses pembelajaran
berlangsung masih banyak siswa pasif.
Sebagian besar siswa belum dapat
berinteraksi
dengan
baik.
Mereka
71
Hasil belajar Biologi materi Herak
Tumbuhan melalui model pembelajaran
Inside Outside Circle juga mengalami
peningkatan yaitu prasiklus rata-rata nilai
siswa dari 57,25 dan ketuntasan belajar
klasikal 36,66%, pada siklus I rata-rata nilai
siswa meningkat menjadi 66,77 dan
ketuntasan belajar klasikalnya juga
meningkat menjadi 64,51% pada siklus II
rerata nilai siswa meningkat menjadi 79,03
serta ketuntasan belajar klasikal mencapai
80,64%.
serta rata-rata dari hasil ketuntasan belajar
klasikal siswa seperti pada tabel berikut.
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Keaktifan Belajar Siswa Siklus I
dan II
Parameter
Rata-Rata
Kriteria
Siklus
I
II
63,51
77,91
Cukup
Baik
Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa pada Prasiklus,
Siklus I, dan Siklus II
Parameter
Jumlah
Rata-Rata
Ketuntasan Belajar
Kriteria
V.
Prasiklus
1.755
57,25
38,70
Kurang
Siklus I
2.070
66,77
64,51
Cukup
Siklus II
2.450
79,03
80,64
Baik
VI.
SARAN
Saran
yang
dapat
peneliti
sampaikan dalam penelitian ini adalah guru
dapat menggunakan model pembelajaran
Inside Outside Circle sebagai alternative
pilihan
model
pembelajaran
dalam
pembelajaran Biologi materi Gerak
Tumbuhan untuk meningkatkan keaktifan
dan hasil belajar siswa. Dalam penggunaan
model pembelajaran Inside Outside Circle
membutuhkan waktu lebih lama, sehingga
harus ada pengontrolan waktu dan aktivitas
siswa agar pembelajaran berjalan dengan
efisien.
Dalam
penggunaan
model
pembelajaran Inside Outside Circle, siswa
yang lebih bersifat pasif terutama yang
pemalu perlu kesabaran dan ketelatenan
yang ekstra oleh guru untuk melatih siswa
dalam
mempresentasikan
hasil
pemikirannya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
dengan model pembelajaran Inside Outside
Circle pada pembelajaran Biologi materi
Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan
keaktifan belajar siswa dan hasil belajar
siswa.
Hal
ini
ditandai
dengan
meningkatnya persentase rata-rata keaktifan
belajar siswa pada siklus I yaitu 63,51%
dan
pada
sikus
II
meningkat
menjadi77,91%.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.Yogyakarta: Bumi Aksara.
Arsyad, M. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, Oemar. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hariyanto, Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isjoni. 2007. Cooperative Learning. B a ndu n g: Alfabeta.
Lie, A. 2002. Cooporative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Gramedia.
Mulyasa. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munawar, Ibrahim. 2002. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Rajawali Press.
Ngalimun. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Sleman Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Rusman. 2013. Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
Rajawali Pers.
Rusmono. 2012. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning Itu Perlu Untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Silberman, Mel. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Mada.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2013. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alvabeta.
Sumadayo, Samsu. 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryosubroto. 2002. Proses
Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenada Media.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Jatim: Masmedia Buana Pustaka.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivitik. Jakarta: Presentasi Pustaka.
Uno, Hamzah. 2012. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: Bumi Aksara.
Warsono, Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zaini. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif, CTSD. Yogyakarta: PT Hidakarya Agung.
73
Media Litbang Sulteng IX (1) : 74-84, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA
PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 LEMBO
Oleh :
Julianeri Russang1)
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini yaitu dalam melaksanakan pembelajaran Matematika, guru masih menerapkan metode
konvensional seperti menjelaskan materi secara abstrak, hafalan materi, dan ceramah dengan komunikasi satu arah, dimana
yang aktif masih didominasi oleh guru (teacher centered), sehingga siswa merasa jenuh dan bosan dalam mengikuti pembelajaran.
Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan
hasil belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo, (2) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran
Problem Posing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo.
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Banyaknya siklus dalam penelitian ini adalah sebanyak dua kali siklus.
Tiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu : Planning, Acting, Observing, Reflecting. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Lembo yang berjumlah 21 siswa. Penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil dan aktivitas
belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus
mengalami peningkatan dari setiap siklusnya. Siklus I, nilai rata-rata siswa yakni 79,28 dengan persentase ketuntasan 87,62 %. Pada
siklus II, nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 87,61 dengan persentase ketuntasan mencapai 100 %. Peningkatan juga terjadi
pada aktivitas siswa. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria sangat aktif yakni sebanyak 7 siswa atau dengan persentase
33,33 %. Sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 15 orang siswa atau dengan persentase 71,42%. Pada siklus I, jumlah
siswa dengan kategori aktif yakni sebanyak 9 siswa atau dengan persentase 42,85 %. Sedangkan pada siklus II menjadi 6
siswa atau dengan persentase 28,57 %. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria cukup aktif yakni sebayak 3 siswa atau
dengan persentase 14,28 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang cukup aktif. Pada siklus I, jumlah siswa
dengan kriteria kurang aktif yakni 2 siswa atau dengan persentase 9,52 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang
kurang aktif. Selanjutnya baik pada siklus I maupun siklus II, tidak terdapat siswa dengan kriteria perolehan aktivitas tidak
aktif dibandingkan dengan prasiklus.
Kata Kunci : Hasil Belajar, Aktivitas Belajar, Matematika, Model Pembelajaran Problem Posing
ABSTRACT
The background of this research is to implement learning mathematics, teachers are still applying conventional methods
such as explaining the material in the abstract, memorizing material, and lectures with one-way communication, where the current
is still dominated by the teacher (teacher centered), so that students feel tired and bored in follow learning. The purpose of this study
are (1) to determine whether the application of learning models Problem Posing can improve learning outcomes Math class VIII
SMP Negeri 1 Lembo, (2) to determine whether the application of learning models Problem Posing can enhance students' learning
activities in the subjects of Mathematics students class VIII SMP Negeri 1 Lembo. This research is a classroom action research
(PTK). The number of cycles in this study is twice the cycle. Each cycle consists of four phases: Planning, Acting, Observing,
Reflecting. The subjects were students of class VIII SMP Negeri 1 Lembo totaling 21 students. Implementation of Problem Posing
learning model can improve outcomes and student learning activities in mathematics class VIII SMP Negeri 1 Lembo. This is evident
from the results of student learning that continue to increase each cycle. The first cycle, the average value of the percentage of
students that is 79.28 with 87.62% completeness. In the second cycle, the average value of students increased to 87.61 with the
percentage reached 100% completeness. The increase also occurred in the student activity. In the first cycle, the number of students
with highly active criterion that as many as seven students or with the percentage of 33.33%. While on the second cycle increased to
15 students or with the percentage of 71.42%. In the first cycle, the number of students with active category that is as much as 9
students or with the percentage of 42.85%. While in the second cycle to 6 students or with the percentage of 28.57%. In the first
cycle, the number of students with active enough criteria that sebayak 3 students or with the percentage of 14.28%. While in the
second cycle, no more students were quite active. In the first cycle, the number of students with less active criteria that 2 students or
the percentage of 9.52%. While in the second cycle, no more students who are less active. The next well in the first cycle and the
second cycle, there are students with criteria inactive acquisition activity compared with prasiklus.
Keywords: Learning Outcomes, Activities Learning, Mathematics, Learning Model Problem Posing
74
I.
kesulitan dalam menyelesaikan soal dengan
tepat. Siswa juga masih sulit mengerjakan
soal yang sedikit berbeda dengan contoh
soal yang diberikan oleh guru. Hal ini dapat
terjadi karena guru masih menggunakan
model pembelajaran yang meminimalkan
aktivitas maupun keterlibatan siswa.
Keterampilan berkomunikasi siswa dalam
Matematika juga masih rendah. Masalahmasalah ini dapat berpengaruh pada
prestasi belajar siswa. Ahmad Rohani HM
(2004: 6) menyatakan bahwa belajar yang
berhasil adalah belajar yang melalui
berbagai macam aktivitas, baik aktivitas
fisik (jasmani) maupun psikis (jiwa atau
rohani).
Selama
pembelajaran,
guru
cenderung lebih menekankan pada aspek
kognitif dengan menggunakan hafalan
dalam upaya menguasai materi. Selain itu,
kegiatan yang banyak dilakukan oleh
siswa adalah mencatat dan mendengarkan
apa yang disampaikan oleh guru yang
berakibat siswa menjadi pasif, kurang
kreatif, dan kurang inovatif. Guru masih
menerapkan metode konvensional seperti
menjelaskan
materi secara abstrak,
hafalan materi, dan ceramah dengan
komunikasi satu arah, dimana yang aktif
masih didominasi oleh guru (teacher
centered).
Dalam pembelajaran guru masih
menggunakan strategi pembelajaran yang
bersifat konvensional, sehingga siswa
kurang termotivasi dalam mengikuti
pembelajaran. Selain itu, dampak dari
penggunaan strategi pembelajaran yang
masih bersifat konvensional adalah masih
banyak siswa memiliki hasil belajar
Matematika yang masih di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM).
Dalam pembelajaran Matematika
memerlukan motivasi belajar yang baik.
Siswa dengan motivasi yang baik akan
lebih mampu memahami dan memiliki
daya serap yang tinggi terhadap materi.
Motivasi akan semakin didukung jika
materi yang diangkat lebih bermakna dan
diminati oleh siswa serta didorong oleh
kegiatan yang bermanfaat dan tepat
terhadap siswa. Peran motivasi belajar
siswa merupakan faktor utama yang
PENDAHULUAN
Dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003, Bab II Pasal 3 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pendidikan Nasional bertujuan untuk
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Salah satu masalah yang dihadapi
dunia pendidikan kita adalah masalah
lemahnya proses pembelajaran terutama
pada
mata
pelajaran
Matematika.
Matematika erat hubungannya dengan
kehidupan kita sehari-hari. Maka dari itu,
matematika diharapkan dapat dikuasai oleh
siswa
di
sekolah.
Namun
pada
kenyataannya,
pelajaran
Matematika
dianggap sulit dan ditakuti oleh siswa
sehingga sangat berdampak pada rendahnya
prestasi belajar siswa.
Rendahnya pemahaman siswa
dikarenakan siswa cenderung kurang
bersemangat pada saat belajar Matematika.
Semua itu terlihat dengan adanya sikap
beberapa siswa yang kurang antusias dalam
pembelajaran Matematika terutama pada
saat mengerjakan soal-soal Matematika.
Proses
pembelajaran
yang
dilakukan guru saat ini adalah siswa
diarahkan
untuk
menghafal
materi
pembelajaran. Sanjaya (2009 : 1)
menyatakan bahwa otak anak dipaksa
untuk mengingat dan menimbun berbagai
informasi tanpa dituntut untuk memahami
infomasi yang diingatnya itu untuk
menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik
lulus dari sekolah, mereka hanya pintar
secara teoretis, tetapi mereka miskin
aplikasi.
Banyak siswa yang mengalami
1)
Guru SMP Negeri 1 Lembo
75
menentukan kualitas hasil belajarnya.
Suwardi (2012) motivasi yang dimiliki
oleh siswa juga dapat mempengaruhi
hasil belajar yang akan diperoleh. Pada
hasil analisis motivasi memberikan
kontribusi muatan faktor yang paling
sedikit untuk psikologi siswa, yaitu
sebesar 0,603. Motivasi seseorang akan
sesuatu hal sangat mempengaruhi hasil
yang dicapai. Siswa yang kurang
motivasi terhadap pelajaran akan merasa
cepat bosan dengan pelajaran, sehingga
siswa dituntut untuk aktif dalam proses
belajar.
Untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut, maka dipertimbangkan untuk
menerapkan model pembelajaran Problem
Posing.
Model
pembelajaran
ini
mengikutsertakan peran aktif siswa.
Menurut Suryanto dalam Muhammad
Thobroni dan Arif Mustofa (2011: 351)
model pembelajaran Problem Posing
adalah salah satu model pembelajaran yang
mewajibkan para siswa untuk mengajukan
soal (masalah) sekaligus mewajibkan untuk
mencari solusi dari soal (masalah) itu
sendiri. Problem Posing (pengajuan soal)
adalah salah satu model pembelajaran yang
berorientasi pada aliran konstruktivis,
berbeda dengan pembelajaran yang bersifat
konvensional yang lebih menekankan pada
hapalan yang cenderung mematikan daya
nalar dan kreativitas berpikir anak (Hudojo
dalam Fakhruddin dan Nur Oktaviani,
2009: 2). Melalui model pembelajaran ini
siswa diharapkan dapat membuat soal
sendiri yang tidak jauh berbeda dengan
soal yang diberikan oleh guru. Kemudian
siswa terbiasa dalam menyelesaikan soal
sehingga diharapkan dapat meningkatkan
prestasi sekaligus dapat meningkatkan
keaktifan belajar mereka.
Problem posing atau pengajuan
soal/pertanyaan adalah salah satu cara yang
efektif
untuk
mengembangkan
keterampilan siswa guna meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah. Menurut
Sanjaya (2009 : 221) yang mengemukakan
bahwa
pemecahan
masalah
dapat
mengembangkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan
dengan pengetahuan baru. Selanjutnya
menurut Nasution (2006 : 117) pemecahan
masalah bukan perbuatan yang sederhana,
akan tetapi lebih kompleks dari pada yang
diduga. Pemecahan masalah memerlukan
kemampuan
berpikir
yang
banyak
ragamnya
termasuk
mengamati,
melaporkan, mendeskripsi, menganalisis,
mengklarifikasi, menafsirkan, mengkritik,
meramalkan, menarik kesimpulan dan
membuat
generalisasi
berdasarkan
informasi yang dikumpulkan dan diolah.
Jika kemampuan pemecahan masalah
siswa meningkat, maka akan berdampak
pada hasil belajarnya. Hakiim (2009 : 28)
menyatakan bahwa hasil belajar pada aspek
pengetahuan adalah dari tidak tahu menjadi
tahu, pada aspek sikap dari tidak mau
menjadi mau, dan pada aspek keterampilan
dari tidak mampu menjadi mampu.
Berdasarkan
akar
penyebab
masalah yang dominan dapat diajukan
alternatif tindakan dengan strategi
pembelajaran Problem Posing. Menurut
Silver (Akay dan Boz, 2010) Problem
Posing dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang terjadi ketika siswa
dilibatkan dalam merumuskan masalah
dan juga ketika memproduksi masalah
dan
pertanyaan
baru.
Strategi
pembelajaran Problem Posing memiliki
keunggulan
dalam
meningkatkan
motivasi dan hasil belajar matematika
yang baik di dalam kelas. Strategi
pembelajaran Problem Posing, dalam
pembelajarannya semua siswa terpacu
untuk terlibat secara aktif dalam
merancang dan membuat soal, sehingga
tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut
keaktifan dan kreatifitas siswa.
Problem
Posing
dalam
pembelajaran Matematika dapat membantu
siswa dalam kemampuan bernalar dan
memecahkan masalah, sehingga dapat
dijadikan
alternatif
pendekatan
pembelajaran yang dapat meningkatkan
keberhasilan
siswa
dalam
belajar
Matematika. Oleh karena itu diharapkan
dengan penerapan model pembelajaran
Problem Posing, maka dapat meningkatkan
hasil belajar Matematika siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Lembo. Berdasarkan latar
76
perubahan pada individu-individu yang
belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan
dengan penambahan ilmu pengetahuan,
tetapi
juga
berbentuk
kecakapan,
keterampilan, sikap, pengertian, harga diri,
minat, watak, serta penyesuaian diri.
Terlebih
lagi
dalam
mempelajari
matematika
yang
struktur
ilmunya
berjenjang dari yang paling sederhana
sampai yang paling kompleks, dari yang
konkret sampai ke abstrak.
belakang yang telah diuraikan, maka
peneliti tertarik untuk mengangkat judul
penelitian yakni “Peningkatan Hasil dan
Aktivitas Belajar Siswa pada Mata
Pelajaran Matematika Melalui Penerapan
Model Pembelajaran Problem Posing pada
Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu (1) apakah penerapan model
pembelajaran Problem Posing dapat
meningkatkan hasil belajar Matematika
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo?. (2)
apakah penerapan model pembelajaran
Problem Posing dapat meningkatkan
aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran
Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Lembo?. Tujuan penelitian tindakan kelas
ini adalah (1) untuk mengetahui apakah
penerapan model pembelajaran Problem
Posing dapat meningkatkan hasil belajar
Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Lembo, (2) untuk mengetahui apakah
penerapan model pembelajaran Problem
Posing dapat meningkatkan aktivitas
belajar siswa pada mata pelajaran
Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Lembo.
II.
2.1.2
Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tolak ukur
yang digunakan untuk menentukan tingkat
keberhasilan siswa dalam mengetahui dan
memahami suatu mata pelajaran, biasanya
dinyatakan dengan nilai yang berupa huruf
atau angka-angka. Hasil belajar dapat
berupa keterampilan, nilai dan sikap setelah
siswa mengalami proses belajar. Melalui
proses belajar mengajar diharapkan siswa
memperoleh kepandaian dan kecakapan
tertentu serta perubahan-perubahan pada
dirinya.
Menurut Nana Sudjana (2005: 3),
Hakikat hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku individu yang mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Menurut Nana Sudjana (1989: 38-40), Hasil
belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh
dua faktor utama yakni faktor dari dalam
diri siswa itu dan faktor yang datang dari
luar diri siswa atau faktor lingkungan. Hasil
belajar merupakan segala upaya yang
menyangkut aktivitas otak (proses berfikir)
terutama dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Proses berfikir ini ada enam
jenjang, mulai dari yang terendah sampai
dengan jenjang tertinggi (Suharsimi
Arikunto, 2003: 114-115). Keenam jenjang
tersebut adalah:
a. Pengetahuan
Pengetahuan
(knowledge)
yaitu
kemampuan
seseorang
untuk
mengingat kembali tentang nama,
istilah, ide, gejala, rumus- rumus dan
lain sebagainya, tanpa mengharapkan
kemampuan untuk menggunakannya.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Hasil Belajar Matematika
2.1.1 Pengertian Belajar
Slameto (1995:2) mengemukakan,
“Belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara
keseluruhan,
sebagai
hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”. Muhibin Syah
(2006:65-66) mengutip pendapat seorang
ahli psikolog bernama Wittig (1981) dalam
bukunya
psychology
of
learning
mendefinisikan belajar sebagai: “any
relatively permanent change in an
organism’s behavioral repertoire that
occurs as a result of experience, artinya
belajar adalah perubahan yang relatif
menetap yang terjadi dalam segala macam
atau keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai hasil pengalaman”.
Belajar berarti usaha mengubah
tingkah laku. Jadi belajar akan membawa
77
b. Pemahaman
Pemahaman (comprehension) yakni
kemampuan
seseorang
untuk
memahami sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui
dan
diingat
melalui
penjelasan dari kata- katanya sendiri.
c. Penerapan
Penerapan
(application)
yaitu
kesanggupan
seseorang
untuk
menggunakan ide- ide umum, tata cara
atau metode- metode, prinsip- prinsip,
rumus- rumus, teori- teori, dan lain
sebagainya dalam situasi yang baru dan
kongkret
d. Analisis
Analisis (analysis) yakni kemampuan
seseorang untuk menguraikan suatu
bahan atau keadaan menurut bagianbagian yang lebih kecil dan mampu
memahami hubungan diantara bagianbagian tersebut.
e. Sintesis
Sintesis (synthesis) adalah kemampuan
berfikir memadukan bagian- bagian
atau unsur- unsur secara logis, sehingga
menjadi suatu pola yang baru dan
terstruktur.
f. Evaluasi
Evaluasi (evaluation) yang merupakan
jenjang berfikir paling tinggi dalam
ranah kognitif menurut Taksonomi
Bloom. Penelitian disini adalah
kemampuan seseorang untuk membuat
pertimbangan terhadap suatu situasi,
nilai atau ide, atas beberapa pilihan
kemudian menentukan pilihan nilai atau
ide yang tepat sesuai kriteria yang ada
(Anas Sudijono, 2005: 50- 52).
tiga bidang yaitu: aljabar, analisis, dan
geometri
2.1.4
Hasil Belajar Matematika
Menurut Gagne (dalam Muhammad
Zainal Abidin, 8:2011) bahwa: Hasil belajar
matematika
adalah
kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima
pengalaman
belajar
matematikanya atau dapat dikatakan bahwa
hasil belajar matematika adalah perubahan
tingkah laku dalam diri siswa, yang diamati
dan diukur dalam bentuk perubahan
pengetahuan, tingkah laku, sikap dan
keterampilan
setelah
mempelajari
matematika. Perubahan tersebut diartikan
sebagai terjadinya peningkatan dan
pengembangan ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya.
Dari definisi di atas, serta definisidefinisi tentang belajar, hasil belajar, dan
matematika, maka dapat dirangkai sebuah
kesimpulan bahwa hasil belajar matematika
adalah merupakan tolak ukur atau patokan
yang menentukan tingkat keberhasilan
siswa dalam mengetahui dan memahami
suatu materi pelajaran matematika setelah
mengalami pengalaman belajar yang dapat
diukur melalui tes.
2.1.5
Aktivitas Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, aktivitas artinya
adalah
“kegiatan
/
keaktifan”.
W.J.S.
Poewadarminto
menjelaskan
aktivitas
sebagai suatu kegiatan atau kesibukan. S.
Nasution menambahkan bahwa aktivitas
merupakan keaktifan jasmani dan rohani
dan kedua-keduanya harus dihubungkan.
Belajar menurut
Dimyati
dan
Mudjiono (1999: 7) merupakan tindakan
dan
perilaku
siswa
yang
kompleks. Selanjutnya Sardiman (1994:
24) menyatakan: “Belajar sebagai suatu
proses interaksi antara diri manusia dengan
lingkungannya yang mungkin berwujud
pribadi, fakta, konsep ataupun teori”.
Jadi,
dapat
disimpulkan
bahwa aktivitas
belajar adalah
segala
kegiatan yang dilakukan dalam proses
interaksi (guru dan siswa) dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran. Aktivitas
2.1.3
Pengertian Matematika
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Tim Penyusun KBBI, 2007:723)
matematika diartikan sebagai: “ilmu
tentang
bilangan,
hubungan
antara
bilangan, dan prosedur bilangan operasional
yang digunakan dalam penyelesaian
masalah mengenai bilangan”.
Matematika adalah konsep ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan,
besaran dan konsep-konsep yang memiliki
struktur besar yang berhubungan satu
dengan yang lainnya yang terbagi dalam
78
yang dimaksudkan di sini penekanannya
adalah pada siswa, sebab dengan adanya
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
akan berdampak terciptanya situasi belajar
aktif.
pengajaran dan proses belajar mengajar
berlangsung dengan baik. Jadi pengajaran
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar
seorang anak. Dengan kata lain supaya
tujuan pengajaran matematika itu tercapai,
maka semua komponen-komponen yang
ada
didalamnya
harus
diorganisir
sedemikian
rupa
sehingga
antara
komponen-komponen
tersebut
dapat
bekerja sama dengan harmonis. Oleh
karena itu mengembangkan suatu sistem
pembelajaran, guru tidak boleh hanya
memperhatikan
bahwa
sesungguhnya
pengajaran itu adalah sebagai suatu sistem.
2.2
Tujuan
Pendidikan
dan
Pengajaran Matematika di SMP
Adapun tujuan umum pengajaran
matematika di SMP dan MTs adalah seperti
tercantum dalam kurikulum Madrasah
Tsanawiyah tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
Melatih cara berfikir dan bernalar
dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui
kegiatan
penyelidikan,
eksplorasi, eksperimen, menunjukkan
kesamaan, perbedaan, konsisten dan
inkonsisten.
Mengembangkan aktifitas kreatif yang
melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan
pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin
tahu, membuat prediksi dan dugaan,
serta mencoba – coba.
Mengembangkan
kemampuan
memecahkan masalah
Mengembangkan
kemampuan
meyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain
melalui pembicaraan lisan, catatan,
grafik,
peta,
diagram,
dalam
menjelaskan gagasan.
Sementara itu tujuan khusus
pengajaran matematika di SMP dan MTs
adalah agar siswa memiliki kemampuan
yang dapat digunakan melalui kegiatan
matematika
sebagai
bekal
untuk
melanjutkan kependidikan menengah serta
mempunyai
keterampilan
matematika
sebagai peningkatan dan perluasan dari
matematika sekolah dasar untuk dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan
mempunyai pandangan yang dan memiliki
sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan
disiplin
serta
menghargai
kegiatan
matematika.
Keberhasilan belajar seorang anak
tergantung pada sejauh mana ia mampu
mencapai tujuan belajarnya. Tujuan belajar
yang dicapai akan berhasil apabila
2.3
Model Pembelajaran Problem
Posing
2.3.1 Pengertian Problem Posing
Problem posing dalam matematika
mempunyai beberapa arti (Suryanto, 1998
dalam Muhfida) yaitu:
Perumusan soal sederhana atau
perumusan ulang soal yang ada dengan
beberapa
perubahan
agar
lebih
sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini
terjadi dalam pemecahan soal-soal yang
rumit. Pengertian ini menunjukkan
bahwa pengajuan soal merupakan salah
satu langkah dalam rencana pemecahan
masalah/soal.
Perumusan soal yang berkaitan dengan
syarat-syarat pada soal yang telah
diselesaikan dalam rangka pencarian
alternative pemecahan atau alternative
soal yang relevan (Silver, et.all, 1996).
Pengertian ini berkaitan erat dengan
langkah
melihat
kembali
yang
dianjurkan oleh Polya (1973) dalam
memecahkan masalah soal.
Perumusan soal atau pembentukan soal
dari suatu situasi yang tersedia, baik
dilakukan sebelum, saat atau setelah
pemecahan suatu masalah/soal.
2.3.2
Problem
Posing
dan
Relevansinya
dengan
Matematika
Problem posing atau pembentukan
soal adalah salah satu cara yang efektif
untuk mengembangkan keterampilan siswa
guna meningkatkan kemampuan siswa
dalam menerapkan konsep matematika.
79
Pendekatan
probelem
posing
(pengajuan masalah) dapat dilakukan secara
individu atau kelompok (classical),
berpasangan (in pairs) atau secara
berkelompok
(groups).
Masalah
matematika yang diajukan secara individu
tidak memuat intervensi atau pemikiran dari
siswa yang lain. Masalah tersebut adalah
murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar
belakangi oleh situasi yang diberikan.
Masalah matematika yang diajukan oleh
siswa yang dibuat secara berpasangan dapat
lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara
kolaborasi, utamanya yang berkaitan
dengan tingkat keterselesaian masalah
tersebut. Sama halnya dengan masalah
matematika yang dirumuskan dalam satu
kelompok kecil, akan menjadi lebih
berkualitas manakala anggota kelompok
dapat berpartsipasi dengan baik (Hamzah,
2003: 10 dalam Muhfida).
Tim Penelitian Tindakan Matematika
(PTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa :
Adanya
korelasi
positif
antara
kemampuan membentuk soal dan
kemampuan membentuk masalah.
Latihan membentuk soal merupakan
cara efektif untuk meningkatkan
kreatifitas siswa dalam memecahkan
suatu masalah.
Adapun masalah dalam matematika
diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:
Soal mencari (problem to find) yaitu
mencari,
menentukan,
atau
mendapatkan nilai atau objek tertentu
yang tidak diketahui dalam soal dan
memenuhi kondisi atau syarat yang
sesuai dengan soal. Objek yang
ditanyakan atau dicari (unknown),
syarat-syarat yang memenuhi soal
(condition) dan data atau informasi
yang diberikan merupakan bagian
penting atau pokok dari sebuah soal
mencari dan harus dipenuhi serta
dikenali dengan baik pada saat
memecahkan masalah.
Soal membuktikan (problem to prove),
yaitu prosedur untuk menentukan
apakah suatu pernyataan benar atau
tidak benar. Soal membuktikan terdiri
atas bagian hipotesis dan kesimpulan.
Pembuktian
dilakukan
dengan
membuat atau memproses pernyataan
yang logis dari hipotesis menuju
kesimpulan (Depdiknas, 2005: 219).
2.3.4
Langkah-Langkah Pembelajaran
Problem Posing
Langkah-langkah
pembelajaran
menggunakan pendekatan problem posing
menurut Budiasih dan Kartini dalam
Syariful fahmi adalah sebagai berikut:
Membuka kegiatan pembelajaran.
Menyampaikan tujuan pembelajaran.
Menjelaskan materi pelajaran.
Memberikan contoh soal.
Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bertanya tentang hal-hal yang
belum jelas.
Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk
membentuk
soal
dan
menyelesaikannya
Mengarahkan siswa untuk membuat
kesimpulan
Membuat rangkuman berdasarkan
kesimpulan yang dibuat siswa.
Menutup kegiatan pembelajaran.
2.3.3
Pendekatan
Problem Posing
dalam Pembelajaran Matematika
Dalam pembelajaran matematika,
pengajuan soal menempati posisi yang
strategis. Pengajuan soal dikatakan sebagai
inti terpenting dalam disiplin matematika
dan dalam sifat pemikiran penalaran
matematika. (Silver, et.al, 1996:293). Oleh
karena itu, problem posing dapat menjadi
salah satu alternatif untuk mengembangkan
berpikir matematis atau pola pikir
matematis. Menurut Suryanto (1998:3)
merumuskan soal merupakan salah satu dari
tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir
matematis.
III.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Banyaknya siklus
dalam penelitian ini adalah sebanyak dua
kali siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahap
yaitu : Planning, Acting, Observing,
80
Reflecting. Subjek penelitian ini adalah
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo
yang berjumlah 21 siswa. Data yang
penting untuk dikumpulkan dan dikaji
dalam penelitian ini sebagian besar
berasal dari subjek penelitian yaitu siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo dan sumber
data lain dari guru atau teman sejawat yang
ditunjuk
sebagai
rekan
dalam
berkolaborasi. Teknik pengumpulan data
d a l a m penelitian ini adalah tes dan
observasi. Tes yang digunakan adalah tes
tertulis yang dikerjakan oleh siswa kelas
VIII SMP Negeri 1 Lembo untuk
mengetahui sejauh mana materi yang telah
diberikan dapat dimengerti dan dipahami
oleh siswa. Observasi yang dilakukan adalah
proses perekaman data dengan mengamati
semua kejadian yang ada selama
berlangsungnya
proses
pembelajaran,
untuk mengumpulkan data keaktifan siswa
dengan diterapkannya model pembelajaran
Problem Posing.
Teknik
analisis
data
yang
digunakan adalah analisis deskriptif
dengan
kuantitatif
komparatif
membandingkan nilai dari kondisi awal,
hasil siklus I maupun hasil siklus II.
Sedangkan untuk observasi dengan analisis
deskriptif kualitatif berdasarkan hasil
observasi dan refleksi. Dari hasil itu akan
dideskripsikan ke arah kecenderungan
tindakan guru dan reaksi serta hasil belajar
siswa. Deskripsi-deskripsi itu dalam bentuk
kategori dan satuan uraian dasar dalam
bentuk penilaian kualitatif seperti : (1)
Aktif / Sedang / Pasif, (2) Meningkat /
Tetap / Menurun, (3) Menarik / Cukup
menarik / Membosankan, (4) Baik /
Sedang / Buruk dan lain sebagainya.
IV.
dari tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Hasil Tes Formatif Prasiklus
Nilai
Frekuensi
45
3
55
7
65
6
75
4
85
1
95
100
Nilai Rata-Rata
Ketuntasan Belajar
Keterangan
Belum Tuntas
Belum Tuntas
Belum Tuntas
Tuntas
Tuntas
67,80
23,80 %
Berdasarkan tabel diatas dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada
prasiklus sebesar 67,80 dengan ketuntasan
belajar hanya sebesar 23,80 % atau hanya 5
siswa yang tuntas dari 21 siswa.
Tabel 4.2 Perolehan Aktivitas Siswa Prasiklus
No
Kriteria
Jumlah Siswa
Persentase
1
Sangat Aktif (SA)
3
14,28 %
2
Aktif (A)
4
19,04 %
3
Cukup Aktif (CA)
6
28,57 %
4
5
Kurang Aktif (KA)
Tidak Aktif (TA)
4
4
19,04 %
19,04 %
Tabel 4.3 Hasil Tes Formatif Siklus I Siklus I
Nilai
Frekuensi
45
55
2
65
3
75
9
85
5
95
2
100
Nilai Rata-Rata
Ketuntasan Belajar
Keterangan
Belum Tuntas
Belum Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
79,28
76,19 %
Berdasarkan tabel diatas dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada
siklus I sebesar 79,28 dengan ketuntasan
belajar sebesar 76,19 % atau 16 siswa yang
tuntas dari 21 siswa.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Tabel 4.4 Perolehan Aktivitas Siswa Siklus I
4.1
Prasiklus
Melalui tes formatif yang telah
dikerjakan siswa pada siklus I dapat
dijadikan tolak ukur sejauh mana siswa
dalam menguasai materi pada mata
pelajaran Matematika yang telah dipelajari
sebelumnya. Adapun hasilnya dapat dilihat
No
Kriteria
Jumlah
Siswa
Persentase
1
Sangat Aktif (SA)
7
33,33 %
2
Aktif (A)
Cukup Aktif
(CA)
9
42,85 %
3
14,28 %
3
81
4
Kurang Aktif
(KA)
2
9,52 %
5
Tidak Aktif (TA)
-
-
siswa pada mata pelajaran Matematika siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo.
Peningkatan hasil belajar siswa terbukti
dengan hasil tes formatif siswa, dimana
dalam setiap siklusnya menunjukkan
peningkatan skor. Bila digambarkan dalam
bentuk grafik dan tabel, rekapitulasi
perolehan nilai rata-rata dan persentase
perolehan ketuntasan siswa setiap siklusnya
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.5 Hasil Tes Formatif Siklus II
Nilai
Frekuensi
45
55
65
75
5
85
11
95
3
100
2
Nilai Rata-Rata
Ketuntasan Belajar
Keterangan
Tuntas
Tuntas
Tuntas
87,61
100 %
Tabel 4.7 Rekapitulasi Perolehan Nilai Rata-Rata
Siklus I dan II
No
1
2
Berdasarkan tabel diatas dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada
siklus II sebesar 87,61 dengan ketuntasan
belajar sebesar 100 % atau 21 siswa yang
tuntas dari 21 siswa.
Kriteria
Jumlah Siswa
Persentase
1
Sangat Aktif (SA)
15
71,42 %
2
3
4
5
Aktif (A)
Cukup Aktif (CA)
Kurang Aktif (KA)
Tidak Aktif (TA)
6
-
28,57 %
-
Siklus I
79,28
76,19
Siklus II
87,61
100
Peningkatan juga terjadi pada
keaktifan siswa. Pada siklus I, jumlah
siswa dengan kriteria sangat aktif yakni
sebanyak 7 siswa atau dengan persentase
33,33 %. Sedangkan pada siklus II
meningkat menjadi 15 orang siswa atau
dengan persentase 71,42%. Pada siklus I,
jumlah siswa dengan kategori aktif yakni
sebanyak 9 siswa atau dengan persentase
42,85 %. Sedangkan pada siklus II
menjadi 6 siswa atau dengan persentase
28,57 %. Pada siklus I, jumlah siswa
dengan kriteria cukup aktif yakni sebayak
3 siswa atau dengan persentase 14,28 %.
Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi
siswa yang cukup aktif. Pada siklus I,
jumlah siswa dengan kriteria kurang aktif
yakni 2 siswa atau dengan persentase
9,52 %. Sedangkan pada siklus II, tidak
ada lagi siswa yang kurang aktif.
Selanjutnya baik pada siklus I maupun
siklus II, tidak terdapat siswa dengan
kriteria perolehan aktivitas tidak aktif
dibandingkan dengan prasiklus.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa dengan
menerapkan model pembelajaran Problem
Posing, maka dapat meningkatkan hasil
dan aktivitas belajar siswa pada mata
pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Lembo.
Dengan
model
pembelajaran Problem Posing, akan
menumbuhkan keaktifan
siswa dalam
proses pembelajaran Matematika, sehingga
siswa tidak jenuh atau bosan selama
Tabel 4.6 Perolehan Aktivitas Siswa Siklus II
No
Rekapitulasi
Nilai Rata-Rata
Ketuntasan
Dari hasil pengamatan dan
refleksi dapat disimpulkan
bahwa
pelaksanaan siklus II sudah bisa dikatakan
berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dari
pencapaian yang sudah memenuhi
indikator keberhasilan. Maka dari itu,
peneliti
memutuskan
tidak
perlu
melanjutkan ke siklus berikutnya karena
sudah dianggap berhasil dan sudah
menunjukkan
berbagai peningkatanpeningkatan.
Berdasarkan hasil obervasi dan
refleksi selama proses pembelajaran
Matematika melalui penerapan model
pembelajaran Problem Posing pada siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo, maka
siswa menjadi lebih aktif dalam mengikuti
proses pembelajaran dan siswa lebih
menguasai materi pembelajaran yang
disampaikan.
Penelitian ini membuktikan bahwa
penerapan model pembelajaran Problem
Posing dapat meningkatkan hasil belajar
82
proses pembelajaran dan hasil belajar
siswa pun meningkat jika dibandingkan
dengan model pembelajaran konvensional.
V.
Pada siklus I, jumlah siswa dengan
kategori aktif yakni sebanyak 9 siswa
atau dengan persentase 42,85 %.
Sedangkan pada siklus II menjadi 6 siswa
atau dengan persentase 28,57 %. Pada
siklus I, jumlah siswa dengan kriteria
cukup aktif yakni sebayak 3 siswa atau
dengan persentase 14,28 %. Sedangkan
pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang
cukup aktif. Pada siklus I, jumlah siswa
dengan kriteria kurang aktif yakni 2 siswa
atau dengan persentase 9,52 %.
Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi
siswa yang kurang aktif. Selanjutnya baik
pada siklus I maupun siklus II, tidak
terdapat siswa dengan kriteria perolehan
aktivitas tidak aktif dibandingkan dengan
prasiklus.
SIMPULAN
Simpulan yang dapat disampaikan
dalam penelitian ini adalah bahwa
penerapan model pembelajaran Problem
Posing dapat meningkatkan hasil dan
aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran
Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Lembo. Hal ini terbukti dari hasil belajar
siswa yang terus mengalami peningkatan
dari setiap siklusnya. Siklus I, nilai rata-rata
siswa yakni 79,28 dengan persentase
ketuntasan 87,62 %. Pada siklus II, nilai
rata-rata siswa meningkat menjadi 87,61
dengan persentase ketuntasan mencapai 100
%. Peningkatan juga terjadi pada
keaktifan siswa. Pada siklus I, jumlah
siswa dengan kriteria sangat aktif yakni
sebanyak 7 siswa atau dengan persentase
33,33 %. Sedangkan pada siklus II
meningkat menjadi 15 orang siswa atau
dengan persentase 71,42%.
VI.
SARAN
Saran yang dapat disampaikan
adalah sebagai berikut: a) Bagi guru,
hendaknya
menggunakan
model
pembelajaran Problem Posing dalam
menyampaikan materi pelajaran Matematika
agar pelajaran jadi lebih mudah dan
menarik bagi siswa; b) Bagi Kepala
Sekolah, hendaknya lebih meningkatkan
pola kerja guru agar dapat memaksimalkan
potensi guru dengan menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi diantaranya
dengan model pembelajaran Problem
Posing.
83
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan: Untuk Guru, Kepala Sekolah & Pengawas. Yogyakarta: Aditya Media.
As’ari, Abdur Rahman. 2000. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing. Buletin Pelangi Pendidikan: 42-46
Fatchan, Ahmad. 2009. Metode penelitian Tindakan Kelas. Malang: Jenggala Pusataka Utama.
Hakiim, Lukmanul. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Mendikbud.
Moleong, Lexy. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurhadi, Yasin dan Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM.
Nurjanah. 2007. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 7B SMPN 4 Adiwerna Kabupaten Tegal Dalam Pokok Bahasan
Perbandingan Melalui Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Pre Solution Posing. Skripsi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negri Semarang
Rohani HM, Ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya.
Jakarta : Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suherman, Eman dan Winataputra. 2001. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Sukmadinata. 2003. Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosakarya.
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thobroni, Muhammad & Arif Mustofa. 2012. Belajar & Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam
Pembangunan Nasional. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Uno, Hamzah B. & Nurdin Muhamad. 2013. Belajar dengan Pendekatan Pailkem: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan,
Kreatif, Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.
84
Media Litbang Sulteng IX (1) : 85-94, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL BELAJAR KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK SISWA
DALAM MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA ASPEK
KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI PENGGUNAAN
MEDIA FOTO KENANGAN PADA SISWA KELAS VI SDN 2 TANAHSUMPU
Oleh :
Antonius Vuliantoro1)
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini yaitu berawal dari rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
pada aspek keterampilan menulis karangan narasi. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa hal yang
menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu siswa
kesulitan untuk mendapatkan ide dan mengorganisasikannya. Siswa tidak dapat menulis karangan narasi secara runtut, baik urutan
waktu maupun urutan tempatnya dan membuat pembaca terkadang kurang dapat mengerti maksud yang diungkapkan dalam wujud
tulisan. Kalimat yang ditulis siswa masih sederhana dan sebagian besar dari mereka hanya mampu menulis tidak lebih dari tiga
paragraf. Kemampuan pemilihan kata oleh siswa juga masih rendah. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua masalah tersebut, maka
peneliti berininsiatif untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran yakni dengan menggunakan media foto kenangan dalam
pembelajaran menulis narasi dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Melalui media foto kenangan ini, akan
membantu siswa untuk berpikir aktif dalam menuangkan apa yang dilihat dan dirasakan. Dengan media foto kenangan, maka dapat
mempermudah siswa dalam menuangkan detail-detail peristiwa secara lengkap, karena siswa dapat melihat langsung media yang
akan dijadikan sebuah tulisan. Dari media tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan media yang
dilihatnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil
belajar kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu? (2) apakah penggunaan
media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas
VI SDN 2 Tanahsumpu?. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Subjek penelitian adalah siswa kelas VI SDN
2 Tanahsumpu dengan jumlah siswa 23 siswa, yang terdiri dari 14 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki. Prosedur penelitian ini
dilakukan dalam empat tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan
hasil belajar kognitif dan psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Dari
segi hasil belajar kognitif, pada siklus I siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 16 siswa atau dengan persentase 69,56%.
Pada siklus II siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 23 siswa atau dengan persentase 100%. Hal ini berarti dari 23 siswa,
maka telah terdapat 23 siswa pula yang telah memenuhi nilai ketuntasan belajar. Dari segi hasil belajar psikomotorik, pada siklus I,
18 siswa termasuk dalam kriteria baik atau dengan persentase 78,26% dan hanya 5 orang siswa atau dengan persentase 21,73%
masih termasuk dalam kategori kurang. Pada siklus II, meningkat drastis, sehingga menjadi 21 siswa atau dengan persentase 91,30%
dan 2 siswa lainnya berada pada kategori cukup baik atau dengan persentase 18,69.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Bahasa Indonesia, Keterampilan Menulis Narasi, Media Foto Kenangan
ABSTRACT
The background of this study is started from the low student learning outcomes in subjects Indonesian on aspects of
narrative essay writing skills. Based on the observation that has been done shows that it is causing low yields VI grade students of
SDN 2 Tanahsumpu on Indonesian subjects that students' difficulties to get ideas and organize them. Students can not write a
coherent narrative essay, both chronologically and place the order and make the reader sometimes less can understand the intent
expressed in written form. Sentences written by the students is simple and most of them are only able to write no more than three
paragraphs. The ability of the choice of words by the students is still low. Therefore, to overcome all these problems, the researchers
berininsiatif for innovation in learning by using media that is memorable photos in teaching narrative writing with the aim to
improve student learning outcomes. Through the medium of this memorable photos, will help students to think actively in expressing
what is seen and felt. With memories photo media, it can facilitate students in pouring the details of the events are complete, since
students can see first hand the media that will be used as a post. The student of media can create a coherent and logically based
media sees. The problems of this study are (1) whether the use of media images of memories can improve cognitive achievement of
students in the subjects of Indonesian in Class VI SDN 2 Tanahsumpu? (2) whether the use of media images of memories can
improve psychomotor learning outcomes of students in the subjects of Indonesian in Class VI SDN 2 Tanahsumpu ?. This study was
conducted in class VI SDN 2 Tanahsumpu. The subjects were students of class VI SDN 2 Tanahsumpu the number of students 23
students, comprising 14 girls and 9 boys. The procedure of this study conducted in four phases: planning (planning), action (acting),
observation (observing) and reflection (reflecting). Based on research that has been done, it can be concluded that the use of the
media photo memories can improve cognitive and psychomotor learning outcomes of students in the subjects of Indonesian in Class
VI SDN 2 Tanahsumpu. In terms of cognitive learning outcomes, in the first cycle students who scored in the top KKM as many as 16
students or with the percentage of 69.56%. In the second cycle students who scored in the top KKM as many as 23 students or with a
percentage of 100%. This means that out of 23 students, then there have been 23 students who have fulfilled also the value of
mastery learning. In terms of psychomotor learning outcomes, in the first cycle, 18 students included in both criteria or with the
percentage of 78.26% and only 5 students or with the percentage of 21.73% is included in the poor category. In the second cycle,
increase to be 21 students or with the percentage of 91.30% and 2 other students are in good enough category or with the
percentage of 18.69.
Keywords: Learning Outcomes, Indonesian, Narrative Writing Skills, Media Images of Memories.
85
I.
narasi merupakan kemampuan yang penting
untuk dikuasai. Dengan narasi, siswa dapat
menceritakan secara runtut sesuatu atau
peristiwa yang dialaminya.
Narasi merupakan salah satu genre
tulisan yang diajarkan di tingkat Sekolah
Dasar (SD). Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
kemampuan menulis narasi siswa kelas VI
SDN 2 Tanahsumpu masih rendah, dan
minat siswa dalam menulis narasi pun
masih kurang. Selama ini, guru hanya
menggunakan metode ceramah tanpa
adanya media yang digunakan dalam
pembelajaran.
Hal
inilah
yang
mengakibatkan siswa merasa jenuh dan
bosan.
Oleh karena itu, sebaiknya guru
memiliki banyak referensi yang berkaitan
dengan jenis peningkatan kemampuan
menulis narasi siswa. Dalam penyampaian
materi ajar guru juga dituntut untuk dapat
mengembangkan strategi atau metode
pembelajaran serta menggunakan media
atau alat bantu pengajaran yang lebih efektif
dan efesien. Hal ini untuk meminimalkan
rasa bosan pada siswa dan sekaligus
menimbulkan kegairahan yang besar untuk
mampu menulis narasi yang baik dan benar.
Namun,
pada
kenyataannya
berdasarkan observasi yang telah dilakukan
diperoleh bahwa hasil belajar siswa kelas
VI SDN 2 Tanahsumpu pada mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek
keterampilan menulis khususnya menulis
karangan narasi, masih tergolong rendah.
Siswa kesulitan untuk mendapatkan ide dan
mengorganisasikannya. Siswa tidak dapat
menulis karangan narasi secara runtut, baik
urutan waktu maupun urutan tempatnya dan
membuat pembaca terkadang kurang dapat
mengerti maksud yang diungkapkan dalam
wujud tulisan. Kalimat yang ditulis siswa
masih sederhana dan sebagian besar dari
mereka hanya mampu menulis tidak lebih
dari tiga paragraf. Kemampuan pemilihan
kata oleh siswa juga masih rendah.
Selain itu, siswa juga sulit untuk
memusatkan
konsentrasinya
dalam
membuat judul yang menarik hinggga
sampai kepada perangkaian alur cerita.
Kurangnya pengetahuan dan frekuensi
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat yang
digunakan untuk dapat menyampaikan
pesan, bertukar informasi, dan menyatakan
apa yang dipikirkan dan dirasakan. Manusia
dapat berpikir dengan baik karena manusia
memiliki dan menggunakan bahasa. Tanpa
bahasa besar kemungkinan manusia tidak
dapat berpikir secara sistematis, teratur, dan
berlanjut. Selain itu, kepribadian seseorang
juga dapat tercermin melalui cara
berbahasanya. Cara berbahasa yang dimiliki
seseorang disebut dengan kemampuan atau
keterampilan berbahasa yang terdiri dari
keterampilan menyimak (listening skill),
keterampilan berbicara (speaking skill),
keterampilan membaca (reading skill), dan
keterampilan menulis (writing skill)
(Tarigan, 1981 : 1). Setiap keterampilan
berbahasa tersebut memiliki hubungan yang
sangat erat dengan keterampilan lainnya.
Salah satu keterampilan berbahasa
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
keterampilan menulis. Menulis adalah suatu
proses berpikir yaitu kegiatan menuangkan
ide, gagasan, pikiran, dan perasaan ke
dalam wujud tulisan atau bahasa tulis.
Kegiatan menulis sangat penting dalam
menunjang keterampilan berbahasa.
Pengajaran menulis terbagi menjadi
empat jenis tulisan yakni karangan narasi,
deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
Tulisan narasi merupakan tulisan yang
menceritakan suatu peristiwa yang tersusun
secara teratur, sehingga menimbulkan
pengertian-pengertian
yang
dapat
merefleksi interprestasi penulisnya. Narasi
adalah bentuk wacana yang sasaran
utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin
dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa
yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu
(Keraf, 2001: 136).
Narasi adalah suatu bentuk tulisan
yang bertujuan untuk menceritakan dan
menggambarkan suatu peristiwa atau
kejadian dengan jelas secara runtun waktu,
di mana di dalamnya terjadi konflik dari
suatu peristiwa berdasarkan perkembangan
dari waktu ke waktu. Kemampuan menulis
1)
Guru SDN 2 Tanah Sumpu
86
berlatih
mendorong
sulitnya
siswa
memusatkan konsentrasinya, sehingga
menyebabkan tulisan siswa menjadi tidak
sistematis, dan kurang bermakna. Oleh
karena itu, secara keseluruhan penulis
menyimpulkan bahwa rendahnya hasil
belajar siswa dalam menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas
VI SDN 2 Tanahsumpu dapat dirincikan
sebagai berikut yaitu: (1) Kurangnya
kemampuan siswa dalam menentukan topik
menulis narasi, (2) Kurangnya kemampuan
mengembangkan paragraf, (3) Siswa
kurang
mengidentifikasi
ide
dan
mengorganisasikan tulisan narasi, sehingga
kemampuan menulis narasi siswa rendah,
(4) Siswa tidak tertarik menceritakan
pengalaman atau suatu peristiwa melalui
tulisan, sehingga alur pemikiran melompatlompat, (5) Siswa kesulitan dalam
menuangkan idenya ke dalam bentuk
tulisan yang utuh, (6) Guru kesulitan dalam
membangkitkan minat belajar siswa.
Melihat kenyataan yang ada dan
berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa
keterampilan menulis narasi pada siswa
kelas VI SDN 2 Tanahsumpu masih
memerlukan perhatian khusus. Oleh karena
itu, untuk mengatasi semua masalah
tersebut dan mencapai tujuan pembelajaran,
maka
peneliti
berininsiatif
untuk
menggunakan media foto kenangan dalam
pembelajaran menulis narasi dengan tujuan
untuk meningkatkan semangat dan antusias
siswa, serta hasil belajar siswa. Media foto
kenangan adalah media yang berwujud
gambar yang sudah dimodifikasi atau
direka dari foto yang diambil dari album
kenangan siswa itu sendiri yang
menggambarkan peristiwa tertentu yang
dialami oleh siswa. Gambar-gambar
tersebut
adalah
gambar
yang
mendokumentasikan aktivitas- aktivitas
tertentu yang dikerjakan oleh siswa.
Media gambar sangat penting
digunakan dalam usaha menjelaskan
pengertian kepada siswa. Kelebihan media
foto dibandingkan dengan media yang lain
adalah (1) media foto mudah diperoleh, (2)
dapat menerjemahkan ide-ide abstrak
dalam bentuk yang lebih, (3) media foto
mudah dipakai karena tidak membutuhkan
peralatan yang berlebihan dan (4) media
foto relatif murah, dan media foto dapat
digunakan dalam banyak hal dan berbagai
disiplin ilmu.
Melalui media foto kenangan ini,
akan membantu siswa pada berpikir aktif
menuangkan apa yang dilihat dan
dirasakan. Dengan media foto kenangan,
maka dapat mempermudah siswa dalam
menuangkan detail-detail peristiwa secara
lengkap karena siswa bisa melihat langsung
media yang akan dijadikan sebuah tulisan.
Dari media tersebut siswa dapat membuat
tulisan secara runtut dan logis berdasarkan
media yang dilihatnya.
Penggunaan media foto kenangan
dalam kegiatan pembelajaran diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan atau
keterampilan siswa dalam menulis narasi,
sehingga kompetensi ini benar-benar
dikuasai oleh siswa serta mempermudah
proses
pembelajaran.
Selain
itu,
penggunaan media foto kenangan dapat
menjadikan proses pembelajaran menulis
narasi menjadi lebih menarik dan
bervariasi, sehingga siswa tidak akan
merasa jenuh. Siswa akan mendapatkan
sesuatu yang lebih konkret, lebih menarik,
dan lebih mudah mengingat, sehingga akan
memberikan tuntunan yang lebih lengkap
dan lebih nyata dalam penuangan ide.
Dengan demikian, siswa akan lebih
termotivasi
untuk
menemukan
dan
mengembangkan ide ke dalam bentuk
karangan yang sistematis dan bermakna.
Oleh karena itu, diharapkan dengan
penggunaan
media
foto
kenangan
diharapkan bisa meningkatkan hasil belajar
siswa dalam menulis narasi.
Berdasarkan hal yang telah
diungkapkan di atas, maka peneliti tertarik
untuk dapat melakukan penelitian tindakan
kelas
dengan
mengambil
judul
“Peningkatan Hasil Belajar Kognitif dan
Psikomotorik Siswa dalam Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia pada Aspek Keterampilan
Menulis
Karangan
Narasi
Melalui
Penggunaan Media Foto Kenangan Pada
Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu”.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu (1) apakah penggunaan media foto
kenangan dapat meningkatkan hasil belajar
87
kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2
Tanahsumpu? (2) apakah penggunaan
media foto kenangan dapat meningkatkan
hasil belajar psikomotorik siswa dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia pada
siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu?.
Berdasarkan rumusan masalah yang
telah diuraikan, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) untuk
mengetahui apakah penggunaan media foto
kenangan dapat meningkatkan hasil belajar
kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2
Tanahsumpu. (2) untuk mengetahui apakah
penggunaan media foto kenangan dapat
meningkatkan hasil belajar psikomotorik
siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2
Tanahsumpu.
II.
mengajar dinyatakan berhasil apabila
hasilnya
memenuhi
tujuan
pembelajaran khusus dari bahan tersebut.
Adapun yang menjadi indikator
utama hasil belajar siswa adalah sebagai
berikut:
a. Ketercapaian Daya
Serap terhadap
bahan pembelajaran yang diajarkan,
baik secara
individual
maupun
kelompok.
Pengukuran
ketercapaian daya serap ini biasanya
dilakukan dengan penetapan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM)
b. Perilaku yang digariskan dalam tujuan
pembelajaran telah dicapai oleh siswa,
baik secara
individual
maupun
kelompok.
2.2
Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa adalah
keterampilan
seseorang
untuk
mengungkapkan “sesuatu” dan memahami
“sesuatu” yang diungkapkan oleh orang lain
dengan media bahasa, baik secara lisan
maupun tulisan. Keterampilan berbahasa
merupakan sesuatu yang penting untuk
dikuasai setiap orang. Dalam suatu
masyarakat,
setiap
orang
saling
berhubungan dengan orang lain dengan cara
berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa keterampilan berbahasa adalah salah
satu unsur penting yang menentukan
kesuksesan mereka dalam berkomunikasi.
Keterampilan berbahasa (language
skills) mencakup empat keterampilan
berikut.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah prestasi belajar
yang dicapai siswa dalam proses kegiatan
belajar mengajar dengan membawa suatu
perubahan dan pembentukan tingkah laku
seseorang. Untuk menyatakan bahwa suatu
proses belajar dapat dikatakan berhasil,
setiap guru memiliki pandangan masingmasing sejalan dengan filsafatnya. Namun
untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita
berpedoman pada kurikulum yang berlaku
saat ini yang telah disempurnakan, antara
lain bahwa suatu proses belajar mengajar
tentang
suatu
bahan
pembelajaran
dinyatakan
berhasil
apabila
tujuan
pembelajaran khususnya dapat dicapai.
Untuk
mengetahui
tercapai
tidaknya tujuan pembelajaran khusus, guru
perlu mengadakan tes formatif pada setiap
menyajikan suatu bahasan kepada siswa.
Penilaian formatif ini untuk mengetahui
sejauh mana siswa telah menguasai tujuan
pembelajaran khusus yang ingin dicapai.
Fungsi penelitian ini adalah untuk
memberikan umpan balik pada guru dalam
rangka memperbaiki proses belajar
mengajar dan melaksanakan program
remedial bagi siswa yang belum berhasil.
Karena itulah, suatu proses belajar
a. Keterampilan menyimak (listening
skills)
b. Keterampilan berbicara (speaking
skills)
c. Keterampilan membaca (reading skills)
d. Keterampilan menulis (writing skills)
Keempat keterampilan berbahasa
tersebut saling berkait satu sama lain,
sehingga untuk mempelajarai salah satu
keterampilan
berbahasa,
beberapa
keterampilan berbahasa lainnya juga akan
terlibat.
88
kompleks. Kompleksitas menulis terletak
pada tuntutan kemampuan untuk menata
dan mengorganisasikan ide secara runtut
dan logis, serta menyajikannya dalam
ragam bahasa tulis dan kaidah penulisan
lainnya. Akan tetapi, di balik kerumitannya,
menulis menjanjikan manfaat yang begitu
besar dalam membantu pengembangan
daya inisiatif dan kreativitas, kepercayaan
diri dan keberanian, serta kebiasaan dan
kemampuan
dalam
menemukan,
mengumpulkan, mengolah, dan menata
informasi.
Menulis sebagai salah satu
keterampilan
berbahasa
tak
dapat
dilepaskan dari aspek-aspek keterampilan
berbahasa lainnya. Ia mempengaruhi dan
dipengaruhi. Pengalaman dan masukan
yang diperoleh dari menyimak, berbicara,
dan membaca, akan memberikan kontribusi
berharga dalam menulis. Begitu pula
sebaliknya, apa yang diperoleh dari menulis
akan berpengaruh pula terhadap ketiga
corak kemampuan berbahasa lainnya.
Namun demikian, menulis memiliki
karakter khas yang membedakannya dari
yang lainnya. Sifat aktif, produktif, dan
tulis dalam menulis, memberikannya ciri
khusus dalam hal kecaraan, medium, dan
ragam bahasa yang digunakannya.
2.3
Menulis Sebagai Suatu Aspek
Keterampilan Berbahasa
Keterampilan menulis sebagai salah
satu cara dari empat keterampilan
berbahasa mempunyai peranan penting di
dalam kehidupan manusia. Menulis
merupakan suatu representasi bagian dari
kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Menulis
adalah kegiatan melahirkan pikiran dan
perasaan dengan tulisan. Selain itu, menulis
adalah berkomunikasi mengungkapkan
pikiran, perasaan, kehendak kepada orang
lain secara tertulis.
Pengertian tersebut memberikan
pengertian
bahwa
menulis
adalah
menjelmakan bahasa lisan, mungkin
menyalin atau melahirkan pikiran atau
perasaan seperti mengarang, membuat
surat, membuat laporan, dan sebagainya.
Keterampilan menulis adalah kemampuan
seseorang dalam melukiskan lambang
grafis dimengerti oleh penulis bahasa itu
sendiri maupun orang lain yang mempunyai
kesamaan pengertian terhadap simbolsimbol bahasa tersebut.
Menulis
merupakan
suatu
keterampilan berbahasa yang dipergunakan
untuk berkomunikasi secara tidak langsung,
tidak secara tatap muka dengan orang lain.
Menulis merupakan suatu kegiatan yang
produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan
menulis ini maka sang penulis haruslah
terampil memanfaatkan grafologi, struktur
bahasa, dan kosa kata. Keterampilan
menulis ini tidak akan datang secara
otomatis, melainkan harus melalui latihan
dan praktek yang banyak dan teratur.
Menulis
adalah
kegiatan
penyampaian pesan (gagasan, perasaan,
atau informasi) secara tertulis kepada pihak
lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis
melibatkan empat unsur, yaitu penulis
sebagai penyampai pesan, pesan atau isi
tulisan, medium tulisan, serta pembaca
sebagai penerima pesan. Kegiatan menulis
sebagai sebuah perilaku berbahasa memiliki
fungsi dan tujuan: personal, interaksional,
informatif, instrumental, heuristik, dan
estetis.
Sebagai salah satu aspek dari
keterampilan berbahasa, menulis atau
mengarang merupakan kegiatan yang
2.4
Karangan Narasi
Narasi merupakan bentuk karangan
atau tulisan yang bertujuan menyampaikan
atau menceritakan rangkaian peristiwa atau
pengalaman
nmanusia
berdasarkan
perkembangan dari waktu ke waktu. Secara
sederhana, narasi dikenal sebagai cerita.
Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian
dalam satu urutan waktu. Di dalam kejadian
itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu
konflik. Ketiga unsur berupa kejadian,
tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok
sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu,
ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Jadi,
narasi adalah cerita yang dipaparkan
berdasarkan plot atau alur.
2.5
Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan pesan,
dapat merangsang fikiran, perasaan, dan
89
kemauan peserta didik sehingga dapat
mendorong terciptanya proses belajar pada
diri peserta didik. Media pembelajaran
merupakan media yang digunakan dalam
pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu
guru dalam mengajar serta sarana pembawa
pesan dari sumber belajar ke penerima
pesan belajar (siswa). Sebagai penyaji dan
penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal
tertentu bisa mewakili guru menyajiakan
informasi belajar kepada siswa.
III.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas
VI SDN 2 Tanahsumpu. Subjek penelitian
adalah siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu
dengan jumlah siswa 23 siswa, yang terdiri
dari 14 siswa perempuan dan 9 siswa lakilaki.
Prosedur penelitian ini dilakukan
dalam empat tahap seperti
yang
dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto
(2008) yaitu perencanaan (planning),
tindakan (acting), pengamatan (observing),
dan refleksi (reflecting).
Pada
penelitian
ini,
teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara,
tes,
observasi,
dan
dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan adalah teknik analisis data model
interaktif. Miles, M. B. dan Hubberman, M.
(2009) mengemukakan bahwa aktivitas
dalam analisis data model interaktif yaitu
reduksi data (data reduction), penyajian
data (data display), dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi (conclusion atau
verification) yang berlangsung secara
interaktif.
2.6
Media Foto Kenangan
Media
foto
sangat
penting
digunakan dalam usaha menjelaskan
pengertian
kepada
siswa.
Dengan
menggunakan foto, siswa dapat lebih
memperhatikan benda-benda atau hal-hal
yang belum pernah dilihatnya yang
berkaitan dengan pembelajaran. Guru dapat
menggunakan
media
foto
untuk
memberikan gambaran tentang sesuatu
sehingga penjelasan lebih kongkret bila
dibandingkan diuraikan dengan kata-kata.
Melalui media foto pula, guru dapat
menerjemahkan ide-ide abstrak dalam
bentuk realistik. Kelebihan media foto
dibandingkan dengan media yang lain
adalah (1) media foto mudah diperoleh, (2)
dapat menerjemahkan ide-ide abstrak
dalam bentuk yang lebih, (3) media foto
mudah dipakai karena tidak membutuhkan
peralatan yang berlebihan dan (4) media
foto relatif murah, dan media foto dapat
digunakan dalam banyak hal dan berbagai
disiplin ilmu.
Melalui media foto kenangan ini,
akan membantu siswa pada berpikir aktif
menuangkan apa yang dilihat dan
dirasakan. Dengan media foto kenangan
mempermudah siswa menuangkan detaildetail peristiwa secara lengkap karna siswa
bisa melihat langsung media yang akan
dijadikan sebuah tulisan. Dari media
tersebut siswa dapat membuat tulisan secara
runtut dan logis berdasarkan media yang
dilihatnya.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pada kondisi awal, hasil belajar
siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada aspek keterampilan menulis
karangan narasi masih tergolong rendah.
Hal ini dibuktikan dengan hasil prasiklus
yang telah dilakukan yaitu dari 23 hanya 7
siswa
yang
mencapai
ketuntasan.
Disitribusi frekuensi nilai kognitif siswa
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
pada aspek keterampilan menulis karangan
narasi dapat dilihat pada tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Hasil Belajar Kognitif pada Aspek Keterampilan
Menulis Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Prasiklus
90
Berdasarkan tabel 1 dari KKM
yang telah ditentukan yakni sebesar 75,
siswa yang belum tuntas sebanyak 17 siswa
atau dengan persentase 73,91% dan yang
sudah tuntas sebanyak 6 siswa atau dengan
persentase 26,08%. Nilai terendah pada
prasiklus ini adalah 55 dan nilai tertinggi
adalah 85.
Pada aspek psikomotor sebelum
tindakan juga masih rendah. Hal ini terlihat
dari kriteria baik dan sangat baik. Pada
aspek psikomotor, siswa yang sudah
termasuk dalam kriteria baik hanya 10
siswa atau dengan persentase 43,47%,
sisanya 13 siswa masih kurang atau dengan
persentase 56,52%.
Pada siklus I, hasil belajar siswa
sudah meningkat. Akan tetapi, masih ada
beberapa siswa yang masih mengalami
kesulitan dalam menulis karangan narasi
dengan menggunakan media foto kenangan.
Hal ini dikarenakan ada beberapa siswa
yang tidak memperhatikan ketika guru
menjelaskan dan kurang aktif mengikuti
pembelajaran bahasa Indonesia dalam
aspek keterampilan menulis karangan
narasi menggunakan media foto kenangan.
Hasil belajar menulis narasi pada
siklus I diperoleh nilai terendah sebesar 60
dan nilai tertinggi adalah 94. Distribusi
frekuensi nilai kognitif menulis karangan
narasi pada siklus I dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Berdasarkan tabel 2, diketahui
bahwa siswa yang memperoleh nilai diatas
KKM sebanyak 16 siswa atau dengan
persentase 69,56% dan 7 siswa masih di
bawah KKM atau dengan persentase
30,43%. Pada aspek psikomotor, siswa
yang sudah termasuk dalam kriteria baik
meningkat menjadi 18 siswa atau dengan
persentase 78,26%, sisanya 5 siswa masih
kurang atau dengan persentase 21,73%.
Dengan demikian keberhasilan
sesuai yang tertera dalam indikator kinerja
pada rencana sebelumnya yaitu 80% belum
terca pai sehingga pembelajaran akan
dilanjutkan ke siklus II.
Pada akhir siklus I diadakan
refleksi yang dilakukan dengan cara
berdiskusi dengan guru kelas untuk
mengetahui kekurangan pada siklus I
kemudian
dicari
cara
untuk
menyelesaikannya. Hasil dari refleksi
tersebut adalah dengan memperbaiki
strategi pembelajaran menulis narasi dan
memberikan penguatan serta motivasi bagi
siswa yang belum tuntas supaya lebih giat
belajar.
Adanya suatu refleksi tersebut,
ternyata dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Hal ini dibuktikan dengan
meningkatnya hasil belajar siswa dalam
aspek keterampilan menulis narasi pada
mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
dibandingkan dengan siklus I.
Tabel 2. Hasil Belajar Kognitif dengan Menggunakan
Media Foto Kenangan pada Aspek Keterampilan Menulis
Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa
Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Siklus I
91
siswa lainnya masih belum mencapai
ketuntasan. Nilai psikomotor juga masih
rendah yaitu hanya 10 siswa yang masuk
kriteria baik atau dengan persentase
43,47%, sementara 13 lainnya atau dengan
persentase 56,52% masih termasuk dalam
kategori kurang. Oleh karena itu, perlu
diadakan tindakan perbaikan untuk
mengatasi rendahnya hasil belajar siswa
pada aspek keterampilan menulis narasi
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
dengan menggunakan media foto kenangan
siswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penggunaan media foto kenangan
pada mata aspek keterampilan berbahasa
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
telah berhasil meningkatkan hasil belajar
siswa. Dengan demikian, media foto
kenangan sangat cocok untuk diterapkan
dalam pembelajaran menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini
dapat dibuktikan dengan meningkatnya
hasil belajar siswa pada setiap siklusnya.
Pada siklus I siswa yang mendapat
nilai di atas KKM sebanyak 16 siswa atau
dengan
persentase
69,56%.
Nilai
psikomotor meningkat, sehingga menjadi
18 siswa yang termasuk dalam kriteria baik
atau dengan persentase 78,26% dan hanya 5
orang siswa atau dengan persentase 21,73%
masih termasuk dalam kategori kurang.
Pada siklus II siswa yang mendapat
nilai di atas KKM sebanyak 23 siswa atau
dengan persentase 100%. Hal ini berarti
dari 23 siswa, maka telah terdapat 23 siswa
pula yang telah memenuhi nilai ketuntasan
belajar. Pada aspek psikomotor juga
meningkat drastis, sehingga menjadi 21
siswa atau dengan persentase 91,30% dan 2
siswa lainnya berada pada kategori cukup
baik atau dengan persentase 18,69.
Distribusi frekuensi nilai kognitif
siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu dalam
aspek keterampilan menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia pada
siklus II dapat dilihat pada tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Hasil Belajar Kognitif dengan Menggunakan
Media Foto Kenangan pada Aspek Keterampilan Menulis
Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa
Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Siklus II
Berdasarkan tabel 3 diketahui
bahwa siswa yang mendapat nilai diatas
KKM adalah 23 siswa. Hal ini berarti dari
keseluruhan siswa, telah mencapai nilai
ketuntasan minimal yang telah ditentukan
yakni sebesar 75. Dari hasil tersebut dapat
diketahui bahwa upaya untuk meningkatkan
hasil belajar siswa pada aspek keterampilan
menulis karangan narasi dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VI SDN 2 Tanahsumpu sudah
berhasil karena telah mencapai bahkan
melebihi target pencapaian sesuai indikator
kinerja. Oleh karena itu, penelitian ini tidak
dilanjutkan pada siklus berikutnya. Nilai
terendah pada siklus II yaitu 75, dan nilai
tertinggi yaitu 100.
Pada aspek psikomotor, siswa yang
sudah termasuk dalam kriteria baik
meningkat menjadi 21 siswa atau dengan
persentase 91,30%, sisanya 2 siswa masih
cukup baik atau dengan persentase 8,69%.
Hasil belajar siswa pada aspek
keterampilan menulis narasi dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VI SDN 2 Tanahsumpu pada kondisi
awal atau prasiklus masih rendah. Hal ini
dibuktikan dengan hasil nilai prasiklus
dimana hanya 6 siswa atau dengan
persentase 26,08% dari 23 siswa yang
mendapat nilai di atas KKM, sedangkan 17
V.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Penggunaan media foto kenangan dapat
meningkatkan hasil belajar kognitif
siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2
Tanahsumpu. Hal ini terbukti dari hasil
92
berada pada kategori cukup baik atau
dengan persentase 18,69.
belajar kognitif siswa yang terus
mengalami peningkatan di setiap
siklusnya. Pada siklus I siswa yang
mendapat nilai di atas KKM sebanyak
16 siswa atau dengan persentase
69,56%. Pada siklus II siswa yang
mendapat nilai di atas KKM sebanyak
23 siswa atau dengan persentase 100%.
Hal ini berarti dari 23 siswa, maka telah
terdapat 23 siswa pula yang telah
memenuhi nilai ketuntasan belajar.
2. Penggunaan media foto kenangan dapat
meningkatkan
hasil
belajar
psikomotorik siswa dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Hal ini
terbukti dari hasil belajar psikomotorik
siswa
yang
terus
mengalami
peningkatan di setiap siklusnya. Pada
siklus I, 18 siswa termasuk dalam
kriteria baik atau dengan persentase
78,26% dan hanya 5 orang siswa atau
dengan persentase 21,73% masih
termasuk dalam kategori kurang. Pada
siklus II, meningkat drastis, sehingga
menjadi 21 siswa atau dengan
persentase 91,30% dan 2 siswa lainnya
VI.
SARAN
Beberapa saran yang dapat
disampaikan berdasarkan hasil penelitian
ini adalah sebagai berikut: (1) Pendidik
hendaknya menggunakan media foto
kenangan dalam pembelajaran menulis
narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia semaksimal mungkin, sehingga
peserta didik bersemangat mengikuti
pembelajaran dan materi yang disampaikan
dapat diterima peserta didik dengan baik,
suasana pembelajaran akan berlangsung
aktif.
Dengan
demikian
dapat
meningkatkan pemerolehan hasil belajar
siswa, (2) Penggunaan media foto kenangan
dalam pembelajaran menulis narasi pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia harus
sesuai dengan langkah-langkah yang telah
ditentukan dan penggunaan media foto
kenangan dalam pembelajaran menulis
narasi pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia hendaknya dilakukan secara
kontinyu.
93
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiyah, Sabarti dkk. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arsyad, Azhar. 1997. Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.
Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Tim GP Press.
Barus, Sanggup. 2010. Pembinaan Kompetensi Menulis. Medan: USU Press.
Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Depdikbud.
Hartono, 2008. Terampil Menulis Bahasa Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu.
Hastuti, Sri. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Keraf, Groys. 1987. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia.
Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: GP Press Group.
Soenardji dan Bambang Hartono. 1998. Asas-Asas Menulis. Semarang. IKIP. Semarang Press.
Subyantoro. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Rumah Indonesia.
Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudjana dan Rivai, 2005. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Buku Algensindo.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suparno, Mohammad Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka Kota.
Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tarigan, Henri Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Wagiran dan Doyin, 2005. Curah Gagasan. Semarang: Rumah Indonesia.
94
Media Litbang Sulteng IX (1) : 95-104 , Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL BELAJAR BOLA KASTI PADA MATA PELAJARAN
PENJASKES MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE
LEARNING BERKOMBINASI DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN PADA
SISWA KELAS V SDN 3 KOLONODALE
Oleh :
Adris Ganoli1)
ABSTRAK
Hasil observasi pada siswa kelas V SDN 3 Kolonodale pada pembelajaran permainan bola kasti ditemukan beberapa
kendala dan kekurangan dalam hal gerak dasar. Siswa memiliki kecenderungan diam atau kurang aktif dalam pembelajaran. Oleh
karena itu, diperlukan adanya inovasi dalam pembelajaran sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa
yakni dengan mengombinasikan antara model pembelajaran Cooperative Learning dengan disertai penerapan pendekatan
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah narasumber, teman, guru, situasi, kondisi nyata, lingkungan alam, lingkungan
buatan dan lain-lain yang dapat dijadikan sumber belajar siswa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan
apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan
hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Penelitian ini merupakan jenis Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilakukan di kelas V SDN 3 Kolonodale dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Penelitian
tindakan kelas ini terdiri atas empat tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observing), dan refleksi
(reflection). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) observasi, (2) tes, dan (3) dokumentasi. Adapun hasil dari
pelaksanaan penelitian ini yaitu bahwa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Hal ini
terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan prasiklus. Dari data prasiklus siswa yang
tuntas hanya berjumlah 9 orang siswa atau dengan persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84 (kategori sedang). Pada siklus I
setelah diberikan tindakan melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan
lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa memperoleh nilai dengan rentang 85-94
(kategori baik) atau dengan persentase 27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) atau dengan
persentase 36,36%. Total persentase ketuntasan pada siklus I dengan jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni sebesar 63,63%. Pada
siklus II, jumlah siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau dengan kata lain dari keseluruhan siswa di kelas V SDN 3 Kolonodale,
telah memperoleh ketuntasan hasil belajar. Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 95-100 (kategori baik sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 85-94
(kategori baik) dengan persentase 54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) dengan
persentase 13,63%.
Kata Kunci: Hasil Belajar Siswa, Bola Kasti, Penjaskes, Model Pembelajaran Cooperative Learning, Pendekatan Lingkungan.
ABSTRACT
The results of observations in class V SDN 3 Kolonodale learning the game of baseball found several problems and
disadvantages in terms of the basic movement. Students have a tendency to be quiet or less active in learning. Therefore, it is
necessary for innovation in learning as an alternative in an effort to improve student learning outcomes that combines between the
learning model cooperative learning, accompanied by application of environmental approach. The intended environment is the
source, friends, teachers, situation, real conditions, the natural environment, built environment and others that can be used as a
source of student learning. The purpose of this study is to identify and describe whether the application of cooperative learning
teaching model in combination with environmental approaches to improve learning outcomes baseball in PE subjects fifth grade
students of SDN 3 Kolonodale. This research is a classroom action research (PTK). The study was conducted in class V SDN 3
Kolonodale the number of students as many as 22 students. This classroom action research consists of four stages: planning
(planning), action (action), observation (observing) and reflection (reflection). Data collection techniques in this study are (1)
observation, (2) tests, and (3) documentation. As a result of the implementation of this study is that the application of cooperative
learning teaching model in combination with environmental approaches to improve learning outcomes baseball in PE subjects fifth
grade students of SDN 3 Kolonodale. This is evident from the results of student learning continues to increase compared to
prasiklus. From the data prasiklus students who completed only amounted to 9 students or with the percentage of 40.90% on the
value range 75-84 (medium category). In the first cycle after a given action through the implementation of cooperative learning
teaching model in combination with the environmental approach, the number of students who completed to 14 students with details
of 6 students received grades in the range of 85-94 (both categories) or with the percentage of 27.27% and 8 students gain value
with a range of 75-84 (medium category) or with the percentage of 36.36%. The total percentage of completeness in the first cycle
by the number of students who completed 14 students which amounted to 63.63%. In the second cycle, the number of students who
completed to 22 students or in other words of all students in the class V SDN 3 Kolonodale, has gained mastery learning outcomes.
The details of the range of values obtained by the students is 7 students who received grades in the range of 95-100 (both categories
at all) with a percentage of 31.81%, 12 students who received grades in the range of 85-94 (both categories) with a percentage of
54.54% and 3 students who received grades in the range of 75-84 (medium category) with a percentage of 13.63%.
Keywords: Student Results, Baseball, Physical Education (PE), Learning Model Cooperative Learning, Environment Approach.
95
I.
PENDAHULUAN
yang lebih mengutamakan kegiatan
fisik. Banyak membutuhkan aktivitas gerak.
Apabila permainan bola kasti dilakukan
secara benar dan baik, maka akan memiliki
tingkat kesegaran jasmani yang baik.
Permaianan kasti dimainkan oleh 2 regu,
yang masing-masing regunya terdiri dari 12
orang. Untuk bermain kasti harus bisa
menguasai
gerakan
dasar
seperti
menangkap bola, melempar bola, dan
memukul bola. Disamping itu karena
olahraga kasti memerlukan aktivitas fisik,
maka gerakan lari atau berjalan harus pula
dimiliki oleh seorang pemain. Disamping
gerakan berlari atau berjalan, maka seorang
pemain kasti harus memiliki keterampilan
gerakan meloncat dan menghindar.
Pemain kasti yang baik harus
pandai
melakukan
lemparan
bola.
Melempar bola disesuaikan dengan arah
dan kecepatan tertentu. Lemparan bola
diberikan pada pemukul dan untuk
mematikan lawan. Latihan melempar bola
dapat dilakukan secara individu dan
berpasangan. Pada dasarnya melempar
bola dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu lemparan bawah, lemparan samping,
dan lemparan atas.
Hasil observasi pada siswa kelas V
SDN 3 Kolonodale pada pembelajaran
permainan bola kasti banyak terdapat
kendala dan kekurangan dalam hal gerak
dasar. Siswa memiliki kecenderungan diam
atau kurang aktif dalam pembelajaran.
Kurangnya kesempatan siswa dalam
melakukan
pukulan,
lemparan
dan
tangkapan menjadikan siswa kurang dalam
penguasaan gerak dasar. Pada waktu
memukul siswa sulit mengarahkan alat
pemukul tepat ke bola, sehingga pukulan
akan menjadi sangat lemah. Pada saat
lemparan, tenaga yang dikeluarkan sangat
kurang, sehingga akurasi atau arah bola
tidak tepat kepada sasaran, dan pada saat
menangkap kebanyakan siswa takut untuk
menangkap, karena bola terlalu cepat
ataupun arahnya terlalu jauh untuk
ditangkap. Siswa cenderung diam dan
mendengarkan penjelasan guru dari pada
aktif untuk mempraktikkannya.
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan yang diajarkan di sekolah dasar
memiliki peranan sangat penting, yaitu
memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk terlibat langsung dalam
berbagai pengalaman belajar melalui
aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan
yang dipilih serta dilakukan secara
sistematis. Pembekalan pengalaman belajar
itu diarahkan untuk membina pertumbuhan
fisik dan pengembangan psikis yang lebih
baik, sekaligus membentuk pola hidup
sehat dan bugar. Oleh karena itu, dalam
proses pembelajaran Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan di sekolah dasar
harus menyertakan unsur-unsur positif
Pendidikan Jasmani.
Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan memegang peranan
penting dalam meningkatkan sumber daya
manusia bagi kelangsungan hidup di masa
yang akan datang. Tujuan Penjasorkes
adalah untuk mengembangkan aspek
kebugaran jasmani, keterampilan gerak,
serta stabilitas emosional siswa, sehingga
sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang
No.20 tahun 2003 di mana Pendidikan
Nasional adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta
didik
secara
aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kebiasaan, kecerdasan,
dan keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pada zaman yang modern seperti
sekarang ini, permainan olahraga semakin
berkembang dan banyak permainan
olahraga yang lebih populer, di antaranya
sepak bola yang sangat diminati dari anakanak sampai orang tua. Namun, banyak
juga permainan olahraga yang dulu populer
namun seakan hilang dengan kemajuan
zaman, diantaranya yaitu kasti.
Permainan kasti termasuk dalam
permainan bola kecil. Apabila diamati
permainan kasti merupakan jenis permainan
1)
Guru SDN 3 Kolonodale
96
Dari hasil pengamatan oleh peneliti
saat melakukan pembelajaran Penjaskes
pada siswa kelas V SDN 3 Kolonodale
dalam pembelajaran permainan bola kasti
menunjukkan proses pembelajaran yang
kurang efektif. Siswa masih kesulitan
mampraktikkan melempar bola dalam
permainan kasti seperti yang diinstruksikan
guru, sehingga siswa belum mampu
memahami secara benar gerak dasar dari
melempar bola, baik melalui penjelasan
secara verbal maupun unjuk kerja yang
telah dicontohkan. Seperti apa posisi badan,
kemudian posisi tangan maupun gerakan
tangan dan kaki, maupun koordinasi gerak
tubuh yang lain dalam melakukan lemparan
dalam permainan kasti belum mampu
dilakukan dengan sempurna oleh siswa.
Oleh karena itu, untuk mengatasi
hal tersebut, diperlukan suatu model
pembelajaran yang patut diterapkan dalam
pembelajaran permainan bola kasti agar
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Hasil belajar merupakan akibat atau sebab
dari proses pembelajaran. Hasil belajar ini
adalah perubahan perilaku yang meliputi
pengetahuan dan keterampilan serta
kemampuan, perubahan sikap serta nilai
siswa. Hasil belajar sangat tergantung pada
mutu masukan dan proses pembelajaran.
Mutu masukan yang baik yang dianggap
dengan tidak tepat akan menghasilkan hasil
belajar yang tidak baik, sebaliknya apabila
mutu masukan kurang baik tetapi diproses
dengan baik akan menghasilkan hasil
belajar yang baik.
Salah satu model pembelajaran
yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
permainan bola kasti adalah model
pembelajaran Cooperative Learning atau
pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu sikap atau
prilaku bersama dalam bekerja, dalam
struktur kerja sangat dipengaruhi oleh
keterlibatan dari setiap anggota kelompok
itu sendiri. Pembelajaran kooperatif
merupakan
strategi
belajar
melalui
penempatan siswa belajar dalam kelompok
kecil yang memiliki tingkat kemampuan
yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompok, setiap anggota saling bekerja
sama.
Di Sekolah Dasar, pembelajaran
cenderung bersifat konvensional. Oleh
karena itu, diperlukan adanya inovasi dalam
pembelajaran sebagai suatu alternatif dalam
usaha meningkatkan hasil belajar siswa
yakni dengan mengombinasikan antara
model pembelajaran Cooperative Learning
dengan disertai penerapan pendekatan
lingkungan. Berdasarkan karakteristik
siswa, maka pembelajaran permainan bola
kasti harus disesuaikan dengan kondisi
siswa. Perlu diketahui oleh seorang guru
bahwa siswa sekolah dasar mempunyai
karakteristik cepat bosan. Untuk mengatasi
hal tersebut, maka pembelajaran permainan
bola kasti hendaknya dapat diajarkan secara
bervariasi dalam bentuk aktivitas yang
menyenangkan. Upaya peningkatan hasil
belajar siswa terhadap permainan kasti
harus diterapkan melalui bentuk-bentuk
pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan tingkat perkembangan siswa.
Seorang guru harus mampu menerapkan
pendekatan pembelajaran yang baik dan
tepat. Dengan pendekatan pembelajaran
yang tepat, siswa akan mudah menerima
materi pelajaran dan hasilnya juga akan
optimal. Salah satu pendekatan yang dapat
digunakan dalam pembelajaran bola kasti
adalah pendekatan lingkungan. Belajar akan
terjadi apabila ada proses interaksi dengan
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud
adalah narasumber, teman, guru, situasi,
dan kondisi nyata, lingkungan
alam,
lingkungan buatan dan lain-lain yang dapat
dijadikan sumber belajar siswa.
Dari latar belakang tersebut maka
perlu dilakukan penelitian dengan judul
“Peningkatan Hasil Belajar Bola Kasti pada
Mata
Pelajaran
Penjaskes
Melalui
Penerapan
Model
Pembelajaran
Cooperative
Learning
Berkombinasi
dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa
Kelas V SDN 3 Kolonodale”.
Berdasarkan latar belakang yang
diuraikan
di
atas,
peneliti
dapat
merumuskan masalah yakni apakah
penerapan model pembelajaran Cooperative
Learning berkombinasi dengan pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil
belajar bola kasti pada mata pelajaran
Penjaskes siswa kelas V SDN 3
97
kebiasaan bertindak dan berpikir setelah
siswa menyelesaikan suatu aspek atau sub
aspek mata pelajaran tertentu (Depdiknas,
2003:5).
Hamilton,
dkk
(2000:1)
menyatakan bahwa hasil belajar merupakan
kemampuan belajar yang ditunjukkan
dalam penampilan yang tetap sebagai akibat
dari proses belajar yang terjadi melalui
program yang menyediakan fakta-fakta,
bukti-bukti, keterangan dan sebagainya.
Mappa (1985: 94) menyatakan hasil belajar
adalah hasil belajar yang dicapai murid
dalam bidang studi tertentu dengan
menggunakan tes standar sebagai alat
keberhasilan seorang murid.
Selanjutnya Nasrun (2002:21)
secara umum hasil belajar dapat diartikan
sebagai suatu hasil pekerjaan yang telah
dicapai dengan usaha atau diperoleh dengan
jalan keuletan bekerja yang dapat diukur
dengan alat ukur yang disebut dengan tes.
Menurut Sudjana (2000:3) hasil belajar
adalah mencerminkan tujuan pada tingkat
tertentu yang berhasil dicapai oleh anak
didik (siswa) yang dinyatakan dengan
angka atau huruf. Hasil belajar yang
dimaksudkan tidak lain adalah nilai
kemampuan
siswa setelah
evaluasi
diberikan sebagai perwujudan dari upaya
yang telah dilakukan selama proses belajar
mengajar berlangsung. Berdasarkan teori
Taksonomi Bloom hasil belajar dalam
rangka studi dicapai melalui tiga kategori
ranah antara lain kognitif, afektif,
psikomotor. Perinciannya adalah sebagai
berikut:
Ranah Kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar
intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis dan penilaian.
Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai.
Ranah afektif meliputi lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab
atau reaksi, menilai, organisasi dan
karakterisasi dengan suatu nilai atau
kompleks nilai.
Ranah Psikomotor
Meliputi keterampilan motorik,
manipulasi
benda-benda,
koordinasi
Kolonodale?
Berdasarkan rumusan masalah,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan apakah penerapan model
pembelajaran
Cooperative
Learning
berkombinasi
dengan
pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil
belajar bola kasti pada mata pelajaran
Penjaskes siswa kelas V SDN 3
Kolonodale.
Manfaat dalam penelitian ini yaitu
(1) Bagi siswa: Dapat meningkatkan
kemampuan hasil belajar kasti bagi siswa
kelas V SDN 3 Kolonodale dan siswa
merasa senang dalam mengikuti olahraga
bola kasti. (2) Bagi guru: Sebagai bahan
masukan kepada guru Pendidikan Jasmani
dalam memilih model dan pendekatan
pembelajaran yang dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam proses belajar
mengajar, sebagai pedoman bagi guru akan
pentingnya pembelajaran yang tepat yang
disesuaikan dengan materi dan sarana
prasarana di sekolah, sehingga di peroleh
hasil belajar yang maksimal. (3) Bagi
sekolah: Sebagai bahan masukan, saran dan
informasi terhadap sekolah, instansi,
lembaga pendidikan untuk mengembangkan
strategi belajar mengajar yang tepat dalam
rangka meningkatkan kualitas proses dan
kuantitas hasil belajar siswa. (4) Bagi
Peneliti:
Peneliti
memperoleh
pengetahuan bagaimana cara memilih
metode
pembelajaran
yang
tepat,
sehingga
dalam
pelaksanaan
pembelajaran di lapangan peneliti telah
mempunyai
wawasan
bagaimana
memodifikasi
permainan
untuk
meningkatkan kemampuan keterampilan
peserta didik dengan adanya penggunaan
model dan pendekatan pembelajaran.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pernyataan
kemampuan siswa dalam menguasai
sebagian atau seluruh kompetensi tertentu.
Kompetensi adalah kemampuan yang
dimiliki berupa pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai yang direfleksikan dalam
98
neuromuscular
(menghubungkan,
mengamati).
Tipe hasil belajar kognitif lebih
dominan daripada afektif dan psikomotor
karena lebih menonjol, namun hasil belajar
psikomotor dan afektif juga harus menjadi
bagian dari hasil penilaian dalam proses
pembelajaran di sekolah. Sehingga hasil
belajar
dapat
dipandang
sebagai
kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya.
Hasil belajar digunakan oleh guru
untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam
mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini
dapat tercapai apabila siswa sudah
memahami belajar dengan diiringi oleh
perubahan tingkah laku yang lebih baik
lagi.
yang melempar tersebut untuk dilempar
kembali. Tetapi apabila mereka memiliki
sifat positif terhadap permainan ini dan
aspek kerjasama menjadi focus perhatian
dalam pembelajaran, maka tidak akan
terjadi seorang anak hanya mengejar satu
lawan yang tidak disukainya.
Dalam hal ini mungkin guru jarang
sekali memberikan suatu tugas pendidikan
efektif dalam kegiatan jasmani yang
dilaksanakan
secara
individual,
berpasangan, bertiga maupun berkelompok.
Jadi guru Pendidikan Jasmani diharapkan
dalam mengajar jangan terfokus pada bahan
ajar dan materi pembelajaran saja, tetapi
hendaknya
terfokus
pada
tujuan
pembelajaran sebagai bagian dari tujuan
pendidikan. Jadi dalam proses pendidikan
pada anak-anak paling tepat diberikan
adalah melalui kegiatan bermain olahraga
termasuk didalamnya berbagai jenis
permainan yang melibatkan sekelompok
anak seperti halnya bermain kasti di
lapangan.
2.2
Pembelajaran Permainan Bola
Kasti
Permainan kasti merupakan salah
satu cabang olahraga permainan yang
sangat popular di Indonesia jauh sebelum
zaman penjajahan Jepang, bahkan pada
zaman Belanda juga sudah dikenal
masyarakat. Pada waktu itu permainan kasti
sering dipertandingkan dalam kejuaraan
antar sekolah, sehingga permainan ini
sangat dikenal dan diajarkan di sekolahsekolah dasar dan bahkan di masyarakat.
Pada beberapa acara nasional permainan ini
pernah dipertandingkan, tetapi belakangan
ini mulai kurang dikenal dan terpinggirkan.
Yang
dimaksud
memberikan
nuansa pendidikan dalam permainan kasti
adalah bahwa guru pendidikan jasmani di
sekolah memberikan pendidikan melalui
kegiatan-kegiatan
jasmani
yang
mengedepankan sikap sportivitas, jujur,
kerjasama dan aspek pendidikan lainnya
dalam pembelajaran permainan kasti.
Dalam pendidikan jasmani yang dimaksud
adalah bahwa guru berusaha bagaimana
mengembangkan domain kognitif, afektif,
psikomotorik pada anak didik. Bila salah
satu ditinggalkan, umpamanya domain
afektif, maka dapat saja terjadi seorang
anak yang merasa tidak senang dilempar
dengan bola, akan berusaha untuk
membalasnya dengan menunggu temannya
2.3
Mata
Pelajaran
Pendidikan
Jasmani
Pendidikan
Jasmani
pada
hakikatnya adalah proses pendidikan yang
memanfaatkan aktivitas fisik untuk
menghasilkan perubahan holistik dalam
kualitas individu, baik dalam hal fisik,
mental,
serta
emosional-emosional.
Pendidikan
Jasmani merupakan
suatu
proses seseorang sebagai individu maupun
anggota masyarakat yang dilakukan secara
sadar dan sistematik melalui berbagai
kegiatan dalam rangka memperoleh
kemampuan dan keterampilan jasmani,
pertumbuhan,
kecerdasan,
dan
pembentukan watak. Tujuan Pendidikan
Jasmani yaitu:
Mengembangkan
keterampilan
pengelolaan
diri
dalam
upaya
pengembangan
dan
pemeliharaan
kebugaran jasmani serta pola hidup
sehat melalui berbagai aktivitas jasmani
dan olahraga yang terpilih
Meningkatkan pertumbuhan fisik dan
pengembangan psikis yang lebih baik
Meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan gerak dasar
99
antara lain: meningkatkan aktivitas belajar
siswa dan prestasi akademiknya, membantu
siswa dalam mengembangkan keterampilan
berkomunikasi
secara
lisan,
mengembangkan keterampilan sosial siswa,
meningkatkan rasa percaya diri siswa,
membantu meningkatkan hubungan positif
antar siswa.
Model pembelajaran kooperatif
memiliki basis pada teori psikologi kognitif
dan teori pembelajaran sosial. Fokus
pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu
pada apa yang dilakukan peserta didik
tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta
didik selama aktivitas belajar berlangsung.
Informasi yang ada pada kurikulum tidak
ditransfer begitu saja oleh guru kepada
peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi
dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan
peserta didik lain dalam kelompok, dengan
guru dan dengan bahan ajar secara optimal
agar
ia
mampu
mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Dalam model
pembelajaran kooperatif, guru berperan
sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar
bagi peserta didik, pembimbing peserta
didik dalam belajar kelompok, pemberi
motivasi peserta didik dalam memecahkan
masalah, dan sebagai pelatih peserta didik
agar memiliki ketrampilan kooperatif.
Meletakkan landasan karakter moral
yang kuat melalui internalisasi nilainilai
yang
terkandung
di
dalam pendidikan jasmani, olahraga
dan kesehatan
Mengembangkan sikap sportif, jujur,
disiplin, bertanggungjawab, kerjasama,
percaya diri dan demokratis
Mengembangkan keterampilan untuk
menjaga keselamatan diri sendiri, orang
lain dan lingkungan
Memahami konsep aktivitas jasmani
dan olahraga di lingkungan yang bersih
sebagai informasi untuk mencapai
pertumbuhan fisik yang sempurna, pola
hidup sehat dan kebugaran, terampil,
serta memiliki sikap yang positif.
2.4
Model Pembelajaran Cooperative
Learning
Cooperative Learning adalah suatu
strategi belajar mengajar yang menekankan
pada sikap atau perilaku bersama dalam
bekerja atau membantu di antara sesama
dalam struktur kerjasama yang teratur
dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih. Dimana pada tiap
kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa
berbagai tingkat kemampuan, melakukan
berbagai
kegiatan
belajar
untuk
meningkatkan pemahaman mereka tentang
materi pelajaran yang sedang dipelajari.
Setiap anggota kelompok bertanggung
jawab untuk tidak hanya belajar apa yang
diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan
belajar, sehingga bersama-sama mencapai
keberhasilan. Semua
Siswa
berusaha
sampai semua anggota kelompok berhasil
memahami dan melengkapinya. Model
pembelajaran kooperatif dikembangkan
untuk mencapai setidak-tidaknya tiga
tujuan pembelajaran yaitu hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap perbedaan
individu, dan pengembangan keterampilan
sosial.
Prinsip
model
pembelajaran
kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan
positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3)
tatap muka; 4) komunikasi antar anggota;
dan 5) evaluasi proses kelompok (Lie,
2000). Manfaat dari Cooperative Learning
2.5
Pendekatan Lingkungan dalam
Pembelajaran
Pendekatan lingkungan merupakan
suatu pendekatan pembelajaran yang
berusaha untuk meningkatkan keterlibatan
siswa melalui pendayagunaan lingkungan
sebagai sumber belajar. Pendekatan ini
berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran
akaan menarik siswa, jika apa yang
dipelajari diangkat dari lingkungan,
sehingga apa yang dipelajari berhubungan
dengan kehidupan dan berfaedah bagi
lingkungan (Khusnin, 2008). Menurut
Yulianto (2002) pendekatan lingkungan
berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu
proses belajar mengajar dimana lingkungan
digunakan sebagai sumber belajar. Untuk
memahami materi yang erat kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari sering
digunakan
pendekatan
lingkungan.
Sehingga dapat dikatakan lingkungan yang
100
ada di sekitar merupakan salah satu sumber
belajar yang dapat dioptimalkan untuk
pencapaian proses dan hasil pendidikan
yang berkualitas. Lingkungan dapat
memperkaya bahan dan kegiatan belajar.
Lingkungan merupakan salah satu
sumber belajar yang amat penting dan
memiliki nilai-nilai yang sangat berharga
dalam rangka proses pembelajaran siswa.
Penggunaaan lingkungan memungkinkan
terjadinya proses belajar yang lebih
bermakna sebab anak dihadapkan pada
kondisi yang sebenarnya. Pelajaran biologi
dengan menggunakan bahan-bahan alami
lebih menguntungkan bagi siswa dan
pengalaman bersahabat dengan alam lebih
cenderung menyiapkan perasaan positif
bagi siswa terhadap keajaiban alam. Hal
senada juga diungkapkan Suniarsih (2006)
yaitu berlangsungnya proses pembelajaran
tidak terlepas dengan lingkungan sekitar.
Pendidikan lingkungan sebagai suatu
dimensi, di dalam pembelajarannya
menggunakan pendekatan lingkungan. Di
dalam model pengajaran, pendekatan ini
diklasifikasikan berdasarkan lingkungan
belajarnya. Jadi pendekatan lingkungan
tidak memiliki sintaks pembelajaran. Karli
dan Margaretha (2002) menjelaskan bahwa
pendekatan lingkungan adalah suatu
strategi pembelajaran yang memanfaatkan
lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber
belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut
dapat dimanfaatkan untuk memecahkan
masalah
lingkungan,
dan
untuk
menanamkan sikap cinta lingkungan.
III.
3.2
Siklus I
Pada
siklus
I
berdasarkan
presantase prasiklus target yang ingin
dicapai dalam ketuntasan belajar 50%.
Pembelajaran yang dilakukan pada siklus I
yaitu siswa melakukan pembelajaran
memukul bola kasti mulai dari cara
memegang kayu pemukul, sikap awal
memukul bola kasti, melakukan gerakan
memukul bola kasti tanpa menggunakan
bola, melakukan gerakan memukul bola
yang digantung, dan melakukan gerakan
memukul bola yang dilempar oleh teman.
Tabel 4.2 Hasil Belajar Permainan Bola Kasti dengan
Menerapkan Model Pembelajaran Cooperative Learning
Berkombinasi dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa
Kelas V SDN 3 Kolonodale Siklus I
Rentang
Nilai
Kategori
Kriteria
95-100
Baik Sekali
Tuntas
0
0%
85-94
Baik
Tuntas
6
27,27%
75-84
Sedang
Tuntas
8
36,36%
65-74
Cukup
Tidak
Tuntas
5
22,72%
55-64
Kurang
Tidak
Tuntas
3
13,63%
< 50-54
Kurang
Sekali
Tidak
Tuntas
0
0%
22
100%
Jumlah Siswa
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
3.3
Jumlah
Persentase
Siswa
Siklus II
Dalam sklus II target yang ingin
dicapai dalam ketuntasan hasil belajar 75%
. Pada siklus II dalam setiap pertemuan
siswa banyak melakukan gerakan memukul
bola yang dilempar oleh temannya.
3.1
Prasiklus
Berdasarkan hasil observasi awal
yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil
belajar siswa pada permainan bola kasti
pada prasiklus atau sebelum penerapan
model pembelajaran Cooperative Learning
berkombinasi
dengan
pendekatan
lingkungan. Data tersebut disajikan dalam
tabel berikut ini:
101
Tabel 4.3 Hasil Belajar Permainan Bola Kasti dengan
Menerapkan Model Pembelajaran Cooperative Learning
Berkombinasi dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa
Kelas V SDN 3 Kolonodale Siklus II
Rentang Nilai
95-100
Kategori
Kriteria
Baik Sekali Tuntas
Jumlah
Siswa
Persentase
7
31,81%
85-94
Baik
Tuntas
12
54,54%
75-84
Sedang
Tuntas
3
13,63%
65-74
Cukup
Tidak
Tuntas
0
0%
55-64
Kurang
Tidak
Tuntas
0
0%
< 50-54
Kurang
Sekali
Tidak
Tuntas
0
0%
22
100%
Jumlah Siswa
yang memperoleh nilai dengan rentang 8594 (kategori baik) dengan persentase
54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh
nilai dengan rentang 75-84 (kategori
sedang) dengan persentase 13,63%.
Berdasarkan
tindakan-tindakan
yang telah dilakukan, maka dapat
dibuktikan bahwa penerapan model
pembelajaran
Cooperative
Learning
berkombinasi
dengan
pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas V SDN Kolonodale
dalam permainan bola kasti.
IV.
SIMPULAN
Adapun yang dapat disimpulkan
dari pelaksanaan penelitian ini yaitu bahwa
penerapan model pembelajaran Cooperative
Learning berkombinasi dengan pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil
belajar bola kasti pada mata pelajaran
Penjaskes siswa kelas V SDN 3
Kolonodale. Hal ini terbukti dari hasil
belajar siswa yang terus mengalami
peningkatan
dibandingkan
dengan
prasiklus. Dari data prasiklus siswa yang
tuntas berjumlah 9 orang siswa atau dengan
persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84
(kategori sedang). Pada siklus I setelah
diberikan tindakan melalui penerapan
model pembelajaran Cooperative Learning
berkombinasi
dengan
pendekatan
lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas
menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa
memperoleh nilai dengan rentang 85-94
(kategori baik) atau dengan persentase
27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai
dengan rentang 75-84 (kategori sedang)
atau dengan persentase 36,36%. Total
persentase ketuntasan pada siklus I dengan
jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni
sebesar 63,63%. Pada siklus II, jumlah
siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau
dengan kata lain dari keseluruhan siswa di
kelas V SDN 3 Kolonodale, telah
memperoleh ketuntasan hasil belajar.
Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh
siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 95-100 (kategori baik
sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa
yang memperoleh nilai dengan rentang 85-
Berdasarkan hasil pelaksanaan
tindakan pada siklus I dan II dapat
disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
hasil belajar siswa kelas V SDN
Kolonodale dalam permainan bola kasti
setelah penerapan model pembelajaran
Cooperative
Learning
berkombinasi
dengan pendekatan lingkungan.
Dari data prasiklus siswa yang
tuntas berjumlah 9 orang siswa atau dengan
persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84
(kategori sedang). Pada siklus I setelah
diberikan tindakan melalui penerapan
model pembelajaran Cooperative Learning
berkombinasi
dengan
pendekatan
lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas
menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa
memperoleh nilai dengan rentang 85-94
(kategori baik) atau dengan persentase
27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai
dengan rentang 75-84 (kategori sedang)
atau dengan persentase 36,36%. Total
persentase ketuntasan pada siklus I dengan
jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni
sebesar 63,63%. Pada siklus II, jumlah
siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau
dengan kata lain dari keseluruhan siswa di
kelas V SDN 3 Kolonodale, telah
memperoleh ketuntasan hasil belajar.
Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh
siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 95-100 (kategori baik
sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa
102
94 (kategori baik) dengan persentase
54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh
nilai dengan rentang 75-84 (kategori
sedang) dengan persentase 13,63%.
V.
Selain itu, guru hendaknya mau membuka
diri untuk menerima berbagai bentuk
masukan, saran, dan kritikan agar dapat
lebih memperbaiki kualitas mengajarnya.
Guru hendaknya mengadakan latihanlatihan
yang
cukup
dan
dapat
mengembangkan permainan sesuai dengan
materi yang diajarkan. Guru hendaknya
bukan hanya menjadi orang yang hanya
dapat bebicara tentang peningkatan mutu
penidikan tetapi lebih berupaya melakukan
tindakan
nyata
dalam
perbaikan
pembelajaran. Bagi siswa, hendaknya
membiasakan diri untuk berolahraga demi
menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Siswa harus senantiasa rajin mengikuti
proses pembelajaran di sekolah dan jangan
takut mencoba permainan kasti, untuk dapat
terus melestarikan permainan olahraga, agar
terhindar dari kepunahan seiring dengan
perkembangan zaman dan munculnya
berbagai jenis olahraga lainnya.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
kesimpulan yang telah peneliti paparkan di
atas agar proses belajar mengajar lebih
efektif dan lebih memberikan hasil yang
optimal bagi siswa, maka peneliti
sampaikan beberapa saran antara lain: bagi
guru, untuk lebih meningkatkan hasil
pembelajaran, seorang guru penjaskes
harus melakukan persiapan yang matang,
sehingga dapat tercapai pembelajaran
yang diharapkan, guru penjaskes dituntut
kreatif dalam menyusun pembelajaran
serta lebih terampil dalam penguasaan
materi dan pengadaan model dan
pendekatan
dalam
pembelajaran,
sehingga siswa tertarik dan terjalin
komunikasi yang baik antara guru dan
siswa.
103
DAFTAR PUSTAKA
Adang, Suherman, 2000. Prinsip-Prinsip Perkembangan dan Modifikasi Permainan. Semarang, Depdiknas.
Agus kristiyanto. 2012. Pembangunan Olahraga untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kejayaan Bangsa. Jakarta: Lingkar Media.
Arikunto, Suharsimi dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Bahagia, Yoyo, Suherman Adang. 2000. Prinsip-Prinsip Pengembangan dan Modifikasi Cabang Olahraga. Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Elizabeth B. Hurlock,1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Hamzah B. Uno, 2009. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Herman Subarjah. 2007. Permainan Kecil di Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.
Husdarta. 2009. Manajemen Pendidikan Jasmani. Bandung: Alfabeta.
Muhajir. 2007. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Yudhstira.
Ridwan, Iwan dkk. 2008. Olahraga Permainan Bola Kecil dan Bola Besar. Bandung: PT Widya Duta Grafika.
Rusli Lutan & Sumardianto.2000. Filsafat Olahraga : Depdikbud.
Rustlu
Lutan,
2000. Strategi Belajar Mengajar Penjaskes. D epartemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, N. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sukrisno, Aminarni dkk. 2006. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Semarang: Erlangga.
Sumantri, M., dkk. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana.
104
Media Litbang Sulteng IX (1) : 105-116, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING PADA MATA PELAJARAN PKN PADA SISWA
KELAS VII SMP NEGERI 1 LEMBO
Oleh :
Lis Marta Lapoliwa1)
ABSTRAK
Fenomena yang ditemukan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru mata pelajaran PKn dewasa ini lebih
mengutamakan tujuan pembelajaran dibanding dengan proses pembelajaran, sehingga seringkali siswa hanya dijadikan sebagai
objek pembelajaran. Dalam realita di lapangan, pembelajaran PKn di sekolah-sekolah khususnya di S M P N e g e r i 1
L e m b o p a d a s i s w a k e l a s V I I tampaknya masih belum mencerminkan misi dan tujuan dari mata pelajaran PKn. Hal ini
tercermin dari model pembelajaran yang dianut oleh guru dalam proses pembelajaran cenderung hanya mentransfer ilmu yang
ada di pikirannya ke pikiran siswa. Oleh karena itu, proses pembelajaran menjadi kaku, interaksi pembelajaran hanya
berlangsung satu arah dari guru ke siswa, sehingga membuat siswa tidak memiliki motivasi untuk belajar dan akhirnya
berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Menyikapi kondisi tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran
yang dapat meningkatkan semangat dan antusias siswa untuk mengikuti pembelajaran PKn agar nantinya hasil belajar siswa
dapat meningkat. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Lembo adalah model pembelajaran berbasis Problem Based Learning. Rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini
dilaksanakan di SMP Negeri 1 Lembo pada siswa kelas VII. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII yang berjumlah 21 siswa.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, dan tes. Penerapan model
p e m b e l a j a r a n Problem Based Learning berhasil meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo.
Peningkatan hasil belajar tersebut dibuktikan dengan terjadinya peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang tuntas
belajar pada tiap siklusnya. Pada kondisi awal nilai rata-rata kelas sebesar 69 dengan siswa yang tuntas belajar sebanyak 6 siswa
(28,57%). Pada siklus I nilai rata-rata kelas sebesar 80,67 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 16 siswa (76,19%).
Pada siklus II nilai rata-rata kelas sebesar 90,04 dengan persentase jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 100 %.
Kata Kunci : Hasil Belajar, Model Pembelajaran Problem Based Learning, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
ABSTRACT
A phenomenon found in the learning process carried out by teachers of Civics today prefers learning objectives than the
learning process, so that students often only used as an object lesson. In the reality in the field, learning civics in schools, especially
in SMP Negeri 1 Lembo in class VII apparently still does not reflect the mission and goals of the subjects Civics. This is reflected in
the learning model adopted by the teacher in the learning process tends to only transfer the knowledge he has in mind into the minds
of students. Therefore, the learning process becomes rigid, learning interaction lasted only one direction from teachers to students,
so that students do not have the motivation to learn and ultimately have an impact on student learning outcomes is low. Responding
to these conditions, we need a model of learning that can improve morale and enthusiasm of students to participate in learning
civics so that later can increase student learning outcomes. One model of learning that can be used to improve learning outcomes
Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo is a model-based learning Problem Based Learning. Formulation of the
problem in this research that is by using a Problem Based Learning model of learning can improve student learning outcomes in
subjects Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo ?. The aim of this research was to determine whether using a
Problem Based Learning model of learning can improve student learning outcomes in subjects Civics in the seventh grade students
of SMP Negeri 1 Lembo. Action Research (PTK) was conducted in SMP Negeri 1 Lembo in Class VII. The subjects were students of
class VII totaling 21 students. The data collection techniques in this study were interviews, observation, documentation, and testing.
Application of Problem Based Learning teaching model succeeded in improving learning outcomes Civics in the seventh grade
students of SMP Negeri 1 Lembo. Improved learning outcomes evidenced by the increase in the average value of the class and the
number of students who pass the study on each cycle. In the initial condition of the average value of a class of 69 students who
completed the study as much as 6 students (28.57%). In the first cycle class average value of 80.67 by the number of students who
pass the study as many as 16 students (76.19%). In the second cycle the value of the average grade of 90.04 with the percentage of
students who completed learn as much as 100%.
Keywords: Results Learning, Problem Based Learning Model Learning, Citizenship Education (Civics)
105
I.
kesetiakawanan sosial, dan lainlain (Adisusilo, 2011:56). Secara garis
besar,
dimensi
pengetahuan
kewarganegaraan yang tercakup dalam
mata
pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
meliputi
politik,
hukum, dan moral. Dengan demikian,
mata pelajaran PKn merupakan bidang
kajian antardisiplin.
Dalam membentuk warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab,
maka diperlukan sebuah proses pendidikan
yang berkualitas. Sebuah proses pendidikan
yang berkualitas dapat dilihat dari hasil
belajar yang dicapai oleh siswa. Di mana
sebuah proses pendidikan yang berkualitas
memberikan ruang bagi para siswa untuk
mengembangkan nilai-nilai demokrasi
sekaligus mendukung kegiatan belajar
siswa secara aktif, sehingga siswa memiliki
ruang untuk belajar secara mandiri dan
mampu dalam mempelajari suatu topik
pembelajaran yang tercermin dari hasil
belajarnya. Hasil belajar mempunyai
peranan penting dalam pembelajaran,
karena
keberhasilan
suatu
proses
pembelajaran akan tercermin melalui hasil
belajar para siswa.
Fenomena yang ditemukan dalam
proses belajar mengajar yang dilakukan
oleh guru mata pelajaran PKn dewasa ini
lebih mengutamakan tujuan pembelajaran
dibanding dengan proses pembelajaran,
sehingga seringkali siswa hanya dijadikan
sebagai objek pembelajaran. Hal ini dapat
menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri
karena seharusnya siswa bukan hanya
dijadikan sebagai objek pembelajaran
melainkan sekaligus menjadi subjek
pembelajaran dalam pendidikan.
Pada proses pembelajaran PKn
yang dilaksanakan selama ini, guru
cenderung
menerapkan
pendekatan
klasikal dan metode ceramah menjadi
pilihan utama dalam pembelajaran.
Dominasi metode ceramah
dalam
pembelajaran PKn cenderung berorientasi
pada materi yang tercantum dalam
kurikulum dan buku teks, tetapi jarang
mengaitkan materi yang dibahas dengan
masalah-masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Pada saat guru
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan
dari tahun ke tahun mengalami perubahan
seiring
dengan
tantangan
dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu bersaing di era
globalisasi. Salah satu permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa kita adalah masih
rendahnya kualitas pendidikan pada setiap
jenjang, sehingga berdampak pada belum
tercapainya tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikan. Untuk itu, dalam
memenuhi tujuan pendidikan yang salah
satunya adalah untuk menjadikan warga
negara Indonesia sebagai warga negara
yang demokratis, maka diperlukan adanya
pembelajaran
yang
demokratis.
Pembelajaran yang demokratis dapat
terlaksana bilamana ada sebuah wahana
pendidikan
demokrasi.
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) merupakan satu
mata pelajaran di sekolah yang sekaligus
menjadi wahana pendidikan demokrasi.
Mengingat mata pelajaran PKn
merupakan mata pelajaran yang menjadi
wahana pendidikan demokrasi, maka mata
pelajaran PKn sangat penting dalam
pendidikan demokrasi di sekolah. Siswa
dituntut untuk mampu mengembangkan
pengetahuan
kewarganegaraannya,
sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari agar menjadi warga negara yang
berwawasan luas, bertanggungjawab, dan
demokratis.
Pendidikan
Kewarganegaraan
(PKn) merupakan salah satu mata
pelajaran yang sangat penting untuk
diajarkan sejak dini sebagai satu wahana
untuk proses pembentukan karakter
bangsa dan negara. Watak atau karakter
kewarganegaraan
sesungguhnya
merupakan dimensi yang paling substantif
dan esensial dalam mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Watak
yang mencerminkan warga negara yang
baik itu misalnya sikap religius, toleran,
jujur, adil, demokratis, taat hukum,
menghormati
orang lain, memiliki
1) Guru SMP Negeri 1 Lembo
106
menjelaskan materi, siswa masih diam
mendengarkan apa yang dijelaskan guru
dan siswa kebanyakan bercanda, tidak
terfokus dengan pelajaran, sehingga siswa
menjadi tidak aktif dalam proses
pembelajaran.
Hal ini membuat siswa kurang
tertarik dan termotivasi untuk mengikuti
pelajaran PKn, sehingga tidak ada
interaksi yang komunikatif antara guru
dan siswa dalam pembelajaran. Kondisi
ini berdampak pada hasil belajar PKn
siswa yang tidak mencapai ketuntasan
belajar maksimal. Pembelajaran PKn
sering
dikatakan
belum
mampu
merangsang siswa untuk terlibat aktif
dalam proses belajar mengajar dan belum
mampu menumbuhkan budaya belajar
siswa. Hal ini berdampak pada sulitnya
siswa
dalam
mengikuti
pelajaran
dikarenakan metode yang dipilih dan
digunakan guru dirasakan kurang tepat.
Hamid (1996:36) menegaskan bahwa
proses pembelajaran berlangsung secara
kaku, sehingga kurang mendukung
pengembangan pengetahuan, sikap, moral,
dan keterampilan siswa. Lebih lanjut
Kosasih
(1994:18)
mempunyai
pandangan bahwa “pemilihan model dan
metode pembelajaran yang sesuai dengan
tujuan kurikulum dan potensi siswa
merupakan kemampuan dan keterampilan
dasar yang harus dimiliki oleh guru”.
Dalam realita di lapangan dewasa
ini, pembelajaran PKn di sekolah-sekolah
khususnya di S M P N e ger i 1 L em b o
pa d a si s wa k el as VI I tampaknya
masih belum mencerminkan misi dan
tujuan dari mata pelajaran PKn. Hal ini
tercermin dari model pembelajaran yang
dianut oleh guru dalam
proses
pembelajaran
cenderung
hanya
mentransfer ilmu yang ada di pikirannya
ke pikiran siswa. Oleh karena itu, proses
pembelajaran menjadi kaku, interaksi
pembelajaran hanya berlangsung satu
arah dari guru ke siswa. Materi yang
disampaikan
oleh guru cenderung
berorientasi pada materi yang tercantum
dalam buku teks saja, serta jarang
mengaitkan materi yang dibahas dengan
masalah-masalah yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga siswa
tidak mempunyai gairah untuk belajar.
Akibatnya, pembelajaran PKn dirasakan
sangat membosankan siswa, petuah guru
sering dianggap sesuatu yang paling
benar dan harus diterima, dan siswa
kurang termotivasi untuk menekuni dan
mendalami mata pelajaran PKn.
Menyikapi kondisi tersebut di
atas, maka diperlukan suatu model
pembelajaran yang dapat meningkatkan
semangat dan antusias siswa untuk
mengikuti pembelajaran PKn. Salah satu
model
pembelajaran
yang
dapat
digunakan untuk meningkatkan hasil
belajar PKn pada siswa kelas VII SMP
Negeri 1 Lembo adalah
model
pembelajaran berbasis Problem Based
Learning.
Problem Based Learning (PBL)
atau pembelajaran berbasis masalah
adalah suatu model pembelajaran dengan
membuat konfrontasi kepada siswa
dengan
masalah-masalah
praktis,
berbentuk ill-structured, atau open-ended
melalui stimulus dalam belajar. PBL
memiliki
karakteristik-karakteristik
sebagai berikut: (a) belajar dimulai
dengan
suatu
permasalahan,
(b)
memastikan bahwa permasalahan yang
diberikan berhubungan dengan dunia
nyata siswa, (c) mengorganisasikan
pelajaran di seputar permasalahan, bukan
di seputar disiplin ilmu, (d) memberikan
tanggung jawab sepenuhnya kepada
siswa dalam mengalami secara secara
langsung proses belajar mereka sendiri, (e)
menggunakan kelompok kecil, dan (f)
menuntut
siswa
untuk
mendemonstrasikan apa yang telah
mereka pelajari dalam bentuk produk atau
kinerja (performance). Dengan demikian,
siswa diharapkan memiliki pemahaman
yang utuh dari sebuah materi yang
diformulasikan
dalam
masalah,
penguasaan
sikap
positif,
dan
keterampilan secara bertahap
dan
berkesinambungan (Rusman, 2012:241).
Model
pembelajaran
berbasis
masalah merupakan salah satu bentuk
model pembelajaran yang dirancang untuk
membantu siswa memperdalam materi
107
sekaligus mempraktikkan materi tersebut
sehingga siswa diharapkan dapat mencapai
hasil belajar yang maksimal.
Melalui
model
pembelajaran
berbasis masalah, siswa dibiasakan untuk
belajar dari permasalahan aktual dan faktual
dalam kehidupan sehari-hari, Selain itu,
siswa juga dibiasakan untuk belajar
berkelompok dan berdiskusi, belajar
mengkaji masalah, mencari informasi yang
relevan,
menyusun
informasi
yang
diperoleh, mengkaji alternatif penyelesaian
yang
ada,
mengusulkan
alternatif
penyelesaian, dan menyusun tindakan
penyelesaian, sehingga siswa dapat
memahami teori secara mendalam melalui
pengalaman belajar praktik empirik.
Problem Based Learning adalah
suatu model pembelajaran yang melibatkan
siswa untuk memecahkan masalah melalui
tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa
dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki keterampilan untuk
memecahkan masalah atau pembelajaran
berbasis masalah sebagai suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar. Belajar dapat semakin
bermakna dan dapat diperluas ketika
siswa berhadapan dengan situasi dimana
konsep tersebut diterapkan. Selain itu,
melalui model Problem Based Learning
ini
siswa
dapat
mengintegrasikan
pengetahuan dan keterampilan secara
berkesinambungan
dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang
relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan
sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau
teori yang mereka temukan selama
pembelajaran berlangsung. Problem Based
Learning juga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan
inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi
internal untuk belajar, dan
dapat
mengembangkan hubungan interpersonal
dalam bekerja kelompok.
Dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
dengan
penerapan
pembelajaran model Problem Based
Learning diharapkan siswa menjadi aktif,
serta dapat mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi baik oleh guru dan siswa
sendiri. Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk lebih mengetahui penerapan model
Problem
Based
Learning
untuk
meningkatkan hasil belajar pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo.
Berdasarkan permasalahan diatas,
peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul ”Peningkatan Hasil
Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran
Problem Based Learning pada Mata
Pelajaran PKn pada Siswa Kelas VII SMP
Negeri 1 Lembo”.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan masalah yakni
apakah dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Lembo?.
Dari rumusan masalah, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Lembo.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Belajar
2.1.1 Konsep Belajar
Teori belajar behaviorisme (tingkah
laku) menyatakan bahwa belajar adalah
proses perubahan tingkah laku. Seseorang
telah dianggap telah belajar sesuatu bila ia
mampu menunjukkan tingkah laku.
Menurut teori ini, yang terpenting adalah
masukan/input yang berupa masukan dan
keluaran/output yang berupa respon.
Sedangkan apa yang terjadi di antara
stimulus dan respon itu dianggap tak
penting diperhatikan sebab tidak bisa di
amati.
Selanjutnya,
teori
belajar
kognitivisme menyatakan bahwa belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman
(Uno, dkk., 2008: 56 & 59). Untuk teori
belajar konstruktivisme dan teori belajar
modern tidak diraikan dalam tulisan demi
108
yang berupa hasil belajar intelektual,
strategi kognitif, sikap dan nilai, inovasi
verbal, dan hasil belajar motorik. Perubahan
tersebut
dapat
diartikan
terjadinya
peningkatan dan pengembangan yang lebih
baik dibandingkan dengan sebelumnya
menghindari kebingunan dalam penafsiran
pembaca.
Pada dasarnya belajar merupakan
proses perubahan tingkah laku yang
berlangsung dalam jangka waktu tertentu
melalui memberian pengetahuan, latihan
maupun pengalaman. Belajar dengan
pengalaman
akan
membawa
pada
perubahan diri dan cara merespon
lingkungan.
2.2
Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning)
2.2.1 Pengertian
Pembelajaran Berbasis Masalah
yang berasal dari bahasa Inggris Problembased Learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan
menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk
menyelesaikan masalah itu peserta didik
memerlukan pengetahuan baru untuk dapat
menyelesaikannya.
Pendekatan pembelajaran berbasis
masalah (problem-based learning / PBL)
adalah
konsep
pembelajaran
yang
membantu guru menciptakan lingkungan
pembelajaran yang dimulai dengan masalah
yang penting dan relevan (bersangkut-paut)
bagi peserta didik, dan memungkinkan
peserta didik memperoleh pengalaman
belajar yang lebih realistik (nyata).
Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan
peserta didik dalam proses pembelajaran
yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada
peserta didik, yang mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan
belajar
mandiri
yang
diperlukan untuk menghadapi tantangan
dalam kehidupan dan karier, dalam
lingkungan yang bertambah kompleks
sekarang ini. Pembelajaran Berbasis
Masalah dapat pula dimulai dengan
melakukan kerja kelompok antar peserta
didik. peserta didik menyelidiki sendiri,
menemukan
permasalahan,
kemudian
menyelesaikan masalahnya di bawah
petunjuk fasilitator (guru).
Pembelajaran Berbasis Masalah
menyarankan kepada peserta didik untuk
mencari atau menentukan sumber-sumber
pengetahuan yang relevan. Pembelajaran
berbasis masalah memberikan tantangan
kepada peserta didik untuk belajar sendiri.
Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak
untuk membentuk suatu pengetahuan
dengan sedikit bimbingan atau arahan guru
2.1.2
Konsep Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tujuan
akhir
dilaksanakannya
kegiatan
pembelajaran di sekolah. Hasil belajar
dapat ditingkatkan melalui usaha sadar
yang dilakukan secara sistematis mengarah
kepada perubahan yang positif yang
kemudian disebut dengan proses belajar.
Akhir dari proses belajar adalah perolehan
suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar
siswa di kelas terkumpul dalam himpunan
hasil belajar kelas. Semua hasil belajar
tersebut merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak
mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di
akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar,
sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan
puncak proses belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 2009: 3).
Menurut Sudjana (2010: 22), hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman
belajar. Selanjutnya Warsito (dalam
Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan
bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai
dengan adanya perubahan perilaku ke arah
positif yang relatif permanen pada diri
orang yang belajar. Sehubungan dengan
pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk.
(2010: 18) menjelaskan bahwa sesorang
dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar
jika ia mampu menunjukkan adanya
perubahan dalam dirinya. Perubahanperubahan tersebut di antaranya dari segi
kemampuan berpikirnya, keterampilannya,
atau sikapnya terhadap suatu objek.
Hasil belajar dapat disimpulkan
sebagai perubahan perilaku secara positif
serta kemampuan yang dimiliki siswa dari
suatu interaksi tindak belajar dan mengajar
109
berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan
menggunakan metode ilmiah adalah
proses berpikir deduktif dan induktif.
Proses berpikir ini dilakukan secara
sistematis dan empiris, sistematis
artinya berpikir ilmiah dilakukan
melalui
tahapan-tahapan
tertentu,
sedangkan empiris artinya proses
penyelesaian masalah didasarkan pada
data dan fakta yang jelas.
sementara pada pembelajaran tradisional,
peserta didik lebih diperlakukan sebagai
penerima pengetahuan yang diberikan
secara terstruktur oleh seorang guru.
Pembelajaran berbasis masalah
(Problem-based learning), selanjutnya
disingkat PBL, merupakan salah satu model
pembelajaran
inovatif
yang
dapat
memberikan kondisi belajar aktif kepada
peserta didik. PBL adalah suatu model
pembelajaran vang, melibatkanpeserta didik
untuk memecahkan suatu masalah melalui
tahap-tahap metode ilmiah sehingga peserta
didik dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki ketrampilan untuk
memecahkan masalah.
Oleh karena itu, pengajaran
berdasarkan
masalah
merupakan
pendekatan yang efektif untuk pengajaran
proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran
ini membantu peserta didik untuk
memproses informasi yang sudah jadi
dalam
benaknya
dan
menyusun
pengetahuan mereka sendiri tentang dunia
sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini
cocok untuk mengembangkan pengetahuan
dasar maupun kompleks.
2.2.3
Komponen-Komponen
Pembelajaran Berbasis Masalah
Komponen-komponen
pembelajaran
berbasisi
masalah
dikemkakan oleh Arends, diantaranya
adalah :
Permasalahan
autentik.
Model
pembelajaran
berbasis
masalah
mengorganisasikan masalah nyata yang
penting secara sosial dan bermanfaat
bagi peserta didik. Permasalahan yang
dihadapi peserta didik dalam dunia
nyata tidak dapat dijawab dengan
jawaban yang sederhana.
Fokus interdisipliner. Dimaksudkan
agar peserta didik belajar berpikir
struktural dan belajar menggunakan
berbagai perspektif keilmuan.
Pengamatan
autentik.
Hal
ini
dinaksudkan untuk menemukan solusi
yang nyata. Peserta didik diwajibkan
untuk menganalisis dan menetapkan
masalahnya, mengembangkan hipotesis
dan membuat prediksi, mengumpulkan
dan
menganalisis
informasi,
melaksanakan eksperimen, membuat
inferensi, dan menarik kesimpulan.
Produk. Peserta didik dituntut untuk
membuat
produk
hasil
pengamatan.produk bisa berupa kertas
yang
dideskripsikan
dan
didemonstrasikan kepada orang lain.
Kolaborasi.
Dapat
mendorong
penyelidikan dan dialog bersama untuk
mengembangkan keterampilan berpikir
dan keterampilan sosial.
2.2.2 Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis
Masalah
Pertama,
strategi
pembelajaran
berbasis masalah merupakan rangkaian
aktivitas pembelajaran artinya dalam
pembelajaran ini tidak mengharapkan
peserta
didik
hanya
sekedar
mendengarkan, mencatat kemudian
menghafal materi pelajaran, akan tetapi
melalui strategi pembelajaran berbasis
masalah peserta didik aktif berpikir,
berkomunikasi, mencari dan mengolah
data dan akhirnya menyimpulkannya.
Kedua,
aktivitas
pembelajaran
diarahkan
untuk
menyelesaikan
masalah. Strategi pembelajaran berbasis
masalah menempatkan masalah sebagai
kata kunci dari proses pembelajaran.
Artinya, tanpa masalah tidak mungkin
ada proses pembelajaran.
Ketiga, pemecahan masalah dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
2.2.4
110
Langkah-langkah
Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
John
Dewey
seorang
ahli
pendidikan
berkebangsaan
Amerika
memaparkan 6 langkah dalam pembelajaran
berbasis masalah ini :
Merumuskan
masalah.
Guru
membimbing peserta didik untuk
menentukan masalah yang akan
dipecahkan dalam proses pembelajaran,
walaupun sebenarnya guru telah
menetapkan masalah tersebut.
Menganalisis masalah. Langkah peserta
didik meninjau masalah secara kritis
dari berbagai sudut pandang.
Merumuskan
hipotesis.
Langkah
peserta didik merumuskan berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki.
Mengumpulkan data. Langkah peserta
didik mencari dan menggambarkan
berbagai informasi yang diperlukan
untuk memecahkan masalah.
Pengujian hipotesis. Langkah peserta
didik
dalam
merumuskan
dan
mengambil kesimpulan sesuai dengan
penerimaan dan penolakan hipotesis
yang diajukan.
Merumuskan rekomendasi pemecahan
masalah. Langkah peserta didik
menggambarkan rekomendasi yang
dapat dilakukan sesuai rumusan hasil
pengujian hipotesis dan rumusan
kesimpulan.
Pemecahan masalah dapat membantu
peserta didik bagaimana mentrasfer
pengetahuan mereka untuk memahami
masalah dalam kehidupan nyata.
Pemecahan masalah dapat membantu
peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan
barunya
dan
bertanggungjawab dalam pembelajaran
yang mereka lakukan.
Melalui pemecahan masalah dianggap
lebih menyenangkan dan disukai
peserta didik.
Pemecahan
masalah
dapat
mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka
untuk
menyesuaikan
dengan
pengetahuan baru.
Pemecahan masalah dapat memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka miliki dalam dunia nyata.
Pemecahan
masalah
dapat
mengembangkan minat peserta didik
untuk secara terus menerus belajar.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa strategi pembelajaran
berbasis masalah harus dimulai dengan
kesadaran adanya masalah yang harus
dipecahkan. Pada tahapan ini guru
membimbing peserta didik pada kesadaran
adanya kesenjangan atau gap yang
dirasakan oleh manusia atau lingkungan
sosial. Kemampuan yang harus dicapai oleh
peserta didik, pada tahapan ini adalah
peserta didik dapat menentukan atau
menangkap kesenjangan yang terjadi dari
berbagai fenomena yang ada.
2.2.5
Keunggulan
Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
Sebagai suatu model pembelajaran,
model pembelajaran berbasis masalah
memiliki beberapa keunggulan, diantaranya
:
Pemecahan masalah merupakan teknik
yang cukup bagus untuk lebih
memahami isi pelajaran.
Pemecahan masalah dapat menantang
kemampuan peserta didik serta
memberikan
kepuasan
untuk
menentukan pengetahuan baru bagi
peserta didik.
Pemecahan
masalah
dapat
meningkatkan aktivitas pembelajaran
peserta didik.
2.3
Mata
Pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) di SMP
Mata
Pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
merupakan
mata
pelajaran
yang
memfokuskan
pada
pembentukan warganegara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan
111
mengeluarkan pendapat, Menghargai
keputusan bersama, Prestasi diri,
Persamaan kedudukan warga negara.
Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi
kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, Konstitusi-konstitusi yang
pernah digunakan di
Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan
konstitusi.
Kekuasan dan Politik, meliputi:
Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi,
Pemerintah pusat, Demokrasi dan
sistem politik, Budaya politik, Budaya
demokrasi menuju masyarakat madani,
Sistem pemerintahan, Pers dalam
masyarakat demokrasi.
Pancasila
meliputi:
kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan
Pancasila sebagai dasar negara,
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan
sehari-hari,
Pancasila
sebagai ideologi terbuka.
Globalisasi meliputi: Globalisasi di
lingkungannya,
Politik
luar
negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak
globalisasi, Hubungan internasional dan
organisasi internasional, dan Mengevaluasi
globalisasi.
agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut :
Berpikir secara kritis, rasional, dan
kreatif
dalam
menanggapi
isu
kewarganegaraan
Berpartisipasi
secara
aktif
dan
bertanggung jawab, dan bertindak
secara
cerdas
dalam
kegiatan
bermasyarakat,
berbangsa,
dan
bernegara, serta anti-korupsi.
Berkembang secara positif dan
demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan
karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain
dalam percaturan dunia secara langsung
atau
tidak
langsung
dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
Ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan meliputi
aspek-aspek sebagai berikut.
Persatuan dan Kesatuan bangsa,
meliputi:
Hidup
rukun
dalam
perbedaan,
Cinta
lingkungan,
Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,
Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
Partisipasi
dalam
pembelaan
negara, Sikap positif terhadap Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan.
Norma,
hukum
dan
peraturan,
meliputi: Tertib dalam kehidupan
keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma
yang berlaku di masyarakat, Peraturanperaturan daerah, Norma-norma dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara,
Sistim hukum dan peradilan nasional,
Hukum dan peradilan internasional.
Hak asasi manusia meliputi: Hak dan
kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota
masyarakat,
Instrumen
nasional dan internasional HAM,
Pemajuan,
penghormatan
dan
perlindungan HAM.
Kebutuhan warga negara meliputi:
Hidup gotong royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan
berorganisasi,
Kemerdekaan
III.
METODE PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Lembo
pada siswa kelas VII. Suwandi (2009:55)
mengemukakan bahwa subjek penelitian
adalah siswa dan guru yang terlibat dalam
pelaksanaan
pembelajaran.
Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas VII yang
berjumlah 21 siswa.
Arikunto
(2006:118)
Objek
penelitian adalah sasaran yang menjadi titik
perhatian
suatu
penelitian.
Dalam
penelitian ini yang menjadi objek
penelitian yaitu mata pelajaran PKn pada
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo.
Adapun teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu wawancara, observasi,
dokumentasi dan tes.
112
IV.
klasikal siswa hanya sebesar 28,57 %.
Jumlah itu masih jauh dari target siswa
yang tuntas KKM yaitu 75%. Masih
rendahnya ketuntasan siswa disebabkan
siswa kurang memahami sepenuhnya
materi yang diberikan oleh guru dan siswa
kurang antusias dalam kegiatan belajar
mengajar. Dari hasil analisis tes awal
tersebut, maka penelitian ini dilakukan
untuk meningkatkan hasil belajar siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata
pelajaran PKn.
Berdasarkan hasil penelitian pada
siklus I maka diperoleh data yang
menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar siswa sesuai dengan tabel berikut
ini:
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan awal yang
dilakukan peneliti pada mata pelajaran PKn
dengan
melakukan
observasi
dan
memberikan tes awal diperoleh hasil belajar
siswa sebagai berikut:
Tabel 4.1 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran
PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Pra Siklus
Nilai
46-54
55-64
65-74
75-80
81-85
Frekuensi
Persentase (%)
6
28,57 %
4
19,04 %
5
23,80 %
3
14,28 %
3
14,28 %
Nilai Rata-Rata = 1449 : 21 = 69
Ketuntasan Klasikal = (6 : 21) x 100 % = 28,57 %
Tabel 4.2 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran
PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Siklus I
Analisis hasil evaluasi dari tes awal
siswa, diperoleh nilai rata-rata siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata
pelajaran PKn sebelum diterapkan model
pembelajaran Problem Based Learning
diperoleh nilai rata-rata siswa yang masih
tergolong rendah yaitu 69 dari standar yang
telah ditetapkan yakni nilai 75. Siswa yang
memperoleh nilai dengan rentang 46-54
sebanyak 6 orang siswa atau dengan
persentase 28,57 % (Nilai ini merupakan
nilai yang belum memenuhi standar nilai
yang telah ditentukan). Siswa yang
memperoleh nilai dengan rentang 55-64
sebanyak 4 orang siswa atau dengan
persentase 19,04 % (Nilai ini merupakan
nilai yang belum memenuhi standar nilai
yang telah ditentukan). Siswa yang
memperoleh nilai dengan rentang 65-74
sebanyak 5 orang siswa atau dengan
persentase 23,80 % (Nilai ini merupakan
nilai yang belum memenuhi standar nilai
yang telah ditentukan).
Siswa yang
memperoleh nilai dengan rentang 75-80
sebanyak 3 siswa atau dengan persentase
14,28 %. Siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 81-85 sebanyak 3 orang
siswa atau dengan persentase 14,28 %.
Hasil ini menunjukkan bahwa dari 21 siswa
di kelas VII SMP Negeri 1 Lembo, hanya
ada 6 siswa yang memperoleh ketuntasan
hasil belajar pada mata pelajaran PKn. Ini
berarti persentase ketuntasan belajar
Nilai
58-65
66-74
75-81
82-89
90-97
Frekuensi
Persentase (%)
2
9,52 %
3
14,28 %
7
33,33 %
5
23,80 %
4
19,04 %
Nilai Rata-Rata = 1692 : 21 = 80,57
Ketuntasan Klasikal = (16 : 21) x 100 % = 76,19 %
Berdasarkan tabel 4.2 nilai rata-rata
siswa adalah
80.57. Siswa
yang
memperoleh nilai 58-65 sebanyak 2 siswa
atau 9,52 %. Siswa yang memperoleh nilai
66-74 sebanyak 3 siswa atau 14,28 %.
Siswa yang memperoleh nilai 75-81
sebanyak 7 siswa atau dengan persentase
33,33 %. Siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 82-89 sebanyak 5 siswa
atau dengan persentase 23,80 %. Siswa
yang memperoleh nilai dengan rentang 9097 sebanyak 4 siswa atau dengan persentase
19,04 %. Hasil belajar berupa nilai rata-rata
siswa pada mata pelajaran PKn setelah
penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning pada siklus I yakni sebesar
80,57, sesungguhnya telah memenuhi
standar nilai minimal yang telah ditentukan
yakni 75. Namun, pada siklus I ini, masih
terdapat 2 siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 58-65 dan 3 siswa yang
memperoleh nilai dengan rentang 66-74,
yang pada dasarnya belum memenuhi nilai
KKM yang telah ditentukan yakni 75. Oleh
113
89 sebanyak 8 siswa atau dengan persentase
38,09 %. Siswa yang memperoleh nilai
dengan rentang 90-97 sebanyak 9 siswa
atau dengan persentase 42,85 %. Hasil
belajar siswa pada siklus II tampak sangat
baik dan nilai rata-rata siswa yang telah
memenuhi standar yang telah ditentukan.
Selain itu, dari 21 siswa secara keseluruhan
telah memperoleh ketuntasan hasil belajar
atau dengan kata lain ketuntasan klasikal
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada
mata pelajaran PKn setelah diterapkannya
model pembelajaran Problem Based
Learning pada siklus II ini adalah 100 %.
Dalam siklus II siswa mulai
terbiasa, paham dan mengerti dengan
model pembelajaran Problem Based
Learning yang diterapkan oleh guru,
sehingga jumlah siswa yang mencapai
nilai KKM dalam siklus II lebih banyak
dari pada siklus I. Dari penelitian yang
dilakukan oleh peneliti bahwa model
pembelajaran Problem Based Learning
dapat diterapkan dalam kegiatan belajar
mengajar PKn, sebab siswa dapat saling
bertukar pikiran dan saling bekerja sama
dengan
kelompoknya
dan
dapat
memecahkan masalah secara individu
maupun kelompok yang menyangkut
kehidupan sehari-hari mereka. Model
pembelajaran Problem based learning
memiliki dampak positif terhadap
kegiatan belajar mengajar PKn. Hal ini
terbukti bahwa adanya peningkatan
jumlah siswa yang mencapai nilai KKM.
Model
pembelajaran
Problem
Based Learning yang diterapkan pada siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Lembo mampu
menjadikan siswa lebih mudah memahami
materi yang disajikan oleh guru. Dalam
model Problem Based Learning ini, siswa
diharuskan untuk bertukar pikiran dengan
kelompoknya, saling bekerjasama dan
saling membantu dengan kelompok
masing-masing dalam memecahkan suatu
masalah yang berkaitan dengan materi
tersebut. Dengan model ini siswa menjadi
lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan oleh guru.
karena itu, peneliti memutuskan untuk
nmelanjutkan penelitian ke siklus II dengan
tujuan untuk meningkatkan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran PKn dengan
penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning ini.
Adapun
permasalahan
yang
dihadapi
dalam
penerapan
model
pembelajaran problem-based learning
selama penelitian dilakukan, antara lain
sebagai berikut. (a) Siswa masih ragu
dan
takut
untuk
mengemukakan
pendapatnya pada saat melaksanakan
diskusi kelompok. (b) Siswa masih
belum
terbiasa
dengan
model
pembelajaran Problem Based Learning,
karena model pembelajaran ini baru
pertama kali di gunakan di kelas
tersebut. (c) Masih ada kelompok yang
belum bisa mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya dengan baik. (d)
Dalam mengerjakan tugas kelompok
siswa masih banyak bercanda sehingga
waktu banyak terbuang dan waktu untuk
presentasi menjadi kurang. (e) Masih ada
kelompok
yang
belum
bisa
menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu
yang sudah ditentukan.
Hasil belajar siswa pada siklus II
menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar siswa yang sangat signifikan dan
telah mencapai indikator kinerja. Adapun
hasilnya sebagai berikut:
Tabel 4.3 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran
PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Siklus II
Nilai
Frekuensi
Persentase (%)
58-65
0%
66-74
0%
75-81
4
19,04 %
82-89
8
38,09 %
90-97
9
42,85 %
Nilai Rata-Rata = 1891 : 21 = 90,04
Ketuntasan Klasikal = (21 : 21) x 100 % = 100 %
Berdasarkan tabel 4.3, nilai ratarata siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo
pada mata pelajaran PKn adalah 90,04.
Tidak ada siswa yang memperoleh nilai
pada rentang 58-65 dan 66-74. Siswa yang
memperoleh nilai 75-81 sebanyak 4 siswa
atau dengan persentase 19,04 %. Siswa
yang memperoleh nilai dengan rentang 82114
V.
VI.
SIMPULAN
SARAN
Kepada guru yaitu diharapkan
mempersiapkan berbagai materi untuk
memperkaya
informasi
mengenai
penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning untuk meningkatkan hasil
belajar siswa agar dapat diaplikasikan di
dunia nyata. Bagi kepala sekolah yaitu
penyediaan fasilitas penunjang seperti
buku, media, dan alat yang mampu
mendukung usaha penerapan model
pembelajaran Problem Based Learning
sebagai upaya meningkatkan hasil belajar
siswa. Bagi peneliti lainnya diharapkan
dapat
lebih
mengembangkan
dan
melaksanakan perbaikan pembelajaran
dengan
menerapkan
pendekatan
pembelajaran serupa pada kelas serta materi
lain yang lebih bervariasi.
Berdasarkan
hasil
penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan dalam
dua siklus tersebut dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran
Problem
Based
Learning
berhasil
meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Lembo.
Peningkatan
hasil
belajar
tersebut
dibuktikan dengan terjadinya peningkatan
nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang
tuntas belajar pada tiap siklusnya. Pada
kondisi awal nilai rata-rata kelas sebesar 69
dengan siswa yang tuntas belajar sebanyak
6 siswa (28,57%). Pada siklus I nilai ratarata kelas sebesar 80,67 dengan jumlah
siswa yang tuntas belajar sebanyak 16
siswa (76,19%). Pada siklus II nilai ratarata kelas sebesar 90,04 dengan jumlah
siswa yang tuntas belajar sebanyak 100 %.
115
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, S. 2011. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Afektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Arikunto, S. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Aditya Media.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hasan, H. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial (buku 1), Jurusan Sejarah, FPIPS IKIP BANDUNG.
Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Parsada (GP) Press.
Landrawan, W. 2005. Pengantar Pendidikan
Universitas Pendidikan Ganesha.
Kewarganegaraan (Civic Education) Berbasis Pancasila. Singaraja:
Rusman, 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Cet. XV). Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2003. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS.
Suwandi, S.(2009). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru (SPG)
Rayon 13 Surakarta.
Usman, Moh Uzer dan Lilis Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahidmurni, Alifin Mustikawan, dan Ali Ridho. 2010. Evaluasi Pembelajaran: Kompetensi dan Praktik. Yogyakarta: Nuha Letera.
116
Media Litbang Sulteng IX (1) : 117-128, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN PARTISIPASI DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA
PELAJARAN PKN MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF
DENGAN MEDIA PUZZLE PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 4 SIGI
Oleh :
Bernike1)
ABSTRAK
Proses pembelajaran saat ini cenderung masih berpusat pada guru dengan bercerita atau ceramah. Siswa kurang terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran, karena peran guru sangat dominan sebagai satu-satunya sumber belajar. Hal ini
menyebabkan tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran rendah dan hasil belajar yang diharapkan tidak tercapai dengan
maksimal. Selain itu, tidak digunakannya media dalam pembelajaran menyebabkan proses pembelajaran kurang bermakna dan
membosankan. Untuk meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata
pelajaran PKn, maka perlu untuk diterapkan strategi pembelajaran aktif. Inovasi selanjutnya adalah
mengombinasikan antara strategi pembelajaran aktif dengan disertai penggunaan media Puzzle. Pembelajaran ini
merupakan pembelajaran yang terdapat nuansa bermain dalam pembelajarannya. Hal ini diharapkan akan membuat siswa tidak
jenuh selama mengikuti pembelajaran. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau yang sering disebut
dengan classroom action research. Penelitian ini dilakukan di kelas VII SMP Negeri 4 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22
siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi dan soal tes. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu (1) Observasi, (2) Dokumentasi, (3) Soal kuis dan tes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui
bahwa penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan partisipasi dan hasil belajar
siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn. Dalam hal partisipasi siswa telah mencapai 100%. Ini
berarti siswa telah tertarik mengikuti pembelajaran PKn setelah diterapkannya strategi pembelajaran aktif dengan
media Puzzle. Dari hasil belajar, pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 80,27. Perolehan
tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase
ketuntasan yaitu sebesar 77,27%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang
diperoleh siswa masih belum mencapai standar yang ditentukan yakni 80%. Pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa
yakni sebesar 92,13. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal
yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 100%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase
ketuntasan belajar yang diperoleh siswa juga telah mencapai bahkan melebihi standar ketuntasan yang telah ditentukan yakni 80%.
Kata Kunci: Partisipasi dan Hasil Belajar Siswa, PKn, Strategi Pembelajaran Aktif, Media Puzzle.
ABSTRACT
The learning process is now likely to still centered on the teacher with storytelling or lecture. Students are less actively
involved in the learning process, because the dominant role of the teacher as the only source of learning. This causes the level of
students' understanding of the subject matter is low and the expected learning outcomes are not achieved with the maximum. In
addition, the non-use of media in teaching learning process less meaningful cause and boring. To increase the participation and
learning outcomes of students of class VII SMP Negeri 4 Sigi on the subjects of Civics, it is necessary to apply active learning
strategies. The next innovation combines active learning strategies, accompanied by media usage Puzzle. This learning is learning
that there are shades of play in learning. It is expected to make the students do not saturate during the study. This research is a
classroom action research (PTK) or often referred to the classroom action research. This research was conducted in class VII SMP
Negeri 4 Sigi with the number of students as many as 22 students. The instrument used in this study is the observation sheet and test
questions. Data collection techniques in this study are (1) observation, (2) Documentation, (3) Problem quizzes and tests. Based on
the research that has been made known that the application of active learning strategies with Puzzle media can increase
participation and learning outcomes of students of class VII SMP Negeri 4 Sigi on the subjects of Civics. In terms of student
participation has reached 100%. This means that students have been interested in taking a civics lesson after the implementation of
active learning strategies with media Puzzle. From the study results, in the first cycle the average value obtained by the students
which is equal to 80.27. The acquisition has met and reached the standard average values which have been determined in the
classical style that is 75. As for the percentage of completeness that is equal to 77.27%. Based on the percentage of acquisition, it
appears that the percentage of students' mastery learning acquired has yet to reach the standards prescribed 80%. In the second
cycle, the average value obtained by the students which is equal to 92.13. The acquisition has met and reached the standard average
values which have been determined in the classical style that is 75. As for the percentage of completeness that is equal to 100%.
Based on the percentage of acquisition, it appears that the percentage acquired mastery learning students also have reached and
even exceeded the standard of completeness predetermined namely 80%.
Keywords: Participation and Student Results, Civics, Active Learning Strategies, Media Puzzle.
117
I.
maka dalam hal ini diharapkan agar
proses
pembelajaran
terlaksana
dengan baik dan mengedepankan
keaktifan siswa. Proses pembelajaran
yang membuat pihak-pihak yang ada
di dalamnya merasa nyaman yakni
melalui
pembelajaran
yang
menyenangkan.
Namun pada kenyataannya, proses
pembelajaran saat ini cenderung masih
berpusat pada guru dengan bercerita atau
ceramah. Siswa kurang terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran karena peran
guru sangat dominan sebagai satu-satunya
sumber belajar. Hal ini menyebabkan
tingkat pemahaman siswa terhadap materi
pelajaran rendah dan hasil belajar yang
diharapkan tidak tercapai dengan maksimal.
Selain itu, tidak digunakannya media dalam
pembelajaran
menyebabkan
proses
pembelajaran kurang bermakna dan
membosankan.
Berdasarkan hasil pengamatan
di SMP Negeri 4 Sigi dalam proses
belajar mengajar terutama pada
pelajaran PKn kelas VII, kurang
diminati oleh siswa yang dianggap
sulit sehingga berdampak pada hasil
belajar yang kurang memuaskan.
Dengan pemilihan metode yang
kurang tepat dan media dalam
pembelajaran yang kurang memadai
mengakibatkan
kegiatan
proses
belajar mengajar menjadi tidak efisien
dan kurang menarik minat siswa
dalam proses pembelajaran terutama
pelajaran PKn yang tentunya akan
berpengaruh terhadap partispasi dan
hasil belajar siswa yang cenderung
menjadi rendah.
Pembelajaran PKn masih bersifat
konvensional, yakni guru menyampaikan
materi pembelajaran sedangkan siswa
hanya mengikuti secara pasif di tempat
duduk masing- masing. Komunikasi yang
terjadi cenderung satu arah dan monoton
yaitu guru menerangkan, memberi contoh,
sesekali memberi pertanyaan, tetapi kurang
memotivasi siswa untuk aktif memahami,
dan kemudian guru memberi latihan soal
dan
kadang-kadang
dijadikan
PR.
Sementara itu siswa duduk mendengarkan
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan
suatu
hubungan yang terjadi antara pendidik
(guru) dan siswa. Melalui pendidikan siswa
dipersiapkan menjadi manusia yang cerdas
dan berguna bagi nusa dan bangsa, serta
diharapkan
dapat
mengembangkan
potensinya untuk menjadi lebih baik.
Dalam upaya menumbuhkan, memajukan,
serta mencerdaskan kehidupan bangsa,
maka penyelenggaraan dan pelaksanaan
proses
pendidikan
haruslah
terus
ditingkatkan.
Berdasarkan Tujuan Pendidikan
Nasional yang telah ditetapkan pemerintah,
sudah seharusnya para guru untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang
efektif dan efesien, sehingga para siswa
merasa senang dan tertarik ketika proses
pembelajaran.
Proses
pembelajaran
merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh
guru dan siswa yang didesain secara
sistematis
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan.
Interaksi yang dilakukan guru dan siswa
akan menghasilkan suatu pengetahuan baru
yang bermanfaat bagi proses pembelajaran.
PKn merupakan salah satu mata
pelajaran pokok yang wajib ada di setiap
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
PKn
mempunyai
misi
sebagai
pendidikan nilai
Pancasila dan
pendidikan kewarganegaraan dan
sebagai “subject-spesific pedagogy” atau
pembelajaran materi subjek untuk
guru PKn. Mata pelajaran ini
berangkat dari nilai-nilai pancasila
dan
konsepsi
kewarganegaraan.
Secara
epistemologis,
mata
pelajaran ini merupakan program
pengembangan individu, dan secara
aksiologis
mata
pelajaran
ini
bertujuan
untuk
pendewasaan
peserta
didik
sebagai
anggota
masyarakat, warga negara, dan
komponen bangsa Indonesia.
Agar tercapai tujuan tersebut,
1)
Guru SMP Negeri 4 Sigi
118
penjelasan guru, serta mengerjakan soalsoal yang diberikan guru apabila guru
memeriksa pekerjaan siswa dengan
berkeliling kelas, sehingga siswa menjadi
pasif mengikuti pembelajaran dan memiliki
ketergantungan yang besar pada guru.
Hasil pengamatan pada siswa
kelas VII SMP Negeri 4 Sigi, guru
menyadari
bahwa
pelaksanaan
pembelajaran PKn selama ini masih
banyak
kelemahan.
Hal
ini
disebabkan
karena
strategi
pembelajaran
yang
dipakai
merupakan strategi
pembelajaran
yang secara umum sering digunakan
yaitu ceramah atau tanya jawab. Oleh
sebab itulah, kegiatan proses belajar
mengajar
menjadi
kurang
menyenangkan,
sehingga
siswa
kurang antusias dalam mengikuti
pelajaran.
Oleh karena itu, sebagai seorang
guru harus dapat menentukan model
ataupun media pembelajaran apa yang
paling cocok untuk digunakan dalam
pembelajaran PKN. Untuk tujuan inilah
guru harus memiliki keberanian untuk
melakukan berbagai uji coba terhadap suatu
metode mengajar, membuat suatu media
murah atau penerapan suatu media
mengajar tertentu yang secara teoretis dapat
dipertanggungjawabkan untuk memecahkan
permasalahan pembelajaran.
Untuk
meningkatkan
partisipasi dan hasil belajar siswa
kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada
mata pelajaran PKN, maka perlu
untuk
diterapkan
strategi
pembelajaran aktif. Pembelajaran
aktif adalah proses pembelajaran yang
senantiasa mengedepankan keaktifan
siswa. Siswa tidak lagi menjadi objek
dalam pembelajaran, tetapi sebagai
subjek dalam pembelajaran, sehingga
dalam hal ini siswa akan terus terlibat
secara
aktif
dalam
proses
pembelajaran.
Inovasi selanjutnya adalah
mengombinasikan
antara
strategi
pembelajaran aktif dengan disertai
penggunaan
media
Puzzle.
Pembelajaran dengan media Puzzle
adalah pembelajaran yang berpusat
pada aktifitas siswa. Media Puzzle
mengajak siswa untuk berkompetisi
dalam permainan. Adanya permainan
diharapkan dapat membuat siswa
lebih termotivasi dalam belajar PKn,
serta dapat mengarahkan siswa
dalam
suasana
belajar
yang
menyenangkan,
sehingga
dapat
meningkatkan hasil belajar. Belajar
sambil bermain
tidaklah selalu
berakibat pada rendahnya hasil belajar
siswa.
Pembelajaran
dengan
menggunakan media Puzzle merupakan
pembelajaran yang diharapkan mampu
memberi inovasi dalam pembelajaran.
Pembelajaran ini merupakan pembelajaran
yang terdapat nuansa bermain dalam
pembelajarannya. Hal ini diharapkan
membuat siswa tidak jenuh selama
mengikuti pembelajaran PKn di sekolah.
Dengan
adanya
penerapan
media
pembelajaran Puzzle, maka pembelajaran
PKn tidaklah membosankan. Diharapkan
dengan adanya media ini, maka siswa akan
merasa nyaman dalam proses pembelajaran,
dengan demikian materi yang disampaikan
akan mudah diterima oleh peserta didik.
Dengan kemudahan dan kesesuaian
penerimaan materi ajar yang disampaikan
oleh pendidik maka prestasi baik akademik
maupun sosial dapat diraih.
Pembelajaran
menggunakan
media permainan Puzzle merupakan
salah satu cara untuk mengatasi
pembelajaran
PKn.
Diharapkan
dengan
media
Puzzle
dapat
meningkatkan pemahaman
siswa
pada mata pelajaran PKn, serta
semangat kebersamaan dan saling
membantu dalam menguasai materi
PKn,
sehingga
siswa
dapat
meningkatkan
pemahaman
yang
optimal terhadap mata pelajaran PKn.
Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan, timbul suatu
keinginan
untuk
melaksanakan
penelitian tindakan kelas atau PTK
dengan judul “Peningkatan Partisipasi
dan Hasil Belajar Siswa pada Mata
Pelajaran PKn Melalui Penerapan
119
Strategi Pembelajaran Aktif dengan
Media Puzzle pada Siswa Kelas VII
SMP Negeri 4 Sigi”.
Rumusan
masalah
dalam
penelitian ini yaitu (1) apakah
penerapan strategi pembelajaran aktif
dengan
media
Puzzle
dapat
meningkatkan partisipasi siswa kelas
VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata
pelajaran PKn? (2) apakah penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan
media Puzzle dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas VII SMP
Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran
PKn?
Tujuan penelitian ini yaitu (1)
untuk
mengetahui
dan
mendeskripsikan apakah penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan
media Puzzle dapat meningkatkan
partisipasi siswa kelas VII SMP
Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran
PKn? (2) untuk mengetahui dan
mendeskripsikan apakah penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan
media Puzzle dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas VII SMP
Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran
PKn?.
II.
terwujudnya partisipasi aktif siswa dalam
kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya
partisipasi siswa yang optimal maka
pengalaman belajar akan tercapai secara
efektif dan efisien.
Menurut pendapat Burt, K. Sachlan
dan Roger, manfaat dari partisipasi adalah :
Lebih banyak komunikasi dua arah
Lebih banyak bawahan mempengaruhi
keputusan
Potensi
untuk
memberikan
sumbangan yang berarti dan positif diakui
dalam derajat lebih tinggi.
2.2
Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah sebuah kalimat
yang terdiri atas dua kata yaitu “ hasil “ dan
“ belajar “ yang memiliki arti yang berbeda.
Oleh karena itu untuk memahami lebih
mendalam mengenai makna hasil belajar,
akan dibahas dulu pengertian “ hasil “ dan “
belajar”. Menurut Djamarah (2000: 45),
hasil adalah prestasi dari suatu kegiatan
yang telah dikerjakan, diciptakan, baik
secara individu maupun kelompok. Hasil
tidak akan pernah dihasilkan selama orang
tidak
melakukan
sesuatu.
Untuk
menghasilkan sebuah prestasi dibutuhkan
perjuangan dan pengorbanan yang sangat
besar. Hanya dengan keuletan, sungguh–
sungguh, kemauan yang tinggi dan rasa
optimisme dirilah yang mampu untuk
mancapainya.
Sementara itu, Arikunto (1990:133)
mengatakan bahwa hasil belajar adalah
hasil akhir setelah mengalami proses
belajar, perubahan itu tampak dalam
perbuatan yang dapat diaamati,dan dapat
diukur”.
Nasution
(1995
:
25)
mengemukakan bahwa hasil adalah suatu
perubahan pada diri individu. Perubahan
yang dimaksud tidak halnya perubahan
pengetahuan,
tetapi
juga
meliputi
perubahan kecakapan, sikap, pengrtian, dan
penghargaan diri pada individu tersebut.
Hasil belajar yang dicapai siswa
melalui plroses belajar mengajar yang
optimal cenderung menunjukan hasil yang
berciri sebagai berikut:
Kepuasan dan kebanggaan yang dapat
menumbuhkan motivasi pada diri
siswa
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Partisipasi Belajar Siswa
Partisipasi dalam kamus ilmiah
popular diartikan sebagai pengambilan
bagian, keikutsertaan, peran serta,
penggabungan diri menjadi peserta.
Partisipasi sangat diperlukan dalam kerja
kelompok. Partisipasi dapat diartikan
sebagai suatu keterlibatan siswa dalam
kelompok untuk memecahkan masalah
atau dalam melaksanakan tugas yang
sudah ditentukan.
Proses keterlibatan siswa dalam
pembelajaran
akan
memungkinkan
terjadinya asimilasi dan akomodasi kognitif
dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan
serta pengalaman langsung terhadap
balikannya dan pembentukan nilai dan
sikap. Dalam proses pembelajaran, seorang
guru hendaknya dapat mengembangkan
proses pembelajaran aktif, sehingga dapat
120
kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai
individu, anggota masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Landasan PKn adalah Pancasila dan UUD
1945, yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia, tanggap
pada tuntutan perubahan zaman, serta
Undang Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun
2004
serta
Pedoman
Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata
Pelajaran
Kewarganegaraan
yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional-Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Menengah-Direktorat Pendidikan
Menengah Umum.
Menambah
keyakinan
akan
kemampuan dirinya.
Hasil belajar yang dicapai bermakna
bagi dirinya seperti akan tahan lama
diingatannya, membentuk prilakunya,
bemanfat untuk mempelajarai aspek
lain, dapat digunakan sebagai alat
untuk memperoleh informasi dan
pengetahuan yang lainya.
Kemampuan siswa untuk mengontrol
atau menilai dan mengerndalikan
dirinya terutaman adalam menilai hasil
yang dicapainya maupun menilai dan
mengendalikan proses dan usaha
belajarnya
Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya. Individu
yang belajar akan memperoleh hasil dari
apa yang telah dipelajari selama proses
belajar itu. Hasil belajar yaitu suatu
perubahan yang terjadi pada individu yang
belajar, bukan hanya perubahan mengenai
pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk
kecakapan,
kebiasaan,
pengertian,
penguasaan, dan penghargaan dalam diri
seseorang yang belajar.
2.4
Tujuan Pembelajaran PKn
Tujuan mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
Berpikir secara kritis, rasional, dan
kreatif dalam menangggapi isu
kewarganegaraan.
Berpartisipasi secara bermutu dan
bertanggungjawab, dan bertindak
secara
cerdas
dalam
kegiatan
bermasyarakat,
berbangsa,
dan
bernegara.
Berkembang secara positif dan
demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan pada karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa
lain dalam percaturan dunia secara
langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
2.3
Hakikat Pembelajaran PKn
Pendidikan
Kewarganegaraan
(Citizenship) merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan diri
yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia dan suku bangsa
untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan
oleh Pancasila dan UUD 1945 (Kurikulum
Berbasis Kompetensi, 2004). Pendidikan
Kewarganegaraan
mengalami
perkembangan sejarah yang sangat panjang,
yang dimulai dari Civic Education,
Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, sampai
yang terakhir pada Kurikulum 2004
berubah namanya menjadi mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan dapat
diartikan
sebagai
wahana
untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai
luhur dan moral yang berakar pada budaya
bangsa Indonesia yang diharapkan dapat
diwujudkan
dalam bentuk perilaku
2.5
Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif merupakan
suatu pembelajaran yang menekankan
kepada siswa untuk dapat berperan aktif
selama proses pembelajaran, pembelajaran
akan lebih aktif dan efektif apabila
ditunjang dengan berbagai fasilitas-fasilitas
yang mendukung, tata letak yang nyaman
dan gaya belajar yang bervariasi.
Pembelajaran aktif (active learning/CBSA)
lebih menekankan/ menitik bertatkan pada
keaktifan siswanya yang merupakan inti
dari
kegiatan
belajar
dan
dalam
121
pembelajaran aktif yang diungkapkan oleh
Raka Joni yaitu mendengarkan, berdiskusi,
menulis, laporan. Memecahkan masalah
dan sebagainya dan keaktifan itu dapat
diamati secara langsung dan tidak langsung.
Dari
setiap
kegiatan
dan
pembelajaran aktif menuntut keterlibatan
intelektual dan emosional siswa dalam
proses pembelajaran melalui asimilasi dan
akomodasi
kognitif
untuk
dapat
mengembangkan pengetahuan tindakkan
serta pengalaman langsung dalam rangka
membentuk
keterampilan
mootorik,
kognitif dan sosial, penghayatan serta
iternalisasi dalam pembentukan sikap
siswa.
III.
METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan media
Puzzle pada siswa kelas VII SMP Negeri
4 Sigi merupakan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) atau yang sering disebut
dengan classroom action research, yaitu
suatu pencermatan terhadap kegiatan
belajar berupa sebuah tindakan yang
disengaja dimunculkan dan terjadi di dalam
kelas secara bersama (Suharsimi Arikunto,
2006: 3). Tujuan PTK adalah untuk
memperbaiki dan meningkatkan praktek
pembelajaran di kelas. Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) terdiri atas empat rangkaian
kegiatan pembeljaran yang dilakukan
dengan siklus berulang. Siklus di dalam
penelitian tindakan kelas (PTK) yaitu
terdiri dari, perencanaan, tindakan,
pengamatan dan refleksi.
Penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas yang dilakukan di kelas VII
SMP Negeri 4 Sigi dengan jumlah siswa
sebanyak 22 siswa. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar
observasi dan soal tes.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu (1) Observasi, adalah
suatu teknik yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan secara teliti serta
pencatatan secara sistematis. observasi yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah
melakukan pengamatan secara langsung
dan
pencatatan
mengenai
proses
pembelajaran PKn dengan pendekatan
problem solving denganmedia puzzle.
Observasi ini dilaksanakan berdasarkan
pedomen observasi yang telah dibuat. (2)
Dokumentasi, adalah arsip-arsip yang
berhubungan dengan semua kegiatan
yang dilakukan peneliti pada saat
penelitian. Dokumen dapat berupa,
rancangan program pembelajaran dan
foto kegiatan yang berlangsung saat
penelitian berlangsung. Dokumentasi
dilakukan oleh peneliti sebagai bukti
konkrit penelitian, bahwa penelitian
memang benar dilakukan. (3) Soal kuis
dan tes, Soal-soal kuis dibuat dalam bentuk
uraian maupun gambar, sedang soal tes
dibuat dalam bentuk pilihan ganda.
2.6
Media Puzzle dalam Pembelajaran
Puzzle merupakan permainan yang
membutuhkan kesabaran dan ketekunan
anak
dalam
merangkainya.
Puzzle
merupakan kepingan tipis yang terdiri dari
2-3 bahkan 4-6 potongyang terbuat dari
kayu atau lempeng karton. Dengan terbiasa
bermain
Puzzle,
lambat
laun
mental anak juga akan terbiasa untuk be
rsikap tenang, tekun, dan sabar dalam
menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang
didapat saat anak menyelesaikan Puzzle pun
merupakan salah satu pembangkit motifasi
anak untuk menemukan hal-hal yang baru.
Dunia anak adalah dunia bemain
dan belajar. Anak-anak akan lebih mudah
menangkap ilmu kalau diberikan lewat
permainan, jadi anak-anak bisa sekaligus
bermain tetap belajar. Dalam dunia anakanak terdapat berbagai jenis permainan,
salah satu jenis permainan yang bermanfaat
bagi anak dan bersifat edukatif adalah
Puzzle. Puzzle merupakan permainan yang
membutuhkan kesabaran dan ketekunan
anak dalam merangkainya.
Dengan terbiasa bermain Puzzle,
lambat laun mental anak juga akan terbiasa
untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar
dalam menyelesaikan sesuatu. Kepuasan
yang didapat saat ia menyelesaikan Puzzle
pun merupakan salah satu pembangkit
motivasi untuk mencoba hal-hal yang baru
baginya.
122
Pemberian kuis dan tes adalah untuk
mengetahui keberhasilan pembelajaran PKn
dengan menggunakan pendekatan problem
solving dengan media puzzle.
IV.
Siswa yang menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh guru sebanyak 5 orang siswa
atau dengan persentase 22,72%. Siswa yang
bertanya pada guru mengenai materi yang
dirasa belum jelas yakni hanya sebanyak 3
orang siswa atau dengan persentase
13,63%. Siswa yang berkonsentrasi saat
mengerjakan soal atau kuis yakni sebanyak
10 orang siswa atau dengan persentase
45,45%. Siswa yang memperhatikan saat
pembelajaran yakni sebanyak 6 orang siswa
atau dengan persentase 27,27%. Siswa yang
memiliki rasa tanggung jawab sebagai
anggota kelompok dalam menyelesaikan
tugas kelompoknya yakni sebanyak 4 orang
siswa atau dengan persentase 18,18%.
Siswa yang berantusias dan berpartisipasi
aktif dalam diskusi kelompok yakni
sebanyak 5 orang siswa atau dengan
persentase 22,72%.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1 Prasiklus
4.1.1 Partisipasi Siswa
Tabel 4.1 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada
Prasiklus
Aspek yang
Diamati
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Jumlah Partisipasi
Aktif Siswa
(Jumlah Siswa
Keseluruhan 22)
6
8
7
4
5
3
10
6
4
5
Persentase
27,27%
36.36%
31,81%
18,18%
22,72%
13,63%
45,45%
27,27%
18,18%
22,72%
4.1.2
Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Prasiklus
Keterangan:
A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah
B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau
kelompok lain
C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja
sama
D. Menyimak penjelasan dari guru
E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa
belum jelas
G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis
H. Memperhatikan saat pembelajaran
I.
Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya
J.
Hasil Belajar Siswa
Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok.
Dari tabel dapat diketahui bahwa
siswa yang memberikan pendapat untuk
memecahkan
masalah
yakni
hanya
sebanyak 6 siswa atau dengan persentase
27,27%.
Siswa
yang
memberikan
tanggapan terhadap pendapat orang atau
kelompok lain sebanyak 8 orang siswa atau
dengan persentase 36,36%. Siswa yang
mendukung dan bekerja sama sebagai
bagian dari peserta suatu kelompok
sebanyak 7 orang siswa atau dengan
persentase 31,81%. Siswa yang menyimak
penjelasan dari guru sebanyak 4 orang
siswa atau dengan persentase 18,18%.
123
No. Absen Siswa
Nilai
Siswa
(KKM
75)
1
78
2
65
3
79
4
80
5
70
6
69
7
76
8
68
9
70
10
79
11
74
12
69
13
64
14
80
15
66
16
62
17
71
18
75
Keterangan
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
19
69
20
70
21
77
Tidak
Tuntas
Tidak
Tuntas
Tuntas
22
81
Tuntas
Jumlah
1592
Nilai Rata-Rata
72,36
Persentase
Ketuntasan
(Standar 80%)
40,90%
(9 Tuntas)
G
H
I
J
J.
Siklus I
Tabel 4.3 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada
Siklus I
A
B
C
D
E
F
Jumlah
Partisipasi Aktif
Siswa
(Jumlah Siswa
Keseluruhan 22)
17
18
14
15
16
19
Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok.
Dari tabel dapat diketahui bahwa
siswa yang memberikan pendapat untuk
memecahkan masalah terkait dengan media
puzzle yakni sebanyak 17 siswa atau
dengan persentase 77,27%. Siswa yang
memberikan tanggapan terhadap pendapat
orang atau kelompok lain sebanyak 18
orang siswa atau dengan persentase
81,81%. Siswa yang mendukung dan
bekerja sama sebagai bagian dari peserta
suatu kelompok sebanyak 14 orang siswa
atau dengan persentase 63,63%. Siswa yang
menyimak penjelasan dari guru sebanyak
15 orang siswa atau dengan persentase
68,18%. Siswa yang menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh guru sebanyak 16 orang
siswa atau dengan persentase 72,72%.
Siswa yang bertanya pada guru mengenai
materi yang dirasa belum jelas yakni
sebanyak 19 orang siswa atau dengan
persentase
86,36%.
Siswa
yang
berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau
kuis dengan strategi pembelajaran aktif
melalui media puzzle yakni sebanyak 17
orang siswa atau dengan persentase
77,27%. Siswa yang memperhatikan saat
pembelajaran dengan strategi pembelajaran
aktif melalui media puzzle yakni sebanyak
18 orang siswa atau dengan persentase
81,81%. Siswa yang memiliki rasa
tanggung jawab sebagai anggota kelompok
dalam menyelesaikan tugas kelompoknya
yakni sebanyak 13 orang siswa atau dengan
4.2.1 Partisipasi Siswa
Aspek
yang
Diamati
77,27%
81,81%
59,09%
54,54%
Keterangan:
A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah
terkait dengan media puzzle
B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau
kelompok lain
C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja
sama
D. Menyimak penjelasan dari guru
E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa
belum jelas
G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan
strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle
H. Memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi
pembelajaran aktif melalui media puzzle
I.
Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya
Berdasarkan hasil belajar siswa
pada prasiklus terdapat 9 orang siswa yang
hasil belajarnya masih di bawah nilai KKM.
Nilai rata-rata siswa pada prasiklus yakni
72,36 dengan persentase ketuntasan yakni
sebesar 40,90%. Perolehan tersebut masih
berada di bawah standar, sehingga perlu
dilakukan usaha untuk meningkatkan hasil
belajar siswa yakni dengan penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan media
Puzzle pada siswa kelas VII SMP Negeri 4
Sigi.
Berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dilakukan pada proses
pembelajaran, diperoleh beberapa
kekurangan yang terdapat pada proses
belajar mengajar secara individu yaitu
antusiasme belajar siswa kurang,
keaktifan siswa dalam mengajukan
pertanyaan masih kurang, siswa
kurang
termotivasi
sehingga
keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran masih kurang.
4.2
17
18
13
12
Persentase
77,27%
81,81%
63,63%
68,18%
72,72%
86,36%
124
menerapkan strategi pembelajaran
aktif dengan media Puzzle. Apabila
hasilnya belum sesuai dengan yang
ditentukan atau maksimal maka perlu
adanya tindak lanjut pada siklus
berikutnya. Adapun hasil regfleksi
peneliti pada siklus I ini yaitu masih
kurangnya kerja sama antara anggota
kelompok dalam mengerjakan tugas
yang dibebankan guru, siswa kurang
menyimak pada saat guru sedang
menjelaskan
pelajaran
tersebut.
Terlihat pada saat guru menjelaskan
siswa sedang mengobrol dengan
teman satu bangkunya dan ada pula
siswa yang sibuk dengan mainannya
sendiri. Tetapi itu semua hanya
beberapa siswa saja, dan pada saat
mengerjakan
tugas
bersama
kelompoknya masih ada siswa yang
diam saja tidak ikut membantu
temannya hanya melihat saja.
persentase 59,09%. Siswa yang berantusias
dan berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok yakni sebanyak 12 orang siswa
atau dengan persentase 54,54%.
4.2.2
Hasil Belajar Siswa
Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Siklus I
No. Absen Siswa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Jumlah
Nilai Rata-Rata
Persentase
Ketuntasan
(Standar 80%)
Nilai Siswa
Keterangan
(KKM 75)
87
Tuntas
73
Tidak Tuntas
86
Tuntas
88
Tuntas
79
Tuntas
77
Tuntas
85
Tuntas
76
Tuntas
77
Tuntas
87
Tuntas
83
Tuntas
77
Tuntas
73
Tidak Tuntas
88
Tuntas
73
Tidak Tuntas
70
Tidak Tuntas
80
Tuntas
83
Tuntas
78
Tuntas
78
Tuntas
84
Tuntas
89
Tuntas
1766
80,27
77,27%
(17 Tuntas)
4.3 Siklus II
4.3.1 Partisipasi Siswa
Tabel 4.5 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada
Siklus II
Aspek yang
Jumlah Partisipasi
Persentase
Diamati
Aktif Siswa
(Jumlah Siswa
Keseluruhan 22)
A
22
100%
B
22
100%
C
22
100%
D
22
100%
E
22
100%
F
22
100%
G
22
100%
H
22
100%
I
22
100%
J
22
100%
Keterangan:
A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah
terkait dengan media puzzle
B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau
kelompok lain
C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja
sama
D. Menyimak penjelasan dari guru
E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa
belum jelas
G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan
strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle
H. Memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi
pembelajaran aktif melalui media puzzle
I.
Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya
J.
Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok.
Berdasarkan hasil belajar siswa
pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh
oleh siswa yakni sebesar 80,27. Perolehan
tersebut telah memenuhi dan mencapai
standar nilai rata-rata yang telah ditentukan
secara klasikal yakni 75. Adapun persentase
ketuntasan
yaitu
sebesar
77,27%.
Berdasarkan perolehan persentase tersebut,
tampak bahwa persentase ketuntasan
belajar yang diperoleh siswa masih belum
mencapai standar yang ditentukan yakni
80%. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kembali
hasil
belajar
siswa
dan
memperoleh ketuntasan belajar yang
mencapai 80%, maka peneliti memutuskan
untuk melanjutkan penelitian hingga ke
siklus selanjutnya yakni siklus II. Peneliti
mengamati tentang perkembangan
hasil tindak kegiatan pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dengan
125
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Jumlah
Nilai Rata-Rata
Persentase
Ketuntasan
(Standar 80%)
Dari tabel dapat diketahui bahwa
siswa yang memberikan pendapat untuk
memecahkan masalah terkait dengan media
puzzle yakni sebanyak 22 siswa atau
dengan persentase 100%. Siswa yang
memberikan tanggapan terhadap pendapat
orang atau kelompok lain sebanyak 22
orang siswa atau dengan persentase 100%.
Siswa yang mendukung dan bekerja sama
sebagai bagian dari peserta suatu kelompok
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase 100%. Siswa yang menyimak
penjelasan dari guru sebanyak 22 orang
siswa atau dengan persentase 100%. Siswa
yang menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh guru sebanyak 22 orang siswa atau
dengan persentase 100%. Siswa yang
bertanya pada guru mengenai materi yang
dirasa belum jelas yakni sebanyak 22 orang
siswa atau dengan persentase 100%. Siswa
yang berkonsentrasi saat mengerjakan soal
atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif
melalui media puzzle yakni sebanyak 22
orang siswa atau dengan persentase 100%.
Siswa
yang
memperhatikan
saat
pembelajaran dengan strategi pembelajaran
aktif melalui media puzzle yakni sebanyak
22 orang siswa atau dengan persentase
100%. Siswa yang memiliki rasa tanggung
jawab sebagai anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya yakni
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase 100%. Siswa yang berantusias
dan berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok yakni sebanyak 22 orang siswa
atau dengan persentase 100%.
4.3.2
V.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
2027
92,13
100%
(22 Tuntas)
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan tentang penerapan strategi
pembelajaran aktif dengan media Puzzle
pada mata pelajaran PKN siswa kelas VII
SMP Negeri 4 Sigi, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Penerapan strategi pembelajaran
aktif dengan media Puzzle dapat
meningkatkan partisipasi siswa
kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada
mata pelajaran PKn. Hal ini
terbukti dari hasil pengamatan
partisipasi siswa yang terus
mengalami peningkatan di setiap
siklusnya
dalam pelaksanaan
pembelajaran.
Bahkan
hasil
penelitian
pada
siklus
II
menunjukkan bahwa siswa yang
Tabel 4.6 Hasil Belajar Siswa Siklus I
Nilai Siswa
(KKM 75)
95
89
93
96
93
91
93
92
91
95
90
91
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Berdasarkan hasil belajar siswa
pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh
oleh siswa yakni sebesar 92,13. Perolehan
tersebut telah memenuhi dan mencapai
standar nilai rata-rata yang telah ditentukan
secara klasikal yakni 75. Adapun persentase
ketuntasan
yaitu
sebesar
100%.
Berdasarkan perolehan persentase tersebut,
tampak bahwa persentase ketuntasan
belajar yang diperoleh siswa juga telah
mencapai
bahkan
melebihi
standar
ketuntasan yang telah ditentukan yakni
80%. Berdasarkan hasil yang telah dicapai,
maka dapat disimpulkan bahwa penerapan
strategi pembelajaran aktif dengan media
Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada
mata pelajaran PKN.
Hasil Belajar Siswa
No. Absen Siswa
88
97
87
86
94
90
94
94
91
97
Keterangan
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
126
memberikan
pendapat
untuk
memecahkan masalah terkait dengan
media puzzle yakni sebanyak 22 siswa
atau dengan persentase 100%. Siswa
yang memberikan tanggapan terhadap
pendapat orang atau kelompok lain
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase
100%.
Siswa
yang
mendukung dan bekerja sama sebagai
bagian dari peserta suatu kelompok
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase
100%.
Siswa
yang
menyimak penjelasan dari guru
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase
100%.
Siswa
yang
menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh guru sebanyak 22 orang siswa
atau dengan persentase 100%. Siswa
yang bertanya pada guru mengenai
materi yang dirasa belum jelas yakni
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase
100%.
Siswa
yang
berkonsentrasi saat mengerjakan soal
atau kuis dengan strategi pembelajaran
aktif melalui media puzzle yakni
sebanyak 22 orang siswa atau dengan
persentase
100%.
Siswa
yang
memperhatikan saat pembelajaran
dengan strategi pembelajaran aktif
melalui media puzzle yakni sebanyak
22 orang siswa atau dengan persentase
100%. Siswa yang memiliki rasa
tanggung jawab sebagai anggota
kelompok dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya yakni sebanyak 22 orang
siswa atau dengan persentase 100%.
Siswa
yang
berantusias
dan
berpartisipasi aktif dalam diskusi
kelompok yakni sebanyak 22 orang
siswa atau dengan persentase 100%.
2. Penerapan strategi pembelajaran
aktif dengan media Puzzle dapat
meningkatkan hasil belajar siswa
kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada
mata pelajaran PKn.
Hal ini terbukti dari hasil belajar
siswa yang terus mengalami
peningkatan di setiap siklusnya.
Pada siklus I, nilai rata-rata yang
diperoleh oleh siswa yakni sebesar
80,27. Perolehan tersebut telah
memenuhi dan mencapai standar nilai
rata-rata yang telah ditentukan secara
klasikal yakni 75. Adapun persentase
ketuntasan yaitu sebesar 77,27%.
Berdasarkan perolehan persentase
tersebut, tampak bahwa persentase
ketuntasan belajar yang diperoleh
siswa masih belum mencapai standar
yang ditentukan yakni 80%. Pada
siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh
oleh siswa yakni sebesar 92,13.
Perolehan tersebut telah memenuhi
dan mencapai standar nilai rata-rata
yang telah ditentukan secara klasikal
yakni
75.
Adapun
persentase
ketuntasan yaitu sebesar 100%.
Berdasarkan perolehan persentase
tersebut, tampak bahwa persentase
ketuntasan belajar yang diperoleh
siswa juga telah mencapai bahkan
melebihi standar ketuntasan yang telah
ditentukan yakni 80%.
VI.
SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakuka nadabeberapa saran yang dapat
disampaikan yakni kepada guru, sebagai
seorang pendidik guru harus mengusai
berbagai strategi dan media pembelajaran
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
secara maksimal. Selain itu dengan
penggunaan
strategi
dan
media
pembelajaran
yang
bervariasi
akan
meningkatkan partisipasi dan hasil belajar
siswa dalam proses pembelajaran. Kepada
peneliti selanjutnya disarankan agar dapat
mengembangkan berbagai strategi dan
media pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.
127
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.
Aqib, Zainal. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Media.
Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud dan PT Renika Cipta.
Hamalik,
Hasan,
Oemar.
1989. Teknik Pengukur dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: MandarMaju.
Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kusnandar. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Sardiman. 2011. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:Rajawali Press.
Slameto. 2010. Belajar dan Fakto-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudijono, Anas. 1996. Pengatar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Belajar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT RemajaRosakarya.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Suryobroto. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Takari, Enjah. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Genesindo.
Uno, Hamzah B., dkk. 2011. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: PT BumiAksara.
Widjaja, Haw. 2010.Otonomi Desa.Jakarta:Rajawali Pers.
Winarno. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.
Yamin. Evaluasi Hasil Belajar. 2007. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
128
Media Litbang Sulteng IX (1) : 129-139, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN HASIL DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA
PELAJARAN SEJARAH MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN
CARD SORT PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SINDUE
Oleh :
Silim1)
ABSTRAK
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran Sejarah adalah rendahnya pemahaman siswa, sehingga hasil belajar
menjadi rendah pula. Hal ini disebakan oleh pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Pada awal pengamatan dan
dokumentasi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran
Sejarah, diantaranya adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang akan diajarkan oleh guru. Kondisi tersebut
disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya yaitu: 1) Siswa kurang memperhatikan materi yang disampaikan, karena muncul rasa
bosan dengan strategi pembelajaran yang monoton yaitu lebih banyak didominasi guru dan siswa pandai saja, sedangkan siswa yang
kurang pandai cenderung pasif, 2) Pembelajaran yang membosankan atau kurang menarik, 3) Dalam proses belajar mengajar selama
ini hanya sebatas pada upaya menjadikan anak mampu dan terampil mengerjakan soal-soal yang ada, sehingga pembelajaran yang
berlangsung kurang bermakna dan terasa membosankan bagi siswa. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, perlu
adanya upaya perbaikan kualitas pembelajaran Sejarah khususnya pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue agar dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dan membangkitkan motivasi belajar siswa. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat
digunakan yaitu melalui strategi pembelajaran Card Sort (Sortir Kartu). Strategi pembelajaran Card Sort merupakan strategi
pembelajaran yang berupa kegiatan kolaboratif yang dapat digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang
suatu objek atau mengulang informasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Subjek penelitian adalah Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian ini dilaksanakan
dalam 2 (dua) siklus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui tes dan lembar observasi. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah
dapat meningkatkan hasil dan motivasi belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Untuk hasil belajar, pada prasiklus nilai
rata-rata siswa yaitu 65. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa yaitu 39,13% . Pada siklus I, setelah menerapkan
strategi pembelajaran Card Sort, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan, sehingga menjadi 80. Persentase ketuntasan belajar
yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 73,91% . Pada siklus II, nilai rata-rata siswa mengalami
peningkatan dari siklus I sehingga menjadi 89. Pada siklus II persentase ketuntasan belajar siswa meningkat sehingga menjadi
100%. Hal ini berarti 23 dari jumlah total siswa sebanyak 23, telah memperoleh nilai yang memenuhi standar KKM yang telah
ditentukan. Untuk motivasi belajar, pada prasiklus tampak bahwa motivasi belajar siswa masih sangat rendah dengan nilai rata-rata
hanya sebesar 49,18. Selanjutnya, pada siklus I tampak bahwa motivasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis
dari prasiklus dengan nilai rata-rata sebesar 82,60 setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran
Sejarah. Pada siklus II, hasil perolehan motivasi belajar siswa kembali mengalami peningkatan dari siklus I dengan nilai rata-rata
sebesar 95,10.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Motivasi Belajar, Sejarah, Strategi Pembelajaran Card Sort.
ABSTRACT
One of the main problems in teaching History is a lack of understanding of students, so that the learning outcomes to be
low anyway. It is caused by the learning that is still conventional. At the beginning of observation and documentation in class X
SMA Negeri 1 Sindue, there are some obstacles encountered in the process of learning history, including the lack of students'
understanding of the material that will be taught by the teacher. The condition is caused by many things, such as: 1) Students are
paying less attention to the material presented, as it appeared boredom with learning strategies that monotony that is more
dominated by teachers and students are good at it, while students are less intelligent tend to be passive, 2) Learning boring or
unattractive, 3) In the process of teaching and learning has been limited on the effort to make children capable and skilled work on
the problems that exist, so that the learning that takes less meaningful and boring for students. Therefore, to overcome these
problems, the need for efforts to improve the quality of learning history, especially in class X SMA Negeri 1 Sindue in order to
improve student learning outcomes and raise students' motivation. One alternative learning strategies that can be used is through
learning strategies Card Sort (Sort Card). Learning Strategy Card Sort is a learning strategy in the form of collaborative activities
that could be used to teach concepts, classification of nature, a fact about an object or repeat information. The method used in this
research is a classroom action research (PTK). Subjects were Class X SMA Negeri 1 Sindue the number of students as many as 23
students. The research was conducted in two (2) cycles. Data collection techniques used namely through tests and observation
sheet. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the application of learning strategies in subjects
Card Sort History can improve outcomes and motivation to learn in class X SMA Negeri 1 Sindue. For the study, the average value
prasiklus is 65. The percentage of students who gained mastery learning students is 39.13%. In the first cycle, after applying Card
Sort learning strategy, the average value of students has increased, so that it becomes 80. Percentage of mastery learning derived
class X SMA Negeri 1 Sindue that is equal to 73.91%. In the second cycle, the average value of students has increased from the first
cycle to be 89. In the second cycle students learning completeness percentage increase that to 100%. This means that 23 out of the
total number of students by 23, has gained value KKM meet the standards that have been determined. For motivation to learn, the
prasiklus appears that student motivation is still very low with an average rating of only 49.18. Furthermore, in the first cycle
appears that students' motivation has increased very dramatically from prasiklus with an average of 82.60 after applying learning
strategies in subjects Card Sort of History. In the second cycle, the result of the acquisition of student motivation back has increased
from the first cycle with an average value of 95.10.
Keyword: Learning Results, Motivation, History, Learning Strategy Card Sort.
129
I.
mengorganisasikan,
keterampilan
melaksanakan,
dan
keterampilan
mengevaluasi proses pembelajaran baik
yang akan, sedang maupun yang sudah
dilaksanakan.
Titik sentral yang harus dicapai
oleh setiap kegiatan belajar mengajar
adalah tercapainya tujuan pembelajaran.
Dalam suatu pembelajaran, salah satu
kegiatan yang harus pendidik lakukan
adalah melakukan pemilihan dan penentuan
strategi pembelajaran yang sesuai untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Kegagalan
dalam mencapai tujuan pembelajaran akan
terjadi jika pemilihan strategi tidak
dilakukan dengan pengenalan terhadap
karakteristik dari masing-masing strategi
pembelajaran. Oleh karena itu, seorang
pendidik harus mengetahui kelebihan dan
kelemahan
dari
beberapa
strategi
pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu
berkreasi
dan
berinovasi
dalam
menyampaikan materi pelajaran agar siswa
dapat
memahaminya
dengan
baik.
Penggunaan strategi pembelajaran yang
tepat, akan membantu siswa dalam
memahami materi pelajaran dengan mudah.
Pada awal pengamatan dan
dokumentasi pada siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue, terdapat beberapa kendala
yang dihadapi dalam proses pembelajaran
Sejarah, diantaranya adalah kurangnya
pemahaman siswa terhadap materi yang
akan diajarkan oleh guru. Kondisi tersebut
disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya
yaitu: 1) Siswa kurang memperhatikan
materi yang disampaikan, karena muncul
rasa bosan dengan strategi pembelajaran
yang monoton yaitu lebih banyak
didominasi guru dan siswa pandai saja,
sedangkan siswa yang kurang pandai
cenderung pasif, 2) Cara mengajar guru
membosankan atau kurang menarik, 3)
Dalam proses belajar mengajar selama ini
hanya sebatas pada upaya menjadikan anak
mampu dan terampil mengerjakan soal-soal
yang ada, sehingga pembelajaran yang
berlangsung kurang bermakna dan terasa
membosankan bagi siswa. Hal ini apabila
dibiarkan
terus
menerus
akan
mengakibatkan tidak tercapainya tujuan
pembelajaran seperti yang diharapkan.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab. Pendidikan merupakan suatu
kebutuhan bagi setiap individu. Maju
mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari
sumber daya manusianya. Pendidikan
merupakan usaha secara sadar yang dengan
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan
untuk meningkatkan sumber daya manusia
dan membentuk masyarakat terdidik dan
cerdas.
Dengan paradigma pendidikan
baru, kegiatan belajar mengajar yang
konvensional akan berubah menjadi
pembelajaran
konstruktivistik.
Pembelajaran ini lebih memfokuskan pada
pengembangan kemampuan intelektual
siswa dengan membangun pengetahuannya
sendiri. Secara tidak langsung, siswa
dituntut aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Hal ini bertujuan agar
sasaran pembelajaran dapat tercapai dengan
baik. Salah satu sasaran dari pembelajaran
adalah membangun gagasan saintifik
setelah
siswa
berinteraksi
dengan
lingkungan, peristiwa dan informasi dari
sekitarnya. Agar pembelajaran dapat
berhasil secara optimal, maka guru perlu
menentukan strategi pembelajaran yang
tepat agar menghasilkan suatu Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) yang bermutu.
KBM seperti ini perlu diterapkan pada
semua mata pelajaran khususnya dalam hal
ini adalah mata pelajaran Sejarah.
Untuk
mencapai
keberhasilan
kualitas
pembelajaran itulah, maka
keterampilan
guru
dalam
proses
pembelajaran harus ditingkatkan.
Keterampilan
guru
dalam
proses
pembelajaran antara lain mencakup:
keterampilan merencanakan, keterampilan
1)
Guru SMA Negeri 1 Sindue
130
Salah satu masalah pokok dalam
pembelajaran Sejarah adalah rendahnya
pemahaman siswa, sehingga hasil belajar
menjadi rendah pula. Hal ini disebakan oleh
pembelajaran
yang
masih
bersifat
konvensional.
Penggunaan
strategi
pembelajaran yang belum maksimal dan
penggunaan strategi pembelajaran yang
belum tepat menjadikan siswa tampak pasif
dalam pembelajaran. Selama pembelajaran,
siswa kurang antusias mendengarkan
penjelasan dari guru dan lebih senang
berbicara dengan siswa lain. Kegiatan
belajar mengajar pun masih didominasi
oleh guru. Akibatnya, kemampuan siswa
dalam memahami materi pada mata
pelajaran Sejarah menjadi sangat rendah.
Oleh karena itu, untuk mengatasi
masalah tersebut, perlu adanya upaya
perbaikan kualitas pembelajaran Sejarah
khususnya pada siswa kelas X SMA Negeri
1 Sindue agar dapat meningkatkan hasil
belajar siswa dan membangkitkan motivasi
belajar siswa. Salah satu alternatif strategi
pembelajaran yang dapat digunakan yaitu
melalui strategi pembelajaran Card Sort
(Sortir Kartu). Strategi pembelajaran Card
Sort merupakan strategi pembelajaran yang
berupa kegiatan kolaboratif yang bisa
digunakan untuk mengajarkan konsep,
penggolongan sifat, fakta tentang suatu
objek atau mengulang informasi. Strategi
pembelajaran ini dimaksudkan untuk
mengajak peserta didik agar dapat
menemukan konsep dan fakta melalui
klasifikasi materi yang dibahas dalam
pembelajaran.
Strategi pembelajaran Card Sort
sangatlah tepat untuk digunakan, karena
strategi pembelajaran Card Sort ini
merupakan suatu strategi pembelajaran
yang akan membantu siswa untuk memiliki
pengalaman baru dalam belajar, berbeda
dengan sebelumnya yang hanya dilakukan
dengan
strategi
ceramah
ataupun
konvensional. Penerapan berbagai macam
strategi,
akan
menjadikan
proses
pembelajaran lebih bervariatif, sehingga
menjadikan siswa tidak merasa jenuh
dengan pembelajaran tersebut. Secara tidak
langsung kondisi tersebut akan membuat
motivasi belajar siswa menjadi lebih
meningkat, sehingga diharapkan akan
meningkatkan hasil belajar siswa.
Card Sort merupakan strategi
pembelajaran yang mengajak peserta didik
untuk menemukan konsep dan fakta melalui
klasifikasi materi yang dibahas dalam
pembelajaran.
Strategi
pembelajaran
menggunakan Card Sort bermanfaat untuk
mengungkapkan daya ingat siswa terhadap
materi pelajaran yang telah dipelajari. Halhal yang perlu dipersiapkan dalam strategi
Card Sort adalah kartu. Kartu tersebut
terdiri dari kartu yang berisi pertanyaanpertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban
dari
pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Penerapan strategi ini dimulai dari teknik
yaitu siswa diminta untuk mencari
pasangan kartu yang merupakan jawaban
atau pertanyaan-pertanyaan sebelum batas
waktu yang ditentukan, siswa yang dapat
mencocokkan kartunya dengan tepat, akan
memperoleh poin.
Strategi pembelajaran Card Sort
adalah strategi dimana guru menggunakan
kartu indeks yang berisi bagian- bagian
materi yang diajarakan. Siswa akan dituntut
untuk mencari bagian-bagian materi yang
dimiliki
siswa
lain
kemudian
mendiskusikan secara kelompok sesuai
dengan kartu yang ia dapatkan. Hal ini
bertujuan untuk mereview materi dan
meningkatkan keaktifan siswa. Card Sort
merupakan strategi pembelajaran yang
digunakan pendidik dengan maksud
mengajak peserta didik untuk menemukan
konsep dan fakta melalui klasifikasi materi
yang dibahas dalam pembelajaran. Card
Sort merupakan strategi pembelajaran aktif
(Active Learning) yang memberdayakan
peserta didik untuk aktif dengan
menggunakan otak agar menemukan
konsep dan memecahkan masalah yang
sedang dipelajari, serta untuk menyiapkan
mental dan melatih keterampilan fisik
peserta didik.
Oleh karena itu, diharapkan dengan
penerapan strategi pembelajaran Card Sort
ini, maka akan membangkitkan motivasi
belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah,
untuk selanjutnya akan berdampak pulan
pada hasil belajar siswa yang mengalami
peningkatan. Berdasarkan hal yang telah
131
Hasil belajar dalam kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya. Individu
yang belajar akan memperoleh hasil dari
apa yang telah dipelajari selama proses
belajar itu. Hasil belajar yaitu suatu
perubahan yang terjadi pada individu yang
belajar, bukan hanya perubahan mengenai
pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk
kecakapan,
kebiasaan,
pengertian,
penguasaan, dan penghargaan dalam diri
seseorang yang belajar.
diuraikan, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan mengambil
judul “Peningkatan Hasil dan Motivasi
Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah
Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran
Card Sort pada Siswa Kelas X SMA Negeri
1 Sindue”.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut: (1) Apakah
penerapan strategi pembelajaran Card Sort
dalam mata pelajaran Sejarah dapat
meningkatkan hasil belajar pada siswa kelas
X SMA Negeri 1 Sindue? (2) Apakah
penerapan strategi pembelajaran Card Sort
dalam mata pelajaran Sejarah dapat
meningkatkan motivasi belajar pada siswa
kelas X SMA Negeri 1 Sindue?.
Tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui
dan mendeskripsikan apakah penerapan
strategi pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran Sejarah dapat meningkatkan hasil
belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1
Sindue. (2) Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan apakah penerapan strategi
pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran Sejarah dapat meningkatkan
motivasi belajar pada siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue.
II.
2.2
Pengertian Motivasi Belajar
Definisi motivasi belajar yaitu
keseluruhan daya untuk menggerakan
dalam diri siswa yang mengakibatkan
kegiatan
belajar
yang
menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar
sehingga tujuan yang diinginkan oleh
subyek belajar itu bisa tercapai. Motivasi
mempunyai tiga fungsi yaitu untuk
mendorong manusia untuk berbuat yaitu
sebagai penggerak motor yang melepas
energi, menentukan arah perbuatan yaitu
kearah tujuan yang akan diraih, menyeleksi
perbuatan yang harus dikerjakan guna
mencapai tujuan dengan cara menyisihkan
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi
tujuan yang ingin diraih. Motivasi belajar
adalah keseluruhan daya penggerak dalam
diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan memberikan arah pada
kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat
tercapai.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah sebuah kalimat
yang terdiri atas dua kata yaitu “hasil“ dan
“belajar“ yang memiliki arti yang berbeda.
Oleh karena itu untuk memahami lebih
mendalam mengenai makna hasil belajar,
akan dibahas dulu pengertian “hasil“ dan
“belajar”. Hasil belajar adalah hasil akhir
setelah
mengalami
proses
belajar,
perubahan itu tampak dalam perbuatan
yang dapat diaamati,dan dapat diukur”.
Hasil belajar merupakan suatu perubahan
pada diri individu. Perubahan yang
dimaksud
tidak
halnya
perubahan
pengetahuan,
tetapi
juga
meliputi
perubahan kecakapan, sikap, pengertian,
dan penghargaan diri pada individu
tersebut.
2.3
Mata Pelajaran Sejarah
Sejarah adalah ilmu tentang
manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu
hanya apabila Sejarah mengkaji tentang
kerjakeras manusia dan pencapaiaan yang
di perolehnya. Sejarah mengutamakan
kajian
tentang
orang-orang
yang
“menaklukan daratan dan lautan tanpa
beristirahat” daripada tentang ”mereka yang
hanya berdiri dan menunggu“ Sejarah
mengkaji perjuangan manusia sepanjang
jaman. Dengan menyeleksi “Biografi yang
tak terhitung jumlahnya” dan menyajikan
132
yang berisi informasi atau materi pelajaran.
Atau merupakan kegiatan kolaboratif yang
bisa digunakan untuk mengajajarkan
konsep, karakteristik klasifikasi, fakta
tentang obyek atau mereview ilmu yang
telah diberikan sebelumnya. Gerakan fisik
yang dominan dalam dapat membantu
mendinamisir kelas yang kelelahan.
Pembelajaran aktif dengan strategi Card
Sort merupakan pembelajaran yang
menekankan keaktifan siswa, dimana dalam
pembelajaran ini setiap siswa diberi kartu
indeks yang berisi informasi tentang materi
yang akan dibahas, kemudian siswa
mengelompokkan sesuai dengan kartu
indeks yang dimilikinya. Setelah itu
siswa
mendiskusikan
dan
mempresentasikan hasil diskusi tentang
materi dari kategori kelompoknya. Di sini
pendidik lebih banyak bertindak sebagai
fasilitator dan menjelaskan materi yang
perlu dibahas atau materi yang belum
dimengerti siswa setelah presentasi selesai.
Card Sort (sortir kartu) strategi ini
merupakan kegiatan kolaboratif yang bisa
digunakan untuk mengajarkan konsep,
penggolongan sifat, fakta tentang suatu
objek atau mereview ilmu yang telah
diberikan sebelumnya atau mengulangi
informasi. Gerakan fisik yang dominan
dalam strategi ini dapat membantu
mendinamisir kelas yang kelelahan.
kehidupan mereka dalam konteks sosial
yang sesuai,dan menyajikan gagasangagasannya dalam konteks manusia kita
memahami jalannya peristiwa.
Sejarah mengkaji manusia dalam
lingkup waktu. Waktu merupakan unsur
esensial dalam Sejarah. Sejarah berkaitan
dengan rangkaian peristiwa, dan setiap
peristiwa terjadi dalam lingkup waktu
tertentu, dengan demikian waktu dalam
Sejarah melahirkan presfektif tentang
berbagai peristiwa yang terjadi dan
sekaligus suatu cara menonjol mampu
memperindah masa lampau. Sejarah umat
manusia merupakan proses perkembangan
manusia dalam lingkup waktu “Seandainya
Waktu berhenti” tulisan Galbraith, “Sejarah
juga akan berhenti,jejak-jejak sejarah yang
ada akan habis diteliti dan dikaji”. Waktu
berarti perubahan dan seluruh isi semesta
alam,tidak terkecuali seluruh umat manusia
, mengalami perubahan yang terusmenerus. Sejarah merupakan ilmu yang
memperlihatkan bahwa tidak ada satu
gagasan atau institusi yang tetap sepanjang
masa. Sejarah tidak akan memiliki makna
apabila sesuatu dalam keadaan tetap.
Sejarah juga mengkaji manusia
dalam ruang lingkup ruang. Baik sebagai
individu maupun bangsa, manusia dipelajari
dalm konteks lingkungan fisik geografis.
Interaksi antara manusia dan lingkungan
alam berlangsung secara dinamis. Interaksi
ini menghasilkan variasi perkembangan
pada aktivitas manusia dan pencapaiannya
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
Sejarah menjelaskan masa kini.
Masa kini merupakan susunan peristiwa
pada masa lampau. Tugas Sejarah adalah
menjelaskan evolusi masakini tersebut.
Penyelidikan hubungan sebab-akibat antara
bagian peristiwa Sejarah terpilih yang
dilakukan sejarawan mampu menjelaskan
hakikat fenomena masa kini dan sekaligus
mampu membangun hukum-hukum yang
menguasainya.
2.5
1.
2.
3.
4.
2.4
Strategi Pembelajaran Card Sort
Strategi Card Sort adalah suatu
strategi pembelajaran berupa potonganpotongan kertas yang dibentuk seperti kartu
133
Langkah-Langkah Pembelajaran
Dengan Card Sort (Menyortir
Kartu)
Guru menyiapkan kartu berisi tentang
materi
pokok
susuai
KI/KD
mapel (catatan : perkirakan jumlah
kartu sama dengan jumlah murud
dikelas, isi kartu terdiri dari kartu
induk/topik utama dan kartu rincian)
Seluruh kartu diacak /dikocok agar
bercampur
Bagikan
kartu
kepada
murid
dan
pastikan
masing
-masing
memperoleh satu (boleh dua)
Perintahkan
setiap
murid
bergerak
mencari
kartu
induknya dengan mencocokan kepada
kawan-kawan sekelasnya
5. Setelah
kartu
induk
beserta
seluruh
kartu
rinciannya ketemu, perintahkan masin
g -masing membentuk kelompok dan
menempelkan
hasilnya dipapan secara urut
6. Lakukan koreksi bersama setelah se
mua kelompok menempelkan hasilnya
7. Mintalah salah satu penanggung jawab
kelompok untuk menjelaskan hasil
sortiran
kartunya,
kemudian
mintalah komentar dari kelompok
lainnya.
8. Berikan Apresiasi setiap hasil kerja
siswa
9. Lakukan klarifikasi , penyimpulan
dan tindak lanjut.
III.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Belajar
4.1.1 Prasiklus
Tabel 1. Hasil Belajar Siswa Prasiklus
Hasil Tes Prasiklus
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Jumlah Siswa Tuntas
Jumlah Siswa Tidak Tuntas
Nilai Rata-Rata
Persentase Ketuntasan
Jumlah
79
51
9
14
65
39,13%
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat
dilihat bahwa pada prasiklus nilai rata-rata
siswa yaitu 65. Perolehan nilai tersebut
belum memenuhi nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang telah ditentukan
yakni sebesar 75. Selain itu, pada prasiklus
ini, persentase ketuntasan belajar yang
diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1
Sindue yaitu hanya 39,13% yang berarti
bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 23
orang, hanya 9 orang siswa yang
memperoleh nilai tuntas. Persentase
ketuntasan belajar klasikal yang diperoleh
siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue ini
belum memenuhi standar ketuntasan
klasikal yang yang ditentukan yaitu sebesar
85%.
Berdasarkan hasil observasi awal
yang dilakukan oleh peneliti, pada prasiklus
ini,
maka
dikemukakan
beberapa
kekurangan yang perlu diperbaiki dalam
pembelajaran Sejarah pada siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue antara lain sebagai
berikut: 1) Siswa kurang memperhatikan
materi yang disampaikan, karena muncul
rasa bosan dengan strategi pembelajaran
yang monoton yaitu lebih banyak
didominasi guru dan siswa pandai saja,
sedangkan siswa yang kurang pandai
cenderung pasif, 2) Cara mengajar guru
membosankan atau kurang menarik, 3)
Dalam proses belajar mengajar selama ini
hanya sebatas pada upaya menjadikan anak
mampu dan terampil mengerjakan soal-soal
yang ada, sehingga pembelajaran yang
berlangsung kurang bermakna dan terasa
membosankan bagi siswa.
Oleh karena itu, dengan perolehan
hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 1
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan
Kelas (PTK). PTK adalah suatu penelitian
tindakan yang bersifat reflektif dengan
melakukan tindakan-tindakan tertentu agar
dapat memperbaiki dan meningkatkan
praktek-praktek
pembelajaran
secara
profesional. Subjek penelitian adalah Siswa
Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan
jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian
ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian adalah data kuantitatif
diperoleh melalui tes pada akhir siklus dan
data kualitatif diperoleh dari
lembar
observasi setiap akhir siklus.
Analisis data dilakukan dengan
membandingkan hasil pada siklus pertama
dengan siklus-siklus selanjutnya. Hasil
pengamatan setiap siklus dianalisis secara
kualitatif
dan
kuantitatif.
Analisis
deskritptif kualitatif digunakan untuk
memaparkan pelaksanaan kegiatan PTK
dengan menggambarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh kolaborator selama
pembelajaran
berlangsung.
Analisis
deskriptif digunakan untuk menggambarkan
sebaran
data
hasil
PTK
dengan
menggunakan teknik persentase dan ratarata terhadap hasil evaluasi yang dilakukan
pada saat proses pembelajaran berlangsung
dan pada akhir materi pembelajaran.
134
Sindue yang tergolong rendah pada mata
pelajaran Sejarah, maka peneliti membuat
suatu inovasi dalam pembelajaran yakni
dengan menerapkan strategi pembelajaran
Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah,
guna meningkatkan hasil belajar siswa.
4.1.2
4.1.3
Tabel 3. Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah
Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort pada
Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue
Hasil Tes Siklus I
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Jumlah Siswa Tuntas
Jumlah Siswa Tidak Tuntas
Nilai Rata-Rata
Persentase Ketuntasan
Siklus I
Tabel 2. Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah
Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort pada
Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue
Hasil Tes Siklus I
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Jumlah Siswa Tuntas
Jumlah Siswa Tidak Tuntas
Nilai Rata-Rata
Persentase Ketuntasan
Siklus II
Jumlah
98
80
23
0
89
100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui
bahwa pada siklus II nilai rata-rata siswa
mengalami peningkatan dari siklus I
sehingga menjadi 89. Pada siklus II
persentase ketuntasan belajar siswa
meningkat menjadi 100%. Hal ini berarti 23
dari jumlah total siswa sebanyak 23, telah
memperoleh nilai yang memenuhi standar
KKM yang telah ditentukan. Semua siswa
dinyatakan sudah memenuhi kriteria
ketuntasan belajar pada mata pelajaran
Sejarah. Berdasarkan pemerolehan tersebut,
maka pada siklus II ini dapat disimpulkan
bahwa nilai rata-rata siswa telah memenuhi
standar nilai KKM yang telah ditentukan
yaitu 89 dari nilai standar 75. Selain itu,
persentase ketuntasan klasikal siswa kelas
X SMA Negeri 1 Sindue telah memenuhi
bahkan melampaui standar persentase
klasikal yang telah ditentukan yaitu 100%
dari standar persentase 80%.
Berdasarkan hasil penelitian, hasil
belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah
mengalami
peningkatan
setelah
melaksanakan
pembelajaran
dengan
menerapkan strategi Card Sort. Strategi
pembelajaran ini mampu memancing siswa
untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar
mengajar. Siswa termotivasi untuk lebih
giat dalam pembelajaran.
Jumlah
91
69
17
6
80
73,91%
Berdasarkan tabel 2 di atas, tampak
bahwa pada siklus I setelah menerapkan
strategi pembelajaran Card Sort pada mata
pelajaran Sejarah, nilai rata-rata siswa
mengalami peningkatan, sehingga menjadi
80. Nilai rata-rata ini telah memenuhi
standar KKM yang telah ditentukan yakni
75. Pada siklus I ini, persentase ketuntasan
belajar yang diperoleh siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 73,91% yang
berarti bahwa dari total jumlah siswa
sebanyak 23 orang, terdapat 17 orang siswa
yang memperoleh nilai tuntas dan 6 orang
lainnya belum memperoleh nilai tuntas.
Persentase ketuntasan belajar klasikal yang
diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1
Sindue ini belum memenuhi standar yang
ditentukan yaitu 85%. Oleh karena itu,
meskipun pada siklus I ini, nilai rata-rata
siswa telah mencapai standar nilai KKM
yang telah ditentukan yakni sebesar 75,
namun
peneliti
memutuskan
untuk
melanjutkan penelitian hingga ke siklus II
guna untuk mencapai persentase standar
ketuntasan klasikal yang ditentukan sebesar
85%, karena pada siklus I ini, persentase
ketuntasan klasikal siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue barulah sebesar 73,91%.
4.2 Motivasi Belajar
4.2.1 Prasiklus
135
Tabel 4. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah
Indikator
No.
Urut
Siswa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Jumla
h
Nilai
RataRata
yakni perhatian, relevansi, keyakinan, dan
kepuasan. Adapun nilai rata-rata dari
masing-masing indikator motivasi belajar
pada prasiklus yaitu indikator perhatian
siswa memperoleh nilai rata-rata hanya
56,73, indikator relevansi memperoleh nilai
rata-rata hanya sebesar 50, indikator
keyakinan memperoleh nilai rata-rata hanya
sebesar 48,91, dan indikator kepuasan
memperoleh nilai rata-rata hanya sebesar
51,08.
A
B
C
D
Sko
r
2
2
1
3
2
1
2
1
1
3
2
4
1
3
2
1
2
1
2
1
2
2
2
3
2
1
1
2
3
2
3
2
1
2
2
2
1
3
2
1
2
2
3
2
3
1
4
6
2
1
2
3
2
2
3
1
1
3
2
2
1
3
2
1
2
2
3
2
1
2
2
2
1
2
3
2
1
2
1
2
3
2
2
1
2
3
1
2
2
4
1
3
3
2
9
6
6
10
8
7
9
6
6
10
8
10
5
9
10
5
7
7
11
7
8
10
7
45
47
48,9
1
51,0
8
43
46,7
3
5
0
A
B
C
D
:
:
:
:
Nilai
56,25
37,5
37,5
62,5
50
43,75
56,25
37,5
37,5
62,5
50
62,5
31,25
56,25
62,5
31,25
43,75
43,75
68,75
43,75
50
62,5
43,75
1131,2
5
4.2.2
Siklus I
Tabel 6. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah
No.
Urut
Siswa
49,18
Perhatian
Relevansi
Keyakinan
Kepuasan
Motivasi belajar siswa ditentukan
berdasarkan indeks skor motivasi hasil
pengukuran, dengan distribusi kategori
pada tabel 5 berikut:
Tabel 5. Kategori Motivasi Belajar Siswa
Indikator
A
B
C
D
Sko
r
1
2
3
4
4
3
3
2
4
3
14
12
3
2
3
4
4
13
4
4
2
4
3
13
5
3
4
3
3
13
6
7
8
9
3
2
3
3
4
4
4
4
3
4
3
2
2
4
2
3
12
14
12
12
10
4
3
4
4
15
11
3
4
3
3
13
12
4
3
3
4
14
13
2
4
3
2
11
14
4
2
4
3
13
15
16
17
3
3
3
4
4
3
3
3
4
4
2
4
14
12
14
18
3
3
4
3
13
Nilai
87,5
75
81,2
5
81,2
5
81,2
5
75
87,5
75
75
93,7
5
81,2
5
87,5
68,7
5
81,2
5
87,5
75
87,5
81,2
5
93,7
5
81,2
5
87,5
93,7
5
81,2
5
Perolehan
Kategori Skor
19
3
4
4
4
15
1
Sangat Rendah
20
3
4
3
3
13
2
Rendah
21
3
4
3
4
14
3
Sedang
22
4
4
3
4
15
4
Tinggi
23
3
3
4
3
13
72
81
76
75
1900
78,2
6
88,0
4
82,6
0
81,5
2
82,6
0
Jumla
h
Nilai
RataRata
Pada prasiklus, tampak bahwa
motivasi belajar siswa masih sangat rendah
dengan nilai rata-rata hanya sebesar 49,18.
Motivasi belajar menyangkut 4 indikator
136
A
B
C
D
:
:
:
:
Perhatian
Relevansi
Keyakinan
Kepuasan
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Jumla
h
Nilai
RataRata
Motivasi belajar siswa ditentukan
berdasarkan indeks skor motivasi hasil
pengukuran, dengan distribusi kategori
pada tabel 7 berikut:
Tabel 7. Kategori Motivasi Belajar Siswa
Perolehan
Kategori Skor
1
Sangat Rendah
2
Rendah
3
Sedang
4
Tinggi
1
2
3
4
5
6
C
D
Sko
r
Nilai
4
4
3
4
3
4
4
4
4
3
4
4
3
3
4
4
4
4
4
3
4
4
4
3
15
14
15
15
15
15
93,75
87,5
93,75
93,75
93,75
93,75
86
90
88
86
93,4
7
97,8
2
95,6
5
93,4
7
:
:
:
:
15
15
15
16
15
15
15
15
16
15
16
16
16
16
15
16
14
93,75
93,75
93,75
100
93,75
93,75
93,75
93,75
100
93,75
100
100
100
100
93,75
100
87,5
2187,
5
95,10
Perhatian
Relevansi
Keyakinan
Kepuasan
Perolehan
Kategori Skor
1
Sangat Rendah
2
Rendah
3
Sedang
4
Tinggi
Pada siklus II, tampak bahwa
motivasi belajar siswa kembali mengalami
peningkatan dari siklus I dengan nilai ratarata sebesar 95,10 setelah menerapkan
strategi pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran Sejarah. Motivasi
belajar
menyangkut 4 indikator yakni perhatian,
relevansi, keyakinan, dan kepuasan.
Adapun nilai rata-rata dari masing-masing
indikator motivasi belajar pada siklus II
yang diperoleh oleh siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue yaitu indikator perhatian
siswa memperoleh nilai rata-rata 93,47,
indikator relevansi memperoleh nilai rata-
Indikator
B
4
3
4
4
3
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
3
Tabel 9. Kategori Motivasi Belajar Siswa
Siklus II
A
4
4
3
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Motivasi belajar siswa ditentukan
berdasarkan indeks skor motivasi hasil
pengukuran, dengan distribusi kategori
pada tabel 9 berikut:
Tabel 8. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah
No.
Urut
Siswa
4
4
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
A
B
C
D
Pada siklus I, tampak bahwa
motivasi
belajar
siswa
mengalami
peningkatan yang sangat drastis dari
prasiklus dengan nilai rata-rata sebesar
82,60
setelah
menerapkan
strategi
pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran Sejarah. Motivasi
belajar
menyangkut 4 indikator yakni perhatian,
relevansi, keyakinan, dan kepuasan.
Adapun nilai rata-rata dari masing-masing
indikator motivasi belajar pada siklus I
yang diperoleh oleh siswa kelas X SMA
Negeri 1 Sindue yaitu indikator perhatian
siswa memperoleh nilai rata-rata 78,26,
indikator relevansi memperoleh nilai ratarata sebesar 88,04, indikator keyakinan
memperoleh nilai rata-rata sebesar 82,60,
dan indikator kepuasan memperoleh nilai
rata-rata sebesar 81,52.
4.2.3
3
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
3
4
3
137
pada siswa kelas X SMA Negeri 1
Sindue
terbukti
dari
semakin
meningkatnya motivasi siswa dalam
mengikuti pembelajaran Sejarah di
setiap siklusnya. Pada prasiklus,
tampak bahwa motivasi belajar siswa
masih sangat rendah dengan nilai ratarata hanya sebesar 49,18. Selanjutnya,
pada siklus I tampak bahwa motivasi
belajar siswa mengalami peningkatan
yang sangat drastis dari prasiklus
dengan nilai rata-rata sebesar 82,60
setelah
menerapkan
strategi
pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran Sejarah. Pada siklus II, hasil
perolehan motivasi belajar siswa
kembali mengalami peningkatan dari
siklus I dengan nilai rata-rata sebesar
95,10.
rata sebesar 97,82, indikator keyakinan
memperoleh nilai rata-rata sebesar 95,65,
dan indikator kepuasan memperoleh nilai
rata-rata sebesar 93,47.
V.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan,
peneliti
menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Penerapan strategi pembelajaran Card
Sort dalam mata pelajaran Sejarah
dapat meningkatkan hasil belajar pada
siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue
terbukti dari hasil belajar siswa yang
terus mengalami peningkatan. Pada
prasiklus, nilai rata-rata siswa yaitu 65.
Persentase ketuntasan belajar yang
diperoleh siswa yaitu 39,13% . Pada
siklus I, setelah menerapkan strategi
pembelajaran Card Sort pada mata
pelajaran Sejarah, nilai rata-rata siswa
mengalami peningkatan, sehingga
menjadi 80. Persentase ketuntasan
belajar yang diperoleh siswa kelas X
SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar
73,91% . Pada siklus II, nilai rata-rata
siswa mengalami peningkatan dari
siklus I sehingga menjadi 89. Pada
siklus II persentase ketuntasan belajar
siswa meningkat sehingga menjadi
100%. Hal ini berarti 23 dari jumlah
total siswa sebanyak 23, telah
memperoleh nilai yang memenuhi
standar KKM yang telah ditentukan.
2. Penerapan strategi pembelajaran Card
Sort dalam mata pelajaran Sejarah
dapat meningkatkan motivasi belajar
VI.
SARAN
Berdasarkan uraian dari simpulan,
ada
beberapa
saran
yang
dapat
dikemukakan oleh peneliti yakni bagi guru
disarankan untuk dapat menerapkan strategi
pembelajaran Card Sort dalam mata
pelajaran
Sejarah,
karena
dengan
menggunakan strategi ini siswa dapat lebih
berlatih memahami suatu pelajaran
dibandingkan dengan sistem ceramah dan
menulis di papan tulis. Strategi ini dapat
memberikan dorongan dan motivasi bagi
siswa
dalam
proses
belajarnya,
membimbing dan melatih keterampilan,
sikap, dan kepercayaan diri siswa. Selain
itu,
selama
proses
pembelajaran
berlangsung guru hendaknya dapat tetap
melakukan bimbingan kepada siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar.
138
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Basrowi dan
Suwandi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bogor: Ghalia Indonesia.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Putra Grafika.
Dalyono, M. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Grafika Offset.
Hamdani. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia.
Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.
Harjanto. 2005. Perencanaan Pengajaran . Jakarta : Rineka Cipta.
Hisyam, Zaini. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Pustaka Insan Madani.
Uno, Hamzah B. 2007 Teori Motivasi dan pengukurannya, Jakarta: Bumi Aksara.
Lexi, Moeleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya.
Latif, Abdul. 2009. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakat. Bandung: PT Refika Aditama.
Madya, Suwarsih.2007. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan. Bandung: Alfabeta.
Muslich,
Masnur.
2009. Melaksanakan PTK Itu Mudah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nursid Sumaatmadja. 2007. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.
Silberman, Melvin L. 2006
Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif . Bandung: Nusamedia.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharsimi, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukmadinata, Syaodih Nana. 2007. Pendekatan Penelitian Pendidikan . Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Surya, Muhammad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.
Zaini, Hisyam. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
139
Media Litbang Sulteng IX (1) : 140-150, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
PENINGKATAN MOTIVASI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA DALAM
MENGAPRESIASI KARYA SENI RUPA PADA MATA PELAJARAN SENI BUDAYA
MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PAMERAN KARYA SENI PADA
SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 SIGI
Oleh :
Yerkas Maleta 1)
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa
pada mata pelajaran Seni Budaya. Oleh karena itu, dengan mengadakan pameran seni rupa di sekolah, maka dapat mendidik para
siswa untuk bermasyarakat. Penyelenggaraan pameran dapat melatih siswa untuk bekerja sama dalam sebuah tim, melatih
siswa untuk menghargai pendapat orang lain, dan dapat melatih siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan hasil musyawarah.
Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. (2)
untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi yang berjumlah 25
siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) observasi, (2) angket, (3) dokumentasi. Hasil penelitian membuktikan
bahwa penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa
pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari motivasi belajar siswa yang
memperoleh hasil dengan kategori Baik (Rentang 3.50 – 4.49). Artinya, dengan penerapan model pembelajaran pameran dapat
membangkitkan motivasi belajar siswa terutama pada pelajaran apresiasi karya seni rupa. Selain itu, penerapan model pembelajaran
pameran juga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya.
Pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 77,64 dengan jumlah siswa yang tuntas yakni sebanyak 19 siswa atau dengan persentase
76%. Selanjutnya pada siklus II, prestasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis yakni nilai rata-rata siswa
menjadi 92,8 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 100%. Hal ini berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 25, secara
keseluruhan siswa telah memperoleh nilai dengan kategori tuntas.
Kata Kunci: Motivasi dan Prestasi Belajar, Mengapresiasi Karya Seni Rupa, Seni Budaya, Pameran Karya Seni.
ABSTRACT
This research is motivated by low motivation and student achievement in appreciating works of art on the subjects of Arts
and Culture. Therefore, by organizing art exhibitions in schools, it can educate students for a society. The exhibition can train
students to work together in a team, to train students to respect the opinions of others, and can train students to solve problems
based on the results of deliberation. The purpose of this study are (1) to determine whether the application of learning models to the
exhibition can increase students' motivation in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8
Sigi. (2) to determine whether the application of learning models can exhibit improve student achievement in appreciating works of
art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. This study used a qualitative research approach that is
descriptive. Subjects in this study is a class XI student of SMAN 8 Sigi totaling 25 students. Data collection techniques in this study
are (1) observation, (2) questionnaires, (3) documentation. The research proves that the application of learning models to the
exhibition can increase students' motivation in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8
Sigi. This is evident from students' motivation is to obtain results with good category (range 3:50 to 4:49). That is, with the
application of learning models to the exhibition can raise students' motivation, especially in works of art appreciation lessons. In
addition, application of learning models exhibit also can improve student achievement in appreciating works of art at the Cultural
Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. This is evident from the results of student learning that is constantly increasing in
each cycle. In the first cycle students' average value of 77.64 by the number of students who pass that as many as 19 students or with
the percentage of 76%. Furthermore, in the second cycle, student achievement has increased very dramatically that the average
value to 92.8 students with classical completeness percentage of 100%. This means that of the total number of students by 25, the
overall student has gained value by category completely.
Keywords: Motivation and Achievement, Appreciating Art Works, Art & Culture, Art Exhibition.
140
I.
atau penilaian terhadap karya-karya yang
ditampilkan. Penilaian yang dimaksud
bukan menilai dengan angka, melainkan
suatu proses pencarian nilai-nilai seni,
pemahaman isi, menemukan pesan dari
karya seni, dan melakukan perbandinganperbandingan terhadap karya seni sehingga
nantinya akan didapat sebuah penilaian
yang utuh dan komprehensif.
Dalam hal ini, apresiasi dilakukan
melalui kegiatan pameran karya seni rupa.
Pameran tersebut difasilitasi oleh guru dan
yang menjadi apresiator adalah siswa.
Pameran merupakan bagian integral dari
pembelajaran seni rupa yang tidak dapat
terpisahkan.
Dengan mengadakan pameran seni
rupa di sekolah, maka dapat mendidik para
siswa
untuk
bermasyarakat.
Penyelenggaraan pameran dapat melatih
siswa untuk bekerja sama dalam sebuah
tim,
melatih siswa untuk menghargai
pendapat orang lain, dan dapat melatih
siswa
untuk
memecahkan
masalah
berdasarkan
hasil
musyawarah.
Penyelenggaraan pameran seni rupa
memiliki nilai manfaat bagi sekolah, guru,
dan terutama bagi siswa. Berdasarkan hal
tersebut, kegiatan pameran perlu diadakan
di lingkungan sekolah. Penyelengaraan
pameran dilakukan oleh guru untuk
memberikan pembinaan sejak awal kepada
siswa dalam rangka proses pembiasaan
berpikir kritis, melakukan kegiatan
apresiasi baik dalam bentuk aktivitas
maupun sikap, dan yang terpenting dari
penyelenggaraan pameran di sekolah adalah
melatih kemampuan apresiasi siswa,
sehingga dapat menjadi media bertukar
pengalaman estetis antarsiswa (antara
pencipta karya seni rupa dan apresiator).
Dengan
adanya
pembelajaran
apresiasi karya seni rupa pada mata
pelajaran Seni Budaya melalui penerapan
model pembelajaran Pameran, maka
tentunya dapat meningkatkan kreativitas
dan prestasi belajar siswa dalam mata
pelejaran Seni Budaya. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengangkat judul
penelitian yakni “Peningkatan Kreativitas
dan Prestasi Belajar Siswa dalam
Mengapresiasi Karya Seni Rupa pada Mata
PENDAHULUAN
Pada dasarnya pendidikan tidak
pernah lepas dari kehidupan manusia,
karena
pendidikan
memberikan
kemampuan untuk mengasah potensi diri
dalam meningkatkan kehidupan manusia.
Pendidikan menyangkut hati nurani,
nilai-nilai, perasaan, pengetahuan, dan
keterampilan.
Dengan
pendidikan,
manusia
ingin
berusaha
untuk
meningkatkan dan mengembangkan, serta
memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya,
perasaannya,
pengetahuannya,
dan
keterampilannya. Salah satu tujuan
pendidikan yang dapat mengembangkan
kreativitas anak yaitu melalui pendidikan
seni.
Pendidikan
seni
merupakan
pendidikan yang dapat merangsang
keingintahuan, menimbulkan minat atau
motivasi
peserta
didik
untuk
meningkatkan kreativitas anak. Seni dapat
diklasifikasikan berdasarkan media yang
digunakan, seperti seni rupa, seni tari, seni
musik, dan seni sastra. Berdasarkan
uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa seni adalah segala sesuatu yang
mempunyai
keindahan
dan
dapat
diklasifikasikan berdasarkan media yang
digunakan.
Pendidikan seni juga merupakan
salah satu pendidikan yang sangat
penting. Ismiyanto (2008) mengemukakan
bahwa orientasi tujuan pendidikan seni
rupa (SD-SMA) dapat diarahkan kepada:
(1) pemupukan dan pengembangan
kreativitas dan sensitivitas, (2) penunjang
bagi pembentukan dan pengembangan
kepribadian anak secara menyeluruh, dan
(3) pemberian peluang kepada anak untuk
Pemupukan
dan
berekspresi.
pengembangan kreativitas dan sensitivitas
dapat dicapai melalui kegiatan apresiasi
karya seni rupa yang diharapkan dapat
memberi kesempatan kepada siswa untuk
melakukan
penghayatan
terhadap
bermacam bentuk karya seni rupa.
Apresiasi dapat diartikan sebagai
penikmatan, pengamatan, penghargaan,
1)
Guru SMA Negeri 8 Sigi
141
dibangun. Menurut Nasution (1982:77)
motivasi memiliki tiga fungsi yaitu:
Mendorong manusia untuk berbuat,
jadi sebagai penggerak motor yang
melepas energi.
Menentukan arah perbuatan , yakni
kearah tujuan yang hendak dicapai.
Menyeleksi perbuatan yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai
tujuan,
dengan
menyisihkan
perbuatan-perbuatan
yang
tidak
bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Seseorang melakukan sesuatu
usaha karena adanya motivasi. Motivasi
yang lebih baik dalam beajar akan
menunjukkan hasil yang baik, dengan kata
lain bahwa dengan usaha yang tekun yang
didasari adanya motivasi, akan dapat
melahirkan prestasi yang baik. McClelland
dan Atkinson dalam Sri Esti (1989: 161)
mengemukakan bahwa motivasi yang
paling penting untuk psikologis pendidikan
adalah motivasi berprestasi, dimana
seseorang cenderung untuk berjuang
mencapai sukses atau memilih kegiatan
yang berorientasi untuk tujuan sukses atau
gagal. Intensitas motivasi siswa akan sangat
menentukan tingkat pencapaian prestasi
belajar siswa tersebut.
Secara umum motivasi dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
(Prayitno, 1989: 10).
Pelajaran Seni Budaya Melalui Penerapan
Model Pembelajaran Pameran pada Siswa
Kelas XI SMA Negeri 8 Sigi”.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu (1) apakah penerapan model
pembelajaran pameran dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran Seni
Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8
Sigi? (2) apakah penerapan model
pembelajaran pameran dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran Seni
Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8
Sigi?.
Berdasarkan rumusan masalah,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui
apakah penerapan model pembelajaran
pameran dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa dalam mengapresiasi karya
seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya
pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. (2)
untuk mengetahui apakah penerapan model
pembelajaran pameran dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran Seni
Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8
Sigi.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Motivasi Belajar
Motivasi
belajar
adalah
keseluruhan daya penggerak dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
yang menjamin kelangsungan dari kegiatan
belajar dan memberikan arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki
oleh subyek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 1986: 75). Demikian dalam
belajar, prestasi siswa akan lebih baik bila
siswa memiliki dorongan motivasi orang
tua untuk berhasil lebih besar dalam diri
siswa itu. Sebab ada kecenderungan bahwa
seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi
mungkin akan gagal berprestasi karena
kurang adanya motivasi dari orang tua.
Motivasi dalam belajar sangat
penting artinya untuk mencapai tujuan
proses belajar mengajar yang diharapkan,
sehingga motivasi siswa dalam belajar perlu
2.1.1
Motivasi Instrinsik
Menurut Priyitno (1989: 11)
motivasi
intrinsik adalah keinginan
bertindak yang disebabkan oleh faktor
pendorong dari dalam diri (internal)
individu. Tingkah laku individu itu terjadi
tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari
lingkungan. Tetapi individu bertingkah laku
karena mendapatkan energi dan pengaruh
tingkah laku dari dalam dirinya sendiri
yang tidak bisa dilihat dari luar.
2.1.2
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik dapat juga di
katakan sebagai bentuk motivasi yang di
dalamnya aktivitas belajar di mulai dan
diteruskan berdasarkan dorongan dari luar
yang tidak secara mutlak berkaitan dengan
aktivitas belajar (Sardiman, 1990: 90).
142
Terdapat beberapa cara untuk
membangkitkan motivasi belajar pada diri
individu siswa dalam melakukan aktivitas
belajarnya. Menurut Nasution (1982:81)
cara membangkitkan motivasi belajar
antara lain:
Memberi Angka
Banyak siswa belajar yang utama
justru untuk mencapai angka yang
baik, sehingga biasanya yang dikejar
itu adalah angka atau nilai. Oleh
karena itu langkah yang dapat
ditempuh guru adalah bagaimana cara
memberi angka-angka dapat dikaitkan
dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap pengetahuan.
Memberi Hadiah
Hadiah dapat membangkitkan motivasi
belajar seseorang jika ia memiliki
harapan
untuk
memperolehnya,
misalnya: seorang siswa tersebut
mendapat
beasiswa,
maka
kemungkinan siswa tersebut akan giat
melakukan kegiatan belajar, dengan
kata lain ia memiliki motivasi belajar
agar dapat mempertahankan prestasi.
Hasrat Untuk Belajar
Hasil belajar akan lebih baik apabila
pada siswa tersebut ada hasrat atau
tekad untuk mempelajari sesuatu.
Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil belajar yang
selama ini dikerjakan, maka akan bisa
menunjukan motivasi siswa untuk
belajar lebih giat, kerana hasil belajar
merupakan feedback (umpan balik)
bagi
siswa
untuk
mengetahui
kemampuan dalam belajar.
Memberikan Pujian
Pujian sebagai akibat dari pekerjaan
yang
diselesaikan
denga
baik,
merupakan motivasi yang baik pula.
Menumbuhkan Minat Belajar
Siswa akan merasa senang dan aman
dalam belajar apabila disertai dengan
minat belajar apabila disertai dengan
minat belajar. Dan hai ini tak lepas
dari minat siswa itu dalam bidang studi
yang ditempuhnya.
Suasana yang Menyenangkan
Siswa akan merasa aman dan senag
dalam belajar apabila disertai denga
suasana yang menyenangkan baik
proses belajar maupun situasi yang
dapat menumbuhkan motivasi belajar.
2.2
Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah penilaian
pendidikan tentang kemajuan siswa dalam
segala hal yang dipelajari di sekolah yang
meyangkut pengetahuan atau keterampilan
yang dinyatakan sesuadah hasil penilaian
untuk
mengukur
prestasi
belajar siswa diperlukan suatu alat evaluasi
berupa tes.
2.3
Pembelajaran Seni Rupa di
Sekolah
Dalyono (2007) berpendapat bahwa
belajar adalah suatu usaha atau perbuatan
yang dilakukan secara sungguh-sungguh,
dengan sistematis, mendayagunakan semua
potensi yang dimiliki, baik fisik, mental
serta dana, panca indera, otak dan anggota
tubuh lainnya, demikian pula aspek-aspek
kejiwaan seperti intelegensi, bakat,
motivasi, minat, dan sebagainya. Belajar
bertujuan untuk mengadakan perubahan di
dalam diri seseorang, mencakupi perubahan
tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu
pengetahuan,
keterampilan
dan
sebagainya. Sementara itu, disebutkan oleh
Gagne dan Berliner (dalam Anni: 2007)
bahwa belajar merupakan proses suatu
organisme merubah perilakunya karena
hasil dari pengalaman. Lebih lanjut lagi,
menurut Ismiyanto (2009) belajar adalah
mengalami, artinya dalam belajar siswa
menggunakan atau mengubah lingkungan
tertentu dan ia belajar mengenai lingkungan
tersebut melalui akibat tindakannya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditegaskan
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi
hasil belajar siswa, selain belajar dari akibat
tindakannya siswa juga belajar dari
berbagai hal di dalam lingkungan tersebut.
Berdasarkan kutipan-kutipan di
atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
belajar adalah mengadakan perubahan di
dalam diri manusia di antaranya adalah
tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang
diharapkan timbul akibat belajar adalah
bersifat positif, walaupun ada juga hasil
143
melakukan kegiatan belajar secara aktif
dengan menggali semua potensi yang
dimilikinya melalui pemanfaatan berbagai
sumber belajar secara optimal. Kegiatan
pembelajaran akan terlaksana dengan baik
apabila terjadi interaksi antara berbagai
komponen dalam pembelajaran. Hal
tersebut diperkuat oleh pendapat Hamalik
(2007:57) bahwa pembelajaran adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Pembelajaran terdiri dari kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Menurut Syafii (2006: 34) pada aspek
perencanaan, guru hendaknya membuat
program tahunan, program semester,
analisis materi, silabus, dan satuan
pelajaran, kemudian guru juga memilih
metode dan media pembelajaran, dan
mencari sumber-sumber belajar yang
relevan. Perencanaan dapat membantu
proses pembelajaran berjalan dengan baik
dan lebih terorganisasi.
yang ditimbulkan sifatnya negatif. Belajar
dapat membantu seseorang menambah
keterampilan, menambah pengetahuan
dalam berbagai bidang ilmu, mengingat
ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa
mengenal batas. Oleh sebab itu, setiap
orang dituntut senantiasa belajar agar dapat
beradaptasi
dengan
perkembangan
teknologi yang semakin maju dan canggih.
Pembelajaran merupakan salah satu
wujud dari kegiatan pendidikan. Di tengah
kehidupan masyarakat, pendidikan terbagi
atas pendidikan informal, nonformal, dan
formal (Tillar: 1979). Di dalam konteks
pendidikan
formal
yakni
sekolah,
pembelajaran merupakan realisasi dari
pelaksanaan kurikulum ideal menjadi
kurikulum aktual. Kegiatan pembelajaran
biasanya direncanakan dan dilaksanakan
oleh guru, sehingga guru bekerja ganda,
di samping ia sebagai perencana, di lain
pihak juga sebagai pelaksana kurikulum
dan pembelajaran. Hal tersebut menjadikan
guru wajib memahami karakteristik setiap
pembelajaran yang akan dilaksanakannya.
Pembelajaran di sekolah adalah
proses interaksi pendidik dengan peserta
didik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Ismiyanto (2009) bahwa
pembelajaran di sekolah pada hakikatnya
berintikan interaksi antara siswa dengan
guru dan lingkungannya. Dengan demikian,
pembelajaran mengandung dua jenis
kegiatan yang tidak terpisahkan, yaitu
mengajar dan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi
proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik, dengan perkataan lain
pembelajaran
adalah
proses
untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan
baik
(www.wikipedia.com).
Sementara itu, Dimyati dan Mujiono
(dalam Sobandi 2008: 152) mengemukakan
pengertian pembelajaran sebagai kegiatan
guru secara terprogram dalam desain
instruksional, untuk membuat siswa belajar
secara aktif, yang menekankan pada
penyediaan
sumber
belajar.
Siswa
2.4
Karya Seni Rupa Sebagai Materi
Apresiasi
Kegiatan apresiasi membutuhkan
karya seni rupa sebagai objek yang
diapresiasi. Menurut Rondhi (2002:6) seni
rupa merupakan seni yang menggunakan
unsur-unsur seni rupa sebagai media
ungkapnya. Unsur-unsur rupa yaitu unsurunsur yang kasat mata atau yang dapat
dilihat dengan indera mata. Seni rupa
adalah cabang seni yang membentuk karya
seni dengan media yang bisa ditangkap
mata dan dirasakan dengan rabaan
(Guruvalah: 2008). Seni rupa adalah
ungkapan gagasan atau perasaan yang
estetis dan bermakna yang diwujudkan
melelui media: titik, garis, bidang, warna,
tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan
prinsip-prinsip tertentu (Setyobudi: 2006).
Menurut Suhadi (1995:2) hasil karya seni
yang dinamakan kesenian, merupakan hasil
usaha budi daya manusia yang diungkapkan
dengan menggunakan kepekaan rasa estetik
(rasa keindahan). Jadi karya seni rupa
merupakan benda buatan manusia yang
144
mengandung nilai keindahan yang dapat
dilihat serta diraba yang merupakan
ekspresi pribadi senimannya. Berdasarkan
kutipan-kutipan di atas, dapat dirumuskan
bahwa karya seni rupa adalah hasil usaha
budi daya manusia melalui unsur-unsur
rupa yang kasat mata dan ditata dengan
prinsip komposisi terntutu sehingga
menjadi bermakna.
Penciptaan karya seni rupa tidak
lepas dari tiga hal, yaitu: (1) gagasan, terdiri
dari subjek karya
seni, tema karya seni,
peran karya seni, dan sebagainya; (2)
bentuk merupakan hal terkait dengan unsurunsur seni rupa yang terdiri dari garis,
bidang, warna, tekstur, ruang dan gelap
terang, dan juga komposisi yang terdiri
dari kesatuan, keseimbangan, proporsi,
irama dan dominasi; (3) media terdiri
dari bahan, alat dan teknik pembuatan.
Bahan merupakan material yang diolah
menjadi karya seni. Alat merupakan
perkakas yang digunakan untuk membuat
karya seni. Sedangkan teknik merupakan
bagaimana cara seniman untuk membuat
karya seni. Jadi penciptaan karya seni rupa
dibentuk dari gagasan, bentuk, dan media
seni rupanya.
Karya
seni
rupa
dapat
diklasifikasikan berdasarkan perwujudan
dan fungsinya. Karya seni rupa menurut
bentuknya dibagi menjadi dua yaitu: karya
dua dimensi dan karya tiga dimensi. Karya
seni rupa dua dimensi (dwimatra) adalah
karya yang hanya memiliki ukuran panjang
dan lebar atau yang hanya bisa dilihat dari
satu arah pandang. Karya seni rupa tiga
dimensi (trimatra) adalah karya yang
memiliki tiga ukuran yaitu panjang, lebar,
dan tinggi atau karya yang memiliki
volume dan menempati suatu ruang.
Menurut fungsinya, karya seni rupa terdiri
dari karya seni rupa murni dan karya seni
rupa terapan. Karya seni rupa murni adalah
karya yang dibuat semata-mata untuk
kebutuhan artistik. Seni murni merupakan
hasil karya yang diciptakan semata-mata
hanya untuk dinikmati nilai- nilai estetiknya
saja. Karya seni rupa terapan adalah karya
yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan
praktis.
2.5
Pameran
Pameran merupakan kegiatan yang
dilakukan
oleh
seniman
untuk
menyampaikan ide atau gagasannya kepada
public melalui media karya seni. Kegiatan
ini diharapkan menjadi komunikasi antara
seniman yang diwakili oleh karya seninya
yang apresiator.
Penyelenggaran pameran bisa
dilakukan di konteks sekolah maupun di
luar sekolah (masyarakat). Penyelenggaraan
pameran di sekolah menyajikan materi
pameran berupa hasil karya peserta didik
dari kegiatan pembelajaran kurikuler
maupun kegiatan ektrakurikuler. Kegiatan
ini biasanya dilakukan pada akhir semester
atau akhir tahun ajaran. Sedangkan konteks
pameran yang disajikan berupa karya-karya
seniman
untuk
diapresiasiakn
oleh
masyarakat luas.
Dalam konteks penyelenggaraan
pameran seni rupa di sekolah, Nurhadiat
(1996: 125) secara khusus menyebutkan
fungsi pameran seni rupa sekolah di
antaranya:
Meningkatkan apresiasi seni.
Membangkitkan motivasi berkarya seni.
Penyegaran dari kejenuhan belajar di
kelas.
Berkarya visual lewat karya seni.
Belajar berorganisasi
Tujuan pameran menurut riyanti
dan Nandang (1996:7) menyebutkan
beberapa tujuan diantaranya :
Memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk menggelarkan karyanya
masing-masing.
Mampu menghargai karya seni ciptaan
orang lain.
Mampu memberi tanggapan atas karya
orang lain.
Menumbuhkembangkan rasa tanggung
jawab,kerja sama dan tolong menolong.
Melestarikan dan mengembangkan
budaya bangsa.
Mampu berperan serta dalam upaya
mengembangakan budaya bangsa.
Dalam penyelenggaran pameran
ada persyaratan yang harus dipenuhi:
Karya seni yang akan dipamerkan
Pihak panitia pameran; (menyeleksi
145
hasil karya yang akan dipamerkan)
Pengunjung pameran
Tempat pameran
III.
XI SMA Negeri 8 Sigi dengan jumlah
siswa 25 siswa. Sikap percaya diri
(confidence) sangat terkait dengan bobot
motivasi siswa bila rasa percaya diri ini
tertanam dalam diri siswa akan lebih
mendorong siswa tersebut untuk melakukan
kegiatan yang bermanfaat. Sikap tersebut
merupakan modal untuk terjun dalam
proses belajar mengajar. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan terhadap 25
siswa diperoleh skor rata-rata 4,30. Bila
dikonfirmasikan dengan kategori yang telah
dibuat, maka motivasi siswa di atas skor
tersebut berada pada rentang 3.50 – 4.49
(baik). Hal ini dapat dipahami bahwa sikap
percaya diri siswa dalam mengikuti
pembelajaran apresiasi seni cukup baik,
sehingga dalam pembelajaran apresiasi seni
rupa tidak mengalami hambatan yang
cukup berarti.
Dari aspek perhatian (attention)
diperoleh skor rata-rata 4,21, bila
dikonsultasikan pada tabel kriteria tentang
motivasi nilai tersebut berada pada rentang
3,50 – 4,49 (Baik). Ini berarti bahwa
perhatian siswa terhadap pelajaran apresiasi
karya seni rupa melalui penerapan model
pembelajaran pameran adalah baik. Dengan
pembelajaran apresiasi seni melalui
penerapan model pembelajaran pameran,
mendorong perhatian siswa kearah yang
lebih baik, sehingga hal ini dapat
menunjang keberhasilan proses belajar
mengajar terutama pada mata pelajaran
Seni Budaya.
Dalam aspek relevansi (relevancy)
diperoleh skor rata-rata 4,11, berdasarkan
tabel kriteria motivasi siswa nilai tersebut
berada pada rentang 3.50 – 4.49 (Baik). Hal
ini berarti pemahaman siswa tentang
keterkaitan
antara
pelajaran
yang
dilaksanakan dengan pelajaran sebelumnya
cukup baik, begitu pula pemahaman siswa
terhadap tujuan pembelajaran terutama
pelajaran apresiasi seni ini juga adalah baik.
Kondisi demikian kemungkinan tercipta
dari pemberian pemahaman awal dari guru
tentang maksud dan tujuan pembelajaran.
Aspek kepuasan (satisfaction)
diperoleh skor rata-rata 4.13. Skor tesebut
bila dikonsultasikan pada kriteria di atas
berada pada rentang 3.50 – 4.49 (baik). Hal
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memahami
fenomena yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya persepsi, motivasi,
tingkah laku, tindakan, dan sebagainya,
secara menyeluruh, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata, pada
suatu konteks khusus yang alamiah serta
dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah (Moleong 2007:6). Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta dan sifat populasi atau daerah atau
bidang-bidang tertentu.
Subjek dalam
penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMA
Negeri 8 Sigi yang berjumlah 25 siswa.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu (1) observasi, (2)
angket, (3) dokumentasi. Dalam hal ini,
observasi dilakukan menggunakan teknik
pengamatan langsung. Peneliti secara
langsung meneliti kegiatan pameran siswa
kelas XI terkait dengan kemampuannya
mengapresiasi karya yang dipamerkan
dalam pameran seni rupa di SMA Negeri 8
Sigi. Hal-hal yang diobservasi dalam
mendukung penelitian ini antara lain
mengenai lingkup sekolah, proses kegiatan
pameran karya seni rupa, dan proses siswa
dalam
mengapresiasi
karya
yang
dipamerkan. Peneliti menggunakan angket
yang berisi pertanyaan terkait motivasi
belajar siswa. Dokumentasi dalam hal ini,
diperlukan untuk mengumpulkan data
berupa
dokumen-dokumen
terkait
penelitian.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1 Motivasi Belajar
Berdasarkan hasil penelitian dari
angket yang diedarkan kepada siswa kelas
146
18
19
20
21
22
23
24
25
ini dipahami bahwa aspek kepuasan siswa
mengikuti pembelajaran Seni Budaya
dalam mengapresiasi karya seni rupa
melalui penerapan model pembelajaran
pameran dapat terpenuhi. Kondisi demikian
memupuk motivasi siswa untuk lebih giat
belajar, dan berusaha meningkatkan sikap
apresiatifnya terutama pada bidang seni
dalam hal ini seni rupa, juga tidak
menutup kemungkinan untuk cabangcabang seni yang lainnya.
Motivasi siswa berdasarkan hasil
penelitian ini, memiliki skor rata-rata 4,01
berada pada rentang 3.50 – 4.49 (baik). Ini
berarti bahwa motivasi siswa secara umum
cukup baik sehingga dalam proses belajar
mengajar dapat lebih dioptimalkan.
Pembelajaran apresiasi seni rupa dengan
menerapkan model pembelajaran pameran
lebih memotivasi siswa untuk mempelajari
dan memperdalam tentang bagaimana
menumbuhkan sikap apresiatif terhadap
karya seni yang pada akhirnya diharapkan
dapat mendorong kreativitas siswa dalam
berkarya seni.
4.2
Jumlah
Rata-Rata
Banyak Siswa Tuntas
Banyak Siswa Tidak Tuntas
Persentase Tuntas Belajar
4.2.2
Siklus II
Berdasarkan penelitian
yang
dilakukan pada siklus II, terkait
pembelajaran apresiasi karya seni rupa
melalui penerapan model pembelajaran
pameran pada mata pelajaran Seni
Budaya, maka diperoleh prestasi belajar
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi sesuai
dengan tabel berikut:
4.2.1
Siklus I
Berdasarkan penelitian
yang
dilakukan pada siklus I, terkait
pembelajaran apresiasi karya seni rupa
melalui penerapan model pembelajaran
pameran pada mata pelajaran Seni
Budaya, maka diperoleh prestasi belajar
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi sesuai
dengan tabel berikut:
Nilai
76
74
80
82
75
73
77
82
80
76
78
72
84
77
85
71
83
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tidak Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
1941
77,64
19
6
76%
Dari hasil tes formatif siklus I
dalam pembelajaran apresiasi karya seni
rupa
melalui
penerapan
model
pembelajaran pameran pada siswa kelas
XI SMA Negeri 8 Sigi diperoleh nilai
rata-rata sebesar 77,64. Jumlah siswa
yang sudah tuntas atau mencapai nilai
>=75 sebanyak 19 siswa, sedangkan
siswa yang belum tuntas sebanyak 6
siswa sehingga persentase tuntas belajar
klasikal yakni 76%.
Prestasi Belajar
No. Absen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
80
79
78
72
70
76
80
81
No. Absen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Keterangan
Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
147
Nilai
91
89
94
98
89
89
92
97
94
92
92
98
99
92
97
86
96
95
94
93
86
85
91
Keterangan
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
24
25
95
96
Jumlah
Rata-Rata
Banyak Siswa Tuntas
Banyak Siswa Tidak Tuntas
Persentase Tuntas Belajar
Tuntas
Tuntas
2320
92,8
25
100%
ditentukan. Dari standar 80%, siswa kelas
XI baru mampu mencapai persentase
tuntas belajar sebesar 76%. Oleh karena
itu, untuk memperoleh ketuntasan belajar
siswa secara klasikal dengan memenuhi
indicator yang telah ditentukan, maka
peneliti memutuskan untuk melanjutkan
penelitian hingga ke siklus selanjutnya
yakni siklus II.
Pada revisi siklus II akan
dijelaskan tentang hasil penelitian siklus II
terkait prestasi belajar siswa dengan tabel
berikut ini:
Dari hasil tes formatif siklus II
dalam pembelajaran apresiasi karya seni
rupa
melalui
penerapan
model
pembelajaran pameran pada siswa kelas
XI SMA Negeri 8 Sigi diperoleh nilai
rata-rata sebesar 92,8. Jumlah siswa yang
sudah tuntas atau mencapai nilai >=25
sebanyak 19 siswa. Hal ini berarti bahwa
dari total jumlah siswa sebanyak 25,
secara
keseluruhan
siswa
telah
memperoleh nilai dengan kategori tuntas,
sehingga persentase tuntas belajar
klasikal yang dipeloh siswa kelas XI
SMA Negeri 8 Sigi pada siklus II ini
adalah sebesar 100%.
Rekapitulasi Prestasi Belajar Siswa Siklus II
Revisi
Pada revisi siklus I akan dijelaskan
tentang hasil penelitian siklus I terkait
prestasi belajar siswa dengan tabel berikut
ini:
Hasil
Penelitian
Nilaii
Indikator
Keteranganan
Rata-rata
92,8
75
Tidak
Persentase
tuntas
belajar
100%
80%
tercapai
4.2.3
Nilai rata-rata prestasi belajar
siswa pada siklus II mengalami
peningkatan yang sangat signifikan yakni
diperoleh 92,8 dengan
persentase
ketuntasan belajar sebesar 76%. Dari
hasil belajar tersebut dapat dikatakan
bahwa nilai hasil belajar siswa telah
mencapai target indikator keberhasilan
yang ditetapkan (75). Selain itu, pada
siklus II ini, persentase tuntas belajar
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi juga
telah memenuhi indicator standar yang
telah ditentukan. Dari standar 80 %,
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi telah
mampu
memperoleh
persentase
ketuntasan
belajar
sebesar
100%.
Perolehan
ini
otomatis
dapat
membuktikan bahwa dengan penerapan
model pembelajaran pameran, maka
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa
kelas XI SMA Negeri 8 Sigi dalam
mengapresiasi karya seni rupa.
Rekapitulasi Prestasi Belajar Siswa Siklus I
Hasil
Penelitian
Nilai
Indikator
Keterangan
Rata-rata
77,64
75
Tercapai
Persentase
Ketuntasan
belajar
76%
80%
Tidak
Tercapai
Rata-rata hasil belajar siswa pada
siklus I diperoleh 77,64 dengan
persentase ketuntasan belajar sebesar
76%. Dari hasil belajar tersebut dapat
dikatakan bahwa nilai hasil belajar siswa
telah
mencapai
target
indikator
keberhasilan yang ditetapkan (75). Akan
tetapi, walaupun nilai rata-rata siswa
telah mencapau target KKM yang telah
ditentukan, namun berdasarkan tabel di
atas, persentase tuntas belajar yang
diperoleh siswa kelas XI SMA Negeri 8
Sigi pada mata pelajaran Seni Budaya
belum dapat mencapai standar yang telah
V.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan beberapa hal terkait penelitian
tindakan kelas ini yaitu:
148
Pada siklus I nilai rata-rata siswa
sebesar 77,64 dengan jumlah siswa
yang tuntas yakni sebanyak 19 siswa
atau
dengan
persentase
76%.
Selanjutnya pada siklus II, prestasi
belajar siswa mengalami peningkatan
yang sangat drastis yakni nilai rata-rata
siswa menjadi 92,8 dengan persentase
ketuntasan klasikal sebesar 100%. Hal
ini berarti bahwa dari total jumlah
siswa sebanyak 25, secara keseluruhan
siswa telah memperoleh nilai dengan
kategori tuntas.
1. Penerapan
model
pembelajaran
pameran dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran
Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA
Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari
motivasi
belajar
siswa
yang
memperoleh hasil dengan kategori Baik
(Rentang 3.50 – 4.49). Artinya, dengan
penerapan
model
pembelajaran
pameran
dapat
membangkitkan
motivasi belajar siswa terutama pada
pelajaran apresiasi karya seni rupa.
2. Penerapan
model
pembelajaran
pameran dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa dalam mengapresiasi
karya seni rupa pada mata pelajaran
Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA
Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari hasil
belajar siswa yang terus mengalami
peningkatan di setiap siklusnya.
VI.
SARAN
Sebagai implikasi dari penelitian
ini, disarankan kepada guru untuk dapat
model pembelajaran pameran sebagai salah
satu alternatif pembelajaran apresiasi seni
rupa pada mata pelajaran Seni Budaya.
Selanjutnya,
kepada
peneliti
lain,
diharapkan dapat melakukan penelitian
pada mata pelajaran yang berbeda sehingga
didapatkan perbandingan.
149
DAFTAR PUSTAKA
Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Saiful Bahri & Zain, Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Garha. Oho. 1980. Pendidikan Kesenian Seni Rupa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Hasibuan, J. J & Moedjiono. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kartika, Dharsono Sony. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains.
Katjik, dkk. 1972. Metode Pengajaran Seni Rupa untuk SMA. IKIP Malang: Sub Proyek Penyusunan Metode Khusus Proyek
Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi.
Koentjoroningrat dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djakarta: Djambatan.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sahman, Humar. 2003. Mengenali Dunia Seni Rupa. Semarang. IKIP Semarang Press.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sobandi, Bandi. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa.Maulana Offset: Solo.
Sudjana, Nana. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sumiati & Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung:Remaja Rosdakarya.
150
Media Litbang Sulteng IX (1) : 151-160, Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI METODE
BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS V SD GKST BETELEME
Oleh :
Eflilian Kalaena1)
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan menggunakan metode roll play
dalam pembelajaran drama. Metode roll play pada pembelajaran drama sangat bermanfaat bagi peserta didik agar dapat
menumbuhkan minat belajar dan dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada pembelajaran drama. Penelitian ini berbentuk
penelitian tindakan kelas dengan mekanisme kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus. Setiap siklus mencakup: perencenaan,
tindakan, observasi, dan refleksi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan terdiri dari post tes, lembar observasi. Subjek
penelitian siswa kelas V SD GKST Beteleme, dengan jumlah siswa berjumlah 21 siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan. Rata-rata skor keterampilan berbicara siswa dengan teknik pembelajaran Roll play mencapai (82,65) lebih tinggi
daripada rata-rata skor keterampilan berbicara siswa yang belajar dengan teknik pembelajaran konvensional (60,82). Hal ini
menunjukkan bahwa teknik pembelajaran Roll play berpengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa kelas V SD GKST
Beteleme.Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan saran bagi guru pengajar Bahasa
Indonesia di sekolah dasar untuk dapat menggunakan teknik pembelajaran Roll play sebagai salah satu alternatif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif, jika pembelajaran berlangsung efektif maka
keterampilan berbicara siswa secara khusus dan hasil belajar Bahasa Indonesia secara umum dapat meningkat.
Kata Kunci: Keterampilan Berbicara, Teknik Roll play .
I.
keterampilan berbicara yaitu siswa mampu
mengomunikasikan ide atau gagasan, dan
pendapat, secara lisan ataupun sebagai
kegiatan
mengekspresikan
ilmu
pengetahuan, pengalaman hidup, dan lain
sebagain
Dengan
belajar
berbicara,
diharapkan siswa SD tidak hanya dapat
mengembangkan
kemampuan
dalam
melisankan ide atau gagasan yang dimiliki
tetapi
siswa
diharapkan
mampu
mempertanggungjawabkan gagasan dan
dapat mengaplikasikannya.
Pembelajaran yang didominasi oleh
guru merupakan satu faktor penyebab siswa
kurang aktif terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran keterampilan berbicara yang
menyebabkan siswa kurang aktif dapat
terjadi karena guru menggunakan model
pembelajaran yang kurang sesuai dengan
materi berbicara, selain itu siswa juga tidak
dilibatkan secara langsung dalam aktivitas
berbicara di kelas. Pembelajaran di kelas
masih banyak didominasi oleh guru
sehingga kurang mampu membangun
persepsi, minat, dan sikap siswa yang lebih
baik.
Kebanyakan anak didik mengalami
kebosanan dalam kegiatan belajar mengajar
di kelas, sebagian besar disebabkan oleh
faktor didaktik, termasuk model pengajaran
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran keterampilan
berbahasa menjadi satu kesatuan yang
mencakup
keterampilan
menyimak,
berbicara,
membaca
dan
menulis.
Keterampilan-keterampilan tersebut harus
dimiliki oleh setiap orang agar dapat
meningkatkan kompetensi berbahasa yang
baik, dalam hal ini keterampilan berbahasa
Indonesia
khususnya
keterampilan
berbicara atau berkomunikasi.
Komunikasi
sebagai
kegiatan
berbahasa secara lisan. Kegiatan berbicara
dilakukan
setiap
orang
untuk
berkomunikasi sehari-hari. Menurut Henry
Guntur Tarigan (2012: 16) berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi
atau
kata-kata
untuk
mengekspresikan,
menyatakan
atau
menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan.
Tujuan pembelajaran berbicara
yang diharapkan adalah agar siswa mampu
mengungkapkan gagasan, pendapat, dan
pengetahuan secara lisan, serta memiliki
kegemaran berbicara secara kritis dan
kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran
1)
Guru SD GKST Beteleme
151
yang berpusat pada guru, akhirnya hal
tersebut berdampak terhadap prestasi
belajar yang secara umum kurang
memuaskan.
Pelaksanaan
pembelajaran
keterampilan berbicara khususnya bermain
drama, guru memiliki peran yang menjadi
pusat terhadap keberhasilan siswa. Tugas
pengajar dalam hal ini bukanlah sekadar
mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga
menyiapkan situasi yang menggiring anak
didik
untuk
bertanya,
mengamati,
melakukan
eksperimen
serta
mengemukakan fakta atau konsep sendiri,
dalam hal ini anak didiklah yang berperan,
bukan sebaliknya.
Apabila peranan guru lebih
dominan, anak didik menjadi pasif sehingga
tidak menumbuhkan motivasi bagi siswa.
Siswa hendaknya dirangsang untuk selalu
bertanya,
berpikir
kritis,
dan
mengemukakan argumentasi-argumentasi
yang meyakinkan dalam mempertahankan
pendapatnya. Dengan kata lain mendorong
siswa berpikir dan bertindak kreatif.
Terlebih dalam pembelajaran berbicara
yang memang seharusnya siswalah yang
aktif berbicara.
Berdasarkan hasil refleksi mata
pelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas
V SD GKST Beteleme, belum sesuai
dengan
yang
diharapkan.
Setelah
melakukan wawancara terhadap guru dan
peserta didik kelas V SD GKST Beteleme
maka diketahui bahwa peserta didik belum
dapat menggunakan lafal dan intonasi
dengan tepat, peserta didik kurang
memperhatikan
saat
guru
sedang
menerangkan. Guru kurang menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan dan
cenderung monoton sehingga peserta didik
merasa bosan dan jenuh untuk mengikuti
pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya
bermain peran pada pembelajaran drama.
Padahal pembelajaran drama penting untuk
dipelajari siswa, karena drama merupakan
pencerminan lingkungan hidup yang
berguna. Drama mengungkapkan hal
ikhwal tentang kemanusiaan. Pada dasarnya
pengajaran
drama
penting
untuk
membangun citra kemanusiaan. Melalui
drama kemanusiaan seseorang terbang dan
hidup. Manusia jadi paham dengan dirinya
sendiri, lingkungan, Tuhan, dan alam
semesta.
(Maryaeni,1990:2;
Endraswara,2003:251).
Pada umumnya siswa mengalami
hambatan ketika mereka diberikan tugas
oleh guru untuk mengemukakan pendapat,
bermain peran, dan membawa acara di
depan kelas. Mereka mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan ide, kurang
menguasai materi yang diberikan oleh guru,
kurang membiasakan diri untuk berbicara di
depan umum, kurangnya rasa percaya diri
pada
siswa,
dan
kurang
mampu
mengembangkan keterampilan bernalar
dalam
berbicara.
Kesulitan-kesulitan
tersebut membuat mereka tidak mampu
mengungkapkan pikiran dan gagasan
dengan baik, sehingga siswa menjadi
enggan untuk berbicara menuangkan ide
kreatifnya.
Berdasarkan pembahasan di atas
peneliti mendesain pembelajaran yang
dapat memotivasi siswa agar dalam
membelajarkan siswa pada materi aspek
berbicara khususnya pembelajaran drama
dalam bermain peran melalui metode roll
play untuk menarik minat siswa, yang
sesuai dengan karakteristik siswa. Dari
beberapa indicator yang tertuang dalam
kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP)
peneliti fokuskan pada Kompetensi Dasar
yang ada di kelas V semester genap yaitu
mengungkapkan pikiran dan perasaan
dengan bermain peran. Dengan kompetensi
Dasar memerankan tokoh dalam drama
dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang
tepat.
Mengingat pentingnya hal tersebut
maka metode bermain peran atau disebut
Role play menjadi sebuah alternatif yang
baik untuk digunakan dalam meningkatkan
dan mengembangkan kemampuan berbicara
siswa dalam pembelajaran drama terutama
pada kompetensi dasar memerankan tokoh
cerita dengan lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat. Siswa berperan seperti layaknya
kehidupan sehari-hari siswa atau dengan
berperan menjadi seseorang yang dia
ketahui secara langsung. Hal di atas
menjadi alasan dan latar belakang sehingga
judul ‘Upaya meningkatkan keterampilan
152
Berbicara melalui metode bermain peran
pada pembelajaran drama siswa kelas V SD
GKST Beteleme dipilih sesuai dengan
masalah yang terjadi di lapangan, dengan
tujuan Untuk meningkatkan kualitas hasil
keterampilan berbicara khususnya dalam
bermain drama melalui metode Roll Play
pada siswa kelas V SD GKST Beteleme.
Secara teoretis, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai masukan bagi guru
melalui metode bermain peran atau roll
play dalam pembelajaran keterampilan
berbicara khususnya drama di sekolah
dasar demi kemajuan siswa dan mutu
pendidikan.
II.
memanfaatkan
faktor-faktor
fisik,
psikologi, neurologis, semantik, dan
linguistik sehingga dapat dianggap sebagai
alat manusia yang paling penti ng terutama
bagi kontrol sosial.
Menurut Mulgrave (dalam H. G.
Tarigan, 2012:16) berbicara bukan sekedar
pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata
tetapi berbicara merupakan suatu alat untuk
mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang
disusun
sesuai
dengan
kebutuhan
pendengar. Melalui berbicara seseorang
berusaha untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaannya ke pada orang lain secara
lisan. Tanpa usaha untuk mengungkapkan
dirinya, orang lain tidak akan mengetahui
apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
Tanpa
berbicara,
seseorang
akan
mengucilkan diri sendiri dan akan
terkucilkan dari orang di sekitarnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa ahli bahasa telah
mendefinisikan pengertian berbicara, di
antaranya adalah H.G Tarigan (2012:16)
menyatakan bahwa berbicara adalah
kemampuan seseorang dalam mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang
bertujuan
untuk
mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan orang tersebut.
Berbicara merupakan sistem tanda-tanda
yang (dapat didengar) dan (dapat dilihat)
dengan memanfaatkan otot dan jaringan
tubuh manusia untuk menyampaikan
maksud dan tujuan, gagasan atau ide-ide
yang dikombinasikan.
SelanjunyaTarigan
(2012:132)
berpendapat bahwa berbicara adalah
keterampilan menyampaikan pesan melalui
bahasa lisan. Dikemukakan pula bahwa
kaitan antara pesan dan bahasa lisan
sebagai media penyampaian sangat erat.
Pesan yang diterima oleh pendengar
tidaklah dalam wujud asli, melainkan dalam
bentuk lain yakni bahasa. Pendengar
kemudian mencoba mengalihkan pesan
dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi
seperti semula.
Sejalan dengan pendapat di atas, St.
Y. Slamet (2008:33) mengungkapkan
bahwa
berbicara
merupakan
suatu
penyampaian maksud bisa berupa gagasan,
pikiran, isi hati seseorang kepada orang
lain. Selain itu, dijelaskan juga berbicara
merupakan bentuk perilaku manusia yang
2.1
Keterampilan Berbicara
Menurut
Iskandarwassid
dan
Dadang Suhendar (2008:241), keterampilan
berbicara pada hakikatnya merupakan
keterampilan memproduksi arus sistem
bunyi artikulasi untuk menyampaikan
kehendak, kebutuhan perasaan, dan
keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini
, kelengkapan alat ucap seseorang
merupakan persyaratan alamiah yang
memungkinkannya untuk memproduk suatu
ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan,
nada, kesenyapan, dan lagu bicara.
Keterampilan ini juga didasari oleh
kepercayaan diri untuk berbicara secara
wajar, jujur, benar, dan bertanggungjawab
dengan menghilangkan masalah psikologis
seperti
rasa
malu,
rendah
diri,
ketegangangan, berat lidah, dan lain-lain.
2.2
Tujuan Berbicara
Berbicara tentu memiliki tujuan
yang ingin disampaikan kepada lawan
bicaranya. Agar tujuan itu dapat
tersampaikan dengan baik dan efektif, maka
pembicara harus memahami hal yang akan
disampaikan
dan
menguasai
aspek
keterampilan berbicara. Dalam hal ini,
pendengar akan memaknai informasi atau
pesan yang disampaikan oleh pembicara.
153
pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan.
Melalui penggunakan metode secara tepat
dan akurat, guru akan mampu mencapai
tujuan dalam pembelajaran. Jadi, guru
sebaiknya
menggunakan
metode
pembelajaran yang dapat menunjang
kegiatan belajar-mengajar, sehingga dapat
dijadikan sebagai alat yang paling efektif
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Seperti yang telah dikemukakan
oleh Mulyani Sumantri dan Johar Permana
(2001:114) bahwa metode adalah cara-cara
yang ditempuh guru untuk menciptakan
situasi pembelajaran yang benar-benar
menyenangkan dan mendukung bagi
kelancaran proses belajar dan tercapainya
prestasi belajar anak yang memuaskan.
Sementara itu, Puji Santosa, dkk
(2008:2.26) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran bahasa Indonesia, metode
diartikan sebagai suatu sistem perencanaan
pembelajaran bahasa Indonesia secara
menyeluruh
untuk
memilih,
mengorganisasikan, dan menyajikan materi
pelajaran bahasa Indonesia secara teratur.
Metode dan pembelajaran dapat
dikatakan sebagai kesatuan kata yang
terdapat dalam ilmu pendidikan di sekolah.
Oleh karena itu, untuk mendefinisikan
pengertian metode pembelajaran haruslah
mendefinisikan apa arti pembelajaran.
Pembelajaran yang diidentikkan dengan
kata’ mengajar’ berasal dari kata ‘ajar’
yang berarti petunjuk yang diberikan
kepada orang supaya diketahui, KBBI
(2012:5).
2.3
Faktor-faktor yang Menunjang
dalam Keefektifan Berbicara
Agar dapat berkomunikasi secara
baik,
pembicara
harus
mempunyai
kemampuan berbicara yang baik pula. Oleh
karena itu, agar pesan atau gagasan
pembicara dapat diterima oleh pendengar,
maka
pembicara
harus
mampu
menyampaikan isi pembicaraan secara baik
dan efektif. Sebagai mana diungkapkan
oleh Maidar G. Arsjad dan Mukti U. S.
(1991: 87) bahwa untuk keefektifan
berbicara, pembicara perlu memperhatikan
faktor kebahasaan dan non kebahasaan.
Yang dimaksud dengan faktor kebahasaan,
antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi
ketepatan pengucapan vokal dan konsonan),
(2) penempatan tekanan, (3) penempatan
persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5)
pilihan kata, (6) pilihan ungkapan, (7)
variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur
kalimat, dan (10) ragam kalimat.
Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi:
(1) keberanian/semangat, (2) kelancaran,
(3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata,
(5) gerak-gerik dan mimik, (6) keterbukaan,
(7) penalaran, dan (8) penguasaan topik.
Aspek-aspek
kebahasaan
dan
nonkebahasaan di atas diarahkan pada
pemakaian bahasa yang baik dan benar.
Mencermati berbagai temuan dari
beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran keterampilan berbicara di SD
berperan penting dalam meningkatkan
keterampilan berbahasa lainnya, sehingga
perlu diterapkan cara atau metode yang
tepat dalam pembelajarannya. Salah satu
penerapan metode yang dapat dipilih dalam
pembelajaran keterampilan berbicara di
Sekolah Dasar (SD) adalah dengan metode
bermain peran sesuai kompetensi dasar
pada kelas V semester II yaitu siswa dapat
memerankan
tokoh
cerita
pada
pembelajaran drama khususnya bermain
peran.
2.5
Manfaat Metode Bermain
Penggunaan metode bermain peran
akan bermanfaat jika mengikuti langkahlangkah yang dikemukakan oleh Bruce
Joyce, et al (2009:341), adalah sebagai
berikut :
Siswa
dapat
meningkatkan
kemampuannya
dalam
mengenali
danmemperhitungkan
perasaannya
sendiri serta perasaan orang lain. Siswa
bisa memiliki perilaku baru dalam
menghadapi situasi sulit yang tengah
dihadapi, dan siswa meningkatkan skill
memecahkan masalah.
2.4
Pembelajaran
Drama
dengan
Menggunakan Metode Roll Play
Dalam
pembelajaran
peranan
metode sangat memegang peranan yang
sangat penting karena merupakan tata cara
dalam
menentukan
langkah-langkah
154
langkah, yaitu perencanaan, aksi atau
tindakan, observasi, dan refleksi (Wibawa,
2004: 13).
Role
playing
bisa
merangsang
timbulnya beberapa aktivitas Siswa
menikmati tindakan atau pemeranan.
Role playing adalah salah satu sarana
untuk
mengembangkan
materi
instruksional. Tingkatan dalam metode
ini tidakakan pernah berakhir dengan
sendirinya, tetapi hanya membantu
siswa untuk mengekspos nilai-nilai,
perasan, solusi masalah, dan tingkah
lakuyang ada dan terpendam dalam diri
siswa.
III.
3.1
Instrumen Pengumpulan Data
Instrument pengumpulan data yang
digunakan terdiri dari tes, postest, lembar
observasi, dan kisi-kisi instrument. Berikut
penjelasan instrument-instrumen tersebut:
Test
Tes adalah suatu teknik pengukuran
yang di dalamnya terdapat berbagai
pertanyaan-pertanyaan, atau serangkaian
tugas yang harus dikerjakan atau dijawab
oleh responden. Tes tertulis ini berupa tes
akhir (postest). Tes awal adalah tes yang
dilaksanakan di awal pembelajaran untuk
mengetahui kemampuan siswa. Sedangkan
tes akhir dilaksanakan pada akhir
pembelajaran untuk mengetahui siswa
setelah pembelajaran berlangsung.
Catatan lapangan untuk merekam
kejadian dan peristiwa-peristiwa selama
kegiatan tindakan kelas berlangsung.
Proses analisis data terdiri dari hasil
data saat pelaksanaan kegiatan. Mahsun
(2010:12) mengatakan, analisis data
merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengklasifikasi, dan mengkelompokan
data. Data yang terkumpul dari hasil
penelitian adalah data yang terdiri dari
observasi aktivitas siswa, hasil observasi
guru dan hasil belajar yang berupa nilai tes
setiap akhir siklus. Ada pun langkahlangkah analisis dari setiap siklus adalah:
Menganalisis data hasil observasi
terhadap pelaksanaan tindakan setiap
siklus dengan teknik analisis deskriptif
kualitatif, yaitu analisis yang hanya
menggunakan paparan sederhana.
Menentukan rata-rata dari seluruh siswa
yang
mengikuti
tes.
Tingkat
keberhasilan siswa berdasarkan skor tes
yang diperoleh ditetapkan dalam nilai
dengan menggunakan rumus:
Model atau format lembar penilaian
terhadap keterampilan berbicara siswa yang
digunakan tertera pada tabel 2 sebagai
berikut :
Format Lembar Penilaian Unjuk
Kerja Keterampilan Berbicara Siswa
Keterangan :
METODE PENELITIAN
Desain atau model penelitian ini
mengacu pada model Kurt Lewin, bahwa
dalam satu siklus terdiri dari empat
langkah, yaitu perencanaan, aksi atau
tindakan, observasi, dan refleksi (Wibawa,
2004: 13).
Lokasi penelitian dilaksanakan di
SD GKST Beteleme, siswa
kelas V
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari 2015 yaitu pada semester II pada
tahun
pelajaran
2014/2015.
Dalam
penelitian ini, peneliti
melaksanakan
pembelajaran secara bersiklus.
Subjek penelitian adalah siswa
kelas V SD GKST Beteleme, jumlah siswa
21 orang yang terdiri atas 10 orang siswa
laki-laki dan 11 orang siswa perempuan.
Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara pada
pembelajaran bahasa Indonesia melalui
metode Bermain Peran.
Penelitian ini berbentuk penelitian
tindakan kelas sehingga mekanisme
kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus
yang dalam setiap siklusnya tercakup 4
kegiatan, yaitu: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan (tindakan), (3) observasi, dan
(4) refleksi. Hal tersebut diperkuat dengan
pendapat Suhardjono (dalam Suharsimi
Arikunto dkk, 2006: 74) bahwa penelitian
tindakan
kelas
merupakan
proses
pengkajian sistem berdaur dalam suatu
siklus. Sistem prosedur penelitian ini
digambarkan sebagai berikut:
Desain atau model penelitian ini
mengacu pada model Kurt Lewin, bahwa
dalam satu siklus terdiri dari empat
155
Kemampuan memberikan intonasi
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Intonasi tepat: sedikit sekali kesalahan
penempatan tekanan kata/suku kata,
pembicaraan juga tidak terkesan datar.
Intonasi cukup tepat: terkadang
membuat kesalahan dalam penempatan
tekanan kata/suku kata sehingga cukup
terkesan datar.
Intonasi kurang tepat: sering tidak
memberikan tekanan kata/suku kata
yang seharusnya mendapatkan intonasi
dan cuku R
Rp membosankan
lawan bicara.
Intonasi tidak tepat: sama sekali tidak
ada tekanan kata/suku kata dalam
pembicaraannya dari awal sampai akhir
sehingga membosankan lawan bicara
dan keseluruhan bicaranya terkesan
datar.
Aspek yang dinilai: lafal, intonasi,
kelancaran,
ekspresi
berbicara
Petunjuk penilaian :
Nilai setiap aspek yang dinilai dalam
berbicara berskala 1 sampai 4
Jumlah skor atau total nilai diperoleh
dari menjumlahkan nilai setiap aspek
penilaian yang diperoleh siswa.
Nilai akhir yang diperoleh siswa diolah
dengan menggunakan rumus:
Jumlah Skor x 100 = Nilai Akhir
20
1.1.1 Nilai rata-rata kelas dihitung
dengan rumus: Jumlah nilai = nilai ratarata
Jumlah siswa
2.1.1 Persentase ketuntasan pembelajaran
berbicara dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Jumlah siswa yang mendapat nilai Nilai
�� �ℎ � �
�
%
rata-rata (NR) =
� � ��
� �
3.1.3
Kelancaran
Kemampuan kelancaran berbicara
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Berbicara lancar: sedikit sekali
berbicara dengan terputus tetapi tidak
terdapat ‘ee….’ dansejenisnya.
Berbicara cukup lancar: terkadang
berbicara dengan terputus-putus dan
menyisipkan buni’ee…’ dan sejnisya
Berbicara kurang lancar: berbicara
sering terputus-putus dan menyisipkan
bunyi ‘ee…’ dan sejenisnya.
Berbicara tidak lancar: berbicara selalu
terputus-putus, banyak pengucapan
sisipan bunyi ‘ee…’ dan sejenisnya.
Penjelasan dari tiap-tiap deskriptor
sebagai berikut :
3.1.1
Lafal
Kemampuan melafalkan bunyi kata
dijelaskan sebagai berikut:
Lafal sangat jelas: mengucapkan kata
maupun kalimat dengan sangat jelas
yaitu benar-benar dapat dibedakan
bunyi konsonan dan vokal (hampir
tidak ada kesalahan).
Lafal jelas: mengucapkan kata maupun
kalimat dengan jelas yaitu dapat
dibedakan bunyi konsonan dan vokal
(artikulasi
jelas
tetapi
sesekali
melakukan kesalahan).
Lafal cukup jelas: cukup kesulitan
mengucapkan bunyi konsonan dan
vokal dengan jelas tetapi masih dapat
dipahami pendengar.
Lafal kurang jelas: melafalkan katakata yang susah sekali dipahami karena
masalah pengucapan yaitu bunyi
konsonan dan vokal kurang jelas untuk
dibedakan
sehingga
memaksa
pendengar harus mendengarkan dengan
teliti ucapannya.
3.1.2
3.1.4
Ekspresi Berbicara
Kemampuan
ekspresi
dalam
berbicara dijelaskan sebagai berikut:
Ekspresi berbicara tepat: terkadang
menggunakan
mimik/pantomimik
berbicara yang dapat membangkitkan
perhatian lawan bicara.
Ekspresi berbicara cukup tepat: terdapat
mimik/pantomimik berbicara tetapi
tidak
proporsional
(terlalu
berlebihan/tidak tepat pada keadaan).
Ekspresi berbicara kurang tepat: raguragu dalam memberikan gerak-gerik
Intonasi
156
dalam bermain drama pada siswa kelas V
SD GKST Beteleme.
(mimik/pantomimik)
yang
dapat
meyakinkan lawan bicara.
Ekspresi
berbicara
tidak
tepat:
berbicara tanpa ada gerakan, statis, dan
terkesan kaku.
IV.
4.3
Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus I
Tes ini dilakukan untuk menilai
keterampilan berbicara siswa dalam
bermain drama setelah menggunakan
metode roll play. Tes dilaksanakan secara
klasikal dan dilakukan secara individu dan
kelompok. Hasil tes akhir tindakan dapat
dilihat pada tabel berikut :
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1
Paparan Data dan Hasil Penelitian
Siklus I
Sesuai dengan data yang diperoleh
dari hasil pengamantan, pada bagian siklus
I akan diungkapkan data tentang: (1)
perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan
pembelajaran, (3) evaluasi pembelajaran,
dan (4) refleksi tindakan. Paparan
selengkapnya sebagai berikut.
Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua
siklus dengan dua kali tindakan, dan terbagi
dalam dua bagian, yaitu : pratindakan dan
tindakan.
Tabel 4.1. Hasil Tes Akhir dalam memerankan tokoh Cerita
Siklus I
Rentang nilai
0 – 24
25 – 49
50 – 74
75 – 100
Jumlah
Frekwensi
0
3
7
11
21
Prosentasi
0
14,29
33,33
52,38
100
Kategori
Tidak tuntas
Tidak tuntas
Tidak tuntas
Tuntas
Dari hasil tes tersebut di atas, dapat
dilihat prosentase ketuntasan klasikal hanya
52,38. Indikator keberhasilan ketuntasan
yang ditetapkan adalah 80%. Ini
menandakan bahwa ketuntasan belajar
klasikal belum tercapai.
Dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa
dalam aktivitas yang dilakukan guru
dikategorikan baik oleh observer, meskipun
ada beberapa aspek yang dinilai kurang,
seperti:
guru kurang mengontrol kegiatan
pembelajaran yang dilakukan siswa saat
kerja kelompok sehingga masih ada
siswa yang tidak mengerjakan tugas
secara keseluruhan,
guru kurang memberikan penghargaan
bagi
kelompok
yang
telah
mempresentasikan jawabannya,
guru kurang optimal dalam pengelolaan
waktu sehingga tidak sesuai dengan
rencana yang telah dibuat.
Dari pengamatan yang dilakukan
terhadap
aktivitas
siswa,
diperoleh
informasi bahwa siswa sangat antusias
dalam mengikuti pembelajaran, apalagi
dengan adanya teka-teki kata yang dibuat
guru dalam LKS, walau dalam beberapa
aspek
Masih dinilai kurang oleh observer,
seperti
4.2
Kegiatan Pratindakan
Sebelum dilaksanakan penelitian,
peneliti melakukan observasi awal terhadap
kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di
kelas V, khususnya bermain drama pada
aspek berbicara. Dari hasil observasi, dapat
diidentifikasi masalah yang menyebabkan
siswa kesulitan di dalam memeragakan
tokoh cerita. Salah satunya adalah budaya
belajar yang masih senang menerima. Hal
ini menyebabkan kurangnya keterampilan
siswa dalam melakoni peran tokoh
sehingga dalam berakting dirasakan sulit
oleh siswa, terlebih dalam berekspresi.
Hasil analisis tes awal (perbuatan)
sebelum menggunakan metode rool play,
dapat diketahui bahwa kemampuan siswa
dalam bermain drama masih sangat rendah,
ini dibuktikan dari 21 siswa yang mengikuti
tes yang tuntas dalam memerankan tokoh
cerita hanya 6 orang atau hanya sebesar
28,58%.
Maka, peneliti bersama kolaborator
mencari solusi dan menetapkan metode
yang akan diterapkan dalan penelitian
tindakan kelas, dengan tujuan untuk
meningkatkan
keterampilan
berbicara
157
berdasarkan rencana pembelajaran yang
telah dibuat dengan tetap mengacu pada
pendekatan metode Roll SPlay pada
pembelajaran drama dalam brmain peran
untuk meningkatkan keterampilan berbicara
siswa.
Siswa kurang berpartisipasi dalam
pembelajaran,
Tidak semua siswa aktif dalam
pembelajaran kelompok,
Saat diberi kesempatan untuk bertanya,
masih banyak siswa yang belum
berani,dalam
mempresentasikan
melakoni peran dari tokoh cerita
singkat, masih banyak siswa yang
belum bisa untuk menyampaikan hasil
diskusinya
member
komentar
penampilan siswa berakting dengan
baik
dikarenakan
kurangnya
perbendaharaan kosa kata/berbicara
secara sistematis.
Wawancara
dilakukan
guru
terhadap siswa dengan tujuan untuk
mengetahui
kesulitan-kesulitan
yang
dialami siswa dalam pembelajaran. Dari
hasil wawancara, dapat diketahui bahwa 1)
siswa senang dengan model pembelajaran
yang diterapkan guru, walau siswa masih
merasa kesulitan untuk berbicara dengan
kalimat yang runtut, 2) siswa belum
terbiasa untuk memeragakan di depan kelas
atau berbicara secara sistematis.
4.6
Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus II
Tes siklus II ini juga dilaksanakan
secara klasikal. Tes ini dilaksanakan untuk
menilai hasil keterampilan berbicara
melalui bermain drama. Siswa juga diberi
kesempatan untuk mengisi angket respon
siswa terhadap model pembelajaran yang
diterapkan.
Hasil tes akhir siklus II dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2. Hasil Tes Akhir Memerankan Tokoh Cerita
Siklus II
Rentang nilai
0 – 24
25 – 49
50 – 74
75 – 100
Jumlah
Frekwensi
0
0
3
18
21
Prosentasi
0
0
14,29
85,71
100
Kategori
Tidak tuntas
Tidak tuntas
Tidak tuntas
Tuntas
Dari tabel di atas, dapat dilihat
bahwa ketuntasan klasikal mencapai
85,71% atau yang tuntas belajar ada 18
siswa dari 21 siswa. Indikator keberhasilan
telah tercapai bahkan lebih dari yang
diharapkan.
Dari hasil analisis angket yang diisi
oleh seluruh siswa, diperoleh informasi
sebagai berikut.
4.4
Refleksi Tindakan Siklus I
Peneliti
bersama
kolaborator
melakukan refleksi terhadap pelaksanaan
tindakan pada siklus I. Dari hasil analisis
tes akhir, siswa belum tuntas secara klasikal
karena hanya mencapai 52,38% atau dari 21
siswa, yang tuntas belajar hanya 11 orang.
Hal ini disebabkan belum optimalnya
pembelajaran yang dilakukan guru.
Dari hasil wawancara, observasi,
dan hasil belajar siswa, dapat disimpulkan
bahwa penelitian tindakan siklus I belum
berhasil maka dilanjutkan pada siklus II
untuk melihat kemajuan belajar siswa
dengan
memperbaiki
kekurangankekurangan yang terjadi pada siklus I.
4.7
4.5
Hasil Tindakan Siklus II
Perencanaan tindakan siklus II ini
sama dengan pada siklus I, hanya media
pembelajaran yang digunakan bukan lagi
potret lingkungan sekolah.
Pelaksanaan pembelajaran pada
siklus II dilaksanakan pada tanggal 16 April
2015. Kegiatan pembelajaran dilakukan
Hasil Analisis Penilaian Respon
Siswa terhadap metode Roll Play
No
Skor
Siswa
Kategori
Respon
1.
2.
85
80
3.
75
Sikap
Keterampilan
Pemahaman
Materi
Jumlah
Siswa
(Skala
Likkert)
18
19
18
Persentase
(%)
85,71
90,48
85,71
Dari tabel di atas. diperoleh hasil
respon sikap siswa 85,71%, keterampilan
90,48%, dan pemahaman materi 85,71%.
Berdasarkan kategori penilaian respon
siswa terhadap pembelajaran bahasa
158
Indonesia dengan menggunakan metode
roll play diperoleh hasil bahwa untuk ketiga
kategori tersebut di atas menunjukkan
respon yang positif dari hampir seluruh
siswa.
V.
Berdasarkan kategori penilaian respon
siswa terhadap pembelajaran bahasa
Indonesia dengan menggunakan metode
roll play diperoleh hasil bahwa untuk ketiga
kategori tersebut di atas menunjukkan
respon yang positif , oleh sebab itu
penelitian dihentikan pada siklus yang
kedua.
SIMPULAN
Dari hasil analisis tes akhir siklus I,
siswa belum tuntas secara klasikal hanya
mencapai 52,38% atau dari 21 siswa hanya
11siswa yang tuntas belajar. Hal ini
disebabkan belum optimalnya pembelajaran
yang dilakukan guru dan penerapan metode
roll play belum maksimal. prosentase
ketuntasan klasikal hanya 52,38. Sedangkan
indikator keberhasilan ketuntasan yang
ditetapkan adalah 80%. Ini menandakan
bahwa ketuntasan belajar klasikal belum
tercapai maka kegiatan dilanjutkan pada
siklus yang kedua.
Ketuntasan klasikal pada siklus II
mencapai 85,71% atau yang tuntas belajar
ada 18 siswa dari 21 siswa. Indikator
keberhasilan telah tercapai bahkan lebih
dari indicator yang telah ditetapkan. Respon
sikap siswa 85,71%, keterampilan 90,48%,
dan pemahaman materi 85,71%.
VI.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan peneliti menyarankan beberapa
hal yang terkait dengan peningkatan
kemampuan siswa dalam bermain drama.
Pada hakikatnya pembelajaran drama
merupakan keterampilan berbicara yang
urgency yang harus dikuasai dan disenangi
oleh siswa, dengan demikian guru dapat
menciptakan pembelajaran yang kreatif dan
inovatif untuk dapat mengembangkan
potensi diri, menerapkan berbagai metode,
strategi, materi, media dan evaluasi
pembelajaran yang berkualitas agar hasil
pembelajaran drama pada aspek berbicara
siswa terus dapat ditingkatkan.
159
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Agus Suprijono. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alwasilah, A. Chaedar dkk. (1998). Pengajaran bahasa komunikatif, teori dan praktek.Bandung : Remaja Rosda karya.
Akhadiah, Sabarti. (1988). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta:PT gelora Aksara Pramata.
Aninditya Sri Nugraheni. 2009.”Penerapan Strategi Cooperative Learning Jenis Think-Pair-Share (TPS) pada Pembelajaran
Kompetensi Berbicara pada Siswa Kelas VI-H SD Al-Islam Surakarta”. Thesis. Universitas Sebelas Maret, tidak
dipublikasikan.
BSNP. (2006). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD dan MI. Jakarta:Media Makmur Maju
Mandiri
Bruce Joyce. 2009. Model-model Pengajaran. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Djargo, Tarigan. (1996). Pendekatan Komunikatif dan berbicara. Bandung : Angkasa.
Hamalik. (2009). Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Henry Guntur Tarigan. 2012. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Mulyani, Sumantri. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
160
Media Litbang Sulteng IX No. (1), Januari 2016
ISSN : 1979 - 5971
DAFTAR ISI
9.
1. Penggunaan Media Foto Keluarga Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam
Pembelajaran Menulis Narasi Pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa
Kelas VII SMP 1 Beteleme (Ferlin Selviani
Kalaena) ....................................................01
2. Peningkatan Hasil Dan Aktivitas Belajar
Siswa Dalam Pembelajaran Menulis
Deskripsi Pada Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia Melalui Penerapan Permainan
Tebak Misteri Pada Siswa Kelas VII SMP 1
Beteleme (John Budzer Poko) ……...……11
10. Peningkatan Hasil Belajar Bola Kasti Pada
Mata
Pelajaran
Penjaskes
Melalui
Penerapan
Model
Pembelajaran
Cooperative
Learning
Berkombinasi
Dengan Pendekatan Lingkungan Pada
Siswa Kelas V SDN 3 Kolonodale (Adris
Ganoli).....................................................95
3. Peningkatan Keaktifan Dan Hasil Belajar
Keterampilan Berbicara
Pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui
Penerapan Model Pembelajaran Snowball
Throwing Pada Siswa Kelas VII SMP
Negeri 8 Sigi (Doriana Taiso) ..................23
11. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui
Model Pembelajaran Problem Based
Learning Pada Mata Pelajaran Pkn Pada
Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo (Lis
Marta Lapoliwa)...................................105
4. Penerapan Pendekatan Multiple Intelegence
Linguistic Intelegence Untuk Meningkatkan
Keterampilan Menulis Siswa Kelas V SDN I
Beteleme (Helnice Talingkau)..................35
12. Peningkatan Partisipasi Dan Hasil Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Pkn Melalui
Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif
Dengan Media Puzzle Pada Siswa Kelas
VII SMP Negeri 4 Sigi (Bernike)..........117
5. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Mata
Pelajaran
Bahasa
Indonesia
Aspek
Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi
Dengan Menggunakan Media Brosur
Perjalanan Wisata Pada Siswa Kelas X SMA
Negeri 1 Sindue (Zusje Marie Deetje
Kumenit)………………………………....44
13. Peningkatan Hasil Dan Motivasi Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Sejarah Melalui
Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort
Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue
(Silim).....................................................129
14. Peningkatan Motivasi Dan Prestasi Belajar
Siswa Dalam Mengapresiasi Karya Seni
Rupa Pada Mata Pelajaran Seni Budaya
Melalui Penerapan Model Pembelajaran
Pameran Karya Seni Pada Siswa Kelas XI
SMA
Negeri
8
Sigi
(Yerkas
Maleta)...................................................140
6. Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa
Melalui Bimbingan Konseling Dengan
Penerapan Metode Sosiodrama Pada Siswa
Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue (Samsi)
....................................................................55
7.
8.
Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Dan
Psikomotorik Siswa Dalam Mata Pelajaran
Bahasa
Indonesia
Pada
Aspek
Keterampilan Menulis Karangan Narasi
Melalui Penggunaan Media Foto Kenangan
Pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu
(Antonius Vuliantoro).............................85
Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada
Materi
Gerak
Tumbuhan
Melalui
Penerapan Model Pembelajaran Inside
Outside Circle Pada Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 1 Mori Atas(Yulinus Mowendu)......
..................................................................64
15. Upaya
Meningkatkan
Keterampilan
Berbicara Melalui Metode Bermain Peran
Pada Siswa Kelas V SD GKST Beteleme
(Eflilian Kalaena)..................................151
Peningkatan Hasil Dan Aktivitas Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika
Melalui Penerapan Model Pembelajaran
Problem Posing Pada Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 1 Lembo (Julianeri Russang)
..................................................................74
161
ISSN : 1979 - 5971
Media Litbang Sulteng IX No. (1), Januari 2016
MEDIA LITBANG
SULAWESI TENGAH
Penanggung Jawab
Kepala Balitbangda Provinsi Sulteng
Redaktur
Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan
Penyunting/Editor
Dr. Agus T. Syam, S.Pd, M.Pd
Obin, S.Sos
Desain Grafis
Muhammad Anshar DM, S.Sos
Iwan Setyawan, S.Kom
Handriani Octavia
Sekretariat Media Litbang Sulteng
Jl.Dr. Suharso No.14 Telp/Fax. (0451) 426810 – 457103 Palu – 94112
Website : www.balitbangda.sultengprov.go.id
Terbit Berdasarkan SK Kepala Balitbangda
Nomor : 900/0108/Bid. EVLAP, Tanggal 19 Januari 2016
162
PEDOMAN PENULISAN
Media Litbang Sulawesi Tengah adalah Media Publikasi Hasil-Hasil Penelitian terbaru dan merupakan tulisan asli
yang berkaitan dengan aspek pembangunan secara luas di Sulawesi Tengah, dengan bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris. Naskah yang diterima adalah hasil-hasil penelitian, review atau analisis kebijakan yang belum pernah dimuat di
dalam jurnal ilmiah Nasional maupun Internasional.
1.
Pedoman Umum
Naskah di ketik dua spasi pada kertas HVS ukuran A4 (21x29,5), huruf Times New Roman berukuran 12 point.
Kata di akhir baris tidak boleh di pisahkan. Setiap halaman di beri nomor secara berurutan, maksimum 15 halaman
termasuk tabel dan gambar. Naskah di ketik dengan prgram Microsoft Word (Microsoft Office 2003). Naskah sebanyak
3 eksemplar dan Flashdisk di Kirim ke :
Sekretariat Media Litbang Sulawesi Tengah
Kantor Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah
Jl. Dr. Suharso No.14 Palu 94112. Telepon/Fax : (0451) 426810 - 457103
2.
Susunan Naskah
Naskah di susun dalam urutan Halaman Judul, Abstract, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan pembahasan.
Kesimpulan dan Daftar Pustaka. Review dan Analisis Kebijakan di tulis sebagai naskah sinambung tanpa subjudul Bahan
dan Metode dan, Hasil dan Pembahasan.
3.
Halaman Judul
Pada halaman judul di tulis naskah, nama lengkap penulis, nama lembaga afiliasi penulis dan nama penulis untuk
korespondensi. Judul naskah di ketik cetak tebal (bold) dengan huruf kapital untuk semua huruf kecuali huruf latin. Nama
lembaga afiliasi penulis disertai alamat lengkap dengan kode pos. Nama penulis untuk korespondensi dilengkapi nomor
telepon, Faximile dan e-mail.
4.
Abstrak
Abstrak di tulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 350 kata. Ditulis dalam bahasa Inggris atau Indonesia, dan di
dalamnya tidak terdapat kutipan pustaka. Abstrak disertai kata kunci, maksimum 6 kata kunci, ditulis setelah abstrak.
5.
Teks
Penulisan Sub judul utama (Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil Pembahasan dan Kesimpulan, menggunakan
huruf kapital yang diawali dengan penulisan angka Romawi (I, II, ........ dst), sedangkan untuk sub-sub judul menggunakan
huruf kapital hanya diawali kata yang diawali dengan penulisan angka 1.1, 1.2, ........ dst.
6.
Pustaka
Kutipan pustaka harus di susun berdasarkan nama penulis dan tahun. Untuk pustaka dengan tulisan lebih dari dua,
ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al’. yang ditulis miring (italic). Daftar pustaka di tulis berdasarkan urutan alfabet
nama penulis, diurut dengan nama famili kemudian diikuti dengan singkatan dari nama penulis. Beberapa contoh penulisan
daftar pustaka sebagai berikut :
Jurnal :
Delhaize, E., Ryan, P.R., 1995. Aluminium toxicity and tolerance in plant. Plant Physio. 107 : 315-324.
Nirwan, Aziz SA. 2006. Multiplikasi dan pigmentasi antosianin daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC in vitro.
Buletin Agronomi 34 (2) : 112 – 118.
Buku :
Hudson, T. H., Cester, D. E., Davies, F.T., 1990. Plant Propagation. 4 rd Ed. Prentice Hall. New Jersey. 600p.
7.
Tabel dan Gambar
Penomoran tabel dan gambar adalah berurutan, dengan judul tabel dan gambar menggunakan huruf kapital pada
kata pertama. Catatan kaki menggunakan angka dengan kurung tutup, dan diketik superscript. Grafik dan ilustrasi harus
kontras dan dibuat dengan tinta hitam, kecuali foto dapat dibuat berwarna. Judul tabel diketik di bagian atas tabel,
sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar. Penulisan tabel dan gambar sejajar dengan sisi kiri naskah, setiap gambar
harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
8.
Prosedur Publikasi
Seluruh naskah yang di terima akan dikirim ke Dewan Editor untuk di nilai. Penilaian akan di lakukan oleh satu
orang ahli di bidang yang bersangkutan. Dewan Editor akan menentukan naskah yang dapat diterbitkan. Naskah yang
diterbitkan tidak akan dikembalikan.
163
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena Berkat dan RahmatNya sehingga Jurnal Media Litbang
Volume IX No. 1 Tahun 2016 dapat kembali terbit sesuai dengan rencana. Penerbitan Media Jurnal Litbang ini dimaksudkan untuk
menyebarluaskan informasi dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang merupakan hasil riset Balitbangda Propinsi Sulawesi
Tengah bekerjasama dengan Universitas Tadulako sejak Tahun 2012, dengan maksud agar masyarakat pengguna khususnya
Lembaga-lembaga Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan dan Lembaga-lembaga Swasta serta masyarakat pada umumnya dapat
menjadikan Jurnal Media Litbang ini sebagai sumber informasi atau bahan pengembanan pendidikan dan acuan dalam penyusunan
program pembangunan di Sulawesi Tengah.
Tulisan dan hasil-hasil kajian dan riset yang di muat dalam Jurnal Media Litbang ini selain merupakan hasil riset yang
dilakukan kepada masyarakat di Sulawesi Tengah sebagai subyek penelitian, juga memuat Karya Ilmiah para pendidik sehingga
hasil penelitian ini benar-benar merupakan gambaran keadaan dan fakta nyata dari produk masyarakat Sulawesi Tengah sendiri. Dan
pula hasil penelitian dalam Media Litbang ini telah melalui uji kelayakan pada seminar awal dan akhir yang mengikut sertakan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, LSM dan unsur-unsur lain yang ada kaitannya dengan penelitian
sehingga data dan informasi yang ditampilkan memiliki nilai ilmiah dan telah melalui kajian dan analisis dari para peneliti maupun
pendidikan.
Semoga Jurnal Media Litbang ini akan terus menjadi sumber informasi dan bahan acuan pengambil kebijakan di PEMDA
Propinsi, Kabupaten/Kota, sehingga apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dapat terwujud yaitu masyarakat yang madani
dan sejahtera.
Salam Redaksi
164
165
166