[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Media Litbang Sulteng IX (1) : 1-10, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENGGUNAAN MEDIA FOTO KELUARGA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN MENULIS NARASI PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS VII SMP 1 BETELEME Oleh : Ferlin Selviani Kalaena1) ABSTRAK Adapun latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya temuan peneliti di SMP 1 Beteleme bahwa banyak siswa yang belum mampu menulis dengan baik dan benar, sehingga mengindikasikan bahwa pembelajaran keterampilan menulis kurang berhasil. Pada umumnya, siswa di sekolah tersebut kurang terampil dalam hal menulis narasi pada pembelajaran Bahasa Indonesia yang berdampak pada kurangnya keaktifan siswa dalam pembelajaran menulis. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu media pembelajaran yang efektif dan dapat menunjang kegiatan pembelajaran. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme adalah dengan menggunakan media Foto Keluarga. Dengan media Foto Keluarga, siswa dapat lebih mudah dalam mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, sehingga menjadi sebuah tulisan yang berbentuk narasi. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme?. Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme melalui media Foto Keluarga. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan di SMP 1 Beteleme. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, tes hasil belajar, dan jurnal refleksi diri. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti dari hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada prasiklus, dari 22 siswa didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa yang tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Selanjutnya, hasil belajar pada siklus I mengalami peningkatan yakni diperoleh nilai rata-rata 75,86, siswa yang tuntas naik menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada siklus I, nilai rata-rata 92,22 dan siswa yang tuntas meningkat menjadi 22 siswa atau dalam artian bahwa 100 % memperoleh nilai dengan tuntas. Kata Kunci: Media Foto Keluarga, Hasil Belajar, Menulis Narasi. ABSTRACT The background of this study is the finding of researchers at SMP 1 Beteleme that many students who have not been able to write well and correctly, thus indicating that less successful learning writing skills. In general, students in these schools are less skilled in terms of narrative writing in learning Indonesian impacting on the lack of involvement of the student in learning to write. Therefore, it is necessary to apply an effective learning media and can support learning activities. One medium that can be used to improve writing narratives on subjects Indonesian students of class VII SMP 1 Beteleme is to use the media family photos. Family Photos with media, students can more easily express what he had in mind, so that it becomes a literary narrative. The main problem in this study is whether the use of family photos media can improve student learning outcomes in narrative writing on Indonesian subjects in class VII SMP 1 Beteleme ?. The purpose of this research is to improve the skills of writing narrative in class VII SMP 1 Beteleme through the medium of family photos. The study design used is a Class Action Research (PTK). This study was conducted in SMP 1 Beteleme. Subjects in this study were students of class VII with the number of students as many as 22 students. The instrument used in this study was the observation sheets, test results of learning and self-reflection journal. The type of data in this study is qualitative data and quantitative data. Based on the research that has been conducted, use of family photos media can improve student learning outcomes in learning to write narratives on subjects Indonesian students of class VII SMP 1 Beteleme. This is evident from the results of learning obtained by students who continue to increase in each cycle. At prasiklus, of 22 students found the average value of 64.86, the number of students who completed 2 (9.09%) who have not completed 20 students or 90.90%. Furthermore, the study in the first cycle has increased the average values obtained 75.86, students who completed rose to 12 students or 54.54%. In the first cycle, the average value of 92.22 and students who pass increased to 22 students or in the sense that the 100% gain value completely. Keywords: Media Family Photos, Results Learning, Writing Narrative. 1 I. bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang sangat membosankan, khususnya dalam aspek menulis. Menulis pada hakikatnya merupakan kegiatan menyampaikan ide atau gagasan dengan menggunakan bahasa tulis. Kegiatan menulis merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap orang baik menulis pada tingkat rendah maupun pada tingkat yang lebih tinggi. Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling tinggi dan paling kompleks tingkatannya dari keterampilan berbahasa yang lain. Keterampilan menulis hanya dapat dicapai melalui latihan yang lama dan intensif. Hal ini juga harus didukung oleh media yang digunakan dalam mengajarkan keterampilan menulis. Berdasarkan hasil observasi langsung di SMP 1 Beteleme, menunjukkan bahwa banyak siswa yang belum mampu menulis dengan baik dan benar, sehingga mengindikasikan bahwa pembelajaran keterampilan menulis kurang berhasil. Hal ini dikarenakan banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran keterampilan menulis, antara lain, faktor dari guru dan faktor dari siswa. Faktor dari guru ada kecenderungan guru dalam proses belajar mengajar (PBM) hanya memberikan pembelajaran keterampilan menulis secara teoretis, kurang pada praktik. Kalaupun memberikan kegiatan praktik menulis, guru hanya mengevaluasi hasil ketrampilan menulis siswa tetapi tidak pada pembahasan kesalahan yang dilakukan siswa dalam menulis. Pada umumnya siswa di sekolah tersebut kurang terampil dalam hal menulis narasi pada pembelajaran Bahasa Indonesia, disamping itu siswa yang mengikuti pembelajaran kurang bersemangat karena guru kurang melibatkan siswa dalam PBM, hal ini ditemukan peneliti dari hasil observasi yang dilakukan pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme yang berdampak pada kurangnya keaktifan siswa dalam pembelajaran menulis, sehingga temuan peneliti secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: (1) guru hanya menyuruh siswa menulis cerita tentang PENDAHULUAN Pada dasarnya, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diajarkan di sekolah bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, dan meningkatkan keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek keterampilan yang saling mendukung, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa tidak akan dimiliki seseorang secara otomatis, melainkan perlunya latihan dan praktik secara teratur serta adanya potensi yang mendukung. Potensi tersebut dapat dicapai dengan sering berlatih dengan sungguh‐sungguh. Pembelajaran menulis tidak lepas dari pembelajaran bahasa. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik. Bahasa juga merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi (BSNP, 2006). Untuk berbahasa dengan baik dan benar diperlukan pendidikan dan pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan dan pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada siswa di sekolah. Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri bagi seorang guru, mengingat bahasa ini bagi sebagian sekolah merupakan bahasa pengantar untuk menyampaikan materi pelajaran yang lain. Pembelajaran Bahasa Indonesia membantu peserta didik untuk mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipaasi dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan, serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif (Depdiknas, 2006). Berdasarkan kenyataan yang terjadi saat ini, mata pelajaran Bahasa Indonesia terkadang sangat diremehkan oleh sebagian besar siswa maupun guru yang tidak mengajar Bahasa Indonesia. Hal yang lebih memprihatinkan adalah adanya anggapan 1) Guru SMP 1 Beteleme 2 mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, sehingga menjadi sebuah tulisan yang berbentuk narasi. Sebagaimana diketahui bahwa narasi merupakan pengisahan suatu cerita atau kejadian. Dalam hal ini, siswa akan diminta untuk membuat sebuah tulisan dalam bentuk narasi atau mengisahkan sesuatu berdasarkan apa yang tampak pada foto keluarga yang ditampilkannya. Penggunaan media foto keluarga pada pembelajaran menulis cerita dapat mempermudah siswa menerima pelajaran, karena siswa dapat memahami lewat apa yang dilihatnya dalam media foto itu. Guru dapat menggunakan media foto keluarga untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga penjelasannya lebih konkret bila diuraikan melalui katakata. Melalui media foto ini, guru dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih realistik dengan menggunakan keterampilan menulis. Menurut Amir (2007: 25), media pembelajaran dapat: (1) Memperjelas materi, (2) Membangkitkan motivasi, (3) Meningkatkan pemahaman. Dari ketiga hal tersebut, tentunya akan berdampak pada hasil belajar yang akan diperoleh oleh siswa. Jika siswa telah merasa senang dalam mengikuti pembelajaran, maka hasil belajar siswa pun dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tentu akan meningkat. Diharapkan dengan adanya penggunaan media Foto Keluarga, maka dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Dalam hal ini, peneliti mengangkat sebuah judul penelitian yakni “Penggunaan Media Foto Keluarga Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Menulis Narasi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme”. Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam menulis narasi pada mata pengalamannya tanpa ada konsep awal yang jelas, tentang menulis cerita (2) apabila guru mengajar kurang melibatkan siswa secara langsung dalam KBM yang dilaksanakan dalam kegiatan menulis cerita, baik secara perseorangan maupun secara kelompok, (3) jika siswa menulis sebuah cerita berdasarkan pengetahuannya atau hasil dari pengalamannya, guru kurang memberi bimbingan pada siswa, kearah perbaikan yang lebih baik, (4) kurangnya motivasi yang diberikan guru kepada siswa agar keterampilan menulisnya dapat berkembang, (5) guru kurang menggunakan media yang sifatnya inovatif dan kreatif yang melibatkan aktivitas mental, fisik maupun emosional. Faktor penyebab utama yang harus segera dicari jalan keluarnya adalah faktor media yang digunakan guru masih belum inovatif dan kurang bervariasi. Hal tersebut, sangat berpengaruh terhadap kemampuan menulis narasi siswa dan dikhawatirkan dapat menyebabkan menurunnya kualitas menulis siswa jika tidak segera diatasi. Untuk itu, perlu adanya upaya meningkatkan keterampilan menulis siswa. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu media pembelajaran yang efektif dan dapat menunjang kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran yang bermacam‐ macam menyebabkan guru harus selektif dalam memilih media pembelajaran yang akan digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi penentuan media pembelajaran adalah materi pembelajaran. Setiap materi mempunyai karakteristik yang turut menentukan pula media yang digunakan untuk menyiapkan materi tersebut. Begitu pula dalam pembelajaran menulis, seorang guru harus memilih dan menggunakan media yang sesuai, sebagai penunjang kegiatan pembelajaran agar mampu mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme adalah dengan menggunakan media Foto Keluarga. Dengan media Foto Keluarga, siswa dapat lebih mudah dalam 3 tetapi dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri. b. Perubahan Perilaku Hasil belajar akan Nampak pada perubahan perilaku individu belajar. Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan perilaku sebagai akibat kegiatan belajarnya. Pengetahuan dan keterampilannya bertambah dan penguasaan nilai-nilaidan sikapnya bertambah pula. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar diklasifikasikan menjadi tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomototik. c. Pengalaman Belajar adalah mengalami dalam arti bahwa dalam belajar terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan pembelajran yang baik ialah lingkungan yang merangsang dan menantang siswa untuk belajar. Guru yang mengajar tanpa menggunakan alat peraga kurang merangsang dan menantang siswa untuk belajar. pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme?. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme melalui media Foto Keluarga. Hasil penelitian tindakan kelas ini akan memberikan manfaat yang berarti diantaranya: (1) Bagi siswa, hasil penelitian ini akan memberikan sumbangsih yang baik bagi siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya sehingga mereka lebih aktif. (2) Bagi Guru, memiliki pengetahuan dan wawasan tentang penggunaan media Foto Keluarga dalam meningkatkan keterampilan menulis narasi sebagai salah satu bentuk inovasi pembelajaran di Sekolah (3) Bagi Sekolah, penelitian ini dijadikan bahan masukan bagi pihak sekolah dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. (4) Bagi Peneliti, diharapkan dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penggunaan media Foto Keluarga dalam meningkatkan keterampilan menulis narasi. II. 2.2 Hasil Belajar Hasil belajar adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan tes hasil belajar. Hasil belajar yang diperoleh oleh seseorang dapat dijadikan sebagai indikator tentang kemampuan, kesanggupan, penguasaan seseorang tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap atau nilai yang dimiliki oleh orang itu dalam kegiatan belajar (Haling, 2007). Hasil belajar seringkali diasumsikan sebagai cermin kualitas suatu sekolah. Dengan hasil belajar yang diperoleh, guru akan mengetahui apakah metode serta media yang digunakan sudah tepat atau belum. Jika sebagian besar siswa memperoleh angka jelek pada penelitian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan atau metode dan media yang digunakan kurang tepat. Apabila hal ini terjadi, maka guru harus mawas diri dan mencoba mencari metode dan media lain dalam mengajar. (Arikunto, 2005). Pada pelaksanaan pembelajaran, pengukuran hasil belajar bertujuan untuk TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar Belajar adalah suatu aktivitas yang disengaja dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu menjadi mampu melakukan sesuatu itu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil. Menurut Gagne (1984) bahwa belajar adalah suatu proses dimana suatu oraganisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsure pokok dalam belajar, yaitu proses, perubahan perilaku dan pengalaman. a. Proses Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Seorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif. Aktifitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati oleh orang lain akan 4 270) keterampilan menulis merupakan keterampilan yang palig sulit dikuasai siswa disbandingkan keterampilan membaca, berbicara, dan menyimak. Agar tulisan dipahami oleh pembaca, maka penulis harus mampu menyajikan tulisan yang baik. Tulisan yang merupakan komunikasi komunikasi pikiran dan perasaan yang efektif. Menurut C. Morris, semua komunikasi tulis efektif dan tepat guna jika sang penulis mengetahui (1) pokok persoalan, (2) cara memberi struktur gagasannya, dan (3) cara mengekspresikan dirinya dengan baik (Tarigan 1998:7). Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan dan ekspretif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Menulis merupakan aktifitas seluruh otak yang mengunakan belahan otak kanan (emosional) dan otak belahan kiri (logika). Proses berpikir otak kiri bersifal logis, sekuensial, linear, rasional dan sangat teratur. Proses berpikir tersebut cocok untuk tugas-simbolik. Proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur intuitif dan holistic. Cara berpikir ini cocok untuk hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, emosi, music, kreatifitas dab visualisasi karena itu keterampilan menilis membutuhkan kedua belahan otak. mengetahui seberapa jauh perubahan tingkah laku pebelajar setelah selesai mengikuti suatu kegiatan belajar. Kegiatan pengukuran umumnya guru menggunakan tes sebagai alat ukur. Hasil pengukuran itu berbentuk angka yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat penguasaan pebelajar terhadap materi pembelajaran. Angka atau skor sebagai hasil pengukuran mempunyai makna jika dibandingkan dengan patokan sebagai batas yang menyatakan bahwa pebelajar telah menguasai secara tuntas materi pelajaran tersebut (Haling, 2007). Menurut Bloom, dkk (Sudjana, 2004). Mengklasifikasikan hasil belajar tiga domain atau ranah yaitu ranah kognitf, psikomotor dan sikap. Ranah kognitif menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektual, ranah psikomotor berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau keterampilan motorik, ranah sikap berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi. Dapat diasumsikan bahwa untuk menghasilkan ketiga ranah hasil belajar tersebut sedikit banyak ditentukan atau dipengaruhi factor internal seperti pengetahuan. Prasyarat atau kemampuan awal dari masing-masing kategori hasil belajar yang telah dimiliki oleh siswa yang berkaitan dengan kapabilitas atau keterampilan yang sedang dipelajari. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah ukuran yang menyatakan taraf kemampuan, berupa penguasaan ilmu, kecakapan yang diperoleh oleh seseorang sebagai hasil dari sesuatu yang dipelajarinya dalam jangka waktu tertentu, dan hasil tersebut dipengaruhi oleh intelegensi dan kemampuan awal siswa. Sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa merupakan ukuran berhasil tidaknya kegiatan belajar mengajar. 2.4 Narasi Menurut Widjono (2007: 175), Pengertian Narasi adalah uraian yang menceritakan sesuatu atau serangakaian kejadian, tindakan, keadaan secara berurutan dari permulaan sampai akhir sehingga terlihat rangkaian hubungan satu sama lain. Bahasanya berupa paparan yang gayanya bersifat naratif. Contoh jenis karangan ini biografi, kisah, roman, novel, dan cerpen. Menurut Keraf (2001: 137) Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Oleh sebab itu, unsur yang paling penting pada sebuah narasi adalah unsur perbuatan atau tindakan. Apa yang terjadi tidak lain tindak tanduk 2.3 Keterampilan Menulis Keterampilan menulis adalah kesanggupan dan kecakapan seseorang didalam mempergunakan bahasa secara cermat, tepat, dan cepat dalam bentuk ekspresi menulis. Menurut Tarigan (1998: 5  visual, auditori dan kinestetiknya. Memberi rangsangan yang sama, pengalaman dan memperamakan menimbulkan persepsi yang sama. Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan menyalurkan pesan (bahan untuk pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. yang dilakukan orang-orang dalam suatu rangkaian waktu. Narasi lebih mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu. Marahimin (1994: 93) dalam bukunya yang berjudul Menulis secara populer mendefinisikan narasi adalah cerita. Cerita ini berdasarkan pada uruturutan suatu (atau rangkaian) kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian ini ada tokoh (beberapa tokoh) dan tokoh ini mengalami dengan menghadapi suatu (serangkaian) konflik dengan tikaian. Kejadian, tokoh, dan konflik ini merupakan alur. Dengan demikian, narasi adalah cerita berdasarkan alur. Berdasarkan beberapa pendapat di atas antara pendapat satu dengan pendapat yang lain berbeda. Namun, dari semua pendapat tersebut di atas mengarah pada satu pengertian karangan narasi yaitu bahwa dalam karangan narasi terdapat adanya peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu. Disimpulkan bahwa bahwa pengertian karangan narasi adalah karangan yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa secara runtut. 2.6 Media Foto Media foto merupakan jenis media visual, yang memanfaatkan indera penglihatan dalam penggunaannya. Foto sebagai media pembelajaran dapat membantu siswa mengungkapkan ide ke dalam suatu tulisan. Hal ini disebabkan media foto menghadirkan ilustrasi melalui gambar yang hampir menyamai kenyataan dari sesuatu objek atau situasi (Arsyad 2004:106). Menurut Arsyad (2004:127) foto sebagai halnya bentuk fisual lainnya dapat ditemukan dari beberapa sumber, seperti surat kabar, majalah, brosur, dan buku‐ buku. Dengan demikian, foto dapat diperoleh dengan mudah untuk digunakan secara efektif sebagai media pembelajaran. Sebagai media pembelajaran, foto haruslah dipilih dan digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Foto fungsinya untuk dapat memenuhi membangkitkan motivasi dan minat siswa, mengembangkan kemampuan siswa berbahasa, dan membantu siswa menafsirkan serta mengingat isi pelajaran yang berkenaan dengan foto‐foto tersebut. Foto merupakan salah satu media pengajaran yang amat dikenal di dalam setiap kegiatan pengajaran. Hal itu disebabkan kesederhanaannya, tanpa memerlukan perlengkapan, dan tidak perlu diproyeksikan untuk mengamatinya. Media foto yang terdiri atas gambar saja dan mudah dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar pada berbagai jenjang pengajaran dan berbagai disiplin ilmu, mulai dari Taman Kanak‐ kanak sampai dengan Perguruan Tinggi, dari ilmu sosial sampai ilmu eksakta. 2.5 Pengertian Media Pembelajaran Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim et.al.,2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos, 1996). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Secara umum dapat dikatakan media mempunyai kegunaan, antara lain:  Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalitas.  Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indra.  Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.  Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan 6 kronologis sesuai dengan urutan waktu kejadian. Penggunaan media foto dalam proses pembelajaran menulis pengalaman pribadi diharapkan dapat mempermudah proses pembelajaran dan mempertinggi hasil pembelajaran sehingga kompetensi ini benar‐benar dikuasai oleh siswa. Selain itu, penggunaan media foto dapat menjadikan proses pembelajaran lebih menarik dan bervariasi. Menurut Sujdana dan Rivai dalam Arsyad (2004:128) mengemukakan beberapa kriteria pemilihan foto untuk tujuan pembelajaran, kualitas artistik, kejelasan dan ukuran yang memadai, validasi dan menarik. Foto benar‐benar melukiskan konsep atau pesan isi pembelajaran yang ingin disampaikan sehingga dapat memperlancar pencapaian tujuan. Dengan demikian, media foto dapat memenuhi fungsinya sebagai media pembelajaran, yaitu membantu siswa dalam menemukan ide dan membantu siswa mengungkapkan ide‐ide dalam tulisan atau karangan. Media foto juga dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa dalam pembelajaran. Pada penelitian ini, peneliti mengungkapkan foto sebagai media pembelajaran. Adapun foto yang digunakan adalah foto siswa itu sendiri. Alasan pada pemilihan foto mengingat pembelajaran sebelumnya mereka belum pernah menggunakan foto sebagai media pembelajaran. Selain dapat meningkatkan rasa ketertarikan siswa, alasan digunakannya media foto pada penelitian ini adalah untuk memberi penguatan (bukti) bahwa cerita yang mereka tulis memang benar‐benar terjadi (bukan rekaan). Selain itu, penggunaan media ini akan dapat membantu siswa untuk mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi. Media foto merupakan media yang berupa gambar (visual) yang menggambarkan (mendokumentasikan) aktivitas‐aktivitas tertentu yang dikerjakan oleh siswa yang kemudian dibukukan menjadi satu dalam sebuah buku khusus yang disebut foto. Pada dasarnya media foto dapat mendorong para siswa dan membangkitkan minatnya dalam mengikuti pelajaran. Media foto juga dapat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berbahasa, terutama keterampilan menulis pengalaman pribadi. Foto digunakan sebagai stimulus bagi siswa dalam menulis pengalaman pribadi. Melalui media ini, siswa akan dapat menceritakan pengalaman‐pengalaman yang pernaah dialaminya melalui tulisan secara 2.7 Media Foto Keluarga Dalam proses pembelajaran peran media sangatdibutuhkan untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Menurut Arsyad (2011:3), mediamerupakan perantara atau pengantar pesan dari pengirimkepada penerima pesan. Adapun menurut Sudjana(2010:7), media adalah suatu alat bantu yang membantumenunjang saat guru melakukan pengajaran.Menurut Asyhar (2012:145), foto adalah hasil pemotretan atau photografi yang menggunakan kamera.Sementara itu, menurut Musfiqon (2012:73), foto adalahmedia yang paling umum dan sering dipakai karena fotomerupakan bahasa yang umum dapat dimengerti dandinikmati dimana saja. Jadi dapat disimpulkan bahwafoto adalah jenis media visual yang mampumenvisualisasikan objek dengan lebih konkret. Darihasil potretan yang dihasilkan, foto juga mampumengatasi ruang dan waktu.Sedangkan untuk pengertian foto keluargaadalah foto hasil pemotretan bersama-sama dengananggota keluarga. Seperti ayah, ibu, dan anak, atau bisa juga dengan keluarga besar dari ayah dan ibu. Fotokeluarga merupakan salah satu jenis media visual,dimana pemanfaatannya menggunakan indra pengelihatan yaitu mata.Ada beberapa macam kelebihan media fotomenurut Asyhar (2012:145) sebagai berikut:  Media Foto dapat memvisualisasi objek lebih realistis dankonkret,  Media Foto dapat mengatasi ruang danwaktu,  Melalui foto, seseorang mampu melihat sesuatu yang terjadi di tempat lain, namun dapat dilihatoleh seseorang yang 7 Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan tahapansebagai berikut (1) perencanaan (2) perlakuan dan pengamatan (3) refleksi (Kemmis dan Mc Taggart dalam Arikunto, 2010:132). Adapun tahapan-tahapan dalam setiap siklus penelitian tindakan kelas dalam keterampilan menulis narasi dengan menggunakan media foto keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) tahap perencanaan, Perencanaan merupakan tahap awal yang dilasanakandalam PTK (Penelitian Tindakan Kelas). berada jauh dari tempat kejadiandalam bentuk foto setelah kejadian itu berlalu. Sedangkan Musfiqon (2012:73) menyebutkan kelebihanmedia foto sebagai berikut:  Melalui media foto seseorang dapat melihat suatu kejadian yang sudah lamaterjadi atau baru saja terjadi, karena sebuah foto dapat berbicara lebih banyak daripada seribu bahasa.Ada beberapa kelemahan media foto Menurut Musfiqon (2012:75) sebagai berikut:  Media foto hanya menekankan pada persepsi indera mata, yangdapat menimbulkan kejenuhan,  Foto yang terlalu padat atau kompleks obyeknya, akan berubah kurangefektif untuk kegiatan pembelajaran,  Ukuran besar sebuah foto sangat terbatas untuk kelompok besar. III. IV. HASIL PENELITIAN Dari hasil observasi yang dikumpulkan ternyata hasil belajar siswa mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang menulis narasi, masih jauh dari yang diharapkan. Nilai siswa sebagian besar belum tuntas atau masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yakni 75. Daftar nilai siswa prasiklus adalah: METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian yang menggunakan data kualitatif yaitu data yang bersifat deskripsif atau lebih pada mendeskripsikan mengenai gambaran kemampuan siswa dalam menulis narasi yang meliputi beberapa aspek penilaian yang telah ditentukan. Sedangkan data yang kedua adalah data kuantitatif yaitu berupa angka-angkaatau nilai siswa untuk memudahkan peneliti dalam menarik suatu kesimpulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan di SMP 1 Beteleme. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Lembar observasi, Tes hasil belajar, dan Jurnal refleksi diri. Sumber data: sumber data dalam penelitian ini adalah personil penelitian yang terdiri dari siswa dan guru. Jenis data: jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dengan alat evaluasi lembar observasi, jurnal refleksi diri dan data kuantitatif diperoleh dengan alat evaluasi hasil belajar. Tabel 4.1 Daftar Nilai Siswa Pra Siklus No Nilai (%) 1 70 70 2 68 68 3 72 72 4 56 56 5 78 78 6 59 59 7 60 60 8 63 63 Ketuntasan T 8 9 67 67 10 70 70 11 68 68 12 58 58 13 71 71 14 66 66 15 79 79 16 62 62 17 55 55 18 51 51                   TT 19 70 70 20 64 64 21 61 61 22 59 59 Rata-Rata 64,86% 64 %  V.   Tabel 4.1 adalah hasil belajar siswa sebelum diadakan penelitian dari 22 siswa didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa yang tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Hal ini disebabkan oleh cara mengajar yang masih didominasi oleh guru, guru yang berperan dalam KBM. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa diadakan tindakan dengan media Foto Keluarga hasil belajar siswa dalam menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat menjadi nilai rata-rata 75,86 pada siklus I, siswa yang tuntas naik menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada tabel 4.3, hasil refleksi siklus I dijadikan perbaikan pembelajaran pada siklus II dengan hasil : nilai rata-rata 92,22 dan siswa yang tuntas meningkat menjadi 22 siswa atau dalam artian bahwa 100 % memperoleh nilai dengan tuntas.  2 (9,09 %) 20 (90,90 %) Tabel 4.2 Daftar Nilai Siklus I No Nilai (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 81 79 83 67 89 70 71 74 78 81 79 69 82 77 90 73 66 62 81 75 72 70 81 79 83 67 89 70 71 74 78 81 79 69 82 77 90 73 66 62 81 75 72 70 Rata-Rata 75,86 75 %    Ketuntasan T TT                  VI. 10 (45,45 %) Tabel 4.3 Daftar Nilai Siklus II No Nilai (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 97 95 99 83 98 86 87 90 94 97 95 85 98 93 99 89 82 78 97 91 88 86 97 95 99 83 98 86 87 90 94 97 95 85 98 93 99 89 82 78 97 91 88 86 Rata-Rata 91,22 91 %                       Ketuntasan T TT 22 (100 %) SIMPULAN Penggunaan media Foto Keluarga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti dari hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada prasiklus, dari 22 siswa didapati nilai rata-rata 64,86, jumlah siswa yang tuntas 2 orang (9,09 %) yang belum tuntas 20 siswa atau 90,90 %. Selanjutnya, hasil belajar pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 75,86, siswa yang tuntas naik menjadi 12 Siswa atau 54,54 %. Pada siklus I, nilai rata-rata 92,22 dan siswa yang tuntas meningkat menjadi 22 siswa atau dalam artian bahwa 100 % memperoleh nilai dengan tuntas.   12 (54,54 %) PEMBAHASAN VII. SARAN Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Bagi guru  Kiranya dapat mencoba media pembelajaran Foto Kelaurga pada mata pelajaran Bahasa Indonesia guna 0 (0 %) 9       meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasai, baik secara individual maupun klasikal. Media yang digunakan hendaknya sesuai dengan materi pembelajaran yang akan dipelajari. Media yang digunakan hendaknya mampu menarik minat belajar siswa. Media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan guru dan siswa dalam penggunaannya. Media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Media yang digunakan hendaknya efektiif bagi kegiatan pembelajaran. Media yang digunakan hendaknya mampu melibatkan siswa secara aktif dalam pemanfaatannya. 2. Bagi Sekolah Hasil penelitian agar dapat dijadikan acuan dalam strategi merancang satuan pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan Foto Keluarga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan keterampilan menulis narasi siswa. DAFTAR PUSTAKA Acep Yoni, dkk.2010.Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Familia. Arikunto, Suharsini. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar.1994. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Mandar Maju. Nurhadi. 2004. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: Ikip Semarang Press. Nursisto. 1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adi Cipta Karya. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Keraf. 2001. Komposisi. Jakarta: Rineka Cipta. Lie. 2002. Strategi Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rahadi, Aristo. (2004). Media Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tarigan, Djago. 2000. Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Siddiq, Djauhar dkk. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Jakata: Departemen Pendidikan Nasional. Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. PT Intan Pariwara. Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sunarti, Subana. 2006. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.Bandung: PT Pustaka Setia. Suprijono. 2010. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press. Suriamiharja, Agus et al. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Debdikbud. Tarigan, Henri Guntur. 1994. Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Usman, Basyiruddin. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers. Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka. 10 Media Litbang Sulteng IX (1) : 11-22, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN MENULIS DESKRIPSI PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI PENERAPAN PERMAINAN TEBAK MISTERI PADA SISWA KELAS VII SMP 1 BETELEME Oleh : John Budzer Poko1) ABSTRAK Judul penelitian ini yaitu Peningkatan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa dalam Pembelajaran Menulis Deskripsi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Permainan Tebak Misteri pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pembelajaran menulis deskripsi pada siswa SMP Negeri 1 Beteleme kelas VII yang masih mengalami berbagai masalah, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang belum maksimal. Sampai saat ini, masih banyak guru yang menggunakan pembelajaran konvensional, sehingga pembelajaran terkesan monoton dan siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran. Salah satu yang dapat dilakukan guru adalah dengan menerapkan permainan tebak misteri dalam pembelajaran menulis deskripsi. Dengan penerapan permainan tebak misteri, maka akan membangkitkan semangat dan kesenangan siswa yang pada dasarnya menyukai segala sesuatu yang bersentuhan dengan nuansa bermain. Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan sambil bermain, sehingga meningkatkan semangat dan keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme? (2) Bagaimana peningkatan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Urutan penelitian tindakan kelas terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan observasi. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan permainan tebak misteri dalam menulis deskripsi dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti dari hasil post tes siswa selama siklus I dan II mengalami peningkatan. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I mencapai 69,84 meningkat pada siklus II menjadi 94,37, terjadi peningkatan sebesar 24,53. Aktivitas siswa dalam pembelajaran menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan menerapkan permainan tebak misteri mengalami peningkatan setiap siklusnya. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus I mencapai 65,77% dan siklus II meningkat menjadi 77,5%. Peningkatan aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 11,73%. Kata Kunci : Hasil dan Aktivitas Belajar, Menulis Deskripsi, Permainan Tebak Misteri. ABSTRACT The title of this research, namely Improvement of Results and Activities Learning Students in Learning Writing Lesson description on Indonesian Through Application Games Guess the Mystery in Class VII SMP 1 Beteleme. This research is motivated by learning to write a description of the students of SMP Negeri 1 Beteleme class VII are still experiencing a variety of problems, so the effect on student learning outcomes are not maximized. Until now, there are still many teachers who use conventional learning, so that students' learning seem monotonous and less active in the following study. One of the teachers can do is to adopt a guessing game of mystery in learning to write the descriptions. With the implementation of mystery guessing game, it will excite and pleasure of students who basically love everything that is in contact with the nuances of playing. In this case, the learning done while playing, thus increasing vigor and seriousness of the students in the following study. The formulation of the problem in this study are (1) How to improving student learning outcomes in a written description on Indonesian subjects through the application of mystery guessing game in class VII SMP 1 Beteleme? (2) How to increase students' learning activities on Indonesian subjects through the application of mystery guessing game in class VII SMP 1 Beteleme ?. The approach used in this study is a qualitative descriptive approach. The sequence consists of a classroom action research, planning, implementation, and observation. The research was conducted in two cycles. This research was conducted in class VII SMP 1 Beteleme. The results showed that the application of the game of guessing the mystery of writing descriptions can improve outcomes and learning activities of students learning Indonesian students of class VII SMP 1 Beteleme. This is evident from the results of post test of students during the cycle I and II have increased. The average student learning outcomes in the first cycle reached 69.84 increased in the second cycle into 94.37, an increase of 24.53. Student activity in learning to write the description on Indonesian subjects by applying a mystery guessing game has increased every cycle. The average activity of students in the first cycle reached 65.77% and the second cycle increased to 77.5%. Increased activity of the students from the first cycle to the second cycle of 11.73%. Keywords : Results and Activities Learning, Writing Descriptions, Games Guess the Mystery. 11 I. sungguh‐sungguh. Dalam hal ini pengajaran Bahasa Indonesia tidak akan lepas dari kegiatan menulis. Dalam kehidupan modern, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Komunikasi lebih banyak berlangsung secara tertulis. Keterampilan menulis harus dipelajari secara serius dan perlu pelatihan yang efektif. Masih banyak siswa yang menganggap keterampilan menulis karangan adalah suatu keterampilan berbahasa yang paling sulit. Hal ini menyebabkan kurangnya minat siswa dalam mempelajari keterampilan berbahasa khususnya keterampilan menulis. Anggapan tersebut tidak tepat karena keterampilan berbahasa merupakan hasil pengalaman dan latihan. Dengan kemauan dan minat siswa, penggunaan metode yang tepat, serta media yang menunjang, siswa akan dapat menulis sebuah karangan dengan baik dan benar. Menulis merupakan kegiatan untuk mengungkapkan pokok pikiran, ide, gagasan secara tertulis. Keterampilan menulis perlu diberikan sejak duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi agar bahasa yang digunakan dalam menulis mudah dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu, keterampilan menulis perlu dibina dengan latihan-latihan yang intensif. Pengajaran menulis itu sendiri dibagi menjadi menjadi empat jenis yaitu narasi, diskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Deskripsi merupakan suatu bentuk tulisan yang berhuhubungan dengan panca indera dan seolah-olah melihat sendiri kejadian tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti sebelum melaksanakan penelitian tindakan kelas, kenyataannya hasil menulis deskripsi yang ditemukan masih rendah. Oleh karena itu, masih perlu teknik, model, dan media yang efektif yang mendukung untuk keterampilan siswa dalam menulis karangan deskripsi. Pembelajaran menulis deskripsi yang sekarang ini dipakai masih sangat dominan yaitu dengan menggunakan caracara konvensional, sehingga orientasi belajar masih berpusat pada guru dan bukan pada siswa. Permasalahan yang PENDAHULUAN Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup suatu negara dan bangsa. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia, dan guna mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan usaha yang keras dari masyarakat maupun pemerintah. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang pengajaran dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi aktif dan, kemampuan membuat suasana belajar dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Selain proses belajar, bahan ajar atau mata pelajaran juga sangat penting dalam pelaksanaan program pendidikan. Terdapat bermacam-macam mata pelajaran di sekolah, salah satunya adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diajarkan di sekolah bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, dan meningkatkan keterampilan berbahasa. Pada prinsipnya tujuan pengajaran bahasa adalah agar siswa terampil dalam berbahasa yang meliputi: terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek keterampilan yang saling mendukung, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa tidak akan dimiliki seseorang secara otomatis melainkan perlunya latihan dan praktik secara teratur serta adanya potensi yang mendukung. Potensi tersebut dapat dicapai dengan sering berlatih dengan 1) Guru SMP 1 Beteleme 12 materi tersebut. Begitu pula dalam pembelajaran menulis, seorang guru harus memilih dan menggunakan media yang sesuai, sebagai penunjang kegiatan pembelajaran agar mampu mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan pengamatan peneliti selama ini alokasi waktu pembelajaran menulis di sekolah‐sekolah yang salah satunya di SMP, relatif lebih kecil. Hal ini berdampak pada keterampilan menulis yang mereka belum maksimal sehingga setelah para siswa menamatkan jenjang sekolah yang lebih tinggi, dikhawatirkan belum mampu menggunakan keterampilan berbahasa secara baik dan benar. Sampai saat ini masih banyak guru yang menggunakan teknik yang tradisional dalam pembelajaran di kelas, antara lain, guru berceramah di depan kelas lalu memberikan tugas dan setelah selesai, tugas tersebut dibahas bersamasama di depan kelas dipandu guru tersebut. Belum adanya model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia membuat pelajaran ini serasa monoton sehingga siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran ini. Hal ini berhubungan dengan belum adanya metode yang memadukan keaktifan siswa dengan materi yang diajarkan. Salah satu yang dapat dilakukan guru adalah dengan menerapkan permainan tebak misteri dalam pembelajaran menulis deskripsi. Dengan penerapan permainan tebak misteri, maka akan membangkitkan semangat dan kesenangan siswa yang pada dasarnya menyukai segala sesuatu yang bersentuhan dengan nuansa bermain. Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan sambil bermain, sehingga meningkatkan semangat dan keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, penulis berinisiatif untuk mengangkat judul penelitian yakni “Peningkatan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa dalam Menulis Deskripsi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Permainan Tebak Misteri pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme”. Adapun rumusan masalah dalam masih ada di sebagian sekolah adalah kurangnya keterlibatan siswa di kelas karena gurulah yang paling banyak berperan dalam pembelajaran menulis. Selain itu, guru kurang bervariasi dalam pembelajaran menulis deskripsi sehingga siswa tampak bosan dan enggan belajar. Dengan adanya pembaharuan dan pengembangan strategi pembelajaran diharapkan dapat membantu siswa meningkatkan pencapaian hasil belajar Bahasa Indonesia sekaligus siswa lebih aktif dalam belajar. Demikian pula dengan pembelajaran menulis deskripsi pada siswa SMP Negeri 1 Beteleme kelas VII masih mengalami berbagai masalah. Hal itu dibuktikan dengan siswa masih mengalami kesulitan menuangkan idenya ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, misalnya dapat dilihat dari tugas karangan siswa. Pada umumnya siswa belum maksimal menceritakan secara runtut mengenai rangkaian peristiwa yang tejadi. Faktor penyebab utama yang harus segera dicari jalan keluarnya adalah faktor pendekatan yang digunakan guru masih tradisional dan kurang bervariasi. Hal tersebut, sangat berpengaruh terhadap kemampuan menulis deskripsi siswa dan dikhawatirkan dapat menyebabkan menurunnya kualitas menulis siswa jika tidak segera diatasi. Untuk itu, perlu adanya upaya meningkatkan keterampilan menulis siswa. Keberhasilan pembelajaran menulis, memerlukan keterampilan guru dalam mengajar. Berkaitan dengan tujuan pembelajaran menulis tersebut, perlu diterapkan suatu media pembelajaran yang efektif dan dapat menunjang kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran yang bermacam‐macam menyebabkan guru harus selektif dalam memilih media pembelajaran yang akan digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi penentuan media pembelajaran adalah materi pembelajaran. Setiap materi mempunyai karakteristik yang turut menentukan pula media yang digunakan untuk menyiapkan 13 deskripsi dengan penggunaan teknik yang lebih bervariasi. Penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya. penelitian ini yaitu (1) Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme? (2) Bagaimana peningkatan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme? Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme (2) untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu manfaat teoretis dan praktis. (1) Manfaat Teoretis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan teori pembelajaran bahasa pada umumnya, penggunaan media dan metode, pada khususnya. (2) Manfaat Praktis. Bagi siswa, pembelajaran menulis deskripsi menjadi lebih menyenangkan dan bermakna, mengembangkan daya pikir dan kreatifitas siswa dalam menulis, membiasakan diri siswa dalam menulis deskripsi, dan meningkatkan keterampilan dan minat siswa dalam menulis. Bagi guru, penelitian ini dapat memberikan umpan balik bagi guru untuk mengadakan perbaikan dalam pembelajaran kompetensi menulis deskripsi. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan masukan pada guru mengenai penerapan permainan tebak misteri dalam kegiatan menulis deskripsi pada siswa kelas VII. Bagi sekolah, penelitian ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dan meningkatkan prestasi siswa dalam hal menulis. Penelitian ini juga memberikan sebuah teknik dalam pembelajaran kompetensi menulis deskripsi. Bagi peneliti yang lain, hasil penelitian ini daat dijadikan pelengkap terutama dalam hal bagaimana cara meningkatkan kemampuan menulis II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Hasil Belajar Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar berupa:  Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi, simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan aturan.  Penerapan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis faktakonsep dan mengembangkan prinsipprinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.  Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.  Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.  Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian objek tersebut. Menurut Bloom hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis 14 mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen. “Pada prinsipnya belajar adalah berbuat, tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah mengapa aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar”(Sardiman, 2001:93). Dalam aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada pandangan ilmu jiwa, yaitu pandangan ilmu jiwa lama dan modern.Menurut pandangan ilmu jiwa lama, aktivitas didominasi oleh guru sedangkan menurut pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas didominasi oleh siswa. “Kegiatan belajar / aktivitas belajar sebagi proses terdiri atas enam unsur yaitu tujuan belajar, peserta didik yang termotivasi, tingkat kesulitan belajar, stimulus dari lingkungan, pesrta didik yang memahami situasi, dan pola respons peserta didik ”(Sudjana,2005:105). Banyak macammacam kegiatan (aktivitas belajar) yang dapat dilakukan anak- anak di kelas, tidak hanya mendengarkan atau mencatat. Paul B. Diedrich(dalam Nasution, 2004:9), Membuat suatu daftar yang berisi 177 macam kegiatan (aktifitas siswa), antara lain:  Visual activities seperti membaca, memperhatikan:gambar, demonstrasi, percobaab, pekerjaan orang lain dan sebagainya.  Oral activities seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, member saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan interviu, diskusi, interupsi dan sebagainya.  Listening activities seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, music, pidato dan sebagainya.  Writing activities seperti menulis cerita, karangan, laporan, tes, angket, menyalin, dan sebagainya.  Drawing activities seperti menggambar, membuat grafik, peta diagram, pola, (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain efektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotorik meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Sementara, menurut Lindgren hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Sedangkan Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang. Serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku yang lebih baik. 2.2 Aktivitas Belajar Aktivitas belajar adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis. Kegiatan fisik berupa ketrampilanketrampilan dasar sedangkan kegiatan psikis berupa ketrampilan terintegrasi.Ketrampilan dasar yaitu mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Sedangkan ketrampilan terintegrasi terdiri dari 15    memperparah keengganan orang untuk menulis. Menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa tak dapat dilepaskan dari aspek-aspek keterampilan berbahasa lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi. Pengalaman dan masukan yang diperoleh dari menyimak, berbicara, dan membaca, akan memberikan kontribusi berharga dalam menulis. Begitu pula sebaliknya, apa yang diperoleh dari menulis akan berpengaruh pula terhadap ketiga corak kemampuan berbahasa lainnya. Namun demikian, menulis memiliki karakter khas yang membedakannya dari yang lainnya. Sifat aktif, produktif, dan tulis dalam menulis, memberikannya ciri khusus dalam hal kecaraan, medium, dan ragam bahasa yang digunakannya. dan sebagainya. Motor activities seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, memelihara binatang, dan sebagainya. Mental activities seperti menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dan sebagainya. Emotional activities seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani, tenang, gugup, dan sebagainya. 2.3 Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa 2.3.1 Konsep Menulis Menulis adalah kegiatan penyampaian pesan (gagasan, perasaan, atau informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis melibatkan empat unsur, yaitu penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, medium tulisan, serta pembaca sebagai penerima pesan. Kegiatan menulis sebagai sebuah perilaku berbahasa memiliki fungsi dan tujuan: personal, interaksional, informatif, instrumental, heuristik, dan estetis. Sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa, menulis atau mengarang merupakan kegiatan yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak pada tuntutan kemampuan untuk menata dan mengorganisasikan ide secara runtut dan logis, serta menyajikannya dalam ragam bahasa tulis dan kaidah penulisan lainnya. Akan tetapi, di balik kerumitannya, menulis menjanjikan manfaat yang begitu besar dalam membantu pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, kepercayaan diri dan keberanian, serta kebiasaan dan kemampuan dalam menemukan, mengumpulkan, mengolah, dan menata informasi. Sayangnya, tidak banyak orang yang suka menulis. Di antara penyebabnya ialah karena orang merasa tidak berbakat serta tidak tahu bagaimana dan untuk apa menulis. Alasan itu sebenarnya tak terlepas dari pengalaman belajar yang dialaminya di sekolah. Lemahnya guru, kurangnya model, dan kekeliruan dalam belajar menulis yang melahirkan mitos-mitos tentang menulis, 2.3.2 Menulis sebagai Proses Banyak pendapat yang berkaitan dengan belajar-mengajar menulis atau mengarang, seperti yang diungkapkan oleh pendekatan formal, pendekatan gramatikal, pendekatan frekuensi, dan pendekatan koreksi. Pendekatan-pendekatan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi sayangnya tidak menyentuh proses menulisnya itu sendiri. Sebagai proses, menulis melibatkan serangkaian kegiatan yang terdiri atas tahap prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan. Fase prapenulisan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan sebuah tulisan. Di dalamnya terdiri dari kegiatan memilih topik, tujuan, dan sasaran karangan, mengumpulkan bahan, serta menyusun kerangka karangan. Berdasarkan kerangka karangan kemudian dilakukan pengembangan butir demi butir atau ide demi ide ke dalam sebuah tulisan yang runtut, logis, dan enak dibaca. Itulah fase penulisan. Selanjutnya, ketika buram (draf) karangan selesai, dilakukan penyuntingan dan perbaikan. Itulah fase pascapenulisan, yang mungkin dilakukan berkali-kali untuk memperoleh sebuah karangan yang sesuai dengan harapan penulisnya. 2.3.3 16 Hakikat Pembelajaran Menulis Tarigan (1982:9) berpendapat bahwa pembelajaran menulis adalah (1) membantu siswa memahami cara mengekspresikan bahasa dalam bentuk tulis; (2) mendorong siswa mengekspresikan diri secara bebas dalam bahasa tulis; (3) membantu siswa menggunakan bentuk bahasa yang tepat dan serasi dalam ekspresi tulis. Soenardji (1998:102) berpendapat bahwa pembelajaran menulis jika dikaitkan dengan proses pendidikan secara makro termasuk salah satu komponen yang sengaja disiapkan dan dilaksanakan oleh pendidik untuk menghasilkan perubahan tingkah laku sesudah kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Perubahan tingkah laku dalam pembelajaran menulis merupakan hasil pengaruh kemampuan berpikir, berbuat, dan merasakan perihal apa yang disampaikan sebagai bahan pembelajaran menulis. Bertumpu pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis adalah upaya membantu dan mendorong siswa mengekspresikan bahasa dalam bentuk tulis, atau komponen yang disiapkan pendidik untuk menghasilkan perubahan tingkah laku dalam pembelajaran menulis. dapat mengetahui sampai di mana pengetahuannya tentang suatu topik. Untuk mengembangkan topik itu, penulis harus berpikir untuk memperoleh pengetahuan dan pengalamannya. Kedua, melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengembangkan berbagai gagasan. Dengan menulis, penulis terpaksa bernalar, menghubung-hubungkan, serta membandingkan fakta-fakta untuk mengembangkan berbagai gagasannya. keuntungan ketiga, penulis lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi yang berhubungan dengan topik yang ditulis. Kegiatan menulis dapat memperluas wawasan penulisan secara teoretis mengenai fakta-fakta yang berhubungan. Keempat, penulis dapat terlatih dalam mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat. Dengan demikian, penulis dapat menjelaskan permasalahan yang semula masih samar. Keuntungan kelima, melalui tulisan,penulis dapat meninjau serta menilai gagasannya secara lebih objektif. Keenam, dengan menuliskan sesuatu di kertas, penulis akan mudah memecahkan permasalahan, yaitu dengan menganalisis secara tersurat dalam konteks yang lebih konkret. Ketujuh, dengan menulis mengenai suatu topik, penulis terdorong untuk belajar secara aktif. Penulis menjadi penemu sekaligus pemecah masalah, bukan sekadar menjadi penyadap informasi dari orang lain. Keuntungan kedelapan, kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan penulis berpikir serta berbahasa secara tertib. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa menulis sangat bermanfaat dalam kehidupan. Menulis dapat meningkatkan penalaran untuk mengembangkan berbagai gagasan yang dapat memperluas wawasan dan pengetahuan. 2.3.4 Manfaat Menulis Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang mempunyai peranan penting di dalam kehidupan manusia. Dengan menulis, seseorang dapat mengutarakan pikiran dan gagasan untuk mencapai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1986:22), menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar berpikir. Menulis juga dapat mendorong kita untuk berpikir secara kritis, memudahkan penulis memahami hubungan gagasan dalam tulisan, memperdalam daya tanggap atau persepsi, memecahkan masalah yang dihadapi, dan mampu menambah pengalaman menulis. Menurut pendapat Akhadiah, dkk. (1988:1), banyak keuntungan yang diperoleh dari kegiatan menulis. Keuntungan yang pertama adalah dengan menulis seseorang dapat mengenali kemampuan dan potensi dirinya. Penulis 2.4 Menulis Deskripsi 2.4.1 Pengertian Deskripsi Kata deskripsi berasal dari bahasa inggris “description” yang berkaitan dengan kata kerja “to describe”yang berarti 17 dituangkan dalam tulisan dengan alat yang tersedia (kemampuan berbahasa tulis, diksi, penguraian, komposisi tulisan dan lainlain). Jadi kegiatan seorang penulis deskripsi sama seperti kegiatan seorang pelukis. Mereka sama- sama menangkap objek yang diamati, diresapi, diimajinasikan dalam pikirannya dan dituangkan dalam bentuk lukisan atau tulisan (Nurudin, 2007:59-60). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa deskripsi adalah bentuk tulisan yang bertujuan memperluas pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan jalan melukiskan hakikat objek yang sebenarnya. Dalam tulisan deskripsi, penulis tidak boleh mencampuradukkan keadaan yang sebenarnya dengan interpretasinya sendiri (Finoza, 2006:60). Tulisan deskripsi dimaksudkan untuk menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca dan memberi identitas, atau informasi mengenai objek tertentu sehingga pembaca dapat mengenalinya bila bertemu atau berhadapan dengan obyek tadi. Penulis perlu mengambil sikap tertentu untuk dapat memperoleh gambaran tentang suatu obyek penulisan. Oleh karena itu, penulis perlu menggunakan pendekatan dalam menulis deskripsi. melukiskan dengan bahasa. Dari uraian tersebut mengandung pengertian bahwa deskripsi merupakan karangan yang lebih menonjolkan aspek pelukisan sebuah benda sebagai mana adanya (Finoza, 2002:190). Misalnya saja seorang guru anatomi tubuh manusia kepada murid-muridnya sehingga dalam benak pikiran muridnya bagian tubuh itu terekspresikan seperti keadaan sebenarnya. Menurut (Semi, 1990:32) deskripsi adalah suatu tulisan atau karangan yang bertalian dengan usaha menulis untuk memberikan rincian- rincian mengenai suatu objek yang sedang dibicarakan. Menurut Marahimin (1994:33) deskripsi merupakan pemaparan atau penggambaran dengan kata- kata suatu benda, tempat, suasana atau keadaan. Dari uraian tersebut bahwa yang dimaksud deskripsi adalah bentuk tulisan yang bertujuan memperluas pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan jalan melukiskan hakikat objek yang sebenarnya (Finoza, 2002:190). Seorang penulis deskripsi harus memiliki kata yang tepat sesuai dengan gambaran objek yang sebenarnya sehingga menumbuhkan imajinasi yang hidup dan segar tentang ciriciri, sifat- sifat atau hakikat dari objek yang dideskripsikan itu. Tulisan deskripsi dapat dimaksudkan untuk menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca dan memberi identitas atau informasi mengenai objek tertentu sehingga pembaca dapat mengenalinya bila bertemu atau berhadapan dengan objek tadi. Oleh karena itu penulis perlu mengambil sikap tertentu untuk dapat memperoleh gambaran tentang suatu objek penulisan. Dari pendapat tentang deskripsi dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil observasi melalui panca indra yang disampaikan dengan kata- kata atau kalimat. Coba amati ketika seseorang sedang melukis. Ketika seorang pelukis menggambarkan sebuah objek, ia akan terlibat pengamatan secara detail objek tersebut lalu meresapkannya dalam kertas dengan alat yang tersedia. Menulis deskripsi tidak jauh berbeda. Penulis tentu akan dilibatkan untuk mengamati sebuah objek tertentu yang akan 2.4.2 Jenis-Jenis Deskripsi Berdasarkan tujuannya, Keraf, 1982:94) membedakan deskripsi terdiri atas dua macam yaitu deskripsi sugestif dan deskripsi ekspositoris (teknik). 1) Deskripsi Sugestif Deskripsi sugestif adalah penggambaran suatu objek dengan tujuan menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut melalui imajinasi pembaca.Dalam deskripsi sugestif, penulis bermaksud menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca, pengalaman, karena berkenalan langsung dengan objeknya. Pengalaman dari objek itu harus menciptakan sebuah kesan. Sasaran deskripsi sugestif adalah perantaraan tentang rangkaian kata- kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan diri, sifat, watak dari objek tersebut. Dapat diciptakan sugestif tertentu pada pembaca. 18 yang telah ditetapkan pada langkah pertama. Pada siklus pertama siswa menguraikan objek pemandangan alam yang diberikan oleh guru, kemudian siswa berusaha untuk mendata objek yang terdapat dalam pemandangan alam. c. Mengumpulkan bahan tulisan Bahan- bahan tulisan dapat diperoleh dengan cara mengadakan pengamatan peninjauan langsung terhadap objek yang akan ditulis. Dalam kegiatan pembelajaran, siswa mengumpulkan bahan tulisan dengan mengamati gambar yang tersedia dengan teliti dan biasa juga menggabungkan dengan pengalaman pribadi setiap anggota kelompok d. Menyiapkan kerangka tulisan Kerangka tulisan merupakan pokokpokok isi atau garis besar tulisan. Kemudian disusun atau ditata secara kronologis dengan memperhatikan kesatuan dan kebulatan gagasan. e. Mengembangkan kerangka tulisan Setelah menetukan tema, tujuan, pengumpulan bahan, menyusun kerangka, penulis mengembangkan menjadi sebuah tulisan atau kerangka dengan menggunakan ejaan, tanda baca, dan pilihan kata yang tepat dan susunan kalimat yang menarik, bervariasi, dan efektif. Dengan kata lain, Deskripsi sugestif berusaha menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut memulai imajinasi pembaca. 2) Deskripsi Ekspossitoris Deskripsi ini hanya bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai objeknya, sehingga pembaca dapat mengenalnya bila bertemu atau berhadapan dengan objek tersebut. Penulis tidak berusaha untuk menciptakan kesan atau imajinasi pada diri pembaca. Dalam tulisan deskripsi ini, penulis memindahkan kesan- kesannya, memindahkan hasil pengamatan, pengalaman dan perasaannya pada pembaca. Deskripsi ini menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada objek tersebut sehingga nada tulisan deskripsi bersifat informatif yang bersifat melukiskan atau menggambarakan tentang sesuatu. Tujuan penulisan deskripsi ekspositoris ialah mengajak para pembaca bersama- sama menikmati, merasakan aktivitas orang yang telah diamati penulis. Dengan tulisan deskripsi ini, penulis bermaksud menjelaskan, menerangkan, dan menarik minat pembaca yang baik bergantung pada tanggapan yang jeli, persepsi yang tajam, dan kosakata yang memadai dalam penyampaian . 2.4.3 Langkah Menulis Deskripsi Beberapa langkah dalam menulis deskripsi (Asrom, 1997:16-17), antara lain sebagai berikut: a. Menetapkan tema tulisan Menetapkan tema berarti menetapkan pokok pikiran, ide atau gagasan tertentu yang akan disampaikan penulis. Dalam proses belajar mengajar, siswa diminta menetukan tema menulis deskripsi setelah mengamati gambar yang ada di papan tulis tentang pemandangan alam seperti ada gunung, hamparan sawah, padi yang menghijau, aliran air sungai yang deras, dan masih banyak objek lain yang dapat dideskripsikan. b. Menetapkan tujuan Penetapan tujuan tulisan merupakan pernyataan singkat tujuan yang ingin dicapai, yaitu penulis menjelaskan tema 2.5 Permainan Tebak Misteri Salah satu bentuk permaianan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis deskripsi adalah permaianan tebak misteri. Tebak misteri merupakan sebuah permainan yang menggunakan media kartu gambar, kartu kosakata, atau pun benda-benda dan siswa diminta untuk mendeskripsikan benda tersebut secara lisan sehingga teman yang lain dapat menebak dengan tepat benda apa yang dimaksud. III. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian tindakan (action research) merupakan upaya pemecahan 19 mencapai 94,37. Peningkatan rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I dan II sebesar 24,53%. masalah atau suatu perbaikan yang bersifat reflektif dan kolaboratif. Arikunto (2009: 23) mengemukakan bahwa, penelitian tindakan kelas (classroom action research) yaitu sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan di dalam kelas. Secara garis besar di dalam suatu penelitian tindakan kelas terdapat empat tahapan yang lazim dilalui tahapan-tahapan yang harus di lewati yaitu adalah, 1. Tahap Perencanaan. 2. Tahap Pelaksanaan. 3. Tahap Pengamatan. 4. Tahap Refleksi. Siklus tindakan dalam penelitian ini diadaptasi dari rancangan penelitian tindakan kelas oleh Arikunto, (2009: 74). Urutan penelitian tindakan kelas terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan observasi. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. 4.2 Aktivitas Siswa Pembelajaran 4.1 Hasil Observasi (%) No. Aspek yang diamati Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa pada Siklus I dan Siklus II Siklus I Siklus II Frekuensi Frekuensi 1. 86 – 100 Sangat Tinggi 10 30 2. 71 – 85 Tinggi 11 2 3. 56 – 70 Sedang 11 0 4. 41 – 55 Rendah 0 0 5. ≤ 40 Sangat Rendah 0 0 Jumlah 32 32 Rata-rata 69,84 94,37 Peningkatan Siklus II Partisipasi 69,53 79,68 B Sikap 67,96 77,34 C Minat 68,75 78,90 D Perhatian 71,87 79,68 E Presentasi 50,78 73,43 65,77% 77,5% 11,73% Pembelajaran menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam belajar. Siswa dituntut untuk terlibat secara langsung baik dari sikap, perhatian, pikiran, minat, partisipasi siswa. Misalnya aktivitas siswa saat memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh guru, sikap siswa dan kerja sama dalam kelompok belajar, menumbuhkan sikap berani saat melakukan presentasi dan mengajukan pendapat atau memberikan sanggahan dan mengerjakan tes formatif. Hal ini sesuai pendapat Kunandar (2010: 277) bahwa aktivitas belajar adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan. Pada siklus I rata-rata h a s i l aktivitas siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme sebesar 65,77% meningkat pada siklus II menjadi 77,5%. Peningkatan aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 11,73%. Hasil aktivitas siswa pada siklus II 77,5% Hasil Belajar Siswa dalam Proses Pembelajaran Per Siklus Kategori Siklus I A Rata-rata HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN No. Rentang Nilai Proses Tabel 4.2 Rekapitulasi Aktivitas Siswa pada Siklus I dan Siklus II Peningkatan IV. Dalam 24,53 Dalam setiap siklus dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan permainan tebak misteri pada siswa kelas VII SMP 1 Beteleme pada siklus I sebesar 69,84 dan pada siklus II 20 dengan kategori ”Baik”. V. yang diberikan oleh guru sehingga siswa dapat mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.  Kepada guru, peneliti mengimbau kepada guru untuk menerapkan permainan tebak misteri sebagai salah satu alternatif pembelajaran terutama pembelajaran Bahasa Indonesia materi menulis deskripsi karena pembelajaran dengan menerapkan permainan tebak misteri sangat cocok untuk menangani aktivitas siswa yang rendah. Dalam permainan tebak misteri, siswa merasa terlibat secara langsung dan sangat menyenangkan bagi siswa. Guru juga dihimbau untuk menggunakan variasi dalam belajar dengan menggunakan pembelajaran yang menarik dan inovatif.  Kepada sekolah, agar dapat memfasilitasi guru dalam pengembangan model pembelajaran di kelas dengan harapan dapat tercipta pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Kepada peneliti selanjutnya, penerapan permainan tebak misteri sebaiknya meningkatkan materi yang akan diajarkan, lebih fokus terhadap pembelajaran, dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. SIMPULAN Penerapan permainan tebak misteri dalam menulis deskripsi dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas VII SMP 1 Beteleme. Hal ini terbukti dari hasil post tes siswa selama siklus I dan II mengalami peningkatan. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I mencapai 69,84 meningkat pada siklus II menjadi 94,37, terjadi peningkatan sebesar 24,53. Aktivitas siswa dalam pembelajaran menulis deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan menerapkan permainan tebak misteri mengalami peningkatan setiap siklusnya. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus I mencapai 65,77% dan siklus II meningkat menjadi 77,5%. Peningkatan aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 11,73%. VI.  SARAN Kepada siswa, peneliti menyarankan kepada siswa agar meningkatkan budaya membaca sekaligus meningkatkan aktivitas belajar guna menambah wawasan selain itu peneliti berharap siswa mampu mengikuti berbagai jenis model pembelajaran 21 DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti. 1997. Pembinaan Kemampuan Menulis. Jakarta: Erlangga. Arikunto, Suharsimi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara, Jakarta. Asrori, Muhammad. 2009. Psikologi Pembelajaran. CV Wacana Prima, Bandung. Depdiknas. 2004. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdikbud. Djamarah, Saiful Bahri dan Aswan Zein. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Isjoni, 2007. Cooperative Learning, Alfabeta. Bandung. Kunandar.2010. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kushartanti, 2007. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Mulyati, Yeti. 2007. Keterampilan Berbahasa Indonesia SD, Universitas Terbuka. Jakarta. Nurhadi. 2004. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: Ikip Semarang Press. Nursisto. 1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adi Cipta Karya. Resmini, Novi, 2007. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Di Kelas Tinggi. Sisdiknas. 2011. Undang-Undang Sisdiknas. Sinar Grafika. Malang. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Slavin, Robert. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Nusa Media. Bandung. Sntrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. PT Intan Pariwara. Solihatin, Etin dan Raharjo. 2008. Cooperative Learning (Analisis Model Pembelajaran IPS). Bumi Aksara. Jakarta. Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Rosda Karya. Suriamiharja, Agus et al. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Debdikbud. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Masmedia Buana Pustaka, Siduarjo. Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa. W. S. Winkel, 2005. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media abadi. 22 Media Litbang Sulteng IX (1) : 23-34, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR KETERAMPILAN BERBICARA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SNOWBALL THROWING PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 8 SIGI Oleh : Doriana Taiso1) ABSTRAK Latar belakang penelitian ini yaitu berawal dari ditemukannya beberapa permasalahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Permasalahan tersebut diantaranya kemampuan berbicara siswa masih cukup rendah. Rendahnya kemampuan tersebut terlihat saat siswa ditugaskan untuk berbicara di depan kelas. Siswa masih cenderung malu-malu, berbicaranya tidak lancar, tidak adanya keberanian untuk berbicara, suaranya pelan tidak mengarah kepada teman-temannya, intonasi kurang tepat. Oleh karena itu, salah satu model pembelajaran yang dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Snowball Throwing. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research (CAR). Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ada di SMP Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75. Standar persentase ketuntasan klasikal yang ditentukan yakni 80%. Hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Pada prasiklus, hasil observasi keaktifan adalah 22,15% dengan kriteria rendah. Pada siklus I, persentase keaktifan meningkat 39,21% dari prasiklus, sehingga persentase keaktifan menjadi 61,36% dengan kriteria tinggi. Pada siklus II, persentase keaktifan kembali meningkat 35,79% dari siklus I menjadi 97,15% dengan kriteria sangat tinggi. Peningkatan dalam hasil belajar siswa ditunjukkan bahwa pada siklus I, dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau 72,72% siswa yang sudah mencapai nilai ketuntasan, sedangkan 6 siswa atau 27,27% belum mencapai ketuntasan. Adapun nilai rata-rata siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I ini adalah sebesar 76,39. Pada siklus II, semua kekurangan-kekurangan yang ada pada siklus I telah diperbaiki, sehingga proses pembelajarannnya menjadi lebih baik dan hasilnya terjadi peningkatan. Hal ini terlihat dari 22 siswa terdapat 22 siswa pula yang memperoleh nilai tuntas belajar atau dengan kata lain 100% siswa memperoleh hasil belajar tuntas dengan nilai rata-rata sebesar 90,02. Pada siklus II ini telah mencapai indikator keberhasilan. Kata Kunci : Keaktifan dan Hasil Belajar, Keterampilan Berbicara, Bahasa Indonesia, Model Pembelajaran Snowball Throwing. ABSTRACT The background of this research that originated from the discovery of several problems in learning Indonesian at the conversational skills aspect of the seventh grade students of SMP Negeri 8 Sigi. Those problems include their speaking ability is still quite low. Low ability is evident when students are assigned to speak to the class. Students still tend to be shy, speech is not smooth, lack the courage to speak, his voice was low did not lead to his friends, less precise intonation. Therefore, one of the learning model that was developed in an effort to improve the quality of learning speaking skills in subjects Indonesian is by using model study of Cooperative Learning type Throwing Snowball. This study was conducted using a model Action Research (PTK) or Classroom Action Research (CAR). Subjects in this study is the seventh grade students of SMP Negeri 8 Sigi with the number of students as many as 22 students. Indicators of success in this study is in accordance with the minimum completeness criteria (KKM) in SMPN 8 Sigi on Indonesian subjects, namely 75. Standards specified percentage of the classical completeness 80%. The research proves that the application of learning models Throwing Snowball can improve learning activeness speaking skills in subjects Indonesian in class VII SMP Negeri 8 Sigi. At prasiklus, the observation of the activity is 22.15% with low criteria. In the first cycle, the percentage of the activity increased 39.21% from prasiklus, so the percentage of 61.36% with a liveliness into high criteria. In the second cycle, the percentage increased to reactivation of 35.79% from the first cycle to 97.15% with a very high criteria. Increases in student learning outcomes indicated that in the first cycle, of 22 students, there are 16 students or 72.72% of students who have reached a value of completeness, while 6 students or 27.27% has not been reached completeness. The average value of seventh grade students of SMPN 8 Sigi in the first cycle is set at 76.39. In the second cycle, all the deficiencies that exist in the first cycle has been improved, so that the process becomes better pembelajarannnya and the result is an increase. This can be seen from the 22 students there are 22 students who received grades are also thoroughly studied or in other words 100% of students gain mastery learning outcomes with an average value of 90.02. In the second cycle has reached an indicator of success. Keywords: Motivation and Learning Outcomes, Speaking Skills, Indonesian, Learning Model Throwing Snowball. 23 I. Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan salah satu dari proses pembelajaran bahasa di sekolah, karena dengan pembelajaran berbicara siswa dapat berkomunikasi di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Tujuan pembelajaran berbicara adalah melatih siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemampuan berbicara dalam pembelajaran Bahasa Indonesia harus menguasai standar kompetensi mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan, fakta, secara lisan dengan menanggapi suatu persoalan, menceritakan hasil pengamatan, atau berwawancara dan kompetensi dasar menanggapi suatu persoalan atau peristiwa serta memberikan saran pemecahannya dengan memperhatikan pilihan kata serta santun berbahasa. Pada standar kompetensi dan kompetensi dasar siswa harus mampu menguasai kemampuan berbicara untuk memenuhi standar kelulusan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka guru dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca atau menulis, kosakata dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara. Misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan, menceritakan kembali cerita yang pernah didengar ataupun menyampaikan tanggapan dan komentar terhadap persoalan faktual yang dilihat, didengar dan dibacanya. Berdasarkan hasil observasi awal di lapangan ditemukan beberapa permasalahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Permasalahan tersebut diantaranya kemampuan berbicara siswa masih cukup rendah. Rendahnya kemampuan tersebut terlihat saat siswa ditugaskan untuk berbicara di depan kelas. Siswa masih cenderung malu-malu, berbicaranya tidak lancar, tidak adanya keberanian untuk berbicara, suaranya pelan tidak mengarah kepada teman-temannya, intonasi kurang tepat. Selain itu, siswa hanya diminta untuk maju di depan kelas untuk memberikan komentar tentang suatu persoalan dan siswa cenderung pasif, tidak ada umpan balik kepada siswa. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat mencetak manusia-manusia berkualitas yang akan mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional. Dalam pendidikan, proses pembelajaran adalah kegiatan paling pokok. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk bisa memotivasi siswanya agar siswa aktif terlibat di dalam pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna akan membawa siswa pada pengalaman belajar yang mengesankan. Pengalaman yang diperoleh siswa akan semakin berkesan apabila proses pembelajaran yang diperolehnya merupakan hasil dari pemahaman dan penemuannya sendiri. Dalam konteks ini siswa mengalami dan melakukannya sendiri. Proses pembelajaran yang berlangsung melibatkan siswa sepenuhnya untuk merumuskan sendiri suatu konsep. Keterlibatan guru hanya sebagai fasilitator dan moderator dalam proses pembelajaran tersebut. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dituntut untuk mempunyai kemampuan berbahasa yang baik. Pembinaan keterampilan berbahasa berorientasi pada empat jenis keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Salah satu keterampilan berbahasa yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari adalah keterampilan berbicara sebagai media komunikasi lisan yang efektif. Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa diperlukan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan. Berbicara merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan, sehingga orang lain dapat memahami apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan (Tarigan, 1998:15). Kemampuan berbicara di tingkat 1) Guru SMP Negeri 8 Sigi 24 Saat pembelajaran berlangsung, sangat jarang terlihat siswa aktif dalam pembelajaran. Untuk berbicara menyampaikan pendapat, ide, mengajukan pertanyaan, dan menjawab pun mereka tidak berani. Selain itu, peneliti melihat bahwa siswa kurang fokus dalam belajar dan siswa sering mengobrol pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa hanya “menuntut” untuk bertindak sebagai objek pembelajaran saja. Peran siswa tidak lebih sebagai pendengar setia. Dengan kata lain, pembelajaran terjadi lebih mengarah kepada teacher oriented (berpusat kepada guru). Penyebab masalah pembelajaran berbicara di kelas VII SMP Negeri 8 Sigi juga dipengaruhi oleh rendahnya motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang kurang variatif, dan minimnya penggunaan alat peraga. Ironisnya lagi, hal tersebut bisa mempengaruhi hasil belajar siswa. Bagaimana mengoptimalkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi tugas seorang pendidik. Untuk itulah dalam proses pembelajaran dibutuhkan suatu paradigma baru yang diyakini mampu memecahkan masalah tersebut. Paradigma itu ditandai oleh pembelajaran dengan inovasi-inovasi yang berangkat dari hasil refleksi terhadap eksisitensi paradigma lama yang mengalami masa suram menuju paradigma baru. Paradigma lama tersebut tampaknya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini yang ditandai oleh perubahan di segala aspek. Pada proses pembelajaran dengan paradigma lama masih kurangnya variasi model pembelajaran yang digunakan sehingga proses pembelajaran menjadi monoton. Pembelajaran harus turut berubah seiring dengan perubahan aspek lainnya, sehingga terjadi keseimbangan dan kesesuaian yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas dan hasil belajar siswa. Agar mencapai hasil belajar yang maksimal dalam pembelajaran, maka perlu dirancang proses pelaksanaan pembelajaran yang dapat memberikan keasyikan dan kesenangan baik bagi siswa maupun pendidik, karena pada praktek pendidikan perlu memperhitungkan kebutuhan emosional berupa rasa puas, senang, dan menggembirakan. Jika materi yang disampaikan dengan menggunakan metode atau model pembelajaran yang sering digunakan atau monoton, tentu membuat siswa merasa bosan dan jenuh mendengarkan guru dalam menyampaikan materi tersebut, maka siswa pun sulit menerima pelajaran yang akan disampaikan. Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning. Model pembelajaran Cooperative Learning adalah suatu model pembelajaran yang dapat memungkinkan terjadinya aktivitas belajar, saling berinteraksi dengan sesama secara aktif, dan efektif. Dengan Cooperative Learning, diharapkan siswa dapat lebih intensif belajar, sehingga akan menguasai materi pelajaran dengan mudah. Pada dasarnya, siswa lebih mudah memahami penjelasan dari kawannya dibanding penjelasan guru karena taraf pengetahuan serta pemikiran mereka lebih sejalan dan sepadan. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa Cooperative Learning memiliki dampak positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya. Salah satu model pembelajaran yang digunakan adalah Cooperative Learning tipe Snowball Throwing. Metode Pembelajaran Snowball Throwing merupakan salah satu metode Cooperative Learning. Menurut Saminanto (2010:37) “Metode Pembelajaran Snowball Throwing disebut juga metode pembelajaran gelundungan bola salju. Lemparan pertanyaan tidak menggunakan tongkat seperti metode pembelajaran Talking Stick akan tetapi menggunakan kertas berisi pertanyaan yang diremas menjadi sebuah bola kertas lalu dilempar-lemparkan kepada siswa lain. Siswa yang mendapat bola kertas lalu membuka dan menjawab pertanyaannya. Model pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju 25 yang dihadapinya, berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah, melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru,menilai kemampuan dirinya dan hasilhasil yang diperolehnya, melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah sejenis, kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya. Dengan lebih aktifnya siswa diharapan akan meningkatkan hasil belajar siswa pada aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik melakukan sebuah penelitian dengan judul “Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Keterampilan Berbicara pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Sigi”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi? (2) apakah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi?. Tujuan penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. (2) untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok (Saminanto,2010:37). Menurut Huda (2014:226-228) model pembelajaran Snowball Throwing atau yang juga sering dikenal dengan Snowball Fight merupakan pembelajaran yang diadopsi pertama kali dari game fisik dengan melemparkan bola salju kepada orang lain. Model ini digunakan untuk memberikan konsep pemahaman materi yang sulit kepada siswa serta dapat juga digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan siswa dalam materi tersebut. Pada pembelajaran Snowball Throwing, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok diwakili seorang ketua kelompok untuk mendapatkan tugas dari guru. Kemudian setiap siswa membuat pertanyaan diselembar kertas yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilemparkan ke siswa lain. Siswa yang mendapatkan lemparan kertas harus menjawab pertanyaan dalam kertas yang diperoleh. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat. Model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing sesuai untuk siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi yang kurang berani dalam berbicara, karena model ini dapat menstimulus siswa untuk aktif dan berani dalam proses pembelajaran. Penggunaan model Cooperative Learning tipe Snowball Throwing diharapkan akan menjadi solusi dan dapat menarik perhatian siswa, sehingga siswa akan lebih aktif dalam pembelajaran dan akan menciptakan suasana lebih segar serta mengurangi kejenuhan dalam kelas. Selain itu, pembelajaran aktif dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa agar tetap tertuju pada proses pembelajaran (Hartono, 2008: 20). Menurut Sudjana (1991) keaktifan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan indikator keaktifan siswa yaitu turutserta dalam melaksanakan tugas belajarnya, terlibat dalam pemecahan permasalahan, bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Keaktifan Belajar Secara harfiah keaktifan berasal dari kata aktif yang berarti sibuk, giat 26 (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 17). Aktif mendapat awalan ke- dan –an, sehingga menjadi keaktifan yang mempunyai arti kegiatan atau kesibukan. Jadi, keaktifan belajar adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan tersebut tidak hanya keaktifan jasmani saja, melainkan juga keaktifan rohani. Menurut Sriyono, dkk (1992: 75) keaktifan jasmani dan rohani yang dilakukan peserta didika dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut:  Keaktifan indera; pendengaran, penglihatan, peraba, dan sebagainya. Peserta didik harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin. Mendikte dan menyuru mereka menulis sepanjang jam pelajaran akan menjemukan. Demikian pula dengan menerangkan terus tanpa menulis sesuatu di papan tulis. Maka pergantian dari membaca ke menulis, menulis ke menerangkan dan seterunya akan lebih menarik dan menyenangkan.  Keaktifan akal; akal peserta didik harus aktif atau dikatifkan untuk memecahkan masalah, menimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan.  Keaktifan ingatan; pada saat proses belajar mengajar peserta didik harus aktif menerima bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan menyimpannya dalam otak. Kemudian pada suatu saat ia siap dan mampu mengutarakan kembali.  Keaktifan emosi dalam hal ini peserta didik hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya, karena dengan mencintai pelajarannya akan menambah hasil belajar peserta didik itu sendiri. Sebenarnya semua proses belajar mengajar peserta didik mengandung unsur keaktifan, tetapi antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh karena itu, peserta didik harus berpartisipasi aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan belajar mengajar. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar merupakan upaya peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar peserta didik dapat ditempuh dengan upaya kegaiatan belajar kelompok maupun belajar secara perseorangan. 2.2 Hasil Belajar Secara formal belajar dapat di definisikan sebagai tingkah laku yang dikaitkan dengan kegiatan sekolah. Belajar merupakan fisik atau badaniah yang hasilnya berupa perubahan-perubahan dalam fisik itu, misalnya, dapat berlari, mengendarai, berjalan, dan sebagainya. Belajar selain merupakan aktivitas fisik juga merupakan kegiatan rohani atau psikis. Belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual, akan tetapi mengenai seluruh pribadi anak. Perubahan kelakuan karena mabuk bukanlah hasil belajar. Pendapat lain mengatakan bahwa belajar merupakan bentuk pertumbuhan dan perkembangan dalam diri seorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Seorang dikatan belajar apabila di asumsikan dalam diri seorang tersebut mengalami suatu proses kegiatan belajar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Dijelaskan pula bahwa belajar adalah suatu kegiatan dimana seseorang menghasilkan atau membuat suatu perubahan tingkah laku yang ada dalam dirinya dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan, sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang positif artinya mencari kesempurnaan hidup. Belajar itu sendiri terdiri dari berbagai tipe yaitu: (1) menghafal dalam pelajaran dengan sedikit tanpa memahami artinya, misalnya rumus-rumus matematika; (2) memperoleh pengertian-pengertian yang sederhana, seperti kenyataan empat di tambah lima semua berjumlah sembilan; (3) menemukan dan memahami hubungan yang menghendaki respon-respon logis dan benar-benar psikologis. Memahami beberapa konsep yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar bahwa belajar merupakan kegiatan fisik dan badaniah yang akan mengubah tingkah laku seseorang yang di dapat dari hasil pengalaman dan latihan yang bersifat 27 positif. komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang setiap orang dikodratkan untuk bisa berbicara atau berkomunikasi secara lisan, tetapi tidak semua memiliki keterampilan untuk berbicara secara baik dan benar. Oleh karena itu, pelajaran berbicara seharusnya mendapat perhatian dalam pengajaran keterampilan berbahasa. Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan, 1983:14). Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis,semantik, dan linguistik. Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1983:15) tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikombinasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Menurut Djago, dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan yaitu (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, dan 5) menggerakkan. Pentingnya keterampilan berbicara atau bercerita dalam komunikasi juga diungkapkan oleh Supriyadi (2005:178) bahwa apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial Hasil belajar pada dasarnya adalah hasil yang dicapai dalam usaha penguasaan materi dan ilmu penegetahuan yang merupakan suatu kegiatan yang menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Melalui belajar dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Belajar berarti mengubah tingkah laku. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suhardiman (1988) bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku. Belajar akan membantu terjadinya suatu perubahan pada diri individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya dikaitkan dengan perubahan ilmu pengetahuan, melainkan juga berbentuk percakapan, ketrampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri. Belajar menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang, prestasi belajar pada hakekatnya merupakan hasil dari belajar sebagai rangkaian jiwa raga. Psikofisik untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, efektif dan prestasi motorik. 2.3 Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa terdiri dari empat aspek, yaitu menyimak atau mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Peserta didik harus menguasai keempat aspek tersebut agar terampil berbahasa. Dengan demikian, pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah tidak hanya menekankan pada teori saja, tetapi peserta didik dituntut untuk mampu menggunakan bahasa sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai alat untuk berkomunikasi. Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambanglambang bunyi agar terjadi kegiatan 28 antarindividu. Sedangkan, keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaa-pertanyaan, menyampaikan faktafakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan. Keterampilan berbahasa lisan tersebut memudahkan peserta didik berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain 1. Pra Siklus Tahap ini peneliti melakukan observasi mengenai aktivitas siswa dalam menerima pelajaran serta rendahnya keaktifan dan hasil belajar Bahasa Indonesia siswa dalam aspek keterampilan berbicara. Kemudian menetapkan dan merumuskan rencana tindakan yaitu menyusun strategi pembelajaran dengan menyusun skenario pembelajaran. 2.4 Model Pembelajaran Snowball Throwing Snowball Throwing adalah salah satu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk memberikan konsep pemahaman materi yang sulit kepada siswa. Metode Snowball Throwing juga untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan siswa dalam menguasai materi tersebut. Pada model pembelajaran Snowball Throwing siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok. Dipilih ketua kelompok yang akan mewakili untuk menerima tugas dari guru. Masing-masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain kemudian siswa menjawab pertanyaan dari bola yang didapatkan. Snowball Throwing melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari orang lain, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Lemparan pertanyaan menggunakan kertas berisi pertanyaan yang diremas menjadi sebuah bola kertas kemudian dilemparkan kepada siswa lain. Siswa yang menerima bola kertas lalu membuka dan menjawab pertanyaannya. III. 2. Siklus I Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek keterampilan berbicara siklus 1 dilakukan dalam dua kali pertemuan dengan langkah-langkah sebagai berikut:  Perencanaan (Planning) Kegiatan perencanaan antara lain: identifikasi masalah, perumusan masalah dan analisis penyebab masalah, dan pengembangan intervensi. Dalam tahap ini, peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, dimana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Tindakan perencanaan yang peneliti lakukan antara lain adalah merencanakan identifikasi masalah yang dihadapi guru dan siswa selama proses pembelajaran, rencana penyusunan perangkat pembelajaran, rencana penyusunan alat perekam data, dan merencanakan pelaksanaan pembelajaranm kooperatif Snowball Throwing.  Pelaksanaan (Acting) Pelaksanaan dilaksanakan peneliti untuk memperbaiki masalah. Di sini, langkah-langkah praktis tindakan diuraikan dengan jelas. Pelaksanaan merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan, yaitu mengenakan tindakan di kelas. Di sini peneliti melakukan analisis dan refleksi terhadap permasalahan temuan observasi awal dan melaksanakan apa yang sudah direncanakan pada kegiatan planning. Langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh dalam melaksanakan Model Snowball Throwing sebagaimana dikemukakan Suprijono (2010: 128) adalah sebagai berikut (1) Guru menyampaikan materi yang akan disajikan, Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggilmasingmasingketuakelompokuntuk memberikan METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research (CAR). Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Secara rinci prosedur pelaksanaan menurut Kemmis & M. Taggart (Arikunto, 2008:16) penelitian tindakan kelas dapat diuraikan sebagai berikut: 29 Langkah - langkah tersebut dituangkan dalam rencana terevisi untuk melakukan tindakan pada siklus II hingga hasil belajar siswa meningkat. penjelasan tentang materi pem- belajaran (2) Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yangdisampaikan oleh guru kepada teman kelompoknya (3) Kemudian masing-masing murid diberi satu lembar kerja untuk menuliskan pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok, Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu murid ke murid yang lain selama kurang lebih 5 menit (4) Setelah tiap murid mendapat satubola/satu pertanyaan (5) diberikan kesempatan kepada murid untuk menjawabpertanyaanyangtertulisdalamkertasberb en- tuk bola tersebut secara bergantian (6) Guru bersama dengan murid memberikan kesimpulan atas meteri pembelajaran yang diberikan (7) Guru memberikan evaluasi sebagai bahan penilaian pemahaman muridakan materi pembelajaran (8) Guru menutup pembelajaran dengan memberikan pesan-pesan moral dan tugas di rumah.  Pengamatan (Observing) Pengamatan merupakan kegiatan pengambilan data untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran. Efek dari suatu intervensi terus dimonitor secara reflektif. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pengamatan ini yaitu: pengumpulan data, mencari sumber data, dan analisis data. Pada langkah ini, peneliti selaku pelaku tindakan atau sebagai pengajar sekaligus observer bersama observer lain melakukan pengamatan terhadap proses belajar mengajar yang dilakukan sendiri dan aktivitas siswa secara berkelanjutan.  Refleksi (Reflecting) Refleksi adalah kegiatan mengulas secara kritis tentang perubahan yang terjadi pada siswa, suasana kelas, dan guru. Pada tahap ini, peneliti menjawab pertanyaan mengapa (why) dilakukan penelitian, bagaimana (how) melakukan penelitian, dan seberapa jauh (to what extent) intervensi telah menghasilkan perubahan secara signifikan. Di sini peneliti melakukan analisis dan refleksi terhadap permasalahan dan kendala-kendala yang dihadapi di lapangan. 3. Siklus II Pelaksanaan siklus II ini didasari dari hasil refleksi pada silkus I. Masalahmasalah yang timbul pada siklus I ditetapkan alternatif pemecahan masalahnya dengan harapan tidak terulang pada siklus II nantinya. Apabila hasil refleksi pada siklus II menunjukkan belum tercapainya indikator ketercapaian pembelajaran maka siklus akan dilanjutkan, dan sebaliknya apabila refleksi pada siklus II telah menunjukkan tercapaianya indikator ketercapaian pembelajaran maka siklus akan dihentikan. Data observasi dianalisis dengan mendeskripsikan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran kelompok yaitu dengan menggunakan lembar observasi keaktifan siswa. Penelitian keaktifan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dapat dilihat dari skor pada lembar observasi keaktifan siswa. Persentase perolehan skor pada lembar observasi dikualifikasi untuk mengukur keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Cara menghitung persentase keaktifan siswa berdasarkan lembar observasi untuk setiap siklus adalah sebagai berikut: P = F x 100% A Keterangan: P = Persentase keaktifan siswa. F = Banyak siswa yangmelakukan indikator lembarobservasi. A = Banyak siswa keseluruhan. Indikator: A Mendengarkan B C D E 30 dan memperhatikan presentasi / penjelasan guru Mencatat penjelasan guru Merespon pertanyaan atau perintah dari guru Mengajukan pertanyaan kepada guru jika menemukan masalah Berpartisipasi dalam diskusi kelompok X = ∑� N F Mengemukakan pendapat dalam kelompok G Mengerjakan soal dan lembar kegiatan H Mempresentasikan hasil kerjakelompok Keterangan : X= rata-rata kelas(mean) ∑ � = jumlah nilai siswa N = banyaknyasiswa Hasil data observasi dikualifikasikan dengan pedoman berikut: Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ada di SMP Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75. Standar persentase ketuntasan klasikal yang ditentukan yakni 80%. Tabel Kualifikasi Persentase Keaktifan Siswa Persentase Kriteria 75% <P< 100% Sangat Tinggi 50% <P< 75% Tinggi 25% <P< 50% Sedang 0% <P< 25% Rendah IV. Sedang untuk mengetahui keberhasilan tindakan yang dilaksanakan guru dalam meningkatkan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan model pembelajaran Snowball Throwing digunakan persentase nilai yang diperoleh secara keseluruhan siswa setelah dilaksanakan tindakan. Untuk mengetahui persentase nilai yang diperoleh siswa dengan perhitungan sebagai berikut: P = Skor yang diperoleh siswa Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebanyak dua siklus dengan setiap siklusnya dua kali pertemuan. Berdasarkan data hasil penelitian yangtelah diuraikan sebelumnya diketahui bahwa: 4.1 Keaktifan Belajar Siswa Keaktifan adalah kondisi siswa yang aktif dalam pembelajaran, baik secara fisik, mental, dan pikiran. Keaktifan siswa dalam pembelajaran merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai keefektifan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang efektif adalah proses pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar dengan melakukan kegiatan mandiri. Pada prasiklus, peneliti mengamati keaktifan siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pada prasiklus, hasil observasi keaktifan adalah 22,15% dengan kriteria rendah. Pada siklus I, persentase keaktifan meningkat 39,21% dari prasiklus, sehingga persentase keaktifan menjadi 61,36% dengan kriteria tinggi. Pada siklus II, persentase keaktifan kembali meningkat 35,79% dari siklus I menjadi 97,15% dengan kriteria sangat tinggi. Perbandingan pelaksanaan tindakan antar siklus keaktifan belajar dapat dilihat pada tabel berikut : x 100% Skor total Hasil presentase yang didapat kemudian dikualifikasikan menggunakan tabel kriteria berikut: Tabel Persentase Nilai Siswa Persentase (P) Kualifikasi 80% < P ≤ 100% Sangat Tinggi 60% < P ≤ 80% Tinggi 40% < P ≤ 60% Sedang 20% < P ≤ 40% Rendah HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 0% < P ≤ 20% Sangat Rendah Sedangkan untuk mencari perhitungan rata-rata secara klasikal dari sekumpulan nilai yang telah diperoleh siswa tersebut dapat menggunakan rumus mean (Arikunto, 2010: 264). 31 Tabel Hasil Perbandingan Pelaksanaan Tindakan Antar Siklus Keaktifan Siswa cenderung menggunakan metode ceramah, belum menggunakan model pembelajaran yang lebih variatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran aspek keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sehingga siswa juga kurang antusias untuk mengikuti pembelajaran dan nilai siswa kurang memuaskan. Setelah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing, terjadi peningkatan hasil belajar siswa. Perbandingan hasil prasiklus, siklus I, dan siklus II dapat dilihat pada tabel berikut: Prasiklus Siklus I Siklus II N Indik Persent Perse Persent o ator Kriteria Kriteria Kriteria ase ntase ase 1 A 31,81% Sedang 68,18 % Tinggi 100% Sangat Tinggi 2 B 22,72% Rendah 63,63 % Tinggi 86,36% Sangat Tinggi 3 C 18,18% Rendah 59.09 % Tinggi 100% Sangat Tinggi 4 D 13,63% Rendah 54,54 % Tinggi 90,90% Sangat Tinggi 5 E 18,18% Rendah 59,09 % Tinggi 100% Sangat Tinggi 6 F 13,63% Rendah 45,45 Sedang % 100% Sangat Tinggi 7 G 27,27% Sedang 68,18 % Tinggi 100% Sangat Tinggi 72,72 % Tinggi 8 H 31,81% Sedang Rata61,36 22,15% Rendah Rata % Tinggi 100% Tabel Perbandingan Hasil Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II Sangat Tinggi Sangat 97,15% Tinggi Keterangan: A Mendengarkan dan memperhatikan presentasi/ penjelasanguru B Mencatat penjelasanguru C Merespon pertanyaan atauperintah dari guru D Mengajukan pertanyaan kepada guru jika menemukanmasalah E Berpartisipasi dalam diskusi kelompok F Mengemukakan pendapat dalam kelompok G Mengerjakan soal dan lembar kegiatan H Mempresentasikan hasil kerjakelompok 79 45 Siklus I 87 68 Siklus II 98 79 5 16 22 17 6 - 22,72% 72,72% 100% 77,27% 27,27% - 67,28 76,39 90,02 Keterangan Prasiklus Nilai Tertinggi Nilai Terendah Banyak siswa yang tuntas Banyak siswa yang belum tuntas Persentase siswa yang tuntas Persentase siswa yang belum tuntas Nilai rata-rata siswa Hal tersebut ditunjukkan dari hasil prasiklus, terlihat dari 22 siswa hanya 5 siswa yang memperoleh ketuntasan belajar atau telah mencapai nilai KKM yang telah ditentukan (75) atau dengan persentase 22,72% dan 17 lainnya belum tuntas belajar dengan persentase 77,27%. Nilai rata-rata siswa pada prasiklus yaitu 67,28. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada prasiklus tersebut hasil belajar siswa perlu ditingkatkan. Setelah diberi tindakan dengan menerapkan model pembelajaran Snowball Throwing dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I terlihat bahwaterjadipeningkatan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau 72,72% siswa yang sudah mencapai nilai ketuntasan, sedangkan 6 siswa atau 27,27% belum mencapai ketuntasan. Adapun nilai rata-rata siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I ini adalah sebesar 76,39. Pada siklus II semua kekurangan- Berdasarkan data di atas dapat dinyatakan bahwa penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa dalam aspek keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. 4.2 Hasil Belajar Siswa Pada prasiklus, peneliti melakukan observasi terkait hasil belajar siswa. Dalam observasi diketahui bahwa hasil belajar siswa dalam aspek keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia masih tergolong rendah. Keadaan tersebut terjadi karena saat pembelajaran guru 32 77,27%. Nilai rata-rata siswa pada prasiklus yaitu 67,28. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada prasiklus tersebut hasil belajar siswa perlu ditingkatkan. Setelah diberi tindakan dengan menerapkan model pembelajaran Snowball Throwing dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I terlihat bahwaterjadipeningkatan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dari 22 siswa terdapat 16 siswa atau 72,72% siswa yang sudah mencapai nilai ketuntasan, sedangkan 6 siswa atau 27,27% belum mencapai ketuntasan. Adapun nilai rata-rata siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada siklus I ini adalah sebesar 76,39. Pada siklus II semua kekurangan-kekurangan yang ada pada siklus I telah diperbaiki, sehingga proses pembelajarannnya menjadi lebih baik dan hasilnya terjadi peningkatan. Hal ini terlihat dari 22 siswa terdapat 22 siswa pula yang memperoleh nilai tuntas belajar atau dengan kata lain 100% siswa memperoleh hasil belajar tuntas dengan nilai rata-rata sebesar 90,02. Pada siklus II ini telah mencapai indikator keberhasilan. kekurangan yang ada pada siklus I telah diperbaiki, sehingga proses pembelajarannnya menjadi lebih baik dan hasilnya terjadi peningkatan. Hal ini terlihat dari 22 siswa terdapat 22 siswa pula yang memperoleh nilai tuntas belajar atau dengan kata lain 100% siswa memperoleh hasil belajar tuntas dengan nilai rata-rata sebesar 90,02. Pada siklus II ini telah mencapai indikator keberhasilan. Berdasarkan data di atas dapat dinyatakan bahwa penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam aspek keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. V. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:  Penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan keaktifan belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari keaktifan belajar siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada prasiklus, hasil observasi keaktifan adalah 22,15% dengan kriteria rendah. Pada siklus I, persentase keaktifan meningkat 39,21% dari prasiklus, sehingga persentase keaktifan menjadi 61,36% dengan kriteria tinggi. Pada siklus II, persentase keaktifan kembali meningkat 35,79% dari siklus I menjadi 97,15% dengan kriteria sangat tinggi.  Penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil prasiklus, terlihat dari 22 siswa hanya 5 siswa yang memperoleh ketuntasan belajar atau telah mencapai nilai KKM yang telah ditentukan (75) atau dengan persentase 22,72% dan 17 lainnya belum tuntas belajar dengan persentase VI. SARAN Berdasarkan hasil penelitian tentang dalam penerapan model pembelajaran Snowball Throwing terhadap peningkatan kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : a) bagi guru, hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing dalam proses pembelajaran untuk dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Peran guru sangat diperlukan untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran. Guru mempertimbangkan untuk menerapkan model pembelajaran yangdapat membantu siswa mengembangkan kompetensi dan kemampuannya serta membangun pengetahuan secara aktif. b) Bagi 33 siswa, hendaknya lebih aktif dalam peroses pembelajaran dan mencari bahan-bahan pelajaran lain yang mendukung, sehingga dalam belajar siswa tidak hanya menunggu materi yang diberikan oleh guru, dan lebih cepat dalam memahami materi pelajaran yang diberikan. (c) Bagi kepala sekolah, agar menyarankan kepada guru-guru untuk dapat menerapkan model-model pembelajaran yang bervariasi guna meningkatkan efektifitas belajar mengajar dalam pencapaian hasil belajar yang baik. (d) Bagi peneliti, dalam kegiatan pembelajaran peneliti diharapkan lebih meningkatkan lagi dalam menerapkan model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. c) Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan acuan atau referensi terhadap penelitian yang serupa terutama pada penelitian di bidang bahasa untuk kemampuan berbicara. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2005. SBM (Strategi Belajar Mengajar). Bandung: Pustaka Setia. Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: BumiAksara. Dimyati, dkk, (2002), Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta. Dwitagama,Wijayah Kusumah,2009. Penelitian Tindakan Kelas , Jakarta :Malta Printindo. Hamalik, Oemar., (2006), Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Bandung. Hartono. 2008. Metode PembelajaranAktif. Yogyakarta: Workshop Pengembangan Profesi Guru. Huda, M. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Munif Chatib. 2012. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa. Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa. Silberman, Melvin L. 2009.Active Learning. Bandung: Nusamedia. Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Surabaya: Pustaka Pelajar. Tarigan, H. G. 1998. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung. 34 Media Litbang Sulteng IX (1) : 35-43, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENERAPAN PENDEKATAN MULTIPLE INTELEGENCE LINGUISTIC INTELEGENCE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS SISWA KELAS V SDN I BETELEME Oleh : Helnice Talingkau1) ABSTRAK Kemampuan menulis menjadi salah satu kesulitan yang dialami oleh setiap siswa, karena kurangnya penguasaan kosa kata, rendahnya keberanian siswa untuk bertanya pada guru, pola komunikasi guru-siswa searah, dan budaya belajar yang masih senang menerima, sehingga kemampuan menulis siswa masih tergolong rendah. Untuk itu, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian tindakan kelas dan berkolaborasi dengan guru kelas V untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif sehingga siswa memahami materi tersebut secara keseluruhan. Tujuan Penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana penerapan pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas V SDN 1 Beteleme. Rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model alur Kemmis dan Mc. Taggart yang dilakukan dalam dua siklus, dengan setiap siklus melalui 4 tahap, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi. Penelitian ini dilakukan di kelas V SDN 1 Beteleme pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN 1 Beteleme berjumlah 21 siswa. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar siswa kelas V SDN 1 Beteleme pada tes awal nilai rata-rata ketuntasan belajar klasikal hanya sebesar 28,58%. Setelah menerapkan pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence, mengalami peningkatan hasil belajar siswa dengan ketuntasan belajar siswa 52,38%. Dari hasil wawancara, observasi, dan hasil belajar siswa pada siklus I, disimpulkan bahwa penelitian tindakan belum berhasil dan dilanjutkan pada siklus II untuk melihat kemajuan belajar siswa dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I. Pada Siklus II hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu untuk rata-rata ketuntasan belajar mencapai 85,71%. Kata Kunci: Multiple Intelegence, Linguistic Intelegence, Keterampilan, Menulis, Menulis puisi. pembelajaran yang ada di kelas V Sekolah Dasar mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu aspek menulis. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa secara produktif yang dipergunakan secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Kemampuan menulis menjadi satu kesulitan yang dialami oleh setiap siswa. Pandangan yang mengatakan bahwa menulis sulit karena rasa kepercayaan yang kurang. Padahal, salah satu tujuan pembelajaran umum mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah, “Siswa mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat dan perasaaan melalui menulis dari pikiran. Kondisi di lapangan, pada umumnya siswa kelas V SDN 1 Beteleme kurang termotivasi terhadap materi menulis. Siswa merasa kesulitan dalam menulis karangan karena kurangnya penguasaan kosa kata, rendahnya keberanian siswa untuk bertanya pada guru, pola komunikasi guru-siswa searah, dan budaya belajar yang masih senang menerima maka alternatif yang diambil dengan menerapkan pendekatan multi intelegence. I. PENDAHULUAN Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas yang dapat memberdayakan potensi siswa. Guru dituntut untuk merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi, baik dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun psikomotorik siswa. Guru harus mampu merancang pembelajaran sesuai dengan karakteristik dan kondisi siswa. Setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda di dalam bidang tertentu. Setiap siswa memiliki keunikan, dan kecerdasan mereka berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Untuk itu, seorang guru harus mampu mengenal kemampuan anak didiknya. Dengan begitu, potensi yang dimiliki seorang siswa dapat berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Beberapa aspek 1) Guru SDN 1 Beteleme 35 kecerdasan ini berbeda - beda. Pendekatan multiple intelligence pada dasarnya menekankan hal terbaik yang dapat dilakukan guru di kelas selain menggunakan buku teks dan papan tulis guna membangkitkan pikiran anak. Selain itu, pendekatan ini memberikan pedoman kepada guru dalam memilih metode mengajar yang terbaik disertai prosedur pengembangannya yang melibatkan unsur metode, materi dan tekhnik mengajar. Penerapan strategi pembelajaran multiple intelegence yang berkenaan dengan linguistic intelegence ini diharapkan dapat meningkatkan hasil pembelajaran bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis pada siswa kelas V SDN 1 Beteleme. Dari hasil observasi, dapat diidentifikasi masalah yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa dalam aspek menulis, antara lain :  Metode yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.  Budaya belajar yang masih senang menerima.  Kurangnya penguasaan kosa kata  Rendahnya keberanian siswa untuk bertanya pada guru  Kurangnya pengetahuan dan informasi materi tentang menulis karangan, ungkapan dan pengembangan kata yang minim membuat para siswa kesulitan dalam mengungkapkan gagasannya. Dari identifikasi masalah tersebut di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendekatan multiple intelegence: linguistic intelegence dengan harapan dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan pada siswa kelas V SDN 1 Beteleme. 2.2 dengan proporsi yang Pembelajaran Berbasis Linguistic Intelegence Kecerdasan Linguistik didefinisikan oleh Linda Campbell, sebagai kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Kemampuan peserta didik yang suka berbicara dalam mengekspresikan gagasan, memahami atau menghafal pelajaran. Biasanya yang terjadi dalam kenyataan bila peserta didik selalu ribut di dalam kelas, selalu membuat gaduh maka pendidik akan marah, bahkan sampai menghukum. Padahal peserta didik ini mempunyai kecerdasan linguistik, pendidik tersebut tidak memahami kemampuan peserta didiknya. Maka pendidik harus pandai mengaplikasikannya dalam sebuah pembelajaran dengan kecerdasan linguistik yang dimiliki siswa. Contoh, secara bergantian siswa membacakan sebuah cerita. Pembelajaran berbasis linguistic intelegence sangat efektif sebab mampu meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam bentuk interaksi baik antara siswa dengan guru maupun antara siswa dengan siswa lainnya dalampembelajaran bahasa Indonesia. Bahkan interaksi ini lebih didominasi oleh interaksi antara siswa dengan siswa sedangkan guru hanya bersifat sebagai moderator dan fasilitator saja.Tanya jawab antarsiswa berjalan dengan sangat baik dan setiap penilaian yang diberikan oleh guru maupun siswa lainnya mampu memacu dirinya untuk lebih menggali konsep-konsep materi yang diajarkan, sehingga menghasilkan rasa keingintahuan dan percaya diri yang tinggi. Menurut Gardner (Hoerr, 2007: 18) mengatakan kecerdasan bahasa dapat ditumbuhkembangkan dengan menulis cerita dan esai; menceritakan lelucon, cerita, plesetan, menggunakan kosakata yang luas, menggunakan kosakata luas; bermain word game, menggunakan kata untuk menggambarkan sebuah cerita. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Multiple Intelegences Multiple intelegences mengacu pada sebuah teori kecerdasan yang dikembangkan pertengahan tahun 1980-an oleh Howard Gardner, seorang profesor dalam bidang pendidikan di Universitas Harvard. Setiap orang memiliki ke semua 36 dasarnya tidak terlepas dari tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu menyimak, berbicara, dan membaca (Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman, 1986; Weafer, 1992, dalam Santosa, 2004). Menulis didorong oleh kegiatan berbicara, membaca, dan menyimak. Menulis membawa ide-ide dari seseorang dengan tujuan dan makna yang berbeda. Siswa melalui bermacam kegiatan menulis, dapat mengembangkan perasaan audiens dan merasakan kegiatan menulis sebagai tindakan yang relevan yang terjadi di antara diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Berdasarkan pendapat Gardner (Sandjaja,2011: 8) ada beberapa langkah untuk menyusun rencana pembelajaran terpadu dengan intelegensi linguistik, yaitu:  Menentukan topik yang akan dibahas. Rumuskan topik berdasar masalah atau kebutuhan siswa secara riil dan sesuai. Hal ini sesuai dengan teori aplikasi teknologi Gestalt dalam pendidikan, bahwa mengajar yang efektif adalah berfokus pada masalah dan kebutuhan riil murid. Pada gilirannya, hasil pembelajaran di sekolah dapat digunakan untuk hidup sehari-hari.  Membuat skema pembelajaran kecerdasan linguistik yang berisi alternatif kegiatan belajar mengajar, isi pembelajaran, alat peraga dan fasilitas (peralatan) yang dibutuhkan serta alat evaluasinya.  Memilih dan mengurutkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan alokasi waktu dan langkah-langkah pembelajaran eksperensial yang digunakan. III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, maka peneliti menggunakan model penelitian mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart (dalam Depdikbud, 1999), yang terdiri dari empat komponen, yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi. 2.3 Peningkatan Keterampilan Menulis Melalui Strategi Multiple Intelegence 2.3.1 Pengertian Keterampilan Keterampilan dapat menunjukkan pada aksi khusus yang ditampilkan atau pada sifat dimana keterampilan itu dilaksanakan. Banyak kegiatan dianggap sebagai suatu keterampilan, terdiri dari beberapa keterampilan dan derajat penguasaan yang dicapai oleh seseorang menggambarkan tingkat keterampilannya. Hal ini terjadi karena kebiasaan yang sudah diterima umum untuk menyatakan bahwa satu atau beberapa pola gerak atau perilaku yang diperluas bisa disebut keterampilan, misalnya menulis, memainkan gitar atau piano, menyetel mesin, berjalan, berlari, melompat dan sebagainya. Jika ini yang digunakan, maka kata “keterampilan” yang dimaksud adalah kata benda (Fauzi, 2010: 7 dalam artikelbagus. com) 2.3.2 Pengertian Menulis Keterampilan menulis 3.1.1 Setting dan Subjek Penelitian Penelitian ini bertempat di SDN 1 Beteleme dan dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan subjek penelitian adalah kelas V SDN 1 Beteleme berjumlah 21 orang. A. Prosedur Penelitian Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang dicapai, seperti yang telah didesain dalam faktor-faktor yang diselidiki. B. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan, angket, dan data tentang hasil belajar siswa setelah dilakukan tindakan yang diperoleh melalui tes. C. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode :  Tes, adalah alat penilaian dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada 37     guru telah berada dalam kategori baik atau sangat baik. Suatu pembelajaran dikatakan sangat baik jika semua aspek kegiatan terlaksana secara optimal, dikatakan kurang baik jika ada salah satu aspek kegiatan yang tidak terlaksana, dikatakan kurang jika hanya ada satu aspek kegiatan saja yang terlaksana sedangkan aspek yang lain tidak terlaksana. Kriteria taraf keberhasilan tindakan dapat ditentukan (Hadi, 2003 : 107) yaitu :  85 % ≤ NR < 100 %: sangat baik  75% ≤ NR < 84% : baik  65% ≤ NR < 74% : cukup baik  55% ≤ NR < 64% : kurang baik  ≤ 54% :sangat kurang baik kepada seseorang dengan jawaban tertentu baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun perbuatan (tindakan). Observasi, Observasi memungkinkan untuk mengetahui kesesuaian antara harapan dan kenyataan dari penelitian tindakan kelas dan dilakukan untuk melihat langsung aktifitas guru dan siswa selama proses pembelajaran. Wawancara, dimaksudkan untuk menelusuri kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa selama mengikuti pembelajaran. Catatan lapangan, bertujuan untuk memperoleh data yang akurat dan objektif apa adanya, sehingga hal-hal yang tidak terekam dalam observasi dapat dilakukan dengan catatan lapangan. Angket adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. IV. 4.1 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus dengan dua kali tindakan, dan terbagi dalam dua bagian, yaitu : 4.1.1 Kegiatan Pra Tindakan Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti melakukan observasi awal terhadap kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas V, khususnya menulis karangan. Dari hasil observasi, dapat diidentifikasi masalah yang menyebabkan siswa kesulitan di dalam menulis karangan. Salah satunya adalah budaya belajar yang masih senang menerima. Hal ini menyebabkan kurangnya kosa kata sehingga dalam menuangkan ideide ke dalam tulisan dirasakan sulit oleh siswa. Peneliti berkolaborasi dengan guru kelas V SDN 1 Beteleme dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas. Pada pertengahan bulan Agustus 2013, peneliti memberikan tes awal dalam bentuk memperlihatkan sebuah gambar sebagai stimulus dan meminta setiap siswa menulis berdasarkan gambar yang diperlihatkan tersebut. Tes ini lebih dimaksudkan sebagai upaya pengenalan kemampuan siswa dalam menulis. Dari hasil analisis tes awal, dapat diketahui bahwa kemampuan siswa dalam menulis karangan masih sangat rendah, ini dibuktikan dari 21 siswa yang mengikuti tes D. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian tindakan kelas ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif (Supardi, 2006:131). Terhadap perolehan hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif dengan memberikan nilai pada hasil belajar siswa. Sedangkan terhadap perolehan data observasi aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran dianalisis secara kualitatif. Perolehan data melalui observasi tersebut dikonsultasikan dengan kriteria deskriptif kualitatif, yang dikelompokkan dalam 5 kategori, yaitu baik sekali, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang sebagai berikut: 1. Indikator Keberhasilan Ketuntasan a. Indikator Kuantitatif Pembelajaran Indikator yang menunjukkan keberhasilan pembelajaran atau peningkatan hasil belajar siswa yaitu jika daya serap individu memperoleh nilai minimal 75% dari skor ideal dan ketuntasan klasikal minimal 80%. (Depdiknas, 2007). b. Indikator Kualitatif Pembelajaran Indikator Kualitatif pembelajaran dapat dilihat dari aktifitas siswa dan guru, selama pembelajaran. Penelitian ini dinyatakan berhasil jika aktifitas siswa dan 38 masih banyak siswa yang belum bisa untuk menyampaikan hasil diskusinya dengan baik dikarenakan kurangnya perbendaharaan kosa kata/berbicara secara sistematis. yang tuntas belajar hanya 6 orang atau hanya sebesar 28,58%. Maka, peneliti bersama kolaborator mencari solusi dan menetapkan pendekatan multiple linguistic : linguistic intelegence yang akan diterapkan dalan penelitian tindakan kelas, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis pada siswa kelas V SDN 1 Beteleme. 4.1.4 Data Hasil Wawancara Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa 1) siswa senang dengan model pembelajaran yang diterapkan guru, walau siswa masih merasa kesulitan untuk menulis karangan dengan kalimat yang runtut, 2) siswa belum terbiasa untuk mempresentasikan jawaban di depan kelas atau berbicara secara sistematis. 4.1.2 Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus I Tes ini dilakukan untuk menilai keterampilan menulis siswa dalam menulis karangan. Tes dilaksanakan secara klasikal dan dikerjakan mandiri. prosentase ketuntasan klasikal hanya 52,38. Indikator keberhasilan ketuntasan yang ditetapkan adalah 80%. Ini menandakan bahwa ketuntasan belajar klasikal belum tercapai. 4.1.5 Refleksi Tindakan Siklus I Peneliti bersama kolaborator melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus I. Dari hasil analisis tes akhir, siswa belum tuntas secara klasikal karena hanya mencapai 52,38% atau dari 21 siswa, yang tuntas belajar hanya 11 orang. Hal ini disebabkan belum optimalnya pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa dan strategi yang diterapkan guru masih dirasakan baru oleh siswa. Dari hasil observasi terhadap guru, masih banyak kekurangan yang dilakukan guru pada pembelajaran siklus I, untuk itu dilakukan refisi agar pembelajaran pada siklus berikutnya bisa berlangsung dengan baik. Hasil observasi terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa masih banyak aspek yang dinilai kurang oleh observer. Untuk itu, diperlukan bimbingan bagi siswa yang masih merasa kesulitan dalam mengikuti pembelajaran, sehingga pada pembelajaran berikutnya siswa sudah siap dengan metode yang diterapkan guru. Pembentukan kelompok yang beranggotakan 3 orang siswa dirasa kurang efektif, karena siswa yang lain tidak mengerjakan tugas secara tuntas/masih ada yang tidak aktif di dalam kelompoknya. Untuk itu, strategi akan dirancang ulang agar semua siswa aktif dalam belajar. Dari hasil wawancara, observasi, dan hasil belajar siswa, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan siklus I belum berhasil dan dilanjutkan pada siklus II 4.1.3 Data Hasil Observasi Dari hasil pengamatan terhadap aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa dalam aktivitas yang dilakukan guru dikategorikan baik oleh observer, meskipun ada beberapa aspek yang dinilai kurang, seperti 1). guru kurang mengontrol kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa saat kerja kelompok sehingga masih ada siswa yang tidak mengerjakan tugas secara keseluruhan, 2). guru kurang memberikan penghargaan bagi kelompok yang telah mempresentasikan jawabannya, 3). guru kurang optimal dalam pengelolaan waktu sehingga tidak sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Dari pengamatan yang dilakukan terhadap aktivitas siswa, diperoleh informasi bahwa siswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran, apalagi dengan adanya teka-teki kata yang dibuat guru dalam LKS, walau dalam beberapa aspek masih dinilai kurang oleh observer, seperti: 1) siswa kurang berpartisipasi dalam pembelajaran, 2) tidak semua siswa aktif dalam pembelajaran kelompok, saat diberi kesempatan untuk bertanya, masih banyak siswa yang belum berani,3)dalam mempresentasikan jawaban, 39 untuk melihat kemajuan belajar siswa dengan memperbaiki kekurangankekurangan yang terjadi pada siklus I. siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence diperoleh hasil bahwa untuk ketiga kategori tersebut di atas menunjukkan respon yang positif dari hampir seluruh siswa. 4.1.6 Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus II Tes siklus II ini juga dilaksanakan secara klasikal dan siswa tidak diizinkan untuk bekerjasama. Tes ini dilaksanakan untuk menilai hasil keterampilan menulis karangan siswa. Siswa juga diberi kesempatan untuk mengisi angket respon siswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan. Dari hasil analisis data, dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal mencapai 85,71% atau yang tuntas belajar ada 18 siswa dari 21 siswa. Indikator keberhasilan telah tercapai bahkan lebih dari yang diharapkan. 4.1.8 Data Hasil Wawancara Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa, 1) siswa senang bekerja kelompok karena dapat saling membantu, 2) siswa senang dengan strategi guru yang bervariasi, 3) siswa senang dengan metode yang diterapkan karena membantu siswa memperbanyak perbendaharaan kata, 4) siswa senang dalam kegiatan diskusi maupun mempresentasikannya karena dapat melatih siswa berbicara dengan sistematis. 4.1.9 Refleksi Hasil Tindakan Siklus II Dari hasil analisis tes akhir tindakan siklus II, diperoleh informasi untuk ketuntasan belajar klasikal telah tercapai, yaitu sebesar 85,71% atau ada 18 siswa yang tuntas belajar. Rata-rata siswa memperoleh nilai ≥75. Ini membuktikan bahwa pendekatan multiple intelegence : intelegence linguistic dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan siswa. Dari hasil observasi terhadap aktivitas guru (peneliti) dan siswa (subjek), pada siklus II ini menunjukkan peningkatan dalam semua aspek sehingga berdampak pada hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan. Guru sudah mengoptimalkan kinerja dan potensinya dalam pembelajaran sehingga siswapun terlibat secara aktif dan dapat berpartisipasi dengan baik dalam pembelajaran. Siswa sudah menunjukkan hasil belajar yang optimal. 4.1.7 Data Hasil Observasi Dari hasil pengamatan terhadap aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa peneliti sudah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I sudah diperbaiki sehingga peneliti sudah mengoptimalkan kinerjanya pada siklus II ini. Guru dapat mengelola waktu pembelajaran dengan baik, guru dapat mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan siswa baik secara mandiri maupun kelompok, memotivasi siswa lewat tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan pada setiap kelompok. Dari hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa, diketahui bahwa seluruh siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Siswa terlihat antusias saat mengerjakan LKS. Setiap kelompok ingin menjadi yang terbaik. Ini menandakan adanya persaingan positif dalam belajar. Siswa dapat bekerjasama dengan baik dalam kelompoknya. Secara keseluruhan, seluruh siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Dari hasil analisis angket yang diisi oleh seluruh siswa, diperoleh informasi sebagai berikut. diperoleh hasil respon sikap siswa 85,71%, keterampilan 90,48%, dan pemahaman materi 85,71%. Berdasarkan kategori penilaian respon 4.1.10 Temuan Penelitian a. Pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence dapat membantu siswa untuk mengembangkan daya imajinasinya lewat cerita yang dibacakan dan hal itu membantu siswa dalam menulis karangan. b. Pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence dapat 40 kelompok. Guru terlalu banyak duduk di depan kelas dan tidak membimbing siswa sehingga kurang berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Kurangnya perbendaharaan kata menyebabkan siswa kesulitan dalam menulis juga saat mempresentasikan jawaban, siswa berbicara dengan susunan kata yang tidak sistematis. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kekurangankekurangan dalam pembelajaran dan untuk melihat progress atau kemajuan belajar siswa dalam menulis karangan, maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus II. Pada pelaksanaan pembelajaran berbasis intelegence linguistic pada siklus II diberikan pengalaman belajar yang berbeda dari siklus I. Untuk pengembangan kosa kata, strategi pada siklus II divariasikan dengan bentuk yang berbeda dari siklus I. Pada sikul II ini, guru membacakan sebuah cerita rakyat yang dekat dengan lingkungan siswa. Siswa diminta menuliskan tema, penokohan, alur cerita, dan amanat dari cerita rakyat yang dibacakan guru tadi. Bentuk tulisan yang diharapkan dihasilkan oleh siswa adalah tulisan yang dijalin dalam bentuk paragraf naratif. Siswa diminta berimajinasi menulis ulang cerita dengan mengemukakan tema cerita, penokohan, alur cerita, dan amanat cerita. Hal ini dilakukan untuk menstimulus dan merangsang otak siswa untuk berpikir dan menuangkan ide-idenya ke dalam bentuk tulisan. Pembelajaran pelaksanaan berbasis intelegence linguistic pada siklus II sudah dilaksanakan dengan baik. Hal ini terindikasi dari hasil belajar, hasil observer, dan respon siswa melalui nilai tulisan siswa. Dari hasil tes akhir tang dilakukan, siswa sudah dapat menulis tentang pengalaman pribadi dengan leluasa dan lancar. Pilihan kata yang digunakan siswa sudah bervariasi, hal ini terjadi karena siswa memiliki referensi kosa kata yang banyak, yang diperoleh dari pengalaman belajar yang bervariasi. Siswa mengalami progres atau peningkatan dalam pengembangan bahasa terlihat dari pengembangan cerita pengalaman pribadi siswa yang ditulis dengan lancar dan sesuai dengan tema yang dipilih. Dari hasil memperbanyak perbendaharaan kosa kata lewat teka-teki kata. c. Pendekatan multiple intelegence : linguistic intelegence dapat membantu guru untuk melihat potensi yang dimiliki oleh setiap siswa sehingga dapat menciptakan strategi pembelajaran yang pas untuk masingmasing kecerdasan anak. V. PEMBAHASAN Dari hasil observasi awal, dapat diidentifikasi masalah yang menyebabkan siswa kesulitan di dalam menulis karangan. Salah satunya adalah budaya belajar yang masih senang menerima. Hal ini menyebabkan kurangnya kosa kata sehingga dalam menuangkan ide-ide ke dalam tulisan dirasakan sulit oleh siswa. Peneliti berkolaborasi dengan guru kelas V SDN 1 Beteleme dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas. Peneliti melakukan tes awal sebagai materi prasyarat untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menulis karangan. Dari hasil yang didapatkan, hanya 28,5% siswa yang memperoleh nilai ≥ 75. Peneliti bersama kolabotor menyusun strategi dan dengan menerapkan pendekatan multiple intelegence : intelegence inguistic dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan pada siswa kelas V SDN 1 Beteleme. Pelaksanaan pembelajaran berbasis intelegence linguistic pada siklus 1 mengindikasi pembelajaran kurang efektif, parameternya terlihat dari tulisan siswa. Hal ini disebabkan siswa belum membuka cakrawala berpikir untuk menulis cerita., walaupun peneliti telah memberikan pengalaman belajar untuk menstimulus otak siswa lewat teka-teki kata. Dari hasil analisis data tes akhir siklus I, menunjukkan siswa belum tuntas secara klasikal karena hanya mencapai 52,38% atau dari 21 siswa, yang tuntas belajar hanya 11 orang. Dalam pembagian kelompok yang terdiri dari 3 siswa dalam satu kelompok tidak efektif karena siswa tidak mengerjakan tugas secara keseluruhan disebabkan guru kurang mengontrol pembelajaran saat kerja 41 Dengan demikian, dapat diindikasi bahwa dengan menerapkan pendekatan multiple intelegence : intelegence linguistic dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya materi menulis karangan dapat meningkatakan keterampilan menulis siswa kelas V SDN 1 Beteleme. Dengan menerapkan model pembelajaran tersebut, dapat memotivasi dan meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SDN 1 Beteleme. analisis tes akhir siklus II, ketuntasan belajar klasikal mencapai 85,71% atau siswa yang memperoleh nilai ≥ 75 ada 18 siswa. Dari hasil observasi yang dilakukan terhadap guru (peneliti) dan siswa (subjek) menunjukkan peningkatan di semua aspek dan dikategorikan sangat baik oleh observer. Dari hasil angket yang diisi siswa, menunjukkan bahwa siswa memberi respon yang positif terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan, dengan melihat dari 3 kategori yang ada, semua dalam kriteria penilaian baik. VI. 6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menyarankan beberapa hal yang terkait dengan peningkatan kemampuan siswa dalam menulis. Pada hakikatnya pembelajaran menulis merupakan keterampilan yang urgency yang harus dikuasai oleh siswa, namun tujuan pembelajaran menulis bukan sematamata hasil akhir pembelajaran yang harus diperhatikan, tetapi bagaimana proses menulis itu dilakukan oleh siswa. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menciptakan konsep kerja sama dengan berbagai pihak dan menumbuhkan kecintaan siswa untuk belajar. PENUTUP 6.1 Kesimpulan Berdasarkan data hasil pelaksanaan tindakan siklus I dan II, menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan dari siklus I ke siklus II. Prosentase ketuntasan siklus I 52,38% dan meningkat pada siklus II menjadi 85,71%. Begitu juga dengan aktivitas guru dan siswa meningkat pada setiap siklus. Guru maupun siswa sudah dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dilakukan pada siklus I sehingga pada siklus II kegiatan pembelajaran yang dilakukan sudah optimal. 42 DAFTAR PUSTAKA Armstrong, T. 1994. Multiple Intellegence In the Class Room. Alexandria : Development. Association fo Supervision and Curriculum Campbell, Linda. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press. Depdikbud, 1999. Penelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 2007. Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Gardner, Howard, Multiple Intelligence : The Theory in Practice, USA : Basic Books, 1993. Hadi. Amirul. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Pustaka Setia. Bandung. Hari, Cecep Syamsul. 2011. Pengantar Praktik Menulis. Jakarta: Kementeriaan Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Hoerr, Thomas R. 2007. Buku Kerja Multiple Intelligences.Bandung: PT Mizan Pustaka. Sandjaja SS. 2011. Lokakarya Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelegences. Jakarta: Fakultas Psikologi Ukrida. Tarigan, Henry Guntur. 1992. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. www. artikelbagus. com. Definisi Keterampilan. Diakses tanggal 20 September 2013. 43 Media Litbang Sulteng IX (1) : 44-54, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA ASPEK KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN DESKRIPSI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BROSUR PERJALANAN WISATA PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SINDUE Oleh : Zusje Marie Deetje Kumenit1) ABSTRAK Latar belakang penelitian ini berawal dari ditemukannya beberapa kendala dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti. Hal tersebut yakni (1) motivasi belajar siswa di kelas rendah, khususnya minat dalam pembelajaran menulis, (2) siswa masih kurang memiliki motivasi yang kuat untuk berlatih menulis, sehingga mengalami kesulitan dalam penemuan serta pemunculan ide di dalam proses awal penuangan ide. Selain itu, penggunaan metode dan media pembelajaran yang dipergunakan guru belum optimal. (3) belum digunakannya media pembelajaran yang sesuai dengan aspek keterampilan yang diajarkan yakni menulis karangan deskripsi. Dari adanya permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu inovasi baru dalam pembelajaran di kelas. Guru dapat mengupayakannya dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik minat siswa. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis karangan deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah media brosur perjalanan wisata. Media brosur perjalanan wisata merupakan sebuah media pendidikan berupa gambar yang berisi informasi tentang suatu daerah, lokasi atau objek wisata disertai dengan panduan lengkap akses menuju lokasi dan hal-hal lain yang merupakan nilai tambah dari objek yang ditulis. Brosur wisata merupakan media gambar yang dapat digunakan peserta didik untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai media gambar, media ini tepat digunakan dalam pembelajaran menulis karangan deskripsi, karena akan membantu siswa dalam bervisualisasi dan selanjutnya menuangkan ide-ide dan gagasannya ke dalam paragraf deskripsi. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue?. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sindue pada siswa kelas X dengan jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Prosedur penelitian yang digunakan yang meliputi observasi awal, perencanan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan (observasi), refleksi dan evaluasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi metode observasi, metode dokumentasi dan metode tes. Untuk menganalisis data, teknik yang digunakan adalah analisis kualitatif yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil simpulan bahwa dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Hasil belajar pada aspek kognitif untuk siklus I sebesar 80 dengan presentase ketuntasan 78,26%, pada siklus II meningkat menjadi 90 dengan presentase ketuntasan sebesar 100%. Hasil belajar pada aspek afektif untuk siklus I dengan rata-rata 59,775 dengan kriteria cukup berminat, pada siklus II mengalami peningkatan, sehingga menjadi 100 dimana masuk dalam kriteria berminat. Kata Kunci: Hasil Belajar, Bahasa Indonesia, Karangan Deskripsi, Media Brosur Perjalanan Wisata. ABSTRACT The background of this research came from the discovery of several obstacles in learning Indonesian is based on the results of preliminary observations made by researchers. It is namely (1) The students' motivation in the lower classes, especially interest in learning writing, (2) students still lack a strong motivation to practice writing, so that difficulties in the discovery and appearance of the idea in the beginning of the process of casting ideas. In addition, the use of methods and media that the teacher has not been optimally utilized. (3) has not been used in accordance with the learning media skills that are taught aspects o f the writing essay description. Of the existence of these problems, we need a new innovation in the classroom. Teachers can be working on using media that attract students. One of the media that can be used in teaching essay writing descriptions on Indonesian subjects are media and travel brochures. Media brochures and travel is an education media is an image containing information about an area, location or attraction accompanied by a complete guide access to the location and other things that the added value of the object is written. A tourist brochure image of media that can be used to describe something learners. As media images, the media is properly applied in writing class essay description, because it will help students to visualize and further expressing ideas and ideas into paragraphs description. The problems of this study is whether the use of media and travel brochures can improve student learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X SMA Negeri 1 Sindue ?. Based on the formulation of the problem, the objectives to be achieved in this research is to determine and describe whether using the media and travel brochures can improve student learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X SMA Negeri 1 Sindue. This research was conducted at SMAN 1 Sindue in class X with the number of students as many as 23 students. This research is a classroom action research (PTK). The research procedure that includes the initial observation, action planning, action, observation (observation), reflection and evaluation. Data collection techniques used include observation, methods of documentation and test methods. To analyze the data, the technique used is qualitative analysis includes data reduction, data presentation and conclusion. Based on research that has been done, it can be concluded that by using the media and travel brochures can improve student learning outcomes in subjects Indonesian aspects of essay writing skills descriptions in class X SMA Negeri 1 Sindue. Results of study on cognitive aspects to the first cycle of 80 with a percentage of 78.26% completeness, on the second cycle increased to 90 with a percentage of 100% completeness. Results of study on the affective aspects to the first cycle with an average of 59.775 with the criteria of sufficient interest, on the second cycle increased, thus becoming 100 which entered into interest criteria. Keywords: Learning Outcomes, Indonesian, Authorship Description, Media Brochure Travel. 44 I. Menurut Keraf (2001:135) kelima bentuk karangan tersebut meliputi : narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Dari kelima bentuk karangan tersebut, karangan deskripsi merupakan salah satu jenis karangan yang sering disampaikan pada tahap awal menulis. Menulis deskripsi merupakan bagian dari keterampilan menulis yang juga harus mendapatkan perhatian. Kemampuan menulis karangan deskripsi merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa baik itu di SD, SMP maupun di SMA. Oleh sebab itu seorang guru diharapkan tidak memandang aktivitas menulis karangan deskripsi sebagai suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu satu kali duduk, tetapi dapat dipandang sebagai suatu proses secara bertahap dalam waktu tertentu untuk menyelesaikan tulisan yang baik. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang menulis, maka guru dan siswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran menulis karangan deskripsi dengan baik tanpa mengalami kesulitan. Dalam menulis karangan deskripsi tidak dapat sekali jadi, perlu pembinaan dari guru. Untuk melakukan pembinaan menulis karangan deskripsi, maka diperlukan model pembelajaran yang tepat dalam mengajarkan menulis karangan deskripsi agar siswa pembelajaran menjadi menyenangkan dan dapat dengan mudah dipahami oleh peserta didik. Latihan menulis karangan deskripsi dimulai dengan menjelaskan langkah-langkah tentang cara menulis karangan deskripsi, kemudian menyuruh siswa memilih topik dan membuat kerangka karangan, berdasarkan kerangka karangan siswa ditugaskan untuk mengembangkan menjadi sebuah karangan deskripsi yang baik. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan khususnya pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue, pembelajaran menulis deskripsi masih mengalami kendala. Hal tersebut menjadikan hasil keterampilan menulis deskripsi siswa masih belum maksimal. Hal ini disebabkan karena beberapa hal yakni (1) motivasi belajar siswa di kelas rendah, khususnya minat dalam pembelajaran menulis, (2) siswa PENDAHULUAN Pada dasarnya, pembelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan berbahasa yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Keterampilan menulis memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Keberhasilan siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah banyak ditentukan oleh keterampilan menulis. Selain dapat memudahkan siswa berpikir secara kritis, menulis juga dapat digunakan siswa untuk mengomunikasikan perasaan, pendapat, dan pengalaman kepada orang lain. Untuk itu harus dilakukan pembinaan yang intensif terhadap kemampuan menulis dengan tidak mengabaikan aspek berbahasa lainnya. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Tarigan (1982:1), bahwa keterampilan menulis bersifat fungsional terhadap pengembangan diri siswa, baik untuk studi maupun untuk bermasyarakat. Menulis adalah aktivitas seluruh otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika) sehingga ketika kita menulis, seluruh belahan otak bekerja maksimal (DePorter, 2003:179). Oleh karena itu, dalam aktivitas menulis sangat diperlukan konsentrasi untuk mendapatkan ide atau gagasan yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, agar kemampuan siswa dalam menulis meningkat, diperlukan upaya guru untuk menciptakan suatu kondisi belajarmengajar menulis yang dapat memberi peluang munculnya aktivitas dan kreativitas siswa yang tinggi dalam bentuk pelatihan-pelatihan menulis yang efektif dan sistematis. Peningkatan keterampilan menulis diyakini dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan kurikuler dan pada akhirnya bisa mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan (Sudiana, 2009:4). Pada umumnya, di sekolah-sekolah pembelajaran menulis diarahkan untuk menguasai lima bentuk karangan. 1) Guru SMA Negeri 1 Sindue 45 masih kurang memiliki motivasi yang kuat untuk berlatih menulis, sehingga mengalami kesulitan dalam penemuan serta pemunculan ide di dalam proses awal penuangan ide. Selain itu, penggunaan metode dan media pembelajaran yang dipergunakan guru belum optimal. (3) belum digunakannya media pembelajaran yang sesuai dengan aspek keterampilan yang diajarkan yakni menulis karangan deskripsi. Minimnya penggunaan media oleh guru selama ini perlu diatasi perlahan. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya tinggi kualitas teoretisnya, tetapi juga tinggi kualitas praktisnya. Selama ini siswa hanya dijejali teori tentang menulis, cara menulis, ketentuan-ketentuan menulis, sementara teori tersebut jarang dipraktikkan. Pembelajaran yang konvensional ini tentu saja jarang atau bahkan tidak menggunakan media, padahal pemanfaatan media memiliki peran penting terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Dari adanya permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu inovasi baru dalam pembelajaran di kelas. Guru bahasa Indonesia harus mampu menciptakan suasana belajar yang dapat meningkatkan keterampilan menulis pada siswa yang sedang berada dalam tataran masa remaja pertengahan (15-18 tahun) ini. Guru dapat mengupayakannya dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik minat siswa. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis karangan deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah media brosur perjalanan wisata. Media brosur perjalanan wisata merupakan sebuah media pendidikan berupa gambar yang berisi informasi tentang suatu daerah, lokasi atau objek wisata disertai dengan panduan lengkap akses menuju lokasi dan hal-hal lain yang merupakan nilai tambah dari objek yang ditulis. Brosur wisata merupakan media gambar yang bisa digunakan peserta didik untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai media gambar, media ini tepat digunakan dalam pembelajaran menulis paragraf deskripsi, karena akan membantu siswa dalam bervisualisasi dan selanjutnya menuangkan ide-ide dan gagasannya ke dalam paragraf deskripsi. Penggunaan media brosur perjalanan wisata sangatlah tepat untuk membantu siswa dalam meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya pada aspek keterampilan menulis karangan deskripsi. Penggunaan media ini sangat penting kehadirannya dalam pembelajaran. Dengan melihat brosur, siswa dapat menarik kesimpulan dari brosur tersebut, kemudian dapat menguraikan dalam bentuk tulisan. Dari brosur yang diberikan, siswa akan menjadi tertarik, sehingga dapat menimbulkan imajinasi siswa. Imajinasi yang muncul dari pikiran siswa dapat dituangkan dalam sebuah karangan dengan pembendaharaan kata yang tidak monoton serta bervariasi. Oleh karena itu, berdasarakan permasalahan yang telah dikemukakan berkaitan dengan kegiatan menulis karangan pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue dan alternatif pemecahan masalah yang ditawarkan, maka peneliti mengangkat judul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi dengan Menggunakan Media Brosur Perjalanan Wisata pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue?. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Manfaat dari penelitian ini yaitu terdiri dari manfaat teoretis dan manfaat praktis. (1) Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat 46 bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pembelajaran menulis karangan deskripsi. (2) Manfaat praktis, (a) Bagi siswa, penelitian ini dapat memberikan pengalaman proses pembelajaran menulis karangan deskripsi dengan menggunakan media pembelajran brosur perjalanan wisata (b) Bagi guru, dapat memperoleh pengalaman profesional dalam menyusun dan melaksanakan rancangan pembelajaran yang inovatif dan kreatif salah satunya adalah dengan menerapkan penggunaan media brosur perjalanan wisata pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi. II. berhasil. Bloom di dalam Sudjana(2006), terdapat 3 komponen dari hasil belajar tersebut, diantaranya adalah: 2.2 Ranah Afektif Ranah afektif bisa dijelaskan sebagai aspek yang berhubungan dengan beberapa komponen kehidupan, yakni perasaan, sikap, cara seseorang menunjukkan emosi, derajat penerimaan atau derajat penolakan kepada suatu objek tertentu. Ranah ini lebih banyak mencerminkan sisi psikologis seseorang. Bila dikaitkan dengan hasil belajar maka ranah afektif bisa dipahami dengan 2 cara, cara yang pertama ketika seseorang berada dalam kondisi psikologis yang baik disaat orang tersebut melakukan kegiatan pembelajaran maka hasil belajar yang akan diperoleh jauh lebih baik karena konsentrasi orang tersebut sedang berada dalam kondisi terbaik. Sedangkan siswa yang berada disaat kondisi psikologis buruk akan lebih mudah kehilangan konsentrasi sehingga hasil belajar yang didapat akan jauh lebih buruk dari sebelumnya. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan hasil yang didapat seseorang setelah ia melakukan kegiatan atau proses pembelajaran. Hasil belajar ini adalah penilaian yang akan dicapai oleh seorang siswa untuk mengenal dan mengetahui sebesar mana materi pelajaran yang diberikan dapat dipahami oleh semua siswa. Hasil belajar yang baik dapat diperoleh ketika proses pembelajaran yang telah diberikan dapat dipahami dan dikerjakan dengan baik oleh siswa. Hasil belajar nampak sebagai proses terjadinya perubahan perilaku pada siswa yang dapat dilihat, diamati maupun diukur dalam wujud perubahan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perubahan yang terjadi bisa dikarenakan peningkatan maupun pengembangan ke sisi lebih baik dibandingkan dengan sisi sebelumnya, seperti dari tidak tahu menjadi lebih tahu, dari bersikap buruk menjadi bersikap lebih baik dan masih banyak lagi. Hasil belajar yakni hal penting di dalam proses maupun kegiatan pembelajaran karena sebuah petunjuk untuk mengenal maupun mengetahui sebesar apa keberhasilan yabg dimiliki oleh siswa ketika menjalani kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Jikalau pencapaian yang diperoleh oleh siswa itu tinggi artinya kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru ke siswa berjalan dengan baik dan 2.3 Ranah Psikomotor Jika ranah afektif lebih banyak berhubungan dengan kondisi psikologis siswa, lain halnya dengan ranah psikomotor yang lebih banyak berkaitan dengan kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan dengan melibatkan anggota tubuhnya atau bisa juga disebut dengan kemampuan yang berhubungan dengan olah tubuh. Mengapa berkaitan erat dengan hasil belajar? Karena kondisi fisik yang tidak prima akan membuat siswa kehilangan konsentrasi belajar dan akan memengaruhi hasil belajar ketika sedang mengerjakan latihan soal atau melaksanakan ujian sekolah. Pemeliharaan kesehatan harus dilakukan dengan maksimal oleh siswa oleh karena itu dibutuhkan pelajaran olahraga sebagai mata pelajaran yang dapat mengembalikan kebugaran fisik siswa. 2.4 Ranah Kognitif Aspek ini berkaitan erat dengan kemampuan otak siswa, kemampuan siswa disaat ia sedang berpikir, kemampuan siswa 47 (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial, (4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspekaspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan, pengenalan, konseptualisasi, pemahaman, penalaran sekaligus penentuan. Pengertian hasil belajar harus dipahami sejak dini sehingga dalam pelaksanaannya guru dapat mengoptimalkan penyampaian materi pelajaran. 2.5 Pembelajaran Bahasa Indonesia Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang strategi pembelajaran Bahasa Indonesia dan efektivitasnya terhadap pencapaian tujuan belajar, kajian pustaka penelitian ini akan difokuskan pada (1) pembelajaran bahasa, (2) strategi pembelajaran Bahasa Indonesia, meliputi metode dan teknik pembelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) hasil pembelajaran 2.6 Pembelajaran Bahasa Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa Degeng (1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis 48 kegaiatan membaca dan kekayaan kosakata yang dimilikinya. Suatu tulisan pada dasarnya terdiri atas dua hal. Pertama, isi suatu tulisan menyampaikan sesuatu yang inggin diungkapkan penulisnya. Kedua, bentuk yang merupakan unsur mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, kata, kalimat, dan alenia Akhadiah, (1997:13). Sementara itu, WJS Poerwodarminto (1987:105) secara leksi-kal mengartikan bahwa menulis adalah melahirkan pikiran atau ide. Setiap tulisan harus mengandung makna sesuai dengan pikiran, perasaan, ide, dan emosi penulis yang disampaikan kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti yang dimaksud pe-nulis. Pendapat lainnya menyatakan bahwa menulis adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca seperti yang dimaksud oleh pengarang. Agar komunikasi lewat lambang tulis dapat tercapai seperti yang diharapkan, penulis hendaklah menuangkan ide atau gagasannya kedalam bahasa yang tepat, teratur, dan lengkap. Dengan demikian, bahasa yang dipergunakan dalam menulis dapat menggambarkan suasana hati atai pikiran penulis. Sehingga dengan bahsa tulis seseorang akan dapat menuang-kan isi hati dan pikiran. Kata keterampilan berbahasa mengandung dua asosiasi, yakni kompetensi dan performansi. Kompetensi mengacu pada pengetahuan konseptual tentang sistem dan kaidah kebahasan, sedangkan performansi merujuk pada kecakapan menggunakan sistem kaidah kebahasaan yang telah diketahui untuk berbagai tujuan penggunaan komunikasi. Seseorang dikatakan terampil menulis apabila ia memahami dan mengaplikasikan proses pegungkapan ide, gagasan, dan perasaan dalam bahasa Indonesia tulis dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain ejaan dan tata bahasa, organisasi/ susunan tulisan, keutuhan (koherensi), kepaduan (kohesi), tujuan, dan sasaran tulisan. dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994). 2.7 Keterampilan Menulis Menulis merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Untuk memiliki kemampuan menulis yang baik diperlukan pengetahuan mengenai konsep menulis. Menulis seperti halnya kegiatan berbahasa lainnya, merupakan keterampilan. Setiap keterampilan hanya akan diperoleh melalui berlatih. keterampilan menulis adalah keterampilan menuangkan ide, gagasan, perasaan dalam bentuk bahasa tulis sehingga orang lain yang membaca dapat memahami isi tulisan tersebut dengan baik. Menulis pada hakikatnya adalah suatu proses berpikir yang teratur, sehingga apa yang ditulis mudah dipahami pembaca. Sebuah tulisan dikatakan baik apabila memiliki ciri-ciri, antara lain bermakna, jelas, bulat dan utuh, ekonomis, dan memenuhi kaidah gramatika. Kemampuan menulis adalah kemampuan seseorang untuk menuangkan buah pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar. Kemampuan menulis seseorang akan menjadi baik apabila dia juga memiliki: (a) kemampuan untuk menemukan masalah yang akan ditulis, (b) kepekaan terhadap kondisi pembaca, (c) kemampuan menyusun perencanaan penelitian, (d) kemampuan menggunakan bahasa indonesia, (e) kemampuan memuali menulis, dan (f) kemam-puan memeriksa karangan sendiri. Kemampuan tersebut akan berkembang apabila ditunjang dengan 49 kepada pembaca atau pendengar sehingga pendengar atau pembaca seolah-oleh melihat, merasakan, mendengar, mencicipi, mencium langsung objek yang digambarkan oleh penulis melalui tulisannya itu, dengan demikian antara pembaca atau pendengar dengan penulis memiliki kesimpulan yang sama tentang objek tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis karangan deskripsi itu adalah kecakapan seseorang untuk mengungkapakan ide, pengetahuan dan perasaan secara rasional dengan menggunakan bahasa tulis dalam menggambarkan atau menyajikan suatu objek sedemikian rupa secara detail kepada pembaca atau pendengar sehingga pendengar atau pembaca seolah - oleh melihat, merasakan, mendengar, mencicipi, mencium langsung objek yang digambarkan oleh penulis melalui tulisannya itu. Karangan deskripsi adalah suatu tulisan atau karangan yang menggambarkan atau memaparkan suatu objek, lokasi, keadaan atau benda dengan kata-kata. Biasanya apa yang kita gambarkan dalam karangan kita merupakan hasil pengamatan panca indra kita. Secara garis besar ada 2 macam bentuk karangan deskripsi: 1. Deskripsi Ekspositori Merupakann karangan yang sangat logis, biasanya merupakan daftar rincian atau hal yang penting-penting saja yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis objek yang diamati. 2. Deskripsi Impresionatis Merupakan karangan yang menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menetralisir pembacanya. Deskripsi impresionistis ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi atau ketika melakukan impresi tersebut. Karangan deskripsi memiliki ciriciri seperti:  menggambarkan atau melukiskan sesuatu,  penggambaran tersebut dilakukan sejelas-jelasnya dengan melibatkan kesan indera, 2.8 Karangan Deskripsi Deskripsi berasal dari bahasa Inggris yaitu description yang artinya melukiskan dengan bahasa. Karangan deskripsi adalah karangan atau tulisan yang bertujuan menggambarkan suatu objek secara terperinci kepada pembaca. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:258) menyatakan; “ deskripsi adalah pemaparan atau menggambarkan dengan kata-kata secara jelas dan terperinci.” Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata tentang suatu benda, tempat, suasana atau kejadian. Tujuan deskripsi ini agar seolah-olah pembaca “melihat” hal yang dilihatnya, dapat “mendengar” apa yang didengarnya, dapat “mencium bau” hal yang diciumnya, dapat “mencicipi” sesuatu yang dimakannya, dapat “merasakan” hal yang dirasakannya sehingga pembaca memiliki kesimpulan yang sama dengan penulis. Dilihat dari defenisi pemaparan atau penggambaran di atas maka seorang pengarang deskripsi harus menggunakan semua pancainderanya untuk mengamati objek yang akan digambarkannya itu. Selain itu karangan deskripsi harus didukung oleh gaya penyampaian yang artistik dan memikat sehingga pembaca atau pendengar menjadi tergugah dan dapat mengimajinasikan secara lebih jelas hal yang sedang dibaca atau didengarnya. Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya memberikan perincian atau detail tentang objek sehingga yang tujuannya memberikan perincian atau detail tentang objek sehingga dapat memberi pengaruh pada imajinasi pembaca atau pendengar bagaikan ikut mendengar, melihat, merasakan atau mengalami langsung objek tersebut. Deskrpsi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu seolah-olah berada di depan pembaca, seolah-olah pembaca melihat sendiri objek itu.” Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa karangan deskripsi adalah karangan atau tulisan yang bertujuan menggambarkan atau menyajikan suatu objek sedemikian rupa secara detail 50  membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri atau mengalami sendiri. Contoh karangan deskripsi “Hampir semua pelosok Mentawai indah. Di empat kecamatan masih terdapat hutan yang masih perawan. Hutan ini menyimpan ratusan jenisflora dan fauna. Hutan Mentawai juga menyimpan anggrek aneka jenis dan fauna yang hanya terdapat di Mentawai. Siamang kerdil, lutung Mentawai dan beruk Simakobu adalah contoh primata yang menarik untuk bahan penelitian dan objek wisata”. Contoh deskripsi berupa fiksi “Salju tipis melapis rumput, putih berkilau diseling warna jingga; bayang matahari senja yang memantul. Angin awal musim dingin bertiup menggigilkan, mempermainkan daun-daun sisa musim gugur dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecoklatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain”. pengamatan (observasi), refleksi dan evaluasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi metode observasi, metode dokumentasi dan metode tes. Untuk menganalisis data, teknik yang digunakan adalah analisis kualitatif yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dari siklus I sampai siklus II menunjukkan adanya perubahan dan peningkatan hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue pada aspek kognitif maupun aspek afektif. Peningkatan dari hasil belajar pada aspek kognitif dan aspek afektif dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 sebagai berikut: Tabel 1. Tingkat Presentase Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan Menggunakan Media Brosur Perjalanan Wisata pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi 2.9 Media Brosur Perjalanan Wisata Brosur wisata merupakan sebuah media pendidikan berupa gambar yang berisi informasi tentang suatu daerah, lokasi atau objek wisata disertai dengan panduan lengkap akses menuju lokasi dan hal-hal lain yang merupakan nilai tambah dari objek yang ditulis. Brosur wisata merupakan media gambar yang bisa digunakan peserta didik untuk mendeskripsikan sesuatu. Sebagai media gambar, media ini tepat digunakan dalam pembelajaran menulis paragraf deskripsi karena akan membantu siswa dalam bervisualisasi dan selanjutnya menuangkan ide-ide dan gagasannya ke dalam paragraf deskripsi (Sadiman, 2008: 29). III. Keterangan Nilai Siklus Siklus Awal I II Nilai Terendah 60 70 78 Nilai Tertinggi 79 88 97 Rata-Rata 71 80 90 18 23 Jumlah siswa 8 yang mencapai Siswa ketuntasan Presentase 35,78% 78,26% 100% Ketuntasan Hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue pada siklus I pada aspek kognitif dengan rata-rata kelas yaitu 80. Pada siklus I ini terdapat 18 atau sebesar 78,26% siswa yang mendapat nilai diatas KKM 75. Untuk siswa yang belum mendapat nilai diatas KKM 75 yaitu sebanyak 5 siswa atau dengan persentase 21,73% dari total 23 siswa. Pada siklus I nilai terendah yaitu 70 dan nilai tertinggi yaitu 88. Pada siklus I ini terdapat peningkatan hasil belajar pada aspek kognitif dengan rata-rata kelas 80 dibanding METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sindue pada siswa kelas X dengan jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Prosedur penelitian yang digunakan yang meliputi observasi awal, perencanan tindakan, pelaksanaan tindakan, 51 (26,08%) siswa yang mencapai ketuntasan, (4) Pada indikator Penuh Perhatian, dimana siswa merespon dan memperhatikan saat guru menjelaskan materi terdapat 5 (21,73%) yang mencapai ketuntasan. Dari hasil penilaian pada aspek afektif untuk setiap indikator, maka diperoleh rata-rata nilai kelas pada aspek afektif sebesar 28,25 dengan kriteria kurang berminat. Pada siklus I, diperoleh hasil belajar pada aspek afektif yaitu: (1) Pada indikator Aktif terdapat 15 (65,21%) siswa yang mencapai ketuntasan. (2) Pada indikator Kerja Sama terdapat 14 (60,86%) siswa yang mencapai ketuntasan. (3) Pada indikator Tanggung Jawab terdapat 12 (52,17%) siswa yang mencapai ketuntasan, (4) Pada indikator Penuh Perhatian, dimana siswa merespon dan memperhatikan saat guru menjelaskan materi terdapat 14 (60,86%) yang mencapai ketuntasan. Dari hasil penilaian pada aspek afektif untuk setiap indikator, maka diperoleh rata-rata nilai kelas pada aspek afektif sebesar 59,775 dengan kriteria cukup berminat. Untuk hasil belajar siklus II pada aspek afektif diperoleh hasil yaitu: (1) Pada indikator Aktif terdapat 23 (100%) siswa yang mencapai ketuntasan, 2) Pada indikator Kerja Sama terdapat 23 (100%) siswa yang mencapai ketuntasan, 3) Pada indikator Tanggung Jawab terdapat 23 (100%) yang mencapai ketuntasan, 4) Pada indikator Penuh Perhatian terdapat 23 (100%) siswa yang mencapai ketuntasan. Dari hasil penilaian aspek afektif untuk setiap indikator diperoleh hasil rata-rata nilai afektif kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 100 dimana masuk dalam kriteria berminat. Penggunaan media brosur perjalanan wisata bertujuan untuk dapat meningkatkan kemampuan dan pemahaman siswa dalam aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, mengembangkan kemampuan kerjasama siswa, dan membangkitkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, media brosur perjalanan wisata memiliki beberapa kelebihan yaitu pembelajaran menjadi menarik karena tidak berlangsung satu arah, sehingga siswa tidak rata-rata nilai kelas pada kondisi awal yaitu 71 yang pada dasarnya belum mencapai nilai KKM (75). Untuk rata-rata nilai hasil belajar kognitif pada siklus II kelas X SMA Negeri 1 Sindue mengalami kenaikan yaitu sebesar 10 dibandingkan siklus I yaitu 80 dan pada siklus II menjadi 90. Jumlah siswa yang sudah tuntas KKM sebanyak 23 siswa (100%) atau dengan kata lain secara keseluruhan siswa kelas X SMA negeri 1 Sindue telah memperoleh ketuntasan belajar setelah menggunakan media brosur perjalanan wisata dalam pembelajaran aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Nilai tertinggi pada siklus II yaitu 97 nilai terendah yaitu 78 namun tetap telah memenuhi standar nilai KKM yang telah ditentukan (75). Hasil belajar aspek kognitif pada siklus II telah menunjukkan bahwa penelitian tindakan siklus II telah berhasil, karena telah mencapai target 80% siswa sudah tuntas KKM. Tabel 2. Kondisi Aspek Afektif Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan Menggunakan Media Brosur Perjalanan Wisata pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi No. Indikator Kondisi Awal Siklus I Siklus II 1. Aktif 7 Siswa 30,43% 15 Siswa 23 Siswa 65,21% 100% 2. Kerja Sama 5 Siswa 21,73% 14 Siswa 23 Siswa 60,86% 100% 3. Tanggung Jawab 6 Siswa 26,08% 12 Siswa 23 Siswa 52,17% 100% 4. Penuh Perhatian 5 Siswa 21,73% 14Siswa 23 Siswa 60,86% 100% Pada kondisi awal, diperoleh hasil belajar pada aspek afektif yaitu: (1) Pada indikator Aktif terdapat 7 (30,43%) siswa yang mencapai ketuntasan. (2) Pada indikator Kerja Sama terdapat 5 (21,73%) siswa yang mencapai ketuntasan. (3) Pada indikator Tanggung Jawab terdapat 6 52 bosan, membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran, dan materi akan lebih mudah dipahami siswa dengan penyampaian materi yang unik dengan adanya inovasi dari media yang digunakan. Berdasarkan tujuan penelitian, maka terbukti bahwa penggunaan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Hasil penelitian yang menunjukkan berhasilnya penggunaan media brosur perjalanan wisata untuk meningkatkan hasil belajar aspek kognitif dan aspek afektif siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue juga menjadi bukti bahwa penelitian ini relevan dengan penelitian-penelitian yang terdahulu. V. Hasil belajar pada aspek kognitif untuk siklus I sebesar 80 dengan presentase ketuntasan 78,26%, pada siklus II meningkat menjadi 90 dengan presentase ketuntasan sebesar 100%. Hasil belajar pada aspek afektif untuk siklus I dengan rata-rata 59,775 dengan kriteria cukup berminat, pada siklus II mengalami peningkatan, sehingga menjadi 100 dimana masuk dalam kriteria berminat. VI. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka adapun beberapa saran yang dapat disampaikan oleh peneliti yaitu (1) Bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, hendaknya lebih bervariasi dalam menggunakan media pembelajaran agar siswa tidak merasa bosan dan bisa meningkatkan minat belajar dan keaktifan siswa. Salah satunya adalah dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi (2) Bagi peneliti berikutnya, hendaknya dapat menggunakan media brosur perjalanan wisata pada mata pelajaran ataupun subjek penelitian lainnya untuk dapat mengetahui apakah terjadi peningkatan hasil belajar, seperti jika diterapkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil simpulan bahwa dengan menggunakan media brosur perjalanan wisata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis karangan deskripsi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. 53 DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti, dkk. 2004. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad, Azhar, 1997. Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. DePorter, Bobby dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa. Djibran, Fahd. 2008. Writing is Amazing. Yogyakarta: Juxtapose. Enre, Fachruddin Ambo. 1988. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Jakarta: Depdikbud. Hamalik, Oemar. 1989. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya. Johnson, David W., dkk. 2010. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media. Keraf, Gorys. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo. Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research). Bandung: ALFABETA. Mccafferty, Steven G., dkk. 2006. Cooperative Learning dan Second Languange Teaching. New York: Cambridge University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE. Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2010. Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka. Sanjaya, Wina. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenada Media Group. Semi, M. Atar. 1993. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya. Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Indah. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudiati, Vero, dkk. 2005. Kiat Menulis Deskripsi dan Narasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. ALFABET. Sukardi. 2007. Metodologi AKSARA. Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Yogyakarta: PT. BUMI Sumarlam. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra. Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suriamiharja, Agus, dkk. 1996. Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Depdikbud. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 54 Media Litbang Sulteng IX (1) : 55-63, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA MELALUI BIMBINGAN KONSELING DENGAN PENERAPAN METODE SOSIODRAMA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 SINDUE Oleh : Samsi1) ABSTRAK Pada masa remaja, individu mengalami proses peningkatan fluktuasi emosi yang ditandai dengan keadaan emosi yang tidak stabil. Emosi dalam hal ini adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya. Melihat kenyataan bahwa remaja pada dasarnya memiliki masalah dalam hal ketidakstabilan emosi, maka pada jenjang pendidikan diperlukan suatu usaha khususnya dari seorang guru Bimbingan Konseling (BK) agar dapat memberikan bimbingan kepada para siswanya untuk dapat dengan bijak mengatur emosi yang dimilikinya. Dalam hal ini disebut kecerdasan emosional. Satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakstabilan emosi menggunakan bimbingan konseling adalah melalui penerapan metode sosiodrama. Sosiodrama merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat dikembangkan secara menarik untuk diterapkan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Metode sosiodrama adalah salah satu bentuk bimbingan kelompok yang dipergunakan untuk memecahkan masalah sosial yaitu menggunakan kegiatan bermain peran. Metode sosiodrama merupakan suatu metode bimbingan konseling kelompok dengan cara bermain peran, subjek memerankan suatu peranan tertentu tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial yang dialami. Melalui sosiodrama diharapkan peserta didik mampu menghayati dan menghargai perasaan orang lain, berbagi tanggung jawab, mampu mengambil keputusan dan melatih siswa untuk berpikir dan memecahkan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan dengan judul “Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Bimbingan Konseling dengan Penerapan Metode Sosiodrama pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue”. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) dengan rangkaian siklus berupa perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue yang berjumlah 22 orang siswa. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui angket dan observasi. Adapun alat pengumpul data yang digunakan yaitu angket kecerdasan emosi dan pedoman observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian tindakan ini yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik analisis data kualitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa melalui bimbingan konseling dengan penerapan metode sosiodrama, maka dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue. Hal ini terbukti dari perolehan hasil dari 3 indikator kecerdasan emosional siswa yang terdiri dari empati, keterampilan interaksi sosial, dan koordinasi sosial terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. (1) Empati, pada prasiklus sebesar 69,28% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 81,22% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 90,01% dengan kriteria tinggi, (2) Keterampilan interaksi sosial, pada prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26% dengan kriteria tinggi, (3) Koordinasi sosial, pada prasiklus sebesar 66,72% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 78,21% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 89,13% dengan kriteria tinggi. Kata Kunci: Kecerdasan Emosional Siswa, Bimbingan Konseling, Metode Sosiodrama. ABSTRACT In adolescence, individuals undergo an increase in fluctuation of emotions are characterized by an unstable emotional state. Emotion in this case is a feeling or affection that arise when a person is in a state or an interaction that is important to him. Noting the fact that teenagers basically have problems in terms of emotional instability, then the levels of education required an effort, especially from a teacher Counseling (BK) in order to provide guidance to the students to wisely regulate its emotions. In this case the so-called emotional intelligence, One effort that can be done to overcome the problem of emotional instability using counseling is through the application of methods sociodrama. Sociodramas is one method of learning that can be developed is interesting to be applied in the implementation of guidance and counseling services. Sociodramas method is a form of group counseling used to solve social problems is to use role play activities. Sociodramas method is a method of counseling group by playing a role, the subject plays a certain role on matters relating to the social problems experienced. Through sociodramas expected that learners are able to live and appreciate the feelings of others, share responsibility, to make decisions and to train students to think and solve problems. Based on this, the researchers interested in conducting action research with the title "Increasing Emotional Intelligence Student Counseling Through the Implementation Method Sociodramas in Class XI SMAN 1 Sindue". This study is an action research Counseling (PTBK) with a series of cycles of planning, action, observation, and reflection. The subjects were students of class XI SMA Negeri 1 Sindue totaling 22 students. In this study, data collection was conducted through questionnaires and observation. The data collection tool used is a questionnaire of emotional intelligence and observation guidelines. The data analysis technique used in the study of this action, namely quantitative data analysis techniques and qualitative data analysis technique. Based on research that has been done, it can be concluded that through counseling with the application of methods sociodrama, it can improve emotional intelligence class XI student of SMAN 1 Sindue. This is evident from the acquisition of the results of the three indicators of emotional intelligence of students consisting of empathy, social interaction skills, and social coordination continued to increase in each cycle. (1) Empathy, on prasiklus amounted to 69.28% with sufficient criteria, the first cycle of 81.22% with moderate criteria, the second cycle of 90.01% with a high criteria, (2) social interaction skills, in prasiklus by 67, 96% with sufficient criteria, the first cycle of 82.98% with moderate criteria, the second cycle of 91.26% with a high criteria, (3) social coordination, in prasiklus amounted to 66.72% with sufficient criteria, the first cycle of 78, 21% with moderate criteria, the second cycle of 89.13% with high criteria. Keywords: Emotional Intelligence Students, Counseling, Sociodramas method. 55 I. emosinya dapat disebut memiliki keterampilan mengelola emosi, maka akan lebih produktif dari pada siswa yang kurang memiliki keterampilan mengelola emosinya. Ia akan lebih mudah berkonsentrasi, berpikir logis, mampu memotivasi dirinya untuk fokus pada aktivitas yang konstruktif dan membina hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar. Keterampilan pengelolaan emosi disebut juga sebagai salah satu kebutuhan siswa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Keterampilan mengelola emosi termasuk pada kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan ini dirancang dalam kerangka empat bidang bimbingan yang disusun dalam program bimbingan dan konseling sebagai acuan pelaksanaan layanan dan kegiatan pendukungnya. Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan suatu program yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh peserta didik. Bimbingan konseling adalah pelayanan bantuan psiko pendidikan dalam bingkai budaya untuk siswa baik secara perorangan atua kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal. Mengingat bahwa siswa usia SMA adalah masa remaja di mana ciri utama dari masa remaja adalah meningginya emosi (Hurlock, 1980: 207). Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Selama masa transisi ini remaja diperhadapkan dengan berbagai problematik yang dapat menimbulkan krisis identitas dan ketidakstabilan emosi. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakstabilan emosi menggunakan bimbingan konseling adalah melalui penerapan metode sosiodrama. Sosiodrama merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat dikembangkan secara menarik untuk diterapkan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Metode sosiodrama adalah salah satu bentuk bimbingan kelompok yang dipergunakan untuk memecahkan masalah sosial yaitu menggunakan kegiatan bermain PENDAHULUAN Secara hakiki, masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anakanak menuju masa dewasa. Pada masa tersebut individu banyak mengalami perkembangan untuk mencapai kematangan, baik secara fisik, psikis, dan sosial, sehingga berpengaruh terhadap perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap remaja memiliki kehidupan pribadi yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Kehidupan pribadi seseorang meliputi berbagai aspek, antara lain aspek emosional, sosial psikologis, sosial budaya, dan kemampuan intelektual yang terpadu dengan faktor lingkungan dalam kehidupannya. Pada masa remaja, individu mengalami proses peningkatan fluktuasi emosi yang ditandai dengan keadaan emosi yang tidak stabil, yaitu pada satu saat merasa gembira tetapi satu saat kemudian kelihatan murung. Pada umumnya usia remaja mengalami gejolak emosi yang mengebu-gebu, sehingga diperlukannya perhatian secara khusus. Emosi dalam hal ini adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya. Emosi diwakili oleh perilaku yang mewakili (mengekspresikan) kenyamanan atau ketidaknyamanan dari keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Melihat kenyataan bahwa remaja pada dasarnya memiliki masalah dalam hal ketidakstabilan emosi, maka pada jenjang pendidikan diperlukan suatu usaha khususnya dari seorang guru Bimbingan Konseling (BK) agar dapat memberikan bimbingan kepada para siswanya untuk dapat dengan bijak mengatur emosi yang dimilikinya. Dalam hal ini disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional terlihat dari siswa yang mampu mengelola emosinya secara tepat dan dapat menampilkan ekspresi yang tepat, sehingga dapat disebut dengan emosi yang stabil. Siswa yang dapat mengatur 1) Guru SMA Negeri 1 Sindue 56 peran. Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan suatu masalah sosial yang timbul dalam hubungan antarmanusia. Metode sosiodrama merupakan suatu metode bimbingan kelompok dengan cara bermain peran, subjek memerankan suatu peranan tertentu tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial yang dialami. Melalui sosiodrama diharapkan peserta didik mampu menghayati dan menghargai perasaan orang lain, berbagi tanggung jawab, mampu mengambil keputusan dan melatih siswa untuk berpikir dan memecahkan masalah. Metode sosiodrama dapat digunakan untuk melatih keterampilan-keterampilan hidup, salah satunya adalah keterampilan berkomunikasi menyampaikan sesuatu yang dipikirkan dan dirasakan dengan cara membimbing siswa untuk mempraktikkan peristiwa-peristiwa dalam hubungan sosial yang dikemas dalam bentuk naskah sosiodrama. Melalui metode sosiodrama ini guru dapat mengajarkan cara-cara bertingkah laku yang berkualitas khususnya berkaitan dengan masalah sosial dan hubungan antarsebaya, sehingga melalui metode sosiodrama, peserta didik memerankan suatu peran yang sesuai dengan naskah yang telah disusun. Berdasarkan suatu peranan tersebut diharapkan peserta didik berani memunculkan keputusan, mengungkapkan perasaan dan isi hati apa adanya. Bimbingan konseling melalui penerapan metode sosiodrama merupakan salah satu layanan yang dapat diberikan kepada peserta didik yang bermanfaat untuk meningkatkan prilaku asertif siswa, karena dengan adanya permainan peran dalam sosiodrama peserta didik mampu mengungkapkan perasaan serta isi hatinya secara langsung, jujur, dan terbuka tanpa merasa cemas dan takut, melihat dan mengetahui keadaan dirinya melalui permainan peran yang diperankan sesuai dengan keadaan dirinya. Peserta didik leluasa mengungkapkan segala yang ada dalam dirinya. Setelah peran diberikan refleksi dan masukan dari siswa lain yang menyaksikan peran, sehingga menjadi gambaran tentang keadaan dirinya. Melalui bimbingan konseling metode sosiodrama diharapkan individu mampu memahami dan mengetahui keadaan emosi dirinya. Sosiodrama merupakan metode permainan peran (role playing) yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antarmanusia. Metode ini dapat digunakan konselor untuk melatih keterampilan-keterampilan hidup, salah satunya adalah keterampilan mengelola emosi kepada siswa dengan cara membimbing siswa untuk mempraktekan peristiwa-peristiwa dalam hubungan sosial yang dikemas dalam bentuk pelaksanaan sosiodrama. Dengan mempraktekan peristiwa-peristiwa dalam hubungan sosial secara langsung, diharapkan siswa dapat meningkatakn keterampilan mengelola emosi dan dapat mengubah perilakunya menjadi lebih baik seperti: siswa dapat memahami berbagai jenis emosi, serta mampu mengendalikan dan mengekspresikan emosi menjadi tingkah laku yang efektif untuk diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan dengan judul “Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Bimbingan Konseling dengan Penerapan Metode Sosiodrama pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue”. II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Emosional Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh pada kehidupan manusia. Emosi memang sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada beberapa budaya emosi dikaitkan dengan sifat marah seseorang. Menurut Aisah Indiati (2006), sebenarnya terdapat banyak macam ragam emosi, antara lain sedih, takut, kecewa, dan sebagainya yang semuanya berkonotasi negatif. Emosi lain seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain, semuanya berkonotasi positif. Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris: 57 memanifestasikan dirinya semata-mata sebagai sedikit langkah mundur dari pengalaman. emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang. 2. Mengelola emosi Kemampuan untuk mengatur emosi diri sendiri, tujuannya adalah keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan membosankan, terputus dan terkucil dari kekayaan hidup itu sendiri. Tetapi, sebagaimana diamati Aristoteles yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, keselarasan antara perasaan dan lingkungan (Goleman 1995). Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalah kebosanan dan jarak, bila emosi tidak dikendalikan, terlampau ekstrim dan terus menerus,emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti kecewa marah deppresi. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi, emosi yang berlebihan yang meningkat dengan insentitas terlampau tinggi untuk waktu yang terlalu lama akan mengoyak kestabilan kita. 2.2 Wilayah Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa wilayah kemampuan yang membentuknya. Wilayah-wilayah kemampuan yang membentuk kecerdasan emosional tidak seragam untuk setiap ahli, tergantung dari sudut pandang dan pemahaman, selain itu juga antara wilayah yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Wilayah-wilayah yang membentuk kecerdasan emosional ini dicetuskan oleh Petter Salovey (Goleman 1999 : 65) secara terpisah memaparkan lima wilayah kecerdsan emosional yang meliputi : 3. Motivasi Motivasi adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran. Robbins mengemukakan motivasi merupakan suatu konstruk yang menjelaskan awal arah, intensitas dan kehadiran perilaku individu yang bertujuan. Selain itu Oemar Hamalik (Syaifu Bahri 2002:114) mendefinisikan motivasi ‘sebagai suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Perubahan energi dalam diri seseorang itu berbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik. Karena seseorang mempunyai tujuan tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan untuk mencapainya. Motivasi mencakup konsep-konsep kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan 1. Kesadaran diri Mengenal emosi diri adalah berarti kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu diatas. Kesadaran ini menurut Mayer berarti waspada terhadap suasana hati, waspada ini berarti kita berada diatas emosi bukan hanyut dalam aliran emosi tersebut. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebihlebihkan apa yang diserap, kesadaran diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan ditengah badai emosi. Dalam kondisi terbaik, pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik terendah, kesadaran diri 58 untuk bekerja sama, kebiasaan, ketidakcocokan dan keingintahuan. kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Bimbingan merupakan bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu atau beberapa orang dengan memberikan pengetahuan tambahan untuk memahami dan mengatasi permalahan yang dialami oleh individu atau seseorang tersebut, dengan cara terus menerus dan sitematis. 4. Mengenali Emosi Orang Lain Atau Empati Menurut Titchener (Goleman 1995) bahwa ‘empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut berperan dalam kehidupan. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan. Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal. 2.4 Pengertian Konseling Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Konseling merupakan suatu proses dengan adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan. 5. Membina hubungan Kemampuan membina hubungan merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakan dan mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman. 2.5 Tujuan Bimbingan dan Konseling Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umun dan tujuan khusus. Guna memperjelas apa yang menjadi tujuan umum dan khusus, akan disampaikan penjelasannya sebagai berikut: 2.3 Pengertian Bimbingan Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata “Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti “menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu”. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan. Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan 2.6 Tujuan Umum Ditinjau dari perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling senantiasa mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai yang komprehensif.Tujuan bimbingan dan konseling dengan mengikuti pada perkemangan konsepsi bimbingan dan konseling pada dasarnya adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya, berbagai latar belakang yang ada, serta sesuai dengan tuntutan positif 59 lingkungannya. dengan cara mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan sosial. Sosiodrama merupakan dramatisasai dari persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang lain, tingkat konflik-konflik yang dialami dalam pergaulan sosial (Winkel, 2004 : 470). Jadi metode sosiodrama adalah metode untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang individu yang dilakukan dalam format kelompok dengan memerankan suatu peranan tertentu dari suatu situasi masalah sosial. 2.7 Tujuan Khusus Tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahanya. Dengan demikian maka tujuan khusus bimbingan dan konseling untuk tiap-tiap individu bersifat unik pula, artinya tujuan bimbingan dan konseling untuk individu yang satu dengan individu yang yang lain tidak boleh disamakan. 2.10 Tujuan Sosiodrama Sosiodrama biasanya digunakan untuk menangani masalah yang berkaitan dengan masalah social seperti krisis kepercayaan diri jika dhadapan kelompok, menumbuhkan rasa kesetaikawanaan social dan rasa tanggung jawab serta untuk mengembangkan ketrampilan tertentu. Selain itu dapat dikatakan bahwa teknik sosiodrama lebih tepat digunakan untuk mencapai tujuan yang mengarah pada :  Aspek afektif motorik dibandingkan pada aspek kognitif, terkait dengan kehidupan hubungan sosial. Sehubungan dengan itu maka materi yang disampaikan melalui teknik sosiodrama bukan materi yang bersifat konsep- konsep yang harus dimengerti dan dipahami, tetapi berupa fakta, nilai, mungkin juga konflik-konflik yang terjadi di lingkungan kehidupannya.  Melalui permainan sosiodrama, konseli diajak untuk mengenali, merasakan suatu situasi tertentu sehingga mereka dapat menemukan sikap dan tindakan yang tepat seandainya menghadapi situasi yang sama. Diharapkan akhirnya mereka memiliki sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam mengadakan penyesuaian sosial. 2.8 Hubungan Bimbingan dan Konseling Menurut Mohamad Surya (1988), ada tiga pandangan mengenai hubungan antara bimbingan dan konseling. Pandangan pertama berpendapat bahwa bimbingan sama dengan konseling. Kedua istilah tidak mempunyai perbedaan yang mendasar. Pandangan kedua berpendapat bahwa bimbingan berbeda dengan konseling, baik dasar maupun cara kerja. Menurut pandangan kedua, bimbingan merupakan pendidikan sedangkan konseling merupakan psikoterapi yaitu usaha untuk menolong individu yang mengalami masalah serius. Pandangan ketiga berpendapat bahwa bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang terpadu, keduanya tidak saling terpisah. Berkaitan dengan pandangan ketiga ini, Downing (1998); Hansen, Stefic, dan Warner (1977) dalam Prayitno (1978), menyatakan bahwa bimbingan adalah suatu pelayanan khusus yang terorganisasi dan terintegrasi ke dalam program sekolah untuk menunjang kegiatan perkembangan siswa secara optimal, sedangkan konseling adalah usaha pemberian bantuan kepada murid secara perorangan dalam mempelajari cara-cara baru guna penyesuaian diri. 2.11 Langkah-Langkah Sosiodrama Langkah-langkah pelaksanaan metode sosiodrama, meliputi: 1. Persiapan, dari mulai mempersiapkan konselor, tokoh-tokoh, topik yang akan dibawakan, tujuan dari topik yang dibawakan pada sosiodrama itu, babak- 2.9 Pengertian Metode Sosiodrama Sosiodrama merupakan salah satu metode dalam bimbingan kelompok yaitu role playing atau metode bermain peran 60 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. babak yang akan dimainkan, konselor membagi tugas. Satu babak cerita menjadi tugas satu kelompok anak untuk mendramakannya. Membuat skenario Menentukan kelompok sesuai naskah Menentukan kelompok penonton untuk observasi Konselor memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk berlatih sesuai dengan babak yang harus mereka mainkan. Berikan kebebasan bagi mereka untuk menentukan pembagian peran, dialog, dan sebagainya. Pelaksanaan drama. Pada akhir sosiodrama, konselor memberi komentar/kesimpulan atas tujuan cerita. Evaluasi dan diskusi, evaluasi dapat dilakukan dengan refleksi atau dengan cara laiseg (layanan segera), laijapan (layanan jangka panjang). Ulangan permainan (rehersal), jika masih ada waktu permainan dapat diulang kembali dengan pertukaran peran pemain. III. pelaksanaan bimbingan konseling. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bimbingan konseling melalui penerapan metode sosiodrama dinyatakan efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue dari setiap siklusnya. Tabel Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Indikator Prasiklus Empati Keterampilan Interaksi Sosial Koordinasi Sosial 69,28% Siklus Siklus I Siklus II 81,22% 90,01% 67,96% 82.98% 91,26% 66,72% 78,21% 89,13% Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan adanya peningkatan kecerdasan emosional siswa setelah dilakukan tindakan berupa bimbingan konseling dengan penerapan metode Sosiodrama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan persentase hasil angket kecerdasan emosional siswa dalam interaksi sosial di kelas yang meliputi: (a) Empati, pada prasiklus sebesar 69,28% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 81,22% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 90,01% dengan kriteria tinggi, (b) Keterampilan interaksi sosial, pada prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26% dengan kriteria tinggi, (c) Koordinasi sosial, pada prasiklus sebesar 66,72% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 78,21% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 89,13% dengan kriteria tinggi. Data hasil angket tersebut juga didukung oleh data hasil observasi, hasil wawancara, serta catatan lapangan, dimana kecerdasan emosional siswa dalam interaksi sosial di kelas mengalami peningkatan setelah dilakukan bimbingan konseling dengan menerapkan metode Sosiodrama pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue. Berdasarkan hasil analisis klinis subjek mengalami perubahan tingkah laku METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) dengan rangkaian siklus berupa perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue yang berjumlah 22 orang siswa. Setiap penelitian ilmiah memerlukan pengumpulan data yang ditunjukkan untuk mendapat data dari responden. Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk memperoleh bahanbahan yang akurat, relevan, dan reliabel. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui angket dan observasi. Adapun alat pengumpul data yang digunakan yaitu angket kecerdasan emosi dan pedoman observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian tindakan ini yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik analisis data kualitatif. Data kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis dan data kualitatif digunakan untuk mengetahui proses 61 yang ditunjukkan dengan 3 hal pokok yang meliputi (1) Empati (2) Keterampilan Interaksi Sosial (3) Koordinasi Sosial. Dalam hal ini dapat diuraikan secara lebih rinci bahwa setelah diadakan bimbingan konseling dengan penerapan metode sosiodrama pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue, maka diperoleh hasil bahwa siswa tidak mudah tersinggung, mau menerima kritik dan saran, tidak mudah terpengaruh ajakan teman, mudah tersenyum, tidak mudah murung, mantap dalam mengambil keputusan, mudah bergaul dengan teman-teman, percaya diri ketika menjawab pertanyaan, dapat menghargai orang lain, meminimalisir berbicara kotor, semangat dalam belajar. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan subjek dapat mencapai kestabilan emosi atau memperoleh peningkatan hasil kecerdasan emosional siswa. V. VI. SARAN Berdasarkan simpulan dari penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran yakni (1) Bagi Kepala Sekolah, hendaknya memberi fasilitas untuk guru BK dalam melaksanakan seluruh kegiatan BK. Selain itu, kepala sekolah dapat mendorong sekolah mengambil kebijakan bahwa guru BK perlu melaksanakan kegiatan bimbingan konseling melalui penerapan metode sosiodrama secara terprogram. (2) Bagi Guru BK, hendaknya menyelenggarakan bimbingan konseling melalui penerapan metode sosiodrama untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menggunakan metode sosiodrama untuk mengatasi permasalahan siswa. Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan memiliki keterampilan serta cara-cara yang efektif dan bervariasi dalam menggunakan teknik bimbingan dan konseling untuk membantu siswa utamanya membentuk perilaku yang sehat. (3) Bagi Wali Kelas, diharapkan meningkatkan kerjasamanya dengan guru BK dalam memberikan informasi tentang keadaan peserta didik yang mengalami permasalahan ketidakstabilan emosi. Guru BK membantu peserta didik yang mengalami masalah emosi dengan menggunakan konseling melalui penerapan metode sosiodrama. (4) Bagi Siswa, disarankan untuk mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh guru BK, karena kegiatan tersebut akan berguna bagi kehidupan baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang. Siswa dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya setelah diterapkannya bimbingan konseling melalui metode sosiodrama seperti memiliki sifat empati, keterampilan interaksi sosial, dan koordinasi sosial. Peserta didik diharapkan dapat membiasakan diri untuk melakukan konsultasi dengan guru BK jika memiliki masalah. (5) Bagi Penelitian Lain, diharapkan dapat melakukan bimbingan konseling melalui metode sosiodrama dengan menerapkannya pada subjek yang berbeda, sehingga mendapatkan hasil yang lebih bervariasi. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa melalui bimbingan konseling dengan penerapan metode sosiodrama, maka dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sindue. Hal ini terbukti dari perolehan hasil dari 3 indikator kecerdasan emosional siswa yang terdiri dari empati, keterampilan interaksi sosial, dan koordinasi sosial terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. (1) Empati, pada prasiklus sebesar 69,28% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 81,22% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 90,01% dengan kriteria tinggi, (2) Keterampilan interaksi sosial, pada prasiklus sebesar 67,96% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 82,98% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 91,26% dengan kriteria tinggi, (3) Koordinasi sosial, pada prasiklus sebesar 66,72% dengan kriteria cukup, siklus I sebesar 78,21% dengan kriteria sedang, siklus II sebesar 89,13% dengan kriteria tinggi. 62 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Adelia, Winda. 2011. Kehebatan Berfikir Positif. Yogyakarta : Sinar Kejora. Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burn, R.B. 1993. Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. (Alih Bahasa: Eddy) Jakarta: Arcan. Centi, J. Paul. 1993. Mengapa Rendah Diri. (Alih Bahasa: A.M. Hardjana) Yogyakarta: Kanisius. Enung, Fatimah. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung : CV. Pustaka Setia. Gerungan. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco. Hartinah, Sitti. 2009. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok. Bandung: PT Refika Aditama. Hilgard, E.R.dkk. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. 1990. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Erlangga. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia. Rakhmat, Jalaludin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Romlah, Tatiek. 2006. Bimbingan Kelompok. Bandung: Remaja Rosda Karya. Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara. Santrock, Jhon.W. 2007. Remaja Edisi 11 jilid 2. Jakarta: Erlangga. Sarwono, W Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Semium, Y. 2006. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius. Sugiyono. 2012. Metode Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Edisi Revisi. Bandung: Alfabeta. Sukardi, Dewa Ketut. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu. Syamsudin. 1980. Bimbingan dan Konseling Kelompok. Yogyakarta : Kartika. Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Radja Grafindo. Winkel, WS. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widia Asmara Indonesia. Yusuf, Syamsu LN. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. 63 Media Litbang Sulteng IX (1) : 64-73, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL BELAJAR BIOLOGI PADA MATERI GERAK TUMBUHAN MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INSIDE OUTSIDE CIRCLE PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 MORI ATAS Oleh : Yulinus Mowendu1) ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan model pembelajaran Inside Outside Circle dalam pembelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas. Hal ini dilakukan karena dalam pembelajaran Biologi ditemukan fakta bahwa masih terdapat siswa di kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas yang kurang termotivasi dan tidak aktif dalam belajar. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang rendah pula. Siswa tidak belajar mandiri, siswa keluar masuk kelas dan siswa kurang serius dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan kondisi tersebut perlu adanya penerapan model pembelajaran yang dapat membuat siswa termotivasi dan ikut aktif dalam proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Gerak Tumbuhan dalam mata pelajaran Biologi. Oleh karena itu, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran Inside Outside Circle. Pembelajaran dengan model kooperatif tipe Inside Outside Circle menjadi salah satu cara untuk mewujudkan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, serta menyenangkan. Model Pembelajaran Inside Outside Circle merupakan salah satu model pembelajaran yang menerapkan banyak diskusi/sharing. Pembelajaran ini menciptakan suasana belajar yang menyenangkan serta dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa yaitu melatih siswa untuk bekerja sama dalam mendapatkan informasi yang berbeda pada saat yang bersamaan. Jenis penelitian yaitu penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas yang berjumlah 23 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi dan tes tertulis. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan instrumen tes siklus dan lembar observasi keaktifan siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran Inside Outside Circle pada pembelajaran Biologi materi Gerak Tumbuhan, maka dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya persentase rata-rata keaktifan belajar siswa pada siklus I yaitu 63,51% dan pada sikus II mengalami peningkatan, sehingga menjadi 77,91%. Hasil belajar Biologi materi Herak Tumbuhan melalui model pembelajaran Inside Outside Circle juga mengalami peningkatan yaitu tampak saat prasiklus rata-rata nilai siswa hanya 57,25 dan ketuntasan belajar klasikal 36,66%, akan tetapi saat siklus I nilai rata-rata siswa meningkat sehingga menjadi 66,77 dan ketuntasan belajar klasikalnya juga meningkat menjadi 64,51% pada siklus II rata-rata nilai siswa meningkat sehingga menjadi 79,03 serta ketuntasan belajar klasikal mencapai 80,64%. Kata Kunci : Hasil Belajar, Biologi, Gerak Tumbuhan, Model Pembelajaran Inside Outside Circle ABSTRACT The purpose of this study is to identify and describe whether the application Inside Outside Circle learning model in teaching Biology in Motion Plant material can improve the learning outcomes of students of class VIII SMP Negeri 1 Mori Atas. This is done because in the learning of Biology discovered the fact that there are students in class VIII SMP Negeri 1 Mori Atas are less motivated and active in learning. It can be seen from the lack of attention to the students to follow the lesson, so the effect on student learning outcomes are low. Students do not learn independently, the student out of the classroom and students are less serious about the task. In connection with the conditions necessary for application of learning models that can make students motivated and actively participate in the learning process, so as to improve student learning outcomes in Motion Plant material in the subjects of Biology. Therefore, researchers try to apply the learning model Inside Outside Circle. Type of cooperative learning model with Inside Outside Circle be one way to achieve active learning, innovative, creative, and fun. Learning Model Inside Outside Circle is one of the learning models that apply a lot of discussion / sharing. This learning creates a learning environment that is fun and can develop a scientific attitude of students is to train students to work together in getting different information at the same time. This type of research is a classroom action research conducted in two cycles. Subjects in this study were students of class VIII SMP Negeri 1 Mori Atas totaling 23 students. Data collection techniques in this study is observational and written tests. This classroom action research using instruments test cycles and student activity observation sheet. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the learning model Inside Outside Circle on learning Motion Plant Biology material, it can enhance the activity and student learning outcomes. It is characterized by increasing the average percentage of the activity of students in the first cycle is 63.51% and the sikus II increased, so that it becomes 77.91%. Learning outcomes Plant Biology Herak material through learning model Inside Outside Circle also increased which is visible when the average value prasiklus students only 57.25 and 36.66% completeness of classical learning, but when the first cycle students' average score increased so that it becomes 66.77 and mastery learning klasikalnya also increased to 64.51% in the second cycle the average student scores increased so that it becomes 79.03 and classical learning completeness reached 80.64%. Keywords : Results Learning, Biology, Motion Plant, Inside Outside Circle Learning Model 64 I. pembelajaran. Tujuannya agar pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan, sehingga tujuan utama untuk meningkatkan mutu pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Di dalam dunia pendidikan, salah satu mata pelajaran yang diajarkan oleh seorang guru adalah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pendidikan IPA merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa yang berperan penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Peran penting tersebut mengacu pada luaran siswa yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, logis, dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat sebagai dampak perkembangan IPA dan teknologi. Biologi merupakan salah satu cabang IPA yang memberikan peranan dalam usaha menciptakan manusia yang berkualitas. Untuk itu, diharapkan agar lulusannya memiliki keterampilan dan pola pikir kritis dalam memecahkan masalah kehidupan dan sosial. Dengan menyadari pentingnya peranan Biologi dalam dunia pendidikan, dibutuhkan peranan guru dalam memilih model dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa dapat belajar secara efektif dan efisien serta mampu memahami konsep- konsep yang terdapat dalam pelajaran Biologi tersebut. Pembelajaran IPA hendaknya menyediakan peluang kepada siswa untuk belajar tentang fakta-fakta dan teori-teori, mengembangkan sikap ilmiah, dan keterampilan melakukan metode ilmiah. Berkaitan dengan hal itu, para guru hendaknya memfasilitasi tercapainya tujuan tersebut dengan berbagai cara, seperti menciptakan pembelajaran yang inovatif di kelas. Hal ini dilakukan karena dalam pembelajaran Biologi ditemukan fakta bahwa masih terdapat siswa di kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas yang kurang termotivasi dan tidak aktif dalam belajar. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang rendah pula. Siswa tidak belajar mandiri, siswa keluar masuk kelas dan PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada satu lingkungan belajar. Berdasarkan pernyataan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur utama dalam proses pembelajaran yaitu peserta didik, pendidik, dan media Dalam proses sumber belajar. pembelajaran diharapkan siswa dapat menyerap ilmu sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain itu, siswa juga diharapkan dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik, senang, aktif dan mandiri, seperti siswa semangat mengerjakan tugas, siswa mampu bekerjasama dengan kelompoknya dan siswa dapat memahami konsep, sehingga dapat menciptakan suatu proses belajar yang bermakna. Belajar merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya guna menggapai impian yang ingin dicapainya. Melalui belajar seseorang dapat mengetahui sesuatu hal yang belum diketahuinya dan dapat memahami suatu gejala-gejala yang timbul di segala aspek kehidupan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produk atau hasil pendidikan yang berkualitas adalah dengan memperbaiki cara belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru. Dalam bidang pendidikan di sekolah, peranan seorang guru sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Guru merupakan pribadi yang berhubungan dengan subjek didik yaitu siswa. Kualitas kinerja guru dapat mempengaruhi proses pembelajaran dan mutu pendidikan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah dengan perbaikan proses pembelajaran di sekolah. Banyak cara yang sudah dilakukan, akan tetapi dalam kenyataannya mutu pembelajaran masih kurang memuaskan. Untuk itu diperlukan adanya inovasi berbagai macam model 1) Guru SMP Negeri 1 Mori Atas 65 memahami, mengingat pengetahuan yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Model pembelajaran ini memiliki keunggulan dimana siswa diajak untuk berperan serta dalam setiap proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran ini siswa diberi kesempatan untuk berbagi informasi secara singkat dan teratur dalam bentuk diskusi kelompok. Siswa dapat berbagi pada pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa juga bekerja dengan siswa lain dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Pada model pembelajaran ini siswa akan berkelompok di dalam lingkaran besar dan lingkaran kecil, dimana nanti siswa akan saling berhadapan dan bertukar pengetahuan yang telah didapatkannya. Metode ini sangat bermanfaat bagi siswa yang kesulitan dalam memahami materi Biologi yang membutuhkan konsentrasi dan sikap kritis. Selain itu, siswa juga dapat mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya terhadap teman-teman yang lain. Pembelajaran ini menciptakan suasana belajar yang menyenangkan serta dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa yaitu melatih siswa untuk bekerja sama dalam mendapatkan informasi yang berbeda pada saat yang bersamaan. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk melatih kemampuan komunikasi siswa. Para siswa akan lebih mengerti apabila berkomunikasi dengan teman sejawatnya. Hal ini dikarenakan apabila siswa berkomunikasi dengan siswa lain maka bahasa yang digunakan akan lebih mudah di tangkap dan dipahami. Dengan cara ini, setiap siswa dapat memperoleh informasi sehingga dapat memecahkan suatu masalah, membantu siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya yang pada akhirnya dapat lebih meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengangkat suatu judul penelitian yakni “Peningkatan Hasil Belajar Biologi pada Materi Gerak Tumbuhan Melalui siswa kurang serius dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan kondisi tersebut perlu adanya penerapan model pembelajaran yang dapat membuat siswa termotivasi dan ikut aktif dalam proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Gerak Tumbuhan dalam mata pelajaran Biologi. Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk pada guru di kelas. Oleh karena itu, salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan adalah model pembelajaran Inside Outside Circle. Pembelajaran dengan model kooperatif tipe Inside Outside Circle menjadi salah satu cara mewujudkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, serta menyenangkan. Model Pembelajaran Inside Outside Circle merupakan salah satu model pembelajaran yang menerapkan banyak diskusi/sharing. Teknik mengajar Lingkaran KecilLingkaran Besar (Inside-Outside Circle) ini dikembangkan oleh Spencer Kagan untuk memberikan kesempatan pada anak didik agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan. Penerapan model pembelajaran Inside Outside Circle melatih siswa untuk berfikir, berkomunikasi, dan mengungkapkan ide-ide bersama dengan pasangan kelompoknya dalam menyelesaikan soal atau permasalahan. Dalam diskusi ini siswa terlibat langsung membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri dalam bentuk memecahkan masalah, dengan adanya keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah akan mempermudah siswa dalam 66 ranah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:  Ranah kognitif, adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir, seperti kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah. Domain kognitif menurut Bloom terdiri dari enam tingkatan yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.  Ranah afektif, berkenaan dengan sikap, nilai-nilai, dan apresiasi. Ada lima tingkatan dalam ranah afektif ini yaitu penerimaan, merespons, menghargai, organisasi, dan pola hidup.  Ranah psikomotor, meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan. Ada lima tingkatan dalam ranah ini, yaitu imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi (Sanjaya, 2009:127-128). Penerapan Model Pembelajaran Inside Outside Circle pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah penerapan model pembelajaran Inside Outside Circle dalam pembelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas?. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan model pembelajaran Inside Outside Circle dalam pembelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya puncak proses belajar. Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu model pembelajaran. Penilaian hasil belajar bertujuan melihat kemajuan hasil belajar peserta didik dalam hal penguasaan materi pengajaran yang telah dipelajarinya dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga 2.2 Hakikat Biologi Hakikat Biologi berhubungan dengan cara pandang sesorang mengenai apa sebenarnya Biologi. Cara pandang ini terkait dengan bagaimana seseorang menanggapi dan menghayati masalahmasalah dalam Biologi. Saptono (2003) menjelaskan hakikat Biologi yang dapat digunakan guru sebagai pertimbangan untuk mengembangkan pembelajaran biologi. Hakikat Biologi yang dimaksudkan antara lain sebagai berikut. 1. Biologi Sebagai Kumpulan Pengetahuan. Biologi adalah bagian dari IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan mencakup ilmu-ilmu atau pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan di alam semesta ini. Pengetahuan tersebut dapat berupa fakta, konsep, teori, maupun generalisasi yang menjelaskan tentang gejala kehidupan. 2. Biologi Sebagai Suatu Proses Investigasi. Pemahaman bahwa Biologi dapat juga dikatakan sebagai suatu proses 67 mengalami perkembangan yang sangat pesat. Objek yang dipelajari dalam Biologi adalah makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Makhluk hidup selalu erat kaitannya dengan lingkungan. Lingkungan tersebut terbagi menjadi lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik meliputi semua makhluk hidup yang terbagi atas mikroorganisme, tumbuhan, hewan, dan manusia. Lingkungan abiotik meliputi faktor fisika dan kimia yang penting bagi makhluk hidup, seperti air, temperatur, sinar matahari, dan tanah. investigasi (penelusuran/penyelidikan) banyak diartikan dengan hal-hal yang selalu berhubungan dengan laboratorium beserta perangkatnya. Proses pengamatan gejala alam, merumuskan hipotesis, melakukan pengujian, serta membuat generalisasi merupakan serangkaian yang seharusnya diperhatikan oleh guru pada saat melakukan aktivitas pembelajaran Biologi. 3. Hakikat Pembelajaran Biologi Pendidikan Biologi menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung. Oleh karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses agar mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Keterampilan proses ini meliputi keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan data, dan mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2001). Jika Biologi hanya diajarkan dengan hafalan, maka siswa yang memiliki pengetahuan awal tentang berbagai fenomena Biologi tidak dapat menggunakan pengetahuan mereka selama proses pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Belajar Biologi seharusnya dapat mengakomodir kesenangan dan kepuasan intelektual bagi siswa dalam usahanya membongkar dan memperbaiki berbagai konsep yang mungkin masih keliru. Pembelajaran Biologi akan lebih bermakna jika memungkinkan siswa menjalani perubahan konsepsi (Saptono, 2003). 2.4 Gerak Tumbuhan Tumbuhan dapat bergerak meskipun tidak memiliki sistem sarf karena memiliki kekampuan untuk menanggapi rangsang yang disebut iritabilitas. Gerak tumbuhan terjadi karena pengaruh adanya rangsangan dari luar yang disebut gerak etinom. Ada 3 macam gerak etinom, yakni tropisme, nasti, dan taksis. Berikut adalah penjelasan mengenai Macam macam gerak pada tumbuhan. 2.5 Macam Macam Gerak pada Tumbuhan Berikut adalah macam macam Gerak Tumbuhan, ada 3 macam Gerak Tumbuhan yakni tropisme, nasti, dan taksis. 1. Gerak Tropisme Tropisme adalah gerak bagian tumbuhan yang arahnya dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan. ika arah geraknya mendekati rangsan disebut tropisme positif, sedangkan bila menjauhi rangsangan disebut tropisme negatif. Tropisme dibagi menjadi beberapa bagian mengenai rangsangannya yaitu:  Fototropisme Fototropisme yaitu gerak tropisme karena rangsangan cahaya. Fototropisme positif contohnya gerak tumbuh batang ke arah cahaya matahari. Fototropisme negatif contohnya gerak tumbuh akar menjauhi cahaya matahari.  Geotropisme Geotropisme adalah gerak tropisme karena pengaruh gravitasi bumi. Geotropisme positif contohnya gerak 2.3 Biologi Sebagai Bagian dari Ilmu Pengetahuan Alama (IPA) Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang makhluk hidup beserta lingkungannya disebut Biologi atau ilmu hayat. Biologi berasal dari kata bios, artinya hidup dan logos, artinya ilmu. Biologi 68 daun polong polongan pada malam hari.  Hidronasti Adalah gerak nasti karena pengaruh kandungan air. Contohnya gerak menggulungnya daun padi jika kekurangan air.  Nasti Kompleks Adalah gerak nasti karena pengaruh beberapa faktor. Contohnya gerak membuka dan menutupnya stomata. 3. Gerak Taksis Taksis adalah gerak pindah tempat sebagian atau seluruh tubuh tumbuhan karena adanya rangsnagan. Gerak taksis dibedakan menjadi 2 bagian yakni Kemotaksis dan Fototaksis.  Kemotaksis. Adalah gerak taksis karena rangsangan zat kimia.Contohnya gerak sel gamet lumut jantang menuju sel gamet lumut betina yang mengandung zat kimia tertentu  Fototaksis Adalah gerak taksis karena rangsang zahaya. Contohnya gerak alga Chlamydomonas menuju cahaya. tumbuh akar ke arah tanah, sedangkan negatif contohnya gerak tumbuh batang menjauhi tanah.  Hidrotropisme Hidrotropisme adalah gerak tropisme karena pengaruh rangsang air. Hidrotropisme positif contohnya gerak tumbuh akar ke arah sumber air di tanah, sedangkan negatifcontohnya gerak tumbuh batang menjauhi sumber air di tanah.  Kemotropisme Kemotropisme adalah gerak tropisme karena rangsangan zat kimia. Kemotropisme positif contohnya adalah Gerak Tumbuhan akar menuju zat hara di dalam tanah, sedangkan negatif contohnya Gerak Tumbuhan akar menjauhi racun.  Tigmotropisme Tigmotropisme adalah gerak tropisme karena rangsang sentuhan. Contohnya gerak sulur tanaman anggur melilit di pagar. 2. Gerak Nasti Nasti adalah gerak bagian tumbuha yang arahnya tidak dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan. Berikut adalah bagian bagian dari gerak nasti.  Tigmonasti Seperti tadi di atas arti tigmo adalah sentuhan, sedangkan tigmonasti. Tigmonasti (seismonasti) adalah gerak nasti karena rangsang sentuhan. Contohnya gerak menutupnya daun putri malu jika disentuh.  Fotonasti Foto berarti cahaya, sedangkan fotonasti adalah gerak nasti karena rangsang cahaya. COntohnya gerak mekarnya bunga pukul empat pada sore hari karena disebabkan rangsang cahaya matahari.  Termonasit Termonasti adalah gerak nasti karena rangsang suhu. Contohnya gerak mekarnya bunga tulipa pada musim semi yang hangat.  Niktinasti Adalah gerak nasti karena rangsang gelap. Contohnya gerak menutupnya 2.6 Model Pembelajaran Inside Outside Circle Model Pembelajaran Lingkaran dalam dan Luar atau Inside Outside Circle (IOC) adalah model pembelajaran dengan sistem lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993), dimana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur. Sintaknya adalah separuh dari jumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkaran luar berputar kemudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya. Model pembelajaran Inside Outside Circle adalah model pembelajaran yang dikembangkan oleh Spencer Kagan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang 69 2008:66), siswa dalam kelas dibagi menjadi dua lingkaran, yaitu lingkaran individu dan lingkaran kelompok. Penjelasannya sebagai berikut : bersamaan. Pendekatan ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti: Ilmu Pengetahuan Sosial, Agama, Matematika, dan Bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan model Inside Outside Circle ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran pikiran dan informasi antar siswa. Keunggulan dari model pembelajaran Inside Outside Circle adalah adanya struktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Model Inside Outside Circle ini bisa digunakan untuk semua tingkat usia anak didik. Langkah-langkah model pembelajaran Inside Outside Circle menurut Spencer Kagan, ada lima langk ah utama dalam penerapan model Inside Outside Circle ini, yaitu:  Langkah pertama, separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap keluar.  Langkah kedua, separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran pertama dan menghadap ke dalam.  Langkah ketiga, kemudian dua siswa yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi informasi. Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan.  Langkah keempat, siswa yang berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara siswa yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam, sehingga masing-masing siswa mendapatkan pasangan baru.  Langkah terakhir, giliran siswa yang berada di lingkaran besar yang membagi informasi. Demikian seterusnya. Anita Lie mengembangkan langkah-langkah yang dirumuskan Kagan. Dalam pengembangan (Anita Lie, 1. Lingkaran Individu  Separuh kelas (atau seperempat jika jumlah siswa terlalu banyak) berdiri membentuk lingkaran kecil. Mereka berdiri melingkar dan menghadap keluar.  Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran yang pertama. Dengan kata lain, mereka berdiri menghadap ke dalam dan berpasangan dengan siswa yang berada di lingkaran dalam.  Dua siswa yang berpasangan dari lingkaran kecil dan lingkaran besar berbagi informasi. Siswa yang berada di lingkaran kecil yang memulai. Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan.  Kemudian, siswa yang berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara siswa yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah perputaran jarum jam. Dengan cara ini, masing-masing siswa mendapatkan pasangan baru untuk berbagi informasi.  Sekarang giliran siswa yang berada di lingkaran besar yang membagikan informasi. Demikian seterusnya. 2. Lingkaran Kelompok  Satu kelompok berdiri di lingkaran kecil menghadap keluar. Kelompok yang lain berdiri di lingkaran besar.  Kelompok berputar seperti prosedur lingkaran individu yang dijelaskan di atas dan saling berbagi. III. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yaitu penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas yang berjumlah 23 siswa. Teknik pengumpulan data pada 70 penelitian ini yaitu: (1) Observasi yang digunakan untuk mengamati kegiatan siswa selama proses pembelajaran; (2) Tes tertulis yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur seberapa besar prestasi belajar Biologi siswa pada materi Gerak Tumbuhan, mengukur keberhasilan dan efisiensi pembelajaran yang dilakukan serta seberapa jauh siswa menyerap materi pelajaran yang telah disampaikan. Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan instrumen tes siklus dan lembar observasi keaktifan siswa. Data dianalisis sejak penelitian dimulai dan dikembangkan selama proses refleksi. Analisis dilakukan dengan membandingkan hasil sebelum tindakan dengan hasil setelah tindakan. Data yang dianalisis adalah semua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data keaktifan belajar dan hasil belajar siswa selama proses pembelajaran. IV. cenderung mengandalkan temannya untuk menyelesaiakan permasalahan yang diberikan dari guru. Prasiklus hasil belajar siswa diperoleh dari nilai ulangan harian. Data hasil ulangan harian menunjukkan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 57,25 dengan ketuntasan belajar klasikal mencapai 38,70% dengan masuk ke dalam kategori kurang. Kelemahan pada siklus I diperbaiki pada siklus II agar keaktifan belajar siswa dapat meningkat dan mendapatkan prestasi belajar yang maksimal sesuai target. Pada siklus II peneliti menjelaskan secara terperinci tentang model pembelajaran Inside Outside Circle. Peneliti juga menekankan kembali kepada siswa untuk belajar berinteraksi dengan baik, mengungkapkan ide-ide bersama dengan pasangan kelompoknya dalam menyelesaikan soal atau permasalahan. Rata-rata keaktifan belajar siswa dengan model pembelajaran Inside Outside Circle pada siklus II mengalami peningkatan menjadi sebesar 77,91 dengan masuk ke dalam kategori baik. Sedangkan rata-rata hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan menjadi sebesar 79,03 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar 80,64% dengan masuk ke dalam kategori baik. Pada siklus II siswa lebih aktif, sehingga terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada jumlah siswa yang dapat mempertahankan pendapatnya. Siswa mulai percaya diri dalam mengerjakan soal di depan kelas. Siswa mulai optimis dalam mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan hasil diskusinya. Siswa dapat berinteraksi dengan baik serta dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh peneliti. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan sudah cukup baik, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil penelitian pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa model Inside Outside Circle dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan baik dari observasi keaktifan belajar siswa maupun hasil belajar siswa HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Inside Outside Circle dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Biologi pada materi Gerak Tumbuhan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata keaktifan belajar siswa dengan model pembelajaran Inside Outside Circle pada siklus I sebesar 63,51 dengan masuk ke dalam kategori cukup. Keaktifan belajar siswa juga mempengaruhi prestasi belajar siswa pada siklus I. Hal ini dapat dilihat dengan perolehan nilai rata-rata prestasi belajar sebesar 66,77 dengan ketuntasan belajar klasikal sebesar 64,51% dengan masuk ke dalam kategori cukup. Pembelajaran pada siklus I belum berjalan dengan baik, siswa belum memahami pembelajaran Inside Outside Circle. Pada saat proses pembelajaran berlangsung masih banyak siswa pasif. Sebagian besar siswa belum dapat berinteraksi dengan baik. Mereka 71 Hasil belajar Biologi materi Herak Tumbuhan melalui model pembelajaran Inside Outside Circle juga mengalami peningkatan yaitu prasiklus rata-rata nilai siswa dari 57,25 dan ketuntasan belajar klasikal 36,66%, pada siklus I rata-rata nilai siswa meningkat menjadi 66,77 dan ketuntasan belajar klasikalnya juga meningkat menjadi 64,51% pada siklus II rerata nilai siswa meningkat menjadi 79,03 serta ketuntasan belajar klasikal mencapai 80,64%. serta rata-rata dari hasil ketuntasan belajar klasikal siswa seperti pada tabel berikut. Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Keaktifan Belajar Siswa Siklus I dan II Parameter Rata-Rata Kriteria Siklus I II 63,51 77,91 Cukup Baik Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa pada Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II Parameter Jumlah Rata-Rata Ketuntasan Belajar Kriteria V. Prasiklus 1.755 57,25 38,70 Kurang Siklus I 2.070 66,77 64,51 Cukup Siklus II 2.450 79,03 80,64 Baik VI. SARAN Saran yang dapat peneliti sampaikan dalam penelitian ini adalah guru dapat menggunakan model pembelajaran Inside Outside Circle sebagai alternative pilihan model pembelajaran dalam pembelajaran Biologi materi Gerak Tumbuhan untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Dalam penggunaan model pembelajaran Inside Outside Circle membutuhkan waktu lebih lama, sehingga harus ada pengontrolan waktu dan aktivitas siswa agar pembelajaran berjalan dengan efisien. Dalam penggunaan model pembelajaran Inside Outside Circle, siswa yang lebih bersifat pasif terutama yang pemalu perlu kesabaran dan ketelatenan yang ekstra oleh guru untuk melatih siswa dalam mempresentasikan hasil pemikirannya. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran Inside Outside Circle pada pembelajaran Biologi materi Gerak Tumbuhan dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa dan hasil belajar siswa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya persentase rata-rata keaktifan belajar siswa pada siklus I yaitu 63,51% dan pada sikus II meningkat menjadi77,91%. 72 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.Yogyakarta: Bumi Aksara. Arsyad, M. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Hamalik, Oemar. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hariyanto, Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Isjoni. 2007. Cooperative Learning. B a ndu n g: Alfabeta. Lie, A. 2002. Cooporative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Gramedia. Mulyasa. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munawar, Ibrahim. 2002. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Rajawali Press. Ngalimun. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Sleman Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Rusman. 2013. Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Rusmono. 2012. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning Itu Perlu Untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru. Bogor: Ghalia Indonesia. Silberman, Mel. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Mada. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2013. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alvabeta. Sumadayo, Samsu. 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenada Media. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Jatim: Masmedia Buana Pustaka. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivitik. Jakarta: Presentasi Pustaka. Uno, Hamzah. 2012. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: Bumi Aksara. Warsono, Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zaini. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif, CTSD. Yogyakarta: PT Hidakarya Agung. 73 Media Litbang Sulteng IX (1) : 74-84, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 LEMBO Oleh : Julianeri Russang1) ABSTRAK Latar belakang penelitian ini yaitu dalam melaksanakan pembelajaran Matematika, guru masih menerapkan metode konvensional seperti menjelaskan materi secara abstrak, hafalan materi, dan ceramah dengan komunikasi satu arah, dimana yang aktif masih didominasi oleh guru (teacher centered), sehingga siswa merasa jenuh dan bosan dalam mengikuti pembelajaran. Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo, (2) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Banyaknya siklus dalam penelitian ini adalah sebanyak dua kali siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu : Planning, Acting, Observing, Reflecting. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo yang berjumlah 21 siswa. Penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan dari setiap siklusnya. Siklus I, nilai rata-rata siswa yakni 79,28 dengan persentase ketuntasan 87,62 %. Pada siklus II, nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 87,61 dengan persentase ketuntasan mencapai 100 %. Peningkatan juga terjadi pada aktivitas siswa. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria sangat aktif yakni sebanyak 7 siswa atau dengan persentase 33,33 %. Sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 15 orang siswa atau dengan persentase 71,42%. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kategori aktif yakni sebanyak 9 siswa atau dengan persentase 42,85 %. Sedangkan pada siklus II menjadi 6 siswa atau dengan persentase 28,57 %. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria cukup aktif yakni sebayak 3 siswa atau dengan persentase 14,28 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang cukup aktif. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria kurang aktif yakni 2 siswa atau dengan persentase 9,52 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang kurang aktif. Selanjutnya baik pada siklus I maupun siklus II, tidak terdapat siswa dengan kriteria perolehan aktivitas tidak aktif dibandingkan dengan prasiklus. Kata Kunci : Hasil Belajar, Aktivitas Belajar, Matematika, Model Pembelajaran Problem Posing ABSTRACT The background of this research is to implement learning mathematics, teachers are still applying conventional methods such as explaining the material in the abstract, memorizing material, and lectures with one-way communication, where the current is still dominated by the teacher (teacher centered), so that students feel tired and bored in follow learning. The purpose of this study are (1) to determine whether the application of learning models Problem Posing can improve learning outcomes Math class VIII SMP Negeri 1 Lembo, (2) to determine whether the application of learning models Problem Posing can enhance students' learning activities in the subjects of Mathematics students class VIII SMP Negeri 1 Lembo. This research is a classroom action research (PTK). The number of cycles in this study is twice the cycle. Each cycle consists of four phases: Planning, Acting, Observing, Reflecting. The subjects were students of class VIII SMP Negeri 1 Lembo totaling 21 students. Implementation of Problem Posing learning model can improve outcomes and student learning activities in mathematics class VIII SMP Negeri 1 Lembo. This is evident from the results of student learning that continue to increase each cycle. The first cycle, the average value of the percentage of students that is 79.28 with 87.62% completeness. In the second cycle, the average value of students increased to 87.61 with the percentage reached 100% completeness. The increase also occurred in the student activity. In the first cycle, the number of students with highly active criterion that as many as seven students or with the percentage of 33.33%. While on the second cycle increased to 15 students or with the percentage of 71.42%. In the first cycle, the number of students with active category that is as much as 9 students or with the percentage of 42.85%. While in the second cycle to 6 students or with the percentage of 28.57%. In the first cycle, the number of students with active enough criteria that sebayak 3 students or with the percentage of 14.28%. While in the second cycle, no more students were quite active. In the first cycle, the number of students with less active criteria that 2 students or the percentage of 9.52%. While in the second cycle, no more students who are less active. The next well in the first cycle and the second cycle, there are students with criteria inactive acquisition activity compared with prasiklus. Keywords: Learning Outcomes, Activities Learning, Mathematics, Learning Model Problem Posing 74 I. kesulitan dalam menyelesaikan soal dengan tepat. Siswa juga masih sulit mengerjakan soal yang sedikit berbeda dengan contoh soal yang diberikan oleh guru. Hal ini dapat terjadi karena guru masih menggunakan model pembelajaran yang meminimalkan aktivitas maupun keterlibatan siswa. Keterampilan berkomunikasi siswa dalam Matematika juga masih rendah. Masalahmasalah ini dapat berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Ahmad Rohani HM (2004: 6) menyatakan bahwa belajar yang berhasil adalah belajar yang melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik (jasmani) maupun psikis (jiwa atau rohani). Selama pembelajaran, guru cenderung lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya menguasai materi. Selain itu, kegiatan yang banyak dilakukan oleh siswa adalah mencatat dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru yang berakibat siswa menjadi pasif, kurang kreatif, dan kurang inovatif. Guru masih menerapkan metode konvensional seperti menjelaskan materi secara abstrak, hafalan materi, dan ceramah dengan komunikasi satu arah, dimana yang aktif masih didominasi oleh guru (teacher centered). Dalam pembelajaran guru masih menggunakan strategi pembelajaran yang bersifat konvensional, sehingga siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu, dampak dari penggunaan strategi pembelajaran yang masih bersifat konvensional adalah masih banyak siswa memiliki hasil belajar Matematika yang masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Dalam pembelajaran Matematika memerlukan motivasi belajar yang baik. Siswa dengan motivasi yang baik akan lebih mampu memahami dan memiliki daya serap yang tinggi terhadap materi. Motivasi akan semakin didukung jika materi yang diangkat lebih bermakna dan diminati oleh siswa serta didorong oleh kegiatan yang bermanfaat dan tepat terhadap siswa. Peran motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang PENDAHULUAN Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran terutama pada mata pelajaran Matematika. Matematika erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Maka dari itu, matematika diharapkan dapat dikuasai oleh siswa di sekolah. Namun pada kenyataannya, pelajaran Matematika dianggap sulit dan ditakuti oleh siswa sehingga sangat berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa. Rendahnya pemahaman siswa dikarenakan siswa cenderung kurang bersemangat pada saat belajar Matematika. Semua itu terlihat dengan adanya sikap beberapa siswa yang kurang antusias dalam pembelajaran Matematika terutama pada saat mengerjakan soal-soal Matematika. Proses pembelajaran yang dilakukan guru saat ini adalah siswa diarahkan untuk menghafal materi pembelajaran. Sanjaya (2009 : 1) menyatakan bahwa otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami infomasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka hanya pintar secara teoretis, tetapi mereka miskin aplikasi. Banyak siswa yang mengalami 1) Guru SMP Negeri 1 Lembo 75 menentukan kualitas hasil belajarnya. Suwardi (2012) motivasi yang dimiliki oleh siswa juga dapat mempengaruhi hasil belajar yang akan diperoleh. Pada hasil analisis motivasi memberikan kontribusi muatan faktor yang paling sedikit untuk psikologi siswa, yaitu sebesar 0,603. Motivasi seseorang akan sesuatu hal sangat mempengaruhi hasil yang dicapai. Siswa yang kurang motivasi terhadap pelajaran akan merasa cepat bosan dengan pelajaran, sehingga siswa dituntut untuk aktif dalam proses belajar. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka dipertimbangkan untuk menerapkan model pembelajaran Problem Posing. Model pembelajaran ini mengikutsertakan peran aktif siswa. Menurut Suryanto dalam Muhammad Thobroni dan Arif Mustofa (2011: 351) model pembelajaran Problem Posing adalah salah satu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal (masalah) sekaligus mewajibkan untuk mencari solusi dari soal (masalah) itu sendiri. Problem Posing (pengajuan soal) adalah salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada aliran konstruktivis, berbeda dengan pembelajaran yang bersifat konvensional yang lebih menekankan pada hapalan yang cenderung mematikan daya nalar dan kreativitas berpikir anak (Hudojo dalam Fakhruddin dan Nur Oktaviani, 2009: 2). Melalui model pembelajaran ini siswa diharapkan dapat membuat soal sendiri yang tidak jauh berbeda dengan soal yang diberikan oleh guru. Kemudian siswa terbiasa dalam menyelesaikan soal sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi sekaligus dapat meningkatkan keaktifan belajar mereka. Problem posing atau pengajuan soal/pertanyaan adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Menurut Sanjaya (2009 : 221) yang mengemukakan bahwa pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Selanjutnya menurut Nasution (2006 : 117) pemecahan masalah bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks dari pada yang diduga. Pemecahan masalah memerlukan kemampuan berpikir yang banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis, mengklarifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan dan membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah. Jika kemampuan pemecahan masalah siswa meningkat, maka akan berdampak pada hasil belajarnya. Hakiim (2009 : 28) menyatakan bahwa hasil belajar pada aspek pengetahuan adalah dari tidak tahu menjadi tahu, pada aspek sikap dari tidak mau menjadi mau, dan pada aspek keterampilan dari tidak mampu menjadi mampu. Berdasarkan akar penyebab masalah yang dominan dapat diajukan alternatif tindakan dengan strategi pembelajaran Problem Posing. Menurut Silver (Akay dan Boz, 2010) Problem Posing dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang terjadi ketika siswa dilibatkan dalam merumuskan masalah dan juga ketika memproduksi masalah dan pertanyaan baru. Strategi pembelajaran Problem Posing memiliki keunggulan dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika yang baik di dalam kelas. Strategi pembelajaran Problem Posing, dalam pembelajarannya semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam merancang dan membuat soal, sehingga tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan dan kreatifitas siswa. Problem Posing dalam pembelajaran Matematika dapat membantu siswa dalam kemampuan bernalar dan memecahkan masalah, sehingga dapat dijadikan alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar Matematika. Oleh karena itu diharapkan dengan penerapan model pembelajaran Problem Posing, maka dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Berdasarkan latar 76 perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, serta penyesuaian diri. Terlebih lagi dalam mempelajari matematika yang struktur ilmunya berjenjang dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, dari yang konkret sampai ke abstrak. belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian yakni “Peningkatan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo?. (2) apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo?. Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo, (2) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. II. 2.1.2 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tolak ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu mata pelajaran, biasanya dinyatakan dengan nilai yang berupa huruf atau angka-angka. Hasil belajar dapat berupa keterampilan, nilai dan sikap setelah siswa mengalami proses belajar. Melalui proses belajar mengajar diharapkan siswa memperoleh kepandaian dan kecakapan tertentu serta perubahan-perubahan pada dirinya. Menurut Nana Sudjana (2005: 3), Hakikat hasil belajar adalah perubahan tingkah laku individu yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Nana Sudjana (1989: 38-40), Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Hasil belajar merupakan segala upaya yang menyangkut aktivitas otak (proses berfikir) terutama dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses berfikir ini ada enam jenjang, mulai dari yang terendah sampai dengan jenjang tertinggi (Suharsimi Arikunto, 2003: 114-115). Keenam jenjang tersebut adalah: a. Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus- rumus dan lain sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Hasil Belajar Matematika 2.1.1 Pengertian Belajar Slameto (1995:2) mengemukakan, “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Muhibin Syah (2006:65-66) mengutip pendapat seorang ahli psikolog bernama Wittig (1981) dalam bukunya psychology of learning mendefinisikan belajar sebagai: “any relatively permanent change in an organism’s behavioral repertoire that occurs as a result of experience, artinya belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman”. Belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Jadi belajar akan membawa 77 b. Pemahaman Pemahaman (comprehension) yakni kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat melalui penjelasan dari kata- katanya sendiri. c. Penerapan Penerapan (application) yaitu kesanggupan seseorang untuk menggunakan ide- ide umum, tata cara atau metode- metode, prinsip- prinsip, rumus- rumus, teori- teori, dan lain sebagainya dalam situasi yang baru dan kongkret d. Analisis Analisis (analysis) yakni kemampuan seseorang untuk menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagianbagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagianbagian tersebut. e. Sintesis Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berfikir memadukan bagian- bagian atau unsur- unsur secara logis, sehingga menjadi suatu pola yang baru dan terstruktur. f. Evaluasi Evaluasi (evaluation) yang merupakan jenjang berfikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom. Penelitian disini adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, atas beberapa pilihan kemudian menentukan pilihan nilai atau ide yang tepat sesuai kriteria yang ada (Anas Sudijono, 2005: 50- 52). tiga bidang yaitu: aljabar, analisis, dan geometri 2.1.4 Hasil Belajar Matematika Menurut Gagne (dalam Muhammad Zainal Abidin, 8:2011) bahwa: Hasil belajar matematika adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar matematikanya atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar matematika adalah perubahan tingkah laku dalam diri siswa, yang diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, tingkah laku, sikap dan keterampilan setelah mempelajari matematika. Perubahan tersebut diartikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dari definisi di atas, serta definisidefinisi tentang belajar, hasil belajar, dan matematika, maka dapat dirangkai sebuah kesimpulan bahwa hasil belajar matematika adalah merupakan tolak ukur atau patokan yang menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu materi pelajaran matematika setelah mengalami pengalaman belajar yang dapat diukur melalui tes. 2.1.5 Aktivitas Belajar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktivitas artinya adalah “kegiatan / keaktifan”. W.J.S. Poewadarminto menjelaskan aktivitas sebagai suatu kegiatan atau kesibukan. S. Nasution menambahkan bahwa aktivitas merupakan keaktifan jasmani dan rohani dan kedua-keduanya harus dihubungkan. Belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: 7) merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Selanjutnya Sardiman (1994: 24) menyatakan: “Belajar sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Aktivitas 2.1.3 Pengertian Matematika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun KBBI, 2007:723) matematika diartikan sebagai: “ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur bilangan operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan”. Matematika adalah konsep ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang memiliki struktur besar yang berhubungan satu dengan yang lainnya yang terbagi dalam 78 yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran akan berdampak terciptanya situasi belajar aktif. pengajaran dan proses belajar mengajar berlangsung dengan baik. Jadi pengajaran sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seorang anak. Dengan kata lain supaya tujuan pengajaran matematika itu tercapai, maka semua komponen-komponen yang ada didalamnya harus diorganisir sedemikian rupa sehingga antara komponen-komponen tersebut dapat bekerja sama dengan harmonis. Oleh karena itu mengembangkan suatu sistem pembelajaran, guru tidak boleh hanya memperhatikan bahwa sesungguhnya pengajaran itu adalah sebagai suatu sistem. 2.2 Tujuan Pendidikan dan Pengajaran Matematika di SMP Adapun tujuan umum pengajaran matematika di SMP dan MTs adalah seperti tercantum dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah tahun 2004 adalah sebagai berikut:  Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsisten.  Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba – coba.  Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah  Mengembangkan kemampuan meyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Sementara itu tujuan khusus pengajaran matematika di SMP dan MTs adalah agar siswa memiliki kemampuan yang dapat digunakan melalui kegiatan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan kependidikan menengah serta mempunyai keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai pandangan yang dan memiliki sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegiatan matematika. Keberhasilan belajar seorang anak tergantung pada sejauh mana ia mampu mencapai tujuan belajarnya. Tujuan belajar yang dicapai akan berhasil apabila 2.3 Model Pembelajaran Problem Posing 2.3.1 Pengertian Problem Posing Problem posing dalam matematika mempunyai beberapa arti (Suryanto, 1998 dalam Muhfida) yaitu:  Perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengajuan soal merupakan salah satu langkah dalam rencana pemecahan masalah/soal.  Perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka pencarian alternative pemecahan atau alternative soal yang relevan (Silver, et.all, 1996). Pengertian ini berkaitan erat dengan langkah melihat kembali yang dianjurkan oleh Polya (1973) dalam memecahkan masalah soal.  Perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, saat atau setelah pemecahan suatu masalah/soal. 2.3.2 Problem Posing dan Relevansinya dengan Matematika Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. 79 Pendekatan probelem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang dibuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Hamzah, 2003: 10 dalam Muhfida). Tim Penelitian Tindakan Matematika (PTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa :  Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan membentuk masalah.  Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah. Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:  Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.  Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan (Depdiknas, 2005: 219). 2.3.4 Langkah-Langkah Pembelajaran Problem Posing Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing menurut Budiasih dan Kartini dalam Syariful fahmi adalah sebagai berikut:  Membuka kegiatan pembelajaran.  Menyampaikan tujuan pembelajaran.  Menjelaskan materi pelajaran.  Memberikan contoh soal.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya  Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan  Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa.  Menutup kegiatan pembelajaran. 2.3.3 Pendekatan Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika, pengajuan soal menempati posisi yang strategis. Pengajuan soal dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. (Silver, et.al, 1996:293). Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Menurut Suryanto (1998:3) merumuskan soal merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Banyaknya siklus dalam penelitian ini adalah sebanyak dua kali siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu : Planning, Acting, Observing, 80 Reflecting. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo yang berjumlah 21 siswa. Data yang penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari subjek penelitian yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo dan sumber data lain dari guru atau teman sejawat yang ditunjuk sebagai rekan dalam berkolaborasi. Teknik pengumpulan data d a l a m penelitian ini adalah tes dan observasi. Tes yang digunakan adalah tes tertulis yang dikerjakan oleh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo untuk mengetahui sejauh mana materi yang telah diberikan dapat dimengerti dan dipahami oleh siswa. Observasi yang dilakukan adalah proses perekaman data dengan mengamati semua kejadian yang ada selama berlangsungnya proses pembelajaran, untuk mengumpulkan data keaktifan siswa dengan diterapkannya model pembelajaran Problem Posing. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan kuantitatif komparatif membandingkan nilai dari kondisi awal, hasil siklus I maupun hasil siklus II. Sedangkan untuk observasi dengan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi dan refleksi. Dari hasil itu akan dideskripsikan ke arah kecenderungan tindakan guru dan reaksi serta hasil belajar siswa. Deskripsi-deskripsi itu dalam bentuk kategori dan satuan uraian dasar dalam bentuk penilaian kualitatif seperti : (1) Aktif / Sedang / Pasif, (2) Meningkat / Tetap / Menurun, (3) Menarik / Cukup menarik / Membosankan, (4) Baik / Sedang / Buruk dan lain sebagainya. IV. dari tabel berikut ini. Tabel 4.1 Hasil Tes Formatif Prasiklus Nilai Frekuensi 45 3 55 7 65 6 75 4 85 1 95 100 Nilai Rata-Rata Ketuntasan Belajar Keterangan Belum Tuntas Belum Tuntas Belum Tuntas Tuntas Tuntas 67,80 23,80 % Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada prasiklus sebesar 67,80 dengan ketuntasan belajar hanya sebesar 23,80 % atau hanya 5 siswa yang tuntas dari 21 siswa. Tabel 4.2 Perolehan Aktivitas Siswa Prasiklus No Kriteria Jumlah Siswa Persentase 1 Sangat Aktif (SA) 3 14,28 % 2 Aktif (A) 4 19,04 % 3 Cukup Aktif (CA) 6 28,57 % 4 5 Kurang Aktif (KA) Tidak Aktif (TA) 4 4 19,04 % 19,04 % Tabel 4.3 Hasil Tes Formatif Siklus I Siklus I Nilai Frekuensi 45 55 2 65 3 75 9 85 5 95 2 100 Nilai Rata-Rata Ketuntasan Belajar Keterangan Belum Tuntas Belum Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas 79,28 76,19 % Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 79,28 dengan ketuntasan belajar sebesar 76,19 % atau 16 siswa yang tuntas dari 21 siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 4.4 Perolehan Aktivitas Siswa Siklus I 4.1 Prasiklus Melalui tes formatif yang telah dikerjakan siswa pada siklus I dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana siswa dalam menguasai materi pada mata pelajaran Matematika yang telah dipelajari sebelumnya. Adapun hasilnya dapat dilihat No Kriteria Jumlah Siswa Persentase 1 Sangat Aktif (SA) 7 33,33 % 2 Aktif (A) Cukup Aktif (CA) 9 42,85 % 3 14,28 % 3 81 4 Kurang Aktif (KA) 2 9,52 % 5 Tidak Aktif (TA) - - siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Peningkatan hasil belajar siswa terbukti dengan hasil tes formatif siswa, dimana dalam setiap siklusnya menunjukkan peningkatan skor. Bila digambarkan dalam bentuk grafik dan tabel, rekapitulasi perolehan nilai rata-rata dan persentase perolehan ketuntasan siswa setiap siklusnya adalah sebagai berikut : Tabel 4.5 Hasil Tes Formatif Siklus II Nilai Frekuensi 45 55 65 75 5 85 11 95 3 100 2 Nilai Rata-Rata Ketuntasan Belajar Keterangan Tuntas Tuntas Tuntas 87,61 100 % Tabel 4.7 Rekapitulasi Perolehan Nilai Rata-Rata Siklus I dan II No 1 2 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata siswa pada siklus II sebesar 87,61 dengan ketuntasan belajar sebesar 100 % atau 21 siswa yang tuntas dari 21 siswa. Kriteria Jumlah Siswa Persentase 1 Sangat Aktif (SA) 15 71,42 % 2 3 4 5 Aktif (A) Cukup Aktif (CA) Kurang Aktif (KA) Tidak Aktif (TA) 6 - 28,57 % - Siklus I 79,28 76,19 Siklus II 87,61 100 Peningkatan juga terjadi pada keaktifan siswa. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria sangat aktif yakni sebanyak 7 siswa atau dengan persentase 33,33 %. Sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 15 orang siswa atau dengan persentase 71,42%. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kategori aktif yakni sebanyak 9 siswa atau dengan persentase 42,85 %. Sedangkan pada siklus II menjadi 6 siswa atau dengan persentase 28,57 %. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria cukup aktif yakni sebayak 3 siswa atau dengan persentase 14,28 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang cukup aktif. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria kurang aktif yakni 2 siswa atau dengan persentase 9,52 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang kurang aktif. Selanjutnya baik pada siklus I maupun siklus II, tidak terdapat siswa dengan kriteria perolehan aktivitas tidak aktif dibandingkan dengan prasiklus. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran Problem Posing, maka dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Dengan model pembelajaran Problem Posing, akan menumbuhkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran Matematika, sehingga siswa tidak jenuh atau bosan selama Tabel 4.6 Perolehan Aktivitas Siswa Siklus II No Rekapitulasi Nilai Rata-Rata Ketuntasan Dari hasil pengamatan dan refleksi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan siklus II sudah bisa dikatakan berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dari pencapaian yang sudah memenuhi indikator keberhasilan. Maka dari itu, peneliti memutuskan tidak perlu melanjutkan ke siklus berikutnya karena sudah dianggap berhasil dan sudah menunjukkan berbagai peningkatanpeningkatan. Berdasarkan hasil obervasi dan refleksi selama proses pembelajaran Matematika melalui penerapan model pembelajaran Problem Posing pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo, maka siswa menjadi lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran dan siswa lebih menguasai materi pembelajaran yang disampaikan. Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil belajar 82 proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pun meningkat jika dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. V. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kategori aktif yakni sebanyak 9 siswa atau dengan persentase 42,85 %. Sedangkan pada siklus II menjadi 6 siswa atau dengan persentase 28,57 %. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria cukup aktif yakni sebayak 3 siswa atau dengan persentase 14,28 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang cukup aktif. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria kurang aktif yakni 2 siswa atau dengan persentase 9,52 %. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa yang kurang aktif. Selanjutnya baik pada siklus I maupun siklus II, tidak terdapat siswa dengan kriteria perolehan aktivitas tidak aktif dibandingkan dengan prasiklus. SIMPULAN Simpulan yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah bahwa penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan dari setiap siklusnya. Siklus I, nilai rata-rata siswa yakni 79,28 dengan persentase ketuntasan 87,62 %. Pada siklus II, nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 87,61 dengan persentase ketuntasan mencapai 100 %. Peningkatan juga terjadi pada keaktifan siswa. Pada siklus I, jumlah siswa dengan kriteria sangat aktif yakni sebanyak 7 siswa atau dengan persentase 33,33 %. Sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 15 orang siswa atau dengan persentase 71,42%. VI. SARAN Saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: a) Bagi guru, hendaknya menggunakan model pembelajaran Problem Posing dalam menyampaikan materi pelajaran Matematika agar pelajaran jadi lebih mudah dan menarik bagi siswa; b) Bagi Kepala Sekolah, hendaknya lebih meningkatkan pola kerja guru agar dapat memaksimalkan potensi guru dengan menggunakan model pembelajaran yang bervariasi diantaranya dengan model pembelajaran Problem Posing. 83 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan: Untuk Guru, Kepala Sekolah & Pengawas. Yogyakarta: Aditya Media. As’ari, Abdur Rahman. 2000. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing. Buletin Pelangi Pendidikan: 42-46 Fatchan, Ahmad. 2009. Metode penelitian Tindakan Kelas. Malang: Jenggala Pusataka Utama. Hakiim, Lukmanul. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Mendikbud. Moleong, Lexy. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Nurhadi, Yasin dan Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM. Nurjanah. 2007. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 7B SMPN 4 Adiwerna Kabupaten Tegal Dalam Pokok Bahasan Perbandingan Melalui Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Pre Solution Posing. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negri Semarang Rohani HM, Ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. Suherman, Eman dan Winataputra. 2001. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. Sukmadinata. 2003. Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosakarya. Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thobroni, Muhammad & Arif Mustofa. 2012. Belajar & Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Uno, Hamzah B. & Nurdin Muhamad. 2013. Belajar dengan Pendekatan Pailkem: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Menarik. Jakarta: Bumi Aksara. 84 Media Litbang Sulteng IX (1) : 85-94, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL BELAJAR KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK SISWA DALAM MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA ASPEK KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI PENGGUNAAN MEDIA FOTO KENANGAN PADA SISWA KELAS VI SDN 2 TANAHSUMPU Oleh : Antonius Vuliantoro1) ABSTRAK Latar belakang penelitian ini yaitu berawal dari rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan menulis karangan narasi. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa hal yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu siswa kesulitan untuk mendapatkan ide dan mengorganisasikannya. Siswa tidak dapat menulis karangan narasi secara runtut, baik urutan waktu maupun urutan tempatnya dan membuat pembaca terkadang kurang dapat mengerti maksud yang diungkapkan dalam wujud tulisan. Kalimat yang ditulis siswa masih sederhana dan sebagian besar dari mereka hanya mampu menulis tidak lebih dari tiga paragraf. Kemampuan pemilihan kata oleh siswa juga masih rendah. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua masalah tersebut, maka peneliti berininsiatif untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran yakni dengan menggunakan media foto kenangan dalam pembelajaran menulis narasi dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Melalui media foto kenangan ini, akan membantu siswa untuk berpikir aktif dalam menuangkan apa yang dilihat dan dirasakan. Dengan media foto kenangan, maka dapat mempermudah siswa dalam menuangkan detail-detail peristiwa secara lengkap, karena siswa dapat melihat langsung media yang akan dijadikan sebuah tulisan. Dari media tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan media yang dilihatnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu? (2) apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu?. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Subjek penelitian adalah siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu dengan jumlah siswa 23 siswa, yang terdiri dari 14 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki. Prosedur penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar kognitif dan psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Dari segi hasil belajar kognitif, pada siklus I siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 16 siswa atau dengan persentase 69,56%. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 23 siswa atau dengan persentase 100%. Hal ini berarti dari 23 siswa, maka telah terdapat 23 siswa pula yang telah memenuhi nilai ketuntasan belajar. Dari segi hasil belajar psikomotorik, pada siklus I, 18 siswa termasuk dalam kriteria baik atau dengan persentase 78,26% dan hanya 5 orang siswa atau dengan persentase 21,73% masih termasuk dalam kategori kurang. Pada siklus II, meningkat drastis, sehingga menjadi 21 siswa atau dengan persentase 91,30% dan 2 siswa lainnya berada pada kategori cukup baik atau dengan persentase 18,69. Kata Kunci: Hasil Belajar, Bahasa Indonesia, Keterampilan Menulis Narasi, Media Foto Kenangan ABSTRACT The background of this study is started from the low student learning outcomes in subjects Indonesian on aspects of narrative essay writing skills. Based on the observation that has been done shows that it is causing low yields VI grade students of SDN 2 Tanahsumpu on Indonesian subjects that students' difficulties to get ideas and organize them. Students can not write a coherent narrative essay, both chronologically and place the order and make the reader sometimes less can understand the intent expressed in written form. Sentences written by the students is simple and most of them are only able to write no more than three paragraphs. The ability of the choice of words by the students is still low. Therefore, to overcome all these problems, the researchers berininsiatif for innovation in learning by using media that is memorable photos in teaching narrative writing with the aim to improve student learning outcomes. Through the medium of this memorable photos, will help students to think actively in expressing what is seen and felt. With memories photo media, it can facilitate students in pouring the details of the events are complete, since students can see first hand the media that will be used as a post. The student of media can create a coherent and logically based media sees. The problems of this study are (1) whether the use of media images of memories can improve cognitive achievement of students in the subjects of Indonesian in Class VI SDN 2 Tanahsumpu? (2) whether the use of media images of memories can improve psychomotor learning outcomes of students in the subjects of Indonesian in Class VI SDN 2 Tanahsumpu ?. This study was conducted in class VI SDN 2 Tanahsumpu. The subjects were students of class VI SDN 2 Tanahsumpu the number of students 23 students, comprising 14 girls and 9 boys. The procedure of this study conducted in four phases: planning (planning), action (acting), observation (observing) and reflection (reflecting). Based on research that has been done, it can be concluded that the use of the media photo memories can improve cognitive and psychomotor learning outcomes of students in the subjects of Indonesian in Class VI SDN 2 Tanahsumpu. In terms of cognitive learning outcomes, in the first cycle students who scored in the top KKM as many as 16 students or with the percentage of 69.56%. In the second cycle students who scored in the top KKM as many as 23 students or with a percentage of 100%. This means that out of 23 students, then there have been 23 students who have fulfilled also the value of mastery learning. In terms of psychomotor learning outcomes, in the first cycle, 18 students included in both criteria or with the percentage of 78.26% and only 5 students or with the percentage of 21.73% is included in the poor category. In the second cycle, increase to be 21 students or with the percentage of 91.30% and 2 other students are in good enough category or with the percentage of 18.69. Keywords: Learning Outcomes, Indonesian, Narrative Writing Skills, Media Images of Memories. 85 I. narasi merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai. Dengan narasi, siswa dapat menceritakan secara runtut sesuatu atau peristiwa yang dialaminya. Narasi merupakan salah satu genre tulisan yang diajarkan di tingkat Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kemampuan menulis narasi siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu masih rendah, dan minat siswa dalam menulis narasi pun masih kurang. Selama ini, guru hanya menggunakan metode ceramah tanpa adanya media yang digunakan dalam pembelajaran. Hal inilah yang mengakibatkan siswa merasa jenuh dan bosan. Oleh karena itu, sebaiknya guru memiliki banyak referensi yang berkaitan dengan jenis peningkatan kemampuan menulis narasi siswa. Dalam penyampaian materi ajar guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan strategi atau metode pembelajaran serta menggunakan media atau alat bantu pengajaran yang lebih efektif dan efesien. Hal ini untuk meminimalkan rasa bosan pada siswa dan sekaligus menimbulkan kegairahan yang besar untuk mampu menulis narasi yang baik dan benar. Namun, pada kenyataannya berdasarkan observasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa hasil belajar siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu pada mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis khususnya menulis karangan narasi, masih tergolong rendah. Siswa kesulitan untuk mendapatkan ide dan mengorganisasikannya. Siswa tidak dapat menulis karangan narasi secara runtut, baik urutan waktu maupun urutan tempatnya dan membuat pembaca terkadang kurang dapat mengerti maksud yang diungkapkan dalam wujud tulisan. Kalimat yang ditulis siswa masih sederhana dan sebagian besar dari mereka hanya mampu menulis tidak lebih dari tiga paragraf. Kemampuan pemilihan kata oleh siswa juga masih rendah. Selain itu, siswa juga sulit untuk memusatkan konsentrasinya dalam membuat judul yang menarik hinggga sampai kepada perangkaian alur cerita. Kurangnya pengetahuan dan frekuensi PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk dapat menyampaikan pesan, bertukar informasi, dan menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Manusia dapat berpikir dengan baik karena manusia memiliki dan menggunakan bahasa. Tanpa bahasa besar kemungkinan manusia tidak dapat berpikir secara sistematis, teratur, dan berlanjut. Selain itu, kepribadian seseorang juga dapat tercermin melalui cara berbahasanya. Cara berbahasa yang dimiliki seseorang disebut dengan kemampuan atau keterampilan berbahasa yang terdiri dari keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill) (Tarigan, 1981 : 1). Setiap keterampilan berbahasa tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dengan keterampilan lainnya. Salah satu keterampilan berbahasa yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah keterampilan menulis. Menulis adalah suatu proses berpikir yaitu kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan ke dalam wujud tulisan atau bahasa tulis. Kegiatan menulis sangat penting dalam menunjang keterampilan berbahasa. Pengajaran menulis terbagi menjadi empat jenis tulisan yakni karangan narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Tulisan narasi merupakan tulisan yang menceritakan suatu peristiwa yang tersusun secara teratur, sehingga menimbulkan pengertian-pengertian yang dapat merefleksi interprestasi penulisnya. Narasi adalah bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (Keraf, 2001: 136). Narasi adalah suatu bentuk tulisan yang bertujuan untuk menceritakan dan menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian dengan jelas secara runtun waktu, di mana di dalamnya terjadi konflik dari suatu peristiwa berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu. Kemampuan menulis 1) Guru SDN 2 Tanah Sumpu 86 berlatih mendorong sulitnya siswa memusatkan konsentrasinya, sehingga menyebabkan tulisan siswa menjadi tidak sistematis, dan kurang bermakna. Oleh karena itu, secara keseluruhan penulis menyimpulkan bahwa rendahnya hasil belajar siswa dalam menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas VI SDN 2 Tanahsumpu dapat dirincikan sebagai berikut yaitu: (1) Kurangnya kemampuan siswa dalam menentukan topik menulis narasi, (2) Kurangnya kemampuan mengembangkan paragraf, (3) Siswa kurang mengidentifikasi ide dan mengorganisasikan tulisan narasi, sehingga kemampuan menulis narasi siswa rendah, (4) Siswa tidak tertarik menceritakan pengalaman atau suatu peristiwa melalui tulisan, sehingga alur pemikiran melompatlompat, (5) Siswa kesulitan dalam menuangkan idenya ke dalam bentuk tulisan yang utuh, (6) Guru kesulitan dalam membangkitkan minat belajar siswa. Melihat kenyataan yang ada dan berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keterampilan menulis narasi pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu masih memerlukan perhatian khusus. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua masalah tersebut dan mencapai tujuan pembelajaran, maka peneliti berininsiatif untuk menggunakan media foto kenangan dalam pembelajaran menulis narasi dengan tujuan untuk meningkatkan semangat dan antusias siswa, serta hasil belajar siswa. Media foto kenangan adalah media yang berwujud gambar yang sudah dimodifikasi atau direka dari foto yang diambil dari album kenangan siswa itu sendiri yang menggambarkan peristiwa tertentu yang dialami oleh siswa. Gambar-gambar tersebut adalah gambar yang mendokumentasikan aktivitas- aktivitas tertentu yang dikerjakan oleh siswa. Media gambar sangat penting digunakan dalam usaha menjelaskan pengertian kepada siswa. Kelebihan media foto dibandingkan dengan media yang lain adalah (1) media foto mudah diperoleh, (2) dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih, (3) media foto mudah dipakai karena tidak membutuhkan peralatan yang berlebihan dan (4) media foto relatif murah, dan media foto dapat digunakan dalam banyak hal dan berbagai disiplin ilmu. Melalui media foto kenangan ini, akan membantu siswa pada berpikir aktif menuangkan apa yang dilihat dan dirasakan. Dengan media foto kenangan, maka dapat mempermudah siswa dalam menuangkan detail-detail peristiwa secara lengkap karena siswa bisa melihat langsung media yang akan dijadikan sebuah tulisan. Dari media tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan media yang dilihatnya. Penggunaan media foto kenangan dalam kegiatan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan atau keterampilan siswa dalam menulis narasi, sehingga kompetensi ini benar-benar dikuasai oleh siswa serta mempermudah proses pembelajaran. Selain itu, penggunaan media foto kenangan dapat menjadikan proses pembelajaran menulis narasi menjadi lebih menarik dan bervariasi, sehingga siswa tidak akan merasa jenuh. Siswa akan mendapatkan sesuatu yang lebih konkret, lebih menarik, dan lebih mudah mengingat, sehingga akan memberikan tuntunan yang lebih lengkap dan lebih nyata dalam penuangan ide. Dengan demikian, siswa akan lebih termotivasi untuk menemukan dan mengembangkan ide ke dalam bentuk karangan yang sistematis dan bermakna. Oleh karena itu, diharapkan dengan penggunaan media foto kenangan diharapkan bisa meningkatkan hasil belajar siswa dalam menulis narasi. Berdasarkan hal yang telah diungkapkan di atas, maka peneliti tertarik untuk dapat melakukan penelitian tindakan kelas dengan mengambil judul “Peningkatan Hasil Belajar Kognitif dan Psikomotorik Siswa dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Aspek Keterampilan Menulis Karangan Narasi Melalui Penggunaan Media Foto Kenangan Pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar 87 kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu? (2) apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu?. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. (2) untuk mengetahui apakah penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. II. mengajar dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan pembelajaran khusus dari bahan tersebut. Adapun yang menjadi indikator utama hasil belajar siswa adalah sebagai berikut: a. Ketercapaian Daya Serap terhadap bahan pembelajaran yang diajarkan, baik secara individual maupun kelompok. Pengukuran ketercapaian daya serap ini biasanya dilakukan dengan penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) b. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa, baik secara individual maupun kelompok. 2.2 Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa adalah keterampilan seseorang untuk mengungkapkan “sesuatu” dan memahami “sesuatu” yang diungkapkan oleh orang lain dengan media bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Keterampilan berbahasa merupakan sesuatu yang penting untuk dikuasai setiap orang. Dalam suatu masyarakat, setiap orang saling berhubungan dengan orang lain dengan cara berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterampilan berbahasa adalah salah satu unsur penting yang menentukan kesuksesan mereka dalam berkomunikasi. Keterampilan berbahasa (language skills) mencakup empat keterampilan berikut. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan pembentukan tingkah laku seseorang. Untuk menyatakan bahwa suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masingmasing sejalan dengan filsafatnya. Namun untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini yang telah disempurnakan, antara lain bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pembelajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran khususnya dapat dicapai. Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran khusus, guru perlu mengadakan tes formatif pada setiap menyajikan suatu bahasan kepada siswa. Penilaian formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai tujuan pembelajaran khusus yang ingin dicapai. Fungsi penelitian ini adalah untuk memberikan umpan balik pada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil. Karena itulah, suatu proses belajar a. Keterampilan menyimak (listening skills) b. Keterampilan berbicara (speaking skills) c. Keterampilan membaca (reading skills) d. Keterampilan menulis (writing skills) Keempat keterampilan berbahasa tersebut saling berkait satu sama lain, sehingga untuk mempelajarai salah satu keterampilan berbahasa, beberapa keterampilan berbahasa lainnya juga akan terlibat. 88 kompleks. Kompleksitas menulis terletak pada tuntutan kemampuan untuk menata dan mengorganisasikan ide secara runtut dan logis, serta menyajikannya dalam ragam bahasa tulis dan kaidah penulisan lainnya. Akan tetapi, di balik kerumitannya, menulis menjanjikan manfaat yang begitu besar dalam membantu pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, kepercayaan diri dan keberanian, serta kebiasaan dan kemampuan dalam menemukan, mengumpulkan, mengolah, dan menata informasi. Menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa tak dapat dilepaskan dari aspek-aspek keterampilan berbahasa lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi. Pengalaman dan masukan yang diperoleh dari menyimak, berbicara, dan membaca, akan memberikan kontribusi berharga dalam menulis. Begitu pula sebaliknya, apa yang diperoleh dari menulis akan berpengaruh pula terhadap ketiga corak kemampuan berbahasa lainnya. Namun demikian, menulis memiliki karakter khas yang membedakannya dari yang lainnya. Sifat aktif, produktif, dan tulis dalam menulis, memberikannya ciri khusus dalam hal kecaraan, medium, dan ragam bahasa yang digunakannya. 2.3 Menulis Sebagai Suatu Aspek Keterampilan Berbahasa Keterampilan menulis sebagai salah satu cara dari empat keterampilan berbahasa mempunyai peranan penting di dalam kehidupan manusia. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Menulis adalah kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Selain itu, menulis adalah berkomunikasi mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak kepada orang lain secara tertulis. Pengertian tersebut memberikan pengertian bahwa menulis adalah menjelmakan bahasa lisan, mungkin menyalin atau melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, membuat laporan, dan sebagainya. Keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam melukiskan lambang grafis dimengerti oleh penulis bahasa itu sendiri maupun orang lain yang mempunyai kesamaan pengertian terhadap simbolsimbol bahasa tersebut. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini maka sang penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis ini tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan teratur. Menulis adalah kegiatan penyampaian pesan (gagasan, perasaan, atau informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis melibatkan empat unsur, yaitu penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, medium tulisan, serta pembaca sebagai penerima pesan. Kegiatan menulis sebagai sebuah perilaku berbahasa memiliki fungsi dan tujuan: personal, interaksional, informatif, instrumental, heuristik, dan estetis. Sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa, menulis atau mengarang merupakan kegiatan yang 2.4 Karangan Narasi Narasi merupakan bentuk karangan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman nmanusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu. Secara sederhana, narasi dikenal sebagai cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam satu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Ketiga unsur berupa kejadian, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu, ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Jadi, narasi adalah cerita yang dipaparkan berdasarkan plot atau alur. 2.5 Media Pembelajaran Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan 89 kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik. Media pembelajaran merupakan media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (siswa). Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili guru menyajiakan informasi belajar kepada siswa. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Subjek penelitian adalah siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu dengan jumlah siswa 23 siswa, yang terdiri dari 14 siswa perempuan dan 9 siswa lakilaki. Prosedur penelitian ini dilakukan dalam empat tahap seperti yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2008) yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, tes, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data model interaktif. Miles, M. B. dan Hubberman, M. (2009) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data model interaktif yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion atau verification) yang berlangsung secara interaktif. 2.6 Media Foto Kenangan Media foto sangat penting digunakan dalam usaha menjelaskan pengertian kepada siswa. Dengan menggunakan foto, siswa dapat lebih memperhatikan benda-benda atau hal-hal yang belum pernah dilihatnya yang berkaitan dengan pembelajaran. Guru dapat menggunakan media foto untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga penjelasan lebih kongkret bila dibandingkan diuraikan dengan kata-kata. Melalui media foto pula, guru dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk realistik. Kelebihan media foto dibandingkan dengan media yang lain adalah (1) media foto mudah diperoleh, (2) dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih, (3) media foto mudah dipakai karena tidak membutuhkan peralatan yang berlebihan dan (4) media foto relatif murah, dan media foto dapat digunakan dalam banyak hal dan berbagai disiplin ilmu. Melalui media foto kenangan ini, akan membantu siswa pada berpikir aktif menuangkan apa yang dilihat dan dirasakan. Dengan media foto kenangan mempermudah siswa menuangkan detaildetail peristiwa secara lengkap karna siswa bisa melihat langsung media yang akan dijadikan sebuah tulisan. Dari media tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan media yang dilihatnya. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada kondisi awal, hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan menulis karangan narasi masih tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil prasiklus yang telah dilakukan yaitu dari 23 hanya 7 siswa yang mencapai ketuntasan. Disitribusi frekuensi nilai kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan menulis karangan narasi dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Hasil Belajar Kognitif pada Aspek Keterampilan Menulis Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Prasiklus 90 Berdasarkan tabel 1 dari KKM yang telah ditentukan yakni sebesar 75, siswa yang belum tuntas sebanyak 17 siswa atau dengan persentase 73,91% dan yang sudah tuntas sebanyak 6 siswa atau dengan persentase 26,08%. Nilai terendah pada prasiklus ini adalah 55 dan nilai tertinggi adalah 85. Pada aspek psikomotor sebelum tindakan juga masih rendah. Hal ini terlihat dari kriteria baik dan sangat baik. Pada aspek psikomotor, siswa yang sudah termasuk dalam kriteria baik hanya 10 siswa atau dengan persentase 43,47%, sisanya 13 siswa masih kurang atau dengan persentase 56,52%. Pada siklus I, hasil belajar siswa sudah meningkat. Akan tetapi, masih ada beberapa siswa yang masih mengalami kesulitan dalam menulis karangan narasi dengan menggunakan media foto kenangan. Hal ini dikarenakan ada beberapa siswa yang tidak memperhatikan ketika guru menjelaskan dan kurang aktif mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia dalam aspek keterampilan menulis karangan narasi menggunakan media foto kenangan. Hasil belajar menulis narasi pada siklus I diperoleh nilai terendah sebesar 60 dan nilai tertinggi adalah 94. Distribusi frekuensi nilai kognitif menulis karangan narasi pada siklus I dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa siswa yang memperoleh nilai diatas KKM sebanyak 16 siswa atau dengan persentase 69,56% dan 7 siswa masih di bawah KKM atau dengan persentase 30,43%. Pada aspek psikomotor, siswa yang sudah termasuk dalam kriteria baik meningkat menjadi 18 siswa atau dengan persentase 78,26%, sisanya 5 siswa masih kurang atau dengan persentase 21,73%. Dengan demikian keberhasilan sesuai yang tertera dalam indikator kinerja pada rencana sebelumnya yaitu 80% belum terca pai sehingga pembelajaran akan dilanjutkan ke siklus II. Pada akhir siklus I diadakan refleksi yang dilakukan dengan cara berdiskusi dengan guru kelas untuk mengetahui kekurangan pada siklus I kemudian dicari cara untuk menyelesaikannya. Hasil dari refleksi tersebut adalah dengan memperbaiki strategi pembelajaran menulis narasi dan memberikan penguatan serta motivasi bagi siswa yang belum tuntas supaya lebih giat belajar. Adanya suatu refleksi tersebut, ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya hasil belajar siswa dalam aspek keterampilan menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dibandingkan dengan siklus I. Tabel 2. Hasil Belajar Kognitif dengan Menggunakan Media Foto Kenangan pada Aspek Keterampilan Menulis Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Siklus I 91 siswa lainnya masih belum mencapai ketuntasan. Nilai psikomotor juga masih rendah yaitu hanya 10 siswa yang masuk kriteria baik atau dengan persentase 43,47%, sementara 13 lainnya atau dengan persentase 56,52% masih termasuk dalam kategori kurang. Oleh karena itu, perlu diadakan tindakan perbaikan untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa pada aspek keterampilan menulis narasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media foto kenangan siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan media foto kenangan pada mata aspek keterampilan berbahasa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia telah berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, media foto kenangan sangat cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya hasil belajar siswa pada setiap siklusnya. Pada siklus I siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 16 siswa atau dengan persentase 69,56%. Nilai psikomotor meningkat, sehingga menjadi 18 siswa yang termasuk dalam kriteria baik atau dengan persentase 78,26% dan hanya 5 orang siswa atau dengan persentase 21,73% masih termasuk dalam kategori kurang. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 23 siswa atau dengan persentase 100%. Hal ini berarti dari 23 siswa, maka telah terdapat 23 siswa pula yang telah memenuhi nilai ketuntasan belajar. Pada aspek psikomotor juga meningkat drastis, sehingga menjadi 21 siswa atau dengan persentase 91,30% dan 2 siswa lainnya berada pada kategori cukup baik atau dengan persentase 18,69. Distribusi frekuensi nilai kognitif siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu dalam aspek keterampilan menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siklus II dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Hasil Belajar Kognitif dengan Menggunakan Media Foto Kenangan pada Aspek Keterampilan Menulis Narasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu Pada Siklus II Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa siswa yang mendapat nilai diatas KKM adalah 23 siswa. Hal ini berarti dari keseluruhan siswa, telah mencapai nilai ketuntasan minimal yang telah ditentukan yakni sebesar 75. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada aspek keterampilan menulis karangan narasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu sudah berhasil karena telah mencapai bahkan melebihi target pencapaian sesuai indikator kinerja. Oleh karena itu, penelitian ini tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya. Nilai terendah pada siklus II yaitu 75, dan nilai tertinggi yaitu 100. Pada aspek psikomotor, siswa yang sudah termasuk dalam kriteria baik meningkat menjadi 21 siswa atau dengan persentase 91,30%, sisanya 2 siswa masih cukup baik atau dengan persentase 8,69%. Hasil belajar siswa pada aspek keterampilan menulis narasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu pada kondisi awal atau prasiklus masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai prasiklus dimana hanya 6 siswa atau dengan persentase 26,08% dari 23 siswa yang mendapat nilai di atas KKM, sedangkan 17 V. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Hal ini terbukti dari hasil 92 berada pada kategori cukup baik atau dengan persentase 18,69. belajar kognitif siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada siklus I siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 16 siswa atau dengan persentase 69,56%. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 23 siswa atau dengan persentase 100%. Hal ini berarti dari 23 siswa, maka telah terdapat 23 siswa pula yang telah memenuhi nilai ketuntasan belajar. 2. Penggunaan media foto kenangan dapat meningkatkan hasil belajar psikomotorik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas VI SDN 2 Tanahsumpu. Hal ini terbukti dari hasil belajar psikomotorik siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada siklus I, 18 siswa termasuk dalam kriteria baik atau dengan persentase 78,26% dan hanya 5 orang siswa atau dengan persentase 21,73% masih termasuk dalam kategori kurang. Pada siklus II, meningkat drastis, sehingga menjadi 21 siswa atau dengan persentase 91,30% dan 2 siswa lainnya VI. SARAN Beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pendidik hendaknya menggunakan media foto kenangan dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia semaksimal mungkin, sehingga peserta didik bersemangat mengikuti pembelajaran dan materi yang disampaikan dapat diterima peserta didik dengan baik, suasana pembelajaran akan berlangsung aktif. Dengan demikian dapat meningkatkan pemerolehan hasil belajar siswa, (2) Penggunaan media foto kenangan dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia harus sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditentukan dan penggunaan media foto kenangan dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia hendaknya dilakukan secara kontinyu. 93 DAFTAR PUSTAKA Akhadiyah, Sabarti dkk. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arsyad, Azhar. 1997. Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Tim GP Press. Barus, Sanggup. 2010. Pembinaan Kompetensi Menulis. Medan: USU Press. Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Depdikbud. Hartono, 2008. Terampil Menulis Bahasa Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu. Hastuti, Sri. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Keraf, Groys. 1987. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia. Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: GP Press Group. Soenardji dan Bambang Hartono. 1998. Asas-Asas Menulis. Semarang. IKIP. Semarang Press. Subyantoro. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Rumah Indonesia. Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Sudjana dan Rivai, 2005. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Buku Algensindo. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suparno, Mohammad Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka Kota. Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tarigan, Henri Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wagiran dan Doyin, 2005. Curah Gagasan. Semarang: Rumah Indonesia. 94 Media Litbang Sulteng IX (1) : 95-104 , Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL BELAJAR BOLA KASTI PADA MATA PELAJARAN PENJASKES MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING BERKOMBINASI DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN PADA SISWA KELAS V SDN 3 KOLONODALE Oleh : Adris Ganoli1) ABSTRAK Hasil observasi pada siswa kelas V SDN 3 Kolonodale pada pembelajaran permainan bola kasti ditemukan beberapa kendala dan kekurangan dalam hal gerak dasar. Siswa memiliki kecenderungan diam atau kurang aktif dalam pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan adanya inovasi dalam pembelajaran sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa yakni dengan mengombinasikan antara model pembelajaran Cooperative Learning dengan disertai penerapan pendekatan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah narasumber, teman, guru, situasi, kondisi nyata, lingkungan alam, lingkungan buatan dan lain-lain yang dapat dijadikan sumber belajar siswa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Penelitian ini merupakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilakukan di kelas V SDN 3 Kolonodale dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Penelitian tindakan kelas ini terdiri atas empat tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observing), dan refleksi (reflection). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) observasi, (2) tes, dan (3) dokumentasi. Adapun hasil dari pelaksanaan penelitian ini yaitu bahwa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan prasiklus. Dari data prasiklus siswa yang tuntas hanya berjumlah 9 orang siswa atau dengan persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84 (kategori sedang). Pada siklus I setelah diberikan tindakan melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa memperoleh nilai dengan rentang 85-94 (kategori baik) atau dengan persentase 27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) atau dengan persentase 36,36%. Total persentase ketuntasan pada siklus I dengan jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni sebesar 63,63%. Pada siklus II, jumlah siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau dengan kata lain dari keseluruhan siswa di kelas V SDN 3 Kolonodale, telah memperoleh ketuntasan hasil belajar. Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 95-100 (kategori baik sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 85-94 (kategori baik) dengan persentase 54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) dengan persentase 13,63%. Kata Kunci: Hasil Belajar Siswa, Bola Kasti, Penjaskes, Model Pembelajaran Cooperative Learning, Pendekatan Lingkungan. ABSTRACT The results of observations in class V SDN 3 Kolonodale learning the game of baseball found several problems and disadvantages in terms of the basic movement. Students have a tendency to be quiet or less active in learning. Therefore, it is necessary for innovation in learning as an alternative in an effort to improve student learning outcomes that combines between the learning model cooperative learning, accompanied by application of environmental approach. The intended environment is the source, friends, teachers, situation, real conditions, the natural environment, built environment and others that can be used as a source of student learning. The purpose of this study is to identify and describe whether the application of cooperative learning teaching model in combination with environmental approaches to improve learning outcomes baseball in PE subjects fifth grade students of SDN 3 Kolonodale. This research is a classroom action research (PTK). The study was conducted in class V SDN 3 Kolonodale the number of students as many as 22 students. This classroom action research consists of four stages: planning (planning), action (action), observation (observing) and reflection (reflection). Data collection techniques in this study are (1) observation, (2) tests, and (3) documentation. As a result of the implementation of this study is that the application of cooperative learning teaching model in combination with environmental approaches to improve learning outcomes baseball in PE subjects fifth grade students of SDN 3 Kolonodale. This is evident from the results of student learning continues to increase compared to prasiklus. From the data prasiklus students who completed only amounted to 9 students or with the percentage of 40.90% on the value range 75-84 (medium category). In the first cycle after a given action through the implementation of cooperative learning teaching model in combination with the environmental approach, the number of students who completed to 14 students with details of 6 students received grades in the range of 85-94 (both categories) or with the percentage of 27.27% and 8 students gain value with a range of 75-84 (medium category) or with the percentage of 36.36%. The total percentage of completeness in the first cycle by the number of students who completed 14 students which amounted to 63.63%. In the second cycle, the number of students who completed to 22 students or in other words of all students in the class V SDN 3 Kolonodale, has gained mastery learning outcomes. The details of the range of values obtained by the students is 7 students who received grades in the range of 95-100 (both categories at all) with a percentage of 31.81%, 12 students who received grades in the range of 85-94 (both categories) with a percentage of 54.54% and 3 students who received grades in the range of 75-84 (medium category) with a percentage of 13.63%. Keywords: Student Results, Baseball, Physical Education (PE), Learning Model Cooperative Learning, Environment Approach. 95 I. PENDAHULUAN yang lebih mengutamakan kegiatan fisik. Banyak membutuhkan aktivitas gerak. Apabila permainan bola kasti dilakukan secara benar dan baik, maka akan memiliki tingkat kesegaran jasmani yang baik. Permaianan kasti dimainkan oleh 2 regu, yang masing-masing regunya terdiri dari 12 orang. Untuk bermain kasti harus bisa menguasai gerakan dasar seperti menangkap bola, melempar bola, dan memukul bola. Disamping itu karena olahraga kasti memerlukan aktivitas fisik, maka gerakan lari atau berjalan harus pula dimiliki oleh seorang pemain. Disamping gerakan berlari atau berjalan, maka seorang pemain kasti harus memiliki keterampilan gerakan meloncat dan menghindar. Pemain kasti yang baik harus pandai melakukan lemparan bola. Melempar bola disesuaikan dengan arah dan kecepatan tertentu. Lemparan bola diberikan pada pemukul dan untuk mematikan lawan. Latihan melempar bola dapat dilakukan secara individu dan berpasangan. Pada dasarnya melempar bola dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu lemparan bawah, lemparan samping, dan lemparan atas. Hasil observasi pada siswa kelas V SDN 3 Kolonodale pada pembelajaran permainan bola kasti banyak terdapat kendala dan kekurangan dalam hal gerak dasar. Siswa memiliki kecenderungan diam atau kurang aktif dalam pembelajaran. Kurangnya kesempatan siswa dalam melakukan pukulan, lemparan dan tangkapan menjadikan siswa kurang dalam penguasaan gerak dasar. Pada waktu memukul siswa sulit mengarahkan alat pemukul tepat ke bola, sehingga pukulan akan menjadi sangat lemah. Pada saat lemparan, tenaga yang dikeluarkan sangat kurang, sehingga akurasi atau arah bola tidak tepat kepada sasaran, dan pada saat menangkap kebanyakan siswa takut untuk menangkap, karena bola terlalu cepat ataupun arahnya terlalu jauh untuk ditangkap. Siswa cenderung diam dan mendengarkan penjelasan guru dari pada aktif untuk mempraktikkannya. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang diajarkan di sekolah dasar memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang dipilih serta dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di sekolah dasar harus menyertakan unsur-unsur positif Pendidikan Jasmani. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Tujuan Penjasorkes adalah untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, serta stabilitas emosional siswa, sehingga sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No.20 tahun 2003 di mana Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kebiasaan, kecerdasan, dan keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pada zaman yang modern seperti sekarang ini, permainan olahraga semakin berkembang dan banyak permainan olahraga yang lebih populer, di antaranya sepak bola yang sangat diminati dari anakanak sampai orang tua. Namun, banyak juga permainan olahraga yang dulu populer namun seakan hilang dengan kemajuan zaman, diantaranya yaitu kasti. Permainan kasti termasuk dalam permainan bola kecil. Apabila diamati permainan kasti merupakan jenis permainan 1) Guru SDN 3 Kolonodale 96 Dari hasil pengamatan oleh peneliti saat melakukan pembelajaran Penjaskes pada siswa kelas V SDN 3 Kolonodale dalam pembelajaran permainan bola kasti menunjukkan proses pembelajaran yang kurang efektif. Siswa masih kesulitan mampraktikkan melempar bola dalam permainan kasti seperti yang diinstruksikan guru, sehingga siswa belum mampu memahami secara benar gerak dasar dari melempar bola, baik melalui penjelasan secara verbal maupun unjuk kerja yang telah dicontohkan. Seperti apa posisi badan, kemudian posisi tangan maupun gerakan tangan dan kaki, maupun koordinasi gerak tubuh yang lain dalam melakukan lemparan dalam permainan kasti belum mampu dilakukan dengan sempurna oleh siswa. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan suatu model pembelajaran yang patut diterapkan dalam pembelajaran permainan bola kasti agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar merupakan akibat atau sebab dari proses pembelajaran. Hasil belajar ini adalah perubahan perilaku yang meliputi pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan, perubahan sikap serta nilai siswa. Hasil belajar sangat tergantung pada mutu masukan dan proses pembelajaran. Mutu masukan yang baik yang dianggap dengan tidak tepat akan menghasilkan hasil belajar yang tidak baik, sebaliknya apabila mutu masukan kurang baik tetapi diproses dengan baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran permainan bola kasti adalah model pembelajaran Cooperative Learning atau pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja, dalam struktur kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar melalui penempatan siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama. Di Sekolah Dasar, pembelajaran cenderung bersifat konvensional. Oleh karena itu, diperlukan adanya inovasi dalam pembelajaran sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa yakni dengan mengombinasikan antara model pembelajaran Cooperative Learning dengan disertai penerapan pendekatan lingkungan. Berdasarkan karakteristik siswa, maka pembelajaran permainan bola kasti harus disesuaikan dengan kondisi siswa. Perlu diketahui oleh seorang guru bahwa siswa sekolah dasar mempunyai karakteristik cepat bosan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pembelajaran permainan bola kasti hendaknya dapat diajarkan secara bervariasi dalam bentuk aktivitas yang menyenangkan. Upaya peningkatan hasil belajar siswa terhadap permainan kasti harus diterapkan melalui bentuk-bentuk pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Seorang guru harus mampu menerapkan pendekatan pembelajaran yang baik dan tepat. Dengan pendekatan pembelajaran yang tepat, siswa akan mudah menerima materi pelajaran dan hasilnya juga akan optimal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran bola kasti adalah pendekatan lingkungan. Belajar akan terjadi apabila ada proses interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah narasumber, teman, guru, situasi, dan kondisi nyata, lingkungan alam, lingkungan buatan dan lain-lain yang dapat dijadikan sumber belajar siswa. Dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Bola Kasti pada Mata Pelajaran Penjaskes Melalui Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Berkombinasi dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa Kelas V SDN 3 Kolonodale”. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, peneliti dapat merumuskan masalah yakni apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 97 kebiasaan bertindak dan berpikir setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu (Depdiknas, 2003:5). Hamilton, dkk (2000:1) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan belajar yang ditunjukkan dalam penampilan yang tetap sebagai akibat dari proses belajar yang terjadi melalui program yang menyediakan fakta-fakta, bukti-bukti, keterangan dan sebagainya. Mappa (1985: 94) menyatakan hasil belajar adalah hasil belajar yang dicapai murid dalam bidang studi tertentu dengan menggunakan tes standar sebagai alat keberhasilan seorang murid. Selanjutnya Nasrun (2002:21) secara umum hasil belajar dapat diartikan sebagai suatu hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan usaha atau diperoleh dengan jalan keuletan bekerja yang dapat diukur dengan alat ukur yang disebut dengan tes. Menurut Sudjana (2000:3) hasil belajar adalah mencerminkan tujuan pada tingkat tertentu yang berhasil dicapai oleh anak didik (siswa) yang dinyatakan dengan angka atau huruf. Hasil belajar yang dimaksudkan tidak lain adalah nilai kemampuan siswa setelah evaluasi diberikan sebagai perwujudan dari upaya yang telah dilakukan selama proses belajar mengajar berlangsung. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:  Ranah Kognitif Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.  Ranah Afektif Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.  Ranah Psikomotor Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi Kolonodale? Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Manfaat dalam penelitian ini yaitu (1) Bagi siswa: Dapat meningkatkan kemampuan hasil belajar kasti bagi siswa kelas V SDN 3 Kolonodale dan siswa merasa senang dalam mengikuti olahraga bola kasti. (2) Bagi guru: Sebagai bahan masukan kepada guru Pendidikan Jasmani dalam memilih model dan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses belajar mengajar, sebagai pedoman bagi guru akan pentingnya pembelajaran yang tepat yang disesuaikan dengan materi dan sarana prasarana di sekolah, sehingga di peroleh hasil belajar yang maksimal. (3) Bagi sekolah: Sebagai bahan masukan, saran dan informasi terhadap sekolah, instansi, lembaga pendidikan untuk mengembangkan strategi belajar mengajar yang tepat dalam rangka meningkatkan kualitas proses dan kuantitas hasil belajar siswa. (4) Bagi Peneliti: Peneliti memperoleh pengetahuan bagaimana cara memilih metode pembelajaran yang tepat, sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan peneliti telah mempunyai wawasan bagaimana memodifikasi permainan untuk meningkatkan kemampuan keterampilan peserta didik dengan adanya penggunaan model dan pendekatan pembelajaran. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar adalah pernyataan kemampuan siswa dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi tertentu. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang direfleksikan dalam 98 neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Sehingga hasil belajar dapat dipandang sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. yang melempar tersebut untuk dilempar kembali. Tetapi apabila mereka memiliki sifat positif terhadap permainan ini dan aspek kerjasama menjadi focus perhatian dalam pembelajaran, maka tidak akan terjadi seorang anak hanya mengejar satu lawan yang tidak disukainya. Dalam hal ini mungkin guru jarang sekali memberikan suatu tugas pendidikan efektif dalam kegiatan jasmani yang dilaksanakan secara individual, berpasangan, bertiga maupun berkelompok. Jadi guru Pendidikan Jasmani diharapkan dalam mengajar jangan terfokus pada bahan ajar dan materi pembelajaran saja, tetapi hendaknya terfokus pada tujuan pembelajaran sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Jadi dalam proses pendidikan pada anak-anak paling tepat diberikan adalah melalui kegiatan bermain olahraga termasuk didalamnya berbagai jenis permainan yang melibatkan sekelompok anak seperti halnya bermain kasti di lapangan. 2.2 Pembelajaran Permainan Bola Kasti Permainan kasti merupakan salah satu cabang olahraga permainan yang sangat popular di Indonesia jauh sebelum zaman penjajahan Jepang, bahkan pada zaman Belanda juga sudah dikenal masyarakat. Pada waktu itu permainan kasti sering dipertandingkan dalam kejuaraan antar sekolah, sehingga permainan ini sangat dikenal dan diajarkan di sekolahsekolah dasar dan bahkan di masyarakat. Pada beberapa acara nasional permainan ini pernah dipertandingkan, tetapi belakangan ini mulai kurang dikenal dan terpinggirkan. Yang dimaksud memberikan nuansa pendidikan dalam permainan kasti adalah bahwa guru pendidikan jasmani di sekolah memberikan pendidikan melalui kegiatan-kegiatan jasmani yang mengedepankan sikap sportivitas, jujur, kerjasama dan aspek pendidikan lainnya dalam pembelajaran permainan kasti. Dalam pendidikan jasmani yang dimaksud adalah bahwa guru berusaha bagaimana mengembangkan domain kognitif, afektif, psikomotorik pada anak didik. Bila salah satu ditinggalkan, umpamanya domain afektif, maka dapat saja terjadi seorang anak yang merasa tidak senang dilempar dengan bola, akan berusaha untuk membalasnya dengan menunggu temannya 2.3 Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Pendidikan Jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional-emosional. Pendidikan Jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan, dan pembentukan watak. Tujuan Pendidikan Jasmani yaitu:  Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih  Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik  Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar 99     antara lain: meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya, membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara lisan, mengembangkan keterampilan sosial siswa, meningkatkan rasa percaya diri siswa, membantu meningkatkan hubungan positif antar siswa. Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilainilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif. 2.4 Model Pembelajaran Cooperative Learning Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dimana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengkapinya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Prinsip model pembelajaran kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5) evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Manfaat dari Cooperative Learning 2.5 Pendekatan Lingkungan dalam Pembelajaran Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan siswa melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akaan menarik siswa, jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan (Khusnin, 2008). Menurut Yulianto (2002) pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar dimana lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sering digunakan pendekatan lingkungan. Sehingga dapat dikatakan lingkungan yang 100 ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar. Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Penggunaaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna sebab anak dihadapkan pada kondisi yang sebenarnya. Pelajaran biologi dengan menggunakan bahan-bahan alami lebih menguntungkan bagi siswa dan pengalaman bersahabat dengan alam lebih cenderung menyiapkan perasaan positif bagi siswa terhadap keajaiban alam. Hal senada juga diungkapkan Suniarsih (2006) yaitu berlangsungnya proses pembelajaran tidak terlepas dengan lingkungan sekitar. Pendidikan lingkungan sebagai suatu dimensi, di dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan lingkungan. Di dalam model pengajaran, pendekatan ini diklasifikasikan berdasarkan lingkungan belajarnya. Jadi pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks pembelajaran. Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan bahwa pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan, dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan. III. 3.2 Siklus I Pada siklus I berdasarkan presantase prasiklus target yang ingin dicapai dalam ketuntasan belajar 50%. Pembelajaran yang dilakukan pada siklus I yaitu siswa melakukan pembelajaran memukul bola kasti mulai dari cara memegang kayu pemukul, sikap awal memukul bola kasti, melakukan gerakan memukul bola kasti tanpa menggunakan bola, melakukan gerakan memukul bola yang digantung, dan melakukan gerakan memukul bola yang dilempar oleh teman. Tabel 4.2 Hasil Belajar Permainan Bola Kasti dengan Menerapkan Model Pembelajaran Cooperative Learning Berkombinasi dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa Kelas V SDN 3 Kolonodale Siklus I Rentang Nilai Kategori Kriteria 95-100 Baik Sekali Tuntas 0 0% 85-94 Baik Tuntas 6 27,27% 75-84 Sedang Tuntas 8 36,36% 65-74 Cukup Tidak Tuntas 5 22,72% 55-64 Kurang Tidak Tuntas 3 13,63% < 50-54 Kurang Sekali Tidak Tuntas 0 0% 22 100% Jumlah Siswa HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.3 Jumlah Persentase Siswa Siklus II Dalam sklus II target yang ingin dicapai dalam ketuntasan hasil belajar 75% . Pada siklus II dalam setiap pertemuan siswa banyak melakukan gerakan memukul bola yang dilempar oleh temannya. 3.1 Prasiklus Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil belajar siswa pada permainan bola kasti pada prasiklus atau sebelum penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan. Data tersebut disajikan dalam tabel berikut ini: 101 Tabel 4.3 Hasil Belajar Permainan Bola Kasti dengan Menerapkan Model Pembelajaran Cooperative Learning Berkombinasi dengan Pendekatan Lingkungan pada Siswa Kelas V SDN 3 Kolonodale Siklus II Rentang Nilai 95-100 Kategori Kriteria Baik Sekali Tuntas Jumlah Siswa Persentase 7 31,81% 85-94 Baik Tuntas 12 54,54% 75-84 Sedang Tuntas 3 13,63% 65-74 Cukup Tidak Tuntas 0 0% 55-64 Kurang Tidak Tuntas 0 0% < 50-54 Kurang Sekali Tidak Tuntas 0 0% 22 100% Jumlah Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 8594 (kategori baik) dengan persentase 54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) dengan persentase 13,63%. Berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan, maka dapat dibuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN Kolonodale dalam permainan bola kasti. IV. SIMPULAN Adapun yang dapat disimpulkan dari pelaksanaan penelitian ini yaitu bahwa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar bola kasti pada mata pelajaran Penjaskes siswa kelas V SDN 3 Kolonodale. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan prasiklus. Dari data prasiklus siswa yang tuntas berjumlah 9 orang siswa atau dengan persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84 (kategori sedang). Pada siklus I setelah diberikan tindakan melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa memperoleh nilai dengan rentang 85-94 (kategori baik) atau dengan persentase 27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) atau dengan persentase 36,36%. Total persentase ketuntasan pada siklus I dengan jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni sebesar 63,63%. Pada siklus II, jumlah siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau dengan kata lain dari keseluruhan siswa di kelas V SDN 3 Kolonodale, telah memperoleh ketuntasan hasil belajar. Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 95-100 (kategori baik sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 85- Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan pada siklus I dan II dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas V SDN Kolonodale dalam permainan bola kasti setelah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan. Dari data prasiklus siswa yang tuntas berjumlah 9 orang siswa atau dengan persentase 40,90% pada rentang nilai 75-84 (kategori sedang). Pada siklus I setelah diberikan tindakan melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning berkombinasi dengan pendekatan lingkungan, maka jumlah siswa yang tuntas menjadi 14 siswa dengan rincian 6 siswa memperoleh nilai dengan rentang 85-94 (kategori baik) atau dengan persentase 27,27% dan 8 siswa memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) atau dengan persentase 36,36%. Total persentase ketuntasan pada siklus I dengan jumlah siswa yang tuntas 14 siswa yakni sebesar 63,63%. Pada siklus II, jumlah siswa yang tuntas menjadi 22 siswa atau dengan kata lain dari keseluruhan siswa di kelas V SDN 3 Kolonodale, telah memperoleh ketuntasan hasil belajar. Adapun rincian rentang nilai yang diperoleh siswa yaitu 7 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 95-100 (kategori baik sekali) dengan persentase 31,81%, 12 siswa 102 94 (kategori baik) dengan persentase 54,54%, dan 3 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 75-84 (kategori sedang) dengan persentase 13,63%. V. Selain itu, guru hendaknya mau membuka diri untuk menerima berbagai bentuk masukan, saran, dan kritikan agar dapat lebih memperbaiki kualitas mengajarnya. Guru hendaknya mengadakan latihanlatihan yang cukup dan dapat mengembangkan permainan sesuai dengan materi yang diajarkan. Guru hendaknya bukan hanya menjadi orang yang hanya dapat bebicara tentang peningkatan mutu penidikan tetapi lebih berupaya melakukan tindakan nyata dalam perbaikan pembelajaran. Bagi siswa, hendaknya membiasakan diri untuk berolahraga demi menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Siswa harus senantiasa rajin mengikuti proses pembelajaran di sekolah dan jangan takut mencoba permainan kasti, untuk dapat terus melestarikan permainan olahraga, agar terhindar dari kepunahan seiring dengan perkembangan zaman dan munculnya berbagai jenis olahraga lainnya. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah peneliti paparkan di atas agar proses belajar mengajar lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka peneliti sampaikan beberapa saran antara lain: bagi guru, untuk lebih meningkatkan hasil pembelajaran, seorang guru penjaskes harus melakukan persiapan yang matang, sehingga dapat tercapai pembelajaran yang diharapkan, guru penjaskes dituntut kreatif dalam menyusun pembelajaran serta lebih terampil dalam penguasaan materi dan pengadaan model dan pendekatan dalam pembelajaran, sehingga siswa tertarik dan terjalin komunikasi yang baik antara guru dan siswa. 103 DAFTAR PUSTAKA Adang, Suherman, 2000. Prinsip-Prinsip Perkembangan dan Modifikasi Permainan. Semarang, Depdiknas. Agus kristiyanto. 2012. Pembangunan Olahraga untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kejayaan Bangsa. Jakarta: Lingkar Media. Arikunto, Suharsimi dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Bahagia, Yoyo, Suherman Adang. 2000. Prinsip-Prinsip Pengembangan dan Modifikasi Cabang Olahraga. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Elizabeth B. Hurlock,1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Hamzah B. Uno, 2009. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Herman Subarjah. 2007. Permainan Kecil di Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka. Husdarta. 2009. Manajemen Pendidikan Jasmani. Bandung: Alfabeta. Muhajir. 2007. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Yudhstira. Ridwan, Iwan dkk. 2008. Olahraga Permainan Bola Kecil dan Bola Besar. Bandung: PT Widya Duta Grafika. Rusli Lutan & Sumardianto.2000. Filsafat Olahraga : Depdikbud. Rustlu Lutan, 2000. Strategi Belajar Mengajar Penjaskes. D epartemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, N. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Penerbit Nuansa. Sukrisno, Aminarni dkk. 2006. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Semarang: Erlangga. Sumantri, M., dkk. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana. 104 Media Litbang Sulteng IX (1) : 105-116, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING PADA MATA PELAJARAN PKN PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 LEMBO Oleh : Lis Marta Lapoliwa1) ABSTRAK Fenomena yang ditemukan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru mata pelajaran PKn dewasa ini lebih mengutamakan tujuan pembelajaran dibanding dengan proses pembelajaran, sehingga seringkali siswa hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran. Dalam realita di lapangan, pembelajaran PKn di sekolah-sekolah khususnya di S M P N e g e r i 1 L e m b o p a d a s i s w a k e l a s V I I tampaknya masih belum mencerminkan misi dan tujuan dari mata pelajaran PKn. Hal ini tercermin dari model pembelajaran yang dianut oleh guru dalam proses pembelajaran cenderung hanya mentransfer ilmu yang ada di pikirannya ke pikiran siswa. Oleh karena itu, proses pembelajaran menjadi kaku, interaksi pembelajaran hanya berlangsung satu arah dari guru ke siswa, sehingga membuat siswa tidak memiliki motivasi untuk belajar dan akhirnya berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Menyikapi kondisi tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan semangat dan antusias siswa untuk mengikuti pembelajaran PKn agar nantinya hasil belajar siswa dapat meningkat. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo adalah model pembelajaran berbasis Problem Based Learning. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Lembo pada siswa kelas VII. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII yang berjumlah 21 siswa. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, dan tes. Penerapan model p e m b e l a j a r a n Problem Based Learning berhasil meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Peningkatan hasil belajar tersebut dibuktikan dengan terjadinya peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang tuntas belajar pada tiap siklusnya. Pada kondisi awal nilai rata-rata kelas sebesar 69 dengan siswa yang tuntas belajar sebanyak 6 siswa (28,57%). Pada siklus I nilai rata-rata kelas sebesar 80,67 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 16 siswa (76,19%). Pada siklus II nilai rata-rata kelas sebesar 90,04 dengan persentase jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 100 %. Kata Kunci : Hasil Belajar, Model Pembelajaran Problem Based Learning, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ABSTRACT A phenomenon found in the learning process carried out by teachers of Civics today prefers learning objectives than the learning process, so that students often only used as an object lesson. In the reality in the field, learning civics in schools, especially in SMP Negeri 1 Lembo in class VII apparently still does not reflect the mission and goals of the subjects Civics. This is reflected in the learning model adopted by the teacher in the learning process tends to only transfer the knowledge he has in mind into the minds of students. Therefore, the learning process becomes rigid, learning interaction lasted only one direction from teachers to students, so that students do not have the motivation to learn and ultimately have an impact on student learning outcomes is low. Responding to these conditions, we need a model of learning that can improve morale and enthusiasm of students to participate in learning civics so that later can increase student learning outcomes. One model of learning that can be used to improve learning outcomes Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo is a model-based learning Problem Based Learning. Formulation of the problem in this research that is by using a Problem Based Learning model of learning can improve student learning outcomes in subjects Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo ?. The aim of this research was to determine whether using a Problem Based Learning model of learning can improve student learning outcomes in subjects Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo. Action Research (PTK) was conducted in SMP Negeri 1 Lembo in Class VII. The subjects were students of class VII totaling 21 students. The data collection techniques in this study were interviews, observation, documentation, and testing. Application of Problem Based Learning teaching model succeeded in improving learning outcomes Civics in the seventh grade students of SMP Negeri 1 Lembo. Improved learning outcomes evidenced by the increase in the average value of the class and the number of students who pass the study on each cycle. In the initial condition of the average value of a class of 69 students who completed the study as much as 6 students (28.57%). In the first cycle class average value of 80.67 by the number of students who pass the study as many as 16 students (76.19%). In the second cycle the value of the average grade of 90.04 with the percentage of students who completed learn as much as 100%. Keywords: Results Learning, Problem Based Learning Model Learning, Citizenship Education (Civics) 105 I. kesetiakawanan sosial, dan lainlain (Adisusilo, 2011:56). Secara garis besar, dimensi pengetahuan kewarganegaraan yang tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi politik, hukum, dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran PKn merupakan bidang kajian antardisiplin. Dalam membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, maka diperlukan sebuah proses pendidikan yang berkualitas. Sebuah proses pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Di mana sebuah proses pendidikan yang berkualitas memberikan ruang bagi para siswa untuk mengembangkan nilai-nilai demokrasi sekaligus mendukung kegiatan belajar siswa secara aktif, sehingga siswa memiliki ruang untuk belajar secara mandiri dan mampu dalam mempelajari suatu topik pembelajaran yang tercermin dari hasil belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam pembelajaran, karena keberhasilan suatu proses pembelajaran akan tercermin melalui hasil belajar para siswa. Fenomena yang ditemukan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru mata pelajaran PKn dewasa ini lebih mengutamakan tujuan pembelajaran dibanding dengan proses pembelajaran, sehingga seringkali siswa hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran. Hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri karena seharusnya siswa bukan hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran melainkan sekaligus menjadi subjek pembelajaran dalam pendidikan. Pada proses pembelajaran PKn yang dilaksanakan selama ini, guru cenderung menerapkan pendekatan klasikal dan metode ceramah menjadi pilihan utama dalam pembelajaran. Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran PKn cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, tetapi jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru PENDAHULUAN Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era globalisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang, sehingga berdampak pada belum tercapainya tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan. Untuk itu, dalam memenuhi tujuan pendidikan yang salah satunya adalah untuk menjadikan warga negara Indonesia sebagai warga negara yang demokratis, maka diperlukan adanya pembelajaran yang demokratis. Pembelajaran yang demokratis dapat terlaksana bilamana ada sebuah wahana pendidikan demokrasi. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan satu mata pelajaran di sekolah yang sekaligus menjadi wahana pendidikan demokrasi. Mengingat mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang menjadi wahana pendidikan demokrasi, maka mata pelajaran PKn sangat penting dalam pendidikan demokrasi di sekolah. Siswa dituntut untuk mampu mengembangkan pengetahuan kewarganegaraannya, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi warga negara yang berwawasan luas, bertanggungjawab, dan demokratis. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan sejak dini sebagai satu wahana untuk proses pembentukan karakter bangsa dan negara. Watak atau karakter kewarganegaraan sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Watak yang mencerminkan warga negara yang baik itu misalnya sikap religius, toleran, jujur, adil, demokratis, taat hukum, menghormati orang lain, memiliki 1) Guru SMP Negeri 1 Lembo 106 menjelaskan materi, siswa masih diam mendengarkan apa yang dijelaskan guru dan siswa kebanyakan bercanda, tidak terfokus dengan pelajaran, sehingga siswa menjadi tidak aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini membuat siswa kurang tertarik dan termotivasi untuk mengikuti pelajaran PKn, sehingga tidak ada interaksi yang komunikatif antara guru dan siswa dalam pembelajaran. Kondisi ini berdampak pada hasil belajar PKn siswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar maksimal. Pembelajaran PKn sering dikatakan belum mampu merangsang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar dan belum mampu menumbuhkan budaya belajar siswa. Hal ini berdampak pada sulitnya siswa dalam mengikuti pelajaran dikarenakan metode yang dipilih dan digunakan guru dirasakan kurang tepat. Hamid (1996:36) menegaskan bahwa proses pembelajaran berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuan, sikap, moral, dan keterampilan siswa. Lebih lanjut Kosasih (1994:18) mempunyai pandangan bahwa “pemilihan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh guru”. Dalam realita di lapangan dewasa ini, pembelajaran PKn di sekolah-sekolah khususnya di S M P N e ger i 1 L em b o pa d a si s wa k el as VI I tampaknya masih belum mencerminkan misi dan tujuan dari mata pelajaran PKn. Hal ini tercermin dari model pembelajaran yang dianut oleh guru dalam proses pembelajaran cenderung hanya mentransfer ilmu yang ada di pikirannya ke pikiran siswa. Oleh karena itu, proses pembelajaran menjadi kaku, interaksi pembelajaran hanya berlangsung satu arah dari guru ke siswa. Materi yang disampaikan oleh guru cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam buku teks saja, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak mempunyai gairah untuk belajar. Akibatnya, pembelajaran PKn dirasakan sangat membosankan siswa, petuah guru sering dianggap sesuatu yang paling benar dan harus diterima, dan siswa kurang termotivasi untuk menekuni dan mendalami mata pelajaran PKn. Menyikapi kondisi tersebut di atas, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan semangat dan antusias siswa untuk mengikuti pembelajaran PKn. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo adalah model pembelajaran berbasis Problem Based Learning. Problem Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (a) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (b) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (c) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (d) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami secara secara langsung proses belajar mereka sendiri, (e) menggunakan kelompok kecil, dan (f) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance). Dengan demikian, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang utuh dari sebuah materi yang diformulasikan dalam masalah, penguasaan sikap positif, dan keterampilan secara bertahap dan berkesinambungan (Rusman, 2012:241). Model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu bentuk model pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa memperdalam materi 107 sekaligus mempraktikkan materi tersebut sehingga siswa diharapkan dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Melalui model pembelajaran berbasis masalah, siswa dibiasakan untuk belajar dari permasalahan aktual dan faktual dalam kehidupan sehari-hari, Selain itu, siswa juga dibiasakan untuk belajar berkelompok dan berdiskusi, belajar mengkaji masalah, mencari informasi yang relevan, menyusun informasi yang diperoleh, mengkaji alternatif penyelesaian yang ada, mengusulkan alternatif penyelesaian, dan menyusun tindakan penyelesaian, sehingga siswa dapat memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik empirik. Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu, melalui model Problem Based Learning ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. Problem Based Learning juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan penerapan pembelajaran model Problem Based Learning diharapkan siswa menjadi aktif, serta dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi baik oleh guru dan siswa sendiri. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk lebih mengetahui penerapan model Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ”Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning pada Mata Pelajaran PKn pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo”. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yakni apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo?. Dari rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar 2.1.1 Konsep Belajar Teori belajar behaviorisme (tingkah laku) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan tingkah laku. Menurut teori ini, yang terpenting adalah masukan/input yang berupa masukan dan keluaran/output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon itu dianggap tak penting diperhatikan sebab tidak bisa di amati. Selanjutnya, teori belajar kognitivisme menyatakan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman (Uno, dkk., 2008: 56 & 59). Untuk teori belajar konstruktivisme dan teori belajar modern tidak diraikan dalam tulisan demi 108 yang berupa hasil belajar intelektual, strategi kognitif, sikap dan nilai, inovasi verbal, dan hasil belajar motorik. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya menghindari kebingunan dalam penafsiran pembaca. Pada dasarnya belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu melalui memberian pengetahuan, latihan maupun pengalaman. Belajar dengan pengalaman akan membawa pada perubahan diri dan cara merespon lingkungan. 2.2 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) 2.2.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris Problembased Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi peserta didik, dan memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik (nyata). Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja kelompok antar peserta didik. peserta didik menyelidiki sendiri, menemukan permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator (guru). Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru 2.1.2 Konsep Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 3). Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk. (2010: 18) menjelaskan bahwa sesorang dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahanperubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya, keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek. Hasil belajar dapat disimpulkan sebagai perubahan perilaku secara positif serta kemampuan yang dimiliki siswa dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar 109 berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris, sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas. sementara pada pembelajaran tradisional, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik. PBL adalah suatu model pembelajaran vang, melibatkanpeserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. 2.2.3 Komponen-Komponen Pembelajaran Berbasis Masalah Komponen-komponen pembelajaran berbasisi masalah dikemkakan oleh Arends, diantaranya adalah :  Permasalahan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan masalah nyata yang penting secara sosial dan bermanfaat bagi peserta didik. Permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam dunia nyata tidak dapat dijawab dengan jawaban yang sederhana.  Fokus interdisipliner. Dimaksudkan agar peserta didik belajar berpikir struktural dan belajar menggunakan berbagai perspektif keilmuan.  Pengamatan autentik. Hal ini dinaksudkan untuk menemukan solusi yang nyata. Peserta didik diwajibkan untuk menganalisis dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat inferensi, dan menarik kesimpulan.  Produk. Peserta didik dituntut untuk membuat produk hasil pengamatan.produk bisa berupa kertas yang dideskripsikan dan didemonstrasikan kepada orang lain.  Kolaborasi. Dapat mendorong penyelidikan dan dialog bersama untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial. 2.2.2 Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis    Masalah Pertama, strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran artinya dalam pembelajaran ini tidak mengharapkan peserta didik hanya sekedar mendengarkan, mencatat kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui strategi pembelajaran berbasis masalah peserta didik aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkannya. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan 2.2.4 110 Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah  John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika memaparkan 6 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ini :  Merumuskan masalah. Guru membimbing peserta didik untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan dalam proses pembelajaran, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan masalah tersebut.  Menganalisis masalah. Langkah peserta didik meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.  Merumuskan hipotesis. Langkah peserta didik merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.  Mengumpulkan data. Langkah peserta didik mencari dan menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.  Pengujian hipotesis. Langkah peserta didik dalam merumuskan dan mengambil kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.  Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah. Langkah peserta didik menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.  Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.  Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai peserta didik.  Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.  Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.  Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk secara terus menerus belajar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau lingkungan sosial. Kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik, pada tahapan ini adalah peserta didik dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada. 2.2.5 Keunggulan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan, diantaranya :  Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.  Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik.  Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik. 2.3 Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SMP Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan 111 mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.  Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.  Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.  Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi. agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :  Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan  Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.  Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.  Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut.  Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.  Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturanperaturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.  Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.  Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan III. METODE PENELITIAN Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Lembo pada siswa kelas VII. Suwandi (2009:55) mengemukakan bahwa subjek penelitian adalah siswa dan guru yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII yang berjumlah 21 siswa. Arikunto (2006:118) Objek penelitian adalah sasaran yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian yaitu mata pelajaran PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi, dokumentasi dan tes. 112 IV. klasikal siswa hanya sebesar 28,57 %. Jumlah itu masih jauh dari target siswa yang tuntas KKM yaitu 75%. Masih rendahnya ketuntasan siswa disebabkan siswa kurang memahami sepenuhnya materi yang diberikan oleh guru dan siswa kurang antusias dalam kegiatan belajar mengajar. Dari hasil analisis tes awal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata pelajaran PKn. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I maka diperoleh data yang menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa sesuai dengan tabel berikut ini: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan peneliti pada mata pelajaran PKn dengan melakukan observasi dan memberikan tes awal diperoleh hasil belajar siswa sebagai berikut: Tabel 4.1 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Pra Siklus Nilai 46-54 55-64 65-74 75-80 81-85 Frekuensi Persentase (%) 6 28,57 % 4 19,04 % 5 23,80 % 3 14,28 % 3 14,28 % Nilai Rata-Rata = 1449 : 21 = 69 Ketuntasan Klasikal = (6 : 21) x 100 % = 28,57 % Tabel 4.2 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Siklus I Analisis hasil evaluasi dari tes awal siswa, diperoleh nilai rata-rata siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata pelajaran PKn sebelum diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning diperoleh nilai rata-rata siswa yang masih tergolong rendah yaitu 69 dari standar yang telah ditetapkan yakni nilai 75. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 46-54 sebanyak 6 orang siswa atau dengan persentase 28,57 % (Nilai ini merupakan nilai yang belum memenuhi standar nilai yang telah ditentukan). Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 55-64 sebanyak 4 orang siswa atau dengan persentase 19,04 % (Nilai ini merupakan nilai yang belum memenuhi standar nilai yang telah ditentukan). Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 65-74 sebanyak 5 orang siswa atau dengan persentase 23,80 % (Nilai ini merupakan nilai yang belum memenuhi standar nilai yang telah ditentukan). Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 75-80 sebanyak 3 siswa atau dengan persentase 14,28 %. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 81-85 sebanyak 3 orang siswa atau dengan persentase 14,28 %. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 21 siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Lembo, hanya ada 6 siswa yang memperoleh ketuntasan hasil belajar pada mata pelajaran PKn. Ini berarti persentase ketuntasan belajar Nilai 58-65 66-74 75-81 82-89 90-97 Frekuensi Persentase (%) 2 9,52 % 3 14,28 % 7 33,33 % 5 23,80 % 4 19,04 % Nilai Rata-Rata = 1692 : 21 = 80,57 Ketuntasan Klasikal = (16 : 21) x 100 % = 76,19 % Berdasarkan tabel 4.2 nilai rata-rata siswa adalah 80.57. Siswa yang memperoleh nilai 58-65 sebanyak 2 siswa atau 9,52 %. Siswa yang memperoleh nilai 66-74 sebanyak 3 siswa atau 14,28 %. Siswa yang memperoleh nilai 75-81 sebanyak 7 siswa atau dengan persentase 33,33 %. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 82-89 sebanyak 5 siswa atau dengan persentase 23,80 %. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 9097 sebanyak 4 siswa atau dengan persentase 19,04 %. Hasil belajar berupa nilai rata-rata siswa pada mata pelajaran PKn setelah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning pada siklus I yakni sebesar 80,57, sesungguhnya telah memenuhi standar nilai minimal yang telah ditentukan yakni 75. Namun, pada siklus I ini, masih terdapat 2 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 58-65 dan 3 siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 66-74, yang pada dasarnya belum memenuhi nilai KKM yang telah ditentukan yakni 75. Oleh 113 89 sebanyak 8 siswa atau dengan persentase 38,09 %. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 90-97 sebanyak 9 siswa atau dengan persentase 42,85 %. Hasil belajar siswa pada siklus II tampak sangat baik dan nilai rata-rata siswa yang telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain itu, dari 21 siswa secara keseluruhan telah memperoleh ketuntasan hasil belajar atau dengan kata lain ketuntasan klasikal siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata pelajaran PKn setelah diterapkannya model pembelajaran Problem Based Learning pada siklus II ini adalah 100 %. Dalam siklus II siswa mulai terbiasa, paham dan mengerti dengan model pembelajaran Problem Based Learning yang diterapkan oleh guru, sehingga jumlah siswa yang mencapai nilai KKM dalam siklus II lebih banyak dari pada siklus I. Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa model pembelajaran Problem Based Learning dapat diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar PKn, sebab siswa dapat saling bertukar pikiran dan saling bekerja sama dengan kelompoknya dan dapat memecahkan masalah secara individu maupun kelompok yang menyangkut kehidupan sehari-hari mereka. Model pembelajaran Problem based learning memiliki dampak positif terhadap kegiatan belajar mengajar PKn. Hal ini terbukti bahwa adanya peningkatan jumlah siswa yang mencapai nilai KKM. Model pembelajaran Problem Based Learning yang diterapkan pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo mampu menjadikan siswa lebih mudah memahami materi yang disajikan oleh guru. Dalam model Problem Based Learning ini, siswa diharuskan untuk bertukar pikiran dengan kelompoknya, saling bekerjasama dan saling membantu dengan kelompok masing-masing dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan materi tersebut. Dengan model ini siswa menjadi lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru. karena itu, peneliti memutuskan untuk nmelanjutkan penelitian ke siklus II dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn dengan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning ini. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam penerapan model pembelajaran problem-based learning selama penelitian dilakukan, antara lain sebagai berikut. (a) Siswa masih ragu dan takut untuk mengemukakan pendapatnya pada saat melaksanakan diskusi kelompok. (b) Siswa masih belum terbiasa dengan model pembelajaran Problem Based Learning, karena model pembelajaran ini baru pertama kali di gunakan di kelas tersebut. (c) Masih ada kelompok yang belum bisa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dengan baik. (d) Dalam mengerjakan tugas kelompok siswa masih banyak bercanda sehingga waktu banyak terbuang dan waktu untuk presentasi menjadi kurang. (e) Masih ada kelompok yang belum bisa menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Hasil belajar siswa pada siklus II menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa yang sangat signifikan dan telah mencapai indikator kinerja. Adapun hasilnya sebagai berikut: Tabel 4.3 Data Frekuensi Nilai Hasil Belajar Mata Pelajaran PKn Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada Siklus II Nilai Frekuensi Persentase (%) 58-65 0% 66-74 0% 75-81 4 19,04 % 82-89 8 38,09 % 90-97 9 42,85 % Nilai Rata-Rata = 1891 : 21 = 90,04 Ketuntasan Klasikal = (21 : 21) x 100 % = 100 % Berdasarkan tabel 4.3, nilai ratarata siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo pada mata pelajaran PKn adalah 90,04. Tidak ada siswa yang memperoleh nilai pada rentang 58-65 dan 66-74. Siswa yang memperoleh nilai 75-81 sebanyak 4 siswa atau dengan persentase 19,04 %. Siswa yang memperoleh nilai dengan rentang 82114 V. VI. SIMPULAN SARAN Kepada guru yaitu diharapkan mempersiapkan berbagai materi untuk memperkaya informasi mengenai penerapan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar siswa agar dapat diaplikasikan di dunia nyata. Bagi kepala sekolah yaitu penyediaan fasilitas penunjang seperti buku, media, dan alat yang mampu mendukung usaha penerapan model pembelajaran Problem Based Learning sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Bagi peneliti lainnya diharapkan dapat lebih mengembangkan dan melaksanakan perbaikan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan pembelajaran serupa pada kelas serta materi lain yang lebih bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning berhasil meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lembo. Peningkatan hasil belajar tersebut dibuktikan dengan terjadinya peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang tuntas belajar pada tiap siklusnya. Pada kondisi awal nilai rata-rata kelas sebesar 69 dengan siswa yang tuntas belajar sebanyak 6 siswa (28,57%). Pada siklus I nilai ratarata kelas sebesar 80,67 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 16 siswa (76,19%). Pada siklus II nilai ratarata kelas sebesar 90,04 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 100 %. 115 DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, S. 2011. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Arikunto, S. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Arikunto, S. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Aditya Media. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hasan, H. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial (buku 1), Jurusan Sejarah, FPIPS IKIP BANDUNG. Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Parsada (GP) Press. Landrawan, W. 2005. Pengantar Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha. Kewarganegaraan (Civic Education) Berbasis Pancasila. Singaraja: Rusman, 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Cet. XV). Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya. Sugiyono. 2003. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS. Suwandi, S.(2009). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru (SPG) Rayon 13 Surakarta. Usman, Moh Uzer dan Lilis Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wahidmurni, Alifin Mustikawan, dan Ali Ridho. 2010. Evaluasi Pembelajaran: Kompetensi dan Praktik. Yogyakarta: Nuha Letera. 116 Media Litbang Sulteng IX (1) : 117-128, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN PARTISIPASI DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PKN MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF DENGAN MEDIA PUZZLE PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 4 SIGI Oleh : Bernike1) ABSTRAK Proses pembelajaran saat ini cenderung masih berpusat pada guru dengan bercerita atau ceramah. Siswa kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, karena peran guru sangat dominan sebagai satu-satunya sumber belajar. Hal ini menyebabkan tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran rendah dan hasil belajar yang diharapkan tidak tercapai dengan maksimal. Selain itu, tidak digunakannya media dalam pembelajaran menyebabkan proses pembelajaran kurang bermakna dan membosankan. Untuk meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn, maka perlu untuk diterapkan strategi pembelajaran aktif. Inovasi selanjutnya adalah mengombinasikan antara strategi pembelajaran aktif dengan disertai penggunaan media Puzzle. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang terdapat nuansa bermain dalam pembelajarannya. Hal ini diharapkan akan membuat siswa tidak jenuh selama mengikuti pembelajaran. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau yang sering disebut dengan classroom action research. Penelitian ini dilakukan di kelas VII SMP Negeri 4 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi dan soal tes. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) Observasi, (2) Dokumentasi, (3) Soal kuis dan tes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn. Dalam hal partisipasi siswa telah mencapai 100%. Ini berarti siswa telah tertarik mengikuti pembelajaran PKn setelah diterapkannya strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle. Dari hasil belajar, pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 80,27. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 77,27%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa masih belum mencapai standar yang ditentukan yakni 80%. Pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 92,13. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 100%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa juga telah mencapai bahkan melebihi standar ketuntasan yang telah ditentukan yakni 80%. Kata Kunci: Partisipasi dan Hasil Belajar Siswa, PKn, Strategi Pembelajaran Aktif, Media Puzzle. ABSTRACT The learning process is now likely to still centered on the teacher with storytelling or lecture. Students are less actively involved in the learning process, because the dominant role of the teacher as the only source of learning. This causes the level of students' understanding of the subject matter is low and the expected learning outcomes are not achieved with the maximum. In addition, the non-use of media in teaching learning process less meaningful cause and boring. To increase the participation and learning outcomes of students of class VII SMP Negeri 4 Sigi on the subjects of Civics, it is necessary to apply active learning strategies. The next innovation combines active learning strategies, accompanied by media usage Puzzle. This learning is learning that there are shades of play in learning. It is expected to make the students do not saturate during the study. This research is a classroom action research (PTK) or often referred to the classroom action research. This research was conducted in class VII SMP Negeri 4 Sigi with the number of students as many as 22 students. The instrument used in this study is the observation sheet and test questions. Data collection techniques in this study are (1) observation, (2) Documentation, (3) Problem quizzes and tests. Based on the research that has been made known that the application of active learning strategies with Puzzle media can increase participation and learning outcomes of students of class VII SMP Negeri 4 Sigi on the subjects of Civics. In terms of student participation has reached 100%. This means that students have been interested in taking a civics lesson after the implementation of active learning strategies with media Puzzle. From the study results, in the first cycle the average value obtained by the students which is equal to 80.27. The acquisition has met and reached the standard average values which have been determined in the classical style that is 75. As for the percentage of completeness that is equal to 77.27%. Based on the percentage of acquisition, it appears that the percentage of students' mastery learning acquired has yet to reach the standards prescribed 80%. In the second cycle, the average value obtained by the students which is equal to 92.13. The acquisition has met and reached the standard average values which have been determined in the classical style that is 75. As for the percentage of completeness that is equal to 100%. Based on the percentage of acquisition, it appears that the percentage acquired mastery learning students also have reached and even exceeded the standard of completeness predetermined namely 80%. Keywords: Participation and Student Results, Civics, Active Learning Strategies, Media Puzzle. 117 I. maka dalam hal ini diharapkan agar proses pembelajaran terlaksana dengan baik dan mengedepankan keaktifan siswa. Proses pembelajaran yang membuat pihak-pihak yang ada di dalamnya merasa nyaman yakni melalui pembelajaran yang menyenangkan. Namun pada kenyataannya, proses pembelajaran saat ini cenderung masih berpusat pada guru dengan bercerita atau ceramah. Siswa kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran karena peran guru sangat dominan sebagai satu-satunya sumber belajar. Hal ini menyebabkan tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran rendah dan hasil belajar yang diharapkan tidak tercapai dengan maksimal. Selain itu, tidak digunakannya media dalam pembelajaran menyebabkan proses pembelajaran kurang bermakna dan membosankan. Berdasarkan hasil pengamatan di SMP Negeri 4 Sigi dalam proses belajar mengajar terutama pada pelajaran PKn kelas VII, kurang diminati oleh siswa yang dianggap sulit sehingga berdampak pada hasil belajar yang kurang memuaskan. Dengan pemilihan metode yang kurang tepat dan media dalam pembelajaran yang kurang memadai mengakibatkan kegiatan proses belajar mengajar menjadi tidak efisien dan kurang menarik minat siswa dalam proses pembelajaran terutama pelajaran PKn yang tentunya akan berpengaruh terhadap partispasi dan hasil belajar siswa yang cenderung menjadi rendah. Pembelajaran PKn masih bersifat konvensional, yakni guru menyampaikan materi pembelajaran sedangkan siswa hanya mengikuti secara pasif di tempat duduk masing- masing. Komunikasi yang terjadi cenderung satu arah dan monoton yaitu guru menerangkan, memberi contoh, sesekali memberi pertanyaan, tetapi kurang memotivasi siswa untuk aktif memahami, dan kemudian guru memberi latihan soal dan kadang-kadang dijadikan PR. Sementara itu siswa duduk mendengarkan PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu hubungan yang terjadi antara pendidik (guru) dan siswa. Melalui pendidikan siswa dipersiapkan menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi nusa dan bangsa, serta diharapkan dapat mengembangkan potensinya untuk menjadi lebih baik. Dalam upaya menumbuhkan, memajukan, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, maka penyelenggaraan dan pelaksanaan proses pendidikan haruslah terus ditingkatkan. Berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional yang telah ditetapkan pemerintah, sudah seharusnya para guru untuk menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dan efesien, sehingga para siswa merasa senang dan tertarik ketika proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa yang didesain secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Interaksi yang dilakukan guru dan siswa akan menghasilkan suatu pengetahuan baru yang bermanfaat bagi proses pembelajaran. PKn merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib ada di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah. PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai “subject-spesific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru PKn. Mata pelajaran ini berangkat dari nilai-nilai pancasila dan konsepsi kewarganegaraan. Secara epistemologis, mata pelajaran ini merupakan program pengembangan individu, dan secara aksiologis mata pelajaran ini bertujuan untuk pendewasaan peserta didik sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan komponen bangsa Indonesia. Agar tercapai tujuan tersebut, 1) Guru SMP Negeri 4 Sigi 118 penjelasan guru, serta mengerjakan soalsoal yang diberikan guru apabila guru memeriksa pekerjaan siswa dengan berkeliling kelas, sehingga siswa menjadi pasif mengikuti pembelajaran dan memiliki ketergantungan yang besar pada guru. Hasil pengamatan pada siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi, guru menyadari bahwa pelaksanaan pembelajaran PKn selama ini masih banyak kelemahan. Hal ini disebabkan karena strategi pembelajaran yang dipakai merupakan strategi pembelajaran yang secara umum sering digunakan yaitu ceramah atau tanya jawab. Oleh sebab itulah, kegiatan proses belajar mengajar menjadi kurang menyenangkan, sehingga siswa kurang antusias dalam mengikuti pelajaran. Oleh karena itu, sebagai seorang guru harus dapat menentukan model ataupun media pembelajaran apa yang paling cocok untuk digunakan dalam pembelajaran PKN. Untuk tujuan inilah guru harus memiliki keberanian untuk melakukan berbagai uji coba terhadap suatu metode mengajar, membuat suatu media murah atau penerapan suatu media mengajar tertentu yang secara teoretis dapat dipertanggungjawabkan untuk memecahkan permasalahan pembelajaran. Untuk meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKN, maka perlu untuk diterapkan strategi pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif adalah proses pembelajaran yang senantiasa mengedepankan keaktifan siswa. Siswa tidak lagi menjadi objek dalam pembelajaran, tetapi sebagai subjek dalam pembelajaran, sehingga dalam hal ini siswa akan terus terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Inovasi selanjutnya adalah mengombinasikan antara strategi pembelajaran aktif dengan disertai penggunaan media Puzzle. Pembelajaran dengan media Puzzle adalah pembelajaran yang berpusat pada aktifitas siswa. Media Puzzle mengajak siswa untuk berkompetisi dalam permainan. Adanya permainan diharapkan dapat membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar PKn, serta dapat mengarahkan siswa dalam suasana belajar yang menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Belajar sambil bermain tidaklah selalu berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa. Pembelajaran dengan menggunakan media Puzzle merupakan pembelajaran yang diharapkan mampu memberi inovasi dalam pembelajaran. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang terdapat nuansa bermain dalam pembelajarannya. Hal ini diharapkan membuat siswa tidak jenuh selama mengikuti pembelajaran PKn di sekolah. Dengan adanya penerapan media pembelajaran Puzzle, maka pembelajaran PKn tidaklah membosankan. Diharapkan dengan adanya media ini, maka siswa akan merasa nyaman dalam proses pembelajaran, dengan demikian materi yang disampaikan akan mudah diterima oleh peserta didik. Dengan kemudahan dan kesesuaian penerimaan materi ajar yang disampaikan oleh pendidik maka prestasi baik akademik maupun sosial dapat diraih. Pembelajaran menggunakan media permainan Puzzle merupakan salah satu cara untuk mengatasi pembelajaran PKn. Diharapkan dengan media Puzzle dapat meningkatkan pemahaman siswa pada mata pelajaran PKn, serta semangat kebersamaan dan saling membantu dalam menguasai materi PKn, sehingga siswa dapat meningkatkan pemahaman yang optimal terhadap mata pelajaran PKn. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul suatu keinginan untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas atau PTK dengan judul “Peningkatan Partisipasi dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran PKn Melalui Penerapan 119 Strategi Pembelajaran Aktif dengan Media Puzzle pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Sigi”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan partisipasi siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn? (2) apakah penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn? Tujuan penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan partisipasi siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn? (2) untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn?. II. terwujudnya partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya partisipasi siswa yang optimal maka pengalaman belajar akan tercapai secara efektif dan efisien. Menurut pendapat Burt, K. Sachlan dan Roger, manfaat dari partisipasi adalah :  Lebih banyak komunikasi dua arah  Lebih banyak bawahan mempengaruhi keputusan Potensi untuk memberikan sumbangan yang berarti dan positif diakui dalam derajat lebih tinggi. 2.2 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri atas dua kata yaitu “ hasil “ dan “ belajar “ yang memiliki arti yang berbeda. Oleh karena itu untuk memahami lebih mendalam mengenai makna hasil belajar, akan dibahas dulu pengertian “ hasil “ dan “ belajar”. Menurut Djamarah (2000: 45), hasil adalah prestasi dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individu maupun kelompok. Hasil tidak akan pernah dihasilkan selama orang tidak melakukan sesuatu. Untuk menghasilkan sebuah prestasi dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar. Hanya dengan keuletan, sungguh– sungguh, kemauan yang tinggi dan rasa optimisme dirilah yang mampu untuk mancapainya. Sementara itu, Arikunto (1990:133) mengatakan bahwa hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diaamati,dan dapat diukur”. Nasution (1995 : 25) mengemukakan bahwa hasil adalah suatu perubahan pada diri individu. Perubahan yang dimaksud tidak halnya perubahan pengetahuan, tetapi juga meliputi perubahan kecakapan, sikap, pengrtian, dan penghargaan diri pada individu tersebut. Hasil belajar yang dicapai siswa melalui plroses belajar mengajar yang optimal cenderung menunjukan hasil yang berciri sebagai berikut:  Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi pada diri siswa TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Partisipasi Belajar Siswa Partisipasi dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai pengambilan bagian, keikutsertaan, peran serta, penggabungan diri menjadi peserta. Partisipasi sangat diperlukan dalam kerja kelompok. Partisipasi dapat diartikan sebagai suatu keterlibatan siswa dalam kelompok untuk memecahkan masalah atau dalam melaksanakan tugas yang sudah ditentukan. Proses keterlibatan siswa dalam pembelajaran akan memungkinkan terjadinya asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung terhadap balikannya dan pembentukan nilai dan sikap. Dalam proses pembelajaran, seorang guru hendaknya dapat mengembangkan proses pembelajaran aktif, sehingga dapat 120  kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan PKn adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman, serta Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004 serta Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Kewarganegaraan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah-Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Menambah keyakinan akan kemampuan dirinya.  Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya seperti akan tahan lama diingatannya, membentuk prilakunya, bemanfat untuk mempelajarai aspek lain, dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang lainya.  Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengerndalikan dirinya terutaman adalam menilai hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha belajarnya Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Individu yang belajar akan memperoleh hasil dari apa yang telah dipelajari selama proses belajar itu. Hasil belajar yaitu suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan hanya perubahan mengenai pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk kecakapan, kebiasaan, pengertian, penguasaan, dan penghargaan dalam diri seseorang yang belajar. 2.4 Tujuan Pembelajaran PKn Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:  Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menangggapi isu kewarganegaraan.  Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. 2.3 Hakikat Pembelajaran PKn Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004). Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang, yang dimulai dari Civic Education, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sampai yang terakhir pada Kurikulum 2004 berubah namanya menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku 2.5 Pembelajaran Aktif Pembelajaran aktif merupakan suatu pembelajaran yang menekankan kepada siswa untuk dapat berperan aktif selama proses pembelajaran, pembelajaran akan lebih aktif dan efektif apabila ditunjang dengan berbagai fasilitas-fasilitas yang mendukung, tata letak yang nyaman dan gaya belajar yang bervariasi. Pembelajaran aktif (active learning/CBSA) lebih menekankan/ menitik bertatkan pada keaktifan siswanya yang merupakan inti dari kegiatan belajar dan dalam 121 pembelajaran aktif yang diungkapkan oleh Raka Joni yaitu mendengarkan, berdiskusi, menulis, laporan. Memecahkan masalah dan sebagainya dan keaktifan itu dapat diamati secara langsung dan tidak langsung. Dari setiap kegiatan dan pembelajaran aktif menuntut keterlibatan intelektual dan emosional siswa dalam proses pembelajaran melalui asimilasi dan akomodasi kognitif untuk dapat mengembangkan pengetahuan tindakkan serta pengalaman langsung dalam rangka membentuk keterampilan mootorik, kognitif dan sosial, penghayatan serta iternalisasi dalam pembentukan sikap siswa. III. METODE PENELITIAN Penelitian mengenai penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle pada siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau yang sering disebut dengan classroom action research, yaitu suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang disengaja dimunculkan dan terjadi di dalam kelas secara bersama (Suharsimi Arikunto, 2006: 3). Tujuan PTK adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek pembelajaran di kelas. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri atas empat rangkaian kegiatan pembeljaran yang dilakukan dengan siklus berulang. Siklus di dalam penelitian tindakan kelas (PTK) yaitu terdiri dari, perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan di kelas VII SMP Negeri 4 Sigi dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi dan soal tes. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) Observasi, adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengamatan secara langsung dan pencatatan mengenai proses pembelajaran PKn dengan pendekatan problem solving denganmedia puzzle. Observasi ini dilaksanakan berdasarkan pedomen observasi yang telah dibuat. (2) Dokumentasi, adalah arsip-arsip yang berhubungan dengan semua kegiatan yang dilakukan peneliti pada saat penelitian. Dokumen dapat berupa, rancangan program pembelajaran dan foto kegiatan yang berlangsung saat penelitian berlangsung. Dokumentasi dilakukan oleh peneliti sebagai bukti konkrit penelitian, bahwa penelitian memang benar dilakukan. (3) Soal kuis dan tes, Soal-soal kuis dibuat dalam bentuk uraian maupun gambar, sedang soal tes dibuat dalam bentuk pilihan ganda. 2.6 Media Puzzle dalam Pembelajaran Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Puzzle merupakan kepingan tipis yang terdiri dari 2-3 bahkan 4-6 potongyang terbuat dari kayu atau lempeng karton. Dengan terbiasa bermain Puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk be rsikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang didapat saat anak menyelesaikan Puzzle pun merupakan salah satu pembangkit motifasi anak untuk menemukan hal-hal yang baru. Dunia anak adalah dunia bemain dan belajar. Anak-anak akan lebih mudah menangkap ilmu kalau diberikan lewat permainan, jadi anak-anak bisa sekaligus bermain tetap belajar. Dalam dunia anakanak terdapat berbagai jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaat bagi anak dan bersifat edukatif adalah Puzzle. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Dengan terbiasa bermain Puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang didapat saat ia menyelesaikan Puzzle pun merupakan salah satu pembangkit motivasi untuk mencoba hal-hal yang baru baginya. 122 Pemberian kuis dan tes adalah untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran PKn dengan menggunakan pendekatan problem solving dengan media puzzle. IV. Siswa yang menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru sebanyak 5 orang siswa atau dengan persentase 22,72%. Siswa yang bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas yakni hanya sebanyak 3 orang siswa atau dengan persentase 13,63%. Siswa yang berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis yakni sebanyak 10 orang siswa atau dengan persentase 45,45%. Siswa yang memperhatikan saat pembelajaran yakni sebanyak 6 orang siswa atau dengan persentase 27,27%. Siswa yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya yakni sebanyak 4 orang siswa atau dengan persentase 18,18%. Siswa yang berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok yakni sebanyak 5 orang siswa atau dengan persentase 22,72%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Prasiklus 4.1.1 Partisipasi Siswa Tabel 4.1 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada Prasiklus Aspek yang Diamati A B C D E F G H I J Jumlah Partisipasi Aktif Siswa (Jumlah Siswa Keseluruhan 22) 6 8 7 4 5 3 10 6 4 5 Persentase 27,27% 36.36% 31,81% 18,18% 22,72% 13,63% 45,45% 27,27% 18,18% 22,72% 4.1.2 Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Prasiklus Keterangan: A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja sama D. Menyimak penjelasan dari guru E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis H. Memperhatikan saat pembelajaran I. Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya J. Hasil Belajar Siswa Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok. Dari tabel dapat diketahui bahwa siswa yang memberikan pendapat untuk memecahkan masalah yakni hanya sebanyak 6 siswa atau dengan persentase 27,27%. Siswa yang memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain sebanyak 8 orang siswa atau dengan persentase 36,36%. Siswa yang mendukung dan bekerja sama sebagai bagian dari peserta suatu kelompok sebanyak 7 orang siswa atau dengan persentase 31,81%. Siswa yang menyimak penjelasan dari guru sebanyak 4 orang siswa atau dengan persentase 18,18%. 123 No. Absen Siswa Nilai Siswa (KKM 75) 1 78 2 65 3 79 4 80 5 70 6 69 7 76 8 68 9 70 10 79 11 74 12 69 13 64 14 80 15 66 16 62 17 71 18 75 Keterangan Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas 19 69 20 70 21 77 Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas 22 81 Tuntas Jumlah 1592 Nilai Rata-Rata 72,36 Persentase Ketuntasan (Standar 80%) 40,90% (9 Tuntas) G H I J J. Siklus I Tabel 4.3 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada Siklus I A B C D E F Jumlah Partisipasi Aktif Siswa (Jumlah Siswa Keseluruhan 22) 17 18 14 15 16 19 Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok. Dari tabel dapat diketahui bahwa siswa yang memberikan pendapat untuk memecahkan masalah terkait dengan media puzzle yakni sebanyak 17 siswa atau dengan persentase 77,27%. Siswa yang memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain sebanyak 18 orang siswa atau dengan persentase 81,81%. Siswa yang mendukung dan bekerja sama sebagai bagian dari peserta suatu kelompok sebanyak 14 orang siswa atau dengan persentase 63,63%. Siswa yang menyimak penjelasan dari guru sebanyak 15 orang siswa atau dengan persentase 68,18%. Siswa yang menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru sebanyak 16 orang siswa atau dengan persentase 72,72%. Siswa yang bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas yakni sebanyak 19 orang siswa atau dengan persentase 86,36%. Siswa yang berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 17 orang siswa atau dengan persentase 77,27%. Siswa yang memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 18 orang siswa atau dengan persentase 81,81%. Siswa yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya yakni sebanyak 13 orang siswa atau dengan 4.2.1 Partisipasi Siswa Aspek yang Diamati 77,27% 81,81% 59,09% 54,54% Keterangan: A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah terkait dengan media puzzle B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja sama D. Menyimak penjelasan dari guru E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle H. Memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle I. Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya Berdasarkan hasil belajar siswa pada prasiklus terdapat 9 orang siswa yang hasil belajarnya masih di bawah nilai KKM. Nilai rata-rata siswa pada prasiklus yakni 72,36 dengan persentase ketuntasan yakni sebesar 40,90%. Perolehan tersebut masih berada di bawah standar, sehingga perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan hasil belajar siswa yakni dengan penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle pada siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada proses pembelajaran, diperoleh beberapa kekurangan yang terdapat pada proses belajar mengajar secara individu yaitu antusiasme belajar siswa kurang, keaktifan siswa dalam mengajukan pertanyaan masih kurang, siswa kurang termotivasi sehingga keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran masih kurang. 4.2 17 18 13 12 Persentase 77,27% 81,81% 63,63% 68,18% 72,72% 86,36% 124 menerapkan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle. Apabila hasilnya belum sesuai dengan yang ditentukan atau maksimal maka perlu adanya tindak lanjut pada siklus berikutnya. Adapun hasil regfleksi peneliti pada siklus I ini yaitu masih kurangnya kerja sama antara anggota kelompok dalam mengerjakan tugas yang dibebankan guru, siswa kurang menyimak pada saat guru sedang menjelaskan pelajaran tersebut. Terlihat pada saat guru menjelaskan siswa sedang mengobrol dengan teman satu bangkunya dan ada pula siswa yang sibuk dengan mainannya sendiri. Tetapi itu semua hanya beberapa siswa saja, dan pada saat mengerjakan tugas bersama kelompoknya masih ada siswa yang diam saja tidak ikut membantu temannya hanya melihat saja. persentase 59,09%. Siswa yang berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok yakni sebanyak 12 orang siswa atau dengan persentase 54,54%. 4.2.2 Hasil Belajar Siswa Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Siklus I No. Absen Siswa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah Nilai Rata-Rata Persentase Ketuntasan (Standar 80%) Nilai Siswa Keterangan (KKM 75) 87 Tuntas 73 Tidak Tuntas 86 Tuntas 88 Tuntas 79 Tuntas 77 Tuntas 85 Tuntas 76 Tuntas 77 Tuntas 87 Tuntas 83 Tuntas 77 Tuntas 73 Tidak Tuntas 88 Tuntas 73 Tidak Tuntas 70 Tidak Tuntas 80 Tuntas 83 Tuntas 78 Tuntas 78 Tuntas 84 Tuntas 89 Tuntas 1766 80,27 77,27% (17 Tuntas) 4.3 Siklus II 4.3.1 Partisipasi Siswa Tabel 4.5 Hasil Observasi Partisipasi Aktif Siswa pada Siklus II Aspek yang Jumlah Partisipasi Persentase Diamati Aktif Siswa (Jumlah Siswa Keseluruhan 22) A 22 100% B 22 100% C 22 100% D 22 100% E 22 100% F 22 100% G 22 100% H 22 100% I 22 100% J 22 100% Keterangan: A. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah terkait dengan media puzzle B. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain C. Setiap anggota kelompok mendukung dan bekerja sama D. Menyimak penjelasan dari guru E. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru F. Bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas G. Berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle H. Memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle I. Tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya J. Berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok. Berdasarkan hasil belajar siswa pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 80,27. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 77,27%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa masih belum mencapai standar yang ditentukan yakni 80%. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kembali hasil belajar siswa dan memperoleh ketuntasan belajar yang mencapai 80%, maka peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian hingga ke siklus selanjutnya yakni siklus II. Peneliti mengamati tentang perkembangan hasil tindak kegiatan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan 125 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah Nilai Rata-Rata Persentase Ketuntasan (Standar 80%) Dari tabel dapat diketahui bahwa siswa yang memberikan pendapat untuk memecahkan masalah terkait dengan media puzzle yakni sebanyak 22 siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang mendukung dan bekerja sama sebagai bagian dari peserta suatu kelompok sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang menyimak penjelasan dari guru sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. 4.3.2 V. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2027 92,13 100% (22 Tuntas) SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle pada mata pelajaran PKN siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan partisipasi siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan partisipasi siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya dalam pelaksanaan pembelajaran. Bahkan hasil penelitian pada siklus II menunjukkan bahwa siswa yang Tabel 4.6 Hasil Belajar Siswa Siklus I Nilai Siswa (KKM 75) 95 89 93 96 93 91 93 92 91 95 90 91 Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Berdasarkan hasil belajar siswa pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 92,13. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 100%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa juga telah mencapai bahkan melebihi standar ketuntasan yang telah ditentukan yakni 80%. Berdasarkan hasil yang telah dicapai, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKN. Hasil Belajar Siswa No. Absen Siswa 88 97 87 86 94 90 94 94 91 97 Keterangan Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas 126 memberikan pendapat untuk memecahkan masalah terkait dengan media puzzle yakni sebanyak 22 siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memberikan tanggapan terhadap pendapat orang atau kelompok lain sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang mendukung dan bekerja sama sebagai bagian dari peserta suatu kelompok sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang menyimak penjelasan dari guru sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang bertanya pada guru mengenai materi yang dirasa belum jelas yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang berkonsentrasi saat mengerjakan soal atau kuis dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memperhatikan saat pembelajaran dengan strategi pembelajaran aktif melalui media puzzle yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompoknya yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. Siswa yang berantusias dan berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok yakni sebanyak 22 orang siswa atau dengan persentase 100%. 2. Penerapan strategi pembelajaran aktif dengan media Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Sigi pada mata pelajaran PKn. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 80,27. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 77,27%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa masih belum mencapai standar yang ditentukan yakni 80%. Pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa yakni sebesar 92,13. Perolehan tersebut telah memenuhi dan mencapai standar nilai rata-rata yang telah ditentukan secara klasikal yakni 75. Adapun persentase ketuntasan yaitu sebesar 100%. Berdasarkan perolehan persentase tersebut, tampak bahwa persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa juga telah mencapai bahkan melebihi standar ketuntasan yang telah ditentukan yakni 80%. VI. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakuka nadabeberapa saran yang dapat disampaikan yakni kepada guru, sebagai seorang pendidik guru harus mengusai berbagai strategi dan media pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Selain itu dengan penggunaan strategi dan media pembelajaran yang bervariasi akan meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran. Kepada peneliti selanjutnya disarankan agar dapat mengembangkan berbagai strategi dan media pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan. 127 DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, Suharsimi. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Aqib, Zainal. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Media. Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud dan PT Renika Cipta. Hamalik, Hasan, Oemar. 1989. Teknik Pengukur dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: MandarMaju. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Kusnandar. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Sardiman. 2011. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:Rajawali Press. Slameto. 2010. Belajar dan Fakto-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudijono, Anas. 1996. Pengatar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Belajar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT RemajaRosakarya. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara. Suryobroto. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Takari, Enjah. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Genesindo. Uno, Hamzah B., dkk. 2011. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: PT BumiAksara. Widjaja, Haw. 2010.Otonomi Desa.Jakarta:Rajawali Pers. Winarno. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara. Yamin. Evaluasi Hasil Belajar. 2007. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 128 Media Litbang Sulteng IX (1) : 129-139, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN HASIL DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN CARD SORT PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SINDUE Oleh : Silim1) ABSTRAK Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran Sejarah adalah rendahnya pemahaman siswa, sehingga hasil belajar menjadi rendah pula. Hal ini disebakan oleh pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Pada awal pengamatan dan dokumentasi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran Sejarah, diantaranya adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang akan diajarkan oleh guru. Kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya yaitu: 1) Siswa kurang memperhatikan materi yang disampaikan, karena muncul rasa bosan dengan strategi pembelajaran yang monoton yaitu lebih banyak didominasi guru dan siswa pandai saja, sedangkan siswa yang kurang pandai cenderung pasif, 2) Pembelajaran yang membosankan atau kurang menarik, 3) Dalam proses belajar mengajar selama ini hanya sebatas pada upaya menjadikan anak mampu dan terampil mengerjakan soal-soal yang ada, sehingga pembelajaran yang berlangsung kurang bermakna dan terasa membosankan bagi siswa. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, perlu adanya upaya perbaikan kualitas pembelajaran Sejarah khususnya pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan membangkitkan motivasi belajar siswa. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan yaitu melalui strategi pembelajaran Card Sort (Sortir Kartu). Strategi pembelajaran Card Sort merupakan strategi pembelajaran yang berupa kegiatan kolaboratif yang dapat digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek atau mengulang informasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitian adalah Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui tes dan lembar observasi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan hasil dan motivasi belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. Untuk hasil belajar, pada prasiklus nilai rata-rata siswa yaitu 65. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa yaitu 39,13% . Pada siklus I, setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan, sehingga menjadi 80. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 73,91% . Pada siklus II, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan dari siklus I sehingga menjadi 89. Pada siklus II persentase ketuntasan belajar siswa meningkat sehingga menjadi 100%. Hal ini berarti 23 dari jumlah total siswa sebanyak 23, telah memperoleh nilai yang memenuhi standar KKM yang telah ditentukan. Untuk motivasi belajar, pada prasiklus tampak bahwa motivasi belajar siswa masih sangat rendah dengan nilai rata-rata hanya sebesar 49,18. Selanjutnya, pada siklus I tampak bahwa motivasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis dari prasiklus dengan nilai rata-rata sebesar 82,60 setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah. Pada siklus II, hasil perolehan motivasi belajar siswa kembali mengalami peningkatan dari siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 95,10. Kata Kunci: Hasil Belajar, Motivasi Belajar, Sejarah, Strategi Pembelajaran Card Sort. ABSTRACT One of the main problems in teaching History is a lack of understanding of students, so that the learning outcomes to be low anyway. It is caused by the learning that is still conventional. At the beginning of observation and documentation in class X SMA Negeri 1 Sindue, there are some obstacles encountered in the process of learning history, including the lack of students' understanding of the material that will be taught by the teacher. The condition is caused by many things, such as: 1) Students are paying less attention to the material presented, as it appeared boredom with learning strategies that monotony that is more dominated by teachers and students are good at it, while students are less intelligent tend to be passive, 2) Learning boring or unattractive, 3) In the process of teaching and learning has been limited on the effort to make children capable and skilled work on the problems that exist, so that the learning that takes less meaningful and boring for students. Therefore, to overcome these problems, the need for efforts to improve the quality of learning history, especially in class X SMA Negeri 1 Sindue in order to improve student learning outcomes and raise students' motivation. One alternative learning strategies that can be used is through learning strategies Card Sort (Sort Card). Learning Strategy Card Sort is a learning strategy in the form of collaborative activities that could be used to teach concepts, classification of nature, a fact about an object or repeat information. The method used in this research is a classroom action research (PTK). Subjects were Class X SMA Negeri 1 Sindue the number of students as many as 23 students. The research was conducted in two (2) cycles. Data collection techniques used namely through tests and observation sheet. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the application of learning strategies in subjects Card Sort History can improve outcomes and motivation to learn in class X SMA Negeri 1 Sindue. For the study, the average value prasiklus is 65. The percentage of students who gained mastery learning students is 39.13%. In the first cycle, after applying Card Sort learning strategy, the average value of students has increased, so that it becomes 80. Percentage of mastery learning derived class X SMA Negeri 1 Sindue that is equal to 73.91%. In the second cycle, the average value of students has increased from the first cycle to be 89. In the second cycle students learning completeness percentage increase that to 100%. This means that 23 out of the total number of students by 23, has gained value KKM meet the standards that have been determined. For motivation to learn, the prasiklus appears that student motivation is still very low with an average rating of only 49.18. Furthermore, in the first cycle appears that students' motivation has increased very dramatically from prasiklus with an average of 82.60 after applying learning strategies in subjects Card Sort of History. In the second cycle, the result of the acquisition of student motivation back has increased from the first cycle with an average value of 95.10. Keyword: Learning Results, Motivation, History, Learning Strategy Card Sort. 129 I. mengorganisasikan, keterampilan melaksanakan, dan keterampilan mengevaluasi proses pembelajaran baik yang akan, sedang maupun yang sudah dilaksanakan. Titik sentral yang harus dicapai oleh setiap kegiatan belajar mengajar adalah tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam suatu pembelajaran, salah satu kegiatan yang harus pendidik lakukan adalah melakukan pemilihan dan penentuan strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran akan terjadi jika pemilihan strategi tidak dilakukan dengan pengenalan terhadap karakteristik dari masing-masing strategi pembelajaran. Oleh karena itu, seorang pendidik harus mengetahui kelebihan dan kelemahan dari beberapa strategi pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu berkreasi dan berinovasi dalam menyampaikan materi pelajaran agar siswa dapat memahaminya dengan baik. Penggunaan strategi pembelajaran yang tepat, akan membantu siswa dalam memahami materi pelajaran dengan mudah. Pada awal pengamatan dan dokumentasi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran Sejarah, diantaranya adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang akan diajarkan oleh guru. Kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya yaitu: 1) Siswa kurang memperhatikan materi yang disampaikan, karena muncul rasa bosan dengan strategi pembelajaran yang monoton yaitu lebih banyak didominasi guru dan siswa pandai saja, sedangkan siswa yang kurang pandai cenderung pasif, 2) Cara mengajar guru membosankan atau kurang menarik, 3) Dalam proses belajar mengajar selama ini hanya sebatas pada upaya menjadikan anak mampu dan terampil mengerjakan soal-soal yang ada, sehingga pembelajaran yang berlangsung kurang bermakna dan terasa membosankan bagi siswa. Hal ini apabila dibiarkan terus menerus akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran seperti yang diharapkan. PENDAHULUAN Pada dasarnya, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap individu. Maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari sumber daya manusianya. Pendidikan merupakan usaha secara sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan membentuk masyarakat terdidik dan cerdas. Dengan paradigma pendidikan baru, kegiatan belajar mengajar yang konvensional akan berubah menjadi pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran ini lebih memfokuskan pada pengembangan kemampuan intelektual siswa dengan membangun pengetahuannya sendiri. Secara tidak langsung, siswa dituntut aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Hal ini bertujuan agar sasaran pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Salah satu sasaran dari pembelajaran adalah membangun gagasan saintifik setelah siswa berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa dan informasi dari sekitarnya. Agar pembelajaran dapat berhasil secara optimal, maka guru perlu menentukan strategi pembelajaran yang tepat agar menghasilkan suatu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang bermutu. KBM seperti ini perlu diterapkan pada semua mata pelajaran khususnya dalam hal ini adalah mata pelajaran Sejarah. Untuk mencapai keberhasilan kualitas pembelajaran itulah, maka keterampilan guru dalam proses pembelajaran harus ditingkatkan. Keterampilan guru dalam proses pembelajaran antara lain mencakup: keterampilan merencanakan, keterampilan 1) Guru SMA Negeri 1 Sindue 130 Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran Sejarah adalah rendahnya pemahaman siswa, sehingga hasil belajar menjadi rendah pula. Hal ini disebakan oleh pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Penggunaan strategi pembelajaran yang belum maksimal dan penggunaan strategi pembelajaran yang belum tepat menjadikan siswa tampak pasif dalam pembelajaran. Selama pembelajaran, siswa kurang antusias mendengarkan penjelasan dari guru dan lebih senang berbicara dengan siswa lain. Kegiatan belajar mengajar pun masih didominasi oleh guru. Akibatnya, kemampuan siswa dalam memahami materi pada mata pelajaran Sejarah menjadi sangat rendah. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, perlu adanya upaya perbaikan kualitas pembelajaran Sejarah khususnya pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan membangkitkan motivasi belajar siswa. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan yaitu melalui strategi pembelajaran Card Sort (Sortir Kartu). Strategi pembelajaran Card Sort merupakan strategi pembelajaran yang berupa kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek atau mengulang informasi. Strategi pembelajaran ini dimaksudkan untuk mengajak peserta didik agar dapat menemukan konsep dan fakta melalui klasifikasi materi yang dibahas dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran Card Sort sangatlah tepat untuk digunakan, karena strategi pembelajaran Card Sort ini merupakan suatu strategi pembelajaran yang akan membantu siswa untuk memiliki pengalaman baru dalam belajar, berbeda dengan sebelumnya yang hanya dilakukan dengan strategi ceramah ataupun konvensional. Penerapan berbagai macam strategi, akan menjadikan proses pembelajaran lebih bervariatif, sehingga menjadikan siswa tidak merasa jenuh dengan pembelajaran tersebut. Secara tidak langsung kondisi tersebut akan membuat motivasi belajar siswa menjadi lebih meningkat, sehingga diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa. Card Sort merupakan strategi pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk menemukan konsep dan fakta melalui klasifikasi materi yang dibahas dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran menggunakan Card Sort bermanfaat untuk mengungkapkan daya ingat siswa terhadap materi pelajaran yang telah dipelajari. Halhal yang perlu dipersiapkan dalam strategi Card Sort adalah kartu. Kartu tersebut terdiri dari kartu yang berisi pertanyaanpertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penerapan strategi ini dimulai dari teknik yaitu siswa diminta untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaan-pertanyaan sebelum batas waktu yang ditentukan, siswa yang dapat mencocokkan kartunya dengan tepat, akan memperoleh poin. Strategi pembelajaran Card Sort adalah strategi dimana guru menggunakan kartu indeks yang berisi bagian- bagian materi yang diajarakan. Siswa akan dituntut untuk mencari bagian-bagian materi yang dimiliki siswa lain kemudian mendiskusikan secara kelompok sesuai dengan kartu yang ia dapatkan. Hal ini bertujuan untuk mereview materi dan meningkatkan keaktifan siswa. Card Sort merupakan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik dengan maksud mengajak peserta didik untuk menemukan konsep dan fakta melalui klasifikasi materi yang dibahas dalam pembelajaran. Card Sort merupakan strategi pembelajaran aktif (Active Learning) yang memberdayakan peserta didik untuk aktif dengan menggunakan otak agar menemukan konsep dan memecahkan masalah yang sedang dipelajari, serta untuk menyiapkan mental dan melatih keterampilan fisik peserta didik. Oleh karena itu, diharapkan dengan penerapan strategi pembelajaran Card Sort ini, maka akan membangkitkan motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah, untuk selanjutnya akan berdampak pulan pada hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan. Berdasarkan hal yang telah 131 Hasil belajar dalam kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Individu yang belajar akan memperoleh hasil dari apa yang telah dipelajari selama proses belajar itu. Hasil belajar yaitu suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan hanya perubahan mengenai pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk kecakapan, kebiasaan, pengertian, penguasaan, dan penghargaan dalam diri seseorang yang belajar. diuraikan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “Peningkatan Hasil dan Motivasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue”. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: (1) Apakah penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan hasil belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue? (2) Apakah penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan motivasi belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue?. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan hasil belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. (2) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan motivasi belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue. II. 2.2 Pengertian Motivasi Belajar Definisi motivasi belajar yaitu keseluruhan daya untuk menggerakan dalam diri siswa yang mengakibatkan kegiatan belajar yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang diinginkan oleh subyek belajar itu bisa tercapai. Motivasi mempunyai tiga fungsi yaitu untuk mendorong manusia untuk berbuat yaitu sebagai penggerak motor yang melepas energi, menentukan arah perbuatan yaitu kearah tujuan yang akan diraih, menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan guna mencapai tujuan dengan cara menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan yang ingin diraih. Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri atas dua kata yaitu “hasil“ dan “belajar“ yang memiliki arti yang berbeda. Oleh karena itu untuk memahami lebih mendalam mengenai makna hasil belajar, akan dibahas dulu pengertian “hasil“ dan “belajar”. Hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diaamati,dan dapat diukur”. Hasil belajar merupakan suatu perubahan pada diri individu. Perubahan yang dimaksud tidak halnya perubahan pengetahuan, tetapi juga meliputi perubahan kecakapan, sikap, pengertian, dan penghargaan diri pada individu tersebut. 2.3 Mata Pelajaran Sejarah Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila Sejarah mengkaji tentang kerjakeras manusia dan pencapaiaan yang di perolehnya. Sejarah mengutamakan kajian tentang orang-orang yang “menaklukan daratan dan lautan tanpa beristirahat” daripada tentang ”mereka yang hanya berdiri dan menunggu“ Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang jaman. Dengan menyeleksi “Biografi yang tak terhitung jumlahnya” dan menyajikan 132 yang berisi informasi atau materi pelajaran. Atau merupakan kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajajarkan konsep, karakteristik klasifikasi, fakta tentang obyek atau mereview ilmu yang telah diberikan sebelumnya. Gerakan fisik yang dominan dalam dapat membantu mendinamisir kelas yang kelelahan. Pembelajaran aktif dengan strategi Card Sort merupakan pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa, dimana dalam pembelajaran ini setiap siswa diberi kartu indeks yang berisi informasi tentang materi yang akan dibahas, kemudian siswa mengelompokkan sesuai dengan kartu indeks yang dimilikinya. Setelah itu siswa mendiskusikan dan mempresentasikan hasil diskusi tentang materi dari kategori kelompoknya. Di sini pendidik lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dan menjelaskan materi yang perlu dibahas atau materi yang belum dimengerti siswa setelah presentasi selesai. Card Sort (sortir kartu) strategi ini merupakan kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek atau mereview ilmu yang telah diberikan sebelumnya atau mengulangi informasi. Gerakan fisik yang dominan dalam strategi ini dapat membantu mendinamisir kelas yang kelelahan. kehidupan mereka dalam konteks sosial yang sesuai,dan menyajikan gagasangagasannya dalam konteks manusia kita memahami jalannya peristiwa. Sejarah mengkaji manusia dalam lingkup waktu. Waktu merupakan unsur esensial dalam Sejarah. Sejarah berkaitan dengan rangkaian peristiwa, dan setiap peristiwa terjadi dalam lingkup waktu tertentu, dengan demikian waktu dalam Sejarah melahirkan presfektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dan sekaligus suatu cara menonjol mampu memperindah masa lampau. Sejarah umat manusia merupakan proses perkembangan manusia dalam lingkup waktu “Seandainya Waktu berhenti” tulisan Galbraith, “Sejarah juga akan berhenti,jejak-jejak sejarah yang ada akan habis diteliti dan dikaji”. Waktu berarti perubahan dan seluruh isi semesta alam,tidak terkecuali seluruh umat manusia , mengalami perubahan yang terusmenerus. Sejarah merupakan ilmu yang memperlihatkan bahwa tidak ada satu gagasan atau institusi yang tetap sepanjang masa. Sejarah tidak akan memiliki makna apabila sesuatu dalam keadaan tetap. Sejarah juga mengkaji manusia dalam ruang lingkup ruang. Baik sebagai individu maupun bangsa, manusia dipelajari dalm konteks lingkungan fisik geografis. Interaksi antara manusia dan lingkungan alam berlangsung secara dinamis. Interaksi ini menghasilkan variasi perkembangan pada aktivitas manusia dan pencapaiannya dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sejarah menjelaskan masa kini. Masa kini merupakan susunan peristiwa pada masa lampau. Tugas Sejarah adalah menjelaskan evolusi masakini tersebut. Penyelidikan hubungan sebab-akibat antara bagian peristiwa Sejarah terpilih yang dilakukan sejarawan mampu menjelaskan hakikat fenomena masa kini dan sekaligus mampu membangun hukum-hukum yang menguasainya. 2.5 1. 2. 3. 4. 2.4 Strategi Pembelajaran Card Sort Strategi Card Sort adalah suatu strategi pembelajaran berupa potonganpotongan kertas yang dibentuk seperti kartu 133 Langkah-Langkah Pembelajaran Dengan Card Sort (Menyortir Kartu) Guru menyiapkan kartu berisi tentang materi pokok susuai KI/KD mapel (catatan : perkirakan jumlah kartu sama dengan jumlah murud dikelas, isi kartu terdiri dari kartu induk/topik utama dan kartu rincian) Seluruh kartu diacak /dikocok agar bercampur Bagikan kartu kepada murid dan pastikan masing -masing memperoleh satu (boleh dua) Perintahkan setiap murid bergerak mencari kartu induknya dengan mencocokan kepada kawan-kawan sekelasnya 5. Setelah kartu induk beserta seluruh kartu rinciannya ketemu, perintahkan masin g -masing membentuk kelompok dan menempelkan hasilnya dipapan secara urut 6. Lakukan koreksi bersama setelah se mua kelompok menempelkan hasilnya 7. Mintalah salah satu penanggung jawab kelompok untuk menjelaskan hasil sortiran kartunya, kemudian mintalah komentar dari kelompok lainnya. 8. Berikan Apresiasi setiap hasil kerja siswa 9. Lakukan klarifikasi , penyimpulan dan tindak lanjut. III. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Belajar 4.1.1 Prasiklus Tabel 1. Hasil Belajar Siswa Prasiklus Hasil Tes Prasiklus Nilai Tertinggi Nilai Terendah Jumlah Siswa Tuntas Jumlah Siswa Tidak Tuntas Nilai Rata-Rata Persentase Ketuntasan Jumlah 79 51 9 14 65 39,13% Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa pada prasiklus nilai rata-rata siswa yaitu 65. Perolehan nilai tersebut belum memenuhi nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yakni sebesar 75. Selain itu, pada prasiklus ini, persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu hanya 39,13% yang berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 23 orang, hanya 9 orang siswa yang memperoleh nilai tuntas. Persentase ketuntasan belajar klasikal yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue ini belum memenuhi standar ketuntasan klasikal yang yang ditentukan yaitu sebesar 85%. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, pada prasiklus ini, maka dikemukakan beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran Sejarah pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue antara lain sebagai berikut: 1) Siswa kurang memperhatikan materi yang disampaikan, karena muncul rasa bosan dengan strategi pembelajaran yang monoton yaitu lebih banyak didominasi guru dan siswa pandai saja, sedangkan siswa yang kurang pandai cenderung pasif, 2) Cara mengajar guru membosankan atau kurang menarik, 3) Dalam proses belajar mengajar selama ini hanya sebatas pada upaya menjadikan anak mampu dan terampil mengerjakan soal-soal yang ada, sehingga pembelajaran yang berlangsung kurang bermakna dan terasa membosankan bagi siswa. Oleh karena itu, dengan perolehan hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu penelitian tindakan yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan meningkatkan praktek-praktek pembelajaran secara profesional. Subjek penelitian adalah Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue dengan jumlah siswa sebanyak 23 siswa. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah data kuantitatif diperoleh melalui tes pada akhir siklus dan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi setiap akhir siklus. Analisis data dilakukan dengan membandingkan hasil pada siklus pertama dengan siklus-siklus selanjutnya. Hasil pengamatan setiap siklus dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskritptif kualitatif digunakan untuk memaparkan pelaksanaan kegiatan PTK dengan menggambarkan hasil observasi yang dilakukan oleh kolaborator selama pembelajaran berlangsung. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan sebaran data hasil PTK dengan menggunakan teknik persentase dan ratarata terhadap hasil evaluasi yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dan pada akhir materi pembelajaran. 134 Sindue yang tergolong rendah pada mata pelajaran Sejarah, maka peneliti membuat suatu inovasi dalam pembelajaran yakni dengan menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah, guna meningkatkan hasil belajar siswa. 4.1.2 4.1.3 Tabel 3. Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue Hasil Tes Siklus I Nilai Tertinggi Nilai Terendah Jumlah Siswa Tuntas Jumlah Siswa Tidak Tuntas Nilai Rata-Rata Persentase Ketuntasan Siklus I Tabel 2. Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue Hasil Tes Siklus I Nilai Tertinggi Nilai Terendah Jumlah Siswa Tuntas Jumlah Siswa Tidak Tuntas Nilai Rata-Rata Persentase Ketuntasan Siklus II Jumlah 98 80 23 0 89 100% Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada siklus II nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan dari siklus I sehingga menjadi 89. Pada siklus II persentase ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 100%. Hal ini berarti 23 dari jumlah total siswa sebanyak 23, telah memperoleh nilai yang memenuhi standar KKM yang telah ditentukan. Semua siswa dinyatakan sudah memenuhi kriteria ketuntasan belajar pada mata pelajaran Sejarah. Berdasarkan pemerolehan tersebut, maka pada siklus II ini dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata siswa telah memenuhi standar nilai KKM yang telah ditentukan yaitu 89 dari nilai standar 75. Selain itu, persentase ketuntasan klasikal siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue telah memenuhi bahkan melampaui standar persentase klasikal yang telah ditentukan yaitu 100% dari standar persentase 80%. Berdasarkan hasil penelitian, hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah mengalami peningkatan setelah melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan strategi Card Sort. Strategi pembelajaran ini mampu memancing siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa termotivasi untuk lebih giat dalam pembelajaran. Jumlah 91 69 17 6 80 73,91% Berdasarkan tabel 2 di atas, tampak bahwa pada siklus I setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort pada mata pelajaran Sejarah, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan, sehingga menjadi 80. Nilai rata-rata ini telah memenuhi standar KKM yang telah ditentukan yakni 75. Pada siklus I ini, persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 73,91% yang berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 23 orang, terdapat 17 orang siswa yang memperoleh nilai tuntas dan 6 orang lainnya belum memperoleh nilai tuntas. Persentase ketuntasan belajar klasikal yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue ini belum memenuhi standar yang ditentukan yaitu 85%. Oleh karena itu, meskipun pada siklus I ini, nilai rata-rata siswa telah mencapai standar nilai KKM yang telah ditentukan yakni sebesar 75, namun peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian hingga ke siklus II guna untuk mencapai persentase standar ketuntasan klasikal yang ditentukan sebesar 85%, karena pada siklus I ini, persentase ketuntasan klasikal siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue barulah sebesar 73,91%. 4.2 Motivasi Belajar 4.2.1 Prasiklus 135 Tabel 4. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah Indikator No. Urut Siswa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Jumla h Nilai RataRata yakni perhatian, relevansi, keyakinan, dan kepuasan. Adapun nilai rata-rata dari masing-masing indikator motivasi belajar pada prasiklus yaitu indikator perhatian siswa memperoleh nilai rata-rata hanya 56,73, indikator relevansi memperoleh nilai rata-rata hanya sebesar 50, indikator keyakinan memperoleh nilai rata-rata hanya sebesar 48,91, dan indikator kepuasan memperoleh nilai rata-rata hanya sebesar 51,08. A B C D Sko r 2 2 1 3 2 1 2 1 1 3 2 4 1 3 2 1 2 1 2 1 2 2 2 3 2 1 1 2 3 2 3 2 1 2 2 2 1 3 2 1 2 2 3 2 3 1 4 6 2 1 2 3 2 2 3 1 1 3 2 2 1 3 2 1 2 2 3 2 1 2 2 2 1 2 3 2 1 2 1 2 3 2 2 1 2 3 1 2 2 4 1 3 3 2 9 6 6 10 8 7 9 6 6 10 8 10 5 9 10 5 7 7 11 7 8 10 7 45 47 48,9 1 51,0 8 43 46,7 3 5 0 A B C D : : : : Nilai 56,25 37,5 37,5 62,5 50 43,75 56,25 37,5 37,5 62,5 50 62,5 31,25 56,25 62,5 31,25 43,75 43,75 68,75 43,75 50 62,5 43,75 1131,2 5 4.2.2 Siklus I Tabel 6. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah No. Urut Siswa 49,18 Perhatian Relevansi Keyakinan Kepuasan Motivasi belajar siswa ditentukan berdasarkan indeks skor motivasi hasil pengukuran, dengan distribusi kategori pada tabel 5 berikut: Tabel 5. Kategori Motivasi Belajar Siswa Indikator A B C D Sko r 1 2 3 4 4 3 3 2 4 3 14 12 3 2 3 4 4 13 4 4 2 4 3 13 5 3 4 3 3 13 6 7 8 9 3 2 3 3 4 4 4 4 3 4 3 2 2 4 2 3 12 14 12 12 10 4 3 4 4 15 11 3 4 3 3 13 12 4 3 3 4 14 13 2 4 3 2 11 14 4 2 4 3 13 15 16 17 3 3 3 4 4 3 3 3 4 4 2 4 14 12 14 18 3 3 4 3 13 Nilai 87,5 75 81,2 5 81,2 5 81,2 5 75 87,5 75 75 93,7 5 81,2 5 87,5 68,7 5 81,2 5 87,5 75 87,5 81,2 5 93,7 5 81,2 5 87,5 93,7 5 81,2 5 Perolehan Kategori Skor 19 3 4 4 4 15 1 Sangat Rendah 20 3 4 3 3 13 2 Rendah 21 3 4 3 4 14 3 Sedang 22 4 4 3 4 15 4 Tinggi 23 3 3 4 3 13 72 81 76 75 1900 78,2 6 88,0 4 82,6 0 81,5 2 82,6 0 Jumla h Nilai RataRata Pada prasiklus, tampak bahwa motivasi belajar siswa masih sangat rendah dengan nilai rata-rata hanya sebesar 49,18. Motivasi belajar menyangkut 4 indikator 136 A B C D : : : : Perhatian Relevansi Keyakinan Kepuasan 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Jumla h Nilai RataRata Motivasi belajar siswa ditentukan berdasarkan indeks skor motivasi hasil pengukuran, dengan distribusi kategori pada tabel 7 berikut: Tabel 7. Kategori Motivasi Belajar Siswa Perolehan Kategori Skor 1 Sangat Rendah 2 Rendah 3 Sedang 4 Tinggi 1 2 3 4 5 6 C D Sko r Nilai 4 4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 15 14 15 15 15 15 93,75 87,5 93,75 93,75 93,75 93,75 86 90 88 86 93,4 7 97,8 2 95,6 5 93,4 7 : : : : 15 15 15 16 15 15 15 15 16 15 16 16 16 16 15 16 14 93,75 93,75 93,75 100 93,75 93,75 93,75 93,75 100 93,75 100 100 100 100 93,75 100 87,5 2187, 5 95,10 Perhatian Relevansi Keyakinan Kepuasan Perolehan Kategori Skor 1 Sangat Rendah 2 Rendah 3 Sedang 4 Tinggi Pada siklus II, tampak bahwa motivasi belajar siswa kembali mengalami peningkatan dari siklus I dengan nilai ratarata sebesar 95,10 setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah. Motivasi belajar menyangkut 4 indikator yakni perhatian, relevansi, keyakinan, dan kepuasan. Adapun nilai rata-rata dari masing-masing indikator motivasi belajar pada siklus II yang diperoleh oleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu indikator perhatian siswa memperoleh nilai rata-rata 93,47, indikator relevansi memperoleh nilai rata- Indikator B 4 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 Tabel 9. Kategori Motivasi Belajar Siswa Siklus II A 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 Motivasi belajar siswa ditentukan berdasarkan indeks skor motivasi hasil pengukuran, dengan distribusi kategori pada tabel 9 berikut: Tabel 8. Motivasi Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue pada Mata Pelajaran Sejarah No. Urut Siswa 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 A B C D Pada siklus I, tampak bahwa motivasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis dari prasiklus dengan nilai rata-rata sebesar 82,60 setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah. Motivasi belajar menyangkut 4 indikator yakni perhatian, relevansi, keyakinan, dan kepuasan. Adapun nilai rata-rata dari masing-masing indikator motivasi belajar pada siklus I yang diperoleh oleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu indikator perhatian siswa memperoleh nilai rata-rata 78,26, indikator relevansi memperoleh nilai ratarata sebesar 88,04, indikator keyakinan memperoleh nilai rata-rata sebesar 82,60, dan indikator kepuasan memperoleh nilai rata-rata sebesar 81,52. 4.2.3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 137 pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue terbukti dari semakin meningkatnya motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran Sejarah di setiap siklusnya. Pada prasiklus, tampak bahwa motivasi belajar siswa masih sangat rendah dengan nilai ratarata hanya sebesar 49,18. Selanjutnya, pada siklus I tampak bahwa motivasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis dari prasiklus dengan nilai rata-rata sebesar 82,60 setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah. Pada siklus II, hasil perolehan motivasi belajar siswa kembali mengalami peningkatan dari siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 95,10. rata sebesar 97,82, indikator keyakinan memperoleh nilai rata-rata sebesar 95,65, dan indikator kepuasan memperoleh nilai rata-rata sebesar 93,47. V. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti menyimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan hasil belajar pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan. Pada prasiklus, nilai rata-rata siswa yaitu 65. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa yaitu 39,13% . Pada siklus I, setelah menerapkan strategi pembelajaran Card Sort pada mata pelajaran Sejarah, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan, sehingga menjadi 80. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Sindue yaitu sebesar 73,91% . Pada siklus II, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan dari siklus I sehingga menjadi 89. Pada siklus II persentase ketuntasan belajar siswa meningkat sehingga menjadi 100%. Hal ini berarti 23 dari jumlah total siswa sebanyak 23, telah memperoleh nilai yang memenuhi standar KKM yang telah ditentukan. 2. Penerapan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah dapat meningkatkan motivasi belajar VI. SARAN Berdasarkan uraian dari simpulan, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan oleh peneliti yakni bagi guru disarankan untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran Card Sort dalam mata pelajaran Sejarah, karena dengan menggunakan strategi ini siswa dapat lebih berlatih memahami suatu pelajaran dibandingkan dengan sistem ceramah dan menulis di papan tulis. Strategi ini dapat memberikan dorongan dan motivasi bagi siswa dalam proses belajarnya, membimbing dan melatih keterampilan, sikap, dan kepercayaan diri siswa. Selain itu, selama proses pembelajaran berlangsung guru hendaknya dapat tetap melakukan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. 138 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Basrowi dan Suwandi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bogor: Ghalia Indonesia. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Putra Grafika. Dalyono, M. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Grafika Offset. Hamdani. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia. Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani. Harjanto. 2005. Perencanaan Pengajaran . Jakarta : Rineka Cipta. Hisyam, Zaini. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Pustaka Insan Madani. Uno, Hamzah B. 2007 Teori Motivasi dan pengukurannya, Jakarta: Bumi Aksara. Lexi, Moeleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya. Latif, Abdul. 2009. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakat. Bandung: PT Refika Aditama. Madya, Suwarsih.2007. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan. Bandung: Alfabeta. Muslich, Masnur. 2009. Melaksanakan PTK Itu Mudah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Nursid Sumaatmadja. 2007. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka. Silberman, Melvin L. 2006 Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif . Bandung: Nusamedia. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharsimi, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Sukmadinata, Syaodih Nana. 2007. Pendekatan Penelitian Pendidikan . Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Surya, Muhammad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka. Zaini, Hisyam. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani 139 Media Litbang Sulteng IX (1) : 140-150, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 PENINGKATAN MOTIVASI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA DALAM MENGAPRESIASI KARYA SENI RUPA PADA MATA PELAJARAN SENI BUDAYA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PAMERAN KARYA SENI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 SIGI Oleh : Yerkas Maleta 1) ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya. Oleh karena itu, dengan mengadakan pameran seni rupa di sekolah, maka dapat mendidik para siswa untuk bermasyarakat. Penyelenggaraan pameran dapat melatih siswa untuk bekerja sama dalam sebuah tim, melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain, dan dapat melatih siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan hasil musyawarah. Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. (2) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi yang berjumlah 25 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) observasi, (2) angket, (3) dokumentasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari motivasi belajar siswa yang memperoleh hasil dengan kategori Baik (Rentang 3.50 – 4.49). Artinya, dengan penerapan model pembelajaran pameran dapat membangkitkan motivasi belajar siswa terutama pada pelajaran apresiasi karya seni rupa. Selain itu, penerapan model pembelajaran pameran juga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 77,64 dengan jumlah siswa yang tuntas yakni sebanyak 19 siswa atau dengan persentase 76%. Selanjutnya pada siklus II, prestasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis yakni nilai rata-rata siswa menjadi 92,8 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 100%. Hal ini berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 25, secara keseluruhan siswa telah memperoleh nilai dengan kategori tuntas. Kata Kunci: Motivasi dan Prestasi Belajar, Mengapresiasi Karya Seni Rupa, Seni Budaya, Pameran Karya Seni. ABSTRACT This research is motivated by low motivation and student achievement in appreciating works of art on the subjects of Arts and Culture. Therefore, by organizing art exhibitions in schools, it can educate students for a society. The exhibition can train students to work together in a team, to train students to respect the opinions of others, and can train students to solve problems based on the results of deliberation. The purpose of this study are (1) to determine whether the application of learning models to the exhibition can increase students' motivation in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. (2) to determine whether the application of learning models can exhibit improve student achievement in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. This study used a qualitative research approach that is descriptive. Subjects in this study is a class XI student of SMAN 8 Sigi totaling 25 students. Data collection techniques in this study are (1) observation, (2) questionnaires, (3) documentation. The research proves that the application of learning models to the exhibition can increase students' motivation in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. This is evident from students' motivation is to obtain results with good category (range 3:50 to 4:49). That is, with the application of learning models to the exhibition can raise students' motivation, especially in works of art appreciation lessons. In addition, application of learning models exhibit also can improve student achievement in appreciating works of art at the Cultural Arts subjects in class XI student of SMAN 8 Sigi. This is evident from the results of student learning that is constantly increasing in each cycle. In the first cycle students' average value of 77.64 by the number of students who pass that as many as 19 students or with the percentage of 76%. Furthermore, in the second cycle, student achievement has increased very dramatically that the average value to 92.8 students with classical completeness percentage of 100%. This means that of the total number of students by 25, the overall student has gained value by category completely. Keywords: Motivation and Achievement, Appreciating Art Works, Art & Culture, Art Exhibition. 140 I. atau penilaian terhadap karya-karya yang ditampilkan. Penilaian yang dimaksud bukan menilai dengan angka, melainkan suatu proses pencarian nilai-nilai seni, pemahaman isi, menemukan pesan dari karya seni, dan melakukan perbandinganperbandingan terhadap karya seni sehingga nantinya akan didapat sebuah penilaian yang utuh dan komprehensif. Dalam hal ini, apresiasi dilakukan melalui kegiatan pameran karya seni rupa. Pameran tersebut difasilitasi oleh guru dan yang menjadi apresiator adalah siswa. Pameran merupakan bagian integral dari pembelajaran seni rupa yang tidak dapat terpisahkan. Dengan mengadakan pameran seni rupa di sekolah, maka dapat mendidik para siswa untuk bermasyarakat. Penyelenggaraan pameran dapat melatih siswa untuk bekerja sama dalam sebuah tim, melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain, dan dapat melatih siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan hasil musyawarah. Penyelenggaraan pameran seni rupa memiliki nilai manfaat bagi sekolah, guru, dan terutama bagi siswa. Berdasarkan hal tersebut, kegiatan pameran perlu diadakan di lingkungan sekolah. Penyelengaraan pameran dilakukan oleh guru untuk memberikan pembinaan sejak awal kepada siswa dalam rangka proses pembiasaan berpikir kritis, melakukan kegiatan apresiasi baik dalam bentuk aktivitas maupun sikap, dan yang terpenting dari penyelenggaraan pameran di sekolah adalah melatih kemampuan apresiasi siswa, sehingga dapat menjadi media bertukar pengalaman estetis antarsiswa (antara pencipta karya seni rupa dan apresiator). Dengan adanya pembelajaran apresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya melalui penerapan model pembelajaran Pameran, maka tentunya dapat meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar siswa dalam mata pelejaran Seni Budaya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian yakni “Peningkatan Kreativitas dan Prestasi Belajar Siswa dalam Mengapresiasi Karya Seni Rupa pada Mata PENDAHULUAN Pada dasarnya pendidikan tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, karena pendidikan memberikan kemampuan untuk mengasah potensi diri dalam meningkatkan kehidupan manusia. Pendidikan menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan, dan keterampilan. Dengan pendidikan, manusia ingin berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan, serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya, pengetahuannya, dan keterampilannya. Salah satu tujuan pendidikan yang dapat mengembangkan kreativitas anak yaitu melalui pendidikan seni. Pendidikan seni merupakan pendidikan yang dapat merangsang keingintahuan, menimbulkan minat atau motivasi peserta didik untuk meningkatkan kreativitas anak. Seni dapat diklasifikasikan berdasarkan media yang digunakan, seperti seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seni adalah segala sesuatu yang mempunyai keindahan dan dapat diklasifikasikan berdasarkan media yang digunakan. Pendidikan seni juga merupakan salah satu pendidikan yang sangat penting. Ismiyanto (2008) mengemukakan bahwa orientasi tujuan pendidikan seni rupa (SD-SMA) dapat diarahkan kepada: (1) pemupukan dan pengembangan kreativitas dan sensitivitas, (2) penunjang bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian anak secara menyeluruh, dan (3) pemberian peluang kepada anak untuk Pemupukan dan berekspresi. pengembangan kreativitas dan sensitivitas dapat dicapai melalui kegiatan apresiasi karya seni rupa yang diharapkan dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penghayatan terhadap bermacam bentuk karya seni rupa. Apresiasi dapat diartikan sebagai penikmatan, pengamatan, penghargaan, 1) Guru SMA Negeri 8 Sigi 141 dibangun. Menurut Nasution (1982:77) motivasi memiliki tiga fungsi yaitu:  Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepas energi.  Menentukan arah perbuatan , yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.  Menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang melakukan sesuatu usaha karena adanya motivasi. Motivasi yang lebih baik dalam beajar akan menunjukkan hasil yang baik, dengan kata lain bahwa dengan usaha yang tekun yang didasari adanya motivasi, akan dapat melahirkan prestasi yang baik. McClelland dan Atkinson dalam Sri Esti (1989: 161) mengemukakan bahwa motivasi yang paling penting untuk psikologis pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung untuk berjuang mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal. Intensitas motivasi siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar siswa tersebut. Secara umum motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (Prayitno, 1989: 10). Pelajaran Seni Budaya Melalui Penerapan Model Pembelajaran Pameran pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Sigi”. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi? (2) apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi?. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. (2) untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Belajar Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 1986: 75). Demikian dalam belajar, prestasi siswa akan lebih baik bila siswa memiliki dorongan motivasi orang tua untuk berhasil lebih besar dalam diri siswa itu. Sebab ada kecenderungan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi mungkin akan gagal berprestasi karena kurang adanya motivasi dari orang tua. Motivasi dalam belajar sangat penting artinya untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar yang diharapkan, sehingga motivasi siswa dalam belajar perlu 2.1.1 Motivasi Instrinsik Menurut Priyitno (1989: 11) motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong dari dalam diri (internal) individu. Tingkah laku individu itu terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari lingkungan. Tetapi individu bertingkah laku karena mendapatkan energi dan pengaruh tingkah laku dari dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dilihat dari luar. 2.1.2 Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik dapat juga di katakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar di mulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar (Sardiman, 1990: 90). 142 Terdapat beberapa cara untuk membangkitkan motivasi belajar pada diri individu siswa dalam melakukan aktivitas belajarnya. Menurut Nasution (1982:81) cara membangkitkan motivasi belajar antara lain:  Memberi Angka Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka yang baik, sehingga biasanya yang dikejar itu adalah angka atau nilai. Oleh karena itu langkah yang dapat ditempuh guru adalah bagaimana cara memberi angka-angka dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan.  Memberi Hadiah Hadiah dapat membangkitkan motivasi belajar seseorang jika ia memiliki harapan untuk memperolehnya, misalnya: seorang siswa tersebut mendapat beasiswa, maka kemungkinan siswa tersebut akan giat melakukan kegiatan belajar, dengan kata lain ia memiliki motivasi belajar agar dapat mempertahankan prestasi.  Hasrat Untuk Belajar Hasil belajar akan lebih baik apabila pada siswa tersebut ada hasrat atau tekad untuk mempelajari sesuatu.  Mengetahui Hasil Dengan mengetahui hasil belajar yang selama ini dikerjakan, maka akan bisa menunjukan motivasi siswa untuk belajar lebih giat, kerana hasil belajar merupakan feedback (umpan balik) bagi siswa untuk mengetahui kemampuan dalam belajar.  Memberikan Pujian Pujian sebagai akibat dari pekerjaan yang diselesaikan denga baik, merupakan motivasi yang baik pula.  Menumbuhkan Minat Belajar Siswa akan merasa senang dan aman dalam belajar apabila disertai dengan minat belajar apabila disertai dengan minat belajar. Dan hai ini tak lepas dari minat siswa itu dalam bidang studi yang ditempuhnya.  Suasana yang Menyenangkan Siswa akan merasa aman dan senag dalam belajar apabila disertai denga suasana yang menyenangkan baik proses belajar maupun situasi yang dapat menumbuhkan motivasi belajar. 2.2 Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang meyangkut pengetahuan atau keterampilan yang dinyatakan sesuadah hasil penilaian untuk mengukur prestasi belajar siswa diperlukan suatu alat evaluasi berupa tes. 2.3 Pembelajaran Seni Rupa di Sekolah Dalyono (2007) berpendapat bahwa belajar adalah suatu usaha atau perbuatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan sistematis, mendayagunakan semua potensi yang dimiliki, baik fisik, mental serta dana, panca indera, otak dan anggota tubuh lainnya, demikian pula aspek-aspek kejiwaan seperti intelegensi, bakat, motivasi, minat, dan sebagainya. Belajar bertujuan untuk mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakupi perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya. Sementara itu, disebutkan oleh Gagne dan Berliner (dalam Anni: 2007) bahwa belajar merupakan proses suatu organisme merubah perilakunya karena hasil dari pengalaman. Lebih lanjut lagi, menurut Ismiyanto (2009) belajar adalah mengalami, artinya dalam belajar siswa menggunakan atau mengubah lingkungan tertentu dan ia belajar mengenai lingkungan tersebut melalui akibat tindakannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditegaskan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi hasil belajar siswa, selain belajar dari akibat tindakannya siswa juga belajar dari berbagai hal di dalam lingkungan tersebut. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah mengadakan perubahan di dalam diri manusia di antaranya adalah tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang diharapkan timbul akibat belajar adalah bersifat positif, walaupun ada juga hasil 143 melakukan kegiatan belajar secara aktif dengan menggali semua potensi yang dimilikinya melalui pemanfaatan berbagai sumber belajar secara optimal. Kegiatan pembelajaran akan terlaksana dengan baik apabila terjadi interaksi antara berbagai komponen dalam pembelajaran. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Hamalik (2007:57) bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran terdiri dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Menurut Syafii (2006: 34) pada aspek perencanaan, guru hendaknya membuat program tahunan, program semester, analisis materi, silabus, dan satuan pelajaran, kemudian guru juga memilih metode dan media pembelajaran, dan mencari sumber-sumber belajar yang relevan. Perencanaan dapat membantu proses pembelajaran berjalan dengan baik dan lebih terorganisasi. yang ditimbulkan sifatnya negatif. Belajar dapat membantu seseorang menambah keterampilan, menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu, mengingat ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa mengenal batas. Oleh sebab itu, setiap orang dituntut senantiasa belajar agar dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih. Pembelajaran merupakan salah satu wujud dari kegiatan pendidikan. Di tengah kehidupan masyarakat, pendidikan terbagi atas pendidikan informal, nonformal, dan formal (Tillar: 1979). Di dalam konteks pendidikan formal yakni sekolah, pembelajaran merupakan realisasi dari pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum aktual. Kegiatan pembelajaran biasanya direncanakan dan dilaksanakan oleh guru, sehingga guru bekerja ganda, di samping ia sebagai perencana, di lain pihak juga sebagai pelaksana kurikulum dan pembelajaran. Hal tersebut menjadikan guru wajib memahami karakteristik setiap pembelajaran yang akan dilaksanakannya. Pembelajaran di sekolah adalah proses interaksi pendidik dengan peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ismiyanto (2009) bahwa pembelajaran di sekolah pada hakikatnya berintikan interaksi antara siswa dengan guru dan lingkungannya. Dengan demikian, pembelajaran mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan, yaitu mengajar dan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik, dengan perkataan lain pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik (www.wikipedia.com). Sementara itu, Dimyati dan Mujiono (dalam Sobandi 2008: 152) mengemukakan pengertian pembelajaran sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Siswa 2.4 Karya Seni Rupa Sebagai Materi Apresiasi Kegiatan apresiasi membutuhkan karya seni rupa sebagai objek yang diapresiasi. Menurut Rondhi (2002:6) seni rupa merupakan seni yang menggunakan unsur-unsur seni rupa sebagai media ungkapnya. Unsur-unsur rupa yaitu unsurunsur yang kasat mata atau yang dapat dilihat dengan indera mata. Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan (Guruvalah: 2008). Seni rupa adalah ungkapan gagasan atau perasaan yang estetis dan bermakna yang diwujudkan melelui media: titik, garis, bidang, warna, tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan prinsip-prinsip tertentu (Setyobudi: 2006). Menurut Suhadi (1995:2) hasil karya seni yang dinamakan kesenian, merupakan hasil usaha budi daya manusia yang diungkapkan dengan menggunakan kepekaan rasa estetik (rasa keindahan). Jadi karya seni rupa merupakan benda buatan manusia yang 144 mengandung nilai keindahan yang dapat dilihat serta diraba yang merupakan ekspresi pribadi senimannya. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat dirumuskan bahwa karya seni rupa adalah hasil usaha budi daya manusia melalui unsur-unsur rupa yang kasat mata dan ditata dengan prinsip komposisi terntutu sehingga menjadi bermakna. Penciptaan karya seni rupa tidak lepas dari tiga hal, yaitu: (1) gagasan, terdiri dari subjek karya seni, tema karya seni, peran karya seni, dan sebagainya; (2) bentuk merupakan hal terkait dengan unsurunsur seni rupa yang terdiri dari garis, bidang, warna, tekstur, ruang dan gelap terang, dan juga komposisi yang terdiri dari kesatuan, keseimbangan, proporsi, irama dan dominasi; (3) media terdiri dari bahan, alat dan teknik pembuatan. Bahan merupakan material yang diolah menjadi karya seni. Alat merupakan perkakas yang digunakan untuk membuat karya seni. Sedangkan teknik merupakan bagaimana cara seniman untuk membuat karya seni. Jadi penciptaan karya seni rupa dibentuk dari gagasan, bentuk, dan media seni rupanya. Karya seni rupa dapat diklasifikasikan berdasarkan perwujudan dan fungsinya. Karya seni rupa menurut bentuknya dibagi menjadi dua yaitu: karya dua dimensi dan karya tiga dimensi. Karya seni rupa dua dimensi (dwimatra) adalah karya yang hanya memiliki ukuran panjang dan lebar atau yang hanya bisa dilihat dari satu arah pandang. Karya seni rupa tiga dimensi (trimatra) adalah karya yang memiliki tiga ukuran yaitu panjang, lebar, dan tinggi atau karya yang memiliki volume dan menempati suatu ruang. Menurut fungsinya, karya seni rupa terdiri dari karya seni rupa murni dan karya seni rupa terapan. Karya seni rupa murni adalah karya yang dibuat semata-mata untuk kebutuhan artistik. Seni murni merupakan hasil karya yang diciptakan semata-mata hanya untuk dinikmati nilai- nilai estetiknya saja. Karya seni rupa terapan adalah karya yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan praktis. 2.5 Pameran Pameran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seniman untuk menyampaikan ide atau gagasannya kepada public melalui media karya seni. Kegiatan ini diharapkan menjadi komunikasi antara seniman yang diwakili oleh karya seninya yang apresiator. Penyelenggaran pameran bisa dilakukan di konteks sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat). Penyelenggaraan pameran di sekolah menyajikan materi pameran berupa hasil karya peserta didik dari kegiatan pembelajaran kurikuler maupun kegiatan ektrakurikuler. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada akhir semester atau akhir tahun ajaran. Sedangkan konteks pameran yang disajikan berupa karya-karya seniman untuk diapresiasiakn oleh masyarakat luas. Dalam konteks penyelenggaraan pameran seni rupa di sekolah, Nurhadiat (1996: 125) secara khusus menyebutkan fungsi pameran seni rupa sekolah di antaranya:  Meningkatkan apresiasi seni.  Membangkitkan motivasi berkarya seni.  Penyegaran dari kejenuhan belajar di kelas.  Berkarya visual lewat karya seni.  Belajar berorganisasi Tujuan pameran menurut riyanti dan Nandang (1996:7) menyebutkan beberapa tujuan diantaranya :  Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggelarkan karyanya masing-masing.  Mampu menghargai karya seni ciptaan orang lain.  Mampu memberi tanggapan atas karya orang lain.  Menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab,kerja sama dan tolong menolong.  Melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa.  Mampu berperan serta dalam upaya mengembangakan budaya bangsa. Dalam penyelenggaran pameran ada persyaratan yang harus dipenuhi:  Karya seni yang akan dipamerkan  Pihak panitia pameran; (menyeleksi 145 hasil karya yang akan dipamerkan)  Pengunjung pameran  Tempat pameran III. XI SMA Negeri 8 Sigi dengan jumlah siswa 25 siswa. Sikap percaya diri (confidence) sangat terkait dengan bobot motivasi siswa bila rasa percaya diri ini tertanam dalam diri siswa akan lebih mendorong siswa tersebut untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat. Sikap tersebut merupakan modal untuk terjun dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 25 siswa diperoleh skor rata-rata 4,30. Bila dikonfirmasikan dengan kategori yang telah dibuat, maka motivasi siswa di atas skor tersebut berada pada rentang 3.50 – 4.49 (baik). Hal ini dapat dipahami bahwa sikap percaya diri siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi seni cukup baik, sehingga dalam pembelajaran apresiasi seni rupa tidak mengalami hambatan yang cukup berarti. Dari aspek perhatian (attention) diperoleh skor rata-rata 4,21, bila dikonsultasikan pada tabel kriteria tentang motivasi nilai tersebut berada pada rentang 3,50 – 4,49 (Baik). Ini berarti bahwa perhatian siswa terhadap pelajaran apresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran adalah baik. Dengan pembelajaran apresiasi seni melalui penerapan model pembelajaran pameran, mendorong perhatian siswa kearah yang lebih baik, sehingga hal ini dapat menunjang keberhasilan proses belajar mengajar terutama pada mata pelajaran Seni Budaya. Dalam aspek relevansi (relevancy) diperoleh skor rata-rata 4,11, berdasarkan tabel kriteria motivasi siswa nilai tersebut berada pada rentang 3.50 – 4.49 (Baik). Hal ini berarti pemahaman siswa tentang keterkaitan antara pelajaran yang dilaksanakan dengan pelajaran sebelumnya cukup baik, begitu pula pemahaman siswa terhadap tujuan pembelajaran terutama pelajaran apresiasi seni ini juga adalah baik. Kondisi demikian kemungkinan tercipta dari pemberian pemahaman awal dari guru tentang maksud dan tujuan pembelajaran. Aspek kepuasan (satisfaction) diperoleh skor rata-rata 4.13. Skor tesebut bila dikonsultasikan pada kriteria di atas berada pada rentang 3.50 – 4.49 (baik). Hal METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya persepsi, motivasi, tingkah laku, tindakan, dan sebagainya, secara menyeluruh, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, pada suatu konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong 2007:6). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi atau daerah atau bidang-bidang tertentu. Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi yang berjumlah 25 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu (1) observasi, (2) angket, (3) dokumentasi. Dalam hal ini, observasi dilakukan menggunakan teknik pengamatan langsung. Peneliti secara langsung meneliti kegiatan pameran siswa kelas XI terkait dengan kemampuannya mengapresiasi karya yang dipamerkan dalam pameran seni rupa di SMA Negeri 8 Sigi. Hal-hal yang diobservasi dalam mendukung penelitian ini antara lain mengenai lingkup sekolah, proses kegiatan pameran karya seni rupa, dan proses siswa dalam mengapresiasi karya yang dipamerkan. Peneliti menggunakan angket yang berisi pertanyaan terkait motivasi belajar siswa. Dokumentasi dalam hal ini, diperlukan untuk mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen terkait penelitian. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Motivasi Belajar Berdasarkan hasil penelitian dari angket yang diedarkan kepada siswa kelas 146 18 19 20 21 22 23 24 25 ini dipahami bahwa aspek kepuasan siswa mengikuti pembelajaran Seni Budaya dalam mengapresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran dapat terpenuhi. Kondisi demikian memupuk motivasi siswa untuk lebih giat belajar, dan berusaha meningkatkan sikap apresiatifnya terutama pada bidang seni dalam hal ini seni rupa, juga tidak menutup kemungkinan untuk cabangcabang seni yang lainnya. Motivasi siswa berdasarkan hasil penelitian ini, memiliki skor rata-rata 4,01 berada pada rentang 3.50 – 4.49 (baik). Ini berarti bahwa motivasi siswa secara umum cukup baik sehingga dalam proses belajar mengajar dapat lebih dioptimalkan. Pembelajaran apresiasi seni rupa dengan menerapkan model pembelajaran pameran lebih memotivasi siswa untuk mempelajari dan memperdalam tentang bagaimana menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya seni yang pada akhirnya diharapkan dapat mendorong kreativitas siswa dalam berkarya seni. 4.2 Jumlah Rata-Rata Banyak Siswa Tuntas Banyak Siswa Tidak Tuntas Persentase Tuntas Belajar 4.2.2 Siklus II Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada siklus II, terkait pembelajaran apresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran pada mata pelajaran Seni Budaya, maka diperoleh prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi sesuai dengan tabel berikut: 4.2.1 Siklus I Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada siklus I, terkait pembelajaran apresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran pada mata pelajaran Seni Budaya, maka diperoleh prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi sesuai dengan tabel berikut: Nilai 76 74 80 82 75 73 77 82 80 76 78 72 84 77 85 71 83 Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas 1941 77,64 19 6 76% Dari hasil tes formatif siklus I dalam pembelajaran apresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi diperoleh nilai rata-rata sebesar 77,64. Jumlah siswa yang sudah tuntas atau mencapai nilai >=75 sebanyak 19 siswa, sedangkan siswa yang belum tuntas sebanyak 6 siswa sehingga persentase tuntas belajar klasikal yakni 76%. Prestasi Belajar No. Absen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 80 79 78 72 70 76 80 81 No. Absen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Keterangan Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tuntas 147 Nilai 91 89 94 98 89 89 92 97 94 92 92 98 99 92 97 86 96 95 94 93 86 85 91 Keterangan Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas 24 25 95 96 Jumlah Rata-Rata Banyak Siswa Tuntas Banyak Siswa Tidak Tuntas Persentase Tuntas Belajar Tuntas Tuntas 2320 92,8 25 100% ditentukan. Dari standar 80%, siswa kelas XI baru mampu mencapai persentase tuntas belajar sebesar 76%. Oleh karena itu, untuk memperoleh ketuntasan belajar siswa secara klasikal dengan memenuhi indicator yang telah ditentukan, maka peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian hingga ke siklus selanjutnya yakni siklus II. Pada revisi siklus II akan dijelaskan tentang hasil penelitian siklus II terkait prestasi belajar siswa dengan tabel berikut ini: Dari hasil tes formatif siklus II dalam pembelajaran apresiasi karya seni rupa melalui penerapan model pembelajaran pameran pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi diperoleh nilai rata-rata sebesar 92,8. Jumlah siswa yang sudah tuntas atau mencapai nilai >=25 sebanyak 19 siswa. Hal ini berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 25, secara keseluruhan siswa telah memperoleh nilai dengan kategori tuntas, sehingga persentase tuntas belajar klasikal yang dipeloh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi pada siklus II ini adalah sebesar 100%. Rekapitulasi Prestasi Belajar Siswa Siklus II Revisi Pada revisi siklus I akan dijelaskan tentang hasil penelitian siklus I terkait prestasi belajar siswa dengan tabel berikut ini: Hasil Penelitian Nilaii Indikator Keteranganan Rata-rata 92,8 75 Tidak Persentase tuntas belajar 100% 80% tercapai 4.2.3 Nilai rata-rata prestasi belajar siswa pada siklus II mengalami peningkatan yang sangat signifikan yakni diperoleh 92,8 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 76%. Dari hasil belajar tersebut dapat dikatakan bahwa nilai hasil belajar siswa telah mencapai target indikator keberhasilan yang ditetapkan (75). Selain itu, pada siklus II ini, persentase tuntas belajar siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi juga telah memenuhi indicator standar yang telah ditentukan. Dari standar 80 %, siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi telah mampu memperoleh persentase ketuntasan belajar sebesar 100%. Perolehan ini otomatis dapat membuktikan bahwa dengan penerapan model pembelajaran pameran, maka dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi dalam mengapresiasi karya seni rupa. Rekapitulasi Prestasi Belajar Siswa Siklus I Hasil Penelitian Nilai Indikator Keterangan Rata-rata 77,64 75 Tercapai Persentase Ketuntasan belajar 76% 80% Tidak Tercapai Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I diperoleh 77,64 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 76%. Dari hasil belajar tersebut dapat dikatakan bahwa nilai hasil belajar siswa telah mencapai target indikator keberhasilan yang ditetapkan (75). Akan tetapi, walaupun nilai rata-rata siswa telah mencapau target KKM yang telah ditentukan, namun berdasarkan tabel di atas, persentase tuntas belajar yang diperoleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi pada mata pelajaran Seni Budaya belum dapat mencapai standar yang telah V. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal terkait penelitian tindakan kelas ini yaitu: 148 Pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 77,64 dengan jumlah siswa yang tuntas yakni sebanyak 19 siswa atau dengan persentase 76%. Selanjutnya pada siklus II, prestasi belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat drastis yakni nilai rata-rata siswa menjadi 92,8 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 100%. Hal ini berarti bahwa dari total jumlah siswa sebanyak 25, secara keseluruhan siswa telah memperoleh nilai dengan kategori tuntas. 1. Penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari motivasi belajar siswa yang memperoleh hasil dengan kategori Baik (Rentang 3.50 – 4.49). Artinya, dengan penerapan model pembelajaran pameran dapat membangkitkan motivasi belajar siswa terutama pada pelajaran apresiasi karya seni rupa. 2. Penerapan model pembelajaran pameran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mengapresiasi karya seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya pada siswa kelas XI SMA Negeri 8 Sigi. Hal ini terbukti dari hasil belajar siswa yang terus mengalami peningkatan di setiap siklusnya. VI. SARAN Sebagai implikasi dari penelitian ini, disarankan kepada guru untuk dapat model pembelajaran pameran sebagai salah satu alternatif pembelajaran apresiasi seni rupa pada mata pelajaran Seni Budaya. Selanjutnya, kepada peneliti lain, diharapkan dapat melakukan penelitian pada mata pelajaran yang berbeda sehingga didapatkan perbandingan. 149 DAFTAR PUSTAKA Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Saiful Bahri & Zain, Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Garha. Oho. 1980. Pendidikan Kesenian Seni Rupa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara. Hasibuan, J. J & Moedjiono. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kartika, Dharsono Sony. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains. Katjik, dkk. 1972. Metode Pengajaran Seni Rupa untuk SMA. IKIP Malang: Sub Proyek Penyusunan Metode Khusus Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Koentjoroningrat dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djakarta: Djambatan. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sahman, Humar. 2003. Mengenali Dunia Seni Rupa. Semarang. IKIP Semarang Press. Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sobandi, Bandi. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa.Maulana Offset: Solo. Sudjana, Nana. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sumiati & Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung:Remaja Rosdakarya. 150 Media Litbang Sulteng IX (1) : 151-160, Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS V SD GKST BETELEME Oleh : Eflilian Kalaena1) ABSTRAK Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan menggunakan metode roll play dalam pembelajaran drama. Metode roll play pada pembelajaran drama sangat bermanfaat bagi peserta didik agar dapat menumbuhkan minat belajar dan dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada pembelajaran drama. Penelitian ini berbentuk penelitian tindakan kelas dengan mekanisme kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus. Setiap siklus mencakup: perencenaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan terdiri dari post tes, lembar observasi. Subjek penelitian siswa kelas V SD GKST Beteleme, dengan jumlah siswa berjumlah 21 siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan. Rata-rata skor keterampilan berbicara siswa dengan teknik pembelajaran Roll play mencapai (82,65) lebih tinggi daripada rata-rata skor keterampilan berbicara siswa yang belajar dengan teknik pembelajaran konvensional (60,82). Hal ini menunjukkan bahwa teknik pembelajaran Roll play berpengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa kelas V SD GKST Beteleme.Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan saran bagi guru pengajar Bahasa Indonesia di sekolah dasar untuk dapat menggunakan teknik pembelajaran Roll play sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif, jika pembelajaran berlangsung efektif maka keterampilan berbicara siswa secara khusus dan hasil belajar Bahasa Indonesia secara umum dapat meningkat. Kata Kunci: Keterampilan Berbicara, Teknik Roll play . I. keterampilan berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, dan lain sebagain Dengan belajar berbicara, diharapkan siswa SD tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan dalam melisankan ide atau gagasan yang dimiliki tetapi siswa diharapkan mampu mempertanggungjawabkan gagasan dan dapat mengaplikasikannya. Pembelajaran yang didominasi oleh guru merupakan satu faktor penyebab siswa kurang aktif terlibat dalam pembelajaran. Pembelajaran keterampilan berbicara yang menyebabkan siswa kurang aktif dapat terjadi karena guru menggunakan model pembelajaran yang kurang sesuai dengan materi berbicara, selain itu siswa juga tidak dilibatkan secara langsung dalam aktivitas berbicara di kelas. Pembelajaran di kelas masih banyak didominasi oleh guru sehingga kurang mampu membangun persepsi, minat, dan sikap siswa yang lebih baik. Kebanyakan anak didik mengalami kebosanan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, sebagian besar disebabkan oleh faktor didaktik, termasuk model pengajaran PENDAHULUAN Proses pembelajaran keterampilan berbahasa menjadi satu kesatuan yang mencakup keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keterampilan-keterampilan tersebut harus dimiliki oleh setiap orang agar dapat meningkatkan kompetensi berbahasa yang baik, dalam hal ini keterampilan berbahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara atau berkomunikasi. Komunikasi sebagai kegiatan berbahasa secara lisan. Kegiatan berbicara dilakukan setiap orang untuk berkomunikasi sehari-hari. Menurut Henry Guntur Tarigan (2012: 16) berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara secara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran 1) Guru SD GKST Beteleme 151 yang berpusat pada guru, akhirnya hal tersebut berdampak terhadap prestasi belajar yang secara umum kurang memuaskan. Pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara khususnya bermain drama, guru memiliki peran yang menjadi pusat terhadap keberhasilan siswa. Tugas pengajar dalam hal ini bukanlah sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menyiapkan situasi yang menggiring anak didik untuk bertanya, mengamati, melakukan eksperimen serta mengemukakan fakta atau konsep sendiri, dalam hal ini anak didiklah yang berperan, bukan sebaliknya. Apabila peranan guru lebih dominan, anak didik menjadi pasif sehingga tidak menumbuhkan motivasi bagi siswa. Siswa hendaknya dirangsang untuk selalu bertanya, berpikir kritis, dan mengemukakan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mempertahankan pendapatnya. Dengan kata lain mendorong siswa berpikir dan bertindak kreatif. Terlebih dalam pembelajaran berbicara yang memang seharusnya siswalah yang aktif berbicara. Berdasarkan hasil refleksi mata pelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD GKST Beteleme, belum sesuai dengan yang diharapkan. Setelah melakukan wawancara terhadap guru dan peserta didik kelas V SD GKST Beteleme maka diketahui bahwa peserta didik belum dapat menggunakan lafal dan intonasi dengan tepat, peserta didik kurang memperhatikan saat guru sedang menerangkan. Guru kurang menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan cenderung monoton sehingga peserta didik merasa bosan dan jenuh untuk mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya bermain peran pada pembelajaran drama. Padahal pembelajaran drama penting untuk dipelajari siswa, karena drama merupakan pencerminan lingkungan hidup yang berguna. Drama mengungkapkan hal ikhwal tentang kemanusiaan. Pada dasarnya pengajaran drama penting untuk membangun citra kemanusiaan. Melalui drama kemanusiaan seseorang terbang dan hidup. Manusia jadi paham dengan dirinya sendiri, lingkungan, Tuhan, dan alam semesta. (Maryaeni,1990:2; Endraswara,2003:251). Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat, bermain peran, dan membawa acara di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuangkan ide kreatifnya. Berdasarkan pembahasan di atas peneliti mendesain pembelajaran yang dapat memotivasi siswa agar dalam membelajarkan siswa pada materi aspek berbicara khususnya pembelajaran drama dalam bermain peran melalui metode roll play untuk menarik minat siswa, yang sesuai dengan karakteristik siswa. Dari beberapa indicator yang tertuang dalam kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) peneliti fokuskan pada Kompetensi Dasar yang ada di kelas V semester genap yaitu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain peran. Dengan kompetensi Dasar memerankan tokoh dalam drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Mengingat pentingnya hal tersebut maka metode bermain peran atau disebut Role play menjadi sebuah alternatif yang baik untuk digunakan dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berbicara siswa dalam pembelajaran drama terutama pada kompetensi dasar memerankan tokoh cerita dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Siswa berperan seperti layaknya kehidupan sehari-hari siswa atau dengan berperan menjadi seseorang yang dia ketahui secara langsung. Hal di atas menjadi alasan dan latar belakang sehingga judul ‘Upaya meningkatkan keterampilan 152 Berbicara melalui metode bermain peran pada pembelajaran drama siswa kelas V SD GKST Beteleme dipilih sesuai dengan masalah yang terjadi di lapangan, dengan tujuan Untuk meningkatkan kualitas hasil keterampilan berbicara khususnya dalam bermain drama melalui metode Roll Play pada siswa kelas V SD GKST Beteleme. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi guru melalui metode bermain peran atau roll play dalam pembelajaran keterampilan berbicara khususnya drama di sekolah dasar demi kemajuan siswa dan mutu pendidikan. II. memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologi, neurologis, semantik, dan linguistik sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penti ng terutama bagi kontrol sosial. Menurut Mulgrave (dalam H. G. Tarigan, 2012:16) berbicara bukan sekedar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata tetapi berbicara merupakan suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun sesuai dengan kebutuhan pendengar. Melalui berbicara seseorang berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya ke pada orang lain secara lisan. Tanpa usaha untuk mengungkapkan dirinya, orang lain tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Tanpa berbicara, seseorang akan mengucilkan diri sendiri dan akan terkucilkan dari orang di sekitarnya. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa ahli bahasa telah mendefinisikan pengertian berbicara, di antaranya adalah H.G Tarigan (2012:16) menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan orang tersebut. Berbicara merupakan sistem tanda-tanda yang (dapat didengar) dan (dapat dilihat) dengan memanfaatkan otot dan jaringan tubuh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan, gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. SelanjunyaTarigan (2012:132) berpendapat bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dikemukakan pula bahwa kaitan antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampaian sangat erat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam wujud asli, melainkan dalam bentuk lain yakni bahasa. Pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi seperti semula. Sejalan dengan pendapat di atas, St. Y. Slamet (2008:33) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan suatu penyampaian maksud bisa berupa gagasan, pikiran, isi hati seseorang kepada orang lain. Selain itu, dijelaskan juga berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang 2.1 Keterampilan Berbicara Menurut Iskandarwassid dan Dadang Suhendar (2008:241), keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini , kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduk suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara. Keterampilan ini juga didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggungjawab dengan menghilangkan masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangangan, berat lidah, dan lain-lain. 2.2 Tujuan Berbicara Berbicara tentu memiliki tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan bicaranya. Agar tujuan itu dapat tersampaikan dengan baik dan efektif, maka pembicara harus memahami hal yang akan disampaikan dan menguasai aspek keterampilan berbicara. Dalam hal ini, pendengar akan memaknai informasi atau pesan yang disampaikan oleh pembicara. 153 pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan. Melalui penggunakan metode secara tepat dan akurat, guru akan mampu mencapai tujuan dalam pembelajaran. Jadi, guru sebaiknya menggunakan metode pembelajaran yang dapat menunjang kegiatan belajar-mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Seperti yang telah dikemukakan oleh Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001:114) bahwa metode adalah cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pembelajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Sementara itu, Puji Santosa, dkk (2008:2.26) menyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai suatu sistem perencanaan pembelajaran bahasa Indonesia secara menyeluruh untuk memilih, mengorganisasikan, dan menyajikan materi pelajaran bahasa Indonesia secara teratur. Metode dan pembelajaran dapat dikatakan sebagai kesatuan kata yang terdapat dalam ilmu pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, untuk mendefinisikan pengertian metode pembelajaran haruslah mendefinisikan apa arti pembelajaran. Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata’ mengajar’ berasal dari kata ‘ajar’ yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, KBBI (2012:5). 2.3 Faktor-faktor yang Menunjang dalam Keefektifan Berbicara Agar dapat berkomunikasi secara baik, pembicara harus mempunyai kemampuan berbicara yang baik pula. Oleh karena itu, agar pesan atau gagasan pembicara dapat diterima oleh pendengar, maka pembicara harus mampu menyampaikan isi pembicaraan secara baik dan efektif. Sebagai mana diungkapkan oleh Maidar G. Arsjad dan Mukti U. S. (1991: 87) bahwa untuk keefektifan berbicara, pembicara perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Yang dimaksud dengan faktor kebahasaan, antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi ketepatan pengucapan vokal dan konsonan), (2) penempatan tekanan, (3) penempatan persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5) pilihan kata, (6) pilihan ungkapan, (7) variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur kalimat, dan (10) ragam kalimat. Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi: (1) keberanian/semangat, (2) kelancaran, (3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata, (5) gerak-gerik dan mimik, (6) keterbukaan, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik. Aspek-aspek kebahasaan dan nonkebahasaan di atas diarahkan pada pemakaian bahasa yang baik dan benar. Mencermati berbagai temuan dari beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara di SD berperan penting dalam meningkatkan keterampilan berbahasa lainnya, sehingga perlu diterapkan cara atau metode yang tepat dalam pembelajarannya. Salah satu penerapan metode yang dapat dipilih dalam pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD) adalah dengan metode bermain peran sesuai kompetensi dasar pada kelas V semester II yaitu siswa dapat memerankan tokoh cerita pada pembelajaran drama khususnya bermain peran. 2.5 Manfaat Metode Bermain Penggunaan metode bermain peran akan bermanfaat jika mengikuti langkahlangkah yang dikemukakan oleh Bruce Joyce, et al (2009:341), adalah sebagai berikut :  Siswa dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali danmemperhitungkan perasaannya sendiri serta perasaan orang lain. Siswa bisa memiliki perilaku baru dalam menghadapi situasi sulit yang tengah dihadapi, dan siswa meningkatkan skill memecahkan masalah. 2.4 Pembelajaran Drama dengan Menggunakan Metode Roll Play Dalam pembelajaran peranan metode sangat memegang peranan yang sangat penting karena merupakan tata cara dalam menentukan langkah-langkah 154  langkah, yaitu perencanaan, aksi atau tindakan, observasi, dan refleksi (Wibawa, 2004: 13). Role playing bisa merangsang timbulnya beberapa aktivitas Siswa menikmati tindakan atau pemeranan. Role playing adalah salah satu sarana untuk mengembangkan materi instruksional. Tingkatan dalam metode ini tidakakan pernah berakhir dengan sendirinya, tetapi hanya membantu siswa untuk mengekspos nilai-nilai, perasan, solusi masalah, dan tingkah lakuyang ada dan terpendam dalam diri siswa. III. 3.1 Instrumen Pengumpulan Data Instrument pengumpulan data yang digunakan terdiri dari tes, postest, lembar observasi, dan kisi-kisi instrument. Berikut penjelasan instrument-instrumen tersebut:  Test Tes adalah suatu teknik pengukuran yang di dalamnya terdapat berbagai pertanyaan-pertanyaan, atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh responden. Tes tertulis ini berupa tes akhir (postest). Tes awal adalah tes yang dilaksanakan di awal pembelajaran untuk mengetahui kemampuan siswa. Sedangkan tes akhir dilaksanakan pada akhir pembelajaran untuk mengetahui siswa setelah pembelajaran berlangsung. Catatan lapangan untuk merekam kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kegiatan tindakan kelas berlangsung. Proses analisis data terdiri dari hasil data saat pelaksanaan kegiatan. Mahsun (2010:12) mengatakan, analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi, dan mengkelompokan data. Data yang terkumpul dari hasil penelitian adalah data yang terdiri dari observasi aktivitas siswa, hasil observasi guru dan hasil belajar yang berupa nilai tes setiap akhir siklus. Ada pun langkahlangkah analisis dari setiap siklus adalah:  Menganalisis data hasil observasi terhadap pelaksanaan tindakan setiap siklus dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang hanya menggunakan paparan sederhana.  Menentukan rata-rata dari seluruh siswa yang mengikuti tes. Tingkat keberhasilan siswa berdasarkan skor tes yang diperoleh ditetapkan dalam nilai dengan menggunakan rumus: Model atau format lembar penilaian terhadap keterampilan berbicara siswa yang digunakan tertera pada tabel 2 sebagai berikut : Format Lembar Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan Berbicara Siswa Keterangan : METODE PENELITIAN Desain atau model penelitian ini mengacu pada model Kurt Lewin, bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu perencanaan, aksi atau tindakan, observasi, dan refleksi (Wibawa, 2004: 13). Lokasi penelitian dilaksanakan di SD GKST Beteleme, siswa kelas V Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 yaitu pada semester II pada tahun pelajaran 2014/2015. Dalam penelitian ini, peneliti melaksanakan pembelajaran secara bersiklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD GKST Beteleme, jumlah siswa 21 orang yang terdiri atas 10 orang siswa laki-laki dan 11 orang siswa perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada pembelajaran bahasa Indonesia melalui metode Bermain Peran. Penelitian ini berbentuk penelitian tindakan kelas sehingga mekanisme kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus yang dalam setiap siklusnya tercakup 4 kegiatan, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan (tindakan), (3) observasi, dan (4) refleksi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Suhardjono (dalam Suharsimi Arikunto dkk, 2006: 74) bahwa penelitian tindakan kelas merupakan proses pengkajian sistem berdaur dalam suatu siklus. Sistem prosedur penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Desain atau model penelitian ini mengacu pada model Kurt Lewin, bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat 155 Kemampuan memberikan intonasi dapat dijelaskan sebagai berikut:  Intonasi tepat: sedikit sekali kesalahan penempatan tekanan kata/suku kata, pembicaraan juga tidak terkesan datar.  Intonasi cukup tepat: terkadang membuat kesalahan dalam penempatan tekanan kata/suku kata sehingga cukup terkesan datar.  Intonasi kurang tepat: sering tidak memberikan tekanan kata/suku kata yang seharusnya mendapatkan intonasi dan cuku R Rp membosankan lawan bicara.  Intonasi tidak tepat: sama sekali tidak ada tekanan kata/suku kata dalam pembicaraannya dari awal sampai akhir sehingga membosankan lawan bicara dan keseluruhan bicaranya terkesan datar. Aspek yang dinilai: lafal, intonasi, kelancaran, ekspresi berbicara Petunjuk penilaian :  Nilai setiap aspek yang dinilai dalam berbicara berskala 1 sampai 4  Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap aspek penilaian yang diperoleh siswa.  Nilai akhir yang diperoleh siswa diolah dengan menggunakan rumus: Jumlah Skor x 100 = Nilai Akhir 20 1.1.1 Nilai rata-rata kelas dihitung dengan rumus: Jumlah nilai = nilai ratarata Jumlah siswa 2.1.1 Persentase ketuntasan pembelajaran berbicara dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah siswa yang mendapat nilai Nilai �� �ℎ � � � % rata-rata (NR) = � � �� � � 3.1.3 Kelancaran Kemampuan kelancaran berbicara dapat dijelaskan sebagai berikut:  Berbicara lancar: sedikit sekali berbicara dengan terputus tetapi tidak terdapat ‘ee….’ dansejenisnya.  Berbicara cukup lancar: terkadang berbicara dengan terputus-putus dan menyisipkan buni’ee…’ dan sejnisya  Berbicara kurang lancar: berbicara sering terputus-putus dan menyisipkan bunyi ‘ee…’ dan sejenisnya.  Berbicara tidak lancar: berbicara selalu terputus-putus, banyak pengucapan sisipan bunyi ‘ee…’ dan sejenisnya. Penjelasan dari tiap-tiap deskriptor sebagai berikut : 3.1.1 Lafal Kemampuan melafalkan bunyi kata dijelaskan sebagai berikut:  Lafal sangat jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan sangat jelas yaitu benar-benar dapat dibedakan bunyi konsonan dan vokal (hampir tidak ada kesalahan).  Lafal jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan jelas yaitu dapat dibedakan bunyi konsonan dan vokal (artikulasi jelas tetapi sesekali melakukan kesalahan).  Lafal cukup jelas: cukup kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dan vokal dengan jelas tetapi masih dapat dipahami pendengar.  Lafal kurang jelas: melafalkan katakata yang susah sekali dipahami karena masalah pengucapan yaitu bunyi konsonan dan vokal kurang jelas untuk dibedakan sehingga memaksa pendengar harus mendengarkan dengan teliti ucapannya. 3.1.2 3.1.4 Ekspresi Berbicara Kemampuan ekspresi dalam berbicara dijelaskan sebagai berikut:  Ekspresi berbicara tepat: terkadang menggunakan mimik/pantomimik berbicara yang dapat membangkitkan perhatian lawan bicara.  Ekspresi berbicara cukup tepat: terdapat mimik/pantomimik berbicara tetapi tidak proporsional (terlalu berlebihan/tidak tepat pada keadaan).  Ekspresi berbicara kurang tepat: raguragu dalam memberikan gerak-gerik Intonasi 156  dalam bermain drama pada siswa kelas V SD GKST Beteleme. (mimik/pantomimik) yang dapat meyakinkan lawan bicara. Ekspresi berbicara tidak tepat: berbicara tanpa ada gerakan, statis, dan terkesan kaku. IV. 4.3 Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus I Tes ini dilakukan untuk menilai keterampilan berbicara siswa dalam bermain drama setelah menggunakan metode roll play. Tes dilaksanakan secara klasikal dan dilakukan secara individu dan kelompok. Hasil tes akhir tindakan dapat dilihat pada tabel berikut : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Paparan Data dan Hasil Penelitian Siklus I Sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil pengamantan, pada bagian siklus I akan diungkapkan data tentang: (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, (3) evaluasi pembelajaran, dan (4) refleksi tindakan. Paparan selengkapnya sebagai berikut. Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus dengan dua kali tindakan, dan terbagi dalam dua bagian, yaitu : pratindakan dan tindakan. Tabel 4.1. Hasil Tes Akhir dalam memerankan tokoh Cerita Siklus I Rentang nilai 0 – 24 25 – 49 50 – 74 75 – 100 Jumlah Frekwensi 0 3 7 11 21 Prosentasi 0 14,29 33,33 52,38 100 Kategori Tidak tuntas Tidak tuntas Tidak tuntas Tuntas Dari hasil tes tersebut di atas, dapat dilihat prosentase ketuntasan klasikal hanya 52,38. Indikator keberhasilan ketuntasan yang ditetapkan adalah 80%. Ini menandakan bahwa ketuntasan belajar klasikal belum tercapai. Dari hasil pengamatan terhadap aktivitas guru, diperoleh informasi bahwa dalam aktivitas yang dilakukan guru dikategorikan baik oleh observer, meskipun ada beberapa aspek yang dinilai kurang, seperti:  guru kurang mengontrol kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa saat kerja kelompok sehingga masih ada siswa yang tidak mengerjakan tugas secara keseluruhan,  guru kurang memberikan penghargaan bagi kelompok yang telah mempresentasikan jawabannya,  guru kurang optimal dalam pengelolaan waktu sehingga tidak sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Dari pengamatan yang dilakukan terhadap aktivitas siswa, diperoleh informasi bahwa siswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran, apalagi dengan adanya teka-teki kata yang dibuat guru dalam LKS, walau dalam beberapa aspek  Masih dinilai kurang oleh observer, seperti 4.2 Kegiatan Pratindakan Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti melakukan observasi awal terhadap kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas V, khususnya bermain drama pada aspek berbicara. Dari hasil observasi, dapat diidentifikasi masalah yang menyebabkan siswa kesulitan di dalam memeragakan tokoh cerita. Salah satunya adalah budaya belajar yang masih senang menerima. Hal ini menyebabkan kurangnya keterampilan siswa dalam melakoni peran tokoh sehingga dalam berakting dirasakan sulit oleh siswa, terlebih dalam berekspresi. Hasil analisis tes awal (perbuatan) sebelum menggunakan metode rool play, dapat diketahui bahwa kemampuan siswa dalam bermain drama masih sangat rendah, ini dibuktikan dari 21 siswa yang mengikuti tes yang tuntas dalam memerankan tokoh cerita hanya 6 orang atau hanya sebesar 28,58%. Maka, peneliti bersama kolaborator mencari solusi dan menetapkan metode yang akan diterapkan dalan penelitian tindakan kelas, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara 157  berdasarkan rencana pembelajaran yang telah dibuat dengan tetap mengacu pada pendekatan metode Roll SPlay pada pembelajaran drama dalam brmain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Siswa kurang berpartisipasi dalam pembelajaran,  Tidak semua siswa aktif dalam pembelajaran kelompok,  Saat diberi kesempatan untuk bertanya, masih banyak siswa yang belum berani,dalam mempresentasikan melakoni peran dari tokoh cerita singkat, masih banyak siswa yang belum bisa untuk menyampaikan hasil diskusinya member komentar penampilan siswa berakting dengan baik dikarenakan kurangnya perbendaharaan kosa kata/berbicara secara sistematis. Wawancara dilakukan guru terhadap siswa dengan tujuan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam pembelajaran. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa 1) siswa senang dengan model pembelajaran yang diterapkan guru, walau siswa masih merasa kesulitan untuk berbicara dengan kalimat yang runtut, 2) siswa belum terbiasa untuk memeragakan di depan kelas atau berbicara secara sistematis. 4.6 Hasil Tes Akhir Tindakan Siklus II Tes siklus II ini juga dilaksanakan secara klasikal. Tes ini dilaksanakan untuk menilai hasil keterampilan berbicara melalui bermain drama. Siswa juga diberi kesempatan untuk mengisi angket respon siswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan. Hasil tes akhir siklus II dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.2. Hasil Tes Akhir Memerankan Tokoh Cerita Siklus II Rentang nilai 0 – 24 25 – 49 50 – 74 75 – 100 Jumlah Frekwensi 0 0 3 18 21 Prosentasi 0 0 14,29 85,71 100 Kategori Tidak tuntas Tidak tuntas Tidak tuntas Tuntas Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal mencapai 85,71% atau yang tuntas belajar ada 18 siswa dari 21 siswa. Indikator keberhasilan telah tercapai bahkan lebih dari yang diharapkan. Dari hasil analisis angket yang diisi oleh seluruh siswa, diperoleh informasi sebagai berikut. 4.4 Refleksi Tindakan Siklus I Peneliti bersama kolaborator melakukan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus I. Dari hasil analisis tes akhir, siswa belum tuntas secara klasikal karena hanya mencapai 52,38% atau dari 21 siswa, yang tuntas belajar hanya 11 orang. Hal ini disebabkan belum optimalnya pembelajaran yang dilakukan guru. Dari hasil wawancara, observasi, dan hasil belajar siswa, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan siklus I belum berhasil maka dilanjutkan pada siklus II untuk melihat kemajuan belajar siswa dengan memperbaiki kekurangankekurangan yang terjadi pada siklus I. 4.7 4.5 Hasil Tindakan Siklus II Perencanaan tindakan siklus II ini sama dengan pada siklus I, hanya media pembelajaran yang digunakan bukan lagi potret lingkungan sekolah. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 16 April 2015. Kegiatan pembelajaran dilakukan Hasil Analisis Penilaian Respon Siswa terhadap metode Roll Play No Skor Siswa Kategori Respon 1. 2. 85 80 3. 75 Sikap Keterampilan Pemahaman Materi Jumlah Siswa (Skala Likkert) 18 19 18 Persentase (%) 85,71 90,48 85,71 Dari tabel di atas. diperoleh hasil respon sikap siswa 85,71%, keterampilan 90,48%, dan pemahaman materi 85,71%. Berdasarkan kategori penilaian respon siswa terhadap pembelajaran bahasa 158 Indonesia dengan menggunakan metode roll play diperoleh hasil bahwa untuk ketiga kategori tersebut di atas menunjukkan respon yang positif dari hampir seluruh siswa. V. Berdasarkan kategori penilaian respon siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan metode roll play diperoleh hasil bahwa untuk ketiga kategori tersebut di atas menunjukkan respon yang positif , oleh sebab itu penelitian dihentikan pada siklus yang kedua. SIMPULAN Dari hasil analisis tes akhir siklus I, siswa belum tuntas secara klasikal hanya mencapai 52,38% atau dari 21 siswa hanya 11siswa yang tuntas belajar. Hal ini disebabkan belum optimalnya pembelajaran yang dilakukan guru dan penerapan metode roll play belum maksimal. prosentase ketuntasan klasikal hanya 52,38. Sedangkan indikator keberhasilan ketuntasan yang ditetapkan adalah 80%. Ini menandakan bahwa ketuntasan belajar klasikal belum tercapai maka kegiatan dilanjutkan pada siklus yang kedua. Ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 85,71% atau yang tuntas belajar ada 18 siswa dari 21 siswa. Indikator keberhasilan telah tercapai bahkan lebih dari indicator yang telah ditetapkan. Respon sikap siswa 85,71%, keterampilan 90,48%, dan pemahaman materi 85,71%. VI. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menyarankan beberapa hal yang terkait dengan peningkatan kemampuan siswa dalam bermain drama. Pada hakikatnya pembelajaran drama merupakan keterampilan berbicara yang urgency yang harus dikuasai dan disenangi oleh siswa, dengan demikian guru dapat menciptakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif untuk dapat mengembangkan potensi diri, menerapkan berbagai metode, strategi, materi, media dan evaluasi pembelajaran yang berkualitas agar hasil pembelajaran drama pada aspek berbicara siswa terus dapat ditingkatkan. 159 DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang. Agus Suprijono. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alwasilah, A. Chaedar dkk. (1998). Pengajaran bahasa komunikatif, teori dan praktek.Bandung : Remaja Rosda karya. Akhadiah, Sabarti. (1988). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta:PT gelora Aksara Pramata. Aninditya Sri Nugraheni. 2009.”Penerapan Strategi Cooperative Learning Jenis Think-Pair-Share (TPS) pada Pembelajaran Kompetensi Berbicara pada Siswa Kelas VI-H SD Al-Islam Surakarta”. Thesis. Universitas Sebelas Maret, tidak dipublikasikan. BSNP. (2006). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD dan MI. Jakarta:Media Makmur Maju Mandiri Bruce Joyce. 2009. Model-model Pengajaran. Jakarta: Pustaka Pelajar. Djargo, Tarigan. (1996). Pendekatan Komunikatif dan berbicara. Bandung : Angkasa. Hamalik. (2009). Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara. Henry Guntur Tarigan. 2012. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Mulyani, Sumantri. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka. Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara 160 Media Litbang Sulteng IX No. (1), Januari 2016 ISSN : 1979 - 5971 DAFTAR ISI 9. 1. Penggunaan Media Foto Keluarga Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Menulis Narasi Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme (Ferlin Selviani Kalaena) ....................................................01 2. Peningkatan Hasil Dan Aktivitas Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Menulis Deskripsi Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Permainan Tebak Misteri Pada Siswa Kelas VII SMP 1 Beteleme (John Budzer Poko) ……...……11 10. Peningkatan Hasil Belajar Bola Kasti Pada Mata Pelajaran Penjaskes Melalui Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Berkombinasi Dengan Pendekatan Lingkungan Pada Siswa Kelas V SDN 3 Kolonodale (Adris Ganoli).....................................................95 3. Peningkatan Keaktifan Dan Hasil Belajar Keterampilan Berbicara Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Sigi (Doriana Taiso) ..................23 11. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning Pada Mata Pelajaran Pkn Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembo (Lis Marta Lapoliwa)...................................105 4. Penerapan Pendekatan Multiple Intelegence Linguistic Intelegence Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Siswa Kelas V SDN I Beteleme (Helnice Talingkau)..................35 12. Peningkatan Partisipasi Dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pkn Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Dengan Media Puzzle Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Sigi (Bernike)..........117 5. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi Dengan Menggunakan Media Brosur Perjalanan Wisata Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue (Zusje Marie Deetje Kumenit)………………………………....44 13. Peningkatan Hasil Dan Motivasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sejarah Melalui Penerapan Strategi Pembelajaran Card Sort Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sindue (Silim).....................................................129 14. Peningkatan Motivasi Dan Prestasi Belajar Siswa Dalam Mengapresiasi Karya Seni Rupa Pada Mata Pelajaran Seni Budaya Melalui Penerapan Model Pembelajaran Pameran Karya Seni Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Sigi (Yerkas Maleta)...................................................140 6. Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Bimbingan Konseling Dengan Penerapan Metode Sosiodrama Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sindue (Samsi) ....................................................................55 7. 8. Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Dan Psikomotorik Siswa Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Aspek Keterampilan Menulis Karangan Narasi Melalui Penggunaan Media Foto Kenangan Pada Siswa Kelas VI SDN 2 Tanahsumpu (Antonius Vuliantoro).............................85 Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada Materi Gerak Tumbuhan Melalui Penerapan Model Pembelajaran Inside Outside Circle Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mori Atas(Yulinus Mowendu)...... ..................................................................64 15. Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Pada Siswa Kelas V SD GKST Beteleme (Eflilian Kalaena)..................................151 Peningkatan Hasil Dan Aktivitas Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Lembo (Julianeri Russang) ..................................................................74 161 ISSN : 1979 - 5971 Media Litbang Sulteng IX No. (1), Januari 2016 MEDIA LITBANG SULAWESI TENGAH Penanggung Jawab Kepala Balitbangda Provinsi Sulteng Redaktur Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan Penyunting/Editor Dr. Agus T. Syam, S.Pd, M.Pd Obin, S.Sos Desain Grafis Muhammad Anshar DM, S.Sos Iwan Setyawan, S.Kom Handriani Octavia Sekretariat Media Litbang Sulteng Jl.Dr. Suharso No.14 Telp/Fax. (0451) 426810 – 457103 Palu – 94112 Website : www.balitbangda.sultengprov.go.id Terbit Berdasarkan SK Kepala Balitbangda Nomor : 900/0108/Bid. EVLAP, Tanggal 19 Januari 2016 162 PEDOMAN PENULISAN Media Litbang Sulawesi Tengah adalah Media Publikasi Hasil-Hasil Penelitian terbaru dan merupakan tulisan asli yang berkaitan dengan aspek pembangunan secara luas di Sulawesi Tengah, dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diterima adalah hasil-hasil penelitian, review atau analisis kebijakan yang belum pernah dimuat di dalam jurnal ilmiah Nasional maupun Internasional. 1. Pedoman Umum Naskah di ketik dua spasi pada kertas HVS ukuran A4 (21x29,5), huruf Times New Roman berukuran 12 point. Kata di akhir baris tidak boleh di pisahkan. Setiap halaman di beri nomor secara berurutan, maksimum 15 halaman termasuk tabel dan gambar. Naskah di ketik dengan prgram Microsoft Word (Microsoft Office 2003). Naskah sebanyak 3 eksemplar dan Flashdisk di Kirim ke : Sekretariat Media Litbang Sulawesi Tengah Kantor Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah Jl. Dr. Suharso No.14 Palu 94112. Telepon/Fax : (0451) 426810 - 457103 2. Susunan Naskah Naskah di susun dalam urutan Halaman Judul, Abstract, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan pembahasan. Kesimpulan dan Daftar Pustaka. Review dan Analisis Kebijakan di tulis sebagai naskah sinambung tanpa subjudul Bahan dan Metode dan, Hasil dan Pembahasan. 3. Halaman Judul Pada halaman judul di tulis naskah, nama lengkap penulis, nama lembaga afiliasi penulis dan nama penulis untuk korespondensi. Judul naskah di ketik cetak tebal (bold) dengan huruf kapital untuk semua huruf kecuali huruf latin. Nama lembaga afiliasi penulis disertai alamat lengkap dengan kode pos. Nama penulis untuk korespondensi dilengkapi nomor telepon, Faximile dan e-mail. 4. Abstrak Abstrak di tulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 350 kata. Ditulis dalam bahasa Inggris atau Indonesia, dan di dalamnya tidak terdapat kutipan pustaka. Abstrak disertai kata kunci, maksimum 6 kata kunci, ditulis setelah abstrak. 5. Teks Penulisan Sub judul utama (Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil Pembahasan dan Kesimpulan, menggunakan huruf kapital yang diawali dengan penulisan angka Romawi (I, II, ........ dst), sedangkan untuk sub-sub judul menggunakan huruf kapital hanya diawali kata yang diawali dengan penulisan angka 1.1, 1.2, ........ dst. 6. Pustaka Kutipan pustaka harus di susun berdasarkan nama penulis dan tahun. Untuk pustaka dengan tulisan lebih dari dua, ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al’. yang ditulis miring (italic). Daftar pustaka di tulis berdasarkan urutan alfabet nama penulis, diurut dengan nama famili kemudian diikuti dengan singkatan dari nama penulis. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka sebagai berikut : Jurnal : Delhaize, E., Ryan, P.R., 1995. Aluminium toxicity and tolerance in plant. Plant Physio. 107 : 315-324. Nirwan, Aziz SA. 2006. Multiplikasi dan pigmentasi antosianin daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC in vitro. Buletin Agronomi 34 (2) : 112 – 118. Buku : Hudson, T. H., Cester, D. E., Davies, F.T., 1990. Plant Propagation. 4 rd Ed. Prentice Hall. New Jersey. 600p. 7. Tabel dan Gambar Penomoran tabel dan gambar adalah berurutan, dengan judul tabel dan gambar menggunakan huruf kapital pada kata pertama. Catatan kaki menggunakan angka dengan kurung tutup, dan diketik superscript. Grafik dan ilustrasi harus kontras dan dibuat dengan tinta hitam, kecuali foto dapat dibuat berwarna. Judul tabel diketik di bagian atas tabel, sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar. Penulisan tabel dan gambar sejajar dengan sisi kiri naskah, setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 8. Prosedur Publikasi Seluruh naskah yang di terima akan dikirim ke Dewan Editor untuk di nilai. Penilaian akan di lakukan oleh satu orang ahli di bidang yang bersangkutan. Dewan Editor akan menentukan naskah yang dapat diterbitkan. Naskah yang diterbitkan tidak akan dikembalikan. 163 PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena Berkat dan RahmatNya sehingga Jurnal Media Litbang Volume IX No. 1 Tahun 2016 dapat kembali terbit sesuai dengan rencana. Penerbitan Media Jurnal Litbang ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan informasi dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang merupakan hasil riset Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Universitas Tadulako sejak Tahun 2012, dengan maksud agar masyarakat pengguna khususnya Lembaga-lembaga Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan dan Lembaga-lembaga Swasta serta masyarakat pada umumnya dapat menjadikan Jurnal Media Litbang ini sebagai sumber informasi atau bahan pengembanan pendidikan dan acuan dalam penyusunan program pembangunan di Sulawesi Tengah. Tulisan dan hasil-hasil kajian dan riset yang di muat dalam Jurnal Media Litbang ini selain merupakan hasil riset yang dilakukan kepada masyarakat di Sulawesi Tengah sebagai subyek penelitian, juga memuat Karya Ilmiah para pendidik sehingga hasil penelitian ini benar-benar merupakan gambaran keadaan dan fakta nyata dari produk masyarakat Sulawesi Tengah sendiri. Dan pula hasil penelitian dalam Media Litbang ini telah melalui uji kelayakan pada seminar awal dan akhir yang mengikut sertakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, LSM dan unsur-unsur lain yang ada kaitannya dengan penelitian sehingga data dan informasi yang ditampilkan memiliki nilai ilmiah dan telah melalui kajian dan analisis dari para peneliti maupun pendidikan. Semoga Jurnal Media Litbang ini akan terus menjadi sumber informasi dan bahan acuan pengambil kebijakan di PEMDA Propinsi, Kabupaten/Kota, sehingga apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dapat terwujud yaitu masyarakat yang madani dan sejahtera. Salam Redaksi 164 165 166