[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
POLITIK UANG DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN SYARIAH Hepi Riza Zen IAIN Raden Intan Lampung Jalan H. Endro Suratmi Sukarame Bandar Lampung E-mail: hepirizazen@gmail.com Abstract: Money Politics in the View of the Positive Law and the Sharia. Money Politics is a phenomenon that has been going on from election to election and is often untouched by law enforcement in Indonesia. his symptom is clearly in contrast to the principle of fairness and may potentially result in uncredible leaders. In the Islamic view, money politics can be clasiied as an act of bribery (risywah), that is money or a gift given to other people, persuading him to do a certain thing in return. Risywah is forbidden in Islam and its prohibition was revealed in since the early period of Muhammad prophethood, together with a ban against the practice of idolatery. he Qur’an mentions several times about the prohibition against bribery and it is also supported by a number of Hadith. Keywords: politics of money, bribery, risywah Abstrak: Politik Uang dalam Pandangan Hukum Positif dan Syariah. Politik uang adalah gejala yang telah berlangsung dari pemilu ke pemilu dan seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum. Gejala tersebut bertentangan prinsip kejujuran dan dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang tidak kredibel. Dalam pandangan Islam, politik uang dapat dikiaskan dengan perbuatan suap/ sogok atau risywah yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Risywah terlarang dalam Islam dan larangannya diturunkan Allah sejak masa pertama kenabian Muhammad Saw. berbarengan dengan larangan melakukan praktik penyembahan terhadap berhala. Alquran menyebutkan beberapa kali soal keharaman suap/sogok ini yang didukung pula oleh sejumlah Hadis Nabi yang melarang perbuatan yang sama. Kata Kunci: politik uang, suap, risywah rakyat mayoritas. Kekuasaaan diamanatkan kepada para wakil yang dipilih melalui pemilihan yang bebas berdasarkan suara mayoritas rakyat. Dengan sistem politik demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih partisipatif, namun praktik demokrasi ini dalam sejarah per laksanaannya senantiasa mengalami kendala. Salah satunya adalah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap para wakil nya baik yang duduk di jabatan eksekutif maupun jabatan legislatif, hal ini Pendahuluan Indonesia sejak awal kemerdekaannya menyatakan sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat). Demokrasi merupakan konsep atau perangkat kekuasaan yang mekanisme pengelolaan negaranya berdasarkan kehendak suara rakyat mayoritas.1 Demokrasi menganut prinsip kebebasan, prinsip kesamaan dan prinsip kehendak 1 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h. 87. 525 526| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 dikarenakan melemahnya kiprah para wakil rakyat tersebut dalam merepresentasikan kepentingan masyarakat. Melemahnya kepercayaan masyarakat itu antara lain disebabkan oleh berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para elit politik yang terpilih dalam pemilu, terjadinya korupsi yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi dan lainnya. Kondisi ini bisa terjadi erat kaitannya dengan mahalnya biaya pemilu, yang berakibat langsung pasca-pemilu, karena mereka yang berhutang untuk biaya pemilu akan membalas jasa melalui berbagai konsesi kepada pihak yang membiayai pemenangannya sehingga mengabaikan aspirasi masyarakat luas. Upaya untuk mengembalikan hutang-hutang semasa pemilu harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pemilu.2 Adapun mahalnya biaya pemilu tersebut salah satunya dikarenakan dilakukannya politik uang (money politics) karena telah melakukan pembelian suara masyarakat agar bisa memenangkan pemilu. Kurangnya pemahaman mengenai pondasi dan substansi demokrasi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia melihat demokrasi sekadar sebagai ritual (pemilu, pemungutan suara, voting, kebebasan berpendapat, dan sebagainya) sedangkan relevansinya terhadap perbaikan kualitas kebijakan publik cenderung diabaikan. Selain itu melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap para wakilnya karena dianggap bahwa semua wakil hanya mengumbar janji, sehingga selama mereka mendapatkan keuntungan kenapa tidak diambil, maka kesemuanya ini menyebabkan politik uang semakin merajalela dan seolah-olah tidak 2 ditpolkom.bappenas.go.id/.../007. pdf, dalam MA Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013, h. 1, dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/diakses pada 21 Desember 2014. ada yang salah dengan itu.3 Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka soal politik uang dalam pemilu ini penting untuk diangkat sebagai tulisan guna memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penolakan terhadap tawaran politik uang dan apabila mungkin ikut serta memerangi politik uang tersebut, pendekatan yang bisa dilakukan tersebut antara lain melalui pendekatan keagamaan, terutama agama Islam, karena dalam Islam semua hal dalam kehidupan ini diatur secara lengkap, dan pentaatannya pun akan dilaksanakan oleh pemeluknya secara sukarela. Tulisan ini bermaksud menyajikan ulasan teoritis tentang apa dan bagaimana politik uang dalam pemilu, khususnya mengenai politik uang dalam regulasi pemilu di Indonesia dan hukum politik uang dalam Islam. Sesuai dengan isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,4 dengan karakter penelitan menyusun konsepkonsep, asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum, yang berkaitan dengan politik uang sebagai suatu model suap menyuap yang mereleksikan proses pemikiran keadilan moral dan hasanah Alquran dan Sunnah Rasul sebagai sumber hukum dalam Islam. Untuk mencapai kebenaran ilmiah maka sesuai dengan permasalahannya digunakan model pendekatan perundang-undangan (statuta approach), pendekatan perbandingan (qiyâs) dan pendekatan istiqrâ dengan cara pengambilan kesimpulan premis umum dari sekumpulan ayat-ayat Alquran dan merekonstruksi dengan meneliti substansi 3 Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009, h. 12, dalam Google Scholar Citations. com, diakses pada Desember 2014. 4 Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, No. 6 Tahun IX November-Desember, 1994, h. 4-7 Hepi Riza Zen: Politik Uang |527 makna yang terkandung dalam nas-nas tersebut berdasarkan maksud dan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh ketetapan dari satu aturan syariah. Politik Uang dalam Pemilu Pengertian Politik Uang Istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan.5 Dengan adanya politik uang ini, maka putusan yang dihasilkan tidaklah lagi berdasarkan idealita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut, melainkan semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang, karena yang bersangkutan sudah merasa teruntungkan. Adapun yang dimaksud dengan pemilu ialah pemilihan atas para wakil rakyat baik yang akan menduduki jabatan di lembaga legislatif seperti Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten Kota, serta wakil rakyat yang menduduki jabatan eksekutif seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan di atas, politik uang yang dilaksanakan dalam pemilu juga merupakan upaya untuk memengaruhi putusan para pemilih agar menentukan pilihannya pada kontestan tertentu dengan memberikan sesuatu dalam bentuk janji, imbalan atau pemberian materi agar orang yang bersangkutan dalam pemilu untuk beberapa hal yakni tidak menggunakan hak pilihnya, memilih peserta pemilu tertentu dengan cara tertentu, memilih parpol peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, melaksanakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Politik uang tergolong ke dalam 5 Ebin Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/. modus korupsi pemilu. Ada empat model korupsi pemilu yang berhubungan dengan politik uang, yaitu beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi dan perolehan suara (administrative electoral corruption).6 Bahkan Ramlan Surbakti mengatakan dalam Pemilukada, politik uang memiliki varian yang lebih kompleks, yaitu berupa:7 a. Untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu”, 8 baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. b. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undangundang. Syamsuddin Haris mengatakan bahwa parpol dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan inansial calon yang bersangkutan. Dalam rekrutmen, lebih terkesan para sang calon yang membutuhkan “perahu” parpol. 9 Ketika pemilihan Gubernur Riau misalnya, 6 Kompas, 11 Februari 2005 dalam Elza Faiz, “Urgensi Calon Independen Dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah”, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII Yogyakarta, t.t. 7 Ramlan Surbakti, Kompas, 2 April 2005 dalam Luthi J. Kurniawan, Peta Korupsi di Daerah, (MCW and Yappika, 2006), h. 229. 8 Sewa perahu adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan harga yang dibayar agar dapat dicalonkan oleh suatu parpol. 9 Syamsuddin Haris, Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi Pilkada, 30 November 2006 dalam www.komunitasdemokrasi. or.id/article/pilkada dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013. 528| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp.400 juta per kursi demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar.10 Sehingga menurut Syarif Hidayat, modal ekonomi yang harus dikeluarkan oleh masing-masing kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi antara modal pribadi dan bantuan donator politik (pengusaha), serta sumber-sumber lain. 11 Sedangkan biaya yang dikeluarkan guna menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat menurut Eko Prasojo harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada.12 Menurut Wahyudi Kumorotomo bahwa cara yang digunakan dalam melakukan politik uang yaitu dalam pilkada langsung ada beragam pembayaran tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial, sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau sumbangan wajib yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya.13 Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin meningkat, dan ongkos demokrasi semakin tinggi. 10 Kompas, 6 Juli 2011 dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013. 11 Syarif Hidayat (Ed.), “Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggara Pemerintahan Pasca Pilkada”, Jakarta: P2E-LIPI, 2006, h. 276 dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013. 12 iiditpolkom.bappenas.go.id/.../2007iidalamiiFitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013. 13 Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”. Bukan hanya terjadi dalam pemilukada saja, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik politik uang di masyarakat telah berlangsung dari pemilu ke pemilu. Hal itu biasa dilakukan oleh para kandidat maupun parpolnya dengan beragam cara, baik dengan cara konvensional berupa pemberian berbentuk uang, baik itu sedekah yang biasa dikenal dengan serangan fajar maupun transportasi kampanye, pemberian sembako seperti beras, minyak dan gula kepada masyarakat, pemberian dalam barang seperti alat ibadah, fasilitas sosial, pemberian kupon yang akan diuangkan pasca pemilu dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya kepada peserta pemilu yang bersangkutan. Praktik politik uang ini banyak dilakukan oleh peserta pemilu. Ironisnya, praktik ini tidak tersentuh oleh penegakan hukum akibat sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Hal ini bisa dibuktikan dari hasil polling Litbang Harian Kompas menemukan bahwa sebagian besar publik tidak menolak kegiatan bagi-bagi uang yang dilakukan calon anggota legislatif maupun partai politik. 14 Bahkan banyak anggota masyarakat menganggap politik uang sebagai rejeki musiman yang sayang ditolak. Politik uang tumbuh subur didukung oleh kecenderunganan masyarakat yang makin permisif dan mengganggap bahwa politik uang tersebut sebagai biaya ganti rugi dari para kontestan karena pada hari pemilihan mereka tidak pergi ke ladang ataupun sawahnya. Bisa juga politik uang itu dianggap sebagai kesempatan mendapatkan rejeki, karena bagi mereka siapapun yang terpilih tidak bermakna apapun bagi diri dan kelompoknya. Menurut hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang mengukur tingkat 14 Kompas, 16 Maret 2009 dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013. Hepi Riza Zen: Politik Uang |529 skala politik uang dalam pilkada, bahwa survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada bulan Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang diberikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak 27,5% publik menyatakan akan menerima uang yang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun 2010. Demikian pula persepsi publik bahwa politik uang akan memengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010.15 Menurut Kemitraan, praktik politik uang pada Pemilu 2014 terjadi lebih masif, vulgar, dan brutal dibandingkan pemilu terdahulu. Bukan hanya melibatkan peserta pemilu dan pemilih, tetapi juga penyelenggara pemilu.16 Berdasarkan laporan pemantau di lapangan, politik transaksional melibatkan partai, caleg, saksi partai, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Hal itu dilakukan untuk memenangkan caleg atau partai tertentu. Meski kasus-kasus politik uang ini telah sedemikian marak terjadi, namun dari kasuskasus politik uang yang berlangsung sedikit sekali yang dapat tertangani oleh penyelenggara pemilu. Selain tidak dilaporkan, biasanya sulit pembuktiannya karena tidak adanya saksi. Sehingga oleh penyelenggara pemilu politik uang ini dikatakan ibarat “kentut” karena 15 iisuarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang dalam calegpilihan2014.blogspot.com/.../saat-ini-demokrasiatau-moneykrazy. 16 iiWahidah Suaib, Senin 21/4/2014 dalam calegpilihan2014. blogspot.com/.../saat-ini-demokrasi-atau-moneycrazy, Caleg Pilihan 2014, Selasa, 29 April 2014. bisa dirasakan tetapi tidak bisa diketahui keberadaannya. Berdasarkan tiga pemilu yang terjadi di Provinsi Lampung saja dari sekian banyak kasus politik uang yang dilaporkan masyarakat, hanya sedikit saja kasus yang sampai kepada penyelenggara pemilu. Menurut data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung pada Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2014 sampai dengan tanggal 30 April 2014 dugaan politik uang yang tercatat dalam Rekapitulasi Penanganan Temuan Dugaan Pelanggaran di Provinsi Lampung ditemukan beberapa kasus,17 di antaranya: a. Pada tanggal 7 Maret 2014, Agus Priyanto melaporkan penemuan gula di Kabupaten Pringsewu yang terdapat kartu nama calon anggota DPD RI a.n Ahmad Jajuli, S.IP, yang diduga terkait juga dengan pencalonan Calon Gubernur Ridho Ficardo. Untuk kasus ini Bawaslu merekomendasikan untuk ditangani dan ditindaklanjuti oleh Panwaslu Kabupaten Pringsewu bersama Sentra Gakkumdu Kabupaten Tanggamus, tetapi tidak terbukti. b. Pada tanggal 27 Maret 2014 Radityo (Panitia Pengawas Pemilu kKabupaten Lampung Barat) melaporkan Heryanto, SE., M.M. atas dugaan melakukan kampanye pada masa reses dan membagikan biskuit ibu hamil MP ASI milik Kemenkes. c. Pada tanggal 09 April 2014, Watinah melaporkan Gufron Azis Fuadi dan Ki Agus Revolusi dengan dugaan pelanggaran money politics pembagian sembako yang dilakukan oleh caleg anggota DPR RI a.n Gufron Azis Fuadi dari partai PKS dan K. Agus Revolusi S.Sos caleg anggota DPRD Provinsi Lampung di Desa Banjar Agung Kec. 17 Rekapitulasi Penanganan Laporan/Temuan Dugaan Pelanggaran Pemilu Legislatif, Pemilu Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilukada Provinsi Lampung Tahun 2014. 530| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 Jati Agung Kab. Lampung Selatan. d. Pada tanggal 15 April 2014, Budiator me laporkan Roswati, S.Pd., calon anggota legislatif nomor 2, daerah pemilihan Metro Timur dari partai Golkar atas dugaan pembagian uang sebesar Rp.150.000,00. Berdasarkan laporan tersebut, terlihat bahwa politik uang ini telah menjadi hal yang biasa di masyarakat. Masyarakat “membenarkan” praktik kotor ini sebagai salah satu bentuk upaya mencari rejeki. Masyarakat tidak merasakan bahwa praktik curang ini merupakan perbuatan tercela. Imbasnya, politik uang ini akan merusak mentalitas masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang bermental peminta-minta dan permisif. Dengan adanya politik uang juga mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Hal ini juga merupakan pencederaan akan makna demokrasi, karena pemilu berlangsung tidak lagi berdasarkan prinsip bebas dan jujur. Pemilu tidak lagi bebas, artinya pilihan seseorang tidak lagi sesuai dengan keinginannya karena adanya tekanan dan paksaan atas sesuatu yang akan atau telah diperolehnya dalam menjual suara. Selain itu, politik uang ini akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan, karena tidak hanya melahirkan politisi korup dan memiliki sifat yang suka menghalalkan segala cara, melainkan juga akan melahirkan politisi yang tidak memiliki kualitas untuk menjalankan pemerintahan, menghalalkan masuknya sumber-sumber dana kotor, kemungkinan dilakukannya berbagai konsesi kepada pihak yang membiayai pemenangannya pasca pemilu, dan tentunya akan meminggirkan aspirasi dan upaya perjuangan kepentingan masyarakat luas. Schaffer, dalam Money in Politics Handbook18 menyebutkan bahwa setidaknya 18 www.usaid.gov/our_work/.../pnacr223. ada empat risiko yang berkaitan dengan politik uang, yaitu: a. Terjadinya ketidakadilan-risiko dari politik uang menyebabkan terpilihnya orang yang tidak semestinya dan membatasi persaingan b. Terjadinya ketidakmerataan peluang jabatan kepada segenap penduduk dan risiko didapatkan perwakilan yang berkualitas. c. Politisi yang dibiayai oleh donatur akan terkooptasi oleh kepentingan para penyumbang dan akan senantiasa dikontrol oleh mereka yang membiayai. d. Terjadinya risiko bahwa uang kotor atau haram akan merusak sistem dan merusak aturan hukum. Politik Uang dalam Regulasi Pemilu a. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengenai politik uang ini diatur dalam beberapa pasal yaitu: 1) Pasal 84 UU No. 8 Tahun 2012 dikatakan bahwa: “Selama masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:a. tidak menggunakan hak pilihnya;b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih parpol peserta pemilu tertentu; dan/ atau d. memilih calon anggota DPD tertentu”. 2) Pasal 86 ayat (1) poin j dikatakan: “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”. 3) Pasal 89 UU No. 8 Tahun 2012 Hepi Riza Zen: Politik Uang |531 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dikatakan bahwa: “Dalam hal terbukti pelaksana Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih Parpol Peserta Pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau e. memilih calon anggota DPD tertentu, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU ini”. Ketiga ketentuan pasal tersebut bermuara pada Pasal 301 1) Ayat (1) Setiap pelaksana kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”. 2) Ayat (2): “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling empat tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). b. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengenai politik uang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 117 ayat (2) yaitu: 1) Pasal 82 ayat (1) Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. 2) Ayat (2) Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. 3) Pasal 117 ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calontertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). c. UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 1) Pasal 41 ayat (1) poin h dan j: “Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, 532| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 dan tempat pendidikan dan menjanji kan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. 2) Pasal 215: “Setiap pelaksana Kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 3) Pasal 216: Setiap pelaksana Kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Unsur-Unsur Tindak Pidana Politik Uang Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka unsur-unsur politik uang menurut regulasi pemilu di Indonesia ialah: a. Setiap pelaksana kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pilihan. b. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu. Apabila dilihat secara substantif, regulasi tentang politik uang ini memang sarat kelemahan baik dalam UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilpres dan UU Pemda (Pilkada). Di dalamnya masih terbuka celah untuk disiasati karena terkadang pemberian-pemberian tersebut dikemas dalam bentuk sumbangan masjid, pesantren, dan bantuan infrastruktur pada masyarakat, perlombaan olahraga seperti jalan santai dengan hadiah atau doorprize, serta pasar murah dengan harga sembako yang sangat murah. Apalagi menurut Pasal 301 UU No. 8 tahun 2013 mensyaratkan tiga hal tentang regulasi, yaitu masa kampanye, masa tenang dan hari pencoblosan. Tiga varian itu mempunyai aturan berbeda. Di masa kampanye mengisyaratkan sanksi politik uang diberikan bagi yang terdaftar di tim kampanye. Sementara memasuki masa tenang yang dikenai UU adalah pemilih itu sendiri. padahal syarat pemilih harus terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Maka terdapat celah jika pelaku itu tak terdaftar di DPT. Sedangkan regulasi pada hari pencoblosan dalam UU tersebut adalah bagi siapa saja, namun yang diberi sanksi adalah pemberi uang saja. Sedangkan dalam UU Pemerintahan Daerah maupun dalam Pasal 42 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya menjerat peserta Pemilu dan tim kampanye untuk pelanggaran politik uang, padahal belum tentu yang melakukan mereka, melainkan dilakukan oleh orang lain sebagai suruhan dan atau merupakan tim bayangan. Suap atau Sogok Pengertian Suap atau Sogok Suap atau sogok adalah suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Selain itu bisa juga diterjemahkan sebagai suatu perbuatan memberikan sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau Hepi Riza Zen: Politik Uang |533 untuk membenarkan suatu yang batil.19 Nama lain dari suap atau sogok adalah risywah. Al-Fayyumi mengatakan bahwa risywah secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk meme nang kan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan.20 Sedangkan Ibnu alAtsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya).21 Dengan kata lain, risywah ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya sesuai dengan kehendak pemberi dengan cara yang zalim. Sementara dalam Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap Pasal 2 dan Pasal 3 menyatakan yang dimaksud dengan suap atau sogok ialah: “... memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, ... “... menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, ...”. 19 Wazirat al-Awqâf wa al-Shu’un al-Islâmiyyah, alMawsû’at al-Fiqhiyyah, Buku II, (Kuwait: Wazirat al-Awqâf wa al-Shu’un al-Islâmiyyah, 2012), h. 7819. 20 al-Hamawiy, Ahmad Ibn Muhammad al Fayumiy, al-Misbah al-Munîr, Buku I, (Kairo: Dâr al-Ghadda al-Jadîd, 2007), h. 228. 21 Ibn ‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb al-Hadîth Wa al-Athar, Buku II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 546. Unsur-Unsur Suap/Sogok Berdasarkan diinisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suap/sogok apabila memenuhi beberapa unsur yaitu: a. Adanya pemberian atau janji yang bertujuan untuk menarik simpati orang lain. b. Pemberian atau janji tersebut dengan tujuan untuk membatalkan yang haq, merealisasikan kebatilan, mencari keber pihakan yang tidak dibenarkan, men dapatkan sesuatu yang bukan men jadi haknya atau memenangkan perkaranya. Dilihat dari unsur-unsur yang tercakup dalam suap menyuap ini, maka politik uang bisa dikiaskan dengan suap menyuap. Hukum Politik Uang dalam Hukum Islam Islam adalah agama yang menjaga keberlangsungan eksistensi kehidupan manusia. Risalahnya meliputi semua zaman dan mencakup segala aspek/bidang kehidupan, kapan pun dan di mana pun. Hal ini tercermin dalam irman Allah dalam Q.s. al-An’am [6]: 38 pada yang berbunyi: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab (Lauhul Mahfudz), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. Sebagaimana telah disampaikan dalam uraian terdahulu bahwa politik uang sama dengan suap menyuap atau risywah. Sedangkan mengenai perbuatan suap menyuap ini, larangannya telah diturunkan sejak awal 534| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 kenabian Muhammad Saw. Pengaturan mengenai larangan untuk melakukan perbuatan suap menyuap itu sendiri diturunkan Allah Swt. bersamaan dengan larangan melakukan praktik penyembahan terhadap berhala, lebih dahulu dari pada perintah melaksanakan salat lima waktu. Hal ini menunjukkan betapa perbuatan ter sebut adalah perbuatan yang harus dijauhi karena dapat menyebabkan ketidakadilan, dan mewujudkan suasana ketidakpantasan. Maka dapatlah dikatakan bahwa hukum mengonsumsi dan menggunakan hasil politik uang yang diqiyâskan dengan suap menyuap ini terdapat sejumlah landasan dasarnya dalam Alquran yaitu: 1. Allah Swt. berfirman dalam Alquran Q.s. al-Mudatsir [74]: 1-7 yang berbunyi: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah dan sampaikan peringatan kepada umat, agungkan Tuhanmu dan bersihkan pakaianmu, tinggalkan perilaku sesat (penyembahan terhadap berhala), dan janganlah kamu memberi karena mengharapkan imbalan yang lebih banyak serta bersabarlah dalam memperjuangkan ajaran Tuhanmu. 2. Alquran Q.s. al-Baqarah [2]: 188 yang berbunyi: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Firman Allah dalam Surat al-Baqarah [2]: 188 ini melarang manusia untuk memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, yaitu memperoleh harta dari umat manusia yang lain dengan cara melawan hukum Allah, dan mencoba menyiasati melalui upayaupaya tertentu seperti halnya praktik suap-menyuap, padahal manusia itu mengetahui bahwa itu adalah merupakan suatu kecurangan. Imam al-Qurthubî mengatakan, “Makna ayat ini adalah bahwa barang siapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Di antara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.”22 3. Alquran Q.s. al-Nisâ’ [4]: 29 yang berbunyi: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta se samamu dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di-antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. 22 Abî ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansariy alQurtubiy, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, Buku II, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), h. 711. Hepi Riza Zen: Politik Uang |535 Surat al-Nisā` [4]: 29 ini di samping menyampaikan larang memakan harta sesama secara batil, juga sekaligus menunjukkan jalan-keluar perilaku alternatif dalam melakukan hukum perjanjian maupun perikatan yang dibenarkan mengenai harta sesama. 4. Alquran Q.s. al-Nisâ’ [4]: 30 yang berbunyi: Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. Surat al-Nisā` [4]: 30 ini memasti kan ancaman bagi orang yang tetap memakan hasil suap-menyuap setelah mengetahui Allah melarang untuk memakannya, yaitu kelak akan dimasukkan ke dalam neraka, karena mereka dinilai Allah telah berbuat zalim menentang larangan-Nya. 5. Alquran surat al-Nisâ’ [4]: 31 yang berbunyi: Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya itu, niscaya Kami hapuskan kejelekan-kejelekanmu (kerugian-kerugianmu) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). Surat al-Nisā` [4]: 31 ini memberikan harapan surga bagi mereka yang menghindari dosa besar, yaitu Allah akan menghentikan keburukan-keburukan dalam hidupnya dan akan memasukkannya kelak ke dalam sorgaNya yang terpuji dan mulia. Keempat ayat dari irman Allah tersebut, Q.s. al-Baqarah [2]: 188 melarang memakan, menggunakan dan memakai hasil suap, Q.s. al-Nisā` [4]: 29 di samping melarang juga menunjukkan jalan keluar dari praktik suap dan politik uang, Q.s. al-Nisā` [4]: 30 menyampaikan ancaman neraka terhadap siapa saja yang membangkang terhadap laranganNya dengan tetap memakan, memakai dan menggunakan hasil suap dan money politics, Q.s. al-Nisā` [4]: 31menjanjikan ganjaran sorga bagi mereka yang menghindarinya. Mengindikasikan bahwa penetapan hukum mengenai memakan, memakai dan menggunakan hasil suap tampak berproses secara tertib dan bertahap serta saling menguatkan. Pertama, memberikan larangan. Kedua, mempertegas larangan sekaligus menunjukkan jalan keluar yang tidak saling mengecewakan. Ketiga, menyampaikan ancaman neraka bagi yang membangkang. Keempat, menjanjikan ganjaran surga karena kasih sayang-Nya kepada mereka yang peduli terhadap larangan dan perintah-Nya. Mengingat bahaya yang ditimbulkan dari politik uang yang bisa merusak mentalitas masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang bermental peminta-minta dan senantiasa memanfaatkan kekuasan yang dimilikinya seberapapun kecilnya kekuasaan yang dimilikinya tersebut. Sesuai dengan irman Allah Swt. Surat al-Anfâl [8]: 25 yang berbunyi: Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zholim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. Menurut tafsir al-Allâmah al-Syaikh al-Sa’di, menyatakan bahwa ayat ini memberikan gambaran siksa Allah tidak hanya akan menimpa pelaku kezaliman tetapi juga yang lainnya. Cara menghindari siksa ini adalah dengan melarang orang melakukan kemungkaran, memberantas orang-orang yang suka berbuat jahat dan 536| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 merusak, dan tidak membiarkan mereka melakukan kemaksiatan dan kezaliman sebisa mungkin.”23 Makna ayat ini diperjelas oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad hasan, sebagaimana dikatakan oleh al-Hâizh Ibn Hajar dari ‘Adi bin ‘Umairoh rodhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla tidak akan menyiksa masyarakat luas karena perbuatan sebagian orang, sehingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka (dan tidak mengingkarinya sama sekali), padahal mereka mampu mengingkarinya; maka jika mereka berbuat seperti itu, Allah akan menyiksa pelaku kezholiman dan masyarakat umum.24 Berdasarkan proses penetapan hukum yang secara berjenjang dan saling menguatkan tersebut dapat ditarik ketetapan hukum Allah Swt., bahwa memakan, memakai atau menggunakan hasil suap itu adalah haram, karena jelas pelakunya telah berbuat zalim, telah membangkang terhadap larangan Allah, menghindar dari arahan dan tuntunan-Nya, dan menentang ancaman-Nya serta tak peduli terhadap kasih sayang-Nya. Ketetapan hukum haram memakan, memakai atau menggunakan hasil suap diperkuat pula dengan ijtihad para mujtahid terdahulu. Sebagaimana disitir oleh Muhammad ‘Alî al-Syaukani, dinyatakan bahwa Ibn Ruslan menguatkan keharaman memakan hasil suap berdasarkan irman Allah Q.s. al-Mâidah [5]: 42 yang berbunyi:25 23 Tafsir al-Sa’di, h.318 dalam Inspirasi Islami 21 September 2013, “Tafsir {Q.s. al-Anfâl: 25}; nahi mungkar. com. 24 Fathul Bâri, Juz 13, h. 4 dalam Inspirasi Islami 21 September 2013, “nahi mungkar”. 25 Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Shawkaniy, Nailul Authâr, Juz VII, (Bayrût: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabiy, 1999), h. 302. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (hasil suap dan sebagainya)… Ibn Ruslan mengartikan lafaz “al-suhtu” dalam Q.s. al-Mā`idah [5]: 42 tersebut dengan “hasil suap” itu merujuk kepada pengertian lafaz “al-suhtu” menurut Ibn Mas`ud r.a., yaitu memberi hadiah karena mengharapkan bantuan. Dalam hal ini Abû Wa`il seorang mujtahid dari kalangan tabi`in menegaskan bahwa seorang yang menerima hadiah dari orang yang mengharapkan bantuan sesungguhnya dia telah memakan hasil suap. Menurut Muhammad ‘Alî al-Syaukanî mempertegas lingkup dan cakupan keharaman memakan hasil suap berdasarkan Sunnah Rasul berikut: Barang siapa minta tolong saudaranya agar dapat membantunya dan memberikan hadiah kepada saudaranya atas bantuannya dan hadiah itu diterimanya, maka dengan penerimaannya itu dia telah memasuki pintu terbesar dari beberapa pintu riba.26 Muhammad ‘Alî al-Syaukanî menjelaskan bahwa menurut teori makna lafaz dari hadis ini berlaku maknanya yang umum secara mutlak yaitu seluruh jenis hadiah yang mengharapkan bantuan, dan mencakup seluruh pelaku yang terkait, baik yang memberi maupun yang menerima, pejabat atau pun bukan pejabat, semuanya termasuk orang yang telah memasuki pintu riba yang terbesar. Sedangkan riba itu sendiri secara tegas dan pasti hukumnya dinyatakan haram. Hadits Nabi Saw., dikatakan: 26 Al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal dan Ahmad Muhammad Shakir, Musnad Ahmad, Buku II, No. 9019, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 387. Hepi Riza Zen: Politik Uang |537 Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu,: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.”27 Dikatakan juga dalam hadis lainnya: Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”.28 Hadis ini menurut syaikh al-Albani dinyatakan shahîh.29 Hadis lainnya adalah: Diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.”30 Namun sanad hadis ini menurut Syaikh al-Albani dinyatakan dha’îf (lemah).31 Namun Hadis ini walaupun tidak berstatus shahîh 27 Al-Imâm Aumad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad; alTirmidzî Abî ‘Isa Muuammad Ibn ‘Isa Ibn Surat, Sunan alTirmidzî Wahuwa al-Jâmi’ al-Shahîh, Buku III, Abdurrahman Muhammad ‘Usman (pent.), Hadis-Sunan Tirmidzi, Juz III, No.1387, (Semarang: CV al-Syifa’, 1992), h. 622; ‘Amir Alauddin Ali Ibn Balba al-Farisiy, Shahîh Ibnu Hibbân, M. Sulton Akbar (pent.), Juz XI, No.5076, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 467. 28 Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sajastaniy Abû Dawud, Sunan Abî Dawûd, Juz II, No. 3580, (Bayrût: Dâr al Fikr, 2007), h. 324. al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî Wahuwa alJâmi’ al-Shahîh, No. 1337, III/623; al-Qazwiniy, Abî ‘Abdullah Muhammad ibn Yazîd Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz IV, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, 1986), h. 102-103; Ahmad, Musnad Ahmad, No. 6532, Juz II, h. 164. 29 Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albani, al-Targhîb wa al-Tarhîb Shahih al-Targhîb wa al-Tarhib, Juz II, No. 2211, (Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 261. 30 Ahmad, Musnad Ahmad, Juz V, No. 22452, h. 279. 31 Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albani, Dha’îf alTarghîb wa al-Tarhîb Shahîh al-Targhîb wa al-Tarhîb, Juz II, No. 1344, (Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 41. tapi diriwayatkan juga oleh al-Hâkim walau hanya dari seorang sanad Laits bin Abî Sâlim dan juga oleh Ahmad, al-Bazzar dan alhabrânî dari Abû al-Khithâb yang kurang dikenal. Menurut teori ilmu hadis, maka hadis ketiga ini menjadi shahîh lighairihi yang otentisitas dan validitasnya sebagai dalil sama dengan hadîts shahîh. Ketiga nas Sunnah tersebut secara umum mempunyai arti yang sama, yaitu mengenai perilaku yang mendapat laknat Allah dan Rasul-Nya, baik laknat itu datangnya dari Allah ataupun dari Rasul-Nya Saw., yaitu perilaku suap-menyuap. Kata “laknat” berasal dari bahasa Arab sebagaimana dimuat dalam kamus al-Munjid Fî al-Lughah Wa al-A`lām yang artinya “sesuatu yang bernilai paling jauh dari nilai kebaikan”. Jadi “melaknat” artinya “menetapkan nilai suatu perbuatan yang paling jauh dari nilai baik”. Kata-kata “laknat” itu sifatnya tercela dan merupakan kutukan. Dengan demikian kata “laknat” itu adalah kutukan. Oleh karena itu suatu perbuatan yang terlaknat itu tercela dan terkutuk. Nas Sunnah kedua dan ketiga yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abî Hurairah dan yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî dari Abdullah bin Amru menyatakan bahwa Allah-lah yang melaknat penyuap dan penerima suap. Sedangkan Nas Sunnah keempat yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Tsauban menyatakan bahwa Rasulullahlah yang melaknat penyuap dan penerima suap. Kondisi perbedaan dalil seperti ini secara teori Ushûl Fiqh diselesaikan dengan teori Kompromi Dalil (Tawāfuq al-‘Adillah), karena masih bisa dikompromikan, masih dalam tema yang sama, yaitu melaknat penyuap dan penerima suap. Allah saja yang melaknat penyuap dan penerima suap terkena kutukan, begitu juga Rasul saja yang melaknat, tetap penyuap dan penerima suap terkena kutukan. Lebih-lebih kalau Allah dan Rasul-Nya sama-sama melaknat maka nilai keterkutukan penyuap dan penerima suap 538| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 semakin kuat. Oleh karena itu, memberi suap dan menerima suap kedua-duanya menerima kutukan Allah dan Rasul-Nya. Maka terkutuknya perbuatan itu yang menjadi kriteria penetapan hukum (‘illah hukum) suap-menyuap. Karena terkutuknya perbuatan memberi suap dan menerima suap, maka perilaku penyuap dan penerima suap hukumnya haram. Dengan demikian perilaku suap menyuap dalam praktik kehidupan hukumnya adalah haram. Kalau banyaknya diharamkan maka sedikitnyapun diharamkan. Karena yang diharamkan adalah perbuatan menyuap dan menerima suap, bukan kadar sedikit atau banyaknya suap/sogok itu diberikan atau diterima. Berdasarkan itu semua maka para ulama telah sepakat secara ijmak akan haramnya suap menyuap secara umum. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Qudâmah, Ibn al-‘Atsir, dan al-Shan’anî, semoga Allah merahmati mereka semua. 32 Imam al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya.33 Imam al-Shan’anî mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan ijmak, baik bagi seorang qâdhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani sedekah atau selainnya. Sebagaimana irman Allah Swt. Q.s al-Baqarah [2]: 188 yang berbuyi: 34 dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ”35 Berdasarkan beberapa keterangan yang terkandung dalam nas-nas di atas terlihat bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah Saw. dengan laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa money politics (politik uang) adalah sama dengan suap menyuap dan hukumnya, baik bagi pemberi maupun penerima adalah terlarang atau haram menurut Allah Swt. sebagaimana disampaikan dalam Alquran dan hadis. Dengan demikian memakan, memakai dan menggunakan hasil politik uang hukumnya juga haram. Politik uang adalah salah satu bentuk perbuatan maksiat yang akan mengakibatkan azab Allah yang akan menimpa bukan hanya pelakunya tetapi juga masyarakat di sekitarnya. Pustaka Acuan Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu Abû Dawud, Sulayman Ibn al-‘Ash’ath alSajastaniy, Sunan Abî Dawud, Bayrût: Dâr al-Fikr, 2007. 32 Ibn Qudâmah, al-Mughnî, M. Syarafuddin Khathab, (pent.), Juz XI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 437; Ibn ‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb al- Hadîth wa al-Athar, Juz II, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1979), h. 226. 33 Abî ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansariy alQurtubiy, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, Juz VI, (Bayrût: Dâr alKutub al-Ilmiyah, 2005), h. 119. 34 Ibn Hajar Asqalany, Subulus Salam, Juz II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 24. Albani, al-, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn, al-Targhîb wa al-Tarhîb 35 ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Taudhîhul Ahkâm VII, terjemahan dari Taudhîh al-Ahkâm Min Bulûgh alMaram, Juz VII, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 119. Hepi Riza Zen: Politik Uang |539 Shahîh al- Targhîb Wa al-Tarhîb, Jakarta: Darul Haq, 2012. Asqalany, al-, Ibn Hajar, Subulus Salam, Juz II, Surabaya: Bina Ilmu, 1977. Bassam, al-, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Taudhihul Ahkâm VII, terjemahan dari Taudhih al- Ahkâm Min Bulugh alMaram, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. ditpolkom.bappenas.go.id/.../2007dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada” (Makalah), 2013 dalam ejournal. undip.ac.id/index.php/politika/article, diakses 21 Desember 2014. Ebin, Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/. Farisiy, al-, ‘Amir Alauddin Ali Ibn Balba, Shahih Ibnu Hibban XI , M. Sulton Akbar (pent.), Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Faiz, Elza, “Urgensi Calon Independen dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah”, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII Yogyakarta, t.t. Fitriyah, “Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada” (Makalah), 2013 dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/ article, diakses 21 Desember 2014. Imam, al-, Ahmad Ibn Hanbal dan Ahmad Muhammad Shakir, Musnad Ahmad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Inspirasi Islami 21 September 2013, “nahi mungkar”. Kumorotomo, Wahyudi, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009. Kurniawan, Luthi J., Peta Korupsi di Daerah, Jakarta: MCW and Yappika, 2006. Nurtjahyo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006. Qurtubiy, al-, Abî Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansariy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, Bayrût: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah, 2005. Q a z w i n i y, al-, Abî ‘A b d u l l a h Muhammad ibn Yazîd Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Kairo: Isa al-Bâbi al-Halabi wa Syirkah, 1986. Rekapitulasi Penanganan Laporan/Temuan Dugaan Pelanggaran Pemilu Legislatif, Pemilu Calon Presiden dan Pemilukada Provinsi lampung Tahun 2014. Hamawiy, al-, Ahmad Ibn Muhammad alFayumiy, al-Misbah al-Munîr, Buku I, Kairo: Dâr al-Ghadda al-Jadîd, 2007. Shawkaniy, al-, Muhammad Ibn ‘Alî Ibn Muhammad, Nailul Authâr, Juz VII, Bayrût: Dâr Ihyû’ al -urath al-‘Arabiy, 1999. Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik, dalam Majalah Yuridika, FHU Airlangga, Surabaya, No. 6 Tahun IX November-Desember, 1994. suarapublik.co.id/index/index.php?... politik-uangdalamcalegpilihan2014. blogspot.com/.../saat-ini-demokrasi-ataumoneykrazy. Ibn ‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb alHadith Wa al-Athar, Surabaya: Bina Ilmu, 1977. Suaib, Wahidah, Senin 21/4/2014, dalam calegpilihan2014.blogspot.com/.../saatini-demokrasi-atau-moneycrazy, 29 April 2014. Ibn Qudâmah, al-Mughnî, M. Syarafuddin Khathab (pent.), Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Tirmidzi, al-, Abî ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Surat, Sunan al-Tirmidzî Wahuwa al- 540| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015 Jâmi’ al-Shahîh, Buku III ‘Abdurrahman Muhammad ‘Usman (pent.), “HadisSunan Tirmidzi”, Semarang: CV alSyifa’, 1992. www.usaid.gov/our_work/.../pnacr223. Wazirat al-Awqâf wa al-Shu’un al-Islâmiyyah, al-Mawsû’at al-Fiqhiyyah, Buku II, Kuwait: Wazîrat al-Awqâf wa al Shu’un al-Islâmiyyah, 2012.