POLITIK UANG DALAM PANDANGAN
HUKUM POSITIF DAN SYARIAH
Hepi Riza Zen
IAIN Raden Intan Lampung
Jalan H. Endro Suratmi Sukarame Bandar Lampung
E-mail: hepirizazen@gmail.com
Abstract: Money Politics in the View of the Positive Law and the Sharia. Money Politics is
a phenomenon that has been going on from election to election and is often untouched by law
enforcement in Indonesia. his symptom is clearly in contrast to the principle of fairness and may
potentially result in uncredible leaders. In the Islamic view, money politics can be clasiied as an
act of bribery (risywah), that is money or a gift given to other people, persuading him to do a
certain thing in return. Risywah is forbidden in Islam and its prohibition was revealed in since the
early period of Muhammad prophethood, together with a ban against the practice of idolatery. he
Qur’an mentions several times about the prohibition against bribery and it is also supported by a
number of Hadith.
Keywords: politics of money, bribery, risywah
Abstrak: Politik Uang dalam Pandangan Hukum Positif dan Syariah. Politik uang adalah gejala
yang telah berlangsung dari pemilu ke pemilu dan seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum.
Gejala tersebut bertentangan prinsip kejujuran dan dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin
yang tidak kredibel. Dalam pandangan Islam, politik uang dapat dikiaskan dengan perbuatan suap/
sogok atau risywah yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain
dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Risywah terlarang dalam Islam
dan larangannya diturunkan Allah sejak masa pertama kenabian Muhammad Saw. berbarengan
dengan larangan melakukan praktik penyembahan terhadap berhala. Alquran menyebutkan
beberapa kali soal keharaman suap/sogok ini yang didukung pula oleh sejumlah Hadis Nabi yang
melarang perbuatan yang sama.
Kata Kunci: politik uang, suap, risywah
rakyat mayoritas. Kekuasaaan diamanatkan
kepada para wakil yang dipilih melalui
pemilihan yang bebas berdasarkan suara
mayoritas rakyat. Dengan sistem politik
demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih partisipatif,
namun praktik demokrasi ini dalam sejarah
per laksanaannya senantiasa mengalami
kendala. Salah satunya adalah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap para
wakil nya baik yang duduk di jabatan
eksekutif maupun jabatan legislatif, hal ini
Pendahuluan
Indonesia sejak awal kemerdekaannya menyatakan sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat). Demokrasi merupakan
konsep atau perangkat kekuasaan yang
mekanisme pengelolaan negaranya berdasarkan kehendak suara rakyat mayoritas.1
Demokrasi menganut prinsip kebebasan,
prinsip kesamaan dan prinsip kehendak
1
Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2006), h. 87.
525
526| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
dikarenakan melemahnya kiprah para wakil
rakyat tersebut dalam merepresentasikan
kepentingan masyarakat.
Melemahnya kepercayaan masyarakat itu
antara lain disebabkan oleh berbagai bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
para elit politik yang terpilih dalam pemilu,
terjadinya korupsi yang mengakibatkan tidak
efektifnya penyelenggaraan pemerintahan
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan mewujudkan keadilan sosial sebagaimana
diamanatkan konstitusi dan lainnya. Kondisi
ini bisa terjadi erat kaitannya dengan
mahalnya biaya pemilu, yang berakibat
langsung pasca-pemilu, karena mereka yang
berhutang untuk biaya pemilu akan membalas
jasa melalui berbagai konsesi kepada pihak
yang membiayai pemenangannya sehingga
mengabaikan aspirasi masyarakat luas. Upaya
untuk mengembalikan hutang-hutang semasa
pemilu harus diganti oleh uang rakyat dalam
APBD melalui arisan proyek bagi investor
politik yang ikut membiayai pemilu.2 Adapun
mahalnya biaya pemilu tersebut salah satunya
dikarenakan dilakukannya politik uang (money
politics) karena telah melakukan pembelian
suara masyarakat agar bisa memenangkan
pemilu.
Kurangnya pemahaman mengenai pondasi dan substansi demokrasi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia melihat
demokrasi sekadar sebagai ritual (pemilu,
pemungutan suara, voting, kebebasan
berpendapat, dan sebagainya) sedangkan
relevansinya terhadap perbaikan kualitas kebijakan publik cenderung diabaikan. Selain
itu melemahnya kepercayaan masyarakat
terhadap para wakilnya karena dianggap
bahwa semua wakil hanya mengumbar
janji, sehingga selama mereka mendapatkan
keuntungan kenapa tidak diambil, maka
kesemuanya ini menyebabkan politik uang
semakin merajalela dan seolah-olah tidak
2
ditpolkom.bappenas.go.id/.../007. pdf, dalam MA Fitriyah,
“Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013, h. 1,
dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/diakses pada
21 Desember 2014.
ada yang salah dengan itu.3
Mengingat bahaya yang ditimbulkannya,
maka soal politik uang dalam pemilu ini
penting untuk diangkat sebagai tulisan guna
memberikan pemahaman dan meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya
penolakan terhadap tawaran politik uang
dan apabila mungkin ikut serta memerangi
politik uang tersebut, pendekatan yang
bisa dilakukan tersebut antara lain melalui
pendekatan keagamaan, terutama agama
Islam, karena dalam Islam semua hal dalam
kehidupan ini diatur secara lengkap, dan
pentaatannya pun akan dilaksanakan oleh
pemeluknya secara sukarela.
Tulisan ini bermaksud menyajikan ulasan
teoritis tentang apa dan bagaimana politik
uang dalam pemilu, khususnya mengenai
politik uang dalam regulasi pemilu di
Indonesia dan hukum politik uang dalam
Islam.
Sesuai dengan isu hukum yang dikaji
dalam penelitian ini, maka penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif,4
dengan karakter penelitan menyusun konsepkonsep, asas-asas dan ketentuan-ketentuan
hukum, yang berkaitan dengan politik uang
sebagai suatu model suap menyuap yang
mereleksikan proses pemikiran keadilan
moral dan hasanah Alquran dan Sunnah
Rasul sebagai sumber hukum dalam Islam.
Untuk mencapai kebenaran ilmiah maka
sesuai dengan permasalahannya digunakan
model pendekatan perundang-undangan
(statuta approach), pendekatan perbandingan
(qiyâs) dan pendekatan istiqrâ dengan cara
pengambilan kesimpulan premis umum
dari sekumpulan ayat-ayat Alquran dan
merekonstruksi dengan meneliti substansi
3
Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik
Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada
Langsung”, Makalah disajikan dalam Konferensi Administrasi
Negara, Surabaya, 15 Mei 2009, h. 12, dalam Google Scholar
Citations. com, diakses pada Desember 2014.
4
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif), Majalah Yuridika, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, No. 6 Tahun IX November-Desember,
1994, h. 4-7
Hepi Riza Zen: Politik Uang |527
makna yang terkandung dalam nas-nas
tersebut berdasarkan maksud dan tujuan
akhir yang hendak dicapai oleh ketetapan
dari satu aturan syariah.
Politik Uang dalam Pemilu
Pengertian Politik Uang
Istilah politik uang ialah menggunakan uang
untuk memengaruhi keputusan tertentu,
dalam hal ini uang dijadikan alat untuk
memengaruhi seseorang dalam menentukan
keputusan.5 Dengan adanya politik uang ini,
maka putusan yang dihasilkan tidaklah lagi
berdasarkan idealita mengenai baik tidaknya
keputusan tersebut, melainkan semata-mata
didasarkan oleh kehendak si pemberi uang,
karena yang bersangkutan sudah merasa
teruntungkan.
Adapun yang dimaksud dengan pemilu
ialah pemilihan atas para wakil rakyat baik
yang akan menduduki jabatan di lembaga
legislatif seperti Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten
Kota, serta wakil rakyat yang menduduki
jabatan eksekutif seperti Presiden, Gubernur,
Bupati dan Wali Kota.
Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan di atas, politik uang yang dilaksanakan dalam pemilu juga merupakan
upaya untuk memengaruhi putusan para
pemilih agar menentukan pilihannya pada
kontestan tertentu dengan memberikan
sesuatu dalam bentuk janji, imbalan atau
pemberian materi agar orang yang bersangkutan dalam pemilu untuk beberapa
hal yakni tidak menggunakan hak pilihnya,
memilih peserta pemilu tertentu dengan cara
tertentu, memilih parpol peserta pemilu
tertentu dan/atau memilih calon anggota
DPD tertentu, melaksanakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya
tidak sah.
Politik uang tergolong ke dalam
5
Ebin Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas
Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/.
modus korupsi pemilu. Ada empat
model korupsi pemilu yang berhubungan
dengan politik uang, yaitu beli suara (vote
buying), beli kandidat (candidacy buying),
manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi dan perolehan suara
(administrative electoral corruption).6
Bahkan Ramlan Surbakti mengatakan
dalam Pemilukada, politik uang memiliki
varian yang lebih kompleks, yaitu berupa:7
a. Untuk dapat menjadi calon diperlukan
“sewa perahu”, 8 baik yang dibayar
sebelum atau setelah penetapan calon,
sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa
yang harus dibayar diperkirakan cukup
besar jauh melampaui batas sumbangan
dana kampanye yang ditetapkan dalam
undang-undang, tetapi tidak diketahui
dengan pasti karena berlangsung di balik
layar.
b. Calon yang diperkirakan mendapat
dukungan kuat, biasanya incumbent,
akan menerima dana yang sangat besar
dari kalangan pengusaha yang memiliki
kepentingan ekonomi di daerah tersebut.
Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas
sumbangan yang ditetapkan undangundang.
Syamsuddin Haris mengatakan bahwa
parpol dalam mengusung calon di pilkada
lebih pada pertimbangan kemampuan
inansial calon yang bersangkutan. Dalam
rekrutmen, lebih terkesan para sang calon
yang membutuhkan “perahu” parpol. 9
Ketika pemilihan Gubernur Riau misalnya,
6
Kompas, 11 Februari 2005 dalam Elza Faiz, “Urgensi
Calon Independen Dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan
Kepala Daerah”, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
Yogyakarta, t.t.
7
Ramlan Surbakti, Kompas, 2 April 2005 dalam Luthi
J. Kurniawan, Peta Korupsi di Daerah, (MCW and Yappika,
2006), h. 229.
8
Sewa perahu adalah istilah yang biasa digunakan untuk
menyatakan harga yang dibayar agar dapat dicalonkan oleh
suatu parpol.
9
Syamsuddin Haris, Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi
Pilkada, 30 November 2006 dalam www.komunitasdemokrasi.
or.id/article/pilkada dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang
dalam Pilkada” (Makalah), 2013.
528| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
seorang kandidat harus menyediakan “uang
pinangan” sedikitnya Rp.400 juta per kursi
demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini
semakin strategis posisi parpol, jumlah uang
lamaran semakin besar.10 Sehingga menurut
Syarif Hidayat, modal ekonomi yang harus
dikeluarkan oleh masing-masing kandidat
kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung
merupakan kombinasi antara modal pribadi
dan bantuan donator politik (pengusaha),
serta sumber-sumber lain. 11 Sedangkan biaya
yang dikeluarkan guna menentukan parpol
pengusung, kampanye besar-besaran untuk
mendongkrak popularitas calon, sampai
upaya memengaruhi pilihan masyarakat
menurut Eko Prasojo harus diganti oleh uang
rakyat dalam APBD melalui arisan proyek
bagi investor politik yang ikut membiayai
pilkada.12
Menurut Wahyudi Kumorotomo bahwa
cara yang digunakan dalam melakukan
politik uang yaitu dalam pilkada langsung
ada beragam pembayaran tunai dari “tim
sukses” calon tertentu kepada konstituen yang
potensial, sumbangan dari para bakal calon
kepada parpol yang telah mendukungnya,
atau sumbangan wajib yang disyaratkan oleh
suatu parpol kepada para kader partai atau
bakal calon yang ingin mencalonkan diri
sebagai bupati atau wali kota. Adapun politik
uang secara tidak langsung bisa berbentuk
pembagian hadiah atau doorprize, pembagian
sembako kepada konstituen, pembagian
semen di daerah pemilihan tertentu, dan
sebagainya.13 Politik uang dan pemakelaran
inilah yang menyebabkan biaya pilkada
semakin meningkat, dan ongkos demokrasi
semakin tinggi.
10
Kompas, 6 Juli 2011 dalam Fitriyah, “Fenomena Politik
Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013.
11
Syarif Hidayat (Ed.), “Bisnis dan Politik di Tingkat
Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggara Pemerintahan
Pasca Pilkada”, Jakarta: P2E-LIPI, 2006, h. 276 dalam Fitriyah,
“Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013.
12
iiditpolkom.bappenas.go.id/.../2007iidalamiiFitriyah,
“Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013.
13
Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik Uang
dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”.
Bukan hanya terjadi dalam pemilukada
saja, bahkan sudah menjadi rahasia umum
bahwa praktik politik uang di masyarakat
telah berlangsung dari pemilu ke pemilu.
Hal itu biasa dilakukan oleh para kandidat
maupun parpolnya dengan beragam cara, baik
dengan cara konvensional berupa pemberian
berbentuk uang, baik itu sedekah yang biasa
dikenal dengan serangan fajar maupun
transportasi kampanye, pemberian sembako
seperti beras, minyak dan gula kepada masyarakat, pemberian dalam barang seperti
alat ibadah, fasilitas sosial, pemberian kupon
yang akan diuangkan pasca pemilu dengan
tujuan untuk menarik simpati masyarakat
agar mereka memberikan suaranya kepada
peserta pemilu yang bersangkutan.
Praktik politik uang ini banyak dilakukan
oleh peserta pemilu. Ironisnya, praktik ini
tidak tersentuh oleh penegakan hukum
akibat sebagian masyarakat menganggap
sebagai sesuatu yang lumrah. Hal ini bisa
dibuktikan dari hasil polling Litbang Harian
Kompas menemukan bahwa sebagian besar
publik tidak menolak kegiatan bagi-bagi
uang yang dilakukan calon anggota legislatif
maupun partai politik. 14 Bahkan banyak
anggota masyarakat menganggap politik
uang sebagai rejeki musiman yang sayang
ditolak.
Politik uang tumbuh subur didukung
oleh kecenderunganan masyarakat yang
makin permisif dan mengganggap bahwa
politik uang tersebut sebagai biaya ganti
rugi dari para kontestan karena pada hari
pemilihan mereka tidak pergi ke ladang
ataupun sawahnya. Bisa juga politik uang itu
dianggap sebagai kesempatan mendapatkan
rejeki, karena bagi mereka siapapun yang
terpilih tidak bermakna apapun bagi diri
dan kelompoknya.
Menurut hasil penelitian Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) yang mengukur tingkat
14
Kompas, 16 Maret 2009 dalam Fitriyah, “Fenomena
Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013.
Hepi Riza Zen: Politik Uang |529
skala politik uang dalam pilkada, bahwa
survei tersebut dilakukan dengan populasi
nasional pada bulan Oktober 2005 dan
Oktober 2010. Survei menggunakan metode
penarikan sampel Multistage Random Sampling
(MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang
responden dengan tingkat kesalahan sampel
(sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil
survey menunjukkan publik yang menyatakan
akan menerima uang yang diberikan oleh
kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun
2005, sebanyak 27,5% publik menyatakan
akan menerima uang yang diberikan calon
dan memilih calon yang memberi uang.
Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun
2010. Demikian pula persepsi publik bahwa
politik uang akan memengaruhi pilihan atas
kandidat, juga mengalami kenaikan dari
53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun
2010.15
Menurut Kemitraan, praktik politik uang
pada Pemilu 2014 terjadi lebih masif, vulgar,
dan brutal dibandingkan pemilu terdahulu.
Bukan hanya melibatkan peserta pemilu
dan pemilih, tetapi juga penyelenggara
pemilu.16 Berdasarkan laporan pemantau
di lapangan, politik transaksional melibatkan
partai, caleg, saksi partai, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan
Panitia Pemungutan Suara (PPS). Hal itu
dilakukan untuk memenangkan caleg atau
partai tertentu.
Meski kasus-kasus politik uang ini telah
sedemikian marak terjadi, namun dari kasuskasus politik uang yang berlangsung sedikit
sekali yang dapat tertangani oleh penyelenggara
pemilu. Selain tidak dilaporkan, biasanya sulit
pembuktiannya karena tidak adanya saksi.
Sehingga oleh penyelenggara pemilu politik
uang ini dikatakan ibarat “kentut” karena
15
iisuarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang
dalam calegpilihan2014.blogspot.com/.../saat-ini-demokrasiatau-moneykrazy.
16
iiWahidah Suaib, Senin 21/4/2014 dalam calegpilihan2014.
blogspot.com/.../saat-ini-demokrasi-atau-moneycrazy, Caleg Pilihan
2014, Selasa, 29 April 2014.
bisa dirasakan tetapi tidak bisa diketahui
keberadaannya. Berdasarkan tiga pemilu yang
terjadi di Provinsi Lampung saja dari sekian
banyak kasus politik uang yang dilaporkan
masyarakat, hanya sedikit saja kasus yang
sampai kepada penyelenggara pemilu.
Menurut data Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung pada
Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur tahun
2014 sampai dengan tanggal 30 April 2014
dugaan politik uang yang tercatat dalam
Rekapitulasi Penanganan Temuan Dugaan
Pelanggaran di Provinsi Lampung ditemukan
beberapa kasus,17 di antaranya:
a. Pada tanggal 7 Maret 2014, Agus
Priyanto melaporkan penemuan gula
di Kabupaten Pringsewu yang terdapat
kartu nama calon anggota DPD RI a.n
Ahmad Jajuli, S.IP, yang diduga terkait
juga dengan pencalonan Calon Gubernur
Ridho Ficardo. Untuk kasus ini Bawaslu
merekomendasikan untuk ditangani dan
ditindaklanjuti oleh Panwaslu Kabupaten
Pringsewu bersama Sentra Gakkumdu
Kabupaten Tanggamus, tetapi tidak
terbukti.
b. Pada tanggal 27 Maret 2014 Radityo
(Panitia Pengawas Pemilu kKabupaten
Lampung Barat) melaporkan Heryanto,
SE., M.M. atas dugaan melakukan
kampanye pada masa reses dan membagikan biskuit ibu hamil MP ASI milik
Kemenkes.
c. Pada tanggal 09 April 2014, Watinah
melaporkan Gufron Azis Fuadi dan
Ki Agus Revolusi dengan dugaan
pelanggaran money politics pembagian
sembako yang dilakukan oleh caleg
anggota DPR RI a.n Gufron Azis Fuadi
dari partai PKS dan K. Agus Revolusi
S.Sos caleg anggota DPRD Provinsi
Lampung di Desa Banjar Agung Kec.
17
Rekapitulasi Penanganan Laporan/Temuan Dugaan
Pelanggaran Pemilu Legislatif, Pemilu Calon Presiden dan Wakil
Presiden dan Pemilukada Provinsi Lampung Tahun 2014.
530| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
Jati Agung Kab. Lampung Selatan.
d. Pada tanggal 15 April 2014, Budiator
me laporkan Roswati, S.Pd., calon
anggota legislatif nomor 2, daerah
pemilihan Metro Timur dari partai
Golkar atas dugaan pembagian uang
sebesar Rp.150.000,00.
Berdasarkan laporan tersebut, terlihat
bahwa politik uang ini telah menjadi hal
yang biasa di masyarakat. Masyarakat
“membenarkan” praktik kotor ini sebagai
salah satu bentuk upaya mencari rejeki.
Masyarakat tidak merasakan bahwa praktik
curang ini merupakan perbuatan tercela.
Imbasnya, politik uang ini akan merusak
mentalitas masyarakat, sehingga menjadi
masyarakat yang bermental peminta-minta
dan permisif.
Dengan adanya politik uang juga mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Hal ini
juga merupakan pencederaan akan makna
demokrasi, karena pemilu berlangsung
tidak lagi berdasarkan prinsip bebas dan
jujur. Pemilu tidak lagi bebas, artinya
pilihan seseorang tidak lagi sesuai dengan
keinginannya karena adanya tekanan dan
paksaan atas sesuatu yang akan atau telah
diperolehnya dalam menjual suara. Selain itu,
politik uang ini akan menimbulkan sesuatu
yang membahayakan, karena tidak hanya
melahirkan politisi korup dan memiliki
sifat yang suka menghalalkan segala cara,
melainkan juga akan melahirkan politisi yang
tidak memiliki kualitas untuk menjalankan pemerintahan, menghalalkan masuknya
sumber-sumber dana kotor, kemungkinan
dilakukannya berbagai konsesi kepada pihak
yang membiayai pemenangannya pasca
pemilu, dan tentunya akan meminggirkan
aspirasi dan upaya perjuangan kepentingan
masyarakat luas.
Schaffer, dalam Money in Politics
Handbook18 menyebutkan bahwa setidaknya
18
www.usaid.gov/our_work/.../pnacr223.
ada empat risiko yang berkaitan dengan
politik uang, yaitu:
a. Terjadinya ketidakadilan-risiko dari
politik uang menyebabkan terpilihnya
orang yang tidak semestinya dan membatasi persaingan
b. Terjadinya ketidakmerataan peluang
jabatan kepada segenap penduduk dan
risiko didapatkan perwakilan yang berkualitas.
c. Politisi yang dibiayai oleh donatur
akan terkooptasi oleh kepentingan para
penyumbang dan akan senantiasa dikontrol oleh mereka yang membiayai.
d. Terjadinya risiko bahwa uang kotor atau
haram akan merusak sistem dan merusak
aturan hukum.
Politik Uang dalam Regulasi Pemilu
a. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
mengenai politik uang ini diatur dalam
beberapa pasal yaitu:
1) Pasal 84 UU No. 8 Tahun 2012
dikatakan bahwa:
“Selama masa tenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3),
pelaksana, peserta, dan/atau petugas
kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada
pemilih untuk:a. tidak menggunakan
hak pilihnya;b. menggunakan hak
pilihnya dengan memilih peserta
pemilu dengan cara tertentu sehingga
surat suaranya tidak sah; c. memilih
parpol peserta pemilu tertentu; dan/
atau d. memilih calon anggota DPD
tertentu”.
2) Pasal 86 ayat (1) poin j dikatakan:
“Pelaksana, peserta, dan petugas
kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta
kampanye pemilu”.
3) Pasal 89 UU No. 8 Tahun 2012
Hepi Riza Zen: Politik Uang |531
Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD dikatakan bahwa:
“Dalam hal terbukti pelaksana
Kampanye Pemilu menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta
Kampanye Pemilu secara langsung
ataupun tidak langsung untuk: a.
tidak menggunakan hak pilihnya; b.
menggunakan hak pilihnya dengan
memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya
tidak sah; c. memilih Parpol Peserta
Pemilu tertentu; d. memilih calon
anggota DPR, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota tertentu;
atau e. memilih calon anggota DPD
tertentu, dikenai sanksi sebagaimana
diatur dalam UU ini”.
Ketiga ketentuan pasal tersebut
bermuara pada Pasal 301
1) Ayat (1) Setiap pelaksana kampanye
pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye pemilu secara
langsung ataupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah)”.
2) Ayat (2): “Setiap pelaksana, peserta,
dan/atau petugas kampanye pemilu
yang dengan sengaja pada masa
tenang menjanjikan atau memberikan
imbalan uang atau materi lainnya
kepada pemilih secara langsung
ataupun tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84 dipidana
dengan pidana penjara paling empat
tahun dan denda paling banyak
Rp.48.000.000,00 (empat puluh
delapan juta rupiah). Ayat (3) Setiap
orang yang dengan sengaja pada
hari pemungutan suara menjanjikan
atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya atau
memilih peserta pemilu tertentu
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).
b. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, mengenai politik
uang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 117 ayat (2) yaitu:
1) Pasal 82 ayat (1) Pasangan calon
dan/atau tim kampanye dilarang
menjanjikan dan/atau memberikan
uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih.
2) Ayat (2) Pasangan calon dan/atau tim
kampanye yang terbukti melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
pembatalan sebagai pasangan calon
oleh DPRD.
3) Pasal 117 ayat (2) Setiap orang
yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak
menggunakan hak pilihnya, atau
memilih Pasangan calontertentu, atau
menggunakan hak pilihnya dengan
cara tertentu sehingga surat suaranya
menjadi tidak sah, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua)
bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan paling banyak Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
c. UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden
1) Pasal 41 ayat (1) poin h dan j:
“Pelaksana, peserta, dan petugas
Kampanye dilarang: menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah,
532| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
dan tempat pendidikan dan menjanji kan atau memberikan uang
atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.
2) Pasal 215: “Setiap pelaksana Kampanye
yang dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada
peserta Kampanye secara langsung
ataupun tidak langsung agar tidak
menggunakan haknya untuk memilih,
atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan haknya
untuk memilih dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1) huruf j, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp.24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
3) Pasal 216: Setiap pelaksana Kampanye
yang melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Unsur-Unsur Tindak Pidana Politik Uang
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas,
maka unsur-unsur politik uang menurut
regulasi pemilu di Indonesia ialah:
a. Setiap pelaksana kampanye pemilu
yang dengan sengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lain untuk
memengaruhi pilihan.
b. Perbuatan tersebut dilakukan oleh
pelaksana, peserta, dan/atau petugas
kampanye pemilu.
Apabila dilihat secara substantif, regulasi
tentang politik uang ini memang sarat kelemahan baik dalam UU Parpol, UU Pemilu,
UU Pilpres dan UU Pemda (Pilkada). Di
dalamnya masih terbuka celah untuk disiasati
karena terkadang pemberian-pemberian
tersebut dikemas dalam bentuk sumbangan
masjid, pesantren, dan bantuan infrastruktur
pada masyarakat, perlombaan olahraga seperti
jalan santai dengan hadiah atau doorprize, serta
pasar murah dengan harga sembako yang
sangat murah.
Apalagi menurut Pasal 301 UU No. 8
tahun 2013 mensyaratkan tiga hal tentang
regulasi, yaitu masa kampanye, masa
tenang dan hari pencoblosan. Tiga varian
itu mempunyai aturan berbeda. Di masa
kampanye mengisyaratkan sanksi politik
uang diberikan bagi yang terdaftar di tim
kampanye. Sementara memasuki masa tenang
yang dikenai UU adalah pemilih itu sendiri.
padahal syarat pemilih harus terdaftar sebagai
pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Maka terdapat celah jika pelaku itu tak
terdaftar di DPT. Sedangkan regulasi pada
hari pencoblosan dalam UU tersebut adalah
bagi siapa saja, namun yang diberi sanksi
adalah pemberi uang saja. Sedangkan dalam
UU Pemerintahan Daerah maupun dalam
Pasal 42 UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden hanya menjerat peserta Pemilu dan
tim kampanye untuk pelanggaran politik
uang, padahal belum tentu yang melakukan
mereka, melainkan dilakukan oleh orang
lain sebagai suruhan dan atau merupakan
tim bayangan.
Suap atau Sogok
Pengertian Suap atau Sogok
Suap atau sogok adalah suatu pemberian
dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada
orang lain dengan mengharapkan imbalan
tertentu yang bernilai lebih besar. Selain
itu bisa juga diterjemahkan sebagai suatu
perbuatan memberikan sesuatu dengan
tujuan membatalkan suatu yang haq atau
Hepi Riza Zen: Politik Uang |533
untuk membenarkan suatu yang batil.19
Nama lain dari suap atau sogok
adalah risywah. Al-Fayyumi mengatakan
bahwa risywah secara terminologis berarti
pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk meme nang kan perkaranya memenuhi apa
yang ia inginkan.20 Sedangkan Ibnu alAtsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah
ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang
dibuat-buat (tidak semestinya).21 Dengan
kata lain, risywah ialah pemberian apa saja
berupa uang atau yang lain kepada penguasa,
hakim atau pengurus suatu urusan agar
memutuskan perkara atau menangguhkannya
sesuai dengan kehendak pemberi dengan
cara yang zalim.
Sementara dalam Undang-undang No.
11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana
Suap Pasal 2 dan Pasal 3 menyatakan yang
dimaksud dengan suap atau sogok ialah:
“... memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang dengan maksud untuk
membujuk supaya orang itu berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum, ...
“... menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat
menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum, ...”.
19
Wazirat al-Awqâf wa al-Shu’un al-Islâmiyyah, alMawsû’at al-Fiqhiyyah, Buku II, (Kuwait: Wazirat al-Awqâf wa
al-Shu’un al-Islâmiyyah, 2012), h. 7819.
20
al-Hamawiy, Ahmad Ibn Muhammad al Fayumiy,
al-Misbah al-Munîr, Buku I, (Kairo: Dâr al-Ghadda al-Jadîd,
2007), h. 228.
21
Ibn ‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb al-Hadîth Wa al-Athar,
Buku II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 546.
Unsur-Unsur Suap/Sogok
Berdasarkan diinisi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat
digolongkan sebagai suap/sogok apabila
memenuhi beberapa unsur yaitu:
a. Adanya pemberian atau janji yang
bertujuan untuk menarik simpati orang
lain.
b. Pemberian atau janji tersebut dengan
tujuan untuk membatalkan yang haq,
merealisasikan kebatilan, mencari keber pihakan yang tidak dibenarkan,
men dapatkan sesuatu yang bukan
men jadi haknya atau memenangkan
perkaranya.
Dilihat dari unsur-unsur yang tercakup
dalam suap menyuap ini, maka politik uang
bisa dikiaskan dengan suap menyuap.
Hukum Politik Uang dalam Hukum
Islam
Islam adalah agama yang menjaga keberlangsungan eksistensi kehidupan manusia.
Risalahnya meliputi semua zaman dan mencakup segala aspek/bidang kehidupan, kapan
pun dan di mana pun. Hal ini tercermin
dalam irman Allah dalam Q.s. al-An’am
[6]: 38 pada yang berbunyi:
Dan tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam al-Kitab (Lauhul
Mahfudz), kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.
Sebagaimana telah disampaikan dalam
uraian terdahulu bahwa politik uang sama
dengan suap menyuap atau risywah. Sedangkan mengenai perbuatan suap menyuap ini,
larangannya telah diturunkan sejak awal
534| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
kenabian Muhammad Saw. Pengaturan
mengenai larangan untuk melakukan perbuatan suap menyuap itu sendiri diturunkan
Allah Swt. bersamaan dengan larangan melakukan praktik penyembahan terhadap
berhala, lebih dahulu dari pada perintah
melaksanakan salat lima waktu. Hal ini
menunjukkan betapa perbuatan ter sebut
adalah perbuatan yang harus dijauhi karena
dapat menyebabkan ketidakadilan, dan mewujudkan suasana ketidakpantasan. Maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum mengonsumsi dan menggunakan hasil politik
uang yang diqiyâskan dengan suap menyuap
ini terdapat sejumlah landasan dasarnya
dalam Alquran yaitu:
1. Allah Swt. berfirman dalam Alquran
Q.s. al-Mudatsir [74]: 1-7 yang berbunyi:
Wahai orang yang berselimut, bangkitlah dan sampaikan peringatan kepada
umat, agungkan Tuhanmu dan bersihkan
pakaianmu, tinggalkan perilaku sesat
(penyembahan terhadap berhala), dan
janganlah kamu memberi karena mengharapkan imbalan yang lebih banyak
serta bersabarlah dalam memperjuangkan
ajaran Tuhanmu.
2. Alquran Q.s. al-Baqarah [2]: 188 yang
berbunyi:
Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui.
Firman Allah dalam Surat al-Baqarah
[2]: 188 ini melarang manusia untuk
memakan harta sesamanya dengan
cara yang bathil, yaitu memperoleh
harta dari umat manusia yang lain
dengan cara melawan hukum Allah,
dan mencoba menyiasati melalui upayaupaya tertentu seperti halnya praktik
suap-menyuap, padahal manusia itu
mengetahui bahwa itu adalah merupakan suatu kecurangan.
Imam al-Qurthubî mengatakan,
“Makna ayat ini adalah bahwa barang
siapa yang mengambil harta orang lain
bukan dengan cara yang dibenarkan
syariat maka sesungguhnya ia telah
memakannya dengan cara yang batil.
Di antara bentuk memakan dengan cara
yang batil adalah putusan seorang hakim
yang memenangkan kamu sementara
kamu tahu bahwa kamu sebenarnya
salah. Sesuatu yang haram tidaklah
berubah menjadi halal dengan putusan
hakim.”22
3. Alquran Q.s. al-Nisâ’ [4]: 29 yang
berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta
se samamu dengan jalan batil kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di-antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu.
22
Abî ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansariy alQurtubiy, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, Buku II, (Bayrût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), h. 711.
Hepi Riza Zen: Politik Uang |535
Surat al-Nisā` [4]: 29 ini di samping
menyampaikan larang memakan harta
sesama secara batil, juga sekaligus menunjukkan jalan-keluar perilaku alternatif
dalam melakukan hukum perjanjian
maupun perikatan yang dibenarkan
mengenai harta sesama.
4. Alquran Q.s. al-Nisâ’ [4]: 30 yang
berbunyi:
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka kami
kelak akan memasukkannya ke dalam
neraka. Yang demikian itu bagi Allah
adalah mudah.
Surat al-Nisā` [4]: 30 ini memasti kan ancaman bagi orang yang
tetap memakan hasil suap-menyuap
setelah mengetahui Allah melarang
untuk memakannya, yaitu kelak akan
dimasukkan ke dalam neraka, karena
mereka dinilai Allah telah berbuat zalim
menentang larangan-Nya.
5. Alquran surat al-Nisâ’ [4]: 31 yang
berbunyi:
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang
dilarang kamu mengerjakannya itu, niscaya
Kami hapuskan kejelekan-kejelekanmu
(kerugian-kerugianmu) dan Kami masukkan
kamu ke tempat yang mulia (surga).
Surat al-Nisā` [4]: 31 ini memberikan
harapan surga bagi mereka yang menghindari
dosa besar, yaitu Allah akan menghentikan
keburukan-keburukan dalam hidupnya dan
akan memasukkannya kelak ke dalam sorgaNya yang terpuji dan mulia.
Keempat ayat dari irman Allah tersebut,
Q.s. al-Baqarah [2]: 188 melarang memakan,
menggunakan dan memakai hasil suap, Q.s.
al-Nisā` [4]: 29 di samping melarang juga
menunjukkan jalan keluar dari praktik suap
dan politik uang, Q.s. al-Nisā` [4]: 30 menyampaikan ancaman neraka terhadap siapa
saja yang membangkang terhadap laranganNya dengan tetap memakan, memakai dan
menggunakan hasil suap dan money politics,
Q.s. al-Nisā` [4]: 31menjanjikan ganjaran
sorga bagi mereka yang menghindarinya.
Mengindikasikan bahwa penetapan hukum
mengenai memakan, memakai dan menggunakan hasil suap tampak berproses secara
tertib dan bertahap serta saling menguatkan.
Pertama, memberikan larangan. Kedua, mempertegas larangan sekaligus menunjukkan
jalan keluar yang tidak saling mengecewakan.
Ketiga, menyampaikan ancaman neraka bagi
yang membangkang. Keempat, menjanjikan
ganjaran surga karena kasih sayang-Nya
kepada mereka yang peduli terhadap larangan
dan perintah-Nya.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan dari
politik uang yang bisa merusak mentalitas
masyarakat sehingga menjadi masyarakat
yang bermental peminta-minta dan senantiasa
memanfaatkan kekuasan yang dimilikinya seberapapun kecilnya kekuasaan yang
dimilikinya tersebut. Sesuai dengan irman
Allah Swt. Surat al-Anfâl [8]: 25 yang
berbunyi:
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang
zholim saja di antara kamu. Dan ketahuilah
bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
Menurut tafsir al-Allâmah al-Syaikh
al-Sa’di, menyatakan bahwa ayat ini
memberikan gambaran siksa Allah tidak
hanya akan menimpa pelaku kezaliman
tetapi juga yang lainnya. Cara menghindari
siksa ini adalah dengan melarang orang
melakukan kemungkaran, memberantas
orang-orang yang suka berbuat jahat dan
536| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
merusak, dan tidak membiarkan mereka
melakukan kemaksiatan dan kezaliman sebisa
mungkin.”23
Makna ayat ini diperjelas oleh hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan
sanad hasan, sebagaimana dikatakan oleh
al-Hâizh Ibn Hajar dari ‘Adi bin ‘Umairoh
rodhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, Aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda,
Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla tidak akan
menyiksa masyarakat luas karena perbuatan
sebagian orang, sehingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka (dan tidak
mengingkarinya sama sekali), padahal mereka
mampu mengingkarinya; maka jika mereka
berbuat seperti itu, Allah akan menyiksa pelaku
kezholiman dan masyarakat umum.24
Berdasarkan proses penetapan hukum
yang secara berjenjang dan saling menguatkan
tersebut dapat ditarik ketetapan hukum
Allah Swt., bahwa memakan, memakai atau
menggunakan hasil suap itu adalah haram,
karena jelas pelakunya telah berbuat zalim,
telah membangkang terhadap larangan Allah,
menghindar dari arahan dan tuntunan-Nya,
dan menentang ancaman-Nya serta tak
peduli terhadap kasih sayang-Nya.
Ketetapan hukum haram memakan,
memakai atau menggunakan hasil suap
diperkuat pula dengan ijtihad para mujtahid
terdahulu. Sebagaimana disitir oleh
Muhammad ‘Alî al-Syaukani, dinyatakan
bahwa Ibn Ruslan menguatkan keharaman
memakan hasil suap berdasarkan irman
Allah Q.s. al-Mâidah [5]: 42 yang berbunyi:25
23
Tafsir al-Sa’di, h.318 dalam Inspirasi Islami 21 September
2013, “Tafsir {Q.s. al-Anfâl: 25}; nahi mungkar. com.
24
Fathul Bâri, Juz 13, h. 4 dalam Inspirasi Islami 21
September 2013, “nahi mungkar”.
25
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Shawkaniy,
Nailul Authâr, Juz VII, (Bayrût: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabiy,
1999), h. 302.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram (hasil suap dan sebagainya)…
Ibn Ruslan mengartikan lafaz “al-suhtu”
dalam Q.s. al-Mā`idah [5]: 42 tersebut
dengan “hasil suap” itu merujuk kepada
pengertian lafaz “al-suhtu” menurut Ibn
Mas`ud r.a., yaitu memberi hadiah karena
mengharapkan bantuan. Dalam hal ini Abû
Wa`il seorang mujtahid dari kalangan tabi`in
menegaskan bahwa seorang yang menerima
hadiah dari orang yang mengharapkan
bantuan sesungguhnya dia telah memakan
hasil suap.
Menurut Muhammad ‘Alî al-Syaukanî
mempertegas lingkup dan cakupan keharaman
memakan hasil suap berdasarkan Sunnah
Rasul berikut:
Barang siapa minta tolong saudaranya
agar dapat membantunya dan memberikan
hadiah kepada saudaranya atas bantuannya
dan hadiah itu diterimanya, maka dengan
penerimaannya itu dia telah memasuki pintu
terbesar dari beberapa pintu riba.26
Muhammad ‘Alî al-Syaukanî menjelaskan bahwa menurut teori makna lafaz
dari hadis ini berlaku maknanya yang
umum secara mutlak yaitu seluruh jenis
hadiah yang mengharapkan bantuan, dan
mencakup seluruh pelaku yang terkait, baik
yang memberi maupun yang menerima,
pejabat atau pun bukan pejabat, semuanya
termasuk orang yang telah memasuki pintu
riba yang terbesar. Sedangkan riba itu
sendiri secara tegas dan pasti hukumnya
dinyatakan haram.
Hadits Nabi Saw., dikatakan:
26
Al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal dan Ahmad Muhammad
Shakir, Musnad Ahmad, Buku II, No. 9019, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 387.
Hepi Riza Zen: Politik Uang |537
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu,:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melaknat orang yang menyuap dan yang disuap
dalam masalah hukum.”27
Dikatakan juga dalam hadis lainnya:
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang
yang memberi suap dan yang menerima suap”.28
Hadis ini menurut syaikh al-Albani
dinyatakan shahîh.29
Hadis lainnya adalah:
Diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu,
ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam melaknat pemberi suap, penerima
suap, dan perantaranya.”30
Namun sanad hadis ini menurut Syaikh
al-Albani dinyatakan dha’îf (lemah).31 Namun
Hadis ini walaupun tidak berstatus shahîh
27
Al-Imâm Aumad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad; alTirmidzî Abî ‘Isa Muuammad Ibn ‘Isa Ibn Surat, Sunan alTirmidzî Wahuwa al-Jâmi’ al-Shahîh, Buku III, Abdurrahman
Muhammad ‘Usman (pent.), Hadis-Sunan Tirmidzi, Juz
III, No.1387, (Semarang: CV al-Syifa’, 1992), h. 622; ‘Amir
Alauddin Ali Ibn Balba al-Farisiy, Shahîh Ibnu Hibbân, M.
Sulton Akbar (pent.), Juz XI, No.5076, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 467.
28
Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sajastaniy Abû Dawud,
Sunan Abî Dawûd, Juz II, No. 3580, (Bayrût: Dâr al Fikr,
2007), h. 324. al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî Wahuwa alJâmi’ al-Shahîh, No. 1337, III/623; al-Qazwiniy, Abî ‘Abdullah
Muhammad ibn Yazîd Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz IV,
(Kairo: Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, 1986), h. 102-103;
Ahmad, Musnad Ahmad, No. 6532, Juz II, h. 164.
29
Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albani, al-Targhîb
wa al-Tarhîb Shahih al-Targhîb wa al-Tarhib, Juz II, No. 2211,
(Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 261.
30
Ahmad, Musnad Ahmad, Juz V, No. 22452, h. 279.
31
Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albani, Dha’îf alTarghîb wa al-Tarhîb Shahîh al-Targhîb wa al-Tarhîb, Juz II, No.
1344, (Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 41.
tapi diriwayatkan juga oleh al-Hâkim walau
hanya dari seorang sanad Laits bin Abî Sâlim
dan juga oleh Ahmad, al-Bazzar dan alhabrânî dari Abû al-Khithâb yang kurang
dikenal. Menurut teori ilmu hadis, maka
hadis ketiga ini menjadi shahîh lighairihi
yang otentisitas dan validitasnya sebagai
dalil sama dengan hadîts shahîh.
Ketiga nas Sunnah tersebut secara umum
mempunyai arti yang sama, yaitu mengenai
perilaku yang mendapat laknat Allah dan
Rasul-Nya, baik laknat itu datangnya dari
Allah ataupun dari Rasul-Nya Saw., yaitu
perilaku suap-menyuap. Kata “laknat” berasal
dari bahasa Arab sebagaimana dimuat dalam
kamus al-Munjid Fî al-Lughah Wa al-A`lām
yang artinya “sesuatu yang bernilai paling
jauh dari nilai kebaikan”. Jadi “melaknat”
artinya “menetapkan nilai suatu perbuatan
yang paling jauh dari nilai baik”. Kata-kata
“laknat” itu sifatnya tercela dan merupakan
kutukan. Dengan demikian kata “laknat”
itu adalah kutukan. Oleh karena itu suatu
perbuatan yang terlaknat itu tercela dan
terkutuk.
Nas Sunnah kedua dan ketiga yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari Abî Hurairah
dan yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî dari
Abdullah bin Amru menyatakan bahwa
Allah-lah yang melaknat penyuap dan
penerima suap. Sedangkan Nas Sunnah
keempat yang diriwayatkan oleh Ahmad
dari Tsauban menyatakan bahwa Rasulullahlah yang melaknat penyuap dan penerima
suap. Kondisi perbedaan dalil seperti ini
secara teori Ushûl Fiqh diselesaikan dengan
teori Kompromi Dalil (Tawāfuq al-‘Adillah),
karena masih bisa dikompromikan, masih
dalam tema yang sama, yaitu melaknat
penyuap dan penerima suap. Allah saja
yang melaknat penyuap dan penerima suap
terkena kutukan, begitu juga Rasul saja yang
melaknat, tetap penyuap dan penerima suap
terkena kutukan. Lebih-lebih kalau Allah dan
Rasul-Nya sama-sama melaknat maka nilai
keterkutukan penyuap dan penerima suap
538| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
semakin kuat. Oleh karena itu, memberi
suap dan menerima suap kedua-duanya
menerima kutukan Allah dan Rasul-Nya.
Maka terkutuknya perbuatan itu yang
menjadi kriteria penetapan hukum (‘illah
hukum) suap-menyuap. Karena terkutuknya
perbuatan memberi suap dan menerima suap,
maka perilaku penyuap dan penerima suap
hukumnya haram. Dengan demikian perilaku
suap menyuap dalam praktik kehidupan
hukumnya adalah haram. Kalau banyaknya
diharamkan maka sedikitnyapun diharamkan.
Karena yang diharamkan adalah perbuatan
menyuap dan menerima suap, bukan kadar
sedikit atau banyaknya suap/sogok itu diberikan atau diterima.
Berdasarkan itu semua maka para ulama
telah sepakat secara ijmak akan haramnya
suap menyuap secara umum. Sebagaimana
disebutkan oleh Ibn Qudâmah, Ibn al-‘Atsir,
dan al-Shan’anî, semoga Allah merahmati
mereka semua. 32 Imam al-Qurthubi
rahimahullah di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat
akan keharamannya.33 Imam al-Shan’anî
mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram
berdasarkan ijmak, baik bagi seorang qâdhi
(hakim), bagi para pekerja yang menangani
sedekah atau selainnya. Sebagaimana irman
Allah Swt. Q.s al-Baqarah [2]: 188 yang
berbuyi: 34
dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman
al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap
termasuk dosa besar karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang
yang menyuap dan yang menerima suap,
sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali
pada dosa-dosa besar. ”35
Berdasarkan beberapa keterangan yang
terkandung dalam nas-nas di atas terlihat
bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar,
karena pelakunya diancam Rasulullah Saw.
dengan laknat dari Allah. Dan arti laknat
ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat
Allah.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa money politics (politik uang) adalah
sama dengan suap menyuap dan hukumnya,
baik bagi pemberi maupun penerima adalah
terlarang atau haram menurut Allah Swt.
sebagaimana disampaikan dalam Alquran
dan hadis. Dengan demikian memakan,
memakai dan menggunakan hasil politik
uang hukumnya juga haram. Politik uang
adalah salah satu bentuk perbuatan maksiat
yang akan mengakibatkan azab Allah yang
akan menimpa bukan hanya pelakunya tetapi
juga masyarakat di sekitarnya.
Pustaka Acuan
Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu
Abû Dawud, Sulayman Ibn al-‘Ash’ath alSajastaniy, Sunan Abî Dawud, Bayrût:
Dâr al-Fikr, 2007.
32
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, M. Syarafuddin Khathab,
(pent.), Juz XI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 437; Ibn
‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb al- Hadîth wa al-Athar, Juz II,
(Bayrût: Dâr al-Fikr, 1979), h. 226.
33
Abî ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansariy alQurtubiy, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, Juz VI, (Bayrût: Dâr alKutub al-Ilmiyah, 2005), h. 119.
34
Ibn Hajar Asqalany, Subulus Salam, Juz II, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1977), h. 24.
Albani, al-, Syaikh Muhammad
Nâshiruddîn, al-Targhîb wa al-Tarhîb
35
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Taudhîhul
Ahkâm VII, terjemahan dari Taudhîh al-Ahkâm Min Bulûgh alMaram, Juz VII, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 119.
Hepi Riza Zen: Politik Uang |539
Shahîh al- Targhîb Wa al-Tarhîb, Jakarta:
Darul Haq, 2012.
Asqalany, al-, Ibn Hajar, Subulus Salam, Juz
II, Surabaya: Bina Ilmu, 1977.
Bassam, al-, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman,
Taudhihul Ahkâm VII, terjemahan dari
Taudhih al- Ahkâm Min Bulugh alMaram, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
ditpolkom.bappenas.go.id/.../2007dalam
Fitriyah, “Fenomena Politik Uang Dalam
Pilkada” (Makalah), 2013 dalam ejournal.
undip.ac.id/index.php/politika/article,
diakses 21 Desember 2014.
Ebin, Danius, Politik Uang dan Uang
Rakyat, Universitas Halmahera, 1999,
dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/.
Farisiy, al-, ‘Amir Alauddin Ali Ibn Balba,
Shahih Ibnu Hibban XI , M. Sulton
Akbar (pent.), Jakarta: Pustaka Azzam,
2007.
Faiz, Elza, “Urgensi Calon Independen dalam
Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala
Daerah”, Pusat Studi Hukum Konstitusi
FH UII Yogyakarta, t.t.
Fitriyah, “Fenomena Politik Uang Dalam
Pilkada” (Makalah), 2013 dalam
ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/
article, diakses 21 Desember 2014.
Imam, al-, Ahmad Ibn Hanbal
dan Ahmad Muhammad Shakir, Musnad
Ahmad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Inspirasi Islami 21 September 2013, “nahi
mungkar”.
Kumorotomo, Wahyudi, Intervensi Parpol,
Politik Uang dan Korupsi: Tantangan
Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung,
Makalah, disajikan dalam Konferensi
Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei
2009.
Kurniawan, Luthi J., Peta Korupsi di Daerah,
Jakarta: MCW and Yappika, 2006.
Nurtjahyo, Hendra, Filsafat Demokrasi,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
Qurtubiy, al-, Abî Abdullah Muhammad
Ibn Ahmad al-Ansariy, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’an, Bayrût: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah, 2005.
Q a z w i n i y,
al-,
Abî
‘A b d u l l a h
Muhammad ibn Yazîd Ibn Mâjah,
Sunan Ibn Mâjah, Kairo: Isa al-Bâbi
al-Halabi wa Syirkah, 1986.
Rekapitulasi Penanganan Laporan/Temuan
Dugaan Pelanggaran Pemilu Legislatif,
Pemilu Calon Presiden dan Pemilukada
Provinsi lampung Tahun 2014.
Hamawiy, al-, Ahmad Ibn Muhammad alFayumiy, al-Misbah al-Munîr, Buku I,
Kairo: Dâr al-Ghadda al-Jadîd, 2007.
Shawkaniy, al-, Muhammad Ibn ‘Alî Ibn
Muhammad, Nailul Authâr, Juz VII,
Bayrût: Dâr Ihyû’ al -urath al-‘Arabiy,
1999.
Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu
Hukum Dogmatik, dalam Majalah
Yuridika, FHU Airlangga, Surabaya, No.
6 Tahun IX November-Desember, 1994.
suarapublik.co.id/index/index.php?...
politik-uangdalamcalegpilihan2014.
blogspot.com/.../saat-ini-demokrasi-ataumoneykrazy.
Ibn ‘Athir, al-Nihâyah Fî Gharîb alHadith Wa al-Athar, Surabaya: Bina
Ilmu, 1977.
Suaib, Wahidah, Senin 21/4/2014, dalam
calegpilihan2014.blogspot.com/.../saatini-demokrasi-atau-moneycrazy, 29 April
2014.
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, M. Syarafuddin
Khathab (pent.), Jakarta: Pustaka Azzam,
2007.
Tirmidzi, al-, Abî ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa
Ibn Surat, Sunan al-Tirmidzî Wahuwa al-
540| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
Jâmi’ al-Shahîh, Buku III ‘Abdurrahman
Muhammad ‘Usman (pent.), “HadisSunan Tirmidzi”, Semarang: CV alSyifa’, 1992.
www.usaid.gov/our_work/.../pnacr223.
Wazirat al-Awqâf wa al-Shu’un al-Islâmiyyah,
al-Mawsû’at al-Fiqhiyyah, Buku II,
Kuwait: Wazîrat al-Awqâf wa al Shu’un
al-Islâmiyyah, 2012.