Oleh :
Marenda Ishak S, SP., MT.
NIP. 132317001
Jurusan Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
2008
! "
!
! #
$
%
&%
$
!
%
'
(
"
!
& !
Jatinangor, Februari 2007
Penulis
I.
Latar Belakang
Pengembangan wilayah adalah upaya terpadu untuk memacu perkembangan sosial ekonomi,
mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu
wilayah.
Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena setiap wilayah memiliki
karakteristik yang sangat berbeda (Riyadi, 2002).
Dalam konteks pengembangan wilayah, dimensi ruang memiliki arti penting karena ruang
dapat membawa kemajuan dan juga menciptakan konflik bagi individu dan masyarakat
(Riyadi, 2002). Ruang menjadi rebutan karena ketersediaannya semakin langka dan terbatas.
Ruang adalah wadah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya; ruang mencakup lahan dengan berbagai
sumberdaya yang ada di atas maupun di dalamnya. Bertentangan dengan ketersediaannya
yang semakin terbatas, kebutuhan terhadap lahan justru semakin meningkat dengan
peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan.
Apalagi lahan juga perlu
dikonservasi untuk penggunaannya di masa mendatang (Sitorus, 1995).
Terkait dengan kondisi lahan yang terbatas, pemanfaatan lahan harus dilakukan secara
terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan kemampuan daya
dukungnya (Sugandhy, 1999).
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kelas
kesesuaiannya akan memberikan dampak buruk, baik secara fisik maupun ekonomi. Secara
fisik, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan dapat menimbulkan
kerusakan lahan (Mather, 1986) dan sebaliknya, penggunaan lahan yang tepat adalah langkah
pertama untuk menunjang program konservasi lahan (Sinukaban, 1989).
Adapun secara ekonomi, ketidaksesuaian lahan akan berdampak pada produktivitas lahan.
Produktivitas komoditas pertanian akan rendah apabila komoditas tersebut ditanam
pada lahan dengan kondisi biofisik
(Adiwilaga, 1985).
yang tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman
II.
Penentuan Pemanfatan Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan bahkan keadaan vegetasi
alami yang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan.
Lahan
mempunyai sifat keruangan, unsur estetis dan merupakan lokasi aktivitas ekonomi manusia.
Keberadaannya sangat terbatas, oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam
pemanfaatannya agar memberikan hasil yang optimal bagi perikehidupan. Lahan yang
berkualitas dapat dimanfaatkan untuk banyak kegiatan dan banyak jenis tanaman (Mather,
1986).
Terdapat dua pendekatan dalam penentuan tata guna lahan (Mather, 1986). Pendekatan
pertama adalah berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan oleh kondisi fisik
lahan, sedangkan pendekatan kedua berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan
oleh kekuatan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keduanya mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam pemanfaatan lahan, namun akhirnya semua kembali kepada pengguna
lahan. Selain itu pemanfaatan lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, ketersediaan modal dan
distribusinya, ketersediaan dan biaya tenaga kerja, ketersediaan sarana transportasi serta iklim
sosial dan politik di lokasi tersebut.
II.1 Pertimbangan Ekonomi
Pertimbangan lokasi kegiatan pertanian berdasarkan pengaruh faktor ekonomi dikemukakan
oleh Von Thunen. Menurut Von Thunen, produk pertanian yang tahan simpan hendaknya
diusahakan pada lokasi yang lebih jauh dari pasar sedangkan produk yang harus dikonsumsi
segar dihasilkan pada lokasi yang lebih dekat dengan perkotaan (Mather, 1986).
Selain itu, untuk menghasilkan secara ekonomis kegiatan pertanian harus memperhatikan
syarat tumbuh tanaman, yang sangat terkait dengan kondisi fisik lahan (Adiwilaga, 1985).
Kondisi fisik lahan terkait dengan struktur internal (drainase dan hara tanah) dan kondisi
lingkungan (iklim dan geografis). Tanah yang subur mempunyai sifat fisik yang baik, cukup
hara dan air serta tidak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tanaman (Adiwilaga,1985).
Sedangkan sub faktor yang dapat menjadi indikator untuk menentukan pemanfaatan lahan
untuk kegiatan pertanian adalah topografi, kemiringan lereng, kondisi lapisan tanah,
kemampuan lahan yang berkaitan dengan kondisi struktur tanah, pola iklim yang berkaitan
dengan curah hujan, kondisi geologi, ketersediaan sumber daya air dan kerentanan terhadap
bencana (Sugiharto, 2001).
Penyesuaian lokasi pengembangan pertanian dengan cuaca dan iklim dikarenakan sebagian
besar kegiatan pertanian dilakukan di lahan terbuka. Jumlah dan distribusi curah hujan
sepanjang tahun serta suhu dan temperatur menentukan jenis tanaman yang dapat ditanam di
suatu tempat secara ekonomis. Temperatur di Indonesia terkait dengan ketinggian di atas
permukaan laut (Mather, 1986).
Akan tetapi permasalahan iklim yang tidak sesuai sebenarnya bisa diatasi dengan teknologi
(Mather, 1986). Pada saat ini banyak diciptakan varietas baru yang bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi iklim yang ada. Iklim buatan juga dapat diterapkan, misalnya dengan rumah
kaca. Namun kendalanya, iklim dan tanah buatan biayanya lebih mahal. Kegiatan pertanian
lebih baik dilakukan pada lahan yang sesuai kondisi fisiknya dengan kebutuhan tanaman,
walaupun lokasinya jauh. Namun di sisi lain, kondisi ini harus didukung oleh keberadaan
sarana transportasi.
Kondisi lahan juga membatasi kegiatan pertanian yang dapat dilakukan (Adiwilaga, 1985).
Persawahan tidak dapat dibuat pada tanah yang terdiri dari batu kapur yang mudah larut,
karena penjenuhan air dapat membuat tanah amblas. Pada tanah yang bersifat mengembang,
juga tidak dapat dijenuhi air karena dapat terjadi longsor, walaupun dibuat teras. Tanah
seperti ini hanya dapat ditanami tanaman berumur panjang, termasuk rumput yang berumur
panjang (perennial).
II.2 Pertimbangan Fisik dan Lingkungan
Pemanfaatan lahan harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab
serta sesuai dengan kemampuan daya dukungnya (Sugandhy, 1999). Hal tersebut dikarenakan
meningkatnya kebutuhan lahan dan langkanya lahan-lahan pertanian yang subur dan
potensial serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor (Tim Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, 1993). Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya
akan menyebabkan kerusakan lahan dan lingkungan. Bahayanya lagi, dampak lingkungan
pemanfaatan lahan cenderung bersifat kumulatif dan saling mendukung.
Dampak dari
adanya kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan lahan yang tidak tepat terasa lebih besar
pada saat ini, karena penduduk yang tumbuh pesat memerlukan lahan yang lebih luas untuk
beranekaragam kebutuhannya (Mather, 1986).
Tingkat kerusakan lahan berbeda-beda, tergantung tipe, intensitas dan manajemen lahan.
Beberapa bentuk pemanfaatan lahan dapat merusak ekosistem, misalnya penanaman dengan
jenis tanaman yang sangat rakus hara.
Pembukaan hutan untuk pertanian mempunyai
dampak yang sangat signifikan terhadap lingkungan. Deforestasi mengubah reflektifitas
permukaan bumi dan mengganggu keseimbangan CO2 dan iklim.
Pada skala lokal,
perubahan kondisi tutupan lahan mengubah hidrologi dan tingkat erosi tanah serta dapat
menimbulkan banjir dan sedimentasi. Kejadian ini banyak terjadi di dunia ketiga dan banyak
menarik perhatian dunia. Pembukaan hutan di negara berkembang biasanya terkait dengan
urbanisasi dan khususnya di Eropa dan Amerika, pembukaan hutan terkait dengan perubahan
pola pengelolaan dan manajemen lahan (Mather, 1986).
Salah satu kerusakan lingkungan akibat kurang tepatnya pemanfaatan lahan adalah erosi
tanah. Erosi berarti pengikisan unsur hara tanah dan penurunan ketebalan solum tanah. Jenis
tanah, tingkat kelerengan, jenis tanaman, pola tanam, sistem mulsa dan metode pengolahan
tanah mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap erosi. Tingkat erosi tanah pada hutan
produksi tergantung pada manajemen dan teknik yang digunakan. Sistem rotasi dengan
kacang-kacangan dapat menurunkan tingkat erosi dibandingkan penanaman secara kontinu.
Satu hal yang penting diketahui adalah, penggunaan pupuk tidak bisa menggantikan
kesuburan tanah yang hilang akibat erosi (Mather, 1986).
Mengingat dampaknya, penggunaan lahan yang cocok dan pengelolaan tanah yang tepat juga
merupakan langkah pertama dan utama dalam program konservasi tanah di daerah pertanian.
Maksudnya, hanya lahan yang cocok untuk pertanian saja yang dijadikan pertanian. Oleh
sebab itu suatu survey klasifikasi kesesuaian lahan akan menjadi dasar setiap keputusan yang
menyangkut lahan untuk pertanian (mungkin lahan yang sedang digunakan untuk pertanian
harus ditinggalkan atau lahan yang sedang digunakan untuk tujuan lain harus menjadi daerah
pertanian) dan teknik konservasi tanah yang harus diterapkan pada seluruh areal yang
digunakan untuk pertanian (Sinukaban, 1989).
III.
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh sifat
lingkungan fisik dan persyaratan penggunaan tertentu. Kecocokan antara sifat lingkungan
fisik suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas memberikan gambaran
atau informasi bahwa lahan tersebut potensial untuk dikembangkan bagi tujuan tersebut.
Maksudnya, lahan tersebut akan mampu memberikan hasil yang sesuai dengan yang
diharapkan dengan tetap mempertimbangkan masukan (input) yang diperlukan (Tim Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993).
Untuk menilai kemampuan lahan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah evaluasi lahan.
Evaluasi sumber daya lahan adalah proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk
berbagai penggunaannya dengan membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk
penggunaan lahan tertentu dengan sifat lahan (Djaenuddin, et al., 1997). Terdapat dua cara
dalam mengevaluasi lahan, yaitu secara langsung, dengan percobaan-percobaan, dan secara
tidak langsung. Evaluasi lahan secara tidak langsung meliputi penentuan karakteristik lahan
(keadaan tanah, topografi, iklim dan sifat-sifat lain yang terkait dengan ekologi) dan
penentuan kualitas lahan (yang terdiri dari kesesuaian, kemampuan dan nilai lahan). Setiap
kualitas lahan terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan. Adapun karakteristik lahan
adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, seperti lereng, curah hujan, tekstur
tanah, kapasitas air tersedia dan kedalaman efektif. Setelah diketahui karakteristik dan
kualitas lahan, penggunaan lahan yang optimum dapat ditentukan (Djaenuddin et al, 1997).
Tabel I.1. Kualitas Dan Karakteristik Lahan Yang Digunakan Dalam Kriteria Evaluasi
Lahan menurut Atlas Format Procedures
Simbol
Kualitas Lahan
Tc
Temperatur
Wa
Ketersediaan air
Oa
Rc
Ketersediaan oksigen
Media perakaran
Nr
Retensi hara
Xc
Toksisitas
Xn
Xs
Eh
Sodositas
Bahaya sulfidik
Bahaya erosi
Fh
Lp
Bahaya banjir
Penyiapan lahan
Karakteristik Lahan
Temperatur rerata (oC) atau elevasi (m)
1. Curah hujan (mm)
2. Lamanya masa kering (bulan)
3. Kelembaban udara (%)
Drainase
1. Drainase
2. Tekstur
3. Bahan kasar (%)
4. Kedalaman tanah
5. Ketebalan gambut
6. Kematangan gambut
1. KTK liat (cmol)
2. Kejenuhan basa (%)
3. pH H2O
4. C-organik (%)
1. Aluminium
2. Salinitas/DHL (dS/m)
Alkalinitas (%)
Pyrit (bahan sulfidik)
1. Lereng (%)
2. Bahaya erosi
Genangan
1. Batuan di permukaan (%)
2. Singkapan batuan (%)
Sumber : Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993
Kualitas dan karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi tanaman dikeluarkan
oleh CSR/FAO pada tahun 1983 (Atlas Format Procedures), yang disajikan pada Tabel I.1.
Kualitas dan karakteristik lahan tersebut dapat dikurangi atau ditambah sesuai dengan kondisi
lahan di daerah yang dievaluasi. Kualitas dan karakteristik lahan pada tingkat tinjau (skala 1
: 250.000) terdiri atas 9 parameter umum dan 21 sub parameter, pada tingkat semi detil (skala
1 : 25.000 - 1 : 50.000) terdiri dari 13 parameter umum dan 27 sub parameter, sedangkan
pada tingkat detil (skala 1 : 10.000 – 1 : 25.000) terdiri dari 13 parameter umum dan 30 sub
parameter. Hasil akhir evaluasi lahan pada tingkat tinjau dinyatakan dalam ordo, tingkat semi
detil dalam kelas/subkelas dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit (Tim
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)
Adapun klasifikasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari evaluasi sumber daya lahan.
Klasifikasi kemampuan lahan tidak memberi petunjuk tentang kesuburan tanah, namun
berdasarkan pengkelasan tersebut dapat dibuat rencana penggunaan tanah yang disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing bidang tanah. Perencanaan pemanfaatan lahan akan lebih
mudah dilakukan jika lahan diklasifikasikan berdasarkan tingkat kebisaan dikelolanya
(Mather, 1986).
Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land
capability). Kesesuaian lahan adalah kesesuaian sebidang lahan untuk tujuan penggunaan
atau komoditas spesifik. Adapun kemampuan lahan lebih menekankan pada kapasitas
berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Semakin
banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan berarti kemampuan lahan tersebut semakin
tinggi (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993).
Pada analisis kesesuaian lahan juga dikenal istilah tipe penggunaan lahan (Djaenuddin et al.,
1997). Tipe penggunaan lahan mengacu pada penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya di
bawah kategori penggunaan lahan secara umum, karena berkaitan dengan aspek masukan,
teknologi dan keluarannya. Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibagi
menjadi multiple dan compound. Tipe penggunaan multiple terdiri dari lebih satu jenis
komoditas pada sebidang lahan pada suatu waktu tertentu secara serentak. Sedangkan pada
tipe compound, perbedaan jenis terjadi pada suatu urutan waktu atau secara serentak pada
areal yang berbeda pada sebidang lahan (per blok).
Kesesuaian lahan sendiri dibedakan menjadi kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan
kuantitatif (FAO, 1976). Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual
maupun potensial. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian pada saat ini berdasarkan datadata kualitas lahan. Sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang telah
mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas. Dalam hal ini perbaikan hanya
dilakukan pada faktor pembatas yang dapat diperbaiki dan tidak bersifat bersifat permanen
serta secara ekonomis masih menguntungkan dengan masukan teknologi yang tepat
(Djaenuddin et al., 1997).
Dalam pengklasifikasian lahan dibutuhkan data-data fisik dan pemanfaatan lahan. Data yang
diperlukan antara lain data iklim, tanah, terrain dan fisik lingkungan lainnya, persyaratan
penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman. Akan tetapi walaupun kriteria
kesesuaian lahan telah disusun dengan menggunakan banyak data kuantitatif, namun data
yang tersedia di setiap daerah tidak sama. Oleh karena itu evaluasi penggunaaan lahan dapat
disesuaikan dengan data yang ada dan hasilnya dapat berubah seandainya data tersebut telah
dilengkapi (Djaenuddin et al., 1997).
Data pemanfaatan lahan dikumpulkan melalui survey dan terdapat beberapa metode survey
dan pengkelasan lahan. Cara tradisional membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan
banyak tenaga, mahal, dan sulit mengorganisirnya. Cara-cara modern antara lain FLUS (First
Land Utilisation Survey), SLUS (Second Land Utilisation Survey), WLUS (World Land
Utilisation Survey), USGS (United States Geological Survey) dan NLUC (National Land Use
Classification). Dewasa ini pemanfaatan lahan dapat diketahui dari foto udara dan remote
sensing (Mather, 1986).
Selain itu akurasi data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pemetaan sumberdaya
lahan sangat ditentukan oleh tingkat pemetaan dan skala peta yang digunakan. Semakin detail
tingkat pemetaan, data yang diperoleh akan semakin rinci dan akurat. Evaluasi lahan pada
tanah detail (skala peta 1:10.000) akan menghasilkan informasi kesesuaian lahan yang dapat
diterapkan untuk kebutuhan operasional di lapangan, sedangkan evaluasi lahan pada peta
tanah tinjau (skala peta 1:250.000) ditujukan untuk arahan atau sebagai informasi awal
(Djaenuddin et al, 1997) dan umumnya digunakan untuk tujuan perencanaan regional /skala
makro (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993).
Beberapa data karakteristik tanah/lahan yang diperlukan untuk evaluasi lahan dijelaskan di
bawah ini (Djaenuddin et al., 2003).
A. Temperatur Udara
Data temperatur biasanya diperoleh dari stasiun iklim. Akan tetapi jika data tersebut tidak
ada, maka temperatur udara dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dari atas
permukaan laut. Pendugaan dilakukan dengan menggunakan rumus Braak, yaitu : 26,3oC –
(0.01 x elevasi dalam meter x 0,6oC). Sedangkan untuk menduga suhu tanah, maka suhu
udara ditambah sekitar 3,5 oC (menurut Braak dalam Djaenuddin et al., 2003) atau 2,5 cm
(menurut Wambeke et al. dalam Djaenuddin et al., 2003).
B. Drainase Tanah
Drainase tanah dibedakan menjadi 7 kelas, sebagai berikut :
1. Cepat (excessively drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai
sangat tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman
tanpa irigasi.
2. Agak cepat (somewhat excessively drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik
tinggi dan daya menahan air rendah.
3. Baik (well drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan
air sedang, lembab, tapi tidak cukup basah dekat permukaan.
4. Agak baik (moderately well drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang
sampai agak rendah dan daya menahan air rendah, tanah basah dekat ke permukaan.
5. Agak terhambat (somewhat poorly drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik
agak rendah dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah sampai ke
permukaan.
6. Terhambat (poorly drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan daya
menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang cukup lama
sampai ke permukaan.
7. Sangat terhambat (very poorly drained) : tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sangat
rendah dan daya menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang
untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan.
C. Tekstur Tanah
Tekstur merupakan gabungan komposisi fraksi tanah halus (diameter < 2mm), yaitu pasir,
debu dan liat. Pengelompokan kelas tekstur sebagai berikut :
o Halus (h)
: liat berpasir, liat, liat berdebu
o Agak halus (ah)
: lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu
o Sedang (s)
: lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu
o Agak kasar (ak)
: lempung berpasir
o Kasar (k)
: pasir, pasir berlempung
o Sangat halus (sh) : liat
D. Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah dibedakan menjadi (1) sangat dangkal (< 20 cm), (2) dangkal (20 – 50 cm),
(3) sedang (50 – 75 cm) dan (4) dalam
(> 75 cm)
E. Bahaya Erosi
Salah satu pendekatan untuk memprediksi tingkat bahaya erosi yang relatif lebih mudah
dilakukan adalah dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) per tahun
(Tabel II.2.).
Tabel I.2. Tingkat Bahaya Erosi
Tingkat Bahaya Erosi
Sangat ringan (sr)
Ringan (r)
Sedang (s)
Berat (b)
Sangat berat (sb)
Jumlah Tanah Permukaan Yang Hilang
(cm/tahun)
< 0.15
0.15 - 0.9
0.9 – 1.8
1.8 – 4.8
> 4.8
Sumber : Djaenuddin et al.,, 2003
F. Bahaya Banjir/Genangan
Bahaya banjir merupakan kombinasi pengaruh kedalaman banjir (x) dan lamanya banjir (y).
Kedalaman banjir (x) dikelompokkan menjadi : (1) < 25 cm, (2) 25-50 cm, (3) 50-150 cm dan
(4) > 150 cm. Lamanya banjir (y) dikelompokkan menjadi : (1) < 1 bulan, (2) 1-3 bulan, (3)
3-6 bulan, dan (4) > 6 bulan. Berdasarkan nilai x dan y, ditetapkan kelas bahaya banjir,
sebagai berikut :
Tabel I.3. Kelas Bahaya Banjir
Simbol
Kelas Bahaya Banjir
F0
Tanpa
F1
Ringan
F2
Sedang
F3
Agak Berat
F4
Berat
Sumber : Djaenuddin et al.,, 2003
Kelas Bahaya Banjir Berdasarkan Kombinasi X - Y
F11, F21, F31
F12, F22, F32, F41
F13, F23, F33
F14, F24, F34, F42, F43, F44
Terutama terkait dengan kekurangan data yang dimiliki, sebelum melaksanakan evaluasi
lahan perlu diadakan asumsi-asumsi dengan memperhatikan kondisi lokal, masukan yang
diperlukan dan yang telah diterapkan, serta keluaran yang ingin dicapai. Asumsi meliputi
pada kondisi dan tingkat manajemen bagaimana (rendah, sedang atau tinggi) suatu evaluasi
lahan dilakukan. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tujuan perencanaan perkebunan besar
dengan masukan teknologi tinggi tentu berbeda asumsinya dengan pertanian petani
sederhana. Asumsi dibedakan menjadi dua hal, yaitu yang menyangkut areal proyek dan yang
menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi serta waktu berlakunya hasil evaluasi lahan
(Djaenuddin et al., 1997).
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan analisis kesesuaian lahan. Dalam analisis kesesuaian
lahan, terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan dua tahap dan
pendekatan paralel. Pada pendekatan dua tahap, kegiatan yang dilakukan pada tahap pertama
adalah kegiatan survey dan klasifikasi kualitas lahan, sedangkan tahap kedua adalah analisis
ekonomi dan sosial, sampai akhirnya ditetapkan keputusan perencanaan. Pada pendekatan
paralel, semua kegiatan dilakukan secara serentak sehingga waktu yang dibutuhkan lebih
singkat (Djaenuddin et al., 1997). Fasilitas yang berkaitan dengan aspek ekonomi merupakan
penentu kesesuaian lahan secara ekonomi.
Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
bagaimanapun potensialnya secara fisik suatu wilayah, tanpa ditunjang oleh sarana ekonomi
yang memadai, tidak akan banyak memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah
tersebut (Rossiter, 1995 dalam Djaenuddin et al. (2003).
Selain itu perlu ditentukan cara klasifikasi lahan yang akan dilakukan. Beberapa cara dapat
digunakan dalam klasifikasi lahan (Mather, 1986). Beberapa diantaranya adalah :
1. Metode USDA
Metode ini disusun oleh US Department of Agriculture untuk konservasi tanah. Metode
ini didasarkan pada konsep limitasi penggunaan lahan berdasarkan karakteristiknya, yang
tidak mudah atau mahal untuk menghilangkannya.
Pada kelas I tidak ada limitasi
sedangkan pada kelas VIII sangat banyak terdapat limitasi. Kemampuan lahan dinilai dari
tingkat kebasahan, iklim, faktor tanah, misalnya kadar batuan dan bahaya erosi. Salah
satu aplikasi utamanya adalah dalam penentuan kebijakan untuk pengawetan tanah.
2. Canada Land Inventory
Terdapat lima penilaian kemampuan lahan, yaitu pertanian, kehutanan, rekreasi, wildlife
(ungulates) dan wildlife (waterfowl) yang terdapat dalam tujuh kelas.
Beberapa sistem evaluasi lahan juga pernah digunakan dan dikembangkan di Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat Bogor (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993). Sistem
tersebut sebagai berikut :
1. Klasifikasi kemampuan wilayah menurut M. Soepraptohardjo, 1970.
2. Sistem pendugaan Kesesuaian Tanah secara parametrik menurut P.M. Driessen, 1971.
3. Sistem yang digunakan oleh Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi atau
P3MT menurut Puslittan, 1983.
4. Sistem yang digunakan dalam Reconnaissance land resources Surveys 1:250.000 scale
Atlas Format Procedures menurut CSR/FAO, 1983.
5. Land Evaluation Computer System atau LECS menurut Wood, S.R dan F.J. Dent, 1983.
Sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang diadaptasikan secara luas, termasuk di daerah
transmigrasi adalah sistem yang dikenalkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor pada tahun
1983 (Sinukaban, 1989).
Metoda yang digunakan dalam sistem ini adalah perkalian
parameter, penjumlahan dan sistem matching atau membandingkan kecocokan antara kualitas
dan sifat-sifat lahan dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan
persyaratan tumbuh tanaman. Pada cara yang terakhir, kelas lahan ditentukan oleh nilai
terkecil atau parameter yang merupakan pembatas terberat atau paling sulit diatasi
dibandingkan faktor-faktor pembatas lainnya (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
1993).
Adapun dalam sistem klasifikasi kesesuaian lahannya sendiri, tanah diklasifikasikan ke dalam
tiga kategori, yaitu (1) ordo, yang mencerminkan jenis kesesuaiannya,
(2) kelas, yang
mencerminkan tingkat kesesuaian dalam ordo dan (3) subkelas, yang mencerminkan faktor
pembatas dalam kelas. Ordo dikatakan “sesuai (S)” jika penggunaan lahan yang
dipertimbangkan pada lahan ini dapat dilakukan secara lestari. Dengan penggunaan tersebut
lahan ini akan memberikan keuntungan yang wajar dibandingkan dengan input yang
diberikan dan tidak mengandung resiko yang tidak dapat diterima sehubungan dengan
kerusakan sumber daya lahan. Tanah dikategorikan dalam ordo “tidak sesuai (N)” jika lahan
mempunyai kualitas yang tidak memungkinkan penggunaannya secara lestari untuk
penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Sinukaban, 1989).
Terdapat tiga kelas kesesuaian lahan dalam ordo S, yaitu Kelas S1 (Sesuai), S2 (Agak Sesuai)
dan S3 (Sesuai Marjinal), namun ordo N tidak mempunyai kelas kesesuaian lahan. Lahan
yang termasuk kelas S1 tidak mempunyai faktor penghambat yang nyata dan dapat
digunakan secara lestari untuk penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan atau lahan
yang hanya
mempunyai faktor pembatas ringan sehingga tidak akan menurunkan
produktivitas atau keuntungan nyata dan tidak akan meningkatkan input di atas tingkat yang
dapat diterima. Lahan yang termasuk kelas S2 mempunyai faktor pembatas yang agak
berat bagi penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan agar dapat dipakai secara lestari.
Faktor pembatas akan menurunkan produktivitas dan keuntungan serta meningkatkan biaya
input. Walaupun keseluruhan keuntungan masih cukup menarik, namun masih jauh di bawah
keuntungan yang diharapkan dari lahan S1. Lahan kelas S3 mempunyai faktor pembatas
yang berat bagi penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan agar dapat dipakai secara
lestari. Produktivitas dan keuntungan akan berkurang atau biaya input meningkat sehingga
keseluruhan pengeluaran hanya memberikan keuntungan yang marjinal. Pada ordo N lahan
mempunyai faktor pembatas yang begitu berat sehingga penggunaan tanah yang sedang
dipertimbangkan tidak memungkinkan akan memberikan keuntungan (Sinukaban, 1989).
Akan tetapi kelas kesesuaian lahan bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya, tergantung
faktor pembatasnya. Kendala yang berkaitan dengan aspek kesuburan tanah bukanlah suatu
penentu utama karena dengan teknologi dan atau input lainnya yang tepat, hal tersebut dapat
diatasi. Lain halnya dengan sifat kimia yang merupakan faktor pembatas sangat sulit diatasi,
seperti adanya bahan sulfidik atau pyrit (FeS2), dan atau sifat fisik dan morfologi tanah yang
buruk, terutama tanah yang sangat dangkal atau mengandung bahan kasar (kerikil, batu).
Pada kelas S2, pembatas biasanya bisa diatasi sendiri oleh petani. Sedangkan untuk
mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal yang besar sehingga memerlukan
bantuan pemerintah atau pihak swasta (Djaenuddin et al., 1997).
Tabel I.4. Padanan Kesesuaian Lahan
No
1.
Karet
Tanaman Indikator
2.
Mangga harum manis, simanalagi, madu
3.
Padanan Kesesuaian
Kelapa sawit, kopi robusta, kakao, cengkeh,
rambutan, jeruk, manggis, alpokat, duku, langsat,
pisang dan durian
Jambu mete, kapuk, kapas, lontar dan jeruk
(tergantung spesiesnya)
Bunga-bungaan, teh dan kina (ditambah persyaratan
kedalaman solum tanah > 60 cm)
Sayuran dan umbi-umbian dataran tinggi
(kubis, sawi, bawang daun, wotel,
kentang, biet, asparagus)
Sumber : Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993
Informasi mengenai potensi lahan sangat mendesak dan diperlukan oleh setiap propinsi untuk
pengembangan dan pemilihan komoditas pertanian unggulan. Sementara permasalahan yang
sering dihadapi adalah data kualitas/karakteristik lahan yang belum lengkap di seluruh
Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pendekatan padanan kesesuaian lahan
digunakan secara praktis. Jika tanaman indikator bisa tumbuh dan berproduksi baik, maka
tanaman lain yang mempunyai persyaratan tumbuh relatif sama akan mampu tumbuh dan
berproduksi, walaupun sistem produksinya berbeda (Tim Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, 1993). Beberapa padanan kesesuaian lahan ditampilkan pada Tabel I.4.
a.
Kegiatan Pertanian Dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Dalam pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian, selain didasarkan pada konteks
perwilayahan, pertimbangan fisik dan ekonomi, yang dilakukan melalui analisis kesesuaian
lahan secara fisik dan ekonomi, pertimbangan sosial ekonomi masyarakat juga penting untuk
diperhatikan, karena masyarakatlah yang paling menentukan pola pemanfaatan lahan.
Pemaparan di bawah ini akan menjelaskan beberapa hal tentang sosial ekonomi masyarakat
yang terkait dengan kegiatan pertanian.
Krisis ekonomi telah membuktikan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang handal dan
mempunyai potensi besar untuk berperan dalam memicu pemulihan ekonomi nasional dan
peredam gejolak ekonomi (Dillon (1999). Pada saat sektor-sektor lain menurun, sektor
pertanian tetap tumbuh (0,26 %).
Selain itu surplus perdagangan luar negeri sektor
agroindustri dan non migas juga meningkat pada saat krisis. Hal ini karena sektor pertanian
cukup besar menggunakan input non-tradable, yaitu tenaga kerja dan lahan. Krisis ekonomi
mengungkapkan bahwa sektor pertanian mempunyai empat fungsi yang fundamental bagi
pembangunan suatu bangsa, yaitu (1) mencukupi pangan dalam negeri, (2) penyedia lapangan
kerja dan berusaha, (3) penyedia bahan baku industri, dan (4) penghasil devisa negara.
Akan tetapi bagi penduduk di negara-negara berkembang, pertanian juga terkait dengan
kemiskinan. Menurut Dillon (1999), karakteristik kemiskinan di Asia Tenggara dan Selatan
adalah : (1) lebih banyak ditemukan di pedesaan daripada di perkotaan, (2) penghasilan
utamanya adalah pertanian, (3) berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga dan
berkorelasi negatif dengan jumlah pekerja dalam suatu keluarga, (4) ditandai dengan
rendahnya pemilikan aset keluarga, dan (5) berkaitan dengan masalah sosial budaya yang
dinamis. Selain itu Irawan dan Suparmoko (1988) juga menyatakan bahwa produsen barangbarang primer dan keterbelakangan ekonomi merupakan salah satu ciri ekonomi negaranegara berkembang, selain ciri-ciri tekanan penduduk, belum banyak diolahnya sumbersumber alam, serta kekurangan kapital dan orientasi perdagangan ke luar negeri .
Pokok pangkal dari kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah. Tingkat pendapatan
mempengaruhi tingkat pendidikan dan kesehatan yang akan menghasilkan suatu tingkat
produktivitas sumberdaya manusia. Sementara penggerak utama kemajuan suatu negara
adalah manusianya. Jika manusianya baik, alasan-alasan lain masih dapat diatasi (Kunarjo,
1996). Sementara kualitas tenaga kerja yang rendah merupakan penghalang bagi
pembangunan ekonomi suatu negara (Irawan dan Suparmoko, 1988). Produktivitas sumber
daya manusia yang rendah ini juga merupakan salah satu permasalahan dalam pengembangan
sektor pertanian (Dillon, 1999).
Selain itu penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber alam dipengaruhi oleh keadaankeadaan dalam masyarakat. Dalam bidang pertanian, penggunaan tanah harus dilakukan
dengan sedemikian rupa sehingga kesuburannya terpelihara dan dapat mengimbangi
perkembangan penduduk. Dalam masyarakat pra-industri di negara-negara berkembang,
manusia belum berfikir untuk menggunakan atau mengeksploitasi sumber-sumber alam yang
ada. Kondisi yang terjadi adalah kelebihan penduduk dan produksi pertanian semakin
berkurang dan sangat tergantung pada sektor agraria. Selain itu kepercayaan yang ada dalam
masyarakat juga menghambat konsumsi tertentu (Irawan dan Suparmoko, 1988).
Terkait dengan sosial ekonomi masyarakat dalam kegiatan pertanian, perlu dikembangkan
paradigma baru dalam kegiatan pertanian yang berorientasi pada pengembangan agribisnis.
Salah satu kegiatan yang terkait dengan pendekatan tersebut adalah pengembangan
komoditas pertanian tertentu dalam skala besar sesuai dengan kebutuhan dan selera
konsumen (Adriani, 2004). Sementara sumberdaya manusia (SDM pertanian) adalah unsur
utama dalam pembangunan pertanian yang berkebudayaan industri. Untuk itu diperlukan
program-program pelatihan yang dititikberatkan kepada usaha peningkatan motivasi, gairah
kerja dan keinginan untuk mencapai hasil yang memuaskan (Rachmaniah, 2002).
Keterbatasan pengalaman membuat petani cenderung lebih membutuhkan teknologi yang
tidak sama sekali baru, melainkan dari pengembangan teknologi yang telah ada. Transfer
teknologi untuk menunjang produktivitas kegiatan pertanian sering menemui beberapa
kendala.
Masalah yang terjadi pada saat ini adalah lemahnya koordinasi antar agen
pembangunan dan rendahnya pemahaman para agen pembangunan tentang budaya dan
lingkungan petani. Semuanya itu terkait dengan masalah efektivitas komunikasi, pertukaran
informasi dan gagasan untuk saling mengerti. Oleh karena itu dalam alih teknologi perlu
mempertimbangkan budaya masyarakat setempat. Budaya mengacu pada pola sikap mental
dan fisik menurut sistem nilai kepercayaan yang dianut bersama oleh suatu kelompok
manusia. Jadi budaya dalam hal ini dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai
(Uhi, 2002).
Pengembangan beberapa teknologi yang sebenarnya dianggap baik oleh petani pada
kenyataannya dapat terhambat karena teknologi tersebut dialihkan melalui cara yang kurang
sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Para agen pembangunan cenderung menawarkan
teknologi baru sebagai "pengganti” teknologi yang telah ada. Hal ini menyebabkan terjadinya
keengganan masyarakat untuk menggunakan teknologi baru karena merasa direndahkan
(Koentjaraningrat dan Ajamiseba, 1994 dalam Uhi, 2002). Sulit bagi petani memahami
pesan-pesan para agen pembangunan tentang hal yang tidak ada dalam bingkai acuan mereka.
Masalah itu akan lebih berat apabila agen pembangunan menggunakan bahasa atau lambang
yang sulit mereka mengerti.
Demonstrasi merupakan cara alih teknologi yang baik bagi petani dengan latar belakang
pengetahuan yang terbatas. Pesan melalui berbagai media (foto, slide, video) oleh petani,
pemuka adat, pemuka agama selayaknya tidak hanya menunjukan cara menetapkan teknologi
yang sedang dialihkan, tetapi juga memotivasi, memberi alasan kepada petani untuk
menerapkan teknologi yang akan dikembangkan. Pesan selayaknya, dengan cara yang dapat
diterima dan dimengerti petani, juga menunjukkan indikasi kesejahteraan petani di tempat
yang lain yang sudah menerapkan teknologi tersebut. Dalam proses alih teknologi, para agen
pembangunan selayaknya memandang petani sebagai mitra, sebagai sesama subyek
pembangunan. Sekalipun biasanya selalu diabaikan di masa lalu, pengetahuan, keterampilan
dan keinovatifan petani sesungguhnya dapat sangat berguna (Chambers et al., 1989 dalam
Uhi, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
1. Adiwilaga, A. (1985), Ilmu Usaha Tani, Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran,
Bandung.
2. Adriani, R.D. (2004), Terminal Agribisnis, Perlukah Di Kawasan Transmigrasi ?,
www.nakertrans.go.id. Diakses tanggal 7 Juni 2005.
3. Bappeda Kabupaten Bandung. (2001), Rencana Tata Ruang Kabupaten Bandung 2001,
Bappeda Kabupaten Bandung, Soreang.
4. Dillon, H.S. (1999), Pertanian Membangun Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
5. Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. (2000), Laporan Tahun 2000, Pemerintah
Kabupaten Bandung, Dinas Pertanian. Soreang.
6. Djaenuddin D., et al. (1997), Buku Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk
Komoditas Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
7. Djaenuddin D., et al. (2003), Petunjuk Teknis Evaluasi lahan Untuk Komoditas
Pertanian, Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
8. FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division, FAO Soil Buletin No. 32,
FAO-UNO, Rome.
9. Irawan dan Suparmoko, (1988), Ekonomi Pembangunan. Liberty, Yogyakarta.
10. Kunarjo. (1996), Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, UI Press, Jakarta.
11. Mather, A.S. (1986), Land Use. Longman. London and New York.
12. Mubyarto. (1994), Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta.
13. Nugroho, I. dan Dahuri, R. (2004), Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial
dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta.
14. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (1993), Laporan Hasil Penelitian Tahun
Anggaran 1992/1993, Penelitian Optimalisasi Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai
(DAS), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
15. Rachmaniah, M. et al. (2002), Menjadikan Pertanian Sebagai Primadona di Negeri
Sendiri, www.rudyct.tripod.go.id . Diakses tanggal 7 Juni 2005.
16. Riyadi, D.S. (2002), Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar, Prosiding
Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah, Jakarta, Ambardi, U.M dan Prihawantoro,
S., Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Deputi Pengkajian
Kebijakan Teknologi, Badan Pengkajian da Penerapan Teknologi, 48-65.
17. Sinukaban, N. (1989), Manual Inti tentang Konservasi Tanah dan Air di Daerah
Transmigrasi, PT. Indeco Duta Utama, Jakarta.
18. Siregar, R. (2005), Arahkan Agroindustri dalam Otonomi Daerah di Kabupaten
Simalungun, Sinar Indonesia Baru, 29 April. Diakses tanggal 7 Juni 2005.
19. Sitorus, S.H.P. (1995), Evaluasi Sumberdaya Lahan, Tarsito, Bandung.
20. Sugandhy, A. (1999), Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Gramedia, Jakarta
21. Sugiharto, B. (2001), Arahan Pemanfaatan Lahan Untuk Kegiatan Permukiman
Berdasarkan Analisis Kesesuaian Lahan dan Penilaian Kualitas SUB DAS. Tesis
Program Magister, Institut Teknologi Bandung.
22. Tarigan, R. (2004), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta.
23. Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (1993), Petunjuk Teknik Evaluasi Lahan,
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan Proyek Pembangunan
Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, Bogor.
24. Uhi, H.T. (2002), Analisis Alih Teknologi Pertanian Masyarakat Asli di Kabupaten
Sorong, www.rudyct.tripod.go.id. Diakses tanggal 27 Juni 2005.