SPEKTRUM
2021 – ENAM
PER—
SPEKTIF SENI
RUPA KON—
TEMPORER
INDONESIA
SPEKTRUM
2021
ENAM PERSPEKTIF SENI RUPA
KONTEMPORER INDONESIA
Spektrum 2021 – Enam Perspektif Seni Rupa Kontemporer
Indonesia
© 2021 oleh Asep Topan, Gesyada Siregar, Grace Samboh,
Hendro Wiyanto, Sally Texania, Wulan Dirgantoro
DITERBITKAN OLEH
Dewan Kesenian Jakar ta bekerja sama dengan Jakar ta Biennale
KO M I T E S E N I R U PA D E WA N K E S E N I A N J A K A R TA 2020 -202 3
Aidil Usman, Danton Sihombing, Harr y Pur wanto,
Cecil Mariani, Farah Wardani
KOORDINATOR PENERBITAN
Ari Prameswari, Raf ika Lif i, Ana Rosdianahangka, Cempaka
Per tiwi
MANAJER KOMUNIK ASI
Indah Ariani
PENYUNTING
Farah Wardani, Ninus Andarnuswari
PERANCANG BUKU
Patricia Adele, Zulf ikar Arief
DAFTAR ISI
01
Seni Rupa
Kontemporer
di Dekade Ketiga
Milenium
vii
Pengantar Ketua Umum Dewan
Kesenian Jakarta
Danton Sihombing
02
Praktik Seni Rupa
Kini dan ESOK
dalam Enam Sudut
Pandang
x
Pengantar Editorial
Farah Wardani
v
03
Sesudah Keriuhan
Posmo
02
Hendro Wiyanto
04
Dimensi Kelembagaan
dalam Seni Rupa Kita:
Pembacaan terhadap
Jakarta Biennale dan
Museum MACAN
50
Asep Topan
05
Seni Rupa Kita:
Berpihak kepada Siapa?
Berguna untuk Siapa?
Grace Samboh
vi
78
06
Kolektif dan Para
Pegiatnya dalam
Seni Rupa Kontemporer
Generasi Baru
Pembacaan Sejak 2015
103
Gesyada Siregar
07
Mengolah Temuan :
Seni Berbasis Arsip
142
Sally Texania
08
176
Sesudah 1965: Kekerasan
Sejarah dan Batas- batas
Represent asi dalam Seni
Rupa Kontemporer
Indonesia
Wulan Dirgantoro
vii
viii
03
Asep Topan
Dimensi
Kelembagaan dalam
Seni Rupa Kita:
Pembacaan terhadap
Jakarta Biennale
dan Museum MACAN
Di medan seni rupa Indonesia, ada dua
anggapan seputar persoalan kelembagaan yang
selama ini kerap didiskusikan oleh para
praktisi seni rupa tanah air.
Pertama, pandangan tentang kurangnya lembaga seni, yang
menganggap terbatasnya lembaga seni rupa seperti museum
sebagai hambatan bagi para praktisi seni rupa. Pandangan ini
berdasar pada imaji tatanan ideal sebuah medan seni yang
berkaca pada praktik di negara maju, terutama yang memiliki
riwayat warisan kelembagaan museum yang panjang. Kedua,
persoalan keberlangsungan lembaga dan sumber daya
manusia yang masih menjadi tantangan besar, terlepas usia
lembaga dan pengalaman penyelenggaraan sebuah pameran
berkala atau ruang kesenian.
Dengan mempertimbangkan dua hal di atas, tulisan ini
mencoba membahas dua studi kasus, yaitu Jakarta Biennale,
51
“Fenomena semacam
ini mencerminkan
intensitas produksi
budaya lokal di
Indonesia saat itu,
yang sebagian didorong
oleh urgensi untuk
mengekspresikan
gerakan tandingan yang
telah lama ditekan
selama masa Orde
Baru.”
-Asep Topan
52
pameran seni rupa kontemporer berskala besar dan
dilaksanakan secara dua tahunan di Jakarta; serta hadirnya
Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara
(selanjutnya disebut Museum MACAN) sejak 2017, museum seni
partikelir yang sejak awal pendiriannya telah menyelenggarakan
serangkaian pameran dan program publik dengan melibatkan
para perupa Indonesia maupun internasional.
Kedua contoh yang saya diskusikan dalam tulisan ini
memperlihatkan suatu kondisi yang terkait antara yang satu
dan yang lainnya. Dua studi kasus yang dijelaskan di sini
hadir tidak untuk dibandingkan atau dinyatakan bertolak
belakang: keduanya bekerja dengan karakteristiknya masingmasing. Penting juga untuk diketahui bahwa saya melakukan
pembacaan berdasarkan pengalaman empiris sebagai
praktisi yang pernah dan sedang bekerja untuk kedua
lembaga tersebut.
Jakarta Biennale
Dalam dua puluh tahun terakhir, pembahasan mengenai
kelembagaan dalam medan seni rupa Indonesia mulai
riuh dibicarakan saat muncul dan berkembangnya ruang
gagas perupa (artist-run initiative) atau disebut juga ruang
alternatif (alternative space) pada awal 2000-an. Ruangruang ini hadir mengisi “kekosongan” lembaga-lembaga
seni yang dirasa masih kurang secara kuantitas, dan
menjadi tempat bagi banyak sekali eksplorasi kegiatan
artistik, khususnya di kota-kota besar di Pulau Jawa, seiring
kehendak untuk berkelompok di antara para perupa semakin
meluas. Fenomena semacam ini mencerminkan intensitas
produksi budaya lokal di Indonesia saat itu, yang sebagian
53
didorong oleh urgensi untuk mengekspresikan gerakan
tandingan yang telah lama ditekan selama masa Orde Baru.
Kata berkonotasi progresif yang dipilih, seperti “alternatif”
dan “inisiatif”, dianggap menjadi kata kunci untuk melihat
masyarakat Indonesia setelah 1998.1 Sebelumnya, merunut
sedikit lebih jauh ke belakang, ruang seni semacam itu masih
terhitung sedikit, walau beberapa di antaranya sangat intens
menjadi pusat berkembangnya gagasan baru di bidang seni
kontemporer. Dalam hal ini, penting kiranya menyebut Rumah
Seni Cemeti di Yogyakarta sebagai salah satu contoh (saat ini
bernama Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat). Sejak
didirikan pada 1988 oleh pasangan perupa Mella Jaarsma
dan Nindityo Adipurnomo, Cemeti telah menjadi ruang
penting bagi presentasi dan diskursus seni kontemporer.
Selanjutnya, meskipun sebaran ruang gagas perupa masih
terpusat di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung,
dan Yogyakarta, pada perkembangannya ia mulai menyebar
ke berbagai kota lain seperti Semarang, Surabaya, Padang
Panjang, dan Jatiwangi untuk menyebutkan beberapa di
antaranya. 2
Terkait dengan studi kasus pertama, argumen yang dibangun
dalam karangan ini adalah bagaimana melihat Jakarta
Biennale berkembang sebagai perluasan dari praktik
ruang gagas perupa yang beberapa tahun sebelumnya
54
1
Nuraini Juliastuti, “Ruangrupa: A Conversation on Horizontal Organisation” dalam
Afterall, edisi 30, musim panas 2012. Diambil dari https:?/??w.afterall.org/journal/
issue.30/ruangrupa-a-conversation-on-horizontal-organisation (diakses pada 9 Desember
2020).
2
Lebih lanjut mengenai daftar ruang alternatif hingga 2010 dapat dilihat dalam “FIXER:
Pameran Ruang Alternatif dan Kelompok Seni Rupa di Indonesia”, diselenggarakan pada
2010 di North Art Space, Jakarta. Pameran ini dikuratori oleh Ade Darmawan dan Rifky
Effendy, dengan fokus pada presentasi dari sejumlah organisasi yang dikelola oleh
perupa.
muncul dan tumbuh. Perluasan ini tidak serta-merta
dapat dibaca dalam seluruh edisi Jakarta Biennale sejak
internasionalisasi penyelenggaraannya pada 2009, tapi
terbatas pada Jakarta Biennale 2013, 2015, dan 2017. Karakter
artistik ketiga biennale itu boleh jadi tidak sepenuhnya
selaras, tapi ketiganya memiliki kesamaan dalam hal tata
kelola, mengingat peran beberapa anggota ruangrupa di
dalamnya. ruangrupa, kelompok perupa yang didirikan
pada 2000 di Jakarta, mewujudkan gagasan artistik mereka
dalam berbagai kegiatan seperti lokakarya, pameran, festival,
hingga residensi perupa. Hingga 2017, ruangrupa mengelola
ruang pamer dan rumah yang menjadi bagian penting bagi
diskursus ruang gagas perupa di Indonesia sejak 2000-an.
Kelompok ini bekerja dalam konteks kebudayaan masyarakat
kota dan menghubungkan serta memperkuat jejaring
kesenian lokal dan internasional.3 Sejak awal pendiriannya,
ruangrupa dapat dikatakan memiliki perhatian pada kerjakerja kuratorial seperti pengelolaan pameran seni rupa.
Meskipun demikian, mereka tetap bekerja sebagai perupa
dan menjalankan praktik kuratorial dalam artian yang
diperluas, seperti membuat kegiatan kesenian lain selain
pameran seni rupa. Saya cenderung setuju dengan pendapat
David Teh yang menyebutkan bahwa ruangrupa adalah spirit
of curatorship, yang lebih menjadikan masyarakat sebagai
“objek kurasinya” ketimbang karya seni—ia tidak terikat pada
suatu bentuk, tetapi pada sebuah konteks tertentu.4
3
Reinaart Vanhoe, Also Space: From Hot to Something Else: How Indonesian Art Initiatives Have Reinvented
Networking (Eindhoven: onomatope 136, 2016).
4
David Teh, “Who Cares a Lot? Ruangrupa as Curatorship”, dalam Afterall, edisi 30, musim
55
Sejarah Jakarta Biennale bermula pada 1974, ketika Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan Pameran Seni
Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. DKJ
dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. Tugas
dan fungsi DKJ, sebagai mitra kerja Gubernur DKI Jakarta,
adalah merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan
dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Provinsi
DKI Jakarta. Pameran Seni Lukis Indonesia, meskipun belum
menggunakan istilah “biennale,” telah direncanakan untuk
diadakan setiap dua tahun sekali. Sebanyak 81 pelukis dari
berbagai wilayah dan generasi terlibat dalam pameran
1974 tersebut. Selain itu, sebuah panel juri dibentuk untuk
memberikan penghargaan kepada karya-karya terbaik.
Edisi perdana pameran ini langsung menuai protes dari
generasi muda yang tidak puas dengan kriteria penjurian
yang dilakukan. Peristiwa protes tersebut dikenal sebagai
“Desember Hitam”, yang kemudian memicu kemunculan
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1975.5
Sepanjang perjalanannya, format penyelenggaraan pameran
besar ini seringkali berubah, mulai dari adanya kompetisi
berhadiah untuk karya-karya terbaik hingga presentasi
khusus perupa muda pada 1980-an.6 Beberapa pembaruan
terjadi, seperti pada Biennale Seni Rupa Jakarta IX (1993) yang
panas 2012. Diambil dari https:?/??w.afterall.org/journal/issue.30/who-cares-a-lotruangrupa-as-curatorship (diakses pada 9 Desember 2020).
56
5
Asep Topan, “Analisis Seni Berbasis Komunitas Dalam Penyelenggaraan Jakarta Biennale 2013
SIASAT”, tesis Program Magister Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, 2017.
6
Sanento Yuliman mengulas penyelenggaraan Jakarta Biennale 1987 dengan judul tulisan “Biennale
Mini,” pada saat format penyelenggaraan pameran ini terbagi menjadi fokus pada karya-karya
kompetisi dan presentasi dari para perupa muda. Versi lengkap tulisannya dapat dilihat dalam
Asikin Hasan (ed.), Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (Jakarta: Kalam, 2001), 226–229.
untuk pertama kalinya memakai seorang kurator dan berfokus
pada presentasi karya-karya seni rupa kontemporer. Pada
Jakarta Biennale ARENA (2009), ajang ini mulai memperbesar
lingkupnya sebagai pameran internasional, dengan partisipasi
para perupa dari luar Indonesia. Hal ini dikembangkan
dalam penyelenggaraan selanjutnya, pada Jakarta Biennale
2015 “Maju Kena Mundur Kena: Bergerak Sekarang” dan
Jakarta Biennale 2017: “JIWA”, dengan menghadirkan tim
artistik, selain para perupa undangan, yang tidak hanya
berasal dari Indonesia. Gagasan mengenai penyelenggaraan
biennale dalam skala internasional ini masih dipertahankan
hingga sekarang, mencerminkan sebuah upaya untuk terus
membangun percakapan dengan berbagai konteks di luar
Jakarta dan Indonesia.
Ada dua argumen penting yang ingin saya ajukan dalam
menjelaskan Jakarta Biennale sebagai perluasan dari ruang
gagas perupa. Pertama, pola pengorganisasian kolektif
dalam praktik ruang gagas perupa dijalankan dengan
hasrat untuk memperbesar cakupan penyelenggaraan
sebuah biennale. Kata biennale sebagai nama pameran
otomatis memberikan gambaran sesuatu yang besar dan
dilaksanakan rutin setiap dua tahun sekali. Oleh karenanya,
karakter biennale di Indonesia seolah melunturkan stereotip
biennale yang serba mewah, serba mahal, dan dibuat
hanya untuk meningkatkan potensi ekonomi kreatif seperti
mendongkrak jumlah wisatawan. Alih-alih, ia hadir sebagai
upaya bersama dari praktisi kesenian dengan memusatkan
perhatian pada konteks lokal. Kurator kelahiran Nigeria,
Okwui Enwezor, pernah mengatakan bahwa hadirnya
biennale-biennale di negara-negara non-Eropa-Amerika
57
telah berhasil menanamkan kesadaran kontemporer baru
dalam budaya yang tidak memiliki warisan kelembagaan,
serta menghancurkan mitos kurangnya praktik kesenian di
wilayah lain di dunia ini.7 Jakarta Biennale, dalam hemat
saya, dapat dikategorikan berada dalam kelompok ini
sebagai biennale yang berada relatif di luar sirkuit biennale
internasional. Kedua, penyelenggaraan biennale sejak mula
berdiri merupakan inisiatif sekelompok perupa, terutama
mereka yang berada di dalam kelembagaan DKJ. Hal inilah
yang membedakannya dari penyelenggaraan biennale yang
diinisiasi oleh otoritas tertentu seperti pemerintahan kota,
yang menjadi agenda rutin kota selama dua tahun sekali.
Dari sisi ini kiranya dapat terlihat bahwa inisiatif perupa
sudah menjadi keniscayaan dalam praktik seni rupa yang
sedang kita bicarakan.
Gagasan perluasan tersebut dapat secara eksplisit terlihat
antara lain dari pemilihan lokasi pameran dan daftar perupa
undangan. Jika kita membaca ulang bagaimana Jakarta
Biennale (JB) 2013, 2015, dan 2017 dilaksanakan, salah satu
hal penting untuk dibahas adalah bagaimana pemilihan
ruang pameran utama ditentukan. JB 2013 dilaksanakan
di tempat parkir bawah tanah Teater Jakarta di kompleks
TIM, disusul JB 2015 dan 2017 yang bertempat di Gudang
Sarinah, Jakarta Selatan. Karakteristik ketiga ruang tersebut
jauh dari gambaran ruang pameran dalam pengertian
konvensional: berdinding putih tanpa dekorasi, memiliki
sumber cahaya buatan yang tersembunyi, dan berlantai
kayu yang terlihat bersih. Ruang semacam ini dikenal
7
58
Pernyataan ini tercatat dalam wawancara Okwui Enwezor bersama Paul O’Neill. Versi
lengkap dapat dilihat dalam Paul O’Neill, “Curating beyond the canon: Okwui Enwezor
interviewed by Paul O’Neill”, Curating Subjects (Michigan: Open Editions, 2007), 110–122.
dengan istilah kubus putih (white cube), yang hadir untuk
mendekontekstualisaikan sebuah ruang dan memberikan
prioritas pada karya seni yang akan dipajang. Sebagai bagian
dari gagasan ideologi modern Barat, kubus putih menjadikan
sebuah karya seni terisolasi, terlepas dari realitas luar,
konteks sejarah, ekonomi, dan sosialnya.8 Sementara itu,
pemilihan lokasi pameran dalam ketiga edisi JB tersebut
cenderung didasarkan pada sebuah keterbatasan. Tempattempat tersebut pada awalnya tidak dibayangkan sebagai
lokasi pameran seni rupa dalam artian konvensional. Sebagai
siasat, pilihan ini menjadi solusi praktis sekaligus gagasan
artistik. Sebagai solusi praktis, tidak perlu pengelola JB
menyulap ruang menjadi white cube dengan pendanaan
besar; sedangkan secara artistik, ruang yang tersedia
sedikit-banyak mempengaruhi seleksi karya dan perupa
yang ditampilkan. Semangat menyiasati ruang seperti inilah
yang sejak mula terjadi dalam bagaimana ruang-ruang
alternatif dibentuk dan dijalankan. Dalam penyelenggaraan
biennale, skalanya jauh lebih besar tapi siasat di atas
diterapkan secara kurang-lebih serupa. Gagasan ini jelas
bertolak belakang dari karakter white cube dan membuka
kemungkinan strategi presentasi karya yang lebih fleksibel.
Pada praktiknya, ruangan seperti tempat parkir bawah
tanah, misalnya, memiliki kondisi yang sangat riskan bagi
pemajangan karya seni konvesional seperti lukisan—ada
persoalan suhu ruangan, tingkat kelembapan, dan dalam
beberapa kasus air menggenang di beberapa titik ruang
pamernya. Alhasil, ruang pajang yang terkesan sempit
8
Dirangkum dari artikel berjudul “White Cube” ditulis oleh Nikolett Erőss, diakses
melalui http:?/tranzit.org/curatorialdictionary/index.php/dictionary/white-cube/
59
dan alur pengunjung yang mengikuti zonasi parkir menjadi
tantangan sendiri sekaligus peluang bagi karya-karya
eksperimental. Sementara itu, kondisi Gudang Sarinah
memiliki karakter yang berbeda dari ruang bawah tanah
Teater Jakarta. Di lokasi ini, terdapat tiga gudang dengan
masing-masing ukuran 3000 m2 dan dua di antaranya
digunakan sebagai lokasi pameran Jakarta Biennale 2015 serta
2017. Dengan ukuran sebesar ini, tim artistik memiliki lebih
banyak keleluasaan dalam menentukan bentuk interior ruang
pameran. Beberapa sudut ruangan diubah menyesuaikan
keperluan pemajangan karya, dengan pembangunan temboktembok temporer selama pameran berlangsung.
Dari daftar perupa yang diundang, jelas terlihat
bagaimana karakter profil perupa yang hadir dalam ketiga
penyelenggaraan tersebut. Pada JB 2013 “Siasat”, perhatian
tim artistik tertuju pada komunitas seni dan praktik kesenian
berbasis masyarakat. Sebagai contoh, beberapa kelompok
perupa seperti Serrum (Indonesia), Lost Generation
(Malaysia), dan perupa individu seperti Moelyono (Indonesia)
menjadi partisipannya. Dua tahun berselang, fokus pameran
tertuju pada persoalan tematik di wilayah urban, seperti
persoalan air, sejarah, dan gender pada JB 2015 “Maju Kena
Mundur Kena:Bergerak Sekarang”. JB 2017 dapat dikatakan
sebagai gabungan antara model ruang gagas perupa dan
karakteristik festival seni performans. Melati Suryodarmo
sebagai direktur artistik mengorkestrasikan penyelenggaraan
biennale dengan performans terjadwal yang hadir setiap hari,
presentasi khusus di beberapa museum di bawah pemerintah
DKI Jakarta, serta simposium dan penerbitan buku. Sebagai
seniman performans, ia telah lebih dari sepuluh tahun
60
mengelola laboratorium dan festival seni performans
“Undisclosed Territory” secara mandiri di tempat ia tinggal di
Surakarta sejak 2007.
Suasana pembukaan
Jakar ta Biennale 2017:
“JIWA”
di Gudang Sarinah,
Jakar ta Selatan. (Dok.
Jakar ta Biennale.)
Sebagai pameran yang diinisiasi para seniman, Jakarta
Biennale telah mengalami beberapa perubahan kelembagaan
yang signifikan: bermula sebagai program rutin Komite
Seni Rupa DKJ hingga pembentukan Yayasan Jakarta
Biennale (YJB) sebagai organisasi yang diharapkan bisa
61
lebih mandiri. JB 2015 “Maju Kena Mundur Kena: Bergerak
Sekarang” merupakan penyelenggaraan pertama di bawah
kepengurusan YJB, yang resmi berdiri pada 2014. Namun,
ide mendirikan yayasan ini telah muncul sejak 2006. Saat
itu telah berkembang pemikiran bahwa diperlukan sebuah
lembaga yang lebih mandiri untuk menyelenggarakan
Jakarta Biennale. Kemandirian ini diharapkan dapat menjaga
profesionalitas penyelenggaraan Jakarta Biennale. Munculnya
YJB langsung menggantikan peran Komite Seni Rupa DKJ
sebagai pelaksana—yang kemudian menjadi penasihat
dan anggota dewan yayasan. Dalam sebuah wawancara,
Ade Darmawan (Direktur Eksekutif JB 2013, 2015, dan 2017)
mengungkapkan bahwa tujuan utama pendirian yayasan
adalah untuk menjadi lembaga yang menjembatani antara
bidang keseniannya, seperti penyelenggaraan pameran, dan
publik Jakarta Biennale. Tugas lembaga ini, maka, adalah
mengembangkan, merawat, dan menjaga keberlangsungan
publik tersebut. Selain itu, upaya memisahkan peran
pelaksana Jakarta Biennale dari para anggota komite seni
rupa DKJ ialah untuk mengembalikan peran dan fungsi
anggota DKJ seperti semula ketika ia dibentuk, yaitu sebagai
“mitra kerja” Gubernur DKI Jakarta dalam merumuskan
kebijakan kesenian di wilayah DKI Jakarta.9 Jika kita cermati
lebih jauh, gagasan ini bertolak belakang dengan definisi
fungsi DKJ yang diungkapkan Sri Warso Wahono (anggota
DKJ 1985–1993) sebagai sebuah lembaga budidaya kesenian
yang dibentuk oleh komunitas seniman dan diresmikan
oleh Gubernur; dan sebagai pengelola semua kegiatan
9
62
Wawancara dengan Ade Darmawan, 22 Juni 2017 di Jakarta.
seni di masyarakat, khususnya di Jakarta.10 Bagaimanapun,
dari percakapan dengan Ade terlihat ada perhatian khusus
pada bagaimana membangun tradisi kepenontonan setelah
pembentukan yayasan yang bersifat lebih independen.
Per formans seniman asal Swiss, Wathiq AlAmeri dan Ali Al-Fatlawi berjudul Vanishing
borders, or let’s talk about the situation
in Iraq (2014) dalam Jakar ta Biennale 2017:
“JIWA”. Per formans diakukan selama tiga
hari, masing-masing berdurasi enam jam.
(Dok. Jakar ta Biennale.)
10 Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal Murgiyanto (ed.), 25 tahun TIM
(Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta, 1994), 50-58.
63
Tujuan-tujuan pembentukan YJB di atas disusun berdasarkan
beberapa pertimbangan yang mendasar. Salah satunya,
penyelenggaraan Jakarta Biennale di bawah DKJ selalu
mengalami pasang-surut karena mekanisme pemilihan
anggota komite yang berlangsung setiap tiga tahun sekali.
Dengan kata lain, setiap periode keanggotaan dapat
menyelenggarakan Jakarta Biennale satu atau dua kali, dan
kemudian pada periode keanggotaan berikutnya formasi
komite akan berubah lagi. Hal ini berpengaruh terhadap
keberlangsungan dan profesionalisme penyelenggaraannya.
Dengan kondisi tersebut, setiap penyelenggara Jakarta
Biennale sebelum terbentuknya YJB hampir selalu menjadi
penyelenggara ajang ini untuk pertama kalinya. Sebagai
akibatnya, tidak ada keahlian yang terbangun dalam setiap
penyelenggaraannya karena hampir setiap edisi Jakarta
Biennale selalu diselenggarakan oleh tim baru.11 Oleh
karenanya, YJB juga ditujukan untuk menjaga sumber daya
manusia dan praktik Jakarta Biennale itu sendiri, sehingga
tidak hanya berbasis acara (event-based). Harapannya ialah
bahwa sebagai organisasi Jakarta Biennale mampu terus aktif
bekerja dan berkontribusi meski sedang tidak ada pameran
utama. Singkatnya, sebagai institusi ia didorong untuk
memajukan kualitas sumber daya manusia di dalamnya dan
memperkuat diri sehingga mampu menjalankan perannya
secara berkesinambungan.
Dalam implementasinya, tujuan-tujuan pembentukan
yayasan ini telah memunculkan pertanyaan seiring
11 Wawancara dengan Ade Darmawan (2017), 22 Juni 2017 di Jakarta.
64
berjalannya waktu. Hampir empat tahun sejak JB 2017,
misalnya, kita masih melihat Jakarta Biennale yang bersifat
event-based. Selama pameran besar tidak dilaksanakan,
kontribusinya bagi publik dan penontonnya dapat dikatakan
tidak terasa—misalnya, apakah melalui program publik yang
menyajikan diskursus seni rupa atau mungkin penelitianpenelitian yang dilaksanakan secara mandiri maupun
kolaboratif dengan institusi lain. Mungkinkah ia menghadapi
persoalan yang sama terkait sumber daya? Atau adakah
persoalan lain yang menjadi penghambat implementasi
tujuan-tujuan tersebut?
Untuk menyongsong JB ESOK yang segera hadir sebagai
Jakarta Biennale ke-18, tampaknya diperlukan strategi lain
untuk menyiasati kemandekan ini. Diperlukan sebuah
upaya bersama yang bersifat lebih terbuka, kolaboratif, dan
melibatkan banyak pihak, baik dari sisi praktisi seni hingga
institusi publik, khususnya di DKI Jakarta. Seperti halnya
gagasan artistik yang dihadirkannya, model kelembagaan
dalam Jakarta Biennale terus-menerus memerlukan
pembaruan, atau pencarian, yang bisa menjembatani
keperluan penyelenggaraan pada konteks waktu yang
berbeda-beda.
Museum MACAN
Berdirinya Museum of Modern and Contemporary Art in
Nusantara (Museum MACAN) pada 2017 saya anggap sebagai
salah satu momen penting dalam medan seni rupa Indonesia
baru-baru ini. Ia hadir tidak hanya untuk menampilkan
karya-karya koleksi pendirinya, Haryanto Adikoesoemo, tapi
juga memiliki komitmen yang kuat pada program pameran,
65
program publik, dan kegiatan edukasi yang dikelola oleh tim
di dalamnya. Ia hadir di tengah pusaran internasionalisasi
lembaga-lembaga seni rupa di Indonesia seperti biennalebiennale dan art fair yang rutin menampilkan pameran
berskala besar. Pada awal pendiriannya, dan masih
berlangsung hingga saat ini, salah satu tantangan yang
dihadapi Museum MACAN ialah bahwa ia dijalankan dengan
model tata kelola yang sangat spesifik: gabungan antara tata
kelola korporasi dan permuseuman. Di satu sisi, meskipun
dipayungi oleh yayasan nirlaba, secara administratif ia
seperti “anak perusahaan” lebih besar yang dimiliki oleh
pendirinya. Hal ini sangat terlihat dari bagaimana tata kelola
administratif dijalankan dengan mengadopsi tata kelola
perusahaan induknya. Di lain sisi, ia beroperasi sebagai
museum seni dengan model dan standar yang dekat dengan
tradisi museologi di Barat, dengan penyesuaian khusus pada
konteks publik Indonesia dan Jakarta. Sebagai perbandingan,
sulit menemukan model tata kelola semacam ini di Indonesia
setidaknya untuk saat ini.
66
Secara umum, beberapa karakter Museum MACAN dapat
diuraikan sebagai berikut.
Sebagai organisasi, ia dibentuk dengan struktur yang cukup
kaku. Susunan kelembagaan mulai dari dewan penasihat,
ketua yayasan, direktur, hingga berbagai departemen yang
ada di dalamnya dibentuk dengan rinci sesuai dengan peran
dan tanggung jawab masing-masing.
Program pameran utama di museum dibuat dalam skala
besar, dengan proses perencanaan yang memakan waktu
yang cukup lama, tidak jarang sebuah pameran bisa
direncanakan antara dua hingga tiga tahun sebelumnya.
Publik museum cenderung meluas. Mereka tidak hanya
terbatas pada praktisi dan masyarakat pecinta seni, tapi juga
banyak di antaranya adalah anak-anak dan keluarga muda
ibukota pada umumnya.
Para pengunjung di antara
kar ya-kar ya dalam pameran
per tama Museum MACAN “Ar t
Turns. World Turns” yang dibuka
pada November 2017. (Dok.
Museum MACAN.)
67
Dioperasikan dengan tradisi kelembagaan museum di negara
maju, dengan standar-standar tertentu seperti fasilitas dan
penanganan karya-karya di dalamnya.
Model pengelolaan museum seperti ini memiliki konsekuensi
pada “gerak” lembaga yang cenderung lebih lambat karena
proses-proses administratifnya memerlukan waktu lebih
lama. Meskipun demikian, hadirnya museum seperti ini di
Indonesia telah membuka peluang hadirnya pengalaman
berkesenian baru di medan seni Indonesia, baik bagi
penonton, pelaku seni, maupun pekerja di dalamnya. Ada
tradisi kepenontonan baru yang ditawarkan oleh lembaga
ini, meskipun perlu diakui posisinya juga rentan akan
jebakan indikator “ekonomi kreatif” yang menjadikan jumlah
penonton sebagai ukuran terpenting keberhasilan sebuah
museum. Dengan karakter kepenontonan yang lebih umum,
penyedia konten di museum diharuskan untuk berbicara
kepada publik yang lebih luas, dengan bahasa yang bisa
lebih dipahami oleh orang kebanyakan. Bahasa menjadi
salah satu hal yang membedakan dalam membangun
artikulasi kuratorial dan menyampaikan gagasan mengenai
pameran dan karya seni ke publik, baik dalam bentuk
tulisan, tur pameran, maupun format lainnya. Dengan kata
lain, gagasan artistik mempertimbangkan persoalan siapa
penonton dan bagaimana ia akan berinteraksi dengan karyakarya yang dihadirkan.
Dalam perjalanan teorinya, beberapa gagasan penting akan
kelembagaan seni rupa, terutama museum, telah diajukan
pada dekade 1960-an sebagai reaksi dan kritik terhadap
sistem yang sedang berlaku terutama di Eropa dan Amerika.
68
Paradigma kelembagaan ini bersinggungan erat dengan
gagasan Institutional Critique—praktik seni yang hendak
menyampaikan kritik terhadap lembaga-lembaga seni yang
sudah mapan. Implikasinya adalah beberapa museum
mulai memikirkan dan menata ulang bagaimana ia dikelola.
Pergeseran cara berpikir ini berkontribusi pada praktik
museologi yang berpusat pada pengkajian ulang karya-karya
koleksi museum secara kritis, di antaranya melalui proses
kritis-diri (self-critique) dan refleksi. Dalam praktik pameran,
perubahan ini terwujud dalam pemilihan tema pameran,
bagaimana pameran ditampilkan, dan bagaimana praksis
kuratorial dijalankan dengan pendekatan kritis.12
Perkembangan selanjutnya mulai terlihat pada dekade
1990-an dan awal 2000-an, yang tidak hanya berfokus
pada kritik terhadap museologi yang telah baku, tapi juga
pada praktik kelembagaan lebih kecil seperti ruang-ruang
seni yang berfokus pada konteks lokal. Perkembangan ini
seringkali disebut sebagai Institusionalisme Baru (New
Institutionalism), meskipun istilah ini masih diperdebatkan
oleh beberapa praktisi di dalamnya. Sebagai praktik
kelembagaan, awalnya ia muncul di Eropa bagian utara,
tepatnya Norwegia dan Swedia. Institusionalisme baru
dapat dikatakan sebagai praktik kuratorial, edukasi seni,
dan juga praktik institusional (secara administratif) yang
hadir sebagai alternatif dari praktik institusi seni yang
telah mapan. Implementasi gagasan ini kerap terlihat pada
program yang tidak hanya berpusat pada pameran, tapi juga
12 Dirangkum dari artikel berjudul “New Museology” ditulis oleh Zsófia Frazon, diakses
melalui http:?/tranzit.org/curatorialdictionary/index.php/dictionary/new-museology/
69
rangkaian program publik seperti diskusi, pemutaran film,
dan lain sebagainya. Umumnya praktik institusionalisme
baru dilakukan di institusi seni dengan skala sedang, dengan
tujuan utama membangun diskusi yang lebih dalam dengan
kelompok masyarakat yang lebih spesifik.13
Tanpa berupaya untuk melakukan penyejajaran, jika
kita lihat linimasa kemunculannya, gagasan mengenai
institusionalisme baru lahir dan berkembang pada saat
yang sama dengan ruang gagas perupa di Indonesia. Jelas
ada dorongan yang sangat berbeda dari kemunculan
keduanya. Jika di Eropa gagasan mengenai lembaga alternatif
ini muncul sebagai tawaran lain (atau bahkan penolakan)
terhadap institusi besar, terutama museum yang identik
dengan program pameran besarnya, di Indonesia justru
keberadaan ruang gagas perupa muncul karena institusi
seni seperti museum dianggap kurang, seperti yang telah
disinggung di atas. Ruang gagas perupa hadir sebagai
tempat berkembangnya kesenian dan munculnya para
perupa baru, yang biasanya banyak melakukan praktikpraktik eksperimental. Terkait dengan internasionalisasi,
ruang-ruang ini juga memiliki arah jaringan internasionalnya
sendiri. Jika di konteks Eropa Utara lembaga-lembaga
alternatif mencoba menghindari pusat-pusat seni Eropa
seperti Paris, Berlin, dan London, dan lebih melihat ke Eropa
Timur dan Baltik, di Indonesia, lembaga seperti ruangrupa
pada awalnya terhubung dengan RAIN (Rijksakademie
13 Diskusi khusus mengenai Institusionalisme Baru sebagai gagasan dan gerakan terdapat
dalam edisi khusus jurnal OnCurating (oncurating.org), 21/Desember 2013. Diakses melalui
salinan digital, dapat diakses melalui https:?/??w.on-curating.org/issue-21-reader/
writing-new-institutionalism-an-e-mail-exchange.html#.X9BfROkzY_U
70
Artist Initiative Network) dan saat ini dalam skala yang
lebih besar seperti Arts Collaboratory. Arts Collaboratory
dianggap sebagai ekosistem dari dua puluh lima organisasi
yang memiliki gagasan sama dalam hal pengorganisasian
kolektif dan berasal terutama dari negara-negara di Asia,
Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Organisasi tersebut
terlibat dalam praktik artistik dan kuratorial yang diperluas
(expanded curatorial practices) untuk mendorong perubahan
sosial dan praktik keberlanjutan dalam konteks masingmasing, baik di dalam maupun di luar bidang seni.14
Jika dikaitkan dengan ruang gagas perupa, biennale dalam
konteks Indonesia, dan institusionalisme baru, keberadaan
Museum MACAN sepintas terasa sebagai sebuah kemunduran.
Alih-alih melanjutkan tradisi kelembagaan kritis, ia memulai
tradisi kelembagaan museum yang identik dengan ideologi
modernisme Barat. Seperti yang diuraikan di atas, struktur
pengelolaannya terbilang kaku dan ada upaya yang serius
dalam hal mempertahankan kaidah museologi, seperti
pengkoleksian karya yang terinstitusionalisasi, dan landasan
pemikiran dan metode baku sesuai sejarah seni yang mapan.
Bagaimanapun, dalam kurun waktu yang baru menginjak
tiga tahun sejak pendiriannya, rasanya masih tergesa-gesa
untuk melakukan penilaian menyeluruh pada bagaimana ia
dikelola sebagai lembaga, terutama terkait dengan gagasan
artistik yang dipercayainya. Sebagai lembaga, akan sulit
baginya mengadopsi tata kelola museologi Barat yang telah
memiliki sejarah panjangnya sendiri. Salah satu peluang
14 Lihat: http:?/??w.artscollaboratory.org/about/
71
yang dimilikinya ialah menggabungkan gagasan-gagasan
kritis kelembagaan dalam skala dan tata kelola museum.
Museum MACAN perlu membuka ruang untuk eksperimentasi
dan spekulasi artistik, menjadi ruang dialog, dan lebih
mendekatkan diri pada konteks di mana ia berada.
Penutup
Pembacaan di atas membawa saya ke beberapa pokok pikiran
sebagai berikut.
Pertama, persoalan kelembagaan seni rupa kita tak akan
terlepas dari perbincangan mengenai manusianya sebagai
pengelola suatu lembaga. Seperti dalam dua kasus di atas,
persoalan sumber daya manusia menjadi pokok penting
yang masih dihadapi hingga saat ini. Baru dewasa ini inisiatif
yang berfokus pada pendidikan tata kelola seni mulai
banyak dilakukan, dari lingkup formal seperti pembukaan
jurusan terkait di kampus-kampus seni hingga lokakarya atas
inisiatif para praktisi seni. Di satu sisi, kedua lembaga di atas
memiliki kesulitan untuk mendapatkan sumber daya manusia
yang memiliki keterampilan dan keahlian di bidangnya
masing-masing; di sisi lain, keduanya juga menjadi tempat
berkembang dan belajar tentang praktik kelembagaan yang
dijalani sehari-sehari di dalamnya. Perhatian pada persoalan
ini lambat laun semakin menunjukan kompleksitas aktivitas
kesenian yang semakin banyak memerlukan keahlian di
bidang lain selain produksi gagasan-gagasan artistik yang
umumnya dilakukan oleh perupa dan kurator.
Kedua, isu mengenai keberlanjutan (sustainability) menjadi
keniscayaan dalam membahas kelembagaan dalam konteks
72
Indonesia, baik dalam bentuk institusi seperti Jakarta
Biennale, yang terus-menerus mengalami pembaharuan
tim kerja dan tim artistik di setiap edisinya, maupun
dalam bentuk institusi seperti Museum MACAN yang
secara struktural organisasional lebih stabil. Dalam kondisi
pandemi seperti sekarang ini, persoalan keberlanjutkan
mendapatkan tantangan paling besar. Acara-acara yang
bersifat publik harus ditunda, diundur, atau bahkan
dibatalkan. Keberlanjutan kiranya tidak hanya dilihat sebagai
persoalan finansial semata. Keberlanjutan finansial perlu
juga diimbangi dengan perhatian pada keberlangsungan
gagasan sebuah lembaga. Suatu lembaga perlu tanggap
terhadap perubahan zaman dan gagasan-gagasan yang dapat
berkontribusi pada wacana seni rupa di tanah air maupun
medan seni internasional.
Ketiga, ada kecenderungan untuk memikirkan tradisi
kepenontonan yang spesifik dari kedua lembaga di atas.
Dalam hemat saya, kesadaran ini merupakan kemajuan,
karena praktik kesenian sudah seharusnya memberikan
perhatian kepada si penglihat dan bukan hanya kepada si
pembuat. Penonton bukan hanya perlu dilihat sebagai angka;
ia adalah subjek penting dalam sebuah proses berkesenian
yang utuh. Hal ini dapat terwujud misalnya lewat upayaupaya menghadirkan dialog dengan penonton melalui teks
dan artikulasi kuratorial yang lebih lugas dan sederhana.
Hingga titik ini, saya melihat ketiga persoalan di atas bisa
dinegosiasikan dalam praksis kuratorial yang dijalankan
masing-masing institusi. Setiap keterbatasan selalu bisa
diubah menjadi peluang bagi munculnya gagasan baru
73
dalam sebuah artikulasi kuratorial. Contoh ini mungkin masih
sedikit terlihat pada Museum MACAN mengingat usianya yang
jauh lebih muda, namun kita telah menyaksikan bagaimana
Jakarta Biennale menampilkan gagasan-gagasan baru dalam
praktik kuratorialnya terkait situasi kelembagaannya yang
khas. Ini menunjukkan bahwa kesenian adalah sebuah
proses berpikir dan institusi tidak semata menjadi tempat
bekerja—tapi juga bertindak.
74
Tentang De—
wan
Kesenian
Jakarta
Dewan Kesenian Jakar ta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur
DKI Jakar ta, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi
DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Provinsi DKI
Jakar ta dalam merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan
pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakar ta.
Anggota Dewan Kesenian Jakar ta diangkat oleh Akademi Jakar ta (AJ)
dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakar ta. Pemilihan anggota DKJ
dilakukan secara terbuka, melalui tim pemilihan yang terdiri atas
beberapa ahli dan pengamat seni yang dibentuk oleh AJ. Namanama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat maupun
kelompok seni. Masa kepengurusan DKJ adalah tiga tahun. Kebijakan
pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program tahunan
yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masingmasing komite. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri atas para
seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6 komite:
Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite
Tari, dan Komite Teater.
205
206