[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
.ISLAM MASA RASULULLAH DI MEKKAH Nabi Muhammad dilahirkan pada hari senin tanggal 12 Rabiul awal, tahun gajah, kira-kira 571 masehi. Dinamakan tahun Gajah karena pada waktu kelahiran beliau, ada seorang gubernur dari keraan Nasrani Abisinia yang memerintah di Yaman bermaksud menghancurkan Ka’bah dengan bala tentaranya yang mengendarai Gajah. Belum tercapai tujuannya tentara tersebut, Allah telah menghancurkan mereka dengan mengirimkan burung Ababil. Karena pasukan itu menggunakan Gajah, maka tahun tersebut dinamakan tahun Gajah.1 Disamping tidak pernah berbuat dosa (ma’shum), nabi Muhammad SAW juga selalu beribadah dan berkhalwat di gua Hira. Sehingga pada tanggal 17 Ramadhan, beliau menerima wahyu pertama kali yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5. Pada saat itu pula Nabi dinobatkan sebagai Rasulullah atau utusan Allah SWT kepada seluruh umat manusia untuk menyampaikan risalah-Nya. Ini terjadi menjelang usia Rasulullah yang ke 40 tahun. Setelah sekian lama wahyu kedua tidak muncul, timbul rasa rindu dalam dada Rasulullah SAW. Akan tetapi tak lama kemudian turunlah wahyu yang kedua yaitu surat al-Mudatsir ayat 1-7. Dengan turunnya surat tersebut mulailah Rasulullah berdakwah. Dakwah pertama beliau adalah pada keluarga dan teman-temannya. Dengan turunnya wahyu ini, maka jelaslah apa yang harus Rasulullah kerjakan dalam menyampaikan risalah-Nya yaitu mengajak umat manusia menyembah Allah SWT yang maha Esa, yang tiada beranak dan tidak pula diberanakkan serta tiada sekutu bagi – Nya. 1.Penyiaran Islam secara Sembunyi-Sembunyi Ketika wahyu pertama turun, Nabi belum diperintah untuk menyeru umat manusia menyembah dan mengesakan Allah SWT. Jibril tidak lagi datang untuk beberapa waktu lamanya. Pada saat sedang menunggu itulah kemudian turun wahyu yang kedua (Qs. Al-Mudatstsir:1-7) yang menjelaskan akan tugas Rasulullah SAW yaitu menyeru ummat manusia untuk menyembah dan mengesakan Allah SWT. Dengan perintah tersebut Rasulullah SAW mulai berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Dakwah pertama beliau adalah pada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Orang pertama yang beriman kepada-Nya ialah Siti Khodijah (isteri Nabi), disusul Ali bin Abi Thalib (putra paman Nabi) dan Zaid bin Haritsah (budak Nabi yang dijadikan anak angkat). Setelah itu beliau menyeru Abu Bakar (sahabat karib Nabi). Kemudian dengan perantaraan Abu Bakar banyak orang-orang yang masuk Islam.2 2.Menyiarkan Islam secara Terang-Terangan Penyiaran secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3 tahun, sampai kurun waktu berikutnya yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan.3 Ketika wahyu tersebut beliau mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul dibukit Safa, menyerukan agar berhati-hati terhadap azap yang keras di kemudian hari (Hari Kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Tiga tahun lamanya Rasulullah SAW melakukan dakwah secara rahasia. Kemudian turunlah firman Allah SWT, surat Al-Hijr:94 yang memerintahkan agar Rasulullah berdakwa secara terang terangan. Pertama kali seruan yang bersifat umum ini beliau tujukan pada kerabatnya, kemudian penduduk Makkah baik golongan bangsawan, hartawan maupun hamba sahaya. Setelah itu pada kabilah-kabilah Arab dari berbagai daerah yang datang ke Makkah untuk mengerjakan haji. Sehingga lambat laun banyak orang Arab yang masuk Agama Islam. Demikianlah perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat untuk meyakinkan orang Makkah bahwa agama Islamlah yang benar dan berasal dari Allah SWT, akan tetapi kebanyakan orang-orang kafir Qurais di Mekkah menentang ajaran Nabi Muhammad SAW tersebut. Dengan adanya dakwah Nabi secara terang-terangan kepada seluruh penduduk Makkah, maka banyak penduduk Makkah yang mengetahui isi dan kandungan al-Qur’an yang sangat hebat, memiliki bahasa yang terang (fasihat) serta menarik. Sehingga lambat laun banyak orang Arab yang masuk Agama Islam. Dengan usaha yang serius pengikut Nabi SAW bertambah sehingga pemimpin kafir Quraisy yang tidak suka bila Agama Islam menjadi besar dan kuat berusaha keras untuk menghalangi dakwah Nabi dengan melakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap orang mukmin. Banyak hal yang dilakukan para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi. Pada mulanya mereka mengira bahwa kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib. Mereka mengancam dan menyuruh Abu Thalib untuk memilih dengan menyuruh Nabi berhenti berdakwa atau menyerahkannya pada orang kafir Quraisy. Karena cara–cara diplomatik dan bujuk rayu gagal dilakukan, akhirnya para pemimpin Quraisy melakukan tindakan fisik yang sebelumnya memang sudah dilakukan namun semakin ditingkatkan. Apabila orang Quraisy tahu bahwa dilingkungannya ada yang masuk Islam, maka mereka melakukan tindakan kekerasan semakin intensif lagi. Mereka menyuruh orang yang masuk Islam meskipun anggota keluarga sendiri atau hamba sahaya untuk di siksa supaya kembali kepada agama sebelumnya (murtad). Kekejaman yang dilakukan oleh peduduk Mekkah terhadap kaum muslimin mendorong Nabi SAW untuk mengungsikan sahabat–sahabatnya keluar Makkah. Sehingga pada tahun ke 5 kerasulan Nabi Muhammad SAW menetapkan Habsyah (Etiophya) sebagai negeri tempat untuk mengungsi, karena rajanya pada saat itu sangat adil. Namun kafir Quraisy tidak terima dengan perlakuan tersebut, maka mereka berusaha menghalangi hijrah ke Habsyah dengan membujuk raja Habsyah agar tak menerima kaum muslimin, namun gagal. Ditengah-tengah sengitnya kekejaman itu dua orang kuat Quraisy masuk Islam yaitu Hamzah dan Umar bin khattab sehingga memperkuat posisi umat Islam. Hal ini memperkeras reaksi kaum Quraisy Mereka menyusun strategi baru untuk melumpuhkan kekuatan Muhammad SAW yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Persetujuan dilakukan dan ditulis dalam bentuk piagam dan disimpan dalam ka’bah. Akibatnya Bani Hasyim mengalami kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang tiada bandingnya. Hal ini terjadi pada tahun ke –7 ke Nabian dan berlangsung selama 3 tahun yang merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam. Pemboikotan ini berhenti setelah para pemimpin Quraisy sadar terhadap tindakan mereka yang terlalu. Namun selang beberapa waktu Abu Thalib meninggal Dunia, tiga hari kemudian istrinya, Siti Khodijah pun wafat. Tahun itu merupakan tahun kesedihan bagi Nabi (Amul Huzni). Sepeninggal dua orang pendukung tersebut kaum Quraisy tak segan–segan melampiaskan amarahnya. Karena kaum Quraisy tersebut Nabi berusaha menyebarkan Islam keluar kota, namun Nabi malah di ejek, di sorak bahkan dilempari batu hingga terluka di bagian kepala dan badan. Untuk menghibur Nabi, maka pada tahun ke –10 keNabian, Allah mengisra’mi’rajkannya. Berita ini sangat menggemparkan masyarakat Makkah. Bagi orang kafir hal itu dijadikan sebagai propaganda untuk mendustakan Nabi, namun bagi umat Islam itu merupakan ujian keimanan. Setelah peristiwa ini dakwah Islam menemui kemajuan, sejumlah penduduk Yastrib datang ke Makkah untuk berhaji, mereka terdiri dari suku Khozroj dan Aus yang masuk Islam dalam tiga golongan : 1.Pada tahun ke –10 keNabian. Hal ini berawal dari pertikaian antara suku Aus dan Khozroj, dimana mereka mendambakan suatu perdamaian. 2.Pada tahun ke -12 ke-Nabian. Delegasi Yastrib (10 orang suku Khozroj, 2 orang Aus serta seorang wanita) menemui Nabi disebuah tempat yang bernama Aqabah dan melakukan ikrar kesetiaan yang dinamakan perjanjian Aqabah pertama. Mereka kemudian berdakwah dengan ini di temani seorang utusan Nabi yaitu Mus’ab bin Umar. 3.Pada musim haji berikutnya. Jama’ah haji Yastrib berjumlah 73 orang, atas nama penduduk Yastrib mereka meminta Nabi untuk pindah ke Yastrib, mereka berjanji untuk membelah Nabi, perjanjian ini kemudian dinamakan Perjanjian Bai’ah Aqabah II. Setelah mengetahui perjanjian tersebut, orang kafir Quraisy melakukan tekanan dan intimidasi secara lebih gila lagi terhadap kaum muslimin. Karena hal inilah, akhirnya Nabi memerintahkan sahabat–sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib. Dalam waktu dua bulan, ± 150 orang telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap bersama Nabi, akhirnya ia pun hijrah ke Yastrib bersama mereka karena kafir Quraisy sudah merencanakan pembunuhan terhadap Nabi SAW. Adapun cara-cara yang dilakukan orang Quraisy dalam melancarkan permusuhan terhadap Rasulullah SAW dan pengikutnya sebagai berikut: a.Mengejek, menghina dan menertawakan orang-orang Muslim dengan maksud melecehkan kaum muslimin. b.Mengejek ajaran Nabi, membangkitkan keraguan, menyebarkan anggapan-anggapanyang menyangsikan ajaran Nabi. c.Melawan Al-Qur’an dengan dongeng-dongeng orang-orang terdahulu. d.Menyodorkan beberapa tawaran pada orang Islam yang mau menukar keimanannya dengan kepercayaan orang kafir Quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang menyebabkan orang-orang kafir Quraisy berusaha menghalangi dakwah Islam yaitu: Pertama, Orang kafir Quraisy tidak dapat membedakan antara keNabian dan kekuasaan. Mereka menganggap bahwa tunduk pada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan bani Abdul Muthallib. Kedua, Nabi Muhammad SAW menyerukan persamaan antara bangsawan dan hamba sahaya. Ketiga, Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima adanya hari kebangkitan kembali dan hari pembalasan di akhirat. Keempat, Taklid pada nenek moyang adalah kebiasaan yang berakar pada bangsa Arab. Kelima, Pemahat dan penjual patung menganggap Islam sebagai penghalang rezeki mereka.4 B.RASULULLAH SAW MEMBANGUN MASYARAKAT ISLAM DI MADINAH Setiap musim haji tiba, banyak kabilah yang datang ke Mekah. Begitu juga nabi Muhammad SAW. Dengan giat menyampaikan dakwah islam. Diantara Kabilah yang menerima Islam adalah Khajraj dari Yatrib (Madinah). Setelah kembali ke negerinya, mereka mengabarkan adanya Nabi terakhir.5 Pada tahun ke 12 kenabiannya, datanglah orang-orang Yastrid di musim haji ke Mekah dan menemui nabi di Bai’atul Akabah. Di tempat ini mereka mengadakan bai’at (perjanjian) yang isinya bahwa mereka setia pada nabi, tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kecil, tidak memfitnah, dan ikut menyebarkan islam. Perjanjian ini dikenal dengan Bai’atul Akabah Ula (Perjanjian Akabah Pertama) karena dilaksanakan di bukit akabah atau disebut Bai’atun Nisa’ (perjanjian wanita) karena didalamnya terdapat seorang wanita ‘Afra binti ‘Abid bin Tsa’labah.6 Ketika beliau sampai di Madinah, disambut dengan syair-syair dan penuh kegembiraan oleh penduduk Madinah. Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari ancaman dan tekanan orang kafir Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun srategi dalam menghadapi tantangan lebih lanjut, sehingga nanti terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Allah SWT. Islam mendapat lingkungan baru di kota Madinah. Lingkungan yang memungkinkan bagi Nabi Muhammad SAW untuk meneruskan dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkan dalam kehidupan sehari-hari (Syalaby,1997:117-119). Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib, Nabi diangkat menjadi pemimpin penduduk Madinah. Sehingga disamping sebagai kepala/ pemimpin agama, Nabi SAW juga menjabat sebagai kepala pemerintahan / Negara Islam. Kemudian, tidak beberapa lama orang-orang Madinah non Muslim berbondongbondong masuk agama Islam. Untuk memperkokoh masyarakat baru tersebut mulailah Nabi meletakkan dasar-dasar untuk suatu masyarakat yang besar, mengingat penduduk yang tinggal di Madinah bukan hanya kaum muslimin, tapi juga golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang, maka agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan Nabi mengadakan perjanjian dengan mereka, yaitu suatu piagam yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Di samping itu setiap masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh. Adapun dasar-dasar tersebut adalah: 1.Mendirikan Masjid Setelah agama Islam datang Rasulullah SAW mempersatukan seluruh suku-suku di Madinah dengan jalan mendirikan tempat peribadatan dan pertemuan yang berupa masjid dan diberi nama masjid “Baitullah”. Dengan adanya masjid itu, selain dijadikan sebagai tempat peribadatan juga dijadikan sebagai tempat pertemuan, peribadatan, mengadiliperkara dan lain sebagainya. 2.Mempersaudarakan antara Anshor dan Muhajirin Orang-orang Muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta akan tetapi membawa keyakinan yang mereka anut. Dengan itu Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshor tersebut dalam suatu persaudaraan dibawah satu keyakinan yaitu bendera Islam. 3.Perjanjian bantu membantu antara sesama kaum Muslim dan non Muslim Setelah Nabi resmi menjadi penduduk Madinah, Nabi langsung mengadakan perjanjian untuk saling bantu-membantu atau toleransi antara orang Islam dengan orang non Islam. Selain itu Nabi mengadakan perjanjian yang berbunyi “kebebasan beragama terjamin buat semua orang-orang di Madinah”. 4.Melaksanakan dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru Dengan terbetuknya masyarakat baru Islam di Madinah, orang-orang kafir Quraisy bertambah marah, maka terjadi peperangan yang pertama yaitu perang Badar pada tanggal 8 Ramadlan, tahun 2 H. Kemudian disusul dengan perang yang lain yaitu perang Uhud, Zabit dan masih banyak lagi. Pada tahun 9 H dan 10 H (630–632 M) banyak suku dari berbagai pelosok mengirim delegasi kepada Nabi bahwa mereka ingin tunduk kepada Nabi, serta menganut agama Islam, maka terwujudlah persatuan orang Arab pada saat itu. Dalam menunaikan haji yang terakhir atau disebut dengan Haji Wada tahun 10 H (631 M) Nabi menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah antara lain larangan untuk riba, menganiaya, perintah untuk memperlakukan istri dengan baik, persamaan dan persaudaraan antar manusia harus ditegakkan dan masih banyak lagi yang lainnya. Setelah itu Nabi kembali ke Madinah, ia mengatur organisasi masyarakat, petugas keamanan dan para da’i dikirim ke berbagai daerah, mengatur keadilan, memungut zakat dan lain-lain. Lalu 2 bulan kemudian Nabi jatuh sakit, kemudian ia meninggal pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M (Yatim,1998:27-33). Dengan terbentuknya negara Madinah Islam bertambah kuat sehingga perkembangan yang pesat itu membuat orang Makkah risau, begitu juga dengan musuh–musuh Islam. Untuk menghadapi kemungkinan gangguan–gangguan dari musuh, Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Banyak hal yang dilakukan Nabi dalam rangka mempertahankan dan memperkuat kedudukan kota Madinah diantaranya adalah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah, mengadakan ekspedisi keluar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk tersebut. Akan tetapi, ketika pemeluk agama Islam di Madinah semakin bertambah maka persoalan demi persoalan semakin sering terjadi, diantaranya adalah rongrongan dari orang Yahudi, Munafik dan Quraisy. Namun berkat keteguhan dan kesatuan ummat Islam, mereka dapat mengatasinya. BAB III PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN A.PENGERTIAN KHULAFAUR RASYIDIN Khulafaur Rasyidin atau Khulafa ar-Rasyidun adalah wakil-wakil atau khalifah-khalifah yang benar atau lurus. Mereka adalah waris kepemimpinan Rasulullah selepas kewafatan junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Para tokoh ini merupakan orang-orang yang arif bijaksana, jujur dan adil dalam memberikan keputusan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Pada saat perlantikan mereka dibuat secara syura yaitu perbincangan para sahabat atau pilihan khalifah sebelum. Selepas pemerintahan ini, kerajaan Islam diganti oleh kerajaan Ummaiyyah. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi Muhammad SAW wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.7 Adapun Khulafaur Rasyidin dalam sejarah islam yang dimaksud terdiri daripada empat orang sahabat sebagai berikut: Saidina Abu Bakar ( 632-634 M ) Saidina Umar bin Khatab ( 634-644 M ) Saidina Uthman bin Affan ( 644-656 M ) Saidina Ali bin Abi Talib ( 656-661 M ) Keempat khalifah diatas bukan saja berhasil dalam melanjutkan risalah islam dan menegakkan tauhid, tetapi juga menyebarluaskan ke seluruh penjuru alam ini.8 B.KHALIFAH ABU BAKAR AS-SIDDIQ (632-634 M ) Setelah nabi wafat, sebagai pemimpin umat islam adalah Abu Bakar As-Siddik sebagai kholifah. Kholifah adalah pemimpin yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintah.9 1)Menjadi Khalifah Pertama Semasa Rasulullah SAW sedang sakit tenat, baginda mengarahkan supaya Saidina Abu Bakar mengimamkan solat orang Islam. Selepas kewafatan Nabi Muhammad SAW., sebuah majlis yang dihadiri oleh golongan Ansar dan Muhajirin ditubuhkan untuk melantik seorang khalifah bagi memimpin umat Islam. Hasil dari perjumpaan itu, Saidina Abu Bakar dilantik dan menjadi khalifah pertama umat Islam. Perlantikan Saidina Abu Bakar mendapat tentangan daripada beberapa orang yang ingin melantik Saidina Ali Abi Talib sebagai khalifah kerana Saidina Ali merupakan menantu dan anak saudara Rasulullah SAW. Golongan Syiah yang merupakan golongan daripada keluarga Bani Hashim menentang perlantikan Saidina Abu Bakar. Tentangan itu tamat selepas Saidina Ali Abi Talib membaihkan Saidina Abu Bakar. Ada pendapat mengatakan bahawa Saidina Ali bin Abi Talib hanya membaihkan Saidina Abu Bakar selepas enam bulan. 2)Ekspedisi ke Utara Selepas berjaya mengurangkan golongan riddah, Syaidina Abu Bakar mula menghantar panglima-panglima perang Islam ke utara untuk memerangi Byzantine (Rom Timur) dan Empayar Parsi. Khalid Al-Walid berjaya menawan Iraq dalam hanya satu kempen ketenteraan. Beliau juga menempuh kejayaan dalam beberapa ekspedisi ke Syria. Menurut seorang orientalis Barat, kempen Saidina Abu Bakar hanyalah sebuah lanjutan daripada Perang Riddah. Hal ini jelas salah memandangkan kebanyakan golongan riddah terletak di selatan Semenanjung Arab dan bukannya di utara. 3)Pengumpulan Al-Quran Menurut ahli sejarah Islam, selepas Perang Riddah ramai orang yang mahir menghafaz Al Quran terbunuh. Saidina Umar Al-Khatab (khalifah yang berikutnya) meminta Saidina Abu Bakar untuk mula menjalankan aktviti pengumpulan semula ayat-ayat Al Quran. Saidina Uthman Affan kemudiannya melengkapkan aktiviti pengumpulan Al Quran semasa beliau menjadi khalifah. 4)Kewafatan Saidina Abu Bakar As-Siddiq Saidina Abu Bakar wafat pada 23 Ogos 634 di Madinah iaitu dua tahun selepas menjadi khalifah. Ada dua pendapat mengenai sebab kematian Saidina Abu Bakar. Ada yang mengatakan disebabkan keracunan dan ada pula yang mengatakan Saidina Abu Bakar meninggal dunia secara biasa. Sebelum kewafatannya, Saidina Abu Bakar mengesa masyarakat menerima Saidina Umar Al-Khatab sebagai khalifah yang baru. Saidina Abu Bakar dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad s.a.w. di Masjid an-Nabawi yang terletak di Madinah. 5)Sumbangan Saidina Abu Bakar Saidina Abu Bakar walaupun hanya memerintah selama dua tahun (632-634), tetapi beliau banyak menyumbang terhadap perkembangan Islam. Beliau berjaya menumpaskan golongan Riddah yang ada diantaranya murtad dan ada diantaranya mengaku sebagai nabi. Beliau juga mula mengumpulkan ayat-ayat Al Quran dan beliau juga berjaya meluaskan pengaruh Islam. Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah. C.KHALIFAH UMAR BIN-KHATAB ( 634-644 M ) Setelah abu Bakar menunjuk penggantinya yaitu Umar Bin Khattab, yang tujuannya adalah untuk mencegah supaya tidak terjadi perselisihan dan perpecahan dikalangan umat islam.10 Pada masa umar bin Khattab, kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah islam pemperoleh hasil yang gemilang. Wilayah islam pada masa umar bin Khattab meliputi Semenanjung Arabiah, Palestina, Siria, Irak, Persia dan Mesir.11 Dengan meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula kehidupan dalam segala bidang. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan manusia yang memiliki keterampilan dan keahlian, sehingga dalam hal ini diperlukan pendidikan. Pada masa Kholifah Umar Bin Khattab, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari Kholifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi, kalau ada diantara umat Islam yang ingin belajar hadis harus pergi ke madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah berpusat di Madinah.12 1)Pemerintahan Saidina Umar Semasa pemerintah Saidina Umar, Empayar Islam berkembang dengan pesat; menawan Mesopotamia dan sebahagian kawasan Parsi daripada Empayar Parsi (berjaya menamatkan Empayar Parsi), dan menawan Mesir, Palestin, Syria, Afrika Utara, dan Armenia daripada Byzantine (Rom Timur). Ada diantara pertempuran ini menunjukkan ketangkasan tentera Islam seperti Perang Yarmuk yang menyaksikan tentera Islam yang berjumlah 40,000 orang menumpaskan tentera Byzantine yang berjumlah 120,000 orang. Hal ini mengakhiri pemerintahan Byzantine di selatan Asia Kecil. Pada tahun 637, selepas pengempungan Baitulmuqaddis yang agak lama, tentera Islam berjaya menakluk kota tersebut. Paderi besar Baitulmuqaddis yaitu Sophronius menyerahkan kunci kota itu kepada Saidina Umar. Beliau kemudiannya mengajak Saidina Umar supaya bersembahyang di dalam gereja besar Kristian yaitu gereja Church of the Holy Sepulchre. Saidina Umar menolak dan sebaliknya menunaikan solat tidak beberapa jauh daripada gereja tersebut kerana tidak ingin mencemarkan status gereja tersebut sebagai pusat keagamaan Kristian. 50 tahun kemudian, sebuah masjid yang digelar Masjid Umar dibina di tempat Saidina Umar menunaikan solat. Saidina Umar banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam seperti menubuhkan pentadbiran baru di kawasan yang baru ditakluk dan melantik panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa pemerintahannya juga kota Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga amat dikenali kerana kehidupannya yang sederhana. 2)Wafatnya Saidina Umar Saidina Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama Abu Lu’lu’ah. Abu Lu’lu’ah menikam Saidina Umar kerana menyimpan dendam terhadap Saidina Umar. Dia menikam Saidina Umar sebanyak enam kali sewaktu Saidina Umar menjadi imam di Masjid al-Nabawi, Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua hari kemudian dan dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam Saidina Abu Bakar. Selepas kematiannya lalu Saidina Uthman bin Affan dilantik menjadi khalifah. D.KHALIFAH USMAN BIN AFFAN ( 644-656 M ) Usman Bin Affan adalah termasuk saudagar besar dan kaya dan sangat pemurah menafkahkan kekayaannya untuk kepentingan umat islam. Usman dianggap menjadi Kholifah hasil dari pemilihan panitia enam yang ditunjuk oleh Kholifah Umar bin Khattab menjelang beliau akan meninggal.13 Pada masa Kholifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai pendidikan islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasullullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan madinah dimasa Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah. Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah di jangkau oleh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat bias memilih tempat mereka inginkan untuk memberikan pendidikan pada masyarakat. Kholifah Usman sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan, namun begitu ada satu usaha yang cemerlang yang telah terjadi di masa ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan islam, yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Berdasarkan hal-hal ini, Kholifah Usman memerintahkan kepada tim untuk menyalin tersebut, ada pun tim tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harist. 14 Saidina Usman menjadi khalifah selepas Saidina Umar bin Khatab dibunuh pada tahun 644. Beliau memerintah selama dua belas tahun iaitu dari tahun 644 sehingga tahun 656. Antara pembaharuan yang dibuat ialah menubuhkan Angkatan Tentera Laut yang diketuai oleh Muawiyah dan membuat dasar terbuka dalam hubungan politik dan urusan dagangan Semasa pemerintahannya, keseluruhan Iran, sebahagian daripada Afrika Utara, dan Cyprus menjadi sebahagian daripada empayar Islam. Saidina Uthman wafat pada tahun 656 akibat dibunuh oleh pemberontak yang tidak puas hati dengan pemerintahannya. E.KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB ( 656-661 M ) Pada tahun 656 masihi, khalifah Ali bin Abi Thalib, Islam yaitu Saidina Uthman bin Affan wafat kerana dibunuh di dalam rumahnya sendiri. Segelintir masyarakat kemudiannya mencadangkan Saidina Ali supaya menjadi khalifah tetapi Saidina Ali menolak. Selepas didesak oleh pengikutnya, beliau akhirnya menerima untuk menjadi khalifah. Ali adalah Kholifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap usman, peperangan di antara mereka disebut perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan Kholifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian. 15 Muawiah sebagai gubernur Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasaannya. Perang ini disebut dengan perang Siffin, karena terjadi di Siffin. Ketika tentara muawiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawiyah segera mengambil siasat untuk menyatakan tahkim (penyelesaian dengan adil dan damai). Semula Ali menolak, tetapi karena desakan sebagian tentara akhirnya Ali menerimanya, namun Tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab muawiyah bersifat curang, sebab dengan Tahtim Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara Tahkim, meninggalkan Ali dan membuat kelompok tersendiri yaitu Khawarij. SEJARAH BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus. Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity). Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa Politikus, dan Administrator. Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil. Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah. Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah. Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur. Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan  jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali. Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia. Ketika Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala.[1] B.       KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH      Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz. Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut: 1.      Muawiyyah I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M) Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Bani Umayyah dialah tokoh pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4 H, karena Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di kufah. Diantara jasa-jasa Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan mata uang), dan lain-lain. Muawiyyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya Yazid. 2.      Yazid I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M) Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husein sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar terhadap masanya. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyyah II 3.      Muawiyyah II bin Yazid (64 H/683M) Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyyah dalam melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan. 4.      Marwan I bin Hakam (64-65 H/683-684M) Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat menghadapi kesulitan satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais, kemudian menduduki mesir. Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat pergi hanya memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara berurutan. 5.      Khalifah Abdul Malik (65-86H/684-705M) Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan sparatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada aksi teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah kufah, dan pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun beberapa gedung, dan masjid serta slauran-saluran air, memajukan perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan dan menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh putranya Al-Walid 6.      Al Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M) Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran merintah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang di jalan tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta. Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman. 7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-117M) Dia tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. 8.      Umar bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M) Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah. Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber lain. Rupanya keadilannya menurun dari Khalifah Umar bin Khatab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika ia menjadi khalifah ia memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadis, dan inilah perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru orang pada masanya. Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus sebagi pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya. Tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya memerintah kurang lebih dua tahun. Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Di samping itu ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut : “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan dan bijaksana, serta memberi kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl : 90) Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa kekhalifahannya seperti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik. 9.      Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M) Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Bani Umayyah. Kemudian diganti oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. 10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-745M) Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur sebagimana tersebut di atas. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah. Masih ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun, yakni : 11.  Al-Walid II bin Yazid (125-126H/742-743M) 12.  Yazid III bin Al-Walid (126H/743M) 13.  Ibrahim bin Al-Walid (126-127H/743-744M) 14.  Marwan bin Muhammad (127-132H/744-750M) Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan julukan marwan al-himar (manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar biasa dan kesanggupannya menahan perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang besar tapi sayang, ia muncul ketika daulat Bani Umayyah sedang merosot. Dia wafat pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah. C.       MASA KEMAJUAN BANI UMAYYAH Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia. Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup front tiga penting, yaitu sebagai berikut: Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah. Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol. Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat. Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis. Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya  mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi  yang di pusatkan di kota  pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan. Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India. Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.             Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis. Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-masing: 1.      Bidang Kemiliteran Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria. 2.      Sistem Sosial Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah. 3.      Kemajuan Arsitektur Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah bangunan megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna kuning kemerah-merahan. 4.      Bidang Politik Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan tugas , yang meliputi: a.       Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat. b.      Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan penerimaan negara. c.       Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan. d.      Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. e.       Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat. Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban. 1.        Dinamika Politik Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya. a.   Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis). b.   Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan orang  Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali. Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij. c.   Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti: 1)    Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para Ulama. 2)    Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu: a)         Syiria dan Palestina; b)        Kuffah dan Irak; c)        Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan                Yamamah; d)        Arenia; e)         Hijaz; f)         Karman dan India; g)        Egypt (Mesir); h)        Ifriqiyah (Afrika Utara); i)         Yaman dan Arab selatan, dan j)         Andalusia. 3)   Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[2] Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (dewan) yaitu : a)    Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam. b)   Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah. c)    Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah. d)   Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju. 4)    Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. 5)      Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka. Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus). Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[3] Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[4] Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat. 2.      Dinamika Ekonomi Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah. Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka. 3.      Dinamika Sosial Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat. Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja. 4.      Intelektual dan Keagamaan Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia. Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[5] Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir). 5.      Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi) Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan  Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah. 6.      Kedudukan Amir al-Mu’minin      Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-Rasydun yang menguasai keduanya. Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun dari keluarga Umayyah. 7.      Sistem Fiskal        Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.        Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan. 8.   Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz        Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk Islam, dan mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan tidak mengganggu lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya. 9.      Sistem Peradilan        Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan politik. 10.  Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab      Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa Arab.        Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock) yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik. 11.  Sistem Militer        Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary. Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain. a.       Perluasan ke Asia Kecil              Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian diserang kota Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman. Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy. b.      Perluasan ke Timur              Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand. Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H). c.       Perluasan ke Afrika Utara              Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan.              Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada masa Umayyah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah berkuasa selama 300 tahun.[6] 12.  Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair Ketika Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Pada tahun 680 M, Husein pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan tentara Husein kalah sedangkan Husein mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela. Gerakan Syi’ah semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Walaupun dibantu oleh kalangan kaum Mawali di Persia, Armenia dan lain-lain,  Mukhtar terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair. Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekkah dan akhirnya terjadi pertempuran, pada pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M. Adapun prestasi Dinasti Umayyah 1.    Bidang Fisik Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut: a.         Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya, b.         Membangun jalan raya, c.         Mencetak mata uang, d.         Membangun panti asuhan, e.         Membangun gedung pemerintahan, f.          Memblingun masjid, g.         Membangun rumah sakit, dan h.         Membangun sekolah studi kedokteran.[7] 2.    Perluasan Wilayah Kekuasaan. Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi sebagai berikut: a.       Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi', b.      Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur, c.       Menguasai Bizantium, d.     Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani, e.       Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan    Maroko, f.       Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni    Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova, g.      Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica, h.       Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand,    dan i.       Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[8]4 D.       MASA KEMUNDURAN BANI UMAYYAH Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak luar. Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut: 1.        Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana. 2.        Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah. 3.        Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah. 4.        Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. 5.        Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah. Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti Umayyah yang dijumpainya. Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.[9]