[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara di belahan dunia, dalam era globalisasi perdagangan dan persaingan dalam zona perekonomian memiliki peran yang sangat sentral dalam memberikan kontribusi dan ketertiban peningkatan taraf kehidupan manusia. Khususnya, indonesia juga memiliki strategi dalam melaksanakan pembangunan nasional dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat indonesia tanpa ada diskriminasi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tercapainya tujuan pembangunan tersebut memerlukan dukungan segenap masyarakat dan pemerintah. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat juga mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya. Maka dari itu pemerintah mempunyai dalam hal ini berperan penting dalam hal tujuan pembangunan Indonesia tanpa diskriminasi dan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur yang merata. Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batas-batas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualnya1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut UU Disabilitas) menyatakan “peyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Menurut Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson, mengungkapkan bahwa masalah social utama yang dihadapi penyandang cacat ‘disabilitas” adalah bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak mampu dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah.Dalam keadaan yang serba terbatas dan asumsi negatif dari orang lain, ada sebagian dari mereka yang terus berusaha untuk tidak selalu bergantung pada orang lain.2 Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan 2 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 1 Penyandang Disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) merupakan pedoman bagi pengusaha dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam memberikan perlindungan bagi pekerja. Dalam Perlindungan hak-hak pekerja penyandang disabilitas akan terkait dan bersesuaian dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perwujudan hak-hak penyandang disabilitas. Ketentuan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Selanjutnya ditulis UUD NRI 1945) yang menentukan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut tentunya menjamin setiap orang termasuk pekerja disabilitas untuk memenuhi haknya tanpa adanya alasan apapun. Karena Negara Indonesia sudah menjamin hak memperoleh pekerjaan dalam dasar negara sebagai aturan umum dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia.3 Undang-Undang penyandang disabilitas Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani serta berpenampilan menarik. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanya pun sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala penyakit. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. ini tentunya sangat mendiskriminasikan para penyandang cacat untuk mendapatkan ekerjaan yang layak seperti pekerja yang non disabilitas.4 Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (selanjutnya akan disebut sebagai Undang-Undang Penyandang Disabilitas) diundangkan pada 15 April 2016. Istilah Penyandang Disabilitas mulai dikenal menggantikan istilah penyandang cacat 3 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Undang-Undang penyandang disabilitas Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.1 Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang5 mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Pandangan masyarakat terhadap kaum disabilitas seringkali dianggap sebagai ketidakmampuan seseorang lemah, sehingga disabilitas dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan dan tidak dapat mengenyam pendidikan, apalagi bekerja seperti manusia pada umumnya. Paradigma dalam pandangan lain mengatakan bahwa kaum disabilitas sudah menjadi takdir Tuhan, oleh karena itu sebagai manusia mampu dan sabar dalam menghadapi keadaan demikian, bentuk dukungan kaum disabilitas dengan memberikan dukungan tidak memandang berbeda, mengayomi serta melindungi. Dalam catatan Kementerian Ketenagakerjaan sampai dengan Tahun 2017 hanya sekitar 1,2 % (satu koma dua persen) tenaga kerja disabilitas yang berhasil ditempatkan dalam sektor tenaga kerja formal dan berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2017, penduduk usia kerja disabilitas nasional sebanyak 21,9 juta orang dan 10,8 juta disabilitas sudah bekerja.3 Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai kuota lapangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam UU Penyandang Disabilitas belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Aksesibilitas di sektor pekerjaan belum memberi ruang yang luas bagi Penyandang Disabilitas, karena perusahaan terkadang belum mengerti aturan antara pekerjaan yang disediakan dan keterampilan Penyandang Disabilitas, akses infrastruktur (sarana-prasarana), akses pelayanan publik, dan akses keadilan (access to justice).6 5 Dhimi Setyo Arrivanissa. (2023). “Mewujudkan Hak Dan Kesempatan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas Tuna Netra Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia.” El฀Dusturie 2 no 1 : 12 6 Muh Akbar Fhad Syahril. (2023). “Cyber Crime in Terms of the Human Rights Perspective,”International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 10 no. 5 : 119–30.