[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by E-Journal System IAIN Bengkulu (Institut Agama Islam Negeri) EPISTEMOLOGI FAZLUR RAHMAN DALAM MEMAHAMI ALQURAN DAN HADIS M. Samsul Ma’arif Program Studi Filsafat Agama Pascasarjana IAIN Bengkulu Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu Email: ahmadnailaalmuna@gmail.com Abstract: Epistemology of Fazlur Rahman in Understanding the Qur’an and Hadith. This article examines the epistemology of Fazlur Rahman in understanding the Qur’an and the hadith, and was his thought of the qur’an and hadith relevance to the modern era. This research is a library research, using a hermeneutic approach or historical-critical approach. The collected datas are analyzed in descriptive-analytic. The results showed; Firstly, epistemology of Fazlur Rahman in understanding the Qur’an and the hadith is epistemology of Burhani, this epistemology is based on observation and experimentation which is systematized with the operationalization of the methods of historical criticism, sistematic interpretation and refined by the method of double movement. While the arguments reasoning used in understanding the Qur’an and the hadith is a demonstrative argument, verification and exploratory with a historical approach, normative and philosophical. Secondly, epistemology of Fazlur Rahman has significant relevance to the development of qur’anic and hadith thought in the modern era, mainly in the aspect of development and methodology system. However, with regard to the evolution of the sunna and the hadith, although it has defended his entity from the orientalist, Fazlur Rahman has a conception of liberal and dangerous, because he doubted the validity of most of the traditions of the technical contained in the books of hadith, he thought that the itsnad does not ensure the validity of the hadith, because itsnads itself is emerging at the end of the first century AH. Keywords: epistemology, Fazlur Rahman, the Qur’an, the Hadith Abstrak: Epistemologi Fazlur Rahman Dalam Memahami Alquran Dan Hadis Artikel ini mengkaji tentang epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis, serta relevansinya terhadap perkembangan pemikiran Alquran dan hadis pada era modern. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research), dengan menggunakan pendekatan hermeneutik atau pendekatan historis-kritis-filosofis. Kemudian dalam menganalisis data yang tersedia,metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan pertama; epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis merupakan epistemologi burhani, yaitu dalam epistemologinya didasarkan pada observasi dan eksperimen yang kemudian disistematisasikan dengan operasionalisasi metode kritik sejarah (critical history), penafsiran sistematis (sistematic interpretation) dan disempurnakan dengan metode gerakan ganda (double movement). Sedangkan argumentasi penalaran yang digunakannya dalam memahami Alquran dan hadis adalah argumen demonstratif, verifikatif dan eksploratif dengan pendekatan historis, normatif dan filosofis. Kedua, epistemologi Fazlur Rahman memiliki relevansi yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran Alquran dan hadis pada era modern, yaitu dalam aspek pengembangan dan sistematisasi metodis. Akan tetapi berkaitan dengan evolusi sunah dan hadis, meskipun telah membela otientisitas sunah dari serangan orientalis, Fazlur Rahman memiliki konsepsi yang liberal dan berbahaya, sebab ia meragukan keabsahan sebagian besar hadis-hadis teknis yang ada dalam kitab-kitab hadis, dan tradisi isnad menurutnya tidaklah menjamin validitas hadis, karena isnad itu sendiri baru berkembang pada penghujung abad pertama Hijriyah. Kata kunci: epistemologi, Fazlur Rahman, Alquran, hadis 1 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 Pendahuluan Para ulama terdahulu telah memiliki suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan Alquran dan hadis dengan konteks mereka. Akan tetapi ketika suatu metode itu dibawa kepada konteks yang berbeda, metode itu bisa jadi tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Bahkan langkah mundur jika problem-problem kontemporer dewasa ini dipecahkan dengan metode orangorang dulu yang jelas berbeda dengan problem saat ini. Hal tersebut sudah tentu, menuntut adanya epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. 1 Dan ini menurut Amin Abdullah adalah merupakan solusi untuk menjembatani kebuntuan dan krisis ilmu Alquran dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini.2 Oleh sebab itu, kajian interpretasi teks yang mendialogkan teks, konteks dan upaya kontekstualisasi, menjadi suatu hal yang menarik perhatian kalangan pemikir Islam kontemporer untuk dijadikan sebagai alternatif dalam memahami Alquran dan hadis. Hal itu tidak lain supaya Alquran dan hadis dapat berdialog dengan zaman pembacanya, dan juga pemahaman yang dibangun bukan pemahaman yang bersifat parsial, berbias ideologis, tetapi pemahaman holistik yang menawarkan solusi bagi permasalahan kontemporer.3 Menurut penulis, menarik dan penting sekali untuk mengetahui lebih dalam tentang epistemologi Fazlur Rahman terkait pemahaman terhadap Alquran dan hadis, dimana ia menjadi1 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press, 2014), h.139 2 Amin Abdullah dalam kata pengantar buku Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Alquran Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka,2003), h. xii 3 Ada beberapa macam semangat yang ingin diusung oleh tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer dari kajian Alquran dan hadis. Pertama, kritik terhadap pemahaman terdahulu yang bersifat ideologis, tekstual, dan otoriter. Kedua, berusaha menangkap makna terdalam teks. Ketiga, kesadaran bahwa dalam setiap upaya penafsiran terdapat aktifitas dialogis antara dunia author, teks, dan pembaca sehingga penafsiran yang dihasilkan tidak mungkin bersifat objektif. Keempat, supaya penafsiran dapat disesuaikan dengan konteks kekinian dan tetap memuat pesan utama Alquran dan hadis Nabi, maka proses penafsiran harus meliputi kajian teks, konteks dan kontekstualisasi. Bandingkan dengan Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran:Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta:eLSAQ, 2005), h.24 2 kan Alquran sebagai landasan moral-teologis bagi umat manusia dalam mengemban amanah Tuhan, dan juga ingin senantiasa mendialogkan teks Alquran dan hadis yang terbatas dengan konteks perkembangan zaman yang selalu dinamis dan tidak terbatas. Lebih dari itu, Fazlur Rahman adalah intelektual yang tumbuh dari kawasan Indo-Pakistan yang konstruksi epistemologinya juga mempunyai implikasiimplikasi yang cukup signifikan dan dikatakan relevan bagi pengembangan pemahaman Alquran dan hadis. Dari latar belakang pembahasan di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis? Dan bagaimana relevansi epistemologi Fazlur Rahman terhadap perkembangan pemikiran Alquran dan hadis pada era modern? Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan hermeneutik. dengan pendekatan tersebut penulis akan berusaha mengkritisi keterkaitan antara metode memahami Alquran dan hadis sebagai teks dan Fazlur Rahman sebagai pengarang yang telah memunculkan gagasan tersebut dan audience atau konteks dimana Fazlur Rahman tinggal dengan berbagai aspeknya yang memungkinkan memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Pendekatan hermeneutik sendiri sebenarnya mirip dengan pendekatan historis-kritis-filosofis, yaitu dengan menggali dan menemukan akarakar historis secara kritis mengapa seorang tokoh menggulirkan sebuah gagasan-gagasannya, bagaimana latar belakangnya kemudian mencari struktur fundamental dari pemikiran tersebut. Dan mencari fundamental struktur inilah yang menjadi ciri pendekatan filosofis.4. Dalam menganalisis data yang tersedia, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis,5 yaitu mendeskripsikan konstruksi dasar epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis, kemudian menganalisisnya secara kritis, serta mencari akar-akar pemikirannya dengan 4 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet.ke-5, h.285 5 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press, 2014), h.52 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman tokoh-tokoh sebelumnya, menjelaskan kelebihan dan kekurangan termasuk implikasi-implikasi dan relevansinya. Konsepsi Alquran dan Hadis Gagasan perlunya penerapan pemahaman Alquran dan hadis dengan mempertimbangkan teks, konteks dan kontekstualisasi begitu marak dikampanyekan oleh para sarjana muslim kontemporer. Sebagai contoh tokoh yang getol menyuarakan gagasan pemahaman Alquran dan hadis dengan model tersebut antara lain adalah Fazlur Rahman. Fazlur Rahman berpandangan, memelihara Alquran sebagai dasar keimanan, pemahaman dan tingkah laku moral adalah hal yang esensial. Akan tetapi, Alquran juga harus difungsikan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, dengan memahami ideal moral yang terkandung di dalamnya dan mengambil darinya ajaran-ajaran yang cocok untuk kemudian diterapkan dalam waktu dan tempat yang sesuai.6 Adapun yang kekal dan sakral dari Alquran adalah hukum ilahi yang berbentuk ideal moralnya, hal itu berkaitan dengan teks Alquran yang menurutnya memiliki dua sifat, yaitu semua kata-kata Alquran itu bersumber dari Allah, dan pada saat yang sama juga kata-kata Muhammad karena Alquran turun ke dalam hati Muhammad. Alquran secara harfiah adalah respons Tuhan melalui pikiran Muhammad terhadap situasi historis.7 1. Alquran Untuk menjelaskan Alquran sebagai wahyu yang bersumber dari Allah, Fazlur Rahman menyampaikan penjelasan sebagai berikut: “... Alquran adalah Kalam Tuhan (Kalam Allah), Muhammad juga dengan tegas meyakini bahwa ia merupakan penerima risalah dari Tuhan yang sepenuhnya lain;... Kelainan ini, lewat sebuah saluran tertentu mendiktekan Alquran dengan otoritas yang mutlak. “Suara” dari kedalaman hidup berbicara dengan jelas, tak dapat disangkal dan mendesak. Kata “Alquran” 6 Fazlur Rahman, The Impact of Modernity…, dalam Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press, 2014), h. 141 yang berarti “bacaan” tidak hanya menunjukkan hal ini secara jelas menunjukkan hal ini, tetapi teks-teks Alquran sendiri, sebagaimana terdapat pada beberapa tempat menyatakan bahwa Alquran diwahyukan secara verbal, bukan sekedar pewahyuan dalam “makna” dan ideidenya saja. Istilah Alquran untuk pewahyuan “relevation” adalah “wahyu” yang berdekatan artinya dengan “inspiration”, asalkan arti terakhir ini tidak dimaksudkan untuk mengeluarkan pentingnya cara pewahyuan dengan kata-kata (verbal), (“kata-kata”, tentu saja tidak saya maksudkan sebagai “suara”)..”.8 Dalam kutipan di atas Fazlur Rahman berusaha menjelaskan bahwa Alquran adalah berasal dari Allah dalam bentuk “ide kata” tidak dalam bentuk “kata-kata yang bersuara”. Pandangan tersebut didasarkan Fazlur Rahman pada QS 42:51-52, yang ditafsirkannya sebagai berikut: “Allah tidak berbicara kepada seorang manusia pun (yakni melalui kata-kata bersuara), kecuali melalui wahyu … demikianlah kami memberi inspirasi kepadamu dengan suatu ruh dari perintah kami”.9 Menurut Fazlur Rahman, ide-ide dan kata-kata lahir di dalam dan dapat dikembalikan kepada pikiran Nabi, sedangkan sumbernya dari Allah.10 Selanjutnya Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa di dalam Alquran bersatu dua unsur: Alquran seluruhnya merupakan “kata-kata” Tuhan (the word of God), dan dalam pengertian yang biasa ia merupakan “perkataan Nabi Muhammad” (the word of Muhammad). 11 Fazlur Rahman mendasarkan kesimpulan tersebut selain berdasarkan ayat di atas juga berdasarkan pada QS. Al-Syu‘ara’[26]:194, dan juga berdasarkan QS. AlBaqarah[2]:97. Ayat-ayat tersebut menurut Fazlur Rahman mendukung kesimpulannya bahwa Alquran diturunkan ke dalam hati melalui suara. Dengan demikian, teks-teks Alquran merupakan perkataan Muhammad. Dualisme Alquran sebagai “kata” (wahyu) Allah dan sebagai perkataan Muhammad sesuai dengan QS.Al-Najm[53]:3-4 yang menegaskan; “Dan tidaklah apa yang diucapkan Muhammad (Alquran) adalah menurut 8 Fazlur Rahman, Islam (University of Chicago Press, 1979), h. 30-31 9 7 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 65, dalam Moh Dahlan, Abdullah Ahmed an-Naim; Epistemologi Hukum Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), h.126 Fazlur Rahman, Islam…, h. 31 10 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h.151 11 Fazlur Rahman, Islam …, h. 31 3 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 keinginannya sendiri, melainkan ucapan tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Penjelasan Fazlur Rahman yang demikian itu, menurut Taufik Adnan Amal telah memperlihatkan konsep Tuhan yang fungsional, yang selalu memberi petunjuk kepada manusia, sehingga kemajuan atau temuan apapun yang diperoleh manusia tidak lain adalah bersumber dari inspirasi Ilahi.12 Kemudian untuk membangun karakter ilahiah murni dari wahyu Alquran dan keunikannya, Fazlur Rahman memberikan argument betapa perlunya untuk membedakan karakter wahyu Alquran yang unik dari bentuk-bentuk pengetahuan kreatif lainnya, dalam hal ini Fazlur Rahman menyampaikan: “Menurut pendapat saya, hal ini (pembedaan karakter wahyu Alquran yang unik dari bentuk-bentuk pengetahuan kreatif lainnya) merupakan satu-satunya cara untuk menjelaskan proses pewahyuan dalam suatu cara yang dapat diterima oleh orang-orang ointar dewasa ini, dan pada yang sama tidak hanya mendukung tetapi juga untuk menunjukkan bahwa Alquran itu ecara murni berasal dari Ilahi, tidak hanya dalam inspirasinya saja, tetapi juga dalam mode verbalnya yang sesungguhnya”.13 Konsekuensi lebih jauh dari pandangan Fazlur Rahman tentang wahyu Alquran tercermin jelas dalam metodologi tafsirnya. Upaya untuk membedakan antara ide keabadian dan karakter ilahiah Alquran dari ide keabadian kandungan legal spesifiknya, melalui pendekatan historis yang ketat, adalah konsekuensi langsung dari konsepsinya tentang wahyu Alquran.14 Dengan demikian, keabadian kandungan legal spesifik Alquran terletak pada prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang mendasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan tekstualnya. Menurut Fazlur Rahman, Alquran bertujuan menegakkan tata sosial yang adil dan egaliter serta dapat bertahan di muka bumi.15 Alquran merupakan respon Ilahi melalui pikiran Nabi 12 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas… , h.152 13 Fazlur Rahman, Divine Revelation…, h. 27, dalam Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 154 4 14 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 156 15 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 157 terhadap situasi-situasi sosio-moral Arabia pada masa Nabi.16 Akan tetapi, baik secara eksplisit maupun implisit Alquran selalu memberikan alasan-alasan dibalik solusi dan ketetapanketetapan tersebut, yang darinya dapat dideduksi prinsip-prinsip umum. Prinsip-prinsip ini harus digeneralisasi untuk kemudian digunakan dalam menformulasikan pranata-pranata Islami yang berorientasi kekinian.17 Dengan demikian, Alquran adalah Wahyu Allah yang merupakan landasan moral serta pedoman untuk mewujudkan keadilan. Dan untuk memahaminya dibutuhkan metodologi yang mampu menangkap kembali pesan moral universal Alquran yang objektif, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian yang semakin kompleks. 2. Sunah dan Hadis Pandangan Fazlur Rahman tentang sunah dan hadis pada kenyataannya bersumber pada kajiannya terhadap evolusi historis kedua konsep tersebut, dimana kajian ini merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan mengenai sunah dan hadis di anak benua Indo-Pakistan dan terhadap situasi kesarjanaan Barat.18 Maka dari itu, untuk mengantarkan posisi pemikiran Fazlur Rahman mengenai sunah Nabi, perlu kiranya disampaikan konsep sunah Nabi yang dikembangkan oleh orientalis Barat dan konsep yang berkembang dalam us{ul al-fiqh klasik tradisional, karena dalam kedua tradisi pemikiran tersebut munculnya pemikiran Fazlur Rahman; tradisi orientalis menantangnya sewaktu ia tinggal di Barat, sedang tradisi Islam klasik menghujatnya sewaktu ia tinggal beberapa tahun di Pakistan. Menurut Ignaz Goldziher,19 hampir-hampir 16 Fazlur Rahman, Islam and Modernity…, h. 5-6 17 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 160 18 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 163. Tokoh-tokoh orientalis seperti Ignaz Golziher, Snouck Hurgronje, Morgoliout, serta Josep Schacht, umumnya mempunyai pandangan yang berujung sama; yaitu “Skeptisisme total” terhadap Sunah dan Hadis Nabi. Daud Damsyik, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman, Stit Al-Amin Tangerang Selatan Banten, AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 19 Ignaz Goldziher dapat dikategorikan sebagai sarjana barat pertama yang melakukan studi kritis terhadap evolusi hadis. Ia menilai sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis yang orisinal berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religious, historis dan social Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari tendensi-tendensi yang muncul dalam M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman tidak mungkin ada keyakinan sedikit pun untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis yang dapat dipastikan berasal dari Nabi atau para Sahabat awal. Sedangkan tentang sunah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi-tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Akan tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunah-sunah orang Arab pra Islam.20 Dengan demikian, Ignaz Goldziher mendefinisikan sunah sebagai praktik yang hidup. Perbedaan antara hadis dan sunah dinyatakan olehnya, bahwa hadis semata-mata laporan teoritis, sedang sunah merupakan laporan-laporan yang memperoleh kualitas normatif dan telah menjadi prinsip praktis bagi suatu generasi Muslim.21 Selain itu, David. S. Morgoliouth menyimpulkan bahwa Nabi sama sekali tidak meninggalkan sunah atau hadis, melainkan Alquran saja. Sunah yang berkembang pada masyarakat awal Muslim bukanlah sunah Nabi melainkan kebiasaan Arab pra Islam yang dimodifikasi Alquran. Menurutnya, konsep hadis merupakan upaya generasi belakangan sekitar abad ke 2 H, untuk mendukung konsep mereka tentang sunah Nabi.22 Tidak berbeda dengan para pendahulunya, Joseph Schacht menafikan sunah yang hidup dan hadis berasal dari Nabi. Menurutnya sunah Nabi merupakan kreasi kaum muslim belakangan.23 komunitas muslim selama masa-masa tersebut. Konsekuensinya ia menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis yang ada dewasa ini tidak bias dipercaya secara keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi sendiri. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…., h.163 20 Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.25-26 dalam Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 163 21 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 164 22 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 164 Berkaitan dengan evolusi sunah dan hadis serta kandungan sunah yang berkembang dari waktu ke waktu, Fazlur Rahman tidak menyangkal semua tesa-tesa yang dikemukakan oleh para orientalis. Akan tetapi hal yang sangat mendasar yang disangkal oleh Fazlur Rahman adalah kesimpulan konseptual para orientalis “bahwa Nabi sama sekali tidak meninggalkan sunah kecuali Alquran saja”. Dalam kajiannya terhadap konsep sunah dan hadis ini, Fazlur Rahman memiliki analisis yang membuktikan eksistensi sunah Nabi, dan ia juga menyimpulkan bahwa sunah Nabi lebih merupakan suatu konsep pengayom dan tidak memiliki kandungan spesifik yang bersifat mutlak, sunah tersebut bisa diinterpretasikan dan diadaptasikan.24 Sunah lebih cendrung sebagai konsep perilaku yang jika dipandang dari sisi Alquran ia merupakan upaya operasional, dan lebih mencerminkan muatan situasional pada jamannya, kecuali yang menyangkut aspek keagamaan dan moral Islam.25 Fazlur Rahman berkesimpulan, bahwa sunah yang hidup itu identik dengan ijma’ kaum muslim atau praktek yang disepakati, dan bahwa sunah yang hidup merupakan suatu proses yang sedang berlangsung karena disertai dengan ijitihad dan ijma’.26 Ia juga menjelaskan dari fenomena sunahijma’ ini, bahwa ternyata ijma’ yang merupakan kristalisasi ijtihad itu tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan pendapat.27 Sedangkan berkaitan dengan hadis yang menurutnya telah eksis sejak awal perkembangan Islam, Fazlur Rahman mengemukan fenomena munculnya pergerakan yang menghendaki keseragaman yang menyerukan subtansi hadis untuk proses ijtihad-ijma’. Gerakan ini memberikan peranan sunah-ijtihad-ijma’ kepada sunah Nabi. Sunah Nabi dipahami secara harfiah dan sama sekali bersifat mutlak, serta wahana 23 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 165. Fazlur Rahman memberikan kesimpulan bahwa hal-hal yang menyebabkan para sarjana tersebut menolak konsep sunah Nabi, adalah sebagai berikut: ...karena mereka menemukan, (i) bahwa sebagian dari kandungan dari sunnah merupakan kontinuasi langsung dari kebiasaan dan adat istiadat Arab dari masa sebelum Islam; (ii) bahwa jelas sekali sebagian kandungan sunnah adalah hasil pemikiran ahli hukum Islam, yang dengan ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan-kesimpulan dari sunnah atau praktek yang ada yang terpenting dari semuanya telah memasukkan unsur luar, terutama dari sumbersumber Yahudi dan praktek-praktek pemerintahan di Bizantium dan Parsi, dan yang terakhir sekali, (iii) bahwa dikemudian hari ketika hadits berkembang menjadi sebuah gerakan yang besar dan berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad kedua Hijriyah; seluruh kandungan sunnah pada saat itu dikatakan bersumber dari Nabi Muhammad sendiri dibawah perlindungan konsep “Sunnah Nabi”. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, h. 7 sebagaimana dikutip Daud Damsyik, Reinterpretasi Hukum Islam.., AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 24 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas …., h. 167 25 Daud Damsyik, Reinterpretasi Hukum Islam.., AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 26 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…., h. 168 27 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas …, h. 169. 5 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 satu-satunya bagi transmisinya adalah hadis. Gerakan ini dipelopori oleh al-Syafi’i dan akibat penalaran al-Syafi’i ini, menurut Fazlur Rahman, hubungan organis antara sunah-ijtihad-ijma’ menjadi rusak.28 Menurut Fazlur Rahman, kuatnya gerakan hadis ini dikarenakan keberhasilan al-Syafi’i mengampanyekan penempatan hadis sebagai pengganti sunah yang hidup. Pada pertengahan abad ke tiga Hijriyah, hadis telah mempunyai bentuk yang pasti, dan sunah yang hidup telah tenggelam atau ditempa kedalam materi-materi hadis. 29 Dan pada masa ini pula hadis-hadis dihimpun dan disaring. Hasil penelitian Fazlur Rahman tentang evolusi sunah dan hadis, diringkasnya dengan jelas dalam kutipan sebagaai berikut: “Kita temukan bahwa dalam sejarah Islam awal, ijtihad dan ijma’ tidak hanya berkaitan secara intim antar satu dengan yyang lainnya, tetapi berhubungan juga dengan sunah yang bermula dari sunah Nabi, yang merupakan proses interpretasi dan elaborasi kreatif yang berlangsung terus menerus dengan diberi sanksi ijma’. Namun proses kreatif ini terhenti,, menciut secara perlahan hingga macet, ketika sunah yang hidup itu mulai ditempa ke dalam bentuk hadis dan dinisbatkan kepada Nabi. Dalam proses ini, perbedaan pendapat internal mengenai masalah-masalah legal, moral dan politik memainkan peran yang menentukan. Proses tersebut yang mungkin bermula di sekitar penghujung abad pertama dan kedua Hijriyah, memperoleh momentum yang sangat dahsyat selama abad kedua dan membuahkan hasil pada abad ketiga Hijriyah. Demikian hebatnya kekuatan gerakan ini sehingga mazhab-mazhab hukum yang mendasarkan pandangannya pada pemikiran bebas harus menerima pendapat al-Syafi’i bahwa sebuah hadis, meskipun terisolasi (hanya didukung oleh satu mata rantai perawi) harus dipandang memiliki otoritas yang lebih tinggi dari opini pribadi dan bahkan praktek (kaum muslim) atau ijma’... Setelah semua pendapat tentang masalah-masalah politik, moral dan hukum diproyeksikan kembali kepada Nabi, terjadilah peperangan ide didalam Islam yang akhirnya diredakan oleh usaha-usaha Ahli hadis yang sepanjang abad ketiga Hijriyah mengumpulkan hadis-hadis yang mencerminkan pendapat mayoritas dan dengan demikian dapat dipandang sebagai mengekspresikan spirit ajaran kenabian ..” 30 Berpijak pada penemuan-penemuan dalam penelitiannya tentang evolusi sunah dan hadis, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa hadishadis teknis tidaklah bersifat historis, sebagaimana dibedakan dari hadis-hadis historis dan biografis. Dalam kenyataannya hadis merupakan keseluruhan ungkapan yang diformulasikan dan dikemukakan oleh kaum muslim sendiri, seolaholah tentang Nabi meskipun memiliki sentuhan historis yang penting dengan Nabi. Fazlur Rahman memiliki pandangan yang sama dengan Schacht serta para orientalis, begitu juga modernisme klasik pada umumnya tentang ketidaksepakatan bahwa historisitas hadis dijustifikasi oleh isnad. Fazlur Rahman memang mengakui bahwa isnad di samping mengandung informasi biografis yang kaya, telah meminimalkan upaya-upaya pemalsuan hadis. Tetapi baginya isnad tidak bisa dijadikan argumentasi positif yang final. Bahkan keberatan (yang dapat memporak-porandakan validitas isnad sebagai argumen positif terhadap historisitas hadis) Fazlur Rahman adalah bahwa isnad itu berkembang belakangan, bermula di sekitar penghujung abad pertama Hijriah.31 Meskipun meragukan sebagian besar hadis teknis, Fazlur Rahman menerimanya sebagai prinsip, yakni bahwa hadis-hadis tersebut harus dipandang sebagai indeks kepada sunah Nabi, karena ia jelas sekali tidak terpisah dari sunah tersebut bahkan bermula darinya. Sunah kaum muslim awal (sunah yang hidup atau ijma’) merupakan kristalisasi interpretasi kreatif (ijtihad) terhadap sunah Nabi. Sementara hadis-hadis, sebagaimana telah disinggung tidak lain dari refleksi verbal sunah yang hidup tersebut. Karena itu sunah Nabi eksis dalam hadis sebagaimana halnya dengan sunah yang hidup.32 Dengan menggunakan pemahaman terhadap 28 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 169. Sunah-ijtihad-ijma’ ini menunjukkan proses penalaran, yaitu sunah ditafsirkan melalui instrument ijtihad dan, setelah melalui interaksi ide yang ketat mengkristal kedalam bentuk ijma’. 29 6 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 171 30 Fazlur Rahman, Islamic Methodology…, h. 139-140 31 Fazlur Rahman, Islamic Methodology …, h. 72 32 Fazlur Rahman, Islamic Methodology …, h. 74 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman evolusi sunah dan hadis semacam ini sebagai basisnya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslim dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan hadishadis yang ada ke dalam bentuk sunah yang hidup melalui studi historis terhadapnya. Selanjutnya, Fazlur Rahman membedakan antara sunah yang berarti perilaku Nabi, dan sunah yang berarti tradisi Nabi yang berlanjut secara diam-diam dan non verbal, dan di sinilah muncul istilah sunah yang hidup dan sunah yang aktual.33 Menurut Fazlur Rahman, sunah adalah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali, maupun yang terjadi berulang-ulang.34 Dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunah Nabi menjadi sunah yang hidup dan akhirnya menjadi hadis. Sunah Nabi merupakan sunah yang ideal, sunah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya penuturan sunah dalam suatu catatan.35Selanjutnya, Fazlur Rahman melakukan peninjauan kembali terhadap hadis, dengan mengembalikan hadis menjadi sunah sebagai sumber awalnya serta dengan penafsiran situasional dimungkinkan untuk dapat menghidupkan kembali norma-norma yang dapat diterapkan untuk situasi masa sekarang.36 Metodologi Fazlur Rahman dalam Memahami Alquran dan Hadis Metodologi yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam interpretasi Alquran dan hadis meliputi; metode kritik sejarah (The Critical History Method), Metode Penafsiran Sistematis (The Systematic interpretation method), dan Metode Gerakan Ganda (Double Movement Method).37 33 Wahyuni Eka Putri, Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman dalam Hermenutika Alquran dan Hadis (Yogyakarta:eLSAQ, 2010), h. 332 34 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. ke-2, h.118 35 Hujair AH. Sanaky, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan Hadits (Kajian Buku Islamic Methodology in History) .pdf 36 37 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad.., h. 124 Selain metode-metode tersebut, Fazlur Rahman juga menggunakan metode yang lain dalam memahami Alquran, yaitu metode sintesis logis. Metode ini ia gunakan untuk memahami ayat-ayat tentang metafisika. Dalam bukunya Major Theme of The Quran, Fazlur Rahman menjelaskan; “ kecuali di dalam pembahasan beberapa tema penting, misalnya 1. Metode Kritik Sejarah (The Critical History Method) Metode kritik sejarah, banyak dipakai Fazlur Rahman dalam melakukan penelitian. Metode kritik sejarah yang diterapkan oleh Fazlur Rahman tidak menekankan pada aspek kronologis tetapi menekankan pada nilai-nilai yang terkandung dalam data-data sejarah. Secara spesifik metode ini diterapkan dengan cara mendiskripsikan nilainilai sejarah, dan terkadang dikombinasikan dengan komparasi. Metode kritik sejarah, sebagaimana yang dimaksudkan Fazlur Rahman, telah banyak diterapkan dalam penelitian sejarah Islam oleh para orientalis seperti David S. Margoliouth, Ignaz Goldziher, Henry Lammen, Joseph Schact, H.A.R. Gibb, N.J. Coulson, William Montgomery Watt, dan Iain-lain. Penelitian dari para orientalis tersebut menghasilkan berbagai tesis yang menghebohkan terutama bagi kalangan muslim tradisional. Hal inilah sebenarnya, menurut Fazlur Rahman, yang menyebabkan metode kritik sejarah tidak dapat berkembang dengan baik di kalangan para pemikir muslim sampai pertengahan abad ke-20 M. Fazlur Rahman sebagai sarjana Muslim yang akrab dengan tradisi keilmuan Barat, menyadari akan kurangnya perspektif kesejarahan di kalangan sarjana muslim yang pada gilirannya menyebabkan minimnya kajiankajian sejarah Islam. Menurutnya, umat Islam sangat memerlukan kajian kesejarahan agar mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembangan sejarah tersebut untuk melakukan rekonstruksi disiplin-disiplin ilmu Islam untuk masa depan.38 2. Metode Penafsiran Sistematis (The Systematic Interpretation Method) Metode penafsiran sistematis sebenarnya merupakan kelanjutan dari metode kritik sejarah yang telah lama diaplikasikan oleh Fazlur Rhman dalam menuliskan pikiran-pikirannya.39 Fazlur mengenai keanekaragaman masyarakat-masyarakat agama, kemungkinan serta aktualitas mu’jizat-mu’jizat, dan jihad -yang semuanya menunjukkan evolusi melalui Alquran- prosedur yang kami gunakan disini untuk mensintesiskan berbagai tema lebih bersifat logis dari pada kronologis. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, h.ix 38 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 151 39 Fazlur Rahman dalam artikelnya yang berjudul “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives” dalam 7 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 Rahman menjelaskan detail operasional metode yang ia tawarkan ini, dengan sistematisasi tiga langkah utama, yaitu: pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks Alquran dalam bentangan karier dan perjuangan Nabi. Kedua, membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan Alquran. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran Alquran dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya.40 Dengan pendekatan sosiologis ini, Perbedaan penafsiran tentu juga akan muncul. Akan tetapi, pendekatan ini dikatakan dapat mengantarkan pada solusi yang memuaskan. Sebagai contoh, kasus hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Secara sosiologis, kelihatan bahwa penerapan potobng tangan telah berlaku di kalangan beberapa suku sebelum Islam yang kemudian diadopsi oleh Alquran. Pada konsep pencurian, ada dua unsur utama, yaitu kesalahan mengambil barang secara ekonomi dan pelanggaran hak milik pribadi. Pada setting suku Arab, hak milik betul-betul terkait dengan rasa kemuliaan personal, sehingga pencurian tidak dianggap sebagai kejahatan ekonomi, tetapi sebagai kejahatan melawan nilai-nilai kemuliaan personal dan kesukuan yang tidak dapat diganggu gugat, oleh karena itu hukumannya sangat berat. Akan tetapi, pada kenyatannya pada masyarakat yang maju telah terjadi suatu pergeseran yang tampak pada nilai-nilai tersebut. Pergeseran pada nilai-nilai ini sangat mungkin untuk diperhatikan International journal of Middle East Studies Volume 11970, pp. 317333 menyebutkan bahwa pendekatan dan metode modernisme intelektual itu dikelompokkan ke dalam enam macam, yaitu silence approach, double speaking and double writing, reform through tradition, the partialist and link approach, the systematic interpretation method, dan secularism. Hal ini diperjelas dengan penelitian Taufik Adnan Amal yang menemukan inti metode Fazlur Rahman adalah metodologi tafsir yang sistematis dan komprehensif. Metode ini, menurut Amal,dikembangkan Fazlur Rahman melalui tiga langkah yaitu: (a) perumusan pandangan dunia Alquran, (b) sistematisasi etika Alquran, dan (c) penubuhan etika Alquran ke dalam konteks masa kini. Lihat Taufik Adnan amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas pemikiran hukum Fazlur Rahman, (Bandung; Mizan, tt) h. 189-220. Sedangkan Syarif Hidayatullah dalam membahas karakteristik neomodernisme Islam membedakan metode Fazlur Rahman ke dalam empat sub pokok bahasan, yaitu (1) penafsiran Alquran secara sistematis dan komprehensif, (2) metode hermeneutika dan kritik historis, (3) otentisitas Islam: Islam normatif dan Islam historis, dan (4) konvergensi antara tradisionalisme dan modemisme. Lihat Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme…, h. 69-138. 40 Fazlur Rahman “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives” dalam International Journals of Middle East Studies, Vol. 1, 1970, h. 329-330. 8 berkaitan dengan perubahan dalam hukum. Pendekatan sosiologis ini, bisa saja menimbulkan persoalan serius dari hakikat teologi sehubungan dengan keabadian Kalam Tuhan dan Hukum Ilahi. Dan dalam hal ini, Fazlur Rahman menegaskan bahwa persoalan teologi semacam itu dapat dan harus ditangani pada tingkat teologi secara wajar. Keabadian Kalam Tuhan dapat diterima secara substansial. Sementara keabadian harfiah, barangkali, dapat dinyatakan bahwa dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan aturan-aturan sosial, peraturan Ilahi memiliki suatu bidang moral dan suatu bidang legal spesifik. Bidang legal spesifik menjadi suatu transaksi antara keabadian Kalam dan situasi sosial-aktual dari Arabia pada abad ke-7 M. Aspek situasi sosial-aktual ini tentunya dapat berubah.41 3. Metode Gerakan Ganda (Double Movement Method) Metode double movement adalah metode yang menawarkan gerakan bolak- balik; dari masa kini ke masa lalu kemudian kembali ke masa kini lagi. Dalam tulisannya yang berjudul “Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law” Fazlur Rahman menyebut gerakan ganda ini dengan the systematic interpretation method (metode panafsiran sistematis), kemudian dengan the correct method of interpreting the Qur’an42 (metode yang tepat untuk menafsirkan Alquran). Akhirnya, metode tersebut disempurnakannya dalam karyanya “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition”, dengan double movement method (metode gerakan ganda).43 Dalam buku tersebut, Fazlur Rahman menyebutkan “a double movement, from the present situation to the Qur’anic times, then back to the present”.44 Suatu gerakan ganda, gerakan dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan, kemudian gerakan kembali ke masa sekarang. Fazlur Rahman menyarankan, pertama 41 Fazlur Rahman, Islamic Modernism…, h. 329-331 42 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 1. Taufik Adnan Amal menyebutnya dengan metodologi tafsir yang sistematis. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 189. 43 Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode…, h. 133 44 Fazlur Rahman, Islam and Modernity…, h. 5 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman gerakan dari penanganan-penanganan kasus konkrit oleh Alquran dengan memperhitungkan kondisi-kondisi sosial yang relevan pada waktu itu kepada prinsip-prinsip umum tempat keseluruhan ajaran Alquran berpusat. Kedua, dari peringkat umum ini, harus dilakukan gerakan kembali kepada legislasi yang spesifik dengan memperhitungkan kondisi-kondisi sosial yang ada sekarang.45 Lebih lanjut Fazlur Rahman menawarkan metode berpikir yang terdiri atas dua gerakan, yaitu: pertama, metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum (induktif), dan kedua, metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus (deduktif). Sehubungan dengan metode berpikir pertama, Fazlur Rahman menjelaskan sebagai berikut; “Gerakan pertama melibatkan pemahaman terhadap prinsip Alquran dengan Sunah sebagai bagian organisnya. Sektor sosial perintah-perintah Alquran memiliki suatu latar belakang situasional, sebagaimana pewahyuan Alquran sendiri yang memiliki latar belakang religio-sosial masyarakat Makkah pada awal Islam; perintah-perintah Alquran muncul tidak dalam suatu kevakuman, tetapi selalu turun sebagai solusi terhadap masalah-masalah aktual. Latar belakang situasional ini, yang disebut “sebab-sebab pewahyuan”.46 Sementara dalam gerakan pemikiran kedua, Fazlur Rahman mengemukakan sebagai berikut; “... adalah metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Kumpulan prinsip yang diperoleh dari Alquran lewat cara di atas (yakni dalam gerakan pemikiran pertama), harus diterapkan terhadap masyarakat Muslim dalam konteks dewasa ini. Sebagaimana dengan latar belakang ajaran Alquran yang harus dikaji untuk memperoleh prinsip-prinsip umum Alquran, maka situasi kontemporer juga harus dikaji untuk diambil darinya prinsip-prinsip tentang penerapan hukum terhadap situasi tersebut... Jenis penelitian sosiologis terhadap situasi kontemporer ini akan memberi indikasi yang tepat tentang bagaimana prinsip-prinsip yang diperoleh dari 45 46 Fazlur Rahman, Islam and Modernity…., h. 20 Fazlur Rahman, Towards Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on Public Interest in Islamic Law, International Law and Politics, vol. 12, 1979, h. 221 Alquran dan Sunah harus ditubuhkan dalam legislasi kontemporer.”47 Kemudian, untuk mengoperasikan metode ini, Fazlur Rahman menerapkan tiga tahapan, yaitu: pertama, merumuskan world-view (pandangan dunia) Alquran, kedua mensistematisasikan etika Alquran, dan ketiga menubuhkan etika Alquran pada konteks masa kini. Menurut Fazlur Rahman, upaya untuk membangun world-view Alquran belum pernah dicanangkan dalam sejarah Islam,48 dan tiadanya wawasan yang padu tentangnya telah menyebabkan malapetaka yang hebat terhadap gagasan-gagasan rasional-filosofis.49 Bagi Fazlur Rahman, upaya untuk merumuskan pandangan dunia Alquran merupakan keharusan. Batasan pandangan dunia atau teologi Alquran,menurut Fazlur Rahman, adalah Allah (theologi), alam semesta (cosmologi), dan manusia (antropologi). 50 Kemudian mengenai etika Alquran, Fazlur Rahman menemukan tiga kata kunci, yaitu iman, Islam, dan taqwa, di mana jika kita renungkan, ketiga kata tersebut akan nampak memiliki arti yang hampir identik.51 Menurut Fazlur Rahman, 47 Fazlur Rahman, Towards Reformulating the Methodology of Islamic Law…, h. 222-223. 48 Pandangan dunia adalah perspektif yang dipergunakan orang untuk memberikan makna apa yang ada pada sesuatu. Dan ini biasanya bersifat teoretis sekaligus praktis. la memberikan academic exercise dan resep untuk menuntun tindakan atau pengamalan yang tepat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pandangan dunia Alquran adalah perspektif yang dipergunakan orang untuk memberikan makna pada Alquran yang dapat menuntun pada orang tersebut untuk beramal dengan tepat. Fazlur Rahman, Islam, h. 256. 49 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 3. 50 Berkaitan dengan pandangan dunia Alquran, Fazlur Rahman memberikan uraian bahwa teologi Islam tentunya merupakan suatu upaya intelektual, yang menyajikan penuturan yang koheren dan setia mengenai hal yang terdapat di dalam Alquran sehingga seseorang yang beriman atau cenderung beriman dapat menyatakan persetujuannya baik dari pikiran maupun hatinya dan menjadikan pandangan dunia ini sebagai tempat yang memberi kedamaian mental dan spiritualnya. Sejauh teologi itu bisa memberikan kedamaian intelektual bagi pikiran, ia bisa diajarkan; sejauh ia memberikan ketentraman spiritual bagi hati, ia bisa didakwahkan. Teologi yang tidak dapat menjalankan salah satu dari dua fungsi ini adalah teologi yang tidak ada gunanya bagi agama. Teologi yang seharusnya adalah yang menekankan keyakinan tentang Tuhan, dan senantiasa mengharmoniskan serta mensejahterakan hubungan manusia dengan dunianya. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 155-156 51 Kata iman berasal dari akar kata a-m-n, memiliki arti pokok “aman”, “bebas dari bahaya, damai”. Kemudian kata islam, yang mempunyai akar kata s-l-m, juga memiliki pengertian yang sama, yaitu “aman dan integral, terlindungi dari disintegrasi kehancuran.” Sedangkan kata ketiga; taqwa, yang sangat mendasar bagi Alquran di samping terma Iman dan Islam, memiliki akar kata w-q-y yang juga berarti “melindungi 9 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 refleksi dan analisis terhadap tiga kata kunci ini, secara langsung mengarahkan kita pada alam bawah sadar Alquran sebagaimana adanya, dan memberikan suatu intipan kepada kita, ke dalam lapisan-lapisan makna terdalam dari elan dasar Alquran. Elan dasar Alquran pada dasarnya ditujukan untuk melindungi dan menyeimbangkan integritas individu dan kolektif atau masyarakat.52 Dan elan dasar Alquran inilah yang kemudian disebut dengan moral, yang didasarkan pada isi pokok Alquran, yaitu Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, serta peranan Tuhan dalam sejarah manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, Fazlur Rahman menyampaikan; “...elan dasar Alquran adalah moral, yang darinya mengalir penekanan yang tegas terhadap monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia merupakan perintah Tuhan; manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral itu: ia harus menyerahkan dirinya kepada hukum tersebut; penyerahan diri ini disebut Islam dan pengejawantahannya dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Tuhan.”53 Dari prinsip ini, pertama-tama mengalir mengalir kebutuhan atau keimanan kepada Tuhan sebagai pencipta, penopang, pemberi petunjuk, dan sebagai hakim. Sistem kepercayaan ini penting untuk meletakkan sikap manusia kedalam bentuk semestinya, kemudian dari sitsem kepercayaan ini juga mengalir kewajibankewajiban lainnya yang disebut Arkan al-Islam. Tetapi menurut Fazlur Rahman, pilar-pilar Islam tersebut belumlah memadai dan harus ditambah dengan prinsip-prinsip umum tentang keadilan sosial dan ekonomi serta prinsip-prinsip yang sesuai dengan Islam. Dari prinsip-prinsip ini, akan mengalir perintah-perintah keadilan dalam sektor sosial.54 Kemudian berkaitan dengan langkah ketiga yaitu penerapan etika Alquran maupun ideal moral ke dalam konteks kekinian, Fazlur Rahman menjanjikan dengan penerapan teori “double movement”nya ini, ijtihad dapat dihidupkan kembali, dan pesan-pesan Alquran dapat ‘hidup’ dan menjadi efektif sekali lagi.55 Analisis Metodologi Fazlur Rahman dalam Memahami Alquran dan Hadis Sebagaimana yang telah diketahui, dalam melakukan kajian-kajian terhadap teks, Fazlur Rahman menggunakan metode kritik sejarah (critical history), metode penafsiran sistematis (systematic interpretation) dan pada akhirnya disempurnakan dengan metode gerakan ganda (double movement method). 1. Sumber Pemikiran Metodologi Lahirnya pemikiran Fazlur Rahman tidak berasal dari ruang hampa tanpa ada dialektika dengan realitas sosial yang melingkupinya. Dengan demikian sangat dimungkinkan adanya pengaruh yang ikut mendorong lahirnya gagasangagasan Fazlur Rahman. Berkaitan dengan pandangan-pandangan Fazlur Rahman tentang Alquran dan hadis, jika ditelusuri lebih jauh, kenyataanya adalah Fazlur Rahman terpengaruh oleh gagasan-gagasan kalangan modernis klasik, seperti Sir Sayyid, Amir Ali, dan Iqbal. Banyak gagasan Fazlur Rahman mengenai penubuhan ajaran-ajaran sosial Alquran dan sunah tidak menampakkan perbedaan bentuk yang mendasar dengan modernisme klasik.56 Akan tetapi elaborasi Fazlur Rahman terhadap gagasan modernisme klasik dalam hal ini adalah orisinal, dimana orisinalitasnya nampak dalam rumusan dan operasi metodologi sistematisnya, yaitu penyaringan prinsip-prinsip umum sebagai bagian dari etika Alquran. Subtansi gagasan-gagasannya lebih berisi dan mendalam karena ditarik dari ajaran keseluruhan Alquran yang tersistematisasi dalam etika Alquran. Sedangkan konsepsi Fazlur Rahman, tentang Alquran sebagai respon terhadap situasi sosiomoral Arabia pada abad ketujuh, dan karenanya harus dipahami secara sistematis dalam latar kesejarahan serta urutan kronologisnya, lebih memperlihatkan pengaruh tradisi kajian-kajian Alquran di Barat ketimbang tradisi kajiankajian Alquran yang dikembangkan dikalangan dari bahaya, menjaga dari kemusnahan, tersia-siakan atau disintegrasi. Fazlur Rahman, Interpreting the Qur ‘an., h. 49. 52 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 210 53 Fazlur Rahman, Islam, h. 32. 55 Daud Damsyik, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam…, h. 227 Fazlur Rahman, Interpreting the Qur ‘an…, h. 49 56 Taufik Adnan Amal, Islam dan tantangan Modernitas…, h. 220 54 10 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman muslim.57 Pendekatan historis-kronologis yang menjadi inti metodologi sistematisnya meskipun dapat dirujukkan sumbernya kedalam gagasan tradisional atau modernisme klasik, tetapi lebih terlacak berada dalam tradisi metodologi Barat. Pada poin ini, menurut penulis, konsepsi Fazlur Rahman tentang Alquran yang merupakan respon terhadap situasi sosio-moral Arabia pada abad ketujuh, dan karenanya, menurut Fazlur Rahman harus dipahami secara sistematis dalam latar kesejarahan serta urutan kronologisnya, memilki sumber keterpengaruhan dari dua tradisi, yaitu; tradisi modernis klasik dan tradisi keilmuan Barat. Akan tetapi sistematisasi etika Alquran sebagai prinsip umum dan totalitas ajaran Alquran yang menjadi bagian dari langkah penafsiran sistematis-komprehensifnya, menurut penulis menjadi pembeda Fazlur Rahman dengan kalangan modernisme klasik dan pemikiran kajian Alquran di Barat itu sendiri. Selanjutnya, ketika dicermati, metode-metode Fazlur Rahman dalam memahami teks Alquran mupun hadis, baik metode kritik sejarah, metode penafsiran sistematis dan metode gerakan ganda, menurut penulis ketiga metode ini tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait, saling mengisi dan saling melengkapi, hal itu dapat dilihat dari sistematisasi operasioanalnya yang selalu melibatkan unsur-unsur tersebut. Bahkan metode gerakan ganda (double movement) merupakan penyempurnaan dari upaya-upaya metodologis sebelumnya. Berkaitan dengan penafsiran sistematis atau disebut juga dengan metode gerakan ganda di mana Fazlur Rahman mengoperasionalkan dengan sistematisasi dua gerakan, Penulis menemukan bahwa gerakan pertama dalam metode ini berkaitan dengan konsepsi Fazlur Rahman, bahwa mengkaji Alquran harus disertai kajian terhadap situasi masyarakat, adat istiadat, bahkan kehidupan menyeluruh bangsa Arab ketika Alquran diturunkan. Konsepsi ini senada dengan ungkapan ahli hukum mazhab Maliki yang terkenal, Al-Syatibi (w. 1388) dalam masalah konteks. Menurut Al-Syatibi, untuk mengetahui Alquran perlu memahami situasi dan kondisi di mana Alquran diturunkan. 58 Menurutnya, untuk memahami teks arab yang Alquran diturunkan dengannya, diperlukan pengetahuan tentang sejumlah keadaan (Muqtadhayat al-Ahwal), keadaan bahasa (Hal nafs al-khitab), keadaan Mukhatib (Author) dan keadaan Mukhatab (Audience) dan untuk memahami ini diperlukan pula pengetahuan tentang konteks-konteks diluarnya yang lebih luas (al-Umur al-Kharijiyah).59 Dengan menyimak bangunan pemikiran Fazlur Rahman dan pemikiran Al-Syatibi dalam konteks ini, penulis berkesimpulan bahwa keduanya memiliki sisi kesamaan. Persamaan itu nampaknya akan lebih jelas dengan menyimak ungkapan Al-Syatibi tentang pemahaman terhadap Alquran, dimana menurutnya petunjukpetunjuk umum dan universal bersifat pasti, sementara petunjuk khusus bersifat mungkin dan kondisional, karena itu petunjuk umum harus didahulukan.60 Sedangkan Fazlur Rahman dalam konsepnya tentang ideal moral mengatakan bahwa ideal moral bersifat universal. Alquran dipandang elastis dan fleksibel.61 Adapun mengenai prosedur gerakan kedua yang dikembangkan Fazlur Rahman dalam metode penafsiran sistematis-komprehensif atau metode gerakan ganda (double movement) ini, tidak lain merupakan elaborasi sistematis terhadap gagasan qiyas tradisional atau penalaran analogis. Operasional qiyas tradisional ini dimulai 1) Menentukan suatu teks Alquran atau hadis yang relevan dengan kasus baru. 2) Menimbang persamaan esensial atau ratio legis (‘illat al-hukm) antara kedua kasus tersebut. 3) Memperhitungkan perbedaan dan mendeterminasi bahwa perbedaan-perbedaan itu dapat diabaikan. 4)Memperluas atau menafsirkan ratio legis(‘illat hukm) untuk mencakup kasus baru tersebut. Tetapi menurut Fazlur Rahman, para fukaha tidak pernah menerapkan prinsip qiyas atau penalaran analogis ini dengan cara yang seragam. Terkadang prinsip ini diterapkan terlalu ketat, sementara pada kesempatan yang lain diterapkan terlalu liberal.62 Oleh sebab itu, Falur Rahman memandang operasi qiyas tradisional itu perlu (Kairo; Maktabah al Usrah, tt), juz III, h. 295 59 Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, h. 294 60 Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah., h. 261 57 Taufik Adnan Amal, Islam dan tantangan Modernitas …, h. 223 61 Fazlur Rahman, Islam and Modernity …, h. 6 58 Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, 62 Fazlur Rahman, Interpreting Qur’an…,.h. 48 11 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 diberi konseptualisasi baru. Petama kali yang harus dilakukan adalah upaya penyarian prinsipprinsip (‘illat al-hukm) secara menyeluruh dan penataannya secara sistematis sebagai etika Alquran. Apabila etika Alquran ini tergarap maka hukum-hukum baru dapat disimpulkan darinya dengan mempertimbangkan kondisi aktual dewasa ini. Bagi Rahman inilah hakikat sebenarnya dari prosedur qiyas, yang disebutnya sebagai qiyas sitematis. 63 Dengan demikian, qiyas yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam operasional gerakan kedua dalam metodenya adalah qiyas yang dilakukan dari totalitas ajaran Alquran, bukan dari nash-nash yang terisolasi. Dan ini tentu menjadi perbedaan mendasar antara qiyas yang dikemukakan ahli hukum dari kalangan tradisionalis dengan gagasan-gagasan qiyas Fazlur Rahman. Sementara itu, dalam kajian historis tentang evolusi sunah dan hadis, Fazlur Rahman berpandangan hadis harus dijadikan sebagai prinsip, di mana hadis-hadis tersebut harus dipandang sebagai indeks kepada sunah Nabi. Ia tidak sepakat dengan pandangan tradisionalis tentang isnad sebagai justifikasi historisitas hadis. Ia menilai isnad tidak bisa dijadikan argumentasi positif yang final, bahkan menurut Fazlur Rahman isnad itu berkembang belakangan, bermula sekitar penghujung abad pertama hijriyah. Pemikiran Rahman ini jika ditelusuri memiliki kesamaan dengan Joseph Schaht dan para orientalis pada umumnya tentang isnad. Bagi Fazlur Rahman, hadis-hadis tidak lain adalah refleksi verbal dari sunah yang hidup sedangkan yang ia maksud dengan sunah yang hidup adalah sunah kaum muslimin awal atau ijma’ yang merupakan kristalisasi interpretasi kreatif atau ijtihad terhadap sunah Nabi. Fazlur Rahman juga membedakan antara hadis teknis dengan hadis–hadis historis atau biografis. Hadishadis historis atau beografis inilah yang dimaksud Rahman dengan sunah Nabi atau kegiatan hidup Rasul.64 Sedangkan menurutnya, hadis teknis yang terdapat dalam koleksi-koleksi hadis yang ada dewasa ini tidaklah bersifat historis, hadis teknis tidak lain merupakan keseluruhan ungkapan yang diformulasikan dan dikemukakan oleh kaum muslim sendiri, seolah-olah tentang Nabi, meskipun memiliki sentuhan historis yang penting dengan Nabi.65 Konsepsi Fazlur Rahman tentang menjadikan hadis sebagai prinsip yang dipandang sebagai indek kepada sunah Nabi, jika ditelusuri juga ditemukan akarnya pada konsepsi Iqbal, dimana Iqbal pernah mengemukakan suatu gagasan yang signifikan bahwa nilai hadis harus di pandang sebagai indeks kepada spirit Islam dengan rujukan kepada hukum dan masyarakat, bukan sebagai wahana aturan-aturan hukum Islam. Mengenai hal ini, Taufik Adnan Amal mengutip dalam penjelasannya, bahwasanya menurut Nasim Ahmad Jawed, Fazlur Rahman sepenuhnya mengembangkan pandangan Iqbal dalam upaya mencairkan hadis-hadis teknis kedalam bentuk sunah yang hidup.66 Menurut Fazlur Rahman, dalam memahami hadis, penafsiran situasional harus dilakukan, hadis-hadis harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks kesejarahannya. Demikian hadis-hadis hukum harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali, dan bukan sebagai hukum yang sudah jadi yang harus diterapkan secara langsung. Penafsiran situasional atau historis dalam rangka mencairkan hadis-hadis ke dalam bentuk sunah yang hidup ini akan membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma darinya untuk diri kita sendiri melalui suatu teori etika yang memadai dan penubuhan kembali hukumnya.67 Secara metodologis Fazlur Rahman adalah sarjana muslim yang terdidik dan terlatih didunia kademis Barat serta memahami dengan mendalam pendekatan kesejarahan modern yang dipelajarinya. Ia sangat akrab dengan kajian-kajian kesarjanaan tentang Alquran di Barat. dari sudut ini dapat dipastikan bahwa pendekatan historis kronologis yang menjadi inti metodologi sistematisnya itu bersumber pada tradisi kesarjanaan Barat. Meskipun 65 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History..., h. 76. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan tantangan Modernitas..., h.172 66 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 1765 63 64 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h.221 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 172-173 12 67 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History…, h. 80. Badingkan Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h.173 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman demikian temuan-temuan kesarjanaan Barat ini tidak selamat dari kritisisme Fazlur Rahman. Dengan demikian pengaruh kesarjanaan Barat terhadapnya nampaknya hanya terbatas pada pendekatan-pendekatan historis-kronologisnya, akan tetapi pendekatan historis–kronologis Fazlur Rahman memiliki karakteristik nyata yang membedakan secara subtansial pendekatannya dengan Barat. 2. Implikasi Penerapan Metodologi Fazlur Rahman Fazlur Rahman memandang perlunya perumusan kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari Alquran dan sunah. Metodologi yang ditawarkannya terdiri dari dua gerakan ganda pemikiran yuristik atau dikenal dengan double movement. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general) dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus. 68 Fazlur Rahman yakin bahwa dengan penerapan teori “double movement” dalam penafsiran teks, ijtihad dapat hidup kembali, dan pesan-pesan Alquran dapat ‘hidup’ dan menjadi efektif lagi. Dalam perumusan metodologi penafsiran, Fazlur Rahman menitikberatkan pada pemahaman aspek hukum atau sosial ajaran-ajaran Alquran,69 di samping penekanan yang tegas pada pembedaan antara sasaran dan tujuan-tujuan Alquran atau “ideal moral” dari ketentuan legal spesifiknya. Gerakan ganda yang dikemukan oleh Fazlur Rahman nampak strategis dalam upaya mengaitkan kerelevanan teks Alquran pada 68 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 195. Berdasarkan metodologi yang telah ditawarkannya, Fazlur Rahman mencoba membuat sistematisasi sebagai berikut: (1) Upaya perumusan pandangan dunia yang setia kepada matriks Alquran dan dapat dimengerti kaum Muslim kontemporer. (2) Upaya sistematisasi etika Alquran yang merupakan penghubung antara teologi dan hukum. (3) Upaya reformasi hukum dan pranata Islam modern yang ditarik dari etika Alquran dengan mempertimbangkan secara cermat situasi kekinian. Rahman berharap dengan usaha-usaha seperti ini kaum Muslimin dapat menyelesaikan krisis yang dihadapinya dan menurutnya hal tersebut memiliki implikasi yang serius terhadap masa depan Islam dan umatnya. 69 Gerakan ganda (double movement) yang ditawarkan Fazlur Rahman lebih tertuju pada penafsiran hukum atau ajaran sosial Alquran. Alquran adalah ajaran yang berkepentingan untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi tindakan manusia, baik politik, agama, sosial dan sebagainya, karena itu Alquran mengutamakan semua penekanan moral dan faktor-faktor psikologis, yang melahirkan kerangka berpikir yang benar bagi tindakan. Lihat Daud Damsyik, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman, Stit Al-Amin Tangerang Selatan Banten, AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 konteks kekinian,70 terutama untuk merumuskan kembali hukum dari Alquran.71 Menurut Fazlur Rahman, yang menjadi dasar hukum adalah prinsip-prinsip moral Alquran. Konsepsi ini mengimplikasikan bahwa konsep hukum Islam adalah semua hukum yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral Alquran. Sementara mayoritas ahli hukum berpendapat bahwa dasar hukum Islam adalah Alquran “kitab Allah”, sedangkan prinsip-prinsip moral yang identik dengan konsep al-maslahat dipandangnya sebagai tujuan (maqasid) bukan sebagai dasar. Posisi pemikiran Fazlur Rahman cenderung mempertegas dan mengembangkan term “Alquran” dan “kitab Allah” menjadi ‘prinsip-prinsip moral’ yang lebih jelas. Keduanya punya implikasi hukum yang berbeda. Konsep ushul al-fiqh72 berorientasi konservatif-tekstual sedangkan pemikiran Rahman berorientasi progresif-kontekstual. 70 Metodologi Fazlur Rahman adalah gerakan kembali ke akar spiritual Islam dengan pijakan akar metode historis yang kuat, dikenal dengan istilah “Kembali kepada Alquran dan Sunnah”. Hal ini merupakan usaha untuk menyarikan prinsip-prinsip normatif Islam dari akar sepiritualnya secara sistimatis dan menyeluruh, guna diinteraksikan dengan situasi kekinian yang konkret, seperti tercermin dalam gerakan kedua metodologi sistematisnya. Daud Damsyik, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam:, AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 71 Fazlur Rahman menghendaki, “reformasi hukum Islam”, yakni perubahan hukum Islam yang tidak hanya pada tataran tathbîq (penetapan hukum), tetapi juga perubahan hukum pada tataran istinbath (pengambilan hukum). Untuk mendukung alternatif yang terakhir ini diperlukan rekonstruksi metodologi hukum Islam yang mencakup konseptualisasi dasar-dasar hukum Islam dan operasionalisasi konsep-konsep tersebut dalam rumusan metodik. Karena menurutnya, visi alternative “transformasi hukum Islam” yakni perubahan hukum Islam pada tataran tathbiq al-hukm dengan tetap mempertahankan rumusan hukum hasil istinbath, merupakan visi alternatif yang tidak konsekuen. Contoh yang dianggap relavan misalnya pada kasus riba pada zaman Nabi dengan bunga bank, unsurunsur motif, fungsi dan latar belakang sosiologi yang mengitari keduanya sebagai sebuah sistem menjadikan kasus ini berbeda. Dalam hal ini tathbiq al-hukm yang didasari peranan akal, nalar dan ijtihad amat diperlukan ketimbang sekedar istinbath hukum. Lihat Ghufron Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1997), h.113. 72 Konsep-konsep ushul fiqh klasikpun tidak luput dari kritikan Rahman seperti fungsi ushul fiqh dalam literatur klasik adalah sebagai sarana untuk merumuskan dalil-dalil hukum syar’i. Maka otomatis ketika menjadi metode istinbath al-hukm, ushul fiqh akan memahami dalil-dalil syar’i secara apriori tanpa mempertimbangkan latar belakang sosiologis dalil-dalil tersebut tanpa mengaitkan dengan kasus-kasus hukum (alwaqî’at) aktual. Maka pada dasarnya konsep-konsep istinbâh al-hukm merupakan proses pemikiran induktif atas dalil-dalil syar’i. Berbeda dengan konsep tathbîq al-hukm (penerapan hukum) yang bercorak deduktif, yakni penerapan dalil-dalil syar’i terhadap kasus-kasus tertentu. Lihat Ghufron Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, h. 112. 13 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 Selanjutnya, untuk memahami lebih utuh dan menemukan gambaran implikasi dari penerapan metodologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis, penulis menyertakan dalam analisis ini beberapa produk pemikiran Fazlur Rahman terkait isu-isu yang dihadapi umat Islam di zaman Modern. Beberapa ide pemikiran Fazlur Rahman, di antaranya adalah: 1. Zakat dan Pajak Pada awal 1966, Fazlur Rahman menyarankan pemerintah Pakistan lewat Dewan Penasehat Ideologi Islam, bahwa struktur perpajakan sebaiknya dirasionalkan dan diefisienkan dengan menerapkan kembali “zakat” dan membenahi tarifnya mengingat makin melambungnya anggaran belanja pemerintah, dan memperluas cakupannya kepada sektor investasi kekayaan sehingga dapat memperbaiki motivasi Islami para pembayar pajak dan meminimalkan pengelakan pembayaran pajak.73 Saran Fazlur Rahman didasarkan pada penafsirannya terhadap rincian distribusi zakat dalam surat al-Taubah: 60 yang merupakan manifestasi dari salah satu prinsip keadilan sosial dan ekonomi dalam QS. al-Hasyr: 7 yang menyatakan bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya dikalangan orang-orang kaya saja. Fazlur Rahman berpandangan bahwa kategori-kategori yang ditetapkan dalam QS. al-Taubah: 60 tersebut sedemikian luasnya sehingga dapat merangkum seluruh aktivitas negara. Kesejahteraan sosial dalam arti luas, yang diisyaratkan oleh ayat tersebut meliputi membantu orang-orang yang terjerat hutang, gaji pegawai administratif (kolektor pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hati orangorang ke dalam islam), pertahanan, pendidikan, komunikasi dan kesehatan. 74 Menurut Fazlur Rahman perlu adanya langkah penyesuaian tarif zakat selaras dengan kebutuhan kontemporer yang dapat diaplikasikan sebagai pengganti pajak-pajak sekuler di negara-negara Islam. Ini menurut Fazlur Rahman, akan memberi motivasi religius kepada para wajib pajak.75 Sebab dalam 14 Menurut hemat penulis, upaya Fazlur Rahman untuk menetapkan zakat sebagai pajak, tentunya tidak lepas dari operasionalisasi metode double movement diantaranya yaitu penumbuhan etika Alquran ke dalam konteks kontemporer. Hal ini merupakan gerakan kedua dari metode tafsir yang digagas Fazlur Rahman. Mekanisme penumbuhan ini meliputi modifikasi aturanaturan lama selaras dengan situasi kontemporer, asalkan tidak memaksakan prinsip-prinsip yang telah disistematisasikan ke dalam etika Alquran. Namun sebelumnya, perlu dilakukan kajian dan analisis terhadap situasi kontemporer beserta berbagai komponennya demi kesuksesan penumbuhan etika Alquran.76 2. Riba dan Bunga Bank Pada tahun 1962, Pemerintah Pakistan mengajukan rancangan anggaran belanja kepada Sidang Majlis Nasional, tetapi rancangan tersebut ditolak karena didasarkan pada bunga bank yang dilarang oleh Islam. Larangan riba oleh Alquran sangat berkaitan dengan penegakan kesejahteraan masyarakat. Para Ahli hukum Islam masa pertengahan menetapkan bahwa segala jenis bunga adalah riba dan hukumnya haram. Hingga sekarang ini mayoritas Muslim masih berpendapat demikian, walaupun di dunia modern, peran bank dalam konteks ekonomi pembangunan sudah sangat berubah.77 Sedangkan Fazlur Rahman menyimpulkan, bahwa sistem ekonomi bisa saja disusun di mana bunga bank dihapus, akan tetapi kondisi Pakistan pada saat itu belum memungkinkan bagi kontruksi idealistis tersebut. “Selama masyarakat kita (Pakistan-pen) belum direkontruksi berdasarkan pola Islam, maka merupakan langkah bunuh diri bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem finansial negara, bukan bertentangan dengan spirit dan tujuan Alquran dan sunnah (jika) bunga bank dihapuskan”.78 73 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 97. 74 Anas Ghufron Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam.., h. 113 75 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., h. 78 Fazlur Rahman, Riba..., h. 40-41, dalam Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 180. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an,Terj. Mahyuddin, (Bandung:Penerbit Pustaka, 1995), h. 60-61 218. pemahaman Fazlur Rahman memahami, zakat merupakan satu-satunya pajak yang ditetapkan dalam Alquran. 76 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 7 77 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman Pada waktu terjadi kontroversi tentang bunga bank di Pakistan ini, yaitu ketika Fazlur Rahman mengutarakan pandangannya tentang bunga bank ke hadapan Dewan Penasihat Ideologi Islam, sebuah surat kabar lokal tertanggal 22 september 1963, memberitakan bahwa Fazlur Rahman telah mengemukakan opini bunga bank yang ringan adalah halal, dan bunga bank yang berlipat ganda adalah haram.79 melekat erat dalam struktur masyarakat Arab pada saat itu yang tidak akan bisa dengan seketika dihilangkan, maka dari itu, Alquran dengan bijaksana menerima status quo tersebut dengan disertai langkah-langkah perbaikan melalui sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu, Alquran juga mengemukakan rancangan moral, yang mana masyarakat secara gradual dianjurkan menuju ke suatu arah, yakni monogami.83 3. Poligami Akhirnya, dari analisis beberapa sampel pemikiran Fazlur Rahman dalam beberapa permasalahan di atas, nampak pengembangan gagasan-gagasan dalam sistem pemikiran Fazlur Rahman telah mencapai tingkat pencapaiannya dan telah bergeser dari konseptualisasi tradisi yang lama. Oleh sebab itu, menurut penulis, pada titik ini terlihat jelas perbedaan implikasi dari penerapan metodologi yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis, lebih-lebih berkaitan dengan penafsiran hukum Islam, dimana produk pemahamnnya nampak lebih progresif dan dinamis. Alquran QS. Al-Nisa’[4]:3, turun sebagai respons terhadap perilaku para wali dari anakanak yatim, baik laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.80 Kemudian Alquran menyerukan agar mereka para wali tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawininya sampai empat diantara mereka, asalkan dapat berlaku adil.81 Fazlur Rahman tidak sepakat, jika frase berlaku adil berarti keadilan dan persamaan dalam perlakuan lahiriah dan materi seperti yang diajukan para ulama. Karena itu ketika Alquran mengatakan bahwa mustahil untuk berlaku adil di antara istri-istri, maka secara jelas kitab suci itu menyatakan mustahil mencintai lebih dari seseorang wanita dengan cara yang sama. Pandangan Alquran di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat perbedaan antara aspek legal dan ajaran moral Alquran, yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan perbedaan ini, Fazlur Rahman menyimpulkan; “Yang benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakikatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus”.82 Menurut Fazlur Rahman, masalah poligami sudah menjadi semacam fenomena yang 79 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h.94 80 Abdul Fatah Abdul Ghani Al-Qadhi, Asbab al Nuzul ‘an alShahabah wa al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Salam, 2005), h. 64 81 Mawardi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, dalam Hermeneutika Alquran dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), h. 80 82 Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, h.70 Konstribusi Epistemologi Fazlur Rahman Terhadap Perkembangan Pemikiran Alquran dan Hadis pada Era Modern Dalam konteks pembaruan Islam, Fazlur Rahman adalah penerus kaum modernis. Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber modern, ia menyarankan pijakan yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah Islam klasik yang kaya. Dan juga ia berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak dalam romantisme berlebihan, Fazlur Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan kekayaan yang terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki relevansi untuk mengatasi masalah-masalah modern, dengan melakukan reformulasi pada wilayah konseptual dan operasionalnya. Bagi Fazlur Rahman, kaitan Alquran dan sunah nabi itu dinamis dan dialektis. Dalam praktik ijtihad kaum Muslim awal, kitab suci dan sunah nabi adalah data objektif, yang subjektif adalah pemahaman mereka. Di sini keragaman hasil ijtihad diakui, keragaman itu kemudian mengkristal dan memunculkan opini publikyang 83 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 90. 15 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 secara sosial diakui ada relevansinya; kristalisasi inilah yang disebut Ijma’. Kemunculan gerakan neo modernis seperti yang digagas Fazlur Rahman, setelah modernis dan tradisionalis adalah merupakan koreksi atas gerakan-gerakan sebelumnya; sekaligus menjembatani antara arus modernisme dan tradisionalisme. Sikap modernis menentang pemikiran tradisionalis telah mengurangi inspirasi-inspirasi intelektual yang merupakan landasan pembentukan Islam historis, akan tetapi kaum tradisionalis juga terlalu apriori terhadap ide-ide baru serta terlalu berorientasi kepada masa lampau. Neomodernisme Fazlur Rahman me ngembangkan sikap kritisnya terhadap Barat maupun warisan-warisan kesejarahan sendiri. Keduanya harus dikaji secara objektif, Karena itu, tugas utama yang paling mendasar adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari Alquran dan hadis guna mendapatkan petunjuknya. Dan metodologi inilah yang menjadi ciri pembeda neomodernisme dengan modernisme klasik. Sebagai seorang neomodernis, metodologi tafsir Rahman adalah meletakkan ayat-ayat Alquran dalam suatu setting sosiologisnya, yaitu dalam lingkungan Nabi bergerak dan bekerja, serta pentingnya membuat distingsi (perbedaan) antara tujuan atau ‘ideal moral’ Alquran dengan ketentuan ‘legal spesifik’nya. Konsep-konsep metodologi ini selanjutnya dijabarkan secara operasional dalam rumusan metodis yang terdiri dari dua gerakan: Pertama, gerakan merumuskan prinsip-prinsip umum Alquran, dan kedua, adalah gerakan penerapan prinsip-prinsip umum tersebut dalam situasi konkret aktual sekarang ini.84 Berdasarkan metodologi yang ditawarkannya, Fazlur Rahman mengupayakan reformasi hukum dan pranata Islam modern yang ditarik dari etika Alquran dengan mempertimbangkan secara cermat situasi kekinian. Di samping kajian yang bertalian dengan sejarah religio filosofis Islam, Fazlur Rahman juga memberikan perhatian terhadap modernisme Islam. Melakukan kajian modernisme adalah sebuah keharusan bagi seorang pemikir pembaharu. Karena prinsip esensial dalam modernisme adalah bentuk 84 h.225 16 Daud Damsyik, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam…, protes terhadap hak untuk mengkaji secara bebas sumber-sumber Islam dan menerapkan pemikiran modern dalam penafsiran mereka, tanpa menghiraukan konstruksi-konstruksi ajaran yang telah dirumuskan dan diwariskan oleh para ulama serta para fuqaha terdahulu.85 Bagi Fazlur Rahman meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun masih memilki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk neo revivalisme, kelemahan itu adalah;86 pertama, modernisme klasik tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara implisit terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan impliklsai dari prinsip-prinsip dasarnya. Kedua, masalah-masalah yang dipilih kalangan modernis klasik adalah masalah-masalah yang berkembang di dunia Barat, sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah terbaratkan dan merupakan agen-agen westernisasi. Menurut Fazlur Rahman, krisis pemikiran Islam pada periode modern merupakan akibat alienasi progresif dari spirit dan ajaran Nabi, dan solusinya adalah kembali kepada akar-akar spiritualnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan istilah “kembali” secara intelektual adalah tempat dan berpijak pada metodologi sistematis untuk memahami kedua sumber Islam secara total dan tuntas.87 Langkah esensial pertama kali yang harus segera dilakukan adalah mengadakan pembedaan yang jelas antara “Islam normatif” dan “Islam historis”. Islam normatif menjadi penilai terhadap Islam historis, yakni Islam sebagaimana yang diterjemahkan oleh kaum Muslimin selama empat belas abad ini. Langkah kedua adalah rekonstruksi ilmu-ilmu Islam yang meliputi teologi, hukum, dan etika, filsafat, serta ilmu-ilmu sosial.88 Dengan pemahaman yang demikian, Fazlur Rahman telah merumuskan karakteristik neo medernismenya, dengan karakter utamanya adalah pengembangan suatu metodologi 85 H.A.R Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995), h. 97. 86 Kaum fundamentalis maupun modernis, menurut Fazlur Rahman, kedua-duanya tidaklah mempunyai metode yang cukup Jelas. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas…, h. 169. Bandingkan dengan Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 109 87 Fazlur Rahman, Islam dan Modernity…, h. 130 88 Fazlur Rahman, Islam dan Modernity…, h. 141-161 M. Samsul Ma’arif: Epistemologi Fazlur Rahman sistematis khomprehensif yang mampu melakukan rekonstruksi secara total dan tuntas terhadap pemikiran Islam,tanpa harus tunduk dan mengadopsi secara buta terhadap metodologi Barat atau menafikannya, tetapi lebih dari itu harus tetap setia kepada akar-akar spiritual Islam dan sanggup menjawab kebutuhan-kebutuhan Islam di zaman modern. Dan inilah yang menurut penulis, yang menjadi konstribusi epistemologi Fazlur Rahman terhadap perkembangan pemikiran Alquran dan hadis di zaman modern. Penutup Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis, penulis akhirnya sampai pada kesimpulan; 1. Epistemologi Fazlur Rahman dalam memahami Alquran dan hadis merupakan epistemologi burhani, metode dalam epistemologinya didasarkan pada observasi dan eksperimen yang kemudian disistematisasikan dengan operasionalisasi metode kritik sejarah (critical history), penafsiran sistematis (sistematic interpretation) dan disempurnakan dengan metode gerakan ganda (double movement). Sedangkan argumentasi penalaran yang digunakannya dalam memahami Alquran dan hadis adalah argumen demonstratif, verifikatif dan eksploratif dengan pendekatan historis, normatif dan filosofis. 2. Epistemologi Fazlur Rahman memiliki relevansi yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran Alquran dan hadis pada era modern, yaitu dalam aspek pengembangan dan sistematisasi metodis untuk mendapatkan penafsiran dan pemahaman yang komprehensif dan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan umat Islam dewasa ini, khususnya aspek hukum Islam. Akan tetapi berkaitan dengan evolusi sunah dan hadis, meskipun telah membela otientisitas sunah dari serangan orientalis, Fazlur Rahman memiliki konsepsi yang liberal dan berbahaya, dimana ia meragukan keabsahan sebagian besar hadis-hadis teknis yang ada dalam kitabkitab hadis, dan tradisi isnad menurutnya tidaklah menjamin validitas hadis, karena isnad itu sendiri baru berkembang pada penghujung abad pertama Hijriyah. Pustaka Acuan Amiruddin, Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung; Mizan, tt. Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Abdullah, Amin,Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran Alquran, Yogyakarta: Pestaka Pelajar, 2002. Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir, Media Akademika, Vol.28, No.1, Januari 2013 Dahlan, Moh, Abdullah Ahmed an-Naim; Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Dahlan, Moh, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu; IAIN Bengkulu Press, 2013. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, Cet. ke-1. Damsyik, Daud, Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman, Stit Al-Amin Tangerang Selatan Banten, AL‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013 Dua, A.Sonny Keraf dan Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Faiz, Fahruddin, Hermenutika Alquran: TemaTema Kontroversial Yogyakarta: eLSAQ, 2005. Erlan muliadi, Hermeneutika Alquran Hadis, http://erlanmuliadi.blogspot.com /2010/12/ hermenutika-al-quran-hadits.html Fitria,Vita, Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam), Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Asy-Syir’ah, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011 Gibb, H.A.R, Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Bandung: Mizan, 2011. Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993. 17 Manthiq Vol. 1, No. 1, Mei 2016 Ishaq, Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqot fi Ushul al-Syariah, Kairo; Maktabah al Usrah, tt., juz III. Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, Yogyakarta: Idea Press, 2014. Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Alquran Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis Group, 2011. Munir, Rizal Mustansyir dan Misnal, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Maarif, Ahmad Syafii, Fazlur Rahman, al- Qur’an dan Pemikiran Islam, dalam Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) Ma wa rdi, H ermen eu ti ka Alqu ra n Fa zlur Rahman, dalam Hermeneutika Alquran dan Hadis,Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Putri, Wahyuni Eka, Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman dalam Hermenutika Alquran dan Hadis,Yogyakarta:eLSAQ, 2010. Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1984. Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an,Terj. Anas Mahyuddin, Bandung:Penerbit Pustaka, 1995. Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in of History, Karachi:Central Institute Islamic Reseach, 1965. Rahman, Fazlur, Islam, The University of Chicago Press, Ltd., London, Sec. Ed. 1979 Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Bibliotheca Islamica, Minneapolis, 1980. Rahman, Fazlur “Iqbal and Modern Muslim Thought” Studies in Iqbal’s Thought and Art, ed. M. Saeed Sheikh, Lahore: Bazm-I- Iqbal, 1972. Rahman; Kajian Sutrisno, Fazlur terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006. Sanaky, Hujair AH, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan Hadits, Kajian Buku Islamic Methodology in History, pdf Syukri, Ahmad, Metodologi Tafsir Alquran Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman, jurnal penelitian Sosial Keagamaan Kontekstualita, Vol. 20, No.1, Juni 2005