AFRA SUCI RAMADHAN
Kaum Pasif yang Resistan
Antara Perempuan, Subkultur, dan Media
JIKA ditanya seperti apa pandangan kita sekarang terhadap remaja perempuan masa kini, mungkin
kita akan memberikan deskripsi yang tidak jauh dari segi fesyen, model rambut tertentu, atau atribut
fisik lain yang melekat pada mereka. Mungkin kita terjebak dalam persepsi tentang anak muda zaman
sekarang yang apatis, memuja sesuatu yang instan, dan terpaku pada tren. Jangankan menempatkan
remaja perempuan dalam sosok yang berpengaruh dalam masyarakat, kita bahkan masih tak banyak
tahu tentang keterlibatan mereka dalam arena subkultur. Mengingat wacana subkultur didominasi
oleh peran laki-laki. Baik subkultur atau budaya anak muda yang selama ini dikaji masih terfokus pada
pemberontakan berbasis maskulinitas. Samarnya partisipasi remaja perempuan dalam gerakan
subkultur terkait dengan absennya suara mereka dalam struktur masyarakat baik dalam konteks privat
atau publik. Ketakberdayaan mereka tidak lepas dari peran media sebagai bahan referensi masyarakat
yang cenderung menampilkan perempuan muda sebagai manekin hasil padu-padan produk yang
diiklankan. Serbuan media populer remaja perempuan dalam wacana “cewek keren”, lengkap dengan
mantra artikel self-help-nya, seakan menutupi suara minor perempuan muda yang tidak hanya berani
tampil beda, tapi juga punya pilihan dan berani menjadi oposisi dalam struktur masyarakat patriarkat.
Di sisi lain, perkembangan media dan teknologi yang memberi akses informasi tidak terbatas turut
berperan menginspirasi sekelompok remaja perempuan yang mulai memecah kebisuan dalam
pergerakan anak muda.
Mereka yang Dipasifkan
Hidup sebagai remaja perempuan bukanlah persoalan mudah. Melewati fase remaja dalam belenggu
masyarakat patriarkat membuat mereka sulit menjadi diri sendiri. Tuntutan untuk memenuhi standar
“perempuan seharusnya” didukung oleh terpaan media yang menyajikan segala komoditi untuk
menjawab ekspektasi tersebut. Remaja perempuan sendiri harus berjuang mempertahankan harga
dirinya di tengah citra utopis yang menggerogoti kepercayaan diri mereka. Sementara mereka sendiri
belum selesai dengan perdebatan intrapersonal mereka, keluarga, masyarakat, dan negara merasa
perlu ikut campur membatasi ruang gerak mereka lewat seperangkat nilai, norma, bahkan hukum
yang diskriminatif. Sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari jeratan struktural yang membuat
mereka tidak berdaya membuat pilihan. Jika subkultur adalah sebuah istilah yang erat dengan
“perlawanan”, berarti remaja perempuan harus menghadapi “musuh” yang berlapis-lapis. Krisis
pilihan dan kesempatan juga menjadi bagian dari permasalahan remaja perempuan yang berpengaruh
pada absennya mereka dalam pergerakan anak muda. Mengingat kebanyakan dari mereka dibesarkan
dalam latar lingkungan yang cenderung patriarkis, jarang ditemukan dorongan atau ajakan untuk
menjadi perempuan aktif di luar rumah atau seseorang yang bisa protes pada ketidakadilan. Biasanya
anak perempuan diimbau menjadi sosok manis yang penurut dan rumahan. Nilai-nilai semacam ini
menjadi hambatan bagi remaja perempuan untuk melakukan perlawanan baik di lingkup terkecil
yakni keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Tak ketinggalan peran kapital yang menjadikan remaja
perempuan sebagai korban segala bentuk komodifikasi. Melalui jargon-jargon fesyen, “kulit lebih
putih dalam tujuh hari”, dan godaan untuk hadir sebagai ‘pembentuk tren’ (trendsetter), hidup mereka
pun direduksi menjadi sekadar mengurusi penampilan yang sesungguhnya aksesoris belaka. Sebagai
kelompok transisi menuju fase perempuan dewasa, remaja perempuan dianggap sebagai sasaran yang
tepat bagi pihak kapital. Dengan memanfaatkan fase pubertas saat sang remaja putri mencari
identitas, produsen pun menyasar mereka dengan menyodorkan berbagai atribut pendukung identitas,
sehingga kelak saat mereka dewasa dan punya penghasilan sendiri, mereka sudah memuja merk-merk
tertentu.
Godaan dari pihak kapital ini sangat dirasakan oleh remaja urban, yang dianggap sebagai
“patokan” bagi kelompok remaja di daerah lain. Dengan dominasi kelas menengah di kota besar
seperti Jakarta, remaja putri yang masuk dalam kategori ini menjadi target utama pemasaran produk
dan gaya hidup metropolitan. Perempuan kelas menengah secara tidak langsung menjadi ‘pemancar
budaya’ (cultural transmitter) bagi perempuan yang berada di kelas bawah, menjadikan mereka
sebagai pembentuk tren terhadap berbagai hal yang terkait modernitas.1 Potensi remaja perempuan
urban juga besar dari segi jumlah. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2005, ada 976.208
perempuan berumur 15 - 24 tahun di Jakarta, lebih banyak 1.331.292 dari jumlah remaja laki-laki.
Kelompok ini dijadikan tangan pertama dari berbagai produk atau gaya hidup yang dipromosikan oleh
para kapitalis. Mulai dari produk kecantikan sampai gaya hidup terbaru dengan sesaat menjadi tren
yang menyeragamkan mereka. Jangan heran kalau sedang jalan-jalan di mal kita akan menemukan
kemiripan antara remaja perempuan yang satu dan lainnya. Kita akan lebih banyak melihat mereka
meluruskan rambut, cek rutin ke dokter kulit, dan mengadopsi gaya berpakaian selebritas Hollywood
dibandingkan mengikuti sebuah aksi atau sekadar diskusi. Domestifikasi peran mereka membatasi
gerak yang terkait masalah-masalah “besar” di luar sana, sehingga persoalan dalam diri mereka
(seperti kecantikan dan gaya berpakaian) menjadi lebih signifikan untuk dihadapi. Kenyataannya,
untuk membuat sebuah perubahan dibutuhkan generasi muda yang mandiri, peka terhadap
permasalahan sosial di sekitar mereka, dan cukup percaya diri untuk membuat perubahan itu sendiri.
Masalahnya, pribadi mereka kini tergerus oleh gempuran stereotipe yang diciptakan oleh kapitalis
dengan dominasi budaya patriarkat.
Ironisnya lagi, ketika berada dalam fase remaja, perempuan sering merasa ingin menjadi siapa
pun kecuali dirinya sendiri. Faktor eksternal memberi kontribusi besar pada pembentukan identitas
dan keberadaan mereka. Tanpa bekal rasa percaya diri dan penanaman rasa cinta pada diri sendiri
dalam keluarga, perjalanan ini mustahil berjalan mulus. Pada tahap ini mereka akan mencari idola
1
May Lan, Pers, Negara, dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada masa orde Baru (Yogyakarta:
Kalika, 2002).
untuk dijadikan referensi dan figur yang bisa jadi patokan, baik dalam bergaya maupun bertindak.
Setiap generasi punya ikonnya sendiri yang menjadi penanda gaya pada masanya. Remaja juga
membutuhkan teman sebaya untuk berbagi cerita dan beraktivitas. Seperti pertemanan yang
digambarkan dalam film Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo, 2002), kehidupan remaja
perempuan didominasi oleh pertukaran pengalaman dan opini kelompok sepermainannya. Apa yang
dianggap penting oleh kelompok sepermainannya, akan penting pula bagi dirinya. Bahkan, rasa
percaya mereka terhadap kelompok sepermainannya sering lebih besar daripada kepercayaan pada
orangtua. Teman sebaya yang dianggap memahami pengalaman yang mereka lalui, lebih relevan untuk
dijadikan referensi. Begitu pula dengan kehadiran media dalam kehidupan mereka yang menjelma
menjadi “teman sebaya” remaja perempuan. Majalah khusus remaja perempuan pun muncul untuk
memenuhi kebutuhan “teman sebaya” para remaja perempuan. Yang menarik dari peran majalah
dalam kehidupan mereka selain untuk referensi adalah fungsinya sebagai tempat mengadu dan
bertanya tentang permasalahan yang muncul di kisaran umur mereka. Tidak seperti remaja laki-laki
yang lekat dengan peran gender yang aktif dan bebas, perempuan dididik menjadi pribadi yang pasif
dan terbatas. Ada banyak hal yang tidak bisa secara aktif mereka tanyakan atau ungkapkan secara
bebas. Majalah dengan rubrik tanya-jawab atau artikel lainnya menawarkan fungsi teman sebaya
untuk bertanya dan berbagi pengalaman secara leluasa. Fungsi teman sebaya yang dimanfaatkan oleh
majalah menjadikan media ini sebagai “kitab suci” yang memandu remaja perempuan dalam melewati
kacaunya proses transisi mereka. Media juga menghadirkan sederet tokoh idola baik dari dalam
maupun luar negeri untuk menginspirasi mereka dalam pembentukan identitas. Seiring dengan
perkembangan dan jangkauannya, media diakui sebagai agen sosialisasi penting dalam pengembangan
diri remaja.
Peran media yang cukup berpengaruh ini sayangnya tidak diimbangi dengan representasi yang
memberdayakan remaja perempuan. Sudah banyak kajian tentang representasi perempuan dalam
media yang mengemukakan bahwa potret perempuan di media sering berbanding terbalik dengan
artikel yang dipublikasikan. Para feminis beranggapan bahwa media adalah cerminan dari
kepentingan, kehendak, dan hasrat masyarakat patriarkat yang ditopang oleh sistem ekonomi
kapitalis.2 Media massa pada akhirnya dijadikan perpanjangan tangan kapitalis untuk menanamkan
kepentingannya pada pembentukan diri remaja perempuan. Seakan-akan tidak ada lagi jalan untuk
perempuan muda melarikan diri dari jeratan yang berlapis, dan keraguan pun muncul, mampukah
mereka melakukan penolakan?
Dari Girl Power ke Konsumtivisme/Konsumerisme
Mulanya, peran media sebagai “teman sebaya” remaja perempuan hanya diisi oleh segelintir pemain,
namun dalam era pascareformasi yang diiringi oleh era kebebasan pers, jumlah majalah remaja
perempuan meningkat. Berbagai majalah silih berganti merebut hati para remaja dengan menawarkan
materi-materi yang dirasa menarik bagi khalayaknya. Sebelum jatuhnya Orde Baru, sebagian besar
2
Jurnal Perempuan, edisi 37: Remaja Melek Media (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004).
remaja dari 1970-an sampai 1990-an awal setia ditemani oleh majalah Gadis. Sebagai majalah remaja
pertama dan media yang masih populer di Indonesia hingga saat ini, Gadis adalah “bacaan wajib”
remaja perempuan jika ia ingin dianggap up-to-date untuk isu dan tren terkini. Majalah Gadis
memuat berbagai artikel yang erat dengan kehidupan remaja perempuan, seperti fesyen, kecantikan,
persahabatan, kehidupan keluarga, percintaan, dan hiburan. Sebagai majalah terbitan lokal, Gadis
berpegang pada nilai-nilai yang dianut perempuan Indonesia.
Situasi mulai berkembang setelah era kebebasan pers dan masuknya arus globalisasi. Media
massa pun diramaikan oleh banyak pemain baru, termasuk di arena majalah remaja. Perkembangan
ini ditandai dengan terbitnya beberapa majalah waralaba yang sebelumnya sudah terkenal di luar
negeri seperti CosmoGirl, Cosmopolitan, dan Seventeen. Majalah “impor” ini mengadopsi sebagian isi
versi aslinya untuk diterjemahkan dalam konteks Indonesia. Majalah-majalah ini memperkenalkan
tren-tren di negara asalnya pada remaja perempuan Indonesia, tidak lupa dengan tokoh-tokoh idola
baru yang menghiasi sampul mereka. Meskipun dari segi komposisi isi tidak jauh berbeda (masih
didominasi oleh fesyen dan kecantikan), majalah-majalah ini cenderung lebih berani dalam
mengemukakan ide dan pendapat mereka, terutama yang berhubungan dengan seksualitas. Pengaruh
materi dari negara asal majalah setidaknya memberikan warna baru dalam wacana representasi
dengan menampilkan perempuan aktif yang bisa berperan menjadi pemimpin lebih dari sekadar
cantik dan pintar. CosmoGirl misalnya, salah satu majalah waralaba tersebut, menonjolkan slogan
“Born to Lead”, menekankan peran lebih pada remaja perempuan.
Wacana “perempuan aktif” tersebut tidak lepas dari masuknya ide “Girl Power” dalam majalahmajalah remaja perempuan pada era pertengahan 1990-an. Dengan girlband Spice Girls sebagai ikon
utama, girl power menjadi pusat perhatian para remaja perempuan pada era tersebut. Saya sebagai
salah satu perempuan yang beranjak remaja ketika wacana ini naik daun menyaksikan bagaimana girl
power menjadi tema wajib di berbagai majalah remaja perempuan. Dalam seketika, semua majalah
remaja perempuan merayakan munculnya sosok perempuan yang kuat dan mandiri.
Tidak hanya majalah waralaba yang gencar menyuarakan wacana ini; majalah lokal seperti
Gadis dan Kawanku juga tidak ketinggalan mengangkat semangat girl power. Menurut penelitian Alia
Swastika tentang wacana girl power dalam majalah Gadis, majalah ini menyesuaikan konsep girl
power dengan karakter remaja yang ingin dibentuk olehnya, yaitu mandiri, percaya diri, kompetitif,
bisa menemukan jati dirinya, peduli dengan lingkungan, dan merawat diri. Gadis tidak ingin
menerjemahkan girl power sebagai konsep yang terlalu radikal. Sedikit berbeda dengan Gadis,
majalah CosmoGirl sejak awal menerjemahkan konsep girl power sebagai perempuan yang punya
“power” akan hidupnya dan dirinya sendiri. Dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan, Sarah
Sechan yang pada 2004 menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi CosmoGirl mengungkapkan
bahwa girl power bagi CosmoGirl adalah saat remaja perempuan punya kekuatan untuk menyuarakan
apa yang dia inginkan pada orang-orang di sekitarnya, sekalipun ditentang oleh orang-orang tersebut.
Menurutnya, CosmoGirl juga menekankan pada remaja perempuan untuk mencintai diri mereka apa
adanya.
Serangkaian penjelasan tersebut menggambarkan tren wacana yang berkembang pada
pertengahan 1990-an hingga 2000-an. Konsep girl power ini biasanya muncul di artikel-artikel self-
help atau panduan dan tips-tips seputar kehidupan remaja perempuan, termasuk soal percintaan,
keluarga, dan pergaulan. Walaupun konsep ini terlihat emansipatif bagi para remaja perempuan, girl
power mengundang perdebatan di kalangan feminis. Ada yang menilainya sebagai ‘feminisme ringan’
(light feminism) bagi kelompok remaja perempuan, atau simbol feminisme yang lebih bersahabat; di
sisi lain ada yang berpendapat bahwa kebebasan perempuan bukan sekadar bebas mengenakan
pakaian sesuka hati atau bisa melakukan hal yang biasa dilakukan laki-laki, tapi, lebih dari itu,
kebebasan perempuan adalah pembebasan perempuan dari kebodohan, kemiskinan, dan kekerasan.
Lepas dari perdebatan tersebut, peran media dalam mengangkat konsep ini setidaknya berpengaruh
pada dorongan remaja perempuan untuk menjadi lebih mandiri dan aktif.
Kenyataannya, konsep girl power belum bisa sepenuhnya membebaskan remaja perempuan
dari jeratan patriarki dan kapitalisme. Alih-alih menjadi wacana tandingan, konsep ini justru
ditunggangi oleh kapitalisme melalui ikon-ikon andalannya dan dijadikan alat promosi produk
mereka. Bagi remaja perempuan di Indonesia pun pengaruhnya tidak signifikan mengingat masih
rapuhnya jati diri dan besarnya apatisme mereka. Berbagai produk kecantikan dan pakaian jumlahnya
terus meningkat dan pemasaran produk semakin giat dilakukan melalui cara komunikasi yang makin
membuat remaja perempuan tidak nyaman dengan tubuh mereka.
Sekarang, konsep girl power terdengar samar-samar, tidak segencar dulu pada 1990-an dan
awal 2000-an. Bisa jadi karena ikonnya sudah tenggelam dan tidak ada penerus untuk
menyuarakannya. Tren pada media remaja perempuan juga sudah bergeser; para pemainnya juga
datang dan pergi. Muncul pemain baru seperti Gogirl!, Sister, dan Girlfriend di samping redupnya
pemain lama seperti Seventeen. Fokus yang diangkat media saat ini telah bergeser dari tren girl power
ke arah nilai-nilai konsumerisme. Peran kapitalisme semakin kentara dalam bentuk-bentuk yang
disukai oleh remaja perempuan. Arus globalisasi turut menghanyutkan merk-merk multinasional ke
Indonesia dan menjadikan negara ini pelabuhan bagi gaya hidup global yang mewakili merk tersebut.
Media massa menjadi alat utama mereka untuk menyebarluaskan gaya hidup yang diasosiasikan
dengan merk-merk impor tersebut. Salah satu media yang saat ini gencar mengenalkan gaya hidup
dan berpakaian global adalah Gogirl!. Majalah yang baru berdiri pada 2005 ini berkembang dengan
pesat hingga kini menjadi majalah paling laku di kelasnya. Berbeda dengan majalah remaja
perempuan pada zamannya, Gogirl! dianggap pelopor dalam segi ukuran majalah dan konten
selebritas serta fesyen yang dominan. Dengan jumlah iklan lebih dari 20 halaman dan artikel fesyen
yang berbentuk seperti etalase produk pakaian terkini, Gogirl! menjadi katalog konsumsi bagi remaja
perempuan, terutama di kota besar. Meskipun dalam beberapa edisinya ia berusaha mengangkat
tentang emansipasi perempuan dan isu gender, penelitian Annisa R. Beta memaparkan bahwa Gogirl!
masih berpegang pada konstruksi gender yang patriarkis. Artikel-artikel yang ditujukan untuk
kepercayaan diri dan pembentukan jati diri remaja perempuan di majalah remaja populer pada
akhirnya harus berbenturan dengan iklan dan potret perempuan yang mereka tampilkan. Di satu sisi,
majalah ini menekankan pentingnya rasa nyaman terhadap tubuh sendiri; di sisi lain, mereka
menampilkan perempuan dengan standar cantik tertentu. Meskipun mereka bertujuan menjadi teman
sebaya remaja perempuan, pada kenyataannya mereka lebih seperti “teman belanja”. Dengan
dominasi media populer yang seperti ini, perjalanan remaja perempuan untuk menemukan jati dirinya
seolah jalan di tempat.
Memilih Melawan
Meski masyarakat patriarkat terus membatasi emansipasi dengan berbagai cara lewat saluran media
massa yang populer, para remaja perempuan tidaklah sungguh-sungguh pasif sebagai khalayak. Media
massa yang selama ini terus-menerus mempertahankan pola budaya yang patriarkis pada akhirnya
melahirkan remaja perempuan yang punya posisi berbeda dalam memaknai wacana dominan tersebut.
Pihak kapitalis yang menggunakan media dalam mengonstruksikan konsep remaja dengan segala
karateristik bentukannya telah membuat sebagian remaja tidak nyaman. Sekelompok remaja pun
mengambil posisi penolakan dalam memaknai wacana bentukan kapitalis yang patriarkis. Mereka
menolak identitas yang ditawarkan oleh media populer, menentang stereotipe remaja apatis, dan
menolak gaya hidup konsumtif a la media. Kelompok remaja ini punya keyakinan bahwa emansipasi,
girl power, atau apa pun itu adalah tentang kebebasan perempuan untuk membuat pilihan dan
mengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka merebut kembali kontrol masyarakat
patriarkat atas tubuh mereka dan membangun sendiri identitas dirinya. Resistansi tersebut terjadi
karena remaja sebagai khalayak aktif dalam menerima pesan; mereka menganalisis pesan media
sesuai dengan diri mereka. Bagi remaja perempuan yang resistan terhadap representasi perempuan di
media populer, membangun jati diri bukanlah tentang menjadi cantik atau gaya, melainkan menjadi
pribadi perempuan yang mandiri dan berani menyuarakan hak-haknya untuk perubahan. Remaja
tidak melakukan resistansi sendiri melainkan bersama teman-temannya yang berada dalam subkultur
tertentu; ini dapat dijelaskan karena remaja erat kaitannya dengan subkultur.3 Remaja dalam
kelompok ini menunjukkan identitas mereka dengan bersikap kritis terhadap lingkungan dan
pemberitaan media; mereka menjaga identitas mereka sebagai remaja perempuan.4
Posisi resistan ini kemudian memicu respons yang lebih konkret dalam menolak makna sistem
dominan dan struktur budaya yang ada. Beberapa kalangan secara kolektif mengorganisasi ruangruang alternatif untuk remaja perempuan berdiskusi, berekspresi, dan berkarya dalam kerangka
resistansi pada struktur masyarakat patriarkat. Kelompok-kelompok ini berupaya menyediakan dan
memberikan solusi dari stagnansi peran perempuan dalam masyarakat. Organisasi seperti Yayasan
Jurnal Perempuan misalnya, sejak awal memang berfokus pada kesadaran akan kesetaraan gender
sampai akhirnya mereka membentuk divisi anak muda yang menampung suara perempuan muda.
Organisasi ini juga membuat wacana tandingan bagi remaja dalam bentuk majalah bernama Change
yang ditulis serta dikelola oleh sekelompok anak muda dan sejak 2008 mengangkat isu-isu
perempuan, hak asasi manusia, atau pun lingkungan. Lebih dari sekadar teman sebaya bagi remaja
yang kritis, Change hendak menginspirasi anak muda untuk mempraktikkan ide kesetaraan gender.
Upaya untuk menyediakan media komunitas sebagai ruang gagasan lain juga dibentuk oleh PenitiPink
dengan zine-nya yang bernama sama. Hasil inisiatif perempuan muda ini memberikan lahan untuk
3
Isabella Paskahrani, “Resistensi Remaja Perempuan Terhadap Stereotipe dalam Iklan,” Jurnal Penelitian Komunikasi
Thesis (Depok: Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, 2007).
4
Erik H. Erikson, The Life Cycle Completed (New York: W. W. Norton & Company, 1987).
menyampaikan pendapat yang berada di luar struktur dan kegiatan produktif yang dilakukan oleh
PenitiPink, seperti lokakarya pembuatan zine. Ada beberapa komunitas yang memiliki semangat
perlawanan dan menerbitkan media mereka sendiri. Memang skala dan jangkauan mereka tidak
sebesar media populer, namun media komunitas yang digagas oleh perempuan-perempuan muda
setidaknya menjelaskan peran aktif mereka dalam arena subkultur di Tanah Air.
Ada segelintir remaja perempuan yang bersemangat membuat perubahan dan berpartisipasi
dalam memberdayakan remaja lainnya. Pada 2010, misalnya, pergerakan anak muda Indonesia
dibangkitkan dengan diselenggarakannya Konferensi Anak Muda Indonesia (Indonesian Youth
Conference) yang digagas oleh perempuan muda bernama Alanda Kariza. Dalam sekejap ia menjadi
ikon bagi remaja perempuan untuk mendorong mereka agar berkontribusi konkret pada perubahan di
masyarakat. Citra remaja perempuan yang pasif bentukan kapitalis perlahan mulai terkikis dengan
hadirnya agensi aktif di kalangan perempuan.
Yang menarik dari fenomena kemunculan bibit resistansi perempuan muda adalah
pemanfaatan teknologi sebagai medium untuk bersuara. Wacana tandingan tidak hanya diwujudkan
dalam bentuk fisik seperti majalah, media komunitas, atau kegiatan; para perempuan muda juga
melihat kemungkinan lain di Internet. Jika dulu teknologi belum memungkinkan perempuan untuk
memiliki saluran suaranya sendiri, kini situs Internet dan jejaring sosial menghadirkan corong untuk
berpendapat dan berekspresi. Kepasifan mereka sebelumnya terjawab dengan seperangkat teknologi
yang mereka jadikan arena untuk melawan wacana dominan dan sarana berekspresi tanpa batas.
Blogging menjadi cara alternatif untuk menyebarluaskan gagasan dan citra yang tidak diakomodasi
oleh media populer. Situs jejaring sosial juga menjadi sarana efektif untuk menggalang dukungan atau
bahkan pertarungan wacana lewat potongan-potongan status pribadi. Remaja perempuan tidak lagi
takut memprotes hal-hal yang tidak memberdayakan mereka. Meskipun akan mengundang tanggapan
dari masyarakat, Internet akan menghadirkan dialog dalam mempertentangkan gagasan. Media ini
juga bisa digunakan untuk memunculkan representasi alternatif dari potret yang ditampilkan media
populer. Selain mengembangkan blog mereka sendiri, remaja perempuan juga banyak mendapat
manfaat dari menjamurnya blog dan situs-situs bermuatan feminisme sebagai bahan referensi dan
pengembangan gagasan.
Pada akhirnya, media apapun yang dipilih oleh perempuan muda untuk bersuara, media
tersebut hendaknya memberdayakan dan membebaskan mereka, bukan malah membuat standar baru
tentang bagaiamana perempuan seharusnya. Baik media alternatif ataupun mainstream sebenarnya
bisa menyediakan sebuah ruang untuk perempuan, entah untuk melakukan sebuah resistensi ataupun
hanya sekedar teman berbagi. Remaja perempuan membutuhkan informasi komprehensif tentang
tubuh mereka, hak-hak perempuan, dan sebagainya, untuk bekal membuat keputusan yang terbaik
untuk diri mereka.
Resistensi perempuan muda ini tidak harus ditandai dengan terbentuknya
subkultur. Bahkan menurut Sheridan, anak perempuan dan perempuan lebih suka untuk
mengkonstruksi ruang sosial imajiner mereka sendiri dari sebuah komoditas budaya daripada suatu
subkultur material.5 Remaja perempuan bisa memanfaatkan ruang yang ada untuk mengekspresikan
5
Brooks, Ann.“Postfeminism, Cultural Theory and Cultural Forms” (London: Routledge, 1997).
pilihan dan hak mereka tanpa perlu dibatasi oleh stereotip tertentu.
Keberadaan media populer sebenarnya memiliki peluang untuk berkolaborasi dengan
komunitas perempuan muda untuk mengangkat isu-isu perempuan ke dalam artikel-artikelnya.
Meskipun konten media populer seringkali bernegosiasi dengan modal, lingkup jangkauan mereka
yang luas bisa dimanfaatkan untuk diseminasi informasi terkait isu gender dan isu sosial lainnya.
Media tersebut bisa memberikan ruang bagi perempuan muda untuk bertukar pikiran dan
mengekspresikan diri. Baik media populer ataupun komunitas seharusnya bisa menjadi bagian yang
membangun rasa self-esteem remaja perempuan sehingga mereka bisa lebih percaya diri untuk
menjadi agen perubahan di masyarakat. Kelompok-kelompok perempuan muda yang resistan juga
bisa berjejaring atau bahkan bekerja sama untuk satu upaya perubahan yang lebih konkret. Tidak
ketinggalan juga pentingnya dokumentasi kelompok-kelompok resistan ini untuk bisa dijadikan bahan
kajian keterlibatan perempuan muda dalam pergerakan sosial.
Ada banyak kemungkinan di luar sana dan remaja perempuan bukanlah pihak yang hanya bisa
diam saat dibungkam. Meskipun dibatasi oleh budaya patriarkat, perlahan tapi pasti mereka mulai
menunjukkan suara untuk memperjuangkan hak-haknya. Bila media populer tidak bisa menampung
identitas dan tuntutan mereka yang sebenarnya, kaum pasif yang resistan ini punya berbagai cara dan
sarana untuk menolak dominasi patriarkat. Para remaja perempuan ini tahu bahwa berbagai bentuk
perlawanan dari subkultur tidak ada artinya jika ia belum bisa membebaskan semua suara yang
terbungkam, tak terkecuali perempuan.***