Skip to main content
Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka saat adanya pandemi Covid-19 meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak... more
Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Tingkat  pengangguran  terbuka  saat  adanya  pandemi  Covid-19  meningkat  drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak faktor-faktor yang memengaruhi kenaikan dari tingkat pengangguran,  salah  satunya  dari  kebijakan  pengupahan.  Penelitian  ini  bertujuan  untuk menganalisis  kondisi  ketenagakerjaan  di  Indonesia  sebelum dan  saat  terjadi  pandemi Covid-19 dan menganalisis pengaruh upah terhadap pengangguran sebelum dan saat pandemi di Indonesia. Metode  analisis  yang  digunakan,  yakni fixed  effect  modeldengan  data panelselama  12  tahun (2010-2021) di 33 provinsi  di  Indonesia.  Hasil  yang  diperoleh  secara  umum, kenaikan  upah menurunkan pengangguran, akan tetapi apabila upah ditingkatkan pada masa pandemi Covid-19 akan meningkatkan pengangguran di Indonesia.
Ketimpangan gender merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Ketimpangan gender yang tinggi menjadi penghambat tercapainya pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang berkelanjutan... more
Ketimpangan gender merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Ketimpangan gender yang tinggi menjadi penghambat tercapainya pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development) dan tentunya menyebabkan kesejahteraan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan  pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak ada artinya jika diiringi dengan ketimpangan gender yang tinggi, artinya pertumbuhan tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat secara merata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Covid-19 dan ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel dengan teknik pemilihan model fixed effect model, yang terdiri dari data cross-section 34 provinsi dan data time-series pada periode tahun 2015-2021. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Covid-19 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, variabel indeks ketimpangan gender juga berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Selain itu, variabel indeks pembangunan gender, indeks pembangunan manusia dan pembentukan modal tetap bruto berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sesudah Covid-19. Ada pula variabel yang tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia baik sebelum dan sesudah Covid-19, diantarannya variabel indeks pemberdayaan gender dan rasio upah laki-laki terhadap perempuan.
Penelitian ini menganalisis peran gender dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan analisis lintas provinsi. riset ini penting untuk dilakukan karena sejalan dengan tujuan pertama dan kelima dan ke dalam Sustainable... more
Penelitian ini menganalisis peran gender dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan analisis lintas provinsi. riset ini penting untuk dilakukan karena sejalan dengan tujuan pertama dan kelima dan ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yakni penghapusan kemiskinan dan mewujudkan kesetaraan gender. Metode analisis regresi data panel diterapkan dengan menggunakan data tahun 2010-2022 di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menyoroti bahwa variabel pembangunan gender dan pertumbuhan ekonomi memainkan peran krusial dalam mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Sebaliknya, variabel pemberdayaan gender, rasio upah gender, pertumbuhan investasi, dan tingkat pengangguran tidak memiliki dampak yang signifikan. Penelitian ini menunjukkan perlunya meningkatkan pemberdayaan perempuan, terutama melalui peningkatan akses pendidikan, untuk mencapai kesetaraan gender sebagai kunci utama dalam mengatasi kemiskinan di berbagai provinsi Indonesia. Temuan ini dapat memberikan panduan bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mencapai pembangunan inklusif di seluruh negeri.
An eco-religious approach is one that combines religious beliefs with ecological awareness, thus giving rise to responsibility for the natural environment, such as the threat of a climate crisis due to climate change, as part of the... more
An eco-religious approach is one that combines religious beliefs with ecological awareness, thus giving rise to responsibility for the natural environment, such as the threat of a climate crisis due to climate change, as part of the understanding of religion itself. This approach is not universally accepted because views on climate change, and the role of humans in addressing it, can vary among different religions and religious traditions. This research explores the relationship between religiosity and climate change, with a focus on the concept of an ecoreligious approach. The aim was to understand how religiosity can influence climate change using the ecological footprint as a proxy. The crosscountry robust regression analysis method was employed to address this objective. Robustness and sensitivity model checks were also performed, resulting in reliable regression analysis that can be generalized to various situations. The results of the study suggest that increased religiosity is associated with a decrease in per person ecological footprint. This research suggests a transformation of religious values towards a more inclusive eco-religious perspective, encompassing bio-centric and eco-centric ethics, and not just anthropocentric views. Collaboration between religious and non-religious communities is key in addressing climate change. Religious institutions are also identified as essential agents in mobilizing environmental movements, participating in international forums, and incorporating climate change issues into educational curricula. This research supports the potential of religiosity as a positive catalyst in global efforts to preserve environmental sustainability and address the holistic challenges of climate change.
Climate change demands a collective response, including from religious perspectives, but it presents a dualistic challenge. On one hand, some believers see it as a divine, immutable law (theocentric), urging humans not to defy it.... more
Climate change demands a collective response, including from religious perspectives, but it presents a dualistic challenge. On one hand, some believers see it as a divine, immutable law (theocentric), urging humans not to defy it. Conversely, others attribute climate change to human actions that exploit nature (anthropocentric). This study scrutinizes the relationship between religiosity and climate change, using per capita CO2 emissions as a proxy. It employs cross-country regression analysis, along with robustness and sensitivity tests. The findings highlight religiosity's substantial role in curbing per capita CO2 emissions growth. This underscores religion's potential as a societal force in overcoming environmental problems, global climate issues, safeguarding natural resources and ecosystems, and ensuring a comfortable, secure existence on Earth.
This study aims to prove whether the efficiency wage theory applies in Indonesia using panel data analysis consisting of 33 provinces over a nine-year period (2010-2018). The theory posits that wage increases enhance worker productivity.... more
This study aims to prove whether the efficiency wage theory applies in Indonesia using panel data analysis consisting of 33 provinces over a nine-year period (2010-2018). The theory posits that wage increases enhance worker productivity. The empirical findings confirm the validity of the efficiency wage theory in Indonesia, particularly in urban areas. Nominal wages have a larger positive impact on labor productivity compared to real wages and provincial minimum wages (PMW). An increase in women's wages significantly influences labor productivity more than male wages. However, if the wage gap between males and womens widens, it can decrease aggregate labor productivity, leading to inefficiencies in the labor market and reducing the competitiveness of Indonesian workers. Geographically, wage increases in urban areas boost labor productivity, but this effect is not applicable to rural areas. The widening wage gap between urban and rural areas can increase labor productivity but may also widen development disparities between regions. Therefore, it is recommended that the government formulate wage policies supporting the welfare and productivity of workers without gender or regional discrimination. The People's Representative Council (DPR) should enact comprehensive laws protecting women's rights. The government, in collaboration with the legislature, can provide workforce training in rural areas to enhance knowledge and skills.
Page Header ABOUT THE AUTHORS Lestari Agusalim Trilogi Universityluky Indonesia Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Trilogi Sekretaris Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Trilogi Editor Jurnal Kesejahteraan... more
Page Header
ABOUT THE AUTHORS
Lestari Agusalim
Trilogi Universityluky
Indonesia

Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Trilogi
Sekretaris Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Trilogi
Editor Jurnal Kesejahteraan Sosial, Universitas Trilogi
Lukytawati Anggraeni
IPB University

Syamsul H. Pasaribu
IPB University

ARTICLE TOOLS
How to cite item
USER
Username
lestariagusalim
Password
••••••••••
Remember me

Focus and Scope
Author Guidelines
Online Submissions
Editorial Team
Abstracting/Indexing
Ethics Statement
Citedness in Scopus
Conference Collaboration
Contact






 

  free counters
hit counter joomla View My Stats

JOURNAL CONTENT
Search
Search Scope

All

Browse
By Issue
By Author
By Title
Other Journals
HOME ABOUT LOGIN REGISTER SEARCH CURRENT ARCHIVES ANNOUNCEMENTS
Home > Vol 15, No 1 (2022) > Agusalim
The Economy of Indonesia: Driven by Physical or Human Capital?
Lestari Agusalim, Lukytawati Anggraeni, Syamsul H. Pasaribu

Abstract

This study aims to analyze whether economic growth in Indonesia is driven by physical or human capital using panel data analysis consisting of all provinces over the last nine years. The estimation results show that the Indonesian economy is more likely to be driven by physical than human capital. The formation of human capital that has a significant positive effect on economic growth is health. However, the education variable represented by the mean years schooling has no significant effect on economic growth when including the control variable in the research model. To improve the quality of education, the state requires the government to provide substantial educational spending. However, the budget has not been used optimally so that the expected achievements of graduates are not achieved. In addition, education spending has not met the criteria for quality spending. In contrast to education spending, an increase in health spending will increase economic growth by improving the quality of health and life expectancy. A healthier society will have a high level of productivity that impacts the regional and national economy.
This research was conducted to analyze whether the export tax and productivity enhancement of primary agriculture commodity could raise the economic growth, agroindustry output, labor, and household income. The model used on this research... more
This research was conducted to analyze whether the export tax and productivity enhancement of primary agriculture commodity could raise the economic growth, agroindustry output, labor, and household income. The model used on this research was computable general equilibrium comparative static model. The data used were the 2008 Input-Output Table and System Accounting Matrix, and other relevant supporting sources. The result showed that the export tax had negative effect on economic growth, specially in long term. However, if the export tax was followed by productivity raising for the taxed sectors, it would have positive effect on economic growth. In sectoral, it was able to increase the agroindustry domestic output in long term, but would have negative effect in short term with or without the productivity raising. It also has effect on sectoral labor, where generally, in short term, the labor demand was decreasing. Meanwhile, in long term, there was an increasing for labor demand on some major economy sectors. It, in short term would decrease the real income on the whole household, specially the high income household. When that policy was followed by the productivity raising, it would be a positive effect on the income redistribution and household welfare. In long term, export tax caused income of the high household income increased, and decreased on the low household income with or without the productivity raising.
Research Interests:
This research aims to analyze the dynamic impact of international trade openness on poverty in Indonesia. Previous research shows different effects in every country. The data used are export import value, gross domestic product, income... more
This research aims to analyze the dynamic impact of international trade openness on poverty in Indonesia. Previous research shows different effects in every country. The data used are export import value, gross domestic product, income per capita, open unemployment rate (OUR), and poverty rate (POVR) during 1978-2015. Vector error correction model analysis shows that in short run, trade openness does not have any significant impact on poverty. However, in long run, it has significant impact in reducing poverty. Impulse respond function analysis concludes that POVR gave a positive response in the first 2 years, but negative in the third to every trade openness variable shock. Poverty rate shows the biggest negative response in the fifth year. According to forecast error variance decomposition analysis, trade openness does not give big contribution in affecting POVR during the first 3 years, but starts to show effect in the following seven, with the biggest in the ninth year.
Research Interests:
This research aims to analyze the dynamic impact of international trade openness on poverty in Indonesia. Previous research shows different effects in every country. The data used are export import value, gross domestic product, income... more
This research aims to analyze the dynamic impact of international trade openness on poverty in Indonesia. Previous research shows different effects in every country. The data used are export import value, gross domestic product, income per capita, open unemployment rate (OUR), and poverty rate (POVR) during 1978-2015. Vector error correction model analysis shows that in short run, trade openness does not have any significant impact on poverty. However, in long run, it has significant impact in reducing poverty. Impulse respond function analysis concludes that POVR gave a positive response in the first 2 years, but negative in the third to every trade openness variable shock. Poverty rate shows the biggest negative response in the fifth year. According to forecast error variance decomposition analysis, trade openness does not give big contribution in affecting POVR during the first 3 years, but starts to show effect in the following seven, with the biggest in the ninth year.
Research Interests:
The agro-industrial sector is the largest contributor in the industry sector, but its contribution to GDP (Gross Domestic Product) has consistently declined each year. The average growth of this sector is only around four per cent for the... more
The agro-industrial sector is the largest contributor in the industry sector, but its contribution to GDP (Gross Domestic Product) has consistently declined each year. The average growth of this sector is only around four per cent for the period 1999-2012. Decline in the share of agro industry to GDP is predicted due to lack of availability of raw materials and low productivity of the agricultural sector.
The Ministry of Industry through a policy of acceleration and expansion strategy seeks to encourage the development of agro-industry support infrastructure in line with the master plan for economic development expansion and acceleration program in Indonesia (MP3EI). The Government will provide incentives to employers who supply the raw materials to country, and disincentives (duty) for the export of raw materials. The government is gradually trying to attract local and foreign investors to develop the agro-industry. In addition, the government through its strategic plan has allocated a budget to increase the productivity of the agricultural sector, due to the stagnation in the agricultural sector. Increased productivity is expected to encourage downstream agro industry.
This study will focus on the export tax and productivity increment policies on export commodities as the main policies chosen for the development of downstream agro industry. The main export commodities in this study are tax imposed export commodities. The model used to measure the impact of the policy is a comparative static CGE (Computable General Equilibrium) model. In addition this model is also able to measure the impact of macroeconomic, sectoral economy, and measure the impact on household income distribution groups.
The results show that the export tax policies have a negative impact on economic growth (real GDP). The decline is due to the decline in value of exports, real household consumption, real investment and real government expenditures. If the success of the national economy is only assessed by macroeconomic indicators, the policy is judged to be a pro to national economic growth, and worsen the competitiveness of exports. Conversely, if the export policy is accompanied by an increase in the productivity of the upstream sector, it will have a positive impact on real GDP. The increase in real GDP would be higher if the export tax policy and increased productivity upstream sector is accompanied by an increased productivity in downstream sectors.
Export tax policy could restrain export growth in the sectors imposed tax with or without an increase in productivity of the upstream and downstream sectors of agro-based industries. The decline in exports become smaller if accompanied an increase in productivity of the tax imposed export commodities. This is consistent with the expectations of the export tax enforcement policy, which restrains the growth rate of exports. The same thing happened in the sectoral imports. The decline in exports has prompted an increase in domestic output in certain agro-industrial subsectors. However, if it is followed by an
increase in the productivity of the upstream and downstream sectors of agro-based industries, domestic output will increase at each agro industry and agriculture sub- sector. The increase in output is accompanied by a decrease of sectoral output prices, especially agro-industrial sector and the agricultural sector. The policy also affects the employment sector, where in general an increase in employment, except in the palm oil sector.
If the export tax policy is implied with or without an increase in the productivity of the upstream and downstream sectors, it will increase the income of the non-farm household, and a decrease in the income group of farm households. The policy worsens the distribution of income and welfare among household groups.
Based on the results of research, the policy implications that can be suggested, are: (1) The realization of the strategic plan of the Ministry of Agriculture and Ministry of Industry related with productivity improvements in upstream and downstream sectors of agro industries becomes a necessary condition of encouraging downstream agro industry. It takes strategic measures to encourage increased productivity, both through increasing labor productivity (by increasing the expertise and skills) as well as increase the efficiency of the use of various material inputs and capital equipment, an increase in research activities, and technology development. Development of agro industries that only depends on the export policy is a misleading decision either macroeconomic, sectoral, and income distribution point of views. (2) The government needs to create a strategy to compensate the decline in household incomes through the redistribution of agricultural export tax revenues, as practiced by the government of Ghana. Export tax revenue redistribution scheme can be done by providing cheap credit for farmers, where credit payments are based on the pattern of farmers' income. (3) The government should help in increasing farm household productivity through rejuvenation of old plants, the use of seeds waiting, as well as proper maintenance, fertilization, and cultivation. (4) Suggestions for further research would be to develop recursive or fully dynamic CGE models for the simulations in this research. The aim is so the model will be able to respond to as well as simplify the dynamics of change in time and to empirically predict for a specific period of time.
Keywords: agro industry, export tax, productivity, CGE, real GDP, household income
Research Interests:
The purpose of this study is to estimate the amount of labor needs and productivity in Banten Province from 2016 until 2020. By estimating the needs and productivity of the labor, the government can use this information to create the... more
The purpose of this study is to estimate the amount of labor needs and productivity in Banten Province from 2016 until 2020. By estimating the needs and productivity of the labor, the government can use this information to create the appropriate policies in order to reduce the open unemployment rate (OUR) in Banten Province. According to BPS data in 2014, OUR of Banten Province was the highest among other provinces in Java and second highest in Indonesia after Maluku. This study used the quantitative method, which are the exponential and geometric methods to project the labor needs. Other than that, this study used the descriptive method to interpret the quantitative data. The result showed that (1) from 2016 until 2020 there will be an increasing condition of employment, (2) from 2010 until 2014, the highest labor productivity were from electricity, gas and water sector. However from 2016 – 2020, the highest labor productivity will be from financing, insurance, real estate, land, and business services. (3) The number of OUR is expected to decrease annually. Meanwhile OUR in 2016 which is 7.39 percent will decrease to 3.94 percent in 2020.
Keywords: projection, labor, unemployment
Research Interests:
This study aims to analyse the potency and projection of the economy of Tangerang Municipality during 2014 to 2018. By doing so, the local government of Tangerang can use such information to formulate the appropriate policies to foster... more
This study aims to analyse the potency and projection of the economy of Tangerang Municipality during 2014 to 2018. By doing so, the local government of Tangerang can use such information to formulate the appropriate policies to foster inclusive economic growth. This study is essential as Tangerang Municipality experienced a slow down in economic growth in 2014 compared to the previous year. This study uses quantitative methods namely Location Quotient (LQ) analysis, to identify leading sectors of the economy, and Least Squares Method, to make a projection of the economy. In addition, descriptive analysis is also used to briefly interpret the quantitative data and formulate policy recommendations. The results show that: (1) the leading sectors of Tangerang Municipality are manufacturing industry sector, transportation and warehousing sector, information and communication sector, and business services sector, (2) the projection analysis showed that in 2018, based on constant price and current price RGDP, Tangerang Municipality will experience positive economic growth. This will also be true for per capita RGDP. Moreover, inflation and open unemployment rate will decline.
Keywords: Potency of Economy, Projection, RGDP
Research Interests:
This research aims to analyze the effect of decentralization on national income distribution and the reduce of income Inequality in Indonesia. This research used secondary data with gross domestic product (GDP) representing national... more
This research aims to analyze the effect of decentralization on national income distribution and the reduce of income Inequality in Indonesia. This research used secondary data with gross domestic product (GDP) representing national income and gini index data representing income inequality from 1978 to 2015. An OLS Linear Regression approach was employed where the gini index was the dependent variable, and the independent variables were GDP and the Dummy for decentralization implementation. The result revealed that decentralization had not been able to distribute economic growth to minimize income Inequality.
Keywords: Economic Growth, Income Inequality, Decentralization
Research Interests:
This research aims to analyze whether export tax policy and the policy of productivity increment of agro industry based upstream and downstream sectors can increase real GDP growth, agro industry output, and household income. The model... more
This research aims to analyze whether export tax policy and the policy of productivity increment of agro industry based upstream and downstream sectors can increase real GDP growth, agro industry output, and household income. The model used in this research is a comparative static Computable General Equilibrium (CGE) model. The data used are from the 2008 Input-Output Table, the 2008 System Accounting Matrix (SAM) Table, and other relevant suporting sources. The three simulations conducted in this research are: (1) export tax policy on agro industry’s upstream sector (SIM1), (2) export tax and productivity increment policies on agro industry’s upstream sector (SIM2), and (3) export tax and productivity increment policies on agro industry’s upstream and downstream sectors (SIM3). The three simulations will be adjusted to the government’s policies to suport agro industries’ downstream. SIM1 has negative effect on real GDP and only increases agro industry output in certain sectors only. SIM2 and SIM3 have positive effect on real GDP and increases agro industry output. All simulations increase non-agricultural household incomes, and decrease agricultural household incomes.
Keywords: agroindustry, export tax, real GDP, household income
Research Interests:
A possible best solution to overcome the various problems being faced by our nation is to return to the spirit of Pancasila. Pancasila is the centerpiece of Indonesia‘s existence as a nation. It serves as our country‘s foundation,... more
A possible best solution to overcome the various problems being faced by our nation is to return to the spirit of Pancasila. Pancasila is the centerpiece of Indonesia‘s existence as a nation. It serves as our country‘s foundation, ideology, philosophy, as well as the embodiment of basic principles of an independent Indonesia. Therefore, revitalizing Pancasila should be our country‘s main program, imbued by each and every one of its citizens. Our Founding Fathers once dreamed and believed that Pancasila would free us from poverty, hunger, economic disparity, and corruption, while also giving us the ability to stand up to cooperate with all countries equally. It needs our combined willpower, actions, and integration of various fields and expertises to achieve expected welfare for all Indonesian.
Research Interests:
Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan memilikl permasalahan vang perlu diselesalkan. Sektor pertanian merupakan sektoriutama yang berkontribusi ternadap pembangunan daerant Midisusul oleh, sektori... more
Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan memilikl permasalahan vang perlu diselesalkan. Sektor pertanian merupakan sektoriutama yang berkontribusi ternadap pembangunan daerant Midisusul oleh, sektori konstruksi, perdagangan, administrasi pemerintahan den sektor industri pengolahan. Permasalahan pokok vane dihadapi oleh Kabupaten Gunungkidul mash berkutat pada persoalan pertumbuhan ekonomi yang belum inklusif, mash relatif tingsinya kemiskinan, rendahnya kapasitas fiskal dan pendanaan pembangunan daerah, belum optimalnya sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan dan reformasi birokrasi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan keberdayaan masyarakat. Dengan mempertimbangkan potensi pembangunan dan permasalah-an pokok yang dihadapi, buku ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui sejauh mana pemerintah daerah bersama dengan masyarakat Kabupaten Gunungkidul melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan pembangunan daerah. Oleh sebab itu, hasil evaluasi dan monitoring capaian pembangunan, serta analisis inovasi daerah, diharapkan dapat menjadi umpan balik dalam mengkaji sejauh mana capaian pembangunan dan inovasi daerah, serta realisasi strategi dan program yang telah direncanakan dalam rencana kerja pemerintah daerah.
Ketimpangan gender merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Ketimpangan gender yang tinggi menjadi penghambat tercapainya pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang berkelanjutan... more
Ketimpangan gender merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Ketimpangan gender yang tinggi menjadi penghambat tercapainya pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development) dan tentunya menyebabkan kesejahteraan yang timpang antargender. Buku "Gender dan Pembangunan Ekonomi: Studi Lintas Provinsi di Indonesia" ini adalah sebuah analisis tentang hubungan antara gender, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di Indonesia. Buku ini mengungkap fuktuasi ketimpangan gender sebelum dan setelah pandemi Covid-19, dengan penurunan yang tidak signifikan sebelum pandemi dan penurunan yang lebih rendah setelahnya. Provinsi Nusa Tenggara Barat menonjol sebagal provinsi dengan tingkat ketimpangan gender tertinggi, sementara Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tingkat ketimpangan terendah. Hasil studi dalam buku ini menunjukkan bahwa Covid-19 dan ketimpangan gender telah menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selain itu, indeks pembangunan gender, indeks pembangunan manusia, dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia terutama sesudah Covid-19. Pembangunan gender dan pertumbuhan ekonomi memainkan peran krusial dalam menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Studi ini menghimbau perlunya meningkatkan pemberdayaan perempuan, terutama melalui peningkatan akses pendidikan untuk mencapal kesetaraan gender sebagai kunci utama dalam mengatasi kemiskinan di berbagai provinsi Indonesia. Buku ini juga memberikan masukan untuk mengatasi ketimgangan gender, seperti perlu adanya peningkatan peran dan partisipasi perempuan di berbagai sektor pembangunan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, politik, jabatan publik, dan pengambilan keputusan.
Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda masyarakat global. Pada tataran praksis perubahan iklim telah dirasakan dan berdampak pada kehidupan umat manusia di seluruh planet bumi. Setiap tahun Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa... more
Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda masyarakat global. Pada tataran praksis perubahan iklim telah dirasakan dan berdampak pada kehidupan umat manusia di seluruh planet bumi. Setiap tahun Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation) melakukan  pertemuan para pihak (the Conference of the Parties/COP) dalam Konferensi Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCC). Pertemuan terakhir COP ke-27 berlangsung tanggal 6 sampai 20 November 2022 di Mesir. Hasil pertemuan COP 27 menegaskan kembali target utama untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C. Untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global tersebut membutuhkan kontribusi dan keterlibatan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah kontribusi agama sebagai institusi sosial dan keterlibatan penganutnya pada tataran praksis.  Hasil penelitian menyebutkan bahwa jumlah orang yang percaya kepada Tuhan di planet bumi mencapai 85.06 persen. Sejumlah 73.11 persen mereka menganggap Tuhan penting dalam kehidupannya. Mereka menganggap kehadiran agama menjadi penting dalam kehidupan sebanyak 72.40 persen orang. Artinya, agama bisa menjadi institusi sosial yang digerakkan dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim global. Ajaran agama apa pun baik itu agama samawi maupun agama tradisional memiliki ajaran dan nilai-nilai yang melarang umat manusia merusak lingkungan dan ekologi. Perubahan iklim adalah bagian dari masalah yang dihadapi umat manusia akibat tindakan manusia mengeksploitasi alam, maupun ekologi yang telah berlangsung ratusan tahun. Problemnya adalah dari berbagai riset dan literatur yang ditemukan ternyata agama belum berkontribusi dan memiliki keterlibatan yang optimal dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim. Pandangan keagamaan terhadap perubahan iklim masih bersifat dualisme. Di satu sisi kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim adalah hukum alam yang bersumber dari Tuhan sehingga manusia tak perlu melawan hukum Tuhan tersebut yang dikenal sebagai teosentris. Di sisi lain kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim akibat tindakan dan perilaku manusia yang merusak dan mengeksploitasi alam yang dikenal sebagai antroposentris. Pandangan yang bersifat antroposentrisme ini dominan dalam komunitas global tanpa memandang agama apa pun, sehingga  Upaya mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim baik melalui adaptasi dan mitigasi telah menjadi agenda dan kesepakatan bersama komunitas global. Dari penelitian penulis ditemukan bahwa sejumlah 70.60 persen umat manusia merasa dirinya sebagai seseorang yang religius terlepas apakah ia menghadiri kegiatan keagamaan atau tidak sama sekali. Ditemukan juga bahwa 34.03 persen orang yang mengikuti kegiatan keagamaan paling tidak sekali dalam seminggu. Dari seluruh negara yang diteliti ternyata Qatar menjadi negara yang paling religius di dunia. Sebaliknya, China menjadi negara yang paling tidak religius.  Dari 95 negara yang diteliti, ternyata sepuluh negara penghasil emisi CO2 terbesar tahun 2020 adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Korea Selatan, Indonesia, dan Arab Saudi. Mereka menyumbang sekitar 74.98 persen emisi CO2 dunia. China menduduki peringkat pertama menyumbang emisi CO2 dunia sebesar 30.63 persen. Sumber emisi China adalah pesatnya industrialisasi, jumlah penduduk yang banyak dan menjadi pengguna batu bara terbesar di dunia, yakni 53 persen dari total konsumsi batu bara global. Penelitian ini juga menemukan sepuluh negara penyumbang jejak ekologis terbesar yaitu China, Amerika Serikat, India, Federasi Rusia, Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman, Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara tersebut menyumbang sekitar 74.98 persen jejak ekologis dunia. Negara China kembali menjadi penyumbang jejak ekologis terbesar dunia sebesar 29.34 persen. Jika dikaitkan dengan tingkat religiositas umat manusia dalam suatu negara ternyata religiositas mempengaruhi perilaku dan tindakannya terhadap alam (pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam) dan keberlanjutan ekologi maupun ekosistem. Negara dengan penduduknya yang memiliki  tingkat religiositas tinggi memiliki tingkat kepedulian yang tinggi dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orangnya. Sebaliknya, negara dengan tingkat religiositas yang rendah justru menjadi penyumbang emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orang terbesar di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiositas memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orang dalam suatu negara. Hal ini membuktikan bahwa ajaran agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat ditransformasikan menjadi institusi sosial yang mampu mencegah dan mengatasi persoalan perubahan iklim secara global. Dengan demikian akan menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistemnya serta umat manusia dapat menjalankan kehidupan yang nyaman dan aman di planet bumi.
Buku ini pada intinya akan menjawab pertanyaan berikut: (1) Apa potensi ekonomi Kota Semarang berdasarkan lapangan usaha?; (2)Apa masalah mendasar yang dihadapi Kota Semarang?; (3) Apakah isyu stratejik yang muncul di... more
Buku ini pada intinya akan menjawab pertanyaan berikut: (1) Apa potensi ekonomi  Kota  Semarang  berdasarkan  lapangan  usaha?;  (2)Apa masalah mendasar  yang  dihadapi  Kota  Semarang?;  (3) Apakah  isyu  stratejik  yang muncul  di  Kota  Semarang?;  (4) Bagaimanakah  pemda  Kota  Semarang melakukan perubahan dengan perencanaan (change by design)?; (5) Mengapa visi dan misi Kota Semarang perlu diubah?; (6) Bagaimana strategi kebijakan mewujudkan  visi  “Semarang Kota  Perdagangan  &  Jasa  Yang  Hebat  (Makin Hebat) Menuju Masyarakat Semakin Sejahtera”?; (7) Apa program utama dan inovasi daerah yang diimplementasikan oleh Kota Semarang?; (8) Sejauh mana capaian pembangunan dilihat dari kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik?
Keberhasilan pembangunan daerah khususnya di bidang ketenagakerjaan ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja. Namun, tidak mudah untuk mengumpulkan dan... more
Keberhasilan pembangunan daerah khususnya di bidang ketenagakerjaan ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja.  Namun, tidak mudah untuk mengumpulkan dan menganalisis data, serta membuat perencanaan yang tepat untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Faktanya, Indonesia masih dihadapkan dengan masalah ketenagakerjaan, khususnya di Provinsi Banten, yaitu tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT). Masalah ini secara langsung maupun tidak langsung dapat berdampak terhadap kemiskinan, kriminalitas, dan merembet kepada masalah-masalah sosial politik yang semakin meningkat. Buku ini hadir untuk mengulas perlunya perencanaan ketenagakerjaan, mengenali persoalan dan potret ketenagakerjaan, serta memperkirakan jumlah ketersediaan dan kebutuhan tenaga kerja di Provinsi Banten. Informasi yang didapat dari hasil perkiraan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam TPT. Kebijakan perluasan dan penciptaan kesempatan kerja mutlak dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi pengangguran, yaitu dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Kebijakan ini harus dikembangkan secara serasi, terpadu, dan saling mendukung untuk perluasan dan penciptaan kesempatan kerja yang produktif. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan komprehensif yang dibutuhkan adalah kebijakan berkaitan dengan perluasan kesempatan kerja, pembinaan angkatan kerja, dan peningkatan produktivitas, perlindungan, dan kesejahteraan pekerja, serta berkaitan dengan migrasi.
Buku ini pada intinya merekonstruksi buah pikiran dan cita-cita para pendiri negara di bidang ekonomi yang dipandang sangat relevan dan menjadi solusi bagi masalah bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sungguh luar biasa!... more
Buku ini pada intinya merekonstruksi buah pikiran dan cita-cita para pendiri negara di bidang ekonomi yang dipandang sangat relevan dan menjadi solusi bagi masalah bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sungguh luar biasa! Pemikiran dasar tentang ekonomi Indonesia Merdeka ternyata telah diletakan oleh Bung Hatta sejak tahu 1932. Dalam pidatonya. “Ke Arah Indonesia Merdeka”, yang diucapkan pada tahun itu, Bung Hatta menyatakan: “Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat… Inilah arti kedaulatan rakyat. Tidak saja dalam hal politik melainkan juga dalam sisi sosial dan ekonomi ada demokrasi”. Dari pandangan yang sangat mendasar tersebut, jelas tergambar betapa mekanisme pengaturan negara-termasuk di bidang ekonomi-harus diputuskan oleh seluruh rakyat secara mufakast. Bagi Bung Hatta, hal inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Oleh karena itu, ada kaidah, arah, dan haluan perekonomian bangsa ini harus diputuskan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat melalui UUD 1945 dan GBHN. Kehadiran buku ini semoga dapat memperkaya khazanah pemikiran ekonomi di Indonesia khususnya, dan dunia umumnya, bahwa Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) adalah ”cara pandang sendiri” dalam ekonomi untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta sistem yang selama ini dianggap sebagai “jalan tengah” dari sistem kapitalisme dan sosialime atau pun sistem alternatif/jalan ketiga. SEP-sebagaimana dimaknai para pendiri NKRI-merupakan “sistem sendiri”, yang dalam buku ini berhasil direkonstruksi dengan pelacakan historis dan elaborasi dari sudut filsafat ilmu-dengan tiga tahap pembahasan: asal-usul penalaran, serta arah haluan dan penerapannya.
Buku ini pada intinya merekonstruksi buah pikiran dan cita-cita para pendiri negara di bidang ekonomi yang dipandang sangat relevan dan menjadi solusi bagi masalah bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sungguh luar biasa!... more
Buku ini pada intinya merekonstruksi buah pikiran dan cita-cita para pendiri negara di bidang ekonomi yang dipandang sangat relevan dan menjadi solusi bagi masalah bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sungguh luar biasa! Pemikiran dasar tentang ekonomi Indonesia Merdeka ternyata telah diletakan oleh Bung Hatta sejak tahu 1932. Dalam pidatonya. “Ke Arah Indonesia Merdeka”, yang diucapkan pada tahun itu, Bung Hatta menyatakan: “Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat… Inilah arti kedaulatan rakyat. Tidak saja dalam hal politik melainkan juga dalam sisi sosial dan ekonomi ada demokrasi”. Dari pandangan yang sangat mendasar tersebut, jelas tergambar betapa mekanisme pengaturan negara-termasuk di bidang ekonomi-harus diputuskan oleh seluruh rakyat secara mufakast. Bagi Bung Hatta, hal inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Oleh karena itu, ada kaidah, arah, dan haluan perekonomian bangsa ini harus diputuskan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat melalui UUD 1945 dan GBHN. Kehadiran buku ini semoga dapat memperkaya khazanah pemikiran ekonomi di Indonesia khususnya, dan dunia umumnya, bahwa Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) adalah ”cara pandang sendiri” dalam ekonomi untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta sistem yang selama ini dianggap sebagai “jalan tengah” dari sistem kapitalisme dan sosialime atau pun sistem alternatif/jalan ketiga. SEP-sebagaimana dimaknai para pendiri NKRI-merupakan “sistem sendiri”, yang dalam buku ini berhasil direkonstruksi dengan pelacakan historis dan elaborasi dari sudut filsafat ilmu-dengan tiga tahap pembahasan: asal-usul penalaran, serta arah haluan dan penerapannya.
Persoalan tata kelola energi nasional, terutama Bahan Bakar Minyak (BBM) telah begitu menguras konsentrasi bangsa kita. Aspek pengelolaan hulu hingga hilir energi perlu perbaikan serius. Rakyat Indonesia diperlihatkan keragu-raguan... more
Persoalan tata kelola energi nasional, terutama Bahan Bakar Minyak (BBM) telah begitu menguras konsentrasi bangsa kita. Aspek pengelolaan hulu hingga hilir energi perlu perbaikan serius. Rakyat Indonesia diperlihatkan keragu-raguan pengambil kebijakan yang terbukti kontraproduktif. Padahal, BBM merupakan kebutuhan dasar yang menentukan hajat hidup orang banyak.
Buku ini menyajikan analisis kebijakan energi nasional yang berkaitan dengan bidang Pertanian, Perikanan, Kehutanan, Peternakan, Teknologi Pertanian, Politik, Ekonomi, dan Sosial Kemasyarakatan. Pendekatan multidisiplin diharapkan dapat memperkaya khasanah dan kajian dalam tata kelola energi di Indonesia. Buku ini sekaligus merupakan ikhtiar akademisi sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.
Research Interests:
Industri agro merupakan penyumbang terbesar dalam sektor industri, tetapi kontribusinya terhadap PDB secara konsisten menurun setiap tahunnya. Penurunan ini diduga karena kurangnya ketersediaan bahan baku dan rendahnya produktivitas... more
Industri agro merupakan penyumbang terbesar dalam sektor industri, tetapi kontribusinya terhadap PDB secara konsisten menurun setiap tahunnya. Penurunan ini diduga karena kurangnya ketersediaan bahan baku dan rendahnya produktivitas sektor pertanian. Solusinya, pemerintah akan memberikan insentif kepada pengusaha yang memasok bahan mentah ke dalam negeri, dan memberikan disinsentif berupa bea keluar kepada barang mentah yang diekspor serta meningkatkan produktivitas melalui peningkatan kualitas SDM. Harapannya, kebijakan tersebut dapat mendorong percepatan hilirisasi industri agro.
Terdapat banyak perdebatan soal kebijakan ini, bahkan hasil kebijakan berbagai negara berbeda-beda. Hal ini menjadi menarik bagi penulis untuk menyusuri lebih jauh dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian Indonesia. Temuan penulis, kebijakan pajak ekspor berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bila keberhasilan ekonomi nasional hanya dinilai berdasarkan indikator ekonomi makro, maka kebijakan tersebut dinilai tidak pro terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dan memperburuk daya saing ekspor. Sebaliknya, apabila kebijakan ekspor tersebut disertai oleh peningkatan produktivitas sektor hulu dan hilir maka akan berdampak positif pertumbuhan ekonomi dan terjadi hilirisasi industri agro.
Research Interests:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan, kinerja, dan daya saing komparatif Koperasi Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Data yang digunakan adalah data keragaan koperasi yang bersumber dari Kementerian Koperasi dan... more
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan, kinerja, dan daya saing komparatif Koperasi Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Data yang digunakan adalah data keragaan koperasi yang bersumber dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta data ekonomi makro yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, proyeksi tren, Tipologi Klassen, dan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) statis dan dinamis. Hasil analisis menunjukkan perkembangan jumlah koperasi aktif meningkat secara absolut, namun secara persentase menurun. Sebagian besar koperasi tidak melaksanakan rapat anggota tahunan, dan tidak memiliki manajer. Modal dan volume usaha terus mengalami peningkatan. Kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah. Kinerja koperasi mengalami peningkatan setiap tahunnya yang mengindikasikan terjadi peningkatan kesejahteraan anggota koperasi. Provinsi yang memiliki daya saing komparatif tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara yang terendah adalah Provinsi Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.
Research Interests:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan, kinerja, dan daya saing komparatif Koperasi Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Data yang digunakan adalah data keragaan koperasi yang bersumber dari Kementerian Koperasi dan... more
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan, kinerja, dan daya saing komparatif Koperasi Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Data yang digunakan adalah data keragaan koperasi yang bersumber dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta data ekonomi makro yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, proyeksi tren, Tipologi Klassen, dan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) statis dan dinamis. Hasil analisis menunjukkan perkembangan jumlah koperasi aktif meningkat secara absolut, namun secara persentase menurun. Sebagian besar koperasi tidak melaksanakan rapat anggota tahunan, dan tidak memiliki manajer. Modal dan volume usaha terus mengalami peningkatan. Kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah. Kinerja koperasi mengalami peningkatan setiap tahunnya yang mengindikasikan terjadi peningkatan kesejahteraan anggota koperasi. Provinsi yang memiliki daya saing komparatif tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara yang terendah adalah Provinsi Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.
Research Interests:
Industri agro merupakan penyumbang terbesar dalam sektor industri, tetapi kontribusinya terhadap PDB secara konsisten menurun setiap tahunnya. Pertumbuhan rata-rata sektor ini juga hanya sekitar empat persen untuk periode 1999-2012.... more
Industri agro merupakan penyumbang terbesar dalam sektor industri, tetapi kontribusinya terhadap PDB secara konsisten menurun setiap tahunnya. Pertumbuhan rata-rata sektor ini juga hanya sekitar empat persen untuk periode 1999-2012. Penurunan pangsa industri agro terhadap PDB diduga karena kurangnya ketersediaan bahan baku dan rendahnya produktivitas sektor pertanian. Kementerian Perindustrian melalui kebijakan strategi percepatan dan perluasan industri agro berupaya mendorong pembangunan infrastruktur pendukung yang sejalan dengan program masterplan perluasan dan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah akan memberikan insentif kepada pengusaha yang memasok bahan mentah ke dalam negeri, dan memberikan disinsentif berupa bea keluar kepada barang mentah yang diekspor. Secara bertahap pula pemerintah mengundang baik investor lokal maupun asing untuk mengembangkan industri agro. Selain itu, pemerintah melalui rencana strategisnya mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian, karena selama ini terjadi stagnasi produktivitas sektor pertanian. Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan mampu mendorong hilirisasi industri agro.
Penelitian ini akan memfokuskan pada kebijakan pajak ekspor dan peningkatan produktivitas komoditas ekspor utama sebagai pilihan kebijakan untuk pengembangan hilirisasi industri agro. Komoditas ekspor utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komoditas ekspor yang dikenai pajak ekspor. Model yang digunakan untuk mengukur dampak kebijakan tersebut adalah model CGE comparative static. Selain dapat mengukur dampak ekonomi sektoral industri agro, model ini juga mampu mengukur dampak ekonomi makro, ekonomi sektoral lainnya, serta mengukur dampak terhadap distribusi pendapatan kelompok rumah tangga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pajak ekspor berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB riil). Penurunan tersebut terjadi karena nilai ekspor, konsumsi riil rumah tangga, investasi riil dan pengeluaran riil pemerintah mengalami penurunan. Bila keberhasilan ekonomi nasional hanya dinilai berdasarkan indikator makroekonomi, maka kebijakan tersebut dinilai tidak pro terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dan memperburuk daya saing ekspor. Sebaliknya, apabila kebijakan ekspor tersebut disertai oleh peningkatan produktivitas sektor hulu maka akan berdampak positif terhadap PDB riil. Peningkatan PDB riil akan semakin tinggi bila kebijakan pajak ekspor dan peningkatan produktivitas sektor hulu disertai oleh peningkatan produktivitas pada sektor hilirnya.
Kebijakan pajak ekspor dapat menghambat pertumbuhan ekspor pada sektor yang dikenai pajak dengan atau tanpa peninkatan produktivitas sektor hulu dan hilir berbasis agro industri. Penurunan ekspor menjadi lebih kecil apabila kebijakan ekspor disertai peningkatan produktivitas pada komoditas yang dikenai ekspor. Hal ini sejalan dengan harapan kebijakan pemberlakuan pajak ekspor, yakni menghambat laju pertumbuhan ekspor. Hal yang sama terjadi pada impor sektoral. Penurunan ekspor tersebut mendorong peningkatan output domestik pada subsektor industri agro tertentu saja. Tetapi bila diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor hulu dan hilir berbasis agro akan meningkatan output
domestik pada setiap subsektor industri agro dan pertanian. Peningkatan output disertai dengan penurunan harga output sektoral, khususnya sektor industri agro dan sektor pertanian. Kebijakan tersebut juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral, di mana secara umum terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja, kecuali pada sektor kelapa sawit.
Apabila kebijakan pajak ekspor disertai ataupun tidak oleh peningkatan produktivitas sektor hulu dan hilir maka akan meningkatkan pendapatan pada rumah tangga non pertanian berpenghasilan tinggi, dan penurunan pendapatan pada kelompok rumah tangga pertanian. Kebijakan tersebut semakin memperburuk distribusi pendapatan dan kesejahteraan antar kelompok rumah tangga.
Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan, adalah: (1) Realisasi rencana strategis Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian terkait peningkatan produktivitas sektor hulu dan hilir industri agro menjadi syarat perlu dalam melakukan hilirisasi industri agro. Dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mendorong peningkatan produktivitas, baik peningkatan produktivitas tenaga kerja (melalui peningkatan keahlian dan ketrampilan) maupun peningkatan efisiensi penggunaan berbagai masukan material dan peralatan modal, peningkatan kegiatan riset, dan pengembangan teknologi. Pengembangan industri agro yang hanya bergantung pada kebijakan ekspor merupakan keputusan yang keliru baik secara ekonomi makro, sektoral, maupun distribusi pendapatan. (2) Pemerintah perlu membuat suatu strategi untuk mengkompensasi penurunan pendapatan rumah tangga pertanian melalui redistribusi penerimaan pajak ekspor, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Ghana. Skema redistribusi penerimaan